UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 6-17 OKTOBER 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
HARRY UTOMO, S.Farm. 1306502503
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 6-17 OKTOBER 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
HARRY UTOMO, S.Farm. 1306502503
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2015 ii
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
iii
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala, yang telah senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Dirjen Binfar Alkes), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (FF UI) untuk mencapai gelar Apoteker. Selain itu, kegiatan PKPA juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memahami peran dan tugas Apoteker di pemerintahan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pelaksanaan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung pada periode 6-17 Oktober 2014. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang diberikan, kepada: 1.
Bapak Drs. Elon Sirait, Apt., M.ScPH., selaku pembimbing di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian,
2.
Bapak Dr. Iskandarsyah, M.S., Apt., selaku pembimbing di FF UI,
3.
Bapak Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Apoteker FF UI,
4.
Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.S., Apt., selaku Dekan FF UI,
5.
Para staf di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian,
6.
Seluruh keluarga penulis atas do’a, semangat, dan dukungan moril serta materil yang telah diberikan,
7.
Ifthah Nur S., S.Farm., Apt., yang telah dengan penuh cinta dan kesabaran membantu dan menemani penulis,
8.
Rekan-rekan Program Profesi Apoteker FF UI angkatan LXXIX atas kebersamaan dan dukungan selama menempuh pendidikan, khususnya Anis Nur, S.Farm., Fitri Nurmayanti, S.Far., dan Pramita Bekti, S.Farm., sebagai rekan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian,
9.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan laporan ini, iv
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis peroleh selama menjalani PKPA ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan.
Penulis 2014
v
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
ABSTRAK
Nama : Harry Utomo, S.Farm. Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 6-17 Oktober 2014 Praktik Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian bertujuan untuk memahami struktur organisasi, tugas pokok, dan fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada umumnya, dan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian pada khususnya; memahami peran, tugas, dan tanggung jawab Apoteker di pemerintahan, khususnya di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; serta memberikan gambaran nyata tentang permasalahan kefarmasian di pemerintahan. Tugas khusus yang diberikan berjudul Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD) dari Metformin dan Simvastatin. Tugas khusus ini bertujuan untuk mengetahui metode ATC/DDD dari metformin dan simvastatin.
Kata Kunci
: Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, metode ATC/DDD, metformin, simvastatin Tugas Umum : vii + 34 halaman; 3 lampiran Tugas Khusus : iv + 23 halaman; 4 tabel; 1 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 7 (2005-2014) Daftar Acuan Tugas Khusus : 9 (2004-2014)
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
ABSTRACT
Name : Harry Utomo, S.Farm. Study program : Pharmacist/Apothecary Title : Pharmacist Professional Practice Report in Directorate of Pharmaceutical Cares, Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices Development Ministry of Health, Republic of Indonesia, Period of 6-17 October 2014 Pharmacist Professional Practice in Directorate of Pharmaceutical Cares aims to understand the organizational structure, duties, and functions of the Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices Development in general, and the Directorate of Pharmaceutical Cares in particular; understand the roles, duties, and responsibilities of pharmacists in government, especially in the Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices, and Directorate of Pharmaceutical Cares; and provide a real picture of the pharmaceutical problems in the government. The given special assignment titled Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD) of Metformin and Simvastatin. This particular assignment aims to determine the ATC/DDD method of metformin and simvastatin.
Keywords
: Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices Development, ATC/DDD method, metformin, simvastatin General Assignment : vii + 34 pages; 3 appendices Special Assignment : iv + 23 pages; 4 tables; 1 appendix Bibliography of General Assignment : 7 (2005-2014) Bibliography of Special Assignment : 9 (2004-2014)
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
ii iii iv vi vii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan............................................................................................... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM ............................................................................. 3 2.1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ................................... 3 2.2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ............. 8 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS .......................................................................... 3.1. Tugas dan Fungsi ............................................................................. 3.2. Sasaran ............................................................................................. 3.3. Strategi dan Kebijakan ..................................................................... 3.4. Struktur Organisasi ........................................................................... 3.5. Kegiatan ...........................................................................................
11 11 12 12 13 17
BAB 4 PEMBAHASAN .................................................................................... 4.1. Subdirektorat Standardisasi .............................................................. 4.2. Subdirektorat Farmasi Komunitas.................................................... 4.3. Subdirektorat Farmasi Klinik ........................................................... 4.4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional ........................................
20 20 22 24 26
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 29 5.1. Kesimpulan....................................................................................... 29 5.2. Saran ................................................................................................ 29 DAFTAR ACUAN ............................................................................................ 31 Lampiran
................................................................................................... 32
vi
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia . 32 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2014 .............................................................................. 33 Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 2014 ....................................................................................................... 34
vii
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan menjadi salah satu faktor mendasar yang menyebabkan masyarakat sadar akan pentingnya memelihara kesehatan, melalui media-media internet ataupun buku-buku kesehatan masyarakat bebas mengakses informasi apapun seputar kesehatan yang ingin diketahui. Berkembangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan menuntut penyedia pelayanan kesehatan mengembangkan pelayanan agar dapat diberikan secara optimal. Pelayanan kesehatan yang dahulu berorientasikan hanya kepada produk saja sekarang berkembang orientasinya menjadi kepada pasien, orientasi ini sekarang dikenal di dalam bidang farmasi sebagai “drug oriented menjadi patient oriented”. Dalam melakukan pelayanan kesehatan tentunya tidak lepas dari adanya peraturan, pedoman ataupun standar yang menjadi acuan pelayanan kesehatan. Peraturan, pedoman maupun standar ini di dalam pemerintahan di susun serta di terbitkan oleh suatu organisasi yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan. Dengan tujuan agar pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dilakukan dapat dilakukan secara komprehensif dan optimal dengan tetap menjaga mutu serta kualitas pelayanan. Oleh karena itu pemerintah membentuk suatu badan organisasi yaitu kementerian kesehatan
Republik
Indonesia
(KEMENKES
RI)
yang
berfungsi
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan. Kementerian kesehatan dalam struktur organisasinya sendiri membawahi salah satunya adalah direktorat jenderal bina kefarmasian dan alat kesehatan (DITJEN BINFAR dan ALKES) yang bertugas menyiapkan perumusan, pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK dan memberikan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang pelayanan kesehatan. Banyak pihak yang ikut serta dalam pelaksanaan fungsi DITJEN BINFAR dan ALKES ini, diantaranya tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, serta tenaga-tenaga lainnya.
1
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
2
Berdasarkan
Peraturan
No.1144/MENKES/PER/VIII/2010
Menteri
Kesehatan
mengenai
Republik
organisasi
dan
Indonesia tata
kerja
kementerian kesehatan dijabarkan secara spesifik kewenangan, tugas, fungsi serta peran tiap-tiap bagian direktorat. Sebagai salah calon apoteker yang nantinya juga akan bergerak dan terjun langsung dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan umumnya dan secara khusus pada pelayanan kefarmasian, maka perlu diadakan suatu pengalaman praktek kerja di pemerintahan agar dapat menanamkan pengetahuan secara real bagaimana fungsi apoteker di dalam pelaksanaan kebijakan serta penyusunan standar dan pedoman yang dibuat oleh organisasi tersebut. Sadar akan hal tersebut, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) khususnya dengan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (DITJEN BINFAR dan ALKES) untuk melakukan program praktek kerja bagi profesi apoteker yang selanjutnya di sebut sebagai PKPA untuk memperkenalkan dan memberi pembekalan secara langsung tentang fungsi apoteker dalam organisasi pemerintahan tersebut.
1.2. Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanaan di Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan bertujuan agar: 1.
Mahasiswa dapat memahami peranan. tugas dan tanggung jawab apoteker di pemerintahan khususnya di Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2.
Mahasiswa dapat memiliki pengetahuan tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
3.
Mahasiswa
memiliki
wawasan,pengetahuan,
keterampilan
dan
pengalaman praktis melakukan pekerjaan di pemerintahan. 4.
Mahasiswa
memiliki
gambaran
nyata
tentang
permasalahan
kefarmasian di pemerintahan
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 2 TINJAUAN UMUM
2.1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
merupakan
Organisasi
Kementerian Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan dengan tugas menyelenggarakan urusan dibidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Kemenkes, 2010).
2.1.1. Landasan Hukum Peraturan Menteri Kesehatan RI 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan.
2.1.2. Visi dan Misi Dalam pelaksanaannya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki visi “ Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”. Untuk mewujudkan visi maka ditetapkan misi sebagai berikut: a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. (Kemenkes, 2014)
2.1.3. Strategi Selain visi dan misi tersebut diatas, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga menetapkan strategi sebagai berikut, strategi ini dimaksudkan untuk mencapai visi misi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, strategi tersebut adalah: 3
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
4
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. f. Meningkatkan berdayaguna
manajemen dan
kesehatan
berhasilguna
untuk
yang
akuntabel,
memantapkan
transparan
desentralisasi
kesehatan yang bertanggungjawab. (Kemenkes, 2014)
2.1.4. Nilai-Nilai Dalam melaksanakan visi misi yang telah ditetapkan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjunjung tinggi dan meyakini nilai-nilai sebagai berikut: a. Pro Rakyat Kemenkes RI dalam melaksanakan fungsinya selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Dengan tujuan untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang setinggitingginya, mengingat derajat yang setinggi-tingginya merupakan hak asasi bagi setiap individu tanpa membedakan antara satu dnegan yang lainnya. b. Inklusif Pada pelaksanaan pembangunan kesehatan yang setinggi-tingginya, Kemenkes RI melibatkan semua pihak yaitu meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat, pengusaha, mesyarakat baik madani maupu masyarakat bawah.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
5
c. Responsif Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan kementerian kesehatan RI disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Sehingga pembangunan kesehatan yang dilaksanakan menjadi solusi sesuai dengan situasi dan kepentingan masing-masing individu. d. Efektif Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, kemenkes RI menetapkan target yang efektif dan bersifat efisien. e. Bersih Tentunya untuk mencapai semua pembangunan kesehatan, Kemenkes RI menjunjung tinggi penyelengaraan yang bebas dari KKN serta transparan.
2.1.5.
