UNIVERSITAS INDONESIA DINAMIKA GERAKAN POLITIK ULAMA DI GARUT 1998-2007
DISERTASI Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah Dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia Di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof.Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. Pada hari Kamis tanggal 18 Juli 2013 pukul 10.00 WIB Di Kampus Universitas Indonesia, Depok
SETIA GUMILAR 0706222050
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JULI, 2013
i
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa disertasi ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarism, saya akan bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya
Jakarta, 18 Juli 2013
Setia Gumilar
ii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Setia Gumilar
NPM
: 0607222050
Tanda Tangan : Tanggal
: 18 Juli 2013
iii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
iv
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Penelitian disertasi ini berjudul Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007. Penentuan judul ini berawal dari ketertarikannya penulis terhadap realitas ulama yang mempunyai peran signifikan dalam melakukan perubahan di masyarakat. Mengkaji ulama sudah penulis lakukan semenjak mengikuti program pascasarjana, yang pada waktu itu bertemakan mengenai Pergeseran Kyai dalam Kehidupan Masyarakat. Dalam perkembangannya, posisi ulama mengalami dinamika dalam melakukan tugsnya sebagai elit masyarakat. Dinamika ini tampak jelas dalam perkembangan masyarakat di Kabupaten Garut pada periode 1998-2007. Pada periode ini, penulis menemukan bahwa ada pergeseran peran ulama dalam melakukan perubahan di Kabupaten Garut. Pergeseran ini terlihat dari orientasi ulama dalam melakukan perubahan di masyarakat Garut, yaitu pada masa Orde Baru ulama hanya bisa fokus dalam bidang keagamaan semata, sementara pada masa reformasi ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Oleh karena itu, tujuan secara akademis disertasi yang adalah ingin membuktikaan bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Dengan bekal ilmu sejarah yang penulis pelajari, terutama dalam aspek metodologi dan teori sejarah yang didapat selama menjadi mahasiswa program S3 Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, penulis berhasil membuktikan bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik, setidaknya realitas ini terjadi di Kabupaten Garut pada kurun waktu 19982007. Tentunya, keberhasilan penulis menyelesaikan disertasi ini tidak lepas dari peran berbagai pihak yang sudah memberikan bantuan kepada penulis dalam berbagai hal. Disertasi ini tidak mempunyai arti apa-apa tanpa bantuan, arahan, v
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
bimbingan, masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban penulis, pada kesempatan ini menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Mohammad Iskandar, selaku promotor penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, kontribusi pemikiran, baik yang terkait dengan substansi disertasi ini maupun pengetahuan seputar ilmu, metodologi, dan teori sejarah. Semoga apa yang diberikannya dapat bermanfaat bagi penulis, sehinggamemberkahi ilmu yang penulis miliki. Penghargaan dan Ucapan terima kasih secara tulus, juga penulis sampaikan kepada Dr. Magdalia, selaku kopromotor yang telah memberikan segala kemampuannya demi selesainya disertasi ini. Berkat arahan dan ketelitiannya dalam membaca disertasi, kata demi kata, kalimat demi kalimat, menjadi kebanggaan tersendiri bagi penulis selaku mahasiswanya. Semoga ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis, dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan penulis, terutama dalam ilmu sejarah. Selanjutnya, penulis mennyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dr. Priyanto Wibowo,dan Dr. Bondan Kanumayoso selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah yang selalu memberikan motivasi agar penulis secepatnya bisa menyelesaikan disertasi ini, disela-sela penulis mengalami kegelisahan akibat problem yang penulis hadapi. Penghormatan dan ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Dr. Anhar Gonggong selaku penguji semenjak ujian kualifikasi hingga ujian promosi, yang telah memberikan arahan serta masukan
secara komprehensif demi
perbaikan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasi, penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Susanto Zuhdi, selaku penguji yang telah memberikan masukan, arahan secara detail dan komprehensif demi perbaikan disertasi ini. Kemudian, penghargaan dan ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Helius Sjamsuddin, selaku penguji yang telah memberikan masukan dan arahan secara detail dan komprehensif, demi perbaikan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih, penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. A.Dahana, selaku penguji
vi
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
pada ujian kuaalifikasi dan usulan penelitian, yang telah memberikan arahaan dan masukannya secara komprehensif. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada almarhum Prof.Dr. R.Z. Lerissa yang telah membuka cakrawala pengetahuan penulis dalam ilmu sejarah. Selama dua semester, almarhum memberikan tempaan ilmu sejarah, banyak wawasan baru bagi pengembangan pemikiran ilmu sejarah yang penulis miliki. Semoga ilmu yang diberikannya dapat bermanfaat dan menjadi berkah bagi kehidupan penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada Prof. Dr. Nurhadi Magetsari, Prof. Dr. Beni H. Hoed, Prof. Dr. Toeti Herati Noerhadi, Prof. Dr. Melani Budianta, selaku pengajar di Program S3, yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para ulama Garut yang telah memberikan informasi seputar tema disertasi yang saya tulis, diantaranya KH. Cecep Abdul Halim, KH. Muhammad Qudsi, KH. Endang Yusuf, Lc., H. Giom Suwarsono. Kemudian kepada pengurus MUI Kabupaten Garut, dinataranya Drs. Undang Hidayat, M.Ag dan Rofik Azhar, diucapkan terima kasih pula, karena telah memberikan informasi berupa dokumen terkait dengan tema disertasi. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Prof.Dr. H. Agus Salim Mansyur, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah member ijin kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Universitas Indonesia. Kemudian ucapan terima kasih saya sampaikan kepada teman sejawat, atas bantuan dan dukungannya , Kepada rekan seperjuangan di program Doktor, Dr. Rosmaida, Dr. Bernarda, Dr. Farida, Dr. Tuti Muas, Linda Sunarti, M.Hum, Abdurrahman, M.Hum, Abdul Syukur, M.Hum, saya ucapkan terima kasih atas dorongan dan motivasinya selama mengikuti program S3 ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mbak Wiwi, selaku Staf Departemen Ilmu Sejarah yang telah memberikan informasi dan membantu saya dalam masalah administrasi. Penghormatan dan ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Ayahanda H. Ikin Sodikin dan Ibunda Almarhumah Edeh Djubaedah yang telah vii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
mendidik saya hingga bisa mendapatkan pengetahuan tertinggi dalam jenjang S3. Berkat bantuan materil dan non materil, penulis sampaikan kepadanya, semoga Allah memberikan balasan yang berkah di dunia dan di akhirat. Khusus bagi almarhumah, semoga diberikan cahaya ilahi di alam kuburnya dan selalu mendapat ridho-Nya. Amin. Terakhir, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta yang telah menjadi pelita hidup, memberikan inspirasi dan motivasi hingga saya bisa menyelesaikan disertasi ini. Semoga Allah memberikan perlindungan bagi kita semua. Amin. Akhirnya hanya kepada Allah lah penulis mengharapkan semoga semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan ini mendapat pahala yang besar di sisiNya. Amien.
Bandung, Juli 2013
Penulis
viii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Setia Gumilar
NPM
: 0706222050
Program Studi : Ilmu Sejarah Departemen
: Ilmu Sejarah
Fakultas
: Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya
: Disertasi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : DINAMIKA GERAKAN POLITIK ULAMA DI GARUT 1998-2007 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Depok
Pada tanggal
: 18 Juli 2013
Yang menyatakan
(Setia Gumilar)
ix
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama : Setia Gumilar Program Studi : Ilmu Sejarah Judul : Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007 Dalam perjuangannya di Kabupaten Garut, posisi ulama mempunyai peran yang signifikan. Hampir setiap masa atau periode sejarah, ulama di Garut berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang agama. Pada masa orde baru, ulama di Garut diposisikan oleh pemerintah untuk senantiasa berada dalam jalur yang sebenarnya, yaitu aspek keagamaan. Tetapi seiring dengan perubahan masa, ulama di Garut berusaha kembali menunjukkan jati dirinya dalam posisi yang tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga pada aspek politik. Oleh karena itu telah terjadi pergeseran gerakan ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ulama di Garut pada periode 1998-2007 tidak hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, tetapi ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi 4 tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiograpi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya (Orba) ulama kecenderungannya hanya bergerak dalam koridor keagamaan. Pada kurun waktu 1998-2007 gerakan ulama merambah pada aspek lain, diantaranya politik. Gerakan politik ulama pada kurun waktu ini diantaranya berusaha untuk menyatukan kembali keberadaannya yang dipahami telah mengalami kerenggangan akibat pertarungan politik nasional. BKUI menjadi media untuk menyatukan kembali posisi ulama. Kemudian, gerakan politik ulama di Garut berusaha untuk menjadikan syari‘at Islam sebagai landasan berperilaku di kabupaten Garut. LP3SyI menjadi media untuk upaya tersebut. Gerakan lain adalah gerakan anti korupsi dengan diwujudkan dalam keseriusanya memberikan masukan dan koreksi terhadap APBD baik dalam proses perencaaan ataupun pelaksanaannya. Kata Kunci: Gerakan, Gerakan Politik, Ulama
x
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Setia Gumilar Study Program : Ilmu Sejarah Title : The Dynamic of Political Movement of Ulama from 1998 to 2007 The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar‘s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 19982007. The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages. The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars‘ movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars‘ position), Islamic scholars‘ movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars‘ movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation. Key Words: Movement, Poltical Movement, Ulama
xi
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH .................................. ix ABSTRAK ...................................................................................................... x ABSTRACT .................................................................................................... xi DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xv GLOSARIUM................................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxi 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 1.2 Permasalahan Penelitian ...................................................................... 11 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 13 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 15 1.5 Kontribusi Penelitian ........................................................................... 15 1.6 Kerangka Konseptual dan Pendekatan ................................................ 16 1.7 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 21 1.8 Metodologi dan Teori .......................................................................... 23 1.9 Metode Penelitian dan Sumber yang digunakan ................................. 27 1.10 Sistematika Penulisan .......................................................................... 31 2. KONDISI OBJEKTIF KABUPATEN GARUT 1998-2007... ............... 33 2.1 Kondisi Geografis................................................................................ 33 2.2 Kondisi Penduduk ............................................................................... 35 2.3 Kondisi Sosial Budaya ........................................................................ 39 2.4 Kondisi Ekonomi ................................................................................. 44 2.5 Kondisi Pendidikan ............................................................................. 51 2.6 Kondisi Keagamaan ............................................................................ 55 2.7 Kondisi Politik...................................................................................... 62 3. POSISI ULAMA DI GARUT 1998-2007 ............................................... 68 3.1 Keberadaan Ulama pada Masa Orba dan Reformasi ........................... 68 3.2 Posisi dan Katagorisasi Ulama ............................................................ 81 3.2.1 Ulama Pesantren ......................................................................... 83 3.2.2 Ulama Tarekat ............................................................................ 86 3.2.3 Ulama Politik.............................................................................. 89 3.2.4 Ulama Panggung ........................................................................ 92 3.3 Jaringan Ulama di Garut...................................................................... 93 xii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
3.3.1 3.3.2 3.3.3 3.3.4 3.3.5 3.3.6 3.3.7
Faktor Terbentuknya Jaringan Ulama di Garut .......................... 93 Pola dan Karakteristik Jaringan Ulama di Garut ........................ 97 Jaringan Keilmuan/ Intelektual .................................................. 97 Jaringan Perkawinan .................................................................. 99 Jaringan Geneologi/Kekerabatan ............................................... 101 Jaringan Tarekat ......................................................................... 103 Jaringan Kesamaan Pemahaman Keagamaan ............................ 105
4. AKSI PARA ULAMA DI GARUT 1998-2007 ....................................... 108 4.1 Penerapan Syari‘at Islam di Garut 1998-2002 ..................................... 109 4.1.1 Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Garut ............................... 109 4.1.2 Mobilisasi Dideklarasikannya Syari‘at Islam di Garut .............. 115 4.1.3 Ulama sebagai Aktor Gerakan Penerapan Syari‘at Islam .......... 129 4.1.4 Dinamika Penerapan Syari‘at Islam ........................................... 139 4.1.5 Sosialisasi Penerapan Syari‘at Islam .......................................... 144 4.1.6 Faktor Penyebab Ulama melakukan Penerapan Syari‘at Islam.. 147 4.2 Pemberantasan Korupsi di Garut 2002-2007 ....................................... 153 4.2.1 Korupsi di Indonesia .................................................................. 153 4.2.2 Korupsi di Kabupaten Garut ...................................................... 157 4.2.3 Ulama sebagai Aktor Gerakan Anti Korupsi ............................. 160 4.2.4 Pro Kontra di Kalangan Masyarakat Garut ................................ 170 4.2.5 Faktor Penyebab Ulama melakukan Gerakan Anti Korupsi ...... 173 4.3 Dampak Gerakan Politik Ulama di Garut ............................................ 177 5. SIMPULAN ............................................................................................... 188 5.1 Simpulan ............................................................................................... 188 5.2 Epilog ................................................................................................... 192 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 194
xiii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tebel 1
:
Prosentase Penduduk Menurut Ijazah yang dimiliki Tahun 2004-2008……………………………………... 37
2. Tabel 2
:
Jumlah Permasalahan Sosial di Kabupaten Garut….....
3. Tabel 3
:
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Garut 1997-2002……………………………………………..
4. Tabel 4
:
:
:
48
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut 2000-2002……………………………………………..
6. Tabel 6
47
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Periode 1994-2002……………………………………………..
5. Tabel 5
42
49
Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di kantor Depnaker Kabupaten Garut Menurut Tingkat pendidikan dan Jenis Kelamin tahun 1999……………………………. 54
7. Tabel 7
:
Jumlah Pemeluk Agma di Kabupaten Garut………….
8. Tabel 8
:
Rekapitulasi Pemuka Agama yang tercatat di DEPAG……………………………………………..
9. Tabel 9
:
59
59
Pondok Pesantren di Kabupaten Garut (dalam 6 tahun terakhir)……………………………………………...... 60
10. Tabel 10
:
Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut (dalam 5 tahun terakhir)………………………………. 61
11. Tabel 11
:
Jumlah Anggota DPRD 1999-2004 Menurut Fraksi Dan Jenis Kelamin…………………………………….
12. Tabel 12
:
67
Jumlah Anggota DPRD 2004-2009 Menurut Fraksi Dan Jenis Kelamin…………………………………….
xiv
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
APBD
: Anggaran Pendapat Belanja Daerah
BAZIS
: Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh
BBM
: Bahan Bakar Minya
BKUI
: Badan Koordinasi Umat Islam
BPS
: Biro Pusat Statistik
CPI
: Corruption Perceptions Indeks
DI/TII
: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DAS
: Daerah Aliran Sungai
DGI
: Dewan Gereja Indonesia
DHD
: Dewan Harian Daerah
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FPI
: Fron Pembela Islam
GOLKAR
: Golongan Karya
HMI
: Himpunan Mahasiswa Islam
IHK
: Indeks Harga Konsumen
IPKL-G
: Ikatan Pedagang Kaki Lima Garut
IPM
: Indek Pembangunan Manusia
KAHMI
: Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
KAMMI
: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
KB
: Keluarga Berencana
KB-PII
: Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia
KH.
: Kyai Haji
KPK-PSII
: Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat Islam
KPSI
: Komite Penegakan Syari‘at Islam
KKN
: Korupsi, Kolusi, Nepotisme
KUHP
: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
PAD
: Pendapatan Asli Daerah
PERDA
: Peraturan Daerah xv
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
LP3SyI
: Lembaga Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syari‘at Islam
LPE
: Laju Pertumbuhan Ekonomi
MAPAG
: Masyarakat Peduli Anggaran
MPR
: Majelis Permusyawaratan Rakyat
MUI
: Majelis Ulama Indonesia
NU
: Nahdhatul Ulama
OTDA
: Otonomi Daerah
PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto
PDIP
: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PEMDA
: Pemerintah Daerah
PEKAT
: Pengawasan Melekat
PERC
: Political and Economic Risk Cosultancy
PII
: Pelajar Islam Indonesia
PKB
: Partai Kebangkitan Bangsa
PKS
: Partai Keadilan Sejahtera
PPP
: Partai Persatuan Pembangunan
PUI
: Persatuan Umat Islam
RAPERDA
: Rancangan Peraturan Daerah
RPJM
: Rencana Pebangunan Jangka Panjang
RTRWN
: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
SATPOL PP : Satauan Polisi Pamong Pradja TI
: Transparansi Internasional
TNI
: Tentara Nasional Indonesia
WI-ASGAR
: Warga Indonesia Asal Garut
ZIS
: Zakat, Infaq, Shodaqoh
xvi
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
GLOSARIUM Abangan Abuse of power Agency
: Kelompok Jawa Muslim yang mempraktikan Islam dalam bentuk sinkretis. : Penyimpangan dalam kekuasaan : Kekuatan otonom dari suatu struktur social yang memiliki kemampuan untuk mereproduksi maupun mentransformasi struktru sosial : Ajaran Islam yang berkaitan dengan keluarga : Perilaku yang baik : Upaya yang dilakukan secara bersama-sama : Dasar hukum Islam yang bersumber dari perilaku nabi : Kitab suci umat Islam yang berasal dari wahyu Allah : Orang yang mempunyai ilmu
Ahwal syakhsiyah Akhlakul Karimah Aksi Kolektif Al-Hadits Al-Qur‟an „Alim „amar ma‟ruf nahi mungkar : Melaksanakan kebaikan dan mencegah kemungkaran Badal : Pengganti, biasa dipakai dalam kehidupan pesantren Baitul Maal wat Tamwil : Lembaga Perbankan Islam Bi al hikmah wa al mau‟izhah al-hasanah: Menyeru dengan bijaksana dan kebaikan Causal Power : interaksi antara agency yang mengubah dan struktur yang menentukan Common Interest : Kepentingan yang sama Cultural Broker : Penyaring budaya Dakwah : Seruan untuk mengikuti ajaran Islam Darul Islam : Sebuah wilayah yang menerapkan hukum Islam Dewan Imamah : Organisasi keagamaan yang menyeru kepada persatuan Dzikir : Mengingat Allah Dharuriyah : Tanggung jawab ulama yang sifatnya primer Endogamous : Perkawinan yang terjadi di lingkungannya sendiri Floating leaders : Pemimpin yang tidak terjaring oleh lembaga-lembaga formal : Pemikiran Islam yang sudah diundangkan dalam bentuk Fiqh hukum Islam Fiqh al-nisa : Pemikiran islam yang berkaitan dengan urusan kewanitaan Gerakan : usaha atau kegiatan di lapangan social dan politik Gerakan Politik : gerakan sosial kemasyarakatan dalam bidang kekuasaan Ghasab : menghilangkan kekuasaan orang yang berhak dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat batil secara terang-terangan. : mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya Ghulul Hajiyyah : Tanggungjawab ulama yang sifatnya sekunder Hikmah : bijaksana xvii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
Hudud Imsakiyah Ibadah mahdah Ijma Infaq Islamic Islamdom Islamicate Kaifiyat Shalat Kaifiyat Wudhu Khadimul Ummah Khalwat Kharismatik
: pelaksanaan produk hukum : Waktu dimulainya bulan Ramadhan : Pengabdian kepada Allah yang sifatnya ritual : Kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum Islam. : mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu : Doktrin atau ajaran Islam : Dunia Islam : Ajaran Islam yang berdialog dengan tradisi atau budaya : Tata Cara Shalat : Tata Cara Wudhu : Pelayan umat : menyendiri pada suatu tempat tertentu : Sifat yang dimiliki oleh seorang kyai/ulama yang berwibawa Khiana t : tidak menepati janji Korupsi :Penyelewengan terhadap kewenangan Kyai anom : Julukan kepada anak kyai yang akan dijadikan penerusnya Kyai sepuh : Pimpinana pesantren yang memulai atau memprakarsai Berdirinya pesantren Madrasah Aliyah : Sekolah lanjutan atas yang berada di bawah Kementerian Agama RI Madrasah Diniyah : Sekolah agama semi formal Madrasah Ibtidaiyah : Sekolah Dasar yang berada di bawah Kementerian Agama RI Madrasah Tsanawiyah: Sekolah Lanjutan Pertama yang berada di bawah Kementerian Agama RI Majelis Ta‟lim : Lembaga pengajian yang berada di institusi mesjid Majelis Ulama Indonesia : Organisasi ulama Mas‟uliyah diniyah : Tanggungjawab ulama dalam bidang keagamaan Mas‟uliyah ummatiyah: Tanggung jawab ulama dalam bidang keumatan Mas‟uliah wathaniyah: Tanggung Jawab ulama dalam berbangsa dan bernegara Marhamah : Perasaan kasih sayang Mawarits : hukum waris dalam Islam Mentalite : Faktor yang meotivasi, mendorong, menyalurkan, dan mendominasi tindakan-tindakan agency Mindoan : Saudara Satu buyut/cucu Misanan : keponakan Mobilization : tindakan pengerahan secara serentak Munakahat : Hukum Islam yang berkaitan dengan pernikahan Muqaddam : Orang yang diberi tugas untuk member talqin (pelajaran) kepada murid dalam sebuah tarekat. Mukabarah : ekspolitasi secara tidak sah atas benda dan manusia Muamalah : Fiqih yang berhubungan dengan social ekonomi Muhammadiyah : Organisasi keagamaan yang bermazhabkan Hanafi dan didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan xviii
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
Muslim Nadhom Jurumiyah Nadhom Taqrib Nahdhatul Ulama
: Predikat yang dimiliki oleh orang Islam : Kitab yang berkaitan dengan ilmu nahwu sharaf : Kitab yang berkaitan dengan fiqh : Organisasi keagamaan yang berdasarkan pada nilai-nilai : tradisi bermazhabkan Syafiiyah. Organization : Organisasi, kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama Opportunity : peluang atau keseempatan yang bisa didapatkan oleh seseorang atau lebih. Otonomi Daerah : Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Persatuan Islam : Organisasi keislaman yang bermazhabkan hanafi Pesantren : Lembaga pendidikan Islam yang dipimpin oleh seorang kyai : Kelas social di Jawa yang mengacu pada bangsawan Priyayi Qiyas : produk hukum Islam yang disandarkan pada hukum lain. Raudhatul Athfal : Sekolah Agama di bawah sekolah dasar Risalah Tauhid : Ajaran mengenai keesaan kepada Allah SWT Riswah : tindakan memberikan harta untuk membatalkan hak milik pihak lain Riyadhah : Mendekatkan diri kepada Allah Safinatun Naja : Kitab yang berkaitan dengan ibadah mahdhah Sakral : Suci atau label yang menunjukkan tempat yang mempunyai kekuatan mistis Santri : Orang yang menimba pengetahuan keagamaan di pesantren Saraqah : tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya Sami‟na wa atho‟na : Kami mendengar dan Kami taat terhadap perintah Allah Sayyidul Ummah : Ulama sebagai tuannya umat Shalat : Ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam/do‘a Shock politik : Kejutan politik Siyasah syarr‟iyyah : Menyiasati hukum islam : pemberian harta kekayaan dari seorang muslim tanpa Sodaqoh nishab Syari‘at Islam : Hukum Islam yang ada dalam kitab suci dan Hadits Strukturistik : Pendekatan dalam ilmu sejarah yang melibatkan agency, struktur, dan mentalite Struktur Sosial : relasi antara peran, posisi, dan aturan dalam sebuah masyarakat Subversif : Sikap yang bertentangan dengan hukum negara Sufi : Sikap dalam ajaran tasawuf yang berusaha menjauhi dari kepentingan duniawi. Sweeping : Pengawasan yang dilakukan oleh aparat terhadap pelaku kemaksiatan Tahsiniyah/takmiliyah: Kebutuhan tersier Talqin barzakhi : Pembelajaran yang diberikan oleh orang yang sudah xix
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
Tarekat Tarekat Tijaniah Tasawuf Tauhid Togel Ulama Ubudiyah Ulama Su‟ Uswatun Hasanah Uzlah Warasatul anbiya‟ wal mursalin Wirid
Zakat Zuhd Zu‟ama
meninggal : Jalan menuju surga : Jalan menuju surga dengan mengamalkan wirid yang berasal dari Syekh Ahmad Tijani : dimensi esoteric yang mendalam dari agama Islam : Mengesakan Allah SWT : Bentuk perjudian yang berasal dari Singapura : para ahli agama islam yang menjadi tokoh panutan di lingkungan masyarakat. : pengabdian hamba kepada Allah : Ulama yang keluar dari koridor keulamaan : Contoh terbaik yang bersumber dari perilaku Rasul : mengasingkan diri dari kehidupan social dengan tujuan mendapatkan ketenangan spiritual : pewaris para nabi : mekanisme pemenuhan batin seseorang dengan membaca beberap kalimat atau kata yang sudah diajarkan oleh kyai atau ulama. Biasanya ada ketentuannya, misalnya berapa jumlah yang harus di bacanya. : pemberian harta kekayaan yang sudah diatur nishabnya. : suatu keadaan dengan meninggalkan dunia dan hidup kebendaan : Kalangan umat beragama yang mempunyai sifat cendekia.
xx
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
hal 1. Struktur Pengurus LP3SyI……………………………………………
202
2. Dokumentasi Pekat…………………………………………………… 209 3. Dokumentasi Unjuk Rasa Terhadap Tindak Pidana Korupi…………. 220 4. Dokumentasi Masyarakat Peduli Anggaran (Mapag) Kab. Garut…… 221 5. Skema Analisis SWOT ……………………………………………… 224 6. Sekema dan Silsilah Jaringan Ulama………………………………… 225 7. Peta Garut Tahun 2004………………………………………………. 226
xxi
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
Universitas Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Dalam catatan sejarah Kabupaten Garut, ulama banyak terlibat perubahan sosial di masyarakat, baik pada masa penjajahan1, masa kemerdekaan2, Orde Baru bahkan sampai sekarang yang disebut dengan masa reformasi.
Dalam setiap
pembabakan sejarah tersebut, peran ulama mengalami dinamika yang disebabkan oleh latar sosial budaya, dan politik yang berkembang mengitari perubahan sosial masyarakat Garut. Pada zaman Orde Baru, dikatakan oleh seorang ulama Garut, Undang Hidayat, ruang gerak ulama pada saat itu senantiasa mengalami hambatan. Menurutnya, ulama dalam melakukan proses perubahan di masyarakat, dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang menutupi ruang geraknya. Para ulama terbagi pada dua segmen, yaitu ulama yang masuk serta berusaha untuk sejalan dengan pemerintah dan ulama yang berada pada kelompok di luar pemerintah. Kedua katagori ulama ini dalam melakukan perubahan berbeda satu sama lain. Ulama yang pertama melakukan perubahan seiring dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tanpa ada upaya untuk melawan terhadap kebijakan pemerintah. Sementara ulama yang kedua, berusaha melakukan perubahan, ada yang beriringan dengan kebijakan pemerintah ada juga yang bertentangan dengan pemerintah. Kelompok ulama yang kedua ini menggunakan ―strategi di bawah 1
Pada masa ini dikenal para ulama seperti Kyai Harmaen, Kyai Adra‘i, Kyai Haji Yusuf Taojiri, Kyai Haji Abdul Qohar, Kyai Haji Muahmmad Bakri. Mereka ini para aktivis Syarikat Islam (SI) yang mengadakan gerakan reformasi dengan mendirikan Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC). Lihat: Mohammad Iskandar. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 hal. 170-171. 2 Menurut hasil penelitian dari Ummu Salamah, ada beberapa gerakan yang dilakukan oleh ulama, diantaranya: Gerakan Institut Sufah yang bergerak di bidang pendidikan dan menjadi cikal bakal dari Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo; Gerakan Darussalam yang bersama-sama TNI menumpas gerakan DI/TII di Garut dipimpin oleh Yusuf Taojiri; Gerakan Depusial, yang menyerukan umat Islam agar tidak radikal reaksioner dipelopori oleh Kyai Fauzan. Kemudian Gerakan Tarekat Tijaniyah di Garut, yang menghendaki agar umat Islam tidak dalam posisi radikal-reaksioner, yang dipimpin oleh K.H. Badruzzaman. Lihat: Ummu Salamah. ―Tradisi Tarekat dan Dampak Konsistensi Aktualisasinya terhadap Perilaku Sosial Penganut Tarekat.: Studi Kasus Tarekat Tijaniyah di Kabupaten Garut Jawa Barat dalam Persepektif Perubahan Sosial‖ Disertasi. Unpad. Hal. 218. 1998. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
2
tanah‖ dalam menyerukan perubahannya. Kelompok yang kedua ini adalah ulama-ulama yang berhimpun dalam sebuah wadah, yaitu Keluarga Besar Pelajar Islam Indoensia (KB-PII). Di antara ulama yang masuk pada katagori yang disebut terakhir, adalah KH Giom Suwarsono, KH. Saeful Azhar, KH. Cecep Abdul Halim, KH. Endang Yusuf, KH. Bunyamin, dan KH. Muhammad Qudsi.3 Para ulama Garut hanya bisa mengekspresikan gerakannya pada lingkup terbatas, itu pun selalu mengalami pengawasan dari pihak aparat pemerintah.
Ketika
melakukan dakwah Islamiyah, harus senantiasa mendapat izin dari pihak kemananan setempat.4 Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perubahan tatanan sosial politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi 5, gerakan ulama
Garut
mengalami pergeseran. 6 Peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur politik,7 yang menjadikan peluang bagi para ulama untuk melakukan transformasi8 di masyarakat Garut. Keterkungkungan ruang gerak para ulama dalam melakukan gerakannya selama pada zaman Orde Baru diharapkan segera terbuka.9
3
Senada dengan Undang Hidayat adalah KH Cecep Abdul Halim dan Giom Suwarsono, wawancara, 2 Maret 2009 4 KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009 5 Menurut Horton dan Hunt, Sosiologi Jilid 2, 1999. hal. 198, gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan reformasi berusaha memodifikasi hubungan struktural tanpa mengancam eksistensi insitusi. Lebih lanjut, Horton dan Hunt mengatakan bahwa gerakan reformasi ini merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial, selain bentuk-bentuk lainnya, seperti: Gerakan Perpindahan, Gerakan Ekspresif, Gerakan Utopia, Gerakan Revolusioner, dan Gerakan Perlawanan. 6 Adanya pola hubungan yang berbeda antara ulama dan umaro. Di masa Orde Baru, ulama berperan sebagai penyambung lidah dan membenarkan mengenai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sementara di masa Reformasi, ulama bersikap kritis terhadap pemerinath apabila telah terjadi penyimpangan. Seperti yang dilakukan di Kabupaten Garut, dengan memberikan koreksi terhadap APBD, seperti memberikan masukan dalam menentukan kebijakan (lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang zakat, Perda No. 2 tahun 2008 tentang anti kemaksiatan), memberikan kritikan dalam pemberantasan korupsi di daerah Garut, mengusulkan pemberlakuan Syari‘at Islam di Garut melalui pembentukan LP3SyI 7 Menurut Lloyd (1993) perubahan struktur disebabkan oleh unsur-unsur internal masyarakat itu sendiri, yaitu interaksi antara individu dengan struktur sosial. Perubahan struktur sosial ini bisa dilihat dari aturan main yang mengalami perubahan, terutama dalam pola hubungan antara ulama dengan pemerintah. 8 Dalam pendekatan strukturistik, tujuan yang akan dicapai yaitu agency melakukan transformasi terhadap struktur yang ada. 9 KH. Cecep Abdul Halim , Undang Hidayat, dan Giom Suwarsono, wawancara, 2 Maret 2009. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
3
Keadaan seperti itu menjadi hal yang signifikan dalam mempengaruhi gerakan
untuk
memunculkan
kebijakan-kebijakan
pemerintahan
ataupun
kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan potensi kedaerahan. Di Garut, terjadi desakan dari para ulama dan komponen masyarakat lainnya, seperti organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Garut, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Cabang Kabupaten Garut untuk segera diimplementasikannya Syari‘at Islam dan dilakukan pemberantasan korupsi di tingkat birokrasi pemerintahan daerah Kabupaten Garut. Keinginan ulama dan komponen masyarakat Garut tersebut sebagai wujud dari kepeduliannya terhadap realitas yang terjadi di sekeliling masyarakat Garut. Kondisi Garut dihadapkan kepada berbagai persoalan yang memerlukan penanganan dari semua unsur masyarakat. Penegakan hukum sangat lemah dan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat dan penguasa serta diperburuk oleh kondisi ekonomi yang terus terpuruk.10 Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh masyarakat merajalela, seperti: praktik-praktik prostitusi, penjualan minuman keras, obat-obat terlarang, pornografi, serta bentuk perjudian Perilaku menyimpang tersebut menjadi lebih semarak dan terbuka di masa Reformasi.11 Praktik Prostitusi sering terjadi di beberapa tempat yang ada di Kabupaten Garut, seperti di sekitar alun-alun12, kerkop13, tempat wisata14 serta di sejumlah hotel.15
10
Menurut data dari BPS kabupaten Garut, Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Garut pada tahun 1998 mengalami penurunan yang drastis hingga mencapai -11,64 % 11 Perlu dijelaskan bahwa realitas tersebut, sebenarnya sudah ada pada masa orde baru, dan ulama pun melakukan antisipasi dan memberikan solusi, tetapi seiring dengan masa orde baru yang membatasi ruang gerak para ulama, maka ulama dalam melakukan gerakannya tidak serta merta menunjukkan ke wilayah publik dengan sacara terbuka. Momen peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ditangkap oleh para ulama Garut sebagai peluang untuk melakukan gerakan secara terbuka di ruang publik. Mengenai gerakan ulama ya terbuka ini akan diungkapkan dalam bab IV secara rinci dari mulai gerakan penerapan syariat Islam dan gerakan anti korupsi di Garut. Lihat: Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; KH. Endang Yusuf, wawancara, 4 Maret 2009; Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 12 Alun-alun adalah pusat kota Garut. Tempat ini dijadikan tempat mangkal oleh kaum muda-mudi setiap malam, khususnya ,malam minggu. Lihat foto di lampiran. 13 Kerkop adalah kawasan olah raga yang ada di Garut. Tempat ini berfungsi multi, selain untuk berolah raga, juga dilakukan untuk kumpulnya muda mudi yang akhirnya terjadi perilaku yang menyimpang. lihat poto di lampiran. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
4
Berbagai bentuk perjudian juga menjadi kenyataan sehari-hari yang dapat dilihat secara terbuka di tempat-tempat tertentu.16 Misalnya judi togel (toto gelap) yang juga dikenal di banyak tempat. Bentuk perjudian lainnya adalah kupon putih (undian nomor) dengan menginduk di Singapura (toto Singapura). Sejumlah agennya bahkan berani menjual kupon, digelar seperti pedagang kaki lima di sejumlah pinggir jalan kota, tanpa takut dirazia polisi.17 Begitu maraknya judi kupon putih ini tidak hanya digemari oleh warga Garut tetapi juga warga di sekitar Garut seperti Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Pangandaran.18 Masalah lain yang terjadi di internal birokrasi formal, seperti legislatif dan eksekutif. Perilaku penyimpangan dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, seperti penyimpangan penggunaan anggaran.19 DPRD Kabupaten Garut dituduh telah melakukan rekayasa dengan cara menambahkan mata anggaran belanja perjalanan dinas yang tidak ada di dalam PP No. 110/2000.20 Di dalam APBD 2001 pos itu senilai Rp. 726,05 juta dan pada APBD tahun 2002 menjadi Rp. 1,75 miliar yang dimasukan ke bagian belanja pegawai DPRD. Sementara di tahun 2002, adanya anggaran belanja daerah yang dianggap tidak rasional. Anggaran belanja Daerah mencapai Rp. 9.09 miliar atau setara dengan 30% dari PAD Garut tahun 2002 yang berjumlah Rp. 30.37 miliar. Sementara anggaran penunjang kegiatan (Pos 2.2.1) APBD 2003 Rp. 3,76 miliar atau setara dengan 12% PAD tahun 2002. Komponen masyarakat, dalam hal ini adalah ulama menemukan dana yang terjadi pada triwulan I tahun
14
Salah satu tempat wisata yang ada di Garut adalah Cipanas. Sebuah tempat yang mengadakan area wisata berupa kolam renang dan hotel-hotel. Di lokasi ini sering terjadi perilaku yang menyimpang, dilakukan oleh masyarakat, baik warga Garut sendiri maupun warga di luar daerah Garut. Lihat foto di lampiran. 15 Salah satu hotel yang biasa dipakai tempat prostitusi adalah di Cipanas Garut. 16 Misalnya di Jalan Guntur. Biasanya dilakukan pada tempat-tempat bilyard. lihat poto di lampiran. 17 KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; KH. Endang Yusuf, wawancara, 4 Maret 2009; Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 18 Lihat: Suara Publik, 8 Juli 1999; KH.Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; KH. Endang Yusuf, wawancara, 4 Maret 2009; Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 19 Perilaku penyimpangan atau korupsi ini disebabkan oleh kondisi masyarakat Garut yang mengalami perubahan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun perilaku budaya. Lebih rinci mengenai perilaku penyimpangan ini akan dijelaskan di bab IV. 20 KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; KH. Endang Yusuf, wawancara, 4 Maret 2009; Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
5
2003 sebesar Rp. 1.12 miliar. Padahal, bila merujuk kepada ketentuan pasal 14 ayat 3 huruf e PP No.110/2000, seharusnya anggaran penunjang kegiatan tersebut maksimal Rp.400 juta atau 1% dari nilai PAD.21 Selain perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota legislatif, juga terjadi penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh Bupati Garut, Agus Supriadi. Bupati Garut terbukti melawan hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan dana APBD Garut 2004-2007 sebesar Rp 10,8 miliar untuk kepentingan pribadi dan orang lain.22 Beberpa kasus lain yang menimpa Bupati Garut ini, yaitu: Agus terbukti melakukan gratifikasi dengan cara menerima dana dari orang lain sebesar Rp 1,8 miliar, menyalahgunakan anggaran berupa bantuan untuk pengamanan pemilu tahun 2004 dari Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 365,7 juta, Agus juga dinilai melakukan tindak pidana korupsi dengan menggunakan uang daerah untuk membayar cicilian rumah pribadinya kepada PT Dwikarya Anta Graha, menyalahgunakan anggaran biaya makan dan minum Sekretariat Daerah untuk kepentingan pribadi, dengan cara membeli sebuah mobil merek Isuzu Panther, juga melakukan pembelian rumah pribadi di Bandung dengan menggunakan uang daerah, melakukan pembelian mobil Nissan X-Trail, dan membangun rumah pribadi di Cireungit dan Muara Sanding dengan mengunakan anggaran daerah. Ia pun menyalahgunakan wewenangnya dengan menerima uang dari seorang investor pembangunan pasar Cikajang, Ocad Rosadin sebesar Rp. 250 juta. Selain dari Ocad Rosadin, ia menerima dari Taufik Hidayat, investor pembangunan gedung olah raga di Garut sebesar Rp. 1.442 milar.23 Kenyataan seperti di atas bagi sebagian kalangan merupakan satu kondisi yang sangat ironis bahkan naif, karena bertentangan dengan sebutan dan citra
21
Lihat: Republika, 25 September 2003; Pikiran Rakyat, 26,29 September 2003; Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2003; 22 KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; Lihat pula: Kompas, 18 Januari 2005; Galamedia, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat, 18 Januari 2005 23 Lihat: Kompas, 18 Januari 2005; Galamedia, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat, 18 Januari 2005 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
6
Garut sebagai kota santri24 serta gudangnya para ulama. Keadaan ini lambat laun tumbuh menjadi keresahan dan keprihatinan pada sebagian kalangan masyarakat yang kemudian ditunjukkan dengan gelombang unjuk rasa. Merasa
prihatin
dengan
maraknya
praktik
prostitusi,
perjudian,
merebaknya pornografi serta penyimpangan berupa korupsi anggaran, ulama dan berbagai komponen masyarakat berunjuk rasa memprotes berbagai praktik penyimpangan tersebut. Selain berunjuk rasa, ulama dan komponen masyarakat lainnya melakukan razia ke tempat-tempat prostitusi dan perjudian. Dari bentuk perlawanan terhadap kemaksiatan tersebut, mereka sepakat untuk menuntut agar Pemerintahan Daerah untuk secara aktif membuat Perda anti kemaksiatan. Seiring dengan maraknya wacana penerapan Syari‘at Islam di berbagai daerah, di Jawa Barat, seperti di Cianjur dan Tasikmalaya, para ulama di Garut berusaha menyuarakan penerapan Syari‘at Islam sebagai bentuk solusi terhadap berbagai bentuk masalah tersebut. Sebagai upaya untuk mewujudkan penerapan Syari‘at Islam, alim ulama Garut pun terus melakukan gerakannya melalui seruan-seruan untuk memberantas berbagai kemaksiatan. Pada tanggal 22 Oktober 2001, para ulama25 Garut mendatangi gedung DPRD Garut dengan maksud mendesak dewan agar memberi dukungan moral kepada para ulama dan pihak terkait dalam memberantas segala bentuk kemaksiatan di Garut.26 Tindakan para ulama ini merupakan akumulasi kekecewaan akibat maraknya kemaksiatan di Garut tanpa mendapat penanganan yang serius dari
24
Julukan kota santri ini disebutkan oleh Moeflich Hasbullah dalam hasil penelitiannya yang berjudul, ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004 hal 13. Sebutan kota santri ini juga disebutkan dan dijadikan dasar oleh para ulama ketika memberikan alasannya terhadap tanggapan mengenai banyaknya institusi pendidikan Islam dan Pesantren di kota Garut. Di antara ulama yang pernah menyebutkannya adalah KH.Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, dan KH Saeful Azhar. Di beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri, dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusiinstitusi pendidikan Islam. Realitas yang terjadi dapat dipahami ada satu kesenjangan antara sebuatan Garut sebagai kota santri dengan realitas yang mengarah kepada penyimpangan agama dan sosial. Hal inilah yang menjadi penyebab ulama melakukan gerakan di Garut. 25 Kedatangan para ulama tersebut diantar oleh Ketua MUI Garut, KH Ma.mun Syamsuddin; Ketua Dewan Imamah, KH. Cecep Abdul Halim, dan Kepala Kandepag Garut Drs. H. Cecep Alamsyah. 26 Priangan, 24 -26 Oktober 2001 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
7
pemerintah. Sementara anggota Dewan dipandang tidak reaktif dan proaktif melihat problem sosial ini. Para ulama mengharapkan agar Dewan membuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang segala bentuk kemaksiatan secara komprehensif. Perda yang ada tentang kemaksiatan, yaitu Perda No. 6 tahun 2000, dinilai oleh para ulama belum mewakili terhadap larangan kemaksiatan. Perda ini hanya melarang prostitusi semata, sementara menurut para ulama, kemaksiatan bukan hanya prostitusi, tetapi banyak seperti judi, mabuk dan sebagainya belum ada.27 Wacana untuk terus menyuarakan Syari‘at Islam untuk menjadi solusi dalam menangani krisis moral dan mental, terus dilakukan oleh para ulama. Menurut KH. Muhammad Qudsi, krisis moral yang terjadi bisa dilihat dari perilaku aparat hukum yang semakin lemah dalam menegakan hukum di masyarakat. Penyakit masyarakat yang terjadi di Garut, seperti prostitusi, perjudian, korupsi dituntut oleh ulama untuk segera dengan menempuh jalur hukum, baik hukum agama maupun hukum positif yang diundangkan dalam kebijakan pemerintah. Lemahnya penanganan terhadap praktik kemaksiatan tersebut, dipahami oleh para ulama bahwa penegakan hukum positif perlu ditingkatkan, baik dengan cara mengimplementasikan aturan yang sudah ada maupun membuat peraturan yang belum tertuliskan dalam peraturan pemerintah daerah. Untuk itu perlu mengkaji kembali budaya hukum berdasarkan normanorma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sekaligus sebagai mayoritas penduduk muslim.28 Seruan KH. Muhammad Qudsi ini direspon oleh ulama Garut29 dengan mendirikan
Komite Penegak Syari'at Islam (KPSI)30 sekira Januari 2002.
27
Priangan ,24 -26 Oktober 2001; Lihat: KH Cecep Abdul Halim, wawancara, 2 Maret 2009; KH. Endang Yusuf, wawancara, 4 Maret 2009; Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 28 KH. Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009. Beliau adalah ulama yang concern terhadap aspek politik. Ia adalah pimpinan pesantren suci seklaigus aktivis partai politik, yaitu PPP. 29 Diantaranya, KH. Endang Yusuf Lc, Giom Suwarsono, Halim Basayaroh, Undang Hidayat, Mahyar Suwara, dan KH. Saeful Azhar. 30 KPSI ini merupakan sebuah organisasi yang dibentuk sebagai upaya untuk mewujudkan syari‘at Isalam di Kabupaten Garut. Sementara LP3SyI, adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan syari‘at Islam pasca dilakukannya deklarasi. Dewan Imamah adalah Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
8
Didirikannya KPSI sebagai upaya untuk melakukan pressure kepada pemerintah Kabupaten dan DPRD Garut agar memberlakukan syari'at Islam. Untuk mengakomodasi desakan KPSI tersebut, pihak eksekutif dan legislatif Kabupaten Garut beserta para ulama mendirikan Lembaga Pengkajian, Penegakkan dan Penerapan Syari'at Islam (LP3SyI).31 Dibentuknya LP3SyI ini dimaksudkan sebagai wadah untuk melakukan kajian, penerapan dan penegakan syari‘at Islam. Selain itu, LP3SyI sebagai respon Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan organisasi Islam tentang keinginan pemberlakuan syari‘at Islam, demikian diungkapkan oleh Kusaeni, Kepala Kesbang Pemkab Garut.32 Pembentukan LP3SyI diikuti oleh dibuatnya tiga aspek yang akan memperlihatkan perannya di masyarakat. Ketiga aspek itu adalah, pedoman dasar LP3SyI, kode etik LP3SyI, dan program kerja LP3SyI. Ketiga aspek tersebut dijadikan pijakan bagi LP3SyI dalam melaksaanakan pemberlakuan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Para pendiri dan Pengrus LP3SyI berupaya sekuat tenaga membuat peraturan yang dituangkan dalam ketiga dokumen LP3SyI. Misalnya, berkaitan dengan aspek ibadah, muamalah, siyasah. Selain itu, prinsip kemandirian, kebebasan, empati merupakan dasar bagi pijakan masyarakat muslim dalam melakukan implementasi Syari‘at Islam. Prinsip-prinsip tersebut dipahami sebagai perwujudan dari konsep ketauhidan dalam ajaran Islam. Konsep ketauhidan ini diikuti oleh keberadaan manusia yang membawa nilai-nilai kesucian dalam dirinya sejak lahir. Akumulasi dari konsep ketahuidan dan karakter yang fitrah ini akan membentuk pribadi muslim yang berupaya terus dalam mengabdi kepada Alla SWT33 Pendeklarasian LP3SyI ini dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2002 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1423 H. Keputusan ini berdasarkan pada organisasi yang dibentuk sebelum adanya wacana penerapan Syari‘at Islam. Organisasi ini menampung ormas keagamaan yang mempunyai orientasi berbeda. Tetapi kaitannya dengan penerapan Syari‘at Islam, Dewan imamah sifatnya hanya mendukungnya. BKUI adalah organisasi yang dibentuk dalam menjelang pemilihan Bupati Garut periode 1999-2003. Dalam penerapan syari‘at Islam, keududukannya adalah pada posisi mendukung. MUI adalah organisasi yang memainkan gerakan politik ulama dalam penerapan syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi. 31 Lihat, Priangan, 2-5 Maret 2002. 32 Lihat, Priangan, 2-5 Maret 2002. 33 Kode Etik LP3SyI dan Pedoman Dasar LP3SyI Kabupaten Garut Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
9
kesepakatan bersama antara MUI, pemerintah, partai politik, cendekiawan, dan Dewan Imamah. Koordinator deklarasi tersebut berdasarkan kesepakatan, dijabat Ketua MUI, yaitu KH. Ma‘mun Syamsuddin. Adapun isi deklarasi tersebut, yaitu: Pertama, bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat Garut pangirutan yang tata tengtrem kerta raharja34 menuju ridha Allah dalam wadah NKRI yang berdasarkan Ketuhanan YME, maka pengamalan Syari‘at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kewajiban. Kedua, bahwa penerapan dan pelaksanaan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut merupakan realitas aspirasi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Ketiga, bahwa penyebarluasan dan penegakan syari‘at Islam wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Keempat, bahwa untuk tercapainya penerapan dan pengamalan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut, diperlukan suatu proses pengkajian yang mendalam, sejalan dengan dinamika perubahan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, dengan bertawakal kepada Allah SWT, kami sepakat mendeklarasikan penegakan dan penerapan Syari‘at Islam melalui LP3SyI Kabupaten Garut. Semoga Allah memberkatinya dan senantiasa mencurahkan taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin.35 Salah satu implementasi dari deklarasi ini, Dede Satibi, selaku Bupati Garut periode 1999-200336, mengintruksikan seluruh jajarannya, khususnya wanita muslim untuk memakai jilbab dan intruksi kepada kaum muslim untuk membayar zakat.37 Mengenai zakat ini, ulama Garut berusaha untuk melakukan
34
Pangirutan berarti upaya menjadikan Garut sebagai tempat yang diminati pihak lain. Tata tentrem kerta raharja berarti berkat segala peraturan yang dilaksanakan dengan konsekuen dan konsisten maka akan mewujudkan ketentraman yang dapat menimbulkan semangat kerja sehingga tercapailah kebahagian hidup lahir dan batin. Lihat: Yadi Janwari dkk. ―Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004 35 Lihat Naskah Deklarasi LP3SyI Kabupaten Garut 36 Mengenai Kesepakatan Bupati Garut, Dede Satibi, dalam pendeklarasian Penerapan Syari‘at Islam di Garut, hingga membuat kebijakan berupa instruksi ke setiap aparat pemerintahan daerah, salah satunya kaum perempuan dengan mengharuskannya memamaki busan muslimah, dapat dipahami dari awal proses pendeklarasian syari‘at islam, ketika beliau menerima utusan para ulama untuk menyampaikan gagasannya. Lebih lanjut, mengenai keterlibatan beliau dalam kebijakan penerapan syari‘at Islam ini akan dijelaskan dalam Bab IV mengenai proses pendeklarasian syari‘at Islam di Garut, pada tanggal 15 Maret 2002. 37 Suara Rakyat Merdeka, 5-12 April 2002 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
10
gerakan dalam bidang politik, dengan menyuarakan gerakan sadar zakat. Diawali dengan lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh mempengaruhi terhadap kesadaran umat Islam Garut untuk membayar zakat, infak, dan sodaqoh.38 Kesadaran membayar zakat, infaq dan sodaqoh di Kabupaten Garut mengalami peningkatan. Hal ini didasarkan pada data tahun 2001/2002 yang mencapai Rp. 1.140.450.417,00 untuk zakat fitrah mengalami peningkatan sebesar 8.585.734.310,00 pada tahun 2007/2008.39 Sebagai wujud bagi implementasi dari penerapan syari‘at Islam, para ulama Garut, ikut berperan serta dalam melakukan gerakan ―Garut sebagai kota anti korupsi.‖
Para ulama, secara aktif memberikan informasi kepada pihak
kejaksaan berkaitan dengan penyelewengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Garut yang telah terjadi dari tahun 2001. Kasus yang dikenal oleh masyarakat Garut dengan APBD Gate40, berhasil memenjarakan para pimpinan DPRD Tk. II Kabupaten. Gerakan ulama dalam bidang pemberantasan korupsi ini terus berlanjut hingga lengsernya Bupati Garut Periode 2003-2008, Agus Supriadi41, dari kursi kekuasaannya.
38
Pembuatan Perda tentang pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh ini didasarkan pada beberapa pertimbangan: Pertama, dalam upaya meningkatkan umat Islam untuk menjalankan ibadahnya, termasuk penyempurnaan pengelolaan Zakat, Infaq dan Shodaqoh yang merupakan sumber dana potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk berpartisipasi; Kedua, zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam, dan Infaq serta Shodaqoh yang bersifat tathowu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Kabupaten Garut; Ketiga, upaya penyempurnaan sistem pengelolaan Zakat, Infaq dan Shodaqoh perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaannya lebih berhasilguna dan berdayaguna serta dapat dipertanggungjawabkan. Lihat: Perda No. 1 tahun 2003 39 Lihat: Rekap Laporan Bazis Kabupaten Garut 2002-2009. Jumlah 8.585.734.310,00 ini berasal dari 18 Kecamatan. Sementara tahun tahun 2008/2009 sampai bulan Pebruari 2009, berjumlah 2.045.880.950 berasal dari 9 kecamatan. 40 Sebagai contoh APBD gate yang dijadikan dasar untuk dilakukannya gerakan anti korupsi oleh ulama adalah APBD tahun 2003. Bahwa seluruh total anggaran APBD Garut adalah sebesar Rp. 573.979.737.524,00 dengan perincian Belanja Aparatur Rp 140.572.459.123,00 (25% dari Total Anggaran) dan Belanja Publik : 433.407.278.401,00 (75% dari Total Anggaran). Proporsi untuk belanja publik APBD Garut 2003 sekilas tampak sudah mendapat perimbangan angka yang besar (75 %); tetapi angka ini peruntukkannya lebih terkuras kepada belanja administrasi umum Rp. 326.219.928.112,00, belanja operasional aparat dan pemeliharaan Rp. 27.628.706.100,00. Data ini diambil dari Rekomendasi Bahtsul Masail ―Mewujudkan APBD Garut yang Memihak Kepentingan Rakyat‖ 41 Sebelum menjadi bupati, Agus Supriadi, adalah puranwirawan TNI, dengan pangkat Letkol Infantri Agus Supriadi. Ia pun memasuki partai politik, yaitu Golongan Karya. Ia diusung oleh partai Golkar hasil konvensi DPD Partai Golkar Kabupaten Garut, yang mengalahkan ketua DPD Golkar, Iyos Somantri. Kekalahan Iyos Somantri ini disebabkan oleh tersangkutnya dia Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
11
Berdasarkan pemikiran di atas maka hal itu menjadi bahan pemikiran untuk dituangkan dalam bentuk disertasi yang berjudul: Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007. Selama rentang waktu ini, penulis mencoba untuk mengkaji dan membuktikan keberadaan ulama yang tidak hanya berperan dalam aspek keagamaan semata seperti diungkap oleh Geertz dan Deliar Noer, tetapi ulama pun mempunyai kemampuan yang signifikan dalam bidang politik42. Oleh karena itu, penulis ingin membuktikan bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam melakukan gerakan politik di Garut.43
1.2.Permasalahan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang di atas, tampak adanya dinamika gerakan politik ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Ulama yang posisi awalnya hanya berfokus pada bidang keagamaan dan pemberdayaan umat kemudian menjamah pada aspek kehidupan lainnya, seperti politik. Dengan demikian, gerakan ulama di Kabupaten Garut mengalami pergeseran. Tegasnya, sudah terjadi pergeseran fungsi dan gerakan ulama di Garut. Fungsi Ulama pada masa reformasi dipahami sebagai khadimul ummah yang berarti sebagai pelayan umat. Oleh karena itu, posisi ulama sebagai khadimul ummah ini berperan aktif dalam sebagai tersangka dalam kasus APBD Gate Kabupaten Garut yang dilaporkan oleh ulama Garut, KH. Cecep Abdul Halim. Agus Supriadi berpasangan dengan Memo Hermawan dari PDIP dan memenangkan pemilihan Bupati Garut periode 2003-2008 mengalahkan pasangan Dede SatibiWawan Syafe‘i. 42 Peran politik ulama ini, ternyata bukan hanya terjadi pada periode 1998-2007, tetapi sudah terjadi semenjak sebelum Orde Baru. Misalnya pada peristiwa gerakan yang dilakukan oleh para ulama yang terhimpun dalam Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) tahun 1929. Pada awal pembentukannya, MASC ini dikenal sebagai gerakan reformis, yang mencoba memberikan kritikan terhadap pemikiran keagamaan yang pada waktu itu sedang berkembang, seperti adanya taqlid kepada ulam dan menggunakan kitab kuning. Disamping kegiatan terhadap pemikiran keagamaan, ulama ini juga melakukan aktivitas politiknya yang disalurkan pada Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), meskipun pernah member dukungan untuk berdirinya PNI di Garut. Aktivitas politik lainnya juga dilihat ketika dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia daripada mendukung Darul Islam yang di proklamirkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Kemudian aktivitas politik ulama lainnya, bisa dilihat dari peran Yusuf Tojiri yang berusaha untuk menentang pola dakwah yang dilakukan oleh Kartosuwirjo melalui DI nya. (Lihat: Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 19901950. Yogyakarta: Matabangsa. 2001, hal. 170-175. 43 Kemampuan ulama dalam melakukan gerakan poltik didasarkan pada etis-religius yang mencoba memberikan perhatian terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Garut. Dengan berbagai jaringannya, ulama mampu melakukan gerakan dalam bidang politik. Mengenai jaringan ulama ini, akan dibahas lebih lanjut dalam Bab III, mengenai Posisi Ulama di Garut 1998-2007. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
12
berbagai bidang kehidupan, baik agama, sosial, budaya, ekonomi ataupun politik. Di Garut, pada masa ini, ulama tidak lagi berkonsentrasi pada persoalan agama saja, tetapi juga dalam bidang politik, seperti mengkritisi kebijkan-kebijakan pemerintahan daerah sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang bersih. Berbeda dengan zaman Orde Baru, ulama diposisikan sebagai Sayyidul ummah, yang berarti tuannya para umat. Memahami ulama sebagai Sayyidul ummah, maka ulama terkesan hanya bergerak dalam bidang tertentu saja. Misalnya, dalam masa Orde Baru, ulama diposisikan sebagai kelompok sosial keagamaan yang berfungsi memberikan legalitas terhadap kebijkan pemerintah terutama dalam bidang keagamaan.44 Kondisi ini mengubah anggapan sebelumnya di masyarakat Garut bahwa gerakan ulama mengalami pembidangan, yakni cenderung menangani urusan agama saja. Kemudian memasuki orde reformasi, orientasi gerakan ulama tidak hanya pada aspek keagamaan semata, tetapi juga pada aspek politik. Kenyataan tersebut, di antaranya disebabkan oleh adanya perubahan dari tatanan sosial politik Orde Baru yang kecenderungannya membatasi ruang gerak ulama ke tatanan sosial Orde Reformasi yang cenderung membuka keran kebebasan bagi setiap unsur masyarakat, dalam hal ini ulama, untuk melakukan segala aktivitasnya. Adanya pergeseran gerakan ulama ini berdampak kepada tatanan sosial masyarakat Garut. Di antaranya, gerakan ulama yang berorientasi pada aspek politik, berdampak terhadap reposisi ulama dalam hubungannya dengan umara. Dalam aspek lain, gerakan zakat yang diperjuangkan oleh ulama berdampak pada peningkatan sadar zakat bagi masyarakat Garut. Gerakan poltik ulama Garut lainnya adalah adanya kesadaran untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang tertuang dalam Perda. Dari sinilah muncul persoalan yaitu apakah benar apa yang disebutkan oleh Clifford Geertz, bahwa ulama hanya mempunyai fungsi sebagai broker budaya dan tidak mempunyai kemampuan dalam bidang politik? Kemudian bagaimana terjadinya pergeseran peran ulama di Garut, yang sudah mempunyai kemampuan dalam bidang politik pada kurun waktu 1998-2007? Untuk
44
KH. Cecep Abdul Halim, Undang Hidayat, wawancara, 26 November 2010 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
13
membahas dan menjawab permasalahan di atas akan dibantu dengan beberapa pertanyaan penelitian seperti: 1. Mengapa ulama terjun ke gerakan politik pada kurun waktu 1998-2007? 2. Bagaimana posisi dan keberadaan ulama di Garut pada kurun waktu 19982007? 3. Bagaimana gerakan politik yang dilakukan oleh ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007? 4. Bagaimana dampak dari gerakan politik yang dilakukan oleh ulama terhadap struktur masyarakat Garut?
1.3.
Ruang Lingkup Penelitian Sehubungan dengan itu, penelitian disertasi ini mengambil wilayah
Kabupaten Garut. Sebagai alasan spasial, Garut menjadi penting karena beberapa pertimbangan. Pertama, Garut dikenal sebagai kota santri di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan data yang ada di kabupaten Garut tahun 2008, jumlah pemeluk agama Islam di Kabupaten Garut sebesar 2.220.516 jiwa45 dari jumlah penduduk Garut 2.225.241 jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang.46 Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah dengan jumlah santri 127.999 orang.47 Adapun jumlah mesjid 4.297 buah, langgar 6.677 buah dan mushola 3.571 buah.48 Kedua, secara teritorial, daerah Garut mempunyai latar sejarah politik dan budaya yang kental nuansa ke-Islamannya dan di daerah ini
juga memiliki
beberapa peristiwa sosial-politik yang melibatkan orang-orang Islam, salah satunya ulama. Hal itu bisa dilihat dari gerakan ulama yang muncul di daerah ini, baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa kemerdekaan hingga 45
Dari data di atas, bila diprosentasikan, umat Islam di Kabupaten Garut mencapi kurang lebih 99%. Angka ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004,2005,2006,2007, umat Islam Kabupaten Garut mencapai 99%. Lihat Tabel Jumlah Pemeluk Agama di kabupaten Garut tahun 2008. 46 Lihat Tabel Rekapitulasi Pemuka Agama Islam di Kabupaten Garut tahun 2008. 47 Lihat Tabel Perkembangan PondokPesantren di Kabupaten Garut dalam enam tahun terakhir. 48 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008. Lihat pula dalam tabel perkembangan Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut dalam Lima tahun terakhir. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
14
pasca Orde Baru. Peran ulama dalam sejarah sosial Islam Garut sangatlah penting keberadaannya, diasumsikan bahwa keberlangsungan perubahan sosial di daerah Garut semenjak kolonial hingga sekarang tidak terlepas dari peran ulama. Sebagai alasan temporal, disertasi ini dibatasi pada periode 1998-2007. Periode ini dalam penulisan sejarah bisa dikatagorikan sebagai sejarah kontemporer.49 Adapun yang menjadi alasan penulis membatasi periode waktu 1998-2007, yaitu: Pertama, pada periode inilah tampak reposisi keberadaan ulama dalam melakukan hubungannya dengan pihak pemerintah. Pada kurun ini, kesan harmonis ulama dan umara serta posisi ulama yang diasumsikan sebagai kepanjangtanganan umara mengalami sebuah perubahan. Salah satu bentuknya adalah ulama yang terwadahi dalam MUI senantiasa melakukan masukan bahkan kritikan terhadap kebijakan pemerintah.50 Kedua, pada periode ini, adanya peluang baru bagi para ulama dalam melakukan gerakannya. Peluang baru ini didasarkan dengan adanya reformasi politik di tingkat nasional yang mempengaruhi kondisi masyarakat Garut. Ketiga, dalam periode ini telah terjadi dua kali kepemimpinan Bupati Garut, yang membedakan posisi ulama dalam
49
Menurut Nougroho Notosusanto, sejarah kontemporer adalah sebuah periode atau zaman dari sebuah peristiwa yang hidupnya bersamaan dengan kita, baik sebagai pembaca ataupun penulis sejarahnya. Kajian sejarah kontemporer membuka bagi setiap orang yang akan membahasnya. Hal ini disebabkan bahwa, informasi yang akan dijadikan sumber dalam kajiannya masih ada di hadapan kita, baik yang berupa pelaku, saksi atau pun dokumen tertulis lainnya. Implikasinya, kekuatan sumbernya menjadi tinggi, tetapi dari sepek subyektifitasnya juga diprediksi akan tinggi pula. Subyektifitas ini disebabkan oleh adanya sikap berat sebelah dari peneliti sejarah terhadap satu atau beberapa tokoh tertentu. Kemudian adanya prasangka kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya, dan yang terakhir adalah adanya teori-teori interpretasi yang bertentangan, satu sama lain. Lihat: Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (suatu Pengalaman). 1978. Jakarta: Yayasan Idayu. Berkaitan dengan kajian Gerakan politik Ulama di Garut, peneliti berusaha untuk tidak terjebak oleh faktor subyektifitas yang tinggi. Menjaga jarak antara peneliti dengan para pelaku dan saksi sejarah merupakan upaya untuk tidak menimbulkan tafisran yang sifatnya memihak. 50 Lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh hasil upaya ulama dalam memberikan solusi terhadap problem kesejahteraan ekonomi masyarakat Garut. Kemudian Perda No. 6 tahun 2000 tentang kemaksiatan, dipahami oleh para ulama belum mewakili dari seluruh bentuk kemaksiatan. Perda ini hanya melarang prostitusi semata, sementara bentuk kemaksiatan lainnya, seperti perjudian, perampokan, mabuk, narkoba, dsb. belum ada. Mengenai Perda ini, pada tahun 2008 telah mengalami perubahan menjadi Perda No. 2 tahun 2008 tentang anti maksiat di kota Garut. Menurut Cecep Abdul Halim, perda ini sebagai perbaikan dari perda sebelumnya yang telah mengalami masukan dari para ulama. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
15
melakukan gerakannya51. Keempat, pada periode ini, pertama kalinya bupati Garut dilengserkan oleh masyarakat Garut yang dipelopori oleh para ulama.52
1.4.Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menyusun,
merekonstruksi,
dan
menganalisa Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007. Secara akademis, tujuan penelitian ini adalah ingin membuktikan bahwa ulama tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan semata, tetapi ulama mempunyai kemampuan berperan dalam bidang politik. Lebih rinci penelitian ini dimaksdukan untuk : 1. Menjelaskan faktor-faktor Ulama terjun ke Gerakan Politik di Garut pada kurun waktu 1998-2007 2. Menjelaskan posisi dan keberadaan Ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. 3. Menjelaskan gerakan politik ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. 4. Menjelaskan dampak dari adanya Gerakan Politik Ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007 terhadap struktur sosial masyarakat Garut.
1.5.
