UNIVERSITAS INDONESIA
Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO 3 dan Kaolinite Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis
DISERTASI
ORDAS DEWANTO 1006751325
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL UNIVERSITAS INDONESIA APRIL 2015
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO 3 dan Kaolinite Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
ORDAS DEWANTO 1006751325
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL UNIVERSITAS INDONESIA APRIL 2015
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Ordas Dewanto
NPM
: 1006751325
Tanda Tangan : Tanggal
: 27 April 2015
iii
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
iv
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini, dengan judul: “Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis”. Penulisan Disertasi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Program Studi ilmu Material, pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan Disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan Disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada: (1) Dr. Bambang Soegijono, selaku Promotor yang telah banyak membantu memberikan semangat, mengerti kondisi saya dan menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Disertasi ini. (2) Prof. Suharso, Ph.D., selaku Kopromotor yang telah banyak membantu memberikan semangat dan menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Disertasi ini. (3) Dr. rer. nat. Abdul Haris, selaku Dekan FMIPA Universitas Indonesia. (4) Prof. Dr. Agus Setyo Budi, Dr. Budhy Kurniawan, Dr. Ariadne L. Juwono dan Dr. Dede Djuhana yang telah banyak memberikan koreksi, masukan dan saran untuk kesempurnaan penyusunan Disertasi ini. (5) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moril. (6) Lemigas yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh literatur dan tambahan data yang saya perlukan, serta membantu beberapa pengukuran dan pengujian dalam pelaksanaan penelitian Disertasi ini. (7) Laboratorium Kimia Dasar FMIPA Universitas Lampung, Laboratorium Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Indonesia, Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Indonesia, Laboratorium Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung, UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi v
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
Universitas Lampung, yang telah bersedia membantu pengukuran dan pengujian dalam pelaksanaan penelitian Disertasi ini. (8) Teman-teman yang telah memberikan bantuan dukungan materi yaitu Bapak dan Ibu: Esti Nugraheni, Dr. Yofentina Iriani, Dr. Mahendra, Dr. Edie Sasito, Anggoro, Ir. Indra, Dr. Basrowi, Dr. Melvi, Tanti, M.T., Ngadinem, Sugiyanto, M.T., Dr. Sri Hastuti, Eko Raharjo, M.H., Wagiso, S.E., Sutarno, M.M., H. Mukharam, M.M., Edi Marsono, S.E., H. Mahrom, S.E., H. Bahrul, Ir. Elma Basri, Wita, Sairul, S.P, Nurmansyah, Heri Syamsul, S.E., Akhmad Dzakwan, Aris Windu, Jatmiko AW, Karyanto, dan Sampurna. (9) Dr. Maykel, Dr. Iwan S., Dr. Lutfi, Dr. Bambang Irawan, Teguh, Evi, Tamara, Liestiyarini, teman-teman SMAGO 87 dan semua sahabat saya yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan Disertasi ini. (10) Pimpinan Fakultas Teknik Unila: Prof. Dr. Suharno dan Dr. Muh Sarkowi, Bagus Sapto Mulyatno, M.T., dan semua teman-teman di Fakultas Teknik, yang telah memberikan motivasi dan semangat. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Semoga Disertasi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 27 April 2015
Penulis
vi
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ordas Dewanto
NPM
: 1006751325
Program Studi
: Ilmu Material
Departemen
: Universitas Indonesia
Fakultas
: MIPA
Jenis Karya
: Disertasi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Tingkat Maturasi Serpih Minyak pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 27 April 2015 Yang menyatakan,
(Ordas Dewanto) vii
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Ordas Dewanto : Ilmu Material : Tingkat Maturasi Serpih Minyak pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis
Material serpih adalah sejenis serpih minyak yaitu material clay atau karbonat yang mengandung banyak organik belum matang, apabila dipanaskan pada suhu tertentu, kandungan organiknya menjadi matang dan berubah secara fisika dan kimia, sehingga dapat menghasilkan bahan energi seperti migas. Dalam penelitian ini campuran material dimodifikasi dengan perbandingan: A=B, AB dan AB. Pengujian TOC menghasilkan clay-organik (SMC) dan karbonat-organik (SMK) menunjukkan kualitas yang sangat baik sebagai serpih minyak (TOC≥12.0%), yang diperkuat hasil analisis SEM (morfologi dan komposisi) dan XRD (interaksi dua material). Hasil analisis Termogravimetri menunjukkan energi aktivasi material serpih clay (209-355 kJ/mol) lebih kecil dibanding karbonat (749-1339 kJ/mol), dan temperatur untuk proses reaksi material serpih clay (40-600 OC) lebih kecil dibanding karbonat (75-740OC). Karakteristik tersebut menyebabkan tingkat maturasi material serpih clay lebih cepat dibanding karbonat, diperkuat Tmax serpih clay (315-323 OC) lebih kecil dibanding Tmax serpih karbonat (415-493 OC). CEC 2 (serpih minyak) memiliki karakteristik yang sama dengan serpih clay (Ea=239 kJ/mol dan T=40600OC). OD1-Ast3 memiliki tingkat maturasi yang paling bagus (Ea=234 kJ/mol dan Tmax=315OC) sesuai dengan serpih minyak (CEC 2). Hasil pengujian Rock Eval Pyrolisis menunjukkan material serpih clay dan karbonat mempunyai potensi tinggi (menghasilkan oil dan gas). Hasil pemanasan material serpih diperkuat oleh hasil pengujian FTIR yaitu senyawa dengan gugus fungsi tertentu terlepas dan muncul puncak baru di bilangan gelombang 2900 cm-1 yang menunjukkan keberadaan hidrokarbon ikatan tunggal dari rantai karbon panjang C-H. Kata kunci: material serpih, serpih minyak, TOC, energi aktivasi, termogravimetri dan pirolisis.
viii
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
ABSTRACT
Name Programme Tittle
: Ordas Dewanto : Material Sciences : Maturation level Oil Shale On CaCO3 and Kaolinite, With Determination Activation Energy by Using Thermogravimetric and Pyrolysis Methods.
The material is a kind of shale oil shale is clay or carbonate material containing organic many immature, when heated to a certain temperature, the organic content of becoming mature and change in physics and chemistry, so it can produce energy materials such as oil and gas. In this study a mixture of materials modified by comparison: A=B, AB and A>B. TOC testing of clay-organic (SMC) produce and organic carbonates (SMK) demonstrate excellent quality as shale oil (TOC≥12.0%), which confirmed the results of scanning electron microscopy (SEM) analysis (morphology and composition) and X-ray diffraction (XRD) (interaction of two materials). The results of thermogravimetric analysis showed activation energy shale clay material (209-355 kJ/mol) is smaller than the carbonate (749-1339 kJ/mol), and the temperature of the reaction process shale clay material (40-600 OC) is smaller than the carbonate (75- 740OC). These characteristics cause the maturation level of clay shale material faster than carbonate, shale clay reinforced Tmax (315-323OC) is smaller than Tmax flakes carbonate (415-493OC). CEC 2 (shale oil) has the same characteristics as the flakes of clay (Ea=239 kJ/mol and T=40-600OC). OD1-Ast3 have the most good maturation rate (Ea=234 kJ/mol and Tmax=315OC) in accordance with the shale oil (CEC 2). Test results show the Rock Eval Pyrolisis clay shale and carbonate material has a high potential (produce oil and gas). Results heating shale material reinforced by FTIR testing results are compounds with specific functional groups apart and a new peak appeared at wavenumber 2900 cm-1 which indicate the presence of hydrocarbons single bonds of the carbon chain length of CH. Keywords: material shale, shale oil, TOC, activation energy, thermogravimetric and pyrolysis.
ix
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR ISI Halaman: HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………... i HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………... iii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………… iv KATA PENGANTAR ………………………………………………………… v HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI …………………… vii ABSTRAK …………………………………………………………………….. viii DAFTAR ISI …………………………………………………………………... x DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xiii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xvi 1. PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………... 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 1.4 Hipotesa Penelitian ……………………………………………………… 1.5 Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 1.6 Batasan Penelitian ………………………………………………………..
1 1 11 11 12 13 13
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2.1 Clay (Lempung) …………………………………………………………. 2.1.1 Karakteristik Clay ………………………………………………….. 2.1.2 Komposisi Mineral Clay…… ……………………………………… 2.1.3 Jenis-Jenis Clay…… ……………………………………………….. 2.1.4 Clay (Tanah liat) dan Modifikasinya sebagai Katalis ....................... 2.1.5 Proses Pilarisasi Pada Clay Alam ………………………………….. 2.1.6 Klasifikasi Clay ……………………………………………………. 2.2 Batuan Sedimen Karbonat ………………………………………………. 2.2.1 Karakteristik Komponen Batuan Karbonat Mikrofasies …………… 2.2.2 Tekstur Batuan Sedimen Karbonat ………………………………… 2.2.3 Reaksi di Karbonat dan Asam Salisilat …………………………….. 2.3 Asam Stearat …………………………………………………………….. 2.4 Serpih Minyak …………………………………………………………... 2.5 Senyawa Organik ………………………………………………………... 2.5.1 Karakteristik Senyawa Organik ……………………………………. 2.5.2 Klasifikasi Senyawa Organik ………………………………………. 2.5.3 Senyawa Hidrokarbon ……………………………………………… 2.5.4 Senyawa Hidrokarbon Dan Turunannya …………………………… 2.5.5 Alkana ……………………………………………………………… 2.6 Kerogen ..................................................................................................... 2.6.1 Kerogen Tipe I (highly oil prone - oil prone) ………………………
14 14 16 18 19 22 23 24 27 27 28 29 30 30 33 33 35 35 36 37 38 38
x
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
2.6.2 Kerogen Tipe II (oil and gas prone) ……………………………….. 2.6.3 Kerogen Tipe III (gas prone) ………………………………………. 2.6.4 Kerogen Tipe IV (inert) ……………………………………………. 2.7 Pyrolisis …………………………………………………………………. 2.7.1 S1 (free hydrocarbon) ………………………………………………. 2.7.2 S2 (pyrolisable hydrocarbon) ………………………………………. 2.7.3 S3 (kandungan CO2) ……………………………………………….. 2.8 Temperatur Maksimum (Tmax) ………………………………………… 2.9 TOC (Total Organic Carbon) …………………………………………… 2.10 Thermogravimetric Analysis (TGA) ……………………………...…… 2.10.1 Differential Thermal Analysis dan Differential Scanning ………... 2.10.2 Aplikasi DTA(DSC) dan TGA …………………………………… 2.10.3 Teori Arrhenius………………... …………………………………. 2.11 Spektrometer Infra Merah (FTIR)
39 39 40 40 40 40 41 41 42 43 44 47 50 51
3. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………………. 3.1 Tempat dan Peralatan Penelitian ………………………………………... 3.2 Bahan Penelitian ………………………………………………………… 3.3 Metode Penelitian ……………………………………………………….. 3.4 Rancangan (design) Penelitian .................................................................. 3.4.1 Pemilihan Material Clay, Karbonat dan Organik ………………….. 3.4.2 Karakterisasi Material Clay, Karbonat dan Organik ……………….. 3.4.3 Pembuatan Material Clay-Organik dan Karbonat-Organik ………. 3.4.4 Karakterisasi Material Serpih ……………………………………… 3.4.5 Pengujian TGA pada Material Clay dan Karbonat ………………… 3.4.6 Pengolahan Laju Reaksi dan Energi Aktivasi ……………………… 3.4.7 Menentukan Tmax, Laju Reaksi dan Energi Aktivasi …………….. 3.4.8 Penambahan Fe dalam Material Serpih ……………………………. 3.4.9 Pengujian Pirolisis …………………………………………………. 3.4.10 Penentuan Temperatur Maksimum (Tmax) ……………….…….. 3.4.11 Pengolahan Data Hasil Pirolisis ………………………………….. 3.4.12 Pengujian FTIR Material Serpih …………………..………………
53 53 53 53 57 57 57 57 58 58 58 60 61 61 62 62 63
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 4.1 Penentuan Material Penelitian …….…………………………………….. 4.1.1 Pemilihan Material Clay dan Karbonat …………………………….. 4.1.2 Pemilihan Material Organik ………………………………………... 4.1.3 Pembuatan Material Clay (SMC) dan Karbonat (SMK)……………. 4.1.4 Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) …………………….. 4.2 Karakterisasi Material …………………………………………………… 4.2.1 Hasil Analisa Dengan Menggunakan SEM ………………………... 4.2.2 Pengukuran Difraksi Sinar-X (XRD) ................................................. 4.3 Hasil Thermogravimetry Analysis (TGA) ……………………………….
64 64 64 64 65 66 67 67 81 94
xi
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
4.3.1 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat ……………. 4.3.2 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay ………………….. 4.3.3 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Minyak ……………… 4.3.4 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay Ditambah Fe …… 4.3.5 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat Ditambah Fe.. 4.4 Hasil Pengolahan Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial ……….. 4.4.1 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD7-Asl1……. 4.4.2 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD7-Asl2……. 4.4.3 Energi Aktivasi (Ea) dan nilai A pada Material OD7-Asl2-Fe…….. 4.4.4 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast1……. 4.4.5 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast2……. 4.4.6 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast3……. 4.4.7 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast2-Fe… 4.4.8 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material CEC 2.. 4.5 Pengaruh Temperatur terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi…………… 4.5.1 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast1... 4.5.2 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast2... 4.5.3 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast3... 4.5.4 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi OD1-Ast2-Fe……. 4.5.5 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih CEC 2……. 4.5.6 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD7-Asl1... 4.5.7 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD7-Asl2... 4.5.8 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi OD7-Asl2-Fe……. 4.6 Pengaruh Temperatur terhadap k pada Proses Maturasi (T vs k)………... 4.7 Pengaruh Temperatur terhadap Ea pada Proses Maturasi (T vs Ea)…….. 4.8 Lama Pemanasan Material……………………………………………….. 4.9 Hasil Pengujian Pirolisis ………………………………………………… 4.10 Hasil Analisis FTIR pada Organik dan Material Serpih ……………….. 4.10.1 Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) ……………... 4.10.2 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1…………………. 4.10.3 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2 ………………… 4.10.4 Gabungan Spektrum FTIR pada Material Organik dan Serpih Clay 4.10.5 Hasil Analisis FTIR pada Asam Salisilat (C7H6O3) ……………… 4.10.6 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1…… 4.10.7 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl2 …... 4.10.8 Gabungan Spektrum FTIR pada Organik dan Serpih Karbonat…... 4.10.9 Spektrum FTIR Hasil Kalsinasi Material Serpih Clay dan karbonat 4.11 Ringkasan Hasil dan Pembahasan………………………………………
95 97 100 101 102 103 104 109 110 111 114 118 119 119 123 123 124 125 126 127 128 129 129 131 134 139 140 142 142 144 145 146 147 148 150 151 152 153
5. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………
159
DAFTAR REFERENSI ………………………………………………………
161
LAMPIRAN …………………………………………………………………... 176 xii
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR GAMBAR
Halaman: Gambar 2.1. Foto Mikrograf SEM Material Serpih Formasi Kelesa ………... Gambar 2.2. Foto Mikrograf SEM batu lumpur Formasi Lakat ……………... Gambar 2.3. Difraktogram Sampel lempung Getaan (Qodari, 2010) ……….. Gambar 2.4. Difaktogram sampel lempung Pagedangan (Qodari, 2010) …… Gambar 2.5. Struktur molekul kandite ………………………………………. Gambar 2.6. Struktur molekul smectite ……………………………………… Gambar 2.7. Struktur molekul illite ………………………………………….. Gambar 2.8. Skema sederhana pilarisasi........................................................... Gambar 2.9. Struktur skematik dari liat berpilar lapisan lempung …………... Gambar 2.10. Struktur kristal tiga arah dalam ruang sumbu x, y, z .............. Gambar 2.11. Struktur tunggal silika tetraeder, penyusunan beberapa silika ....... Gambar 2.12. Beberapa tipe ikatan kovalen pada atom C …………………… Gambar 2.13. Rantai Karbon: (1) Lurus; (2) Cabang; (3) Lingkar; (4) Jaring.. Gambar 2.14. Bagan Skematik Klasifikasi Hidrokarbon ……………………. Gambar 2.15. Pembacaan hasil pyrolisis (dimodifikasi dari Peters, 1986)….. Gambar 2.16. Skema termogram bagi reaksi dekomposisi satu tahap ………. Gambar 2.17. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda …………... Gambar 2.18. Metode DTA ………………………………………………….. Gambar 2.19. Skema perubahan reversibel dan irreversible ………………… Gambar 2.20. Skema Kurva DTA memperlihatkan pelelehan Kristal ………. Gambar 3.1. Jenis material yang diambil dari Core pada Facies A, B dan C... Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian………………………………………… Gambar 4.1. Material clay dan karbonat yang sudah dibentuk pellet ……….. Gambar 4.2. Proses coring, penentuan jenis material sampai ke pengolahan... Gambar 4.3. Hasil foto SEM pada material clay OD2 (dominasi kaolinite)…. Gambar 4.4. Hasil Edax-SEM pada material clay OD2 ……………………... Gambar 4.5. Hasil foto SEM pada material clay OD1 ………………………. Gambar 4.6. Hasil foto SEM pada material organik Asam Stearat (Ast) ……. Gambar 4.7. Hasil foto SEM pada material organik Asam Salisilat (Asl).…... Gambar 4.8. Hasil foto SEM pada material OD1-Ast2 ……………………… Gambar 4.9. Hasil foto SEM pada material OD2-Ast2 ……………………… Gambar 4.10. Hasil foto SEM pada serpih clay OD1-Ast2-Fe ……………… Gambar 4.11. Hasil foto SEM dan Edax pada material OD7 (Kalsit) ……….. Gambar 4.12. Hasil foto SEM pada material OD8 …………………………... Gambar 4.13. Hasil foto SEM pada material OD7-Asl2 …………………….. Gambar 4.14. Hasil foto SEM pada material OD8-Asl3 …………………….. Gambar 4.15. Hasil foto SEM pada material OD7-Asl2-Fe …………………. Gambar 4.16. Grafik hasil XRD clay kaolinite (OD1) ..................................... xiii
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
16 17 17 18 20 21 21 22 24 26 26 34 34 36 42 43 44 45 47 48 54 56 64 66 68 68 69 71 71 72 73 75 76 77 78 79 81 82
Gambar 4.17. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD1-Organik .... Gambar 4.18. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD2-Organik .... Gambar 4.19. Karakterisasi XRD pada material serpih karbonat........................ Gambar 4.20. Grafik Hasil TGA untuk Material OD7-Asl2 ………………… Gambar 4.21. Grafik Hasil TGA untuk Material OD7-Asl1 ………………… Gambar 4.22. Grafik Hasil TGA untuk serpih clay (OD1-Ast2) ……………. Gambar 4.23. Grafik Hasil TGA untuk serpih clay (OD1-Ast1) ……………. Gambar 4.24. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih clay (OD1-Ast3) …… Gambar 4.25. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih minyak (CEC 2) ……. Gambar 4.26. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih clay OD1-Ast2-Fe …. Gambar 4.27. Grafik Hasil TGA untuk serpih karbonat OD7-Ast2-Fe ……... Gambar 4.28. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-1 ……………. Gambar 4.29. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-2 ……………. Gambar 4.30. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-3 ……………. Gambar 4.31. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-4 ……………. Gambar 4.32. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-1 ……………. Gambar 4.33. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-2 ……………. Gambar 4.34. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-3 ……………. Gambar 4.35. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-1 ……………. Gambar 4.36. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-2 ……………. Gambar 4.37. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-3 ……………. Gambar 4.38. Energi aktivasi pemanasan clay organik, karbonat dan +Fe…... Gambar 4.39. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast1……… Gambar 4.40. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2……… Gambar 4.41. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast3……… Gambar 4.42. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2-Fe….. Gambar 4.43. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada CEC 2…………. Gambar 4.44. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl1……… Gambar 4.45. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl2……… Gambar 4.46. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl2-Fe….. Gambar 4.47. Grafik hubungan antara k vs T (OC) pada OD1-Ast3…………. Gambar 4.48. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-1... Gambar 4.49. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-2... Gambar 4.50. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-3 .. Gambar 4.51. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-4 .. Gambar 4.52. Grafik penurunan msasa terhadap waktu pada clay-organik….. Gambar 4.53. Grafik penurunan msasa terhadap waktu karbonat-organik ….. Gambar 4.54. Spektrum FTIR pada Asam Stearat, C17H35COOH…………… Gambar 4.55. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast1……………………... Gambar 4.56. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast2……………………... Gambar 4.57. Gabungan Spektrum FTIR pada Serpih clay dan Organik……. Gambar 4.58. Spektrum FTIR pada material organik (C7H6O3)……………... xiv
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
83 86 88 95 96 97 98 99 100 101 102 105 106 107 108 111 112 113 115 116 117 121 124 125 126 126 127 128 129 130 131 134 136 137 138 139 140 143 144 145 147 147
Gambar 4.59. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1……………… Gambar 4.60. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1……………… Gambar 4.61. Gabungan Spektrum FTIR pada Material Serpih Karbonat ….. Gambar 4.62. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-1... Gambar 4.63. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-2...
xv
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
149 150 151 152 152
DAFTAR TABEL Halaman: Tabel 2.1. Kelompok dan komposisi mineral lempung ……………………….. Tabel 2.2. Komposisi kimia dalam lempung ………………………………….. Tabel 2.3. Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah ............................... Tabel 2.4. Perbedaan Umum Antara Senyawa Organik dan Anorganik ……… Tabel 2.5. Jenis Senyawa Organik Berdasar Jenis Unsur Penyusunnya ………. Tabel 2.6. Suku pertama sampai dengan 10 senyawa alkana …………………. Tabel 2.7. Tmax pada material serpih Clay dan Karbonat ……………………. Tabel 2.8. Nilai TOC dan kualitas material serpih (Waples, 1985) …………… Tabel 4.1. Hasil pengujian pirolisis pada material serpih clay dan karbonat ….. Tabel 4.2. Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) …………………….. Tabel 4.3. Data Puncak untuk clay-kaolinite (OD1) ........................................... Tabel 4.4. Nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi, d-spacing, hkl clay-organik Tabel 4.5. Nilai 2theta, intensitas, d-spacing, hkl dan senyawa serpih clay….. Tabel 4.6. Nilai 2theta, intensitas, d-spacing, hkl dan senyawa serpih karbonat Tabel 4.7 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD1-Ast …………... Tabel 4.8 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD2-Ast ………….. Tabel 4.9. Karakterisasi XRD pada material serpih OD7-Asl ………………... Tabel 4.10. Nilai Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl1 …... Tabel 4.11. Nilai Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl2 …... Tabel 4.12. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl2-Fe …….. Tabel 4.13. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Material OD1-Ast1.. Tabel 4.14. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Material OD1-Ast2.. Tabel 4.15. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast3 …………………. Tabel 4.16. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast2-Fe ……………… Tabel 4.17. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Serpih CEC 2 …….. Tabel 4.18. Energi Aktivasi Material Serpih Clay, Karbonat, Penambahan Fe.. Tabel 4.19. Interval temperatur, energi aktivasi, faktor pre-eksponensial…… Tabel 4.20. Hasil Penentuan Nilai Tmax ……………………………………… Tabel 4.21. Produk utama material serpih berdasarkan HI dan OI .....………... Tabel 4.22. Potensi material serpih berdasarkan HI dan OI …………………... Tabel 4.23. Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) ……………... Tabel 4.24. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1 ………………… Tabel 4.25. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2 ………………... Tabel 4.26. Spektrum FTIR pada asam salisilat (C7H6O3) ……………………. Tabel 4.27. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 …………………. Tabel 4.28. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl2 ………………….
xvi
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
19 19 25 34 35 37 42 43 65 66 82 85 87 90 93 94 94 109 110 110 114 118 118 119 120 122 133 141 141 142 143 144 146 148 149 150
1
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Material serpih adalah sejenis serpih minyak yaitu material clay atau karbonat yang mengandung material organik, dimana serpih minyak tersebut merupakan sumber energi yang dapat menghasilkan minyak bumi dan gas bumi (Kantsler dan Cook, 1980; Dewanto dkk, 2008).
Limbah hasil pengolahan
material serpih inipun sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, misalnya dalam bidang pertanian dan industri bangunan (Barkia dkk, 2004; AL-Hasan, 2006; Al-Hamaiedh dkk, 2010). Meskipun pada skala produksi komersial akan dihasilkan limbah cukup besar, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, misalnya sebagai media tanam, bahan timbunan konstruksi jalan, bahan dasar semen. Potensi lainnya dari produk samping industri antara lain serat karbon, karbon adsorpsi, karbon hitam, bata, dekorasi bangunan, penyubur tanah, pupuk dan bahan dasar industri gelas. Kogerman (2001) menyebutkan bahwa penelitian serpih minyak menjadi pusat penelitian di Uni Soviet.
Terbentuknya lembaga penelitian ini melihat
perkembangan riset di bidang material serpih cukup pesat.
Berraja, Barkia,
Belkbir, dan Jayaweera (1988) mengawali penelitian tentang studi analisis termal pada pembakaran material serpih di Tarfaya. Meskipun metode yang digunakan belum efisien, namun dari hasil penelitian tersebut menghasilkan teori pemanasan yang cukup canggih saat ini, yaitu metode pirolisis. Metode pirolisis sebenarnya sudah mulai dirintis oleh Katz (1983), tetapi masih berkisar pada penelitian tentang keterbatasan pirolisis Rock-Eval dalam menganalisis bahan organik. Dalam konteks eksplorasi energi baru, saat ini material serpih atau serpih minyak merupakan sumber energi yang sedang ramai dikembangkan agar dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif di masa depan. Dimulai dari pengolahan material organik misal alga yang dikembangkan dengan modifikasi metode untuk dapat menghasilkan minyak dan gas bumi serta bahan pangan. Bahkan bukan hanya pengolahan tetapi sudah sampai pada menciptakan material organik, seperti pembudidayaan alga dan plankton (Endah Febrianty, 2011; Munawar Ali, 2013; Ardiansyah Kurniawan; Sarwono, 2011).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
2
Gas metan (CBM), batubara muda, dan termasuk material serpih, telah mendapatkan perhatian sebagai sumber energi yang sangat penting karena harga minyak bumi konvensional telah meningkat dan terbatas jumlahnya. Ledakan global dalam produksi serpih minyak, serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat, bisa menurunkan harga minyak mentah sebesar 40 persen dan menambah 3,7 persen hasil ekonomi dunia, menurut sebuah studi yang dirilis oleh M2 World News di Paris (2012). Sebuah studi lembaga konsultan PwC memperkirakan produksi global dari serpih atau minyak padat, bisa menghasilkan hingga 14 juta barel per hari pada 2035, atau sekitar 25 persen dari total suplai minyak dunia. Menurut hasil penelitian dari Bartis dkk (2005), eksploitasi material serpih yang telah dikumpulkan jadi satu dikirim ke suatu tempat pengolahan dengan cara membakar serpih langsung untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Bartis dkk juga melakukan penambangan material serpih di bawah tanah dengan menggunakan metode ruang dan pilar.
Kemudian Burnham dkk (2006)
melakukan ekstraksi hasil pengolahan material serpih, yang dikerjakan di atas tanah (ex-situ pengolahan), meskipun ada beberapa teknologi baru melakukan ekstraksi hasil pengolahan serpih di bawah tanah di lokasi atau di-insitu pengolahan. Metode pengolahan dan esktrasi tentunya tidak boleh sembarangan, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian awal dan detail agar diperoleh hasil yang memuaskan.
Salah satu metode tersebut misalnya pirolisis, yaitu analisa
komponen hidrokarbon pada material serpih dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram.
Pemanasan ini memisahkan komponen
organik bebas (material serpih) dan komponen organik yang masih terikat dalam material serpih (Espitalie et al., 1977). Teknologi konversi melibatkan pemanasan material serpih dalam ketiadaan oksigen sampai suhu di mana material terurai menjadi gas, minyak terkondensasi, dan residu padat. Ini biasanya terjadi pada temperatur antara 450OC (842OF) dan 500 OC (932 OF) (Youngquist dan Walter, 1998).
Proses dekomposisi dimulai pada temperatur yang relatif rendah
O
(300 C/570OF), tetapi hasil yang lebih cepat dan lebih lengkap diperoleh pada suhu yang lebih tinggi (Koel dan Mihkel, 1999).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
3
Beberapa perusahaan memiliki metode yang dipatenkan untuk mengolah material serpih (serpih minyak) tersebut, namun sebagian besar metode ini tetap dalam fase eksperimental. Ratusan paten untuk teknologi pengolahan material serpih telah dilakukan, namun hanya beberapa lusin saja yang telah dilakukan pengujiannya. Menurut Qian dan Wang (2006) terdapat empat teknologi tetap yang digunakan komersial, yaitu Kiviter, Galoter, Fushun dan Petrosix. Pengolahan material serpih belum banyak dilakukan di negara Indonesia, namun demikian cadangan material serpih di Indonesia sudah mulai dipetakan. Pusat Sumber Daya Geologi telah melakukan kegiatan penyelidikan material serpih minyak di 53 lokasi di Indonesia (Hadiyanto, 2009). Didukung juga oleh Tobing (2003) melakukan inventarisasi endapan material serpih padat di daerah Ayah.
Selain itu Tjahjono (2004) melakukan survey pendahuluan endapan
material serpih padat di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Beberapa penelitian pendahuluan tentang serpih minyak atau material serpih ini memotivasi peneliti untuk mengetahui lebih dalam pengaruh material clay dan karbonat terhadap proses pemanasan material organik yang berada dalam material ini. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui tingkat maturasi material organik yang bercampur dengan material clay ataupun organik, serta bagaimana cara meningkatkan
maturasi
sehingga
diharapkan
hasil penelitian
ini
akan
menghasilkan sebuah metode baru untuk eksplorasi dan pengolahan sumber energi baru terbarukan. Metode ini diharapkan dapat membantu mengatasi krisis migas di masa yang akan datang dan menunjang pengembangan IPTEKS dalam bidang eksplorasi sumber daya alam. Terakhir perkembangan riset untuk energi alternatif ini diperkirakan dapat dimanfaatkan secara komersial, dan diharapkan bermanfaat sebagai bahan bakar maupun penghasil energi listrik yang cukup handal dan relatif murah bagi industri dan kebutuhan manusia sehari-hari. Pengolahan material serpih dengan pemanasan tersebut memerlukan beberapa parameter yang tepat, agar reaksi perubahan (maturasi) secara fisika, kimia dan biologi dari material serpih dapat terjadi sesuai yang diinginkan. Beberapa parameter yang berhubungan dengan variasi atau tingkat maturasi organik adalah temperatur, energi aktivasi (berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi) dan jenis material. Maturasi dapat diartikan juga sebagai pematangan,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
4
dalam hal ini adalah pematangan material organik di dalam material karbonat dan clay, sering disebut sebagai material serpih atau serpih minyak.
Dengan
menentukan tingkat maturasi organik, maka pekerjaan akan lebih terstruktur dan akurat. Reaksi tahap-1 adalah immature, yaitu material organik belum matang; reaksi tahap-2 adalah mature yaitu material organik sudah matang atau mulai crack; reaksi tahap-3 adalah over mature, yaitu material organik dalam kondisi sangat matang (biasanya menghasilkan gas).
Tahap-tahap reaksi tersebut
berhubungan erat dengan energi aktivasi (termasuk temperatur dan kecepatan reaksi), dan jenis material serpih (clay-organik atau karbonat-organik). Dengan mengetahui nilai parameter (dari hasil penentuan energi aktivasi) dan jenis material tersebut, maka pekerjaan pengolahan material serpih dalam hal pengaturan temperatur dapat ditentukan, sehingga tidak terjadi kesalahan saat proses pemanasan. Penelitian tentang maturasi material organik di Indonesia telah berhasil baik, dengan tujuan untuk memperkirakan tingkat kematangan material organik dalam material batuan. Penelitian tersebut ternyata sangat membantu untuk menunjang kegiatan eksplorasi hidrokarbon. Dasar penentuan maturasi hidrokarbon, melihat perubahan sifat biologi, kimia dan fisika, salah satunya adalah penentuan parameter perubahan sifat fisika dari material tersebut, dimana analisis perubahan sifat fisika dan kimia merupakan metode yang sering digunakan untuk menentukan salah satu indikator maturasi sebuah material.
Beberapa tahun
sebelumnya, disebutkan bahwa dasar penentuan maturasi material organik, umumnya menggunakan teknologi geokimia, dimana data geokimia waktu itu merupakan salah satu indikator yang cukup akurat untuk memprediksi maturasi hidrokarbon, sementara metode-metode yang digunakan pun dirasakan masih tergantung pada data-data geokimia.
Masalahnya, haruskah indikator untuk
mengetahui tingkat kematangan material organik selalu menggunakan data-data geokimia, dan teknologi yang dipakai haruskah selalu memakai teknologi geokimia?
Jika hal tersebut berlangsung terus, sedangkan waktu pun terus
berjalan seiring dengan perubahan alam dan semakin sulitnya menemukan cadangan-cadangan baru hidrokarbon, tentunya akan menimbulkan permasalahanpermasalahan yang cukup komplek.
Karena sifat bahan yang mengalamai
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
5
perubahan fisika, biologi dan kimia disebabkan oleh adanya perubahan panas, temperatur dan perubahan fisik, maka berangkat dari perkembangan teknologi termal (panas) dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, dibuat suatu indikator baru untuk mengetahui tingkat kematangan material organik, dengan menggunakan metode termal yang dihubungkan dengan teknologi geokimia dan parameter petrofisika.
Data-data yang dapat menunjukkan tingkat maturasi
material organik diantaranya TAI, TTI, Ro, dan sebagainya. Bahkan telah banyak para ahli mengembangkan teknologi geotermal untuk mengetahui tingkat kematangan minyak bumi tersebut, diantaranya Subono dan Siswoyo (1995), Dewanto (2001), Nakayama (1987) dan sebagainya. Cara pemanfaatan material serpih termasuk teknologi baru dan non konvensional karena tidak sekedar mengebor dan kemudian memproduksi minyak, namun diperlukan lagi sebuah proses penelitian untuk mendapatkan shale oil.
Selama ini penelitian-penelitian yang telah berjalan belum banyak yang
membahas atau meneliti secara spesifik jenis kandungan material organik yang bercampur dengan material clay atau karbonat dan mendapat perlakuan panas. Material clay tersebut misalnya Al2Si2O5(OH)4 (kaolinite), Mg2Al10Si24O60(OH)12 (Smektit/Montmorillonite), Ky(Al Fe Mg)(Si2-yAly)O5(OH) (Illite), dan (OH)4(Si Al)8(MgFe) (Klorite).
Material karbonat adalah calcite (CaCO3, kalsium
karbonat), dolomite (CaMg(CO3)2) dan aragonite. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pada penelitian ini akan diawali dengan melakukan pemilihan jenis material sesuai dengan tujuan, yaitu clay dan karbonat digunakan material alam hasil coring pada proses pengeboran pada kedalaman tertentu.
Bersamaan dengan pengukuran porositas () dan
permeabilitas (K), maka semua material yang mengisi clay dan karbonat ini dikeluarkan, sehingga tidak ada lagi fluida atupun organik yang menempati material clay dan karbonat. Kemudian melakukan karakterisasi material tersebut agar diperoleh jenis material yang memang betul-betul clay (kaolinite atau illite) dan karbonat (CaCO3). Material organik yang digunakan adalah sesuai dengan organik yang terkandung dalam material serpih alam, yaitu material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat (C7H6O3) dan senyawa organik alifatik berupa asam stearat (C17H35COOH) yang merupakan senyawa alifatik
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
6
rantai sedang (lebih dari C25).
Material organik tersebut masuk dalam jenis
golongan kerogen tipe II (Killops dan Killops, 2005). Pembuatan material serpih ini yaitu dengan cara mencampur material clay dengan organik, dan material karbonat dengan organik. Pencampuran dilakukan dengan cara variasi perbandingan persen berat, mixing, waktu mixing dan terakhir hasil pengujian TOC (pirolisis) , dimana nilai TOC ≥ 12.0% (Waples, 1985) sebagai syarat material serpih yang baik. Selain itu juga dilakukan penambahan logam Fe pada material serpih (berbasis clay dan karbonat) yang sudah terbentuk. Setelah didapatkan beberapa sampel material serpih (berbasis clay dan karbonat) dengan perbandingan tertentu dan bervariasi, dan material serpih yang ditambah logam Fe, maka dilakukan karakterisasi dan beberapa pengujian yaitu dengan menggunakan alat SEM, XRD, FTIR, TGA dan Pirolisis. Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui perbedaan ukuran partikel pada clay, karbonat, clay-organik, karbonat-organik, dan material serpih yang sudah ditambah dengan logam Fe. Dari hasil analisa SEM-Edax didapatkan morfologi dan unsur-unsur yang terkandung dalam material-material tersebut. Karakterisasi difraksi sinar-x pada material serpih dan penyangga bertujuan untuk mengetahui jarak ruang basal (d 001) dari clay alam dengan clay-organik (masing-masing variasi) dan clay-organik yang telah ditambah dengan logam oksida pilar Fe. Karakterisasi XRD juga dilakukan pada material serpih karbonat, serta karbonat-organik yang telah ditambah dengan logam oksida pilar Fe. Pengujian pirolisis digunakan untuk menentukan kandungan organik (TOC), kematangan material organik, mendeteksi kandungan minyak/gas yang dihasilkan dan juga digunakan untuk mengidentifikasi ulang tipe dari beberapa campuran material. Proses pemanasan yang dilakukan dengan metode pirolisis mengacu pada para peneliti terdahulu yaitu Katz (1983), Berraja dkk (1988), Kamtono, Praptisih dan Siregar (2005), Heryanto dan Hermiyanto (2006), Hidayat dan Fatimah (2007), Praptisih, Kamtono, Putra dan Hendrizan (2009), Hermiyanto dan Ningrum (2009). Kegiatan penelitian ini juga menggunakan analisis termal. Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
7
waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel serpih. Teknik yang berhubungan dengan DTA adalah diferential scanning calorimetry (DSC). Dari pengujian yang telah dilakukan dapat diolah menjadi grafik TG (thermogravimetry) dan DTG (differential thermogravimetry). Grafik TG adalah grafik dY/dt terhadap Tsolid. Grafik DTG yaitu grafik d 2Y/dt2 terhadap Tsolid. Kedua grafik ini digunakan untuk mencari sifat-sifat pirolisis material serpih (clay dan organik) dan yang telah ditambah dengan logam Fe. Dengan melakukan serangkaian pengujian untuk memperoleh pasangan dY/dt dan Tsolid, maka dapat dibuat grafik hubungan antara ln (dY/dt) dengan 1/Tsolid.