Tugas, Fungsi dan Kewenangan
Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan. b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya. c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya. e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden
Dalam menyelenggarakan fungsi, Kementerian Kesehatan RI mempunyai kewenangan : a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro. b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan. c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan. Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
6
d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan. e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan. f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan; . g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan. h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan. i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan. j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan. k. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan. l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak. m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan. p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan. q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi. r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan. s. Surveilans
epidemiologi
serta
pengaturan
pemberantasan
dan
penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa. t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat essential (buffer stock nasional). u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : i.
Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
7
ii.
pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan
2.1.6. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan memiliki susunan organisasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, maka Struktur organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Kementerian Kesehatan, 2010) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
8
Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran.
2.2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI 2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan Standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2010). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010) : a) Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. b) Pelaksanaan kebijakan bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c) Penyusunan NSPK dibidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d) Pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang pembinaan
kefarmasian dan alat kesehatan. e) Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.2 Sasaran Kebijakan Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
melalui
Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil
program
yang
tersusun
dalam
RENSTRA
2010-2014
Kementerian Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan
alat
kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a) Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Luaran: Meningkatnya ketersediaan Obat Esensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
9
i.
Persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%.
ii.
Persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%.
iii.
Persentase instalasi farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%.
b) Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Luaran: Meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan PKRT. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: i.
Persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sebesar 95%.
ii.
Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 60%.
iii.
Persentase sarana distribusi alat kesehatan yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%.
c) Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Luaran: Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: i.
Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasiaan sesuai standar sebesar 45%.
ii.
Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 15%.
iii.
Persentase penggunanaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah sebesar 60%.
d) Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Luaran: i.
Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian.
ii.
Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian.
iii.
Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat
tradisional
produksi di dalam negeri Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
10
i.
Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis.
ii.
Jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar.
2.2.3 Struktur Organisasi Ditjen Binfar dan Alkes dipimpin oleh Direktur Jenderalyang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2010). Struktur Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Kementerian Kesehatan, 2010): a) Sekretariat Direktorat Jenderal b) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan c) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian d) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan e) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Bagan struktur organisasi dapat dilihat pada Lampiran.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah direktorat yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dasar hukum pengaturan struktur organisasi dan tata kerja, tugas serta fungsi ditetapkan dalam Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
3.1. Tugas dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 bagian kelima pasal 568, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam
melaksanakan
tugas tersebut, Direktorat
Pelayanan
Kefarmasian
menyelengarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b) Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. c) Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d) Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. e) Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. 11
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
12
3.2. Sasaran (Kemenkes, 2010) Sasaran umum Ditken Binfar dan Alkes adalah semakin baiknya pembinaan dalam bidang penggunaan obat rasional, pelayanan farmasi komunitas dan klinik, obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan.Sedangkan sasaran khusus nya antara lain: a) Ketersediaan obat esensial-generik di sarana pelayanan kesehatan menjadi 95%. b) Anggaran untuk obat esensial generik disekitar publik setara dengan US$/kapita/tahun.
3.3. Strategi dan Kebijakan Dalam
pelaksanaan
pembangunan
kesehatan
periode
2010-2014,
perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Dalam rangka mencapai sasaran hasil program, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengikuti strategi ”Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan”, yaitu dengan menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dilakukan melalui peningkatan akses obat bagi masyarakat luas serta pemberian dukungan untuk pengembangan industri farmasi di dalam negeri sebagai upaya kemandirian di bidang kefarmasian; penggunaan obat yang rasional dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu; menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), utamanya pada Obat Esensial Generik untuk pengendalian harga obat; meningkatkan pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk mengembangkan industri obat herbal Indonesia; memantapkan kelembagaan dan meningkatkan koordinasi dalam pengawasan terhadap sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan untuk menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu dalam rangka perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
13
Fokus strategi kebijakan: (Depkes, 2012) a. Mendorong upaya pembuatan obat dan produk farmasi lain yang terjangkau dengan tanpa mengabaikan masalah kualitas dan keamanan obat. b. Meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik. c. Meningkatkan penggunaan obat rasional. d. Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu obat, obat tradisional, kosmetika, makanan, alat kesehatan dan PKRT yang beredar. e. Mengembangkan peraturan dalam upaya harmonisasi standar termasuk dalam mengantisipasi pasar bebas. f. Meningkatkan kualitas sarana produksi, distribusi dan sarana pelayanan kefarmasian. g. Meningkatkan pelayanan kefarmasian yang bermutu. h. Meningkatkan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia. i. Meningkatkan penelitian di bidang obat, kemandirian di bidang produksi bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat kesehatan
3.4. Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan
Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terbagi atas 4 subdirektorat, 1 subbagian dan 1 kelompok jabatan Fungsional. Adapun secara rinci pembagian struktur organisasi tersebut yaitu : a) Subdirektorat Standardisasi b) Subdirektorat Farmasi Komunitas c) Subdirektorat Farmasi Klinik d) Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e) Subbagian Tata Usaha f) Kelompok Jabatan Fungsional
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
14
Tiap subdirektorat dipimpin oleh kepala subdirektorat dan subbagian Tata Usaha dipimpin oleh kepala subbagian. Masing-masing subdirektorat membawahi dua seksi yang masing-masing dipimpin oleh kepala seksi serta di bantu oleh stafstaf lainnya.
3.4.1. Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat standardisasi merupakan subdirektorat yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Standardisasi menyelenggarakan fungsi : a) Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. b) Penyiapan bahan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. c) Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri atas dua seksi yaitu : a) Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Tugas dari Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian diantaranya adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang pelayanan kefarmasian. b) Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Tugas dari Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional diantaranya adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penggunaan obat rasional.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
15
3.4.2. Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat
Farmasi
Komunitas
merupakan
subdirektorat
yang
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Standardisasi menyelenggarakan fungsi : a) penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas b) penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang farmasi komunitas c) penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas d) penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas
Subdirektorat Standardisasi terdiri atas dua seksi yaitu : a) Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang farmasi komunitas. b) Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
3.4.3. Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik merupakan subdirektorat yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Klinik menyelenggarakan fungsi :
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
16
a) penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik b) penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang farmasi klinik c) penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik d) penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas : a) Seksi Pelayanan Farmasi Klinik Seksi Pelayanan Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang farmasi klinik. b) Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
3.4.4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional merupakan subdirektorat yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi : a) penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional b) penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional c) penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas : Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
17
a) Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional. b) Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
3.4.5. Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
3.5. Kegiatan 3.5.1. Subdit Farmasi Klinik Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam subdit farmasi klinik: 1. Pelatihan apoteker klinik secara nasional 2. Melakukan advokasi ke universitas, pemerintah daerah dan BKD 3. Mengadakan Joint class (Pelatihan khusus) untuk apoteker yang secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan kefarmasian dan melaporkan pelayanan tersebut ke bina pelayanan kefarmasian. 4. Pelatihan apoteker khusus yang bekerja di RS tipe C, pelatihan ini dilakukan salah satunya untuk meningkatkan komunikasi antar tenaga kesehatan khususnya dokter. 5. Membangun komunikasi yang baik dengan organisasi tertentu yang secara langsung terlibat dalam pelayanan kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
18
3.5.2. Subdit Farmasi Komunitas Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam subdit farmasi komunitas: 1. Subdit farmasi komunitas mengadakan bumbinngan langsung ke komunitas yaitu meliputi apotek, Puskesmas dan klinik. 2. Mengadakan bimbingan teknis berupa monitoring dan evaluasi yang sesuai dengan indikator dan kegiatan pelayanan kefarmasian seperti contohnya melakukan pelatihan evaluasi dan monitoring penggunaan obat rasional dengan menggunakan indikator seperti jumlah penggunaan obat di resep yang tidak melebihi 4 obat, penggunaan obat suntik pada myalgia (sakit otot), evaluasi penggunaan antibiotik pada diare non spesifik dan lain-lain yang nanntinya juga dilakukan oleh subdit penggunaan obat rasional. 3. Melakukan penyususnan NSPK, penyusunan NSPK ini diterapkan dengan melibatkan akademis, bisnis (praktisi) dan government. 4. Meningkatkan kapasitas tenaga farmasi dengan cara meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian baik di Puskermas, klinik maupun apotek. Peningkatan mutu pelayanan ini direalisasikan dengan cara salah satunya menetapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan Puskesmas. Sedangkan untuk standar pelayanan di klinik samapai saat ini belum di tetapkan karena dirasa belum begitu urgent sehingga standar pelayanan kefarmasian di klinik dapat mengikuti standar pelayanan kefarmasian yang telah dibuat di Puskesmas maupun apotek. Peningkatan kapasitas tenaga farmasi ini salah satunya dilakukan dengan cara advokasi dan sosialisasi ke universitas-universitas untuk menarik minat para apoteker untuk ditempatkan di pukesmas perawatan. 5. Mengadakan dan membuata software yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian di komunitas, sejauh ini telah dibuat suata software Pelayanan Informasi Obat (PIO). Adanya software ini dimaksudkan agar pemerintah dapat secara langsung membantu dan mempermudah kinerja apoteker di bidang farmasi komunitas.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
19
6. Melakukan monitoring dan evaluasi khususnya pada penggunaan obat rasional (POR) dengan indikator-indikator yang telah disebutkan pada point 2. 7. Menggalang kerja sama lintas sektor, hal ini dilakukan untuk mendukung peningkatan kapasitas tenaga kefarmasian agar tenaga kefarmasian berada di dalam pelayanan kefarmasian. Hal ini dilakukan karena terakhir informasi didapatkan bahwa farmasi khususnya apoteker hanya sekitar 18% yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 4 PEMBAHASAN
Pelayanan kefarmasian adalah bagian penting dari pelayanan kesehatan dan merupakan bentuk pelayanan dan tanggungjawab langsung profesi kefarmasian. Sejalan dengan komitmen pelayanan kefarmasian yang Baik (Good Pharmacy Practice) untuk menjamin keselamatan pasien (patient safety), praktek pelayanan kefarmasian di dunia, dimana paradigma lama yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, telah berkembang menjadi paradigma baru pelayanan kefarmasian yang komprehensif dengan tujuan meningkatkan penggunaan obat yang rasional, keamanan penggunaan obat dan efisiensi biaya obat, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Direktorat Bina Pelayanan Farmasi merupakan salah satu direktorat dibawah Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. Dalam tugasnya, direktorat bina farmasi bertanggungjawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Adapun tugas pokok dan fungsi dari Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan subdirektorat-subdirektoratnya tertuang dalam Permenkes No. 1144 tahun 2010. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian memiliki 40 staf yang terdiri dari 14 orang di bagian struktural dan 29 orang staf dengan latar belakang pendidikan yang bermacam-macam. Kebanyakan diantaranya merupakan seorang apoteker dan D3 Farmasi serta sisanya merupakan sarjana dari bidang yang lainnya, seperti sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan lain-lain.