Kontribusi Penelitian Penelitian ini setidaknya memiliki dua manfaat, yaitu manfaat secara
praktis dan secara akademis. Manfaat secara praktis adalah diharapkan penelitian disertasi ini dijadikan dasar bagi pembuatan kebijakan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut berkaitan dengan persoalan politik, seperti Perencanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Di samping itu, posisi dan peran ulama dalam perubahan di masyarakat Garut dapat diketahui oleh berbagai pihak, 51
Pada Masa Bupati Dede Satibi periode 1999-2003, ulama mempunyai hubungan yang harmonis, sehingga gerakan ulama yang dilakukan mendapat dukungan dari bupati. Sementara pada periode Agus Supriasi, 2003-2008, hubungan ulama dengan pemerintah tidak harmoni. Hal ini dibuktikan dengan adanya gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh ulama terhadap Bupati. 52 Dilengserkannya buapti Garut, Letkol Infantri Agus Supriadi, yang dipelopori oleh ulama Garut disebabkan oleh adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkaya diri sendiri melalui kewenangannya itu. Dugaan tersebut direspon oleh KPK dan akhirnya dinyatakan bahwa Agus Supriadi dinyatakan bersalah dan telah melakukan penyalahgunaan wewenangnya sebagai bupati. Mengenai hal ini, akan dibahas lebih jelas di Bab IV. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
16
baik birokrasi mapun luar birokrasi. Hal ini akan bermanfaat bagi masyarakat Garut khususnya dalam memahami gerakan ulama di Garut sebagai implementasi dari posisinya sebagai elit agama. Manfaat secara akademis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penulisan sejarah Indonesia, khususnya dalam memperkaya khazanah penulisan sejarah Islam di Indonesia. Terutama, dalam pengembangan metodologi penelitian sejarah Islam. Selain itu, diharapkan penelitian ini juga dijadikan titik tolak bagi penelitian sejarah selanjutnya bagi para peneliti yang berminat. 1.6.Kerangka Konseptual dan Pendekatan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gerakan diartikan sebagai usaha atau kegiatan dalam lapangan sosial (politik). Dari pengertian tersebut, konsep gerakan sering dipahami sebagai gerakan politik. Paul Horton & Hunt53, mendefinisikan gerakan sebagai upaya kolektif untuk melakukan perubahan, baik yang mendukung atau menolak perubahan. Senada dengan itu, Robert Mircel54, gerakan didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Burke55 mendefinisikan gerakan sebagai aktivitas kolektif, gerakan bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat. Menurutnya, gerakan terbagi pada dua tipe, yaitu: Pertama, berupa gerakan yang dipahami sebagai awal untuk melakukan suatu proses perubahan. Kedua, gerakan yang dipahami sebagai respon dari sebuah perubahan yang terjadi. Tipe ini disebut dengan gerakan ‗reaktif‘, misalnya ketika rakyat melakukan proses gerakan dalam memprotes perubahan ekonomi dan sosial, yang dipahami akan menganggu stabilitasnya. Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa upaya melakukan gerakan adalah dalam rangka mewujudkan perubahan 53
Horton dan Hunt, Sosiologi Jilid 2, 1999. hal. 195 Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book 55 Peter Burke, 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 135. 54
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
17
baik sebagai respon dari perubahan yang ada maupun berawal dari kepentingan pelaku dari perubahan tersebut. Senada dengan definisi gerakan di atas, Charles Tilly56 menyebut gerakan sebagai aksi kolektif (collective action) yang bertujuan untuk kepentingan bersama. Aksi kolektif ini disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama, aspek eksternal, yang menyebutkan bahwa struktur mempengaruhi terhadap sebuah gerakan. Kedua, aspek internal, yatu motivasi individual yang ada dalam sebuah masyarakat. Dua aspek ini, Tilly mengkombinasikannya menjadi faktor yang menyebabkan sebuah gerakan. Dalam penelitian disertasi ini, penulis akan menjadikan pendapat Tilly sebagai teori untuk mengkaji dinamika gerakan ulama di Garut. Lebih jelasnya akan dibahas dalam sub judul selanjutnya. Ditinjau secara etimologi, ulama berasal dari kata ‗alim, yang berarti orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam. Ulama bisa diartikan sebagai orangorang pandai dan ahli di bidangnya. Ulama merupakan konsep yang lebih umum yang ditujukan kepada seorang muslim yang berpengetahuan. Secara sosiologis, ulama adalah kelompok yang secara jelas mempunyai fungsi dan peran sosial sebagai cendikiawan penjaga tradisi yang dianggap sebagai dasar identitas primordial individu dan masyarakat.57 Ulama ialah orang yang luas ilmu pengetahuannya dalam agama Islam, dan terus menerus mendakwahkan Islam dengan mengajar, bertabligh dan berceramah. Dalam memerankan dirinya, ulama tidak hanya mempunyai tanggung jawab ilmiah, tetapi juga memiliki tanggung-jawab moral dan sosial. Peran dan tanggung jawab moralnya tersebut didasarkan kepada fungsi yang sudah disebutkan oleh Rasulullah sebagai pewaris nabi. Karena itu, ulama adalah penjaga, penyebar, dan penginterpretasi ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan hukum Islam, serta pemelihara kelanjutan sejarah spiritual dan intelektual masyarakat Islam.58 Geertz menyebutkan bahwa kyai (ulama) berperan sebagai cultural broker. Ulama berperan sebagai penyampai dari informasi yang berasal dari luar 56
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 1978. Hal. 5 Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006 58 Ibid 57
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
18
lingkungan pesantren. Tentunya, informasi yang dianggap baik bagi komunitas pesantren dan bukan informasi yang dianggap buruk. Geertz berpendapat bahwa ulama hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, sementara dalam bidang poltik, kemampuan ulama kurang bahkan ulama cenderung tidak concern dalam bidang politik.59 Pendapat Geertz ini diungkapkan sekitar tahun 1960, ketika melihat relaitas masyarakat Jawa. Horikoshi dalam mendefinisikan konsep kyai dan ulama berdasarkan pada hasil penelitiannya di pesantren Cipari Kabupaten Garut. Ia berkesimpulan bahwa kyai dan ulama merupakan konsep yang berbeda. Kyai adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam bidang keagamaan termasuk berbagai masalah keagamaan yang sulit dipahami oleh masyarakat. Sementara ulama adalah seseorang yang mempunyai posisi dalam bidang keagamaan sebagai pejabat atau fungsionaris keagamaan. Mengenai pendapatnya ini, Horikoshi memberikan koreksi terhadap pendapat Geertz, mengenai peran kyai sebagai cultural broker. Ia menyebutkan bahwa kyai/ulama dalam memerankan dirinya tidak dikesani sebagai orang yang pasif, hanya melakukan penyaringan informasi, tetapi kyai/ulama harus senantiasa aktif dalam melakukan posisinya sebagai actor perubahan. Kyai/Ulama harus mampu menjadi mediator antara informasi yang didapat dengan keperluan masyarakat setempat.60 Menurut Dhofier61 kyai ditempatkan pada posisi sentral dalam komunitas pesantren. Dalam pesantren, kedudukan kyai sebagai pemimpin dan pewaris dari tradisi Islam. Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren dan sering ia merupakan pendiri dari sebuah pesantren. Sebagai sebuah elit dalam pesantren, kyai mempunyai otoritas yang kuat dalam menentukan berbagai kebijakan yang akan diterapkannya. Menurut asal usulnya, sebutan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda:
59
Clifford Geertz. ― The Javanese Kijaji: The Changing Roles of A Cultural Broker‖, Comparative Studies in Society and History, vol 2, 1960. 60 Hiroko Hirokoshi. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta. P3M. 61 Zamakhsyari Dhofier. 1982 Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
19
a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya ‗kyai garuda kencana‖ dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitabkitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim.62 Penempatan kyai sebagai posisi tertinggi merupakan ciri terpenting pesantren. Ciri ini, menurut Asfar63, terlihat pada pola hubungan antara kyai dengan santri dan masyarakat di sekitarnya. Para santri patuh dan taat tanpa melawan (reserve) kepada kyai. Apa yang difatwakan kyai, biasanya, selalu diikuti. Bahkan, pola hubungan demikian telah diwujudkan ke dalam suatu doktrin: kami mendengar dan kami patuh (Sami‟na wa atho‟na). Dalam konteks kekuasaan, pola ini lebih dikenal sebagai Hubungan Otoritas Tradisional (Traditional Authority Relationship). Pola hubungan ini ditandai beberapa hal: Adanya hubungan yang bersifat pribadi (highly personal), tidak lugas, adanya kewajiban yang tidak terbatas, merupakan persekutuan antara yang punya dan yang tidak punya, hubungan bersifat vertikal, dan adanya upaya menjaga keseimbangan hubungan ―atas-bawah.‖64 Menurut Dhofier65, otoritas tradisional yang dimiliki kyai,
bersumber
pada tiga hal, meski yang pertama lebih menentukan. Pertama, karena kedalaman ilmunya; kedua, karena status ekonomi yang dimilikinya; dan ketiga karena keturunan kyai sebelumnya atau paling tidak orang yang dekat dengannya. Pendapat Dhofier ini dikemukakan pada tahun 1980-an ketika melihat realitas masyarakat Jawa.
62
Ibid. hal. 55. Muhammad Asfar. 1995. ―Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kyai‖, dalam Prisma, 5 Mei. 64 M. Billah. 1978. ―Agama dan Politik: Pergeseran Pola kepemimpinan‖, dalam Prisma. 65 Op. Cit., hal. 56 63
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
20
Deliar Noer66 senada dengan Geertz yang mengatakan bahwa kedudukan ulama hanya mampu dalam bidang keagamaan semata. Dalam masalah politik, ulama tidak turut menanganinya, sebab masalah politik, menurutnya, diserahkan kepada kalangan adat dan priyayi. Sementara itu, berdasarkan penelitiannya di Jawa Barat, Mohammad Iskandar berpendapat bahwa sebutan kyai dan ulama merupakan dua konsep yang berbeda. Kyai adalah para ahli agama yang keilmuan serta pemahaman mengenai agama Islam cukup tinggi;sudah naik haji;serta mempunyai pesantren. Sedangkan ulama diartikan sebagai ahli agama yang tidak mempunyai pesantren, baik itu guru agama maupun ahli agama lainnya yang mempunyai pengaruh di masyarakat.67 Dari uraian tersebut, tampak perbedaan mengenai pengertian dan kedudukan ulama. Berkaitan dengan penelitian disertasi ini, ulama diartikan sebagai para ahli agama Islam, baik itu mempunyai pesantren ataupun tidak, yang menjadi tokoh panutan lingkungan masyarakatnya. Di sini juga termasuk juru dakwah atau khatib yang berceramah keliling ke berbagai pelosok wilayah.68
66
Delair Noer. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Metabangsa,2001. Hal. 24-25. 68 Ulama yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada realitas yang terjadi di Kabupaten Garut. Ulama-ulama yang melakukan gerakan, adalah para tokoh agama yang mempunyai kemampuan dalam bidang agama, tidak hanya sebagai pimpinan pesantren, tetapi tokoh agama yang tidak mempunyai pesantren seperti, juru dakwah dan khatib. Ulama dalam penelitian ini dimaksudkan kepada ulama yang beraktivitas di lembaga keulamaan, seperti: MUI dari tingkat kabupaten sampai tingkat desa. Ada beberapa ulama yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, diantaranya: KH. Cecep Abdul Halim (Ketua MUI), KH. Toto Tanthowi Jauhari (Ketua Syuriah NU), KH. Muhammad Al-Qudsi (Deklarator LP3SyI), KH. Bunyamin (Pimpinan Ponpes Cipari), Ustadz Muhammad Iqbal (Pimpinan Persis), Giom Suwarsono (Wk. Ketua MUI), Undang Hidayat (Sekretaris MUI), Rofik Azhar (Wakil Sekretaris MUI), Halim Basyaroh (Mantan Ketua PD Muhammadiyah), KH. Saeful Azhar, Dr. Ikyan Sibaweh (Pimpinan Tarekat Tijaniyah Kabupaten Garut), Yosep Juanda, Kyai Sajidin (Penasehat MUI), H. Endo Trenggono (Ketua PUI), KH. Endang Yusuf Lc., KH. Aceng Dadang, KH Ubun Bunyamin, KH. Syahrul Al-Gifari, KH Ulumudin Banani (Pimpinan Ponpes Al Huda), Ustadz Siroj, KH. Aceng Zakaria (Pimpinan Ponpes Persis Rancabogo), KH. Fauzan (Pimpinan Ponpes Fauzan), Ajengan Satibi, H. Aan Mustafa Kamil, Drs. Asep Ahmad Hidayat, M.Ag.dll. Para ulama yang menjadi subjek dalam penelitian ini,dilihat dari latar belakang pendidikannya sangat beragam. Ada yang lulusan sarjana, seperti Drs. KH. Cecep Abdul Halim, Drs. Giom Suwarsono, magister, seperti Undang Hidayat,M.Ag., Yadi Januari, M.Ag., pesantren,bahkan lulusan doktor, seperti Dr. Ikyan Sibaweh. Dari nama-nama ulama tersebut, KH. Cecep Abdul Halim merupakan salah seorang yang menjadi koordinator ulama dalam melakukan gerakan di Garut. Beliau adalah alumni perguruan tinggi Madinah, Arab Saudi. Ia adalah putera ulama besar di Garut, KH Anwar Musaddad sekaligus 67
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
21
Paling tidak definisi ulama dalam disertasi ini terjadi pada realitas masyarakat Garut pada kurun waktu 1998-2007. Dari pengertian konsep tersebut, Gerakan Politik Ulama yang dimaksud dalam penelitian disertasi ini adalah aksi kolektif69 yang dilakukan oleh ulama secara terus menerus sehingga menimbulkan perubahan politik dalam tatanan masyarakat, terutama di Garut. Dalam mengkaji mengenai dinamika gerakan politik di Kabupaten Garut, peneliti menggunakan pendekatan politik, sosial, dan budaya. Ketiga pendekatan ini digunakan sebagai upaya memahami realitas gerakan politik Ulama di Garut. Pendekatan politik dipahami sebagai cara untuk memhamai realitas dengan menggunakan konsep politik. Politik berkaitan dengan hakekat kekuasaan yang diperankan oleh seseorang atau sekolompok orang. Politik sangat menekankan etika atau nilai, seperti yang diperankan oleh ulama Garut. Pendekatan sosial adalah cara untuk memahami realitas dengan menggunakan konsep sosiologis. Pola hubungan antara individu dengan individu, individu dan kelompok merupakan konsep sosiologi untuk memahami lebih lanjut tentang gerakan ulama di Garut. Pendekatan budaya adalah cara untuk memahami realitas dengan menggunakan konsep-konsep budaya, seperti
kinship. Pendekatan
yang
berorientasi pada sebuah nilai ini, dapat digunakan untuk memahami gerakan politik ulama di Garut.
1.7.Tinjaun Pustaka Sementara hasil penelusuran sumber pustaka, tema yang berkaitan dengan ulama, terutama dalam hal dinamika gerakan politik ulama di Garut, masih sedikit menantu dari KH Yusuf Taujiri, seorang ulama Garut tempo dulu yang mempunyai peran dalam melakukan perubahan di Garut. Salah satunya dengan melakukan perlawanan kepada Belanda sekaligus gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. KH. Cecep Abdul Halim pernah aktif di organisasi Ikhwanul Muslimun (pimpinan Hasan Al-Banna yang berpusat di Mesir) dan pernah turut serta dalam salah satu penyerangan terhadap Israel ketika beliau masih berada di Arab Saudi. 69 Mengenai aksi kolektif ini, Mohammad Islakandar, telah menggunakannya dalam disertasi yang berjudul ―Aksi Kolektif Petani Ciomas Tahun 1886 Dampak Politis Bagi Pemerintahan Hindia Belanda‖. Menurutnya, aksi kolektif ini merupakan konsep yang netral, untuk tidak menyebut konsep pemberontakan atau perlawanan. Dalam disertasinya, disebutkan bahwa faktor rasa ketidakadilan yang dialami oleh petani, menjadikannya melakukan aksi kolektif. Lihat: Mohammad Iskandar, ―Aksi Kolektif Petani Ciomas Tahun 1886 Dampak Politis Bagi Pemerintahan Hindia Belanda‖. Disertasi. UI. 2007. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
22
perhatian dari kalangan ilmuwan sosial pada umumnya dan para ahli sejarah khususnya. Tulisan yang ada dan berhubungan dengan posisi ulama, yaitu karya Hiroko Horikoshi70 mengenai Kyai dan Perubahan Sosial hanya menggambarkan pada satu lingkup kecil daerah Garut, yaitu desa Cipari. Hiroko memandang bahwa kyai berperan aktif dalam perubahan sosial dengan cara memprakarsai perubahan di masyarakat. Ia bukan lagi penyaring informasi, melainkan ia mencoba menawarkan perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karya
Karl
D.Jackson,
Kewibawaan
Tradisional
Islam
dan
Pemberontakan (Kasus Darul Islam di Jawa Barat) tidak membahas secara spesifik mengenai Kabupaten Garut. Penelitian Jackson berkaitan dengan fungsi tokoh
masyarakat
atau
kewibawaan
tradisional
seorang
tokoh
dalam
mendinamisasi aktivitas sosial politik masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam politik disebabkan oleh pengaruh para tokoh tradisonal yang senantiasa diaptuhi orang-orang Sunda. Yadi Janwari dkk. (2004), meneliti tentang Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Dalam penelitiannya ini, disebutkan tentang beragamnya sikap tokoh umat Islam terhadap gagasan penerapan Syari‘at Islam. Moeflich Hasbullah (2004) melakukan penelitian tentang ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ Ia mengkaji syari‘at Islam di Garut dari pembacaan sosiologis tentang kemunculannya dan konflik internal yang mewarnai deklarasi pemberlakuan syari‘at Islam. Ahmad Fuad Fanani (2008), melakukan riset khusus tentang pandangan para tokoh pesantren di Jawa Barat atas pelaksanaan syari‘at. Menurutnya, bahwa pandangan tokoh pesantren terhadap pelaksanaan syari‘at Islam terbagi pada dua pendapat, yaitu yang bersifat konservatif dan moderat. Pandangan pertama berpendapat bahwa syari‘at Islam berlaku pada setiap saat, sementara pendapat kedua mengatakan bahwa syari‘at Islam bersifat lentur pada dimensi ruang,
70
Hiroko Hirokoshi. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta. P3M Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
23
waktu, dan kreativitas akal manusia Perbedaan ini menurut Fanani disebabkan oleh perbedaan interpretasi teks keagamaan. Sementara, disertasi ini mengkaji tentang dinamika gerakan politik ulama di Garut dengan menggunakan metode sejarah. Penulis menemukan bahwa posisi ulama yang pada awalnya berfokus pada aspek keagamaan, ternyata ulama mempunyai kemampuan dalam melakukan gerakan politik. Gerakan politik ulama yang dilakukannya berkaitan dengan penegakan syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi di lingkungan legislatif dan eksekutif pemerintah daerah kabupaten Garut pada kurun waktu 1998-2007. Pola yang dilakukan oleh ulama berawal dari gerakan moral hingga berujung pada gerakan politik. 1.8.Metodologi dan Teori Untuk melakukan explanasi terhadap peristiwa sejarah yang bertemakan Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007, metodologi strukturistik menjadi pilihan penulis. Dalam metodologi strukturistik, peristiwa dan struktur merupakan suatu jalinan dialektika metodologi yang simbiotik, di antara keduanya saling melengkapi sebagai satu kesatuan metodologi.71 Peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal.72 Di sinilah strukturisme meneguhkan peranan agency sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan struktur sosial. Untuk memahami pendekatan strukturistik ini, memahami strukturasi dari Anthony Giddens menjadi hal yang penting. Hal ini disebabkan bahwa strukturistik yang dikembangkan oleh Llyod merupakan pengembangan dari gagasan strukturasinya Giddens. Lahirnya Strukturasi73 Giddens sebagai jalan 71
RZ. Leirissa. ‘Metodologi Strukturis dalam Ilmu Sejarah‘, Kumpulan Karangan: tidak diterbitkan. 1999. 72 Christopher Lloyd, The Structure of History (Blackwell, Oxford and Cambridge: 1993), hlm. 38-40. 73 Strukturasi adalah proses perubahan sosial dalam masyarakat. “conditions governing the continuity or transformation of structures, and therefore the reproduction of sytem. Lihat: Anthony Giddens, The Constitution of Society. Barkley: University of California.Press. 1984. Hal 377. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
24
tengah
dari
pertentangan
antara
sturkturalisme
dan
individualisme.
Strukuturalisme menekankan pada dominasi dari peran struktur dalam kehidupan sosial. Individualisme menekankan dominasi individu dalam kehidupan sosial. Di tengah perdebatan tersebut, Giddens melahirkan pendekatan strukturasi yang menyebutkan ada hubungan dualitas antara struktur dan individu.74 Menurutnya, kehidupan sosial merupakan integrasi antara agen dan struktur. Agen mempunyai kemampuan untuk mereproduksi struktur dalam tatanan yang mapan.75 Konsep agen dan struktur ini juga menjadi hal yang pokok dari pendekatan strukturistik. Karena demikian pentingnya unsur individu atau kelompok sebagai faktor yang aktif dalam metodologi strukturistik maka unsur ini perlu ditelaah lebih jauh. Kekuatan untuk mengubah struktur sosial itu terletak pada apa yang disebut dengan „agency‟76 dan „mentalite‟.77 Sedangkan secara ontologis, struktur sosial memiliki kekuatan yang mengekang sekaligus menentukan dan agency yang berusaha mengubah struktur itu memiliki kemampuan, sekaligus kemauan, untuk mengubah struktur sosial. Interaksi dan ketegangan antara agency yang mengubah dengan struktur sosial yang menentukan inilah yang menjadi pokok dalam metodologi strukturistik.78 Tujuan utama dari metodologi ini adalah menemukan causal power yang obyektif, yang diperoleh melalui analisis atas interaksi antara agency yang mengubah dan struktur sosial yang menentukan itu.79 Dalam metodologi strukturistik ada empat unsur pokok, yaitu struktur sosial yang constraining80, agency yang enabling, mentalite, dan causal power.
74
Ibid, hal. 29 Ibid 76 Agency adalah kekuatan otonom dari suatu struktur sosial yang memiliki kemampuan untuk mereproduksi maupun mentransformasi struktur sosial. Lihat: Lloyd, ibid., hal 93. 77 Mentalite adalah faktor yang memotivasi, mendorong, menyalurkan, dan mendominasi tindakan-tindakan agency. Konsep mentalite berkaitan erat dengan konsep budaya yang mencakup ide-ide, ideologi, dan budaya itu sendiri. Lihat Lloyd, ibid., hal 96-98. 78 Lloyd, ibid. hal 93-100 79 RZ. Leirissa. ‘Metodologi Strukturis dalam Ilmu Sejarah‘, Kumpulan Karangan: tidak diterbitkan. 1999. 80 Struktur sosial dalam metodologi strukturistik bersifat longgar dan menentukan, yang mempengaruhi agency untuk melakukan perubahan. Seperti terjadi di Garut, ulama melakukan gerakan politik sebagai upaya untuk merubah struktur sosial yang pada awalnya sangat mengekang dan mempengaruhi keberadaannya. 75
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
25
Penerapan pendekatan strukturistik ini bisa dilihat dari realitas di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Sebagai agency, ulama mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meminimalisir berbagai bentuk kemaksiatan yang terjadi di Garut dengan melakukan gerakan politik. Kekuatan ilmu, materi , jaringan ulama menjadi modal untuk melakukan perubahan di Garut. Sebagai contoh, dalam merespon berbagai bentuk kemaksiatan, ulama dengan yakin mengajukan solusi bahwa penerapan syari‘at Islam akan memberikan jawaban terhadap persoalan kemaksiatan, seperti prostitusi, judi, dan korupsi. Dalam kasus lain, ulama yang tergabung dalam MUI, KH Cecep Abdul Halim, dengan keyakinan dan keberaniannya berupaya melaporkan penyimpangan APBD yang dilakukan oleh anggota Dewan kepada Kejaksaan Tinggi. Dengan motivasi untuk merubah keadaan kondisi Garut ke arah yang lebih baik, para ulama dengan gigih memperjuangkan agar pelaku korupsi diberikan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dua lembaga pemerintahan di Garut, yaitu anggota Dewan dan Bupati Garut berhasil dijerat sesuai hukum yang berlaku pada kurun ini dan berupaya untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut. Dalam kenyataan, ulama mampu melakukan gerakan yang tidak hanya berorientasi pada aspek keagamaan, tetapi juga pada aspek politik. Perubahan struktur dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dapat menuntut ulama untuk melakukan enabling dalam tatanan masyarakat Garut. Hal ini dipahami bahwa upaya yang dilakukan oleh ulama merupakan hasil pemahamannya terhadap struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan syariat Islam dan gerakan anti korupsi merupakan upaya ulama dalam melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut pada kurun waktu 1998-2007. Untuk mendukung penerapan pola eksplanasi ini, keberadaan sebuah teori menjadi penting. Dalam penelitian ini, teori yang ingin digunakan yakni Collective Action81, yaitu teori yang digunakan untuk mencari kecenderungan umum atas cara-cara yang dilakukan orang untuk bertindak bersama dalam 81
Menurut Lloyd (1993), teori Tilly memenuhi persyaratan metodologi strukturis karena mengandung dua komponen: struktur sosial yang constraining dan agency yang enabling. Collective action ini disebabkan oleh pengaruh agency yang mampu mengajak orang lain menuruti apa yang dikehendakinya Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
26
rangka mengejar kepentingan bersama.82. Teori ini digunakan dengan harapan agar diperoleh hasil analisis yang tepat mengenai gerakan yang dilakukan Ulama di Garut 1998-2007. Mengingat suatu gerakan mereka memiliki kepentingan yang sama, maka ulama pun secara kolektif beraksi bersama. Terlebih karena memang seringkali hampir setiap gerakan dilakukan secara kolektif. 83 Di sinilah letak signifikansi penggunaan teori collective action dalam penelitian ini. Dalam
collective action, kepentingan bersama merupakan unsur
terpenting, bukan ideologi seperti dalam pendekatan individual dan pendekatan struktural. Orang bertindak bersama terjadi karena dua hal, yaitu (a) dorongan dari luar seperti dikemukakan dalam pendekatan struktural, dan (b) karena motivasi individu tertentu dalam masyarakat seperti dikemukakan dalam pendekatan individualis. Adapun Tilly memilih untuk mengkombinasikan keduanya, dengan demikian teori yang dibangun Tilly dapat digolongkan dalam teori strukturis yang digunakan dalam pendekatan (metodologi) strukturistik.84 Aksi kolektif85 terdiri atas lima komponen, yaitu common interest (kepentingan bersama), organization (organisasi), mobilization (mobilisasi), opportunity (kesempatan), dan collective action (aksi kolektif).86 Ulama dalam melakukan gerakannya di Garut didasarkan pada motivasi dirinya dan struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan Syari‘at Islam pada tahun 2002 dengan dibentuknya LP3SyI merupakan hasil pemahaman ulama dalam aspek politik yang menganggap bahwa tatanan masyarakat Garut akan berjalan dengan baik manakala syari‘at Islam ditegakkan. Pemahaman ini bisa diwujudkan seiring dengan perubahan struktur politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Orde Reformasi yang ditandai dengan kebebasan berekspresi memudahkan para ulama melakukan gerakan secara kolektif dalam mewujudkan 82
Op. cit. hal 5 Ibid, hal. 39 84 Lihat: Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 1978; Leirissa, R.Z. 2004. ‗Charles Tilly dan Studi Tentang Revolusi‘, Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, 6 (1):3-15 85 Menurut Bert Klandermans, yang dikutip oleh M. Iskandar menyebutkan bahwa ada tiga komponen yang saling mendukung dalam aksi kolektif, yaitu: rasa ketidakadilan, elemen identitas, dan faktor agensi. Lihat: Mohammad Iskandar, Op.cit. hal. 22 86 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 1978. 83
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
27
pemberlakuan Syari‘at Islam, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2002. Gerakan ini bisa dilakukan sesuai dengan tahapan yang disebutkan oleh Charles Tilly, yaitu pertama, adanya kepentingan bersama antara pihak ulama, masyarakat, dan birokrasi untuk melakukan pemberlakuan Syari‘at Islam. Kedua, Para ulama melakukan pembentukan organisasi, yaitu diawali dengan pembentukan KPSI dan diakhiri dengan pembentukan LP3SyI. Ketiga melakukan tahapan mobilisasi. Hal ini dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Keempat, perubahan struktur politik, otonomi daerah, dan harapan untuk menegakan syari‘at Islam, dijadikan peluang dan kesempatan bagi mewujudkan pemberlakuan Syar‘iat Islam di Garut. Kelima, Para ulama melakukan deklarasi pemberlakuan Syari‘at Islam. Berkaitan dengan teori aksi kolektifnya Tilly ini, keberadaan sebuah organisasi juga menjadi hal yang sangat penting. Mengenai hal ini, para ulama dalam melakukan gerakannya, menjadikan organisasi sebagai aspek penting. Di antara organisasi yang menjadi alat bagi para ulama dalam melakukan gerakan, adalah, MUI, KPSI, dan LP3SyI. Organisasi inilah yang akan mewarnai gerakan ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Berdasarkan ciri-ciri teori collective action dari Charles Tilly dan realitas di Garut pada kurun waktu 1998-2007, maka teori collective action dari Tilly cocok untuk dijadikan alat untuk mengungkap dinamika gerakan ulama di Garut. 1.9.Metode Penelitian dan Sumber yang digunakan Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian historis. Untuk itu tahaptahap yang ditempuh telah melalui empat langkah utama, yakni Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.87 Heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Dalam tahapan heuristik, penulis melakukan kegiatan mencari dan mengumpulkan sumber dan informasi, dan jejak-jejak masa lampau tentang segala macam mengenai pokok persoalan yang akan ditulis. Dari hasil pencarian dan pengumpulan sumber tersebut, ditemukan tiga macam sumber, yaitu sumber tertulis yang terdiri dari buku-buku, arsip-arsip, berita dalam surat kabar dan 87
Lihat: Louis Gottschlak. Mengerti Sejarah (terj). 1986. Mengenai tahapan sejarah ini, Helius Sjamsuddin (2007:17) , membagi kepada tiga tahapan, yaitu: Heuristik, Kritik, Historiografi, yang terdiri dari Interpretasi, Eksplanasi, dan Ekspose. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
28
majalah, serta karya tulis ilmiah lainnya. Kedua, sumber lisan yang merupakan wawancara dengan orang-orang yang menjadi saksi sejarah dan mengetahui permasalahan. Ketiga, sumber benda, terutama gambar-gambar atau foto-foto yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan sumber ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu pertama, studi kepustakaan di berbagai tempat, terutama di Jakarta, Bandung, dan Garut. Di Jakarta, yaitu: Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Di Bandung Perpustakaan Daerah Jawa Barat, Perpustakaan UIN SGD Bandung, Perpustakaan Pribadi Penulis. Di Garut, Perpustakaan Garut,
Perpustakaan MUI kabupaten Garut. Kedua, melakukan
wawancara dengan para ulama atau pelaku sejarah di Kabupaten Garut. Ketiga, kerja lapangan yaitu survey atau peninjauan ke lokasi penelitian di Kabupaten Garut. Dalam tahapan kritik dan interpretasi, penulis mengolah dan menguji sumber-sumber yang terkumpul secara bertahap melalui kritik extern (pengujian sumber bendanya) dan kritik intern ( pengujian isi sumbernya) untuk menentukan apakah informasi yang terkandung dalam sumber itu dapat dipercaya sebagai data sejarah atau tidak. Sumber-sumber yang telah dikritik dan dapat dipercaya diambil, dikumpulkan, dan disusun dalam kartu data. Selanjutnya data-data yang terkumpul ditafsirkan maknanya dalam konteks masalah yang sedang diteliti sehingga menghasilkan fakta sejarah yang diperlukan guna menyusun Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007. Fakta-fakta yang telah disusun secara sistematis itu, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan strukturistik dan bantuan dari ilmu – ilmu sosial yang erat hubungannya denga ilmu sejarah, terutama ilmu politik, sosiologi, dan antropologi. Dalam tahap historiografi, hasil analisis dari fakta-fakta itu kemudian penulis susun dalam bentuk penulisan disertasi sesuai dengan kerangka out line yang dibuat, serta sesuai pula dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Adapun kerangka out line ini bisa dilihat dalam sistematika penulisan.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
29
Adapun sumber-sumber pokok yang digunakan dalam penulisan ini antara lain berupa Arsip, yaitu: 1.
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2006;
2.
Laporan Pertanggungjawaban BAZIS Kabupaten Garut 2002-2005;
3.
Laporan Program Kegiatan Pengurus antar waktu MUI Kabupaten Garut Tahun 2002-2004;
4.
Perda Nomor 6 Tahun 2000 tentang Ketertiban Umum. Pemda TK. II Kab. Garut;
5.
Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Zakat, Infaq, dan Sodaqah;
6.
Kode Etik LP3SyI Kabupaten Garut;
7.
Pedoman Dasar LP3SyI Kabupaten Garut;
8.
Program Kerja LP3SyI Kabupaten Garut;
9.
Naskah Deklarasi LP3Syi Kabupaten Garut;
10. Berita Acara Serah Terima Naskah Deklarasi Penegakan Syari‘at Islam; 11. Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002; 12. Data Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Kependudukan Kabupaten Garut, Juli 2002; 13. Pernyataan Sikap Forum Silaturahmi Ormas Islam Se-Kabupaten Garut tentang Situasi dan Kondisi Pemerintahan Kabupaten Garut, 2 Juli 2007; 14. Pernyataan Bersama MUI Kecamatan Se Kabupaten Garut tentang APBD Gate, 12 Mei 2005; 15. Pernyataan Sikap Bersama Komponen Warga Masyarakat Garut Mengenai Indikasi Adanya Kejanggalan Anggaran DPRD dalam APBD Garut, 6 Oktober 2003; 16. Surat dari MUI ke Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Garut tentang Informasi Kejanggalan Anggaran untuk DPRD pada APBD Kabupaten Garut, Nomor: 81/MUI-Kab/IX/2003 tanggal 24 September 2003. 17. Tabel Jumlah Pemeluk Agama dikabupaten Garut tahun 2008; 18. Tabel Rekapitulasi Pemuka Agama Islam di Kabupaten Garut tahun 2008;
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
30
19. Tabel Perkembangan Pondok Pesantren di Kabupaten Garut dalam enam tahun terakhir. Laporan BAZIS Kabupaten Garut periode 2007/2008. 20. Tabel Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut (dalam 5 tahun terakhir). Rekomendasi Bahtsul Masail ―Mewujudkan APBD Garut yang Memihak Kepentingan Rakyat‖ Sumber bersifat Primer lainnya adalah surat kabar, antara lain: Bandung Pos, 12 Desember 1998; Detail Pos, 23 Desember 1998; Galamedia, 19 dan 23 April 1999; 11 September 1999; Priangan, 7-10 Juli 2001; Priangan, 24-26 Oktober 2001; Priangan, 9-12 Pebruari 2002; Priangan, 16-19 Pebruari 2002; Priangan, 2-5 Maret 2002; Priangan, 9 - 12 Juli 2002; Suara Rakyat Merdeka 5-12 April 2002; Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2003; Pikiran Rakyat, 26 September 2003; Republika, 25 September 2003; Pikiran Rakyat, 27 dan 30 September 2003; Republika, 8 Oktober 2003; Republika, 17 November 2003; Republika 31 Oktober 2003; Galamedia, 31 Oktober 2003; Bandung Pos, 7 Oktober 2003; Pikiran Rakyat, 17 Juni 2004; Pikiran Rakyat, 14 Juni 2004; Pikiran Rakyat, 19 Juni 2004; Kompas, 14 Desember 2004; Priangan, 15-17 Desember 2004; Priangan 6-9 November 2004;, Republika, 17 Mei 2005; Radar Tasikmalaya, 2 Juni 2005; Priangan, 8-10 Juni 2005; Priangan, 25-28 Juni 2005; Pikiran Rakyat, 19 Juli 2005; Priangan, 20-22 Juli 2005; Garoet Pos, 25-31 Juli 2005; Priangan, 10-12 Agustus 2005; Radar Tasikmalaya, 1 Maret 2005; Kompas, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat, 4 Maret 2006; Garoet Pos, 16-22 Oktober 2006; Selain sumber tertulis, sumber lisan menjadi sumber selanjutnya yang digunakan dalam penelitian disertasi ini. Penulis mewawancara dengan para ulama atau pelaku sejarah di kota Garut, antara lain; KH. Cecep Abdul Halim, Ketua MUI; Undang Hidayat, Sekretaris MUI; Giom Suwarsono, Wk. Ketua MUI ; Dede Satibi, Mantan Bupati Garut ; Yosep Djuanda, Sekjen LP3SyI; Mahdi Munawar, Ketua NU Garut; Asep Ahmad Hidayat, Pengurus LP3SyI; KH. Muhammad Al-Qudsi, Penggagas LP3SyI; Mahyar Suwara, Ketua KPSI; KH. Toto Tantowi Jauhari, Syuriah NU Garut; Saeful Azhar, Ulama Garut; Ikyan Sibaweh, Pimpinan Tarekat Tijaniyah Kabupaten Garut; Ustadz Aceng Zakaria, Pimpinan Ponpes Persis Rancabango; KH. Aceng Dadang ZA Pengurus MUI;; Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
31
Lukman Hakim, Mantan Ketua PMII Cabang Garut; H. Sofwy Irvan, Pimpinan Radio Rek; Deden Suherman, Mantan Kasatpol Pamong Pradja; Agus Koswara, , anggota DPRD Kab.Garut; Edi Surahman, PD Persis Garut; Asep Hermawan, Aktivis Muda NU; Iim Ibrahim, Mantan Kasi Penamas Depag Kab. Garut; Nurol Aen, Mantan Kandepag Garut; Ustadz Bunyamin, Lc, Pimpinan Pesantren Cipari; Yadi Janwari, Dosen STAIDA ; Rofik Azhar, (Pengurus MUI); Ustadz Sirojudin Pengurus MUI; Suherman, Mantan Camat Garut Kota; Abdul Muis, Pengurus Cabang Muhammadiyah Garut;. KH Agus Muhammad Sholeh, Pengurus MUI Kabupaten Garut, H. Sholeh, Pimpinan Pesantren Cipari.
1.10.
Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri dari lima bab. Bab I terdiri dari pendahuluan yang
menggambarkan tentang Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup Penelitian, Permasalahan Penelitian, Tujuan dan Manfaat penelitian, Kontribusi Penelitian, Kerangka Konseptual dan Pendekatan, Tinjauan Pustaka, Metodologi dan Teori, Metode Penelitian dan Sumber yang digunakan, serta Sistematika Penulisan. Bab II menguraikan mengenai Kondisi Objektif Kabupaten Garut 19982007. Dalam bab ini akan dijelaskan potensi kabupatan Garut dalam beberapa hal, seperti: Geografi, Penduduk, Sosial Budaya, Ekonomi, Pendidikan, Keagamaan, dan Politik. Uraian ini menjadi penting disebabkan bahwa aspek-aspek inilah yang mempengaruhi terhadap eksistensi ulama. Bab III menguraikan mengenai Posisi Ulama di Kabupaten Garut 1998-2007. Sebelum menguraikan pokok utama dalam disertasi ini, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai Keberadaan Ulama Garut pada Masa Orba dan Orde Reformasi. Sub bab ini sebagai dasar untuk melihat sejauhmana gerakan politik ulama mengalami pergeseran pada masa sesudahnya (1998-2007). Kemudian diuraikan pula Posisi dan Katagorisasi Ulama, Jaringan Ulama di Garut 1998-2007, meliputi Faktor Terjadinya Jaringan Ulama di Garut dan Pola dan Karakteristik Jaringan Ulama yang terjadi di Garut. Bab IV menguraikan Aksi Para Ulama di Garut 1998-2007, yang terdiri dari Penerapan Syari‘at Islam di Garut, meliputi Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Garut, Mobilisasi Penerapan Syari‘at Islam di Garut, Aktor Gerakan Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
32
Penerapan Syari‘at Islam di Garut, Dinamika Penerapan Syari‘at Islam di Garaut, Sosialisasi Penerapan Syari‘at Islam di Garut, dan Faktor Penyebab Ulama melakukan gerakan penerapan Syari‘at Islam. Kemudian Pemberantasan Korupsi di Garut, meliputi: Korupsi di Indonesia, Korupsi di Kabupaten Garut, Aktor Gerakan Anti Korupsi di Garut, Pro-Kontra Pemberantasan Korupsi di Garut, Faktor Penyebab Ulama melakukan gerakan anti Korupsi di Garut. Bagaian akhir adalah Dampak Gerakan Politik Ulama di Kabupaten Garut. Bab V berisi Simpulan, yang menguraikan tentang jawaban dari pertanyaan penelitian secara umum.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
33
BAB II KONDISI OBJEKTIF KABUPATEN GARUT 1998-2007 2.1.Kondisi Geografis Kabupaten Garut merupakan sebuah daerah agraris yang mempunyai kualitas tanah yang sangat subur dan cocok bagi pertanian. Kondisi tersebut mempengaruhi terhadap mata pencaharian penduduk yang kebanyakan bermata pencaharan bertani. Wilayah agraris ini dibuktikan dengan keadaan alam yang terdiri dari hamparan sawah yang berfungsi membatasi satu kampung dengan kampung lainnya. Hamparan sawah yang mewarnai kondisi alam daerah Garut merupakan sawah tadah hujan dan juga memanfaatkan konsep irigasi yang diambil dari aliran sungai Cimanuk yang melintasi pinggiran kota Garut. Kondisi sawah tersebut berfungsi untuk dijadikan sumber air bersih, yang nota bene sulit didapat di daerah Garut. Garut adalah sebuah kabupaten yang terletak di Priangan Timur Propinsi Jawa Barat, dengan luas areal kira-kira 306.519 ha. (3.065.19 km persegi) atau sebesar 6,94 % dari luas wilayah Jawa Barat. Kabupaten Garut terdiri dari 42 kecamatan dan 410 desa. Secara administratif masuk ke wilayah V Priangan. Posisi kabupaten ini, di barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung, di utara berbatasan dengan Kabupaten Sumedang, di sebelah Timur dengan Kabupaten Tasikmalaya dan selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.88 Kabupaten Garut merupakan wilayah yang beriklim tropis basah (humid tropical climate), yang berada pada ketinggian 717 m di bawah permukaan laut (dpl) dan dikelilingi oleh beberapa gunung, yaitu: Gunung Karacak (1.838 m), Gunung Cikuray (2.821 m), Gunung Papandayan (2.622 m), dan Gunung Guntur (2.249 m). Ketinggian tempat di Kabupaten Garut sangat bervariasi antara daerah yang rendah dan sejajar dengan permukaan laut dengan wilayah yang tinggi di puncak pegunungan. Wilayah yang berada pada ketinggian 500-1000 m dpl 88
Lihat: Laporan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2006; Lihat Peta Garut tahun 2003, yang direkompilasi tahun 2004.Lihat: www.garut.go.id Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
34
terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada ketinggian 100-1500 m dpl terdapat di kecamatan Cikajang, Pakenjeng, Pamulihan, Cisurupan, dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100500 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk.89 Sebagaimana wilayah lainnya, untuk melihat arah aliran sungainya, secara konseptual terbagi pada dua daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS utara yang bermuaran di Laut Jawa dan DAS selatan yang bermuara di Samudera Indonesi, yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan kedua tersebut terletak pada kondisinya. DAS selatan relatif pendek, sempit, dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran utara. Kondisi ini juga terjadi di Kabupaten Garut, yaitu sungai Cimanuk Bagian Utara sebagai DAS Utara, sedangkan sungai Cikaengan dan Cilaki sebagai DAS Selatan. Perlu dijelaskan pula bahwa sungai yang ada di wilayah Kabupaten Garut berjumlah 33 buah sungai dan 101 anak sungai dengan panjang sungai seluruhnya 1.397,34 Km.90 Berkaitan dengan kondisi geografis, banyak tokoh yang memandang penting suasana lingkungan suatu wilayah dan dapat mempengaruhi terhadap karakteristik warga yang menghuninya. Dalam hal ini, Geertz, ketika membandingkan dua wilayah yang berbeda antara Maroko dan Jawa berkesimpulan bahwa faktor lingkungan kedua wilayah tersebut berdampak pada pola hidup yang berbeda. Maroko sebagai wilayah padang pasir mempunyai pola hidup sosial yang ditandai oleh semangat kabilah atau tribalisme, sementara Jawa adalah sebuah negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Kata Geertz, “In Marocco civilization was built on nerve; in Indonesia, on deligence‖91 Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik juga berpendapat bahwa kondisi geografis akan mempengaruhi terhadap struktur dan perilaku politik. 89
Lihat: Laporan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2006. Lihat: www.garut.go.id Ibid. 91 Lihat Clifford Geertz, Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, ter. Hasan Basari (Jakarta: YIIS, 1982). 90
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
35
Melihat kondisi geografis tersebut di atas, keberadaan ulama di Kabupaten Garut dapat memanfaatkan wilayahnya dengan baik dalam melakukan perannya di masyarakat. Para ulama Garut dipandang sebagai orang yang memiliki tanah yang banyak dan mampu mengelolanya dengan baik. Oleh karena itu, ulama Garut sering disebut-sebut sebagai orang yang tidak kekurangan dalam bidang ekonomi, akibat dari luasnya tanah yang dimilikinya dan mampu dikelola dengan baik. Posisinya sebagai orang yang memiliki ekonomi yang baik, berpengaruh terhadap statusnya di masyarakat. Kharismatik merupakan salah satu karakter yang tertanam dalam diri seorang ulama. Kekharismatikan ini muncul dari dirinya berkat penguasaan terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan kedermawanannya kepada masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan ulama disegani oleh masyarakat. Sebagai contoh KH. Cecep Abdul Halim, adalah ulama yang disegani oleh masyarakat Garut karena keberadaan ilmu pengetahuannya dan ekonominya. Dalam perilaku kesehariannya, ia sangat memperhatikan masyarakatnya terutama masalah keagamaan dan kondisi sosial ekonominya. Bentuk perhatiannya, seperti memberikan
zakat,
membutuhkannya.
infak,
shadaqah
(ZIS)
kepada
masyarakat
yang
ZIS inilah yang menjadi perhatian penuh dari sosok KH.
Cecep Abdul Halim. Menurutnya, ZIS akan memberikan solusi terhadap persoalan umat (masyarakat) yang mengalami masalah ekonomi, seperti kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu, ZIS inilah yang diperjuangkan beliau di Kabupaten Garut hingga dikeluarkan sebuah Perda mengenai Zakat, Infaq dan Shodaqoh.92 2.2.Kondisi Penduduk Keberadaan penduduk Garut pun memberikan faktor terhadap perilaku politik ulama di Garut. Kondisi ini dapat dipahami dari pemahaman yang menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan di segala bidang senantiasa ditujukan bagi kepentingan masyarakat umum/penduduk. Oleh karena itu data kependudukan merupakan salah satu kunci dasar yang memegang peranan yang sangat penting dalam membuat kebijakan pembangunan. Dengan demikian data
92
KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
36
kependudukan yang akurat dan tepat waktu menempati urutan yang cukup penting. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Garut mengalami peningkatan. Jumlah penduduk Kabupaten Garut pada tahun 1980 berjumlah 1.483.035. Tahun 1990 bertambah menjadi 1.748.616. Tahun 1999 bertambah lagi menjadi 1.901.462 jiwa dengan komposisi pemeluk Islam sebesar 99.55%, 0,25% Kristen, dan pemeluk agama lainnya 0,20% yang terkonsentrasi di Kecamatan Garut Kota.93 Kemudian hasil sensus pada tahun 2002 tercatat penduduk Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.149.492 jiwa. Angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 1990-2000, rata-rata perkembangan sebesar hanya 1,66 persen hampir sama dengan masa perkembangan dekade sebelumnya yaitu kurun waktu 1980-1990.94 Sementara hasil sensus pada tahun 2007 tercatat penduduk Garut bertambah lagi mencapai jumlah 2.309.773 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.174.800 jiwa dan perempuan sebanyak 1.134.973 jiwa. Angka-angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Garut terus mengalami peningkatan. Selama kurun waktu 2004-2008, rata-rata perkembangan sebesar hanya 6,39 persen dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sedikit meningkat dari 1,41% pada tahun 2004 menjadi 1,53 % pada tahun 200895 Menurut analisis dari BPS Kabupaten Garut, pertumbuhan penduduk tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami dengan migrasi masuk, meskipun fertilisasi pada periode 2004-2008 cenderung menurun, yaitu sebesar 2,23% pada tahun 2004 menjadi 2,19% pada tahun 2005, kemudian menjadi 2,18% pada tahun 2006. 2,14% pada tahun 2007 dan diproyeksikan mencapai 2,11% pada tahun 2008. Dengan luas wilayah 3.065,19 km persegi,tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2008 diproyeksikan mencapai rata-rata sebesar 765,08 jiwa/km persegi mengalami peningkatan sebanyak 11 93
Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002. 94 Lihat: Laporan BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2002. 95 Lihat: BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2008 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
37
orang per km persegi atau sekitar 1,53% bila dibandungkan dengan tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2007 rata-rata sebesar 753,55 jiwa/km persegi. Sementara pada tahun 2006 tingkat kepadatan penduduk rata-rata 742,2 jiwa/km persegi, pada tahun 2005 mencapai sebesar 730,49 jiwa/km persegi, dan pada tahun 2004mencapai sebesar 730,49 jiwa/km persegi, atau selama periode tahun 2004-2008 tingkat kepadatan penduduk meningkat sebanyak 6,39%96 Kemudian bila dilihat jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan terakhir, berdasarkan data BPS Kabupaten Garut, sampai dengan tahun 2008 prosentase terbesar penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, adalah memiliki izasah SD/MI/sederajat sebanyak 39,83% sementara pada tahun 2007 sebanyak 40,04%, tahun 2006 sebanyak 39,93%, tahun 2005 sebanyak 40,24% dan tahun 2004 sebanyak 41,56%. Sedangkan yang memiliki
izasah
SLTP/MTs/sederajat pada tahun 2008 sebanyak 15,34%, tahun 2007 sebanyak 15,98%, tahun 2006 sebanyak 15,36%, tahun 2005 sebanyak 15,86% dan tahun 2004 sebanyak 12,65%. Penduduk yang mempunyai izasah SMU/MA/Sederajat pada tahun 2008 sebanyak 14,45%, tahun 2007 sebanyak 14,24%, tahun 2006 sebanyak 14,32%, tahun 2005 sebanyak 13,91% dan tahun 2004 sebanyak 6,73%. Untuk lulusan Perguruan Tinggi tingkat Diploma I/II sedikit meningkat dari 0,71% pada tahun 2004 menjadi 1,23% pada tahun 2008 dan untuk tingkat Diploma III/IV,S1,S2 dan S3 mengalami peningkatan dari 1,05% pada tahun 2004 menjadi 1,66% pada tahun 2008.97 Lebih jelasnya bisa dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 1 Prosentase Penduduk Menurut Ijazah yang dimiliki Tahun 2004-2008 Ijazah yang dimiliki
2004
2005
Tidak/Belum Bersekolah
2006
2007
2008
2,08
2,01
1,99
Tdk Punya Izasah
34,12 21,59 21,50 20,64 20,97
SD/MI/Sederajat
41,56 40,24 39,93 40,04 39,83
SLTP/MTs/Sederajat
12,65 15,86 15,36 15,98 15,34
96 97
Ibid Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
38
SMU/MA/Sederajat
6,73
13,91 14,32 14,24 14,45
Diploma I/II
0,71
0,76
1,01
1,10
1,23
Diploma III/IV, S1, S2, S3
1,05
3,72
1,53
1,67
1,66
Sumber: BPS Kabupaten Garut, Oktober 2008 Dari data di atas, bisa dipahami bahwa kondisi penduduk dilihat dari aspek pendidikan, Kabupaten Garut tidak cukup membanggakan. Akan tetapi kondisi penduduk seperti di atas, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam melakukan perubahan sosial di Kabupaten Garut. Data di atas dapat dijadikan pijakan bagi ulama untuk melakukan perubahan di masyarakat Garut. Ulama memahami data di atas, pendidikan tidak mendapat perhatian dari pihak pemerintah Kabupaten Garut. Oleh karena itu, ulama mempunyai tenaga untuk melakukan gerakan perubahan di Garut. Bila dilihat dari keberadaan para ulama yang terlibat dalam Gerakan politik di Kabupaten Garut, pendidikannya tidak jauh berbeda dari data-data di atas. Para ulama yang terlibat sangat sedikit yang memiliki ijazah sarjana. Namun menurut analisis penulis, kondisi ini tidak dapat mempengaruhi secara signifikan dalam melakukan gerakan politik. Faktor lain, seperti keyakinan keislaman, sosial, politik, dan budaya yang mengitari diri para ulama sangat mempengaruhi para ulama dalam melakukan gerakan politik. Lebih jelasnya akan dibahas dalam Bab IV. Menurut hasil penelitian Kunto Sofianto98, semenjak awal abad ke-20, di Garut sudah terdapat ragam penduduk yang datang dari tiga wilayah penting di dunia: Eropa, Cina, dan Timur Tengah (Arab/Pakistan). Penduduk Garut pada tahun 1915 berjumlah 15.000 orang. Lima belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1930, penduduk Garut berjumlah 33.612 orang, terdiri atas penduduk bumiputera 31.373 orang,
Eropa
454 orang, Cina 1.683 orang, dan timur
asingnya (Arab, India dan Jepang) 102 orang.