Grafik yang terbentuk kemudian dicari persamaan garis lurusnya
melalui regresi linear, sehingga didapat nilai energi aktivasi dari: E=−aR, nilai faktor pre-eksponensial (A) ditemukan pada saat grafik y=ax+c memotong sumbu y atau 1/Tsolid=0 (Suyitno, 2009; Indrati dkk, 2000; Rufiati, 2011; Cahyadi dkk, 2011). Perumusan dan analisis energi aktivasi berdasarkan pada beberapa peneliti terdahulu, yaitu: Ravindra Pogaku dkk (2012) melakukan penelitian tentang energi aktivasi dan laju reaksi enzim-katalis. Balloni dkk (1995) melakukan penelitian tentang energi aktivasi SiO2 yang tergantung pada input daya. Plot Arrhenius dalam batas tinggi menunjukkan bahwa energi aktivasi benar-benar tidak tergantung pada rf diterapkan. Tundjung Indrati dkk (2000) melakukan penelitian tentang penentuan energi aktivasi pelet (Th,U)Oz pada tahap pertumbuhan butir menggunakan dilatometer dan Scanning Electrone Microscope (SEM).
Metoda perhitungannya dengan metoda yang berdasarkan kurva
penyusutan pellet.
Cahyadi dkk (2011) melakukan studi perilaku penyalaan
partikel batubara Indonesia menggunakan Thermogravimetric Analysis dalam kondisi O2/N2 dan O2/CO2. aktivasi
energi
bebas
yang
Sato dkk (2010) melakukan penelitian tentang memiliki
ketergantungan
terhadap
suhu.
Ketergantungan suhu ditemukan lebih besar untuk perhitungan. Penentuan energi aktivasi, faktor pre-eksponensial dan kecepatan reaksi dari analisis TGA mengacu dari beberapa beberapa hasil penelitian para peneliti sebelumnya, diantaranya adalah: Katarzyna dkk (2011), Farzuhana dan Zakaria (2013), Dwi Aries Himawanto dkk (2011), Nugroho Dewayantoa (2014), Dwi Aries Himawanto
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
8
(2013),
Nukman (2001), Dwi Aries Himawanto dkk (2013), Ahmad Syafiq
(2009), Sugeng Riyanto (2009), Any Kurniawati (2012), Eman A. Emam (2013), Tjukup Marnoto dan Endang Sulistyowati (2012), Yan dan Zhang (2014), Sugondo (2012), Harit Sukma (2012), Malika dkk (2014), Yohanes Martono dkk (2012), Cantrell dkk (2010), Suyitno (2009), Siti Diyar Kholisoh (2011), Tri Minarsih (2011), Longbo Jiang dkk (2014). Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Laju reaksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: suhu, katalisator, luas permukaan dan konsentrasi. Menaikkan suhu berarti menambahkan energi, sehingga energi kinetik molekul-molekul akan meningkat. Akibatnya molekul-molekul yang bereaksi menjadi lebih aktif mengadakan tumbukan. Dengan kata lain, kenaikan suhu menyebabkan gerakan molekul makin cepat sehingga kemungkinan tumbukan yang efektif makin banyak terjadi. Katalisator adalah zat yang mempercepat reaksi, tetapi tidak ikut bereaksi. Material clay mampu membuat material organik mature lebih cepat dan bahkan temperatur yang diperlukan untuk perubahan (melalui cracking termal material organik yang tidak menguap) lebih kecil dibandingkan material karbonat (CaCO3). Clay (kaolinite/illite) disini bertindak sebagai katalis, dan menurunkan energi aktivasi (Ea) dari suatu reaksi, sehingga lebih mudah dilampaui oleh molekul-molekul reaktan akibatnya reaksi menjadi lebih cepat.
Sesuai hasil
penelitian dari Gopalpur Nagendrappa (2002) semua mineral lempung dapat mengkatalisis berbagai reaksi organik yang terjadi di permukaan dan ruang interstitial. Para ahli seperti Milliken dkk, tertarik pada potensi clay ini yang luar biasa sebagai katalis dan relatif baru. Penggunaan katalis dalam minyak bumi industri dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami luar biasa ekspansi. Yang paling penting dari katalis ini digunakan dalam proses cracking, sebagai konsekuensi pertumbuhan dari catalytic cracking, menjadi industri besar. Sebagai saran dari peneliti agar menggunakan modifikasi clay dan jenisnya misal kaolinit. Eman dan Emam (2013), meneliti katalis clay yang telah menarik banyak minat dalam aplikasi katalitik dalam industri minyak bumi. Clay yang digunakan secara
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
9
luas untuk berbagai proses seperti catalytic cracking, hydrocracking, reformasi, isomerisasi, hidrogenasi, alkilasi. Clay yang paling penting digunakan dalam pembuatan katalis adalah kaolinit dan monmorilonit. Masih banyak ahli-ahli yang berhasil menggunakan clay sebagai katalis dalam hubungannya dengan organik, tentunya dengan berbagai metode. Pada pencampuran reaktan yang terdiri dari dua fase atau lebih, tumbukan berlangsung pada bagian permukaan zat. Laju seperti itu, dapat diperbesar dengan memperluas permukaan sentuhan zat itu dengan cara memperkecil ukuran partikelnya. Makin luas permukaan bidang sentuh, makin cepat laju reaksinya. Penambahan logam Fe pada material serpih (clay dan karbonat), menyebabkan luas permukaan spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar, hal tersebut menyebabkan material organik mature lebih cepat dan bahkan temperatur yang diperlukan untuk perubahan lebih kecil dibandingkan material serpih tanpa Fe. Metode pilarisasi yang dapat manambah nilai luas permukaan dan volume pori ini dapat mempercepat reaksi dan merubah laju rekasi menjadi lebih besar, hal ini telah banyak dibuktikan oleh beberpa hasil penelitian para ahli. Adi Darmawan dkk (2005) melakukan sintesis clay terpilar Titania dengan cara interkalasi larutan pemilar titanium pada clay dilanjutkan dengan kalsinasi. Hasil ini menunjukkan karakter dari clay terpilar TiO2 yang berfungsi untuk kepentingan adsorpsi atau katalis akan lebih maksimal, sehingga lempung terpilar TiO2 siap untuk aplikasi lebih lanjut sesuai kebutuhan yang diinginkan. Kemudian Tuty Alawiyah dan Iwan Sumarlan (2013) juga berhasil melakukan sintesis TiO-Montmorillonit dengan karakteristik yang sesuai dengan prinsip dasar modifikasi pilarisasi dan pertukaran kation. Kemudian Xiufeng Xu dkk (2004) melakukan penelitian dengan cara penambahan/pilar Ti ke dalam clayorganik, sehingga berfungsi sebagai katalis dari Clay-Organik.
Hasilnya
menyebabkan kinerja katalitik yang tinggi untuk pembakaran metana di bawah suhu reaksi 400OC-550OC.
Kemudian Huan-Yan Xu (2009) dkk melakukan
penelitian tentang Katalis Fe-bearing berbasis tanah liat yang berhasil disiapkan dan digunakan sebagai katalis heterogen dalam sistem Fenton seperti untuk perubahan warna asam air limbah fuchsine. Selanjutnya Nicoleta Platon Dkk
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
10
(2013) melakukan penelitian tentang katalis yang disintesis berdasarkan lempung dimodifikasi secara kimia melalui proses pillaring dengan Al (III) dan Fe (III) menggunakan bentonit komersial dan acidtreated montomorillonite. Kandungan zat besi yang lebih tinggi dalam solusi pillaring membuat luas permukaan yang tinggi, sementara kandungan aluminium tinggi menyebabkan luas permukaan kecil.
Kemudian Cezar Catrinescu dkk (2002) menyajikan evaluasi kinerja
katalitik Fe dan Al berbasis clay dengan menggunakan metode powder. Kedua lempung terpilar
sangat aktif dalam
penyisihan fenol,
memungkinkan
penghapusan total fenol. Kemudian Grygar dkk (2007) berhasil memodifikasi sintesis clay (Montmorillonite dan Bentonite) dengan logam Fe dalam dehidrogenasi oksidatif propana untuk propena. Selanjutnya Bankovi dkk (2009) melakukan penelitian tentang Fe-berpilar disintesis dari tanah liat domestik dari Bogovina, untuk katalis tanah liat pada degradasi material organik. Dan masih banyak hasil-hasil penelitian tentang pilarisasi ini dalam hubungannya dengan luas permukaan dan laju reaksi. Kemudian, laju reaksi dapat dipengaruhi oleh konsentrasi. Makin besar konsentrasi zat reaktan berarti besar kemungkinan terjadinya tumbukan yang efektif, sehingga laju reaksinya akan semakin cepat. Tumbukan yang efektif adalah tumbukan antar molekul yang menghasilkan reaksi, dan hanya dapat terjadi bila molekul yang bertumbukan tersebut memiliki energy aktivasi yang cukup. Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dimiliki molekul agar tumbukannya menghasilkan reaksi. Pengujian pirolisis selain digunakan untuk menentukan kandungan organik (TOC), untuk menentukan nilai Tmax (temperatur maksimum), perlu juga diketahui besarnya temperatur yang diperlukan molekul air terlepas dari struktur kristal serpih clay dan karbonat. Kemudian temperatur yang diperlukan pada perubahan fasa sempurna, yaitu perubahan struktur pada material clay-organik atau karbonat-organik dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Selanjutnya yang terakhir perlu diketahui juga temperatur saat molekul-molekul yang ada di dalam material clay atau karbonat terlepas.
Kemudian untuk menentukan
kematangan material organik, mendeteksi kandungan migas yang dihasilkan dan digunakan untuk mengidentifikasi ulang tipe dari beberapa campuran material.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
11
1.2 Perumusan Masalah Karbonat dan clay merupakan dua jenis material yang selalu dijumpai di alam dan selalu menjadi bahan penelitian para ahli.
Jika karbonat atau clay
mengandung organik dalam skala yang cukup besar dan berada pada kedalaman tertentu, kemudian mendapat pengaruh panas dan tekanan, maka akan terjadi reaksi atau perubahan, kemudian akan menghasilkan zat baru sebagai energi, yaitu minyak dan gas bumi. Para ahli banyak melakukan penelitian dengan tujuan mendapatkan hasil energi dengan berbagai cara, misal meneliti karakteristik dari material, memodifikasi metode, menciptakan waktu proses yang lebih efisien, dan sampai kepada membuat bahan dasar misal budidaya organik dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana cara memilih material karbonat alam (CaCO3), clay alam (kaolinite) dan material organik pada serpih minyak? 2) Bagaimana cara membuat material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK), agar sesuai dengan material serpih minyak? 3) Parameter apa yang dapat diperoleh dari metode pirolisis dan analisis Termogravimetri (TGA) sebagai indikator tingkat maturasi SMC dan SMK? 4) Bagaimana pengaruh material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) serta penambahan Fe dengan komposisi yang berbeda-beda terhadap nilai parameter Tmax dan energi aktivasi yang diperoleh dari metode pirolisis dan Termogravimetri (TGA)? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengkarakterisasi material calcite alam (CaCO3), clay alam (kaolinite), dan bahan organik serpih minyak yaitu material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat dan alifatik berupa asam stearat. 2) Menetukan TOC material serpih dengan pengujian Rock-Eval Pyrolysis, sehingga
dapat ditentukan
material
serpih
sesuai
serpih
minyak
(TOC≥11%).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
12
3) Menentukan interval temperatur, energi aktivasi dan laju reaksi untuk masing-masing tahap reaksi pada pemanasan material serpih (hasil analisis TGA), dan menentukan Tmax (hasil Rock-Eval Pyrolysis). 4) Menentukan tingkat maturasi material serpih (CaCO3-C7H6O3, clayC17H35COOH, dan penambahan Fe) berdasarkan hasil analisis parameter energi aktivasi, temperatur, kecepatan reaksi (hasil TGA) dan Tmax (hasil Rock-Eval Pyrolysis). 5) Menentukan material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) yang lebih dominan mempengaruhi nilai energi aktivasi, interval temperatur, kecepatan reaksi dan Tmax, sebagai dasar penentuan tingkat maturasi serpih minyak. 1.4 Hipotesa Penelitian Hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Nilai TOC (total organic carbon) mempengaruhi Tmax (temperatur maksimum) pada material serpih karbonat (SMK) dan clay (SMC), dimana semakin besar nilai TOC maka semakin kecil Tmax. 2) Harga Tmax yang terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material serpih, dengan kondisi nilai TOC yang sama, dimana Tmax material serpih clay (SMC) lebih kecil dibanding karbonat (SMK). 3) Dari nomor 2, menyebabkan temperatur tingkat maturasi material serpih clay (SMC) lebih kecil dibanding karbonat (SMK). 4) Semakin besar temperatur semakin cepat endapan terbentuk, maka waktu yang diperlukan untuk mereaksikan CaCO3+C7H6O3, clay+C17H35COOH, CaCO3+C7H6O3+Fe, clay+C17H35COOH+Fe semakin kecil, atau semakin tinggi temperatur pereaksi, makin cepat kecepatan reaksinya. 5) Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar, begitu sebaliknya. 6) Energi aktivasi material serpih clay lebih kecil dibanding karbonat. 7) Perbandingan komposisi (wt.%) clay yang besar dibanding organik menyebabkan material serpih clay (dengan TOC≥11%) memiliki energi aktivasi lebih kecil, sedangkan jika material clay diganti karbonat, maka yang terjadi sebaliknya. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
13
8) Penambahan logam Fe dan nilai TOC yang besar mempengaruhi energi aktivasi menjadi lebih kecil. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mengetahui tingkat maturasi material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) dengan komposisi yang berbeda-beda, sehingga membantu pelaksanaan pengolahan serpih minyak menjadi minyak dan gas bumi atau sejenisnya. 2) Diperoleh metode baru untuk menciptakan waktu reaksi yang lebih efisien, sehingga diharapkan proses konversi material serpih menjadi minyak dan gas dapat dikerjakan sesuai tujuan. 3) Menghasilkan sebuah metode baru untuk eksplorasi sumber energi baru terbarukan, diharapkan dapat membantu mengatasi krisis migas di masa yang akan datang. Hasil penelitian ini sangat menunjang pengembangan IPTEKS dalam bidang eksplorasi sumber daya alam. 1.6 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dibatasi, yaitu: 1) Material yang digunakan adalah karbonat alam (CaCO3) dan clay alam yang diambil dari hasil coring pada kedalaman tertentu (2000-3000 m). 2) Material organik yang dipilih adalah kelompok senyawa siklik berupa: naftalen atau asam salisilat (C7H6O3) dan senyawa organik alifatik berupa: asam stearat (C17H35COOH) atau asam laurat. 3) Pembuatan material serpih dilakukan dengan metode perbandingan berat %: a.
Clay + C17H35COOH
: 50%:50% ; 33%:67%; 67%:33%
b.
CaCO3 + C7H6O3
: 50%:50% ; 33%:67%; 67%:33%
c.
(Clay+ C17 H35COOH)+Fe
: 75%:25%
d.
(CaCO3+C7H6O3)+Fe
: 75%:25%
4) Dasar menentukan tingkat maturasi, melihat hasil pengujian dan analisis: SEM, XRD, TGA dan Pirolisis, yaitu dengan melihat nilai TOC, Tmax, laju reaksi dan energy aktivasi, serta diperkuat oleh hasil pengujian FTIR.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
14
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Clay (Lempung) Lempung dapat didefinisikan sebagai campuran partikel-partikel pasir, debu dan bagian-bagian tanah liat yang mempunyai sifat-sifat karakteristik yang berlainan dalam ukuran yang kira- kira sama. Salah satu ciri partikel-partikel tanah liat adalah mempunyai muatan ion positif yang dapat dipertukarkan. Struktur kristal lempung terbentuk dari dua struktur lapisan dasar yaitu silika dan alumina (Grim, 1962).
Lapisan silika memiliki rumus molekul (Si4O10)4-.
Lapisan ini terbentuk dari satu atom silikon (Si) yang membentuk struktur tetrahedral dengan empat atom oksigen (O2-) atau hidroksi (OH-). Atom silikon berada di pusat tetrahedral.
Jarak antara atom-atom oksigen adalah sama.
Lempung biasanya muncul dari daerah dengan kondisi geologis tertentu dan bisa terbentuk di laut (marine clay) atau di darat (terrestrial clay), dengan proses pembentukan bisa secara allogenic clay (dari luar cekungan sedimentasi) atau secara authigenic clay (terbentuk di dalam lingkungan sedimentasi, misalnya perubahan atau proses alterasi dari mineral feldspar menjadi mineral lempung) dan juga dapat terbetuk di daerah vulkanik, daerah geotermal dan sebagainya. Pada saat karakterisasi lempung, secara umum tidak memerlukan spesifikasi proses laboratorium yang kaku, tetapi analisa laboratorium ini tetap diperlukan untuk dapat membedakan mutu dari lempung itu sendiri dan untuk dapat diarahkan terhadap penggunaannya.
Secara umum untuk mengidentifikasi
mineral lempung dilakukan dengan metode difraksi sinar-X atau XRD, untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang berada pada lempung digunakan metode XRF sedangkan untuk mengetahui morfologi dari lempung digunakan metode SEM. Kesulitan dalam intepretasi difraktogram yang sering timbul dalam teknik identifikasi ini adalah terjadinya pola difraksi yang kompleks akibat adanya interstratifikasi berbagai jenis mineral lempung dan mineral non lempung dalam lempung alam, dan terbentuknya pita difraksi yang lebar yang disebabkan oleh adanya cacat kristal dan keteraturan kristal lempung yang rendah. Kesulitankesulitan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan mineral lempung standar yaitu berupa kaolinit dan monmorilonit murni sebagai pembanding. Tetapi pada
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
15
kenyataannya lempung murni sangat jarang ditemukan. Namun sesungguhnya mineral lempung murni dapat diperoleh dengan cara sintesis ataupun pemisahan mineral lempung utama dalam lempung alam.
Pemurnian lempung untuk
mendapatkan kaolinit dan monmorilonit murni dapat dilakukan dengan cara pemisahan fraksinasi berat jenis, proses ini dikenal dengan nama benefisiasi. Lempung merupakan mineral sekunder dan tergolong aluminium filosilikat terhidrasi (Barroroh, 2007). Mineral lempung (clay) sangat umum digunakan dalam industri keramik. Mineral lempung merupakan penyusun batuan sedimen dan penyusun utama dari tanah (Nelson, 2001). Lempung adalah material yang memiliki ukuran diameter partikel < 2 μm dan dapat ditemukan dekat permukaan bumi. Karakteristik umum dari lempung mencakup komposisi kimia, struktur lapisan kristal dan ukurannya. Semua mineral lempung memiliki daya tarik terhadap air. Sebagian mudah untuk membesar dan dapat memiliki volume 2 kali lebih besar dalam keadaan basah. Sebagian besar lempung terbentuk ketika batu berkontak dengan air, udara atau gas. Contohnya adalah batu yang mengalami kontak dengan air yang dipanaskan oleh magma (lelehan batu), batuan sedimen di laut atau di dasar danau. Semua kondisi alam di atas akan membentuk mineral lempung dari mineral sebelumnya (Grim, 1962). Mineral lempung terdiri atas berbagai jenis, antara lain: kaolinit, monmorilonit, illit atau mika, dan antapulgit (Nurahmi, 2001). Mineral lempung yang terbentuk dari erosi benua, tanah dan batuan-batuan laut adalah bagian yang penting untuk lingkaran yang membentuk batuan sedimen. Batuan sedimen dilaporkan mengandung 70% batuan lumpur (terkandung 50% pecahan lempung) dan shale (batuan yang mudah pecah, seperti batuan lumpur mengandung partikel lempung).
Karakteristik fisik lempung
adalah lengket dan mudah dibentuk saat lembab, tetapi keras dan kohesif saat kering (Nagendrappa, 2002).
Sebagian besar lempung memiliki kemampuan
menyerap ion dari suatu larutan dan melepaskan ion tersebut bila kondisinya berubah. Molekul air sangat tertarik pada permukaan mineral lempung, oleh karena itu ketika sedikit lempung ditambahkan ke dalam air maka akan terbentuk slurry karena lempung mendistribusikan dirinya sendiri ke dalam air. Campuran lempung dalam jumlah besar dan sedikit air akan menghasilkan lumpur yang dapat dibentuk dan dikeringkan untuk menghasilkan bahan yang keras dan padat.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
16
2.1.1 Karakteristik Clay Contoh hasil analisis SEM pada material serpih Formasi Kelesa yang dilakukan oleh Heryanto dan Hermiyanto (2006) ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Terlihat bahwa mineral penyusun utamanya adalah mineral-mineral lempung. Secara lebih rinci penyusunnya didominasi oleh paduan lembaran lempung smektit-ilit serta sebagian ilit dan kaolinit, yang memperlihatkan tekstur krenulasi, berserat rambut (hairy), berorientasi sedang (sub-oriented), berlembar (fissile), pseudohexagonal, dan vermiculate.
Dijumpai juga kehadiran laumontit
(Ca(Al2Si4O12).4H2O) sebagai tipe mineral zeolit. Mineral lain yang dijumpai pada serpih adalah biotit, felspar, dan pirit framboid, sebagian pirit terlihat dibalut oleh mineral klorit.
Hadir juga adanya jejak minyak (oil trace) atau tetesan
minyak/bitumen.
Gambar 2.1. Foto SEM Material Formasi Kelesa, yang menunjukkan Smektit-Ilit (Sm-I); Laumontit (Lm) (Ca(Al2Si4O12).4H2O) Tipe Zeolit; Algae (Al) Tipe Lamalginit; dan Oil Droplet (do). Perbesaran 3000x. (Heryanto dan Hermiyanto, 2006) Batuan serpih juga terlihat telah mengalami proses diagenetik yang ditandai oleh hadirnya mineral lempung autogenik yang membentuk paduan lembaran lempung terdiri atas smektit-ilit, ilit, kaolinit, laumontit, dan klorit. Kehadiran kuarsa tumbuh (quartz overgrowth) dan pirit framboid dan juga kompaksi batuan menunjukkan adanya karakter diagenetik. Heryanto dan Hermiyanto (2006) juga melakukan analisis SEM pada material batuan Formasi Lakat (Gambar 2.2), yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
17
menunjukkan bahwa massa dasar batulumpur adalah kaolinit dan sedikit smektitilit dan smektit. Bahan organik yang teridentifikasi di antaranya adalah vitrinit dan alginit.
Kompaksi ditunjukkan oleh adanya orientasi mineral lempung,
sedangkan mineral autigenik ditunjukkan dengan adanya kaolinit, smektit, ilit, dan campuran mineral smektit-ilit.
Adapun disolusi diperlihatkan oleh adanya
pelarutan mineral lempung primer, sementara itu dijumpai juga mineral lempung vermikulit.
Gambar 2.2. Foto Mikrograf SEM batu lumpur Formasi Lakat yang menunjukkan campuran Kaolinit dan Smektit-Ilit percontoh batuan. Perbesaran 6000x. (Heryanto dan Hermiyanto, 2006)
Gambar 2.3. Difraktogram Sampel lempung Getaan (Qodari, 2010)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
18
Karakterisasi material clay selain menggunakan SEM, juga menggunakan XRD, sebagai contoh karakterisasi yang dilakukan oleh Qodari (2010). Beliau mengkarakterisasi jenis mineral yang ada pada sampel lempung Pagedangan dan sampel lempung Gataan.
Komposisi kimia dari lempung dapat teramati pada
difraktogram dari hasil karakterisasi dengan XRD. Gambar 2.3, menujukkan komposisi kimia lempung asal Desa Getaan adalah SiO2 (cristobalite) dan (Ca,Na)(Si,Al)4O8 (anorthite, sodian, disordered). Selanjutnya dari hasil analisis didapatkan komposisi kimia lempung asal daerah Pagedangan (Gambar 2.4) adalah kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) dan (Ca, Na)(Si, Al)4O8 (anothite, sodian, disordered).
Kaolinite terbentuk dari perubahan
hidrotermal dari mineral-mineral aluminosilikat. sumber terbesar penghasil kaolinite.
Batuan granit merupakan
Sifat dari kaolinite adalah tidak dapat
mengadsorpi air, kaolinite tidak dapat mengembang pada saat kontak dengan air. Sehingga lempung Pagedangan berpotensi dijadikan bahan baku pembuatan keramik bermutu tinggi.
Gambar 2.4. Difaktogram sampel lempung Pagedangan (Qodari, 2010)
2.1.2 Komposisi Mineral Clay Berdasarkan komposisinya mineral clay dibedakan menjadi beberapa kelompok seperti ditampilkan pada Tabel 2.1, sedangkan komposisi kimia yang terdapat dalam clay menurut metode NLCE (National Laboratory for Civil Engeneering) terlihat pada Tabel 2.2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
19
Tabel 2.1. Kelompok dan komposisi mineral clay Kelompok Kaolinite Serpentine Montmorillonite atau smectite Pyrohyllite Talk Chlorite Mika
Struktur Lapisan 1:1 dioktahedral 1:1 trioktahedral 2:1 dioktahedral atau trioktahedral 2:1 dioktahedral 2:1 trioktahedral 2:2 trioktahedral 2:1 dioktahedral atau trioktahedral
Komposisi Al2Si2O5(OH)4 Mg6Si4O10(OH)8 (Na,Ca)0,3(Al,Mg)2Si4O10 (OH)2. nH2O Al2Si4O10(OH)2 (Mg,Fe,Al)6(Si,Al)4O10(OH)8 (Mg,Fe,Al)6(Si,Al)4O10(OH)8 KAl2(AlSi3)O10(OH)
Sumber: Qodari, 2010
Lapisan alumina memiliki rumus molekul Al2(OH)6 dan ini biasa disebut gibbsite. Struktur ini tersusun satu atom alumunium dan enam atom oksigen yang membentuk struktur oktahedral. Atom alumunium dapat digantikan oleh atom magnesium membentuk struktur dengan nama brucite, Mg3(OH)6. Tabel 2.2. Komposisi kimia dalam clay Senyawa Silika (SiO2) Alumina (Al2O3) Besi Oksida (Fe2O3) Kalsium Oksida (CaO) Magnesium Oksida (MgO) Sulfur Trioksida (SO3) Potasium Oksida (K2O) Sodium Oksida (Na2O) H2O hilang pada suhu 105 0C H2O hilang pada pembakaran diatas 105 0C
Jumlah (%) 61,43 18,99 1,22 0,84 0,91 0,01 3,21 0,15 0,60 12,65
Sumber: Qodari, 2010
2.1.3 Jenis-Jenis Clay Berdasarkan struktur dan komposisi kimia, lempung dapat dibagi menjadi tiga kelas utama, yaitu kandite, smectite dan illite (Nelson, 2001). 2.1.3.1 Kandite Kandite adalah jenis mineral lempung yang mempunyai struktur susunan lapisan kristal T-O (tetrahedral-oktahedral) dengan lapisan oktaheral seperti
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
20
struktur gibbsite (Gambar 2.5). Lapisan tersebut bermuatan netral, oleh karena itu ikatan antar lapisannya merupakan ikatan van der Waals yang lemah. Jenis lempung yang terkenal dari golongan kandite adalah kaolinite yang mempunyai rumus molekul Al2Si2O5(OH)4.
Jenis lainnya adalah Anauxite, Dickite, dan
Nacrite.
Gambar 2.5. Struktur molekul kandite (Qodari, 2010)
Kaolinite terbentuk dari perubahan hidrotermal dari mineral-mineral aluminosilikat. Batuan granit merupakan sumber terbesar penghasil kaolinite. Dalam pembentukannya ion-ion seperti Na+, K+, Mg2+ dan Ca2+ harus disingkirkan terlebih dahulu melalui proses pertukaran ion dengan kondisi pH yang rendah. Sifat dari kaolinite adalah tidak dapat mengadsorpi air, sehingga kaolinite tidak dapat mengembang pada saat kontak dengan air. Oleh karena itu kaolinite banyak digunakan dalam industri keramik. Jenis lempung lain yang masuk dalam
kelas kandite adalah halloysite dengan rumus molekul
Al2Si2O5(OH)4.4H2O, strukturnya mirip dengan kaolinite namun diantara lapisan T-O terdapat lapisan molekul air. 2.1.3.2 Smectite Smectite adalah lempung dengan struktur T-O-T. Smectite dapat berstruktur dioktahedral atau trioktahedral (Gambar 2.6). Sifat smectite yang paling penting adalah kemampuannya untuk menyerap molekul H2O di antara lapisan T-O-T, sehingga volumenya akan meningkat jika dikontakkan dengan air. Contoh lempung smectite yang paling terkenal adalah montmorillonite yang mempunyai rumus molekul; (½Ca,Na)(Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4. nH2O.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
21
Gambar 2.6. Struktur molekul smectite (Qodari, 2010) Montmorillonite merupakan unsur utama dari bentonite. Montmorillonite terbentuk karena adanya perubahan bentuk dari abu vulkanik yang disebabkan oleh perubahan cuaca. Montmorillonite dapat mengembang sampai beberapa kali dari volume awalnya ketika kontak dengan air (Nelson, 2001). Lapisan dalam montmorillonite biasanya mengandung ion Na+, Ca2+ dan Mg2+ ketika lempung kering dan kation-kation ini berada dalam struktur heksagonal pada unit silika. Namun bila dikontakkan dengan air ion-ion tersebut dapat tergantikan oleh ionion baik logam maupun nonlogam seperti H3O+, HN4+, Al3+, Fe3+, R4N+, R4P+ dsb (Nagendrappa, 2002). Sifat inilah yang sangat berguna dari mineral lempung sebagai katalis. 2.1.3.3 Illite Illite mempunyai rumus molekul (Si8-y,Aly)O20(OH)4 dengan harga y antara 1-1,5. Illite mempunyai struktur dasar yang mirip dengan batuan pembentuk mineral mika.
Gambar 2.7. Struktur molekul illite (Qodari, 2010)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
22
Illite merupakan lapisan silikat 2:1 dengan lapisan dasarnya terdiri dari dua lapisan silikat dengan alumina yang membentuk octahedral (Gambar 2.7). Untuk menjaga keseimbangan struktur, ion Ca2+ dan Mg2+ dapat menggantikan ion K. Lapisan dalam kation K, Ca dan Mg dapat mencegah air masuk ke dalam struktur. Oleh karena itu illite merupakan jenis lempung yang tidak mengembang (non-expanding clay). Illite terbentuk dari perubahan dari batuan kaya K dan Al. Illite merupakan unsur utama pembentuk batuan mudrock dan shale. 2.1.4 Clay (Tanah liat) dan Modifikasinya sebagai Katalis Tanah liat adalah mineral paling umum di permukaan bumi dan dapat digunakan sebagai adsorbents, katalis (termasuk sebagai penyangga katalis), penukar ion, agent pehilangan warna, dan lain-lainnya, yang tergantung pada sifat-sifat spesifiknya. Misal montmorillonit, disebut juga mineral liat 2:1, artinya struktur bangun lembarannya terdiri dari 2 lapisan tetrahedral yang disusun unsur utama Si(O,OH) yang mengapit satu lapisan oktahedral yang disusun oleh unsur M(O,OH) (M=Al, Mg, Fe). Montmorillonit merupakan jenis tanah liat yang paling banyak terkandung di dalam bentonit, yang digunakan sebagai bahan awal dalam penelitian ini. Diantara lembaran montmorillonit terdapat suatu ruang yang dapat mengembang dan diisi oleh molekul-molekul air dan kation-kation lain yang dapat dipertukarkan.
Gambar 2.8. Skema sederhana pilarisasi (Widjaya, 2012) Struktur dari lempung yang alami dapat dimodifikasi dengan menggunakan suatu larutan logam polikation yang dikenal sebagai pilar (Gambar 2.8). Liat berpilar (PILC, pillared clays) merupakan hasil proses pertukaran kation yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
23
terletak di antara lembaran-lembaran phillosilicate dengan suatu polikation logam. Hasil pertukaran tersebut kemudian dikalsinasi sehingga membentuk struktur oksida cluster seperti halnya suatu pilar yang menopang lembaran-lembaran phillosilicate satu dari yang lainnya. Lempung terpilar akan memiliki tekstur dan sifat-sifat asam ataupun basa yang cocok untuk bermacam-macam aplikasi katalitik, termasuk diantaranya sebagai katalis. Ukuran pori, tipe dan kekuatan pusat asam serta kestabilan termal sebuah lempung terpilarisasi bergantung kepada jenis atom pilar yang digunakan. Ada beberapa jenis logam besar yang sudah biasa digunakan sebagai pilar, antara lain: Titanium, Lantanum, Serium, Galium dan masih banyak lagi dengan keunikannya masing-masing (Tsuchida et.al., 2008:1-10; Molina et.al., 2006:29-35; Farfan et.al., 1992:515-526; Bartley, 1988:233-241). Ada juga beberapa jenis logam pilar yang dapat digunakan untuk proses pilarisasi katalis yang mungkin bisa diuji cobakan, jenis logam sebagai pilar tersebut diantaranya: Aluminium, Ferrum, Zirkonium, Cromium. Dipilih jenis-jenis logam ini dikarenakan akan memberikan sumber ion -H+ yang tinggi setelah dipilarisasi (Molina et.al., 2006:29-35; Letaief et.al., 2002:263-277; Farfan et.al., 1992:515-526; Bartley, 1988:233-241). 2.1.5 Proses Pilarisasi Pada Clay Alam Proses pertukaran kation yang terkandung didalam lempung alam dengan polikation yang terkandung didalam larutan logam yang digunakan sebagai pilarnya yang kemudian dilakukan proses pemanasan sehingga membentuk struktur oksida seperti suatu pilar
yang menopang lembaran-lembaran
phillosilicate satu dari yang lainnya. Lempung yang terpilarisasi oleh material logam
sebagai
penyangganya
tersebut
mempunyai
kemampuan
untuk
meningkatkan daya katalitik dan sifat asam-basa yang dapat diaplikasikan untuk membantu proses-proses katalitik, misalnya dalam membantu proses maturasi material serpih menjadi hidrokarbon, tetapi tidak merusak reaksi dari proses konversi yang akan digunakan sebagai bahan bakar tersebut. Untuk struktur dari lempung alam yang dilakukan pilarisasi dapat dilihat pada Gambar 2.9. Logam-logam yang digunakan sebagai pilar mempunyai ciri-ciri dan sifat yang berbeda-beda untuk setiap perbedaan logam pilarnya, tergantung sifat mana yang paling tepat digunakan sebagai katalis suatu proses kimia. Karena setiap Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
24
logam memiliki ukuran pori, tipe dan kekuatan pusat asam serta kestabilan termal yang berbeda-beda. Sebagai contoh apabila kita akan melakukan proses konversi material serpih ke hidrokarbon, maka diperlukan material katalis yang mempunyai sifat asam yang cukup tinggi, karena diharapkan material tersebut mempunyai kandungan ion H+ yang banyak, sehingga dapat mendonorkan ion tersebut ke struktur yang membutuhkan ion H+.
Gambar 2.9. Struktur skematik dari liat berpilar A-Lapisan lempung; B-Permukaan Internal; C-Cross Linking Unit (Pilar); D-Ruang antar lapisan; E-Jarak Antar Pilar; F-Gugus Fungsi; M+-exchangable cation sisa (Widjaya, 2012) Gabungan asam Bronsted dan Lewis sangat diperlukan dalam proses pembuatan katalis ini, karena asam Bronsted mempunyai kemampuan untuk mendonorkan ion H+, sedangkan asam Lewis memiliki banyak ruang kosong yang mampu menerima ion H+. Untuk penelitian ini menggunakan lempung atau clays yang dipilarisasi oleh polikation Fe. Polikation Fe ini dapat meningkatkan ruang basal sehingga meningkatkan luas permukaan area, juga meningkatkan struktur mikropori yang mengandung sisi-sisi asam lewis dan Bronsted, serta mampu meningkatkan kestabilan termal sampai suhu di atas 500 oC (Kasmui et.al., 2011). 2.1.6 Klasifikasi Clay Tanah liat memegang peranan penting dalam kimia tanah, karena
sifat
permukaannya yang berbeda dengan butir-butir mineral yang ukurannya lebih besar. Kebanyakan mineral tanah liat berstruktur kristal, sedangkan fraksi lain memperlihatkan perkembangan kristal yang sangat lemah (poorly exhibit crystal) atau tidak mengkristal sama sekali. Beberapa tipe tanah liat dapat pula berbentuk Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
25
amorf, misalnya gel silika, alumina, oksida besi dan sebagainya. Fraksi tanah liat
yang
lain
dapat
disebutkan poligorskit (mineral berstruktur rantai),
misalnya kuarsa dengan ukuran butir 2m. Tanah liat kebanyakan berwujud kristal ataupun amorf. Jika tanah liat itu bersifat amorf, maka bentuknya sukar dikenal. Dengan metode analisis yang canggih dapat dilihat perbedaan yang jelas antara tanah liat mengkristal dan amorf (Supeno, 2009). Dalam ilmu tanah tanah liat dianggap amorf jika mineral memperlihatkan bentuk yang tidak dibatasi bidang-bidang datar, jika diperiksa dengan sinar-x, penyusunan atom dalam tanah liat amorf
tidak
beraturan,
sehingga
difraktogram yang dihasilkan sinar-x tidak memperlihatkan bentuk yang jelas. Berbeda dalam sistem kristal, penyusunan atom biasanya berulang-ulang beraturan (regular pattern) dengan arah tiga dimensi. Dalam bahan yang bersifat amorf seperti gelas, ikatan kimia dan komponen-komponen atom biasanya hanya pengulangan unit- unitnya. Untuk klasifikasi bentonit berdasarkan tipe lapisan dan mineral filosilikat utama dalam tanah dapat dikelompokkan seperti Tabel 2.3. Tabel 2.3 Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah Tipe Lapisan
Nama Kelompok
1 : 1
Kaolinit
Montmorilonit
2 : 1 Mika
2 : 2
Ilit Vermikulit Khlorit
Mineral Kaolinit Haloisit Khrisotil Lizardit Antogorit Montmorilonit Beidelit Saponit Hektorit Saukonit Muskovit Paragonit Biotit Flogopit Ilit Vermikulit Khlorit
Sumber: Supeno, 2009
Penyusunan atom-atom akan menghasilkan satu unit bangunan kristal yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
26
disebut sel satuan, bangunan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10 di bawah ini memperlihatkan pola kelompok atom-atom yang posisinya berulangulang dalam arah tiga dimensi dalam ruang menurut sumbu x, y dan z.
Gambar 2.10. (A) Struktur kristal tiga arah di dalam ruang menurut sumbu x, y, z. (B) Satu satuan sel yang membentuk kristal kubus (Supeno, 2009) Silikat dibangun menurut silika tetrahedral, dalam hal ini setiap oksigen menerima
satu
valensi dari atom silikon.
atom
Agar kebutuhan di
valensinya tercapai, maka atom-atom oksigen dapat mengadakan ikatan dengan kation
lainnya
(Gambar 2.11).
Ikatan silika tetrahedral menghasilkan tiga
kelompok penyusunan struktur dari silikat-silikat: rantai, lembar, dan struktur jaringan (frame work structure).