4.1. Subdirektorat Standardisasi Salah satu bentuk pelaksanaan tugas dari sub direktorat standardisasi adalah penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas). Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) berisi daftar nama-nama obat yang sangat mendasar dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Mulanya DOEN direvisi setiap 3 tahun sekali, karena dirasa yang perlu pembaharuan, maka DOEN kini mengalami revisi setiap 2 tahun sekali. Diharapkan dengan revisi dengan 20
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
21
interval waktu yang lebih singkat, maka update mengenai dunia kesehatan dapat diikuti. Selain itu terdapat Formularium Nasional yang direvisi setiap 2 tahun. Formularium ini dibuat dengan harapan dapat menjadi acuan dalam pengadaan obat-obatan secara nasional. Penyusunan Fornas maupun DOEN melibatkan sejumlah ahli farmakologis, dan apoteker yang tergabung sebagai Komite Nasional serta rumah sakit-rumah sakit di Indonesia baik Rumah Sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. mulanya Komite Nasional akan menerima usulan-usulan obat-obat yang akan dimasukkan dalam DOEN atau Fornas berupa daftar dengan dengan disertai bukti ilmiah atau Evidence Base Medicine (EBM) dari obat yang diusulkan. Usulanusulan tersebut dikompilasi menjadi 29 kelas terapi yang kemudian akan dibahas oleh Komite Nasional beserta dengan para spesialis dalam rapat pra-pleno. Dalam Rapat pra-pleno ini, Komite Nasional masih menerima usulan-usulan daftar obat yang akan dibuat. selanjutnya pada rapat pleno, DOEN atau Fornas dapat disahkan, sehingga segala usulan yang mengubah daftar obat-obat tidak lagi diterima. Usulan yang diterima adalah yag terkait dengan editorial. Daftar obat yang telah jadi di sampaikan kepada Direktorat Obat Publik untuk penetapan harga. Selain itu penyusunan juga melibatakan Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan terkait dengan nomor registrasi atau ijin edar
dan indikasi yang
didaftarkan. Selain itu, produk dari subdirektorat standardisasi adalah pedoman-pedoman yang dibuat dengan harapan dapat menjadi acuan dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Beberapa buku pedoman yang telah diterbitkan antara lain Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Pedoman Pharmaceutical Care Penyakit Hepatitis, Pedoman Pharmaceutical Care penyakit Diabetes, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dan lain-lain hingga telah mencapai lebih dari 26 buah buku pedoman yang telah diterbitkan. Telah dikeluarkan juga Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit, Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek dan Standar Pelayanan Kefarmasian Puskesmas dalam bentuk Peraturan Menteri, yaitu Permenkes RI No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Permenkes RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Permenkes RI No. 30 Tahun 2014 tentang Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
22
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dan sedang di proses Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik.
4.2. Subdirektorat Farmasi Komunitas Sesuai amanah UU No.36 /2009 dan PP No. 51 / 2009, Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker Kualitas dan Kuantitas SDM Apoteker masih sangat terbatas
Perlunya dukungan /Komitmen penentu
kebijakan dan Stakeholder Fasilitas dan sarana untuk pelaksanaan Yanfarklin belum memadai Pemahaman pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada patient safety belum memadai. “Puskesmas Perawatan yg melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar” pada tahun 2014 sebesar 45 % yaitu “Puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar” yang melaksanakan Pemberian Informasi Obat dan Konseling. Indikator ini semakin meningkat dari tahun ke tahun yaitu 7% pada tahun 2010 hingga 39,79% pada tahun 2014. Total puskesmas yang memberikan perawatan yang melaksanakan pemberian informasi obat dan konseling pada tahun 2010-2014 adalah sebanyak 1320 dari total puskesmas perawatan sebanyak 3317. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan khusus tersebut dari hasil evaluasi pada 70 puskesmas di 18 propinsi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian masing-masing menempati persentase 34% dan 44%. Pelayanan yang diberikan berupa pemberian informasi obat yang terdiri dari pemberian info aturan pakai (merupakan % informasi terbanyak) selanjutnya, lama pengobatan, cara pemakaian, efek samping, interaksi obat serta cara penyimpanannya. Akan tetapi persentase pelaksanaan visit pasien hanya dilakukan sekitar 8% (5% visit tim dan sisanya bisit mandiri). Selanjutnya dari hasil monitoring yang dimiliki oleh subdit farmasi komunitas ditemukan persentase sebanyak 44% Puskesmas menggunakan lembar resep lengkap sesuai ketentuan yang berlaku,perasentase ini sebanding dengan penggunaan lembar resep yang tidak lengap, resep ini ditulis oleh Dokter/Dokter gigi (99%) dan perawat/bidan (73%). Subdirektorat Farmasi Komunitas memiliki upaya untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian seperti advokasi untuk meningkatkan pemahaman Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
23
pelayanan kefarmasian, meningkatkan kompetensi dan percaya diri apoteker, advokasi untuk memperoleh dukungan penentu kebijakan dan memperkuat sarana informasi dan saranan pendukung lainnya. Untuk mencapai indikator peningkatkan mutu pelayanan kefarmasian subdit farmasi komunitas menentukan strategi seperti menetapkan NSPK melalui uji Preliminary Tool Assesment Pelayanan kefarmasian di Apotek dalam rangka Penerapan Akreditasi (6 Provinsi) sehingga diharapkan tersedianya Tool Assesment implementasi standar pelayanan kefarmasian di apotek ketika melaksanakan akreditasi. Subdit ini juga menetapkann pengembangan sumber daya melalui percepatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan (Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Bali) dengan tujuan untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada kepala Puskesmas dan pengelola obat tentang peran dan tanggung jawab apoteker/tenaga kefarmasian sebagai penanggungjawab pelayanan kefarmasian di Puskesmas Perawatan sehingga mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Perawatan meningkat. Strategi lainnya adalah pengembangan software PIO berbasis web server dengan tujuan untuk melengkapi database software PIO yang telah ada dalam rangka meningkatkan mutu yanfar agar tersusun PIO berbasis web. Pembekalan bagi tenaga kefarmasian di Puskesmas pada penatalaksanaan pelayanan rujuk balik pada penyakit kronik juga dilaksanakan untuk melatih tenaga kefarmasian secara teknis pada penggunaan obat tertentu dalam rangka peningkatan kompetensi apoteker pada penatalaksanaan pelayanan rujuk balik untuk penyakit kronik dan diharapkan tersedianya
tenaga
kefarmasian
yang
mampu
melaksanakan
pelayanan
kefarmasian untuk penyakit kronis. Strategi selanjutnya adalah advokasi pelayanan kefarmasian di Puskesmas kepada mahasiswa program profesi apoteker di Universitas Andalas, Sumatra Barat dan Universitas Airlangga, Jawa Timur. Advokasi sekaligus pembelajaran bagi apoteker sebagai penanggungjawab pelayanan kefarmasian di Puskesmas serta Sebagai forum komunikasi antara Mahasiswa, Pemerintah dengan Perguruan tinggi terkait pelayanan kefarmasian di komunitas untuk dukungan Perguruan Tinggi Farmasi dalam mempersiapkan calon Apoteker agar siap melaksanakan pelayanan
kefarmasian
di
Puskesmas.
Evaluasi
pelaksanaan
pelayanan
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
24
kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan juga untuk mendapatkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota tentang pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Puskesmas dan untuk mengevaluasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Puskesmas, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota. Selanjutnya yang terakhir adalah koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan mutu pelayanan sebagai forum diskusi antara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta stakeholder terkait penempatan apoteker di Puskesmas dalam mendukung pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk mewujudkan peningkatan pelayanan kefarmasian yang optimal di komunitas. Strategi lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian adalah pembiayaan pelaksanaan kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian dianggarkan dari APBD & APBN, melaksanakan kerjasama
penelitian dan sharing informasi dengan perguruan
tinggi/fakultas farmasi tentang praktek pelayanan kefarmasian di komunitas, advokasi ke kabupaten/kota untuk pengangkatan apoteker di Puskesmas (sesuai amanah PP 51 tahun 2009), pelayanan kefarmasian dimasukkan dalam Penilaian Kinerja
Puskesmas
kerjasama
Bidang
terkait
di
Dinas
Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota.
