UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RS. JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA DAN RS. PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh: Chatarina Setya Widyastuti 0906594242
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JULI 2012
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RS. JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA DAN RS. PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Oleh: Chatarina Setya Widyastuti 0906594242
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JULI 2012
i
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Chatarina Setya Widyastuti
NPM
: 0906594242
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 Juli 2012
iii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: Chatarina Setya Widyastuti NPM : 0906594242
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat tanpa adanya tindakan plagiarism sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.
Yang Menyatakan
Chatarina Setya Widyastuti
iv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
v
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih karena atas berkat dan rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Prof. Dra. Elly Nurachmah, M.App.Sc., DNSc selaku Supervisor Utama, yang telah berkenan memberikan arahan dan masukan serta motivasi dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir ini. 2. Tuti Herawati, MN selaku Supervisor, yang telah memberikan bimbingan serta dukungan dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir ini. 3. Dewi Irawaty, M.A., Phd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Indonesia beserta staf. 4. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Seluruh
dosen
kekhususan
Keperawatan
Medikal
Bedah
Fakultas
Ilmu
Keperawatan Indonesia. 6. Direktur Utama RSJPD Harapan Kita, Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah di RSJPD Harapan Kita, Jakarta. 7. Kepala Bagian Diklat RSJPDHK beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah sehingga terlaksana dengan lancar. 8. Kepala Bagian dan Penanggung Jawab Ruangan IGD, CVCU, OK, ICU, IWM, IWB, GP 2 Lantai III, Unit Rehabilitasi, Unit Diagnostik Invasif dan Noninvasif berserta staf yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk menggali ilmu di ruangan. 9. Direktur Utama RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
vi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
10. Kepala Bagian Diklat RSJPDHK beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah sehingga terlaksana dengan lancar. 11. Kepala Ruang Perawatan Jantung lantai 2, OK, ICU, Ruang Rawat Bedah Lantai IV, Unit Kateterisasi Jantung, Unit Rawat Jalan Kardiovaskuler beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk menggali ilmu di ruangan tersebut. 12. Kepala perpustakaan FIK-UI beserta staf yang telah membantu dalam menyediakan buku-buku referensi guna penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 13. Pengurus Yayasan Panti Rapih, Yogyakarta yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk melaksanakan studi di FIK-UI, Jakarta. 14. Direktur Akademi Keperawatan Panti Rapih, Yogyakarta beserta staf yang selalu membantu dan memfasilitasi penulis selama menjalani studi di FIK-UI. 15. Suami tercinta yang selalu memberikan dukungan dan anak-anak tersayang yang selalu menyemangati dengan canda dan tawa, serta orangtua yang menyediakan diri mendukung dan menemani selama penulis menjalani masa studi. 16. Teman-teman seperjuangan program pasca sarjana kekhususan keperawatan medikal bedah peminatan system kardiovaskuler angkatan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya selama menjalani praktik residensi. 17. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu sehingga penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir ini belum sempurna sehingga membutukan masukan yang membangun untuk penyusunan yang lebih baik. Akhirnya penulis berharap agar Karya Ilmiah sebagai wujud analisis praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan profesi keperawatan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Depok, Juli 2012 Penulis
vii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Chatarina Setya Widyastuti
NPM
: 0906594242
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-free right) atas Karya Ilmiah saya yang berjudul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dengan Penerapan Teori Model Adaptasi Roy di RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 10 juli 2012 Yang menyatakan
(Chatarina Setya Widyastuti)
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dengan Penerapan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Chatarina Setya Widyastuti Juli 2012 Abstrak
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Penyakit ini menyebabkan perubahan fisik dan psikologis yang memerlukan adaptasi. Praktik residensi memfasilitasi residen menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti dan inovator menggunakan pendekatan teori Model Adaptasi Roy (MAR). Perilaku yang ditemukan pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, Disritmia, Bedah Jantung, adalah nyeri dada, sesak nafas, lemah, pusing, berdebar, edema, rhonci basah, hipertensi/hipotensi, takikardi/bradikardi, perubahan EKG, Ejection Fraction menurun, peningkatan enzyme jantung. Masalah yang muncul: nyeri akut, penurunan perfusi miokard, penurunan cardiac output, kelebihan cairan, intoleransi aktivitas. Intervensi yang diberikan: pain management, cardiac care, fluid management, circulatory care, hemodynamic regulator, oxygen terapy. Penerapan Evidence Based Nursing terapi dingin dengan gelpack efektif menurunkan skala nyeri sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk dari sedang menjadi ringan. Inovasi dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui monitoring komplikasi pasien post PCI. Saran: MAR diaplikasikan dalam Asuhan Keperawatan, terapi dingin dibuat Standart Operating Procedure, format monitoring komplikasi pasien post PCI diterapkan. Kata kunci: Acute Coronary Syndrome, Aritmia, Bedah Jantung, Heart Failure, Model Adaptasi Roy, Monitoring Komplikasi post PCI, Nyeri, Terapi Dingin.
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
RESIDENCY OF MEDICAL SURGICAL NURSING PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Analysis of Medical Surgical Nursing Clinical Practice of Residency on Patient with Cardiovascular System Disorders using Roy’s Adaptation Theory National Cardiovascular Centre Harapan Kita and Army Hospital Centre Gatot Soebroto, Jakarta
Chatarina Setya Widyastuti Juli 2012 Abstract Cardiovascular disease is the number one cause of death in the world. The disease causes physical and psychological changes that require adaptation. Clinical residency facilitate resident aplly her role as practitioners, educators, researchers and innovators with the Roy Adaptation Model. Patient’s behavior in with Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, dysrhythmias, Cardiac Surgery are chest pain, dyspnea, weakness, dizziness, palpitations, edema, rhonci, hypertension/ hypotension, tachycardia/ bradycardia, ECG changes, decreased Ejection Fraction and increase in cardiac enzyme. Problems: acute pain, decreased myocardial perfusion, decreased cardiac output, fluid overload, activity intolerance. Interventions provided: pain management, cardiac care, fluid management, circulatory care, hemodynamic regulator, oxygen terapy. Evidence Based Nursing cold therapy can be used to manage sternal incisional pain when breathing in and coughing exercises. Innovation had done to improve the quality of service through the complications monitoring of post-PCI patients. Suggestion: MAR applied in Nursing, cold therapy made as Standart Operating Procedure, complications monitoring post PCI patient’ form can be applied. Key words: Acute Coronary Syndrome, dysrhythmias, Cardiac Surgery, Heart Failure, Roy Adaptation Model, Monitoring post PCI Complications, Pain, Cold Therapy.
x
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………….. HALAMAN PERNYATAAN PLAGIARISME …………………………... HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………... KATA PENGANTAR ……………………………………………………... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………… ABSTRAK …………………………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. BAB 1
BAB 2
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1.2 Tujuan Penulisan …………………………………………….. 1.3 Manfaat ……………………………………………………… TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Acut Coronary Syndrome 2.1.1 Pengertian …………………………………………. 2.1.2 Etiologi…………………………………………….. 2.1.3 Tanda dan Gejala ………………………………….. 2.1.4 Klasifikasi …………………………………………. 2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik ………………………….. 2.1.6 Diagnosis ACS ……………………………………. 2.1.7 Anatomi Arteri Koroner …………………………... 2.1.8 Patogenesis ACS ………………………………….. 2.1.9 Lokasi area injury………………………………... 2.1.10 Penatalaksanaan STEMI ………………………….. 2.1.11 Stratifikasi Risiko…………………………………. 2.1.12 Komplikasi ………………………………………... 2.2 Primary Percutaneous Coronary Intervention 2.2.1 Pengertian ………………………………………… 2.2.2 Perawatan pasien post PCI ………………………. 2.2.3 Komplikasi ………………………………………... 2.3 Teori Adaptasi Roy 2.3.1 Manusia …………………………………………… 2.3.2 Lingkungan ………………………………………. 2.3.3 Kesehatan ………………………………………… 2.3.4 Keperawatan …………………………………….. 2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Acut Coronary Syndrome 2.3.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus ………………… 2.3.2 masalah Keperawatan …………………………….
xi
i ii iii iv v vi viii ix xi xiv xv xvi
1 5 6
7 7 7 8 8 8 9 10 10 11 13 14 15 15 16 18 18 19 19
21 26
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
2.3.3 Tujuan Keperawatan ………………………………. 2.3.4 Intervensi Keperawatan …………………………… 2.3.5 Evaluasi Keperawatan …………………………….. BAB 3
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama ………………………… 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus ………………… 3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis ……………….. 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri ……………. 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran …………… 3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen …………. 3.2.2 Diagnosa Keperawatan ……………………………. 3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis …………….. 3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri …………... 3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ………….. 3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen ………… 3.2.3 Penetapan Tujuan …………………………………. 3.2.4 Intervensi Keperawatan …………………………… 3.2.5 Implementasi Keperawatan ……………………….. 3.2.6 Evaluasi Keperawatan …………………………….. 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy 3.3.1 Mode Adaptasi Fisiologis …………………………. a. Gangguan Perfusi Jaringan Miocard ………….. b. Risiko Tinggi Penurunan Cardiac Output…….. c. Intoleransi Aktifitas ………………………….. d. Risiko Perdarahan ……………………………. e. Risiko Konstipasi …………………………….. f. Risiko gula darah tidak stabil ……………....... 3.3.2 Mode Adaptasi Konsep Diri Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan … 3.3.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ……………………… 3.3.4 Mode Adaptasi Interdependen…………………….. 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 30 Kasus Kelolaan 3.4.1 Mode Adaptasi Fisiologis………………………….. 3.4.2 Mode Adaptasi Konsep Diri ………………………. 3.4.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ……………………… 3.4.4 Mode Adaptasi Interdependen ……………………. PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review)………………….. 4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ………….. 4.3 Pembahasan ………………………………………………..
xii
28 29 32
34
35 35 41 40 40 41 43 43 44 44 44 45 46 49 52 52 55 56 57 59 60 61 69 70
64 69 70 71
74 77 82
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 5
BAB 6
KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 5.1 Analisis Situasi ……………………………………………. 5.2 Kegiatan Inovasi 5.2.1 Kontrak pelaksanaan Kegiatan ……………………. 5.2.2 Desiminasi Awal Program Inovasi ………………... 5.2.3 Melaksanakan Program Inovasi ………………….. 5.2.4 Melakukan Evaluasi ……………………………… 5.3 Pembahasan ……………………………………………….
92 92 92 93 94
SIMPULAN 6.1 Simpulan …………………………………………………... 6.2 Saran ……………………………………………………….
98 99
87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Diagnosis ACS …………………………………………………...
9
Tabel 2.2
Perubahan EKG dan Anatomi Jantung ………………………….
11
Tabel 2.3
Skore TIMI Risk pada STEMI …………………………………..
13
Tabel 2.4
Skor TIMI Risk dan risiko kematian dalam 30 hari ……………
14
Tabel 2.5
Mortalitas 30 hari berdasarkan stratifikasi Killip ………………
14
Tabel 3.1
Gambaran Jenis Kasus, Usia, Jenis Kelamin Pasien Kelolaan …
64
Tabel 4.1
Gambaran Karakteristik Responden …………………………….
80
Tabel 4.2
Mean Skore Nyeri Sebelum dan Setelah Latihan ND dan B …….
81
xiv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perubahan EKG ………………………………………………….
9
Gambar 2.2 Anatomi Arteri Koroner …………………………………………
10
Gambar 2.3 Kematian sel pada Acute Miokard Infarct ………………………
11
Gambar 2.4 Strategi pengobatan pada Acute Coronary Syndrome …………...
13
xv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Resume Kasus
Lampiran 2
Leaflet Jantung Koroner
Lampiran 3
Penjelasan menjadi responden
Lampiran 4
Lembar persetujuan menjadi responden
Lampiran 5
Data Pasien EBN
Lampiran 6
Lembar Pengumpulan Data EBN
Lampiran 7
Skala Nyeri berdasarkan Numeric Rating Scale(NRS)
Lampiran 8
Format Monitoring PCI
Lampiran 9
SOP Terapi dingin
Lampiran 10
Petunjuk Teknis Pengisian Format Monitoring Komplikasi pasien post PCI
Lampiran 11
Algoritma Perawatan Pasien post PCI
Lampiran 12
Quesioner Evaluasi Penerapan Format Monitoring Post PCI
xvi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor satu di Amerika Utara (American Heart Association, 2007; Heart and Stroke Fondation, 2002; Statistic Canada, 2004 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden, 2010). Acute Coronary Syndrome merupakan suatu masalah kardiovaskular utama karena menyebabkan angka perawatan RS dan angka kematian yang tinggi (Karo & Kaunang, 2010). Kerusakan secara anatomi maupun fisiologi dapat terjadi di jantung maupun pembuluh darah. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem tubuh yang lain atau sebaliknya sehingga pada akhirnya mengganggu fungsi dan adaptasi manusia sebagai sistem. Kondisi sakit dan penyakit jantung sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Beberapa dari kondisi sakit dan penyakit ini mengancam jiwa yang memerlukan penangan segera. Penanganan pengobatan maupun perawatan pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan dunia kedokteran dalam memberikan penangan baik invasif seperti kateterisasi jantung atau tindakan pembedahan jantung, maupun noninvasif dengan pengobatan, menuntut perawat juga berkembang berdampingan sehingga pasien sungguh mendapatkan pelayanan holistik dan komprehensif. Pemahaman terhadap penyakit dan faktor risiko penyakit kardiovaskular serta perawatannya merupakan hal utama yang harus dimiliki seorang perawat agar kompeten sesuai bidangnya. Keperawatan sebagai bagian integral dari tim kesehatan berperan serta meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Seorang perawat spesialis keperawatan medical bedah memiki peran dan tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Peran utama seorang perawat spesialis antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan inovator. Dalam melaksanakan berbagai perannya residen menggunakan teori keperawatan dapat
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
2
diterapkan dalam memberikan perawatan pada pasien, salah satunya adalah Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR). Pasien dengan gangguan system kardiovaskular akan mengalami kondisi yang sangat capat berubah, baik menjadi baik atau memburuk. Perubahan situasi dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun eksternal pasien sehingga perlu proses Adaptasi untuk mencapai kondisi yang paling optimal. Oleh karena itu Model Adaptasi Roy sangat tepat untuk dipilih sebagai teori utama dalam penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system kardiovaskular. Dalam teori MAR, Roy dan Andrew (1999) menyampaikan bahwa manusia diasumsikan sebagai sistem adaptif yang mengedepankan kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungan yang ada. Lingkungan bukan hanya merupakan sumber awal masalah tetapi juga merupakan sumber pendukung bagi individu. Perawat diharapkan mampu membantu pasien meningkatkan adaptasinya agar terjadi integrasi yang baik antara pasien dengan lingkungannya. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan melalui tahapan pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, penetapan masalah dan tujuan keperawatan, pemberian intervensi sesuai masalah dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan yaitu respon pasien adaptif atau inefektif. Untuk mencapai kompetensi memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus keperawatan medikal bedah khususnya pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang kompleks, residen memberikan perawatan pada pasien dengan berbagai kasus seperti asuhan keperawatan pada pasien CHF, CAD, ACS, kelainan katup, aritmia dan kasus bedah jantung. Kasus- kasus ini merupakan kasus yang sering ditemui residen saat melakukan praktik di RSPAD Gatot Soebroto maupun RSJPD Harapan Kita. Kasus hipertensi atau penyakit vaskuler perifer jarang ditemui karena residen tidak praktik di instalasi rawat jalan. Penerapan teori keperawatan Model Adaptasi Roy diterapkan pada seluruh pasien kelolaan yang ada diberbagai seting tempat seperti di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Cardiovascular Care Unit (CVCU), Intensive Care Unit (ICU), Intermediate Ward (IW) maupun ruang perawatan biasa.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
3
Kompetensi sebagai pendidik, dicapai residen melalui pendidikan kepada Ners generalis atau sejawat sesuai dengan kepakaran. Proses bimbingan merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan seorang spesialis kepada perawat generalis. Perkembangan ilmu keperawatan akan terjadi dengan baik bila proses bimbingan terjadi secara berkesinambungan dan terus menerus. Peran sebagai pendidik juga dapat dilakukan melalui pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan. Pengetahuan pasien yang baik diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan kemauan pasien untuk memodifikasi faktor risiko yang ada dengan manajemen lingkungan yang baik agar pasien mampu beradaptasi dengan lingkungan secara lebih optimal. Adaptasi dengan lingkungan internal maupun eksternal dapat terjadi bila secara kognasi seseorang memahami tentang kondisinya, maka proses pemberian pendidikan kepada perawat generalis maupun pasien adalah bagian dari penerapan Model Adaptasi Roy. Kompetensi sebagai peneliti dan inovator dicapai residen dengan melakukan critical review jurnal hasil penelitian agar mampu mengimplementasikan Evidence Base Nursing Practice (EBNP) dan melakukan inovasi sesuai kebutuhan ruangan yang digunakan sebagai lahan praktik. Penerapan hasil penelitian dan inovasi yang dilakukan merupakan bagian dari proses pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang bertujuan meningkatkan adaptasi pasien dengan lingkungannya sesuai teori Model Adaptasi Roy. Pasien paska operasi pintas koroner akan selalu diberikan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk membantu pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi respirasi (Black & Hawks, 2009). Pasien paska operasi pintas koroner akan mengalami nyeri akibat luka sternotomy, terlebih pada saat nafas dalam dan batuk efektif sehingga dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Nyeri saat batuk efektif memiliki skore nyeri tertinggi (Milgrom, et al., 2004; Yorke, Wallis dan McLean, 2004 (dalam Chailler, Ellis, Stolarik & Wooden, (2010))
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
4
Nyeri dapat dikurangi dengan terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat melalui pemberian terapi komplementer yang salah satunya adalah pemberian terapi dingin. Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) menyatakan bahwa terapi dingin efektif menurunkan nyeri yang diberikan pada pasien paska operasi pintas koroner saat melakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif (p value 0,001; α 0,05). Terapi ini biaya dan risikonya rendah dan dapat dengan mudah diintegrasikan dalam praktik keperawatan selama coldpack tersedia di rumah sakit. Aplikasi terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif belum diterapkan di RSJPDHK, Jakarta. Dalam perannya sebagai inovator residen bersama anggota kelompok melakukan pembuatan format monitoring komplikasikomplikasipasien post Percutaneus Coronary Interventions (PCI). Inovasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa prosedur invasif untuk pengobatan CAD yang berkembang saat ini adalah prosedur PCI. Di Australia jumlah PCI dua kali lipat dibandingkan operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Davies 2003 dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)).. Teknologi ini terus diperbaharui sejak dua dekade terakhir (Tsai, Kung, Yang, & Chiang, 2005). Peningkatan yang pesat diagnosis jantung koroner, menyebabkan PCI menjadi pemeriksaan dan terapi utama (Lee, Lu, Liao, & Li, 2006). Prosedur PCI menyebabkan berbagai komplikasi sehingga perlu deteksi dini potensial terjadinya komplikasi melalui monitoring tanda dan gejala yang muncul pada pasien setelah prosedur PCI. Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab perawat dalam merawat pasien post PCI sebagai upaya meningkatkan Adaptasi pasien. Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK), Jakarta merupakan RS rujukan nasional yang menangani pasien CAD dan melakukan tidakan PCI dan belum memiliki format monitoring komplikasi pasien post PCI. Demikian besarnya jumlah dan dampak akibat penyakit kardiovaskular terhadap kualitas hidup pasien maka perawat diharapkan mampu melakukan perannya dengan baik terkait perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik,
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
5
peneliti maupun innovator untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan pada pasien. Oleh karena itu, perlu digambarkan secara lebih rinci tentang analisis asuhan
keperawatan
pada
pasien
dengan
berbagai
gangguan
sistem
kardiovaskular, gambaran tentang penerapan evidence based nursing khususnya tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner dan gambaran tentang peran perawat sebagai inovator yang dilakukan melalui penyusunan format monitoring komplikasi pasien post PCI. Seluruh peran tersebut dilaksanakan berdasarkan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1
Tujuan Umum
Secara umum penulisan Karya Ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai hasil analisis dan sintesis dari pelaksanaan praktik residensi Keperawatan Medikal Bedah, peminatan Sistem Kardiovaskular di RSPAD Gatot Soebroto dan RSJPD Harapan Kita, Jakarta menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy 1.2.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan Karya Ilmiah ini adalah memberikan gambaran hasil evaluasi dan sintesis dalam menjalankan peran spesialis menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) selama menjalani program praktik residensi yaitu: a.
Pelaksanaan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan melalui pemberian asuhan keperawatan pada berbagai kasus sistem Kardiovaskular.
b.
Pelaksanaan peran sebagai pendidik melalui pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan dan pendidikan kepada perawat generalis pada bidang ilmu terkait.
c.
Pelaksanaan peran sebagai peneliti melalui penerapan Evidence Based Nursing (EBN) tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
6
d.
Pelaksanaan peran sebagai Ir melalui penyusunan format monitoring komplikasi pasien post Percutaneous Coronary Intervention (PCI) yang saat ini belum ada di RSJPD Harapan Kita Jakarta.
1.3 Manfaat 1.3.1 a.
Bagi Pelayanan Keperawatan
Laporan tentang pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan diharapkan dapat memberikan masukan tentang proses keperawatan yang diberikan menggunakan teori keperawatan MAR.
b.
Laporan tentang pelaksanaan praktik penerapan EBN diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman penyusunan Standar Operasional Prosedur Keperawatan dalam memberikan tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner yang merupakan bagian dari manajemen stimulus untuk meningkatkan adaptasi pasien sesuai teori keperawatan MAR.
c.
Laporan tentang inovasi yang merupakan salah satu bentuk aktivitas keperawatan dalam menerapkan teori keperawatan MAR diharapkan dapat digunakan
sebagai
masukan
bagi
pelayanan
untuk
menerapkan
pendokumentasian monitoring komplikasi pasien post PCI secara lebih lengkap komphrehensif. 1.3.2
Bagi Keilmuan bidang Keperawatan
a. Laporan tentang pelaksanaan berbagai peran perawat spesialis dapat memberikan wawasan pentang pemberian asuhan keperawatan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy yang terwujud dalam berbagai aktivitas keperawatan, berbagai faktor pendukung dan kendala yang ada sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk memodifikasi dan mengembangkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy. b. Laporan praktik penerapan EBN dapat digunakan sebagai bahan evaluasi tentang efektifitas terapi dingin dan sebagai bahan untuk dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pada populasi yang sama atau berbeda.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acute Coronary Syndrome 2.1.1
Pengertian
Menurut Chairperson (2008), Acute Myocardial Infarction dapat ditetapkan dari jumlah beberapa perbedaan hal terkait penampilan klinik, elektrokardiografi, biokimia dan karakteristik patologi. Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu kondisi mengancam jiwa yang dapat menimbulkan gejala pada pasien dengan Coronary Artery Disease (CAD) pada waktu kapanpun. Acute Coronary Syndrome merupakan penyakit jantung yang terjadi saat plague atheromatous erosi atau rupture (McKeena, 2008). 2.1.2
Etiologi
Penyebab terjadinya Acute Coronary Syndromes antara lain: a.
Atherosklerosis dengan lapisan thrombus
b.
Sindrom vaskulitik
c.
Emboli koroner
d.
Anomali congenital arteri koroner
e.
Trauma koroner atau aneurisma koroner
f.
Spasme hebat arteri koroner
g.
Peningkatan viscosity darah
h.
Peningkatan kebutuhan oksigen yang nyata (Lilly, 2007)
2.1.3
Tanda dan Gejala Infark Miokard
a.
Karakteristik Nyeri : berat, menetap, khas substernal
b.
Efek Simpatetik : berkeringat banyak, kulit dingin dan lembab (basah).
c.
Parasimpatetik (efek vagal) : mual, muntah, kelemahan
d.
Respon Inflamasi : peningkatan panas ringan
e.
Penemuan Cardiac: S4 (dan S3 bila ada CHF), gallop, diskinetik yang menonjol (pada Infark Miokard dinding anterior), pericardial friction rub
7
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
8
(bila ada perikarditis), murmur sistolik (bila ada mitral regurgitasi atau Ventriculer Septal Defect (VSD) f.
Lain-lain: bunyi rales di paru (bila ada CHF), distensi vena juguler (bila terjadi infark miokard ventrikel kanan) (Lilly, 2007)
2.1.4
Klasifikasi Acute Coronary Syndrome
ACS diklasifikasikan dalam rentang unstable angina pectoris sampai Acute myocardial infarction. Klasifikasi tersebut menurut McKeena (2008). meliputi: a.
Unstable angina (UA)
b.
Non-ST Elevation MI (NSTEMI)
c.
ST-Elevation MI (STEMI)
2.1.5
Pemeriksaan Diagnostik ACS
a.
EKG
b.
Foto rotgen dada
c.
Petanda biokimia : darah rutin, CK, CKMB, Troponin T,dll, CK,
d.
Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin
e.
Ekokardiografi
f.
Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infrak miokard)
g.
Angiografi coroner (KARO & KAUNANG, 2010).
2.1.6 a.
Diagnosis Acute Coronary Syndrome
Anamnesis Pengkajian adanya nyeri khas cardiac seperti tekanan retrosternal, nyeri menjalar keleher, mandibula, pundak dan lengan kiri, lebih hebat dan lama (Lilly, 2007)
b. EKG Pada UA atau NSTEMI depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Pada UA kelainan terjadi saat nyeri dada muncul sedangkan pada NTEMI bisa menetap. Pada STEMI kelainan Elektrokardiogram (EKG) dapat berupa: hiperakut T, elevasi segmen ST, pada jam berikutnya diikuti dengan inversi gelombang T dan gelombang Q (Lilly, 2007)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
9
Gambar 2.1 Perubahan EKG
Sumber: Smeltzer dan Bare (2005)
c.
Penanda Biomiokard Nekrosis jaringan miokard menyebabkan kerusakan sarcolema sehingga makromolekul intraseluler lepas ke area interstisium jantung dan berlanjut ke aliran darah. Deteksi molekul serum terutama troponin spesifik jantung dan creatini kinase isoenzym MB berperan penting dalam diagnostik dan prognostic (Lilly, 2007) Tabel 2.1 Diagnosis ACS Tanda
UA
Gejala khas : nyeri dada Biomarker serum Kelainan EKG
Kresendo, saat istirahat, nyeri dada baru yang hebat Tidak ST depresed dan/atau inversi gelombang T
Infark Miokard NSTEMI STEMI Nyeri dada menekan yang lama, lebih hebat dan radiasinya meluas daripada nyeri dada biasa Ya ST depresed dan/atau inversi gelombang T
Ya ST Elevasi dan kemudian muncul gelombang Q
Sumber: Lilly (2007)
2.1.7
Anatomi Arteri Koroner
Arteri Koroner terbagi menjadi arteri koroner kanan dan kiri. Left main arteri bercabang menjadi dua bagian yaitu Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Left Circumflex Artery (LCx) cabang LAD adalah Diagonal dan septal perforators.
Pada LCx mensuplai cabang Obtus Marginal. Beberapa orang
berakhir di Posterior Descending Artery (PDA). Pada kebanyakan orang, Right Coronary Artery (RCA) mensuplai sinus node dan cabang atrioventricular nodal.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
10
Cabang pertama RCA, conus, mungkin merupakan sumber sirkulasi kolateral antara system koroner kanan dan kiri RCA memberikan aliran ke cabang marginal dan berakhir di PDA pada 80% populasi, mensuplai arteri perforator septal ke bagian posterior septum intraventrikuler (Shoulders dan Odom, 2008) Gambar 2.2 Anatomi Arteri Koroner
Sumber: Shoulders dan Odom (2008)
2.1.8
Patogenesis Acute Coronary Syndrome
Lebih dari 90% ACS terjadi karena gangguan pada plague atherosclerotic yang selanjutnya menyebabkan agregasi platelet dan formasi thrombus intrakoroner. Pembentukan thrombus pada area plague menyebabkan penyempitan yang hebat atau total dan kegagalan aliran darah menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai oksigen jantung dengan kebutuhannya.Bentuk ACS tergantung pada derajat penyempitan koronernya. Oklusi thrombus parsial menyebabkan sindrom UA dan NSTEMI.
Bila
thrombus
menyebabkan
obstruksi
komplit,
maka akan
menyebabka nekrosis yang lebih luas dan nyeri yang hebat yang dimanifestasikan dalam STEMI. Trombus dalam ACS muncul secara umum karena adanya interaksi antara plague atherosklerotik, endothelium koroner, sirkulasi platelet, elastisitas dinding pembuluh darah (Lilly, 2007). 2.1.9
Lokasi area infark atau injury
Lokasi area infark akan mempengaruhi bagian jantung yang terganggu fungsinya. Area infark atau injury dapat diidentifikasi dari gambaran segment ST dalam
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
11
rekaman EKG dilihat dari letak leadnya. Dari lead yang mengalami perubahan dapat diketahui pula arteri koroner yang mengalami gangguan. Tabel 2.2 Perubahan EKG dan Anatomi Jantung Ventrikel
Lokasi injury atau infark
Lead perubahan EKG
Kiri
Septum
V1, V2
Kiri
Anterior
V3, V4
Kiri
Anteroseptal
Kiri
Anterolateral
Kiri Kiri
Lateral Inferior
Kiri
Inferolateral
Kiri Kanan
Posterior Ventrikel kanan
V1, V2, V3, V4 I, aVL, V3, V4, V5, V6 I, aVL, V5, V6 II,III, aVf I, II,III, aVL, aVf, V5, V6 V1, V2, V3, V4 V4R, V5R
Kemungkinan arteri yang terkena LAD, cabang septal LAD, cabang diagonal LAD
ST segment Elevasi Elevasi Elevasi
LAD, LCx
Elevasi
LCx RCA
Elevasi Elevasi
RCA, LCx
Elevasi
LCx atau RCA RCA
Depresi Elevasi
LAD: Left Anterior Descending (of the coronary artery), LCx: cabang Left circumflex (of the coronary artery), RCA: Right Coronary Artery Sumber: McKeena (2008)
Gambar 2.3 Kematian sel pada Acute Miokard Infark
Sumber: Theroux (2011)
2.1.10 Penatalaksanaan pada Acute ST-Elevation MI Dalam bukunya, McKeenna (2008) menuliskan bahwa ada beberapa penyebab nyeri dada yang menunjukkan adanya ACS. Ada pula pasien yang menunjukkan keluhan yang tidak spesifik. Namun demikian ada strategi untuk merawat pasien dengan nyeri dada. Strategi tersebut meliputi beberapa elemen yaitu: a.
Pengkajian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
b.
Identifikasi faktor risiko dan tingkatannya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
12
c.
Interpretasi EKG 12 lead
d.
Pengukuran enzim jantung
e.
Reevaluasi risiko : negative, indeterminate atau nondiagnostik
f.
Penanganan (sesuai algoritme nyeri dada iskemi), disposisi dan follow-up ACS
Keefektifan intervensi pada STEMI sangat tergantung pada waktu sampai pasien ditangani. Tujuan penatalaksanaan menurut McKeenna (2008) adalah: a.
Meminimalkan nekrosis otot jantung(optimalkan fungsi LV, cegah gagal jantung)
b.
Mencegah terjadinya kegawatan jantung (kematian, MI)
c.
Manajemen komplikasi ACS yang mengancam jiwa seperti aritmia
Intervensi spesifik untuk STEMI menurut McKeenna (2008) adalah: a.
Terapi reperfusi
b.
Oksigen
c.
Aspirin atau clopidogrel
d.
Nitrat
e.
Morfin
f.
Heparin (bila menggunakan fibrinolitik)
g.
GP IIb/IIIa inhibitor
h.
Beta bloker bila tidak ada kontraindikasi
i.
Angiotensin-converting enzym (ACE) inhibitor (setelah 6 jam atau ketika sudah stabil)
Intervensi akut untuk STEMI : Berbeda dengan UA dan NSTEMI, arteri yang menjadi penyebab utama oklusi terjadi komplit. Untuk meminimalkan kerusakan miokard, fokus mayor untuk pengobatan akut pada pasien adalah terapi reperfusi dengan fibrinolitik (Alteplase, Reteplase, Streptokinase, Tenecteplase) atau PCI (dilakukan maksimal
< 90
menit setelah pasien tiba di IGD). Kemudian sama seperti pada UA dan NSTEMI, pengobatan spesifik diberikan untuk mencegah trombosis lebih lanjut dan mengembalikan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot jantung. Seperti antiplatelet, aspirin, unfractioned heparin intravena, beta bloker, nitrat (Lilly, 2007).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
13
Gambar 2.4 Strategi pengobatan pada Acute Coronary Syndrome
Sumber: Theroux (2011)
2.1.11 Stratifikasi Risiko Faktor risiko terhadap kematian dalam 30 hari setelah infark pada pasien dengan diagnosis STEMI dapat dihitung dalam persentase. Penetapan risiko kematian dapat diprediksi menggunakan pedoman TIMI Risk (Thrombolysis in Myocardial Infarction) untuk STEMI dan Stratifikasi Killip. Tabel 2.3 Skore TIMI Risk pada STEMI Riwayat Usia ≥75 Usia 65-74 DM atau Hipertensi atau Angina Tekanan darah Sistolik< 100 mmHg Heart rate >100 x/mnt Killip II-III Berat Badan<67 kg ST Elevasi anterior atau LBBB Waktu untk terapi>4 jam Skor Risiko
Point Kematian 3 2 1 3 2 2 1 1 1 0-14
Sumber: Theroux, 2011
Berikut disampaikan tentang jumlah skor risiko TIMI risk dikaitkan dengan risiko kematian dalam 30 hari setelah miokard Infark.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
14
Tabel 2.4 Skor TIMI Risk dan risiko kematian dalam 30 hari Skor Risiko 0 1 2 3 4 5 6 7 8 >8
30 Hari (%) 0,8 1,6 2,2 4,4 7,3 12 16 23 27 36
Entry criteria: Chest Pain>30 menit, ST, Symtom onset <6jam, memenuhi syarat fibrinolitik Sumber: Theroux, 2011
Tabel 2.5 Mortalitas 30 hari berdasarkan stratifikasi Killip Kelas Killip
Temuan Klinis
Mortalitas
I
Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat ronchi atau S3
6%
II
Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronchi basah di setengah lapang paru
17%
III
Terdapat edema paru ditandai dengan ronchi basah di seluruh lapang paru
38%
IV
Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan sistolik < 90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan
81%
Sumber:
2.1.12 Komplikasi Pada STEMI, komplikasi terjadi dari proses inflamasi, mekanik dan elektrik yang tidak normal yang disebabkan oleh bagian otot jantung yang mengalami nekrosis. Komplikasi tersebut antara lain: a.
Iskemi berulang
b.
Aritmia : fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikler, Blok hantaran
c.
Disfungsi Miokard: Gagal Jantung Kongestif, Cardiogenic Shock
d.
Infark Ventrikel Kanan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
15
e.
Komplikasi Mekanik: Papilary Muscle Rupture, Ventricular Free Wall Rupture, Ventricular Septal Rupture, True ventricular Aneurisma
f.
Perikarditis
g.
Tromboemboli (Lilly, 2007)
2.2 Percutaneous Coronary Intervention (PCI) 2.2.1
Pengertian
Percutaneous Coronary Intervention merupakan tindakan penyisipan kateter ke dalam tubuh melalui tusukan kecil di kulit, biasanya ke dalam arteri, saat koroner diidentifikasi bahwa arteri koroner perlu untuk dilebarkan, dan intervensi yang berkaitan dengan teknik untuk memperbaiki pembuluh darah melalui pembukaan kateter balon, dapat dikembangkan dengan pemasangan stent atau alat lain yang khusus untuk mengobati arteri yang sakit, alat khusus ini termasuk laser angioplasti, atherectomy dan rotablations (Kern, 2003). Adalah suatu prosedur invasive dimana suatu kateter dimasukkan dalam arteri koroner, merupakan salah satu dari beberapa prosedur yang bertujuan mengambil atau menurunkan sumbatan pada arteri koroner. Jenis tindakan PCI meliputi: Percutaneous Transluminal Coronary angioplasty (PTCA), Intra Coronary Stent implantation,
atherectomy,
brachytherapy
and
Transmyocardial
laser
revaskularisation (Smeltzer & Bare, 2005; Ignatavisius, 2006). Primary PCI merupakan terapi alternatif pada STEMI selain terapi fibrinolitik yang dilakukan dengan cara kateterisasi jantung segera dan PCI pada lesi yang bertanggung jawab pada infark, didalamnya termasuk tindakan angioplasti, selalu stenting pada pembuluh “culprit” (Lilly, 2007). 2.2.2
Perawatan pasien post PCI
Hal yang perlu dilakukan perawat pasien post PCI menurut Woods, Froelicher dan Motzer (2000) antara lain: a. Pada saat di ruangan, monitor nadi dan tekanan darah. b. Cek tempat penusukan adanya perdarahan atau hematom
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
16
c. Sampai pasien mampu bergerak, cek setiap setengah jam dan kaji adanya rasa basah, lengket, hangat di tempat penusukan. d. Pada penusukan femoral, anjurkan pasien untuk untuk menjaga agar kaki tetap lurus sesuai protokol Rumah Sakit. e. Cek EKG setelah prosedur f. Bila pasien menderita Diabetes Melitus (DM), cek gula darah saat di ruangan g. Yakinkan tetesan cairan infus sesuai program h. Berikan obat-obatan post prosedur sesuai program i. Pasien diperbolehkan duduk sampai 30% setelah sheath dilepas j. Dorong pasien untuk minum dan sediakan makan bila perlu k. Observasi jumlah urin output. Bila kurang, mengindikasikan adanya kegagalan ginjal akibat penggunaan bahan kontras l. Saat masih bed rest, anjurkan pasien untuk menekan daerah penusukan ketika batuk atau bersin dan melaporkan bila ada keluhan nyeri m. Saat sheath femoral masih ada, dokter akan menjelaskan kapan sheath akan dilepas dan setelah dilepas, pasien bed rest sesuai pedoman di Rumah Sakit n. Saat pasien mulai mobilisasi, hentikan observasi kecuali bila pasien merasakan baal, rasa seperti tertusuk atau terasa benjolan atau keluar darah dari tempat tusukan. o. Anjurkan pasien untuk melakukan mobilisasi perlahan saat pertama bergerak p. Saat pasien akan pulang, jelaskan tentang perawatan tempat tusukan, obat-obat yang diberikan dan tanda dan gejala yang harus segera dilaporkan pada dokter bila terjadi di rumah. 2.2.3
Komplikasi
Komplikasi tindakan PCI dibagi menjadi komplikasi mayor dan minor. Komplikasi mayor yang sering muncul antara lain perdarahan/ hematom area insersi, acute reoclusion, miocard infarct, emergency CABG, penurunan cardiac output akibat dysritmia, tamponade jantung, perdarahan berat di inguinalis. Komplikasi minor meliputi side branch oclusion, arytmia ventrikel/atrial, bradikardi,
hypotensi,
blood
loss,
thrombus
arterial,
emboli
koroner,
rekateterisasi, iskemi ekstremitas yang dikanulasi, perdarahan fungsi ginjal akibat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
17
penggunaan zat kontras, emboli sistemik, hematom di inguinal, perdarahan retriperitoneal, pseudoaneurisma, fistula arteriovenosus (Enc, 2007). 2.3 Teori Adaptasi Roy Model Keperawatan didasarkan pada asumsi Filosofi dan prinsip ilmiah. Teori Adaptasi Roy Dari memiliki asumsi ilmiah yang semula merefleksikan teori sistem umum von Bertalanffy (1969) dan teori tingkat adaptasi Helson’s (1964) yang kemudian menjadi satu kesatuan dan mempunyai arti yang dikresai secara umum. Asumsi filosofi teori ini adalah humanism dan veritivity. Dasar dari model adaptasi roy adalah bertujuan meningkatkan proses kehidupan melalui adaptasi. Roy mendefinisikan adaptasi sebagai proses dan hasil dimana pemikiran dan perasaan seseorang, sebagai individu atau kelompok menggunakan kesadaran dan memilih untuk mengintegrasikan antara manusia dan lingkungan. Roy memandang manusia sebagai sistem adaptif yang berfungsi secara saling ketergantungan bekerja sebagai satu kesatuan untuk tujuan tertentu. Konsep teori sistem berhubungan dengan input (stimuli) dan output (perilaku). Proses tidak pernah muncul sebagai satu stimulus yang mempengaruhi respon, tetapi manusia sebagai sistem merupakan proses kompleks dari suatu interaksi (Roy & Andrew, 1999). Kemampuan seseorang merespon secara positif terhadap perubahan lingkungan adalah fungsi dari tingkat adaptasi manusia sebagai sistem, perubahan point dipengaruhi oleh kebutuhan situasi dan sumber internal. Hal ini termasuk kemampuan, harapan, mimpi, aspirasi, motivasi, dan segala sesuatu yang membuat seseorang secara konstan berubah ke arah lebih mahir (Roy, 1990). Tiga tingkatan adaptasi meliputi integrated, compensatory dan compromise. Pada model ini, prose mayor dari koping yang dibagi menjadi subsistem regulator dan cognator pada individu. Cognator dan regulator menjaga integrasi proses kehidupan. Proses kehidupan integrated, compensatory dan compromise dimanifestasikan dalam bentuk perilaku (Roy & Andrew, 1999)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
18
Selanjutnya Model Adaptasi Roy dihubungkan denggan metaparadigma keperawatan yaitu manusia, kesehatan, lingkungan dan keperawatan, diuraikan sebagai berikut: 2.3.1
Manusia
Asumsi yang lain adalah tentang manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai makhluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psikososial-spiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) (Roy & Andrew, 1999). 2.3.2
Lingkungan
Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku orang atau kelompok. Lingkungan adalah input kedalam diri seseorang sebagai system adaptif baik faktor internal maupun eksternal. Dengan demikian perubahan lingkungan menuntut peyingkiran penggunaan energi ntuk dapat beradaptasi. Faktor-faktor dalaml ingkungan yang mempengaruhi seseorang dikategorkan sebagai stimulus fokal, konseptual dan residual. Interaksi konstan manusia dengan lingkungan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
19
ditandai oleh perubahan-perubahan internal dan eksternal, selanjutnya perubahanperubahan ini mengharuskan manusia mempertahankan integritasnya dengan melakukan adaptasi secara terus menerus (Roy & Andrew, 1999). 2.3.3
Kesehatan
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan terintegrasi. Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlan individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya (Roy & Andrew, 1999). 2.3.4
Keperawatan
Keperawatan bertujuan untuk membantu individu dalam usaha adaptasi dengan menata lingkungan, sehingga dapat tercapai tingkat kesehatan yang maksimal. Sebagai system yang terbuka, individu menerima input atau stimulus baik dari lingkungan maupun diri sendiri. Tujuan keperawatan adalah membantu manusia (individu) untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan fisik, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Keperawatan mempunyai peran yang unik yang berfokus pada interaksi manusia dan lingkungan yang mempromosikan perkembangan manusia secara maksimum
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
20
dan dalam keadan sejahtera. Perawat mengkaji perilaku dan stimulus pada tiap mode dan factor-faktor yang mempengaruhi adaptasi. Pertimbangan keperawatan didasarkan pada pengkajian ini dan intervensi direncanakan untuk memanajemen stimulus fokal, kontekstual dan residual. Tujuan akhir keperawatan adalah meningkatkan adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiologicalphysical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang (Roy & Andrew, 1999). Proses keperawatan oleh Roy didiskripsikan berkaitan langsung dengan pandangan manusia sebagai sistem adaptif. Enam tahap proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy adalah: a.
Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku dilakukan pada 5 kebutuhan dasar (oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat dan proteksi) dan 4 proses komplek dari adaptasi fisiologi (indera / sense, cairan, elektrolit, asam basa, fungsi neurologi, fungsi endokrin)
b.
Pengkajian stimulus Pengkajian dilakukan terkait stimulus internal maupun eksternal yang memperngaruhi perilaku. Stimulus yang dikaji meliputi stimulus fokal, kontekstual dan residual) dan pengaruhnya secara positif atau negatif terhadap perilaku.
c.
Diagnosa keperawatan Penetapan diagnosa keperawatan menurut Model Adaptasi Roy merupakan hubungan antara perilaku yang di observasi dengan stimulus yang paling relevan. Tiga indikator adaptasi positif adalah: sumber daya fiscal adekuat, kemampuan seseorang dan keterjangkauan fasilitas fisik. Ada 3 masalah adaptasi yaitu: sumber daya fiskal tidak adekuat, defisit kemampuan dan fasilitas fisik tidak adekuat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
21
d.
Penentuan tujuan Menjaga dan meningkatkan perilaku adaptif dan merubah perilaku inefektif menjadi adaptif. Penetapan tujuan memiliki 3 pernyataan: perilaku dapat diobservasi, perubahan dapat diperkirakan dan waktu pencapaian tujuan.
e.
Intervensi Untuk
mempromosikan
adaptasi,
butuh
manajemen
stimulus
yang
mempengaruhi perilaku dengan pertimbangan spesifik. Mungkin perlu merubah stimulus fokal atau meningkatkan adaptasi dengan memanajemen stimulus yang lain atau mendorong aktivitas kognator dan regulator. f.
Evaluasi Tahap akhir dari proses keperawatan adalah melakukan evaluasi dengan cara mengkaji respon perilaku dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan. Bila tujuan tercapai, artinya intervensi efektif, bila tidak, kaji lebih lanjut, pertimbangkan kembali penetapan tujuan dan intervensi.
2.4 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Acute Coronary Syndrome: STEMI, post Primary Percutaneous Coronary Intervention 2.4.1
Pengkajian Perilaku dan Stimulus
2.4.1.1 Pengkajian Perilaku a.
Mode Fisiologis
Hal yang perlu dikaji pada mode fisiologis meliputi: 1) Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi) Meliputi ventilasi: frekuensi dan pola pernafasan, pemeriksaan suara nafas, keluhan terhadap pernafasan seperti sesak nafas, seperti tercekik. Pertukaran gas: saturasi oksigen, transport gas: nadi, tekanan darah, suara jantung, pada ACS ditambahkan keluhan palpitasi, atau rasa pusing, hasil tes diagnostik, pada ACS perlu dikaji hasil laboratorium: darah lengkap, CKMB, troponin T/I, hasil echokardiografi, hasil corangiografi/corangiplasty, indikator fisiologi seperti warna kulit, bisa dingin dan pucat, membran mukosa, kuku kebiruan atau cyanosis. Penurunan kesadaran, urin output. Transport gas ke
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
22
miokard pada pasien ACS, diketahui dengan mengkaji adanya rasa nyeri dada yang hebat, tidak berkurang dengan nitrogliserin, menyebar ke leher, dagu, pundak atau punggung, biasanya sebelah kiri, atau dirasakan sebagai nyeri epigastrium. 2) Nutrisi (proses pencernaan dan metabolisme) Pengkajian nutrisi meliputi pola makan, pada ACS dikaji adanya faktor risiko terkait diit pasien seperti makanan tinggi lemak, garam atau rendah serat. rangsangan terhadap rasa dan bau. Adanya alergi makanan, nyeri karena proses makan dan minum. Gangguan ingesti. Tinggi badan dan berat badan, selera makan dan rasa haus, nutrisi yang dikonsumsi, kondisi rongga mulut, hasil test laboratorium seperti protein, kadar besi. Pada ACS dikaji pula adanya mual, muntah yang menyertai nyeri dada 3) Eliminasi (eliminasi usus dan urin) Pengkajian eliminasi usus meliputi: karakteristik feses, suara usus dan hasil pemeriksaan laboratorium. Eliminasi uri dikaji tentang jumlah dan karakteristik urin, frekuensi berkemin, kondisi urgent, nyeri dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada pasien post PCI urin perlu dikaji tiap jam (minimal 30cc/jam) dan adanya hematuri sebagai efek obat-obatan antikoagulan dan antitrombotik. 4) Aktivitas dan istirahat (Aktivitas, rekreasi dan istirahat) Pengkajian aktivitas meliputi aktivitas fisik (frekuensi, intensitas dan durasi) dan fungsi motorik, kekuatan dan massa otot, kekuatan otot, pergerakan sendi, postur, koordinasi motorik. Pada ACS dikaji juga adanya kelelahan dan kelemahan serta kebiasaan berolah raga. Kebiasaan merokok perlu dikaji untuk mengetahui faktor risiko aterosklerosis. Pengkajian tidur meliputi: kualitas dan kuantitas istirahat sehari-hari, pola tidur, tanda kurang tidur 5) Proteksi Hal yang dikaji antara lain: riwayat, kulit, nyeri dan kondisi kulit setelah operasi/ tindakan primary PCI, rambut dan kuku, pengeluaran keringat dan suhu tubuh, membran mukosa, respon inflamasi, hasil pemeriksaan laboratorium, sensitivitas terhadap nyeri dan suhu. Indikasi respon imun, status imunologi. Pada pasien ACS Post Primary PCI perlu dikaji adanya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
23
perdarahan, hematom, nyeri punggung, nyeri bagian distal ekstremitas yang dilakukan insersi, rasa baal atau kesemutan daerah tersebut. 6) Indera/Sense (penglihatan, pendengaran, perabaan) Pengkajian dilakukan untuk tes penglihatan, audiometri, diagnostik tes lain untuk pendengaran, sensasi. 7) Cairan, elektrolit, asam basa Untuk mengkaji pada perilaku ini kebutuhan dasar dan proses komplek berhubungan dengan status cairan, elektrolit dan asam basa. Pengkajian yang dilakukan meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, fungsi neurologi, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dengan ACS post PPCI perlu diukur balance cairan secara regular. AGD dan evaluasi echo untuk mengetahui status asam basa dan cairan pasien. 8) Fungsi neurologi Pengkajian perilaku meliputi perhatian, sensasi dan persepsi, proses sentral, koding, formasi konsep, memori, bahasa, kemampuan merencanakan, respon motorik. Disamping itu pengkajian pada neurologi dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran, respon terhadap nyeri, orientasi dan tingkat kesadaran, vital signs. 9) Fungsi endokrin Hormon endokrin mempengaruhi fungsi seluruh kebutuhan dan proses fisiologi maupun psikologi. Perilaku tergantung dari stimulus fokal sehingga kebutuhan fisiologi dan proses komplek perlu dikaji. Fungsi endokrin dapat dikaji melalui pengkajian oksigensasi, aktivitas dan istirahat, nutrisi, cairan elektrolit dan asam basa, eliminasi, proteksi, indra, fungsi neurologi, perkembangan struktural, mode adaptif yang lain, dan hasil tes laboratorium. Pada ACS, riwayat DM dan penangannya perlu ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko dan komplikasi yang terjadi. b.
Mode Konsep Diri 1) Physical self Pengkajian meliputi sensasi tubuh dan body image. Pada ACS perlu dikaji adanya kecemasan yang tidak diketahui sebabnya oleh pasien.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
24
2) Personal self Pengkajian meliputi konsistensi diri, ideal diri, moral etik spiritual c.
Mode Fungsi Peran 1) Perkembangan peran : pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi peran primer, sekunder dan tersier. 2) Role Taking: peran sebagai pasien diketahui saat berkomunikasi dengan perawat 3) Integrating Role: kesatuan peran pasien
d.
Mode Interdependensi Pengkajian dilakukan meliputi: 1) Affectional adequasi, yaitu: harapan dan kemampuan memberi dan menerima dari orang lain seperti, cinta, penghormatan, nilai, kepedulian, pengetahuan, ketrampilan, kotmitmen, bakat, rasa memiliki, waktu, loyalitas. Pengkajian perilaku meliputi orang yang berarti bagi pasien dan sistem pendukung, kemampuan memberi dan menerima. 2) Delevopmental adequasi, yaitu: proses yang berhubungan dengan pembelajaran dan kedewasaan. Pengkajian perilaku meliputi status perkembangan, ketergantungan, kemandirian. 3) Resource adequasi, yaitu: kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan dan tingkat keamanan. Pengkajian perilaku meliputi status fisiologi fisik sebagai indikator dari terpenuhinya kebutuhan dasar yang lebih luas.
2.4.1.2 Pengkajian Stimulus a.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Fisiologis Oksigenasi : kepatenan jalan nafas, fungsi otot, sistem saraf, adanya trauma dan pengobatan. Oksigen di udara, patologi penyakit, fungsi jantung, hasil laboratorium, hasil radiologi, elektrokardiografi, kondisi lingkungan seperti merokok, alergen, iritasi. Faktor lain seperti latihan, stres, perubahan altitude dan suhu Nutrisi:
integritas struktur dan fungsi saluran pencernaan, pengobatan,
kondisi saat makan. Kebutuhan nutrisi pasien, efektifitas kognator, kemampuan membeli makanan, budaya dan kesadaran terkait berat badan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
25
Eliminasi feses: proses homeostasis, adanya penyakit, diit, intake cairan, lingkungan seperti kamar mandi atau comode, pengobatan kondisi nyeri, kebiasaan eliminasi, stres, budaya atau keyakinan dalam keluarga, status perkembangan. Eliminasi urin: danya proses penyakit di saluran kemih, keseimbangan cairan, lingkungan, pengobatan, nyeri dan koping, kebiasaan eliminasi, stres, budaya atau keyakinan dalam keluarga Aktivitas dan istirahat: kondisi fisik, kondisi psikologis, lingkungan, kebiasaan aktivitas individu. lingkungan, penggunaan obat tidur faktor lingkungan, stres fisik, status perkembangan, kondisi psikologi, Proteksi: faktor lingkungan, integritas mode, efektivitas kognator, status perkembangan Indera/Sense: patologi sistem saraf, pertanyaan sensori dasar. Pada pengkajian stimulus perubahan meliputi kelainan termporer atau permanen, kelainan akut atau sudah lama terjadi, lebih dari satu kelainan, pandangan pasien terhadap kehilangan fungsi, efek langsung terhadap lingkungan, level kebutuhan pengetahuan. Cairan, elektrolit, asam basa: integritas mode fisiologi, intervensi medik, efektivitas kognator dan status perkembangan, dan faktor lingkungan. Fungsi neurologi: patofisiologi penyakit, kadar haemoglobin dan gas darah, status nutrisi, aktivitas dan istirahat, stress, pengetahuan, lingkungan fisik, mode konsep diri, mode fungsi peran, mode interdependent. Fungsi endokrin: status perkembangan, riwayat keluarga, etnik, kondisi lingkungan, intervensi tenaga kesehatan, tingkat pengetahuan, integritas mode yang lain. b.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Konsep Diri Perkembangan fisik, tingkat perkembangan kognitif, interaksi dengan pemberi pelayanan, reaksi terhadap orang lain, krisis maturasi, persepsi dan skema diri, strategi koping. Transaksi antara diri dan lingkungan, konfirmasi melalui interaksi sosial, tingkat kesadaran terhadap arti lingkungan, nilai atribut diri. Kebutuhan dan jarak, lingkungan sosial eksternal, kepemimpinan dan tanggung jawab
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
26
c.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Fungsi Peran Kebutuhan, atribut fisik dan umur kronologis, konsep diri dan kesejahteraan emosional, pengetahuan terhadap perilaku yang diharapkan, peran orang lain, model peran, norma sosial. Pengkajian role taking meliputi determinan umum, seting sosial, proses kognator, sumber daya kognitif, persepsi sosial. Pada pengkajian integrating role meliputi besarnya dan kompleksitas peran, proses kognator.
d.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Interdepensi Afeksional adekuasi: ekspektasi, kemampuan kepedulian, tingkat harga diri, ketrampilan komunikasi, kehadiran keluarga dan kerabat, pengetahuan mengenai suatu hubungan dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hubungan, usia sesuai tugas perkembangan Delevopmental adekuasi: tingkat perkembangan, perubahan yang berarti, integritas konsep diri, pengetahuan tentang suatu hubungan. Resource adekuasi: sumber daya keuangan pribadi dan bantuan dari orang lain.
