UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL DENGAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Fathra Annis Nauli NPM. 0906620575
PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2012
i Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL DENGAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY DI RSUP PERSAHABATAN JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)
Fathra Annis Nauli NPM. 0906620575
PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2012
ii Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga Karya Ilmiah Akhir dengan judul “Manajeman Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy Di RSUP Persahabatan Jakarta” dapat terselesaikan dengan baik Dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat : 1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia beserta seluruh jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kembali mengikuti studi di Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Ibu dr. Priyanti Z. Soepandi, Sp.P(K), selaku Direktur utama RSUP Persahabatan Jakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengunakan lahan sebagai tempat praktek. 3. Ibu Sri Purwaningsih, SKp., M.Kes, selaku kepala bidang keperawatan RSUP Persahabatan yang telah banyak membantu dan memfasilitasi Penulis dalam melaksanakan praktek di RSUP Persahabatan. 4. Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, D, N,Sc., selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah membimbing penulis dengan meluangkan waktu, sabar, bijaksana memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini. 5. Ibu Ice Yulia Wardani, SKp., M.Kep, Sp.Kep. J sebagai co-pembimbing yang membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini. 6. Ibu Mustikasari, S.Kp, MARS selaku Penguji I yang telah memberikan masukan, arahan selama proses sidang Karya Ilmiah Akhir ini.
i Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
7. Ayah, Ibu, saudara - saudaraku dan suami, yang telah memberi dukungan moral, materi, serta doa selama Penulis menempuh program pendidikan spesialis ini. 8. Rekan-rekan angkatan V Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang selalu bersama dalam suka dan duka serta telah bekerjasama dan memberikan semangat selama pelaksanaan praktek keperawatan serta dukungan selama penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini. 9. Seluruh Staf dan Jajaran di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas yang telah banyak membantu dan memfasilitasi Penulis selam praktek di RSUP Persahabatan. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini Semoga amal dan budi baiknya mendapat pahala yang berlimpah dari Allah SWT. Akhirnya penulis mengharapkan karya tulis ilmiah ini dapat memberikan tambahan atau sebagai bahan pertimbangan untuk tulisan ilmiah lainnya. Terima kasih.
Depok,
Juni 2012 Penulis
ii Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Fathra Annis Nauli Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul : Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien harga diri rendah situasional dengan pendekatan model adaptasi Roy di RSUP persahabatan Jakarta
Harga diri rendah situasional adalah Evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang harga diri sebagai respon terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012). Terapi kognitif adalah suatu proses mengenali atau mengidentifikasi pikiran – pikiran yang negative dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap (Granfa, 2007). Psikoedukasi keluarga merupakan terapi yang memberikan informasi, pengetahuan dan mengajarkan keluarga tentang bagaimana manajemen stres keluarga yang mengalami distress sehingga keluarga memahami dan menggunakan koping dalam penyelesaian masalah yang terjadi di keluarga (Goldenberg, I dan Goldenberg, H, 2004). Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan hasil manajemen kasus harga diri rendah situasional dan kemampuan pasien dan keluarga (care giver) dalam mengatasi harga diri rendah situasional dengan penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan pendekatan model adaptasi Roy. Penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi pada care giver dilakukan pada 33 orang pasien di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan pada kurun waktu 20 Februari – 20 April 2012. Hasil terapi kognitif sangat efektif pada 33 pasien menunjukkan mampu mengatasi pikiran negatif dan peningkatan kemampuan dalam mengatasi harga diri rendah situasional. Psikoedukasi keluarga juga menunjukkan efektifitasnya dimana sebanyak 33 care giver mampu merawat pasien dengan harga diri rendah situasional, manajemen ansietas dan manajemen beban pada keluarga. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa untuk pasien dan care giver dengan harga diri rendah situasional dan perlu disosialisasikan pada seluruh tatanan pelayanan kesehatan.
Kata kunci :
terapi kognitif, psikoedukasi keluarga, harga diri rendah situasional, model adaptasi Roy
i Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
ABSTRACT Name : Fathra Annis Nauli Study Program : Nursing Science Title : Management of nursing care in a specialist mental health for patients situational low self-esteem with Roy adaptation model approach at Persahabatan Hospital, Jakarta Situational low self-esteem is development of a negative perception of self-worth in response to a current situation (Herdman, 2012). Cognitive therapy is a process to recognize or identify the mind negative and destructive thoughts that can lead to low self-esteem and depression that permanent (Granfa, 2007). Family psychoeducation is a therapy that provides information, knowledge and teach families about how families experiencing stress management so that families understand the distress and the use of coping in the resolution of problems that occur in families (Goldenberg, I, and Goldenberg, H, 2004). The goal of this scientific paper is to describe the results of case management situational low self esteem and the ability of the patient and the family to overcome situational low self esteem with the application of cognitive therapy and family psychoeducation by using Roy’s adaptation model. cognitive therapy and family psychoeducation is done for 33 patients along with general therapy in Cempaka atas and Bedah class room at range of time 20 February - 20 April 2012. The results of cognitive therapy is effective in 33 patients showed able to overcome negative thoughts and increased ability to cope with situational low self esteem. Family psychoeducation also show effectivelly as much 33 care givers able to caring patients with situational low self esteem, anxiety management and management burden on the family. Based on the above results need to be recommended that cognitive therapy and family psychoeducation can be used as standard therapy of nursing specialist for patient and care giver with situational low self esteem and require to be socialized at all of health service.
Key Words : Cognitive therapy, Family psychoeducation, Situational low self-esteem
ii Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... ABSTRAK ................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
Hal i ii iii iv vi ix x xi xiii xiv
1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan ............................................................................................... 1.3 Manfaat ............................................................................................
1 1 10 11
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Konsep Harga Diri Rendah................................................................ 2.1.1 Definisi .................................................................................... 2.1.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Situasional ............................................................................... 2.1.3 Diagnosa Keperawatan.……................................................... 2.1.4 Intervensi Keperawatan pada Harga Diri Rendah Situasional……………………….............................. 2.2 Konsep Model Adaptasi Roy……………………….…………….. 2.2.1 Konsep Utama Model Adaptasi Roy..................................... 2.2.2 Empat Elemen Penting Model Adaptasi Roy……................. 2.2.3 Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy.……..... 2.3 Aplikasi Model Adaptasi Roy Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional ………..........................................
12 12 12
3. PROFIL RUMAH SAKIT RSUP PERSAHABATAN…………....... 3.1 Gambaran Umum RSUP Persahabatan………………………............ 3.2 Manajemen Praktek Keperawatan Profesional .................................. Di RSUP Persahabatan.......................................................................
13 28 29 37 37 40 43 44 48 48 53
4. MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL............... 63 4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional............................................................ 63 4.1.1 Pengkajian .................................................................................. 64 4.1.2 Rencana Tindakan Keperawatan…………………………………...74 x
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
4.1.3 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan ………………… 75 4.1.4 Evaluasi Hasil .............................................................................. 80 4.1.5 Kendala dan Rencana Tindak Lanjut .......................................... 85 4.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa Di RSUP Persahabatan........................................................................... 86 4.2.1 Pengkajian ………………………………………………………. 86 4.2.2 Perencanaan …………………………………………………….. 87 4.2.3 Pelaksanaan ……………………………………………………. 87 4.2.5 Evaluasi …………………………………………………………. 88 5. PEMBAHASAN ........................................................................................ 89 5.1 Karakteristik Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional ………… 89 5.1.1 Usia ............................................................................................. 89 5.1.2 Jenis Kelamin …………………………………………………. 90 5.1.3 Pendidikan .................................................................................. 91 5.1.4 Pekerjaan ………………………………………………….......... 92 5.1.5 Perkawinan.................................................................................... 93 5.1.6 Lama Rawat dan Frekuensi Masuk RS......................................... 94 5.2 Kondisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional……………………….. 96 5.3 Efektifitas Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah Situasional Yang Diberikan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga dengan Menggunakan Model Adaptasi Roy ………………………………………………….. 108 5.3 Implikasi Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga …....................... 113 6. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................……………… 117 6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 117 6.2 Saran ...................................................................................................... 119 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL Hal Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien dengan Harga Diri Rendah Situasional Berdasarkan Usia, Lama rawat dan Frekuensi Masuk RS di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………...... 64 Tabel 4.2 Karakteristik Pasien dengan Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………......
65
Tabel 4.3 Faktor Predisposisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………..
66
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional Berdasarkan Waktu dan Jumlah Stresor di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012……………………………….
67
Tabel 4.5 Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………
68
Tabel 4.6 Penilaian Stresor pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………. 69 Tabel 4.7 Sumber Koping pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……….. ……………………... 70 Tabel 4.8 Diagnosa Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………….. 71 Tabel 4.9 Distribusi Karakteristik Keluarga (care giver) Berdasarkan Usia di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………. 73 Tabel 4.10 Karakteristik Keluarga (care giver) Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………. xii
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
73
Tabel 4.11 Diagnosa Keperawatan Keluarga (care giver) Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 …………………………….
74
Tabel 4.12 Rencana Tindakan Keperawatan Sesuai Standar Asuhan Keperawatan (SAK) ……………………………………………… 75 Tabel 4.13 Tindakan Keperawatan Generalis Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 …………76 Tabel 4.14 Tindakan Keperawatan Generalis Keluarga Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………… 76 Tabel 4.15 Pelaksanaan Terapi Kognitif pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………… 77 Tabel 4.16 Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga pada Keluarga Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………………………... 78 Tabel 4.17 Jumlah Pasien dan Keluarga Berdasarkan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ……………………………...
81
Tabel 4.18 Evaluasi Pemberian Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga Terhadap Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………….....
82
Tabel 4.19 Evaluasi Kemampuan Kognitif dan Psikomotor Keluarga Setelah diberikan Psikoedukasi Keluarga di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode 20 Februari – 20 April 2012 ………………………….....
xiii
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
84
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 2.1 Rentang respon individu terhadap kehilangan ...........................
10
Gambar 2.2 Model adaptasi Roy................................................. …………..