4.3. Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik berperan dalam membuat kebijakan pelayanan kefarmasian klinik. Tuntutan masyarakat mengenai peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian mengharuskan perluasan paradigma dalam pelayanan kefarmasian dari pelayanan kefarmasian berorientasi produk (drugoriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented). Untuk mendukung terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian yang baik maka diperlukan suatu panduan atau standar apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh subdirektorat farmasi klinik diantaranya adalah pelatihan apoteker klinik secara nasional dimana apotekerapoteker aktif melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan kefarmasian dan melaporkan pelayanan tersebut ke bina pelayanan kefarmasian.dan terpilih dari Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
25
seluruh rumah sakit di Indonesia dikumpulkan untuk diberikan pelatihan secara bersama. Pelatihan dilakukan secara tematik, seperti pelatihan khusus pelayanan kefarmasian penyakit tuberkulosis (TB), cara penanganan obat sitostatika, dan lain-lain. Selain itu, sebagai bekal untuk apoteker tampil di depan, subdirektorat farmasi klinik juga memberikan pelatihan komunikasi kepada para apotekerapoteker dengan materi yang diberikan oleh seorang psikolog. Diharapkan apoteker mampu berkomunikasi dengan baik kepada pasien maupun teman sejawat kesehatan yang lain, sehingga pemberian konseling, edukasi, dan informasi terkait obat kepada pasien dapat dengan baik disampaikan dan diterima oleh pasien. Selain itu, tranfer pengetahuan antara apoteker dengan teman sejawat kesehatan lain dapat berlangsung dengan baik. Apoteker-apoteker
yang
telah
diberikan
pelatihan-pelatihan
tersebut
kemudian disiapkan untuk mengikuti program pelatihan Joint class (kelas bersama) yang nantinya akan dilaksanakan bersama dengan dokter dan tenaga kesehatan yang lain. Sayangnya pelaksanaan joint class belum rutin dilaksanakan, baru sekali pada tahun sebelumnya. Subdirektorat menilai perlu persiapan yang lebih matang dari apoteker untuk diikutsertakan dalam kegiatan join claas. Sehingga pada tahun ini, pemerintah berfokus kepada penyiapan mental dan materi dari apoteker, dan diharapkan pada tahun depan apoteker dapat ikutserta dalam join class. Program pelatihan joint class dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan eksistensi dan kepercayaan diri apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian, dimana pelayanan kefarmasian merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang tentunya melibatkan tenaga-tenaga kesehatan yang lain. Telah diketahui sejak lama bahwa dokter memainkan peranan yang dominan dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu tantangan seorang apoteker kini adalah apoteker sejajar dengan dokter, sehingga apoteker, dokter dan tenaga kesehatan yang lain dapat bekerjasama dengan baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. Wujud pelaksanaan tugas pokok subdirektorat farmasi klinis dalam mebuat, melaksanakan dan penyusunan NSPK, Subdirektorat Farmasi Klinis bekerjasama dengan subdirektorat menbuat standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit dalam bentuk Permenkes RI No. 5 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
26
Kefarmasian di Rumah Sakit. Permenkes tersebut salah satunya mengatur jumlah apoteker di rumah sakit, dimana disebutkan bahwa jumlah apoteker dalam pelayanan pasien rawat inap adalah 1 apoteker klinis untuk 30 pasien rawat inap dan 1 apoteker klinis untuk 50 pasien rawat jalan. Fakta yang ada di lapangan adalah jumlah apoteker klinis belum sesuai dengan standar yang diberlakukan. Data dari Direktorat Bina Upaya Kesehatan, Kemkes RI tahun 2014 bahwa jumlah rumah sakit yang ada di Indonesia adalah 2379 rumah sakit yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta baik RS publik maupun RS privat. Jumlah kapasitas tempat tidur untuk pasien rawat inap secara total adalah 288.421 tempat tidur dan jumlah total farmasi di rumah sakit terdapat 13.190 orang (Depkes, 2014). Berdasarkan data tersebut, terlihat dan terbukti bahwa jumlah apoteker kurang memadai untuk melakukan praktek farmasi klinik di rumah sakit. oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan SDM apoteker di rumah sakit serta meningkatkan kompetensi apoteker dalam pelayanan klinis.
4.4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat POR mempunyai program kerja, yaitu membuat kebijakankebijakan seputar penggunaan obat rasional di Puskesmas dan rumah sakit. Kebijakan penggunaan obat rasional merupakan salah satu upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan, efektifitas serta biaya yang terjangkau dari suatu pengobatan yang diberikan kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan maupun pada pengobatan sendiri (self-medication) (Kementerian Kesehatan, 2012). Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis untuk periode waktu yang adekuat dengan biaya yang terendah bagi pasien dan masyarakat (Kemkes, 2012). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat yang diberikan cenderung berlebih terutama obat antibiotik dan steroid (Dwiprahasto, 2006). Selain itu, kenyataan di Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
27
masyarakat, tumbuh paradigma jika tidak mengkonsumsi antibiotik maka penyakitnya tidak sembuh. Hal ini memaksa tenaga kesehatan untuk meresepkan antibiotik walaupun sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pasien. Untuk meningkatkan penggunaan obat rasional, maka Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional melakukan PPOR. Program ini merupakan kegiatan pembinaan POR yang terarah, sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dengan menyertakan wilayah atau daerah dan lembaga atau perorangan untuk melaksanakan POR bersama-sama dengan mengembangkan pelaksanaannya pada pelayanan kesehatan dasar, rujukan, maupun kepada masyarakat. Prioritas pengembangannya dengan melakukan pembinaan kepada tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah dan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan pemerintah serta dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan edukasi mengenai POR. Keberhasilan program PPOR sangat bergantung kepada penerapan langkah-langkah program yang didukung oleh Puskesmas dan rumah sakit serta seluruh upaya berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian Kesehatan, 2012). Program kerja Subdirektorat POR saat ini, untuk melihat penggunaan obat rasional mengacu pada 3 indikator yaitu penggunaan antibiotik terhadap ISPA non pneumonia, penggunaan antibiotik pada diare non spesifik, serta persentase penggunaan suntikan pada penyakit myalgia.
Hal ini dilatarbelakangi masih
tingginya penggunaan antibiotik di pelayanan kesehatan dasar. Dimana Subdirektorat POR melakukan pemantauan penggunaan obat rasional di pelayanan kesehatan dasar dan Rumah Sakit serta melihat peresepan obat generik yang bertujuan untuk meminimalisir penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan menggalakkan peresepan obat generik. Penerapan Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) dalam rangka pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan pelatihan dan sosialisasi mengenai POR kepada tenaga kesehatan, kader, dan Dinas Kesehatan daerah yang dilakukan oleh Ditbinyanfar. Pelaksanaan kebijakan POR memerlukan pengorganisasian, penggerakan, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Selain itu keberhasilan pelaksanaan kebijakan POR sangat tergantung pada moral, etika, dedikasi, kompetensi, integritas, ketekunan, dan kerja keras segenap pemangku kepentingan Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
28
dibidang obat. Promosi penggunaan obat rasional dilaksanakan secara gencar sebagai antisipasi penanggulangan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penggunaan obat rasional. POR tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas karena tercapainya POR merupakan hasil dari kualitas pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas yang baik.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
4.5. Kesimpulan Dari hasil pengamatan pada pelaksanaan PKPA di Direktorat Bina Farmasi dan Alat Kesehatan dapat disimpulkan bahwa : a. Tugas dan tanggung jawab apoteker secara global ada dalam Dijten Binfar dan Alkes yaitu menyelenggarakan program kerja yang sesuai dengan kompetensinya untuk mewujudkan visi dan misi dalam Dijten Binfar Alkes. b. Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah “merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c. Dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pada kenyataannya Ditjen Binfar dan Alkes merujuk pada peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 2010 nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010. d. Ditjen Binfar dan Alkes sampai saat ini sedang berusaha meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang secara riil dilaksanakan melalui strategistrategi yang telah ditetapkan baik oleh subdirektorat komunitas, subdirektorat klinik, subdirektorat POR serta subdirektorat standarisasi.
4.6. Saran a.
Penyelenggaraan PKPA di Kementerian Kesehatan RI khususnya Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sebaiknya dilaksanakan dalam waktu yang lebih lama, agar calon Apoteker mendapat pengetahuan yang cukup dari tiap Sub Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian baik mengenai tugas, fungsi serta implementasinya secara langsung.
b.
Materi yang disampaikan tidak hanya dari direktorat tempat peserta PKPA masing-masing, tetapi juga dari direktorat-direktorat lainnya sehingga peserta dapat mengetahui tentang direktorat-direktorat tersebut walau hanya secara umum (sistem rolling). 29
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
30
c.
Pemberian materi dari direktorat dan sub-sub direktorat untuk peserta sebaiknya
terjadwal,
dengan
pihak
peserta
PKPA
tetap
aktif
meminta/menanyakan waktu yang memungkinkan untuk pemberian materi.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
31
DAFTAR ACUAN
Kemenkes,
2010.
PERMENKES
1144/MENKES/PER/VIII/2010
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
tentang
Jakarta: Biro
Hukum dan Organisasi Kemkes 2010.
Depkes
RI.
Data
Rumah
Sakit
Online,
http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/report/report_by_catrs.php diakses pada tanggal 16 Oktober 2014
Depkes RI. 2012.Laporan Akuntabilitas Kinerja Ditjen Binfar dan Alkes Tahun 2012.
http://binfar.depkes.go.id/bmsimages/1370323381.pdf
diakses
pada tanggal 16 Oktober 2014 pukul 21:18
http://www.depkes.go.id/ diakses pada tanggal 7 Oktober 2014 pukul 09.30 WIB.
Kemenkes. 2010. Materi pelatihan manajemen kefarmasian di instalasi farmasi kabupaten/Kota. Jakarta: Kemenkes RI.
Menkes. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.
Menkes. 2009. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 Pasal 530. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
32
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Drs. H. Purwadi, Apt., MM.,ME
Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Dra. Engko Sosialine M, Apt
Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Drs. Bayu Teja M, Apt., MPharm
Direktur Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan drg. Arianti Anaya I., MKM
Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si
33
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 2014
Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Drs. Bayu Teja M., M.Pharm, MM
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Desko Irianto, SH, M.Si
Kepala Sub Direktorat Standardisasi dr. Zorni Fadia
Kepala Sub Direktorat Farmasi Komunitas Drs. Elon Sirait, Apt, MScPH
Kepala Sub Direktorat Farmasi Klinik Dra. Dara Amelia, Apt, MM
Kepala Sub Direktorat Penggunaan Obat Rasional Drs. Heru Sunaryo, Apt
Kepala Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Sari Mutiarani, S.Si, Apt
Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas Fachriah Syamsudin, S.Si, Apt
Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Klinik Sri Bintang Lestari, S.Si, Apt, M.Si
Kepala Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt
Kepala Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Dra. Ema Viaza, Apt
Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Indah Susanti, S.Si, Apt
Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Helsy Pahlemy, S.Si, Apt, M.Farm
Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Dra. Ardiyani, Apt
34
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
ANATOMICAL THERAPEUTIC CHEMICAL/DEFINED DAILY DOSE (ATC/DDD) DARI METFORMIN DAN SIMVASTATIN
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
HARRY UTOMO, S.Farm. 1306502503
ANGKATAN LXXIX
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2015
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
i ii iii iv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan............................................................................................... 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1. Anatomical, Therapeutic, Chamical (ATC) ..................................... 2.2. Define Daily Dose (DDD) ................................................................ 2.3. Metformin dan Simvastatin ..............................................................