Gambar 2.11. Struktur tunggal silika tetraeder (atas), penyusunan beberapa silika tetraeder ke dalam bentuk lembar dengan bekerjasama atom-atom oksigen (Supeno, 2009).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
27
Golongan kaolinit termasuk tipe 1:1 karena komposisinya terdiri atas satu lembar Si–tetraeder dan satu lembar Al–oktaeder, golongan montmorilonit termasuk kedalam tipe 2:1, karena strukturnya terbangun dari dua lembar Sitetraeder dan satu lembar Al–oktaeder. Golongan khlorit adalah contoh dari tipe 2:2. Sedangkam paligorskit dan sepiolit termasuk tipe 2:1:1. Setiap golongan mineral tanah liat dibagi 2 kelompok, diokdaeder dan trioktaeder. Jika dua dari tiga posisi oktaeder didud uki oleh Al3+, disebut dioktaeder, jika semua posisi oktaeder diduduki Mg 2+, disebut trioktaeder. Sebagai tambahan dari uraian di atas, pelekatan dari lapisan-lapisan dapat juga dilakukan oleh tipe yang berbeda dari satuan lapisan-lapisan di dalam pola beraturan ataupun tidak, gejala ini menghasilkan mineral bertingkat atau mineral lapisan tercampur. Struktur mineral ini amat beragam jika dua atau lebih tipe berbeda dari satuan lapisan dapat melekatkan bersama-sama. Misalnya unit-unit vermikulit dengan khlorit dengan smektit, mika dengan smektit, dan kaolinit dengan smektit. 2.2 Batuan Sedimen Karbonat Batuan karbonat didefinisikan sebagai batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari 50% yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Reijers, 1986). Bates & Jackson (1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari 50%. Sedangkan batugamping, menurut definisi Reijers & Hsu (1986) adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95%. Sehingga tidak semua batuan karbonat merupakan batugamping. 2.2.1 Karakteristik Batuan Karbonat Menurut Tucker (1991) komponen penyusun batugamping dibedakan atas non skeletal grain, skeletal grain, matrix dan cement. Non Skeletal Grain terdiri dari: a. Ooid dan Pisolid Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang mempunyai satu atau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
28
inti. Inti penyusun biasanya partikel karbonat atau butiran kuarsa. Ooid memliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm disebut pisoid. b. Peloid Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau meruncing yang tersusun oleh micrite dan tanpa struktur internaL Ukuran dari peloid antara 0,1 - 0,5 mm. c. Pellet Pellet merupakan partikel berukuran < 1mm berbentuk spheris atau elips dengan komposisi CaCO3. Secara genetic pellet merupakan kotoran dari organisme. d. Agregat dan Intraklas Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam butiran karbonat yang tersemen bersama-sama oleh semen mikrokristalin atau tergabung akibat material organik. Sedangkan intraklas ialah fragmen dari sedimen yang sudah terlitifikasi atau setengah terlitifikasi yang terjadi akibat pelepasan air lumpur pada daerah pasang surut/tidal flat. Skeletal Grain merupakan butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang terdiri dari seluruh mikrofosil, butiran fosil ataupun pecahan dari fosil-fosil makro. Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam batugamping.
Lumpur Karbonat dan Micrite adalah matriks yang biasanya
berwarna gelap. Pada batugamping hadir sebagai butir yang sangat halus. Micrite memilliki ukuran butir kurang dari 4 m. Micrite dapat mengalamai alterasi dan dapat tergantikan oleh mosaik mikrospar yang kasar. Semen terdiri dari material halus yang menjadi pengikat antar butiran dan mengisi rongga pori yang terendapkan setelah fragmen dan matriks.
Semen dapat berupa kalsit, silika,
sulfat atau oksida besi. 2.2.2 Tekstur Batuan Sedimen Karbonat Pada umumnya batuan terdiri dari mineral-mineral authigenic.
Batuan
memperlihatkan gejala diagenesa pada tekanan (P) dan temperatur (T) tertentu, maka porositas batuan menjadi sangat rendah atau hilang.
Batuan karbonat
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
29
dicirikan oleh porositas yang rendah dan ditandai oleh tekstur mosaic, contoh: batugamping yang terdiri dari kristal-kristal kalsit dan tidak memperlihatkan porositas. Butiran-butiran kalsit dapat berupa polygon-polygon atau bergerigi. Butitan kalsit yang bergerigi menunjukkan adanya rekristalisasi yang terjadi pada saat diagenesa. Sebelum rekristalisasi, ada pori sehingga menjadi ada porositas. Pada non klastik kadang-kadang ada butiran-butiran yang amorf. Ciri yang penting pada batuan karbonat, yaitu butiran-butiran yang mulamula halus, pada diagenesa akan menjadi bertambah besar. Ada 3 unsur tekstur: butiran (grain) yaitu butiran klastik disebut sebagai fragmen; massa dasar (matrix) yaitu lebih halus dari butiran/fragmen, diendapkan bersama-sama dengan fragmen; semen (cement) yaitu berukuran halus, merekat pada butiran/fragmen dan matriks, dan diendapkan kemudian (setelah fragmen dan massa dasar) 2.2.3 Reaksi di dalam Karbonat dan Asam Salisilat Batugamping (CaCO3) yang mengandung senyawa kalsium oksida, serta lempung/tanah liat yang banyak mengandung senyawa silika, alumina, ataupun besi.
Pada proses kalsinasi terjadi reaksi kimia pada klinker, yaitu ketika
batugamping (CaCO3) dipanaskan sehingga menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) seperti terlihat pada reaksi kimia berikut CaCO3 + heat CaO + CO2. Penelitian dengan tujuan merubah kalsium karbonat CaCO3 menjadi kalsium oksida (CaO) dengan cara kalsinasi pada suhu 900OC. Proses kalsinasi merubah kalsium karbonat menjadi kalsium oksida sesuai dengan persamaan reaksi di atas. a. CaCO3 + Kalor (T=900oC) CaO + CO2 b. Aplikasi CaO sebagai katalis untuk memproduksi energi dari hidrokaron dengan memvariasi ratio katalis/minyak (berat/berat) dan waktu reaksi. Persamaan reaksi transesterifikasi dengan bantuan kalsium oksida dapat dilihat dibawah ini. C7H6O3 + CaCO3 + O2 CaC8H5O2 + 2CO2 + H2O Kemudian Cicik Herlina Yulianti (2011) juga melakukan penelitian tentang katalis CaO yang dihasilkan dari proses kalsinasi dan digunakan sebagai salah satu katalisator yang baik untuk reaksi transesterifikasi. Untuk meningkatkan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
30
aktivitas dan produktivitas katalis maka luas permukaan per satuan masa katalis ditingkatkan dengan membuat katalis CaO dalam ukuran nano. 2.3 Asam Stearat Asam Stearat atau asam oktadekanoat, adalah asam lemak jenuh yang mudah diperoleh dari lemak hewani. Wujudnya padat pada suhu ruang, dengan rumus kimia CH3(CH2)16COOH. Asam stearat diproses dengan memperlakukan lemak hewan dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Asam ini dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak nabati. Dalam bidang industri asam stearat dipakai sebagai bahan pembuatan lilin, sabun, plastik, kosmetika, dan untuk melunakkan karet. Reduksi asam stearat menghasilkan stearil alkohol.
Asam
stearat adalah asam lemak jenuh yang terdapat dalam lemak dan minyak dari hewan. Merupakan bahan padat pembuat lilin dan dengan rumus kimia C18H36O2. namanya berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata Stear (genitive=steatos), yang artinya lemak atau gemuk. Garam dan ester dari asam stearat disebut stearates. Asam stearat diperoleh dari pengolahan lemak hewan dengan menggunakan air pada temperatur dan tekanan yang tinggi, terutama pada hidrolisis trigliserida. Asam stearat diperoleh dari hidrogenasi beberapa minyak sayur tak jenuh. Sebenarnya, pada umumnya asam stearat adalah campuran dari asam stearat dan asam palmitat, meskipun asam stearat di dapatkan secara terpisah. 2.4 Serpih Minyak Serpih minyak adalah material (batuan) yang berisi sejumlah besar bahan organik dalam bentuk padat material serpih, sekitar 1/3 bahan organik yang mengisi batuan tersebut. Serpih minyak disebut juga sebagai immature source rock. Menurut beberapa referensi, definisi serpih minyak tersebut terbatas pada shale (Peters et al., 2006), namun ada juga yang mendefinisikan lebih luas tidak hanya sebatas shale namun juga marl dan karbonat (Tissot dan Welte, 1984). Istilah shale oil juga dikenal dan pengertiannya berbeda dengan oil shale. Shale oil adalah oil yang diperoleh dari proses retorting atau pematangan buatan oil shale.
Shale oil juga mencakup oil pada mature source rock yang karena
minimnya crack atau retakan tidak bisa bermigrasi.
Dengan demikian shale
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
31
oil juga berbeda pengertiannya dengan crude oil yaitu oil yang bermigrasi dan kemudian terjebak pada reservoir. Serpih minyak adalah material sedimen yang kaya akan organik halus dan mengandung sejumlah besar campuran solid senyawa kimia organik dari hidrokarbon cair yang dapat diekstraksi.
Serpih minyak membutuhkan
pemrosesan lebih lanjut untuk diproses menjadi minyak mentah, sehingga sangat bermanfaat sebagai pengganti sumber energy migas yang produksinya semakin menurun. Menurut Youngquist dan Walter (1998) sumber energi serpih minyak telah berkembang di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat. Konversi serpih minyak menjadi minyak sintetis dapat dilakukan melalui proses kimia pirolisis.
Pengolahan serpih minyak dilakukan dengan cara
memanasi pada suhu yang cukup tinggi, sehingga dapat mengeluarkan uap dan menyaring untuk menghasilkan minyak konvensional dan gas. Dyni dan John R (2006) mengikuti jejak Bartis dkk (2005), yaitu melakukan penelitian dengan cara membakar serpih minyak secara langsung, yang digunakan sebagai bahan bakar tingkat rendah untuk pembangkit listrik, sehingga hasil pemanasan ini dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam kimia dan konstruksi bahan pengolahan. Serpih minyak mengandung materi organik dengan persentase yang lebih rendah dari batubara. Dalam nilai komersial serpih minyak mempunyai rasio bahan organik dengan bahan mineral antara 0.75:5 dan 1.5:5. Beberpa hasil penelitian dari Van Krevelen (1993), Huuskonen dkk (2007) dan Sumber Daya Energi Dunia (2007), menyatakan bahwa pada saat yang sama, bahan organik dalam serpih minyak memiliki rasio atom hidrogen dengan karbon (H/C) sekitar 1,2-1,8 kali lebih rendah daripada minyak mentah dan sekitar 1,5 sampai 3 kali lebih tinggi daripada batubara. Menurut Alali dan Jamal (2006), komponen organik dari serpih minyak berasal dari berbagai organisme, seperti sisa-sisa ganggang, spora, serbuk sari, kutikula tanaman dan fragmen gabus dari herba dan kayu tanaman, dan puingpuing selular dari air lainnya dan tanaman darat.
Sedangkan mineral yang
terkandung dalam serpih minyak adalah berbagai silikat dan karbonat (Dyni dan John R, 2006; Huuskonen dkk, 2007). Shale adalah batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari pemadatan lumpur dan partikel mineral lempung, yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
32
disebut "lumpur". Komposisi ini menempatkan serpih dalam kategori batuan sedimen, yang dikenal sebagai "mudstones". Shale dibedakan dari mudstones lain karena fisil dan dilaminasi. "Laminated" berarti bahwa batu itu terdiri dari lapisan tipis banyak. "Fisil" berarti bahwa batu itu mudah terbagi menjadi potonganpotongan tipis sepanjang laminasi. Shale adalah batuan yang terdiri dari tanah liat ukuran butiran mineral, seperti illite, kaolinite dan smektit.
Shale biasanya
mengandung partikel mineral lempung, seperti kuarsa, rijang dan feldspar. Seperti kebanyakan batu, warna serpih sering ditentukan oleh kehadiran bahan tertentu dalam jumlah kecil. Hanya beberapa persen dari bahan organik atau besi secara signifikan dapat mengubah warna batu. Sebuah warna hitam di batuan sedimen hampir selalu menunjukkan adanya bahan organik.
Hanya beberapa
persen bahan, satu atau dua organik dapat memberikan warna abu-abu atau hitam gelap terhadap batuan. Selain itu, warna hitam hampir selalu menyiratkan bahwa serpih yang terbentuk dari sedimen diendapkan di lingkungan yang kekurangan oksigen.
Setiap oksigen yang memasuki lingkungan dengan cepat bereaksi
dengan sampah organik yang membusuk.
Jika sejumlah besar oksigen hadir
dalam puing organik maka akan membusuk. Serpih minyak merupakan material clay atau karbonat yang banyak mengandung material organik atau senyawa hidrokarbon (dari berbagai penelitian). Rantai karbon yang menyusun memiliki jenis yang beragam dan tentunya dengan sifat dan karakteristik masing-masing. Sifat dan karakteristik dasar inilah yang menentukan perlakuan selanjutnya bagi oil shale atau serpih minyak itu sendiri pada pengolahannya. Hal ini juga akan mempengaruhi produk yang dihasilkan dari pengolahan tersebut. Material organik oil shale memiliki perbandingan atom H/C relatif tinggi (1.2-1.5), sedangkan perbandingan atom O/C relatif rendah (0.1-0.2). Kerogen tipe ini dapat menghasilkan minyak dan gas, tergantung pada tingkat kematangan termalnya. Eksploitasi serpih minyak sudah banyak dilakukan di berbagai negara, walaupun dibandingkan dengan minyak konvensional produksinya masih relatif kecil. Oil shale sudah diproduksi sejak sebelum Perang Dunia I oleh Jerman karena terbatasnya akses minyak konvensional pada masa itu. Namun hanya Estonia dan Cina yang terus melakukan produksi oil shale setelah berakhirnya
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
33
Perang Dunia II. Hingga kini, Estonia adalah produsen oil shale terbesar (80%) di antara negara produsen lain seperti Cina, Brazil dan Australia. Eksplorasi serpih minyak di Indonesia sudah dimulai sejak dekade yang lalu yang dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi (2009). Endapan oil shale ditemukan di Sumatera dan Sulawesi Selatan, yang sumberdaya terbesarnya ada di Cekungan Sumatera Tengah dan Selatan. Serpih minyak di Sumatera banyak terdapat di beberapa tempat pada lapisan shale pada Formasi Gumai yang keberadaannya menutupi hampir seluruh cekungan. Potensi serpih minyak juga ditemukan pada Formasi Sangkarewang di Cekungan Ombilin.
Walaupun eksploitasi oil shale masih
sangat kecil, namun sumberdaya shale oil adalah 25 kali lebih besar dari crude oil. Kepala Pusat Sumber Daya Geologi Dr Hadiyanto (2009) dalam workshop mengenai penyiapan wilayah kerja migas , mengemukakan, sumber daya oil shale Indonesia sekitar 11.451 milyar ton dengan kandungan minyak bervariasi 5-248 liter per ton. Total sumber daya hipotetik shale oil Indonesia 2.7 milyar barel. 2.5 Senyawa Organik Pada awalnya, senyawa-senyawa yang hanya dihasilkan oleh makhluk hidup disebut senyawa organik. Sebaliknya, senyawa-senyawa yang bukan berasal dari makhluk hidup disebut senyawa anorganik. Pada perkembangannya, kemudian manusia mampu membuat (mensistesis) beberapa senyawa yang sifatnya persis sama dengan senyawa organik aslinya, seperti asam oksalat, urea, dan lain-lain. Makhluk hidup tidak lagi merupakan sumber utama dari senyawa organik. Salah satu sifat utama senyawa organik alami maupun buatan adalah senyawa organik selalu mengandung unsur karbon. Oleh karena itu, istilah “senyawa organik” disempurnakan menjadi senyawa karbon; dan Ilmu Kimia yang mempelajarinya disebut sebagai Kimia Karbon. Namun demikian, istilah senyawa organik sampai kini masih digunakan terutama untuk membedakannya dari senyawa anorganik. Senyawa organik didefinisikan sebagai senyawa yang terdiri dari unsur C dan H sebagai unsur utama, dan beberapa unsur lain seperti O, N, P atau S. 2.5.1 Karakteristik Senyawa Organik Senyawa organik (senyawa karbon) dapat dibedakan dari senyawa anorganik dalam banyak hal. Dapat diamati misalnya antara 2 kelompok berikut,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
34
a. Kelompok-1: kayu – gula – alkohol – minyak – lilin, dan b. Kelompok-2: logam – logam – oksida – logam – garam-garam. Secara rinci Tabel 2.4 memperlihatkan beberapa perbedaan penting dari keduanya. Tabel 2.4. Perbedaan umum antara senyawa organik dan anorganik No Senyawa Organik Senyawa Anorganik 1. Dapat terbakar Tidak dapat terbakar 2. Reaksi bersifat lambat Reaksinya lebih cepat 3. Bertitik leleh rendah Bertitik leleh tinggi 4. Tidak larut dalam air Dapat larut 5. Sebagai senyawa kovalen Sebagai senyawa ion 6. Struktur ikatan rumit Lebih sederhana Sumber: Konsep Dasar Kimia (Novi Yanthi, 2011)
Karakteristik lain dari senyawa organik adalah terjadinya rantai ikatan antar atom C sebagai akibat dari kekhasan atom C itu sendiri. a. Atom C berelektron valensi 4, dan cenderung membentuk berbagai tipe ikatan kovalen.
Gambar 2.12. Beberapa tipe ikatan kovalen pada atom C (Novi Yanthi, 2011) b. Atom C dapat berikatan dengan atom C lain, bahkan dapat membetuk rantai atom C baik alifatik (terbuka: lurus dan cabang) maupun siklik (lingkar).
Gambar 2.13. Rantai Karbon: (1) Lurus; (2) Cabang; (3) Lingkar; (4) Jaring (Novi Yanthi, 2011)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
35
Sifat khas atom C menyebabkan senyawa organik jauh lebih banyak jumlahnya dari senyawa anorganik. (abad 19 senyawa anorganik ada 30 ribu, sementara senyawa karbon ada 1 juta). Kini berjuta-juta senyawa karbon alami maupun buatan dijumpai jauh melampaui jumlah senyawa anorganik yang ada. 2.5.2 Klasifikasi Senyawa Organik Banyak cara menggolong-golongkan senyawa organik. Klasifikasi berikut hanya untuk memberikan gambaran jenis senyawa organik berdasarkan unsur pembentuknya. Tabel 2.5. Jenis senyawa organik berdasar jenis unsur penyusunnya Jenis Unsur C; H C; H; O
C; H; halogen C; H; N C; H; O; N C; H; O; P C; H; O; N; P C; H; O; N; P; S
Jenis Senyawa Hidrokarbon (Alkana, Alkena, Alkuna, Sikloalkana, Sikloalkena, Benzena) Alkanol (Alkohol), Alkanal (Aldehid), Alkanon (Keton), Asam Alkanoat (Asam Karboksilat), Eter, Ester, Karbohidrat, Fenol, Ester Aromatik Alkil-halida Amina, dll. Amida, Asam Amino, Protein Lipida Asam Nukleat Protein
Sumber: Konsep Dasar Kimia (Novi Yanthi, 2011)
2.5.3 Senyawa Hidrokarbon Sesuai dengan namanya, hidrokarbon merupakan golongan senyawa karbon yang mengandung hanya unsur C dan unsur H. Berdasar struktur rantai atom C, hidrokarbon dapat dibedakan atas hidrokarbon alifatik (terbuka) dan hidrokarbon siklik (lingkar). Sedangkan berdasar pada jenis ikatan kovalen antar atom C, hidrokarbon dapat dibedakan atas hidrokarbon jenuh (hanya memiliki ikatan tunggal C-C), dan hidrokarbon tak-jenuh (memiliki ikatan rangkap-2: C=C, atau ikatan rangkap-3: C≡C).
Berarti juga dikenal hidrokarbon alifatik jenuh dan
hidrokarbon alifatik tak-jenuh; begitu juga hidrokarbon siklik (lihat Gambar 2.14). Hidrokarbon merupakan senyawa organik yang tak larut dalam air, mudah terbakar dengan membebaskan kalor yang tinggi. Pada pembakaran sempurna menghasilkan air, H2O dan gas karbon dioksida, CO2; dan bila tak-sempurna,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
36
selain H2O dan CO2 juga dihasilkan gas karbon monoksida, CO dan kadangkadang juga C.
Gambar 2.14. Bagan skematik klasifikasi hidrokarbon (Novi Yanthi, 2011) 2.5.4 Senyawa Hidrokarbon Dan Turunannya Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 2 juta senyawa hidrokarbon. Untuk mempermudah mempelajari senyawa hidrokarbon yang begitu banyak, para ahli mengolongkan hidrokarbon berdasarkan susunan atom-atom karbon dalam molekulnya.
Berdasarkan susunan atom karbon dalam molekulnya, senyawa
karbon terbagi dalam 2 golongan besar, yaitu senyawa alifatik dan senyawa siklik. Senyawa hidrokarbon alifatik adalah senyawa karbon yang rantai C nya terbuka dan rantai C itu memungkinkan bercabang.
Berdasarkan jumlah ikatannya,
senyawa hidrokarbon alifatik terbagi menjadi senyawa alifatik jenuh dan tidak jenuh. Senyawa alifatik jenuh adalah senyawa alifatik yang rantai C nya hanya berisi ikatan-ikatan tunggal saja.
Golongan ini dinamakan alkana.
Contoh
senyawa hidrokarbon alifatik jenuh:
Senyawa alifatik tak jenuh adalah senyawa alifatik yang rantai C nya terdapat ikatan rangkap dua atau rangkap tiga.
Jika memiliki rangkap dua
dinamakan alkena dan memiliki rangkap tiga dinamakan alkuna. Contoh senyawa hidrokarbon alifatik tak jenuh:
Senyawa hidrokarbon siklik adalah senyawa karbon yang rantai C nya melingkar dan lingkaran itu mungkin juga mengikat rantai samping. Golongan ini terbagi
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
37
lagi menjadi senyawa alisiklik dan aromatik. Senyawa alisiklik yaitu senyawa karbon alifatik yang membentuk rantai tertutup, contohnya adalah:
Senyawa aromatik yaitu senyawa karbon yang terdiri dari 6 atom C yang membentuk rantai benzene, contohnya adalah:
2.5.5 Alkana Hidrokarbon jenuh yang paling sederhana merupakan suatu deret senyawa yang memenuhi rumus umum CnH2n+2 dinamakan alkana atau parafin. Suku pertama sampai dengan 10 senyawa alkana dapat kita peroleh dengan mensubstitusikan harga n ke dalam rumus tersebut, dengan n adalah jumlah atom C yang ada. Hasil lengkapnya tertulis dalam Tabel 2.6. Selisih antara suku satu dan suku berikutnya selalu sama, yaitu CH2 atau 14 satuan massa atom, sehingga deret homolog. Untuk dapat memberi nama pada suku-suku alkana, dapat dilakukan dengan memperhatikan nama setiap suku itu dan nama umumnya (= alkana). Tabel 2.6. Suku pertama sampai dengan 10 senyawa alkana Suku Titik Didih Massa 1 mol Rumus Molekul Nama ke (OC/1 atm) dalam g 1 CH4 metana -161 16 2 C2H6 etana -89 30 3 C3H8 propana -44 44 4 C4H14 butana -0.5 58 5 C5H12 pentana 36 72 6 C6H14 heksana 68 86 7 C7H16 heptana 98 140 8 C8H18 oktana 125 114 9 C9H20 nonana 151 128 10 C10H22 dekana 174 142 Sumber: Herliani dan Rodiani (2011)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
38
Metana dan Alkana keduanya memiliki akhiran -ana, jadi alk- diganti dengan met- untuk suku pertama. Untuk suku kedua diganti dengan et-, suku ketiga dengan prop-, suku keempat dengan but-, mulai suku kelima dan seterusnya diberi awalan angka-angka Latin; pent- untuk 5, heks- untuk 6, heptuntuk 7, okt- untuk 8, non- untuk 9, dan dek- untuk 10.
Hasil penamaan
sudah dapat dilihat pada Tabel 2.6. Alkana banyak terdapat dalam minyak bumi dan dapat dipisahkan menjadi bagian-bagiannya dengan distilasi bertingkat. Suku pertama sampai keempat senyawa alkana (metana sampai butana) berwujud gas pada temperatur kamar.
Sifat-sifat senyawa karbon yang termasuk dalam satu
deret homolog misalnya sifat titik didih. Titik didih semakin tinggi jika massa molekul relatifnya makin besar.
Hal ini berarti bahwa pada suhu kamar,
wujudnya akan berubah dari gas ke cair kemudian padat. 2.6 Kerogen Kerogen adalah campuran senyawa kimia organik yang membentuk sebagian dari bahan organik dalam batuan sedimen. Kerogen tidak larut dalam pelarut organik normal karena berat molekulnya lebih besar dari senyawa komponen. Ketika kerogen tersebut hadir dalam konsentrasi tinggi dalam batuan seperti serpih, maka kerogen tersebut akan membentuk batuan sumber dan dapat membentuk endapan serpih atau oil shale. Kerogen berdasarkan komposisi unsurunsur kimia yaitu karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Pada awalnya kerogen dibedakan menjadi 3 tipe utama yaitu kerogen tipe I, tipe II dan tipe III (Tissot dan Welte, 1984), yang kemudian dalam penyelidikan selanjutnya ditemukan kerogen tipe IV (Waples, 1985). Masing-masing tipe dicirikan oleh jalur evolusinya dalam diagram van Krevelen. 2.6.1 Kerogen Tipe I (highly oil prone - oil prone) Kerogen Tipe I memiliki perbandingan atom H/C tinggi (≥l,5), dan O/C rendah (<0,1). Tipe kerogen ini sebagian berasal dari bahan organik yang kaya akan lipid (misal akumulasi material alga) khususnya senyawa alifatik rantai panjang. Kandungan hidrogen yang dimiliki oleh tipe kerogen I sangat tinggi, karena memiliki sedikit gugus lingkar atau struktur aromatik.
Kandungan
oksigennya jauh lebih rendah karena terbentuk dari material lemak yang miskin
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
39
oksigen. Kerogen tipe ini menunjukkan kecenderungan besar untuk menghasilkan hidrokarbon cair atau minyak. Kerogen tipe I berwarna gelap, suram dan baik berstruktur laminasi maupun tidak berstruktur. Kerogen ini biasanya terbentuk oleh butiran yang relatif halus, kaya material organik, lumpur anoksik yang terendapkan dengan perlahan-lahan (tenang), sedikit oksigen, dan terbentuk pada lingkungan air yang dangkal seperti lagoondan danau. 2.6.2 Kerogen Tipe II (oil and gas prone) Kerogen Tipe II memiliki perbandingan atom H/C relatif tinggi (1,2-1,5), sedangkan perbandingan atom O/C relatif rendah (0,1-0,2). Kerogen tipe ini dapat menghasilkan minyak dan gas, tergantung pada tingkat kematangan termalnya. Kerogen tipe II dapat terbentuk dari beberapa sumber yang berbedabeda yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin, dan selain itu juga bisa berasal dari lemak tanaman.
Hal ini terjadi akibat adanya
percampuran antara material organik autochton berupa phytoplankton (dan kemungkinan
juga zooplankton dan
bakteri)
bersama-sama
dengan
material allochton yang didominasi oleh material dari tumbuh-tumbuhan seperti polen dan spora. Percampuran ini menunjukkan adanya gabungan karakteristik antara kerogen tipe I dan tipe III. Kandungan hidrogen yang dimiliki kerogen tipe II ini sangat tinggi, sedangkan kandungan oksigennya jauh lebih rendah karena kerogen tipe ini terbentuk dari material lemak yang miskin oksigen. Kerogen tipe II tersusun oleh senyawa alifatik rantai sedang (lebih dari C25) dalam jumlah yang cukup besar dan sebagian besar naftena (rantai siklik). Pada kerogen tipe ini juga sering ditemukan unsur belerang dalam jumlah yang besar dalam rantai siklik dan kemungkinan juga dalam ikatan sulfida. Kerogen tipe II banyak mengandung belerang secara lebih lanjut dapat dikelompokkan lagi menjadi kerogen tipe II–S dengan persen berat belerang (S) organik 8-14% dan rasio S/C>0,04 (Killops dan Killops, 2005). 2.6.3 Kerogen Tipe III (gas prone) Kerogen Tipe III memiliki perbandingan atom H/C yang relatif rendah (<1,0) dan perbandingan O/C yang tinggi (>0,3).
Kandungan hidrogen yang
dimiliki relatif rendah, karena terdiri dari sistem aromatik yang intensif,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
40
sedangkan kandungan oksigennya tinggi karena terbentuk dari lignin, selulosa, fenol dan karbohidrat. Kerogen Tipe III terutama berasal dari tumbuhan darat yang hanya sedikit mengandung lemak dan zat lilin.
Kerogen tipe ini
menunjukkan kecenderungan besar untuk membentuk gas (gas prone). 2.6.4 Kerogen Tipe IV (inert) Kerogen tipe IV terutama tersusun atas material rombakan berwarna hitam dan opak. Sebagian besar kerogen tipe IV tersusun atas kelompok maseral inertinit dengan sedikit vitrinit. Kerogen tipe ini tidak memiliki kecenderungan menghasilkan hidrokarbon sehingga terkadang dianggap bukan kerogen yang sebenarnya. Kerogen ini kemungkinan terbentuk dari material tumbuhan yang telah teroksidasi seluruhnya di permukaan dan kemudian terbawa ke lingkungan pengendapannya. Kerogen tipe IV hanya tersusun oleh senyawa aromatik. 2.7 Pirolisis Pirolisis adalah analisa komponen hidrokarbon pada material serpih dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel material dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini memisahkan komponen organik bebas dan komponen organik yang masih terikat dalam material serpih (Espitalie et al., 1977).
Analisis
Pirolisis menghasilkan beberapa parameter-parameter, seperti di bawah ini. 2.7.1 S1 (free hydrocarbon) S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas yang dapat diuapkan tanpa melalui proses pemecahan material serpih.
Nilai S1 mencerminkan jumlah
hidrokarbon bebas yang terbentuk karena kematangan termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon. 2.7.2 S2 (pyrolisable hydrocarbon) S2 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasil melalui proses pemecahan material serpih yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan material selama proses pematangan. Nilai S2 menyatakan potensi material organik dalam batuan yang dapat berubah menjadi petroleum. Harga S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon/gram material (mg HC/g Rock). Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
41
2.7.3 S3 (kandungan CO2) S3 menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang hadir di dalam material serpih. Jumlah CO2 dapat dikorelasikan dengan jumlah oksigen di dalam material serpih karena menunjukkan tingkat oksidasi selama diagenesis. Pirolisis dapat dipergunakan sebagai indikator jenis serta kualitas material serpih, antara lain: a. Potential Yield (S1 + S2) Potential Yield (PY) menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam material baik yang berupa komponen volatil (bebas) maupun yang berupa serpih. Satuan ini dipakai sebagai penunjuk jumlah total hidrokarbon maksimum yang dapat dilepaskan selama proses pematangan material serpih. b. Production Index (PI) Nilai PI menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas relatif (S1) terhadap jumlah total hidrokarbon yang hadir (S1 + S2).
PI dapat digunakan sebagai
indikator tingkat kematangan material serpih.
PI meningkat karena
pemecahan material serpih sehingga S2 berubah menjadi S1. c. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI) HI merupakan hasil dari S2×100/TOC dan OI adalah S3×100/TOC. Kedua parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat kematangan. HI yang tinggi menunjukkan material serpih didominasi oleh organik yang bersifat oil prone, sedangkan OI tinggi mengindikasikan dominasi organik gas prone. Waples (1985) menyatakan HI dapat digunakan untuk menentukan jenis hidrokarbon utama dan kuantitas relatif hidrokarbon. 2.8 Temperatur Maksimum (Tmax) Nilai Tmax merupakan salah satu parameter geokimia yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan material serpih.
Harga Tmax yang
terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material serpih. Material serpih yang masuk Kerogen Tipe I akan membentuk hidrokarbon lebih akhir dibanding Tipe III pada kondisi temperatur yang sama.
Harga Tmax sebagai indikator
kematangan juga memiliki beberapa keterbatasan lain misalnya tidak dapat digunakan untuk material yang memiliki TOC rendah (<0,5) dan HI<50. Pembacaan hasil pyrolisis yang dimodifikasi dari Peters (1986) ditunjukkan dalam Gambar 2.15. Harga Tmax juga dapat menunjukkan tingkat kematangan Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
42
yang lebih rendah dari tingkat kematangan sebenarnya pada material serpih yang mengandung resinit yang umum terdapat dalam material serpih dengan kerogen tipe II (Peters, 1986).
Gambar 2.15. Pembacaan hasil pirolisis (dimodifikasi dari Peters, 1986) Dari beberapa hasil penelitian diperoleh nilai Tmax yang hampir sama pada pengukuran material serpih (clay-organik ataupun clay-karbonat), seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.7. Tabel 2.7. Tmax pada material serpih clay dan karbonat Peneliti Tmax (OC) Tahun 2006 Rachmat Heryanto dan H Hermiyanto 424-443 2007 Rachmat Heryanto 421-577 Praptisih, Kamtono, P.S. Putra 2009 431-434 dan M. Hendrizan M.H. Hermiyanto dan N. Sudini 2009 398-434 Ningrum Praptisih, Kamtono, P.S. Putra, dan M. 2009 410-524 Hendrizan 2011 Robet Lumban Tobing 367-443
Material Serpih clay Serpih karbonat Serpih clay Serpih clay Serpih karbonat Serpih clay
Sumber: Dewanto dkk (2008)
2.9 TOC (Total Organic Carbon) Kekayaan kandungan organik batuan atau material serpih biasanya dinyatakan dengan harga TOC (Total Organic Carbon). Berdasarkan kandungan TOC-nya, material serpih dapat dikategorikan dalam Tabel 2.8.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
43
Tabel 2.8. Nilai TOC dan kualitas material serpih % TOC 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 2,0 2,0 – 4,0 4,0 – 12,0 12,0
Kualitas Sangat buruk Buruk Cukup Baik Sangat baik Serpih minyak
Sumber: Waples (1985)
Kemudian Tobing dan Widiarto (2005) melakukan analisis TOC dan menunjukkan bahwa nilai TOC ≥ 12 merupakan material serpih berpotensi sangat baik sebagai batuan serpih minyak. Pada tingkat kematangan termal yang tinggi material serpih padat diharapkan dapat menghasilkan minyak dengan jumlah yang ekonomis.
Analisis total organic carbon (TOC) juga telah dilakukan oleh
Rachmat Heryanto (2007) pada 32 sampel berbutir halus, dan diperoleh 4 sampel dengan potensi hidrokarbon yang sangat baik, yang mempunyai kualitas serpih minyak (TOC=11,53%; 14,71%; 27,09%; 23,58%). 2.10 Thermogravimetric Analysis (TGA) Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu.
Hasilnya biasanya berupa
rekaman diagram yang kontinu; reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 2.16. Sampel yang digunakan, dengan berat beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1-20OC/menit, mempertahan berat awalnya , Wi, sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti.
Gambar 2.16. Skema termogram bagi reaksi dekomposisi satu tahap (Sumber: Analis Termal, Catatan Kuliah S3)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
44
Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu, Ti-Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf, yang berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah hargaharga yang sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan komposisinya, dll. Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf, merupakan harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan (ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.17 untuk dekomposisi CaCO3; pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~ 500 OC, namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di atas 900OC.
Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan
nilai yang sangat bergantung pada kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu dekomposisi pada equilibrium.
Gambar 2.17. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda (Sumber: Analis Termal, Catatan Kuliah S3) 2.10.1 Differential Thermal Analysis Dan Differential Scanning Calorimetry Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sample dibandingkan dengan material referen inert selama perubahan suhu terprogram. Suhu sample dan referen akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur kristal pada sample, suhu dari sample dapat berada di bawah (apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat eksotermik) suhu referen. Alasan penggunaan sample dan referen secara bersamaan diperlihatkan pada Gambar 18. Pada Gambar (a) sampel mengalami Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
45
pemanasan pada laju konstan dan suhunya, Ts dimonitor secara kontinu menggunakan termokopel. Suhu dari sample sebagai fungsi dari waktu diperlihatkan pada Gambar 18 (b); plotnya berupa suatu garis linear hingga suatu peristiwa endotermik terjadi pada sampel, misalnya titik leleh Tc.
Gambar 2.18. Metode DTA. Grafik (b) hasil dari set-up yang diperlihatkan pada (a) dan grafik (d), jejak DTA yang umum, hasil dari pengaturan yang diperlihatkan pada (c) (Sumber: Analis Termal, Catatan Kuliah S3) Pada Gambar 2.18 (c) diperlihatkan pengaturan yang dugunakan pada DTA. Sampel dan referen ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang dipanaskan ataupun didinginkan pada laju konstan; termokopel identik ditempatkan pada keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada pada suhu yang sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama dengan nol. Pada saat suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan suhu, ΔT, timbul antara keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan dari kedua termokopel. Termokopel ketiga (tidak diperlihatkan pada gambar)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
46
digunakan untuk memonitor suhu heating block dan hasilnya diperlihatkan sebagai ΔT versus suhu (Gambar 18 d). Baseline horizontal, menunjukkan ΔT=0, sedangkan penyimpangan dari baseline akan berupa puncak yang tajam sebagai akibat dari berlangsungnya peristiwa termal pada sampel. Suhu puncak yang muncul dapat ditentukan dari suhu dimana deviasi mulai timbul, T1,ataupun pada suhu puncak, T2. Penggunaan T1 mungkin saja lebih tepat, namun seringkali kurang jelas kapan puncak bermula, dan karenanya lebih umum digunakan T2. Ukuran dari puncak dapat diperbesar sehingga peristiwa termal dengan perubahan entalpi yang kecil dapat terdeteksi. Gambar 18(d) sangat mudah diolah, sehingga cara ini digunakan sebagai cara yang lebih sensitif dan akurat untuk memperoleh data dibandingkan Gambar 18 (b) dan dipakai pada metode umum mempresentasikan hasil DTA. Instrumen DTA komersial dapat digunakan pada range suhu -190OC sampai 1600 OC. Ukuran sampel biasanya kecil, beberapa miligram, sehingga mengurangi pemunculan masalah akibat gradien termal dalam sampel yang dapat mengurangi sensitivitas dan akurasi. Laju pemanasan dan pendinginan biasanya berada pada range 1 sampai 50 OC / menit. Pada penggunaan laju yang lebih lambat, sensitivitas akan berkurang karena ΔT bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju pemanasan. Sel DTA biasanya didisain untuk memaksimumkan sensitivitasnya terhadap perubahan termal, namun hal ini sering berakibat pada kehilangan respon kalorimetrik; sehingga tinggi puncak hanya berhubungan dengan besar perubahan entalpi secara kualitatif saja. Dimungkinkan untuk mengkalibrasi peralatan DTA sehingga harga entalpi yang kuantitatif dapat diperoleh, namun kalibrasi ini cukup rumit. Apabila diperlukan data kalorimetrik, maka lebih mudah untuk memakai DSC sebagai komplementer. DSC mirip dengan DTA. Sampel dan referen inert juga digunakan pada DSC namun sel-nya didisain secara berbeda. Pada beberapa sel DSC, sampel dan referen dipertahankan pada suhu sama selama program pemanasan. Dalam hal ini, input panas ekstra ke sampel (atau ke referen bila sampel mengalami perubahan eksotermik) yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan, akan diukur. Pada sel DSC lain, perubahan suhu antara sampel dan referen diukur, seperti halnya DTA, namun dengan pengaturan tertentu pada desain sel, respon yang dihasilkan adalah kalorimetrik.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
47
2.10.2 Aplikasi DTA(DSC) dan TGA Penggunaan analisa termal pada ilmu keadaan padat sangat banyak dan bervariasi. Secara umum DTA lebih bermanfaat dibandingkan TGA; TGA mendeteksi efek yang melibatkan hanya perubahan massa saja. DTA juga dapat mendeteksi efek ini, namun juga dapat mendeteksi efek lainnya seperti transisi polymorfik, yang tidak melibatkan perubahan berat. Untuk banyak permasalahan, sangat menguntungkan untuk menggunakan DTA dan TGA karena peristiwaperistiwa termal yang terdeteksi pada DTA dapat diklasifikasikan menjadi beragam proses yang melibatkan berat ataupun yang tidak melibatkan berat.