2.4.2
Masalah Keperawatan
Masalah Keperawatan yang mungkin terjadi pada pasien Acute Miocard Infarct menurut Black & Hawks (2009) antara lain: a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemi miokard sebagai akibat dari oklusi arteri koroner yang menyebabkan kehilangan atau berkurangnya aliran darah pada area miokard dan nekrosis miokard. b. Ketidakefektifan perfusi jaringan (kardiopulmoner) berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard c. Disritmi berhubungan dengan ketidakstabilan atau irritability elektrik akibat iskemi atau kerusakan jaringan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan atau penurunan heart rate, perubahan ritme, dan disritmi atrial atau ventrikuler
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
27
d. Penurunan cardiac output berhubungan perubahan inotropik negative di jantung sebagai akibat dari iskemi, injury atau infark miokard yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kesadaran, kelemahan, pusing, hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, hemodinamik terganggu dan adanya henti jantung e. Kegagalan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan cardiac output yang ditunjukkan dengan adanya cyanosis, penurunan capillary refill, penurunan tekanan arteri oksigen (PaO2) dan sesak nafas f. Risiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati terkait terapi trombolitik atau penusukan arteri setelah angioplasty g. Ketidakberdayaan berhubungan dengan pengalaman “nyaris mati” dan antisipasi perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pernyataan “perasaan akan mati”, menangis dan marah h. Kecemasan dan Ketakutan berhubungan dengan efek hospitalisasi dan takut mati yang ditunjukkan dengan pasien dan keluarga menunjukkan kegelisahan, perasaan bermusuhan, pasien dan keluarga menyatakan emosi kesedihan i. Risiko konstipasi berhubungan dengan bedrest, terapi nyeri, diit lunak, yang ditunjukkan dengan perasaan penuh, kram perut, nyeri defecasi dan teraba massa di perut j. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan AMI dan implikasi perubahan pola hidup k. Risiko intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen yang ditunjukkan dengan kelemahan, fatigue, perubahan tanda vital, disritmi, sesak nafas, pallor dan keringat banyak l. Risiko gagal jantung berhubungan dengan proses penyakit yang ditunjukkan dengan adanya takikardi, hipotensi atau hipertensi, suara jantung S3 dan S4, disritmia, perubahan EKG, penurunan urin output, penurunan nadi perifer, edem perifer, kulit teraba dingin, diaphoresis, crackles, distensi vena juguler, edem dan nyeri dada. m. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan filtrasi glomerulus, penurunan cardiac output, peningkatan produksi hormone anti diuretic dan retensi air dan garam yang ditunjukkan dengan adanya orthopnoe, suara
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
28
jantung S3, oliguri, edem, distensi vena juguler leher, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah, distress pernafasan dan suara nafas abnormal n. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest, edem dan penurunan perfusi jaringan yang ditunjukkan dengan kemerahan pada area dan adanya kerusakan kulit. 2.4.3
Tujuan Keperawatan
a. Pasien akan merasa lebih nyaman di dada yang ditunjukkan dengan penurunan skala nyeri, istirahat dan tidur menjadi lebih nyaman, berkurangnya kebutuhan analgetik atau nitrogliserin dan kecemasan berkurang. (NOC: Comfort Level, Pain control, Pain: Disruptive effects, Pain Level) b. Pasien menunjukkan perbaikan perfusi jaringan jantung yang ditunjukkan dengan penurunan skala nyeri dan perbaikan segmen ST (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) c. Tidak ditemukan adanya disritmi yang ditunjukkan dengan sinus ritme atau ritme kembali ke baseline ((NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) d. Pasien menunjukkan perbaikan cardiac output
yang ditujukkan dengan
frekuensi dan ritme jantung normal, parameter hemodinamik normal, disritmi terkontrol atau hilang, tidak ada nyeri dada (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) e. Perfusi jaringan adekuat: pasien menunjukkan perbaikan pertukaran gas yang ditunjukkan dengan tidak adanya cyanosis, capillary refill adekuat, tidak ada sesak nafas, nilai analisa gas darah arteri normal (NOC: Pulmonary) f. Perawat akan memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan. Bila terjadi perdarahan, hal ini segera disadari dan dilakukan terapi (NOC: Blood Loss Severity) g. Kesadaran pasien terkontrol yang ditunjukkan dengan perasaan mampu mengungkapkan perasaan ketidakberdayaannya terhadap situasi dan tujuan selanjutnya (NOC: Fear Level)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
29
h. Pasien menunjukkan penurunan perasaan cemas dan takut yang ditunjukkan dengan pasien melakukan koping yang efektif (berpartisipasi terhadap pengobatan), pasien dapat beristirahat dan sedikit pertanyaan (NOC: Anxiety Level) i. Eliminasi feces pasien meningkat yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feces tanpa ketegagan atau terjadi bradikardi (NOC: Bowel Elimination) j. Pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok dan kolesterol, penurunan berat badan dan tekanan darah (NOC : Knowledge: Treatmen Regimen) k. Pasien mampu meningkatkan toleransi terhadap aktivitas yang ditunjukkan dengan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian, kelemahan dan kelelahan berkurang, tanda vital normal saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri (NOC: Activity Tolerance) l. Perawat akan memonitor manifestasi klini adanya gagal jantung melalui pengkajian frekuensi dan ritme jantung, parameter hemodinamik, perfusi kulit dan perfusi system syaraf pusat (NOC: Cardiac Pump Effectiveness) m. Keseimbangan cairan pasien adekuat yang ditunjukkan dengan intake dan output seimbang, suara nafas bersih, tanda vital normal, berat badan stabil, tidak ada edem (NOC: Fluid Overload Severity) n. Integritas kulit pasien baik, yang ditunjukkan dengan tidak ada kemerahan dan kerusakan pada area kulit (NOC: Tissue Integrity: Skin and Mucous Membranes) 2.4.4
Intervensi Keperawatan
a. Pain Management, Cardiac Care: Acute, Anxiety Reduction, Medication Administration b. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
30
c. Dysrhythmia Management, Cardiac care: Acute, Anxiety Management, Circulatory Care: arterial insufisiensi. d. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi e. Oxygen Therapy, Respiratory Monitoring, Acid-based Management, Cardiac Care, Airway Management f. Bleeding precaution, Bleeding Reduction, Coping Enhancement, g. Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support h. Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support i. Constipation/ Impaction Management j. Teaching: Disease Process, Coping Enhancement, Teaching: Prescribe Diet, Teaching: Prescribe Medication, Teaching: Prescribe Activity/Exercise k. Cardiac Care: Rehabilitative, Coping Enhancement l. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Dysrhythmia Management, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi, Fluid Management, Teaching: Disease
Process,
Teaching:
Prescribe
Activity/Exercise.
Medication
Administration. m. Fluid Management, Cardiac Care, Coping Enhancement, Teaching: Disease Process, Respiratory Monitoring, Medication Management, Teaching: Prescribe Diet. n. Pressure Ulcer Prevention. Aktivitas tindakan keperawatan yang utama dilakukan oleh perawat untuk mengatasi masalah keperawatan pada pasien dengan miokard infark yang dilakukan tindakan PCI akan dijelaskan sebagai berikut: a. Cardiac Care: acute Evaluasi nyeri dada termasuk lokasi, durasi, kualitas, intensitas, faktor presipitasi dan faktor yang mengurangi nyeri, monitor efektivitas penggunaan obat dalam mengurangi nyeri, pertahankan pembatasan aktivitas dan pertahankan lingkungan pasien tenang, monitor tekanan darah, lakukan monitoring jantung dan perekaman EKG 12 lead, mengkaji status mental, auskultasi suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi, monitor
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
31
intake output cairan, monitor hasil pemeriksaan laboratorium fungsi jantung dan ginjal seperti LDH, CKMB, Troponin, BUN, kreatinin. Monitor elektrolit darah, monitor hasil foto thorak, berikan makan sedikit tapi sering, berikan oksigen, berikan terapi untuk mengurangi nyeri, hindari valsava maneuver. b. Hemodynamic Regulation Monitor adanya hipotensi atau hipertensi, periksa suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, S3, S4 dan peningkatan atau penurunan heart rate, menghitung balance cairan dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Monitor resistensi vascular perifer dan sistemik, monitor pulsasi perifer, capillary refill, suhu dan warna kulit ekstremitas, monitor edema, Jugularis Venous Pressure. Berikan terapi vasodilator sesuai program, turunkan stressor dari lingkungan, evaluasi efek terapi cairan c. Circulatory Care: arterial insufisiensi Kaji sirkulasi perifer secara komperhensif (nadi perifer, edema, kapilary refill, warna dan suhu perifer). Kaji perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer. Berikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit, berikan terapi antikoagulan dan antiplatelet sesuai program. d. Bleeding precaution Monitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program, monitor adanya perdarahan aktif pada area insersi, berbagai cairan yang keluar dari tubuh seperti urin dan feses secara regular, mengobservasi status neurologi dan adanya nyeri punggung bawah, pertahankan pasien tetap bed rest saat terjadi perdarahan, hindari injeksi melalui IM, IV atau SC, anjurkan pasien menggunakan sikat gigi yang halus, anjurkan pasien tidak mengangkat benda berat.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
32
e. Cardiac Care: Rehabilitative: Monitor toleransi pasien terhadap aktivitas, monitor vital sign sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, monitor adanya takikardi, disritmia, sesak nafas, keringat berlebih, kelelahan, kelemahan atau pucat setelah aktivitas, anjurkan pasien istirahat setelah beraktivitas terutama setelah makan, dorong aktivitas pasien secara bertahap sesuai kemampuan. Anjurkan pasien memodifikasi faktor risiko penyakit yang ada seperti berhenti merokok, diet dan latihan. f. Coping Enhancement: Kaji adanya perubahan body image, perubahan peran akibat sakitnya, kaji perasaan pasien terkait pembatasan aktivitasnya, bantu aktivitas kebutuhan perawatan diri. Bantu pasien memahami penyakitnya, bantu pasien menentukan tujuan penyembuhannya secara realistic. Dorong keluarga selalu memberikan semangat pada pasien. 2.4.5
Evaluasi Keperawatan
a. Pasien bebas nyeri dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian terapi. Pasien menyatakan penurunan nyeri dan tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri. b. Kembalinya segmen ST ke baseline tergantung pada derajat iskemi dan kecepatan pemberian terapi. c. Dalam 24 jam setelah pasien masuk, ritme jantung pasien kembali stabil dan pasien tidak menunjukkan tanda dan gejala d. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, tekanan hemodinamik pasien normal, vital sign normal, suara nafas bersih, tidak ada sesak nafas, nilai analisa gas darah arteri normal, normal sinus ritme dengan frekuensi antara 60-100 x/mnt. e. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, suara nafas bersih, nilai analisa gas darah arteri normal f. Perawat memonitor dan mencegah terjadi perdarahan g. Dalam 24 jam setelah pasien masuk, pasien kooperatif dan aktif berpartisipasi dalam perawatan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
33
h. Koping sangat individual. Pencapaian Outcome sangat ditentukan oleh perilaku dan pernyataan pasien i. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, fungsi pencernaan (BAB) pasien normal j. Adaptasi terhadap strategi perawatan diri sangat individual.rencana waktu proses belajar perubahan pola hidup harus diketahui pasien. k. Pada infark miokard stabil, proses normal pada tahap fase 1 rehabilitasi tanpa manifestasi intoleransi aktivitas tercapai dalam 3-4 hari. l. Perawat akan memonitor gagal jantung dan segera melaporkan bila muncul tanda dan gejala. m. Tergantung pada derajat gagal jantung, kelebihan cairan dapat membaik secara lambat. Mungkin aka nada perbaikan manifestasi setelah terjadi dieresis. Keseimbangan cairan dapat dibuat setiap hari n. Gangguan integritas kulit dapat terjadi dalam 48 jam setelah pasien masuk atau pada perubahan kondisi yang signifikan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR
Pada bab ini akan digambarkan tentang aplikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dan sebagai pendidik pada pasien dan keluarga. Analisis asuhan keperawatan dilakukan pada kasus kelolaan utama dan kasus lain yang berjumlah 30 . Dalam bab ini juga akan disampaikan tentang analisa penerapan teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) pada berbagai gangguan pada sistem kardiovaskular dan refleksi residen terhadap kelebihan dan kendala yang ditemui selama melakukan praktik dan menerapkan teori keperawatan MAR ini. 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama Tuan R, 53 tahun, tempat tinggal di duren sawit, Jakarta, pendidikan sarjana, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perhubungan sebagai kepala personalia, suku padang, sudah menikah dan memiliki 3 orang putra. Masuk RSJPDHK di IGD tanggal 19 Maret 2012 pk.03.30 dengan diagnosa medis Akut STEMI inferior onset 5 jam, Killip I, TIMI Risk 3/14, DM tipe 2, Hipertensi grade I, Post PCI dengan 1 Bare Metal Stent (BMS) di Mid RCA dan POBA di PDA. Inkomplit revaskularisasi. Pengkajian dilakukan di CVC tanggal 19 Maret 2012 Pk. 07.30. Keluhan utama: Nyeri ulu hati, menjalar ke punggung. Rujukan RS Pondok Kopi, Jakarta Riwayat kesehatan sekarang: Pasien rujukan dari RS Pondok Kopi dengan diagnosa medis: MCI Akut. Pasien mengeluh nyeri ulu hati yang menjalar ke atas dada sampai leher terasa tercekik 5 jam SMRS. Keringat dingin (+), mual (+), muntah (-), berdebar-debar (-), sesak nafas (-), riwayat Dispneu on Effort (-), Orthopnoe (-), Paroxismal Nokturnal Dispneu (-), perasaan seperti mau pingsan (-), pasien merasakan keluhan seperti ini baru pertama kali Keluhan saat ini dirasakan saat sedang menyetir sejak jam 20.00, nyeri hilang timbul. Nyeri ulu hati makin memberat dan menetap kemudian pasien dibawa ke RS pondok Kopi
34
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
35
pk. 22.30, di RS Pondok Kopi (Pk. 23.00) sudah diberikan terapi ascardia 4 tablet, plavix 4 tablet, cedocard 5 mg, pronalges supp, morphin 3 mg/IV, kemudian dirujuk ke RSJPDHK, Jakarta. Saat di IGD nyeri dada (+), tetapi sudah minimal. Di IGD sudah dilakukan tindakan pemberian oksigen 4 l/mnt, pasien bed rest, dilakukan pemeriksaan EKG, laboratorium dan foto thorak, pemasangan iv line, pemberian obat-obatan: aspilet 320 mg, plavix 600 mg, integrilin 14,5 cc bolus, dilakukan Primary PCI di ruang kateterisasi jantung pk 4.45 s/d 05.55 (69 menit). Dari ruang kateterisasi pasien dipindahkan ke CVC. Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pasien mengatakan merasa nyeri di dada kiri sudah kurang lebih 2 tahun, periksa ke RS Pondok Kopi dikatakan nyeri otot. Pasien adalah pasien baru RSJPDHK dengan riwayat pengobatan : glucovance 250mg/hr, simvastatin 1 x 20 mg, captopril (dosis lupa, pasien tidak teratur minum obat). Pasien dinyatakan hipertensi th 2005, didiagnosis penyakit gula th 2004. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak muda, sehari 1 bungkus dan baru berhenti setelah masuk RS. Riwayat Kesehatan Keluarga Pasien 9 bersaudara, anak ke 5, menurut pasien ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung seperti dia yaitu kakak laki-laki no 4 (hipertensi), ibu menderita penyakit gula. Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang dilakukan tindakan pasang ring seperti yang dialami pasien. 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama 3.2.1
Pengkajian Perilaku dan Stimulus (di CVC tanggal 19 Maret 2012)
3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis a. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskular, perfusi) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: tidak ada sesak nafas, tidak ada rasa pusing atau kelemahan, nyeri dada kadang muncul tiba-tiba dalam hitungan detik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
36
Obyektif: Pemeriksaan Fisik Paru: pasien tampak tidak sesak nafas, pengembangan dada simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada retraksi dada, konjugtiva tidak anemis, kuku tidak sianosis, Frekuensi RR: 16 x/mnt, teratur, pernafasan abdominal, saturasi oksigen 99%, suara vesikuler di seluruh lapang paru, Ronki -/-, Wheezing -/-, friction rub -, pengembangan paru simetris, vocal fremitus teraba simetris kuat, pada perkusi terdengar suara sonor. Pemeriksaan Fisik Jantung: denyutan ictus cordis tidak tampak, distensi vena jugularis (–) (JVP: 5+0 cm), ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra, frekuensi teratur, isi cukup, BJ I, II terdengar regular, murmur (-), gallop (–), batas jantung kanan pada garis ternum, batas jantung kiri pada ICS 5 garis midklavikula sinistra batas atas pada ICS 3 midclavicula sinistra. Akral hangat, TD : 123/82 mmHg, Nadi radialis: 75 x/mnt, irama teratur, pulsasi cukup, capilari refile < 3 detik, akral hangat, warna kemerahan, urin cukup sekitar 80cc/jam. Pemeriksaan Lab tanggal 19/03/ 2012 di RS pondok kopi, Pk. 00.24: Hb : 15,2 mg/dL (13,5-17,5). Hematokrit :45% (40-50). SGPT: 12 mg/dL, SGOT: 17 mg/dL, trombosit 260.000/µL (150-400), CK 91 U/L (<171), CKMB 19 U/L (7-25), Trop T <50 ng/L (<50 : AMI not Likely), di RSJPDHK Pk. 03.56: (CKMB 56 (0-24), Trop T Kuantitatif 0,460 (> 2 Massive MCI) Hasil pemeriksaan EKG tgl 19/03/12: Saat datang di IGD RSJPDHK (Pk 03.36): SR, QRS rate 83x/mnt, QRS Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 detik, QRS durasi 0,08 detik, ST Elevasi di II,III,AVF, T Inversi di III, AVF, Q Patologis di III, ST depresed di aVL (sinus ritme dengan injury dan iskemi di inferior). Setelah dilakukan PCI (Pk. 07.30): SR, QRS rate 85x/mnt, QRS Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 detik, QRS durasi 0,08 detik, T Inversi di II, III, AVF, Q Patologis di III (sinus ritme dengan iskemi di inferior) Hasil Echo evaluasi post PCI tanggal 19/3/2012: EDD 43, ESD 29 EF 60%, TAPSE 1,8 cm, LVH (+) konsentris, RWMA (+), hipokinetik ringan inferior, Kao 3 cuspis, kalsifikasi (-), K Mitral: MR
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
37
trivial, K.Tr :TR(-), K.Po: PR Trivial, mPAP: 15 mmHg, E/A <1, E/e’ 14 LVEDP meningkat, SV: 73 ml, CO 5,1 L, SVR: 1082 Hasil pemeriksaan Rongent Thoraks ( 19 Maret 2012): Cor normal dengan CTR< 50%, kongesti (-), tidak ditemukan adanya infiltrat pada paru kanan maupun kiri Hasil angiografi di R. Kateterisasi (19/3/12): LM: Normal, LAD: Stenosis 70-80% panjang di proksimal-mid, stenosis 70% di proksimal D3; LCx: Stenosis 80% di distal, percabangan OM-2; RCA: Subtotal stenosis di mid dan stenosis 90% proksimal PDA, tampak thrombus. Dilakukan PCI-RCA dengan stent BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI 3 flow. Terapi yang diperoleh: Aspilet loading 320 mg selanjutnya 80 mg, plavix loading 600 mg, selanjutnya 75 mg, ISDN 3 x 5 mg ditingkatkan 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam 1 x 5 mg, integrilin bolus 1,5 cc, dilanjutkan maintenance 10 cc/jam, insulin RI drip sesuai hasil gula darah (50/50, start 2 unit/jam) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal : adanya oklusi di arteri koroner LAD, LCx dan RCA, Dilakukan PCI-RCA dengan sten BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI flow 3, incomplete revaskularisasi (di LAD dan LCx) Stimulus Kontekstual : tampak thrombus, hasil EKG: iskemi di inferior, proses evolusi. Stimulus Residual : Riwayat Hipertensi, DM (Tekanan darah dan glukosa tidak terkontrol) b.
Nutrisi (proses pencernaan dan metabolik) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Pasien mengatakan suka sekali masakan padang dan makanan bersantan. Pasien mengatakan makanan di rumah sakit kurang enak tetapi tetap menghabiskan makanan yang disediakan. Keluhan mual (-), muntah(-), kesulitan mengunyah (-), gangguan menelan (-), nyeri
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
38
lambung(-). Pasien biasanya makan rata-rata 1porsi 3 kali sehari dan tidak ada alergi atau pantangan. Obyektif: BB :60 kg, TB: 164 cm, IMT: 22,3; lingkar lengan kiri : 24 cm , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, tidak terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen supel, lunak tidak teraba pembesaran hepar, nyeri tekan (-), bising usus (+). Pasien memperoleh diit Jantung II (DM): 1850 kal/hari. Hasil pemeriksaa laboratorium (19 Maret 2012) GDS : di RS Pondok Kopi 453, di RSJPDHK 282 mg%, Cholesterol Total 194 mg/dL (120-200), trigliseride 174 mg/dL (50-150) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: Fungsi insulin tidak efektif Stimulus Kontekstual : pola makan sebelumnya tidak terkontrol Stimulus Residual : riwayat DM sejak th 2004 tetapi tidak terkontrol c.
Cairan dan elektrolit (cairan, elektrolit, asam basa) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Pasien mengatakan minumnya banyak, sehari kurang lebih 1 botol aqua besar, BAK normal 5-6 kali sehari, warna kuning jernih, setiap BAK sekitar 200 cc (1 gelas aqua). Obyektif: Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, edema ekstremitas /-. Tidak ditemukan acites, akral hangat, tidak ada distensi vena jugularis, JVP 5+0. Saat ini urin 80 cc/jam, fungsi ginjal adekuat, intake adekuat, balance cairan 313 cc/ 4 jam. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Elektrolit (19 Maret 2012): Natrium : 135 mmol/L (132-145), Kalium : 3.87 mmol/L (3,5 – 5,5), Chlorida: 96 mmol/L (98-110), Calsium Total 2,12 (2,1-2,55), Magnesium 2,2 (1,6-2,6). 2) Pengkajian Stimulus:-
d.
Eliminasi (usus dan saluran kemih) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: BAK: Pasien BAK 5-6 x/hari dengan volume sekitar 200cc (diperkirakan 1 gelas air mineral) setiap BAK. Tidak ada kesulitan dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
39
nyeri ketika memulai maupun saat BAK, urine berwarna kuning jernih. Saat ini terpasang kateter, urin 80 cc/jam, jernih (hematuri-) BAB: pasien biasa BAB 1 x/hari, konsistensi lembek berbentuk, tetapi di rumah sakit belum BAB. Pasien mengatakan takut makan banyak karena tidak mau BAB (tidak bisa BAB di tempat tidur) Obyektif: Bising usus (+), 6x/mnt, kuat, tidak teraba pembesaran kandung kemih dan tidak didapatkan nyeri tekan pada area simpisis maupun abdomen atas dan bawah. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (19 Maret 2012): urinalisa: dalam batas normal. Ureum 32 mg/dl (10-50), Kreatinin 0,8 mg/dl (0,67-1,17) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: Pasien tidak nyaman BAB di tempat tidur Stimulus Kontekstual: ruangan CVC terbuka sekat antar pasien menggunakan gordyn (privacy kurang menurut pasien). Stimulus Residual: kebiasaan BAB 1 x sehari e.
Aktivitas dan istirahat (aktivitas, rekreasi dan istirahat) 1) Pengkajian Perilaku Subjektif : Saat ini pasien merasakan pegal di punggung. Aktivitas sehari hari di kantor banyak duduk tetapi setiap pagi naik tangga 5 lantai untuk mencapai ruangan dan tidak ada keluhan sesak nafas atau nyeri dada. Pasien tidak pernah berolah raga secara rutin. Pasien tidak pernah tidur siang, malam tidur pk 22.00 bangun pk 04.30. Objektif : saat ini pasien masih bed rest, radialis tangan kanan terpasang nichiban. Kekuatan otot : tangan: 5555/ 5555; kaki: 5555/ 5555, tidak ada kesemutan, baal atau nyeri jari tangan bagian distal 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal : pasien post tindakan PPCI 2 jam, pasien masih dibed restkan, dianjurkan untuk tidak banyak berbicara. Stimulus kontekstual : terpasang nichiban di radialis kanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
40
Stimulus residual : pasien belum pernah mengalami kondisi seperti sekarang ini namun pasien kooperatif terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan f.
Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) 1) Pengkajian Perilaku Rambut dan kulit pasien bersih. Suhu aksila 36.2oC. terdapat luka bekas tusukan yang masih tertutup nichiban di radialis kanan, bengkak (-), hematom (-), kemerahan (-), kesemutan atau kebas bagian distal (-). Nadi perifer di tangan kanan teraba kuat +2. Hasil pemeriksaan lab leukosit : 9300/mm3, pasien masih terpasang IV line di tangan kiri, tidak ada nyeri atau kemerahan pada area insersi. Pasien tidak mengalami gangguan sensasi 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: luka bekas tusukan yang masih tertutup nichiban di radialis kanan Stimulus Kontekstual : pasien mendapat terapi kombinasi antitrombotik dan antikoagulan dosis tinggi
g.
Perasaan/the sense (penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa bau dan nyeri) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Tidak ada gangguan pendengaran ataupun penglihatan, mampu membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 30 cm dengan bantuan kacamata (+), perabaan baik, penghiduan dan pengecapan tidak ada gangguan. Pasien kadang masih merasakan nyeri menusuk di punggung tetapi hanya hitungan detik. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: suplai dan kebutuhan oksigen ke miokard belum seimbang Stimulus Kontekstual: pasien post PPCI 2 jam yang lalu, adanya oklusi Di LAD dan LCx
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
41
h.
Fungsi syaraf (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Menurut pasien penyakit yang sedang dideritanya ini merupakan akibat dari perilakunya sendiri sehingga saat ini pasien dapat menerima kondisinya dengan rela dan berusaha merubah pola makannya. Obyektif: Kesadaran CM, pasien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik, sensorik, memori dan bahasa tidak ada gangguan. Tidak ada riwayat gangguan kognitif. Pasien mampu berkomunikasi dengan baik, tanda vital dalam batas normal. 2) Pengkajian Stimulus:-
i.
Fungsi endokrin (hormonal) 1) Pengkajian Perilaku Tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, pasien menderita diabetes mellitus sejak th 2004 (tidak terkontrol). Gula darah sewaktu di RS Pondok Kopi 453 mg%, di RSJPDHK 282 mg%. Saat ini pasien mendapat terapi insulin 2 unit/jam. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus
Fokal:
peningkatan
gula
darah
sebagai
akibat
dari
ketidakefektifan fungsi insulin. Stimulus Kontekstual: riwayat DM sejak th 2004 tidak terkontrol Stimulus Residual : pola makan yang kurang sehat, tidak melakukan diit DM 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri a. Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) 1) Pengkajian Perilaku a) Sensasi diri: Pasien merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya memang akibat dari perilaku pola hidupnya yang kurang sehat. Pasien selalu bertanya tentang apa yang harus dilakukannya setelah pulang dari rumah sakit agar kondisinya menjadi lebih baik dari sekarang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
42
b) Body Image: Setelah dinyatakan menderita penyakit jantung koroner dan dipasang stent pasien sudah dapat menerima kondisinya. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: informasi tentang perawatan selanjutnya belum diberikan. Stimulus Kontekstual : saat ini pasien berada di RS karena kondisi emergency b. Personal Self 1) Pengkajian Perilaku a) Moral /Etik/spiritual Pasien beragama islam dan selama ini menjalankan sholat, saat ini pasien sholat di tempat tidur. b) Self consistency Perilaku dan apa yang disampaikan pasien konsisten. Saat berinteraksi dengan residen pasien aktif bertanya dan nampak keingintahuannya besar tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya c) Ideal diri Pasien berharap bisa beraktivitas seperti sediakala meskipun sudah dilakukan pemasangan stent. 2) Pengkajian Stimulus: 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi peran Mode ini berfokus pada pengkajian pola interaksi dalam peran primer, sekunder dan tersier a. Pengkajian Perilaku Pasien adalah kepala keluarga, dengan 1 istri dan 3 orang anak. Bekerja sebagai karyawan di bagian personalia departemen perhubungan. Sebelum sakit peran sebagai kepala keluarga dapat dijalankan dengan baik. Pasien kurang aktif di masyarakat karena waktunya terbatas. Saat di rumah sakit pasien sangat kooperatif berperan sebagai pasien. Istri selalu menunggu, hubungan dengan keluarga baik b. Pengkajian Stimulus: -
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
43
3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen a. Pengkajian Perilaku 1) Afektional adequasi Pasien mengatatakan sudah bisa menerima kondisi sakitnya dan berharap untuk penyempitan di pembuluh yang lain bisa segera ditangani. Pasien minta pendapat residen apakah perlu operasi atau pasang stent lagi. Pasien selalu didukung oleh istri yang selalu menemani setiap hari. 2) Developmental adequasi Saat ini kebutuhan dan aktifitas pasien dilakukan sendiri dengan bantuan minimal dari istri yang selalu menunggu di RS. Anak-anak tidak menunggu tetapi kadang menengok ayahnya karena masih sekolah. Menurut pasien, anak yang ketiga marah karena tidak mau menerima telpon dari ayahnya, tetapi pasien memahami karena anaknya masih kecil 3) Resources adequasi Pasien memiliki jaminan kesehatan : ASKES, pasien mengatakan tidak ada masalah keuangan untuk perawatan selanjutnya. b. Pengkajian Stimulus:3.2.2
Diagnosa Keperawatan
3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis a. Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard b. Risiko penurunan cardiac output
berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output d. Risiko perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan e. Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak f. Risiko gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
44
3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri: Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup 3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi peran: 3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen : 3.2.3
Penetapan Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu beradaptasi secara Integrated dan Compensatory sesuai dengan kondisinya yaitu: a. Setelah 5 hari perawatan perfusi miokard pasien mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan : tidak ada nyeri dada, terjadi perbaikan segment ST dan gelombang T pada EKG, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, heart rate antara 70-80 x/mnt (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status, Tissue Perfusion: Heart) b. Setelah 3 hari perawatan pasien tidak mengalami penurunan cardiac output yang ditunjukkan dengan: tidak ada keluhan kelemahan, tidak ada nyeri dada, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, heart rate antara 70-80 x/mnt, kesadaran CM, akral hangat, urin output minimal 30 cc/jam (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status, Vital Sign Status ) c. Setelah 4 hari perawatan pasien mampu meningkatkan toleransi terhadap aktivitas yang ditunjukkan dengan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian, kelemahan dan kelelahan berkurang, tanda vital normal saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri (NOC: Activity Tolerance) d. Setelah 5 hari perawatan pasien tidak mengalami perdarahan yang ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal dan perawat akan memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan. Bila terjadi perdarahan, hal ini segera disadari dan dilakukan terapi (NOC: Blood Loss Severity)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
45
e. Setelah 3 hari perawatan eliminasi feses pasien meningkat yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feses tanpa ketegagan (tidak mengedan) atau terjadi bradikardi (NOC: Bowel Elimination) f. Setelah 5 hari perawatan kadar gula darah pasien dalam batas normal dengan terapi optimal (NOC: Blood Glucose Level) ditunjukkan dengan kadar glukosa dalam darah dan urin dalam batas normal g. Setelah 5 hari perawatan pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok, penurunan berat badan, tekanan darah dan kolesterol (NOC : Knowledge: Treatmen Regimen) 3.2.4
Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan diberikan sesuai dengan masalah pasien dantujuan yang ditetapkan. Intervensi keperawatan diberikan menggunakan pedoman Nursing Intervention Classification dan aktivitas keperawatan difokuskan pada intervensi untuk mencapai adaptasi Integrated dan Compensatory melalui proses koping secara regulator maupun cognator. Intervensi tersebut terbagi untuk tiap diagnosa keperawatan yaitu: a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory
Care:
arterial
insufisiensi,
Medication
Administration,
Dysrhythmia Management. b.
Risiko
penurunan
Cardiac
output
berhubungan
dengan
penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi. c.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output. Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: Rehabilitative, Coping Enhancement.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
46
d.
Risiko terjadi perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan Intervensi Keperawatan: Bleeding precaution, Bleeding Reduction.
e.
Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak Intervensi Keperawatan: Constipation/ Impaction Management
f. Risiko Gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah Intervensi Keperawatan: Hyperglycemia Management g.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup Intervensi Keperawatan: Teaching: Disease Process, Coping Enhancement, Teaching Prescribe Diet, Teaching Prescribe Medication, Teaching Prescribe Activity/Exercise
3.2.5
Implementasi Keperawatan
Selama memberikan asuhan keperawatan pada Tn R dari tanggal 19-23 Maret 2012 di CVC (19-20 Maret) dan di GP 2 lantai 3 (21-23 maret), residen melakukan beberapa tindakan untuk setiap urutan diagnose keperawatan yang muncul antara lain: a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard Secara regulator: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, mempertahankan pembatasan aktivitas dan mempertahankan lingkungan pasien tenang Circulatory Care: arterial insufisiensi : memberikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit Dysrhythmia Management melakukan perekaman EKG 12 lead dan selalu memantau adanya perubahan segmen ST Medication Administration : memberikan terapi Aspilet 1x 80 mg, plavix 1 x 75 mg, ISDN 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
47
1x 5 mg, integrilin 10 cc/jam, (bisoprolol 1 x 1,25 diberikan pada hari kedua). Secara cognator: Cardiac Care: Acut : menganjurkan pasien untuk tetap bedrest selama 24 jam post PCI. b.
Risiko penurunan cardiac output Secara regulator. Cardiac Care: acut: mengkaji status mental, memeriksa suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi, Melakukan perekaman EKG. Hemodynamic Regulation: memonitor adanya hipotensi atau hipertensi, memeriksa suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, dan peningkatan atau penurunan heart rate, menghitung balance cairan dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Melakukan pengkajian nyeri dada Circulatory Care: Arterial Insufisiensi: mengkaji perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer.
c.
Intoleransi aktivitas Secara regulator Cardiac Care: Rehabilitative: memonitor vital sign sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, memonitor adanya takikardi, disritmia, sesak nafas, keringat berlebih, kelelahan, kelemahan atau pucat setelah aktivitas, Coping Enhancement: mengkaji perasaan pasien terkait pembatasan aktivitasnya, membantu aktivitas kebutuhan perawatan diri. Secara cognator Cardiac Care: Rehabilitative: menganjurkan pasien istirahat setelah beraktivitas terutama setelah makan, mendorong aktivitas pasien secara bertahap sesuai kemampuan.
d.
Risiko perdarahan Secara regulator Bleeding precaution: memonitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program, memonitor adanya perdarahan aktif pada area insersi (radialis kanan) dan IV line (lengan kiri) yang masih terpasang selang infus dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
48
berbagai cairan yang keluar dari tubuh seperti urin dan feses secara regular, mempertahankan nichiban sampai 6 jam post prosedur dan melakukan pengendoran. Mengobservasi status neurologi dan adanya nyeri punggung bawah. Secara cognator Bleeding Reduction: menganjurkan pasien untuk tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan beban tangan kanan seperti menahan tubuh atau mengangkat benda. e.
Risiko Konstipasi Secara regulator Constipation/ Impaction Management: memberikan diet berserat dan intake cairan yang cukup. Memberikan obat laxadine 1 x1 sendok teh. Secara cognator Constipation/ Impaction Management :menganjurkan pasien untuk mencegah ketegangan dan menghindari valsava manuver seperti tindakan mengejan. Menganjurkan pasien untuk BAB menggunakan commode.
f.
Risiko gula darah tidak stabil Secara regulator Hypergycemia Management : memantau kadar glukosa darah secara regular, mengkaji
tanda-tanda
hiperglikemi,
menganjurkan
pasien
untuk
meningkatkan masukan cairan, memberikan terapi insulin sesuai program dokter insulin regular secara drip 2 unit/jam atau sesuai kadar gula darah (pada hari ke4 insulin diganti dengan lantus 1x 16 unit). Secara cognator Hypergycemia Management: memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit Diabetes Melitus, tanda dan gejala hiperglikemi dan hipoglikemi serta tindakan yang perlu dilakukan segera. Menganjurkan pasien untuk mengontrol gula darah secara teratur, mengajarkan pasien dan keluarga memberikan suntikan secara mandiri.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
49
g.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan Secara cognator: Teaching: Disease Process: memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit jantung koroner secara verbal dan menggunakan leaflet untuk mengatasi masalah ini (Lampiran 2). Pasien dan istri juga dijelaskan tentang faktor risiko yang ada pada pasien. Menganjurkan pasien untuk berhenti merokok, mengontrol tekanan darah dan gula darah secara teratur. Coping Enhancement memberikan dukungan bahwa pasien harus mulai merubah pola hidupnya yang tidak sehat seperti merokok, diit tinggi lemak, jarang berolah raga, tidak mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah secara teratur dan sering menyimpan masalah sehingga menimbulkan stress. Teaching Prescribe Diet : menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang rendah lemak, rendah garam (sodium), Teaching
:Prescribe
Activity/Exercise:
menganjurkan
pasien
untuk
melakukan olah raga teratur minimal 30 menit sehari dan manajemen stress. Menganjurkan pasien untuk kontrol dan kalau perlu mengikuti program rehabilitasi. Teaching: Prescribe Medication: selama dirawat dan saat pulang pasien dijelaskan kembali tentang obat-obat yang dibawa pulang termasuk fungsi dan efek sampingnya dan menganjurkan agar obat diminum secara teratur dan jangan sampai terputus. 3.2.6
Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 23 Maret 2012 dan sudah mencapai perilaku adaptif Compensatory dan Integrated, dan ketika kontrol seminggu kemudian sampai evaluasi melalui telepon pasien mencapai adaptasi integrated. Secara lebih rinci perilaku yang dikaji untuk setiap diagnosa adalah sebagai berikut: a. Pada hari ke 5 pasien menunjukkan perilaku adaptif Compensatory pada masalah gangguan perfusi jaringan miokard yang ditunjukkan dengan: pasien tidak mengalami nyeri dada, terjadi perbaikan segment ST pada EKG, terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
50
perubahan ST elevasi yang muncul pada tanggal 19 Maret 2012, setelah dilakukan PPCI ST elevasi di lead II,III, AVF sudah menjadi isoelektrik tetapi sampai tanggal 21 Maret T inversi di lead II,III, AVF dan V5,V6 dan Q patologi di lead III masih ditemukan. Tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt. Analisa Intervensi: tindakan dihentikan dan pasien dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas berat terlebih dulu dan segera datang ke layanan kesehatan bila mengalami nyeri dada yang memberat, durasi semakin lama dan tidak hilang dengan istirahat. Bila serangan terjadi saat di rumah, minum ISDN sublingual 5 mg dan bisa diulang tiap 5 menit sebanyak 3 kali. Kontrol tepat waktu dan minum obat teratur b. Pasien menunjukkan perilaku adaptif Integrated pada hari ke-3 untuk masalah keperawatan risiko penurunan Cardiac output yang ditunjukkan dengan perilaku: tidak ada keluhan kelemahan, tidak ada nyeri dada, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt, kesadaran CM, akral hangat, urin output sekitar 80-100 cc/jam Analisa Intervensi: hentikan tindakan keperawatan c. Pasien menunjukkan perilaku adaptif Integrated pada pada hari ke-4 untuk masalah keperawatan intoleransi aktivitas yang ditunjukkan dengan perilaku: pasien berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian secara mandiri termasuk mandi di kamar mandi, tidak ada keluhan kelemahan dan kelelahan, tanda vital normal, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt, saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri dada Analisa Intervensi: hentikan tindakan keperawatan, anjurkan pasien meningkatkan kemampuan aktivitas sesuai toleransi selama tidak ada rasa nyeri, sesak nafas atau berdebar-debar d.
Sampai hari kelima saat pulang, pasien mencapai adaptasi Compensatory yang ditunjukkan dengan pasien tidak mengalami perdarahan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
51
ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal. Perawat selalu memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan yang selalu tercatat dalam catatan keperawatan. Setelah pulang pada hari kelima, pasien masih mungkin mengalami perdarahan karena pasien masih mengkonsumsi terapi antitrombotik. Analisa Intervensi: anjurkan untuk membatasi aktivitas selama 2-3 hari berikutnya agar tidak meningkatkan beban di tangan kanan yang dapat menyebabkan perdarahan dan melaporkan pada tenaga kesehatan bila mengalami perdarahan internal seperti uri merah, feses hitam atau gusi berdarah berlebihan e.
Pada hari ketiga pasien mampu beradaptasi secara integrated untuk masalah risiko konstipasi karena eliminasi feces pasien sudah baik yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feces tanpa ketegagan atau terjadi bradikardi pada hari ketiga setelah pasien pindah ke ruang rawat GP 2 lantai III. Pasien selalu menghabiskan porsi makan yang disediakan rumah sakit. Analisa Intervensi: hentikan penggunaan laxadin, digunakan bila diperlukan ketika defekasi tidak lancar karena pasien tidak boleh mengejan.
f. Pada hari kelima pasien mampu beradaptasi secara Compensatory ditunjukkan dengan kadar gula darah Tn R sudah stabil pada level 100-130 mg/dL dengan penggunaan terapi insulin secara drip mulai 2 u/jam sampai 0,5 unit/jam dan kekudian diganti dengan lantus 1x16 unit/hari. Penyuntikan pada hari kelima dilakukan oleh istri, pasien belum berani sehingga evaluasi berikutnya diharapkan pasien dan anggota keluarga yang lain mampu melakukan penyuntikan insulin sehingga mengurangi ketergantungan pasien pada orang lain. Analisa Intervensi: evaluasi kemampuan pasien dan keluarga pada saat kontrol atau kunjungan rumah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
52
g. Pada hari kelima saat pasien pulang, pasien sudah mampu beradaptasi secara Compensatory, pendidikan kesehatan terakhir masih diberikan terkait pola hidup sehat yang perlu diterapkan pasien di rumah. Pasien dan keluarga mampu menyebutkan hal-hal yang perlu dilakukan dirumah terkait pola hidup sehat seperti berhenti merokok, diit rendah lemak, olah raga teratur, kontrol tekanan darah dan gula darah. Istri pasien sudah mampu melakukan penyuntikan insulin secara mandiri. Anak pasien no 2 menyatakan bersedia belajar memeriksa tekanan darah atau menyuntik insulin. Analisa Intervensi: evaluasi kembali pemahaman dan kemampuan pasien dan keluarga tentang perawatan, pengobatan, perubahan pola hidup yang harus dijalani pada saat kontrol dan kunjungan rumah. Pada saat pasien kontrol tanggal 2 April 2012 dan saat dihubungi melalui telepon pada tanggal 3 Mei 2012, pasien sudah mencapai adaptasi integrated yang ditunjukkan dengan pasien sudah tidak merokok sama sekali, tekanan darah dan gula darah dalam rentang normal, pasien minum obat teratur sesuai program, pasien mengatakan sudah mencoba untuk tidak terlalu stress dengan mengalihkannya dengan membaca koran, sudah berolah raga jalan kaki setiap pagi minimal 30 menit. 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy 3.3.1
Mode Adaptasi Fisiologis
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard. Jaringan miokard disuplai oksigen dan nutrisi oleh arteri koroner kanan dan kiri yang keluar dari root aorta.Arteri kiri yang utama (Left Main) terbagi manjadi arteri Left Anterior Decending (LAD) dan Circumflex yang mensuplai oksigen dan nutrisi pada dua per tiga bagian septum interventrikuler, otot papilar anterior dan ventrikel kiri bagian anterior. Arteri circumflex mensuplai otot jantung bagian lateral dan posterior ventrikel kiri. Sedangkan Right Coronary Artery (RCA) mensuplai darah pada dinding
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
53
ventrikel inferior dan posterior dan sepertiga septum interventrikuler (Lilly, 2007). Tn R mengalami ketidakefektifan perfusi jaringan miokard karena terjadi oklusi pada arteri koroner yang ditunjukkan dengan adanya nyeri dada, perubahan EKG yang menunjukkan adanya injury otot miokard bagian inferior (ST Elevasi pada lead II,III dan AVF), dan peningkatan marker jantung yaitu troponi T : 0,460. Nyeri dada merupakan gejala yang terjadi akibat adanya penumpukan asam laktat akibat metabolism anaerob saat otot jantung tidak mendapatkan suplai oksigen secara adekuat (Black & Hawks, 2009; Ignatavisius, 2006), sedangkan ST elevasi mengindikasikan bahwa otot jantung mengalami injury sebagai akibat dari reflek listrik abnormal selama terjadi ACS (Lilly, 2007). Bagian inferior ditunjukkan pada letak lead yang mengalami kelainan yaitu pada lead II,III dan AVF dan menujukkan bahwa arteri yang mengalami oklusi adalah RCA (Black & Hawks, 2009; Odom, 2008; McKeena, 2008). Peningkatan enzim troponin T dan CKMB menunjukkan adanya injury di miokard. Hal ini terjadi akibat kurangnya suplai oksigen ke jantung (Black & Hawks, 2009). Troponin merupakan protein yang ada dalam otot yang mengontrol interaksi antara myosin dan actin. Struktur troponin T dan I di jantung unik dan peningkatannya dapat digunakan sebagai indikator yang sensitive dan kuat adanya kerusakan myocyte (Lilly, 2007). Hasil pemeriksaan troponin mencapai 0,460 pada jam ke 5, sedangkankan kadar CKMB mencapai 56. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa troponin T meningkat 3-6 jam setelah terjadi injury sedangkan CKMB meningkat setelah 3-4 jam terjadi injury (Black & Hawks, 2009; Ignatavisius, 2006; McKeena, 2008; Lilly 2007). Adanya oklusi dinyatakan sebagai stimulus fokal, didukung dengan adanya hasil intervensi angiografi (19/3/12) yang merupakan hasil dari pengkajian perilaku pada mode adaptasi fisiologi menunjukkan bahwa LM Normal, LAD: Stenosis 70-80% panjang di proksimal-mid, stenosis 70% di proksimal D3; LCx: Stenosis 80% di distal, percabangan OM-2; RCA: Subtotal stenosis di mid dan stenosis 90% proksimal PDA, tampak thrombus. Dilakukan PCI-RCA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
54
dengan stent BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI Flow 3. Meskipun pasien sudah dilakukan PCI di RCAdan POBA di PDA dengan hasil baik, timi flow 3, namun revaskularisasi tidak komplit karena masih terdapat oklusi di LAD dan LCx sehingga perfusi ke otot miokard masih terganggu. Disamping itu, hasil pengkajian perilaku pada sensasi masih ditemukan bahwa pasien kadang masih merasakan nyeri menusuk sampai ke punggung meskipun hanya dalam hitungan detik. Tujuan utama perawatan adalah meningkatkan perfusi ke otot miokard sehingga terjadi adaptasi dengan intervensi yang difokuskan pada proses koping secara regulator maupun cognator. Aktivitas keperawatan yang dilakukan meliputi mempertahankan pembatasan aktivitas dan lingkungan tenang, memberikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit, melakukan perekaman EKG setiap hari dan memberikan terapi Aspilet 1x 80 mg, plavix 1 x 75 mg, ISDN 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam 1 x 5 mg, integrilin 10 cc/jam, (bisoprolol 1 x 1,25 diberikan pada hari kedua). ISDN atau Isosorbid Dinitrat merupakan golongan nitrat organic dan merupakan terapi awal untuk angina pectoris. Fungsi utama nitrat adalah vasodilatasi. Pada dosis kecil, nitrogliserin menyebabkan dilatasi vena dan arteri.dilatasi vena menyebabkan penurunan venous return yang pada akhirnya mengurangi pengisian ventrikel kanan dan kiri sehingga preload berkurang (Lilly, 2007; Rahasto & Priatna, 2011). Dilatasi arteri menyebabkan aliran koroner meningkat . Tn R mendapatkan ISDN untuk mengurangi beban jantung
dan
mengatasi
iskemi
dengan
peningkatan
aliran
koroner.Bisoprololjugadiberikan untuk mengurangi beban jantung (Rahasto & Priatna, 2011) Tn R mendapatkan berbagai terapi golongan antitrombotik (aspirin, plavix, integrilin) untuk mencegah agregasi platelet yang dapat menyebabkan thrombus sehingga menyebabkan oklusi yang pada akhirnya menghambat aliran darah koroner ke otot miokard. Aspirin atau Aspilet merupakan obat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
55
antitrombotik yang bekerja dengan cara memblok cyclooxygenase yang merupakan enzyme esensial untuk produksi TXA2 dari asam arachdonic. Integrilin merupakan obat yang digunakan untuk menurun komplikasi trombotik pada pasien yang dilakukan PCI mendampingi aspirin dan heparin. Obat ini termasuk dalam golongan obat GP IIB/IIIA reseptor antagonis yang bekerja menghambat jalur agregasi platelet, mengikat aktivasi reseptor GP IIB/IIIA dengan fibrinogen dan faktor Willbrand. Plavix merupakan obat antikoagulan oral yang berisi thienopyridine (clopidogrel) yang diberikan saat prosedur dan dilanjutkan sampai beberapa bulan tergantung jenis Stent yang digunakan (Lilly, 2007) Tn R juga mendapat terapi simvastatin yang merupakan obat golongan lipid regulation termasuk dalam HMG CoA Reductase Inhibitors. Simvastatin adalah obat yang efektif menurunkan kolesterol LDL (Lilly, 2007). Evaluasi proses dilakukan setiap hari sedangkan evaluasi hasil dilakukan pada tanggal 23 Maret 2012. Pasien dinyatakan mencapai adaptasi secara Compensatory dengan pertimbangan bahwa hasil EKG masih terdapat T inverted, tetapi proses evolusi mengarah pada perbaikan sudah terjadi, nyeri dada sudah tidak muncul lagi, hanya kadang terasa nyeri di punggung dan tidak khas. b. Risiko penurunan Cardiac output
berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx Cardiac output adalah volume darah yang diejeksikan saat ventrikel berkontraksi selama satu menit. Cardiac output seseorang berkisar antara 4-8 liter/menit (Black & Hawks, 2009). Cardiac output dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu preload, afterload dan kontraktilitas jantung. Risiko penurunan Cardiac output sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari kontraktilitas yang dapat terganggu akibat perfusi jaringan cardiac yang tidak adekuat akibat adanya oklusi di LAD dan LCx.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
56
Tindakan keperawatan yang diberikan pada Tn R bertujuan agar pompa jantung tetap efektif dan sirkulasi tetap adekuat sehingga pasien tidak mengalami cardiac output. Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan oleh residen antara lain melakukan pengkajian status mental karena perfusi serebral dapat terjadi apabila suplai ke otak berkurang. Pemeriksaan suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi dilakukan setiap shift untuk mencari adanya kongesti paru akibat gangguan fungsi miokard. Monitor adanya hipotensi atau hipertensi. Pemeriksaan suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, dan peningkatan atau penurunan heart rate. Penghitungan balance dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Pengkajian perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer. Pasien tidak dilakukan pemeriksaan AGD karena parameter himodinamik dan saturasi masih baik. Pengkajian nyeri dada dilakukan untuk mengetahui adanya iskemi miokard yang didukung dengan
hasil pemeriksaan EKG. Pemeriksaan EKG hanya
dilakukan sampai pada tanggal 21 Maret 2012 karena pasien sudah menunjukan hemodinamik yang stabil, urine output adekuat, dan bebas nyeri selama 1 hari. Setelah 5 hari diberikan perawatan pasien sudah mampu mencapai adaptasi integrated dan tindakan keperawatan dihentikan. Selanjutnya pasien dianjurkan untuk melakukan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi, selama pasien tidak mengalami nyeri dada, sesak nafas atau rasa berdebar-debar. c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output Menurut Nanda International (2012) yang dimaksud intorelansi aktivitas adalah kekurangan energi secara fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau menyelesaikan kegiatan sehari-hari yang diperlukan atau diinginkan (Herdman, 2012) Pasien mengalami intoleransi aktivitas karena adanya EKG yang menunjukan iskemi sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Pasien masih dianjurkan bed rest untuk mencegah terjadinya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
57
penurunan cardiac output karena pasien masih dalam kondisi akut setelah dilakukan PCI 2 jam yang lalu. Kondisi ini menyebabkan risiko terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen masih sangat tinggi. Setelah 4 sampai 5 hari pasien diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien untuk beraktivitas yang ditunjukan dengan pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri, tidak ada kelemahan maupun kelelahan, tanda-tanda vital dalam rentang normal, tidak ada sianosis, diaporesis dan nyeri dada selama beraktivitas. Intervensi keperawatan yang dilakukan oleh residen antara lain memonitor tanda vital sebelum dan segera setelah beraktivitas. Selama 2 hari di ruang CVC aktivitas pasien masih bed rest, perawatan diri sehari-hari masih dibantu oleh perawat tetapi ditingkatkan secara bertahap dengan menganjurkan pasien untuk makan sendiri di tempat tidur. Setelah pasien berada di ruang perawatan GP 2 lantai 3, pasien melakukan aktivitasnya secara mandiri seperti mandi di kamar mandi. Pasien selalu dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas secara bertahap karena peningkatan aktivitas secara bertahap akan meningkatkan kekuatan dan mencegah pasien beraktivitas terlalu berat, meningkatkan sirkulasi kolateral dan mengembalikan pada pola hidup yang normal sesegera mungkin. Saat pasien beraktivitas, residen selalu mengevaluasi adanya sesak nafas, disritmia, kelemahan, diaporesis atau kelelahan. Tanda dan gejala ini merupakan indikasi adanya kekurangan oksigen di jantung. Jika gejala tersebut muncul perawat dapat segera memberikan tindakan pemberian oksigen, pengobatan atau menghentikan aktivitas pasien. Sampai hari ke 4 Tn R tidak mengalami tanda dan gejala ini sehingga dinyatakan pasien mencapai adaptasi compensatory karena pasien tidak boleh melakukan aktivitas berat sampai kurang lebih 2 minggu. d. Risiko perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan PCI merupakan tindakan yang sering dilakukan pada pasien dengan STEMI. Diantara pasien STEMI, 55,8 % dilakukan tindakan reperfusi dan 20,7 %
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
58
dilakukan reperfusi dengan Primary PCI dan 35,1% dengan fibrinolitik. Diantara pasien yang dilakukan Primary PCI dalam kelompok ini, 45,4% mendapat terapi glycoprotein IIb/IIIa inhibitor dan 70.7% dilakukan intracoronary stent (Theroux, 2011). Pasien mendapatkan terapi reperfusi dengan tindakan Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) dengan pertimbangan onset nyeri masih 5 jam, tersedia fasilitas tindakan PPCI yang dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam dan pasien setuju untuk dilakukan tindakan tersebut. Risiko perdarahan diartikan sebagai risiko pada penurunan volume darah yang dapat membahayakan kesehatan (Herdman, 2012). Pasien berisiko mengalami perdarahan karena baru saja menerima tindakan PCI 2 jam yang lalu, dan menerima pemberian obat-obatan anti koagulan dan anti trombotik dosis tinggi (asiplet 320 mg, plavix/clopidogrel 600 mg, integrilin 14,5 cc bolus). Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) (2010) menyampaikan bahwa risiko perdarahan harus diperhatikan bila memutuskan strategi invasif dalam penanganan penyakit. Kombinasi obat akan meningkatkan risiko perdarahan dan risiko perdarahan makin meningkat dengan dosis obat antitrombotik yang lebih tinggi, lama pengobatan, kombinasi beberapa obat antitrobotik. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa aspilet, plavik dan integrilin merupakan obat golongan antitrombotik. Selain itu pasien juga diberikan heparin sebagai antikoagulan saat dilakukan tindakan PCI. Obat –obat tersebut berefek pada peningkatan masa perdarahan sehingga pasien mudah mengalami perdarahan. Saat ini luka bekas insersi kateter masih tertutup nichiban, namun perawat harus selalu memonitor adanya tanda komplikasi perdarahan secara periodik. Intervensi yang dilakukan pada pasien antara lain memonitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program. Hasil ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan perdarahan sehingga dokter dapat menentukan terapi selanjutnya. Residen juga selalu memonitor adanya perdarahan aktif pada area insersi di radialis kanan dan IV line di radialis kiri yang masih terpasang selang infus dan berbagai cairan yang keluar dari tubuh
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
59
seperti urin dan feses. Monitoring ini dilakukan dengan rasional bahwa terapi antikoagulan
maupun
antitrombotik
dapat
menimbulkan
terjadinya
perdarahan baik internal maupun eksternal. Mempertahankan nichiban sampai 6 jam post prosedur dan melakukan pengendoran. Observasi status neurologi dilakukan sebagai deteksi dini adanya tanda dan gejala perdarahan intrakranial. Nyeri punggung bawah juga dikaji untuk mengidentifikasi adanya perdarahan retroperitoneal. Hari pertama, setelah 6 jam nichiban dikendorkan kemudian diganti dengan kasa. Sampai hari kelima, pasien mencapai adaptasi Compensatory yang ditunjukkan dengan pasien tidak mengalami perdarahan yang ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal dan perawat selalu memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan yang selalu tercatat dalam catatan keperawatan. Setelah pulang pada hari kelima, pasien masih mungkin mengalami perdarahan karena pasien masih mengkonsumsi terapi antitrombotik. Pasien dilakukan pemasangan stent 1 BMS di RCA. Bagi pasien yang mendapat Bare Metal Stent (BMS) , clopidogrel 75 mg/hari harus diberikan selama 1 bulan dan idealnya selama 1 tahun. Jika risiko perdarahan meningkat, clopidogrel minimal diberikan selama 2 minggu (Kelas I-B) (Karo & Kaunang, 2010). Hasil penelitian mengatakan bahwa penghentian antitrombotik secara mendadakatau kurang dari 6 bulan akan berisiko meningkatkan kejadian reoklusi(Hillis,2011) e. Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak Risiko konstipasi didefinisikan sebagai risiko penurunan frekuensi normal buang air besar disertai dengan bagian yang sulit atau tidak lengkap dari tinja dan / atau bagian yang terlalu keras, feses kering (Herdman, 2012). Masalah ini terjadi karena ketidaknyamanan pasien untuk BAB selama masih bed rest. Pasien masih diberikan diit lunak dan aktivitasnya masih dibatasi. Intervensi keperawatan yang dilakukan residen untuk mengatasi masalah ini secara regulator adalah memberikan diet berserat dan intake cairan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
60
cukup karena serat dan cairan dapat mencegah ketegangan kolon. Memberikan obat laxadine 3x1 sendok teh. Laxadine merupakan obat laxansia yang berisi phenolpthalein, parafin dan glycerin yang berfungsi untuk merangsang peristaltik usus besar, mencegah reabsorbsi air dan melicinkan jalannya feses. Secara cognator menganjurkan pasien untuk mencegah ketegangan dan menghindari valsava manuver seperti tindakan mengejan. Feses yang lembek menurunkan beban kerja jantung akibat ketegangan. Sedangkan valsava manuver dapat menyebabkan bradikardi dan menurunkan cardiac output. Menganjurkan pasien untuk BAB menggunakan commode. Penggunaan commode akan menurunkan ketegangan dan response vasovagal (Black & Hawks, 2009). Pasien mencapai adaptasi integrated pada hari ke-3 setelah pasien diperbolehkan untuk BAB di kamar mandi. Proses adaptasi terjadi setelah pasien diperbolehkan beraktivitas lebih laluasa. Pasien seharusnya mampu BAB dalam waktu 2 hari tetapi hal ini tidak tercapai karena kenyamanan dan privasi merupakan hal yang penting bagi pasien, sedangkan di ruang CVC 1 ruang digunakan untuk merawat 6 pasien dan jarak pasien satu dengan yang lain berdekatan. f.
