UNIVERSITAS INDONESIA
VEGETARIANISME SEBAGAI ETIKA DALAM KONTEKS EKOLOGIS: PETER SINGER DAN ARNE NAESS DALAM PERBANDINGAN SERTA INSIGHT DARI HENRYK SKOLIMOWSKI
DISERTASI
YOESMAN SUGIANTO NPM. 0906599136
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JULI 2015
Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
VEGETARIANISME SEBAGAI ETIKA DALAM KONTEKS EKOLOGIS: PETER SINGER DAN ARNE NAESS DALAM PERBANDINGAN SERTA INSIGHT DARI HENRYK SKOLIMOWSKI
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat yang dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia di bawah pimpinan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, M.A. pada 6 Juli 2015.
YOESMAN SUGIANTO NPM. 0906599136
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JULI 2015 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
KATA PENGANTAR
Perjuangan panjang penulisan disertasi ini mengada karena proses panjang pencarian pengetahuan. Dari perkuliahan pertama dimulai pada tahun 2009 hingga tahun keenam, 2015, adalah suatu tahap kehidupan yang telah dilalui penulis untuk mengemas berbagai pengetahuan yang telah didapat dalam satu tulisan ini. Vegetarianisme adalah hal yang menjadi ketertarikan penulis dalam pembahasan disertasi ini. Penulispun bukan hanya mengkaji vegetarianisme, tetapi pernah ikut serta dalam praktik vegetarian. Vegetarianisme menjadi sesuatu yang unik karena di dalamnya terdapat suatu pemikiran dan kekuatan moral yang menggerakkan alur pengetahuan di dalam keseharian penulis. Takdir adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perjuangan penulis selama ini mengkaji vegetarianisme, seperti kata Albert Einstein, “Vegetarian food leaves a deep impression on our nature. If the whole world adopts vegetarianism, it can change the destiny of humankind”. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Tuhan YME, The Divines, dan The Universe atas kesempatan dan anugerah ini. Dr Akhyar Yusuf Lubis selaku Promotor dan Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi selaku Kopromotor, mereka penerang pengetahuan dalam disertasi ini, “The teacher who is indeed wise does not bid you to enter the house of his/her wisdom but rather leads you to the threshold of your mind” (Kahlil Gibran). Prof. Riris K.Toha Sarumpaet, Ph.D., selaku Ketua Departemen Ilmu Filsafat sekaligus Ketua Tim Penguji. Tim Penguji Disertasi yang beranggotakan Prof. Dr. A. Agus Nugroho, Dr. Embun Kenyowati E., Dr. Naupal, dan Dr. Mikael Dua. Alm. Bpk Yohanes Vincentius Jolasa, Ph.D. yang telah banyak membagi pengetahuan kepada penulis—doa penulis untuk Bapak selalu. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Papa dan Mama atas doa, dukungan, dan curahan kasih-sayang selama ini. Saudara, kawan, dan kolega yang tak hentinya menyemangati di kala penulis sedang down. Seluruh kawan angkatan 2009 Program Doktor Ilmu Filsafat yang selalu memberikan pencerahan
iv Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dan berbagi rasa. Staf administrasi Program Studi dan Departemen Ilmu Filsafat FIB UI; atasan dan rekan-rekan di tempat saya bekerja (atau pernah bekerja), terima kasih atas pengertian dan dukungannya. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu atau terlewatkan. Dengan segala kerendahan hati, disertasi “Vegetarianisme sebagai Etika dalam Konteks Ekologis: Peter Singer dan Arne Naess dalam Perbandingan serta Insight dari Henryk Skolimowski” dapat mewujud menjadi sesuatu yang ada di hadapan Anda. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan khazanah kajian vegetarianisme dan lingkungan hidup di Indonesia khususnya, dan di dunia luas pada umumnya.
Depok, 25 Juni 2015
Yoesman Sugianto
v Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ABSTRAK
Kajian mengenai vegetarianisme di era global ini terus berkembang. Tema vegetarianisme dalam penelusuran pembacaan peneliti terkait dengan masalah religiositas, gaya hidup, mitos, politik, ekologi, ekonomi, dan juga etika. Salah satu pemikir yang peduli terhadap hal itu adalah Peter Singer. Singer menulis “A Vegetarian Philosophy” dalam Consuming Passions. Selain Peter Singer, pemikir lain yang juga menekankan aksi sebagai manifestasi pemikirannya adalah seorang filsuf Norwegia, Arne Naess. Selain kedua pemikir yang sudah disebutkan di atas—Singer dan Naess— pemikir lain yang masuk dalam perbincangan seputar permasalahan lingkungan hidup, eco-philosophy, serta vegetarianisme ini adalah Henry Skolimowski. Permasalahan utama yang dibahas dan coba diuraikan dalam disertasi ini adalah bagaimanakah perbandingan pemikiran etika praktis utulitarian Peter Singer dengan pemikiran deep ecology dari Arne Naess serta Henryk Skolimowski dengan Eco-philosophy-nya untuk mencari sebuah solusi bagi kerusakan alam. Pernyataan tesis untuk disertasi ini adalah deep ecology Naess dan eco-philosophy Skolimowski bukanlah jalan keluar terbaik untuk menangani krisis ekologi, hal itu akan menjadi efektif dan operatif apabila dilengkapi, atau bahkan mengutamakan di tempat terdepan, dengan pemikiran vegetarian Singer yang bersifat utilitarian. Dengan demikian, disertasi ini hendak menunjukkan bahwa tindakan penyamaan derajat secara praktis antara manusia dan makhluk hidup lainnya perlu dilakukan. Menuju ke arah itu, secara intensionalitas ala fenomenologi, perlu pula ditanamkan keberadaan manusia sebagai subjek yang setara dengan objek-objek makhluk lain yang berada di luar dirinya. Kata-kata Kunci: vegetarian, vegetarianisme, deep ecology, ecophilosophy, fenomenologi.
vii Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ABSTRACT
Study of vegetarianism in this global era is progressing. The theme of vegetarianism in researcher’s literature studies is linked to the issues of religiosity, lifestyle, myth, politics, ecology, economics, and ethics. One of the philosophers who is interested in this theme is Peter Singer. Singer wrote “A Vegetarian Philosophy” in Consuming Passions. Another philosopher who also emphasized action as a manifestation of his thoughts is Arne Naess, a Norwegian philosopher. In addition to—Singer and Naess, Henry Skolimowski is included in the discussion on environmental issues, eco-philosophy and vegetarianism. The main issue discussed and described in this dissertation is the comparison amongst practical-ethical-utilitarian thinking of Peter Singer, deep ecology thinking of Arne Naess as well as eco-philosophy of Henryk Skolimowski, in order to discover a solution for the destruction of nature. The thesis statement of this dissertation is that Naess’ deep ecology and Skolimowski’s eco-philosophy are not the best way to deal with ecological crisis, it will become effective and operative if equipped and enhanced, by utilitarian vegetarian thought of Singer. Thus, this dissertation is to indicate that the practical equalization action of humans and other living things need to be done. Heading toward that direction, in intentionality ala phenomenology, it has to be implanted that human existence as a subject is in-par with non-human creatures and other objects beyond human Keywords: vegetarian, vegetarianism, deep ecology, eco-philosophy, phenomenology.
viii Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................... ABSTRAK ............................................................................................................. ABSTRACT ........................................................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................................... DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ...................................................................
i ii iii iv vi vii viii ix xi
BAB 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang ......................................................................................... Permasalahan ........................................................................................... Pernyataan Tesis ...................................................................................... Tujuan ...................................................................................................... Kerangka Teori ........................................................................................ Metode Penelitian .................................................................................... Sistematika Penulisan ..............................................................................
1 1 12 15 15 16 20 20
BAB 2 UNSUR ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI MARTIN HEIDEGGER DAN EMMANUEL LEVINAS ................................... 2.1 Pendahuluan ............................................................................................. 2.2 Heidegger dan Fundamental Ontologi ..................................................... 2.2.1 Periode Awal Hidegger: Hidup yang Dihayati .......................... 2.2.2 Die Kehre (1930—1940): Ada Sebagai Aletheia ....................... 2.2.3 Periode Akhir (1941—1976): Bahasa sebagai Rumah Ada ...... 2.3 Etika sebagai Metafisika Menurut Levinas .............................................. 2.3.1 Fenomenologi ............................................................................ 2.3.2 Pemikiran Levinas ..................................................................... 2.4 Rangkuman ..............................................................................................
23 23 24 24 31 34 38 38 40 44
BAB 3 FILSAFAT VEGETARIANISME DAN ETIKA LINGKUNGAN PETER SINGER .................................................................................... 3.1 Biografi Peter Singer ................................................................................ 3.2 Etika dalam Pemikiran Singer .................................................................. 3.2.1 Mencari Pendasaran Kemungkinan Etika .................................. 3.2.2 Sudut Pandang Baru Etika: A Copernican Revolution ............... 3.3 Singer sebagai Seorang Altruis ................................................................ 3.4 Imparsialitas hingga Merangkul Binatang ............................................... Rangkuman .............................................................................................. 3.5
47 47 49 49 53 59 65 74
ix Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 4 PEMIKIRAN ARNE DEKKE EIDE NAESS: DEEP ECOLOGY DAN KEPASRAHAN PADA SEMESTA ............................................ 4.1 Biografi Arne Naess ................................................................................. 4.2 Ecosophy T ................................................................................................ 4.3 Manusia Ekologis ..................................................................................... 4.4 Egalitarianisme Biosfer ............................................................................ 4.5 Deep Ecology sebagai Gerakan ............................................................... 4.6 Delapan Poin Deep Ecology .................................................................... 4.7 Rangkuman ..............................................................................................
75 75 77 84 85 86 88 90
BAB 5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
92 92 94 96 103 107
ECO-PHILOSOPHY HENRYK SKOLIMOWSKI ............................. Biografi Henryk Skolimowski .................................................................. Hubungan Kosmologi, Filsafat, dan Tindakan ........................................ Dasar dan Struktur Eco-Cosmology ......................................................... Dua Belas Karakteristik Eco-philosophy ................................................. Rangkuman ..............................................................................................
BAB 6 SINGER DAN NAESS DALAM PERBANDINGAN SERTA INSIGHT DARI SKOLIMOWSKI ..................................................................... 6.1 Pengantar................................................................................................... 6.2 Andaian Filosofis: Ontologis dan Antropologis ...................................... Andaian Etika ........................................................................................... 6.3 6.4 Konsekuensi Praktis dari Pemikiran: Pembebasan Binatang Versus Deep Ecology sebagai Gerakan ......................................................................... 6.5 Biosentris Versus Lingkaran Moral ......................................................... 6.6 Rangkuman .............................................................................................. BAB 7 7.1 7.2 7.3
108 108 109 118 121 123 124
SIMPULAN: SANGGUPKAH VEGETARIANISME MENJAWAB Pengantar................................................................................................... Rangkuman Komprehensif ....................................................................... Butir-butir Simpulan ................................................................................. 7.3.1 Relevansi Pemikiran ................................................................... 7.3.2 Menjadi Utilitarianisme atau Ecosophy T .................................. 7.3.3 Simpulan Disertasi ......................................................................
126 126 128 132 132 133 134
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
138
x Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
Tabel Pemikiran Singer, Naess, dan Skolimowski .................................................
19
Tabel Pemikiran Singer, Naess, dan Skolimowski serta Keterkaitannya dengan Pemahaman Teori....................................................................................................
46
Diagram Ecosophy T ...............................................................................................
80
Diagram Langkah-langkah Ecosophy ....................................................................
83
Diagram Mandala Eco-philosophy..........................................................................
106
xi Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kajian mengenai vegetarianisme di era global ini terus berkembang. Hal ini berjalan seiring dengan semakin banyak orang yang mulai mempraktikkan cara hidup vegetarian. Vegetarian adalah istilah yang cukup populer untuk seseorang yang memakan tumbuh-tumbuhan dan tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari makhluk hidup seperti daging, ikan, unggas, dan hewan lainnya—atau hasil dari olahannya. Vegetarian sendiri berasal dari bahasa Latin, vegetus, yang berarti keseluruhan, sehat, segar, hidup. Istilah tersebut digunakan oleh Joseph Brotherton ketika mendeklarasikan Vegetarian Society di Inggris pada 1847.1 Selain kata vegetarian, istilah lain yang mengacu kepada hal tersebut adalah nabatiwan. Selain sebagai sebuah gaya hidup, vegetarianisme bisa juga dilihat sebagai sebuah wacana tandingan atas pola konsumsi yang sekarang terjadi. Bahan-bahan kimia yang justru merusak kesehatan banyak digunakan dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari, terutama yang instant. Menolak memakan binatang adalah salah satu jalan keluar dari permasalahan ini, lantaran banyak dilakukan penyuntikan gen dan bahan kimia terhadap binatang untuk mempercepat pertumbuhannya agar segera siap untuk dikonsumsi. Pun juga perubahaan keadaan bumi saat ini di mana bahan konsumsi semakin berkurang sedangkan semakin banyak orang yang membutuhkan bahan konsumsi tersebut, hal ini juga merupakan permasalahan sendiri yang jawabannya bisa pula didapatkan dari vegetarianisme ini. Kerusakan lingkungan hidup dan juga mulai berkurangnya sumber-sumber penghidupan manusia memberi tempat bagi vegetarianisme.
1
Lihat ―History of Vegetarian Society‖, di http://www.vegsoc.org/page.aspx?pid=827, diunduh pada 6 November 2012. Bdk. Preeti Yogendra, ―‖Vegetarianism in all Aspects‖ dalam Vegetarian Journal. http://www.jainstudy.org/Vegetarianism.htm#1 diunduh pada 6 November 2012. ―The word "vegetarian" is derived from the Latin word "vegetare" which means "to enliven". In general, vegetarians do not eat meat, fish, poultry and eggs. Some people who call themselves partial vegetarians eat fish and chicken but no red meat such as beef, pork and lamb.‖
1 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Melihat vegetarianisme dalam kaitannya dengan berbagai permasalahan itu, tidak ada kata selain ‗relevan-nya‘ vegetarianisme dengan kehidupan saat ini. Cara hidup vegetarian sebenarnya sudah dapat dilihat sejak budaya Yunani Kuno berkembang2. Warisan budaya vegetarian itu merupakan bagian dari kekayaan budaya di dunia Mediterania Klasik. Berbagai orang terkenal dianggap turut
mengikuti
cara
hidup
vegetarian, di
antaranya penyair
Hesiod;
matematikawan dan filsuf Pythagoras; bapak sejarah Herodotus; guru spiritual Orpheus; pemikir cemerlang Socrates dan Plato; filsuf dan ilmuwan Empedokles; filsuf Aristoteles; bapak biografi Plutarch; dan diperkirakan masih banyak pemikir lainnya. Pada era kekaisaran Romawi, beberapa tokoh seperti Cyrus, Kaisar Persia, dan Cicero, dianggap sebagai vegetarian. Aristoteles misalnya dianggap sebagai pemikir yang juga melakukan aktivitas vegetarian. Meski pun Aristoteles tidak secara spesifik mengatakan bahwa manusia tidak boleh memakan binatang, namun setidaknya dalam pembagian genus, ia menempatkan binatang dalam hierarki yang lebih tinggi dari pada tumbuhan. Tentu saja di atasnya ada manusia. Zeno, salah seorang pemikir Stoa, pun melakukan hal yang serupa. Namun pada Zeno, ia mempraktikan hidup vegetarianisme. Di sini argumen Zeno sederhana bahwa manusia akan mendapatkan banyak keuntungan ketika tidak memakan binatang. Pada para pemikir antik ini memang tidak ditemukan secara spesifik penekanan mengapa secara filosofis manusia tidak memakan binatang. Namun praktik-praktik vegetarianisme yang mereka jalankan dilegitimasi oleh penjelasan atau alasan lain; kesehatan misalnya.3 Selain sebagai pola makan, vegetarianisme juga merupakan bagian penting dari suatu filosofi, kepercayaan, ajaran, dan kebijaksanaan para pelopor kebudayaan dalam tradisi Eropa dan Mediterania. Sejak Phytagoras misalnya, kesadaran untuk menghormati binatang sudah muncul. Porphyry, seorang
2
Kita tentu tidak menutup mata pula atas praktik vegetarian di belahan budaya Timur. Budhisme adalah salah satu budaya besar yang menopang peradaban Timur (Cina dan India) mempraktikkan juga pola hidup seperti ini. Sebagian aliran dalam agama Hindu pun melakukan hal serupa. Dalam kebudayaan Hindu sendiri, kita lihat bagaimana begitu banyak binatang mendapat tempat yang istimewa dalam sistem religi mereka. Bahkan, sistem kosmologi India sendiri mempercayai adanya kura-kura yang menopang bumi yang dilingkari oleh naga dengan ekor keemasan. 3 Lihat http://advocacy.britannica.com/blog/advocacy/2010/08/the-hidden-history-of-greco-romanvegetarianism.
2 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
pengikut Phytagoras menggambarkan demikian (Walters and Portmess-eds, 1999: 13). ―What he said to his disciples no man can tell for certain, since they preserved such an exceptional silence. However, the following facts in particular became universally known: first, that he held the soul to be immortal, next that it migrates into other kinds of animals, further that past events repeat themselves in a cyclic process and nothing is new in an absolute sense, and finally that one must regard all living things as kindred. These are the beliefs which Pythagoras is said to have been the first to introduce into Greek.‖4 ―Apa yang dikatakannya pada para muridnya tak ada yang bisa memberi kepastian, karena hal itu diawetkan dan menjadi keheningan yang luar biasa. Namun fakta-fakta berikut ini sudah dikenal secara universal: pertama ia menganggap jiwa sebagai sesuatu yang abadi, selain itu juga berubah ke hewan jenis lain, lebih lanjut sejarah masa lalu berulang kembali dalam proses siklus dan tidak ada yang baru dalam arti absolut, dan akhirnya ia pun menganggap semua makhluk hidup sebagai kerabat. Keyakinan ini dikatakan bahwa Pythagoraslah orang pertama yang memperkenalkan ini ke dalam filsafat Yunani.‖ Penghormatan terhadap makluk hidup lain—di sini penekanannya pada binatang—dengan demikian sudah muncul jauh hari sebelumnya. Meskipun begitu, vegetarianisme sebagai sebuah disiplin ilmu belum muncul dengan kuat bahkan belum muncul sama sekali kala itu.5 Namun kini, vegetarian sebagai sebuah laku hidup dan vegetarianisme sebagai pemikiran yang melandasinya telah menjadi suatu alternatif yang diamini banyak orang. Ada berbagai jenis vegetarian. Setidaknya dapat dikategorikan menjadi 7 tipe vegetarian. (1.) Vegan, vegetarian jenis ini adalah vegetarian yang mempunyai aturan paling ketat. Para vegan tidak mengonsumsi semua daging binatang, baik itu daging merah, daging unggas, maupun daging ikan. Vegan juga 4
Di sini kita melihat intuisi Pythagoras masih dalam konsep sejarah yang siklis; dia mengandaikan jiwa yang berputar dalam siklus, hanya berubah bentuk. Hal yang dipermasalahkan oleh kita bukan pada konsep siklis yang tradisional versus konsep progress modern, melainkan kutipan itu hanya bertujuan menunjukan bagaimana pemikiran penghormatan terhadap binatang sudah mulai muncul sejak filsuf pra Sokratik. 5 Praktik pola hidup vegetarian dan juga intuisi Pythagoras di atas belum bisa kita sebutkan sebagai sebuah ilmu—dalam pengertian ilmu sesuai dengan system berpikir barat yang berkembang sekarang. Vegetarian muncul pada masa itu hanya sebagai sebuah konsekuensi cara hidup dengan pendasaran kepercayaan tertentu saja. Bahkan dalam kutipan mengenai Pythagoras di atas, kita juga melihat sumber utamanya pada spekulasi perjalan jiwa yang beralih dari satu makhluk ke makhluk lainnya.
3 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tidak mengonsumsi produk olahan dari binatang seperti telur, susu, atau keju. (2.) Lacto vegetarian, vegetarian jenis ini juga tidak mengonsumsi semua jenis daging (daging merah, daging unggas, atau daging ikan) dan telur, tetapi tetap mengonsumsi susu. (3.) Lacto ovo vegetarian, vegetarian jenis ini tidak mengonsumsi semua jenis daging, tetapi tetap mengkonsumsi telur atau susu. (4.) Pesca vegetarian, vegetarian jenis ini tidak mengonsumsi daging merah atau daging unggas, tapi tetap mengonsumsi telur, susu, dan daging ikan. (5.) Flexitarian, merupakan kelas vegetarian yang peraturannya paling longgar. Vegetarian jenis ini masih mengonsumsi daging dan produk olahannya, namun hanya sekali-sekali. (6.) Frutarian, vegetarian jenis ini hanya makan buahbuahan, biji-bijian, dan kacang-kacangan yang kaya vitamin E. Para frutarian yakin bahwa buah, biji, dan kacang-kacangan berguna untuk kecantikan kulit dan membuat awet muda. (7.) Raw foodist, vegetarian golongan ini hanya mengonsumsi makanan mentah. Mereka beranggapan bahwa proses memasak dapat merusak zat-zat alami dan gizi yang ada dalam makanan. Vegetarian jenis ini makan daging mentah seperti makanan sushi di Jepang, atau gemar makan lalapan sayur mayur mentah seperti di Indonesia. Tidak hanya di barat, di Indonesia pun komunitas vegetarian ada. Salah satunya adalah Komunitas Online Vegetarian Indonesia (www.vegetarian.web.id). Semua ini menunjukkan bahwa vegetarianisme sudah menjadi kajian yang mengglobal. Tema vegetarianisme dalam penelusuran pembacaan peneliti terkait dengan masalah agama (religiositas), gaya hidup, mitos, politik, ekologi, ekonomi, dan juga etika. Di dalam Hindu misalnya vegetarianisme ada dalam doktrin ahimsa. Dalam agama Hindu vegetarianisme dianggap sebuah kebaikan yang
penting.
Vegetarianisme
dianggap
sebagai
kebutuhan
untuk
menyeimbangkan tubuh dan pikiran. Tubuh dan lingkungan akan berpengaruh ketika memakan daging. Dengan demikian, dalam hindu vegetarianisme didasarkan pada pertimbangan spiritual, ekologi, ekonomi, dan juga kesehatan, sedangkan di dalam ajaran Budha tidak memakan daging bukanlah suatu kewajiban. Tanggung jawab seseorang lah untuk memakan atau tidak memakan daging itu meski pun demi mencapai Nirwana dan kemurnian diri, tidak memakan
4 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
daging untuk tidak memasukan angkara nafsu ke dalam diri cukuplah penting. Di dalam ajaran agama Budha tidak semua pengikutnya mengikuti untuk makan daging mau pun tidak memakannya. Namun ada sebagian besar aliran Budha yang memilih untuk tidak memakan daging. Sedangkan dalam agama abrahamistik seperti Katolik, Kristen, dan Islam, tidak ada larangan spesifik untuk tidak memakan daging. Meski pun memang ada beberapa binatang yang diharamkan dan beberapa aliran dalam agama tersebut juga menerapkan untuk tidak memakan daging. Karena memakan daging, atau memakan makhluk hidup yang bernyawa dianggap sebagai dosa dan memperbesar hawa nafsu. Di samping itu juga ada pertimbangan seputar kesehatan dalam larangan-larangan tersebut. Salah satu pemikir yang peduli terhadap hal itu adalah Peter Singer. Singer menulis ―A Vegetarian Philosophy‖ dalam Consuming Passions (1998: 66—72). Dalam tulisan itu, ia menyoroti permasalahan makan daging dalam sejarah hukum Inggris. Salah satu pembahasannya mengenai McDonald's Corporation dan McDonald's Restaurants Limited v. Steel and Morris yang lebih dikenal dengan pengadilan ―McLibel‖. Pengadilan tersebut menghabiskan waktu 515 hari dan menghadirkan 180 saksi. Gugatan dalam persidangan dilakukan oleh dua aktivis organisasi Greenpeace London kepada Helen dan David Morris terkait cara makanan diproduksi, dikemas, diiklankan, dijual, nilai gizinya, dampak lingkungan produksi, serta perlakuan terhadap hewan-hewan yang daging dan telurnya digunakan untuk produksi makanan. Kasus ini membuka kesempatan luar biasa bagi perlawanan terhadap metode agrobisnis modern. Selebaran ―What's Wrong with McDonald's‖ yang diluncurkan memicu gugatan pencemaran nama baik terhadap McDonald's. Dua istilah yang menjadi terkenal pada selebaran itu adalah ―McMurder‖ dan ―McTorture‖. Dalam kasus tersebut, permasalahan yang diajukan mengacu kepada pembantaian hewan yang terus-menerus terjadi. Hal itu terkait dengan menu di McDonald's yang didasarkan pada daging. Mereka menjual jutaan burger setiap hari di 55 negara di seluruh dunia. Itu berarti pembantaian yang terus-menerus, hari demi hari, binatang yang lahir dan dibesarkan semata-mata untuk diubah menjadi produk-produk McDonalds. Beberapa dari hewan tersebut—khususnya
5 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ayam dan babi—menghabiskan hidup mereka dalam kondisi yang sepenuhnya buatan ―pabrik raksasa‖, tanpa akses ke udara atau sinar matahari dan tidak ada kebebasan bergerak. Berdasarkan tulisan tersebut disebutkan bahwa, ―kematian mereka berdarah dan biadab‖. Tuduhan itu secara substansial dianggap benar (berdasarkan pernyataan Peter Singer) karena moralitas membeli dan memakan secara intensif melalui McDonald's berarti semakin menunjukkan penilaiannya sebagai ―McTorture‖. Selain Peter Singer, pemikir lain yang juga menekankan aksi sebagai manifestasi pemikirannya adalah seorang filsuf Norwegia Arne Dekke Eide Naess.6 Selain sebagai filsuf, ia juga terlibat aktif dalam politik melalui Partai Hijau Norwegia. Ia juga terlibat dalam demonstrasi besar untuk perjuangan lingkungan hidup di Norwegia pada 1970-an. Hal yang menyebabkan Naess menjadi profesor adalah pemikirannya tentang deep ecology. Jika Singer berbicara dalam rangka altruistik, Naess membicarakan kehidupan dan alam semesta secara antropik; artinya secara ringkas manusia adalah bagian dari alam ini. Di tengahtengah kehidupan dunia abad ini yang semakin hari semakin renta dan banyak gejala yang menunjukan bahwa dunia dirusak sana-sini, sebagian pembaca Naess menganggap pemikiran Naess dalam hal ekologi7 sebagai sebuah harapan masa depan. Harold Glasser dalam pengantar untuk buku Naess, Lifer's Philosophy: Reason and Feeling in a Deeper World, edisi bahasa Inggris mengatakan demikian (Naess, terj., Roland Huntford, 2002: xiv), ―Arne Naess is a ray of sunshine, a beacon of hope, in what for many has become a melancholic world. This is not because he views our society and the Earth's condition in a fundamentally different way. He doesn't. He is fond of saying that he is pessimistic about the twenty first century but optimistic about the twenty second. What makes Naess so unusual is that he also reminds us, unrelentingly, in his spritelike way, that we live in a world of unsurpassed wonder, beauty, and possibility. It is a world worth fighting ―nonviolently‖ 6
Arne Dekke Eide Naess adalah profesor di Universitas Oslo, lahir pada 27 Januari 1912 dan meninggal pada 12 Januari 2009. 7 Naess tentu saja, seperti para pemikir lainnya, tidak hanya berbicara soal ekologi semata. Ia juga berbicara soal bahasa dan etika. Namun, karyanya soal deep ecology-lah yang membawanya menjadi profesor menunjukan dengan sangat pasti bahwa pemikiran Naess di bidang ini sangat berpengaruh.
6 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
to save. Anything can happen. The future need not mirror the past. There is always reason for hope.‖ ―Arne Naess adalah sinar matahari, ia menjadi tumpuan harapan, dalam apa yang bagi banyak orang telah menjadi dunia melankolis. Hal ini bukan karena ia memandang masyarakat dan kondisi bumi dengan cara yang berbeda secara fundamental. Tidak. Ia gemar mengatakan bahwa ia pesimis tentang dua puluh abad tetapi optimis tentang dua puluh detik. Apa yang membuat Naess tidak biasa adalah bahwa ia juga mengingatkan kita, tanpa henti bahwa kita hidup di dunia yang tak tertandingi keterkagumannya, keindahan, dan kemungkinannya. Dunia ini sangat layak diperjuangkan ―tanpa kekerasan‖ untuk diselamatkan. Apa pun bisa terjadi. Masa depan tidak membutuhkan cermin masa lalu. Selalu ada alasan untuk berharap.‖ Dalam hal ini, menurut Harold Glasser, Naess menempatkan sebuah harapan baru pada kehidupan di bumi. Naess melihat harapan itu pada sebuah aksi tanpa kekerasan. Ia melihat masa depan sebagai sebuah kehidupan di mana manusia saling bersekutu untuk tujuan yang lebih baik. Ia mengatakan bahwa, ―kita butuh untuk kembali ke persepsi yang memperhatikan sesuatu yang rasional dan masuk akal hanya jika ia muncul dalam kaitannya dengan keluasan dan kedalaman norma—yang mana hal ini merupakan hal yang paling esensial untuk individu dan masyarakat‖ (Naess, terj., Roland Huntford, 2002: 3). Inilah yang menjadi alasan akan harapan masa depan dalam pandangan Naess, ketika semua orang menekankan sebuah hal yang masuk akal dan sangat luas secara norma. Selain kedua pemikir yang sudah disebutkan di atas-Singer dan Naesskiranya perlu pula melihat pemikir lain, Henryk Skolimowski dalam perbincangan seputar permasalahan lingkungan hidup, Eco-philosophy serta vegetarianisme ini. Skolimowski adalah seorang pemikir yang berasal dari Polandia. Ia sudah banyak menulis buku dan artikel dan kebanyakan dari karya-karyanya tersebut berbicara seputar perihal Eco-philosophy dan eco-ethic. Skolimowski
memang
bisa
dikatakan
dalam
karier
filsafatnya
mengembangkan dengan serius Eco-philosophy. Eco-philosophy dilihatnya sebagai sebuah metafisika baru. Dalam konteks ini, Eco-philosophy bertujuan untuk memberikan suatu metafisika bagi masa kini. Eco-philosophy memberikan landasan pengetahuan dan cita-cita masa kini. Eco-philosophy menentang filsafat yang masih cenderung dialihkan kepada suatu sistem logika yang murni. Jadi, 7 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Eco-philosophy ingin menggantikan metafisika yang hanya menganalisa struktur logis dari proposisi-proposisi atau berusaha untuk memaksakan berbagai variasi 'ada' ke dalam kotak-kotak semantik. Dalam hal ini, Eco-philosophy ingin melampaui norma-norma dan ajaran-ajaran filsafat kontemporer, sehingga ia melepaskan diri dari kriteria validitas filsafat kontemporer. Eco-philosophy menegaskan bahwa kita butuh melepaskan konsepsi mekanistik dunia, dan menggantikannya dengan suatu konsep alternatif yang lebih luas dan lebih kaya. Salah satu ciri Eco-philosophy yang penting adalah sifat spiritualnya. Skolimowski menekankan unsur roh pada diri manusia yang membedakannya dengan binatang. Spiritualitas merupakan suatu instrumen yang memampukan kita untuk mengolah diri kita secara terus menerus dan di sisi lain merupakan suatu state of being. Hal ini membedakan pemikiran Skolimowski dengan filsafat masa kini di mana spiritualitas seperti tak diindahkan. Filsafat masa kini kebanyakan menempatkan dirinya kepada permasalahan-permasalahan dan bidang-bidang yang secara sistematik memisahkan hidup dari roh. Bahasa, konsep dan validitas filsafat meniadakan segala sesuatu yang berkaitan dengan spiritualitas sebagai sesuatu yang tidak valid dan tidak koheren. Dalam hubungannya dengan Singer, mereka sama-sama memikirkan hal yang bukan bertumpu pada manusia semata, tetapi bagaimana manusia melihat kembali sekitarnya; bumi dan juga segala isinya (dalam hal Singer lebih kepada binatang sebagai konsekuensi etika altruisme-nya). Dengan melihat lebih jauh alam sekitar dan kembali percaya serta mendengar kembali intuisi terdalam manusia, Naess meyakini bahwa masih ada harapan untuk bumi yang lebih baik. Di sana selalu ada alasan untuk harapan, demikian Glasser. Hal serupa tampak pada Skolimowski. Ia bahkan mengajukan Eco-philosophy sebagai sebentuk metafisika baru di mana dianggapnya sebagai sebuah solusi yang baik menghadapi kehidupan masa kini yang penuh dengan kehancuran lingkungan. Lebih jauh, Skolimowski menekankan unsur spiritual dari manusia. Unsur spiritual ini didapatkan dari manusia yang memiliki roh. Dalam pemikiran Skolimowski, roh inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Perbincangan seputar ekologi dan juga Eco-philosophy memang semakin mengemuka di zaman ini. Hal itu dapat dilihat sebagai reaksi terhadap keadaan
8 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dunia yang bisa dikatakan semakin rusak dan kalang kabut. Jangan jauh-jauh mencari, lihat saja keseharian kita yang diisi dengan cuaca dan iklim yang tidak menentu, tidak sesuai dengan keteraturan siklus alam yang lama menjadi kepastian hidup di muka bumi ini. Dengan rusaknya alam, maka kehidupan manusia pun terancam. Dengan demikian, perjuangan melawan perusakan alam bertujuan untuk memberikan hidup yang lebih baik pada manusia, masa depan ras manusia dengan bumi yang masih memungkinkan untuk hidup dengan baik. Naess melampaui ekologi yang bertujuan semata-mata pada manusia itu. Dalam artikelnya berjudul The Deep Ecological Movement: Some Philosophical Aspects, Naess mengatakan bahwa perjuangan ekologi yang menempatkan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir tak akan pernah mencapai apa yang menjadi tujuan mereka itu atau setidak-tidaknya tidak banyak membawa perubahaan (Naess dalam George Sessions, 1995: 64). Perjuangan ekologi akan berarti dan memberi sebuah harapan baru pada kehidupan hanya jika manusia menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam, lanjutnya lagi. Manusia, menurut Naess, harus melihat dirinya bukan sebagai tuan atas alam melainkan sebagai mitra dari alam. Tentu saja permasalahan vegetarianisme dan juga ekologi tidak hanya digeluti ketiga pemikir tersebut (Singer, Naess, Skolimowski). Di dalam perihal vegetarianisme, dikenal juga pemikiran dari Tom Regan8 dan Robert Eliot9. Tom Regan terkenal dengan bukunya Animal Rights, Human Wrongs: An Introduction to Moral Philosophy sedangkan yang paling dirujuk dalam studi tentang vegetarianisme atau hak binatang adalah The Case for Animal Rights. Pada buku yang terakhir disebutkan, Regan mengikuti tradisi Immanuel Kant. Namun, ia menolak pandangan Kant bahwa respek kita sebagai manusia hanya kepada makhluk rasional. Bagi Regan, manusia adalah juga jenis binatang. Dan jenis binatang yang bukan manusia pun memiliki hak-haknya. Robert Elliot menulis sebuah artikel yang punya sumbangan penting dalam studi lingkungan hidup serta hak binatang bertajuk Faking Nature. Dalam artikel 8
Tom Regan lahir pada 8 November 1938 dan masih berkarya hingga kini. Ia terkenal sebagai salah satu pemikir dengan konsentrasi pada hak binatang. Ia adalah profesor emeritus di North Carolina State University, Amerika. 9 Robert Elliot sempat terlibat dalam Proyek Filsafat Lingkungan pada Universitas Queensland. Ia juga adalah pengajar di Brisbane College of Advanced Education.
9 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tersebut Robert Elliot melawan argumentasi bahwa alam bisa direstorasi oleh manusia. Baginya, alam bukanlah sesuatu yang bisa direstorasi dengan tangan manusia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika memang bisa hal itu direstorasi maka kenapa tidak dilakukan oleh manusia sesaat setelah ia memanfaatkan alam. Ketidakmampuan manusia melakukan hal ini menunjukkan bahwa alam tidak bisa direstorasi dengan tangan manusia. Selain nama-nama tersebut, dikenal juga beberapa pemikir lain dengan jalur yang berbeda. Dari tradisi Marxisme misalnya dapat ditemukan pemikiran John Bellamy Foster10 dan Jean-Luc Melenchon11. Dalam bukunya Marx‘s Ecology: Materialism and Naturalism Foster berargumen bahwa visi Karl Marx dalam mengkritik sistem kapitalisme tersembunyi visinya tentang perlindungan atas alam. Munculnya sistem kapitalisme beriring sejalan dengan pengrusakan dan penguasaan manusia atas alam. Dengan demikian emansipasi atas manusia harus dilakukan dalam hubungannya juga dengan perlindungan atas alam. Perlindungan atas alam seiring sejalan dengan kemungkinan menghentikan atau menghancurkan kapitalisme. Melenchon dengan pemikiran eko-sosialisme hampir sependapat dengan Foster. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri lantaran keduanya berangkat dari asumsi yang sama yakni marxisme. Melenchon lebih jauh menganjurkan tanggung jawab manusia atas kerusakan ekologis. Kapitalisme dapat dilihat berjalan seiring dengan pengrusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup dilihat sebagai nilai yang dapat dieksploitasi menjadi komoditi. Maka penguasaan akan sumber-sumber komoditi menjadi hal yang lumrah dalam dunia kapitalisme. Penguasaan lantas pengeksploitasian atasnya merupakan ciri khas dan wajah kapitalisme saat ini. Perjuangan pemikiran Marx adalah pengentasan penguasaan atas model, sumber daya, demi mencapai kesamarataan. Penguasa modal lantas terus menjalankan modalnya dengan cara penguasaan dan eksploitasi atas penggunaan tambang. Perjuangan melawan kapitalisme oleh karenanya adalah juga perjuangan menyelamatkan lingkungan.
10
John Bellamy Foster 19 Agustus 1953. Ia adalah profesor bidang Sosiologi di Universitas Oregon. 11 Jean_Luc Melenchon adalah aktivis Partai Kiri Prancis. Ia dekat dengan isu lingkungan hidup dari kaca mata Marxisme, Melenchon yang lahir pada 19 Agustus 1951 barangkali salah satu dari sedikit pemikir yang masih terlibat aktif dalam praktik politik.
10 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Dengan kesama-rataan pengrusakan lingkungan melalui penguasaan dan eksploitasi demi mendatangkan laba bisa ditanggulangi. Melihat keempat pemikir ini, dapat dilihat perbedaannya dengan Singer dan Naess. Regan hampir mirip dengan Singer. Tetapi titik berangkat mereka berbeda. Dengan mengikuti tradisi Kant, Regan sebenarnya masuk pada etika deontologis. Sedangkan Singer dari awal sudah berada pada jalur etika utilitarianisme. Deontologis menekankan sesuatu sebagai benar karena pada hakikinya hal itu benar adanya. Ada unsur apriori di dalam deontologi. Sedangkan Singer dengan utilitarianisme melihat sebuah tindakan benar sejauh punya dampak yang lebih besar kepada lebih banyak anggota. Naess pun berbeda dengan mereka lantaran Naess melihatnya dalam kerangka deep ecology. Bisa dikatakan secara garis besar Singer, Naess dan Skolimowski lebih dipilih lantaran pemikiran mereka tentang etika lingkungan hidup yang pada akhirnya berimbas pada vegetarianisme lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan beberapa pemikir sebelumnya. Lagi pula penekanan mereka pada tindakan sebagai jalan ke luar dari kerusakan ekologis dengan jalur pemikiran yang berbeda dan kompleks menjadi menarik untuk dikaji. Sejauh pembacaan penulis, pemikiran tentang vegetarianisme masih sangat minim di Indonesia. Lebih banyak yang ditemukan adalah praktik vegetarian. Praktik vegetarian di Indonesia lebih banyak terjadi atau didasari pada kepercayaan agama dan juga tren hidup atau gaya hidup. Jika menarik atau menggali lebih jauh perkara vegetarianisme di Indonesia dalam hal kajian atau pun teori kita kerapnya menemukan jalan buntu. Paling maksimal kita akan menemukan vegetarianisme disinggung sana sini dalam studi tentang lingkungan hidup dan etika lingkungan hidup. Untuk point yang disebutkan terakhir kita bisa menyebut banyak karya di Indonesia. Misalkan A. Sonny Keraf Etika Lingkungan Hidup dan Etika Lingkungan, Muh Aris Marfai, Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Di dalam beberapa literatur tentang lingkungan hidup tersebut, Peter Singer dan Anne Naess hanya disinggung sekilas, lebih dilihat sebagai wakil-wakil dari aliran atau posisi etika atau ekologi tertentu. Belum ditemukan oleh penulis sejauh ini sebuah karya yang khusus membahas mengenai Singer dan
11 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Naess dalam perihal hak binatang, etika lingkungan yang menekankan pada sebuah praktik tertentu sebagai jalan ke luarnya.
