UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
TUGAS KARYA AKHIR
FAHMI ISLAMI 0906524223
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU (2008-2012) DI BIDANG KEAMANAN, EKONOMI, DAN IDENTITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
FAHMI ISLAMI 0906524223
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013 ii Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas karya akhir ini. Tugas karya akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Hubungan antara Taiwan dan Cina merupakan salah satu fokus utama dalam dinamika kawasan di Asia Timur. Hubungan antara kedua negara diwarnai oleh sisi positif dan negatif. Hubungan di bidang ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, menutupi potensi konflik yang dapat membawa dunia menuju ke perang dunia selanjutnya, karena banyaknya kepentingan antara aktor-aktor di Selat Taiwan. Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina tentu dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang diambil dari sisi Taiwan. Menilik sejarah Taiwan, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi beberapa kali pergeseran kebijakan yang diambil dalam menghadapi Cina dari pemimpin-pemimpin Taiwan. Tugas karya akhir ini akan mencoba mendalami bagaimana dinamika baru muncul di bawah presiden Taiwan saat ini, Ma Ying-jeou, dalam periode pertama kepresidenannya dari tahun 2008 hingga 2012. Secara spesifik, penulis akan membahas tiga kebijakan utama dalam masa kepemimpinannya, yaitu di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Tugas karya akhir ini akan menunjukkan bagaimana Presiden Ma Yingjeou membawakan Taiwan ke dalam tahap baru hubungan Taiwan dan Cina. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan yang terdapat pada tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca unutk menyempurnakan karya ini. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak baik di bidang akademis maupun praktis. Depok, 17 Juli 2013 Fahmi Islami
v Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam kesempatan ini, penulis pertama-tama hendak mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala kekuatan yang diberikan kepada penulis selama rangkaian masa perkuliahan dan pada penulisan tugas akhir ini. Selain itu, penulis juga hendak mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, yaitu: 1. Broto Wardoyo, S.Sos., M.A., selaku dosen pembimbing penulis. Terimakash untuk semua bantuan-bantuan, atensi, dan terutama motivasi yang tidak berhenti kepada penulis agar segera menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Bantarto Bandoro, S.H., M.A, selaku penguji ahli penulis. Terimakasih untuk semua input dan saran yang telah diberikan bagi penulis untuk memperbaiki tugas karya akhir ini. Terimakasih pula untuk semua cookies dan koala yang pernah diberikan. 3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A selaku Ketua Program Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI dan selaku Ketua Sidang, dan Andrew Wiguna Mantong, S.Sos, M.Sc., selaku sekretaris program sarjana S-1 dan sekretaris sidang. Terimakasih untuk segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa di Program Sarjana Hubungan Internasional-UI 4. Dra. Evi Fitriani, M.A., Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP, Universitas Indonesia. Terimakasih untuk seluruh inspirasi yang diberikan kepada penulis selama berkuliah di HI. 5. Andi Widjajanto, Ph.D dan Aninda R. Tirtawinata, M.Litt, selaku pengajar mata kuliah Colloqium. Terimakasih atas bimbingan dan arahannya dalam kelas colloquium, yang menjadi dasar penulisan tugas karya akhir ini. 6. Yuni Reti Intarti, S.Ip., M.Si, selaku pembimbing akademik penulis, yang telah memberikan banyak input bagi penulis selama berkuliah di HI UI.
vi Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
7. Seluruh Pengajar dan Staf di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Terimakasih atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis 8. Mama Emi dan Fadil, Ibu dan Adik dari penulis. Terimakasih atas semua unconditional love and support selama penulis menjadi mahasiswa. Doakan agar Fahmi bisa sukses di masa depan. 9. Seluruh teman-teman HI 2009. Penulis bersyukur bisa menjadi salah satu bagian dari teman-teman semua. Terimakasih untuk 4 tahun yang tak terlupakan. 10. Teman-teman HI senior angkatan 2006, 2007, dan 2008, serta junior angkatan 2010 dan 2011. Terimakasih karena telah menjadikan SBAL sebagai tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi, biarpun penulis jarang berada di SBAL 1 tahun terakhir ini. 11. Seluruh senior-senior Ruang Asdos, Kak Dian, Kak Dina, Kak Agung, dan Kak Syarip. Terimakasih untuk semua nasehat dan bantuan selama bersama menjadi penghuni ruang AsDos. 12. Teman-teman penulis di luar HI. UIMUNClub. EDS-UI. HNMUN tahun 2011, 2012, dan 2013. IndonesiaMUN 2011 dan 2012. OIS 2010 dan 2011. Terimakasih untuk semua pelajaran dan kenangan yang tak akan penulis lupakan. 13. Sri Mulyati. Untuk semua semangat, semua telefon, semua sms, semua IMs. Terimakasih atas semua kenangan yang indah selama 2 tahun. To infinity and beyond! 14. Semua pihak lain yang telah membantu penulis selama perkuliahan di HIUI, dan juga pada saat penulisan tugas akhir ini. 15. Bapak Ibe. Untuk 10 tahun singkat Fahmi belajar dari Bapak Ibe, yang akan Fahmi bawa untuk seumur hidup.
Depok, 17 Juli 2013 Fahmi Islami
vii Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Fahmi Islami : Ilmu Hubungan Internasional : Kebijakan Luar Negeri Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou (2008-2012) di Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Identitas dalam Hubungan Antar-Selat Taiwan dan Cina
Tugas karya akhir ini membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepresidenannya yang pertama dari tahun 2008-2012 dalam hubungan antar selat Taiwan dan Cina. Secara spesifik, kebijakan luar negeri yang dibahas merupakan kebijakan luar negeri di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, Taiwan berusaha memperbaiki hubungan antar-selat yang memburuk ketika Taiwan dipimpin oleh Presiden Chen Shui-bian. Beberapa kebijakannya, seperti pengakuan kembali Konsensus 1992, dimulainya kembali dialog antara SEF dan ARATS, serta pembentukan ECFA merupakan contoh bagaimana Taiwan mencoba memperbaiki hubungan antar-selat. Menggunakan kerangka konsep Realisme Defensif di bidang keamanan, Neoliberal Institusionalisme di bidang ekonomi, dan konsep Identitas di bidang identitas, tugas karya akhir ini mencoba mencari mengapa Presiden Ma Ying-jeou mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan memperbaiki hubungan antar-selat tersebut. Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di level sistem, terutama dari reaksi Cina terhadap inisiatif yang diberikan oleh Taiwan. Pada bidang identitas, faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, dan dilengkapi oleh faktorfaktor dalam negeri, ikut membentuk kebijakan di bidang identitas. Kata Kunci: Taiwan, Cina, Hubungan antar-selat, Ma Ying-jeou, Keamanan, Ekonomi, Identitas, ECFA, Konsensus 1992
ix Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Fahmi Islami : International Relations : Foreign Policy of Taiwan under President Ma Yingjeou (2008-2012) in Security, Economic, and Identity Aspect in Cross-strait Relation Between Taiwan and China
This final assignment discusses the foreign policy of Taiwan under President Ma Ying-jeou under his first term (2008-2012) in Cross-strait Relation between Taiwan and China. Specifically, the policies discussed are those in the aspect of security, economic, and identity. Under President Ma, Taiwan tries to repair the cross-strait relation that was worsening under the previous Taiwan President, President Chen Shui-bian. Some of President Ma’s policies, such as the official recognition of 1992 Consensus, the resumption of SEF-ARATS dialogue, and the creation of ECFA, are examples of the effort Taiwan made to repair the relation between Taiwan and China. Using three theoretical frameworks, which are Defensive Realism in security, Neoliberal Institutionalism in economy, and Identity Concept in identity, this final assignment tries to find why President Ma created foreign policy that tries to repair the cross-strait relation. The discussion concludes that foreign policy of Taiwan in Security and Economic aspect is shaped by factors in systemic level, especially from the reaction of China to initiatives given by Taiwan. In identity aspect, external factors play a big role, and complemented by domestic factors, in shaping the policy in identity aspect. Keywords: Taiwan, China, Cross-strait relation, Ma Ying-jeou, security, economy, identity, ECFA, 1992 Consensus
x Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................ viii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................................ x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK .................................................. xiii DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 1.3 1.4 1.5
1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kai-shek (1949-1975) ................................................................................................. 2 1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Ching-kuo (1978-1988) ................................................................................................. 4 1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui (1988-2000) ................................................................................................. 6 1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shui-bian (2000-2008) ................................................................................................. 8 1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou (2008-2012) ............................................................................................... 10 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 13 Kerangka Konsep .............................................................................................. 13 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………...18 Pembabakan TKA ............................................................................................. 19
Bab 2 KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA .................................................................................................................... 20 2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif ............................................................... 20 2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk Engagement Presiden Ma kepada Cina .................................................................................. 25 2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan Kerjasama kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou ................................................. 26 2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing Internal dan Eksternal Taiwan terhadap Cina ......................................................... 28 2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina sebagai Negara Realisme Ofensif atau Defensif ......................................................................... 34 2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise .............................. 34 2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan Taiwan ................................................................................................................... 36
xi Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh Presiden Ma ............ 40
Bab 3 KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA..................................................................................................................... 44 3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime .................................................... 45 3.1.1 Neoliberal Institusionalisme ....................................................................... 45 3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme ............................................... 47 3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi dan Penandatanganan ECFA .................................................................................... 50 3.2.1 Proses Negosiasi ECFA .............................................................................. 51 3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane ...................................................... 52 3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan ..................... 56 3.3.1 Legal liability .............................................................................................. 57 3.3.2 Transaction Cost ......................................................................................... 59 3.3.3 Uncertainty and Information ....................................................................... 61 3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA .............................................................. 61
Bab 4 KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YING-JEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA..................................................................................................................... 65 4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional ............................................ 66 4.1.1 Identitas ....................................................................................................... 66 4.1.2 National Identity ......................................................................................... 68 4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan .................................................................... 71 4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang .......................................... 71 4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi ................................. 74 4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari Perspektif Systemic Constructivism .................................................................................... 77 4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou ........................... 79 4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou .. 82 4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou .......................................... 87 4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di Taiwan ... 88 4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina ................ 90
Bab 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100
xii Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
DAFTAR GAMBAR, TABEL, DAN GRAFIK Daftar Gambar Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme………………………………………...22 Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou………....101 Daftar Tabel Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri………………………………15 Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012……………………....29 Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA…51 Daftar Grafik Grafik
2.4.1
Dukungan
Terhadap
Peningkatan
Cross-Strait
Economic
Exchanges………………………………………………………………………..42 Grafik 4.4.1 Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato Presiden Ma Yingjeou……………………………………………………………………………….76 Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012……………83 Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012……………...86
xiii Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN
ARATS
Association for Relations Across the Taiwan Straits
DPP
Democratic Progressive Party
ECFA
Economic Cooperation Framework Agreement
KMT
Kuomintang
PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKC
Partai Komunis Cina
QDR
Quadrennial Defense Review
ROC
Republic of China
RRC
Republik Rakyat Cina
SEF
Straits Exchange Foundation
xiv Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina dimulai pada tahun 1949 saat pemerintahan Republik Cina di bawah Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek mengalami kekalahan dari Partai Komunis Cina di Cina Daratan. Chiang Kai-shek kemudian melarikan diri ke Taiwan setelah melihat tidak ada kemungkinan bagi Republik Cina untuk dapat bertahan di Cina Daratan. Chiang Kai-shek membawa bersamanya beberapa juta pendukung dari KMT yang ikut mencari perlindungan dari pemerintahan Komunis di Cina Daratan. Chiang Kai-shek sendiri menyatakan meskipun dia mengalami kekalahan, legitimasi pemerintahan Cina masih berada di bawah Kuomintang, dan Beijing hanya diduduki oleh “pemberontak komunis”. 1 Kondisi ini menciptakan adanya dualisme klaim terhadap nama “Cina” antara Cina yang diwakili oleh Partai Komunis Cina yang memegang kekuasaan pada wilayah Cina Daratan yang luas dan Cina di bawah Kuomintang yang memegang kendali pemerintahan di Taipei atas wilayah Taiwan dan beberapa kepulauan di sekitarnya. Persaingan untuk mendapatkan pengakuan sebagai pemerintahan Cina yang memiliki legitimasi terhadap seluruh wilayah Cina merupakan awal dari dinamika panjang antara Taiwan dan Cina. Dinamika ini mengalami perubahan yang panjang seiring dengan pergantian kepemimpinan di Taipei dan Beijing. Latar belakang ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai dinamika yang terjadi antara kedua negara.
1
Jonathan Manthorpe, Forbidden Nation: A History of Taiwan (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 107.
1 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
2
1.1.1 Kebijakan Luar Negeri Taiwan Terhadap Cina di Bawah Chiang Kaishek (1949-1975) Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina mengalami pergantian dan perubahan seiring dengan perubahan waktu dan kepemimpinan di dalam Taiwan. Pemerintahan Taiwan di bawah Kuomintang dimulai oleh kepemimpinan Chiang Kai-shek. Terkait permasalahan dalam negeri, Chiang Kai-shek selama masa pemerintahannya melaksanakan reformasi di bidang ekonomi. Reformasi di bidang ekonomi tidak terjadi di bidang politik, di mana Presiden Chiang Kai-shek menolak reformasi dan mempertahankan kondisi Darurat Militer, sehingga oposisi terhadap Kuomintang tidak diperbolehkan ada. 2 Dalam hubungan antar-selat dengan pemerintahan PKC di Beijing, pemerintahan Chiang Kai-shek masih mempertahankan
prinsip
penolakan
terhadap
keberadaan
PKC
sebagai
pemerintahan Cina. Prinsip di atas menjadi definisi dari ‘One-China Policy’ di mana Cina dalam pengertian Chiang Kai-shek dipimpin pemerintahan Kuomintang yang mengungsi secara darurat di wilayah Taiwan. Penerapan prinsip ‘One-China Policy’ oleh Chiang Kai-shek membuat hubungan Taiwan dan Cina pada awalnya menjadi perpanjangan terhadap Perang Sipil yang telah terjadi sebelumnya di Cina Daratan.3 Hal ini terlihat dari intensi Presiden Chiang Kaishek dengan menempatkan tentaranya di Pulau Jinmen dan Pulau Mazu sebagai persiapan jika suatu saat dapat menyerang Cina Daratan.4 Dinamika hubungan Cina dan Taiwan pada masa pemerintahan Chiang Kai-shek tidak dapat dilepaskan dari dinamika global yang tengah dilanda perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Awal keterlibatan Amerika Serikat dalam hubungan Taiwan dan Cina dimulai saat Amerika Serikat menempatkan armada kapal perangnya di Selat Taiwan pada tahun 1950 dengan tujuan menahan laju komunisme yang sedang bergolak di Perang Semenanjung Korea.5 Amerika Serikat semakin terlibat dalam dinamika antara Taiwan dan Cina dengan
2
Ibid., 202-205. Phil Deans, “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to Conservatism and Back Again,” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 28, diakses 12 Mei 2013, http://www.gigahamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf. 4 “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”, U.S. Department of State, diakses 1 Juni 2013, http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm. 5 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 28. 3
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
3
penandatangan Traktat Pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan pada tahun 1954.6 Konflik bersenjata terus berlanjut antara Taiwan, yang dibantu oleh Amerika Serikat, dan Cina, yang dibantu oleh Uni Soviet. Puncak konflik terjadi pada tahun 1958 saat PKC melaksanakan penyerangan besar-besaran terhadap wilayah Kepulauan Taiwan, karena PKC memanfaatkan Amerika Serikat yang sedang menghadapi masalah yang lain di wilayah Lebanon.7 Setelah tahun 1958, perang sipil antara Taiwan dan Cina berubah dari perang militer menjadi “perang” diplomatis dalam mencari pengakuan dari negara-negara lain sebagai pemerintah Cina yang memiliki legitimasi. Perubahan ini merupakan hasil dari tekanan yang diberikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet kepada kedua pihak untuk tidak melaksanakan serangan-serangan militer. 8 Pada dekade 1960an, Kuomintang masih unggul dibandingkan PKC dalam mencari pengakuan di dunia internasional. Di dalam organisasi PBB, Kuomintang masih memegang posisi sebagai Cina dan juga menempati posisi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.9 Pengaruh yang dimiliki oleh Beijing di bidang diplomasi semakin menguat pada dekade 1970. Kebijakan ‘One-China Policy’ yang diambil oleh Chiang Kaishek membuat kondisi semakin rumit bagi Taiwan, karena Taiwan harus memutuskan hubungan dengan negara negara yang mengakui Beijing sebagai Cina. Pada tahun 1971 posisi Taiwan di dunia internasional semakin sulit karena Amerika Serikat memulai normalisasi hubungan dengan Beijing. Amerika Serikat juga menghadapi posisi yang sulit di mana Amerika Serikat harus berusaha untuk mempertahankan posisi keanggotaan Taiwan di PBB. Amerika Serikat sendiri telah berusaha untuk membuat proposal-proposal baru untuk mempertahankan keanggotaan Taiwan sebagai anggota PBB dan di saat yang bersamaan memasukkan PKC juga sebagai anggota PBB (two-china policy). Penolakan
6
Ibid., 28. “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958”. U.S. Department of State. 8 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 29. 9 Ibid., 29. 7
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
4
proposal-proposal tersebut, dan posisi strategis Amerika Serikat yang semakin ambigu, memaksa Taiwan untuk mengundurkan diri dari PBB pada tahun 1971.10
1.1.2 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chiang Chingkuo (1978-1988) Chiang Ching-kuo, yang merupakan anak dari Chiang Kai-shek, menerima tampuk kepemimpinan Taiwan dalam kondisi Taiwan yang semakin terisolasi dari dunia internasional. 11 Di bawah Chiang Ching-kuo, hubungan Cina-Taiwan melanjutkan periode pendinginan. Dua faktor penting mempengaruhi dinamika hubungan antara Cina dan Taiwan, di mana keduanya terjadi di Beijing. Pertama, Pemerintahan Komunis Cina di Beijing mengalami pergantian kepemimpinan dari Mao Zedong yang digantikan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1979. Sebagai Presiden baru RRC, Deng Xiaoping memiliki agenda utama memperbaiki kondisi ekonomi RRC yang mengalami keterpurukan di bawah Mao Zedong. Tekad Presiden Deng untuk memperbaiki kondisi ekonomi mendorongnya untuk mengalihkan
Beijing
dari
permasalahan
dan
pertikaian
politik kepada
permasalahan-permasalahan ekonomi. Presiden Deng Xiaoping menekankan stabilitas sebagai salah satu unsur penting untuk mendatangkan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, termasuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan antara PKC dengan Kuomintang.12 Dinamika kedua adalah normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Beijing yang diformalisasi oleh kedua pihak pada tahun 1979. Perpindahan pengakuan Amerika Serikat dari Taipei kepada Beijing membuat Amerika Serikat harus menghapus pengakuannya terhadap Republik Cina di Taiwan, membatalkan traktat pertahanan antara Amerika Serikat dan Taiwan, dan
10
Monique Chu, “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a Historic Turning Point,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 12 September 2001, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595. 11 Chiang Ching-kuo tidak langsung menjadi Presiden Taiwan setelah kematian Chiang Kai-shek pada tahun 1975. Chiang Kai-shek secara formal digantikan oleh Wakilnya saat itu yaitu Yen Chia-kan. Yen Chia-kan hanya memegang kepemimpinan selama tiga tahun, dan pada tahun 1978, Chiang Ching-kuo dipilih menjadi Presiden Taiwan. 12 Yan Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy Adjustment since 1979”, dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since 1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed. Kevin G. Cai (Singapore: World Scientific Publishing, 2011), 25. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
5
menarik pasukannya dari Taiwan. 13 Kondisi ini mendorong Presiden Chiang Ching-kuo untuk membentuk kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Beijing sebagai “Three no’s Policy” ( 三不政策), yang dijabarkan sebagai tidak ada kontak, tidak ada negosiasi, dan tidak ada kompromi antara Taiwan dan Beijing.14 Meskipun Amerika Serikat kemudian tetap menghasilkan ‘Taiwan Relations Act’, pengakuan Amerika Serikat terhadap Beijing mendorong Beijing untuk mengubah kebijakannya terhadap Taiwan. Kebijakan Beijing yang awalnya bersifat ‘military liberation’ kepada Taiwan, diubah menjadi ‘peaceful unification’. 15 Presiden Deng Xiaoping menawarkan sebuah proposal yang dinamakan proposal ‘one country, two system’, di mana proposal tersebut menawarkan Taiwan untuk tetap mempertahankan sistem ekonominya meskipun telah berada di bawah Beijing. Usaha ini kemudian akan menjadi cara yang terus dilakukan oleh Beijing untuk menarik Taiwan menjadi bagian dari Cina. Di Taiwan sendiri, Presiden Chiang Ching-kuo menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pertama bagi Taiwan adalah semakin banyak rekan diplomatis Taiwan yang mengalihkan pengakuan ke Beijing, terutama setelah Taiwan keluar dari PBB dan Amerika Serikat mengalihkan pengakuannya dari Taiwan kepada Beijing. Keadaan yang mengkhawatirkan tersebut sedikit membaik saat Taiwan berhasil mendapatkan kepastian akan perlindungan Amerika Serikat dalam bentuk ‘Taiwan Relations Act’ yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat. Meskipun tidak berbentuk traktat seperti yang sebelumnya dimiliki oleh Taiwan dengan Amerika Serikat, tetapi melalui ‘Taiwan Relations Act’ ini, Amerika Serikat mempertahankan posisinya untuk melindungi Taiwan jika Beijing berencana untuk melaksanakan penyerangan militer kepada Taiwan.16 Isolasi yang dirasakan oleh Taiwan di dunia internasional juga mendorong Presiden Chiang Ching-kuo untuk memikirkan kembali mengenai implementasi dari prinsip ‘One-China Policy’ yang selama ini dipegang teguh oleh Chiang Kaishek. Didasari oleh kebutuhan Taiwan untuk terus bekerjasama dalam 13
Ibid., 25. Hui-Ching Chang dan G. Richard Holt, “Naming China: An Analysis of Taiwan’s National Day Speeches,” Journal of Language and Politics 10, no.3 (2011): 9, diakses 4 Juni 2013, http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf. 15 Anlin, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 25. 16 Manthorpe, Forbidden Nation, 216. 14
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
6
mempertahankan ekonominya, Chiang Ching-kuo memiliki kepentingan yang besar untuk mempertahankan keberadaannya pada beberapa organisasi dan perjanjian ekonomi internasional. Apabila Chiang Ching-kuo mempertahankan implementasi ‘One-China Policy’ seperti yang selama ini dilaksanakan, maka Taiwan tidak akan mungkin memasuki organisasi yang telah mengakui Beijing sebagai perwakilan dari Cina. Kondisi ini menyulitkan Taiwan, karena pada saat yang bersamaan Beijing semakin mendapat pengakuan internasional dan diterima menjadi anggota pada berbagai organisasi internasional. Presiden Chiang Chingkuo kemudian memodifikasi implementasi dari prinsip ‘One-China Policy’. Contohnya pada tahun 1984 saat Taiwan memasuki olimpiade dengan menggunakan nama ‘Chinese, Taipei’. Taiwan juga berhasil mempertahankan keberadaannya sebagai anggota Bank Pembangunan Asia, meskipun hanya memiliki status ‘Observer’ atas ‘Taipei, China’. Usaha-usaha yang dilaksanakan oleh Presiden Chiang Ching-kuo ini dijelaskan oleh Christopher Hughes dalam bukunya sebagai bentuk ‘stretching One-China Principle’. 17 Modifikasi ‘OneChina Policy’ ini terus dilaksanakan oleh Taiwan dalam upaya Taiwan untuk mempertahankan eksistensi dan relevansi Taiwan.
1.1.3 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Lee Teng-hui (1988-2000) Setelah kematian Chiang Ching-kuo, Lee Teng-hui menjadi pengganti dari dinasti Chiang sebagai presiden Taiwan. Meningkatnya pengaruh orang-orang asli kelahiran Taiwan seiring dengan kemajuan ekonominya mendorong lahirnya gerakan-gerakan untuk menuntut perbaikan perlakuan kepada orang-orang Taiwan yang selama ini dinomorduakan oleh pemerintahan Kuomintang. Chiang Ching-kuo yang menyadari tren ini berusaha untuk memikirkan cara mempertahankan relevansi dan legitimasi KMT di Taiwan, sehingga terpilihlah Lee Teng-hui yang merupakan kelahiran Taiwan sebagai pengganti Chiang Ching-kuo. Selain mengangkat Lee Teng-hui, Chiang Ching-kuo juga di masa-
17
Christopher Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and Status in International Society (London: Routledge, 1997), 49. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
7
masa terakhir pemerintahannya mengangkat status Darurat Militer yang berlaku di Taiwan.18 Pada tahun 1991, Pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Lee membentuk Dewan Unifikasi Nasional yang kemudian mengeluarkan Guideline on National Reunification. Guideline tersebut menjelaskan mengenai pandangan Taiwan terhadap tiga proses untuk mencapai unifikasi, yaitu adanya pertukaran dan timbal balik antara kedua pihak dalam tahap pertama, membangun kepercayaan bersama dan kerjasama seperti pembukaan hubungan langsung sebagai tahap kedua, dan diakhiri dengan proses konsultasi dan unifikasi.19 Selain membentuk Komite Unifikasi Nasional dan guideline, Taiwan juga memulai sebuah periode baru dalam hubungannya dengan Cina di mana Taiwan membentuk Strait Exchange Foundation (SEF). SEF merupakan sebuah organisasi ‘semi pemerintah’ yang dibentuk untuk membuka hubungan informal dengan Beijing. Beijing sendiri kemudian membentuk organisasi serupa, yaitu Association for Relations Across The Taiwan Strait (ARATS).20 Hubungan antara SEF dan ARATS ini akan menjadi bentuk komunikasi institusional antara Cina dan Taiwan yang berlangsung hingga saat ini. Salah satu peristiwa penting terjadi pada periode awal kepemimpinan Lee Teng-hui, di mana sebuah kesepakatan tercipta antara Cina dan Taiwan yang kemudian dikenal sebagai Konsensus 1992. Konsensus ini merupakan hasil dari pertemuan yang dilaksanakan oleh pimpinan dari SEF dan ARATS yang dikenal sebagai ‘Wang-Koo Talks’. Konsensus 1992 adalah kesepakatan antara pemerintahan kedua pihak, yang diwakili oleh kedua organisasi yang telah disebutkan di atas, terhadap prinsip ‘One China’ dan membiarkan kedua pihak memiliki interpretasi masing-masing mengenai prinsip tersebut.21 Pragmatisme dalam kesepakatan tersebut diperlukan untuk menjadi basis dari kerjasama yang terjadi antara kedua pihak.
18
Manthorpe, Forbidden Nation, 219. Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 31. 20 Yan, “Cross-Taiwan Straits Relations,” 26. 21 “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, terakhir dimodifikasi pada 7 September 2011, diakses 6 November 2012, http://www.roctaiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15. 19
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
8
Perkembangan yang positif dalam hubungan antar-selat tersebut tidak berlanjut, karena Lee Teng-hui kemudian menunjukkan keinginannya untuk mengembangkan proses Taiwanisasi kepada masyarakat Taiwan. Kebijakan yang paling besar dampaknya yang dilaksanakan oleh Lee Teng-hui adalah persetujuannya untuk melaksanakan pemilihan umum di Taiwan. Ide pelaksanaan pemilu ini kemudian menimbulkan kritik dari oposisi Lee dan juga memunculkan kemarahan dari Beijing yang melihat hal ini sebagai bentuk dari Taiwan yang menginginkan kemerdekaan dari Cina. Beijing kemudian melancarkan serangan serangan ke Taiwan melalui peluncuran misil ke beberapa pelabuhan Taiwan, seperti Kaohsiung dan Keelung.22 Tanda-tanda bahwa Presiden Lee Teng-hui akan semakin membawa Taiwan menjauhi proses unifikasi semakin jelas ketika pada masa-masa akhir kepemimpinannya pada tahun 1999, Presiden Lee Teng-hui mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial bahwa hubungan antara Cina dan Taiwan adalah sebuah special state-to-state relationship ( 特 殊 國 與 國 關 係 ). 23 Pernyataan tersebut menjadi kontroversial karena hal ini menunjukkan sebuah perubahan yang amat besar dari ‘One-China Policy’ yang secara resmi masih dipegang oleh Taiwan. 1.1.4 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Chen Shuibian (2000-2008) Chen Shui-bian menjadi presiden pertama di Taiwan yang menghentikan dominasi dari KMT sebagai partai pemerintah sejak Chiang Kai-shek berpindah ke Taiwan pada tahun 1949. Chen Shui-bian merupakan kandidat dari partai DPP, partai yang memiliki semangat independensi sebagai perlawanan terhadap KMT yang mendukung unifikasi. Naiknya Chen Shui-bian mendatangkan kekhawatiran akan masa depan Taiwan dan Cina. Chen Shui-bian dikhawatirkan akan membuat kebijakan-kebijakan yang semakin menjauhkan Taiwan dari proses unifikasi dan dengan demikian akan meningkatkan risiko penyerangan dari Beijing kepada Taiwan Namun, Presiden Chen Shui-bian pada masa-masa awal kepemimpinannya justru tidak menunjukkan tanda-tanda akan membawa Taiwan menuju ke arah 22 23
Manthorpe, Forbidden Nation, 221. Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 33. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
9
independensi. Pada pidato yang diberikannya saat pelantikan, Presiden Chen menegaskan bahwa Taiwan tidak akan mengklaim independensi dari Cina, selama Cina tidak menggunakan kekuatannya untuk menekan Taiwan.24 Secara spesifik, kebijakan Presiden Chen tersebut dinamakan sebagai “Four Noes and One Without (四不一没有), yaitu Presiden Chen tidak akan mengejar independensi, tidak akan mengubah nama negara, tidak mendorong dimasukkannya formula ‘state-to-state relations’ dalam konstitusi Taiwan, dan tidak melaksanakan referendum untuk unifikasi atau independensi, selama Cina tidak menggunakan kekerasan dalam hubungannya dengan Taiwan. 25 Selanjutnya, Presiden Chen Shui-bian juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang terkesan mendukung hubungan antara Cina dan Taiwan seperti memperbolehkan adanya penerbangan langsung antara Cina dan Taiwan.26 Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu beberapa kebijakan Presiden Chen akhirnya memunculkan kembali kekhawatiran bahwa Taiwan akan mengejar kemerdekaan. Presiden Chen membuat kebijakan identitas yang jauh lebih masif dan membentuk identitas taiwanese di kalangan penduduk Taiwan. Di bawah kepemimpinannya, dinamika identitas Taiwan mengalami perubahan yang besar, dengan semakin bertambahnya orang-orang yang memiliki identitas taiwanese dan berkurangnya orang orang yang memiliki identitas chinese. Dalam bidang ekonomi, Presiden Chen juga berusaha untuk menghambat hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan melalui dorongan agar para investor Taiwan mendiversifikasi tujuan investasinya ke wilayah lain. Dalam bidang politik, Presiden Chen juga membuat beberapa kebijakan yang mengkhawatirkan. Pertama, Presiden Chen berencana untuk menghapuskan Dewan Unifikasi Nasional yang memiliki tugas untuk melihat prospek unifikasi antara Taiwan dengan Cina. Presiden Chen juga berusaha melaksanakan referendum untuk mengubah konstitusi Taiwan dan melaksanakan referendum lain untuk 24
Ezra N.H. Chen, “The Economic Integration of Taiwan and China and Its Implications for Cross-strait Relations,” (makalah, Harvard University, 2003), 8, http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf. 25 “President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy”, Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S., terakhir dimodifikasi pada 11 Maret 2013, diakses 5 Juli 2013, http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&mp=12&nowPage=54&p agesize=15. 26 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949,” 33. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
10
melaksanakan pengajuan Taiwan sebagai anggota PBB.27 Kebijakan-kebijakannya tersebut membuat hubungan Cina dan Taiwan semakin memburuk.