Risiko Gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah Risiko gula darah tidak stabil didefinisikan sebagai variasi kadar glukosa dari rentang normal yang menyebabkan gangguan kesehatan (Herdman, 2012). Pasien sudah didiagnosa menderita penyakit Diabetes Melitus (DM) sejak tahun 2004 namun pasien jarang kontrol dan tidak melakukan pengobatan secara rutin. Pasien mengatakan bahwa apabila ia minum banyak obat maka ginjalnya akan rusak sehingga akibatnya pasien tidak minum obat untuk mengendalikan gula darahnya. Berdasarkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, seseorang yang tidak dapat mengintegrasikan antara dirinya dengan lingkungan dan adaptasi terjadi secara compromise maka akan muncul suatu masalah (Roy & Andrew, 1999).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
61
Gula darah sewaktu pasien saat diperiksa di RS Pondok Kopi 453 mg%, di RSJPDHK 282 mg%. Kadar ini tergolong tinggi dan perlu dilakukan tindakan agar pasien mampu beradaptasi secara integrated. Insiden CAD terjadi 2-4 kali lebih tinggi pada pasien diabetes meskipun pada mereka yang gula darahnya terkontrol (Lewis., et al 2011). Tiga puluh persen (30 %) pasien dengan penyakit kardiovaskular menderita DM (Lilly, 2007). Pasien dengan diabetes mellitus terjadi kecenderungan degenerasi jaringan konektif dan disfungsi endothelial (Lewis., et al 2011). Tn R mengalami peningkatan gula darah yang berfluktuasi sehingga perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut akibat glukosa yang tinggi. Setelah 5 hari perawatan, kadar gula darah Tn R sudah stabil pada level 100130 mg/dL dengan penggunaan terapi insulin secara drip mulai 2 u/jam sampai 0,5 unit/jam dan kemudian diganti dengan lantus 1x16 unit/hari. Insulin merupakan obat anti diabetic short acting sedangkan lantus merupakan golongan long acting yang diberikan 1 x sehari. Keduanya bekerja dengan cara menambah suplai insulin untuk menurunkan beban pancreas memproduksi insulin. 3.3.2
Mode Adaptasi Konsep Diri
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup. Pasien adalah seorang pegawai negeri sipil di dinas perhubungan di bagian personalia yang sarat dengan konflik karena berkaitan dengan banyak personil. Menurut istri pasien, pasien jarang menyampaikan permasalahan kantor kepada istrinya dan hanya merokok ketika memiliki masalah. Pasien mengalami serangan jantung seperti yang saat ini dirasakan baru pertama kali ini. Diagnosa medis pasien Akut STEMI inferior onset 5 jam, Killip I, TIMI 3/14, DM tipe 2, Hipertensi grade I, Post PCI dengan 1 BMS di Mid RCA dan POBA di PDA. Inkomplit revaskularisasi. Pasien didiagnosa menderita hipertensi tahun 2005, didiagnosa penyakit gula tahun 2004. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
62
muda, sehari 1 bungkus dan baru berhenti setelah masuk rumah sakit. Pasien juga memiliki kebiasaan makan masakan padang yang bersantan dan kebiasaan jarang berolah raga meskipun pasien mengatakan setiap hari naik tangga untuk sampai di ruangan kantornya. Dari data di atas, pasien memiliki faktor risiko yang cukup banyak seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok, kemungkinan dislipidemi, dan stress yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi menjadi semakin buruk sehingga mengalami komplikasi bila tidak dikendalikan. Berdasarkan TIMI risk, pasien masih berada pada rentang risiko ringan yaitu 3/14. Namun demikian pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisi penyakit jantungnya beserta berbagai faktor risikonya agar dapat dikendalikan dan terkontrol melalui kesadaran pasien sendiri. Tujuan keperawatan untuk masalah ini adalah pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok, penurunan berat badan, tekanan darah dan kolesterol. Target yang harus berubah pola hidup bukan hanya pasien tetapi seluruh anggota keluarga karena keluarga merupakan suatu sistem dan pasien salah satu anggta sistem tersebut sehingga bila ada salah satu anggota yang mengalami gangguan makan seluruh keluarga juga akan terganggu. Pasien dan keluarga terutama istri sebagai orang terdekat harus memahami tentang apa, bagaimana dan mengapa perawatan dan pengobatan harus dilakukan termasuk perubahan pola hidup. Residen melakukan beberapa tindakan seperti memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit jantung koroner secara verbal dan menggunakan leaflet untuk mengatasi masalah ini. Pasien dan istri juga dijelaskan tentang faktor risiko yang ada pada pasien, memberikan dukungan bahwa pasien harus mulai merubah pola hidupnya seperti pola makan yang tidak berlemak tinggi, berhenti merokok, mengontrol tekanan daran dan gula darah secara teratur dan obat diminum secara teratur, olah raga teratur minimal 30 menit sehari dan manajemen stress dengan melakukan katarsis (bercerita dengan istri sebagai orang terdekat) atau melakukan relaksasi dengan latihan pernafasan. Saat pulang pasien dijelaskan kembali
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
63
tentang obat-obat yang dibawa pulang termasuk fungsi dan efek sampingnya. Menganjurkan pasien untuk kontrol dan kalau perlu mengikuti program rehabilitasi. Dengan berbagai informasi tentang penyakit, faktor risiko yang ada pada pasien, pola hidup yang perlu dirubah seperti berhenti merokok, diit, aktivitas, manajemen stress dan pengobatan diharapkan pasien dan keluarga memahami dan dapat menerapkannya dengan kesadaran yang tinggi akan manfaat tindakan tersebut. pasien sudah mampu beradaptasi secara compensatory pada hari kelima. Tanggal 2 April 2012 saat pasien kontrol dan saat dihubungi melalui telepon pada tanggal 13 Mei 2012, pasien sudah mencapai adaptasi integrated yang ditunjukkan dengan pasien sudah tidak merokok sama sekali, tekanan darah 120/80 mmHg dan gula darah puasa 91 mg/dL, pasien minum obat teratur sesuai program, pasien mengatakan sudah mencoba untuk tidak terlalu stress dengan mengalihkannya dengan membaca koran, sudah berolah raga jalan kaki setiap pagi minimal 30 menit. Pasien sudah dilakukan pemasangan stent Drug Eluting Stent (DES) di LAD dan LCx pada tanggal 7 Mei 2012. Adaptasi secara integrated tercapai setelah pasien dan keluarga mulai menerapkan pola hidup sehat di rumah. Pasien mampu menjalani perubahan pola hidupnya dengan baik dengan dukungan istri yang sangat besar. 3.3.3
Mode Adaptasi Fungsi Peran: tidak ditemukan
Permasalahan pada mode adaptasi fungsi peran tidak ditemukan pada Tn R karena perilaku pasien sudah menunjukkan adaptasi integrated. 3.3.4
Mode Adaptasi Interdependen : tidak ditemukan
Permasalahan pada mode adaptasi interdependen ditemukan pada Tn R karena perilaku pasien sudah menunjukkan adaptasi integrated. 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 30 Kasus Kelolaan Residen melakukan praktik pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular selama 2 semester di RSPAD Gatot Soebroto dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
64
RSJPD Harapan Kita, Jakarta. Residen akan memberikan gambaran sejumlah 30 kasus yang dilakukan asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, dan untuk memudahkan analisis maka kasus dibagi dalam empat kelompok besar yaitu Acut Coronary Syndrom, Heart failure, Disritmia dan Bedah Jantung. Sebelum dilakukan analisis, berikut akan disampaikan ringkasan tentang jenis kasus, usia, jenis kelamin pasien kelolaan yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 3.1 Gambaran Jenis Kasus, Usia, Jenis Kelamin Pasien Kelolaan (n=30) Usia Kelompok Kasus
Acut Coronary Syndrome
Kriteria (dalam tahun) 20-40 41-60 >60
%
Kriteria
Jumlah
%
1 8 5 14 1 5 0 6 0 2 2 4 1 5 0 6
7 57 36 100 17 83 0 100
Laki-laki
12
86
Perempuan
2
14
14 4 2
100 67 34
14 (47%)
Laki-laki Perempuan
6 3
100 75
6 (20%)
1
25
4 5
100 83
1
17
6
100
20-40 41-60 >60
Sub Total 20-40 41-60 >60
Disritmia Sub Total Bedah jantung
Total Jumlah kasus
Jumlah
Sub Total Heart Failure
Jenis kelamin
20-40 41-60 >60
Sub Total
50 50 100 17 83 0 100
Laki-laki Perempuan
Laki-laki Perempuan
Total Kasus
4 (13%)
6 (20%) 30 (100%)
Sumber : data primer 3.4.1
Mode Adaptasi Fisiologis
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode adaptasi fisiologis, dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi: Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskular, perfusi), Nutrisi (fungsi pencernaan dan metabolik), Cairan dan elektrolit (cairan, elektrolit, asam basa), Aktivitas dan istirahat, Proteksi (proses
imunitas,
integumen,
rambut,
kuku,
perubahan
suhu,
trauma),
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
65
Perasaan/the sense (penglihatan, pendengaran, perabaan, rasa dan bau, nyeri), Fungsi syaraf (syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi), Fungsi endokrin (hormonal). Kelengkapan data yang perlu ditambahkan pada sistem kardiovaskular, antara lain data pemeriksaan diagnostic seperti hasil rekaman Elektrokardiografi (EKG), hasil
pemeriksaan
Echokardiografi,
Hasil
tindakan
Corangiografi,
hasil
pemeriksaan foto thorak atau pemeriksaan lain yang menunjang seperti Multy Slice Computerize Tomografi (MSCT) dan hasil pemeriksaan vaskuler. 3.4.1.1 Kasus Acut Coronary Syndrome (ACS) Perilaku yang sering muncul pada kasus ACS, adalah rasa nyeri dada yang khas cardiac maupun rasa tidak nyaman di dada. Stimulus yang sering ditemukan antara lain: pada stimulus fokal hal utama yang menyebabkan adaptasi fisiologis compromise adalah adanya oklusi di pembuluh darah koroner, kontraksi jantung tidak optimal sekunder akibat kurangnya suplai oksigen ke otot jantung, sedangkan stimulus kontekstual yang sering ditemukan adalah kondisi lingkungan internal yang mendukung stimulus fokal yaitu pada hasil EKG: menunjukkan adanya iskemi, injuri atau infark jantung. Stimulus residual yang paling sering ditemukan dan mendukung terjadinya masalah keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular adalah faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti yang tertulis dalam teori yaitu bahwa pasien memiliki kebiasaan merokok, adanya riwayat hipertensi dan diabetes melitus, pola makan yang tidak sehat seperti kebiasaan makan daging dan makanan berlemak dan jarang berolah raga. Setiap pasien yang ditemui pasti mempunyai dua sampai lima faktor risiko. Masalah Keperawatan yang sering muncul pada kelompok kasus ACS adalah nyeri dada, gangguan perfusi jaringan miokard, actual atau risiko penurunan Cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung, risiko perdarahan bila dilakukan tindakan reperfusi. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
66
Tujuan keperawatan yang ditetapkan pada kelompok kasus ACS untuk STEMI dan NSTEMI adalah dalam waktu 5 hari agar perfusi ke jaringan miokard adekuat sesuai dengan Clinical Pathway yang diterapkan di RSJPDHK. Secara umum, pasien pada kelompok kasus ACS dapat beradaptasi secara Compensatory pada hari ke 3 setelah proses koping secara regulator maupun cognator terjadi. Nyeri yang dirasakan biasanya berkurang atau hilang saat pasien masih di IGD dengan pemberian nitrat dan antitrombotik. Perfusi miokard mulai mengalami evolusi sejak hari I dan terus membaik ditunjukkan dengan gambaran EKG yang mengalami perubahan signifikan setelah 3 hari perawatan, kondisi umum pasien juga akan mulai membaik, aktivitas sudah meningkat bertahap tanpa disertai tanda gejala penurunan cardiac output atau penurunan perfusi miokard, namun proses koping secara regulator terus dilakukan dengan pemberian obatobatan seperti heparinisasi yang targetnya selesai pada hari kelima. Pasien STEMI atau NTEMI yang dilakukan tindakan PPCI atau PTCA, pasien beradaptasi sampai hari kelima. Bila tidak mengalami komplikasi pasien akan pulang hari ke 5 atau 6 sedang bila terjadi komplikasi, kondisi tidak dapat diprediksi karena pasien ada yang kemudian dipasang Intra Aortic Baloon Pump (IABP) bahkan Continous Vena Venous Hemofiltrasi (CVVH) atau akhirnya meninggal akibat komplikasi. 3.4.1.2 Kasus Heart Failure (HF) Perilaku yang sering muncul pada kasus heart failure antara lain rasa sesak nafas terutama saat beraktivitas, adanya edema di tungkai dan suara nafas ronchi basah halus di bagian basal paru. Stimulus fokal yang sering muncul adalah afterload yang tinggi atau preload yang tidak adekuat. Stimulus kontekstual yang mendukung adalah hasil echo sering menunjukkan gangguan pergerakan otot jantung seperti hipokinetik sampai akinetik dan penurunan fraksi ejeksi, regurgitasi akibat kelainan katup jantung dan pembesaran jantung (hipertrofi). Stimulus residual yang sering ditemukan adalah adaya riwayat penyakit hipertensi, DM, CAD, dan mekanisme koping yang tidak efektif.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
67
Pada kelompok kasus HF, masalah yang sering muncul adalah penurunan cardiac output, pertukaran gas tidak efektif, kelebihan volume cairan, intoleransi aktivitas dan risiko kerusakan itegritas kulit. Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien dengan HF bertujuan untuk meningkatkan perfusi oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output dan mengeluarkan kelebihan cairan baik di paru maupun jaringan interstitial lainnya. Pencapaian tujuan rata-rata tercapai dalam waktu 7 hari, setelah perawatan selama kurang lebih 7 hari kondisi pasien membaik, sesak nafas hilang, ronchi tidak terdengar lagi, aktivitas meningkat dan mulai memenuhi kebutuhan secara mandiri tanpa keluhan sesak nafas. Kondisi akut pada pasien HF dapat teratasi meskipun perawatan selanjutnya ditujukan untuk memperbaiki kondisi hingga 2 minggu. Pada pasien HF dengan komplikasi kegagalan multy organ akan menjalani perawatan lebih lama bahkan berbulan-bulan akibat kegagalan organ yang lain seperti gagal ginjal akut maupun kronis. 3.4.1.3 Kasus Disritmia Disritmia merupakan gangguan pada ritme jantung. Disritmia sering terjadi pada pasien dengan gangguan jantung ataupun pada pasien dengan kondisi jantung yang normal (Black & Hawks, 2009). Perilaku yang ditemukan pada kasus disritmia adalah kelainan irama pada gambaran elektrokardiogram yang diikuti keluhan pusing, berdebar-debar atau rasa lemah dan sinkop. Keluhan pusing, sinkop dan rasa lemah muncul karena terjadi penurunan cardiac output sebagai akibat dari kontraktilitas jantung yang tidak efektif. Masalah keperawatan yang sering muncul pada kelompok kasus disritmia, adalah actual atau risiko penurunan cardiac output dan intoleransi aktivitas sebagai akibat dari penurunan cardiac output. Masalah keperawatan ini perlu ditangani segera karena dapat mengancam jiwa jika perfusi otak tidak adekuat. Secara umum tujuan manajemen pasien dengan disritmi adalah untuk mengontrol disritmi dan mencegah terjadinya komplikasi. Peran perawat adalah melakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
68
monitoring tanda dan gejala adanya penurunan cardiac output dan memberikan pendidikan kesehatan pada pasien tentang obat yang diberikan serta perawatan pasien yang terpasang Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Tujuan yang ditetapkan pada kelompok kasus disritmia adalah dalam waktu 1 shift sampai 1 hari rate dan ritme kembali pada pola dasar. Pasien yang memerlukan tindakan invasive memerlukan waktu lebih lama sampai dijadualkan dilakukan intervensi seperti pemasangan Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Adaptasi pasien biasanya tercapai setelah pemberian obat antiaritmia seperti amiodaron, ATP atau lanoxin. Evaluasi gambaran EKG dilakukan saat itu karena gambaran EKG pasien dengan disritmia akan selalu dimonitor. Pasien dengan gangguan konduktivitas akan mencapai adaptasi setelah dilakukan pemasangan Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Setelah diberikan terapi obat atau tindakan invasive 3.4.1.4 Kasus Bedah Jantung Residen merawat pasien bedah jantung di ruang Intensive Care Unit (ICU). Pasien pada kelompok kasus bedah jantung sering ditemukan perilaku: terpasang ventilator, kesadaran masih dalam pengaruh anaestesi dan sedasi, terdapat luka sternotomy dan insisi di kaki bagian medial, drain substernal dan intrapleura, hemodinamik tidak stabil, pasien terpasang berbagai alat seperti kateter swanganz, kateter Central Venous Presure (CVP), IV line, Arteri line dan kateter urin. Pasien mulai sadar setelah 6-8 jam post operasi dan mulai dilakukan pelepasan ETT kemudian pasien mulai belajar batuk dan nafas dalam. Pasien mulai merasakan nyeri pada hari pertama post operasi setelah sadar dan dosis analgetik IV diturunkan kemudian diganti oral. Masalah keperawatan yang sering muncul pada kelompok ini adalah actual atau risiko penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, jalan nafas tidak efektif, risiko deficit volume cairan akibat perdarahan, risiko infeksi, nyeri luka operasi, beberapa pasien mengalami disfungsi respon penyapihan ventilator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
69
Pada kelompok kasus bedah jantung yang tanpa komplikasi, dalam waktu 7 hari pasien sudah mampu beraktivitas optimal sesuai toleransi dan pada hari ke 8 pulang. Pada kasus yang mengalami komplikasi kegagalan organ yang lain seperti ginjal, paru atau bahkan otak maka residen sulit memprediksi waktu untuk tujuan jangka panjang sehingga penetapan tujuan dilakukan untuk jangka pendek dalam 1 hari karena kondisi pasien sulit sekali diprediksikan. Secara umum, intervensi keperawatan yang sering diterapkan agar pasien mampu beradaptasi pada seluruh kelompok kasus antara lain : Cardiac Care: Acut, Cardiac Care: Rehabilitative, Shock Management: cardiac, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi, Hemodynamic Regulation, Dysrhythmia Management, Airway Management, Respiratory Monitoring, Oxygen Therapy, Acid-based Management, Fluid Management, hypovolemia management, Pain Management, Bleeding precaution, Bleeding Reduction, Teaching: Disease Process, Teaching: Prescribe Activit/Exercise. Teaching: Prescribe Diet, Teaching: Prescribe Medication, Medication Administration, Analgesic Administration, Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support, Constipation/ Impaction Management. Incision site care, infection protection. 3.4.2
Mode Adaptasi Konsep Diri
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Konsep Diri dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi Physical self yang fokusnya adalah bagaimana pasien memandang diri sendiri, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehilangan, Personal self
yang fokusnya mengkaji konsistensi, ideal diri, moral, etik,
spiritual, seksual, rasa cemas dan takut. Pengkajian perilaku Adaptasi konsep diri pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang terjadi pada seting IGD dan ICU seringkali mengalami kendala karena kondisi pasien masih akut dan aktivitas sangat dibatasi termasuk untuk melakukan wawancara. Residen dapat melakukan pengkajian mode Adaptasi Konsep Diri lebih mendalam di ruang CVC dan GP 2 lantai 3.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
70
Perilaku tidak adaptif yang biasanya muncul pada mode ini adalah rasa ketidakberdayaan akibat kondisinya, hal ini ditemukan pada kelompok kasus HF. Pada kasus yang lain rata-rata perilaku pada mode ini masih adaptif sehingga tidak menimbulkan masalah keperawatan. Pengkajian tentang seksual tidak pernah dilakukan karena waktu yang singkat, tidak cukup membuat residen mampu membina hubungan saling percaya dengan pasien. Hasil pengkajian stimulus yang menyebabkan perilaku pasien tidak adaptif dan sering ditemukan pada mode ini antara lain adanya kelemahan fisik karena pada pasien dengan HF yang dirawat di RS EF pasti sudah dibawah 40%, Masalah keperawatan yang muncul pada mode ini adalah kecemasan dan ketidakberdayaan berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan keperawatan ditetapkan untuk mencapai adaptasi tingkat Compensatory sampai integrated dalam waktu 7 hari masa perawatan. Intervensi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan adalah Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support Pada tahap evaluasi, adaptasi dengan lingkungan dapat dicapai setelah pasien mendapat perawatan selama 7 hari dan bahkan lebih, pengalaman residen merawat sampai 10 hari baru pasien mau menerima kondisinya yang diketahui dari ungkapan pasien sendiri. Evaluasi lanjut untuk Adaptasi mode ini tidak dapat diikuti sampai pasien mencapai adaptasi integrated 3.4.3
Mode Adaptasi Fungsi Peran
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Fungsi peran dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi pengkajian pola interaksi dalam peran primer, sekunder dan tersier. Pengalaman residen menyimpulkan bahwa perilaku tidak adaptif yang menimbulkan masalah keperawatan pada mode ini adalah interaksi yang kurang baik antara suami istri pada beberapa pasien. Berdasarkan pengamatan residen kondisi ini terjadi khususnya pada pasien HF yang jaminan pembayarannya Gakin
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
71
atau jamkesda. Nampak bahwa terjadi gangguan fungsi peran ketika pasien berada di rumah sakit karena mempengaruhi kondisi keuangan keluarga ketika pasien sebagai kepala keluarga sakit sehingga tidak dapat bekerja. Stimulus yang mempengaruhi perilaku tidak adaptif adalah terjadinya konflik peran. Masalah yang muncul adalah gangguan fungsi peran dan tujuan ditetapkan agar pasien dan keluarga mampu beradaptasi dan menerima kondisi pasien apa adanya. Intervensi : Role Enhancement, Self Esteem Enhancement, Self awareness Enhancement. Pengalaman residen dalam evaluasi pada mode ini membutuhkan waktu cukup lama, perubahan pada pasien menjadi menerima, tidak agresif, lebih kooperatif setelah pasien dirawat selama 1 minggu. 3.4.4
Mode Adaptasi Interdependen
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Interdependensi dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi (Fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian). Secara umum, pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang diberikan asuhan keperawatan oleh residen tidak menunjukkan perilaku maladaptive pada mode ini. Ada 2 pasien yang menunjukkan adanya respon pasien defensive secara verbal ketika diberikan pendidikan kesehatan dan selalu mencari alasan bahwa pola hidup sehat yang dianjurkan perawat tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bahwa keluarganya sudah tidak peduli lagi dengan dirinya. Stimulus yang ditemukan: perpisahan dengan pasangan, hubungan dengan keluarga kurang harmonis. Masalah yang muncul antara lain: koping defensive, risiko kesepian.Tujuan yang ditetapkan pada mode ini diharapkan pasien kooperatif dalam perwatan dan pengobatan yang diberikan. Intervensi: Coping Enhancement, Self awareness Enhancement, Conseling Pengalaman residen dalam evaluasi pada mode ini membutuhkan waktu singkat, dalam sehari pasien sudah kooperatif untuk beberapa pasien yang mendapatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
72
dukungan dari keluarga. Namun ditemukan pasien yang akhirnya minta pulang paksa karena merasa tidak ada perbaikan dan satu orang yang sampai 2 minggu perawatan tetap belum bisa pulang karena tidak ada keluarga yang mengurusnya. 3.5 Refleksi Penerapan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy Residen melaksanakan praktik keperawatan di RSPAD Gatot Soebroto di ruang perawatan jantung lantai 2, IWB lantai IV dan OK untuk kasus perioperatif. Di RSJPD Harapan Kita residen melaksanakan praktik keperawatan di ruang IGD, CVC, OK, ICU, Diagnostik noninvasive dan rehabilitasi. Berdasarkan pengalaman residen dalam menerapkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, teori ini efektif diterapkan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Pada tahap pengkajian perilaku, sudah sangat jelas disampaikan oleh Roy tentang perilaku apa saja dan beberapa diberikan contoh cara mengkaji perilaku tersebut. Pada saat diterapkan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular, pengkajian perilaku dan stimulus dapat diterapkan lebih optimal pada seting ruang rawat biasa dimana kondisi pasien sudah stabil dan tidak berisiko tinggi mengalami penurunan Cardiac output atau gangguan perfusi otot jantung akibat aktivitas sedang. Pada seting ruangan yang membutuhkan monitoring intensive seperti di OK, ICU, CVC, tidak semua item dalam pengkajian perilaku maupun stimulus dari keempat mode adaptasi yang dianjurkan dapat dilakukan oleh residen secara optimal. Pada seting gawat darurat, kondisi pasien dalam keadaan gawat sehingga pengkajian hanya dilakukan pada tanda dan gejala (perilaku) maladaptive yang saat ini mengganggu adaptasi fisiologis. Mode adaptasi konsep diri, peran dan interdependent juga tidak dapat dikaji secara mendalam. Pada seting ruangan di CVC, pengkajian yang membutuhkan data hasil wawancara tidak dapat dilakukan secara optimal karena kondisi pasien pada umumnya lemah dan dibatasi aktivitasnya termasuk untuk berbicara terlalu banyak. Kondisi pasien di ICU memerlukan monitoring ketat dari perawat karena pada umumnya kesadaran masih terpengaruh oleh efek sedasi, efek anaestesi dan obat-obat lain selama operasi. Perilaku yang dikaji diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dan diagnostic.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
73
Pengkajian stimulus yang dianjurkan oleh Roy tidak mudah untuk diterapkan pada seting IGD, CVC, ICU karena kondisi pasien masih lemah, belum stabil dan aktivitasnya masih dibatasi. Hal yang dirtemukan residen pada tahap pengkajian perilaku dan stimulus ini adalah terjadi ambiguitas antara hasil pemeriksaan yang merupakan perilaku atau merupakan stimulus seperti hasil pemeriksaan EKG, Echocardiografi. Keduanya dapat ditetapkan sebagai perilaku tetapi disaat lain dapat ditetapkan sebagai stimulus. Penegakan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus ditetapkan mengacu pada diagnosa yang ditetapkan NANDA. Roy tidak menetapkan intervensi spesifik untuk tiap diagnosa berdasarkan Model Adaptasi Roy yang menjelaskan tentang mekanisme koping pada subsistem regulator dan cognator sehingga residen menetapkan tujuan dan intervensi mengacu pada NOC dan NIC yang merupakan rangkaian NANDA yang secara umum sudah mencakup berbagai intervensi untuk memanajemen stimulus melalui mekanisme koping secara regulator maupun cognator untuk mencapai adaptasi. Meskipun Roy tidak secara ekspisit menetapkan intervensi secara spesifik namun Roy memberikan arahan bahwa evaluasi keperawatan dianalisis berdasarkan perilaku adaptasi yang dicapai oleh pasien pada keempat mode adaptasi. Evaluasi terhadap pencapaian adaptasi dapat diterapkan sesuai teori yang ada. Analisis intervensi dapat dilakukan pada setiap diagnosa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 4 PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review) Setelah melakukan analisis dari beberapa jurnal tentang nyeri, operasi bedah jantung dan terapi komplementer yang dapat dilakukan oleh perawat serta memungkinkan diterapkan di RSJPDHK, Jakarta, maka residen tertarik untuk menerapkan hasil penelitian tentang terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. Pertimbangan dan justifikasi residen memilih hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam bahasan sebagai berikut: Operasi pintas koroner dilakukan pada pasien dengan CAD untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang hidup (Martin & Turkelson, 2006). Berbagai komplikasi dapat terjadi pada pasien sehingga perawat perlu membantu pasien dalam beradaptasi dengan lingkungannya agar kualitas hidup pasien optimal. Pasien paska operasi pintas koroner akan selalu diberikan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk membantu pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi respirasi (Black & Hawks, 2009). Pasien paska operasi pintas koroner akan mengalami nyeri akibat luka sternotomy, terlebih pada saat nafas dalam dan batuk efektif sehingga dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Latihan batuk dan adanya luka sternotomy merupakan stimulus yang dapat menyebabkan adaptasi pasien inefektif bila tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi nyerinya. Sesuai dengan teori MAR, perawat berperan dalam memanipulasi lingkungan dengan mengurangi stimulus yang menyebabkan masalah dan meningkatkan stimulus yang mendukung proses adaptasi. Menurut Milgrom., et al (2004), nyeri saat batuk efektif memiliki skore nyeri tertinggi dengan rata-rata nyeri 6,5 dari rentang 10 pada hari pertama dan menurun menjadi 5,4 dan 5,1 pada hari kedua dan ketiga. Nyeri akibat nafas dalam juga memiliki skore tinggi yaitu 4,4 pada hari kedua. Seiring dengan penelitian Yorke, Wallis dan McLean (2004, dalam Chailler, Ellis, Stolarik & 74
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
75
Wooden, 2010) yang mencatat bahwa 95% pasien (n=102) menyampaikan bahwa batuk efektif merupakan aktivitas yang yang paling nyeri setelah operasi. Nyeri dapat dikurangi dengan terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat melalui pemberian terapi komplementer yang salah satunya adalah pemberian terapi dingin. Serabut saraf perifer distimulasi dan dilokalisasi sehingga terjadi perubahan aliran darah dan aktivitas metabolik yang akan meningkat dengan terapi panas dan diturunkan dengan terapi dingin (Baxter dan Dalas, 2003 dalam Lane and Latham, 2009). Terapi dingin diyakini efektif digunakan dalam klinik, merupakan teknik nonfarmakologi yang bekerja sebagai analgetik untuk manajemen nyeri akut atau kronik pada level ringan sampai sedang (Lane dan Latham, 2009). Penelitian lain yang mendukung bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri adalah hasil penelitian Chou dan Liu (2008) yang menyatakan bahwa cryotherapy dapat menurunkan ketidaknyamanan post operasi seperti rasa panas, nyeri dan bengkak dan dry cryotherapy lebih efektif menurunkan suhu lokal pada area setelah operasi. Senada dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa hasil uji statistik dengan analisis varian menunjukkan adanya penurunan nyeri yang signifikan antara sebelum dan setelah latihan setelah diberikan gelpack (p < 0.001pada α 0,05). Seluruh partisipan 32 (100%) menyatakan akan menggunakan gelpack untuk kesempatan yang akan datang. Terapi ini biaya dan risikonya rendah dan dapat dengan mudah diintegrasikan dalam praktik keperawatan selama coldpack tersedia di rumah sakit. Dengan pengamatan perawat, terapi dingin aman dan efektif sebagai modalitas manajemen nyeri (Chailler, Ellis, Stolarik & Wooden, 2010). Hal ini juga didukung dalam jurnal yang ditulis Lane dan Latham (2009) yang menyampaikan tentang pertimbangan penanganan nyeri menggunakan terapi dingin berbasis Evidence Based Practice, yaitu:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
76
a. Peralatan Terapi dingin dapat diterapkan menggunakan peralatan sederhana dan tidak mahal seperti gelpack yang dapat dimodifikasi dengan serpihan es yang dikemas dalam plastik anti bocor. b. Kontrol infeksi Pembungkus yang digunakan dapat didisinfeksi, hanya ditempelkan pada kulit yang sehat/ atau tertutup sehingga risiko infeksi minimal dan alat digunakan kembali c. Pertimbangan keamanan Masukkan dalam microwave atau freezer untuk memanaskan atau mendinginkan alat. Alat pemanas atau pendingin yang digunakan harus aman dan dicek oleh bagian teknik yang kompeten di bidangnya. d. Biaya Gelpack yang dapat dimodifikasi dengan serpihan es yang dikemas dalam plastik anti bocor mudah diperoleh dan alat pendinginnya juga banyak ditemukan di RS sebagai fasilitas yang umum sehingga biaya penerapan terapi dingin terjangkau. e. Rekomendasi Praktik Semua pasien harus dikaji dan dimonitor tingkat nyerinya secara regular untuk memonitor efektivitas intervensi. Pada saat yang tepat terapi dingin sebaiknya dipertimbangkan diberikan bersama intervensi farmakologi. Area harus selalu dilihat sebelum pemberian terapi dan sensasinya harus normal. Pasien harus mendapatkan penjelasan tentang intervensi yang akan diberikan terkait bagaimana terapi ini bekerja, risiko yang terjadi bila terlalu dingin atau pemberiannya tidak tepat. Mereka harus menyampaikan bila terasa sangat dingin. Pemberi terapi harus seorang tenaga kesehatan yang professional dan memahami tentang pedoman pengendalian infeksi. Demikian hasil analisis dari beberapa jurnal yang sangat mendukung penerapan terapi dingin menggunakan gelpack dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
77
4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Pelaksanaan Praktik Keperawatan Berdasakan Pembuktian dari Jurnal tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri pada pasien post operasi pintas koroner dimulai dengan penyusunan proposal sejak bulan Maret 2012 kemudian dilanjutkan dengan konsultasi dengan pembimbing dan revisi proposal sampai bulan April 2012. Setelah proposal tersusun, langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan secara informal dengan kepala bagian perawatan bedah dan penanggung jawab ruang perawatan bedah di IW Bedah dan GP 2 Lantai VI. Residen juga melakukan pendekatan dengan koordinator bagian Diklat RSJPDHK yang pada akhirnya semua memberikan kesempatan pada residen untuk menerapkan praktik ini. Sebelum menerapkan praktik ini, residen melakukan sosialisasi kepada perawat ruangan bersama kepala bagian dan penanggung jawab ruangan IWB dan GP2 lantai VI. Setelah memperoleh masukan tentang proses yang memudahkan residen untuk melakukan praktik, maka residen berdinas di ruang IWB dan Praktik Keperawatan Berdasakan Pembuktian dari Jurnal tentang Terapi dingin sebagai manajemen nyeri pada pasien post operasi Pintas Koroner dilakukan selama 1 minggu di ruang Intermediate Ward Bedah (IW Bedah) mulai tanggal 7-11 Mei 2012. Populasi dalam prakti ini adalah pasien post operasi pintas koroner dengan Kriteria sample adalah, Inklusi: pria atau wanita, dilakukan operasi CABG dengan sternotomy, mampu berbahasa indonesia, usia lebih dari 21 th, Eksklusi: alergi dingin, ada sindrom raynaud’s, hemoglobinuri, gangguan kognitif, masih terpasang drain thorak, terdapat komplikasi seperti infeksi, perdarahan, atrial fibrilasi yang tidak terkontrol atau dehiscence. Praktik ini diterapkan pada 6 responden. Alat yang digunakan adalah gelpack yang didinginkan dalam freezer selama lebih dari 1 jam (selama praktik gelpack disimpan di freezer selama 1 minggu) yang ditutup kain flannel dalam bentuk kantong. Setiap responden menggunakan kantong pembungkus yang berbeda, sedangkan gelpack yang telah digunakan dibersihkan menggunakan alkohol kemudian disimpan kembali dalam freezer.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
78
Praktik penerapan terapi dingin dilakukan antara pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00. Pemilihan penggunaan terapi dingin atau tanpa terapi dingin pada awal latihan ditentukan secara random oleh residen dan bergantian untuk responden berikutnya. Terapi diberikan 2 sesi untuk setiap responden sedang 2 sesi lainnya tidak menggunakan terapi dingin. Dari keseluruhan responden yang diberikan terapi, 3 responden (50%) diawali dengan terapi dingin dan 3 responden (50%) diawali tanpa terapi dingin. Penentuan responden yang menggunakan terapi dingin terlebih dahulu dilakukan secara acak dan bergantian untuk responden berikutnya. Selisih waktu latihan sesi yang satu ke sesi yang berikutnya antara 1-2 jam, tergantung kesepakatan dengan responden. Selama diberikan terapi tidak ada drop out atau komplikasi yang terjadi akibat penggunaan gelpack. Semua pasien setuju untuk dilakukan pemberian terapi dingin. Tahapan yang dilakukan residen saat menerapkan praktik adalah sebagai berikut: a.
Memberikan Inform Concent pada pasien untuk mendapatkan persetujuan saat pasien berada di ruang post operasi (IWB) setelah ada rencana pelepasan drain.
b.
Menjelaskan kembali pengkajian skala nyeri yang diukur rentang 0-10. Untuk mempermudah penjelasan, residen menggunakan gambar rentang nyeri skala 0-10.
c.
Mengulang kembali teknik latihan nafas dalam dan batuk efektif yang sudah diajarkan fisioterapis
d.
Pasien yang setuju berpartisipasi, pada hari kedua atau ketiga setelah selang dada dilepas, diberikan terapi dingin menggunakan gelpack yang didinginkan di atas balutan luka insisi dada selama 20 menit sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk 2 kali periode latihan (dalam sehari pasien melakukan latihan 4 kali. 2 kali diberikan intervensi menggunakan terapi dingin dan 2 kali tanpa terapi. Pemberian terapi diselang seling antara dengan dan tanpa terapi dingin.
e.
Sebelum diberikan terapi dingin, perawat memeriksa adanya alergi dingin dengan memberikan terapi 5 menit sebelumnya dan dimonitor apakah ada kemerahan, nyeri, tanda frostbite atau gatal-gatal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
79
f.
Nyeri diukur dari rentang 0-10 pada saat istirahat dan dibandingkan dengan skore setelah latihan nafas dalam dan batuk efektif dengan dan tanpa gelpack.
g.
Partisipan dikaji tentang sensasi mereka menggunakan gelpack. Saat pasien mendapatkan terapi dingin, setiap 5 menit perawat bertanya:
bagaimana
rasanya terapi dingin di dada anda? Apakan anda dapat mendiskripsikan sensasinya pada saya? h.
Pertanyaan tentang pilihan menggunakan terapi dingin pada waktu selanjutnya diberikan setelah 4 sesi latihan berakhir.
i.
Analisa dilakukan dengan membandingkan skor dan selisih skore saat istirahat dan setelah latihan dengan dan tanpa gel pack.
Hasil dari pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut: 4.2.1
Karakteristik Responden
Sampel yang diperoleh adah 6 responden. Seluruh responden sudah memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi. Data demografi dianalisa menggunakan mean, dan prosentase. Dari 6 responden seluruhnya (100%) laki-laki, rata–rata usia responden antara 59 tahun, termuda 49 tahun dan tertua 63 tahun, 3 responden (50%) berusia antara 40-60 tahun, 3 responden (50%) berusia lebih dari 60 tahun. Sejumlah 2 responden (33%) beerpendidikan SLTA dan 4 responden (67%) memiliki pendidikan terakhir Sarjana. Masing-masing 50% responden masih aktif bekerja dan purna tugas. Seluruh responden (100%) didiagnosa CAD 3VD + LM dan jumlah graft yang dilakukan adalah sejumlah 2 responden (33 %) dilakukan 3 graft, 4 responden (67%) dilakukan 4 graft, dari jenis operasinya 100 % murni hanya CABG. Pelepasan selang dada dilakukan hari kedua pada 2 responden (33%) dan 4 responden lainnya (67%) dilepas pada hari ketiga.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
80
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Responden (n=6) Karakteristik Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Usia 40-60 Tahun Lebih dari 60 tahun Pendidikan SLTA Sarjana Pekerjaan Masih aktif Purna Tugas Diagnosa Medik CAD 3 VD Jumlah Graft 3 graft 4 graft Jenis Pembedahan CABG Pelepasan Selang Dada Hari ke-2 Hari ke-3
Jumlah
Prosentase (%)
6 0
100 0
3 3
50 50
2 4
33 67
3 3
50 50
6
100
2 4
33 67
6
100
2 4
33 67
Sumber : data primer
4.2.2
Intensitas Nyeri
Dari keenam responden, skala nyeri yang dirasakan cukup bervasiasi meskipun pelepasan selang dilakukan pada hari yang sama dan nampak bahwa nyeri sternotomy sangat individual tergantung ambang nyeri masing-masing responden. Berdasarkan data yang yang diperoleh, rata-rata skala nyeri yang dirasakan responden sebelum dan sesudah latihan nafas dalam dan batuk efektif, dengan dan tanpa terapi dingin dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
81
Tabel 4.2 Mean Skore Nyeri Sebelum dan Setelah Latihan ND dan B Intervensi Terapi Saat Latihan Menggunakan Gel pack Tanpa Gel pack Skala 0-10
Sesi Pertama (pagi) Sebelum Setelah 3,0 2,3 2,8
Kedua (siang) Sebelum Setelah 2,3 1,8
4,3
3,2
4,6
Sumber : data primer
Hasil penerapan Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ini menunjukkan bahwa nyeri dapat diturunkan menggunakan gel pack. Skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 3 dan setelah latihan menjadi 2,3 pada sesi pertama yaitu di pagi hari sebelum 12.00 sedangkan pada sesi yang kedua yang dilakukan pada siang hari setelah Pk. 12.00 skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 2,3 dan setelah latihan skore rata- rata menjadi 1,8. Selisih penurunan sekitar 0,5 (pada siang hari) - 0,7 (pada pagi hari). Rentang skala nyeri yang digunakan adalah Numerik Rating Scale (NRS) 0-10. Ketika tidak diberikan terapi dingin menggunakan gelpack saat latihan nafas dalam dan batuk efektif skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 2,8 dan setelah latihan meningkat menjadi 4,3 pada sesi pertama. Sedangkan pada sesi kedua skore nyeri sebelum latihan 3,2 dan meningkat menjadi 4,6 setelah latihan. Selisih skor kenaikannya antara 1,4 (pada siang hari) - 1,5 (pada pagi hari). Secara keseluruhan mean skala nyeri setelah latihan adalah 2,6/10 dengan menggunakan gelpack dan 4,5/10 tanpa menggunakan gelpack. 4.2.3
Sensasi dan pilihan menggunakan terapi dingin
Selama pemberian terapi dingin pasien selalu dikaji setiap 5 menit terhadap sensasi dingin yang dirasakan. Tidak ada responden yang merasakan sensasi negative seperti nyeri, menekan, nenusuk, rasa terbakar, gatal atau kebas akibat penggunaan terapi dingin. Semua pasien merasakan dingin saja. 1 responden
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
82
mengatakan kurang dingin bila gelpack diberi flannel, 1 pasien mengatakan sangat dingin sampai terasa menusuk, 4 responden yang lain merasakan dinginnya sedang saja. Keseluruhan responden (100%) mengatakan akan mencoba terapi dingin untuk kesempatan selanjutnya. Ada 3 (50%) responden yang menyatakan akan menggunakan untuk nyeri yang lain seperti nyeri pada luka insisi di kaki. 4.3 Pembahasan Karakteristik responden Nyeri pada saat latihan batuk dan nafas dalam merupakan pengalaman nyeri yang paling tinggi dirasakan oleh pasien setelah operasi pintas koroner. Sesuai dengan hasil penelitian Milgrom et al., (2004) yang menyatakan bahwa skore nyeri tertinggi pada pasien post operasi bedah jantung adalah pada saat latihan batuk. Aktivitas nafas dalam batuk menyebabkan pengembangan paru sehingga peregangan thorak sehingga menyebabkan nyeri pada luka sternotomy dan dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Karakteristik responden dalam praktik ini ditentukan oleh pemilihan sampel sesuai kriteria, namun hal ini juga dipengaruhi keterbatasan waktu yang ada sehingga jumlah responden yang diperoleh hanya 6 orang. Responden dalam penerapan Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ini seluruhnya adalah laki-laki berusia lebih dari 40 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Coronary Arteri Disease (CAD) merupakan penyakit yang mematikan baik pada pria maupun wanita. Pada usia lebih muda, kematian lebih tinggi pada pria namun setelah menopause, kejadian penyakit pada pria dan wanita sama (Black & Hawks,2009; Lewis., et al 2011). Demikian pula dinyatakan bahwa usia mempengaruhi risiko CAD, dan gejala muncul biasanya setelah usia 40 tahun ke atas. Kematian lebih sering pada usia di atas 65 tahun (Black & Hawks, 2009; Lewis., et al 2011). Keseluruhan responden dilakukan operasi pintas koroner karena diagnosa CAD 3VD, Left main mengalami penyumbatan > 50%. Hal ini menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
83
pasien yang kondisi koroner sudah tersumbat cukup banyak baru akan lebih dianjurkan untuk dilakukan operasi pintas koroner. Sesuai dengan American Heart Association (2011) yang menyatakan bahwa revaskularisasi untuk meningkatkan survival pasien yang direkomendasikan untuk pasien dengan Left Main CAD, >50% diameter stenosis adalah operasi pintas koroner (Hillis, 2011). Penurunan Nyeri Berdasarkan data perubahan skore nyeri rata-rata pada seluruh sesi, skore nyeri rata-rata menurun dengan penggunaan gelpack dibandingkan skore nyeri rata-rata tanpa menggunakan gelpack, penurunan kurang lebih 0,5 - 0,7 pada skala 0-10. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yaitu penurunan skore mencapai 0,9/10. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan persepsi nyeri sesorang, faktor sosial budaya, pengalaman nyeri sebelumnya, arti nyeri, kecemasan dan harapan pasien yang tidak terkaji dalam praktik ini maupun hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan ini juga dapat disebabkan adanya perbedaan hari post operasi sesuai kriteria sample yaitu pada penelitian sebelumnya seluruh responden dilakukan pada hari kedua sedangkan pada praktik ini dilakukan pada hari kedua atau ketiga. Pertimbangan residen melakukan pada hari kedua atau ketiga karena secara umum pelepasan selang dada pada pasien yang dirawat di IWB RSJPDHK dilakukan pada hari ketiga bahkan beberapa pasien dilepas pada hari keempat atau lebih ketika perdarahan masih produktif. Modifikasi pada hari kedua atau ketiga karena nyeri pada hari kedua dan ketiga masih dalam rentang nyeri sedang yaitu 5,4 dan 5,1 pada hari kedua dan ketiga (Milgrom., et al, 2004). Aktivitas latihan tanpa menggunakan gelpack meningkatkan skore nyeri rata-rata dari ringan menjadi nyeri sedang, peningkatan terjadi sekitar 1,4 - 1,5 pada skala 0-10. Hasil ini mendukung berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri luka sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk efektif. Seiring dengan Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa nyeri secara statistik dan klinik signifikan diturunkan dengan penggunaan gelpack. Demikian hasil penelitian Lane & Latham (2009)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
84
yang menyatakan bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri pada pasien post operasi. Nyeri sternotomy yang dirasakan responden dalam penerapan praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah ini, pada hari ke 2 berada pada rentang nyeri ringan. Namun saat proses, residen mencoba menggali perbedaan nyeri yang dirasakan pasien pada luka bekas insersi selang dada yang dirasakan lebih nyeri dibanding luka sternotomy. Hal ini terjadi karena pada saat selang dada dilepas, terdapat luka terbuka yang masih terikat dengan jahitan sehingga nyeri yang dirasakan masih akut. Berbeda dengan luka sternotomy yang sudah terjadi 2-3 hari yang lalu, maka proses penyembuhan luka sudah berlangsung lebih lama sehingga rata-rata skore nyeri pasien berada pada rentang nyeri ringan (0-3 pada skala 10). Mengacu pada klasifikasi World Health Organization (WHO) yaitu skore nyeri nol sampai 3 merupakan nyeri ringan, skore 3-6 merupakan nyeri sedang (WHO, 1996 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010)), maka nyeri yang dirasakan pasien saat latihan nafas dalam dan batuk efektif tanpa menggunakan gelpack meningkat dari rata-rata 2,8 (ringan) menjadi 4,3 (sedang). Sedangkan nyeri post operasi yang bisa diloterir adalah antara 2-3 pada rentang 10 (Jakobsson, 2000 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010)). Peningkatan ini menyebabkan pasien memerlukan intervensi keperawatan seperti penggunaan terapi dingin untuk menurunkan nyerinya agar pasien agar mampu melakukannya latihan secara efektif karena latihan nafas dalam dan batuk efektif sangat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi respirasi seperti pneumoni akibat penumpukan secret pada pasien post operasi. Sensasi nyeri dan pilihan terhadap penggunaan gelpack pada waktu yang akan datang Pada penerapan praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah ini, ditemukan bahwa sensasi yang dirasakan pasien ada yang bertolak belakang, 1 responden merasakan sangat dingin, 1 responden merasakan kurang dingin sedang 4 responden yang lain merasakan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi seseorang dapat berbeda terhadap sensasi yang sama termasuk juga nyeri yang dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
85
persepsi nyeri, faktor sosial budaya, usia, jenis kelamin, arti nyeri, kecemasan, pengalaman nyeri masa lalu, harapan dan efek placebo (Black & Hawks, 2009). Tidak ada responden yang merasakan sensasi negative saat diberikan terapi dingin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa seluruh responden tidak ada yang merasakan sensasi seperti gatal menyengat, menekan, tak tertahankan atau rasa terbakar. Sensasi negative tidak dirasakan terapi dingin menggunakan gel pack yang diberikan tidak menembus jaringan yang dalam dan rangsang negative terkait tidak muncul karena terapi dingin itu sendiri menghambat transmisi sinyal ke spinal cord. Dry cryotherapy lebih efektif menurunkan suhu lokal pada area setelah operasi (Chou & Liu, 2008). Hal ini mendukung penggunaan gelpack yang merupakan terapi dingin kering untuk mengurangi nyeri. Terapi dingin dengan es menurunkan kecepatan konduksi serabut saraf nosiceptif, menghambat transmisi sinyal nyeri ke spinal cord. Pasien akan mempersepsikannya sebagai rasa baal (Black & Hawks, 2009). Selain itu Lane dan Latham (2009) menuliskan bahwa prinsip efek terapi dingin pada jaringan adalah menurunkan metabolic rate yang menurunkan aktivitas di seluruh jaringan dengan cara menurunkan penggunaan oksigen. Pendinginan dapat menurunkan spasme otot karena terapi dingin menstimulasi reseptor-reseptor cutaneous dan menghambat reflek aktivitas otot. Hal ini terbukti melalui praktik yang menunjukkan bahwa saat proses pemberian terapi dingin responden merasakan dingin pada awalnya kemudian 5 menit selanjutnya dingin sudah dapat ditoleransi dan bahkan nyeri luka sternotomy turun sampai nol meskipun ketika ditanya adanya sensasi baal, seluruh responden tidak ada yang melaporkan adanya rasa baal. Sesuai yang dinyatakan Lane & Latham (2009) bahwa aplikasi terapi dingin memiliki efek langsung terhadap konduksi impuls nyeri. Hal ini hanya akan terjadi bila suhu kulit sangat turun (target suhu yang direkomendasi adalah 10o C). Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa seluruh responden merasakan manfaat dan kenyamanan penggunaan terapi dingin menggunakan gelpack yang ditunjukkan dengan pilihan responden untuk menggunakan gelpack
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
86
untuk masa yang akan datang. Setelah merasakan manfaatnya, beberapa responden berencana menggunakannya untuk mengurangi nyeri luka operasi pada bagian kaki. 4.4 Faktor
Pendukung
dan
Kendala
selama
melakukan
Praktik
Keperawatan Berdasarkan Pembuktian di IWB RSJPDHK, Jakarta a. Pemilihan Sampel Pada saat pemilihan sample, seluruh sampel yang diambil sudah memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi yang ditetapkan. Residen tidak dapat memperoleh responden lebih banyak lagi karena keterbatasan waktu yang ada (1 minggu) dan beberapa pasien eksklusi karena pelepasan selang dada pada 4 pasien yang saat itu ada lebih dari hari ketiga dan ada 1 pasien yang mengalami nyeri dada dan terjadi perubahan EKG: ST depressed sehingga tidak dapat menjadi responden dalam praktik ini. b. Metode yang diterapkan Metode yang diterapkan sesuai dengan jurnal rujukan yaitu memberikan terapi dingin menggunakan gelpack selama 20 menit dan penentuan waktu pemberian terapi dapat dibagi menjadi 2 yaitu diawali dengan terapi dingin menggunakan gelpack dan tanpa terapi dingin. Fasilitas gelpack diadakan sendiri oleh residen karena gelpack yang dimiliki ruang IWB, RSJPDHK sudah tidak layak dan jumlahnya terbatas (2 buah). Pada saat praktik berlangsung, residen harus menyimpan dan mengambil gelpack di ruang laboratorium lantai 2 karena ruang IWB tidak memiliki freezer yang digunakan untuk penyimpanan obat atau alat medis sehingga membutuhkan waktu untuk mengambil atau menyimpan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR
Bab ini memaparkan tentang analisa situasi, proyek inovasi yang dilaksanakan residen di ruang IW Medikal RSJPDHK, Jakarta dan pembahasan hasil inovasi. BAB 5 disusun oleh kelompok yang terdiri dari: 1. Miftaffu Darrusallam, 2. Mohammad Adam. 3. Elvy Oktarina, 4. Chatarina Setya Widyastuti. Dalam hal ini, saya adalah anggota kelompok no 4 yaitu Chatarina Setya Widyastuti. 5.1 Analisis Situasi RSJPDHK merupakan rumah sakit jantung rujukan nasional yang mempunyai visi menjadi institusi kardiovaskular terpecaya di asia pasifik, sedangkan misinya menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian kardiovaskular secara professional dan ditopang oleh tata kelola proporsi yang baik dengan Motto Patient First. Tujuan RSJPDHK adalah (1) terselenggaranya pelayanan kardiovaskular yang berhasil guna, bermanfaat secara luas, memenuhi standar
mutu
internasional,
(2)
terselenggaranya
pendidikan
pelatihan
kardiovaskular yang beretika bagi tenaga kesehatan Indonesia dan kawasan regional, (3) terlaksananya penelitian kardiovaskular yang membawa manfaat pada pelayanan kardiovaskular dan program pendidikan pelatihan kardiovaskular. Ruangan yang dipilih oleh residen menjadi tempat pelaksanaan proyek inovasi adalah intermediate ward medical (IWM). Karakteristik ruangan ini mempunyai kapasitas tempat tidur 43 tempat tidur dengan Bed Occupation Rate (BOR) dalam 3 bulan terakhir berkisar antara 70%-80%. Jumlah perawat diruang IWM adalah 83 orang, dengan kualifikasi perawat terdiri dari pre beginner 26 orang, Beginner 15 orang, Advance Beginner 25 orang, Competence 9 orang, Provicient 5 orang, Expert I 2 orang, Expert II 1 orang dengan jumlah SpKV 3 orang. Masa kerja perawata bekisar dari 1 sampai dengan 27 tahun dan keseluruhan perawat tersebut
87
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
88
melakukan perawatan pada pasien post PCI tanpa ada perbedaan jenjang kualifikasi. Selama 1 bulan, rata-rata jumlah pasien yang dilakukan PCI adalah 135 orang dengan length of stay (LOS) pada pasien post PCI lebih kurang 1-2 hari. Selama melakukan praktik residensi di RSJPDHK, Jakarta, residen menemukan fenomena terkait dengan perawatan pasien Coronary Artery Desease (CAD). Coronary Artery Desease (CAD) merupakan tipe penyakit kardiovaskular yang sering terjadi. CAD adalah kelainan jantung yang diakibatkan adanya penyempitan pembuluh darah arteri yang menyuplai darah ke otot jantung, pembuluh darah ini disebut arteri koroner. Penyempitan ini disebabkan karena terjadinya proses aterosklerosis (pengapuran) yang diawali oleh terjadinya kerusakan lapisan terdalam dari dinding pembuluh darah yang disebut lapisan endotel (Black & Hawks, 2009). Dalam hal ini penting bagi perawat untuk mengenal lebih dalam dengan variasi dari kondisi arteri koroner dan metode pengkajian, pencegahan serta pengobatannya secara medis maupun pembedahan (Smeltzer & Bare, 2005). Gangguan yang paling sering menyebabkan kondisi kegawatan adalah Acute Coronary Syndrome (ACS) yaitu kondisi yang terjadi saat plak artheromatous erosi atau rupture didalam praktik klinik ACS sering diklasifikasikan STEMI, NSTEMI dan UAP. ACS merupakan penyebab utama kematian didunia. Pemahaman tentang insiden, karakteristik populasi dan pola pengobatan berkembang secara cepat dalam beberapa tahun terakhir ini. Proses pembelajaran yang saat ini dilakukan memberikan informasi yang penting untuk memahami dan kesempatan dalam meningkatkan peluang pengobatan dan hasil yang optimal (Bhatt & Flather, 2004). Prosedur invasive untuk pengobatan CAD antara lain Percutaneous Transluminal Coronary angioplasty (PTCA), Intra Coronary Stent implantation, atherectomy, brachytherapy and Transmiocardial laser revaskularisation. Semua tindakan diatas disebut Percutaneus Coronary Interventions (PCI) (smeltzer & Bare, 2005). Teknologi ini terus diperbaharui sejak dua dekade terakhir (Tsai, Kung,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
89
Yang, & Chiang, 2005). Peningkatan yang pesat diagnosis jantung koroner, menyebabkan PCI menjadi pemeriksaan dan terapi utama (Lee, Lu, Liao, & Li, 2006). PCI adalah prosedur yang sering dilakukan di United States (Smeltzer & Bare, 2005). Di Australia jumlah PCI dua kali lipat dibandingkan operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Davies 2003 dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)). RSJPDHK, Jakarta merupakan RS rujukan nasional yang menangani pasien CAD dan melakukan tidakan PCI. Jumlah tindakan PCI yang dilakukan di RSJPDHK dari awal Januari sampai April 2012 didapatkan data dimana PCI Elektif 598 orang dan PCI primary sebanyak 82 orang (data primer dari ruang kateterisasi RSPJNHK, 2012). Prosedur PCI merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan CAD, tetapi prosedur invasif ini menyebabkan berbagai komplikasi akibat efek tindakan tersebut atau penggunaan antikoagulan. Komplikasi tersebut antara lain komplikasi mayor yang sering muncul antara lain perdarahan/ hematom area insersi, acute reoclusion, myocard infarct, emergency Coronary Artery Bypass Graft (CABG), penurunan cardiac output akibat dysritmia, tamponade jantung, perdarahan berat di inguinalis. Komplikasi minor meliputi side branch oclusion, arytmia ventrikel/atrial, bradikardi, hipotensi, blood loss, thrombus arterial, emboli koroner, rekateterisasi, iskemi ekstremitas yang dikanulasi, penurunan fungsi ginjal akibat penggunaan zat kontras, emboli sistemik, hematom di inguinal, perdarahan retroperitoneal, pseudoaneurisma, fistula arteriovenosus (Enc., et all, 2007). Berbagai penelitian dilakukan untuk memperoleh data tentang terjadinya komplikasi untuk memprediksi angka kesakitan maupun kematian. Menurut Linsey (2009), jumlah perdarahan pasca PCI dan
infark pasca PCI masing-
masing adalah 3,0% dan 7,1%. Dalam 1 tahun, jumlah kematian dengan berbagai penyebab adalah 2,8%. Menurut Doyle (2008), insiden utama komplikasi perdarahan femoralis menurun dari 8,4% menjadi 5,3% bahkan sampai 3,5% (p <0,001). Studi terbaru mengidentifikasi pendarahan yang banyak post PCI
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
90
merupakan prediktor penting terjadinya peningkatan kematian. Perdarahan dan risiko kematian merupakan sebab dan efek berdasarkan faktor risiko (Doyle, 2009). Komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dipengaruhi berbagai faktor, namun deteksi dini adanya komplikasi dapat dilakukan melalui monitoring tanda dan gejala yang muncul pada pasien setelah prosedur PCI. Monitoring yang dilakukan perawat merupakan bagian dari proses pemberian asuhan keperawatan yang akan selalu dilakukan secara berkesinambungan mulai tahap pengkajian sampai evaluasi. Peran perawat dalam hal ini sangat penting dan salah satu tanggung jawab perawat dalam merawat pasien post PCI adalah membantu pasien beradaptasi dengan lingkungannya baik eksternal maupun internal. Sesuai dengan teori Model Adaptasi Roy yang menyatakan bahwa pertimbangan keperawatan didasarkan pada pengkajian perilaku dan stimulus dan intervensi direncanakan untuk memanajemen stimulus fokal, kontekstual dan residual. Tindakan PCI merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi adaptasi pasien sehingga perawat perlu memanajemen stimulus tersebut agar pasien mencapai kesehatan yang optimal. Berdasarkan analisa situasi yang residen lakukan selama melakukan praktik di RSJPDHK, diperoleh data sebagai berikut : Kekuatan (Strength), RSJPDHK sebagai salah satu pusat rujukan untuk tindakan PCI merupakan rumah sakit yang mengutamakan pelayanan prima dan patient safety dalam memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat dan memiliki fasilitas PCI yang memadai serta memiliki ruang perawatan khusus post PCI untuk pasien (CVC dan IWM). Disamping itu, RSJPDHK memiliki sumber daya dokter spesialis kardiologi dan tim perawat kateterisasi yang competent dengan jumlah memadai. Sesuai dengan visi dan misi, RSJPDHK merupakan salah satu tempat pelatihan bagi tenaga medis maupun keperawatan. Kelemahan (Weakness), RSJPDHK belum memiliki SOP (standar operasional prosedur) yang tertulis untuk perawatan pasien PCI termasuk format monitoring komplikasi pasien post PCI. Berdasarkan hasil wawancara secara informal dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
91
perawat di ruang IWM dan CVC diperoleh informasi bahwa ruangan belum memiliki dokumentasi angka kejadian komplikasi pasien post PCI. Hasil pengamatan residen ditemukan fenomena di ruang perawatan bahwa perawat belum mendokumentasikan hasil monitoring pasien post PCI secara lengkap. Peluang (Opportunity), RSJPDHK memiliki pasien yang cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia karena merupakan rumah sakit jantung rujukan nasional. Menurut Davies ((2003) dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)). besarnya angka kejadian CAD meningkat setiap tahunnya dan tindakan PCI semakin banyak diminati oleh pasien. Selain itu, evidence-based practice tentang perawatan pasien PCI cukup banyak dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan perawatan pasien post PCI. Sebagai salah satu lahan pembelajaran mahasiswa kedokteran dan keperawatan, RSJPDHK mempunyai peluang lebih besar untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu perawatan pasien post PCI semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pelayanan yang prima. Ancaman (Threat), sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSPDHK selalu dituntut untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan yang akan terlihat pada saat dilakukan akreditasi. Berkembangnya beberapa rumah sakit yang melayani pasien secara professional di bidang kardiovaskular. Jumlah kasus yang cukup besar dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien serta berdasarkan analisis SWOT di atas, maka sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan PCI diperlukan sebuah inovasi berupa format monitoring komplikasi pasien post PCI. Format monitoring komplikasi ini membantu meningkatkan efisisensi kerja staf perawat khususnya dalam melakukan deteksi dini terjadinya komplikasi yang dapat dicegah dan dapat meningkatkan kepuasan pasien terhadap asuhan keperawatan
yang
diberikan.
