UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS TEMA DAN UNSUR ESTETIKA PUISI ANYAR KATON KARYA ROEWANDI DALAM MAJALAH PANJEBAR SEMANGAT TAHUN 2012
MAKALAH NON-SEMINAR
KEN KINASIH 1006699934
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA JAWA DEPOK JANUARI 2014
1 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
2 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
3 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
4 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
Analisis Tema dan Unsur Estetika Puisi Anyar Katon Karya Roewandi dalam Majalah Panjebar Semangat Tahun 2012 Ken Kinasih, Karsono H. Saputra
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang analisis tema dan unsur estetika puisi Jawa modern melalui analisis unsur-unsur pembentuk puisi. Puisi yang dianalisis adalah puisi berjudul Anyar Katon karangan Roewandi yang telah dipublikasikan oleh majalah Panjebar Semangat pada bulan Maret 2012. Analisis ini menggunakan teori Karsono H. Saputra yang terdapat pada buku Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Menurut teori tersebut, unsurunsur pembentuk puisi terdiri dari empat aspek, yaitu aspek bunyi, aspek spasial, aspek kebahasaan, dan aspek pengujaran. Berdasarkan analisis keempat aspek tersebut, puisi Anyar Katon membicarakan tentang seseorang yang terlihat menawan dan berbudi baik, tetapi sebenarnya ia bertindak jahat dan tidak sepantasnya disebut menawan. Dengan demikian, tema dalam puisi ini adalah kemunafikan. Unsur estetika dalam puisi ini diwujudkan melalui pengulangan bunyi guru lagu, keteraturan pola guru gatra, serta penggunaan kosakata dari tiga ragam bahasa Jawa yang berbeda, yaitu ragam bahasa ngoko, ragam bahasa krama, dan bahasa arkais. Kata Kunci: estetika; puisi; tema; unsur pembangun.
Analysis of Theme and Aesthetic Elements of Anyar Katon Poetry by Roewandi on Panjebar Semangat Magazine 2012
Abstract This research discusses the analysis of themes and aesthetics of modern Javanese poetry through analysis of the elements of poetry. Poetry analyzed is poem entitled Anyar Katon by Roewandi that has been published in Panjebar Semangat magazine on March 2012. This analysis uses the Karsono H. Saputra’s theory which contained in Puisi Jawa: Struktur dan Estetika book. According to the theory, constituent elements of poetry consisting of sound aspect, spatial aspect, language aspect, and pronouncement aspect. Based on the analysis of the four aspects, Anyar Katon poetry is talking about someone who looks charming and have agood character, but in fact, he is a criminal and does not deserve to be called charming. Thus, the theme of this poems is a hypocrisy. Aesthetic elements of poetry realized through repetition sounds of guru lagu, regularity pattern of guru gatra, and the used of three kinds of Javanese in difference, are ngoko, krama, and archaic language. Keywords: aesthetic; constituent elements; poetry; themes.
5 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
1. Pendahuluan
Sastra Jawa adalah sastra yang diciptakan dan dikembangkan oleh masyarakat Jawa serta menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya. Seiring dengan perkembangannya, sastra Jawa menghasilkan berbagai kesusastraan, seperti puisi, prosa, dan drama. Salah satu kesusastraan yang berkembang dengan baik dalam masyarakat Jawa adalah puisi. Sebagian besar kesusastraan dalam masyarakat Jawa berbentuk puisi. Puisi dianggap sebagai tradisi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Jawa. Puisi adalah karya sastra yang menggabungkan kata-kata kiasan (imajinatif) dengan permainan bunyi.1 Puisi ada dalam kadar yang relatif lebih padat daripada karya sastra lainnya.2 Hanya dengan beberapa larik baris, puisi mampu mengungkapkan suasana hati maupun gagasan yang ingin dituangkan oleh penyair. Puisi kadangkala tidak banyak menceritakan apa-apa tetapi dapat melukiskan sesuatu, tidak menerangkan tetapi mengajak pembaca untuk berkreasi, tidak berbicara apa-apa tetapi berdendang dan berlagu, atau tidak berdendang dan berlagu tetapi justru membangun dan menimbulkan dendang atau lagu kepada para penikmatnya.3 Bentuk puisi pertama yang dikenal oleh masyarakat Jawa adalah kakawin. Kakawin Ramayana adalah bentuk puisi pertama yang ditulis oleh masyarakat Jawa kuno pada tahun 825 Saka atau pada awal abad IX Masehi.4 Ketika masuk zaman Jawa Pertengahan, muncul salah satu bentuk puisi yang disebut dengan kidung. Kemudian, pada zaman Jawa baru, masyarakat mengenal puisi yang disebut dengan macapat. Macapat adalah puisi yang harus ditembangkan atau dinyanyikan ketika pembacaannya. Ketiga bentuk puisi tersebut memiliki kesamaan, yaitu memiliki aspek bunyi dan aspek spasial yang teratur. Aspek bunyi dan aspek spasial pada ketiga bentuk puisi tersebut tunduk pada aturan pola baku. Seringkali para penyair menggunakan bahasa arkais atau mengubah bentuk kata agar puisinya sesuai dengan aturan pola baku. Pada akhir abad ke-20, muncul puisi Jawa modern. Puisi Jawa modern atau biasa disebut dengan geguritan pertama kali muncul di majalah Kejawen pada tahun 1929.5 Sejak saat itulah puisi Jawa modern berkembang dengan pesat dan dipopulerkan oleh berbagai media cetak, seperti majalah Panjebar Semangat, Djaja Baja, Djoko Lodang, dan Mekar Sari. 1
