UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA TITAN CENTER JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05 BINTARO JAYA SEKTOR 7 TANGERANG PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
YULIANA, S.Farm. 1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA TITAN CENTER JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05 BINTARO JAYA SEKTOR 7 TANGERANG PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
YULIANA, S.Farm. 1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012 i
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Dexa Medica pada periode 2 April-1 Juni 2012 dan menyelesaikan laporan ini. Kegiatan PKPA dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan dalam dunia pekerjaan. Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Profesi Apoteker dan memperoleh gelar Apoteker Program Studi Profesi Apoteker - Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulisan laporan ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Raymond R. Tjandrawinata, Ph.D., MBA., selaku Director of Scientific Affairs and Business Development dan Pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk dapat melaksanakan PKPA di Departemen Business Development PT. Dexa Medica dan telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan kepada Penulis. 2. Ibu Helen Corana, S.Si., Apt., MM., selaku Business Development Manager dan Pebyani S. Farm, Apt., selaku Business Development Senior Officer atas kesempatan yang diberikan untuk dapat melaksanakan PKPA di Departemen Business Development PT. Dexa Medica dan telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan kepada Penulis. 3. Ibu Gloria S. Haslim, selaku Leader Dharma Dexa dan Ibu Gwendoline Desi Pranatalia selaku Manager Dharma Dexa yang sudah memberikan kesempatan dan membantu Penulis dalam pelaksanaan teknis PKPA di PT. Dexa Medica 4. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, Apt., MS., selaku Ketua Departemen Farmasi FMIPA UI.
iii
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
5. Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker dan pembimbing PKPA dari Departemen Farmasi FMIPA UI yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, dan masukkan kepada penulis. 6. Seluruh staf dan karyawan Departemen Business Development PT. Dexa Medica yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala keramahan dan bantuan selama penulis melaksanakan PKPA. 7. Seluruh staf pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Departemen Farmasi FMIPA UI atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 8. Keluarga tercinta, Yulia Setia dan Erik Lius atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran, semangat dan doa yang tidak henti-hentinya. 9. Teman-teman Apoteker Angkatan 74 D epartemen Farmasi FMIPA UI atas dukungan dan kerja sama selama ini. 10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan PKPA ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan PKPA ini. Semoga laporan PKPA ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
2012
iv
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................... DAFTAR ISI ..........................................................................................
i ii iii v
BAB 1 . PENDAHULUAN .................................................................. 1.1 Latar Belakang .................................................................... 1.2 Tujuan ................................................................................
1 1 3
BAB 2. TINJAUAN UMUM ............................................................... 2.1 Industri Farmasi .................................................................. 2.2 Persyaratan Usaha Industri Farmasi.................................... 2.3 Perizinan Pendirian Industri Farmasi .................................. 2.4 Cara Pembuatan Obat yang Baik ........................................ 2.5 Pendaftaran Obat Jadi .........................................................
4 4 4 4 8 16
BAB 3. TINJAUAN KHUSUS ............................................................. 3.1 PT. Dexa Medica ................................................................ 3.2 Visi dan Misi PT. Dexa Medica .......................................... 3.3 Logo PT. Dexa Medica ....................................................... 3.4 Produk PT. Dexa Medica .................................................... 3.5 Struktur Organisasi PT. Dexa Medica ................................ 3.6 Departemen Business Development PT. Dexa Medica ....... 3.7 Pengembangan Produk Obat Baru PT. Dexa Medica .........
20 20 21 22 22 23 23 24
BAB 4. PEMBAHASAN .......................................................................
25
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 5.1 Kesimpulan ........................................................................ 5.2 Saran ..................................................................................
30 30 30
DAFTAR ACUAN.................................................................................
32
v
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Industri farmasi merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
memegang peranan penting dalam pengadaan obat yang bermutu. Konsistensi pemenuhan mutu obat yang dihasilkan oleh industri farmasi wajib menerapkan pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), baik industri pemilik modal dalam negeri maupun pemilik modal asing. Perkembangan industri farmasi di Indonesia berjalan dengan sangat cepat. Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak merupakan pasar farmasi yang sangat menjanjikan. Untuk itu sangat besar peranan yang dapat diambil oleh industri farmasi dalam membantu pemerintah untuk mewujudkan kesehatan masyarakat melalui penyediaan obat yang dibutuhkan di sarana pelayanan kesehatan. Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, pola penyakit juga mengalami perubahan. Selain itu pesatnya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang juga memberi dampak yang cukup besar bagi semua perubahan, khususnya perubahaan di bidang industri farmasi (Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Pada kenyataan, tidak banyak industri farmasi yang mampu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi bahkan untuk melesat mencapai puncak keberhasilan ditengah kondisi seperti ini. Hanya industri farmasi yang memiliki komitmen yang kuat dalam mengabdi bagi kemajuan kesehatan, memiliki strategi perusahaan yang baik dan memanfaatkan peluang yang ada serta berusaha untuk mengembangkan
perusahaannya
yang
dapat
mempertahankan
bahkan
meningkatkan perjalanan bisnis industri farmasinya. Salah satu perusahaan industri farmasi di Indonesia yang tidak diragukan lagi komitmen dan perjalanan usaha industri farmasinya adalah PT. Dexa Medica yang berdiri sejak tahun 1969 di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. PT. Dexa Medica merupakan salah satu industri farmasi yang sangat tanggap akan perubahan dan berusaha menjadi yang terdepan dalam hal pemenuhan kebutuhan di bidang farmasi. Hal ini dapat dilihat dari prestasi yang telah dicapai oleh PT. Dexa Medica sampai saat ini. 1
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
2
Pada tahun 1993, PT. Dexa Medica berada pada posisi ke-25 di antara 160 perusahaan farmasi (40 perusahan asing, 4 BUMN dan 116 swasta nasional). Kemudian dalam jangka waktu 5 tahun, di tahun 1998 PT. Dexa Medica masuk dalam urutan 10 besar. Tahun 2001, Dexa naik peringkat menjadi urutan 5 besar produsen farmasi dan obat-obat ethical. PT. Dexa Medica mencatat pertumbuhan bisnis yang sangat signifikan yaitu 25-30% per tahun, jauh di atas angka pertumbuhan industri farmasi dan obat-obatan yang hanya 15% (SWA Digital, 2004). PT. Dexa Medica sukses merambah pasar internasional. Selain menguasai pasar dalam negeri dan menjadi lima besar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, PT. Dexa Medica juga eksis di pasar global di tujuh negara dan Dexa Medica terus mempersiapkan diri menjelang pasar perdagangan bebas AFTA tahun 2015 (Kompas, 2011a; Kompas, 2011b). PT. Dexa Medica memiliki dedikasi tinggi dalam perkembangan di bidang obat yang dapat dilihat dari setiap prestasi yang telah dicapai selama perjalanan karirnya di bidang industri farmasi. Perkembangan ini sangat didukung dengan adanya ide-ide pengembangan baru terhadap produk-produk obat sehingga dapat senantiasa memenuhi kebutuhan masyarakat. Apoteker sebagai salah satu tenaga profesional yang berkaitan erat dengan produk obat memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan obat baru yang berkualitas, aman dan terjangkau. Hal ini akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di samping industri farmasi juga akan mendapatkan keuntungan dalam kemajuan bisnisnya. Peran apoteker yang sangat potensial dalam industri farmasi terutama dalam hal pengembangan produk obat mendorong Program Profesi Apoteker, Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia bekerja sama untuk menyelenggarakan Program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Dexa Medica pada Departemen Business Development yang berlokasi di Kantor Pusat PT. Dexa Medica Group, Titan Center, Jalan Boulevard Bintaro Blok B7/B1 nomor 5, Bintaro Jaya Sektor 7, Tangerang. Diharapkan calon apoteker dapat lebih mengenal, memahami dan memperoleh gambaran tentang aktivitas dan pekerjaan di industri farmasi khususnya di bidang Business Development. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
3
1.2
Tujuan Mengetahui peran dan tanggung jawab apoteker di industri farmasi, serta
mengamati dan memahami aktivitas kerja sehari-hari di industri farmasi, khususnya di Departemen Business Development PT. Dexa Medica.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1
Industri Farmasi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi, yang dimaksud dengan Indusri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan.
2.2
Persyaratan Usaha Industri Farmasi Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas: a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
2.3
Perizinan
Pendirian
Industri
Farmasi
(Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010 ) Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal. 4
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
5
Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur
Jenderal setelah pemohon
memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah permohonan prinsip diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang berlaku 5 (lima) tahun sepanjang masih memenuhi peryaratan. Industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans yaitu seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Jika dalam melakukan farmakovigilans, industri farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala BPOM. Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala BPOM. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala BPOM paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan persetujuan prinsip diterima. Permohonan persetujuan prinsip diajukan dengan kelengkapan sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan c. susunan direksi dan komisaris d. pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi e. fotokopi sertifikat tanah atau bukti kepemilikan tanah Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
6
f. fotokopi Surat Izin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO) g. fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan h. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan i. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak j. persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi k. persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala BPOM l. rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat m. asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing–masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu n. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan. Persetujuan prinsip diberikan atau ditolak oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan persetujuan prinsip diterima. Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun. Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat mengajukan permohonan izin industri farmasi. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut: a. fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi b. daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan c. jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya d. fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan e. rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi f. rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala BPOM g. daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
7
h. asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu i. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan j. fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masingmasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab k. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian. Permohonan izin industri farmasi diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan maka Kepala BPOM akan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOB. Dalam juga jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan izin industri famasi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan administratif. Kemudian paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB, Kepala BPOM mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan pemohon. Selanjutnya paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima rekomendasi baik dari Kepala BPOM maupun Dinas Kesehatan Propinsi serta persyaratan lainnya maka Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
8
2.4
Cara Pembuatan Obat yang Baik (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2006) Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertlujuan untuk menjamin
obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Dalam Pedoman CPOB tahun 2006, terdapat dua belas aspek yang harus dipenuhi dalam penerapan CPOB, yaitu manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisa berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi (BPOM, 2006).
2.4.1 Manajemen Mutu Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen
izin
edar
(registrasi)
dan
tidak
menimbulkan
resiko
yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu", yang memerlukan
partisipasi dan komitmen dari
semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. Unsur dasar manajemen mutu adalah suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya dan tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut pemastian mutu. Semua bagian sistem hendaklah didukung dengan tersedianya personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
9
Pemastian Mutu, CPOB dan Pengawasan Mutu merupakan aspek manajemen mutu yang saling terkait. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat, dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaianya. CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan yang dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi mutu. Sedangkan Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat. Pengkajian mutu produk merupakan unsur yang juga terkandung di dalam manajemen mutu. Pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan terhadap semua obat dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi, untuk melihat tren (kecenderungan) dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses.
2.4.2 Personalia Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu, industri farmasi bertanggungjawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaan. Dalam industri farmasi terdapat personil kunci yang mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Pemastian Mutu. Kepala produksi, pengawasan mutu, dan manajemen mutu hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi serta memiliki Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
10
pengalaman praktis. Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan sesuai dengan tugas yang diberikan dan berkesinambungan bagi seluruh personil yang karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan) dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk serta dilakukan penilaian secara berkala efektifitas penerapannya.
2.4.3 Bangunan dan Fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadinya kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, dan memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Letak
bangunan
hendaklah
sedemikian
rupa
untuk
menghindari
pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, dikonstruksi, dilengkapi, dan dirawat dengan tepat agar memperoleh perlindungan maksimal. Seluruh bangunan dan fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki di mana perlu. Perbaikan dan perawatan bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hatihati agar kegiatan tersebut tidak mempengaruhi mutu.
2.4.4 Peralatan Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorbsi yang Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
11
dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian. Peralatan hendaklah ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pencemaran silang antarbahan di area yang sama. Peralatan hendaklah dipasang sedemikian rupa untuk menghindari resiko kekeliruan atau pencemaran dan hendaklah dirawat sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau pencemaran yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk.
2.4.5 Sanitasi dan Higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Setiap personil yang masuk area pembuatan hendaklah mengenakan pakaian pelindung yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan, yang berlaku untuk semua karyawan yang berada di area pabrik. Bangunan yang digunakan untuk pembuatan obat hendaklah didesain dan dikonstruksi dengan tepat untuk memudahkan sanitasi yang baik. Bangunan harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung dan memudahkan penerapan sanitasi dan higiene di lingkungan pabrik, seperti jumlah toilet, ventilasi, tempat cuci, tempat penyimpanan pakaian dan lain-lain. Prosedur tertulis hendaklah tersedia yang menunjukkan penanggung jawab untuk sanitasi serta menguraikan dengan cukup rinci mengenai jadwal, metode, peralatan dan bahan pambersih yang harus digunakan untuk pembersihan sarana dan bangunan. Prosedur tertulis terkait hendaklah dipatuhi. Prosedur pembersihan, sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur memenuhi persyaratan.
2.4.6 Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
12
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Penanganan bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengelolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan tertulis dari kepala bagian pemastian mutu dan bila perlu melibatkan bagian pengawasan mutu. Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Pengolahan bahan awal hendaklah dicatat mengenai pasokan nomor bets atau lot, tanggal penerimaan, atau penyerahan, tanggal pelulusan, dan tanggal kadalursa. Bahan awal harus memenuhi spesifikasi sebelum diluluskan. Sampel bahan awal hendaklah diuji pemenuhannya terhadap spesifikasi. Hendaklah tersedia sistem yang menjelaskan secara rinci penomoran bets dan lot dengan tujuan untuk memastikan bahwa tiap bets atau lot produk antara, produk ruahan dan produk jadi dapat diidentifikasi. Studi validasi hendaklah memperkuat pelaksanaan CPOB dan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hasil validasi dan kesimpulan hendaklah dicatat. Perubahan yang berarti dalam proses, peralatan atau bahan hendaklah disertai dengan tindakan validasi ulang untuk menjamin bahwa perubahan tersebut akan tetap menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu. Pencemaran bahan awal atau produk oleh bahan atau produk lain harus dihindarkan. Tiap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain.
2.4.7 Pengawasan Mutu Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
13
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatannya dengan memuaskan. Pengawasan Mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitis yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan dan produk serta metode pengujiannya.
2.4.8 Inspeksi Diri dan Audit Mutu Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Inspeksi diri dapat dilakukan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahan, namun inspeksi diri yang menyeluruh hendaklah dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri. Laporan hendaklah dibuat setelah inspeksi diri selesai dilaksanakan dan dilakukan evaluasi terhadap laporan inspeksi diri serta tindakan perbaikan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
14
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak.
2.4.9 Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif. Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran dilakukan. Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan. Penarikan kembali produk dari peredaran dan dapat mengakibatkan penundaan atau penghentian pembuatan obat tersebut. Penanganan terhadap keluhan dan penarikan kembali haruslah ditunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan dan memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai untuk membantunya. Penanganan terhadap keluhan dan penarikan kembali hendaklah tersedianya prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak lanjut yang sesuai, termasuk pertimbangan untuk penarikan kembali produk, dalam menanggapi keluhan terhadap obat yang diduga cacat. Industri farmasi hendaklah menyiapkan prosedur untuk penahanan, penyelidikan, dan pengujian produk kembalian serta pengambilan keputusan apakah produk kembalian dapat diproses ulang atau harus dimusnahkan setelah dilakukan evaluasi secara kritis. Produk kembalian yang tidak dapat diolah kembali hendaklah dimusnahkan. Penanganan produk kembalian dan tindak Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
15
lanjutnya hendaklah didokumentasikan dan dilaporkan. Bila produk harus dimusnahkan, dokumentasi hendaklah mencakup berita acara pemusnahan yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh personil yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan.
2.4.10 Dokumentasi Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas bertujuan untuk memastikan bahwa setiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen produksi induk atau formula pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.