Selain
itu,
penerapan
format
monitoring
komplikasiini dapat menurunkan lama rawat inap sehingga dapat meningkatkan BOR dan menurunkan biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh pasien dan/atau instansi penanggung (Hsu, Lai, Hsieh, Liao & Lin, 2002). Perbaikan yang berkelanjutan pada kualitas asuhan medis dan keperawatan, memberikan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
92
pelayanan yang dapat lebih ditoleransi pasien, membantu mencapai hasil yang optimal dan juga secara efektif tercapai keseimbangan antara biaya dan manfaat (balanced cost and benefit). 5.2
Kegiatan Inovasi
5.2.1
Kontrak Pelaksanaan Kegiatan
Proyek inovasi dilaksanakan selama 6 minggu, mulai tanggal 16 April 2012 sampai 1 1 Juni 2012 di Intermediate Ward Medical RSJPD Harapan Kita. Rangkaian kegiatan inovasi diawali dengan melakukan identiikasi fenomena terkait pelayanan keperawatan di Intermediate Ward Medical RSJPD Harapan Kita. Fenomena yang ditemukan selanjutnya di konsultasikan kepada penanggung jawab ruangan, supervisor utama dan supervisor. Rangkaian kegiatan proyek inovasi meliputi penyusunan proposal, penyusunan format monitoring, uji coba dan implementasi penerapan monitoring serta evaluasi pelaksanaan. 5.2.2
Desiminasi Awal Program Inovasi
Dilakukan setelah proposal dan format monitoring komplikasi tersusun, konsultasi dan sosialisasi pertama dilakukan pada tanggal 26 April 2012 dengan penanggung jawab ruangan dan leader. Penanggung jawab ruangan memberikan beberapa masukan seperti penambahan item diagnosa medis dan komplikasi, frekuensi moitoring, jenis depper (alat penekan) yang digunakan, jenis akses PCI dan keterangan pengisian. Kemudian dilakukan revisi berdasarkan masukan yang diperoleh. Proses konsultasi berlangsung dari tanggal 30 April sampai 4 Mei 2012. 5.2.3
Melaksanakan Program Inovasi
Setelah proses revisi format selesai, dilakukan uji coba oleh residen dari tanggal 7 sampai 10 Mei 2012. Selama proses uji coba, dirasakan adanya beberapa kekurangan pada format agar lebih praktis dan aplikatif seperti penambahan pengkajian tanda-tanda perdarahan dan hematoma tidak hanya pada ekstemitas
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
93
yang dilakukan akses PCI tapi juga ekstremitas yang tidak dilakukan akses PCI sebagai pembanding, dan pencatatan volume dan warna urine. Selanjutnya dilakukan pertemuan untuk sosialisasi dan diskusi format ke perawat ruangan pada tanggal 8 Mei 2012. Dari pertemuan ini, dikemukakan masukan untuk pembuatan petunjuk teknis pengisian format monitoring komplikasi pasien post PCI agar pemahaman dan persepsi perawat pada setiap item pada format dapat sama. Masukan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan petunjuk teknis dari tanggal 11 - 13 Mei 2012. Petunjuk teknis ini kemudian dilampirkan pada format monitoring. Pelaksanaan uji coba dan implementsi oleh perawat ruangan dilakukan selama 3 hari, mulai tanggal 14 Mei 2012 sampai 16 Mei 2012. Selama pelaksanaan uji coba dan implementasi oleh perawat, residen melakukan pendampingan. Namun dirasakan adanya keterbasan dalam pendampingan, karena pendampingan oleh residen tidak dapat dilakukan full shift. 5.2.4 Melakukan Evaluasi Evaluasi dilakukan selama 3 hari yaitu pada tanggal 21-23 Mei 2012. Evaluasi dilakukan dimulai dari wawancara dan pengisian format evaluasi oleh kepala ruang dan leader IWM. Disamping itu evaluasi dilakukan dengan membagikan format evaluasi yang diisi langsung oleh perawat ruangan yang merawat pasien post PCI pada shift tersebut dan melakukan evaluasi terhadap format monitoring komplikasi pasien post PCI yang telah terisi. Berdasarkan analisa hasil evaluasi didapatkan data bahwa pasien yang dilakukan uji coba sebanyak 10 orang pasien post PCI dan perawat yang melakukan evaluasi sejumlah 8 orang. Hasil wawancara dengan kepala ruang dan leader menyampaikan bahwa secara umum format yang disusun sudah ideal dan bagus untuk diterapkan. Dari hasil evaluasi terhadap pengisian format oleh perawat, didapatkan data bahwa 100% menyatakan bahwa bentuk format sudah jelas, terstruktur dan sistematis, 100% menyatakan bahwa format sudah memiliki seluruh komponen data yang diperlukan, 100% format sudah komunikatif memberikan informasi tentang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
94
kondisi pasien, 100%
menyatakan format memudahkan perawat memantau
perkembangan kondisi pasien, 100% menyatakan format sudah efektif dan efisien, 100% menyatakan bahwa sudah layak diterapkan sebagai format resmi RSPJDHK, 100% menyatakan bahwa setuju diterapkan di RSPJDHK. Dari pengisian format evaluasi didapatkan beberapa saran yang diberikan antara lain bahwa waktu untuk uji coba terlalu singkat, format monitoring komplikasidibuat terintegrasi dalam flowsheet dan pembuat format terlibat full saat uji coba. Berdasarkan pengamatan dan analisa terhadap format yang telah terisi dapat disimpulkan bahwa perawat memahami dan mampu mengisi format dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan 100 % kelengkapan pengisian data sesuai format yang ada. Namun demikian ada sebagian kecil (20%) pengisian format belum dilakukan secara berkesinambungan sampai pasien pulang. Hal ini ditunjukkan dengan pengisian format yang hanya dilakukan sampai 4 jam pertama. Setelah melakukan analisa hasil evaluasi, residen menyerahkan file dalam bentuk soft copy dalam CD kepada kepala ruang perawatan IWM pada tanggal 1 Juni 2012. 5.3
Pembahasan
Catatan merupakan bagian penting dalam praktik keperawatan yang legal. Kualitas pencatatan yang baik dihubungkan dengan mutu pelayanan keperawatan yang baik terhadap pasien, bila standar dokumentasinya tidak bagus akan berkontribusi terhadap kualitas layanan keperawatan yang tidak bagus. Kualitas dokumentasi keperawatan secara konsisten digunakan untuk merekomendasikan menyusun suatu standar (Prideaux, 2011). Catatan yang berkualitas dapat membantu perawat dalam memberikan keterampilan dan melindungi perawat dalam bekerja (dokumentasi keperawatan, pemeliharaan catatan dan komunikasi tertulis). Dokumentasi keperawatan merupakan komponen penting dalam praktik keperawatan dan dokumentasi interprofesional. Dokumentasi (paper, elektronik, audio atau visual) digunakan untuk memonitor perkembangan pasien dan komunikasi dengan petugas
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
95
kesehatan yang lain. Hal ini juga menjadi refleksi pelayanan keperawatan yang dilakukan pada pasien (College of nurses of Ontario, 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kelimpulan bahwa format monitoring komplikasiPCI yang telah dibuat dapat digunakan sebagai sarana untuk memonitor perkembangan pasien dan komunikasi dengan petugas kesehatan yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh 100% perawat yang melakukan evaluasi menyatakan bahwa format monitoring komplikasiPCI yang telah di uji cobakan memudahkan perawat mengetahui perkembangan kondisi pasien. Dokumentasi membantu perawat dalam meningkatkan kontinuitas keperawatan karena memungkinkan perawat yang lain mengakses informasi serta menjadi alat komunikasi antar petugas kesehatan dalam melakukan pengkajian dan kebutuhan intervensi sesuai kondisi pasien. Hal ini juga dapat dicapai pada format monitoring komplikasiPCI yang sudah diujicobakan dan sesuai dengan hasil evaluasi yang menunjukkan 100% perawat menyatakan bahwa format ini dapat menjadi alat komunikasi bagi perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya. Pasien yang dilakukan PCI berisiko mengalami berbagai komplikasi yang perlu dideteksi sejak dini setelah pasien selesai dilakukan tindakan. Deteksi dini yang terjadi dapat dilakukan melalui monitoring tanda dan gejala yang tertuang dalam format monitoring komplikasiPCI yang sudah diujicobakan di ruang perawatan IWM, RSJPDHK. Hal utama yang perlu selalu dikaji adalah tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran dapat terjadi karena aritmia yang menyebabkan penurunan cardiac output atau mengindikasikan adaya tromboemboli di otak yang menyebabkan penurunan perfusi ke jaringan (Woods, Froelicher & Motzer, 2000). Monitoring vital sign sangat penting dilakukan pada pasien post PCI karena vital sign
merupakan
status
hemodinamik
yang
paling
mudah,
cepat
dan
menggambarkan kondisi pasien. Dalam format monitoring komplikasiyang disusun item yang harus dimonitor adalah tekanan darah. Menurut Woods, Froelicher dan Motzer (2000) menuliskan bahwa pasien dapat mengalami penurunan tekanan darah akibat pemberian obat seperti vasodilator atau
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
96
pemberian selama prosedur. Disamping itu, zat kontras dapat berfungsi sebagai diuretik osmotik dan pasien dapat menjadi hipotensi karena kurang cairan. Vital sign berikutnya yang penting dimonitor dan akan cepat mengalami perubahan adalah pengkajian denyut jantung. Takikardi (100-120 x/mnt) tidak biasa terjadi setelah kateterisasi. Bila hal ini terjadi mungkin sebagai tanda adanya kecemasan, kehilangan cairan akibat dieresis atau reaksi obat yang digunakan selama prosedur seperti atropine. Heart rate lebih dari 120 x/mnt harus dievaluasi untuk penyebabnya seperti perdarahan, ketidak seimbangan cairan, demam atau aritmia. Bila tanpa beta bloker, bradikardi dapat mengindikasikan adanya respon vasovagal, aritmia atau infark (Froelicher and Motzer, 2000). Komplikasi perdarahan terjadi sampai 14% pada pasien yang dilakukan tindakan PCI (Smith et al, 2005). Setelah dilakukan PCI harus diawasi secara ketat tandatanda perdarahan. Perdarahan bisa terjadi pada daerah tusukan berupa lebam atau di retroperitoneal. Perdarahan bisa juga disebabkan oleh obat-obatan anti platelet dan antikoagulasi misalnya adanya epitaksis atau hematuria. Dalam kasus hemodinamik perdarahan secara signifikan pasien akan tampak pucat dan berkeringat. Denyut jantung akan meningkat dan berakhir dengan penurunan tekanan darah. Tangan dan kaki akan terasa dingin sebagai kompensasi vasokontriksi perifer dalam menyuplai organ vital, sehingga diperlukan untuk mengkaji pengisian kapiler, apabila pengisian kapiler lebih dari 3 detik maka harus dicurigai adanya perfusi perifer yang tidak adekuat (Muggenthaler, 2008). Pengkajian terhadap intake dan output cairan untuk melihat fungsi renal. Gangguan fungsi ginjal dapat diantisipasi dengan mengidentifikasi potensial masalah dengan mengkaji keseimbangan cairan. Penurunan keluaran urine dan keseimbangan cairan yang negatif merupakan awal tanda gangguan fungsi ginjal dan deteksi dini untuk pengobatan awal (Leahy, 2006). Pengkajian nyeri ekstremitas pada pasien post PCI dilakukan untuk mengkaji terjadinya trombosis vena dalam. Hal ini diakibatkan bekuan darah yang terbentuk akibat tindakan PCI yang lepas dan ikut dengan aliran darah ke ekstremitas bagian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
97
distal, sehingga menyebabkan nyeri dan bengkak pada daerah tungkai disertai perubahan warna kulit (Hukom, 2012). Untuk mengidentifikasi adanya demam
maka pasien post PCI juga perlu
dilakukan pengukuran suhu tubuh. Demam dapat terjadi karena reaksi alergi akibat penggunaan bahan kontras. Tanda dan gejala alergi kontras juga dapat terjadi sesak nafas (Enc, 2007), dan merupakan indikator adanya masalah pernafasan sehingga perlu dimonitor secara periodik. Menurut Dumont, Keeling, Bourguignon, Sarembock, and Turner, M. (2006), perawatan pasien setelah kateterisasi jantung dan/atau PCI merupakan tanggung jawab besar seorang perawat. Identifikasi faktor risiko terhadap komplikasi vaskuler akibat prosedur ini penting untuk mengembangkan protokol untuk mencegah komplikasi. Hal ini mendukung penyusunan dan pelaksanaan monitoring pasien post PCI yang salah satunya adalah deteksi dini terhadap adanya komplikasi vaskuler. Dalam format monitoring komplikasi yang disusun oleh residen, komplikasi vaskuler dilakukan melalui pengkajian kulit sekitar insersi, hematom, perdarahan eksternal, pengisian kapiler dan kekuatan nadi perifer.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Setelah melakukan analisis praktik residensi selama 2 semester menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy dalam melaksanakan peran sebagai spesialis, beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: a. Berbagai peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti maupun innovator dapat diterapkan menggunakan pendekatan teori teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) secara efektif sehingga Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan Sistem Kardiovaskular dapat diberikan secara komperhensif. b. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori keperawatan MAR dapat dilakukan pada berbagai kasus pada pasien dengan gangguan system kardiovaskular seperti pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, Disritmia dan Bedah Jantung. Adaptasi yang terjadi pada pasien kelompok kasus ACS tanpa komplikasi, rata-rata dapat mencapai adaptasi tingkat integrated, sedangkan pada kelompok Heart Failure, Disritmia dan Bedah Jantung optimal mencapai tingkat adaptasi compensatory. c. Peran sebagai pendidik dapat dilakukan secara rutin melalui pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga maupun sejawat secara individu maupun berkelompok. Proses adaptasi pasien dan keluarga dapat tercapai secara compensatory atau integrated setelah pemahaman tentang penyakitnya meningkat/ lebih baik dari sebelumnya. d. Peran sebagai peneliti dapat dilakukan melalui penerapan Evidence Based Nursing Practice tentang terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. Praktik ini merupakan bagian dari pemberian asuhan keperawatan yang bertujuan meningkatkan adaptasi pasien terhadap nyeri sternotomy untuk mencapai kondisi post operasi yang paling optimal.
98 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
99
Berdasarkan hasil praktik disimpulkan bahwa terapi dingin kering menggunakan gel pack efektif mengurangi nyeri luka sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. dengan mean skala nyeri 2,6/10 menggunakan gelpack 4,5/ tanpa gelpack. Skala nyeri saat latihan tanpa menggunakan terapi dingin meningkat dari klasifikasi nyeri ringan menjadi sedang. Sensasi yang dirasakan terhadap terapi dingin menggunakan gelpack sangat individual untuk pasien, Rata-rata merasakan sedang, meskipun ada yang merasakan terlalu dingin atau kurang dingin/ tidak menusuk karena ditutup dengan kain flannel. Tidak ada rasa gatal, nyeri atau terbakar saat gel pack ditempelkan di atas luka sternotomy yang tertutup kasa. Seluruh pasien berharap dapat menggunakan gelpack untuk terapi nyeri. Pemberian gelpack dapat mengurangi nyeri sternotomy saat istirahat dari rentang nyeri moderat menjadi mild e. Peran sebagai inovator dapat diterapkan sebagai bagian dari proses pemberian asuhan
keperawatan
menggunakan
pendekatan
teori
MAR
untuk
meningkatkan pelayanan padapasien melalui penyusunan dan penerapan format monitoring komplikasi pasien post PCI agar pasien termonitor secara periodik dan lebih komperhensif. Format monitoring komplikasi pasien post PCI efektif digunakan untuk memonitor perkembangan kondisi pasien dan komunikatif. Format monitoring yang disusun layak untuk diterapkankan di RSJPDHK 6.2 Saran a. Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy diaplikasikan dalam tatanan klinik dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular menggunakan format yang disesuaikan dengan format yang ada di rumah sakit. b. Perlu diadakan pertemuan untuk menyamakan persepsi tentang aplikasi teori Keperawatan Model Adaptasi Roy.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
100
c. Disusun Standart Operating Procedure (SOP) untuk pemberian terapi dingin pada pasien paska operasi bedah jantung agar dapat dilakukan dengan benar oleh seluruh perawat. d. Format monitoring pasien post Percutaneous Coronary Intervention (PCI) ditetapkan sebagai format resmi dan diterapkan di RSJPDHK, Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RS. JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA DAN RS. PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh: Chatarina Setya Widyastuti 0906594242
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JULI 2012
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RS. JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA DAN RS. PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Oleh: Chatarina Setya Widyastuti 0906594242
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JULI 2012
i
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Chatarina Setya Widyastuti
NPM
: 0906594242
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 Juli 2012
iii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: Chatarina Setya Widyastuti NPM : 0906594242
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat tanpa adanya tindakan plagiarism sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.
Yang Menyatakan
Chatarina Setya Widyastuti
iv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
v
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih karena atas berkat dan rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Prof. Dra. Elly Nurachmah, M.App.Sc., DNSc selaku Supervisor Utama, yang telah berkenan memberikan arahan dan masukan serta motivasi dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir ini. 2. Tuti Herawati, MN selaku Supervisor, yang telah memberikan bimbingan serta dukungan dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir ini. 3. Dewi Irawaty, M.A., Phd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Indonesia beserta staf. 4. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Seluruh
dosen
kekhususan
Keperawatan
Medikal
Bedah
Fakultas
Ilmu
Keperawatan Indonesia. 6. Direktur Utama RSJPD Harapan Kita, Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah di RSJPD Harapan Kita, Jakarta. 7. Kepala Bagian Diklat RSJPDHK beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah sehingga terlaksana dengan lancar. 8. Kepala Bagian dan Penanggung Jawab Ruangan IGD, CVCU, OK, ICU, IWM, IWB, GP 2 Lantai III, Unit Rehabilitasi, Unit Diagnostik Invasif dan Noninvasif berserta staf yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk menggali ilmu di ruangan. 9. Direktur Utama RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.
vi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
10. Kepala Bagian Diklat RSJPDHK beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah sehingga terlaksana dengan lancar. 11. Kepala Ruang Perawatan Jantung lantai 2, OK, ICU, Ruang Rawat Bedah Lantai IV, Unit Kateterisasi Jantung, Unit Rawat Jalan Kardiovaskuler beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan memfasilitasi penulis untuk menggali ilmu di ruangan tersebut. 12. Kepala perpustakaan FIK-UI beserta staf yang telah membantu dalam menyediakan buku-buku referensi guna penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 13. Pengurus Yayasan Panti Rapih, Yogyakarta yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk melaksanakan studi di FIK-UI, Jakarta. 14. Direktur Akademi Keperawatan Panti Rapih, Yogyakarta beserta staf yang selalu membantu dan memfasilitasi penulis selama menjalani studi di FIK-UI. 15. Suami tercinta yang selalu memberikan dukungan dan anak-anak tersayang yang selalu menyemangati dengan canda dan tawa, serta orangtua yang menyediakan diri mendukung dan menemani selama penulis menjalani masa studi. 16. Teman-teman seperjuangan program pasca sarjana kekhususan keperawatan medikal bedah peminatan system kardiovaskuler angkatan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya selama menjalani praktik residensi. 17. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu sehingga penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir ini belum sempurna sehingga membutukan masukan yang membangun untuk penyusunan yang lebih baik. Akhirnya penulis berharap agar Karya Ilmiah sebagai wujud analisis praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan profesi keperawatan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Depok, Juli 2012 Penulis
vii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Chatarina Setya Widyastuti
NPM
: 0906594242
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-free right) atas Karya Ilmiah saya yang berjudul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dengan Penerapan Teori Model Adaptasi Roy di RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 10 juli 2012 Yang menyatakan
(Chatarina Setya Widyastuti)
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Program Residensi Keperawatan Medikal Bedah Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler dengan Penerapan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Chatarina Setya Widyastuti Juli 2012 Abstrak
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Penyakit ini menyebabkan perubahan fisik dan psikologis yang memerlukan adaptasi. Praktik residensi memfasilitasi residen menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti dan inovator menggunakan pendekatan teori Model Adaptasi Roy (MAR). Perilaku yang ditemukan pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, Disritmia, Bedah Jantung, adalah nyeri dada, sesak nafas, lemah, pusing, berdebar, edema, rhonci basah, hipertensi/hipotensi, takikardi/bradikardi, perubahan EKG, Ejection Fraction menurun, peningkatan enzyme jantung. Masalah yang muncul: nyeri akut, penurunan perfusi miokard, penurunan cardiac output, kelebihan cairan, intoleransi aktivitas. Intervensi yang diberikan: pain management, cardiac care, fluid management, circulatory care, hemodynamic regulator, oxygen terapy. Penerapan Evidence Based Nursing terapi dingin dengan gelpack efektif menurunkan skala nyeri sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk dari sedang menjadi ringan. Inovasi dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui monitoring komplikasi pasien post PCI. Saran: MAR diaplikasikan dalam Asuhan Keperawatan, terapi dingin dibuat Standart Operating Procedure, format monitoring komplikasi pasien post PCI diterapkan. Kata kunci: Acute Coronary Syndrome, Aritmia, Bedah Jantung, Heart Failure, Model Adaptasi Roy, Monitoring Komplikasi post PCI, Nyeri, Terapi Dingin.
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
RESIDENCY OF MEDICAL SURGICAL NURSING PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Analysis of Medical Surgical Nursing Clinical Practice of Residency on Patient with Cardiovascular System Disorders using Roy’s Adaptation Theory National Cardiovascular Centre Harapan Kita and Army Hospital Centre Gatot Soebroto, Jakarta
Chatarina Setya Widyastuti Juli 2012 Abstract Cardiovascular disease is the number one cause of death in the world. The disease causes physical and psychological changes that require adaptation. Clinical residency facilitate resident aplly her role as practitioners, educators, researchers and innovators with the Roy Adaptation Model. Patient’s behavior in with Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, dysrhythmias, Cardiac Surgery are chest pain, dyspnea, weakness, dizziness, palpitations, edema, rhonci, hypertension/ hypotension, tachycardia/ bradycardia, ECG changes, decreased Ejection Fraction and increase in cardiac enzyme. Problems: acute pain, decreased myocardial perfusion, decreased cardiac output, fluid overload, activity intolerance. Interventions provided: pain management, cardiac care, fluid management, circulatory care, hemodynamic regulator, oxygen terapy. Evidence Based Nursing cold therapy can be used to manage sternal incisional pain when breathing in and coughing exercises. Innovation had done to improve the quality of service through the complications monitoring of post-PCI patients. Suggestion: MAR applied in Nursing, cold therapy made as Standart Operating Procedure, complications monitoring post PCI patient’ form can be applied. Key words: Acute Coronary Syndrome, dysrhythmias, Cardiac Surgery, Heart Failure, Roy Adaptation Model, Monitoring post PCI Complications, Pain, Cold Therapy.
x
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………….. LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………….. HALAMAN PERNYATAAN PLAGIARISME …………………………... HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………... KATA PENGANTAR ……………………………………………………... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………… ABSTRAK …………………………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. BAB 1
BAB 2
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1.2 Tujuan Penulisan …………………………………………….. 1.3 Manfaat ……………………………………………………… TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Acut Coronary Syndrome 2.1.1 Pengertian …………………………………………. 2.1.2 Etiologi…………………………………………….. 2.1.3 Tanda dan Gejala ………………………………….. 2.1.4 Klasifikasi …………………………………………. 2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik ………………………….. 2.1.6 Diagnosis ACS ……………………………………. 2.1.7 Anatomi Arteri Koroner …………………………... 2.1.8 Patogenesis ACS ………………………………….. 2.1.9 Lokasi area injury………………………………... 2.1.10 Penatalaksanaan STEMI ………………………….. 2.1.11 Stratifikasi Risiko…………………………………. 2.1.12 Komplikasi ………………………………………... 2.2 Primary Percutaneous Coronary Intervention 2.2.1 Pengertian ………………………………………… 2.2.2 Perawatan pasien post PCI ………………………. 2.2.3 Komplikasi ………………………………………... 2.3 Teori Adaptasi Roy 2.3.1 Manusia …………………………………………… 2.3.2 Lingkungan ………………………………………. 2.3.3 Kesehatan ………………………………………… 2.3.4 Keperawatan …………………………………….. 2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Acut Coronary Syndrome 2.3.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus ………………… 2.3.2 masalah Keperawatan …………………………….
xi
i ii iii iv v vi viii ix xi xiv xv xvi
1 5 6
7 7 7 8 8 8 9 10 10 11 13 14 15 15 16 18 18 19 19
21 26
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
2.3.3 Tujuan Keperawatan ………………………………. 2.3.4 Intervensi Keperawatan …………………………… 2.3.5 Evaluasi Keperawatan …………………………….. BAB 3
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama ………………………… 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus ………………… 3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis ……………….. 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri ……………. 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran …………… 3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen …………. 3.2.2 Diagnosa Keperawatan ……………………………. 3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis …………….. 3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri …………... 3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ………….. 3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen ………… 3.2.3 Penetapan Tujuan …………………………………. 3.2.4 Intervensi Keperawatan …………………………… 3.2.5 Implementasi Keperawatan ……………………….. 3.2.6 Evaluasi Keperawatan …………………………….. 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy 3.3.1 Mode Adaptasi Fisiologis …………………………. a. Gangguan Perfusi Jaringan Miocard ………….. b. Risiko Tinggi Penurunan Cardiac Output…….. c. Intoleransi Aktifitas ………………………….. d. Risiko Perdarahan ……………………………. e. Risiko Konstipasi …………………………….. f. Risiko gula darah tidak stabil ……………....... 3.3.2 Mode Adaptasi Konsep Diri Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan … 3.3.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ……………………… 3.3.4 Mode Adaptasi Interdependen…………………….. 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 30 Kasus Kelolaan 3.4.1 Mode Adaptasi Fisiologis………………………….. 3.4.2 Mode Adaptasi Konsep Diri ………………………. 3.4.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran ……………………… 3.4.4 Mode Adaptasi Interdependen ……………………. PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review)………………….. 4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ………….. 4.3 Pembahasan ………………………………………………..
xii
28 29 32
34
35 35 41 40 40 41 43 43 44 44 44 45 46 49 52 52 55 56 57 59 60 61 69 70
64 69 70 71
74 77 82
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 5
BAB 6
KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER 5.1 Analisis Situasi ……………………………………………. 5.2 Kegiatan Inovasi 5.2.1 Kontrak pelaksanaan Kegiatan ……………………. 5.2.2 Desiminasi Awal Program Inovasi ………………... 5.2.3 Melaksanakan Program Inovasi ………………….. 5.2.4 Melakukan Evaluasi ……………………………… 5.3 Pembahasan ……………………………………………….
92 92 92 93 94
SIMPULAN 6.1 Simpulan …………………………………………………... 6.2 Saran ……………………………………………………….
98 99
87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Diagnosis ACS …………………………………………………...
9
Tabel 2.2
Perubahan EKG dan Anatomi Jantung ………………………….
11
Tabel 2.3
Skore TIMI Risk pada STEMI …………………………………..
13
Tabel 2.4
Skor TIMI Risk dan risiko kematian dalam 30 hari ……………
14
Tabel 2.5
Mortalitas 30 hari berdasarkan stratifikasi Killip ………………
14
Tabel 3.1
Gambaran Jenis Kasus, Usia, Jenis Kelamin Pasien Kelolaan …
64
Tabel 4.1
Gambaran Karakteristik Responden …………………………….
80
Tabel 4.2
Mean Skore Nyeri Sebelum dan Setelah Latihan ND dan B …….
81
xiv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perubahan EKG ………………………………………………….
9
Gambar 2.2 Anatomi Arteri Koroner …………………………………………
10
Gambar 2.3 Kematian sel pada Acute Miokard Infarct ………………………
11
Gambar 2.4 Strategi pengobatan pada Acute Coronary Syndrome …………...
13
xv
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Resume Kasus
Lampiran 2
Leaflet Jantung Koroner
Lampiran 3
Penjelasan menjadi responden
Lampiran 4
Lembar persetujuan menjadi responden
Lampiran 5
Data Pasien EBN
Lampiran 6
Lembar Pengumpulan Data EBN
Lampiran 7
Skala Nyeri berdasarkan Numeric Rating Scale(NRS)
Lampiran 8
Format Monitoring PCI
Lampiran 9
SOP Terapi dingin
Lampiran 10
Petunjuk Teknis Pengisian Format Monitoring Komplikasi pasien post PCI
Lampiran 11
Algoritma Perawatan Pasien post PCI
Lampiran 12
Quesioner Evaluasi Penerapan Format Monitoring Post PCI
xvi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor satu di Amerika Utara (American Heart Association, 2007; Heart and Stroke Fondation, 2002; Statistic Canada, 2004 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden, 2010). Acute Coronary Syndrome merupakan suatu masalah kardiovaskular utama karena menyebabkan angka perawatan RS dan angka kematian yang tinggi (Karo & Kaunang, 2010). Kerusakan secara anatomi maupun fisiologi dapat terjadi di jantung maupun pembuluh darah. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem tubuh yang lain atau sebaliknya sehingga pada akhirnya mengganggu fungsi dan adaptasi manusia sebagai sistem. Kondisi sakit dan penyakit jantung sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Beberapa dari kondisi sakit dan penyakit ini mengancam jiwa yang memerlukan penangan segera. Penanganan pengobatan maupun perawatan pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan dunia kedokteran dalam memberikan penangan baik invasif seperti kateterisasi jantung atau tindakan pembedahan jantung, maupun noninvasif dengan pengobatan, menuntut perawat juga berkembang berdampingan sehingga pasien sungguh mendapatkan pelayanan holistik dan komprehensif. Pemahaman terhadap penyakit dan faktor risiko penyakit kardiovaskular serta perawatannya merupakan hal utama yang harus dimiliki seorang perawat agar kompeten sesuai bidangnya. Keperawatan sebagai bagian integral dari tim kesehatan berperan serta meningkatkan derajat kesehatan bangsa. Seorang perawat spesialis keperawatan medical bedah memiki peran dan tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Peran utama seorang perawat spesialis antara lain sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan inovator. Dalam melaksanakan berbagai perannya residen menggunakan teori keperawatan dapat
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
2
diterapkan dalam memberikan perawatan pada pasien, salah satunya adalah Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR). Pasien dengan gangguan system kardiovaskular akan mengalami kondisi yang sangat capat berubah, baik menjadi baik atau memburuk. Perubahan situasi dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun eksternal pasien sehingga perlu proses Adaptasi untuk mencapai kondisi yang paling optimal. Oleh karena itu Model Adaptasi Roy sangat tepat untuk dipilih sebagai teori utama dalam penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system kardiovaskular. Dalam teori MAR, Roy dan Andrew (1999) menyampaikan bahwa manusia diasumsikan sebagai sistem adaptif yang mengedepankan kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungan yang ada. Lingkungan bukan hanya merupakan sumber awal masalah tetapi juga merupakan sumber pendukung bagi individu. Perawat diharapkan mampu membantu pasien meningkatkan adaptasinya agar terjadi integrasi yang baik antara pasien dengan lingkungannya. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan melalui tahapan pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, penetapan masalah dan tujuan keperawatan, pemberian intervensi sesuai masalah dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan yaitu respon pasien adaptif atau inefektif. Untuk mencapai kompetensi memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus keperawatan medikal bedah khususnya pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang kompleks, residen memberikan perawatan pada pasien dengan berbagai kasus seperti asuhan keperawatan pada pasien CHF, CAD, ACS, kelainan katup, aritmia dan kasus bedah jantung. Kasus- kasus ini merupakan kasus yang sering ditemui residen saat melakukan praktik di RSPAD Gatot Soebroto maupun RSJPD Harapan Kita. Kasus hipertensi atau penyakit vaskuler perifer jarang ditemui karena residen tidak praktik di instalasi rawat jalan. Penerapan teori keperawatan Model Adaptasi Roy diterapkan pada seluruh pasien kelolaan yang ada diberbagai seting tempat seperti di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Cardiovascular Care Unit (CVCU), Intensive Care Unit (ICU), Intermediate Ward (IW) maupun ruang perawatan biasa.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
3
Kompetensi sebagai pendidik, dicapai residen melalui pendidikan kepada Ners generalis atau sejawat sesuai dengan kepakaran. Proses bimbingan merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan seorang spesialis kepada perawat generalis. Perkembangan ilmu keperawatan akan terjadi dengan baik bila proses bimbingan terjadi secara berkesinambungan dan terus menerus. Peran sebagai pendidik juga dapat dilakukan melalui pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan. Pengetahuan pasien yang baik diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan kemauan pasien untuk memodifikasi faktor risiko yang ada dengan manajemen lingkungan yang baik agar pasien mampu beradaptasi dengan lingkungan secara lebih optimal. Adaptasi dengan lingkungan internal maupun eksternal dapat terjadi bila secara kognasi seseorang memahami tentang kondisinya, maka proses pemberian pendidikan kepada perawat generalis maupun pasien adalah bagian dari penerapan Model Adaptasi Roy. Kompetensi sebagai peneliti dan inovator dicapai residen dengan melakukan critical review jurnal hasil penelitian agar mampu mengimplementasikan Evidence Base Nursing Practice (EBNP) dan melakukan inovasi sesuai kebutuhan ruangan yang digunakan sebagai lahan praktik. Penerapan hasil penelitian dan inovasi yang dilakukan merupakan bagian dari proses pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang bertujuan meningkatkan adaptasi pasien dengan lingkungannya sesuai teori Model Adaptasi Roy. Pasien paska operasi pintas koroner akan selalu diberikan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk membantu pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi respirasi (Black & Hawks, 2009). Pasien paska operasi pintas koroner akan mengalami nyeri akibat luka sternotomy, terlebih pada saat nafas dalam dan batuk efektif sehingga dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Nyeri saat batuk efektif memiliki skore nyeri tertinggi (Milgrom, et al., 2004; Yorke, Wallis dan McLean, 2004 (dalam Chailler, Ellis, Stolarik & Wooden, (2010))
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
4
Nyeri dapat dikurangi dengan terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat melalui pemberian terapi komplementer yang salah satunya adalah pemberian terapi dingin. Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) menyatakan bahwa terapi dingin efektif menurunkan nyeri yang diberikan pada pasien paska operasi pintas koroner saat melakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif (p value 0,001; α 0,05). Terapi ini biaya dan risikonya rendah dan dapat dengan mudah diintegrasikan dalam praktik keperawatan selama coldpack tersedia di rumah sakit. Aplikasi terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif belum diterapkan di RSJPDHK, Jakarta. Dalam perannya sebagai inovator residen bersama anggota kelompok melakukan pembuatan format monitoring komplikasikomplikasipasien post Percutaneus Coronary Interventions (PCI). Inovasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa prosedur invasif untuk pengobatan CAD yang berkembang saat ini adalah prosedur PCI. Di Australia jumlah PCI dua kali lipat dibandingkan operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Davies 2003 dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)).. Teknologi ini terus diperbaharui sejak dua dekade terakhir (Tsai, Kung, Yang, & Chiang, 2005). Peningkatan yang pesat diagnosis jantung koroner, menyebabkan PCI menjadi pemeriksaan dan terapi utama (Lee, Lu, Liao, & Li, 2006). Prosedur PCI menyebabkan berbagai komplikasi sehingga perlu deteksi dini potensial terjadinya komplikasi melalui monitoring tanda dan gejala yang muncul pada pasien setelah prosedur PCI. Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab perawat dalam merawat pasien post PCI sebagai upaya meningkatkan Adaptasi pasien. Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK), Jakarta merupakan RS rujukan nasional yang menangani pasien CAD dan melakukan tidakan PCI dan belum memiliki format monitoring komplikasi pasien post PCI. Demikian besarnya jumlah dan dampak akibat penyakit kardiovaskular terhadap kualitas hidup pasien maka perawat diharapkan mampu melakukan perannya dengan baik terkait perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik,
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
5
peneliti maupun innovator untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan pada pasien. Oleh karena itu, perlu digambarkan secara lebih rinci tentang analisis asuhan
keperawatan
pada
pasien
dengan
berbagai
gangguan
sistem
kardiovaskular, gambaran tentang penerapan evidence based nursing khususnya tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner dan gambaran tentang peran perawat sebagai inovator yang dilakukan melalui penyusunan format monitoring komplikasi pasien post PCI. Seluruh peran tersebut dilaksanakan berdasarkan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1
Tujuan Umum
Secara umum penulisan Karya Ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai hasil analisis dan sintesis dari pelaksanaan praktik residensi Keperawatan Medikal Bedah, peminatan Sistem Kardiovaskular di RSPAD Gatot Soebroto dan RSJPD Harapan Kita, Jakarta menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy 1.2.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan Karya Ilmiah ini adalah memberikan gambaran hasil evaluasi dan sintesis dalam menjalankan peran spesialis menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) selama menjalani program praktik residensi yaitu: a.
Pelaksanaan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan melalui pemberian asuhan keperawatan pada berbagai kasus sistem Kardiovaskular.
b.
Pelaksanaan peran sebagai pendidik melalui pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang terintegrasi dalam pemberian asuhan keperawatan dan pendidikan kepada perawat generalis pada bidang ilmu terkait.
c.
Pelaksanaan peran sebagai peneliti melalui penerapan Evidence Based Nursing (EBN) tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
6
d.
Pelaksanaan peran sebagai Ir melalui penyusunan format monitoring komplikasi pasien post Percutaneous Coronary Intervention (PCI) yang saat ini belum ada di RSJPD Harapan Kita Jakarta.
1.3 Manfaat 1.3.1 a.
Bagi Pelayanan Keperawatan
Laporan tentang pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan diharapkan dapat memberikan masukan tentang proses keperawatan yang diberikan menggunakan teori keperawatan MAR.
b.
Laporan tentang pelaksanaan praktik penerapan EBN diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman penyusunan Standar Operasional Prosedur Keperawatan dalam memberikan tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner yang merupakan bagian dari manajemen stimulus untuk meningkatkan adaptasi pasien sesuai teori keperawatan MAR.
c.
Laporan tentang inovasi yang merupakan salah satu bentuk aktivitas keperawatan dalam menerapkan teori keperawatan MAR diharapkan dapat digunakan
sebagai
masukan
bagi
pelayanan
untuk
menerapkan
pendokumentasian monitoring komplikasi pasien post PCI secara lebih lengkap komphrehensif. 1.3.2
Bagi Keilmuan bidang Keperawatan
a. Laporan tentang pelaksanaan berbagai peran perawat spesialis dapat memberikan wawasan pentang pemberian asuhan keperawatan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy yang terwujud dalam berbagai aktivitas keperawatan, berbagai faktor pendukung dan kendala yang ada sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk memodifikasi dan mengembangkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy. b. Laporan praktik penerapan EBN dapat digunakan sebagai bahan evaluasi tentang efektifitas terapi dingin dan sebagai bahan untuk dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pada populasi yang sama atau berbeda.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acute Coronary Syndrome 2.1.1
Pengertian
Menurut Chairperson (2008), Acute Myocardial Infarction dapat ditetapkan dari jumlah beberapa perbedaan hal terkait penampilan klinik, elektrokardiografi, biokimia dan karakteristik patologi. Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu kondisi mengancam jiwa yang dapat menimbulkan gejala pada pasien dengan Coronary Artery Disease (CAD) pada waktu kapanpun. Acute Coronary Syndrome merupakan penyakit jantung yang terjadi saat plague atheromatous erosi atau rupture (McKeena, 2008). 2.1.2
Etiologi
Penyebab terjadinya Acute Coronary Syndromes antara lain: a.
Atherosklerosis dengan lapisan thrombus
b.
Sindrom vaskulitik
c.
Emboli koroner
d.
Anomali congenital arteri koroner
e.
Trauma koroner atau aneurisma koroner
f.
Spasme hebat arteri koroner
g.
Peningkatan viscosity darah
h.
Peningkatan kebutuhan oksigen yang nyata (Lilly, 2007)
2.1.3
Tanda dan Gejala Infark Miokard
a.
Karakteristik Nyeri : berat, menetap, khas substernal
b.
Efek Simpatetik : berkeringat banyak, kulit dingin dan lembab (basah).
c.
Parasimpatetik (efek vagal) : mual, muntah, kelemahan
d.
Respon Inflamasi : peningkatan panas ringan
e.
Penemuan Cardiac: S4 (dan S3 bila ada CHF), gallop, diskinetik yang menonjol (pada Infark Miokard dinding anterior), pericardial friction rub
7
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
8
(bila ada perikarditis), murmur sistolik (bila ada mitral regurgitasi atau Ventriculer Septal Defect (VSD) f.
Lain-lain: bunyi rales di paru (bila ada CHF), distensi vena juguler (bila terjadi infark miokard ventrikel kanan) (Lilly, 2007)
2.1.4
Klasifikasi Acute Coronary Syndrome
ACS diklasifikasikan dalam rentang unstable angina pectoris sampai Acute myocardial infarction. Klasifikasi tersebut menurut McKeena (2008). meliputi: a.
Unstable angina (UA)
b.
Non-ST Elevation MI (NSTEMI)
c.
ST-Elevation MI (STEMI)
2.1.5
Pemeriksaan Diagnostik ACS
a.
EKG
b.
Foto rotgen dada
c.
Petanda biokimia : darah rutin, CK, CKMB, Troponin T,dll, CK,
d.
Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin
e.
Ekokardiografi
f.
Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infrak miokard)
g.
Angiografi coroner (KARO & KAUNANG, 2010).
2.1.6 a.
Diagnosis Acute Coronary Syndrome
Anamnesis Pengkajian adanya nyeri khas cardiac seperti tekanan retrosternal, nyeri menjalar keleher, mandibula, pundak dan lengan kiri, lebih hebat dan lama (Lilly, 2007)
b. EKG Pada UA atau NSTEMI depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Pada UA kelainan terjadi saat nyeri dada muncul sedangkan pada NTEMI bisa menetap. Pada STEMI kelainan Elektrokardiogram (EKG) dapat berupa: hiperakut T, elevasi segmen ST, pada jam berikutnya diikuti dengan inversi gelombang T dan gelombang Q (Lilly, 2007)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
9
Gambar 2.1 Perubahan EKG
Sumber: Smeltzer dan Bare (2005)
c.
Penanda Biomiokard Nekrosis jaringan miokard menyebabkan kerusakan sarcolema sehingga makromolekul intraseluler lepas ke area interstisium jantung dan berlanjut ke aliran darah. Deteksi molekul serum terutama troponin spesifik jantung dan creatini kinase isoenzym MB berperan penting dalam diagnostik dan prognostic (Lilly, 2007) Tabel 2.1 Diagnosis ACS Tanda
UA
Gejala khas : nyeri dada Biomarker serum Kelainan EKG
Kresendo, saat istirahat, nyeri dada baru yang hebat Tidak ST depresed dan/atau inversi gelombang T
Infark Miokard NSTEMI STEMI Nyeri dada menekan yang lama, lebih hebat dan radiasinya meluas daripada nyeri dada biasa Ya ST depresed dan/atau inversi gelombang T
Ya ST Elevasi dan kemudian muncul gelombang Q
Sumber: Lilly (2007)
2.1.7
Anatomi Arteri Koroner
Arteri Koroner terbagi menjadi arteri koroner kanan dan kiri. Left main arteri bercabang menjadi dua bagian yaitu Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Left Circumflex Artery (LCx) cabang LAD adalah Diagonal dan septal perforators.
Pada LCx mensuplai cabang Obtus Marginal. Beberapa orang
berakhir di Posterior Descending Artery (PDA). Pada kebanyakan orang, Right Coronary Artery (RCA) mensuplai sinus node dan cabang atrioventricular nodal.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
10
Cabang pertama RCA, conus, mungkin merupakan sumber sirkulasi kolateral antara system koroner kanan dan kiri RCA memberikan aliran ke cabang marginal dan berakhir di PDA pada 80% populasi, mensuplai arteri perforator septal ke bagian posterior septum intraventrikuler (Shoulders dan Odom, 2008) Gambar 2.2 Anatomi Arteri Koroner
Sumber: Shoulders dan Odom (2008)
2.1.8
Patogenesis Acute Coronary Syndrome
Lebih dari 90% ACS terjadi karena gangguan pada plague atherosclerotic yang selanjutnya menyebabkan agregasi platelet dan formasi thrombus intrakoroner. Pembentukan thrombus pada area plague menyebabkan penyempitan yang hebat atau total dan kegagalan aliran darah menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai oksigen jantung dengan kebutuhannya.Bentuk ACS tergantung pada derajat penyempitan koronernya. Oklusi thrombus parsial menyebabkan sindrom UA dan NSTEMI.
Bila
thrombus
menyebabkan
obstruksi
komplit,
maka akan
menyebabka nekrosis yang lebih luas dan nyeri yang hebat yang dimanifestasikan dalam STEMI. Trombus dalam ACS muncul secara umum karena adanya interaksi antara plague atherosklerotik, endothelium koroner, sirkulasi platelet, elastisitas dinding pembuluh darah (Lilly, 2007). 2.1.9
Lokasi area infark atau injury
Lokasi area infark akan mempengaruhi bagian jantung yang terganggu fungsinya. Area infark atau injury dapat diidentifikasi dari gambaran segment ST dalam
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
11
rekaman EKG dilihat dari letak leadnya. Dari lead yang mengalami perubahan dapat diketahui pula arteri koroner yang mengalami gangguan. Tabel 2.2 Perubahan EKG dan Anatomi Jantung Ventrikel
Lokasi injury atau infark
Lead perubahan EKG
Kiri
Septum
V1, V2
Kiri
Anterior
V3, V4
Kiri
Anteroseptal
Kiri
Anterolateral
Kiri Kiri
Lateral Inferior
Kiri
Inferolateral
Kiri Kanan
Posterior Ventrikel kanan
V1, V2, V3, V4 I, aVL, V3, V4, V5, V6 I, aVL, V5, V6 II,III, aVf I, II,III, aVL, aVf, V5, V6 V1, V2, V3, V4 V4R, V5R
Kemungkinan arteri yang terkena LAD, cabang septal LAD, cabang diagonal LAD
ST segment Elevasi Elevasi Elevasi
LAD, LCx
Elevasi
LCx RCA
Elevasi Elevasi
RCA, LCx
Elevasi
LCx atau RCA RCA
Depresi Elevasi
LAD: Left Anterior Descending (of the coronary artery), LCx: cabang Left circumflex (of the coronary artery), RCA: Right Coronary Artery Sumber: McKeena (2008)
Gambar 2.3 Kematian sel pada Acute Miokard Infark
Sumber: Theroux (2011)
2.1.10 Penatalaksanaan pada Acute ST-Elevation MI Dalam bukunya, McKeenna (2008) menuliskan bahwa ada beberapa penyebab nyeri dada yang menunjukkan adanya ACS. Ada pula pasien yang menunjukkan keluhan yang tidak spesifik. Namun demikian ada strategi untuk merawat pasien dengan nyeri dada. Strategi tersebut meliputi beberapa elemen yaitu: a.
Pengkajian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
b.
Identifikasi faktor risiko dan tingkatannya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
12
c.
Interpretasi EKG 12 lead
d.
Pengukuran enzim jantung
e.
Reevaluasi risiko : negative, indeterminate atau nondiagnostik
f.
Penanganan (sesuai algoritme nyeri dada iskemi), disposisi dan follow-up ACS
Keefektifan intervensi pada STEMI sangat tergantung pada waktu sampai pasien ditangani. Tujuan penatalaksanaan menurut McKeenna (2008) adalah: a.
Meminimalkan nekrosis otot jantung(optimalkan fungsi LV, cegah gagal jantung)
b.
Mencegah terjadinya kegawatan jantung (kematian, MI)
c.
Manajemen komplikasi ACS yang mengancam jiwa seperti aritmia
Intervensi spesifik untuk STEMI menurut McKeenna (2008) adalah: a.
Terapi reperfusi
b.
Oksigen
c.
Aspirin atau clopidogrel
d.
Nitrat
e.
Morfin
f.
Heparin (bila menggunakan fibrinolitik)
g.
GP IIb/IIIa inhibitor
h.
Beta bloker bila tidak ada kontraindikasi
i.
Angiotensin-converting enzym (ACE) inhibitor (setelah 6 jam atau ketika sudah stabil)
Intervensi akut untuk STEMI : Berbeda dengan UA dan NSTEMI, arteri yang menjadi penyebab utama oklusi terjadi komplit. Untuk meminimalkan kerusakan miokard, fokus mayor untuk pengobatan akut pada pasien adalah terapi reperfusi dengan fibrinolitik (Alteplase, Reteplase, Streptokinase, Tenecteplase) atau PCI (dilakukan maksimal
< 90
menit setelah pasien tiba di IGD). Kemudian sama seperti pada UA dan NSTEMI, pengobatan spesifik diberikan untuk mencegah trombosis lebih lanjut dan mengembalikan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot jantung. Seperti antiplatelet, aspirin, unfractioned heparin intravena, beta bloker, nitrat (Lilly, 2007).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
13
Gambar 2.4 Strategi pengobatan pada Acute Coronary Syndrome
Sumber: Theroux (2011)
2.1.11 Stratifikasi Risiko Faktor risiko terhadap kematian dalam 30 hari setelah infark pada pasien dengan diagnosis STEMI dapat dihitung dalam persentase. Penetapan risiko kematian dapat diprediksi menggunakan pedoman TIMI Risk (Thrombolysis in Myocardial Infarction) untuk STEMI dan Stratifikasi Killip. Tabel 2.3 Skore TIMI Risk pada STEMI Riwayat Usia ≥75 Usia 65-74 DM atau Hipertensi atau Angina Tekanan darah Sistolik< 100 mmHg Heart rate >100 x/mnt Killip II-III Berat Badan<67 kg ST Elevasi anterior atau LBBB Waktu untk terapi>4 jam Skor Risiko
Point Kematian 3 2 1 3 2 2 1 1 1 0-14
Sumber: Theroux, 2011
Berikut disampaikan tentang jumlah skor risiko TIMI risk dikaitkan dengan risiko kematian dalam 30 hari setelah miokard Infark.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
14
Tabel 2.4 Skor TIMI Risk dan risiko kematian dalam 30 hari Skor Risiko 0 1 2 3 4 5 6 7 8 >8
30 Hari (%) 0,8 1,6 2,2 4,4 7,3 12 16 23 27 36
Entry criteria: Chest Pain>30 menit, ST, Symtom onset <6jam, memenuhi syarat fibrinolitik Sumber: Theroux, 2011
Tabel 2.5 Mortalitas 30 hari berdasarkan stratifikasi Killip Kelas Killip
Temuan Klinis
Mortalitas
I
Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat ronchi atau S3
6%
II
Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronchi basah di setengah lapang paru
17%
III
Terdapat edema paru ditandai dengan ronchi basah di seluruh lapang paru
38%
IV
Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan sistolik < 90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan
81%
Sumber:
2.1.12 Komplikasi Pada STEMI, komplikasi terjadi dari proses inflamasi, mekanik dan elektrik yang tidak normal yang disebabkan oleh bagian otot jantung yang mengalami nekrosis. Komplikasi tersebut antara lain: a.
Iskemi berulang
b.
Aritmia : fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikler, Blok hantaran
c.
Disfungsi Miokard: Gagal Jantung Kongestif, Cardiogenic Shock
d.
Infark Ventrikel Kanan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
15
e.
Komplikasi Mekanik: Papilary Muscle Rupture, Ventricular Free Wall Rupture, Ventricular Septal Rupture, True ventricular Aneurisma
f.
Perikarditis
g.