Herman J. Waluyo. Apresiasi Puisi: Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2002. hlm. 1. 2 Hamidy. Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi. Bumi Pustaka. Pekanbaru. 1983. hlm. 53. 3 Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar sastra. Angkasa. Bandung. 1984. hlm. 43-44. 4 Poerbatjaraka. Kepustakaan Djawa. Djambatan. Jakarta. 1957. hlm. 3. 5 Ras, J.J. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti-Pres. Jakarta. 1985. hlm. 18
6 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
Berbeda dengan bentuk-bentuk puisi Jawa sebelumnya, puisi Jawa modern tidak terikat pada pola atau aturan baku. Para pujangga diberi kebebasan untuk membuat peruangan puisi dan bebas untuk menciptakan bunyi-bunyi bahasa dengan menggunakan kaidah estetika yang diyakini tanpa harus disesuaikan dengan aturan baku. Para penyair dapat mengutarakan ujarannya melalui berbagai aspek yang membangun sebuah puisi, seperti aspek bunyi, aspek kebahasaan, aspek spasial, dan aspek pengujaran. Hal inilah yang membuat puisi Jawa modern dengan mudah dapat menarik minat masyarakat untuk mengekspresikan diri dan mengungkapkan berbagai gagasan melalui karya sastra puisi Jawa modern. Sejak awal kemunculannya hingga saat ini puisi Jawa modern masih terus berkembang. Puisi Jawa modern mengandung tema yang sangat beragam. Namun, pemahaman suatu tema dalam puisi tidak semudah memahami tema dalam prosa yang bahasanya lebih lugas. Terlebih lagi, kebanyakan puisi Jawa modern mengungkapkan tema dan unsur estetika secara tersirat melalui aspek-aspek pembangun puisi. Untuk itu, proses pemahaman tema dan estetika puisi harus dilengkapi dengan pemahaman unsur-unsur pembentuk puisi. Unsur-unsur pembentuk puisi bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengaitkan unsur lain, serta bersifat fungsional terhadap unsur lainnya.6 Hal inilah yang kemudian mendorong adanya penelitian berbasis analisis struktural puisi Jawa modern meliputi analisis unsur-unsur pembangun puisi. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk menemukan makna dan unsur estetika yang terkandung dalam sebuah puisi. Salah satu bentuk puisi Jawa modern adalah puisi berjudul Anyar Katon. Puisi Anyar Katon adalah puisi karangan Roewandi yang dipublikasikan oleh majalah Panjebar Semangat pada bulan Maret 2012. Selain diterbitkan melalui media cetak, puisi Anyar Katon ini juga dipublikasikan melalui media online Panjebar Semangat pada 26 Maret 2012 dalam rubrik geguritan. Puisi Anyar Katon adalah puisi Jawa modern yang unik. Meskipun terbilang puisi Jawa modern, tetapi puisi ini cenderung masih memiliki keteraturan pola bunyi sebagaimana puisi Jawa tradisional. Selain itu, puisi ini menggunakan tiga ragam bahasa Jawa yang berbeda. Salah satunya adalah bahasa arkais, yaitu bahasa syair yang biasanya digunakan dalam puisi Jawa tradisional. Keunikan inilah yang membuat puisi Anyar Katon dipilih menjadi bahan dalam penelitian analisis unsur-unsur pembentuk puisi ini.
6
Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. Erlangga. Jakarta. 1991. hlm. 25
7 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
2. Tinjauan Teoritis
Puisi dibangun oleh beberapa aspek yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis segala aspek yang membangun sebuah puisi menjadi satu kesatuan yang utuh agar makna dalam puisi dapat dipahami dengan benar. Penelitian ini menggunakan teori Karsono H. Saputra yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Puisi Jawa: Struktur dan Estetik. Menurut Karsono, puisi dibangun oleh beberapa aspek, yaitu aspek bunyi, aspek spasial, aspek kebahasaan, dan aspek pengujaran.7 1. Aspek bunyi Puisi adalah kumpulan bunyi yang menjadi satuan-satuan bahasa secara bertingkat: satuan-satuan bunyi membentuk suku kata, suku kata membentuk satuan kata, dan satuan kata membentuk frasa, klausa, atau kalimat. Kumpulan bunyi tersebut, disebut sebagai bunyi segmental. Aspek bunyi dalam puisi tidak hanya membangun struktur kata dan kalimat saja. Aspek bunyi juga memiliki beberapa fungsi lainnya, antara lain a. Fungsi Estetik Kumpulan bunyi yang membentuk sebuah puisi berfungsi menciptakan makna estetis. Makna estetis atau keindahan ini muncul ketika ada pengulangan bunyi yang terjadi secara sistematis. Pengulangan bunyi yang sistematis ini dapat berupa pengulangan vokal, pengulangan konsonan, pengulangan sebagian pembentuk kata, dan pengulangan seluruh pembentuk kata. Bentuk pengulangan atau persamaan bunyi yang terjadi secara sistematis disebut purwakanthi dalam bahasa Jawa. Berdasarkan gejala pengulangan atau persamaan bunyinya, purwakanthi terbagi menjadi tiga macam.
Purwakanthi Guru Swara
Purwakanthi guru swara adalah pengulangan bunyi vokal pada kata dalam satu baris puisi. Pengulangan bunyi vokal ini dapat terjadi secara berurutan maupun secara berseling.
7
Purwakanthi Guru Sastra
H. Saputra, Karsono. Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Wedatama Widya Sastra. Jakarta. 2001. hlm 10-41.
8 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
Purwakanthi guru sastra pengulangan bunyi konsonan pada kata dalam satu baris puisi. Pengulangan bunyi konsonan dapat terjadi secara berurutan maupun berseling.