3 3 6 14
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN ........................................................ 17 3.1. Waktu dan Tempat Pengkajian ........................................................ 17 3.2. Metode Pengumpulan Data dan Pengkajian..................................... 17 BAB 4 PEMBAHASAN .................................................................................... 18 4.1. Metformin......................................................................................... 18 4.2. Simvastatin ....................................................................................... 19 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 21 5.1. Kesimpulan....................................................................................... 21 5.2. Saran ................................................................................................ 21 DAFTAR ACUAN ............................................................................................ 22 Lampiran
................................................................................................... 23
ii
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel Tabel Tabel Tabel
2.1. Dosis dan Durasi Kerja Metformin ............................................... 2.2. Dosis Simvastatin ......................................................................... 4.1. Klasifikasi ATC/DDD Metformin ................................................ 4.2. Klasifikasi ATC/DDD Simvastatin ..............................................
iii
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
15 16 19 20
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Indeks A-Z Dalam Sistem Klasifikasi ATC .................................. 23
iv
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Meningkatnya kasus penyakit kronis di Indonesia terutama diabetes melitus dan dislipidemia menyebabkan meningkatnya peresepan obat antidiabetik oral dan obat dislipidemia. Contoh obat penyakit kronis yang dikonsumsi terusmenerus oleh penderita diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah metformin dan untuk penderita dislipidemia adalah Simvastatin. Diabetes sudah menjadi perhatian dunia internasional dan dikatakan sebagai “The public health emergency emerging in slow motion”. Data dari The Insulin Resistance Atherosclerosis Sensitivity (IRAS) Study mengenai hasil evaluasi sensitivitas insulin pada 479 pasien dengan DM tipe 2 menununjukkan 92% resistansi insulin dan hanya 8% yang sensitif insulin. Resistansi insulin merupakan problem utama DM tipe 2 karena menyebabkan proses degeneratif pada pasien. Sejak abad ke-19 sampai abad ke-21, Metformin masih menjadi primadona pengobatan DM tipe 2 (Nisa, 2013). Meningkatnya
kasus
dislipidemia juga menyebabkan
peningkatan
pengguna obat golongan statin khususnya Simvastatin. Selain itu, Simvastatin harus dikonsumsi seumur hidup untuk mengontrol kadar lipid darah. Penggunaan obat Simvastatin mempunyai kecenderungan meningkat. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah pasien hiperlipidemia oleh karena pola hidup tidak sehat dan keunggulan Simvastatin sebagai obat penurun kadar lemak darah. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan Simvastatin merupakan obat golongan statin yang paling banyak menimbulkan gangguan fungsi memori (Adesta, 2010). Sejak 1996, World Health Organization (WHO) merekomendasikan ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) bersama dengan unit DDD (Defined Daily Dose) untuk dikembangkan sebagai standar global untuk studi penggunaan obat dan pelaporan reaksi efek obat. Klasifikasi ATC berdasarkan kepada organ atau sistem dimana aksi kimia, farmakologi, dan sifat terapi bekerja. Klasifikasi dan panduannya biasa mengalami perbaharuan dan sistem ini secara luas digunakan secara internasional. Kode ATC terdapat pada kode katalog obat nasional dan 1
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
2
internasional. Tujuan utama analisis dengan ATC/DDD adalah untuk mengukur intensitas konsumsi produk obat dan memperbaiki kualitas penggunaan obat (Hutchinson et al., 2004) DDD diasumsikan sebagai dosis pemeliharaan rata-rata perhari yang digunakan untuk indikasi utama orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai kode ATC. Metode DDD merubah dan menyeragamkan data kuantitas produk yang ada seperti dalam berbagai bentuk sediaan seperti tablet, injeksi vial, dan botol kedalam perkiraan kasar dari pemaparan obat yang dinamakan sebagai dosis harian (Anonim, 2010). Karena latar belakang tersebut dibuat studi ATC/ DDD penggunaan obat Metformin dan Simvastatin.
1.2. Tujuan Tujuan dari dilakukannya studi ATC/DDD obat adalah: a. Mengetahui metode ATC/DDD Metformin b. Mengetahui metode ATC/DDD Simvastatin
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomical, Therapeutic, Chemical (ATC) (WHOCC, 2014) Klasifikasi anatomi produk-produk farmasi atau obat mulanya di prakarsai oleh European Pharmaceutical Marketing Research Association (EphMRA) yaitu pada tahun 1971. Kini metode ini dikembangkan bersama oleh Pharmaceutical Business Intelligence and Research Group (PBIRG) dan EphMRA. Dalam sistem ATC ini zat aktif atau obat dibagi ke dalam kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem, berdasarkan tempat tempat aksinya, terapi, farmakologi ataupun sifat kimia dari obat tersebut. Kode ATC ini, umumnya tercantum dalam katalog-katalog obat internasional, diantaranya Martindale, European Drug Index, dan beberapa katalog nasional.
2.1.1. Sistem Anatomical, Therapeutic, Chemical (ATC) Dalam sistem klasifikasi ATC, obat diklasifikasikan dalam kelompok dengan lima tingkat yang berbeda. Pada tingkat pertama (level 1), obat dibagi menjadi empat belas kelompok utama. Pada tingkat kedua (level 2), obat dibagi kedalam subkelompok berdasarkan farmakologi atau terapi dari obat, dengan tingkat ketiga (level 3) dan tingkat keempat (level 4) adalah subkelompok kimia/farmakologi/terapetik serta tingkat kelima (level 5) adalah bahan kimia dari obat tersebut. Pada tingkat kedua, ketiga dan keempat biasanya sering digunakan untuk mengidentifikasi subkelompok farmakologi dibandingkan menggunakan subkelompok terapetik atau kimia.
2.1.2. Kriteria Sistem Klasifikasi ATC Tidak semua bahan aktif terdapat di dalam index ATC. Bahan aktif yang memenuhi salah satu kriteria berikut biasanya akan dimasukkan dalam sistem klasifikasi ATC: a.
Merupakan bahan kimia atau bahan biologi baru (merupakan bahan aktif) yang diusulkan untuk lisensi di berbagai negara. Bahan kimia baru
3
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
4
biasanya tidak dimasukkan ke dalam sistem ATC sebelum ijin pemasarannya disetujui setidaknya di satu negara. b.
Merupakan bahan kimia yang banyak digunakan di berbagai negara. Sebaiknya ada INN (International non-proprietary names) untuk bahan aktif. Atau nama resmi lainnya seperti USAN (United States Adopted Name) atau BAN (British Approved Name).
c.
Merupakan produk obat herbal yang telah dinilai dan disetujui oleh pihak berwenang berdasarkan keterangan data efikasi, keamanan, dan kualitas.
d.
Produk obat pelengkap, homeopati dan produk obat tradisional atau herbal pada umumnya tidak termasuk dalam sistem ATC.
2.1.3. Prinsip Umum Sistem Klasifikasi Produk obat diklasifikasikan menurut penggunaan terapi utama dari bahan aktif utama, pada prinsip dasar hanya satu kode ATC untuk setiap rute pemberian (yaitu bentuk farmasi dengan bahan-bahan dan kekuatan yang sama akan memiliki kode ATC yang sama). Tablet lepas lambat dengan tablet biasa dapat memiliki kode yang sama ATC. Satu produk obat dapat memiliki lebih dari satu kode ATC jika tersedia dalam dua atau lebih kekuatan atau rute administrasi dengan keperluan terapeutik yang jelas berbeda. Dua contoh ini adalah sebagai berikut: a.
Hormon seks dalam bentuk sediaan atau kekuatan tertentu hanya digunakan
dalam
pengobatan
kanker
dan
dengan
demikian
diklasifikasikan dalam L02 - terapi endokrin. Bentuk sediaan/kekuatan lainnya diklasifikasikan dalam G03 – hormon sex dan modulator dari sistem genital. b.
Clonidine tersedia dalam dua kekuatan yang berbeda. Salah satu kekuatan, yang digunakan terutama dalam pengobatan hipertensi, yang diklasifikasikan dalam C02 - Antihipertensi. Kekuatan lain yang terutama digunakan dalam pengobatan migrain dan diklasifikasikan dalam N02C – sediaan antimigren.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
5
Bentuk farmasi yang berbeda untuk penggunaan topikal dan sistemik juga diberikan kode ATC terpisah. Contoh: Prednisolon dalam produk bahan tunggal diberikan beberapa kode ATC karena penggunaan terapi yang berbeda dan bentuk sediaan lokal yang berbeda:
A07EA01 Agen antiinflamasi usus (enema dan busa)
C05AA04 Antihemorrhoid untuk penggunaan topikal (supositoria)
D07AA03 Sediaan dermatologis (krim, salep dan lotion)
H02AB06 Kortikosteroid untuk penggunaan sistemik (tablet, suntikan)
R01AD02 Dekongestan nasal (semprot hidung / tetes)
S01BA04 Ophthalmologicals (tetes mata)
S02BA03 Otologicals (tetes telinga)
Satu produk obat dapat memiliki dua atau lebih indikasi yang sama pentingnya, dan penggunaan terapi utama obat mungkin berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini sering akan memberikan alternatif beberapa klasifikasi. Obat tersebut biasanya hanya diberikan satu kode, indikasi utama diputuskan atas dasar literatur yang tersedia. Zat diklasifikasikan sama di ATC tingkat ke-4 tidak bisa dianggap setara farmakoterapinya karena mekanisme kerja, efek terapi, interaksi obat dan efek samping yang terjadi mungkin berbeda. Biasanya, bentuk stereoisomer yang berbeda juga akan menyebabkan kode ATC berbeda. Suatu obat baru yang tidak jelas kelompok tingkat ke-4-nya ditempatkan dalam grup X (kelompok "lain"). Prodrugs biasanya diberikan kode ATC terpisah jika dosis yang digunakan berbeda dan / atau nama Nonproprietary dari prodrug dan obat yang aktif berbeda. Contoh: J01CA08 Pivmecillinam dan J01CA11 Mecillinam
2.1.4. Klasifikasi Produk Tunggal (Plain Product) Plain Product didefinisikan sebagai: olahan mengandung satu komponen aktif (termasuk campuran stereoisomer). Produk obat yang di samping salah satu komponen aktif mengandung zat tambahan dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas persiapan (misalnya vaksin mengandung sejumlah kecil antibakteri), meningkatkan durasi (misalnya formulasi depot) dan/atau meningkatkan
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
6
penyerapan (pelarut yang berbeda misalnya di berbagai dermatologicals) juga dianggap sebagai produk biasa.