Tromboemboli (Lilly, 2007)
2.2 Percutaneous Coronary Intervention (PCI) 2.2.1
Pengertian
Percutaneous Coronary Intervention merupakan tindakan penyisipan kateter ke dalam tubuh melalui tusukan kecil di kulit, biasanya ke dalam arteri, saat koroner diidentifikasi bahwa arteri koroner perlu untuk dilebarkan, dan intervensi yang berkaitan dengan teknik untuk memperbaiki pembuluh darah melalui pembukaan kateter balon, dapat dikembangkan dengan pemasangan stent atau alat lain yang khusus untuk mengobati arteri yang sakit, alat khusus ini termasuk laser angioplasti, atherectomy dan rotablations (Kern, 2003). Adalah suatu prosedur invasive dimana suatu kateter dimasukkan dalam arteri koroner, merupakan salah satu dari beberapa prosedur yang bertujuan mengambil atau menurunkan sumbatan pada arteri koroner. Jenis tindakan PCI meliputi: Percutaneous Transluminal Coronary angioplasty (PTCA), Intra Coronary Stent implantation,
atherectomy,
brachytherapy
and
Transmyocardial
laser
revaskularisation (Smeltzer & Bare, 2005; Ignatavisius, 2006). Primary PCI merupakan terapi alternatif pada STEMI selain terapi fibrinolitik yang dilakukan dengan cara kateterisasi jantung segera dan PCI pada lesi yang bertanggung jawab pada infark, didalamnya termasuk tindakan angioplasti, selalu stenting pada pembuluh “culprit” (Lilly, 2007). 2.2.2
Perawatan pasien post PCI
Hal yang perlu dilakukan perawat pasien post PCI menurut Woods, Froelicher dan Motzer (2000) antara lain: a. Pada saat di ruangan, monitor nadi dan tekanan darah. b. Cek tempat penusukan adanya perdarahan atau hematom
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
16
c. Sampai pasien mampu bergerak, cek setiap setengah jam dan kaji adanya rasa basah, lengket, hangat di tempat penusukan. d. Pada penusukan femoral, anjurkan pasien untuk untuk menjaga agar kaki tetap lurus sesuai protokol Rumah Sakit. e. Cek EKG setelah prosedur f. Bila pasien menderita Diabetes Melitus (DM), cek gula darah saat di ruangan g. Yakinkan tetesan cairan infus sesuai program h. Berikan obat-obatan post prosedur sesuai program i. Pasien diperbolehkan duduk sampai 30% setelah sheath dilepas j. Dorong pasien untuk minum dan sediakan makan bila perlu k. Observasi jumlah urin output. Bila kurang, mengindikasikan adanya kegagalan ginjal akibat penggunaan bahan kontras l. Saat masih bed rest, anjurkan pasien untuk menekan daerah penusukan ketika batuk atau bersin dan melaporkan bila ada keluhan nyeri m. Saat sheath femoral masih ada, dokter akan menjelaskan kapan sheath akan dilepas dan setelah dilepas, pasien bed rest sesuai pedoman di Rumah Sakit n. Saat pasien mulai mobilisasi, hentikan observasi kecuali bila pasien merasakan baal, rasa seperti tertusuk atau terasa benjolan atau keluar darah dari tempat tusukan. o. Anjurkan pasien untuk melakukan mobilisasi perlahan saat pertama bergerak p. Saat pasien akan pulang, jelaskan tentang perawatan tempat tusukan, obat-obat yang diberikan dan tanda dan gejala yang harus segera dilaporkan pada dokter bila terjadi di rumah. 2.2.3
Komplikasi
Komplikasi tindakan PCI dibagi menjadi komplikasi mayor dan minor. Komplikasi mayor yang sering muncul antara lain perdarahan/ hematom area insersi, acute reoclusion, miocard infarct, emergency CABG, penurunan cardiac output akibat dysritmia, tamponade jantung, perdarahan berat di inguinalis. Komplikasi minor meliputi side branch oclusion, arytmia ventrikel/atrial, bradikardi,
hypotensi,
blood
loss,
thrombus
arterial,
emboli
koroner,
rekateterisasi, iskemi ekstremitas yang dikanulasi, perdarahan fungsi ginjal akibat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
17
penggunaan zat kontras, emboli sistemik, hematom di inguinal, perdarahan retriperitoneal, pseudoaneurisma, fistula arteriovenosus (Enc, 2007). 2.3 Teori Adaptasi Roy Model Keperawatan didasarkan pada asumsi Filosofi dan prinsip ilmiah. Teori Adaptasi Roy Dari memiliki asumsi ilmiah yang semula merefleksikan teori sistem umum von Bertalanffy (1969) dan teori tingkat adaptasi Helson’s (1964) yang kemudian menjadi satu kesatuan dan mempunyai arti yang dikresai secara umum. Asumsi filosofi teori ini adalah humanism dan veritivity. Dasar dari model adaptasi roy adalah bertujuan meningkatkan proses kehidupan melalui adaptasi. Roy mendefinisikan adaptasi sebagai proses dan hasil dimana pemikiran dan perasaan seseorang, sebagai individu atau kelompok menggunakan kesadaran dan memilih untuk mengintegrasikan antara manusia dan lingkungan. Roy memandang manusia sebagai sistem adaptif yang berfungsi secara saling ketergantungan bekerja sebagai satu kesatuan untuk tujuan tertentu. Konsep teori sistem berhubungan dengan input (stimuli) dan output (perilaku). Proses tidak pernah muncul sebagai satu stimulus yang mempengaruhi respon, tetapi manusia sebagai sistem merupakan proses kompleks dari suatu interaksi (Roy & Andrew, 1999). Kemampuan seseorang merespon secara positif terhadap perubahan lingkungan adalah fungsi dari tingkat adaptasi manusia sebagai sistem, perubahan point dipengaruhi oleh kebutuhan situasi dan sumber internal. Hal ini termasuk kemampuan, harapan, mimpi, aspirasi, motivasi, dan segala sesuatu yang membuat seseorang secara konstan berubah ke arah lebih mahir (Roy, 1990). Tiga tingkatan adaptasi meliputi integrated, compensatory dan compromise. Pada model ini, prose mayor dari koping yang dibagi menjadi subsistem regulator dan cognator pada individu. Cognator dan regulator menjaga integrasi proses kehidupan. Proses kehidupan integrated, compensatory dan compromise dimanifestasikan dalam bentuk perilaku (Roy & Andrew, 1999)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
18
Selanjutnya Model Adaptasi Roy dihubungkan denggan metaparadigma keperawatan yaitu manusia, kesehatan, lingkungan dan keperawatan, diuraikan sebagai berikut: 2.3.1
Manusia
Asumsi yang lain adalah tentang manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai makhluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psikososial-spiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) (Roy & Andrew, 1999). 2.3.2
Lingkungan
Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku orang atau kelompok. Lingkungan adalah input kedalam diri seseorang sebagai system adaptif baik faktor internal maupun eksternal. Dengan demikian perubahan lingkungan menuntut peyingkiran penggunaan energi ntuk dapat beradaptasi. Faktor-faktor dalaml ingkungan yang mempengaruhi seseorang dikategorkan sebagai stimulus fokal, konseptual dan residual. Interaksi konstan manusia dengan lingkungan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
19
ditandai oleh perubahan-perubahan internal dan eksternal, selanjutnya perubahanperubahan ini mengharuskan manusia mempertahankan integritasnya dengan melakukan adaptasi secara terus menerus (Roy & Andrew, 1999). 2.3.3
Kesehatan
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan terintegrasi. Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlan individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya (Roy & Andrew, 1999). 2.3.4
Keperawatan
Keperawatan bertujuan untuk membantu individu dalam usaha adaptasi dengan menata lingkungan, sehingga dapat tercapai tingkat kesehatan yang maksimal. Sebagai system yang terbuka, individu menerima input atau stimulus baik dari lingkungan maupun diri sendiri. Tujuan keperawatan adalah membantu manusia (individu) untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan fisik, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Keperawatan mempunyai peran yang unik yang berfokus pada interaksi manusia dan lingkungan yang mempromosikan perkembangan manusia secara maksimum
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
20
dan dalam keadan sejahtera. Perawat mengkaji perilaku dan stimulus pada tiap mode dan factor-faktor yang mempengaruhi adaptasi. Pertimbangan keperawatan didasarkan pada pengkajian ini dan intervensi direncanakan untuk memanajemen stimulus fokal, kontekstual dan residual. Tujuan akhir keperawatan adalah meningkatkan adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiologicalphysical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang (Roy & Andrew, 1999). Proses keperawatan oleh Roy didiskripsikan berkaitan langsung dengan pandangan manusia sebagai sistem adaptif. Enam tahap proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy adalah: a.
Pengkajian perilaku Pengkajian perilaku dilakukan pada 5 kebutuhan dasar (oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat dan proteksi) dan 4 proses komplek dari adaptasi fisiologi (indera / sense, cairan, elektrolit, asam basa, fungsi neurologi, fungsi endokrin)
b.
Pengkajian stimulus Pengkajian dilakukan terkait stimulus internal maupun eksternal yang memperngaruhi perilaku. Stimulus yang dikaji meliputi stimulus fokal, kontekstual dan residual) dan pengaruhnya secara positif atau negatif terhadap perilaku.
c.
Diagnosa keperawatan Penetapan diagnosa keperawatan menurut Model Adaptasi Roy merupakan hubungan antara perilaku yang di observasi dengan stimulus yang paling relevan. Tiga indikator adaptasi positif adalah: sumber daya fiscal adekuat, kemampuan seseorang dan keterjangkauan fasilitas fisik. Ada 3 masalah adaptasi yaitu: sumber daya fiskal tidak adekuat, defisit kemampuan dan fasilitas fisik tidak adekuat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
21
d.
Penentuan tujuan Menjaga dan meningkatkan perilaku adaptif dan merubah perilaku inefektif menjadi adaptif. Penetapan tujuan memiliki 3 pernyataan: perilaku dapat diobservasi, perubahan dapat diperkirakan dan waktu pencapaian tujuan.
e.
Intervensi Untuk
mempromosikan
adaptasi,
butuh
manajemen
stimulus
yang
mempengaruhi perilaku dengan pertimbangan spesifik. Mungkin perlu merubah stimulus fokal atau meningkatkan adaptasi dengan memanajemen stimulus yang lain atau mendorong aktivitas kognator dan regulator. f.
Evaluasi Tahap akhir dari proses keperawatan adalah melakukan evaluasi dengan cara mengkaji respon perilaku dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan. Bila tujuan tercapai, artinya intervensi efektif, bila tidak, kaji lebih lanjut, pertimbangkan kembali penetapan tujuan dan intervensi.
2.4 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Acute Coronary Syndrome: STEMI, post Primary Percutaneous Coronary Intervention 2.4.1
Pengkajian Perilaku dan Stimulus
2.4.1.1 Pengkajian Perilaku a.
Mode Fisiologis
Hal yang perlu dikaji pada mode fisiologis meliputi: 1) Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi) Meliputi ventilasi: frekuensi dan pola pernafasan, pemeriksaan suara nafas, keluhan terhadap pernafasan seperti sesak nafas, seperti tercekik. Pertukaran gas: saturasi oksigen, transport gas: nadi, tekanan darah, suara jantung, pada ACS ditambahkan keluhan palpitasi, atau rasa pusing, hasil tes diagnostik, pada ACS perlu dikaji hasil laboratorium: darah lengkap, CKMB, troponin T/I, hasil echokardiografi, hasil corangiografi/corangiplasty, indikator fisiologi seperti warna kulit, bisa dingin dan pucat, membran mukosa, kuku kebiruan atau cyanosis. Penurunan kesadaran, urin output. Transport gas ke
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
22
miokard pada pasien ACS, diketahui dengan mengkaji adanya rasa nyeri dada yang hebat, tidak berkurang dengan nitrogliserin, menyebar ke leher, dagu, pundak atau punggung, biasanya sebelah kiri, atau dirasakan sebagai nyeri epigastrium. 2) Nutrisi (proses pencernaan dan metabolisme) Pengkajian nutrisi meliputi pola makan, pada ACS dikaji adanya faktor risiko terkait diit pasien seperti makanan tinggi lemak, garam atau rendah serat. rangsangan terhadap rasa dan bau. Adanya alergi makanan, nyeri karena proses makan dan minum. Gangguan ingesti. Tinggi badan dan berat badan, selera makan dan rasa haus, nutrisi yang dikonsumsi, kondisi rongga mulut, hasil test laboratorium seperti protein, kadar besi. Pada ACS dikaji pula adanya mual, muntah yang menyertai nyeri dada 3) Eliminasi (eliminasi usus dan urin) Pengkajian eliminasi usus meliputi: karakteristik feses, suara usus dan hasil pemeriksaan laboratorium. Eliminasi uri dikaji tentang jumlah dan karakteristik urin, frekuensi berkemin, kondisi urgent, nyeri dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada pasien post PCI urin perlu dikaji tiap jam (minimal 30cc/jam) dan adanya hematuri sebagai efek obat-obatan antikoagulan dan antitrombotik. 4) Aktivitas dan istirahat (Aktivitas, rekreasi dan istirahat) Pengkajian aktivitas meliputi aktivitas fisik (frekuensi, intensitas dan durasi) dan fungsi motorik, kekuatan dan massa otot, kekuatan otot, pergerakan sendi, postur, koordinasi motorik. Pada ACS dikaji juga adanya kelelahan dan kelemahan serta kebiasaan berolah raga. Kebiasaan merokok perlu dikaji untuk mengetahui faktor risiko aterosklerosis. Pengkajian tidur meliputi: kualitas dan kuantitas istirahat sehari-hari, pola tidur, tanda kurang tidur 5) Proteksi Hal yang dikaji antara lain: riwayat, kulit, nyeri dan kondisi kulit setelah operasi/ tindakan primary PCI, rambut dan kuku, pengeluaran keringat dan suhu tubuh, membran mukosa, respon inflamasi, hasil pemeriksaan laboratorium, sensitivitas terhadap nyeri dan suhu. Indikasi respon imun, status imunologi. Pada pasien ACS Post Primary PCI perlu dikaji adanya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
23
perdarahan, hematom, nyeri punggung, nyeri bagian distal ekstremitas yang dilakukan insersi, rasa baal atau kesemutan daerah tersebut. 6) Indera/Sense (penglihatan, pendengaran, perabaan) Pengkajian dilakukan untuk tes penglihatan, audiometri, diagnostik tes lain untuk pendengaran, sensasi. 7) Cairan, elektrolit, asam basa Untuk mengkaji pada perilaku ini kebutuhan dasar dan proses komplek berhubungan dengan status cairan, elektrolit dan asam basa. Pengkajian yang dilakukan meliputi oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, fungsi neurologi, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dengan ACS post PPCI perlu diukur balance cairan secara regular. AGD dan evaluasi echo untuk mengetahui status asam basa dan cairan pasien. 8) Fungsi neurologi Pengkajian perilaku meliputi perhatian, sensasi dan persepsi, proses sentral, koding, formasi konsep, memori, bahasa, kemampuan merencanakan, respon motorik. Disamping itu pengkajian pada neurologi dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran, respon terhadap nyeri, orientasi dan tingkat kesadaran, vital signs. 9) Fungsi endokrin Hormon endokrin mempengaruhi fungsi seluruh kebutuhan dan proses fisiologi maupun psikologi. Perilaku tergantung dari stimulus fokal sehingga kebutuhan fisiologi dan proses komplek perlu dikaji. Fungsi endokrin dapat dikaji melalui pengkajian oksigensasi, aktivitas dan istirahat, nutrisi, cairan elektrolit dan asam basa, eliminasi, proteksi, indra, fungsi neurologi, perkembangan struktural, mode adaptif yang lain, dan hasil tes laboratorium. Pada ACS, riwayat DM dan penangannya perlu ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko dan komplikasi yang terjadi. b.
Mode Konsep Diri 1) Physical self Pengkajian meliputi sensasi tubuh dan body image. Pada ACS perlu dikaji adanya kecemasan yang tidak diketahui sebabnya oleh pasien.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
24
2) Personal self Pengkajian meliputi konsistensi diri, ideal diri, moral etik spiritual c.
Mode Fungsi Peran 1) Perkembangan peran : pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi peran primer, sekunder dan tersier. 2) Role Taking: peran sebagai pasien diketahui saat berkomunikasi dengan perawat 3) Integrating Role: kesatuan peran pasien
d.
Mode Interdependensi Pengkajian dilakukan meliputi: 1) Affectional adequasi, yaitu: harapan dan kemampuan memberi dan menerima dari orang lain seperti, cinta, penghormatan, nilai, kepedulian, pengetahuan, ketrampilan, kotmitmen, bakat, rasa memiliki, waktu, loyalitas. Pengkajian perilaku meliputi orang yang berarti bagi pasien dan sistem pendukung, kemampuan memberi dan menerima. 2) Delevopmental adequasi, yaitu: proses yang berhubungan dengan pembelajaran dan kedewasaan. Pengkajian perilaku meliputi status perkembangan, ketergantungan, kemandirian. 3) Resource adequasi, yaitu: kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan dan tingkat keamanan. Pengkajian perilaku meliputi status fisiologi fisik sebagai indikator dari terpenuhinya kebutuhan dasar yang lebih luas.
2.4.1.2 Pengkajian Stimulus a.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Fisiologis Oksigenasi : kepatenan jalan nafas, fungsi otot, sistem saraf, adanya trauma dan pengobatan. Oksigen di udara, patologi penyakit, fungsi jantung, hasil laboratorium, hasil radiologi, elektrokardiografi, kondisi lingkungan seperti merokok, alergen, iritasi. Faktor lain seperti latihan, stres, perubahan altitude dan suhu Nutrisi:
integritas struktur dan fungsi saluran pencernaan, pengobatan,
kondisi saat makan. Kebutuhan nutrisi pasien, efektifitas kognator, kemampuan membeli makanan, budaya dan kesadaran terkait berat badan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
25
Eliminasi feses: proses homeostasis, adanya penyakit, diit, intake cairan, lingkungan seperti kamar mandi atau comode, pengobatan kondisi nyeri, kebiasaan eliminasi, stres, budaya atau keyakinan dalam keluarga, status perkembangan. Eliminasi urin: danya proses penyakit di saluran kemih, keseimbangan cairan, lingkungan, pengobatan, nyeri dan koping, kebiasaan eliminasi, stres, budaya atau keyakinan dalam keluarga Aktivitas dan istirahat: kondisi fisik, kondisi psikologis, lingkungan, kebiasaan aktivitas individu. lingkungan, penggunaan obat tidur faktor lingkungan, stres fisik, status perkembangan, kondisi psikologi, Proteksi: faktor lingkungan, integritas mode, efektivitas kognator, status perkembangan Indera/Sense: patologi sistem saraf, pertanyaan sensori dasar. Pada pengkajian stimulus perubahan meliputi kelainan termporer atau permanen, kelainan akut atau sudah lama terjadi, lebih dari satu kelainan, pandangan pasien terhadap kehilangan fungsi, efek langsung terhadap lingkungan, level kebutuhan pengetahuan. Cairan, elektrolit, asam basa: integritas mode fisiologi, intervensi medik, efektivitas kognator dan status perkembangan, dan faktor lingkungan. Fungsi neurologi: patofisiologi penyakit, kadar haemoglobin dan gas darah, status nutrisi, aktivitas dan istirahat, stress, pengetahuan, lingkungan fisik, mode konsep diri, mode fungsi peran, mode interdependent. Fungsi endokrin: status perkembangan, riwayat keluarga, etnik, kondisi lingkungan, intervensi tenaga kesehatan, tingkat pengetahuan, integritas mode yang lain. b.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Konsep Diri Perkembangan fisik, tingkat perkembangan kognitif, interaksi dengan pemberi pelayanan, reaksi terhadap orang lain, krisis maturasi, persepsi dan skema diri, strategi koping. Transaksi antara diri dan lingkungan, konfirmasi melalui interaksi sosial, tingkat kesadaran terhadap arti lingkungan, nilai atribut diri. Kebutuhan dan jarak, lingkungan sosial eksternal, kepemimpinan dan tanggung jawab
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
26
c.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Fungsi Peran Kebutuhan, atribut fisik dan umur kronologis, konsep diri dan kesejahteraan emosional, pengetahuan terhadap perilaku yang diharapkan, peran orang lain, model peran, norma sosial. Pengkajian role taking meliputi determinan umum, seting sosial, proses kognator, sumber daya kognitif, persepsi sosial. Pada pengkajian integrating role meliputi besarnya dan kompleksitas peran, proses kognator.
d.
Stimulus Fokal, Kontekstual dan Residual Mode Adaptasi Interdepensi Afeksional adekuasi: ekspektasi, kemampuan kepedulian, tingkat harga diri, ketrampilan komunikasi, kehadiran keluarga dan kerabat, pengetahuan mengenai suatu hubungan dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hubungan, usia sesuai tugas perkembangan Delevopmental adekuasi: tingkat perkembangan, perubahan yang berarti, integritas konsep diri, pengetahuan tentang suatu hubungan. Resource adekuasi: sumber daya keuangan pribadi dan bantuan dari orang lain.
2.4.2
Masalah Keperawatan
Masalah Keperawatan yang mungkin terjadi pada pasien Acute Miocard Infarct menurut Black & Hawks (2009) antara lain: a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemi miokard sebagai akibat dari oklusi arteri koroner yang menyebabkan kehilangan atau berkurangnya aliran darah pada area miokard dan nekrosis miokard. b. Ketidakefektifan perfusi jaringan (kardiopulmoner) berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard c. Disritmi berhubungan dengan ketidakstabilan atau irritability elektrik akibat iskemi atau kerusakan jaringan yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan atau penurunan heart rate, perubahan ritme, dan disritmi atrial atau ventrikuler
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
27
d. Penurunan cardiac output berhubungan perubahan inotropik negative di jantung sebagai akibat dari iskemi, injury atau infark miokard yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kesadaran, kelemahan, pusing, hilangnya nadi perifer, suara jantung abnormal, hemodinamik terganggu dan adanya henti jantung e. Kegagalan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan cardiac output yang ditunjukkan dengan adanya cyanosis, penurunan capillary refill, penurunan tekanan arteri oksigen (PaO2) dan sesak nafas f. Risiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati terkait terapi trombolitik atau penusukan arteri setelah angioplasty g. Ketidakberdayaan berhubungan dengan pengalaman “nyaris mati” dan antisipasi perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pernyataan “perasaan akan mati”, menangis dan marah h. Kecemasan dan Ketakutan berhubungan dengan efek hospitalisasi dan takut mati yang ditunjukkan dengan pasien dan keluarga menunjukkan kegelisahan, perasaan bermusuhan, pasien dan keluarga menyatakan emosi kesedihan i. Risiko konstipasi berhubungan dengan bedrest, terapi nyeri, diit lunak, yang ditunjukkan dengan perasaan penuh, kram perut, nyeri defecasi dan teraba massa di perut j. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan AMI dan implikasi perubahan pola hidup k. Risiko intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen yang ditunjukkan dengan kelemahan, fatigue, perubahan tanda vital, disritmi, sesak nafas, pallor dan keringat banyak l. Risiko gagal jantung berhubungan dengan proses penyakit yang ditunjukkan dengan adanya takikardi, hipotensi atau hipertensi, suara jantung S3 dan S4, disritmia, perubahan EKG, penurunan urin output, penurunan nadi perifer, edem perifer, kulit teraba dingin, diaphoresis, crackles, distensi vena juguler, edem dan nyeri dada. m. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan filtrasi glomerulus, penurunan cardiac output, peningkatan produksi hormone anti diuretic dan retensi air dan garam yang ditunjukkan dengan adanya orthopnoe, suara
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
28
jantung S3, oliguri, edem, distensi vena juguler leher, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah, distress pernafasan dan suara nafas abnormal n. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bed rest, edem dan penurunan perfusi jaringan yang ditunjukkan dengan kemerahan pada area dan adanya kerusakan kulit. 2.4.3
Tujuan Keperawatan
a. Pasien akan merasa lebih nyaman di dada yang ditunjukkan dengan penurunan skala nyeri, istirahat dan tidur menjadi lebih nyaman, berkurangnya kebutuhan analgetik atau nitrogliserin dan kecemasan berkurang. (NOC: Comfort Level, Pain control, Pain: Disruptive effects, Pain Level) b. Pasien menunjukkan perbaikan perfusi jaringan jantung yang ditunjukkan dengan penurunan skala nyeri dan perbaikan segmen ST (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) c. Tidak ditemukan adanya disritmi yang ditunjukkan dengan sinus ritme atau ritme kembali ke baseline ((NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) d. Pasien menunjukkan perbaikan cardiac output
yang ditujukkan dengan
frekuensi dan ritme jantung normal, parameter hemodinamik normal, disritmi terkontrol atau hilang, tidak ada nyeri dada (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status) e. Perfusi jaringan adekuat: pasien menunjukkan perbaikan pertukaran gas yang ditunjukkan dengan tidak adanya cyanosis, capillary refill adekuat, tidak ada sesak nafas, nilai analisa gas darah arteri normal (NOC: Pulmonary) f. Perawat akan memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan. Bila terjadi perdarahan, hal ini segera disadari dan dilakukan terapi (NOC: Blood Loss Severity) g. Kesadaran pasien terkontrol yang ditunjukkan dengan perasaan mampu mengungkapkan perasaan ketidakberdayaannya terhadap situasi dan tujuan selanjutnya (NOC: Fear Level)
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
29
h. Pasien menunjukkan penurunan perasaan cemas dan takut yang ditunjukkan dengan pasien melakukan koping yang efektif (berpartisipasi terhadap pengobatan), pasien dapat beristirahat dan sedikit pertanyaan (NOC: Anxiety Level) i. Eliminasi feces pasien meningkat yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feces tanpa ketegagan atau terjadi bradikardi (NOC: Bowel Elimination) j. Pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok dan kolesterol, penurunan berat badan dan tekanan darah (NOC : Knowledge: Treatmen Regimen) k. Pasien mampu meningkatkan toleransi terhadap aktivitas yang ditunjukkan dengan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian, kelemahan dan kelelahan berkurang, tanda vital normal saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri (NOC: Activity Tolerance) l. Perawat akan memonitor manifestasi klini adanya gagal jantung melalui pengkajian frekuensi dan ritme jantung, parameter hemodinamik, perfusi kulit dan perfusi system syaraf pusat (NOC: Cardiac Pump Effectiveness) m. Keseimbangan cairan pasien adekuat yang ditunjukkan dengan intake dan output seimbang, suara nafas bersih, tanda vital normal, berat badan stabil, tidak ada edem (NOC: Fluid Overload Severity) n. Integritas kulit pasien baik, yang ditunjukkan dengan tidak ada kemerahan dan kerusakan pada area kulit (NOC: Tissue Integrity: Skin and Mucous Membranes) 2.4.4
Intervensi Keperawatan
a. Pain Management, Cardiac Care: Acute, Anxiety Reduction, Medication Administration b. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
30
c. Dysrhythmia Management, Cardiac care: Acute, Anxiety Management, Circulatory Care: arterial insufisiensi. d. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi e. Oxygen Therapy, Respiratory Monitoring, Acid-based Management, Cardiac Care, Airway Management f. Bleeding precaution, Bleeding Reduction, Coping Enhancement, g. Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support h. Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support i. Constipation/ Impaction Management j. Teaching: Disease Process, Coping Enhancement, Teaching: Prescribe Diet, Teaching: Prescribe Medication, Teaching: Prescribe Activity/Exercise k. Cardiac Care: Rehabilitative, Coping Enhancement l. Cardiac Care: Acute, Hemodynamic Regulation, Dysrhythmia Management, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi, Fluid Management, Teaching: Disease
Process,
Teaching:
Prescribe
Activity/Exercise.
Medication
Administration. m. Fluid Management, Cardiac Care, Coping Enhancement, Teaching: Disease Process, Respiratory Monitoring, Medication Management, Teaching: Prescribe Diet. n. Pressure Ulcer Prevention. Aktivitas tindakan keperawatan yang utama dilakukan oleh perawat untuk mengatasi masalah keperawatan pada pasien dengan miokard infark yang dilakukan tindakan PCI akan dijelaskan sebagai berikut: a. Cardiac Care: acute Evaluasi nyeri dada termasuk lokasi, durasi, kualitas, intensitas, faktor presipitasi dan faktor yang mengurangi nyeri, monitor efektivitas penggunaan obat dalam mengurangi nyeri, pertahankan pembatasan aktivitas dan pertahankan lingkungan pasien tenang, monitor tekanan darah, lakukan monitoring jantung dan perekaman EKG 12 lead, mengkaji status mental, auskultasi suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi, monitor
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
31
intake output cairan, monitor hasil pemeriksaan laboratorium fungsi jantung dan ginjal seperti LDH, CKMB, Troponin, BUN, kreatinin. Monitor elektrolit darah, monitor hasil foto thorak, berikan makan sedikit tapi sering, berikan oksigen, berikan terapi untuk mengurangi nyeri, hindari valsava maneuver. b. Hemodynamic Regulation Monitor adanya hipotensi atau hipertensi, periksa suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, S3, S4 dan peningkatan atau penurunan heart rate, menghitung balance cairan dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Monitor resistensi vascular perifer dan sistemik, monitor pulsasi perifer, capillary refill, suhu dan warna kulit ekstremitas, monitor edema, Jugularis Venous Pressure. Berikan terapi vasodilator sesuai program, turunkan stressor dari lingkungan, evaluasi efek terapi cairan c. Circulatory Care: arterial insufisiensi Kaji sirkulasi perifer secara komperhensif (nadi perifer, edema, kapilary refill, warna dan suhu perifer). Kaji perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer. Berikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit, berikan terapi antikoagulan dan antiplatelet sesuai program. d. Bleeding precaution Monitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program, monitor adanya perdarahan aktif pada area insersi, berbagai cairan yang keluar dari tubuh seperti urin dan feses secara regular, mengobservasi status neurologi dan adanya nyeri punggung bawah, pertahankan pasien tetap bed rest saat terjadi perdarahan, hindari injeksi melalui IM, IV atau SC, anjurkan pasien menggunakan sikat gigi yang halus, anjurkan pasien tidak mengangkat benda berat.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
32
e. Cardiac Care: Rehabilitative: Monitor toleransi pasien terhadap aktivitas, monitor vital sign sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, monitor adanya takikardi, disritmia, sesak nafas, keringat berlebih, kelelahan, kelemahan atau pucat setelah aktivitas, anjurkan pasien istirahat setelah beraktivitas terutama setelah makan, dorong aktivitas pasien secara bertahap sesuai kemampuan. Anjurkan pasien memodifikasi faktor risiko penyakit yang ada seperti berhenti merokok, diet dan latihan. f. Coping Enhancement: Kaji adanya perubahan body image, perubahan peran akibat sakitnya, kaji perasaan pasien terkait pembatasan aktivitasnya, bantu aktivitas kebutuhan perawatan diri. Bantu pasien memahami penyakitnya, bantu pasien menentukan tujuan penyembuhannya secara realistic. Dorong keluarga selalu memberikan semangat pada pasien. 2.4.5
Evaluasi Keperawatan
a. Pasien bebas nyeri dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian terapi. Pasien menyatakan penurunan nyeri dan tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri. b. Kembalinya segmen ST ke baseline tergantung pada derajat iskemi dan kecepatan pemberian terapi. c. Dalam 24 jam setelah pasien masuk, ritme jantung pasien kembali stabil dan pasien tidak menunjukkan tanda dan gejala d. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, tekanan hemodinamik pasien normal, vital sign normal, suara nafas bersih, tidak ada sesak nafas, nilai analisa gas darah arteri normal, normal sinus ritme dengan frekuensi antara 60-100 x/mnt. e. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, suara nafas bersih, nilai analisa gas darah arteri normal f. Perawat memonitor dan mencegah terjadi perdarahan g. Dalam 24 jam setelah pasien masuk, pasien kooperatif dan aktif berpartisipasi dalam perawatan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
33
h. Koping sangat individual. Pencapaian Outcome sangat ditentukan oleh perilaku dan pernyataan pasien i. Dalam 2-3 hari setelah pasien masuk, fungsi pencernaan (BAB) pasien normal j. Adaptasi terhadap strategi perawatan diri sangat individual.rencana waktu proses belajar perubahan pola hidup harus diketahui pasien. k. Pada infark miokard stabil, proses normal pada tahap fase 1 rehabilitasi tanpa manifestasi intoleransi aktivitas tercapai dalam 3-4 hari. l. Perawat akan memonitor gagal jantung dan segera melaporkan bila muncul tanda dan gejala. m. Tergantung pada derajat gagal jantung, kelebihan cairan dapat membaik secara lambat. Mungkin aka nada perbaikan manifestasi setelah terjadi dieresis. Keseimbangan cairan dapat dibuat setiap hari n. Gangguan integritas kulit dapat terjadi dalam 48 jam setelah pasien masuk atau pada perubahan kondisi yang signifikan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR
Pada bab ini akan digambarkan tentang aplikasi peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dan sebagai pendidik pada pasien dan keluarga. Analisis asuhan keperawatan dilakukan pada kasus kelolaan utama dan kasus lain yang berjumlah 30 . Dalam bab ini juga akan disampaikan tentang analisa penerapan teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) pada berbagai gangguan pada sistem kardiovaskular dan refleksi residen terhadap kelebihan dan kendala yang ditemui selama melakukan praktik dan menerapkan teori keperawatan MAR ini. 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama Tuan R, 53 tahun, tempat tinggal di duren sawit, Jakarta, pendidikan sarjana, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perhubungan sebagai kepala personalia, suku padang, sudah menikah dan memiliki 3 orang putra. Masuk RSJPDHK di IGD tanggal 19 Maret 2012 pk.03.30 dengan diagnosa medis Akut STEMI inferior onset 5 jam, Killip I, TIMI Risk 3/14, DM tipe 2, Hipertensi grade I, Post PCI dengan 1 Bare Metal Stent (BMS) di Mid RCA dan POBA di PDA. Inkomplit revaskularisasi. Pengkajian dilakukan di CVC tanggal 19 Maret 2012 Pk. 07.30. Keluhan utama: Nyeri ulu hati, menjalar ke punggung. Rujukan RS Pondok Kopi, Jakarta Riwayat kesehatan sekarang: Pasien rujukan dari RS Pondok Kopi dengan diagnosa medis: MCI Akut. Pasien mengeluh nyeri ulu hati yang menjalar ke atas dada sampai leher terasa tercekik 5 jam SMRS. Keringat dingin (+), mual (+), muntah (-), berdebar-debar (-), sesak nafas (-), riwayat Dispneu on Effort (-), Orthopnoe (-), Paroxismal Nokturnal Dispneu (-), perasaan seperti mau pingsan (-), pasien merasakan keluhan seperti ini baru pertama kali Keluhan saat ini dirasakan saat sedang menyetir sejak jam 20.00, nyeri hilang timbul. Nyeri ulu hati makin memberat dan menetap kemudian pasien dibawa ke RS pondok Kopi
34
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
35
pk. 22.30, di RS Pondok Kopi (Pk. 23.00) sudah diberikan terapi ascardia 4 tablet, plavix 4 tablet, cedocard 5 mg, pronalges supp, morphin 3 mg/IV, kemudian dirujuk ke RSJPDHK, Jakarta. Saat di IGD nyeri dada (+), tetapi sudah minimal. Di IGD sudah dilakukan tindakan pemberian oksigen 4 l/mnt, pasien bed rest, dilakukan pemeriksaan EKG, laboratorium dan foto thorak, pemasangan iv line, pemberian obat-obatan: aspilet 320 mg, plavix 600 mg, integrilin 14,5 cc bolus, dilakukan Primary PCI di ruang kateterisasi jantung pk 4.45 s/d 05.55 (69 menit). Dari ruang kateterisasi pasien dipindahkan ke CVC. Riwayat Kesehatan Masa Lalu Pasien mengatakan merasa nyeri di dada kiri sudah kurang lebih 2 tahun, periksa ke RS Pondok Kopi dikatakan nyeri otot. Pasien adalah pasien baru RSJPDHK dengan riwayat pengobatan : glucovance 250mg/hr, simvastatin 1 x 20 mg, captopril (dosis lupa, pasien tidak teratur minum obat). Pasien dinyatakan hipertensi th 2005, didiagnosis penyakit gula th 2004. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak muda, sehari 1 bungkus dan baru berhenti setelah masuk RS. Riwayat Kesehatan Keluarga Pasien 9 bersaudara, anak ke 5, menurut pasien ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung seperti dia yaitu kakak laki-laki no 4 (hipertensi), ibu menderita penyakit gula. Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang dilakukan tindakan pasang ring seperti yang dialami pasien. 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama 3.2.1
Pengkajian Perilaku dan Stimulus (di CVC tanggal 19 Maret 2012)
3.2.1.1 Mode Adaptasi Fisiologis a. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskular, perfusi) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: tidak ada sesak nafas, tidak ada rasa pusing atau kelemahan, nyeri dada kadang muncul tiba-tiba dalam hitungan detik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
36
Obyektif: Pemeriksaan Fisik Paru: pasien tampak tidak sesak nafas, pengembangan dada simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada retraksi dada, konjugtiva tidak anemis, kuku tidak sianosis, Frekuensi RR: 16 x/mnt, teratur, pernafasan abdominal, saturasi oksigen 99%, suara vesikuler di seluruh lapang paru, Ronki -/-, Wheezing -/-, friction rub -, pengembangan paru simetris, vocal fremitus teraba simetris kuat, pada perkusi terdengar suara sonor. Pemeriksaan Fisik Jantung: denyutan ictus cordis tidak tampak, distensi vena jugularis (–) (JVP: 5+0 cm), ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra, frekuensi teratur, isi cukup, BJ I, II terdengar regular, murmur (-), gallop (–), batas jantung kanan pada garis ternum, batas jantung kiri pada ICS 5 garis midklavikula sinistra batas atas pada ICS 3 midclavicula sinistra. Akral hangat, TD : 123/82 mmHg, Nadi radialis: 75 x/mnt, irama teratur, pulsasi cukup, capilari refile < 3 detik, akral hangat, warna kemerahan, urin cukup sekitar 80cc/jam. Pemeriksaan Lab tanggal 19/03/ 2012 di RS pondok kopi, Pk. 00.24: Hb : 15,2 mg/dL (13,5-17,5). Hematokrit :45% (40-50). SGPT: 12 mg/dL, SGOT: 17 mg/dL, trombosit 260.000/µL (150-400), CK 91 U/L (<171), CKMB 19 U/L (7-25), Trop T <50 ng/L (<50 : AMI not Likely), di RSJPDHK Pk. 03.56: (CKMB 56 (0-24), Trop T Kuantitatif 0,460 (> 2 Massive MCI) Hasil pemeriksaan EKG tgl 19/03/12: Saat datang di IGD RSJPDHK (Pk 03.36): SR, QRS rate 83x/mnt, QRS Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 detik, QRS durasi 0,08 detik, ST Elevasi di II,III,AVF, T Inversi di III, AVF, Q Patologis di III, ST depresed di aVL (sinus ritme dengan injury dan iskemi di inferior). Setelah dilakukan PCI (Pk. 07.30): SR, QRS rate 85x/mnt, QRS Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 detik, QRS durasi 0,08 detik, T Inversi di II, III, AVF, Q Patologis di III (sinus ritme dengan iskemi di inferior) Hasil Echo evaluasi post PCI tanggal 19/3/2012: EDD 43, ESD 29 EF 60%, TAPSE 1,8 cm, LVH (+) konsentris, RWMA (+), hipokinetik ringan inferior, Kao 3 cuspis, kalsifikasi (-), K Mitral: MR
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
37
trivial, K.Tr :TR(-), K.Po: PR Trivial, mPAP: 15 mmHg, E/A <1, E/e’ 14 LVEDP meningkat, SV: 73 ml, CO 5,1 L, SVR: 1082 Hasil pemeriksaan Rongent Thoraks ( 19 Maret 2012): Cor normal dengan CTR< 50%, kongesti (-), tidak ditemukan adanya infiltrat pada paru kanan maupun kiri Hasil angiografi di R. Kateterisasi (19/3/12): LM: Normal, LAD: Stenosis 70-80% panjang di proksimal-mid, stenosis 70% di proksimal D3; LCx: Stenosis 80% di distal, percabangan OM-2; RCA: Subtotal stenosis di mid dan stenosis 90% proksimal PDA, tampak thrombus. Dilakukan PCI-RCA dengan stent BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI 3 flow. Terapi yang diperoleh: Aspilet loading 320 mg selanjutnya 80 mg, plavix loading 600 mg, selanjutnya 75 mg, ISDN 3 x 5 mg ditingkatkan 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam 1 x 5 mg, integrilin bolus 1,5 cc, dilanjutkan maintenance 10 cc/jam, insulin RI drip sesuai hasil gula darah (50/50, start 2 unit/jam) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal : adanya oklusi di arteri koroner LAD, LCx dan RCA, Dilakukan PCI-RCA dengan sten BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI flow 3, incomplete revaskularisasi (di LAD dan LCx) Stimulus Kontekstual : tampak thrombus, hasil EKG: iskemi di inferior, proses evolusi. Stimulus Residual : Riwayat Hipertensi, DM (Tekanan darah dan glukosa tidak terkontrol) b.
Nutrisi (proses pencernaan dan metabolik) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Pasien mengatakan suka sekali masakan padang dan makanan bersantan. Pasien mengatakan makanan di rumah sakit kurang enak tetapi tetap menghabiskan makanan yang disediakan. Keluhan mual (-), muntah(-), kesulitan mengunyah (-), gangguan menelan (-), nyeri
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
38
lambung(-). Pasien biasanya makan rata-rata 1porsi 3 kali sehari dan tidak ada alergi atau pantangan. Obyektif: BB :60 kg, TB: 164 cm, IMT: 22,3; lingkar lengan kiri : 24 cm , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, tidak terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen supel, lunak tidak teraba pembesaran hepar, nyeri tekan (-), bising usus (+). Pasien memperoleh diit Jantung II (DM): 1850 kal/hari. Hasil pemeriksaa laboratorium (19 Maret 2012) GDS : di RS Pondok Kopi 453, di RSJPDHK 282 mg%, Cholesterol Total 194 mg/dL (120-200), trigliseride 174 mg/dL (50-150) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: Fungsi insulin tidak efektif Stimulus Kontekstual : pola makan sebelumnya tidak terkontrol Stimulus Residual : riwayat DM sejak th 2004 tetapi tidak terkontrol c.
Cairan dan elektrolit (cairan, elektrolit, asam basa) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Pasien mengatakan minumnya banyak, sehari kurang lebih 1 botol aqua besar, BAK normal 5-6 kali sehari, warna kuning jernih, setiap BAK sekitar 200 cc (1 gelas aqua). Obyektif: Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, edema ekstremitas /-. Tidak ditemukan acites, akral hangat, tidak ada distensi vena jugularis, JVP 5+0. Saat ini urin 80 cc/jam, fungsi ginjal adekuat, intake adekuat, balance cairan 313 cc/ 4 jam. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Elektrolit (19 Maret 2012): Natrium : 135 mmol/L (132-145), Kalium : 3.87 mmol/L (3,5 – 5,5), Chlorida: 96 mmol/L (98-110), Calsium Total 2,12 (2,1-2,55), Magnesium 2,2 (1,6-2,6). 2) Pengkajian Stimulus:-
d.
Eliminasi (usus dan saluran kemih) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: BAK: Pasien BAK 5-6 x/hari dengan volume sekitar 200cc (diperkirakan 1 gelas air mineral) setiap BAK. Tidak ada kesulitan dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
39
nyeri ketika memulai maupun saat BAK, urine berwarna kuning jernih. Saat ini terpasang kateter, urin 80 cc/jam, jernih (hematuri-) BAB: pasien biasa BAB 1 x/hari, konsistensi lembek berbentuk, tetapi di rumah sakit belum BAB. Pasien mengatakan takut makan banyak karena tidak mau BAB (tidak bisa BAB di tempat tidur) Obyektif: Bising usus (+), 6x/mnt, kuat, tidak teraba pembesaran kandung kemih dan tidak didapatkan nyeri tekan pada area simpisis maupun abdomen atas dan bawah. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (19 Maret 2012): urinalisa: dalam batas normal. Ureum 32 mg/dl (10-50), Kreatinin 0,8 mg/dl (0,67-1,17) 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: Pasien tidak nyaman BAB di tempat tidur Stimulus Kontekstual: ruangan CVC terbuka sekat antar pasien menggunakan gordyn (privacy kurang menurut pasien). Stimulus Residual: kebiasaan BAB 1 x sehari e.
Aktivitas dan istirahat (aktivitas, rekreasi dan istirahat) 1) Pengkajian Perilaku Subjektif : Saat ini pasien merasakan pegal di punggung. Aktivitas sehari hari di kantor banyak duduk tetapi setiap pagi naik tangga 5 lantai untuk mencapai ruangan dan tidak ada keluhan sesak nafas atau nyeri dada. Pasien tidak pernah berolah raga secara rutin. Pasien tidak pernah tidur siang, malam tidur pk 22.00 bangun pk 04.30. Objektif : saat ini pasien masih bed rest, radialis tangan kanan terpasang nichiban. Kekuatan otot : tangan: 5555/ 5555; kaki: 5555/ 5555, tidak ada kesemutan, baal atau nyeri jari tangan bagian distal 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal : pasien post tindakan PPCI 2 jam, pasien masih dibed restkan, dianjurkan untuk tidak banyak berbicara. Stimulus kontekstual : terpasang nichiban di radialis kanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
40
Stimulus residual : pasien belum pernah mengalami kondisi seperti sekarang ini namun pasien kooperatif terhadap pengobatan dan perawatan yang diberikan f.
Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) 1) Pengkajian Perilaku Rambut dan kulit pasien bersih. Suhu aksila 36.2oC. terdapat luka bekas tusukan yang masih tertutup nichiban di radialis kanan, bengkak (-), hematom (-), kemerahan (-), kesemutan atau kebas bagian distal (-). Nadi perifer di tangan kanan teraba kuat +2. Hasil pemeriksaan lab leukosit : 9300/mm3, pasien masih terpasang IV line di tangan kiri, tidak ada nyeri atau kemerahan pada area insersi. Pasien tidak mengalami gangguan sensasi 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: luka bekas tusukan yang masih tertutup nichiban di radialis kanan Stimulus Kontekstual : pasien mendapat terapi kombinasi antitrombotik dan antikoagulan dosis tinggi
g.
Perasaan/the sense (penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa bau dan nyeri) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Tidak ada gangguan pendengaran ataupun penglihatan, mampu membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 30 cm dengan bantuan kacamata (+), perabaan baik, penghiduan dan pengecapan tidak ada gangguan. Pasien kadang masih merasakan nyeri menusuk di punggung tetapi hanya hitungan detik. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: suplai dan kebutuhan oksigen ke miokard belum seimbang Stimulus Kontekstual: pasien post PPCI 2 jam yang lalu, adanya oklusi Di LAD dan LCx
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
41
h.
Fungsi syaraf (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) 1) Pengkajian Perilaku Subyektif: Menurut pasien penyakit yang sedang dideritanya ini merupakan akibat dari perilakunya sendiri sehingga saat ini pasien dapat menerima kondisinya dengan rela dan berusaha merubah pola makannya. Obyektif: Kesadaran CM, pasien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik, sensorik, memori dan bahasa tidak ada gangguan. Tidak ada riwayat gangguan kognitif. Pasien mampu berkomunikasi dengan baik, tanda vital dalam batas normal. 2) Pengkajian Stimulus:-
i.
Fungsi endokrin (hormonal) 1) Pengkajian Perilaku Tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, pasien menderita diabetes mellitus sejak th 2004 (tidak terkontrol). Gula darah sewaktu di RS Pondok Kopi 453 mg%, di RSJPDHK 282 mg%. Saat ini pasien mendapat terapi insulin 2 unit/jam. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus
Fokal:
peningkatan
gula
darah
sebagai
akibat
dari
ketidakefektifan fungsi insulin. Stimulus Kontekstual: riwayat DM sejak th 2004 tidak terkontrol Stimulus Residual : pola makan yang kurang sehat, tidak melakukan diit DM 3.2.1.2 Mode Adaptasi Konsep Diri a. Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) 1) Pengkajian Perilaku a) Sensasi diri: Pasien merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya memang akibat dari perilaku pola hidupnya yang kurang sehat. Pasien selalu bertanya tentang apa yang harus dilakukannya setelah pulang dari rumah sakit agar kondisinya menjadi lebih baik dari sekarang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
42
b) Body Image: Setelah dinyatakan menderita penyakit jantung koroner dan dipasang stent pasien sudah dapat menerima kondisinya. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus Fokal: informasi tentang perawatan selanjutnya belum diberikan. Stimulus Kontekstual : saat ini pasien berada di RS karena kondisi emergency b. Personal Self 1) Pengkajian Perilaku a) Moral /Etik/spiritual Pasien beragama islam dan selama ini menjalankan sholat, saat ini pasien sholat di tempat tidur. b) Self consistency Perilaku dan apa yang disampaikan pasien konsisten. Saat berinteraksi dengan residen pasien aktif bertanya dan nampak keingintahuannya besar tentang penyakit, perawatan dan pengobatannya c) Ideal diri Pasien berharap bisa beraktivitas seperti sediakala meskipun sudah dilakukan pemasangan stent. 2) Pengkajian Stimulus: 3.2.1.3 Mode Adaptasi Fungsi peran Mode ini berfokus pada pengkajian pola interaksi dalam peran primer, sekunder dan tersier a. Pengkajian Perilaku Pasien adalah kepala keluarga, dengan 1 istri dan 3 orang anak. Bekerja sebagai karyawan di bagian personalia departemen perhubungan. Sebelum sakit peran sebagai kepala keluarga dapat dijalankan dengan baik. Pasien kurang aktif di masyarakat karena waktunya terbatas. Saat di rumah sakit pasien sangat kooperatif berperan sebagai pasien. Istri selalu menunggu, hubungan dengan keluarga baik b. Pengkajian Stimulus: -
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
43
3.2.1.4 Mode Adaptasi Interdependen a. Pengkajian Perilaku 1) Afektional adequasi Pasien mengatatakan sudah bisa menerima kondisi sakitnya dan berharap untuk penyempitan di pembuluh yang lain bisa segera ditangani. Pasien minta pendapat residen apakah perlu operasi atau pasang stent lagi. Pasien selalu didukung oleh istri yang selalu menemani setiap hari. 2) Developmental adequasi Saat ini kebutuhan dan aktifitas pasien dilakukan sendiri dengan bantuan minimal dari istri yang selalu menunggu di RS. Anak-anak tidak menunggu tetapi kadang menengok ayahnya karena masih sekolah. Menurut pasien, anak yang ketiga marah karena tidak mau menerima telpon dari ayahnya, tetapi pasien memahami karena anaknya masih kecil 3) Resources adequasi Pasien memiliki jaminan kesehatan : ASKES, pasien mengatakan tidak ada masalah keuangan untuk perawatan selanjutnya. b. Pengkajian Stimulus:3.2.2
Diagnosa Keperawatan
3.2.2.1 Mode Adaptasi Fisiologis a. Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard b. Risiko penurunan cardiac output
berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output d. Risiko perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan e. Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak f. Risiko gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
44
3.2.2.2 Mode Adaptasi Konsep Diri: Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup 3.2.2.3 Mode Adaptasi Fungsi peran: 3.2.2.4 Mode Adaptasi Interdependen : 3.2.3
Penetapan Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu beradaptasi secara Integrated dan Compensatory sesuai dengan kondisinya yaitu: a. Setelah 5 hari perawatan perfusi miokard pasien mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan : tidak ada nyeri dada, terjadi perbaikan segment ST dan gelombang T pada EKG, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, heart rate antara 70-80 x/mnt (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status, Tissue Perfusion: Heart) b. Setelah 3 hari perawatan pasien tidak mengalami penurunan cardiac output yang ditunjukkan dengan: tidak ada keluhan kelemahan, tidak ada nyeri dada, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, heart rate antara 70-80 x/mnt, kesadaran CM, akral hangat, urin output minimal 30 cc/jam (NOC: Cardiac Pump effectiveness, Circulation Status, Vital Sign Status ) c. Setelah 4 hari perawatan pasien mampu meningkatkan toleransi terhadap aktivitas yang ditunjukkan dengan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian, kelemahan dan kelelahan berkurang, tanda vital normal saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri (NOC: Activity Tolerance) d. Setelah 5 hari perawatan pasien tidak mengalami perdarahan yang ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal dan perawat akan memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan. Bila terjadi perdarahan, hal ini segera disadari dan dilakukan terapi (NOC: Blood Loss Severity)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
45
e. Setelah 3 hari perawatan eliminasi feses pasien meningkat yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feses tanpa ketegagan (tidak mengedan) atau terjadi bradikardi (NOC: Bowel Elimination) f. Setelah 5 hari perawatan kadar gula darah pasien dalam batas normal dengan terapi optimal (NOC: Blood Glucose Level) ditunjukkan dengan kadar glukosa dalam darah dan urin dalam batas normal g. Setelah 5 hari perawatan pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok, penurunan berat badan, tekanan darah dan kolesterol (NOC : Knowledge: Treatmen Regimen) 3.2.4
Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan diberikan sesuai dengan masalah pasien dantujuan yang ditetapkan. Intervensi keperawatan diberikan menggunakan pedoman Nursing Intervention Classification dan aktivitas keperawatan difokuskan pada intervensi untuk mencapai adaptasi Integrated dan Compensatory melalui proses koping secara regulator maupun cognator. Intervensi tersebut terbagi untuk tiap diagnosa keperawatan yaitu: a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory
Care:
arterial
insufisiensi,
Medication
Administration,
Dysrhythmia Management. b.
Risiko
penurunan
Cardiac
output
berhubungan
dengan
penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi. c.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output. Intervensi Keperawatan: Cardiac Care: Rehabilitative, Coping Enhancement.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
46
d.
Risiko terjadi perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan Intervensi Keperawatan: Bleeding precaution, Bleeding Reduction.
e.
Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak Intervensi Keperawatan: Constipation/ Impaction Management
f. Risiko Gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah Intervensi Keperawatan: Hyperglycemia Management g.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup Intervensi Keperawatan: Teaching: Disease Process, Coping Enhancement, Teaching Prescribe Diet, Teaching Prescribe Medication, Teaching Prescribe Activity/Exercise
3.2.5
Implementasi Keperawatan
Selama memberikan asuhan keperawatan pada Tn R dari tanggal 19-23 Maret 2012 di CVC (19-20 Maret) dan di GP 2 lantai 3 (21-23 maret), residen melakukan beberapa tindakan untuk setiap urutan diagnose keperawatan yang muncul antara lain: a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard Secara regulator: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, mempertahankan pembatasan aktivitas dan mempertahankan lingkungan pasien tenang Circulatory Care: arterial insufisiensi : memberikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit Dysrhythmia Management melakukan perekaman EKG 12 lead dan selalu memantau adanya perubahan segmen ST Medication Administration : memberikan terapi Aspilet 1x 80 mg, plavix 1 x 75 mg, ISDN 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
47
1x 5 mg, integrilin 10 cc/jam, (bisoprolol 1 x 1,25 diberikan pada hari kedua). Secara cognator: Cardiac Care: Acut : menganjurkan pasien untuk tetap bedrest selama 24 jam post PCI. b.
Risiko penurunan cardiac output Secara regulator. Cardiac Care: acut: mengkaji status mental, memeriksa suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi, Melakukan perekaman EKG. Hemodynamic Regulation: memonitor adanya hipotensi atau hipertensi, memeriksa suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, dan peningkatan atau penurunan heart rate, menghitung balance cairan dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Melakukan pengkajian nyeri dada Circulatory Care: Arterial Insufisiensi: mengkaji perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer.
c.
Intoleransi aktivitas Secara regulator Cardiac Care: Rehabilitative: memonitor vital sign sebelum dan sesudah pasien beraktivitas, memonitor adanya takikardi, disritmia, sesak nafas, keringat berlebih, kelelahan, kelemahan atau pucat setelah aktivitas, Coping Enhancement: mengkaji perasaan pasien terkait pembatasan aktivitasnya, membantu aktivitas kebutuhan perawatan diri. Secara cognator Cardiac Care: Rehabilitative: menganjurkan pasien istirahat setelah beraktivitas terutama setelah makan, mendorong aktivitas pasien secara bertahap sesuai kemampuan.
d.
Risiko perdarahan Secara regulator Bleeding precaution: memonitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program, memonitor adanya perdarahan aktif pada area insersi (radialis kanan) dan IV line (lengan kiri) yang masih terpasang selang infus dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
48
berbagai cairan yang keluar dari tubuh seperti urin dan feses secara regular, mempertahankan nichiban sampai 6 jam post prosedur dan melakukan pengendoran. Mengobservasi status neurologi dan adanya nyeri punggung bawah. Secara cognator Bleeding Reduction: menganjurkan pasien untuk tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan beban tangan kanan seperti menahan tubuh atau mengangkat benda. e.
Risiko Konstipasi Secara regulator Constipation/ Impaction Management: memberikan diet berserat dan intake cairan yang cukup. Memberikan obat laxadine 1 x1 sendok teh. Secara cognator Constipation/ Impaction Management :menganjurkan pasien untuk mencegah ketegangan dan menghindari valsava manuver seperti tindakan mengejan. Menganjurkan pasien untuk BAB menggunakan commode.
f.
Risiko gula darah tidak stabil Secara regulator Hypergycemia Management : memantau kadar glukosa darah secara regular, mengkaji
tanda-tanda
hiperglikemi,
menganjurkan
pasien
untuk
meningkatkan masukan cairan, memberikan terapi insulin sesuai program dokter insulin regular secara drip 2 unit/jam atau sesuai kadar gula darah (pada hari ke4 insulin diganti dengan lantus 1x 16 unit). Secara cognator Hypergycemia Management: memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit Diabetes Melitus, tanda dan gejala hiperglikemi dan hipoglikemi serta tindakan yang perlu dilakukan segera. Menganjurkan pasien untuk mengontrol gula darah secara teratur, mengajarkan pasien dan keluarga memberikan suntikan secara mandiri.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
49
g.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan Secara cognator: Teaching: Disease Process: memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit jantung koroner secara verbal dan menggunakan leaflet untuk mengatasi masalah ini (Lampiran 2). Pasien dan istri juga dijelaskan tentang faktor risiko yang ada pada pasien. Menganjurkan pasien untuk berhenti merokok, mengontrol tekanan darah dan gula darah secara teratur. Coping Enhancement memberikan dukungan bahwa pasien harus mulai merubah pola hidupnya yang tidak sehat seperti merokok, diit tinggi lemak, jarang berolah raga, tidak mengontrol tekanan darah dan kadar gula darah secara teratur dan sering menyimpan masalah sehingga menimbulkan stress. Teaching Prescribe Diet : menganjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang rendah lemak, rendah garam (sodium), Teaching
:Prescribe
Activity/Exercise:
menganjurkan
pasien
untuk
melakukan olah raga teratur minimal 30 menit sehari dan manajemen stress. Menganjurkan pasien untuk kontrol dan kalau perlu mengikuti program rehabilitasi. Teaching: Prescribe Medication: selama dirawat dan saat pulang pasien dijelaskan kembali tentang obat-obat yang dibawa pulang termasuk fungsi dan efek sampingnya dan menganjurkan agar obat diminum secara teratur dan jangan sampai terputus. 3.2.6
Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 23 Maret 2012 dan sudah mencapai perilaku adaptif Compensatory dan Integrated, dan ketika kontrol seminggu kemudian sampai evaluasi melalui telepon pasien mencapai adaptasi integrated. Secara lebih rinci perilaku yang dikaji untuk setiap diagnosa adalah sebagai berikut: a. Pada hari ke 5 pasien menunjukkan perilaku adaptif Compensatory pada masalah gangguan perfusi jaringan miokard yang ditunjukkan dengan: pasien tidak mengalami nyeri dada, terjadi perbaikan segment ST pada EKG, terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
50
perubahan ST elevasi yang muncul pada tanggal 19 Maret 2012, setelah dilakukan PPCI ST elevasi di lead II,III, AVF sudah menjadi isoelektrik tetapi sampai tanggal 21 Maret T inversi di lead II,III, AVF dan V5,V6 dan Q patologi di lead III masih ditemukan. Tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt. Analisa Intervensi: tindakan dihentikan dan pasien dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas berat terlebih dulu dan segera datang ke layanan kesehatan bila mengalami nyeri dada yang memberat, durasi semakin lama dan tidak hilang dengan istirahat. Bila serangan terjadi saat di rumah, minum ISDN sublingual 5 mg dan bisa diulang tiap 5 menit sebanyak 3 kali. Kontrol tepat waktu dan minum obat teratur b. Pasien menunjukkan perilaku adaptif Integrated pada hari ke-3 untuk masalah keperawatan risiko penurunan Cardiac output yang ditunjukkan dengan perilaku: tidak ada keluhan kelemahan, tidak ada nyeri dada, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt, kesadaran CM, akral hangat, urin output sekitar 80-100 cc/jam Analisa Intervensi: hentikan tindakan keperawatan c. Pasien menunjukkan perilaku adaptif Integrated pada pada hari ke-4 untuk masalah keperawatan intoleransi aktivitas yang ditunjukkan dengan perilaku: pasien berpartisipasi dalam aktivitas, melakukan aktivitas harian secara mandiri termasuk mandi di kamar mandi, tidak ada keluhan kelemahan dan kelelahan, tanda vital normal, tekanan darah antara 110-130/80-85 mmHg, Heart rate antara 70-85 x/mnt, saat aktivitas, tidak ada cyanosis, diaphoresis dan nyeri dada Analisa Intervensi: hentikan tindakan keperawatan, anjurkan pasien meningkatkan kemampuan aktivitas sesuai toleransi selama tidak ada rasa nyeri, sesak nafas atau berdebar-debar d.