40
Gambar 2.3 Kerangka konsep penerapan manajemen asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.......................... 47 Gambar 3.1 Struktur organisasi bidang pelayanan keperawatan RSUP Persahabatan ……………………………………………. 51
xiv
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 2 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Karaktersitik Keluarga Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012 Lampiran 3
Rekapitulasi Distribusi Hasil Pelaksanaan Terapi Spesialis Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 4 Rekapitulasi Distribusi Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012 Lampiran 5 Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Predisposisi dan Presipitasi pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012 Lampiran 6
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Penilaian Terhadap Stresor pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 7
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Sumber Koping pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Periode 20 Februari – 20 April 2012
Lampiran 8
Modul Terapi Kognitif
Lampiran 9
Modul Psikoedukasi Keluarga
xv
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kesehatan disamping pendidikan dan ekonomi. Kesehatan merupakan kondisi yang sangat diharapkan oleh seluruh manusia. Sesuai dengan Undang-Undang tentang kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi kesehatan yaitu keadaan keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.. Hal ini berarti kesehatan bersifat holistik (menyeluruh), individu dikatakan sehat apabila seluruh komponen dalam diri individu tersebut tidak mengalami gangguan baik psikis, psikologis maupun sosial. . Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, sosial dan perilaku (Videbeck, 2008). Individu yang sehat jiwa memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap stressor lingkungan internal atau eksternal, yang dipengaruhi oleh pikiran, perasaan dan perilaku sesuai dengan usia dan sejalan dengan norma-norma lokal dan budaya (Townsend, 2009). Dengan demikian kondisi sehat jiwa sangat dibutuhkan oleh setiap orang untuk menghasilkan manusia berkualitas. Berdasarkan data dari riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi nasional gangguan mental emosional atau gangguan jiwa ringan pada penduduk umur > 15 tahun adalah 11,6%. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur > 15 tahun di atas prevalensi nasional (14%), diantaranya Jawa Barat adalah propinsi yang mempunyai prevalensi tertinggi yaitu 20,0% dan DKI Jakarta menempati peringkat 5 (lima) besar yaitu sebesar 14,1%. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan jiwa ringan (masalah
1
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
2
psikososial) di DKI Jakarta merupakan masalah kesehatan yang serius dan harus mendapatkan penanganan yang tepat melalui program pelayanan masalah psikososial di tatanan rumah sakit umum maupun Puskesmas. Untuk prevalensi penyakit fisik berdasarkan data riset kesehatan dasar departemen kesehatan tahun 2007 diketahui prevalensi nasional untuk penyakit Hipertensi sebesar 7,2%, Stroke 8,3%, Jantung 7,2%, Diabetes Melitus 1,1% dan Tumor 4,3%. Untuk wilayah DKI Jakarta menunjukkan angka yang lebih besar dari angka prevalensi nasional yaitu Hipertensi 9,5%, Stroke 12,5%, Jantung 8,1%, Diabetes Melitus 2,6% dan Tumor 7,4%. Data tersebut menunjukkan bahwa prevalensi penyakit fisik di wilayah DKI Jakarta cukup besar, hal ini dapat menunjukkan kemungkinan bahwa masalah psikososial akibat penyakit fisik masyarakat DKI Jakarta juga semakin banyak. Sehingga sangat dibutuhkan intervensi psikososial terhadap pasien disamping intervensi berupa masalah fisik. Penelitian tentang hubungan depresi (gangguan mental emosional) dan gejala somatik yang dilakukan Simon (1999 dalam Granfa, 2007), menemukan sebanyak 69 persen pasien dengan masalah depresi mengeluhkan tentang penyakit fisik. Penyakit – penyakit fisik bersifat kronis yang sering diderita Pasien adalah Diabetes Melitus (DM), Hipertensi, Kanker, Tuberculosis dan Stroke seringkali mengakibatkan munculnya masalah psikososial yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, harga diri rendah, ketidakberdayaan dan keputusasaan (Keliat, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa terdapat keterkaitan antara penyakit fisik dengan masalah psikososial sehingga patut menjadi perhatian bagi perawat di RS umum untuk melakukan intervensi keperawatan yang bersifat holistik kepada pasien tersebut.
Pasien yang mengalami penyakit fisik akan tampak penurunan terhadap kondisi fisik, ketergantungan terhadap tinadakan medis yang mengakibatkan perubahan dalam kehidupan pasien. Sebagai contoh pada pasien yang
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3
memiliki penyakit diabetes melitus akan mengalami ketidakseimbangan insulin yang menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah yang akan menimbulkan
berbagai
macam
komplikasi
seperti
gangguan
pada
penglihatan, gangguan pada ginjal, impotensi, stroke, kerusakan jaringan pada kaki, kerusakan jaringan pada bagian tubuh lainnya, dan penyakit jantung (Smeltzer, dkk., 2008). Komplikasi yang dialami oleh pasien Diabetes mellitus akan mengganggu aktivitas sehari-hari dan hubungan pasien dengan orang lain sehingga penyakit diabetes melitus tidak hanya menyebabkan masalah fisik tetapi juga masalah psikososial. Selain itu pada pasien kanker payudara yang mengalami tindakan pengobatan berupa pengangkatan organ yaitu mastektomi akan mengalami perubahan pada gambaran diri atau citra tubuh yang dipersepsikan oleh pasien lebih besar dibandingkan oleh pasangan mereka (Hamid, 2002). Kondisi demikian dapat berpengaruh pada keseimbangan fisik, psikologis dan sosial, sehingga pasien akan sangat terganggu terhadap rasa percaya dirinya yang disebabkan oleh fungsi diri, gambaran diri, citra tubuh dan mengarah kepada penurunan harga diri. Masalah psikososial yang dialami pasien dengan penyakit fisik selain disebabkan oleh manifestasi klinis dan komplikasi dari penyakitnya juga disebabkan oleh dampak dari diagnosis dan terapi yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan gaya hidup pada pasien. Hal ini mempengaruhi kesehatan psikososial pasien yang dihubungkan dengan adanya ketakutan, depresi, kecemasan, ketergantungan,dan perasaan menjadi seseorang yang berbeda (Kyngas & Barlow, 1995 dalam Cavusaglu, 2001). Masalah psikososial yang terjadi pada pasien dengan penyakit fisik akan mempengaruhi kondisi fisik pasien sehingga dapat membuat penyakit fisik pasien bertambah parah, karena itu perlu perhatian khusus dari tenaga kesehatan terhadap kondisi psikososial pasien dengan penyakit fisik.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
4
Pada unit pelayanan umum
di rumah sakit tenaga kesehatan jarang
memperhatikan aspek psikologis dan sosial para pasien dengan penyakit fisik. Hasil pengalaman Penulis selama melakukan praktek residensi di rumah sakit umum didapatkan data bahwa penanganan pasien dengan penyakit fisik di rumah sakit lebih berfokus pada aspek fisik. Aspek psikososial pada pasien dengan penyakit fisik di rumah sakit belum tergali dan diintervensi dengan baik akibatnya dapat berdampak pada masalah psikososial pada pasien yang dapat berpengaruh pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dan mengakibatkan perburukan atau penurunan kondisi sakit pasien. Untuk mencapai kualitas pelayanan kepada pasien yang bersifat holistik diperlukan suatu proses asuhan keperawatan yang berlangsung secara sistematis dan berkesinambungan dengan menggunakan
manajemen
pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum atau Consultation Liaison Mental Health Nursing (CLMHN). Turnmore (1997, dalam Hardman, 1999) menjelaskan bahwa Liaison Nurse melibatkan penerapan keahlian dan pengetahuan perawat untuk merawat pasien dengan penyakit fisik dan keluhan psikologis di rumah sakit umum. Untuk itu Liaison nurse harus memiliki kecakapan dan kemampuan setara dengan perawat spesialis. Liaison nurse sebaiknya harus ada di setiap rumah sakit umum dan bekerja sama dengan perawat generalis dalam merawat pasien dengan penyakit fisik. Pengkajian keperawatan yang dilakukan oleh Liaison nurse berdasarkan atas konsep stres adaptasi. Pasien dengan penyakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum akan mengalami stres karena ketidakmampuan dalam menghadapi stressor yang berupa penyakit yang dialami, tindakan pengobatan dan lingkungan yang baru. Untuk dapat beradaptasi pasien harus memiliki kemampuan dalam menghadapi stressor yang dipengaruhi oleh kondisi pasien sebelum mengalami stresor (faktor predisposisi) dan kemampuan pasien dalam memecahkan masalah (sumber koping). Kedua hal ini menentukan mekanisme koping yang dipakai oleh pasien (Stuart, 2009).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
5
Hasil dari pengkajian tersebut menjadi dasar Liaison nurse untuk menegakkan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan psikososial yang dapat ditegakkan pada pasien dengan penyakit fisik antara lain ansietas, gangguan citra tubuh, harga diri rendah situasional, ketidakberdayaan dan keputusasaan (Stuart, 2009). Tanda gejala yang tampak pada pasien dengan diagnosa tersebut antara lain perasaan tidak berharga, tidak berdaya, malu dengan kondisi fisik saat ini, sehingga mengakibatkan munculnya persepsi negatif tentang harga dirinya sebagai respon terhadap situasi/ kondisi penyakitnya saat ini. Berdasarkan definisi tersebut maka diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut adalah harga diri rendah situasional (Herdman, 2012). Penelitian tentang pasien penyakit fisik yang mengalami masalah psikososial harga diri rendah dilakukan oleh Rochdiat (2011) yang menyatakan bahwa penderita diabetes mellitus yang menjalani rawat inap menunjukkan tanda dan gejala harga diri rendah Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan penyakit fisik dapat ditegakkan diagnosa psikososial yaitu harga diri rendah. Bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat dalam mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah dimulai dengan intervensi keperawatan generalis sampai dengan spesialis yang ditujukan untuk individu, keluarga dan kelompok (Stuart & Laraia, 2005). Intervensi keperawatan generalis bertujuan untuk membantu pasien mengenal kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki setelah adanya perubahan fisik akibat penyakit fisiknya. Sedangkan intervensi keperawatan spesialis diberikan bila intervensi generalis tidak mampu mengatasi masalah harga diri pasien. Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan pada pasien dengan harga diri rendah adalah Terapi Individu seperti terapi kognitif, terapi Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT);
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
6
Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi Logo (Logotheraphy); Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertiv Community Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007). Dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga merupakan terapi spesialis yang dapat ditujukan pada individu dan keluarga yang mengalami masalah harga diri rendah. Briere dan Scott (2006, dalam Wheeler, 2008) menyatakan bahwa terapi kognitif sangat membantu pada individu yang mempunyai pikiran harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, perasaan bersalah, malu, marah dan ketidakberdayaan. Berdasarkan pandangan teori ini, terapi kognitif sangat tepat untuk pasien dengan harga diri rendah situasional sehingga diharapkan pasien memiliki pola pikir yang positif dalam menerima dan beradaptasi dengan penyakitnya dan dapat mengatasi masalah harga diri rendah yang dialami serta meningkatkan kualitas hidupnya. Penelitian tentang pengaruh terapi kognitif terhadap penyakit fisik telah dilakukan oleh Rahayuningsih (2007) dalam penelitiannya pengaruh terapi kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian pasien dengan kanker payudara, didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan harga diri pasien setelah diberikan terapi kognitif. Kristyaningsih (2009) pada penelitiannya menunjukkan bahwa terapi kognitif dapat meningkatkan harga diri pasien gagal ginjal kronis yang mendapat terapi haemodialiasa di RSUP Fatmawati Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa terapi kognitif bermanfaat pada pasien dengan gangguan kesehatan fisik yang mengalami harga diri rendah dan dapat meningkatkan tingkat harga diri pasien. Keluarga merupakan orang yang terdekat dan selalu ada bersama dengan pasien. Keluarga merupakan support utama bagi penyembuhan dan pemulihan pasien yang memiliki masalah fisik dan psikososial. Pasien yang dirawat di rumah sakit tindakan generalis untuk keluarga pasien dengan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
7
masalah harga diri rendah dapat diberikan. Tetapi apabila tindakan generalis belum dapat mengoptimalkan kemampuan keluarga dalam memberikan perawatan dan menyelesaikan masalah keluarga, maka terapi spesialis dapat diberikan. Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk terapi spesialis dalam upaya meningkatkan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi terapeutik (Stuart & Laraia, 2005). Tujuan umum dari terapi psikoedukasi keluarga ini adalah untuk menurunkan tingkatan emosi keluarga sehingga pengetahuan keluarga tentang penyakit dapat meningkat dan mengajarkan keluarga bagaimana membantu dan melindungi keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan keluarga (Stuart & Laraia, 2005). Oleh karena itu melalui psikoedukasi keluarga diharapkan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan masalah psikososial dapat meningkatkan pengetahuannya tentang penyakit atau masalah kesehatan di keluarga, memiliki kemampuan dalam memberikan perawatan kepada diri sendiri dan anggota keluarganya dan peningkatan dukungan bagi anggota keluarga tersebut. Keefektifan pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini telah menunjukkan hasil dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang dialami keluarga. Penelitian Nurbani (2008) menyatakan bahwa psikoedukasi keluarga dapat menurunkan beban keluarga dalam merawat pasien dengan masalah penyakit fisik
(stroke),
penelitian
Sari
(2009)
menyatakan
bahwa
Family
Psychoeducation dapat menurunkan beban keluarga dan meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat pasien pasung. Penelitian Nauli (2011), logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga dapat
menurunkan
depresi,
harga
diri
rendah,
ketidakberdayaan,
keputusasaan, isolasi sosial dan peningkatan kemampuan memaknai hidup pada lansia. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan psikoedukasi keluarga sangat dibutuhkan dan berpengaruh bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa maupun masalah psikososial.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
8
Rumah Sakit Umum Persahabatan merupakan rumah sakit tipe A yang menjadi rujukan untuk penyakit pernafasan dan beberapa ruangan telah menerapkan manajemen pelayanan keperawatan profesional. Berdasarkan hasil pelaksanaan praktik klinik residensi 3 (tiga) selama 9 (sembilan) minggu di 13 (tigabelas) ruang rawat inap didapatkan kasus psikososial dari 460 pasien kelolaan yaitu ansietas sebanyak 460 orang (100%), gangguan citra tubuh 230 orang (50%), harga diri rendah situasional sebanyak 189 orang (41%), ketidakberdayaan sebanyak 161 orang (35%) dan keputusasaan sebanyak 161 orang (35%).