Gambar 2.19. Skema perubahan reversibel dan irreversible (Sumber: Analis Termal, Catatan Kuliah S3) Gambar 2.19. kurva TGA dan DTA untuk mineral kaolin. Kurva bervariasi bergantung pada struktur sampel dan komposisi, misalnya kehilangan massa pada TGA dan diasosiasikan dengan endoterm pada DTA yang dapat muncul dimana saja pada range 450 hingga 750 OC Contohnya pada dekomposisi kaolin, Al4(Si4O10)(OH)8 (Gambar 2.19). Menggunakan TGA, perubahan berat yang terjadi pada ~500 sampai O
6000 C , yang berhubungan dengan dehidrasi sampel; juga ditunjukkan pada DTA sebagai proses endoterm. Efek kedua terdeteksi pada DTA terjadi pada 950 hingga 9800C, yang tidak memiliki padanan pada jejak TGA; berhubungan dengan reaksi rekristalisasi pada kaolin terdehidrasi. Proses ke dua ini bersifat
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
48
eksotermik, yang mana tidak biasa terjadi; menunjukkan bahwa struktur yang diadopsi antara ~ 600 dan 950OC bersifat metastabil dan proses eksoterm DTA menandakan penurunan entalpi sampel yang mengindikasikan perubahan ke struktur yang lebih stabil. Informasi detil mengenai perubahan struktur yang terjadi pada transisi ini masih belum sepenuhnya terpecahkan. Plot lainnya yang juga bermanfaat adalah mengikuti perubahan termal pada pendinginan dan pemanasan. Pada penggunaan keduanya, pemisahan antara proses-proses
reversibel,
seperti
pelelehan/pemadatan,
dan
proses-proses
irreversibel, seperti reaksi-reaksi dekomposisi, dimungkinkan. Sekuen skematik DTA yang mengilustrasikan perubahan reversibel dan irreversibel diperlihatkan pada Gambar 2.20. dimulai dengan material terhidrasi, dehidrasi menjadi proses pertama yang terjadi pada pemanasan dan ditunjukkan oleh suatu endoterm. Material terdehidrasi mengalami transisi polimorfik, yang juga endoterm, pada suhu yang lebih tinggi. Akhirnya, sampel meleleh, memberikan endoterm ketiga. Pada pendinginan, lelehan mengkristal, seperti yang ditunjukkan pada puncak eksotermik, dan perubahan polimorfik juga berlangsung, secara eksotermal, namun rehidrasi tidak terjadi. Diagram memperlihatkan dua proses reversibel dan satu proses irreversibel. Harus menjadi catatan penting bahwa, bagi proses sejenis ini, bila pada pemanasan adalah endotermik, maka pada proses kebalikannya, yaitu pendinginan, haruslah eksotermik.
Gambar 2.20. Skema Kurva DTA memperlihatkan pelelehan kristal akibat pemanasan dan hysteresis yang besar pada pendinginan, yang menghasilkan pembentukan gelas (Sumber: Analis Termal, Catatan Kuliah S3)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
49
Suhu sampel konstan pada Tc sampai peristiwa pelehan berlangsung sempurna; kemudian suhunya meningkat dengan tajam untuk menyesuaikan dengan suhu program. Peristiwa termal pada sample yang berlangsung pada Tc teramati sebagai deviasi yang agak luas dari slop baseline (b). Plot seperti ini tidak sensitif pada efek pemanasan yang kecil karena waktu yang diperlukan bagi proses sejenis ini bisa sangat singkat dan menghasilkan deviasi yang juga kecil. Lebih jauh lagi, beragam variasi tidak diharapkan dari baseline, yang bisa disebabkan oleh fluktuasi laju pemanasan, akan menyerupai peristiwa termal. Karena ketidaksensitivannya, teknik ini memiliki aplikasi yang terbatas; penggunaan utama pada awalnya adalah pada ‘metode kurva pendinginan’ yang digunakan pada penentuan diagram fasa; dimana suhu sample direkam pada proses pendinginan dan bukan pemanasan, karena efek panas yang diasosiasikan dengan solidifikasi dan kristalisasi biasanya cukup besar sehingga dapat dideteksi dengan metode ini. Pada studi proses-proses reversibel, yang diobservasi saat pemanasan dan pendinginan sampel, sangat umum untuk mengamati hysteresis; misalnya, eksoterm yang tampak pada pendinginan dapat berbeda posisi sehingga muncul pada suhu lebih rendah dari endoterm yang berhubungan yang muncul pada pemanasan. Idealnya, kedua proses ini seharusnya muncul pada suhu yang sama namun hysteresis berkisar antara beberapa derajat hingga beberapa ratus derajat, umum terjadi. Perubahan reversibel yang ditunjukkan pada Gambar 19 memperlihatkan hysteresis yang rendah namun teramati dengan jelas. Hysteresis tidak saja bergantung pada sifat material dan perubahan struktur yang terlibattransisi sulit yang melibatkan pemutusan ikatan kuat berpotensi untuk menghasilkan banyak hysteresis, tetapi juga bergantung pada kondisi-kondisi eksperimen, seperti laju pemanasan dan pendinginan.
Hysteresis terjadi
khususnya pada pendinginan dengan laju relatif cepat, apabila laju pendinginan cukup cepat, perubahan dapat tiadakan sepenuhnya. Perubahan ini dapat secara efektif dikategorikan irreversibel pada kondisi eksperimen tertentu.
Contoh
pembentukan gelas, peristiwa yang amat penting pada industri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 20. Berawal dari senyawa kristalin, silika, sebuah endoterm muncul saat senyawa meleleh. Pada pendinginan, cairan tidak
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
50
mengalami rekristalisasi namun menjadi supercooled, seiring dengan menurunnya suhu maka viskositas cairan supercooled meningkat sampai akhirnya menjadi gelas. Artinya, kristalisasi telah sepenuhnya dihilangkan, dengan kata lain, hysteresis yang terjadi sangat besar sehingga kristalisasi tidak berlangsung. Pada kasus SiO2, cairan sangat viscous bahkan di atas titik lelehnya ~1700 OC, kristalisasi sangat lambat, bahkan pada laju pendinginan kecil. 2.10.3 Teori Arrhenius Menurut Arrhenius, tetapan laju bergantung pada suhu dan energi aktivasi yang berdasarkan pada persamaan berikut, (1) Dimana, Y mi m(t) dY dt A e E R Tsolid
: : : : : : : : : :
fraksi massa = m(t)/mi massa awal massa yang berubah terhadap waktu penurunan fraksi massa perubahan waktu (dt) faktor pre-eksponensial Bilangan natural (2,72) energi aktifasi bahan (J/mol) konstanta gas (8,31 J/mol K) temperatur bahan (K)
Persamaan (1) kemudian diubah menjadi: (2) Dengan melakukan serangkaian pengujian untuk memperoleh pasangan dY/dt dan Tsolid, maka dapat dibuat grafik hubungan antara ln(dY/dt) dengan 1/Tsolid. Grafik yang terbentuk kemudian dicari persamaan garis lurusnya melalui regresi linear.
Persamaan linear yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam
persamaan (2). (3) Persamaan tersebut analog dengan persamaaan garis lurus, yang sering disimbolkan dengan y = mx + c, maka hubungan antara energi aktivasi suhu dan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
51
laju reaksi dapat dianalisis dalam bentuk grafik ln(dY/dt) vs 1/T dengan gradien -(Ea/RT) dan intersep ln A. (4) dimana;
Sehingga diperoleh nilai energi aktivasi dari, (5) Dari pengujian yang telah dilakukan dapat diolah menjadi grafik TG (thermogravimetry) dan DTG (differential thermogravimetry) sebagaimana dapat diilustraikan dalam beberapa Gambar tersebut di bawah ini. Grafik TG adalah grafik dY/dt terhadap Tsolid, Grafik DTG yaitu grafik d2Y/dt terhadap Tsolid. Kedua grafik ini digunakan untuk mencari sifat-sifat pirolisis. Saat awal bahan mulai terdegradasi disebut dengan Tinitial. Tinitial adalah Tsolid yang didapat pada saat bahan yang digunakan adalah kering.
Jika bahan yang digunakan
berkadar air 10%, maka Tinitial dicari pada Y tertentu. 2.11 Spektrometer Infra Merah (FTIR) Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik.
Radiasi
elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan. Saat ini telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan rentang panjang gelombang tertentu. elektromagnetik gelombang.
merupakan
kumpulan
spektrum
dari
berbagai
Spektrum panjang
Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang, sinar infra
merah dibagi atas tiga daerah, yaitu daerah infra merah dekat, daerah infra merah pertengahan, dan daerah infra merah jauh. Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger print.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
52
Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu vibrasi regangan (stretching) dan vibrasi bengkokan (bending). Dalam vibrasi regangan, atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu Regangan Simetri (unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar) dan Regangan Asimetri (unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar). Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. (Primandaru Widjaya, 2009).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
53
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan berupa peralatan gelas untuk keperluan preparasi dan peralatan pemotong batuan yang tersedia di Lab Kimia FMIPA Unila dan Lemigas Jakarta. Analisa Difraksi Sinar-X (XRD) untuk mengetahui distribusi oksida dilakukan di Laboratorium Fisika FMIPA UNS Surakarta. Analisa TGA dilakukan di Laboratorium Biomasa Kimia FMIPA Unila. Analisis SEM untuk mengetahui konsentrasi spesies/karakteristik oksida dilaksanakan di Laboratorium Biomasa Kimia FMIPA Unila dan Lemigas Jakarta. Pengujian Pirolisis dilakukan di Lemigas Jakarta, serta FTIR di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Indonesia. 3.2 Bahan Penelitian Pada kegiatan penelitian ini, bahan yang digunakan adalah: 1) Lempung alam (kaolinite) dan karbonat alam (CaCO3) dimana kedua material tersebut mempuyai karakteristik sebagai wadah organik sesuai dengan tujuan penelitian, yang diperoleh dari hasil coring pada kedalaman tertentu (2000-3000 m) di daerah X Sumatera. 2) Material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat (C7H6O3) dan senyawa organik alifatik berupa asam stearat (C17H35COOH). 3) Material serpih (kualitas bagus) referensi dari hasil riset di Lemigas, yang akan dikonversi menjadi serpih minyak. 4) Logam Fe, sebagai bahan tambahan untuk memodifikasi material serpih. 3.3 Metode Penelitian Gambar 3.1 menunjukkan coring pada jenis material fasies A, B dan C. Disebabkan berbedanya kondisi dan skala pengamatan antara kondisi di laboratorium dan di reservoar, maka harus dilakukan konversi hasil pemodelan di laboratorium ke kondisi insitu (reservoar), dengan bantuan kapasitas panas pada setiap kedalaman dari sumur yang diamati untuk skala laboratorium yang dikalibrasikan, sehingga dapat dianggap berlaku.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
54
Gambar 3.1 Jenis material yang diambil dari Core pada Facies A, B dan C
Selanjutnya secara rinci dan lengkap semua pelaksanaan penelitian ini ditunjukkan dalam diagram alir penelitian (Gambar 3.2). Dalam diagram tersebut dapat dilihat beberapa pekerjaan penelitian, sedangkan keterangan beberapa pelaksanaan penelitian, dijabarkan dalam Sub Bab 3.4 Rancangan Penelitian.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
55
START
STUDI LITERATUR
PERSIAPAN RISET
PEMILIHAN MATERIAL
KARBONAT ALAM
ORGANIK TIPE II
CLAY ALAM
KARAKTERISASI SEM & XRD
KARAKTERISASI SEM & XRD
KARAKTERISASI SEM & XRD
CaCO3 (CALCITE)
1. C17H35COOH 2. C7H6O3
KAOLINITE
SINTESIS MATERIAL SERPIH CaCO3 + C7H6O3
SINTESIS MATERIAL SERPIH KAOLINITE + C17H35COOH KUALITAS MS KURANG BAIK
PENGUJIAN PIROLISIS
TOC≥11%
Tidak
PENGUJIAN PIROLISIS
REKAYASA MATERIAL: DICAMPURKAN KE MS DENGAN TOC≥22%
Tidak
TOC≥11%
Ya
Ya MATERIAL SERPIH CaCO3:C7H6O 2 = 50%:50%; 33%:67%; 67%:33%
A
MATERIAL SERPIH CLAY:C17H35COOH= 50%:50%; 33%:67%; 67%:33%
PENAMBAHAN Fe
B
C
D
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
56
A
B
C
D
(CaCO3+C7H6O2) 50%:50%; 33%:67%; 67%:33%
MS (67%:33%) (CaCO3+C7H6O2) +Fe
MS (33%:67%) (CLAY+ C17H35COOH) +Fe
CLAY+STEARAT 50%:50%; 33%:67%; 67%:33%
PENGUJIAN PIROLISIS. PENGOLAHAN & ANALISIS HASIL PIROLISIS
CEC 2
PENGUJIAN TGA
KARAKTERISASI SEM & XRD
ENERGI AKTIVASI (Treaksi & Vreaksi)
MORFOLOGI, UNSUR DAN SENYAWA
PENENTUAN MATURASI: ANALISIS PENURUNAN MASSA: Ea (T, V & PERUBAHAN FISIS)
FTIR
ANALISIS
MATURASI DAN TINGKAT MATURASI ORGANIK DALAM MATERIAL SERPIH
Tmax, S1, S2, S3 dan POTENSIAL
Keterangan: MS=Material serpih Tulisan warna biru tidak dilakukan
SELESAI
Gambar 3.2 Diagram alir penelitian
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
57
3.4 Rancangan (design) Penelitian Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan sepenuhnya dengan melakukan percobaan di laboratorium. Secara rinci rancangan penelitian dijelaskan dalam sub bab 3.4.1 sampai dengan 3.4.12. 3.4.1 Pemilihan Material Clay, Karbonat dan Organik 1) Tahap penentuan jenis material ini merupakan tahap yang paling penting dalam pemilihan material. Memilih bahan dari hasil coring pengeboran, kemudian dikelompok-kelompokan, yaitu kelompok bahan karbonat jenis kalsit (CaCO3) dan kelompok material clay jenis kaolinite atau ilite. Material clay dan karbonat harus benar-benar bersih dari fluida dan hidrokarbon alam, oleh karena itu sebelum dilakukan pengukuran porositas dan permabilitas, material dalam keadaan kering (sampel kering). 2) Menentukan material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat (C7 H6O2) dan senyawa organik alifatik berupa asam stearat (C17H35COOH). 3) Menentukan material logam Fe sebagai bahan pilar, dengan tujuan dapat mempercepat laju reaksi dan mengecilkan energi aktivasi. 3.4.2 Karakterisasi SEM dan XRD Material Clay, Karbonat dan Organik Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan dalam clay dan karbonat serta karbonat adalah SEM dan XRD, untuk mengetahui identitas dari material tersebut. SEM untuk mengetahui informasi mengenai keadaan material, yaitu jenis unsur-unsur yang ada, serta distribusi, topografi atau bentuk permukaannya Teknik XRD juga dapat memodelkan jenis senyawa, prosentase senyawa dan karakteristik kristalografinya. 3.4.3 Pembuatan Material Serpih ( Clay-Organik dan Karbonat-Organik) dan Pengujian TOC (Total Organic Carbon) Membuat material serpih clay-organik (OD1-Ast, OD2-Ast) dan karbonatorganik (OD7-Asl, OD8-Asl), kemudian diuji TOC nya dan dibuat seperti material serpih alam, yang mempunyai karakteristik utama yang sama, yaitu seperti ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
58
No
Nama Sampel (Perbandingan % Berat)
1.
OD1-Ast1 (Clay 50% + Organik 50%)
2.
OD1-Ast2 (Clay 33% + Organik 67%)
3.
OD1-Ast3 (Clay 67% + Organik 33%)
4.
OD7-Asl1 (Karbonat 50% + Organik 50%)
5.
OD7-Asl2 (Karbonat 33% + Organik 67%)
6.
OD7-Asl3 (Karbonat 67% + Organik 33%)
Keharusan Nilai TOC (%)
TOC≥ 11%
Catatan: TOC≥12%, kualitas material serpih akan lebih bagus. 3.4.4 Karakterisasi XRD dan SEM pada Material Serpih Clay dan Karbonat Material serpih yang telah dibuat kemudian dilakukan karakterisasi menggunakan SEM. Tujuannya untuk mengetahui morfologi, ukuran partikel, kandungan material, pori-pori material dan unsur-unsur yang terkandung. Karakterisasi difraksi sinar-x pada material clay-organik bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa, prosentase senyawa dan karakteristik kristalografinya, selain itu untuk mengetahui jarak ruang basal (d001) dari kaolinit alam dan lempung yang telah dicampur dengan material organik (asam stearat dan asam salisilat). Dengan tujuan yang sama karakterisasi difraksi sinar-x juga dilakukan pada material kalsit-organik. 3.4.5 Pengujian TGA pada Material Serpih Clay dan Karbonat Thermogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu.
Hasilnya biasanya berupa
rekaman diagram yang kontinu; reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik. Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel dengan material referen yang inert sebagai fungsi dari suhu. 3.4.6 Pengolahan Laju Reaksi dan Energi Aktivasi Secara sederhana, pengaruh suhu terhadap sebagian besar reaksi kimia dapat didekati melalui korelasi yang disampaikan oleh Arrhenius, yakni:
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
59
atau dapat dituliskan sebagai berikut,
dimana, k
: kontanta kecepatan reaksi
A
: faktor pre-eksponensial (faktor frekuensi tumbukan reaksi)
dY
: penurunan fraksi massa
dt
: perubahan waktu
e
: Bilangan natural (2,72)
Ea
: energi atau tenaga aktivasi reaksi (J/mol)
R
: konstanta gas universal (8,314 J/mol K)
T
: suhu absolute (OK) : faktor eksponensial
Menurut Arrhenius, tetapan kecepatan reaksi bergantung pada suhu dan energi aktivasi, jika T makin besar maka k juga makin besar, begitu juga jika Ea kecil maka k juga besar. (4.1) dimana Ea adalah energi aktivasi, R adalah kostanta reaksi universal, A adalah faktor pre eksponensial atau faktor frekuensi yang merupakan satu besaran yang merepresentasikan jumlah tumbukan (collisions) molekul yang bereaksi dan T adalah suhu, sementara x adalah fraksi massa, yang dihitung dengan rumusan, (4.2) dengan m adalah massa sampel saat waktu ke-t, m0 adalah massa awal sampel dan mf adalah massa akhir sampel. Laju kenaikan suhu (heating rate) didefiniskan, (4.3) Dengan menggabungkan persamaan (4.1), (4.2) dan (4.3), maka persamaan (4.1) menjadi,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
60
(4.4) (4.5) bila kedua ruas diintegralkan, maka persamaan (4.5) akan menjadi, (4.6) Pada persamaan (4.6), suku
, merupakan integral tidak eksak namun
dapat dinyatakan dalam asymptotic series sehingga persamaan (4.6) tersebut dapat diintegralkan menjadi, (4.7) (4.8)
(4.9) Pada kenyataannya suku:
sehingga bisa diabaikan dan persamaannya menjadi, (4.10) Dengan membuat grafik hubungan antara
dan , maka didapatkan
garis lurus dimana kemiringan garis tersebut adalah –Ea/R, sehingga didapatkan harga Ea. Grafik penggambaran hubungan antara
dan
proses
pemanasan sebagai dasar perhitungan energi aktivasi pemanasan material serpih. 3.4.7 Menentukan Tmax, Laju Reaksi dan Energi Aktivasi Material Serpih 1) Menentukan Tmax, laju reaksi dan energi aktivasi dari material serpih (CaCO3-C7H6O3), dan menentukan material
yang lebih dominan
mempengaruhi nilai laju reaksi dan energi aktivasi.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
61
2) Menentukan Tmax, laju reaksi dan energi aktivasi dari material serpih (clay-C17H35COOH), dan menentukan material yang lebih dominan mempengaruhi nilai laju reaksi dan energi aktivasi. 3.4.8 Penambahan Fe dalam Material Serpih 1) Menambah logam Fe dalam material serpih (CaCO3- C7H6O3-Fe dan clayC17H35COOH-Fe), serta menentukan karakteristik dari material tersebut. 2) Menentukan laju reaksi dan energi aktivasi material serpih + Fe (CaCO3C7H6O3-Fe dan clay-C17H35COOH-Fe). 3) Menganalisis
karakteristik
dari
material:
CaCO3-C7H6O3,
clay-
C17H35COOH, CaCO3- C7H6O3-Fe, clay-C17H35COOH-Fe. 4) Menganalisis dan menentukan tingkat maturasi organik dari material: CaCO3-C7H6O3,
clay-C17H35COOH,
CaCO3-C7H6O3-Fe,
clay-
C17H35COOH-Fe. Selanjutnya menentukan yang terbaik. 3.4.9 Pengujian Pirolisis Analisis Pirolisis digunakan untuk mengidentifikasi tipe dan kematangan material serpih serta untuk mendeteksi kandungan hidrokarbon dalam material serpih.
Sampel yang dipilih untuk analisis Pirolisis yaitu sampel yang
sebelumnya dihancurkan kemudian dikeringkan. Metode Pirolisis terdiri dari pemanas temperatur (oven) pada suhu atmosfer inert (helium) dan sampel 100 mg untuk menentukan: 1) Hidrokarbon bebas di dalam sampel (serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak). 2) Senyawa hidrokarbon dan oksigen yang menguap sejak proses cracking material material organik di dalam sampel (serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak). Program temperatur oven analisis Pirolisis adalah sebagai berikut: 1) Selama 3 menit oven dipanasi pada suhu 300 OC, hidrokarbon bebas akan menguap dan diukur sebagai puncak S1 (total hidrokarbon bebas di dalam sampel serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak). 2) Kemudian temperatur dinaikkan dari 300 OC-550 OC (pada 25 OC/min). Ini merupakan fase penguapan komponen hidrokarbon berat (> C40) dan juga
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
62
proses cracking material organik yang tidak menguap. Hidrokarbon yang dikeluarkan tersebut diukur sebagai puncak S2 (total hidrokarbon yang dihasilkan melalui cracking termal material serpih yang tidak menguap). 3) Temperatur pada puncak S2 tersebut merupakan temperatur pematangan kerogen yang disebut T maximum. 4) CO2 yang dikeluarkan dari sampel (campuran material) terperangkap pada temperatur (300-390)OC.
Perangkap tersebut dipanaskan dan CO2
dilepaskan dan dideteksi oleh TCD sejak proses pendinginan oven pyrolysis (puncak S3). 3.4.10 Penentuan Temperatur Maksimum (Tmax) Tmax adalah temperatur maksimum untuk melepas hidrokarbon dari proses cracking campuran material yang terjadi selama pyrolisis (puncak S2). Tmax merupakan indikasi tahapan pematangan material organik dalam serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak.
Nilai Tmax ini merupakan salah satu
parameter geokimia yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak.
Harga Tmax yang terekam
sangat dipengaruhi oleh beberapa jenis campuran material tersebut di atas. Beberapa jenis material tersebut akan membentuk hidrokarbon yang berbedabeda pada kondisi temperatur yang sama.
Harga Tmax sebagai indikator
kematangan juga memiliki beberapa keterbatasan lain misalnya tidak dapat digunakan untuk beberapa jenis material yang memiliki TOC rendah (<0,5) dan HI < 50. Tingkat kematangan termal diukur dari Tmax.
Missal: Jika nilai
O
Tmax<435 C menunjukkan serpih-clay, serpih-karbonat dan serpih minyak tersebut di atas masih belum matang.
Jika nilai Tmax antara 435-470 OC
menunjukkan dalam kondisi kematangan termal. Sedangkan bila Tmax>470 OC menunjukkan lewat matang. Grafik hasil pirolisis disebut pirogram dan dapat dilihat pada gambar program. 3.4.11 Pengolahan Data Hasil Pirolisis Data hasil proses pirolisis ini dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan beberapa parameter uji lab untuk menggambarkan kematangan dan potensi
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
63
beberapa jenis material serpih tersebut di atas, yaitu: HI (Hidrogen Indeks), OI (Oksigen Indeks), PI (Produksi Indeks), PY (Pyrolysis Yield) dan PC (Karbon Pyrolyzable). 3.4.12 Pengujian Spektrum FTIR Spektroskopi inframerah dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Analisis FTIR dilakukan pada panjang gelombang 4000-400 cm-1.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
64
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Material Penelitian 4.1.1 Pemilihan Material Clay dan Karbonat Tahap penentuan jenis material ini merupakan tahap yang paling penting dalam pemilihan material. Dimulai dari pekerjaan coring pada masing-masing material yang telah diketahui, kemudian dikelompok-kelompokan sesuai dengan kebutuhan. Bahan yang diperlukan adalah material karbonat jenis kalsit (CaCO3) atau dolomite dan material clay jenis kaolinite atau ilite.
Material clay dan
karbonat yang sudah dibentuk pelet dengan variasi ukuran diameter ditunjukkan dalam Gambar 4.1, diamana material tersebut sudah dalam kondisi kering.
Gambar 4.1. Material clay dan karbonat yang sudah dibentuk pellet Beberapa material clay yang dipakai adalah material dengan nomor sampel OD1, OD2, OD4, OD9, OD10 dan beberapa material karbonat yang dipakai adalah material dengan nomor sampel OD7 dan OD8.
Sedangkan material
organik yang dipakai adalah material dengan nomor sampel Ast (Asam Stearat) dan Asl (Asam salisilat). 4.1.2 Pemilihan Material Organik Bahan organik yang dipilih adalah material organik kelompok senyawa siklik berupa: naftalen dan asam salisilat dan senyawa organik alifatik berupa: asam stearat dan asam laurat. Digunakan bahan organik tersebut, karena sesuai
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
65
dengan kandungan yang ada dalam serpih minyak. Kekayaan kandungan organik batuan biasanya dinyatakan dengan harga TOC (Total Organic Carbon). Berdasarkan kandungan TOC nya, material serpih memiliki nilai TOC ≥ 11 merupakan material serpih berpotensi sangat baik sebagai batuan serpih minyak. 4.1.3 Pembuatan Material Serpih Clay (SMC) dan Karbonat (SMK) Hasil pengujian pirolisis Rock Eval (dipaparkan pada sub bab berikutnya) menunjukkan bahwa clay-organik (OD1-Ast, OD2-Ast) dan karbonat-organik (OD7-Asl, OD8-Asl), berhasil dibuat sebagai sampel seperti serpih minyak, karena mempunyai karakteristik utama yang sama, yaitu seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil pengujian pirolisis pada material serpih (clay-organik dan karbonat-organik) Serpih Minyak (Sesuai Teori Kerogen Tipe II) Shale, clay dan carbonate Material organik kelompok senyawa siklik Material organik kelompok senyawa alifatik TOC > 12,0%
Sintesis MS (Clay-Organik) Clay (kaolinite) -
Sintesis MS (Karbonat-Organik) Karbonat (kalsit) Asam salisilat
Asam stearat TOC ≥ 11,0%
TOC ≥ 11,0%
Gambar 4.2. Proses coring, penentuan jenis material sampai ke pengolahan di lab
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
66
Gambar 4.2 menunjukkan deskripsi penentuan jenis material sampai ke pengolahan di laboratorium, dimulai dari proses coring, pemilihan material, pembuatan sampel material clay-organik dan karbonat-organik, sampai dengan pengujian-pengujian.
Hasil pengujian pirolisis pada sintesis clay-organik dan
sintesis karbonat-organik menunjukkan bahwa hasil sintesis material tersebut sangat bagus untuk bertindak sebagai material serpih. 4.1.4 Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) Pengujian TOC berhasil dilakukan pada sampel material clay-organik (OD2-Ast) dan karbonat-organik (OD7-Asl). Hasil pengujian TOC pada sampel material serpih tersebut ditunjukkan dalam Tabel 4.2. Nilai TOC ini digunakan sebagai salah satu parameter untuk tahap seleksi awal terhadap pemilihan material agar dapat digunakan sebagai material serpih (istilah perminyakan) sehingga dapat dipisahkan antara material serpih yang tidak bagus dan yang bagus untuk dijadikan sebagai dasar pengolahan selanjutnya pada material serpih. Tabel 4.2. Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) No
Nama Sampel
TOC (%)
1.
OD1-Ast1 (Clay 50% + Organik 50%)
19,94
2.
OD1-Ast2 (Clay 33% + Organik 67%)
34,38
3.
OD1-Ast3 (Clay 67% + Organik 33%)
11,98
4.
OD7-Asl1 (Karbonat 50% + Organik 50%)
12,01
5.
OD7-Asl2 (Karbonat 33% + Organik 67%)
12,89
6.
OD7-Asl3 (Karbonat 67% + Organik 33%)
9,14
Empat material clay-organik dan karbonat-organik sudah menunjukkan kualitas yang sangat baik, yaitu mempunyai nilai TOC ≥ 12.0%, sedangkan 2 material yaitu clay-organik (OD1-Ast3) dan karbonat-organik (OD7-Asl3) menunjukkan kualitas yang baik, meskipun nilai TOC hanya mendekati 12.0%, namun di dalam penelitian ditentukan TOC≥11%, sehingga material tersebut tetap bisa dijadikan sebagai material serpih (berbasis clay dan karbonat) untuk diuji selanjutnya.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
67
4.2 Karakterisasi Material dengan SEM dan XRD Setelah tahap pemilihan material dilakukan maka perlu dilakukan karakteristik terhadap material yang telah ditentukan. Sebelum material organik berupa kelompok senyawa siklik yang dipilih dipadukan dengan material clay yang mengandung kaolinite maka dilakukan dahulu karakterisasi terhadap clay dan karbonat. Material yang ada di alam mengandung berbagai macam unsur dan senyawa kimia yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, oleh karena itu kita perlu mengetahui identitas dari material tersebut. Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan dalam clay adalah SEM dan XRD. Keinginan untuk menggunakan bahan yang tebal melahirkan konsep Scanning Electron Microscope (SEM) yang memungkinkan dilakukannya analisis permukaan atau dapat juga dikatakan SEM analog dengan mikroskop metalurgi karena pembentukan bayangan dilakukan oleh berkas yang dipantulkan.
Berkas elektron yang
ditembakkan pada conto berinteraksi dengan conto tersebut. Pantulan-pantulan yang disebut kwanta membawa informasi mengenai keadaan material, misalkan jenis unsur-unsur yang ada, serta distribusi, topografi atau bentuk permukaannya. Pengukuran menggunakan X-Ray Diffraction diperoleh data untuk keperluan analisa kualitatif dan kuantitif. Pola difraksi yang ditampilkan dalam bentuk grafik memberikan informasi mengenai struktur kristal, parameter kisi, dan posisi atom. Interpretasi dari spektrum yang tercatat dilakukan dengan membandingkan hasil eksperimen dengan tabel panjang gelombang standard pada kristal analisator yang digunakan dengan data panjang gelombang referensi. Teknik XRD juga dapat memodelkan jenis senyawa, prosentase senyawa dan karakteristik kristalografinya. 4.2.1 Hasil Analisis Menggunakan SEM Material serpih yang telah dipilih kemudian dilakukan karakterisasi menggunakan SEM. Tujuannya untuk mengetahui morfologi, ukuran partikel, kandungan material, pori-pori material dan unsur-unsur yang terkandung. 4.2.1.1 Analisis SEM pada Material Clay Hasil foto SEM pada material clay (kaolinite dominan) ditunjukkan dalam Gambar 4.3. Pada awalnya material clay tersebut memiliki ukuran butir rata-rata
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
68
0.25 mm (halus) dan 1.25 mm (sangat kasar). Material ini terbentuk dari butiran yang bulat, susunannya cukup baik dan butirannya besar berbentuk cekungcembung dengan planar. Dikarenakan adanya pengaruh tekanan menyebabkan perubahan volume matrix mengecil dan pemadatan yang tidak stabil yang terdistribusi dalam ruang pori (D-G, 5-8).
Gambar 4.3. Hasil foto SEM pada material clay OD2 (dominasi kaolinite)
Gambar 4.4. Hasil Edax-SEM pada material clay OD2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
69
Pori-pori terisi oleh material kaolinit, lempung (A-D, 1-6).
Perubahan
butiran yang tidak stabil dan adanya material lempung, kaolinit dan penumpukan material yang tidak stabil membentuk porositas sekunder.
Clay memiliki
porositas primer dan sekunder yang baik (20%), dan hubungan antara pori-pori ruang cukup baik.
Membaiknya nilai porositas terutama dipengaruhi oleh
lepasnya butiran yang stabil (F-J, 1-5; warna biru). Gambar 4.4 menunjukkan hasil Edax-SEM material clay OD2 dan Gambar 4.5 adalah hasil foto SEM pada material clay OD1, terlihat bentuk kubus yang diselimuti warna putih seperti salju.
Gambar 4.5. Hasil foto SEM pada material clay OD1
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
70
Kondisi yang seperti itu menunjukkan bahwa clay tersebut mempunyai jenis kaolinite yang dominan. Terlihat pada Gambar 4.3 sampai 4.5 bahwa mineral penyusun utamanya adalah mineral-mineral lempung. Secara lebih rinci penyusunnya didominasi oleh paduan lembaran lempung ilit dan kaolinit, yang memperlihatkan tekstur krenulasi, berserat rambut (hairy). Hadir juga adanya jejak minyak (oil trace) atau tetesan minyak/bitumen. Batuan serpih juga terlihat telah mengalami proses diagenetik yang ditandai oleh hadirnya mineral lempung autogenik yang membentuk paduan lembaran lempung. Dari hasil Edax, material OD1 dan OD2 mempunyai kandungan Al, Si dan O yang sangat besar (dominan). Dari hasil analisa dengan menggunakan SEM didapatkan morfologi clay jenis kaolinite (OD2 dan OD1). Kedua gambar tersebut menunjukkan adanya persamaan morfologi dengan ukuran partikel yang besar dan rongganya juga terlihat lebih lebar, hal tersebut menandakan bahwa luas permukaan spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar. Karena sifat clay ini tidak dapat mengembang pada saat kontak dengan air, maka dengan cara dihaluskan akan memperlebar luas permukaan dan rongga. 4.2.1.2 Analisis SEM pada Material Organik Hasil foto SEM dan Edax pada organik asam stearat (C17H35COOH) yang merupakan senyawa alifatik rantai sedang (lebih dari C25) dalam jumlah yang cukup besar dan sebagian besar naftena (rantai siklik) ditunjukkan dalam Gambar 4.6.
Sedangkan material organik asam salisilat (C7H6O3) ditunjukkan dalam
Gambar 4.7. Dari hasil Edax, material organik tersebut mempunyai kandungan C dan O yang sangat besar (dominan). Kedua material organik tersebut masuk dalam Kerogen tipe II yang dapat terbentuk dari beberapa sumber yang berbeda-beda yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin, dan selain itu juga bisa berasal dari lemak tanaman. Hal ini terjadi akibat adanya percampuran antara material organik autochton berupa phytoplankton (dan kemungkinan juga zooplankton dan bakteri) bersama-sama dengan material allochton yang didominasi oleh material dari tumbuh-tumbuhan seperti polen dan spora. Percampuran ini menunjukkan adanya gabungan karakteristik antara kerogen tipe Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
71
I dan tipe III. Tampak hasil foto SEM nya seperti gumpalan putih yang saling berikatan. Pada material tipe ini juga sering ditemukan unsur belerang dalam jumlah yang besar dalam rantai siklik dan kemungkinan juga dalam ikatan sulfida.
Gambar 4.6. Hasil foto SEM pada material organik Asam Stearat (Ast)
Gambar 4.7. Hasil foto SEM pada material organik Asam Salisilat (Asl) Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
72
4.2.1.3 Analisis SEM pada Material Serpih Clay (SMC) Setelah diperoleh wadah organik yang sesuai tujuan, kemudian dibuatlah material serpih yaitu clay-organik OD1-Ast2, OD2-Ast2 (dengan komposisi campuran kaolinite 33% dan asam stearat 67% pada kedua ukuran serbuk tersebut). Kemudian diaduk dan ditekan pelan-pelan dan didiamkan sesaat (48 jam) dan diaduk kembali dan ditekan pelan-pelan kembali, tujuannya agar bahan organik mengisi secara rata ke seluruh pori-pori pada material wadah clay. Selanjutnya material serpih tersebut didiamkan minimal selama 48 jam, tujuannya agar bahan organik yang terperangkap (mengisi) pori-pori dan lebih mengikat serta kompak.
Pori-pori material serpih tersebut yang sudah terisi organik
menjadi lebih kecil, maka bisa diindikasikan wadah clay tersebut berhasil terisi/terikat oleh organik, karena menjadi semakin kecil pori-porinya.
Gambar 4.8. Hasil foto SEM pada material OD1-Ast2 Pori-pori yang semakin menyempit karena terisi material organik dan poripori juga tertutup oleh kaolinite secara merata, dalam gambar tersebut bahan organik teridentifikasi jelas, bisa dilihat dari hasil analisis SEM secara jelas dalam Gambar 4.8 dan 4.9.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
73
Karakteristik yang paling penting adalah material serpih yang dibuat mempunyai nilai TOC ≥ 12%, yang menunjukkan sifat dari serpih minyak yang bagus yang sesuai dengan referensi. Dengan metode sintesa seperti tersebut di atas, maka diperoleh hasil seperti Gambar 4.8 dan 4.9.
Gambar 4.9. Hasil foto SEM pada material OD2-Ast2 Serpih clay yang sudah terbentuk mempunyai pori-pori yang kecil bahkan tidak terlihat sama sekali, karena semua rongga pori terisi oleh material organik
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
74
dan berakumulasi serta terikat kuat dengan kaolinite ataupun beberapa material lain yang kecil prosentasinya.
Material yang menutupi pori-pori yang terisi
material organik, tampak jelas pada Gambar 4.8 dan 4.9. Warna putih seperti langit-langit menunjukkan clay yang berikatan kuat dengan material organik, sehingga bentuk serpih clay tersebut menjadi seperti gumpalan awan putih, yang menutupi semua pori-pori secara merata.