98
Kunto Sofianto. Garut Kota Intan. Sejarah Lokal Kota Garut sejak zaan Kolonial Belanda hingga Zaman Kemerdekaan. Jatinangor: Alqaprint. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
39
Keragaman etnis, seperti dijelaskan di atas, mewarnai kehidupan masyarakat Garut dari semenjak dahulu hingga sekarang. Keragaman tersebut mempengaruhi terhadap profesi yang ditekuni oleh masyarakat Garut. Dari mulai pertanian, industri, hingga berdagang. Profesi-profesi tersebut menunjukkan signifikansi keragaman etnis yang terjadi dengan variasi profesi penduduk Kabupaten Garut. Akan tetapi, Garut tetap didominasi oleh penduduk yang berasal dari etnis Sunda, yang mempunyai karakter agraris, yaitu mudah untuk melakukan adaptasi antara penduduk satu dengan penduduk lainnya. Karakter inilah yang mempengaruhi terhadap gerakan politik ulama di Garut. Ketika ulama melakukan penggalangan terhadap masyarakat Garut dalam melakukan aksi kolektifnya, ulama tidak menemukan kesulitan yang serius. Menurut peneliti, realitas ini disebabkan oleh karakter agraris yang dimiliki oleh masyarakat Garut. 2.3.Kondisi Sosial Budaya Kondisi Sosial Budaya yang terjadi di Garut pada kurun waktu 1998-2007, dijadikan pemicau bagi ulama dalam melakukan gerakan politiknya. Dalam hal ini, karakter seseorang di sebuah masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya yang berkembang. Kabupaten Garut yang dijelaskan di atas, mempunyai penduduk yang sangat beragam, terutama yang menghuni di wilayah perkotaan berimpilkasi pada pola hubungan yang terjadi di antara warga masyarakatnya. Tetapi keragaman ini diikat oleh nilai sosial budaya yang berkembang di Garut. Pola hubungan ini akan tampak pada peristiwa gerakan politik yang dilakukan oleh ulama di Garut dalam penerapan Syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi. Gerakan politik tersebut dihadapkan pada pola hubungan yang dinamis, mencerminkan pengaruh social budaya terhadap sikap dan perilaku para pelaku gerakan tersebut. Melihat keberagaman tersebut, pola hubungan antara penduduk yang terjadi di Kabupaten Garut dibedakan kepada pola hubungan yang sifatnya gotong royong dan individulaistik. Sifat individulaistik ini disebabkan oleh adanya warga yang mencari pekerjaan dan mengenyam pendidikan di wilayah perkotaan. Sehingga berdampak pada pola interaksi yang terjadi dan berbeda ketika warga
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
40
belum terkontaminasi oleh kultur perkotaan (modern). Kondisi ini berdampak kepada pergeseran tingkat solidaritas. Meminjam istilah Durkheim telah terjadi pergeseran dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Solidaritas mekanik yang memiliki struktur sosial yang hampir sama dan tidak adanya atau rendahnya pembagian kerja pada masyarakat. Sebaliknya, solidaritas organik memiliki struktur sosial yang berbeda dan pembagian kerja yang sangat spesifik. Akibatnya masyarakat yang awalnya homogen berubah menjadi heterogen, yang ditandai oleh melemahnya ikatan kelompok yang disebabkan oleh berkurangnya intensitas interaksi antar kelompok.99 Dalam hal lain, keberadaan penduduk di Kabupaten Garut dihadapkan terhadap pola hubungan yang terjadi di masyarakat. Secara teoritis, pola hubungan ini didasarkan pada status yang disandang oleh seorang individu ataupun kelompok. Strata ekonomi, pendidikan, agama, dan politik mempengaruhi terhadap pola hubungan di masyarakat Garut. Misalnya, ulama yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat disebabkan oleh keberadaan ekonomi dan ilmu pengetahuan keagamaannya. Pola hubungan ini dibingkai dalam dua bentuk, yaitu pola yang sifatnya individualistik dan kolektif. Keberadaan masyarakat Garut yang cenderung melakukan hubungan individualistik terjadi di daerah perkotaan, seperti ketika ada renacana untuk mendirikan mesjid, masyarakat perkotaan hanya bisa memberikan kontribusi berupa pendanaan saja tanpa melibatkan secara langsung dalam kegiatan tersebut. Sementara yang melakukan hubungan kolektif berada didaerah perdesaan, seperti pembangunan mesjid, ada keterlibatan langsung dari masyarakat, baik materi maupun tenaganya. Pola hubungan sosial ini, menurut pemahaman penulis masih mewarnai kehidupan di masyaraat Garut. Sebagai daerah yang mempunyai posisi startegis, Kabupaten Garut tidak terlepas
dari
pengaruh-pengaruh
nilai-nilai
luar
yang
masuk
hingga
mempengaruhi terhadap perilaku dan karakter masyarakat. Misalnya, nilai-nilai 99
Lihat: Emile Durkheim. 1964. The Rule of Sociological Method. New York: Free Press.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
41
kemajuan teknologi mempengaruhi masyarakat, baik yang positif maupun yang negatif. Dari aspek positif bisa dilihat dengan adanya kemajuan teknologi, masyarakat Garut melek terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Garut yang menggunakan teknologi informasi dalam melakukan pola hubungan sosialnya. Penggunaan telepon genggam (HP) sudah tidak lagi asing di masyarakat Garut dan digunakan untuk melakukan kebutuhan kehidupannya. Disamping itu, aspek negatif yang terjadi adalah banyaknya problem sosial dari waktu ke waktu, seperti prostitusi, perjudian, atau bentuk penyimpangan lainnya, seperti pencurian, penggelapan, dan pembunuhan. Menurut catatan dari BPS Kabupaten Garut, penduduk Kabupaten Garut yang menjadi narapidana setiap tahunnya selalu ada dengan adanya variasi jumlah. Pada tahun 1999 berjumlah 378 orang, tahun 2000 berjumlah 196 orang, pada tahun 2001 berjumlah 378 orang, pada tahun 2002 berjumlah 336 orang, tahun 2003 berjumlah 317 orang, tahun 2004 sebanyak 304, tahun 2005 sebanyak 353, tahun 2006 sebanyak 364, tahun 2008 sebanyak 503.100 Dari catatan BPS, para narapidana tersebut disebabkan oleh berbagai bentuk pelanggaran, seperti penyimpangan terhadap ketertiban umum, pemalsuan materai, asusila, pembunuhan, penganiayaan, pencurian, perampokan, pemerasan, penggelapan, penipuan, penadahan, narkoba, psikotorika, korupsi. Setiap tahun jumlah pelanggaran dalam berbagai katagori tersebut mengalami fluktuasi, ada yang bertambah dan ada juga yang berkurang. Pada tahun 2000 katagori kejahatan yang terbanyak adalah dari katagori pencurian sebanyak 778 kasus. Sementara kesusilaan dan pembunuhan masing-masing berjumlah 210 kasus dan 30 kasus. Pada tahun 2008, pencurian juga terbanyak dengan 295 kasus. Sementara kesusilaan sebanyak 12 kasus. Sementara kasus Korupsi terbanyak terjadi pada tahun 2006 sebanyak 39 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 26 kasus.101 Data lain yang berasal dari dinas sosial disebutkan, bahwa kejahatan yang berimplikasi 100 101
kepada
kerwawanan
sosial,
seperti:
prostitusi,
perjudian,
Lihat BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2003, 2004, 2005, 2006, 2008. Lihat BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2000, 2006, 2008. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
42
perampokan, kerusuhan, narkoba
mencapai rata-rata hanya 5% dari jumlah
penduduk Kabupaten Garut. Lebih lengkap data tersebut: anak terlantar ada 112.356 jiwa, anak jalanan 314, wanita rawan sosial ekonomi 25.094 orang, korban narkoba 62 orang, wanita tuna susila 79 orang, eks- narapidana 504 orang, gelandangan dan pengemis 309 orang. Jumlah anak jalanan dan bandar narkoba kebanyakan datang dari luar Garut Kota.102 Data tersebut mengalami dinamika dari tahun ke tahun. Menurut catatan Dinas Tenaga Kerja, Sosial, dan Transmigrasi Kabupaten Garut, permasalahan sosial yang terjadi mengalami fluktuasi. Lebih jelas dapat dilihat di bawah ini. Tabel 2: Jumlah Permasalahan Sosial di Kabupaten Garut Jenis Permasalahan Sosial
2006
2007
2008
2009
Generasi Muda Penyandang Masalah
0
0
0
0
Keluarga Penyandang Masalah Sosial
2.890
21.113
3.003
3.929
Anak Nakal
532
502
809
808
Lanjut Usia/Jompo/Terlantar
35.292
35.873
36.303
562
Keluarga Pahlawan Perintis
62
42
42
0
Wanita Rawan Sosial
31.567
31.550
39.705
18.493
Perumahan Tidak Layak Huni
73.480
73.418
56.935
90.276
Masyarakat Terasing
0
2.590
2.590
0
Anak Terlantar
61.532
86.666
45.629
45.656
Korban Narkotika
9.564
153
1.642
307
Penyandang Cacat
6.398
5.326
5.422
8.275
Bekas Penyandang Penyakit Kronis
998
1.000
1.000
0
Gelandangan Pengemis
272
262
262
435
Tuna Susila
158
193
99
269
Waria
0
4
4
0
Bekas Narapidana
226
220
345
325
Daerah Rawan Bencana
43.649
42.200
42.200
0
Korban Bencana Alam
8.772
8.300
6.234
0
102
Lihat Dinas Sosial Kabupaten Garut, Juli 2002. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
43
Fakir Miskin
503.955
631.475
369.731
236.931
Anak Balita Terlantar
0
0
23.412
22.294
Anak Jalanan
0
0
728
692
Korban Tindak Kekerasan
0
0
914
33
Pengemis
0
0
343
366
Gelandangan
0
0
56
69
Komunitas Adat Terpencil
0
0
166
103
Korban Bencana Alam Sosial
0
0
292
0
Pekerja Migran Bermasalah
0
0
80
369
HIV/AID
0
0
12
0
Keluarga Rentan
0
0
8.644
0
Sumber: Dinas Tenaga Kerja, Sosial, dan Transmigrasi Kabupaten Garut 2010 Data tersebut di atas, menunjukkan jumlah yang dinamis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya masuknya informasi dari luar mengenai merajalelanya masalah sosial dalam berbagai bentuk. Perkembangan ilmu teknologi memberikan andil dalam tumbuh suburnya berbagai permasalahan sosial. Prostitusi dan perjudian merupakan dua bentuk yang menjadi masalah sosial di Kabupaten Garut, hingga mendapat sorotan serius dari para ulam Garut. Prostitusi terjadi diberbagai tempat pariwisata, penginapan, dan hotel. Menurut amatan para ulama Garut yang bekerjasama dengan Satuan Polisi (SATPOL) Pamong Praja (PP), tempat-tempat yang biasa dijadikan kegiatan prostitusi, adalah: Pemandian Cipanas, Lapangan Golf Ngamplang, Lapangan Olah Raga Kerkhof, Alun-Alun Garut, Jalan Guntur, Pasar Guntur Garut.103 Tempat-tempat tersebut, selain digunakan untuk terjadinya prostitusi, juga dilakukan perjudian. Data mengenai permasalahan tersebut, dijadikan salah satu faktor bagi para ulama untuk melakukan gerakan dalam mengupayakan masyarakat Garut untuk dapat meminimalisir terlibat dalam bentuk kejahatan tersebut. Upaya para ulama untuk menerapkan syari‘at Islam merupakan bentuk solusi yang ditawarkan 103
Lihat: Foto lokasi tempat Prostitusi di Garut. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
44
kepada berbagai pihak, termasuk pemerintahan daerah. Keterlibatan ulama dalam penanggulangan masalah sosial tersebut, juga dilakukan dalam bentuk pemberantasan anti korupsi, yang dimulai pada tahun 2003 hingga 2007. 2.4.Kondisi Ekonomi Kehidupan ekonomi sebuah masyarakat menjadi standar bagi maju mundurnya tingkat kesejahteraan penduduknya. Begitu pula dengan yang terjadi di Kabupaten Garut. Tinggi rendahnya kesejahteraan masyarakat sangat bergantung seberapa jauh perubahan perekonomian yang terjadi. Selain itu, kondisi ekonomi menjadi standar bagi sikap dan perilaku masyarakat dalam melakukan perubahan. Dalam hal ini, ketika ulama melakukan perubahan di Kabupaten Garut bergantung kepada pemahamannya terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Peristiwa penerapan syari‘at Islam dan pemberantasan anti korupsi dipicu oleh perekonomian yang terjadi di Kabupaten Garut. Untuk melihat kondisi ekonomi Kabupaten Garut akan dijelaskan di bawah ini. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang diatur dalam peraturan pemerintah No 47 Tahun 1997, telah ditetapkan Kawasan Andalan dan Fungsi kota-kota secara nasional. Berdasarkan RTRWN, kabupaten Garut merupakan bagian dari Kawasan Andalan Priangan Timur bersama Kabupaten
Tasikmalaya,
Kabupaten
Ciamis
dan
Kota
Banjar,
yang
pengembangannya diarahkan pada pengembangan sektor unggulan yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan darat, kehutanan dan pariwisata. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan Kabupaten Garut turut dipengaruhi oleh kebijakan pengembangan Kawasan Andalan Priangan Timur. Dalam kebijakan pembangunan Kabupaten Garut, struktur ruang wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi 3 pusat pertumbuhan, yaitu: Pertama, Pusat Pertumbuhan Utara, merupakan pusat
industri
pengolahan
hasil
pertanian/perkebunan. Kedua, Pusat Pertumbuhan Tengah, sebagai pusat pemerintahan perdagangan dan jasa, pendidikan, dan industri pengolahan hasil
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
45
pertanian. Ketiga, Pusat Pertumbuhan Selatan, sebagai pusat pengembangan pariwisata dan konservasi.104 Kabupaten Garut mempunyai beberapa sektor yang memberikan devisa bagi pendapatan dan perekonomian masyarakatnya. Di antara sektor yang ada, sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap pendapatan Kabupaten Garut. Sektor ini menjadi andalan, hingga bisa menempati posisi kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung, sebagai sentra bisnis. Hal ini bisa dilihat bahwa mata pencaharian masyarakat Garut dari 1993 sampai pada tahun 2007 sebesar 31,45% bertumpu pada sektor pertanian dan dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun 2007 sebesar 48,36% paling tinggi bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sebagai bahan bandingan sektor pertanian Kabupaten Garut pada tahun 1998 memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 38,74%105. Dari data di atas, tampak bahwa pertanian mempengaruhi sangat besar terhadap perekonomian Kabupaten Garut, terutama dalam penyusunan Produk Domestik Regional Bruto. Implikasi lain adalah memberikan peluang bagi terserapnya tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan masyarakat. Tetapi, dari sudut analisis ekonomi, sebuah daerah yang bersandar pada sektor pertanian, menandakan masih rendahnya kualitas daerah tersebut. Kualitas ekonomi sebuah daerah sangat bergantung pada sektor lain, yaitu jasa dan industri untuk saat ini.106 Berdasarkan analisis di atas, di zaman globaisasi ini yang ditandai dengan maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran industri kecil dan jasa sangat besar sekali, sehingga dalam hal ini pembinaan dan pengembangan perlu untuk terus ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu, dalam perkembangannya usaha industri kecil ini selalu melibatkan berbagai aspek diantaranya bahan baku, permodalan/ investasi, mesin/alat berproduksi, tenaga kerja, manajemen, promosi dan pemasaran. 104
Lihat Laporan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2008; Lihat Profil Ekonomi Kabupaten Garut; Lihat Profil Investasi Kabupaten Garut; Lihat: www.garut.go.id. 105 Lihat BPS Kabupaten Garut dalam Angka Tahun 1998. 106 Eman Suherman dan Wahyudin,wawancara, 4 Pebruari 2013 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
46
Dalam sektor industri, beberapa produk unggulan termashur juga dihasilkan dari kabupaten Garut seperti industri pangan (dodol dan gula aren merah), industri sandang (kain sutra dan batik Garutan), industri kulit (penyamakan dan kerajinan kulit), industri kimia (minyak akar wangi dan minyak cengkeh) dan industri kerajinan umum (bulu mata).107 Sektor industri ini memberikan kontribusi terhadap PDRB tahun 2007 sebesar 6.90%, hampir sama dengan tahun 1998 berada di bawah 10 %.108 Untuk menggambarkan kinerja perkonomian suatu daerah bisa dilihat dari aspek lain, yaitu
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar
berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku ini untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat yang dipengaruhi oleh kenaikan harga dan produksi. Sementara PDRB atas dasar harga konstan, tingkat kesejahteraan masyarakat dipengaruhi oleh kenaikan produksi. Perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan Kabupaten Garut selama periode 1997-1998 menunjukka peningkatan, kecuali atas dasar harga konstan pada tahun 1998, mengalami penurunan akibat dari krisis moneter hingga mencapai -11,64%. Peningkatan pada kurun waktu ini bisa dilihat dari PDRB Kabupaten Garut atas dasar harga berlaku dari Rp. 3.269,61 miliar menjadi 4.780,34 miliar atau mengalami peningkatan 46,21%. Kemudian di masa setelah krisis, pada tahun 1999 mengalami peningkatan hingga Rp.5.219,48 miliar atau 9,19%. Tahun 2000 mengalami peningkatan hingga Rp.5.487,65 miliar atau12,04 %. Tahun 2001 mengalami peningkatan hingga Rp.6.593,52 miliar atau 12,76%, dan Tahun 2002 meningkat hingga Rp.7.466,95 miliar atau 13,25%.109 Peningkatan yang melonjak pada PDRB atas dasar harga berlaku selama periode krisis tidak menggambarkan peningkatan kinerja ekonomi secara riil karena masing-masing mengandung inflasi. Lebih jelasnya mengenai peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
107
Ibid Lihat BPS Kabupaten Garut dalam Angka Tahun 1998 109 Lihat BPS: Indikator Pembangunan Ekonomi Kabupaten Garut tahun 2002 108
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
47
Tabel 3: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Garut 1997-2002 PDRB (miliar)
Pertumbuhan (%)
Tahun
Berlaku
Konstan
1997
3.269,61
2.308,39
14,14
3,03
1998
4,780,34
2.039,65
46,21
-11,64
1999
5.219,48
2.091,12
9,19
2,52
2000
5.847,65
2.172,54
12,04
3,89
2001
6.593,52
2.246,77
12,76
3,42
2002
7.466,95
2.331,84
13,25
3,79
Berlaku
Konstan
Sumber: BPS Kabupaten Garut 2002 Dalam perkembangan selanjutnya, PDRB Kabupaten Garut mengalami kenaikan, terutama pada tahun 2006. Pada tahun 2005, PDRB perkapita masih mencapai Rp 5.137.426 (angka perbaikan), sementara pada tahun 2006 PDRB perkapita mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 14,17%, atau dari semula Rp. 6.117.609 di tahun 2005 menjadi Rp. 6.984.822 pada tahun 2006. Kendati demikian, peningkatan tersebut belum sepenuhnya dapat dipakai untuk menggambarkan peningkatan dari daya beli masyarakat. Karena pada PDRB per kapita yang dihitung atas dasar harga berlaku, selain masih terkandung inflasi yang sangat berpengaruh terhadap daya beli, juga karena pola distribusi dari pendapatan regional Kabupaten Garut tidak mutlak merata. Namun, pendapatan per kapita yang didekati oleh PDRB per Kapita dapat menggambarkan nilai produk yang dihasilkan di wilayah Garut per penduduk selama satu tahun. Atau dapat pula diartikan sebagai tingkat produktivitas penduduk di Kabupaten Garut yang juga dapat merefleksikan tingkat pendapatan per penduduk di Kabupaten Garut. Apabila dibandingkan dengan sasaran pencapaian tahun 2006 sebesar Rp. 6.663.848 miliar, maka pencapaian PDRB perkapita pada tahun 2006 melebihi sasaran sebesar Rp. 320.974 juta atau 4,82%. Baru pada tahun 2008, perekonomian Garut mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 20,360 milyar. Hal ini disebabkan oleh kenaikan barang/jasa yang terjadi di Kabupaten Garut.110 110
Lihat : BPS Kabupaten Garut Dalam Angka 2006; Lihat: www.garut.go.id Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
48
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Indikator ini di gunakan untuk menilai sampai seberapa jauh keberhasilan pembanguan suatu daerah dalam periode tertentu, maka indikator ini digunakan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan Kabupaten Garut. Apabila melihat data mengenai laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Garut ini, bisa tampak dengan jelas semenjak masa sebelum terjadinya krisis ekonomi, yang disebut dengan krisis moneter, bisa dikatakan berada dalam kondisi yang membaik, yaitu berkisar pada 6-7 persen. Sementara ketika krisis moneter, laju pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, yaitu -11,64 %. Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat di Kabupaten Garut mengalami penurunan disebabkan oleh laju inflasi yang lebih tinggi daripada peningkatan PDRB perkapita. Kondisi tersebut berbeda pada tahun 1999, bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami perubahan hingga mencapai walaupun krisis belum juga sembuh, pertumbuhan merangkak lagi mencapai, 2,52%.111 Tabel 4 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut Periode 1994-2002 Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi 1994
6,11 %
1995
7,03 %
1996
6,21 %
1997
3,03 %
1998
-11,64 %
1999
2,52 %
2000
3,89 %
2001
3,42 %
2002
3,79 %
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut 2002
111
Lihat BPS: Indikator Pembangunan Ekonomi Kabupaten Garut www.garut.go.id
tahun 2002;
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
49
Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten Garut sejak 2000-2002 sebesar 3,7%. Dengan laju pertumbuhan pada tahun 2000 sebesar 3,89%, tahun 2001 sebesar 3,42% dan tahun 2002 3,79%. Adanya kenaikan setiap tahun menunjukkan kinerja pemerintah Kabupaten Garut semakin meningkat.112 Kenaikan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Garut pada kurun waktu 2000-2002,
bisa
dilihat
Pertambangan&Penggalian,
dari
berbagai
Industri
sektor,
Pengolahan,
seperti Listrik,
Pertanian, Bangunan,
Perdagangan, Hotel, Restoran, Angkutan & Komunikasi, Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan, dan Jasa lainnya. Di antara sektor-sektor terdapat kondisi yang mengalami kenaikan setiap tahunnya, ada yang mengalami penurunan, ada yang mengalami fluktuatif. Sehingga dari keseluruhan sektor dari tahun ke tahunnya mengalami fluktuasi. Mengenai pertumbuhan ekonomi tiap sektor pada kurun waktu 2002-2002, bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 5: Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Garut 2000-2002 Sektor
LPE 2000
2001
2002
1. Pertanian
3,83
3,71
2,75
2. Pertambangan&Penggalian
0,37
0,78
1,69
3. Industri Pengolahan
1,68
3,96
3,99
4. Listrik, Gas & Air Bersih
5,43
3,66
3,66
5. Bangunan/Konstruksi
1,12
0,31
6,71
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran
4,57
3,45
4,78
7. Angkutan & Komunikasi
6,69
3,89
4,11
5,94
4,52
2,30
3,50
2,82
3,92
3,89
3,42
3,79
8.Keuanngan,
Persewaan
&
Jasa
Perusahaan 9. Jasa-Jasa PDRB Sumber: BPS Kabupaten Garut 2002
112
Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
50
Pada perkembangan selanjutnya, LPE Kabupaten Garut masih belum bisa dikatakan membaik. Jika diperhatikan berdasarkan skenario target yang telah ditetapkan dalam RPJM tahun 2006-2009, menunjukkan bahwa realisasi belum mencapai target. LPE kabupaten Garut pada tahun 2006 mencapai 4,11% atau mengalami penurunan sebesar 0,05% dibandingkan pada tahun 2005 sebesar 4,16% Pencapaian ini belum memenuhi sasaran untuk LPE pada tahun 2006 sebesar 4,21%. Meskipun angka penurunan relatif kecil, namun hal ini telah menunjukkan adanya penurunan kinerja pada beberapa sektor, meskipun di sektor perekonomian yang sangat dominan yaitu sektor pertanian dan perdagangan mampu tumbuh masing-masing sebesar 2,91% dan 5,73%.113 Sementara pada tahun 2007 mencapai 4,76% dan tahun 2008 mencapai 4,64%.114 Besarnya inflasi suatu daerah dapat digambarkan dengan perkembangan indeks harga implisit PDRB (perbandingan harga berlaku dengan harga konstan) setiap tahun dan Indeks Harga Konsumen (IHK). Inflasi menggambarkan besarnya perubahan harga barang dan jasa yang beredar di pasaran. Laju inflasi yang terjadi di Kabupaten Garut, dari tahun ke tahun mengalami dinamika, baik turun maupun baik. Dari data yang ada, yaitu pada tahun 2006 laju inflasi mengalami penurunan menjadi 11, 43% bila disbanding pada kondisi tahun 2005 yang mencapai 16,14%. Sementara kondisi inflasi yang mengalami penaikan bahkan bisa dikatakan lebih buruk dari tahun 2006, terjadi pada tahun 2005. Angka 16,14% menunjukkan kenaikan hampir 100%, dari kondisi tahun 2004, yang mencapai 8,47%. Menurut analisis dari BPS, naiknya inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga BBM, hingga mencapai 125% pada tahun 2005. Sebuah angka yang fantastis, yang mempengaruhi terhadap kenaikan harga pada sektor lain. Dari kondisi tersebut, ternyata tidak mempengaruhi angka secara signifikan terhadap daya beli masyarakat. Kebijakan pemerintah mengenai konpensasi kenaikan BBM sangat bermanfaat bagi bertahannya kondisi ekonomi masyarakat. Ini bisa dibuktikan, dari peningkatan penduduk miskin di Kabupaten 113
Lihat BPS, Indikator Pembangunan Ekonomi Kabupaten Garut tahun 2006; Lihat: www.garut.go.id. 114 Lihat BPS, Indikator Pembangunan Ekonomi Kabupaten Garut tahun 2007, 2008; Lihat: www.garut.go.id. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
51
Garut pada tahun 2006 masih relatif rendah jika dibandingkan dengan peningkatan penduduk miskin pada tingkat nasional.115 Dari kondisi ekonomi yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi Kabupatan Garut berada dalam kondisi yang cukup baik. Secara kasat mata, kondisi ekonomi ini sangat bertolak belakang dengan banyaknya terjadi kemaksiatan yang berlatarbelakang ekonomi, seperti prostitusi, pencurian, perjuadian, korupsi, dan sebagainya. Dalam realitas seperti ini, penulis berpendapat bahwa kondisi ekonomi yang dikatakan cukup baik tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap realitas kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut. Penulis memahami bahwa adanya berbagai kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut, disebabkan oleh faktor lain, seperti rendahnya perilaku mental. Oleh karena itu, dibutuhkan pembinaan mental yang sifatnya kontinyu dari unsur masyarakat, seperti pemerintah dan tokoh keagamaan (ulama). Adanya perda anti kemaksiatan no 6 tahun 2000 yang diperbaharui oleh perda no. 2 tahun 2008 merupakan bentuk kepedulian dari pihak pemerintah dalam rangka menyelesaikan problem kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut. Munculnya perda ini tidak lepas dari peran ulama yang selalu memberikan masukan kepada pihak pemerintah. Pemerintah dan Ulama bekerjasama untuk mengawasi pelaksanaan perda anti kemaksiatan ini. Lebih jelas mengenai implementasi perda ini akan dibahas pada Bab IV. 2.5.Kondisi Pendidikan Pendidikan merupakan kondisi yang penting dalam sebuah daerah, termasuk Kabupaten Garut. Kualitas sebuah Kabupaten bisa dilihat dari standar pendidikan yang berlangsung di daerah tersebut. Apabila kondisi pendidikannya memenuhi standar yang kurang maka secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa kabupaten tersebut mengalami problem sumber daya manusia. Sebaliknya, bila pendidikan di sebuah kabupaten berada dalam standar yang baik, maka kabupaten 115
Lihat Laporan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2006; Lihat: Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Garut ; Lihat Profil Ekonomi Kabupaten Garut; Lihat Profil Investasi Kabupaten Garut. Lihat Profil Kontemporer Kabupaten Garut; Lihat: garut.go.id Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
52
tersebut bisa dikatakan mempunyai kualitas dalam bidang sumber daya manusianya. Kondisi pendidikan di sebuah daerah, juga dipengaruhi oleh kondisi yang berada di tingkat nasional. Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Garut sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan di tingkat nasional. Untuk melihat karakter masyarakat Garut, aspek pendidikan dijadikan tolak ukur sejauhmana karakter masyarakat Garut yang terjadi. Garut sering dihadapkan kepada berbagai persoalan. Pada kurun waktu 1998-2007, ada dua peristiwa besar yang terjadi, yaitu penerapan syari‘at Islam dan gerakan anti korupsi. Dua peristiwa ini dipelopori oleh ulama sebagai salah satu komponen masyarakat. Keberhasilan ulama dalam melakukan gerakannya, menurut hemat peneliti sangat bergantung kepada kualitas pendidikan yang disandangnya. Oleh karena itu, mengetahui kondisi pendidikan di Kabupaten Garut, akan bisa dipahami sebarapa jauh pengaruh kondisi pendidikan ini terhadap gerakan politik ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007. Semenjak awal abad ke-20, masyarakat Garut dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, diperoleh dari berbagai sistem pendidikan, diantaranya adalah sistem pendidikan keagamaan. Pelajaran yang didapat berupa praktik-praktik
keagamaan
keseharaian,
seperti
membaca
al-Qur‘an,
melaksanakan shalat, menghapalkan do‘a-do‘a dan praktik keagamaan lainnya. Pelajaran tersebut diberikan dari mulai lingkungan keluarga, pengajian di mesjid, hingga belajar di pesantren. Menurut hasil penelitian Kunto Sofianto116, masyarakat Garut lebih banyak menyekolahkannya ke pesantren-pesantren daripada ke sekolah umum ini disebabkan oleh pandangannya terhadap sekolah umum yang sebagai sekolah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pandangan tersebut ternyata datang dari fatwanya ulama/kyai117. Pesantern ini merupakan sistem pendidikan keagamaan Islam yang menjadi ciri khas Kabupaten Garut. Masyarakat Garut banyak menyekolahkan ke 116
Kunto Sofianto, ―Kehidupan Masyarakat Kota Garut 1930-1965‖.1997. Tesis. UI. hal 92 Kepatuhan terhadap ulama ini disebabkan oleh perilaku ulama/kyai yang memberikan suri tauladan kepada masyarakat sebagai umatnya. Perilaku ulama/kyai ini, seperti ucapan, benarbenar diwujudkan dalam praktik keseharaian. Kyai/ulama merupkan symbol dari kepatuhan dan ketaatan terhadap ajaran Islam. Lihat:Zamakshary Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan HidupKiai. 1982. Jakarta: LP3ES. Hal. 19. 117
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
53
pesantren baik, yang ada di Garut maupun yang ada di luar Garut, seperti ke Tebu Ireng, salah satunya adalah pimpinan pesantren Suci, KH Muhammad Qudsi.118 Selain itu, pesantren Bangkalan Madura merupakan tempatnya ulama Garut menimba ilmu pengetahuan, seperti KH. Qurtubi, pimpinan pesantren Pangkalan Garut.119 Selain sekolah keagamaan, seperti pesantren, juga berkembang sekolah umum. Menurut Kunto Sofianto, sekolah pertama yang ada di Garut adalah Europeesche Lagere School (ELS) didirikan di dekat alun-alun pada tahun 1870, yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda.120 Pada tahun 1910 berdiri Christelijk Hollandsche Indlandsche Chineeshe School (CHICS) di Talun. Sementara sekolah yang didirikan oleh Bumiputera, yaitu Sekolah Kautamaan Istri, Madrasah Al-Hidayah, dan Badan Pengajaran dan Pendidikan Islamiyah.121 Kemudian berdiri sekolah yang berada dibawah naungan SI local pada tahun 1914, bernama madrasah sebagai usaha untuk memajukan umat Islam.122 Sering dengan perkembangan zaman, sistem pendidikan mengalami perubahan. Katagori sekolah agama dan umum masih terjadi pada kondisi sekarang. Masyarakat Garut, terus mengikuti pendidikan meskipun masih banyak yang tidak bisa menyekolahkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data BPS Kabupaten Garut, pada tahun 2000 prosentase terbesar penduduk berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, adalah memiliki izasah SD/MI/sederajat sebanyak 45,94%. Sedangkan yang memiliki ijazah SLTP/MTs/sederajat sebanyak
10,27%.
Penduduk
yang
mempunyai
izasah
SMU/MA/Sederajatsebanyak 28,28%. Untuk lulusan Perguruan tinggi hanya 1,50.123 Kondisi ini juga dapat terlihat dari data pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan di kabupaten Garut. Dari data yang ada, menunjukkan bahwa angkatan
118
KH. Muhammd Qudsi, wawancara, 2 Pebruari 2010. Ading Kusdiana, ―Jaringan Pesantren di Priangan 1800-1945. Disertasi Unpad. 120 Kunto Sifianto, Op.cit. hal 90 121 Ibid. hal: 89-95 122 Sulaeman Anggapradja. Sejarah Garut dari Masa ke Masa. 1978. Garut: Pemda Garut. Hal. 155. 123 Lihat BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2000. 119
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
54
terbanyak pencari kerja adalah lulusan SLTA ke bawah. Pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 5.385 orang dari total pencari kerja sebanyak 7.551 orang. Kemudian lulusan SLTP sebanyak 920 orang, baru kemudian sarjana sebanyak 707 orang, lalu lulusan SD sebanyak 321 orang. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6 Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di kantor Depnaker Kabupaten Garut Menurut Tingkat pendidikan dan Jenis Kelamin tahun 1999 Jenjang Banyak Pencari Kerja (Org) Jumlah Pendidikan SD
122
199
321
SLTP
402
518
920
SLTA
3.656
1.729
5.385
D1/AKTA 1
1
6
7
D2/AKTA 2
37
80
117
D3/AKTA 3
53
41
94
S1/SARJANA
447
260
707
JUMLAH
4.718
2.883
5.551
Sumber: Kantor Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Garut Tahun 1999 Dari data di atas, tampak bahwa kondisi pendidikan Kabupaten Garut, dari aspek kualitas Sumber Daya Manusia, berada dalam kondisi di bawah rata-rata. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menjadi standar bagi berkualitas tidaknya SDM yang ada di sebuah daerah. Ada tiga ukuran dalam mengukuran kualias SDM ini, melalui IPM, yaitu Indek Pendidikan, Kesehatan, dan Daya Beli. Dari laporan yang diungkapkan Bappeda Jawa Barat, IPM Jawa Barat tahun 1996 adalah 68,13 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan menjadi 64,71.124 Baik pada tahun 1996 maupun 1999, IPM Garut di bawah rata-rata. Tahun 1996 IPM Garut hanya 63,9 dan tahun 1999 hanya 61,7.125
124 125
Pikiran Rakyat, 11 September 2002. Dinas Pendidikan Kabupatan Garut tahun 1999 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
55
Sementara pada tahun 2002 IPM Kabupaten Garut mencapai 64,96 poin, sementara pada tahun 2003 mencapai 65,21 poin atau meningkat 0,25 poin. Sedangkan pada tahun 2004 dan 2005 mencapai 66,31 poin dan 67,03 poin, mengalami peningkatan 0,72 poin. Sementara tahun 2007 mencapai 69,99 poin dan pada tahun 2008 mencapai 70,78 poin hingga pada tahun 2008 IPM Kabupaten Garut berada pada level menengah atas menurut katagori UNDP.126 Kondisi capaian IPM tersebut, didukung oleh pencapaian Indeks pendidikan yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pencapaian indeks pendidikan ini dipengaruhi oleh pencapaian nilai rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Kondisi pendidikan yang dipaparkan di atas, menjadi pemicu bagi para ulama untuk melakukan perubahan. Ulama melakukan kajian terhadap anggaran yang dibuat dalam APBD Kabupaten Garut. Hasil kajian didapatkan bahwa anggaran pendiidkan yang tertuang dalam APBD Kabupaten Garut tahun 2003 sebesar 0,6 % (3.235.555.000,00) dari total anggaran. Data ini menjadi perhatian ulama untuk melakukan koreksi lebih lanjut mengenai penggunaan anggaran yang dibuat dan direalisasikan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Garut. 2.6.Kondisi Keagamaan Masyarakat Garut adalah masyarakat yang agamis, hal ini dibuktikan dengan jumlah penduduk keseluruhan yang beragama Islam dan banyaknya sarana peribadatan yang ada di setiap Kecamatan. Sebagai komunitas muslim, mereka memiliki tatanan hidup dan ugeran (norma) yang sudah termaktub dalam ajaran agama. Dus, selaku komunitas yang beragama, sudah barang tentu kehidupan mereka tidak terlepas dari sistem nilai yang sudah diatur didalamnya, sehingga segala kiprah mereka tidak terlepas dari kandungan yang sudah menjadi doktrin agama. Dalam hal ini, Geertz mengatakan bahwa agama merupakan sistem kebudayaan. Agama dijadikan pijakan bagi sistem nilai yang ada dalam suatu kebudayaan. Kontrol terhadap perilaku masyarakat dalam kehidupan merupakan bagian dari fungsi agama. 126
Lihat BPS Kabuapten Garut, Oktober 2008 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
56
Mengenai keberadaan agama, Peter L. Berger127 melukiskan bahwa agama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia. Agama memberikan makna pada kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan tentang kelanggengan hidup sesudah mati. Agama dapat menjadi sarana manusia untuk mengangkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan, mencari kemandirian spiritual. Begitu pula di masyarakat Garut agama dipahami sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam memahami ajaran agama Islam, selain dapat mempelajarinya melalui teks-teks yang ada dalam berbagai buku atau kitab, masyarakat Garut juga belajar dari para ulama yang dipandang sebagai tokoh agama yang mengetahui dan memahami ajaran keagamaan. Tidak hanya mempelajari aspek ritual dalam bidang keagamaan, juga dalam aspek lainnya, seperti sosial dan budaya. Bisa dikatakan, semua aspek kehidupan keberagamaan, masyarakat Garut menjadikan ulama sebagai tokoh yang dijadikan tempat bertanya. Sebagai contoh, ketika masyarakat akan mengadakan upacara perkawinan, ahli agama menjadi hal yang penting dan upacara yang berkaitan dengan aspek agama seperti khutbah nikah, bahkan akad nikah pun sering diberikan kepada tokoh agama meskipun petugas dari yang berwenang ada. Bahkan, untuk membangun rumahpun, ulama dijadikan tempat bertanya bagi masyarakat Garut, terutama yang tinggal di perdesaan. Sistem keyakinan yang berkembang di masyarakat Garut adalah ahlusunnah wal jamaah, suatu sistem keyakinan yang menjadikan madzhab Syafi‘i sebagai dasar untuk melakukan praktek keagamaan. Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan implementasi pemahaman keagamaan. Dari mulai praktek keagamaan seperti shalat, pengajian, ataupun bentuk pengalaman keagamaan lainnya. Hampir di setiap mesjid selalu dilakukan pengajian tiap minggu dengan jadwal yang berbeda-beda dan sudah menjadi tradisi untuk selalu melakukan upacara keagamaan yang berkaitan dengan perayaan hari besar Islam, seperti maulud nabi, isra mi‘raj, dan sebagainya.
127
Lihat: Peter L. Berger. 1969. The Social Reality of Religion, Faber. Hal. 268
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
57
Dalam perkembangannya, kehidupan keagamaan di masyarakat Garut diwarnai oleh perbedaan pemahaman. Munculnya perbedaan ini diawali dari pemimpin agamanya di setiap kampung. Pemahaman keagamaan yang diyakininya menjadi sesuatu hal yang sakral, sehingga ketika ada upaya penafsiran ajaran sesuai dengan kontekstualisasi zaman sering mendapat batu sandungan dari tokoh agama. Konsekuensinya, terjadi kehidupan agama yang disharmonis antara masyarakat pencetus perubahan dengan pemimpin agama yang masih berupaya untuk mempertahankan keyakinan lama. Misalnya, di masyarakat perdesaam masih ada pemahaman bahwa perkembangan teknologi tidak diperkenankan untuk digunakan dalam perilaku beragama, seperti azan dilarang memakai mic dan speaker. Hal ini masih berlaku di sebuah pesantren salafiyah yang ada di Kecamatan Bayongbong, yaitu pesantren Hidayatul Faizin. Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu kota santri yang terletak di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Hal ini antara lain disebabkan karena masyarakat Garut yang mayoritas Muslim dan terdapat banyak pesantren dan aktivitas keagamaan. Berdasarkan data yang ada di kabupaten Garut tahun 2008, jumlah pemeluk agama Islam di Kabupaten Garut sebesar 2.220.516 jiwa128 dari jumlah penduduk Garut 2.225.241 jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang.129 Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah dengan jumlah santri 127.999 orang.130 Adapun jumlah mesjid 4.297 buah, langgar 6.677 buah dan mushola 3.571 buah.131 Julukan kota santri ini disebutkan oleh Moeflich Hasbullah132, yang mengatakan bahwa:
128
Dari data di atas, bila diprosentasikan, umat Islam di Kabupaten Garut mencapi kurang lebih 99%. Angka ini tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu tahun 2004,2005,2006,2007, umat Islam Kabupaten Garut mencapai 99%. Lihat Tabel Jumlah Pemeluk Agama di kabupaten Garut tahun 2008. Lihat pula Tabel Jumlah Pemeluk Agama per Kecamatan Tahun 2007. 129 Lihat Tabel Rekapitulasi Pemuka Agama Islam di Kabupaten Garut tahun 2008. 130 Lihat Tabel Perkembangan Pondokn Pesantren di Kabupaten Garut dalam enam tahun terakhir. 131 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008. Lihat pula dalam tabel perkembangan Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut dalam Lima tahun terakhir. 132 Moeflich Hasbullah, ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004 hal 13 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
58
Di beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat yang umumnya dikenal sebagai kota-kota santri, dicirikan oleh mayoritas penduduk Muslim, banyaknya pesantren dan institusi-institusi pendidikan Islam serta kuatnya religiusitas kultur masyarakat, pengaruh modernisasi terutama westernisasi umumnya tidak terlalu kuat. Hal ini diantaranya dicirikan oleh tidak berkembangnya industri hiburan modern dan pusat-pusat kebudayaan pop seperti mall yang lengkap dan megah, bioskop, nite club, pub, kafe, karaoke, billiard, dan lain-lain. Di Garut, sarana hiburan tersebut selain tidak ada yang memadai apalagi megah untuk konsumsi masyarakat, beberapa bioskop misalnya bangkrut. Adapun nama-nama bioskop tersebut adalah Garut Theatre, Bioskop Cikuray, Bioskop Sumbersari. Oleh modernisasi, sentra-sentra hiburan masyarakat yang bersifat massal digeser menjadi individual ke rumah-rumah melalui televisi dan terutama VCD dan DVD. Selain Asia dan Yogya Department Store di Jalan Ahmad Yani dan Jalan Siliwangi (yang juga terhitung kecil untuk ukuran kota besar), mall dan pusat-pusat hiburan modern lainnya tidak ditemukan di Garut. Sebutan kota santri133 ini juga disebutkan dan dijadikan dasar oleh para ulama ketika memberikan alasannya terhadap tanggapan mengenai banyaknya institusi pendidikan Islam dan Pesantren di kota Garut. Di antara ulama yang pernah menyebutkannya adalah KH.Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, dan Undang Hidayat.134 Menurutnya, nuansa agamis di Garut ini memang terasa kental. Hampir di setiap wilayah Kabupaten Garut dengan mudah ditemui
133
Kota santri yang dimaksud dalam disertasi ini, hanya sebatas labeling yang diberikan kepada Kabupaten Garut. Labeling ini didasarkan pada hasil penelitian dan pendapat ulama seperti diungkapkan di atas, yang ciri-cirinya hanya sebatas realitas terhadap banyakanya lembaga keagamaan dan jumlah santri dan ulama di Kabupaten Garut. Ciri-ciri ini senada dengan yang diungkapkan oleh R.A. Kern, yang dikutip oleh Muhammad Iskandar, ketika menyebutkan tentang pribumi Cianjur sebagai masyarakat yang paling islami. Ciri-cirinya adalah, banyaknya pesantren, jumlah santri yang banyak, dan berkembangnya tarekat. Jadi labeling santri ini tidak dipahami sebagai sebuah masyarakat yang sudah bersikap dan berprilaku baik sesuai dengan norma agama dan norma lainnya. Paling tidak labeling kota santri ini mempengaruhi terhadap upaya para ulama dan tokoh agama lainnya dalam menyerukan kebenaran di dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dalam upayanya untuk menerapkan syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi. 134 KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
59
lembaga pendidikan Islam dengan beragam kegiatan,135 sehingga menjadikan Garut sebagai daerah yang disebut tempatnya santri sekaligus tempatnya ulama. Keadaan seperti itu menjadi hal yang signifikan dalam mempengaruhi gerakan dalam memunculkan kebijakan-kebijakan pemerintahan ataupun kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan potensi kedaerahan.136 Tabel 7 Jumlah Pemeluk Agama di Kabupaten Garut Agama Islam
Jumlah 2.220.516
Katholik
1.455
Protestan
1.788
Hindu
193
Budha
1.289
JUMLAH
2.225.241
Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2008 Tabel 8 Rekapitulasi Pemuka Agama yang tercatat di DEPAG Pemuka Agama
Jumlah
Ulama
2.335
Mubaligh
3.607
Khotib
6.017
Penyuluh Agama
22
Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut tahun 2008
135
Lembaga Islam ini seperti Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pesantren. 136 Di Garut, misalnya terjadi desakan dari para ulama untuk segera dibuatkannya Perda Anti Maksiat, Perda Wajib Belajar di Madrasah Diniyah, Perda Zakat, dll. Pada saat ini Peraturan Daerah yang berupaya mengimplementasikan formalisasi syari‘at Islam dengan menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat yang merupakan penajaman dari Perda No.6 tahun 2000. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
60
Tabel 9 Pondok Pesantren di Kabupaten Garut (dalam 6 tahun terakhir) Th-1 Th-2 Th-3 Th-4 Th-5 Th-6 Pondok Pesantren 406 528 575 518 779 988 Santri Laki-laki 28.768 34.668 33.444 34.550 57.263 64.586 Perempuan 19.918 30.396 31.379 30.865 53.260 63.413 Jumlah 49.175 65.064 64.823 65.415 110.523 127.999 Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut Pada tahun 2002 di Garut terdapat 108 Raudhatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (Mts), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942 Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren.137 Jumlah lembaga pendidikan Islam ini mungkin bukan yang terbesar dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Barat, tetapi dengan jumlah itu saja Garut sudah lama dikenal sebagai kota santri138 Nuansa religius ini bisa dilihat dalam semangat beragama yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, seperti menjalankan shalat tepat pada waktunya, mengucapkan salam ketika bertemu, memakai busana muslimah (jilbab). Perilaku ini masih dilakukan di lembaga keagamaan, seperti pesantren sekolah-sekolah berbasis agama. Sementara di dunia publik lainnya masih belum bisa dilaksanakan dengan sempurna sebagaimana di lembaga keagamaan. Perilaku berjilbab selain di lembaga keagamaan, juga dilakukan di tempat-tempat kerja di bawah naungan pemerintah daerah. Pemda mewajibkan bagi kaum wanita muslim
137
Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002. Ada beberapa pesantren yang dikatagorikan pesantren besar, diantaranya. Pesantren Al-Musadadiyah, Darul Arqam, Pesantren Persis di Bentar dan Rancabogo, Pesantren Keresek, Pesantren Cipari. 138 Sebagai bahan bandingan, selain Garut yang dikenal sebagai kota santri adalah Cianjur. Mayoritas penduduk Cianjur memeluk agama Islam (1.893.203 jiwa atau 98%) dan nonmuslim mencapai 2% dengan rincian sebagai berikut: (1) Kristen berjumlah 32.841 jiwa (1,7%); dan (2) Budha dan Hindu berjumlah 5.796 jiwa (0,3%). Sarana pendidikan keagamaan di Cianjur adalah 4.462 masjid jami, 13.850 mushala (langgar), dan 663 pondok pesantren. Di samping itu, di Cianjur juga terdapat 1.668 Taman Pendidikan Alquran (TPA), 473 Taman Kanak-kanak Alquran (TKA), 59 Raudhatul Athfal (RA), dan 4.099 Majlis Ta`lim. Sumberdaya manusia pengembang agama di Cianjur adalah ulama (4.169 orang), 4.046 da`i, 9.965 khatib jum`ah, dan 510 Penyuluh Penerangan Agama Islam. (Lihat Gerbang Marhamah: Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah, Rencana Strategis Muwujudkan Masyarakat Cianjur Sugih Mukti Tur Islami, (Cianjur: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam [LPPI], 2002), bab II, h. 5.) Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
61
untuk memakai jilbab ketika bekerja. Di tambah lagi dengan jumlah tempat beribadah yang mencapai 14.545, terdiri dari 4.297 masjid, 6.671 langgar, dan 3.571 mushalla.139 Tabel 10 Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut (dalam 5 tahun terakhir) Th-1 Th-2 Th-3 Th-4 Th-5 Masjid 3.992 4.128 4.187 4.117 4.297 Langgar 6.720 7.188 6.720 6.720 6.677 Mushola 3.528 3.069 3.528 3.439 3.571 Gereja 5 5 5 5 5 Vihara 1 1 1 1 1 Pura 0 0 0 0 0 Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut Selain dicirikan oleh perilaku di atas, kehidupan keagamaan masyarakat Garut yang disebut sebagai kota santri dapat dibuktikan lagi dari banyaknya jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut. Lembaga dakwah yang ada di Garut diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah (orwah), majelis ta‘lim, remaja mesjid, dan lembaga pendidikan alqur‘an.140 Dari data yang tersedia, tercatat bahwa jumlah orwah di Garut 364 buah, jumlah majelis ta‘lim ada 4.791 kelompok, jumlah remaja mesjid sebanyak 722. Jumlah lembaga pendidikan khusus al-Qur‘an dari mulai tingkat taman pendidikan (TP) sampai pondok pesantren (PP) berjumlah 430 lembaga dengan total murid keseluruhannya sebanyak 40.083 murid. Jumlah ini merupakan gabungan dari murid Taman Pendidikan al Qura‘an (TPQ) sebanyak 22.451, Taman Kanak-Kanak al Qur‘an (TKQ) sejumlah 11.304 dan santri pondok al Qur‘an (PPQ) sebanyak 6.327 orang.141 Dari data-data di atas, dapat dipahami bahwa kehidupan keberagamaan di Kabupaten Garut menunjukkan kepada kehidupan yang sangat tinggi, apabila 139
Tabel Keadaan Sarana Peribadatan di Kabupaten Garut (dalam 5 tahun terakhir) Moeflich Hasbullah, ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004 hal 23 141 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002. 140
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
62
dilihat dari banyaknya institusi keagamaan. Kemudian jumlah umat Islam yang hampir mencapai 100 persen merupakan potensi yang sangat kuat dalam upaya mengembangkan dakwah Islamiyah serta pengembangan institusi keagamaan. Tampaknya menguatnya kehidupan keberagamaan di kabupaten Garut disebabkan oleh pola jaringan yang dibangun oleh ulama melalui media pendidikan Islam, seperti pesantren. Hasil kajian Moeflich Hasbullah, kuatnya kehidupan social keagamaan yang terjadi di kabupaten Garut disebabkan adanya “the network of collective memory”, yaitu jaringan memori kolektif dengan masa lalu berupa hubungan psikologis yang berfungsi sebagai identitas kelompok masyarakat.142 Realitas inilah yang dijadikan oleh ulama dalam melakukan upaya menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, seperti prostitusi, perjudian, pencurian, dan korupsi. Nilai-nilai agama dijadikan pijakan dalam menyelesaikan berbagai problem sosial. Penerapan syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh ulama merupakan dua bentuk kepedulian ulama dalam melakukan penanaman nilai-nilai ajaran Islam di kehidupan sosial. 2.7.Kondisi Politik Perubahan Kondisi politik pada periode 1998-2007 di kabupaten Garut dihadapkan pada berbagai peristiwa yang memanas, yaitu berakhirnya bupati Garut peiode 1994-1999, Drs. H. Toharudin Gani. Perhelatan politik ini menjadikan pola hubungan yang tidak nyaman di level para petinggi pemda Garut. Hal ini dikarenakan para petinggi pemda Garut, yaitu bupati Drs. H. Toharudin Gani, Wakil Bupati Mamad Suryana, dan Sekretaris Daerah Iing Kosim maju mencalonkan diri sebagai bupati. Dari luar pemda Garut muncul nama Dede Satibi, yang masih menjabat Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, Letkol. Pol (sekarang AKBP) Dede Hidayat Jayalaksana, mantan Kapolres Garut. Dari kalangan DPRD nama H. Rukman yang ketua DPRD maju juga menjadi kandidat.143 Kompetisi politik bupati Garut ini terfokus kepada dua calon kuat, yaitu Dede Satibi dan Dede Hidayat Jayalaksana. Anggota DPRD Garut yang akan 142
Moeflich Hasbullah, op.cit. hal 24. Asep Ahmad Hidayat dan Rofik Azhar, wawancara, 7 Juli 2009
143
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
63
menentukan pilihannya menjadi terpecah. Kelompok aktivis, dan tokok-tokoh ulama terpecah pula. Ada yang berada dikubu Dede Jayalaksana dan ada di kubu Dede Satibi. Dede Jayalaksana sangat dikenal luas di Garut, karena selain pernah menjadi Kapolres Garut, perwira muda itu sebagai sosok santun dan lebih mengedepankan pola kemitraan dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Garut.144 Dede Hidayat Jayalaksana mendapat dukungan dari tokoh-tokoh aktivis, seperti Toni Munawar, Gunadi dan aktivis mahasiswa. Dari kalangan pengusaha ada H. Heri Sunardi yang menguasai perkebunan Condong. Sedangkan tokoh ulamanya ada KH. Uhom Hamdani, pemimpin pondok Pesantren Sarohan Bayongbong dan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara Dede Satibi mendapat dukungan dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45, Warga Indonesia Asal Garut (WI-ASGAR), Angkatan 66 dan tokoh ulama yang dimotori KH Abdul Halim, pemimpin pondok pesantren Al-Bayyinah dan salah satu putera dari ulama besar KH. Anwar Musadad.145 Kompetisi politik antara kubu Dede Satibi dan kubu Dede Jayalaksana diterpa Isu money politik yang menghembus ke kalangan anggota dewan. Akhirnya, kompetisi politik ini dimenangkan oleh Dede Satibi yang mengalahkan Dede Hidayat Jayalaksana. Kompetisi belum berakhir, kubu Dede Hidayat Jayalaksana tidak terima kekalahannya lalu menyandera seluruh Anggota DPRD sekaligus menguasai gedung wakil rakyat berhari-hari lamanya. Kemenangan Dede Satibi nyaris saja digagalkan, andaikan saja Dede Hidayat Jayalaksana tidak segera meyakinkan pendukungnya untuk menerima hasil kompetisi politik itu. Seorang tokoh ulama PPP sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Sarohan Bayongbong KH. Uhom Hamdani adalah yang paling kecewa atas kekalahan Dede Hidayat Jayalaksana.146 Gelombang aksi tandingan dari kubu Dede Satibi berdatangan ke gedung DPRD, yang sebelumnya dilakukan serangkaian pertemuan di komplek pesantren Al-Mussadadiyah. Dalam aksi tandingan dari kubu Dede Satibi, tampil KH. 144
Ibid Ibid 146 Ibid 145
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
64
Cecep Abdul Halim sebagai penyampai orasi dan mendesak DPRD Garut segera melantiknya karena sudah dinyatakan sebagai pemenang.147 Perubahan politik yang terjadi di era reformasi, dengan terpilihnya Dede Satibi sebagai Bupati Garut, banyak diharapkan akan memberikan nuansa baru bagi kemajuan bangsa ini. Hal ini disebabkan oleh kondisi politik pada masa sebelumnya. Masa Orde baru dipahami sebagai periode yang berhasil membungkam suara rakyat dalam memberikan pendapatnya. Pendapat yang muncul, dipahami hanya bersifat semu, sebuah kondisi yang tidak membuka ruang masyarakat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan nuraninya. Pola hubungan yang terjadi antara substruktur politik dalam sebuah sistem politik pada masa itu, hanya dibungkus oleh budaya patrimonial, yaitu sebuah perilaku yang hanya mementingkan kebahagiaan pada elit politik tertentu. Kehadiran masa reformasi merubah tatanan politik yang sangat signifikan. Kebijakan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah membuka peluang bagi pola hubungan antara pusat dan daerah, antara legislatif dan eksekutif. Dalam aspek kebebasan berpendapat pun dijamin di era reformasi ini. Kondisi ini membawa angin segar bagi setiap daerah baik kabupaten ataupun kota. Bagi struktur formal pemerintahan, daerah sudah tidak lagi berada dalam tekanan pusat yang senantiasa melakukan intervensi dalam setiap aspek kehidupan. Setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pihak daerah senantiasa harus mendapat restu dari pusat. Pada era reformasi, kebijakan daerah mendapat otonomi penuh utnuk mengatur wilayahnya sendiri. Pola hubungan antara legislatif dan eksekutif pun bersifat setara. Berbeda dengan sebelumnya, bahwa posisi legislatif hanya sebagai pelaksana dari keinginan pihak eksekutif. Kesajajaran ini membuka ruang untuk munculnya aspirasi masyarakat yang kian terbuka. Wakil rakyat yang ada di legislatif diharapkan akan sepenuhnya menyeruakan apa keinginan dari rakyat secara keseluruhan.DPRD Kabupaten Garut berfungsi sesuai dengan fungsinya yang ada dalam Undang-Undang. Dari aspek komponen masyarakat di luar struktur formal pun mengalami perubahan yang signifikan. Keberanian berpendapat muncul dari lapisan 147
Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
65
masyarakat di luar birokrasi ini. Misalnya menyuarakan penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut, koreksi para ulama terhadap peran menyimpang yang dilakukan oleh kalangan eksekutif dan legislatif, seperti penyelewengan anggaran. Harapan tersebut, seiring dengan berjalannya waktu, ternyata dihadapkan pada sejumlah problem. Salah satunya adalah mengenai posisi legislatif dan eksekutif yang kebablasan. Aturan main yang telah tercantum di dalam UndangUndang, ternyata tidak dipahami dengan baik oleh pihak legislatif dan eksekutif. Akhirnya sejumlah pelanggaran terhadap konstitusi dilakukan oleh kedua lembaga ini. Misalnya, dalam menganggarkan pendapatan belanja daerah, yang seharusnya menitikberakan pada kepentingan kesejahteraan masyarakat, ternyata keluar dari rambu-rambu hukum yang tertera dalam Undang-undang. Konsekuensinya terjadilah kasus APBD Gate di DPRD Kabupaten Garut. Hal itu pun terjadi pada level eksekutif, pada kurun waktu 2004-2007, telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh bupati Garut. Penyalahgunaan APBD, penyelewengan bantuan dana dari Provinsi serta gratifikasi dari pemenang proyek adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pihak eksekutif. Kondisi inilah yang membuat gerah masyarakat Garut. Dengan adanya kebebasan berekspresi bagi setiap komponen masyarakat, dimanfaatkan oleh masyarakat Garut, salah satunya umat Islam (ulama). Ulama melakukan aksi moral dan politik untuk mengkritisi pelanggaran yang dilakukan oleh dua lembaga pemerintahan tersebut di atas. Dengan maksud menegakan keadilan dan meningkatkan kesejhteraan masyarakat, ulama melakukan serangkan aksinya, dari mulai melaporkan perilaku dewan dan bupati hingga mengawalnya sampai ada keputusan politik dan hukum terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dan etika jabatan. Di lain pihak, munculnya kebebasan berekspresi di era reformasi, juga dimanfaatkan oleh umat islam untuk melakukan upaya penciptaan masyarakat yang religius. Kondisi sosial masyarakat Garut di era reformasi sudah banyak keluar dari nomra-norma agama, sosial, dan budaya setempat. Pelacuran, perjudian, perampokan mewarnai arena kehidupan di alam reformasi yang penuh Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
66
dengan kebebasan. Kondisi demikian membuat gerah sekelompok umat islam yang peduli terhadap moral masyarakat Garut. Ulama bersatu padu dibawah organisasi keagamaan, semisal MUI dan Dewan Imamah, untuk menyuarakan kepada pihak pemerintah agar supaya ada solusi terhadap kondisi masyarakat Garut yang sudah keluar dari koridor keagamaan dan sosial budaya. Padahal, Garut dipandang sebagai wilayah santri yang noatbene banyak pesantren sebagai lembaga untuk memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakatnya. Kebulatan tekad di kalangan ulama Garut dengan cara memberi masukan kepada pihak pemerintah, akhirnya pada tanggal 15 Maret 2002 terjadi deklarasi penerapan Syari‘at Islam sebagai bentuk untuk memberikan solusi terhadap moral warga Garut yang sudah menyimpang dari norma agama, sosial, dan budaya. Realitas politik pada periode 1998-2007 dihadapkan pada berbagai peristiwa yang memanas. Dari mulai keinginan penetapan syari‘at Islam, gerakan anti korupsi, pemilihan umum legislatif hingga pemilihan umum kepala daerah mewarnai suasana yang memanas bagi kondisi politik Garut periode tersebut. Khusus dalam Pilkada Kabupaten Garut, pola yang dilakukan masih pada sistem perwakilan. Kepala Daerah dipilih langsung oleh seluruh anggota DPRD. Kenyataan terjadi, perilaku menyimpang seperti money politics mewarnai pemilihan pilkada kabupaten Garut periode 2004-2007. Terpilihnya Agus Supriadi diwarnai dengan berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan harapan era reformasi. Penghianatan para pemegang suara dengan calon yang ada terjadi, hal ini diakibatkan oleh perilaku politik yang menitikberatkan pada prinsip serba uang. Sebelumnya, pemilihan umum pada periode 1998-2007 berlangsung selama dua kali yang berjalan dengan dinamis. Pada periode pertama 1999-2004 dan periode kedua 2004-2009. Sistem pemilihan umum yang diberlakukan oleh Undang-Undang mewarnai dinamika politik di kabupaten Garut. Pada periode 1999-2004, yang memenangkan pemilihan umum adalah Partai Golkar dengan mendapatkan 11 jatah kursi. Pada pemilu ini, yang menjadi kursi di DPRD berjumlah 7 Fraksi. Sementara pada pemilu 2004-2009 juga dimenangkan oleh
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
67
Partai Golkar dengan meraih 14 kursi Pada pemilu ini, yang mendapatkan jatah kursi di legislatif adalah 6 Fraksi. Selengkapnya dilihat dalam table di bawah ini: Tabel 11 Jumlah Anggota DPRD 1999-2004 Menurut Fraksi Dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin No Fraksi DPRD Jumlah Laki-laki Perempuan 1.
Partai GOLKAR
10
1
11
2.
PPP
8
1
9
3.
PDI. P
6
1
7
4.
Gabungan
7
-
7
5.
PKB
5
-
5
6.
PKP
1
-
1
7.
TNI
5
-
5
42
3
45
Jumlah
Sumber : Sekretariat DPRD Kabupaten Garut Tabel 12 Jumlah Anggota DPRD 2004-2009 Menurut Fraksi Dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin No Fraksi DPRD Jumlah Laki-laki Perempuan 1.
Partai GOLKAR
13
1
14
2.
PPP
9
-
9
3.
PDI. P
6
-
6
4.
Gabungan
5
-
5
5.
PKB
6
-
6
6.
PKP
-
-
-
7.
TNI
-
-
-
8
PKS
5
-
5
44
1
45
Jumlah
Sumber : Sekretariat DPRD Kabupaten Garut
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
68
BAB III POSISI ULAMA DI GARUT 1998-2007 Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai posisi ulama di Kabupaten Garut. Penjelasan mengenai posisi ulama ini menjadi penting, karena untuk memahami gerakan politik ulama di Garut keberadaan ulama sangat strategis. Artinya, ulama dalam melakukan perannya di dalam kehidupan masyarakat sangat bergantung kepada posisi yang disandangnya di masyarakat tersebut. Dalam pandangan ilmu sosial, seseorang dapat memerankan dirinya dipengaruhi oleh status dirinya di masyarakat, termasuk ulama di Garut. Dalam bab ini akan tampak perbedaan ulama dalam melakukan gerakannya di masyarakat, terutama keberadaan ulama pada masa Orde Baru dan Reformasi. Selain itu, dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai katagorisasi ulama. Pembahasan ini penting dikarenakan bahwa ulama melakukan gerakan di Garut ditentukan oleh sifat dan karakter yang dimilikinya. Sifat dan karakter inilah yang menjadi awal adanya katagorisasi ulama. Kemudian, jaringan yang dibentuk oleh ulama pun menjadi penting untuk melihat keberhasilan ulama dalam melakukan gerakan politik di Kabupaten Garut. 3.1.Keberadaan Ulama pada Masa Orba dan Reformasi Keberadaan ulama di masyarakat sangat penting dan strategis, karena perannya yang bisa mempengaruhi terhadap perilaku individu maupun kelompok. Hal ini bisa dilihat dari perannya dalam bidang keagamaan. Hampir dalam setiap masa dalam periodisasi sejarah bangsa ini, posisi ulama sangat penting dalam memerankan dirinya, terutama dalam aspek keagamaan. Perannya dalam bidang keagamaan ini, sudah disinyalir dalam ajaran Islam,148 bahwa ulama mempunyai kedudukan dan tugas yang sangat mulia dalam melakukan pembinaan umat, baik dalam lingkup lokal maupun nasional. Tugas ulama tersebut adalah memberikan pencerahan kepada segenap manusia dalam berbagai aspek. Kedudukannya sebagai pewaris para nabi, ulama bertugas untuk melakukan „amar ma‟ruf nahi munkar. Tugas tersebut bisa dilihat dalam melakukan pendidikan di bidang 148
Allah berfirman: ―Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama‖. (Q.S. Fatir: 28) Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
69
keagamaan bahkan aspek lainnya, seperti ekonomi dan politik. Kemudian melakukan pengawasan terhadap masyarakat, memberikan solusi terhadap sejumlah masalah yang dihadapi, hingga menjadi agen bagi perubahan sosial,149 sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Garut. Semua tugas itu, senantiasa dilakukan oleh ulama dengan jalur yang berbeda dalam setiap masa.150 Dalam melakukan tugas tersebut, ulama didukung oleh basis dukungan yang kuat di masyarakat. Basis dukungan ini tiada lain
implikasi dari
keberadaannya sebagai pemimpin umat yang berwibawa dan kharismatis151. Kekharismatikan ulama ini menjadi modal bagi posisinya dalam melakukan mediasi di masyarakat, terutama dalam melakukan stabilitas bagi keberadaan bangsa dan negara. Misalnya, ulama melakukan mediasi antara Negara dengan masyarakat dalam bidang kebijakan Keluarga Berencana, yang dipahami oleh sebagian umat Islam bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai mediator, ulama mampu meyakinkan masyarakat bahwa Keluarga Berencana tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, ulama pun mampu meyakinkan masyarakat mengenai ideologi Pancasila. Bagi umat Islam yang fundamentalis, keberadaan pancasila sebagai ideologi Negara dipahami sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Realitas tersebut, ternyata ulama mampu memberikan penjelasan kepada umat bahwa pancasila merupakan ideologi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keberhasilan ulama memberikan keyakinan kepada umat, tidak lepas dari sikapnya yang hanya berorientasi untuk kemaslahatan umat, tanpa pretensi atau kepentingan pribadinya. Ulama melakukan perannya dengan didorong oleh kualitas dirinya yang jauh dari sikap yang pamrih. Ini disebabkan oleh 149
Lihat: Maskuri Abdillah dalam bukunya berjudul Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi 1966-1993. Mengenai tugas ulama ini, Clifford Geertz (1960) berpendapat bahwa ulama (kyai) mempunyai fungsi sebagai cultural broker atau penghubung budaya. Hiroko Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran ulama (kyai) tidak sekadar sebagai penghubung budaya, tetapi sebagai mediator sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. 150 Para ulama Garut dalam memerankan tugasnya disesuaikan dengan posisi dan medianya masing-masing. Ada yang menggunakan media politik, media hukum, tasawuf, dan lain-lain. 151 Mohammad Iskandar dalam bukunya berjudul Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, menyebutkan bahwa kharisma kyai (ulama) bersumber dari kemampuannya mengaktualisasikan ajaran agama ke dalam kehidupan sehari-hari dan kemampuannya menjawab persoalan atau tuntutan masyarakat dan zaman. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
70
keberadaannya yang didukung oleh kondisi ekonomi yang sangat kuat. Selain itu, seperti diungkapkan di atas, kharisma ulama mempunyai daya tarik tersendiri bagi umat dalam melakukan pelayanannya di masyarakat (khodimul ummah). Dalam
melakukan
tugasnya
di
masyarakat,
ulama
tidak
hanya
mengandalkan kepada aspek kualitas individu semata, organisasi sebagai media melakukan jaringan atau komunikasi dengan masyarakat sangat dibutuhkan. Pentingnya organisasi ini merupakan latar dibentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai media penghimpun ulama dalam melakukan perannya di masyarakat.152 Keberdaan MUI ini menjadi efektif bagi ulama dalam melakukan kiprahnya di masyarakat. Meskipun pada perkembangan selanjutnya, MUI dijadikan alat bagi pemerintah untuk melakukan interaksi dengan umat Islam, terutama dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Selain MUI, ulama pun membentuk organisasi-organisasi yang sifatnya berdasarkan pada pemahaman keagamaan dan kepentingan lokal, seperti Badan Koordinasi umat Islam (BKUI) dan Dewan Imamah yang dibentuk oleh ulama Garut berdasarkan kepentingan lokal Kabupaten Garut. Keberadaan ulama yang mempunyai tugas-tugas keagamaan dan kemasyarakatan tersebut di atas, juga terjadi bagi ulama yang ada di Kabupaten Garut. Ulama dalam melakukan perannya, didukung oleh ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat. Masyarakat Garut sebagai masyarakat yang agamis, sangat dekat dengan ulama, yang menjadi panutan bagi segenap warganya, sebagai sosok yang dihormati dan dikagumi. Kharisma dan kedalaman pengetahuan keagamaan ulama tetap menjadi modal 152
Lahirnya Majelis Ulama Indonesia pada akhir tahun 1975, berawal dari gagasan Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali yang didasrkan pada dua alasan. Pertama, berdirinya lembaga keagamaan lain pada tahun 1975 sudah terjadi di Indonesia, seperti Dewan Gereja Indonesia (DGI), MAWI, Walubi dan PHDI. Sementara umat Islam belum memiliki lembaga keagamaan yang mandiri lepas dari kepentingan dari lembaga yang sudah ada seperti Departemen Agama dan Partai Politik. Kedua, konsekuensi dari alasan pertama, umat Islam mengalami kebuntuan ketika melakukan dialog keagamaan antara lembaga keagamaan yang ada, termasuk yang ada di bawah partai politik tertentu. Lihat: ―Amanat Presiden Republik Indonesia pada Pembukaan Munas I MUI tanggal 21 Juli 1975 di Istana Negara‖, dalam Husein Segaf dkk., Ulama dan Pembangunan. Jakarta. 1976.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
71
awal bagi ulama dalam merebut simpatik umat. Kondisi inilah menjadi sumber kekuatan bagi masyarakat untuk menghormatinya bahkan dijadikan panutan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Kemampuannya dalam melakukan perubahan di masyarakat dapat dilihat dari berbagai pembabakan sejarah bangsa ini. Ulama mempunyai peran yang strategis dan begitu penting bagi kelahiran dan perkembangan bangsa Indonesia. Sehingga keberadaanya menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan terutama pengambil kebijakan, yakni pemerintah. Keberadaannya dalam perjuangan nasional tersebut, juga terjadi ditataran wilayah lokal, termasuk Garut. Garut mempunyai latar sejarah politik dan budaya yang kental nuansa ke-Islamannya dan di daerah ini juga memiliki beberapa gerakan yang melibatkan ulama. Hal itu bisa dilihat dari gerakan ulama yang muncul di daerah ini, baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa kemerdekaan hingga pasca Orde Baru. Pada setiap masa, ulama dalam melakukan gerakannya sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pihak penguasa. Misalnya, pada masa awal Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan politik bagi keberadaan umat Islam (ulama). Depolitisasi dan deidiologisasi merupakan dua kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Depolitisasi merupakan kebijakan yang melarang umat Islam (ulama) terjun atau berkiprah di dalam dunia politik, baik secara individu maupun kolektif. Sementara
deideologisasi adalah kebijakan yang melarang umat Islam untuk
memperjuangkan Islam sebagai ideologi gerakan, baik yang ada dalam partai politik maupun organisasi massa. Mengenai pelarangan ideologi ini, pemerintah membuat UU No. 3 tahun 1985 mengenai penyeragaman asas bagi partai politik dan organisai massa. Dua kebijakan inilah yang mempengaruhi posisi ulama di Indonesia, termasuk di Kabupaten Garut, dalam melakukan perannya di masyarakat. Ulama hanya bisa memerankan posisinya dalam bidang keagamaan saja. Pada zaman Orde Baru, dikatakan oleh seorang ulama Garut, Undang Hidayat, ruang gerak
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
72
ulama pada saat itu senantiasa mengalami keterbatasan.153 Ekspresi gerakangerakannya sangat terhambat oleh kenyataan struktur sosial yang mengitarinya. Para ulama Garut hanya bisa mengekspresikan gerakannya pada lingkup terbatas, itu pun selalu mengalami pengawasan dari pihak aparat pemerintah. Pada zaman Orde Baru ruang ekspresi yang terjadi menimbulkan kegelisahan masyarakat atas berbagai persoalan sosial keagamaan yang menggumpal dan tak menemukan penyelesainnya. Ketika suara ulama yang menyuarakan dengan keras, selalu ada stempel subversif. Apalagi bila memberikan kritikan terhadap birokrasi atau pemerintahan daerah. Keberadaan institusi ulama pun, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI),diupayakan sebagai institusi yang berusaha untuk memberikan legalitas terhadap berbagai kebijakan pemerintah, terutama berkaitan dengan sosial keagamaan. Misalnya dalam kasus kebijakan Keluarga Berencana, ideologi Pancasila, lotre SDSB. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi tanggungjawab para ulama yang terhimpun dalam MUI untuk melakukan legalisasi terhadap masyarakat, termasuk di Kabupaten Garut.154 Realitas inilah yang pada halaman sebelumnya, penulis menyebut bahwa pada perkembangan selanjutnya MUI hanya dijadikan alat bagi pemerintah untuk memenuhi kepentingannya. Kondisi tersebut menjadi latar ulama dalam melakukan perannya di masyarakat hanya sebatas aspek keagamaan semata. Sudah menjadi skenario dari pemerintah Orde Baru, bahwa dalam melanggengkan kekuasaannya, ulama yang mempunyai posisi strategis di masyarakat, diupayakan untuk dibatasi ruang geraknya, dengan berbagai kebijakan politik, seperti diungkap di atas. Tentunya, kiprah ulama yang sudah digariskan dalam ajaran Islam, sebagai pewaris nabi, tidak bisa dilakukan secara maksimal oleh ulama. Tugas ulama dalam bidang keagamaan dan aspek lainnya seakan tidak bisa sejalan secara sinergis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini terjadi bagi para ulama yang terhimpun dalam MUI, bahkan juga ulama-ulama yang ada di pesantrenpesantren. Meskipun, masih ada ulama yang mampu mensinergikan perannya dalam melakukan pembinaan di masyarakat tanpa adanya publikasi secara 153
Senada dengan Undang Hidayat adalah KH Cececp Abdul Halim dan Giom Suwarsono, wawancara, 2 Maret 2009 154 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
73
terbuka. Pola ini dilakukan untuk menjaga dari sikap kerasnya pemerintah dalam memberikan sanksi kepada ulama yang berkiprah di luar koridor keagamaan. Apabila pola ini tidak dilakukan maka akan mengganggu terhadap perjuangan ulama di masyarakat. 155 Sebagai contoh, ketika ulama melakukan gerakan yang berorientasi politik, pihak pemerintah senantiasa merespon dengan keras dan berusaha untuk menghalanginya. Ketika menjelang pemilu,156 banyak para ulama mulai aktif dalam kegiatan politik praktis, seperti menjadi pengurus partai, dewan penasihat organisasi, atau sebagai kader partai yang berfungsi memobilisasi dukungan suara pemilih. Kenyataan ini, ditentang oleh pihak pemerintah daerah dan berusaha untuk mengembalikan posisi ulama pada jalur dasarnya, yaitu berorientasi pada aspek keagamaan. Misalnya yang terjadi pada KH Saeful Azhar dan H. Giom Suwarsono ketika melaksanakan pengajian. Materi yang disampaikannya tidak hanya menitikberatkan pada nuansa keagamaan yang bersifat ubudiyah semata tetapi evaluasi atau kritik terhadaap pemerintah sering dilontarkan dalam dakwahnya hingga pengawasan dari pihak intel pun selalu mengiringi kegiatan dakwahnya dan akhirnya dua orang ulama tersebut ditangkap karena dituduh sudah melakukan subversif
157
Sikap pemerintah ini dilakukan agar tidak terjadi perlawanan politik dari ulama yang akan mengganggu stabilitas politik pemerintah. Dikerangkengnya umat Islam melalui pembatasan ruang gerak ulama dalam dunia politik merupakan senjata paling ampuh bagi pemerintah untuk senantiasa mendominasi kehidupan politik. Hal ini terbukti dari hasil pemilihan umum, partai pemerintah (Golongan Karya) senantiasa mendapat hasil yang signifikan. Sebuah ironi di mana Garut yang nota bene kota santri, namun partai Islam tidak pernah menang di kandangnya itu sendiri. Setiap kali Pemilu, hampir bisa dipastikan Golkar menang. Dari data yang diperoleh, setiap diselenggarakannya pemilihan umum, 155
Kedudukuan sebagai pewrais para nabi ini, dipahami bahwa ulama bukan hanya mampu dan mempunyai tugas dalam bidang keagamaan semata, tetapi aspek politik pun , ulama mempunyai kemampauan. Muhammad selain sebagai pemimpin agama juga ikut terlibat dalam kegiatan politik. 156 Hampir setiap pemilu yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru. 157 KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 6 Juli 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
74
Golkar sebagai partainya pemerintah selalu menjadi pemenang. Misalnya, pada pemilu 1992, Golkar mendapatkan 22 kursi di DPRD, mengalahkan PPP dan PDI yang masing-masing mendapat suara 7 dan 3 kursi. Kondisi tersebut terus terjadi hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru, yaitu pada tahun 1997. Pada tahun ini, kursi yang diperebutkan di DPRD Kabupaten Garut sebanyak 36 kursi, Golkar masih menduduki peringkat pertama dengan meraih 24 kursi disusul oleh PPP dengan 11 kursi, dan PDI dengan 1 kursi.158 Oleh karena itu, kedudukan Bupati pada zaman Orde Baru yang selalu merupakan kepanjangan tangan dari Golkar dan Soeharto, sangat kuat dan berkuasa penuh. Oleh karena itu, kiprah ulama yang terjadi di Kabupaten Garut pada masa Orde Baru hanya tampak dalam peran keagamaan. Ulama dijadikan sebagai komponen yang hanya bisa berperan sebagai penyampai risalah keagamaan. Tanpa bisa berperan dalam wilayah lain. Secara formal, ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, mempunyai peran sebagai petugas keagamaan dalam kegiatan formal yang dilakukan oleh pemerintah daerah, misalnya ulama bertugas sebagai pembaca do‘a dalam kegiatan ritual keagamaan yang diselenggarakan oleh pemda.159 Sementara bagi ulama yang tidak mengatasnamakan lembaga formal seperti MUI, peran yang dilakukannya adalah melakukan pembinaan umat melalui media dakwah, baik yang ada di pesantren, majelis ta‘lim, maupun dalam media lainnya. Ulama melakukan tablig atau menyampaikan ceramahceramah keagamaan di masyarakat. Ulama memposisikan dirinya sebagai mubaligh. Tentunya, kepiawaian dalam melakukan dakwah atau komunikasi menjadi modal bagi ulama untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Tanpa kemampuan komunikasi yang handal bisa jadi pesan yang akan disampaikan tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan penguasaan retorika dakwah, para ulama di Kabupaten Garut 160 mendapat
158 159
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut KH. Cecep Abdul Halim, KH. Saeful Azhar, KH. Endang Yusuf Lc., wawancara, 7 Juli
2009. 160
Ulama tersebut, diantaranya, KH. Cecep Abdul Halim, KH. Tanthowi Djauhari, KH. Saeful Azhar, KH Yosef Juanda, KH. Endang Yusuf Lc. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
75
respon yang bagus dari masyarakat. Bentuk respon positifnya bisa dilihat perhatiannya dalam berbagai momen pengajian yang begitu banyak. Selain melakukan tabligh secara terbuka kepada masyarakat di berbagai daerah, para ulama Garut pun memanfaatkan media pesantren untuk melakukan dakwahnya di masyarakat. Para ulama yang ada di pesantren ini 161 melakukan pembinaan melalui pengajaran keagaamaan yang sudah di rancang sebelumnya. Ulama menjadi guru mengaji, baik dari aspek syari‘at muamalah, aqidah maupun akhlak. Yang menarik dari pola pengajaran yang dilakukan oleh ulama ini adalah tanpa adanya sikap pamrih untuk mendapatkan penghasilan. Ini disebabkan bahwa kondisi ekonomi ulama yang sudah mencukupi. Ulama mempunyai lahan pertanian yang cukup luas bahkan aspek lain seperti usaha pendidikan pun dimilikinya. Dari sikap tanpa pamrih inilah tampak sikap yang ikhlas sehingga mempengaruhi terhadap kualitas pembelajaran yang dimiliki oleh setiap santri atau masyarakat. Maksudnya, apa yang disampaikan oleh para ulama benar-benar menjadi pijakan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupannya. Dasar agama menjadi pijakan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi di masyarakat. Selain dari modal yang dimiliki oleh ulama dalam mengembangkan dakwah Islamiyah, bantuan yang sifatnya swadaya pun mengalir dari masyarakat yang mempunyai kepedulaian terhadap pembinaan masyarakat dalam bidang keagamaan. Misalnya, masyarakat memberikan hartanya dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqah. Bagi masyarakat yang tidak memberikan hartanya, bentuk dorongan yang disampaikan adalah dengan memberikan tenaga dan moril ketika ada program yang dilakukan oleh ulama. Berbagai bentuk dan dorongan dari masyarakat tersebut memudahkan para ulama dalam melakukan tugasnya
161
Untuk menyebut ulama tersebut, diantaranya ulama yang mempunyai basis pesantren, seperti: KH. Toto Tantowi Jauhari dan KH. Cecep Abdul Halim (pimpinan pesantren AlMusadadiyah), KH. Bunyamin (Pimpinan Pesantren Cipari) Ustadz Aceng Zakaria (pimpinan pesantren Persis Rancabango), KH. Ulumuddin Banani (Pimpinan Pesantren Al-Huda). Empat pesantren ini bisa dikatagorikan sebagai pesantren yang besar dan mempunyai nilai historis dalam perjuangan ulama di Kabupaten Garut.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
76
sebagai penyampai risalah kenabian. 162 Beragam bentuk dukungan tersebut dapat dilihat ketika para ulama dalam meyerukan untuk membangun sarana prasarana, seperti mesjid. Tidak dapat dipungkiri, selama masa Orde Baru, masih ada ulama yang melakukan dakwah Islamiyahnya bergantung pada dukungan dari pihak pemerintah, baik berupa materil maupun immaterial. Kondisi ini mempengaruhi terhadap tugas dakwahnya di masyarakat. Paling tidak, sumbangan yang diberikan oleh pemerintah menjadikan ulama kurang bebas dalam melakukan proses dakwahnya. Sehingga katagori ulama ini sering hanya mampu menyampaikan ajaran
Islam
yang
tidak
bersinggungan
dengan
kebijakan
pemerintah.