Purwakanthi Lumaksita
Purwakanthi lumaksita adalah pengulangan kata, baik secara keseluruhan maupun sebagian, baik mengalami maupun tidak mengalami perubahan bentuk. Purwakanthi lumaksita dapat terjadi dalam satu baris puisi maupun dalam larik yang berbeda tetapi masih berurutan. Pengulangan dalam purwakanthi lumaksita tidak mengandung makna jamak seperti reduplikasi tetapi mengandung makna estetis.
b. Fungsi Spasial Aspek bunyi juga berfungsi sebagai penanda spasial atau peruangan puisi. Penanda spasial muncul ketika bunyi pada akhir baris atau biasa disebut dengan guru lagu memiliki keteraturan bunyi atau berpola. Pola guru lagu biasanya terdapat pada puisi tradisional tetapi ada beberapa puisi modern yang juga masih menggunakan guru lagu berpola. c. Fungsi Aksentuasi Bunyi bahasa tidak memiliki makna kontekstual dalam puisi. Namun, kehadiran bunyi bahasa dapat memberi tekanan makna yang memberikan isyarat tertentu pada subsistem bahasa yang dilambangkannya. Pengulangan atau persamaan bunyi yang terjadi secara sistematis memberikan tekanan tertentu yang juga berkemungkinan sebagai kata kunci dalam memaknai puisi. 2. Aspek Spasial Aspek spasial atau peruangan adalah unsur yang menjadi ciri khas pada puisi. Berbeda dengan karya sastra prosa yang bentuk penulisan atau peruangannya adalah sebuah paragraf atau karya sastra drama yang berbentuk dialog percakapan antar tokoh, puisi memiliki peruangan khusus yang disebut dengan pada ‘bait’. Pada dibentuk oleh beberapa gatra ‘baris’, sebuah gatra dibentuk oleh beberapa tembung ‘kata’, dan tembung dibentuk oleh beberapa wanda ‘suku kata’. Pada puisi modern, tidak jarang dijumpai puisi yang tidak menggunakan peruangan bentuk bait. Banyak karya puisi modern yang menggunakan aspek spasial sebagai sarana pengekspresian sehingga aspek spasial seringkali sangat fungsional
9 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
dalam kaitannya dengan makna. Dalam beberapa puisi modern, aspek spasial bertautan erat dengan makna puisi. 3. Aspek Kebahasaan Puisi Jawa modern diwujudkan melalui bahasa Jawa. Puisi modern tidak terikat oleh kaidah tata bahasa atau gramatika bahasa Jawa baru yang baik dan benar. Dalam puisi modern, kata tidak harus dimaknai sesuai dengan gramatikanya karena kata merupakan satuan terkecil yang mempunyai makna. Kata-kata dalam puisi modern tidak hanya memiliki makna denotatif, melainkan juga makna konotatif. Bahkan, makna konotatif lebih dominan dalam aspek kebahasaan puisi. Sehubungan dengan fungsinya sebagai pernyataan konotatif, bahasa dalam puisi tidak harus mematuhi kaidah struktur morfologis dan sintaksis sebagaimana yang seharusnya seperti dalam tata bahasa. Oleh karena itu, setiap penyair memiliki kebebasan untuk mengolah kata dan bahasa sesuai dengan kaidah dan estetika yang diyakininya. Kebebasan dalam memanipulasi atau memainkan kata yang dimiliki oleh penyair disebut sebagai licentia poetica. Dengan licentia poetica, penyair dapat menciptakan kata baru, mempermainkan kata yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku secara gramatika, baik pada morfologis maupun sintaksis. 4. Aspek Pengujaran Wacana dalam puisi tidak hadir dengan sendirinya, melainkan dihadirkan oleh subjek pengujaran. Dengan demikian, subjek pengujaran bertindak sebagai pencerita yang bertindak menghadirkan wacana puisi, sedangkan wacana puisi berperan sebagai objek pengujaran yang dihadirkan oleh subjek pengujaran. Objek pengujaran atau wacana dalam puisi dihadirkan oleh subjek pengujaran melalui aspek bunyi, aspek spasial, dan aspek kebahasaan. Di dalam objek pengujaran terdapat subjek ujaran, latar, dan tema yang menjadi satu kesatuan wacana yang utuh pada puisi. Subjek pengujaran terdiri dari dua jenis, yaitu subjek pengujaran intern dan subjek pengujaran ektern. Subjek pengujaran intern berarti ada subjek ujaran (tokoh) yang hadir secara nyata menceritakan objek pengujaran. Subjek pengujaran intern biasanya muncul dalam bentuk kata ganti aku, dak-/tak-, ingsun, sun, serta kata ganti lain yang termasuk dalam kata ganti orang pertama tunggal atau seringkali disebut sebagai ‘aku liris’. Sedangkan pada subjek pengujaran ektern, subjek pengujaran tidak secara nyata hadir menceritakan objek pengujaran. Pada kasus ini, subjek pengujaran berada di luar wacana. Tidak ada sebuah kata 10 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
atau petunjuk tentang sosok yang bertindak sebagai subjek pengujaran. Situasi seperti ini yang disebut subjek pengujaran ekstern atau subjek pengujaran tidak dalam objek pengujaran atau berada di luar wacana puisi. Wacana dalam puisi atau yang disebut sebagai objek pengujaran terdiri dari subjek ujaran, tema, dan latar. Subjek ujaran adalah tokoh, pribadi, atau sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan. Subjek ujaran dapat muncul secara tersurat maupun tersirat. Adapun yang dimaksud dengan tema adalah gagasan utama yang mendasari sebuah puisi. Tema muncul secara nyata melalui aspek kebahasaan. Selain subjek ujaran dan tema, terdapat pula latar, yaitu keterangan yang menyertai atau berada dalam objek ujaran. Latar dapat berupa latar tempat, latar waktu, latar suasana, atau latar sosial. Pengenalan latar dapat membantu memberi makna pada puisi secara utuh.