1.2 Permasalahan Permasalahan utama yang dibahas dan coba diuraikan dalam disertasi ini adalah bagaimanakah perbandingan pemikiran etika praktis utulitarian Peter Singer dengan pemikiran deep ecology dari Arne Naess serta Henryk Skolimowski dengan Eco-philosophy-nya untuk mencari sebuah solusi bagi kerusakan alam serta perkembangan pola konsumsi manusia yang berdampak pada kerusakan alam. Untuk melihat permasalahan itu perlu kita melihat kekhasan dari pemikiran ketiganya. Alih-alih menempatkan manusia sebagai keutamaan, Singer dan Naess menempatkan manusia hampir sederajat dengan makhlukmakhluk lainnya. Tetapi hal ini sedikit berbeda pada pemikiran Skolimowski yang masih melihat kelebihan dan kekhasan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain yakni roh yang dimiliki manusia. Justru kekhasan manusia inilah yang menghantarkan Skolimowski pada penekanan spiritual dalam metafisika Ecophilosophynya. Posisi manusia yang demikian pada ketiganya sesungguhnya berdampak pada praktik etika yang berbeda pula. Praktik inilah yang akan menjadi eksplorasi lebih lanjut disertasi ini dan pada akhirnya menjadi jantung dari tujuan disertasi ini. Selain itu konsekuensi dari kedudukan manusia di hadapan makhluk lain dalam pemikiran mereka yang berdampak pada praktik etika perlu pula diuraikan. Dengan demikian, disertasi ini hendak menunjukkan bahwa tindakan penyamaan derajat secara praktis antara manusia dan makhluk hidup lainnya perlu dilakukan. Menuju ke arah itu, secara intensionalitas a la fenomenologi terkhusus melalui pemikiran Arne Naess, perlu pula ditanamkan keberadaan manusia sebagai subjek yang setara dengan objek-objek makhluk lain yang berada di luar dirinya. Pada titik ini, Naess menempatkan sebuah alasan ontologis di mana penghormatan atas alam semesta tidak bisa tidak dilakukan karena menyangkut pendasaran dari segala hal yang ditopangnya. Apakah yang memungkinkan atau landasan apa yang melegitimasi makhluk lain setara dengan manusia? Hal yang
12 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
melandasi ini pada akhirnya akan ditemukan dalam pemikiran ontologis Naess yang sesungguhnya adalah turunan pula dari tradisi fenomenologi via Heidegger. Penelaahan dan juga, jika dimungkinkan, kelemahan-kelemahan atas pengajuan unsur spiritual dari Skolimowski adalah jalan terjal yang perlu dilakukan pula oleh disertasi ini. Apa yang menyeruak dari pemikiran Skolimowski sebenarnya kembalinya sesuatu, sifat rohaniah manusia, yang oleh filsafat modern berusaha diusir jauh-jauh. Pertanyaannya kemudian apakah memang masih relevan dan apakah memang benar-benar ada sesuatu yang bernama roh itu. Lantas apa pentingnya spiritualitas ini di dalam perihal alam? Sedikit banyak problematika ini membawa disertasi ini, dalam pembahasannya tentang Skolimowski, akan menengok sedikit pada tradisi perlindungan alam dalam agama-agama. Melalui pemikiran Singer yang lebih condong pada aksiologi kita akan melihat etika sebagai jalan ke luar dari permasalahan lingkungan hidup. Di sini kita tidak menemukan etika sebagai ontologi a la Levinas. Singer menggunakan jalan yang berbeda yakni jalan utilitarianisme. Jadi, tugas dari penelitian ini pun sebenarnya merupakan pengujian dan bisa jadi pencampuran. Lantaran memang Naess dan Singer sebenarnya punya posisi ontologis yang sesungguhnya berbeda sekali. Keberbedaan ini nantinya juga muncul dalam pemikiran mereka secara antropologis. Penampakan makhluk lain sebagai subjek dari pemikiran selalu dan senantiasa membawa keberadaan diri makhluk lain tersebut dengan kesetaraannya atas manusia. Hal ini sesungguhnya senada dengan apa yang dikatakan Rachel Carson dalam Silent Spring: The History of life on earth has been a history of interaction between living things and their surroundings. To a large extend, the physical form and the habits of the earth's vegetation and its animal life have been molded by the environment (Carson: 2002). ―Sejarah kehidupan di bumi telah menjadi sejarah interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam penjelasan lanjutan, bentuk fisik dan kebiasaan vegetasi bumi dan kehidupan hewan dibentuk oleh lingkungan.‖ Berbeda dengan para pemikir di atas yang melihat kesetaraan antara manusia dan makhluk hidup bahkan makhluk tak hidup lainnya, pemikir Stephen
13 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Jay Gould melalui karyanya The Structure of the Evolutionary Theory justru melihat dan mengamini hierarki yang ada dalam evolusi. Mengikuti pemikiran Darwin yang juga menunjukkan hierarki tersebut. Gould mengamini akan adanya hierarki dalam kehidupan akibat proses evolusi. Untuk mendalami permasalahan utama, peneliti mengajukan permasalahan penunjang sebagai berikut: (1) Bagaimana sikap hidup vegetarian sebagai sebuah konsekuensi dari pemikiran etika praktis Peter Singer? Aksiologi adalah hal kunci dalam pemikiran Singer. Untuk itu akan kita lihat juga bagaimana pemikiran Singer membawa pada aksiologi tersebut. Dan bagaimana Arne Naess melalui ecosophy T-nya menempatkan posisi manusia berhadapan dengan makhluk lain? Vegetarian sebagai sebuah sikap hidup dikatakan Singer sebagai sebuah praktik tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk altruis. Menghadapai eksploitasi dan konsumerisme yang semakin tinggi, proposal Singer ini dapat dilihat sebagai sebuah solusi. Maka itu, penelusuran akan idenya mengenai vegetarianisme perlu dilakukan. (2) Bagaimana kedua pemikiran tersebut dihadapkan dengan permasalahan ketidaksetaraan, relasi dominan, antropo centris, dan hewan sebagai komoditas; realitas sebagai sebuah keterarahan dan ketersingkapan? Lingkungan hidup adalah realitas yang ada di luar manusia. Dari perspektif Arne Naess, dan lingkungan hidup inilah yang akan mengarahkan dirinya pada manusia sehingga manusia mampu memahami lingkungan hidup tersebut. Permasalahan ini dibahas juga oleh Henryk Skolimowski. Metafisika, dalam pemahaman filsafat secara umum, merupakan suatu tanggapan kepada tantangan hidup (masalah-masalah aktual) yang tak dapat dielakkan. Metafisika yang
orisinil
meliputi
pemikiran
bermakna
mengenai
problem-problem
kemanusiaan dan dunia dalam setiap masanya. Maka pertanyaan berikutnya adalah (3) spiritualitas sebagai unsur penting dalam pemikiran Skolimowski apakah memang punya sumbangsih berarti di dalam perihal penyelamatan lingkungan. Jika ya, seperti apa dan bagaimana konsekuensinya ketika dihadapkan pada kedua pemikiran sebelumnya, Singer dan Naess; apakah memang spiritualitas menyumbang pada sesuatu yang berharga?
14 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
1.3 Pernyataan Tesis Thesis statement untuk disertasi ini adalah deep ecology Naess dan Ecophilosophy Skolimowski bukanlah jalan keluar terbaik untuk menangani krisis ekologi, hal itu akan menjadi efektif dan operatif apabila dilengkapi, atau bahkan mengutamakan di tempat terdepan, dengan pemikiran vegetarian Singer yang bersifat utilitarian. Pernyataan di atas dapat ditelusuri dari perbandingan kedua pemikiran Singer dan Naess serta dihadapkan dengan pemikiran Skolimowski.
1.4 Tujuan Disertasi ini bertujuan untuk melihat sejauh apa cara hidup vegetarian dan pemikiran vegetarianisme yang ada di baliknya mungkin menjadi sebuah solusi menghadapi keadaan hidup dewasa ini. Tujuan itu akan dilakukan dengan cara memaparkan pemikiran Singer yang membahas seputar vegetarianisme. Selanjutnya, pemikiran Singer ini akan coba dilihat dalam perbandingan dengan pemikiran Arne Naess tentang deep ecology. Pendekatan Singer sebenarnya sangat bertopang pada penemuan-penemuan di bidang antropologi dan biologi. Ia sama sekali tidak memasukan perihal spiritual di dalamnya. Untuk itu, menghadirkan pemikiran Skolimowski yang kita tahu mengedepankan perihal roh manusia, dengan demikian bisa dikatakan bersifat spiritual, adalah cara untuk menguji pemikiran Singer yang cukup baik. Berhadap-hadapannya kedua pemikiran ini perlu dikaji dan dilihat apakah mungkin vegetarianisme dari Singer ini juga ditambahkan dengan unsur spiritual? Pengujian atas vegetarianisme sebagai sesuatu yang mungkin akan dilakukan melalui metode fenomenologis. Peneliti hendak membuktikan bahwa dengan pemikiran Singer dan Naess akan terlihat bahwa manusia sebagai sumber utama dalam pemikiran filsafat justru membawa alam pada keadaan yang karut marut. Namun demikian, pemikiran yang demikian mendapat tantangan dari Skolimowski yang masih melihat unsur roh manusia sebagai penentu utama. Dengan demikian, perhitungan dengan pemikiran Skolimowski perlu dilakukan di dalam penelitian ini. Sebaliknya ketika manusia melihat dirinya sebagai hanya bagian saja dari alam semesta maka di situlah laku hidup yang memperhatikan alam bisa terjadi. Alam dilihat perlu dijaga dan diselamatkan bukan karena alam
15 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
itu berguna bagi manusia namun sebaliknya alam dijaga karena manusia adalah bagian dari alam. Manusia dan alam berada pada posisi yang setara. Kesetaraan antara alam dan manusia inilah yang akan coba dibuktikan lebih jauh dalam penelitian ini. Pengujian pemikiran Singer di hadapan Skolimowski pun patut dilakukan. Pasalnya pada Skolimowski unsur spiritual yang mengemuka. Sedangkan pada Singer hal ini tidak terjadi. Ia, melalui penelusuran mengenai makhluk altruislah menemukan perkembangan lingkaran etika pada manusia.
1.5 Kerangka Teori Bermula dari kritik atas fenomenologi transendental Husserl yang mereduksi ‗Ada‘ menjadi sekadar kategori abstrak kesadaran manusia, dengan demikian skema Husserl adalah skema Onto-teo-logi, Heidegger meradikalkan intensionalitas Husserlian sebagai cara ber-ada kesadaran menjadi keseluruhan pengalaman eksistensial manusia sebagai Dasein (ada-di-sana). Manusia sebagai Dasein adalah manusia yang ‗terlempar‘ dalam dunia. Eksistensi Heidegger perlu juga dipahami dalam kerangka ontologi fundamental-nya. Yang dimaksudkan dengan ontologi fundamental Heidegger adalah Ada (A besar) sebagai Non-ada. Bahwa seluruh realitas, seluruh adaan, adalah tak-berdasar (Ab-Grund). Heidegger membalik pertanyaan ontologi yang mengganggu filsuf-filsuf terdahulu, ―mengapa ada sesuatu ketimbang tidak ada sama sekali?‖, ―Why there is something rather than nothing?‖ (―Kenapa ada sesuatu dari pada tak ada sama sekali?‖) keseluruhan metafisika Barat bertumpu pada penggalan pertama pertanyaan ini, yakni bahwa ada sesuatu, dan dengan demikian melupakan yang lebih fundamental dari Ada itu sendiri; yakni ketiadaan, non-ada. Heidegger kemudian mengatakan bahwa ketiadaan ini, non-ada, lebih asali ketimbang ‗Ada‘ itu sendiri. Segala realitas bertumpu atau ditopang oleh Ada sebagai Non-ada ini. Dengan demikian, Kebenaran dimengerti Heidegger sebagai ‗terbitnya‘ Ada dari jurang ketiadaan ini. Heidegger menggunakan nosi Yunani Klasik untuk membahasakan Kebenaran ini: Aletheia. Heidegger memahami Ada sebagai yangtersembunyi dan kebenaran dari Ada adalah yang-tersingkap. Dengan demikian, Ada dipahami sejauh ketersingkapan Ada itu sendiri pada kesadaran kita, sembari
16 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
menghormat pada kebenaran yang masih belum tersingkap, kebenaran yang masih tersembunyi. Berhadapan dengan Ada sebagai Non-ada dan juga kebenaran sebagai ketersingkapan (Aletheia), ini, di manakah posisi manusia? Heidegger membedakan manusia menjadi das Man dan Dasein. Das Man dimaksudkan Heidegger untuk merujuk pada mereka-mereka, manusia yang tak sadar akan ada; ―manusia-manusia ontis‖. Sedangkan Dasein merujuk pada manusia yang sadar akan keterlemparan di dunia dan terbuka akan ketersingkapan ada. Dasein ini bagi Heidegger adalah ―manusia otentik‖ yang berelasi dengan dunia bukan dengan menundukkan alam lewat rasionalitas teknologis, melainkan dengan relasi setara dengan alam dengan peduli (sorge – care). Selain Ada, di dalam Heidegger dikenal juga adaan-adaan (beings). Jika Ada yang adalah Non-ada merupakan penopang segala sesuatu maka adaanadaan adalah segala yang ditopangnya. Manusia, tumbuhan, dan segala hal lainnya dikatagorikan Heidegger dalam adaan-adaan ini. Di antara adaan-adaan itu hanya manusialah adaan yang sadar akan keterlemparannya dan mampu mendekati Ada. Adaan-adaan bisa dikatagorikan menjadi hal-hal yang ready to hand dan yang ready for hand. Keduanya merujuk pada hal-hal yang menopang dan menyokong kehidupan manusia. Emmanuel Levinas kemudian mengkritik Heidegger dan Husserl yang menekankan relasi dominasi terhadap realitas. Intensionalitas Husserlian adalah kesadaran reflektif; ia keluar menuju realitas untuk kemudian mengapropriasi, ―mengambil alih‖ realitas tersebut dalam kesadaran. Dalam Heidegger, memang terdapat sesuatu yang tak tunduk pada kesadaran manusia, yakni dasar Ada sebagai Non-Ada, kebenaran yang tersembunyi; namun demikian, relasi Dasein dengan realitas adalah relasi yang tetap dominan karena Dasein hanya bisa berelasi dengan Aletheia, dengan yang-tersingkap, dan mentasbihkan yangtersembunyi sebagai misteri yang—nantinya—akan tersingkap sendiri. Dengan demikian, misteri itu sendiri hanya serupa puzzle yang awalnya memang tidak diketahui letaknya, tapi nantinya, setelah keping-keping puzzle yang sudah tersingkap dirangkai, ia akan menemukan tempatnya dalam relasi dominasi kesadaran manusia. Dengan demikian, yang paling fundamental, bagi Levinas
17 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
bukanlah metafisika ataupun ontologi, melainkan etika; yakni kesadaran nondominasi, kesadaran pra-reflektif. Etika fundamental Levinas adalah kesadaran yang ke luar menuju realitas dan tidak kembali lagi ke dalam kesadaran bersama dengan realitas yang telah diapropriasi, melainkan terus terpancar keluar, bagaikan matahari yang mencurahkan sinarnya tanpa meminta imbalan pada tanaman. Levinas menempatkan benda-benda di luar manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia itu sendiri. Levinas memberi contoh aktivitas makan sebagai salah satu moment di mana manusia menyatukan benda-benda di luar dirinya menjadi bagian dari dirinya, yang mana aktivitas itu menimbulkan kenikmatan (enjoyment), ―The non-I feeds enjoyment; the I needs the world, which exalts it‖ (―Yang bukan-Saya memberikan kenikmatan; Saya butuh dunia, yang mana menyediakan itu‖) (Levinas, 1979: 144). Bagi Levinas, kenikmatan berasal dari non-I (benda-benda), yang di luar aku. Itu berarti aku membutuhkan dunia yang ada di luar aku, karena di dunia itulah non-I berada. Manusia mencintai kehidupan karena di dalam kehidupan itu ada kenikmatan. Namun demikian, melalui Levinas ini pun terlihat bahwa hal-hal di luar diri manusia, tentu saja di sini termasuk binatang, adalah benda-benda yang memenuhi diri manusia walau pun di sini intensi tujuannya sudah berbeda, yakni untuk menciptakan kesetaraan antara manusia dan benda-benda di luarnya. Benda-benda itu mulai menjadi subjek, tidak sekadar objek. Selain Heidegger dan Levinas, untuk membahas permasalahan dalam disertasi ini akan dipakai juga titik pijak pemikiran dari Henryk Skolimowski. Metafisika, dalam pemahaman filsafat secara umum, merupakan suatu tanggapan kepada tantangan hidup (masalah-masalah aktual) yang tidak dapat dielakkan. Metafisika yang orisinil meliputi pemikiran bermakna mengenai problem-problem kemanusiaan dan dunia dalam setiap masanya. Wittgenstein dengan ‗Logika atomisme‘-nya mengajukan suatu metafisika orisinil karena berkembang dari problema nyata dan aktual. Pada masa itu metafisika Wittgestein memberikan landasan pengetahuan [state of knowledge] dan memberikan cita-cita pada suatu masa yang masih percaya akan keselamatan melalui sains, logika, dan kemajuan teknologi.
18 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Namun, sekarang atomisme logis, positivisme logis dan mimpi sistem sains filsafat hanya tinggal sejarah. Dunia dewasa ini merupakan dunia dimana konsep-konsep alam dan ekologi mengasumsikan suatu kepentingan utama yang filosofis dan metafisis. Oleh karena itu, filsafat harus menentang batas-batas dari pemahaman analitik dan empirisistik akan dunia dan menghasilkan suatu kerangkan konseptual dan filosofis yang dapat mengakomodasikan banyak masalah-masalah baru tentang sosial, etika, ekologi, epistemologi dan ontologi. Dalam konteks ini, Eco-philosophy bertujuan untuk memberikan suatu metafisika
bagi
masa
sekarang.
Eco-philosophy
memberikan
landasan
pengetahuan [state of knowledge] dan cita-cita masa sekarang. Eco-philosophy menentang filsafat yang masih cenderung dialihkan kepada suatu sistem logika yang murni. Jadi, Eco-philosopy ingin menggantikan metafisika yang hanya menganalisa struktur logis dari proposisi-proposisi atau berusaha untuk memaksakan berbagai variasi 'ada' ke dalam kotak-kotak semantik. Dalam hal ini, Eco-philosophy ingin melampaui norma-norma dan ajaranajaran filsafat kontemporer sehingga ia melepaskan diri dari kriteria validitas filsafat kontemporer. Eco-philosophy menegaskan bahwa kita butuh melepaskan konsepsi mekanistik dunia, dan mengantikannya dengan suatu konsep alternatif yang lebih luas dan lebih kaya. Setelah paparan ketiga kerangka teori untuk disertasi ini, perlu kiranya untuk melihat posisi filosofis Singer, Naess dan Skolimowski yang berbeda. Posisi pemikiran Singer dan Naess tersaji pada bagan pemikiran berikut ini.
Tabel Pemikiran Singer, Naess, dan Skolimowski Topik
Peter Singer
Arne Naess
Henryk Skolimowski
Manusia
Makhluk Komunal
Makhluk Individu
Makhluk Spiritual
Etika
Etika Utilitarianisme
Etika Deontologi
Etika Kosmologis
Aliran
Utilitarianisme &
Fenomenologi &
Teleologi &
Pragmatis
Eksistensialis
Fenomenologi
Perluasan Moral
Ecology T/Deep Ecology
Eco-philosophy
19 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Posisi
Kebebasan Binatang Antropik (penghormatan tak ber-roh
Makhluk di
(sentient being)
pada
semua
bagian
semesta)
Luar Manusia Vegetarian
Aksi Praktis
Penghormatan pada alam melalui semesta
spiritualitas
menghormati semesta
1.6 Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti terutama menggunakan metode penelitian kepustakaan secara kritis. Berhubungan dengan penelitian ini membahas sebuah pemikiran tertentu, peneliti dengan demikian akan berusaha menginterpretasi karya-karya pemikir tersebut yang berkaitan dengan tema penelitian. Selanjutnya, penelitian ini pun menggunakan metode perbandingan kritis di mana pemikiran seorang filsuf disejajarkan dengan pemikiran filsuf lain untuk melihat kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Pengujian epistemologis atas pemikiran yang diperbandingkan
akan
dilakukan
melalui
epistemologi
fenomenologis
Heideggerian. Selanjutnya akan dilakukan kontekstualisasi secara historis pemikiran tersebut dengan keadaan dunia dewasa ini.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian dalam disertasi ini dibagi menjadi tujuh bab. Bab 1: Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang, telaah pustaka, permasalahan, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian ini juga tentu saja sudah akan sedikit banyak memasuki perihal permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan juga solusinya, yakni vegetarianisme. Dengan demikian, bagian ini akan dibuka juga dengan beberapa fakta yang ada pada kehidupan ini. Bagian ini menjadi titik berangkat permasalahan yang akan diulangi kembali dalam bagian selanjutnya. Bagian ini juga menjadi rambu-rambu atau batasan-batasan untuk pembahasan selanjutnya.
20 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
alam
Bab 2: Unsur Ontologi dan Epistemologi Martin Heidegger dan Emmanuel Levinas Dalam bab ini akan dipaparkan teori, metodologi, dan acuan teoretis mengenai konsep-konsep yang digunakan dalam disertasi. Konsep-konsep itu mengacu kepada landasan teori dari Martin Heidegger dan Emmanuel Levinas. Konsep epistemologi fenomenologis dan eksistensialisme Heidegger dan Levinas akan menjadi ancangan dalam membedah korpus penelitian. Bagian ini sebenarnya menghadirkan dua pemikir yang punya garis landasan pemikiran yang sama. Oleh karena itu, kedua pemikir yang dibahas pada bagian ini bukan saling menegasikan tetapi patut dibaca sebagai usaha untuk melengkapi. Landasan fenomenologi keduanya menjadi pisau pembedahaan untuk nanti memasuki pemikiran kunci yang menjadi konsentrasi penelitian ini.
Bab 3: Filsafat Vegetarianisme dan Etika Lingkungan Peter Singer Bab ini mengkaji secara komprehensif pemikiran vegetarianisme Peter Singer melalui studi kepustakaan. Dengan memaparkan dan menggali lebih dalam korpus penelitian, peneliti akan melakukan tahapan-tahapan analisis pada bab selanjutnya. Pada bagian ini titik berangkat Singer yakni utilitarianisme akan menjadi perhatian. Selain itu selanjutnya perkembangan pemikiran Singer sendiri dalam bidang etika dibahas. Hingga pada akhirnya bagian ini membawa pembaca pada pemahaman atau konsekuensi pemikiran Singer yakni praktik vegetarian.
Bab 4: Pemikiran Naess: Ekologi T dan Kepasrahan pada Semesta Bab ini akan secara khusus memaparkan pemikiran Naess. Pemaparan tersebut berdiri pada self-realization dalam rangka deep-ecology. Bab ini dengan demikian akan melihat pemikiran Naess yang sebenarnya berhutang pada fenomenologi dalam memandang alam semesta. Dengan demikian titik pusat individu sebagai yang mengalami fenomena menjadi salah satu hal yang patut diperhatikan pada bagian ini. Selain itu mau dan tak mau, karena penelitian ini menyangkut etika, akan masuk juga kepada pemahaman lingkungan hidup harus terejawantah dalam perlakuan yang nyata.
21 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Bab 5: Eco-philosophy Henryk Skolimowski Bab ini akan secara khusus memaparkan pemikiran Skolimowski. Pemaparan akan lebih berkutat pada penekanan manusia sebagai makhluk ber-roh dan dengan demikian ia memiliki unsur spiritual. Unsur inilah yang menjadi penting dalam hal pemeliharaan alam semesta yang bagaimana pun juga merupakan tugas yang akan dijalankan manusia. Dengan demikian bagian ini juga akan berusaha mencari akar dari spiritualitas yang kental dalam pemikiran Skolimowski.
Bab 6: Singer dan Naess dalam Perbandingan serta Insight dari Skolimowski Dengan
teori
intensionalitas
fenomenologis
dan
eksistensialisme
Heideggerian dan Levinas, peneliti akan membongkar teks Peter Singer dan juga Arne Naess dalam hubungannya dengan etikanya, terkhusus pelaku etika manusia. Dengan metode tersebut pula akan dilihat pemikiran dari Skolimowski. Eksistensialisme sebagai cara berada manusia di dunia berimplikasi pada hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dan vegetarianisme adalah salah satu cara hidup yang bisa dilihat dari sudut pandang ini. Cara berada manusia ini akan disejajarkan dengan intensionalitas, cara mengada realitas ke dalam pemahaman manusia. Bagian ini akan merujuk juga pada persamaan keduanya. Namun demikian pertanyaannya adalah ketika landasan filosofis berbeda dan pada akhirnya meruncing pada landasan ontologis berbeda, persamaan dalam praktik dimungkinkan karena apa? Tak lain dan tak bukan karena yang dihadapi sebagai korpus perhatian kedua pemikir adalah perihal lingkungan hidup dan juga kehidupan itu sendiri.
Bab 7: Simpulan: Sanggupkah Vegetarianisme Menjawab? Bab ini berisi penutup dan catatan kritis peneliti dalam disertasi ini. Di sini akan ditunjukan kesimpulan yang berhasil dicapai dari penelitian ini bagaimana posisi filsafat vegetarianisme dilihat dalam kaitannya sebagai sebuah alternatif dari keadaan kehidupan saat ini. Maka itu bagian ini pun akan didahului dengan penggambaran sekilas panorama kehidupan.
22 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 2 UNSUR ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI MARTIN HEIDEGGER DAN EMMANUEL LEVINAS
2.1 Pendahuluan Pada bagian ini, sebagai bagian teori dan metodologi, akan coba dibahas dua pemahaman ontologi dan epistemologi dari Emmanuel Levinas12dan Martin Heidegger. Tujuan dari bab ini adalah memperkenalkan dua bidang tersebut dari sudut pandang dua pemikir tersebut guna mendapatkan pemahaman yang nantinya akan digunakan sebagai pisau bedah dalam membahas pemikiran ekologis Peter Singer dan Arne Naess. Penulis sendiri menyadari akan adanya kesulitan dengan menggunakan kedua metode ini. Pasalnya Singer adalah seorang pemikir yang kental dengan tradisi filsafat analitik sedangkan Levinas dan Heidegger sebaliknya adalah para pemikir dari tradisi analitik. Namun demikian bagi penulis hal ini menjadi tantangan yakni bagaimana sebuah pemikiran yang kental dengan filsafat analitik dan juga etika utilitarianisme (Singer) dibaca dengan kerangka baca filsafat kontinental dengan metafisika sebagai etika (Levinas). Penulis dengan demikian akan membagi bagian ini dalam dua bagian besar yakni pertama Ontologi Fundamental Heidegger. Pada bagian ini akan dibahas perihal manusia sebagai da Sein dan juga metafisika menurut Heidegger. Selain itu akan dibahas persoalan kebenaran sebagai penyingkapan Ada menurut Heidegger. Seperti yang diketahui, proyek filsafat Heidegger adalah menemukan perihal Ada yang menurutnya sepanjang filsafat barat dilupakan. Heidegger lantas sampai pada kesimpulan yang sering disebut sebagai ontologi fundamental yakni Ada sebagai sekaligus juga Ketiadaan. Dalam perjalanan itu, menurut Heidegger, pengetahuan adalah ketersingkapan Ada. Atau dalam bahasa Heidegger, pengetahuan adalah Lethe yang menyingkap dalam Aletheia. Etika sebagai Metafisika menurut Levinas menjadi isi bagian kedua tulisan ini. Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana pemikiran Levinas mengenai orang lain sebagai yang utama yang berujung pada hal yang paling penting dalam filsafat adalah etika. 12
Emmanuel Levinas adalah pemikir keturunan Yahudi yang lahir pada 12 Januari 1906 di Kovno (Kaunas), Lithuania, Rusia dan meninggal pada 25 Desember 1995.
23 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Etika menurutnya yang harus diutamakan di atas ilmu-ilmu filsafat lainnya. Selanjutnya tulisan ini akan ditutup dengan sedikit rangkuman dan catatan.
2.2 Heidegger dan Fundamental Ontologi Sesungguhnya, tujuan utama proyek filsafat Martin Heidegger13 adalah upaya untuk mengatasi nihilisme sebagai puncak manifestasi metafisika. Proyek mendasar dari filsafatnya adalah upaya menemukan kembali makna sejati dari Ada yang terlupakan selama sejarah filsafat Barat. Menurut Heidegger, hanya dengan merenungkan Ada secara otentiklah maka nihilisme dapat diatasi. Maka, proyek Heidegger ini disebut juga sebagai ―restorasi atas metafisika‖ (Verwindung der Metaphysik). Dalam upaya ini Heidegger menunjukkan bahwa Ada
tak
pernah
tersingkap
secara
penuh
kepada
Dasein
(manusia).
Ketersingkapan Ada selalu diiringi dengan ketersembunyian. Dengan demikian, ia menunjukkan bahwa Ada bukan ―dasar‖ (Grund) yang hadir penuh melainkan merupakan selalu dalam gerak relasional Aproriasi dengan ―ranah-antara‖ yang tersusun oleh polemos. Berikut, akan dilihat pemikiran Heidegger periode awal.
2.2.1 Periode Awal Heidegger: Hidup yang Dihayati Karya Heidegger yang fundamental adalah Sein und Zeit. Namun, sebelum karya itu terbit, sebenarnya Heidegger sudah membuat banyak karya lain yang tidak dipublikasikan. Tulisan sebelum Sein und Zeit ini sedikit banyak telah mengantisipasi apa yang diangkat Heidegger di karya tersebut. Karya-karya awal itu terdiri dari kuliah-kuliah tentang surat-surat Paulus, Confession Agustinus, ―teologi salib‖ dari Luther, Pascal, Kierkegaard, Dilthey, Jaspers, novel-novel Dostoevsky dan surat-surat Van Gogh. Di dalam bahan-bahan kuliahnya ini, Heidegger memformulasikan pandangannya tentang faktisitas Dasein yang bertanya akan Ada (van Buren, 1989: 101). Ia juga sedari awal menekankan bahwa upaya untuk menciptakan suatu ―permulaan baru‖ filsafat harus dilakukan dengan, ―going-back [Rückgang] into the originary-historical‖ yang dijalankan dengan upaya ―complete turning-around [Unwandlung] of philosophy‖ (van Buren, 1989: 102) Heidegger pada awal kariernya sudah mengarah pada problem 13
Martin Heidegger adalah pemikir Jerman yang lahir pada 26 September 1889 di Messkirch, Jerman, dan meninggal pada 26 Mei 1976 serta dimakamkan di kota kelahirannya.
24 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Seinsfragwürdigkeit,
―question-ableness
of
being‖
(suatu
prototip
dari
Seinsfrage), yang bertumpu pada analisa mengenai ―kehidupan‖ (Leben) yang baginya merupakan ―tempat‖ (Ort) yang menjadi ―asal-usul‖ (Ursprung) dari segala makna (van Buren, 1989: 100). Tema ―kehidupan yang dihayati‖ sangat sentral dalam pemikiran awal Heidegger yang nantinya akan dilanjutkannya dalam Sein und Zeit. Bagi Heidegger intensi yang melandasi seluruh karyanya tetap sama, yaitu bertanya akan ―Ada dalam dan melalui kehidupan‖ (van Buren, 1989: 102). Heidegger sendiri memandang bahwa pemikirannya hanya dapat dibagi dalam tiga fase yang saling berkaitan: pertama, problem ―makna Ada‖ (dari tahun awal hingga penerbitan Sein und Zeit pada tahun 1927); kedua, problem ―kebenaran Ada‖ (dari 1930-1940); ketiga, problem ―topos of Being‖ (dari 1940 hingga seterusnya) (van Buren, 1989 : 105). Dalam karya seminalnya Sein und Zeit Heidegger berupaya menggagas suatu
proyek
―ontologi
fundamental‖,
yaitu
analisa
mengenai
horison
transendental Dasein dalam kaitannya dengan pertanyaan akan Ada. Hal ini dibagi dalam dua bagian yakni pertama ―interpretasi Dasein dengan basis temporalitas dan eksplikasi waktu sebagai horison transendental dari pertanyaan akan Ada‖; kedua, ―elemen-elemen dasar dari destruksi fenomenologis atas sejarah ontologi dengan
berpedoman
pada
problem
temporalitas‖(Heidegger,
terj.,
Joan
Stambaugh, 1996: 35). Bagian pertama telah tertuang dalam Sein und Zeit sementara bagian kedua tak pernah sepenuhnya diselesaikan. Apa yang diupayakan Heidegger adalah pemeriksaan atas kemungkinan Ada dapat tersingkap pada Dasein. Walaupun Dasein tidak mengerti tentang hakikat Ada, setidaknya Dasein selalu sudah memiliki pengertian minimal akan Ada. Bagi Heidegger jelas bahwa pengertian yang hakiki akan Ada tak dapat diperoleh melalui sains (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 8). Hal ini lantaran sains hanya berurusan dengan realitas ―ontis‖ dan tidak pernah memeriksa akarnya, yaitu realitas ―ontologis‖. Hal ini terkait dengan pandangan Heidegger tentang ―perbedaan ontologis‖ (Ontologische Differenz), yaitu perbedaan antara ―Ada‖ (Sein) dengan ―adaan‖ (Seiende). Sains berkutat hanya pada persoalan ―ontis‖ yang berurusan dengan ―adaan‖. Selama Ada dan adaan
25 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tidak dibedakan, maka krisis di segala bidang akan terus berlangsung. Maka solusi satu-satunya adalah bertanya secara baru tentang hakikat Ada dalam kaitannya dengan Dasein. Heidegger membedakan dua model pemahaman Dasein berkaitan dengan Ada: pertama, ―pemahaman eksistensial‖, yaitu keterarahan pemahaman akan Ada berkaitan dengan struktur eksistensial-faktis Dasein secara menyeluruh, kedua, ―pemahaman eksistensiel‖, yaitu keterarahan pemahaman Dasein akan makna eksistensi dirinya (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 10). Untuk mencapai pemahaman tentang Ada secara otentik, Heidegger mengupayakan suatu ―destruksi‖ (Destruktion) atas sejarah metafisika yang ditandai oleh ―kelupaan-akan-Ada‖ (Seinsvergessenheit). Proses destruksi ini berjalan dengan mengupayakan ―pertanyaan akan Ada‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 20) dan bergerak menyingkap ―kelupaan-akan-Ada‖ dalam sejarah filsafat Barat serta menafsir ulang problem temporalitas yang merupakan horison transendental ketersingkapan Ada pada Dasein yang selama ini seringkali dilupakan oleh para filsuf (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 22). Sepanjang sejarah filsafat Barat, Ada selalu dipandang secara temporal sebagai ―kehadiran‖ (Anwesenheit; ουσια) dalam ―masa kini‖ (Gegenwart). Pandangan naif ini bersumber pada kesalahan dalam memandang waktu sebagai ―waktu vulgar‖. Heidegger berupaya membongkar kesalahan pandangan itu dan meraih kembali suatu pengalaman mewaktu yang lebih otentik sehingga memungkinkan ketersingkapan Ada. Heidegger lantas membahas fenomena eksistensial Dasein dalam faktisitasnya dalam-dunia. Relasi Dasein terhadap dirinya sendiri selalu bersifat ―always-being-my-own-being‖ (Jemeinigkeit) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 40). Dasein selalu ―memiliki‖ dirinya; eksistensinya selalu merupakan tanggung-jawabnya
sendiri.
Modus
esensial
Jemeinigkeit
inilah
yang
memungkinkan Dasein mencapai otentisitas eksistensinya ataupun ketidakotentikan eksistensinya. Jadi bisa dikatakan bahwa Jemeinigkeit merupakan the condition of possibility of (in-)authenticity in general (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 49). Selain itu, eksistensi Dasein selalu ditandai oleh fakta ―keterlemparan‖ (Geworfenheit) Dasein dalam dunia. Itulah faktisitas Dasein.
26 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Dari situ pulalah muncul eksistensi yang niscaya dimiliki oleh setiap Dasein, yaitu ―ada-dalam-dunia‖ (In-der-Welt-Sein) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 52). Dasein yang ―ada-dalam-dunia‖ selalu berjumpa dengan benda-benda dalam dunia. Heidegger membedakan dua macam relasi Dasein terhadap benda-benda tersebut: yang pertama, Zuhandenheit (―handiness‖), merupakan relasi praktis Dasein dengan segala benda; yang kedua, Vorhandenheit (―objective presence‖), merupakan relasi Dasein terhadap benda yang hadir begitu saja tanpa relasi praktis dengannya (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 82). Namun,
bagi
Heidegger,
dua
model
relasi
ini
dimungkinkan
karena
―kemenduniaan‖ (Weltlichkeit) dari Dasein itu sendiri. Kemenduniaan ini dimungkinkan karena Dasein selalu berhubungan dengan realitas dunia dalam relasi ―pemaknaan‖ (Bedeutung) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 82). Pemaknaan atas dunia ini dimungkinkan karena Dasein selalu sudah ―ada-dalamdunia‖ dengan ―care‖ (Sorge) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 53). Care (―memperhatikan‖) yang dihayati Dasein terhadap eksistensinya ini muncul secara niscaya karena modus eksistensi Dasein dalam-dunia selalu berupa ―my-ownness‖ (Jemeinigkeit). Terhadap benda-benda, Heidegger mengatakan, Dasein pun memiliki relasi care, namun dalam bentuk ―taking care‖ (Besorgen), ―menjaga‖ dan ―merawat‖ benda-benda. Selain dengan eksistensi dirinya sendiri dan benda-benda di dunia, Dasein juga selalu berrelasi dengan Dasein lain. Modus ―ada-bersama‖ (Mit-sein) ini juga terjadi dalam relasi pemaknaan, yaitu ―concern‖ (Fürsorge), ―mempedulikan‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 114). Bagi Heidegger, relasi Dasein dengan yang lain ini pertama-tama tidaklah relasi pemahaman-kognitif, melainkan ―pengertian eksistensial‖ yang justru merupakan syarat kemungkinan bagi setiap pengetahuan dan kognisi (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 116). Heidegger bahkan menulis bahwa ―knowing oneself is grounded in primordially understanding being-with‖ (―mengetahui diri sendiri didasari pada pemahaman primordial tentang ada-bersama‖) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 116) Heidegger juga secara implisit menyodorkan syarat kemungkinan bagi setiap tindakan etis, yaitu Mit-sein. Baginya bukan nilai etis, misalnya empati, yang mengkonstitusi Mit-sein melainkan justru sebaliknya, Mit-sein lah yang
27 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
memungkinkan setiap nilai etis (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 117). Namun Heidegger juga memberikan penilaian negatif atas Mit-sein ini. Baginya, dalam Mit-sein, Dasein rentan untuk mengalami ―kejatuhan‖ (Verfallenheit) dari modus eksistensi otentik ke modus eksistensi inotentik. Hal ini disebabkan karena ―mereka‖ (das Man), alias ―masyarakat yang banal‖, membuat Dasein hidup dalam ―kerumunan‖, ―publicness‖ (Öffenlichkeit) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 118-119). Lantas Dasein hidup dalam ―averageness‖ (Durschschnittlichkeit) yang ―menurunkan‖, ―levelling down‖ (Einebnung) segala posibilitasnya yang otentik untuk bertanya akan Ada. Heidegger menulis bahwa setiap orang adalah orang lain, dan tak ada seorang pun yang merupakan dirinya. Mereka, yang menyuplai jawaban bagi siapa dari Dasein, adalah sang tak seorang pun yang merupakan tempat berserah diri setiap Dasein, di dalam ada-bersama-satu-sama-lain.‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 120). Diri otentik Dasein, dengan demikian, mengalami degradasi menjadi sekadar ―diri-mereka‖ (Man-selbst): ―Aku‖ tidak dalam arti diriku sendiri, tetapi aku adalah yang lain dalam modus Mereka (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 121). Dalam ada-dalam-dunia, Dasein selalu memiliki disposisi mental tertentu terhadapnya yang sekaligus memungkinkan pemahaman atasnya. Secara ontologi, disposisi mental itu disebut ―attunement‖ (Befindlichkeit), dan secara ontis, disposisi mental itu disebut ―mood‖ (Stimmung) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 126). Disposisi mental ini mendahului segala aktivitas kognisi dan juga menyingkapkan fenomena ―keterlemparan‖ Dasein dalam dunia. Keterbukaan akan dunia dimungkinkan karena disposisi mental ini selalu bersifat intensional, terarah pada sesuatu (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 129). ―Pemahaman‖ (Verstehen) selalu sudah bertolak dari disposisi mental dan oleh karenanya pemahaman selalu merupakan ―proyeksi‖ (Entwurf) ke depan (ke arah posibilitasnya) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 136). Oleh karena didasari oleh disposisi mental dan sifatnya yang proyektif (dengan kata lain, antisipatif) inilah, pemahaman, bagi Heidegger, selalu mendahului ―interpretasi‖ (Auslegung) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 139).
28 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Keterjebakan Dasein pada ―mereka‖ dapat berubah, melalui karakter Dasein yang selalu bertolak dari disposisi mental, menjadi sebuah pengalaman ―kecemasan‖ (Angst). Sebagai pengalaman, kecemasan tidak memiliki objek yang pasti(Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 174). Kecemasan selalu datang tanpa arah yang jelas dan tak pernah dapat diartikulasikan secara jelas. Namun, kecemasan menyingkapkan sifat proyektif dan kebebasan memilih dari Dasein dan, secara sekaligus, mengindividuasinya dari kerumunan ―mereka‖ hingga akhirnya Dasein mengalami perasaan ―tak-merumah‖, ―not-being-at-home‖ (Unheimlich) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 176). Kecemasan menghadirkan pengalaman akan ketiadaan. ―Ketiadaan‖ tidak pernah hadir secara langsung dan oleh karenanya tak bisa dipertanyakan secara langsung tanpa mengubah statusnya menjadi ―ada‖ (Heidegger dalam Krell, 1978: 98). Ketiadaan hanya bisa dialami, yaitu dalam momen Angst ketika segalanya terasa tanpa arti dan tenggelam dalam indiferen (Heidegger dalan Krell, 1978: 103). Seluruh hal itu mendorong Dasein untuk meraih kembali eksistensi otentiknya, yaitu dengan care akan eksistensinya. Jadi Angst mengarahkan Dasein kembali menuju otentisitas eksistensinya. Selanjutnya, Heidegger juga melakukan analisis tentang ―kemewaktuan‖ (Zeitlichkeit) sebagai horison transendental Dasein. Dari pengalaman ―keseharian‖ itulah maka muncul kalkulasi waktu yang menciptakan perhitungan hari, bulan, tahun, singkatnya, pemahaman vulgar tentang waktu (Heidegger dalan Krell, 1978: 217). Kemewaktuan otentik Dasein muncul pertama-tama dari pengalaman proyektif-antisipatif atas kematian. Heidegger menulis: ―sejak awal ketika seorang manusia dilahirkan, ia sudah cukup tua untuk mati‖.14 Dasein selalu merupakan ―ada-menuju-kematian‖ (Sein-zum-Tode). Melalui gerak menuju kematian yang niscaya ini Angst termanifestasikan secara penuh karena kematian adalah ―the possibility of no-longer-being-able-to-be-there‖, dengan kata lain, posibilitas akan ketiadaan (Heidegger 1996: 232).
14
Ungkapan itu berasal dari Martin Luther: ―Statim enim ab utero matris mori incipimus.‖ (Kita tidak lebih awal meninggalkan rahim ibu kita dibanding menjelang kematian kita.) sebagaimana dikutip oleh Heidegger sendiri dalam Phenomenological Interpretation of Aristotle (bagian Appendix II, hlm. 137).