Kemandirian pun menjadi problem tersendiri bagi katagori ulama ini. Oleh karena itu, kualitas pengajaran yang disampaikan kepada masyarakat pun sangat berbeda dengan peran ulama yang disebutkan sebelumnya. Terutama, ada pengaruh psikologis terhadap masayarakat dalam melakukan aktivitasnya di masyarakat. Kemandirian dan kebebasan masyarakat merasa terganggu dengan posisi ulama yang kecenderungan berpihak terhadap pemerintah. Pola
ulama
dalam
melakukan
pembinaan
kepada
masyarakat,
menyebabkan perilaku masyarakat Garut menjadikan nilai ajaran Islam sebagai pijakan bahkan ulama dijadikan tempat bertanya yang berkaitan dengan kehidupan. Sebagai contoh, masyarakat berusaha untuk selalu melibatkan ulama dalam melakukan kegiatan, seperti pembuatan rumah, diawali dengan konsultasi terlebih dahulu dengan ulama; ketika akan melakukan perayaan, semisal perkawinan ataupun syukuran, ulama dijadikan orang yang dimintai pendapatnya. Kondisi ini terjadi pada masyarakat yang berada di wilayah pedesaan, Hal ini tidak terlepas dari peranan para ulama melalui lembaga pendidikan pesantren sebagai basis kehidupan para ulama. Dari kenyataan di atas, bisa dipahami bahwa program dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh ulama tidak hanya sebatas dalam bidang mental spiritual semata, tetapi aspek lain seperti keahliannya dalam bidang ilmu falaq
162
Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 6 Juli 2009. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
77
pun menjadi kemampuan bagi para ulama di Kabupaten Garut. 163 Selain itu, ulama pun memfokuskan pada aspek infrastruktur yang akan mendukung terhadap pola dakwahnya. Ulama menjadi pelopor dalam pembangunan sebuah mesjid. Ulama menjadi penggerak yang berdiri di garis terdepan dengan memberikan penerangan kepada masyarakat tentang pentingnya sebuah mesjid. Ulama pula yang memotivasi masyarakat untuk berderma atau bersedekah demi selesainya sebuah mesjid. 164 Seiring dengan perubahan struktur politik di negara Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi, berpengaruh ke berbagai daerah Kabupaten/Kota termasuk Kabupaten Garut. Perubahan ini mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru mengalami perubahan. Misalnya kebijakan depolitisasi bagi umat Islam (ulama) sudah berubah dengan bebasnya ulama dalam melakukan kiprahnya di masyarakat tidak dibatasi oleh kebijakan tersebut. Kebijakan ideologisasi pun tidak berlaku lagi dengan dibolehkannya partai politik Islam dan Ormas Islam menjadikan Islam sebagai asas perjuangannya. Misalnyaa PPP dan PKS berasakan Islam. Organisasi massa Nahadahtul Ulama, Muhammdiyah, dan Persis juga berasaskan Islam. Oleh karena itu perubahan tatanan sosial politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi tersebut, gerakan ulama di Garut mengalami pergeseran. Peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur sosial membawa harapan bagi berbagai komponen, salah satunya ulama. Ulama Garut merespon dengan baik adanya peralihan tersebut. Gerakan yang diharapkan dipahami akan mendatangkan perubahan. Keterkungkungan ruang ekspresi selama pada zaman Orde Baru diharapkan segera terbuka. Harapan dan keterbukaan pada Orde Reformasi ini membawa harapan baru bagi strategi, pola dan karakteristik, serta sasaran gerakan yang akan dilakukan oleh para ulama Garut.165
163
Ulama yang mempunyai keahlian dalam bidang ini, diantaranya: Ustadz Yusak (ulama dari Muhammadiyah), Ustadz Iqbal Santosa ( Persis), dan KH. Badruzaman (Nahdhatul Ulama). 164 Asep Ahmad Hidayat dan Rofik Azhar wawancara, 7 Juli 2009. 165 KH. Cecep Abdul Halim , Undang Hidayat, dan Giom Suwarsono, wawancara, 2 Maret 2009. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
78
Peralihan tatanan ini,
ternyata dapat merubah watak dan paradigma
gerakan ulama. Ulama (kyai) yang pada awalnya bergerak di jalur keagamaan, pemberdayaan umat, serta kultural, yang dalam bahasa Clifford Geertz disebut cultural broker (penghubung budaya)166, sudah mengalami perubahan. Gerakan ulama pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Pada kurun waktu 1998-2007, terlihat ulama di Garut melakukan gerakannya, selain pada aspek keagamaan, juga berorientasi pada asepk ekonomi, politik, dan hukum. Lebih lanjut akan diuraikan bagaimana dalam aspek ekonomi, seperti ulama Garut melakukan gerakan sadar zakat, mendirikan Baitul Maal wat Tamwiil (BMT). Kemudian dalam aspek politik, ulama Garut berusaha mereposisi dirinya dalam melakukan hubungan dengan umara. Dalam aspek hukum, bagaimana ulama mengkritisi pelaksanaan APBD kabupaten Garut. Fokus gerakan ulama ini diawali dengan gerakan poltik berupa memberi masukan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah. Kebijakan ini direalisasikan dalam dalam bentuk Peraturan daerah (Perda). Dalam melakukan gerakan, ulama Garut berprinsip pada landasan etikteologis167 yang ada di dalam ajaran Islam. Berdasarkan pada landasan ini, upaya awal yang dilakukan oleh para ulama Garut dalam menyikapi perubahan kekuasaan adalah melakukan koordinasi umat Islam agar tidak terjadi perpecahan di antara umat Islam itu sendiri. Pada tahun 1998, dibentuklah sebuah badan yang 166
Geertz berpendapat bahwa ulama hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, sementara dalam bidang poltik,kemampuan ulama kurang bahkan ulama cenderung tidak concern dalam bidang politik. Mengenai hal ini, penulis kurang sependapat bahwa ulama hanya mempunyai kemampuan dalam bidang keagamaan semata. Menurut penulis, ulama pun mampu bahkan concern pada aspek politik. Terlihat bagaimana gerakan ulama di Garut berupaya untuk terjun pada dunia politik bahkan ekonomi dan hukum. Selain pendapat di atas, Geertz berpendapat bahwa peran ulama sebagai cultural broker menjadikan posisi ulama menjadi besar dan kharismatik. Pendapat ini mendapat tanggapan dari para ahli, seperti halnya yang dikemukakan oleh Mohammad Iskandar. Beliau mengungkapkan bahwa besarnya posisi ulama tidak hanya ditentukan oleh perannya sebagai cultural broker, tetapi ulama yang sudah naik haji, mempunyai pesantren dengan puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri menjadikan ulama meraih posisi yang besar. Lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 hal. 24. Menurut saya, besarnya posisi ulama, selain diungkapkan oleh Geertz dan Mohammad Iskandar, juga ditentukan oleh pengakuannya dari masyarakat dimana ulama itu berada. Realitas ulama Garut menjadi besar pada kurun waktu 1998-2007 ditentukan oleh respon masyarakat yang tinggi terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh ulama pada kurun itu. 167 Sebuah landasan moral yang berorientasi pada pencapaian nilai-nilai ilahiah seperti terwujudnya masyarakat religius yang mengedepankan norna-norma ajaran Islam. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
79
beorientasi pada proses pengintegrasian umat Islam. Badan itu bernama Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) Kabupaten Garut. Menjelang dibentuknya BKUI168, kondisi sosial keagamaan di Garut mengalami kedinamisan. Hal ini disebabkan dari adanya perubahan tatanan sosial politik yang mempengaruhi kondisi Garut pasca agenda demokrasi, yaitu pemilihan Bupati yang diwarnai oleh berbagai kepentingan politik yang mempengaruhi terhadap timbulnya perbedaan di antara umat Islam. Para ulama yang tergabung dalam wadah Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut, salah satunya Cecep Abdul Halim, melakukan upaya yang mengarah pada pengintegrasian umat Islam. Upaya ini mendapat dukungan dari Bupati Garut, Dede Satibi. Upaya ini dilakukan secara formal dengan pembentukan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) Kabupaten Garut. Pendirian BKUI ini sangat efektif bagi para ulama dalam melakukan gerakan keagamaan di masyarakat Garut.169 Salah satu gerakan ulama yang berkaitan dengan BKUI, adalah mengkoordinasikan umat Islam Garut ketika terjadinya konflik kepentingan pasca pemilihan Bupati Garut Periode 1998-2003. Umat Islam berhasil dikoordinasikan agar tidak terpancing pada wilayah konflik kepentingan.170 Konflik kepentingan ini disebabkan adanya persepsi dari sekelompok masyarakat Garut bahwa kemenangan Dede Satibi sebagai Bupati Garut diwarnai oleh kecurangan berupa penyuapan terhadap beberapa anggota DPRD.171 Menghadapi Pemilihan Umum 1999, ulama Garut di bawah koordinasi BKUI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut berupaya untuk senantiasa mensukseskan agenda demokrasi ini. Dalam rangka itu, ulama Garut 168
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibentuknya BKUI, selain sebagai wahana untuk melakukan koordinasi bagi umat Islam, ternyata dijadikan wahana untuk menggolkan Dede Satibi sebagai bupati Garut. Upaya ini dilakukan oleh para ulama, dikarenakan sosok Dede Satibi yang mempunyai latar keagamaan yang cukup kuat. Sosok Dede Satibi yang seperti itu, dipahami oleh ulama Garut layak menjadi bupati yang akan menjadikan masyarakat Garut sebagai masyarakat yang peduli terhadap nilai-nilai keagamaan. Meskipun secara politik, hal ini dilakukan oleh ulama agar kepentingan politik umat Islam bisa berjalan dengan baik, seperti penerapan syari‘at Islam yang diperjuangkan pada tahun berikutnya. 169 Rofik Azhar, wawancara, 3 Maret 2009 170 Bandung Pos, 12 Desember 1998. 171 Konflik ini terjadi antara pendukung calon bupati (Dede Jayalaksana) yang kalah bergabung dengan anggota DPRD pendukung Dede Jayalaksana dengan pihak anggota DPRD dan pendukung calon bupati terpilih. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
80
melakukan silaturahim dengan pihak Pemerintah Daerah (Pemda). Silaturrahmi ini dimaksudkan agar terjadinya keeratan hubungan antara ulama dan umara, demikian diungkapkan KH. Makmun Syamsuddin selaku Ketua MUI Kabupaten Garut.172 Para ulama menyerukan agar umat tidak terperosok dalam kekeliruan. Ulama menyerukan agar umat selalu ada dalam koridor ukhuwah Islamiyah yang mewujudkan masyarakat yang tenang dan aman dalam melakukan kerukunan hidup.173 Seruan ini terus secara terus menerus dilakukan oleh para ulama Garut. Upaya penggalangan umat Islam Garut menjadi strategi gerakan ulama di Garut. Menurut KH. Cecep Abdul Halim dan Giom Suwarsono, integrasi umat ini menjadi modal bagi perjuangan nilai-nilai ajaran Islam baik di level nasional ataupun lokal.
174
Strategi ini pun diwujudkan ketika KH. Cecep Abdul Halim
memimpin sebuah organisasi yang bernama Dewan Imamah Kabupaten Garut. Pembentukan Dewan Imamah yang otonom ini175 merupakan organisasi yang dibentuk oleh ulama sebagai bentuk dari gerakan ulama yang berorientasi pada aspek keagamaan. Organisasi ini dibentuk sebagai respon dari adanya ketegangan politik pasca diturunkannya Gus Dur sebagai presiden. Seperti diketahui oleh bangsa Indonesia, bahwa diturunkannya Gus Dur dari kepemimpinan nasional ini tidak lepas dari peran tokoh reformasi, yaitu Amien Rais, yang nota bene sebagai orang yang aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Ulama Garut memahami bahwa perhelatan politik nasional tersebut diduga akan mempengaruhi terhadap interaksi antara kader Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang ada di Kabupaten Garut. Oleh karena itu, sebagai langkah antisipatif, ulama Garut mendirikan Dewan Imamah. Keberadaan Dewan Imamah ini dijadikan ajang silaturrahmi bagi para ulama, yang ada di ormas maupun di partai politik. Oleh 172
Galamedia, 19 April 1999 dan 23 April 1999 Salah satu contoh seruannya adalah diharapkan umat Islam tidak mudah diprovokasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang sengaja ingin memecahbelah umat Islam. Umat Islam senantiasa waspada dan bertegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada alQur‘an dan al-Hadits. 174 KH. Cecep Abdul Halim dan Giom Suwarsono, wawancara, 2 Maret 2009 175 Pembentukan dewan imamah ini tidak bergantung pada lembaga lain, murni dari gagasan para ulama dalam upaya melakukan keharmonisan di antara organisasi keagamaan yang ada di kabupaten Garut. 173
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
81
karena itu, fungsi dari Dewan Imamah ini adalah melakukan silaturrahmi dengan tokoh agama dan politik di Kabupaten Garut dan menjadi kekuatan moral bagi kehidupan keagamaan dan politik di wilayah Kabupaten Garut, demikian diungkapkan oleh Undang Hidayat, selaku pengurus Dewan Imamah.176 Salah satu aksi moral yang dilakukan Dewan Imamah kepada DPRD Garut adalah kritikan terhadap anggota DPRD Kabupaten Garut yang meminta uang sebesar 100 juta rupiah kepada Pemkab Garut untuk pembelian kendaraan pribadi. 3.2.Katagorisasi Ulama Ulama dalam melakukan kiprahnya di masyarakat, dipengaruhi oleh kemampuan yang dimilikinya. Gelar ulama yang disandang oleh seseorang dipengaruhi oleh latar sosial, budaya, pendidikan, bahkan politik. Dari perbedaan latar tersebut menjadikan ulama mempunyai kekhasannya masing-masing, sehingga akan mewarnai peran yang dilakukannya di masyarakat. Ulama yang dibesarkan di pesantren semata, pola gerakannya akan senantiasa mengikuti alur yang terjadi sebagaimana kultur pesantren. Ulama yang latarnya dipengaruhi oleh pengetahuan politiknya juga akan mempengaruhi terhadap kekhasan gerakannya di masyarakat, misalnya ketika aspek politik menjadi perhatian ulama dalam melakukan gerakannya maka akan tampak gerakan ulama yang dimainkannya berorientasi pada politik. Begitu pun dengan ulama yang hanya mempunyai kemampuan dan memfokuskan pada bidang tabligh, maka akan diketahui gerakannya hanya dalam bidang tabligh. Dari kondisi tersebut, akan tampak variasi ulama dalam melakukan perubahan di masyarakat, seperti dalam gerakan politik ulama di Garut 1998-2007. Dalam realitasnya, di Kabupaten Garut ada ulama yang concern terhadap pembinaan santrinya yang ada di pesantren tempat menimba ilmu. Oleh karena itu akan tampak orientasi gerakannya terfokus kepada bidang keagamaan yang meliputi syari‘ah, aqidah, maupun akhlak. Kemudian ada juga ulama di Garut yang orientasinya pada aspek batin atau olah rasa/rohani, yang dalam terminology ajaran Islam disebut dengan tarekat. Kedua katagori ulama tersebut sama-sama 176
Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
82
mempunyai pengikut yang banyak hingga ke pelosok-pelosok daerah. Katagori kedua ulama ini bisa disebut dengan ulama pesantren dan ulama tarekat.177 Di lain pihak, realitas di kabupaten Garut, juga terdapat katagori ulama lainnya, yaitu ulama politik dan ulama panggung178. Meminjam istilah dari Endang Turmudi,179 ulama politik adalah ulama yang berkecimpung dalam urusan keagamaan dan urusan politik, baik yang berkaitan dengan partai politik maupun dengan kekuasaan sebagai hakekat dari politik.180 Sementara ulama panggung adalah ulama yang melakukan proses dakwahnya melalui kemampuan retorika verbalnya. Ulama tersebut melakukan dakwah dari panggung ke panggung dan pengikutnya tersebar di seluruh kabupaten. Dua Katagori ulama ini, berbeda dengan dua katagori sebelumnya, dalam hal santri sebagai pengikutnya. Ulama politik dan panggung tidak lebih banyak memiliki santri sebagai pengikutnya. Kecuali kedua katagori ulama ini berperan multi, baik sebagai ulama pesantren maupun ulama politik atau ulama panggung. Di bawah ini, akan dijelaskan realitas katagori ulama yang ada di Kabupaten Garut, yaitu Ulama Pesantren, Tarekat, Politik, dan ulama Panggung. Katagorisasi ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi pada gerakan politik yang dilakukan oleh ulama pada kuru waktu 1998-2007. Ulama-ulama yang aktif dalam gerakan politik ulama, bisa dikatagorikan pada empat katagori, yang disebutkan di atas. Tentunya, dalam melakukan gerakannya, terlihat variasi gerakan yang dilakukan oleh masing-masing katagori tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katagori ulama politik yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia mempunyai peran yang signifikan dalam gerakan politik ulama tersebut. Sementara tiga katagori ulama lainnya hanya sifatnya memberikan 177
Istilah ini pernah dikemukakan oleh Endang Turmudi dalam penelitiannya tentang kyai di Jombang dengan tema mengenai perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Ia menyebutnya dengan Kyai Pesantren dan Kyai Tarekat. Di lain pihak ia juga mengakatgorikan dalam katagor lainnya dengan sebutan Kyai panggung dan Kyai politik. Lihat: Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Politik. Yogyakarta: LKiS. 2003. Hal. 32-34. 178 Menurut Endang Turmudi, Kyai politik lebih merupakan katagori campuran sementara kyai panggung bersifat lokal, dalam arti hanya dikenal oleh umat islam di daerahnya saja. Lihat: Endang Turmudi, Ibid, hal. 34 179 Endang Turmudi, Ibid, hal 34 180 Menurut F. Isjwara, bahawa hakekat politik dalah kekuasaan, yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain agar yang dipenagruhinya mengikuti keinginan yang mempengaruhinya. Lihat: F. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Bandung. Binacipta. 1995 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
83
dukungan sesuai ciri-ciri dari katagori ulama tersebut. Mengenai ciri-ciri ini akan dijelaskan pada pembahasan sub berikutnya.
3.2.1. Ulama Pesantren Dalam sejarahnya pesantren merupakan sebuah lembaga yang mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pendidikan keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan tertua, kiprah pesantren sudah tidak bisa diragukan lagi. Dalam catatan sejarah Indonesia, peran pesantren ini bisa dilihat dari pola yang dilakukannya, baik berupa memberikan dukungan semata maupun aksi secara langsung melawan berbagai bentuk kemaksiatan. Di masa penjajahan, pesantren banyak memberikan kontribusi dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Misalnya, di Kabupaten Garut, pesantren Cipari mempunyai andil yang sangat besar dalam menumpas penjajahan. Dan banyak lagi pesantren-pesantren yang berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia. Berbicara mengenai pesantren, sudah barang tentu berkaitan dengan elit yang memimpinnya. Dalam kajian yang sudah dilakukan oleh para ahli, seperti Zamakhsari Dhofier, menyebutkan bahwa di pesantren terdapat elit yang mampu menggerakan lembaga pendidikan ini menjadi diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat. Ia menyebutnya dengan kyai. Kyai inilah yang menjadi elit dalam lembaga pendidikan pesantren. Menurutnya, kyai didefinisikan sebagai gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik para santrinya181 Dalam konsep Islam, kyai sering diidentikan juga dengan ulama. Dalam al-Qur‘an kata ulama disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat Fathir ayat 28 dan Al Syura ayat 197. Dalam surat Fathir ayat 28 kata ulama muncul dalam konteks ajakan al-Quran untuk memperhatikan turunnya hujan dari langit, beranekaragamnya buah-buahan, gunung, bintang, dan manusia yang kemudia diakhiri
dengan
kalimat:
“….innamaa
yakhsyallaahu
min
„ibaadihil
181
Lihat: Zamakhsyari Dhofier. 1982 Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES. Hal.55. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
84
„ulamaa‟u…..‖ (…..sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama…..). Dalam penelitian ini kyai dan ulama tidak dibedakan seperti hasil kajian para ahli lainnya, seperti Hiroko Horikoshi, ketika meneliti pesantren Cipari yang membedakan antara kyai dan ulama. Posisi ulama dalam mengembangkan pesantren, tentunya tidak terlepas dari keberadaannya yang mempunyai karakter kharismatik. Seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa kharismanya ulama menjadi dasar utama dalam melakukan kiprahnya di masyarakat. Kharisma ulama ini sudah menjadi karakter yang dimiliki oleh setiap ulama, terutama yang menjadi elit di pesantren. Hilangnya karakter kharismatik dari seorang ulama menyebabkan runtuhnya wibawa ulama di mata masyarakat. Hasil penelitian penulis, menyebutkan bahwa bergesernya peran ulama di masyarakat disebabkan oleh memudarnya kharisma ulama dalam dirinya, sehingga masyarakat tidak lagi simpati terhadap ulama.182 Mengenai konsep kharismatik ini, Weber memasukkannya dalam tiga tipe kepemimpinan atau kekuasaan dalam masyarakat. Lebih lanjut, ia menyebutkan ada tiga tipe kepemimpinan/kekuasaan, yaitu tradisional, kharismatik, dan legal rasional, Weber memberikan penjelasan bahwa tipe kharismatik ditandai oleh kedinamisan yang tidak tetap, dan kepatuhan yang diberikan oleh pengikutnya bukan atas dasar norma yang menekan atau tradisi yang mapan, tetapi dikarenakan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi. Istilah kharisma digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada seorang sebagai pemimpin.183 Menurut hemat peneliti, kharismatik merupakan sebuah predikat yang diberikan kepada seseorang (ulama) yang mempunyai pengaruh di masyarakat. Pengaruh ini didasarkan pada kekuatan dirinya yang berkaitan dengan sesuatu yang materi ataupun immateri. Sebenarnya, kharisma ulama dapat diukur dengan kondisi masyarakat yang memandang terhadap keberadaan ulama. Dalam hal ini, penghormatan menjadi salah satu ukuran bagi tumbuhnya kekharismaan ulama. 182
Setia Gumilar, ―Pergeseran Kyai dalam Kehidupan Masyarakat‖. Tesis. Unpad. 2004 Lihat: Paul Jhonson. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 & 2. Jakarta: PT. Gramedia Press. Hal. 229 183
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
85
Bisanya masyarakat merasa enggan dan malu ketika bertatapan dengan ulama, tetapi ada pula masyarakat yang biasa berinteraksi dengan ulama dalam suasana yang santai tanpa ada sesuatu tekanan psikologis yang dirasakan oleh masyarakat tersebut. Ulama/Kyai yang diposisikan sebagai elit di pesantren184 mempunyai beberapa persyaratan. Di antaranya, diungkapkan oleh Steenbrink185
yang
mengemukakan ada lima kriteria, yakni prinsip keluarga, otofraksi, pengabdian pada masyarakat, prinsip interpretasi yang berwibawa, prinsip wahyu atau kyai/ulama sebagai perantara wahyu. Keberadaan ulama yang mencakup pada berbagai aspek kehidupan merupakan wujud dari pengembangan potensi dirinya yang semenjak lahir dibekali dengan bermacam potensi, seperti diungkapkan oleh Ibn Khaldun186 bahwa manusia memiliki empat ciri khusus yang membedakan dengan makhluk lainnya, yaitu : makhluk bermusyawarah, mahkluk yang berakal, makhluk yang berpolitik, dan makhluk yang berekonomi. Keberadaan ulama yang startegis di masyarakat, tidak hanya bisa diukur oleh kualitas individunya, tetapi kyai terjalin oleh suatu rangkaian intelektual yang tidak terputus. Ini berarti bahwa antara satu ulama dengan ulama yang lainnya terjalin hubungan yang baik dari kurun tertentu ke kurun lainnya atau dari generasi satu ke generasi lainnya yang didasarkan atas kemapanan ilmunya. Dalam tradisi pesantren, seorang ulama tidak akan mempunyai status dan kemashuran hanya karena kepribadian yang dimilikinya saja melainkan yang lebih menentukan adalah pemilikan pengetahuan ke-Islaman dari guru terkenal yang mengajarinya. Mengenai hal ini dijelaskan oleh Supriadi187 bahwa: luasnya peran kepemimpinan kyai/ulama dalam masyarakat telah memberi kekuasaan moral yang luar biasa dan menempatkan pada posisi terhormat sebagai kelompok terdidik. Agar posisi dan statusnya tetap terjaga, 184
Ulama dalam katagori ini di Kabupaten Garut, misalnya: KH Tanthowi Jauhari, KH Ulumudin Banani, dan KH. Bunyamin. 185 Lihat: Karl Sttenbrink. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES. Hal 110 186 Lihat: Ibn Khaldun. 2000. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hal 54 187 Lihat: Supariadi. 2001. Kyai Priyai di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Caraka. Hal 144 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
86
dijalinlah ikatan hubungan keilmuan (intelektual), ikatan kekerabatan, ikatan perkawinan maupun ikatan ekonomi. Para kyai/ulama percaya bahwa dengan semakin luasnya ikatan hubungan di antara mereka akan semakin memantapkan posisi dan perannya dalam masyarakat, baik peran agama, sosial, ekonomi, maupun politik. Dari paparan di atas, jelas bahwa ciri-ciri katagori ulama pesantren adalah menjadi pimpinan pesantren, mempunyai santri, mempunyai nilai kharisma yang selalu melekat dalam dirinya. Katagori ulama ini, dalam melakukan gerakan politiknya mengandalkan kemampuan dirinya yang selalu melekat sifat kharismatiknya sehingga ketika melakukan mobilisasi kepada ulama lain, masyarakat, ataupun santriya mendapat respon yang positif. Kenyataan ini, tampak dalam peristiwa penerapan Syari‘at Islam dan gerakan anti korupsi. Seperti akan dijelaskan dalam bab selanjutnya. Ulama yang termasuk pada katagori ini, diantaranya: KH Bunyamin (Ponpes Cipari), KH. Tantowi Jauhari (Ponpes Al-Wasilah), KH. Asep Saefullah (Ponpes Al-Musaddadiyah), KH. Aceng Zakaria (Ponpes Persis Rancabango). Dalam melakukan gerakan politik di Garut 1998-2007, ulama pesantren ini bisa dilihat perannya dalam memberikan dukungan terhadap upaya ulama yang menjadi aktor gerakan. Basis masa yang dimiliki oleh ulama menjadi modal bagi ulama dalam melakukan dukungannya. Selain itu, pola jaringan yang dibangun antar pesantren yang dipimpinnya dengan pesantren lainnya merupakan kemudahan bagi terwujudnya gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama di Kabupaten Garut. Mengenai dukungan para ulama pesantren ini akan dibahas lebih jelas pada bab selanjutnya. 3.2.2. Ulama Tarekat Katagori selanjutnya adalah ulama Tarekat188. Pada prinsipinya katagori ini hampir sama dengan katagori sebelumnya, yaitu ulama pesantren. Ulama 188
Istilah tarekat berasal dari kata Arab ―thariqah” . Perkataaan tarekat berarti ―jalan‖ atau lebih lengkap lagi ―jalan menuju surga‖ di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannnya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah Swt. Dalam pengertian ini seringkali perkataaan tarekat sinonim dengan istilah Tasawuf, yaitu dimensi esoterik yang mendalam dari agama Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
87
tarekat
sebenarnya
Perbedaannya
adalah
bisa
juga
mengenai
dikatagorikan spesifikasi
sebagai dalam
ulama melakukan
pesantren. dakwah
Islamiyahnya. Ulama tarekat ini merupakan pimpinan dari sebuah pesantren yang mempunyai kekhasan tersendiri, yaitu orienatsi terhadap aspek batin dari ajaran keagamaan, yaitu mengolah rasa dan ruhani umat Islam. Mekanisme pengolahan batin ini, diantaranya melalui proses dzikir. Dengan melakukan dzikir, umat Islam akan merasa tenang dan secara ruhani ketenangan itu akan didapatkan oleh setiap orang yang melakukannya. Mekanisme dzikir inilah yang membedakan antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Setiap aliran tarekat yang berkemabang mempunyai konsep masing-masing dalam melakukan olah rasa dan ruhani.189 Dzikir ini biasanya merupakan seperangkat do‘a-do‘a yang harus dibaca oleh tiap santri melalui wirid.190 Dalam melakukan pengembangannya, tidak semua umat Islam responsif terhadap keberadaannya. Ini disebakan oleh adanya polarisasi umat Islam berdasarkan pemahaman keagamaan yang berbeda. Bentuk polarisasi ini bisa dilihat dengan adanya oraganisasi-organisasi keagamaan, seperti Nahdahatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Tarekat biasanya tumbuh subur dalah wilayah keagamaan yang tergabung dalam ormas NU. Sementara ormas lain, seperti Muhammadiyah dan Persis tidak concern terhadap kelembagaan Tarekat ini, bahkan menilainya sebagai perilaku bid‘ah.191 Salah seorang ulama yang termasuk katagori ini dan mempunyai pengaruh besar terhadap berbagai gerakan ulama di Garut adalah Kyai Ikyan Badruzaman sebagai pimpinan Tarekat Tijaniyah yang ada di pesantren Biru. Kyai Ikyan Badruzaman
adalah
salah
seorang
anak
dari
KH.
Badruzaman
yang
Islam. Sebaga istilah khusus, perkataaan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu ―organisasi tarekat‖, yaitu suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan Islam tradisional) yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. (Zamakhsari Dhofier, Op. cit. hal: 135136). 189 Ada beberapa aliran Tarekat yang berkembang di Indonesia termasuk di Garut, diantaranya Tarekat Tijaniyah, Tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah, Tarekat Satariyah. 190 Wirid adalah mekanisme pemenuhan batin seseorang dengan membaca beberap kalimat atau kata yang sudah diajarkan oleh kyai atau ulama. Biasanya ada ketentuannya, misalnya berapa jumlah yang harus di bacanya. 191 Bid‘ah yang dimaksud adalah perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku nabi/rasul. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
88
mendakwahkan tarekat Tijaniyah di Kabupaten Garut. Melalui kepemimpinan Kyai Ikyan Badruzaman, tarekat ini sudah menyebar ke berbagai daerah yang ada di Kabupaten Garut bahkan sampai ke luar kabupaten Garut. Sehingga jaringan ulama melalui keberadaan tarekat ini sangat luas (bisa dilihat dalam pembahasan di sub bab berikutnya). Kekuatan jaringan yang dibangun melalui tarekat ini, menjadikan ulama tarekat banyak pengikutnya, sehingga ketika ada kepentingan untuk mendukung dalam bidang politik, tinggal menghubunginya dengan mudah. Salah satu contohnya, sering tarekat Tijani ini mengadakan pertemuan akbar ketika pejabat atau politisi mengunjunginya. Pada momen-momen politik inilah, zawiyah sering dikunjuginya. Sikapnya terhadap fenomena tersebut, adalah hanya bisa memberikan dorongan moril, tanpa memberikan pemaksaan kepada para anggotanya. Menurut Kyai Ikyan Badruzaman, bahwa keberadaan tarket Tijaniyah sudah memiliki peran yang baik dalam kehidupan masyarakat, misalnya dalam dakwah Islam, sosial, politik, serta pendidikan. Dalam bidang dakwah ini, dilakukan pembinaan masyarakat seperti pengajian dan dzikir. Misalnya pengajian dan Dzikir yang dilakukan setiap hari Jum‘at setelah Ashar rutin dilakukan berjamaah hingga tiba waktu shalat Maghrib. Dalam bidang politik adalah dukungannya terhadap penerapan Syari‘at Islam dan pemberantasan korupsi di Kabupaten Garut192 Katagori ulama ini mempunyai ciri-ciri, seperti mempunyai pesantren khusus bernamakan pesantren tarekat, istilah pondok dalam pesantren, tetapi dalam tarekat dikenal dengan zawiyah, aktivitas zikir menjadi kegiatan yang utama dilakukan oleh uama tarekat, mempunyai struktur yang jelas, ada perwakilan di daerah. Dalam melakukan gerakan politiknya, mengutamakan gerakan depusial, yaitu gerakan yang orientasinya bukan radikal-reaksioner. Kenyataan ini, bisa dilihat dalam gerakan politik ulama di Garut 1998-2007, peran yang dilakukannya adalah memberikan masukan berupa gagasan bahwa gerakan politik yang akan dilakukan oleh ulama tidak bersifat radikal-reaksioner. Sifat ini tampak dalam upaya penerapan syari‘at Islam. 192
Ikyan, wawancara, 12 Desember 2010 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
89
3.2.3. Ulama Politik Sebagaimana posisinya sebagai khadimul ummah, ulama mempunyai peran selain dalam bidang agama, yaitu peran politik yang dilakukan di wilayah publik. Oleh karena itu, ulama dalam posisi ini dikatagorikan sebagai ulama politik. Aktivitas ulama politik ini, biasanya memerankan dirinya di wilayah politik, seperti partai politik, anggota legislatif, dan concern terhadap perjalanan kekuasaan yang terjadi di pemerintahan baik pusat maupun daerah. Selain itu, Katagori politik ini juga ditandai dengan aktivitasnya pemikiran-pemikirannya yang cenderung pada gagasan politik, seperti menyerukan hukum siyasah. Dalam perjalanan sejarah, di Garut ulama politik ini bisa dilihat dari sosok Yusuf Taujiri, KH. Muhammad Qudsi, KH. Cecep Abdul Halim, dan lain-lain. KH. Yusuf Taujiri adalah ulama poltik yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat Garut. Ia adalah salah satu pimpinan pesantren Cipari yang berada di Wanaraja Garut. Karir politiknya bisa ditunjukkan dari berbagai aktivitas yang diikutinya, dari mulai aktivitas keagamaan hingga aktivitas politik. Ia pernah aktif dalam organisasi Syarekat Islam sosok ulama yang ketokohannya dihormati dan mewarnai sejarah Islam Garut. Dia adalah seorang aktivis Sarekat Islam. Bersama Kartosuwiryo mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPK-PSII). Kemudian ia berbeda berlawanan dengan Kartosuwiryo dikarenakan oleh perbedaan gerakan dakwahnya. Ketika itu, Yusuf menolak mengenai konsep hijrahnya Kartosuwiryo yang berujung kepada munculnya Darul Islam (DI). DI ini dipahami oleh Yusuf sebagai konsep yang bertentangan dengan Negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud perlawanan terhadap DI, ia mendirikan Lasykar Darussalam untuk melawan gerakan DI yang dipelopori oleh Kartosuwiryo. Di sisi lain, Yusuf pun sering mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda dalam beberapa peristiwa.193 KH. Muhammad Qudsi adalah ulama Garut yang berkecimpung di dunia politik. Selain sebagai pimpinan pesantren Suci, beliau juga aktif di partai politik, yaitu Partai Persatuan pembangunan (PPP) dari mulai pengurus cabang hingga menjadi pengurus pusat. Beliau adalah orang yang selalu concern dalam 193
Lihat: Moeflih Hasbullah. ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
90
memperjuangkan ajaran Islam, baik untuk tingkat nasional ataupun daerah. Beliau adalah ulama yang mengkoordinir ulama dari daerah lain, seperti Ciamis, Tasikmalaya,Sumedang,
Bandung,
Cianjur,
dan
Sukabumi
untuk
memperjuangkan syari‘at Islam ke DPR/MPR RI. Para ulama tersebut menyampaikan aspirasinya mengenai perubahan Kitab Undang-Undang Hukun Pidana khsusunya Pasal tentang perzinahan perceraian, dan pembunuhan yang mendasarkan kepada nauansa keindonesiaan dan Syari‘at Islam. Dipahami oleh para ulama, bahwa KUHP yang berlaku selama ini masih berjiwa kolonial dan semangat kultur barat, sehingga materinya banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian dan moral bangsa Indonesia. Masukan ini disampaikan langsung kepada Menteri Hukum dan perundang-undangan, Prof.Dr.H. Yusril Ihja Mahendra,SH.,M.Sc., melalui pimpinan MPR yang ditandatangani oleh Wakil Ketua MPR, Drs. H.M. Husnie Thamrin.194 KH. Muhammad Qudsi adalah ulama yang juga memperjuangkan berlakunya
syari‘at
Islam
di
Garut.
Dari
mulai
persiapan
hingga
dideklarasikannya penerapan syari‘at islam pada 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H, ia mengawal terus langkah-langkah perjuangan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. KH. Cecep Abdul Halim adalah sosok ulama politik yang sangat terkenal pada masa kontemporer ini. Ia adalah putra KH Anwar Musaddad, tokoh Islam di Garut bahkan di nasional. KH. Cecep Abdul Halim adalah alumni perguruan tinggi Madinah, Arab Saudi. Ia pernah aktif di organisasi Ikhwanul Muslimun (pimpinan Hasan al-Banna yang berpusat di Mesir) dan bahkan pernah turut dalam salah satu penyerangan terhadap Israel ketika ia masih berada di Arab Saudi. KH. Cecep dekat dengan ekponen angkatan 66 dan tokoh-tokoh tua lainnya, seperti Giom Suwarsono, Saeful Azhar. Ia mendirikan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) Kabupaten Garut, sebuah lembaga yang berusaha menyatukan kelompok-kelompok Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PII). Salah satu keberhasilan BKUI ini adalah menggolkannya Dede Satibi sebagai 194
Lihat: Surat dari Wakil Ketua MPR RI kepada Menteri Hukum dan Perundangundangan, Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH.,MSc. Tertanggal 14 Juli 2000. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
91
bupati Garut. Ia juga sebagai pimpinan dari Dewan Imamah kabupaten Garut. Sebuah lembaga yang berusaha menyatukan para ulama supaya berada dalam kesatuan dan persatuan, yang selalu melakukan koordinasi dan silaturrahmi kelompok-kelompok Islam untuk menyatukan kekuatan politik Islam di Garut yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah.195. Selain itu pula, ia adalah ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut. Pada masa kepemiminannya, MUI tidak lagi diposisikan sebagai lembaga yang menjadi stempel penguasa. Tetapi MUI dijadikan sebagai lembaga yang berusaha untuk melakukan kritikan terhadap pemerintahan daerah. Satu bentuk upaya politik yang dipehrjuangkannya adalah mengkritisi pelanggaran terhadap APBD Kabupaten Garut dan mengkoreksi dan menurunkan Agus Supriadi selaku bupati Garut yang melakukan tindak pidan korupsi dan gratifikasi. Ia menjadi pelopor dalam gerakan anti korupsi di kabupaten Garut hingga ia melaporkan penyimpangan tersebut melaui surat resmi dari MUI Kabupaten Garut tertanggal 24 September 2003.196 Dalam paparan di atas, tampak bahwa ciri-ciri katagori ulama politik, adalah aktivitasnya selain bergerak dalam bidang keagamaan juga mempunyai kegiatan dalam politik, baik yang masuk partai politik, menjadi anggota legislatif, maupun melakukan evaluasi terhadap pemerintah. Ulama politik ini, ada yang mempunyai pesantren dan ada yang tidak mempunyai pesantren. Dalam gerakan politik ulama di Garut 1998-2007, ulama politik ini menjadi pelopor gerakan, seperti diperankan oleh KH. Cecep Abdul Halim dan KH. Muhammad Qudsi. Lebih jelasnya mengenai perannya akan dibahas di dalam bab berikutnya. Dua orang ulama ini akan tampak perannya dalam dua peristiwa politik, yaitu penerapan Syari‘at Islam dan gerakan anti korupsi di Kabupaten Garut. 195
Asep Ahmad Hidayat dan Rofik Azhar, wawancara, 7 Juli 2009 Surat resmi dari MUI Kabupaten Garut kepada Kejaksaan Negeri perihal Informasi kejanggalan Anggaran untuk DPRD pada APBD Kabupaten Garut tanggal 24 September 2003. Dalam surat tersebut diceritakan bahwa MUI Kabupaten Garut sebagai Forum Silaturrahmi dan Musyawarah para Ulama, Zu‘ama, dan Cendekiawan Muslim merupakan organisasi sosial keagmaan merasa terpanggil untuk berperan serta dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN sebagaimana diatur PP. No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Laporan yang disampaikannya seputar penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh pihak Legislatif. 196
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
92
3.2.4. Ulama Panggung Katagori ulama selanjutnya adalah ‗ulama panggung‘. Ulama panggung yang dimaksud adalah ulama yang menyampaikan aktivitas dakwahnya melalui panggung (mimbar). Mereka inilah yang mempunyai tugas dakwah dari mimbar ke mimbar, dari pelosok desa, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi.197 Sebagai juru dakwah, ia menyampaikan ajaran Islam melalui orasi yang dilakukannya melalui panggung/mimbar, misalnya sebagai khatib jum‘at, penceramah hari-hari besar Islam atau acara seremonial lainnya. Ulama Garut yang termasuk dalam katagori ini, diantaranya adalah, KH. Saeful Azhar, H. Giom Suwarsono, Muhammad Iqbal Santosa. Katagori ulama panggung ini ada yang mempunyai pesantren ada yang tidak. Tetapi kebanyakan yang termasuk pada katagori ini adalah ulama yang tidak mempunyai pesantren. Ulama pesantren sangat terikat dengan tugas pokoknya yaitu mengadadakan pendidikan pada santri-santrinya. Sementara ulama panggung ini mempunyai objek yang lebih luas dari ulama pesantren. Dalam kaitannya dengan gerakan politik ulama di Garut, ulama panggung ini melibatkan diri melalui media yang selama ini digelutinya. Mereka aktif di lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia atau organisasi keagamaan lainnya, seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis. Realitas yang terjadi, ulama panggung yang dimaksud di sini adalah ulama yang aktif di Majelis Ulama Indonesia. Para ulama ini mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesan dalam penerapan Syari‘at Islam. Misalnya, dalam mensosialisasikan gagasan penerapan syari‘at Islam di kabupaten Garut. Melalui panggung atau mimbar, para ulama menyampaikannya. Dalam pemberantasan korupsi pun, ulama panggung ini menyampaikannya ke umat dengan menitikberatkan pada pentingnya berprilaku yang sesuai dengan norma agama, seperti dilakukan oleh KH. Saeful Azhar, H. Giom Suwarsono.
197
Menurut Endang Turmudi, ulama panggung yang mampu menjangkau wilayah di luar tempat dirinya tinggal, adalah ulama yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang retorika, sehingga ia menjadi popular. Lihat. Endang Turmudi, op.cit. hal.34 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
93
3.3.Jaringan Ulama di Kabupaten Garut Dalam mengkaji perkembangan Islam di Indonesia, berbicara ulama merupakan faktor penting karena melalui keberadaannyalah, Islam bisa menyebar secara luas di bumi nusantara ini, tak terkecuali di Garut. Penulis memahami bahwa keberhasilan ulama melakukan pengembangan ajaran Islam ke berbagai pelosok, tidak terlepas dari pola komunikasi yang dibangun oleh ulama, baik antara ulama sendiri maupun antara ulama dengan masyarakat. Secara teoritis pola komunikasi yang dibangun membutuhkan konsep jaringan. Melalui jaringan inilah Islam bisa disebarkan ke berbagai pelosok. Dalam kasus gerakan politik ulama di Garut 1998-2007, dipahami bahwa tidak akan terjadi sebuah gerakan politik pada kurun waktu tersebut manakala ulama tidak mempunyai pola komunikasi dengan ulama lainnya di Kabupaten Garut. Mobilisasi yang menjadi syarat terbentuknya aksi kolektif, menjadi sesuatu yang penting dan harus dilakukan oleh ulama dalam mewujdukan cita-citanya melakukan perubahan di Kabupaten Garut. Kemudahan mobilisasi ulama dengan memanfaatkan jaringan yang dimilikinya diawali oleh terbentuknya kepentingan yang sama di antara para ulama, khususnya dalam melakukan gerakan politik di Kabupaten Garut. Mengenai jaringan ini, Dhofier menyebutkan bahwa pola jaringan yang dibangun oleh ulama—ia menyebutnya pesantren—dapat terbagi dalam berbagai pola, yaitu pola keilmuan, geneologis, perkawinan, dan tarekat. Penulis menambah dengan pola kelima yaitu kesamaan pemahaman keagamaan yang dibagi menurut organisasi keagamaan yang dibangun, yaitu Muhammadiya, NU, dan Persis. Mengenai pola tersebut akan dijelaskan dalam sub-sub berikutnya. Pola ini juga disebutkan sebagai faktor yang menjadi penyebab adanya jaringan ulama di Kabupaten Garut. 3.3.1. Faktor Terbentuknya Jaringan Ulama di Garut Jaringan ulama tidak sendirinya akan terbentuk tanpa disebabkan oleh berbagai faktor yang membentuknya. Paling tidak ada lima faktor yang
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
94
menyebabkan ulama mempunyai jaringan.198 Pertama, faktor intelektual atau keilmuan seorang ulama. Terbentuknya jaringan ulama melalui faktor intelektual/keilmuan ini diawali dari riwayat pendidikan ulamanya. Kebanyakan ulama sebelum menjadi ulama ia menjadi santri yang menimba pendidikan di lembaga pesantren199. Dalam mengenyam pendidikannya di pesantren, ia mendapat
ilmu
mempengaruhi
keagamaan pola
dari
pendidikan
para yang
gurunya.
Tipologi
diajarkannya,
pesantren200
secara
otomatis
mempengaruhi pemahaman keagamaan yang akan dikembangkan oleh ulama tersebut. Biasanya setiap santri yang sudah tamat belajar di sebuah pesantren disarankan oleh kyainya untuk mengembangkan keilmuan yang diperolehnya melalui mendirikan pesantren. Ada kebiasaan yang selalu dilakukan oleh para alumni sebuah pesantren, yaitu melakukan silaturahim dengan kyai sebagai gurunya. Silaturrahmi ini kerap dilakukan oleh para alumni di sebuah pesantren. Dalam media silaturrahmi ini, informasi mengenai perjalanan hidupnya diceritakan, baik kepada gurunya maupun kepada sesama alumni. Melalui silaturrahmi ini maka terbentuk ikatan emosional yang akan membentuk jaringan ulama dalam mengembangkan pola dakwahnya. Hal inilah yang terjadi di antara ulama yang ada di kabupaten Garut. Lebih jelasnya akan diuraikan dalam subjudul berikutnya. Kedua, jaringan ulama terbentuk karena ada ikatan kekerabatan (kinship) atau geneologis. Terbentuknya jaringan ulama yang didasarkan oleh ikatan
198
Lihat: Zamakhsyari Dhofier. 1982 Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES.; Lihat pula: Ading Kusdiana, ―Jaringan Pesantren di Priangan 1800-1945. Disertasi. Unpad. 2013. 199 Pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang didalamnya terdapat beberapa unsur, yaitu pondok, mesjid, kyai, santri, dan kitab. Kelahiran pesantren adalah sebagai counter budaya yang pada waktu itu didominasi oleh budaya Belanda. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan Belanda yang selalu merugikan umat Islam. Ruang gerak umat Islam dibatasi. Salah satu contoh yang membatasinya adalah dibatasinya hubungan antara kelompok Islam satu dengan kelompok lainnya, sehingga pertumbuhan kelompok-kelompok masyarakat yang betul-betul menghayati dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam sangat terlambat. Dalam kondisi ini pesantren melakukan upaya perlawanan terhadap kebijakan Belanda yang dapat merugikan umat Islam. 200 Tipologi pesantren paling tidak dibagi ke dalam dua, yaitu salaf dan khalaf. Tipologi salaf adalah jenis pendidikan yang mempunyai ciri-ciri: unsur-unsur internalnya sederhana, masih menampakan homogenitas yang tinggi, kyai mendominasi sistem pengajaran dan pendidikan. Sementara tipologi Khalaf adalah Tipe pesantren yang memasukkan unsur-unsur luar pesantren menjadi bagian pesantren, seperti mendirikan jenis sekolah umum. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
95
geneologis bisa terjadi manakala seorang pimpinan pesantren mempunyai keturunan dan direncanakan keturunannya tersebut untuk dididik menjadi seorang ulama. Keturunannya tersebut diharapkan akan melanjutkan estafet perjuangan dakwahnya, baik memimpin pesantren yang dipimpin oleh ayahnya ataupun dengan mendirikan pesantren sendiri. Oleh karena itu, di dalam budaya sunda, sering kita mengenal istilah kyai sepuh dan kyai anom201 Pola jaringan yang didasarkan oleh faktor geneologis ini akan mempererat antar ulama dalam melakukan dakwahnya di masyarakat. Hubungan kekerabatan menjadi unsur penting terbentuknya keeratan pola hubungan yang akan dibangunnya.. Mengenai jaringan ulama yang didasarkan kepada ikatan genologis ini, Mohammmad Iskandar mengatakan bahwa jaringan pesantren (ulama) yang terbentuk berdasarkan ikatan geneologis atau kekeluargaaan biasanya jika kyai itu memiliki seorang anak laki-laki dan merupakan anak satu-satunya, maka anak tersebut secara perlahan tapi pasti akan diberikan tugas mengajar yang sebelumnya dipegang oleh ayahnya hingga selanjutnya menggantikan posisi bapaknya. Kemudian menurutnya, apabila kyai tersebut memiliki anak yang banyak, dimungkinkan anak pertamanya yang meneruskan posisi ayahnya sementara anak lainnya mendirikan pesantren terpisah dari orang tuanya atau saudaranya (kakaknya) yang melanjutkan kepemimpinan ayahnya.202 Ketiga, adanya hubungan perkawinan203 di antara keluarga ulama. Sudah menjadi tugas dari seorang ulama, untuk senantiasa menjadikan pesantrennya
201
Kyai Sepuh adalah pimpinan pesantren yang memulai atau memprakarsai berdirinya sebuah pesantren. Sementara kyai anom adalah julukan kepada anaknya yang akan dijadikan penerusnya. Di Budaya Sunda sering juga disebut dengan Aceng. 202 Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Metabangsa,2001. Hal. 86 203 Perkawinan adalah bentuk hubungan yang melibatkan faktor emosional dalam suasana kekerabatan dan keagamaan. Tidak ada suatu ikatan yang lebih langgeng dalam melangsungkan kehidupan suatu komunitas, kecuali menjaga keutuhan ikatan tali perkawinan. Tradisi keagamaan yang dibangun komunitas pondok pesantren dalam memerankan perkawinan sebagai unsur perekat kehidupan pesantren telah dilakukan para kyai. Pada awalnya, perkembangan Islam di negeri Mekkah dan Madinah, memperkokoh barisan kekuatan Islam yang dibangun oleh para sahabat dengan menjodohkan keluarga satu dengan keluarga lainnya dalam konuitas seagama. Hubungan keluarga Nabi banyak menjalin perkawinan dengan para sahabat yang memiliki pengaruh kuat di daerah jaizirah Arab, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali mempunyai ikatan perkawinan dengan keluarga Nabi. Lihat: Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta : LP3ES. 1999. Hal. 66 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
96
terus eksis di lingkungan masyarakat. Tujuan ini ditopang oleh upaya para ulama untuk melakukan regenerasi terhadap anggota keluarganya. Serangkaian upaya dilakukan oleh para ulama, seperti memberi pendidikan keagamaan sejak dini, mengirimkan ke pesantren lain hingga melakukan hubungan perkawinan dengan keluarga ulama lainnya. Yang terakhir ini, diupayakan oleh setiap ulama, agar dalam menjalankan pesantrennya ada penerus sebagai pengganti (badal). Badal ini diperoleh melalui mekanisme perkawinan, misal puteri ulama dikawinkan dengan keponakannya yang telah diberi didikan agama sebelumnya. Jika seorang ulama tidak memiliki anak laki-laki, salah seorang menantu laki-lakinya akan diarahkan menjadi calon utama. Perkawinan seperti itu, Dhofier menyebutnya dengan perkawinan sesama misanan atau mindoan. Perkawinan tipe ini sering terjadi dalam lingkungan keluarga ulama dan dianggap ideal, karena mempunyai hubungan kekerabatan.204 Hubungan perkawinan ini sangat efektif untuk menjadikan seseorang menjadi ulama/kyai. Apa yang dilakukan oleh para ulama terdahulu untuk menikahkan anak-anaknya dengan keluarga yang terdekat, menjadikan peluang bagi anak-anak tersebut untuk menjadi ulama, paling tidak memiliki kesempatan menjadi keluarga ulama/kyai.205 Keempat, adalah kesamaan tarekat yang dikembangkan oleh para ulama. Terbentuknya jaringan ulama yang didasarkan oleh kesamaan tarekat ini adalah upaya untuk mengembangkan ajaran tarekatnya supaya lebih memasyarakat dan mempunyai jaringan yang kuat. Misalnya, tarekat yang berkembang di Garut adalah Tarekat Tijaniyah yang ada di pesantren Biru. Kelima, pemahaman keagamaan. Terbentuknya jaringan ulama yang didasarkan oleh pemahaman keagamaan terjadi apabila ulama-ulama tersebut mempunyai pemahaman yang sama mengenai ajaran keagamaan yang akan dikembangkannya. Dalam kutur Indonesia termasuk Garut, ulama terpolarisasi ke dalam berbagai pemahaman keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk organisasi kemasyarakatan (Ormas), seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, 204 205
Zamakhsyari Dhofier. Op.cit. hal 68 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
97
Persis. Selain itu, pemahaman keagamaan ini juga dipahami dari aspek penafsiran terhadap sebuah ajaran keagamaan. Biasanya, penfasiran menjadi dasar berbeda atau kesamaan pemahaman keagamaan tersebut. Dalam kasus, syari‘at Islam, di Garut terjadi berbagai pemahaman ada yang bersifat formalistik maupun substantif. Lebih jelasnya mengenai hal ini akan di uraikan dalam bab berikutnya. 3.3.2. Pola dan Karakteristik Jaringan Ulama di Garut 3.3.2.1. Jaringan Keilmuan /Intelektual Ulama Untuk melihat realitas jaringan intelektual ulama di Garut yang merupakan faktor pertama adanya jaringan antar ulama, di bawah ini akan dijelaskan beberapa pesantren sebagai tempat belajarnya ulama, yang mempunyai pola hubungan hingga sekarang. Perlu ditegaskan bahwa untuk memahami jaringan ulama ini, sangat erat kaitannya dengan melihat dan memahami keberadaan pesantren yang ada di Kabupaten Garut. Pesantren sebagai sebuah institusi keagamaan merupakan wahana untuk mencetak umat Islam dalam bidang keagamaan. Satu komponen umat Islam yang dimaksud adalah ulama. Para ulama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ulama-ulama yang mempunyai pola hubungan melalui jalur keilmuan yang ada di beberapa pesantren, yaitu: Pesantren Al-Falah Biru, Al-Musadaddiyah, Cipari, Keresek, dan Pesantren Pangkalan. Pesantren Al Falah Biru206 yang berada di kampung Malayu Tarogong Garut
merupakan salah satu pesantren tertua di Garut,
yang mempunyai
206
Dinamakan Pesantren Biru diambil dari kata Birrul walidain yang artinyaberbuat baik kepada kedua orang tua. Selain pengertian tersebut, Biru diambil dari kelompok sosial atas, yang berarti darah biru, darah ningrat. Pendiri dari Pesantren Biru ini berasal dari keluarga ningrat bahkan mempunyai keturunan dengan Sunan Gunung Djati. Adapun geneologinya dapat dikemukakan sebagai berikut: bahwa Kyai Fakarudin merupakan anak dari Kyai Nurfaqih hasil pernikahannnnya dengan Raden Siti Nurillah. Kyai Nurfaqih adalah anak dari Kyai Nurkamaludin dengan Raden Puteri Qilah Kusumah, sedangkan Kyai Nurkamaludin sendiri adalah anak dari Syekh Kamaludin. Sementara Syekh Kamaludin adalah anak dari Aria Salingsingan Panembahan Amir. Aria Salingsingsingan Panembahan Amir merupakan anak dari Sultan Dipati Anom. Sultan Dipati Anom memiliki ayah yaitu Sultan Giri Laya. Sultan Giri Laya adalah anak dari Sultan Samsudin (Adipati Sedang Madya Gayam). Sultan Samsudin sendiri adalah anak dari Sultan Panembahan Ratu. Sultan Panembahan Ratu memiliki memiliki ayah yaitu Panembahan Dipati Suwarga. Panembahan Dipati Suwarga adalah anak dari Panembahan Pasarean, dan Panembahan Pasarean sendiri tidak lain merupakan anak dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. (Ading Kusdiana, ―Jaringan Pesantren di Priangan 1800-1945‖ Disertasi. Unpad.2013 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
98
hubungan dengam pesantren lainnya, baik yang berada di Garut sendiri maupun dengan pesantren yang berada di luar Garut. Untuk melihat hubungan keilmuannya, bisa dlihat dari latar pendidikan KH. Badruzaman yang pernah mengenyam pendidikan di sebuah pesantren tertua lainnya, yaitu Pesantren Pangkalan, yang dipimpin oleh KH. Qurtubi, seorang kyai besar yang mempunyai hubungan keilmuan dengan pesantren Bangkalan Madura. KH Badruzaman dikirim oleh ayahnya, KH. Muhammad Asnawi Kafrawi Fakih ke Pesantren Pangkalan Pesantren. Sebelumnya, KH Badruzaman diberi pendidikan agama oleh ayahnya hingga menguasai bahasa Arab. Ia mampu membaca dan menulis Arab. Dengan modal ilmu tersebut, ia selanjutnya belajar ilmu fiqh ke KH Qurtubi.207 Hubungan kedua pesantren ini, ternyata tidak sebatas pada hubungan keilmuan semata. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, kedua pesantren ini mempunyai hubungan kekerabatan, bahwa KH. Qurtubi merupakan paman KH Badruzaman dari garis ibu.208 Jaringan ulama melalui faktor keilmuan ini, bisa dilihat dari hubungan antara Pesantren Al-Musaddadiyah dengan Pesantren Cipari.209 Pendiri AlMusaddadiyah, yaitu KH. Anwar Musaddad pernah menimba pengetahuan keagamaannya di Pesantren Cipari. Ia berguru kepada KH Yusuf Taujiri hingga ia dianjurkan untuk belajar di Arab Saudi selama sebelas tahun. Anwar Musaddad beragama Kristen bahkan menjadi pastur. Melalui pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Yusuf Taujiri, ia masuk Islam hingga menjadi tokoh Islam terkemuka di Garut bahkan Indonesia.210 Pesantren tertua lainnya adalah pesantren Keresek yang ada di wilayah Cibatu Kabupaten Garut. Penelusuran jaringan ulama melalui keilmuan ini bisa 207
Ading Kusdiana, ibid; Lihat: Asep Ahmad Hidayat, wawancara, 7 Julii 2009 Ibid 209 Pesantren Cipari berada di daerah Garut bagian timur, tepatnya di Kampung Cipari Desa Sukarasa Kecamatan Pangatikan Garut. Lokasi pesantrennya berdiri di tengah-tengah masyarakat tanpa adanya pembatas fisik (benteng), hal ini telah menunjukkan bahwa keberadaan pesantren tersebut sejak awal tidak terlepas dari dukungan dan peran masyarakat di sekitarnya.Salah satu pimpinan pesantren ini adalah KH Yusuf Taujiri yang merupakan ulama besar dan berpengaruh di Kabupaten Garut. 210 Asep Ahmad Hidayat, wawancara, 7 Juli 2009 208
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
99
dilihat pada masa kepemimpinan KH Nahrowi, anaknya pendiri pesantren Keresek, KH.Tobri. Menurut hasil penelusuran, KH Nahrowi pernah belajar ke Bangkalan Madura. Sama dengan pimpinan pesantern Pangkalan KH. Qurtubi yang pernah belajar ke pesantren Bangkalan Madura.211 Dari paparan di atas, tampak bahwa ulama mempunyai jaringan keilmuan melalui penelusuran dari pendidikan yang pernah dilaluinya. Pesantren Pangkalan, Pesantren Biru, Pesantren Cipari, Pesantrena Al-Musadaddiyah, serta Pesantren Keresek merupakan pesantren yang memberikan dukungan terhadap gerakan politik ulama di Garut periode 1998-2007. Melalui jaringan keilmuanlah terbentuk ikatan emosional di antara ulama Garut, paling tidak yang berada di pesantren tersebut. 3.3.2.2. Jaringan Perkawinan Untuk memahami pola jaringan ulama selanjutnya, adalah melalui jalur perkawinan. Seperti diungkapkan pada sub sebelumnya, media perkawinan ini sudah menjadi kebiasaan yang dikembangkan oleh para ulama untuk melakukan pola hubungannya. Jaringan perkawinan ini akan menimbulkan hubungan yang kuat antar ulama di kabupaten Garut. Biasanya ulama melakukan perkawinan anaknya dengan keluarga ulama lainnya dari pesantren yang berbeda. Pola perkawinan antara keluarga ulama ini menjadi karakteristik yang menjadi kekhasan para ulama dalam menjalin hubungan. Menurut infomasi yang didapatkan, pola ini dilakukan untuk terciptanya kelanjutan dari hidup matinya pesantren. Salah satu dasar terciptanya karakteristik tersebut, adalah dengan melihat pemahaman keagamaan antara ulama dengan ulama lainnya. Tanpa mempunyai pemahaman keagamaan yang sama, perkawinan tidak akan terjadi. Mengenai pemahaman keagamaan ini dapat dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Pola dan karakteristik tersebut bisa dilihat pada hubungan perkawinan di bawah ini.
211
Ading Kusdiana, Op.cit. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
100
Perkawinan Musadaddiyah.