2.4.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui, dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu).
2.4.12 Kualifikasi dan Validasi Cara pembuatan obat yang baik (CPOB) mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat memperngaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
16
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasi di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat, dan jelas. Protokol validasi tertulis hendaklah dibuat untuk merinci kualifikasi dan validasi yang akan dilakukan. Protokol hendaklah dikaji dan disetujui oleh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu). Kualifikasi mencakup kualifikasi desain, kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional, kualifikasi kinerja, kualifikasi fasilitas, peralatan dan sistem terpasang yang telah operasional. Validasi proses dapat berupa validasi prospektif dimana validasi proses dilakukan sebelum produk dipasarkan, validasi konkuren untuk produk yang sudah rutin diproduksi dan validasi retrospektif yaitu validasi proses yang sudah berjalan. Selain validasi proses, ada pula validasi pembersihan, validasi ulang dan validasi metode analisis.
2.5
Pendaftaran Obat Jadi (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2011). Dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat, maka perlu dilakukan pengawasan melalui mekanisme pendaftaran obat jadi yang dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap pra-registrasi dan registrasi (BPOM RI, 2011).
2.5.1 Pra-registrasi Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk penapisam registrasi obat, penentuan kategori registrasi, penentuan jalur evaluasi , penentuan biaya evaluasi, dan penentuan dokumen registrasi obat. Permohonan pra-registrasi dan registrasi diajukan oleh Pendaftar secara tertulis kepada Kepala BPOM dilampiri dengan dokumen pra-registrasi atau dokumen registrasi. Dokumen registrasi disusun sesuai dengan format ASEAN Common Techical Dossier (ACTD). Permohonan pra-registrasi dan registrasi dikenakan biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengajuan pra-registrasi dan registrasi diajukan secara elektronik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
17
2.5.2 Kategori Registrasi Obat Kategori registrasi obat terdiri dari registrasi baru, registrasi variasi, dan registrasi ulang. Registrasi baru terdiri atas : a. Kategori 1 Kategori 1 adalah registrasi obat baru dan produk biologi, termasuk Produk Biologi Sejenis (PBS)/Similar Biotherapeutic Product (SBP). b. Kategori 2 Kategori 2 adalah registrasi Obat Copy. c. Kategori 3 Kategori 3 adalah registrasi sediaan lain yang mengandung obat. Registrasi variasi terdiri atas : d. Kategori 4 Kategori 4 adalah registrasi variasi major (VaMa). e. Kategori 5 Kategori 5 adalah registrasi variasi minor yang memerlukan persetujuan (VaMi-B) f. Kategori 6 Kategori 6 adalah registrasi variasi minor dengan notifikasi (VaMi-A). Registrasi ulang yaitu : a. Kategori 7 Kategori 7 adalah registrasi ulang.
2.5.2 Registrasi Registrasi obat adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapat ijin edar. Obat yang diregistrasikan dapat berupa obat produksi dalam negeri atau obat impor. Obat produksi dalam negeri dapat berupa produksi sendiri, produksi berdasarkan lisensi atau produksi berdasarkan kontrak. Obat produksi dalam negeri dapat diedarkan di dalam negeri dan/atau untuk keperluan ekspor. Obat impor dapat berupa bentuk ruahan atau dalam bentuk produk jadi. Obat impor dapat diedarkan di dalam negeri dan/atau untuk keperluan ekspor. Nama obat yang diregistrasi dapat menggunakan nama generik atau nama dagang. Nama generik merupakan nama sesuai dengan Farmakope Indonesia atau Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
18
sesuai International Non-proprietary Names (INN) yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Nama dagang berupa nama yang diberikan oleh Pendaftar untuk identitias obatnya.
2.5.3 Dokumen Registrasi Dokumen registrasi terdiri atas : a. Bagian I
: Dokumen Administratif, Informasi Produk, dan Penandaan
b. Bagian II : Dokumen Mutu c. Bagian III : Dokumen Non-klinik d. Bagian IV : Dokumen Klinik
2.5.4
Lama Hari Kerja Registrasi Obat
a. Jalur 40 (empat puluh) hari meliputi registrasi variasi minor yang memerlukan persetujuan dan registrasi Obat Khusus Ekspor. b. Jalur 100 (seratus) hari Jalur 100 hari kerja meliputi : 1. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang diindikasikan untuk terapi penyakit serius yang mengancam nyawa manusia (life saving), dan/atau mudah menular kepada orang lain, dan/atau belum ada atau kurangnya pilihan terapi yang aman dan efektif. 2. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang berdasarkan justifikasi diindikasikan untuk penyakit serius dan langka (orphan drug). 3. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi ditujukan untuk program kesehatan masyarakat. 4. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang telah melalui proses obat pengembangan baru yang dikembangkan oleh Industri Farmasi atau instansi riset di Indonesia dan seluruh tahapan uji kliniknya dilakukan di Indonesia. 5. Registrasi Baru Obat Copy esensial generik yang dilengkapi dengan dokumen penunjang kebutuhan program atau data pendukung sebagai obat esensial. 6. Registrasi Baru Obat Copy dengan standar informasi elektronik (Stinel). Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
19
7. Registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru untuk untuk obat pada bagian 1, 2, 3, dan 4. 8. Registrasi variasi major yang tidak termasuk pada bagian 7.
c. Jalur 150 (seratus lima puluh ) hari meliputi : 1. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, dan registrasi variasi major indikasi baru/posologi baru yang telah disetujui di negara yang telah menerapkan sistem evaluasi terharmonisasi dan di negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik. 2. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, dan registrai variasi major indikasi baru atau posologi baru yang telah disetujui paling sedikit di 3 (tiga) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal baik. 3. Registrasi Baru Obat Copy tanpa Stinel. d. Jalur 300 (tiga ratus) hari meliputi registrasi baru Obat Baru, Produk Biologi, Produk Biologi Sejenis, atau registrasi variasi major indikasi baru atau posologi baru yang tidak termasuk dalam jalur evaluasi Jalur 100 hari dan Jalur 150 hari.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS 3.1
PT. Dexa Medica PT. Dexa Medica didirikan pada tahun 1969 di Kota Palembang, Provinsi
Sumatera Selatan, Indonesia. Pada awal berdirinya, tujuan PT. Dexa Medica hanyalah untuk memasok obat ke Palembang dan sekitarnya. Dipicu oleh langkanya pasokan jumlah obat, Bapak Rudy Soetikno seorang apoteker low profile muda yang kemudian menjadi tentara di Palembang, merasa bahwa dengan latar belakang pendidikan farmasi, ia terpanggil untuk melakukan sesuatu dalam hal pengobatan. Bersama dengan beberapa teman, ia mulai memproduksi tablet sederhana di apotek kecil yang merupakan milik bersama. Hal ini merupakan awal dari perjalanan PT. Dexa Medica. Seiring dengan waktu, permintaan yang kuat akan obat terus meningkat. Pada tahun 1975, produk PT. Dexa Medica sudah tersedia di seluruh Sumatera. Percaya diri pada kemampuan untuk memberikan kualitas yang sangat baik pada produk-produknya, PT. Dexa Medica kemudian mengambil langkah besar untuk menembus pasar Jawa melalui Surabaya. Hal ini ternyata menjadi pintu untuk PT. Dexa Medica memasuki pasar Indonesia. Pada tahun 1978, produk PT. Dexa Medica mulai didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1984, PT. Dexa Medica semakin memperkuat posisinya sebagai pemain secara nasional dengan strategi memindahkan lokasi kantor pemasaran PT. Dexa Medica ke Jakarta. Sejak tahun 1994, dari tahun ke tahun penjualan lokal PT. Dexa Medica telah bertumbuh lebih tinggi secara konstan dibandingkan dengan industri farmasi Indonesia lainnya. Pada tahun 2001, PT. Ferron Par Pharmaceuticals didirikan untuk memberikan tambahan kapasitas produksi dan pemasaran untuk mendukung pertumbuhan yang tinggi, dan untuk mengantisipasi persaingan global. PT. Ferron Par Pharmaceutical memiliki pabrik di Cikarang untuk memproduksi sediaan oral, semisolid, dan injeksi. PT. Dexa Medica kini memperkuat tim manajemen yang baik dan tetap fokus pada bisnis utamanya yaitu memproduksi dan memasarkan produk farmasi yang berkualitas. PT. Dexa Medica bertujuan untuk mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar yang diakui secara nasional. Selain itu, PT. Dexa Medica 20
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
21
sudah memesarkan produknya di Negara ASEAN dan akan memantapkan posisinya sebagai pemain regional. Perusahaan yang tergabung dalam Dexa Medica Group adalah: 1. PT. Dexa Medica (DXM) 2. PT. Ferron Par Pharmaceuticals (FPP) 3. PT. Anugrah Argon Medica (AAM) 4. PT. Equilab International 5. PT. Djembatan Dua
3.2
Visi dan Misi PT. Dexa Medica Visi dari PT. Dexa Medica adalah menjadi perusahaan terdepan yang
berbakti dalam menyediakan nilai tambah yang signifikan untuk pelanggan (customer), mitra kerja dengan selalu bekerja efektif, efisien, berkesinambungan untuk meraih “health for all”, bagi kesehatan dalam tingkat nasional, regional, dan global. PT. Dexa Medica memiliki misi yaitu mengembangkan kapasitas di bidang farmasi dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sistem pelayanan kesehatan melalui inovasi dan perbaikan yang berkesinambungan, meningkatkan pangsa pasar, dan mengadakan aliansi strategis. Setiap karyawan PT. Dexa Medica adalah bagian dari sebuah tim besar dimana diharapkan untuk menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan nilainilai perusahan dan dasar keyakinan : 1. Striving for Excellence Komitmen untuk memberikan nilai tambah yang terbaik untuk pelanggan baik internal maupun eksternal melalui pertumbuhan kepercayaan dan penerapan standar di setiap waktu. 2. Act Professionally Selalu menunjukkan dedikasi untuk bekerja pintar dan profesional yang mengedepankan kejujuran dan integritas. 3. Deal with Care Kesunggguhan untuk berusaha memahami lebih dulu, menghargai sesama, dan selalu dapat menghasilkan win-win solution pada seluruh aspek bisnis.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
22
3.3
Logo PT. Dexa Medica Nama Dexa berada dari kata “deca” yang berarti 10, angka terbesar dan
sempurna yang merupakan hasil terbaik yang mungkin dicapai. Kata Dexa Medica menunjukkan identitas dalam dunia medis. Segitiga merupakan bentuk efektif yang paling efisien yang bisa berdiri dengan kokoh yang melambangkan 3 pilar yaitu Dexa-Distributor-Customer. Huruf d kecil yang berbentuk seperti benzena yang berada dalam bentuk segitiga berarti deka yang artinya sepuluh dan gugus benzena yang merupakan inti dari berbagai jenis bahan kimia. Warna merah melambangkan sifat berani dan bersemangat. Warna putih melambangkan intinya tetap putih atau pure. Sedangkan tulisan Dexa yang berwarna hitam menunjukkan kokoh dan tegas. Arti logo secara keseluruhan adalah Dexa Medica itu berani, kokoh, pure, efektif, efisien, dan bergerak dalam pelayanan kesehatan.
3.4
Produk PT. Dexa Medica Secara garis besar produk PT. Dexa Medica dibagi menjadi :
3.4.1. Branded Medicine Contoh produk Branded Medicine PT. Dexa Medica adalah Canderin, Colergis, Deculin, Dexa-M, Dexazol, Fludexin, Vometa, Galvus, Gluvas, Laktafit, Movileps, Noperten, Provula, Rhinos SR, Starcef, Stator, Supranasal, Vaclo, Vastigo, Vectrine, Tranexid Kapsul, Tranexid Tablet Salut Selaput, Cefrin, Decain, Granon, Fladex, Flamicort, Raivas, Remopain, Tranexid, Tetagam P, Sedacum, Tramus, Tripenem, Tizos, Voluquin, dan Fladystin.
3.4.2. Obat Generik Berlogo (OGB) Contoh produk Obat Generik Berlogo (OGB) PT. Dexa Medica adalah, Bisoprolol, Captopril, Clindamycin, Clobazam, Glimepiride, Gliquidone, Kalium diklofenak,
Meloxicam,
Metoclopramide,
Ofloxacin,
Piracetam
Kapsul,
Risperidone, Spiramycin, Simvastatin, dan Tramadol, Ciprofloxacin Infus Ceftazidime injeksi, Methylprednisolone injeksi, dan Piracetam Injeksi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
23
3.4.3. Produk Nutraceutical / Herbal Contoh produk Nutraceutical / herbal PT. Dexa Medica adalah Diven Plus Flexor DS, Folamil Genio, Lacidofil, Psidii Sirup/Kapsul, dan Stimuno.
3.4.4. Produk Original Research Contoh produk Original Research PT. Dexa Medica adalah FreeMe, Inlacin, dan Disolf.
3.5
Struktur Organisasi PT. Dexa Medica Dalam struktur organisasi PT. Dexa Medica, departemen-departemen
berada di bawah President Director, dibagi menjadi bagian operasional yang dipimpin oleh Operational Director dan bagian fungsional yang dipimpin oleh Functional Director. Bagian operasional terbagi menjadi Departemen Marketing, Pabrik (termasuk Departemen Produksi dan Departemen Quality) dan Departemen Human Resources and Development (HRD). Sedangkan bagian fungsional termasuk Departemen Business Development, Departemen Regulatory Affairs (RA), Departemen Medical Affairs, Departemen Purchasing dan Departemen Research and Development (R&D).
3.6
Departemen Business Development PT. Dexa Medica Departemen Business Development dipimpin oleh seorang Direktur yang
membawahi Manager Business Development yang bertugas dalam mensupervisi setiap kegiatan yang dilakukan oleh tim Business Development dalam hal pengembangan bisnis perusahaan. Business Development merupakan departemen yang bertanggungjawab dalam memberikan layanan produk dan bisnis, menganalisis peluang usaha terhadap produk-produk yang akan dikembangkan yang tepat serta sejalan dengan kebijakan dan strategi bisnis perusahaan, melakukan kerjasama dengan pihak lain, dan layanan lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Business Development merupakan tempat untuk mengolah setiap ide produk baru yang sekiranya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan dapat bermanfaat Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
24
bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam menjalankan perannya, Business Development melakukan market research untuk menganalisis potensi bisnis dan produk untuk dikembangkan berdasarkan kebutuhan pasar. Business Development juga melakukan negosiasi dan persetujuan dengan principal baru yang potensial, baik dalam bentuk lisensi maupun impor produk antara (misalnya bulk) dan produk jadi. Business Development mengembangkan produk obat sesuai dengan tren penyakit, pengobatan, tindakan pencegahan, dan gaya hidup (life style) yang berhubungan dengan bidang kesehatan dan farmasi.