Kondisi yang seperti ini yang
diharapkan, karena serpih clay tersebut berhasil mewakili serpih minyak yang akan diuji untuk dasar pengolahan serpih minyak menjadi minyak mentah (STM). Dari hasil Edax SEM pada serpih clay OD2-Ast2 terkandung beberapa element dengan (wt, %) sebagai berikut: Carbon (75,28%), Oxygen (17,24%), Magnesium (0,22%), Aluminium (2,34%), Silicon (4,08%), Kalium (0,40%), Kalsium (0,15) dan Iron (0,29%). Hasil Edax SEM pada serpih clay OD1-Ast2 terkandung beberapa element dengan (wt, %) sebagai berikut: Carbon (27,92%), Oxygen (36,73%), Natrium (1,07%), Magnesium (3,23%), Aluminium (8,23%), Silicon (15,51%), Kalium (2,06%), Kalsium (0,07), Ti (0,31%) dan Iron (4,86%). Selanjutnya dibuat material serpih clay yang sama, yaitu serpih clay OD2Ast1 (dengan komposisi campuran kaolinite 50% dan asam stearat 50% pada kedua ukuran serbuk tersebut), OD1-Ast3 (dengan komposisi campuran kaolinite 67% dan asam stearat 33% pada kedua ukuran serbuk tersebut). Hasil foto SEM nya tidak berbeda jauh dari OD1-Ast2 dan OD2-ast2, perbedaannya hanya pada hasil Edax nya, tentunya yaitu kandungan (wt %) dalam C, O dan Si. Kemudian menganalisis material serpih clay-Fe dengan foto SEM dan Edax. Dari hasil keseluruhan analisa SEM pada serpih clay didapatkan hasil foto SEMEdax dari clay-organik (serpih clay) dan serpih clay-Fe. Kedua gambar tersebut jika diamati akan menunjukkan perbedaan yaitu serpih clay (lihat OD2-Ast2) mempunyai morfologi yang rapat dan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan serpih clay-Fe. Pada serpih clay-Fe mempunyai ukuran partikel yang besar dan rongganya juga terlihat lebih lebar, hal tersebut menandakan bahwa telah homogen dan telah terjadi pilarisasi dari logam Fe, sehingga luas permukaan spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar.
Hasil Edax nya tidak berbeda jauh untuk kedua material
tersebut, perbedaannya hanya pada material yang dipilarisasi muncul unsur Fe
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
75
lebih banyak dari semula, dan penambahan Fe ini membuat luas permukaan dan volume pori menjadi lebih besar, sehingga diharapkan dapat mempercepat reaksi perubahan organik. Perbandingan hasil SEM dan Edax serpih clay dan serpih clay-Fe ini dapat dilihat dalam Gambar 4.8, 4.9 dan 4.10.
Gambar 4.10. Hasil foto SEM pada serpih clay OD1-Ast2-Fe
4.2.1.4 Analisis SEM pada Material Karbonat Hasil analisis SEM pada material karbonat (OD7) ditunjukkan dalam Gambar 4.11. Material karbonat (OD7) tersebut mempunyai banyak pori-pori. Beberapa daerah rongga pori tersebut dapat diisi oleh material lain (C-E, 2-4). Material karbonat didominasi oleh calcite (D-E, 2-3; B-D, 2-4) dan sedikit dolomite (C-D, 5-6). Material karbonat ini selain didominasi oleh karbonat juga mempunyai sedikit material clay (illite dan kaolinite) yang berada di sekitar poripori. Jenis pori-porinya adalah sekunder, dimana distribusi pori-pori sekundernya disebabkan oleh pelarutan planktonik (C-D, 2). Dari hasil Edax SEM pada serpih
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
76
karbonat CaCO3 mempunyai kandungan Ca dan O yang sangat besar (dominan), ditunjukkan dalam Gambar 4,11.
Gambar 4.11. Hasil foto SEM dan Edax pada material OD7 (Kalsit)
Jenis material yang sama OD8 yaitu karbonat (calcite) ditunjukkan dalam Gambar 4.12. Morfologi dan kondisinya tidak berbeda dengan OD7, dan hasil Edax SEM pada serpih karbonat CaCO3 (OD8) juga mempunyai kandungan Ca dan O yang sangat besar (dominan), ditunjukkan dalam Gambar 4.12.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
77
Gambar 4.12. Hasil foto SEM pada material OD8
4.2.1.5 Analisis SEM pada Material Serpih Karbonat (Karbonat-Organik) Gambar 4.13 menunjukkan material serpih karbonat OD7-Asl2 (dengan komposisi campuran CaCO3 33% dan asam salisilat 67% pada kedua ukuran serbuk tersebut), dan OD8-Asl3 (dengan komposisi campuran CaCO3 67% dan asam salisilat 33% pada kedua ukuran serbuk tersebut). Disini karbonat sebagai wadah atau tempat berakumulasinya material organik yang terikat kuat.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
78
Gambar 4.13. Hasil foto SEM pada material serpih OD7-Asl2 Metode pembentukan serpih karbonat OD7-Asl2 dan OD8-Asl3 sama seperti dengan serpih clay. Perbedaannya pada saat pengadukan yang agak lama yang kemudian ditekan pelan-pelan dan didiamkan sesaat (72 jam) dan diaduk kembali dan ditekan pelan-pelan kembali, tujuannya agar bahan organik mengisi secara rata ke seluruh pori-pori pada material wadah karbonat.
Selanjutnya
material serpih tersebut didiamkan minimal selama 48 jam, tujuannya agar bahan organik yang terperangkap (mengisi) pori-pori dan lebih mengikat serta kompak.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
79
Gambar 4.14. Hasil foto SEM pada material serpih OD8-Asl3
Luas permukaan material serpih tersebut yang sudah terisi organik lebih kecil, maka bisa diindikasikan wadah karbonat tersebut telah berhasil terisi/terikat oleh organik, karena menjadi semakin kecil pori-porinya. Pori-pori yang semakin menyempit karena terisi material organik dan pori-pori juga tertutup oleh illite/kaolinite secara merata, bisa dilihat dari hasil analisis SEM secara jelas (Gambar 4.13 dan 4.14).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
80
Hasil foto SEM serpih karbonat sepintas menunjukkan adanya kesamaan dengan serpih clay, namun sebenarnya ada sedikit perbedaan yaitu pada karakter material karboanat (calcite) yang mempunyai dominan pori-pori sekunder. Porositas tersebut pada kurun waktu tertentu akan mengalami perubahan sehingga menyebabkan adanya material organik atau lainnya yang keluar atau masuk ke dalam pori-pori tersebut.
Namun dari segi wadah organik, ternyata calcite
berhasil menjadi tempat pematangan material organik yang sempurna meskipun memerlukan temperatur yang lebih besar, hal ini nanti akan ditunjukkan dalam pengujian pirolisis dari TGA. Dari hasil Edax SEM pada serpih karbonat OD8-Asl3 terkandung beberapa element dengan (wt, %) yang didominasi oleh Ca, O dan C, sebagai berikut: Carbon (36,54%), Oxygen (26,92%) dan Calcium (15,61%). Sedang pada serpih karbonat OD7-Asl2 terkandung beberapa element dengan (wt, %) yang didominan oleh Ca, O dan C, sebagai berikut: Carbon (43,65%), Oxygen (40,81%) dan Calcium (11,78%). Hasil Edax kedua material tersebut bisa dilihat dari hasil analisis SEM secara jelas (Gambar 4.13 dan 4.14). Dengan cara yang sama dengan serpih clay, maka dilakukan juga analisis terhadap material serpih karbonat-Fe dengan foto SEM dan Edax (Gambar 4.15). Dari hasil keseluruhan analisa SEM pada serpih karbonat didapatkan foto SEMEdax dari karbonat-organik (serpih karbonat) dan serpih clay-Fe.
Gambar
tersebut jika diamati akan menunjukkan perbedaan yaitu serpih karbonat (lihat OD7-Asl2 dan OD8-Asl3) mempunyai morfologi yang rapat dan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan serpih karbonat-Fe. Pada serpih karbonatFe mempunyai ukuran partikel yang sedikit lebih besar dan rongganya juga terlihat sedikit lebih lebar, hal tersebut menandakan bahwa telah homogen dan telah terjadi pilarisasi dari logam Fe.
Jika dipanasi maka luas permukaan
spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar. Hasil Edax nya tidak berbeda jauh untuk kedua material tersebut, perbedaannya hanya pada material yang ditambah Fe menjadi muncul unsur Fe lebih banyak dari semula. Perbandingan hasil SEM dan Edax serpih karbonat dan serpih karbonatFe ini dapat dilihat dalam Gambar 4.13, 4.14 dan 4.15.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
81
Gambar 4.15. Hasil foto SEM pada material serpih OD7-Asl2-Fe
4.2.2 Pengukuran Difraksi Sinar-X (XRD) Karakterisasi difraksi sinar-x pada material clay-organik bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa, prosentase senyawa dan karakteristik kristalografinya serta mengetahui jarak ruang basal (d001) dari kaolinit alam dan lempung yang telah dicampur dengan material organik (asam stearat dan asam salisilat). Dengan tujuan yang sama karakterisasi difraksi sinar-x juga dilakukan pada material kalsit-organik. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
82
4.2.2.1 Pengujian XRD pada Material Serpih Clay Gambar 4.16 menunjukkan grafik hasil XRD material clay (OD1), yaitu merupakan hasil pengujian XRD pada sudut tinggi (10°-80°) pada clay. Dan jika dilihat dengan software HSP (High Score Plus) untuk mineral kaolinite ini didapatkan grafik XRD dengan senyawa SiO2 (Silicon Oxide) yang lebih dominan.
Dari software HSP ini diperoleh juga beberapa senyawa yang
terkandung di dalam clay ini, antara lain Al2O3, Fe2O3, CaCO3. Data puncak untuk clay kaolinite (OD1) ditunjukkan pada sudut 2theta antara 20° sampai 50°, yaitu 20,8891 o; 26,7377 dan 50,1726o, ditunjukkan juga nilai-nilai puncak untuk clay-kaolinite OD1 (Tabel 4.3).
Si O2
Counts OD1 UI Fix
Si O2
10000
Si O2
Si O2; Fe2 O3; Ca C O3
Si O2
20000
0 10
20
30
40
50
60
70
Position [°2Theta] (Copper (Cu))
Gambar 4.16. Grafik hasil XRD clay kaolinite (OD1) Tabel 4.3 Data Puncak untuk clay-kaolinite (OD1) Pos. [°2Th.] 20,89 26,74 50,17
Height [cts] 8205 26719 3916
d-spacing [Å] 4.25 3.34 1.82
Rel. Int. [%] 30,71 100,00 14,65
Hasil karakterisasi XRD berupa pola-pola difraksi yang merupakan puncakpuncak karakteristik struktur kristal SiO2.
Pola-pola difraksi dari SiO2 ini
diidentifikasi pada sudut 2θ. Jika puncak-puncak karakteristik SiO2 muncul maka
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
83
fase senyawa SiO2 dapat diidentifikasi. Pola difraksi sinar X yang terbentuk adalah akibat adanya hamburan atom-atom yang terletak pada suatu bidang hkl dalam kristal. Hasil karakterisasi XRD dari 4 sampel material serpih dapat dilihat pada Gambar 4.17.
OD1-Ast2-Fe
OD1-Ast3
OD1-Ast2
OD1-Ast1
Gambar 4.17. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih (clay-organik) untuk OD1-Organik dan penambahan Fe
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
84
Gambar 4.17 menunjukkan grafik hasil XRD material serpih (clay-organik) OD1-Ast1, OD1-Ast2, OD1-Ast3 dan OD1-Ast2-Fe. Hasil pengujian XRD pada material serpih OD1-Ast1 jika dilihat dengan software HSP (High Score Plus), didapatkan 2 puncak tertinggi pada sudut 2-theta yang berbeda. Dua puncak tertinggi (peak) pada posisi 2θ masing-masing 21,65 O dan 26,70O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 45724,46 cts dan 14014,17 cts. Kemudian untuk sampel material serpih (clay-organik) OD1-Ast2 juga memiliki 2 puncak tertinggi (peak) pada posisi 2θ masing-masing 21,64 O dan 26,69 O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-x masingmasing adalah 63968,05 cts dan 8967,09 cts. Hasil pengujian material serpih (clay-organik) OD1-Ast3 juga memiliki 2 puncak tertinggi (peak) pada posisi 2θ masing-masing 21,59O dan 26,63O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 25422,63 cts dan 19293,06 cts. Hasil karakterisasi XRD yang terakhir dilakukan pada material serpih yang ditambah dengan Fe. Gambar 4.17 menunjukkan bahwa pada sample material serpih (clay-organik) OD1-Ast2-Fe juga memiliki 2 puncak tertinggi (peak) pada posisi sudut 2θ yang sama dengan material serpih OD1-Ast1, OD1-Ast2, dan OD1-Ast3, yaitu pada sudut 21,62O dan 26,67O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 6800,48 cts dan 1059,31 cts. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa hasil pengujian XRD pada empat material serpih tersebut adalah sama, yaitu puncak yang terbentuk merupakan puncak dari kristal SiO2 (Tridymite low) dan dapat diketahui bidang kristal atau indeks Miller hkl yaitu (40-4). Sedangkan pada peak ke-2 yaitu puncak dari kristal SiO2 (Quartz low) dengan orientasi hkl (011). Secara lengkap nilai-nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi kurva XRD, d-spacing, hkl dan nama senyawa pada material serpih (clay-organik) OD1-Ast1, OD1-Ast2, OD1-Ast3 dan OD1Ast2-Fe ditunjukkan dalam Tabel 4.4.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
85
Tabel 4.4. Nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi, d-spacing, hkl dan nama senyawa pada hasil karakterisasi material serpih (clay-organik) Material Serpih: OD1-Ast1 Pos. [°2Th.] Height [cts] d-spacing [Å] 21,65 45724,46 4,10 21,70 22743,19 4,10 26,69 14014,17 3,34 26,69 5858,57 3,34 Material Serpih: OD1-Ast2 Pos. [°2Th.] Height [cts] d-spacing [Å] 21,64 63968,05 4,10 21,70 31817,49 4,10 26,69 3748,66 3,34 26,69 8967,09 3,34 Material Serpih: OD1-Ast3 Pos. [°2Th.] Height [cts] d-spacing [Å] 21,59 25422,63 4,11 21,64 12645,12 4,11 26,63 19293,06 3,35 26,62 8065,42 3,35 Material Serpih: OD1-Ast2-Fe Pos. [°2Th.] Height [cts] d-spacing [Å] 21,62 6800,48 4,11 21,67 3382,54 4,11 26,67 1059,31 3,34 26,67 442,84 3,34
h 4 4 0 1
k 0 0 1 0
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
h 4 4 1 0
k 0 0 0 1
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
h 4 4 0 1
k 0 0 1 0
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
h 4 4 0 1
k 0 0 1 0
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
Gambar 4.18 menunjukkan grafik hasil XRD material serpih (clay-organik) OD2-Ast1, OD2-Ast2 dan OD2. Hasil pengujian XRD pada material serpih OD2Ast1, didapatkan 2 puncak tertinggi pada sudut 2-theta yang berbeda, yaitu pada posisi 2θ masing-masing 21,66O dan 26,71 O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-x masing-masing adalah 48156,92 cts dan 7289,56 cts.
Kemudian untuk sampel material serpih (clay-organik) OD2-Ast2 juga
memiliki 2 puncak tertinggi (peak) pada posisi 2θ masing-masing 21.57 O dan 26,62 O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masingmasing adalah 67996,37 cts dan 6223,56 cts. Sedangkan pada sample material clay OD2 juga memiliki 2 puncak tertinggi (peak) pada posisi sudut 2θ yang sama dengan material serpih OD2-Ast1 dan OD2-Ast2, yaitu pada sudut 20,92O dan 26,70 O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masingmasing adalah 3230,56 cts dan 20893,23 cts. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
86
Hasil pengujian pada tiga material serpih tersebut adalah sama, yaitu puncak yang terbentuk merupakan puncak dari kristal SiO2 (Tridymite low) dan dapat diketahui bidang kristal atau indeks Miller hkl yaitu (40-4). Sedangkan pada peak ke-2 yaitu puncak dari kristal SiO2 (Quartz low) dengan orientasi hkl (011).
OD2-Ast2
OD2-Ast1
OD2
Gambar 4.18. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih (clay-organik) untuk OD2-organik Secara lengkap nilai-nilai 2 theta, intensitas puncak tertinggi kurva XRD, dspacing, hkl dan nama senyawa pada material serpih (clay-organik) OD2-Ast1, OD2-Ast2 dan OD2 ditunjukkan dalam Tabel 4.5. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
87
Tabel 4.5. Nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi, d-spacing, hkl dan nama senyawa pada hasil karakterisasi material serpih (clay-organik) Material Serpih OD2-Ast1 Pos. [°2Th.] Height [cts] 21,66 48156,92 21,72 23953,09 26,71 7289,56 26,71 3047,37 Material Serpih: OD2-Ast2 Pos. [°2Th.] Height [cts] 21,57 67996,37 21,63 33821,17 26,62 6223,56 26,62 2601,73 Material Clay: OD2 Pos. [°2Th.] Height [cts] 20,92 3230,56 26,70 20893,23 26,70 9005,52
d-spacing [Å] 4,09 4,09 3,34 3,34
h 4 4 0 1
k 0 0 1 0
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
d-spacing [Å] 4,12 4,12 3,35 3,35
h 4 4 0 1
k 0 0 1 0
l -4 -4 1 1
Nama Senyawa Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
d-spacing [Å] 4,24 3,34 3,34
h 4 0 1
k 0 1 0
l -4 1 1
Nama Senyawa Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2 Quartz low, SiO2
4.2.2.2 Pengujian XRD pada Material Serpih Karbonat Selanjutnya karakterisasi XRD dilakukan pada material serpih (karbonatorganik), yaitu OD7, OD7-Asl1, OD7-Asl2, OD7-Asl3 dan penambahan Fe OD7Asl2-Fe. Gambar 4.19 menunjukkan grafik XRD material serpih karbonat OD7, OD7-Asl1, OD7-Asl2, OD7-Asl3 dan penambahan Fe, OD7-Asl2-Fe. Hasil karakterisasi material karbonat OD7 yaitu berupa pola-pola difraksi yang merupakan puncak-puncak karakteristik struktur kristal CaCO3. Pola-pola difraksi dari CaCO3 ini diidentifikasi pada sudut 2θ.
Jika puncak-puncak
karakteristik CaCO3 muncul maka fase senyawa CaCO3 dapat diidentifikasi. Pola difraksi sinar X yang terbentuk adalah akibat adanya hamburan atom-atom yang terletak pada suatu bidang hkl dalam kristal. Dari Gambar 4.19 dapat terlihat bahwa pada karbonat OD7 memiliki lima puncak yang tinggi (peak) dan berubah intensitas saat ada penambahan organik. Posisi sudut 2θ tersebut yaitu pada sudut 26,66 O; 29,48O; 36,05O; 39.50 O dan 43,27O dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-x masing-masing adalah 779 cts, 20383 cts, 3477 cts, 4172 dan 3252 cts. Puncak yang terbentuk merupakan puncak dari kristal Graphite C1 H2 dan Calcite CaCO3 dan Carbon. Bidang kristal atau indeks Miller hkl tersebut yaitu (011), (104), (110), (161) dan (202). Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
88
OD7-Asl3
OD7-Asl1-Fe
OD7-Asl2
OD7-Asl1
OD7
Gambar 4.19. Karakterisasi XRD pada material serpih (karbonat-organik) dan penambahan Fe
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
89
Hasil karakterisasi XRD berikutnya dilakukan pada material serpih OD7Asl1.
Dari Gambar 4.19 dapat terlihat bahwa pada sample material serpih
(karbonat-organik) OD7-Asl1 memiliki lima puncak tertinggi (peak) pada posisi sudut 2θ yang sama dengan material serpih OD7-Asl2 yaitu pada sudut 10,94 O; 17,21 O; 25,23 O; 28,70 O dan 29,41O, dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 47282, 44513, 18466, 8361 dan 12199 cts. Puncak yang terbentuk tersebut merupakan puncak dari kristal Carbon Dioxide, Fichtelite C19 H34, Calcium, Carbon dan Calcite CaCO3, dan dapat diketahui bidang kristal atau indeks Miller hkl yaitu (100), (200), (110), (231) dan (104). Material serpih (karbonat-organik) OD7-Asl3 memiliki 5 puncak tertinggi (peak) pada posisi 2θ masing-masing 10,96O; 17,23; 25,24O; 26,61O dan 29,43 O, dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 12771, 13314, 4687, dan 18095. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa puncak yang terbentuk merupakan puncak dari kristal Fullerite, Nitrammite N2H4O3 dan Calcite CaCO3, dan dapat diketahui bidang kristal atau indeks Miller hkl yaitu (111), (101), (002), (003) dan dan (104). Material serpih OD7-Asl2-Fe (Gambar 4.19) terlihat bahwa pada sample tersebut memiliki tujuh puncak yang tinggi (peak) dan berubah intensitas saat ada penambahan organik. Posisi sudut 2θ tersebut adalah 9,30O; 10,93O; 17,22 O, 17,26 O; 25,19 O; 25,32 O dan 28,73O, dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-x masing-masing adalah 650 cts, 674 cts, 1034 cts, 517 cts, 758 cts, 964 cts dan 555 cts. Puncak-puncak yang terbentuk merupakan puncak dari kristal Samarium Oxide Bromide, Pentoxecane, Carpathite dan Graphite, dengan masing-masing bidang kristal atau indeks Miller hkl adalah (100), (001), (111), (111), (11-3), (11-3) dan (002). Hasil karakterisasi XRD yang terakhir dilakukan pada material serpih yang ditambah dengan Fe, yaitu memiliki puncak tertinggi (peak) pada posisi sudut 2θ yang berbeda dengan material serpih OD7-Asl1, OD7-Asl2 dan OD7-Asl3, yaitu pada sudut yang berbeda, dengan nilai intensitas yang tertangkap oleh detektor sinar-X yang berbeda. Secara lengkap nilai-nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi kurva XRD, d-spacing, hkl dan nama senyawa pada material serpih (karbonat-organik) OD7, OD7-Asl1, OD7-Asl2, OD7-Asl2Fe dan OD7-Asl3 ditunjukkan dalam Tabel 4.6.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
90
Tabel 4.6. Nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi, d-spacing, hkl dan nama senyawa pada hasil karakterisasi material serpih (karbonat-organik) Material OD7 (Calcite) Pos. Height Rel. Int. [°2Th.] [cts] [%] 26,66 7791 38,22 29,48 20383 100,00 36,05 3477 17,06 39,50 4172 20,47 43,27 3252 15,96
d-spacing [Å] 3,34 3,03 2,49 2,28 2,09
hkl
Senyawa
011 104 110 161 202
Graphite, C1H2 Calcite, CaCO3 Calcite, CaCO3 Carbon (60) Calcite, CaCO3
Material Serpih: Karbonat-Organik OD7-Asl1 (Calcite-Asam Salisilat) Height Rel. Int. d-spacing Pos. hkl Senyawa [°2Th.] [cts] [%] [Å] 10,95 46314 100,00 8,08 100 Carbon Dioxide 17,22 23362 50,44 5,15 200 Fichtelite, C19H34 25,24 13940 30,10 3,53 110 Calcium 29,41 15538 33,55 3,04 104 Calcite Material Serpih: Karbonat-Organik OD7-Asl2 (Calcite-Asam Salisilat) Pos. Height Rel. Int. d-spacing hkl Senyawa [°2Th.] [cts] [%] [Å] 10,94 47282 100,00 8,08 100 Carbon Dioxide 17,21 44513 94,14 5,15 200 Fichtelite, C19H34 25,23 18466 39,06 3,53 110 Calcium 28,70 8361 17,68 3,11 231 Carbon (60) 29,41 12199 25,80 3,04 104 Calcite Material Serpih: Karbonat-Organik OD7-Asl3 (Calcite-Asam Salisilat) Pos. Height Rel. Int. d-spacing hkl Senyawa [°2Th.] [cts] [%] [Å] 10,96 12771 70,58 8,07 111 Fullerite 17,23 13314 73,58 5,14 101 Nitrammite, N2H4O3 25,24 4687 25,90 3,53 002 Fullerete 26,61 4847 26,79 3,35 003 Graphite 29,43 18095 100,00 3,03 104 Calcite Material Serpih: Karbonat-Organik OD7-Asl2-Fe (Calcite-Asam Salisilat-Fe) Pos. Height Rel. Int. d-spacing hkl Senyawa [°2Th.] [cts] [%] [Å] 9,30 650 62,86 9,50 100 Carpathite, C24H12 10,93 674 65,13 8,09 001 Samarium Oxide Bromide 17,22 1034 100,00 5,15 111 Pentoxecane, C5H10O5 17,26 517 50,00 5,15 111 Pentoxecane, C5H10O5 25,19 758 73,32 3,53 11-3 Carpathite, C24H12 25,32 964 93,24 3,52 11-3 Carpathite, C24H12 28,73 555 53,67 3,11 002 Graphite, C1H2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
91
4.2.2.3 Analisis Material Serpih Clay dengan Karbonat Gambar 4.17, 4.18 dan 4.19 menunjukkan hasil analisis XRD, yaitu pada material serpih (clay-organik dan karbonat-organik). Hasil karakterisasi XRD dari dua sampel material serpih (OD1-Organik) dan material serpih (OD2Organik) dapat dilihat pada Gambar 4.17 dan Gambar 4.18. Dari kedua Gambar tersebut kita lihat dua puncak yang tertinggi pada sudut 2theta yang berbeda untuk dianalisis.
Pada kedua material tersebut tidak terjadi reaksi tetapi setiap
penambahan organik atau komposisi material organik lebih besar ternyata memiliki intensitas yang lebih tinggi.
Material serpih OD1-Ast2 memiliki
intensitas yang lebih tinggi dibanding material serpih OD1-Ast1.
Sedangkan
material serpih OD1-Ast1 memiliki intensitas yang lebih tinggi dibanding material serpih OD1. Jika material clay kita tambah menjadi lebih besar dari material organik (OD1-Ast3), maka nilai intensitas menjadi lebih rendah atau sedikit mendekati sama dengan material clay OD1. Kondisi yang sama juga dialami pada material serpih clay yang lain yaitu intensitas OD2 OD2-Ast3 OD2-Ast1 OD2-Ast2.
Oleh karena tidak terjadi reaksi maka penambahan
organik akan membuat terjadinya preferred orientation pada bidang kristal tertentu, hal ini mengakibatkan bidang tersebut memiliki intensitas yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sedangkan untuk sudut 2theta dan bidang hkl nya tidak terjadi perubahan. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa intensitas sinar-X yang diserap oleh detektor pada masing-masing sampel nilainya berbeda. Tinggi rendahnya intensitas sinar-X yang tertangkap oleh detektor sinar-X dipengaruhi oleh tingkat keteraturan susunan atom dalam kristal yang didifraksi dengan sinar-X. Semakin banyak atom-atom yang tersusun teratur, maka semakin tinggi intensitas yang tertangkap oleh detektor. Intensitas semakin besar berarti sampel memiliki keteraturan kristal yang lebih besar atau semakin banyak atomatom pada lapisan yang tersusun teratur.
Pola difraksi sinar X yang terbentuk
adalah akibat adanya hamburan atom-atom yang terletak pada suatu bidang hkl dalam kristal. Kemudian hasil karakterisasi XRD dari sampel material serpih karbonat (OD7-Organik) dapat dilihat dalam Gambar 4.19. Dari Gambar tersebut kita lihat tiga puncak yang tertinggi pada sudut 2theta yang berbeda untuk dianalisis. Pada
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
92
masing-masing material serpih tersebut terjadi reaksi antara organik dengan karbonat, tetapi setiap penambahan organik atau komposisi material organik yang lebih besar menghasilkan perbedaan puncak dari kelima material tersebut. Pada sudut 2theta=29O dengan bidang hkl yang sama, calcite (104) kondisi yang dialami pada material serpih karbonat yaitu intensitas OD7 ≥ OD7-Asl3 OD7Asl1 OD7-Asl2.
Sedangkan pada sudut 2theta=25 O dan sudut 2theta=17 O
kondisi yang dialami pada material serpih karbonat tersebut adalah intensitas OD7 OD7-Asl3 OD7-Asl1 OD7-Asl2. Material serpih pada sudut 2theta tersebut ternyata memiliki senyawa dan bidang hkl yang berbeda (Gambar 4.19 dan Tabel 4.6). Penambahan organik disini membuat terjadinya preferred orientation pada bidang kristal tertentu, hal ini mengakibatkan bidang tersebut memiliki intensitas yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sedangkan untuk sudut 2theta dan bidang hkl nya tidak terjadi perubahan. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa intensitas sinar-X yang diserap oleh detektor pada masing-masing sampel nilainya berbeda. Tinggi rendahnya intensitas sinar-X yang tertangkap oleh detektor sinarX dipengaruhi oleh tingkat keteraturan susunan atom dalam kristal yang didifraksi dengan sinar-X. Semakin banyak atom-atom yang tersusun teratur, maka semakin tinggi intensitas yang tertangkap oleh detektor. Intensitas semakin besar berarti sampel memiliki keteraturan kristal yang lebih besar atau semakin banyak atomatom pada lapisan yang tersusun teratur.
Pola difraksi sinar-X yang terbentuk
adalah akibat adanya hamburan atom-atom yang terletak pada suatu bidang hkl dalam kristal. Adanya perbedaan atau perubahan senyawa dan bidang hkl pada sudut 2theta yang sama untuk setiap penambahan organik, dapat dikatakan terjadinya reaksi antara material CaCO3 dengan organik. Hal yang sama dialami saat material serpih baik clay ataupun karbonat ditambah logam Fe, maka terjadi reaksi juga karena adanya perbedaan atau perubahan senyawa dan bidang hkl pada sudut 2theta yang sama pada penambahan Fe, dan nilai intensitasnya menjadi turun drastis. Hal ini disebabkan oleh tingkat keteraturan susunan atom dalam kristal yang didifraksi dengan sinar-X, terdapat banyak atom-atom yang tersusun tidak teratur, maka semakin turun intensitas yang tertangkap oleh detektor. Intensitas semakin turun berarti sampel memiliki ketidakteraturan kristal yang lebih besar atau semakin banyak atom-atom pada lapisan yang tersusun tidak
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
93
teratur.
Pola difraksi sinar-X yang terbentuk adalah akibat adanya hamburan
atom-atom yang terletak pada suatu bidang hkl dalam kristal. CaCO3-C7H6O3 dan clay-C17 H35COOH. Penambahan material organik (C17H35COOH) pada clay alam (OD1) dengan komposisi tertentu, menghasilkan masing-masing material serpih memiliki puncak tertinggi yang menempati sudut 2θ yang sama dengan nilai intensitas yang semakin tinggi dibandingkan dengan material serpih yang memiliki komposisi organik lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa pada material serpih yang memiliki intensitas lebih tinggi, dikarenakan sampel tersebut memiliki keteraturan kristal SiO2 yang lebih besar. Kemudian jika material serpih ditambahkan logam Fe maka nilai intensitas menjadi lebih rendah atau mengalami penurunan drastis. Hasil karakterisasi XRD berupa pola-pola difraksi yang merupakan puncakpuncak karakteristik struktur kristal ditujukkan dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD1-Ast (clay-organik) Nama Material OD1 OD1-Ast1 OD1-Ast2 OD1-Ast3 OD1-Ast3-Fe
Pos. [°2Th.] 26,67 21,65 21,64 21,59 21,62
Height [cts] 42480,61 45724,46 63968,05 25422,63 6800,48
d-spacing [Å] 3,34 4,10 4,10 4,11 4,11
hkl
Senyawa
011 40-4 40-4 40-4 40-4
Quartz Low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2
Penambahan material organik (C17H35COOH) yang sama dilakukan pada clay alam (OD2) dengan komposisi tertentu. Hasilnya sama dengan material clay OD1, yaitu masing-masing material serpih memiliki puncak tertinggi yang menempati sudut 2θ yang sama dengan nilai intensitas yang semakin tinggi dibandingkan dengan material serpih yang memiliki komposisi organik lebih rendah.
Hal ini membuktikan bahwa pada material serpih yang memiliki
intensitas lebih tinggi, dikarenakan sampel tersebut memiliki keteraturan kristal SiO2 yang lebih besar. Hasil karakterisasi XRD berupa pola-pola difraksi yang merupakan puncak-puncak karakteristik struktur kristal ditujukkan dalam Tabel 4.8.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
94
Tabel 4.8 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD2-Ast (clay-organik) Nama Material OD2 OD2-Ast1 OD2-Ast2
Pos. [°2Th.] 26,70 21,66 21,57
Height [cts] 20893,23 48156,92 67996,37
d-spacing [Å] 3.34 4.10 4.12
hkl
Senyawa
011 40-1 40 -1
Quartz low, SiO2 Tridymite low, SiO2 Tridymite low, SiO2
Penambahan material organik (C7 H6O3) dilakukan pada karbonat alam (OD7) dengan komposisi tertentu. Hasilnya sama dengan material clay OD1 dan OD2, yaitu masing-masing material serpih memiliki puncak tertinggi yang menempati sudut 2θ yang sama dengan nilai intensitas yang semakin tinggi dibandingkan dengan material serpih yang memiliki komposisi organik lebih rendah. Material serpih yang memiliki intensitas lebih tinggi, disebabkan sampel tersebut memiliki keteraturan kristal SiO2 yang lebih besar. Jika material serpih ditambah Fe maka intensitas menjadi lebih rendah atau mengalami penurunan drastis.
Hasil karakterisasi XRD berupa pola-pola difraksi yang merupakan
puncak-puncak karakteristik struktur kristal ditunjukkan dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Karakterisasi XRD pada material serpih OD7-Asl (karbonat-organik) Nama Material OD7 OD7-Asl1 OD7-Asl2 OD7-Asl3 OD7-Asl3-Fe
Pos. [°2Th.] 29,48 10,94 10,94 29,43 17,22
Height [cts] 20383 46314 47282 18095 1034
d-spacing [Å] 3,03 8,08 8,08 3,03 5,15
hkl
Senyawa
104 100 100 104 111
Calcite, CaCO3 Carbon Dioxide Carbon Dioxide Calcite, CaCO3 Pentoxecane, C5H10O5
4.3 Hasil Thermogravimetry Analysis (TGA) Analisa termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik dan kimia material sebagai fungsi dari suhu. Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel dengan material referen yang inert sebagai fungsi dari suhu.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
95
4.3.1 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat (SMK) Pengujian TGA dilakukan pada material OD7-Asl2 (kalsit-salisilat) yaitu pengujian pada material serpih karbonat dengan komposisi campuran 33% CaCO3 dan 67% C7H6O3.
Pengujian material serpih karbonat ini, untuk mengetahui
kerusakan struktur saat dilakukan pemanasan pada suhu tinggi (lebih dari 400 OC), karena dapat memberikan gambaran terjadinya proses perubahan massa suatu bahan.
Hasil pengujian TGA pada material material serpih OD7-Asl2
ditunjukkan dalam Gambar 4.20.
Gambar 4.20. Grafik hasil analisis Termogravimetri (TGA) pada material serpih (OD7-Asl2) Penurunan persentase berat pertama terjadi pada temperatur ± 95 OC-205 OC, mengindikasikan molekul air terlepas dari struktur kristal OD7-Asl2. Kemudian penurunan berat kedua terjadi pada temperatur sekitar 225OC-285OC. Perubahan berat kedua yang signifikan diindikasikan adalah perubahan struktur pada material OD7-Asl2 dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Kemudian penurunan berat ketiga terjadi pada temperatur 380 OC-445 OC, yaitu molekul-molekul yang ada di dalam OD7-Asl2 terlepas.
Interval temperatur tersebut mengindikasikan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
96
temperatur maksimum yang diperlukan OD7-Asl2 (serpih karbonat) untuk mulai berubah menjadi minyak. Ketika dilakukan kalsinasi terus hingga mulai terjadi penurunan terakhir sampai konstan, yaitu pada temperatur 610OC-720OC, maka banyak terjadi molekul-molekul yang ada di dalam OD7-Asl2 (serpih karbonat) terlepas semua, sehingga ada bagian serpih dalam pori-pori yang terlepas juga. Kondisi yang seperti ini dapat disebut sebagai over mature, dimana pada akhirnya garis grafiknya
sudah
menunjukkan
kecenderungan O
bertambahnya temperatur hingga 720 C.
lurus
horizontal
dengan
Secara fisik material yang telah
dikalsinasi pada temperatur di atas 720OC warnanya menjadi kehitaman. Jadi temperatur yang diperlukan untuk proses maturasi serpih minyak pada OD7-Asl2 menjadi minyak mentah diperlukan suhu sekitar sekitar ± (380 OC-445 OC). Selanjutnya, pengujian dilakukan pada material serpih karbonat (OD7Asl1), yaitu komposisi campuran 50% CaCO3 dan 50% C7 H6O3. Hasil pengujian TGA pada material material serpih OD7-Asl1 ditunjukkan dalam Gambar 4.21.
Gambar 4.21. Grafik hasil analisis Termogravimetri (TGA) pada material serpih (OD7-Asl1) Perubahan pertama terjadi pada temperatur 75 OC-170 OC merupakan hilangnya molekul air yang terkandung dalam struktur kristal. Pada temperatur 225OC-275OC terjadi perubahan berat kedua yang signifikan, dan diindikasikan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
97
sebagai perubahan struktur pada material serpih karbonat dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Ketika dilakukan kalsinasi kembali terjadi penurunan berat pada temperatur 325OC-450OC, maka kembali terjadi molekul-molekul yang ada di dalam serpih karbonat terlepas, sehingga akan berpengaruh pada perubahan ukuran pori. Interval temperatur 325 OC-450 OC ini mengindikasikan temperatur maksimum yang diperlukan serpih karbonat untuk mulai berubah menjadi minyak. Perubahan fasa terakhir terjadi pada temperatur sekitar 650 OC-740 OC. Kondisi yang seperti ini dapat disebut sebagai over mature, dimana pada akhirnya garis grafiknya sudah menunjukkan kecenderungan lurus horizontal. Secara fisik dapat juga dilihat bahwa material yang telah dikalsinasi pada temperatur di atas 740OC warnanya menjadi kehitaman.
Jadi temperatur yang diperlukan untuk
proses perubahan (reaksi) material serpih minyak pada serpih karbonat menjadi minyak diperlukan suhu sekitar sekitar ± (325 OC-450 OC).
4.3.2 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay (SMC) Pengujian TGA dilakukan pada material OD1-Ast2 yaitu material serpih dengan komposisi 33% clay dan 67% asam stearat. Hasil pengujian TGA pada material material serpih OD1-Ast2 ditunjukkan dalam Gambar 4.22.
Gambar 4.22. Grafik hasil analisis Termogravimetri (TGA) pada material serpih (OD1-Ast2)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
98
Penurunan berat pertama terjadi pada temperatur 69OC-143OC merupakan hilangnya molekul air yang terkandung dalam struktur kristal. Perubahan fasa sempurna terjadi pada temperatur 155OC-305OC mengindikasikan terjadi perubahan struktur material serpih OD1-Ast2 dan hilangnya molekul air secara kimiawi.
Penurunan terakhir terjadi pada temperatur 330 OC-480OC, maka
banyak terjadi molekul-molekul yang ada di dalam material serpih OD1-Ast2 terlepas, dan terjadi proses over mature. Jadi temperatur yang diperlukan untuk proses maturasi serpih minyak menjadi minyak diperlukan suhu 155 OC-305 OC. Kemudian, pengujian dengan TGA dilakukan pada material OD1-Ast1 yaitu pengujian pada serpih clay dengan komposisi 50% clay dan 50% asam stearat. Dari hasil pengujian dengan TGA tersebut, didapatkan hasil grafik seperti pada Gambar 4.23.