212
antara
pesantren
Pangkalan
dengan
Pesantren
Al-
Pimpinan pesantren Pangkalan, K.H. Qurtubi menikah dengan
H. Fatimah mempunyai anak Ny. Hj. Rd. Atikah. Anaknya tersebut dinikahkan dengan pendiri dari Pesantren Al-Musadaddiyah, yaitu KH Anwar Musaddad. Dari perkawinan tersebut melahirkan beberapa orang anak, salah satunya adalah K.H. Cecep Abdul Halim. KH. Cecep Abdul Halim inilah yang meneruskan pola hubungan antara ulama melalui jalur perkawinan, yaitu antara pesantren Cipari yang memiliki hubungan yang dekat dengan Pesantren Al-Musadaddiyah, karena K.H. Cecep Abdul Halim sebagai putera dari K.H. Anwar Musaddad menikah dengan anak seorang kyai dari Pesantren Cipari, yang bernama Hj. Lilis anak dari KH Yusuf Taujiri. Oleh karena adanya ikatan perkawinan antara K.H. Cecep Abdul Halim dengan
Hj. Lilis hubungan antara Pesantren Cipari dengan Pesantren Al-
Musadaddiyah menjadi dekat. Hj. Lilis menjadi mantu K.H. Anwar Musaddad dan K.H. Anwar Musaddad menjadi bapak mertua
Hj. Lilis. Begitu
juga
sebaliknya K.H. Abdul Halim menjadi mantu dari K.H. Yusuf Taujiri selaku pimpinan Pesantren Cipari pada waktu itu213. Kemudian bisa dilihat dari perkawinan ulama diantara dua pesantren yaitu Pesantren Hidayatul Faizin dengan Pesantren Fauzan. Pendiri pesantren Hidayatul Faizin, KH. Abdul Wahab menikah dengan Lasi mempunyai anak empat, diantaranya KH. Abdul Kohar. KH. Abdul Kohar menikah dengan Rd. Kulsum mempunyai anak KH. Rd. Hidayatullah dan Rd. Hindasah. KH. Rd. Hidayatullah 212
Pesantren Musadaddiyah merupakan sebuah pesantren besar di Kabupaten Garut, yang didirikan oleh KH Anwar Musaddad pada tahun 1975. Sebagaimana pesantren lainnya, didirikannya pesantren ini bertujuan untuk melahirkan para ulama yang paham terhadap ajaran Islam. Anwar Musaddad merasa terpanggil untuk mendirikan lembaga keagamaan ini. Oleh karena itu, orientasi pesantren ini adalah bidang keagamaan. Meskipun pada perkembangan selanjutnya, pesantren ini menjamah dalam dunia pendidikan dan sosial dengan dibentuknya Yayasan AlMusadaddiyah. Keberadaannya di Kabupaten Garut sangat mempengaruhi dunia pendidikan warga masyarakat Garut. Dewasa ini, yayasan ini sudah membuka program sarjana yang mencetak para sarjana agama dan sarjana umum. Dalam katagori sekolah agama, ada Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah hingga Sekola Tinggi Agama Islam. Sementara sekolah umum, dimulai dari SD, SMP, SMA hingga Sekolah Tinggi Teknik Garut. Keberhasilan ini berkat dari perjuangan Anwar Musaddad yang diteruskan oleh anak-anaknya. (KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 8 November 2010) 213 H. Shaleh, wawancara, 27 November 2010; KH. Bunyamin, wawancara, tanggal 28 Juli 2011 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
101
menikah dengan Rd. Hj. Saudah mempunyai anak tujuh, yaitu Rd. Gaesudin, Rd. Zakiyah, Rd. Uus, Rd. Kiki, Rd. Hindin, Rd. Didah, dan Rd. Ida. Di antara ketujuh anak ini, yaitu Rd. Zakiyah menikah dengan KH. Wajihaddin putera dari pesantren Fauzan mempunyai anak A. Mimar, Neng Herlina, Neng Ani, Neng Wini, dan Neng Hani. Dari kelima anak ini KH. A. Mimar menjadi penerus dari ayahnya sebagai pimpinan pondok pesantren dan dijuluki sebagai kyai anom karena ayahnya masih ada yang dijuluki kyai sepuh. KH. A. Mimar ini menikah dengan Hj. Dalfah dikaurnia anak sembilan, yaitu Neng Hilma, Ceng Nouval, Ceng Malki, Neng Helni, Ceng Mayan, Neng Halwa, Neng Halwi, Neng Dinah, dan Ceng Deden. Dari kesembilan anak tersebut satu yang sudah melakukan perkawinan, yaitu Neng Hilma yang dinikahkan dengan seorang anak kyai dari Ciamis bernama Ceng Ade.214 Hubungan perkawinan ulama diantara keluarga pesantren ini bertujuan untuk memperkuat basis ilmu keagamaan Islam yang didakwahkan oleh kedua pesantren. Basis keilmuan ini berimplikasi kepada pola keilmuan yang dikembangkan oleh kedua pesantren yang berdasarkan pada pola pemahaman keagamaan yang sama. 3.3.2.3. Jaringan Geneologis/Kekerabatan Kinship
atau
Kekerabatan
menjadi
faktor
penting
juga
dalam
melanggengkan sebuah institusi pesantren. Para ulama berusaha menjadikan faktor kekerabatan ini sebagai media untuk menjadikan pesantren yang dipimpinnya tetap exis di lingkungan masyarakat. Melakukan regenerasi terhadap anak-anaknya menjadi perhatian para ulama. Oleh karena itu, ulama melakukan pendidikan semenjak dini yang diorientasikan supaya anaknya menjadi penerus bagi kelangsungan pesantren. Biasanya, anak laki-laki yang tertua diharapkan akan menjadi penerusnya sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal. Sementara anak laki-laki lainnya diberi pendidikan agar bisa mendirikan pesantren baru atau menggantikan kedudukan mertuanya bila ia dikawinkan
214
Setia Gumilar, ―Pergeseran Kyai dalam Kehidupan Masyarakat‖. Tesis. Unpad. 2004. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
102
dengan anak di sebuah pesantren lain.215 Pola ini hampir terjadi di setiap pesantren yang ada di Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Garut. Pola kekerabatan lainnya yang dilakukan oleh ulama adalah melakukan penguatan pola kekerabatan melalui mekanisme perkawinan anak perempuannya dengan santrinya yang dipandang cakap untuk menjadi seorang ulama. Apalagi santri tersebut berasal dari keluarga ulama. Pola ini akan menjalin ikatan kekerabatan yang alur kekerabatannya semakin kuat. Semakin terkenal kedudukan ulama, akan semakin luas pola kekerabatannya dengan ulama yang lain. Selanjutnya dengan semakin kuat dan luasnya hubungan tali kekerabatan antar ulama tersebut telah menghasilkan integrasi dan persatuan antar ulama dan pesantren.216 Kenyataannya bisa dilihat dari pola hubungan kekerabatan antara pesantren Cipari dengan pesantren Al-Musadaddiyah. Pola kekerabatan dua pesantren ini berawal dari adanya hubungan perkawinan di antara anak-anak pimpinan kedua pesantren tersebut. seperti telah disinggung pada sub sebelumnya, bahwa anak dari KH Yusuf Taujiri, pimpinan pesantren Cipari, Hj Lilis dinikahkan dengan anak pimpinan pesantren Al-Musadaddiyah, KH Cecep Abdul Halim. Dua perkawinan anak ulama besar ini berdampak kuatnya hubungan kekerabatan di antara dua pesantren tersebut. Pola kekerabatan lainnya adalah antara pesantren Cipari dengan pesantren Darusalam Wanaraja. Pola kekerabatan ini bisa dilihat dari silsilah pesantren Cipari, dari garis KH. Harmaen yang mempunyai anak empat orang yaitu KH. Abdul Kudus, KH. Yusuf Taujiri, KH. Bustomi dan Hj. Siti Quraisyin217 Sepeninggalnya KH. Harmaen, pesantren Cipari dipimpin oleh dua orang anaknya, yaitu KH. Abdul Qudus KH. Yusuf Taujiri. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, KH. Yusuf Taujiri berinisiatif untuk mendirikan pesantren baru, tidak jauh dari pesantren Cipari. Pada tahun 1939, ia mendirikan pesantren Darussalam Wanaraja Garut. Pendirian pesantren Darussalam ini dilatarbelakangi oleh kondisi pesantren Cipari yang tidak bisa menampung lagi masyarakat ketika 215
Zamakhsyari Dhofier, Op.cit hal.62 Ibid 217 KH Bunyamin, wawancara, 28 Juli 2011 216
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
103
adanya kegiatan pendidikan. Hubungan antara Pesantren Cipari dengan Pesantren Wanaraja tetap baik, bahkan K. H. Tusuf Taujiri masih banyak terlibat dalam kegiatan pendidikan di Pesantren Cipari, lebih-lebih pesantren Cipari yang telah menjadi basis kegiatan pergerakan pada waktu, sebagai tempat berkumpulnya Cokroaminoto, S.M. Kartosuwiryo, dan K. H. Yusuf Taujiri sendiri.218 Pola kekerabatan ulama lainnya bisa dilihat dari hubungan pesantren Pangkalan dengan Pesantren Al-Falah Biru. KH. Badruzaman sebagai pimpinan dari pesantren Al-Falah Biru mempunyai paman dari garis ibu, yang bernama KH Qurtubi sebagai pimpinan pesantren Pangkalan. KH. Qurtubi, sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya merupakan guru dari KH. Badruzaman ketika menimba ilmu di pesantren Pangkalan. 3.3.2.4 Jaringan Tarekat Menurut Zamaksyari Dhofier219 keberadaaan tarekat memiliki peranan yang sangat efektif bagi penyebaran Islam. Bila dilihat secara historis, bahwa orang yang mempunyai peran dalam menyebarkan Islam di Nusantara adalah para pemimpin Tarekat. Dhofier menyebutkan efektifnya tarekat dijadikan media untuk menyebarkan Islam, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, tekanan tarekat pada amalan-amalan praktis dan etis cukup menarik menarik perhatian bagi kebanyakan anggota masyarakat. Dengan demikian penyebaran Islam tidak melalui ajaran-ajaran keagamaan secara teoritis, melainkan melalui contoh-contoh perbuatan dari para guru tarekat….Islam yang disebarkan oleh organisasi-organisasi tarekat bukan bersifat doktrin-doktrin formal yang kaku, melainkan menekankan perasaaan keagamaaan, dan keintiman hubungan baik antara manusia baik dengan Tuhan maupun sesama manusia. Kedua, dalam organisasi tarekat biasanya ada pertemuan secara teratur antara sesama anggota tarekat dapat memenuhi kebutuhan sosial mereka. Ketiga, organisasi-organisasi terekat
218 219
Ibid Zamakhsari Dhofier, Op. cit. hal: 135-136 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
104
mengajak kaum wanita secara penuh, yang di dalam lembaga-lembaga keIslaman kurang memperoleh saluran yang cukup220 Sebagai bukti dari pendapat Dhofier di atas, kehadiran Tarekat Tijaniah dalam menyebarkan Islam di kabupaten Garut. Tarekat yang dikembangkan oleh KH. Badruzaman ini menekankan pada syari‘at dan praktik ibadah mahdah. Masyarakat banyak yang tertarik terhadap Tarekat Tijaniah ini, disebabkan oleh ajarannya yang berusaha berbeda dengan ajaran tarekat sebelumnya yang menitik beratkan pada ajaran asketisme sufi tradisonal, seperti zuhd,221 khalwat,222 atau uzlah223. Tarekat Tijaniah ini mengajarkan kepada para pengikutnya agar senantiasa untuk melakukan sikap yang mendukung terhadap perilaku syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Dengan sikap syukur tersebut, diharapkan kepentingan yang berujung pada kenikmatan fisik bukan sesuatu yang diutamakan. Adanya sinergisitas antara kenikmatan jasmani dan rohani menjadi ajaran dari Tarekat ini. Sinergisitas ini akan bisa diwujudkan oleh para pengikut Tarekat Tiajniah apabila dalam melakukan aktivitas kehidupannya berprinsip selalu menjauhi pada perbuatan dosa. Oleh karena ajaran itulah, Tarekat ini banyak yang mengikutinya, karena senantiasa mementingkan syari‘at dan sering disebut dengan istilah neo-sufism (Tasawuf Modern)224 Gerakan Tarekat Tijaniah di Garut yang dikembangkan oleh KH. Baduzaman berusaha untuk selalu mengembangkan ajaran al-Tijani seperti diungkapkan di atas. Ia diangkat sebagai muqaddam yang mempunyai tugas untuk mengjarkan wirid-wirid kepada para muridnya. Pola pembelajaran yang didapat
220
Ibid, hal:144-145 Zuhd ialah suatu keadaan hidup dengan meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. 222 Khalwat ialah menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak selama beberapa hari untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Melalui shalat dan ibadah lainnnya. 223 Uzlah ialah mengasingkan diri dari kehidupan sosial dengan tujuan mendapatkan ketenangan spiritual. 224 Herlina et al.,Perkembangan Islam di Jawa Barat. Bandung. Yayasan MSI. 2011. hal: 172; Ading Kusdiana, Op.cit. hal. 444; Oman Abdurahman. 2010. Sejarah Pesantren Al-Falah Biru dan Perjuangan Melawan Penjajah Belanda dan Jepang. Yayasan Pendidikan Islam AlFalah Biru dan Yayasan Pendidikan Islam Daruthalibin: 5-6; Ikyan Badruzaman. 2011. Syekh Ahmad Al-Tijani dan Tarekat Tijaniyah di Indonesia. Bandung: Pustaka Rahmat, hal: 35-85 221
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
105
melalui talqin barzakhi ini terus dikembangkan oleh KH. Badruzaman hingga membentuk pola jaringan antar ulama melalui Tarekat Tijaniyah.225 Jaringan Tarekat Tijaniyah ini bisa dilihat dari pola hubungan yang dilakukan oleh Pesantren Al-Falah Biru dengan pesantren-pesantren lainnya, yang sama-sama mengembangkan Tarekat Tijaniah. Di antara pesantren tersebut adalah Darul Falihin, Al-Asyariyah Cimencek, Al-Hidayah,
Pesantren Al-Manar ,
dan Singajaya di Garut. Jaringan tarekat ini tidak lepas dari peran besar dari K.H. Badruzaman.
Ia telah menjadikan Pesantren Al-Falah Biru sebagai pusat
penyebara Tarekat Tijaniah. Dalam pengembangannya, ia mengangkat beberapa wakilnya di beberapa daerah, di antaranya KH. Mukhtar Gozali dari Pondok Pesantren Al-Falah, KH. Ma‘mun, tokoh masyarakat dan ulama di Samarang (Garut), KH. Endung (Ulama di Cioyod-Cibodas Garut).226 3.3.2.5 Kesamaan Pemahaman Keagamaan Jaringan ulama berdasarkan kesepahaman keagamaan di daerah Garut bisa dilihat dari pola hubungan antara organisasi kemasyarakatan. Pendirian Ormas diawali dengan pemikiran yang sama mengenai tafsiran terhadap ajaran islam. Misalnya Nahdhatul Ulama227 (NU), Muhammadiyah228, dan Persis229. 225
Syamsuri, Op.Cit. Hal. 226; Ikyan Badruzaman. Ibid. hal: 35; Ading Kusdiana, Op.cit.
hal 445. 226
Ikyan, wawancara, 12 Desember 2010; Ading Kusdiana, Op.cit hal. 446. Nahdhatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asya‘ari pada tanggal 31 Januari 1926. Tujuan didirikannya adalah melaksanakan syari‘at islam tetapi bukan melakukan islamisasi negara. Lahirnya Nu sering dikatakan sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah, yang dianggap menghilangkan trades keagamaan yang sudah mengakar di masyarakat, seperti ziarah kubur, berzikir, tahlil, dan mengikuti mazhab Sayfi‘i. Sementara NU Cabang Garut didirikan sekitar tahun 50-an yang bergerak di dalam bidak dakwah yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah. KH Agus Muhammad Sholeh, wawancara, 28 November 2010 228 Kata Muhammadiyah dihubungkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengandung arti sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW. Secra resmi berdiirnya Muhammadiyah diawali dengan pengajuan permohonan KH Ahmad Dahlan kepada Pemerintahan Hindia Belanda pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Lihat: Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Persatuan.1990, hal. 52. Sementara Cabang Muhammadiyah Garut disahkan oleh Pimpinan Pusat pda tanggal 30 Maret 1923. Sebagai organisasi gerakan pembaharuan dalam pendidikan dan pemurnian ajaran Islam, Muhammadiyah Cabang Garut mempunyai pengaruh terhadap perubahan sosial masyarakat sekitarnya, salah satunya cabang Garut Muhammadiyah merupakan pusat kaderisasi Muhammadiyah di Jawa Barat. Abdul Muis,wawancara 28 November 2010. 229 Persis dilahirkan pada tanggal 12 September 1923 di Bandung. Nama Persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad, berusaha sekuat teanga untuk 227
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
106
Ulama yang terhimpun di dalam wadah Nahdhatul Ulama adalah para ulama yang mempunyai kesepahaman terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh pemkiran atau mazhab Syafiiyah230. Sering ulama yang masuk pada katagori ini disebut dengan ulama tradisional. Misalnya, KH. Muhammd Qudsi, selaku pimpinan pesantren Suci dan mantan dari Syuriyah NU pusat dan KH. Cecep Abdul Halim sebegai pimpinan pesantren Musadaddiyah. Ulama yang terhimpun dalam organisasi Muhammadiyah adalah para ulama yang mempunyai kesepahaman terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran atau mazhab Hanafi.231 Sering ulama yang masuk katagori ini disebut dengan ulama modernis. Misalnya, KH. Aceng Zakaria selaku pimpinan Persis Garut dan Syukron Makmun selaku tokoh Muhammadiyah Garut. Selain pendekatan organisasi kemasyarakatan, jaringan ulama di Garut juga diikat oleh kesamaan pemikiran keagamaan yang didasarkan atas tafsiran terhadap pemahaman keagamaan yang bersifat tekstual dan kontekstual. Pemahaman keagamaan tekstual memahami ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam kitab suci, baik itu Quran atau Hadits. Kelompok ini diwakili oleh ulama yang terhimpun dalam Front Pembela Islam (FPI), seperti KH. Endang Yusuf selaku ketua KPSI Kabupaten Garut.. Sementara pemahaman keagamaan kontekstual memahami ajaran Islam berdasarkan kepada konteks dari sebuah peristiwa. Ulama ini ada dalam wadah Majelis Ulama Indonesia, seperti Undang Hidayat selaku Sekretaris MUI Kabupaten Garut.
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.. Pertama kali pimpinan Persis dipimpin oleh H. Zamzam, H. Muhammad yunus, Ahmad Hasan, dan Muhammad Natsir.. Lihat: persis.or.id. Sementara Persis Cabang Garut didirikan pada tahun 1960` 230 Mazhab syafiiyah didirikan oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi‘i. Beliau dilahirkan di Gaza Palestian tahun 150 H.Ia sebagai seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.Beliau mengarang kitab Ar-Risalah buku pertama tentang fiqh dan Kitab Al-Umm yang berisimazhab fiqhnya yang baru. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra‘yi dan fiqh ahli hadits.. Dasar Mazhabnya: Al-quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.Corak pemirian hukumnya adalah antara tardisional dan rasional. 231 Mazhab Hanafi didirikan oleh An-Nu‘man bin Tsabit atau lebih dikenal dengan imam Abu Hanifah. Beliau berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau Hidup dalam masa daulah Umayah dan Abasiyah. Pemikirannya sangat mengedepankan masalah pemanfaatan akal/logika dalam mengupas masalah fiqh. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
107
Dari kesepahaman keagamaan di atas maka terjadilah jaringan ulama di Garut sebagaimana terjadi pada periode 1998-2007. Selain faktor keilmuan, geneologis,
perkawinan,
dan
kesamaan
Tarekat,
kesamaan
pemahaman
keagamaan menjadi faktor bagi ulama dalam melakukan pola hubungan antar ulama di kabupaten Garut. Satu bentuk yang terjadi adalah gerakan penerapan Syari‘at islam dan Gerakan Anti Korupsi. Demikian jaringan antar ulama yang terjadi di wilayah Kabupaten Garut. Dengan
adanya
jaringan
yang
menginformasikan bahwa pesantren
terbentuk
antar
ulama
bukan
saja
telah memberikan peran dalam bidang
pendidikan, penyebaran dan pengembangan syiar Islam, tetapi secara substansial pesantren telah mengokohkan kontinuitas eksistensi Islam di wilayah Garut.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
108
BAB IV AKSI PARA ULAMA DI GARUT 1998-2007
Dalam melakukan proses perubahan di Kabupaten Garut, posisi ulama begitu penting. Ia mempunyai peran yang sangat signifikan dalam setiap kurun waktu dengan warna yang sangat dinamis. Seperti dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, kedinamisan ulama ini ditentukan oleh realitas yang terjadi di kabupaten Garut. Pola hubungan yang dibangun oleh ulama dengan unsur lainnya membentuk watak dan karakter dalam melakukan perubahan di masyarakat Garut. Hal ini tampak pada masa orde baru yang kecenderungan ulama dalam melakukan perubahan sangat hati-hati, dikarenakan adanya penggiringan orientasi gerakan yang diperankan oleh pemerintah, ke aspek keagamaan semata. Sangat berbeda dengan masa orde reformasi, ulama mengalami pergeseran yang sangat signifikan. Ulama tidak hanya berorientasi pada aspek keagamaan semata, tetapi mampu memperlihatkan jatidirinya sebagai kelompok yang mempunyai kemamapuan dalam melakukan gerakan di luar jalur keagamaan, dalam hal ini aspek politik. Dalam bab ini dijelaskan kemampuan ulama dalam melakukan gerakan politik selama kurun waktu 1998-2007. Selama kurun waktu inilah, ulama memeprlihatkan kemampuannya dalam melakukan pola hubungan di masyarakat Garut, dengan melakukan fokus gerakan politik, yaitu mewujudkan masyarakat Garut sebagai kabupaten yang menerapkan syari‘at Islam dan melakukan koreksi terhadap pelaksanaan pemerintahan yang bersih dari tindak pidana korupsi. Secara garis besar, pembahasan dalam bab ini dibagi dalam dua pembabakan, yaitu pada kurun waktu 1998-2002 dan 2002-2007. Pembabakan ini dilandaskan pada dua peristiwa penting yang melibatkan ulama di dalamnya, yaitu penerapan syari‘at Islam dan gerakan anti korupsi. Dalam dua pembabakan ini, tampak ulama sebagai aktor gerakan dalam melakukan perubahan di kabupaten Garut. Karakter ulama tampak berbeda dengan masa Orde Baru. Pada kurun ini ulama memperlihatkan posisinya sebagai komponen yang bukan sebagai subordinat dari pemerintah, tetapi ulama sebagai komponen yang mampu Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
109
melakukan perubahan dalam menjalin hubungan dengan pemerintah. Lebih jelasnya akan dibahas dalam setiap sub bab. 4.1.
Penerapan Syari’at Islam di Garut 1998-2002 Dalam membahas penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut pada
kurun waktu 1998-2002, akan dijelaskan beberapa hal yang dipahami penting untuk diketahui oleh , yaitu seputar idea atau gagasan, proses penerepannya, aktor gerakan, dinamika yang berkembang hingga sosialisasi syari‘at Islam kepada masyarakat. 4.1.1. Gagasan Penerapan Syari’at Islam di Garut Bila dilihat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, penerapan syari‘at Islam
232
sudah muncul dan berkembang semenjak masa prakemerdekaan hingga
lebih menjadi perhatian yang serius ketika Indonesia mengalami fase yang menuntut adanya pijakan dalam melakukan pengelolaan bangsa ini dengan baik pasca kemerdekaan yang diraihnya. Pada saat inilah, para tokoh yang menjadi pejuang kemerdekaan memikirkan untuk merumuskan landasan bernegara dan berbangsa. Dalam perumusan landasan tersebut, muncul aspirasi berupa gagasan syari‘at Islam yang harus dituangkan dalam landasan konstitusional Negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Aspirasi ini muncul dari kalangan umat Islam Indonesia dalam sebuah sidang untuk merumuskan landasan bernegara dan berbangsa, yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta
232
Syari‘ah berasal dari kata syari‟a, berarti mengambil jalan yang memberikan akses pada sumber. Istilah syari‘ah juga berarti jalan hidup atau cara hidup. Akar kata syari‘ah dan turunannya dalam pengertian yang umum digunakan hanya dalam lima ayat al-Qur‘an (QS. 5:48, 7:163, 42:13, 42:31, dan 45:18). Secara umum, syari‘ah berarti ―cara hidup Islam yang ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi‖. Jadi, ia tidak hanya mencakup persoalan-persoalan legal dan jurisprudensial, tapi juga praktik-praktik ibadah ritual, teologi, etik dan juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik (Lihat Abdullahi Ahmed An-Na‘im, ―Al-Qur`an, Syari‘ah, dan HAM: Kini dan di Masa Depan‖, Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993, hal. 112). Syari‘at Islam yang dipahami di Garut, ada dua pendekatan, yaitu pendekatan yang sifatnya formal dan substantif. Dalam pendekatan formal, syari‘at Islam adalah ajaran Islam yang harus dikodifikasi dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah. Sementara dalam pendekatan substantif, kita harus melihat dari ide syariat islam yang diperjuangkan di Garut. Idenya adalah mewujidkan persamaan, keadilan, dan toleransi. (Undang Hidayat, wawancara, 26 November 2010.) Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
110
inilah, gagasan syari‘at Islam dimunculkan dengan mencantumkan pernyataan yang terdiri dari tujuh kata, yaitu ―dengan kewajiban melaksanakan syari‘at Islam bagi pemeluknya.‖233 Fakta sejarah membuktikan, bahwa upaya umat Islam tersebut mengalami kegagalan setelah mendapat respon dari komponen lain yang tidak berkehendak syari‘at Islam dijadikan landasan bernegara. Dalam perjalanan bangsa selanjutnya, ternyata gagasan penerapan syari‘at Islam yang mengalami kegagalan sebagai landasan bernegara tersebut, muncul kembali pada masa peralihan orde baru menuju orde reformasi. Seperti diketahui dalam catatan sejarah bangsa ini, pasca penolakan syari‘at Islam seperti diungkapan di atas, umat Islam terus memperjuangkannya walaupun selalu mendapat batu sandungan dari komponen bangsa lain. Perjuangan umat Islam ini tampak pada masa reformasi, dengan maraknya gagasan syari‘at Islam di berbagai daerah yang ada di Indonesia ini, seperti di Aceh dan Jawa Barat. Khususnya di Jawa Barat, menurut amatan peneliti, telah terjadi upaya penerapan syari‘at Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam, seperti yang terjadi di Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Gagasan penerapan syari‘at Islam di ketiga daerah ini, sekaligus menjadi bukti bahwa perjuangan umat Islam dalam mewujudkan daerah yang berlandaskan syari‘at Islam tidak pernah surut. Alam reformasi menjadi pemicu munculnya kembali perjuangan syari‘at Islam di Indonesia. Ada perbedaan mengenai penerapan syari‘at Islam yang terjadi di ketiga daerah tersebut.
233
Berbagai gerakan syari‘at Islam yang terjadi di wilayah Indonesia, seperti Aceh, Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut, pada prinsipnya mengacu pada konsep syari‘at Islam yang ada di dalam Piagam Jakarta. Tetapi, dalam perjalanan memperjuangkannya, setiap daerah mempunyai pola yang berbeda. Prinsipnya pada Piagam Jakarta, sementara realitasnya ada yang mendekati, seperti di Aceh serta ada yang hanya menangkap pesan dari peristiwa Piagam Jakarta, seperti halnya di Garut. Pada era reformasi hal serupa terus diperjuangkan oleh sebagaian elemen masyarakat. Diantaranya adalah apa yang ditegskan Yusril Ihza Mahendra, sebagai pimpinan tertinggi Partai Bulan Bintang. Ia bertekad untuk ―tidak surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk dimasukkan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 194s sehingga bunyinya menjadi, ―negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban melaksanakan Syari‘at Islam bagi pemeluknya‖. Selanjutnya, Yusril menegaskan bahwa ia akan terus memperjuangkan agar Piagam Jakarta yang merupakan hasil dialog golongan nasionalis dan Islam masuk dalam UUD 1945 baik sekarang maupun masa yang akan dating. Namun, segera ia menambahkan, bahwa ia akan memperjuangkan hal itu melalui cara-cara demokratis, sah, dan konstitusional. (Tokoh Indonesia.com) Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
111
Penerapan Syari‘at Islam di Cianjur dan Tasikmalaya tidak disertai deklarasi, sementara di Garut disertai dengan deklarasi.234 Lahirnya gagasan penerapan syariat Islam di Garut dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal ini bisa dilihat dari realitas
masyarakat Garut dihadapkan kepada berbagai problem yang berujung kepada maraknya
kemaksiatan,
seperti
prostitusi,
perjudian,
pencurian,
dan
penyalahgunaan wewenang dalam melakukan pengelolaan anggaran, baik di level legislatif maupun eksekutif. Secara normatif, pihak pemerintah sudah membuat aturan main berupa peraturan daerah Nomor 2 Tahun 1988 dan peraturan daerah Nomor 6 Tahun 2000 mengenai ketertiban umum termasuk mengatur masalah kesusilaan.235 Seiring dengan perjalanan waktu, keberadaan Perda tersebut belum bisa dijadikan sebagai payung dalam memberantas berbagai bentuk kemaksiatan. Malahan, sebaliknya aturan normatif ini mendapatkan kritikan dari sekelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan keberadaannya. Ikatan Pedagang Kaki Lima Garut (IPKL-G) melakukan protes terhadap keberadaan perda ini. Mereka merasa dirugikan dengan adanya perda tersebut. Tuntutan yang diajukannya adalah dihapuskan atau dicabutnya perda tersebut. Protes yang dilakukan oleh IPKL-G ini mengundang reaksi dari komponen masyarakat lain, yaitu umat Islam. Ulama dan para aktivis Islam yang tergabung dalam organisasi mahasiswa Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pemuda Persis, GP Anshor, Front
234
Pola penerapan syari‘at Islam yang berlaku di Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut mempunyai perbedaan, seperti diungkapkan di atas. Dalam tataran implementasi, Garut hanya mampu mendeklarasikan syari‘at Islam, yang selanjutnya diberi kewenangan kepada LP3SyI. Di Garut penerapan syari‘at Islam tidak berujung pada kebijakan politik, seperti terjadi di Cianjur dan Tasikmalaya yang berujung pada lahirnya Perda. Syari‘at Islam di Garut dipahami sebagai pola yang berorientasi pada aspek-aspek substansial bukan politik. Hal ini disebabkan oleh adanya perdebatan di antara pelaku dan masyarakat seputar pola penegakan syari‘at Islam. Sementara diTasikmalaya dan Cianjur, syari‘at Islam sudah pada tataran kebjikan politik berupa perda. Akan tetapi, implementasi dari syari‘at Islam yang terjadi di ketiga daerah tersebut dihadapkan pada plus minus. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa satu diantara tiga daerah yang memberlakukan syari‘at Islam di Jawa Barat lebih bagus atau jelek dalam implementasinya. 235 KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009; Yosef Juanda, wawancara 26 November 2010 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
112
Pembela Islam, menyerang balik atas usulan dari kelompok masyarakat IPKL-G. Konflik pun tidak terhindarkan.236 Alasan umat Islam yang dipelopori oleh ulama tersebut, didasarkan pada realitas yang terjadi di masyarakat Garut, yaitu maraknya berbagai bentuk kemaksiatan. Adanya Perda tentang anti kemaksiatan, tetap saja berbagai bentuk kemaksiatan merajalela, apalagi perda tersebut di cabut. Perjuangan terhadap harus dipertahankannya perda anti kemaksiatan ini, sebagai wujud dari para ulama di Garut, yang senantiasa menjadikan etik keagamaan sebagai pijakan dalam melakukan perannya di masyarakat. Sikap inilah memperkuat Garut sebagai label kota santri. Maka dari itu, ulama berisi keras untuk mempertahankan perda tersebut, bahkan mengusulkaan lebih lanjut agar diterapkannya Syari‘at Islam di Kabupaten Garut, sebagai upaya untuk melakukan penyelesaian terhadap berbagai bentuk kemaksiatan yang terjadi.237 Sedangkan faktor eksternal yang melatarbelakangi munculnya gagasan penerapan Syari‘at Islam adalah adanya kebijakan dari pemerintah pusat mengenai otonomi daerah (otda).238 Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 1 huruf h, otda diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa berdasarkan aspirasi masyarakat. Pengertian tersebut, dipahami oleh umat Islam Garut, dalam hal ini ulama, bahwa dalam rangka memberikan solusi terhadap berbagai persoalan pasca adanya perubahan strtuktur politik, Syari‘at Islam dipandang 236
Ibid KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009; Yosef Juanda, wawancara 26 November 2010 238 Bangsa Indonesia pada umumnya menyadari bahwa salah satu sebab terjadinya krisis bangsa adalah kooptasi kekuasaan daerah oleh pusat sehingga konsentrasi bangsa pada awal pemerintahan Habibi dan juga dilanjutkan pada zaman Abdurrahman Wahid adalah otonomi daerah. Oleh karena itu, terbentuklah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Berkenaan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah itu, di beberapa wilayah Nusantara, muncul tuntutan yang lebih besar terhadap Otonomi Daerah. Salah satu tuntutan masyarakat yang gaungnya sangat besar adalah tuntutan tentang pelaksanaan Syari‘at Islam. Husaini menjelaskan bahwa reformasi dimanpaatkan oleh berbagai kalangan kaum Muslimin Indonesia untuk menggelorakan penerapan Syari'at Islam di Indonesia. Kaum muslimin di sejumlah daerah, seperti Daerah Istimewa Aceh, Propinsi Sulawesi Selatan, dan Maluku. UU Otonomi Daerah biasanya dijadikan sebagai pintu masuk untuk menerapkan Syari'at Islam. (Lihat: Jaih Mubarok, ―Gerakan Pelaksanaan Syari‘at Islam di Cinajur Jawa Barat‖, Makalah.) 237
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
113
penting untuk diperjuangkan di Kabupaten Garut. Oleh karena itu, seiring dengan adanya kebijakan Otda tersebut, wacana penerapan Syari‘at Islam disosialisasikan oleh umat Islam ke masyarakat luas. Berkembanglah berbagai wacana untuk menerapakan syari‘at Islam di Garut. Apabila dilihat dari dasar Undang-Undang tentang Otda, maka kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri bukan berarti bisa diartikan dalam kebebasan masyarakat yang ada di daerah, tetapi kewenangan yang tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penerpana syari‘at Islam yang diwacanakan di Kabupaten Garut tidak mengarah pada formalisasi Syari‘at Islam dalam wujud hukum positif. Hal ini disebabkan konstitusi Negara kita tidak mengatur tentang formalisasi syari‘at Islam. Penerapan syari‘at Islam yang dimaksud adalah realisasi syari‘at Islam dalam pelbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Syari‘at Islam diterapkan secara substantif dalam berbagai bidang kehidupan tersebut. Tetapi, realitasnya ternyata umat Islam di Kabupaten Garut mempunyai pendapat yang berbeda dengan tuntunan Undang-Undang Otda. Mengenai perbedaan pendapat ini akan dibahas dalam sub judul berikutnya.239 Faktor eksternal lain, yang menuntut penerapan Islam di Kabupaten Garut adalah pemberian otonomi daerah secara khusus kepada Nanggro Aceh Darussalam untuk menerapkan syari‘at Islam di daerahnya.240 Kondsi inilah yang memperkuat umat Islam Garut untuk menerapkan Syari‘at Islam. Berbagai upaya dilakukan oleh umat Islam Garut untuk mewujudkan Garut sebagai daerah yang 239
KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009; Yosef Juanda, wawancara 26 November 2010 240 Untuk membedakan penerapan syari‘at Islam di Aceh dan Jawa Barat, dalam hal ini Garut, bahwa penerapan syari‘at Islam di Aceh itu sudah jelas, bukan sekedar political will tetapi juga sudah menjadi agenda politik, sudah terjadi, tinggal mereka sekarang menata model pemberlakuan syari‘at Islam yang kaya apa baik pada tataran tata laksana, struktur maupun pada tingkatan substansi ajaran. Di Aceh, bentuk penerapan syari‘at Islam tampak dalam kebijakan untuk memakai jilbab bagi seluruh perempuan, termasuk polisi perempuan. Juga dibuatnya kebijakan mengenai polisi syari‘ah yang mengawasi pelaksanaan syari‘at Islam. Sementara di Garut (lebib luas di Jawa Barat), sebagian masyarakat muslim menghendaki formalisasi syari‘at islam tetapi sebagian lain menolaknya. Tetapi yang ingin formalisasi syari‘at Islam ini cukup kuat, dalam arti mempunyai dukungan politik dari Bupati. Salah satu bentuk penerapan syari‘at islam di Garut (Jawa Barat) adalah adanya edaran Bupati agar setiap pegawai perempuan yang muslim memakai jilbab. Hari Jum‘at harus memakai baju taqwa; pas waktu shalat, semua pekerjaan berhenti kemudian shalat bersama-sama. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
114
menerapkan
Syari‘at
Islam.241Selain
itu,
keadaan
eksternal
yang
juga
mempengaruhi munculnya gagasan penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut adalah munculnya gagasan penerapan syari‘at Isalm di Kabupaten Cianjur242 dan Tasikmalaya243. Gagasan penerapan syari‘at Islam di Cianjur dan Tasikmalaya, telah memotivasi beberapa para ulama di Garut untuk mengikutinya, meskipun tampak perbedaan di ketiga daerah tersebut. Penerapan Syari‘at Islam di Cianjur dan Tasikmalaya tidak disertai deklarasi, sementara di Garut disertai dengan deklarasi. Pola penerapan syari‘at Islam yang berlaku di Cianjur, Tasikmalaya, dan Garut mempunyai perbedaan. Dalam tataran implementasi, Garut hanya mampu mendeklarasikan syari‘at Islam, yang selanjutnya diberi kewenangan kepada LP3SyI. Di Garut penerapan syari‘at Islam tidak berujung pada kebijakan politik, seperti terjadi di Cianjur dan Tasikmalaya yang berujung pada lahirnya Perda. Syari‘at Islam di Garut dipahami sebagai pola yang berorientasi pada aspek-aspek substansial bukan politik. Hal ini disebabkan oleh adanya perdebatan di antara pelaku dan masyarakat seputar pola penegakan syari‘at Islam. Sementara di Tasikmalaya dan Cianjur, syari‘at Islam sudah pada tataran kebjikan politik
241
KH. Cecep Abdul Halim, Giom Suwarsono, Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009; Yosef Juanda, wawancara 26 November 2010 242 Syari`at Islam di Cianjur dapat dikelompokkan sebagai living ordonantie (hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat), karena ia sesuai dengan tuntutan filosofis hidup mereka, yuridis (Perda), dan sosiologis. Dari segi teori penegakan hukum pun, syari`at Islam di Cianjur memungkinkan dapat ditegakkan, karena telah ada materi hukumnya (Perda dan sejumlah pedoman lainnya), aparat hukumnya (masyarakat, ulama, dan umara), dan juga agak didukung oleh kesadaran hukum masyarakatnya. Meskipun demikian, harus diakui bahwa penerapan syari`at Isalm di Cianjur masih dalam proses. Oleh karena itu, pelaksanaan syari`at Islam di Cianjur masih minus dari aspek hukum pidana Islam; dan ditandai dengan perkembangan perbankan syari`ah yang rendah. (Lihat: Jaih Mubarok, ―Gerakan Pelaksanaan Syari‘at Islam di Cinajur Jawa Barat‖, Makalah disajikan dalam acara Annual Conference (Konferensi Tahunan) Pascasarjana PTAIN seIndonesia yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Departemen Agama RI, pada tanggal 1-4 Desember 2004 di Banda Aceh NAD.) 243 Penerapan Syari‘at Islam di Tasikmalaya berujung dengan lahirnya Perda Nomor 3 Tahun 2001 yang memuat Visi Kabupaten Tasikmalaya, yaitu: ―Tasikmalaya yang Religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat tahun 2010‖Wacana penerapan Syari‘at Islam di Tasikmalaya tidak lepas dari faktor historis, sebagai pusat munculnya gerakan DI/TII. Aktor gerakannya berasal dari kalangan dari pesantren, partai politik Islam, dan organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan Islam. Yang menarik adalah pesantren yang terlibat adalah pesantren-pesantren kecil. Ada pembelajaran demokrasi dari penerapan syari‘at Islam di Tasikmalaya, misalnya adanya pro dan kontra di kalangan umat Islam Tasikmalaya yang diikuti oleh sikap yang berjiwa besar, arif, saling menghargai, dan toleran. (Lihat: Rifki Rosyad, ―Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Tasikmalaya‖, Makalah Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
115
berupa perda.244 Akan tetapi, implementasi dari syari‘at Islam yang terjadi di ketiga daerah tersebut dihadapkan pada plus minus. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa satu diantara tiga daerah yang memberlakukan syari‘at Islam di Jawa Barat lebih bagus atau jelek dalam implementasinya. Dalam paparan di atas, tampak bahwa munculnya gagasan penerapan syari‘at Islam tidak bisa dipahami sebagai sebuah gerakan internal dari umat Islam, dalam hal ini ulama, tetapi realitas politik yang terjadi di luar kabupaten Garut, lebih khusus realitas politik Indonesia, sangat mempengaruhi gerakan politik ulama dalam mewujudkan masyarakat Garut sebagai kabupaten yang menerapkan syari‘at Islam. Political will umat Islam, yang dipelopori oleh ulama ini menjadi kuat disebabkan oleh pengalaman sejarah kabupaten Garut yang sangat sarat dengan persoalan politik, artinya bahwa realitas politik yang terjadi di kabupaten Garut sangat berhubungan dengan realitas pemahaman keagamaan yang dianut oleh masyarakatnya. Politik senantiasa dihubungan dengan kepentingan agama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kondisi ini akan tampak pada bahasan-bahasan selanjutnya dalam peristiwa penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. 4.1.2. Mobilisasi Dideklarasikannya Penerapan Syari’at Islam di Garut Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa gagasan penerapan syari‘at Islam itu disebabkan oleh dua faktor, internal dan eksternal Dari kedua faktor tersebut di atas, bila dihubungankan dengan teori Charles Tilly, tampak peluang yang dimiliki oleh ulama Garut untuk melakukan upaya penerapan Syari‘at Islam sebagai jawaban terhadap problem kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut. Peluang yang pertama adalah melihat struktur masyarakat Garut yang dihadapkan pada berbagai persoalan kemaksiatan. Kedua, adanya perbedaan pendapat mengenai keberadaan Perda Nomor 6 Tahun 2000, Ketiga, kebijakan Otonomi Daerah yang sudah diterapkan di Provinsi Aceh, Keempat, adanya fakta penerapan Syari‘at Islam di Tasikmalaya dan Cianjur. 244
Asep Ahmad Hidayat dan Rofik Azhar, wawancara, 7 Juli 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
116
Peluang inilah yang menurut pendapat Tilly dapat memicu terjadinya aksi kolektif. Dalam kasus Kabupaten Garut, bahwa penerapan Syari‘at Islam yang diperjuangkan oleh ulama dan komponen umat Islam lainnya dipicu oleh beberapa peluang di atas yang mempengaruhi struktur masyarakat Garut Peluang inilah yang melahirkan kepentingan yang sama di antara para ulama beserta komponen lainnya. Kepentingan yang sama berupa gagasan penerapan syari‘at Islam itu kemudian ditampung dan diakomodir dalam sebuah organisasi, yang bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai sebuah media untuk mengupayakan penerapan syari‘at Islam, MUI mengakomodir gagasan dan aspirasi penerapan syari‘at Islam untuk selanjutnya dilakukan proses mobilisasi. Mobilisasi ini dimaksudkan untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan penerapan syari‘at Islam. Proses selanjutnya, MUI menyampaikan aspirasi tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Garut.245 Pada tanggal 22 Oktober 2001, alim ulama246 Garut mendatangi gedung DPRD Garut dengan maksud mendesak dewan agar memberi dukungan moral kepada para ulama dan pihak terkait dalam memberantas segala bentuk kemaksiatan di Garut.247 Kedatangan para ulama ini merupakan akumulasi kekecewaan akibat maraknya kemaksiatan di Garut. Sementara anggota dewan dipandang tidak reaktif dan proaktif melihat problem sosial ini. Para ulama mengharapkan agar dewan membuat Peraturan Daerah (Perda) yang melarang segala bentuk kemaksiatan secara komprehensif. Perda yang ada tentang kemaksiatan, yaitu Perda No. 6 tahun 2000, dipahami oleh para ulama belum mewakili terhadap larangan kemaksiatan. Perda ini hanya melarang prostitusi semata, sementara menurut para ulama, kemaksiatan bukan hanya prostitusi, tetapi banyak seperti judi, mabuk dan sebagainya.248 Wacana untuk terus menyuarakan syari‘at Islam untuk menjadi solusi dalam menangani krisis moral dan mental, terus dilakukan oleh para ulama. 245
Undang Hidayat, KH. Cecep Abdul Halim, Rofik Azhar, wawancara, 2 Maret 2009. Kedatangan para ulama tersebut diantar oleh Ketua MUI Garut, KH Ma.mun Syamsuddin; Ketua Dewan Imamah, KH. Cecep Abdul Halim, dan Kepala Kandepag Garut Drs. H. Cecep Alamsyah. 247 Priangan, 24 -26 Oktober 2001 248 Priangan ,24 -26 Oktober 2001 246
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
117
Menurut para ulama, kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut sudah menjadi sebuah krisis identitas (moral) bagi masyarakat Garut disebabkan oleh perhatian yang kurang atau lemah dari penega hukum yang dalam mengimplementasikan aturan hukum di masyarakat. Praktik-praktik kemaksiatan yang terjadi di Garut, seperti prostitusi, perjudian, korupsi sudah merajalela memerlukan penanganan yang serius dari berbagai komponen masyarakat, lebih khusus dari para aparatur pemerintahan. Penyelesaian hukum ini harus senantiasa beriringan antara hukum agama dan hukum positif. Seiringnya dua norma hukum ini menjadi tawaran dari para ulama untuk dikodifikasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Sehingga problem implementasi hukum positif yang masih kurang bisa ditanggulangi dengan baik. Bahkan pengkodifikasian dalam bentuk kebijakan menjadi efektif untuk ‗menambali‘ berbagai kekurangan. Tentunya, mengkaji kembali budaya hukum berdasarkan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang mayoritas penduduk muslim menjadi penting, demikian diungkapkan oleh H. Qudsi.249 Sebagai upaya mewujdukan harapan di atas, para ulama melakukan berbagai mobilisasi yang sifatnya mencari dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat lainnya. Mobilisasi ini dilakukan oleh ulama dalam berbagai agenda. Pada tanggal 7 Januari 2002, ulama menyampaikan aspirasi penerapan syari‘at Islam ke pihak legislatif dan eksekutif pemerintahan Kabupaten Garut. Dalam pertemuan tersebut pemerintah Kabupaten Garut dan DPRD Garut menyepakati dan menyetujui serta merespon terhadap aspirasi penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Kesepakatan dari pihak pemerintah Kabuapaten Garut ini dituangkan dalam nota kesepahaman antara pihak legislatif, yang diwakili oleh pimpinan fraksi (Fraksi Golksr, PDIP, PPP, Fraksi Gabungan, TNI/Polri, PKB, PKP), dengan para ulama, yang diketahui oleh Wakil Ketua DPRD dan disaksikan oleh Bupati. Isi dari kesepahaman ini adalah mengimplementasikan aspirasi umat Islam untuk menjadikan Kabupaten Garut sebagai daerah yang menegakan, menerapkan syari‘at Islam pada waktu yang tidak lama dari pertemuan tersebut. Disepakati bahwa waktunya adalah paling 249
KH. Muhammad Qudsi, wawancara, 5 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
118
lambat tanggal 1 Muharram 1423 H atau bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2002.250 Proses selanjutnya adalah DPRD Kabupaten Garut membuat Nota Pimpinan Dewan berkaitan dengan aspirasi penegakan Syari‘at Islam untuk disampaikan kepada Bupati Garut pada tanggal 14 Janauari 2002. Inti dari nota tersebut adalah agar pemerintah/eksekutif Kabupaten Garut mengambil langkahlangkah untuk menyikapi tentang aspirasi penerapan syari‘at Islam. Kemudian pada tanggal 21 Januari, mengadakan rapat muspida untuk menyikapi aspirasi penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Inti dari rapat Muspida tersebut antara lain memutuskan untuk menugasi Badan Kesatuan bangsa (Bakesbang) untuk melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, khususnya DPRD dan MUI, dalam rangka menindaklanjuti gagasan penerapan syari‘at Islam. Pertemuan dilakukan antara ulama yang tergabung dalam wadah MUI dan KPSI dengan pihak DPRD, unsur Muspida, pimpinan masyarakat untuk membahas seputar penerapan syari‘at Islam. Hasil pertemuan menyepakati bahwa penerapan syari‘at Islam merupakan kebijakan publik yang memerlukan kajian secara cermat dan seksama. Kesepakatan selanjutnya adalah diperlukannya sebuah wadah untuk menampung berbagai komponen yang terlibat dalam proses penerapan Syari‘at Islam,
dan
kesepakatan
terakhir
dari
pertemuan
tersebut,
diharapkan
pelaksanaannya bisa dilaksanakan secepat mungkin.251 Agenda selanjutnya dalam tahapan mobilisasi ini, dilaksanakan pada tanggal 4 Pebruari 2002, yang mempertemukan para ulama se-Kabupaten Garut di Gedung Dakwah Mesjid Agung Garut. 53 ulama yang hadir menyepakati mengenai waktu deklarasi penerapan syari‘at Isla di Kabupaten Garut, yaitu pada 1 Muharram 1423 H bertepatan dengan 15 Maret 2002.252 Pada tanggal 6 Pebruari 2002, para ulama melakukan audiensi dengan Bupati Kabupaten Garut, dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan yang
250
Lihat Dokumen ―Kronologis Singkat Memperjuangkan Syari‘at Islam‖ dan ―Pengantar Aspirasi Penegakan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖, ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H. 251 Ibid 252 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
119
dihasilkan pada pertemuan sebelumnya. Audiensi dilaksanakan di Kantor Bupati Garut, dengan menghasilkan kesepakatan untuk diselenggarakannya seminar sehari berkaitan dengan penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Adapun pelaksanaannya pada tanggal 2 Maret 2002. Pada tanggal 18 Pebruari 2002, dilaksanakan pertemuan untuk menindaklanjuti pertemuan sebelumnya antara alim ulama, Muspida, DPRD, dan organisasi kemasyarakatan. Pada pertemuan tersebut disepakati pembentukan sebuah wadah untuk mengimplementasikan penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut, yang bernama Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari‘at Islam (LP3SyI) Kabupaten Garut. Pembentukan lembaga ini sebagai tindaklanjut pada pertemuan sebelumnya, bahwa dibutuhkan media untuk mengkaji penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Selain itu pula, pembentukan lembaga ini dipahami sebagai respon positif atas aspirasi yang disampaikan oleh para ulama untuk diterapkannya syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Tentunya hadirnya lembaga ini dipahami sebagai wujud adanya kesinambungan antara berbagai unsur, baik pemerintah ulama maupun komponen masyarakat lainnya. Sebagaimana biasanya, sebuah lembaga akan efektif dan efesien dalam melakukan perannya, apabila ditopang oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, untuk efektifitas keberlangsungan lembaga ini, dibentuk sebuah tim yang berjumlah 11 dan bertugas mempersiapkan perangkat lunak dan perangkat keras dari lembaga tersebut sebagai syarat dari terlaksananya gagasan penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut.253 Anggota tim 11 ini mengumpulkan para ulama se-Kabupaten Garut pada tanggal 25 Pebruari 2002 di Gedung Dakwah Masjid Agung Garut dengan agenda Saresehan dan Pembentukan Presidium. Pengantar disampaikan oleh Setda yang diwakili oleh Asisten daerah 1, H. Sobirin, dan dilanjutkan oleh wakil Ketua DPRD, Drs. Mahyar Swara. Kemudian dilakukan penjelasan oleh tiga orang ulama, yaitu KH. Amin Bunyamin, H. Johan Jauhari, dan Asep Ahmad Hidayat. Mereka bertiga menyampaikan seputar gagasan penerapan Syari‘at Islam 253
Lihat Dokumen ―Kronologis Singkat Memperjuangkan Syari‘at Islam‖ dan ―Pengantar Aspirasi Penegakan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖, ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
120
dipandang dari berbagai perspektif, yaitu pandangan secara fiqh, hukum positif, dan sejarah. Setelah penjelasan ketiga tokoh tersebut berakhir, dilanjutkan dengan pembentukan Presidium berjumlah 16 orang, yang berasal dari sebagian besar ulama Garut, Praktisi Hukum, dan tokoh masyarakat. Adapun nama-nama presdium itu adalah: KH. Muhammad Qudsi, KH. Endang Yusuf, Lc, Ustad Abdul Fatah, Ustad Sirod, KH. Abdul Majid, KH. Amin Bunyamin, Lc, KH. Cecep Abdul Halim, Lc, KH. Cecep Fachrudin, KH. Imam Sibaweh, KH. Kholik Basyaroh, KH. Adin Nugraha, Drs. Abdul Muis, Drs. Johan Jauhari, SH, Drs. Asep Ahmad Hidayat, M.Ag., Drs. Asep Syaefuddin Musyaddad, dan Deden Zainul Fuad, S.Ag.254 Tugas dari presidium ini adalah membuat konsep mengenai penerapan Syari‘at Islam dari mulai deklarasi hingga program selanjutnya. Upaya untuk mensosialisasikan gagasan penerapan syari‘at Islam, para penggagas bermaksud menyelenggarakan seminar sehari seperti yang telah disepakati pada pertemuan tanggal 6 Pebruari 2002 bahwa seminar tentang penerapan Syari‘at Islam akan digelar pada tanggal 2 Maret 2002 dilaksanakan di Pendopo pemerintah daerah Kabupaten Garut. Seminar sehari ini, menghadirkan 500 peserta bertujuan untuk mengetahui pendapat para pakar hukum yang ada di birokrasi mengenai penegrapan Syari‘at Islam, diantaranya pembicara dari Dirjen Peraturan Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan HAM, Prof.Dr. Abdul Gani dan Hakim Agung, Dr. Rifyal Ka‘bah.255 Abdul Gani menyebutkan bahwa penegakan syari‘at Islam tidak akan menjadikan sebagai pemerintahan negara Islam. Oleh sebab itu, aspirasi dari mayoritas muslim harus direspon pemerintah daerah, sehingga bisa melaksanakan pemerintahan islami. Sementara Rifyal Ka‘bah mengatakan bahwa wacana pelaksanaan syari‘at Islam di Garut bisa saja dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya harus melibatkan dan mendapat rujukan para ulama dan dibicarakan sesuai dengan mekanisme perundang-undangan secara bertahap.256 Kemudian pada tanggal 3 Maret 2002 diadakan pertemuan di kediaman Setda Jalan Pembangunan. Pertemuan dihadiri oleh para pimpinan NU, 254
Ibid Ibid 256 Lihat: Suara Rakyat Merdeka, 5-12 April 2002 255
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
121
Muhammadiyaha, Persis, KAHMI, dan PUI untuk membicarakan agenda pembahasan Draft Deklarasi penegakan syari‘at Islam sekaligus mengusulkan perubahan tim 11 yang sudah terbentuk sebagai pelaksana teknis, dikarenakan ketidakefektifan dalam melaksanakan tugasnya. Hasil kesepakatan diputuskan untuk dibentuk kembali 7 tim teknis yang bertugas melakukan pembentukan presidium. Adapun ketujuh tim teknis tersebut, yaitu: KH Yosep Djuanda, Johan Djauhari, Mahyar Suara, Mahdi Munawar, Aip Sulthonudin, Undang Hidayat, dan Cecep Alamsyah257. Ketujuh tim ini merupakan perwakilan unsur masyarakat, seperti dari MUI, advokat, anggota DPRD, dan akademisi. Menjelang acara puncak 1 Muharram 1423 H, diadakan pertemuan yang bersifat koordinatif antara berbagai komponen yang terlibat, untuk merumuskan agenda acara yang akan digelar dalam acara tersebut. Hasil pertemuan koordinasi tersebut diputuskan beberapa mata acara, tabligh akbar dan perumusan draft deklarasi penerapan Syari‘at Islam yang akan dibacakan pada saat deklarasi. Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2002 bertempat di Aula Departemen Agama Kabupaten Garut yang dihadiri sekira 40 orang. 258 Kemudian pada tanggal 14 Maret 2002 di Aula Depag Kabupaten Garut dilaksanakan rapat persiapan terakhir menjelang acara puncak Deklarasi Penegakan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Pertemuan menyepakati bahwa Deklarasi akan dimulai pada pukul 07.00 wib. Setelah beberapa persiapan dan mobilisasi dilakukan oleh para ulama Garut beserta komponen lainnya, akhirnya, deklarasi259 penerapan dan penegakan Syariat Islam dan peresmian pembentukan Lemabaga Pengkajian, Penegakan, dan penerapan Syari‘at Islam (LP3SyI) Kabupaten Garut dapat dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2002. Acara dimulai tepat pukul 07. 00 sampai dengan 11.00 bertempat di Lapangan Otto Iskandar Dinata (Alun-Alun Garut) yang dilanjutkan
257
Ibid Ibid 259 Deklarasi penerapan syari‘at Islam ini merupakan bentuk aksi kolektif yang dilakukan oleh ulama Garut, setelah melalui beberapa proses yang dilalui, seperti menentukan tujuan yang sama, menjadikan MUI sebagai media untuk melakukan mobilisasi, hingga akhirnya melakukan aksi kolektif. 258
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
122
dengan Sholat Jum‘at bersama di Mesjid Agung Garut.260 Deklarasi dihadiri oleh para ulama, pemerintah daerah Kabuapaten Garut, baik eksekutif maupun legislatif, seperti Bupati Garut, Dede Satibi261 dan Ketua DPRD Garut, Iyos Somantri beserta wakilnya, Mahyar Somantri. Menurut para ulama, 1 Muharam merupakan hari pertama dalam tahun baru Islam sehingga tanggal tersebut cukup strategis dijadikan titik awal pelaksanaan syari‘at Islam. Sementara bupati Garut menyebutkan bahwa deklarasi syari‘at Islam ini sebagai kado ulang tahun Garut ke-190.262 Keberhasilan para ulama dalam mendeklarasikan penerapan dan penegakan Syari‘at Islam disebabakan oleh mobilisasi yang dilakukannya. Mobilisasi ini merupakan satu bentuk model yang diterapkan dalam melakukan aksi kolektif para ulama di Kabupaten Garut. Apabila menggunakan analisis dari Charles Tilly,263 bahwa aksi kolektif ini mengalami beberapa tahapan, yaitu pertama, dimulai dengan adanya kepentingan bersama, kemudian dibentuk organisasi, dilanjutkan dengan mobilisasi, dan akhirnya dilakukan aksi kolektif. Analisis ini tampak pada penjelasan di atas, bahwa deklarasi penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut terjadi karena ada keinginan yang sama dari umat Islam untuk melakukan upaya pemberantasan terhadap berbagai kemaksiatan.
260
Adapun Isi deklarasinya adalah: Pertama, bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat Garut pangirutan yang tata tengtrem kerta raharja menuju ridha Allah dalam wadah NKRI yang berdasarkan Ketuhanan YME, maka pengamalan Syari‘at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kewajiban. Kedua, bahwa penerapan dan pelaksanaan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut merupakan realitas aspirasi yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Ketiga, bahwa penyebarluasan dan penegakan syari‘at Islam wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Keempat, bahwa untuk tercapainya penerapan dan pengamalan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut, diperlukan suatu proses pengkajian yang mendalam, sejalan dengan dinamika perubahan tatanan sosial dan budaya masyarakat.Untuk mencapai tujuan itu, dengan bertawakal kepada Allah SWT, kami sepakat mendeklarasikan penegakan dan penerapan Syari‘at Islam melalui LP3SyI Kabupaten Garut. Semoga Allah memberkatinya dan senantiasa mencurahkan taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin. 261 Dukungan bupati terhadap deklarasi ini adalah dilatarbelakangi oleh kehidupannya yang dibesarkan di lingkungan yang concern terhadap agama. Ia juga merupakan aktivis dari Pelajar Islam Indonesia, dibesarkan di pesantren. Bahkan semasa menjabat Bupati, ia sering mengikuti pengajian di berbagai pesantren. Pengajian rutin dilakukan di Pesantren Al Wasilah pimpinan KH. Tanthowi. Menurut pengakuannya ia juga bisa membaca kitab yang tanpa syakal, dalam bahasa sunda sering disebut dengan ‗kitab gundul‘. Yang lebih penting adalah kehidupannya yang dekat dengan para ulama di Garut sehingga ia sangat mendukung deklarasi penerpan syari‘at Islam. 262 Lihat: Priangan, 16-19 Maret 2002; Suara Rakyat Merdeka, 5-12 April 2002. 263 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 1978. Hal 56. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
123
Kepentingan ini disalurkan aspirasinya melalui media , diantaranya MUI Kabupaten Garut. Dengan menggunakan organisasi tersebut, para ulama melakukan mobilisasi dengan berbagai pihak, diantaranya pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya. Mobilisasi ini sebagai upaya mencari dukungan dari komponen lainnya. Ulama berhasil melakukan mobilisasi kepada pihak-pihak lainnya hingga akhirnya aksi kolektif berupa deklarasi penerapan dan penegakan Syari‘at Islam bisa dilaksanakan. Menurut analisis peneliti, selain menggunakan model mobilisasi, para ulama juga menggunakan model politik atau polity model, meminjam istilah Tilly. Model politik ini tampak dilakukan oleh ulama dalam melakukan dukungan ke pihak pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. Kepiawaian para ulama melakukan negosiasi kepada pihak penguasa menandakan bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam aspek politik. Kerja politik para ulama tampak dalam penjelasan di atas ketika berhasil meyakinkan pihak DPRD dan Bupati dalam menyampaikan aspirasi penerapan Syari‘at Islam. Pihak DPRD terlibat dalam penandatangan kesepakatan deklarasi yang disaksikan oleh bupati. Aksi kolektif para ulama setelah melaksanakan deklarasi, dilanjutkan dengan upaya untuk melaksanakan amanat dari isi deklarasi tersebut. Oleh karena itu, para ulama dan komponen lainnya berupaya untuk mengefesiensikan dan mengefektifkan LP3SyI sebagai sebuah lembaga yang diamanahi untuk mengimplementasikan gagasan penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Melalui lembaga inilah para ulama dan komponen lainnya melakukan berbagai kajian seputar penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Pada tanggal 1 April 2002, dilakukan tahap awal oleh para ulama dan komponen lainnya, yaitu melakukan pembentukan kepengurusan yang akan bertugas menyusun, mengkaji berbagai kepentingan berkaitan dengan pelaksanaan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Dalam tahapan ini, ada dua langkah yang dilakukan, yaitu menyusun format organisasi beserta penentuan susunan kepengurusan dan penetapan kepengurusan LP3SyI oleh tim presidium yang berjumlah 16 orang. Dalam penentuan kepengurusan ini, diperlukan sumber daya manusia yang bisa dan paham terhadap hakekat Syari‘at Islam. Penentuan Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
124
kepengurusan ini disepakati bahwa SDM yang bisa menepmati berbagai posisi adalah orang-orang yang berasal dari berbagai unsur atau keahlian, seperti ulama, zu‘ama, cendekiawan, praktisi hukum, pemerintah, dll. Struktur kepengurusan bisa dilihat dalam lampiran.264 Tahapan selanjutnya, para ulama dan unsur lainnya melaksanakan perumusan dan kajian mengenai Pedoman Dasar, Kode Etik, dan Rumusan Program Kerja LP3SyI. Pedoman dasar LP3SyI berisi pembukaan dan isi yang terdiri dari IX bab dan 15 pasal. Teks naskah deklarasi yang dibacakan tanggal 1 Muharram 1423 H diletakkan sebagai pembukaan Pedoman Dasar tersebut. Dalam Bab III Pedoman Dasar tentang Tujuan, Tugas, dan Wewenang diketahui bahwa ada dua tujuan utama dari LP3SyI, yakni mewujudkan visi Garut, yaitu Garut Pangirutan yang tata tentrem kerta raharja menuju ridha Allah serta meyakinkan dan mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan syari‘at Islam secara kaffah. Tentunya, tujuan yang telah dituangkan dalam pedoman dasar ini, diupayakan untuk bisa direalisasikan dengan baik. Apa artinya sebuah tujuan bila tanpa ada upaya untuk merealisasikannya. Para pengrus LP3SyI mempunyai tugas yang sama untuk melakukan pembumian tujuan secara tertulis ke tataran realitas. Oleh karena itu, dengan berlandaskan pada konsep dakwah yang menjunjung nilai-nilai kebijaksanaan dan kebaikan, diupayakan untuk melakukan pembinaan sumber daya manusia yang mempunyai nilai moral yang tinggi dan menjadi suri tauladan yang baik. Selain itu, LP3SyI, berupaya untuk selalu memikirkan dinamika kondisi alam sekitar dengan melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan sekitar sebagai wujud syukur atas nikmat Allah SWT. Kemudian yang sangat penting adalah melakukan penataan terhadap mekanisme pengelolaan pemerintahan yang berlandaskan pada syari‘at Islam. Dari berbagai upaya tersebut, tampak dengan jelas bahwa tugas utama LP3SyI adalah sebagai wahana musyawarah untuk penegakan dan penerapan syari‘at Islam.265 264
Lihat: ―Pedoman Dasar Lembaga Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam‖; ―Kode Etik Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam‖. 2002 265 Lihat: ―Pedoman Dasar Lembaga Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam. 2002.; Lihat Yadi Janwari dkk,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004; Moeflich Hasbullah, ―Gerakan Superfisial NeoFundamentalisme Islam‖ 2004 hal 28 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
125
Setelah merumuskan pedoman dasar, pengrus LP3SyI266 mengadakan kajian dan perumusan kode etik. Kode etik yang dimaksud LP3SyI adalah ramburambu yang harus dipedomani pada saat menerapkan dan menegakan syari‘at Islam. Usaha penerapan syari‘at Islam itu sendiri diletakkan dalam prinsip amar ma‟ruf nahyi mungkar.267 Prinsip ini diperjuangkan melalui prinsip-prinsip kemerdekaan, kemandirian, empati, uswatun hasanah, hikmah, dan mau‟izhah hasanah.268 Selanjutnya, peneliti akan menjelaskan prinsip-prinsip tersebut yang menjadi landasan LP3SyI dalam melakukan aksinya di Kabupaten Garut. Pertama, prinsip kemerdekaan berarti kebebasan. Artinya, dalam melakukan tugasnya anggota LP3SyI mempunyai kebebasan dalam mengkaji, menegakkan, dan menerapkan syari‘at Islam, semata-mata hanya untuk mencapai ridha Allah SWT. Prinsip kebebasan ini merupakan bentuk totalitas yang diberikan oleh hamba kepada Khaliknya. Keyakinaan akan tauhidullah menjadi prinsip dalam melakukan gerak di muka bumi ini, mensyi‘arkan ajaran Islam.269 Prinsip kedua adalah kemandirian,. Prinsip ini sebagai tindak lanjut dari prinsip pertama. Manusia yang mempunyai tugas kehilafahan di muka bumi, didasarkan pada fitrah yang dibawanya semenjak lahir. Manusia dilahirkan seperti kertas putih yang belum ditulisi oleh berbagai warna tinta. Secara hakekat, kondisi ini manusia dituntut untuk selalu memegang teguh kemandirian tanpa bisa diintervensi
oleh
yang
lain.