2.1.5. Klasifikasi Produk Kombinasi Produk yang mengandung dua atau lebih bahan aktif dianggap sebagai produk kombinasi. Produk kombinasi diklasifikasikan berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu : a. Produk kombinasi yang mengandung dua atau lebih bahan aktif yang termasuk dalam tingkat ke-4 yang sama biasanya diklasifikasikan menggunakan kode tingkat ke-5 20 atau 30. Contoh : N01BB02 Lidokain, N01BB04 Prilokaina, N01BB20 Kombinasi (misalnya lidokain dan prilokaina) b. Produk kombinasi yang mengandung dua atau lebih bahan aktif tidak termasuk dalam tingkat ke-4 yang sama diklasifikasikan dengan seri 50. Contoh: R06AA02 Diphenhydramine, R06AA52 Diphenhydramine Produk kombinasi yang berbeda yang memiliki bahan aktif yang sama biasanya diberikan kode ATC yang sama. Dengan demikian, produk yang mengandung
phenylpropanolamine
+
brompheniramine
dan
phenylpropanolamine + cinnarizine keduanya diberi kode R01BA51. c. Produk kombinasi yang mengandung obat psicholeptik, yang tidak memenuhi kriteria N05 - Psycholeptics atau N06 - Psychoanaleptics, diklasifikasikan pada tingkat ke-5 terpisah dengan menggunakan seri 70. Contoh : N02BA71- Asam asetilsalisilat, kombinasi dengan psycholeptics (produk
yang
mengandung
zat
lain
selain
psycholeptic
juga
diklasifikasikan di sini).
2.2. Define Daily Dose (DDD) (WHOCC, 2014) 2.2.1 Pengertian Defined Daily Dose (DDD) DDD adalah asumsi rata-rata dosis pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan dengan indikasi utamanya pada orang dewasa.
DDD hanya akan
ditetapkan pada obat yang sudah memiliki kode ATC. Perlu ditekankan bahwa dosis harian didefinisikan sebagai satuan pengukuran dan tidak selalu Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
7
mencerminkan peresepan dosis rekomendasi harian untuk obat tertentu. Dosis untuk setiap individu dan kelompok akan sering berbeda dari DDD yang sudah ada dan hal ini tentu harus ditetapkan berdasarkan pada karakteristik individu (misalnya usia dan berat badan) dan pertimbangan farmakokinetik. Untuk penggunaan obat secara optimal, penting juga untuk mengenali polimorfisme genetik karena perbedaan etnis dapat menghasilkan variasi pharmaco-kinetika obat. Hal ini dikarenakan DDD mencerminkan dosis global yang tidak melibatkan variasi genetik pada metabolisme obat. Data konsumsi obat yang disajikan dalam bentuk DDD hanya memberikan perkiraan kasar dari konsumsi obat, bukan sebagai gambaran yang tepat dari penggunaan aktual. DDD merupakan satuan pengukuran independen tetap terhadap harga dan bentuk sediaan (misalnya kekuatan tablet) yang memungkinkan peneliti untuk menilai tren konsumsi obat dan melakukan perbandingan antara kelompok populasi.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Umum Penetapan DDD Pada dasarnya untuk menetapkan DDD hanya bisa ditetapkan dengan satu DDD per rute pemberian dalam satu kode ATC. DDD untuk zat yang biasa (plain product) biasanya didasarkan pada monoterapi. Biasanya penetapan DDD tidak akan dilakukan sampai sebelum bahan produk disetujui dan dipasarkan setidaknya di satu negara. Untuk zat yang diindikasikan untuk gangguan langka dengan dosis individual, biasanya diputuskan untuk tidak ditetapkan DDD. DDD juga tidak ditetapkan untuk produk topikal (misalnya dermatologicals), sera, vaksin, agen antineoplastik, ekstrak alergen, anestesi umum dan lokal dan media kontras.
2.2.3 DDD Untuk Produk Tunggal Produk Tunggal adalah suatu produk yang berisi satu bahan aktif. Ketika DDD baru ditetapkan, berbagai sumber digunakan untuk mendapatkan gambaran dari penggunaan aktual atau gambaran yang diharapkan dari suatu zat. DDD ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: a. Dosis dewasa rata-rata digunakan sebagai indikasi utama pada kode ATC. Ketika dosis yang dianjurkan mengacu pada berat badan, orang dewasa dianggap mempunyai berat badan 70 kg. Perlu ditekankan bahwa bentukUniversitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
8
bentuk farmasi bahkan bentuk khusus, terutama yang ditujukan untuk anak-anak (misalnya sediaan campuran, supositoria), DDD ditetapkan dengan menggunakan DDD orang dewasa. Pengecualian untuk beberapa produk hanya untuk produk yang digunakan oleh anak-anak, misalnya hormon pertumbuhan dan tablet fluoride. b. Dosis pemeliharaan (dosis terapi jangka panjang) biasanya dianjurkan ketika menetapkan DDD. Dosis awal mungkin akan berbeda-beda tetapi hal ini tidak terlihat dalam variasi DDD. DDD biasanya menjadi kisaran rata-rata dosis pemeliharaan. c. Untuk beberapa kelompok produk obat dengan prinsip-prinsip khusus DDD dapat juga ditetapkan (misalnya DDD untuk agonis serotonin selektif dalam pengobatan migrain didasarkan pada dosis awal penggunaan). d. Dosis pengobatan umumnya digunakan. Namun, jika profilaksis adalah indikasi utama, dosis ini yang digunakan, misalnya untuk tablet fluoride (A01AA01) dan beberapa obat antimalaria. e. DDD biasanya ditetapkan sesuai dengan isi atau kekuatan produk. Berbagai garam suatu zat biasanya tidak menunjukkan DDD yang berbeda. f. Biasanya, bentuk stereoisomer yang berbeda ditetapkan DDD khusus dan kode ATCnya. DDD untuk bentuk stereoisomer tertentu dijelaskan dalam masing-masing kelompok/level ATC. g. Prodrug, yang belum diberi kode ATC khusus, biasanya tidak diberikan DDD khusus pula. h. DDD biasanya identik dengan berbagai bentuk sediaan obat yang sama. Perbedaan DDD dapat dibuat bila bioavailabilitas yang secara substansial berbeda dalam rute pemberiannya (misalnya pemberian oral dan parenteral morfin) atau jika bentuk sediaan yang digunakan untuk indikasi berbeda. Ketika penggunaan formulasi parenteral hanya mewakili sebagian kecil dari total penggunaan untuk indikasi tertentu, produk ini tidak mempunyai DDD khusus.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
9
i. Produk parenteral, ditujukan untuk pemberian i.v. dan i.m., memiliki DDD sama. DDD menunjukkan informasi yang berisi dosis penggunaan di berbagai negara.
2.2.4 DDD Untuk Produk Kombinasi DDD yang ditetapkan untuk produk kombinasi didasarkan pada prinsip utama perhitungan sebagai dosis harian kombinasi, hal ini terlepas dari jumlah bahan aktif yang ada dalam kombinasi. Jika pengobatan pasien diberikan dua produk dengan satu bahan aktif tunggal, maka konsumsi akan diukur dengan menghitung DDD setiap produk dengan bahan aktif tunggal secara terpisah. Namun, jika pengobatan produk kombinasi mengandung 2 bahan aktif, maka penghitungan konsumsi yang diukur dalam DDD biasanya akan lebih rendah karena DDD untuk kombinasi akan dihitung. Contoh I: Pengobatan dengan dua produk, masing-masing mengandung satu bahan aktif: Produk A: Tablet yang mengandung 20 mg zat X (DDD = 20 mg) Produk B: Tablet yang berisi 25 mg zat Y (DDD = 25 mg) Dosis 1 tablet dari A ditambah 1 tablet B setiap hari akan dihitung sebagai konsumsi 2 DDD. Contoh II: Pengobatan dengan kombinasi produk yang mengandung dua bahan aktif: Produk C: Tablet yang mengandung 20 mg zat X dan 12,5 mg zat Y. DDD produk kombinasi ditetapkan sebagai 1 UD = 1 tablet. Dosis 1 tablet C setiap hari akan dihitung sebagai 1 DDD (meskipun akan setara dengan 1,5 DDD bahan aktif tunggal). Berdasarkan prinsip-prinsip dalam penetapan DDD produk kombinasi berlaku juga prinsip-prinsip sebagai berikut: Untuk produk kombinasi (selain produk kombinasi yang digunakan dalam hipertensi, lihat butir 2 di bawah) dimana kode ATC mengidentifikasi bahan utama (yaitu untuk 50 dan 70-series Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
10
kombinasi dan untuk beberapa kombinasi tingkat 4), DDD untuk produk kombinasi harus sama dengan DDD untuk bahan aktif utama. Produk kombinasi yang digunakan untuk pengobatan hipertensi (yaitu ATC kelompok C02L, C02N, C03E, C07B-F, C08 dan C09), DDD didasarkan pada jumlah rata-rata dosis interval per hari. Ini berarti bahwa: 1 tablet DDD untuk kombinasi diberikan sekali sehari, sedangkan 2 tablet DDD untuk kombinasi diberikan dua kali sehari dan 3 tablet DDD untuk kombinasi diberikan tiga kali sehari dll. Prinsip ini berarti bahwa DDD yang ditetapkan berbeda dari DDD yang ditetapkan untuk bahan aktif utama (menurut kode ATC).