Gambar 4.23. Grafik hasil analisa Termogravimetry (TGA) pada material serpih (OD1-Ast1) Penurunan persentase berat pertama terjadi pada temperatur 150OC- 270 OC, hal tersebut mengindikasikan molekul air terlepas dari struktur kristal pada serpih clay. Kemudian terjadi penurunan lagi yang merupakan perubahan fasa sempurna terjadi pada temperatur 285 OC-400 OC.
Perubahan berat pertama merupakan
hilangnya molekul air yang terkandung dalam struktur kristal, sedangkan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
99
perubahan berat kedua yang signifikan diindikasikan adalah perubahan struktur pada material serpih clay dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Penurunan berat pada temperatur yang terakhir mengindikasikan temperatur maksimum yang diperlukan serpih clay untuk mulai berubah menjadi serpih minyak. Sedangkan ketika dilakukan kalsinasi terus mulai terjadi penurunan terakhir sampai konstan, yaitu pada temperatur 425 OC-600 OC, maka banyak terjadi molekul-molekul yang ada di dalam serpih clay terlepas, sehingga ada bagian dari serpih dalam pori-pori yang terlepas juga. Kondisi yang seperti ini disebut sebagai over mature, dimana garis grafiknya sudah menunjukkan kecenderungan lurus horizontal dengan bertambahnya temperatur hingga 600 OC, yang menandakan material tersebut telah mengalami kerusakan struktur dan tidak bisa digunakan sebagai material serpih minyak.
Secara fisik material yang telah dikalsinasi pada temperatur di atas
600OC warnanya menjadi kehitaman.
Jadi temperatur yang diperlukan untuk
proses maturasi serpih minyak menjadi minyak adalah 285OC-400OC. Kemudian, pengujian TGA dilakukan pada material OD1-Ast3 yaitu material dengan komposisi 67% clay dan 33% asam stearat. Dari hasil pengujian dengan TGA tersebut, didapatkan hasil grafik seperti pada Gambar 4.24.
Gambar 4.24. Grafik hasil analisa Termogravimetri (TGA) untuk material serpih (OD1-Ast3)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
100
Penurunan persentase berat pertama terjadi pada temperatur 80 OC-300 OC, mengindikasikan molekul air terlepas dan mulai terjadi perubahan struktur material serpih. Perubahan fasa sempurna terjadi pada 317 OC-400 OC, sekaligus mengindikasikan temperatur maksimum yang diperlukan material serpih OD1Ast3 berubah menjadi minyak. Proses over mature juga terjadi dalam interval temperatur tersebut. Jadi temperatur yang diperlukan untuk proses perubahan (reaksi) material serpih menjadi minyak diperlukan suhu sekitar ± 317OC. 4.3.3 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Minyak (CEC 2) Pengujian TGA juga dilakukan pada serpih minyak sebagai material serpih (CEC 2). Gambar 4.25 memberikan gambaran terjadinya proses perubahan massa suatu bahan. Penurunan persentase berat pertama dari serpih minyak terjadi pada temperatur 40 OC-125 OC, mengindikasikan molekul air terlepas dari struktur kristal serpih minyak. Penurunan kedua merupakan perubahan fasa sempurna yaitu perubahan struktur serpih minyak dan hilangnya molekul air secara kimiawi terjadi pada temperatur 130 OC-450 OC.
Gambar 4.25. Grafik hasil analisa Termogravimetri (TGA) pada serpih minyak (CEC 2)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
101
Penurunan
massa
terakhir
terjadi
pada
temperatur
460 OC-600 OC,
menunjukkan molekul-molekul yang ada di dalam serpih minyak terlepas, sehingga ada bagian dari serpih dalam pori-pori yang terlepas juga. Kondisi yang seperti ini disebut sebagai over mature, dimana garis grafiknya sudah menunjukkan kecenderungan lurus horizontal dengan bertambahnya temperatur hingga 600OC.
Secara fisik dapat juga dilihat bahwa material yang telah
dikalsinasi pada temperatur di atas 600OC warnanya menjadi kehitaman. Jadi temperatur yang diperlukan untuk proses reaksi perubahan serpih minyak menjadi minyak diperlukan suhu 130OC-450OC. 4.3.4 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay Ditambah Fe Pengujian TGA dilakukan pada material serpih clay (OD1-Ast2) yang ditambah 25% Fe, hasil pengujian ditunjukkan dalam Gambar 4.26. Material serpih OD1-Ast2 yang dimodifikasi dengan penambahan material logam Fe ini, bertujuan agar saat dipanaskan luas permukaan dan diameter pori menjadi bertambah, sehingga diharapkan dapat mempercepat reaksi (temperatur yang diperlukan lebih kecil dan juga waktunya lebih cepat).
Gambar 4.26. Grafik hasil analisa Termogravimetri (TGA) pada material serpih clay ditambah 25% Fe (OD1-Ast2-Fe) Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
102
Penurunan persentase berat pertama terjadi pada temperatur 99 OC-292 OC, mengindikasikan molekul air terlepas dari struktur kristal material serpih OD1Ast2-Fe. Pada interval temperatur tersebut juga mulai terjadi perubahan fasa sempurna. Kemudian pada temperature 320OC-426OC terjadi penurunan massa kedua yang merupakan perubahan fasa sempurna dan proses over mature terjadi. Berdasarkan data temperatur dari alat uji TGA tersebut, dapat diketahui bahwa kemampuan tahan pemanasan pada suhu tinggi yang dimiliki oleh material serpih OD1-Ast2-Fe ini kurang dari 426 OC. Jika dilakukan dilakukan kalsinasi kembali sampai pada temperatur di atas 426 OC, maka banyak terjadi molekul-molekul yang ada di dalam material OD1-Ast2-Fe terlepas, sehingga akan berpengaruh pada perubahan ukuran pori, dan kerusakan material. 4.3.5 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat Ditambah Fe Material serpih karbonat dimodifikasi dengan cara penambahan logam Fe (OD7-Asl2-Fe).
Tujuannya sama agar luas permukaan dan pori menjadi
bertambah besar saat dipanasi, sehingga diharapkan dapat mempercepat reaksi (temperatur yang diperlukan lebih kecil dan juga waktunya lebih cepat).
Gambar 4.27. Grafik hasil analisa Termogravimetri (TGA) pada material serpih karbonat ditambah 25% Fe (OD7-Asl2-Fe)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
103
Hasil pengujian TGA pada material serpih ditambah Fe (OD7-Asl2-Fe), ditunjukkan seperti dalam Gambar 4.27. Penurunan persentase berat pertama terjadi pada temperatur 85 OC-210 OC, mengindikasikan molekul air terlepas dari struktur kristal material OD7-Asl2-Fe. Kemudian terjadi penurunan kedua yang terjadi pada temperatur 220 OC-285OC. mengindikasikan mulai terjadi perubahan struktur dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Kemudian ketika dilakukan kalsinasi, maka terjadi penurunan massa ketiga pada temperatur 300 OC-445 OC, mengindikasikan terjadi maturasi dan banyak molekul-molekul yang ada di dalam OD7-Asl2-Fe terlepas. Interval temperatur 300OC-445OC ini mengindikasikan temperatur maksimum yang diperlukan serpih karbonat untuk mulai berubah menjadi minyak. Ketika dilakukan kalsinasi terus terjadi penurunan terakhir sampai konstan, yaitu pada temperatur 590 OC-710 OC, maka banyak terjadi molekul-molekul yang ada di dalam OD7-Asl2-Fe terlepas semua (over mature) sehingga ada bagian material serpih dalam pori-pori yang melepaskan gas. Temperatur di atas 710 OC akan menyebabkan material mengalami kerusakan struktur dan tidak bisa digunakan sebagai material serpih minyak.
Secara fisik warnanya menjadi
kehitaman. 4.4 Hasil Pengolahan Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Setelah dilakukan pencampuran bahan yaitu material clay dan organik (clay+asam stearat) dan material karbonat (kalsit+Asam Salisilat) dalam beberapa variasi komposisi berat, dapat ditentukan nilai energi aktivasi dan laju reaksi pemanasan material tersebut. Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi yang disuplai dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi (dalam kimia, disebut juga sebagai energi permulaan). Pada reaksi endoterm ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang positif, karena keadaan transisi kompleks memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dari reaktan (Castellan,1982). Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar dapat berlangsung.
Energi aktivasi
memiliki simbol Ea dengan E menotasikan energi dan a yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan tambahan energi untuk dapat berlangsung (Vogel,1994). Dalam Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
104
reaksi endoterm, energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari luar sistem. Pada reaksi eksoterm, yang membebaskan energi, ternyata juga membutuhkan suplai energi dari luar untuk mengaktifkan reaksi tersebut (Atkins, 1999). Energi aktivasi biasanya dinotasikan dalam Ea, dan diberikan dalam satuan kJ/mol. Menurut Arrhenius, tetapan kecepatan reaksi bergantung pada suhu dan energi aktivasi, jika T makin besar maka k juga makin besar, begitu juga jika Ea kecil maka k juga besar. Maturasi organik atau hidrokarbon berhubungan erat dengan temperatur dan kecepatan reaksi.
Proses perubahan material serpih
menjadi zat lain misal (hidrokarbon) dalam bentuk padat, cair atau gas memerlukan temperatur yang berbeda dan kecepatan reaksi yang berbeda-beda juga, atau dapat dikatakan mempunyai energi aktivasi yang berbeda-beda. Dengan mengetahui temperatur dan energi aktivasi atau kecepatan reaksi maka tingkat perubahan (tingkat maturasi) material serpih menjadi jenis hidrokarbon tertentu dapat diketahui. Kecepatan reaksi bergantung pada konsentrasi reaktan, karena jumlah tumbukan per detiknya bertambah jika konsentrasi bertambah. Kecepatan reaksi bergantung pada sifat reaktan karena energi aktivasi yang berbeda.
Kecepatan reaksi bergantung pada suhu karena jumlah molekul
berenergi cukup untuk bereaksi merupakan fungsi suhu. Katalis mempengaruhi kecepatan reaksi (atau mempercepat reaksi) karena memperkecil energi aktivasi. Dari pengujian yang telah dilakukan dapat diolah menjadi grafik TG (thermogravimetry) dan DTG (differential thermogravimetry) sebagaimana dapat diilustraikan dalam beberapa grafik. Perhitungan energi aktivasi dalam penelitian ini didasarkan dengan menggunakan rumus perhitungan kinetika reaksi berorde satu atau yang lazim disebut global kinetic. Penentuan besaran energi aktivasi dilakukan dengan metode grafis dengan rumusan yang digunakan berdasarkan pada persamaan Arrhenius. 4.4.1 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD7-Asl1 Proses dekomposisi bertahap TGA digunakan secara tunggal atau digabungkan dengan DTA, dapat memisahkan dan menentukan tiap-tiap tahap yang dilewati. Pada sampel material serpih (karbonat-organik) ini, terjadi empat tingkat dekomposisi selengkapnya lihat Gambar 4.21. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
105
Tingkatan dekomposisi material serpih dilihat dari hasil TGA dibagi dalam empat tingkatan temperatur, yaitu tingkat I antara 75OC sampai dengan 170 OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 225OC sampai dengan 275 OC, tingkat ketiga terjadi antara temperatur 325 OC sampai dengan 450OC dan tingkat keempat terjadi antara 670OC sampai 740OC.
Gambar 4.28 sampai dengan 4.31,
menunjukkan metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD7-Asl1 Tahap 1 s/d 4, dengan menggunakan metoda thermogravimetry.
Gambar 4.28. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl1 Tahap-1, menggunakan metoda thermogravimetry
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
106
Dari Gambar 4.28 diperoleh y = -12376x + 17,18. Energi aktivasi dari OD7-Asl1 adalah: Ea = - (-12376) × 8,314 = 102,89 kJ/mol dan faktor pre eksponensial dari OD7-Asl1 yaitu 17.
Gambar 4.29 Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl1 Tahap-2, menggunakan metoda thermogravimetry
Dari Gambar 4.29 diperoleh y = -40091x + 61.99. Energi aktivasi dari OD7-Asl1 adalah: Ea = - (-40091) × 8,314 = 333,32 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl1 yaitu 62.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
107
Gambar 4.30. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl1 Tahap-3, menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 4.30 diperoleh y = -24151x + 22,32 Energi aktivasi dari OD7-Asl1 adalah: Ea = - (-24151) × 8,314 = 200,79 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl1 adalah: 22
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
108
Gambar 4.31. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl1 Tahap-4, menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 4.31 diperoleh y = -84333x + 71,06. Energi aktivasi dari OD7-Asl1 adalah: Ea = - (-84333) × 8,314 = 701,14 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl1 yaitu 71. Pada proses pemanasan material OD7-Asl1 terlihat bahwa dekomposisi berlangsung melalui empat tahap. TGA dan DTA dapat digunakan pada beragam studi kinetika. Metoda TGA yang cepat dan akurat digunakan untuk mempelajari reaksi-reaksi dekomposisi secara isotermal. Proses ini dapat diulangi pada suhu
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
109
lain dan hasilnya dianalisis sehingga dapat ditentukan energi aktivasi. Nilai total energi aktivasi pada pemanasan material OD7-Asl1 adalah Ea=1338.1 kJ/mol dan faktor pre eksponensial A=172. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) untuk masing-masing tahap reaksi pada 4 tingkat reaksi ditunjukkan dalam Tabel 4.10. Tabel 4.10. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD7-Asl1 Tingkat Reaksi (OC) 75OC-170 OC 225OC-275OC 325OC-450OC 670OC-740OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 102,89 333,32 200,79 701,14
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 17 62 22 71
Zona Reaksi (OC) 665OC
4.4.2 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD7-Asl2 Proses dekomposisi bertahap pada material serpih OD7-Asl2 (karbonatorganik) ini, terjadi dalam empat tingkat dekomposisi, selengkapnya ditunjukkan dalam hasil pengujian TGA dalam Gambar 4.20. Tingkatan dekomposisi material serpih OD7-Asl2 dilihat dari hasil TGA dibagi dalam empat tingkatan temperature, yaitu tingkat I antara 95 OC sampai dengan 205OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 225OC sampai dengan 285OC, tingkat ketiga terjadi antara temperatur 380OC sampai dengan 445OC dan tingkat keempat terjadi antara 610 OC sampai dengan 720OC. Grafik metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD7-Asl2 Tahap 1 s/d 4, menggunakan metoda thermogravimetry, ditunjukkan dalam LAMPIRAN ENERGI AKTIVASI. Nilai total energi aktivasi pada material serpih ini (perbandingan organik lebih besar) mempunyai nilai Ea=1083,7 kJ/mol, dan faktor pre eksponensial A=137,2 %/s dimana nilai Ea dan A tersebut lebih kecil dibandingkan dengan material OD7-Asl1, sehingga laju reaksinya lebih cepat. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing tahap reaksi pada 4 tingkat temperatur ditunjukkan dalam Tabel 4.11.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
110
Tabel 4.11. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD7-Asl2 Tingkat Reaksi (OC) 95OC - 205OC 225OC - 285 OC 380OC - 445 OC 610OC - 720 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 84,94 271,93 357,73 369,09
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 10,2 47 48 32
Zona Reaksi (OC) 625OC
4.4.3 Energi Aktivasi (Ea) dan nilai A pada Material OD7-Asl2-Fe Proses dekomposisi bertahap pada material serpih OD7-Asl2-Fe (karbonatorganik-Fe) ini, terjadi dalam empat tingkat dekomposisi, selengkapnya ditunjukkan dalam Gambar 4.27. Tingkatan dekomposisi material serpih OD7Asl2-Fe dibagi dalam empat tingkatan temperatur, yaitu tingkat I antara 85 OC sampai dengan 210OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 220 OC sampai dengan 285OC, tingkat ketiga terjadi antara temperatur 300 OC sampai dengan 445OC dan tingkat keempat terjadi antara 590 OC sampai dengan 710 OC. Grafik metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD7-Asl2-Fe Tahap 1-4, menggunakan metoda thermogravimetry, ditunjukkan dalam LAMPIRAN ENERGI AKTIVASI.
Nilai total energi aktivasi pada
material serpih ini Ea=749,22 kJ/mol, dan faktor pre eksponensial A=77,4 %/s, dimana nilai Ea dan A tersebut mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan material OD7-Asl1 dan OD7-Asl2.
Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan logam Fe mempengaruhi nilai Ea dan laju reaksi. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing tahap reaksi pada 4 tingkat temperatur ditunjukkan dalam Tabel 4.12. Tabel 4.12. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD7-Asl2-Fe Tingkat Reaksi (OC) 85OC - 210OC 220OC - 285 OC 300OC - 445 OC 590OC - 710 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 76,31 204,44 112,61 355,86
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 7,9 32 6 31,5
Zona Reaksi (OC) 625OC
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
111
4.4.4 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD1-Ast1 Tingkatan dekomposisi material serpih dari hasil TGA dibagi dalam tiga tingkatan temperature, yaitu tingkat I antara 150OC sampai dengan 270 OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 285 OC sampai dengan 400OC dan tingkat ketiga terjadi antara temperatur 425OC sampai dengan 600 OC. Gambar 4.32 sampai dengan 4.34, menunjukkan metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD1-Ast1 Tahap 1-3, menggunakan metoda thermogravimetry.
Gambar 4.32. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast1 Tahap-1, menggunakan metoda thermogravimetry
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
112
Dari Gambar 4.32 diperoleh y = -15222x + 17,17. Energi aktivasi dari OD1-Ast1 adalah Ea = - (-15222) × 8,314 = 126,56 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast1 yaitu 17. Proses pemanasan material OD1-Ast1 (50% clay- 50% asam stearat) terlihat bahwa dekomposisi berlangsung melalui tiga tahap. Nilai total energi aktivasi pada pemanasan material OD1-Ast1 yaitu Ea=354,57 kJ/mol dan faktor pre eksponensial A=30. Nilai energi aktivasi (Ea) pada clay-organik lebih kecil dibanding material karbonat-organik dan penambahan Fe.
Gambar 4.33. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast1 Tahap-2, menggunakan metoda thermogravimetry
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
113
Dari Gambar 4.33 diperoleh y = -13126x + 8,134. Energi aktivasi dari OD1-Ast1 adalah: Ea = - (-13126) × 8,314 = 109,13 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast1 yaitu 8.
Gambar 4.34. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast1 Tahap-3, menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 4.34 diperoleh y = -14299x + 4,878. Energi aktivasi dari OD1-Ast1 adalah: Ea = - (-14299) × 8,314 = 118,88 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast1 yaitu 5. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing tahap reaksi pada tiga tingkat reaksi ditunjukkan dalam Tabel 4.13. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
114
Tabel 4.13. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast1 Tingkat Reaksi (OC) 150OC - 270 OC 285OC - 400 OC 425OC - 600 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 126,56 109,13 118,88
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 17 8 5
Zona Reaksi (OC) 450OC
4.4.5 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD1-Ast2 Dari hasil pengujian TGA, proses dekomposisi bertahap pada sampel material serpih OD1-Ast2 (clay-organik) terjadi dalam tiga tingkat dekomposisi, selengkapnya lihat Gambar 4.22. Tingkatan dekomposisi material serpih dilihat dari hasil TGA dibagi dalam tiga tingkatan temperature, yaitu tingkat I antara 69 OC sampai dengan 143 OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 155 OC sampai dengan 305 OC dan tingkat ketiga terjadi antara temperatur 330 OC sampai dengan 480OC.
Gambar 4.35
sampai dengan 4.37, menunjukkan metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2 Tahap 1-3, menggunakan metoda thermogravimetry. Pemanasan pada OD1-Ast2 (33% clay - 67% asam stearat), terlihat bahwa dekomposisi berlangsung tiga tahap. Nilai total energi aktivasi pada pemanasan material OD1-Ast2 yaitu Ea=272,23 kJ/mol dan faktor pre eksponensial A=22,8 %/s, dan ternyata nilai energi aktivasi (Ea) pada clay organik ini lebih kecil dari pada material clay organik OD1-Ast1 (50% clay - 50% asam stearat), sehingga laju reaksinya juga lebih cepat.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
115
Gambar 4.35. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2 Tahap-1, menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 4.35 diperoleh y = -9374x + 10,67 Energi aktivasi dari OD1-Ast2 adalah: Ea = - (-9374) × 8,314 = 77,935 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD2-Ast1 adalah: 10.9
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
116
Gambar 4.36. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2 Tahap-2, menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 4.36 diperoleh y = -9539x + 5,102 Energi aktivasi dari OD1-Ast2 adalah: Ea = - (-9539) × 8,314 = 79,307 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD2-Ast1 adalah: 5
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
117
Gambar 4.37. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2 Tahap-3, menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 4.37 diperoleh y = -13831x + 6,755. Energi aktivasi dari OD1-Ast2 adalah: Ea = - (-13831) × 8.314 = 114,99 kJ/mol dan Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast2 yaitu 6.9. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing tahap reaksi pada tiga tingkat reaksi ditunjukkan dalam Tabel 4.14.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
118
Tabel 4.14. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast2 Tingkat Reaksi (OC) 69OC - 143OC 155OC - 305 OC 330OC - 480 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 77,94 79,31 114,99
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 10,9 5 6,9
Zona Reaksi (OC) 411OC
4.4.6 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD1-Ast3 Selanjutnya menentukan energi aktivasi material serpih OD1-Ast3. Dari hasil uji TGA, proses dekomposisi bertahap pada sampel material serpih OD1Ast3 (clay-organik) ini, terjadi dalam dua tingkat dekomposisi, selengkapnya ditunjukkan dalam Gambar 4.24.
Tingkatan dekomposisi material serpih
berdasarkan hasil uji TGA dibagi dalam dua tingkatan temperature, yaitu tingkat I antara 80OC sampai dengan 300OC dan tingkat kedua terjadi antara temperatur 317OC sampai dengan 400 OC. Grafik metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD1-Ast3 Tahap 1 s/d 2, menggunakan metoda thermogravimetry, ditunjukkan dalam LAMPIRAN ENERGI AKTIVASI, dan secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial ditunjukkan dalam Tabel 4.15. Tabel 4.15. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast3 Tingkat Reaksi (OC) 110OC - 300 OC 317OC - 400 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 72,99 161,05
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 3,99 17
Zona Reaksi (OC) 290OC
Jika energi aktivasi Ea pada OD1-Ast2 (33% clay dan 67% asam stearat) lebih besar dari OD1-Ast1 (50% clay dan 50% asam stearat), ternyata masih ada yang lebih kecil lagi yaitu hasil pemanasan dari OD1-Ast3 (67% clay dan 33% asam stearat) yang mempunyai nilai aktivasi Ea=234,05 dan faktor pre eksponensial A=20,99 %/s. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan clay yang lebih besar terhadap organik akan mempercepat reaksi, terbukti dengan nilai energi aktivasi yang lebih kecil.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
119
4.4.7 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast2-Fe Proses dekomposisi bertahap pada sampel material serpih OD1-Ast2-Fe (clay-organik-Fe)
terjadi dalam
dua
tingkat
dekomposisi,
selengkapnya
ditunjukkan dalam Gambar 4.26. Tingkat I antara 99OC sampai dengan 292 OC dan tingkat kedua terjadi antara temperatur 320 OC sampai dengan 426OC. Grafik metode penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial OD1-Ast2-Fe Tahap 1-2, menggunakan metoda thermogravimetry, ditunjukkan dalam LAMPIRAN ENERGI AKTIVASI. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing tahap reaksi pada 2 tingkat reaksi ditunjukkan dalam Tabel 4.16. Tabel 4.16. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast2-Fe Tingkat Reaksi (OC) 99OC - 292OC 320OC - 426 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 72,38 137,22
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 3,85 12
Zona Reaksi (OC) 327OC
Dengan penambahan logam Fe ke dalam material serpih (OD1-Ast2), ternyata proses reaksi berlangsung hanya dengan dua tahap, laju reaksinya cukup cepat dan membuat energi aktivasi pemanasan material menjadi lebih kecil. Terbukti hasil pemanasan pada material serpih OD1-Ast2-Fe mempunyai energi aktivasi lebih kecil dari material serpih OD1-Ast3 (Clay 67%-Stearat 33%). Kondisi seperti ini dipengaruhi oleh luas permukaan dan volume pori. 4.4.8 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material CEC 2 Selanjutnya perlu dilakukan penentuan energi aktivasi pada material serpih clay murni (CEC 2) dengan tujuan untuk pembanding terhadap material serpih clay yang lainnya. Dari hasil uji TGA, proses dekomposisi bertahap pada sampel material serpih CEC 2 ini, terjadi dalam tiga tingkat dekomposisi, ditunjukkan dalam Gambar 4.25. Tingkatan dekomposisi material serpih dilihat dari hasil TGA dibagi dalam tiga tingkatan reaksi, yaitu tingkat I antara 40 OC sampai dengan 120OC, tingkat kedua terjadi antara temperatur 130 OC sampai dengan 450OC dan tingkat ketiga terjadi pada temperatur 460 OC sampai dengan 600 OC. Grafik metode penentuan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
120
energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial CEC 2 Tahap 1 s/d 3, dengan menggunakan metoda thermogravimetry, ditunjukkan dalam LAMPIRAN ENERGI AKTIVASI. Secara lengkap nilai energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial untuk masing-masing reaksi 3 tingkat temperatur ditunjukkan dalam Tabel 4.17. Tabel 4.17. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Material Serpih CEC 2 Tingkat Reaksi (OC) 40OC - 120OC 130OC - 450 OC 460OC - 600 OC
Energi Aktivasi, Ea (kJ/mol) 50.45 20,08 168,62
Faktor Pre Eksponensial, A (%/s) 5,7 9,2 12
Zona Reaksi (OC) 560OC
Pemanasan yang dilakukan pada material serpih dari sumur pengeboran CEC 2, terlihat bahwa dekomposisi berlangsung melalui tiga tahap.
Nilai total
energi aktivasi pada pemanasan material CEC 2 ini adalah Ea=239,14 kJ/mol dan faktor pre eksponensial A=26,9 %/s.
Material serpih alam ini jelas sekali
mempunyai nilai energi aktivasi (Ea) kecil karena mempunyai organik alam yang sudah immature, sehingga mempunyai karakteristik yang bagus sebagai serpih minyak. Gambar 4.38 menunjukkan hasil energi aktivasi material serpih dalam bentuk grafik kolom. Dari delapan bahan yang telah diketahui energi aktivasinya maka dapat disimpulkan bahwa temperatur berbanding terbalik dengan waktu sesuai dengan teori karena reaksi berlangsung lebih cepat jika suhu tinggi akibat tumbukan semakin banyak karena gerakan yang semakin cepat, menyebabkan waktu yang diperlukan lebih sedikit. Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju k (dY/dt). Jika suhu dinaikan maka harga k akan meningkat dan sebaliknya.
Dari harga k tersebut maka dapat dihitung energi aktivasi.
Melalui proses perhitungan (analisis data) didapat data dalam grafik berikut pada Gambar 4.38. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T sebagai dasar penentuan Ea (energi aktivasi). terbalik.
Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat
karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
121
semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi aktivasi berbanding terbalik dengan laju reaksi.
Gambar 4.38. Energi aktivasi pemanasan clay organik, karbonat organik dan penambahan Fe Dari hasil pengujian dan perhitungan menggunakan persamaan Arrenius didapatkan besarnya energi aktivasi seperti pada Gambar 4.38. Energi aktivasi CEC2 mempunyai nilai yang kecil juga.
Dari grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T
tersebut diperoleh Ea=239,14 kJ/mol. CEC2 pada proses pemanasan memerlukan waktu dan temperatur yang kecil, karena material tersebut banyak mengandung SiO2 dan Al yang bertindak sebagai katalis, selain itu didukung juga oleh kondisi material organik yang sudah mulai mature. Material serpih OD1-Ast3 (kaolinite 67% dan asam stearat 33%) memiliki Ea yang kecil dibanding dengan OD1-Ast2 (kaolinite 33% dan asam stearat 67%). Jika perbandingan clay dengan organik dibuat sama (OD2-Ast1), maka hasilnya juga cukup bagus dari OD1-Ast2. Hal ini membuktikan bahwa dengan perbandingan clay yang lebih besar terhadap
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
122
organik, maka akan sangat membantu mempercepat reaksi.
Pengaruh katalis
dalam mempengaruhi laju reaksi terkait dengan energi pengaktifan reaksi (Ea). Katalis yang digunakan untuk mempercepat reaksi memberikan suatu mekanisme reaksi alternatif dengan nilai Ea yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai Ea reaksi tanpa katalis. Semakin rendah nilai Ea maka lebih banyak partikel yang memiliki energi kinetik yang cukup untuk mengatasi halangan Ea yang rendah ini. Hal ini menyebabkan jumlah tumbukan efektif akan bertambah, sehingga laju reaksi juga akan meningkat. Material OD1-Ast2 yang ditambah dengan logam Fe (menjadi OD1-Ast2Fe)) ternyata dapat menurunkan energy aktivasi (Ea), dan justru nilainya yang paling terkecil, karena clay yang terpilarisasi oleh material logam Fe sebagai penyangganya tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan daya katalitik dan sifat asam-basa yang dapat diaplikasikan untuk membantu prosesproses katalitik. Setelah dilakukan penambahan dengan polikation Fe, terjadi peningkatan yang signifikan, sehingga saat dipanasi luas permukaan spesifik meningkat. Tabel 4.18. Energi Aktivasi Material Serpih Clay, Karbonat dan Penambahan Fe Energi Aktivasi (kJ/mol)
Faktor Pre Eksponensial (%/s)
OD7-Asl1 (50% CaCO3+50% C7H6O2)
1338,1
172
OD7-Asl2 (33% CaCO3+67% C7H6O2)
1083,7
137,2
OD7-Asl2-Fe (75% MS karbonat+25%Fe)
749,22
77,4
OD1-Ast1 (50% clay+50% C17H35COOH)
354,57
30
OD1-Ast2 (33% clay+67% C17H35COOH)
272,23
22,8
OD1-Ast3 ( 67% clay+33% C17H35COOH)
234,05
20,9
OD1-Ast2-Fe (75% MS clay+25% Fe)
209,58
15,85
CEC 2 (serpih clay murni/serpih minyak)
239,14
26,9
Nama Sampel dan Komposisi % Berat
Disamping luas permukaan spesifik, juga terjadi peningkatan pada lebar pori, diameter pori, serta volume. Hal yang sama dapat dilihat untuk material serpih karbonat, dimana CaCO3 dapat membantu proses maturasi material organik meskipun dengan nila Ea yang lebih besar dibanding serpih clay. Penambahan
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
123
logam Fe pun tidak dapat menurunkan nilai Ea yang lebih kecil dari serpih clay. Secara lengkap energi aktivasi total material serpih clay, karbonat dan penambahan Fe ditunjukkan dalam Tabel 4.18. 4.5 Pengaruh Temperatur terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih (Hubungan 1/T vs k) Teori atau hukum Arrhenius memberikan pendekatan yang cukup baik tentang kebergantungan harga konstanta kecepatan reaksi terhadap suhu (T) dan energi aktivasi (Ea), sesuai persamaan sebagai berikut:
Tumbukan yang berhasil (efektif) jika tersedia jumlah energi yang cukup dan orientasi (atau posisi) yang tepat untuk memutuskan atau memecahkan ikatan dan membentuk ikatan kimia yang baru. 4.5.1 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD1-Ast1 Energi aktivasi merupakan perkalian antara gradien dari regresi linear dengan konstanta gas (R=8,31 J/molOK), sedangkan untuk faktor preeksponensialnya dicari dari perpotongan garis regresi dengan sumbu ordinat. Dari penentuan energi aktivasi material serpih OD1-Ast1 ini, maka data kecepatan reaksi pirolisis material serpih OD1-Ast1 dapat dirumuskan dan dibuat grafiknya, Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD1-Ast1 dtunjukkan dalam Gambar 4.39.
Grafik tersebut menunjukkan
pengaruh temperatur terhadap konstanta kecepatan reaksi pada proses maturasi material serpih OD1-Ast1. Gambar 4.39 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-1 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-2 dan yang paling lama tahap-3.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
124
Gambar 4.39. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi material serpih OD1-Ast1.
4.5.2 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD1-Ast2 (SMC) Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2 dtunjukkan dalam Gambar 4.40. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya.
Tahap-1
mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-3 dan yang paling lambat tahap-2.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
125
Gambar 4.40. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi material serpih OD1-Ast2
4.5.3 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD1-Ast3 Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD1-Ast3 dtunjukkan dalam Gambar 4.41. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya.
Tahap-1
mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang kecil, dibanding tahap-2.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
126
Gambar 4.41. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi material serpih OD1-Ast3
4.5.4 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD1-Ast2-Fe Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2-Fe dtunjukkan dalam Gambar 4.42.
Gambar 4.42. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi material serpih OD1-Ast2-Fe Gambar 4.42 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya.
Tahap-1 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang kecil,
dibanding tahap-2.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
127
4.5.5 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih CEC 2 Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada CEC 2 dtunjukkan dalam Gambar 4.43.
Gambar 4.43. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi material serpih alam CEC 2 Gambar 4.43 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-3 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-2 dan yang paling lambat tahap-1.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
128
4.5.6 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD7-Asl1 Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD7-Asl1 dtunjukkan dalam Gambar 4.44.
Gambar 4.44. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi serpih karbonat OD7-Asl1 Gambar 4.44 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-4 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-2, tahap-3 dan yang paling lama tahap-1.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
129
4.5.7 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih OD7-Asl2
Gambar 4.45. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi serpih karbonat OD7-Asl2 Gambar 4.45 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-3 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-2, tahap-4 dan yang paling lambat tahap-1. 4.5.8 Hubungan 1/T terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi (k) pada Proses Maturasi Material Serpih OD7-Asl2-Fe Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada OD7-Asl2-Fe dtunjukkan dalam Gambar 4.46.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
130
Gambar 4.46. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T (OC-1) pada proses maturasi serpih karbonat OD7-Asl2-Fe Gambar 4.46 menunjukkan bahwa semakin kecil nilai 1/T (atau T semakin besar) maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-4 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang paling cepat, kemudian tahap-2, tahap-1 dan yang paling lambat tahap-3. Nilai konstanta kecepatan reaksi pada pemanasan material serpih clay berbeda dengan material serpih karbonat. Material clay mempengaruhi konstanta kecepatan reaksi pada tahap-2 (proses maturasi dan Tmax).
Material serpih
dengan komposisi berat % clay lebih besar atau sama dengan berat % organik, maka nilai k (konstanta kecepatan reaksi) juga besar, ditunjukkan dalam Gambar 4.39 dan 4.41.
Material serpih OD1-Ast2 (Gambar 4.40) pada tahap-2
mempunyai nilai k (konstanta kecepatan reaksi) yang kecil, tetapi setelah ditambah Fe, maka nilai k (konstanta kecepatan reaksi) menjadi lebih besar
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
131
(Gambar 4.42). Material CEC 2 mempunyai nilai k (konstanta kecepatan reaksi) yang besar pada tahap-2 (proses maturasi dan Tmax). Material serpih karbonat dengan komposisi berat % karbonat lebih kecil atau sama dengan berat % organik, maka pada tahap-2 dan 3 (proses maturasi dan Tmax) nilai k (konstanta kecepatan reaksi) semakin besar, ditunjukkan dalam Gambar 4.44 dan 4.45. Material serpih karbonat yang ditambah dengan Fe, tidak menyebabkan nilai k (konstanta kecepatan reaksi) menjadi besar (Gambar 4.46). 4.6 Pengaruh Temperatur terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi pada Proses Maturasi Material Serpih (Hubungan T vs k) Dalam bab 4.5 telah dibahas hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap 1/T pada material serpih clay, karbonat dan penambahan Fe. Tujuannya adalah mengetahui pengaruh temperatur terhadap konstanta kecepatan reaksi pada proses maturasi material serpih. Dalam bab 4.6 ini dibahas hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap T pada material serpih clay, karbonat dan penambahan Fe. Tujuannya dan hasilnya sama dibandingkan dengan sub bab 4.5. Gambar 4.47 menunjukkan grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap T (OC) pada OD1-Ast3. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin besar nilai T maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar, begitu juga sebaliknya. Tahap-2 mempunyai nilai k yang besar, dibandingkan tahap-1.
Gambar 4.47. Grafik hubungan antara k (konstanta kecepatan reaksi) terhadap T (OC) pada proses maturasi material serpih karbonat OD1-Ast3
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
132
Grafik hubungan k vs 1/T, hasilnya sama dengan grafik k vs T. Hasil analisis grafik pada Gambar 4.47 sama dengan Gambar 4.41, yaitu semakin besar nilai T maka konstanta kecepatan reaksi (k) semakin besar (semakin cepat), begitu juga sebaliknya. Tahap-2 mempunyai konstanta kecepatan reaksi yang besar, dibandingkan tahap-1. Grafik hubungan k vs T pada material serpih OD1-Ast1, OD1-Ast2, OD1-Ast2-Fe, CEC 2, OD7-Asl2, OD7-Asl2-Fe dan OD7-Asl2 ditunjukkan dalam LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k. Secara lengkap nilai parameter maturasi pada material serpih yaitu interval temperatur, energi aktivasi dan konstanta kecepatan reaksi ditunjukkan dalam Tabel 4.19.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
133
Tabel 4.19. Interval temperatur, energi aktivasi, faktor pre-eksponensial dan konstanta kecepatan reaksi pada pemanasan material serpih Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=450OC) Tahap 1 (150-270)OC Tahap 2 (285-400)OC Tahap 3 (425-600)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=411OC) Tahap 1 (69-143)OC Tahap 2 (155-305)OC Tahap 3 (330-480)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=290OC) Tahap 1 (110-300)OC Tahap 2 (317-400)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=327OC) Tahap 1 (99-292)OC Tahap 2 (320-426)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=560OC) Tahap 1 (40-120)OC Tahap 2 (130-450)OC Tahap 3 (460-600)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=665OC) Tahap 1 (75-170)OC Tahap 2 (225-275)OC Tahap 3 (325-450)OC Tahap 4 (670-740)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=625OC) Tahap 1 (95-205)OC Tahap 2 (225-285)OC Tahap 3 (380-445)OC Tahap 4 (610-720)OC Reaksi/Dekomposisi (dengan zona reaksi=625OC) Tahap 1 (85-210)OC Tahap 2 (220-285)OC Tahap 3 (300-445)OC Tahap 4 (590-710)OC
Material Serpih: OD1-Ast1 Ea A k (dY/dt) v (kJ/mol) (%/s) %/s 126,56 17 15,36-16,07 0,90-0,95 109,13 8 7,64-7,74 0,95-0,97 118,88 5 4,83-4,88 0,97-0,98 Material Serpih: OD1-Ast2 Ea A k (dY/dt) V 77,94 10,9 9,53-10,21 0,87-0,94 79,31 5 4,7-4,85 0,94-0,97 114,99 6,9 6,62-6,70 0,96-0,97 Material Serpih: OD1-Ast3 Ea A k (dY/dt) v 72,99 3,99 3,58-3,87 0,90-0,97 161,05 17 15,99-16,20 0,94-0,95 Material Serpih: OD1-Ast2-Fe Ea A k (dY/dt) v 72,36 3,85 3,53-3,74 0,92-0,97 137,22 12 11,40-11,54 0,95-0,96 Material Serpih: CEC 2 Ea A k (dY/dt) v 50,45 5,7 4,90-5,42 0,86-0,95 20,08 9,2 9,03-9,15 0,98-0,99 168,62 12 11,48-11,60 0,96-0,97 Material Serpih: OD7-Asl1 Ea A k (dY/dt) v 102,89 17 14,41-15,81 0,85-0,93 333,32 62 51,88-53,62 0,84-0,86 200,79 22 20,42-20,85 0,93-0,94 701,14 71 62,60-63,36 0,88-0,89 Material Serpih: OD7-Asl2 Ea A k (dY/dt) V 84,94 10.2 9,16-9,71 0,89-0,95 271,93 47 40,64-41,92 0,86-0,89 357,73 48 42,86-43,59 0,89-0,91 369,09 32 29,75-30,09 0,93-0,94 Material Serpih: OD7-Asl2-Fe Ea A k (dY/dt) v 76,31 7,9 7,09-7,56 0,897-0,96 204,44 32 28,62-29,36 0,894-0,92 112,61 6 5,74-5,82 0,96-0,97 355,86 31,5 29,30-29,66 0,93-0,94
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
134
4.7 Pengaruh Temperatur terhadap Energi Aktivasi pada Proses Maturasi Material Serpih (Hubungan T vs Ea) Gambar 4.48 menunjukkan reaksi tingkat-1 pada pemanasan material serpih, yang menggambarkan terjadinya pelepasan air dari material tersebut.