29 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Kondisi eksistensi Dasein yang ―terjatuh‖ dalam banalitas das Man dapat membuat Dasein menjadi tak takut dan tenang menghadapi kematian karena ―pengayoman‖ (tranquillization) dari masyarakat agar tidak memikirkan kematiannya (Heidegger 1996: 234). Namun Angst dapat menginterupsi momen ketenangan itu dan memicu Dasein untuk mengupayakan otentisitas eksistensinya. Kematian merupakan posibilitas yang paling ultim dari Dasein. Karakter dari posibilitas ultim ini adalah ―non-relational‖, dengan kata lain, ―individual‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 243). Kematian tak dapat dirasakan beramai-ramai dalam masyarakat massa, melainkan hadir di dalam momen kesendirian eksistensial. Heidegger menulis bahwa dalam Angst, ―Da-sein finds itself faced with the nothingness of the possible impossibility of its existence‖ dan mendorong Dasein mencapai ―freedom toward death which is free of the illusions of the they‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 24). Mekanisme perubahan dalam momen Angst dimana keterjebakan pada das Man lantas diatasi oleh permenungan otentik ini dimungkinkan oleh aktivitas ―suara hati‖ (Gewissen) yang berasal dari Dasein sendiri. Tentang ―panggilan‖ dari suara hati ini, Heidegger menulis: ―The call does not reports any facts; it calls without uttering anything. The call speaks in the uncanny mode of silence‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 255). Panggilan ini berasal dari Dasein sendiri, dari rasa cemasnya dalam keterlemparan di dunia menuju pemenuhan posibilitasnya yang niscaya, yakni kematian (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 256). Sampai di sini, dapat dilihat bahwa Dasein memiliki karakter khusus, yaitu daya proyektif-antisipatif. Dalam konteks kemewaktuan, daya tersebut jelas mengarah pada momen masa depan. Maka kemewaktuan adalah penghayatan akan eksistensi yang muncul melalui antisipasi atas yang akan datang (kematian). Dalam kemewaktuan inilah care tampak dalam keutuhannya yang paling primordial (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 301). Penekanan pada dimensi antisipatif masa depan inilah yang membuat Heidegger menulis bahwa kemewaktuan selalu bersifat eks-stasis (keluar-dari/mengarah-pada) (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 302). Sebagaimana Heidegger membagi setiap modus eksistensi Dasein dalam aspek otentik dan inotentik, maka ia pun membagi setiap modus kemewaktuan
30 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Dasein dalam dikotomi yang sama. Jika masa depan disikapi dengan ―menunggu‖ (Gewärtigen) maka ia tidak otentik; namun jika disikapi dengan ―antisipasi‖ (Vorlaufen) maka ia otentik (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 310). Jika masa kini disikapi sebagai ―menghadirkan‖ (gegenwärtigen) maka ia tidak otentik; namun jika disikapi sebagai ―momen visi‖ (Augenblick) maka ia otentik (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 311). Jika masa lalu disikapi dengan ―melupakan‖ (Vergessen) maka ia tidak otentik; namun jika disikapi dengan ―mengambil-kembali‖ (Wiederholung) maka ia otentik (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 311-312). Penghayatan waktu yang semacam inilah yang merupakan ―historisitas Dasein‖ dan sekaligus merupakan condition of possibility dari sejarah dan konsep waktu vulgar secara umum (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1996: 345).
2.2.2 Die Kehre (1930—1940): Ada Sebagai Aletheia Yang dimaksudkan dengan die Kehre alias ―balikan‖ (―the turning‖) dalam pemikiran Heidegger adalah adanya balikan dari proyek ontologi fundamentalnya yang bertanya tentang ―makna Ada‖ dalam kaitannya dengan horison transendental Dasein menuju suatu gagasan yang akan melandasi pemikirannya hingga akhir, yaitu pertanyaan tentang ―kebenaran Ada‖ sebagai αληθεια (aletheia). Heidegger mengkritik konsep kebenaran Modern yakni kebenaran adalah korespondensi antara benda dan pengetahuan (Heidegger dalam Krell, 1978: 120). Dari model kebenaran korespondensi-adekuatif inilah muncul konsep kebenaran sebagai ―property of proposition‖. Keduanya memiliki dasar yang sama, yaitu memandang kebenaran sebagai ―correctness‖ (Richtigkeit). Menurut Heidegger, hal ini menunjukkan suatu hal, yaitu oposisi antara ―benda‖ dan ―pengetahuan‖ mengandaikan suatu ―open region‖ tempat oposisi tersebut berlangsung dan mengambil tempat (Heidegger dalam Krell, 1978: 123). Jika konsep kebenaran korespondensi-adekuatif dan proposisional mengandaikan suatu ―ranah terbuka‖ itu, maka ―ranah terbuka‖ itulah yang mestinya menjadi esensi kebenaran (Heidegger dalam Krell, 1978: 124-125). Lebih jauh lagi, keterbukaan dalam ―ranah terbuka‖ itu selalu terkait dengan ―kebebasan‖ yakni
31 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―membiarkan ada menampak sebagaimana adanya‖ (lets beings be the beings they are; singkatnya letting beings be. Yunani klasik menyebut ―ranah terbuka‖ ini sebagai τα αληθεα (ta alēthea). Kebebasan, sebagai ―letting-be‖. Maka kebebasan, sebagai ―letting-be‖, adalah pemenuhan esensi kebenaran yang menyingkapkan dirinya (Heidegger dalam Krell, 1978: 129). Dalam Vom Wesen der menschlichen Freiheit, Heidegger menulis bahwa ―freedom is the condition of possibility of the manifestness of the being of beings, of the understanding of being‖ (Heidegger, 2002: 205). Namun, pada sisi yang lain, kebebasan sebagai ―letting-be‖ juga berarti membiarkan kebenaran Ada menyembunyikan dirinya. Tegangan antara ―ketak-tersembunyian‖ (alētheia) dan ―ketersembunyian‖ (lēthe) dari kebenaran Ada inilah yang menjadi tema utama Heidegger mulai periode ini. Heidegger menulis demikian: ―The answer to the question of the essence of truth is the saying of a turning within the history of Being. Because sheltering that lightens belongs to it, Being appears primordially in the light of concealing withdrawal. The name of this lighting [Lichtung] is alētheia‖ (Heidegger dalam Krell, 1978: 140). ―Jawaban untuk pertanyaan tentang esensi kebenaran adalah menyatakan kembali pada sejarah Ada. Karena perlindungan dari hal itu mengikuti sejarah itu, Ada muncul secara primordial dalam terang menyembunyikan penarikan. Nama pencahayaan ini [Lichtung] adalah Aletheia‖. Menurut Heidegger, seni memiliki karakter esensial yang tak dimiliki oleh yang lain, yaitu penyingkapan kebenaran. Karya seni, menurut Heidegger, mengemukakan kebenaran (Heidegger dalam Krell, 1978: 35). Orang Yunani menyebut ―pengemukaan‖ (emerging-rising) ini sebagai phusis (Heidegger dalam Krell, 1978: 42). Dalam karya seni dan kerja secara umum, manusia merumah dalam dunia, manusia menghayati eksistensinya dalam dunia. Batu tak punya dunia, binatang dan tetumbuhan tak punya dunia (tetapi menjadi latar dunia), hanya manusialah, bagi Heidegger, yang ―memiliki‖ (bukan dalam arti menguasai) dunia karena manusia memiliki relasi penghayatan, pengrumahan, akan dunia yang dihidupi. Melalui ―pengemukaan‖, phusis, tergelarlah ―ranah terbuka‖ (Open) yang ditandai dengan ―strife‖ (Streit) antara ―dunia‖ (world) dan 32 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―bumi‖ (earth) (Heidegger dalam Krell, 1978: 35). ―Dunia‖ adalah relasi penghayatan dan pengrumahan manusia dalam dunia, sementara ―bumi‖ adalah segala bentangan alam yang diam (seperti batu, binatang dan tetumbuhan). Keduanya saling terkait dalam ―strife‖ antara ―clearing‖ dan ―concealing‖ yang pada akhirnya menyingkapkan kebenaran Ada. Yunani menyebut ―seni‖ sebagai techne. Namun, menurut Heidegger, techne memiliki arti yang lebih primordial ketimbang ―seni‖, yaitu, ―a bringing forth of beings in that it brings forth present beings as such beings out of concealedness and specifically into the unconcealedness of their appearance‖ (Heidegger dalam Krell, 1978: 59). Jadi techne tidak sekadar terkait dengan aktivitas pembuatan alias pengkonstruksian melainkan aktivitas pengejawantahan keluar dari ketersembunyian menuju ketaktersembunyian. Dalam strife antara ketersembunyian dan ketaktersembunyian muncullah ―kebenaran Ada‖ dalam ―ranah terbuka‖ (Heidegger mengatakan bahwa kebenaran tidak ada sebelum strife) (Heidegger dalam Krell, 1978: 61). Kehadiran kebenaran Ada dalam ranah terbuka ini, happening of truth ini, termanifestasikan dalam sejarah dalam berbagai cara. Heidegger menyimpulkan bahwa seni adalah ―the creative presencing of the truth in the work […] the becoming and the happening of truth‖ (Heidegger dalam Krell, 1978: 71). Seni lahir melalui strife sehingga memunculkan ―penghadiran yang kreatif‖ akan kebenaran Ada. Bahasa, bagi Heidegger, memiliki sifat selalu menghadirkan sesuatu, dengan kata lain, membawa sesuatu itu ke ―ranah terbuka‖; maka baginya ―dimana tak ada bahasa, di situpun tak ada keterbukaan‖ (Heidegger dalam Krell, 1978: 71). Karena karakter bahasa adalah menghadirkan ke ―ranah terbuka‖, maka bahasa selalu bersifat ―proyektif‖. Dalam dimensi proyektif inilah seni memuncak pada puisi (Heidegger dalam Krell, 1978: 74). Hakikat puisi adalah ―penemuan kebenaran‖ (founding of truth) yang memiliki tiga arti (bestowing, grounding, beginning) dan satu landasan umum (preserving). Dengan demikian, seni adalah suatu ―lompatan‖ (Sprung) dari ranah metafisika tradisional yang melupakan Ada menuju suatu ―permulaan baru‖ dari sejarah metafisika. Dalam kuliahnya di tahun 1938 yang bertajuk The Age of the World Picture, Heidegger telah meletakkan fondasi kritiknya atas teknologi (suatu tema
33 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
yang akan ia elaborasi panjang lebar pada periode akhir). Heidegger memaparkan lima ciri khas peradaban Modern: pertama, kepercayaan pada sains; kedua, dominasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari; ketiga, pandangan subjektivis (dan bukan ontologis) atas seni; keempat, kepercayaan pada kebudayaan sebagai puncak realisasi nilai-nilai kemanusiaan; kelima, fenomena ―de-tuhanisasi‖ (Entgötterung) yang justru muncul karena agama menjadi ―pandangan-dunia‖ (Weltanschauung) (Heidegger, 1977: 116-117). Hal ini menurut Heidegger bersumber pada kesalahan dalam memandang manusia sebagai pusat segala halikhwal yang pada gilirannya bersumber dari kesalah penerjemahan kosakata Yunani ke dalam Latin (Heidegger, 1977: 128). Hypokeimenon dalam bahasa Yunani berarti ―that-which-lies-before, which, as ground, gathers everything onto itself‖, dengan kata lain, ranah ―pertemuan‖ (gathering) dari segala elemen. Kata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi subiectum. Dari penerjemahan yang keliru ini, manusia lantas dipandang sebagai pusat yang mengkonstruksi segala realitas di sekitarnya. Dengan demikian, manusia menciptakan ―gambaran dunia‖ (Weltbild) yang memerangkap dan merepresentasikan dunia ke dalam skema tertentu (Heidegger, 1977: 129). Heidegger menulis: ―peristiwa fundamental dari zaman modern adalah penaklukan dunia sebagai gambar. Kata ―gambar‖ [Bild] sekarang berarti imaji yang terstruktur [Gebild] yang merupakan ciptaan manusia yang merepresentasikan [Vorstellen] dan menaruh-di-hadapan [Herstellen]‖ (Heidegger, 1977: 134) menempatkan manusia sebagai pusat konstruksi hal-ikhwal (humanisme).
2.2.3 Periode Akhir (1941—1976): Bahasa sebagai Rumah Ada Memasuki periode ini, Heidegger lebih banyak mengupas mengenai bahasa dan para filsuf Pra-Sokratik. Tentunya hal ini terkait dengan upaya melakukan ―permulaan baru‖ yang diperlukan dalam sejarah metafisika untuk merenungkan Ada secara lebih otentik. Karya awal yang mengarah pada analisa mengenai bahasa kiranya adalah kuliahnya di musim panas tahun 1942, yaitu Hölderlins Hymne ―Der Ister‖. Heidegger mengelusidasi sebuah puisi Hölderlin yang berjudul ―der Ister‖. Puisi itu bercerita mengenai perjalanan pulang menuju
34 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Rumah, menuju lokalitas. Perjalanan pulang menuju rumah ini mesti melalui keasingan (Heidegger, 1977: 49). Perjalanan pulang selalu mengandaikan bahwa pada awalnya manusia ―tak merumah‖ (unheimische) (Heidegger, 1977: 125). Bagi Heidegger, sejarah umat manusia merupakan sejarah ―ketak-berumahan‖ yang selalu diikuti dengan gerak pulang menuju Rumah. Gerak pulang ini hanya mungkin jika manusia menghayati ―pemikiran rekolektif‖ (Andenke (Heidegger, 1977: 115) sebagaimana para penyair. Pemikiran rekolektif (yang sebelumnya disebut sebagai ―pemikiran inseptual‖) inilah yang dimiliki, menurut Heidegger, oleh Hölderlin. Esensi dari ―penyair sebagai demigod‖ adalah ―posisi‖-nya yang berada di ―ranah antara‖ (the between) pada ―ranah terbuka‖ (the Open) antara para dewa dan manusia (Heidegger, 1977: 166). Dengan berpikir secara rekolektif, manusia terarah pada ―ranah
terbuka‖.
Keterarahan
inilah
yang
disebut
Heidegger
sebagai
―homecoming‖ menuju ―the nearness of the origin‖ yang adalah ―misteri‖. Itulah gerak menuju Rumah yang adalah Ada itu sendiri. Melalui pemikiran yang puitis itu manusia pertama-tama menyingkapkan adaan sebagai adaan yang membuka jalan bagi ketersingkapan Ada. Dengan bahasa manusia ―memperlihatkan‖ sesuatu namun sekaligus ―menyembunyikan‖ hakikat dari sesuatu itu dan melepaskannya dari kegelapan sama sekali. Oleh karena bahasa memiliki kemiripan dengan modus penyingkapan Ada (phusis; alētheia), maka Heidegger menyebut bahasa sebagai ―rumah Ada‖ tempat Ada terjaga dalam ketersembunyiannya dan menyingkapkan diri melalui bahasa (Heidegger dalam Krell, 1978: 213). Relasi yang otentik antara manusia dan bahasa dalam kaitannya dengan ketersingkapan Ada ini juga diuraikan sebagai modus ―pemikiran meditatif‖ (bensinnliches Denken) yang ia perlawankan dengan modus ―pemikiran kalkulatif‖ (rechnendes Denken). Distingsi ini terkait dengan kritik Heidegger atas teknologi modern. Baginya teknologi modern telah tercerabut dari makna hakiki dari teknologi itu sendiri. Technē dalam bahasa Yunani sesungguhnya memiliki arti yang sama dengan poiēsis, yaitu ―menghadirkan ke depan‖ (bringing-forth), dengan kata lain, technē adalah juga modus ―ketersingkapan‖ (alētheuein). Dimengerti dalam arti ini, teknologi sebenarnya merupakan salah satu modus
35 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
yang dapat membawa manusia dalam ketersingkapan Ada melalui penghadiran benda-benda di alam dalam relasi penghayatan otentik dengan manusia. Namun nyatanya teknologi malah menghadapi alam secara ―menantang‖ (Herausforden), dengan mengubah alam menjadi sekadar ―cadangan‖ (Bestand) yang siap sedia untuk keperluan pragmatis manusia. Pola pikir ―teknologis‖ ini bertumpu pada metafisika subjektivitas yang menghadapi dunia melalui ―pengerangkaan‖ (Gestell), yaitu mengkategorisasi segala hal dalam alam berdasarkan kepentingan manusia sendiri. Dengan kata lain, pola pikir teknologis bekerja dengan ―pemikiran kalkulatif‖ yang mengkotak-kotakkan dunia melalui kalkulasi logisrasional demi kepentingan subjek. Selama relasi manusia dengan dunia terwujud dalam pola demikian, bagi Heidegger, Ada tak akan tersingkap. Untuk itu diperlukan suatu modus baru dalam berrelasi dengan bahasa dan dunia, itulah ―pemikiran meditatif‖ (atau ―rekolektif‖ atau ―inseptual‖). Terdapat dua elemen penting yang mengkonstitusikan corak pemikiran jenis ini. Pertama ―kelepasan terhadap benda-benda‖ (Gelassenheit zu den Dingen) (Heidegger, 1967: 54), yaitu suatu modus berhubungan dengan teknologi secara rileks. Kedua ―keterbukaan akan misteri‖ (Offenheit für das Geheimnis), yaitu sikap yang terbuka akan sesuatu yang melampaui segala teknologi, segala mekanisasi, segala kalkulasi, dengan kata lain, keterbukaan atas yang tersembunyi (misteri) (Heidegger, 1967: 55). Hanya dengan cara demikian, menurut Heidegger, manusia dapat merumah secara otentik, yang disebutnya sebagai ―in-dwelling‖ (Inständigkeit) (Heidegger, 1967: 82), dalam dunia yang dihayati sehingga membuat manusia berdiri pada ―ranah terbuka‖ dimana segala hal di dunia ia hayati. Melalui semangat ini, manusia telah berdiri sebagai ―demigod‖ itu sendiri, sebagai yang berada di ―ranah
antara‖
(the
between),
dan
―menunggu‖
(warten)
Ada
yang
menyingkapkan dirinya (Heidegger, 1967: 75). Heidegger juga merefleksikan alētheia yang tersingkap melalui sejarah umat manusia. Baginya, ―sejarah‖ (die Geschicte) adalah ―pengiriman (das Geschicht) Ada‖ itu sendiri (Heidegger, 1998: 55). Heidegger menulis demikian, ―As something fateful, Being itself is inherently eschatological‖ (―Sebagai sesuatu yang menentukan, Ada sendiri adalah eskatologis inheren‖) (Heidegger, 1975: 18). Melalui pembacaannya atas konsep Moira dalam Parmenides, ia menyadari
36 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
bahwa Ada dapat mengirimkan dirinya dengan terlebih dahulu menyembunyikan dirinya (dalam kelupaan-akan-Ada alias kelupaan-akan-perbedaan-ontologis). Μοιρα, dengan demikian, adalah titik berangkat dari sejarah pengiriman Ada yang juga menyebabkan Ada tersebut tersembunyi terlebih dahulu (agar berbuah pada saat yang tepat). Modus semacam ini disebut pula oleh Heidegger sebagai ―epokhē Ada‖ (alias modus penyembunyian diri Ada dalam sejarah pengiriman Ada). Heidegger juga menyebut modus itu sebagai ―Ekspropriasi‖ (Enteignis: Ada keluar
dari
ketaktersembunyian
yang
merupakan
hakikatnya
menuju
ketersembunyian dalam kelupaan-akan-Ada) yang merupakan bagian dari ―Aproriasi‖ (Ereignis: modus ketersingkapan Ada) itu sendiri (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1972: 22-23). Lantas berlangsunglah ―eskatologi Ada‖ yang terwujud dengan tergelarnya sejarah umat manusia (sejarah peradaban) dengan berbagai pandangannya tentang realitas dan hakikatnya. Bagi Heidegger, sejarah eskatologis Ada ini akan mencapai suatu ―titik akhir‖ (eskhaton) yang terwujud dalam logos, sebagai ―gathering point‖ (legein: ―melandasi‖, ―mempertemukan‖), dimana Ada menyingkapkan dirinya (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1972: 18). Momen ketersingkapan Ada diupayakan mati-matian oleh Heidegger, melalui berbagai pertanyaan dan konsep-konsep baru yang lebih ―puitis‖ dan ―esoteris‖ hingga akhir. Namun, bagaimanapun juga, pada kuliahnya pada tahun 1962 ia tetap tak mampu menjawab pertanyaan awalnya: ―apa itu Ada?‖; dan ia menutup kuliah itu dengan menunjukkan kesulitannya yang disebabkan oleh batas bahasa yang coba ia retas dengan bahasa puitis namun masih saja tak dapat menyingkapkan kebenaran Ada. Ia berkata: ―To think Being without beings means: to think Being without regard to metaphysics. Yet a regard for metaphysics still prevails even in the intention to overcome metaphysics. Therefore, our task is to cease all overcoming, and leave metaphysics to itself. If overcoming remains necessary, it concerns that thinking that explicitly enters Appropriation in order to say It in term of It about It. […] The saying of Appropriation in the form of a lecture remains itself an obstacle of this kind. The lecture has spoken merely in propositional statements‖ (Heidegger, terj., Joan Stambaugh, 1972: 24).
37 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―Untuk memikirkan Ada tanpa adaan-adaan berarti: berpikir tentang Ada tanpa memperhatikan metafisika. Namun menghargai metafisika masih berlaku bahkan dalam niat untuk mengatasi metafisika. Oleh karena itu, tugas kita adalah untuk menghentikan seluruh hal itu, dan meninggalkan metafisika untuk dirinya sendiri. Jika mengatasi tetap diperlukan, kekhawatiran bahwa pemikiran yang secara eksplisit masuk Apropriasi untuk mengatakan Ada dalam term Ada tentang Ada. [...] Pemahaman tenang Apropriasi dalam bentuk pengajaran tetap mengingatkannya pada hambatan semacam itu. Pengajaran hanya berbicara dalam pernyataan yang proporsional.‖
2.3
Etika sebagai Metafisika Menurut Levinas
2.3.1
Fenomenologi Pemikiran Levinas sebenarnya berhutang juga pada pemikiran Husserl
mengenai fenomenologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki pemikiran Levinas, ada baiknya sedikit diketahui mengenai fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah laku filsafat yang radikal. Objek kajian fenomenologi adalah kesadaran manusia beserta semua objek yang ada di dalamnya. Berhadapan dengan kesadaran manusia itu fenomenologi berusaha untuk meminimalisir, bahkan menihilkan, peran dari hal-hal yang berada di luar manusia dan objek kesadarannya itu. Hal ini agar kesadaran dapat menampakan dirinya sebagaimana adanya ia. Metode fenomenologi ini diklaim oleh Edmund Husserl sendiri sebagai sebuah upaya untuk kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den Sachen seblst) (Tjaya, 2012: 25). Orientasi dari fenomenologi ini adalah perhatian terhadap kehidupan manusia yang tercermin terkhusus melalui kesadarannya. Fenomenologi berbeda dengan ilmu positivistik tidaklah bersifat objektif melainkan subjektif. Fenomenologi hadir sebagai jawaban atas dunia yang sangat positif melalui pandangan ilmu-ilmunya. Para pemikir awal fenomenologi melihat kehadiran positivisme sebagai sesuatu yang membawa manusia atau kehidupan pada hal-hal tanpa sensasi. Keunikan dari kehidupan menjadi terkalkulasi atau dipaksa untuk dikalkulasi dalam cara-cara kerja positivisme. Namun demikian oleh Husserl pada akhirnya filsafat mendapat tempatnya lagi dan filsafat yang sesungguhnya ini adalah fenomenologi. Fenomenologi dengan demikian mempelajari apa-apa yang
38 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tak sanggup dijawab oleh ilmu-ilmu sains modern yang pada masa itu sangat kental corak positivismenya. Apa yang menjadi perhatian utama dari fenomenologi sebagaimana tercermin dalam perhatian Husserl adalah segala sesuatu yang menampak dalam kesadaran manusia. Ada atau tidak adanya objek yang menampakan diri dalam kesadaran kita tidaklah menjadi masalah. Yang terpenting adalah apakah benar objek itu berada dalam kesadaran kita dan menjadi perhatian kita. Dari sini muncullah apa yang disebut sebagai ‗intensionalitas kesadaran‘ yakni kesadaran manusia selalu mengarah pada objek tertentu. Dengan demikian kesadaran manusia tidaklah bersifat kosong tetapi selalu terarah kepada objek tertentu (Tjaya, 2012: 26). Namun patut juga diingat di sini bahwa objek juga bukan berarti tidak memegang peranan. Justru pemikiran atau pikiran mampu menangkap objek karena objek melakukan keterarahan pada subjek. Di sini sebenarnya dilihat bagaimana fenomenologi hendak melihat segalanya sebagai fenomena. Memang ada sebuah kemungkinan atau kesan bahwa fenomenologi dengan demikian memberi tempat pada relativisme. Pada titik ini fenomenologi adalah juga fondasi dari postmodernisme. Hal yang terpenting berikutnya dalam fenomenologi adalah ‗intuisi‘. Intuisi ini berperan dalam menggambarkan fenomena secara utuh. Intuisi yang dimaksud di sini adalah pengalaman langsung terhadap objek yang jelas pada dirinya. Misalkan dalam matematika, intuisi itu terlihat pada persamaan ―2+3=5‖ dan kita tahu secara pasti bahwa hal itu benar. Istilah intuisi dalam fenomenologi tidaklah mengandung makna yang misterius atau bersifat pribadi, melainkan hanya menunjukkan bahwa objek kesadaran kita kini sungguh-sungguh terjadi atau berada di hadapan kita (Tjaya, 2012: 30). Dengan demikian apa yang disebut sebagia pengalaman pun menjadi penting dalam fenomenologi. Pengalaman ini nantinya yang akan mengkonstitusikan sebuah pemahaman tertentu. Bahkan sebuah pemahaman tertentu bisa jadi muncul karena adanya kumpulan dari pengalaman-pengalaman. Ketelanjangan objek yang datang begitu saja pada pikiran atau sang subjek belum tentu menghasilkan sesuatu tanpa adanya sebuah pengalaman sebelumnya. Pada titik ini unsur waktu menjadi penting juga di dalam fenomenologi.
39 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Selain kedua hal itu, perlu dikenal apa yang disebut dengan ‗ego empiris‘ dan ‗ego transendental‘ dalam fenomenologi Husserl. Ego empiris adalah aku atau ego yang merupakan bagian dari dunia ini. Sedangkan ego transendental adalah bagian diri yang melampaui dunia atau dengan kata lain bagian diri yang punya kemampuan untuk merefleksikan dunia ini. Jadi dengan bahasa yang lebih sederhana, ego transendental adalah bagian transenden dari diri.
2.3.2 Pemikiran Levinas Levinas, sebagaimana beberapa pemikir sezamannya kala itu seperti Martin Buber dan Gabriel Marcel berbicara tentang intersubjektivitas yakni hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Levinas sendiri memulai pemikirannya mengenai intersubjektivitas melalui kritikannya atas intersubjektivitas yang bertumpu pada egologia. Egologia bisa dikatakan muncul bersamaan dengan munculnya antroposentrisme dalam pemikiran atau filsafat barat. Dengan demikian egologia adalah juga anak sah modernisme. Modernisme yang muncul dengan pemisahan antara sesuatu yang bersifat ilahia dalam kehidupan sosial itu memberi juga tempat bagi manusia sebagai pusat segala sesuatu atau individu yang menjadi penting pada dirinya bukan pada hal yang lain. Filsafat barat sejak zaman Descartes bertumpu pada ego manusia dan melihat objek atau apa yang ada di luar manusia sebagai sesuatu yang kurang penting atau kurang mendapat perhatian. Dalam perjalanannya, secara empiris, sejarah Eropa justru menunjukan bahwa filsafat yang bertumpu pada Egologi ini justru membawa malapetaka. Filsafat yang, menurut Levinas, melupakan yang lain ini justru membawa malapetaka. Namun tentu saja Levinas tidak terlepas sepenuhnya dari sejarah filsafat barat sebelumnya. Ia berutang, untuk menyebutkan beberapa, pada pemikiran Descartes, Kant, dan juga Husserl. Dari Descartes, Levinas menemukan pentingnya gagasan ketakberhinggan sebagai hasrat. Dalam Meditasi III-nya, Descartes menemukan bahwa kesadaran manusia mampu digerakan menuju sesuatu yang tak berhingga. Penemuan Descartes ini bagi Levinas menjadi sebuah petunjuk mengenai suatu gagasan yang tak dapat direduksi ke dalam apa pun atau oleh apapun bahkan oleh kesadaran
40 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
sebagai tempat di mana kesadaran itu muncul (Levinas, 1996: 11). Ketakberhinggaan yang mungkin didapatkan manusia ini menurut Descartes dimungkinkan oleh adanya Tuhan sebagai gagasan bawaan. Di sini, bagi Levinas, ada sebuah lompatan yang dilakukan oleh Descartes. Jika bagi Descartes, Tuhan adalah sebuah ide bawaan (innate idea), bagi Levinas Tuhan hadir sebagai konsekuensi dari perjumpaan dengan manusia lain. Atau dengan kata lain, Tuhan disadari manusia tidak begitu saja melainkan ia teraktualisasi ketika adanya perjumpaan dengan yang lain. Pertemuan dengan manusia lain atau yang lain inilah yang memungkinkan munculnya gagasan akan yang tak terhingga. Namun, subjek tidaklah melahirkan gagasan tak berhingga ini. Sebaliknya, gagasan tak berhingga inilah yang melahirkan subjek. Gagasan tentang yang tak berhingga ini adalah hasrat metafisika. Hasrat metafisika ini dibangkitkan oleh wajah yang ditemukan dalam interaksi dengan yang lain. Hasrat metafisika tidak seperti yang digambarkan Descartes, berada di dalam diri manusia. Melalui Yang Lain seseorang dibebaskan dari tuntutan kebutuhankebutuhan—bebas untuk mengikuti Yang Lain; kepada yang lain itu dia diajak oleh hasrat metafisik. Dalam hal ini hasrat metafisik dapat dibaca sebagai kebangkitan subjek dari tidur dalam aktualitas ontologis ke dalam kehidupan nyata potensialitas etis. Dengan demikian yang transenden dimunculkan dalam hasrat metafisik bukan hanya mengangkat diri menuju yang lain, tetapi merupakan pengangkatan diri pada level kedirian selanjutnya, sebuah level yang sebelumnya tidak tersedia bagi subjek, dan meski demikian sebuah level yang secara primordial ditanamkan ke dalam subjek melalui Yang Baik (Dalton, 2009: 41-42). Hasrat metafisik ini berbeda dengan hasrat yang dapat terpenuhi. Hasrat metafisik seumpama sebuah kerinduan pada sesuatu yang sama sekali lain. Hasrat metafisika adalah hasrat yang mengenali apa yang dihasratinya sebagai sesuatu yang tak terhingga. Kita akan memisahkan diri dari gagasan Cartesianisme tersebut dalam rangka menegaskan bahwa pergerakan jiwa yang lebih sadar dari kesadaran itu sendiri dapat memiliki struktur yang berbeda dari kontemplasi.
41 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Ketakberhinggaan bukanlah objek dari sebuah kontemplasi, ketakberhinggaan tak sebanding dengan pikiran yang memikirkannya. Gagasan ketakberhinggaan adalah sebuah pikiran yang setiap saat berpikir melebihi apa yang dipikirkan pikiran tersebut. Sebuah pikiran yang lebih dari apa yang dipikirkannya adalah hasrat. Hasrat mengukur ketakberhinggaan yang berhingga. Istilah yang telah dipilih untuk menandai daya dorong, tekanan, merupakan gerak yang melampaui yang akan dibedakan dari kehangatan cinta mau pun segala kekurangan dari kebutuhan. Jauh melampaui kelaparan dan kehausan yang dapat dipuaskan, melampaui segala rasa yang dapat ditenangkan, adanya yang lain, yang sungguh-sungguh lain, dihasrati melampaui segala jenis kepuasan, saat tubuh mengetahui tak satu gerakan pun dapat memuasi hasrat itu, di mana tak terpikirkan lagi menemukan sentuhan-sentuhan baru. Hasrat ini tak terpuaskan, bukan karena ia memenuhi panggilan sejenis kelaparan yang tak berhingga, tapi justru karena ia bukanlah keinginan terhadap makanan. Hasrat yang tak terpuaskan ini kemudian memperhatikan keberlainan dari yang lain. Situasi ini menempatkan pada dimensi ketinggian dan yang ideal yang membukakan diri di dalam ada. Yang lain ini oleh Levinas sendiri dibedakan dengan Yang Lain. Hasrat tersebut dengan demikian bukanlah sebuah kehendak baik dari manusia sendiri atau sebuah pertimbangan pemikiran manusia. Yang Baik ini mengada melalui perjumpaan dengan wajah yang lain sebagai perintah untuk tidak membunuh, menjadi pelayan bagi yang lain, dan juga bertanggung jawab. Tubuh menjadi penting dalam hubungan antara aku dan yang lain. Tubuh memungkinkan hubungan antara yang lain dengan aku. Levinas lantas menunjukan petanda dari kemauan atau kehendak untuk ke luar dari egologi manusia yakni bahasa. Bahasa menurutnya merupakan
petanda akan
ketidakmungkinan penguasaan aku atas yang lain. Bahasa adalah kontak antara aku dengan yang lain. Ucapan mendekati yang lain dengan menerobos neoma yang terlihat dalam intensionalitas, membalikkan bagian dalam ke luar, ―seperti sebuah mantel‖, kesadaran di mana, dengan sendirinya akan tetap ada untuk dirinya bahkan di dalam tujuan-tujuan intensionalitas. Intensionalitas tetap sebuah
42 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
aspirasi untuk dipenuhi dan pemenuhan, pergerakan sentripetal kesadaran bahwa bersesuaian dengan dirinya, memulihkan dan menemukan kembali dirinya tanpa menua,
beristirahat
dalam
kepastian
diri,
mengkonfirmasi
diri
sendiri
menggandakan dirinya, mengkonsolidasi dirinya, memadat menjadi sebuah substansi... Subjek dari ucapan tidak memberikan tanda-tanda, ia menjadi sebuah tanda, berubah menjadi sebuah kesetiaan (Levinas, 1981: 47). Bahasa menegaskan gerakan subjek dalam kerangka intensionalitas. Melalui bahasa, subjek menunjukan dimensi etisnya. Bahasa adalah pengakuan subjek atas ketergantungannya pada yang lain. Bahasa bagi Levinas bukan sekadar rumah bagi ada. Bahasa lebih dari itu adalah penanda atau bukti adabersama-dan-untuk-yang-lain. Subjek selalu ditarik ke luar oleh yang lain. Unsur hasrat terhadap yang sama sekali lain ini menunjukan juga bagian dari transendensi manusia. Dan di dalam transendensi manusia itu manusia selalu berhubungan dengan yang lain. Transendensi manusia bukan untuk manusia itu sendiri melainkan unsur di mana manusia menjawab panggilan dari yang lain. Di dalam perjumpaan dengan yang lain ini, manusia bertemu dengan Yang Baik. Yang Baik adalah nama lain dari Yang Lain yang perjumpaan dengannya dimungkinkan oleh perjumpaan manusia dengan yang lain. Tanpa perjumpaan dengan yang lain, niscaya manusia tak akan bertemu dengan Yang Baik. Yang Lain yang memprovokasi pergerakan etis dalam kesadaran tersebut dan yang mengganggu. Oleh karena surplus yang tak dapat diserap tersebut, hubungan yang mengikat Aku kepada yang lain disebut sebagai gagasan tentang yang tak berhingga. Gagasan tentang yang tak berhingga bukan merupakan suatu intensionalitas
yang
menempatkan
yang
tak
berhingga
sebagai
objek.
Intensionalitas adalah suatu pergerakan dari pikiran yang menyesuaikan diri dengan pengada. Intensionalitas mengarahkan tujuan dan bergerak melalui sebuah tema. Di dalam tema, ada menyesuaikan dirinya sendiri dengan nyaman. Ada di dalam yang dapat ditematisasi par excellence; yang dapat ditawarkan, ditempatkan (thetic). Tetapi intensionalitas, yang berperan membuka pikiran terhadap tema, tidaklah memenuhi tema tersebut. Tidak berisi pikiran yang melebihi apa yang dipikirkannya itu. Noema persis tergambarkan dalam noesis. Gagasan tentang
43 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
yang tak berhingga membuat justru sebuah pikiran yang secara paradoksal memikirkan sesuatu apa yang melebihi apa yang dipikirkannya tersebut dengan tetap mempertahankannya dalam hubungan yang jauh melampaui pikiran (Levinas, 1981: 65) . Keberlainan dalam pengertian ini bukanlah sebuah katagori yang dilakukan oleh nalar atau pemikiran. Keberlainan datang dengan sendirinya. Ia datang sebagai sesuatu yang tak terpikirkan atau tak tertampungkan oleh nalar manusia itu sendiri. Maka di sini kentaralah perbedaan Levinas dan Descartes. Jika bagi Descartes keberlainan itu adalah sesuatu data atau fakultas kesadaran manusia, bagi Levinas keberlainan itu merupakan sebuah peristiwa yang memungkinkan kesadaran memasuki sebuah fase yang baru. Keberlainan bukanlah mengenai keterarahan subjek terhadap yang tak berhingga, melainkan keberlainanlah yang melahirkan kesadaran mengenai yang tak berhingga.
2.4 Rangkuman Konsep Heidegger dan Levinas sedikit banyak sudah dibahas di bagian ini. Dapat disimpulkan bahwa Levinas berusaha untuk melengkapi dan merefisi pemikiran Heidegger. Bagi Heidegger manusialah yang utama dan keutamaan manusia itu terletak pada keunikannya di bandingkan dengan makhluk lain bahkan dibandingkan dengan manusia lain. Jadi di sini manusia sebagai Da Sein justru memiliki posisi yang sentral dalam kehidupan dan juga semesta. Bagi Heidegger hanya manusialah, Dasein, yang bisa menyadari keberadaannya sebagai berada di tengah Ada. Meski pun pada akhirnya Heidegger melihat bahwa manusia berada pada posisi di mana tak bisa membahasakan Ada, ia tetap pada posisi bahwa manusia merupakan entitas yang unik di depan semesta. Beralih pada Levinas, justru posisi Heidegger memandang manusia dan alam semesta inilah yang dikritiknya. Bagi Levinas justru manusia harusnya memandang alam semesta sebagai bagian yang memungkinkannya Ada. Levinas menolak membedakan alam sebagai instrumen. Menurut Levinas, Heidegger terlalu menganggap penting ontologi. Segala hal dilihatnya tidak penting dan yang paling penting adalah ontologi. Pertanyaan Levinas adalah apakah memang ontologi sepenting itu? Karena menurut Levinas, tidak semua hal bisa dipahami
44 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dalam horison Ada. Menurut Levinas, setidaknya ada satu fenomena yang lepas atau tidak bisa terpahami dalam horison Ada. Fenomena itu adalah wajah yang lain. Karena wajah yang lain ini berelasi dengan eksistensi dan tidak bisa dipahami dalam pemahaman tentang ontologi. Hubungan dengan wajah yang lain ini lebih lanjut menurut Levinas tidak bisa dipahami melalui pemahaman tetapi melalui panggilan. Essensi dari wajah yang lain adalah doa. Di dalam pemikiran Heidegger sebenarnya ada juga hubungan dengan manusia yang lain. Tetapi hubungan manusia dengan manusia yang lain ini selalu berada di bawah horison ada. Manusia yang lain menurut Heidegger haruslah dipahami dalam horison pemahaman akan Ada. Hal inilah yang menjadi keberatan Levinas. Karena menurut Levinas dasar dari relasi dengan orang lain ditemukan tidak dalam representasi melainkan dalam panggilan. Yang lain secara utama adalah seseorang yang mana saya bicara dengannya dan seseorang yang memanggil saya. Relasi dengan yang lain tidak dikarakterisasikan dengan melihat melainkan dengan berbicara dan mendengarkan. Namun demikian, ada hal yang positif. Menurut Levinas, melalui Heideggerlah verba to be menjadi sesuatu yang penting kembali. Dengan Heidegger, pembedaan antara Being dan beings yang dilupakan selama ini dalam filsafat barat kembali mengemuka. Being sebagai sesuatu yang menampak di dalam beings juga menurut Levinas adalah sebuah hal penting yang diintrodusir oleh Heidegger. Meskipun demikian, Being tetap berbeda dengan beings. Ini disebut Heidegger sebagai ontologi fundamental. Berikut ini akan dicoba memaparkan dalam sebuah bagan, perbandingan pemikiran Levinas, Heidegger, Singer, Naess dan Skolimowski.
45 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Tabel Pemikiran Singer, Naess, dan Skolimowski serta Keterkaitannya dengan Pemahaman Teori
Topik
Peter Singer
Manusia
Makhluk Komunal
Etika
Etika Utilitarianisme Utilitarianisme & Pragmatis Perluasan Moral
Aliran
Posisi Makhluk di Luar Manusia Aksi Praktis
Emanuel Levinas
Martin Heidegger
Henryk Skolimowski
Manusia sebagai Manusia sebagai Dasein Makhluk Individu makhluk ethis Etika sebagai Ontologi Etika sebagai being Etika Deontologi
Makhluk Spiritual
Fenomenologi Etis
Teleologi & Fenomenologi Eco-philosophy
Fenomenologi Eksistensial
Kebebasan Pemicu Etika; Ontologi; Being Binatang (sentient Yang Lain sebagai being) Etika Vegetarian
Arne Naess
-
-
Fenomenologi & Eksistensialis Ecology T/ Deep Ecology Antropik (penghormatan pada semua bagian semesta) Penghormatan pada alam semesta
Etika Kosmologis
tak ber-roh
Melalui spiritualitas menghormati alam semesta
46 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 3 FILSAFAT VEGETARIANISME DAN ETIKA LINGKUNGAN PETER SINGER
3.1 Biografi Peter Singer Sebelum lebih lanjut membicarakan pemikiran Peter Singer terkhusus pada masalah etika dan Animal Liberation, pertama-tama akan dipaparkan Peter Singer secaea historis. Oleh karena itu, pada bagian awal ini akan dipaparkan riwayat dari Peter Singer. Singer lahir di Melbourne, Australia pada 6 Juli 1946 di Australia dari orang tua keturunan Yahudi Austria. Nama lengkapnya Peter Albert David Singer. Pada 1938, orang tuanya meninggalkan Austria dan bermigrasi ke Australia. Hal ini disebabkan pula oleh perpolitikan di Eropa yang diwarnai Anti Zionisme dari Jerman di bawah politik Hitler. Mereka tinggal di Melbourne, kota di mana Singer lahir. Anti Zionisme Nazi ini memakan korban juga dari kalangan keluarga Singer. Kakek dan nenek dari garis ayahnya hilang dan tak terdengar kabarnya. Begitu pula kakek dari garis ibunya meninggal di salah satu kamp konsentrasi Nazi. Keluarga Singer di Australia termasuk cukup beruntung. Ayahnya adalah seorang importer teh dan kopi yang cukup sukses sedangkan ibunya bekerja di bidang obat-obatan. Singer mempunyai seorang saudari bernama Joan Dwyer. Setelah menyelesaikan sekolah menengah atasnya, Singer belajar hukum, sejarah dan filsafat di Universitas Melbourne dan lulus pada 1967. Selanjutnya, pada 1969 ia mendapatkan gelar Master dengan tesis berjudul Why should I be Moral? Ia mendapatkan gelar Bachelor of Philosophy-nya dari Universitas Oxford dengan thesis mengenai ketidaktaatan sipil di bawah supervisor R.M. Hare. Hare sendiri menurut Peter Singer adalah pemikir yang cukup mempengaruhi pemikirannya dan juga bersama filsuf Australia H. D. McCloskey dikatakan Singer sebagai dua mentornya yang paling berarti. Setelah itu, ia mengajar tentang John Radcliffe di Oxford selama dua tahun dan enam belas bulan berikutnya ia menjadi dosen tamu di Universitas New York. Tahun 1977 ia kembali ke kota kelahirannya Melbourne. Namun demikian, ia juga sering ke luar negeri sebagai dosen tamu
47 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
pada banyak universitas di luar Australia. Pada 1999 ia pindah ke Princeton dan menjadi professor Bioetik di Universitas Princeton. Selain itu, ia juga professor pada Centre for Applied Philosophy and Public Ethics pada Universitas Melbourne. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua Program Filsafat di Monash University. Di sana ia mendirikan Centre of Human Bioethics. Ia juga terlihat dalam politik praktis di Australia di mana pada 1996 ia mencalonkan diri sebagai Senat dari Partai Hijau Australia namun ia gagal. Pada 2004, ia terpilih sebagai Australian Humanist of the Year oleh dewan dari Australian Humanist Societies. Peter Singer pertama-tama lebih dikenal sebagai nabi gerakan Animal Liberation. Yang menghantarnya dipandang demikian adalah bukunya yang lantaran menjadi ‗kitab suci‘ untuk gerakan itu, Animal Liberation: A New Ethics for our Treatment of Animals (terbit pertama kali 1975). Selain buku tersebut, buku penting lain dari Peter Singer adalah Practical Ethic (terbit pertama kali 1979). Setelah itu, bukunya yang bertarik 1981 berjudul The Expanding Circle: Ethics and Sociobiology juga termasuk sebuah buku yang brilliant dan menjadi rujukan serta perbincangan kalangan filsafat khususnya yang memfokuskan pada persoalan etika. Tentu saja sebagai seorang pemikir, Singer tidak hanya berkutat pada sebuah problema saja. Ia juga berkutat dalam masalah filsafat politik. Beberapa karyanya dalam filsafat politik misalnya adalah A Darwinian Left di mana dalam buku tersebut Singer berusaha untuk menemukan idea tentang kesosialan yang lebih baik (Hyun: 2002, 36). Selain itu ia juga mempelajari dan menulis sebuah buku kecil tentang Marx. Etika sebagai sebuah disiplin filsafat yang dominan, berpadu dengan filsafat politik dan juga kedekatan Singer dengan pemikiran Marx dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari zaman ketika Singer tengah belajar dan mendalami fondasi filsafatnya. Pada era 1960-an, masa di mana Singer tengah di bangku kuliah, dunia sedang ramai oleh gerakan New Left. Mahasiswa menentang pemerintahan, perang Vietnam, atau secara keseluruhan Kapitalisme. Inilah zaman ketika hamper di seluruh kota besar di dunia mahasiswa tergila-gila dan mendalami Marxisme dengan nabi dalam ranah filsafat waktu itu adalah seorang
48 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
pentolan Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse.15 Peter Singer sampai saat ini masih hidup, aktif mengajar dan masih berkutat dalam filsafat.