2.2.5 Faktor-Faktor Lain a. Kelompok dosis tetap Untuk beberapa kelompok produk, dianggap paling tepat memperkirakan
penggunaan
rata-rata
produk
yaitu
berdasarkan
kelompoknya bukan berdasarkan dosis untuk setiap produk, misalnya campuran obat batuk dalam kelompok ATC R05 dan multivitamin di ATC kelompok A11. Untuk multivitamin komposisi berbagai produk mungkin berbeda, tetapi dosis yang dianjurkan rata-rata biasanya sama. DDD seperti ini disebut "dosis tetap". Dalam beberapa kelompok ATC, diputuskan untuk menggunakan DDD tetap untuk semua produk yang diberikan dalam bentuk kombinasi misalnya jumlah tablet tanpa kekuatan. Aturan-aturan ini secara jelas dinyatakan dalam bab-bab di tingkat ATC (misalnya kelompok ATC A02AD, A02BD dan A02BX). Untuk tetes mata yang digunakan dalam terapi glaukoma (S01E), dosis tetapnya bukan dari kekuatan tetapi dalam subkelompok yang berbeda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, per dosis yang diberikan, hanya satu tetes yang ditetapkan dalam setiap mata, bukan dari kekuatan. Ketika dosis tetap ditetapkan, hal ini akan menunjukkan kelompok ATC yang berbeda.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
11
b. Gudang Formulasi Gudang formulasi (misalnya formulasi lepas lambat) biasanya diberi DDD sama dengan bentuk sediaan biasa. Pengecualian untuk aturan ini dijelaskan dalam pedoman untuk kelompok ATC yang berbeda. c. Dosis Berselang Dalam kelompok terapi tertentu, misalnya hormon, banyak produk yang diberikan sebentar-sebentar. Dalam kasus tersebut, dosis yang diberikan dibagi dengan jumlah hari dalam masa pengobatan untuk mendapatkan dosis harian rata-rata. d. Lama pengobatan Lamanya pengobatan biasanya tidak dianggap ketika menetapkan DDD, bahkan jika obat yang digunakan terutama dalam periode singkat. Pengecualian dari aturan main ini dijelaskan dalam kelompok ATC masing-masing. e. Pemilihan Unit Untuk produk konvensional, DDD sejauh ini diberikan dalam beberapa bahan aktif, menggunakan unit-unit berikut: g (gram), mg (miligram), mcg (mikrogram), mmol (milimol), U (unit), TU (ribu unit) dan MU (juta unit). Singkatan U untuk unit digunakan untuk satuan internasional. Untuk produk kombinasi DDD digunakan unit UD (unit dosis) seperti:
Tablet, supositoria, pesarium, dan lain-lain: 1 UD sama dengan 1 tablet, 1 supositoria, 1 alat pencegah kehamilan, dan lain-lain.
Bubuk untuk penggunaan oral: 1 UD sama dengan 1 gram bubuk. Jika DDD untuk bubuk oral diberikan dalam gram, ini mengacu pada isi bahan aktif.
Bubuk
dalam
unit
dosis
tunggal
untuk
penggunaan
oral:
1 UD sama dosis bubuk 1 unit (dalam gram/mg dll).
Bubuk untuk injeksi: 1 UD sama dengan 1 gram bubuk. Jika DDD bubuk untuk injeksi diberikan dalam gram, ini mengacu pada isi bahan aktif. Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
12
Bubuk untuk inhalasi: 1 UD sama dosis bubuk 1 unit, mis 1 kapsul.
Preparasi sediaan cair untuk penggunaan oral (campuran, sirup dll): 1 UD sama dengan 5 ml preparasi.
Preparasi sediaan cair untuk penggunaan parenteral (suntikan): 1 UD sama dengan 1 ml preparasi.
Preparasi sediaan cair untuk penggunaan rektal: 1 UD sama dengan 1 ml preparasi
Preparasi sediaan cair untuk inhalasi: 1 UD sama dengan 1 ml preparasi.
Preparasi sediaan cair untuk inhalasi dalam unit dosis tunggal (unit dosis): 1 UD sama 1 unit dosis inhal.sol
Enema: 1 UD sama dengan 1 enema.
Plaster untuk aplikasi transdermal: 1 UD sama dengan 1 plester.
Vagina krim: 1 UD sama dengan 1 dosis, 1 aplikasi. Rute administrasi ditandai dengan kode berikut: Inhal
= Inhalasi
R
= rektal
N
= Nasal
SL
=Sublingual/bukal/oromucosal
O
= Oral
TD
=Transdermal
P
= parenteral
V
= vagina
f. Pediatric DDD DDD biasanya ditetapkan berdasarkan penggunaan pada orang dewasa. Untuk obat yang digunakan pada anak-anak, rekomendasi dosis akan berbeda, hal ini didadasarkan pada usia dan berat badan. Dengan Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
13
demikian Kelompok Kerja Internasional WHO untuk Obat Statistik Metodologi telah menyimpulkan bahwa DDD anak tidak mungkin untuk ditetapkan dan masalah yang berkaitan dengan penelitian obat pada anakanak tidak dapat diselesaikan dengan cara menetapkan DDD. Harus digunakan penetapan dosis harian dan indikasi dalam populasi anak-anak dan dibandingkan dengan nilai-nilai DDD. Jika subkelompok dosis pediatrik sulit untuk diidentifikasi maka DDD secara umum harus digunakan sebagai alat ukur untuk perbandingan secara keseluruhan. g. Penggunaan Sistem ATC/ DDD Tujuan utama dari sistem ATC/ DDD adalah sebagai alat untuk menyajikan statistik penggunaan obat dengan tujuan meningkatkan penggunaan obat. Ini adalah tujuan yang pengembangan sistem dan dengan tujuan inilah klasifikasi ATC/ DDD dibuat. Sehingga, penggunaan sistem untuk tujuan lain bisa juga digunakan. Sistem ini telah digunakan sejak awal 1970-an dalam studi penggunaan obat yang mana telah dibuktikan cocok untuk perbandingan penggunaan obat secara nasional maupun internasional, untuk evaluasi tren jangka panjang penggunaan obat, untuk menilai dampak tertentu pada penggunaan
obat dan juga
untuk menyediakan data denominator dalam penyelidikan keamanan obat. h. Implementasi nasional dari metodologi ATC/DDD Digunakan untuk pemantauan dan perbandingan penggunaan obat internasional sehingga dapat dipastikan bahwa data yang diambil sebanding. Untuk menunjang pengumpulan data dianjurkan untuk menetapkan registrasi produk obat nasional. Dianjurkan untuk memiliki struktur umum dari registrasi tersebut. Kode ATC dan DDD terkait dengan setiap produk obat pada tingkat paket. Regitrasi nasional minimal harus meliputi variabel-variabel sebagai berikut berikut:
Nomor registrasi
Nama produk obat (nama merek / merek dagang)
Bentuk sediaan
Kekuatan
Ukuran Pack Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
14
Kode ATC
Bahan aktif (s)
DDD
Rute administrasi
Jumlah DDD di kemasan
2.3. Metformin dan Simvastatin 2.3.1 Metformin (Badan POM RI, 2009) Metformin satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dengan sulfonilurea, sehingga keduanya tidak dapat dipertukarkan. Biguanid bekerja dengan menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Biguanid bekerja hanya bila ada insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian besar sel beta pankreas. Metformin merupakan obat pilihan pertama untuk pasien dengan berat badan berlebih dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes melitus (DM). Jika sesuai, bisa juga digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga digunakan untuk DM yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi sulfonilurea. a. Indikasi : diabetes melitus (DM). b. Peringatan : tentukan fungsi ginjal (dengan metode sensitif yang sesuai) sebelum pengobatan sekali atau dua kali setahun, hentikan bila terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan, jangan menggunakan Metformin sebelum fungsi ginjal kembali normal, hentikan Metformin pada hari pembedahan dan mulai kembali bila fungsi ginjal kembali normal. c. Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, wanita hamil dan menyusui. d. Efek samping : anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya sementara), nyeri perut, asidosis laktat (jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus, dan urtikaria. e. Dosis : Dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan tolerabilitas. Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
15
Dewasa & anak > 10 tahun : 1. awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang-kurangnya 1 minggu, 2. 500 mg setelah sarapan dan makan malam untuk sekurangkurangnya 1 minggu, 3. 500 mg setelah sarapan, makan siang dan makan malam. Dosis maksimum 2 gram/hari dalam dosis terbagi.
Tabel 2.1. Dosis dan Durasi Kerja Metformin (Merck Sharp & Dohme Corp., 2011) Obat
Dosis Harian
Metformin regular release
500 mg sekali/hari
Durasi Kerja (jam) 6-10
Metformin extended release 500 mg-2 g sekali/hari 24
2.3.2 Simvastatin (Badan POM RI, 2009) Simvastatin adalah salah satu obat dari golongan statin yang mekanisme kerjanya menghambat secara kompetitif koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA) reduktase, yaitu enzim yang berperan pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati. Obat-obat ini lebih efektif dibandingkan obat-obat hiperlipidemia lainnya dalam menurunkan kolesterol-LDL (Low Density Lipid), tetapi kurang efektif dibanding fibrat dalam menurunkan trigliserida. Statin dapat mengurangi serangan penyakit kardiovaskular dan angka kematian pada orang dewasa, berapapun kadar kolesterol awal. Statin harus dipertimbangkan untuk semua pasien, termasuk untuk orang tua dengan gejala penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (termasuk riwayat angina atau infark miokard akut) dan penyakit arteri oklusif (termasuk penyakit vaskuler perifer, stroke tanpa perdarahan, atau serangan iskemik transien). Statin juga digunakan untuk pencegahan serangan penyakit kardiovaskular pada individu dengan peningkatan risiko tanpa gejala. Pengobatan dengan statin juga harus dipertimbangkan jika rasio kadar kolesterol total terhadap kolesterol-HDL (High Density Lipid) lebih dari 6 mg/dL.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
16
a. Indikasi : hiperlipidemia primer pada pasien yang tidak cukup memberikan respon terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai; untuk mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan memperlambat progresi aterosklerosis koroner pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan kadar kolesterol 5,5 mmol/L atau lebih. b. Peringatan : hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit hati atau peminum alkohol. c. Kontraindikasi : pasien dengan penyakit hati yang aktif; pada kehamilan dan menyusui. d. Efek samping : miositis sementara (jarang), sakit kepala, perubahan fungsi ginjal, parestesia, dan efek pada saluran cerna meliputi nyeri abdomen, flatulensi, konstipasi, diare, mual dan muntah. Ruam kulit dan reaksi hipersensitivitas (jarang). e. Dosis :
Hiperlipidemia : 10 mg/hari pada malam hari, disesuaikan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu; kisaran umum 10-40 mg/hari pada malam hari.