Diagnosa keperawatan harga diri rendah
situasional menempati urutan ketiga setelah ansietas dan gangguan citra tubuh. Penulis telah menerapkan Liaison nurse di Ruangan Cempaka Atas dan Bedah Kelas selama 9 (Sembilan) minggu. Ruang Cempaka atas merupakan ruang perawatan penyakit dalam kelas III dan ruang Bedah Kelas merupakan ruang perawatan bedah kelas III. Diagnosa medis dari 75 pasien yang dirawat oleh penulis sebagian besar adalah DM sebanyak 23 orang (30,6%), DM dan Hipertensi 18 orang (24%), Fraktur 8 orang (10,6%), kanker payudara 8 orang (10,6%), Dengue Haemorraghic Fever (DHF) sebanyak 10 orang (13,3%), Cerebral Vaskular Disease (CVD) dan Chronic Kidney Disease (CKD) masing-masing sebanyak 4 orang (5,3%). Untuk diagnosa keperawatan psikososial yang ditegakkan oleh penulis pada ke 75 pasien yang dirawat yaitu ansietas ringan-berat 75 pasien (100%) , gangguan citra tubuh sebanyak 58 pasien (77,33%), ketidakberdayaan 28 pasien atau 37,3%), penampilan peran tidak efektif 29 pasien ( 38,6 %), dan harga diri rendah situasional 33 pasien (44%). Dari gambaran praktik tersebut penulis sebagai perawat CLMHN melakukan terapi keperawatan generalis dan spesialis untuk mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
9
Harga diri rendah situasional merupakan persepsi negatif tentang harga dirinya sebagai respon terhadap situasi/ kondisi penyakitnya saat ini yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Roy menyatakan adaptasi adalah proses, hasil berfikir dan berperasaan seseorang sebagai individu dengan menggunakan kesadaran dan pilihan untuk melakukan integrasi dengan manusia dan lingkungan.(Roy, 2008). Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem yang dapat menyesuaikan diri (adaptive system), sehingga dapat menyesuaikan diri yang digambarkan secara holistik (bio, psiko, sosial) sebagai satu kesatuan yang memiliki Input (masukan), kontrol dan Feedback Processes serta output (keluaran/hasil). Proses kontrol adalah Mekanisme Koping yang dimanifestasikan dengan cara-cara penyesuaian diri. Manusia dalam menyesuaikan diri menggunakan aktivifitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara penyesuaian yaitu: fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi sehingga respon menjadi adaptif yang ditunjukkan dengan tidak mengalami harga diri rendah. Terapi keperawatan generalis dan spesialis berfungsi sebagai pertahanan terhadap koping pasien. Dalam pelaksanaanya terapi generalis dilakukan oleh penulis dengan bantuan perawat ruangan pada semua pasien yang terdiagnosa memiliki harga diri rendah situasional. Terapi keperawatan spesialis yang dilakukan oleh penulis pada pasien dengan harga diri rendah situasional antara lain terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Hasil dari terapi yang dilakukan pada pasien kelolaan menunjukkan bahwa tanda dan gejala harga diri rendah situasional pada pasien sebagian besar mengalami penurunan. Selain itu, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi harga diri rendah situasional mengalami peningkatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk melaporkan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
10
1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan umum Memberikan gambaran tentang hasil manajemen kasus harga diri rendah situasional dan kemampuan pasien serta keluarga (care giver) dalam mengatasi harga diri rendah situasional dengan penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga di ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan dengan pendekatan model adaptasi Roy. 1.2.2 Tujuan khusus 1.2.2.1 Diketahuinya karakteristik pasien harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan 1.2.2.2 Teridentifikasi masalah dan kebutuhan pada pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas 1.2.2.3 Tersusunnya rencana asuhan keperawatan untuk pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas 1.2.2.4 Terlaksananya asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas 1.2.2.5 Teridentifikasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas 1.2.2.6 Tersusunnya rencana tindak lanjut untuk asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional 1.2.2.7 Tersusunnya rekomendasi yang mengacu pada pelaksanaan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan pendekatan model adaptasi Roy pada keperawatan jiwa di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
11
1.3 Manfaat Karya Ilmiah Akhir 1.3.1. Bagi Pasien, Keluarga, Perawat dan Rumah sakit 1.3.1.1 Meningkatkan
kemampuan
pasien
dan
keluarga
dalam
mengatasi masalah harga diri rendah situasional 1.3.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan psikososial yang dilakukan perawat di unit pelayanan umum khususnya ruang rawat Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan 1.3.1.3 Meningkatkan pemahaman tentang manajemen ruang rawat terkait manajemen kasus keperawatan psikososial khususnya diagnosa harga diri rendah situasional di RSUP Persahabatan. 1.3.1.4 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan psikososial di unit pelayanan umum. 1.3.2 Bagi Riset Keperawatan 1.3.2.1 Karya ilmiah ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan riset keperawatan yang berkaitan dengan pelayanan asuhan keperawatan
jiwa
spesialis,
khususnya
pada
diagnosis
keperawatan harga diri rendah situasional dan terapi yang cocok untuk mengatasi masalah tersebut. 1.3.2.2 Karya ilmiah ini sebagai dasar pertimbangan dan pemikiran dalam mengembangkan lebih lanjut riset keperawatan tentang terapi spesialis pada pasien dengan penyakit fisik yang mengalami diagnosa psikososial lain yang dirawat di unit pelayanan umum.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas tentang konsep yang melandasi manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Pemahaman tentang konsep harga diri rendah dan penatalaksanaannya secara keperawatan, serta model adaptasi oleh Roy menjadi landasan asuhan keperawatan spesialis keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Berikut ini diuraikan berbagai konsep yang terkait. 2.1 Harga Diri Rendah 2.1.1 Defenisi Konsep diri adalah semua pikiran, dan keyakinan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya yang meliputi citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan identitas personal yang mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart, 2009). Sedangkan menurut Videbeck (2008), konsep diri adalah cara individu memandang dirinya dalam hal harga diri dan martabat. Dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu melihat dan mempersepsikan dirinya yang mempengaruhi individu tersebut dalam berhubungan dengan orang lain. Harga diri rendah merupakan komponen utama pada depresi yang ditunjukkan dengan sikap penolakan diri dan membenci diri (Stuart & Laraia, 2005). Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronis, tergantung dari lamanya penurunan harga diri tersebut dialami individu. Harga diri rendah situasional adalah evaluasi diri atau persepsi diri negatif tentang harga diri sebagai respon terhadap situasi saat ini (Herdman, 2012. Dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah adalah persepsi negatif individu terhadap dirinya baik dalam hal mengenal kemampuan atau aspek positif yang ada pada diri individu tersebut.
12 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
13
2.1.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Situasional Pada Pasien Penyakit Fisik Menurut (Stuart, 2009) harga diri rendah dapat terjadi secara situasional, yaitu terjadinya trauma secara tiba-tiba, misalnya harus operasi kecelakaan, dicerai suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja dan perasaan malu karena sesuatu terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba), dan secara kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri yang telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit atau dirawat. Perubahan komponen harga diri pada pasien dengan penyakit fisik yang terjadi secara tiba-tiba adalah harga diri rendah situasional. Karakteristik pasien yang mengalami harga diri rendah situasional adalah tidak mampu menghadapi kondisi penyakitnya, perasaan tidak berdaya, ekspresi tidak berguna, perilaku tidak asertif, bimbang dan secara verbal mengatakan diri negatif (Herdman, 2012). Pengkajian keperawatan oleh perawat CLMHN dengan menggunakan model Stres adaptasi Stuart dapat menggambarkan proses terjadinya harga diri rendah dengan mengkaji dari faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping dalam rentang adaptif sampai maladaptif. Uraian tersebut sebagai berikut: 2.1.2.1 Faktor Predisposisi Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi adalah faktor resiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber resiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Faktor ini meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya. a. Faktor Biologis Faktor predisposisi biologis meliputi riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas biologi, dan terpapar racun (Stuart & Laraia, 2005). Faktor biologis berupa riwayat genetik (keturunan) di dalam keluarga, seperti kelainan/cacat fisik bawaan, ukuran tubuh, penampilan, dan sebagainya (Driever, 1976 dalam Townsend, 2009). Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
14
Riwayat cedera/trauma yang menyebabkan kerusakan jaringan otak khususnya di daerah frontal, temporal dan limbik dapat menjadi faktor prediposisi terjadinya harga diri rendah. Faktor biologis terjadinya harga diri rendah situasional dapat berasal penyakit fisik yang menahun, riwayat perilaku kesehatan yang buruk, riwayat masuk rumah sakit berulang dan riwayat putus obat (Stuart, 2009). Semua hal tersebut dapat menyebabkan gangguan metabolisme dalam tingkat jaringan bahkan sampai ke dalam tingkatan sel tubuh manusia termasuk sel-sel saraf (Smeltzer dkk, 2008; Townsend, 2009). Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan pada lobus frontal dan sistem limbik. Kerusakan pada lobus frontal akan dapat menyebabkan gangguan berfikir dan ketidakmampuan dalam mengontrol emosi sehingga respon kognitif pasien yaitu menilai secara negatif tentang diri, orang lain dan lingkungan serta berperilaku yang maladaptif sebagai akibat cara berpikir yang negatif (Townsend, 2009). Semua hal tersebut merupakan tanda dan gejala dari harga diri rendah situasional. Kerusakan sistem limbik juga dapat terjadi akibat penyakit fisik yang dialami pasien. Kerusakan sistem limbik menimbulkan beberapa gejala klinik seperti hambatan emosi dan perubahan kepribadian (Kaplan, dkk., 2005). Selain itu adanya ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak (neurotransmiter)
seperti
serotonin,
norepineprin,
dopamin
dan
asetilkolin juga dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri rendah (Copel, 2007). Perilaku ini tampak jelas pada pasien harga diri rendah, dimana pada otak terjadi ketidakseimbangan neurotransmiter yaitu penurunan kadar serotonin yang akan menyebabkan gangguan kognitif yang dapat memunculkan distorsi kognitif atau pikiran negatif tentang diri sendiri. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan semangat untuk melakukan aktivitas dimana kedua hal tersebut dapat terlihat pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
15
. b.