3.2 Etika dalam Pemikiran Singer 3.2.1 Mencari Pendasaran Kemungkinan Etika Dalam sebuah buku pengantar tentang Peter Singer, dikatakan bahwa proyek filsafatnya dalam hal etika—yang juga menjadi konsern utamanya dalam filsafat—dimulai dengan usaha Singer untuk mencari sejauh mana etika itu mungkin (Hocshmann, 2002: 2). Etika dalam ranah filsafat kerap dianggap sebagai disiplin filsafat di ranah praktis. Artinya, ia berisi tentang bagaimana manusia hidup, bagaimana manusia berpraktis—bisa dikatakan mempraktikan filsafat moral—dalam kehidupannya. Etika dengan demikian, sebagai sebuah ilmu, adalah semacam mempelajari tools untuk melakukan atau bertindak; dalam kondisi seperti ini kita bertindak demikian, tentu saja dengan pendasaran filsafat (moral) tertentu. Ia tidak ‗sespekulatif‘ metafisika-ontologi, misalnya. Maka dalam etika sendiri lantas dikenal adanya ‗etika situasi‘, ‗etika budaya‘, ‗etika agama‘. Etika dengan demikian, secara umum, punya landasan-landasan moral dan cara pandang yang berbeda-beda. Ada yang melalui religiositas, ada yang memilih mendengarkan keputusan ‗suara hati‘, ada pula yang berdasarkan sebuah kesepakatan pada kelompok masyarakat tertentu. Singer mencoba mencari pendasaran etika yang baru. Apa yang dilakukannya adalah menelisik state of nature manusia. Seperti apa manusia pada keadaan yang paling alamaiahnya. Hal ini diakui pula oleh Michael P.T. Leahy dalam bukunya Against Liberation: Putting Animals in Perspectives (1994). Demikian Leahy menulis tentang Singer, ―Singer begins from basic considerations about the nature of ethical thinking. As he puts it, ‗Ethics takes a universal point of view‘ (1979: 11). He derives from this a twofold theory of what an ethical judgement should encompass.‖ (Leahy, 2004: 24). 15
Hubungan dari hal-hal ini dengan awal mula karier filsafat Peter Singer, baca selengkapnya tulisan Dale Jamieson, Singer and the Practical Ethics Movement, dalam Dale Jamieson (ed), Singer and His Critics, (Oxford: Blackwell Publishers Ltd), 2000.
49 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―Singer mulai dari pertimbangan dasar tentang sifat pemikiran etis. Seperti yang ia katakan, 'Etika mengambil titik pandang yang universal' (1979: 11). Ia mengasalkannya teori itu pada penilain etika yang harus tercakupkan.‖ Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Singer mencoba untuk keluar dari pendasaran etika yang partikular; ia ingin mencari sebuah pendasaran yang universal untuk masalah etika ini. Oleh karena itu, Singer mencoba mencari pendasaran etika dalam keadaan alamiah manusia. Di sana, dalam state of nature manusia itu, apakah ada kemungkinan untuk munculnya etika. Demikian Singer dalam The Expanding Circle, sebagaimana dikutip Hochsmann, ―…Recognizing that we cannot do without standards of right and wrong is one thing; understanding the nature and origin of these standard is another‖ (Memahami bahwa kita tidak bisa melakukan tanpa standar dari yang benar dan salah adalah hal lain; mengerti kealamiahan dan asal dari standar itu adalah hal lainnya) (Singer, 1981: ix). Masih dari buku yang sama, Singer menulis, ―Ethics is inescapable. Even if in grim adherence to some skeptical philosophy we deliberately avoid all moral language, we will find it impossible to prevent ourselves inwardly classifying action as right or wrong‖ (Singer, 1981: ix). ―Etika tidak dapat dihindari. Bahkan jika kepatuhan yang suram untuk beberapa filsafat skeptis kita sengaja menghindari semua bahasa moral, kita akan merasa tidak mungkin untuk mencegah diri kita dalam hati mengklasifikasikan tindakan sebagai benar atau salah.‖ Oleh karena etika yang punya banyak landasan dan filsafat yang paling mendasarinya adalah moral, maka filsafat modernisme hingga sekarang mempertanyakan moral, etika pun kehilangan pegangannya. Ini alasan pertama etika kehilangan tajinya di zaman ini. Alasan kedua adalah oleh karena sifatnya yang bisa berdasarkan pada beberapa hal itu maka etika tidak punya satu pendasaran yang pasti. Dalam bahasa Heideggerian maka bisa dikatakan etika ada pada ranah adaan-adaan dan bukan pada ranah Ada itu. Dengan demikian, etika bukanlah sesuatu yang fundamental sifatnya. Alasan ketiga dapat dilihat pada soal
50 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
bagaimana agama dan moralitas bertempat dalam perkembangan epistemologi. Epistemologi pasca Perang Dunia II adalah epistemologi yang lebih berpihak pada ilmu-ilmu empiris. Maka etika yang memang berada pada penerapan empirik tetapi sebagai ilmu tidak punya pendasaran empirik, dipandang sebelah mata. Inilah panorama ilmu etika ketika Singer mulai mengkhususkan pemikirannya pada etika. Dale Jamieson lebih jauh mengatakan bahwa Singer memulai filsafat etika dan moralnya ketika dunia filsafat tengah masuk ke sebuah periode yang baru. Filsafat politik dan filsafat moral sudah merupakan topik yang dianggap usang dan tak bisa lagi dipertahankan (Jamieson (ed), 2000: 2) Usaha masuk pada soal state of nature manusia dengan demikian bisa dipandang sebagai sebuah usaha untuk mencari pendasaran dari etika itu sendiri. Jika state of nature manusia tidak memberi tempat pada etika, maka etika tentu hanyalah sebuah bagian dari seruan moral semata. Padahal, menurut Singer sendiri, menghadapi keadaan dunia seperti sekarang dan dengan segala kompleksitasnya, etika penting. Etika yang berlandaskan pada seruan moral sudah sangat ketinggalan jaman dan tidak beralasan (Hochsmann, 2002: 2). Maka, kalau state of nature manusia memberi kemungkinan adanya etika berarti etika itu adalah kebutuhan manusia secara alamiah. Oleh karenannya dia harus selalu ada dan konsekuensi-konsekuensinya harus diterima. Pembuktian etika ada dalam state of nature manusia memungkinkan etika untuk menjadi sebuah disiplin yang harus ada sebagai konsekuensi dari adanya manusia itu sendiri. Hochsmann menggambarkan dua jenis state of nature dari dua pemikir berbeda dalam pembedaan dengan state of nature dalam pemikiran Singer. Hal ini berdasarkan pada apa yang dilakukan Singer dalam bukunya The Expanding Circle. Thomas Hobbes dalam rangka berbicara mengenai Negara memulai pula pencariannya melalui penjelasan seputar state of nature manusia. State of nature manusia menurut Hobbes adalah sifat buruknya. Inilah yang mendasari frase terkenal Hobbes Homo Homini Lupus. Selanjutnya, menurut Hobbes, karena state of nature manusia itu pada dasarnya adalah jahat, saling menghancurkan dengan manusia yang lain maka negara diciptakan untuk menertibkan state of nature ini. Berbeda dengan Hobbes, Rousseau melihat state of nature manusia sebagai makhluk sosial yang di dalam kesosialannya menuju pada sesuatu yang
51 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
baik sebagai benteng terhadap serangan dari luar atas dirinya yang lemah. Kesosialan manusia ini adalah kebutuhan manusia untuk melindungi dirinya yang lemah dalam kehidupan. Lebih lanjut, bagi Rousseau, manusia rasionallah yang mulai hidup berkelompok untuk mempertahankan diri mereka ini. State of nature manusia dalam hal ini adalah usaha mencari kebaikan bersama demi keselamatan bersama. Dengan demikian, Negara bagi Rousseau adalah perlindungan terhadap state of nature yang demikian dari kepentingan individu yang dekonstruktif sifatnya terhadap kepentingan public yang berdasarkan state of nature manusia ini. Demikian, dua contoh pencarian state of nature manusia yang dilakukan oleh dua pemikir sebelum Singer. Singer kemudian membuat kesimpulan yang didasarkan pada penemuan dalam ranah paleantropologi. Hochsmann menulis demikian tentang hal tersebut, ―Singer challenges the thesis that ethics is not a part of human nature but must be imposed by external rules and that civil societies result from individuals entering a formal contract. As Singer point out, paleoanthropology has uncovered fossils which indicate that five million years ago our ancestors, that half-human, half-ape creatures known as Australopithecus africanus, lives in groups‖ (Hocshmann, 2002 : 1—2). ―Singer menantang tesis bahwa etika bukan merupakan bagian dari sifat manusia tetapi harus dikenakan oleh aturan eksternal dan bahwa masyarakat madani merupakan hasil dari individu yang memasuki kontrak formal. Singer menunjukkan, fosil paleoantropologi ‗hasuncovered‘ yang menunjukkan bahwa lima juta tahun yang lalu nenek moyang kita, yang setengah manusia, makhluk setengah-kera yang dikenal sebagai Australopithecus africanus, hidup dalam kelompok.‖ Dari kutipan di atas, terlihat bahwa bagi Singer etika itu sudah ada pada intuisi kehidupan manusia awal. Bahkan hal ini bisa ditarik pada fase hidup manusia yang masih menyerupai binatang. Singer mendasari pemikirannya pada penemuan di bidang paleoantropologi bahwa nenek moyang manusia hidup secara kelompok. Di sini terlihat bagaimana state of nature manusia yang individual Hobbes digabungkan Singer dengan soal kesosialan yang menjadi landasan Rousseau. Hal ini diperkuat oleh penemuan paleantropologi tentang nenek moyang manusia yang hidup berkelompok. Namun demikian, jika bagi Rousseau
52 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
berkumpul dalam kelompok adalah sesuatu yang dimungkinkan oleh rasionalitas manusia, bagi Singer tidak. Baginya, manusia hidup berkumpul, dengan demikian di sana ada etika, dimulai dan ada jauh lebih awal dan bisa dilihat pada periode ketika manusia hidup dalam fase seperti binatang. Dengan demikian etika tidak berlandaskan pada rasionalitas melainkan intuisi yang menurut Singer dekat dengan masalah reciprocity (ketersalingan). Ketersalingan ini erat kaitannya dengan altruisme yang akan dibahas pada bagian berikut. Singer melanjutkan analisanya dengan mengatakan bahwa manusia sudah mulai beretika bukan dalam kapasitasnya ketika ia sudah memiliki ‗kesadaran‘. Karena etika muncul ketika manusia sudah mulai hidup bersosial di dalam kelompok seperti yang ditunjukan oleh Australopithecus africanus di atas. Singer menulis demikian dalam The Expanding Circle (sebagaiamana dikutip dalam Hocshmann, 2002 : 2), ―…ethics probably began in these pre-human patterns of behavior rather than in the deliberate choices of fully fledged, rational human beings.‖ Etika dimulai dalam pola kehidupan dari nenek moyang manusia (prehuman beings) bukan dalam kehidupan manusia yang sudah mampu memilih ini dan itu. Artinya etika sudah ada atau etika sudah merupakan cara hidup itu sendiri. Apa konsekuensinya bagi etika di kehidupan sekarang? Jika demikian, apa yang mesti dipandang dari etika itu untuk kehidupan sekarang? Dalam hal ini pemikiran Singer terkait Revolusi Copernican (A Copernican Revolution) penting untuk dipahami.
3.2.2 Sudut Pandang Baru Etika: A Copernican Revolution Etika haruslah praktis (Hochsman, 2002: 3), demikian Singer berujar. Kalimat yang disampaikan Singer ini tentu saja sudah dipahami secara umum dalam disiplin etika. Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bahwa disiplin etika di dalam filsafat dianggap sebagai filsafat dengan sifatnya yang praktis. Etika adalah tools, demikian kira-kira. Jika demikian, apa yang baru dari etika dalam pemikiran Peter Singer? Kenapa ia menyebut etikanya sebagai sebuah
53 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Revolusi Copernican16? Sebuah klaim besar yang tentu harus dengan pertanggung jawaban yang besar pula. Dalam sebuah bukunya Writing on an Ethical Life Singer menempatkan empat poin penting di mana menjadi pegangan dalam kontribusinya dalam hal animal liberation, kemiskinan, dll. 1. Pain is bad, and similar amounts of pain are equally bad, no matter whose pain it might be. Conversely, pleasure and happiness are good, no matter whose pleasure or happiness they might be, although doing things in order to gain pleasure or happiness may be wrong, for example, if doing so harms others. 2. Humans are not the only beings capable of feeling pain, or of suffering. Most nonhuman animals … can feel pain. 3. When we consider how serious it is to take a life, we should look, not at the race, sex, or species to which that being belongs, but at the characteristics of the individual being killed, for example, its own desires about continuing to live, or the kind of life it is capable of leading. 4. We are responsible not only for what we do, but also what we could have prevented. We should consider the consequences both of what we do, and of what we decide not to do. 1. Rasa sakit itu buruk, dan jumlah yang sama rasa sakit samasama buruknya, tidak peduli sesakit apa bisa terjadi. Sebaliknya, kesenangan dan kebahagiaan yang baik, tidak peduli kesenangan atau kebahagiaan mereka yang mungkin, meskipun melakukan hal-hal untuk mendapatkan kesenangan atau kebahagiaan mungkin salah, misalnya, jika hal itu merugikan orang lain.
16
Rasanya perlu pula memahami frase Revolusi Kopernikan ini secara umum dalam filsafat, bukan dalam pemahaman Singer. Berikut adalah salah satu penjelasan tentang Copernican Revolution tersebut. ―Metaphysics, epistemology In opposition to the traditional geocentric, Ptolemaic framework for explaining the appearance of planetary motion, Nicolaus Copernicus established a new mode of thought that claims that the earth is in motion and that the sun is immovable at the center of the planetary system. This hypothesis was confirmed by Kepler and Newton, and represents a fundamental transformation in the development of modern science. In opposition to the traditional metaphysical claim that knowledge must conform to the objects, Kant in his critical philosophy sought to establish that objects must conform to our knowledge and that understanding is the lawgiver of nature. He drew a famous analogy in the preface to the second edition of the first Critique, comparing his new mode of thought in philosophy to what Copernicus did in astronomy. In proposing that objects must conform to our knowledge, he claimed to proceed ―precisely on the lines of Copernicus‘ primary hypothesis.‖ Apparent features of our experience can be ascribed to ourselves rather than to the objects of our experience. Commentators accordingly take Kant‘s philosophy to be a Copernican revolution in metaphysics. Moreover, while Copernicus‘ thesis is only a hypothesis, Kant claimed that he has demonstrated his thesis apodeictically by examining the nature of the forms of intuition and categories‖ (Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, 2004: 144).
54 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
2. Manusia bukan satu-satunya makhluk yang mampu merasakan sakit, atau penderitaan. Kebanyakan hewan bukan manusia ... bisa merasakan sakit. 3. Ketika kita mempertimbangkan betapa seriusnya hal ini untuk mengambil hidup, kita harus melihat, bukan pada ras, jenis kelamin, atau spesies yang dimiliki makhluk hidup, tetapi pada karakteristik individunya yang dibunuh, misalnya, keinginannya sendiri untuk tentang terus hidup, atau jenis kehidupan yang mampu dikemukakannya. 4. Kita bertanggung jawab tidak hanya untuk apa yang kita lakukan, tapi juga apa yang kita bisa cegah. Kita harus mempertimbangkan konsekuensi kedua dari apa yang kita lakukan, dan apa yang kita putuskan untuk tidak melakukannya. Dalam empat poin di atas, sebenarnya sudah tersirat tiga karakter dasar dari pemikiran Singer. Tiga karakter itu adalah pertama bersifat pengrevisian, kedua berdasarkan fakta-fakta nyata, dan ketiga pengandaian bahwa aksi individual dapat mendatangkan perubahan (Jamieson, 2000: 6—7). Dari empat poin di atas (terutama pada poin 1 dan 2), terlihat bahwa Singer seolah-olah tidak membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Untuk dia, manusia tidaklah satu-satunya yang mampu mengalami rasa sakit. Rasa sakit, merujuk pada poin satu, adalah satu hal yang penting. Membeda-bedakan manusia sebagai lebih tinggi dengan entitas kehidupan lainnya adalah sebuah kerja yang sering dilakukan dalam filsafat. Satu contoh dapat diutarakan di sini dari E. F. Schumacher dalam bukunya Keluar dari Kemelut (1981). Schumacher membuat empat tingkatan eksistensi. Sebelum itu, ia menentukan empat unsur yang ada demi pembedaan itu. Unsur-unsur itu adalah zat tak bernyawa (p), hidup (x), kesadaran (y), dan penyadaran diri (z). Benda mati hanya memiliki (p), selanjutnya semakin ke atas bercampurlah unsur (p) ini dengan (x) yang membentuk tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya bergabunglah pula unsur (y) dengan (p) dan (x) ini yang membentuk hewan. Dan manusia terbentuk dari bertambahnya satu unsur lagi yaitu (z). Pola bertingkat ke atas ini punya kesulitan yakni menentukan apa lagi sesudah zat terakir yang diketahui itu. Maka Schumacher membuat juga pola menurun ke bawah dengan mengambil entitas paling utama dan kompleks yang bisa diindra yakni manusia baru membuat tingkatan ke bawahnya sampai benda mati. Namun demikian, posisi struktur dari
55 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
atas ke bawah ini adalah system yang baginya adalah sistem yang melarikan diri pada sebuah kemungkinan yang lebih besar lagi. Jadi, jika dari bawah ke atas sampai manusia maka kita masih mungkin untuk memikirkan bahwa setelah itu ada lagi hal lain dan selanjutnya kita butuh suatu entitas terakir yang sempurna yakni Tuhan. (Schumacher, 1981: Bab III dan IV) Schumacher memang menulis buku ini dalam rangka melawan epistemology yang cenderung empirik yang akan berdampak pada penolakan Tuhan. Namun demikian, konsekuensi lain dari itu adalah memandang sebelah mata pada eksistensi non manusia yang tak memiliki unsur (z). Di sinilah pembedaannya dengan Singer. Apa yang membuat Singer begitu yakin akan kesamaan manusia dan hewan ini? Hal itu dapat dilacak pada pencarian Singer terhadap state of nature yang sudah dijelaskan sebelumnya dan juga salah satu karakter dari pemikiran Singer yaitu berdasarkan fakta-fakta yang ada. Faktanya bahwa penemuan arkeologi dan paleoantropologi (dan juga evolusi) menjelaskan bahwa sebelumnya manusia itu adalah juga bersifat seperti manusia atau setengah manusia (half human). Di sini, akan lebih jauh masuk pada permasalahan manusia itu apa atau apa yang menentukan manusia sebagai manusia? Dalam Practical Ethics Singer melihat bahwa jika manusia menggunakan definisi pada consciousness-nya untuk menentukan dia sebagaia manusia, maka fakta penemuan ilmiah menyatakan bahwa ada pula binatang yang—dilatih atau pun tidak—memiliki consciousness juga. Ada hewan yang dapat dikatagorikan sebagai non-human consciousness. Kesadaran pada hewan ini terlihat pada beberapa penelitian atas simpanse yang juga punya kemampuan mengantisipasi masa depan. Lantas, apa yang membedakan dengan manusia? Ada beberapa definisi dalam filsafat yang menempatkan bahasa—kemampuan berkomunikasi—sebagai pembedaan manusia dengan binatang. Lagi-lagi kenyataan penelitian menyatakan bahwa binatang pun bukannya tidak berbahasa. Bahasa sebagai sarana komunikasi dimiliki juga oleh binatang. Dari poin pertama dan keempat dari empat poin di atas, dilihat kesinambungannya dengan perhatian utama filsafat Singer yaitu dengan
56 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
kemiskinan yang ada di dunia. Kemiskinan, dengan tanpa pendekatan religiositas, tentu saja suatu hal yang tidak membawa kebahagiaan. Kemiskinan yang membawa ketidakbahagiaan mengingatkan kita pada sebuah pemikiran yang revolusioner, yaitu Karl Marx. Inilah mengapa banyak yang menyebut Marx sebagai seorang pemikir humanisme terkhusus melihat pemikiran Marx Muda. Singer tentu terpengaruh juga oleh Marx. Dalam bukunya berjudul Marx, Singer menulis demikian (sebagaimana dikutip dalam Hochsmann, 2002: 37), ―Can anyone think about society without reference to Marx‘s insights into the links between economic and intellectual life? Marx ideas brought about modern sociology, transformed the study of history, and profoundly affected philosophy, literature and the arts. In this sense of term— admittedly a very loose sense—we are Marxists now.‖ ―Dapatkah siapapun itu memikirkan tentang masyarakat tanpa mengacu pada wawasan Marx ke dalam hubungan antara kehidupan ekonomi dan intelektual? Ide Marx membawa sosiologi modern, mengubah studi sejarah, dan filsafat sangat terpengaruh, sastra dan seni. Dalam pengertian term ini—meskipun dalam arti yang sangat longgar—kita semua Marxis saat ini.‖ Apa hubungan antara kemiskinan adalah sesuatu yang buruk oleh karena itu tidak mendatangkan kebahagiaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang menjadi hak setiap entitas sebagaimana tersirat dan tersurat dari poin pertama Singer di atas dengan pemikiran Marx? Singer tentu menyadari dunia sekarang dalam sistem kapitalisme. Menurut Marx dalam Kapital-nya bahwa kebahagiaan dalam zaman kapitalisme ini adalah akumulasi dari komoditas atau ketercukupan komoditas (Marx, 2004: 3). Singer menempatkan etikanya sebagai kesadaran terhadap dampak dari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan sebagaimana dalam point empat di atas. Di sini Singer menarik etika pada sesuatu yang sangat praktis. Di sini pun, terlihat kedekatan Singer dengan Marx. Pernyataan Marx yang terkenal yakni para filsuf hanya sibuk berpikir dan menginterpretasikan dunia tetapi yang terpenting darinya adalah mengubah dunia itu sendiri dapat dilihat koherensinya dengan poin keempat dari Singer ini. Di titik ini, terlihat sebuah perbedaan mendasar etika Singer dengan etika yang dipahami dalam dunia filsafat pada umumnya; jika etika 57 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
secara umum dipandang sebagai sebuah tindakan praktis dalam kehidupan, Singer menempatkan kepraktisan itu dalam hubungan yang khusus dengan masalah kemiskinan atau lebih tepatnya masalah kebahagiaan bagi setiap entitas. Dari kebahagiaan dari setiap entitas sebagai sebuah pendasaran etika inilah kita bisa beranjak pada etika yang memungkinkan adanya animal liberation. Dengan kata lain dari empat point penting Singer inilah salah satu pendasaran dari animal liberation ada. Hal ini tampak pula dalam perpaduan poin pertama dan poin kedua dari Singer. Perihal animal liberation akan dibahas pada bagian berikut. Poin ketiga adalah sebuah poin yang cukup kontroversial. Poin ini tentu membawa Singer pada pemikiran lebih lanjut dalam buku-bukunya seperti Practical Ethics dan Rethinking Life and Death. Singer terlihat di sini bukan berpihak
pada
hidup
tetapi
berpihak
pada
perihal
kebahagiaan
dan
ketidakbahagiaan. Dari sini, terlihat bahwa pertama Singer tidak menempatkan manusia sebagai pusat dari segala ihwal pemikiran etikanya dan kedua adalah Singer mementingkan kebahagiaan setiap makhluk sebagai pendasaran dari etikanya. Inilah point yang oleh Singer membuat pemikiran etikanya setara dengan Revolusi Kopernikus dalam ihwal idea pemikiran filsafat. Demikian Singer menulis dalam Rethinking Life and Death (sebagaimana dikutip dalam Hochsman, 2002: 11), ―It is time for another Copernican revolution. It will be, once again, a revolution against a set of ideas we have inherited from period in which the intellectual world was dominated by a religious outlook. Because it will change our tendency to see human beings are the centre of the ethical universe, it will meet with fierce resistance from those who do not want to accept such a blow to our human pride. At first, it will have its own problems, and will need to tread carefully over new ground. For many the ideas will be too shocking to take seriously. Yet eventually the change will come. The traditional view that all human life is sacrosanct is simply not able to cope with the array of issues that we face. The new view will offer a fresh and more promising approach.‖ ―Ini saatnya untuk revolusi Copernican yang lain. Ini akan terjadi, sekali lagi, sebuah revolusi terhadap satu set ide-ide yang kita warisi dari periode di mana dunia intelektual didominasi oleh
58 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
pandangan agama. Karena hal ini akan mengubah kecenderungan kita untuk melihat manusia sebagai pusat dari etika universal, ia akan bertemu dengan perlawanan sengit dari mereka yang tidak ingin menerima pukulan terhadap kebanggaan manusia. Pada awalnya, ia akan punya masalahnya sendiri, dan harus melangkah hati-hati di atas wilayah baru. Bagi banyak ide hal ini akan sangat mengejutkan untuk diamini dengan serius. Namun akhirnya perubahan akan datang. Pandangan tradisional bahwa semua kehidupan manusia adalah suci sama sekali tidak mampu mengatasi berbagai masalah yang kita hadapi. Pandangan baru akan menawarkan pendekatan baru dan lebih menjanjikan.‖ Setelah melihat apa yang dimaksud dengan Copernican Revolution dalam pemikiran etika Singer, kini akan masuk pada perihal hak makhluk hidup keseluruhan dan hak binatang. Tesis awal untuk masuk ke sana adalah bahwa binatang sebagai makhluk hidup haruslah diberi tempat dalam perhatian etika Singer karena itu juga membawa pada kepentingan diri individu manusia. Sebelum lebih jauh ke sana, ada baiknya perihal altruisme dalam pemikiran Singer dibicarakan. Dalam altruismenya inilah ditemukan bagaimana posisi binatang dan posisi manusia dalam etika.
3.3 Singer sebagai Seorang Altruis Bagi Singer, manusia adalah makhluk altruis. Yang dimaksud dengan makhluk altruis di sini adalah manusia dalam kehidupannya, bahkan dalam kehidupannya dalam fase binatang, sudah berlaku altruis yang salah satunya adalah ketersalingan. Seperti yang dibahas di atas, prinsip ketersalingan inilah yang memungkinkan adanya etika dalam kehidupan manusia sebelum manusia mengenal rasionalitas. Jika manusia pada fase seperti binatang sudah melakukan sebuah tindakan ketersalingan, tentu saja hal itu mungkin terjadi di dalam kehidupan binatang yang lainnya. Singer lantas memberi banyak contoh tentang perilaku ketersalingan ini dalam binatang, terkhusus dalam binatang yang masih satu marga (marga kucing, marga burung, dsb). Namun Singer menekankan bahwa altruisme pada binatang terbatas sedangkan pada manusia altruisme ini bisa berkembang bahkan menjadi nilai moral.
59 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Altruisme secara sederhana didefinisikan oleh Singer sebagai perilaku yang menguntungkan orang lain tetapi yang menuntut pengorbanan dari mereka yang melakukan tindakan altruis tersebut. Tetapi dari mana tindakan altruis ini berasal? Bagi Singer, tindakan altruis ini merupakan warisan genetik atau ada dalam gen manusia itu sendiri. Posisi ini bukan pertama kali dilakukan Singer. Jenny Teichman mengatakan bahwa perilaku altruis dan egois merupakan masalah gen. Lebih jauh, altruis dan egois ini ada pada segala makhluk hidup terutama mamalia, termasuk manusia (Teicman, 1998 : 201). Sedangkan definisi altruisme menurut Teichman adalah teori yang memandang kepentingan orang lain sebagai motivasi tindakan. Altruisme di sini bisa dipandang sebagai sesuatu yang negatif dari sudut pandang Darwinian. Darwin mengedepankan soal struggle for the fittest dan struggle for life. Mengorbankan diri demi kepentingan orang lain tentu saja merugikan pelaku pengorbanan itu. Singer memakai penemuan bidang ilmu pengetahuan lain untuk menjawabi hal ini. Menurut penelitian, suami istri akan mewarisi 50% gennya kepada anak-anaknya, kepada kemanakan 25% dan kepada 25% kepada cucu-cucu mereka (Singer, 1981: 14). Berbeda dengan Singer dan Teichman, Thomas Nagel menganggap altruisme sebagai sebuah pilihan rasional sehingga ia membutuhkan apa yang disebutnya sebagai altruisme murni. Misalnya demikian. Sebuah marga binatang yang di dalam marga itu ada gen-gen altruis, maka gen altruis itu akan tetap ada dalam marga tersebut karena sifat dari pewarisan gen seperti yang disebutkan di atas. Jadi, andaikan saja kalau pelaku altruis dalam marga binatang itu merelakan dirinya mati untuk keselamatan anggota marganya yang lain maka gen altruisnya tidak akan hilang begitu saja dari marga itu. Dan ketika marga yang punya gen altruis yang kuat berhadapan dengan marga dengan gen altruis yang sedikit, kemungkinan bahwa marga dengan gen altruis lebih besar lebih mampu bertahan bisa dipastikan. Pasalnya, ketika marga dengan gen altruis akan berusaha menyelamatkan anggota marganya dengan pengorbanan dari beberapa anggotanya sedangkan marga tanpa gen altruis yang kuat cenderung akan saling mementingkan diri dan di sana bahaya lebih mudah mendatangi. Untuk menggambarkan hal ini, Singer (1981: 14) menulis bahwa mengambil risiko terhadap kehidupannya tidak akan
60 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
membahayakan prospek keberlangsungan hidup dari gen-gen dia jika dengan itu dia mengurangi risiko yang sama dengan yang akan menimpa kehidupan kedua anaknya, keempat kemanakan perempuannya, atau kedelapan sepupunya. Dengan demikian seleksi marga ini akan menjelaskan mengapa altruisme harus diperluas melampaui keluarga dia. Namun, mungkinkah bahwa altruisme ini terjadi dalam keadaan yang paling membahayakan? Dalam pengertian, apakah mungkin masih ada individu yang mau berlaku altruis ketika dirinya sendiri pun dalam keadaan yang sangat berbahaya? Singer dalam Writing on Ethical Life mengajukan contoh dari Oskar Schindler17. Oskar Schnidler lahir pada 28 April 1908 di provinsi Moravia, wilayah Austria Kuno yang berbukit-bukit dan tinggal di kota Zwittau. Ke kota inilah nenek moyangnya pada abad XVI pindah dari Wina. Ayahnya bernama Herr Hans Schnidler seorang pemilik mesin pabrik industri, sebuah perusahaan yang digadang-gadangi ayahnya akan diwariskan pada Oskar Schnidler. Ibunya bernama Lousia. Seorang penganut katolik yang taat dan seorang perempuan yang sangat baik hati. Oskar membangun pabrik di Cracow pada 1939. Pabrik emailnya inilah yang nantinya akan menjadi sebuah tempat ―persembunyian‖ yang aman bagi banyak orang Yahudi. Hal yang sama terjadi ketika ia memindahkan pabriknya ke Brinnlitz. Pabrik Oskar mempekerjakan banyak tawanan Yahudi, suatu hal yang biasa untuk pabrik-pabrik milik orang Jerman saat itu. Namun tidak seperti di tempat-tempat lainnya, di pabrik Oskar para pekerja Yahudinya mendapat makanan yang sehat dan hidup layak. Bahkan di Brinnlitz, mereka tidak menghasilkan apa-apa. Tempat itu otomatis hanyalah tempat penginapan mereka dari penyiksaan yang lebih kejam. Oskar bahkan beberapa kali masuk penjara karena membela pabriknya. Ia juga membayar penjagaan penjara orang Yahudi agar bisa membawa orang Yahudi tersebut. Ia pun menyogok para penjaga dari tentara SS yang ditempatkan di pabriknya untuk mengawasi para tawanan Yahudi. Uang-uang itu adalah uangnya sendiri. Oskar bahkan menempuh berbagai cara 17
Oskar Schindler adalah seorang pengusaha berwarganegara Jerman dan ketika terjadi kerja paksa di bawah kekuasaan Hitler atas orang Yahudi, Shnidler justru tidak berlaku tak adil pada para pekerja Yahudinya. Ia malah memberikan kehidupan pada mereka. Semua pekerja Yahudi Schindler selamat dan hidup sampai Hitler kalah perang dan mereka menjadi orang-orang bebas, dibebaskan oleh Schnidler setelah mendengar kabar Jerman kalah perang.
61 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
agar tawanannya tidak ditukar dengan tawanan lain. Sebab ada kebijakan dari Nazi saat itu untuk beberapa bulan sekali mengganti tawanan yang bekerja di pabrik dengan tawanan lain, sehingga semuanya bisa mendapat penyiksaan. Oskar meninggal pada tahun 1970-an dan dimakamkan di Yerusalem. Ia mendapat penghargaan dari pemerintahan Israel atas jasanya menyelamatkan dan melindungi orang-orang Yahudi saat itu. Penghargaan itu diberikan oleh laporan dari para pekerja Yahudinya yang membentuk organisasi kekerabatan bernama Schlinderjuden.18 Bahkan, dalam keadaan ketika pelaku altruisme terancam keselamatan dan hidupnya, sikap altruis masih tetap ada. Selain dengan contoh nyata kehidupan Oskar Schindler, Singer pun mengutip Terrence des Press (Singer, 1981: 27) yang mengatakan bahwa asumsi tidak ada moral atau aturan social dalam kamp-kamp konsentrasi salah. Melalui tindakan-tindakan kecil yang tak terhitung jumlahnya, kebanyakan dari tindakan-tindakan tersebut memang tersembunyi tetapi dipraktikan di mana-mana. Mereka yang selamat mampu mempertahankan berfungsinya struktur-struktur social dengan maksud tetap menjaga diri mereka agar tetap bersemangat dan waras secara moral. Selain altruisme marga yang sempat dibahas pada bagian sebelumnya, binatang pun punya sifat altruis timbal balik yang dilakukannya dan bisa melampaui lingkaran marga. Ini adalah altruisme yang bisa saja terjadi antara binatang berbeda marga. Dalam altruisme timbal balik ini yang menjadi pegangan adalah prinsip ketersalingan atau dengan sederhana dibahasakan Singer dengan, ―engkau menggaruk punggungku dan aku akan menggaruk punggungmu juga‖ (Singer, 1091: 61). Alasan kenapa binatang atau individu melakukan altruisme timbal balik adalah (1) individu akan mengingat sesiapa yang membantu dia dan sesiapa yang tidak dan pada gilirannya akan membalas perlakuan itu. Yang membantunya akan dibalas dengan bantuan pula dan yang tidak membantu akan dibalas dengan tidak membantu. Alasan kedua (2) adalah akan ada hukuman terhadap perilaku curang yakni menerima bantuan orang lain tetapi tidak membalas bantuan tersebut. Individu yang setelah mendapatkan bantuan dari individu lain dan tidak 18
Diringkas dari Thomas Keneally (2006), Schnidler‘s List, diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris oleh Sri Dwi Hastuti, Jogjakarta: Jalasutra.
62 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
membalasnya pada individu yang membantunya atau individu lainnya lagi akan dikenakan sangsi dengan pada gilirannya lagi, ia tidak akan dibantu oleh sesiapa lagi. Dari contoh perilaku altruis pada binatang ini terlihat bahwa pada binatang pun sikap altruis itu bisa meluas. Pada awalnya altruis itu terbatas pada sesama anggota dalam marga saja tetapi selanjutnya ia akan mejadi tindakan altruis antar marga dalam altruis timbal balik. Di sini sikap altruis yang semula hanya pada lingkaran keluarga meluas pada lingkaran lain di luar lingkaran keluarga. Setelah melihat secara singkat dua jenis altruisme pada binatang, kini akan dilihat altruisme pada manusia. Sebelumnya harus diingat bahwa bagi Singer dalam kasus altruisme pada binatang dapat dilihat hanya semata-mata sebagai tindakan altruisme saja tetapi tidak bisa dilihat sebagai sebuah tindakan moral. Altruisme pada manusia, sama seperti pada binatang, pertama-tama adalah sesuatu yang biologis sifatnya. Dengan demikian, tingkatan-tingkatan altruisme pada binatang sedikit banyak sama dengan altruisme pada manusia. Pada awalnya, sikap altruis manusia adalah untuk keluarganya sendiri. Dalam membicarakan altruisme pada manusia, Singer mengikuti pula pemikiran beberapa filsuf yakni Henry Sidgwick dan Westermarck. Westermarck menekankan bahwa sikap altruis itu penting dilakukan pertama-tama di dalam lingkungan keluarga, baru setelahnya di luar keluarga (Singer, 1981: 61). Selain itu, Westermarck menekankan pula bahwa kebajikan kepada anggota lain dari suku atau kelompok merupakan hal berikutnya seturut artinya yang penting, dengan kebajikan ke orang luar sering seluruhnya (Singer, 1981: 23). Di sini dapat dilihat bahwa bagi Westermarck, menekankan perilaku altruis dimulai di dalam keluarga baru ke luar pada lingkaran yang lebih luas. Apakah yang penting dari sikap altruis yang dimulai dari lingkaran keluarga? Kita harus ingat bahwa berdasarkan penelitian yang sebelumnya sudah dibahas bahwa sikap altruis dan egois itu adalah bawaan dari gen. Melalui keluarga, gen altruis ini dimungkinkan untuk tetap lestari karena gen bersifat turunan dari hubungan kekeluargaan. Jadi, mementingkan sikap altruis dalam keluarga bukanlah sebuah bentuk ―lain‖ dari egoisme. Justru dengan altruis dalam keluarga adalah sebuah keberpihakan pada altruis itu sendiri. Karena dengan sikap altruis yang pertama-
63 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tama diusahakan ada dalam keluarga, berarti ada sebuah upaya untuk terus mempertahankan atau menurunkan gen altruis. Kita ambil contoh seorang manusia yang lebih memilih mengorbankan dirinya untuk keselamatan anak-anaknya. Secara insting, dapat dilihat hal ini sebagai baktinya pada keluarga itu. Tetapi ketika dilihat lebih jauh, hal ini berarti orang itu melestarikan gen altruis di dalam keluarganya. Setelah keluarganya aman, barulah sikap altruisnya bisa diperlakukannya di luar lingkaran keluarganya. Di sini dapat dilihat bahwa tindakan altruis yang mengedepankan berada dalam lingkaran keluarga adalah upaya untuk melestarikan gen altruis, melestarikan tindakan altruis itu sendiri. Singer mengutip Henry Sidgwick (Singer, 1981: 23) yang mengatakan bahwa kita semua harus sepakat bahwa kita masing-masing terikat untuk menunjukkan kebaikan kepada orang tua dan pasangan dan anak-anak, dan sanak lain dalam derajat yang lebih rendah, dan kepada mereka yang telah diberikan pelayanan kepadanya, dan setiap orang lain yang mungkin harus diakui keintimannya dan yang disebut teman; dan pada tetangga dan sewarganegaranya lebih dari yang lain; dan mungkin kita dapat berkata kepada orang-orang dari ras kita sendiri lebih dari ras hitam atau ras kuning, dan kepada manusia secara umum dalam proporsi untuk affinitas mereka untuk diri kita sendiri. Melalui Sidgwick dan Westermarck dapat dilihat betapa kentalnya sikap altruis dilakukan dalam rangka keselamatan diri sendiri dan memang sebenarnya itulah tujuannya. Bukan dalam pengertian bahwa dengan demikian manusia mengorbankan dirinya tanpa perhitungan apa-apa. Hal ini sudah dibahas sebelumnya. Namun
seperti
pada
binatang,
pendasaran
dari
altruisme
yang
berkonsentrasi pertama-tama pada keluarga inilah dasar secara biologis dan genetic dari altruisme pada manusia. Tentu saja ada perbedaan pada manusia dengan binatang. Bagi Singer, perbedaan itu terletak pada cara komunikasi atau bahasa. Singer memberi point penting dan kelebihan manusia dalam soal komunikasi dan berbahasa ini. Mengikuti Alvin Gouldmer, Singer mengamini bahwa manusia dan binatang itu sama dalam hal pendasaran awal sikap altruis yakni makhluk ketersalingan (homo reciprocus).