Dimulai dari Ea kecil,
CEC 2 OD1-Ast2-Fe OD1-Ast3 OD7-Asl2-Fe OD1-Ast2 OD7-Asl2 OD7-Asl1 OD1-Ast1
Gambar 4.48. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur pada proses maturasi material serpih, reaksi tingkat-1 (pelepasan air) Gambar 4.48 secara keseluruhan menggambarkan sebagai berikut: Reaksi pelepasan air dari material tersebut. CEC 2 memiliki Ea, T dan interval temperatur yang kecil untuk melepaskan air, karena material ini merupakan material murni sebagai serpih minyak. Interval temperature yang pendek, menunjukkan bahwa air ini adalah air yang menempel pada permukaan bagian luar material serpih (teradsorbsi) yang mudah untuk dilepaskan, sehingga memerlukan energi aktivasi yang kecil. OD1-Ast3 memiliki energi aktivasi kecil dan nilainya mendekati sama dengan CEC 2 dan OD1-Ast2-Fe, perbedaannya pada interval temperatur yang panjang. Adanya jarak temperatur yang panjang ini disebabkan karena material serpih OD1-Ast3 ini selain mengalami pelepasan air secara kimia, juga mengalami awal dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen.
Clay disini bertindak sebagai katalis untuk
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
135
mepercepat reaksi, dibuktikan dengan nilai energi aktivasi yang kecil dan tingkat maturasi material serpih OD1-Ast3 hanya memerlukan reaksi dua tahap saja (Gambar 4.48 sampai 4.49). OD1-Ast2-Fe, memiliki energi aktivasi yang lebih kecil dibanding sebelum ditambah Fe dan interval temperaturnya menjadi lebih panjang. Material serpih OD2-Ast2-Fe ini selain mengalami pelepasan air secara kimia, juga mengalami awal dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen.
Fe disini diperkirakan bertindak sebagai katalis untuk
mepercepat reaksi, hal ini dapat dibuktikan dengan nilai energi aktivasi yang kecil dan tingkat maturasi material serpih OD1-Ast2-Fe hanya memerlukan reaksi dua tahap saja (Gambar 4.48 sampai 4.49). OD1-Ast1 dan OD1-Ast2 mempunyai energi aktivasi yang lebih besar dibanding material serpih OD1-Ast3, karena perbandingan material clay lebih kecil dari organik, maka sifat katalis untuk mempercepat reaksi menjadi berkurang, sehingga tingkat maturasi organik memerlukan proses reaksi sebanyak tiga tahap (Gambar 4.48 s/d 4.50). Reaksi tingkat-1 pada pemanasan material serpih karbonat berbeda dengan material serpih clay. Kadar air pada material serpih karbonat yang akan dilepas cukup besar. Hal ini terlihat dari besarnya energi aktivasi yang dibutuhkan untuk proses pelepasan air berbeda dengan material serpih clay. Perbandingan komposisi material karbonat yang lebih kecil dari organik, ternyata dapat mempercepat reaksi, seperti material serpih OD7-Asl2 mempunyai energi aktivasi yang lebih kecil dibanding material serpih OD7Asl1. Oleh karena material serpih karbonat ini mengalami proses reaksi sebanyak empat tahap, maka energi aktivasi yang diperlukan untuk tercapainya maturasi adalah cukup besar, sehingga kecepatan reaksinya pun lebih lama dibanding material clay. OD7-Ast2-Fe menghasilkan perubahan energi aktivasi yang lebih kecil dibanding sebelum ditambah Fe dan interval temperaturnya sama dengan material serpih OD7-Asl1 dan OD7-Asl2.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
136
Dimulai dari Ea kecil,
CEC 2 OD1-Ast2 OD1-Ast1 OD1-Ast2-Fe OD1-Ast3 OD7-Asl2-Fe OD7-Asl2 OD7-Asl1
Gambar 4.49. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur pada proses maturasi material serpih, reaksi tingkat-2 (mature: perubahan struktur dan crack) Gambar 4.49 menunjukkan reaksi tingkat-2 pada pemanasan material serpih, yang secara keseluruhan menggambarkan sebagai berikut: Reaksi tingkat-2 merupakan perubahan struktur (mature) dan crack (awal pelepasan). OD1-Ast3 dan OD1-Ast2-Fe, merupakan reaksi tahap terakhir.
Kedua
material memiliki temperatur yang besar dan energi aktivasi yang sedang tetapi lebih besar dibanding reaksi tingkat-1, karena dalam tahap ke dua disini selain terjadi dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, terjadi juga pelepasan gas-gas CO2 dan H2 secara keseluruhan (over mature).
Energi aktivasi total lebih kecil dibanding
dengan material serpih clay yang memiliki tiga tahap reaksi. OD1-Ast1, OD1-Ast2 dan CEC 2, terjadi hilangnya molekul air secara kimiawi dan perubahan struktur padatan (maturasi material), serta mulai terjadi dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Energi aktivasinya lebih kecil dibandingkan OD1-Ast3 dan OD1Ast2-Fe, sehingga kecepatan reaksi material lebih cepat. Dalam hal ini material serpih CEC 2 memiliki energi aktivasi yang paling kecil, sehingga kecepatan reaksinya lebih tinggi.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
137
OD7-Asl1, OD7-Asl2 dan OD7-Asl2-Fe, merupakan reaksi hilangnya molekul air secara kimiawi, awal perubahan struktur (mulai mature). Energi aktivasi yang diperlukan pun cukup tinggi, sehingga proses reaksinya lebih lama dibanding pemanasan pada material serpih clay. Komposisi material organik yang lebih besar dibanding karbonat akan menyebabkan nilai energi aktivasi kecil dan kecepatan reaksi lebih cepat, sedangkan penambahan logam Fe menyebabkan energi aktivasi menjadi lebih kecil lagi. Penambahan logam Fe pada material serpih OD7-Asl2 menjadi OD7-AstlFe, menghasilkan energi aktivasi yang lebih kecil dibanding sebelum ditambah Fe dan interval temperatur nya sama dengan material serpih OD7Asl1 dan OD7-Asl2.
Dimulai dari Ea kecil,
OD7-Asl2-Fe OD1-Ast2 OD1-Ast1 CEC 2 OD7-Asl1 OD7-Asl2
Gambar 4.50. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur pada proses maturasi material serpih, reaksi tingkat-3 (over mature: pelepasan gas H2 atau CO2) Gambar 4.50
menunjukkan reaksi tingkat-3 pada pemanasan material
serpih, yang menggambarkan sebagai berikut: OD1-Ast1, OD1-Ast2 dan CEC 2, reaksi tingkat III ini merupakan reaksi tahap terakhir. Material serpih tersebut, memiliki temperatur yang besar dan energi aktivasi yang sedang tetapi lebih besar dibanding reaksi tingkat-2,
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
138
karena dalam tahap ke tiga disini selain terjadi dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, terjadi juga pelepasan gas-gas CO2 dan H2 secara keseluruhan (over mature). OD7-Asl1, OD7-Asl2 dan OD7-Asl2-Fe, reaksi tingkat III ini merupakan reaksi perubahan struktur (mature) dan mulai terjadi pelepasan gas-gas CO2 dan H2. Energi aktivasi yang diperlukan pun masih cukup tinggi, sehingga proses reaksinya lebih lama dibanding pemanasan pada material serpih clay. Penambahan logam Fe pada material serpih OD7-Asl2 menghasilkan energi aktivasi yang lebih kecil dibanding sebelum ditambah Fe.
Dimulai dari Ea kecil,
OD7-Asl2-Fe OD7-Asl2 OD7-Asl1
Gambar 4.51. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur pada proses maturasi material serpih, reaksi tingkat-4 (over mature: pelepasan semua gas) Gambar 4.51 menunjukkan reaksi tingkat-4 pada pemanasan material serpih, yang menggambarkan sebagai berikut: OD7-Asl1, OD7-Asl2 dan OD7-Asl2-Fe, reaksi tingkat-4 ini merupakan reaksi tahap terakhir. Material serpih tersebut memiliki temperatur yang besar dan energi aktivasi yang lebih besar dibanding reaksi tingkat-3, karena dalam tahap keempat disini selain terjadi dekomposisi senyawa yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
139
mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, terjadi juga pelepasan gas-gas CO2 dan H2 secara keseluruhan (over mature). Komposisi material organik yang lebih besar dibanding karbonat akan menyebabkan nilai energi aktivasi kecil dan kecepatan reaksi lebih cepat, sedangkan penambahan logam Fe menyebabkan energi aktivasi bertambah lebih kecil dan interval temperatur nya sama dengan material serpih OD7Asl1 dan OD7-Asl2.
4.8 Lama Pemanasan Material Proses pemanasan mulai awal sampai tersisa zat yang sudah rusak, ternyata untuk dua variasi campuran dan penambahan logam Fe membutuhkan waktu yang beragam.
Gambar 4.52 menunjukkan grafik penurunan massa sampel clay-
organik terhadap waktu. OD1-Ast3, OD1-Ast2-Fe dan CEC secara jelas terlihat bahwa ketiga material tersebut mengalami proses pemanasan yang lebih cepat dibandingkan dengan yang lainnya. Sedangkan untuk material serpih karbonat terlihat pada Gambar 4.53 yaitu menunjukan hasil grafik TGA, yang mengalami proses reaksi yang lebih banyak (bertahap-tahap) dari pada clay-organik, dan hal ini menunjukkan bahwa karbonat membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dari material serpih clay.
Gambar 4.52. Grafik penurunan msasa terhadap waktu reaksi pada masing-masing material clay-organik dan penambahan Fe
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
140
Gambar 4.53. Grafik penurunan msasa terhadap waktu reaksi pada masing-masing material karbonat-organik dan penambahan Fe Sesuai dengan nilai energi aktivasi OD7-Asl2 dan OD7-Asl2-Fe (serpih karbonat-Fe 25%) mengalami proses pemanasan yang lebih cepat dibandingkan dengan OD7-Asl1 (50% Karbonat + 50% Salisilat).
Penambahan logam Fe
diperkirakan saat pemanasan akan memperlebar luas permukaan dan volume pori menjadi lebih banyak, sehingga nilai energi aktivasi kedua material menjadi lebih kecil.
4.9 Hasil Pengujian Pirolisis Dua material clay-organik dan karbonat-organik sudah menunjukkan kualitas yang sangat baik, yaitu mempunyai nilai TOC≥12.0%, sedangkan satu material clay-organik (OD1-Ast3) dan satu material karbonat-organik (OD7-Asl3) menunjukkan kualitas yang baik, karena mempunyai nilai TOC=11.98% dan TOC=9.14%. Meskipun nilai TOC hanya mendekati 12.0%, namun tetap bisa dijadikan sebagai material serpih minyak untuk diuji selanjutnya. Tabel 4.20 menunjukan nilai Tmax dari hasil pirolisis yang digunakan sebagai indikator awal tingkat kematangan termal material clay-organik dan karbonat-organik.
Kematangan termal material menunjukkan nilai yang
bervariasi, bahwa tingkat kematangan termal masing-masing material berbedabeda, dimana serpih karbonat memerlukan temperatur yang lebih besar
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
141
dibandingkan serpih clay dan memerlukan waktu yang lebih lama juga. Kombinasi antara indeks hidrogen (HI) dan Tmax menunjukkan serpih clay berperan sebagai serpih minyak yang lebih cenderung berpotensi sebagai minyak dan gas, sedangkan serpih karbonat masih belum sempurna untuk berperan sebagai serpih minyak. Tabel 4.20. Hasil Penentuan Nilai Tmax Nama Sampel OD1-Ast1 OD1-Ast2 OD1-Ast3 OD7-Asl1 OD7-Asl2 OD7-Asl3
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
TOC (%) 19,94 34,38 11,98 12,01 12,89 9,14
S1 543,66 574,42 215,09 249,98 254,08 141,63
S2 S3 (mg/g) 61,4 17,32 78.03 19,5 34,87 16,03 31,56 24,76 34,55 26,04 22,90 37,45
PY 605,06 652,45 249,96 281,54 288,63 164,53
Tmax (OC) 323 322 315 432 415 493
Berdasarkan hasil analisis pirolisis dapat diketahui nilai S1, S2 dan S3 dinyatakan dalam satuan mg hidrokarbon. Data mentah S1, S2 dan S3 yang selanjutnya dinormalisasi dengan kandungan karbon organik dari material serpih, menghasilkan harga dalam satuan milligram per gram dari TOC. Nilai S2 dan S3 yang telah dinormalisasi selanjutnya disebut sebagai Indeks Hidrogen (HI) dan Indeks Oksigen (OI), karena beberapa variasi dari TOC telah dihilangkan pada saat perhitungan normalisasi, maka HI berfungsi sebagai indikator dari tipe material serpih (clay-organik dan karbonat-organik).
Indeks Hidrogen ini
nantinya dikorelasi dengan efek pemanasan pada serpih clay dan serpih karbonat. Tabel 4.21. Produk utama material serpih berdasarkan HI dan OI No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Sampel OD1-Ast1 OD1-Ast2 OD1-Ast3 OD7-Asl1 OD7-Asl2 OD7-Asl3
PI
PC
HI
OI
0,899 0,880 0,861 0,888 0,880 0,861
50,22 54,15 50,23 18,42 19,55 13,66
307,92 226,96 291,07 262,78 268,04 250,55
86,86 56,72 133,81 206,16 202,02 409,74
Produk Utama Oil Oil dan Gas Oil dan Gas Oil dan Gas Oil dan Gas Oil dan Gas
Tabel 4.21, menunjukkan potensi material serpih berdasarkan HI dan OI. HI merupakan hasil dari (S2×100)/TOC dan OI adalah (S3×100)/TOC. Kedua
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
142
parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat temperatur. Harga HI yang tinggi menunjukkan material serpih didominasi oleh material organik yang bersifat oil prone, sedangkan nilai OI tinggi mengindikasikan dominasi material organik gas prone. Waples (1985) menyatakan nilai HI dapat digunakan untuk menentukan jenis material serpih utama dan material organik yang dihasilkan. Dasar penentuan potensi material serpih berdasarkan beberapa hasil penelitian pendahuluan telah berhasil dilaksanakan. Teori Waples dijadikan dasar untuk mengetahui potensi dari material serpih minyak (Tabel 4.22). Tabel 4.22. Potensi material serpih berdasarkan HI dan OI HI <150 150 – 300 300 – 450 450 – 600 > 600
Produk Utama Gas Oil & Gas Oil Oil Oil
Kuantitas Relatif Kecil Kecil Sedang Banyak Sangat banyak
Sumber: Waples (1985)
Kedua jenis material serpih tersebut ternyata hasil karakteristiknya berbeda, dimana material clay sangat mempengaruhi proses pemanasan dan kematangan material organik yang terkadung dalam serpih.
Adanya efek material yang
berbeda tersebut, berpengaruh juga terhadap waktu dan nilai temperatur maksimum yang diperlukan dalam proses perubahan fasa ataupun lepasnya molekul air dan molekul yang terkandung dalam material tersebut.
Material
karbonat memerlukan waktu dan temperatur yang lebih besar dibandingakan material clay. Terlihat di sini bahwa material clay mempunyai pengaruh yang dominan terhadap proses kematangan material organik (dengan melihat nilai Tmax) dan perubahan fasa (dari hasil pengujian TGA), dibandingkan dengan material karbonat (calcite).
4.10 Hasil Analisis FTIR pada Organik dan Material Serpih 4.10.1 Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) Spektroskopi inframerah dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. Analisis FTIR dilakukan pada
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
143
panjang gelombang 4000-400 cm-1. Gambar 4.55, menunjukkan spektrum FTIR pada material organik asam stearat (C17H35COOH).
Gambar 4.54. Spektrum FTIR pada material organik (Asam Stearat, C17H35COOH) Gugus fungsi yang ada di dalam asam stearat ditunjukkan dalam Tabel 4.23. Tabel 4.23. Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
2845,13 – 2910,71
Vibrasi C-H
1, 2
1696,47
Vibrasi Tekuk C=O
3
1468,86
C-O
4
Keterangan Menunjukkan rantai panjang hidrokarbon dari senyawa asam stearat. Mengidentifikasikan gugus C=O dari gugus fungsi asam karboksilat dalam asam stearat. Merupakan ikatan C-O dari senyawa karboksilat pada asam stearat.
Referensi * 1 = Silverstein, et.al., 1986: 106-129 2 = Palleros, 2000: 678 3 = Ahmet Sari and Ömer Iþýldak (2006) 4 = Vaughn E. Berkheiser (1982)
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
144
4.10.2 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1
Gambar 4.55. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast1 Tabel 4.24. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1 (50% clay:50% C17H35COOH) Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
2845.13 – 2912.64
C-H alifatik
1, 2
2349.40 – 2360.11
Si-O---H
4
1701.29
H-O-H dari H20
3
1556.62
C=O (Asam karboksilat)
4
1469.82
C-O (Asam karboksilat)
5, 6
Keterangan Menunjukkan rantai panjang hidrokarbon dari asam stearat. Menunjukkan interaksi yang terjadi antara permukaan clay dan asam stearat. Menunjukkan adanya molekul air dalam clay Membuktikan ikatan C=O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam stearat. Membuktikan ikatan C-O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam stearat.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
145
Referensi * 1 = Silverstein, et.al., 1986: 106-129 2 = Palleros, 2000: 678 3 = Russell and Farmer (1964) 4 = Ahmet Sari and Ömer Iþýldak (2006) 5 = Vaughn E. Berkheiser (1982) 6 = Maulida Putri Ahdaini (2013) Gugus fungsi yang ada di dalam OD1-Ast1 ditunjukkan dalam Tabel 4.24. 4.10.3 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2
Gambar 4.56. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast2 Gugus fungsi yang ada di dalam OD1-Ast2 ditunjukkan dalam Tabel 4.25.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
146
Tabel 4.25. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2 (33% clay:67% C17H35COOH) Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
2847.05 – 2914.57
C-H alifatik
1, 2
2349.40 - 2360.15
Si-O---H
4
1696.47
H-O-H dari H20
3
1556.62
C=O (Asam karboksilat)
4
1493.93
C-O (Asam karboksilat)
5, 6
Keterangan Menunjukkan rantai panjang hidrokarbon dari asam stearat. Menunjukkan interaksi yang terjadi antara permukaan clay dan asam stearat. Menunjukkan adanya molekul air dalam clay Membuktikan ikatan C=O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam stearat. Membuktikan ikatan C-O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam stearat.
Referensi * 1 = Silverstein, et.al., 1986: 106-129 2 = Palleros, 2000: 678 3 = Russell and Farmer (1964) 4 = Ahmet Sari and Ömer Iþýldak (2006) 5 = Vaughn E. Berkheiser (1982) 6 = Maulida Putri Ahdaini (2013) 4.10.4 Gabungan Spektrum FTIR pada Material Organik dan Serpih Clay Terjadinya pergeseran posisi puncak (selisih bilangan gelombang, sebelum ditambah clay dengan setelah ditambah clay), mengindikasikan adanya interaksi antara molekul asam stearat dan permukaan clay dari gugus hidroksil kelompok silanol pada permukaan kaolinit yang ditunjukkan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 2356-2357 cm-1 sebagai bukti terbentuknya interaksi SiO---H). Secara jelas dapat dilihat pada Gambar 4.57 tentang gabungan spektrum FTIR pada material serpih dan organik.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
147
Gambar 4.57. Gabungan Spektrum FTIR pada Material Serpih clay dan Organik
4.10.5 Hasil Analisis FTIR pada Asam Salisilat (C7H6O3)
Gambar 4.58. Spektrum FTIR pada material organik (asam salisilat, C7H6O3) Gugus fungsi yang ada di dalam asam salisilat ditunjukkan dalam Tabel 4.26.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
148
Tabel 4.26. Spektrum FTIR pada asam salisilat (C7H6O3) Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
3031-3238
O-H
3
1665.60
C=O
3
2357.11
H---O
3
1482.36
C-O (Asam karboksilat)
3
759
C=C
1, 2
Keterangan Menunjukkan ikatan O-H pada asam salisilat. Menunjukkan ikatan C=O dari gugus karboksilat pada asam salisilat. Menunjukkan adanya ikatan hydrogen yang kuat sesama molekul asam salisilat. Membuktikan ikatan C-O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam salisilat. Membuktikan ikatan aromatik dari benzene pada asam stearat.
Referensi * 1 = Amy Chan (2002) 2 = Primandaru Widjaya (2009) 3 = Milena Jadrijevi dan Mladar Taka, 2004: 177–191. 4.10.6 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 Hasil spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 (50% karbonat-50% organik) dan OD7-Asl2 (33% karbonat-67% organik) sama dengan asam salisilat, tetapi ditandai dengan hilangnya puncak adsorpsi pada panjang gelombang 2357.11 cm-1 yang mengidentifikasikan hilangnya ikatan hidrogen antar sesama molekul asam salisilat sebagai akibat terbentuknya interaksi antara kalsit dan asam salisilat.
Interaksi antara kalsit dan asam salisilat ditandai dengan
munculnya ikatan puncak serapan lebar pada daerah sekitar 1400 cm-1 yang mengidentifikasikan kebaradaan ion CO32- dan diperkuat pada puncak 1037 dan 873 cm-1 yang menunjukkan keberadaan calcicte (Milena Jadrijevi dan Mladar Taka, 2004).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
149
Gambar 4.59. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 Gugus fungsi material serpih OD7-Asl1 ditunjukkan dalam Tabel 4.27. Tabel 4.27. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
3428 - 3488
O-H
3
1624.13
C=O
3
1462.11
C-O (Asam karboksilat)
3
1037.75
kebaradaan ion CO32-
3
873.79
CaCO3
3
759.02
C=C
1, 2
Keterangan Menunjukkan ikatan O-H pada asam salisilat. Menunjukkan ikatan C=O dari gugus karboksilat pada asam salisilat. Membuktikan ikatan C-O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam salisilat. Terbentuknya interaksi antara kalsit dan asam salisilat. Keberadaan calcite Membuktikan ikatan aromatik dari benzene pada senyawa asam stearat. Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
150
4.10.7 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl2
Gambar 4.60. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 Tabel 28. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl2 Bilangan Gelombang (cm-1)
Karakteristik Adsorpsi
Referensi*
3082 - 3488
O-H
3
1681.04
C=O
3
1462.11
C-O (Asam karboksilat)
3
1031
kebaradaan ion CO32-
3
873.79
CaCO3
3
757.09
C=C
1, 2
Keterangan Menunjukkan ikatan O-H pada asam salisilat. Menunjukkan ikatan C=O dari gugus karboksilat pada asam salisilat. Membuktikan ikatan C-O dari senyawa karboksilat yang terdapat pada asam salisilat. Terbentuknya interaksi antara kalsit dan asam salisilat. Keberadaan calcite Membuktikan ikatan aromatik dari benzene pada senyawa asam stearat. Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
151
Referensi * 1 = Amy Chan (2002) 2 = Primandaru Widjaya (2009) 3 = Milena Jadrijevi dan Mladar Taka, 2004: 177–191. Gugus fungsi material serpih OD7-Asl2 ditunjukkan dalam Tabel 4.28.
4.10.8 Gabungan Spektrum FTIR pada Organik dan Serpih Karbonat
Gambar 4.61. Gabungan Spektrum FTIR pada Material Serpih Karbonat dan Organik
Gambar 4.61, menunjukkan hilangnya puncak adsorpsi pada panjang gelombang 2357.11 cm-1 yang mengidentifikasikan hilangnya ikatan hidrogen antar sesama molekul asam salisilat sebagai akibat terbentuknya interaksi antara kalsit dan asam salisilat. Interaksi antara kalsit dan asam salisilat ditandai dengan munculnya ikatan puncak serapan lebar pada daerah sekitar 1400 cm-1 yang mengidentifikasikan kebaradaan ion CO32- dan diperkuat pada puncak 1037 dan 873 cm-1 yang menunjukkan keberadaan calcicte (Milena Jadrijevi dan Mladar Taka, 2004).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
152
4.10.9 Spektrum FTIR Hasil Kalsinasi Material Serpih Clay dan karbonat Hasil pemanasan pada material serpih kemudian kita identifikasi struktur molekulnya dengan menggunakan FTIR. Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu senyawa.
MS-1
Gambar 4.62. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-1
MS-2
Gambar 4.63. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-2 Gambar 4.62 dan 4.63 menunjukkan pengukuran FTIR pada hasil pemanasan dari material serpih.
Spektrum memiliki karakteristik puncak di
kisaran 4.000 hingga 2.500, puncak sesuai dengan penyerapan yang disebabkan oleh NH, CH dan obligasi OH tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa material serpih tersebut mempunyai ikatan C-H dengan tipe ikatan nya adalah Alkana dan memiliki intensitas yang kuat, kondisi tersebut sesuai dengan Skoog dkk (1998).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
153
Spektrum yang lain memiliki karakteristik puncak di kisaran rentang wilayah keempat, yaitu dari 1.500 ke 400. Wilayah keempat dikenal sebagai daerah sidik jari dari spektrum IR dan mengandung sejumlah besar puncak serapan yang account untuk berbagai macam ikatan tunggal.
Jika semua puncak dalam
spektrum IR, termasuk di wilayah keempat, adalah identik dengan puncak spektrum lain, maka dua senyawa adalah identik. Proses pemanasan menyebabkan beberapa senyawa dengan gugus fungsi tertentu terlepas, hal ini ditunjukkan dalam Gambar 4.63 dan 4.64.
Gambar
tersebut menunjukkan puncak dengan bilangan gelombang sekitar 2900 cm-1 yang menunjukkan keberadaan hidrokarbon ikatan tunggal dari rantai karbon panjang C-H dan 1400 cm-1 menunjukkan keberadaan calcite (Hans H. Alder dan Paul F. Kerr, 1962).
4.11 Ringkasan Hasil dan Pembahasan Hasil riset Bissada (1986) menyatakan bahwa temperatur pembentukan minyak bumi sangat bervariasi. Dijelaskan bahwa batuan yang berusia lebih muda relatif memerlukan temperatur yang lebih tinggi dalam pembentukan minyak bumi.
Selanjutnya, efek peningkatan temperatur menjadi sangat
berpengaruh sejalan dengan tingkat reaksi dari bahan-bahan organik, karena temperatur terus meningkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman, efek pemanasan secara alamiah ditentukan oleh seberapa dalam batuan tertimbun (gradien geothermal). Metoda Lopatin (1971) merupakan metoda penentuan tingkat maturasi berdasarkan temperatur dan mengabaikan efek reaksi kimia serta biologi. Penelitian tentang maturasi hidrokarbon di Indonesia telah berhasil baik, dengan tujuan untuk memperkirakan tingkat maturasi material organik dalam batuan. Penelitian tersebut ternyata sangat membantu untuk menunjang kegiatan eksplorasi hidrokarbon dan mengatasi krisis migas. Dasar penentuan maturasi hidrokarbon, melihat perubahan sifat biologi, kimia dan fisika.
Penentuan
parameter perubahan sifat fisika dan kimia dari material serpih, merupakan metode yang sering digunakan untuk menentukan salah satu indikator maturasi sebuah material.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
154
Penelitian ini diawali dengan pemilihan material. Pemilihan material alam diperoleh dari hasil coring yaitu calcite (CaCO3) dan kaolinite, sedangkan pemilihan material organik sintetik adalah sesuai kandungan kerogen tipe II (C7H6O3 dan C17 H35COOH). Dari hasil pengukuran porositas dan permeabilitas dengan metode core analysis (routine dan special core) diperoleh karbonat dan clay yang bersih dari fluida dan hidrokarbon. Hasil tersebut diperkuat oleh hasil karakterisasi dengan SEM dan XRD, yang juga menunjukkan calcite (CaCO3) dan kaolinite. Pembuatan material serpih clay (SMC) dan serpih karbonat (SMK) berhasil dilakukan, karena sesuai dengan karakteristik serpih minyak. Campuran material dimodifikasi dengan perbandingan: A=B, AB dan AB, yaitu material OD1Ast1 (50% clay+50% C17H35COOH), OD1-Ast2 (33% clay+67% C17H35COOH), OD1-Ast3 (67% clay+33% C17H35COOH), OD7-Asl1 (50% CaCO3+50% C7H6O3), OD7-Asl2 (33% CaCO3+67% C7H6O3 ), serta penambahan Fe dalam SMC (75% OD1-Ast2 + 25% Fe), dan SMK (75% OD7-Asl2 + 25% Fe). Selanjutnya melakukan beberapa pengujian. Pertama, melakukan pengujian TOC (Total Organic Carbon) material serpih karbonat (SMK) dan clay (SMC). Pengujian TOC menghasilkan dua SMC dan dua SMK dengan kualitas yang sangat baik sebagai serpih minyak, yaitu nilai TOC≥12.0%, sedangkan SMC (OD1-Ast3) dan SMK (OD7-Asl3) menunjukkan kualitas yang baik, karena nilai TOC=11,98% dan 9,15%. Meskipun nilai TOC hanya mendekati 12,0%, namun tetap bisa dijadikan sebagai SMC dan SMK untuk diuji. Secara keseluruhan SMC dan SMK yang dipakai dalam penelitian ini memiliki TOC≥11,5% dan dapat bertindak sebagai serpih minyak. Kedua, melakukan karakterisasi material serpih dengan SEM.
Secara
keseluruhan menunjukkan bahwa ruang pori pada clay-organik lebih kecil dibandingkan dengan clay murni, karena semua rongga pori terisi oleh material organik dan berakumulasi serta terikat kuat dengan kaolinite ataupun beberapa material lain yang kecil prosentasinya.
Dari hasil Edax menunjukan adanya
senyawa carbon dan SiO2 yang dominan. Ruang pori pada karbonat-organik juga lebih kecil dibandingkan dengan karbonat murni, karena semua rongga pori terisi oleh material organik dan berakumulasi serta terikat kuat dengan calcite ataupun
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
155
beberapa material lain yang kecil prosentasinya. Dari hasil Edax menunjukan adanya senyawa carbon dan CaCO3 yang dominan. Selain pori-pori, juga terjadi perbedaan pada volume pori, luas permukaan dan ukuran partikel, dimana material serpih mempunyai nilai yang lebih kecil. Material serpih clay yang ditambah Fe mempunyai ukuran partikel yang besar dan rongganya juga terlihat lebih lebar, hal tersebut menandakan bahwa telah homogen, sehingga saat dipanaskan luas permukaan spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar. Hasil Edax nya tidak berbeda jauh untuk kedua material tersebut, perbedaannya hanya pada material yang ditambah Fe, muncul unsur Fe lebih banyak dari semula. Untuk SMK (OD7-Asl1, OD7-Asl2 dan OD7-Asl2-Fe) menunjukkan hasil analisis yang sama dengan material serpih clay (SMC). Ketiga, melakukan karakterisasi XRD dan FTIR. Hasil karakterisasi XRD menunjukkan dua SMC (OD1-Ast dan OD2-Ast) mempunyai dua puncak tertinggi pada sudut 2theta yang berbeda, yaitu menunjukkan lapisan kristal SiO2 dengan orientasi bidang hkl adalah (26,7 O ; 011), (26,7O; 101) dan (21,7O; 40-4). Pada kedua material tersebut tidak terjadi reaksi, tetapi terjadi interaksi antara clay dengan organik, karena setiap penambahan organik atau komposisi material organik lebih besar ternyata memiliki intensitas yang lebih tinggi. Oleh karena tidak terjadi reaksi maka penambahan organik akan membuat terjadinya preferred orientation pada bidang kristal tertentu, hal ini mengakibatkan bidang tersebut memiliki intensitas yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sedangkan untuk sudut 2theta dan bidang hkl nya tidak terjadi perubahan.
Hasil karakteristik XRD
diperkuat oleh hasil uji FTIR yaitu terjadinya pergeseran posisi puncak mengindikasikan adanya interaksi antara molekul asam stearat dan permukaan clay dari gugus hidroksil kelompok silanol pada permukaan kaolinit yang ditunjukkan dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 2356-2357 cm-1 sebagai bukti terbentuknya interaksi Si-O---H). Hasil karakterisasi XRD pada material karbonat OD7 dan SMK (OD7-Asl1 dan OD7-Asl2) menunjukkan adanya perubahan yang significant. Selain lapisan kristal CaCO3 yang selalu muncul pada posisi sudut 2theta yang tetap dengan orientasi bidang hkl (29,4O ; 104), muncul tiga puncak baru yang tertinggi (peak) pada posisi sudut 2theta 10,94O; 17,21O dan 25,23 O, dengan nilai intensitas yang
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
156
tertangkap oleh detektor sinar-X masing-masing adalah 47282, 44513, 18466, 8361 dan 12199 cts. Puncak yang terbentuk tersebut merupakan puncak dari kristal Carbon Dioxide, Fichtelite C19H34, Calcium, Carbon dan Calcite CaCO3, dan dapat diketahui bidang kristal atau indeks Miller hkl yaitu (100), (200), (110), (231) dan (104). Hasil analisis XRD tersebut diperkuat dengan hasil pengujian FTIR yaitu terjadi hilangnya puncak adsorpsi pada panjang gelombang 2357,11 cm-1 yang mengidentifikasikan hilangnya ikatan hidrogen antar sesama molekul asam salisilat sebagai akibat terbentuknya interaksi antara kalsit dan asam salisilat. Interaksi dan reaksi antara kalsit dan asam salisilat ditandai dengan munculnya ikatan
puncak
serapan
lebar
pada
daerah
sekitar
1400
cm-1
yang
mengidentifikasikan kebaradaan ion CO32- dan diperkuat pada puncak 1037 dan 873 cm-1 yang menunjukkan keberadaan calcicte (Milena Jadrijevi dan Mladar Taka, 2004). Proses maturasi dikontrol oleh temperatur dan waktu. Pengaruh temperatur yang tinggi dalam waktu yang singkat atau temperatur yang rendah dalam waktu yang lama akan menyebabkan berubahnya SMC menjadi minyak dan gas bumi. Mengenai jenis minyak bumi yang terbentuk tergantung pada tingkat maturasi material serpih, semakin tinggi tingkat maturasi panas maka akan terbentuk minyak bumi jenis berat, minyak bumi jenis ringan, kondesat dan pada akhirnya gas. Untuk mengetahui nilai temperatur pada proses maturasi, maka dilakukan penentuan energi aktivasi dari hasil analisis termogravimetri, dan sekaligus dapat diketahui perubahan massa dan struktur material serpih. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar dapat berlangsung. Maturasi organik atau hidrokarbon berhubungan erat dengan temperatur dan kecepatan reaksi.
Proses perubahan material serpih menjadi zat lain misal
(hidrokarbon) dalam bentuk padat, cair atau gas memerlukan temperatur yang berbeda dan kecepatan reaksi yang berbeda-beda juga, atau dikatakan mempunyai energi aktivasi yang berbeda-beda. Keempat melakukan pengujian TGA dan Pirolisis. Hasil pengujian TGA, menunjukkan
material clay mempunyai pengaruh yang besar dalam proses
maturasi organik dibandingkan dengan karbonat, hal ini ditunjukkan oleh hasil
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
157
pengujian TGA, yaitu SMK mengalami 4 tingkat maturasi dibandingkan SMC, sehingga memerlukan waktu dan temperatur yang lebih besar. Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil analisis XRD serpih karbonat yaitu munculnya puncakpuncak tertinggi baru dengan posisi 2theta yang berbeda dari karbonat. Energi aktivasi material serpih clay (209-355 kJ/mol) lebih kecil dibanding karbonat (749-1339 kJ/mol), dan temperatur untuk proses reaksi SMC (40-600 OC) lebih kecil dibanding SMK (75-740 OC).