Sampai hari kelima saat pulang, pasien mencapai adaptasi Compensatory yang ditunjukkan dengan pasien tidak mengalami perdarahan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
51
ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal. Perawat selalu memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan yang selalu tercatat dalam catatan keperawatan. Setelah pulang pada hari kelima, pasien masih mungkin mengalami perdarahan karena pasien masih mengkonsumsi terapi antitrombotik. Analisa Intervensi: anjurkan untuk membatasi aktivitas selama 2-3 hari berikutnya agar tidak meningkatkan beban di tangan kanan yang dapat menyebabkan perdarahan dan melaporkan pada tenaga kesehatan bila mengalami perdarahan internal seperti uri merah, feses hitam atau gusi berdarah berlebihan e.
Pada hari ketiga pasien mampu beradaptasi secara integrated untuk masalah risiko konstipasi karena eliminasi feces pasien sudah baik yang ditunjukkan dengan pasien mampu mengeluarkan feces tanpa ketegagan atau terjadi bradikardi pada hari ketiga setelah pasien pindah ke ruang rawat GP 2 lantai III. Pasien selalu menghabiskan porsi makan yang disediakan rumah sakit. Analisa Intervensi: hentikan penggunaan laxadin, digunakan bila diperlukan ketika defekasi tidak lancar karena pasien tidak boleh mengejan.
f. Pada hari kelima pasien mampu beradaptasi secara Compensatory ditunjukkan dengan kadar gula darah Tn R sudah stabil pada level 100-130 mg/dL dengan penggunaan terapi insulin secara drip mulai 2 u/jam sampai 0,5 unit/jam dan kekudian diganti dengan lantus 1x16 unit/hari. Penyuntikan pada hari kelima dilakukan oleh istri, pasien belum berani sehingga evaluasi berikutnya diharapkan pasien dan anggota keluarga yang lain mampu melakukan penyuntikan insulin sehingga mengurangi ketergantungan pasien pada orang lain. Analisa Intervensi: evaluasi kemampuan pasien dan keluarga pada saat kontrol atau kunjungan rumah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
52
g. Pada hari kelima saat pasien pulang, pasien sudah mampu beradaptasi secara Compensatory, pendidikan kesehatan terakhir masih diberikan terkait pola hidup sehat yang perlu diterapkan pasien di rumah. Pasien dan keluarga mampu menyebutkan hal-hal yang perlu dilakukan dirumah terkait pola hidup sehat seperti berhenti merokok, diit rendah lemak, olah raga teratur, kontrol tekanan darah dan gula darah. Istri pasien sudah mampu melakukan penyuntikan insulin secara mandiri. Anak pasien no 2 menyatakan bersedia belajar memeriksa tekanan darah atau menyuntik insulin. Analisa Intervensi: evaluasi kembali pemahaman dan kemampuan pasien dan keluarga tentang perawatan, pengobatan, perubahan pola hidup yang harus dijalani pada saat kontrol dan kunjungan rumah. Pada saat pasien kontrol tanggal 2 April 2012 dan saat dihubungi melalui telepon pada tanggal 3 Mei 2012, pasien sudah mencapai adaptasi integrated yang ditunjukkan dengan pasien sudah tidak merokok sama sekali, tekanan darah dan gula darah dalam rentang normal, pasien minum obat teratur sesuai program, pasien mengatakan sudah mencoba untuk tidak terlalu stress dengan mengalihkannya dengan membaca koran, sudah berolah raga jalan kaki setiap pagi minimal 30 menit. 3.3 Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy 3.3.1
Mode Adaptasi Fisiologis
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan miokard berhubungan thrombus di arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah ke jaringan miokard. Jaringan miokard disuplai oksigen dan nutrisi oleh arteri koroner kanan dan kiri yang keluar dari root aorta.Arteri kiri yang utama (Left Main) terbagi manjadi arteri Left Anterior Decending (LAD) dan Circumflex yang mensuplai oksigen dan nutrisi pada dua per tiga bagian septum interventrikuler, otot papilar anterior dan ventrikel kiri bagian anterior. Arteri circumflex mensuplai otot jantung bagian lateral dan posterior ventrikel kiri. Sedangkan Right Coronary Artery (RCA) mensuplai darah pada dinding
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
53
ventrikel inferior dan posterior dan sepertiga septum interventrikuler (Lilly, 2007). Tn R mengalami ketidakefektifan perfusi jaringan miokard karena terjadi oklusi pada arteri koroner yang ditunjukkan dengan adanya nyeri dada, perubahan EKG yang menunjukkan adanya injury otot miokard bagian inferior (ST Elevasi pada lead II,III dan AVF), dan peningkatan marker jantung yaitu troponi T : 0,460. Nyeri dada merupakan gejala yang terjadi akibat adanya penumpukan asam laktat akibat metabolism anaerob saat otot jantung tidak mendapatkan suplai oksigen secara adekuat (Black & Hawks, 2009; Ignatavisius, 2006), sedangkan ST elevasi mengindikasikan bahwa otot jantung mengalami injury sebagai akibat dari reflek listrik abnormal selama terjadi ACS (Lilly, 2007). Bagian inferior ditunjukkan pada letak lead yang mengalami kelainan yaitu pada lead II,III dan AVF dan menujukkan bahwa arteri yang mengalami oklusi adalah RCA (Black & Hawks, 2009; Odom, 2008; McKeena, 2008). Peningkatan enzim troponin T dan CKMB menunjukkan adanya injury di miokard. Hal ini terjadi akibat kurangnya suplai oksigen ke jantung (Black & Hawks, 2009). Troponin merupakan protein yang ada dalam otot yang mengontrol interaksi antara myosin dan actin. Struktur troponin T dan I di jantung unik dan peningkatannya dapat digunakan sebagai indikator yang sensitive dan kuat adanya kerusakan myocyte (Lilly, 2007). Hasil pemeriksaan troponin mencapai 0,460 pada jam ke 5, sedangkankan kadar CKMB mencapai 56. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa troponin T meningkat 3-6 jam setelah terjadi injury sedangkan CKMB meningkat setelah 3-4 jam terjadi injury (Black & Hawks, 2009; Ignatavisius, 2006; McKeena, 2008; Lilly 2007). Adanya oklusi dinyatakan sebagai stimulus fokal, didukung dengan adanya hasil intervensi angiografi (19/3/12) yang merupakan hasil dari pengkajian perilaku pada mode adaptasi fisiologi menunjukkan bahwa LM Normal, LAD: Stenosis 70-80% panjang di proksimal-mid, stenosis 70% di proksimal D3; LCx: Stenosis 80% di distal, percabangan OM-2; RCA: Subtotal stenosis di mid dan stenosis 90% proksimal PDA, tampak thrombus. Dilakukan PCI-RCA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
54
dengan stent BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI Flow 3. Meskipun pasien sudah dilakukan PCI di RCAdan POBA di PDA dengan hasil baik, timi flow 3, namun revaskularisasi tidak komplit karena masih terdapat oklusi di LAD dan LCx sehingga perfusi ke otot miokard masih terganggu. Disamping itu, hasil pengkajian perilaku pada sensasi masih ditemukan bahwa pasien kadang masih merasakan nyeri menusuk sampai ke punggung meskipun hanya dalam hitungan detik. Tujuan utama perawatan adalah meningkatkan perfusi ke otot miokard sehingga terjadi adaptasi dengan intervensi yang difokuskan pada proses koping secara regulator maupun cognator. Aktivitas keperawatan yang dilakukan meliputi mempertahankan pembatasan aktivitas dan lingkungan tenang, memberikan oksigen melalui nasal kanul 2-4 l/menit, melakukan perekaman EKG setiap hari dan memberikan terapi Aspilet 1x 80 mg, plavix 1 x 75 mg, ISDN 3 x 10 mg, simvastatin 1 x 20 mg, laxadin 1 x 1cth, diazepam 1 x 5 mg, integrilin 10 cc/jam, (bisoprolol 1 x 1,25 diberikan pada hari kedua). ISDN atau Isosorbid Dinitrat merupakan golongan nitrat organic dan merupakan terapi awal untuk angina pectoris. Fungsi utama nitrat adalah vasodilatasi. Pada dosis kecil, nitrogliserin menyebabkan dilatasi vena dan arteri.dilatasi vena menyebabkan penurunan venous return yang pada akhirnya mengurangi pengisian ventrikel kanan dan kiri sehingga preload berkurang (Lilly, 2007; Rahasto & Priatna, 2011). Dilatasi arteri menyebabkan aliran koroner meningkat . Tn R mendapatkan ISDN untuk mengurangi beban jantung
dan
mengatasi
iskemi
dengan
peningkatan
aliran
koroner.Bisoprololjugadiberikan untuk mengurangi beban jantung (Rahasto & Priatna, 2011) Tn R mendapatkan berbagai terapi golongan antitrombotik (aspirin, plavix, integrilin) untuk mencegah agregasi platelet yang dapat menyebabkan thrombus sehingga menyebabkan oklusi yang pada akhirnya menghambat aliran darah koroner ke otot miokard. Aspirin atau Aspilet merupakan obat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
55
antitrombotik yang bekerja dengan cara memblok cyclooxygenase yang merupakan enzyme esensial untuk produksi TXA2 dari asam arachdonic. Integrilin merupakan obat yang digunakan untuk menurun komplikasi trombotik pada pasien yang dilakukan PCI mendampingi aspirin dan heparin. Obat ini termasuk dalam golongan obat GP IIB/IIIA reseptor antagonis yang bekerja menghambat jalur agregasi platelet, mengikat aktivasi reseptor GP IIB/IIIA dengan fibrinogen dan faktor Willbrand. Plavix merupakan obat antikoagulan oral yang berisi thienopyridine (clopidogrel) yang diberikan saat prosedur dan dilanjutkan sampai beberapa bulan tergantung jenis Stent yang digunakan (Lilly, 2007) Tn R juga mendapat terapi simvastatin yang merupakan obat golongan lipid regulation termasuk dalam HMG CoA Reductase Inhibitors. Simvastatin adalah obat yang efektif menurunkan kolesterol LDL (Lilly, 2007). Evaluasi proses dilakukan setiap hari sedangkan evaluasi hasil dilakukan pada tanggal 23 Maret 2012. Pasien dinyatakan mencapai adaptasi secara Compensatory dengan pertimbangan bahwa hasil EKG masih terdapat T inverted, tetapi proses evolusi mengarah pada perbaikan sudah terjadi, nyeri dada sudah tidak muncul lagi, hanya kadang terasa nyeri di punggung dan tidak khas. b. Risiko penurunan Cardiac output
berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung sekunder adanya oklusi di LAD dan LCx Cardiac output adalah volume darah yang diejeksikan saat ventrikel berkontraksi selama satu menit. Cardiac output seseorang berkisar antara 4-8 liter/menit (Black & Hawks, 2009). Cardiac output dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu preload, afterload dan kontraktilitas jantung. Risiko penurunan Cardiac output sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari kontraktilitas yang dapat terganggu akibat perfusi jaringan cardiac yang tidak adekuat akibat adanya oklusi di LAD dan LCx.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
56
Tindakan keperawatan yang diberikan pada Tn R bertujuan agar pompa jantung tetap efektif dan sirkulasi tetap adekuat sehingga pasien tidak mengalami cardiac output. Beberapa intervensi keperawatan yang dilakukan oleh residen antara lain melakukan pengkajian status mental karena perfusi serebral dapat terjadi apabila suplai ke otak berkurang. Pemeriksaan suara paru terhadap adanya suara crackles dan rhonchi dilakukan setiap shift untuk mencari adanya kongesti paru akibat gangguan fungsi miokard. Monitor adanya hipotensi atau hipertensi. Pemeriksaan suara tambahan di jantung untuk mencari adanya gallop, murmur, dan peningkatan atau penurunan heart rate. Penghitungan balance dilakukan setiap shift khususnya monitor terhadap urine output. Pengkajian perfusi perifer dilakukan untuk mengkaji adanya sianosis, akral dingin, diaporesis dan nadi perifer. Pasien tidak dilakukan pemeriksaan AGD karena parameter himodinamik dan saturasi masih baik. Pengkajian nyeri dada dilakukan untuk mengetahui adanya iskemi miokard yang didukung dengan
hasil pemeriksaan EKG. Pemeriksaan EKG hanya
dilakukan sampai pada tanggal 21 Maret 2012 karena pasien sudah menunjukan hemodinamik yang stabil, urine output adekuat, dan bebas nyeri selama 1 hari. Setelah 5 hari diberikan perawatan pasien sudah mampu mencapai adaptasi integrated dan tindakan keperawatan dihentikan. Selanjutnya pasien dianjurkan untuk melakukan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi, selama pasien tidak mengalami nyeri dada, sesak nafas atau rasa berdebar-debar. c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas sebagai intervensi menurunkan risiko penurunan cardiac output Menurut Nanda International (2012) yang dimaksud intorelansi aktivitas adalah kekurangan energi secara fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau menyelesaikan kegiatan sehari-hari yang diperlukan atau diinginkan (Herdman, 2012) Pasien mengalami intoleransi aktivitas karena adanya EKG yang menunjukan iskemi sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Pasien masih dianjurkan bed rest untuk mencegah terjadinya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
57
penurunan cardiac output karena pasien masih dalam kondisi akut setelah dilakukan PCI 2 jam yang lalu. Kondisi ini menyebabkan risiko terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen masih sangat tinggi. Setelah 4 sampai 5 hari pasien diharapkan mampu meningkatkan toleransi pasien untuk beraktivitas yang ditunjukan dengan pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri, tidak ada kelemahan maupun kelelahan, tanda-tanda vital dalam rentang normal, tidak ada sianosis, diaporesis dan nyeri dada selama beraktivitas. Intervensi keperawatan yang dilakukan oleh residen antara lain memonitor tanda vital sebelum dan segera setelah beraktivitas. Selama 2 hari di ruang CVC aktivitas pasien masih bed rest, perawatan diri sehari-hari masih dibantu oleh perawat tetapi ditingkatkan secara bertahap dengan menganjurkan pasien untuk makan sendiri di tempat tidur. Setelah pasien berada di ruang perawatan GP 2 lantai 3, pasien melakukan aktivitasnya secara mandiri seperti mandi di kamar mandi. Pasien selalu dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas secara bertahap karena peningkatan aktivitas secara bertahap akan meningkatkan kekuatan dan mencegah pasien beraktivitas terlalu berat, meningkatkan sirkulasi kolateral dan mengembalikan pada pola hidup yang normal sesegera mungkin. Saat pasien beraktivitas, residen selalu mengevaluasi adanya sesak nafas, disritmia, kelemahan, diaporesis atau kelelahan. Tanda dan gejala ini merupakan indikasi adanya kekurangan oksigen di jantung. Jika gejala tersebut muncul perawat dapat segera memberikan tindakan pemberian oksigen, pengobatan atau menghentikan aktivitas pasien. Sampai hari ke 4 Tn R tidak mengalami tanda dan gejala ini sehingga dinyatakan pasien mencapai adaptasi compensatory karena pasien tidak boleh melakukan aktivitas berat sampai kurang lebih 2 minggu. d. Risiko perdarahan berhubungan dengan efek tindakan PCI dan terapi antikoagulan PCI merupakan tindakan yang sering dilakukan pada pasien dengan STEMI. Diantara pasien STEMI, 55,8 % dilakukan tindakan reperfusi dan 20,7 %
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
58
dilakukan reperfusi dengan Primary PCI dan 35,1% dengan fibrinolitik. Diantara pasien yang dilakukan Primary PCI dalam kelompok ini, 45,4% mendapat terapi glycoprotein IIb/IIIa inhibitor dan 70.7% dilakukan intracoronary stent (Theroux, 2011). Pasien mendapatkan terapi reperfusi dengan tindakan Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) dengan pertimbangan onset nyeri masih 5 jam, tersedia fasilitas tindakan PPCI yang dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam dan pasien setuju untuk dilakukan tindakan tersebut. Risiko perdarahan diartikan sebagai risiko pada penurunan volume darah yang dapat membahayakan kesehatan (Herdman, 2012). Pasien berisiko mengalami perdarahan karena baru saja menerima tindakan PCI 2 jam yang lalu, dan menerima pemberian obat-obatan anti koagulan dan anti trombotik dosis tinggi (asiplet 320 mg, plavix/clopidogrel 600 mg, integrilin 14,5 cc bolus). Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) (2010) menyampaikan bahwa risiko perdarahan harus diperhatikan bila memutuskan strategi invasif dalam penanganan penyakit. Kombinasi obat akan meningkatkan risiko perdarahan dan risiko perdarahan makin meningkat dengan dosis obat antitrombotik yang lebih tinggi, lama pengobatan, kombinasi beberapa obat antitrobotik. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa aspilet, plavik dan integrilin merupakan obat golongan antitrombotik. Selain itu pasien juga diberikan heparin sebagai antikoagulan saat dilakukan tindakan PCI. Obat –obat tersebut berefek pada peningkatan masa perdarahan sehingga pasien mudah mengalami perdarahan. Saat ini luka bekas insersi kateter masih tertutup nichiban, namun perawat harus selalu memonitor adanya tanda komplikasi perdarahan secara periodik. Intervensi yang dilakukan pada pasien antara lain memonitor hasil pemeriksaan masa perdarahan sesuai program. Hasil ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan perdarahan sehingga dokter dapat menentukan terapi selanjutnya. Residen juga selalu memonitor adanya perdarahan aktif pada area insersi di radialis kanan dan IV line di radialis kiri yang masih terpasang selang infus dan berbagai cairan yang keluar dari tubuh
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
59
seperti urin dan feses. Monitoring ini dilakukan dengan rasional bahwa terapi antikoagulan
maupun
antitrombotik
dapat
menimbulkan
terjadinya
perdarahan baik internal maupun eksternal. Mempertahankan nichiban sampai 6 jam post prosedur dan melakukan pengendoran. Observasi status neurologi dilakukan sebagai deteksi dini adanya tanda dan gejala perdarahan intrakranial. Nyeri punggung bawah juga dikaji untuk mengidentifikasi adanya perdarahan retroperitoneal. Hari pertama, setelah 6 jam nichiban dikendorkan kemudian diganti dengan kasa. Sampai hari kelima, pasien mencapai adaptasi Compensatory yang ditunjukkan dengan pasien tidak mengalami perdarahan yang ditunjukkan dengan: tidak ada hematom, perdarahan eksternal pada area insersi, tidak ada nyeri punggung akut yang mengindikasikan perdarahan retroperitoneal dan perawat selalu memonitor tanda perdarahan dan menurunkan risiko perdarahan yang selalu tercatat dalam catatan keperawatan. Setelah pulang pada hari kelima, pasien masih mungkin mengalami perdarahan karena pasien masih mengkonsumsi terapi antitrombotik. Pasien dilakukan pemasangan stent 1 BMS di RCA. Bagi pasien yang mendapat Bare Metal Stent (BMS) , clopidogrel 75 mg/hari harus diberikan selama 1 bulan dan idealnya selama 1 tahun. Jika risiko perdarahan meningkat, clopidogrel minimal diberikan selama 2 minggu (Kelas I-B) (Karo & Kaunang, 2010). Hasil penelitian mengatakan bahwa penghentian antitrombotik secara mendadakatau kurang dari 6 bulan akan berisiko meningkatkan kejadian reoklusi(Hillis,2011) e. Risiko konstipasi berhubungan dengan bed rest dan diit lunak Risiko konstipasi didefinisikan sebagai risiko penurunan frekuensi normal buang air besar disertai dengan bagian yang sulit atau tidak lengkap dari tinja dan / atau bagian yang terlalu keras, feses kering (Herdman, 2012). Masalah ini terjadi karena ketidaknyamanan pasien untuk BAB selama masih bed rest. Pasien masih diberikan diit lunak dan aktivitasnya masih dibatasi. Intervensi keperawatan yang dilakukan residen untuk mengatasi masalah ini secara regulator adalah memberikan diet berserat dan intake cairan yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
60
cukup karena serat dan cairan dapat mencegah ketegangan kolon. Memberikan obat laxadine 3x1 sendok teh. Laxadine merupakan obat laxansia yang berisi phenolpthalein, parafin dan glycerin yang berfungsi untuk merangsang peristaltik usus besar, mencegah reabsorbsi air dan melicinkan jalannya feses. Secara cognator menganjurkan pasien untuk mencegah ketegangan dan menghindari valsava manuver seperti tindakan mengejan. Feses yang lembek menurunkan beban kerja jantung akibat ketegangan. Sedangkan valsava manuver dapat menyebabkan bradikardi dan menurunkan cardiac output. Menganjurkan pasien untuk BAB menggunakan commode. Penggunaan commode akan menurunkan ketegangan dan response vasovagal (Black & Hawks, 2009). Pasien mencapai adaptasi integrated pada hari ke-3 setelah pasien diperbolehkan untuk BAB di kamar mandi. Proses adaptasi terjadi setelah pasien diperbolehkan beraktivitas lebih laluasa. Pasien seharusnya mampu BAB dalam waktu 2 hari tetapi hal ini tidak tercapai karena kenyamanan dan privasi merupakan hal yang penting bagi pasien, sedangkan di ruang CVC 1 ruang digunakan untuk merawat 6 pasien dan jarak pasien satu dengan yang lain berdekatan. f.
Risiko Gula darah tidak stabil berhubungan dengan ketidakefektifan monitoring gula darah Risiko gula darah tidak stabil didefinisikan sebagai variasi kadar glukosa dari rentang normal yang menyebabkan gangguan kesehatan (Herdman, 2012). Pasien sudah didiagnosa menderita penyakit Diabetes Melitus (DM) sejak tahun 2004 namun pasien jarang kontrol dan tidak melakukan pengobatan secara rutin. Pasien mengatakan bahwa apabila ia minum banyak obat maka ginjalnya akan rusak sehingga akibatnya pasien tidak minum obat untuk mengendalikan gula darahnya. Berdasarkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, seseorang yang tidak dapat mengintegrasikan antara dirinya dengan lingkungan dan adaptasi terjadi secara compromise maka akan muncul suatu masalah (Roy & Andrew, 1999).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
61
Gula darah sewaktu pasien saat diperiksa di RS Pondok Kopi 453 mg%, di RSJPDHK 282 mg%. Kadar ini tergolong tinggi dan perlu dilakukan tindakan agar pasien mampu beradaptasi secara integrated. Insiden CAD terjadi 2-4 kali lebih tinggi pada pasien diabetes meskipun pada mereka yang gula darahnya terkontrol (Lewis., et al 2011). Tiga puluh persen (30 %) pasien dengan penyakit kardiovaskular menderita DM (Lilly, 2007). Pasien dengan diabetes mellitus terjadi kecenderungan degenerasi jaringan konektif dan disfungsi endothelial (Lewis., et al 2011). Tn R mengalami peningkatan gula darah yang berfluktuasi sehingga perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut akibat glukosa yang tinggi. Setelah 5 hari perawatan, kadar gula darah Tn R sudah stabil pada level 100130 mg/dL dengan penggunaan terapi insulin secara drip mulai 2 u/jam sampai 0,5 unit/jam dan kemudian diganti dengan lantus 1x16 unit/hari. Insulin merupakan obat anti diabetic short acting sedangkan lantus merupakan golongan long acting yang diberikan 1 x sehari. Keduanya bekerja dengan cara menambah suplai insulin untuk menurunkan beban pancreas memproduksi insulin. 3.3.2
Mode Adaptasi Konsep Diri
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup. Pasien adalah seorang pegawai negeri sipil di dinas perhubungan di bagian personalia yang sarat dengan konflik karena berkaitan dengan banyak personil. Menurut istri pasien, pasien jarang menyampaikan permasalahan kantor kepada istrinya dan hanya merokok ketika memiliki masalah. Pasien mengalami serangan jantung seperti yang saat ini dirasakan baru pertama kali ini. Diagnosa medis pasien Akut STEMI inferior onset 5 jam, Killip I, TIMI 3/14, DM tipe 2, Hipertensi grade I, Post PCI dengan 1 BMS di Mid RCA dan POBA di PDA. Inkomplit revaskularisasi. Pasien didiagnosa menderita hipertensi tahun 2005, didiagnosa penyakit gula tahun 2004. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
62
muda, sehari 1 bungkus dan baru berhenti setelah masuk rumah sakit. Pasien juga memiliki kebiasaan makan masakan padang yang bersantan dan kebiasaan jarang berolah raga meskipun pasien mengatakan setiap hari naik tangga untuk sampai di ruangan kantornya. Dari data di atas, pasien memiliki faktor risiko yang cukup banyak seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok, kemungkinan dislipidemi, dan stress yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi menjadi semakin buruk sehingga mengalami komplikasi bila tidak dikendalikan. Berdasarkan TIMI risk, pasien masih berada pada rentang risiko ringan yaitu 3/14. Namun demikian pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisi penyakit jantungnya beserta berbagai faktor risikonya agar dapat dikendalikan dan terkontrol melalui kesadaran pasien sendiri. Tujuan keperawatan untuk masalah ini adalah pasien dan keluarga mampu belajar tentang penatalaksanaan medis dan perubahan pola hidup yang ditunjukkan dengan pemahaman tentang serangan jantung dan perlunya merubah pola hidup seperti diit, pengobatan, penurunan stress, berhenti merokok, penurunan berat badan, tekanan darah dan kolesterol. Target yang harus berubah pola hidup bukan hanya pasien tetapi seluruh anggota keluarga karena keluarga merupakan suatu sistem dan pasien salah satu anggta sistem tersebut sehingga bila ada salah satu anggota yang mengalami gangguan makan seluruh keluarga juga akan terganggu. Pasien dan keluarga terutama istri sebagai orang terdekat harus memahami tentang apa, bagaimana dan mengapa perawatan dan pengobatan harus dilakukan termasuk perubahan pola hidup. Residen melakukan beberapa tindakan seperti memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit jantung koroner secara verbal dan menggunakan leaflet untuk mengatasi masalah ini. Pasien dan istri juga dijelaskan tentang faktor risiko yang ada pada pasien, memberikan dukungan bahwa pasien harus mulai merubah pola hidupnya seperti pola makan yang tidak berlemak tinggi, berhenti merokok, mengontrol tekanan daran dan gula darah secara teratur dan obat diminum secara teratur, olah raga teratur minimal 30 menit sehari dan manajemen stress dengan melakukan katarsis (bercerita dengan istri sebagai orang terdekat) atau melakukan relaksasi dengan latihan pernafasan. Saat pulang pasien dijelaskan kembali
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
63
tentang obat-obat yang dibawa pulang termasuk fungsi dan efek sampingnya. Menganjurkan pasien untuk kontrol dan kalau perlu mengikuti program rehabilitasi. Dengan berbagai informasi tentang penyakit, faktor risiko yang ada pada pasien, pola hidup yang perlu dirubah seperti berhenti merokok, diit, aktivitas, manajemen stress dan pengobatan diharapkan pasien dan keluarga memahami dan dapat menerapkannya dengan kesadaran yang tinggi akan manfaat tindakan tersebut. pasien sudah mampu beradaptasi secara compensatory pada hari kelima. Tanggal 2 April 2012 saat pasien kontrol dan saat dihubungi melalui telepon pada tanggal 13 Mei 2012, pasien sudah mencapai adaptasi integrated yang ditunjukkan dengan pasien sudah tidak merokok sama sekali, tekanan darah 120/80 mmHg dan gula darah puasa 91 mg/dL, pasien minum obat teratur sesuai program, pasien mengatakan sudah mencoba untuk tidak terlalu stress dengan mengalihkannya dengan membaca koran, sudah berolah raga jalan kaki setiap pagi minimal 30 menit. Pasien sudah dilakukan pemasangan stent Drug Eluting Stent (DES) di LAD dan LCx pada tanggal 7 Mei 2012. Adaptasi secara integrated tercapai setelah pasien dan keluarga mulai menerapkan pola hidup sehat di rumah. Pasien mampu menjalani perubahan pola hidupnya dengan baik dengan dukungan istri yang sangat besar. 3.3.3
Mode Adaptasi Fungsi Peran: tidak ditemukan
Permasalahan pada mode adaptasi fungsi peran tidak ditemukan pada Tn R karena perilaku pasien sudah menunjukkan adaptasi integrated. 3.3.4
Mode Adaptasi Interdependen : tidak ditemukan
Permasalahan pada mode adaptasi interdependen ditemukan pada Tn R karena perilaku pasien sudah menunjukkan adaptasi integrated. 3.4 Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 30 Kasus Kelolaan Residen melakukan praktik pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular selama 2 semester di RSPAD Gatot Soebroto dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
64
RSJPD Harapan Kita, Jakarta. Residen akan memberikan gambaran sejumlah 30 kasus yang dilakukan asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, dan untuk memudahkan analisis maka kasus dibagi dalam empat kelompok besar yaitu Acut Coronary Syndrom, Heart failure, Disritmia dan Bedah Jantung. Sebelum dilakukan analisis, berikut akan disampaikan ringkasan tentang jenis kasus, usia, jenis kelamin pasien kelolaan yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 3.1 Gambaran Jenis Kasus, Usia, Jenis Kelamin Pasien Kelolaan (n=30) Usia Kelompok Kasus
Acut Coronary Syndrome
Kriteria (dalam tahun) 20-40 41-60 >60
%
Kriteria
Jumlah
%
1 8 5 14 1 5 0 6 0 2 2 4 1 5 0 6
7 57 36 100 17 83 0 100
Laki-laki
12
86
Perempuan
2
14
14 4 2
100 67 34
14 (47%)
Laki-laki Perempuan
6 3
100 75
6 (20%)
1
25
4 5
100 83
1
17
6
100
20-40 41-60 >60
Sub Total 20-40 41-60 >60
Disritmia Sub Total Bedah jantung
Total Jumlah kasus
Jumlah
Sub Total Heart Failure
Jenis kelamin
20-40 41-60 >60
Sub Total
50 50 100 17 83 0 100
Laki-laki Perempuan
Laki-laki Perempuan
Total Kasus
4 (13%)
6 (20%) 30 (100%)
Sumber : data primer 3.4.1
Mode Adaptasi Fisiologis
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode adaptasi fisiologis, dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi: Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskular, perfusi), Nutrisi (fungsi pencernaan dan metabolik), Cairan dan elektrolit (cairan, elektrolit, asam basa), Aktivitas dan istirahat, Proteksi (proses
imunitas,
integumen,
rambut,
kuku,
perubahan
suhu,
trauma),
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
65
Perasaan/the sense (penglihatan, pendengaran, perabaan, rasa dan bau, nyeri), Fungsi syaraf (syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi), Fungsi endokrin (hormonal). Kelengkapan data yang perlu ditambahkan pada sistem kardiovaskular, antara lain data pemeriksaan diagnostic seperti hasil rekaman Elektrokardiografi (EKG), hasil
pemeriksaan
Echokardiografi,
Hasil
tindakan
Corangiografi,
hasil
pemeriksaan foto thorak atau pemeriksaan lain yang menunjang seperti Multy Slice Computerize Tomografi (MSCT) dan hasil pemeriksaan vaskuler. 3.4.1.1 Kasus Acut Coronary Syndrome (ACS) Perilaku yang sering muncul pada kasus ACS, adalah rasa nyeri dada yang khas cardiac maupun rasa tidak nyaman di dada. Stimulus yang sering ditemukan antara lain: pada stimulus fokal hal utama yang menyebabkan adaptasi fisiologis compromise adalah adanya oklusi di pembuluh darah koroner, kontraksi jantung tidak optimal sekunder akibat kurangnya suplai oksigen ke otot jantung, sedangkan stimulus kontekstual yang sering ditemukan adalah kondisi lingkungan internal yang mendukung stimulus fokal yaitu pada hasil EKG: menunjukkan adanya iskemi, injuri atau infark jantung. Stimulus residual yang paling sering ditemukan dan mendukung terjadinya masalah keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular adalah faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti yang tertulis dalam teori yaitu bahwa pasien memiliki kebiasaan merokok, adanya riwayat hipertensi dan diabetes melitus, pola makan yang tidak sehat seperti kebiasaan makan daging dan makanan berlemak dan jarang berolah raga. Setiap pasien yang ditemui pasti mempunyai dua sampai lima faktor risiko. Masalah Keperawatan yang sering muncul pada kelompok kasus ACS adalah nyeri dada, gangguan perfusi jaringan miokard, actual atau risiko penurunan Cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung, risiko perdarahan bila dilakukan tindakan reperfusi. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ACS dan implikasi perubahan pola hidup.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
66
Tujuan keperawatan yang ditetapkan pada kelompok kasus ACS untuk STEMI dan NSTEMI adalah dalam waktu 5 hari agar perfusi ke jaringan miokard adekuat sesuai dengan Clinical Pathway yang diterapkan di RSJPDHK. Secara umum, pasien pada kelompok kasus ACS dapat beradaptasi secara Compensatory pada hari ke 3 setelah proses koping secara regulator maupun cognator terjadi. Nyeri yang dirasakan biasanya berkurang atau hilang saat pasien masih di IGD dengan pemberian nitrat dan antitrombotik. Perfusi miokard mulai mengalami evolusi sejak hari I dan terus membaik ditunjukkan dengan gambaran EKG yang mengalami perubahan signifikan setelah 3 hari perawatan, kondisi umum pasien juga akan mulai membaik, aktivitas sudah meningkat bertahap tanpa disertai tanda gejala penurunan cardiac output atau penurunan perfusi miokard, namun proses koping secara regulator terus dilakukan dengan pemberian obatobatan seperti heparinisasi yang targetnya selesai pada hari kelima. Pasien STEMI atau NTEMI yang dilakukan tindakan PPCI atau PTCA, pasien beradaptasi sampai hari kelima. Bila tidak mengalami komplikasi pasien akan pulang hari ke 5 atau 6 sedang bila terjadi komplikasi, kondisi tidak dapat diprediksi karena pasien ada yang kemudian dipasang Intra Aortic Baloon Pump (IABP) bahkan Continous Vena Venous Hemofiltrasi (CVVH) atau akhirnya meninggal akibat komplikasi. 3.4.1.2 Kasus Heart Failure (HF) Perilaku yang sering muncul pada kasus heart failure antara lain rasa sesak nafas terutama saat beraktivitas, adanya edema di tungkai dan suara nafas ronchi basah halus di bagian basal paru. Stimulus fokal yang sering muncul adalah afterload yang tinggi atau preload yang tidak adekuat. Stimulus kontekstual yang mendukung adalah hasil echo sering menunjukkan gangguan pergerakan otot jantung seperti hipokinetik sampai akinetik dan penurunan fraksi ejeksi, regurgitasi akibat kelainan katup jantung dan pembesaran jantung (hipertrofi). Stimulus residual yang sering ditemukan adalah adaya riwayat penyakit hipertensi, DM, CAD, dan mekanisme koping yang tidak efektif.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
67
Pada kelompok kasus HF, masalah yang sering muncul adalah penurunan cardiac output, pertukaran gas tidak efektif, kelebihan volume cairan, intoleransi aktivitas dan risiko kerusakan itegritas kulit. Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien dengan HF bertujuan untuk meningkatkan perfusi oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output dan mengeluarkan kelebihan cairan baik di paru maupun jaringan interstitial lainnya. Pencapaian tujuan rata-rata tercapai dalam waktu 7 hari, setelah perawatan selama kurang lebih 7 hari kondisi pasien membaik, sesak nafas hilang, ronchi tidak terdengar lagi, aktivitas meningkat dan mulai memenuhi kebutuhan secara mandiri tanpa keluhan sesak nafas. Kondisi akut pada pasien HF dapat teratasi meskipun perawatan selanjutnya ditujukan untuk memperbaiki kondisi hingga 2 minggu. Pada pasien HF dengan komplikasi kegagalan multy organ akan menjalani perawatan lebih lama bahkan berbulan-bulan akibat kegagalan organ yang lain seperti gagal ginjal akut maupun kronis. 3.4.1.3 Kasus Disritmia Disritmia merupakan gangguan pada ritme jantung. Disritmia sering terjadi pada pasien dengan gangguan jantung ataupun pada pasien dengan kondisi jantung yang normal (Black & Hawks, 2009). Perilaku yang ditemukan pada kasus disritmia adalah kelainan irama pada gambaran elektrokardiogram yang diikuti keluhan pusing, berdebar-debar atau rasa lemah dan sinkop. Keluhan pusing, sinkop dan rasa lemah muncul karena terjadi penurunan cardiac output sebagai akibat dari kontraktilitas jantung yang tidak efektif. Masalah keperawatan yang sering muncul pada kelompok kasus disritmia, adalah actual atau risiko penurunan cardiac output dan intoleransi aktivitas sebagai akibat dari penurunan cardiac output. Masalah keperawatan ini perlu ditangani segera karena dapat mengancam jiwa jika perfusi otak tidak adekuat. Secara umum tujuan manajemen pasien dengan disritmi adalah untuk mengontrol disritmi dan mencegah terjadinya komplikasi. Peran perawat adalah melakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
68
monitoring tanda dan gejala adanya penurunan cardiac output dan memberikan pendidikan kesehatan pada pasien tentang obat yang diberikan serta perawatan pasien yang terpasang Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Tujuan yang ditetapkan pada kelompok kasus disritmia adalah dalam waktu 1 shift sampai 1 hari rate dan ritme kembali pada pola dasar. Pasien yang memerlukan tindakan invasive memerlukan waktu lebih lama sampai dijadualkan dilakukan intervensi seperti pemasangan Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Adaptasi pasien biasanya tercapai setelah pemberian obat antiaritmia seperti amiodaron, ATP atau lanoxin. Evaluasi gambaran EKG dilakukan saat itu karena gambaran EKG pasien dengan disritmia akan selalu dimonitor. Pasien dengan gangguan konduktivitas akan mencapai adaptasi setelah dilakukan pemasangan Temporary Pace Maker atau Permanent Pace maker. Setelah diberikan terapi obat atau tindakan invasive 3.4.1.4 Kasus Bedah Jantung Residen merawat pasien bedah jantung di ruang Intensive Care Unit (ICU). Pasien pada kelompok kasus bedah jantung sering ditemukan perilaku: terpasang ventilator, kesadaran masih dalam pengaruh anaestesi dan sedasi, terdapat luka sternotomy dan insisi di kaki bagian medial, drain substernal dan intrapleura, hemodinamik tidak stabil, pasien terpasang berbagai alat seperti kateter swanganz, kateter Central Venous Presure (CVP), IV line, Arteri line dan kateter urin. Pasien mulai sadar setelah 6-8 jam post operasi dan mulai dilakukan pelepasan ETT kemudian pasien mulai belajar batuk dan nafas dalam. Pasien mulai merasakan nyeri pada hari pertama post operasi setelah sadar dan dosis analgetik IV diturunkan kemudian diganti oral. Masalah keperawatan yang sering muncul pada kelompok ini adalah actual atau risiko penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, jalan nafas tidak efektif, risiko deficit volume cairan akibat perdarahan, risiko infeksi, nyeri luka operasi, beberapa pasien mengalami disfungsi respon penyapihan ventilator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
69
Pada kelompok kasus bedah jantung yang tanpa komplikasi, dalam waktu 7 hari pasien sudah mampu beraktivitas optimal sesuai toleransi dan pada hari ke 8 pulang. Pada kasus yang mengalami komplikasi kegagalan organ yang lain seperti ginjal, paru atau bahkan otak maka residen sulit memprediksi waktu untuk tujuan jangka panjang sehingga penetapan tujuan dilakukan untuk jangka pendek dalam 1 hari karena kondisi pasien sulit sekali diprediksikan. Secara umum, intervensi keperawatan yang sering diterapkan agar pasien mampu beradaptasi pada seluruh kelompok kasus antara lain : Cardiac Care: Acut, Cardiac Care: Rehabilitative, Shock Management: cardiac, Circulatory Care: Arterial Insufisiensi, Hemodynamic Regulation, Dysrhythmia Management, Airway Management, Respiratory Monitoring, Oxygen Therapy, Acid-based Management, Fluid Management, hypovolemia management, Pain Management, Bleeding precaution, Bleeding Reduction, Teaching: Disease Process, Teaching: Prescribe Activit/Exercise. Teaching: Prescribe Diet, Teaching: Prescribe Medication, Medication Administration, Analgesic Administration, Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support, Constipation/ Impaction Management. Incision site care, infection protection. 3.4.2
Mode Adaptasi Konsep Diri
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Konsep Diri dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi Physical self yang fokusnya adalah bagaimana pasien memandang diri sendiri, dan hal-hal yang berhubungan dengan kehilangan, Personal self
yang fokusnya mengkaji konsistensi, ideal diri, moral, etik,
spiritual, seksual, rasa cemas dan takut. Pengkajian perilaku Adaptasi konsep diri pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang terjadi pada seting IGD dan ICU seringkali mengalami kendala karena kondisi pasien masih akut dan aktivitas sangat dibatasi termasuk untuk melakukan wawancara. Residen dapat melakukan pengkajian mode Adaptasi Konsep Diri lebih mendalam di ruang CVC dan GP 2 lantai 3.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
70
Perilaku tidak adaptif yang biasanya muncul pada mode ini adalah rasa ketidakberdayaan akibat kondisinya, hal ini ditemukan pada kelompok kasus HF. Pada kasus yang lain rata-rata perilaku pada mode ini masih adaptif sehingga tidak menimbulkan masalah keperawatan. Pengkajian tentang seksual tidak pernah dilakukan karena waktu yang singkat, tidak cukup membuat residen mampu membina hubungan saling percaya dengan pasien. Hasil pengkajian stimulus yang menyebabkan perilaku pasien tidak adaptif dan sering ditemukan pada mode ini antara lain adanya kelemahan fisik karena pada pasien dengan HF yang dirawat di RS EF pasti sudah dibawah 40%, Masalah keperawatan yang muncul pada mode ini adalah kecemasan dan ketidakberdayaan berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan keperawatan ditetapkan untuk mencapai adaptasi tingkat Compensatory sampai integrated dalam waktu 7 hari masa perawatan. Intervensi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan adalah Anxiety Reduction, Coping Enhancement, Decision Making Support Pada tahap evaluasi, adaptasi dengan lingkungan dapat dicapai setelah pasien mendapat perawatan selama 7 hari dan bahkan lebih, pengalaman residen merawat sampai 10 hari baru pasien mau menerima kondisinya yang diketahui dari ungkapan pasien sendiri. Evaluasi lanjut untuk Adaptasi mode ini tidak dapat diikuti sampai pasien mencapai adaptasi integrated 3.4.3
Mode Adaptasi Fungsi Peran
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Fungsi peran dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi pengkajian pola interaksi dalam peran primer, sekunder dan tersier. Pengalaman residen menyimpulkan bahwa perilaku tidak adaptif yang menimbulkan masalah keperawatan pada mode ini adalah interaksi yang kurang baik antara suami istri pada beberapa pasien. Berdasarkan pengamatan residen kondisi ini terjadi khususnya pada pasien HF yang jaminan pembayarannya Gakin
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
71
atau jamkesda. Nampak bahwa terjadi gangguan fungsi peran ketika pasien berada di rumah sakit karena mempengaruhi kondisi keuangan keluarga ketika pasien sebagai kepala keluarga sakit sehingga tidak dapat bekerja. Stimulus yang mempengaruhi perilaku tidak adaptif adalah terjadinya konflik peran. Masalah yang muncul adalah gangguan fungsi peran dan tujuan ditetapkan agar pasien dan keluarga mampu beradaptasi dan menerima kondisi pasien apa adanya. Intervensi : Role Enhancement, Self Esteem Enhancement, Self awareness Enhancement. Pengalaman residen dalam evaluasi pada mode ini membutuhkan waktu cukup lama, perubahan pada pasien menjadi menerima, tidak agresif, lebih kooperatif setelah pasien dirawat selama 1 minggu. 3.4.4
Mode Adaptasi Interdependen
Berdasarkan pengalaman praktik residensi yang dilakukan selama 2 semester, pengkajian perilaku pada mode Adaptasi Interdependensi dilakukan sesuai dengan teori yang ada meliputi (Fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian). Secara umum, pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular yang diberikan asuhan keperawatan oleh residen tidak menunjukkan perilaku maladaptive pada mode ini. Ada 2 pasien yang menunjukkan adanya respon pasien defensive secara verbal ketika diberikan pendidikan kesehatan dan selalu mencari alasan bahwa pola hidup sehat yang dianjurkan perawat tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bahwa keluarganya sudah tidak peduli lagi dengan dirinya. Stimulus yang ditemukan: perpisahan dengan pasangan, hubungan dengan keluarga kurang harmonis. Masalah yang muncul antara lain: koping defensive, risiko kesepian.Tujuan yang ditetapkan pada mode ini diharapkan pasien kooperatif dalam perwatan dan pengobatan yang diberikan. Intervensi: Coping Enhancement, Self awareness Enhancement, Conseling Pengalaman residen dalam evaluasi pada mode ini membutuhkan waktu singkat, dalam sehari pasien sudah kooperatif untuk beberapa pasien yang mendapatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
72
dukungan dari keluarga. Namun ditemukan pasien yang akhirnya minta pulang paksa karena merasa tidak ada perbaikan dan satu orang yang sampai 2 minggu perawatan tetap belum bisa pulang karena tidak ada keluarga yang mengurusnya. 3.5 Refleksi Penerapan Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy Residen melaksanakan praktik keperawatan di RSPAD Gatot Soebroto di ruang perawatan jantung lantai 2, IWB lantai IV dan OK untuk kasus perioperatif. Di RSJPD Harapan Kita residen melaksanakan praktik keperawatan di ruang IGD, CVC, OK, ICU, Diagnostik noninvasive dan rehabilitasi. Berdasarkan pengalaman residen dalam menerapkan teori keperawatan Model Adaptasi Roy, teori ini efektif diterapkan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Pada tahap pengkajian perilaku, sudah sangat jelas disampaikan oleh Roy tentang perilaku apa saja dan beberapa diberikan contoh cara mengkaji perilaku tersebut. Pada saat diterapkan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular, pengkajian perilaku dan stimulus dapat diterapkan lebih optimal pada seting ruang rawat biasa dimana kondisi pasien sudah stabil dan tidak berisiko tinggi mengalami penurunan Cardiac output atau gangguan perfusi otot jantung akibat aktivitas sedang. Pada seting ruangan yang membutuhkan monitoring intensive seperti di OK, ICU, CVC, tidak semua item dalam pengkajian perilaku maupun stimulus dari keempat mode adaptasi yang dianjurkan dapat dilakukan oleh residen secara optimal. Pada seting gawat darurat, kondisi pasien dalam keadaan gawat sehingga pengkajian hanya dilakukan pada tanda dan gejala (perilaku) maladaptive yang saat ini mengganggu adaptasi fisiologis. Mode adaptasi konsep diri, peran dan interdependent juga tidak dapat dikaji secara mendalam. Pada seting ruangan di CVC, pengkajian yang membutuhkan data hasil wawancara tidak dapat dilakukan secara optimal karena kondisi pasien pada umumnya lemah dan dibatasi aktivitasnya termasuk untuk berbicara terlalu banyak. Kondisi pasien di ICU memerlukan monitoring ketat dari perawat karena pada umumnya kesadaran masih terpengaruh oleh efek sedasi, efek anaestesi dan obat-obat lain selama operasi. Perilaku yang dikaji diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dan diagnostic.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
73
Pengkajian stimulus yang dianjurkan oleh Roy tidak mudah untuk diterapkan pada seting IGD, CVC, ICU karena kondisi pasien masih lemah, belum stabil dan aktivitasnya masih dibatasi. Hal yang dirtemukan residen pada tahap pengkajian perilaku dan stimulus ini adalah terjadi ambiguitas antara hasil pemeriksaan yang merupakan perilaku atau merupakan stimulus seperti hasil pemeriksaan EKG, Echocardiografi. Keduanya dapat ditetapkan sebagai perilaku tetapi disaat lain dapat ditetapkan sebagai stimulus. Penegakan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus ditetapkan mengacu pada diagnosa yang ditetapkan NANDA. Roy tidak menetapkan intervensi spesifik untuk tiap diagnosa berdasarkan Model Adaptasi Roy yang menjelaskan tentang mekanisme koping pada subsistem regulator dan cognator sehingga residen menetapkan tujuan dan intervensi mengacu pada NOC dan NIC yang merupakan rangkaian NANDA yang secara umum sudah mencakup berbagai intervensi untuk memanajemen stimulus melalui mekanisme koping secara regulator maupun cognator untuk mencapai adaptasi. Meskipun Roy tidak secara ekspisit menetapkan intervensi secara spesifik namun Roy memberikan arahan bahwa evaluasi keperawatan dianalisis berdasarkan perilaku adaptasi yang dicapai oleh pasien pada keempat mode adaptasi. Evaluasi terhadap pencapaian adaptasi dapat diterapkan sesuai teori yang ada. Analisis intervensi dapat dilakukan pada setiap diagnosa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 4 PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR 4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review) Setelah melakukan analisis dari beberapa jurnal tentang nyeri, operasi bedah jantung dan terapi komplementer yang dapat dilakukan oleh perawat serta memungkinkan diterapkan di RSJPDHK, Jakarta, maka residen tertarik untuk menerapkan hasil penelitian tentang terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. Pertimbangan dan justifikasi residen memilih hasil penelitian ini akan dipaparkan dalam bahasan sebagai berikut: Operasi pintas koroner dilakukan pada pasien dengan CAD untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang hidup (Martin & Turkelson, 2006). Berbagai komplikasi dapat terjadi pada pasien sehingga perawat perlu membantu pasien dalam beradaptasi dengan lingkungannya agar kualitas hidup pasien optimal. Pasien paska operasi pintas koroner akan selalu diberikan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk membantu pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi respirasi (Black & Hawks, 2009). Pasien paska operasi pintas koroner akan mengalami nyeri akibat luka sternotomy, terlebih pada saat nafas dalam dan batuk efektif sehingga dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Latihan batuk dan adanya luka sternotomy merupakan stimulus yang dapat menyebabkan adaptasi pasien inefektif bila tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi nyerinya. Sesuai dengan teori MAR, perawat berperan dalam memanipulasi lingkungan dengan mengurangi stimulus yang menyebabkan masalah dan meningkatkan stimulus yang mendukung proses adaptasi. Menurut Milgrom., et al (2004), nyeri saat batuk efektif memiliki skore nyeri tertinggi dengan rata-rata nyeri 6,5 dari rentang 10 pada hari pertama dan menurun menjadi 5,4 dan 5,1 pada hari kedua dan ketiga. Nyeri akibat nafas dalam juga memiliki skore tinggi yaitu 4,4 pada hari kedua. Seiring dengan penelitian Yorke, Wallis dan McLean (2004, dalam Chailler, Ellis, Stolarik & 74
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
75
Wooden, 2010) yang mencatat bahwa 95% pasien (n=102) menyampaikan bahwa batuk efektif merupakan aktivitas yang yang paling nyeri setelah operasi. Nyeri dapat dikurangi dengan terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat melalui pemberian terapi komplementer yang salah satunya adalah pemberian terapi dingin. Serabut saraf perifer distimulasi dan dilokalisasi sehingga terjadi perubahan aliran darah dan aktivitas metabolik yang akan meningkat dengan terapi panas dan diturunkan dengan terapi dingin (Baxter dan Dalas, 2003 dalam Lane and Latham, 2009). Terapi dingin diyakini efektif digunakan dalam klinik, merupakan teknik nonfarmakologi yang bekerja sebagai analgetik untuk manajemen nyeri akut atau kronik pada level ringan sampai sedang (Lane dan Latham, 2009). Penelitian lain yang mendukung bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri adalah hasil penelitian Chou dan Liu (2008) yang menyatakan bahwa cryotherapy dapat menurunkan ketidaknyamanan post operasi seperti rasa panas, nyeri dan bengkak dan dry cryotherapy lebih efektif menurunkan suhu lokal pada area setelah operasi. Senada dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa hasil uji statistik dengan analisis varian menunjukkan adanya penurunan nyeri yang signifikan antara sebelum dan setelah latihan setelah diberikan gelpack (p < 0.001pada α 0,05). Seluruh partisipan 32 (100%) menyatakan akan menggunakan gelpack untuk kesempatan yang akan datang. Terapi ini biaya dan risikonya rendah dan dapat dengan mudah diintegrasikan dalam praktik keperawatan selama coldpack tersedia di rumah sakit. Dengan pengamatan perawat, terapi dingin aman dan efektif sebagai modalitas manajemen nyeri (Chailler, Ellis, Stolarik & Wooden, 2010). Hal ini juga didukung dalam jurnal yang ditulis Lane dan Latham (2009) yang menyampaikan tentang pertimbangan penanganan nyeri menggunakan terapi dingin berbasis Evidence Based Practice, yaitu:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
76
a. Peralatan Terapi dingin dapat diterapkan menggunakan peralatan sederhana dan tidak mahal seperti gelpack yang dapat dimodifikasi dengan serpihan es yang dikemas dalam plastik anti bocor. b. Kontrol infeksi Pembungkus yang digunakan dapat didisinfeksi, hanya ditempelkan pada kulit yang sehat/ atau tertutup sehingga risiko infeksi minimal dan alat digunakan kembali c. Pertimbangan keamanan Masukkan dalam microwave atau freezer untuk memanaskan atau mendinginkan alat. Alat pemanas atau pendingin yang digunakan harus aman dan dicek oleh bagian teknik yang kompeten di bidangnya. d. Biaya Gelpack yang dapat dimodifikasi dengan serpihan es yang dikemas dalam plastik anti bocor mudah diperoleh dan alat pendinginnya juga banyak ditemukan di RS sebagai fasilitas yang umum sehingga biaya penerapan terapi dingin terjangkau. e. Rekomendasi Praktik Semua pasien harus dikaji dan dimonitor tingkat nyerinya secara regular untuk memonitor efektivitas intervensi. Pada saat yang tepat terapi dingin sebaiknya dipertimbangkan diberikan bersama intervensi farmakologi. Area harus selalu dilihat sebelum pemberian terapi dan sensasinya harus normal. Pasien harus mendapatkan penjelasan tentang intervensi yang akan diberikan terkait bagaimana terapi ini bekerja, risiko yang terjadi bila terlalu dingin atau pemberiannya tidak tepat. Mereka harus menyampaikan bila terasa sangat dingin. Pemberi terapi harus seorang tenaga kesehatan yang professional dan memahami tentang pedoman pengendalian infeksi. Demikian hasil analisis dari beberapa jurnal yang sangat mendukung penerapan terapi dingin menggunakan gelpack dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dan batuk efektif pada pasien post operasi pintas koroner.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
77
4.2 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Pelaksanaan Praktik Keperawatan Berdasakan Pembuktian dari Jurnal tentang terapi dingin sebagai manajemen nyeri pada pasien post operasi pintas koroner dimulai dengan penyusunan proposal sejak bulan Maret 2012 kemudian dilanjutkan dengan konsultasi dengan pembimbing dan revisi proposal sampai bulan April 2012. Setelah proposal tersusun, langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan secara informal dengan kepala bagian perawatan bedah dan penanggung jawab ruang perawatan bedah di IW Bedah dan GP 2 Lantai VI. Residen juga melakukan pendekatan dengan koordinator bagian Diklat RSJPDHK yang pada akhirnya semua memberikan kesempatan pada residen untuk menerapkan praktik ini. Sebelum menerapkan praktik ini, residen melakukan sosialisasi kepada perawat ruangan bersama kepala bagian dan penanggung jawab ruangan IWB dan GP2 lantai VI. Setelah memperoleh masukan tentang proses yang memudahkan residen untuk melakukan praktik, maka residen berdinas di ruang IWB dan Praktik Keperawatan Berdasakan Pembuktian dari Jurnal tentang Terapi dingin sebagai manajemen nyeri pada pasien post operasi Pintas Koroner dilakukan selama 1 minggu di ruang Intermediate Ward Bedah (IW Bedah) mulai tanggal 7-11 Mei 2012. Populasi dalam prakti ini adalah pasien post operasi pintas koroner dengan Kriteria sample adalah, Inklusi: pria atau wanita, dilakukan operasi CABG dengan sternotomy, mampu berbahasa indonesia, usia lebih dari 21 th, Eksklusi: alergi dingin, ada sindrom raynaud’s, hemoglobinuri, gangguan kognitif, masih terpasang drain thorak, terdapat komplikasi seperti infeksi, perdarahan, atrial fibrilasi yang tidak terkontrol atau dehiscence. Praktik ini diterapkan pada 6 responden. Alat yang digunakan adalah gelpack yang didinginkan dalam freezer selama lebih dari 1 jam (selama praktik gelpack disimpan di freezer selama 1 minggu) yang ditutup kain flannel dalam bentuk kantong. Setiap responden menggunakan kantong pembungkus yang berbeda, sedangkan gelpack yang telah digunakan dibersihkan menggunakan alkohol kemudian disimpan kembali dalam freezer.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
78
Praktik penerapan terapi dingin dilakukan antara pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00. Pemilihan penggunaan terapi dingin atau tanpa terapi dingin pada awal latihan ditentukan secara random oleh residen dan bergantian untuk responden berikutnya. Terapi diberikan 2 sesi untuk setiap responden sedang 2 sesi lainnya tidak menggunakan terapi dingin. Dari keseluruhan responden yang diberikan terapi, 3 responden (50%) diawali dengan terapi dingin dan 3 responden (50%) diawali tanpa terapi dingin. Penentuan responden yang menggunakan terapi dingin terlebih dahulu dilakukan secara acak dan bergantian untuk responden berikutnya. Selisih waktu latihan sesi yang satu ke sesi yang berikutnya antara 1-2 jam, tergantung kesepakatan dengan responden. Selama diberikan terapi tidak ada drop out atau komplikasi yang terjadi akibat penggunaan gelpack. Semua pasien setuju untuk dilakukan pemberian terapi dingin. Tahapan yang dilakukan residen saat menerapkan praktik adalah sebagai berikut: a.