64 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Dengan bahasa, manusia bisa mengembangkan informasi seputar altruisme ini. Bahasa bukan saja perihal berkomunikasi semata, lebih jauh dengan bahasa manusia bisa mewartakan tentang sikap altruis seseorang. Kemampuan yang paling jelas terlihat dan juga menjadi bukti kelebihan manusia atas binatang dalam hal altruisme adalah dengan bahasa manusia mampu bersikap altruis atas dasar rekomendasi. Dan yang memungkinkan rekomendasi adalah bahasa. Misalnya demikian. Seseorang yang berbuat baik pada saya, perbuatan baiknya itu saya ceritakan pada teman saya yang lain. Teman saya dan orang yang berbuat baik pada saya ini tidak saling mengenal. Namun berkat cerita yang berisi rekomendasi saya maka teman saya mengetahui tentang kebaikan orang itu pada saya. Pada gilirannya, teman saya tak sungkan untuk membantu orang yang berbuat baik pada saya itu karena sudah ada rekomendasi saya tentang kebaikan orang itu pada saya.
3.4 Imparsialitas hingga Merangkul Binatang Singer menekankan kesetaraan dalam pemikiran etikanya. Kesetaraan ini menjadi sebuah alasan mendasar ketika seseorang berlaku etis atau mengambil sebuah tindakan moral. Untuk menjelaskan hal ini lebih jauh ada baiknya kita melihat sebuah contoh yang diberikan Singer sendiri (Singer, 1979: 21). Bayangkanlah setelah terjadinya sebuah gempa bumi, saya berhadapan dengan dua orang korban. Salah satu dari mereka kakinya hancur dan sedang berada dalam penderitaan yang luar biasa. Korban yang kedua pahanya terluka dan berada dalam rasa sakit yang ringan. Obat-obat yang saya miliki hanya cukup setengah kali suntikan. Kepada siapakah saya harus menyuntikan obat tersebut? Bagi Singer, jika berada dalam kondisi seperti ini, seorang pelaku moral harus melihat dengan jeli kondisinya. Tindakan yang diambil haruslah mencerminkan kesetaraan dalam kondisi tertentu tersebut. Kesetaraan dalam kondisi tertentu ini pun haruslah juga menghasilkan hasil akir yang setara pula. Lebih jauh, ada beberapa hal dalam kesetaraan moral yang dimaksudkan Singer ini dengan kesetaraan moral lainnya. Kesetaraan ini secara umum dapat dibayangkan sebagai pembagian obat yang sama antara kedua korban tersebut. Jadi, dari setengah suntikan itu dibagi separuh-separuh untuk kedua korban
65 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tersebut. Kita akan mengatakan bahwa hal ini cukup adil dan setara mengingat kondisi di mana kejadian gempa bumi tentu saja membuat banyak hal menjadi sulit; termasuk obat-obatan tersebut. Pola pikir seperti ini disebut juga sebagai prinsip dari kaum egalitarian. Menurut Singer, prinsip kaum egalitarian ini justru menimbulkan sebuah tindakan moral yang tidak setara. Selain itu ada juga prinsip declining marginal utility. Declining marginal utility merupakan prinsip yang mengatakan bahwa ―bagi seorang individu di suatu saat, sesuatu dalam jumlah tertentu adalah lebih bermanfaat ketika individu tersebut memilikinya dalam jumlah yang lebih sedikit dari pada dalam jumlah yang lebih banyak‖ (Singer, 1979: 22). Dalam kasus di atas, declining marginal utiliy akan memberikan suntikan yang sedikit pada korban pertama dan korban ke dua akan diberikan lebih banyak. Prinsip kesetaraan moral Singer pun tidak sepakat dengan prinsip ini. Kedua posisi kesetaraan dari dua pandangan berbeda tersebut bagi Singer bermasalah karena dampak dari tindakan moral tersebut justru bisa menimbulkan hasil yang tidak setara. Oleh karena itu, Singer malah menekankan sebuah tindakan moral dengan pengandaian sebuah hasil akir dari tindakan moral itu yang setara. Jadi, ketika melakukan suatu tindakan moral sang pelaku moral tidak mengambil tindakan yang setara, namun tindakannya yang tidak setara itu justru berdampak pada suatu hasil yang setara. Untuk menjelaskan maksudnya, Singer membuat sebuah contoh yang lebih rumit dari sebelumnya (Singer, 1979: 22). Korban A kehilangan satu kakinya. Jari-jari dari kaki yang tersisa mengalami kerusakan. Korban B mengalami penderitaan pada salah satu kakinya dan kedua kakinya masih dalam keadaan utuh. Obat yang tersedia hanya bisa untuk satu orang saja. Selanjutnya, Singer mengajukan tahapan-tahapan bertindak oleh seorang pelaku moral (Singer, 1979: 22), (1) Mengasumsikan terlebih dahulu jika ditempatkan pada situasi tanpa perawatan dan pengobatan, maka korban A akan kehilangan satu kaki dan jari-jari dari kaki yang lainnya, sedangkan korban B akan kehilangan satu kakinya. (2) Memposisikan diri; jika menolong A, maka A dan B kehilangan satu kaki. (3) Sedangkan, jika diberikan kepada B pertolongan itu maka B akan selamat dan A akan kehilangan satu kaki dan jari-jari kaki yang
66 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
lainnya. Singer mengatakan bahwa korban kedualah yang harus ditolong karena capaian dari tindakan itu lebih bagus. Dari sana, dapat dilihat bahwa apa yang didukung oleh Singer adalah tindakan kesetaraan yang minimal (a minimal principle of equality) dan bukan pertimbangan egalitarian (semua sama). Maka tindakan setara yang dimaksudkan Singer tidak bisa dipandang sebagai tindakan setara dengan perlakuan yang sama (equal treatment). Demikian Singer berujar (Singer, 1979) ―mempertimbangkan berbagai kepentingan secara setara adalah sebuah prinsip minimal dari kesetaraan dalam arti bahwa prinsip ini tidak memaksakan perlakuan yang setara.‖ Dengan perlakuan yang tidak setara tapi mendapatkan keuntungan yang besar darinya adalah tujuan yang hendak dicapai Singer. Untuk mampu bertindak demikian, orang butuh sebuah sikap imparsial dalam tindakan moralnya. Singer juga untuk menemukan sifat keuniversalan dari teori etikanya mendasari diri pada prinsip imparsialitas. Pada umumnya sikap imparsial dipahami sebagai sikap tanpa tendensi atau terbebani kepentingan tertentu. Imparsiallitas dalam sebuah tindakan moral menjadi khas oleh beberapa alasan yakni pertama seperti halnya pandangan atau pemahaman secara umum dari imparsialitas itu bahwa ia menekankan sebuah tindakan atau sikap yang tidak didasari oleh motif-motif yang bias atau dengan kata lain bertindak tanpa prasangka. Kedua, dalam kasus sikap moral, setiap orang mengambil pertimbangan yang setara pada semua kepentingan dalam tindakan moral tersebut. Sikap imparsial ini membawa pemikiran etika Singer pada posisi yang menyetujui pandangan etika Immanuel Kant. Menurut Kant setiap sikap dikatakan sikap moral hanya jika tindakan itu bersifat imparsial dan impersonal. Namun demikian, Singer tidak sepenuhnya sepakat dengan Immanuel Kant. Menurutnya, tindakan tertentu yang berdasarkan kepada kepentingan orang lain bisa juga masuk dalam sebuah tindakan moral. Kant sangat teguh sehingga misalnya dalam kasus berbohong, Kant berprinsip bahwa jangan berbohong berlaku universal dan harus tetap dipegang dengan alasan apa pun. Menurut Singer, bisa jadi orang berlaku atau berbohong untuk melindungi kepentingan orang tertentu dan hasil akhir dari tindakan moral yang berbohong itu adalah sebuah keuntungan yang lebih besar dan mencakup kepentingan lebih banyak orang. Aspek penting
67 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
imparsialitas dalam pemikiran Singer adalah dampak atau akibat dari sebuah tindakan moral akan sangat membantu seorang pelaku moral berperilaki secara tepat. Imparsialitas Singer mengikuti juga posisi dari Sidgwick yang demikian, ―tidak dibenarkan untuk A memperlakukan B dalam cara di mana hal itu akan salah untuk B memperlakukan A, dalam pendasaran bahwa mereka berdua adalah individu yang berbeda, dan tanpa di sana ada perbedaan antara kealamiahan atau keadaan dari keduanya yang dapat dijadikan alasan mendasar untuk perbedaan perlakuan atasnya‖ (Gruen dalam Jamieson, 2000: 131). Imparsialitas dalam pemikiran Singer harus dipahami pula sebagai sebuah prinsip yang membutuhkan hal yang formal. Impartialitas yang formal ini muncul dari refleksi yang rasional dari term-term moral dan juga membutuhkan konsistensi dari refleksi kita dan juga perlakuan yang sama pada kasus-kasus serupa. Hal ini dituliskan oleh Singer (Gruen dlm Jamieson, 2000: 131) bahwa akal budi memungkinkan untuk melihat bahwa aku hanya satu di antara orang yang lain, dengan ketertarikan dan keinginan sama seperti yang lain. Aku punya perspektif pribadi tentang dunia...tetapi akal budi memungkinkan aku untuk melihat bahwa orang lain memiliki perspektif subjektif yang sama, dan bahwa dari ―sudut pandang universal‖ perspektif saya tidak lagi lebih istimewa dari perspektif mereka. Begitu juga kemampuanku untuk menalar menunjukan padaku seperti apa semesta terlihat jika aku tidak punya perspektif pribadi. Karakteristik paling substantif dari imparsialitas Singer adalah prinsip equal consideration of interests. Prinsip ini dideskripsikan Singer lebih lanjut (Gruen dlm Jamieson, 2000: 134), ―The essence of the principle of equal consideration of interests is that we give equal weight in our moral deliberations to the like interests of all those affected by our actions. This means if only X and Y would be affected by a possible act, and if X stands to lose more than Y stands to gain, it is better not to do the act. We cannot, if we accepted the principle of equal consideration of interests, say that doing the act is better, despite the facts described, because we are more concerned about Y than we are about X.‖
68 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―Essensi dari prinsip pertimbangan kepentingan yang sama adalah bahwa kita memberikan bobot yang sama dalam pembahasan moral kita untuk kepentingan semua mereka yang terkena dampak tindakan kita. Ini berarti jika hanya X dan Y akan terpengaruh oleh tindakan yang mungkin, dan jika X dipilih untuk mendapatkan kehilangan yang lebih dari Y yang mendapatkan keuntungan, lebih baik untuk tidak melakukan tindakan tersebut. Kita tidak bisa, jika kita menerima prinsip pertimbangan yang sama dari kepentingan, mengatakan bahwa melakukan perbuatan itu baik, meskipun fakta menjelaskan bahwa, karena kita lebih peduli pada Y dari pada X.‖ Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa ada kesamaan antara pemikiran Singer dengan Kant dalam hal etika. Singer lebih jauh setuju dengan pendapat Kant bahwa untuk bersikap moral harus didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan imparsial. Rasional berarti merujuk pada kerja nalar. Nalar mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan realitas menurut prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang diciptakan nalar sendiri. Nalar pun bersikap kritis terhadap prinsip-prinsip moral yang ada, nalar juga mampu menciptakan hukum-hukum dan prinsip-prinsip moral universal yang menjadi patokan perilaku bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi bagi seluruh manusia. Kerja nalar yang demikian lebih jauh lagi bagi Singer selalu harus ditopang oleh data-data empiris. Artinya, Singer tidak menempatkan moral sebagai sebuah posisi di dalam pikiran yang sama sekali ‗kepala batu‘ dengan posisi yang diciptakannya tetapi ia harus selalu berlandaskan pada data-data empiris. Bisa dikatakan, nalar tidak bekerja dalam ruang kosong. Dan nalar itu pun berubah secara evolutif. Ini juga berarti nalar itu selalu dikembangkan dalam sejarah dan perjalanan peradaban turut menyumbang pada perkembangan nalar yang menciptakan prinsip-prinsip moral tersebut. Maka bisa dikatakan prinsip moral pun berkembang secara evolutif, berkembang dalam sejarah. Perkembangan nalar yang evolutif dan menyejarah inilah yang akirnya membentuk prinsipprinsip moral yang berlaku universal. Bagi Singer, evolutif nalar ini pada manusia membuat manusia menjadi makhluk dengan kemampuan nalar yang tinggi. Di sini nalarlah yang membuat manusia menjadi makhluk unggul. Apa yang disebut makhluk unggul dalam pemikiran etika Singer ini? Manusia dikatakan sebagai makhluk unggul adalah
69 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
karena kemampuan nalarnya untuk berkembang sedemikian rupa sehingga mampu merumuskan prinsip-prinsip moral tindakannya dengan menempatkan sebanyak mungkin orang dan bahkan menempatkan pula sentient being lain sebagai moral patient dari perilaku moral manusia itu. Yang dimaksud dengan sentient being di sini adalah makhluk yang punya kapasitas menyadari sensasi dan emosi, mempunyai perasaan pada rasa sakit dan sehat, dan juga berusaha mengalami atau punya pengalaman tertentu sebagai sebuah makhluk hidup berpikir.19 Dapat dikatakan kemudian bahwa menurut Singer sikap imparsial dalam tindakan moral manusia dimungkinkan oleh adanya kemampuan nalar manusia. Manusia yang rasional dimungkinkan untuk bersikap imparsial karena adanya kemampuan pertimbangan nalarnya. Pada level yang tinggi, nalar mampu menempatkan tindakan moral tidak dengan dasar genetis namun pada dasar keumuman dan keutilitarisan. Tujuannya adalah untuk merangkul sebanyak mungkin kepentingan. Selain itu, terdapat perbedaan dalam pemikiran Singer dan Kant dalam hal etika. Kant menekankan kewajiban sebagai landasan dari sikap imparsial dalam tindakan moral. Kewajiban ini merupakan buah dari kehendak baik. Kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Kehendak baik tidak mengandaikan kepentingan pribadi. Moralitas sebuah tindakan ditentukan oleh ketaatan atas kewajiban (Magnis-Suseno, 1997: 151-152). Dalam bukunya The Expanding Circle, Singer mengkritik pandangan Kant yang demikian. Imparsialitas dan sikap imparsial dalam pemikiran Singer bukan katagori pemikiran atau sikap moral yang absolut yang didasarkan pada kewajiban tanpa memikirkan pihak-pihak yang terkena dampak tindakan tersebut sebagaimana dalam pemikiran Kant. Singer menekankan tindakan moral yang benar
adalah
tindakan
moral
yang
imparsial
(tanpa
tendensi
tapi
19
―The basis of animal rights is the recognition that animals are sentient beings. This means they are capable of being aware of sensations and emotions, of feeling pain and suffering, and of experiencing a state of well being. ARAs believe that our own behaviour towards animals should be guided by this recognition of their sentience.‖ Dari http://www.animalliberationfront.com/ALFront/FAQs/AnimalSentience.htm, diakses pada 11 Maret 2014.
70 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
mempertimbangkan semua kepentingan yang mungkin terkena dampaknya) dan utilitaris (kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang). Singer menulis demikian tentang pemikiran Kant dalam How Are We to Live (Hochsmann, 2002: 62), ―If those who insist on duty for its own sake spurn all support from inclination or self-interest, they entrench forever the division between morality and self-interest (no matter how broadly we conceive of self-interest) They leave morality a closed system.The Kantian conception of morality is dangerous in another way. Without guidance from human benevolence and sympathy, a strong sense of duty can lead to moral fanaticism.‖ "Jika mereka yang bersikeras dalam bertugas untuk kepentingan diri sendiri mengabaikan semua dukungan dari kecenderungan atau kepentingan pribadi, mereka selamanya ada dalam kubu pembagian antara moralitas dan kepentingan (tidak peduli seberapa luas kita membayangkan kepentingan-diri itu). Mereka meninggalkan moralitas sistem tertutup. Suatu konsepsi moralitas Kantian yang berbahaya dengan cara yang lain. Tanpa bimbingan dari kebajikan manusia dan simpati, rasa yang kuat tentang tugas dapat menyebabkan fanatisme moral.‖ Singer melihat adanya bahaya fanatisme moral dalam pemikiran Kant. Ini menggambarkan bagaimana kecenderungan untuk tetap taat pada kewajiban tanpa memperhatikan keinginan diri membuat moral sebagai sesuatu yang hampir tanpa tujuan. Tentu saja kritikan Singer ini dilatarbelakangi oleh utilitarianisme yang dianutnya. Lebih lanjut, Singer menulis demikian tentang pemikiran Kant (Hochsmann, 2002: 62-63), ―…so lets us throw out, once and for all, Kant‘s idea that moral worth is to be found only when we do our duty for the sake of doing our duty‖ (‗... Sehingga memungkinkan kita membuang, sekali dan untuk semua, ide Kant bahwa nilai moral dapat ditemukan hanya ketika kita melakukan tugas kita demi melakukan tugas itu sendiri‘). Singer memberi dua contoh tentang terbakarnya sebuah gedung di mana di sebuah ruangan terdapat ibu anda yang terjebak sedangkan di ruangan lain ada 20 anak yang juga terjebak. Waktu memungkinkan anda untuk hanya menyelamatkan satu dari dua pilihan tersebut. Sedangkan contoh kedua adalah peristiwa di mana
71 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ada seorang uskup yang keselamatannya akan memberi kebahagiaan banyak orang berhadapan dengan keselamatan ayah anda. Dalam keadaan yang demikian, pelaku moral harus mengoperasikan kemampuan moralnya secara maksimal dan untuk menemukan prinsip-prinsip daras tindakan yang universal dan objektif, nalar harus memainkan peran sebagai pengamat tak berpihak (impartial spectator). Sebagai seorang pelaku moral yang imparsial, ada tiga tahap yang harus dilaluinya yakni pertama subjek moral harus mengidentifikasikan ada berapa preferensi (pihak-pihak yang terkena dampak dari tindakan) yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan moral tertentu. Kedua, subjek moral menemukan dan menentukan preferensi mana yang menguntungkan paling banyak orang jikalau subjek moral menunjuk preferensi tersebut sebagai objek tindakan moralnya (moral patient). Ketiga, tahap pengambilan keputusan moral dan tindakan. Sebelumnya sudah dilihat bahwa manusia sebagai makhluk unggul diartikan sebagai kerja nalar yang memungkinkan manusia memasukan semakin banyak mungkin orang dan bahkan sentient being yang lain di dalam prinsipprinsip moral. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nalarlah yang memungkinkan lingkaran wilayah moral manusia berkembang. Singer memberi sebuah contoh yang menarik, dan juga bisa jadi menjadi salah satu concern Singer yakni binatang sebagai sentient being yang juga dilibatkan dalam prinsip-prinsip moral manusia. Hal ini lebih jauh dimungkinkan pula oleh sikap imparsial yang menempatkan subjek moral sebagai pengamat tak berpihak. Adalah sikap utilitarianismelah yang menempatkan binatang masuk sebagai moral patient. Demikian prinsip-prinsip utilitarian itu: Kepentingan pihak-pihak yang terkena dampak tindakan harus dipertimbangkan secara setara dari sudut pandang imparsial menegaskan prinsip kesetaraan (equal consideration of interests). Prinsip kesetaraan inilah yang memungkinkan pelaku moral memposisikan kepentingan moral patient secara setara bukan hanya terhadap manusia tetapi juga terhadap non-human beings. Demikian Singer menulis (Gruen dalam Jamieson, 2000 : 135), ―…but the principle [of equal consideration] also implies that the fact that beings are not members of our species does not entitle us
72 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
to exploit them, and similarly the fact that other animals are less intelligent than we are does not mean that their interests may be disregarded‖ (‗tetapi prinsip [dari pertimbangan yang sama] juga menyiratkan fakta bahwa makhluk bukan anggota spesies kita tidak membuat kita mengeksploitasi mereka, dan juga fakta bahwa hewan lain kurang cerdas daripada kita tidak berarti bahwa kepentingan mereka mungkin untuk diabaikan‘). Singer sangat terinspirasi pula dari kalimat Jeremy Bentham, ‖each to count for one and none for more than one‖. Singer lantas menyimpulkan dari kalimat tersebut demikian, ―the interest of every being affected by an action are to be taken into account and given the same weight as the like interests of any other being‖ (‗kepentingan setiap makhluk dipengaruhi oleh tindakan yang harus diperhitungkan dan diberikan bobot yang sama dengan kepentingan dari makhluk lain‘) (Singer, 2002: 5). Dalam kalimat ini kita melihat bahwa Singer menggunakan seluruh makhluk hidup (being). Posisi manusia di sini tidak menjadi sesuatu yang lebih di atas makluk-makluk yang lain. Prinsip kesetaraan yang ditegaskan Singer tidak pertama-tama dimaksud sebagai deskripsi fakta, tetapi lebih merupakan sikap dalam memperlakukan orang lain. Prinsip kesetaraan yang demikian hanya membawa pada kesetaraan spesies tertentu, yakni ras manusia. Manusia tidak lebih tinggi dari binatang. Manusia dan binatang setara karena pertama-tama keduanya merupakan makhluk (being) yang dapat menderita. Di sini Singer sekali lagi mengadopsi pemikiran utilitarianisme dari Jeremy Bentham yang menyatakan masalahnya bukan apakah mereka dapat menalar? Juga bukan apakah mereka dapat berbicara, tetapi apakah mereka dapat menderita? Jadi, kesetaraan manusia dan binatang karena keduanya adalah sentient being yang dapat menderita. Alasan lainnya adalah karena manusia dan binatang sama-sama memiliki kemampuan mengalami enjoyment (Singer, 2002: 11).
73 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
3.5 Rangkuman Dapat disimpulkan bahwa pemikiran Singer sebagai sebuah perjalanan dari etika menuju tindakan vegetarianisme. Pertama perlu dipahami bahwa etika bagi Singer haruslah sebuah tindakan praktis. Etika tanpa tindakan praktis adalah sesuatu yang tak berarti menurut Singer. Singer membangun sistem filsafat etikanya melalui jalur utilitarianisme. Dengan demikian yang menjadi konsentrasi Singer adalah tindakan moral yang mendatangkan keuntungan bagi banyak orang dan keuntungan itu adalah keuntungan yang paling maksimal. Lantas dengan konsep perluasan lingkaran moral, Singer mencapai kesimpulan bahwa tindakan moral harus pula memperhitungkan sentient being lain di luar manusia. Binatang sebagai sentient being ini didapatkan oleh Singer dari penelitian ilmu alam. Pada akhirnya Singer sampai pada kesimpulan bahwa tindakan tidak memakan binatang adalah tindakan etika yang merupakan konsekuensi dari makhluk bermoral yang sudah meluas lingkaran moralnya.
74 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 4 PEMIKIRAN ARNE DEKKE EIDE NAESS: DEEP ECOLOGY DAN KEPASRAHAN PADA SEMESTA
4.1 Biografi Arne Naess20 Selain Peter Singer, pemikir lain yang juga menekankan aksi sebagai manifestasi pemikirannya adalah seorang filsuf Norwegia Arne Dekke Eide Naess21. Selain sebagai filsuf, ia juga terlibat aktif dalam politik melalui Partai Hijau Norwegia. Ia juga terlibat dalam demonstrasi besar untuk perjuangan lingkungan hidup di Norwegia pada 1970-an. Hal yang menyebabkan Naess menjadi professor adalah pemikirannya tentang deeper ecology. Deep Ecology sebenarnya dimaknai sebagai sebuah bentuk sistem etika. Arne Diekke Eddie Naess lahir pada 27 Januari 1912 di Norwegia sebagai anak terakhir dari empat bersaudara. Naess sendiri sudah mulai tertarik dengan filsafat di bangku SMA, ketika dia begitu terpukau dengan pemikiran Baruckh Spinosa. Pada waktu ini jugalah ia mulai tertarik untuk mendaki gunung yang mana kegiatan ini tanpa disadari mempengaruhi pemikirannya di kemudian hari. Setelah SMA, ia pergi ke Vienna dan menjadi anggota termuda dalam Lingkaran Vienna. Lingkaran Vienna adalah kelompok filsuf yang berkutat dalam permasalahan filosofis yang dimulai oleh karya-karya Ludwig Wittgenstein. Di kota ini juga Naess bertemu dan belajar tentang psikoanalisa dari salah satu kolega Freud yang masih mengajar saat itu. Pada 1937, Naess menikah dengan Else Hertzberg. Namun demikian, kecintaan Naess pada perjalanan dan pekerjaan serta pemikirannya rupanya tidak terlalu cocok dengan institusi pernikahan. Ia bercerai dengan Else dan juga istri keduanya setelah itu. Pada 1938, Naess belajar psikologi perilaku di Universitas Berkley pada E. C. Tolman. Pada umur 27 tahun ia menjabat sebagai profesor di Universitas Oslo, Norwegia. Naess menjabat proffesor di Universitas Oslo sampai
20
Bagian ini sebagian besar disarikan dari Carl L. Bankston, dalam World Philosophers and Their Works. 21 Arne Dekke Eide Naess adalah profesor di Universitas Oslo, lahir pada 27 Januari 1912 dan meninggal pada 12 Januari 2009.
75 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tahun 1982. Ia meninggalkan kursi profesornya dengan alasan bahwa ia ingin menjadi hidup dan bukan menjadi fungsional.22 Sejak awal kariernya, Naess memang dikenal bukan hanya sebagai pemikir tetapi juga seorang aktivis. Semasa menjabat Profesor, ia turut mereformasi sistem pendidikan di negeri itu, terkhusus di universitas. Salah satu sumbangannya adalah memasukan pelajaran sejarah ide dalam semua jurusan di Universitas di Norwegia sebelum mahasiswa mengambil jurusan yang lebih spesifik. Banyak pengamat melihat hal ini sebagai langkah penting dalam kehidupan intelektual di Norwegia dan membentuk sebuah generasi baru ilmuwan Norwegia yang lebih toleran dan bekerja dengan perspektif lintas ilmu. Ia juga kerap mengadakan kuliah sambil pendakian gunung bersama mahasiswanya, sebuah aktivitas yang membuahkan pemikirannya mengenai deep ecology belakangan hari. Bahkan pada tahun 1937 ia membangun sebuah pondok kayu kecil di puncak gunung dan memberinya nama Tvergastein. Belakangan nama ini pun diadopsinya sebagai nama teorinya (ecosophy T). Aktivitas Naess bukan di bidang pencinta alam saja. Ketika Nazi pada Perang Dunia II menduduki Norwegia, Naess memimpin sebuah aksi lawan dengan diam yang terinspirasi dari Gandhi. Ia pun membantu menyelamatkan banyak mahasiswa berdarah Yahudi untuk bebas dan melarikan diri ketika kampus diduduki Nazi. Pada periode 1950-1960, Naess berkonsentrasi pada problem bahasa terkhusus semantik. Ia menjadi pemimpin apa yang disebut Lingkaran Olso. Lingkaran ini menelorkan pemikiran-pemikiran filsafat bahasa yang merupakan reaksi terhadap Lingkaran Vienna. Ia menekankan pentingnya bahasa yang empiris. Karya tulisnya dari 1937 menunjukkan kecenderungan itu yakni ―Truth‖ as Conceived by Those Who Are Not Proffesional Philosophers. Lantaran pemikirannya dalam perihal bahasa semantik yang bersifat empiris ini, banyak yang melihat bahwa perpindahan ketertarikan Naess pada ekologi sebagai sebuah patahan pemikiran yang terjadi secara tiba-tiba. Meski pun demikian, sebenarnya dapat ditemukan kesamaan pemikirannya dalam bidang bahasa dan bidang ekologi dalam dua hal yakni pertama kata dipahaminya 22
Sebagaimana dikutip oleh Warwick Fox, http://trumpeter.athabascau.ca/index.php/trumpet/ article/view/426/695, diakses pada Maret 2014.
76 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
sebagai sebuah term yang relasional. Ecosophy T-nya pun menekankan relasi antara manusia dan keseluruhan alam. Kedua, ia memandang komunikasi bahasa sebagai sebuah proses menuju tujuan akhir sebagai basisnya. Hal ini pun sejalan dengan ekologinya yang menekankan masa depan kehidupan alam semesta. Ia juga menulis banyak perihal filsafat ilmu pengetahuan, sejarah filsafat, dan masih banyak lagi. Ia juga mendirikan sebuah jurnal filsafat interdisipliner bertajuk Inquiry yang terbit dari 1958—1975.
4.2 Ecosophy T Menghadapi keadaan dunia yang semakin rusak ini, Arne Naess mengajukan sebuah pemikiran etika yang disebutnya dengan ecosophy T. Menurutnya, para pejuang, pemikir, dan pekerja yang mencurahkan kerja mereka untuk masalah ekologi haruslah menunjukan pentingnya ekosopi itu langsung pada sebuah norma dasar. Ecosophy T dapat dipahami sebagai sebuah konsep mengenai kerangka berpikir manusia tentang alam dan relasi manusia dengan alam itu. Ecosophy T merupakan totalitas kerangka berpikir manusia dengan alam dan juga bagaimana relasi manusia dengan hal itu. Kata ecosophy sendiri berasal dari kata bahasa Yunani yakni okis dan nomos yang digabungkan dengan sophia. Atau ecosophy bisa pula dilihat sebagai gabungan dua hal yakni ecology yang kita tahu merupakan ilmu pengetahuan tentang lingkungan hidup atau alam semesta secara keseluruhan dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi dapat diduga bahwa apa yang dimaksud dengan ecosophy adalah, secara sederhana, pengetahuan ekologis, pengetahuan tentang lingkungan hidup, keseluruhan alam semesta, yang dijalankan dengan bijaksana. Naess memaksudkan ekologi sebagai segala jaringan kehidupan di alam semesta yang mana terdapat komunikasi atau relasi antara manusia dengan alam, organisme dengan keseluruhan alam. Dengan demikian, bisa dikatakan ekosofi adalah sebuah relasi dengan alam yang bijaksana. Di sini, harus dicari lebih dalam apa yang dimaksud dengan berelasi secara bijaksana dengan alam tersebut. Demikian ungkap Naess, ―so an ecosophy becomes a philosophical world-view or system inspired by the condition of life in the ecosphere (sehingga suatu ecosophy
77 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
menjadi pandangan filosofis tentang dunia atau sistem yang terinspirasi oleh kondisi kehidupan di ekosfer)‖ (Naess, 1989: 38). Bagi Naess, kehidupan manusia dan segala yang dihadapi, dialami, serta diketahuinya tentang lingkungan hidupnya, semestanya, dunianya tidak bisa tidak selalu disumbangkan oleh lingkungan hidup itu sendiri. Setiap bagian dari alam semesta punya andil atau turut menyumbang untuk pengetahuan atau kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan ada sebuah hubungan korelasional antara alam semesta, lingkungan manusia dengan manusia itu sendiri. Pengetahuan pun dilihat Naess dalam kerangka ini. Pengetahuan adalah hasil dari korelasi kehidupan pada keseluruhan alam semesta. Penghormatan terhadap konteks inilah yang menjadi penekanan Naess yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan manusia. Sedikit banyak dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami apa yang dimaksudkan Naess dengan ecosophy. Pertanyaan berikutnya apakah yang dimaksudkan Naess dengan huruf T yang mengikuti di belakang kata ecosophy. T menurut David Rothenberg dalam pengantar buku Naess bertajuk Ecology, Community, and Lifestyle merujuk pada nama gunung yang digemari Naess yakni Tvergastein yang berarti menyeberangi bebatuan. Namun yang terpenting dari T ini adalah intuisi personalnya. Lebih jauh dikatakan Rothenberg bahwa dengan menyebutnya dengan T, yang dimaksudkan bahwa ada begitu banyak ekologi dari A sampai Z dan kita masing-masing dapat merujuk atau menentukan yang mana yang menjadi pilihan kita (Naess, 1989: 4-5). Naess memformulasikan ecosophy T (dengan penekanan pada T ) ini dengan T0 T1 = T0 + T1 Dengan demikian, Naess sebenarnya tidak menetapkan sesuatu tolok ukur yang patut diikuti. Justru yang ditekankan Naess adalah setiap orang bisa menentukan ecosophy-nya masing-masing. Namun demikian Naess bukan bermaksud bahwa semua manusia secara gampang bisa menentukan ecosophynya. Ada langkah-langkah atau prasyarat yang perlu dilewati sebelumnya. Pertama-tama individu manusia haruslah terlebih dahulu memahami dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Sebaliknya, ia juga perlu memahami, dan ini lebih penting, ia tak mungkin ada tanpa keseluruhan atau sebagian kecil saja dari alam semesta tak berfungsi maka keberadaan manusia
78 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
individu ini pun akan terancam. Dengan kata lain manusia individu punya peran yang besar dalam alam semesta, sebaliknya bagian terkecil dari alam semesta pun berperan besar pada kehidupannya. Dari pemahaman inilah nantinya manusia individu ini bisa melakukan realisasi diri (yang akan dibahas lebih jelas di bagian setelah ini). Pada titik ini kita menemukan perbedaan ekologi Naess dan beberapa ekologi lainnya. Jika sebelumnya kita tahu adanya sistem ekologi antropik yang menekankan manusia sebagai yang utama, pada Naess sebenarnya ia menekankan pada segala entitas dalam alam semesta. Dengan demikian bisa dikatakan pemikiran Naess bersifat biosentris yang mana melihat semua makhluk hidup sebagai bermakna. Makhluk biotis mau pun abiotis itu menyusun kehidupan di alam semesta ini sehingga dengan demikian keduanya sama bermaknanya, Pada dirinya, makhluk biotis dan abiotis itu punya andil dalam alam semesta. Kehidupannya atau keberadaannya menyumbangkan sesuatu pada keberlangsungan alam semesta. Dengan demikian yang diperhatikan bukanlah nilai guna dari makhluk biotis dan abiotis ini. Meski pun ecosophy T tidak bermaksud untuk mengabaikan sama sekali masalah nilai guna. Namun pada kenyataannya, perhatian pada nilai guna instrumentalis inilah yang membuat dunia menjadi rusak sana-sini.
79 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Diagram Ecosophy T
H4
N1 H1
H6
H2
H7
H3
N1
H5
N3
N2
N4
N5
H8
H9
H10
N6
N7
N8
H12
H13
H14
H15
N9
N10
N12
N13
H11
N1
N11 80 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Diagram tersebut adalah diagram tentang Ecosophy T karya Naess (1989: 209). Berikut ini merupakan keterangan untuk diagram tersebut. N1: Self-realisation (S). H1: The higher S attained by anyone, the broader and deepen the identification with others. H2: The higher the level of S attained by anyone, the more its further increase depends upon the S of others. H3: CS of anyone depends on that of all. N2: S for all living beings. H4: Diversity increase SP. N3: Maximum diversity. H5: Complexity maximizes diversity. N3: Maximum diversity. H5: Complexity maximizes diversity. N4: Maximum complexity. H6: Life resourcces of the earth are limited. H7: Symbiosis maximizes diversity. N5: Maximum symbiosis. H11: C S implies realization of all SP. H12: Exploitation reduces or eliminates SP. N9: NO exploitation. H13: Subjection reduces SP. N10: No subjection,. N11: Egalitarianism: all have equal right of SP. N12: NO class society. H15: Self determination favor realization of SP. N13: Maximum self determination.
81 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Pada diagram itu hal yang paling penting atau yang paling ditekankan oleh Naess adalah self realization yang dilambangkannya dengan N1. N1 ini muncul dalam beberapa tahap (tiga kali) dan menjadi fundamental. Mengapa ia fundamental karena tampaklah bahwa ia menjadi pokok dari keseluruhan di mana manusia menjadi anggota ekosistem mau pun entitas lain yang ada di dalam ekosistem itu sendiri. N2, N3, N4, dan N5 merupakan derivasi dari N1. Derivatif ini berimplikasi pada hipotesisnya. Berikut merupakan langah-langkah yang dianjurkan Naess untuk mencapai ecosophy personal:
Diagram Langkah-langkah Ecosophy B
P
C Level 1: Ultimate premises and ecosophies
Logical Derivation
Deep Ecology Platform
Questioning
Level 2: the 8-point deep ecology platform or principles
Level 3: General normative consequences and ―factual‖ hypotheses
Level 4: Particular rules or decisions adapted to particular situatuons Examples of kinds of fundamental premises: B = Buddhist C = Christian P = Philosophical (e.g. Spinozist or Whiteheadian)
82 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Menurut Naess, jika kepedulian terhadap permasalahan ekologis berdasarkan pengalaman peribadi maka hal ini merupakan proses kritisisme. Kritisisme berada pada Level 1. Pada Level 2 ini sudah bisa didapatkan melalui proses derivasi tadi. Norma fundamental seseorang bisa dilihat pada Level 2 ini yang mana menjadi filter (deep ecology platform). Filter ini berfungsi sebagai penyaring atau penguat sehingga norma dan hipotesis yang muncul nantinya merupakan norma dan hipotesis yang sesuai dengan 8 point deep ecology (mengenai ini akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya). Level 3 adalah konsekuensi yang dihadapi individu yakni sebuah situasi faktual yang membutuhkan tindakan nyata, Masuk ke dalam perihal pengalaman, Naess sesungguhnya menggunakan metode fenomenologi yang dikembangkan pertama kali oleh Edmund Husserl dan dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan beberapa filsuf setelahnya. Naess menggunakan apa yang disebut Gestalt yang merupakan sebuah bagian dari struktur intensionalitas. Intensionalitas sebagaimana yang diketahui dalam fenomenologi adalah proses keterarahan objek pada subjek dan sebaliknya bagaimana subjek mempersespi objek. Pengalaman dalam fenomenologi tidak selalu sama; ia merupakan sebuah kebaruan dalam setiap peristiwanya. Hal ini mengakibatkan pengalaman selalu berbeda. Naess misalnya menggambarkannya dengan contoh ketika kita mendengarkan melodi musik tertentu. Persepsi akan melodi ini haruslah mengandaikan adanya pengetahuan tentang nada-nada. Jika tanpa pengetahuan tentang nada ini maka pengalaman akan sebuah melodi tersebut akan jauh sama sekali (Naess, 1989: 57). Pengalaman akan nada-nada dan pengalaman akan melodi ini menjadi sebuah kesatuan total. Kita mengetahui nada do dan mi serta sol dan nantinya pengalaman kita akan susunan nada ini menjadi satu kesatuan melodi. Dengan demikian, dari hari ke hari, pengalaman yang didapatkan manusia memberikan kekayaan padanya. Gestalt adalah sebutan untuk intensionalitas yang hadir pada pengalaman. Gestalt ini merupakan hal yang penting dalam ecosophy T Naess. Gestalt menyangkut kompleksitas, simbiosis, dan keanekaragaman. Naess mengatakan demikian mengenai gestalt (Naess, 1989: 60—61),
83 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
―Are easily destroyed by attempts to analyse fragments of them conciously... [for example] some people can distinguish between species of birds in flight a great distance with great certainty even in dim light. Attempts to formulate precisely the telling characteristics (that is the individual components of the gestalt perception) prove to be futile, however, and can reduce one's ability to distinguish between species under difficult conditions.‖ ―Apakah dengan mudah dihancurkan oleh upaya untuk menganalisis fragmen-fragmen dari kesadaran mereka... [misalnya] beberapa orang dapat membedakan antara jenis burung dalam penerbangan jarak yang sangat jauh dengan kepastian besar bahkan dalam cahaya redup. Upaya untuk merumuskan secara tepat karakteristik jitu (yaitu masing-masing komponen persepsi ‗gestalt‘) terbukti sia-sia, namun, dan dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk membedakan antara spesies dalam kondisi yang sulit.‖ Sampai pada pemahaman tentang gestalt ini pada akhirnya akan membawa kita pada point pemikiran Naess berikutnya yakni menyangkut manusia ekologis.
4.3 Manusia Ekologis Gestalt sebagai bagian dari etika ecosophy T tadi pada akhirnya menciptakan manusia ekologis. Manusia yang sudah memiliki gestalt dan mengembangkan konsep ekosofi-nya akan menjadi manusia ekologis. Yang dimaknai sebagai manusia ekologis adalah manusia yang menyadari dirinya dalam kompleksitasnya dan keterkaitannya dengan alam. Di sini manusia sebagai self sudah merealisasikan dirinya menjadi Self yang memiliki totalitas. Dengan realisasi diri ini, pandangan manusia atas alam akan berubah. Manusia yang sudah mengalami realisasi diri akan melihat dirinya sebagai bagian dari alam dan terintegrasi dengan alam. Pandangannya akan alam akan berubah dari berpusat pada manusia menjadi berpusat pada keseluruhan alam itu sendiri. Realisasi diri ini tidak terjadi serempak dan sama pada setiap individu. Setiap orang akan mengalami realisasi dirinya masing-masing. Namun bagi Naess perbedaan ini tidaklah menjadi sebuah masalah sejauh itu kompatible. Karena, sekali lagi, pengalaman pada diri setiap manusia itu pun bersifat subjektif dan bukannya objektif. Di sini, kita melihat bahwa Naess sungguh mengikuti apa yang dijalankan atau dipahami dalam fenomenologi. 84 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Keseluruhan alam tidak mungkin atau sulit untuk dipahami oleh manusia secara bersamaan pada titik yang sama. Akan ada cara pandang dan cara melihat dengan penekanan pada titik-titik yang berbeda. Perbedaan titik pandang ini pada akhirnya menciptakan suatu keutuhan juga. Inilah kenapa bagi Naess tidak menjadi alasan bila realisasi diri itu berbeda-beda pada masing-masing orangnya jika dan hanya jika kompatible dengan alam itu sendiri. Sifat dari realisasi diri sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat bertumpu pada subjek itu sendiri. Justru realisasi diri ini bersifat terbuka dan aktif melihat ke luar dari dirinya. Tindakan realisasi diri dilihat sebagai gestalt bagi yang lain. Dan dengan realisasi diri harus pula dilihat tidak berbeda dengan realisasi diri dari yang lain bahkan membantu yang lain untuk mengembangkan dirinya.
4.4 Egalitarianisme Biosfer Dengan pandangan bahwa realisasi diri haruslah menempatkan dirinya sebagai gestalt bagi yang lain dan juga melihat bahwa realisasi dirinya tidak berbeda dengan realisasi diri dari yang lain maka kita masuk pada apa yang disebut sebagai egalitarianisme biosfer. Egalitarianisme adalah sebuah pandangan yang berasal dari kosa kata bahasa Prancis, egal, yang berarti sama. Egalitarianisme dengan demikian adalah pandangan bahwa seseorang atau sesuatu harusnya diperlakukan atau dilihat secara sama dan setara. Egalitarianisme biosfer dengan demikian tidak hanya menempatkan
egalitarianisme
dalam
taraf
manusia
semata
melainkan
membawanya pada keseluruhan alam. Dengan demikian egalitarianisme biosfer dimakusdkan sebagai sebuah cara pandang yang melihat semua makluk biotik mau pun non-biotik secara sama, sederajat dan merata, sejauh ia merupakan bagian dari alam semesta. Pandangan ini dengan demikian hendak menunjukkan konsekuensi lebih lanjut dari pemikiran etika Naess yang memulianya dengan gestalt. Ciri pengalaman manusia dalam intensionalitasnya dengan alam semesta adalah pengandaian bahwa pengalaman tidak pernah berdiri sendiri melainkan selalu dan senantiasa dalam kaitannya dengan konteks dan lingkungannya. Pengalaman yang berkembang dalam realisasi diri yang berujung pada Self yang menyadari
85 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
keberadaannya di tengah alam semesta tentu juga selalu ada dalam konteks alam semesta
itu.