Tentunya
kemandirian
ini
hanya
bisa
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, gerakan LP3SyI dalam upaya mengkaji, menerapkan, dan menegakan syari‘at Islam bersifat 266
Menurut Moeflich Hasbullah, ada 13 orang yang merumuskan pedoman dasar, kode etik, dan program kerja LP3SyI. Lihat: Moeflich Hasbullah, ibid, h. 27. 267 Penerapan syari‘at Islam sebagaimana disebutkan diawal, dimaksudkan untuk memberikan solusi bagi realitas Garut yang dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti kemaksiatan. Oleh karena itu prinsip amar ma‟ruf nahyi mungkar dijadikan pondasi oleh ulama dalam melakukan upaya penyelesaian dari berbagai bentuk kemaksiatan. Lahirnya prinsip ini, dipicu oleh dua faktor yang melatarbelakangi adanya gerakan penerapan syari‘at Islam, sebagaimana disebutkan pada sub bab awal di Bab IV ini. 268 Lihat: ―Kode Etik LP3SyI‖. 2002. Penjelasan mengenai Kode Etik ini merupakan pengungkapan dari kode etik tersebut dengan ditambah penjelasan dari peneliti. 269 Lihat: ―Kode Etik LP3SyI‖. 2002; Lihat Yadi Janwari dkk,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004; Moeflich Hasbullah, Op.cit. hal. 28. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
126
independen tanpa ada ketergantungan kepada pihak lain. Ketergantungan LP3SyI hanya diserahkan kepada Allah SWT.270 Prinsip yang ketiga adalah empati, yang menekankan adanya rasa solidaritas terhadap kondisi umat. Sebagai seorang khlaifah manusia dituntut untuk memikirkan orang lain yang ada di luar dirinya. Khalifah yang baik adalah yang bisa memikirkan apa yang terjadi di sekelilingnya. Prinsip ini menjadi penting bagi LP3SyI, karena dalam upaya merumuskan hukum Islam yang sinergis dengan hukum psoitif diperlukan pemahaman terhadap keragaman kelompok sosial dan budaya yang terjadi di Kabupaten Garut. Sinergitas ini sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera sesuai dengan tujuan akhir dari Syari‘at Islam. Apabila ini dilakukan oleh LP3Syi, maka format penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut akan mempunyai karakter tersendiri. Menurut hasil penelitian Yadi Janwari dkk, prinsip empati ini akan menjadi model penerapan syari‘at Islam di Kabupaten Garut yang memiliki karakteristik tertentu, yakni karakteristik hukum yang mengakomodasi budaya lokal, yang akan berbeda dengan penerapan hukum Islam di tempat lain yang memiliki budaya lokal yang berbeda.271 inilah yang sudah digariskan dalam ketentuan Allah SWT, yang menyerukan kepada umat manusia agar senantiasa berpikir secara universal tanpa tersekat oleh batas-batas territorial, suku, agama, dan bangsa. Prinsip yang keempat adalah uswah hasanah, yang berarti memberikan contoh yang baik. Keberhasilan rasul dalam mensyiarkan ajaran Islam didasarkan oleh perilaku dirinya yang selalu menjadi sauri teladan bagi umatnya. Karakteristik inilah sebagai modal penerapan Syari‘at Islam bisa diwujudkan dengan baik di Kabupaten Garut. Sauri Tauladan ini harus menjadi dasar penting bagi para pengrus LP3SyI, dalam mewujudkan Garut sebagai Kabupaten yang menerapkan Syari‘at Islam. Tanpa adanya uswah, akan menghambat terhadap berbagai program yang telah dicanangkan. Apalagi problem kemasiatan yang
270
Ibid Lihat: ―Kode Etik LP3SyI‖. 2002; Lihat Yadi Janwari dkk,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 271
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
127
terjadi, membutuhkan tokoh yang memperlihatkan perilaku yang baik dalam membangun hubungan sosial di kehidupan masyarakat.272 Sedangkan prinsip yang kelima adalah prinsip hikmah, yang berarti bijaksana. Sikap bijaksana menjadi modal bagi manusia untuk bisa berinteraksi dengan lingkungannya. Apabila ini dilakukan niscaya akan mendatangkan hasil yang penuh dengan keberkahan. Prinsip hikmah ini, harus menginternalisir dalam diri setiap pengurus LP3SyI, sebagai solusi terhadap realitas para pemimpin yang terjadi di Kabupaten Garut yang cenderung keluar dari prinsip hikmah ini. Para pemimpin
sering
berifikir
pada
kepentingan
golongan
tertentu
tanpa
memperhatikan kelompok lainnya. Konflik yang terjadi di Kabupaten Garut disebabkan oleh nilai hikmah yang belum begitu tertanam dengan baik dalam dirinya. Kebijaksanaan ini akan tertanam dalam diri setiap orang manakala pemahaman terhadap kelimuan terus ditempa dengan tanpa berpikir merasa beanr sendiri.273 Prinsip terakhir adalah prinsip mau‟izhah hasanah, yang berarti memberikan pelajaran dengan baik dan santun. Dalam melakukan dakwah Islamiyah, prinsip ini menjadi modal utama agar tujuan berdakwah bisa berhasil dengan baik. Berkomunikasi dengan model dua arah, menekankan proses dialog sangatlah membantu dalam mewujudkan pola dakwah Islamiyah di masyarakat. Realitas yang terjadi adalah masih banyaknya para pendakwah yang hanya berpikir secara dangkal. Artinya, pola dakwah yang terjadi hanya bersifat ritual tanpa disinergikan dengan substansi dari tujuan dakwah tersebut. Akhirnya, hasilnya pun belum bisa sinergis dengan maraknya dakwah di Kabupaten Garut. Oleh karena itu, prinsip terakhir ini, harus menjadi nilai yang dimiliki oleh setiap pengurus LP3SyI, agara tujuan deklarasi penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut bisa diwujudkan sesuai dengan tujuan yang tertulis dalam pedoman dasar LP3SyI.274
272
―Kode Etik LP3SyI‖. 2002. Penjelasan mengenai Kode Etik ini merupakan pengungkapan dari kode etik tersebut dengan ditambah penjelasan dari peneliti. 273 Ibid 274 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
128
Dari keenam prinsip tersebut, LP3SyI menetapkan 10 kode etik, yaitu: (1) berpedoman kepada al-Qur‘an dan Sunnah, (2) menjadi teladan dan pengayom bagi umat dan masyarakat, (3) menjadi hamba Allah yang rabbani, (4) ikhlas dalam pengabdian, (5) selalu menjaga tatakrama dan akhlak Islam, (6) tawadhu, (7) berwawasan luas, (8) bersikap adil, sabar, istiqomah, (9) disiplin waktu dan selalu menetapai jani, (10) bersikap memerangi terhadap penyimpangan.275 Penjelesan terakhir mengenai LP3SyI ini adalah berkaitan dengan Program Kerja LP3SyI. Pada prinsipnya perumusan program kerja ini dilandaskan pada Pedoman Dasar dan Kode Etik LP3SyI. Terdapat lima komisi dalam perumusan program kerja yang akan diimplemnetasikan oleh LP3SyI, yaitu: Pertama, Komisi Sosialisasi dan Informasi Sayri‘at Islam. Kedua, Komisi Pengkajian Syari‘at Islam. Ketiga, Komisi Penegakkan Syari‘at Islam. Keempat, Komisi Partisipasi Perempuan. Kelima, Komisi Advokasi.276 Kelima komisi ini memiliki perencanaan program masing-masing. Dalam disertasi ini, tidak akan dijelaskan secara mendetail. Pertama, Komisi Sosialisasi dan Informasi Syari‘at Islam. Komisi ini dibagi ke dalam dua bidang garapan, yakni penyebaran informasi dan sosialisasi syari‘at Islam. Bidang penyebaran informasi ini mempunyai tugas untuk menyebarluaskan pedoman dasar dan program LP3SyI, dengan melalui mekanisme dakwah dan workshop formalisasi syari‘at Islam. Sementara dalam bidang sosialisasi syari‘at Islam, terdapat garapan mengenai ibadah (‗ubudiyah), kemasyarakatan (mu‟amalah), hukum keluarga (ahwal syakhshiyah), dan ketatanegaraan (siyasah syar‟iyyah). Program bidang peribadatan ini seperti: tauhid, akhlak, ibadah, dan Fiqh wanita. Progam kemasyarakatan
diantaranya:
pendidikan,
amr
ma‟ruf
nahyi
mungkar,
perekonomian, perspektif gender dalam Islam. Bidang dalam keluarga seperti: keadilan sosial, munakahat dan waris.277 Kedua, Komisi Pengkajian Syari‘at Islam. Komisi ini juga pada prinsipnya terbagi pada bidang yang sama seperti pada komisi sebelumnya. Perbedaanya terletak pada penekanan program dalam tiap bidang. Misalnya, Pengkajian 275
Ibid Lihat ―Program Kerja LP3SyI.‖ 2002 277 Ibid 276
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
129
Syari‘at Islam bidang ketatanegaraan, yang dilakukan dalam dua program, yaitu pranata sosial&hukum dan politik. Program pertama dimaksudkan untuk mengadakan pengelolaan di tingkat sosial dan hukum, yang menitikberatkan adanya pengaturan norma hukum di masyarakat dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat. Sementara dalam bidang politik diupayakan untuk melakukan pola hubungan dengan pemerintahan yang berujunga pada penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih.278 Ketiga, adalah Komisi Penegakan Syari‘at Islam. Komisi ini pun mempunyai garapan yang sama dengan komisi sebelumnya. Komisi ini berupaya untuk melakukan sosialisasi, rekomendasi dan menerapkan syari‘at Islam di wilayah Kabupaten Garut. Keempat, adalah Komisi Partsispasi Perempuan. Komisi ini mempunyai program yang lebih khsus yaitu melakukan kajian mengenai perempuan berkaitan dengan hubungannya dalam penegakan Syari‘at Islam. Kelima, adalah Komis Advokasi. Komisi ini berupaya memberikan bantuan hukum dan pembelaan terhadap masyarakat muslim yang mengalami kasus hukum.279 4.1.3. Ulama sebagai Aktor Penerapan Syari’at Islam Dalam pendekatan Strukturistik, posisi agency sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan otonom untuk melakukan transformasi struktur sosial sangatlah penting. Agency yang mempunyai tugas untuk melakukan perubahan dipengaruhi oleh kondisi struktur yang ada disekelilingnya. Begitu pula dalam konteks penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Ulama sebagai agency , dalam melakukan perubahan di masyarakat sangat bergantung pada struktur yang ada disekelilingnya. Realitas Garut yang dihadapkan pada berbagai persoalan menjadi faktor pemicu bagi ulama untuk melakukan transformasi di Kabupaten Garut. Penerapan Syari‘at Islam merupakan upaya ulama dalam melakukan perubahan di Kabupaten Garut. Berbagai upaya dilakukan oleh ulama, dari mulai melakukan kajian mengenai konsep penerapan Syari‘at Islam, memberikan keyakinan kepada publik mengenai pentingnya Syari‘at Islam diterapkan, hingga 278 279
Ibid Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
130
melakukan pressure kepada pihak pemerintah daerah, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Mengenai upaya ulama dalam melakukan transformasi struktur masyarakat Garut dapat dilihat dari fakta atau realitas di bawah ini. Wacana tentang gagasan penerapan syari‘at Islam itu terus bergulir dan mendapat respon positif dari berbagai pihak, salah satunya adalah Kyai Haji Endang Yusuf280 sebagai Ketua FPI Kabupaten Garut. Ia berpendapat bahwa problem kemaksiatan di Kabupaten dapat dikatakan sudah mengkhawatirkan. Merajalelanya penyakit masyarakat seperti, prostitusi, pencurian, dan perjudian281 menuntut kepada umat Islam untuk segera memberikan solusinya. Oleh karena itu, pemberantasa terhadap problem tersebut merupakan kensicayaan.282 Menurutnya, bentuk kemaksiatan lain yang terjadi di Garut adalah adanya perilaku dari birokrasi yang berusaha untuk melakukan pemotongan atas hak dari guru yang sekaligus merupakan bentuk kesejahteraan guru. Lebih lanjut, ia merinci peristiwa pemotongan terhadap hak guru. Pemerintah sudah mencairkan uang Biaya Kesejahteraan Guru (BKG) yang harus disampaikan kepada para guru. Menurutnya, para guru sedang berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan dan menunggu turunnya BKG tersebut. Seharusnya BKG ini langsung disalurkan kepada para guru, tetapi kenyataannya belum meskipun juga ada yang sudah menerimanya. Tetapi, menurut amatan Kyai ini BKG yang sudah sampai ke para guru mengalami pemotongan, yang seharusnya diterima Rp. 450.000,00 per guru, hanya bisa diterima sebesar Rp. 380.000,00. Hal ini terjadi Departemen Agama Kabupaten Garut. Sebuah ironi, karena kejadian ini terjadi di Departemen yang semestinya sangat menjunjung nilai-nilai teologis. Akidah aparat sudah mengalami degradasi keimanan. Oleh karena itu, KH. Endang Yusuf berpandangan problem tersebut solusinya adalah penerapan syari‘at Islam.283
280
Ulama ini selain sebagai Ketua FPI Kabupaten Garut juga merupakan pimpinan pesantren Cibatu. Dalam gerakan politik ulama, ia sangat berperan dalam memperjuangkan syari‘at Islam di Garut hingga membentuk KPSI Kabupaten Garut dan berperan sebagai ketuanya. 281 Hasil dari pengawasan dari satpol PP terdapat sejumlah tempat kejahatan, seperti di Cipanas, Namplang, Terminal Guntur, Kerkop. Menngenai tempat ini bisa dilihat dalam foto di lampiran. 282 KH. Endang Yusuf Lc, wawancara 4 Pebruari 2010. 283 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
131
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pemberantasan kemaksiatan di Kabupaten Garut Kyai Endang Yusuf bersama para ulama lainnya melakukan upaya untuk mendirikan sebuah wadah yang akan menampung asiprasi umat Islam berkaitan dengan penerapan syari‘at Islam sebagai sebuah solusi memberantas berbagai bentuk kemaksiatan. Kesepakatan para ulama adalam membentuk organisasi yang dinamakan Komite Penegak Syari‘at Islam (KPSI). Melalui KPSI ini, pada awalnya penerapan syariat Islam diwacanakan hingga melakukan serangkaian upaya untuk implementasinya, seperti melakukan dialog dengan aparatur pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Upaya tersebut bertujuan agar pemerintah mempunyai perhatian yang serius terhadap penyelesaian berbagai bentuk kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut.284 Senada dengan Kyai Endang Yusuf, para ulama yang berasal dari berbagai kecamatan dan bergabung dalam Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut menyeruakan solusi terhadap sejumlah kemaksiatan yang terjadi di Kabupaten Garut. Para ulama tersebut menyampaikannya dalam kesempatan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) MUI Kabupaten Garut pada tanggal 2 Pebruari 2002.285 Diawali oleh pengantar dari Prof. Dr. Din Syamsuddin selaku pembicara dalam Rakerda tersebut yang membicarakan betapa maraknya berbagai bentuk kemaksiatan di masyarakat Indonesia. Hal ini direspon oleh para peserta Rakerda yang berpendapat sama bahwa berbagai bentuk kemaksiatan telah marajalela, termasuk di Kabupaten Garut. Ketua MUI Kecamatan Cibiuk, KH Somawijaya memberikan masukan kepada MUI Kabupaten Garut agar terjalinnya solidaritas dan Kemandirian Umat Islam menuju terwujudnya Syari‘at Islam. Ia pun mengusulkan agar menambah jam pelajaran agama di sekolah-sekolah yang dipandang masih minim. KH. Zaenal Arifin, ulama dari kecamatan Rancabango Tarogong mengatakan bahwa ekonomi umat Islam di desa-desa dalam kondisi yang lemah. Oleh karena itu, agar pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh dikelola 284
Komisi penegakan syari`at Islam memiliki empat bidang garapan: (a) peribadatan, (b) kemasyarakatan, (c) kepribadian (al-ahwâl al-syakhshiyyat), dan ketatanegaraan. Bidang ini diturunkan menjadi sejumlah program sebagai tertera dalam program kajian syari`at Islam dengan kegiatan implementasi seluruh kegiatan sebelumnya dengan melakukan sosialisasi dan rekomendasi, dan menerapkan syari`at Islam di lingkungan masyarakat. 285 Lihat: Priangan, 9-12 Pebruari 2002 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
132
dengan baik sebagai wujud dari pelaksanaan syari‘at Islam. Kemudian ulama dari Rancabango ini mengkritisi maraknya kemaksiatan seperti prostitusi di daerah wisata
Cipanas.
MUI
diharapkan
secepatnya
melakukan
upaya
untuk
meminimalisir atau bisa menghilangkan berbagai bentuk kemaksiatan.286 Selanjutnya, ulama lain yang ikut menggagas dan mendukung penerapan syari‘at Islam adalah ulama-ulama yang terhimpun dalam MUI dibawah pimpinan Kyai Ma‘mun Syamsuddin, Dewan Imamah yang diketuai oleh Kyai Cecep Abdul Halim, Kyai Qudsi, tokoh parpol dari PPP dan Pimpinan Pesantren Suci, dan sejumlah ulama lainnya yang menemukan kesepahaman untuk menerapkan syari‘at Islam, khususnya dalam rangka memberantas berbagai kemaksiatan. Para ulama tersebut mendatangi DPRD untuk mendesak agar DPRD memberikan dukungan moral kepada para ulama dan pihak terkait dalam memberantas berbagai bentuk kemaksiatan sebagai implementasi dari penerapan syari‘at Islam.287 Gagasan penerapan syari‘at Islam itu berkembang terus, yang pada akhirnya mendapat dukungan dari kalangan eksekutif dan legislatif di Kabupaten Garut. Wujud dukungan eksekutif dan legislatif dapat dilihat dalam pengesahan dan kesepakatan dari DPRD dan Pemda tentang ditegakan dan dilaksanakan syari‘at Islam di kabupaten Garut dalam tempo yang secepatnya paling lambat 1 Muharram 1423 H yang bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2002.288 Gagasan penerapan syariat Islam itu kemudian didukung pula oleh Dewan Imamah ummat Islam Kabupaten Garut, yakni sebuah forum silaturrahmi dan musyawarah dalam memecahkan berbagai problem umat, yang beranggotakan ormas-ormas Islam di Kabupaten Garut, didirikan pada tanggal 4 April 2001.289 Respon positif dari ulama yang tergabug dalam Dewan Imamah tersebut untuk 286
Ibid Muhammad Qudsi, wawancara, 26 November 2010; KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 27 November 2010. Lihat pula Dokumen ―Kronologis Singkat Memperjuangkan Syari‘at Islam‖ ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H. 288 Lihat Dokumen ―Kronologis Singkat Memperjuangkan Syari‘at Islam‖ dan ―Pengantar Aspirasi Penegakan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖, ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H. 289 Ibid 287
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
133
pertama kalinya dimunculkan dalam acara ―Silaturrahmi Para Alim Ulama sePropinsi Jawa Barat dan Banten‖ pada tanggal 28 Januari 2001. Dalam acara tersebut, Kyai Cecep Abdul Halim sebagai ketua Dewan Imamah melontarkan dukungannya atas gagasan penerapan syari‘at Islam. Menurutnya, penerapan syari‘at Islam merupakan solusi dari krisis multidimensi bangsa. Dalam silaturrahmi alim ulama tersebut muncul kesepahaman untuk merelaisasikan gagasan penerapan syari‘at Islam di kabupaten Garut, seperti yang telah terjadi di kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya. Kesepakatan ini , selanjutnya ditindaklanjuti untuk segera dilakukan mobilisasi dan sosialisasi, agar apa yang menjadi hasil dalam silaturrahmi tersebut dapat terwujud.290 Upaya lain yang dilakukan oleh ulama Garut dalam penerpan syari‘at Islam ini adalah mencari dukungan dari ulama lain yang ada di kabupatenkabupaten di wilayah Jawa Barat. Hal ini dilakukan oleh KH. Muhammad Qudsi yang berupaya untuk menggalang ulama lain di luar kabupatan Garut. Ia menyampaikan aspirasinya ke struktur yanag lebih tinggi, yaitu DPR RI. Sebanyak 138 ulama yang dibawanya, dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Ciamis, Tasik, Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Serang, Karawang, Bekasi, dan Pandeglang mendatangi DPR RI untuk menyuarakan amandemen terhadap UUD 1945. Para ulama mengusulkan agara isi dari Piagam Jakarta dimasukkan dalam pembukaan UUD 1945 dan perubahan pasal-pasal yang dirasakan bertentangan dengan Islam. Perjuangan ini, menurutnya, dihadapkan kepada kendala dari masyarakat muslim sendiri yang masih beragamnya pemahaman terhadap syari‘at Islam, termasuk Garut. Oleh karena itu penerapan syari‘at Islam di Garut belum bisa secara struktural tetapi masih bersifat kultural, seperti terungkap oleh pendapat ulama di atas.291 Perjuangan yang dilakukan oleh ulama Garut berimplikasi terhadap adanya jaringan ulama di Jawa Barat dalam melaksanakan cita-cita Syari‘at Islam di provinsi Jawa Barat. Menurut KH. Endang Yusuf Lc, ulama Majalengka akan mengundang ulama Garut yang memprakarasai penerapan syari‘at Islam di Garut 290
KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 27 November 2010 KH. Muhammad Qudsi, wawancara, 2 Pebruari 2010; KH Endang Yusuf Junaedi, wawancara,3 Pebruari 2010 291
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
134
untuk mengetahui dan mempelajari strategi yang diterapkan di Garut sehingga mampu melahirkan komitmen antara legislatif, eksekutif, dan yudkitaif mendukung sepenuhnya penerapan Syari‘at Islam. Model di Kabupaten Garut, lebih kuat dukungannya daripada di daerah lain, seperti Cianjur yang hanya eksekutif.292 Para ulama dan komponen umat Islam lainnya melakukan kajian seputar Perencanaan implementasi penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Dinamika internal dalam penyusunan tersebut tidak bisa dihindarkan, disebabkan oleh beragamnya pendapat seputar pelaksanaan Syari‘at Islam. Ada yang menginginkan pelaksanaan Syari‘at Islam dimulai dari hal-hal kecil seperti diungkapan di atas, ada juga yang menginginkan pelaksanaan Syari‘at Islam langsung diwujudkan dalam bentuk hukum formal. Lebih jelasnya hasil dari Informasi yang didapat di lapangan, gagasan penerapan Syari‘at Islam di Garut menunjukkan berbagai pendapat. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan belum adanya kejelasan mengenai pola dan format penerapan syar‘at Islam itu sendiri. Pendapat pertama menyebutkan bahwa penerapan syari‘iat Islam harus dilaksanakan secara substantif. Pendapat ini memahami bahwa pelaksanaan Syari‘at Islam tidak perlu diformalkan secara simbolik, tetapi diterapkan secara ruhiyah. Ajaran Islam hanya bisa diimplementasikan sebatas mewarnai semua aspek kehidupan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya dalam aspek ibadah mahdhoh (ubudiyah), tiga aspek ajaran Islam yang terbagi pada aqidah, akhlak, dan ibadah, dapat dilakanakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang tertuang dalam AlQur‘an, Al-Hadits, dan Ijma Ulama. Dalam aspek ghair mahdhoh, seperti kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan ekonomi, diharapkan nilai-nilai Islam bisa menjadi pijakan sehingga kelihatan warna nilai Islamnya. Dalam bidang ahwal syakhsiyyah, seperti pernikahan dan pembagian waris, diharapkan bisa dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan Islam.293 292
Ibid Lihat Yadi Janwari dkk,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004; Lihat: Asep Ahmad Hidayat, Rofik Azhar, wawancara, 7 Juli 2009 293
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
135
Pendapat kedua tentang penerapan Syari‘at Islam ini mengatakan harus dilakukan perumusan secara substansi terhadap hukum Isalm, kemudian diimplementasikan dalam bentuk peraturan daerah (perda). Pendapat kedua ini mengharapkan agar syari‘at Islam diimplementasikan dalam bentuk yang formal berupa legislasi dan formalisasi hukum Islam. Syari‘at Islam diupayakan menjadi hukum positif yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Formalisasi ini merupakan bentuk akhir setelah melalui berbagai mekanisme. Pertama, dilakukan kajian terhadap perda-perda yang sudah ada, apakah ada kesesuaian dengan nilai-niai Islam atau tidak. Apabila perda-perda tersebut bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka diajukan untuk dicabut atau dilakukan revisi. Sebaliknya, apabila ada kesesuaian dengan nilai-nilai Islam, perda tersebut bisa dilanjutkan.
Mekanisme formalisasi syar‘iat Islam dalam bentuk lain, adalah
merumuskan dan membuat perda baru yang diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Mekanisme ini bisa dilihat pada proses perumusan, penggodogan, dan memproduk Perda Nomor 1 tahun 2003 tentang Pengelolaan zakat, Infaq, dan Shadaqoh dan Keputusan Bupati Nomor 153 tahun 2003 tentang Pembentukan Organisasi BAZIS.294 Pendapat ketiga mengenai penerapan syari‘at Islam ini adalah dengan cara melakukan pemberantasan kemaksiatan, seperti perjudian, minuman keras, dan pelacuran. Pendapat ketiga ini merupakan salah satu penyebab lahirnya gagasan penerapan Syari‘at Islam. Gerakan yang dilakukan dalam persepsi ini adalah sweeping terhadap berbagai bentuk kemaksiatan. Pemda dan Polisi, yang disertai oleh ulama (umat Islam) melakukan sweeping secara rutin terhadap kegiatan yang mengandung unsur kemaksiatan. Perjudian di Garut semakin merajalela dalam bentuk togel diberantas, tempat-tempat hiburan dan wisata yang menyediakan tempat untuk meminum minuman keras dan menjajagan seks di sweeping untuk kemudian ditutup.295 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa isi gagasan penerapan syari‘at Islam itu terdapat tiga bentuk. (1) Penerapan syari‘at Islam dilaksanakan secara 294 295
Ibid Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
136
sempurna dalam berbagai aspek kehidupan secara substantif tanpa perlu diformalkan dalam bentuk legislasi. (2) Penerapan syar‘at Islam dalam bentuk memproduk Perda. (3) Memberantas bentuk kemaksiatan. Ketiga gagasan tersebut dituangkan dalam Pedoman Dasar Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari‘at Islam (LP3SyI), Pasal 6 dan Pasal 7. Dalam pasal 6 ayat 2 dikemukakan bahwa salah satu tugas LP3SyI adalah meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berakhlakul Karimah, Marhamah, dan Uswatun Hasanah. Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa yang menjadi wewenang LP3SyI adalah memberikan rekomendasi, saran, masukan, dan fatwa kepada Pemda Garut dan institusi lainnya yang terkait tentang pelaksanaan syari‘at Islam.296 Selain, dituangkan dalam pedoman dasar, hasil kajian juga dituliskan dalam Format Dasar Pelaksanaan Syari‘at Islam Kabupaten Garut, yang berisikan agenda pelaksanaan Syari‘at Islam. Sesuai kesepakatan, agenda pelaksanaan Syari‘at Islam dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama, yang akan berlangsung selama lima tahun (2002-2007) akan diwujudkan Kabupaten Garut yang mandiri, sejahtera, dan Islami dengan cara menanamkan keyakinan yang kuat dalam diri umat Islam Garut hingga benar-benar siap untuk melaksanakan syari‘at Islam secara utuh. Agenda lima tahun berikutnya (2007-2012), umat Islam Garut benar-benar akan menjadikan Syari‘at Islam sebagai landasan bagi kehidupan sehari-hari, baik yang berkaitan dengan sosial, budaya, hukum, ekonomi, maupun politik. Mewujudkan Islam secara Kaffah menjadi tujuan akhir pada tahapan ini. Agenda yag tertuang dalam Format Dasar Pelaksanaa Syri‘at Islam ini didasarkan pada visi Garut, yang tertuang dalam naskah Deklarasi, yaitu menjadikan masyarakat Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Rahardja yang Diridhai Allah.297 Dalam mewujudkan ketercapaian periode lima tahun pertama, orientasi penerapan Syari‘at Islam di kabupaten Garut dilakukan upaya untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan syari‘at Islam yang berwujud pada pelarangan
296
Ibid; Lihat: ―Pedoman Dasar Lembaga Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam‖; ―Kode Etik Pengkajian Penegakan dan Penerapan Syariat Islam‖.2002 297 Lihat: Format Dasar Pelaksanaan Syariat Islam, Pebruari 2002. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
137
berbagai bentuk kemaksiatan, seperti prostitusi, perjudian, pencurian, dan korupsi. Selain itu, wujud lainnya adalah meningkatkan kesadaran untuk membayar zakat, infaq, dan sodaqoh..298 Seiring dengan perekembangannya, bentuk pelaksanaan Syari‘at Islam terus mengalami dinamika. Salah satu bentuk dinamikanya adalah ketika dilakukan rapat299 untuk menyepakati bentuk pelaksanaan Syari‘at Islam. Akhirnya hasil rapat yang diselenggarakan LP3SyI disepakati bahwa penerapan Syari‘at Islam di Garut dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Ada yang cukup berbentuk himbauan saja oleh Bupati seperti pemakaian jilbab buat perempuan Muslimah di kantor-kantor, pelaksanaan shalat berjamaah di tempat-tempat kerja, pengumandangan bacaan Al-Qur‘an di rumah-rumah sakit dan penempelan lafadz-lafadz do‘a sehingga menciptakan suasana relijius seperti yang sudah dilakukan di rumah sakit Kristen. Ada yang mesti lewat instruksi dan ada yang mesti melalui Perda seperti zakat.300.Kesadaran membayar zakat, infaq dan sodaqoh di kabupaten Garut mengalami peningkatan. Hal ini didasarkan pada data tahun 2001/2002 yang mencapai Rp. 1.140.450.417,00 untuk zakat fitrah mengalami peningkatan sebesar 8.585.734.310,00 pada tahun 2007/2008.301 298
Ibid Rapat yang diselenggarakan tanggal 16 Juli 2004 di Kantor Kosgoro Garut, dihadiri sekitar 30 orang LP3SyI, akan menawarkan bentuk seragam sekolah SMP dan SMA yang sesuai dengan Syari‘at Islam (busana Muslimah) dan kemudian mengajukannya kepada Bupati Garut untuk disahkan dan diinstruksikan pemakaiannya melalui Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Garut. Menjadi anggota LP3SyI tampaknyta tidak berarti memiliki ide yang sama atau selalu terjadi kesepakatan bulat tentang sebuah keputusan. Rapat itu misalnya diwarnai pro kontra kecil tentang perlunya pakaian sekolah ditentukan. Beberapa peserta rapat merasa tidak terlalu penting meneikankan pakaian, yang lebih penting adalah subsatnsinya yaitu perbaikan akhlak di kalangan pelajar. Seragam hanya formalitas. Tapi dominasi orang tua (senioritas) dalam rapat sangat tampak. Yosep Jauhari sebagai pimpinan rapat selalu mengarahkan pada kesepakatan (lihat: Moeflich Hasbullah, ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004 hal 40) 300 Ibid. 301 Diawali dengan lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh mempengaruhi terhadap kesadaran umat Islam Garut untuk membayar zakat, infaq, dan sodaqoh. Pembuatan Perda tentang pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh ini didasarkan pada beberapa pertimbangan: Pertama, dalam upaya meningkatkan umat Islam untuk menjalankan ibadahnya, termasuk penyempurnaan pengelolaan Zakat, Infaq dan Shodaqoh yang merupakan sumber dana potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk berpartisipasi; Kedua, zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam, dan Infaq serta Shodaqoh yang bersifat tathowu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Kabupaten Garut; Ketiga, upaya penyempurnaan sistem pengelolaan Zakat, Infaq dan Shodaqoh perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaannya lebih berhasilguna dan berdayaguna 299
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
138
Dalam implementasinya, orientasi penerapan Syari‘at Islam diarahkan kepada ajaran Islam yang menjadi kewajiban dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, para ulama sebagai aktor pertama penerapan Syari‘at Islam berpendapat yang sama mengenai penerapan Syari‘at Islam. PenerapanSyari‘at Islam mesti dimulai dari hal-hal kecil yang berada pada wilayah pribadi, kemudian membentuk kesadaran dalam pikiran umat Islam Garut, hingga mewujud pada pelaksanaan secara sosial-politik. Mengenai hal ini,
KH. Aceng Zakaria berpendapat bahwa untuk
melaksanakan syari‘at Islam, terlebih dahulu harus melihat kondisi kemampuan kita, sejauhmana pemahamannya terhadap Syari‘at Islam. Islam itu mudah, tidak memaksakan kepada umatnya untuk melakukan apa yang dianggapnya belum bisa dilakukan. Lakukanlah ibdah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh rasul. Apa yang dicontohkannya, kita bisa melakukannya tanpa mendapatkan kesulitan.302 Senada dengan Zakaria, Yosef Juanda mengatakan bahwa melaksanakan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut disesuaikan dengan kadar keilmuan kita. Misalnya, mengucapkan salam ketika bertemu dengan sesama muslim, menghadiri pengajian dengan konsisten, taat dan patuh pada norma yang berlaku di masyarakat, dan lain-lain. Inilah sudah mencerminkan melaksanakan Syari‘at Islam dalam tahapan awal.303 Menurut KH. Cecep Abdul Halim, syari‘at Islam yang diterapkan di Kabupaten Garut, tidak langsung menerapkan hukum Islam dalam bentuk yang terjadi di Arab Saudi, seperti sanksi potong tangan terhadap yang mencuri, hukum rajam terhadap pelaku pejina. Hal tersebut masih belum bisa dilakukan di Garut karena kultur dan pemahamannya masih jauh dari apa yang terjadi di Arab Saudi. Umat Islam Garut butuh waktu yang lama untuk menerapkan hukum pidana sepertu itu. Menurutnya, sederhana saja seperti yang diungkapkan oleh Bupati Dede Satibi, bahwa semua aparatur pemda Garut yang muslimah dianjurkan untuk
serta dapat dipertanggungjawabkan. Lihat: Rekap Laporan Bazis Kabupaten Garut 2002-2009. Jumlah 8.585.734.310,00 ini berasal dari 18 Kecamatan. Sementara tahun tahun 2008/2009 sampai bulan Pebruari 2009, berjumlah 2.045.880.950 berasal dari 9 kecamatan. 302 Aceng Zakaria, wawancara, 4 Pebruari 2010 303 Yosep Djuanda, wawancara 3 Pebruari 2010 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
139
memakai busana muslim, melakukan shalat shalat berjamaah, serta pemisahan siswa laki-laki dan perempuan di madrasah Tsanawiyah.304 Mengenai pidana Islam yang berlaku di Arab Saudi, agar bisa diberlakukan oleh masyarakat Garut, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dan dihapami oleh umat Islam Garut. Pertama, pelaksanaan pidana Islam sangat membutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai konsep hukum Islam. Kedua, dari pemahaman itu maka akan terciptanya masyarakat hukum secara syari‘at Islam. Ketiga, memikirkan wilayah dan penguasa hukumnya. Tiga prasyarat tersebut akan menjadi awal bagi masyarakat Garut untuk menjadikan hukum pidana Islam dilakasanakan305 Pendapat lain yang senada dengan para ulama di atas, mengatakan bahwa pelaksanaan syari‘at Islam bisa dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, dimulai dari urusan individu, seperti melaksanakan shalat, zakat, puasa, berbusana muslimah,dan bentuk ritual lainnya. Kedua, urusan masyarakat dan pemerintah, seperti pendidikan. Pendidikan merupakan kerja dari masyarakat dan pemerintah bukan urusan individual. Ketiga, adalah produk hukum atau pelaksanaan hudud, yang dilaksanakan oleh pihak legislatif, yaitu DPRD.306 4.1.4. Dinamika Penerapan Syari’at Islam Deklarasi penerapan Syar‘at Islam di Garut mendapat respon yang pro dan kontra di kalangan masyarakat Islam Garut. Kelompok yang mendukung adalah para ulama yang tergabung dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti BKUI, Dewan Imamah, MUI, Nahdhatul Ulama, Persis, Muhammadiyah, dan pesantren. Selain itu pula kelompok lain yang mendukung datang dari profesi lain, seperti advokat, birokrasi, cendekiawan yang berasal dari kampus di sekitar kabupaten Garut (STAI al-Musaddadiyah, STAI Darul Arqom). Bentuk dukungan yang dilakukan tidak semua atas nama lembaga, tetapi dukungan secara individu. Sementara itu, kelompok yang tidak mendukung terhadap deklarasi, salah satunya
304
KH. Cecep Abdul Halim, 2 Pebruari 2010 Moeflich Hasbullah, ―Gerakan Superfisial Neo-Fundamentalisme Islam‖ 2004. 306 Ibid. 305
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
140
datang dari kelompok NU Gus Dur307 dan tokoh independen.308 Ada beberapa argumen yang diajukan oleh kelompok pendukung mengenai deklarasi lembaga penerapan Syari‘at Islam.309 Pertama, didasarkan pada tuntutan syar‘i yang menekankan untuk melaksanakan syari‘at Islam secara Kaffah. Umat Islam baru dapat melaksanakan syari‘at Islam apabila sayri‘at Islam diformalkan, terutama syari‘at yang mengatur urusan politik. Kedua, dengan adanya deklarasi penerapan syari‘at Islam ini, diharapkan umat Islam bisa meningkatkan praktik keberagamaannya baik secara pribadi maupun kelompok. Penerapan syari‘at Islam ini diharapkan dapat menjadi pengontrol bagi setiap umat Islam dalam melaksanakan kehidupan di masyarakat. Sifat kehati-hatian senantiasa akan tumbuh dalam pribadi muslim Garut, ketika ia melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Ketiga, Penerapan Syari‘at Islam diharapkan akan memberikan warna baru bagi pelaksanaan hukum di kabupaten Garut. Hukum positif yang ada dikesani belum bisa memberikan jawaban positif bagi penyelesaian berbagai bentuk masalah, seperti pemberantasan korupsi, penegakan keadilan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ulama Garut sebagai pengagagas Deklarasi Penerapan Syari‘at Islam ini berpandangan bahwa semua bentuk kemaksiatan bisa diberikan soulsinya dengan melaksanakan Syar‘at Islam. Keempat, penerapan Syari‘at Islam di Garut dipahami sebagai bentuk pemahaman terhadap UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama dijamin melaksanakan ajaran agamanya menurut paham dan kercayaaannya masing-masing. Melaksanakan Syari‘at Islam, menurutnya dijamin oleh negara. Oleh karena itu, penerapan syari‘at Islam di Garut tidak bertentangan dengan konstitusi Negara. 307
Kelompok NU Gus Dur ini menolak adanya deklarasi syari‘at Islam di kabupaten Garut, disebabkan oleh pemahaman terhadap ajaran Islam yang berbeda. Kelompok ini memahami Islam sebagai ajaran yang tidak menganjurkan pelaksanaan Islam secara politis, seperti yang terjadi di Garut. Islam bisa diajarkan dengan pola lain, yaitu mengamalkan ajaran sesuai dengan keyakinannya didasarkan pada contoh Rasul yang hanya memerintahkan bahwa umat Islam harus berprilaku baik. Islam tidak bisa dipahami hanya sebatas symbol, tetapi harus berpikir dalam tataran substantif. 308 Asep Ahmad Hidayat, Rofik Azhar, wawancara, 3 Maret 2009 309 Lihat Moeflich Hasbullah. Op. Cit. hal 33-34. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
141
Kelima, penerapan Syari‘at Islam merupakan wujud dari implementasi konsep demokrasi. Ekspresi kebebasan yang merupakan prinsip dari demokrasi ditunjukkan dalam upaya penerpan syari‘at Islam oleh masyarakat muslim Garut. Penetapan syar‘at Islam adalah bentuk ekspresi kebebasan berpendapat di ruang publik. Oleh karena itu, penerapan syari‘at Islam, meskipun ada perbedaan, hendaknya
dipahami
sebagai
sebuah
pengayoman
terhadap
nilai-nilai
demokrasi.Keenam adalah alasan sosiologis, di mana mayoritas penduduk Garut beragama Islam maka akan sangat wajar bila kemudian hukum yang diberlakukan bagi mereka adalah hukum Islam.310 Dari alasan-alasan di atas, bila disederhanakan, paling tidak ada tiga perbedaan sikap umat Islam dalam mendukung penerapan syari‘at Islam.311 Sikap yang pertama adalah bentuk dukungan dengan melibatkan kepada lembaga yang dibentuk untuk melakukan penerapan syari‘at Islam. Para tokoh Islam setelah mendapatkan informasi bahwa di Kabupaten Garut ada gagasan penerapan syari‘at islam langsung bergabung dengan institusi yang dibentuk, yakni LP3SyI. Alasan keterlibatan kepada lembaga ini adalah keinginannya menegakkan syari‘at Islam telah lama ada dalam pikirannya. Keterlibatannya dimaksudkan agar keinginan menegakkan syari‘at islam dapat terwujud dengan ada peran dari dirinya. Sikap yang kedua adalah tokoh Islam yang tidak melibatkan diri dalam struktur LP3SyI, tetapi hanya memberikan dukungan moril. Mereka hanya menyampaikan dukungannya melalui komunikasi verbal yang dilakukannya, seperti dalam pengajian, ceramah keagamaan, ataupun khutbah Jum‘at. Sikap yang ketiga adalah sikap tokoh yang mendukung lebih operasional, yakni mensosialisasikan syari‘at Islam kepada masyarakat secara luas. Langkah sistematis dilakukannya, seperti pertama kali mereka menyampaikan tentang tuntutan syar‘i yang menyatakan bahwa umat islam wajib melaksnakan syar‘at
310
KH. Cecep Abdul Halim , KH. Muhammad Qudsi, Suherman, wawancara, 2 Pebruari 2010; Mahyar Swara, KH Endang Yusuf Junaedi, Yosep Juanda, wawancara,3 Pebruari 2010; Ust. Sirojuddin, Aceng Zakaria dan Giom Suwarsono, wawancara, 4 Pebruari 2010. 311 Lihat Yadi Janwari dkk,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
142
islam secara kaffah. Kedua, mereka menyampaikan tentang pentingnya syari‘at Islam secara formal institusional. Ketiga, mereka menyampaikan syari‘at islam dalam konteks hukum positif. Media yang dgunakannya adalah media pengajian, silaturrahmi antar tokoh Islam. Seperti yang dilakukan oleh Dewan Imamah kabupaten Garut. Sementara itu, pendapat yang menolak berusaha untuk memberikan pandangan yang kritis atas kelemahan penerapan Syari‘at Islam. Pendapat yang menolak ini datang dari kelompok NU Gus Dur.312 Kelompok ini berpendapat bahwa: Pertama, keinginan melaksanakan Syar‘at Islam sangat politis. Dukungan yang diberikan oleh para anggota partai politik di DPRD Kabupaten Garut dipahami bersifat politis. Mereka yang menandatangani sebenarnya tidak diikuti dengan niat yang baik. Kedua, Penerapan Syari‘at Islam seharusnya berlaku secara universal. Hukum Islam harus dinaungi terlebih dahulu oleh negara bukan parsial seperti di Garut. Apakah tidak memakai jilbab itu dibolehkan di luar Garut, sementara Islam itu universal. Ketiga, deklarasi tersebut dikhawatirkan akan merusak citra Islam sendiri. Kelompok Gus Dur berpendapat bahwa penerapan syari‘at Islam secara formal tidak pernah diperinthakan oleh rasul. Rasulullah dalam mensyi‘arkan ajaran Islam tidak menyuruh untuk mendeklarasikan Islam dalam bentuk hukum formal yang sarat dengan pemahaman simbolistik. Rasul menyuruh kepada umatnya agar berprilaku dengan baik. Perilaku yang baik dalam kehidupan masyarakat inilah yang diwajibkan bagi setiap muslim, bukan memformalkannya dalam bentuk aturan. Islam harus dikesani oleh umat sebagai ajaran yang mencintai kedamaian tanpa terpecah belah karena urusan politik. Keempat, diasumsikan bahwa penerapan syari‘at islam dapat dilakukan secara individual tidak mesti diformalkan. Apabila setiap individu menjalankan syari‘at islam maka secara otomatis umat Islam secara keseluruhan pun telah menjalankan syar‘at Islam dalam pandangan mereka hukum yang ada di dalam al-Quran dan Hadits sudah berbentuk hukum yang operasional. Oleh karena itu, syari‘at islam tidak 312
Lihat: KH. Mahdi Munawar dan Lukman Hakim, wawancara. 5 Pebruari 2010; Moeflich Hasbullah, Op.cit. hal 35 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
143
perlu
lagi
diformalkan
melaksanakan.
dalam
bentuk
aturan
formal,
tetapi
tinggal
313
Senada dengan pendapat di atas, bagi Undang Hidayat,314 menyebutkan bahwa penerapan syari‘at Islam bukan dilihat pada sisi formalitas, tetapi sejauhmana umat Islam bisa melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan seharihari. Islam seharusnya dijadikan pedoman hidup keseharaian.
Islam sebagai
pedoman hidup harus menjadi acuan bagi setiap orang yang mengaku dirinya sebagai umat Islam. Dari mulai aparatur hingga unsur masyarakat lainnya, prinsip ini harus menjadi pegangan dalam melakukan aktivitasnya. Syari‘at yang digembor-gemborkan secara formal sangat sulit untuk bisa dilaksanakan di Kabupaten Garut. Meskipun masyarakat sangat berharap bahwa berbagai bentuk kemaksiatan, seperti prostitusi, narkoba, dan perjudian bisa diselesaikan. Bahkan ia berpendapat bahwa berbagai bentuk penegakan syari‘at islam yang sudah dideklarasikan tidak bisa menjadi solusi bagi sejumlah kemaksiatan yang ada di Garut. Sikap mereka yang menolak penerapan syariat Islam ini, paling tidak ada tiga bentuk tindakan, yaitu: Pertama, dalam berbagai kesempatan mereka sering mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya menentang formalisasi syari‘at islam. Kedua, mereka umumnya menolak untuk hadir apabila diundang untuk kegiatan dalam upaya penetapan syariat Islam. Ketiga, penolaknnya disosialisasikan kepada jamaahnya. Mereka mengatakan bahwa formalisasi syari‘at islam tidak ada syar‘inya. Apa yang dilakukan di Garut adalah upaya yang sia-sia, dan yang perlu dilakukan oleh umat islam adalah mengamalkan apa yang sudah ditetapkan dalam Quran dan Hadits.315 Kelompok ketiga adalah umat Islam yang tidak menyatakan secara pasti, apakah menerima atau menolak terhadap gagasan syari‘at islam di Kabupaten Garut. Kelompok ini ada dalam keraguan. Satu sisi menerima penerapan syari‘at islam karena ada tuntutan syar‘i. Di lain pihak mereka memandang bahwa upaya 313
Ibid Undang Hidayat, wawancara, 2 Maret 2009. 315 Lihat Yadi Janwari dkk.,‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004 hal. 84 314
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
144
penerapan syari‘at islam di Garut dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi umat Islam sendiri. Kelompok ini berasal dari cendekiawan Islam yang memahami Islam tidak sebatas pada aspek formal saja, tetapi aspek substantif pun harus menjadi perhatian. Ia berasal dari unsur dosen agama yang ada di perguruan tinggi, diantaranya adalah Djodjo Soekardjo dan Nurwadjah Ahmad316 Senada dengan pendapat di atas, Jalaludin Rahmat menilai bhawa munculnya wacana penegakan Syari‘at Islam di Indonesia merupakan salah satu keinginan yang wajar. Namun, menurutnya syari‘at Islam mana yang akan ditegakkan, karena di Indonesia banyak orang termasuk para ulama memiliki pengertian dan pandangan yang berbeda. Lebih jauh menurutnya, syari‘at Islam mau ditegakkan jangan berdasarkan madzhab atau fatwa ulama dan sekehendak umat Islam, tapi harus berdasarkan kesepakatan bersama yang mencakup semua golongan, termasuk golongan di luar Islam. Ia menegaskan bahwa penegakan syari‘at Islam di Garut dipaksakan salah satu golongan, golongan lain tidak akan menerima. Bahkan sesama umat Islam yang berbeda golongan tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, sehingga apa yang dicita-citakan mengekan syari‖at Islam untuk kedamaian dan kerukunan umat menjadi sia-sia.317 4.1.5. Sosialisasi Penerapan Syari’at Islam Sosialisasi penerapan Syar‘at Islam di Kabupaten Garut, salah satunya, menggunakan saluran media masa. Saluran media masa yang digunakan adalah media masa yang sudah ada di Kabupaten Garut, media masa yang ada pada tingkat nasional seperti Kompas dan Republika, tingkat regional seperti Pikiran Rakyat, Galamedia, dan Bandung Pos. Sementara media masa tingkat local seperti Priangan, Garut Pos, Majalah Hukum. Berbagai media masa tersebut, pada umumnya sudah mempublikasikan mengenai gagasan penerapan Syari‘at Islam, baik berupa opini maupun berita. Sebagai contoh, dalam Koran Priangan , 9-12 Maret 2002 disebutkan ―Ulama Garut Perjuangkan Pemberlakuan Syari‘at Islam‖. Kemudian dalam Koran Suara Rakyat Merdeka, tanggal 5-12 April 2002, disebutkan ―Garut Siap LaksanakanSyari‘at Islam‖. 316 317
Asep Ahmad Hidayat, Yadi Januari, Rofik Azhar wawancara, 3 Maret 2009 Pikiran Rakyat, 2 Juli 2002 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
145
Penggunaan media masa sebagai saluran sosialisasi gagasan penegakan syariat Islam ini dijadikan sarana untuk membentuk opini publik. Hal ini dilakukan oleh para ulama sebagai penggagas Syari‘at Islam. Sebagai salah satu saluran sosisialisasi, media masa difungsikan dalam tiga pola, yaitu: Pertama, dijadikan media sosialisasi gagasan secara langsung, yaitu dalam bentuk konfrensi pers. Pola ini sengaja diadakan oleh ulama. Pola kedua, gagasan penerapan Syari‘at Islam dituangkan dalam bentuk tulisan oleh ulama. Ulama menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan yang kemudian disebarluaskan melalui media masa. Sedangkan pola yang ketiga adalah model pemberitaan yang dilakukan media masa atas peristiwa yang berkaitan dengan upaya penerapan syari‘at Islam.318 Dalam kasus penerapan Syari‘at Islam di Garut, ulama dan aktivis Islam menggunakan dua saluran sosialisasi tersebut, baik saluran interpersonal maupun saluran media masa. Menurut penuturan para penggagas, saluran interpersonal merupakan media yang pokok karena efektifitas untuk mempengaruhi publik sangat efektif dibandingkan media masa yang hanya dijadikan saluran penunjang. Pemberitahuan pengetahuan syari‘at Islam melalui media ke publik hanya sebatas sarana penyediaan ruang informasi ke wilayah publik.319 Dari realitas yang terjadi dalam sosialisasi penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut, bisa digunakan tahapan pengambilan keputusan inovasi dari Rogers, yang meliputi: Tahapan Stimulasi, Inisiasi, legitimasi, keputusan, dan pelaksanaan.320 Pada tahap pertama, faktanya bisa dilihat dari kesadaran umat Islam untuk melakukan perubahan di masyarakat Garut, dengan cara menerapkan syari‘at Islam. Penerapan Syari‘at Islam ini dipicu oleh realitas Kabupaten Garut yang dihadapkan kepada berbagai problem kemaksiatan. Aparatur pemerintah yang mestinya melakukan penyelesaian, tampak kurang mampu menyelesaikannya. Selain problem kemaksiatan yang menjadi pemicu dideklarasikannya syari‘at 318
Asep Ahmad Hidayat, Yadi Janwari, Rofik Azhar wawancara, 3 Maret 2009 Ibid 320 Lihat Yadi Janwari, dkk. ‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004 319
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
146
Islam, ada hal lain, yaitu kebijakan otonomi daerah bagi setiap Kabupaten, termasuk Garut. Pada tahap kedua, yaitu tahap inisiasi muncul setelah terjadinya proses dialogis atau kajian terhadap penerapan Syari‘at Islam oleh ulama dan komponen umat Islam lainnya, yaitu aktivis Islam dan organisasi keagamaan yang ada di Kabupaten Garut. Hasil kajian dari diskusi dan dialog yang dilakukan oleh umat Islam melalui berbagai media, melahirkan pemahaman yang sama untuk dilakukannya penerapan Syari‘at Islam di Garut. Pada dialog dan diskusi yang berlangsung dalam intensitas yang banyak memunculkan pemahaman bahwa penegakan syari‘at Islam adalah sesuatu yang diperlukan bagi kehidupan umat Islam. Diasumsikan pada tahapan ini, mayoritas umat Islam menginginkan pelaksanaan Syari‘at Islam di Garut sebagai upaya memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi. Pada tahap ketiga, yaitu tahap legitimasi, bisa dilihat dari upaya para ulama dalam melakukan mobilisasi dengan komponen lainnya, baik dari umat Islam itu sendiri, maupun unsur pemerintah daerah. Mobilisasi ini sebagai upaya untuk melakukan legitimasi atau dukungan dari berbagai pihak mengenai penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Serangkaian mobilisasi dilakukan oleh ulama melalui berbagai media, diantaranya Majelis Ulama Indonesia. Melalui MUI Kabupaten Garut inilah gagasan penerpan Syari‘at Islam disosialisasikan. Kemudian MUI melakukan mobilisasi ke media lainnya, yaitu Dewan Imamah, yang merupakan forum sulaturrahmi dan musyawarah ormas Islam dan akhirnya menerima dan mendukung gagasan penegakan syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Pada tahap keempat, yaitu tahap keputusan. Pada tahapan ini penerapan Syari‘at Islam mendapat kesepakatan bersama dari mayoritas umat Islam di tambah pihak lembaga pemerintahan untuk dilakukan deklarasi. Pada tahapan ini tampak kebulatan tekad dari para pendukung gagasan penerapan Syari‘at Islam. Salah satu kebuatan tekad yang dilakukannya adalah adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh umat Islam untuk menjadikan Kabupaten Garut sebagai daerah yang akan menerapkan Syar‘at Islam. Salah satu bentuknya adalah adanya nota Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
147
kesepahaman antara umat Islam dengan legislatif yang disaksikan oleh Bupati Garut. Nota kesepahaman ini sebagai bentuk adanya keputusan bersama antara umat Islam dengan pihak pemerintahan daerah. Konsekuensi dari nota ini maka dibuat naskah Deklarasi penerapan Syari‘at Islam melalui sebuah lembaga yaitu LP3SyI. Deklarasi diputuskan akan dilaksanakan pada 15 Maret 2002. Tentunya, keputusan bersama ini tidak lain berkat kerja keras yang dilakukan oleh umat Islam untuk melakukan upaya, dari mulai penekanan kepada pemerintah hingga member keyakinan kepada mayoritas umat Islam bahwa penerapan Syari‘at Islam ini merupakan sesuatu kewajiban. Pada Tahapan terakhir, yaitu tahapan pelaksanaan. Tahapan ini dimulai dari dilaksanakannya Deklarasi Penerapan Syari‘at Islam dengan membentuk sebuah lembaga, yaitu LP3SyI. Lembaga inilah yang mempunyai tugas untuk melaksanakan, memonitor, pelaksanaan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Ternyata, deklarasi ini didukung oleh banyak komponen dari berabagai unsur, tak terkecuali umat Islam yang datang dari luar Kabupaten Garut. Keterlibatan berbagai elemen umat Islam, pemerintah daerah dan DPRD Garut dalam pembentukan LP3SyI merupakan bukti bahwa gagasan penegakan syari‘at Islam mulai dilaksanakan. Tahapan pelaksanaan ini, sosilaisasi dilakukan dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian, khutbah Jum‘at, peringatan harihari besar Islam, seperti Isra Mi‘raj, Maulid Nabi. 4.1.6. Faktor Penyebab Ulama Melakukan Penerapan Syari’at Islam Ulama sebagai agency yang mempunyai kekuatan secara otonom untuk melakukan transformasi di Kabupaten Garut, sangat dipengaruhi oleh posisi, peran, dan aturan yang ada disekelilingnya. Hal ini bisa dipahami dengan berkembangnya ajaran Islam di muka bumi ini. Islam yang ada di hadapan kita merupakan bentuk dari pemahaman pembawanya terhadap realitas yang ada dihadapannya. Oleh karena itu, kita akan menemukan wajah Islam yang berbedabeda dihadapan kita. Ini disebabkan Islam yang hadir dihadapan kita merupakan Islam yang sudah berafiliasi dengan lingkungan, baik sosial, budaya, maupun
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
148
politik.321 Islam dalam bentuk yang asli adalah aturan yang tertuang dalam bentuk doktrin tersimpan rapi dalam kitab suci. Doktrin inilah yang akan mengatur kehidupan manusia di alam semesta ini. Sifatnya adalah universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wajah Islam seperti ini, dalam istilah Marshall Houdgson disebut dengan islamic.322 Kembali pada Islam dalam wajah islamicate, Ahidul Asror323, memahami Islam sebagai fenomena sosial kultural. Artinya, Islam merupakan ajaran yang bisa mengikuti ruang gerak perubahan sosial maupun kultur. Ada fleksibilitas dalam ruang geraknya. Islam sebagai objek dari sebuah perubahan, berbeda ketika Islam dipahami sebagai doktrin, Islam sebagai subjek dalam perubahan. Menurutnya, maju mundurnya sebuah peradaban Islam sangat bergantung pada lingkungan sosial kultur yang mengelilinginya. Hal ini ditegaskan oleh Moeslim Abdurrahman, yang mengatakan bahwa dalam perjalanannya, Islam mengalami perubahan
yang ditentukan
oleh
lingkungan
sosialnya
sehingga
dapat
mempengaruhi warna, corak, dan karakter Islam324. Mengenai perubahan ini, Sayyed Hossain Nasr325 menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu: Etnik dan ras manusia, pengalaman sejarah, dan kondisi lingkungan. Dari pendapat para pakar tersebut, menjadi jelas bahwa adanya gerakan politik ulama di Kabupaten Garut, berkenaan dengan upayanya untuk menerapkan 321
Dalam istilah Houdgson realitas ini disebut dengan Islamicate. Lihat Marshall G.S. Houdgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta: Paramadina, 1999 322 Ibid 323 Lihat: Ahidul Asror, ―Reproduksi Islam dalam Tradisi Keberagamaan Populer diLingkungan Masyarakat Santri Jawa‖, makalah disampaikan pada ―Annual Confrence on Islami Studies‖, di Banjarmasin 1-4 November 2010 yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI. 324 Lihat: Moeslim Abdurrahman, ―Ber-Islam Secara Kultural,‖ dalam Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga. 2003. hal. 150. 325 Faktor etnik dan ras manusia, biasanya berpengaruh besar pada pembentukan watak bahasa dan sastra, tulisan, corak seni, berbagai bentuk perhiasan, pakaian, arsitektur, music, makanan, dan sebagainya. Berbagai identitas luar, tampaknya lebih banyak ditentukan oleh faktor pertama ini. Faktor pengalaman sejarah, dipandang berpengaruh kuat dalam membedakan warna Islam di setiap kawasan tidak hanya sebagai pencetak identitas cultural tetapi juga lebih dari itu dalam memberikan dukungan yang kuat untuk membedaklan budaya dasar mereka secara psikologis dengan budaya lainnya. Faktor Kependudukan dan lingkungan seringkali mennetukan dalam membentuk gelombang yang membawa arus perubahan yang berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Dinamika politik biasanya selalu dimainkan oleh faktor yang satu ini. Sayyed Hossain Nasr, dalam Ajid Thohir dan Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan, Humaniora. 2006. Hal. 10. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
149
syari‘at Islam merupakan bentuk pemahaman dari umat Islam Garut, dalam hal ini, ulama, terhadap ajaran Islam (doktrin) yang dipengaruhi oleh sosial cultural masyarakat Garut. Gerakan penerapan syari‘at Islam tersebut merupakan reproduksi Islam, meminjam istilah dari Ahidul Asror, yang dipahami bahwa gerakan politik ulama merupakan hasil dari sebuah interaksi antara Islam yang dipahami oleh ulama dengan tradisi masyarakat lokal.326 Syari‘at Islam yang diperjuangkan oleh para ulama Garut merupakan pemahaman kembali atas ajaran Islam (reproduksi Islam) yang diajarkan melalui doktrin, tertulis dalam al-Quran dan al-Hadits. Reproduksi Islam dalam bentuk penerapan Syari‘at Islam di Garut disebabkan oleh pemahamannya terhadap struktur sosial yang menentukan (constraining). Sementara dalam perspektif Berger dan Luckman327, gerakan politik ulama dalam menerapkan syari‘at Islam di Garut sebagai suatu realitas sosial memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Ulama adalah pencipta realitas sosial yang objektif
melalui
proses
eksternalisasi,
sebagaimana
realitas
objektif
mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan demikian menurut kerangka Berger, gerakan politik ulama dalam menerapkan syari‘at Islam di Garut merupakan produk ulama, sebagai implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif maupun proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Gerakan politik ulama dalam menerapkan syari‘at Islam diartikan sebagai konstruksi sosial
yang dilakukan oleh ulama secara terus menerus sehingga
menimbulkan perubahan dalam tatanan masyarakat, terutama di Garut. Dinamika Gerakan politik ulama, dengan demikian mengandung unsur-unsur konstruksi manusia (ulama) karena gerakan politik ulama bukan sekedar kelakuan dan produk kelakuan. Jadi, realitas dinamika gerakan politik ulama akan selalu 326
Menurut Marshall G.S. Hodgson, bahwa Islam bisa berkembang bila berinteraksi dengan budaya dimana Islam itu ada. Ia menyebutnya dengan istilah islamicate. Beliau melihat konsep Islam dalam tiga konsep, yaitu Islamic berupa doktrin atau ajaran; Islamicate, ajaran yang sudah berinteraksi dengan sebuah budaya setempat; dan Islamdom, berupa islam yang membentuk sebuah wilayah secara geografis. (Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta: Paramadina, 1999) 327 Lihat: Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (terj). Hasan Basri. Jakrta. LP3ES. 1990 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
150
diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh, ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak akan pernah dapat menangkap realitas keberagamaan, kecuali terlibat di dalam proses sosial secara terus-menerus. Hal itulah yang tertuang di dalam pandangan Berger dan Luckmann yang populer dengan istilah—eksternalisasi,obyektivikasi dan internalisasi—ketika melihat hubungan manusia, masyarakat dan agama. Ketiga momen ini secara simultan membentuk Gerakan politik ulama dalam menerapkan syari‘at Islam. Selain amatan di atas, penulis juga melihat bahwa wacana pemberlakuan syari‘at Islam sudah menjadi fenomena publik pasca Orde Baru, yang dibicarakan baik tingkat nasional maupun lokal seperti di Kabupaten Garut. Menurut hemat peneliti, munculnya kembali arus idealisasi syariah di wilayah Garut yang dilakukan oleh ulama melaui gerakannya, merupakan
konsekuensi
dari
penemuan kembali kebebasan ruang publik. Di dalam ruang publik yang demokratis, ulama bisa memperjuangkan gagasan atau ideologi yang diyakininya tanpa melalui cara yang keras. Penemuan kembali kebebasan ruang publik ini, dijadikan peluang untuk melakukan perubahan di masyarakat, yang pernah terkungkung pada struktur sebelumnya. Faktor penyebab ulama melakukan gerakan di ruang publik ini bisa dilihat dari kenyataan struktur yang mengalami sejumlah problem, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Seperti diungkapkan pada pembahasan sebelumnya, gerakan ulama dalam memperjuangkan penerapan syari‘at Islam berawal dari problem yang terjadi di masyarakat Garut seputar perilaku kemaksiatan yang merajalela. Alasan ini tampak dipermukaan, yang menjadikan motif ulama melakukan gerakan di Kabupaten Garut. Berdasarkan pada alasan tersebut, peneliti melihat bahwa syari‘at Islam yang dideklarasikan di Kabupaten Garut dipahami sebagai fungsionalisasi nilainilai ke-Islaman. Sebagaimana Fajlur Rahman mendefinsikan syari‘at Islam sebagai
implementasi dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sebagai upaya
untuk menjadikan kehidupan lebih baik. Implementasi ini sifatnya fungsional yang dilakukan oleh setiap muslim. Al-Qur‘an dan Al-Hadits dijadikan sumber pijakan . Selian itu pula, aturan hukum Islam lainnya, seperti ilmu fiqh, ijma, dan Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
151
bentuk ijtihad lainnya menjadi dasar dalam implemnetasi syari‘at Islam di masyarakat. Oleh karena itu, syari‘ah dipahami sebagai aturan yang sifatnya fleksibel, dipengaruhi oleh kondisi sosial kultur, termasuk manusia sebagai subjeknya. Dalam pemahaman Rahman, syari‘ah tidak bersifat rigid. Konteks zaman mempengaruhi dinamika syari‘ah dalam memberikan legalitas terhadap berbagai bentuk dalam kehidupam ini.328 Berbeda dengan Abu A‘la Al-Maududi, yang mengatakan bahwa syari‘ah Islam adalah hukum Allah yang mempunyai tujuan untuk memberikan jalan kebaikan kepada manusia dengan cara dan media yang telah diaatur dalam al-Qur‘an dan al-Hadits. Apabila hal ini dilakukan maka kemanfaatan akan didapatkan oleh manusia yang menjalankannya.329 Menurutnya, syari‘ah Islam ini merupakan anugerah Tuhan, yang harus dijadikan tuntutan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus bertugas mewujudkannya dan menerima hak itu secara maksimal tanpa diperkenankan melakukan modifikasi, dikarenakan hukum Allah itu unggul daripada ilmu pengetahuan manusia. Pendapat Maududi inilah yang menimbulkan pro kontra bagi masyarakat, termasuk Garut. Gagasan Maududi ini dipahami bahwa Syari‘ah Islam harus diformalkan dalam bentuk negara. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran bagi sebagaian masyarakat Islam Garut, bahwa deklarasi Syari‘at Islam akan berdampak kepada tuntutan adanya formalisasi ajaran Islam dalam bentuk Negara Islam. Kelompok ini mengkhawatirkan ajaran Islam akan mendapat kendala dalam mendakwahkannya di ruang publik. Selain faktor di atas, peneliti melihat ada penyebab lain dibalik penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut, yaitu motif politik. Politik ini adalah kepentingan, yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Sebagai tindak lanjut dari faktor sebelumnya, yaitu etik-religius, ulama Garut memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya. Kesempatan ini berupa kebijakan otonomi daerah dan 328
Lihat Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1997), khususnya hal. 140-141. menurut Rahman, Syari‘ah yang pada awalnya mencakup aturan agama dan ilmu pemgetahuan yang sangat komprehensif itu, lambat laun berkembang menjadi ilmu fiqh (hukum) yang lebih berdimensi legal dan rigid. Hal ini sebetulnya tida selaras dengan konsep legislasi AlQur`an yang menekankan pada elastisitas dan semangat moral yang berkesesuaian dengan zaman. 329 Abu A‘la Al-Mududi, ―Syari‘ah dan Hak-hak Asasi Manusia‖, dalam Harun Nasution dan Bachtiar Effendy (Penyunting), Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 170-171. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
152
maraknya daerah di Indonesia dan Jawa Barat menggelorakan Syari‘at Islam. Motif pertama yang cenderung menitikberatkan pada aspek moral, dipahami akan bisa terlaksana dengan baik manakala ada upaya memformalkan Syari‘at Islam yang menjadi sumber untuk melakukan perbaikan atas berbagai bentuk kemaksiatan. Oleh karena itu, dengan adanya pola hubungan baik dengan pihak pemerintah, ulama mencoba melakukan dialog dan pressure ke pemerintah, termasuk komponen masyarakat lainnya, agar syari‘at Islam bisa diterapkan di Kabupaten Garut. Dukungan pun muncul, bagaikan bak air mengalir menyirami kehidupan. Pemerintah yang mempunyai kedekatan dengan ulama, mendukung penuh penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Upaya-upaya politik dilakukan oleh ulama hingga tercipta nota kesepahaman antara pemerintah dan umat Islam untuk mendeklarasikan Syari‘at Islam. Fraksi yang ada di legislatif menandatangani kesepahaman ini yang disaksikan oleh Bupati Garut. Ada hal yang penting berkaitan dengan gerakan ulama dalam penerapan syari‘at Islam di Garut. Gerakan ulama ini bisa dilihat sebagai sebuah pembelajaran demokrasi. Realitasnya bisa dilihat dalam beberapa hal. Pertama, perdebatan di seputar penerapan syar‘at Islam menyadarkan umat Islam bahwa ternyata di kalangan umat Islam sendiri tidak memiliki satu pandangan. Kedua, adanya pro kontra terhadap gerakan ulama ini, diharapkan tumbuhnya jiwa yang arif, saling menghargai, dan toleran. Ketiga, strategi gerakan ulama dalam penerapan Syar‘at Islam ini harus senantiasa ada dalam bingkai demokrasi dengan tetap berpegang pada kaidah umum yang universal seperti keadilan dan Hak Asasi Manusia. Sebagai wujud dari implementasi dari penerapan Syari‘at Islam ini, ulama melakukan koreksi total terhadap penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di Kabupaten Garut. Koreksi total ini adalah dengan adanya gerakan anti korupsi. Ulama melaporkan langsung kepada kejaksaan berkaitan dengan pelanggaran APBD di Kabupaten Garut. Sebuah langkah maju di alam reformasi, ulama memberikan koreksi terhadap pemerintah, yang sebelumnya (masa Orba), susah bahkan belum pernah dilakukannya.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
153
4.2.Pemberantasan Korupsi di Garut 2002-2007 4.2.1. Korupsi di Indonesia Korupsi330 di negeri Indonesia ini sudah menjadi masalah utama yang perlu penanganan secara serius untuk dilakukan penanggulannya. Hal ini disebabkan bahwa praktik korupsi di negeri ini nampaknya sudah melembaga dan membudaya.331 Korupsi merupakan masalah yang kompleks, sudah mengakar dan berpengaruh di berbagai sektor kehidupan. Salah satunya, korupsi atau tindak penyelewengan ini terjadi di lembaga pemerintahan, yang disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Dari kenyataan di atas, korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis. Kondisi ini ditunjukkan oleh beberapa hasil survey, yang menempatkan Indonesia sebagai Negara terkorup baik di dunia, Asia, maupun Asia Tenggara. Sebagai bukti dari kondisi tersebut, adalah hasil survey yang dilakukan Political and Economic Risk Consultsncy (PERC) dan Transparansi Internasional (TI), sebuah lembaga yang mengkampanyekan anti korupsi dan memiliki cabang sebanyak 80 di seluruh dunia. Dua lembaga survey tersebut, tepatnya tahun 1996 menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara terkorup di dunia. Posisi ini bertahan hingga tahun 1999, sebagai negara terkorup nomor ketiga dari 99 negara
330
Korupsi secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu corruption, yang berrati keburukan, ketidakjujuran, kejahatan, dapat disuap, tidak bermoral. (Zaenul Bahri, Kamus Umum Bidang Politik dan Hukum, Bandung: Angkasa, 1996, hal. 151. Sementara secara terminologi adalah penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan di mana tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal 231. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3, korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam istilah hukum Islam, korupsi sering diartikan dengan: (1) Ghulul yaitu mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya. (2) Rishwah, artinya tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. (3) Khianat, artinya tidak menepati janji. (4) Mukabarah dan Ghasab. Mukabarah adalah eksploitasi secara tidak sah atas benda dan manusia. Ghasab adalah menghilangkan kekuasaan orang yang berhak dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat bathil secara terang-terangan, tidak secara rahasia, pada harta yang berharga dan dapat dipindahkan. (5) Saraqah artinya tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya. (Majelis Tarjih dan tajdid, Fikih Anti Korupsi) 331 Lihat Berlin Nainggolan, Citra Justica Majalah Hukum dan Dinamika Kemasyarakatan, Volume VII No. 3 September 2008. Fakultas Hukum UNA Kisaran, hal. 3-4. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
154
di dunia dengan skor 1,7.332Sebuah hasil yang memerlukan perenungan bagi bangsa kita ketika dihadapan pada kenyataan tersebut. Kenyataan ini terus berlangsung dalam tahun berikutnya. Pada tahun 2001, posisi Indonesia masih berada dalam deretan negara terkorup di dunia. Indonesia menempati urutan keempat dari 91 negara terkorup di dunia. Dalam urutan Indeks Citra Korupsi ( Corruption Perceptions Indeks) tahun 2001, Indonesia mendapat skor satu kelas dengan Uganda, mencapai skor 1,9. Angka ini hanya sedikit lebih baik dari dua negara terkorup di dunia, Nigeria (1,0) dan Bangladesh (0,4).333 Sementara hasil survey tahun 2002, tepatnya pada tanggal 10 Maret 2002, PERC merilis hasil surveinya, yang menempatkan Indonesia sebagai Negara paling korup di Asia Tenggara, dengan tingkat skor 9,92. Angka tersebut merupakan hasil terburuk bagi Indonesia semenjak PERC merilis hasil survey dari mulai tahun 1995.India dan Vitenam masing-masing menempati urutan dua dan tiga dengan skor masing-masing 9,17 dan 8,25. Dalam survey tersebut, PERC memilih sampel dengan jumlah responden sebanyak 1000 pengusaha ekspatriat di 12 negara Asia.334 Pada tahun 2004, Indonesia menempati rangking nomor lima sebagai negara terkorup di dunia dengan Indeks Citra Korupsi mencapai 2.00, sekaligus menempati uruta pertama di wilayah Asia Tenggara.335 Sementara pada bulan Oktober tahun 2005 bertepatan dengan setahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kall, Indonesia mengalami kenaikan peringkat yang relatif kecil, yaitu menjadi negara paling terkorup nomor enam di dunia, sehingga bisa mengubah posisinya pada tingkat Asia Tenggara, yanag sebelumnya menduduki ranking pertama. Pada periode ini, negara terkorup di Asia Tenggara ditempati oleh Negara Myanmar. Indonesia menduduki posisi kedua dengan raihan CPI 2.00. Begitu pula tahun 2006-2007, Indonesia masih 332
Lihat Budi Hardianto, ‗Hukuman Mati Bagi Koruptor, Sebuah Keniscayaan‘. 2003, hal. 83-84. Lihat: BPKP, ―Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional‖ Tempo, 22 Januari 1999, hal. 296 333 Lihat: BPKP, Ibid. hal. 296 334 Lihat: Budi Hardianto. Op.Cit. hal. 83-84 335 Lihat: BPKP, Op.Cit. hal. 296 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
155
menempati urutan kedua tetapi urutan pertama nya diptempati oleh Filipina sebagai negara korup di Asia Tenggara.336 Dari realitas di atas, negara harus mempunyai tanggungjawab yang tinggi untuk mencari jawaban terhadap problem bangsa ini. Penanganan dan pemberantasan terhadap korupsi yang sudah menjadi penyakit masyarakat dan bangsa, menuntut perhatian yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama dari pemerintah. Tampaknya, korupsi ini sudah menjadi gejala hukum yang perlu penanganan hingga pada bagian akarnya. Apabila tidak dilakukan penanganan dengan serius, akan mengganggu terhadap roda keuangan negara sehingga dapat mengganggu
perekonomian,
stabilitas
nasional,
menghambat
proses
pembangunan, merusak moral masyarakat bahkan akan menurunkan wibawa dan kepercayaan masyarakat di mata internasional terhadap pemerintah. Implikasi lebih lanjut, dikhawatirkan para investor dan pelaku bisnis tidak mau berinvestasi lagi di Indonesia.337 Dampak lain dari tindak pidana korupsi338 ini, ketika tidak dilakukannya penanganan secara serius adalah turunnya wibawa pemerintah di mata masyarakat, disebabkan oleh penilaian negatif dari masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, keseriusan pemerintah dalam melakukan penanggulangan bahkan pemberantasa menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi, demikian diungkapkan oleh Djoko Prakoso.339 Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah terjadi di berbagai lembaga, baik pemerintah ataupun swasta. Bila dianalisis dari segi kebijakan otonomi daerah, ternyata maraknya korupsi di Indonesia terjadi semenjak diberlakukannya kebijakan tersebut. Peralihan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah 336
Ibid Lihat Sujono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta. 1987, hal. 13 338 Tindak Pidana Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi (Robert Kligaard, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, hal. 31. Sementara dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat 1disebutkan, bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. 339 Lihat Djoko Prakoso (Et.al), Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta:Bina Aksara. 1987. Hal. 390. 337
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
156
daerah, yang ditandai dengan pengurusan daerah secara otonom, berakibat terhadap prinsip kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah bermuara pada kepentingan daerahnya masing-masing. Lembaga eksekutif dan legislatif mempunyai kewenangan yang penuh dalam membuat kebijakan-kebijakan daerah. Kemudian dari aspek fungsi, dewan mempunyai kewenangan penuh pula, seperti membuat undang-undang, memilih kepala daerah, dan pengawasan terhadap esekutif. Kenyataan mengenai keberadaan pemerintah di daerah memberikan peluang untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (korupsi). Padahal bila dilihat dari hakekat otda, bahwa kewenangan yang diberikan ke pihak legislati dan ekekutif ini, sebagai upaya untuk dilakukannya pemberdayaan potensi daerah. Artinya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah diorientasikan untuk kepentingan masyarakat yang ada di daerah sesuai dengan aturan yang berlaku. Kenyataan yang terjadi adalah pemahaman yang kurang tepat, justru yang terjadi adalah pemanfaatan kewenangan ini untuk kepentingan perorangan dan kelompok.