1.1.5 Kebijakan Luar Negeri Taiwan terhadap Cina di Bawah Ma Ying-jeou (2008-2012) Periode ketegangan antara Beijing dan Taipei berakhir pada tahun 2008 ketika Ma Ying-jeou dari partai KMT kembali mengambil alih posisi presiden dari partai DPP. Ma Ying-jeou, sebagai presiden dari partai KMT, membuat kebijakan luar negeri terhadap Cina yang bertujuan untuk memperbaiki kerjasama antar selat yang cukup terganggu selama masa pemerintahan dua pendahulunya. Posisi ini telah ditunjukkan oleh Presiden Ma sebelum dia menjabat menjadi presiden. Saat ia masih menjabat sebagai Ketua Kuomintang, Ma Ying-jeou yang mewakili gerakan ‘pan-green’ di Taiwan (gerakan yang tidak menyetujui Taiwan untuk bersikap nasionalis dan menginginkan kemerdekaan dari Cina) telah membuka kontak dengan pemerintahan pusat di Beijing. Kontak tersebut digunakan
untuk
membahas
mengenai
kesempatan-kesempatan
untuk
bekerjasama antar Taiwan dan Cina. Pada tahun 2008, Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan mengalahkan lawannya dari partai DPP, Frank Hsieh Chang-ting, dengan perolehan suara mencapai 58% suara. 28 . Tidak lama setelah Presiden Ma menjabat, Presiden Ma kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa hubungan antara Cina dan Taiwan adalah hubungan yang spesial, tetapi bukanlah sebuah hubungan antara dua negara. 29 Biarpun kemudian pernyataan ini kemudian diklarifikasi oleh Presiden Ma30, tetapi pernyataan tersebut merupakan sebuah perbaikan dari pernyataan dua pendahulunya, Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian.31 27
Yan, “Cross-Taiwan Strait Relations,” 30. Ralph Jehnings, “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges,” International Herald Tribune, terakhir dimodifikasi pada 20 Mei 2008, diakses 18 November 2012, http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UK-TAIWAN-PRESIDENT.php. 29 The China Post, “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma,” terakhir dimodifikasi pada 04 September 2008, diakses 18 November 2012, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwanand.htm. 30 Presiden Ma kemudian mengklarifikasi bahwa di dalam hubungan tersebut, Republik Cina adalah negara yang memiliki legitimasi. 31 Chu, “Taiwan and the United Nations.” 28
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
11
Dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou juga mengeluarkan “Three No’s Policy, yaitu No Independence, No Unification, and No Use of Force (不統、不獨、不武).32 Kebijakan Presiden Ma juga ditandai dengan keputusan Presiden Ma yang secara tegas mengakui Konsensus 1992. Untuk menunjukkan keseriusannya dalam membangun kembali hubungan dengan Cina, Presiden Ma mengambil beberapa keputusan segera setelah dia memegang kekuasaan. Pertama, Presiden Ma membuka hubungan langsung antara Cina dan Taiwan dengan membuka penerbangan langsung antara Taiwan dan Cina. Turis dari wilayah Cina Daratan juga diperbolehkan untuk mengunjungi Taiwan. Semua kebijakan yang dikeluarkan Presiden Ma bahkan membuat Majalah Times menuliskan pencapaian Presiden Ma dalam tiga bulan masa jabatannya telah membuat perbaikan dalam hubungan antara Cina dan Taiwan selama 6 dekade permasalahan antara kedua pihak tersebut.33 Di dalam menggambarkan mengenai kebijakannya, Presiden Ma menjelaskan bahwa Taiwan tidak akan berkutat di permasalahan-permasalahan yang rumit, seperti permasalahan mengenai perjanjian politik ataupun tentang masalah kedaulatan dalam hubungan kedua negara. Presiden Ma akan lebih memfokuskan untuk memperbaiki kerjasama terhadap hal-hal yang secara pragmatis dapat diperbaiki. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Presiden Ma membuka hubungan kerjasama dengan Cina di segi turisme. Dari segi perdagangan, Taiwan juga mengurangi larangan-larangan bagi warganya untuk berinvestasi di Cina ataupun bagi warga Cina untuk berinvestasi di Taiwan. Kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina dilengkapi oleh sebuah perjanjian ‘ambisius’, yang dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) China-Taiwan. Dalam perjanjian ECFA ini, Taiwan dan Cina berjanji
32
Steven Goldstein, “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second Term”, The National Bureau of Asian Research, terakhir dimodifikasi pada 17 Mei 2011, diakses 5 Juli 2013, http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs. 33 Christie Johnston, “Talking to Taiwan’s New President,” Times, terakhir dimodifikasi pada 11 Agustus 2008, diakses 19 November 2012, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rss-topstories. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
12
mengurangi pajak pada pos-pos barangnya masing-masing, dengan jumlah berbeda yang tercantum dalam perjanjian tersebut.34 Latar belakang di atas bertujuan untuk menjelaskan dinamika hubungan antara Taiwan dengan Cina. Sebagai sebuah negara de facto, Taiwan menjalani hubungan luar negeri dengan Cina yang cukup dinamis. Dinamika tersebut terus berubah, dan ketika terakhir Taiwan dipimpin oleh Chen Shui-bian, Taiwan memasuki dinamika hubungan yang bersifat konfliktual dengan Cina. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena hubungan yang stabil di Selat Taiwan antar Taiwan dan Cina menjadi hal yang amat penting di tengah kebangkitan Cina. Cina saat ini merupakan sebuah negara yang sangat penting bagi dunia internasional. Kemajuan ekonominya yang amat pesat, yang kemudian diikuti oleh kemajuan militer Cina, membuat negara ini menjadi semakin relevan dalam hampir seluruh isu internasional. Fokus yang diberikan kepada stabilitas di Selat Taiwan tersebut membuat hubungan antara Taiwan dan Cina sampai saat ini menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dibahas. Di dalam dinamika hubungan tersebut terlihat bahwa faktor eksternal memiliki peran yang cukup penting bagi pembentukan kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina. Contoh-contohnya seperti adanya Perang Dingin, normalisasi hubungan Cina dan Amerika Serikat, dan hingga saat ini terkait dengan semakin menguatnya ekonomi Cina sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dinamika di level domestik, seperti perubahan kepemimpinan antara KMT dan DPP, tidak akan mampu mencakup seluruh dinamika kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina. Semua pemimpin di Taiwan pernah mengalami evolusi kebijakan luar negeri dalam masa kepemimpinannya dan mengambil kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang diusung oleh partainya.
34
“The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links”, Taipei Economic and Cultural Office in Canada, diakses 6 November 2012, http://www.roctaiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4&pagesize=15. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
13
1.2 Pertanyaan Penelitian Melihat penjelasan di atas, di bawah kepemimpinan presiden Ma Yingjeou kebijakan Taiwan dalam hubungannya dengan Cina menjanjikan perubahan yang mengarah ke membaiknya hubungan Taiwan dan Cina. Dengan demikian, pertanyaan Tugas Karya Akhir ini adalah “ Bagaimanakah Kebijakan AntarSelat Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dalam Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Identitas?” 1.3 Kerangka Konsep Untuk membahas mengenai faktor-faktor di balik kebijakan luar negeri Presiden Ma Ying-jeou terhadap Cina dalam masa kepemimpinannya, tugas akhir ini akan menggunakan kerangka konsep foreign policy, atau kebijakan luar negeri. Kerangka konsep ini akan menyadur banyak penjelasan terhadap kebijakan luar negeri dari tulisan Marijke Breuning dalam bukunya, “Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction”. Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah negara merupakan studi yang telah berkembang sejak sekian lama. Studi mengenai kebijakan luar negeri sebuah negara dipelopori salah satunya oleh James Rosenau dengan beberapa literaturnya pada dekade 1960an. Rosenau sendiri kemudian mengembangkan sebuah substudi dari studi kebijakan luar negeri yang dikenal sebagai Comparative Foreign Policy (CFP). Rosenau menjelaskan bahwa yang harus dilaksanakan bukanlah melihat kebijakan luar negeri secara satu per satu, tetapi melihatnya sebagai sebuah foreign policy behavior melalui komparasi atas kebijakan luar negeri yang lain. Rosenau menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara dapat diteliti dari 5 sumber utama, yaitu idiosynchratic, role, governmental, societal, dan system. 35 Rosenau menjelaskan bahwa kelima sumber tersebut tidak memainkan peranan dalam jumlah yang sama, di mana satu sumber dapat memainkan peranan lebih penting dibandingkan sumber lainnya. Sumber apa yang lebih dapat menjelaskan kebijakan luar negeri sebuah negara tergantung dari seperti apa negara tersebut. Tipologi negara-negara kemudian dibedakan oleh
35
M. Fatih Tayfur, “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review,” METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 122, diakses 8 Juli 2013, http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
14
Rosenau dari tiga faktor, yaitu size, development, dan political accountability. Penjelasan mengenai kebijakan luar negeri yang didasarkan analisa aktor dan bersifat multi-level ini kemudian terus berkembang, salah satunya oleh Marijke Breuning dalam bukunya. Di dalam bukunya, Breuning secara dalam menjelaskan mengenai studi kebijakan luar negeri di dalam studi Hubungan Internasional secara umum. Menurut Breuning, studi kebijakan luar negeri ini tidak menjanjikan dan menjamin untuk selalu menghasilkan kebijakan luar negeri yang baik, tetapi studi kebijakan luar negeri lebih berfokus terhadap opsi-opsi yang dimiliki oleh pemimpin suatu negara dalam menentukan kebijakan luar negerinya dan mencari alasan-alasan di balik pengambilan sebuah kebijakan luar negeri, seperti bagaimana prosesnya, siapa saja yang dapat mempengaruhi, bagaimana pemimpin tersebut bereaksi terhadap sebuah kondisi.36 Kebijakan luar negeri diartikan oleh Breuning sebagai “Totality of a country’s policies toward and interactions with the environment beyond its borders”.37 Selanjutnya, Breuning menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang ingin dijelaskan oleh studi terhadap kebijakan luar negeri, yaitu decision, behavior, dan outcome. Definisi dari decision adalah pilihan yang diambil oleh sebuah pemimpin terhadap beberapa opsi kebijakan yang dapat dia ambil. Behavior adalah upaya-upaya yang dilaksanakan oleh negara terkait dengan keputusan yang telah diambil. Behavior merupakan usaha negara untuk mempengaruhi negara lain atau mempertahankan kepentingan nasional negara tersebut. Outcome adalah hasil akhirnya, dan ini bergantung bukan hanya pada negara tersebut, tetapi juga bergantung dengan reaksi dari negara lain. Untuk mempelajari mengenai outcome, tidak cukup dengan membahas kebijakan luar negeri satu negara, tetapi juga respons negara lain terhadap kebijakan tersebut. Tiga hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan terhadap level analisis di dalam mempelajari kebijakan luar negeri. Breuning kemudian menjelaskan bahwa terdapat tiga level analisis yang dapat digunakan dalam studi kebijakan luar negeri. 36
Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 8-9. 37 Ibid., 5. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
15
a. Individual Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap individu, atau sekelompok individu yang menjadi pengambil keputusan terkait dengan kebijakan luar negeri. Analisa yang dapat digunakan dalam level ini terbagi dalam dua hal, yaitu personalities (kepercayaan, nilai-nilai yang dipegang pemimpin tersebut) dan perception (cara pemimpin tersebut melihat sebuah situasi dan mempertimbangkan kebijakan luar negeri berdasarkan hal tersebut). b. State Level of Analysis: analisa pada level ini berfokus terhadap kondisi kondisi di dalam negara tersebut yang mempengaruhi pengambilan
keputusan
dan
perilaku
negara
tersebut
dalam
menjalankan hubungan luar negeri dengan negara lain. Menurut Breuning, hal-hal yang termasuk dalam kategori ini misalnya kondisi ekonomi dalam suatu negara, sejarah dan budaya negara tersebut, atau hubungan fungsi legislatif-eksekutif di negara tersebut. c. System Level of Analysis: Analisis di level ini berkaitan dengan komparasi dan interaksi antara negara, terutama terkait dengan relative power yang dimiliki oleh negara-negara yang berinteraksi tersebut. Breuning menjelaskan bahwa interaksi antara ketiga level analisa tersebut mengungkap bahwa ketiganya memiliki peran-peran tertentu. Analisa pada level sistem akan memberikan pemahaman mengenai kondisi-kondisi yang melimitasi pilihan-pilihan yang dimiliki oleh seorang pengambil keputusan kebijakan luar negeri. Sistem internasional yang anarki, distribusi kekuatan antara negara-negara yang berinteraksi, dan jenis hubungan antara negara (amity atau enmity) akan melimitasi jenis-jenis pilihan yang dapat diambil oleh sebuah negara. Pilihan tersebut kemudian semakin dikerucutkan dengan kondisi birokratis negara yang akan mengambil keputusan tersebut. Pembuatan kebijakan luar negeri dalam sebuah negara yang demokratis akan berbeda dengan pembuatan kebijakan di negara yang bersifat otoriter. Pilihan-pilihan yang telah dikerucutkan tersebut, kemudian akhirnya akan dipilih oleh individu-individu, atau sekelompok individu, yang memegang peranan penting dalam pemerintahan, untuk menjadi kebijakan luar negeri negara tersebut.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
16
Tabel 1.3.1 Level Analisa Kebijakan Luar Negeri Level Analisa
Tipe-Tipe Faktor Penyebab Keputusan sesuai dengan kondisi
Individual
pembentuk
Negara
Intermediate Cause
Sistem
Deep Cause
Sumber: Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 15
Marijke Breuning selanjutnya menjelaskan mengenai limitasi-limitasi yang diberikan oleh sistem internasional kepada pilihan-pilihan kebijakan luar negeri yang dapat diambil oleh sebuah negara. Sebelumnya Marijke Breuning menjelaskan terlebih dahulu mengenai klasifikasi negara-negara. Breuning menjelaskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi negara, seperti besar wilayah, besar ekonomi, kekuatan militer. Indikator tersebut akan membagi negara-negara seperti menjadi superpower, emerging power, dan developing countries. Selain indikator-indikator objektif tersebut, terdapat juga indikator subjektif dalam klasifikasi negara. Contoh yang diberikan adalah klasifikasi yang diberikan oleh Kanada bahwa Kanada adalah negara middle power. Setelah menjelaskan klasifikasi negara-negara, Breuning kemudian menjelaskan secara lebih spesifik mengenai kebijakan luar negeri yang akan diambil oleh sebuah negara dengan kekuatan kecil yang terpengaruh lebih besar oleh limitasi di level sistem. Menurut Breuning, terdapat 4 jenis pola kebijakan luar negeri yang dapat dilaksanakan oleh sebuah negara kecil, yaitu consensusoriented
foreign
policy,
compliant
foreign
policy,
counterdependence,
compensation. Consensus-oriented didefinisikan sebagai sebuah upaya dari negara kecil untuk mencari kesamaan tujuan dalam hubungan luar negerinya dengan negara besar. Compliant foreign policy memiliki definisi yang sama, namun perbedaan antara consensus-oriented dengan compliant foreign policy terletak di unsur sukarela yang terdapat di consensus-oriented namun tidak terdapat di compliant foreign policy. Counterdependence merupakan kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk menunjukkan perlawanan terhadap perbedaaan
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
17
kekuatan antara negara kecil tersebut dengan negara besar. Compensation adalah kebijakan
luar
negeri
yang
dikeluarkan
negara
dengan
tujuan
untuk
menyenangkan konstituen dalam negeri negara tersebut.38 Pada level analisa domestik, pembentukan kebijakan luar negeri sebuah negara dapat dilihat dari dua level, yaitu di level negara (state) dan juga level individu. Di level negara, Marijke Breuning menjelaskan beberapa hal yang dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri sebuah negara. Pertama, Breuning menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri negara amat bergantung dari struktur dan sistem politik di negara tersebut. Apakah negara tersebut merupakan negara yang demokratis atau otoriter, apakah negara tersebut benarbenar otoriter atau hanya semi-otoriter, dan apakah pemilihannya berdasarkan sistem distrik atau tidak, semuanya dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan negara tersebut. Birokrasi pada agen-agen pemerintahan juga mempengaruhi kebijakan luar negeri yang diambil, karena agen dan institusi negara tersebut memiliki andil dalam memberikan informasi yang menjadi basis pengambilan kebijakan, dan juga ikut dalam mengeksekusi kebijakan luar negeri tersebut. Selanjutnya, peran media dalam sebuah negara juga dapat berpengaruh dalam menciptakan kebijakan luar negeri tersebut. Hal ini disebabkan oleh media yang memiliki fungsi framing, yaitu membentuk persepsi yang dimiliki oleh masyarakat terkait dengan masalah yang ada. Namun, pengaruh media tersebut sangat berbeda di setiap negara di mana negara otoriter cenderung tidak banyak dipengaruhi oleh media, sementara negara demokrasi lebih memperhatikannya. Terkait dengan persepsi tersebut, Breuning juga menjelaskan bagaimana budaya dan sejarah nasional sebuah negara juga memiliki pengaruh dalam kebijakan luar negeri. Sejarah nasional merupakan cerita-cerita kuno dari bangsa tersebut yang kemudian nilai-nilai yang dikandungnya berubah menjadi budaya nasional. Budaya tersebut memiliki pengaruh pada kebijakan luar negeri sebuah negara, di mana kebijakan luar negeri tersebut setidaknya harus terlihat sesuai dengan budaya nasional yang dipegang oleh negara tersebut.39 Pada level individu, seorang pengambil keputusan dalam kebijakan luar negeri sebuah negara dapat dianalisa dari tiga hal, yaitu dari personality, 38 39
Ibid., bab 1, bab 6 Ibid., bab 5 Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
18
perception dan decision making group. Personality berkaitan dengan perilaku dan sifat yang dimiliki oleh seorang pengambil kebijakan. Seorang pemimpin yang haus akan kekuatan digambarkan akan memiliki tendensi untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih agresif, berbeda dengan orang-orang lain yang tidak seperti mereka dalam memandang kekuasaan. Perception mencoba melihat bagaimana seorang pemimpin mempertimbangkan dunia yang ada di hadapannya. Seorang pemimpin akan mengalami situasi di mana dia harus mempertimbangkan berbagai hal, seperti situasi yang dihadapi negaranya, kepentingan yang dimiliki oleh negara rekannya berinteraksi, dan berbagai hal lain. Proses mencerna sebuah kondisi yang dihadapi negara dan kemudian menjadikannya basis sebuah kebijakan merupakan definisi dari konsep framing. Ketiga, Breuning juga menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh pemimpin tersebut, namun seringkali diciptakan bersamaan dalam sebuah grup. Contohnya dalam melihat bagaimana interaksi dalam grup pengambil kebijakan dapat terlihat dalam interaksi sesama anggota standing committee PKC di Cina.40
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari dipilihnya Taiwan dan aspek hubungan antar-selat Taiwan dan
Cina sebagai tema tugas karya akhir ini, terbagi setidaknya menjadi tiga tujuan utama: A.
Menunjukkan kebijakan Taiwan yang berusaha menyeimbangkan antara berbagai macam kepentingan, sehingga Taiwan dapat mempertahankan hubungan dengan Cina
B.
Menunjukkan dinamika kebijakan luar negeri Taiwan, termasuk pilihan-pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh Taiwan dan pada akhirnya,
C.
Menunjukkan bagaimana Taiwan dapat mengembangkan kebijakan yang membuka terhadap kerjasama terhadap Cina, di mana seharusnya, keduanya memiliki hubungan yang bersifat konfliktual
40
Ibid., 12. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
19
1.5 Pembabakan TKA Penulisan dari tugas karya akhir ini akan dibagi ke dalam 5 bab. Bab pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, dan kerangka teori yang digunakan, yaitu foreign policy, dan diakhiri dengan tujuan penulisan dan pembabakan TKA. Pada bab selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan keamanan yang digunakan oleh Presiden Ma. Penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai Realisme Defensif sebagai kerangka konsep untuk bab tersebut, dan kemudian mengimplementasikannya pada subbab berikutnya. Pada bab kedua, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi Presiden Ma. Pada bab ini penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai Neoliberal Institusionalisme sebagai kerangka konsep yang akan digunakan oleh penulis, dan kemudian menggunakannya pada subbab selanjutnya. Pada bab keempat, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan Presiden Ma di bidang identitas. Pada subbab pertama, penulis akan memberikan penjelasan mengenai identitas, terutama di level sistem, dan juga identitas nasional. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan identitas Presiden Ma. Bab terakhir akan menjelaskan mengenai kesimpulan dan menganalisa bagaimana kebijakan Presiden Ma saling berkaitan satu dengan lainnya membentuk sebuah kebijakan nasional yang koheren dalam hubungan antar selat antar Taiwan dan Cina.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
BAB 2 KEBIJAKAN KEAMANAN TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YINGJEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA Sebagai sebuah bagian dari kebijakan luar negeri Taiwan dalam hubungannya dengan Cina, kebijakan Taiwan di bidang keamanan merupakan salah satu bidang yang paling penting. Perkembangan Cina sangat pesat secara ekonomi, diikuti dengan pertumbuhan kekuatan militer dari Cina, baik yang terang-terangan dikatakan oleh Beijing, atau yang diperkirakan dikembangkan berkali lipat lebih gencar, membuat kebijakan keamanan Taiwan menjadi sangat penting. Presiden Ma Ying-jeou harus dapat menyeimbangkan kepentingannya untuk memperbaiki hubungan ekonomi dengan Cina dengan kebutuhan untuk menjaga keamanan Taiwan dari ancaman Cina. Usaha perimbangan antara kedua kepentingan tersebut membuat Taiwan memilih kebijakan engagement terhadap Cina. Kebijakan ini merupakan reaksi dari kebijakan pertahanan Cina yang masih bersifat ofensif terhadap Taiwan, terutama di bidang keamanan. Bagian pertama dari bab ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai konsep Realisme Defensif yang akan digunakan untuk menjelaskan kebijakan keamanan yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou. Selanjutnya, bab ini akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma Yingjeou adalah bentuk dari kebijakan keamanan yang mengadopsi strategi engagement. Bagian selanjutnya akan menganalisa persepsi Taiwan terhadap Cina, sebagai basis dari pembentukan kebijakan keamanan. Bagian terakhir dari bab ini akan menjelaskan mengenai faktor-faktor domestik terkait dengan pembuatan kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou. 2.1 Kerangka Konsep: Realisme Defensif Pemikiran Realisme dalam ilmu Hubungan Internasional telah mengalami banyak perkembangan. Pemikiran Realisme berasal dari pesimisme terhadap dunia politik yang terdiri atas hubungan antar-negara, di mana konflik antar negara merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari politik internasional. Penjelasan terhadap pesimisme tersebut berkembang dari pemikiran Realisme 20 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
21
Klasik, seperti yang dikeluarkan oleh Morgenthau atau E.H. Carr. Pemikiran tersebut kemudian terus berkembang hingga saat ini memiliki sub-perspektif seperti Realisme Ofensif yang dikembangkan oleh Mearsheimer, dan juga Realisme Defensif. Realisme Defensif sendiri mulai berkembang ketika Kenneth Waltz mengembangkan teori realismenya yang juga banyak dikenal sebagai Realisme Struktural. Perkembangan Realisme Struktural ini menghasilkan dua perspektif, yaitu Realisme Ofensif dan Realisme Defensif. Realisme Ofensif dikembangkan oleh Mearsheimer, di mana negara-negara menurut perspektif ini cenderung mengumpulkan power sebanyak-banyaknya. Realisme Defensif sebaliknya tidak mendukung kebijakan mengumpulkan power yang berlebihan. Kenneth Waltz berargumentasi bahwa ketika sebuah negara terlalu banyak mengumpulkan power, hal ini akan memicu aksi balancing dari negara-negara lain dan hal ini merupakan hal yang harus dihindari oleh negara negara.41 Pemikiran Realisme Defensif kemudian dijelaskan secara lebih mendalam oleh Shiping Tang dalam bukunya. Shiping Tang menjelaskan terlebih dahulu mengenai perbedaan Realisme Ofensif dan Defensif. Tang menjelaskan bahwa dalam kondisi anarki, insentif yang besar justru akan diberikan untuk kebijakankebijakan yang sifatnya defensif (moderate and restrained) dan insentif yang justru kecil untuk perilaku ofensif. Kebijakan kebijakan yang bersifat ofensif tidak direkomendasi oleh realisme defensif, kecuali dalam kondisi ekstrim (penekanan oleh Shiping Tang). 42 Selain itu, berbeda dengan Realisme Ofensif yang mengeneralisasi intensi seluruh negara, Realisme Defensif berargumentasi bahwa pembentukan strategi negara bergantung dari persepsi terhadap intensi negara lain. Shiping Tang membedakan negara berdasarkan strateginya, apakah negara tersebut menganut Realisme Defensif atau Realisme Ofensif. Pembeda antara keduanya adalah negara penganut Realisme Ofensif menginginkan keamanan melalui perusakan terhadap negara lain, sementara negara penganut Realisme
41
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W.W. Norton and Company, 2001), 20. 42 Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 28-30. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
22
Defensif tidak menginginkan keamanan seperti itu, kecuali dalam kondisi ekstrim.43 Tang kemudian menjelaskan bahwa terdapat tangga strategi yang dapat dipilih sebuah negara. Dari tangga strategi tersebut, Shiping Tang menjelaskan bahwa terdapat spektrum kebijakan strategi yang dapat diambil negara. Satu ekstrim, yaitu ekstrim yang paling tidak konfrontatif adalah strategi yang tidak dianjurkan oleh realisme, baik itu realisme ofensif dan defensif. Strategi tersebut adalah strategi appeasement dan do nothing. Ekstrim paling konfrontatif adalah strategi yang digunakan oleh negara-negara yang menganut realisme ofensif, seperti preventive war, dan active containment. Preventive war adalah strategi yang diinginkan dan cenderung dimulai oleh sebuah negara yang bersifat ofensif, karena keinginannya untuk terus meningkatkan relative power yang dimilikinya, sehingga bisa memicu arms race atau bahkan konflik terbuka. Dalam spektrum tersebut, Tang menempatkan strategi engagement di tengah-tengah sebagai kebijakan yang negara-negara penganut realisme defensif akan gunakan. Kebijakan engagement ini memiliki tiga komponen utama. Pertama, kebijakan ini memberikan reassurance kepada lawan interaksinya bahwa negara tersebut tidak mengancam. Kedua, kebijakan ini memberikan ajakan untuk bekerjasama (yang mungkin berkembang menjadi kerjasama mendalam). Ketiga, di dalam kebijakan ini juga terdapat hedging, di mana unsur pertahanan/deterrence dipertahankan, sebagai antisipasi jika lawan interaksinya merupakan negara agresor yang tidak dapat dirubah intensinya.
43
lebih lanjut lagi, Shiping Tang menjelaskan beberapa keuntungan dari membedakan negara melalui pembedaan apakah mereka menganut realisme defensif atau realisme ofensif. Salah satu hal yang menarik adalah Shiping Tang menggaris bawahi bahwa dengan pembedaan seperti itu, peningkatan kekuatan dengan cara pertumbuhan ekonomi tidak dianggap sebagai pembeda antara negara penganut realisme defensif dan penganut realisme defensif. Menurut Shiping Tang, pengembagan dan pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah hal yang murni untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, sehingga tidak ada negara yang dapat disalahkan jika ingin meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui cara ini. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
23
Gambar 2.1.1 Tangga Strategi Realisme Sumber: Shiping Tang, A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 104.