Setiap
entitas
dalam
alam
semesta
dengan
demikian
menyumbangkan sesuatu pada pengalaman hidup itu sendiri. Di sini, harus dilihat bahwa manusia sebagai subjek ini pengalamannya selalu merupakan andil dari segala isi alam semesta. Dengan kata lain setiap entitas alam semesta punya nilai intrinsik dan ekstrinsiknya dalam hubungannya dengan alam semesta sebagai tempat di mana ia berada. Dengan begitu egalitarianisme biosfer adalah konsekuensi lanjutan dari manusia ekologis sebagai self yang telah merealisasikan dirinya sebagai Self yang menyadari keberadaannya di tengah alam semesta. Pada titik akhir ia lantas menerapkan kesederajatan setiap entitas dalam alam semesta dalam pandangannya. Namun jika sampai pada titik ini saja pemikiran Naess maka pemikirannya bisa dikatakan sebagai sebuah petuah moral tanpa ada aksi tertentu. Naess tentu saja bukan berhenti di situ. Ia lebih lanjut memformulasikan sebuah deep ecology sebagai gerakan.
4.5 Deep Ecology sebagai Gerakan Deep ecology yang dirumuskan Naess tidak berhenti hanya pada perihal teori yang merumuskan hubungan manusia dengan alam semesta. Ia lebih jauh mengajak manusia untuk memikirkan dan mengevaluasi hubungan manusia dan alam selama ini yang terejawantah dalam gaya hidup dan pola konsumsi; singkatnya perlakuannya terhadap alam. Namun, deep ecology lebih jauh dikenal sebagai sebuah gerakan. Gerakan deep ecology bisa dipahami sebagai gerakan yang mengajak manusia untuk mengubah gaya hidupnya sehingga sesuai dengan alam. Pemikiran Naess tentang deep ecology ini bisa dikatakan mendapat inspirasi juga dari beberapa pemikir sebelumnya antara lain Aldo Leopold, Dave Brower, Paul Erlich, John Muir, Henry David Thoreau, D. H. Lawrence, dll (Sessions, 1995: ix). Bisa dikatakan tahun 1972 adalah tahun yang penting dalam perjalanan pemikiran Naess tentang deep ecology. Ketika itu, Naess menuliskan sebuah artikel bertajuk Deep. Long-Range Ecology Movement dalam rangka sebuah konferensi di Bucharest. Namun, intuisinya akan pentingnya dan
86 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
kesejajaran alam dan manusia sudah sejak lama dirasakannya. Hal ini disumbangkan pertama-tama oleh aktifitas yang digemarinya yakni mendaki gunung. Pada awalnya deep ecology sendiri diformulasikannya sebagai sebuah intuisi kesadaran lingkungan. Dalam sebuah artikelnya yang lain, The Shallow and the Deep, long range Ecology Movement: A Summary, Naess menulis demikian (Sessions, 1995: 150), ―The emergence of ecologist from their former relative obscurity marks a turning point in our scientific communities. But their message is twisted and misused. A shallow, but presently rather powerful movement, and a deep, but less influential movement, compete for our attention. I shall make an effort to characterize the two. I. The Shallout Ecology movement: Fight against pollution and resource depletion. Central objective: the health and affluence of people in the developed countries. II. The Deep Ecology mouement: Rejection of the man-in-environment image a favor of the relational, total-field image. Organisms as knots in the biospherical net or field of intrinsic relations. An intrinsic relation between two things A and B is such that the relation belongs to the definitions or basic constitutions of A and B, so that without the relation, A and B are no longer the same thing. The total-field model dissolves not only the man-in-environment concept, but every compact thing-in-milieu concept-except when talking at a superficial or preliminary level of communication.‖ ―Munculnya ekologi dari ketidakjelasan relatif mereka yang dulu menandai titik balik dalam komunitas ilmiah kita. Tapi pesan mereka berputar-putar dan disalahgunakan. Sebuah gerakan yang dangkal, tapi sekarang gerakan tersebut menjadi agak kuat, dan mendalam, tetapi kurang berpengaruh dan bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Saya akan berusaha untuk mengkarakterisasi dua hal. I. Shallout Ekologi movement: Melawan polusi dan penipisan sumber daya. Objek utamanya: kesehatan dan kemakmuran masyarakat di negara-negara maju. II. The Deep Ecology movement: Penolakan gambaran manusia-di-dalam-alam yang mendukung relasional, gambaran-secara total. Organisme sebagai bagian dalam jaring biospher atau bidang hubungan intrinsik. Sebuah hubungan intrinsik antara dua hal A dan B adalah sedemikian rupa sehingga hubungannya memilik definisi atau konstitusi dasar A dan B, sehingga tanpa hubungan, A dan B tidak lagi ada hal yang sama. Model Total ini tidak hanya konsep manusia-di-dalam-lingkungan,
87 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tapi setiap benda yang kompak- di dalam-millie konsep-kecuali ketika berbicara pada tingkat dangkal atau level awal komunikasi.‖ Pada kutipan ini terbacalah bahwa Naess hendak membedakan sebuah pemikiran ekologinya yang berbeda dari para pendahulunya. Katakanlah ada sebuah pembaharuan yang hendak dicari Naess, di sana ditunjukannya kelemahan dari para pemikir ekologi sebelumnya. Baginya mereka hanya memikirkan ekologi sejauh ada dampak yang timbul dari manusia. Dengan kata lain pemikir ekologis yang dikatakan Naess ini masih berada dalam cuaca pemikiran antroposentris (berpusat pada manusia). Inilah letak perbedaan dengan deep ecology yang menolak antroposentris dan memikirkan alam semesta secara keseluruhan dan dalam waktu yang lebih jangka panjang. Pada kutipan di atas terlihat ada perbedaan yang dibuat Naess sendiri yakni shalow ecology dan bisa dibandingkan dengan deep ecology. Yang dimaksudkan Naess dengan shalow ecology adalah sebuah pemikiran ekologis yang berpusat pada manusia dan memikirkan ekologi sejauh hubungannya dengan kepentingan manusia. Perbedaannya dengan deep ecology adalah deep ecology mengutamakan non egoistik, memperhatikan pihak lain, dalam hal ini keseluruhan ekosistem alam, dan mencoba menciptakan sebuah bentuk tindakan baru darinya. Dari sana, Naess lantas memformulasikan apa yang disebutnya sebagai 8 poin deep ecology.
4.6 Delapan Poin Deep Ecology Naess, seperti yang diutarakan pada bagian sebelumnya memberikan delapan poin untuk menjelaskan apa itu gerakan ekologi dari sudut pandangnya yang menurutnya merangkumkan keseluruhan dari gerak ekologi itu sendiri. Kedelapan point ini sengaja dibuat sesederhana mungkin oleh Naess agar bisa dipraktikan dan diperhatikan serta dipahami oleh setiap orang, tidak hanya dari kalangan filsuf semata. Delapan poin itu adalah (Naess dalam George Sessions, 1995: 68),
The well-being and flourishing of human and non-human life on Earth have value in themselves (synonyms: intrinsic value,
88 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
•
• • •
• •
•
inherent worth). These values are independent of the usefulness of the non-human world for human purposes. Richness and diversity of life forms contribute to the realization of these values and are also values in themselves. Humans have no right to reduce this richness and diversity except to satisfy vital needs. The flourishing of human life and cultures is compatible with a substantially smaller human population. The flourishing of non-human life requires a smaller human population. Present human interference with the non-human world is excessive, and the situation is rapidly worsening. Policies must therefore be changed. These policies affect basic economic, technological, and ideological structures. The resulting state of affairs will be deeply different from the present. The ideological change will be mainly that of appreciating life quality (dwelling in situations of inherent value) rather than adhering to an increasingly higher standard of living. There will be a profound awareness of the difference between bigness and greatness. Those who subscribe to the foregoing points have an obligation directly or indirectly to try to implement the necessary changes. Kesejahteraan dan perkembangan hidup manusia dan bukanmanusia di Bumi memiliki nilai dalam diri mereka (sinonim: nilai intrinsik, nilai yang melekat). Nilai-nilai ini tidak tergantung pada kegunaan dari dunia bukan-manusia untuk tujuan manusia. Kekayaan dan keragaman bentuk kehidupan berkontribusi terhadap realisasi nilai-nilai ini dan juga nilai-nilai dalam diri mereka. Manusia tidak punya hak untuk mengurangi kekayaan dan keragaman kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya. Perkembangan kehidupan dan budaya manusia secara substansial kompatibel dengan populasi manusia yang lebih kecil. Perkembangan kehidupan bukan-manusia memerlukan populasi manusia yang lebih kecil. Campur tangan manusia atas dunia bukan-manusia terlalu berlebihan dan membuat situasi memburuk dengan cepat. Kebijakan karenanya harus diubah. Kebijakan ini mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi yang mendasar. Negara akan menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda dengan yang sekarang. Perubahan ideologis ke arah lebih banyak penghargaan akan kualitas hidup (tinggal dalam situasi nilai yang melekat) daripada mengikuti standar hidup yang semakin lebih tinggi.
89 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Akan ada kesadaran yang mendalam tentang perbedaan antara ukuran besar dan kebesaran. • Mereka yang berhubungan dengan poin di atas memiliki kewajiban langsung atau tidak langsung untuk mencoba menerapkan perubahan yang diperlukan.‖ Dari delapan poin di atas, terlihat bahwa Naess menempatkan manusia di nomor ke dua. Manusia harus menempatkan dirinya bukan sebagai tujuan dari alam semesta ini melainkan manusia harus melihat dirinya sebagai bagian dari keseluruhan hidup ini. Naess menekankan bahwa term ―life‖ pada poin 1 merujuk kepada apa yang diklasifikasikan oleh biologi sebagai ―non-living: sungai-sungai (batas air), pemandangan-pemandangan, ekosistem-ekosistem‖. Point kedua pun masih berbicara perihal kesamaan atau egalitarianisme ekologis. Pada point ketiga, Naess memasukan perihal manusia. Lebih khusus bagaimana manusia dan relasinya dengan alam. Point keempat dan kelima Naess memberikan semacam wanti-wanti jika pertambahan jumlah populasi manusia tidak dibendung. Secara politis, Naess pun memasukannya. Diperlukan, katanya dalam point keenam, kebijakan-kebijakan yang punya perspektif akan pentingnya alam. Sedangkan point ketujuh dan kedelapan Naess menekankan pentingnya hutan di mana di sanalah ekosistem ada. Ia juga mengingatkan perihal konsumsi manusia atas alam.
4.7 Rangkuman Delapan poin yang merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam gerakan ekologi ini seakan-akan merangkum keseluruhan pemikiran Naess. Di sana terdapat juga apa yang disebutnya sebagai Ekosofi T sebagai salah satu bentuk dari deep ecology. Ekosofi T secara substansial adalah realisasi-Diri (Selfrealization). Perlu ditekankan bahwa Diri (Self) ini bukan merujuk pada manusia saja. Diri (Self) ini merujuk pada diri yang tidak egoistis yang individual melainkan Diri dalam keseluruhan hubungannya dengan keseluruhan entitas di semesta atau sesuatu yang di dalam tradisi filsafat timur disebut atman. Demikian Naess, ―This large comprehensive Self (with a capital "S") embraces all the life forms on the planet (and elsewherel) together with their individual selves (jivas) (Konsep diri konprehensif yang luas ini (dengan modal "S") mencakup semua
90 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
bentuk kehidupan di planet ini (dan di tempat lain) bersama-sama dengan diri masing-masing (jivas))‖ (Naess dalam George Sessions, 1995 : 80). Dengan menempatkan Diri (Self) yang demikian, Naess tidaklah kembali menekankan manusia pada keegoisan a la humanism Barat melainkan menempatkan manusia sebagai makhluk yang pasrah dalam keberadaannya dengan segala entitas di alam semesta. Dengan kata lain, manusia menjalankan egalitarianisme biosfer. Manusia menjadi ada dan hidup serta memahami dan menjalani hidup hanya karena keberadaan dirinya bersama diri-diri lain dari entitas lain alam semesta dalam satu Diri yakni alam semesta; Diri individu manusia adalah Diri dari keterpautan segala ihwal alam semesta. Demikian terlihat, bahwa Naess berbeda di sini dengan Singer. Jika Singer masih melihat hanya beberapa segi saja manusia sama dengan binatang, Naes melihat manusia sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta. Karena ia adalah keseluruhan alam semesta, ia harus hidup dalam keharmonisan semua itu. Sedangkan, Singer dengan utilitarianismenya dan juga altruismenya menekankan kesamaan kebutuhan manusia dan hewan dalam hal hidup. Konsekuensinya, Naess cenderung kembali pada kebijakan-kebijakan lama yang bersifat rohani, Singer maju terus dalam soal menjalani hidup dengan baik dan menghormati kebutuhan masing-masing entitas hidup, lebih khusus manusia dan binatang. Perbedaan ini menjadi salah satu hal yang dibahas dalam tulisan ini.
91 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 5 ECO-PHILOSOPHY HENRYK SKOLIMOWSKI
5.1 Biografi Henryk Skolimowski Bab ini akan secara khusus memaparkan pemikiran Skolimowski. Pemaparan akan lebih berfokus pada penekanan manusia sebagai makhluk ber-roh dan dengan demikian ia memiliki unsur spiritual. Unsur inilah yang menjadi penting dalam hal pemeliharaan alam semesta yang bagaimana pun juga merupakan tugas yang akan dijalankan manusia. Dengan demikian bagian ini juga akan berusaha mencari akar dari spiritualitas yang kental dalam pemikiran Skolimowski. Penekanan pada manusia ber-roh ini juga yang menjadi perbedaan mendasar nantinya dengan pemikiran dari Singer dan Naess. Pada bagian ini, pertama, penulis akan memaparkan secara ringkas pertama riwayat hidup dan riwayat intelektual dari Skolimowski. Kedua, penulis akan melihat latar belakang pemikiran Skolimowski. Selanjutnya, ketiga, penulis akan berkonsentrasi pada karakteristik eco-philosophy dari Skolimowski yang terkenal itu. Henryk Skolimowski lahir 4 Mei 1930 di Warsawa, Polandia. Seperti yang kita tahu, di zaman itu sedang berkecamuk Perang Dunia II namun jika menilik dari tahun kelahirannya, Skolimowski tidak terlalu merasakan zaman tersebut. Skolimowski remaja (14 tahun kala itu) sempat berjuang menghalau Jerman yang datang untuk menduduki Polandia pada 1944. Tercatat, pada tahun itu ribuan orang dibantai oleh NAZI Jerman dan kota-kota Polandia dibakar habis saat itu. Di Polandia ini juga Jerman membangun beberapa Kamp Konsentrasi kerja paksa Yahudi yang besar. Namun, barangkali pengalaman di kala remaja ini memberi semacam titik pencerahan untuk Skolimowski. Hidupnya yang berkecukupan di Warsawa tidak berarti ketika Jerman memasuki kota itu. ia melihat bahwa materi tidak berarti apa-apa dan hidup baginya perlu digeluti dan tidak diterima begitu saja. Dengan menggeluti hidup, manusia menemukan hakikat dirinya sebagai manusia.
92 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Skolimowski muda sebenarnya terpengaruh dengan filsafat moral stoik— kaum yang mengembangkan ide Diogenes—yang mana aliran tersebut sedang berkembang di Polandia. Namun pada 1945, di Polandia mulai muncul Marxisme yang lantas menjadi ideologi pada era 1950-an. Bagi Skolimowski, komunisme merupakan ideologi yang dipaksakan pada individu-individu dengan bayangbayang ilusif. Baginya masa depan yang dibayangkan ideologi ini tak akan pernah terwujud. Namun baginya, dari Marxisme, ada hal yang positif yakni merangsang munculnya sifat altruis dalam diri manusia. Masa kuliahnya dimulai pada 1950 dengan masuk di Institut Teknologi Warsawa pada jurusan geodesi. Ia mendapat gelar Master of Science pada 1956. Selanjutnya, Skolimowski melanjutkan studinya di jurusan filsafat Universitas Oxford. Gelar Master of Art diraihnya pada 1959 di bidang filsafat bahasa di bawah bimbingan Tadeus Kotarbinski. Namun tesisnya mengenai filsafat matematika dan logika. Lima tahun kemudian, ia meraih gelar doktor filsafat dari kampus yang sama. Edmund Popper adalah pemikir yang cukup menginspirasi Skolimowski kala itu. Dari pemikiran Popper tentang filsafat sains, ia menemukan bahwa sains, filsafat, dan ilmu lainnya menjadi berarti hanya jika mendalami refleksi perihal manusia. Selanjutnya, Skolimowski tercatat sudah mengajar di banyak kampus seperti Universitas Oxford, Universitas Michigan, Universitas Kalifornia Selatan, serta di tanah airnya, di Universitas Lodz. Ia pun menjabat sebagai anggota komite Manusia dan Lingkungan di Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia. Banyak jabatan lain yang pernah diembannya seperti dari UNESCO. Sejauh ini, Skolimowski sudah menulis kurang lebih empat puluh buku serta banyak artikel yang tersebar di pelbagai jurnal. Beberapa di antaranya antara lain Polish Analytical Philosophy (1967), Eco-Philosophy: Design New Tactics for Leaving (1981), Technology and Human Destiny (1983), The Theatre of Mind: Evolution in Sensitive Cosmos (1984), dan lain-lain.
93 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
5.2 Hubungan Kosmologi, Filsafat, dan Tindakan Bagi Skolimowski (1992: 6), pandangan manusia tentang dunia perlu mengalami perubahan. Selama ini, kerapnya manusia dipisahkan dengan alam dalam pemikiran manusia tentang dunia. Hal inilah yang menurut Skolimowski bermasalah. Pemahaman tentang manusia dan alam tidak perlu dipisahkan karena manusia bertempat tinggal di alam. Skolimowski lantas mencoba untuk membentuk pemahaman akan alam yang baru yang dikenal dengan ecocosmology. Eco-cosmology ini merupakan perpaduan antara kosmologi saintifik, filsafat dan juga tindakan manusia itu sendiri. Albert Schweitzer dan Immanuel Kant adalah dua pemikir yang pada mereka berhutanglah eco-philosophy dari Skolimowski ini. Menurut pandangan Skolimowski, berbagai macam krisis yang sedang terjadi di bumi saat ini berakar dari pemikiran yang sempit perihal hubungan manusia dan alam. Lebih jauh, pandangan tersebut berakar pada kosmologi sains yang kental dengan metodologi sains di mana hanya bisa diterapkan pada lingkup observasi dan juga kaidahkaidah ilmiah. Apa yang ditekankan adalah konsep verifikasinya (Skolimowski, 1992: 142--144). Bagi Skolimowski, pandangan kosmologi saintifik alam merupakan alam yang mekanistik dan deterministik. Menurutnya hal itu perlu diubah karena alam semesta kita adalah alam semesta yang terus berkembang. Hal ini secara konsekuensi membuat kita melihat segala entitas yang ada di dalam alam semesta ini sebagai entitas yang secara dasariah terkait. Ekologi dengan demikian dapat dipahami sebagai, ―suatu aliran ilmu pengetahuan yang saling menghubungkan dan saling mengikat, serta menyatukan semua penghuni alam semesta, termasuk manusia dan entitas-entitas alam semesta lainnya yang berada di luar manusia‖ (Skolimowski, 1992: 3). Lebih lanjut Skolimowski melihat dampak dari kosmologi saintifik yang pada akhirnya membuat manusia dilihat tak lebih dari sekadar sekumpulan materi karena manusia bekerja menurut rumusan biologis tertentu. Dengan demikian Skolimowski menyayangkan dampak dari pemikiran yang demikian di mana unsur transendensi manusia menjadi hilang. Tidak heran individualisme dan instrumentalisme mengemuka dalam pemikiran dan kehidupan sehari-hari
94 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
manusia. Kosmologi saintifik juga mengakibatkan asumsi dasar imperatif teknologi berkembang pesat. Nilai-nilai baru dari imperatif teknologi ini ditambahkan pada nilai lama yang mana keduanya ada secara bersamaan dalam kehidupan manusia. Kosmologi bisa menentukan bagaimana manusia bertindak terhadap realitas. Hal ini terjadi karena adanya suatu hubungan dasariah antara kosmologi dan tindakan itu sendiri. Kosmologi sebagai metafisika menjadi pendasaran pemahaman manusia akan alam semesta. Di sini alam semesta dapat didefinisikan sebagai, ―totalitas kenyataan dari peristiwa-peristiwa di alam.‖23 Pandangan kita mengenai alam, menurut Skolimowski, mempengaruhi pola dasar tindakan kita atas semesta itu sendiri. Pengaruh positivisme membuat manusia zaman ini, menurut Skolimowski lagi, tidak memahami hubungan dari kedua hal itu (Skolimowski, 1992: 31). Positivisme memisahkan pengetahuan faktual dengan sains. Apa yang menjadi konsentrasi Skolimowski adalah tindakan manusia modern yakni tindakan teknologis. Baginya tindakan pada hakekatnya selalu mempunyai makna dan maksud tertentu Apa yang terjadi pada masa sekarang ini menurut Skolimowski adalah tindakan sangat mendominasi kehidupan namun bersamaan dengan itu juga miskin refleksi atasnya. Hal ini bersumber juga pada pragmatisme dalam filsafat yang membuat segala tindakan manusia dewasa ini miskin akan refleksinya. Hal ini tampak misalnya pada pencapaian sains yang positif tidak pernah dipertanyakan dampak dan konsekuensi negatifnya bagi kehidupan serta alam semesta. Pemahaman seperti ini membuat kita berasumsi bahwa alam ini hanyalah keranjang sampah dan kita bertindak secara eksploitatif terhadap alam dalam laku konsumtif kita. Hal ini berdampak pula pada kemanusiaan dalam kehidupan manusia di mana kemanusiaan teralienasi, terpecah, dan terbunuh. Manusia kerap memburu sumber daya alam dan merendahkan eksistensi manusia lain (Skolimowski, 1992: 15). Di dalam filsafat, empirisisme adalah buah dari kosmologi mekanistik yang demikian ini. Empirisisme mendasarkan pengetahuan pada fakta dan juga angka-angka di mana menurut Skolimowski ini akan berdampak pada dihilangkannya spiritualisme, metafisika, serta juga makna dan esensi hidup 23
Lihat Kim Jaegwon dan Ernest Sousa, A Companion to Metaphysics, Massaschutets: Blackwell Publisher, 1995. Hlm. 104.
95 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
manusia. Dampak lainnya dengan demikian adalah perlakuan pada alam yang diobyektivikasikan, dipecah-pecah, dan dilihat sebagai instrumen belaka. Hal ini tertentu saja berdampak pada penghancuran alam dan manusia. Skolimowski memproposalkan kembali pada pemahaman kosmologi tradisinoal di mana alam dipahami dalam relasi dan hubungan yang harmonis, serasi, ramah dan penuh dengan rasa keindahan. Alam semesta adalah rumah bagi manusia yang sekaligus juga menjadi penghuni, perawat, dan penjaga alam semesta itu. pemahaman kosmologi yang baru menjadi penting menurut Skolimowksi melihat dampak dari pemahaman saintifik kosmologis yang disebutkan di atas (Skolimowski, 1992: 16). Yang diajukannya kemudian adalah apa yang disebut dengan eco-cosmology. Ini merupakan konstruksi pemahaman baru yang dibentuk Skolimowksi berdasarkan pemahaman kosmologi yang sudah ada, termasuk kosmologi saintifik, dengan penekanan dan porsi yang besar pada kosmologi tradisional. Eco-cosmology ini menjadi latar atau metafisika dari pemikiran Skolimowski yakni eco-philosophy. Ini bersumber pada Immanuel Kant, Albert Schweitzer dan terdiri dari tujuh komponen dasar yang diambil dari unsur kosmologi saintifik, etika, filsafat, serta teologi. 5.3 Dasar dan Struktur Eco-Cosmology24 Kosmologi menurut Skolimowski selalu berelasi dengan filsafat. Ia juga berdiri di atas asumsi-asumsi filsafat tertentu yang sudah ada. Eco-cosmology Skolimowski punya tujuh tiang dasar yang diambilnya dari beberapa aliran dan pemikiran yakni dari Immanuel Kant, Albert Schweitzer, dan Karl Marx. Pada dua nama pertamalah konsep-konsep penting eco-cosmology berasal. Kant digunakan Skolimowski karena Kant adalah pemikir yang memberi pendasaran akan hal mendasar dari perkembangan ilmu pengetahuan di kemudan harinya. Kant menyelesaikan pertanyaan krusial perihal kebenaran niscaya dari ilmu pengetahuan. Selain itu juga Kant menyelesaikan perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme. Dan juga yang terpenting, Kant menekankan kebenaran moral yang menjadi penting dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Skolimowski, 1992: 89). Inilah hal terpenting Kant yang dicatat Skolimowski. 24
Disarikan dari Living Philosophy (Skolimowski, 1992: 87—92).
96 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Pada Karl Marx sesungguhnya Skolimowski tidak mengambil dasar filosofis dari materialisme historis. Namun keprihatinan Marx atas kaum yang tertindas oleh sistem kapitalisme menjadi sebuah sumbangan penting bagi Skolimowksi. Namun idealisme Marx ini bagi Skolimowski bertentangan dengan religiositas yang justru menurut Skolimowski sangatlah penting. Sedangkan pada Zchweitzer, Skolimowski berhutang pada konsep Schweitzer dalam konsep Schweitzer yakni Reverence of Life (penghormatan akan kehidupan). Namun menurut Skolimowski, konsep ini salah diinterpretasi oleh para pengikut etika lingkungan di mana kehidupan harus dihormati karena melawan kehidupan adalah tindakan yang tidak produktif. Bagi Skolimowski, yang justru bertentangan dengan para pengikuti Schweitzer, dengan menghormati kehidupan di alam ini, kita mengakui bahwa kehidupan di alam itu suci. Ia menjadi tujuan dan bagian dari eksistensi manusia. Tafsiran yang salah atas Schweitzer ini menurut Skolimowski berdasarkan pada pemahaman bahwa alam selalu peduli pada kita di dalam etika lingkungan hidup. Pandangan seperti ini kerapnya disalah-artikan secara instrumentalistik oleh para pengikut aliran biosentrisme Albert Schweitzer di mana alam dipelihara sejauh berguna pada manusia. Bagi Skolimowski kita harus merawat alam karena alam itu suci. Menghadapi pemahamannya yang demikian, Skolimowski mendasarkan pemikirannya pada tujuh pokok prinsip yakni: prinsip antropik, evolusi sebagai proses perkembangan yang kreatif, pemikiran yang partisipatoris, keterarahan yang terimplikasi, teologi pengharapan, penghormatan atas kehidupan, dan eco ethic. Kita akan mencoba membahas secara ringkas satu per satu dari pokok prinsip di atas. a. Prinsip Antropik Prinsip Antropik sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap prinsip antroposentrisme. Prinsip ini berkembang terutama sejak masa pencerahan di mana manusia, dalam posisinya dengan kosmos, dilihat sebagai pusat dari kosmos itu sendiri. Di dalam etika lingkungan hidup pun antroposentrisme dipandang demikian; manusia menjadi pusat alam semesta. Lebih jauh, kepentingan manusia dan manusia itu sendiri dalam tatanan ekosistem paling menentukan dan
97 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
diperhatikan sesuai dengan kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam.25 Di dalam pemikirannya tentang eco-cosmoloy, Skolimowski tidak lagi mengamini prinsip antroposentrisme ini melainkan ia menggunakan prinsip antropik yang menurutnya merupakan konsekuensi atau perkembangan lebih lanjut dari kosmologi saintifik. Konsep antropik sendiri bukan sesuatu yang asli dari pemikiran Skolimowski. Sejak 1958, konsep ini sudah muncul dari pemikir Robert Dicke. Namun sebutan prinsip antropik sendiri belum muncul kala itu. Barulah pada 1967 nama itu digunakan oleh Brandon Carter dalam penelitiannya mengenai batasan-batasan
fisika
mikro
dalam
kosmologi.26
Prinsip
antropik
ini
sesungguhnya dimulai dari pencarian perihal bagaimana manusia bisa muncul di dalam alam semesta ini. Prinsip antropik menyatakan bahwa adanya alam semesta terkait dengan adanya manusia sebagai penghuni di dalam alam semesta itu. Alam semesta yang ada kini merupakan hasil perubahan peristiwa-peristiwa fisika di alam semesta. Dan proses ini punya pola dan tujuan tertentu. Prinsip antropik pun secara tegas mengimplikasikan tanggung jawab manusia sebagai penghuni alam semesta atas proses perkembangan alam semesta itu sendiri. b. Evolusi sebagai Perkembangan Kreatif Evolusi pada dasarnya adalah pemikiran yang berasal dari Charles Darwin. Namun ketika Darwin membicarakan evolusi manusia, ada seorang pemikir lain yakni Teillhard De Chardin27 yang membicarakan evolusi dalam perihal mental manusia. Pada nama kedua inilah Skolimowski mengambil inspirasinya. Skolimowski menekankan bahwa evolusi merupakan suatu perantara dari prinsip antropik untuk menyatakan dirinya. Evolusi adalah juga proses yang berkelanjutan dan merupakan hasil interaksi dari hukum-hukum alam yang sudah ada lebih dahulu. Evolusi bukan hanya suatu proses yang kompleks namun juga esensial.
25
Lihat A. Sonny Keraf, Etika Lungkungan Hidup, (Jakarta: Penerbit Kompas), 2010, hlm. 47. Lihat Helge S. Kragh, Conceptions of Cosmos: From Myths to Accelerating Universe (A History of Cosmology), (Oxford: Oxford University Press), 2007, hlm. 238—239. 27 Pierre Teilhard de Chardin adalah seorang filsuf yang berprofesi sebagai paleontologis dan imam Yesuit. Pemikiran filsafatnya merangkum berbagai tema, dari kosmologi, biologi, fisika, antropologi, sosial, hingga teologi. Chardin berupaya mendamaikan ilmu pengetahuan modern, terutama permasalahan evolusi, dengan agama Kristen. 26
98 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
c.
Pemikiran yang Partisipatoris Skolimowski menekankan pentingnya pemahaman yang jelas dalam
pemikiran kosmologi bagaimana peran manusia di alam semesta. Atau dengan kata lain bagaimana baiknya dan tepatnya cara manusia berinteraksi di alam semesta ini. Hal itu kerap dilupakan dalam pemikiran kosmologi. Bagi Skolimowski hal ini bersumber juga pada pelupaan akan pentingnya partisipasi pikiran dalam pembentukan evolusi di dalam kehidupan di alam ini. Ecocosmology menekankan selain alam semesta yang membentuk dirinya juga pemikiran kita yang membentuk pengetahuan untuk berelasi dengan alam. Pengetahuan merupakan hasil dari penyaringan data empiris yang dilakukan oleh pikiran. Partisipatoris terletak di sini yakni pemahaman kita tentang dunia selalu disampaikan kepada dunia melalui berbagai bentuk bahasa dan hasil pengetahuan yang merupakan struktur bangunan pemikiran kita. Pemikiran yang partisipatoris membuat kita melihat dunia dengan cara pandang yang baru serta memperkaya pemahaman kita terhadap martabat dan kebebasan kita sebagai individu. Implikasinya adalah manusia harus lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini sebagaimana alam semesta bertanggung jawab terhadap kehidupan manusia. d.
Keterarahan yang Terimplikasi Keterarahan yang terimplikasi merupakan turunan dari konsep fisika
kuantum dari David Bohm. Dalam hubungan konsep tersebut dengan ecocosmology, Skolimowski menekankan beberapa hal. Cara kita menggambarkan bahasa ilmu pengetahuan kerapnya realitas dibagi bagaikan atom-atom. Yang mana hal ini tidaklah cukup untuk menggambarkan kompleksitas realitas itu sendiri. Entitas-entitas alam semesta meskipun terpisahkan namun punya hubungan yang rumit antara satu dengan yang lainnya. Setiap entitas di alam semesta saling terkait dengan ikatan dasariah secara kosmologis. Dengan demikian alam semesta terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait di mana mereka juga saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pemahaman yang demikian merupakan pemahaman yang holistik mengenai alam semesta. Yang terpenting dari pandangan ini menurut
99 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Skolimowski adalah alam merupakan satu kesatuan dari berbagai entitas yang berbeda namun saling terhubungkan dan karenanya saling mempengaruhi. Menurut Skolimowski, tiga pilar pemikiran yang sudah disebutkan di atas khusus berhubungan dengan moralitas dalam konteks relasi antara manusia dan alam semesta. Bisa dikatakan tiga pilar di atas masuk dalam perihal etika. Dasar dari eco-cosmology berikutnya adalah teologi pengharapan. e. Teologi Pengharapan Pengharapan menurut Skolimowski merupakan bagian dari struktur ontologis (cara berada) manusia. Sedangkan harapan dipahaminya sebagai pernyataan kembali akan kepercayaan kita pada kehidupan kita di alam semesta ini. Hal ini merupakan salah satu kualitas dasar kemanusiaan. Harapan penting untuk eco-cosmology karena pertama harapan adalah kekuatan yang dibutuhkan dalam transendensi. Dengan kata lain harapan adalah kehendak yang terus memberi semangat dan energi pada pemikiran yang partisipatiros. Alasan kedua adalah bahwa harapan merupakan suatu kepastiaan kepekaan akan kemanusiaan yang mendalam, yang memerlukan pengakuan, kesabaran, solidaritas, keberanian dan tanggung jawab. Harapan mutlak ada dalam suatu kosmologi. Apalagi eco-cosmology yang mengakui kebesaran alam semesta. f. Penghormatan akan Kehidupan Hakikat prinsip ini bersumber pada etika dan ilmu pengetahuan yang menurut Skolimowksi keduanya tak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia (Skolimowski, 1992: 23). Penghormatan pada kehidupan merupakan konsekuensi perkembangan kesadaran bahwa betapa kompleksnya dan kuatnya perkembangan evolusi. Melalui hidup yang sudah ada dan juga melalui ilmu pengetahuan yang terus berkembang pantaslah kiranya kita memberi hormat pada kehidupan yang memungkinkan kita berada di alam semesta ini. Penghormatan itu dapat diwujudkan melalui empati dan kasih yang harus diungkapkan melalui tindakan. Bentuk empati dan perasaan haru tersebut merupakan bagian dari cara kita mengetahui atau segi epistemik manusia. Namun menurut Skolimowski, wujud pertama dari pengharagaan terhadap kehidupan didapatkan melalui etika ekologi (eco-ethics).
100 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
g. Eco-ethics28 Etika ekologis merupakan perluasan dan pernyataan yang konkret dari eco-cosmology. Ini merupakan cara yang mendasar dari pernyataan akan ide alam semesta yang terimplikasi dan ide evolusi yang kreatif. Selain itu, etika ekologi mengambil bagian dalam pemaknaan dan tujuan keseluruhan dari prinsip antropik. Dalam prinsip antropik evolusi adalah salah satu proses untuk menciptakan kehidupan dan melibatkan secara absolut keberadaan pemikiran yang partisipatoris. Dalam eco-cosmology alam semesta dipahami sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang saling tergantung antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena kesadaran akan hal tersebut, untuk dapat membawa hal tersebut ke dalam level sosial, etis, dan spiritual, harus ada suatu media perantara yakni etika ekologis dan penghargaan akan kehidupan. Nilai-nilai dasar etika ekologis, pertama penghargaan akan kehidupan. Kedua, adalah tanggung jawab akan kehidupan di alam ini dan seisinya, termasuk manusia. Nilai yang ketiga, penghematan yaitu hidup dengan sewajarnya dan seperlunya. Sedangkan
yang
keempat, pencapaian kebijaksanaan
dalam
menggunakan teknologi yang dihadap-hadapkan dengan penggunaan informasi dengan sewenang-wenang. Kelima, aktualisasi diri yang dihadap-hadapkan dengan konsumsi berlebihan akan hasil teknologi canggih. Etika ekologi ini sesungguhnya merupakan pernyataan akan pemahaman yang lebih jauh tentang pewarisan kehidupan dan evolusi. Aktualisasi diri yang dimaksudkan di point kelima di atas dimaksudkan sebagai bersikap bijaksana dengan tidak hanya memenuhi segala kebutuhan materi dan kebutuhan dasariahnya tetapi juga selalu mengadakan suatu pembaruan kesadaran di mana seluruh aspek kemanusiaan tercapai secara seimbang dan tidak tergantung kepada kebutuhan material belaka. Menurut Skolimowski, dari tujuh prinsip di muka dapat dilihat bagaimana keterkaitan antara bagian-bagiannya dengan yang lainnya. yang terpenting adalah adanya perubahan cara pandang kita tentang dunia. Lebih konkret lagi, hal ini berhubungan dengan perubahan secara menyeluruh cara berpikir kita yang 28
Disarikan dari Living Philosophy (Skolimowski, 1992: 24).
101 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dasariah mengenai realitas. Eco-philosophy merupakan nama untuk cara berpikir yang baru tersebut. Skolimowski mengintegrasikan suatu ilmu pengetahuan dan aspek kemanusiaan yang bersifat holistik dan membawa perubahan baru yang benar-benar penting. Eco-philosophy merupakan lanjutan dari eco-cosmology dan merupakan pernyataan yang lebih mendalam dari eco-cosmology. Maka itu, pada bagian berikutnya kita akan masuk pada dua belas karakteristik eco-philosophy.
5.4 Dua Belas Karakteristik Eco-philosophy Skolimowski memberikan dua belas karakteristik Eco-philosophy yang terkait
dalam
perbedaannya
dengan
kaharakteristik-karakteristik
filsafat
kontemporer. Karakteristik-karakteristik Eco-philosophy ini merupakan suatu representasi dari keseluruhan kepercayaan untuk memperoleh suatu skema konseptual yang menyeluruh dan mencakup, yang memungkinkan kita untuk bisa mengakomodasi dan mengartikulasikan variasi dari hubungan-hubungan baru yang niscaya bagi suatu pandangan dunia yang secara ekologis sehat dan secara manusiawi harmonis. Pada akhirnya, keterkaitan essensial dalam perbedaan di antara Echo-philosophy dengan Filsafat Kontemporer menandakan suatu paradigma yang secara total berbeda. 1. Eco-philosophy berorientasikan kehidupan. Sementara itu, filsafat kontemporer berorientasi bahasa. Filsafat analitik sibuk dengan tanggung jawab untuk memberikan bukti yang memuaskan terhadap semua pernyataan ilmiah. Padahal filsafat, yang secara essensial bersifat publik dan sosial, pada dasarnya hanya memiliki suatu justifikasi, yakni peningkatan Hidup. Oleh karena itu, menjalani hidup dengan serius adalah tujuan yang lebih penting, ketimbang ‗keharusan‘ memberikan justifikasi atas hal-hal khusus dalam kehidupan. 2. Eco-philosophy memaknakan komitmen kepada nilai-nilai manusia, alam, dan hidup itu sendiri. Sebaliknya, filsafat akademik berkomitmen kepada objektivitas dan fakta-fakta. Padahal hidup, sebagai suatu fenomenologi ontologis, tidak mengenali objektivitas. Objektivitas merupakan suatu bentukan pikiran kita (model penafsiran) dan tidak benar-benar berakar di realitas fisik. Terkait dengan itu, metodologi dalam filsafat akademik menjadi suatu ancaman, karena tidak lagi menjadi suatu sarana yang membantu, namun cenderung menjadi suatu substitusi
102 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dari proses berpikir. Terlebih lagi ketika eskatologi diterjemahkan kepada metodologi, makna kehidupan manusia direduksi hanya pada aspek fisik, biologis dan ekonomis. Eco-philosophy berupaya untuk membalik ketidakwajaran ini dan memelihara kehidupan dalam suatu pengertian yang fundamental. 3. Eco-philosophy secara spiritual hidup; karena ia menempatkan dirinya kepada perluasan-perluasan ultim dari fenomena manusia. Perluasan-perluasan ini mengejawantahkan hidup dari roh, yang tanpanya manusia tidak lebih dari binatang. Spiritualitas merupakan suatu instrumen yang memampukan kita untuk mengolah diri kita secara terus menerus dan di sisi lain merupakan suatu state of being (keberadaan eksistensi manusia). Sebaliknya, kebanyakan filsafat masa sekarang secara spiritual mati, karena menempatkan dirinya kepada problemproblem dan bidang-bidang yang secara sistematik mengekslusikan hidup dari roh. Bahasa, konsep dan validitas filsafat meniadakan segala sesuatu yang berkaitan dengan spiritualitas sebagai sesuatu yang tidak valid dan tidak koheren. 4. Eco-philosophy bersifat komprehensif dan global. Eco-philosophy bersifat komprehensif bukan karena yakin tidak dapat dikritik sehingga dapat mencakup dan menjelaskan semuanya, melainkan komprehensif dalam arti keniscayaan bahwa kita tak punya pilihan untuk melihat dunia dalam suatu cara yang komprehensif, terkait dan global. Sebaliknya, filsafat kontemporer bersifat analitis dan fisis (terpilah/terpotong). Padahal tekstur ultim kehidupan mengharuskan suatu pendekatan mendalam dan mengasumsikan bahwa ada halhal yang tak dapat dianalisis dengan menggunakan sarana analitik (eskatologi bersifat tak-analitis). Pemikiran tentang realitas bagaimanapun tidak dapat dilemahkan dengan mudah oleh bingkai-bingkai pedoman saintifik. 5. Eco-philosophy terkait dengan pencarian akan kebijaksanaan, sedangkan kebanyakan filsafat yang ada terarah kepada penambahan informasi. Kebijaksanaan terletak dalam penggunaan pertimbangan yang senyatanya tak dapat dikuantifikasi. Maka, kebijaksanaan juga secara essensial tak-dapatdikuantifikasi. Oleh karena itu, pengaruh dari masyarakat dan pendidikan yang bersifat kuantitif dapat mengarah kepada pengambilan keputusan dengan dasar fakta-fakta, bukan dengan pertimbangan.