3.7
Pengembangan Produk Obat Baru PT. Dexa Medica PT. Dexa Medica bertujuan untuk mempertahankan posisinya sebagai
pemimpin pasar yang diakui secara nasional dan memantapkan posisinya sebagai pemain regional. Untuk mencapai tujuan ini maka PT. Dexa Medica terus melakukan pengembangan produk-produk obat untuk dapat bersaing dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk-produk obat yang berkualitas. Obat baru atau obat jadi baru adalah obat dengan zat aktif atau komposisi atau bentuk sediaan/cara pemberian atau indikasi atau posologi baru yang belum pernah disetujui di Indonesia. Penapisan awal terhadap ide pengembangan produk obat baru adalah dengan mempertimbangkan aspek-aspek antara lain : 1. Potensi dan tren pasar 2. Profil produk 3. Dukungan ilmiah atau literatur 4. Persyaratan registrasi 5. Legal (paten) Pengembangan produk membutuhkan ide yang kreatif dan inovatif agar dapat menghasilkan produk baru dengan kualitas yang baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau produk dengan kualitas yang lebih baik daripada produk sebelumnya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 4 PEMBAHASAN PT. Dexa Medica berdiri sejak tahun 1969 di Kota Palembang, Sumatera Selatan. PT. Dexa Medica merupakan salah satu industri farmasi yang sangat tanggap akan perubahan dan berusaha menjadi yang terdepan dalam hal pemenuhan kebutuhan di bidang farmasi yang dapat dilihat dari prestasi yang telah dicapai oleh PT. Dexa Medica. Pada tahun 1993, PT. Dexa Medica berada pada posisi ke-25 yang dalam jangka waktu 5 tahun yaitu pada tahun 1998, PT. Dexa Medica masuk dalam urutan 10 besar. Tahun 2001, PT. Dexa Medica naik peringkat menjadi urutan 5 besar produsen farmasi dan obat-obatan ethical. Dexa mencatat pertumbuhan bisnis yang sangat signifikan yaitu 25-30% per tahun, jauh di atas angka pertumbuhan industri farmasi dan obat-obatan yang hanya 15% (Swa Digital, 2004). PT. Dexa Medica sukses merambah pasar internasional. Selain menguasai pasar dalam negeri dan menjadi lima besar di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, PT. Dexa Medica juga eksis di pasar global di tujuh negara dan Dexa Medica terus mempersiapkan diri menjelang pasar perdagangan bebas AFTA tahun 2015( Kompas, 2011a; Kompas, 2011b). Aktivitas PT. Dexa Medica meliputi bidang penelitian dan pengembangan produk, produksi dan pengemasan, distribusi serta pemasaran produk-produk farmasi seperti produk obat resep atau ethical, obat bebas (over the counter), suplemen kesehatan dan produk-produk konsumen lainnya. Selain itu PT. Dexa Medica juga memiliki kekuatan dalam pemasaran Obat Generik berlogo (OGB) Dexa. Jumlah produk OGB Dexa sekitar 90 item OGB, yang terdiri dari berbagai jenis sediaan, baik berupa oral, injeksi, dan topikal. Jumlah ini akan terus ditingkatkan mengingat masih ada 400 lebih item OGB (Kompas, 2012). Selain PT Dexa Medica, memang sudah ada beberapa perusahaan yang memproduksi OGB. Namun, menurut data IMS hingga kuartal ketiga tahun 2006, PT Dexa Medica menduduki urutan pertama dalam pangsa pasar OGB, dengan market share sebesar 18,43 persen (Farmacia, 2007). Penyediaan produk-produk inovatif PT. Dexa Medica tidak terlepas dari peran
Departemen
Business
Development
dalam
memberikan
dan
mengembangkan ide-ide produk baru yang kreatif dan inovatif sehingga 25
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
26
memberikan peluang yang besar untuk pengembangan bisnis PT. Dexa Medica. PT. Dexa Medica merupakan perusahaan farmasi yang berkomitmen tinggi untuk memberikan nilai tambah yang terbaik untuk pelanggan baik internal maupun eksternal melalui pertumbuhan kepercayaan dan penerapan standar yang tinggi serta bekerja profesional pada seluruh aspek bisnis dalam hak penyediaan produkproduk farmasi yang berkualitas, seperti yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menjadi dasar dalam berperilaku setiap karyawan PT. Dexa Medica. Setiap karyawan yang bekerja di Kantor Pusat PT. Dexa Medica memiliki waktu kerja yang dimulai pukul 08.00 dan berakhir sampai pukul 17.00 WIB. Pengembangan produk baru oleh Business Development dimulai dari pencarian ide produk baru sampai persiapan launching produk baru. Departemen Business Development memiliki tugas untuk : 1. Melakukan penilaian tehadap kelayakan suatu ide pengembangan produk. 2. Mendapatkan komitmen marketing dan persetujuan manajemen terhadap business proposal produk baru. 3. Perencanaan dan pembuatan jadwal kegiatan yang akan dilakukan selama pengembangan produk. 4. Pengumpulan data-data feasibility yang diperlukan untuk mendukung pengembangan produk. 5. Memantau pelaksanaan pengembangan produk. 6. Melakukan persiapan launching produk baru tersebut. Departemen
Business
Development
dalam
pelaksanaan
kegiatan
pengembangan obat memiliki peran sebagai pemimpin project karena dalam pelaksanaan pengembangan obat, departemen Business Development akan berinteraksi dan bekerjasama dengan berbagai pihak. Kerjasama ini didasarkan pada tugas dan fungsi masing-masing departemen yang terkait dengan pengembangan obat. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan produk baru adalah Departemen Research and Development (R&D), Departemen Purchasing, Departemen Medical Affairs dan Departemen Regulatory Affairs (RA). Bentuk kerjasama antara departemen Business Development dengan masing-masing departemen adalah menganalisa feasibility ide baru dan memantau kegiatan pengembangan dari masing-masing departemen agar tetap memenuhi target waktu Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
27
yang ditetapkan. Dalam melakukan kegiatannya, tim Business Development menetapkan target jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan tahapan yang terkait pengembangan produk agar dapat mencapai target waktu launching yang telah ditetapkan. Sebelum dimulainya pengembangan, Business Development harus mendapatkan komitmen Departemen Marketing dan persetujuan manajemen untuk Business Plan yang diajukan. Setelah pengembangan selesai, Business Development perlu berkoordinasi dengan R&D, Production Planning and Inventory Control (PPIC), purchasing, produksi, pengawasan mutu, dan pemastian mutu untuk persiapan launching new product. Tahap pengembangan produk baru membutuhkan ide yang kreatif, inovatif, potensial dan bersaing sehingga dapat diterima oleh konsumen pada saat dipasarkan. Ide pengembangan produk obat baru dapat berasal dari siapa saja, baik dari direksi, Departemen Marketing, Departemen Research and Development (R&D) dan departemen lain serta departemen Business Development sendiri. Dalam mengumpulkan ide untuk pengembangan produk baru, dapat dilakukan dengan cara penelusuran informasi di internet, menghadiri seminar atau simposium kedokteran, membaca dan mempelajari berita farmasi atau jurnaljurnal ilmiah yang terkait dengan bidang farmasi dan kesehatan, melakukan survei ke dokter atau praktisi kesehatan lainnya terkait dengan ide pengembangan produk dan tren pengobatan suatu penyakit yang banyak diderita masyarakat atau penyakit yang pengobatannya masih belum banyak dikembangkan serta dapat bersumber dari referensi lainnya yang memiliki kredibilitas tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Tahap awal pengembangan produk dimulai dengan penilaian terhadap ide pengembangan produk obat baru. Tim Business Development mengamati pasar (market) terkait dengan produk baru yang akan dikembangkan melalui market research sehingga dapat diperoleh data pasar (market data). Market research dilakukan untuk mengetahui potensi produk baru tersebut di pasar atau untuk mengetahui kriteria produk yang dibutuhkan oleh pasar. Tim Business Development menampung ide pengembangan produk baru, penawaran produk baru atau kerja sama baru yang diusulkan. Selanjutnya tim Business Development Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
28
mengumpulkan dan mempelajari informasi yang terkait serta mencari peluang terhadap pengembangan produk atau kerjasama baru tersebut. Hal penting yang perlu diperhatikan pada saat pengembangan obat adalah penelusuran paten dan evaluasi paten dari obat originator. Pada umumnya, suatu paten obat mendapatkan perlindungan paten selama 20 tahun sejak inovasinya dipatenkan. Hal ini berarti, perusahaan obat generik (baik branded generic maupun pure generic) tidak berhak memasarkan produk obat yang masih dalam perlindungan paten. Oleh karena itu sebelum mengembangkan produk, perlu dipastikan bahwa produk tersebut tidak melanggar paten originator yang sudah terdaftar di Indonesia. Penelusuran dan evaluasi paten dilakukan dalam beberapa tahap untuk memastikan bahwa produk tidak melanggar paten. Selain itu, tim Business Development juga harus melakukan internal feasibility terhadap pengembangan produk atau kerjasama baru dari semua aspek yang terkait seperti regulasi, biaya pengembangan dan produksi produk baru, kapasitas pengembangan dan produksi produk baru, ketersediaan bahan awal, dan bahan pendukung, serta investasi yang diperlukan untuk pengembangan produk baru. Berdasarkan semua data yang sudah terkumpul, tim Business Development melakukan analisis dan screening awal melalui scoring terhadap ide pengembangan obat tersebut. Jika ide pengembangan ini dinilai menguntungkan dan memungkinkan untuk dikembangkan maka ide ini dilanjutkan dengan pembuatan Product Project Approval. Jika ide tidak menguntungkan maka ide tersebut akan disimpan pada bank data. Apabila dalam hal pengembangan produk, perusahaan membutuhkan bantuan pihak luar seperti melakukan toll-out atau mengimpor maka tim Business Development melakukan kerjasama dengan berbagai principal atau aliansi dalam pengembangan produk tersebut. Dalam penyelenggaraan kerja sama dengan principal atau aliansi maka tim Business Development harus melakukan penilaian terhadap profil perusahaan aliansi tersebut. Bila dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak maka akan dibuat perjanjian kerjasama yang mencakup pengaturan bisnis dan teknis mengenai kerjasama tersebut. Jika tidak mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak maka perjanjian kerjasama dapat dibatalkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
29
Selanjutnya tim Business Development bertugas untuk memantau setiap kegiatan dan kemajuan kegiatan atau pencapaian yang dilakukan setiap pihak yang terkait dengan pengembangan produk sesuai dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat sebelumnya. Pihak-pihak yang terkait memberikan informasi mengenai status pengembangan yang sudah dilakukan oleh tiap departemen, seperti R&D memberikan laporan mengenai kesiapan produk, Departemen Regulatory Affairs memberikan laporan mengenai perolehan persetujuan pendaftaran produk, dan Departemen Purchasing mengenai ketersediaan bahanbahan yang diperlukan untuk pengembangan maupun untuk produksi produk baru. Peran Business Development dalam pengembangan produk berlanjut sampai persiapan launching produk tersebut. Rencana launching produk baru diinformasikan kepada departemen-departemen lain yang terkait. Bila produk baru telah selesai diproduksi dan disetujui oleh bagian Pemastian Mutu untuk diedarkan, maka launching new product akan dilakukan oleh tim marketing. Tim Business Development tetap memantau produk baru tersebut sampai 2 tahun setelah launching. Setelah melaksanakan Praktek Kerja Profei Apoteker (PKPA) di Departemen Business Development PT. Dexa Medica, peserta mendapatkan banyak pelajaran dan wawasan yang sangat bermanfaat untuk membekali diri dalam menghadapi dunia pekerjaan khususnya di bidang Business Development. Manfaat yang dirasakan adalah peserta memahami alur pengembangan produk obat dan aktivitas yang dilakukan selama pengembangan produk obat baru. Selain itu, juga akan meningkatkan kemampuan peserta secara teknis dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengembangan obat di bidang Business Development.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Apoteker memiliki peranan yang penting dalam Departemen Business
Development. Ilmu yang dimiliki oleh Apoteker mendasari setiap pekerjaan yang dilaksanakan dan keputusan yang dibuat terkait dengan pengembangan ide produk baru di Departemen Business Development. Aktivitas sehari-hari yang diakukan oleh setiap karyawan yang ada di Departemen ini terkait dengan pengembangan produk obat baru secara menyeluruh mulai dari pencarian ide pengembangan produk baru, pengumpulan informasi yang terkait termasuk market survey atau market research untuk mengetahui data pasar, melakukan penilaian terhadap setiap informasi yang sudah diperoleh, penelusuran paten terkait produk yang akan dikembangkan, penilaian terhadap internal feasibility, dan dilanjutkan dengan pemberian persetujuan suatu ide produk atau tidak. Setelah ide pengembangan disetujui maka dilakukan pengembangan terhadap ide produk baru dan Departemen Business Development memantau perjalanan pengembangan produk baru, pendaftaran produk baru, sampai persiapan launching produk baru.
5.2
Saran
a. PT. Dexa Medica khususnya Departemen Business Development sebaiknya tetap mempertahankan dan terus berusaha dalam meningkatkan kinerja perusahaan serta semangat kerja yang sudah dimiliki sehingga tujuan-tujuan perusahaan dapat tercapai dan dapat meningkatkan kemajuan bisnis PT. Dexa Medica. b. PT. Dexa Medica harus terus berusaha mengembangkan produk yang inovatif, kreatif dan terjangkau sesuai dengan target market sehingga dapat meningkatkan bisnis perusahaan dan dapat bersaing dengan kompetitor baik di pasar farmasi nasional maupun internasional. c. Pelaksanaan kerjasama antara PT. Dexa Medica dan Program Apoteker Departemen Farmasi FMIPA UI dalam bentuk pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Departemen Business Development sebaiknya pada masa yang akan datang tetap dapat dilaksanakan. Pelaksanaan PKPA di 30
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
31
Departemen Business Development sangat bermanfaat untuk calon apoteker karena dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman bagi calon apoteker mengenai pekerjaan yang dilakukan di Departemen Business Development. Selain itu, pelaksanaan PKPA ini memberikan gambaran secara menyeluruh atas pekerjaan yang dilakukan di Departemen Business Development dan menjadi sumber penyerapan sumber daya manusia baru dalam dunia pekerjaan khususnya Departemen Business Development.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta : Badan PengawasObat dan Makaanan Republik Indonesia Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Jakarta : Badan PengawasObat dan Makaanan Republik Indonesia Dexa Medica. (2009). http://www.dexa-medica.com/. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 09.00 Farmacia.
(2007).
http://www.majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=435. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 14.50 WIB. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010
Tentang Industri Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kompas.
(2011a).
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/31/19203225/Kiat.Ferry.Soeti kno.Besarkan.Dexa.Medica. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 08.00 WIB Kompas.
(2011b).
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/03/28/0027283/Ferry.Soetikno.D exa.Rambah.Pasar.Global Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 08.00 WIB Kompas.
(2012).
http://health.kompas.com/read/2012/04/16/12064971/Dexa.Medica.Terus.B erkomitmen.Memasyarakatkan.OGB. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 14.50 WIB. 32
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
33
Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Industri Farmasi Lokal Penuhi 90% Kebutuhan Farmasi Indonesia. http://sehatnegeriku.com/industri-farmasi-lokal-penuhi-90-kebutuhanfarmasi-indonesia/). Diunduh pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 09.48 WIB Swa
Digital.
(2004).
http://202.59.162.82/swamajalah/artikellain/details.php?cid=1&id=350. Diunduh pada tanggak 26 Mei 2012 pukul 09.52 WIB Wells,
B.,
Dipiro, J.T.,
Schwinghammer,
T.L.,
Dipiro,
C.V.
(2009).
Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. USA : The McGraw-Hill Companies
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI BUSINESS DEVELOPMENT PT. DEXA MEDICA TITAN CENTER JALAN BOULEVARD BINTARO BLOK B7/B1 NO.05 BINTARO JAYA SEKTOR 7 TANGERANG PERIODE 2 APRIL - 5 JUNI 2012
MARKET SURVEY PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIIK
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
YULIANA, S.Farm. 1106047511
ANGKATAN LXXIV
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM PROFESI APOTEKER-DEPARTEMEN FARMASI DEPOK JUNI 2012 i
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR TABEL .................................................................................
i ii iii iv
BAB 1 . PENDAHULUAN .................................................................. 1.1 Latar Belakang .................................................................... 1.2 Tujuan ................................................................................
1 1 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2.1 Gagal Ginjal Kronik ............................................................ 2.2 Patofisiologi ........................................................................ 2.3 Pengobatan Gagal Ginjal Kronik ........................................ 2.4 Hemodialisis .......................................................................