Memberikan Inform Concent pada pasien untuk mendapatkan persetujuan saat pasien berada di ruang post operasi (IWB) setelah ada rencana pelepasan drain.
b.
Menjelaskan kembali pengkajian skala nyeri yang diukur rentang 0-10. Untuk mempermudah penjelasan, residen menggunakan gambar rentang nyeri skala 0-10.
c.
Mengulang kembali teknik latihan nafas dalam dan batuk efektif yang sudah diajarkan fisioterapis
d.
Pasien yang setuju berpartisipasi, pada hari kedua atau ketiga setelah selang dada dilepas, diberikan terapi dingin menggunakan gelpack yang didinginkan di atas balutan luka insisi dada selama 20 menit sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif untuk 2 kali periode latihan (dalam sehari pasien melakukan latihan 4 kali. 2 kali diberikan intervensi menggunakan terapi dingin dan 2 kali tanpa terapi. Pemberian terapi diselang seling antara dengan dan tanpa terapi dingin.
e.
Sebelum diberikan terapi dingin, perawat memeriksa adanya alergi dingin dengan memberikan terapi 5 menit sebelumnya dan dimonitor apakah ada kemerahan, nyeri, tanda frostbite atau gatal-gatal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
79
f.
Nyeri diukur dari rentang 0-10 pada saat istirahat dan dibandingkan dengan skore setelah latihan nafas dalam dan batuk efektif dengan dan tanpa gelpack.
g.
Partisipan dikaji tentang sensasi mereka menggunakan gelpack. Saat pasien mendapatkan terapi dingin, setiap 5 menit perawat bertanya:
bagaimana
rasanya terapi dingin di dada anda? Apakan anda dapat mendiskripsikan sensasinya pada saya? h.
Pertanyaan tentang pilihan menggunakan terapi dingin pada waktu selanjutnya diberikan setelah 4 sesi latihan berakhir.
i.
Analisa dilakukan dengan membandingkan skor dan selisih skore saat istirahat dan setelah latihan dengan dan tanpa gel pack.
Hasil dari pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut: 4.2.1
Karakteristik Responden
Sampel yang diperoleh adah 6 responden. Seluruh responden sudah memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi. Data demografi dianalisa menggunakan mean, dan prosentase. Dari 6 responden seluruhnya (100%) laki-laki, rata–rata usia responden antara 59 tahun, termuda 49 tahun dan tertua 63 tahun, 3 responden (50%) berusia antara 40-60 tahun, 3 responden (50%) berusia lebih dari 60 tahun. Sejumlah 2 responden (33%) beerpendidikan SLTA dan 4 responden (67%) memiliki pendidikan terakhir Sarjana. Masing-masing 50% responden masih aktif bekerja dan purna tugas. Seluruh responden (100%) didiagnosa CAD 3VD + LM dan jumlah graft yang dilakukan adalah sejumlah 2 responden (33 %) dilakukan 3 graft, 4 responden (67%) dilakukan 4 graft, dari jenis operasinya 100 % murni hanya CABG. Pelepasan selang dada dilakukan hari kedua pada 2 responden (33%) dan 4 responden lainnya (67%) dilepas pada hari ketiga.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
80
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Responden (n=6) Karakteristik Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Usia 40-60 Tahun Lebih dari 60 tahun Pendidikan SLTA Sarjana Pekerjaan Masih aktif Purna Tugas Diagnosa Medik CAD 3 VD Jumlah Graft 3 graft 4 graft Jenis Pembedahan CABG Pelepasan Selang Dada Hari ke-2 Hari ke-3
Jumlah
Prosentase (%)
6 0
100 0
3 3
50 50
2 4
33 67
3 3
50 50
6
100
2 4
33 67
6
100
2 4
33 67
Sumber : data primer
4.2.2
Intensitas Nyeri
Dari keenam responden, skala nyeri yang dirasakan cukup bervasiasi meskipun pelepasan selang dilakukan pada hari yang sama dan nampak bahwa nyeri sternotomy sangat individual tergantung ambang nyeri masing-masing responden. Berdasarkan data yang yang diperoleh, rata-rata skala nyeri yang dirasakan responden sebelum dan sesudah latihan nafas dalam dan batuk efektif, dengan dan tanpa terapi dingin dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
81
Tabel 4.2 Mean Skore Nyeri Sebelum dan Setelah Latihan ND dan B Intervensi Terapi Saat Latihan Menggunakan Gel pack Tanpa Gel pack Skala 0-10
Sesi Pertama (pagi) Sebelum Setelah 3,0 2,3 2,8
Kedua (siang) Sebelum Setelah 2,3 1,8
4,3
3,2
4,6
Sumber : data primer
Hasil penerapan Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ini menunjukkan bahwa nyeri dapat diturunkan menggunakan gel pack. Skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 3 dan setelah latihan menjadi 2,3 pada sesi pertama yaitu di pagi hari sebelum 12.00 sedangkan pada sesi yang kedua yang dilakukan pada siang hari setelah Pk. 12.00 skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 2,3 dan setelah latihan skore rata- rata menjadi 1,8. Selisih penurunan sekitar 0,5 (pada siang hari) - 0,7 (pada pagi hari). Rentang skala nyeri yang digunakan adalah Numerik Rating Scale (NRS) 0-10. Ketika tidak diberikan terapi dingin menggunakan gelpack saat latihan nafas dalam dan batuk efektif skore nyeri rata-rata sebelum dilakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif adalah 2,8 dan setelah latihan meningkat menjadi 4,3 pada sesi pertama. Sedangkan pada sesi kedua skore nyeri sebelum latihan 3,2 dan meningkat menjadi 4,6 setelah latihan. Selisih skor kenaikannya antara 1,4 (pada siang hari) - 1,5 (pada pagi hari). Secara keseluruhan mean skala nyeri setelah latihan adalah 2,6/10 dengan menggunakan gelpack dan 4,5/10 tanpa menggunakan gelpack. 4.2.3
Sensasi dan pilihan menggunakan terapi dingin
Selama pemberian terapi dingin pasien selalu dikaji setiap 5 menit terhadap sensasi dingin yang dirasakan. Tidak ada responden yang merasakan sensasi negative seperti nyeri, menekan, nenusuk, rasa terbakar, gatal atau kebas akibat penggunaan terapi dingin. Semua pasien merasakan dingin saja. 1 responden
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
82
mengatakan kurang dingin bila gelpack diberi flannel, 1 pasien mengatakan sangat dingin sampai terasa menusuk, 4 responden yang lain merasakan dinginnya sedang saja. Keseluruhan responden (100%) mengatakan akan mencoba terapi dingin untuk kesempatan selanjutnya. Ada 3 (50%) responden yang menyatakan akan menggunakan untuk nyeri yang lain seperti nyeri pada luka insisi di kaki. 4.3 Pembahasan Karakteristik responden Nyeri pada saat latihan batuk dan nafas dalam merupakan pengalaman nyeri yang paling tinggi dirasakan oleh pasien setelah operasi pintas koroner. Sesuai dengan hasil penelitian Milgrom et al., (2004) yang menyatakan bahwa skore nyeri tertinggi pada pasien post operasi bedah jantung adalah pada saat latihan batuk. Aktivitas nafas dalam batuk menyebabkan pengembangan paru sehingga peregangan thorak sehingga menyebabkan nyeri pada luka sternotomy dan dinding dada akan menahan nyeri tersebut (Black & Hawks, 2009). Karakteristik responden dalam praktik ini ditentukan oleh pemilihan sampel sesuai kriteria, namun hal ini juga dipengaruhi keterbatasan waktu yang ada sehingga jumlah responden yang diperoleh hanya 6 orang. Responden dalam penerapan Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ini seluruhnya adalah laki-laki berusia lebih dari 40 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Coronary Arteri Disease (CAD) merupakan penyakit yang mematikan baik pada pria maupun wanita. Pada usia lebih muda, kematian lebih tinggi pada pria namun setelah menopause, kejadian penyakit pada pria dan wanita sama (Black & Hawks,2009; Lewis., et al 2011). Demikian pula dinyatakan bahwa usia mempengaruhi risiko CAD, dan gejala muncul biasanya setelah usia 40 tahun ke atas. Kematian lebih sering pada usia di atas 65 tahun (Black & Hawks, 2009; Lewis., et al 2011). Keseluruhan responden dilakukan operasi pintas koroner karena diagnosa CAD 3VD, Left main mengalami penyumbatan > 50%. Hal ini menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
83
pasien yang kondisi koroner sudah tersumbat cukup banyak baru akan lebih dianjurkan untuk dilakukan operasi pintas koroner. Sesuai dengan American Heart Association (2011) yang menyatakan bahwa revaskularisasi untuk meningkatkan survival pasien yang direkomendasikan untuk pasien dengan Left Main CAD, >50% diameter stenosis adalah operasi pintas koroner (Hillis, 2011). Penurunan Nyeri Berdasarkan data perubahan skore nyeri rata-rata pada seluruh sesi, skore nyeri rata-rata menurun dengan penggunaan gelpack dibandingkan skore nyeri rata-rata tanpa menggunakan gelpack, penurunan kurang lebih 0,5 - 0,7 pada skala 0-10. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yaitu penurunan skore mencapai 0,9/10. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan persepsi nyeri sesorang, faktor sosial budaya, pengalaman nyeri sebelumnya, arti nyeri, kecemasan dan harapan pasien yang tidak terkaji dalam praktik ini maupun hasil penelitian sebelumnya. Perbedaan ini juga dapat disebabkan adanya perbedaan hari post operasi sesuai kriteria sample yaitu pada penelitian sebelumnya seluruh responden dilakukan pada hari kedua sedangkan pada praktik ini dilakukan pada hari kedua atau ketiga. Pertimbangan residen melakukan pada hari kedua atau ketiga karena secara umum pelepasan selang dada pada pasien yang dirawat di IWB RSJPDHK dilakukan pada hari ketiga bahkan beberapa pasien dilepas pada hari keempat atau lebih ketika perdarahan masih produktif. Modifikasi pada hari kedua atau ketiga karena nyeri pada hari kedua dan ketiga masih dalam rentang nyeri sedang yaitu 5,4 dan 5,1 pada hari kedua dan ketiga (Milgrom., et al, 2004). Aktivitas latihan tanpa menggunakan gelpack meningkatkan skore nyeri rata-rata dari ringan menjadi nyeri sedang, peningkatan terjadi sekitar 1,4 - 1,5 pada skala 0-10. Hasil ini mendukung berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri luka sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk efektif. Seiring dengan Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa nyeri secara statistik dan klinik signifikan diturunkan dengan penggunaan gelpack. Demikian hasil penelitian Lane & Latham (2009)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
84
yang menyatakan bahwa terapi dingin efektif mengurangi nyeri pada pasien post operasi. Nyeri sternotomy yang dirasakan responden dalam penerapan praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah ini, pada hari ke 2 berada pada rentang nyeri ringan. Namun saat proses, residen mencoba menggali perbedaan nyeri yang dirasakan pasien pada luka bekas insersi selang dada yang dirasakan lebih nyeri dibanding luka sternotomy. Hal ini terjadi karena pada saat selang dada dilepas, terdapat luka terbuka yang masih terikat dengan jahitan sehingga nyeri yang dirasakan masih akut. Berbeda dengan luka sternotomy yang sudah terjadi 2-3 hari yang lalu, maka proses penyembuhan luka sudah berlangsung lebih lama sehingga rata-rata skore nyeri pasien berada pada rentang nyeri ringan (0-3 pada skala 10). Mengacu pada klasifikasi World Health Organization (WHO) yaitu skore nyeri nol sampai 3 merupakan nyeri ringan, skore 3-6 merupakan nyeri sedang (WHO, 1996 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010)), maka nyeri yang dirasakan pasien saat latihan nafas dalam dan batuk efektif tanpa menggunakan gelpack meningkat dari rata-rata 2,8 (ringan) menjadi 4,3 (sedang). Sedangkan nyeri post operasi yang bisa diloterir adalah antara 2-3 pada rentang 10 (Jakobsson, 2000 dalam Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010)). Peningkatan ini menyebabkan pasien memerlukan intervensi keperawatan seperti penggunaan terapi dingin untuk menurunkan nyerinya agar pasien agar mampu melakukannya latihan secara efektif karena latihan nafas dalam dan batuk efektif sangat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi respirasi seperti pneumoni akibat penumpukan secret pada pasien post operasi. Sensasi nyeri dan pilihan terhadap penggunaan gelpack pada waktu yang akan datang Pada penerapan praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah ini, ditemukan bahwa sensasi yang dirasakan pasien ada yang bertolak belakang, 1 responden merasakan sangat dingin, 1 responden merasakan kurang dingin sedang 4 responden yang lain merasakan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi seseorang dapat berbeda terhadap sensasi yang sama termasuk juga nyeri yang dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
85
persepsi nyeri, faktor sosial budaya, usia, jenis kelamin, arti nyeri, kecemasan, pengalaman nyeri masa lalu, harapan dan efek placebo (Black & Hawks, 2009). Tidak ada responden yang merasakan sensasi negative saat diberikan terapi dingin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Chailler, Ellis, Stolarik dan Wooden (2010) yang menyatakan bahwa seluruh responden tidak ada yang merasakan sensasi seperti gatal menyengat, menekan, tak tertahankan atau rasa terbakar. Sensasi negative tidak dirasakan terapi dingin menggunakan gel pack yang diberikan tidak menembus jaringan yang dalam dan rangsang negative terkait tidak muncul karena terapi dingin itu sendiri menghambat transmisi sinyal ke spinal cord. Dry cryotherapy lebih efektif menurunkan suhu lokal pada area setelah operasi (Chou & Liu, 2008). Hal ini mendukung penggunaan gelpack yang merupakan terapi dingin kering untuk mengurangi nyeri. Terapi dingin dengan es menurunkan kecepatan konduksi serabut saraf nosiceptif, menghambat transmisi sinyal nyeri ke spinal cord. Pasien akan mempersepsikannya sebagai rasa baal (Black & Hawks, 2009). Selain itu Lane dan Latham (2009) menuliskan bahwa prinsip efek terapi dingin pada jaringan adalah menurunkan metabolic rate yang menurunkan aktivitas di seluruh jaringan dengan cara menurunkan penggunaan oksigen. Pendinginan dapat menurunkan spasme otot karena terapi dingin menstimulasi reseptor-reseptor cutaneous dan menghambat reflek aktivitas otot. Hal ini terbukti melalui praktik yang menunjukkan bahwa saat proses pemberian terapi dingin responden merasakan dingin pada awalnya kemudian 5 menit selanjutnya dingin sudah dapat ditoleransi dan bahkan nyeri luka sternotomy turun sampai nol meskipun ketika ditanya adanya sensasi baal, seluruh responden tidak ada yang melaporkan adanya rasa baal. Sesuai yang dinyatakan Lane & Latham (2009) bahwa aplikasi terapi dingin memiliki efek langsung terhadap konduksi impuls nyeri. Hal ini hanya akan terjadi bila suhu kulit sangat turun (target suhu yang direkomendasi adalah 10o C). Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa seluruh responden merasakan manfaat dan kenyamanan penggunaan terapi dingin menggunakan gelpack yang ditunjukkan dengan pilihan responden untuk menggunakan gelpack
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
86
untuk masa yang akan datang. Setelah merasakan manfaatnya, beberapa responden berencana menggunakannya untuk mengurangi nyeri luka operasi pada bagian kaki. 4.4 Faktor
Pendukung
dan
Kendala
selama
melakukan
Praktik
Keperawatan Berdasarkan Pembuktian di IWB RSJPDHK, Jakarta a. Pemilihan Sampel Pada saat pemilihan sample, seluruh sampel yang diambil sudah memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi yang ditetapkan. Residen tidak dapat memperoleh responden lebih banyak lagi karena keterbatasan waktu yang ada (1 minggu) dan beberapa pasien eksklusi karena pelepasan selang dada pada 4 pasien yang saat itu ada lebih dari hari ketiga dan ada 1 pasien yang mengalami nyeri dada dan terjadi perubahan EKG: ST depressed sehingga tidak dapat menjadi responden dalam praktik ini. b. Metode yang diterapkan Metode yang diterapkan sesuai dengan jurnal rujukan yaitu memberikan terapi dingin menggunakan gelpack selama 20 menit dan penentuan waktu pemberian terapi dapat dibagi menjadi 2 yaitu diawali dengan terapi dingin menggunakan gelpack dan tanpa terapi dingin. Fasilitas gelpack diadakan sendiri oleh residen karena gelpack yang dimiliki ruang IWB, RSJPDHK sudah tidak layak dan jumlahnya terbatas (2 buah). Pada saat praktik berlangsung, residen harus menyimpan dan mengambil gelpack di ruang laboratorium lantai 2 karena ruang IWB tidak memiliki freezer yang digunakan untuk penyimpanan obat atau alat medis sehingga membutuhkan waktu untuk mengambil atau menyimpan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR
Bab ini memaparkan tentang analisa situasi, proyek inovasi yang dilaksanakan residen di ruang IW Medikal RSJPDHK, Jakarta dan pembahasan hasil inovasi. BAB 5 disusun oleh kelompok yang terdiri dari: 1. Miftaffu Darrusallam, 2. Mohammad Adam. 3. Elvy Oktarina, 4. Chatarina Setya Widyastuti. Dalam hal ini, saya adalah anggota kelompok no 4 yaitu Chatarina Setya Widyastuti. 5.1 Analisis Situasi RSJPDHK merupakan rumah sakit jantung rujukan nasional yang mempunyai visi menjadi institusi kardiovaskular terpecaya di asia pasifik, sedangkan misinya menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian kardiovaskular secara professional dan ditopang oleh tata kelola proporsi yang baik dengan Motto Patient First. Tujuan RSJPDHK adalah (1) terselenggaranya pelayanan kardiovaskular yang berhasil guna, bermanfaat secara luas, memenuhi standar
mutu
internasional,
(2)
terselenggaranya
pendidikan
pelatihan
kardiovaskular yang beretika bagi tenaga kesehatan Indonesia dan kawasan regional, (3) terlaksananya penelitian kardiovaskular yang membawa manfaat pada pelayanan kardiovaskular dan program pendidikan pelatihan kardiovaskular. Ruangan yang dipilih oleh residen menjadi tempat pelaksanaan proyek inovasi adalah intermediate ward medical (IWM). Karakteristik ruangan ini mempunyai kapasitas tempat tidur 43 tempat tidur dengan Bed Occupation Rate (BOR) dalam 3 bulan terakhir berkisar antara 70%-80%. Jumlah perawat diruang IWM adalah 83 orang, dengan kualifikasi perawat terdiri dari pre beginner 26 orang, Beginner 15 orang, Advance Beginner 25 orang, Competence 9 orang, Provicient 5 orang, Expert I 2 orang, Expert II 1 orang dengan jumlah SpKV 3 orang. Masa kerja perawata bekisar dari 1 sampai dengan 27 tahun dan keseluruhan perawat tersebut
87
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
88
melakukan perawatan pada pasien post PCI tanpa ada perbedaan jenjang kualifikasi. Selama 1 bulan, rata-rata jumlah pasien yang dilakukan PCI adalah 135 orang dengan length of stay (LOS) pada pasien post PCI lebih kurang 1-2 hari. Selama melakukan praktik residensi di RSJPDHK, Jakarta, residen menemukan fenomena terkait dengan perawatan pasien Coronary Artery Desease (CAD). Coronary Artery Desease (CAD) merupakan tipe penyakit kardiovaskular yang sering terjadi. CAD adalah kelainan jantung yang diakibatkan adanya penyempitan pembuluh darah arteri yang menyuplai darah ke otot jantung, pembuluh darah ini disebut arteri koroner. Penyempitan ini disebabkan karena terjadinya proses aterosklerosis (pengapuran) yang diawali oleh terjadinya kerusakan lapisan terdalam dari dinding pembuluh darah yang disebut lapisan endotel (Black & Hawks, 2009). Dalam hal ini penting bagi perawat untuk mengenal lebih dalam dengan variasi dari kondisi arteri koroner dan metode pengkajian, pencegahan serta pengobatannya secara medis maupun pembedahan (Smeltzer & Bare, 2005). Gangguan yang paling sering menyebabkan kondisi kegawatan adalah Acute Coronary Syndrome (ACS) yaitu kondisi yang terjadi saat plak artheromatous erosi atau rupture didalam praktik klinik ACS sering diklasifikasikan STEMI, NSTEMI dan UAP. ACS merupakan penyebab utama kematian didunia. Pemahaman tentang insiden, karakteristik populasi dan pola pengobatan berkembang secara cepat dalam beberapa tahun terakhir ini. Proses pembelajaran yang saat ini dilakukan memberikan informasi yang penting untuk memahami dan kesempatan dalam meningkatkan peluang pengobatan dan hasil yang optimal (Bhatt & Flather, 2004). Prosedur invasive untuk pengobatan CAD antara lain Percutaneous Transluminal Coronary angioplasty (PTCA), Intra Coronary Stent implantation, atherectomy, brachytherapy and Transmiocardial laser revaskularisation. Semua tindakan diatas disebut Percutaneus Coronary Interventions (PCI) (smeltzer & Bare, 2005). Teknologi ini terus diperbaharui sejak dua dekade terakhir (Tsai, Kung,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
89
Yang, & Chiang, 2005). Peningkatan yang pesat diagnosis jantung koroner, menyebabkan PCI menjadi pemeriksaan dan terapi utama (Lee, Lu, Liao, & Li, 2006). PCI adalah prosedur yang sering dilakukan di United States (Smeltzer & Bare, 2005). Di Australia jumlah PCI dua kali lipat dibandingkan operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Davies 2003 dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)). RSJPDHK, Jakarta merupakan RS rujukan nasional yang menangani pasien CAD dan melakukan tidakan PCI. Jumlah tindakan PCI yang dilakukan di RSJPDHK dari awal Januari sampai April 2012 didapatkan data dimana PCI Elektif 598 orang dan PCI primary sebanyak 82 orang (data primer dari ruang kateterisasi RSPJNHK, 2012). Prosedur PCI merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan CAD, tetapi prosedur invasif ini menyebabkan berbagai komplikasi akibat efek tindakan tersebut atau penggunaan antikoagulan. Komplikasi tersebut antara lain komplikasi mayor yang sering muncul antara lain perdarahan/ hematom area insersi, acute reoclusion, myocard infarct, emergency Coronary Artery Bypass Graft (CABG), penurunan cardiac output akibat dysritmia, tamponade jantung, perdarahan berat di inguinalis. Komplikasi minor meliputi side branch oclusion, arytmia ventrikel/atrial, bradikardi, hipotensi, blood loss, thrombus arterial, emboli koroner, rekateterisasi, iskemi ekstremitas yang dikanulasi, penurunan fungsi ginjal akibat penggunaan zat kontras, emboli sistemik, hematom di inguinal, perdarahan retroperitoneal, pseudoaneurisma, fistula arteriovenosus (Enc., et all, 2007). Berbagai penelitian dilakukan untuk memperoleh data tentang terjadinya komplikasi untuk memprediksi angka kesakitan maupun kematian. Menurut Linsey (2009), jumlah perdarahan pasca PCI dan
infark pasca PCI masing-
masing adalah 3,0% dan 7,1%. Dalam 1 tahun, jumlah kematian dengan berbagai penyebab adalah 2,8%. Menurut Doyle (2008), insiden utama komplikasi perdarahan femoralis menurun dari 8,4% menjadi 5,3% bahkan sampai 3,5% (p <0,001). Studi terbaru mengidentifikasi pendarahan yang banyak post PCI
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
90
merupakan prediktor penting terjadinya peningkatan kematian. Perdarahan dan risiko kematian merupakan sebab dan efek berdasarkan faktor risiko (Doyle, 2009). Komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dipengaruhi berbagai faktor, namun deteksi dini adanya komplikasi dapat dilakukan melalui monitoring tanda dan gejala yang muncul pada pasien setelah prosedur PCI. Monitoring yang dilakukan perawat merupakan bagian dari proses pemberian asuhan keperawatan yang akan selalu dilakukan secara berkesinambungan mulai tahap pengkajian sampai evaluasi. Peran perawat dalam hal ini sangat penting dan salah satu tanggung jawab perawat dalam merawat pasien post PCI adalah membantu pasien beradaptasi dengan lingkungannya baik eksternal maupun internal. Sesuai dengan teori Model Adaptasi Roy yang menyatakan bahwa pertimbangan keperawatan didasarkan pada pengkajian perilaku dan stimulus dan intervensi direncanakan untuk memanajemen stimulus fokal, kontekstual dan residual. Tindakan PCI merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi adaptasi pasien sehingga perawat perlu memanajemen stimulus tersebut agar pasien mencapai kesehatan yang optimal. Berdasarkan analisa situasi yang residen lakukan selama melakukan praktik di RSJPDHK, diperoleh data sebagai berikut : Kekuatan (Strength), RSJPDHK sebagai salah satu pusat rujukan untuk tindakan PCI merupakan rumah sakit yang mengutamakan pelayanan prima dan patient safety dalam memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat dan memiliki fasilitas PCI yang memadai serta memiliki ruang perawatan khusus post PCI untuk pasien (CVC dan IWM). Disamping itu, RSJPDHK memiliki sumber daya dokter spesialis kardiologi dan tim perawat kateterisasi yang competent dengan jumlah memadai. Sesuai dengan visi dan misi, RSJPDHK merupakan salah satu tempat pelatihan bagi tenaga medis maupun keperawatan. Kelemahan (Weakness), RSJPDHK belum memiliki SOP (standar operasional prosedur) yang tertulis untuk perawatan pasien PCI termasuk format monitoring komplikasi pasien post PCI. Berdasarkan hasil wawancara secara informal dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
91
perawat di ruang IWM dan CVC diperoleh informasi bahwa ruangan belum memiliki dokumentasi angka kejadian komplikasi pasien post PCI. Hasil pengamatan residen ditemukan fenomena di ruang perawatan bahwa perawat belum mendokumentasikan hasil monitoring pasien post PCI secara lengkap. Peluang (Opportunity), RSJPDHK memiliki pasien yang cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia karena merupakan rumah sakit jantung rujukan nasional. Menurut Davies ((2003) dalam Higgins, Theobal & Peters (2008)). besarnya angka kejadian CAD meningkat setiap tahunnya dan tindakan PCI semakin banyak diminati oleh pasien. Selain itu, evidence-based practice tentang perawatan pasien PCI cukup banyak dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan perawatan pasien post PCI. Sebagai salah satu lahan pembelajaran mahasiswa kedokteran dan keperawatan, RSJPDHK mempunyai peluang lebih besar untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu perawatan pasien post PCI semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pelayanan yang prima. Ancaman (Threat), sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSPDHK selalu dituntut untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan yang akan terlihat pada saat dilakukan akreditasi. Berkembangnya beberapa rumah sakit yang melayani pasien secara professional di bidang kardiovaskular. Jumlah kasus yang cukup besar dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien serta berdasarkan analisis SWOT di atas, maka sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan PCI diperlukan sebuah inovasi berupa format monitoring komplikasi pasien post PCI. Format monitoring komplikasi ini membantu meningkatkan efisisensi kerja staf perawat khususnya dalam melakukan deteksi dini terjadinya komplikasi yang dapat dicegah dan dapat meningkatkan kepuasan pasien terhadap asuhan keperawatan
yang
diberikan.
Selain
itu,
penerapan
format
monitoring
komplikasiini dapat menurunkan lama rawat inap sehingga dapat meningkatkan BOR dan menurunkan biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh pasien dan/atau instansi penanggung (Hsu, Lai, Hsieh, Liao & Lin, 2002). Perbaikan yang berkelanjutan pada kualitas asuhan medis dan keperawatan, memberikan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
92
pelayanan yang dapat lebih ditoleransi pasien, membantu mencapai hasil yang optimal dan juga secara efektif tercapai keseimbangan antara biaya dan manfaat (balanced cost and benefit). 5.2
Kegiatan Inovasi
5.2.1
Kontrak Pelaksanaan Kegiatan
Proyek inovasi dilaksanakan selama 6 minggu, mulai tanggal 16 April 2012 sampai 1 1 Juni 2012 di Intermediate Ward Medical RSJPD Harapan Kita. Rangkaian kegiatan inovasi diawali dengan melakukan identiikasi fenomena terkait pelayanan keperawatan di Intermediate Ward Medical RSJPD Harapan Kita. Fenomena yang ditemukan selanjutnya di konsultasikan kepada penanggung jawab ruangan, supervisor utama dan supervisor. Rangkaian kegiatan proyek inovasi meliputi penyusunan proposal, penyusunan format monitoring, uji coba dan implementasi penerapan monitoring serta evaluasi pelaksanaan. 5.2.2
Desiminasi Awal Program Inovasi
Dilakukan setelah proposal dan format monitoring komplikasi tersusun, konsultasi dan sosialisasi pertama dilakukan pada tanggal 26 April 2012 dengan penanggung jawab ruangan dan leader. Penanggung jawab ruangan memberikan beberapa masukan seperti penambahan item diagnosa medis dan komplikasi, frekuensi moitoring, jenis depper (alat penekan) yang digunakan, jenis akses PCI dan keterangan pengisian. Kemudian dilakukan revisi berdasarkan masukan yang diperoleh. Proses konsultasi berlangsung dari tanggal 30 April sampai 4 Mei 2012. 5.2.3
Melaksanakan Program Inovasi
Setelah proses revisi format selesai, dilakukan uji coba oleh residen dari tanggal 7 sampai 10 Mei 2012. Selama proses uji coba, dirasakan adanya beberapa kekurangan pada format agar lebih praktis dan aplikatif seperti penambahan pengkajian tanda-tanda perdarahan dan hematoma tidak hanya pada ekstemitas
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
93
yang dilakukan akses PCI tapi juga ekstremitas yang tidak dilakukan akses PCI sebagai pembanding, dan pencatatan volume dan warna urine. Selanjutnya dilakukan pertemuan untuk sosialisasi dan diskusi format ke perawat ruangan pada tanggal 8 Mei 2012. Dari pertemuan ini, dikemukakan masukan untuk pembuatan petunjuk teknis pengisian format monitoring komplikasi pasien post PCI agar pemahaman dan persepsi perawat pada setiap item pada format dapat sama. Masukan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan petunjuk teknis dari tanggal 11 - 13 Mei 2012. Petunjuk teknis ini kemudian dilampirkan pada format monitoring. Pelaksanaan uji coba dan implementsi oleh perawat ruangan dilakukan selama 3 hari, mulai tanggal 14 Mei 2012 sampai 16 Mei 2012. Selama pelaksanaan uji coba dan implementasi oleh perawat, residen melakukan pendampingan. Namun dirasakan adanya keterbasan dalam pendampingan, karena pendampingan oleh residen tidak dapat dilakukan full shift. 5.2.4 Melakukan Evaluasi Evaluasi dilakukan selama 3 hari yaitu pada tanggal 21-23 Mei 2012. Evaluasi dilakukan dimulai dari wawancara dan pengisian format evaluasi oleh kepala ruang dan leader IWM. Disamping itu evaluasi dilakukan dengan membagikan format evaluasi yang diisi langsung oleh perawat ruangan yang merawat pasien post PCI pada shift tersebut dan melakukan evaluasi terhadap format monitoring komplikasi pasien post PCI yang telah terisi. Berdasarkan analisa hasil evaluasi didapatkan data bahwa pasien yang dilakukan uji coba sebanyak 10 orang pasien post PCI dan perawat yang melakukan evaluasi sejumlah 8 orang. Hasil wawancara dengan kepala ruang dan leader menyampaikan bahwa secara umum format yang disusun sudah ideal dan bagus untuk diterapkan. Dari hasil evaluasi terhadap pengisian format oleh perawat, didapatkan data bahwa 100% menyatakan bahwa bentuk format sudah jelas, terstruktur dan sistematis, 100% menyatakan bahwa format sudah memiliki seluruh komponen data yang diperlukan, 100% format sudah komunikatif memberikan informasi tentang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
94
kondisi pasien, 100%
menyatakan format memudahkan perawat memantau
perkembangan kondisi pasien, 100% menyatakan format sudah efektif dan efisien, 100% menyatakan bahwa sudah layak diterapkan sebagai format resmi RSPJDHK, 100% menyatakan bahwa setuju diterapkan di RSPJDHK. Dari pengisian format evaluasi didapatkan beberapa saran yang diberikan antara lain bahwa waktu untuk uji coba terlalu singkat, format monitoring komplikasidibuat terintegrasi dalam flowsheet dan pembuat format terlibat full saat uji coba. Berdasarkan pengamatan dan analisa terhadap format yang telah terisi dapat disimpulkan bahwa perawat memahami dan mampu mengisi format dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan 100 % kelengkapan pengisian data sesuai format yang ada. Namun demikian ada sebagian kecil (20%) pengisian format belum dilakukan secara berkesinambungan sampai pasien pulang. Hal ini ditunjukkan dengan pengisian format yang hanya dilakukan sampai 4 jam pertama. Setelah melakukan analisa hasil evaluasi, residen menyerahkan file dalam bentuk soft copy dalam CD kepada kepala ruang perawatan IWM pada tanggal 1 Juni 2012. 5.3
Pembahasan
Catatan merupakan bagian penting dalam praktik keperawatan yang legal. Kualitas pencatatan yang baik dihubungkan dengan mutu pelayanan keperawatan yang baik terhadap pasien, bila standar dokumentasinya tidak bagus akan berkontribusi terhadap kualitas layanan keperawatan yang tidak bagus. Kualitas dokumentasi keperawatan secara konsisten digunakan untuk merekomendasikan menyusun suatu standar (Prideaux, 2011). Catatan yang berkualitas dapat membantu perawat dalam memberikan keterampilan dan melindungi perawat dalam bekerja (dokumentasi keperawatan, pemeliharaan catatan dan komunikasi tertulis). Dokumentasi keperawatan merupakan komponen penting dalam praktik keperawatan dan dokumentasi interprofesional. Dokumentasi (paper, elektronik, audio atau visual) digunakan untuk memonitor perkembangan pasien dan komunikasi dengan petugas
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
95
kesehatan yang lain. Hal ini juga menjadi refleksi pelayanan keperawatan yang dilakukan pada pasien (College of nurses of Ontario, 2008). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kelimpulan bahwa format monitoring komplikasiPCI yang telah dibuat dapat digunakan sebagai sarana untuk memonitor perkembangan pasien dan komunikasi dengan petugas kesehatan yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh 100% perawat yang melakukan evaluasi menyatakan bahwa format monitoring komplikasiPCI yang telah di uji cobakan memudahkan perawat mengetahui perkembangan kondisi pasien. Dokumentasi membantu perawat dalam meningkatkan kontinuitas keperawatan karena memungkinkan perawat yang lain mengakses informasi serta menjadi alat komunikasi antar petugas kesehatan dalam melakukan pengkajian dan kebutuhan intervensi sesuai kondisi pasien. Hal ini juga dapat dicapai pada format monitoring komplikasiPCI yang sudah diujicobakan dan sesuai dengan hasil evaluasi yang menunjukkan 100% perawat menyatakan bahwa format ini dapat menjadi alat komunikasi bagi perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya. Pasien yang dilakukan PCI berisiko mengalami berbagai komplikasi yang perlu dideteksi sejak dini setelah pasien selesai dilakukan tindakan. Deteksi dini yang terjadi dapat dilakukan melalui monitoring tanda dan gejala yang tertuang dalam format monitoring komplikasiPCI yang sudah diujicobakan di ruang perawatan IWM, RSJPDHK. Hal utama yang perlu selalu dikaji adalah tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran dapat terjadi karena aritmia yang menyebabkan penurunan cardiac output atau mengindikasikan adaya tromboemboli di otak yang menyebabkan penurunan perfusi ke jaringan (Woods, Froelicher & Motzer, 2000). Monitoring vital sign sangat penting dilakukan pada pasien post PCI karena vital sign
merupakan
status
hemodinamik
yang
paling
mudah,
cepat
dan
menggambarkan kondisi pasien. Dalam format monitoring komplikasiyang disusun item yang harus dimonitor adalah tekanan darah. Menurut Woods, Froelicher dan Motzer (2000) menuliskan bahwa pasien dapat mengalami penurunan tekanan darah akibat pemberian obat seperti vasodilator atau
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
96
pemberian selama prosedur. Disamping itu, zat kontras dapat berfungsi sebagai diuretik osmotik dan pasien dapat menjadi hipotensi karena kurang cairan. Vital sign berikutnya yang penting dimonitor dan akan cepat mengalami perubahan adalah pengkajian denyut jantung. Takikardi (100-120 x/mnt) tidak biasa terjadi setelah kateterisasi. Bila hal ini terjadi mungkin sebagai tanda adanya kecemasan, kehilangan cairan akibat dieresis atau reaksi obat yang digunakan selama prosedur seperti atropine. Heart rate lebih dari 120 x/mnt harus dievaluasi untuk penyebabnya seperti perdarahan, ketidak seimbangan cairan, demam atau aritmia. Bila tanpa beta bloker, bradikardi dapat mengindikasikan adanya respon vasovagal, aritmia atau infark (Froelicher and Motzer, 2000). Komplikasi perdarahan terjadi sampai 14% pada pasien yang dilakukan tindakan PCI (Smith et al, 2005). Setelah dilakukan PCI harus diawasi secara ketat tandatanda perdarahan. Perdarahan bisa terjadi pada daerah tusukan berupa lebam atau di retroperitoneal. Perdarahan bisa juga disebabkan oleh obat-obatan anti platelet dan antikoagulasi misalnya adanya epitaksis atau hematuria. Dalam kasus hemodinamik perdarahan secara signifikan pasien akan tampak pucat dan berkeringat. Denyut jantung akan meningkat dan berakhir dengan penurunan tekanan darah. Tangan dan kaki akan terasa dingin sebagai kompensasi vasokontriksi perifer dalam menyuplai organ vital, sehingga diperlukan untuk mengkaji pengisian kapiler, apabila pengisian kapiler lebih dari 3 detik maka harus dicurigai adanya perfusi perifer yang tidak adekuat (Muggenthaler, 2008). Pengkajian terhadap intake dan output cairan untuk melihat fungsi renal. Gangguan fungsi ginjal dapat diantisipasi dengan mengidentifikasi potensial masalah dengan mengkaji keseimbangan cairan. Penurunan keluaran urine dan keseimbangan cairan yang negatif merupakan awal tanda gangguan fungsi ginjal dan deteksi dini untuk pengobatan awal (Leahy, 2006). Pengkajian nyeri ekstremitas pada pasien post PCI dilakukan untuk mengkaji terjadinya trombosis vena dalam. Hal ini diakibatkan bekuan darah yang terbentuk akibat tindakan PCI yang lepas dan ikut dengan aliran darah ke ekstremitas bagian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
97
distal, sehingga menyebabkan nyeri dan bengkak pada daerah tungkai disertai perubahan warna kulit (Hukom, 2012). Untuk mengidentifikasi adanya demam
maka pasien post PCI juga perlu
dilakukan pengukuran suhu tubuh. Demam dapat terjadi karena reaksi alergi akibat penggunaan bahan kontras. Tanda dan gejala alergi kontras juga dapat terjadi sesak nafas (Enc, 2007), dan merupakan indikator adanya masalah pernafasan sehingga perlu dimonitor secara periodik. Menurut Dumont, Keeling, Bourguignon, Sarembock, and Turner, M. (2006), perawatan pasien setelah kateterisasi jantung dan/atau PCI merupakan tanggung jawab besar seorang perawat. Identifikasi faktor risiko terhadap komplikasi vaskuler akibat prosedur ini penting untuk mengembangkan protokol untuk mencegah komplikasi. Hal ini mendukung penyusunan dan pelaksanaan monitoring pasien post PCI yang salah satunya adalah deteksi dini terhadap adanya komplikasi vaskuler. Dalam format monitoring komplikasi yang disusun oleh residen, komplikasi vaskuler dilakukan melalui pengkajian kulit sekitar insersi, hematom, perdarahan eksternal, pengisian kapiler dan kekuatan nadi perifer.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Setelah melakukan analisis praktik residensi selama 2 semester menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Adaptasi Roy dalam melaksanakan peran sebagai spesialis, beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain: a. Berbagai peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti maupun innovator dapat diterapkan menggunakan pendekatan teori teori keperawatan Model Adaptasi Roy (MAR) secara efektif sehingga Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan Sistem Kardiovaskular dapat diberikan secara komperhensif. b. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori keperawatan MAR dapat dilakukan pada berbagai kasus pada pasien dengan gangguan system kardiovaskular seperti pada pasien dengan Acute Coronary Syndrome, Heart Failure, Disritmia dan Bedah Jantung. Adaptasi yang terjadi pada pasien kelompok kasus ACS tanpa komplikasi, rata-rata dapat mencapai adaptasi tingkat integrated, sedangkan pada kelompok Heart Failure, Disritmia dan Bedah Jantung optimal mencapai tingkat adaptasi compensatory. c. Peran sebagai pendidik dapat dilakukan secara rutin melalui pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga maupun sejawat secara individu maupun berkelompok. Proses adaptasi pasien dan keluarga dapat tercapai secara compensatory atau integrated setelah pemahaman tentang penyakitnya meningkat/ lebih baik dari sebelumnya. d. Peran sebagai peneliti dapat dilakukan melalui penerapan Evidence Based Nursing Practice tentang terapi dingin dalam manajemen nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. Praktik ini merupakan bagian dari pemberian asuhan keperawatan yang bertujuan meningkatkan adaptasi pasien terhadap nyeri sternotomy untuk mencapai kondisi post operasi yang paling optimal.
98 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
99
Berdasarkan hasil praktik disimpulkan bahwa terapi dingin kering menggunakan gel pack efektif mengurangi nyeri luka sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. dengan mean skala nyeri 2,6/10 menggunakan gelpack 4,5/ tanpa gelpack. Skala nyeri saat latihan tanpa menggunakan terapi dingin meningkat dari klasifikasi nyeri ringan menjadi sedang. Sensasi yang dirasakan terhadap terapi dingin menggunakan gelpack sangat individual untuk pasien, Rata-rata merasakan sedang, meskipun ada yang merasakan terlalu dingin atau kurang dingin/ tidak menusuk karena ditutup dengan kain flannel. Tidak ada rasa gatal, nyeri atau terbakar saat gel pack ditempelkan di atas luka sternotomy yang tertutup kasa. Seluruh pasien berharap dapat menggunakan gelpack untuk terapi nyeri. Pemberian gelpack dapat mengurangi nyeri sternotomy saat istirahat dari rentang nyeri moderat menjadi mild e. Peran sebagai inovator dapat diterapkan sebagai bagian dari proses pemberian asuhan
keperawatan
menggunakan
pendekatan
teori
MAR
untuk
meningkatkan pelayanan padapasien melalui penyusunan dan penerapan format monitoring komplikasi pasien post PCI agar pasien termonitor secara periodik dan lebih komperhensif. Format monitoring komplikasi pasien post PCI efektif digunakan untuk memonitor perkembangan kondisi pasien dan komunikatif. Format monitoring yang disusun layak untuk diterapkankan di RSJPDHK 6.2 Saran a. Teori Keperawatan Model Adaptasi Roy diaplikasikan dalam tatanan klinik dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular menggunakan format yang disesuaikan dengan format yang ada di rumah sakit. b. Perlu diadakan pertemuan untuk menyamakan persepsi tentang aplikasi teori Keperawatan Model Adaptasi Roy.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
100
c. Disusun Standart Operating Procedure (SOP) untuk pemberian terapi dingin pada pasien paska operasi bedah jantung agar dapat dilakukan dengan benar oleh seluruh perawat. d. Format monitoring pasien post Percutaneous Coronary Intervention (PCI) ditetapkan sebagai format resmi dan diterapkan di RSJPDHK, Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
RESUME KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER No
Identitas dan Riwayat Penyakit
1
Tn. L.A.S, 52 tahun, No MR 2012-32-54-49, Dx: Akut STEMI inferior Masuk IGD tgl 27/2 pk 10.15 Lama Rawat 8 jam
2
Pasien Tn R, 53 tahun No MR: 2012-32-19-66 Masuk RSJPDHK di IGD tanggal 19 Maret 2012 pk.03.30 Dx: Akut STEMI inferior onset 5 jam, Killip I, TIMI 3/14, DM tipe 2, Hipertensi grade I, Post PCI dengan 1BMS di Mid RCA dan POBA di PDA. Inkomplit revaskularisasi. Lama Rawat: 19-23 maret 2012
3
Tn. A, 53 tahun, No. Rekam Medik: 38-21-20 Masuk RSGS 3 November 2011 pk 22.10 di ICU, 7 November 2011 pindah di lantai 2 jantung, Diagnosa medis: STEMI inferior Lama Rawat: 7-17 Nov 2011
Pengkajian Perilaku, Pengkajian Stimulus, Masalah Keperawatan, Intervensi dan Evaluasi Kasus Acute Coronary Syndrome (ACS) Perilaku: Pasien mengeluh dada terasa berat sejak 1 jam SMRS. Keluhan muncul saat pasien sedang makan. Keluhan muncul tiba-tiba di dada kiri menjalar ke punggung, keringat dingin (+), berdebar-debar (-), dan sesak napas (-) Stimulus: EKG: Sinus Rhytm dengan infark akut di inferior, riwayat hipertensi, dislipidemi, Dilakukan PPCI. Masalah: Gangguan perfusi jaringan miokard, Nyeri dada, MK: Risiko komplikasi akibat STEMI : aritmia, gagal jantung, ruptur jantung, risiko perdarahan Intervensi: cardiac care, pain management, bleeding precaution Evaluasi: Nyeri dada berkurang dari skala 5/6 menjadi 1-0, EKG : ST elevasi di lead II dari 4 mjd 1 kotak, tidak ada t inverted atau ST depresed, irama normal sinus ritme (perfusi otot jantung baik), Enzim : belum di cek ulang , Tidak terjadi perdarahan Perilaku: Nyeri ulu hati, menjalar ke punggung, CKMB 56 (0-24), Trop T Kuantitatif 0,460, EKG: SR, iskemi inferior, Hasil angiografi di R. Kateterisasi (19/3/12): LM: Normal, LAD: Stenosis 70-80% panjang di proksimal-mid, stenosis 70% di proksimal D3; LCx: Stenosis 80% di distal, percabangan OM-2; RCA: Subtotal stenosis di mid dan stenosis 90% proksimal PDA, tampak thrombus. Dilakukan PCI-RCA dengan stent BMS dan POBA di PDA dengan hasil baik, TIMI 3 flow. Stimulus: stenosis di LAD dan LCx, merokok, hipertensi, DM, dislipidemi,herediter Masalah: Ketidakefektifan perfusi jaringan myokard, Risiko penurunan cardiac output, Intoleransi aktivitas, Risiko perdarahan, Risiko konstipasi, Risiko gula darah tidak stabil Intervensi: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management, Bleeding precaution,hiperglikemi management Evaluasi: pasien beradaptasi secara compensatory dan integrated pada seluruh masalah keperawatan ditunjukkan dengan nyeri hilang, tanda vital stabil dalam rentang normal, EKG: masih ada iskemi (proses evolusi), tidak terjadi perdarahan, gula darah terkontrol dengan obat (GDS tgl 23: 182mg/dL) Perilaku: pasien mengatakan pusing sekali, riwayat tidak nyaman di dada seperti sesak, keringat dingin, Pasien memiliki kebiasaan merokok sudah sejak kelas V SD sampai sekarang. Berhenti merokok saat dirawat di rumah sakit saat ini, Hasil EKG (3/11): ST Elevasi di II,III, aVF, T inverted di V1-V4 pada tanggal 5-7/11/11 mengalami evolusi: T inverted di II,III,aVF, dan pembesaran ventrikel kiri. Hasil echo 10 November : hipokinetik, EF 64% Stimulus: Fokal: kontraksi jantung tidak optimal akibat injury myokard, Kontekstual: EKG: ST Elevasi di II,III, aVF, Residual: Pasien memiliki kebiasaan merokok sudah sejak kelas V SD sampai sekarang. Berhenti merokok saat dirawat di rumah sakit saat ini, adanya riwayat hipertensi dan stroke, Kebiasaan makan daging dan makanan berlemak Masalah: Saat masuk: risiko penurunan cardiac output. Tanggal 15/11-11 setelah dilakukan kateterisasi jantung diagnose 1
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
keperawatan bertambah; Nyeri area penusukan, resiko perdarahan Intervensi: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management, Pain mangjement, Bleeding precaution Evaluasi: Kondisi pasien setelah dilakukan perawatan selama 10 hari di L2 jantung, hemodinamik stabil, cardiac output tercukupi, keluhan pusing -, nyeri dada-, sesak nafas -, aktivitas pasien sudah baik, berjalan keluar kamar. Pasien sudah dilakukan kateterisasi jantung pada tanggal 15/11/11 hasil: terdapat sumbatan di RCA 70% proksimal dan 90% distal dan rencana akan dilakukan PTCA, pasien dan keluarga setuju. Pasien bedrest selama 18 jam, penekanan bantal pasir selama 8 jam. Pagi hari saat diobservasi tempat penusukan tidak ada bengkak, tidak nyeri, hematom-, Nyeri area penusukan- dan tidak ada tanda infeksi. Pasien pulang tanggal 17/11 dan direncanakan masuk kembali untuk pemasangan PTCA pasien beradaptasi secara integrated. 4
Tn AS, 54 th, No MR: 2012-32-55-69 Dx: akut STEMI Inferior, masuk IGD RSJPDHK 5 Maret 2012 Lama Rawat 5-6 Maret 2012
Perilaku: Hasil EKG (5 Maret) : sinus ritme dengan ST elevasi di V2-V4, Hasil foto thorak (5 maret):CTR 55%, CKMB (35), Troponin T (0,020), nyeri bagian dada menjalar ke punggung, Terdapat bekas tusukan di arteri radialis yang ditutup dengan michiban. Stimulus Fokal: EKG: Akut Anterior STEMI, Kontekstual: terjadi oklusi pembuluh darah koroner, Residual: kebiasaan merokok 1 bungkus sehari sudah sejak 30 th yang lalu. Masalah: Gangguan perfusi miokard, Nyeri dada, Setelah PCI: Resiko perdarahan Intervensi: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management, Pain mangjement, Bleeding precaution Evaluasi: Nyeri dada hilang, skala 0, EKG: terdapat ST elevasi di V1-V4 turun menjadi setinggi 1 mm dan terdapat Q patologis di V2-V4, Hasil PCI: terjadi oklusi total di mid part LAD, CKMB: 306, Trop T: 11,85. Adaptasi compensatori
5
Tn. A.H, 54 tahun No MR: Dx: Acute Reinfark pada anterior STEMI onset >12jam Killip II, TIMI 6/14 tanpa revaskularisasi, ADHF w/w pada CHF ec Old anterior MCI, Ht St I masuk CVC tanggal 23 Maret 2012 lama rawat 23- 28 Maret 2012
6
Tn A.K, 60 th, No MR: 17-92-62,
Perilaku: nyeri ulu hati sejak 16 jam SMRS, datang tiba-tiba saat mau tidur, skala 10/10, durasi sekitar 9 jam, sesak nafas +, saat di CVC nyeri berkurang 6/10sesak nafas – TD: 122/79 mmHg, N: 100 x/mnt, RR 20 x/mnt, JVP 5+2 cm H2O, rhonchi basah halus di basal +/+, hepar teraba 2 jari. Hasil EKG: Q rate 120x/mnt, axis LAD,p Q wave di V1-V3, ST Elevasi di V1-V4, T inverted I, aVL. Hasil foto thorak CTR 62%, Ao dilatasi, Po N, pinggang jantung -, apex downward, kongesti +, infiltrate -. Hasil lab: Hb 18,7, Leukosit 18980, CKMB 114, Trop T 0,654. Gula darah puasa 132 mg/dL. CP 3, Hasil Echo: EF 15% Stimulus: EF 15%, old miokard infark, kongesti paru. Riwayat merokok, dislipidemi, obesitas (BB 80 kg) Masalah: penurunan cardiac output, gangguan perfusi miokard, inoleransi aktivitas Intervensi: Cardiac Care: Acut, Hemodynamic Regulation, Circulatory Care: arterial insufisiensi, Medication Administration, Dysrhythmia Management, Pain management, Evaluasi: tanggal 26 nyeri sudah skala 2, muncul kadang-kadang saja CRP meningkat 18 (proses peradangan otot jantung masih terjadi). Vital sign stabil, EKG: prose evolusi Perilaku: Nyeri dada, sekitar 2 hari SMRS saat istirahat. Durasi < 20 menit, riwayat hipertensi, merokok ½ bks/hr stop th 1995. TD: 161/107, HR 90x/mnt, EKG: ST depressed II,III,aVF, LVH +, VES +, lekosit 17.500, CKMB 27, Trop T< 0,01, TIMI risk 2
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Dx: UAP TIMI risk 2/7, grace 112, lekositosis reaktif, Masuk IGD tgl 7 maret 2012 Lama rawat: 8 jam
7
Ny. D, 65 th, No MR: 2011-31-85-02, Masuk IGD tanggal 7/3/2012 dx: NSTEMI, ALO pd Old anterior MCI. Lama Rawat: 8 jam di IGD
8
Tn. E.A, 65 th, masuk IGD tgl 21/3/2012 dengan dx: Acut Extensive STEMI TIMI risk 10/14 onset 36 jam killip III, ALO pada ACS, DM tipe II, Riw CVD SNH 14 th yll masuk CVC tgl 21/3/12 pulang paksa tgl 22/3/12 Lama rawat: 21-22/3/2012 Tn HH, 62 th, No MR: 2012-32-62-91. masuk CVC tgl 18/3/2012 dx: Acute Inferior-posterioranterior STEMI Killip II onset 37 jam post urgen PCI 1 BMS di LCx, Sepsis, HAP, AKI Lama Rawat: 19-20 Maret 12 Tn S, 59 th No MR: 2012-32-57-33
9
10
2/7, grace 112 Stimulus Fokal: terjadi oklusi pembuluh darah koroner, Kontekstual: EKG Iskemi inferior, Residual: kebiasaan merokok 1/2 bungkus sehari sudah stop th 1995 Masalah: Nyeri dada, Gangguan perfusi miokard Intervensi: Cardiac Care, Dysrhythmia Management, Pain management Evaluasi: nyeri 0, TD:140/80 mmHg, N: 80 x/ mnt, RR: 220 x.mnt, saturasi 100%, terpasang IV line dengan cedocard 10/50: 5 mcg/mnt. Masih diberikan oksigen 2 L/mnt, Tidak di EKG ulang.adaptasi compensatory. Perilaku : Sesak nafas+, batuk + dahak+, nyeri dada+, EKG HR 131x/mnt, old miokard infark anterior, inferior, posterior, CKMB 60, Trop T 0,08, JVP 5+3, Ronchi basah seluruh lapang paru, wheezing +/+, EF 15%, akinetik anterior, apical, hipokinetik posterior, Hipertensi +, DM +, menopause + Stimulus: penurunan kontraksi otot jantung, akumulasi cairan di paru, Kontekstual: EKG: old miokard anterior, inferior, posterior. Masalah: penurunan cardiac output, pertukaran gas tidak efektif, gangguan perfusi myocard Intervensi: Cardiac Care, Dysrhythmia Management, Circulatory care, oxygen therapy, airway management. Evaluasi : sesak nafas + tetapi sudah berkurang, lemah, EKG di monitor: AF, terpasang oksigen NRM 10 L/mnt, rochi +/+. Adaptasi masih compromise. Perilaku: kesadaran apatis (pasien afasia), sesak nafas, riwayat nyeri dada khas reinfark, durasi > 20 menit, keringat dingin +, EKG: infark anterior ekstensive, RBBB komplit, Trop T 13, CKMB 636, leko 18660, EF 27%, global hipokinetik, glukosa 304, Hipertensi + Stimulus: kontraktilitas otot jantung tidak optimal, EF 27%, riwayat hipertensi dan stroke Masalah: penurunan cardiac output, pertukaran gas tidak efektif, gangguan perfusi myocard dan cerebral Intervensi: Cardiac Care, Dysrhythmia Management, Circulatory care, oxygen therapy, airway management. Evaluasi : kesadaran somnolen, sesak nafas +, lemah, EKG di monitor: AF, terpasang oksigen nasal kanul 4 L/mnt, rochi +/+. Adaptasi compromise Perilaku: Kesadaran somnolen, TD 96/58 mmHg, HR 118x/mnt, RR 20x/mnt, EKG infark Anterior, posterior, hasil corangiografi: LM: no sign stenosis, LAD: myocardial bridging pattern causing signifikan stenosis (80%) di mid part LCx: total oklusi di midpart, RCA no sign stenosis,Terpasang CVVH mulai 19 maret 2012.suhu 38,5o C, proses infeksi Stimulus: pasien sepsis, oklusi di LAD, fungsi ginjal tidak adekuat Masalah: penurunan cardiac output, pertukaran gas tidak efektif, gangguan perfusi myocard dan serebral Intervensi: Cardiac Care, Dysrhythmia Management, Circulatory care, oxygen therapy, airway management. Evaluasi: cardiac output pasien tidak dapat dipertahankan, infeksi meluas, pasien meninggal tanggal 20 maret 2012 karena syok sepsis. Perilaku: riwayat nyeri dada seperti diremas, terberat 2 hari SMRS saat tidur, timbul mendadak, durasi >20 menit, tidak menyebar,mual, muntah, sesak nafas (-), keringat dingin(+),EKG: injury di anterolateral (ST elevasi dan T inverted di I, AVL, 3
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Dx: Acut Anterior Ekstensive STEMI onset 2 hari, KIllip I tanpa revaskularisasi Masuk IGD : 2 Maret 2012 Lama rawat: 8 jam
V2-V6). Sudah dirawat di RS pasar rebo 2 hari.saat ini nyeri dada sudah berkurang banyak (skala 2) Stimulus: riwayat DM, merokok sudah benhenti th 1985. Masalah: penurunan perfusi myokard, nyeri dada Intervensi:Cardiac care, circulatory care, pain management Evaluasi: rencana early PTCA tunggu panggilan,saat ini nyeri (-), TD: 103/73 mmHg, N: 81x/mnt, EKG: SR, injury anterolateral, rencana masuk CVC. Adaptasi compensatory
11
Tn S, 39 th No MR: 2012-32-63-20 Dx : STEMI inferior Masuk IGD 13 maret 2012 pk 02.30 Lama rawat: 13/3/12 Pk 07.30 s/d 14/3/12 (di IGD)
Perilaku: nyeri dada skala 10, EKG: ST elevasi di II,III, aVF, rencana PPCI tetapi keluarga menolak dan memilih diberikan obat. Fibrinolitik dengan streptase 1,5 juta IU/100cc. diberikan pk. 04.20. post fibrinolitik: nyeri dada skala 5. TD: 103/73 mmHg, N: 66x/mnt, RR 20x/mnt, saturasi O2: 100% Stimulus: oklusi thrombus di arteri koroner (RCA?), EKG: injury di inferior, post fibrinolitik Masalah: risiko penurunan cardiac output, nyeri dada, penurunan perfusi myocard, risiko perdarahan Intervensi: Cardiac care, circulatory care, pain management, bleeding precaution, Evaluasi: tgl 14/3/12 nyeri sudah hilang, TD 104/64 mmHg, N: 63 x/mnt, RR 20x/mnt, tidak ada perdarahan spontan (gusi tidak berdarah, hematuri (-), EKG: sinus ritme,
12
Tn MR, 52 tahun Perilaku: nyeri dada kiri sejak 8 jam SMRS, timbul saat tidur, terasa seperti tertindih beban berat, tidak menyebar, keringat No MR: 2012-32-57-34 dingin (+), disertai rasa sesak nafas, keluhan berkurang setelah diberikan aspilet 160 mg dan plavix 300 mg di RS lain dari 10 Dx: NSTEMI TIMI risk 4/7 menjadi skala 2. JVP %+1 cmH2O, terdengar ronchi di i/3 basal paru, akral hangat.EKG: Q di II,III,aVF, ST depressed di V2Masuk IGD RSJPDHK tgl 2 V6, trop T: 1,04, CKMB 35, cholesterol 192, lain-lain normal. TD 110/66 mmHg, N: 67 x/mnt, RR: 20 x/mnt Maret 2012 Stimulus: iskemi miokard, riwayat DM, ada faktor Herediter, riwayat merokok, Lama perawatan 8 jam di IGD Masalah: gangguan perfusi miokard, penurunan cardiac output, Intervensi: Cardiac care, circulatory care, pain management, Evaluasi:nyeri dada skala 0, KU baik, TD: 110/70 mmHg, N: 75 x/mnt, akral hangat, EKG tidak ada perubahan.