Faktor psikologis Harga diri seseorang dapat berkembang kearah positif maupun negatif yang dipengaruhi oleh respon orang lain terhadap individu dan bagaimana individu tersebut mempersepsikan respon-respon tersebut (Driever, 1976 dalam Townsend, 2009). Menurut Stuart (2009) faktorfaktor psikologis yang dapat mempengaruhi harga diri, meliputi penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang,
kurang
memiliki
tanggung
jawab
personal,
ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis dan kehilangan. Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan ( Lambert & Lambert, 1985 dalam Viedebeck, 2008 ). Respon kehilangan dipengaruhi oleh respon individu terhadap kehilangan sebelumnya. Pasien dengan penyakit fisik biasanya mengalami kehilangan terkait dengan kehilangan aspek diri (biopsikososial) yang disebabkan karena kehilangan fungsi tubuh (biologis) yang berakibat pada kehilangan peran sosial (pekerjaan, kedudukan). Sehingga jika pasien tidak mampu beradaptasi terhadap proses kehilangan ini akan mengakibatkan munculnya masalah psikososial yaitu depresi. Dimana salah satu diagnosa keperawatan dari diagnosa medis depresi ini adalah harga diri rendah situasional maupun kronis, tergantung dari waktu dan lamanya individu tersebut mengalaminya. Respon individu yang sedang mengalami kehilangan akan mengalami proses berduka. Dengan memahami fenomena kehilangan yang pasien alami, perawat dapat meningkatkan ekspresi dan bersimpati atas masalah Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
16
emosional dan masalah penyakit fisik sehingga dapat mendukung proses berduka tersebut. berduka Berdasarkan hal tersebut maka dapat digambarkan rentang respon berduka terhadap kehilangan.
Fs.Marah Fs.Depresi :-------------------:---------------------:----------------------:-----------------------: Fs. Pengingkaran menerima
Fs.Tawar
Fs.Menerima
Gambar 2.1 Rentang Respon individu terhadap kehilangan ( Kubler-Rose, 1969 dalam Viedebeck 2008) Rentang respon berduka terhadap kehilangan terdiri dari: 1. Fase Pengingkaran Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan itu benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi, itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang di diagnose memiliki penyakit fisik atau terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam waktu beberapa menit atau beberapa tahun. 2. Fase Marah Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang pula dia menunjukkan prilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan dan menuduh dokter atau perawat tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
17
3. Fase Tawar Menawar Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara inensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohan kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa ditunda , maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan sebagai yang sering diucapkan adalah “kalau saja saya yang sakit, bukan anak saya”. 4. Fase Depresi Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadangkadang sebagai pasien yang sangat penurut; tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan , susah tidur, letih, dorongan libido menurun. 5. Fase Penerimaan Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kapada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti; “Saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang, tapi baju saya yang baru manis juga” atau “ Apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”. Apabila individu dapat memulai fase tersebut dan menerima dengan perasaan damai, maka individu tersebut akan dapat mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Akan tetapi apabila individu tersebut tidak dapat masuk ke fase damai atau menerima maka ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya. Apabila tahapan respon ini dapat diatasi sampai Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
18
dengan pasien bisa menerima kehilangan atau tahap penerimaan maka disfungsi berduka yang berkepanjangan mungkin tidak terjadi. Lamanya proses berduka sangat individual dan dapat terjadi sampai beberapa tahun lamanya. Fase akut berduka biasanya 6 – 8 minggu, dan penyelesaian respons kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun. c. Faktor sosial budaya Faktor predisposisi sosial budaya meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, status sosial, pengalaman sosial, latar belakang budaya, agama dan keyakinan, serta kondisi politik (Stuart & Laraia, 2005). Stuart (2009) menyatakan faktor lingkungan sosial dan budaya juga memegang peran dalam perkembangan harga diri seseorang. Individu yang mengalami harga diri rendah disebabkan karena ketidaksesuaian atau gangguan dalam penampilan peran, seperti tuntutan peran dalam pekerjaan, konflik peran, kondisi ekonomi dan sebagainya. Menurut Townsend (2009) harapan peran budaya, tekanan dari kelompok sebaya dan perubahan dalam struktur sosial juga merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga diri. Pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Stuart & Laraia, 2005). Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapi. Berdasarkan uraian diatas, maka pasien dengan penyakit fisik dapat memiliki kemungkinan faktor-faktor predisposisi tersebut. Faktor biologis, yaitu karena perubahan kondisi fisik akibat penyakit fisik, faktor psikologis dapat berupa kegagalan atau kehilangan yang dialami setelah adanya kelemahan fisik yang berupa ketidakmampuan melakukan pekerjaan seperti sebelumnya dan ketergantungan pada orang lain akibat perubahan kondisi fisiknya serta perubahan peran sosial. Faktor sosial budaya dapat berupa Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
19
perubahan penampilan peran, ketidakmampuan menjalankan peran, dan konflik peran dimana kesemuanya terjadi akibat dirawat (hospitalisasi), pengaruh sosial ekonomi khususnya masalah finansial dalam program pengobatan, juga dapat mengakibatkan pasien mengalami harga diri rendah. 2.1.2.2 Faktor Presipitasi Faktor presipitasi adalah stimulus (sressor) yang merubah atau menekan sehingga memunculkan gejala saat ini (Stuart & Laraia, 2005). Faktor ini meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, waktu stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang. Stresor pada orang yang dirawat didapat dari proses penyakit dan hospitalisasi (Cohen, 2000 dalam Stuart, 2009). Stresor presipitasi ini bisa saja telah dialami dalam waktu yang lama oleh pasien sehingga pasien kehilangan kemampuan untuk mengatasi faktor pencetus tersebut.
Stuart (2009) menyatakan bahwa stresor presipitasi atau faktor pencetus terjadinya harga diri rendah adalah trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan, dan ketegangan peran berhubungan dengan atau posisi yang diharapkan, dimana individu mengalaminya sebagai frustasi. Ada 3 jenis transisi peran yang dapat menyebabkan ketegangan peran (Stuart, 2009), yaitu transisi peran perkembangan, transisi peran situasi, dan transisi peran sehat – sakit. Faktor pencetus terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit fisik adalah karena ketegangan peran, yaitu transisi peran sehat sakit yang diakibatkan pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit yang dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh serta perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis dan keperawatan, sehingga pasien merasakan adanya kehilangan fungsi tubuh. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
20
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan faktor presipitasi munculnya harga diri rendah situasional pada pasien dengan penyakit fisik dapat perubahan kondisi tubuh akibat penyakit yang diderita dan prosedur medis yang dialami pasien sehubungan dengan penyakitnya yang ini merupakan bagian dari stresor biologis. Untuk stresor sosial yaitu karena hospitalisasi yang dapat mengakibatkan hubungan pasien dengan lingkungan menjadi terganggu selain itu biaya yang harus ditanggung pasien selama dirawat di rumah sakit, gangguan peran sedangkan stresor psikologis yang dapat muncul yaitu kesedihan ataupun kecemasan pasien menghadapi proses penyakit dan hubungan sosial yang terganggu. Stresorstresor tersebut membuat pasien merespon yang akhirnya memunculkan masalah keperawatan harga diri rendah. 2.1.2.3 Penilaian Stressor Penilaian terhadap stresor merupakan respon individu terhadap stresor presipitasi yang dihadapinya. Respon yang dilakukan individu dapat berupa respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku maupun sosial (Stuart, 2009). Setelah adanya stresor yang menjadi faktor presipitasi, individu akan melakukan penilaian dan mempersepsikan stresor sebagai suatu hal yang negatif yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah. Menurut Stuart (2009) perilaku yang tampak pada pasien dengan harga diri rendah adalah mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain maupun diri sendiri, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, pengurungan diri/menarik diri secara sosial, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas dan khawatir. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
21
Tanda dan gejala harga diri rendah menurut Townsend (2009); Herdman (2012); dan Stuart dan Laraia (2005) dapat diketahui dari respon individu dalam menghadapi stresor yang meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Berikut ini dijelaskan tanda dan gejala harga diri rendah secara rinci: a. Respon kognitif Penurunan neurotransmitter norepinefrin dan serotonin pada pasien dengan penyakit fisik juga mempengaruhi fungsi dari lobus frontal otak. Lobus frontal otak berfungsi untuk proses pikir seseorang (Stuart, 2009). Pada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional, perubahan proses pikir ditunjukkan dengan adanya distorsi kognitif seperti pikiran bahwa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan menilai diri negatif, ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan dan merasa tidak memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Stuart & Laraia, 2005) penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat pasien terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan. b. Respon afektif Peningkatan neurotransmitter asetilkolin mempengaruhi fungsi korteks serebral, sistem limbik dan basal ganglia (Fontaine, 2009). Perubahan fungsi sistem limbik menyebabkan pasien menunjukkan perubahan emosi seperti rasa malu, perasaan bersalah, sedih, bingung dan khawatir yang merupakan tanda dan gejala pasien harga diri rendah situasional. Tanda dan gejala afektif yang ditunjukkan pasien harga diri rendah meliputi merasa sedih, kurang motivasi, marah, kesal, cemas, dan ketidakberdayaan. Rasa sedih karena kehilangan terutama terhadap
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
22
sesuatu yang berarti dalam kehidupan sering kali menyebabkan seseorang menjadi takut untuk menghadapi kehilangan berikutnya. c. Respon fisiologis Respon fisik terhadap penurunan harga diri dapat ditunjukkan yaitu penurunan energi, lemah, agitasi, penurunan libido, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan, makan berlebihan, diare atau konstipasi, dan gangguan
tidur.