3. Metode penelitian dan Sumber Data
Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis puisi Jawa modern ini adalah metode deskriptif analisis. Metode penelitian deskriptif adalah analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.8 Tahapan penelitian yang dilakukan adalah mengumpulkan data-data, mengklarifikasi atau menyusun data, menganalisis data berdasarkan teori yang sudah ada, dan menginterpretasikan hasil analisis data tersebut. Kesimpulan pada metode deskriptif mengacu pada asumsi-asumsi fakta dan teori yang sudah ada. Bahan yang akan dianalisis menggunakan metode penelitian deskriptif analisis adalah puisi Anyar Katon karangan Roewandi yang dipublikasikan oleh majalah Panjebar Semangat pada bulan Maret 2012. Selain diterbitkan melalui media cetak, puisi Anyar Katon ini juga dipublikasikan melalui media online Panjebar Semangat pada 26 Maret 2012 dalam rubrik geguritan.Tahap penelitian yang akan dilakukan adalah mengumpulkan data tentang puisi Anyar Katon, mengklarifikasikan aspek-aspek yang terdapat dalam puisi menjadi empat aspek, yaitu aspek bunyi, aspek spasial, aspek kebahasaan, dan aspek pengujaran. Setelah itu, masing-masing aspek akan dianalisis berdasarkan teori Karsono H. Saputra yang ada dalam
8
Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004. hlm. 53.
11 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
buku Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Tahap yang terakhir adalah mengambil kesimpulan yang berkenaan dengan tema dan unsur estetika yang terdapat dalam puisi Anyar Katon.
4. Analisis Puisi 4.1. Puisi Anyar Katon
Anyar Katon Teja teja sulaksana tejane wong anyar katon Kula pitambuh tetanya asma jengendika Aja kumbi aywa lirwa awit pitepangan Mangsa kala niki padha cubriya Kula pitambuh pundi wisma kang kawuryan Dadi datan mamang tan lirwa ing kawaskithan Kathah jalma abusana endah tinretes kencana Parandene alaku culika turta tan darbe wisma Kula tetanya dhuh nimas ampun pasang walat Darbe sedya tindak pundi kanthi gita gita Temtu wonten wigati angambah laladan niki Nadyan samar semu tan ngetarani Sinten rowang ndika alaku bala Pinten cacahe sun takon ampun duka Nadyan cetha sampeyan tidhem tindak priyangga Sapa ngerti ana dom sumusuping tirta Dhuh nimas sun tetanya cubriya awit wanci ratri Kula tan bisa anampi andika yen tan walaka Teja teja sulaksane tejane wong anyar katon
12 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
4.2. Analisis Aspek Bunyi Aspek bunyi merupakan aspek paling utama dalam sebuah puisi karena pada hakikatnya, puisi adalah kumpulan dari bunyi-bunyi bahasa. Kumpulan bunyi-bunyi bahasa disebut pula dengan bunyi segmental. Bunyi-bunyi segmental yang membangun sebuah puisi mengandung fungsi-fungsi tertentu. Fungsi-fungsi tersebut, yaitu fungsi estetik, fungsi aksentuasi, dan fungsi spasial. 1. Fungsi Estetik Bunyi segmental yang membangun puisi Anyar Katon menghasilkan fungsi estetik atau keindahan. Fungsi estetik ini muncul ketika ada bunyi-bunyi yang muncul secara sistematis melalui pengulangan. Kondisi seperti ini disebut pula purwakanthi. Purwakanthi yang muncul dalam puisi Anyar Katon adalah purwakanthi guru swara dan purwakanthi lumaksita. Purwakanthi guru swara adalah pengulangan vokal atau runtun vokal pada kata dalam satu baris puisi, baik secara berurutan maupun secara berseling. Dalam puisi Anyar Katon terdapat tiga purwakanthi guru swara, yaitu: (1) Aja kumbi aywa lirwa awit pitepangan (2) Dadi datan mamang tan lirwa ing kawaskithan (3) Kula tan bisa anampi andika yen tan walaka Pada kasus (1), terdapat pengulangan gabungan vokal dan konsonan yang membentuk kesatuan bunyi /wa/ pada kata aywa dan lirwa. Pada kasus (2), pengulangan suku kata /da/ yang terjadi pada kata yang berurutan, yaitu kata dadi dan kata datan. Selanjutnya, pada kasus (3), terdapat pengulangan bunyi /an/ yang terjadi berturut-turut pada kata anampi dan andika. Purwakanthi lumaksita atau bisa juga disebut purwakanthi guru basa adalah pengulangan kata baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pengulangan kata dapat pula mengalami atau tidak mengalami perubahan. Pada puisi Anyar Katon, terdapat dua purwakanthi lumaksita, yaitu: (1a) Teja teja sulaksana (1b) tejane wong anyar katon (2) Kula tan bisa anampi andika yen tan walaka Pada kasus (1a), terjadi pengulangan satu kata utuh, yaitu kata teja. Pengulangan yang terjadi merupakan salah satu bentuk reduplikasi yang bermakna jamak. Jadi, pengulangan kata teja pada kasus (1a) tidak termasuk purwakanthi lumaksita. Purwakanthi lumaksita
13 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