13
Tn. TM, 64 tahun No MR: 2007-23-22-27 Dx: NSTEMI inferior, TIMI Risk 3/7 Grace 116, post PTCA LAD dan LCx, CHF Fc II ec CAD Masuk IGD RSJPDHK:1 Maret 12,Lama rawat : 1-2 Maret di IGD
Perilaku: dada terasa berat, muncul saat beraktivitas dan istirahat, keringat dingin (+), mual (+), muntah (-), TD: 113/72 mmHg, N: 74 x/mnt, akral hangat, lemes, EKG: T inverted di V5-V6, II,III,aVF, troponin T 0,082, GDS: 268, kreatinin 1,7, ureum 90, hasil echo: EF 26%, Global hipokinetik Stimulus: terjadi iskemi otot jantung, riwayat sroke th 2000, post PCI th 2007, dislipidemi Masalah: gangguan perfusi miokard, penurunan cardiac output, hiperglikemi, risiko perdarahan Intervensi: Cardiac care, circulatory care, pain management, bleeding precaution Evaluasi: nyeri berkurang, skala 2, EKG tidak ada perubahan, hasil troponin T ulang < 0,017, pasien masih di r observasi, rencana pindah GP 2, TD: 102/77 mmHg, N: 72 x/mnt, akral hangat, saat ini terpasang iv line dengan heparin 20000/500, 720 u/jam, tidak ada tanda perdarahan spontan. 4
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
14
Tn WS, 58 tahun No MR: 2012-32-63-22 Dx: STEMI inferior akut Masuk IGD RSJPDHK: Maret 2012 Lama Rawat 8 jam di IGD
1
Tn A.H, 50 th, no MR: 2011318539. Masuk GP LIII, RSJPDHK tgl 10/4 pengkajian tgl 16/4. Diagnose medis: ADHF wet &warm e/c CAD Perawatan tanggal 16-27 April 2012
2
Tn. SS, 55 tahun. No RM:2008-24-73, Masuk RSJPDHK:17/4/12 di IGD, Ruangan:GP II Lt 3, Diagnosa medis: ADHF W/W pada Right and Left Heart Failure, ec MR mod-severe, AF RVR-AF NFR, post MVr dan TVr th 2009, VES frekuen ec hipokalemi Tanggal pengkajian: 18 April 2012, perawatan tgl 18-27 April 2012
Perilaku: dada terasa panas 3 jam SMRS, durasi > 20 menit, timbul saat sedang menyetir, keringat dingi (+). TD: 136/91 mmHg, HR: 72 x/mnt, RR: 16 x/mnt. EKG: ST Elevasi di II,III, aVF, Troponin T < 0,01, CKMB 24. Pasien post PPCI, hasil: LM: Baik, LAD: stenosis 70% di mid setelah D2, LCx: stenosis 70%, RCA: stenosis 70 % di proximal, total stenosis di PDA, pemasangan 13 stent di proximal RCA TIMI Flow 3, setelah dilakukan PPCI nyeri berkurang, skala 3, pasien tampak lemah, bedrest total, masih terpasang sheath. Stimulus: pasien post PPCI 2 jam yll, riwayat DM, Hipertensi, merokok Masalah: gangguan perfusi miokard, risiko penurunan cardiac output, risiko perdarahan Intervensi: Cardiac care, circulatory care, pain management, bleeding precaution Evaluasi: nyeri berkurang banyak dari skala 10 menjadi 3 atau 2, EKG: ST elevasi berkurang, enzyme belum cek ulang, TD 120/70 mmHg, HR: 70 x/mnt, RR: 18 x/mnt Kasus Congestif Heart Failure (CHF) Perilaku: sesak nafas bertambah berat dengan aktivitas, ronchi basah halus di basal +/+, tanda nyeri cardiac-, t Di rumah tidak pernah minum obat, jarang berolah raga, merokok 2 bungkus sehari, sudah berhenti novembner 2011, TD: 89/59, Nadi 69 x/mnt, akral dingin, kaki pucat, EKG: sinus ritme dengan VES, foto thotax: >65%, kongesti +. Echo: EF 30%, akinetik apical, anteroseptal, anterior segmen, lainya hipokinetik, AR mild, MR Moderat, TR Severe, SEC+ LV, thrombus di apical LV. Hasil lab albumin 3,1, ureum 99, creatinin 1,34, penglihatan kabur. Stimulus: Masalah: penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, kelebihan volume cairan Intervensi: Cardiac care,respiratory monitoring, fluid management,coping endancement Evaluasi: sampai tanggal 27/4 pasien belum pulang. kondisi vital sign sudah stabil terapi lasix injeksi sudah diganti oral. Sesak nafas-, EKG: tidak ada VES. Tidak ada anggota keluarga yang dapat diubunngi. Perilaku: Keluhan utama pasien saat masuk adalah sesak nafas memberat sejak 3 hari SMRS, DoE+, OP +, PND +, berdebar +, batuk +, Nyeri dada -, keringat dingin -, mual -, muntah-. Kalium 2,2. EKG : AF- NVR, VES. Saat ini pasien Nampak lemah, ronchi +/+, Stimulus Fokal: EF 20 %, akumulasi cairan di paru, Kontekstual: TR moderat, MR moderat, Residual: pasien riwayat merokok, pasien mudah marah Masalah: Penurunan curah jantung, , gangguan pertukaran gas, kelebihan volume cairan, Intoleransi aktivitas, hipokalemi, risiko infeksi Intervensi: Cardiac care, respiratory monitoring, fluid management, elektrolit management, coping endancement Evaluasi: Pasien mampu beradaptasi, kognasi baik secara regulasi stabil, Vital sign stabil, sesak nafas hilang pada tanggal 21/4/12, nyeri dada-, aktivitas optimal (berjalan keluar kamar) tanpa keluhan, balance cairan antarab-150 s/d -600 cc/24 jam, edema -/-, EKG masih AF- NVR, VES +, lekosit turun mjd 6860, LED 14, tidak terjadi infeksi, pasien bersedia mengikuti anjuran perawat. Kalium meningkat dari 2,25 mjd 3,7 5
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
3
Ny. PS, 60 tahun No MR: 09-36-42 Dx: CHF DM Masuk RSGS: 2 Oktober 2011 Lama perawatan: 3 – 10 Okt 2011
4
Tn. U.A.S, 55 tahun No Rekam Medik: 17-77-31 Masuk RSJPDHK: 18/4/12, Ruangan: GP II Lt 3 Diagnosa medis : ADHF pd CHF ec Old inferior MCI (EF 16%), CAD 3VD post PTCA 1 stent di RCA (incompete revaskularisasi) th 2004. (LAD tidak dapat ditembus), AKI, Tanggal pengkajian: 19 April 2012, perawatan 19-27 April 2012 Tn A.K, 60 th, No MR: 2012-32-40-80, Dx Medis: ADHF pada CHF ec dd Anterior Miokard Infark Recent AMI, CAD, LM+ 3VD; DM tipe 2, dirawat di CVC tanggal 8-12 Maret dengan masalah failure, teratasi dengan vasodilator. Pasien pindah ke IWM tanggal 12 maret, dan kembali ke CVC tanggal 20
5
Perilaku: Pasien mengatakan saat ini sesak nafas, saat istirahat pun juga sesak, posisi yang paling nyaman adalah duduk, ada sedikit retraksi dada, konjugtiva anemis, kuku sianosis, suara ronki +/+, vocal fremitus teraba simetris lemah, suara redup. Hasil foto thorak : cardiomegali.Tampak lemah, albumin 2,7 (3,5-5)g/dL, cholesterol 236 (<200) mg/dL, Ureum : 64 (20-50), Kreatinin 2,2 (0,5-1,5). Kaki kanan sudah diamputasi karena ganggren. Stimulus: Fokal: terjadi penurunan fungsi jantung sebagai akibat dari pembesaran otot jantung, Kontekstual: pasien nampak oedem anasarka, Residual: pasien riwayat DM sejak 1996 (14tahun), didiagnosa penyakit jantung sejak 2010, 4 bulan terakhir tidak kontrol dan tidak minum obat Masalah: penurunan cardiac output, kelebihan volume cairan, intoleransi aktivitas, Intervensi: cardiac care, hemodynamic regulation, circulatory care, hyperglykemi management Evaluasi: kondisi pasien lemah, gula darah stabil, vital sign stabil, oedem berkurang dari +3 menjadi +1, sesak nafas tidak ada, pasien rencana pulang. Perilaku: HR 110x/mnt ireguler, sesak nafas + tetapi sudah berkurang, suara nafas vesikuler, ronki halus +/+ di 1/3 basal, Hasil foto thorak (18 April): CTR 60%, segmen aorta N, pinggang jantung mendatar, kongesti +, Ektopik atrial takikardi, iskemi inferolateral VES +, edema ekstremitas +2, Stimulus Fokal: EF 16 %, akumulasi cairan di paru, Kontekstual: iskemi otot jantung di di inferior dan anterior, Residual: pasien riwayat merokok, kontrol dan minum obat tidak teratur Masalah: penurunan curah jantung, Intoleransi aktivitas, Kelebihan volume cairan Intervensi: Cardiac care, respiratory monitoring, fluid management, elektrolit management, coping endancement Evaluasi: Ku baik, sesak nafas hilang, pasien mampu beraktivitas mandiri tanpa sesak nafas, TD 100-120/70-80 mmHg, N: 80-90 x/mnt, RR 16-18 x/mnt, edema -, ronchi -/-, urin output cukup
Perilaku: TD 84/58 mmHg, EKG: S di V1-V3, Q di III, aVF, T inverted di V5, V6. Hasil foto thorak (Maret): CTR 60%, segmen aorta N, segmen PoN, pinggang jantung mendatar, kongesti +, infiltrate +, Echo: EDD 71, ESD 61, dilatasi semu Ruang Jantung, LVH -, kontraktilitas LV menurun, EF 29%, Kontraktilitas RV menurun TAPSE 1,7. Akinetik inferior, posterior, lateral, apical, segmen lain hipokinetik AR mild, TR mild, MR Mod. Hasil ang iografi (25/1/12): LM: stenosis 90% distal, LAD: stenosis 80% di proximal, LCX: total oklusi di proximal, RCA: Total oklusi di proximal, fistula ke pulmonal(kesimpulan LM +CAD 3VD), Stimulus Fokal: EF 29 %, Fungsi LV dan RV menurun, Kontekstual: hasil angiografi:LM: stenosis 90% distal, LAD: stenosis 80% di proximal, LCX: total oklusi di proximal, RCA: Total oklusi di proximal, fistula ke pulmonal(kesimpulan LM +CAD 3VD) hasil echo: Akinetik inferior, posterior, lateral, apical, segmen lain hipokinetik AR mild, TR mild, MR Mod, Residual: pasien riwayat merokok, hipertensi, DM tipe 2, tanggal 14/3/12 dilakukan konferensi besar hasilnya : konservatif. Masalah: Penurunan Cardiac output, Intoleransi aktivitas, Gangguan perfusi oksigen jaringan miokard, Risiko Infeksi Intervensi: cardiac care, hemodynamic regulation, circulatory care, bleeding precaution, infection control 6
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
6
1
2
3
Maret untuk rencana Evaluasi: Pasien terpasang IABP dengan frekuensi 1:1, augmentasi 100%, weaning lama. pemasangan IABP dan cath Hasil PCI tanggal 21/3 -2012 CAD 3VD+LM disease, telah dilakukan PCI dengan 3 stent DES di LM-LAD secara overlapping, standby PCI tanggal 21/3/12. dengan hasil baik, EKG: terdapat Q di III, aVF, V3, T inverse di V5, V6 sudah mulai menurun dari 0,3 mV menjadi 0,1 mV 21-27 Maret 2012 Ny. A, 60 th, Perilaku: sesak nafas, memberat sejak 5 hari SMRS, sesak nafas meningkat saat aktivitas, berkurang dengan istirahat. Saat ini no MR: 2006-22-00-32, masuk TD: 180/75 mmHg, N: 83 x/mnt, hasil foto thorak CTR sulit dinilai, hasil lab CKMB: 38, Trop T < 0,01, lain-lain normal. EKG: IGD tgl 1 maret 2012 dengan dx: sinus ritme, ronchi basah halus di basal +/+ ADHF wet and warm pada CHF Stimulus : penumpukan cairan di paru, riwayat hipertensi, riwayat DM, dislipidemi, Merokok, menopause, ec HHD, HT St II, DM tipe II, Masalah: pertukaran gas tidak efektif, GD tidak terkontrol Intervensi : cardiac care, hemodynamic regulation, lama perawatan: 8 jam Evaluasi: TD 134/75 mmHg setelah diberikan ISDN 5 mg 2 kali, sesak nafas berkurang dengan oksigen 2 l/mnt, pasien rencana pulang. Kasus Aritmia Tn. E.S, 69 tahun, menikah, Nadi 78 x/mnt ireguler, Hasil EKG(8/11): Atrial Fibrilasi dengan slow respon, hasil echo(9/9): kesan HHD dengan AF, LVEF: No. Rekam Medik: 33-79-21 70%, Hasil foto thorak (4/11): suspect flat line atelektasis di parakardial kiri, riwayat sering synkope. masuk RSGS 2 November Stimulus Fokal: kontraksi jantung tidak teratur, EKG: Atrial Fibrilasi dengan slow respon, Residual: adanya penyakit penyerta 2011 di perawatan umum, (CRF grade IV Kanan) pindah ke lantai 2 Jantung Masalah: Risiko penurunan cardiac output tanggal 8 Nov 11 rencana Selama perawatan tanggal 8-17 Nov konservatif, pasien stabil, pusing-, syncope-, sesak nafas -, Hasil pengkajian yang diperoleh. pemasangan PPM, Tanggal Intervensi: cardiac care, disritmia management, pengkajian: 10 November Evaluasi: PPM dipasang dengan threshold 70 x/mnt. TD 130/80mmHg, Nadi 77 x/mnt regular, magnus, hasil EKG: atrial fibrilasi 2011. Lama perawatan: 10-17 dengan normal respon, luka operasi tidak dibuka, balutan kering bersih, tidak ada krepitasi, pasien pulang tanggal 19/11. kontrol 1 Nov 2011 minggu berikutnya Tn.S, 42 tahun, menikah, Perilaku: Hasil EKG(16/11): jungtional rythm, berdebar, lemes, pusing No. Rekam Medik: 29-37-09, Simulus Fokal: Sinus Bradikardi, Kontekstual: riwayat AV Blok total, terpasang TPM., Residual: riwayat merokok 2 bungkus masuk RSGS 15 November sehari, minum alkohol Residual: Pasien riwayat merokok 2 bungkus sehari, minum alcohol Masalah: Risiko penurunan cardiac output, risiko infeksi 2011pk 19.15 di IGD Diagnose Medis post Intervensi: cardiac care, infection protection pemasangan TPM a/I AV Blok Evaluasi: Selama pasien pasien dipasang PPM pada tanggal 28 November 2011. Hasil pengkajian yang diperoleh setelah Total, dirawat di lantai 2 pemasangan PPM adalah PPM dipasang dengan threshold 60 x/mnt pada siang hari dan 50x/mnt pada malam hari. TD Jantung tanggal 16 Nov 11, 110/80mmHg, Nadi 60 x/mnt regular,parvus, hasil EKG: jungtional rhytm, luka operasi tidak dibuka, balutan kering bersih, tidak Lama perawatan: 16/ 11 s/d ada krepitasi, masih agak lemes, pasien pulang tanggal 1/12. kontrol 1 minggu berikutnya. 1/12 2011 Tn N.S, 76 tahun, Jakarta, Perilaku: Nadi 35-58 x/mnt regular, Riwayat HT (+), Hasil EKG (28 feb) : Atrial Fluter dengan frekuensi 35-55x/mnt, p mitral di diploma, pensiunan ABRI, No II,III, aVF, ST depressed di V1-V6. Hasil foto thorak (28 Feb): Cardiomegali ec dilatasi aorta thorakalis, trakea, pumo dalam batas 7
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
RM: 2012-32-55-69, DX Medik: Atrial Fluter, Masuk IGD RSJPDHK : 28 Februari 2012 Lama perawatan : 8 jam di IGD sampai ruang kateterisasi
4
Ny K, 51 tahun, sudah berpisah dengan suami. No MR: 2008-26-18-48 Dx: SVT Masuk IGD tanggal 8 Maret 2012 Lama rawat: 8 jam di IGD
1
Tn. H, 49 tahun No. Rekam Medik: 37-57-90 Dx: CAD 3VD post CABG 3 graft Masuk RSGS Lantai IV Bedah kamar 412 tanggal 24 Oktober 2011, ICU: 25 Okt 2011 post CABG Lama perawatan 25/10 s/d 3/11 2011
normal. Stimulus Fokal: kontraksi jantung lambat, EKG: Atrial Fluter dengan frekuensi 35-55x/mnt, p mitral di II,III, aVF, ST depressed di V1-V6. Hasil foto thorak (28 Feb): Cardiomegali ec dilatasi aorta thorakalis., Kontekstual: pasien riwayat sinkope berulang. Residual: adanya penyakit penyerta (Hipertensi) Masalah: Risiko penurunan cardiac output.
Intervensi: cardiac care, disritmi management Evaluasi: Setelah dipasang TPM, Resiko infeksi. Nadi :80x/mnt, regular, Terpasang TPM dipaha sebelah kanan dengan treshold 0,75; output 2mA, sensitivity 3 mV, rate 80 xmnt Perilaku: pasien lemes, berdebar-debar sejak dini hari, saat ini sedang cemas, tampak gelisah (pasien datang sendirian sehingga tidak dapat mengurus administrasi).TD: 125/75 mmHg, N: 160 x/mnt, RR: 20 x/mnt Stimulus: kontraksi jantung tidak efektif, gambaran EKG: Supra Ventrikuler Takikardi (SVT), 160 x/,mnt, Hasil foto thorak: CTR 68%, Residual pasien riwayat SVT setahun yang lalu, saat ini sedang stress memikirkan anaknya. Masalah: risiko tinggi penurunan cardiac output, cemas Intervensi: cardiac care, disritmi management, coping enhancement Evaluasi: setelah diberikan ATP 10 mg tidak convert kemuadian diberikan ATP 20 mg gambaran EKG menjadi atrial fluter rate 140-150 x/mnt, dilanjutkan diberikan Lanoxin 0,25 mg gambaran EKG menjadi irama jungtional dengan VES. Pasien masih merasakan berdebar-debar, rasa lemes sudah berkurang. Perawatan selanjutnya di IW Kasus Bedah Jantung Perilaku pasien post CABG hari I, sebelum operasi : EF: 53%, hasil kateterisasi terdapat sumbatan di LAD 90%, LCX 70% dan RCA 99%.Post Op: Pasien terpasang ETT dan tersambung ventilator, suara rales di seluruh lapang paru P: pengembangan paru tidak simetris, Pasien nampak gelisah, nampak ingin menyampaikan sesuatu tetapi masih terpasang ETT. terpasang IV line, arteri line, CVP, NGT, kateter, terdengar ronchi halus di paru ka dan ki, secret keluar putih kental Stimulus Fokal: terdapat luka operasi di sternum sepanjang 25 cm dan kaki kanan sepanjang 60 cm, terjadi perdarahan di rongga thorak yang terakumulasi di paru dan pericardium.perdarahan masih aktif, Kontekstual: gula darah pasien cenderung meningkat, terdapat plague di aorta, Residual: suka makanan yang berlemak, pasien riwayat hipertensi. Masalah: Penurunan cardiac output, Gangguan pertukaran gas, Jalan nafas tidak efektif, Risiko perdarahan masif , Risiko infeksi, Nyeri luka operasi, Disfungsi respon penyapihan ventilator Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection Evaluasi : DS: sesak nafas dan nyeri dada sudah berkurang banyak, tgl 4/11/11 sudah tidak nyeri pada luka atau dada dan tidak sesak, mulai jalan ke luar kamar tidak sesak nafas. suara paru vesikuler, Mulai tanggal 2/10/11 perawatan luka terbuka, kondisi luka baik, kering bersih, bagian distal luka incici di kaki masih rembes plasma, drain : 50 cc/24 jam, Ca: 7,9,Na, K, Cl, Glukosa dalam batas normal.Tanggal 3 hasil EF 43% 8
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
2
3
4
Tn. D, 46 tahun, Menikah. Masuk RSGS, 9/10/11, Ruangan ICU, RSPAD GS, No. Rekam Medik: 00-17-95 Tanggal pengkajian: 10 Okt 2011, jam 09.00 WIB Diagnosa medis: Mitral Stenosis dan Mitral Regurgitasi dilakukan tindakan MVR
Perilaku: Pasien datang di ICU terpasang vemmtilator, ETT no 8, monitor hemodinamik, terpasang drain dada yang tersambung dengan continuous suction, terpasang IVFD: ta.ka darah PRC, ta.ki: RL, arteri line, RD 5% +KCl 50 Meq: 40 tpm, terpasang maggslang untuk dekompresi. Vena jugularis terpasang kateter swan gun yang tersambung dengan obat: midazolam HCl 45 mg dalam glukosa 5% 50 cc: 5 cc/jam, syringe pump: morfin 20/20: 3,2 cc/jam, vascon 4mg/50: 3 cc/jam, nitrogliserin 20/50: 3,6 cc/jam, dobutamin 250/50 3,6 cc/jam Leher sebelah kiri terpasang CVP dengan NaCl + heparin. Pasien terpasang kateter urin. Tampak luka operasi tertutup verban sepanjang 20 cm. Stimulus : Masalah : Perubahan pola nafas, Intoleransi aktivitas, Resiko infeksi, nyeri, Resiko injuri (perdarahan, perubahan hemodinamik) Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection Evaluasi: Perawatan di ICU selama 2 hari dilakukan pemantauan hemodinamik secara ketat, ETT diektubasi tanggal 12/10-11 jam 7.00, selang drain, arteri line dan CVP dilepas tanggal 13/10-11, obat-obatan diberikan secara ketat menggunakan syringe pump. Perawatan selanjutnya dilakukan di ruang perawatan bedah lantai 4 dari tanggal 13/10/11 pk 19.00 s/d /10/11. Kondisi pasien stabil KU membaik, ventilator dilepas post op hari 1, alat2 medis yang tidak diperlukan: dilepas satu persatu: drain, arteri line, CVP hari ke 2, pindah ke ruang perawatan hanya dengan 1 line IV (heparin 10.000 unit dalam NaCl 500 cc) Ny. E, 36 th, Perilaku: klien terpasang ETT tersambung dengan ventilator mode PSV, Frekuensi RR: 12 x/mnt, teratur, suara vesikuler di seluruh lapang paru, distensi vena jugularis – (JVP: 5+0 cm), BJ I, II terdengar iregular, murmur -, gallop –, Akral hangat, TD: No MR: 38-35-66 Dx: Mitral Valve Replacement 126/70 mmHg, HR : 84 x/mnt, irama tidak teratur, pulsasi cukup, capilari refile < 3 dtk.Hb : 7,5 g/dL. Hematokrit :23%. Eritrosit : 2,7 /µL. SGPT, trombosi 90.000/µL, EKG tgl 9/21/11 : sinus ritme dengan ST depresed di V3 &V4 hari I Stimulus: post operasi MVR, on pump Masuk ICU tgl: 9/10/2011 Masalah: penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan kebersihan jalan nafas, risiko perdarahan, risiko Lama rawat: infeksi. Preop 5- 7/ 10 Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical Post op: 9-16/10/2011 ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection Evaluasi: Sesak nafas -, nyeri dada -, kadang masih berdebar-debar, hari ke VI mampu melakukan tes jalan selama 5 menit, TD rata rata 120-130/70-80 mmHg (target tekanan darah tercapai), nadi antara 80-98 x/mnt, teratur, balance cairan antara -200s/d -450 cc/24 jam, suara nafas vesikuler, ronki-/-, wheezing -/-, Edema -/-, Luka masih basah karena rembesan pigtail, pigtail dicabut hari ke VII, luka sternotomi rawat terbuka hari ke VII, luka kering, bersih, tidak ada tanda infeksi, EKG: sinus ritme, Lab tgl 12/12/11: Alb 3,2. Ca 8,3, Hb 10,5, Hmt 33%, hasil elektrolit, lekosit dalam batas normal. Tn JS, 61 th, Perilaku: Kesadaran coma, terpasang ETT tersambung ventilator, terpasang IABP, hemodinamik tidak stabil TD 80-100/50-60 No MR: 2009-27-81-22 mmHg, N: 60-110 x/mnt,CVP 7, terpasang drain substernal dan intrapericard, perdarahan sekitar 5-10 cc/jam, urin 20-50 cc/jam Dx: Post CABG 1 graft, MVR dan semakin berkurang, rencana pasang CRRT bila urin tidak keluar on pump, hari I Stimulus: post operasi CABG dan MVR on pump, Lama CPB 327 menit, EF rendah, terpasang IABP, 9
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Masuk ICU tgl 14 Mei 2012 Lama rawat 15-16 Mei 2012
5
6
Masalah: pertukaran gas tidak efektif, ketidakefektifan kebersihan jalan nafas penurunan cardiac output, gangguan perfusi jaringan serebral, risiko perdarahan, risiko infeksi Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection Evaluasi: hemodinamik pasien tidak stabil, dipasang IABP dan CVVH karena urin tidak keluar. Kondisi semakin memburuk, Tekanan darah turun 60/ 30, creatinin meningkat (4,5 mg/dL), pasien meninggal tanggal 16 Mei 2012 (malam hari) Tn WR, 60 th, Perilaku: pasien datang dari OK, kesadaran dalam pengaruh sedasi, tepasang ETT dengan ventilator mode PSV, terpasang IV line, No MR: 2012-32-84-36 arteri line, CVP, NGT, kateter, EF 68%, global normokinetik, TD: 130/70 mmHg, N: 75 x/mnt, Dx: Post CABG 3 graft, on Stimulus: post operasi CABG 3 graft, on pump pump Masalah: penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan kebersihan jalan nafas, risiko perdarahan, risiko Masuk ICU: 21 Mei 2012 infeksi Lama Perawatan 211-22 Mei Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection Evaluasi: Kesadaran CM, sudah ektubasi, TD 100-120/60-70 mmHg, N: 90-100 x/mnt, balance cairan +217 cc/24 jam, masih terpasang drain substernal dan intrapleural, perdarahan 5 cc/jam, luka bersih, tidak rembes, tidak ada tanda peradangan, pasien dipindahkan ke IWB. Tn ES, 42 tahun, Perilaku: pasien post operasi bental prosedur hari I, kesadaran dalam pengaruh sedasi, terpasang ETT dengan ventilator mode No MR: 2012-32-72-20 ASV, terpasang IV line, arteri line, CVP, NGT, kateter, terdengar ronchi halus di paru ka dan ki, secret keluar putih kental, hasil Dx: Supra coronary Ao Arch AGD: alkalosis Respiratorik, EF 50%, TD: 80/45 mmHg, N:, EKG Sinus Ritme, Replacement (bental prosedur) Stimulus: post operasi bental prosedur, on pump, riwayat CPB lama, masih diberikan sedasi. Masuk ICU RSJPDHK: Masalah: penurunan cardiac output, gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan kebersihan jalan nafas, risiko perdarahan, risiko 22/5/12 infeksi, hipernatremi Lama perawatan : 22-25/5/12 Intervensi: Hemodinamic regulation, fluid management, elektrolit management, cardiac care, circulatory care, mechanical ventilation, artificial airway management, respiratory monitoring, oxygen therapy, bleeding reduction, tube care: chest, analgetic administration, neurologic monitoring, incision site care, infection protection. Evaluasi: tgl 25/5/12 pasien masih terintubasi, TD: stabil (120-130/79-80 mmHg), N: 70-80 x/mnt, RR 14x/mnt, saturasi oksigen 99%, EKG Sinus Ritme, urin sekitas 170 cc/jam, drain sekitar 10 cc/jam. AGD: alkalosis metabolic. Perawatan masih dilanjutkan di ICU, sedasi sudah distop, menunggu respon kesadaran pasien.
10
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Gejala yang dirasakan
PENYAKIT JANTUNG KORONER
a.
Nyeri dada tiba-tiba & berlangsung lama, dirasa seperti diremas-remas,
Pengertian Penyakit
terbakar, ditekan, tertindih barang
jantung
koroner
berat.
merupakan
penyakit yang diakibatkan oleh kondisi
b. Dapat disertai mual, muntah, sesak,
dengan penimbunan lemak abnormal atau
b. Kontrol Diit
pusing, berkeringat dingin,
patologis arteri koroner yang ditandai c.
Nyeri dada kiri menyebar ke leher,
bahan lemak dan jaringan fibrosa di
rahang,
pundak
kiri
atau
kanan,
dinding pembuluh darah yang disebut
lengan bahkan sampai punggung
dua
Faktor Risiko a. faktor yang tidak dapat dimodifikasi: keluarga
dengan
PJK,
keturunan termasuk ras, usia dan jenis kelamin. b. faktor
yang
merokok,
Berhenti Merokok Merokok
meningkatkan
denyut
jantung dan menyempitkan pembuluh darah, sementara secara bersamaan mengurangi kapasitas darah untuk
dapat
dimodifikasi:
hipertensi,
peningkatan
fisik
dan
porsi
per
minggu),
kacang-
kacangan, unggas (kulit dihilangkan)
membawa oksigen
serum kolesterol, diabetes mellitus, inaktivitas
berbagai macam biji-bijian, enam
susu rendah lemak, ikan (setidaknya
Modifikasi faktor risiko
riwayat
lima porsi atau lebih per hari, makan
porsi atau lebih termasuk produk
dengan aterosklerosis
a.
makan berbagai buah dan sayuran
kegemukan.,
stress
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
dan daging tanpa lemak dan batasi konsumsi alkohol
c.
Pengaturan Berat Badan
Letakkan kedua kaki pada tiap
e.
Kontrol Tekanan Darah
Indeks Masa Tubuh (IMT) yang
tangga sebelum naik ke tangga
Tekanan Darah yang diharapkan
dianjurkan
berikutnya
adalah 140/80 atau 130/80 untuk
Pemanasan sebelum latihan &
pasien diabetes Melitus.
adalah
antara
18,5
sampai 24,9. Lingkar pinggang laki-
pendinginan sesudah latihan
laki lebih dari 102 dan wanita lebih dari
88
cm
dianjurkan
untuk
mengurangi berat badan
Menyetir mobil 4 mggu setelah
f.
Kontrol Gula Darah
serangan
Gula
Bekerja kembali setelah 4-8
dalam rentang normal yaitu <140
mggu plng dr rs.Konsultasi dgn
mg/dL
darah
diharapkan
stabil
dokter sbelumnya.
g.
Manajemen stress
setelah kondisi stabil (4-6 mgg
Respon stress seseorang dapat
setelah pulang dari RS) antara
meningkatkan risiko PJK
lain berjalan, joging setidaknya
d. Aktivitas
Olah raga yang dianjurkan
30-60 menit, 3 -5 kali seminggu.
h. Pengobatan
Aktivitas fisik di rumah sakit
Lakukan secara bertahap sesuai
Pahami obat yang diminum ( nama,
dilakukan secara bertahap sesuai
kemampuan,
dosis, efek samping).
fase rehabilitasi.
Minum obat teratur sesuai dosis
Mg I : berjalan dlm jarak pendek
yang diberikan
2-3x/mgg, bertahap (5,10,15 menit sesuai toleransi)
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 3 PENJELASAN TENTANG PELAKSANAAN EVIDENCE BASED NURSING EBN
: PEMBERIAN TERAPI DINGIN UNTUK MENGURANGI NYERI SAAT LATIHAN NAFAS DALAM DAN BATUK EFEKTIF PADA PASIEN SETELAH OPERASI PINTAS KORONER DI RSJPD HARAPAN KITA, JAKARTA
Residen : Chatarina Setya Widyastuti Nonor Hp : 081328842319 ===================================================================== Saya Chatarina Setya Widyastuti (Residen Program Spesialis Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Universitas Indonesia, peminatan Kardiovaskuler), bermaksud menerapkan hasil Evidence Based Nursing (EBN) tentang pemberian terapi dingin untuk mengurangi nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif yang sudah dinyatakan efektif dengan p value 0,001(α 0,05) pada pasien paska operasi pintas koroner. Hasil penerapan EBN ini direkomendasikan sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan Keperawatan Medikal Bedah, khususnya pelayanan kepada pasien setelah operasi pintas koroner agar dapat melakukan nafas dalam dan batuk efektif lebih optimal karena nyeri berkurang Residen menjamin bahwa penerapan EBN ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi siapapun. Residen berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak responden dengan cara menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan data, pelaksanaan, pengolahan dan analisa serta dalam penyajian data hasil peneapan EBN. Residen juga menghargai keinginan responden untuk tidak berpartisipasi dalam penerapan EBN ini. Melalui penjelasan singkat ini, peneliti sangat mengharapkan partisipasi bapak/ibu untuk menjadi responden penerapan EBN tentang pemberian terapi dingin untuk mengurangi nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner. Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya.
Residen Chatarina Setya Widyastuti Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 4 LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENERAPAN EBN PEMBERIAN TERAPI DINGIN UNTUK MENGURANGI NYERI SAAT NAFAS DALAM DAN BATUK EFEKTIF Setelah membaca dan mendengarkan penjelasan tentang Penerapan EBN ini serta mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan maka saya, Nama
: ……………………………………………………………………
Alamat
: …………………………………………………………………… ………………………………….Telp……………………………
mengetahui manfaat dan tujuan penerapan EBN ini. Saya mengerti bahwa Residen menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai responden dalam Penerapan EBN ini. Saya menyadari bahwa Penerapan EBN ini tidak akan berdampak negatif bagi saya, dan saya mengetahui bahwa keikutsertaan saya dalam Penerapan EBN ini sangat besar manfaatnya bagi peningkatan kualitas pelayanan Keperawatan Medikal Bedah khususnya Keperawatan Kardiovaskular. Demikian kiranya secara sukarela dan tidak ada paksaan dari siapapun, saya bersedia berpartisipasi dalam penerapan EBN tentang pemberian terapi dingin untuk mengurangi nyeri saat latihan nafas dalam dan batuk efektif pada pasien paska operasi pintas koroner ini. Jakarta, …..……….2012 Responden
(
)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 5 DATA PASIEN A. Identitas Responden 1. Nama
:
No MR:
2. Umur/tanggal lahir
: … tahun / ………..
3. Jenis Kelamin
:
4. Pendidikan
:
5. Pekerjaan: Tidak bekerja
Purna tugas
Lainnya ……
PNS/TNI/Polri /Karyawan Swasta masih aktif 6. Diagnosa Medik
:…
7. Waktu dilakukan operasi CABG / (tanggal/bulan/tahun) : … / hari ke: … B. Riwayat penyakit Sekarang (Rule Out kriteria eksklusi) 1. Alergi dingin
: Ada / Tidak
2. Sindrom raynaud’s
: Ada / Tidak
3. Hemoglobinuri
: Ada / Tidak
4. Gangguan kognitif
: Ada / Tidak
5. Terpasang drain thorak
: Ya / Tidak
6. Infeksi
: Ada / Tidak
7. Perdarahan eksternal
: Ada / Tidak
8. Atrial fibrilasi yang tidak terkontrol
: Ya / Tidak
9. Dehiscence
: Ada / Tidak
C. Data terapi Analgetik yang diperoleh No
Obat
: Pemberian
1 2 3
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 6
LEMBAR PENGUMPULAN DATA Nama Responden
Sesi
Waktu
: Skore nyeri sebelum latihan
No MR Skore nyeri setelah latihan
Penggunaan analgetik
:
Sensasi terhadap terapi dingin Catatan
(pemberian terakhir)
(dikaji tiap 5 menit)
1
2
3
4
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 7
PENGKAJIAN SKALA NYERI
0
1
Nyeri ringan ( 0-3)
2
3
4
5
Nyeri Sedang (> 3-6)
6
7
8
9
10
Nyeri berat (> 6-10)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Nama Umur
6
5
4
3
2
1
Kulit sekitar insersi
Nyeri punggung / panggul*
Nyeri dada
Kesadaran
Suhu
RR
HR
TD
: Depper dilonggarkan jam
Jenis penekan (Depper)
:
:
- Jam pertama post PCI tiap 15 menit
Dimulai setelah PCI kemudian dilanjut pada:
Post PCI hari ke :
Ruangan :
:
Bantal pasir diangkat jam*
:
- Jam ke-3 s.d ke-6 post PCI tiap 1 jam
- Jam kedua post PCI tiap 30 menit
Kekuatan Nadi Perifer 0 : Tidak teraba 1 : Lemah, sulit dipalpasi 2 : Normal 3 : Mudah dipalpasi, nadi penuh 4 : Terlihat tanpa dipalpasi
*) Jika akses PCI menggunakan pendekatan femoralis
+ : Ya - : Tidak
Nyeri, Hematoma, Perdarahan eksternal, Pruritus/urtikaria, Kebas, Parastesia
- Jam selanjutnya post PCI tiap 4 jam
:
Waktu
Kateter urine dilepas jam
Frekuensi Monitoring
: Tgl Monitoring Depper dilepas jam
MONITORING KOMPLIKASI POST PERCUTANEUS CORONARY INTERVENTION (PCI) : :
Femoralis ka / ki
:
Sheath dilepas jam* : Diagnosa Medis
Akral H : Hangat D : Dingin
Warna Kulit Sekitar Insersi N : Normal B : Biru M : Merah
Keterangan Pengisian Pergerakan (MRC Score ) 0 : Tidak ada pergerakan 1 : Tidak ada pergerakan, tapi teraba kontraksi 2 : Ada pergerakan, tdk dpt melawan gravitasi 3 : Ada pergerakan, dapat melawan gravitasi 4 : Ada pergerakan, dapat melawan tahanan 5 : Kekuatan normal
Brachialis /ki
Radialis ka / ki
Tgl/Jam PCI
No. MR : Akses PCI :
7 Hematoma
Tanda dan Gejala
8
No
9 10 Perdarahan eksternal 11 Pruritus/Urtikaria 12 Intake cairan / Urine output 13 Hematuria 14 Nyeri bagian distal ekstremitas 15 Pergerakan ekstremitas 16 Pengisian kapiler 17 Akral 18 Warna kulit ekstremitas 19 Kekuatan nadi perifer 20 Rasa kebas
Kiri Kanan
Warna Kulit Ekstremitas N : Normal P : Pucat S : Sianosis
Paraf/Nama Ners
21 Parastesia
Kesadaran CM: Compos mentis A : Apatis S : Sopor SK : Soporo Komatus K : Koma
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Brachialis ka / ki
Radialis ka / ki
Akses PCI
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 9 PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN FORMAT MONITORING KOMPLIKASI PASIEN POST PERCUTANEUS CORONARY INTERVENSI (PCI) Frekuensi monitoring komplikasi dilakukan secara periodik sesuai waktu yang dianjurkan dengan catatan sebagai berikut: 1. Monitoring dilakukan setiap 15 menit pada jam pertama 2. Apabila pada jam pertama kondisi pasien stabil dan tidak terjadi komplikasi maka monitoring dilakukan setiap 30 menit pada jam kedua. 3. Apabila pada jam kedua kondisi pasien stabil dan tidak terjadi komplikasi maka monitoring dilakukan setiap 1 jam selama 4 jam berikutnya (jam ke 3 sampai dengan jam ke 6) 4. Apabila pada 4 jam terakhir kondisi pasien tetap stabil dan tidak terjadi komplikasi maka monitoring dilakukan setiap 4 jam sampai pasien pulang. No
Item
2.
Nama, Umur, No. MR, Diagnosa Medis Ruangan
3.
Akses PCI
4. 5.
Tanggal/ Jam PCI Tanggal Monitoring
6.
Alat Penekan
7.
Jam dilonggarkan / Dilepas
8.
Sheath dilepas jam
9. 10.
Bantal pasir diangkat TD, HR, RR dan Suhu
11.
Kesadaran
1.
Pengisian Diisi sesuai data dalam Medical Record pasien Diisi ruang, kamar dan nomor bed Dicentang (diberi √ tanda pada kotak) sesuai dengan akses radialis atau femoralis dan melingkari ki jika dilakukan pada ekstremitas kiri dan ka jika dilakukan pada ekstremitas kanan Diisi tanggal dan jam setelah dilakukan PCI Diisi tanggal dilakukan monitoring Diisi dengan jenis alat penekan yang digunakan pada akses radialis, seperti nichiban, TRban dan lain-lain Diisi sesuai jam alat penekan dilonggarkan atau dilepas pada akses radialis. Diisi sesuai waktu sheath dilepas (hanya untuk PCI dengan akses femoralis Diisi sesuai waktu bantal pasir diangkat Diisi sesuai dengan hasil pemeriksaan Diisi sesuai tingkat kesadaran pasien yang terdiri dari: Compos Mentis: sadar penuh/ bereaksi segera dengan orientasi sempurna Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan Sopor : dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus menerus Soporo Koma : reflek motorik terjadi hanya bisa dirangsang dengan rangsangan Universitas Indonesia
1
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 9 No
Item
Pengisian nyeri : tidak ada reflek motorik sekalipun dengan rangsangan nyeri Diisi tanda (+) jika keluhan nyeri khas kardiak dan tanda (-) jika tidak ada. Diisi tanda (+) jika ada keluhan nyeri yang dirasakan pada bagian retroperitoneal dan tanda (-) jika tidak ada. Adanya nyeri ini menunjukkan adanya kecurigaan perdarahan retroperitoneal Diisi warna kulit sekitar insersi PCI dengan criteria: Nornal : kulit dalam keadaan baik, tidak ada tanda peradangan atau gangguan perfusi Biru : kulit sekitar insersi membiru yang menujukkan adanya perdarahan dibawah kulit Merah : kulit sekitar insersi berwana merah yang menunjukkan adanya proses peradangan Diisi sesuai hasil pemeriksaan dengan cara palpasi yang menunjukkan adanya hematom (teraba keras pada bagian sekitar insersi). Diisi tanda (+) jika ditemukan tanda hematoma dan tanda (-) jika tidak ditemukan tanda hematoma. Diisi tanda (+) jika ada perdarahan yang terlihat pada bagian insersi, dapat berupa rembesan darah pada kassa atau tetesan darah, dan tanda (-) jika tidak ditemukan. Diisi tanda (+) jika ada keluhan gatal di seluruh tubuh yang mengindikasikan adanya alergi zat kontras dan tanda (-) jika tidak ada keluhan gatal. Intake diisi jumlah cairan yang masuk baik dari oral maupun parenteral dalam satuan cc. Urin output diisi jumlah urin yang keluar dalam satuan (cc) yang tertampung dalam urin bag atau yang keluar secara spontan. Produksi urin yang <30 cc /jam menunjukkan penurunan curah jantung akibat penurunan filtrasi glomerolus Diisi tanda (+) jika ada tanda perdarahan yang tampak pada urin berupa warna kemerahan pada urin, dan tanda (-) jika tidak ditemukan. Diisi tanda (+) jika ada keluhan nyeri pada bagian distal ekstremitas yang dilakukan insersi, dan tanda (-) jika tidak ada. Diisi tentang penilaian pergerakan ekstremitas berdasarkan nilai kekuatan otot: Koma
12.
Nyeri dada
13.
Nyeri punggung / panggul
14.
Kulit sekitar insersi
15.
Hematom
16.
Perdarahan eksternal
17.
Pruritus/Urtikaria
18.
Intake cairan/ Urine output
19.
Hematuria
20.
Nyeri ekstremitas distal
21.
Pergerakan ekstremitas
Universitas Indonesia
2
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 9 No
22.
Item
Pengisian kapiler
23.
Akral
24.
Warna kulit ekstremitas
25.
Kekuatan nadi perifer
26.
Rasa kebas
27.
Parestesi
Pengisian 0 : Tidak ada pergerakan 1: Tidak ada pergerakan, tapi teraba kontraksi 2 : Ada pergerakan, tidak dapat melawan gravitasi 3 : Ada pergerakan, dapat melawan gravitasi 4 : Ada pergerakan, dapat melawan tahanan 5 : Kekuatan normal Diisi sesuai hasil pemeriksaan yang dilakukan dengan menekan kuku bagian distal ekstremitas dengan kriteria: < 3 detik : menunjukkan perfusi perifer adekuat >3 detik : menunjukkan perfusi perifer kurang adekuat Diisi sesuai hasil pemeriksaan dengan cara meraba bagian distal ekstremitas menggunakan criteria: Hangat : menunjukkan perfusi perifer adekuat Dingin : menunjukkan perfusi perifer kurang baik sebagai pertanda penurunan curah jantung Diisi sesuai dengan hasil inspeksi pada kulit ekstremitas, menggunakan criteria : Normal : menunjukan perfusi ke ekstremitas adekuat Pucat : menunjukan aliran darah ke ekstremitas berkurang yang akan berlanjut menjadi sianosis bila tidak diatasi. Sianosis : menunjukan warna kebiruan sebagai akibat perfusi ke ekstremitas tidak adekuat. Diisi sesuai dengan hasil palpasi nadi distal dengan kriteria: 0 : Tidak teraba 1 : Lemah, sulit dipalpasi 2 : Normal 3 : Mudah dipalpasi, nadi penuh 4 : Terlihat tanpa dipalpasi Diisi tanda (+) jika terdapat sensasi kebas seperti rasa tebal atau penurunan sensasi sensori, dan tanda (-) jika tidak ada Diisi tanda (+) jika pasien mengeluh adanya kesemutan pada bagian distal ekstremitas dan tanda (-) jika tidak ada
Universitas Indonesia
3
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 10
STANDAR OPERATING PROCEDURE (SOP) PEMBERIAN TERAPI DINGIN PADA PASIEN POST OPERASI PINTAS KORONER A. Pengertian Memberikan stimulasi pada kulit dan jaringan menggunakan terapi dingin kering (gelpack) sebagai manajemen nyeri sternotomy saat latihan nafas dalam dan batuk pada pasien post operasi pintas koroner. B. Tujuan Sebagai terapi komplementer dalam menurunkan skala nyeri sternotomy saat pasien melakukan latihan nafas dan batuk C. Indikasi Pasien post operasi pintas koroner yang sudah aff drain D. Kontra Indikasi Pasien yang masih terpasang drain thorax Pasien yang mengalami gangguan sensasi pada area sekitar sternotomy Pasien gangguan komunikasi E. Prosedur Persiapan
Prosedur
Pasien: Jelaskan pada pasien tentang intervensi yang akan diberikan terkait bagaimana terapi ini bekerja, risiko yang terjadi bila terlalu dingin atau pemberiannya tidak tepat. Sampaikan bahwa pasien harus menyampaikan pada perawat bila terasa sangat dingin. Jelaskan kembali tentang penetapan skala nyeri antara 0-10 menggunakan Numeric Rating Scale (NSR) Jelaskan kembali cara melakukan nafas dalam dan batuk efektif. Berikan posisi supine Alat: Gelpack yang sudah didinginkan dalam freezer minimal 1 jam Kantong gelpack atau kain pembungkus yang tipis a. Perawat mencuci tangan b. Bebaskan area kulit yang akan diberikan terapi dingin dari kain yang menutupinya. c. Tutup luka sternotomy dengan kasa steril pada luka yang masih memerlukan perawatan steril d. Letakkan gelpack yang sudah dimasukkan kantong/ dibungkus kain diatas luka sternotomy e. Cek adanya alergi dingin pada 5 menit pertama setelah aplikasi dengan mengkaji adanya kemerahan, gatal atau nyeri pada area sternotomy dan sekitarnya. f. Berikan terapi dingin selama 20 menit 1
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Evaluasi
g. Evaluasi sensasi dingin yang dirasakan pasien secara regular (kaji setiap 5 menit) h. Setelah 20 menit, angkat gelpack dari luka sternotomy i. Berikan posisi semi fowler j. Anjurkan pasien melakukan latihan nafas dalam dan batuk efektif Evaluasi skala nyeri setelah pasien melakukan aktivitas batuk untuk memonitor efektivitas intervensi. Evaluasi area yang diberikan terapi dingin terhadap adanya kemerahan, nyeri, gatal Berikan posisi nyaman sesuai keinginan pasien Bereskan alat dengan melepas kain pembungkus, mendisinfeksi gelpack kemudian menyimpan kembali dalam freezer agar selalu siap untuk digunakan Perawat cuci tangan Dokumentasikan dalam catatan keperawatan
F. Hal yang perlu diperhatikan 1. Pada saat yang tepat terapi dingin sebaiknya dipertimbangkan diberikan bersama intervensi farmakologi. 2. Area harus selalu dilihat sebelum pemberian terapi dan sensasinya harus normal. 3. Pembungkus yang digunakan dapat didisinfeksi, hanya ditempelkan pada kulit yang sehat/ atau tertutup sehingga risiko infeksi minimal dan digunakan kembali 4. Alat pendingin yang digunakan harus aman. 5. Gelpack dapat dimodifikasi dengan serpihan es yang dikemas dalam plastik anti bocor 6. Pemberi terapi harus seorang tenaga kesehatan yang professional dan memahami tentang pedoman pengendalian infeksi. G. Referensi Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management for positive outcome. 7th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders Chailler, M; Ellis,J; Stolarik, A; dan Wooden, K. (2010).Co ld Therapy Management of pain Associated with Deep Breathing and Coughing Post Cardiac surgery. Canadian Journal of Cardiovascular Nursing, Vol 20 no 2, 18-24 Dochterman, J.M., & Bulechek, G.M. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth Edition. St.louis, Missouri: Mosby. 2
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Ignatavisius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical-Surgical Nursing: Critical Thingking For Collaborative Care. (4th Ed), St. Louis, Missouri: Elsevier. Saunders. Lane, E dan Latham, T. (2009). Managing Pain using Heat and Cold Therapy. Paediatric Nursing Vol 21, 14-18 Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2005). Brunner & suddarth’s textbook of medical surgical nursing. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. .... (2008). Pain Management. An Overview. Independent Study. ISNA Bulletin: 13-17
3
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
HR > 100 TTV
Penurunan kesadaran
TD < 90 mmHg Suhu > 37 C
Nyeri dada
Nyeri
Nyeri punggung
Warna kulit sekitar Insersi
Biru
Reaksi Alergi
Penurunan Curah Jantung
Perdarahan eksternal
< 30 cc/jam
Perdarahan
Hematuria
Risiko Tromboemboli
Nyeri distal ekstremitas
Pergerakan ekstremitas
Kekuatan ↓
Pengisian kapiler
> 3 detik
Warna kulit ekstremitas
Dingin
Defisit Volume Cairan
Pucat Sianosis
Kekuatan nadi perifer
Rasa kebas
Parestesia
• Status hemodinamik pasien diawasi secara ketat dan perubahan dicatat sampai tanda-tanda vital stabil. • Lakukan evaluasi EKG 12 lead • Monitor perubahan enzim jantung • Monitor intake & output cairan tiap jam maupun setiap hari. • Apabila urine output < 30 cc/jam laporkan kepada dokter. • • • • • •
Pruritus/ Urtikaria
Akral
• Kaji Alergi terhadap kontras • Pasien dijelaskan untuk melaporkan adanya pruritus, urtikaria, rash, demam, sesak nafas, mual, muntah, lemah • Monitor vital sign • Beri antihistamin/kortikosteroid sesuai program • Life support bila terjadi reaksi alergi hebat
Merah
Hematoma
Output urine
• Evaluasi adanya karakteristik iskemik miokard • Evaluasi TD dan Nadi • Kolaborasi pemberian terapi (Nitroglyserin, B-Blockers, Heparin, morfin sulfat, antiagregat, dan GP IIb/IIIa reseptor • Monitor efektivitas pemberuan terapi • Monitor perubahan EKG terhadap adanya nyeri • Awasi tanda aritmia • Pasang EKG 12 lead • Beri O2 (SaO2 dipertahankan > 92%) • Cek urine volume
Lemah
Penurunan Perfusi Jaringan
Beri penekanan selama 30 menit atau sesuai protokol Evaluasi dan catat jumlah darah pada balutan Ganti balutan pada sisi yang mengalami perdarahan Jika tampak hematoma, beri tandai luas sisi hematoma Obat antikoagulan distop setelah melapor ke medis Hindari pergerakan tiba-tiba pada ekstremitas setelah penutupan luka dan pembentukan clot lengkap • Mulai pemberian cairan sesuai order • Monitor TTV tiap 15 menit • Periksa ekstremitas adanya pucat, baal, perubahan warna, perdarahan dan hematoma o Tiap 15 menit pada jam pertama, tiap 30 menit pada jam kedua, tiap 60 menit pada 4 jam selanjutnya dan tiap 4 jam hingga pasien stabil • Bedrest dalam posisi supine • Beri heparin sesuai order • Tromboemboli serebral : tirah baring, konsultasi neurologis, terapi antikoagulan sesuai order • Emboli pulmonal: latihan napas dalam tiap jam, hindari valsava manuveur, terapi fibrinolitik dan antikoagulan • Tromboemboli koroner: terapi antiplatelet, antikoagulan, fibrinolitik sesuai order • Evaluasi vital sign secara periodik (Volume Cairan) • Kaji adanya perdarahan, bengkak, perubahan warna pada area insersi • Anjurkan pasien meningkaatkan intake oral • k/p beri terapi intravena atau transfuse darah sesuai program • monitor intake output cairan • kaji adanya hipotensi ortostatik, bila BP turun 10 mmHg dan nadi meningkat 20x/mnt, posisikan supine dan tingkatkan cairan infuse intravena sesuai program • Evaluasi kualitas pulsasi di ekstremitas distal o Evaluasi arteri radialis dan ulnar pada pasien dengan intervensi PCI di brachialis o Evaluasi pada arteri tibialis posterior terhadap pasien dengan intervensi PCI di femoralis) • Monitor adanya pembengkakan dan hematom. • Monitor adanya pengembangan fistula arteriovenosa dan pseudoaneurysm seperti adanya nyeri inguinal sistolik, murmur sistolik, atau adanya massa berdenyut di daerah tusukan
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012
Lampiran 12
Quesioner Evaluasi Penerapan Format Monitoring Post PCI Di IW Medikal RSJPDHK, Jakarta Petunjuk : Berilah tanda √ pada kolom ya atau tidak atas pertanyaan dibawah ini. No
TOPIK
Ya
1
Apakah bentuk format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan sudah mewakili
Tidak
dokumentasi yang jelas, terstrukstur dan sistematis? 2
Apakah format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan sudah memiliki seluruh
komponen data yang diperlukan? 3
Apakah menurut anda format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan komunikatif
memberikan informasi tentang kondisi pasien? 4
Apakah format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan memudahkan perawat melihat
perkembangan kondisi pasien? 5
Apakah cara pengisian format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan sudah efektif
dan efisien? 6
Apakah format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan sudah layak diterapkan sebagai
format resmi di RSJPDHK? 7
Apakah anda setuju format Monitoring Post PCI yang diuji cobakan diterapkan di
RSJPDHK, Jakarta?
Saran: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Chatarina Setya Widyastuti, FIK UI, 2012