Sebuah negara yang menganut Realisme Defensif akan menganalisa terlebih dahulu lawan interaksinya sebelum menciptakan kebijakan keamanannya. Menurut Tang, terdapat dua indikator yang dapat menentukan apakah sebuah negara merupakan negara yang ofensif atau defensif, yaitu dari words dan deeds. Pertama, sebuah negara yang menyadari adanya security dilemma dan tindakan balancing yang mungkin terjadi jika sebuah negara terus mengejar relative power merupakan indikasi negara yang menganut Realisme Defensif. Kedua, apabila negara tersebut kemudian mengimplementasikan self-restraint sebagai hasil dari
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
24
pengakuan atas tindakan balancing yang mungkin terjadi seperti dijelaskan di atas. Ketika sebuah negara telah melaksanakan dua hal di atas, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara penganut realisme defensif. Setelah melaksanakan pembagian antara negara defensif atau negara ofensif, tahap selanjutnya kemudian memilih strategi sesuai dengan negara yang dihadapi. Strategi tersebut terbagi pada dua bidang, yaitu di bidang militer dan bidang politik. Pada bidang militer, ketika sebuah negara dihadapkan dengan negara lain yang bersifat ofensif, maka kebijakan sebuah negara defensif tidak akan banyak berbeda dengan negara ofensif. Negara bisa memilih antara mengembangkan postur pertahanannya atau membentuk aliansi untuk melaksanakan balancing kepada negara ofensif tersebut. Hanya saja, selain mengembangkan pertahanan atau membuat aliansi, negara yang menganut Realisme Defensif juga akan memberikan reassurance kepada negara ofensif dengan menunjukkan intensi baik. Ketika menghadapi negara yang bersifat defensif, kebijakan militer negara penganut Realisme Defensif akan memiliki dua unsur. Pertama, negara realisme defensif akan melaksanakan self-restraint dan juga bersedia untuk dilimitasi oleh negara lain atau oleh sebuah institusi internasional. Kedua, negara Realisme Defensif akan mencoba mengukuhkan hubungan dengan negara lain melalui kerjasama yang lebih mendalam, seperti melalui kebijakan bersifat ConfidenceBuilding Measures (CBMs). Pada bidang politik, ketika sebuah negara penganut Realisme Defensif dihadapkan dengan negara ofensif, kebijakan yang akan diambil adalah mencoba merubah preferensi negara ofensif tersebut. Negara Realisme Defensif akan mencoba merubah tujuan negara ofensif, yang awalnya berusaha untuk mengekspansi kekuatannya, menjadi ke arah defensif. Untuk mengubahnya, sebuah negara akan memberikan reassurance, untuk menunjukkan intensi baik dan keinginan untuk bekerjasama. Jika negara tersebut telah berubah dari ofensif menjadi defensif, kebijakan yang dibuat adalah mencoba membuat kerjasama yang lebih ekstensif dan mendalam antara negara.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
25
Dari penjelasan di atas, reassurance merupakan sebuah unsur penting dalam kebijakan yang diambil oleh negara penganut realisme defensif. Tang menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen penting di dalam sebuah reassurance, yaitu cost, risk, dan credibility.44 Tang menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis reassurance yang dapat diberikan oleh negara, yaitu melalui words, deeds nonmilitary, dan deeds military.45 Dengan demikian, Realisme Defensif juga percaya bahwa sebuah negara harus terus menganalisa intensi sebuah negara. Realisme Ofensif cenderung mengaplikasikan kebijakan yang universal dan berlaku sama di semua kondisi. Realisme Defensif sebaliknya merekomendasikan kebijakan yang lebih fluid, menyesuaikan dengan tindakan dari lawan negara tersebut, dan terus menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi. Apabila sebuah negara defensif terlalu bersikap ofensif, kerugian mungkin akan terjadi karena terlibat dalam konflik/perang yang tidak perlu. Sebaliknya, jika sebuah negara terus memberikan reassurance kepada negara yang memang tidak dapat lagi diubah, hal ini dapat memberikan pengaruh tidak baik, dan dapat dimanfaatkan oleh negara yang bersikap ofensif/agresif tersebut.
2.2 Kebijakan Keamanan Taiwan di Bawah Ma Ying-jeou: Bentuk Engagement Presiden Ma kepada Cina Setelah melihat penjelasan mengenai pilihan-pilihan strategi yang telah dijelaskan di atas, bagian ini akan menjelaskan mengenai kebijakan keamanan yang dibuat oleh Presiden Ma dalam masa presidensinya yang pertama. Di bawah ini, penulis akan berargumentasi bahwa kebijakan Presiden Ma merupakan strategi engagement, melalui analisa tiga elemen yang ada dalam kebijakan engagement sesuai penjelasan Tang, yaitu adanya pemberian sinyal untuk menunjukkan intensi baik melalui reassurance, ajakan untuk memulai kerjasama, serta pada saat yang bersamaan melaksanakan hedging pada negara tersebut. 44
Cost didefinisikan sebagai dampak yang diterima oleh negara ketika memberikan sinyal untuk reassurance, dan dapat berbentuk material atau simbolis. Risk adalah resiko bahwa cost tersebut kemudian tidak mendapat timbal balik yang positif. Credibility adalah bagaimana penerima sinyal reassurance menilai sinyal tersebut. Kredibilitas tersebut akan datang dari bagaimana penerima sinyal mengkalkulasi seberapa besar cost dan risk dari sinyal yang diberikan. Ibid.,135-137 45 Ibid., Bab 4, Bab 5 Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
26
2.2.1 Pemberian Sinyal Intensi Baik melalui Reassurance dan Ajakan Kerjasama kepada Cina oleh Presiden Ma Ying-jeou Memburuknya hubungan antara Taiwan dengan Cina di bawah Presiden Chen Shui-bian menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh Presiden Ma Ying-jeou. Memburuknya hubungan tersebut membuat ketegangan antara Taiwan dan Cina semakin meninggi, seperti contohnya diarahkan ribuan misil Cina di Provinsi Fujian ke arah Taiwan, munculnya Anti-Secession Law di Cina, dan beberapa provokasi Chen Shui-bian untuk melaksanakan referendum yang mendorong independensi Taiwan.46 Ketika Presiden Ma Ying-jeou dicalonkan menjadi kandidat presiden Taiwan dalam pemilihan umum tahun 2008 sebagai calon dari Kuomintang, dia menjanjikan untuk memperbaiki hubungan yang memburuk antara Cina dengan Taiwan. 47 Ma Ying-jeou menilai kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh Presiden Chen Shui-bian lebih merugikan dibandingkan menguntungkan bagi Taiwan. Kerugian tersebut utamanya dalam bidang kerjasama di bidang ekonomi, karena potensi-potensi kerjasama antara Taiwan dan Cina tidak dapat terealisasi. Untuk memulai perbaikan hubungan antara Cina dan Taiwan tersebut, Ma Yingjeou sejak kampanye menyatakan bahwa Taiwan yang dipimpinnya akan menghormati dan mengimplementasikan kembali Konsensus 1992. Ketika Ma Ying-jeou terpilih menjadi presiden Taiwan pada tahun 2008, dia merealisasikan janji dalam kampanyenya tersebut. Pada pidato pelantikannya, dia menyebutkan bahwa Konsensus 1992 merupakan bagian penting dalam kerjasama Taiwan dan Cina selama ini.48 Inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou tersebut mendapat respons positif dari Cina. Dialog antara SEF dan ARATS kembali dimulai, sejak terakhir kali berhenti di bawah Presiden Lee Teng-hui. 46
Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013, http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf. 47 Susan Albright, “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters,” Minneapolis Post, terakhir dimodifikasi pada 25 Maret 2008, diakses 12 Juni 2013, http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-president-will-try-calm-waters. 48 Wu Zhong, “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 10 Februari 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
27
Sinyal positif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou kemudian berlanjut terus ketika Presiden Ma Ying-jeou telah menjadi presiden dari Taiwan. Presiden Ma Ying-jeou menginisiasi ide pembentukan ECFA untuk menguatkan kembali hubungan antara Taiwan dan Cina, terutama di bidang ekonomi. 49 Kerjasama antara Taiwan dan Cina sendiri tetap berjalan secara konsisten melalui dialog antara SEF dan ARATS. 50 Anggaran pertahanan Taiwan juga tidak meningkat secara berlipat, biarpun Cina secara konsisten terus meningkatkan anggaran pertahanannya. Anggaran pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou tahun 2008-2012 tidak pernah melewati nilai 3% dari total PDB Taiwan, meskipun 3% adalah batas minimum yang dijanjikan oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kampanyenya. Penjelasan di atas memberikan contoh kebijakan-kebijakan reassurance Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina. Menurut Tang, terdapat tiga jenis reassurance yang dapat diberikan, yaitu melalui words, deeds non-military, dan military. Penggunaan kembali Konsensus 1992 merupakan contoh reassurance yang diberikan dalam bentuk words. Pengakuan kepada Konsensus 1992 merupakan sesuatu yang costly karena pengakuan kepada konsensus ini membuka interpretasi bahwa Taiwan kehilangan independensinya dari Cina, sebuah risk yang amat besar bagi Taiwan. Risk tersebut semakin besar ketika Presiden Ma Ying-jeou menurunkan anggaran pertahanan dan menginstitusionalisasi hubungan melalui ECFA. Kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan kritik kepada Presiden Ma, bahwa kebijakannya yang memberikan intensi baik tersebut membuat Taiwan kehilangan kedaulatannya karena dependensi dengan Cina menjadi semakin akut.51 Hanya saja, risk tersebut menjadi nyata merugikan kepada negara jika tindakan reassurance yang diberikan tidak menerima respons positif dari negara yang menerima sinyal tersebut. Kenyataannya, Cina memberikan respons yang 49
Mathieu Duchatel, “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s Mainland Policy Under Ma Ying-jeou,” 9, (makalah dipresentasikan dalam Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions, Shanghai, 5-6 Juni, 2010). 50 Sun Yunlong, “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF,” Xinhua News Agency, terakhir dimodifikasi pada 3 November 2008, diakses 12 Juni 2013, http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm. 51 Vincent Y. Chao, “DPP Decries Dependency on PRC,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 17 Juni 2011, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
28
cukup positif dari kebijakan-kebijakan reassurances yang diberikan oleh Presiden Ma. Konsensus 1992 dianggap sebagai bentuk reassurance yang cukup kredibel untuk membuka kembali hubungan institusional Taiwan dengan Cina melalui dialog SEF dan ARATS. Inisiatif ECFA sendiri mendapat respons yang positif dari Cina, bahkan ECFA sendiri menghasilkan aturan-aturan yang berpotensi merugikan Cina.
2.2.2 Tindakan Hedging Presiden Ma Ying-jeou kepada Cina: Balancing Internal dan Eksternal Taiwan terhadap Cina Salah satu elemen penting dari kebijakan engagement adalah usaha hedging yang dilaksanakan untuk mengantisipasi jika reassurance yang diberikan tidak mendapat respons yang positif. Menurut Tang, hal ini dapat diberikan dengan dua cara, yaitu penguatan postur pertahanan secara internal dan pembuatan aliansi secara eksternal. Bagian ini berusaha menjelaskan mengenai usaha hedging Presiden Ma, baik dari segi pengembangan postur pertahanan dalam negeri Taiwan, dan juga dari hubungan Taiwan dengan Amerika Serikat sebagai pemberi deterrence secara eksternal. Arah perkembangan kekuatan pertahanan dan keamanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou merupakan sebuah hal yang menjadi perdebatan di Taiwan, terutama ketika Presiden Ma Ying-jeou baru saja memenangkan pemilu pada tahun 2008. Saat Presiden Ma mengajukan bahwa ia menginginkan adanya perbaikan dalam hubungan antara Cina dengan Taiwan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Taiwan akan memberikan fokus yang sama pada pertahanan dan keamanan Taiwan.52 Pada awal kepemimpinannya, Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk menenangkan para petinggi militer dan analis keamanan di Taiwan bahwa Presiden
Ma
masih
akan
memberikan
perhatian
yang
cukup
kepada
pertahanannya. Presiden Ma Ying-jeou berjanji untuk menjaga agar anggaran 52
Michael S. Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In An Era of Improving Cross-Strait Relations,” China Brief 8, no. 15 (2008), diakses 21 Desember 2012, http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_news%5D=5061&tx_ttn ews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
29
pertahanan Taiwan mencapai 3% dari PDB Taiwan. 53 Presiden Ma juga menunjukkan keinginan untuk membentuk kebijakan pertahanan yang disebut sebagai “Hard ROC”.54 Asas ini kemudian dijelaskan dengan beberapa kebijakan-kebijakan dalam QDR yang dikeluarkan oleh Taiwan. Menurut Alexander Chieh-cheng Huang, terdapat dua hal yang menjadi fokus utama dalam QDR, yaitu prevention dan transformation.55 Definisi dari prevention adalah usaha-usaha untuk memperkuat kembali hubungan dengan negara negara yang selama ini menjadi rekan Taiwan dan juga memperbaiki hubungan lebih baik antara Taiwan dan Cina. Tujuan dari prevention adalah agar Taiwan tidak terlibat dalam konflik, terutama dengan Cina. Definisi dari transformation adalah usaha dari Presiden Ma Ying-jeou untuk mentransformasi angkatan bersenjata dari Taiwan, dari tadinya diisi oleh campuran wajib militer dan sukarela, menjadi angkatan bersenjata yang sepenuhnya diisi oleh tenaga sukarela. Namun setelah berjalan empat tahun masa kepemimpinan Presiden Ma, perhatian yang diberikan oleh Presiden Ma terhadap pertahanan bisa dikatakan belum maksimal. Indikator utama dari pernyataan di atas adalah anggaran pertahanan yang dikeluarkan oleh Taiwan di bawah masa pemerintahan Presiden Ma tidak pernah menyentuh angka 3% dari PDB Taiwan.56 Jika kita lihat tabel di bawah, besaran dari anggaran pertahanan Taiwan justru menurun, di mana pada tahun 2009 anggaran pertahanan sempat mencapai 2,7% dari PDB tetapi kemudian menurun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi masing masing 2,2% dan 2,1% dari PDB Taiwan.
Wendell Minnick, “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations,” Defense News, terakhir dimodifikasi pada 24 Mei 2012, diakses 21 Desember 2012, http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CRS-Report-ReviewsTaiwan-Security-U-S-Relations. 54 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, (Taipei City: Ministry Of National Defense, 2009), 63 55 Alexander Chieh-cheng Huang, “A Midterm Assessment of Taiwan’s First Quadrennial Defense Review,” (Makalah, Brookings Institution, 2011), http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang 56 Kan, “Taiwan: Major U.S. Arms Sales”, 34-35. 53
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
30
Tabel 2.2.1.1 Pengeluaran Pertahanan Taiwan 2008-2012 Tahun Fiskal
Anggaran Pertahanan
Anggaran (NT$
Pertahanan
% dari PDB (US$
%
dari
total
pengeluaran
milyar)
milyar)
pemerintah
2008
341,1
10,5
2,5
20,2
2009
318,7
9,6
2,7
17,6
2010
297,4
9.3
2,2
17,3
2011
294,6
10,2
2,1
16,5
2012
317,3
10,6
2,2
16,4
Sumber: Shirley A. Kan, “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,” 5, terakhir dimodifikasi pada 3 Juli 2013, diakses 25 Juli 2013, http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf., 34-35.
Penurunan anggaran pertahanan dari Taiwan dapat terjadi karena adanya krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008. Hal ini dengan demikian membuat usaha usaha yang sudah dimasukkan ke dalam QDR kemudian menjadi terganggu dan terhambat. Program dari Presiden Ma untuk merubah dan mentransformasi angkatan bersenjata dari Taiwan menjadi seluruhnya volunteer pun menjadi terganggu. Perubahan menjadi all-volunteer memang akan menambah beban anggaran pemerintahan Taiwan. Turunnya anggaran pertahanan Taiwan membuat program tersebut mengalami penundaan dari tadinya dijadwalkan selesai tahun 2014, kemudian berubah menjadi tahun 2015.57 Penurunan anggaran pertahanan Taiwan juga berdampak terhadap kerjasama yang terjadi antara Taiwan dan Amerika Serikat. Taiwan masih sangat bergantung dengan Amerika Serikat dalam kerjasama militer yang terjadi antara kedua negara, terutama dengan tujuan Taiwan untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya. Untuk mencapai modernisasi tersebut, Taiwan memiliki keinginan untuk membeli kapal patroli maritim P-3C, helikopter serang untuk angkatan darat, helikopter serba guna untuk angkatan darat, PAC-3 sistem pertahanan rudal,
57
Vincent Y. Chao, “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 22 Juni 2011, diakses 21 Desember 2012, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
31
Fighter F-16C/D, dan kapal selam tenaga diesel.
58
Penurunan anggaran
pertahanan dari Taiwan menyebabkan hal-hal di atas sulit untuk dicapai. 59 Pesawat F-16C/D yang diinginkan oleh Presiden Ma sendiri semakin sulit untuk dibeli, dengan Taiwan mempertimbangkan menyiapkan dana US$ 10 juta yang digunakan untuk membeli F-16C/D, tetapi hanya untuk kepentingan simbolis.60 Pengembangan postur pertahanan Taiwan di bawah Presiden Ma Yingjeou dengan demikian tidak memuaskan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Ma tidak mencukupi jika dibandingkan dengan reformasi dan pertumbuhan kekuatan militer yang terjadi di Cina. Oleh karena itu, aspek internal dari balancing yang dimiliki oleh Taiwan terhadap Cina tidak dapat memenuhi unsur deterrence yang cukup yang merupakan bagian penting dari kebijakan engagement. Selain melalui internal balancing, Tang menjelaskan bahwa negara juga dapat memilih aliansi sebagai bentuk balancing eksternal. Dalam kasus Taiwan dan Cina, kehadiran Amerika Serikat sebagai aktor eksternal memegang peran penting dalam menghadirkan deterrence, bahkan kepada kedua pihak, untuk mampu mempertahankan perdamaian di Selat Taiwan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Amerika Serikat telah terlibat dalam dinamika hubungan antara Taiwan dan Cina sejak tahun 1950 ketika Amerika Serikat mengirimkan armadanya untuk memberikan efek gentar pada Beijing untuk tidak menyerang Taiwan.61 Sejak saat itu, Amerika Serikat terus berada di wilayah Selat Taiwan, memainkan peranan sebagai pihak penengah yang mencegah agar kedua negara tidak terjerumus dalam perang. Amerika Serikat sendiri memiliki dinamika dalam hubungannya dengan kedua aktor di Selat Taiwan, dari awalnya memiliki hubungan aliansi yang kuat dengan Taiwan melalui traktat pertahanan bersama, kemudian sedikit meregang dengan Taiwan akibat adanya normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dengan Cina, hingga saat ini di mana Amerika Serikat masih menjaga perimbangan untuk tetap melindungi Taiwan, jika suatu saat Cina menggunakan aksi-aksi kekerasan secara
58
Chase, “Taiwan’s Defense Budget Dilemma.” Minnick, “CRS Reports Review US.” 60 Ibid. 61 Deans, “Cross-Strait Relations since 1949”, 28 59
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
32
unilateral, sementara Amerika Serikat menjalin hubungan yang cukup mendalam dengan Cina.62 Sejak awal keterlibatannya, Amerika Serikat memandang bahwa kepentingan utamanya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi instabilitas di wilayah Selat Taiwan. Pada masa-masa perang dingin, usaha menjaga stabilitas ini dilakukan atas dasar kepentingan Amerika Serikat yang tidak menginginkan adanya konflik terbuka antara Cina dan Taiwan yang dapat membawa Uni Soviet dan Amerika Serikat ke dalamnya. Kebijakan ini ditunjukkan melalui berbagai tekanan-tekanan yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Taiwan dan Uni Soviet kepada Cina agar keduanya tidak lagi berkonflik secara terbuka dan mengalihkannya pada bidang diplomasi.63 Pada saat normalisasi terjadi antara Cina dan Amerika Serikat, kepentingan tersebut berubah menjadi menjaga stabilitas Selat Taiwan. Stabilitas Selat Taiwan merupakan prasyarat penting agar kerjasama antara Cina dan AS dapat terus berjalan. Saat ini, kepentingan Amerika Serikat menjaga hubungan antara Cina dan Taiwan didasari atas dasar kepentingan Amerika Serikat yang tidak ingin memprovokasi Cina, terutama dengan semakin menguatnya kekuatan ekonomi dan militer Cina. Keteguhan Amerika Serikat menjaga perdamaian di Selat Taiwan ditunjukkan melalui beberapa cara. Pertama, keteguhan ini terlihat dengan Amerika Serikat yang mengembalikan fokusnya kepada Asia, setelah sebelumnya banyak terlibat di wilayah Timur Tengah. Kebijakan Amerika Serikat ini kemudian dikenal sebagai ‘Asia Pivot’. 64 Kebijakan Asia Pivot ini menunjukkan intensi Amerika Serikat untuk kembali memperkuat basis-basisnya di Asia. Meskipun Taiwan tidak disebut secara spesifik dalam tulisan yang diberikan oleh Hillary Clinton, tetapi hal ini tidak menegasi bahwa Amerika Serikat memiliki kepentingan tinggi untuk menjaga stabilitas di wilayah Asia.
62
Ibid., 28-33 Ibid., 28-29 64 Hillary Clinton, “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be Right at the Center of Action,” Foreign Policy, terakhir dimodifikasi pada 11 Oktober 2011, diakses 4 November 2012, http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_century. 63
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
33
Kedua, Amerika Serikat juga masih mempertahankan keputusannya untuk melaksanakan penjualan senjata kepada Taiwan. 65 Amerika Serikat mendapat dorongan-dorongan, baik dari internal dan eksternal, untuk tidak melanjutkan penjualan senjata kepada Taiwan karena penjualan senjata tersebut mengancam hubungan Amerika Serikat dengan Cina. Amerika Serikat sendiri juga mencoba untuk melimitasi penjualan senjatanya kepada Taiwan, dengan hanya menjual produk-produk yang bersifat defensif. Amerika Serikat juga tidak mengabulkan seluruh permintaan pembelian senjata dari Taiwan. Namun, tindakan perimbangan Amerika Serikat ini, antara menjual senjata dan tidak memprovokasi Cina, menunjukkan keteguhan Amerika Serikat untuk komitmennya kepada pertahanan Taiwan. Ketiga, di dalam hubungan antara Taiwan dan Cina, Amerika Serikat menegaskan bahwa Taiwan tidak akan ditinggalkan begitu saja. Amerika Serikat, yang mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan Cina pada beberapa kesempatan (salah satunya melalui pertemuan antara Xi Jinping dan Barack Obama pada bulan Juni 2013), dikhawatirkan akan mengorbankan Taiwan untuk mendapatkan konsesi dari Cina. Namun menurut Jeffrey Bader, salah satu mantan staf Barack Obama, ide untuk ‘meninggalkan’ Taiwan merupakan sesuatu yang tak terpikirkan. Terdapat dua kepentingan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan Taiwan dari kemungkinan serangan unilateral dari Cina. Pertama, Amerika Serikat terikat dengan kesamaan nilai sebagai sesama negara demokrasi, sehingga Amerika Serikat tidak dapat menerima Taiwan yang demokrasi harus menerima keadaan di mana keinginan rakyatnya tidak terpenuhi, terutama saat negara demokrasi tersebut harus diinvasi oleh negara komunis. Kedua, Amerika Serikat juga tidak dapat meninggalkan Taiwan karena akan memberikan imej buruk kepada aliansi Amerika Serikat lainnya di wilayah Asia, seperti Jepang.66
65
Paul Eckert, “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 16 September 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-f-idUSTRE78F2L620110916. 66 Shih Hsiu-chuan, “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama administration official says,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Maret 2012, diakses 12 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
34
Dengan demikian, Amerika Serikat menjadi aktor penting dalam hubungan keamanan antara Taiwan dan Cina. Sebagai negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia saat ini, komitmen-komitmen yang diberikan oleh Amerika Serikat tentu tidak dapat diacuhkan, terutama oleh Cina. Komitmen Amerika Serikat menjaga keamanan di wilayah Selat Taiwan tentu menjadi pertimbangan baik bagi Taiwan dan Cina dalam membuat strategi keamanannya. Taiwan dijaga untuk tetap memiliki pertahanan dengan bantuan-bantuan bersifat defensif, dan Cina di lain pihak tentu menjaga hubungannya dengan Amerika Serikat tetap terjaga, biarpun pada beberapa kejadian Cina masih menunjukkan beberapa kebijakan ofensif.
2.3 Faktor Eksternal Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan: Cina sebagai Negara Realisme Ofensif Seperti yang telah dibahas pada pembahasan teori, salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh sebuah negara yang menganut Realisme Defensif dalam menyusun kebijakan keamanannya dengan negara lain adalah membedakan antara negara lawannya, apakah negara tersebut adalah negara yang sama sama menganut Realisme Defensif, ataukah negara tersebut merupakan negara yang bersifat ofensif. Hal ini kemudian menjadi landasan dari bagaimana Taiwan akan membuat kebijakan keamanannya terkait dengan Cina. Bagian ini akan menunjukkan bahwa Cina masih cenderung mengarah sebagai negara dengan realisme ofensif. Hal ini ditunjukkan saat Cina yang mengeluarkan pernyataan bahwa kebangkitan Cina merupakan ‘Peaceful Rise’, ternyata masih tidak melaksanakan self-restraint dalam pengembangan kekuatan militernya, terutama dalam hubungannya dengan Taiwan.