Ini
disebabkan
karena
terganggunya
fungsi
hipothalamus. Fungsi Hipothalamus berfungsi sebagai pengatur nafsu makan, siklus tidur istirahat, mood, motivasi, dan regulasi tanda vital dari seseorang (Stuart, 2009). Hipothalamus juga menstimulasi sistem saraf simpatik dan kelenjar pituitari yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan dan tekanan darah serta keluhan fisik. Semua tanda gejala tersebut tampak pada pasien harga diri rendah situasional. d. Respon perilaku Fungsi korteks serebral dan basal ganglia berfungsi dalam mengatur perilaku individu (Stuart, 2009). Peningkatan asetilkolin menyebabkan pasien mengalami mengalami perubahan perilaku yang ditunjukkan dengan perilaku seperti menangis, kontak mata kurang lebih banyak diam, penurunan aktivitas sehari-hari, kurang berpartisipasi dalam tindakan perawatan, mengkritik diri sendiri, merusak diri sendiri, bermusuhan dan penurunan perawatan diri/kebersihan diri.Semua tanda gejala tersebut terlihat jelas pada pasien harga diri rendah situasional. e. Respon sosial Respon sosial seseorang akibat paparan stressor dipengaruhi bagaimana individu memandang stressor itu sendiri. Apabila individu menilai secara kognitif bahwa stressor tersebut membahayakan atau mengancam maka akan muncul perilaku dengan kewaspadaan meningkat seperti reaksi Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
23
perilaku ansietas dan harga diri rendah. Respon sosial harga diri rendah menurut Stuart dan Laraia (2005), meliputi pasif, menyalahkan diri dan menarik diri. 2.1.2.4. Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah upaya sadar dari individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat paparan stressor. Untuk menetralisasi harga diri rendah seseorang mengembangkan pola koping. Penggunaan mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber stres, serta kemampuan seseorang dalam menghadapi realitas hidup, hubungan interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart & Laraia, 2005). Pada harga diri rendah Mekanisme koping yang biasa ditampilkan oleh pasien dengan masalah harga diri rendah adalah isolasi, regresi dan represi (Stuart & Laraia 2005). Respon pasien terhadap penyakit dan terapi dapat dipengaruhi oleh faktor personal, interpersonal dan budaya (Viedebeck, 2008). Mekanisme koping individu juga tergantung dari faktor tersebut. 1) faktor personal, termasuk usia, kesehatan fisik, keefektifan diri, Hardiness, Resilience dan Resourcefullness serta spiritualitas. Usia individu akan mempengaruhi bagaimana cara individu melakukan koping terhadap penyakit (Viedebeck, 2008). Usia dan perkembangan individu mempengaruhi cara individu tersebut mengekspresikan penyakitnya, jika individu tidak mampu beradaptasi terhadap respon penyakitnya dapat menimbulkan masalah psikososial pada diri individu tersebut seperti harga diri rendah, isolasi, ketidakberdayaan dan lain-lain. Kesehatan fisik berpengaruh terhadap cara individu berespon terhadap stres. Semakin sehat individu, semakin baik koping nya terhadap stres atau penyakit. Pada pasien dengan penyakit fisik akan mengalami status nutrisi yang buruk, kurang tidur sehingga dapat menghambat kemampuan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
24
individu melakukan koping. Jika koping individu buruk maka akan jatuh kepada masalah psikososial seperti harga diri rendah, isolasi, putus asa dan lain-lain. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu keefektifan diri, yang merupakan suatu keyakinan bahwa kemampuan dan upaya individu mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidup (Bandura, 1997 dalam Videbeck, 2008). Individu yang yakin bahwa tindakannya akan membuat suatu pengalaman dan perbedaan cenderung untuk mengambil tindakan. Individu yang memiliki keefektifan diri yang tinggi, mampu menetapkan tujuan pribadi, memiliki motivasi dan semangat akan melakukan koping secara efektif terhadap stres. Sebaliknya individu yang memiliki keefektifan diri yang rendah akan memperlihatkan semangat yang menurun, tidak memiliki motivasi, tidak dapat mengambil keputusan, ansietas, tidak percaya diri, depresi dan ini mengarahkan kepada harga diri rendah. Bandura (1997, dalam Viedebeck, 2008) menyatakan bahwa untuk dapat mengatasi hal tersebut diatas, maka upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan
keterampilan
pasien
daripada
berfokus
pada
penyelesaian masalah. Cara yang dapat dilakukan antara lain: memiliki kemampuan dalam mengatasi hambatan, mengajak individu untuk memiliki keyakinan pada diri sendiri, membangun kekuatan fisik dengan tidak berfokus terhadap sesuatu yang negatif tetapi memandang secara positif, untuk dapat mencapai hal demikian sangat efektif dan cocok terapi kognitif diberikan. Hardiness yaitu kemampuan individu untuk tahan terhadap penyakit ketika mengalami stres (Viedebeck, 2008). 3 (tiga) komponen dari Hardiness yaitu komitmen, kontrol dan tantangan. Tantangan disini maksudnya adalah kemampuan untuk mempersepsikan perubahan sebagai Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
25
hal yang menguntungkan, bukan peristiwa yang menyebabkan stres. Pada pasien dengan penyakit fisik beresiko untuk mengalami harga diri rendah situasional dan masalah psikososial karena pasien beranggapan bahwa penyakit merupakan sumber stres baginya, penyakit akan membuat perubahan pada dirinya sehingga Hardiness seseorang tersebut menjadi rendah. Resilience dan Resourcefullnes ini berhubungan erat dalam membantu individu melakukan koping terhadap stres dan meminimalkan efek penyakit. Resilience didefinisikan sebagai memiliki respon yang sehat terhadap lingkungan yang menimbulkan stres atau situasi yang beresiko (Hill, 1998 dalam Viedebeck, 2008). Konsep ini membantu dalam memahami alasan seseorang bereaksi terhadap peristiwa yang sedikit menimbulkan disertai gejala ansietas yang berat, sementara individu yang lain mungkin tidak mengalami distres walaupun dihadapkan dengan gangguan yang besar atau peristiwa yang menimbulkan stres. Berdasarkan hal tersebut seseorang dapat mengalami masalah psikososial tergantung dari kekuatan resilience nya. Di rumah sakit umum lingkungan dapat menjadi faktor pencetus dari masalah psikososial itu sendiri sehingga seseorang jatuh kepada harga diri rendah situasional misalnya lingkungan yang tidak kondusif dan terapeutik dan penggunaan komunikasi yang tidak terapeutik. Resourcefullnes adalah menggunakan kemampuan penyelesaian masalah dan meyakini bahwa individu dapat melakukan koping terhadap situasi yang tidak menguntungkan atau situasi baru. Resourcefullnes diperoleh melalui interaksi dengan orang lain dan terlihat dalam kemampuan individu melakukan aktivitas sehari-hari. Resourcefullnes dapat membantu mencegah depresi (Warheit, 1995 dalam Viedebeck 2008).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
26
Studi menunjukkan bahwa
pasien yang mengalami depresi mampu
menggunakan Resourcefullnes sebagai cara koping terhadap lingkungan yang menimbulkan stres (Zauszniewski,
1995
dan perasaan depresi
dalam
Viedebeck,
2008).
yang menyertai Contoh
dari
Resourcefullnes yaitu perilaku mencari bantuan kesehatan, mempelajari perawatan diri, memantau pikiran dan perasaan terhadap situasi yang menimbulkan stres dan mengambil tindakan untuk mengatasi lingkungan yang menimbulkan stres. Pada pasien penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional, pasien akan pasrah dengan kondisinya sehingga perilaku pasien sebaliknya yaitu tidak berdaya, sulit mengambil keputusan, menangis, malu karena tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan
karena
kondisi
fisiknya
sehingga
tidak
memiliki
resourcefullnes. Spiritualitas mencakup keberadaan individu dan keyakinannya tentang makna hidup dan tujuan hidup (Viedebeck, 2008). Penelitian telah menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan bantuan yang tulus bagi individu yang mengalami masalah penyakit fisik, psikososial maupun kejiwaan, yang berperan sebagai media koping utama dan merupakan sumber makna dan koherensi dalam hidup mereka atau membantu dalam menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993 dalam Viedebeck, 2008). Karena keyakinan dan spiritualitas membantu pasien dalam melakukan koping terhadap stres dan penyakit, perawat harus sangat peka terhadap keyakinan dan praktik spiritual pasien. Dengan menggabungkan praktik tersebut dalam perawatan pasien dapat membantu pasien melakukan koping terhadap penyakit dan menemukan makna serta tujuan dalam situasi tersebut. Faktor interpersonal yang mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit yaitu jaringan sosial, dukungan sosial dan dukungan keluarga (Viedebeck, 2008). Jaringan sosial merupakan kelompok individu yang dikenal oleh Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
27
individu dan memiliki hubungan dengan kelompok tersebut. Penelitian menyebutkan bahwa memiliki jaingan sosial dapat membantu mengurangi stres dan menghilangkan penyakit (Bisconti & Boergeman, 1999 dalam Viedebeck, 2008) dan dapat memiliki pengaruh positif yang kuat pada kemampuan individu melakukan koping serta beradaptasi (Buchanan, 1995 dalam Viedebec, 2008). Jadi adanya jaringan sosial sangat penting bagi pasien yang mengalami penyakit fisik. Sedangkan dukungan sosial merupakan dukungan emosional yang berasal dari teman, anggota keluarga bahkan pemberi perawatan. Individu yang mendapat dukungan emosional dan fungsional terbukti lebih sehat daripada individu yang tidak mendapat dukungan (Buchanan, 1995 dalam Viedebeck, 2008). Berdasarkan definisi tersebut penting dukungan sosial bagi pasien yang mengalami penyakit fisik agar pasien tidak merasa sendiri, merasa ada yang memperhatikan secara emocional dan fungsional sehingga proses penyembuhan akan semakin cepat. Faktor yang terakhir yaitu budaya, asuhan keperawatan yang kompeten secara budaya berarti peka terhadap isu yang terkait dengan budaya, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kelas sosial, situasi ekonomi dan faktor lain (Lipson et al, 1996 dalam Viedebeck, 2008). Perawat harus mempelajari dan mengetahui budaya dan terampil dalam memberikan perawatan kepada pasien dari latar belakang budaya yang berbeda agar dapat memberikan perawatan yang holistik dan berarti bagi pasien. 2.1.2.5
Sumber koping Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan, teknik pertahanan diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Pengetahuan dan kemampuan akan memampukan seseorang dalam Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
28
melihat masalahnya dari sudut pandang yang berbeda sehingga mampu mencari solusi yang tepat. Aset ekonomi terkait dengan uang dan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seeorang untuk mengatasi masalahnya, sedangkan dukungan sosial memfasilitasi pemecahan masalah dengan melibatkan orang terdekatnya. Dukungan sosial yang harus dimiliki oleh pasien adalah memiliki care giver utama, care giver merupakan salah satu anggota keluarga inti pasien, care giver mengetahui cara merawat pasien, care giver mampu melakukan cara perawatan pasien. Aset materi yang bisa digunakan sumber koping oleh pasien harga diri rendah situasional. Kemampuan personal yang harus dimiliki oleh pasien untuk mengatasi harga diri rendah situasionalnya adalah kemampuan mengidentifikasi aspek positif yang dimiliki dan memilih aspek positif yang bisa dilatih, mampu melatih aspek positif tersebut. Selain itu, pasien juga harus mampu mengidentifikasi pikiran negatif yang muncul dan pasien mampu melawan pikiran negatif dengan pikiran rasional. Kemampuan tersebut dapat digunakan oleh pasien untuk mengatasi rasa rendah dirinya sehubungan dengan penyakit fisik yang diderita. Sumber koping yang terakhir adalah keyakinan diri yang positif sehingga dapat meningkatkan harapan dan mempertahankan usaha seseorang untuk melakukan koping atau pemecahan masalah (Stuart, 2009). 2.1.3 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang terkait untuk masalah keperawatan ini adalah harga diri rendah situasional (Herdman, 2012). Diagnosa banding yang terkait adalah gangguan penyesuaian diri, gangguan citra tubuh, ketidakefektifan koping individu, gangguan identitas diri, gangguan harga diri dan harga diri rendah situasional.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
29