4 4 5 5 11
BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN ........................................... 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian .......................................... 3.2 Metode Pengkajian..............................................................
13 13 13
BAB 4. PEMBAHASAN ....................................................................... 4.1 Data IMDI 2010 .................................................................. 4.2 Data Indonesian Renal Registry (IRR) ............................... 4.3 Data Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) .............. 4.4 Obat-Obatan yang Digunakan untuk Gagal Ginjal Kronik.
14 14 16 24 31
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 5.1 Kesimpulan ........................................................................ 5.2 Saran ..................................................................................
45 45 45
DAFTAR ACUAN.................................................................................
46
ii
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 4.16 Gambar 4.17 Gambar 4.18 Gambar 4.19 Gambar 4.20
Persentase Pasien Gagal Ginjal Kronik dan Gagal Ginjal Tidak Spesifik .................................................................. Jumlah Pasien Hemodialisis di Indonesia Tahun 2007-2011 ........................................................................ Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia ........................ Persentase Diagnosa Penyakit Utama Pasien Hemodialisis di Indonesia Tahun 2011 ........................... Persentase Distribusi Usia Pasien Hemodialisis.............. Persentase Diagnosa Penyakit Penyerta Pasien Hemodialisis di Indonesia pada Tahun 2011................... Persentase Penyebab Kematian pada Pasien Hemodialisis di Indonesia pada Tahun 2011 ......................................... Jumlah Tindakan Hemodialisis Berdasarkan Jumlah Pemakaian Dialisat di Seluruh Indonesia ........................ Jumlah Pemakaian Produk Eritopoietin pada Pasien Hemodialisis di Indonesia ............................................... Persentase Distribusi Usia Pasien Hemodialisis YGDI... Persentase Lama Pasien Menjalankan Hemodialisis di YGDI Jumlah Pasien Hemodialisis Baru di Dialysis Center YGDI (Jatiwaringin dan Rawalumbu)........................................ Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume Molekul Obat Golongan ACEi ........................................ Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume Molekul Obat Golongan ARB ......................................... Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share in Value dari Molekul-Molekul Golongan ARB ........................... Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume Molekul Obat Golongan Statin........................................ Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share in Value Molekul-Molekul Eritropoietin Berdasarkan Brand ....... Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market Share dalam Nilai Rupiah Injeksi Suplemen Besi................................ Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume Molekul Obat golongan Loop Diuretics .......................... Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Pertumbuhan Volume Molekul Obat Golongan Diuretik Tiazid ..........................
iii
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
15 17 18 18 19 19 20 20 22 25 26 26 34 35 36 37 38 39 40 41
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7
Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13
Jumlah Pasien Gagal Ginjal Kronik selama tahun 2010 . Perkiraan Frekuensi Tindakan Hemodialisis per Pasien dalam Seminggu .............................................................. Estimasi Jumlah Pasien Hemodialisis yang Mengalami Anemia ............................................................................ Data Teknis Dialysis Center YGDI Cabang Jatiwaringin dan Rawalumbu ............................................................... Data Status Pasien yang Melakukan Hemodialisis ......... Data Dialysis Center yang Terdapat di Jabodetabek ....... Data Umum Hasil Sampling Terhadap Medical Record Bulan Maret dan April 2012 Pasien Hemodialisis di YGDI .......................................................................... Data Obat yang Diberikan kepada Pasien Selama Tindakan Hemodialisis ................................................... Estimasi Penggunaan Obat-Obatan yang Diberikan pada Pasien Hemodialisis di Indonesia ................................... Komplikasi yang Terjadi dan Pengobatan yang Diberikan untuk Pasien Gagal Ginjal Kronik ................................... Obat Golongan ACEi, ARB dan Non-Dihiropiridin Calcium Channel Blocker................................................ Jenis dan Nama Produk dari Obat Eritropoietin .............. Pengobatan untuk Komplikasi Hiperparatiroid Sekunder dan Renal Distrofi............................................................
iv
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
15 21 23 24 25 27
29 29 31 32 33 39 42
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ginjal merupakan organ yang memiliki peran penting dalam mengatur
keseimbangan air, garam dan elektrolit serta memiliki fungsi endokrin yaitu memproduksi setidaknya tiga jenis hormon. Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penurunan secara progresif fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) dalam jangka waktu beberapa bulan atau tahun yang ditandai dengan perubahan bentuk ginjal normal menjadi jaringan parut pada organ ginjal. Berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quliaty Initiative (K/DOQI), GGK diklasifikasikan menjadi 5 tingkat berdasarkan fungsi ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR), menjadi stage atau tingkat 1 sampai 5. Peningkatan tingkat menunjukkan tingkat keparahan yang lebih berat dan ditandai dengan penurunan GFR (Wells, B., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2009). Gagal ginjal kronik (GGK) saat ini mendapat banyak perhatian karena sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya insiden dan prevalensi, dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang tinggi, serta biaya pengobatan GGK yang besar. Dari survei National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) yang dilakukan oleh The US Centres for Disease Control and Prevention, prevalensi GGK meningkat dari 12% pada tahun 1988-1994 menjadi 15% pada 2003-2006. Pada kelompok usia 60 tahun ke atas prevalensi tersebut semakin meningkat dari 31% menjadi 38%, suatu jumlah yang sangat banyak dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari hasil survei komunitas yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), didapatkan bahwa 12,5% dari populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal (Suhardjono, 2009). Pasien dengan gagal ginjal kronik tahap akhir atau End-Stage Renal Disease membutuhkan Renal Replacement Theraphy (RRT) diantaranya hemodialiasis, peritonial dialisis, dan transplantasi ginjal. Tindakan transplantasi ginjal sudah terbukti lebih baik dibandingkan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Namun pada kenyataannya transplantasi ginjal di 1
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
2
Indonesia memiliki kendala yang besar diantaranya adalah kurangnya jumlah donor ginjal hidup, biaya transplantasi mahal, peraturan perundang-undangan yang tidak memperbolehkan komersialisasi organ tubuh, dan larangan penggunaan donor ginjal dari jenazah (Vivanews, 2012). Dialisis merupakan prosedur untuk menggantikan fungsi ginjal dalam membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh karena ginjal pasien sudah tidak mampu mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dari dalam tubuh. Dialisis dimulai ketika laju filtrasi glomerulus atau glomerulus filtration rate (GFR) pasien menurun di bawah 15 ml/menit/1,73 m2 (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. ; 2008). Terapi farmakologi yang digunakan untuk pengobatan gagal ginjal kronik ditujukan untuk mengobati faktor penyebab dan komplikasi yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik (GGK). Pengobatan tersebut di antaranya adalah antihiperglikemia,
antihipertensi,
antihiperlipidemia,
pengobatan
untuk
abnormalitas cairan dan elektrolit, antianemia dan pengobatan hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal. Tujuan utama pengobatan penyakit gagal ginjal kronik adalah memperlambat dan mencegah progresifitas penyakit. Industri farmasi memiliki peran penting dalam menyediakan atau memproduksi obat yang dibutuhkan oleh masyarakat sesuai dengan penyakit yang banyak dialami. Industri farmasi juga harus dapat melakukan pengembangan bisnis usahanya agar dapat tetap bersaing dan mempertahankan usahanya dalam dunia bisnis. Dalam hal ini, jumlah pasien penyakit gagal ginjal kronik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah kasus GGK yang meningkat ini menjadi peluang bagi industri farmasi dalam mengembangkan ide pengobatan yang diperlukan oleh pasien GGK. Dengan melakukan analisis produk-produk obat yang diperlukan oleh pasien GGK terutama yang belum banyak di pasaran, dapat menjadi peluang bagi industri farmasi dalam mengembangkan produk tersebut.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
3
Tujuan
1.2
Penyusunan tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker ini bertujuan untuk : a. Mengetahui jumlah kasus gagal ginjal kronik dan pasien hemodialisis di Indonesia b. Mengetahui pengobatan untuk penderita gagal ginjal kronik c. Mengusulkan ide baru untuk pengembangan produk Dexa Medica Group
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Gagal Ginjal Kronik (GGK) (Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. ; 2009) GGK merupakan penurunan secara progresif fungsi ginjal yang ditandai
dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) dalam jangka waktu beberapa bulan atau tahun yang ditandai dengan perubahan bentuk ginjal normal menjadi jaringan parut pada organ ginjal. Berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative (K/DOQI) tahun 2002 dan modifikasi dari National Institute of Health and Clinical Excellence (NICE) pada tahun 2008, GGK diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan yaitu : a. Tingkat 1
: GFR normal atau terjadi peningkatan, kerusakan ginjal
terbukti dengan adanya mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, baik perubahan secara radiologi maupun histologi. b. Tingkat 2
: Penurunan ringan GFR (89-60 ml/menit/1.73 m2) dengan
kerusakan ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuria, proteinuria, hematuria, baik perubahan secara radiologi maupun histologi. c. Tingkat 3
: GFR 59-30 ml/menit/1.73 m2
d. Tingkat 3a
: GFR 59-45 ml/menit/1.73 m2
e. Tingkat 3b
: GFR 44-30 ml/menit/1.73 m2
f. Tingkat 4
: GFR 29-15 ml/menit/1.73 m2
g. Tingkat 5/ End Stage Renal Disease (ESRD) : GFR < 15 ml/menit/1.73 m2. Pada tahap ini Renal Replacement Therapy seperti dialisis atau tranplantasi ginjal diperlukan untuk mempertahankan hidup. Perkembangan dan perjalanan penyakit GGK tersembunyi atau tidak diketahui. Perkembangan penyakit GGK yang lambat dan kurangnya tanda-tanda penyakit GGK pada tahap awal menyebabkan sulitnya penentuan prevalensi penyakit GGK sampai pasien mencapai tingkat akhir (ESRD). Pasien dengan penyakit GGK tingkat 1 atau tingkat 2 biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda atau perubahan metabolisme seperti yang muncul pada GGK tingkat 3 sampai tingkat 5 seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit kardiovaskuler, 4
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
5
malnutrisi, dan abnormalitas cairan dan elektrolit. Gejala uremik juga dapat muncul seperti letih, lesu, lemas, pernapasan yang pendek, perubahan mental, mual, muntah, perdarahan, dan anoreksia. Gejala uremik ini tidak muncul pada pasien GGK tingkat 1 dan 2, muncul gejala uremik ringan pada pasien tingkat 3 dan 4 dan gejala uremik sering muncul pada pasien GGK tingkat 5.
2.2
Patofisiologi (Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. ; 2009)
2.2.1. Faktor resiko (Susceptibility factors) Faktor resiko merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit ginjal tapi tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor resiko meliputi umur, penurunan massa ginjal, bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ras dan etnik, riwayat keluarga, pendapatan atau pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2.2.2. Faktor pencetus (Initiation factors) Faktor yang menginisiasi atau mencetuskan terjadinya kerusakan ginjal dan dapat diubah dengan pengobatan. Faktor pencetus termasuk di antaranya adalah diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, polycystic kidney disease, dan keracunan.
2.2.3. Faktor yang memperparah (Progression factors) Faktor ini adalah faktor yang akan memperparah penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Faktor yang memperparah di antaranya adalah kadar gula darah pada penderita diabetes, hipertensi, proteniuria, dan merokok.
2.3
Pengobatan
Gagal
Ginjal
Kronik
(Wells, B.G., Dipiro, J.T.,
Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. ; 2009) Hasil pengobatan yang diharapkan pada pasien GGK adalah menunda progresi dari penyakit GGK, meminimalkan perkembangan atau keparahan komplikasi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
6
2.3.1. Pengobatan Non-farmakologi Asupan rendah protein (0.6-0.75 g/kg/hari) dapat menunda keparahan GGK pada pasien dengan atau tanpa diabetes, meskipun keuntungan yang diperoleh hanya kecil.
2.3.2. Pengobatan Farmakologi 2.3.2.1.Hiperglikemia Pengobatan hiperglikemia secara intensif pada pasien diabetes tipe 1 dan 2 akan mengurangi komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Pengobatan hiperglikemia secara intensif termasuk pemberian insulin atau obat oral dan pemeriksaan kadar gula darah paling tidak 3 kali sehari.
2.3.2.2.Hipertensi Patogenesis hipertensi pada pasien penderita GGK merupakan kejadian multifaktor dan termasuk retensi cairan, peningkatan aktivitas simpatik, peningkatan kadar endotelin-1, penggunakan eritopoietin, dan perubahan struktural arterial. Asupan garam dan cairan perlu dibatasi. Pengendalian tekanan darah yang baik maka dapat mengurangi penurunan GFR dan albuminuria pada pasien dengan atau tidak dengan diabetes. Antihipertensi pada pasien dengan atau tidak diabetik dapat diberikan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi) dan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB). Kedua golongan obat ini dapat menurunkan tekanan dan volume kapiler glomerulus karena pengaruhnya pada angiotensin II sehingga dapat menurunkan jumlah protein yang difiltrasi melewati glomerulus. Kemampuan ACEi dan ARB dalam mereduksi proteinuria yang lebih tinggi dibanding senyawa antihipertensi lainnya lebih dari 35-40%, menjadikan ACEi dan ARB merupakan obat pilihan untuk semua pasien GGK (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008). Nondihidropiridin Calcium Channel Blockers (CCB) digunakan sebagai pengobatan lini kedua apabila penggunaan ACEi dan ARB untuk pengobatan tidak ditoleransi. Mayoritas pasien dengan ESRD membutuhkan tiga atau lebih obat Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
7
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Obat antihipertensi yang menjadi pilihan adalah ACEIs, ARBs dan nondihidropiridin Calcium Channel Blockers.
2.3.3. Pengobatan tambahan (Supportive Therapy) Pembatasan asupan protein, pengobatan untuk penurunan kadar lemak, berhenti merokok, dan penanganan anemia dapat membantu memperlambat progresi GGK. Sasaran utama penurunan kadar lemak pada pasien GGK adalah menurunkan resiko terjadinya aterosklerosis pada penyakit jantung. Sasaran kedua adalah untuk menurunkan proteinuria dan penurunan fungsi ginjal pada pemberian statin.
2.3.4. Penanganan Komplikasi Progresi penyakit GGK menjadi ESRD membutuhkan waktu tahunan atau puluhan tahun, dengan mekanisme kerusakan ginjal bergantung pada etiologi penyakit. Sasaran keseluruhan pengobatan adalah optimalisasi durasi dan kualitas hidup pasien.
2.3.4.1 Abnormalitas Cairan dan Elektrolit Kemampuan ginjal untuk mengatur perubahan mendadak pada asupan natrium berkurang pada pasien ESRD. Pembatasan asupan natrium juga tidak direkomendasikan
karena
dapat
menimbulkan
hipertensi
dan
edema.
Keseimbangan natrium yang negatif akan menurunkan perfusi ginjal dan menyebabkan penurunan GFR. Pemberian diuretik atau dialisis mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan edema dan tekanan darah. Loop diuretik, bila dikombinasikan dengan infus maka akan meningkatkan volume urine dan ekskresi natrium ginjal. Diuretik tiazid tidak efektif apabila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit.
2.3.4.2 Homeostasis Kalium Hiperkalemia sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal tingkat 5 (ESRD). Konsentrasi kalium serum biasanya diatur pada kadar normal sampai Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
8
GFR kurang dari 20 ml/menit per 1,73 m2 pada saat terjadi hiperkalemia ringan. Homeostasis kalium pada pasien dapat dijaga dengan membatasi asupan kalium sampai 50-80 mEq/hari dan perubahan konsentrasi kalium dalam dialisat pada pasien yang menjalani hemodialisis atau peritonial dialisis.