2.3.1 Cina dan Klaim sebagai Negara dengan Peaceful Rise Dalam beberapa tahun ke belakang, Cina mendapatkan banyak perhatian dari dunia karena pertumbuhan ekonominya yang mencapai dua digit dan bertahan secara stabil sejak Cina memulai liberalisasi ekonominya. Kekuatan ekonomi Cina yang tumbuh secara berlipat kemudian berdampak pada anggaran
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
35
pertahanan Cina yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat pada tahun 2013, Cina secara total memiliki anggaran pertahanan mencapai US$ 119 milyar, peningkatan 10,7% dari tahun sebelumnya.67 Anggaran pertahanan yang besar juga dilengkapi dengan komitmen Cina untuk melaksanakan reformasi di dalam angkatan perangnya, salah satu aspek penting dalam meningkatnya kekuatan militer Cina. Dengan terus meningkatnya kekuatan ekonomi dan pertahanan Cina, banyak negara di dunia yang menjadi khawatir terhadap tren tersebut. Cina yang terus mengembangkan kekuatan militernya dikhawatirkan akan mengacaukan stabilitas keamanan, terutama di wilayah Asia. Kekhawatiran tersebut menunjukkan terbentuknya security dilemma dari negara-negara Asia terhadap Cina, ditunjukkan dengan tindakan beberapa negara yang beraliansi dengan Amerika Serikat yang secara eksplisit meminta Amerika Serikat untuk memberikan kembali fokusnya kepada Asia sebagai bentuk balancing terhadap Cina. Adanya security dilemma yang tercipta akibat terus meningkatnya kekuatan Cina tentu disadari oleh pemimpin-pemimpin di Beijing. Adanya balancing akan merugikan Cina, sehingga upaya untuk meyakinkan negara bahwa Cina bukanlah negara yang ofensif kemudian dilaksanakan. Pada masa pemerintahan Hu Jintao, Cina memunculkan istilah ‘peaceful rise’ untuk menggambarkan bahwa pertumbuhan kekuatan Cina tidaklah digunakan untuk mengancam negara lain. 68 Xi Jinping juga tetap menggunakan istilah peaceful rise untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa yang diinginkan oleh Cina bukanlah hegemoni dan perkembangan militernya bukanlah ancaman bagi negaranegara di dunia. 69
67
Ben Blanchard dan John Ruwitch, “China Hikes Defense Budget, to Spend More on Internal Security,” Reuters, terakhir dimodifikasi pada 5 Maret 2013, diakses 12 Juni 2013, http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defenceidUSBRE92403620130305. 68 The Economist, “Peaceful Rise,” terakhir dimodifikasi pada 24 Juni 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.economist.com/node/2792533. 69 Zhuang Pinghui, “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts,” South China Morning Post, terakhir dimodifikasi pada 6 Desember 2012, diakses 12 Juni 2013 http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xi-jinping-tells-foreignexperts. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
36
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa secara global Cina mengakui adanya security dilemma yang terbentuk atas dirinya dan berjanji untuk tidak bersikap ofensif. Namun, hal ini tidak terjadi di level hubungan bilateral antara Cina dan Taiwan, di mana Cina masih secara eksplisit bersikap ofensif terhadap situasinya dengan Taiwan. 2.3.2 Cina sebagai Negara Realisme Ofensif dalam Hubungan Cina dan Taiwan Secara global, Cina memang telah menyadari akan permasalahan yang akan dialaminya apabila security dilemma terus terjadi karena meningkatnya kekuatan Cina di ekonomi dan militer. Hanya saja, interpretasi terhadap ‘peaceful rise’ ini menempatkan Taiwan sebagai pengecualian. Klaim Cina bahwa Taiwan merupakan provinsi dari Cina dan memiliki legitimasi atas klaimnya tersebut, membuat Cina bersikeras bahwa Cina memiliki hak untuk menggunakan ‘use of force’ jika Cina merasa bahwa kebijakan-kebijakan Taiwan mengarah kepada independensi.70 Perkembangan kekuatan militer Cina banyak diarahkan secara spesifik untuk menghadapi ancaman ‘separatisme’ Taiwan dari Cina. QDR 2009 milik Taiwan secara gamblang menjelaskan di bab 1-nya bahwa Taiwan mengakui perkembangan modernisasi pertahanan Cina, di mana dengan modernisasi tersebut kekuatan Cina untuk menghadapi Taiwan telah meningkat secara dramatis. 71 Cina pun dengan demikian dianggap dapat memberikan ancaman kepada Taiwan dalam 8 bentuk kapabilitas Cina72: a. Kapabilitas pengintaian, pengawasan, dan satelit Yang dimaksudkan di sini adalah pengembangan kekuatan Cina yang berlimpah di bidang pengawasan melalui satelit, dan di masa depan, pengembangan kekuatan ini juga termasuk membantu misil penjelajah, misil balistik, ataupun Unmanned Aerial Vehicle (UAVs) yang mungkin dimiliki oleh Cina; 70
John J. Tkacik Jr., “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle,” Asia Times, terakhir dimodifikasi pada 8 September 2004, diakses 12 Juni 2013, http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html. 71 Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense, Quadrennial Defense Review 2009, 35. 72 Ibid., 35-41. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
37
b. Kapabilitas perang elektronik Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah kemampuan dari PLA, terutama angkatan udaranya, untuk menerbangkan pesawat dengan tujuan jamming dan pada akhirnya dapat mengancam sistem komando, kontrol, informasi, dan komunikasi dari Taiwan. Perkembangan di masa depan di kapabilitas
ini
terkait
besar
dengan
perkembangan
kapabilitas
elektromagnetis; c. Kapabilitas perang informasi Yang dimaksudkan dengan kapabilitas ini adalah usaha-usaha Cina untuk memiliki sebuah unit penelitian dan pengembangan yang berfokus terhadap pembuatan virus, dan perancangan taktik serta kapabilitas untuk menyerang sistem komputer lawan. Dalam beberapa tahun terakhir, sering terjadi penyerangan terhadap jaringan di Taiwan oleh peretas dari Cina, dan ini mungkin saja terjadi dalam skenario perang antara Cina dan Taiwan; d. Kapabilitas misil penjelajah dan misil balistik Saat ini, Cina telah mempersiapkan lebih dari 1.300 misil jelajah dan balistik jarak rendah mengarah ke arah Taiwan. Hal ini tentu menjadi ancaman. Lebih lagi ke depannya, perkembangan misil seperti misil jelajah kecepatan supersonik, misil presisi tinggi, dan misil yang tahan atas intersepsi bisa menjadi ancaman juga dari Cina terhadap Taiwan; e. Kapabilitas operasi di udara Kapabilitas operasi di udara yang dimiliki oleh Cina terdiri dari misil pertahanan serangan udara, pesawat tempur, dan pesawat pembom. Kekuatan tersebut tergambarkan dari sekitar 700 pesawat tempur yang dimiliki oleh Cina, yang mampu menyerang Taiwan secara langsung. Cina juga memiliki kapabilitas untuk mengintegrasikan teknologi yang didapatkan dari rekannya, seperti teknologi misil yang didapatkan dari Rusia; f. Kapabilitas operasi maritim Kapabilitas di operasi maritim ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, yaitu terkait dengan surface warfare, di mana Cina pada tahun
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
38
2009 telah merampungkan pembelian beberapa kapal destroyer baru, dan juga membuat multipurpose landing ships. Bagian kedua yaitu pembangunan kapal selam, di mana telah disebutkan sebelumnya, Cina banyak berinvestasi pada pengembangan kapabilitas ini, bahkan melebihi Amerika Serikat dalam hal laju pertumbuhan kepemilikan dari kapal selam ini. Bagian ketiga terkait dengan kapal induk yang dimiliki oleh Cina, di mana jika Cina bisa mengembangkan kekuatan di bagian ini, Cina bisa dengan lebih leluasa menghalangi Taiwan dari terhubung dengan dunia luar dengan lebih maksimal; g. Kapabilitas landing assault Saat
ini,
Cina
setidaknya
sudah
memiliki
beberapa
kelebihan
dibandingkan oleh Taiwan, seperti misalnya di masalah jumlah tentara yang dapat diterjunkan. Selain itu, Cina juga terus mengembangkan kualitasnya dengan berbagai latihan yang ditujukan untuk menghadapi skenario jika serangan dengan menerjunkan pasukan langsung ke pulaupulau Taiwan harus dilaksanakan. Di masa depan, Cina juga diproyeksi untuk terus mengembangkan kekuatannya dengan produksi multipurpose landing ships, amphibious landing ships, dan hovercraft; h. Kapabilitas three-front war melawan Taiwan Yang dimaksudkan adalah kemampuan Cina untuk melaksanakan tiga serangan non-militer terhadap Taiwan. Tiga bidang non-militer yang dimaksudkan ini adalah dari bidang opini publik, hukum, dan perang psikologis. Hal hal yang mungkin dilaksanakan misalnya adalah dengan cara mencari justifikasi secara hukum untuk tindakan tindakan penyerangan terhadap Taiwan, atau melaksanakan serangan agar opini publik terbentuk yang dapat meruntuhkan bantuan dan semangat terhadap Taiwan. Ancaman ancaman di atas dapat menggambarkan bagaimana Taiwan melihat Cina sebagai ancaman yang sangat komprehensif. Ancaman yang diberikan Cina tidak lagi dapat dipandang sebelah mata, karena ancaman Cina dapat mengancam semua sektor pertahanan Taiwan yang dimiliki saat ini. Dari
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
39
semua ancaman tersebut, QDR Taiwan tahun 2009 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 5 skenario serangan yang dapat dilancarkan oleh Cina kepada Taiwan, yaitu intimidasi militer, blokade parsial, serangan terhadap target-target khusus di Taiwan, melaksanakan peperangan asimetris, dan melaksanakan rapid landing di Taiwan. Dari 5 skenario tersebut, 4 skenario selain skenario rapid landing sudah dapat dilaksanakan. Skenario rapid landing bahkan dapat dilaksanakan jika Cina terus mengembangkan kekuatan militernya, terutama di bidang multi-purpose ship.73 Dengan demikian, deeds dari Cina di atas masih mendatangkan ancaman yang besar bagi Taiwan. Selain itu, Cina masih memiliki undang-undang yang dikenal sebagai anti-secession law (ASL), yang melegitimasi Cina secara konstitusional untuk menyerang Taiwan jika Taiwan dirasa mengarah kepada kebijakan pro-kemerdekaan.74 Cina juga masih enggan untuk menarik gelaran misil-misilnya yang diarahkan ke Taiwan dari Provinsi Fujian. Hal-hal tersebut tentu menggambarkan bagaimana Cina sampai saat ini masih bersikap secara ofensif,
dan
tidak
mengimplementasikan
self-restraint dalam
hubungan
keamanannya dengan Taiwan. Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana Taiwan merupakan pengecualian dari klaim peaceful rise yang dikembangkan oleh Cina. Cina masih bersikeras untuk mempertahankan haknya untuk dapat menggunakan use of force kepada Taiwan. Perkembangan militer Cina pun banyak yang secara eksplisit menggunakan Taiwan sebagai targetnya. Biarpun Cina secara ‘words’ telah bersikap secara defensif, namun kenyataannya, ‘deeds’ Cina kepada Taiwan masih terang-terangan menunjukkan Cina sebagai negara yang ofensif. Dua sub-bab di atas telah menunjukkan bagaimana Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou mengimplementasikan strategi engagement sebagai kebijakan keamanannya. Pemberian reassurance dan ajakan kerjasama Taiwan kepada Cina diimbangi dengan deterrence yang dipertahankan dari presensi Amerika Serikat dalam dinamika hubungan antara kedua negara. Strategi engagement ini sendiri merupakan implementasi dari teori yang diberikan Shiping Tang, bahwa negara penganut realisme defensif akan mencoba kebijakan 73 74
Ibid, 41-43. Ibid., 31. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
40
engagement kepada negara yang cenderung bersifat ofensif, dengan tujuan untuk mengubah intensi dari negara yang ofensif tersebut untuk dapat bertindak lebih defensif. 2.4 Faktor Domestik Pembentuk Kebijakan Keamanan Taiwan Terhadap Cina: Peran NSC, Tekanan Publik untuk Rekonsiliasi, dan Pengaruh Presiden Ma Subbab di atas telah menjelaskan faktor di level sistem yang membentuk kebijakan keamanan yang diambil oleh Taiwan dalam hubungan antara Taiwan dan Cina. Bagian selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan faktor-faktor domestik dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut, yaitu bagaimana National Security Council (NSC) Taiwan berperan dalam pembentukan kebijakan keamanan, hubungan antara eksekutif dan legislatif di Taiwan, dan opini publik yang membentuk kebijakan keamanan tersebut. National Security Council (NSC) atau Dewan Keamanan Nasional, merupakan sebuah badan yang merupakan gabungan dari beberapa aktor penting di dalam pemerintahan Taiwan yang berkepentingan dalam kebijakan keamanan Taiwan. NSC ini terdiri dari beberapa anggota, yaitu Presiden Taiwan (sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan NSC), Wakil Presiden, 8 anggota kabinet (terdiri dari premier, vice premiere, Minister of Interior, Foreign Affairs, National Defense, Treasury, dan Economic, Ketua dari Mainland Affairs Council, Komandan Angkatan Bersenjata Taiwan, Sekretaris Jenderal dari NSC, dan Direktur dari Biro Keamanan Nasional.75 NSC sebenarnya telah terbentuk dari tahun 1963. NSC dibentuk dengan tujuan untuk menjadi tim yang memberikan masukan dan rekomendasi bagi Presiden ROC dalam menentukan kebijakan luar negerinya, terutama yang berkaitan dengan permasalahan keamanan dan pertahanan.76 Namun, NSC pada awal pembentukannya tidak banyak memiliki efektivitas, sampai kemudian 75
York W. Chen, “The Modernization of Taiwan’s National Security Council,” China Brief 10, no. 22 (2010), diakses 9 Mei 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144&tx_ttnews[backPid]= 7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs. 76 Dennis Van Vranken Hickey, Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle to Pragmatism (New York: Routledge, 2007), 48. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
41
demokratisasi di Taiwan yang terjadi pada tahun 1990an di bawah Presiden Lee Teng-hui menghidupkan kembali kinerja dari NSC. Reformasi NSC di bawah Presiden Lee Teng-hui kemudian kembali diperkuat oleh beberapa perubahan yang dibawakan oleh Presiden Chen Shui-bian.77 Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, NSC dan staf dari NSC sendiri dipilih berdasarkan orang-orang yang menurut Ma dapat mendukung keinginannya untuk membuat kebijakan yang memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Orangorang yang dipilih oleh Ma tersebut, dipimpin oleh Su Chi sebagai Sekretaris Jenderal NSC yang ditunjuk oleh Ma, menjadi kaki dan tangan yang mendukung Presiden Ma Ying-jeou dalam merumuskan dan membentuk kebijakan keamanannya. Dalam membentuk kebijakan keamanannya, sebagai sebuah negara demokrasi, Presiden Ma tentu tidak hanya mempertimbangkan saran-saran yang datang dari NSC, tetapi juga harus memperhatikan input-input yang datang dari sumber lain. Input yang pertama harus diperhatikan oleh Presiden Ma tentu datang dari parlemen Taiwan, atau apa yang dikenal sebagai Legislative Yuan. Parlemen Taiwan memegang peranan penting di mana hal-hal penting yang berkaitan dengan pertahanan seperti anggaran pertahanan sangat dipengaruhi oleh parlemen Taiwan. Presiden Chen Shui-bian, misalnya, memiliki masalah yang cukup pelik dalam masa pemerintahannya karena kebijakan-kebijakannya yang terkait dengan pertahanan sering kali dianggap terlalu ofensif, menyebabkan kebijakan-kebijakan tersebut banyak dikritik oleh legislator dari KMT dan golongan biru lainnya. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan terhambatnya kebijakan tersebut. Hal ini tidak dihadapi oleh Presiden Ma Ying-jeou, di mana kemenangannya pada pemilihan presiden pada tahun 2008 didahului oleh kemenangan KMT dari DPP pada pemilihan legislatif di tahun yang sama. Hasil pemilihan umum tersebut bahkan memenangkan KMT dalam jumlah yang cukup signifikan, di mana KMT dan legislator golongan biru lainnya menguasai ¾ dari total anggota parlemen.78 Hal ini memudahkan kinerja Presiden Ma yang tidak
77
Chen, “The Modernization of Taiwan,” Mo Yan-Chih, “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to Abuse Power,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 13 Januari 2008, diakses 8 Juli 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903. 78
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
42
harus menghadapi hambatan-hambatan dari legislatif seperti yang dihadapi oleh Presiden Chen sebelumnya. Opini publik yang terbentuk juga mendukung kebijakan Presiden Ma untuk memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Presiden Ma telah memberikan janji untuk memperbaiki hubungan antara Taiwan dan Cina sejak masa kampanyenya, sehingga pemilihan Presiden Ma sebenarnya merupakan indikasi bagaimana mayoritas publik Taiwan telah menyadari akan perlunya perbaikan hubungan antara Taiwan dan Cina. Hal ini ditunjukkan pula oleh grafik di bawah, di mana dari tahun 2003 hingga tahun 2007, publik Taiwan semakin banyak yang menyetujui perbaikan hubungan antara Taiwan dan Cina.
Grafik 2.4.1 Dukungan Terhadap Peningkatan Cross-Strait Economic Exchanges Sumber: Chu Yun Han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf.
Faktor domestik terakhir tentu adalah Presiden Ma sendiri sebagai Presiden Taiwan yang banyak mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam hubungan antara Taiwan dan Cina. Dalam melaksanakan fungsi framing terkait Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
43
dengan situasi di hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, Presiden Ma sejak awal melihat bahwa hubungan antara Taiwan dan Cina dapat bersifat kooperatif dan mengarah pada perdamaian.79 Hubungan yang bersifat konfliktual, ditandai oleh ketegangan dan provokasi, menurut Presiden Ma merupakan sesuatu yang merugikan bagi Taiwan, karena tidak dapat melipatgandakan kesempatankesempatan yang sebenarnya dimiliki oleh Taiwan. Hubungan antara Taiwan dan Cina yang damai dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi Taiwan, sekaligus mengurangi resiko-resiko perang yang dapat terjadi antara kedua negara. Framing yang terjadi di atas, menyebabkan Presiden Ma memilih untuk mengganti active defensive approach yang dibuat oleh Presiden Chen, menjadi passive defensive approach. Sebagai kesimpulan, bab ini telah menjelaskan bagaimana kebijakan keamanan Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou. Kebijakan yang berbentuk engagement, seperti yang telah dijelaskan oleh Shiping Tang, menjadi kebijakan yang diambil oleh Presiden Ma. Tiga elemen engagement dari hasil analisa bab ini dapat terlihat dalam kebijakan keamanan Presiden Ma. Terkait dengan faktor penyebab pengambilan kebijakan ini, analisa faktor eksternal dan internal menunjukkan bagaimana faktor eksternal memegang peranan yang secara relatif lebih penting dalam pembentukan kebijakan keamanan tersebut. Tentu sulit untuk tidak mempertimbangkan faktor eksternal tersebut, karena faktor eksternal tersebut merupakan analisa dari perilaku yang ditunjukkan oleh Cina, yang merupakan ancaman terbesar bagi Taiwan. Perilaku Cina yang masih bersifat ofensif terhadap Taiwan, terutama di bidang pertahanan, menjadi alasan utama bagi Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou untuk mengeluarkan kebijakan engagement, karena Presiden Ma menginginkan adanya perbaikan dari kebijakan Cina tersebut. Dengan kebijakan engagement, diharapkan Cina dapat mengubah kebijakannya yang bersifat ofensif tersebut, sehingga secara perlahan, dapat bersifat lebih akomodatif terhadap Taiwan, seperti yang telah terlihat di bidang ekonomi.
79
Yan Jiann-fa, “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou Administration”, Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 5-6, diakses 8 Juni 2013, http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
BAB 3 KEBIJAKAN EKONOMI TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YINGJEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA Ketika Presiden Ma Ying-jeou menerima tampuk kepemimpinan Taiwan dari mantan presiden Chen Shui-bian, Presiden Ma dihadapkan pada tantangan di berbagai isu. Isu keamanan menjadi perhatian dengan meningginya provokasi yang datang dari Cina. Taiwan juga dihadapkan dengan isolasi Taiwan di dunia internasional, dengan makin tertinggalnya Taiwan dari berbagai inisiatif di level regional atau internasional. Namun, Presiden Ma menduduki kursi kepemimpinan dengan satu tugas utama: memperbaiki kondisi ekonomi Taiwan. Presiden Chen Shui-bian merupakan pemimpin dengan tujuan yang jelas terhadap masa depan Taiwan, yaitu kemerdekaan Taiwan sebagai negara sendiri terpisah dari Cina. Posisinya ini diartikan dalam kebijakan ekonomi yang mencegah agar Taiwan dan Cina bekerjasama secara menyeluruh, meskipun pada awalnya membuka perdagangan agar terjadi antara kedua negara. Meskipun perdagangan dan investasi antar Cina dan Taiwan tetap terjadi di bawah Presiden Chen, kondisi kerjasama tersebut tidak menghasilkan keuntungan maksimal dan malah memberikan kerugian pada beberapa aspek bagi Taiwan. Kondisi ini kemudian mendorong Presiden Ma untuk memperbaiki keadaan tersebut, salah satunya adalah dengan penandatanganan Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Kebijakan Presiden Ma untuk menyetujui pembentukan ECFA ini akan menjadi fokus dari bab kebijakan ekonomi ini. Bab ini akan berargumentasi bahwa dengan pembentukan institusi ECFA dalam hubungan ekonomi Taiwan dan Cina, Presiden Ma Ying-jeou memunculkan ekspektasi yang jelas terhadap keuntungan yang akan didapatkan Taiwan dari institusi tersebut. Ekspektasi keuntungan tersebutlah yang menjadi pendorong dibentuknya ECFA. Bab ini akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai teori Neoliberal Institusionalisme yang menjadi dasar analisa dari subbab berikutnya di bab ini. Bagian selanjutnya akan menjelaskan mengenai negosiasi dalam pembentukan 44 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
45
ECFA dan hasil pembentukan ECFA tersebut di bawah Presiden Ma Ying-jeou. Subbab selanjutnya dari bab ini akan menjelaskan mengenai salah satu aspek penting yang dijelaskan dalam neoliberal institusionalisme yaitu konsep anticipated gain sebagai dasar eksistensi keberadaan institusi tersebut. Subbab terakhir dari bab ini akan menjelaskan faktor-faktor domestik terkait dengan pembentukan ECFA itu sendiri.
3.1 Kerangka Konsep Neoliberal Institusionalime Neoliberal Institusionalisme merupakan perspektif yang muncul untuk menjawab tantangan-tantangan yang diberikan Realisme terhadap pendekatan Liberalisme sebelumnya, yang banyak menekankan mengenai idealisme aktor dalam analisa hubungan antar unit dalam ilmu Hubungan Internasional. Menjawab pertanyaan tersebut, Neoliberalisme mencoba menggunakan beberapa asumsi dasar yang ada di dalam Realisme untuk menjelaskan Hubungan Internasional menurut perspektif mereka yang berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh realisme. Salah satu unsur penting dalam pendekatan ini adalah fungsi institusi yang menurut Neoliberalisme amat penting dalam menghilangkan pola hubungan konfliktual antar negara dan menjadikan hubungan bersifat lebih kooperatif.
Bagian
teori
ini
akan
menjelaskan
mengenai
Neoliberal
Institusionalisme dan beberapa asumsi dasar yang diberikan di dalamnya. Lebih lanjut lagi, bagian ini akan memberikan penjelasan mengenai tiga insentif mengapa dua negara dapat memilih untuk bekerjasama dan membentuk institusi. Tiga insentif tersebut kemudian akan digunakan dalam bab ini untuk melihat kebijakan
Presiden
Ma
Ying-jeou
dalam
bidang
ekonomi
yang
menginstitusionalisasikan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina melalui Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA).
3.1.1 Neoliberal Institusionalisme Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Neoliberalisme merupakan jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir liberal terhadap tantangantantangan yang diberikan oleh pemikiran Realisme, terutama sebagai kritik
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
46
terhadap Neorealisme yang sedang berkembang saat itu. Neoliberalisme memberikan tantangan tersebut dengan cara mengadopsi beberapa asumsi-asumsi dasar yang digunakan oleh Neorealisme dan mencoba menunjukkan bahwa prediksi negatif yang diberikan oleh Neorealisme atas dunia dengan asumsi tersebut merupakan sebuah hal yang salah. Neoliberalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang membedakannya dengan pemikiran Liberalisme Klasik, sekaligus menggambarkan posisinya yang berbeda dengan Realisme terhadap asumsi tersebut. Kesamaan antara asumsi tersebut terlihat pada pemilihan Neoliberalisme untuk menggunakan negara sebagai unit analisa utama, sebuah perbedaan dari Liberalisme Klasik yang tidak mengakui bahwa negara adalah aktor utama dan melihat bahwa terdapat banyak aktor di dalam lingkungan domestik negara yang mempengaruhi negara dalam hubungan luar negerinya.80 Selain itu, negara diasumsikan untuk bersikap secara rasional dalam memilih kebijakan luar negerinya. Perbedaan paling penting antara Neorealisme dan Neoliberalisme adalah pandangan keduanya terhadap efek yang diberikan oleh sistem internasional yang bersifat anarki dan struktur internasional di dalamnya. Sistem internasional yang bersifat anarki, menurut Neorealisme, membuat kesempatan bagi negara untuk bekerjasama menjadi sangat kecil jadinya. Neorealisme menilai bahwa meskipun kerjasama dimungkinkan dengan adanya common goal antara dua negara, namun negara akan memikirkan mengenai relative gain yang akan didapatkan dari kerjasama, dan karena realisme cenderung menganalisa menggunakan zero-sum game, maka sebuah negara akan selalu dirugikan dalam kerjasama, membuat negara akan sulit mencapai kerjasama. Selain itu, kerjasama juga sulit dilaksanakan karena keterbatasan negara dalam mengetahui preferensi dan keinginan negara lain, sehingga permasalahan seperti free-rider dan kecurangan dalam kerjasama mungkin terjadi. Neoliberalisme tidak menolak bahwa kerjasama antara negara di dalam dunia yang bersifat anarki memang sulit untuk dilaksanakan. Keohane bahkan menjelaskan bahwa dua negara dengan common goal tidak selalu berakhir dengan 80
Jennifer Sterling-Folker, “Neoliberalism,” dalam International Relations Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith (New York: Oxford Universit Press, 2010), 118. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
47
kerjasama.81 Hanya saja, Neoliberalisme menilai bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Neoliberalisme menilai bahwa kuncinya terdapat pada perkembangan di dunia hubungan internasional, di mana institusiinstitusi
semakin
berkembang
dalam
hubungan
antar
negara.
Institusi
internasional memegang peranan penting, karena institusi internasional dapat menghilangkan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan negara mungkin terhambat untuk melaksanakan kerjasama. Institusi akan memberikan jalur bagi negara untuk memastikan preferensi negara lain melalui institusi tersebut. Lebih lanjut lagi, ekspektasi terhadap interaksi di masa depan yang terjadi secara reguler, memberikan dorongan bagi negara untuk tidak melaksanakan kecurangan-kecurangan. 82 Nilai-nilai yang diberikan oleh institusi ini menjadi sumber keyakinan bagi para penganut Neoliberalisme bahwa biarpun negara berada di dalam sistem anarki, dan negara tersebut adalah negara yang memiliki kepentingan diri sendiri yang ingin diperjuangkan, kerjasama antar negara merupakan sesuatu yang masih mungkin dilakukan dengan pengaruh baik dari institusi. 3.1.2 Institusi dalam Neoliberal Institusionalisme Dengan penjelasan yang diberikan di atas, kita dapat melihat bahwa pemikiran Neoliberalisme mengambil posisi yang sama dengan Neorealisme tentang posisi penting dari negara sebagai unit analisis, dan kebijakankebijakannya yang diasumsikan akan memilih kebijakan yang paling rasional baginya. Namun yang berbeda dengan Realisme, Neoliberalisme berargumentasi bahwa berpikir secara rasional tidak sama dengan berpikiran egoistis.83 Menurut Neoliberalisme, berpikir rasional tidak selalu menghasilkan pola hubungan konfliktual, karena kerjasama mungkin saja terjadi terutama ketika terdapat adanya kepentingan bersama antara dua negara. Salah satu unsur utama yang dapat membantu dalam kerjasama tersebut, menurut Neoliberalisme, adalah dengan adanya institusi yang terbentuk antara
81
Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (New Jersey: Princeton University Press, 1984), 54. 82 Sterling-Folker, “Neoliberalism,” 123. 83 Keohane, After Hegemony, 73. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
48
aktor-aktor yang bekerjasama. Institusi, atau sering kali digunakan pula istilah rezim, didefinisikan sebagai: “Sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of facts, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices for maing and implementing collecive choice”.84 Berangkat dari definisi di atas, Robert O. Keohane menjelaskan mengenai insentif apa yang menyebabkan dua atau lebih aktor untuk memilih bekerjasama melalui pembentukan institusi di dalamnya. Untuk menjelaskannya, Keohane menggunakan ‘functional arguments’. Functional arguments merupakan cara berpikir yang melihat sesuatu dari efek yang diharapkan akan diberikan olehnya. Berkaitan dengan institusi, Keohane menjelaskan bahwa sebuah institusi dapat dijustifikasi dengan melihat ekspektasi keuntungan yang akan didapatkan oleh aktor aktor yang membuat dan mempertahankan institusi tersebut. Keberadaan institusi diharapkan mampu memberikan kemakmuran lebih kepada aktoraktornya. Keohane
kemudian
menjelaskan
mengenai
ekspektasi
menggunakan functional argument menganalisa Teorema Coase
tersebut 85
, yang
menghasilkan bahwa insentif negara untuk membentuk institusi dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu legal liability (property rights), transactional cost, dan uncertainty and information. a. Legal liability Aspek pertama yaitu legal liability. Aspek ini berkaitan dengan institusi internasional yang mampu merubah aksi yang diambil negara agar sesuai dengan tujuan bersama dan mampu menghasilkan konvergensi yang 84
Ibid., 57 Teorema Coase merupakan hasil pengembangan dari artikel yang dikeluarkan oleh Ronald Coase yang membahas mengenai eksternalitas dan kerjasama antara aktor. Teorema Koase berargumentasi bahwa adanya eksternalitas saja tidak menjamin terhambatnya koordinasi antara aktor aktor yang memiliki independensi. Dalam beberapa kondisi, menutur Coase, negosiasi antara aktor aktor tersebut dapat menghasilkan solusi yang menghasilkan keuntungan maksimal bagi aktor aktor tersebut, biarpun tidak adanya paksaan hukum terhadap aktor tersebut. Implementasi dari Teorema Coase ini digunakan dalam membahas mengenai hubungan internasional, di mana tidak ada entitas supra nasional yang dapat mengikat negara seperti negara mengikat masyarakat. 85
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
49
diinginkan dalam kerjasama tersebut. Keohane menyadari bahwa dengan sistem internasional yang bersifat anarki, maka institusi internasional tidak akan memiliki status formal seperti yang dimiliki oleh hukum di dalam level domestik. Tetapi, seperti apa yang dijelaskan oleh Fellner, institusi internasional didefinisikan lebih sebagai sebuah ‘quasi-agreements’. Sifat dari quasi-agreements ini tidak mengikat secara hukum, tetapi membantu untuk mengorganisasikan hubungan yang terjadi agar dapat saling menguntungkan. Institusi juga dapat mengandung konvensi, di mana terdapat practices yang diikuti oleh semua negara. Dengan demikian, aspek ini berkaitan dengan penciptaan sebuah ekspektasi dari semua aktor dalam institusi terhadap pola perilaku tiap aktor lainya, dan menciptakan hubungan kerjasama sehingga aktor-aktor tersebut dapat beradaptasi terhadap situasi-situasi baru. b. Transaction Cost Terkait dengan aspek transaction cost, institusi internasional diharapkan dapat mendatangkan beberapa manfaat. Pertama, institusi internasional dapat memberikan insentif lebih besar kepada negara untuk tidak melaksanakan defection. Hal ini karena keterlibatan sebuah negara dalam institusi membuat negara tersebut terlibat dalam kerjasama yang bersifat jangka panjang dan dalam beberapa isu, sehingga dorongan untuk melaksanakan defection dari keuntungan jangka pendek dapat dikalahkan dengan beratnya implikasi jangka panjang jika sebuah negara melakukan defection. Kedua, transaction cost bagi negara-negara di dalam sebuah institusi akan semakin berkurang, karena akan menjadi semakin mudah bagi negara untuk duduk bersama dan menegosiasikan sebuah perjanjian. Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu unsur penting dari institusi adalah prinsip yang dikandungnya. Dengan keberadaan institusi yang telah terbentuk, aktor-aktor yang ingin menegosiasikan perjanjian baru tidak perlu menegosiasikan prinsip tersebut kembali, dan cukup mengambilnya dari institusi yang telah tercipta.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
50
c. Uncertainty and Information Aspek terakhir adalah uncertainty and information dalam pembentukan institusi internasional. Mengambil penjelasan yang diberikan oleh Teorema Coase, kondisi internasional di mana tidak adanya institusi menyebabkan terjadinya kurangnya distribusi informasi terhadap aktoraktor,
dan
hal
ini
menyebabkan
terciptanya
kerjasama
yang
menguntungkan bagi kedua pihak menjadi tidak dapat tercapai. Fungsi institusi adalah memperbaiki kondisi ini, dengan koordinasi kebijakan yang terjadi, sehinggga aktor-aktor akan terdorong untuk membuka informasi dan preferensinya terhadap suatu hal. Keohane juga menjelaskan mengenai tiga hal yang menyebabkan uncertainty di dalam dunia internasional terjadi, bahkan di dalam sebuah institusi internasional yang telah terbentuk. Pertama, adanya kondisi asimetris dalam pembagian informasi. Keohane menjelaskan bahwa adanya rezim memang membuka kesempatan bagi negara yang menjadi anggota institusi tersebut untuk membuka preferensi dan intensinya dengan negara lain, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan tetap terciptanya kondisi asimetris, karena terdapat perbedaan bagi setiap negara dalam keinginannya untuk membuka intensi dan preferensinya tersebut. Kedua, terdapat moral hazard, di mana Keohane menjelaskan bahwa dalam sebuah kerjasama, perubahan yang terjadi mungkin saja memberikan insentif kepada perilaku yang sifatnya tidak kooperatif. Ketiga, terdapat juga permasalahan dengan irresponsibility, yaitu aktoraktor yang tidak mampu menjalankan komitmen dalam institusi yang mereka ikuti.86 3.2 Kebijakan Ekonomi Taiwan di Bawah Presiden Ma: Institusionalisasi dan Penandatanganan ECFA Presiden Ma Ying-jeou menaiki kursi kepresidenan di tengah kondisi ekonomi yang semakin memburuk di bawah Presiden Chen Shui-bian. Presiden Chen Shui-bian mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang menekan 86