103 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
6. Eco-philosophy sadar akan lingkungan dan ekologis, sebaliknya filsafat kontemporer akademik cenderung mengabaikannya. Dengan kediamannya (pengabaiannya) pada ekologi, filsafat kontemporer berpartisipasi dalam konspirasi pengabaian. Di samping itu, filsafat kontemporer secara tidak langsung mendukung pandangan bahwa segala sesuatu merupakan objek observasi bagi para spesialis. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan mengenai lingkungan dan ekologi dihibahkan kepada para spesialis; ekonomikus, politikus, teknisi dan lainnya. 7. Eco-philosopy terkait dengan ekonomi yang meningkatkan kualitas hidup. Sementara, filsafat-filsafat akademik barat terkait dengan ekonomi yang berorientasikan kemajuan material. Filsafat akademik dominan dipengaruhi oleh empirisime, yang memberikan suatu justifikasi filosofis bagi kemajuan material dari ilmu ekonomi. Eco-philosophy percaya bahwa suatu ilmu ekonomi yang mendasari kualitas hidup berada dalam konflik dengan hidup itu sendiri. Tuntutan-tuntutan yang mempengaruhi masa depan masyarakat dan individuindividu yang hidup di dalamnya harus menjadi perhatian para filsuf. 8. Eco-philosophy sadar secara politis; manusia membuat pernyataan politis tidak selalu dengan jalan memberikan suara tapi dengan caranya hidup. Dalam hal ini, apa pun tindakan seseorang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan orang-orang lain. Misalnya, keadaan pekerja-pekerja dari negara dunia ke-tiga secara tak langsung berkaitan dengan cara kerja negara-negara industri mengendalikan usaha mereka. Filsafat kontemporer cenderung secara politis acuhtak acuh, sehingga hasilnya seringkali benar-benar berujung pada ketidakadilan dan ketidakmerataan. 9.
Eco-philosophy
memperhatikan
atau
bertanggung-jawab
akan
kesejahteraan masyarakat, sebab masyarakat harus dilihat sebagai suatu instrument manusia untuk menjadi sempurna; suatu model dari modes of our spiritual being (cara berada makhluk spiritual). Sebaliknya, filsafat akademik memperlakukan masyarakat sebagai objek penelitian analitis, dengan sedikit perhatian pada kesejahteraan masyarakat. Banyak filsuf kontemporer menganggap masyarakat sebagai suatu kumpulan mekanistik yang dapat diobservasi dengan
104 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
memakai hukum-hukum statistik. Suatu perlakuan yang demikian berujung pada ketidakadilan. 10. Eco-philosophy bersikap vokal terhadap pertanggung-jawaban individual. Sebab Eco-philosophy percaya bahwa kehendak manusia merupakan suatu manifestasi dari yang-Ilahi. Dengan demikian Eco-philosophy menuntut bahwa manusia harus bertanggung jawab penuh bagi segala sesuatu. Sebaliknya, Filsafat Kontemporer bersikap diam akan pertanggung-jawaban individual. Dunia mekanistis yang dihasilkannya merupakan dunia dimana secara progresif kehendak, imajenasi dan inisiatif kita perlahan-lahan digantikan dengan alat-alat mekanis. Dalam hal ini, kekerasan seringkali merupakan hasil dari kegagalan pencarian kita akan tanggung jawab dan inisiatif. 11. Eco-philosophy bersikap toleran akan fenomena transfisik, sebaliknya filsafat kontemporer bersikap intoleran. Epistemologi saat ini—berorientasikan analitik dan hanya merupakan catatan kaki semata dari epistemologi empiris— selalu menuntut justifikasi dalam kerangka kerja empiris dan berbagai macam metodologinya. Padahal, ada banyak fenomena yang tidak dapat dijustifikasi dalam bingkai pemahaman empiris (misal telepati atau fenomena paranormal). Eco-philosophy
mengakhiri
monopoli
ini,
karena
ia
meyerukan
suatu
epistemologi pluralistik—berakar pada kehidupan, dan berorientasikan kosmos— yang dirancang untuk menginvestigasi orders of being (aturan berada) dan orders of knowledge (aturan pengetahuan) yang mana bersifat fisik dan transfisik. 12. Eco-philosophy sadar akan pentingnya kesehatan, sebaliknya filsafat kontemporer cenderung menyangkal pernyataan ini. Berada dalam keadaan yang sehat berarti berada dalam hubungan yang baik dengan kosmos. Sebab, manusia dan lingkungannya berada dalam suatu keseimbangan kosmos yang konstan. Oleh karena itu, menjaga dasar kekuatan-kekuatan, baik yang fisik dan transfisik, dalam keseimbangan kosmos yang konstan merupakan kewajiban manusia. Komponen-komponen individual dalam karakteristik di atas terkait secara menyeluruh. Tiap karakteristik secara jelas menentukan yang kemudian dan sekaligus dipengaruhi oleh yang sebelumnya. Eco-philosophy pada akhirnya memberikan suatu kesimpulan bahwa; objektivitas tidak hadir di alam; kebijaksanaan secara essensial tak dapat dikuantifikasi; hidup yang tak didasarkan
105 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
pada kriteria kualitatif adalah tidak bermakna; kita membuat pernyataan politis bukan melulu karena cara kita memilih, namun lebih melalui jalan kita hidup; masyarakat adalah satu dari modes of our spiritual being (cara berada makhluk spriritual); dan epistemologi pluralistik bersifat toleran pada fenomena transfisik dan merangkul variasi dari modes of being (cara berada). Pemikiran Eco-philosophy dari Skolimowski dapat dirumuskan sebagai berikut.
Diagram Mandala of Eco-philosophy
106 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
5.6 Rangkuman Kita sudah melihat pada tulisan di atas bagaimana posisi Skolimowski dalam membentuk pemikirannya, eco-cosmology. Eco-cosmology adalah sebuah reaksi terhadap keadaan lingkungan saat ini yang dalam pandangan Skolimowski disumbangkan juga terutama oleh cara pandang kita pada dunia. Cara pandang kita akan dunia atau lebih tepatnya kosmologi kita. Kosmologi saintifik adalah masalah yang juga dipaparkan oleh Skolimowski secara bertanggung jawab atas keadaan ini. Menghadapi kosmologi saintifik yang melihat manusia sebagai sumber atau pusat dari alam semesta itu, Skolimowski mengajak kita untuk menengok pada kosmologi lama atau awal. Kosmologi lama adalah kosmologi yang memandang manusia sebagai ber-roh dan melihat kesetaraan hubungan manusia dan alam semesta. Dengan menggunakan inspirasi itu serta memanfaatkan tiga pemikir sebelumnya—Kant, Marx, dan Schweitzer—Skolimowski membentuk pemikirannya sendiri yakni eco-philosophy yang adalah dasar bagi ecocosmology; sebuah cara baru memandang alam semesta. Oleh karena itu, pemikiran tersebut dapat dikatakan sebuah kosmologi baru. Dengan demikian, pada bab ini kita sudah melihat bagaimana pembahasan mengenai permasalahan yang dihadapi Skolimowski, bagaimana ia membuka sebuah kemungkinan pemikiran baru hingga 12 karakteristik dari eco-cosmology Skolimowski.
107 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 6 SINGER DAN NAESS DALAM PERBANDINGAN SERTA INSIGHT DARI SKOLIMOWSKI
6.1 Pengantar Pada tiga bab sebelumnya, telah dipaparkan pemikiran Peter Singer, Arne Naess dan Henryk Skolimowski yang berhubungan dengan apa yang hendak dituju dalam penelitian ini. Dengan demikian, pada bagian ini penulis akan membandingkan ketiganya. Hal yang akan dilakukan lebih banyak berhubungan dengan pembedaan-pembedaan antara pemikiran ketiganya. Persamaan pada ketiganya secara tersurat sudah diungkapkan, bahkan dari awal penelitian ini, bahwa pemikiran filsafat mereka—terkhusus yang berkenaan dengan lingkungan hidup—selalu diikuti oleh sebuah anjuran pada sebuah tindakan praktis. Meskipun harus diingat bahwa etika adalah sebuah cabang filsafat yang bisa dikatakan merupakan sebuah sisi dari filsafat yang menuntut tindakan praktis. Etika diketahui dengan cara dilakukan, bukan duduk dan berkontemplasi, demikian bahkan Aristoteles pernah mengingatkan. Pada bab ini, dengan demikian akan dilihat pembeda-pembedanya. Yang akan kita bahas tentu saja pertama adalah posisi berangkat filosofis dari ketiga pemikir tersebut. Pada bagian ini kita akan memeriksa andaian ontologis atau metafisik, dan andaian etika ketiga pemikir tersebut. Posisi ontologis atau metafisik adalah posisi di mana dan bagaimana sebuah kenyataan dilihat ketiganya, atau apa yang paling utama, ultim dalam alam semesta ini bagi ketiga pemikir itu.29 Tentu saja terkadang hal seperti ini tidak secara eksplisit bisa kita 29
―A central part of metaphysics is ontology. This studies BEING and, in particular nowadays, what there is, e.g. material objects, minds, PERSONS, UNIVERSALS, NUMBERS, FACTS, etc. There is the question of whether these all ‗are‘ in the same sense and to the same degree, and how notions like BEING, existence and subsistence are related together. One can also ask whether particular views on logic commit one to particular views on what exists (e.g. propositions, numbers). A particular theory about what exists, or a list of existents, can be called an ontology. Another question involving logic is whether or not existence is a predicate (or property). Ontology borders on philosophy of religion with questions like: Does anything exist necessarily (cf. ONTOLOGICAL and COSMOLOGICAL ARGUMENTS)? It is necessary that something, no matter what, should exist? Can any answer be given to the question, ‗Why is there something rather than nothing?‘? ‗Ontology‘ is also a technical name for part of the system of S. Lesniewski
108 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
temukan dalam tulisan-tulisan mereka. Namun, terkadang posisi seperti ini dapat dipahami pada tradisi filosofis yang dianut mereka. Selanjutnya, apa yang sudah disebutkan sebagai persamaan ketiganya, akan disarikan kembali dengan lebih ringkas dan terang di bagian ini. Penulis juga akan melakukan pemaparan secara terpisah terhadap dua tulisan penting dari Naess dan Singer dalam hubungannya dengan pemikiran mereka yang berkonsekuensi sebagai sebuah gerakan. Pembahasan akan difokuskan pada pemikiran Singer mengenai Animal Liberation dan pada Naess tulisan mengenai Deep Ecology. Hal ini tentu menyangkut tindakan praktis sebagai konsekuensi dari pemikiran keduanya. Selain itu, konsep antropik30 yang melandasi pemikiran Naess dan juga pengembangan lingkaran moral dari Singer perlu diperhatikan serta penekanan Skolimowski pada dimensi rohaniah. Ketiga konsep inilah pada hemat penulis yang menyumbang pada konsekuensi dalam hal tindakan praktis.
6.2 Andaian Filosofis: Ontologis dan Antropologis Andaian ontologis tidak bisa tidak pasti ada pada setiap pemikir. Entah itu diutarakan secara tersurat mau pun entah diandaikan dari sebuah tradisi yang diikutinya. Demikian juga tentu saja pemikiran Singer dan Naess serta Skolimowski. Sejauh yang penulis dapatkan, keduanya secara implisit menuliskan atau memikirkan tentang perihal ini tidak ditemukan. Sedangkan Skolimoski cukup terang tentangnya. Memang, membicarakan andaian ontologis atau pemikiran ontologis, tidaklah semua pemikir melakukan itu. Hanya beberapa saja pemikir yang benar-benar berhadapan dalam permasalahan ini. Sebut saja G. W. F. Hegel dengan Roh Absolutnya dan juga, yang paling berpengaruh dalam filsafat abad ini, Martin Heidegger dengan ontologi fundamentalnya. Pertama-tama menelusuri andaian ontologis pada Peter Singer akan dibahas. Pada hemat penulis Singer berada dalam tradisi utilitarianisme. Meski pun andaian ontologis pada Singer tidaklah didapatkan secara tersurat kita bisa
(1886–1939).‖ A Routledge Dictionary of Philosophy, hlm. 248. 30 ―Anthropic principle. The idea that the universe is so organized as to permit life as we know it to exist, because were the universe not organized in precisely this fashion, human beings would not exist and so could not observe the universe.‖ A Routledge Dictionary of Philosophy, hlm. 19.
109 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
melihatnya pada tradisi yang dipegangnya. Selain Singer berada dalam tradisi utilitarianisme dalam etika, ia juga berada pada jalur sosialisme. Kedua tradisi ini perlu dilihat sebagai landasan ontologisnya. Landasan ontologis dalam sejarah filsafat barat kerapnya berada pada dua kubu besar yakni kubu realis dan kubu anti-realis. Ini juga adalah sebuah perdebatan berkepanjangan yang dapat kita saksikan dalam philosophy of science dewasa ini. Pada hemat saya jika hendak ditempatkan di mana Singer dalam kedua arus besar itu maka Singer sebenarnya berada pada realisme. Namun tentu saja realisme ini punya banyak cabangnya. Pada hemat penulis, memang tidak semua pemikir akan mengaku atau ikut ambil bagian dalam perdebatan antara realisme dan anti-realisme ini. Namun pilihan kitalah untuk menempatkan mereka dalam tradisi ini. Dengan mengikuti tradisi utilitarianisme dan juga marxsisme, meski pun dengan porsi yang sedikit, kedekatan Singer pada posisi realisme semakin kentara. Lebih jauh, perihal realisme dan anti-realisme ini semakin relevan ketika kita berbicara tentang perihal lingkungan hidup. Dikotomi aliran realisme dan anti realisme ini berada pada taraf bahwa apakah kenyataan real yang menjadi penopang segala realitas lainnya ataukah pikiran yang menjadi penopang segala realitas lainnya. Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah apa itu realisme dan bersamaan dengan itu apa itu anti realisme. Start Brock dan Edwin Mares memaparkan karakteristik dari apa yang disebut dengan realisme sebagai berikut, ―Realism about a particular domain is the conjunction of the following two theses: (i) there are facts or entities distinctive of that domain, and (ii) their existence and nature is in some important sense objective and mind-independent. Let us call the first thesis the ―existence thesis‖ and the second thesis the ―independence thesis‖‖ (Brock and Mares, 2007: 2). Dari kutipan ini kita menemukan ada dua hal yang penting dalam realisme yakni tesis keberadaanya dan tesis keindependenannya. Realisme adalah pengakuan akan keberadaan entitas-entitas dan keindependenan entitas-entitas tersebut; independen dari pemikiran. Lebih lanjut, realisme dijelaskan sebagai berikut oleh Miller sebagaimana dikutip oleh Brock dan Mares, ―There are two general aspects to realism, illustrated by looking at realism about the everyday
110 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
world of macroscopic objects and properties. First, there is a claim about existence. Tables, rock, the moon, and so on, all exist, as do the following facts: the table‘s being square, the rock being made of granite, and the moon‘s being spherical and yellow. The second aspect of realism about the every day world of macroscopic object and their properties concerns independence. The fact that the moon exist and is spherical is independent of anything anyone happens to say or think about the matter‖.31 Penjelasan mengenai realisme yang diungkapkan di atas merupakan penjelasan yang paling tradisional. Menjadi penting di sini lantaran ketika kita membicarakan tentang lingkungan hidup maka kita akan membicarakan bagaimana kita memperlakukan lingkungan hidup. Untuk bertindak di sini perlu pula diketahui bagaimana kita memandang lingkungan hidup itu sendiri. Bagian ini barangkali bisa juga dikatakan sebagai sebuah posisi tertentu dari penulis atau sebuah andaian ontologis dan epistemologis yang dianut penulis. Namun demikian posisi pandangan kita tentang sesuatu bisa jadi sangat menentukan sikap kita atasnya. Tentu hal ini pun berlaku dalam sebuah pemikiran. Perlu diingat bahwa apa yang masuk dalam lingkaran moral Singer itu bertumpu pada sentient being, makhluk perasa. Maka yang terpenting di sini adalah sense. Mellisa Clarke dalam tulisannya menunjukkan bahwa dengan demikian adanya semacam kesamaan antara pemikiran Singer di bidang etika utilitarianisme ini dengan pemikiran ontologis Marleau-Ponty. Dikatakan di sana oleh Clarke bahwa secara ontologis yang terpenting bagi kenyataan adalah merasa, sensing. Dengan demikian manusia atau makhluk bermoral itu tersituasikan dengan cara tertentu dalam sebuah ―lapangan horizon‖ tertentu.32 Namun perlu diingat, dan ini membuat perlu dipertanyakan pendapat Clarke, bahwa Singer nantinya akan melihat landasan itu pada sifat manusia yang tidak bisa tidak hidup secara sosial. Hal ini ditarik Singer bahkan pada masa ketika manusia belum lagi berpikir dengan otaknya alias homo sapiens. Hal yang membuat penulis berpikir bahwa Singer secara tersirat adalah seorang realis. Singer menyatakan bahwa yang paling utama dari kenyataan ini 31
Stuart Brock dan Edwin Mares, Realism and Anti-Realism.. hlm. 4. Lihat selengkapnya di Melissa Clarke, "Ontology, Ethics, and Sentir: Properly Situating Merleau-Ponty", Environmental Values 11, no. 2, (2002), hlm. 211—225.
32
111 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
bukan pikiran manusia melainkan apa yang ada pada realitas alam. Hal ini bahkan cukup krusial dalam pemikiran Singer tentang etika. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Singer mencari pendasaran bagi ilmu etika. Ilmu etika dalam perkembangan masa kini terkesan seolah-olah kehilangan nilai pentingnya. Hal itulah yang mendorong Singer mencari pendasaran etika. Pendasaran bagi ilmu etika didapatkan Singer ketika dia mengikuti sebuah penelitian tentang manusia purba dan cara hidup mereka. Pada masa itu, masa ketika manusia belum berpikir, manusia belum mencapai tahapan homo sapiens, sebuah tindakan ketersalingan sudah dipraktikan oleh manusia. Etika adalah bagian tak terpisahkan dari cara hidup manusia yang hidup secara sosial. Jadi dari sini kita menemukan bahwa etika tidak membutuhkan sebuah posisi pemikiran tertentu. Sehingga di dalam etika tidak ada sebuah andaian pikiran a priori. Etika adalah sebuah praktik, dengan demikian ia adalah sesuatu yang a posteriori. Lebih jauh dengan demikian asumsi di balik pandangan Singer tentang pendasaran etika ini adalah bahwa etika bukanlah berasal dari sesuatu yang dipikirkan pada mulanya. Etika adalah sesuatu yang berasal dari luar pikiran pada mulanya. Etika adalah cara untuk hidup itu sendiri dalam keberadaan sebagai manusia yang makhluk sosial. Dengan demikian, Singer dapat dikategorikan dalam golongan realisme. Yang terpenting untuk realisme adalah posisi bahwa, dengan segala variannya, segala sesuatu ditentukan oleh realitas di luar pikiran manusia. Asumsi ini sejalan dengan sebuah tradisi yang pada hemat penulis Singer berada di dalamnya yakni Marxsis. Kita bisa melihat bahwa pada Marxsis sebenarnya unsur realisme sangatlah kental. Tentu saja ada varian nantinya pada pemikir-pemikir neomarxsisme. Namun demikian nada realisme ini menjadi landasan yang cukup penting dan cukup dipegan oleh tradisi ini. Sedangkan pada Arne Naess, secara tersurat sebenarnya Naess mengapresiasi Martin Heidegger. Dengan demikian kita bisa katakan bahwa Naess berada dalam golongan ontologi Heidegger ini. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan deep ecology itu sendiri berhutang pada Heidegger. Hal ini misalnya dikatakan oleh Zimmerman: ―Some deep ecologists, influenced in part by my own essays, 112 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
have included Heidegger as one of their philosophical predecessors.1 Bill Devall and George Sessions, for example, maintain that Heidegger made three contributions to deep ecology literature: ―First, he provided a major critique and indictment of the development of Western philosophy since Plato. He concluded that this anthropocentric development paved the way for the technocratic mentality which espouses domination over Nature.‖ Second, he encouraged people to begin ―thinking,‖ an idea far closer to Taoist notions of ―letting things be‖ than to Western analytical thought. Third, ―Heidegger called us to dwell authentically on this Earth, parallel to our [Devall and Sessions‘] call to dwell in our bioregion and to dwell with alertness to the natural processes.‖‖33 ―Beberapa ahli ekologi, secara mendalam dipengaruhi sebagian oleh esai saya sendiri, telah mencantumkan Heidegger sebagai salah satu pendahulunya. Bill Devall dan George Sessions, misalnya, berpendapat bahwa Heidegger membuat tiga kontribusi literatur ekologi yang mendalam: "Pertama, ia memberikan kritik yang besar dan dakwaan dari perkembangan filsafat Barat sejak Plato. Dia menyimpulkan bahwa perkembangan antroposentris ini membuka jalan bagi mentalitas teknokratis yang dianut yang menbuat pola dominatris atas alam. "Kedua, dia mendorong orang untuk mulai berpikir, "ide yang jauh lebih dekat dengan pengertian Tao ―membiarkan hal-hal menjadi‖ daripada pemikiran analitis Barat. Ketiga, ―Heidegger memanggil kita untuk hidup otentik di Bumi ini, sejajar dengan kami [Devall dan Sessions] menyerukan untuk tinggal di wilayah Anda dan untuk tinggal dengan kewaspadaan dengan proses alami.‖‖ Lebih jauh, Zimmermann menulis demikian perihal persamaan andaian ontologis antara Heidegger dan deep ecology: ―Like Heidegger, deep ecologists criticize the metaphysical presuppositions allegedly responsible for ecological destruction, and also contend that a transformed awareness of what humanity and nature ―are‖ would lead spontaneously to a transformation of society. The solution to the environmental crisis, then, would involve an ontological shift: from an anthropocentric, dualistic, and utilitarian understanding of nature to an understanding which ―lets things be,‖ i.e., which discloses things other than merely as raw material for human 33
Lihat Michael Zimmermann, ―Rethinking the Heidegger-Deep Ecology Relationship, Enviromental Ethics Vol. 15, hlm. 195.
113 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ends. A nonanthropocentric humanity, having undergone what amounts to a spiritual transformation, would presumably develop attitudes, practices, and institutions that would exhibit respect and care for all beings.‖ ―Seperti Heidegger, ekologi dalam mengkritik pengandaian metafisik diduga bertanggung jawab atas kerusakan ekologi, dan juga berpendapat bahwa kesadaran yang berubah dari hubungan manusia dan alam akan menyebabkan transformasi masyarakat yang spontan. Solusi untuk krisis lingkungan, dengan demikian, akan melibatkan pergeseran ontologis: dari pemahaman antroposentris, dualistik, dan utilitarian alam untuk pemahaman yang ―membiarkan terjadi apa adanya‖ yaitu, yang mengungkapkan hal-hal lain selain hanya sebagai bahan baku untuk tujuan manusia. Sebuah kemanusiaan yang tidak antroposentris, setelah mengalami transformasi spiritual yang besar, akan mungkin mengembangkan sikap, praktik, dan lembaga yang akan menunjukkan rasa hormat dan peduli terhadap semua makhluk.‖ Persamaan keduanya ini dengan kata lain tentu saja membawa persamaan antara Heidegger dan Naess. Namun demikian tentu saja Naess-lah yang berhutang pada Heidegger dan bukan sebaliknya. Ontologi Heidegger tidaklah berada pada jalur realism, melainkan sebenarnya pada jalur anti-realisme. Heidegger kita tahu menempatkan Ada sebagai landasan utama segala hal yang ada di dunia dan bahkan alam semesta ini. Dalam terang Ada sebagai keseluruhan inilah nantinya terlihat Naess menekankan perihal keseluruhan alam semesta. Pada Heidegger juga ditemukan bahwa Ada ini bukan berarti meniadakan pentingnya adaan-adaan. Justru adaan-adaan ini adalah manifestasi dari Ada yang sudah mengalami aletheia. Dengan demikian hal ini sejalan dengan pemahaman Naess di mana ia pun menempatkan segala hal kecil mau pun remeh dari alam semesta sebagai sesuatu yang menyumbang pada keseluruhan itu. Lebih lanjut, Martin Heidegger tidak mendefinisikan sesuatu yang fiksi sebagai sebuah penopang segala sesuatu lainnya. Heidegger menunjuk Ada (Being/Sein) sebagai penopang terakhir dari segala semesta ini. Namun Ada itu apa, Heidegger tidak menjawabnya. Jika pun ingin mencari jawaban Heidegger perihal Ada, maka Ada bagi Heidegger adalah kekosongan. Namun dari Ada yang adalah kekosongan inilah segala kebenaran, segala kehidupan bertopang diri. Dengan menggunakan konsep aletheia, pengetahuan bagi Heidegger adalah 114 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ketersingkapan sang Ada ini. Jadi apa yang menopang segala alam semesta ini sebenarnya tidak bisa kita ketahui dan kita hanya menunggu Ada itu menyingkapkan diri melalui bahasa. Bagaimana posisi manusia? Bagi Heidegger, manusia adalah being yang berbeda atau memiliki posisi yang lebih tinggi dari beings-beings lainnya. Hal ini lantaran manusialah yang mampu menyadari keberadaan dirinya di hadapan Ada. Pada karyanya Being and Time manusia yang demikian ini bercirikan eksistensial. Artinya dalam kehidupan manusia menyadari dirinya dalam keberadaannya dengan Ada tersebut. Dan manusia selalu berada pula dalam relasinya dengan manusia lain. Dengan demikian sifat Ada yang tak berbentuk atau tak bernama ini diahdapi oleh manusia individu yang eksistensialis. Demikianlah andaian seperti ini nantinya akan digunakan juga oleh Naess. Selain melihat alam semesta seumpama keseluruahn adaan-adaan di bawah sebuah Ada yang lebih besar dan melingkupi itu, Naess pun menempatkan manusia sebagai makhluk yang mampu menyadari keberadaan dan relasinya dengan alam semesta. Oleh karena manusia dianggap demikianlah maka Naess menempatkan manusia harus memiliki sebuah pandangan dan sikap tertentu pada alam semesta. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa, jika hendak menempatkan Naess di mana, maka Naess berada pada posisi anti-realis. Dengan kata lain, bagi Naess alam semesta memang ada tetapi di sana juga ia ditentukan oleh sebuah Ada yang lebih tinggi. Dengan demikian apa yang empiris bukanlah sesuatu yang penting. Eco-philosophy dari Henryk Skolimowski pada dasarnya ditujukan sebagai sebuah sistem metafisika. Yang hendak dikejar oleh Skolimowski dengan konsep ini adalah perubahan pola pikir manusia atas alam. Alam yang dilihat sebagai instrumentalistik dan menghamba pada manusia hendak dikembalikan Skolimowski seperti pada awalnya dalam perkembangan manusia di masa lalu. Di mana alam dianggap setara atau bahkan manusia menjadi bagian yang lebih kecil dari alam. Eco-philosophy dengan 12 ciri khas dari Skolimowski ini pada akhirnya merupakan cara bagaimana kita memandang alam. Dengan demikian di dalam pemikiran Skolimowski, alam diberi derajatnya yang melampaui manusia. Namun demikian bukan berarti alam lebih
115 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tinggi dari manusia. Justru alam menjadi mungkin hanya karena adanya unsur rohaniah dari manusia. Unsur rohaniah ini penting lantaran perlu kita akui, bahwa hidup itu tidak cukup hanya didorong atau ditentukan oleh nilai material dan ekonomis belaka. Kita semakin memahami nilai-nilai yang lebih tinggi, lebih mendalam dan mendasar bagi diri kita. Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai rohani, spiritual, atau nilai-nilai illahi. Memahami dan menjadikan nilai-nilai spiritual ini sebagai daya dorong hidup manusia berarti mengakui bahwa hidup manusia itu berharga karena mengambil bagian dari hidup sesuatu yang lebih tinggi atau potensi manusia yang lebih besar lagi. Secara singkat, jika berbicara mengenai spiritualitas berarti berbicara mengenai nilai-nilai yang membantu manusia untuk hidup lebih baik daripada sekarang. Kesadaran yang transenden akan membantu manusia untuk mencari senantiasa nilai-nilai unik dan berharga tadi. Ia melihat bahwa dirinya tidak terbatas dan bisa berubah, dan ia akan terbiasa untuk melihat bahwa yang lain: dunia, lingkungan dan segala isinya sebagai sesuatu yang juga tidak terbatas. Dunia dan lingkungannya mengungkapkan dan menyembunyikan sesuatu. Ketersembunyian ini senantiasa menjadi hal yang dicari. Segala sesuatunya lalu akan dilihat sebagai sesuatu yang hidup, tumbuh, berkembang, dan tidak bisa secara sewenang didefinisikan terbatas dan mutlak. Implikasi dari hidup spiritual yang ditandai oleh sesuatu yang transenden adalah, semua hal dinilai berharga dan bermartabat. Sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Segala unsur di alam menjadi berharga. Maka metafisika Skolimowski sekali lagi, seperti juga Heidegger, mengandaikan ada sesuatu yang lain yang menopang kehidupan manusia dan juga alam semesta keseluruhannya. Dengan demikian sebenarnya Skolimowski bisa kita katagorikan dalam posisi anti-realisme. Ia mengandaikan adanya realitas, tetapi ia pun sekaligus mengandaikan adanya sesuatu yang lebih besar yang ada di luar manusia. Demikianlah pembahasan andaian ontologis dari ketiga pemikir tersebut. Secara ontologis, Singer lebih berada pada posisi realis atau materialis. Dengan demikian bagi Singer yang terpenting adalah dunia riil yang ada sebagai sebuah
116 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
penopang untuk hal lain selanjutnya. Sedangkan untuk Naess, mengikuti tradisi Heideggerian, melihat hal-hal yang empiris memang berada posisi yang cukup penting tetapi bukan yang paling terpenting. Apa yang tampak pada Naess sebenarnya tampak pada Skolimowski juga namun pada Skolimowsi unsur rohanianyalah yang lebih ditonjolkan. Pada bagian ini kita akan melihat pemikiran atau tradisi filsafat manusia mana yang diikuti ketiga filsuf. Hal pertama yang perlu diterangkan adalah apakah manusia itu makhluk sosial ataukah apakah manusia itu makhluk individu. Dua dikotomi ini adalah juga dikotomi besar dalam sejarah filsafat manusia. Pada bagian ini pada Singer juga tampak jelas ia menganggap manusia sebagai makhluk sosial. Ini juga adalah sumbangan dari dua tradisi yang sudah disebutkan yang diikuti Singer yakni utilitarianisme dan juga marxsisme. Hal ini jelas ketika Singer berbicara tentang state of nature manusia yang menurutnya adalah makhluk sosial bahkan sejak manusia itu masih belum berupa homo sapiens. Lantaran manusia adalah makhluk sosial maka Singer mencari pendasaran dari kenapa manusia itu adalah makhluk sosial. Karena landasan ontologis Singer adalah hal-hal yang materiallah yang menentukan dan bukan Andaian antropologis pada Naess sepertinya adalah makhluk individu. Hal ini terlihat pada Naess membebaskan setiap individu punya konsep tentang etika deep ecology-nya asalkan itu bisa sinkron dengan keseluruhan. Jadi Naess menempatkan manusia untuk bebas menentukan sikapnya pada semesta. Di sini yang bermain adalah manusia sebagai makhluk individu. Sedangkan pada Skolimowski, unsur kesosialan itu pun sangatlah lemah. Dengan mengajukan atau mengutamakan unsur rohani, sebenarnya Skolimowski mengandaikan adanya kedirian yang kokoh nan intim dengan sesuatu di luar diri manusia itu sendiri. Maka Skolimowski, meskipun memang tidak menutup mata pada perkara kesosialan, namun menekankan pokok utama pada manusia sebagai makhluk individu. Dari posisi berangkat ini secara garis besar sebenarnya Singer berangkat dari posisi utilitarianisme dalam hal etika, sedangkan Naess berangkat dari semacam rumusan ontologi. Jadi pada Singer lebih pada bagaimana manusia bertindak sebagai makhluk moral (sentient being) sedangkan pada Naess manusia
117 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta yang mana setiap unsur dalam alam semesta itu unik sekaligus punya tempat dalam kompleksitas hidup. Manusia sebagai sesuatu yang individu pada Naess dan Singer manusia sebagai sesuatu yang sosial. Sedangkan pada Skolimowski kita akan melihat sebuah unsur rohaniah spiritual yang cukup kental. Namun, hal tersebut cukup bermasalah ketika dihadapkan pada orangorang atheis misalnya. Ajakan Skolimowski pada akhirnya membawa kita untuk kembali pada agama sebagai dasar pertimbangan ekologi dalam kehidupan. Meskipun memang bisa berkelit perihal rohaniah tidak selamanya adalah agama, tetapi selalu ada andaian tentang ada yang lebih besar yang lain di luar diri manusia. Pemikiran ini seperti membawa kita kembali pada ihwal pemikiran yang ada di belakang masa modern. Kalau mengikuti periodisasi August Comte maka kita kembali pada level masyarakat yang pertama yakni masyarakat spiritual.
6.3 Andaian Etika Tampak jelaslah andaian etika dari Singer secara tersurat adalah tradisi utilitarianisme. Utilitarianisme dengan diktum the greatest happiness for the greatest number ini pada Singer diperluas hingga mencakup bukan hanya manusia melainkan sentient-being lainnya. Utilitarianisme sendiri dipahami sebagai: ―Moral theories about what we ought to do are commonly, if not uncontroversially, divided into deontological and teleological ones (see ETHICS). The main, though not the only, teleological (or CONSEQUENTIALIST) theory is utilitarianism, which in its most general form is to the effect that we always ought to do what will produce the greatest good. But ‗utilitarianism‘ is sometimes restricted to hedonistic utilitarianism, which holds that the good is pleasure, or perhaps happiness. Early utilitarians seldom distinguished these. Ideal utilitarianism, notably represented by Moore, allows other things to be good, or even to be the main goods (for Moore personal relations and aesthetic experiences). Most early utilitarians were hedonistic, though contemporary ones are harder to classify, and often appeal to preference or satisfaction of desire rather than to pleasure. Utilitarianism has never held, as its name may suggest, that one should pursue only the useful and not the good in itself, nor that one should pursue only ‗low-grade‘ pleasures; when Bentham said that if the pleasure is equal pushpin is as good as poetry, one 118 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
should not ignore the ‗if‘-clause.‖34 ―Teori moral tentang apa yang harus kita lakukan umumnya, jika tidak tanpa kontroversial, dibagi menjadi deontologis dan teleologis (lihat ETIKA). Yang utama, meskipun bukan satusatunya, teleologis (atau konsekuensialis) teori utilitarianisme, yang dalam bentuk yang paling umum adalah yang menyatakan bahwa kita selalu harus melakukan apa yang akan menghasilkan kebaikan terbesar. Tapi 'utilitarianisme' kadangkadang terbatas pada utilitarianisme hedonistik, yang menyatakan bahwa baik adalah kesenangan, atau mungkin kebahagiaan. Utilitarian Awal jarang dibedakan dalam hal ini. Utilitarianisme Ideal, terutama diwakili oleh Moore, memungkinkan hal-hal lain untuk menjadi baik, atau bahkan menjadi barang utama (untuk Moore hubungan pribadi dan pengalaman estetika). Kebanyakan utilitarian awal yang hedonistik, meskipun yang kontemporer lebih sulit untuk diklasifikasikan, dan sering menarik bagi preferensi atau kepuasan dari keinginan daripada kesenangan. Utilitarianisme tidak pernah diadakan, sebagaimana disugestikan oleh namanya, bahwa orang harus mengejar hal yang hanya berguna dan tidak baik dalam dirinya sendiri, atau yang harus mengejar hanya 'kelas rendah' kesenangan; ketika Bentham mengatakan bahwa jika kesenangan adalah pushpin sama sama baiknya dengan puisi, orang tidak boleh mengabaikan 'klausul-jika.‖ Namun demikian utilitarianisme pada Singer tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah utlitarianisme tradisional a la Bentham. Singer justru berada pada sebuah masa ketika etika itu sendiri kehilangan tajinya oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Maka, Singer mencari pendasaran ontologis dari etika dan konsekuensi dari pendasaran ontologis itu adalah utilitarianisme. Karena manusia itu dan makhluk lainnya itu pada intinya adalah pada sensing-nya maka makhluk etis adalah semua yang punya sensing ini. Untuk itu maka lingkaran moral pada Singer terus diperluasnya. Di sini lah ia disebut membuat sebuah Copernican Turn35 di bidang etika. Etika Singer sendiri mengandaikan sebuah a posteriori. Sebagaimana juga tradisi etika utilitarianisme. Etika Singer juga benar-benar memperluas dampak dari tindakan etis itu dan memikirkan sebuah keuntungan yang tida bersifat sesaat. 34
Lihat A Routledge Dictionary of Philosophy, hlm. 433. Copernican Turn diperkenalkan oleh Kant dalam pergeseran perspektif astronomi oleh Copernicus. Kant menjelsakan hal itu dalam Critique of Pure Reason bahwa benda-benda langit bergerak dengan menolak asumsi bahwa bumi itu bergerak.
35
119 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Diktum inilah, kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang, inilah yang kerap dijadikan sebagai kritikan oleh pemikir lain di luar utilitarianisme. Bahkan kritikan itu justru menunjukkan bahwa utilitarianisme menutup mata pada kaum minoritas. Dengan pemikiran utilitarianisme Singer ini, maka minoritas pun diberikan tempat olehnya. Sedangkan pada Naess, kita menemukan aroma tradisi etika deontologis yang tokoh besarnya adalah Immanuel Kant. Pada Naess aroma sebuah kewajiban yang bersifat a priori dan harus dijalankan itu meski secara tersurat tidak kita temukan atau jarang kita temukan namun hal ini bisa kita endusi. Deontologis kuat dengan diktum bahwa lakukanlah sesuatu karena tindakan itu benar adanya dan lakukanlah sesuatu hal yang mana tindakan itu menguntungkanmu dan menguntungkan kemanusiaan pada umumnya. Prinsip ini menjadi landasan dari deontologis. Kata lainnya adalah etika kewajiban. Kenapa kita melakukan suatu tindakan etis, karena bagi deontologis tindakan itu wajib kita jalankan. Hal ini tampak kentara ketika Naess membicarakan kewajiban manusia sebagai makhluk yang bisa melakukan tindakan-tindakan ekologis. Hanya manusialah yang bisa melakukan itu karena manusia adalah makhluk yang bisa melakukan itu. Posisi deontologis ini barangkali tidak kentara pada Naess di dalam tulisannya tetapi bisa kita lihat pada andaian-andaian yang dibuatnya. Namun, bukan berarti ini tidaklah memperhitungkan asas kegunaan. Di sini posisi deontologis Naess menjadi rancu. Dalam tindakan etika lingkungan hidup Naess dalam kerangka deep ecology, kita melihat adanya sebuah kewajiban bertindak, tetapi kita pun melihat apa kegunaan atau tujuan dari tindakan itu yakni menjaga ekosistem di mana makhluk etis yang melakukan tindakan itu berada. Naess sendiri menyebut etikanya sebagai ecosophy T. Ecosophy T adalah konsep mengenai kerangka berpikir manusia tentang alam dan relasi manusia dengan alam. Dan seperti yang sudah dibahas sebelumnya yang dimaksudkan Naess adalah dengan menyebutnya dengan T, berarti ada begitu banyak ekologi dari A sampai Z dan kita masing-masing bisa merujuk atau menentukan yang mana yang menjadi pilihan kita (Naess, 1989: 4-5).
120 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Dengan demikian makin jelas bahwa etika ekologi Naess bersifat pribadi dan sesuai dengan kewajiban masing-masing individu. Meskipun akan ada sifat universal yang mana perealisasian diri menuju kebaikan seluruh ekosistem.
6.4 Konsekuensi Praktis dari Pemikiran: Pembebasan Binatang Versus Deep Ecology sebagai Gerakan Sebenarnya karena kita berbicara dalam perihal etika, maka konsekuensi praktis adalah sesuatu yang lumrah. Pasalnya, etika memang adalah cabang filsafat yang membahas atau mengatur hal-hal yang praktis. Kutub berlawanan dari etika tentu saja metafisika dan ontologi yang membicarakan sesuatu yang tidak menuntut suatu tindakan praktis. Etika sebagai sebuah tindakan praktis ini tentu saja mulai berkembang sejak Aristoteles. Dialah yang pertama kali membuat etika sebagai cabang filsafat. Namun demikian pada akhirnya kita melihat bahwa apa yang mungkin dan tidak mungkin dari tindakan praktis tersebut. Pada Peter Singer tindakan praktis ini muncul pada tindakan-tindakan konsumsi manusia yakni vegetarianisme. Vegetarianisme ini merupakan sebuah tindakan lantaran kesadaran akan sebuah andaian etika di mana dipercayai dengan demikian manusia dan juga binatang akan selamat. Karena di sana ada sebuah right dari binatang. Sesungguhnya pada Singer keuntungan yang didapat manusia dari tindakan tidak mengonsumsi binatang ini tidaklah terlalu kentara bahkan bisa dikatakan tidaklah menjadi tujuan yang hendak dicapai Singer. Ini adalah sebuah konsekuensi dari sebuah tindakan utilitarianisme yang menghormati sentient being perasa. Jadi utilitarianisme Singer beranjak dari utilitarianisme klasik misalnya di dalam Bentham dan Mill menjadi sesuatu bentuk etika yang lebih luas lagi. Prinsip utilitarianisme menyatakan bahwa kepentingan pihak-pihak yang terkena dampak tindakan harus dipertimbangkan secara setara dari sudut pandang imparsial. Pada Singer pihak-pihak yang mendapatkan dampak ini merangkum juga sentient being yang lainnya selain manusia. Hal ini lantaran memang bukan manusia semata makhluk yang mempunyai rasa. Hal itu dimiliki juga oleh makhluk hidup lain seperti pada binatang. Ini semakin menegaskan prinsip
121 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
kesetaraan (equal consideration of interests) di dalam utilitarianisme. Sikap ini, menurut Singer, menempatkan binatang masuk sebagai moral patient. Dengan prinsip kesetaraan ini mengakibatkan pelaku tindakan etis memposisikan kepentingan moral patient secara setara bukan hanya terhadap manusia tetapi juga terhadap non-human beings. Demikianlah
pada
Singer
pemikiran
dalam
tradisi
utilitarianisme
mendapatkan sentuhan baru. Jika utilitarianisme klasik lebih melihat hanya manusia sebagai pelaku dan yang terkena dampak tindakan etis maka pada Singer, dengan menggunakan konsep lingkaran wilayah moral, memperluas makhluk etis itu hingga mencapai binatang. Pengalaman penulis pribadi, dengan membaca pemikiran Singer ini tampaklah bahwa menjalankan sebuah prinsip utilitarianisme ini begitu sulitnya. Karena ia mengandaikan sebuah lingkaran moral yang terus berkembang dengan kewajiban nalar untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh dampak dari tindakan kita. Menjadi utilitarian, setidaknya melalui pembacaan atas pemikiran Singer, sungguhlah tidak mudah. Pada Naess dapat dilihat bagaimana sebuah tindakan praktis itu adalah sebuah penghormatan terhadap semesta secara keseluruhan. Pada Naess tindakan praktis ini sedikit banyak bertujuan pada manusia itu sendiri. Ada sebuah cita-cita jauh ke depan yang hendak diperjuangkan dari tindakan praktis ini. Lebih jauh, tindakan praktis itu sendiri akan diambil atau dilaksanakan ketika individu manusia sudah merealisasikan dirinya. Jadi tindakan praktis yang menghormati seluruh makhluk biotik atau pun non biotik dari Naess mengandaikan sebuah pemahaman tentang ekosofi dari makhluk individu. Menggunakan metode yang kerap ada dalam fenomenologi, makhluk individu ini akan melalui Gestalt dan pada akhirnya mampu merealisasikan diri. Setelah hal itu terjadi barulah tindakan praktis dalam penghormatan terhadap alam semesta terjadi. Pada Naess penekanan terhadap pentingnya individu sangat kentara. Selain individu harus terlebih dahulu memahami keberadaan dirinya di alam semesta, Naess pun menekankan pula perihal pentingnya posisi seorang individu di alam semesta dalam konteks keseluruhan alam semesta. Manusia yang sudah memiliki gestalt dan mengembangkan konsep ekosofi-nya akan menjadi manusia
122 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
ekologis. Yang dimaknai sebagai manusia ekologis adalah manusia yang menyadarai dirinya dalam kompleksitasnya dan keterkaitannya dengan alam. Di sini, perbedaan antara Naess dan Singer terlihat. Dua-duanya punya konsekuensi praktis dari pikiran mereka masing-masing. Di sini ada kesamaan misalnya dalam perihal menghormati binatang. Tetapi pada Singer sebagai sentient being pada Naess sebagai bagian yang punya nilai dalam alam. Jika berpegang pada pandangan bahwa Singer mengikuti tradisi utilitarianisme dan Naess sedikit banyak menganut deontologis, maka terlihat perbedaan yang lebih mencolok dan mendasar antara keduanya. utilitarianisme berpegang pada dampak atau hasil dari sebuah tindakan etis sedangkan deontologis berpegang pada kewajiban. Utilitarianisme berpegang pada teori nilai eudemonisme (bertujuan pada kebahagiaan) sebagai pegangannya. Sedangkan deontologis justru tidak berpegang pada hal itu. Ia justru mengatakan bahwa pertanyaan mengenai bagaimana caranya saya bahagia merupakan pertanyaan yang salah. Hakikat moral tidak terletak pada perihal
kebahagiaan
melainkan
pada
perihal
kewajiban.