terjadi pada kata teja kasus (1b). Pengulangan ini bukan pengulangan kata secara utuh, melainkan kata yang mengalami perubahan bentuk menjadi tejane, kata teja diberi imbuhan /-ne/. Pada kasus (2), terdapat pengulangan kata yang secara utuh, yaitu kata tan. Kata tan diulangi sebanyak dua kali pada satu gatra. 2. Fungsi Aksentuasi Aksentuasi adalah penekanan yang terjadi pada bunyi segmental atau kata yang terdapat pada puisi. Penekanan atau aksentuasi berfungsi sebagai petunjuk mengenai makna yang terkandung dalam puisi. Penekanan dapat berupa kemunculan bunyi yang berulang secara sistematis. Terdapat beberapa kata yang berfungsi sebagai aksentuasi pada puisi Anyar Katon, yaitu (1) teja, (2) kula, (3) tetanya, (4) cubriya, (5) anyar katon. Dalam puisi ini, kata teja diulang sampai enam kali, yaitu tiga di baris pertama dan tiga dibaris terakhir. Kata kula mengalami empat kali pengulangan, yaitu di baris kedua, baris kelima, baris kesembilan, dan baris kedelapan belas. Kata tetanya diulang hingga tiga kali, yaitu pada baris kedua, baris kesembilan, dan baris ketujuh belas. Kata cubriya mengalami dua kali pengulangan, yaitu pada baris keempat dan baris ke tujuh belas. Sedangkan frase anyar katon mengalami pengulangan dua kali, yaitu pada baris pertama dan baris terakhir. Selain mengalami pengulangan, frase anyar katon juga menjadi judul puisi ini. Kata-kata yang telah disebutkan tadi merupakan bentuk penekanan yang menjadi kunci pada pemaknaan puisi. 3. Fungsi Spasial Salah satu ciri khas puisi Jawa baru dan puisi Jawa tengahan adalah adanya pengulangan bunyi suku kata terakhir atau guru lagu yang berpola. Guru lagu yang berpola menjadi salah satu penanda spasial pada puisi. Berbeda dengan jenis puisi Jawa yang lainnya, puisi Jawa modern tidak memiliki aturan guru lagu yang berpola. Puisi Jawa modern bebas menciptakan guru lagu tanpa pola baku. Namun, ada pula puisi Jawa modern yang masih menggunakan aturan guru lagu yang berpola. Begitu juga dengan puisi berjudul Anyar Katon karangan Roewandi ini. Persamaan bunyi guru lagu masih sangat terasa meskipun aturannya tidak ketat pada pola. Dari lima bait yang terdapat pada puisi, tiga bait diantaranya masih menggunakan guru lagu yang berpola, sedangkan guru lagu dalam dua bait lainnya tidak berpola. (1) Pola guru lagu bait pertama o – a – a – a (2) Pola guru lagu bait kedua a – a – a – a (3) Pola guru lagu bait ketiga a – a – i – i 14 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
(4) Pola guru lagu bait keempat a – a – a – a (5) Pola guru lagu bait kelima i – a – o Guru lagu pada bait kedua, ketiga, dan keempat puisi terlihat mengalami persamaan bunyi atau berpola, sedangkan guru lagu pada bait ketiga dan kelima tidak memiliki pola tertentu. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi Anyar Katon memiliki bunyi guru lagu yang berpola, meskipun polanya tidak ketat. Persamaan bunyi guru lagu yang berpola ini berfungsi sebagai penanda spasial yang melahirkan unsur estetika dalam puisi.
4.3. Analisis Aspek Spasial
Salah satu perbedaan puisi dengan karya sastra lainnya adalah bentuk peruangannya. Puisi memiliki bentuk spasial yang khas, yaitu terdiri dari bait-bait yang membentuk puisi secara keseluruhan. Satuan-satuan spasial ditandai oleh sejumlah pemarkah sesuai dengan tataran masing-masing satuan. Pada tataran gatra ‘baris’, pemarkah spasial berupa guru wilangan ‘jumlah suku kata’ dan guru lagu ‘vokal pada akhir gatra’ atau ‘rima akhir’. Pada tataran pada ‘bait’, pemarkah berupa guru wilangan, guru lagu, dan guru gatra ‘jumlah baris dalam satu baris’. Dalam puisi Jawa tradisional, guru wilangan, guru lagu, dan guru gatra menjadi penentu jenis metrum sehingga kehadirannya mengikuti aturan pola yang sangat ketat, berbeda dengan puisi Jawa modern yang tidak memiliki metrum. Kehadiran satuan-satuan spasial pada puisi Jawa modern sama sekali tidak terikat oleh pola atau aturan tertentu. Berikut satuan spasial pada puisi Anyar Katon: Tabel 1. Pola Spasial Puisi Anyar Katon Pada 1
Guru gatra 4
2
4
3
4
Gatra ke1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Guru wilangan 16 14 14 11 13 13 16 17 14 14
Guru lagu o a a a a a a a a a
15 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
4
4
5
3
3 4 1 2 3 4 1 2 3
15 11 11 12 14 13 16 16 16
i i a a a a i a o
Puisi Anyar Katon memiliki lima pada ‘bait’ yang masing-masing bait terdiri dari empat baris, kecuali baris kelima yang hanya terdiri dari tiga baris. Setiap bait dipisah dengan satu ruang kosong yang menandakan adanya perbedaan bahasan pada tiap bait meskipun kelimanya saling berkaitan. Puisi ini ditulis dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah, tetapi tidak memenuhi halaman kertas. Dapat dilihat pada Tabel 1. Pola Spasial Puisi Anyar Katon bahwa satuan-satuan spasial guru wilangan, guru lagu, dan guru gatra, tidak ada pola tertentu seperti pola pada puisi Jawa tradisional. Namun, satuan-satuan spasial guru gatra dan guru lagu puisi menunjukkan adanya keteraturan meskipun tidak ketat. Secara visualisasi, peruangan puisi Anyar Katon tidak menunjukkan adanya kaitan antara tipografi puisi dengan tema. Penyair tidak mengungkapkan makna puisi melalui aspek spasial. Aspek spasial puisi Anyar Katon hanya berfungsi sebagai unsur estetik yang diciptakan melalui persamaan bunyi guru lagu dan guru gatra yang berpola.
4.4.