Ibid., 88-96. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
51
hubungan ekonomi antara Taiwan dengan Cina. Presiden Chen pada masa awal pemerintahannya membiarkan hubungan ekonomi antar kedua negara untuk terus berkembang. Hanya saja, seiring dengan semakin nyatanya intensi Chen untuk mendorong Taiwan pada independensi, beberapa kebijakan Presiden Chen akhirnya menekan hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina. Contohnya adalah saat Presiden Chen mengimplementasikan kebijakan “Active Management, Effective
Opening”,
yang
memaksa
investor-investor
Taiwan
untuk
mendiversifikasi tujuan investasi selain dari Cina.87 Tekanan yang diberikan oleh masyarakat agar pemerintahan Taiwan memperbaiki hubungan dengan Cina berujung dengan dilantiknya Presiden Ma Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan pada pemilihan umum di Taiwan pada tahun 2008. Presiden Ma Ying-jeou pada masa kampanyenya telah menjanjikan adanya normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina serta kebijakan yang akan memperkuat hubungan ekonomi antara keduanya. 88 Salah satu proposal yang diajukan Ma untuk memperbaiki kondisi ekonomi tersebut adalah melalui penandatanganan kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan, yang kemudian dikenal sebagai Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Subbab ini akan menjelaskan mengenai pembentukan ECFA dan 4 elemen dari institusi seperti yang dijelaskan oleh Keohane, yaitu principle, norms, rules, dan decisionmaking. 3.2.1 Proses Negosiasi ECFA Ketika Presiden Ma Ying-jeou terpilih pada tahun 2008, Presiden Ma Ying-jeou merealisasikan janjinya untuk memperbaiki hubungan dengan Cina. Salah satu hal paling penting yang dilaksanakannya adalah mengadopsi kembali Konsensus 1992, yang menjadi prinsip dasar kerjasama kedua pihak sebelum terjadi ketegangan antara keduanya. Dengan kebijakan Ma untuk mengadopsi konsensus tersebut, maka kerjasama dan komunikasi antara keduanya dapat dimulai kembali. Hal ini terwujud dengan dimulainya kembali pertemuan antara 87
Chiu Yut-zu, “Chen to Tighten Cross-Strait Policies,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 2 Januari 2006, diakses 1 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016. 88 Mo Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Ying-jeou,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 23 Maret 2008, diakses 2 Juni 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
52
Straits Exchange Foundation (SEF) yang mewakili Taiwan dan Association for Relations Across the Taiwan Strait (ARATS) yang mewakili Beijing.89 Terbukanya kembali kerjasama dan dialog antara Cina dan Taiwan akan menjadi bagian penting dari dibentuknya ECFA. Satu tahun berlalu sejak dialog antara SEF dan ARATS dimulai kembali, pada tahun 2009 bulan Desember dimulailah pembicaraan antara SEF dan ARATS tentang pembentukan ECFA pada Pertemuan Chiang-Chen yang keempat.90 Pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk membahas lebih lanjut mengenai pembuatan ECFA pun terus berlanjut. Terdapat 5 ronde negosiasi yang dilakukan antara SEF dan ARATS sebelum pada akhirnya tercapailah kesepakatan untuk penandatanganan perjanjian ECFA. SEF yang mewakili Taiwan dipimpin oleh Chiang Pin-kung dan ARATS yang mewakili Cina dipimpin oleh Chen Yunlin menjadi perwakilan kedua belah pihak untuk meresmikan perjanjian tersebut pada bulan Juni 2010.91 Proses negosiasi pembentukan ECFA memang sangat cepat, yaitu hanya dalam rentang waktu 6 bulan dan melalui 5 negosiasi saja. Tetapi, proses pembicaraan antara kedua pihak untuk membentuk kerjasama ekonomi secara terinstitusionalisasi sebenarnya telah terbentuk sejak tahun 1991. Telah terjadi 37 kali pertemuan antara SEF dan ARATS dalam membicarakan mengenai kerjasama ekonomi antara Taiwan dan Cina, sebelum akhirnya negosiasi tersebut ‘dibekukan’ akibat memanasnya hubungan Taiwan dan Cina.92
3.2.2 ECFA dan 4 Elemen Institusi Keohane Dengan penandatanganan ECFA, Taiwan dan Cina memasuki sebuah masa baru dalam kerjasama ekonomi antara kedua negara ini. ECFA menjadi puncak dari momentum membaiknya kerjasama antara Taiwan dan Cina, sesuatu 89
Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 36, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531. 90 The China Post, “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks,” terakhir dimodifikasi pada 18 November 2009, diakses 1 Juni 2013, http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwanrelations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm. 91 The China Post, “ECFA Signed,” terakhir dimodifikasi pada 30 Juni 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwan-relations/2010/06/30/262692/ECFAsigned.htm. 92 Y.C. George Lin, “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan,” (makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19 Maret 2011), 4. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
53
yang diinisiasi oleh pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Ma, didukung oleh rakyat Taiwan, dan mendapat respon positif dari pemerintahan Cina. Bagian ini akan membahas mengenai ECFA sebagai sebuah institusi internasional dan mencoba menganalisa 4 elemen dari ECFA sebagai sebuah institusi internasional, sesuai dengan definisi dari Robert Keohane yang digunakan dalam makalah ini. Sebagai sebuah perjanjian, ECFA didefinisikan sebagai kerangka kerjasama antara pihak Taiwan dan Cina untuk mencapai liberalisasi ekonomi yang diinginkan sehingga kerjasama antara kedua pihak akan semakin meningkat. Karakteristik dari perjanjian semacam ini, menurut Pemerintah Taiwan, adalah memberikan aturan yang jelas antara pihak-pihak di dalamnya ketika membuat perjanjian kerjasama ekonomi di depannya. ECFA juga akan memberikan target dan rentang jangka waktu, dan hal-hal tersebut akan dilaksanakan secara bertahap. Melalui ECFA, masalah-masalah penting dapat diselesaikan terlebih dahulu, menyelesaikan masalah yang simpel terlebih dahulu dibandingkan masalah kompleks, dan oleh karenanya cocok untuk digunakan di dalam konteks hubungan kerjasama yang rumit antara Taiwan dan Cina.93 ECFA terdiri dari 5 bab yang terbagi kembali menjadi 16 pasal di dalamnya. Bab pertama menjelaskan mengenai prinsip-prinsip dasar dari perjanjian ECFA, yaitu terdiri dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh ECFA, serta bentuk-bentuk kerjasama yang ingin dicapai dalam ECFA ini. Bab kedua terkait dengan perdagangan dan investasi. Bab ini menjabarkan mengenai kesepakatan-kesepakatan yang dicapai oleh Taiwan dan Cina terkait dengan perdagangan barang, jasa, dan investasi antara kedua negara. Secara umum, pasalpasal pada bab ini menjelaskan mengenai perlunya konsultasi antara kedua belah pihak untuk mengurangi hambatan-hambatan untuk barang, jasa, dan investasi untuk mengalir bagi kedua belah pihak. Bab ketiga menjelaskan mengenai kerjasama-kerjasama ekonomi lainnya yang dapat dilaksanakan antara kedua belah pihak, seperti kerjasama di bidang hak kekayaan intelektual, kerjasama finansial, promosi dan fasilitasi perdagangan, kerjasama di bidang e-commerce, dan lain-lainnya. Bab 4 menjelaskan secara spesifik mengenai Early Harvest di 93
Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement: Policy Explanation, (Taipei: Mainland Affairs Council, 2009), http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf, 5. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
54
dalam perjanjian ECFA. Early Harvest ini program di dalam ECFA di mana kedua negara akan mengurangi hambatan-hambatan, baik tarif maupun non-tarif, kepada barang dan jasa untuk dapat memasuki baik Taiwan ataupun Cina. Early Harvest ini akan diterapkan kepada 539 pos barang-barang ekspor Taiwan yang akan memasuki Cina, dan 267 barang-barang ekspor Cina yang akan memasuki Taiwan. Pengurangan tarif yang akan diberikan berbeda dan bertahap, bergantung dari tarif awal ketika ECFA belum berjalan (lihat tabel di bawah). Bab terakhir dari ECFA memberikan penjelasan mengenai hal-hal lain dalam perjanjian ini, seperti
mengenai
penyelesaian
pertikaian,
pembentukan
komite
ECFA,
dokumentasi, dan lain-lain.94 Tabel 3.2.2.1 Skema Pengurangan Tarif dalam Program Early Harvest ECFA Angka Tarif berdasarkan perjanjian Tarif Impor pada tahun 2009 (X%)
Tahun Pertama
Tahun Kedua
Tahun Ketiga
Implementasi
Implementasi
Implementasi
Program Early
Program Early
Program Early
Harvest
Harvest
Harvest
1
0 <X≤ 2,5
0
2
2,5 ≤X≤ 7,5
2,5
0
3
X> 7,5
5
2,5
0
Sumber: Annex 1 Economic Cooperation Framework Agreement
Dari penjelasan di atas, kita dapat menganalisa ECFA sebagai sebuah institusi internasional dari 4 elemen yang telah dijelaskan oleh Robert Keohane. Aspek pertama dari institusi adalah prinsip-prinsip. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ECFA memiliki prinsip-prinsip yang cukup jelas. Sebagai anggota dari WTO, Cina dan Taiwan akan mengikuti prinsip-prinsip untuk secara bertahap mengurangi hambatan tarif dan non-tarif, meningkatkan investasi dan perdagangan, sehingga liberalisasi perdagangan antara kedua negara dapat
94
disadur dari teks lengkap ECFA. ECFA, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement, http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
55
tercapai.95 Prinsip ini memiliki arti penting, karena ECFA merupakan sebuah perjanjian yang bersifat kerangka kerjasama, di mana ECFA akan menjadi patokan bagi kerjasama-kerjasama di masa depannya. Elemen kedua di dalam sebuah institusi menurut Keohane adalah normanorma di dalamnya, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban bagi anggota dalam institusi. Norma yang terdapat dalam ECFA menghasilkan beberapa kewajiban. Kewajiban tersebut terlihat dari kewajiban baik Taiwan dan Cina untuk melaksanakan liberalisasi-liberalisasi bagi pos-pos yang disetujui. Lebih lanjut lagi, norma yang digunakan di dalam perjanjian ini menurut Taiwan akan dijalankan dengan menghargai kesamaan hak, penghormatan terhadap harga diri negara, dan berbasis pada fairness.96 Hak-hak yang diatur bagi Taiwan dan Cina digambarkan pada bab 5 di perjanjian ECFA, yang menggambarkan hak-hak seperti memberikan pengecualian-pengecualian untuk liberalisasi barang-barang yang dirasa masih belum cukup kuat jika hambatan dikeluarkan.97 Elemen ketiga sebuah institusi menurut Keohane adalah peraturanperaturan spesifik yang mengatur kebijakan yang diperbolehkan dan dilarang bagi anggota institusi berkaitan. Terkait dengan elemen ini, penulis melihat bahwa setidaknya ECFA memberikan ketentuan yang bersifat spesifik pada program Early Harvest yang ada di dalamnya. Pada program tersebut dijelaskan secara spesifik mengenai pos-pos barang apa saja yang akan dikurangi tarifnya, dan mekanisme pengurangan tarifnya pun dijelaskan secara rinci.98 Elemen keempat yang ada di dalam sebuah institusi adalah keberadaan decision-making process antara anggota-anggota di dalamnya. Untuk memenuhi elemen ini, ECFA memiliki dua jenis proses pembentukan kebijakan yang akan diteruskan dari ECFA ini. Pertama, ECFA menetapkan keberadaan konsultasikonsultasi antara Taiwan dan Cina terkait dengan kerjasama-kerjasama ekonomi yang akan menggunakan kerangka ECFA ini. Hal ini akan dilaksanakan di dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya dari SEF dan ARATS. Kedua, dibentuk juga sebuah komite ECFA. Tugas komite ECFA ini terdiri dari pengawasan terhadap 95
Ibid., bab 1. “ECFA Background,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodikasi pada 21 April 2010, diakses 21 Mei 2013, http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf. 97 ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, 98 Ibid., Bab 4, Annex 1 ECFA. 96
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
56
ECFA, interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam ECFA, dan juga menyelesaikan pertikaian apabila terjadi.99 Bagian di atas telah menjelaskan bagaimana ECFA memenuhi 4 elemenelemen yang harus dimiliki oleh sebuah institusi internasional. Sifat dari ECFA yang hanya merupakan sebuah kerangka kerjasama menjadikan ECFA tidak menfokuskan pada peraturan yang sifatnya spesifik. Tetapi, hal ini diimbangi dengan peran lebih berat yang dimiliki ECFA sebagai pembuka dari kerjasamakerjasama ekonomi ke depannya bagi Taiwan dan Cina, di mana prinsip-prinsip dari kerjasama tersebut sudah diletakkan di dalam ECFA.
3.3 Dasar Eksistensi ECFA: Anticipated Gain dari Perspektif Taiwan Subbab selanjutnya pada bab ini akan menjelaskan mengenai justifikasi pembentukan ECFA. Pertama, penulis akan menjelaskan mengenai alasan-alasan pembentukan ECFA. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Keohane, pembentukan sebuah institusi internasional merupakan efek dari adanya antisipasi terhadap keuntungan-keuntungan yang dapat diberikan oleh institusi tersebut. Tiga hal yang disebutkan oleh Keohane sebagai keuntungan yang diantisipasi tersebut adalah legal liability, pengurangan terhadap biaya transaksi, dan menghilangkan ketidakpastian dan asimetri informasi. Di
dalam
perspektif
Neoliberal
Institusionalisme,
negara-negara
diasumsikan memiliki karakteristik yang sama seperti yang diasumsikan oleh Realisme, di mana negara merupakan aktor rasional yang akan memikirkan mengenai kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain. Berbeda dengan Realisme yang bersikap pesimis terhadap dunia yang diisi oleh aktor negara tersebut, Neoliberal Institusionalisme percaya akan pengaruh yang diberikan oleh institusi dalam membuat hubungan antar negara menjadi tidak konfliktual. Di bawah ini, penulis akan menjelaskan dampak-dampak yang diberikan oleh ECFA dalam hubungan Taiwan dan Cina sebagai sebuah institusi sesuai dengan tiga anticipated gain menurut Keohane.
99
Ibid., Bab 5, Pasal 11. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
57
3.3.1 Legal Liability Keuntungan pertama yang diberikan oleh Keohane terkait dengan legal liability yang diberikan oleh institusi. Seperti yang dijelaskan Keohane, hal ini berkaitan dengan hak dan kewajiban yang dibentuk oleh institusi berkaitan, dan juga oleh common practices yang tercipta dalam institusi. Hak dan kewajiban serta common practices kemudian akan membentuk ekspektasi mengenai hubungan masa depan bagi kedua anggota institusi tersebut. Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa ekspektasi akan kerjasama yang berkelanjutan menjadi kata kunci. Hal ini menurut penulis terjadi di ECFA, di mana Taiwan memiliki beberapa tujuan nyata mengapa Taiwan memilih untuk memperkuat kerjasama dengan Cina melalui institusi ECFA. Pertama, Taiwan mengharapkan adanya normalisasi hubungan antara Taiwan dan Cina, khususnya di bidang ekonomi.100 Secara ekonomi, institusionalisasi dari status quo kerjasama ekonomi antara Cina dan Taiwan merupakan hal yang diinginkan oleh Taiwan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Cina dan Taiwan memiliki hubungan ekonomi yang telah terbangun secara mendalam, baik di segi investasi maupun perdagangan. Dari segi perdagangan, misalnya, perdagangan antara Cina dan Taiwan sudah bertahun-tahun menjadi sumber satu-satunya surplus neraca perdagangan bagi Taiwan. Neraca perdagangan Taiwan dengan negara-negara lain secara total menghasilkan angka defisit, dan hanya karena adanya hubungan perdagangan Cina dan Taiwanlah yang menyebabkan angka tersebut menjadi surplus bagi Taiwan. Kondisi ini tentu menjadi amat penting bagi Taiwan untuk dipertahankan, karena hubungan kerjasama tersebut menguntungkan bagi Taiwan di mana nilai ekspor memegang perananan yang amat penting bagi Taiwan. ECFA diharapkan mampu mempertahankan nilai kompetitif dari barang-barang Taiwan di pasar Cina, terutama saat Cina tengah meningkatkan jumlah perjanjian perdagangan bebas dengan negara atau wilayah lain, seperti dengan ASEAN.101 Menurut perhitungan dari Mainland Affairs Council (MAC), ECFA diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan Taiwan sebanyak 1,65%-1,72%.102
100
Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 2-4. Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 8. 102 Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 4. 101
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
58
Realisasi dari ekspektasi di atas terlihat pada perkembangan nilai total perdagangan antara Cina dan Taiwan pada tahun 2010 meningkat sebanyak 36% dibandingkan pada tahun sebelumnya.103 Pada tahun 2010, peningkatan ekspor tersebut hanya mencapai nilai 9%, dan yang mengkhawatirkan adalah, impor Taiwan dari Cina meningkat mencapai 30%. 104 Sementara pada tahun 2012, ekspor Taiwan meningkat sebanyak 5,8%, sementara impor Taiwan dari Cina meningkat sebanyak 4,8%. 105 Jika kita melihat data di atas, terlihat memang bahwa ekspor Taiwan ke Cina sebenarnya menurun. Tetapi, ada beberapa hal yang menurut penulis patut diperhatikan. Pertama, ekspor Taiwan ke Cina merupakan bagian dari rantai produksi perusahaan-perusahaan Taiwan yang berinvestasi di Cina, di mana kebanyakan perusahaan tersebut bergantung dari permintaan yang datang dari Amerika Serikat dan wilayah Eropa. Permasalahan ekonomi global yang muncul, serta permasalahan ekonomi yang juga terjadi secara regional di wilayah Eropa, ikut memberikan dampak kepada nilai ekspor Taiwan yang terkesan menurun. Hal lain yang amat diharapkan dari Taiwan adalah keberadaaan ECFA yang mampu membuat Taiwan tidak semakin tertinggal dengan tren perdagangan bebas antar negara-negara di dunia. Sebelum ECFA, Taiwan sulit untuk menciptakan perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain, karena pengaruh dari tekanan yang diberikan oleh Cina kepada negara-negara lain di dunia. Tercatat pada 2008 Taiwan hanya memiliki kerjasama perdagangan bebas dengan beberapa negara kecil di Amerika Tengah. 106 Kondisi ini diharapkan akan membaik dengan ditandatangannya ECFA antara Cina dan Taiwan. Berdasarkan beberapa studi yang telah dilaksanakan, seperti oleh American Chamber of Commerce, Japanese Chamber of Commerce, dan European Chamber of Commerce, semua menyatakan bahwa perjanjian ECFA akan membuka jalan 103
Dong Wang, “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,” China Brief 12, no. 1 (2012), diakses 1 Juni 2013, http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855. 104 “Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011,” Mainland Affairs Council, diakses 12 Mei 2013. http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf. 105 “Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs,” Taipei Mission in The Republic of Latvia, terakhir dimodifikasi pada 18 Januari 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.roc-taiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507. 106 Chiang Min-Hua, “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political Economy,” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 693, diakses 2 Juni 2013, http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
59
terhadap negosiasi pembentukan FTA dengan negara-negara tersebut, yang merupakan rekan dagang utama Taiwan selain Cina.107 Terkait dengan ekspektasi ini, hasil yang didapatkan belum seperti yang diinginkan oleh Taiwan. Taiwan memang telah membuka pembicaraan dengan beberapa negara, dan beberapa negara pun telah menunjukkan ketertarikannya untuk memiliki hubungan FTA dengan Taiwan. Di antara negara tersebut antara lain adalah India, Indonesia, Filipina dan Singapura. Namun sampai pada tahun 2012, kemajuan di aspek ini berjalan di tempat karena Taiwan tidak berhasil menciptakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Hanya saja pada tahun 2013, dua negara akan segara menandatangani kerjasama FTA dengan Taiwan, yaitu Singapura dan New Zealand. 108 Hal ini tentu menunjukkan tren yang menjanjikan bagi Taiwan, meskipun perkembangan lebih lanjut harus ditunggu untuk pelaksanaan FTA antara Taiwan dengan negara lain.
3.3.2 Transaction Cost Keuntungan lain yang dapat diharapkan dari adanya sebuah institusi internasional adalah transaction cost yang akan semakin menurun antara negaranegara yang berpartisipasi. Secara simpel, Keohane menjelaskan bahwa institusi internasional akan menyebabkan frekuensi pertemuan antara anggota institusi menjadi meningkat. Terkait dengan hal ini, kita dapat melihat bahwa Taiwan dan Cina akan memiliki pertemuan rutin yang semakin meningkat dengan adanya ECFA. Konsultasi dan pertemuan akan semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan antara kedua negara. Lebih lanjut lagi, Robert Keohane menuliskan bahwa menurunnya transaction cost akan sangat berhubungan dengan meningkatnya linkages (penghubungan) antara isu-isu terkait. Dalam melihat linkages dalam ECFA, dapat terlihat bahwa ECFA akan menjadi penghubung utama antara Cina dan Taiwan dengan kerjasama ekonomi di bidang lain di masa depan. ECFA memang hanya mengandung klausa yang spesifik terkait dengan early harvest, namun 107
Mainland Affairs Council, “ECFA Background,” 5. Joseph Yeh, “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed, Signings Expected,” The China Post, 18 Mei 2013, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreignaffairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm. 108
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
60
ECFA juga membuka untuk kerjasama lebih lanjut di berbagai bidang, seperti bidang keuangan dan e-commerce.109 Taiwan juga mengharapkan ECFA untuk menjadi pendorong bagi pembicaraan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang saat itu masih dihadapi dalam hubungan ekonomi kedua negara, seperti masalah pengaturan investasi yang saat itu belum memiliki aturan resmi.110 Hasil dari ekspektasi pada aspek ini dapat terlihat pada pertemuan secara rutin yang dilaksanakan antara SEF dan ARATS sejak ditandatanganinya ECFA pada tahun 2010. Pada tahun 2010, pertemuan antara SEF dan ARATS dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan terkait dengan hukum untuk melindungi investasi kedua negara. Namun pada pertemuan tersebut, kesepakatan antara Taiwan dan Cina tidak tercapai. 111 Pada tahun 2011, pertemuan antara SEF dan ARATS menghasilkan kemajuan dalam isu perlindungan terhadap investasi, di mana kedua belah pihak telah mencapai sebuah opini yang seragam. Pertemuan SEF dan ARATS pada tahun 2011 tersebut juga menghasilkan konsensus terkait dengan prospek, tujuan, dan area awal di dalam kerjasama industri antara Taiwan dan Cina.112 Pada tahun 2012, SEF dan ARATS mampu melahirkan dua kerjasama lanjutan dari ECFA, yaitu Perjanjian Perlindungan dan Promosi Investasi Antar-selat dan Perjanjian Kerjasama Bea Cukai Antar-Selat. 113 Penjelasan di atas dapat menjelaskan bagaimana hubungan institusional antara Cina dan Taiwan terus meningkat, dibantu oleh ECFA yang mengurangi transactional cost antara kedua pihak.
109
ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, bab 3. Mainland Affairs Council, ECFA Policy Explanation, 9. 111 “Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 21 Desember 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205. 112 “The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful Results,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 20 Oktober 2011, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118. 113 “Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign the ‘Crossstrait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the ‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the Investment Protection Agreement,” Mainland Affairs Council, terakhir dimodifikasi pada 15 Agustus 2012, diakses 5 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181. 110
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
61
3.3.3 Uncertainty and Information Sebagai salah satu masalah paling penting yang menghambat negara untuk melaksanakan kerjasama, masalah distribusi informasi dan kejelasan mengenai preferensi negara lain dijelaskan oleh faktor-faktor yang mungkin menghambat munculnya kepercayaan antara negara tersebut, yaitu adanya asimetri dalam pendistribusian informasi, moral hazard, serta masalah negara-negara yang mungkin bersifat tidak bertanggung jawab dan menghentikan kerjasama. Selain itu, masalah informasi dan preferensi ini sangat bergantung dengan koordinasi kebijakan antara negara. Frekuensi pertemuan yang meningkat antar negara secara langsung akan meningkatkan koordinasi kebijakan dari negara-negara anggota institusi. Seperti yang dijelaskan di atas, ECFA diharapkan akan meningkatkan frekuensi pertemuan antara Cina dan Taiwan melalui pertemuan SEF dan ARATS, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk membicarakan mengenai kerjasama-kerjasama ekonomi ke depannya. ECFA dengan demikian menjadi wadah bagi Cina dan Taiwan untuk melaksanakan lebih banyak koordinasi kebijakan. Namun, dalam aspek informasi dan uncertainty ini masih terdapat satu kelemahan. Di dalam ECFA terdapat salah satu pasal yang memperbolehkan salah satu pihak untuk dapat membatalkan perjanjian ini secara unilateral.114 Hal ini tentu bermasalah karena membuka kemungkinan bagi Taiwan ataupun Cina untuk menjadi aktor yang tidak bertanggung jawab dan membatalkan kerjasama. Hal ini, menurut penulis, menjadi salah satu kekurangan dari ECFA secara institusional.
3.4 Faktor Domestik Dalam Pengambilan Kebijakan Institusionalisasi Hubungan Ekonomi Taiwan-Cina melalui ECFA Subbab di atas telah menjelaskan faktor-faktor di level eksternal yang menjadi insentif bagi Presiden Ma Ying-jeou untuk mendorong kebijakan institusionalisasi hubungan ekonomi kedua negara melalui pembentukan ECFA. Subbab ini selanjutnya akan membahas mengenai bagaimana kejadian-kejadian di level internal mempengaruhi institusionalisasi tersebut. Keberadaan faktor
114
ECFA, Economic Cooperation Framework Agreement, pasal 16. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
62
dukungan publik, tekanan dari kelompok bisnis di Taiwan, dan debat dalam negeri di Taiwan antara KMT dan DPP akan dibahas di dalam subbab ini. Pertama, terkait dengan dukungan publik, Presiden Ma Ying-jeou menikmati besarnya dukungan publik bagi perbaikan hubungan di bidang ekonomi dengan Cina. Seperti yang telah dijelaskan oleh grafik pada bab sebelumnya, menjelang pemilu pada tahun 2008, mayoritas dari penduduk Taiwan telah melihat perlunya sebuah perbaikan dalam hubungan ekonomi antar-selat kedua negara. Angka-angka pada tahun 2007 menunjukkan tingkat dukungan yang sangat tinggi, di mana 70% masyarakat umum setuju untuk memperbaiki hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina, dan di antaranya, pendukung PanBlue di Taiwan mencapai 90% yang mendukung kebijakan tersebut. 115 Dari angka-angka di atas, kita dapat melihat bagaimana dukungan publik yang kuat, yang dibutuhkan dalam sebuah negara demokrasi dalam menciptakan dan menjalankan kebijakan luar negerinya, telah dimiliki oleh Presiden Ma sehingga dia dapat menjalankan kebijakannya untuk memperbaiki hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina. Selanjutnya, juga sebagai negara demokrasi, salah satu unsur penting dalam penentuan kebijakan luar negeri adalah adanya tekanan-tekanan yang datang dari kelompok kepentingan. Dalam hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina, kelompok pebisnis memegang peranan penting karena kepentingan mereka untuk menjaga hubungan ekonomi yang stabil antara Taiwan dan Cina. Penjelasan faktor apa yang menyebabkan banyaknya pebisnis dari Taiwan yang bersikeras untuk mendatangi Cina terlihat dari penjelasan terhadap istilah ‘guanxi’. 116 Guanxi adalah kondisi kesamaan budaya dan kultur antara orang Taiwan dan orang Cina, seperti bahasa, edukasi, budaya tradisional, di mana kesamaan budaya dan kultur tersebut kemudian dimanipulasi untuk membentuk aktivitas bisnis yang lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Presiden Chen dengan berbagai kebijakannya mencoba untuk menahan laju hubungan ekonomi antara 115
Chu Yun-han, “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for Taipei,” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 79, diakses 8 Juli 2013, http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf. 116 Gordon C.K. Cheung, “New Approaches to Cross-Strait Integration and its Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?,” Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 17, diakses 8 Juli 2013, http://journals.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/199. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
63
Taiwan dan Cina. Salah satu yang dilaksanakannya adalah mencoba untuk mengurangi jumlah investasi dari Taiwan untuk masuk ke arah Cina, dan menurutnya harus dilaksanakan diversifikasi ke wilayah lain seperti ke Asia Tenggara. Kondisi ini tentu menjadikan para pebisnis asal Taiwan tersebut frustasi, karena adanya guanxi di Cina yang terbentuk antara pebisnis Taiwan dan Cina membuat investasi ke Cina menjadi lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan banyaknya pebisnis-pebisnis yang mencoba mencari jalan untuk menghindari batas investasi yang dikeluarkan oleh Presiden Chen.117 Rasa frustasi tersebut menjadi salah satu pendukung kebijakan Presiden Ma untuk memperbaiki hubungan ekonomi antara Taiwan dan Cina melalui institusionalisasi dan ECFA. Unsur domestik ketiga yang dapat diperhatikan adalah keberadaan perdebatan dalam negeri di Taiwan terkait dengan ECFA, terutama antara KMT yang merupakan partai pemerintah dan DPP yang merupakan partai oposisi. Perdebatan yang terjadi cukup memanas, terutama ketika kubu oposisi menolak liberalisasi perdagangan dengan Cina yang semakin dalam dengan ECFA, yang dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk pada Taiwan dari segi ekonomi (bertambahnya
pengangguran)
dan
politik
(hilangnya
kedaulatan).
118
Berkurangnya lapangan pekerjaan merupakan sebuah fenomena yang dikenal sebagai hollowing out, di mana investasi terlalu banyak mengalir ke luar dan pada akhirnya tidak mampu mendorong industri lokal, sementara hilangnya kedaulatan berkaitan dengan dependensi yang dinilai akan semakin besar jika Taiwan dan Cina semakin mengintegrasikan ekonominya. Namun, biarpun telah diberikan paparan negatif terkait ECFA tersebut, pandangan masyarakat terhadap kerjasama ECFA tetap bersifat positif, di mana sebanyak 46,2% masyarakat melihat ECFA sesuatu yang positif, mengalahkan orang orang yang berpikir negatif yang berjumlah 35%.119 Sebagai kesimpulan, kebijakan ekonomi Presiden Ma Ying-jeou dalam periode
pertama
kepemimpinannya
mengarahkan
Taiwan
terhadap
institusionalisasi yang lebih mendalam dalam kerjasama dengan Cina melalui
117
Chu, “Rapprochement in the Taiwan Strait,” 77. Xie Yu, “Taiwan Parties Clash over ECFA”, China Daily, terakhir dimodifikasi pada 26 April 2010, diakses 1 Juni 2013, http://www.chinadaily.com.cn/china/2010-04/26/content_9772390.htm. 119 Ibid. 118
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
64
ECFA. Memang hubungan ekonomi Taiwan dan Cina telah berjalan dan berkembang sebelum ECFA dilaksanakan. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Neoliberal Institusionalisme, institusi ECFA memiliki peran untuk memberikan ekspektasi kepada kedua negara untuk interaksi yang terus terjaga di masa depan, di mana interaksi tersebut memegang peranan penting untuk menjaga agar hubungan baik dapat terus berlanjut antara Taiwan dengan Cina. ECFA memang memiliki beberapa kelemahan, misalnya dengan adanya klausul pembatalan ECFA secara sepihak dalam ECFA, tetapi dengan adanya keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi oleh kedua belah pihak, terutama oleh Taiwan, maka institusionalisasi kerjasama ekonomi melalui ECFA merupakan kebijakan ekonomi yang rasional dari sisi Presiden Ma Ying-jeou. Dari sisi domestik sendiri, kondisi yang ada bagi Presiden Ma Ying-jeou sangat kondusif untuk melancarkan kebijakan institusionalisasi hubungan kerjasama melalui ECFA ini. Hal ini terlihat dengan adanya dukungan yang kuat dari publik, tekanan dari kalangan pebisnis Taiwan, dan kemenangan KMT dari DPP dalam debat-debat terkait ECFA ini. Faktor-faktor domestik itu jika dilihat lebih dalam, lahir atas dasar dorongan faktor-faktor eksternal yang telah dijelaskan di atas, yaitu insentifinsentif besar dari ECFA yang menjanjikan keuntungan besar dalam stabilnya hubungan ekonomi Taiwan dan Cina melalui ECFA.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
BAB 4 KEBIJAKAN IDENTITAS TAIWAN DI BAWAH PRESIDEN MA YINGJEOU DALAM HUBUNGAN ANTAR-SELAT TAIWAN DAN CINA Sebagai salah satu negara dengan posisi strategis yang sangat terancam dengan keberadaan negara besar yaitu Cina, mudah saja untuk tidak mengindahkan masalah-masalah mengenai identitas dan mengfokuskan hanya pada masalah-masalah keamanan atau militer. Tetapi, jika ditilik dari sejarah panjang Taiwan dan hubungannya dengan Cina, identitas ternyata memegang peranan yang cukup penting. Sejarah panjang Taiwan yang pernah dikuasai oleh Jepang, kemudian berpindah menjadi salah satu provinsi di Republik Cina, hingga saat ini menjadi wilayah dengan status yang belum terdefinisikan secara internasional, mendorong dinamika perubahan identitas dalam Taiwan menjadi satu hal yang cukup menarik untuk dibahas. Pentingnya identitas yang dipegang oleh masyarakat Taiwan menjadikan setiap pemerintahan Taiwan memiliki sebuah kebijakan tersendiri untuk membentuk identitas apa yang dimiliki oleh masyarakatnya. Bagian pertama pada bab ini menjelaskan mengenai konsep yang akan digunakan oleh penulis dalam bab ini, yaitu konsep Identitas dan Identitas Nasional. Sejarah singkat mengenai kebijakan identitas pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou akan dijelaskan di dalam bagian selanjutnya pada bab ini. Hal ini penting untuk dipaparkan agar dinamika identitas yang ada di masyarakat Taiwan dapat dipahami, sekaligus memberikan latar belakang untuk memahami kebijakan identitas yang diambil oleh Ma Yingjeou. Bagian selanjutnya dari bab ini akan memaparkan kebijakan-kebijakan apa saja yang digunakan oleh Ma Ying-jeou, dengan mengaplikasikan konsep dari Identitas dan Identitas Nasional yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagian terakhir dari bab ini akan menggambarkan pengaruh dari kebijakan identitas tersebut, baik kepada masyarakat Taiwan, dan juga kepada hubungan antara Taiwan dan Cina.