Penyakit jantung koroner : awal 20 mg/hari pada malam hari.
Tabel 2.2. Dosis Simvastatin (Merck Sharp & Dohme Corp., 2011) Obat Simvastatin
Dosis Dewasa
Keterangan
5-80 mg po sekali/hari Dosis dibutuhkan untuk mencapai pada malam hari
reduksi 30-40% kolesterol-LDL : 2040 mg/dL
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Pengkajian Penulisan laporan dilakukan pada tanggal 8 Oktober – 16 Oktober 2014
bertempat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3.2
Metode Pengumpulan Data dan Pengkajian Metode yang digunakan dalam penulisan dan pengkajian mengenai ATC/
DDD Metformin dan Simvastatin adalah dengan penelusuran atau studi literatur berupa informasi dari website WHO, jurnal–jurnal ilmiah elektronik, buku cetak maupun literatur-literatur lainnya.
17
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN
Tujuan dari sistem ATC/ DDD adalah sebagai sarana penelitian penggunaan obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat. WHO merekomendasikan ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) bersama dengan unit DDD (Defined Daily Dose) sebagai standar global untuk studi penggunaan obat dan pelaporan reaksi efek obat. Klasifikasi ATC digunakan sebagai alat untuk menyajikan statistik penggunaan obat dan direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan dalam perbandingan penggunaan obat secara internasional. Metode DDD berguna untuk membandingkan pola penggunaan obat, baik antar golongan obat, antar unit pelayanan obat, antar waktu, antar daerah dan sebagainya. Selain itu metode ini juga digunakan untuk mencari pemakaian terbanyak untuk estimasi reaksi efek samping yang dilaporkan, pada studi terhadap antimikroba dapat digunakan untuk mencari korelasi dengan pola resistensi antibiotik.
4.1
Metformin Metformin adalah obat antidiabetik oral yang banyak digunakan di
Indonesia dengan kekuatan sediaan 500 mg smpai dengan 850 mg dengan dosis pemeliharaan satu kali sehari sampai dengan dua kali sehari tergantung kondisi pasien, sedangkan menurut WHO dalam klasifikasi ATC/ DDD penggunaan Metformin untuk dosis pemeliharaan rata-rata hariannya adalah 2 gram per hari dengan rute oral. Berikut adalah kode ATC untuk Metformin dimana masingmasing level menunjukkan identitas dari Metformin. Level 1
:A
(Saluran pencernaan dan metabolisme)
Level 2
: A10
(Obat yang digunakan untuk diabetes)
Level 3
: A10B
(Obat penurun kadar glukosa darah, kecuali insulin)
Level 4
: A10BA (Golongan Biguanida)
Kode ATC dan nilai DDD dari Metformin dapat dilihat pada tabel 4.1.
18
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
19
Tabel 4.1 Klasifikasi ATC/DDD Metformin (World Health Organization, 2013) Kode ATC
Nama
A10BA02
Metformin
DDD
Unit
2
gram (g)
Rute Administrasi Oral
Dengan mengetahui DDD dari suatu obat dapat diketahui perbandingan dosis penggunaan obat yang biasa digunakan di Indonesia dengan standar Internasional. DDD dari Metformin yaitu 2 gram perhari sesuai dengan rata-rata konsumsi dosis Metformin di Indonesia untuk pemeliharaan, dosis penggunaan obat Metformin di Indonesia yaitu 500 mg sampai dengan 850 mg sediaan oral dikonsumsi dalam satu sampai dua dosis sehari berdasarkan kondisi pasien.
4.2.
Simvastatin Simvastatin adalah obat golongan statin yang beredar diindonesia sebagai
sediaan obat generik, yang berarti obat lebih murah dan sudah teruji di masyarakat selama lebih dari 20 tahun. Menurut penelitian pada buku penyakit jantung Braunwalds, Simvastatin menurunkan 20% kadar total kolesterol dan penurunan resiko penyakit pembuluh darah sebanyak 24% dengan dosis 40mg/ hari. Dalam klasifikasi ATC Simvastatin memiliki kode C10AA01 dengan DDD 30 miligram (mg) pemberian dengan rute oral. Berikut adalah klasifikasi ATC Simvastatin yang masing-masing level menunjukkan identitas dari Simvastatin. Level 1
:C
(Sistem Kardiovaskuler)
Level 2
: C10
(Agen Pengubah Lipid (Lipid Modifying Agent))
Level 3
: C10A
(Agen Pengubah Lipid (Lipid Modifying Agent, tunggal)
Level 4
: C10AA (Golongan Penghambat HMG CoA Reductase)
Kode ATC dan nilai DDD dari Simvastatin dapat dilihat pada tabel 4.2.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
20
Tabel 4. 2 Klasifikasi ATC/DDD Simvastatin (World Health Organization, 2013) Kode ATC
Nama
C10AA01
Simvastatin
DDD
Unit
30
miligram (mg)
Rute Administrasi Oral
Dosis Simvastatin awal yang dianjurkan di Indonesia adalah 5-10 mg sehari sebagai dosis tunggal pada malam hari. Dosis awal untuk pasien dengan hiperkolesterolemia ringan sampai sedang 5 mg sehari. Pengaturan dosis dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu sampai maksimum 40 mg sehari sebagai dosis tunggal pada malam hari. Tentu saja pengaturan dosis melihat kepada kondisi per individu, DDD menurut WHO 30 mg dan dengan membandingkan dengan dosis rekomendasi yang dianjurkan di Indonesia maka dosis harian WHO lebih tinggi. DDD bukan merupakan dosis rekomendasi, tapi merupakan unit perbandingan, biasanya merupakan hasil studi literatur, bisa lebih tinggi atau rendah dari yang diresepkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan a.
Prinsip umum klasifikasi ATC adalah produk obat diklasifikasikan menurut penggunaan terapi utama dari bahan aktif utama.
b.
Kode ATC untuk Metformin adalah A10BA02, dengan DDD 2 gram perhari, dan kode ATC untuk Simvastatin adalah dengan C10AA01, dengan DDD 30 mg perhari untuk rute pemberian oral.
c.
Berdasarkan dosis harian yang biasanya direkomendasikan di Indonesia DDD, Metformin sudah sesuai dengan DDD yang ditetapkan oleh WHO. Hal ini juga dinyatakan sebanding dengan dosis asumsi harian Simvastatin dengan DDD Simvastatin yang ditetapkan oleh WHO.
5.2.
Saran a.
Dilakukan penelitian secara prospektif
untuk mengetahui
perbandingan dosis menggunakan metode ATC/DDD dengan melibatkan pasien untuk penggunaaan obat Metformin dan Simvastatin di Indonesia b.
Perlu dilakukan studi lebih lanjut bagaimana metode ATC/DDD dapat diterapkan untuk obat-obatan penyakit kronis lainnya.
21
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
Universitas Indonesia
22
DAFTAR ACUAN
Adesta, F. A. (2010). Effect of Simvastatin on Short Term Memory in Hyperlipidemic Wistar Rats. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Badan POM RI. (2009). Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. Jakarta: Badan POM RI, KOPERPOM, & CV Sagung Seto. Hutchinson, J.M., Patrick, D.M., Marra, F., Ng, H., Bowie, W.R., Heule, L., Muscat, M. & Monnet, D.L. (2004) Measurement of antibiotic consumption: A practical guide to the use of the Anatomical Therapeutic Chemical classification and Defined Daily Dose system methodology in Canada. Canadian Journal of Infectious Diseases 15, 29-35. Kemenkes,
(2010).
PERMENKES
1144/MENKES/PER/VIII/2010
tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Kemkes 2010. Merck Sharp & Dohme Corp. (2011). The Merck Manual Of Diagnosis and Therapy (19th ed.). (R. S. Porter, & J. L. Kaplan, Eds.) New Jersey, USA: Merck Sharp & Dohme Corp. Nisa. 2013. Metformin Tetap Menjadi Pilihan Utama Terapi Diabetes Melitus Tipe 2. http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2013/edisi-no-10-volxxxix-2013/624-kegiatan/1402-metformin-tetap-menjadi-pilihan-utamaterapi-diabetes-melitus-tipe-2 diakses pada tanggal 14 Oktober 2014 pukul 19.05 WIB WHOCC.
(19
Desember
2013).
ATC/DDD
Index
2014.
http://www.whocc.no/atc_ddd_index/ diakses tanggal 11 Oktober 2014 pukul 19.00 WIB World Health Organization. (2013). Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment 2013 (16th ed.). Oslo: Norwegian Institute of Public Health. http://www.depkes.go.id/ diakses pada tanggal 7 Oktober 2014 pukul 09.30 WIB
Universitas Indonesia
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015
23
Lampiran 1. Indeks A-Z dalam sistem klasifikasi ATC (WHOCC, 2014)
Kode
Keterangan
A
Saluran pencernaan dan metabolisme
B
Darah dan organ pembentukan darah
C
Sistem kardiovaskular
D
Dermatologis
G
Sistem urinari dan hormon seks
H
Sediaan sistem hormon kecuali hormon seks dan insulin
J
Antiinfeksi untuk penggunaan sistemik
L
Agen antineoplastik dan imunomodulasi
M
Sistem muskulo-skeletal
N
Sistem saraf
P
Produk antiparasit, insektisida, dan repelan
R
Sistem pernapasan
S
Organ sensoris
V
Variasi
Laporan praktik…, Harry Utomo, FF UI, 2015