Analisis Aspek Kebahasaan
Aspek kebahasaan yang terkandung dalam puisi Anyar Katon memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun puisi. Penyair menggunakan aspek kebahasaan sebagai sarana dalam menciptakan unsur estetika. Selain itu, penyair juga menggunakan aspek kebahasaan untuk mengungkapkan tema puisi. Aspek kebahasaan sangat erat kaitannya dengan makna dan tema karena penyair cenderung tidak mengungkapkan tema pada aspekaspek yang lain. Dalam aspek kebahasaan, unsur estetika diwujudkan melalui penggabungkan beberapa ragam bahasa Jawa. Sedangkan tema puisi diungkapkan dengan pilihan kata yang mengandung makna konotatif.
16 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
4.4.1. Aspek Kebahasaan Sebagai Perwujudan Estetika
Bahasa yang digunakan dalam puisi Anyar Katon adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa baru memiliki ragam tutur yang disebut dengan unggah-ungguhing basa yang terdiri atas tiga ragam tingkat tutur, yaitu ragam bahasa Jawa krama, ragam bahasa Jawa madya, dan ragam bahasa ngoko.9 Penggunaan ragam bahasa tersebut berdasarkan atas sikap penghormatan dan tingkat keakraban seseorang dengan lawan bicaranya. Puisi Anyar Katon juga menggunakan bahasa Jawa yang tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat estetis atau biasa disebut dengan bahasa arkais.10 Puisi Anyar Katon menggabungkan antara bahasa Jawa ragam ngoko, krama, dan bahasa arkais dalam aspek kebahasaannya. Penggabungan antara bahasa Jawa krama dengan ngoko dan bahasa arkais terlihat pada kutipan berikut: (1) Aja kumbi aywa lirwa awit pitepangan Aja adalah kosakata dari bahasa Jawa ragam ngoko yang berarti ‘jangan’. Kumbi ‘ingkar’, awit ‘sejak’, dan pitepangan ‘pertemuan’ adalah kata-kata dari ragam bahasa Jawa krama. Sedangkan aywa ‘jangan’ dan lirwa ‘sembrana’ termasuk kosakata dari bahasa arkais. Aja dan aywa memiliki arti yang sama, yaitu ‘jangan’ tetapi penyair memilih dua kosakata dari ragam bahasa Jawa yang berbeda untuk memunculkan unsur estetika dalam puisi. (2) Pinten cacahe sun takon ampun duka (3) Kula tan bisa anampi andika yen tan walaka Cacahe ‘jumlahnya’, takon ‘tanya’, bisa ‘dapat’, yen ‘jika’ adalah kosakata yang terdapat dalam ragam bahasa Jawa ngoko. Pinten ‘berapa’, ampun ‘jangan’, duka ‘marah’, kula ‘saya’, anampi ‘menerima’ adalah kosakata dari bahasa Jawa ragam krama. Sun ‘saya’, tan ‘tidak’, andika ‘kamu’, walaka ‘jujur’ adalah kosakata-kosakata yang dianggap sebagai bahasa arkais. Dalam pemilihan kosakata, penyair sengaja menggabungkan tiga ragam bahasa Jawa tersebut menjadi satu kesatuan puisi dalam rangka menciptakan unsur estetika dalam puisi.
9
Kridalaksana, Harimurti, dkk. Wiwara: Pengantar Kebudayaan dan Bahasa Jawa. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2001. hlm. xxii-xxiii. 10 Bahasa arkais berarti bahasa yang berhubungan dengan masa dahulu, bercirikan kuno, dan sudah tidak lazim dipakai. Bahasa Jawa arkais dianggap pula sebagai bahasa yang mengandung unsur estetika. (Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1988. hlm. 49).
17 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
4.4.2. Aspek Kebahasaan sebagai Pengungkap Makna
Puisi Anyar Katon menggunakan aspek kebahasaan sebagai sarana untuk mengungkapkan tema puisi. Namun, tema yang terdapat dalam puisi ini tidak diungkapkan secara tersurat melainkan dengan cara tersirat. Banyak sekali kata-kata bermakna konotatif yang tidak dapat diartikan secara leksikal. Berikut kutipan dari puisi Anyar Katon yang berkaitan dengan tema, baik yang bermakna konotatif maupun tidak:
(1) Teja teja ‘sinar-sinar’ sulaksana ‘pertanda baik’ tejane wong anyar katon ‘sinarnya orang yang baru terlihat’ (2) Kula ‘saya’ pitambuh ‘tidak tau’ tetanya ‘bertanya’ asma jengendika ‘namamu’ Pada kutipan (1), kata-kata mengandung makna konotatif sehingga tidak dapat diartikan secara leksikal. Frasa ‘sinar-sinar pertanda baik’ bukan berarti cahaya yang melambangkan kebaikan melainkan gambaran tentang sosok wong anyar katon yang terlihat teja ‘bersinar’ atau ‘menawan’ dan sulaksana ‘pertanda baik’ yang diartikan menjadi ‘berbudi baik.’ Kutipan (2) mangandung makna leksikal, yaitu tokoh kula tidak tau atau tidak mengenal wong anyar katon dan menanyakan siapa namanya.
(3) Kula ‘saya’ pitambuh ‘tidak tau’ pundi ‘dimana’ wisma ‘rumah’ kang kawuryan ‘yang terlihat’ (4) Kathah jalma ‘banyak orang’ abusana endah ‘berbusana indah’ tinretes kencana ‘berhiaskan emas dan berlian’ (5) Parandene ‘meskipun demikian’ alaku culika ‘berbuat jahat’ turta ‘dan’ tan darbe wisma ‘tidak punya rumah’ Kutipan (3) menjelaskan bahwa kula tidak tau dimana rumah anyar katon. Wisma kang kawuryan mengandung makna konotatif yang mengacu pada rumah tempat tinggal anyar katon. Kutipan (4) mengandung makna konotatif karena ‘banyak orang yang berbusana indah berhiaskan emas dan berlian’ bukan berarti menggambarkan banyak orang yang benarbenar menggunakan pakaian berhiaskan emas dan berlian, tetapi menggambarkan sosok orang-orang yang terlihat berharta dan sangat menawan. Kutipan (5) mengatakan bahwa meskipun orang-orang itu terlihat berharta dan menawan, tetapi sebenarnya mereka laku culika ‘berbuat jahat’ dan tan darbe wisma ‘tidak punya rumah’ atau diartikan ‘miskin’. Hal 18 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
ini menunjukkan bahwa orang-orang yang diceritakan oleh kula sebenarnya tidak benar-benar berharta dan menawan.