65 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
66
4.1 Kerangka Konsep: Identitas dan Identitas Nasional Identitas
merupakan
salah
satu
isu
yang
berkembang
dengan
berkembangnya pula Hubungan Internasional melalui munculnya pemikiranpemikiran post-positivisme di dalamnya. Penggunaan identitas dalam teori-teori Hubungan Internasional memberikan perspektif baru dalam menganalisa fenomena-fenomena hubungan internasional. Salah satu kontribusi terbesar dalam penggunaan identitas di Hubungan Internasional diberikan oleh Systemic Constructivism. Perspektif tersebut akan digunakan untuk menjelaskan mengenai kebijakan identitas Ma Ying-jeou. Penjelasan mengenai unsur-unsur identitas nasional juga akan diberikan pada bagian ini.
4.1.1 Identitas Identitas dalam Hubungan Internasional telah berkembang menjadi salah satu aspek penting dalam hubungan internasional sejalan dengan semakin berkembangnya pendekatan yang menganalisa aspek non-material yang dimiliki oleh negara. Definisi identitas, menurut Giddens yang dikutip oleh Manuel Castells, adalah sumber dari pengertian yang dimiliki oleh seorang aktor, yang dibangun oleh aktor tersebut sendiri melalui sebuah proses yang disebut individuation. 120 Manuel Castells kemudian memberi penjelasan lebih lanjut mengenai tiga jenis identitas, yaitu Legitimizing Identity, Resistance Identity, dan Project identity Resistance Identity adalah identitas yang dibuat oleh aktor-aktor yang berada dalam posisi/kondisi yang devalued dan/atau terkena stigma oleh logika dominasi (oleh institusi yang dominan). Project Identity adalah ketika aktor sosial mencoba membangun sebuah identitas baru yang meredefinisi posisi mereka di masyarakat, dan mencoba mentransformasi struktur sosial secara keseluruhan. Definisi dari legitimizing identity yang akan digunakan dalam bab ini adalah identitas yang diberikan oleh institusi yang dominan dalam masyarakat untuk
120
Manuel Castells, The Power of Identity 2nd Ed., (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd., 2010), 7. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
67
memperluas dan merasionalisasi dominasi institusi tersebut vis-a-vis aktor sosial lain.121 Salah satu tokoh Hubungan Internasional yang menggunakan identitas dalam mengembangkan teori Hubungan Internasional adalah Alexander Wendt. Alexander Wendt menjelaskan pentingnya identitas dalam konteks negara dan politik internasional sebagai salah satu aspek penting, di mana sistem internasional dan anarki di dalamnya sesungguhnya hanyalah hasil dari konstruksi sosial yang datang dari identitas dan budaya bentukan negara-negara tersebut (Anarchy is what states make of it).122 Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam sistem internasional yang bersifat anarki, hubungan antara negara sebagai aktor utama ditentukan oleh kepentingan dari negara tersebut. Kepentingan negara tersebut dilahirkan oleh identitas yang dimiliki negara tersebut, sehingga identitas negara menjadi penentu bagaimana sebuah negara membangun kepentingannya dengan negara lain. Selanjutnya hubungan yang telah terjadi tersebut akan merekonstruksi identitas dan kepentingan negara tersebut ke depannya.123 Identitas dan kepentingan yang dimiliki negara yang berada di level mikro kemudian akan semakin berkembang dan menjadi representasi kolektif di level makro, membentuk sebuah kultur dari sistem internasional. Alexander Wendt menjelaskan bahwa di dalam dunia internasional setidaknya terdapat tiga jenis kultur sistem internasional, yang dikembangkan oleh Wendt dari pemikir terkenal yang mengeluarkan pemikiran tersebut. Pertama adalah kultur Hobbesian, di mana negara melihat negara lain sebagai musuh dan negara tidak akan menghargai hak negara lain untuk bertahan dan cenderung menggunakan kekerasan. Kultur kedua adalah Lockean, di mana negara masih memiliki kepentingan sendiri sebagai prioritas utama, tetapi berbeda dengan Hobbesian, kultur Lockean membuat negara memandang satu sama lainnya 121
Ibid., 8 Penjelasan terhadap klaim tersebut dijelaskan secara mendalam oleh Alexander Wendt dalam artikelnya, yang kemudian menjadi dasar dari berkembangnya pendekatan konstruktivisme. Alexander Wendt, “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”, International Organization 46, no. 2 (1992), diakses pada 1 Mei 2013, http://www.jstor.org/stable/2706858. 123 Yucel Bozdaglioglu, “Constructivism and Identity Formation: An Interactive Approach,” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 123, diakses 1 Juni 2013, http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc.pdf. 122
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
68
sebatas rival. Sebagai rival, negara masih mungkin menghargai kedaulatan negara lain dalam kultur ini. Kultur terakhir adalah kultur Kantian, di mana negara memandang negara lain sebagai bagian dari ‘self’, sehingga pemikiran negara akan berdasarkan terhadap kepentingan kelompok.124 Analisa yang diberikan oleh Alexander Wendt menjadikan pemikirannya sering dikategorikan sebagai ‘systemic constructivism’. Alexander Wendt memberikan penjelasan mengenai bagaimana identitas membentuk interaksi, dan interaksi tersebut pada akhirnya akan membentuk identitas negara tersebut pula. Wendt juga menjelaskan bahwa perbedaan jenis-jenis interaksi antara negara akan menentukan bagaimana kultur sebuah sistem internasional, terutama terkait dengan bagaimana cara negara menyikapi kondisi anarki dalam sistem internasional.
4.1.2 National Identity Konsep kedua yang akan digunakan di dalam menjelaskan kebijakan identitas Presiden Ma Ying-jeou adalah konsep Identitas Nasional (National Identity). Pemilihan terhadap konsep ini didasarkan pada kebutuhan untuk menjelaskan arah-arah kebijakan identitas yang diambil oleh Presiden Ma. Penjelasan mengenai konsep Identitas Nasional akan disadur dari tulisan Ruth Wodak, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart terkait konstruksi diskursif identitas nasional, di mana Wodak et.al. mencoba menganalisa pembentukan identitas nasional di Austria. 125 Definisi yang diberikan oleh Ruth Wodak et.al. terhadap konsep ‘identitas nasional’ yaitu: “If a nation is an imagined community and at the same time a mental construct,…, then this image (of a nation) is real to the extent that one is convinced of it, believes in it, and identifies with it emotionally. The question of how this imaginary community reaches the mind of those who are convinced of it is easy to answer: it is constructed and conveyed in discourse, predominantly in the narrative of national culture. National identity is this the product of discourse”.126 124
Ibid., 133 Ruth Wodak et al., The Discursive Consruction of National Identity, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009), 22. 126 Ibid., 22. 125
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
69
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas adalah bentukan dari diskursus terkait dengan sebuah komunitas yang disebut ‘bangsa’, melalui budaya budaya bangsa yang kemudian dinarasikan, dikonstruksi ke dalam setiap individu yang menjadi anggota bangsa tersebut. Hall, di dalam tulisannya oleh Wodak et.al., menuliskan bahwa identitas dikonstruksi oleh kultur sebuah bangsa yang memberikan arti terhadap bangsa tersebut, arti yang dapat diidentifikasi oleh individual
di
dalamnya,
mencakup
cerita-cerita
bangsa,
memori
yang
menghubungkan masa lalu dan masa kini.127 Berangkat dari definisi di atas, Wodak et.al. kemudian juga menjelaskan mengenai elemen yang ada di dalam identitas nasional. Menurut Wodak et.al., yang memodifikasi dari penjelasan yang diberikan oleh Leszek Kolakowski, terdapat 5 elemen yang ada di dalam sebuah identitas nasional, yaitu national spirit, historical memory, anticipation and future orientation, national body, dan nameable beginning. National Spirit National spirit, atau volksgeist merupakan ekspresi dalam bentuk budaya hidup dan tingkah laku kolektif yang khusus. National Spirit ini tidaklah sesuatu yang bersifat
material,
namun
justru
metafisikal,
sehingga
hal
ini
tidak
direpresentasikan oleh sebuah kejadian historis, tetapi semangat tersebut tetap ada di pemikiran masyarakat. Historical Memory Historical memory, menurut Kolakowski, adalah sesuatu yang amat penting terhadap pembentukan sebuah identitas nasional. Kolakowski menyebutnya sebagai “.., indispensable prerequisite for national identity;”. Bahkan, Kolakowski menjelaskan bahwa kebenaran terhadap memori historis tersebut tidak penting apakah sepenuhnya betul, atau hanya betul sebagian, atau bahkan hanya sebuah legenda. Hal yang penting adalah memori historis tersebut harus
127
Ibid., 23. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
70
datang dari cerita yang telah terjadi sekian lama, sehingga hal tersebut dapat membentuk sebuah identitas nasional yang lebih kuat. Anticipation and Future Orientation Seperti individu yang memiliki identitasnya masing-masing, sebuah bangsa yang memiliki identitas nasional juga akan memiliki orientasi terhadap masa depannya. Hal ini berkaitan dengan apa yang akan terjadi dengan mereka di masa depan, kepentingan mereka di masa depan, bagaimana caranya agar mampu bertahan hidup (survive), dan persiapan apa yang harus dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. National Body Wodak et.al. memodifikasi pengertian Kolakowski terhadap elemen ‘national body’ di dalam identitas nasional, di mana Wodak et.al. mengartikan konsep tersebut secara metaforis. Menurut Wodak et.al., diskusi terhadap national body dan identitas berkaitan dengan pembicaraan terhadap teritori nasional, alam yang dikandungnya, serta artifak-artifak fisik yang ada di dalamnya Nameable Beginning Sebuah nameable beginning juga merupakan kebutuhan yang harus ada untuk membangkitkan
dan
membangun
sebuah
kesadaran
nasional
(national
consciousness). Bentuk-bentuk dari nameable beginning ini antara lain adalah legenda yang spesifik membahas mengenai founding fathers atau founding events. Nameable beginning kemudian akan digunakan untuk menjadi exordium temporis, sebuah awal dari waktu yang bersejarah. Kelima elemen ini akan digunakan oleh penulis untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan identitas yang dikeluarkan oleh Presiden Ma. Identifikasi tersebut akan menunjukkan apakah Presiden Ma telah mencoba untuk membentuk sebuah identitas nasional dengan memenuhi kelima elemen tersebut, atau tidak memenuhi kesemuanya.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
71
4.2 Sejarah Kebijakan Identitas Taiwan Bagian selanjutnya dari bab ini akan mencoba menggambarkan mengenai dinamika identitas yang terjadi di Taiwan, terutama yang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah-pemerintah Taiwan sebelum Ma Ying-jeou. Hal ini penting dilaksanakan untuk mengetahui pentingnya pembentukan identitas di Taiwan, baik dalam keberlangsungan pemerintahan Taiwan atau dalam dinamika hubungan Taiwan-Cina.
4.2.1 Era Identitas Nasionalis di bawah Kuomintang Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan Jepang dari Pasukan Sekutu kala itu, pemerintahan di Taiwan juga berpindah. Penyerahan kekuasaan
dilaksanakan
oleh
Jepang
kepada
Pasukan
Sekutu,
dengan
penandatanganan Instrumen Penyerahan pada tanggal 15 Agustus 1945, dan penyerahan formal pada tanggal 25 Oktober 1945.128 Penyerahan secara formal dilaksanakan antara pemerintah Jepang dan Pasukan Sekutu yang diwakili oleh Pasukan ROC di bawah Chiang Kai-shek, menunjukkan bahwa Pasukan Sekutu menyerahkan tugas untuk memerintah wilayah Taiwan kepada Republik Cina. Keberadaan Republik Cina di Taiwan pada awalnya disambut sebagai pembawa harapan terhadap perbaikan situasi buruk yang selama ini dirasakan di bawah Jepang. Namun, kondisi di Cina yang masih berada di bawah instabilitas, terutama dengan makin meruncingnya persaingan antara Kuomintang dengan PKC, membuat harapan tersebut tidak terjadi. Chiang Kai-shek menetapkan Taiwan untuk berada di bawah pemerintahan darurat militer, dengan Jenderal Chen Yi menjadi Gubernur dari Taiwan. Konflik antara KMT dan PKC disertai oleh memburuknya ekonomi, dan juga adanya rasa tidak percaya antara mainlander yang dibawa oleh ROC dengan penduduk asli Taiwan, menyebabkan banyaknya protes-protes yang muncul. Hal ini bahkan berujung kepada pembantaian terhadap penduduk asli Taiwan oleh tentara mainlander yang
128
“Taiwan History,” Taiwanese Cultural Society, diakses 14 Mei 2013, http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
72
memakan korban jiwa 18.000-28.000 orang. Insiden ini kemudian dikenal sebagai ‘insiden 228’.129 Kondisi ini tidak berubah saat Taiwan menjadi tempat pelarian Kuomintang yang mengalami kekalahan dari PKC dalam Perang Sipil pada tahun 1949.130 Datang sebagai seseorang yang baru saja mengalami kekalahan yang menyakitkan, Chiang Kai-shek dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi di Taiwan bukanlah kondisi yang ideal. Saat berada di bawah Jenderal Chen Yi, Taiwan mengalami masa-masa kelam di bidang ekonomi, karena berbagai kebijakannya sangat merugikan, terutama bagi masyarakat asli Taiwan.131 Kondisi ini kemudian diperburuk dengan kedatangan Chiang Kai-shek yang membawa kurang lebih dua juta pengungsi dari Cina Daratan, mempertajam tensi yang telah muncul sebelumnya akibat penindasan yang dilaksanakan oleh Jenderal Chen Yi sebelumnya. Kondisi tersebut memaksa Chiang Kai-shek memperbaiki kondisi tersebut demi keberlangsungan KMT di Taiwan. Chiang Kai-shek sendiri melaksanakan perbaikan-perbaikan di bidang ekonomi yang dibutuhkan, salah satunya adalah perbaikan terhadap pengaturan sistem pertanahan bagi pertanian di Taiwan. Land Reform yang dilaksanakannya, dengan menyingkirkan tuan-tuan tanah yang sebelumnya mendominasi di Taiwan, berhasil memperbaiki kondisi ekonomi terutama bagi kaum petani, di mana reformasinya tersebut mampu meningkatkan produktivitas sebanyak 50% dan pendapatan petani naik dua kali lipat pada tahun 1963.132 Kemajuan yang signifikan di bidang ekonomi, tidak diikuti di bidang politik. Chiang Kai-shek yang masih memegang cita-cita akan kembalinya KMT 129
Lee Shiao-Feng, “The 228 Incident,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 28 Februari 2004, diakses 13 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/2003100472. 130 Manthorpe, Forbidden Nation, 194. 131 Pada masa kepemimpinannya, Jenderal Chen Yi mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang merugikan masyarakat asli Taiwan, dan mengalirkan keuntungan tersebut kepada warga asli Cina daratan yang dibawanya ke Taiwan. Jenderal Chen banyak menjual aset-aset yang dimiliki oleh Taiwan, dan yang diwariskan ke Taiwan kepada Jepang, ke Cina Daratan, di mana ia mendapatkan keuntungan darinya. Jenderal Chen juga memberikan tugas manajemen beberapa industri penting yang dimiliki oleh Taiwan kepada kroninya, yang menyebabkan industri tersebut terus mengalami kerugian. Puncak kerusakan ekonomi yang dialami oleh Taiwan di bawah Jenderal Chen, harga makanan meningkat 21.000 poin dan pakaian sebanyak 25.000 poin dari November 1945 sampai Januari 1947, hasil pertanian menurun hingga setengah dari apa yang dihasilkan pada dekade 1930an, dan berdampak sosial, seperti meningkatnya masalah kesehatan seperti Malaria dan Kolera. 132 Ibid., 202. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
73
ke Cina Daratan untuk menggulingkan PKC di sana, menolak pelaksanaan demokrasi di Taiwan. Hal ini harus dilaksanakan oleh Chiang Kai-shek, karena dia harus konsisten dengan deklarasinya bahwa pemerintahannya merupakan pemerintahan
yang
mewakili
keseluruhan
Cina,
bukan
Taiwan
saja.
Otoritarianisme Chiang Kai-shek pun dilaksanakan dengan mengeliminasi lawanlawan politik, dari melarang berdirinya partai politik oposisi hingga melaksanakan penculikan dan pembunuhan kepada individu-individu yang dianggapnya mengancam KMT.133 Impian Chiang Kai-shek mengembalikan kejayaan KMT di Cina Daratan dan membangun kekuatan sedikit demi sedikit mempersiapkan kekuatan untuk suatu saat menyerang Cina Daratan, diimplementasikan melalui beberapa kebijakan yang berusaha membentuk identitas masyarakat Taiwan agar merasa menjadi bagian dari Cina. Kebijakan pembentukan identitas ini dilaksanakan dengan beberapa cara. Pertama, Chiang Kai-shek mendorong pengimplementasian ‘Bahasa Nasional’, standarisasi bahasa yang dilaksanakan juga di Cina Daratan ketika KMT masih berkuasa di sana dengan tujuan untuk mengatasi perbedaan penggunaan dialek antara penduduk Taiwan yang terdiri dari berbagai suku. Kebijakan bahasa ini juga didukung dengan dibredelnya koran-koran berbahasa Jepang yang populer saat itu dan menggantinya dengan koran yang menggunakan bahasa nasional. Kedua, Chiang Kai-shek juga menasionalisasi instrumeninstrumen harian dari masyarakat Taiwan. Penghitungan tahun diubah dimulai dengan menetapkan tahun 1912 sebagai ‘year one’. Nama-nama jalan pun diubah dengan menggunakan nama-nama yang datang dari Cina Daratan. Peta yang menunjukkan Republik Cina yang terdiri dari Cina Daratan, Taiwan, dan sebagian Mongolia pun disebarluaskan. Ketiga, Chiang juga memberlakukan nasionalisasi di sekolah, di mana siswa-siswa diharuskan untuk mengenal simbol-simbol
133
Tindakan opresif dengan menculik dan mengeksekusi lawan-lawan politiknya ini berjalan dalam rentang waktu 4 dekade, masa yang kemudian dikenal sebagai ‘Teror Putih’ (White Terror). Hal ini didukung dengan keberadaan masa Darurat Militer di Taiwan yang telah diterapkan sejak kepemimpinan Jenderal Chen. Teror Putih ini banyak dilaksanakan oleh satuan khusus di Taiwan yang dikenal sebagai Komando Garnisun, dengan Chiang Ching-kuo menjadi salah satu aktor penting di dalamnya. Korban dari Teror Putih selama 4 dekade terungkap mencapai 90.000 orang. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
74
nasional Cina. Penghormatan terhadap bendera, lagu nasional, dan foto Sun Yatsen (pendiri Republik Cina) dan Chiang Kai-shek di tiap ruang kelas.134
4.2.2 Post-Nationalist Identity Taiwan dan Demokratisasi Kebijakan Chiang Kai-shek untuk menasionalisasi penduduk Taiwan dengan identitas sebagai bagian dari Cina secara bangsa terus dilaksanakan oleh Chiang Kai-shek sampai ia meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya, Chiang Ching-kuo pada tahun 1975. Chiang Ching-kuo pada masa-masa pemerintahannya menghadapi situasi dan kondisi yang cukup berbeda dibandingkan pada masa pemerintahan ayahnya. Pertama, Chiang Ching-kuo harus menghadapi kenyataan bahwa KMT semakin tersudut dan teralienasi dari dunia internasional. Hal ini dimulai dengan dikeluarkannya KMT sebagai representasi Cina di PBB pada 1971, dimulainya Diplomasi Ping-Pong pada 1971 yang membuka jalan terhadap normalisasi hubungan PKC dengan Amerika Serikan, dan puncaknya adalah ketika pada tahun 1979, Amerika Serikat benar-benar menormalisasi hubungannya dengan PKC dengan mentransfer pengakuan terhadap Cina dari Kuomintang di Taipei kepada Partai Komunis Cina di Beijing. 135 Kebijakan Amerika Serikat tersebut memicu negara-negara lain untuk memutuskan hubungan dengan Taiwan serta mendorong organisasi-organisasi internasional untuk menggantikan posisi KMT sebagai Cina dengan PKC. Hal ini kemudian memaksa Chiang Ching-kuo untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih fleksibel, di mana Taiwan tidak lagi memaksa untuk hanya melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara yang tidak berhubungan dengan PKC.136 Taiwan membuka jalan diplomatik melalui kantorkantor budaya dan perdagangan, biarpun hubungan diplomatik secara penuh mungkin tidak terjadi. Taiwan juga berusaha memasukkan dirinya pada organisasi internasional, meskipun dengan adanya tekanan dari Cina sehingga Taiwan hanya mampu memasuki organisasi atau event internasional dalam bidang budaya, olahraga, atau ekonomi.137 134
Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. Manthorpe, Forbidden Nation, 208. 136 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 49. 137 Ibid., 49. 135
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
75
Kondisi di dalam negeri pun mendorong berubahnya kebijakan identitas tersebut. Hal yang paling utama adalah semakin tumbuhnya identitas Taiwanese di dalam diri masyarakat Taiwan, dan juga di dalam Kuomintang. Pada dekade 1970an, anggota Kuomintang sudah terdiri dari 70% penduduk asli yang lahir di Taiwan.138 Kebijakan identitas yang diambil sejak zaman Chiang Kai-shek pun telah banyak mendapat tentangan, salah satunya yang paling terkenal dipelopori oleh Pei Ming-min. Kebijakan identitas yang diambil oleh Chiang Kai-shek, yang disertai oleh kebijakan-kebijakna represif terhadap lawan-lawan politiknya, merupakan bentuk dari legitimizing identity di dalam tiga jenis identitas yang dijelaskan oleh Manuel Castells. Tindakan dan kebijakan dari Chiang menimbulkan tentangan seperti yang dilaksanakan oleh Pei Ming-min, yang menghasilkan Taiwanese sebagai bentuk resistance identity.139 Faktor domestik kedua adalah semakin besarnya tekanan dari masyarakat Taiwan untuk bisa membuka hubungan dengan Cina Daratan. Chiang Ching-kuo pada akhirnya membuka jalan tersebut, dengan memperbolehkan adanya jalur penerbangan dari Taiwan ke Cina Daratan.140 Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Chiang Ching-kuo, diakibatkan oleh timbulnya kondisi domestik dan internasional seperti yang telah disebutkan di atas, menandai berubahnya keteguhan KMT terhadap prinsip One-China, dari tadinya sangat teguh dipegang oleh Chiang Kai-shek, menjadi lebih fleksibel dan pragmatis mengikuti kebutuhan Taiwan. Prinsip One-China ini semakin bergeser ketika kemudian Chiang Ching-kuo digantikan oleh presiden selanjutnya, presiden Taiwan pertama yang merupakan orang asli Taiwan, Lee Teng-hui. Lee Teng-hui naik jabatan pada tahun 1988, dan pada masa jabatannya tersebut, menurut Manthorpe, dimulai sebuah proses panjang ‘Taiwanisasi’, menggantikan ‘Nasionalisasi Cina’ yang dibawa oleh pemerintahan sebelumnya.141 Kebijakan-kebijakan Lee Teng-hui yang berdampak sangat besar terhadap proses Taiwanisasi tersebut terdapat di sisi politik. Kebebasan politik yang masih ditutup rapat-rapat oleh Chiang Kai-shek dan Chiang Ching-kuo (biarpun di akhir
138
Ibid., 51. Castells, The Power of Identity, 7. 140 Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 50. 141 Manthorpe, Forbidden Nation, 220. 139
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
76
kepemimpinannya, Chiang Ching-kuo mulai melonggarkan kekangan terhadap oposisi dengan membiarkan berdirinya DPP), oleh Lee Teng-hui dibuka melalui reformasi-reformasi
yang
dilaksanakannya.
Lee
Teng-hui
melaksanakan
simplifikasi terhadap sistem politik Taiwan, yang dibawa oleh Chiang Kai-shek mengikuti contoh dari Dinasti Qing, di mana sistem politik tersebut masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari Cina, dan sistem politiknya dengan demikian harus merepresentasi seluruh Cina. Gebrakan lainnya yang dilaksanakan oleh Lee Teng-hui adalah mengadakan pemilihan umum untuk posisi sentral, yaitu terhadap Parlemen Taiwan (Legislative Yuan), dan bahkan pemilihan presiden. Selain di bidang politik, Taiwanisasi yang dibuat oleh Lee Teng-hui juga menyentuh sisi kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan bidang seni, media dan sekolah yang mulai menggunakan Minnan, dialek lokal Taiwan, mulai menggantikan Mandarin yang dipaksakan oleh pemerintah sebelumnya.142 Proses
Taiwanisasi
tersebut
menjadi
semakin
jelas
di
bawah
kepemimpinan Chen Shui-bian. Chen Shui-bian merupakan presiden pertama di Taiwan yang tidak berasal dari Kuomintang, setelah partainya DPP mengalahkan Kuomintang pada pemilihan umum tahun 2000.143 DPP merupakan partai yang memang mengedepankan ideologi yang mendukung Taiwanisasi, dengan tujuannya saat dibentuk yang menuntut merdekanya Taiwan dari Cina. Biarpun tujuan ini semakin lama semakin dibuat lebih fleksibel (dengan alasan utama untuk mencegah adanya serangan dari Cina Daratan oleh PKC ke Taiwan), naiknya Chen Shui-bian tetap menaikkan ketegangan antara Cina dan Taiwan, karena kebijakan-kebijakannya yang semakin lama semakin memberikan tandatanda mengarahkan Taiwan ke arah independensi.144 Proses Taiwanisasi sendiri mendapatkan dukungan penuh dari Presiden Chen Shui-bian. Kebijakan budaya Taiwan di bawah DPP digambarkan oleh Chang Bi-yu di dalam Amae, Yoshihisa, dan Damm, sebagai kebijakan yang menekankan pada “nilai ekonomis sebuah industri budaya, teorisasi dari 142
Ibid., hal. 220-221 Gang Lin, “KMT Split Handed Chen Presidential Victory,” Canada Institute, terakhir dimodifikasi pada 1 April 2000, diakses 16 Mei 2013, www.wilsoncenter.org/article/kmt-splithanded-chen-the-presidential-victory. 144 Joseph Kahn dan Keith Bradsher, “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave Provocation’,” The New York Times, terakhir dimodifikasi pada 1 Maret 2006, diakses 26 Juni 2013, http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0. 143
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
77
subjektivitas Taiwan, dan penjualan Taiwan sebagai sebuah produk kultur”.145 Hal penting yang digambarkan oleh kebijakan ini adalah fokusnya terhadap Taiwan, di mana Cina hampir tidak memiliki peran yang penting sama sekali. Hal ini kemudian dimaterialisasikan di bidang pendidikan dengan pendalaman kepada literatur-literatur asli Taiwan, dan munculnya disiplin baru yang dikenal sebagai “Taiwan Studies”.146
4.3 Pembentukan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou dari Perspektif Systemic Constructivism Penjelasan di atas telah menunjukkan bagaimana pembentukan identitas di Taiwan terjadi di bawah pemerintahan-pemerintahan sebelum Ma Ying-jeou. Dapat disimpulkan bahwa dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh dua presiden sebelum Ma Ying-jeou, identitas yang terbentuk mengarahkan Taiwan dan Cina kepada hubungan yang bersifat konfliktual. Melalui program Taiwanisasi yang masif terhadap penduduk Taiwan, konstruksi identitas nasional membuat Cina dan Taiwan semakin terpisah menjadi dua entitas yang berbeda. Hal yang juga penting adalah kebijakan politik dan ekonomi yang diberikan oleh Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian menjadikan hubungan antara Taiwan dan Cina semakin memanas. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Lee Teng-hui mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyebut hubungan Taiwan dan Cina sebagai ‘special state-to-state relationship’. Presiden Chen Shui-bian bertindak lebih jauh lagi dengan mencoba untuk melaksanakan referendum terkait dengan hubungan antar-selat Taiwan dan aplikasi Taiwan memasuki PBB. Hal ini tentu direspons secara negatif oleh Cina. Duta Besar Cina untuk PBB, misalnya, mengutuk hal ini dengan menyebutnya sebagai sebuah tindakan yang nyata Taiwan untuk mengejar kemerdekaan. 147 Interaksi yang terjadi antara Cina dan Taiwan pada masa kepemimpinan Presiden Lee dan 145
Yoshihisa Amae dan Jens Damm, “”Whither Taiwanization?” State, Society, and Cultural Production in the New Era,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 7, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400. 146 Ibid., 7 147 Taipei Times, “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail,” terakhir dimodifikasi pada 14 Agustus 2005, diakses 20 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
78
Presiden Chen dapat dikategorikan sebagai konfliktual dan menyebabkan kedua negara memandang identitas satu dengan lainnya sebagai musuh. Menjelang
akhir
masa
kepemimpinan
Presiden
Chen
Shui-bian,
Kuomintang sebagai partai oposisi melihat bahwa hubungan yang bersifat konfliktual antara Taiwan dan Cina tidak baik jika terus dipertahankan. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, pada tahun 2005 Ketua KMT saat itu, Lien Chan, mengunjungi Cina dengan tujuan untuk membuka dialog dan memperbaiki hubungan antara Beijing dan Taipei. Dengan inisiatif yang diberikan oleh KMT tersebut, Beijing sebaliknya memberikan respons yang positif. Hal in ditunjukkan ketika Lien Chan disambut secara langsung oleh Presiden Hu Jintao, yang menyambut Lien Chan layaknya seorang ‘saudara yang telah lama hilang’. Lien sendiri pada kesempatan yang sama menggambarkan bahwa hubungan antara Cina dan Taiwan merupakan hubungan yang bersifat ‘win-win’ dan seharusnya diperjuangkan oleh kedua pihak.148 Lien Chan bukanlah kandidat yang kemudian akan maju dari KMT pada pemilihan 2008, karena Lien Chan tidak lama setelah mengunjungi Cina digantikan oleh Ma Ying-jeou yang terpilih sebagai ketua KMT selanjutnya. Presiden Ma kemudian melanjutkan momentum yang telah dibangun oleh Lien Chan untuk memperbaiki hubungan antara Cina dan Taiwan. Pada masa kampanyenya untuk menjadi presiden pada tahun 2008, Ma Ying-jeou menjelaskan bahwa dia akan berusaha untuk memperbaiki interaksi antara Cina dengan Taiwan. Presiden Ma juga menjanjikan bahwa dirinya akan mengadopsi kembali konsensus 1992 yang merupakan prasyarat yang diberikan oleh Beijing untuk membuka kembali kerjasama antara Cina dengan Taiwan.149 Kampanye yang diberikan oleh Ma Ying-jeou untuk memperbaiki hubungan antara Cina dengan Taiwan mendapatkan respons yang baik dari Beijing. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah Ma terpilih menjadi presiden, Beijing dan Taiwan membuka kembali pertemuan secara 148
People’s Daily, “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with Open Arm,” terakhir dimodifikasi pada 26 April 2005, diakses 24 Mei 2013, http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html. 149 Fu-Kuo Liu, “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or Unknown Ground?,” Brookings Institution, terakhir dimodifikasi pada 19 Juli 2011, diakses 1 Juni 2013, http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-strait-relations-liu. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
79
institusional antara kedua negara melalui pertemuan antara SEF dan ARATS. Inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou di bidang ekonomi juga mendapatkan respons yang positif, dengan ditandatanganinya ECFA dan berbagai kerjasama ekonomi yang meneruskan kerangka yang dilahirkan oleh ECFA.