Akhirnya,
meminjam
istilah
Khudori340,
terjadi
‖kejahatan
institusional‖ di pemerintahan daerah. Prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, jauh dari kenyataan. Kepentingan publik bukan menjadi ukuran, tetapi kepentingan individu dan kelompok menjadi standar dalam membuat kebijakan. Salah satu bentuk ‗kejahatan institusional‘ yang dilakukan adalah melakukan penyalahgunaan APBD oleh pihak legislatif. Pelanggaran terhadap PP 110/2000, marak dilakukan oleh anggota legislatif, salah satunya yang terjadi di Kabupaten Garut .Misalnya kasus 4 anggota legislatif di Garut yang melakukan tindak pidan korupsi. Apa yang dikemukakan di atas, ternyata terbukti bagi kondisi Kabupaten Garut yang pemerintahan daerah dari mulai legislatif dan eksekutifnya melakukan tindakan korupsi anggaran. Dalam hal ini anggota DPRD dan Bupati Garut, melakukan tindak pidana korupsi mendapat respon negatif dari masyarakat Garut. Dengan dikoordinir oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama 340
Lihat Khudori, ‗Politik Anggran Publik‘, Pikiran Rakyat, 04 Pebruari 2004. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
157
Indonesia Kabupaten Garut, masyarakat Garut menyatakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah. 4.2.2. Korupsi di Kabupaten Garut Apa yang dikemukakan di atas, ternyata terbukti bagi kondisi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, dari mulai legislatif dan eksekutifnya melakukan tindakan korupsi anggaran. Dalam hal ini anggota DPRD dan Bupati Garut, melakukan tindak pidana korupsi mendapat respon negatif dari masyarakat Garut. Dengan dikoordinir oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut, masyarakat Garut menyatakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah. Mengenai korupsi anggota Dewan di Kabupaten Garut berawal dari laporan ulama Garut yang diwadahi oleh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut. Anggota Dewan sudah melakukan penyimpangan APBD 2001 sampai dengan 2003, khususnya pada pos 2.2.1 Belanja DPRD. Dinilai oleh para ulama Garut bahwa ada kejanggalan mengenai anggaran belanja DPRD Kabupaten Garut. Alokasi anggaran yang kontroversial untuk 45 anggota dewan itu mencapai Rp. 9.09 miliar, yang sebelumnya di informasikan oleh anggota dewan sebesar Rp. 9 milyar. Dari angka di atas hamper 30 % dari Penghasilan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Garut diperuntukkan bagi lembaga legislatif.341 Dari data di atas, dipahami bahwa penghasilan wakil-wakil rakyat di DPRD dari sumber APBD terus bertambah secara signifikan. Pada tahun 2001 anggarannya sebesar 5.607.737.500. Tahun 2002 meningkat lagi menjadi Rp. 7.363.283.000.342 Sementara masyarakat melalui ulama Garut memahami bahwa sejatinya kebijakan tersebut mengacu kepada asas umum pemerintahan yang baik, yakni menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum untuk meujudkan penyelenggara negara yang bersih dari KKN, merupakan dasar
341
Lihat: Republika, 25 September 2003; Pikiran Rakyat, 26 September 2003; Priangan, 13 Oktober 2003. 342 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
158
pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu sebagaimana diatur PP No. 10 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan DPRD.343 Kejanggalan lain dan indikasi penyimpangan APBD Kabupaten Garut, diantaranya, dalam pos belanja pegawai DPRD terdapat Biaya perjalanan Dinas Pindah yang semula Rp. 726.050.000 pada tahun anggaran 2001 melonjak menjadi Rp. 1.748.900.000 pada tahun 2002. Kenaikan yang signifikan dan jumlahnya cukup fantastis, pos anggaran tersebut tidak terdapat dalam PP No. 110 tahun 2000. Menurut PP No.100 tahun 2004 bagian keempat tentang biaya kegiatan DPRD pasal 4 ayat 3 besarnya penunjang ditetapkan berdasarkan PAD. Dinyatakan, PAD di atas Rp. 20 miliar sampai Rp. 50 miliar paling rendah Rp. 400 juta dan paling tinggi 1 persen. Sementara PAD Garut yang hanya Rp. 30 miliar menganggarkan biaya penunjang kegiatan DPRD thun 2003 sebesar Rp. 3.758.200.000. Selain itu pos Biaya tahun anggaran 2002 mencapai Rp. 1.044.000.000 padahal tahun sbelumnya hanya Rp. 110.000.000.344 Menurut Cecep Abdul Halim, selaku Ketua MUI Kabupaten Garut, data tersebut sejalan dengan hasil temuan BPKP (Badan Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara) yang menunjukkan adanya penyalahgunaan anggaran sebesar Rp. 6.6 miliar atau setara dengan 9.09% dari anggaran yang ada.345 Data di atas ditanggapi oleh salah satu anggota panitia anggaran Garut, Haryono SH. Menurutnya, langkah ulama melalui MUI tersebut ditanggapi positif tetapi ia menyatakan, bila ada pelanggaran mengapa baru dilaporkan sekarang. Sementara kenyataannya sudah berlangsung lama. Menurutnya, mengapa anggaran eksekutif tidak ikut diperiksa, sambil memberikan data mengenai anggaran eksekutif. Menurut Haryono bahwa anggaran eksekutif tidak rasional. Ia menyebutkan, anggaran komponen gaji pokok sekretariat daerah Rp. 3,85 miliar untuk tahun anggaran 2003. Pada triwulan I terwujud Rp. 663,13 juta. Untuk mencari pengeluaran gaji pokok setiap bulan, realisasi triwulan I itu dibagi 3 sehingga muncul angka Rp.221,04 juta. Kemudian angka tersebut dikali 12 untuk 343
Lihat: Informasi tentang Kejanggalan Anggaran untuk DPRD pada APBD Kabupaten Garut, Surat dari MUI Kabupaten Garut tanggal 24 September 2003; Priangan, 1-3 Oktober 2003. 344 Ibid 345 Priangan, 1-3 Oktober 2003; Priangan, 8 Oktober 2003 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
159
mengetahui realisasi pengeluaran gaji pokok selama satu tahun dan keluar angka Rp. 2,65 milair. Jadi ada selisih sekira Rp. 1,2 miliar dengan yang dianggarkan. Dia menanyakan, ―Apa itu Rasional?‖ Padahal, gaji pokok merupakan komponen terukur dan dikeluarkan secara konstan dengan jumlah yang sama setiap bulannya.346Bahkan salah satu wakil anggota DPRD Garut, Mahyar Suara mengatakan bahwa yang mengesahkan anggaran adalah Bupati dan disetujui oleh dewan. Munculnya dugaan kejanggalan anggaran akan kembali lagi kepada bupati, ujarnya.347 Kasus tindak pidana korupsi APBD Kabupaten Garut selanjutnya adalah yang terjadi dan dilakukan oleh Bupati sebagai pihak eksekutif di Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut. Bupati Garut, Agus Supriadi, periode 2004 sampai dengan 2008 dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dan menerima gratifikasi.
Menurut
data
yang
ada,
Agus
Supriadi
telah
melakukan
penyelewengan dana APBD, dana bantuan pengamanan pemilu, serta menerima gratifikasi. Hasil peneyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Supriadi terbukti sudah melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan penyalahgunaan wewenang, seperti pada kasus yang disebutkan di atas. Atas perbuatannya Agus Supriadi diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 10,8 miliar.348 Oleh karena itu, Agus Supriadi didakwa karena telah melakukan tindak pidan korupsi. Ia telah melanggar Undang-Undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dakwaan yang dijatuhkan, yaitu: dakwaan kesatu primer, dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tipikor jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Dakwaan kesatu subsider, pasal 3 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemeberantasan tipikor jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Dakwaan kedua pasal
346
Pikiran Rakyat, 26 September 2003. Priangan, 1-3 Oktober 2003 348 Lihat: Kompas, 18 Januari 2005; Galamedia, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat, 18 Januari 2005; Jawa Pos, 18 Desember 2007 347
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
160
11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tipikor jo pasal 65 ayat 1 KUHP349 4.2.3. Ulama sebagai Aktor Gerakan Anti Korupsi Para ulama Garut yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut, menjadi aktor gerakan, Garut sebagai kota anti korupsi. Sejumlah gerakan dilakukan oleh para ulama, yaitu memberikan laporan kepada pihak kejaksaan berkaitan dengan penyelewengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Garut yang telah terjadi dari tahun 2001.350 Kasus yang dikenal dengan APBD Gate ini berhasil dipelopori oleh para ulama Garut yang berakhir dengan dipenjarakannya para pimpinan DPRD Tk. II Kabupaten. Gerakan ulama dalam bidang pemberantasan korupsi ini terus berlanjut hingga lengsernya Bupati Garut Periode 2003-2008 , Agus Supriadi, dari kursi kekuasaannya.351 MUI menyoroti bahwa DPRD Garut telah melakukan penyimpangan terhadap anggaran belanja daerah, yaitu dengan melakukan rekayasa anggaran belanja perjalanan dinas, yang bertentangan dengan PP No. 110/2000. Rekayasa anggaran yang dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Garut ini, bisa dilihat dari APBD 2001, yang mencantumkan belanja perjalanan dinas senilai Rp. 726,05 juta. Sementara
dalam APBD tahun 2002 menjadi Rp. 1,75 miliar yang
dimasukan ke bagian belanja pegawai DPRD. Tampak perubahan yang dipahami tidak rasional pada mata anggaran tahun 2002, hingga mencapai Rp. 9.09 miliar atau setara dengan 30% dari PAD Garut tahun 2002 yang berjumlah Rp. 30.37 miliar. Penyimpangan lain bisa dilihat dari anggaran penunjang kegiatan (Pos 2.2.1) APBD 2003 Rp. 3,76 miliar atau setara dengan 12% PAD tahun 2002. Kondisi tersebut bertentangan dengan ketentuan pasal 14 ayat 3 huruf e PP 349
Ibid Pengaduan ini bisa dilihat dari surat secara resmi dari MUI Kabupaten Garut tertanggal 20 September 2003 yang ditandatangani oleh Ketua MUI, KH Cecep Abdul Halim dan Sekretaris, Drs. Undang Hidayat, M.Ag. 351 Menurut penuturan Abdul Halim, bahwa ulama dalam mengkritisi anggaran pendapatan daerah kabupaten Garut, tidak bermodalkan kosong mengenai konsep APBD. Menurutnya, para ulama mengikuti pelatihan mengenai konsep APBD yang diberikan oleh UNICEF. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan kepada ulama berkaitan dengan seluk beluk APBD. Dengan demikian, ulama di Garut diharapkan akan melek terhadap anggaran yang terjadi di lembaga legislatif dan eksekutif. Abdul Halim, wawancara, 27 November 2010. 350
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
161
No.110/2000, seharusnya anggaran penunjang kegiatan tersebut maksimal Rp.400 juta atai 1% dari nilai PAD.352 Undang Hidayat selaku sekretaris MUI Kabupaten Garut menjelaskan laporan dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negerei (Kejari) berdasarkan tekad MUI untuk memberantas korupsi. Menurutnya, anggaran dewan yang terus membengkak setiap tahun itu sangat ironis. Ketika masyarakat bergulat untuk dapat menyambung hidup, penghasilan annggota DPRD terus menerus bertambah. Selain itu secara yuridis anggaran tersebut melanggar PP No. 110/2000. 353 MUI sebagi Forum silaturrahmi dan Musyawarah para ulama, Zu‘ama dan Cendekiawan Muslim terpanggil untuk berperan serta dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN sebagaimana diatur PP N0.68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. 354 Untuk lebih jelasnya mengetahui dasar para ulama melakukan laporan penyalahgunaan APBD, ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh beberapa komponen di masyarakat Garut, yang dipelopori oleh ulama, berkaitan tentang perhatiannya terhadap APBD Garut, diantaranya: 1. Bahwa diinspirasi serta didasari oleh
etika Islam (amar ma‟ruf nahi
munkar bil hikmah, dan ajaran ruh zakat sebagai konsep ―keuangan negara/penganggaran yang adil‖),menjadikan ulama untuk senantiasa memegang komitmen moral dan tanggung jawab dengan senantiasa mendorong tatanan pemerintahan yang dapat menegakan keadilan dan berorientasi untuk kepentingan rakyat (li masholih ar-raiyyah); upaya yang
dilakukan
adalah
dengan
melakukan
kontrol
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan supaya menjadi adil, bersih, berwibawa, dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). 2. Bahwa ulama memahami bahwa uang negara bukanlah uang pejabat melainkan uang rakyat. Oleh karena itu, (APBD) yang hampir sebagian besar pemasukannya dari uang pajak sesungguhnya diperuntukkan bagi 352
Lihat: Republika, 25 September 2003; Pikiran Rakyat, 26,29 September 2003; Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2003; 353 Lihat Pikiran Rakyat, 26 September 2003 354 Lihat: Priangan, 1-3 Oktober 2003 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
162
kesejahteraan dan keadilan rakyat, bukan untuk memperkaya pejabat. Maka yang perlu ditegaskan adalah bahwa para pejabat harus berprilaku bijak dengan senantiasa memperhatikan nasib rakyat tanpa melakukan penyelewengan terhadap anggaran atau korupsi. Selain itu, pejabat diharapkan senantiasa menjadi pelayan masyarakat.. 3. Bahwa korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan sudah berdampak terhadap masyarakat sehingga rakyat mengalami kondisi yang serba kurang serta menurunkan perekonomian negara. Oleh karena itulah, masyarakat mengalami kirisis multidimensi yang berkepanjangan. Hasil pengamatan bahwa korupsi yang terjadi telah merugikan uang negara dengan ketidakjelasan anggaran hingga mencapai sepertiga sampai separoh anggaran negara yang semestinya dana tersebut dapat digunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat. 4. Bahwa di bawah sistem kekuasaan dan pemerintahan yang korup baik di pusat maupun di daerah, maka birokrasi kehilangan fungsi-fungsi vitalnya sebagai institusi pelayanan publik. Ini nampak, dari semakin mahal dan susahnya rakyat--terutama yang lemah dan kecil--untuk mendapatkan pelayanan sosial. Sementara, di sisi lain, wajah birokrasi dengan sebagian sikap para pejabatnya cenderung mengabaikan kepentingan publik dan seringkali mendahulukan kepentingan pribadi dan atau kelompoknya. 5. Bahwa seluruh total anggaran APBD Garut adalah sebesar Rp. 573.979.737.524,00
dengan
perincian
Belanja
Aparatur
Rp
140.572.459.123,00 (25% dari Total Anggaran) dan Belanja Publik : 433.407.278.401,00 (75% dari Total Anggaran). Proporsi untuk belanja publik APBD Garut 2003 sekilas tampak sudah mendapat perimbangan angka yang besar (75 %); tetapi angka ini peruntukkannya lebih terkuras kepada belanja administrasi umum Rp. 326.219.928.112,00, belanja operasional aparat dan pemeliharaan Rp. 27.628.706.100,00. Dengan demikian, realitas alokasi APBD 2003 kabupaten Garut belum menunjukkan adanya pemihakan nyata bagi pemberdayaan kebanyakan rakyat lemah. Yakni penganggaran yang memadai dan adil pada sektorUniversitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
163
sektor yang amat dibutuhkan bagi kebanyakan rakyat yang menyangkut peningkatan pendapatan rakyat dan pelayanan masyarakat, seperti sektor pertanian, kesehatan, dan pendidikan. 6. Jadi anggaran yang langsung berkait dengan masyarakat lemah memang terlihat sangat kecil, untuk tidak mengatakan diabaikan. Sebutlah untuk angka pada sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 3.235.555.000,00 (0,6% dari total anggaran), sektor kesehatan sebesar Rp 1.168.824.686,00 (0,2% dari total anggaran), sektor pertanian sebesar Rp 629.170.000,00 (0,1% dari total anggaran). Padahal banyak rakyat Garut saat ini begitu kesulitan untuk tetap dan meneruskan sekolah. Mereka juga kesulitan untuk membiayai biaya kesehatan ketika sakit. Mereka yang kebanyakan berprofesi petani juga mendapat hasil pertaniannya makin tak cukup untuk hidupnya. Dari perhitungan ini, maka jumlah dana yang langsung berkait dengan masyarakat berjumlah Rp. 75.949.545.063,00 (12,5 % dari Total anggaran APBD atau 17% dari anggaran pelayanan publik). Jika pada tahun 2003 ini, penduduk Garut berjumlah 2,1 juta jiwa, maka setiap jiwa pertahun hanya mendapat alokasi dana 36.190. atau Rp. 99 perhari. Angka tersebut pun masih menyisakan kemungkinan untuk tidak sampai kepada masyarakat karena tindakan korupsi seperti manipulasi dan mark up keuangan. 7. Sementara itu, banyak sekali pos-pos anggaran yang tidak relevan dan tidak peka terhadap rasa keadilan masyarakat, serta jauh dari kepentingan pemberdayaan dan kesejahteraan kebanyakan rakyat lemah. Misalnya, biaya perjalanan dinas bupati mencapai Rp. 540.000.000 dalam setahun artinya dalam sebulan sebesar 45.000.000 atau Rp. 2.250.000/hari (20 hari efektif kerja).355 Laporan ulama Garut tersebut direspon baik oleh kalangan masyarakat Garut, termasuk dari Ormas Islam dan pesantren. Diantaranya ormas NU dan Muhammadiyah Kabupaten Graut, Pesantren Darusalam, Cipari, Al-Falah Biru, 355
Lihat: Rekomendasi Bahtsul Masail ―Mewujudkan APBD Garut yang Memihak Kepentingan Rakyat‖
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
164
dan Musadaddiyah. Ormas dan Pesantren tersebut mendatangi kejaksaan Negeri (Kejari) Garut untuk mendukung Kejari agar mengusut tuntas kasus dugaan korupsi di tubuh DPRD Garut. Menurut Giom Suwarsono selaku juru bicara, kedatangannya ini untuk menunjukkan adanya dukungan moral terhadap kejaksaan dalam melakukan pemberantasa korupsi di Kabupaten Garut. Meskipun upaya ini bertepatan dengan momen akan dilaksanakannya pemilihan bupati Kabupaten Garut. Mengenai pemilihan bupati ini, Zaki Siradz akan menekan pihak DPRD agar membatalkan pelaksanaan pemilihan bupati. Menurutnya, penekanan ini akan diikuti oleh jumlah masa yang lebih banyak lagi.356 Dari fakta di atas, tampak keseriusan dari para ulama dan tokoh masyarakat Garut untuk melakukan pemberantasan terhadap perilaku tindak pidana korupsi meskipun dari dua pernyataan wakil massa di atas, perlu pemahaman lebih lanjut bila dilihat dari psikologi politik. Pernyataannya yang tidak berorientasi politik dan akan menekan dewan supaya mengundurkan jadwal pemilihan bupati, secara psikologi politik bahwa ada kepentingan tertentu dibalik gerakan moral yang dilakukannya. Ini dibuktikan dengan mencalonkannya kembali Dede Satibi sebagai Bupati Garut, yang diusung oleh ulama Garut, KH. Cecep Abdul Halim sebagai Ketua MUI Kabupaten Garut. Aksi para ulama mengenai koreksi terhadap kejanggalan anggaran belanja yang dilakukan oleh anggota DPRD, mendapat respon positif dari pihak Kejaksaan Negeri Kabupaten Garut. Upaya positif ini, dibuktikan dengan meminta keterangan dari Ketua dan Sekretaris MUI Kabupaten Garut. Kasi Intel Kejari Ratiman,SH berhasil mendapatkan informasi dari keduanya sehingga pihak kejakasaan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan bernomor 060/2003 yang ditandatangani langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Garut, Winerdy Darwis SH. Hasil penyidikan ditetapkanlah empat pimpinan Dewan sebagai tersangka, yaitu: H. Iyos Somantri, H. Dedi Suryadi, H. Encep Mulyana, dan H. Mahyar
356
Lihat: Metro Bandung, 7 Oktober 2003. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
165
Swara.357 Mengenai penetapan keempat pimpinan Dewan sebagai tersangka, dikeluarkan surat penetapan bernomor: SP.06/0.16/FP/10.2003358 Mengenai penetapannya sebagai tersangka, dua dari empat tersangka memberi komentar. Iyos Somantri mengatakan, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum. Bersalah atau tidaknya harus dibuktikan dalam sidang di pengadilan. Bila ternyata tidak bersalah atau tidak terbukti, Dewan bisa melakukan gugatan balik minimal pencemaran nama baik. Sementara Mahyar Suara mengatakan bahwa mari kita hormati proses hukum sesuai dengan aturan yang ada. Sebagai warga yang baik harus mentaati hukum.359 Setelah mengalami proses yang begitu panjang, hingga kurang lebih 2 tahun dari mulai Oktober 2003, baru pada tanggal 6 Juni 2005 Pengadilan Negeri Garut memberikan vonis empat tahun penjara kepada empat terdakwa kasus APBD gate. Keempatnya divonis hukuman penjara empat tahun ditambah membayar denda masing-masing Rp. 200 juta. Keempatnya pun diharuskan membayar pengganti ratusan juta rupiah serta membayar ongkos perkara masingmasing Rp.5000. Dijelaskan majelis hakim, yang diketuai H. Imam Su‘udin, SH dengan anggota Wasdi Permana, SH serta Irwan,SH.,MH, para terdakwa terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 hurup d UU No.31/1999 jo pasal 43 ayat 3 UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat i jo pasal 64 ayat 1 KUHP tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.360 Selain kasus APBD yang dilakukan oleh pihak legislatif di atas, ulama Garut juga melakukan hal yang sama dengan fokus kepada lembaga eksekutif, dalam hal ini Agus Supriadi sebagai Bupati Garut. Bupati Garut ini terbukti melawan hukum dengan melakukan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan dana APBD Garut 2004-2007 sebesar Rp 10,8 miliar untuk kepentingan pribadi dan orang lain. Kemudian kasus lain Agus terbukti menerima dana dari orang lain sebesar Rp 1,8 miliar; Penyalahgunaan bantuan dari Provinsi Jawa Barat untuk bantuan pengamanan pemilu tahun 2004 sebesar Rp 365,7 juta. Agus juga dinilai 357
Lihat: Priangan, 1-3 Oktober 2003; Lihat: Galamedia, 31 Oktober 2003: Republika,31 Oktober 2003 359 Lihat: Priangan, 1-4 November 2003; Republika, 17 November 2003 360 Lihat: Pikiran Rakyat, 7 Juni 2005; Republika, 7 Juni 2005; Priangan, 8-10 Juni 2005 358
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
166
menggunakan uang daerah untuk membayar cicilin rumah pribadinya kepada PT Dwikarya Anta Graha; membayar pembelian sebuah mobil merek Isuzu Panther dengan menggunakan dana anggaran biaya makan dan minuman Sekretariat Daerah; menggunakan uang daerah untuk membayar pembelian mebel untuk rumah pribadi di Bandung; membayar pembelian mobil Nissan X-Trail, serta membayar pembangunan rumah pribadi di Cireungit dan Muara Sanding; Menerima uang terkait jabatannya sebagai bupati sejak April 2004 sampai Oktober 2004 sebesar Rp 250 juta dari saksi Ocad Rosadin dan Rp 1,442 miliar dari saksi Taufik Hidayat. Uang sebesar Rp 250 juta didapat terdakwa dari Ocad Rosadin setelah Ocad ditunjuk sebagai investor pembangunan Pasar Cikajang. Sementara uang sebesar Rp 1,442 miliar diberikan Taufik Hidayat setelah ditunjuk sebagai investor untuk pembangunan gedung olahraga di Garut361 Kasus korupsi yang dilakukan oleh bupati Garut tersebut mendapat reaksi keras dari seluruh komponan masyarakat Garut. Ulama yang menjadi pelopor dalam kasus tersebut, berhasil melibatkan seluruh komponen masyarakat Garut untuk menuntut mundur terhadap Agus Supriadi.362 Partai Politik, para kepala desa, mahasiswa turut serta menuntut Agus Supriadi mundur. Diberitakan oleh Antara News.com, ribuan orang menuntut Agus Supriadi mundur dari jabatannya. Seluruh partai politik di Garut, juga memerintahkan anggota DPRD setempat agar melakukan pemogokan yang tujuannya mempertegas sikap bagi penurunan Agus dari jabatan Bupati Garut.363 Gelombang aksi demonstrasi yang dipelopori oleh ulama Garut untuk menuntut mundur Bupati Agus Supriyadi berlangsung beberapa hari, di mulai pada tanggal 3 Juli 2007 hingga dimasukan ke rumah tahanan Polres Jakarta Selatan oleh KPK pada 26 Juli 2007. Menurut data yang ada proses pengangkapan Agus Supriyadi ini dapat dijelaskan lebih rinci di bawah ini. Pada tanggal 3 Juli 2007, ulama beserta komponen masyarakat lainnya menemui DPRD Kabupaten Garut untuk menuntut mundur Bupati Garut tersebut. 361
Lihat: Kompas, 18 Januari 2005; Galamedia, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat, 18 Januari 2005 362 Lihat: Foto dalam lampiraan, KH Cecep Abdul Halim sedang melakukan orasi. 363 Lihat: Antara news.com; Lihat: Foto dalam lampiran Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
167
Pada tanggal ini disepakati bahwa DPRD akan membentuk hak angket dan berjani selama dua minggu ke depan akan ada keputusan yang akan diambil. Kesepakatan yang dibuat, ternyata tidak membuat ulama dan masyarakat Garut berhenti. Bahkan pada tanggal 5 Juli 2012, terjadi gelombang demonstrasi yang berasal dari dua kubu, yaitu kubu anti dan pro Agus Supriyadi. Pada tanggal ini, dua kelompok demonstran melakukan orasi di tempat yang berbeda. Kelompok anti Bupati yang dipimpin oleh ulama melakukan orasi di depan Pendopo Garut. Sebanyak 500 demonstran menyeruakan agar bupati Agus Supriyadi turun. Mereka menganggap bahwa kebijkan bupati sudah sangat merugikan masyarakat Garut dan menyesalkan adanya pemtongan sebesar 10% dari setiap nilai proyek yang terjadi di pemerintahan daerah Kabupaten Garut. Sementara sekitar 400 massa yang pro bupati menyerukan agar bupati tetap ada dalam posisinya dikarenakan kesuksesannya dalam memimpin Kabupaten Garut.364 Pada tanggal 10 Juli 2007, aksi menuntut mundurnya bupati berlangsung kembali. Para pengunjuk rasa menilai bahwa bupati sudah melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan penyimpangan APBD Kabupaten Garut periode 2004-2006. Pada kesempatan ini, ulama dan komponen masyarakat Garut menyerukan kepada seluruh Pegawan Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Garut untuk melakukan mogok kerja. Aksi dilakukan di depan kantor Bupati dan dilanjutkan di kantor DPRD Kabupaten Garut. Para pengunjuk rasa membakar boneka yang merupakan simbolisasi bupati Garut.365 Pada tanggal 17 Juli 2007, ulama dan komponen masyarakat lain, seperti PMII, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Laskar Ampera, melakukan unjuk rasa kembali untuk menuntut mundur Bupati Agus Supriyadi. Sebanyak 15.000 pengunjuk rasa berkumpul di kantor Bupati. Aksi menuntut mundurnya bupati dilanjutkan pada hari berikutnya, 18 Juli 2007. Sebanyak 100 mahasiswa berjanji tidak akan membubarkan diri hingga ada jawaban mundurnya Bupati Garut. Aksi dilanjutkan kembali pada tanggal 21 Juli 2007, dengan menuntut para pelajar agar melakukan bolos sekolah. Pada tanggal 21 Juli 2007 364
Lihat: ―Kronologi Mundurnya Bupati Garut‖, dokumen MUI Kabupaten Garut 2007. Lihat pula: ―Tasz‘s memoar‖, 20 Agustus 2007 365 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
168
ini, Agus Supriyadi ditahan secara resmi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tanggal 22 Juli 2007, DPD Golkar Kabupaten Garut merespon positif aksi menuntut mundur bupati Garut, dengan melakukan pemecatan kepada Agus Supriyadi sebagai pengurus dan kader Golkar Kabupaten Garut. Posisi Agus Supriyadi adalah sebagaiKetua Dewan Penasehat Golkar Kabupaten Garut.366 Pada tanggal 23 Juli 2007, aksi demonstrasi pun terus dilakukan dengan tuntutan yang sama, yaitu agar Agus Supriyadi mundur dari jabatannya sebagai Bupati Garut. Meskipun sudah ditahan di KPK, Agus Supriyadi belum menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Bupati Garut. Sementara pihak pemerintah daerah Kabupaten Garut, masih menunggu keputusan hukum Agus Supriyadi secara pasti. Pada tanggal 26 Juli 2007, selama 8 jam, Agus Supriyadi diperiksa di Gedung KPK, hingga pada akhirnya dimasukan ke rumah tahanan Polres Jakarta Selatan.367 Gelombang demonstrasi ini yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat Garut, tidak menggentarkan Agus Supriadi. Hingga beliau ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di KPK, kebijakan-kebijakan strategis dikeluarkan di dalam tirai besi. Di antara kebijakan strategis yang dikeluarkannya adalah dengan memberhentikan Drs. Achmad Muttaqien sebagai Sekda Garut dan menunjuk Budiman, S.E., M.Si. sebagai plt. Selain itu, Bupati Agus pun telah mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan sejumlah surat perintah (SP) mutasi pejabat eselon II serta menandatangani dokumen-dokumen APBD Garut. Peristiwa ini mendapat respon dari 51 pimpinan pondok pesantren yang dikoordinir oleh MUI, dengan mengajukan protes kepada Gubernur Jawa Barat atas sikapnya yang mengesahkan kebijakan tersebut. Selain melayangkan surat kepada Gubernur Jawa Barat, para ulama juga mengajukan surat kepada Mendagri, Ketua DPRD Jawa Barat, dan Muspida Jabar. Surat yang dilayangkannya berisi dua tuntutan, yaitu: Pertama, meminta Mendagri segera menegur Gubernur Jabar agar tetap konsisten dengan sikapnya dan menolak setiap kebijakan Bupati Garut. Kedua, meminta Mendagri agar segera memerintahkan 366 367
Ibid Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
169
Gubernur Jabar untuk mencabut SK Gubernur Jabar tentang pemberhentian Sekda Drs. Achmad Muttaqien368 Akhirnya, dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan Agus Supriadi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 7,5 tahun kepada Bupati Garut nonaktif Agus Supriyadi. Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Garut. Selain menjatuhkan pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda terhadap Agus sebesar Rp 300 juta dan membayar ganti kerugian akibat perbuatannya sebesar Rp 8,18 miliar. Akibat tindakannya menyalahgunakan APBD Kabupaten Garut tahun anggaran 20042007, negara dirugikan sebesar Rp 10,8 miliar. Ia dinilai melanggar hukum sesuai Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.369 Menurut pandangan ulama yang tergabung dalam MUI Kabupaten Garut, ternyata kasus bupati Garut, Agus Supriyadi, tidak hanya bermasalah dalam penyelewengan APBD Kabupaten Garut, juga mengenai kepemimpinannya berkaitan dengan kebijakan yang tidak pro terhadap keberadaan masyarakat Garut, misalnya: nasib dari para guru, baik yang PNS maupun honorer.370 Pada hari Senin, 22 Januari 2007, hampir lebih dari 2500 orang tenaga honorer dan guru di lingkungn Pendidikan Nasional Kabupaten Garut, mengadakan demonstrasi di halaman kantor DIKNAS Kabupaten Garut, dikarenakan merasa kesal dan bosan atas janji-janji perbaikan nasib mereka, juga mereka merasa di bohongi yang telah dilakukan
oleh pemerintah selaku penentu kebijakan di
Kabupaten Garut. Nasib terhadap masyarakat golongan menengah, kemiskinan dan pengangguran. Menurut penuturan KH. Cecep Abdul Halim, Kinerja pemerintahan di bawah Agus Supriyadi belum mampu menyentuh aspek ekonomi
368
Lihat: Pikiran Rakyat, 1 Oktober 2007 Lihat: Suara Karya, 24 April 2008; Pikiran Rakyat, 24 April 2008; Republika, 24 April 2008; Kompas, 24 April 2008 370 . Lihat: Dokumen Pernyataan KH. Cecep Abdul Halim mengenai Bupati Garut, Agus Supriyadi, 8 Juli 2007. 369
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
170
masyarakat. Adanya kenaikan angka pengangguran dari 25.326 orang pada tahun 2005 menjadi 56 ribu orang pada tahun 2006.371 Adanya kasus beberapa pejabat daerah mengundurkan diri dari jabatannya, pada tanggal 22 Juni 2007. Hal ini dilakukan oleh para pejabat berkaitan dengan ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Bupati Garut. Pejabat yang mengundurkan diri, diantaranya: Kepala BAPPEDA, Kepala BPKD, dan Kepala BAWASDA. Kemudian diikuti oleh ketujuh instansi setara SKPD, yaitu: Dinas Pertanian, Pembangunan, dan Pemukiman, Perindustrian dan Perdagangan, Bina Marga, Asisten Daerah II dan III. Mereka mengundurkan diri dengan mengirim pernyataan tertulis ke Badan Koordinasi Wilayah Periangan (Kantor Bupati Gubernur). 372 4.2.4. Pro Kontra di Kalangan Masyarakat Garut Gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh Ulama terhadap pejabat pemerintah Kabupaten Garut menuai respon yang beragam. Dukungan terhadap gerakan anti korupsi datang dari Forum Silaturrahmi Ormas Islam Se-Kabupaten Garut, dengan membuat pernyataan mendukung setiap langkah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) khususnya di Kabupaten Garut, termasuk mendukung kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang melakukan penyelidikan atas adanya indikasi Korupsi APBD Kabupaten Garut Tahun anggaran 2004-2006373. Selain bentuk dukungan terhadap gerakan anti korupsi tersebut, juga terdapat respon yang memberikan kritikan terhadap laporan MUI kepada kejaksaan negeri. Seiring dengan akan diadakannya proses pemilihan bupati di Garut, laporan MUI tersebut dianggap politis.374 Kritikan ini datang dari pengurus Partai Golongan Karya, salah satunya Yosep Djuanda. Dugaan adanya muatan politis, ini dibantah oleh Ketua MUI, yang mengatakan bahwa pengungkapan kasus ini tidak ada muatan poitik. Ini murni keinginan untuk menegaskan 371
Ibid Ibid 373 Lihat : Pernyataan Sikap Forum Silaturrahmi Ormas Islam Se-Kabupaten Garut, 2 Juli 2007. Pernnyataan ini di tandatangani oleh Ketua MUI, Ketua DPC NU, Ketua PD Muhammadiyah, Ketua PD Persatuan Islam, Ketua DPS Syarikat Islam, dan Ketua Orda ICMI Kabupaten Garut. 374 Lihat: Pikiran Rakyat, 1 dan 6 Oktober 2003 372
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
171
supremasi hukum. Harus diakui data-data yang dipakai dasar telaahan dan kajian awal MUI dalam upaya mengungkap dugaan manipulasi berasal dari masyarakat dan kalangan dewan sendiri, demikian diungkapkan oleh Ketua MUI.375 Respon yang berbeda, selanjutnya adalah dari komponen masyarakat lain, seperti LSM dan tokoh agama dari desa dan kecamatan, terutama terkait dengan kasus Agus Supriadi, Bupati Garut. Para ulama376 yang berasal dari daerah ini memberikan dukungan kepada Bupati Garut atas kasus yang menimpanya. Mereka memberikan argumentasi, Pertama, bahwa Bupati Garut sudah memberikan konsep yang cukup baik mengenai hubungan ulama dan umara. Beliau sangat menerima kritikan, saran terutama Fatwa dari Para Ulama. Kedua, Naiknya peringkat Kabupaten Garut di Jawa Barat yang semula menempati urutan ke-23 menjadi urutan k-16, ini menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Garut menunjukkan ke arah yang lebih baik. Ketiga, Banyaknya prestasi yang telah diraih oleh Kabupaten Garut, seperti meraih ADIPURA katagori Kabupaten kecil tingkat Nasional dan Juara Lomba Desa tingkat Nasional. Keempat, Meningkatnya kondisi pembangunan di Kabupaten Garut. Kelima, Kepedulian Bupati Garut kepada masyarakat bawah dengan seiringnya melaksanakan Saba Desa. Keenam, Kepedulian terhadap kegiatan keagamaan dengan cara membantu secara finansial terhadap kegiatan tersebut.377. Kelompok lain yang melakukan dukungan terhadap Bupati Garut adalah kelompok yang menamakan diri Paguyuban Masyarakat Garut (Pamagar). Menurut kelompok ini, berpendapat bahwa Bupati Agus Supriadi telah sukses memimpin Garut. Di bawah kepemimpinannya, pembangunan Garut maju pesat, demikian diungkapkan oleh Ketua Pamagar, Deni Ramdani.378 Pro dan kontra terkait pemberhentian Bupati Garut Agus Supriadi bisa dilihat selama gelombang demonstrasi di Garut. Salah satu peristiwa demonstrasi ini bisa dilihat pada hari Senin, 16 Juli 2007. Dua masa para pengunjuk rasa, 375
Lihat: Republika, 17 November 2003 Diantara ulama tersebut adalah: KH. Muchlas,KH Endang Yusup Junaedi, KH. Machrodjan, KH. Usep Romli, KH. Abdul Rozak, KH. Endang Mukhtar, KH. Aang Ibrahim, dan KH. Hasan Basyri. Ulama-ulama tersebut merupakan ulama yang berada di tiap kecamatan. 377 Lihat: Surat Pernyataan Dukungan, tertanggal 24 Maret 2007. 378 Lihat: Detik News, 3 Juli 2007; Galamedia, 3 Juli 2007 376
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
172
masing-masing menyuarakan aspirasinya, hingga pihak yang berwenang sulit untuk mengatasi aksi demonstrasi yang terjadi. Kelompok yang pro terhadap Bupati Agus Supriyadi, yang diwakili oleh ratusan orang dari berbagai desa berunjuk rasa di Gedung DPRD Kabupaten Garut. Mereka mendesak surat rekomendasi DPRD tentang pemberhentian Agus Supriadi segera dicabut. Pasalnya, surat itu dibuat saat anggota Dewan berada dalam tekanan, sehingga tidak mencerminkan rasa keadilan.Namun, aksi yang berlangsung beberapa jam itu tidak mendapat tanggapan anggota DPRD. Alhasil, orasi yang berisi protes tersebut hanya didengar pengunjuk rasa yang sebagian besar berasal dari aparat desa se-Kabupaten Garut. 379 Sementara ratusan warga yang dipelopori ulama dan didukung mahasiswa berdemo di Pendopo Bupati meminta Agus mundur dari jabatannya. Para pengunjuk rasa berpendapat bahwa Bupati Agus Supriyadi sudah terlibat tindak pidana korupsi dalam berbagai proyek pembangunan dan senantias melibatkan jawara (preman) dalam mendukung berbagai programnya. Gayung bersambut, pihak pro Bupati Agus Supriyadi menolak usulan pemberhentian. Bahkan, pendukung Agus meminta para pejabat yang tidak disiplin segera ditertibkan dan diberi sanksi agar pelayanan terhadap masyarakat bisa optimal.380 Sejumlah pihak khawatir, jika kisruh ini dibiarkan berlarut-larut, para pendukung dan antibupati bisa terlibat bentrok fisik. Oleh karena itu, pihak yang berwenang sangat mengharapkan agar terjadinya kesejukan bagi masing-masing pengunjuk rasa dengan selalu mencoba menahan diri, demikian diungkapkan oleh Kepala Bakorwil Priangan, Drs. H. Dedy Gunardi. Pernyataan senada diungkapkan oleh Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Garut, Hj. Itje Momon Gandasasmita.381 Melihat kondisi yang kian memanas di Kabupaten Garut, banyak pihak yang memberikan perhatian secara serius. Gubernur Jawa Barat, Dani Setiawan menginstruksikan agar pihak keamanan tetap siaga untuk melakukan stabilitas di tiap titik di daerah Garut, diikuti dengan pernyataannya akan melakukan 379
Lihat: Liputan 6.com, 17 Juli 2007; Pikiran Rakyat, 17 Juli 2007 Ibid 381 Ibid 380
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
173
pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak terkait. Dari pihak Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pun menurunkan timnya, untuk mengetahui lebih jelas seputar kasus yang terjadi di Garut. Tim yanag dipimpin oleh Kasubdit Wilayah II pada Direktorat Pejabat Negara, Asih Kurniasih, melakukan investigasi yang nantinya akan dilaporkan langsung kepada Depdagri. Tim melakukan pertemuan dengan ketua Bakorwil Priangan, wakil Bupati, tokoh masyarakat, dan beberapa pejabat Pemda Garut. Dalam pertemuan tersebut, Bakorwil Priangan mendesak untuk secepatnya dilakukan penanganan serius, agar tidak terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anti Agus Supriyadi. Dedy Gunardi mengusulkan bahwa penonaktifan sementara atau cuti besar hingga ada kejelasan status hukumnya, akan memberikan suasana yang mengarah kepada kestabilan.382 Sementara di pihak lain, KPK berjanji akan terus melakukan penanganan terhadap dugaaan penyalahgunaan anggaran Pemda Garut peride 2004-206, dengan mengedepankan aspek-aspek hukum dan mengesampingkan nuansa politis dalam kasus ini, demikian diungkap oleh juru bicara KPK, Johan Budi. Ia mengatakan lebih lanjut akan secepatnya melakukan penyelidikan terhadap kasus bupati Garut ini dan bila cukup bukti maka akan melakukan tahapan selanjutnya yaitu tahapan penyidikan. Selain itu, KPK menghimbau kepada pihak-pihak yang terkait, diharapkan agar bisa menunggu keputusan hukum yanag sedang dilakukannya. 383
4.2.5. Faktor Penyebab Ulama Melakukan Pemberantasan Korupsi Dari fakta-fakta di atas, menurut hemat penulis pernyataan dari panitia anggaran yang dijelaskan pada halaman sebelumnya membenarkan bahwa di pemerintahan daerah Kabupaten Garut memang sudah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak legislatif maupun eksekutif. Pemahaman ini dibuktikan dengan diusutnya laporan dari ulama Garut oleh pihak Kejaksaan
382
Ibid Lihat: Pikiran Rakyat, 20 Juli 2007
383
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
174
hingga menetapkan tersangka dan memutusnya bersalah.384 Pemahaman kedua, ada konspirasi politik antara ulama, dewan, dan eksekutif. Maksudnya, bahwa apa yang dilakukan oleh ulama kenapa tidak dilakukan ke pihak eksekutif, yang menurut kedua anggota dewan di atas, menyebutkan bahwa eksekutif pun ada penyalahgunaan dan Bupati adalah yang mengesahkan anggaran. Konspirasi politik dipicu seiring dengan akan dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Garut. Ada perebutan pengaruh diantara eksekutif dan legislatif, terutama para pucuk pimpinannya, yaitu Bupati Dede Satibi dengan Ketua DPRD Garut, Iyos Somantri. Kedua pucuk pimpinan ini saling memperlihatkan pengaruhnya, terutama dalam membuat kebijakan anggaran yang secara hukum harus melalui mekanisme persetujuan kedua belah pihak, legislatif dan eksekutif. Dede Satibi sebagai Bupati Garut tidak bisa dengan leluasa untuk mampu membendung keinginan dari DPRD, seperti APBD untuk kepentingan legislatif. Hal ini terjadi berkat kepiawaian Iyos Somantri dalam memainkan peran politiknya.385 Kondisi ini membuat bupati Garut untuk melakukan strategi dalam menghadapi anggota DPRD. Dengan kecerdikannya, Dede Satibi mulai memasang perangkap dengan membuat jebakan-jekabakan terhadap dana APBD untuk kepantingan anggota DPRD. Anggota DPRD, tidak menyadarinya dengan lancarnya aliran dana APBD ke DPRD. Strategi ini dilakukan oleh Dede Satibi dikarenakan ia berencana untuk mengikuti lagi kompetisi politik pemilihan bupati yang kedua periode periode 2003-2008. Anggapannya nama Iyos Somantri, ketua DPRD Kabupaten Garut sebagai calon terkuat yang menyaingi dirinya. Selain Ketua DPRD, Iyos adalah Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Garut yang direncanakanakan akan berpasangan dengan Dedi Suryadi, sebagai wakil ketua DPRD dan Ketua DPC PPP Kabupaten Garut.