(6) Kula ‘saya’ tetanya ‘bertanya’ dhuh nimas ‘adinda’ ampun ‘jangan’pasang walat menggunakan mantra’ (7) Darbe ‘punya’ sedya ‘niat’ tindak pundi ‘pergi kemana’ kanthi gita-gita ‘dengan tergesa-gesa’ Pada kutipan (6), kula berkata pada adinda (wong anyar katon) untuk tidak menggunakan mantra. Kutipan (7) kula bertanya pada wong anyar katon mau pergi kemana dengan tergesa-gesa. Kutipan tersebut mengandung makna konotatif. Makna sebenarnya yang diungkapkan dalam kutipan tersebut adalah anyar katon pasang walat ‘menggunakan mantra’ atau cara yang tidak baik untuk bisa mencapai tujuannya kanthi gita-gita ‘dengan cepat’. Kula menasehati wong anyar katon agar ampun pasang walat ‘jangan mengunakan mantra’ atau ‘cara yang tidak baik.’
(8) Sinten ‘siapa’ rowang ‘teman’ ndika alaku bala ‘yang mengiringimu’ (9) Nadyan ‘meskipun’ cetha ‘jelas terlihat’ sampeyan tidhem tindak priyangga ‘kamu sepi pergi sendiri’ (10) Sapa ‘siapa’ ngerti ‘tau’ ana ‘ada’ dom sumusuping tirta ‘jarum yang masuk dalam air’ Seluruh kutipan diatas mengandung makna konotatif. Pada kutipan (8), kula bertanya sinten rowang ndika ‘siapa saja temanmu’ atau dapat diartikan siapa saja orang-orang yang laku bala ‘mengiringimu’ atau mengikuti caramu (menggunakan mantra untuk mencapai tujuan dengan cepat). Kutipan (9), kula menjelaskan bahwa sebanyak apapun rowang ndika ‘orang-orang yang mengikuti anyar katon’, cetha sampeyan tudhem tindak priyangga tetap saja ia terlihat sendirian. Bahkan, (10) sapa ngerti ana ‘mungkin saja ada’ dom susmusuping tirta ‘salah seorang diantaranya yang diam-diam ingin mencelakai anyar katon.’
(11) Dhuh nimas ‘adinda’ sun ‘saya’ tetanya ‘bertanya’ cubriya ‘sombong’ awit ‘sejak’ wanci ‘waktu’ ratri ‘malam’ (12) Kula ‘saya’ tan ‘tidak’ bisa ‘bisa’ anampi ‘menerima’ andika ‘kamu’ yen ‘jika’ tan ‘tidak’ walaka ‘jujur’ 19 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
Kutipan (11), kula mengatakan bahwa sun tetanya ‘ia sudah banyak bertanya’, tetapi (wong anyar katon) cubriya awit wanci ratri ‘sombong tidak pernah menjawab sejak awal perkenalan.’ Kutipan (12) cenderung bermakna leksikal, yaitu kula tidak bisa menerima jika wong anyar katon tidak jujur. Berdasarkan analisis makna konotatif di atas, dapat diketahui bahwa puisi ini menceritakan tentang seseorang yang terlihat menawan dan berbudi baik, tetapi sebenarnya ia bertindak jahat dan tidak sepantasnya disebut menawan. Ia menggunakan mantra atau caracara yang tidak baik agar tujuannya dapat tercapai dengan cepat. Ada banyak orang-orang yang seperti itu, tetapi mereka tidak berteman bahkan saling bersaing dan mencelakai satu sama lain. Sesungguhnya, orang-orang yang tidak jujur dan munafik seperti itu tidak akan diterima oleh lingkungannya. Seperti itulah gagasan yang disampaikan oleh penyair melalui puisi ini.
4.5.Analisis Aspek Pengujaran
Puisi merupakan salah satu sarana komunikasi antara penyair dengan pembacanya. Ada wacana yang disampaikan oleh penyair melalui puisi yang disebut dengan objek pengujaran. Objek pengujaran tidak hadir dengan sendirinya, melainkan disampaikan oleh tokoh yang dibuat oleh penyair dan disebut sebagai subjek pengujaran. Subjek pengujaran dan objek pengujaran merupakan dua hal yang selalu ada dalam sebuah puisi, meskipun kehadirannya tidak selalu tersurat. Begitu pula dengan puisi Anyar Katon, terdapat subjek pengujaran dan objek pengujaran yang membangun puisi menjadi kesatuan yang utuh. Subjek pengujaran yang ada dalam puisi Anyar Katon adalah subjek pengujaran intern, yaitu subjek pengujaran (tokoh) hadir secara nyata menyampaikan objek pengujaran. Berikut kutipan dalam puisi yang menunjukkan subjek pengujaran intern dalam puisi: (1) Kula pitambuh tetanya asma jengendika (2) Parandene alaku culika turta tan darbe wisma (3) Pinten cacahe sun takon ampun duka Pada kutipan (1) terdapat kata kula yang berarti ‘saya’ dalam bahasa Jawa krama. Kutipan (2) terdapat imbuhan /ku/ yang berarti ‘milik saya’. Sedangkan pada kutipan (3) terdapat kata sun yang berarti ‘saya’ dalam bahasa arkais. Kata-kata tersebut merupakan kata
20 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
ganti orang pertama yang menunjukkan adanya tokoh ‘aku liris’ dalam puisi yang berperan sebagai pencerita. Selain subjek pengujaran, objek pengujaran juga termasuk unsur penting yang membangun puisi. Objek pengujaran terdiri dari subjek ujaran, latar, dan tema. Subjek ujaran merupakan tokoh, pribadi, atau sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan. Dalam puisi Anyar Katon, yang menjadi pokok pembicaraan adalah wong anyar katon ‘orang yang baru terlihat’. Latar dalam puisi ini tidak terlalu kuat dalam hubungannya dengan makna. Hal ini disebabkan oleh bentuk puisi yang memang tidak berbentuk puisi naratif yang biasanya menonjolkan unsur latar. Secara keseluruhan, puisi Anyar Katon membicaraka tentang seseorang yang terlihat menawan dan berbudi baik, tetapi sebenarnya ia bertindak jahat dan tidak sepantasnya disebut menawan. Ia menggunakan cara yang tidak baik agar tujuannya dapat tercapai dengan cepat. Banyak orang yang seperti itu dan mereka saling mencelakai satu sama lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema puisi adalah kemunafikan.