2.1.4 Intervensi Keperawatan pada Diagnosa Harga Diri Rendah Situasional Masalah harga diri rendah situasional merupakan masalah psikososial terbanyak di unit pelayanan umum disamping ansietas dan gangguan citra tubuh. Jika masalah psikososial ini tidak mendapat perhatian secara serius maka masalah psikososial akan berkembang menjadi masalah gangguan jiwa serius. Disamping itu dengan banyaknya masalah psikososial di masyarakat dipastikan mengganggu produktifitas mereka sesuai perannya masing-masing. Intervensi keperawatan adalah serangkaian tindakan keperawatan yang ditujukan untuk mengatasi masalah atau diagnosa keperawatan. Intervensi keperawatan untuk mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah berupa membantu pasien memeriksa penilaian kognitif dirinya terhadap situasi yang berhubungan dengan perasaan untuk membantu pasien dalam meningkatkan penghayatan diri dan kemudian melakukan tindakan untuk mengubah perilaku (Townsend, 2003). Pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah berupa meluaskan kesadaran diri, eksplorasi diri, evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005). Intervensi keperawatan spesialis pada pasien dengan perilaku harga diri rendah tertuju pada individu, kelompok, keluarga dan masyarakat (Boyd & Nihart, 1998). Intervensi keperawatan spesialis yang dapat diberikan meliputi Terapi Individu seperti terapi kognitif, terapi Perilaku, dan terapi Kognitif – Perilaku (Cognitive Behaviour Therapy/CBT); Terapi Kelompok, seperti terapi Suportif dan terapi Logo (Logotheraphy); Terapi Keluarga, berupa terapi Psikoedukasi Keluarga; dan terapi Komunitas, berupa terapi Asertif Komunitas atau Assertif Community Therapy (ACT) (Stuart & Laraia, 2005; Frisch & Frisch, 2006; Copel, 2007). Berdasarkan hasil Workshop Keperawatan Jiwa (2011), intervensi keperawatan pada pasien harga diri rendah meliputi psikoterapi secara individu (terapi kognitif, terapi perilaku, dan Cognitive Behaviour Therapy); terapi kelompok (terapi Suportif,
psikoedukasi
kelompok,
dan
Logotherapy);
terapi
keluarga
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
30
(Psikoedukasi Keluarga); dan terapi komunitas (Assertif Community Therapy). Pada tulisan ilmiah ini, terapi spesialis yang akan dijelaskan adalah terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. Kedua terapi ini yang akan difokuskan untuk dibahas pada manajemen keperawatan spesialis jiwa pada pasien dengan harga diri rendah situasional, walaupun pada pelaksanaannya tidak hanya kedua terapi ini yang diterapkan pada pasien dengan harga diri rendah situasional. Alasan memilih kedua terapi ini adalah terapi kognitif berguna untuk pasien dalam mengubah pikiran negatif menjadi positif dan rasional sehingga dapat berperilaku adaptif, sedangkan psikoedukasi keluarga diharapkan keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan masalah psikososial dapat meningkatkan pengetahuannya tentang penyakit atau masalah kesehatan di keluarga, memiliki kemampuan dalam memberikan perawatan kepada diri sendiri dan anggota keluarganya dan peningkatan dukungan bagi anggota keluarga tersebut. 2.1.4.1 Terapi Kognitif (Cognitive Therapy) a. Pengertian Terapi kognitif merupakan jenis psikoterapi yang dilakukan berdasarkan proses patologi gangguan mental, berfokus pada memodifikasi distorsi kognitif dan perilaku maladaptif (Townsend, 2009). Jadi terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif dengan pikiran positif. Menurut Granfa (2007) terapi kognitif adalah suatu proses mengidentifikasi atau mengenali pikiran-pikiran yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap. Bantuan seorang terapis yang terlatih sangat diperlukan, sehingga terapi kognitif dapat menjadi suatu terapi yang dapat membantu pasien dengan harga diri rendah menghentikan pola pikiran negatif, mengubah cara berfikir yang negatif akibat pengalaman kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
31
b.Tujuan Tujuan terapi kognitif adalah mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui
penyebab
perasaan
negatif
yang
dirasakan,
membantu
mengendalikan diri, serta perkembangan pribadi (Burn, 1998). Menurut Stuart dan Laraia (2005); Townsend (2009) terapi kognitif difokuskan untuk mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan (anggapan) yang tidak logis, penalaran salah, dan pernyataan negatif yang mendasari permasalahan perilaku. Copel (2007) menyatakan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal. Sementara itu menurut Frisch dan Frisch (2006) terapi kognitif berfokus pada bagaimana cara mengidentifikasi dan memperbaiki persepsi-persepsi pasien yang bias yang terdapat dalam pikirannya. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran tidak logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif, obyektif, dan masuk akal (rasional). c. Indikasi Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah untuk pengontrolan marah dan pengguna obat (Beck et al. 1979 dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat bermanfaat pada pasien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti pada pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al. 1993 dalam Boyd & Nihart, 1998). Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan, tidak mampu berkonsentrasi atau membuat keputusan, merasa sedih, tidak berharga atau sangat bersalah. Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
32
adalah harga diri rendah (Herdman, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif dapat diberikan pada pasien dengan diagnosis keperawatan harga diri rendah situasional. d. Teknik Pelaksanaan Terapi Kognitif Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam proses pelaksanaan terapi kognitif, terapis membantu pasien untuk melakukan restrukturisasi kognitif, sebagai berikut : a.
Memonitor pikiran dan perasaan menggunakan format tertentu. Format terdiri dari 5 kotak, yaitu: situasi, emosional, pikiran otomatis, respon rasional dan hasil yang diharapkan
b.
Menanyakan pertanyaan yang terkait dengan suatu peristiwa
c.
Mengeksplorasi alternatif berdasarkan kekuatan dan sumber koping pasien
d.
Decatastrophizing atau juga tehnik “bagaimana jika” akan membantu pasien untuk mengevaluasi situasi yang ada. Pertanyaan perawat: “ apa hal terburuk yang akan terjadi?”. “ bagaimana orang lain mengatasi situasi seperti itu?”
e.
Reframing, yaitu strategi untuk memodifikasi atau merubah persepsi pasien dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang berbeda. Menurut Wright dan Beck (1994, dalam Townsend 2009) fokus terapi kognitif adalah respon-respon emosi yang ditimbulkan oleh adanya pemikiran-pemikiran seseorang terhadap situasi dan kondisi lingkungannya. Oleh sebab itu, konsep dasar terapi kognitif adalah pikiran otomatis dan skema kepercayaaan atau perasaan yang mendasari timbulnya pikiran otomatis tersebut. Pikiran otomatis adalah hal-hal yang timbul dengan cepat sebagai respon terhadap situasi dan tanpa adanya proses analisa yang rasional. Menurut Burns (1988) berbagai bentuk pikiran otomatis yang dapat mengganggu Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
33
pikiran seseorang seperti pemikiran segalanya atau tidak sama sekali, terlalu menggeneralisasi, mendiskualifikasikan yang positif, filter mental, loncatan kesimpulan
(membaca
pikiran
dan
kesalahan
peramal),
pembesaran/pengecilan, penalaran emosional, pernyataan harus, memberi cap atau salah memberi cap, dan personalisasi. Pelaksanaan terapi kognitif dapat dilakukan 30 – 45 menit dalam satu kali pertemuan. Satu kali pertemuan dapat terdiri atas beberapa sesi. Berdasarkan hasil Workshop Keperawatan Jiwa (Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011), terapi kognitif dapat dilakukan dalam empat kali pertemuan (sesi) yaitu : Pertemuan pertama, merupakan pelaksanaan untuk sesi 1 dan 2 yaitu mengungkapkan/ mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan alasan penggunan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, yang bertujuan agar pasien mampu mengungkapkan pikiran otomatis pada perawat dan penyebab timbulnya pikiran otomatis. Pertemuan kedua, merupakan pelaksanaan untuk sesi 3 dan 4 yaitu manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative dan support system. Pertemuan ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan pasien dalam
memberi tanggapan positif terhadap pikiran negatif serta support system untuk mendukung pasien pasien dalam mempertahankan pikiran positifnya serta meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien. 2.1.4.2 Psikoedukasi Keluarga a. Pengertian Individu dengan masalah psikososial membutuhkan
anggota keluarga
sebagai sumber dukungan utama yang memberikan dorongan kepada pasien untuk meningkatkan status kesehatan dan kesembuhan pasien. Family Psychoeducation therapy merupakan salah satu program perawatan kesehatan jiwa yang melibatkan keluarga melalui pemberian informasi dan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
34
edukasi
yang
menggunakan
komunikasi
yang
terapeutik
dalam
penyampaiannya. Psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005). Melalui psikoedukasi keluarga, tenaga keperawatan jiwa professional bekerjasama dengan keluarga memberikan pelatihan dan pengajaran serta kepada intervensi atau perawatan keluarga kepada anggota keluarga yang mengalami gejala kejiwaan ataupun masalah psikososial.
Berdasarkan
atas
definisi
tersebut
maka
jelas
bahwa
psikoedukasi merupakan salah satu jenis terapi keluarga yang dapat memberikan informasi, edukasi serta cara perawatan kepada keluarga tentang kondisi/ masalah anggota keluarga yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa. b. Tujuan Psikoedukasi Keluarga Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006). Berdasarkan definisi tersebut bahwa psikoedukasi keluarga merupakan suatu terapi yang melibatkan pasien dan anggota keluarga untuk memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang lain dalam mengurangi beban keluarga (fisik, mental dan finansial) akibat merawat pasien yang mengalami gangguan jiwa dan masalah psikososial. Psikoedukasi keluarga memberikan informasi, pengetahuan dan mengajarkan keluarga tentang manajemen stress keluarga yang mengalami distress sehingga keluarga memahami dan mampu menggunakan koping dalam penyelesaian masalah yang terjadi (Goldenberg & Goldengerg, 2004). Psikoedukasi keluarga memberikan pengetahuan dan berbagi pengalaman dalam merawat anggota keluarga yang sakit. Kegiatan yang dilakukan pada psikoedukasi keluarga berakibat terhadap peningkatan pengetahuan, tindakan dan perilaku yang didukung juga oleh kekuatan, dorongan melalui diskusi. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
35
Pada pasien yang mengalami depresi dukungan keluarga (khususnya dukungan pasangan merupakan komponen penting dalam pengobatan depresi (Miklowitz, 2008; Cordova & Gee, 2001 dalam Petterson et al, 2009). Penelitian lain menyatakan bahwa perkawinan dan terapi keluarga efektif untuk mengatasi pasien depresi ringan yang dikombinasikan dengan pengobatan farmakoterapi atau pun terapi individu (Prince & Jacobson, 1995 dalam Petterson et al, 2009). Berdasarkan atas kedua penelitian tersebut maka psikoedukasi keluarga efektif digunakan untuk mengatasi pasien depresi salah satu diagnosis keperawatan dari depresi tersebut adalah harga diri rendah. Selain pada pasien dengan gangguan jiwa psikoedukasi keluarga juga dilakukan pada keluarga yang anggota keluarganya dengan penyakit fisik (stroke). Penelitian ini dilakukan oleh Nurbani (2009) bahwa psikoedukasi keluarga dapat menurunkan ansietas pada keluarga. Penelitian lainnya oleh Sari (2009) Family Psychoeducation dapat menurunkan beban keluarga secara bermakna dan meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat pasien pasung. Penelitian Nauli (2011) bahwa logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga dapat menurunkan depresi dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial pada lansia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka psikoedukasi keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami masalah psikososial karena kondisi penyakit fisik. Padahal kita ketahui keluarga akan mengalami masalah psikososial akibat dari adanya anggota keluarga yang mengalami sakit fisik, baik karena penyakit maupun lamanya masa perawatan. Untuk itu perlu penanganan masalah terhadap psikososial yang dialami oleh keluarga yang anggotanya mengalami sakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
36
c. Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga Psikoedukasi Keluarga yang dilakukan dengan anggota keluarga (care giver) yang anggota keluarganya mengalami penyakit fisik. Terapis bertemu dengan care giver dan menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik. Adapun proses kerja untuk melakukan psikoedukasi pada keluarga adalah : (Nurbani, 2009) a. Persiapan 1. Identifikasi dan seleksi keluarga (care giver) yang membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan 2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga 3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan anggota keluarga (care giver) yang mengikuti keseluruhan pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal serumah dan yang merawat pasien yang sakit. b. Pelaksanaan Psikoedukasi pada anggota keluarga (care giver) dengan penyakit fisik ini dilakukan pada 5 sesi, masing-masing sesi dapat dilakukan selama 3045 menit tergantung kesepakatan dengan anggota keluarga (care giver) atau bisa juga dilakukan dalam satu kali pertemuan terdiri atas beberapa sesi. Masing-masing sesi dari psikoedukasi keluarga yaitu : Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik) Sesi 2 : Perawatan pasien dengan penyakit fisik dan masalah psikososial yang dialami yaitu harga diri rendah yang tediri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik dan masalah psikososial harga diri rendah.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
37