Utilitarianisme
menekankan dampak dari tindakan etis terhadap kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Yang mana pada Singer menjadi sentient being artinya tidak lagi sebatas manusia. Bahkan lebih jauh, pada pemikiran Singer misalnya, kebahagiaan itu bukan hanya pada manusia tetapi binatang.
Demikianlah beberapa pokok
persamaan dan perbedaan dari tradisi etika yang diikuti Singer dan juga Naess
6.5 Biosentris Versus Lingkaran Moral Pada bagian sebelumnya, sudah dibahas bagaimana konsekuensi praktis dari pemikiran kedua pemikir; Naess dan Singer. Konsekuensi praktis dari pemikiran keduanya sebenarnya bertumpu pada bagaimana pemikiran mereka di ranah etika berlandaskan. Seperti yang sudah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, pada Singer tindakan vegetarian adalah konsekuensi dari pengakuan bahwa beberapa jenis binatang adalah juga sentient being, makhluk yang bisa merasa. Binatang bisa dikatagorikan sebagai makhluk yang bisa merasa oleh pelaku etis diakibatkan oleh konsep yang disebut Singer sebagai lingkaran moral.
123 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Lingkaran moral ini bukanlah sesuatu yang tetap dan pasti melainkan ia bersifat terus mengembang. Maka semakin mengembang, semakin banyaklah yang terkena dampak tindakan etis diperhitungkan. Nalar sebagai hal yang terpenting yang dimiliki manusia dengan demikian berperan penting dalam perkara ini. Hal ini berbeda dengan Naess yang ecosophy T nya berlandaskan pada konsep biosentris. Biosentris melihat alam semesta sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Makhluk biotis ataupun non biotis yang ada di alam semesta ini dianggap memiliki tingkat penting yang sama. Tidak ada makhluk yang lebih di atas dari makhluk lain. Segalanya mempuyai peran sekaligus membutuhkan peran dari yang lainnya. Dalam pandangan Naess, kesadaran akan posisi manusia yang tidak lebih penting dari makhluk lainnya di alam semesta inilah yang perlu diraih seorang manusia individu sebelum ia mampu menerapkan etika ecosophy T. Dengan memahami dan mengalami self realization maka seorang pelaku etik dalam pandangan Naess bisa melakukan tindakan etis ecosophy. Dari kedua titik berangkat etika ini, terlihat bahwa pada Naess sebuah keadaan yang memungkinkan sebuah tindakan etis itu sudah ada di sana bahkan sebelum manusia menemukan pandangan tentangnya. Posisi alam semesta sebagai sebuah kesatuan utuh sudah ada sebelum manusia melakukan tindakan etis dalam rupa ecosophy T misalnya. Sedangkan pada Singer dilihat betapa kuat kemampuan nalar ditekankan sebelum seseorang bisa melakukan sebuah tindakan etis. Pendasaran lingkaran moral ini pun mengakibatkan sebuah tindakan etis bisa berubah di kemudian hari. Hal ini berbeda dengan posisi biosentris dari Naess yang mengandaikan sesuatu itu ada di sana sebelum manusia memahaminya.
6.5 Rangkuman Demikianlah telah disinggung pemaparan persamaan dan perbedaan dari Singer dan Naess. Pada sub bab pertama kita sudah melihat posisi andaian filosofis keduanya yang sedikit banyak mewarnai keseluruhan pemikiran keduanya serta bagaimana di sana kita pun menempatkan posisi Henryk Skolimowski. Pada bagian tersebut dapat disimpulkan bahwa Skolimowski memaparkan pengandaian rohani spiritual yang sangat kental pada pemikirannya.
124 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Ia menekankan hal-hal yang menurut penulis sudah dilampaui oleh perjalanan pemikiran atau sejarah pemikiran yang terentang sejak masa awal pencerahan Eropa hingga saat ini. Kita juga sudah melihat posisi etika keduanya. Pada Singer, posisi utilitarianisme sangatlah kental, sedangkan pada Naess ditemukan sedikit banyak unsur deontologis yang menekankan pada kewajiban. Tersirat dengan demikian, pada Singer yang menjadi penting adalah pihak lain yang terkena dampak tindakan etis saya. Sedangkan pada Naess terlihat kepentingan pribadi individulah sedikit banyak yang berperan. Diri yang harus menjalankan kewajiban adalah hal yang terpeting dalam posisi tradisi etika yang diikuti Naess. Kita pun sudah melihat bagaimana konsekuensi praktis dari pemikiran keduanya. Pada Naess memang terlihat penghormatan yang lebih luas cakupannya sedangkan pada Singer lebih sempit. Namun, pendasaran etika pada keduaya memberikan
panorama
yang
berbeda.
Lingkaran
moral
pada
Singer
memungkinkan sebuah tindakan etis berubah dan dengan demikian bisa saja meluas dan semakin meluas. Namun, pada Naess sebuah tindakan etis, penghormatan pada alam semesta dengan biosentrisnya, sepertinya memberikan sebuah kondisi yang sudah pasti dan seorang pelaku etis sepertinya tinggal menemukan dan memahaminya saja.
125 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
BAB 7 SIMPULAN: SANGGUPKAH VEGETARIANISME MENJAWAB
7.1 Pengantar Pada bagian ini simpulan akan dipaparkan. Simpulan itu merangkum perihal pemikiran Singer dan Naess serta bagaimana juga interupsi dari Skolimowksi yang ditempatkan pada Bab 6 tulisan ini. Sebelum pembahasan simpulan akan diuraikan kembali permasalahan yang melingkupi disertasi ini. Permasalahan utama yang dibahas dan coba diurai dalam disertasi ini adalah perbandingan pandangan etika praktis utilitarian Peter Singer dengan pemikiran ecosophy Naess yang mengajukan sebuah etika lingkungan hidup yang baru, bersamaan dengan itu juga perhatian pada unsur spiritual rohani dari Skolimowski yang mewarnai pemikiran tentang lingkungan hidup dewasa ini. Disertasi ini hendak menunjukkan bahwa tindakan penyamaan derajat secara praktis antara manusia dan makhluk hidup lainnya perlu dilakukan. Untuk menuju ke arah itu, secara intensionalitas ala fenomenologi terkhusus melalui pemikiran Arne Naess, perlu pula ditanamkan keberadaan manusia sebagai subjek yang setara dengan objek-objek makhluk lain yang berada di luar dirinya. Pada titik ini, Naess menempatkan sebuah alasan ontologis mengenai penghormatan atas alam semesta tidak bisa tidak haruslah dilakukan karena menyangkut pendasaran dari segala hal yang ditopangnya. Lain halnya dengan Naess, pemikiran Singer lebih condong pada aksiologi. Kita akan melihat etika sebagai jalan ke luar dari permasalahan lingkungan hidup. Di sini kita tidak menemukan etika sebagai ontologi a la Levinas. Singer menggunakan jalan yang berbeda yakni jalan utilitarianisme. Jadi, tugas dari penelitian ini pun sebenarnya merupakan pengujian dan bisa jadi pencampuran. Lantaran memang Naess dan Singer sebenarnya punya posisi ontologis yang sesungguhnya berbeda sekali. Pandangan dari Skolimowski sebenarnya cukup dekat dengan Naess. Hal ini sangat jelas dan sudah disadari penulis sedari awal. Tradisi Singer adalah tradisi utilitarianisme sedangkan tradisi Naess dan juga Skolimowski sebenarnya tradisi deontologis-fenomenologis. Dua
126 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
tradisi ini sesungguhnya sudah berpisah jalan sedari lama. Keberbedaan ini nantinya juga muncul dalam pemikiran mereka secara antropologis. Penampakan makhluk lain sebagai subjek dari pemikiran selalu dan senantiasa membawa keberadaan diri makhluk lain tersebut dengan kesetaraannya atas manusia. Untuk mendalami permasalahan utama, peneliti mengajukan permasalahan penunjang sebagai berikut: (1) Bagaimana sikap hidup vegetarian sebagai sebuah konsekuensi dari pemikiran etika praktis Peter Singer? Aksiologi adalah hal kunci dalam pemikiran Singer. Untuk itu akan kita lihat juga bagaimana pemikiran Singer membawa pada aksiologi tersebut. Dan bagaimana Arne Naess melalui ecosophy T-nya menempatkan posisi manusia berhadapan dengan makhluk lain? Vegetarian sebagai sebuah sikap hidup dikatakan Singer sebagai sebuah praktik tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk altruis. Menghadapai eksploitasi dan konsumerisme yang semakin tinggi, proposal Singer ini dapat dilihat sebagai sebuah solusi. Maka itu, penelusuran akan idenya mengenai vegetarianisme perlu dilakukan. (2) Bagaimana kedua pemikiran tersebut dihadapkan dengan permasalahan ketidaksetaraan, relasi dominan, antroposentris, dan hewan sebagai komoditas; realitas sebagai sebuah keterarahan dan ketersingkapan? Lingkungan hidup adalah realitas yang ada di luar manusia,. Dari perspektif Arne Naess, dan lingkungan hidup inilah yang akan mengarahkan dirinya pada manusia sehingga manusia mampu memahami lingkungan hidup tersebut. Permasalahan ini dibahas juga oleh Henryk Skolimowski. Metafisika, dalam pemahaman filsafat secara umum, merupakan suatu tanggapan kepada tantangan hidup (masalah-masalah aktual) yang tak dapat dielakkan. Metafisika yang
orisinil
meliputi
pemikiran
bermakna
mengenai
problem-problem
kemanusiaan dan dunia dalam setiap masanya. Wittgenstein dengan 'logika atomisme'-nya mengajukan suatu metafisika orisinil karena berkembang dari problema nyata dan aktual. Pada masa itu metafisika Wittgestein memberikan landasan pengetahuan (state of knowledge) dan memberikan cita-cita pada suatu masa yang masih percaya akan keselamatan melalui sains, logika, dan kemajuan teknologi. Namun, sekarang atomisme logis, positivisme logis dan mimpi sistem sains filsafat hanya tinggal sejarah. Dunia dewasa ini merupakan dunia dimana
127 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
konsep-konsep alam dan ekologi mengasumsikan suatu kepentingan utama yang filosofis dan metafisis. Oleh karena itu, filsafat harus menentang batas-batas dari pemahaman analitik dan empirisistik akan dunia dan menghasilkan suatu kerangkan konseptual dan filosofis yang dapat mengakomodasikan banyak masalah-masalah baru tentang sosial, etika, ekologi, epistemologi dan ontologi. Dalam konteks ini, Eco-philosophy bertujuan untuk memberikan suatu metafisika
bagi
masa
sekarang.
Eco-philosophy
memberikan
landasan
pengetahuan (state of knowledge) dan cita-cita masa sekarang. Eco-philosophy menentang filsafat yang masih cenderung dialihkan kepada suatu sistem logika yang murni. Jadi, eco-philosopy ingin menggantikan metafisika yang hanya menganalisa struktur logis dari proposisi-proposisi atau berusaha untuk memaksakan berbagai variasi ‗ada‘ ke dalam kotak-kotak semantik.
7.2 Rangkuman Komprehensif Pada Bab 1, dipaparkan latar belakang yang menjadi permasalahan disertasi. Pemaparan bagian ini bertujuan hendak menunjukkan bahwa tindakan penyamaan derajat secara praktis antara manusia dan makhluk hidup lainnya perlu dilakukan. Menuju ke arah itu, secara intensionalitas ala fenomenologi terkhusus melalui pemikiran Arne Naess, perlu pula ditanamkan keberadaan manusia sebagai subjek yang setara dengan objek-objek makhluk lain yang berada di luar dirinya. Apakah yang memungkinkan atau landasan apa yang melegitimasi makhluk lain setara dengan manusia? Melalui pemikiran Singer dan Naess hal itu hendak dicari. Sehingga penampakan makhluk lain sebagai subjek dari pemikiran selalu dan senantiasa membawa keberadaan diri makhluk lain tersebut dengan kesetaraannya atas manusia. Di samping itu yang mesti diperhatikan adalah Naess melihat hubungan manusia dengan lingkungan hidup, alam semesta secara keseluruhan sebagai setara dan ini merupakan posisi ontologisnya. Hal yang berbeda pada Singer yang melihat aksiologi sebagai utama. Memang, sesuai diagram yang sudah disampaikan pada bab pertama bahwa posisi ontologisnya berbeda. Pada permasalahan utama yang dibahas dan coba diurai dalam disertasi ini adalah bagaimanakah perbandingan pandangan etika praktis utilitarian Peter Singer dengan pemikiran ecosophy Naess yang
128 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
mengajukan sebuah etika lingkungan hidup yang baru? Untuk mendalami permasalahan utama, peneliti mengajukan permasalahan penunjang sebagai berikut: (1) Bagaimana sikap hidup vegetarian adalah sebuah konsekuensi dari pemikiran etika praktis Peter Singer? Dan bagaimana Arne Naess melalui ecosophy T-nya menempatkan posisi manusia berhadapan dengan makhluk lain? Vegetarian sebagai sebuah sikap hidup dikatakan Singer sebagai sebuah praktik tanggung jawab moral manusia sebagai makhluk altruis. Menghadapai eksploitasi dan konsumerisme yang semakin tinggi, proposal Singer ini dapat dilihat sebagai sebuah solusi. Maka itu, penelusuran akan idenya mengenai vegetarianisme perlu dilakukan. (2) Bagaimana kedua pemikiran tersebut dihadapkan dengan permasalahan ketidaksetaraan, relasi dominan, antropocentris, dan hewan sebagai komoditas; realitas sebagai sebuah keterarahan dan ketersingkapan? Lingkungan hidup adalah realitas yang ada di luar manusia. Dari perspektif Arne Naess, dan lingkungan hidup inilah yang akan mengarahkan dirinya pada manusia sehingga manusia mampu memahami lingkungan hidup tersebut. Pada akhirnya, Singer dan Naess mencapai sebuah kesimpulan yang hampir serupa walaupun menempuh jalan yang berbeda. Pada Singer binatang akhirnya juga menjadi moral patient, sementara pada Naess, makhluk hidup di luar manusia pun menjadi tujuan dari komunitas ekologis. Bisa dikatakan Singer menempuh jalan praktis, sedangkan Naess menekankan sesuatu yang bersifat ontologis. Dengan melihat thesis statement untuk disertasi ini adalah deep ecology Naess bukanlah jalan keluar terbaik untuk menangani krisis ekologi, tetapi akan menjadi lebih efektif dan operatif apabila dilengkapi dengan pemikiran Singer yang bersifat utilitarian. Pada bab 2, sebagai bagian landasan teori, terlihat bahwa pemikiran Heidegger dan Levinas kental dengan andaian fenomenologi. Levinas berusaha untuk melengkapi dan merevisi pemikiran Heidegger. Bagi Heidegger manusialah yang utama dan keutamaan manusia itu terletak pada keunikannya di bandingkan dengan makhluk lain bahkan dibandingkan dengan manusia lain. Jadi di sini manusia sebagai Da Sein justru memiliki posisi yang sentral dalam kehidupan dan juga semesta. Bagi Heidegger hanya manusialah, Dasein, yang bisa menyadari keberadaannya sebagai berada di tengah Ada. Meskipun pada akhirnya Heidegger
129 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
melihat bahwa manusia berada pada posisi di mana tak bisa membahasakan Ada, ia tetap pada posisi bahwa manusia merupakan entitas yang unik di depan semesta. Beralih pada Levinas, justru posisi Heidegger memandang manusia dan alam semesta inilah yang dikritiknya. Bagi Levinas justru manusia harusnya memandang alam semesta sebagai bagian yang memungkinkannya Ada. Levinas menolak membedakan alam sebagai instrumen. Menurut Levinas, Heidegger terlalu menganggap penting ontologi. Segala hal dilihatnya tidak penting dan yang paling penting adalah ontologi. Pertanyaan Levinas adalah apakah memang ontologi sepenting itu? Karena menurut Levinas, tidak semua hal bisa dipahami dalam horison Ada. Menurut Levinas, setidaknya ada satu fenomena yang lepas atau tidak bisa terpahami dalam horison Ada. Fenomena itu adalah wajah yang lain. Karena wajah yang lain ini berelasi dengan eksistensi dan tidak bisa dipahami dalam pemahaman tentang ontologi. Hubungan dengan wajah yang lain ini lebih lanjut menurut Levinas tidak bisa dipahami melalui pemahaman tetapi melalui panggilan. Essensi dari wajah yang lain adalah doa. Di dalam pemikiran Heidegger sebenarnya ada juga hubungan dengan manusia yang lain. Tetapi hubungan manusia dengan manusia yang lain ini selalu berada di bawa horison ada. Manusia yang lain menurut Heidegger haruslah dipahami dalam horison pemahaman akan Ada. Hal inilah yang menjadi keberatan Levinas. Karena menurut Levinas dasar dari relasi dengan orang lain ditemukan tidak dalam representasi melainkan dalam panggilan. Yang lain secara utama adalah seseorang yang mana saya bicara dengannya dan seseorang yang memanggil saya. Relasi dengan yang lain tidak dikarakterisasikan dengan melihat melainkan dengan berbicara dan mendengarkan. Namun demikian, ada hal yang positif. Menurut Levinas, melalui Heideggerlah verba to be menjadi sesuatu yang penting kembali. Dengan Heidegger, pembedaan antara Being dan beings yang dilupakan selama ini dalam filsafat barat kembali mengemuka. Being sebagai sesuatu yang menampak di dalam beings juga menurut Levinas adalah sebuah hal penting yang diintrodusir oleh Heidegger. Meskipun demikian, Being tetap berbeda dengan beings. Ini disebut Heidegger sebagai ontologi fundamental.
130 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Pada bab 3, dibahas seputar pemikiran Peter Singer. Singer dengan tradisi utilitarianismenya dan juga lingkaran moralnya pada satu titik melihat adanya kemungkinan atau bahkan keharusan dari manusia untuk menghormati hak-hak binatang. Hak-hak binatang itu antara lain adalah dijauhkan dari rasa sakit dan menghormati juga kebahagiaan yang timbul dari kemampuannya merasa. Binatang oleh Singer dengan bantuan penelitian biologis adalah sentient being dan ketika lingkaran moral Singer mencapai titik kebahagiaan sebagai sesuatu yang dirasakan, maka binatang pun termaksud makhluk moral atau subjek moralnya. Konsekuensi lebih lanjut dari pemikirannya dengan demikian adalah sebuah tindakan praktis yakni tindakan vegetarian; tidak memakan binatang. Tentu saja ada hal lain selain itu yakni perihal binatang yang dikandangkan dengan tidak memperhatikan hak mereka untuk hidup dengan lebih baik dsb. Di bab 4, pemikiran Arne Naess dibahas. Sebuah pandangan yang lebih luas dan menyeluruh dan menyangkut seluruh ekosistem alam semesta. Melalui Arne Naess dengan pendekatan ecosophy T-nya diharapkan manusia bisa muncul sebagai makhluk yang menghormati segala hal yang ada di alam semesta ini. Manusia yang bisa merealisasikan dirinya sebagai bagian dari alam semesta yang tidak lebih tinggi dari penghuni alam semesta lainnya inilah yang mampu, menurut pandangan Naess, menjalankan sebuah sikap ekologis. Ecosophy T dari Naess bukanlah sebuah formula yang perlu diikuti oleh siapa pun. Sebaliknya, secara pribadi, tiap individu diharapkan menjalankan dan mengembangkan ecosophy-nya sendiri namun tetap memandang dirinya sebagai bagian yang kecil dan setara dengan hal-hal lain di alam semesta ini. Pada bab 5 kita sudah melihat pemikiran Henryk Skolimowski dengan penekanan yang kental pada eco-philosophy-nya. Eco-philosophy ini dalam penelusuran di bab tersebut nyatalah sebagai sebuah konsep yang ditujukan sebagai konsep metafisika. Metafisika lingkungan dari Skolimowski ini punya asumsi dan landasannya yang kuat pada unsur spiritual dan rohaniah. Kedua belas unsur dari eco-philosophy sebenarnya sebuah pengandaian yang mencoba merangkum dan menempatkan eco-philosophy hampir di seluruh sendi kehidupan. Bagaimana juga di sana sedikit banyak kita melihat kecenderungan pada pengaturan kebijakan dan hal-hal praktis lainnya seperti itu. Di sini kita pun
131 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
mengalami keberatan secara praktis ketika kita perlu juga menyadari bahwa manusia zaman ini sudah kehilangan unsur rohaniah seperti yang diandaikan Skolimowski. Kehilangan unsur rohaniah tersebut bukan pertama-tama atau senantiasa karena pola pemikiran barat yang melihat alam sebagai sebuah instrumen, kehilangan unsur rohani ini lebih jauh dan lebih kompleks dari pada itu. Maka, penggunaan unsur spiritualitas dalam ajakan penyelamatan lingkungan hidup cukup berbahaya. Perbedaan pandangan Singer dan Naess dipaparkan di bab 6. Pada Singer, posisi utilitarianisme sangatlah kental, sedangkan pada Naess ditemukan sedikit banyak unsur deontologis yang menekankan pada kewajiban. Tersirat dengan demikian, pada Singer yang menjadi penting adalah pihak lain yang terkena dampak tindakan etis saya. Sedangkan pada Naess terlihat kepentingan pribadi individulah sedikit banyak yang berperan. Diri yang harus menjalankan kewajiban adalah hal yang terpeting dalam posisi tradisi etika yang diikuti Naess. Konsekuensi praktis adalah jalan ke luar dari pemikiran etika keduanya, sesuatu yang lumrah dalam bidang etika. Pada Naess memang terlihat penghormatan yang lebih luas cakupannya sedangkan pada Singer lebih sempit. Namun demikian pendasaran etika pada keduaya memberikan panorama yang berbeda. Lingkaran moral pada Singer memungkinkan sebuah tindakan etis berubah dan dengan demikian bisa saja meluas dan semakin meluas. Namun pada Naess sebuah tindakan etis, penghormatan pada alam semesta dengan biosentrisnya, sepertinya memberikan sebuah kondisi yang sudah fiks dan seorang pelaku etis sepertinya tinggal menemukan dan memahaminya saja.
7.3 Butir-butir Simpulan 7.3.1 Relevansi Pemikiran Pemikiran Singer dan Naess di Indonesia tentu belum banyak dikenal. Hanya beberapa tulisan yang mengulas pemikiran keduanya dan menyertakan pemikiran keduanya dalam ulasan mereka. Meskipun demikian, di Indonesia sendiri praktik penyelamatan lingkungan hidup dan juga vegetarianisme sudah berjalan. Ada yang modern ada yang tradisional. Gerakan-gerakan lingkungan yang modern dapat dilihat pada kaitan dan hubungannya serta pengaruh dengan
132 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
gerakan sejenis di mancanegara. Pada gerakan tersebut di mancanegara, kedua pemikir yang dibahas dalam penelitian ini dipandang sebagai peletak dasar filosofis gerakan tersebut. Singer di ranah vegetarianisme dan kaum penyayang binatang serta Naess di ranah perlindungan lingkungan hidup serta pencinta alam. Dari sana sebenarnya dapat ditarik pengaruh keduanya dalam kedua hal tersebut. Berbicara tentang gerakan tersebut secara tradisional, tampaknya jauh dari pemikiran keduanya. Pun pula ketika memasuki perihal tradisi di Indonesia, pemikiran Singer barangkali cukup sulit diterima. Singer yang menentang pembunuhan binatang akan berhadapan dengan tradisi di Indonesia yang kental dengan pengurbanan hewan pada acara-acara religius tertentu. Hewan pun digunakan dalam kegiatan-kegiatan olahraga tradisional, seperti karapan sapi. Di Indonesia pun masih terlihat banyak kerbau digunakan untuk membajak sawah. Dalam pemikiran Singer, sejauh yang dipelajari penulis untuk kepentingan penelitian ini, tidak tampak ulasan mengenai penggunaan hewan untuk hal tersebut. Di sini pertanyaannya akan muncul, apakah penggunaan kerbau sebagai tenaga bajak dilarang dalam pemikiran Singer? Jika ya, maka ini akan berbentrokan dengan perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia yang memang belum bisa menggunakan mesin traktor misalnya untuk membajak sawahnya.
7.3.2 Menjadi Utilitarianisme atau Ecosophy T Jika hendak memilih antara apakah menjadi seorang vegetarian sebagai konsekuensi dari pemikiran Singer dan apakah menjadi seorang ecosophy T dari pemikiran Naess rupanya cukup sulit dibahas. Namun sebuah tindakan vegetarianisme rupanya lebih konkret dibandingkan dengan ecosophy T. Jika melihat kembali pada delapan poin ecosophy T dari Naess maka tampaklah ia membutuhkan sebuah gerakan yang tidak hanya mengandalkan individu tetapi banyak pihak. Sedangkan pada tindakan vegetarianisme, seorang individu secara pribadi bisa menjalankannya. Tentu saja sermakin banyak individu melakukan itu semakin lebih baik. Dengan demikian, menurut penulis konsekuensi praktis dari pemikiran Singer lebih konkret dari pada konsekuensi praktis pemikiran Naess. Naess
133 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
membutuhkan misalnya kebijakan pemerintah dsb. Pertanyaan berikutnya, mungkinkah kedua hal itu dijalankan secara bersamaan? Jawabannya tentu saja bisa. Namun secara filosofis memang agak bermasalah. Permasalahan muncul ketika keduanya berada pada dua tradisi yang berbeda dan tidak bisa mendapatkan benang merahnya. Di satu sisi, Naess berasumsi bahwa manusia itu makhluk individual sedangkan Singer berasumsi manusia itu makhluk komunal.
7.3.3 Simpulan Disertasi Setelah mendalami pemikiran Singer dan Naess serta mendapatkan insight dari pemikiran Skolimowski, tibalah pada sebuah bagian simpulan. Pada bagian ini akan diperjelas dan dipertahankan pernyataan tesis (thesis statement) yang sudah disebutkan pada bagian awal. Singer dan Naess adalah dua pemikir kontemporer saat ini. Permasalahan yang dialami dunia kini menjadi perhatian keduanya. Tentu saja tidak ada yang menyangkal bahwasanya salah satu problem besar dalam dunia saat ini adalah kerusakan lingkungan dan ancaman atas kehidupan manusia yang bergantung pada alam semesta itu. Hal ini berhubungan tentu saja dengan pola konsumsi yang dijalankan manusia. Pada Singer konsenstrasi pemikirannya lebih menjurus kepada binatang. Di sini bagi Singer tindakan menjadi seorang vegetarian adalah pertama-tama bukan untuk kepentingan si pelaku tindakan moral itu sendiri melainkan untuk kepentingan yang terkena dampak tindakan etisnya. Dalam hal ini Singer menekankan kepentingan binatang dari pada kepentingan manusia itu sendiri. Hal ini berbeda ketika melihat pemikiran Naess. Pada naess masih terdapat sebuah tindakan yang mementingkan diri sendiri dari si pelaku tindakan etis. Oleh karena itu, di dalam pemikiran Singer sebenarnya tidaklah penting membicarakan pelestarian binatang lantaran konsumsi manusia yang akan menghabisinya. Dalam pemikiran Singer yang relevan adalah menghormati binatang karena memang ia setara sebagai sentient being dengan manusia. Jadi pemikiran Singer memang tidak ada hubungannya secara langsung dengan perihal kerusakan lingkungan dan lain-lain sejenisnya, melainkan konsekuensi dari tindakan etis dalam pemikirannya menyumbangkan sesuatu untuk perkara tersebut.
134 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
Hal ini pun sebenarnya berlaku pada Naess. Namun, Naess menekankan perihal kesamaan dari semua biotik mau pun nonbiotik yang ada di alam semesta ini. Semua itu, biotik ataupun nonbiotik, memiliki posisi dan fungsi yang sama penting dalam keberlangsungan alam semesta. Maka sebuah tindakan etis untuk melindungi mereka secara tidak langsung berpengaruh pula pada kelangsungan ekosistem alam semesta. Secara tersurat sebenarnya ada semacam pamrih dalam pemikiran Naess ini. Oleh karena itu, tidak dapat ditempatkan keduanya hampir sederajat. Pada Singer yang dikejar adalah kebahagiaan, namun ada penekanan perihal pengorbanan diri untuk sebuah kepentingan dan kebahagiaan yang mencakup lebih banyak orang. Sedangkan pada Naess penghormatan ecosophy T mungkin terjadi lantaran manusia terlebih dahulu memahami keberadaannya pada alam semesta dan hubungannya dengan makhluk di alam semesta lainnya. Permasalahan utama yang dibahas dan coba diurai dalam disertasi ini adalah bagaimanakah perbandingan pandangan etika praktis utilitarian Peter Singer dengan pemikiran ecosophy Naess yang mengajukan sebuah etika lingkungan hidup yang baru? Ahli-ahli menempatkan manusia sebagai keutamaan, keduanya menempatkan manusia hampir sederajat dengan makhlukmakhluk yang lain. Dengan demikian, posisi manusia dalam pemikiran keduanya vis a vis makhluk lain perlu ditekankan. Selain itu konsekuensi dari kedudukan manusia di hadapan makhluk lain dalam pemikirannya yang berdampak pada praktik etika perlu pula diuraikan. Singer, Naess, dan Skolimowski mempunyai posisi yang berbeda mengenai the state of nature dari manusia. Seperti yang diketahui, Singer berangkat dari tradisi etika utilitarianisme. Utilitarianisme sejak Jeremy Bentham yang dianggap sebagai bapak utilitarianisme berangkat dari asumsi bahwa manusia itu makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang pada dasarnya bukan sendirian, melainkan hidup dalam komunalitas. Itulah mengapa utilitarianisme menganggap tindakan yang benar adalah tindakan yang secara dampak paling menguntungkan dan paling banyak orang yang diuntungkannya-lah yang dianggap benar. Singer dengan konsep lingkaran moral-nya pada akhirnya
135 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
memperluas lagi lingkaran tujuan tindakan etis ini dengan memasukan juga binatang. Berbeda dengan Singer, Naess tampaknya mengikuti tradisi kontinental, lebih jauh, ia dekat dengan pemikiran Martin Heidegger. Bahkan Michael E. Zimmerman dalam artikelnya Heidegger and Deep Ecology mengatakan bahwa Naess mengapresiasi dan bahkan berangkat dari titik tolak pandangan Heidegger tentang hubungan manusia dengan alam. Naess melihat pandangan Heidegger yang menempatkan keunikan manusia sebagai bagian dari alam adalah sebuah pintu untuk masuk ke dalam pemikiran deep ecology yang lebih serius. Dengan tradisi ini tentu saja pengandaian state of nature tentang manusia dari Naess tak lain dan tak bukan adalah manusia sebagai makhluk individu yang unik di tengah semesta. Lain halnya pada Skolimowski, melalui pemikirannya dapat ditemukan unsur antroposentris yang masih bertahan. Lebih jauh antroposentris pada Skolimowski
tidaklah
antroposentris
ala
modernitas—akal
budi
yang
mengemuka. Pada Skolimowski justru roh manusia atau sifat spiritual rohaniahnyalah yang mengemuka. Pada pemikiran Skolimowski juga ditemukan kekecewaan serupa pada sains dan kepercayaan pada akal budi yang dihembuskan modernitas. Alih-alih membenarkan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Skolimowski justru menuduh keduanya itu sebagai penanggung jawab utama kerusakan lingkungan hidup saat ini. Oleh karena itu, Skolimowski sebenarnya mengutarakan hal yang serupa dengan apa yang digelisahkan Husserl bertahun-tahun lampau, tentang pelupaan ilmu pengetahuan pada kehidupan keseharian. Namun, pada Skolimowski, penggalian kembali pada unsur rohaniah pada manusialah yang menjadi jalan ke luar utamanya. Dengan demikian, disertasi ini hendak menunjukkan bahwa tindakan penyamaan derajat secara praktis antara manusia dan makhluk hidup lainnya perlu dilakukan. Menuju ke arah itu, secara intensionalitas ala fenomenologi, perlu pula ditanamkan keberadaan manusia sebagai subjek yang setara dengan objek-objek makhluk lain yang berada di luar dirinya. Dengan demikian, di dalam pemikiran manusia harus ada wilayah apriori yang mengandaikan persamaan derajat tersebut sehingga penampakan makhluk lain sebagai subjek dari pemikiran selalu
136 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
dan senantiasa membawa keberadaan diri makhluk lain tersebut dengan kesetaraannya atas manusia.
137 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Brock, Stuart., and Edwin Mares. 2007. Realism and Anti-Realism. Durham: Acumen. Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Oxford dan Victoria: Blackwell Publishing. Buren, Edward J van, The Young Heidegger: Rumor of a Hidden King (19191926) dalam Philosophy Today Vol. 33 No. 2/4 Musim Panas 1989. Carson, Rachel. 2002. Silent Spring. Boston and New York: Houghton Mifflin Company. Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Cavallaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory. London dan New Brunswick, NJ: The Athlone Press. Clarke, Melissa. 2002. ―Ontology, Ethics, and Sentir: Properly Situating MerleauPonty‖, Environmental Values. Vol. 11, No. 2. The White Horse Press. Daws, Gavan., and Marty Fujita. 1999. The Island of Indonesia, from the Nineteenth-Century Discoveries of Alfred Russel Wallace to the Fate of Forest and Reefs in the Twenty-First Century. California: University of California Press. Denzin, Norman K., and Yvonna S. Lincoln (Eds.). 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. Evans J. Claude. 2005. With Respect for Nature: Living as Part of the Natural World. New York: State University of New York Press. Gould, Stephen Jay. 2002. The Structure of Evolutionary Theory. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press. _______________. 2011. The Millenium: A Rasionalist‗s Guide to a Pricesly Arbitrary Countdown. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press. Guba, Egon (Ed.). 1990. The Paradigm Dialog. London: Sage. Heidegger, Martin. 1996. Being and Time diterjemahkan oleh Joan Stambaugh. Albany: SUNY Press. _______________. What is Metaphysics? dalam David Farrell Krell (ed.), Martin Heidegger: Basic Writings. London: Routledge & Kegan Paul. _______________. The Essence of Human Freedom diterjemahkan oleh Ted Sadler. London: Continuum. _______________. The Age of the World Picture dalam Martin Heidegger, The Question Concerning Techonolgy and Other Essays diterjemahkan oleh William Lovitt. New York: Harper & Row. _______________. 1967. Memorial Address dalam Martin Heidegger, Discourse on Thinking diterjemahkan oleh John M Anderson dan E Hans Freund. New York: Harper & Row. _______________. 1998. Parmenides diterjemahkan oleh André Schuwer dan Richard Rojcewicz. Bloomington: Indiana University Press.
138 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
_______________. 1975. The Anaximander Fragment dalam Martin Heidegger, Early Greek Thinking diterjemahkan oleh David Farrell Krell dan Frank A Capuzzi. New York: Harper & Row. _______________. 1972. On Time and Being diterjemahkan oleh Joan Stambaugh. New York: Harper & Row. Hills, Alison. 2005. Do Animals Have Rights? Cambridge: Icon Books. Hochsmann, Hyun. 2002. On Peter Singer. Belmont: Wadsworth. Komunitas Online Vegetarian Indonesia. ―Ketika Aku menjadi Vegeter‖. www.vegetarian.web.id (Diunduh pada 1 Juli 2011 pukul 15.30). Jaegwon, Kim., and Ernest Sousa. 1995. A Companion to Metaphysics. Massaschutets: Blackwell Publisher. Jamieson, Dale (ed). 2000. Peter Singer and His Critics. Oxford: Blakwell Publishers Ltd. Keith, Lierre. 2009. The Vegetarian Myth: Food, Justice, and Sustainability. Crescent City: Flashpoint Press. Leahy, Michael P.T. 1994. Against Liberation: Putting Animals in Perspectives. New York: Routledge Levinas, Emmanuel. 1979. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers. Linzey, Andrew. 2009. Why Animal Suffering Matters: Philosophy, Theology, and Practical Ethics. Oxford: Oxford University Press. Mackey, John., et.al. 2008. ―The CEO as Animal Activist: Jhon Mackey and Whole Foods‖, In Defense of Animals: The Second Wave (Ed. Peter Singer). Oxford: Blackwell Publishing. Magnis-Suseno, Franz. 1997. Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Marx, Karl. 2004. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku Pertama: Proses Produksi Kapital, (terj. Oeh Hay Djoen). Jakarta: Hasta Mitra. Naess, Arne. 1989. Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Cambridge: Cambridge University Press. _________. 2002. Life's Philosophy : Reason and Feeling in a Deeper World. (terj. Roland Huntford). Georgia: University of Georgia Press. _________. 2010. The Ecology of Wisdom. Ed. Alan Drengson and Bill Devall. Berkeley: Counter Point. Pickering, Michael. 2008. Research Methods for Cultural Studies. Edinburgh: Edinburgh University Press. Regan, Tom. 2005. ―Empty Cages: Animal Rights and Vivisection‖, Conemporary Debates in Applied Ethics. Victoria: Blackwell Publishing, Ltd. Schrift, Alan D. 2006. Twentieth-Century French Philosophy: Key Themes and Thinkers. Oxford: Blackwell Publishing. Sessions, George. 1995. Deep Ecology for the Twenty-first Century. Boston: Shambhala Publications, Inc. Singer, Peter. 1979. Practical Ethic. New York and Melbourne: Canbridge University Press. _________. 1981. The Expanding Circle: Ethics and Sociobiology, Oxford: Oxford University Press.
139 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
_________. 1998. A Vegetarian Philosophy. In Sian Griffiths & Jennifer Wallace (Eds.), Consuming Passions. Manchester, pp. 66-72. http://www.animalrights-library.com/texts-m/singer05.htm (Diunduh pada 22 februari 2010 pukul 21.43). _________. 2001. Writings on an Ethical Life. New York: Harper Collins Publishers. _________. 2009. Animal Liberation: The Definitive Classic of The Animal Movement: Updated Edition. New York: HarperCollins Publisher. Singer, Peter., and Jim Mason. 2007. The Ethics of What We Eat. Melbourne: The Text Publising Company. Singer, Peter., and Henry Spira. 2008. ―Ten Points for Activist‖, In Defense of Animals: The Second Wave (Ed. Peter Singer). Oxford: Blackwell Publishing. Schumacher, F. 1981. Keluar dari Kemelut. (terj. Mochtar Pabottinggi). Jakarta: LP3ES. Skolimowski, Henryk. 1981. Eco-philosophy: Designing New Tactics for Living. Marion Boyars. _________. 1992. Living Philosophy, Eco-Philosophy as a Tree of Life. London: Penguin Group. Stanley, Steven M. 1981. The New Evolutionary Timetable. New York: Basic Books, Inc., Publishers. Suryajaya, Martin. 2009. Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam Tradisi Filsafat Prancis Kontemporer. Jakarta: Komunitas Aksi Sepihak. Wallace, Walter. 1971. ―An overview of elements in the scientific process‖, The Logic of Science in Sociology. Chicago: Aldine-Atherton. Walters, Kerry. S, dan Lisa Portmess (eds). 1999. Ethical Vegetarianism: From Pythagoras to Peter Singer. New York: State University of New York Press. Zimmermann, Michael. 1993. ―Rethinking the Heidegger-Deep Ecology Relationship‖, Enviromental Ethics. Vol. 15. Enviromental Philosophy.
140 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.
TENTANG PENULIS
Yoesman Sugianto
[email protected] Riwayat pendidikan: Juli 2015, Universitas Indonesia, Depok, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat, Doktor Ilmu Filsafat. Mei 1993, University of Portland, Oregon, USA, Master of Business Administration. Sept 1991, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, FISIP, Ilmu Administrasi Niaga, Sarjana Ilmu Sosial Politik. Pengalaman kerja: Mei 2014 – skrg, Vice President Business Management, TRANSVISION, TransMedia, CT Corpora. Nov 2010 – April 2014, Chief Content Officer , AORA TV, Indonesia. Jan 2010 – Nov 2010, Executive Vice President Marketing, The Group Entertainment Pte Ltd, Singapore. Apr 2006 – Dec 2010, Senior Vice President. .Programming/Content Development, PT Direct Vision, Indonesia Apr 2004 – Apr 2006, Commercial Director, Fremantle Media, Singapore. Nov 1998 – Apr 2004, Senior Marketing Manager, STAR TV South East Asia (FOX International Channels), Singapore. 1996 – 1998, Channel Marketing Manager, PT Coca-Cola Amatil Indonesia. 1994 – 1996, Marketing Manager, FJ Benjamin Group, Singapore. 1993 - 1994, Senior Account Executive, Lintas Advertising (Lowe).
141 Vegerarianisme sebagai..., Yoesman Sugianto, FIB UI, 2015.