5. Kesimpulan
Puisi Anyar Katon karya Roewandi merupakan salah satu bentuk puisi Jawa modern. Hal ini dapat dilihat dari aspek-aspek pembangun puisi yang tidak terikat oleh kaidah pola tertentu. Analisis yang menggunakan teori Karsono H. Saputra dalam buku Puisi Jawa: Struktur dan Estetika mendapati bahwa aspek-aspek yang membangun puisi, yaitu aspek bunyi, aspek spasial, aspek kebahasaan, dan aspek pengujaran menjadi sarana perwujudan tema dan unsur estetika puisi. Aspek bunyi dalam puisi Anyar Katon menjadi salah satu unsur estetika puisi yang diwujudkan melalui pengulangan bunyi yang berpola atau biasa disebut dengan purwakanthi. Aspek bunyi pada puisi ini juga berfungsi sebagai pengungkapan makna puisi yang diwujudkan melalui aksentuasi atau penekanan pada kata tertentu yang berhubungan erat pada makna puisi. Berbeda dengan aspek bunyi, aspek spasial puisi Anyar Katon tidak berfungsi sebagai sarana pengungkapan makna puisi. Aspek spasial hanya berfungsi sebagai unsur estetik yang diwujudkan melalui guru gatra dan guru lagu yang cenderung teratur dan berpola. Aspek kebahasaan merupakan aspek yang sangat penting dalam puisi Anyar Katon. Aspek ini berfungsi sebagai perwujudan unsur estetika sekaligus pengungkapan makna. Dalam penciptaan unsur estetika, puisi ini menggabungkan ragam bahasa Jawa ngoko, krama, 21 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
dan bahasa arkais yang diyakini sebagai bahasa penyair yang indah. Penggabungan ketiga ragam bahasa tersebut sengaja dilakukan oleh penyair untuk menciptakan unsur estetika dalam puisi. sedangkan untuk mengungkapkan makna dan tema, puisi ini menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bersifat konotatif. Kata-kata dalam puisi ini tidak bisa diartikan secara leksikal. Bahkan, tiap kata mengandung makna tersendiri yang membangun makna puisi secara utuh. Aspek yang terakhir adalah aspek pengujaran. Melalui aspek pengujaran, dapat diketahui subjek pengujaran puisi yang dilambangkan dengan tokoh ‘aku liris’. Pokok pembicaraan atau objek pengujaran dalam puisi ini adalah wong anyar katon ‘orang yang baru terlihat’. Secara keseluruhan, puisi ini membicarakan tentang seseorang yang terlihat menawan dan berbudi baik, tetapi sebenarnya ia bertindak jahat dan tidak sepantasnya disebut menawan. Ia menggunakan cara yang tidak baik agar tujuannya dapat tercapai dengan cepat. Banyak orang yang seperti itu dan mereka saling mencelakai satu sama lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema puisi adalah kemunafikan. Puisi Anyar Katon merupakan salah satu bentuk puisi Jawa modern. Puisi modern tidak terikat oleh aturan atau pola baku seperti pada puisi tradisional. Penyair bebas mengungkapkan tema, gagasan, serta makna melalui keempat aspek yang membangun puisi. Melalui keempat aspek itu pula penyair bebas menciptakan unsur estetika dalam puisi. Seperti itulah gambaran umum tentang puisi Jawa modern.
6. Saran Analisis tema dan unsur estetika sebuah puisi Jawa modern merupakan salah satu topik penelitian yang menarik. Melalui analisis unsur pembentuk puisi, dapat ditemukan berbagai hal yang diungkapkan oleh penyair secara tersirat. Hasil akhir dari analisis unsur pembentuk puisi dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai makna, tema, dan keindahan puisi. Apabila ingin mengadakan penelitian tentang analisis tema dan unsur estetika puisi, sebaiknya pilih puisi yang memiliki keunikan dan memiliki ciri khas tertentu sehingga analisis akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang menarik. Selain itu, gunakan teori analisis puisi yang sesuai dengan jenis puisi tersebut agar seluruh aspek dalam puisi dapat terkuak seluruhnya sehingga hasil akhir lebih maksimal dan memuaskan.
22 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014
7. Daftar Referensi Buku Hamidy. 1983. Pembahasan Karya Fiksi dan Puisi. Pekanbaru: Bumi Pustaka. Herman J. Waluyo. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Puisi: Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti, dkk. 2001. Wiwara: Pengantar Kebudayaan dan Bahasa Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1957. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan. Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Grafiti-Pres. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Saputra, Karsono H. 2001. Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Kamus Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: Wolters’ Uitgevers-Maatschappij. Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
23 Analisis tema ..., Ken Kinasih, FIB UI, 2014