2.3.4.3 Anemia Penurunan fungsi ginjal akan mempengaruhi beberapa fungsi ginjal salah satunya adalah penurunan produksi dan sekresi eritropoietin. Penyebab utama anemia pada pasien GGK atau ESRD adalah penurunan produksi hormon eritropoietin (EPO) oleh sel progenitor pada ginjal. Pengobatan lini pertama untuk pasien GGK yang mengalami komplikasi anemia adalah penggantian eritropoietin dengan senyawa penstimulasi eritropoesis (erythropoiesis-stimulating agents (ESAs)). Pengunaan ESAs akan meningkatkan kebutuhan besi untuk produksi sel darah merah. Hal tersebut akan mengakibatkan defisiensi besi sehingga dibutuhkan suplemen besi untuk menjaga cadangan besi dan produksi sel darah merah (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008). Eritropoietin merupakan faktor pertumbuhan yang berperan dalam pembentukkan eritroblas dari sumsum tulang, stimulasi pembelahan dan diferensiasi normoblas, kemudian retikulosit, yang dilepaskan ke sirkulasi darah sehingga terbentuk eritrosit (sel darah merah yang matang). Eritropoietin terdiri dari beberapa jenis yaitu epoetin alfa, epoetin beta, darbepoetin dan metoksipolietilenglikol-epoetin beta. Pemberian epoetin alfa subkutan lebih dipilih karena memberikan hasil yang dapat diprediksi dan efek yang diperlambat. (ChisholmBurns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008). Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang. Penggunaan ESAs akan menyebabkan defisiensi besi jika penyimpanan besi tidak dijaga dengan baik. Suplemen besi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan besi di dalam tubuh. Pemberian suplemen besi oral lebih efektif dalam segi biaya dibandingkan pemberian intravena. Namun pemberian suplemen besi oral secara umum kurang efektif dalam menjaga kadar besi pada pasien yang Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
9
menerima pengobatan ESAs karena suplemen besi oral memiliki absorpsi yang buruk. Oleh karena itu, pemberian suplemen besi secara intravena lebih dipilih untuk suplementasi besi dalam tubuh (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008).
2.3.4.4 Hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal Keseimbangan kalsium-fosfor di dalam tubuh dimediasi oleh hormon dan efeknya pada tulang, saluran gastrointestinal, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Progresifitas penyakit ginjal akan menyebabkan aktivasi vitamin D oleh ginjal terganggu sehingga akan mengurangi absorpsi kalsium di usus. Konsentrasi kalsium yang rendah di dalam darah akan menstimulasi pengeluaran hormon paratiroid (PTH). Karena penurunan fungsi ginjal, keseimbangan kalsium di dalam serum terganggu maka akan terjadi peningkatan penyerapan kalsium dari tulang sehingga mengakibatkan terjadinya osteodistrofi ginjal atau renal osteodystrophy (ROD). Hiperparatiroid sekunder terjadi karena perubahan metabolisme lipid, perubahan pengeluaran insulin, resistensi terapi
eritropoietin, gangguan
neurologik dan fungsi imun, serta peningkatan kematian. Banyak pasien gagal ginjal kronik, terutama pasien dengan gagal ginjal tingkat akhir, membutuhkan kombinasi phosphate-bindings agents, vitamin D, dan terapi kalsium untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh K/DOQI. Pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien GGK dengan komplikasi hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal adalah : a. Preparat phosphate-bindings agents Phosphate-bindings agents dapat menurunkan absorpsi fosfat di usus dan merupakan agen lini pertama untuk mengendalikan konsentrasi fosfat dan kalsium. Efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan phosphate-bindings agents adalah diare, mual, muntah, dan nyeri perut. Resiko hiperkalsemia juga penting untuk diperhatikan. Contoh phosphate-bindings agents : Sevelamer, Lantanum.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
10
b. Preparat Vitamin D Kalsitriol, 1,25-dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan sintesis PTH dan sekresi serta mengatur reseptor vitamin D yang dapat mereduksi hiperplasia paratiroid. Dosis penggunaan vitamin D bergantung pada tingkat GGK dan jenis dialisis yang dilakukan. Contoh preparat vitamin D adalah kalsitriol dan vitamin D generasi baru yaitu parikalsitol dan dokserkalsiferol, dimana memiliki efek hiperkalsemia yang lebih rendah. Parikarsitol memiliki efek hiperfosfotemia yang lebih rendah dibandingkan kalsitriol. c. Preparat kalsium Preparat kalsium, Cinacalcet, berperan dalam meningkatkan sensitifitas reseptor pada kelenjar paratiroid terhadap kadar kalsium dalam serum untuk mereduksi sekresi PTH. Efek samping yang paling sering muncul adalah mual dan muntah.
2.3.4.5 Asidosis Metabolik Tanda klinis asidosis metabolik akan muncul pada saat GFR turun dibawah 20-30 ml/menit (GGK tingkat 4). Sasaran terapi GGK adalah mencapai pH darah yang normal yaitu 7,35 – 7,45 dan bikarbonat serum 22 – 26 mEq/L. Terapi farmakologi dengan natrium bikarbonat atau natrium sitrat atau asam sitrat dibutuhkan oleh pasien dengan GGK tingkat 3 atau tingkat lebih tinggi untuk memenuhi kembali kebutuhan bikarbonat. Garam alkali oral seperti natrium bikarbonat, larutan Shohl dan Bicitra dapat digunakan untuk pasien GGK tingkat 4 dan 5. Policitra yang mengandung kalium sitrat tidak boleh digunakan untuk pasien dengan GGK parah karena dapat terjadi hiperkalemia. Asidosis metabolik pada pasien yang menjalani dialisis dapat selalu dikendalikan dengan menggunakan bikarbonat dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
2.3.4.6 Hiperlipidemia Prevalensi hiperlipidemia meningkat sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Hiperlipidemia harus ditangani dengan baik pada pasien ESRD. Statin Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
11
merupakan obat pilihan pertama.
2.3.5 Komplikasi sekunder lain 2.3.5.1 Pruritus Pruritus merupakan permasalahan yang paling sering pada pasien ESRD. Patogenesis pruritus belum dipahami dengan jelas tetapi mungkin dikarenakan dialisis yang tidak adekuat, kulit kering, hiperparatiroid sekunder, peningkatan konsentrasi dari vitamin A dan histamin, serta peningkatan sensitivitas terhadap histamin.
2.3.5.2 Status Gizi Malnutrisi energi protein paling sering terjadi pada pasien GGK tingkat 4 atau tingkat 5. Asupan makanan kurang baik pada pasien dikarenakan timbulnya anoreksia, perubahan perasa dan inpalabillitas. Asupan protein per hari seharusnya 1,2 g/kg berat badan untuk pasien yang melakukan hemodialisis dan 1,-1,3 g/kg untuk pasien yang melakukan peritonial dialisis. Asupan energi per hari seharusnya 35 kckal/kg untuk pasien yang sedang melakukan dialisis baik hemodialisis maupun peritonial.
2.3.5.3 Uremic Bleeding Patofisiologi
uremic
bleeding
merupakan
kejadian
multifaktorial.
Mekanisme utama adalah abnormalitas platelet dan perubahan interaksi antara pembuluh
darah
dengan
platelet.
Pengobatan
non-dialisis
yang
dapat
memperpendek peningkatan perdarahan temasuk pemberian kriopresipitat dan desmopresin.
2.4
Hemodialisis (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. ; 2008) Hemodialisis merupakan metode yang digunakan untuk membuang produk
sisa seperti kreatinin dan urea dari darah ketika seseorang mengalami gagal ginjal. Hemodialisis merupakan satu dari tiga jenis renal replacement therapy (transplantasi ginjal dan dialisis peritonial). Hemodialisis terdiri dari perfusi darah Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
12
dan larutan garam fisiologis pada tempat yang berlawanan pada membran semipermeabel. Beberapa substansi seperti air, urea, kreatinin, toksin uremik, dan obat-obatan pindah dari darah ke cairan dialisat sehingga memfasilitasi perpindahan zat-zat tersebut dari darah. Zat-zat yang terlarut bertransportasi melewati membran baik secara difusi pasif maupun ultrafiltrasi. Difusi merupakan perpindahan bahan mengikuti gradien konsentrasi, laju difusi bergantung pada perbedaan konsentrasi dari zat terlarut dan dialisat, karakteristik zat terlarut, alat dialisis, dan laju aliran (darah dan dialisat). Ultrafiltrasi merupakan perpindahan air melewati membran dikarenakan tekanan hidrostatik atau osmotik. Kelebihan hemodialisis adalah : a. Pembersihan zat terlarut lebih besar memungkinkan perlakuan hanya sesaat. b. Parameter yang menunjukkan dialisis berjalan dengan baik lebih mudah ditentukan sehingga kondisi dialisis yang inadekuat dapat dengan mudah terdeteksi. c. Kegagalan teknis lebih jarang terjadi. d. Meskipun membutuhkan heparinisasi, parameter hemostasis dapat dikoreksi dengan baik dengan hemodialisis dibandingkan dialisis peritonial. e. Mudah dalam memonitor pasien yang sedang menjalankan proses hemodialisis. Kekurangan hemodialisis adalah : a. Membutuhkan kunjungan berulang kali dalam seminggu untuk melakukan hemodialisis b. Efek samping yang sering terjadi adalah hipotensi dan kram otot. c. Infeksi pada pasien hemodialisis mungkin disebabkan karena pemilihan membran. d. Akses ke pembuluh darah sering terkait dengan infeksi dan trombosis.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1
Waktu dan Tempat Pengkajian Pengambilan data dilakukan selama 3 minggu dari tanggal 9 April sampai
27 April 2012 dari berbagai tempat yang terkait dengan market survey penyakit gagal ginjal kronik. Data market survey diperoleh dengan melakukan survei ke Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI), pengambilan data dari Indonesian Renal Registry, evaluasi data Indonesian Medical Data Index (IMDI), evaluasi data IPA (Indonesia Pharmacy Audit) + IHPA (Indonesia Hospital Pharmacy Audit) MATQ4 2011.
3.2
Metode Pengkajian Metode pengkajian Market Survey obat untuk penyakit gagal ginjal kronik
dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Mempelajari patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik dan pengobatan yang diperlukan untuk penderita gagal ginjal kronik berdasarkan literatur, buku, yayasan ginjal, pusat informasi ginjal, dan jurnal yang terkait. b. Mencari data-data mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronik di Indonesia dan jumlah pasien yang melakukan hemodialisis baik dari internet, yayasan ginjal atau pusat informasi ginjal lainnya serta sumber-sumber lain yang memiiki data tersebut. c. Mempelajari dan menilai obat-obat yang berpotensi untuk dikembangkan baik dari sisi farmakologi, jumlah resep yang tertera pada IMDI, market value dan growth tiap molekul obat berdasarkan data IPA+IHPA MATQ4 2011, maupun tingkat kebutuhan dari obat tersebut pada pengobatan gagal ginjal kronik. d. Melakukan survei ke dialysis center. e. Mengumpulkan, mengolah dan mempelajari data-data yang sudah diperoleh dari berbagai sumber sehingga memperoleh gambaran tentang peluang pengembangan obat untuk pengobatan gagal ginjal kronik.
13
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada
Praktek
Kerja
Profesi
Apoteker
di
Departemen
Business
Development PT. Dexa Medica, Penulis mendapatkan tugas untuk melakukan market survey mengenai penyakit gagal ginjal kronik. Penulis melakukan penelusuran untuk mengetahui jumlah pasien yang mengalami gagal ginjal kronik di Indonesia. Data yang digunakan dalam mengetahui jumlah pasien gagal ginjal kronik adalah Indonesian Medical Data Index (IMDI) S1 2010. Penulis juga melakukan penelusuran untuk memperoleh data mengenai jumlah pasien gagal ginjal kronik di Indonesia yang dihemodialisis. Data ini diperoleh dengan menghubungi pihak Indonesia Renal Registry (IRR) yang memiliki data pasien yang dihemodialisis setiap tahunnya di Indonesia. Setelah penulis memperoleh gambaran secara keseluruhan jumlah kasus gagal ginjal kronik yang dihemodialisis se-Indonesia yang diperoleh dari data IRR maka penulis melakukan sampling pada salah satu dialysis center yaitu Yayasan Ginjal Diantrans
Indonesia (YGDI) atau Indonesian Diatrans Kidney Foundation
(IDKY). Dari berbagai sumber data yang dikumpulkan kemudian diolah untuk memperoleh estimasi-estimasi data yang mendukung ide pengembangan obat untuk pengobatan gagal ginjal kronik dan hemodialisis.
4.1
Data IMDI 2010 Indonesian Medical Data Index (IMDI) adalah laporan data hasil survei
oleh suatu badan independen dimana survei yang dilakukan mencakup obatobatan yang digunakan atau diresepkan oleh dokter (baik dokter umum maupun spesialis) di Indonesia, dalam suatu periode waktu tertentu. Berdasarkan hasil penelusuran data pasien dari data IMDI 2010 diperoleh data jumlah pasien gagal ginjal kronik sebagai berikut :
14
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
15
Tabel 4.1 Jumlah pasien gagal ginjal kronik selama tahun 2010 Total
Jenis GGK
Pasien dengan Pasien tanpa
Konsultasi pengobatan
pengobatan
N17-N19 Renal Failure
169.000
166.000
2.000
N18 Chronic Renal Failure
100.000
98.000
2.000
N19 Unspecified Renal Failure
68.000
68.000
0
Pembagian kategori gagal ginjal pada data IMDI dibedakan berdasarkan penggolongan menurut ICD-10 WHO yaitu : a. N17-N19
: Gagal ginjal
b. N18
: Gagal ginjal kronik
1) N18.1
: Gagal ginjal kronik tingkat 1
2) N18.2
: Gagal ginjal kronik tingkat 2
3) N18.3
: Gagal ginjal kronik tingkat 3
4) N18.4
: Gagal ginjal kronik tingkat 4
5) N18.5
: Gagal ginjal kronik tingkat 5
c. N19
: Gagal ginjal tidak spesifik
Dari data tersebut dapat dilihat jika dari total pasien yang mengalami gagal ginjal (N17-N19), terdapat sekitar 1,2% pasien tidak mendapatkan pengobatan. Sedangkan untuk pasien gagal ginjal kronik (N18) dari total 100.000 pasien terdapat 2% pasien yang tidak mendapatkan pengobatan. Untuk pasien dengan gagal ginjal tidak spesifik, semua pasien mendapatkan pengobatan.
40% 60%
ChronicRenal Renal Failure Failure N18 Chronic
Unspecified Renal Renal Failure N19 Unspecified Failure
Gambar 4.1 Persentase pasien gagal ginjal kronik dan gagal ginjal tidak spesifik
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
16
Berdasarkan data yang ada, dapat dilihat jika terdapat 60% pasien dengan gagal ginjal kronik dari seluruh kasus penyakit gagal ginjal, dan merupakan gagal ginjal kronik yang tidak spesifik. Sedangkan terdapat 40% pasien gagal ginjal tidak spesifik.