CEC 2 (serpih minyak) memiliki
karakteristik yang sama dengan SMC (Ea=239,14 kJ/mol dan T=40-600 OC). Perbandingan komposisi (wt.%) clay yang besar dibanding organik menyebabkan material serpih clay (dengan TOC≥11%) memiliki energi aktivasi lebih kecil. Material serpih clay OD1-Ast3 (67% clay + 33% organik) memiliki energi aktivasi Ea=234,05 kJ/mol lebih kecil dibanding OD1-Ast1 (50% clay + 50% organik) memiliki Ea=354,57 kJ/mol dan OD1-Ast2 (33% clay + 67% organik) memiliki Ea=272,23 kJ/mol. Perbandingan komposisi (wt.%) organik yang besar dibanding karbonat menyebabkan material serpih karbonat (dengan TOC≥11%) memiliki energi aktivasi lebih kecil. Material serpih karbonat OD7Asl2 (33% karbonat + 67% organik) memiliki Ea=1083,7 kJ/mol lebih kecil dibanding OD7-Asl1 (50% karbonat + 50% organik) memiliki Ea=1338,1 kJ/mol. Nilai TOC yang sangat besar mempengaruhi energi aktivasi menjadi lebih kecil, yaitu pada material serpih clay OD1-Ast2 memiliki TOC=34,38%. Sedangkan penambahan logam Fe pada OD1-Ast2 dan OD7-Asl2 mempengaruhi energi aktivasi menjadi lebih kecil, yaitu OD1-Ast2-Fe memiliki Ea=209,58 kJ/mol dan OD7-Asl2-Fe memiliki Ea=749,22 kJ/mol. Over mature material serpih clay (SMC) lebih cepat dibanding karbonat (SMK), karena energi aktivasi dan temperatur yang diperlukan untuk proses reaksi (pelepasan CO2 dan H2) lebih kecil dibanding SMK. Tingkat maturasi material serpih clay OD1-Ast3 paling cepat, yaitu memerlukan dua tahap reaksi. Awal maturasi terjadi pada T=(110-300)OC dan Ea=72,99 kJ/mol; mature dan over mature terjadi pada T=(317-400)OC, Ea=161,05 kJ/mol dan Tmax=315OC. CEC 2 (serpih minyak) dan OD1-Ast2-Fe memiliki tingkat maturasi yang sama dengan material serpih clay (SMC).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
158
Tingkat maturasi material serpih karbonat OD7-Asl2 paling cepat, yaitu awal maturasi terjadi pada T=(95-285)OC dan Ea=84-272 kJ/mol; mature terjadi pada T=(380-445)OC, Ea=357,73 kJ/mol dan Tmax=415 OC; over mature terjadi T=(610-720)OC dan Ea=369,09 kJ/mol. Selanjutnya hasil pengujian Pirolisis Rock Eval menunjukkan bahwa serpih minyak mempunyai potensi yang tinggi pada material serpih yang mengandung clay. Hasil proses pemanasan material serpih diperkuat oleh hasil pengujian FTIR yaitu proses pemanasan menyebabkan beberapa senyawa dengan gugus fungsi tertentu terlepas, dan muncul puncak dengan bilangan gelombang sekitar 2900 cm-1 yang menunjukkan keberadaan hidrokarbon ikatan tunggal dari rantai karbon panjang C-H.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
159
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1) Material serpih minyak yang banyak mengandung karbonat (SMK) atau clay/kalolinit (SMC) dapat digunakan sebagai penghasil minyak atau gas bumi. 2) Awal maturasi material serpih karbonat (SMK) dan clay (SMC), terjadi pada temperatur T=69-300 OC dengan nilai energi aktivasi Ea=50-85 kJ/mol. 3) Perubahan material serpih clay menjadi minyak (maturasi SMC), terjadi pada Tmax=315-323 OC dengan nilai energi aktivasi 209-355 kJ/mol, sedangkan maturasi SMK terjadi pada Tmax=415-493OC dengan nilai energi aktivasi 749-1339 kJ/mol. Jadi maturasi SMC lebih cepat dibanding SMK. 4) Perubahan material serpih clay menjadi gas atau pelepasan gas CO2 dan H2 (over mature SMC), terjadi pada T=317-600OC dengan nilai energi aktivasi 114-168 kJ/mol, sedangkan over mature SMK terjadi pada T=450-740 OC dengan nilai energi aktivasi 355-701 kJ/mol. Jadi over mature SMC lebih cepat dibanding SMK. 5) CEC 2 merupakan serpih minyak alam yang memiliki energi aktivasi dan tingkat maturasi yang sama dengan material serpih clay (SMC). 6) Nilai TOC yang sangat besar dan penambahan logam Fe pada SMK dan SMC mempengaruhi energi aktivasi menjadi lebih kecil, sehingga tingkat maturasi menjadi lebih cepat. Untuk SMC OD1-Ast2-Fe memiliki Ea= 209.58 kJ/mol, lebih kecil dari sebelum ditambah Fe (Ea=272.23 kJ/mol), dan untuk SMK OD7-Asl2-Fe memiliki Ea=749.22 kJ/mol, lebih kecil dari sebelum ditambah Fe (Ea=1083.7 kJ/mol). 7) Perbandingan komposisi (wt.%) dapat memperkecil energi aktivasi, jika material clay lebih besar dari organik pada SMC, dan material organik lebih besar dari karbonat pada SMK, sehingga tingkat maturasi menjadi lebih cepat. Material serpih OD1-Ast3 (67% clay + 33% organik) memiliki energi aktivasi kecil, Ea=234.05 kJ/mol.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
160
5.2 Saran 1) Penelitian ini perlu dikembangkan yaitu dengan cara: a)
Menambah data serpih minyak untuk masing-masing kedalaman, kemudian dilakukan pengujian TOC, TGA, SEM, XRD, FTIR, GCMS dan Pirolisis Rock Eval.
b) Membuat material serpih dengan bahan dasar sesuai kedalaman pada (a), kemudian dibandingkan dengan hasil pengujian pada (a). Diharapkan penelitian tersebut akan lebih akurat dan dapat digunakan sebagai dasar perbandingan tingkat maturasi material serpih (serpih minyak) pada kedalaman tertentu. 2) Dari nomor (1), pengembangan penelitian akan lebih baik dan akurat, yaitu: a)
Indikator maturasi serpih minyak atau material serpih didukung oleh nilai konduktivitas panas dan kapasitas panas.
b) Dilakukan konversi kedalaman material serpih (serpih minyak) dengan tekanan di laboratorium. c)
Diperlukan data geokimia sebagai indikator tingkat maturasi serpih minyak.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
161
DAFTAR REFERENSI A.J. Balloni. (1995). SiO2 Activation Energy: An Elementary Study In The Matrix Isotropic Etcher. Apresentado e publicado nos ANAIS do 10TH Congress Of The Brazilian Microeletronics Conference, Canela/Rs "International Congress Of The Brazilian microelectronics conference" Canela, RS. Abdulloh. (2004). Evaluasi Teknik Uji Geser dan Uji Tekan dalam Kajian Pengaruh Kadar Air dan Penambahan Zat Limbun terhadap karakteristik Plastisitas lempung asal Dsn. Pandisari Ds. Sawoo Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto. Thesis tidak diterbitkan. Bandung: Departemen Kimia Fakultas MIPA ITB. Alali, Jamal (2006-11-07). "Jordan Oil Shale, Availability, Distribution, And Investment Opportunity" (http://www.sdnp.jo/International_Oil_Conference/rtos-A117.pdf) (PDF) Alder, H.H. and Kerr, P.F. (1962). Infrared Study Of Aragonite And Calcite. The American Minerai-Ogist. Vol 47, May_June, 1962. Al-Hamaiedh, H., Maaitah, O., and Mahadin, S. (2010). Using Oil Shale Ash in Concrete Binder. EJGE Vol. 15, Bund. F. P. 601-608. AL-Hasan, N. (2006). Behavior of concrete made using oil shale ash and cement mixtures. Oil Shale. Vol. 23, No. 2, ISSN: 0208-189X pp. 135–143. An an Herliani dan Teni Rodiani. (2011). Aplikasi Senyawa Karbon. Mata Diklat 6. Kementerian Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Pertanian. Any Kurniawati. (2012). Percobaan 3 Persamaan Arrhenius Dan Energi Aktivasi. Laporan Praktikum Kimia Fisika. Pend. Kimia/Kimia. Barkia, H., Belkbir, L. and Jayaweera, S.A.A. (2004). Thermal analysis studies of oil shale residual carbon. Journal of Thermal Analysis and Calorimetry. 76 (2), pp.615-622. Barroroh, H. 2007. Debu, Semesta Rahmat: Interaksi Fisikokimia Debu Dan Air Liur Anjing. Malang: UIN Malang Press. Bartis, James T.; LaTourrette, Tom; Dixon, Lloyd; Peterson, D.J.; Cecchine, Gary (2005) (PDF). Oil Shale Development in the United States. Prospects and Policy Issues. Prepared for the National Energy Technology Laboratory of the U.S. Department of Energy (http://www.rand.org/pubs/monographs/2005/RAND_MG414.pdf). The RAND Corporation. ISBN: 978-0-8330-3848-7. Retrieved 2007-06-29. Bartley,G.J.J. (1988). Zirconium Pillared Clays. Catalysis Journal, Elsevier, 2, 233-241.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
162
Berkheiser, V.E. (1982). Adsorption Of Stearic Acid By Chrysotile. Clays and Clay Minerals, Vol. 30, No. 2, 91-96. Berraja, T., Barkia, H., Belkbir, L., and Jayaweera, S.A.A. (Sept. 1988). Thermal analysis studies of the combustion of Tarfaya oil shale. Proceeding of an International Conference on Carbon, Carbon'88, Eds. B. McEnnaney and T.J. Mays, Univ. Newcastle Upon Tyne, UK, 18-23. Bi.T. H. Milliken, A.G. Oblad, And G.A. Mills ............. Use Of Clays As Petroleum Cracking Catalysts. Clay Technology In The Petroleum Industry. Bull. 169. Part VII. Brendow, K. (2003). "Global oil shale issues and perspectives. Synthesis of the Symposium on Oil Shale. 18-19 November, Tallinn". Oil Shale. A Scientific-Technical Journal (Estonian Academy Publishers) 20 (1): 8192. ISSN: 0208-189X. Retrieved on 2007-07-21. Budiarti, A.P., dan Burhan, R.Y.P. (2010). Karakterisasi Biomarka Hidrokarbon Alifatik Batubara Coklat (Brown Coal) Dari Samarinda, Kalimantan Timur. Prosiding Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Burnham, Alan K.; McConaghy, James R. (2006-10-16). "Comparison of the Acceptability of Various Oil Shale Processes" (https://e-reportsext.llnl.gov/pdf/341283. pdf) (PDF). 26th Oil Shale Symposium. Golden, Colorado: Lawrence Livermore National Laboratory. UCRLCONF-226717. Retrieved 2007-06-23. Cahyadi dan Yulianto S.N. (2011). Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis Dalam Kondisi O2/n2 dan O2/CO2. Jurnal Ilmiah Teknologi Energi (JITE). Volume 1 Nomor 13Agustusi 2011, ISSN 1858 – 3466. Balai Besar Teknologi Energi-BPPT Jurnal Ilmiah Teknologi Energi. Catrinescu, C., Teodosiu, C., Macoveanu, M., Brendle, J.M., Le Dred, R. (2002). Iron Containing Pillared Bentonites as Heterogeneous Fenton-Type Catalysts for The Oxidation Of Phenol In Wastewaters. Environmental Engineering and Management Journal. “Gh. Asachi” Technical University of Iasi, Romania. Vol.1, No.4, 561-569. Chan, A. (2002). Synthesis and Analysis of Acetyl Salicylic Acid. CHEM 290Section 1. Claypool, G.E. and Reed, P.R. (1976). Thermal-Analysis Technique for SourceRock Evaluation: Quantitative Estimate of Organic Richness and Effects of Lithologic Variation: GEOLOGIC NOTES. AAPG Bulletin Volume 60, Issue 4. (April), Pages 608-612. Cogo, S.L., Brinatti, A.M., Saab, S.C., Simões, M.L., Martin-Neto, L., Rosa, J.A., and Mascarenhas, Y.P. (March 2009). Characterization Of Oil Shale
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
163
Residue And Rejects From Irati Formation By Electron Paramagnetic Resonance. Brazilian Journal of Physics, vol. 39, no. 1. Cook, A.C., (1982). The origin and petrology of organic matter in coals, oil shales and petroleum source-rocks. Geology Department, The University of Wollongong, 106p. Darmawan, A., Suseno, A., dan Purnomo, S.A. (2005). Sintesis Lempung Terpilar Titania. JSKA. Vol.VIII, No.3. Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia Anorganik Fakultas MIPA Universitas Diponegoro Semarang. Dewanto, O. (17-18 November 2008). Menentukan Kondisi Batuan Organik Di Daerah ‘X’ Sumatera Tengah, Berdasarkan Estimasi Kapasitas Termal Batuan Reservoar. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung. ISBN: 978-979-1165-74-7. V. 132-141. Dewanto, O., Bahri, S. dan Atmojo, J.P. (November 3-5, 2008). Analisis Perubahan Sifat-Sifat Fisika Batuan Organik terhadap Aliran Panas Bumi di Daerah ‘X’ Sumatera, untuk Menentukan Kandungan dan Daerah Oil Shale sebagai Sumber Energi Baru. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan, HAGI 33 rd Annual Convention & Exhibition, Hyatt Regency Bandung. ISBN: 978-979-8126-05-5. Dyni, John R. (2006) (PDF). Geology and resources of some world oil shale deposits. Scientific Investigations Report 2005-5294. United States Department of the Interior, United States Geological Survey. Retrieved 2007-07-09. (http://pubs.usgs.gov/sir/2005/5294/pdf/sir5294_508.pdf). Eman A. Emam . (2013). Clays as Catalysts in Petroleum Refining Industry. ARPN Journal of Science and Technology. Vol. 3, No. 4. ISSN 22257217. Eman A. Emam. (2013). Clays as Catalysts in Petroleum Refining Industry. ARPN Journal of Science and Technology. Vol.3, No.4, ISSN: 22257217. Department of Petroleum Refining Eng. and Petrochemicals, Faculty of Petroleum and Mining Eng., Suez University, Suez, Egypt. Energy Security of Estonia (http://www.evi.ee/lib/Security.pdf). Estonian Foreign Policy Institute. September 2006. Retrieved 2007-10-20. Farfan-Torres,E.M., Sham,E., Grange,P. (1992). Pillaared Clays: Preparation and Characterization of Zirconium Pillared Montmorillonite. Catalysis Journal, Elsevier, 15, 515-526. Fatimah, I., Alawiyah, T. dan Sumarlan, I. (2013). Preparasi Fe3+/TiO2Montmorillonit Sebagai Katalis Pada Degradasi Zat Warna AZO. Reaktor, Vol. 14 No. 4, Hal. 255-260. Febrianty, H. (2011). Produktivitas Alga Hydrodictyon pada Sistem Perairan Tertutup (closed- System). Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Peraira. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
164
G. Pantoleontos, P. Basinas, G. Skodras, P. Grammelis, J.D. Pintér, S. Topis, G.P. Sakellaropoulos. 2009. A global optimization study on the devolatilisation kinetics of coal, biomass and waste fuels. Elsevier. Fuel Processing Technology. 90 (2009) 762–769. Grammelis, P., Basinas, P., Malliopoulou, A., Sakellaropoulos, G. (2009). Pyrolisis Kinetics and Combustion Characteristics of Waste Recovered Fuels. Fuel 88. pp.195-205. Grim, R.E. (1962). Applied Clay Minerology. McGraw Hill Book Company. New York. p. 1 – 51. Gunawan, E.R., Suhendra, D., Asnawati, D., Sudarma, I.M., dan Zulpiani, I. (2014). Sintesis Asam-Asam Lemak Amida Dari Ekstrak Minyak Inti Buah Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) Melalui Reaksi Enzimatik. Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Hermanto, S., Muawanah, A. dan Harahap, R. …... Profil dan Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi dan Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hermiyanto, M.H. and Ningrum, N.S. (September 2009). Organic petrology and Rock-Eval characteristics in selected surficial samples of the Tertiary Formation, South Sumatra Basin. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.4 No.3, p: 215-227. Heryanto, R. (2 Juni 2007). Hubungan Antara Diagenesis, Reflektan Vitrinit, dan Kematangan Batuan Pembawa Hidrokarbon Batuan Sedimen Miosen di Cekungan Bengkulu. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No.2. p: 99-111. Heryanto, R. dan Hermiyanto, H. Maret 2006. Potensi batuan sumber (source rock) hidrokarbon di Pegunungan Tigapuluh, Sumatera Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No.1, p: 37-48. Hidayat, R. dan Fatimah. (2007). Inventarisasi Kandungan Minyak Dalam Batuan Daerah Kedungjati, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan. Pusat Sumber Daya Geologi. Himawanto, D.A. (2013). Penentuan Energi Aktivasi Pembakaran Briket Char Sampah Kota dengan Menggunakan Metoda Thermogravimetry dan Iso Thermal Furnace. Jurnal Teknik Mesin Rotasi. Vol. 15, No. 3, hal: 35−42. Himawanto, D.A., Indarto, Saptoadi, H. dan Rohmat, T.A. (2013). Thermogravimetric Analysis of Single-Particle RDF Combustion. Modern Applied Science: Vol. 7, No. 11. Hal: 34. ISSN 1913-1844 EISSN 1913-1852.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
165
http://www.fossil.energy.gov/programs/reserves/npr/npr_oil_shale_progr am.html. Huan-Yan Xu, Xiu-Lan He, Ze Wu, Lian-Wei Shan, and Wei-Dong Zhang. (2009). Iron-loaded Natural Clay as Heterogeneous Catalyst for Fentonlike Discoloration of Dyeing Wastewater. Bull. Korean Chem. Soc., Vol.30, No.10. Illops, S. and Killops, V. (2005). Introduction to Organic Geochemistry. 2nd ed. Ix+393 pp. Oxford: Blackwell Publishing. ISBN: 0 632 06504 4. Indrati T.Y., Hartati, P., dan Murdani. (2000). Penentuan Energi Aktivasi Sinter Pelet (Th,U)O2 Pada Tahap Pertumbuhan Butir. Prosiding Penemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar IImu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta. 25. Ismangil dan Hanudin, E. 2005. Degradasi Mineral Batuan Oleh Asam-Asam Organik. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol 5 (1), p: 1-17. Jiang, L., Liang, J., Yuan, X., Hui Li, Changzhu Li, Xiao, Z., Huang, H., Wang, H., and Zeng, G. (2014). Co-pelletization of sewage sludge and biomass: The density and hardness of pellet. Bioresource Technology. 166 (2014) 435–443. Elsevier Ltd. All rights reserved. K. B. Cantrell, P. G. Hunt, K. S. Ro, K. C. Stone, M. B. Vanotti, J. C. Burns. (2010). Thermogravimetric Characterization Of Irrigated Bermudagrass As A Combustion Feedstock. Transactions of the ASABE. Vol. 53(2): 413-420. American Society of Agricultural and Biological Engineers. ISSN 2151-0032. Kamtono, Praptisih, dan Siregar, M.S. (2005). Studi Potensi Batuan Induk Pada Sub Cekungan Banyumas dan Serayu Utara. Riset. Geologi dan Pertambangan Jilid 16 No.1. Kantsler, A.J., Cook, A.C., and Smith, G.C., (1978). Rank variation, calculated paleotemperatures in understanding oil, gas occurrence. Oil and Gas Journal. No. 20, p.196-205. Kasanah, U., Cahyono, E. dan Sudarmin. (2014). Pengaruh Struktur Alkohol Terhadap Produk Esterifikasi Asam Laurat Terkatalisis Zr4+-Zeolit Beta. Indonesian Journal of Chemical Science 3 (1). ISSN NO 2252-6951. Katarzyna Slopiecka, Pietro Bartocci, Francesco Fantozzi. (2011). Thermogravimetric analysis and Kinetic study of poplar wood pyrolysis. Third International Conference on Applied Energy. Perugia, Italy. pages 1687-1698. Katz, B.J., (1983). Limitations of ‘Rock-Eval’ pyrolysis for typing organic matter. Organic Geochemistry 4, p.195-199. Kholisoh, S.D. (2011). Dasar-Dasar Kinetika Reaksi Kimia. Slide Kinetika Dan Katalisis. Jurusan Teknik Kimia. FTI UPN “VETERAN” Yogyakarta
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
166
Koel, Mihkel (1999). "Estonian oil shale" (http://www.kirj.ee/public/oilshale/EstOS. htm). Oil Shale. A Scientific-Technical Journal (Estonian Academy Publishers) (Extra). ISSN 0208-189X. Retrieved 2007-07-21. Kogerman, A. (2001). Ten Years of Oil Shale. Estonian Academy Publishers. Oil Shale, Vol. 18, No. 1. ISSN 0208-189X. pp. 1-4. Letaief S., Casal B., Aranda P., Martin-Luengo A.M., Ruiz-Hitzky E. (2002, March 22). Fe-containing pillared clays as catalysts for phenol hydroxylation, Aplied Clay Science Journal, Elsevier, (22) 263-277. November 26, 2002. Lukáš Gašparovič, Zuzana Koreňová, Ľudovít Jelemenský. (2009). Kinetic study of wood chips decomposition by TGA. 36th International Conference of SSCHE May 25–29, 2009, Tatransk´e Matliare, Slovakia. Malika. A., Mohammed, A. and Boukhlifi, A. (2014). Kinetic And Energy Study Of Thermal Degradation Of Biomass Materials Under Oxidative Atmosphere Using TGA, DTA And DSC. Journal of Multidisciplinary Engineering Science and Technology (JMEST). ISSN: 3159-0040 Vol. 1 Issue 5, December 2014. Marnoto, T. dan Sulistyowati, E. (2012). Tinjauan Kinetika Pyrolysis Limbah Polystiren. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Teknik Kimia, Fak Teknologi Industri, UPN Veteran Yogyakarta. ISSN: 1693-4393. Martono, Y., Sari, Y.E.P., Hidarto, J. …… Penggunaan Model Arrhenius Untuk Pendugaan Masa Simpan Produk Minuman Kemasan Berdasarkan Kandungan Vit C. Paper. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Kristen Satya Wacana. Milena Jadrijevic-Mladar Takac, Drazen Vikic Topic. (2004). FT-IR and NMR spectroscopic studies of salicylic acid derivatives. II. Comparison of 2hydroxy- and 2,4- and 2,5-dihydroxy derivatives. Acta Pharm. 54 (2004) 177–191. Minarsih, T. (2011). Penentuan Energi Aktivasi Amlodipin Besilat Pada pH 1, 6 Dan 10 Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. PHARMACY. Vol.06 No.01 Agustus 2011. ISSN 1693-3591. Minto, S. (2009). Bentonit Terpilar dan Aplikasi, Medan : USU Press. Molina,C.B., Casas,J.A., Zazo,J.A., Rodriguez,J.J. (2006, December 2). A comparison of Al-Fe and Zr-Fe pillared clays for catalytic wet peroxide oxidation. Chemical Engineering journal, Elsevier, (118) 29-35. January 20, 2006. Nagendrapa, G. (2002). Organic Syntesis using Clay Catalyst. J. Resonance. p: 64-77.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
167
Nelson, S. A. (2001). Clay Minerals. Tulane University. Nur, R. (24-25 April 1984). Indentifikasi Mineral Lempung (Clay) dalam Batuan Pasir Reservoar Dengan Menggunakan SEM. Proceeding Diskusi Ilmiah V Beberapa Hasil Karya PPTMGB “Lemigas”, Jakarta. Nurahmi, E. 2001. Uji Stabilitas Struktur Bentonit Terhadap Perlakuan Asam Sulfat dan Pemanasan. Skripsi. FMIPA UGM Yogyakarta, hal: 1-2. Occelli, M. L., Rennard, R. J. (1988). Hydrotreating catalyst containing Pillare Clays. Catalysis Today, Elsevier Science, 309-319. “Oil Shale and Other Unconventional Fuels Activities". Department of Energy. Retrieved 2007-10-20.
United States
Ots, Arvo; Huuskonen, Sirpa; Koponen, Kari; Ritola, Ossi; Mauer, Ulle; Lindstrom-Seppa, Pirjo (2007-02-12). "Estonian oil shale properties and utilization in power plants" (http://images.katalogas.lt/maleidykla/Ener72/Ener_008_018.pdf). Energetika (Lithuanian Academy of Sciences Publishers) 53 (2): 8–18. doi:10.2307/3434660. Retrieved 2007-11-07. P. Bankovi, A. Milutinovi, Nikoli, N. Jovi-Jovi, J. Dostani, Z. Cupi, D. Loncarevi and D. Jovanovi. (2008). Synthesis, Characterization and Application of Al,Fe-Pillared Clays. Proceedings of the Tenth Annual Conference of the Materials Research Society of Serbia. ACTA PHYSICA POLONICA A, Vol:115 No:4. Paris (AFP/ANTARA) – M2 World News : M2 RADIO | Baru | Musik | Internasional | Teknologi | Olahraga. Studi: Eksploitasi Minyak Serpih Tingkatkan GDP Dunia. Peters, K.E. (1986). Guidelines for evaluating petroleum source rock using programmed pyrolysis. American Association of Petroleum Geologists, Bulletin. v.70, pp. 318–329. Peters, K.E., Walters, C.C., and Moldowan, J.M. (2006). The biomarker guide: V.1 Biomarkers and isotopes in the environment and human history. Cambridge University Press, 471 pp. Platon, N., Maria, A., Rosu, Arus, V.A., Denisa, Ileana Nistor1, Ilie Siminiceanu. Chemically Modified Clays Used For Environmental Quality. Journal of Engineering Studies and Research. Volume 19 (2013) No.4. Pogaku, R., Raman, J.K., Ravikumar, G. (2012). Evaluation of Activation Energy and Thermodynamic Properties of Enzyme-Catalysed Transesterification Reactions. Advances in Chemical Engineering and Science, 2012, 2, 150-154 http://dx.doi.org/10.4236/aces.2012.21018 Published Online January 2012 (http://www.SciRP.org/journal/aces).
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
168
Praptisih, Kamtono, Putra, P.S. dan Hendrizan, M. (September 2009). Karakteristik Batuan Sumber (Source Rock) Hidrokarbon pada Formasi Batuasih di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Geologi Indonesia. Vol. 4 No.3, p:167-175. "Process for the recovery of hydrocarbons from oil shale" (http://www. freepatentsonline.com/4449586.html). FreePatentsOnline. Retrieved 2007-11-03. Qian, Jialin; Wang, Jianqiu (2006-11-07) (PDF). World oil shale retorting technologies (http://www.sdnp.jo/International_Oil_Conference/rtosA118.pdf). Amman, Jordan. Retrieved 2007-06-29. Qodari, M.T. 2010. Karakterisasi Lempung Dari Daerah Pagedangan Kec Turen Kab Malang dan Daerah Getaan Kec Pagelaran Kab Malang. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang. Rahmawati, S., Prasetyoko, D., dan Ediati, R. (2012). Sintesis Partikel Nano CaO Dengan Metode Kopresipitasi dan Karakterisasinya. Prosiding Tugas Akhir Semester Genap. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Riyanto, S. (2009). Uji Kualitas Fisik Dan Uji Kinetika Pembakaran Briket Jerami Padi Dengan Dan Tanpa Bahan Pengikat. Skripsi. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Riyanto, S. (2009). Uji Kualitas Fisik Dan Uji Kinetika Pembakaran Briket Jerami Padi Dengan Dan Tanpa Bahan Pengikat. Skripsi. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sari, A. and Iþýldak, O. (2006). Adsorption Properties Of Stearic Acid Onto Untreated Kaolinite. Bull. Chem. Soc. Ethiop. 2006, 20(2), 259-267. ISSN 1011-3924. Sato, K., Takizawa, S. and Mohri, T. (2010). Theoretical Calculation of Activation Free Energy for Self-Diffusion in Prototype Crystal. Materials Transactions, The Japan Institute of Metals. Vol. 51, No. 9 (2010) pp. 1521 to 1525. Siswoyo and Subono, S. (1995). Heat Flow, Hydrocarbon Maturity and Migration in Northwest Java. CCOP Technical Bulletin. March, Vol.25, pp.23 to 36. Subono, S. and Siswoyo. (1995). Thermal Studies of Indonesian Oil Basin. CCOP Technical Bulletin. March, Vol. 25, pp. 37 to 54. Sudarno dan Harsanto, A.B. (2014). Analisis Termogravimetri Terhadap Pembakaran Pelet Biomassa Campuran. Agri-tek Volume 15 Nomor 1.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
169
Sugondo. (2012). Kinetika Pertumbuhan Butir Paduan Zry-4 Sn Rendah. Urania. Vol. 18 No. 3. Hal: 120-181. ISSN 0852-4777 Sukma, H.L. (2012). Analisis Thermogravimetry Dan Pembuatan Briket Tandan Kosong Dengan Proses Pirolisis Lambat. Tugas Akhir Konversi Energi. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya . Survey
of energy resources (http://www.worldenergy.org/documents/ ser2007_final_ online_version_1.pdf) (21 ed.). World Energy Council. 2007. pp. 93–115. ISBN 0946121265. Retrieved 2007-11-13.
Suyitno. (2009). Perumusan Laju Reaksi dan Sifat-Sifat Pirolisis Lambat Sekam Padi Menggunakan Metode Analisis Termogravimetri. Jurnal Teknik Mesin Vol. 11, No. 1, 12-18. UNS, Surakarta. Suyitno. (2009). Perumusan Laju Reaksi dan Sifat-Sifat Pirolisis Lambat Sekam Padi Menggunakan Metode Analisis Termogravimetri. Jurnal Teknik Mesin. Vol. 11, No. 1, April 2009. Hal: 12–18. Syafiq, A. (2009). Uji Kualitas Fisik Dan Kinetika Reaksi Briket Kayu Kalimantan Dengan Dan Tanpa Pengikat. Skripsi. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Syamsiah, S. and Krol, A.A. (1998). Batch Biodegradation Of Mixture Of Organic Compounds Using Soil Microorganisms: 2. Bioavailability Of Sorbed Organic Compounds. Manusia dan Lingkungan, Nomor 16, Th.VI, hal: 45-54. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia. T. Grygar, D. Hradil, P. Bezdicˇka, Dousˇova, Capek, and O. Schneeweiss. (2007). Fe(III)-Modified Montmorillonite And Bentonite: Synthesis, Chemical And UV-Vis Spectral Characterization, Arsenic Sorption, And Catalysis Of Oxidative Dehydrogenation Of Propane. Clays and Clay Minerals, Vol. 55, No. 2, 165–176. Theo Kloprogge, J., Evans, R., Hickey, L., Frost, R. L., (2002). Characterisation and Al-pillaring of smectites from Miles, Queensland (Australia), Journal of Applied Clay Science, Elsevier Science, 157-163. Tissot, B. P., and Welte, D. H. (1984). Petroleum Formation and Occurrence. Second Revised and enlarged edition. Springer-Verlag, Berlin. 699 pp. Tjahjono, J.A.E. (2004). Survey Pendahuluan Endapan Bitumen Padat di Daerah Sendangharjo dan Sekitarnya, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. DIM, Bandung. Tobing, S.M. (2003). Inventarisasi Bitumen Padat dengan ‘Outcrop Drilling’ di Daerah Ayah, Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah. DIM, Bandung.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
170
Trisnamurti, R.H., Rahayu, W.S., Haerudin, H., Rinaldi, N. (2003, Agustus). Peluang CPO Sebagai Bahan Baku Dalam Penyediaan Bahan Bakar Bensin. Prosiding Seminar Nasional Daur Bahan Bakar, Serpong, Indonesia. Van Krevelen, D.W. (1993). Coal (http://www.amazon.com/Coal-ScienceTechnology-D-W-Krevelen/dp/0444895868). Elsevier Science. pp. 1002. ISBN 0444895868. Retrieved 2008-07-23. Vaughan, D..E.W. (1988). Pillared Clays – A Historical Perspective. Catalysis Journal, Elsevier, 2, 187-198. Waples, D.W. (1985). Geochemistry in Petroleum Exploration. Brown and Ruth Laboratories Inc, Denver Colorado, 33pp. Waples, D.W. (1985). Geochemistry in Petroleum Exploration. International Human Resources Developmen Co., Boston, 232 h. Widjaya, R.R. (2012). Bentonit Pilarisasi Cr dan Zeolit HZSM-5 Sebagai Katalis Pada Proses Konversi Ethanol Menjadi Biogasolin. Tesis S2. Program Studi Ilmu Material Pascasarjana Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Xiufeng Xu, Yanfei Pan, Xiaoyan Cui, Zhanghuai Suo. (2004). Catalytic Combustion of Methane Over Ti-Pillared Clay Supported Copper Catalysts. Journal of Natural Gas Chemistry. Vol. 13 No. 4 Y. El may, M. Jeguirim, S. Dorge, G. Trouvé, R. Said. (2011). Thermogravimetric Analysis And Kinetic Study On Palm Of Phoenix Dactylifera L. MCS 7. Chia Laguna, Cagliari, Sardinia, Italy, September 11-15. Yan Y.F., Zhang Z.E., Zhang L. and Zhang L. (2014). Influence of coal properties on the co-combustion characteristics of low-grade coal and city mud. Global NEST Journal. Vol. 16, No 2. pp 329-338. Printed in Greece. All rights reserved. Yoshioka1, H. and Ishiwatari, R. (2002). Characterization of organic matter generated from Green River shale by infrared laser pyrolysis. Geochemical Journal. Vol. 36, pp. 73 to 82. Youngquist, Walter (1998). "Shale Oil-The Elusive Energy" (http://hubbert.mines.edu/ news/Youngquist_ 98-4. pdf) (PDF). Hubbert Center Newsletter (Colorado School of Mines) (4). Retrieved 2008-0417. Yunani Y.N. , Is Fatimah, dan Riyanto. (2011). Preparasi Fe(III)-Montmorillonit Sebagai Katalis Pada Fotooksidasi Metilen Biru. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta 55281 Indonesia.
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
171
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
1
1. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD7-Asl2
Gambar 1. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2 Tahap-1, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 1, diperoleh y = -10216x + 10.39 Energi aktivasi dari OD7-Asl2 adalah: Ea = - (-10216) × 8.314 = 84.936 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2 adalah: 10.2 Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
2
Gambar 2. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2 Tahap-2, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 2, diperoleh y = -32708x + 47.39 Energi aktivasi dari OD7-Asl2 adalah: Ea = - (-32708) × 8.314 = 271.93 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2 adalah: 47
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
3
Gambar 3. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2 Tahap-3, dengan menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 3, diperoleh y = -43028x + 48.32 Energi aktivasi dari OD7-Asl2 adalah: Ea = - (-43028) × 8.314 = 357.73 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2 adalah: 48
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
4
Gambar 4. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2 Tahap-4, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 4, diperoleh y = -44394x + 32.26 Energi aktivasi dari OD7-Asl2 adalah: Ea = - (-44394) × 8.314 = 369.09 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2 adalah: 32 Nilai total energi aktivasi pada material serpih ini (perbandingan organik lebih besar) mempunyai nilai Ea=1083.7 kJ/mol, dan faktor pre eksponensial A=137.2. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
5
2. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD7-Asl2-Fe
Gambar 5. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2-Fe Tahap-1, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 5, diperoleh y = -9178x + 7.834 Energi aktivasi dari OD7-Asl2-Fe adalah: Ea = - (-9178) × 8.314 = 76.306 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2-Fe adalah: 7.9
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
6
Gambar 6. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2-Fe Tahap-2, dengan menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 6, diperoleh y = -24590x + 32.43 Energi aktivasi dari OD7-Asl2-Fe adalah: Ea = - (-24590) × 8.314 = 204.44 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2-Fe adalah: 32
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
7
Gambar 7. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2-Fe Tahap-3, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 7, diperoleh y = -13545x + 6.281 Energi aktivasi dari OD7-Asl2-Fe adalah: Ea = - (-13545) × 8.314 = 112.61 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2-Fe adalah: 6
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
8
Gambar 8. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD7-Asl2-Fe Tahap-4, dengan menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 8, diperoleh y = -42803x + 30.91 Energi aktivasi dari OD7-Asl2-Fe adalah: Ea = - (-42803) × 8.314 = 355.86 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD7-Asl2-Fe adalah: 31.5 Nilai total energi aktivasi pada material serpih ini mempunyai nilai Ea=749.22 kJ/mol, dan faktor pre eksponensial A=77.4. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
9
3. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD1-Ast3
Gambar 9. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast3 Tahap-1, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 9, diperoleh y = -6150x + 1.341 Energi aktivasi dari OD1-Ast3 adalah: Ea = - (-6150) × 8.314 = 51.131 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast3 adalah: -1.5
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
10
Gambar 10. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast3 Tahap-2, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 10, diperoleh y = -19371x + 17.18 Energi aktivasi dari OD1-Ast3 adalah: Ea = - (-19371) × 8.314 = 161.05 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast3 adalah: 17
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
11
4. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material OD1-Ast2-Fe
Gambar 11. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2-Fe Tahap-1, dengan menggunakan metoda thermogravimetry
Dari Gambar 11, diperoleh y = -8703x + 3.568 Energi aktivasi dari OD1-Ast2-Fe adalah: Ea = - (-8703) × 8.314 = 72.357 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast2-Fe adalah: 3.85
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
12
Gambar 12. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) OD1-Ast2-Fe Tahap-2, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 12, diperoleh y = -16505x + 11.96 Energi aktivasi dari OD1-Ast2-Fe adalah: Ea = - (-16505) × 8.314 = 137.22 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari OD1-Ast2-Fe adalah: 12
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
13
5. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material CEC 2
Gambar 13. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) CEC 2 Tahap-1, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 13, diperoleh y = -6068x + 5.583 Energi aktivasi dari CEC 2 adalah: Ea = - (-6068) × 8.314 = 50.449 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari CEC 2 adalah: 5.7
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
14
Gambar 14. Grafik ln[-ln(1-x)/T ] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) CEC 2 Tahap-2, dengan menggunakan metoda thermogravimetry 2
Dari Gambar 14, diperoleh y = -2415x + 9.209 Energi aktivasi dari CEC 2 adalah: Ea = - (-2415) × 8.314 = 20.078 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari CEC 2 adalah: 9.2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN PENENTUAN ENERGI AKTIVASI
15
Gambar 15. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, untuk penentuan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) CEC 2 Tahap-3, dengan menggunakan metoda thermogravimetry Dari Gambar 15, diperoleh y = -20281x + 11.82 Energi aktivasi dari CEC 2 adalah: Ea = - (-20281) × 8.314 = 168.62 kJ/mol Faktor Pre Eksponensial dari CEC 2 adalah: 12
Nilai total energi aktivasi pada pemanasan material CEC 2 ini adalah Ea=239.14 kJ/mol dan faktor pre eksponensial A=26.9. Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
1
Gambar 1. Grafik hubungan T vs k pada OD7-Asl2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
2
Gambar 2. Grafik hubungan T vs k pada OD1-Ast2-Fe
Gambar 3. Grafik hubungan T vs k pada OD7-Asl2-Fe
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
3
Gambar 4. Grafik hubungan T vs k pada OD1-Ast1
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
4
Gambar 5. Grafik hubungan T vs k pada OD1-Ast2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
5
Gambar 6. Grafik hubungan T vs k pada CEC 2
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN HUBUNGAN T vs k
6
Gambar 7. Grafik hubungan T vs k pada OD7-Asl1
Universitas Indonesia Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Katarzyna Slopiecka, Pietro Bartocci, Francesco Fantozzi University of Perugia, CRB-Biomass Research Centre Via G.Duranti-Strada S.Lucia Canetola s.n., 06125 Perugia, Italy
Thermogravimetric analysis and Kinetic study of poplar wood Pyrolysis
Third International Conference on Applied Energy - 16-18 May 2011 - Perugia, Italy K. Slopiecka, P. Bartocci, F. Fantozzi Thermogravimetric analysis and Kinetic study of poplar wood pyrolysis, pages 1687-1698
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
1
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Perbandingan Kinetika Global Proses Pirolisis Perhitungan energi aktivasi proses pirolisis didasarkan dengan menggunakan rumus perhitungan kinetika reaksi berorde satu atau yang lazim disebut global kinetic. Pendekatan global kinetic dipilih dalam penelitian ini dikarenakan penelitian ini memfokuskan pada proses dekomposisi termal dari sampel menjadi char sehingga produk yang digunkan sebagai dasar analisis adalah char. Penentuan besaran energi aktivasi dilakukan dengan metode grafis dengan rumusan yang digunakan berdasarkan pada persamanaan Arhennius, Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
2
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
3
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
4
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
5
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
6
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Gambar 3. Penentuan energi aktivasi pembakaran sampel dengan menggunakan metoda thermogravimetry
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
7
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Gambar 3. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara semi antrasit
Gambar 5. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara bituminous
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
8
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Gambar 7. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara sub bituminus
Gambar 2. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur batubara semi antrasit
Gambar 4. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur pemanasan batubara bituminus. Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
9
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Gambar 6. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur pemanasan batubara sub bituminus.
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
10
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
11
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
12
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
13
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
14
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
15
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
16
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
17
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
18
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
19
LAMPIRAN LITERATUR (SEBAGIAN): PENENTUAN ENERGI AKTIVASI, FAKTOR PRE-EKSPONENSIAL DAN KECEPATAN REAKSI DARI ANALISIS TGA
Universitas Indonesia
Tingkat maturasi..., Ordas Dewanto, FMIPA UI, 2015.
20