Sesi 3 : Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas. Sesi 4 : Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara mengatasi beban. Sesi 5 :Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran anggota keluarga dalam merawat pasien dan hambatan yang akan ditemui. 2.2 Konsep Model Adaptasi oleh Sister Callista Roy Konsep model adaptasi Roy ini berkembang dari teori adaptasi oleh Helson (Tomey & Alligood, 2006). Menurut Roy (1984 dalam Tomey & Alligood, 2006) stimulus adalah segala sesuatu yang akan mendorong timbulnya respon. Roy membagi tingkatan adaptasi berdasarkan efek yang ditimbulkan dari stimulus-stimulus, yaitu 1) Fokal stimulus, semua stimulus yang langsung menyerang individu. 2) kontekstual stimulus, semua stimulus yang ada pada saat itu, yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal, 3) residual stimulus, faktor lingkungan yang memberi efek terhadap situasi tertentu. Level adaptasi menggambarkan kondisi proses kehidupan dalam tiga tingkatan, yaitu integrated, compensatoy dan compromised. 2.2.1 Konsep utama model adaptasi Roy Menurut Roy (2008), dalam asuhan keperawatan sebagai penerima asuhan keperawatan
adalah individu, keluarga, kelompok , dan masyarakat yang
dipandang sebagai
”Holistic adaptif system” dalam segala aspek yang
merupakan satu kesatuan. Sistem adalah satu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol, dan umpan balik (Roy, 2008). Tingkat adaptasi individu merupakan kemampuan individu untuk bereaksi terhadap perubahan lingkungan dalam hal yang positif. Roy juga menjelaskan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
38
ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Terakhir adalah respon adaptif, dimana respon ini merupakan hasil dari proses adaptasi. Hasil bisa berupa respon adaptif, dan jika perilaku yang ditampilkan tidak menggambarkan integritas disebut dengan respon yang inefektif (Roy, 2008). Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input, proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia meliputi stimulus yang diterima individu dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri (Roy, 2008). Stimulus internal adalah proses mental dalam tubuh manusia berupa pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian dan proses stressor biologis yang berasal dari tubuh individu. Stimulus eksternal dapat berupa fisik, kimiawi maupun psikologis yang diterima individu sebagai ancaman. Stimulus ada 3 (tiga) jenis yaitu stimulus stimulus fokal (stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang), stimulus kontekstual stimulus lain yang mempengaruhi situasi) dan stimulus residual (factor internal dan eksternal yang relevan dengan situasi yang ada tetapi sulit diobservasi). Proses control seseorang adalah bentuk mekanisme koping yang digunakan. Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2006). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Tomey & Alligood, 2006). Mekanisme koping regulator lebih cenderung
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
39
untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi. Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai mode adaptif, yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan dengan menganalisa dan mengelompokkan perilaku pasien, digambarkan sebagai suatu sistem yang berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini bisa diamati dalam keempat model adaptif tersebut. (Roy, 2008). Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja (regulator dan kognator) sehingga mempengaruhi mode adaptif individu tersebut. perilaku yang muncul adalah hasil proses mekanisme koping terhadap mode adaptif yang terganggu akibat stimulus yang muncul. Efektor, Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yang terdiri atas empat model adaptif yaitu model fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi meliputi fungsi dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan perlindungan. Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya integritas fisiologis (Tomey & Alligood, 2006). Berdasarkan model fisiologis ini, semua hal yang berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk mencapai suatu kondisi yang adaptif. Model selanjutnya adalah konsep diri, yang berhubungan dengan psikososial dengan penekanan khusus pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Menurut Roy (2008) terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu: 1) The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran dirinya. Gangguan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan seperti setelah operasi, amputasi dll. 2) the personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral, etik dan spiritual Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
40
seseorang. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau rasa takut merupakan masalah dalam area ini. Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Model yang terakhir adalah model interdependensi atau saling ketergantungan. Fokusnya adalah interaksi untuk saling member dan menerima, kasih saying, perhatian, dan saling menghargai. Dijelaskan juga sebagai keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, sedangkan kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model atau beberapa model bisa terganggu pada saat yang bersamaan. Hasilnya akan terlihat pada output. Pada output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Roy, 2008). Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali. Berikut adalah gambar model adaptasi Roy yang djelaskan sebelumnya: input
Stimulus level adaptasi
Proses kontrol
Efektor
Mekanisme koping : Regulator Cognator
Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi
Output Respon adaptif
Respon inefektif
Umpan balik
Gambar 2.2 Model adaptasi Roy (Tomey & Alligood, 2006) Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
41
2.2.2 Empat elemen penting dalam teori adaptasi Roy Roy menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori adaptasi, yaitu individu, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. 2.2.2.1 Keperawatan Keperawatan menurut Roy adalah sebagai proses interpersonal yang diawali karena adanya maladaptasi terhadap perubahan lingkungan. Roy mendefenisikan keperawatan sebagai ilmu dan suatu disiplin praktik, dikatakan ilmu karena keperawatan menggunakan ilmu pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seseorang. Sedangkan sebagai disiplin praktik, keperawatan mengobservasi, mengklasifikasi dan mengikuti proses dimana status keperawatan pasien dipengaruhi ke arah positif. Keperawatan dijelaskan juga terdiri dari tujuan keperawatan (goal of nursing) dan aktivitas keperawatan (nursing
activities). Secara umum tujuan
keperawatan adalah
meningkatkan interaksi seseorang terhadap lingkungannya sehingga meningkatkan kemampuan seseorang terhadap empat jenis adaptasi yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Tindakan
keperawatan
diarahkan
untuk
mengurangi
atau
menghilangkan dan meningkatkan adaptasi manusia. Maka menurut teori Roy keperawatan merupaka disiplin humanistik yang memberikan penekanan pada kemampuan seseorang untuk mengatasi masalahnya. Peran perawat adalah memfasilitasi potensi pasien untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi perubahan dalam diri pasien. 2.2.2.2 Manusia Roy menggambarkan manusia sebagai model yang adaptif. Sebagai suatu model yang adaptif, manusia adalah suatu keseluruhan dengan bagian-bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
42
tujuan (Tomey & Alligood, 2006). Defenisi lain menyebutkan bahwa manusia adalah suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang bertukar energi dan masalah dengan lingkungan. Jadi manusia adalah suatu sistem yang terdiri dari input, kontrol dan umpan balik dan output yang terbuka dan adaptif yang berinteraksi dengan lingkungannya. 2.2.2.3 Lingkungan Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan sekitar individu. Lingkungan merupakan input untuk individu sebagai system yang adaptif, dan lingkungan bisa juga sebagai stimulus baik internal maupun eksternal. Stimulus ini yang nantinya bisa dikelompokkan menjadi stimulus fokal, kontekstual dan residual. Sehingga defenisi akhir dari lingkungan adalah semua kondisi, situasi dan pengaruh lingkungan dan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari individu atau kelompok (Roy, 2008). Perubahan lingkungan akan mendorong individu untuk berespon untuk mencapai kondisi yang adaptif. 2.2.2.4 Kesehatan Menurut Roy (2008) sehat adalah suatu kondisi dalam upaya beradaptasi yang dimanifestasikan dengan bertambah meningkatnya status kesehatan seseorang dari berbagai stimulus yang ada,
yang
berproses secara kontinyu dan terintegrasi. Sehat juga merupakan suatu kondisi dan proses dalam upaya menjadikan dirinya terintegrasi secara keseluruhan. Integritas dari individu ditunjukkan dengan kemampuan individu untuk memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan, reproduksi, dan menjadikan manusia berkualitas. Kemampuan untuk beradaptasi digambarkan oleh Roy (2008) sebagai suatu kemampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan fisiologis, perkembangan konsep diri yang positif, peran sosial dan keseimbangan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
43
antara kemandirian dan ketergantungan. Sedangkan manusia yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan internal maupun eksternal dikatakan berada pada status kesehatan yang rendah atau sakit, serta membutuhkan asuhan keperawatan. 2.2.3 Proses keperawatan menurut model adaptasi Roy Proses keperawatan adalah suatu format umum yang digunakan dalam keperawatan dengan memakai pendekatan penyelesaian masalah. Proses keperawatan tersebut terdiri atas 6 langkah, yaitu (1) Pengkajian perilaku yang dimanifestasikan dari empat model adaptif, (2) Pengkajian factor yang berpengaruh berupa stimulus, yang kemudian dikategorikan sebagai stimulus fokal, kontekstual dan residual, (3) diagnosis keperawatan berdasarkan kondisi adaptif individu, (4) menetapkan tujuan untuk meningkatkan adaptasi, (5)
implementasi
yang
bertujuan
untuk
mengatur
stimulus
untuk
meningkatkan adaptasi, (6) mengevaluasi apakah kondisi adaptiif yang menjadi tujuan sudah tercapai (Meleis, 2007; Tomey & Alligood, 2006). Intervensi keperawatan yang diberikan berupa tindakan untuk merubah, meningkatkan, menurunkan, menghilangkan atau mempertahankan stimulus yang ada (Tomey & Alligood, 2006). Diharapkan dengan adanya tindakan terhadap stimulus, perilaku yang tidak efektif berubah atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah meningkat, sehingga derajat adaptasi bisa tercapai. Setelah dilakukan intervensi keperawatan, perilaku yang timbul dievaluasi dan pendekatan keperawatan dimodifikasi jika diperlukan. Jadi model adaptasi Roy berguna untuk meminimalkan stimulus yang negative dan meningkatkan perilaku yang positif.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
44
2.3 Aplikasi model adaptasi Roy Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan harga diri rendah situasional ini akan dijelaskan dengan memasukkan variable-variabel yang berkontribusi terhadap timbulnya harga diri rendah situasional pada model adaptasi Roy. Berdasarkan model Roy, ada tiga stimulus yang akan muncul dalam kehidupan, yaitu : 2.3.1 Stimulus fokal, yaitu stimulus yang langsung menyerang individu, internal atau eksternal. Pada harga diri rendah situasional yang termasuk stimulus fokal adalah segala sesuatu atau stressor yang datang dari luar atau dari dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya harga diri rendah situasional. Dalam hal ini bisa merupakan faktor presipitasi timbulnya harga diri rendah situasional, baik dari aspek biologis, psikologis maupun sosial kultural. Stimulus fokal pada tulisan ini yaitu, penyakit fisik yang dialami pasien. Respon-respon yang muncul pada pasien harga diri rendah situasional dapat berupa respon kognitif, respon afektif, respon perilaku, dan respon sosial. Respon kognitif, yaitu perasaan dan pikiran negatif, penolakan diri,merasa orang lain tidak bisa menerima dirinya, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Respon afektif, yaitu sedih, kurang motivasi, kesal, marah, cemas dan perasaan tidak berdaya. Respon perilaku, yaitu mengkritik diri sendiri, menunda keputusan, hubungan yang buruk, bermusuhan, motivasi menurun dan penurunan perawatan diri. Respon sosial, yaitu menyalahkan diri sendiri, bersikap pasif, dan menarik diri. 2.3.2
Stimulus kontekstual, yaitu stimulus yang berasal dari internal atau eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Pada harga diri rendah situasional stimulus kontekstual ini bisa berupa faktor presdisposisi. Stimulus kontekstual pada tulisan ini meliputi karakteristik pasien, yaitu usia, jenis
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
45
kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, jenis pembayaran, frekuensi masuk rumah sakit dan lama mengalami sakit. 2.3.3
Stimulus residual, yaitu faktor lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh pada kondisi pasien tapi sulit untuk diukur. Pada harga diri rendah situasional yang termasuk pada stimulus ini adalah karakteristik keluarga, nilai, norma yang berlaku, kepercayaan, sifat dan sikap.