4.2
Data Indonesian Renal Registry (IRR) Indonesian Renal Registry (IRR) atau Regitrasi Ginjal Indonesia adalah
suatu program dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan penyakit ginjal dan hipertensi, antara lain dialisis, transplantasi ginjal dan data epidemologi penyakit ginjal dan hipertensi se-Indonesia. Permohonan data pasien gagal ginjal kronik yang dihemodialisis seluruh Indonesia dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada IRR. Setelah disetujui maka pihak IRR mengirimkan data tersebut melalui email kepada penulis. Data yang diperoleh dari IRR mengenai pasien gagal ginjal kronik yang dihemodialisis se-Indonesia adalah jumlah pasien yang dihemodialisis selama tahun 2007-2011, baik pasien baru maupun pasien aktif, tipe penyakit gagal ginjal yang dialami oleh pasien hemodialisis, umur pasien hemodialisis, penyakit penyerta yang dialami oleh pasien hemodialisis, penyebab kematian pasien hemodialisis, dan penggunaan dialisat selama tahun 2007-2011. Data pasien yang dihemodialisa selama tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Jumlah Pasien GGK (orang)
17
15353
16000 14000 12000
9649
10000
8193
6951
8000 6000
5392
4977
4000
5184
4707
1936
1885
2000 0
20071
2 2008
Pasien Baru
3 2009 Tahun
4 2010
5 2011
Pasien Aktif
Gambar 4.2 Jumlah Pasien Hemodialisis di Indonesia Tahun 2007-2011
Berdasarkan data pada Gambar 4.2, dapat dilihat jumlah pasien hemodialisis di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pasien baru adalah pasien yang datang dengan maksud untuk dihemodidialisis. Sedangkan pasien aktif adalah pasien yang masih tercatat menjalankan hemodialisis sampai akhir tahun. Jumlah pasien aktif lebih sedikit dikarenakan dari semua pasien baru yang pernah datang untuk dihemodialisis, tidak semuanya melanjutkan proses hemodialisis sampai akhir tahun. Penyebab pasien tidak melakukan hemodialisis sampai akhir tahun kemungkinan dikarenakan pasien meninggal atau pasien tidak memiliki biaya yang cukup melanjutkan proses hemodialisis secara rutin. Dari data-data yang diperoleh mengenai jumlah pasien yang mengalami gagal ginjal kronik, pasien yang melakukan hemodialisis dan pasien yang masih aktif melakukan hemodialisis maka didapat potret estimasi kasus gagal ginjal kronik di Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
18
Jumlah Pasien (orang)
28.750.000
100.000 15.353
Prevalensi gagal ginjal kronik (Survei Pernefri Tahun 2009)
Pasien Gagal Ginjal Kronik (IMDI S1 2010)
Pasien Hemodialisis (IRR, 2011)
6.951 Pasien hemodialisis aktif (IRR, 2011)
Gambar 4.3 Pasien Gagal Ginjal Kronik di Indonesia
Selain jumlah pasien gagal ginjal kronik, data IRR juga meberikan informasi tentang tipe gagal ginjal kronik yang dialami oleh pasien GGK seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut ini :
6%
7%
N17 – Gagal Ginjal Akut
N18 – Gagal ginjal kronik tingkat 4 dan 5 (End Stage RenalStage Disease) (End Renal Disease)
87%
N18.2 – Gagal ginjal akut pada pasien GGK
Gambar 4.4 Persentase diagnosa penyakit utama pasien hemodialisis di Indonesia tahun 2011 Berdasarkan data pada Gambar 4.4, dapat dilihat bahwa paling banyak pasien yang dihemodialisis adalah pasien dengan tipe gagal ginjal kronik tahap Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
19
akhir sebanyak 87%. Pasien hemodialisis dengan tipe gagal ginjal akut sebesar 7% dan pasien gagal ginjal kronik yang mengalami kegagalan ginjal secara akut sebesar 6%. Dari data ini dapat disimpulkan jika mayoritas pasien gagal ginjal kronik
tingkat
akhir
yang
melakukan
hemodialisis
untuk
membantu
mempertahankan fungsi dan kondisi normal tubuh.
0% 3% 1 – 14 tahun
8%
25%
15 – 24 tahun
15%
25 – 34 tahun 35 – 44 tahun 22%
45 – 54 tahun
27%
55 – 64 tahun > = 65 tahun
Gambar 4.5 Persentase distribusi usia pasien hemodialisis
Berdasarkan data pada Gambar 4.5, jumlah pasien hemodialisis paling banyak adalah pasien dengan usia 45-54 tahun.
2% 3% 2% 3%
Diabetes Mellitus
2% 2% 1%
Hipertensi
5%
23%
Kardiovaskular Urogenital
11%
Keparahan Serebrovaskular Saluran cerna
46%
Hepatitis B / Anti HbSAg+ Hepatitis C / Anti HCV+ Tuberkulosis Lain-lain
Gambar 4.6 Persentase diagnosa penyakit penyerta pasien hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011 Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
20
Berdasarkan data pada Gambar 4.6, dapat dilihat penyakit penyerta yang dialami pasien hemodialisis mayoritas adalah penyakit hipertensi (46%), diabetes melitus (23%), dan penyakit kardiovaskular lainnya (11%).
Kardiovaskular 18% Serebrovaskular
45%
11%
Perdarahan Saluran Cerna Sepsis
14% 8%
Penyebab lain Tidak diketahui
4%
Gambar 4.7 Persentase penyebab kematian pada pasien hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011 Berdasarkan data pada Gambar 4.7, penyebab kematian terbesar pada pasien hemodialisis adalah penyakit kardiovaskular (45%).
450000 400000
Jumlah Tindakan
350000 300000 250000 200000
Asetat
150000
Bikarbonat
100000 50000 0
2007
1
2008
2
3
2009 Tahun
4
2010
5
2011
Gambar 4.8 Jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan jumlah pemakaian dialisat di seluruh Indonesia Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
21
Berdasarkan data yang pada Gambar 4.8, dapat dilihat jika dialisat bikarbonat lebih banyak digunakan dibandingkan dialisat asetat. Peningkatan jumlah tindakan hemodialisis mengindikasikan terjadinya peningkatan jumlah pasien yang mengalami gagal ginjal kronik di Indonesia. Berdasarkan penggunaan dialisat per tahun, penulis mencoba memperkirakan frekuensi hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam satu minggu. Sebagai contoh, pada tahun 2011 terdapat total tindakan hemodialisis sebanyak 443.122 tindakan dengan jumlah pasien hemodialisis aktif (Gambar 4.2) adalah 6.951 pasien, maka dapat dihitung : a. Jumlah tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam setahun: = = = 63,75 tindakan hemodialisis/pasien/tahun
b. Jumlah tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam seminggu: = = 1,33 tindakan hemodialisis/pasien/minggu Perhitungan perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam satu minggu dilakukan terhadap data dari tahun 2007-2011 sehingga diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 4.2 Perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis per pasien dalam seminggu
Tahun
Total tindakan
Jumlah pasien
dialisis
aktif
Jumlah
Jumlah
tindakan
tindakan
hemodialisis
hemodialisis
tiap pasien per
tiap pasien per
tahun
minggu
2011
443.122
6.951
63,75
1,33
2010
282.357
5.184
54,47
1,13
2009
220.923
4.707
46,93
0,98 Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
22
2008
178.836
1.936
92,37
1,92
2007
114.690
1.885
60,84
1,27
Rata-rata frekuensi tindakan hemodialisis/pasien/minggu
1,33
Hasil perhitungan perkiraan frekuensi tindakan hemodialisis yang dilakukan setiap pasien dalam satu minggu menunjukkan rata-rata pasien melakukan hemodialisis sebanyak 1-2 kali tindakan hemodialisis dalam seminggu. Data ini dapat digunakan untuk menghitung besar penggunaan obatobatan yang diperlukan pasien selama melakukan hemodialisis. IRR juga melakukan pengumpulan data obat-obat yang dipakai oleh pasien-pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, antara lain obat eritropoietin yang dipakai untuk pasien hemodialisis dengan anemia.
Jumlah pemakaian (syringe)
35000 30000 25000 Produk lain
20000
Hemapo KLB 15000
Eprex JAN
10000
Recormon ROC
5000 0 1 2007
2 2008
3 2009
4 2010
5 2011
Tahun Gambar 4.9 Jumlah pemakaian produk eritopoietin pada pasien hemodialisis di Indonesia Data pada Gambar 4.9 menunjukkan penggunaan produk eritropoietin pada pasien hemodialisis yang mengalami anemia adalah produk epoetin alfa dengan berbagai jenis merk yaitu Hemapo® (Kalbe), Eprex® (Janssen) dan epoetin beta yaitu Recormon® (Roche). Berdasarkan data penggunaan eritropoietin pada pasien hemodialisis, penulis mencoba untuk menghitung estimasi jumlah pasien yang mengalami anemia pada saat tindakan hemodialisis. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
23
Tabel 4.3 Estimasi jumlah pasien hemodialisis yang mengalami anemia 2007
2008
2009
2010
2011
Hemapo KLB (syringe)
6756
7705
8477
17478
29612
Eprex JAN (syringe)
4401
6010
6937
10923
26108
Recormon ROC (syringe)
2304
3192
2852
5237
8606
Produk lain
1706
2855
3248
6212
7031
Total penggunaan 1 tahun (syringe)
15167
19762
21514
39850
71357
1263,9
1646,8
1792,8
3320,8
5946,4
316
412
448
830
1487
158
206
224
415
743
1885
1936
4707
5184
6951
8,4 %
10,6 %
4,8 %
8,0 %
10,7 %
Total penggunaan 1 bulan (syringe) Total penggunaan 1 minggu (asumsi 1 pasien 2 kali hemodialisis/minggu) Estimasi jumlah pasien dengan anemia Total pasien hemodialisis dalam 1 tahun Persentase pasien dengan anemia dari seluruh pasien hemodialisis
Contoh pada tahun 2011, total pemakaian eritropoietin dalam setahun adalah 71.357 syringe. Hal ini berarti dalam 1 minggu penggunaan sebanyak 1487 syringe (1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 4 minggu). Dalam 1 minggu, pasien diasumsikan melakukan tindakan hemodialisis sebanyak 2 kali sehingga total penggunaan dalam seminggu dibagi 2 sehingga diperoleh jumlah pasien yang memerlukan penggunaan eritropoietin selama dialisis yaitu 743 pasien. Jumlah pasien ini dibandingkan dengan seluruh total pasien yang melakukan tindakan hemodialisis dalam tahun 2011 (6951 pasien aktif) maka didapat persentase pasien hemodialisis yang mengalami anemia sebesar 10,7%. Berdasarkan data 2007-2011, persentase perkiraan pasien yang mengalami anemia pada saat hemodialisis berkisar antara 4-11%. Perhitungan ini dapat menjadi acuan dalam menghitung penggunaan obat antianemia bagi pasien gagal ginjal kronik. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
24
4.3
Data Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) Keberadaan Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) adalah untuk
membantu meringankan beban para penderita gagal ginjal, meningkatkan kualitas hidup serta membantu pemerintah meningkatkan kesehatan masyarakat. YGDI memiliki 2 dialysis center di Jakarta yaitu di Jatiwaringin dan Rawalumbu. Untuk pengambilan data, Penulis melakukan kunjungan ke dialysis center pusat yang dimiliki oleh YGDI yaitu di Jatiwaringin. Berikut di bawah ini adalah data teknis yang dimiliki oleh dialysis center YGDI untuk cabang Jatiwaringin dan Rawalumbu :
Tabel 4.4 Data teknis dialysis center YGDI cabang Jatiwaringin dan Rawalumbu Jatiwaringin Rawalumbu Jumlah tempat tidur
31
55
Jumlah mesin HD
35
7
Jumlah dokter jaga Pelayanan yang disediakan Jumlah pasien
4 Hemodialisis
Hemodialisis
133 pasien
62 pasien
Hasil wawancara dengan perawat dan penelusuran medical record pasien diperoleh data bahwa pasien melakukan hemodialisis sekitar satu sampai dua kali dalam seminggu. Namun pada pasien tertentu, hemodialisis dilakukan sampai tiga kali dalam seminggu. YGDI membagi tipe pasien berdasarkan penanggung biaya hemodialisis menjadi pasien swasta/umum yang menggunakan biaya pribadi, pasien jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), pasien Gakin (Keluarga miskin), pasien SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dengan cakupan Wilayah DKI dan Depok. Data pasien berdasarkan status pasien dialisis dapat dilihat pada Tabel 4.5:
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
25
Tabel 4.5 Data status pasien yang melakukan hemodialisis Periode
Swasta/ Umum
Jamkesmas
Gakin
SKTM
SKTM
Total
DKI
DKI
Depok
HD
2009
1959
5351
2032
6806
571
16719
2010
1929
5612
1903
7151
973
17568
2011
2250
5165
1554
7729
933
17945
%Growth
17%
-8%
-18%
8%
-4%
6%
YGDI juga melakukan pencatatan distribusi usia pasien yang ditangani seperti pada Gambar 4.10 :
16%
30%
20-40 tahun
41-60 tahun 54% 61 tahun ke atas
Gambar 4.10 Persentase distribusi usia pasien hemodialisis YGDI
Pasien hemodialisis di YGDI mayoritas berusia 41-60 tahun yaitu sebanyak 54% dari total pasien. YGDI melakukan pencatatan history berapa lama pasien sudah melakukan hemodialisis seperti yang tertera pada Gambar 4.11 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
26
6%
Tahun <<1 1years
14%
21% 20%
1-2years Tahun 1-2 2-5years Tahun 2-5
39%
5-10years Tahun 5-10 Tahun >>1010years
Gambar 4.11 Persentase lama pasien menjalankan hemodialisis di YGDI
Sesuai dengan Gambar 4.11, pasien YGDI mayoritas sudah menjalankan hemodialisis selama dua sampai lima tahun. Pada tahun 2011, dialysis center YGDI baik di Jatiwaringin maupun di Rawalumbu, memiliki sejumlah pasien baru yaitu 50 pasien baru untuk Jatiwaringin (43 pasien swasta/umum dan 16 pasien SKTM DKI) dan 74 pasien baru untuk Rawalumbu (70 pasien swasta/umum dan 4 pasien Jamkesmas), yang dapat dilihat pada Gambar 4.12 :
JATIWARINGIN
RAWALUMBU
Gambar 4.12 Jumlah pasien hemodialisis baru di dialysis center YGDI (Jatiwaringin dan Rawalumbu)
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
27
Kapasitas YGDI sudah dimaksimalkan dalam melayani pasien yang akan melakukan hemodialisis. Namun pada kenyataannya karena kapasitas yang dimiliki oleh YGDI terbatas, masih terdapat pasien yang tidak tertangani akibat jumlah pasien gagal ginjal kronik yang harus dihemodialisis jumlahnya besar. Jumlah pasien yang telah mendaftar untuk hemodialisis tetapi tidak dapat dilayani berjumlah 108 pasien, dimana 90 orang mendaftarkan diri di Jatiwaringin dan 18 orang di Rawalumbu. Pusat dialysis center di Indonesia tersebar di berbagai kota. dialysis center yang terdapat di kota-kota besar di Indonesia sekitar 187 dialysis center. Angka ini diperoleh berdasarkan perhitungan jumlah dialysis center di Indonesia yang tersedia pada website YGDI. Selain itu, dari hasil survei ke YGDI juga diperoleh data mengenai jumlah dialysis center yang ada di Jabodetabek dan jumlah mesin yang dimiliki oleh masing-masing dialysis center seperti yang terdapat pada Tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Data dialysis center yang terdapat di Jabodetabek Jumlah dialysis
Jumlah mesin
Kapasitas
center
dialisis
(2 shifts)
Jakarta Utara
7
33
198
Jakarta Selatan
11
106
636
Jakarta Timur
11
121
726
Jakarta Barat
3
36
216
Jakarta Pusat
7
83
498
Total
39
379
2274
Bogor
2
7
42
Depok
1
7
42
Tangerang
2
10
60
Bekasi
3
13
78
TOTAL
47
416
2.496 pasien
Provinsi Jakarta
Berdasarkan data jumlah dialysis center yang ada di Jabodetabek, Penulis melakukan proyeksi untuk mendapatkan estimasi jumlah pasien hemodialisis di Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
28