4.4 Kebijakan Identitas Taiwan di Bawah Presiden Ma Ying-jeou Bagian selanjutnya dari bab ini akan menggambarkan mengenai kebijakan identitas selama masa kepemimpinannya yang pertama sebagai presiden Taiwan. Bagian ini akan mencoba melihat kebijakan identitas tersebut ditilik dari lima elemen identitas nasional yang diberikan oleh Wodak et.al. Setelah berhasil menduduki kursi sebagai presiden Taiwan, Presiden Ma Ying-jeou dihadapkan oleh beberapa kondisi yang sulit. Ekonomi Taiwan memburuk akibat kebijakan Presiden Chen Shui-bian yang menghentikan kerjasama dengan Cina. Ketegangan juga cukup tinggi karena Presiden Chen dengan beberapa retorikanya yang pro kemerdekaan Taiwan, menyebabkan Cina semakin gencar memberikan ancaman untuk menyerang Taiwan.150 Presiden Ma Ying-jeou juga dihadapkan pada masyarakat Taiwan yang telah dikenai kebijakan Taiwanisasi selama lebih dari dua dekade pada masa kepemimpinan Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian sehingga menyebabkan orang-orang yang mengidentifikasi sebagai chinese menjadi semakin sedikit, sementara orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai taiwanese terus bertambah. Pada tahun 1993, orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai chinese masih berjumlah 30%, sementara pada tahun 2008 angka tersebut telah jauh berkurang menjadi kurang dari 5% saja.151 Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Presiden Ma untuk menyusun kebijakan identitas. Di satu pihak, sebagai kandidat dari Partai KMT tentu Presiden Ma memiliki ideologi pro-unifikasi dan melihat Taiwan sebagai bagian dari ‘One China’, sementara di lain pihak kenyataan bahwa masyarakat telah banyak yang memiliki identitas Taiwan membuatnya tidak bisa secara ekstrim
150
Edward Cody, “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law,” The Washington Post, terakhir dimodifikasi pada 8 Maret 2005, diakses 3 Juni 2013, http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html. 151 Election Study Center, N.C.C.U., “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
80
meninggalkan kenyataan tersebut. Kenyataan ini mendorong Presiden Ma pada masa kampanye untuk tidak begitu menampilkan retorika pro-nasionalisme Cina, dan sebaliknya, justru banyak memberikan kebijakan yang terlihat seperti mendukung taiwanisasi yang terus berjalan. Seperti yang digambarkan oleh Muyard di dalam Lutgard dan Liao, retorika Presiden Ma, “… launched a campaign centered on his own Taiwanese identity, the defense of Taiwan’s sovereignty as the Republic of China, and his commitment that Taiwan’s future must be decided only by the 23 million Taiwanese.”152 Retorika Ma yang mengikuti arus Taiwanisasi pada masa kampanye tidak berlanjut ketika Presiden Ma kemudian berhasil menjadi presiden pada tahun 2008. Sesuai dengan ideologi yang diusung partainya, Presiden Ma menjadi lebih frontal dalam menunjukkan kebijakan-kebijakan identitas yang mengedepankan unsur kebudayaan Cina di dalamnya. Sebuah penelitian terhadap diskursus Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepemimpinannya yang pertama menunjukkan bagaimana kebudayaan Cina ditekankan jauh lebih banyak oleh Presiden Ma Ying-jeou dibandingkan identitas Taiwan.
152
Lams Lutgard dan Xavier Li-Wen Liao, “Tracing “Taiwanization” Processes in Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait Rapprochement,” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 82, diakses 21 Desember 2012, http://hup.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
81
Grafik 4.4.1 Grafik Probabilitas Penyebutan Kategori dalam Pidato153 Sumber: Jonathan Sullivan dan Eliyahu V. Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” Journal of Current Chinese Affairs 41, no. 3 (2012): 52, diakses 24 Mei 2013, http://hup.sub.uni-hamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531.
Grafik di atas merupakan grafik yang dibuat oleh Jonathan Sullivan dan Eliyahu Sapir yang menunjukkan fokus dari diskursus Presiden Ma Ying-jeou dalam masa kepemimpinannya yang pertama dari tahun 2008 hingga tahun 2011. Metode yang digunakan oleh Sullivan dan Sapir adalah menghitung jumlah Presiden Ma menyebutkan kata-kata yang masuk sebagai kata kunci dalam kategori tertentu. Contohnya adalah chinese culture, chinese nation, 1992 consensus, Confucius untuk kategori Chinese identity; new Taiwanese, Taiwan First, love taiwan, the Taiwan Spirit, dalam kategori Taiwanese Identity, dan seterusnya.154 Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana di dalam pidato-pidato yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, Presiden Ma seiring berjalannya waktu semakin menekankan terhadap chinese identity dibandingkan taiwanese identity. Jumlah tersebut dari tadinya perbedaan penekanannya hanya sekitar 10%
153 154
Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse”, 52. Ibid., 47. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
82
pada bulan Mei tahun 2008, hingga mencapai lebih dari 30% pada bulan Mei tahun 2011. Hal yang tak dapat dipungkiri adalah fokus terhadap identitas ini memang tidak menempati fokus pertama karena fokus paling pertama bagi Presiden Ma adalah masalah ekonomi, tetapi jika dibandingkan secara head to head antara kebudayaan Cina dan kebudayaan Taiwan maka jelas bahwa Presiden Ma Ying-jeou lebih menekankan pada unsur kebudayaan Cina.
4.4.1 5 Elemen Kebijakan Nasional dalam Kebijakan Identitas Ma Ying-jeou Kita telah melihat bagaimana kebijakan identitas Presiden Ma Ying-jeou mengalami pergeseran dari awalnya pragmatis dalam menghadapi kampanye dengan memasukkan unsur-unsur taiwanese identity dalam kampanyenya, hingga kemudian
terus
menekankan
terhadap
chinese
identity
selama
masa
kepresidenannya. Bagian ini kemudian akan membahas secara lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakannya sesuai dengan 5 elemen identitas nasional yang telah dijelaskan pada bab pertama, yaitu national spirit, historical memory, future anticipation, national body, dan nameable beginning. National Spirit Terkait dengan unsur national spirit, Presiden Ma Ying-jeou memberikan beberapa pidato yang menyinggung semangat nasional yang dimiliki oleh Taiwan. Salah satu contoh penting di mana Presiden Ma Ying-jeou menjelaskan mengenai national spirit tersebut dapat dilihat ketika Presiden Ma Ying-jeou memberikan pidato pengukuhannya ketika baru terpilih sebagai Presiden Taiwan pada tahun 2008. Di depan rakyat yang melihatnya sekaligus mata internasional yang ikut menyaksikan saat itu, Presiden Ma menjelaskan mengenai apa yang disebutnya sebagai ‘Taiwan Spirit’, “What impressed me most was that the traditional core values of benevolence, righteousness, diligence, honesty, generosity, and industriousness could be seen everywhere in the words and deeds of the
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
83
Taiwanese people. These values have long been ingrained in their character, … also lauded as the “Taiwan Spirit”.155 Dari pidato di atas, kita dapat melihat beberapa karakter utama seorang rakyat ‘Taiwan’, yang menurut Presiden Ma harus diwarnai oleh kebaikan, kerja keras, kejujuran, dan tenggang rasa. Biarpun menggunakan retorika sebagai ‘Taiwan Spirit’, hal ini menurut Lams dan Liao merupakan cara Presiden Ma untuk
menghubungkan
nilai-nilai
tersebut
dengan
nilai-nilai
tradisional
kebudayaan Cina yang berakar dari ajaran Konfusius. 156 Seperti yang telah disebutkan di atas, Presiden Ma dapat dikatakan menjadi lebih berani dalam menunjukkan penekanannya terhadap chinese identity seiring dengan berjalannya masa kepresidenannya. Hal ini menurut penulis tergambarkan dari perbedaan dari potongan pidato di atas pada tahun 2008, dengan pidatonya pada tahun 2011. Pada perayaan 100 tahun berdirinya Republik Cina, Presiden Ma menyinggung semangat nasional, “ … We must remain true to the idealistic spirit of the nation’s founding fathers. We cannot allow ourselves to be daunted by adversity… We must have the courage to strike out in bold and pioneering new directions, so that our nation can become ‘the gold standard’ among ethnic Chinese societies.”157 Dari pidato yang diberikan di atas, kita dapat melihat dua hal penting. Pertama, Presiden Ma memberikan referensi terhadap semangat nasional yang diwariskan dari semangat para pendiri Republik Cina, di mana pendiri Republik Cina tersebut merupakan tokoh-tokoh seperti Dr. Sun Yat-sen dengan retorika pro-nasionalisme yang sangat kental. Kedua, kita juga dapat melihat bagaimana semangat Taiwan tersebut sangat berkaitan dengan posisi Taiwan sebagai bagian dari sebuah komunitas besar masyarakat Cina dunia, di mana Taiwan diharapkan menjadi contoh bagi komunitas lain. Contoh di atas menunjukkan bagaimana
155
“Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address,” Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf. 156 Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 23. 157 “A Century of Struggle, a Democratic Taiwan,” Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
84
bentuk narasi dari Presiden Ma membentuk diskursus terhadap ‘Taiwan spirit’ yang berkaitan dengan chinese identity secara keseluruhan.
Historical Memory Seperti yang telah disebutkan oleh Wodak et. al., di atas, salah satu unsur penting untuk menciptakan identitas nasional adalah dengan memunculkan diskursus mengenai memori memori yang berkaitan dengan sejarah bangsa tersebut. Presiden Ma Ying-jeou banyak menjelaskan cerita-cerita yang berkaitan dengan sejarah Taiwan dalam membentuk identitas Taiwan. Pada pidato yang diberikannya ketika ia menjadi presiden, Presiden Ma menyebutkan sejarah Republik Cina, “The Republic of China was reborn on Taiwan… This Democratic Republic, the very first in Asia, spent a short 38 years on the Chinese mainland, but has spent nearly 60 years in Taiwan. During these last six decades, the destinies of the Republic of China and Taiwan have been closely intertwined”158 Kita dapat melihat dari pidato di atas bagaimana Presiden Ma Ying-jeou menggambarkan Taiwan sebagai sebuah ‘bagian’ dari sejarah panjang Republik Cina. Fokus juga diberikan oleh Presiden Ma dalam menunjukkan bagaimana Taiwan dan Cina memiliki takdir yang berkaitan satu dengan lainnya. Mengikuti apa yang disebutkan oleh Wodak, et.al., salah satu faktor yang akan menyebabkan semakin kuatnya identitas nasional tersebut adalah ketika identitas tersebut terbangun atas memori historis dari waktu yang amat lama, tidak peduli betul atau tidaknya memori tersebut. Presiden Ma pun menarik sejarah historis Taiwan dan mendekatkannya dengan budaya Cina secara umum, ketika Presiden Ma pada tahun 2012 memimpin upacara untuk menghormati Kaisar Kuning. Kaisar Kuning dipercaya adalah pemimpin yang pertama kali menemukan Cina lebih dari 5000 tahun yang lalu, dan dianggap sebagai leluhur dari seluruh kaum Cina. Keputusan Presiden Ma untuk mendatangi langsung dan memimpin upacara tersebut 158
“Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address”, Office of the President Republic of China (Taiwan), diakses 27 Mei 2013, http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresident/pdf/section1.pdf. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
85
mengundang kontroversi dan kritik dari beberapa kalangan, terutama oposisi saat itu, namun Presiden Ma, melalui pernyataan di situs resmi pemerintahan Taiwan, menyatakan bahwa Kaisar Kuning merupakan leluhur Cina dan menghormati leluhur merupakan salah satu kebudayaan Cina dan juga Taiwan.159 Anticipation and Future Orientation Terkait mengenai masa depan dari Taiwan dan antisipasi yang diberikan olehnya, penulis melihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou memberikan gambaran mengenai apa yang menurutnya seharusnya harus ditempuh oleh Taiwan jika ingin terus bertahan dari permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Di dalam pidato pengangkatannya yang diberikan pada tahun 2008, Presiden Ma memberikan beberapa petunjuk penting mengenai kebijakannya tersebut, “The new administration’s most urgent task is to lead Taiwan through the daunting challenges from globalization. The world economy is changing profoundly, and newly emerging countries are rising rapidly. We must upgrade Taiwan’s international competitiveness and recover lost opportunities… Islands like Taiwan flourish in an open economy and wither in a closed one…”160 Dari penggalan di atas, terlihat bagaimana Presiden Ma menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh Taiwan di masa depan. Masalah globalisasi, dengan perdagangan bebas yang menghadapkan Taiwan dengan persaingan global yang ketat antar negara-negara di dunia, menjadikan Taiwan harus memiliki semangat berkompetisi yang kuat. Presiden Ma kemudian menunjukkan bahwa hal tersebut harus direalisasikan dengan ekonomi yang sifatnya terbuka dan mendukung perdagangan bebas. Hal-hal tersebut juga menjadi serangan bagi masa kepemimpinan presiden Taiwan sebelumnya, Chen Shui-bian, terutama ketika Presiden Ma jelas-jelas menunjukkan intensinya untuk membangun rekonsiliasi
159
Fan Cheng-hsian dan Su Yung-yao, “President Exalts Yellow Emperor,” Taipei Times, terakhir dimodifikasi pada 4 April 2012, diakses 27 Mei 2013, http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457. 160 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
86
dan mencari cara agar solusi dapat ditemukan antara kedua pihak di Selat Taiwan, melalui cara perdamaian dan tanpa kekerasan.161 National Body National body, seperti yang digambarkan oleh Wodak et.al., adalah diskursus yang dibuat untuk menunjukkan mengenai bagian dari teritori negara, sumber daya alam yang ada di dalamnya, dan artifak-artifak yang dikandung olehnya. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab terdahulu mengenai sejarah kebijakan identitas terhadap Taiwan, klaim mengenai Taiwan dan entitas serta teritori apa yang diwakilinya telah menjadi permasalahan yang amat pelik. Taiwan di bawah masa-masa awal kepemimpinan KMT menekankan bahwa Taiwan merupakan pemerintahan yang sah mewakili tidak hanya wilayah Taiwan, tetapi keseluruhan wilayah Cina termasuk Hongkong dan Makau. Hal ini kemudian direpresentasikan dengan struktur pemerintahan yang memberikan privilege kepada orang-orang yang berasal dari Cina daratan. Dengan naiknya Lee Teng-hui yang merupakan anak yang asli lahir dan besar di Taiwan, Taiwan kemudian melaksanakan reformasi dan demokratisasi. Biarpun tidak secara eksplisit menghilangkan klaim Taiwan kepada seluruh Cina daratan, tetapi Lee Teng-hui menjadi awalan terhadap gerakan yang selanjutnya. Gerakan tersebut berada di bawah pemerintahan Chen Shui-bian, yang hampir tidak menekankan terhadap unsur Cina di dalam retorika-retorikanya, sehingga penjelasan mengenai masalah klaim teritori terhadap Cina tidak banyak diberikan. Menghadapi kondisi tersebut, Presiden Ma kemudian membuat diskursus mengenai nasib masa depan wilayah teritori Taiwan dan sumber daya di dalamnya. Menurut Lams dan Liao, penggalan pidato Presiden Ma pada tahun 2008 ketika baru dilantik pada tahun 2008, seperti yang telah dikutip di atas tentang lahirnya kembali Taiwan, 162 menunjukkan perubahan mengenai klaim yang diberikan oleh Presiden Ma dengan apa yang mungkin diharapkan oleh partai KMT. Presiden Ma pada pidatonya tersebut menunjukkan bagaimana
161 162
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
87
Republik Cina saat ini memang secara legal institusinya telah berpindah dari Cina daratan ke Kepulauan Taiwan.163 Nameable Beginning Terkait dengan nameable beginning, penulis sekali lagi akan melihat dari pidato Presiden Ma yang diberikan pada saat pelantikannya. Penulis melihat bahwa sekali lagi Presiden Ma menunjukkan bahwa ia menghitung awal permulaan terhadap Taiwan dari ketika Republik Cina terbentuk di Cina daratan pada tahun 1912, bukan ketika pemerintahan KMT yang kalah perang sipil dari PKC mengungsi ke Taiwan pada tahun 1949. Hal ini menunjukkan bahwa Presiden Ma masih berpegang terhadap hal tersebut sebagai nameable beginning dari Taiwan, sesuatu yang telah dibentuk oleh KMT sejak Chiang Kai-shek membuat keputusan Year Zero yang mengikuti tahun berdirinya Republik Cina.164 Diskursus yang sama juga diberikan oleh Presiden Ma ketika ia memberikan pidato pada perayaan seabad berdirinya Republik Cina. Pada pidatonya tersebut, Presiden Ma memberikan sebuah bagian khusus di mana ia menjelaskan revolusi Xinhai yang menjadi awal mula berdirinya Republik Cina. Ia menjelaskan mengenai Dr. Sun Yat-sen dengan pemikirannya mengenai Republik Cina yang ideal, tentang pahlawan-pahlawan revolusi di Cina saat itu yang datang dari berbagai provinsi, dan tentang arti dari lahirnya Revolusi tersebut.165 4.5 Dampak Kebijakan Identitas Presiden Ma Ying-jeou Setelah melihat diskursus yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou terkait dengan identitas, dapat terlihat bagaimana Presiden Ma Ying-jeou secara umum menunjukkan sikapnya yang pro terhadap Chinese identity. Pada subbab terakhir di bab ini, kita akan melihat dampak dari retorika tersebut, baik di dalam negeri maupun dalam hubungan antara Taiwan dan Cina.
163
Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 84. Hughes, Taiwan and Chinese Nationalism, 29-30. 165 A Century of Struggle, a Democratic Taiwan”, Taiwan Embassy in Canada, diakses 27 Mei 2013, http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&mp=77. 164
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
88
4.5.1 Kebijakan Identitas Presiden Ma dan Pembentukan Identitas di Taiwan
Grafik 4.3.1.1 Identifikasi Identitas Masyarakat Taiwan 1992-2012 Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6.
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kebijakan identitas di Taiwan bersifat dinamis mengikuti berubahnya kepemimpinan dan ideologi apa yang dibawa oleh pemimpin tersebut. Taiwanisasi yang terjadi kurang lebih dua dekade membawa Taiwan pada kondisi di mana masyarakatnya semakin meninggalkan identitas sebagai orang Cina, dan semakin banyak orang yang mengidentifikasi sebagai orang Taiwan. Setelah melihat bagaimana retorika-retorika yang pro-kebudayaan Cina seperti di atas, maka seharusnya kebijakan tersebut membuahkan hasil sehingga ada perbaikan terhadap dinamika identitas di masyarakat Taiwan. Hanya saja, hasil yang terjadi justru sebaliknya, Dari grafik di atas, kita dapat melihat bagaimana tidak ada perubahan yang signifikan terhadap identifikasi masyarakat Taiwan sebagai orang Taiwan, orang
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
89
Cina, ataupun orang yang merasa sebagai Cina dan Taiwan. Justru yang terjadi adalah kenaikan tingkat orang-orang yang merasa sebagai orang Taiwan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma. Terdapat dua hal yang menjadi masalah mengapa kebijakan retorika yang diambil Ma tidak menimbulkan efek yang masif. Pertama, hal ini terjadi karena Presiden Ma memang tidak memiliki keinginan untuk menekankan garis batas pemisah antar etnisitas, seperti yang dilaksanakan dengan sangat dalam oleh mantan presiden Chen Shui-bian. Kebijakan Identitas Presiden Ma meskipun menekankan kebijakan identitas pro-Cina lebih besar daripada Pro-Taiwan, tetapi kesemuanya merupakan prioritas kedua dibandingkan kebijakan ekonomi Taiwan. Melihat figur yang telah diberikan pada subbab di atas, kita dapat mengetahui bahwa figur terhadap penyebutan ekonomi banyak mendapat tempat utama, mengalahkan kebijakan identitas dan masalah lainnya seperti unifikasi vs independensi.166 Lebih lanjut lagi, penulis melihat bahwa retorika-retorika yang disampaikan oleh Presiden Ma Ying-jeou, biarpun menyebut dan menerangkan mengenai kebudayaan dan sejarah Cina, tetapi tidak juga meninggalkan begitu saja kebudayaan dan identitas Taiwan. Apa yang telah dibangun selama 20 tahun sebelumnya tentu meninggalkan impresi di masyarakat Taiwan, sehingga apabila pemerintah bersifat terlalu ekstrim dengan programnya yang mendukung kebudayaan Cina, hal ini tentu akan mendorong munculnya resistensi yang besar di masyarakat. Situasi ini terlihat pada awal-awal pemerintahan Ma Ying-jeou, ketika situs resmi kepresidenan Taiwan merubah disainnya dan menghilangkan unsur Taiwan di dalamnya dengan menghapus kata-kata Taiwan dan menghilangkan gambar kepulauan Taiwan dari situs tersebut. Hanya saja, hal tersebut mengundang amarah dari masyarakat, ditunjukkan dengan menurunnya popularitas dari KMT, dan hal ini kemudian mendorong agar unsur-unsur yang hilang tersebut agar muncul kembali di situs kepresidenan Taiwan.167 Presiden Ma sendiri menamakan kebijakan identitasnya sebagai kebijakan dengan visi sebagai “New Taiwanese”, di mana Presiden Ma ingin menggabungkan kebudayaan yang berasal dari Cina dan memberinya ‘sentuhan’ 166 167
Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 54. Lams dan Liao, “Tracing “Taiwanization” Process,” 83. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
90
asli Taiwan. Hal ini menjadi bukti bahwa Presiden Ma sendiri tidak dapat lepas dari identitas Taiwan yang saat itu memang masih kuat dimiliki oleh masyarakat Taiwan. Jika dibandingkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Chen, Presiden Chen pada masa pertama kepemimpinannya menyinggung mengenai masalah identitas Taiwan sebanyak 60%, dan terus meningkat hingga mencapai 80% ketika ketegangan antara Cina dan Taiwan memuncak saat Cina mengeluarkan hukum anti separatisme.168
4.5.2 Dampak Kebijakan Identitas terhadap Hubungan Taiwan-Cina Naiknya Ma Ying-jeou menjadi presiden pada tahun 2008, menggantikan DPP membawa harapan akan membaiknya hubungan Cina dan Taiwan. Hal ini tidak hanya dilihat dari segi kerjasama ekonomi yang terus berkembang, tetapi juga dari retorika-retorika yang dikeluarkan oleh Presiden Ma Ying-jeou yang tidak akan bersifat provokatif dan mendorong Cina untuk mengeluarkan ancamanancaman kepada Cina. Permasalahan mengenai identitas di Cina selalu berkaitan dengan tema unifikasi dengan independensi. Retorika yang dibawakan oleh mantan Presiden Chen Shui-bian sangat kental dengan semangat akan Taiwan sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dan hal ini sering kali kemudian direalisasikan oleh Presiden Chen dengan usulan-usulan provokatif, seperti salah satunya yang paling terkenal adalah mengusulkan adanya referendum terkait dengan hubungan Cina-Taiwan pada 2004, dan referendum untuk mendaftarkan Taiwan sebagai anggota PBB dengan nama ‘Taiwan’.169 Ucapan-ucapan provokatif tersebut tidak muncul ketika Presiden Ma menjabat sebagai Presiden. Bahkan sebelum terpilih, presiden Ma telah menunjukkan bahwa ia ingin memperbaiki hubungan dengan Cina dengan mengakui kembali Konsensus 1992 yang sempat tidak diakui oleh Presiden Chen. Selain itu, setelah terpilih, Ma juga dengan tegas menyatakan mendukung “Three
168
Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 52. Austin Ramzy, “Taiwan’s President Calls for Vote,” Time, terakhir dimodifikasi pada 11 Juli 2007, diakses 26 Mei 2013, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html.
169
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
91
Nos” (No Unification, No independence, and no war).170 Hal tersebut mendukung kembali terbukanya kerjasama antara Cina dan Taiwan. Secara identitas, kebijakan identitas yang diberikan oleh Presiden Ma mungkin
tidak
merubah
tren
menurunnya
masyarakat
Taiwan
yang
mengidentifikasi dirinya sebagai Orang Cina, tetapi jika kita melihat pada grafik mengenai identifikasi vs. unifikasi,
Grafik 4.4.2.1 Tren Unifikasi vs Independensi Taiwan 1992-2012 Sumber: Election Study Center NCCU, “Important Political Attitude Trend Distribution,” grafik, http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6
Dari grafik di atas, dapat ditarik. Pertama, Presiden Ma Ying-jeou berhasil memanfaatkan momentum yang terjadi di Taiwan saat itu, untuk menghentikan gerakan pro-independensi yang terus meningkat. Bisa dilihat pada grafik satu, pilihan untuk independensi secepatnya melonjak sangat jauh pada rentang waktu 170
Sullivan dan Sapir, “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse,” 36. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
92
2000-2006, pada masa pemerintahan DPP. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap DPP akibat kasus-kasus korupsi dan kegagalannya memperbaiki kondisi ekonomi Taiwan diakui menjadi awal dari turunnya kejayaan DPP (dan kemudian mendorong mulai turunnya dukungan terhadap retorika pro-independensi). Presiden Ma Ying-jeou dengan demikian berhasil memanfaatkan momentum tersebut dan kemudian perlahan membawa dukungan terhadap independensi secepatnya untuk terus turun. Kesimpulan kedua yang dapat dilihat adalah dukungan terhadap status quo (dengan berbagai variasinya) masih mendapatkan lebih dari 50% dukungan masyarakat Taiwan. Hal ini menunjukkan bagaimana Presiden Ma masih mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat dalam usahanya mempertahankan hubungan Taiwan dan Cina. Lebih lanjut lagi, sebuah penelitian mengenai persepsi yang dirasakan oleh masyarakat Taiwan kepada perilaku ofensif yang diberikan oleh pemerintahan Cina juga menunjukkan hasil bahwa persepsi yang terbangun dari sisi Taiwan terhadap Cina menunjukkan penurunan persepsi ancaman dari Cina kepada Taiwan.171 Hal ini terutama terbangun karena semakin meningkatnya hubungan ekonomi antara Cina dan Taiwan menyebabkan semakin banyak kaum muda yang melihat bahwa Cina tidak akan bersifat konfliktual dengan Taiwan karena hubungan ekonomi yang terbentuk. 172 Sebaliknya, hubungan yang membaik antara Cina dan Taiwan juga memberikan dampak positif terhadap persepsi yang diberikan oleh penduduk Cina kepada Taiwan. Hal ini menunjukkan adanya timbal balik yang positif dari interaksi yang terjadi antara hubungan Cina dan Taiwan di bawah pemerintahan Presiden Ma Ying-jeou. Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bagaimana terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kebijakan identitas antara Presiden Ma dengan presiden Taiwan sebelumnya. Sesuai dengan analisa yang diberikan oleh Wendt, identitas sebuah negara dan kepentingannya merupakan hasil produksi dan re-produksi dari interaksi antara negara, dan melihat bahwa hubungan baik yang terjadi antara 171
“Beijing’s Hostility Toward ROC”, Mainland Affairs Council, diakses 1 Juni 2013, http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3. 172 Peter Enav, “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift,” News Daily, terakhir dimodifikasi pada 13 Mei 2013, diakses 2 Juni 2013, http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/taiwan-short-ofvolunteers-for-the-military. Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
93
Cina dengan Taiwan pada akhirnya memberikan hasil yang cukup positif dengan membaiknya persepsi Taiwan terhadap Cina dan sebaliknya. Kebijakan-kebijakan Presiden Ma terkait dengan identitas nasional Taiwan yang membangkitkan kembali hubungannnya dengan kebudayaan Cina, menurut penulis merupakan upaya Presiden Ma untuk memberikan intensi positif, karena Taiwanisasi yang terjadi sebelumnya menimbulkan ketegangan antara Cina dengan Taiwan. Dampak dari unsur domestik, tersebut, dengan demikian, melengkapi inisiatif yang tadinya telah dikembangkan dan berada di level eksternal. Berbeda dengan di bidang keamanan dan ekonomi, dengan demikian faktor internal dan eksternal memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan kebijakan identitas Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN Kebijakan luar negeri Taiwan terhadap Cina dalam hubungan antar-selat di bawah Presiden Ma Ying-jeou merupakan bagian dari dinamika yang cukup panjang yang telah beberapa kali berubah sejak Taiwan pertama kali berada di bawah kekuasaan penuh Republik Cina pada tahun 1949. Seperti yang telah dijelaskan, perubahan dalam dinamika tersebut bermula dengan perpanjangan perang sipil Cina di masa-masa awal kepemimpinan Chiang Kai-shek, mulai dibukanya hubungan antara Taiwan dan Cina secara informal dan di bidang ekonomi di bidang Chiang Ching-kuo, menguatnya hubungan ekonomi yang terus berkembang sejak saat itu, meskipun pada akhirnya hal tersebut tidak berpengaruh ke bidang politik karena ketegangan yang sempat naik di bawah Presiden Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian. Tugas akhir ini mencoba menilai kebijakan luar negeri Taiwan di bawah Presiden Ma Ying-jeou, di mana kebijakan luar negerinya berusaha untuk memperbaiki hubungan antar-selat. Tugas akhir ini membagi kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Pada bidang keamanan dipergunakan konsep Realisme Defensif yang dikembangkan oleh Shiping Tang untuk menjelaskan kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou. Shiping Tang memberikan penjelasan bahwa negara-negara memiliki tangga pilihan kebijakan keamanan, dari appeasement hingga preventive war. Shiping Tang menawarkan sebuah jenis kebijakan, yang dinamakan engagement. Menurut Shiping Tang, kebijakan engagement ini akan diimplementasikan oleh negara yang menganut Realisme Defensif, di mana terdapat perimbangan antara deterrence dengan reassurance. Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, Shiping Tang menjelaskan bahwa terdapat dua indikator yang dapat diberikan untuk menentukan apakah sebuah negara merupakan negara yang menganut realisme defensif atau ofensif, yaitu keberadaan adanya security dilemma yang akan melimitasi tindakan sebuah negara dan apakah sebuah negara melaksanakan sikap self-restraint.