384
Dalam proses selanjutnya, untuk membuktikan bahwa anggota dewan melanggar atau menyalahgunakan wewenang, adalh dengan adanya pengembalian uang sebesar Rp. 2.5 Miliar dari anggita dewan yang diduga bersalah. Pengembalian uang tersebut ditanggapi oleh Ketua MUI Garut sebagai bukti adanya penyalahgunaan wewenang atau dalam bahasa Hj. Aminah selaku tokoh perempuan dari PPP, sebagai ―pengakuan bersalah‖ dari dewan. Lihat: Pikiran Rakyat, 22 Juni 2004. 385 Asep Ahmad Hidayat, Yadi Januari, Rofik Azhar wawancara, 3 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
175
Akhirnya melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Abdul Halim mengendus dugaan penyimpangan dana APBD oleh DPRD Garut yang kemudian dikenal dengan istilah APBD-Gate hanya beberapa bulan menjelang pemilihan bupati. Berkat peranan Ketua MUI yang melaporkan kasus APBD Gate ke Kejaksaan, maka Iyos-Dedi ditetapkan sebagai tersangka. Kedua tokoh yang sejak awal sudah dipersiapkan maju sebagai pasangan calon menjadi berantakan, Iyos bahkan terpental di konvensi partainya sendiri.386 Konspirasi politik ini berlanjut pada kasus Bupati Garut Agus Supriadi. Seperti diungkapkan oleh para tokoh Garut, diantaranya Asep Ahmad Hidayat, Yadi Januari dan Rofik Azhar bahwa dilengserkannya Bupati Garut dengan cara mengungkap penyelewengan terhadap Dana APBD Garut 2004 sampai 2007, disebabkan oleh ‗dendam politik‘ dari para ulama yang mengusung Dede Satibi sebagai Bupati sebelumnya yang berhasil dikalahkan oleh Agus Supriadi. Para tokoh Garut tersebut melihat bahwa kekalahan Dede Satibi disebabkan oleh adanya pengkhianatan dari anggota dewan yang berhasil di ‗beli‘ suaranya oleh pihak Agus Supriadi.387 Faktor lain, yang perlu dijelaskan mengenai adanya gerakan anti korupsi terhadap kasus penyalahgunaan wewenang oleh legislatif dan eksekutif di kabupaten Garut, bisa dilihat dari posisi ulama. Ulama yang selama ini dikesani di masyarakat hanya sebagai sosok yang mengurusi masalah-masalah kepesantrenan atau kemesjidan, ternyata di Kabupaten Garut tidak seperti apa yang ada dibenak masyarakat. Ulama melakukan fungsinya sebagai pewaris nabi dalam upaya menciptakan dan menegakan tatanan yang berkeadilan. Ulama memahami islam tidak sebatas realitas ritual semata, Islam dipahami mempunyai realitas politik yang memerlukan perannya dari setiap pemeluknya dalam upaya menciptakan tatanan yang adil dan sejahtera. Upaya ke arah itu, ulama melakukan kerja moral dan politik. Gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh ulama di Garut, merupakan gerakan moral dan politik. Sebagai gerakan moral, ulama Garut melakukan seruan 386 387
Ibid Asep Ahmad Hidayat, Yadi Januari, Rofik Azhar wawancara, 3 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
176
moral
dengan
meningkatkan
kontrol
sosial
yang
dapat
menghentikan
kecenderungan-kecenderungan yang menyimpang dari ketentuan normatif. Ulama Garut
menjadikan
organisasi
keulamaan,
MUI,
sebagai
media
untuk
memonitoring kekuasaan yang cenderung mengalami penyimpangan. Selain itu, dalam mewujudkan gerakan moralnya, ulama senantiasa membangun jaringan kerjasama dalam suatu sistem sosial. Forum silaturrahmi ormas Islam merupakan bentuk komunikasi yang menuntut kerja sama di antara komponen masyarakat Garut. Apa yang dilakukan oleh ulama Garut merupakan tanggungjawabnya sebagai tokoh agama yang bertanggungjawab terhadap perilaku umatnya. Keterlibatan ulama dalam pemberantasan korupsi di Garut, mendapat dukungan, partisipasi dan keikutsertaan masyarakat. Mayoritas masyarakat Garut yang beragama Islam, dan ulama sebagai pengajar utama nilai-nilai agama menjadikan hubungan keduanya sangat erat. Ulama adalah bagian berharga dari masyarakat , melibatkan ulama berarti melibatkan keseluruhan masyarakat. Mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam memberantas budaya korupsi bukanlah hal yang mudah. Berbagai macam pemikiran dan kepentingan menghalanginya. Ada yang begitu bahagia dengan pemberantasan budaya korupsi, ada juga yang kurang bahagia. Faktanya, apa yang dilakukan oleh ulama Garut mendapat penentangan dari komponen lainnya, termasuk dari golongan ulama lainnya. Kondisi inilah, menurut hemat peneliti, bila korupsi sudah didekati dengan pendekatan politik. Yang menjadi prioritas adalah kepentingan. Oleh karena itu, gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh ulama di Garut juga bisa dikatagorikan sebagai gerakan politik dan harus diselesaikan dengan pendekatan politik juga.. Ulama telah menarik perhatian partisipasi masyarakat secara luas, dari berbagai sektor dan golongan, seperti mahasiswa,partai politik, ormas, LSM, dan komponen lainnya. Keterlibatan berbagai komponen ini akan mengontrol pejabat dan siapapun yang berusaha melakukan korupsi. Korupsi sangat berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan cenderung disalahgunakan, demikian diungkapkan oleh Lord Acton. “Power tends to corrupt, and absolute
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
177
power tends to corrupt absolutely”, ungkap Acton.388 Mengenai kekuasaan ini, Montesquieu pernah berujar bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan. Ketiga, kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan. Kecenderungan inilah yang menjadi rangsangan seorang pejabat melakukan penyelewengan (abuse of power).389
4.3.Dampak Gerakan Politik Ulama di Garut Gerakan politik ulama390 yang dilakukan di Garut pada kurun waktu 19982007 ternyata mengalami dampak yang baik terhadap struktur masyarakat di Kabupaten Garut. Adanya penerapan syari‘at Islam yang dilaksanakan di Kabupaten Garut, sebagai solusi dari maraknya berbagai bentuk kemaksiatan, ternyata mempengaruhi terhadap perilaku umat Islam. Misalnya, setiap pegawai negeri sipil yang muslimah, dalam kesehariannya diwajibkan untuk memakai busana muslimah. Semua pegawai negerai sipil di berbagai instansi/dinas wajib berpakaian busana muslimah. Hal ini juga diterapkan bagi para pelajar/siswi sekolah di tingkat menenngah ke atas. Perilaku ini dilandasi oleh kebijakan bupati yang menginstruksikan untuk berpakaian muslimah. Selain perilaku berbusana muslimah, terutama di tataran birokrasi, hal lain yang dilakukan sekarang adalah membudayakan ucapan salam bila bertemu antara sesama muslim. Ini dilakukan oleh para pegawai pemerintah daerah. Selanjutnya, siraman rohani setiap ba‘da shalat Zuhur dan pembinaan rohani bagi para PNS di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi dari penerapan Syari‘at Islam ini, pengurus LP3SyI melakukan pembinaan keagamaan bagi para PNS di lingkungan Pemda Kabupaten Garut dengan materi dan penceramah yang telah ditentukan. Pembinaan keagamaan ini dilakukan setiap 388
Lihat: F. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Bandung. Binacipta. 1995. hal. 55 Lihat: Meriam Budiardjo. Dasar-Dasar ILmu Politik. Jakarta: Gramedia. 1997. hal. 152 390 Gerakan politik Ulama ini, kelanjutannya masih dilakukan dalam bentuk yang berbeda. Maksudnya, ulama melakukan agenda perubahannya tidak seperti yang terjadi pada kurun waktu 1998-2007. Ulama hanya memberikan motivasi kepada masyarakat seperti, pembelajaran terhadap konsep APBD, menyerukan agar meningkatakan sadar zakat, dan memberikan pengawasan terhadap perilaku kemaksiatan yang terjadi di Garut. Hal ini terjadi, karena kepentingan ulama pada kondisi hari ini berbeda dengan waktu 1998-2007, yang sarat dengan kepentingan politis. 389
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
178
hari Senin kepada seluruh PNS dari mulai Bupati, para Pejabat sampai dengan Pegawai golongan I. Minggu pertama diberikan materi fiqh dengan penceramah KH Aceng Zakaria; Minggu kedua, materi yang diberikan mengenai selekta hukum dan Syari‘at islam di berikan oleh KH Yosep Djuanda; Minggu Ketiga, diberikan materi Tauhid oleh KH. Cecep Abdul Halim; masalah akhlak oleh Giom Suwarsono. Kegiatan ini berjalan hingga sekarang.391 Selain itu, simbolisasi dalam berbagai tempat, yaitu dengan menggunakan simbol Islam sebagai bentuk adanya pelaksanaan Syari‘at Islam, seperti: di Rumah Sakit Dr. Slamet Garut dianjurkan di setiap ruangannya ada bacaan do‘a-doa dan alunan suara al-Qur‘an dalam waktu yang ditentukan. Perubahan lain yang terjadi sebagai dampak dari adanya penerapan syari‘at Islam, adalah adanya sadar zakat dari umat Islam di Garut. Hal ini sebagai akibat dari diberlakukannya Perda No 1 Tahun 2003 tentang pengelolaan zakat , infaq, dan shodaqoh. Menurut data tahun 1998 dana yang terkumpul dari pengumpulan ZIS sebesar Rp. 890.467.264. Pada tahun 2001/2002 jumlah zakat, infaq, dan shodaqoh yang dikelola oleh MUI Kabupaten Garut mencapai Rp. 1.140.450.417,00 dan mengalami peningkatan sebesar 8.585.734.310,00 pada tahun 2007/2008.392 Jumlah tersebut tidak lepas dari kesadaran umat Islama untuk mengelaurkan zakatnya. Menurut catatan BAZIS Kabupaten Garut, jumlah muzaki (orang yang mengeluarkan zakat) mengalami kenaikan. Tahun 2005 sebanyak 472.998 jiwa. Tahun 2006 sebanyak 806.264 jiwa, dan pada tahun 2007 sebanyak 1.139.103 jiwa. Menurut penuturan ketua BAZIS Kabupaten Garut, Rofik Azhar, sadar zakat ini bisa memberikan salah satu solusi terhadap pengurangan angka kemiskinan di Garut. Menurutnya, angka kemiskinan di Garut pada tahun 2008 mencapai 17,87 % dari jumlah penduduk Garut sebanyak 2.225.241 jiwa mengalami penurunan pada tahun 2009 yang mencapai 15,70% dari jumlah penduduk Garut sebanyak 2.327.239 jiwa.393 Sementara dampak terhadap problem sosial, seperti prostitusi dan perjudian, masyarakat Garut belum bisa terlepas dari penyakit sosial tersebut. 391
KH Yoesp Djuanda, wawancara, 26 November 2010 Lihat: Rekap Laporan BAZIS Kabupaten Garut 2002-2008 393 Ibid 392
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
179
Tetapi upaya untuk melakukan solusi terus dilakukan, seperti mengkoreksi terhadap Perda No 6 tahun 2000 dengan melahirkan Perda No. 2 tahun 2008. Secara umum lahirnya Perda No. 2 tahun 2008 dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Lahirnya Perda No 2 Tahun 2008 merupakan koreksi dan penyempurnaan Perda No. 6 tahun 2000 tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keamanan, sering kali diprotes oleh masyarakat dikarenakan perda ini dapat merugikan, terutama para pedagang kaki lima. Bahkan dengan adanya perda ini sering dilakukan sweeping terhadap kupu-kupu malam dan juga pembakaran terhadap warung-warung yang diindikasikan melayani hidung belang. 2. Peraturan Daerah (Perda) No 2 tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat. dimaksudkan sebagai pijakan bagi pemerintah daerah dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang terbebas dari segala bentuk kemaksiatan. 3. Tujuan dibuatnya perda tersebut, untuk meningkatkan ketertiban, keamanan, serta menciptakan kehidupan masyarakat yang selaras, serasi, seimbang sesuai dengan nilai-nilai etika, moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat di daerah, sehingga terwujud kesalehan sosial guna mencapai visi dan misi Kab. Garut yaitu, Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Raharja menuju ridlo Allah SWT. 4. Perda No. 2 tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat ini meliputi perbuatan kemaksiatan yang terdiri atas larangan pelacuran, larangan pelanggaran kesusilaan, dan larangan minuman beralkohol. 5. Perda tersebut lahir atas dasar hak inisiatif DPRD Kabupaten Garut, yang didasarkan pada aspirasi masyarakat yang dipelopori oleh ulama. Masyarakat mengharapkan agar berbagai bentuk kemaksiatan bias dicegah melalui perda ini. Harapan masyarakat ini dipicu dengan adanya peralihan orde, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Peralihan orde ini menimbulkan berbagai masalah di Garut, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, poltik. Bahkan yang paling aktual adalah kasus korupsi di lembaga pemerintahan, baik eksekutif maupun legislative. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
180
6. Problem yang dihadapi oleh masyarakat Garut, menimbulkan tekanan (Pressure) yang semakin kuat terhadap lembaga pemerintah. Gelombang demonstrasi dari berbagai elemen terus dilakukan oleh masyarakat dari hari ke hari. Ulama yang memelopori tekanan tersebut, bertujuan agar di Garut tercipta pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Selain itu, ulama dan komponen masyarakat berupaya untuk melakukan pembenahan terhadap penyakit sosial, seperti tindakan asusila, yang terkait dengan pekerja seks, perjudian dan peredaran miras yang dapat meresahkan ketertiban dan keamanan masyarakat.394 Kurang terlihatnya dampak dari penerapan syari‘at Islam terhadap penanganan terhadap penyakit sosial, seperti prostitusi, perjudian, pencurian, dan sebagainya disebabkan bahwa penerapan syari‘at Islam yang dilaksanakan di Garut hanya sebatas penerapan secara substansial dalam memahami syari‘at Islam. Sehingga pelanggaran yang berkaitan dengan hukum pidana Islam belum bisa diatur di Kabupaten Garut. Berbeda dengan di Aceh, bahwa pelaksanaan syari‘at Islam sudah menyentuh terhadap hukum pidana Islam. Menurut penulis, realita yang terjadi di Garut mempunyai pesan moral bagi segenap warga Garut dalam mengaktualisasikan dirinya di kehidupan ini. Dampak lain dari penerapan syari‘at Islam ini, adanya sikap keras ulama terhadap penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang ada di legislatif dan eksekutif. Penulis memahami bahwa gerakan anti kroupsi merupakan rangkaian dan implementasi dari penerapan syari‘at Islam di Garut. Upaya yang dilakukan para ulama ini berdampak terhadap perilaku aparat pemerintah agar senantiasa hati-hati dalam melakukan kinerjanya, terutama dalam mengelola anggaran, demikian diungkapkan oleh mantan Bupati, Dede Satibi.395 Menurut catatan BPS, pelaku korupsi ini dapat mengalami penurunan. Pada tahun 2006 yang tersangkut terhadap pidana korupsi mencapai 39 kasus. Sementara pada tahun 2008 menurun hingga mencapai 26 kasus. Bahkan pada tahun 2011
394 395
Lihat Perda No. 2 Tahun 2008; Lihat: Laporan Monev Perda Pekat 2008. Dede Satibi, wawancara, 4 Pebruari 2010. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
181
hanya tercatat sebanyak 6 kasus396 Menurut penulis, penurunan ini bisa dipahami ada pengaruhnya atas gerakan antikorupsi yang dilakukan oleh para ulama. Meskipun pengaruh ini tidak signifikan, tetapi menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh para ulama adalah memberikan sipirit moral terhadap masyarakat Garut. Konsistensi para ulama dalam menangani penyimpangan ini sangat diharapkan. Kepentingan politik yang ada dalam diri ulama berakiatan dengan gerakan anti korupsi ini, akan menjadikan pesan moral yang dilakukannya tidak akan mempengaruhi terhadap perilaku masyarakat. Dalam rangka menjaga penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap APBD kabupaten Garut, para ulama membuat organisasi dengan nama Masyarakat Peduli Anggaran Garut (MAPAG).397 Mapag berasal dari bahasa sunda, artinya menyongsong atau menuju. Lahirnya Mapag ini sebagai upaya untuk menjadikan Kabupaten Garut yang lebih baik dan sejahtera dalam ekonominya. Dengan dilahirkannya, Mapag ini diharapkan ada sikap yang optimis dari segenap masyarakat dalam menatap masa depan Kabupaten Garut. Oleh karena itu, keterlibatan dari segenap komponen merupakan hal yang harus diperhatikan, seperti para ulama, LSM, maupun komponen masyarakat lainnya. Dari informasi yang didapat, lahirnya Mapag ini dipelopori oleh ulama dan LSM yang ada di Kabupaten Garut. Mapag dipahami sebagai kumpulan organisasiorganisasi di masyarakat Garut yang terdiri dari Ormas Islam dan LSM.398 Lembaga ini berperan untuk senantiasa memantau, mengevalusi, meninginformasikan berbagai bentuk anggaran yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Garut. Sebagai lembaga yang peduli terhadap anggaran, Mapag senantiasa mengikuti perjalanan arus anggaran yang dibuat dan dijalankan oleh pemangku kebijakan. Dengan adanya lembaga ini, masyarakat menjadi melek terhadap alur anggaran yang terjadi di Kabupaten Garut. Masyarakat tidak lagi
396
Lihat: BPS Kabupaten Garut dalam Angka tahun 2006, 2008, dan 2011. Lihat: Foto Deklarasi Mapag Kabupaten Garut, 2008 dan Foto: Pengarahan KH Cecep Abdul Halim selaku Ketua Mapag Kabupaten Garut. 398 Ormas dan LSM yang menjadi anggota Mapag diantaranya: Garut Governance Watch (GGC), Badan Kerjasama Wanita Islam (BKSWI), Lembaga Advokasi Rakyat (LAR), Sayrikat Islam (SI), MUI Garut, Persatuan islam (Persis), Nahdhatul Ulama (NU), Lingkar Studi Garut (LSG), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, Front Mahsiswa nasional. 397
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
182
merasa gelap terhadap anggaran yang ada di Pemda Kabupaten Garut. Terciptanya masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, merupakan tujuan dibentuknya lembaga ini. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, dirumuskanlah beberapa program nyata yang sifatnya memberi informasi kepada masyarakat tentang alur anggaran yang terjadi di Pemkab Garut. Salah satu program yang pernah dilaksanakan adalah menyelenggarakan Pelatihan Analisa dan Advokasi Anggaran MAPAG.399 Sebagaimana tercantum dalam tujuan Mapag, program pelatihan ini dipahami sebagai langkah awal bagi masyarakat Garut dalam mendalami mengenai anggaran, yang akhirnya menjadikan masyarakat sejahtera dalam bidang ekonomi. Pelatihan ini terselenggara atas kerja sama antara Pilar Nusantara,
PATTIRO,
dan
The
Asia
Foundation
dan
materi
yang
disampaikannya, diantaranya: Pemenuhan Hak Dasar Warga sebagai Upaya Pengurangan Kemiskinan, Pengantar Anggaran Daerah, Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah, Advokasi Anggaran, dan Profil APBD Garut 2009.400 Program lainnya adalah melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap kinerja dari pemerintahan daerah terutama yang berkaitan dengan urusan APBD.
Sebagai
contoh,
masyarakat
Garut
mempertanyakan
mengenai
implementasi dari APBD 2007. Yang menjadi sorotan dari anggaran ini adalah yang dikelola oleh Sekretariat Daerah Kabupaten Garut. Masyarakat menemukan sebuah angka yang fantastis yang dikeluarkan oleh Sekda untuk pembiayaan makanan dan minuman. Hasil kajian Mapag, ditemukan biaya pengeluaran makanan dan minuman per hari sebesar Rp. 18.431.818 dari total anggaran pertahun sebesar 4.866.000.000,-, sebuah angka yang tidak rasional. Kejanggalan lain bisa dilihat dari program peningkatan sarana dan prasarana aparatur, seperti: Pengadaan mobil jabatan sebesar 1 milyar rupiah; pengadaan kendaran dinas/operasional
sebesar Rp. 4.055.000.000;
Terakhir,
adalah kegiatan
pemeliharaan rutin/berkala kendaraan dinas/operasional sebesar Rp. 500.000.000. Fakta terakhir ini dipahami bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan 399 400
Lihat: Foto tentang Pelatihan yang diselenggarakan oleh MAPAG Kab. Garaut Lihat: Dokumen Mapag tentang Program Kerja Mapag Kabupaten Garut. 2009. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
183
Nomor 96/PMK.02/2006 Tentang Standar Biaya Anggaran Tahun 2007, yang menyebutkan bahwa biaya pemeliharaan kendaraan bermotor antara 13 – 19 juta pertahun. Dengan merujuk peraturan tersebut, timbul pertanyaan berapa mobil dinas yang ada di Sekretariat Daerah (Sekda) Kabupaten Garut yang harus dipelihara setiap tahunnya?401 Selain anggaran yang ada di Sekda, yang menjadi sorotan Mapag ini adalah anggaran di Sekretariat Dewan (Sekwan). Mapag mempertanyakan mengenai alur anggaran yang dilaksanakan di lembaga dewan ini. Misalnya, dalam anggaran pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Perda) sebesar Rp. 2.718.000.000. Dari biaya tersebut, dipahami bahwa satu pembahasan mengenai rancangan Perda membutuhkan biaya sebesar Rp.226.500.000. Angka yang besar dikeluarkan oleh lembaga dewan ini. Kemudian, Mapag menyoroti pula anggaran kunjungan anggota dewan yang menghabisi biaya sebesar Rp. 1.742.327.700. Dari angka tersebut, diketahui anggaran kegiatan ini untuk setiap anggota dewan sebesar Rp. 38.718.393. Selain anggaran tersebut, pada kegiatan peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota DPRD membutuhkan alokasi anggaran sebesar Rp. 632.987.450 serta peningkatan keejahteraan sebesar Rp. 548.574.400. Dari data tersebut diketahui kebutuhan anggaran untuk setiap anggota sebesar Rp. 11.933.787.402 Di samping melakukan koreksi terhadap berbagai alokasi anggaran seperti dikemukakan di atas, Mapag pun mempunyai perhatian dalam mengevaluasi dan mengkritisi laporan pertanggungjawaban Bupati tahun 2009. Mapag mendesak anggota DPRD untuk menggunakan hak interpelasi atas laporan Bupati tersebut. Dalam pandangan Mapag, yang diwakili oleh Asep Hermawan selaku Wakil Sekjen, beranggapan bahwa pengelolaan anggran 2009, pemerintah kabupaten Garut dinilai telah melakukan pelanggaran hukum dan perundang-undangan yang
401
Lihat: Dokumen Mapag: “ABPD 2007 Kabupaten Garut: Mempertanyakan Prioritas APBD 2007 Kab. Garut untuk Pelayanan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat. 402 Ibid Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
184
berlaku, yaitu melakukan perubahan Perda APBD hanya dengan menggunakan Peraturan Bupati (Perbup)403. Demikianlah wujud dari keberadaan Mapag yang diketuai oleh KH. Cecep Abdul Halim dalam melakukan tindakan cerdas terhadap masyarakat Garut, terutama dalam menyoroti mengenai anggaran yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak birokrasi. Mapag inilah dipahami oleh peneliti sebagai bentuk tindak lanjut dari gerakan politik ulama di Kabupaten Garut. Peneliti memahami bahwa kiprah politik ulama dalam rangka melakukan perubahan di masyarakat Garut merupakan bentuk kepeduliannya dalam menata ulang Kabupaten Garut dari suasana yang memprihatinkan menuju Garut yang terang benderang dalam berbagai aspek kehidupan. Mengenai gerakan politik ulama ini, apresiasi dari unsur luar begitu positif. Misalnya dalam kasus pemberantasan korupsi di Garut, ulama mendapat dukungan penuh dari Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Kurupsi (KPK). Bentuk dukungan ini dibuktikan dengan kedatangan anggota KPK, pada hari Minggu, 22 Maret 2009. Kedatangan Kemal Azis Stamboel dan Erry Riyana Hardjapamekas ke Kantor MUI Kabupaten Garut disambut baik oleh pengurus MUI, yang diketuai oleh K.H. Cecep Abdul Halim. Banyak unsur atau komponen lain pun menyambut kedatangannya, seperti sesepuh Angkatan ‗66 Garut Giom Suwarsono, Ketua Keluarga Besar Alumni PII Garut, Drs. Asep Ahmah Hidayat., Sekjen Garut Government Watch Agus Sugandi, S.H., dan Ketua Asgar Muda Goris Mustaqim.404 Dalam silaturahmi itu Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas memberikan dukungan atas gerakan anti korupsi yang diusung K.H. Cecep Abdul Halim, ―Lanjutkan reformasi birokrasi di Garut, tandasnya.‖ Sebagaimana dijelaskan 403
Perubahan yang dimaksud menurut Asep, adalah perubahan APBD 2009 tertanggal 14 Desember 2009 diwujudkan dalam perubahan Perbup N0. 335/2009 tentang penjabaran Perubahan APBD 2009 dengan menrbitkan Perbp No. 449/2009. Sehingga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No. 17/2003, UU N0. 32/2004 dan PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Maka dengan diterbitkannya Perbup N0. 449 tanggal 14 Desember 2009 tersebut merubah volume APBD Perubahan 2009 dari sebesar Rp. 1.406.949.386.190 menjadi Rp. 1.542.860.407.696 yang terkesan sangat dipaksakan karena telah mengeampingkan Perda. Karenanya juga bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni UU No 12/2008, pasal 146 ayat (1) dan (2). Lihat Garut News, 28 Agustus 2010. 404 Lihat: Galamedia dan Pikiran Rakyat, 23 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
185
pada sub bab sebelumnya, bahwa pemberantasan korupsi di Kabupaten Garut dipelopori oleh ulama yang tergabung dalam wadah MUI, yang diketuai K.H. Cecep Abdul Halim. Ia adalah aktor dari gerakan anti korupsi di Kabupaten Garut, baik dalam kasus korupsi legislatif maupun eksekutif. Pada pertemuan tersebut, disepakti oleh ketiga tokoh penegak anti korupsi, yang berasal dari MUI dan KPK untuk dilakukan kerjasama di masa mendatang dalam menciptakan Garut yang bebas korupsi, membudayakan penganggaran yang transparan, serta mendorong proses mereformasi birokrasi. KH. Cecep Abdul Halim, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Kemal Azis Stamboel berharap Garut bisa bebas KKN, transparan dalam penganggaran APBD, birokrasinya tereformasi, dan tidak ada Agus Supriyadi-Agus Supriyadi lagi di Garut.405 Dari dua kasus di atas, membuktikan betapa ulama di Garut sangat concern dalam memberikan masukan terhadap berbagai aspek yang dibuat oleh pemerintahan daerah. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjadikan ulama sebagai agen perubah dalam pembangunan di daerah Garut. Menurut peneliti ada beberapa faktor mengapa ulama Garut begitu concern dalam berbagai kegiatan politik (kebijakan pemerintahan Garut). Pertama, Teori sejarah yang menyatakan bahwa peristiwa sejarah merupakan pelajaran bagi masa kini dan masa datang. Hal ini mampu ditangkap oleh ulama Garut sekarang baik yang tergabung dalam institusi formal seperti MUI, Ormas Keagamaan ataupun institusi non formal seperti pimpinan pesantren. Realitas sejarah yang terjadi di kabupaten Garut, berkaitan dengan perjuangan melawan penjajahan dan perjuangan mengisi kemerdekaan, tidak terlepas dari peran ulama. Peneliti berpendapat bahwa telah terjadi kontinuitas sejarah yang terjadi dalam perjuangan ulama di kabupaten Garut. Kontinuitas sejarah ini dibuktikan dengan perannya dalam setiap periode sejarah hingga masa kini. Hasil dari penelitian peneliti, diungkapakan oleh salah seorang ulama yang menjadi representasi dari pendapat ulama lainnya, KH. Cecep Abdul Halim, bahwa gerakan ulama pada kurun waktu 1998-2007 tidak terlepas dari peran ulama sebelumnya, baik dari aspek geneologi intelektual maupun geneologi hereditas. 405
Lihat: Galamedia dan Pikiran Rakyat, 23 Maret 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
186
Kedua, Faktor teologis menjadikan dasar bagi para ulama Garut dalam berkiprah di wilayah publik. Landasan etik teologis dijadikan modal bagi para ulama dalam melakukan gerakannya di daerah Garut. Agama memerintahkan bahwa setiap penganutnya untuk senantiasa turut serta dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya bidang keagamaan semata. Berlombalah dalam berbagai kebajikan. Ungkapan ini ditangkap dan dipahami ulama untuk senantiasa memposisikan dirinya sebagau komponen yang terbaik dalam berbagai aspek kehidupan. Ketiga, Faktor sosiologis juga menjadikan ulama terus memberikan kontribusi dalam perubahan di kabuaten Garut. Stempel kharismatik yang masih melekat dalam diri ulama menjadikan pola interaksi antar komponen dengan para ulama berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan respon positif dari setiap kalangan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh ulama. Interaksi yang mengarah kepada pola integratif ini dipahami sebagai modal dari keberadaan ulama ynag mempunyai predikat kharismatik. Artinya predikat ini masih kuat dan melekat dalam pribadi ulama di Garut sehingga menimbulkan respon masyarakat yang menghormati dan menghargai ulama. Menurut peneliti, bila predikat kharismatik sudah luntur maka pola interkasi yang terjadi antara ulama dengan masyarakat tidak akan terjadi dengan baik malahan akan megarah pada pola interaksi yang disosiatif. Keempat, Ulama mempunyai tanggungjawab dalam perubahan di masyarakat. Tanggungjawab ini berkaitan dengan antara lain: Tanggung jawab keagamaan, keumatan yang meliputi kebutuhan primer, sekunder dan tertier, dan tanggung jawab yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari tanggungjawab di atas, ulama mempunyai karakter yang sebenarnya, bahwa ulama dalam berkiprah telah sesuai dengan keahliannya. Ulama Garut telah mampu mengatakan kebenaran dihadapan publik dan penguasa bahkan berusaha menegakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim. Ulama bukan stempelnya penguasa tetapi yang meluruskan dan mengarahkan penguasa agar selalu berada di jalan yang benar. Posisi inilah yang disebut dengan Politik Ulama dan bukan
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
187
ulama Su‟ yang kecenderungannya hanya menjadikan ulama sebagai alat untuk kepentigan politik dirinya ataupun penguasa.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
188
BAB V SIMPULAN 5.1.
SIMPULAN Disertasi yang berjudul Dinamika Gerakan politik Ulama di Garut 1998-
2007 dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam perjalanan sejarah Kabupaten Garut, posisi ulama mempunyai posisi yang signifikan dalam memerankan fungsinya di masyarakat. Penulis memahami posisi ulama tersebut sangat bergantung kepada lingkungan yang mengitarinya. Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat Garut mempengaruhi terhadap tugas ulama dalam menjalankan fungsinya di masyarakat. Struktur sosial ini menentukan ulama dalam melakukan perubahan di masyarakat Garut. Misalnya dalam masa Orde Baru, ulama hanya bisa melakukan perubahan di masyarakat Garut sebatas kemampuannya dalam bidang keagamaan. Ini terjadi, karena ruang gerak ulama diciptakan hanya berkaitan dengan aspek keagamaan. Faktanya, ulama Garut hanya memposisikan sebagai mediasi antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam kasus kebijakan Keluarga Berencana, ulama diharpakan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan dengan kebijakan tersebut, bahwa kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kondisi ini tidak lepas dari dampak adanya kebijakan Orde Baru mengenai deideologisasi yang menempatkan ulama dalam koridor keagamaan semata, tanpa terlibat dalam aspek lain, seperti politik. Fakta inilah mempertegas teori yang diungkapkan oleh Clifford Geertz bahwa ulama berperan sebagai cultural broker. Seiring dengan perubahan waktu, posisi ulama mengalami pergeseran. Dalam melakukan perubahan di masyarakat ulama tidak lagi dibatasi oleh kemampauannya dalam bidang keagamaan semata, ulama pun mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Disertasi yang berjudul Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007 ini sudah bisa membuktikan bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Faktanya bisa dilihat ketika ulama memainkan agenda politik lokal Kabupaten Garut. Pada tahun 1999, menyongsong pemilihan Bupati Garut 1999-2003, ulama mendirikan Badan Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
189
Koordinasi Umat Islam (BKUI) Kabupaten Garut sebagai media untuk mewadahi umat Islam yang tidak dibatasi oleh pemahaman keagamaan yang bersifat furuiyah. Kehadiran BKUI ini menjadi efektif bagi ulama untuk mengumpulkan para tokoh umat Islam dalam satu tujuan mempererat persatuan dan kesatuan. Ternyata, dibalik beridrinya BKUI yang diketuai oleh KH. Cecep Abdul Halim, ada maksud yang tersembunyi untuk menjadikan Dede Satibi sebagai Bupati Garut 1999-2003. Permainan politik ulama ini, ternyata mengundang respon poistif dari kalangan umat Islam. Terbukti, Dede Satibi terpilih menjadi Bupati Garut. Fakta kedua, yaitu terpilihnya Dede Satibi sebagai Bupati Garut, ternyata ada agenda selanjutnya yang diperankan oleh ulama Garut. Keinginan ulama untuk menjadikan Garut sebagai Kabupaten yang menitiberatkan pada nilai-nilai ajaran Islam, ternyata menjadi tujuan tersembunyi di balik terpilihnya Dede Satibi. Kebijakan pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang memberi kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing, dirsepon positif oleh ulama Garut untuk mewujudkan keinginannya menjadikan Garut sebagai kabupaten yang didasarkan pada nilai-nilai Islam. Kebijakan Otda ini dijadikan peluang oleh ulama Garut untuk menerpkan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut. Ternyata, dengan berbagai strategi yang dimainkan oleh ulama Garut, pemerintah daerah melalui lembaga legislatif dan eksekutif mendukung gagasan para ulama untuk menjadikan kabupaten Garut sebagai daerah yang menerapkan Syari‘at Islam. Kemudahan meminta dukungan dari pemerintah daerah, dipahami sebagai konsekuensi dari bupati Garut yang merupakan orang yang mempunyai visi sama dengan para ulama. Salah satu implementasi dari Syari‘at Islam yang diperjuangkannya adalah lahirnta Perda No. 1 Tahun 2003 mengenai pengelolaan ZIS. Perda ini merupakan rancangan dari para ulama yang dikoordinir oleh MUI. Fakta ketiga, yaitu adanya gerakan anti korupsi yang disuarakan oleh ulama Garut, KH. Cecep Abdul Halim. Ia melakukan koordinasi di antara umat Islam,ulama, dan komponen lain, seperti advokat untuk mengevaluasi APBD Kabupaten Garut yang dipandang telah terjadi penyelewengan. Koordinasi dilakukan melalui lembaga yang dipimpinnya, yaitu Majelis Ulama Indonesia Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
190
(MUI) Kabupaten Garut. Melalui MUI ini, KH. Cecep Abdul Halim, mengatasnamakan ulama Garut memberi laporan resmi kepada Kejaksaan Tinggi Garut tentang adanya kebocoran APBD yang dilakukan oleh anggota legislatif Kabupaten Garut. Surat yang disampaikan mengatasnamakan MUI Kabupaten Garut deng kop surat MUI tertanggal 24 September 2003. Dibalik laporan mengenai adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif, salah satunya Iyos Somantri sebagai Ketua DPRD Kabupaten Garut, ternyata ada permainan politik yang menjadi tujuan tersembunyi dibalik tujuan suci untuk memberantas berbagai kemaksiatan di Kabupaten Garut. Adanya muatan politik ini, disebabkan bahwa gerakan anti korupsi yang diperankan oleh ulama beriringan dengan akan dilaksanakannya pemilihan Bupati periode 2004-2008. Menurut informasi yang didapat, bahwa Iyos Somantri sebagai Ketua DPRD, yang dilaporkan oleh ulama melakukan tindak pidan korupsi, ternyata merupakan calon kuat untuk menyaingi bupati Dede Satibi, yang nota bene sebagai calonnya dari ulama Garut. Oleh karena itu, strategi politik yang diperankan oleh ulama Garut adalah membidik kasus dugaan korupsi di lembaga legislatif, yang akhirnya diputuskan bahwa Iyos Somantri sebagai tersangka, hingga ia tidak bisa mencalonkan sebagai calon Bupati Garut periode 2004-2008. Fakta yang terakhir mengenai kemampuan ulama dalam bidang politik adalah peristiwa terjadinya pelengseran Bupati Agus Supriadi, periode 2004-2008. Agus Supriadi dilengserkan oleh masyarakat Garut dikarenakan telah melakukan tindak pidan korupsi. Dalam pelengseran ini, ulama Garut, yang dipimpin oleh KH. Cecep Abdul Halim, menjadi pelopor penurunan Agus Supriadi sebagai Bupati Garut. Agus Supriadi telah menggelapkan anggaran daerah untuk memperkaya diri sendiri ditambah adanya gratifikasi dari seseorang yang mempunyai tender di Kabupaten Garut. Seperti pada peristiwa sebelumnya, motif ulama Garut ini adalah tugas menegakan amar ma‟ruf nahi mungkar di kabupaten Garut. Tetapi, dibalik itu dipahami ada motif politik dari ulama Garut yang pada pemilihan Bupati Garut periode 2004-2008, calon yang diusung oleh ulama Garut , yaitu Dede Satibi mengalami kekalahan. Kekalahan ini dianggap oleh ulama Garut ada permainan politik yang keluar dari koridor nilai-nilai Islam, yaitu Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
191
adanya money politik yang dilakukan oleh Agus Supriadi, sebagai Bupati terpilih. Peristiwa ini dipahami oleh salah satu sumber yang penulis dapatkan, bahwa ada ‗dendam politik‘ dibalik pelengseran Agus Supriadi sebagai Bupati. Dari fakta-fakta di atas, penulis berpendapat bahwa ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik, paling tidak pada kurun waktu 1998-2007 yang terjadi di Kabupaten Garut. Fakta ini sekaligus memberikan koreksi dari pendapatnya Geertz dan Deliar Noer, yang mengatakan bahwa ulama hanya mempunyai kemampuan dalam bidang keagamaan. Fakta ini sekaligus menjawab pertanyaan bahwa yang menjadi motif ulama melakukan gerakan di Kabupaten Garut adalah motif politik yang diawali oleh adanya motif etik-religius (moral) dalam menjadikan Garut sebagai daerah yang menjadikan Syari‘at Islam sebagai pijakan dalam berperilaku. Temuan penelitian yang lain, peneliti dapat menambahkan dan mempertegas mengenai konsep ulama yang didefinisikan oleh Geertz dan Mohammad Iskandar. Pada tahun 1960 di Jawa, Geertz berpendapat bahwa peran kyai/ulama sebagai cultural broker menjadikan posisi kyai/ulama menjadi besar dan kharismatik. Pendapat ini mendapat tanggapan dari para ahli, seperti halnya yang dikemukakan oleh Mohammad Iskandar, ia mengungkapkan bahwa besarnya posisi ulama tidak hanya ditentukan oleh perannya sebagai cultural broker, tetapi ulama yang sudah naik haji, mempunyai pesantren dengan puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri dan mempunyai kemampuan yang cermat dalam membaca pikiran masyarakat sekitranya menjadikan ulama meraih posisi yang besar. Menurut temuan peneliti, besarnya posisi ulama, yang diungkapkan oleh Geertz dan Mohammad Iskandar, juga ditentukan oleh kemampuannya dalam bidang politik, paling tidak yang terjadi di Kabupaten Garut pada kurun waktu 1998-2007 dan pengakuannya dari masyarakat dimana ulama itu berada. Akhirnya, penulis menegaskan bahwa teori Charles Tilly mengenai Collective Action, bisa digunakan untuk menjelaskan Dinamika Gerakan Politik Ulama di Garut 1998-2007. Buktinya, adalah setiap gerakan politik yang dilakukan ulama di Kabupaten Garut pada 1998-2007, memenuhi prasyarat yang dibuat oleh Tilly. Pertama, Gerkan politik Ulama di Garut diawali oleh adanya Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
192
kepentingan bersama setelah membaca peluang atau kesempatan yang terjadi. Kedua, organisasi, seperti BKUI, MUI, KPSI, dan Dewan Imamah dijadikan media untuk melakukan mobilisasi dalam rangka mencari dukungan terhadap kepentingan yang sudah disepakati. Ketiga, bentuk aksi kolektif yang dilakukan oleh ulama, dalam setiap peristiwa berbeda. Dalam Peristiwa Penerapan Syari‘at Islam, aksi kolektifnya berupa Deklarasi Syari‘at Islam. Sementara dalam peristiwa gerakan anti korupsi, aksi kolektif yang dilakukan oleh ulama adalah melaporkan dengan cara kolektif perihal adanya penyelewengan anggaran kep pihak yang berwenang. Selain itu, ulama melakukan Pressure, dalam mewujudkan kepentingannya. Dari kenyataan tersebut, berbeda dengan Tilly bahwa di Kabupaten Garut dalam kurun waktu 1998-2007, aksi kolektifnya tidak berbentuk revolusi. 5.2. EPILOG Eksistensi ulama Garut di masa depan sangat ditentukan oleh konsistensinya terhadap peran yang diembannya, baik dalam keagamaan ataupun politik. Upaya yang dilakukan oleh ulama Garut pada kurun waktu 1998-2007 menjadi peristiwa penting dalam lembaran perubahan masyarakat Garut. Ulama Garut telah memberikan kesadaran kepada berbagai komponen masyarakat. Misalnya, kesadaran masyarakat terhadap kebijakan APBD dan komitmen moral yang ada dalam setiap unsur masyarakat, termasuk para pejabat. Peristiwa mundurnya bupati Garut periode 2008-2013, Aceng Fikri, merupakan salah satu upaya masyarakat Garut yang tetap mempunyai komitmen moral dan tanggungjawab terhadap keberadaan kabupaten Garut yang sering diberi julukan dengan kota santri. Terpilihnya Aceng Fikri sebagai bupati Garut tidak lepas dari dukungannya yang diberikan oleh sebagian ulama Garut dalam proses demokrasi yang terjadi pada tahun 2008. Akan tetapi, para ulama Garut dan komponen masyarakat lainnya, tetap konsisten terhadap perannya sebagai pengontrol dalam bidang keagamaan dan politik. Buktinya, bupati Garut, Aceng Fikri, yang sebelumnya mendapat dukungan dari para ulama Garut, ketika sudah melakukan penyimpangan terhadap aturan yang berlaku, tetap saja mendapat
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
193
perhatian dari para ulama dengan cara memberikan koreksi atas segala bentuk penyimpangannya hingga tidak lagi mendapat dukungannya ketika masyarakat Garut berunjukrasa untuk menurunkan dari kursi kekuasaannya. Masa depan ulama dalam melakukan perannya di masyarakat, sangat bergantung terhadap kemampuannya dalam memahami realitas yang terjadi. Ada beberapa faktor yang menjadikan ulama tetap konsisten dalam melakukan perubahan di masyarakat. Pertama, sifat kharismatik yang menempel dalam diri seorang ulama merupakan faktor penting bagi ulama dalam melakukan perannya di masyarakat. Kedua, kemampuan menangkap peluang pun menjadi faktor kedua bagi ulama dalam melakukan perubahan di masyarakat. Ketiga, melakukan komunikasi yang intensif dengan berbagai unsur di masyarakat tidak kalah pentingnya menjadi faktor bagi ulama dalam memerankan dirinya di wilayah publik. Keempat, adanya media untuk melakukan komunikasi dengan unsur lainnya. Media ini menjadi jembatan bagi para ulama untuk menyampaikan gagasannya dalam melakukan perubahan di masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, Garut tidak terlepas dari posisi dan peran ulama. Keberadaan ulama akan senantiasa menjadi penting di masyarakat Garut, apabila tetap konsisten terhadap faktor-faktor yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, harapan masyarakat Garut untuk menjadi sebuah daerah atau kabupaten yang maju di berbagai bidang kehidupan, sangat bergantung, salah satunya, kepada posisi dan peran ulama di masyarakat yang senantiasa memilki komitmen moral dalam memperhatikan nasib rakyatnya.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
194
DAFTAR PUSTAKA Arsip/Dokumen AD/ART Masyarakat Peduli Anggaran. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2002 Berita Acara Serah Terima Naskah Deklarasi Penegakan Syari‟at Islam. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, Agustus 2002 Data Seksi Penerangan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008; Dokumen Mapag: “ABPD 2007 Kabupaten Garut: Mempertanyakan Prioritas APBD 2007 Kab. Garut untuk Pelayanan Publik dan Pemberdayaan Masyarakat. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Dokumen Mapag tentang Program Kerja Mapag Kabupaten Garut. 2009.Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Format Dasar Pelaksanaan Syariat Islam, Pebruari 2002. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Kode Etik LP3SyI Kabupaten Garut; Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Kronologis Singkat Memperjuangkan Syari‟at Islam, ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Laporan Monev Perda Pekat 2008. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Laporan Pertanggungjawaban BAZIS Kabupaten Garut 2002-2005. Garut: Badan Amil Zakat Infaq Shodaqoh Kabupaten Garut Laporan Pertanggungjawaban Bupati Garut Tahun 2006; Garut: Sekretariat DPRD Kabupaten Garut Lihat Profil Ekonomi Kabupaten Garut. Garut: Bappeda Kabupaten Garut Lihat Profil Investasi Kabupaten Garut. Garut Bappeda Kabupaten Garut Laporan Program Kegiatan Pengurus antar waktu MUI Kabupaten Garut Tahun 2002-2004. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Naskah Deklarasi LP3Syi Kabupaten Garut. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Pedoman Dasar LP3SyI Kabupaten Garut. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Pengantar Aspirasi Penegakan Syari‟at Islam di Kabupaten Garut, ditulis oleh Muhammad Qudsi selaku pimpinan Pesantren Suci, 15 Maret 2002 bertepatan dengan 1 Muharram 1423 H. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Perda Nomor 6 Tahun 2000 tentang Ketertiban Umum. Pemda TK. II Kab. Garut. Garut: Sekretariat DPRD Kabupaten Garut
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
195
Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Zakat, Infaq, dan Sodaqah. Garut: Sekretariat DPRD Kabupaten Garut Perda No. 2 Tahun 2008. Garut: Sekretariat DPRD Kabupaten Garut Perkembangan Angka Laju Investasi, Inflasi, LPE, dan LPP Kabupaten Garut Tahun 2005-2008. Garut: Bappeda Kabupaten Garut Pernyataan Bersama MUI Kecamatan Se Kabupaten Garut tentang APBD Gate, 12 Mei 2005. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Pernyataan Sikap Bersama Komponen Warga Masyarakat Garut Mengenai Indikasi Adanya Kejanggalan Anggaran DPRD dalam APBD Garut, 6 Oktober 2003. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Pernyataan Sikap Forum Silaturahmi Ormas Islam Se Kabupaten Garut tentang Situasi dan Kondisi Pemerintahan Kabupaten Garut, 2 Juli 2007. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Pernyataan KH. Cecep Abdul Halim mengenai Bupati Garut, Agus Supriyadi, 8 Juli 2007. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Program Kerja LP3SyI Kabupaten Garut. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Rekap Laporan Bazis Kabupaten Garut 2002-2009. Garut: Badan Amil Zakat Infaq Shodaqoh Kabupaten Garut Rekomendasi Bahtsul Masail “Mewujudkan APBD Garut yang Memihak Kepentingan Rakyat”. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Surat resmi dari MUI Kabupaten Garut kepada Kejaksaan Negeri perihal Informasi kejanggalan Anggaran untuk DPRD pada APBD Kabupaten Garut Nomor: 81/MUI-Kab/IX/2003 tanggal 24 September 2003. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Surat dari MUI ke Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Garut tentang Informasi Surat Pernyataan Dukungan, tertanggal 24 Maret 2007. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Surat dari Wakil Ketua MPR RI kepada Menteri Hukum dan Perundangundangan, Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH.,MSc. Tertanggal 14 Juli 2000. Garut: Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Garut Tabel Jumlah Pemeluk Agama per Kecamatan Tahun 2000. Garut: Depag Kabupaten Garut Tabel Jumlah Pemeluk Agama di kabupaten Garut tahun 2008. Garut: Depag Kabupaten Garut Tabel Rekapitulasi Pemuka Agama Islam di Kabupaten Garut tahun 2008. Garut: Depag Kabupaten Garut
Buku, Makalah, dan Jurnal Abdullah Ahmed An-Na‘im, ―Al-Qur`an, Syari‘ah, dan HAM: Kini dan di Masa Depan‖, Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993, hal. 112 Abdillah,Maskuri. 1994. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi 1966-1993.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
196
Abdillah,Syaik, Ai Sadidah dan Kinkin Patonah, ―Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Studi Kasus Formalisasi Syariat Islam di Garut,‖ makalah seminar Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten, Hotel Ambhara, Kebayoran Jakarta Selatan, 26 April 2004. Abdul Fatah,Munawir.2006. Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006 Abu A‘la Al-Mududi, ―Syari‘ah dan Hak-hak Asasi Manusia‖, dalam Harun Nasution dan Bachtiar Effendy (Penyunting), Hak Asasi Manusia Dalam Islam Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Anggapradja, Sulaeman. Sejarah Garut dari Masa ke Masa. 1978. Garut: Pemda Garut Anshari, Dadang S. (Ed.) 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Jatinangor: Alqaprint Asror, Ahidul ―Reproduksi Islam dalam Tradisi Keberagamaan Populer diLingkungan Masyarakat Santri Jawa‖, makalah, disampaikan pada Annual Confrence on Islami Studies, di Banjarmasin 1-4 November 2010 Depan‖, Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993. Arifin, ―Selayang Pandang Pesantren Al-Falah Biru‖ dalam http://birugarut.blogspot.com, tanggal 30 Juni 2010 Asfar,Muhammad. 1995. ―Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kyai‖, dalam Prisma, 5 Mei. Bahri, Zaenul. 1996. Kamus Umum Bidang Politik dan Hukum, Bandung: Angkasa Bellamy, Richard 1990. Teori Perspektif Itali. Jakarta: LP3ES Berger, Peter L. 1969. The Social Reality of Religion, Faber. Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, ter. Hasan Basari, Jakarta:LP3ES. Billah,M. 1978. ―Agama dan Politik: Pergeseran Pola kepemimpinan‖, dalam Prisma. BPKP, ―Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional‖ Tempo, 22 Januari 1999, hal. 296 Budiardjo.Meriam. 1997 Dasar-Dasar ILmu Politik. Jakarta: Gramedia. Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Depag RI. ―Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia‖. 2003 Dhofier,Zamakhsyari. 1982 Tradisi Pesantren:Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES; F. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Bandung. Binacipta. 1995 Fanani,Ahmad Fuad, ―Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari‘at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat,‖ makalah Annual Conference on Islamic Studies, Palembang, 3-6 Nopember 2008. Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Barkley: University of California.Press. G.S. Hodgson, Marshall. 1999. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta: Paramadina.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
197
Geertz, Clifford. 1960. ― The Javanese Kijaji: The Changing Roles of A Cultural Broker‖, Comparative Studies in Society and History, vol 2. ------------. 1981. Abangan, santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan oleh Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. ------------1982. Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, ter. Hasan BasariJakarta: YIIS Gumilar, Setia.2004 ―Pergeseran Kyai dalam Kehidupan Masyarakat‖. Tesis. Unpad. Hasbullah,Moeflich ‗Gerakan Superfisial Neofundamentalisme Islam: Pendekatan Antropologi Politik Islam di Garut. Hasil Penelitian. 2004 Herlina Lubis, Nina , et al. 2011. Perkembangan Islam di Jawa Barat, Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. Horton, Paul B. & Hunt, Chester L. 1984. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa ----------―Aksi Kolektif Petani Ciomas Tahun 1886 Dampak Politis Bagi Pemerintahan Hindia Belanda‖. Disertasi. UI. 2007 Jackson, Karl D.1990. Kewibawaan Tradisional Islam dan Pemberontakan (Kasus Darul Islam di Jawa Barat). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Janwari,Yadi, dkk. ‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. Hasil Penelitian. 2004 Jhonson, Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 & 2. Jakarta: PT. Gramedia Press. Khaldun, Ibn. 2000. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus. Khudori, ‗Politik Anggran Publik‘, Pikiran Rakyat, 04 Pebruari 2004 Kligaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar …………...1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Wacana. ---------------1995. Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Bandung: Mizan. Kusdiana, Ading. 2013. ―Jaringan Pesantren di Priangan 1800-1945. Disertasi Unpad Leirissa, R.Z. 2004. Charles Tilly dan Studi Tentang Revolusi, Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, 6 (1):3-15 -------------, 1999. ―Metodologi Strukturis dalam Ilmu Sejarah‖ ,Kumpulan Karangan: tidak diterbitkan. -------------,1994. ―Sejarah Indonesia Modern : Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas‖, Majalah Prisma,LP3ES. Lloyd, Christopher. 1993. The Structures of History. Oxford: Blackwell Publisher Mubarok,Jaih. ―Gerakan Pelaksanaan Syari‘at Islam di Cinajur Jawa Barat‖, Makalah disajikan dalam acara Annual Conference Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Departemen Agama RI, pada tanggal 1-4 Desember 2004 di Banda Aceh NAD Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
198
Mulkhan, Abdul Munir. 1990. Warisan Intelektual K. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Persatuan. Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book. Nainggolan,Berlin. ―Citra Justica‖ Majalah Hukum dan Dinamika Kemasyarakatan, Volume VII No. 3 September 2008. Fakultas Hukum UNA Kisaran, hal. 3-4 Nashir, Haedar. 2000. Perilaku Politik Elit Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (suatu Pengalaman). 1978. Jakarta: Yayasan Idayu. Noor, Deliar. 1991. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:LP3ES Prakoso, Djoko. (Et.al). 1987. Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Jakarta:Bina Aksara. Rahman, Fazlur, Islam .1997. Chicago: University of Chicago Press. Rogers, Evereett M. Mass Media and Interpersonal Communication. Chicago. 1983 Rosyad, Rifki, ―Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Tasikmalaya‖, Makalah. Salamah,Ummu. 1998. ―Tradisi Tarekat dan Dampak Konsistensi Aktualisasinya terhadap Perilaku Sosial Penganut Tarekat.: Studi Kasus Tarekat Tijaniyah di Kabupaten Garut Jawa Barat dalam Persepektif Perubahan Sosial‖ Disertasi. Unpad Syamsuri. 2004. ―Tarekat Tijaniyah; Tarekat Ekslusif dan Kontroversial‖ dalam Sri Mulyati (Ed.), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktbarah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media hal. 223-224 Segaf, Husen dkk., Ulama dan Pembangunan. Jakarta. 1976. Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak Sopanah dan Wahyudi, Analisa Anggaran Publik: Panduan TOT. Jakarta. 2004 Sttenbrink, Karl. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES Sudarsono. 1992. Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Sufianto, Kunto.2001. Garut Kota Intan: Sejarah Lokal kota Garut sejak Zaman Hindia Belanda Hingga Masa Kemerdekaan. Bandung: Alqaprint Jatinangor. ----------. 1997 ―Kehidupan Masyarakat Kota Garut 1930-1965‖. Tesis. UI. Sujono, 1987. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta. Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta : LP3ES. 1999. Supariadi. 2001. Kyai Priyai di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Caraka Thohir, Ajid dan Ading Kusdiana, 2006. Islam di Asia Selatan. Bandung: Humaniora. Tilly, Charles. 1978. From Mobilization to Revolution. Massachusetts: AddisonWesley Publishing Company Turmudi, Endang. 2003. Perselingkuhan Kiai dan Politik. Yogyakarta: LKiS.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
199
Koran-Koran Bandung Pos, 12 Desember 1998; Bandung Pos, 7 Oktober 2003; Detail Pos, 23 Desember 1998; Galamedia, 19 dan 23 April 1999; 11 September 1999; Galamedia, 31 Oktober 2003; Galamedia, 18 Januari 2005; Garoet Pos, 25-31 Juli 2005 Garoet Pos, 16-22 Oktober 2006; Kompas, 14 Desember 2004; Kompas, 18 Januari 2005; Kompas, 24 April 2008; Metro Bandung, 7 Oktober 2003 Suara Rakyat Merdeka 5-12 April 2002; Pikiran Rakyat, 10 September 2002 Pikiran Rakyat, 11 September 2002 Pikiran Rakyat,1dan 6 Oktober 2003; Pikiran Rakyat, 26 September 2003; Pikiran Rakyat, 29 dan 30 September 2003; Pikiran Rakyat,6 Oktober 2003; Pikiran Rakyat, 17 Juni 2004; Pikiran Rakyat, 14 Juni 2004; Pikiran Rakyat, 19 Juni 2004; Pikiran Rakyat, 22 Juni 2004 Pikiran Rakyat, 18 Januari 2005; Pikiran Rakyat,7 Juni 2005; Pikiran Rakyat, 19 Juli 2005; Pikiran Rakyat, 4 Maret 2006; Pikiran Rakyat, 24 April 2008; Priangan, 7-10 Juli 2001; Priangan, 24-26 Oktober 2001; Priangan, 9-12 Pebruari 2002; Priangan, 16-19 Pebruari 2002; Priangan, 7 Juni 2002. Priangan, 12 Juli 2002 Priangan, 2-5 Maret 2002; Priangan, 9 - 12 Juli 2002; Priangan,1-3 Oktober 2003; Priangan, 1-4 November 2003; Priangan 6-9 November 2004; Priangan, 15-17 Desember 2004; Priangan, 8-10 Juni 2005; Priangan, 25-28 Juni 2005; Priangan, 20-22 Juli 2005; Priangan, 10-12 Agustus 2005; Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
200
Radar Tasikmalaya, 1 Maret 2005; Radar Tasikmalaya, 2 Juni 2005; Republika, 25 September 2003; Republika, 8 Oktober 2003; Republika 31 Oktober 2003; Republika, 17 November 2003; Republika, 17 Mei 2005; Republika, 7 Juni 2005; Republika, 24 April 2008; Suara Karya, 24 April 2008; Suara Publik, 8 Juli 1999 Suara Rakyat Merdeka 5-12 April 2002; Sumber Lisan Abdul Muis, Pengurus Cabang Muhammadiyah Garut, Wawancara di Garut, 28 November 2010 Agus Koswara, anggota DPRD Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 3 Maret 2010 Asep Hermawan , Aktivis Muda NU, Wawancara di Garut, 3 Maret 2010 Asep Ahmad Hidayat, Pengurus LP3SyI Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 3 Maret 2009;7 Juli 2009 Dede Satibi, mantan Bupati Garut, Wawancara di Garut, 4 Pebruari 2010 Giom Suwarsono, Ulama dan Wakil Ketua MUI Kabupaten Garut Wawancara di Garut, 2 Maret 2009; 6 Juli 2009; 4 Pebruari 2010 H. Sholeh, Pimpinan Pesantren Cipari, Wawancara di Garut, 27 November 2010 Hanief, Pengurus Pesantren Biru, Wawancara di Garut, 28 Juli 2010 Ikyan Sibaweh, Pimpinan Tarekat Tijaniyah, Wawancara di Garut, 12 Desember 2010 KH. Aceng Dadang ZA, Pengurus MUI Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 5 Maret 2009 KH Agus Muhammad Sholeh, Pengurus MUI Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 28 November 2010 KH. Bunyamin, Lc, Pimpinan Pesantren Cipari, Wawancara di Garut, 4 Maret 2010; 28 Juli 2011 KH. Cececp Abdul Halim, Ketua MUI; Ketua Dewan Imamah Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 2 Maret 200; 6 Juli 2009; 7 Juli 2009; 12 Januari 2010; 2 Pebruari 2010; 27 November 2010 KH.Endang Yusuf,Lc, Ketua KPSI dan Pengrus LP3SyI, Wawancara di Garut, 4 Maret 2009; 7 Juli 2009; 3 Pebruari 2010; 27 November 2010 KH Mahdi Munawar, Pengrus Cabang NU Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 5 Pebruari 2010 KH. Muhammad Qudsi, Pimpinan Pesantren Suci; Penggagas LP3SyI; Dewan Penasehat PPP, Wawancara di Garut, 5 Maret 2009; 2 Pebruari 2010; 26 November 2010 KH.SaefulAzhar, ulama Garut, Wawancara di Garut, 4 Maret 2009;7 Juli 2009 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
201
KH.Tanthowi Jauhari, Pengurus Syuriah NU; Pimpinan Pesantren Al-Wasilah, Wawancara di Garut, 4 Maret 200; 7 Juli 2009;12 Januari 2010 KH.Yosef Djuanda, Pengurus LP3Syi, Wawancara di Garut, 4 Maret 2009;7 Juli 2009; 3 Pebruari 2010; 26 November 2010 Lukman Hakim, mantan Ketua PMII Kab. Garut, Wawancara di Garut, 5 Pebruari 2010 Mahyar Swara, Pengurus KPSI, Wawancara di Garut, 3 Pebruari 2010 Nurol Aen, Mantan Kepala Kandepag Kab. Garut, Wawancara di Garut,4 Maret 2010 Rofik Azhar, Wakil Sekretaris MUI Kabupaten Garut, Wawancara di Garut, 3 Maret 2009; 7 Juli 2009 Undang Hidayat, sekretaris MUI Kab. Garut, Wawancara di Garut, 2 Maret 2009;6 Juli 2009; 26 November 2010 Ustadz Aceng Zakaria, Pimpinan Pesantren Persis, Wawancara di Garut,4 Pebruari 2010 Ustadz Bunyamin, Ketua PD Muhammadiyah Garut, Wawancara di Garut, 4 Maret 2010 Ustadz Sirojudin, Pengurus MUI, Wawancara di Garut, 4 Pebruari 2010 Yadi Janwari, Dosen STAIDA Muhammadiyah, Wawancara di Garut, 3 Maret 2007 Juli 2009
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
202
LAMPIRAN 1
SUSUNAN PENGURUS LP3SyI KABUPATEN GARUT
Dewan pakar
Koordinator
Ketua MUI Garut
Anggota-anggota: a.Unsur Ulama 1. K.H. Muhammad Qudsi 2. K.H.R.E. Trenggana 3. K.H. TontowiDjauhari, MA 4. K.H Imam Sibaweh 5. K.H. Ulumudin Banani 6. K.H. Endang Yusuf Djunaedi 7. K.H. Dr. Amin Bunyamin 8. K.H. Saefulloh Tamam 9. K.H. Moch. Addawani 10. Kyai Sirodj 11. Ustadz Qomaruddin, AS al-Haj 12. K.H. Abdalloh Nawawi 13. K.H. Drs. Tetan Syarif 14. K.H. Mimar Hidayatullah 15. K.H. Wawah nawawi 16. K.H. Cecep Abdul Halim, Lc. 17. K.H. Aceng Zakariya 18. K.H. Sajidin 19. K.H. Asep Zakaria, Lc. 20. K.H. U. Nawawi, Lc. 21. Ustadz A Fatah Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
203
22. K.H. Drs. Halim Basyarah, SH 23. K.H. Adin Nugraha 24. Drs. Asep Saepudin M. 25. K.H. Deden Z. Fu‘ad, S.Ag. 26. K.H. Cecep Fachrudin 27. K.H. Syukron Ma‘mun b. Unsur Zu‘ama 1. Drs. H. Giom Suarsono 2. Drs. H. Abdul Muiz Hamzah, M.Si 3. Drs. Samhari 4. Drs. Mahdi Munawar 5. Drs. Asep Ahmad Hidayat, M.Ag. 6. Dr. Ikyan Sibaweh 7. Drs. Rofiq Azhar 8. H. R. Gaos Syamsudin 9. Drs. Idad Subarnas 10. Drs. H. Iim Ibrahim 11. Drs. Kusnaeni, BA 12. Drs. H. Wowo Wibowo 13. Drs. H. Achmad Mutaqien, SH 14. Buldan Ali Jungjunan, SH 15. H. R. Abdullah Jayaprawira 16. Drs. Undang Suheryawan 17. Drs. H. Achmad Sobur
c. Unsur Praktisi Hukum 1. Drs. Moh. Jusep Djuanda, SH 2. Drs. Djohan Djauhari, SH 3. BK. Edy Prayitno, SH 4. Abdul Racman, S.Ag. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
204
5. Heri Purwanto, SH 6. Aa Brata Sudirdja, SH 7. Drs. Machyar Suara, SH 8. Yus Suryana, SH
d. Unsur Cendekiawan 1. Drs. Djodjo Sukarjo, M.Si. 2. Drs. Undang Hidayat, M.Ag. 3. Drs. H. Imid Hamid 4. Dr. Iekeu Sartika Iriyani 5. Ir. H. Abdullah Marghani 6. Drs. Ahmad Izzan 7. H.M. Iqbal Santosa 8. Drs. Aip Sulthonudin Lidinillah, M.Si. 9. Ir. Hafzin 10. Drs. Yadi Januari, M.Ag. 11. Yosep 12. Dikdik 13. H. Irwan Nuryawan 14. Drs. Aceng Toha, M.Pd. 15. Drs. Uus Tuchri 16. Eddy Sukardi, SH.
e. Unsur Wanita 1. Hj. Ai Maskanah 2. Hj. Aminah Mussaddad 3. Dra. Hj. Yayah Hidayah 4. Ny. Endang Mas‘ud 5. Imas Ubudiah Muslim Dewan Eksekutif 1.
Sekretariat Daerah Kabupaten Garut Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
205
2.
Badan Kesatuan Bangsa Kabupaten Garut
3.
Bagian Sosial dan Agama Setda Kabupaten Garut
4.
Kantor Depag Garut
5.
Bagian Hukum Setda Garut
6.
Bagian Umum Setda Garut
7.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut
8.
Pimpinan Cabang NU Garut
9.
Pimpinan Cabang Persatuan Islam Garut
10.
Pimpinan Cabang Syarikat Islam
Pada tahap kedua dilakukan revisi terhadap format dan susunan pengurus LP3SyI dengan format dan susunan pengurus sebagai berikut:
Penasehat 1.
Bupati Garut
2.
Pimpinan DPRD Garut
3.
Sekretaris Daerah Kabupaten Garut
4.
Kepala Kejaksaan Garut
5.
Ketua Pengadilan Negeri Garut
6.
Ketua Pengadilan Agama Garut
7.
Kepala Kantor Depag Garut
8.
Kepala Polisi Resort Garut
9.
Dandim 0611 Garu
Badan Pengurus Koordinator
: Ketua MUI Kabupaten Garut
1. Wakil Koordinator Bidang Sosialisasi dan Informasi Syariat Islam
: Drs. Aip Sulthonudin Liddinillah, M.Si
2. Wakil Koordinator Bidang Analisa dan Pengkajian Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
206
Syariat Islam
: KH. Muhammad Qudsi
3. Wakil Koordinator Bidang Legislasi dan ProdukProduk Hukum
: Drs. Mahyar Suara, SH
4. Wakil Koordinator Bidang Penerapan dan Penegakan Syari‘at Islam
: KH. Endang Yusuf Djunaedi, Lc
5. Wakil Koordinator Bidang Advokasi dan Bantuan Hukum
: Drs. Djohan Djauhari, SH
6. Wakil Koordinator Bidang Partisipasi Perempuan
: Dra. Hj. Yayah Hidayah
7. Sekretaris
: Drs. Moh Yosep Djuanda, SH
8. Wakil Sekretaris
: Dr. Iekeu Sartika Iriyani
9. Bendahara
: Ir. Moh Hafzin
10.Wakil Bendahara
: Dra. Ifa Hafsiah Yaki
Komisi-Komisi Komisi Sosialisasi dan Informasi Syariat Islam
1. KH. Abdalloh Nawawi 2. Drs. Idad Subarnas 3. Drs. Ade Saepudin 4. Drs. Ahim 5. Drs. Iim Ibrahim 6. Drs. Giom Suwarsono 7. Dr. Endang Syamsudin 8. Isa al-Anshori, M.Ag. 9. Ir. Rudianto
Komisi Pengkajian dan Analisa Syari‘at Islam
1. Drs. Asep Ahad Hidayat, M.Ag. 2. Ustadz Sirodj Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
207
3. Drs. M. Izzan, M.Ag. 4. KH. Asep Zakaria, Lc 5. KH. Imam Sibaweh 6. Drs. Dahlan Saputra 7. Drs. Djodjo Soekardjo, M.Si. 8. Adin Nugraha 9. Endang Muttaqin 10.Azza Rowikarim,S.Ag. 11.Drs. KH Aos Saeful Azhar Komisi Legislasi dan Produk Produk Hukum 1. Drs. A.B.Sobur, M.Si.. 2. Rd. Abdullah Jayaprawira 3. Eful Saefullah 4. Drs. Undang Hidayat, M.Ag. 5. Drs. Kusaeni, M.Si. 6. H. Nurodin 7. Rofiq Azhar, S.Ag. 8. Ir. Rudi Palindih 9. Iyus Suryana 10.Drs. Ustuchri Komisi Penegakan dan Penerapan Syari‘at Islam 1. KH. Syaefutamam 2. KH Wau Nawawi 3. Yosef Shodiqin 4. Deden Abdurrahman Aziz 5. Drs. Undang Suharyawan 6. Dra. Rahayu 7. Uci Sanusi 8. Ridwan Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
208
9. Suheryawan
Komisi Advokasi dan Bantuan Hukum 1. Abdurrahman 2. Anung Anshori, SH 3. BK. Eddy Prayitno, SH 4. Heri Purwanto 5. Aa Brata Sudirdja, SH 6. P. Suhendi Komisi Partispasi Perempuan 1. Hj. Ai Maskanah 2. Hj. Mien Aminah M 3. Imas 4. Dra. Neni Endang Mas‘ud.
Sumber: Yadi Janwari, dkk. ‖ Respon Tokoh Umat Islam terhadap Gagasan Penerapan Syari‘at Islam di Kabupaten Garut‖. 2004.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
209
Lampiran Dokumentasi Perda Pekat
Sebagian waria yang pernah menjadikorban Operasi Perda Pekat Oleh Satpol PP Garut, 2008
Kios Penjualan Miras di pantai Santolo Kec Cikelet Garut Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
210
Kios penjual miras di terminal Guntur Garut
Toko penjual minuman keras di Jl. Ahmad Yani Garut Kota Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
211
Tempat yang sering digunakan untuk perbuatan asusila Berlokasi di Jl. Aruji Tarogong Kidul Garut
Tempat prostitusi dan penjualan minuman keras Berlokasi di Sebelah Barat Terminal Guntur Garut Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
212
Area yang sering digunakan untuk perbuatan asusila berlokasi di lapangan Golf Ngamplang Cilawu Garut Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
213
Tempat yang sering digunakan untuk perbuatan asusila Berlokasi di Alun-alun Garut Tempat mankal dan tranasksi Wanita Tuna Susila Berlokasi di sebelah utara Alun-alun Garut (depan kantor Kejaksaan Negri ) Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
214
Tempat mankal Wanita Tuna Susila dan penjualan minuman keras Berlokasi di Jl. Pramuka dan Jl. Guntur Garut Kota
Tempat karouke dan billiard yang yang sering menjadi sasaran operasi Satpol PP dan kepolisian berlokasi di Jl. Pasar Baru Garut Kota Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
215
Objek Wisata Cipanas yang sering digunakan sebagai tempat prostituis dan penjualan Miras berlokasi di Jl. Cipanas Tarogong Kaler Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
216
Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Penginapan yang sering digunakan sebagai tempat prostitusi Berlokasi di Jl. Merdeka Tarogong Kidul Garut Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
217
Tempat mangkal waria Berlokasi sebelah timur Gor Merdeka Kerkhof (Jl. Perintis Tarogong Kidul)
Taman kota Kerkhof tempat yang sering digunakan untuk melakukan asusila Berlokasi di ujung sebelah timur Gor Merdeka Kerkhof Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
218
Tempat Transaksi Prostitusi Berlokasi di Blok I Pasar Guntur Garut
Lahan kosong yang sering digunakan tempat prostitusi Berlokasi di Blok I Pasar Guntur Garut Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
219
Area sekitar bunderan Simpang Lima (Tarogong kidul Garut) Tempat yang sering digunakan untuk melakukan perbuatan asusila Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
220
Lampiran: Dokumen Unjuk Rasa Terhadap Tindak Pidana Korupsi
KH. CECEP ABDUL HALIM SEDANG ORASI DALAM AKSI UNJUK RASA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN GARUT SUMBER: DOKUMENTASI MILIK MUI KABUPATEN GARUT, 2007
AKSI UNJUK RASA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN GARUT SUMBER: DOKUMENTASI MILIK MUI KABUPATEN GARUT, 2007 Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
221
Lampiran: Dokumentasi Masyarakat Peduli Anggaran (Mapag) Kab. Garut
Deklarasi Mapag Kabupaten Garut, 2008 Sumber: Dokumentasi Milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
222
KH. Cecep Abdul Halim sedang memberikan pengarahan dalam acara deklarasi Mapag Kab Garut, 2008 Sumber: Dokumentasi Milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
223
Pelatihan mengenai APBD yang diselenggarakan oleh Mapag Garut, 2008 Sumber: Dokumentasi milik MUI Kabupaten Garut, 2008
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
224
ANALISIS SWOT DINAMIKA GERAKAN POLITIK ULAMA DI GARUT 1998-2007
DINAMIKA GERAKAN POLITIK ULAMA
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKTERNAL
HN
STRENGTH Umat Islam terbesar di Garut, Adanya Jaringan Ulama, Citra sebagai Kota Santri
WEAKNESS Kemaksiatan, kemiskinan, kebodohan, penghapusan perda anti kemaksiatan
OPPRTUNITY Otonomi Daerah, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Cianjur, Tasikmalaya, Pilkada.
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
THREAT Pandangan negatif terhadap syariat Islam, ada dukungan dari kelompok Anggota Dewan dan Bupati Agus Supriadi
225 SKEMA SILSILAH DAN JARINGAN ULAMA
KH. Harmaen Ponpes Cipari
KH. Badruzaman Ponpes Al Falah Biru
KH. Qurtubi Ponpes Pangkalan
CCC
KH. Abdul Qudus Ponpes Cipari
KH. Yusuf Tojiri Ponpes Darusalam
Hj. Lilis
KH. Bustomi
Hj. Siti Quraisyin
KH. Cecep Halim
KH. Tantowi
KH. Anwar Musaddad Ponpes Musaddadiyah
KH. A Mughroni
Hj. Atikah
KH. Asep S
KETERANGAN: Hubungan anak: Hubungan Perkawinan: Hubungan Geneologis: Sumber: KH. Cecep Abdul Halim, wawancara, 7 Juli 2009; Ikyan , wawancara,12 Desember 2010; Asep Ahmad Hidayat, wawancara, 7 Juli 2009 ; Rofik Azhar, wawancara, 7 Juli 2009. Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
226
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
227
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.
228
Universitas Indonesia
Dinamika gerakan..., Setia Gumilar, FIB UI, 2015.