Indonesia. Estimasi jumlah mesin yang dimiliki oleh masing-masing dialysis center dihitung dengan membagi total mesin yang dimiliki oleh seluruh dialysis center di Jabodetabek yaitu 416 mesin dengan total dialysis center yang ada di Jabodetabek yaitu 47 sehingga diperoleh rata-rata dialysis center memiliki 8 mesin. Jumlah dialysis center yang ada di Indonesia sekitar 187 dialysis center. Pasien rata-rata melakukan dialisis sebanyak dua kali dalam seminggu (6 hari kerja dibagi 2, berarti dalam seminggu ada tiga pasien yang ditangani oleh per mesin per shift) dan masing-masing dialysis center membagi jadwalnya dalam 2 shift kerja. Berarti dapat dihitung estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia adalah sebagai berikut : Estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia : = Jumlah mesin tiap dialysis center x jumlah dialysis center di Indonesia x 3 x 2 = 8 mesin/dialysis center x 187 dialysis center x 3 x 2 = 8.976 pasien Hasil estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia ini dibandingkan dengan jumlah pasien hemodialisis yang bersumber dari data IRR yaitu 6.951 pasien aktif hemodialisis dan 15.353 pasien baru. Dari perbandingan tersebut dapat disimpulkan jika hasil estimasi jumlah pasien hemodialisis di Indonesia memiliki kedekatan dengan data dari IRR. Hasil estimasi jumlah pasien hemodialisis ini dapat mewakili atau memberikan gambaran tentang besarnya pasar yang dapat diraih oleh industri farmasi dalam hal ini PT. Dexa Medica apabila mengembangkan obat-obatan yang diperlukan oleh pasien yang melakukan hemodialisis. Pada saat melakukan survei ke YGDI, Penulis melakukan sampling terhadap medical record dari 25 pasien di Bulan Maret dan April 2012, untuk mengetahui obat-obatan yang diterima pasien selama menjalani hemodialisis, Data terkait dengan tindakan hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
29
Tabel 4.7 Data umum hasil sampling terhadap medical record Bulan Maret dan April 2012 pasien hemodialisis di YGDI Data Jumlah Jumlah sampel pasien
25 pasien
Jumlah tindakan hemodialisis Maret
225 tindakan
April
184 tindakan
Total tindakan selama 2 bulan
409 tindakan
Total tindakan tiap pasien per bulan
8 tindakan/pasien/bulan
Total tindakan tiap pasien per minggu
2 tindakan/pasien/bulan
Obat-obat yang diberikan kepada pasien selama tindakan hemodialisis terutama adalah heparin, eritropoietin, suplemen besi (injeksi) dan kalsitriol, yang kemudian dilakukan analisis lebih lanjut terhadap penggunaan obat tersebut. Data obat-obat yang diberikan pada pasien selama tindakan hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut ini :
Tabel 4.8 Data obat yang diberikan kepada pasien selama tindakan hemodialisis 1. Heparin Jumlah sampel pasien
25 pasien
Jumlah pasien dengan heparinisasi
25 pasien
Rata-rata dosis heparinisasi per pasien Dosis awal
2.079 IU
Dosis pemeliharaan
3.040 IU
Dosis sirkulasi
3.460 IU
Total pengunaan heparin/pasien/hemodialisis
8.579 IU
Total pengunaan heparin/pasien/bulan
68.632 IU
( bulan = 8 tindakan hemodialisis) 2. Eritropoietin (EPO) (Eprex®2.000 IU/4.000IU; Hemapo® 3.000 IU; Epotrex® 2.000 IU) Jumlah sampel pasien
25 pasien Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
30
Jumlah pasien yang diberikan EPO
7 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan EPO
28 %
Total penggunaan EPO selama 2 bulan
24 syringe ~ 80.000 IU
Total penggunaan EPO/pasien/bulan
2 syringe ~ 6.600 IU
3. Suplemen besi (injeksi) (Nefrofer®) Jumlah sampel pasien Jumlah pasien yang diberikan suplemen besi
25 pasien 1 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan suplemen besi 4 % Total penggunaan suplemen besi selama 2 bulan
6 ampul
Total penggunaan suplemen besi/orang/bulan
3 ampul
4. Kalsitriol (Calcijex®) Jumlah sampel pasien
25 pasien
Jumlah pasien yang diberikan kaslitriol
6 pasien
Persentase pasien hemodialisis yang diberikan kalsitriol
24 %
Total penggunaan kalsitriol selama 2 bulan
12 ampul
Total penggunaan kalsitriol/orang/bulan
1 ampul
Berdasarkan data pada Tabel 4.8, Penulis mencoba untuk memproyeksi data tersebut sehingga dapat diperoleh data besarnya pasar obat-obat yang digunakan di Indonesia selama tindakan hemodialisis. Hasil perhitungan proyeksi untuk mengetahui estimasi obat-obatan yang diberikan pada pasien hemodialisis di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
31
Tabel 4.9 Estimasi penggunaan obat-obatan yang diberikan pada pasien hemodialisis di Indonesia Obat Jumlah Persentase Estimasi jumlah penggunaan
pasien
yang penggunaan obat
/pasien
diberikan obat
/bulan
pada
pasien
hemodialysis
di
Indonesia* Heparin
68.632 IU
100%
5.765.000.000 IU
Eritropoietin
2 syringe
28 %
47.000 syringe
4%
10.000 ampul
24 %
20.000 ampul
Suplemen
besi 3 ampul
(injeksi) Kalsitriol
1 ampul
Keterangan : *Jumlah penggunaan obat pada pasien hemodialisis di Indonesia dihitung dengan menggunakan estimasi pasien hemodialysis aktif 7000 pasien per tahun.
4.4
Obat-obatan yang Digunakan untuk Gagal Ginjal Kronik Penulis melakukan penelusuran dan survei terhadap pengobatan yang
digunakan pada pasien gagal ginjal kronik baik yang menjalankan dialisis maupun tidak menjalankan dialisis. Berdasarkan penelusuran literatur, pengobatan yang dipakai dibagi berdasarkan komplikasi yang sering terjadi dan seperti yang tertera pada Tabel 4.10 berikut ini :
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
32
Tabel 4.10 Komplikasi yang terjadi dan pengobatan yang diberikan untuk pasien gagal ginjal kronik Komplikasi Pengobatan Hipertensi
Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi) Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Non-dihidropiridin Calcium Channel Blocker (CCB)
Hiperlipidemia
Statin Eritropoietin
Anemia
Suplemen besi (injeksi) Abnormalitas cairan
Diuretik
dan elektrolit
Dialisis
Hiperparatiroid sekunder dan Renal Osteodistrofi Asidosis metabolik
Phospate-binding agents Vitamin D Kalsimimetik Natrium bikarbonat Natrium sitrat
Dalam rangka pengumpulan ide baru untuk pengembangan obat penyakit gagal ginjal kronik maka Penulis melakukan penilaian terhadap obat-obatan yang digunakan melalui penelusuran literatur dan data sekunder IPA+IHPA MATQ4 2011 pada IMS untuk menilai efek farmakologi, resiko, manfaat, kelebihan, kekurangan, dan penggunaannya serta data pasar. Setelah dilakukan penilaian terhadap masing-masing obat maka Penulis akan menyimpulkan obat-obat yang mungkin berpotensi untuk dikembangkan dalam pengobatan gagal ginjal kronik.
4.5.1
Antihipertensi Obat antihipertensi yang disarankan untuk pengobatan komplikasi
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik adalah golongan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEi) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB). Apabila pasien tidak memberikan respon yang baik terhadap kedua golongan tersebut, maka dapat diberikan obat antihipertensi golongan non-dihiropiridin Calcium Channel Blocker (CCB). Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
33
Tabel 4.11 Obat golongan ACEi, ARB dan non-dihiropiridin calcium channel blocker ACEi ARB non-dihiropiridin calcium channel blocker Rampiril
Irbesartan
Diltiazem
Lisinopril
Valsartan
Verampil
Kaptopril
Losartan
Imidapril
Kandesartan
Perindopril
Telmisartan
Trandolapril
Olmesartan medoxomil
Enalapril
Eprosartan
Quinapril Benazepril Moexipril Delapril Fosinopril
Dexa Group sudah memiliki beberapa obat dari ketiga golongan di atas diantaranya ramipril, lisinopril, kaptopril, dan diltiazem. Penilaian dilakukan terhadap obat-obatan yang belum dimiliki oleh Dexa Group dari segi farmakologi dan data pasar IPA+IHPA MATQ4 2011.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
34
60,00 40,00 20,00
Unit
0,00 -20,00 -40,00 -60,00 -80,00 -100,00 Molekul Gambar 4.13 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat golongan ACEi Berdasarkan pertumbuhan volume molekul obat, untuk obat dengan pertumbuhan negatif akan tereliminasi dalam daftar obat yang dikembangkan. Jika dilihat pada Gambar 4.13 maka obat golongan ACEi yang berpotensi untuk dikembangkan adalah perindopril, quinapril, dan benazepril. Terhadap ketiga obat ini dilakukan penilaian efek farmakologi, dari kelebihan dan kekurangannya. Perindopril tidak memberikan efek pada ginjal secara signifikan (Bacanu, Botez, 2011) tetapi lebih efektif pada pengobatan kardiovaskular dan pencegahan stroke (Arima, Chalmers, 2011). Quinapril secara signifikan menurunkan tekanan darah namun tidak mempengaruhi fungsi ginjal (Miller, Gmerek, Robbins, Canter, ), berfungsi untuk pengobatan infark miokard (Gaudron P., Fraccarollo D., Bauer, W., Eilles, C., Ertl G., 2000). Benazepril dapat menurunkan protenuria pada penelitian kucing yang mengalami gagal ginjal kronik (King, JN. Gunn-Moore DA, Tasker S., Gleadhill A., Strehlau G. (2006). Benazepril memiliki sifat proteksi terhadap renal pada pasien dengan atau tanpa diabetes (Hou, Fan fan, 2006). Benazepril memiliki market value (nilai atau peluang pasar) yang tidak besar sehingga untuk antihipertensi golongan ACE-inhibitor tidak diusulkan untuk dikembangkan. Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
35
Untuk obat antihipertensi golongan ARB, molekul kandesartan dan valsartan sudah dimiliki oleh Dexa Group. Pada tahap awal, Penulis menilai dari pertumbuhan penggunaan molekul ARB dalam satuan unit, yang ditunjukkan pada Gambar 4.14 berikut ini :
100,00 80,00 60,00 40,00
Unit
20,00 0,00 -20,00 -40,00 -60,00 -80,00 -100,00 -120,00 Molekul Gambar 4.14 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat golongan ARB Berdasarkan penilaian terhadap pertumbuhan volume molekul obat golongan ARB dalam unit, semua pertumbuhan bernilai positif, kecuali eprosartan (Gambar 4.14). Pertumbuhan penggunaan unit molekul irbesatan memang positif namun sudah banyak pemain di pasaran. Semakin banyak jumlah pemain di pasar maka market share akan semakin kecil sehingga keuntungan yang akan diperoleh juga akan semakin kecil. Oleh sebab itu, pemilihan molekul obat lebih dipilih yang jumlah pemain di pasar masih sedikit dan dengan sifat farmakologi molekulnya baik dibandingkan molekul yang sudah memiliki banyak pemain. Selanjutnya, Penulis menilai dari sifat farmakologi, kelebihan dan kekurangan setiap molekul ARB. Olmesartan lebih efektif dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik dibandingkan losartan, valsartan, dan irbesartan (Norwood, Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
36
Branch, Smith, Honeywell, 2002). Olmesartan lebih poten dalam menurunkan tekanan arterial dibandingkan telmisartan (Nakayama, S. Watada, H., Mita T., Ikeda F., Shimiz, T., Uchino, H., Fujitani Y., Hirose T., Kawamori, R., 2008). Penelitian menunjukkan telmisartan menurunkan tekanan sistolik dan diastolik lebih efektif dibandingkan dengan losartan (Mallion, J., Siche J., Lacourciere Y., 1999). Telmisartan juga menunjukkan pengendalian tekanan darah yang lebih baik selama 24 jam dibandingkan dengan losartan (Vitale, C., Mercuro, G., Castiglioni, C., Cornoldi, A., Tulli, A., Fini, M., Volterrani, M., Rosano. G.,MC., 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa telmisartan memberikan efek perlindungan pada jantung dan ginjal untuk pasien dengan hipertensi parah (Wienen, W., Entzeroth, M., Mell, J., 2006). Nilai market telmisartan lebih besar dibandingkan dengan olmesartan seperti yang tertera pada Gambar 4.15 berikut ini : IRBESARTAN Irbesartan
5% 13%
VALSARTAN Valsartan
25%
LOSARTAN Losartan
15% 19%
23%
CANDESARTAN Kandesartan CILEXETIL TELMISARTAN Telmisartan OLMESARTAN Olmesartan MEDOXOMIL
Gambar4.15 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 market share in value dari molekulmolekul golongan ARB Dengan mempertimbangkan sifat farmakologi dan nilai market untuk antihipertensi golongan ARB, Penulis mengusulkan untuk mengembangkan telmisartan.
4.5.2
Antihiperlipidemia Antihiperlipidemia yang efektif untuk pengobatan pada pasien gagal ginjal
kronik adalah golongan statin. Obat golongan statin terdiri dari atorvastatin,
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
37
rosuvastatin, simvastatin, pravastatin, lovastatin, dan fluvastatin. Dexa Group sudah memiliki molekul atorvastatin, simvastatin, dan lovastatin.
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
-20,00
-40,00 Gambar 4.16 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat golongan statin Berdasarkan penilaian terhadap pertumbuhan volume molekul obat golongan statin dalam unit, fluvastatin memiliki nilai pertumbuhan yang negatif, sedangkan molekul lain memiliki nilai pertumbuhan yang positif. Berdasarkan penelusuran literatur, atorvastatin merupakan molekul yang paling efektif dalam menurunkan kolesterol, LDL, non-HDL, dan lipoprotein remnant dibandingkan fluvastatin, pravastatin, lovastatin dan simvastatin (Schaefer, E.J., McNamara, J.R., Tayler, T., Daly, J.A., Gleason, J.L., Seman, L.J., Ferrai, A., Rubenstein, J.J., 2004). Karena Dexa Group sudah memiliki atorvastatin maka untuk obat golongan statin Penulis tidak mengusulkan obat dari golongan statin untuk dikembangkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
38
4.5.3 Anti-anemia
Hemapo - Kalbe® (Epoetin alfa)
0% 7% 17%
36%
6%
Eprex - Jannsen® (Epoetin alfa) Epotrex - Novell® (Epoetin alfa)
34%
Recormon - Roche®(Epoetin beta) Epoglobin - Ikapharmindo® (Epoetin beta) Mircera - Roche® (Epoetin PEG)
Gambar 4.17 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 market share in value molekulmolekul eritropoietin berdasarkan brand Pengobatan antianemia terdiri dari eritropoietin dan
suplemen besi.
Eritropoietin ada beberapa jenis yaitu epoetin alfa, epoetin beta, metoksi-PEGEpoetin beta dan darbepoetin. Berdasarkan data IRR, eritropoietin yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah epoetin alfa. Namun berdasarkan penelusuran literatur, darbepoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan epoetin alfa sehingga frekuensi pemberiannya dapat berkurang. Darbepoetin adalah molekul baru yang belum beredar di Indonesia. Metoksi-PEGEpoetin beta memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan lebih efektif dalam menjaga kadar target hemoglobin dibandingkan darbepoetin dengan pemberian satu kali sebulan meskipun dosis darbepoetin udah ditingkatkan (Carrera, F., et al, 2010). Oleh sebab itu, untuk molekul eritropoietin, Penulis mengusulkan untuk mengembangkan metoksi-PEG-Epoetin beta.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
39
Tabel 4.12 Jenis dan nama produk dari obat eritropoietin Epoetin Alfa Nama Produk (brand)
Produsen
Hemapo®
Kalbe Ex. China
Eprex®
Janssen Ex. Europe
Epotrex®
Novell Pharma Ex. Korea Epoetin Beta
Recormon®
Roche Ex. Europe
Epoglobin®
Ikapharmindo Ex. China Metoksi-PEG-Epoetin Beta
Mircera®
Roche Ex. Germany
Darbepoetin (Belum tersedia di Indonesia) Aranesp® (Originator)
Amgen
Senyawa antianemia lainnya adalah suplemen besi dalam bentuk injeksi. Market share dari suplemen besi dapat dilihat seperti pada Gambar 4.18 berikut ini :
2%
Iron Sucrose IRON FERRIC IRON DEXTRAN Iron Dextran 98%
Gambar 4.18 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 Market share dalam nilai rupiah injeksi suplemen besi Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
40
Untuk suplemen besi, yang efektif digunakan pada pasien gagal ginjal kronik adalah yang dalam bentuk sediaan injeksi (Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T.; 2008). Berdasarkan Gambar 4.18 dapat disimpulkan jika injeksi suplemen besi yang paling banyak digunakan adalah dalam bentuk iron sucrose dibandingkan iron dextran. Hal ini dapat disebabkan karena iron dextran memiliki resiko syok anafilakasis sehingga penggunaannya kurang dipilih dibandingkan iron sucrose. Oleh karena itu, Penulis mengusulkan untuk mengembangkan produk suplemen besi dalam bentuk injeksi dari iron sucrose.