94 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
95
Temuan dalam kebijakan keamanan Presiden Ma Ying-jeou menunjukkan bagaimana Presiden Ma Ying-jeou berusaha untuk melaksanakan engagement kepada Cina. Hal ini dibuktikan berdasarkan adanya penurunan anggaran pertahanan Taiwan, yang merupakan bentuk reassurance yang diberikan oleh Ma Ying-jeou kepada Cina bahwa Taiwan tidak akan terdorong untuk menambah anggaran pertahanannya karena Taiwan. Hal ini merupakan salah satu unsur dari intensi baik yang ditunjukkan oleh Taiwan. Lebih lanjut lagi, Taiwan juga memberikan ajakan untuk bekerjasama, yang tergambar jelas terutama di bidang ekonomi. Terkait dengan deterrence, faktor eksternal dalam hubungan kedua negara ini, yaitu Amerika Serikat, memegang peranan penting, yang menyebabkan Cina untuk melimitasi provokasi-provokasi militer kepada Taiwan. Dalam menjustifikasi kebijakan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Shiping Tang, terdapat dua indikator yang dapat menjelaskan mengapa Taiwan mengambil kebijakan engagement tersebut. Penemuan dari dua indikator di atas menunjukkan bahwa Cina merupakan negara yang cenderung masih menganut realisme ofensif, terutama dalam hubungannya dengan Taiwan. Biarpun Cina mengakui adanya security dilemma terhadap naiknya kekuatan ekonomi dan pertahanan Cina (yang kemudian mendorong Cina memunculkan konsep ‘Peaceful Rise’), tetapi implementasi dari kesadaran tersebut tidak terlihat karena Cina masih intensif mengembangkan kekuatan militernya, dan bahkan secara spesifik mentarget Taiwan dalam pengembangan militernya tersebut. Di bidang domestik sendiri, terlihat adanya beberapa kondisi yang menguntungkan bagi kebijakan engagement untuk dilaksanakan, seperti dukungan publik dan dukungan dari parlemen Taiwan. Hanya saja, faktor-faktor domestik tersebut tidak memegang perananan sebesar faktor Cina sebagai penentu kebijakan keamanan Taiwan. Di dalam bidang ekonomi, dinamika hubungan Taiwan dan Cina diwarnai dengan meningkatnya nilai investasi dan perdagangan antara kedua negara. Taiwan memiliki peran cukup besar dalam membantu Cina memiliki pertumbuhan seperti saat ini, dan sebaliknya Taiwan juga cukup bergantung pada Cina sebagai tujuan utama ekspor barang-barang Taiwan. Hanya saja, menilik sejarah di mana Taiwan sempat diperintah oleh Chen Shui-bian, yang memiliki
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
96
agenda-agenda independensi, hubungan ekonomi yang baik tersebut dapat terancam. Oleh karena itu dimulailah institusionalisasi dalam hubungan ekonomi kedua negara dalam bentuk Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). ECFA ini kemudian telah dibuktikan untuk mencukupi 4 elemen yang harus dimiliki oleh sebuah institusi, yaitu adanya prinsip, norma, aturan-aturan, dan decision-making process. Lebih lanjut lagi, proses institusionalisasi ini kemudian ditelaah melalui perspektif Neoliberal Institusionalisme. Perspektif ini memberikan peran penting terhadap institusi, di mana keuntungan-keuntungan yang didapat dari institusi tersebut dapat mengurangi efek buruk dari security dilemma yang tercipta dalam sistem internasional yang anarki. Secara lebih spesifik, Robert Keohane menuliskan bahwa keuntungan tersebut dapat diantisipasi terjadi dalam hal legal liability, transaction cost, dan uncertainty and information. Dari penemuanpenemuan yang terjadi, baik pra penandatanganan dan paska implementasi ECFA, terlihat bahwa ECFA dapat memenuhi beberapa keuntungan yang telah diantisipasi. Keuntungan dari sisi legal liability, di mana ekspektasi akan hubungan yang terus berjalan stabil, dibuktikan dengan hubungan dagang yang makin menguat. Dari segi transaction cost, keberadaaan ECFA membuat penandatanganan kerjasama antara Taiwan dan Cina dalam hal lain di bidang ekonomi, menjadi lebih mudah tercipta. Dari segi uncertainty and information, intensitas pertemuan yang rutin keduanya lakukan akibat ECFA menyebabkan koordinasi kebijakan antara keduanya akan lebih mudah dilakukan, biarpun terdapat sebuah loophole dalam sisi ini, akibat adanya klausa yang memperbolehkan pembatalan unilateral terhadap ECFA ini. Di level domestik, terdapat dukungan dan hambatan terhadap ECFA ini, namun besarnya insentifinsentif dari hubungan Cina dan Taiwan di bidang ekonomi yang membaik membuat hambatan-hambatan domestik dapat dilewati. Dalam aspek identitas, telah dijelaskan terlebih dahulu secara mendalam bagaimana identitas nasional memegang aspek penting dalam kehidupan Taiwan sebagai sebuah negara. Evolusi identitas di Taiwan terjadi saat kebijakan OneChina Policy di bawah Kuomintang, kemudian secara perlahan berubah karena adanya dorongan demokratisasi yang membuat identitas taiwanese semakin
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
97
berkembang dan balik mendominasi di Taiwan. Permasalahan di Taiwan adalah identitas tersebut amat besar kaitannya dengan politik, di mana hal ini terlihat sangat besar pada saat Taiwan dipimpin Chen Shui-bian. Taiwanisasi yang diintensifikasi di bawahnya kemudian diikuti oleh agenda-agenda kemerdekaan yang memprovokasi Cina. Hal tersebut mengakibatkan meruncingnya hubungan antara Cina dengan Taiwan, membuat keduanya memandang satu dengan lainnya sebagai musuh. Dalam teori yang dikembangkannya yang kemudian dikenal sebagai Systemic Constructivism, Alexander Wendt menjelaskan bahwa interaksi antara negara memegang peranan penting dalam membentuk identitas dan kepentingan negara tersebut satu dengan lainnya dan kemudian identitas dan kepentingan tersebut membentuk interaksi antar negara tersebut selanjutnya. Dalam konteks hubungan Taiwan dan Cina, yang meruncing di bawah Chen Shui-bian, inisiatifinisiatif coba diberikan oleh Kuomintang yang kala itu menjadi oposisi dari Chen Shui-bian. Nyatanya, inisiatif tersebut direspons positif oleh Beijing, menciptakan interaksi yang positif dan selanjutnya membentuk identtias dan kepentingan antara KMT (yang kemudian memegang kekuasaan Taiwan di bawah Presiden Ma) dan Beijing. Hal ini terlihat dari respons positif Beijing terhadap terpilihnya Ma dan juga dari diterimanya proposal-proposal untuk bekerjasama yang diberikan oleh Presiden Ma kepada Beijing. Di level domestik, Presiden Ma sebaliknya mencoba membangun identitas nasional yang mengembalikan identitas Taiwan pada budaya Cina. Menurut Wodak, dalam penjelasannya mengenai diskursus pembentukan identitas, terdapat 5 elemen diskursus yang harus dibentuk, yaitu national spirit, historical memory, anticipation and future orientation, national body, dan nameable beginning. Dari pidato-pidato yang diberikan oleh Presiden Ma, baik secara kuantitatif, dan dari sisi kontennya, terlihat bahwa 5 elemen tersebut memang digambarkan kembali memiliki sisi chinese yang kuat, Hal ini menurut Ma akan membawa harmoni yang dibutuhkannya, dan dari segi hubungan antara Taiwan dan Cina, Cina sendiri akan lebih tenang dengan perkembangan identtitas tersebut dibandingkan dengan Taiwanisasi yang dikembangkan oleh Chen Shui-bian.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
98
Dari analisa tiga bidang dalam hubungan antar-selat Taiwan dan Cina, kita dapat melihat terjadinya hubungan yang membaik antara Taiwan dengan Cina, terutama di bidang ekonomi. Kebijakan Presiden Ma Ying-jeou, dengan demikian, dapat dikategorikan sebagai bentuk consensus-oriented foreign policy. Apabila dikomparasikan dengan Cina dalam hubungan bilateral antara Taiwan dan Cina, dapat dikatakan Taiwan merupakan negara dengan power yang lebih kecil. Inisiatif-inisiatif yang diberikan oleh Presiden Ma Ying-jeou seperti yang digambarkan di atas, menunjukkan unsur inisiatif dan keinginan dari sisi Taiwan untuk memperbaiki hubungannya dengan Cina, membedakannya dengan compliant foreign policy, counterdependence, dan compensation. KEBIJAKAN EKONOMI
KEBIJAKAN KEAMANAN
KEBIJAKAN IDENTITAS
Gambar 5.1 Segitiga Kebijakan Luar Negeri Presiden Ma Ying-jeou Segitiga di atas mencoba menggambarkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bawah Presiden Ma memiliki tiga fondasi dasar, yaitu di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Perlu diperhatikan adalah posisi dari kebijakan ekonomi yang ditempatkan di atas kebijakan keamanan dan kebijakan identitas. Alasan dari penempatan tersebut adalah karena kebijakan ekonomi yang merupakan fokus utama dari hubungan Taiwan dan Cina yang ingin diperbaiki oleh Presiden Ma. Seperti yang telah terlihat, progres yang sangat besar dapat
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
99
dilihat di bidang ekonomi, di mana institusionalisasi terjadi, sementara di bidang keamanan, masih terdapat masalah-masalah yang sensitif seperti masih adanya pengarahan misil ke Taiwan dari Fujian, dan di bidang identitas, identitas asli Taiwan masih jauh melebihi orang orang yang merasa dirinya chinese. Hal ini juga terlihat dari peran dan efek dalam hubungan antara ketiga kebijakan tersebut. Pada kebijakan keamanan, di mana terjadi engagement, salah satu unsur penting dalam reassurance dan ajakan kerjasama diberikan oleh Taiwan melalui tawaran-tawaran dalam bentuk kebijakan ekonomi. Pada bidang identitas, salah satu tujuan dari Presiden Ma untuk memperbaiki disparitas antara taiwanese dan chinese adalah untuk mencegah munculnya hambatan dalam kerjasama ekonomi kedua negara. Negara dapat bekerjasama dengan baik ketika negara tersebut memiliki pandangan identitas yang positif kepada negara lainnya, dan usaha Presiden Ma dengan kebijakan identitasnya dengan demikian memiliki kepentingan ekonomi sebagai hasil akhirnya. Dengan demikian, kebijakan ekonomi memiliki peranan penting dalam upaya besar Presiden Ma Ying-jeou memperbaiki hubungan antar-selat Taiwan dan Cina.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
“A Century of Struggle, a Democratic Taiwan.” Taiwan Embassy in Canada. diakses 27 Mei 2013. http://www.taiwanembassy.org/CA/ct.asp?xItem=225082&ctNode=150&m p=77. Albright, Susan. “Taiwan’s New President Will Try to Calm the Waters.” Minneapolis Post, 25 Maret 2008. Diakses 12 Juni 2013. http://www.minnpost.com/politics-policy/2008/03/taiwans-new-presidentwill-try-calm-waters. Amae, Yoshihisa dan Jens Damm. “”Whither Taiwanization?” State, Society, and Cultural Production in the New Era.” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 3-17. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/402/400. Anlin, Yan. “Cross-Taiwan Strait Relations and Beijing’s Taiwan Policy Adjustment since 1979.” di dalam Cross-Taiwan Straits Relations Since 1979: Policy Adjustment and Institutional Change Across The Strait, ed. Kevin G. Cai, 21-50. Singapore: World Scientific Publishing, 2011. “Beijing’s Hostility Toward ROC.” Mainland Affairs Council. Diakses 1 Juni 2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=103737&ctNode=7366&mp=3. Blanchard, Ben dan John Ruwitch. “China Hikes Defense Budget, to Spend More on Internal Security.” Reuters, 5 Maret 2013. Diakses 12 Juni 2013. http://www.reuters.com/article/2013/03/05/us-china-parliament-defenceidUSBRE92403620130305.
100 Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
101
Bozdaglioglu, Yucel. “Constructivism and Identity Formation: An Interactive Approach.” Review of International Law and Politics 3, no. 11 (2007): 121144. Diakses 1 Juni 2013. http://www.usak.org.tr/dosyalar/dergi/3abv06hKYpVj1fK71jEi4AP2g6ctBc .pdf. Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave Macmillan, 2007. “Brief Summary Cross-Strait Economic Statistics 2011.” Mainland Affairs Council. Diakses 12 Mei 2013. http://www.mac.gov.tw/public/Attachment/22159522847.pdf. Castells, Manuel. The Power of Identity 2nd Ed. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd., 2010. Chang, Hui-Ching dan G. Richard Holt. “Naming China: An Analysis of Taiwan’s National Day Speeches.” Journal of Language and Politics, no.10 (2011): 396-415. Diakses 4 Juni 2013. http://www2.comm.niu.edu/faculty/rholt/eoc/CVnamingChina.pdf. Chao, Vincent Y. “DPP Decries Dependency on PRC.” Taipei Times, 17 Juni 2011. Diakses 12 Juni 2013. http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2011/06/17/2003505997. Chao, Vincent Y. “Pundits Says Defense Cuts Invite Aggression.” Taipei Times, 22 Juni 2011. Diakses 21 Desember 2012. http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2011/06/22/2003506383. Chase, Michael S. “Taiwan’s Defense Budget Dilemma: How Much is Enough In An Era of Improving Cross-Strait Relations.” China Brief 8, no. 15 (2008). Diakses 21 Desember 2012.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
102
http://www.jamestown.org/programs/chinabrief/single/?tx_ttnews%5Btt_ne ws%5D=5061&tx_ttnews%5BbackPid%5D=168&no_cache=1. Chen, Ezra N.H. “The Economic Integration of Taiwan and China and Its Implications for Cross-strait Relations.” Makalah, Harvard University, 2003. http://programs.wcfia.harvard.edu/files/fellows/files/chen.pdf. Chen, York W. “The Modernization of Taiwan’s National Security Council.” China Brief 10, no. 22 (2010). Diakses 9 Mei 2013. http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=37144 &tx_ttnews[backPid]=7&cHash=4a95d2f20a#.UdmQElPWEUs. Cheung, Gordon C.K. “New Approaches to Cross-Strait Integration and its Impacts on Taiwan’s Domestic Economy: An Emerging “Chaiwan”?.” Journal of the Current Chinese Affairs/China Aktuell 39, no. 1 (2010): 1136. Diakses 8 Juli 2013. http://journals.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/199. Chiang, Min-Hua. “Cross-Strait Economic Integration in the Regional Political Economy.” International Journal of China Studies 2, no. 3 (2011): 681-700. Diakses 2 Juni 2013. http://cmsad.um.edu.my/images/ics/IJCSV2N3/IJCSV2N3-chiang.pdf. Chiu, Yut-zu. “Chen to Tighten Cross-Strait Policies.” Taipei Times, 2 Januari 2006. Diakses 1 Juni 2013. http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2006/01/02/2003287016. Chu, Monique. “Taiwan and the United Nations – Withdrawal in 1971 was a Historic Turning Point.” Taipei Times, 12 September 2001. Diakses 1 Juni 2013. http://www.taipeitimes.com/News/local/archives/2001/09/12/102595.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
103
Chu, Yun-han. “Rapprochement in The Taiwan Strait: Opportunities and Challenges for Taipei.” East Asian Policy 1, no. 4 (2009): 77-86. Diakses 8 Juli 2013. http://www.eai.nus.edu.sg/Vol1No4_ChuYunhan.pdf. Clinton, Hillary. “America’s Pacific Century: The Future of Politics will be decided in Asia, not Afghanistan or Iraq, and the United States Will Be Right at the Center of Action.” Foreign Policy, 11 Oktober 2011. Diakses 4 November 2012. http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/10/11/americas_pacific_centur y. Cody, Edward. “China Sends Warning to Taiwan with Anti-Secession Law.” The Washington Post, 8 Maret 2005. Diakses 3 Juni 2013. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A15294-2005Mar7.html. Deans, Phil. “Cross-Strait Relations since 1949: From Radicalism to Conservatism and Back Again.” China Aktuell 34, no. 3 (2005): 25-36. Diakses 12 Mei 2013, http://www.gigahamburg.de/openaccess/chinaaktuell/2005_3/giga_cha_2005_3_deans.pdf. Dong, Wang. “ECFA and the Elections: Implications for Cross-Strait Relations,” China Brief 12, no. 1 (2012). Diakses 1 Juni 2013. http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=38855 . Duchatel, Mathieu. “Between Hedging and Bandwagoning for Profit: Taiwan’s Mainland Policy Under Ma Ying-jeou.” Makalah dipresentasikan dalam Track Two Dialogue on EU-China Relations and the Taiwan’s Questions, Shanghai, 5-6 Juni, 2010.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
104
“ECFA Background,” Mainland Affairs Council. Terakhir dimodifikasi 21 April 2010. Diakses 21 Mei 2013. http://www.mac.gov.tw/public/data/051116322071.pdf. ECFA. Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement. http://www.ecfa.org.tw/EcfaAttachment/ECFADoc/ECFA.pdf. Eckert, Paul. “U.S. to announce F-16 upgrade for Taiwan: Lobby Group.” Reuters, 16 September 2011. Diakses 1 Juni 2013. http://www.reuters.com/article/2011/09/16/us-usa-taiwan-fidUSTRE78F2L620110916. “Eighth Chiang-Chen Talks Are Succesfully Held: The SEF and the ARATS sign the ‘Cross-strait Investment Protection and Promotion Agreement’ and the ‘Cross-strait Customs Cooperation Agreement’ and announce a ‘Consensus on the Protection of Perosonal Freedom and Safety’ in Regards to the Investment Protection Agreement.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 15 Agustus 2012. Diakses 5 Juni 2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=102788&ctNode=7316&mp=181. Election Study Center, N.C.C.U. “Important Political Attitude Trend Distribution.” Grafik. http://esc.nccu.edu.tw/english/modules/tinyd2/index.php?id=6. Enav, Peter. “Taiwan Runs Short of Volunteers in Military Shift.” News Daily, 13 Mei 2013. Diakses 2 Juni 2013, http://www.newsdaily.com/article/fae3865c11320c484a8ab2ccf7d3c9a4/tai wan-short-of-volunteers-for-the-military. Fan, Cheng-hsian dan Su Yung-yao. “President Exalts Yellow Emperor.” Taipei Times, 4 April 2012. Diakses 27 Mei 2013. http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2012/04/04/2003529457.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
105
Gang, Lin. “KMT Split Handed Chen Presidential Victory.” Canada Institute. Terakhir dimodifikasi 1 April 2000. Diakses 16 Mei 2013. www.wilsoncenter.org/article/kmt-split-handed-chen-the-presidentialvictory. Goldstein, Steven. “Cross-Strait Relations on The Eve of Ma Ying-jeou’s Second Term.” The National Bureau of Asian Research. Dimodifikasi terakhir 17 Mei 2011. Diakses 5 Juli 2013. http://www.nbr.org/research/activity.aspx?id=252#.UdYhclPWEUs. Hickey, Dennis Van Vranken. Foreign Policy Making in Taiwan: From Principle to Pragmatism. New York: Routledge, 2007. Huang, Alexander Chieh-cheng. “A Midterm Assessment of Taiwan’s First Quadrennial Defense Review.” Makalah, Brookings Institution, 2011. http://www.brookings.edu/research/papers/2011/02/taiwan-huang Hughes, Christopher. Taiwan and Chinese Nationalism: National Identity and Status in International Society. London: Routledge, 1997. Jehnings, Ralph. “Taiwan’s New Leader’s Take Office On China Pledges.” International Herald Tribune, 20 Mei 2008. Diakses 18 November 2012. http://www.iht.com/articles/reuters/2008/05/20/asia/OUKWD-UKTAIWAN-PRESIDENT.php. Johnston, Christie. “Talking to Taiwan’s New President.” Times, 11 Agustus 2008. Diakses 19 November 2012. http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1831748,00.html?xid=rsstopstories.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
106
Kahn, Joseph dan Keith Bradsher. “Beijing Accuses Taiwan Leader of ‘Grave Provocation’.” The New York Times, 1 Maret 2006. Diakses 26 Juni 2013. http://www.nytimes.com/2006/03/01/international/asia/01taiwan.html?_r=0. Kan, Shirley A. “Taiwan: Major US Arms Sales since 1990,”Taiwan: Major US Arms Sales since 1990.” Terakhir Dimodifikasi 3 Juli 2013. Diakses 25 Mei 2013. http://www.fas.org/sgp/crs/weapons/RL30957.pdf. Keohane, Robert O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. New Jersey: Princeton University Press, 1984. Lee, Shiao-Feng. “The 228 Incident.” Taipei Times, 28 Februari 2004. Diakses 13 Mei 2013. http://www.taipeitimes.com/News/editorials/archives/2004/02/28/20031004 72. Lin, George Y.C. “The Background and Impacts of ECFA on China and Taiwan.” Makalah dipresentasikan di National Chung Cheng University, Taiwan, 19 Maret 2011. Liu, Fu-kuo. “The Dynamics of Cross-Strait Relations: Heading for Peace or Unknown Ground?.” Brookings Institution. Terakhir dimodifikasi 19 Juli 2011. Diakses 1 Juni 2013. http://www.brookings.edu/research/articles/2011/07/19-cross-straitrelations-liu. Lutgard, Lams dan Xavier Li-Wen Liao. “Tracing “Taiwanization” Processes in Taiwanese Presidential Statements in Times of Cross-Strait Rapprochement.” Journal of Current Chinese Affairs 40, no. 1 (2011): 6398. Diakses 21 Desember 2012. http://hup.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/404/402.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
107
Mainland Affairs Council, Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement: Policy Explanation. Taiwan: Mainland Affairs Council, 2009. http://www.mac.gov.tw/public/Data/962614391871.pdf. Manthorpe, Jonathan. Forbidden Nation: A History of Taiwan. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Mearsheimer, John J. The Tragedy of Great Power Politics. New York: W.W. Norton and Company, 2001. Minnick, Wendell. “CRS Report Reviews US, Taiwan Relations.” Defense News, 24 Mei 2012. diakses 21 Desember 2012. http://www.defensenews.com/article/20120524/DEFREG02/305240003/CR S-Report-Reviews-Taiwan-Security-U-S-Relations. Mo, Yan-Chih, Ko Shu-ling, dan Shih Hsiu-cuan, “Decisive Victory for Ma Yingjeou.” Taipei Times, 23 Maret 2008. Diakses 2 Juni 2013. http://www.taipeitimes.com/News/front/archives/2008/03/23/2003406711. Mo, Yan-Chih. “Legislative Elections and Referendums: KMT Vows Not to Abuse Power.” Taipei Times, 13 Januari 2008. Diakses 8 Juli 2013. http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/13/2003396903. People’s Daily. “Chinese Mainland Residents Greet KMT Leader’s Visit with Open Arm.” 26 April 2005. Diakses 24 Mei 2013 http://english.peopledaily.com.cn/200504/26/eng20050426_182817.html. “President Chen Reiterates ‘Four Noes, One Without’ Policy.” Taipei Economic and Cultural Representative Office in the U.S. Dimodifikasi terakhir 11 Maret 2003. Diakses 5 Juli 2013. http://www.taiwanembassy.org/US/ct.asp?xItem=11637&ctNode=2300&m p=12&nowPage=54&pagesize=15.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
108
Quadrennial Defense Review Editing Group Ministry of National Defense. Quadrennial Defense Review 2009. Taipei City: Ministry Of National Defense, 2009. Ramzy, Austin. “Taiwan’s President Calls for Vote.” Time, 11 Juli 2007. Diakses 26 Mei 2013, http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1642169,00.html. “Remarks by Minister Lai in The Meeting with ARATS Delegation.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 21 Desember 2010. Diakses 1 Juni 2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=92596&ctNode=6863&mp=205. Shih, Hsiu-chuan. “Abandoning Taiwan is ‘unthinkable’, ex-Obama administration official says.” Taipei Times, 28 Maret 2012. Diakses 12 Juni 2013. http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2012/03/28/2003528896. Sterling-Folker, Jennifer. “Neoliberalism.” dalam International Relations Theories: Discipline and Diversity, 3rd ed., ed. Tim Dunne, Milja Kurki, dan Steve Smith, 114-131. New York: Oxford University Press, 2010. Sullivan, Jonathan dan Eliyahu V. Sapir. “Ma Ying-jeou’s Presidential Discourse.” Journal of Current Chinese Affairs 41, No. 3 (2012): 33-68. Diakses 24 Mei 2013. http://hup.sub.unihamburg.de/giga/jcca/article/view/533/531. Sun, Yunlong. “Backgrounder: Key Talks Between ARATS and SEF.” Xinhua News Agency, 3 November 2008. Diakses 12 Juni 2013. http://news.xinhuanet.com/english/2008-11/03/content_10300714.htm.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
109
Taipei Times. “Taiwan’s UN Bid Doomed to Fail.” 14 Agustus 2005. Diakses 20 Mei 2013. http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2005/08/14/2003267683. “Taiwan History.” Taiwanese Cultural Society. Diakses 14 Mei 2013. http://taiwanese.stanford.edu/taiwan-history. “Taiwan-China Trade Reached US$168,96 billion in 2012: China Customs.” Taipei Mission in The Republic of Latvia. Dimodifikasi terakhir 18 Januari 2013. Diakses 1 Juni 2013. http://www.roctaiwan.org/LV/ct.asp?xItem=345712&ctNode=7925&mp=507. “Taiwan’s Renaissance: President Ma Ying-jeou Inaugural Address.” Office of the President Republic of China (Taiwan). diakses 27 Mei 2013. http://english.president.gov.tw/Portals/4/images/PresidentOffice/AboutPresi dent/pdf/section1.pdf. Tang, Shiping. A Theory of Security Strategy for Our Time: Defensive Realism. New York: Palgrave Macmillan, 2010. Tayfur, M. Fatih. “Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review.” METU Studies in Development 21, no. 1 (1994): 113-141. Diakses 8 Juli 2013. http://www.metu.edu.tr/~tayfur/reading/main_approaches.pdf. The China Post, “ECFA Signed.” 30 Juni 2010. Diakses 1 Juni 2013. http://www.chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwanrelations/2010/06/30/262692/ECFA-signed.htm. “The 1992 Consensus: The Foundation for Cross-Strait Peace and Stronger International Links.” Taipei Economic and Cultural Office in Canada. Dimodifikasi terakhir 7 September 2011. Diakses 6 November 2012.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
110
http://www.roctaiwan.org/CA/ct.asp?xItem=219017&ctNode=150&mp=77&nowPage=4& pagesize=15. The China Post. “Chiang-Chen Meeting to Herald Start of ECFA Talks.” 18 November 2009. Diakses 1 Juni 2013. http://chinapost.com.tw/taiwan/china-taiwanrelations/2009/11/18/233152/Chiang-Chen-meeting.htm. The China Post. “Taiwan and China in ‘Special Relations’: Ma.” 04 September 2008. Diakses 18 November 2012. http://www.chinapost.com.tw/taiwan/chinataiwan%20relations/2008/09/04/173082/Taiwan-and.htm. The Economist, “Peaceful Rise.” 24 Juni 2004. Diakses 12 Juni 2013, http://www.economist.com/node/2792533. “The Seventh Chiang-Chen Talks Come to A Smooth Conclusion with Fruitful Results.” Mainland Affairs Council. Dimodifikasi terakhir 20 Oktober 2011. Diakses 5 Juni 2013. http://www.mac.gov.tw/ct.asp?xItem=98999&ctNode=7228&mp=118. “The Taiwan Strait Crises 1954-55 and 1958.” U.S. Department of State. Diakses 1 Juni 2013. http://2001-2009.state.gov/r/pa/ho/time/lw/88751.htm. Tkacik Jr., John J. “China’s ‘Peaceful’ Rise at Stake in Power Struggle.” Asia Times, 8 September 2004. Diakses 12 Juni 2013. http://www.atimes.com/atimes/China/FI08Ad03.html. Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics.” International Organization 46, no. 2 (1992): 391-425. Diakses pada 1 Mei 2013. http://www.jstor.org/stable/2706858.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014
111
Wodak, Ruth, Rudolf de Cicilia, Martin Reisigl, dan Karin Liebhart. The Discursive Consruction of National Identity. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009. Wu, Zhong. “Taiwan’s Ma Strides Across the Strait.” Asia Times, 10 Februari 2011. Diakses 12 Juni 2013. http://www.atimes.com/atimes/China/MB10Ad01.html. Xie, Yu. “Taiwan Parties Clash over ECFA.” China Daily, 26 April 2010. Diakses 1 Juni 2013. http://www.chinadaily.com.cn/china/201004/26/content_9772390.htm. Yan, Jiann-fa. “A Preliminary Probe into The Chinese Policy of the Ma Ying-jeou Administration.” Taiwan International Studies Quarterly 5, no. 3 (2009): 125. Diakses 8 Juni 2013. http://www.tisanet.org/quarterly/5-3-1.pdf. Yeh, Joseph. “Negotiations with Singapore on Free Trade Pact Completed, Signings Expected.” The China Post, 18 Mei 2013. Diakses 1 Juni 2013. http://www.chinapost.com.tw/taiwan/foreignaffairs/2013/05/18/378899/Negotiations-with.htm. Zhuang, Pinghui. “China’s Rise is Peaceful, Xi Jinping Tells Foreign Experts.” South China Morning Post, 6 Desember 2012. Diakses 12 Juni 2013. http://www.scmp.com/news/china/article/1098533/chinas-rise-peaceful-xijinping-tells-foreign-experts.
Universitas Indonesia
Kebijakan luar ..., Fahmi Islami, FISIP UI, 2014