4.5.4
Pengobatan untuk abnormalitas cairan dan elektrolit Keseimbangan cairan dan natrium diatur oleh ginjal. Penurunan massa
nefron akan menurunkan filtrasi glomerulus dan selanjutnya reabsorpsi dari natrium dan cairan sehingga menyebabkan edema. Pengobatan yang diberikan adalah loop diuretic. Penggunaan diuretik tiazid tidak efektif pada pasien dengan GFR kurang dari 30 ml/menit/1,73m2. Penilaian awal untuk pengembangan obat, penulis mengamati dari pertumbuhan penggunaan molekul loop diuretics dalam unit yang dapat diamati pada Gambar 4.19 berikut ini :
20,00 15,00 10,00 Unit
5,00 0,00 -5,00
Furosemid
Torsemid
Bumetanid
-10,00 -15,00 -20,00 Molekul Gambar 4.19 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat golongan loop diuretics Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
41
Jika melihat pertumbuhan volume molekul obat golongan loop diuretics maka molekul yang mungkin dikembangkan adalah furosemid yang memiliki nilai pertumbuhan penggunaan unit yang positif. Namun hasil penelusuran literatur, Penulis mendapatkan informasi jika penggunaan torsemid lebih dipilih untuk pasien gagal ginjal kronik dibandingkan furosemid karena torsemid mengurangi jumlah kematian serta hospitalisasi dibandingkan furosemid. Namun market value obat loop diuretics kecil dan untuk furosemid sudah banyak brand yang beredar. Untuk toresemid dan bumetanid memiliki pertumbuhan yang negatif. Dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang ada, Penulis tidak mengusulkan obat golongan loop diuretics untuk dikembangkan. Penilaian awal untuk pengembangan obat, penulis mengamati dari pertumbuhan penggunaan molekul diuretik tiazid dalam unit yang dapat diamati pada Gambar 4.20 berikut ini :
600,00 500,00
Unit
400,00 300,00 200,00 100,00 0,00 Indapamid
Hidroklortiazid
Klortalidon
Xipamid
Molekul Gambar 4.20 Data IPA+IHPA MATQ4 2011 pertumbuhan volume molekul obat golongan diuretik tiazid Sedangkan untuk diuretik tiazid, hanya hidroklortiazid yang memiliki pertumbuhan yang sangat baik (positif) sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi dari sumber lain yang didapat klortalidon mungkin merupakan pilihan yang paling Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
42
baik pada saat diuretik digunakan untuk terapi inisiasi (Reilly, R.F., Peixoto A.J., Desri, G.V., 2010) dan klortalidon lebih mengurangi resiko kardiovaskular dibandingkan hidroklortiazid (Dorsch, M.P., Gillespie, B.W., Erikson, S.R., Bleske, B.E., Weder, A.B., 2011). Namun karena market value dari golongan diuretik tiazid kecil maka dengan mempertimbangkan seluruh data-data yang ada, Penulis tidak mengusulkan untuk mengembangkan produk obat dari golongan diuretik tiazid. Jadi Penulis tidak mengusulkan pengembangan obat diuretik, baik obat golongan loop diuretics maupun diuretik tiazid.
4.5.5
Hiperparatiroid sekunder dan Renal Osteodistrofi
Tabel 4.13 Pengobatan untuk komplikasi hiperparatiroid sekunder dan renal distrofi Phosphate Binding Agents Lanthanum
Fosforenol®
Sevelamer
Tidak tersedia di Indonesia Vitamin D
Kalsitriol
Calcijex®
Parikalsitol
Zemplar® Tidak tersedia di Indonesia
Dokserkalsiferol
Originator : Hectorol® (Injeksi) Kalsimimetik Tidak tersedia di Indonesia
Cinacalcet
Originator : Sensipar®
Lantanum dapat terakumulasi di hati, paru-paru, dan jaringan lain dan penimbunan ini bergantung dosis (dose-depent accumulation). Akumulasi lantanum meningkat pada area osteoid sehingga dapat menurunkan pembentukkan tulang. Toksisitas lantanum sudah dilaporkan baik pada studi in-vitro maupun pada hewan. Sevelamer merupakan pengikat fosfat yang bebas kalsium dan aluminium.
Lantanum
kurang
digunakan
dibandingkan
sevelamer
pada
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
43
pengobatan hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi renal. Berbagai studi klinis telah dilakukan dan menunjukkan kemampuan sevelamer dalam mengendalikan kadar fosfor dalam serum dan produk pengikatan kalsium-fosfor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham dan Ravichandran pada tahun 2005 menunjukkan bahwa sevelamer aman dan efektif dalam pengobatan hiperfosfonemia pada pasien di India yang melakukan dialisis (Abraham, G. Ravichandran, R., 2005). Sevelamer dalam bentuk garam dengan HCl memiliki kekurangan yaitu dapat menyebabkan asidosis metabolik. Berdasarkan penelitian yang ada, sevelamer karbonat lebih aman karena dapat menurunkan resiko asidosis metabolik dibandingkan sevelamer HCl (Rattray, D., 2010). Hasil pertimbangan data-data yang ada, untuk produk phosphate binding agent Penulis mengusulkan sevelamer karbonat untuk dikembangkan. Produk vitamin D terdiri dari kalsitriol, parikalsitrol, dan dokserkalsiferol. Parikalsitrol
mereduksi
konsentrasi
PTH
lebih
cepat
dengan
kejadian
hiperkalsemia yang lebih sedikit dibandingkan kalsitriol (Sprangue, S.M., Llach, F., Amdahl, M., Tacetta C., Battle, D., 2003). Parikalsitrol lebih sedikit menyebabkan efek hiperkalsemia dan hiperfosfotemia (Monie-Faugere, M.C., Mawad, H., Malluche, H.H., 2007). Dokserkalsiferol merupakan molekul baru dan meningkatkan jumlah kasium lebih tinggi dibandingkan parikalsitrol (Tentori, F., Hubt, W.C., Stidley, C.A., Rohrscheib, M.R., Bedrick, E.J., Meyer, K.B., Johnson, H.K., Zager., P.G., 2007). Untuk vitamin D, Penulis mengusulkan untuk mengembangkan dokserkalsiferol. Kalsimimetik merupakan senyawa yang dapat mereduksi sekresi hormon PTH melalui peningkatan sensitivitas dari reseptor sensitif-kalsium. Produk kalsimimetik yaitu cinacalcet belum tersedia di Indonesia maka sebaiknya produk tersebut dikembangkan sehingga dapat menjadi peluang untuk memenuhi kebutuhan pasar akan produk cinacalcet.
4.5.6
Asidosis metabolik Pengobatan asidosis metabolik dengan natirum bikarbonat natrium sitrat
atau asam sitrat seringkali dibutuhkan untuk pasien gagal ginjal kronik tingkat 3 atau lebih. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, penggunaan bikarbonat secara Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
44
terus menerus masih menjadi kontroversi terkait resiko hipernatremia, hiperosmolaritas, dan kelebihan cairan. Natrium sitrat memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan yang lebih sedikit dibandingkan bikarbonat. Pengunaan jangka panjang natrium sitrat pada pasien dengan gagal ginjal kronik memerlukan perhatian khusus karena dapat menyebabkan peningkatan absorpsi aluminium, yang akan menyebabkan keracunan tulang kronik. Adapun pilihan produk bikarbonat dan sitrat sudah sangat banyak di pasar (market) sehingga tidak dipertimbangkan untuk dikembangkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
a. Jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia di tahun 2010 sebesar 169.000 pasien dimana 100.000 pasien adalah pasien gagal ginjal kronik. Jumlah pasien gagal ginjal yang aktif melakukan hemodialisis di Indonesia selama tahun 2011 adalah 6.951 pasien. b. Pengobatan yang dibutuhkan oleh pasien gagal ginjal kronik adalah terapi dialisis,
antihipertensi,
antihiperlipidemia,
anti-anemia,
obat
untuk
abnormalitas cairan dan elektrolit, obat untuk hiperparatiroid sekunder dan renal osteodistrofi, dan obat untuk asidosis metabolik. c. Ide baru untuk pengembangan produk obat Dexa Medica Group berdasarkan evaluasi profil produk dan market value diantaranya : 1) Antihipertensi
:
Telmisartan
2) Antianemia
:
Metoksi-PEG-Epoetin beta dan iron sucrose
3) Obat Hiperparatiroid sekunder dan Renal Osteodistrofi : Sevelamer karbonat, dokserkalsiferol, dan cinacalcet.
5.2
Saran Sebaiknya dilakukan market survey lebih dalam untuk memastikan bahwa
ide produk yang diusulkan memang diperlukan dan direkomendasikan oleh dokter untuk pengobatan gagal ginjal kronik dan memiliki potensi pasar yang besar di waktu mendatang. Untuk ide produk telmisartan, metoksi-PEG-Epoetin beta, sevelamer carbonate, dokserkalsiferol, dan cinacalcet, masih perlu dilakukan penelusuran dan evaluasi status patennya di Indonesia sebelum dikembangkan.
45
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Arima, H., Chalmers, J. (2011).
Progress : Prevention of Recurrent Stroke.
Sydney : George Institute for Global Health Abraham, G. Ravichandran, R. (2005). Efficacy and Tolerability of Sevelamer in Treatment of Hyperphosphotemia in Indian Patients on Dialysis) Bacanu, E.V., Botez, C. (2011). Management of Arterial Hypertension in Adults with Diabetes and Chronic Kidney Disese. Mangement in Health, Volume 15, 3(2011) Chisholm-Burns, M., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro, J.T. (2008). Pharmacotherapy Principles & Practice. New York : McGraw Hill Medical Dorsch, M.P., Gillespie, B.W., Erikson, S.R., Bleske, B.E., Weder, A.B. (2011). Chlortalidone
Reduces
Cardiovascular
Events
Compared
with
Hydrochlorothiazide : A Retrospective Cohort Analysis. Hypertension Journal of The American Heart Association. 689-694 Francisco, A., Locatelli, F., Mann, J.F.E., Canaud, B., Kerr., P.G., Macdougall, L.C., Besarab, A., Villa, G., Kazes, I., Vlem, B.v., Jolly, S., Beyer, U., Dougherty,F.C. (2010). Maintenaqnce treatment of renal anemia in haemodialysis patients woth methoxy polyethyleneglycol-epoetin beta versus darbepoetin alfa administered monthly : a randomized comparative trial. Nephology Dialysis Transplantation Oxford Journal, Volume 25(12) Gaudron P., Fraccarollo D., Bauer, W., Eilles, C., Ertl G., 2000. Effect of quiapril initiatesd during progressive remodeling in asymptomatic patients with healed myocardial infarction. Jerman : Klinikum Mannheim der Universitat Heidelberg. Hou, Fan fan. (2006). Benazepril benefits nondiabetic patients with advanced renal insufficiency.China :Southern Medical University) King, JN. Gunn-Moore DA, Tasker S., Gleadhill A., Strehlau G. (2006). Tolerability and efficacy of benazepril in cats with chronic kidney disease. Switzerland : Novartis Animal Health Inc.).
46
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
Universitas Indonesia
47
Mallion, J., Siche J., Lacourciere Y. (1999). ABPM comparison of the antihypertensive profiles of the selectivw angiotensin II receptors antagonists telmisartan and losartan in patients with mild-to-moderate hypertension. Journal of Human Hypertension, 13(10), 657 - 664 Monie-Faugere, M.C., Mawad, H., Malluche, H.H. (2007). Opposite Effects of Calcitriol and Paricalcitol on the Parathyroid Hormone-(1-84)/Large Carboxy-Terminal-Parathyroid Hormone Fragments Ratio in Patients with Stage 5 Chronic Kidney Disease. Clinical Journal of The American Society of Nephrology, 2(6), 1255-1260 Nakayama, S. Watada, H., Mita T., Ikeda F., Shimiz, T., Uchino, H., Fujitani Y., Hirose T., Kawamori, R. (2008). Comparison of effects of olmesartan and telmisartan on blood pressure and metabolic parameters in Japanese earlystage type-2 diabetics with hypertension. Japan : Jutendo Universty School of Medicine Norwood, Daryl, Branch, E., Smith B., Honeywell, M. (2002). Olmesartan Medoxomil for Hypertension : A Clinical Review. P&T. Vol 27. No.12 Rattray, D. (2010). Sevelamer Carbonate. Inpharmation Pharmacy and Tehrapeutics Comitte Newsletter, 1(3)). Reilly, R.F., Peixoto A.J., Desri, G.V. (2010). The evidance-based use of thiazide diuretics in hypertension and nephrolithiasis. Texas : The University of TEXAS Southwestern Medical Center at Dallas Schaefer, E.J., McNamara, J.R., Tayler, T., Daly, J.A., Gleason, J.L., Seman, L.J., Ferrai, A., Rubenstein, J.J. (2004). Comparisons of effects of statins (atorvastatin, fluvastatin, lovastatin, pravastatin, and simvastatin) on fasting and postprandial lipoproteins in patients with coronary heart disease versus control subjects. USA : Tufts-New England Medical Center Sprangue, S.M., Llach, F., Amdahl, M., Tacetta C., Battle, D. (2003). Paricalcitol versusu calcitrol in the treatment of secondary hyperparatiroidism. National Institrues of Health, 63(4), 1483-1490 Suhardjono. (2009). Penyqkit Ginjal Kronik, Suatu Epedmi Global Baru, Masalah dan Tata Laksananya. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012
48
Tentori, F., Hubt, W.C., Stidley, C.A., Rohrscheib, M.R., Bedrick, E.J., Meyer, K.B., Johnson, H.K., Zager., P.G. (2007). Response to 'Survival differences between
activated
injectable
vitamin
D2 and
D3analogs'.
Kidney
Internastional, 71, 827-828 Vitale, C., Mercuro, G., Castiglioni, C., Cornoldi, A., Tulli, A., Fini, M., Volterrani, M., Rosano. G.,MC. (2005). Metabolic Effects of Telmisartan and
Losartanin
Hypertensive
patients
with
Metabolic
Syndrome.
CardiovascularDiabetology 2005, 4(6) Vivanews. (2012). http://kosmo.vivanews.com/news/read/279526-transplantasiginjal-terhambat-pendonor. Diunduh pada tanggal 3Juni 2012 Pukul 17.24 WIB Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. (2009). Pharmacotherapy Handbook. New York ; Mc Graw Hill Wienen, W., Entzeroth, M., Mell, J., (2006). A Review on Telmisartan : A Novel, Long-Acting Angiotensin II-Receptor Antagonist. Cardiovascular Drug Review, 18(2), 127-154
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Yulliana, FMIPA UI, 2012