Berdasarkan model adaptasi Roy, semua stimulus akan akan mempengaruhi satu atau lebih model adaptif yang ada pada individu. Sehingga akan mendorong individu untuk melakukan mekanisme koping, dalam hal ini akibat stimulus akan muncul harga diri rendah situasional. Karena harga diri rendah Situasional ini akan mengganggu model adaptif individu, yaitu untuk model fisiologis yaitu salah satunya penurunan energy, lemah, tidak nafsu makan, gangguan tidur dan gangguan psikosomatik. Selain model fisiologis, model konsep diri juga terganggu, pasien akan merasa rendah diri, merasa tidak diterima oleh orang lain, hilangnya semangat. Model peran juga bisa terganggu, karena harga diri rendah situasional timbul karena adanya gangguan peran pada individu tersebut. Sedangkan model interdependensi juga bisa terganggu, karena kurangnya support system. Sehingga output yang keluar adalah harga diri rendah situasional karena individu tidak mampu mencapai ideal diri, gambaran diri dan konsep dirinya karena kondisinya saat ini. Harga diri rendah situasional adalah ketidakmampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus dan merupakan respon inefektif dari stimulus yang masuk, mekanisme koping yang ada tidak mampu mengatasi masalah sehingga model adaptif pasien menjadi terganggu dan hasilnya adalah harga diri rendah situasional.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
46
Terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah untuk membantu pasien dalam mengatasi harga diri rendah situasional sebagai output dari stimulus yang ada. Siklus akan terulang kembali dimana harga diri rendah merupakan stimulus atau input pada model adaptasi dan terapi berguna sebagai alat bantu dalam mekanisme koping. Terapi yang diberikan akan memperkuat mekanisme koping individu. Mekanisme koping adaptif akan membuat model adaptif yang sebelumnya terganggu akan menjadi adaptif kembali dengan bantuan mekanisme koping yang baru. Pada akhirnya, keempat model adaptif tidak terganggu lagi maka hasil yang didapatkan adalah perilaku yang adaptif. Penjabaran model adaptasi Roy ini untuk masalah harga diri rendah situasional dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
47
Proses Kontrol
Input Stimulus 1. Fokal Penyakit fisik pasien yaitu Diabetes mellitus, Hipertensi, Kanker payudara, fraktur, Benign Prostat Hyperplasia (BPH), Parese dan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). Hasil Lab.abnormal 2.Kontekstual Karaktersitik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, jenis pembayaran, lama sakit,frekuensi masuk RS 2. Residual Karakteristik keluarga (care giver) , Lingkungan perawatan, Nilai, norma, stigma, persepsi sosial
Efektor
Mekanisme Koping: Regulator Kognator
Fisiologis Konsep diri Fungsi Peran Interdependensi
Output
Respon Adaptif (Pasien tidak mengalami harga diri rendah situasional)
Dampak Klien
Keluarga Beban Terapi Spesialis Psikoedukasi Keluarga Pengkajian masalah yang dialami, Perawatan pasien dengan penyakit fisik dan masalah psikososial yang dialami, Manajemen ansietas, Manajemen beban keluarga, Hambatan dan pemberdayaan keluarga
Terapi Kognitif Mengungkapkan pikiran otomatis negative dan alasan, Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative, Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative support sistem
Respon Inefektif (Pasien mengalami harga diri rendah situasional) atau masalah psikososial lain/ gangguan jiwa berat
Rujuk Psikiater
Terapi Generalis Umpan Balik Gambar 2.3 Model Adaptasi Roy Pada Asuhan keperawatan pasien harga diri rendah situasional Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 3 PROFIL RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN Pada bab ini akan dipaparkan hasil pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan jiwa di RSUP Persahabatan. Gambaran lahan praktek dan manajemen pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan ini bertujuan untuk melihat penerapan asuhan keperawatan dalam merawat pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional di ruang rawat inap Cempaka Atas dan Bedah kelas berdasarkan manajemen pelayanan yang dikembangkan di unit pelayanan umum RSUP Persahabatan. Praktik dilakukan di ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Jakarta selama 9 (Sembilan) minggu dari tanggal 20 Februari 2012 – 20 April 2012. 3.1. Gambaran Umum RSUP Persahabatan Manajemen praktek keperawatan profesional di rumah sakit Umum pusat Persahabatan dilakukan dengan pendekatan model praktek keperawatan profesional (MPKP). Berikut ini disampaikan tentang gambaran rumah sakit Umum
pusat
Persahabatan
dan
pelaksanaan
praktek
keperawatan
profesional yang telah dilakukan di rumah sakit Umum pusat Persahabatan. Profil rumah sakit Umum pusat Persahabatan menggambarkan tentang sejarah singkat berdirinya rumah sakit Umum pusat Persahabatan, struktur organisasi, visi, misi, jenis pelayanan, gambaran manajemen keperawatan di RSUP Persahabatan khususnya dalam asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional di unit rawat inap Cempaka atas dan bedah kelas. 3.1.1. Sejarah RSUP Persahabatan RSU Persahabatan sebagai Rumah Sakit terbaik dalam pelayanan kesehatan di bidang respirasi (pernapasan) di Indonesia dan rumah sakit rujukan Nasional untuk penyakit paru. Tidak hanya di tingkat Nasional, bahkan WHO memberikan pengakuan Internasional atas pencapaian dokter-dokter RSU Persahabatan dengan menyematkan 48
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
49
sertifikasi Laboratorium Kuman Tuberkulosis RSU Persahabatan sebagai salah satu “Collaborating Center” penting WHO. RS Persahabatan resmi menjadi milik pemerintah Indonesia yaitu pada tanggal 7 November 1963. Hingga saat ini RSUP Persahabatan mengalami berbagai perkembangan dalam hal perbaikan fasilitas yang semakin moderen dan peningkatan fungsinya sebagai pusat pelayanan kesehatan, sehingga sekarang diakui dan menjadi Rumah Sakit terbaik dalam pelayanan kesehatan di bidang respirasi (pernapasan) di Indonesia. Pada periode tahun 1975-1992, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan merupakan Rumah Sakit mandiri dan selanjutnya menjadi rumah sakit umum (RSU) kelas B-3 wilayah Jakarta Timur. Berdasarkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514/MENKES/SK/III/2011 Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan adalah Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas A yang berada di Jakarta Timur, tepatnya di Jalan Persahabatan Raya. Saat ini RSUP Persahabatan memiliki kapasitas 596 tempat tidur, terakreditasi untuk 16 bidang pelayanan kesehatan, dan merupakan rumah sakit pusat rujukan (top referral) Nasional untuk masalah respirasi. RSUP Persahabatan merupakan Rumah Sakit yang telah menerapkan Manajemen Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Model ini telah diperkenalkan pada tahun 2002, yaitu pada ruang Melati Bawah dengan jenis MPKP Pemula. Rumah sakit mempunyai rencana strategis bahwa pendekatan MPKP merupakan salah satu indikator mutu untuk pelayanan di ruang rawat inap, namun pada pelaksanaannya belum dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi terhadap pelaksanaan MPKP, belum dilakukan secara konsisten (sustainability)
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
50
3.1.2. Struktur Organisasi Rumah sakit Umum pusat Persahabatan merupakan rumah sakit tipe A pendidikan dan sebagai pusat rujukan nasional masalah kesehatan respirasi. Struktur organisasi RSUP Persahabatan dipimpin oleh seorang diruktur utama yang membawahi direktorat umum, SDM dan dan pendidikan, direktorat Medik dan keperawatan dan direktorat keuangan. Direktorat Medik dan keperawatan membawahi bidang medik dan bidang keperawatan. Bidang medik terdiri dari dua seksi yaitu pelayanan medik dan pelayanan penunjang medik. Bidang keperawatan mempunyai 2 seksi yaitu perencanaan dan monitoring evaluasi. 3.1.3. Visi, Misi, Motto dan Tujuan a. Visi Menjadi Rumah Sakit terdepan dalam menyehatkan masyarakat dengan unggulan kesehatan respirasi kelas dunia. b. Misi Menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian dalam bidang kesehatan secara profesional dan berorientasi pada pasien. Tujuan: 1. Memberikan pelayanan kesehatan prima dengan menerapkan upaya menjaga mutu dan keselamatan berkelanjutan 2. Menjadi rujukan utama dalam pelayanan kesehatan respirasi 3. Memimpin
dalam
pendidikan
dan
penelitian
bidang
kesehatan respirasi Indonesia.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
51
Direktur Medik dan Keperawatan
Kepala Bidang Keperawatan
Kepala Seksi Perencanaan
Kepala Seksi Monitoring dan Evaluasi
Gambar 3.1. Struktur organisasi bidang pelayanan keperawatan RSUP Persahabatan
c. Motto “Caring with friendship” Melayani secara bersahabat d. Nilai-nilai: Kejujuran, Kompetensi, Kerjasama tim, Caring dan Loyalitas 3.1.4. Fasilitas Pelayanan Fasilitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, terdiri dari Instalasi pelayanan Gawat darurat (IGD), Instalasi Rawat Jalan yang terdiri atas 16 (enam belas) poliklinik, layanan bedah sentral, layanan perawatan intensif terdiri dari ICCU, ICU, RICU, NICU, HCU dan Intermediate. Pelayanan rawat inap yang memiliki 586 tempat tidur termasuk griya puspa dan 50 tempat tidur khusus bayi yang terdiri atas beberapa kelas yaitu Kelas III 315 tempat tidur (ruang bogenville atas dan bawah, Soka Atas, Cempaka Bawah, Cempaka atas dan cempaka bawah, Bedah Kelas serta Anggrek Atas), Kelas II 100 tempat tidur (Melati atas dan bawah, Cempaka Atas dan Kebidanan), Kelas I 54 tempat tidur (Ruang Mawar), Kelas VIP 14 tempat tidur, Kelas utama III 11 tempat tidur, Kelas utama II 20 tempat tidur, Kelas Utama I 3 tempat tidur dan ruang isolasi 12 tempat tidur.Pelayanan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
52
penunjang terdiri dari unit hemodialisa, radiologi, laboratorium, farmasi, penunjang paru dan layanan pemeriksaan medic terpadu serta layanan khusus yang terdiri dari pusat gangguan tidur (Sleep lab) dan klinik berhenti merokok. 3.1.5. Sumber Daya Manusia Ketenagaan yang ada di rumah sakit Umum pusat Persahabatan Maret 2012 terdiri atas dokter umum 168 orang, Dokter gigi 11 orang, Dokter spesialis 131 orang, Dokter gigi spesialis 4 orang, Perawat dan Bidan 658 orang, penunjang medic 225 orang dan tenaga non medis 687 orang. Khusus ketenagaan pelayanan keperawatan berjumlah 658 orang dengan kualifikasi menurut pendidikan S2 keperawatan 3 orang (0,46%), S1 Keperawatan 30 orang (4,57%), D IV Keperawatan 1 orang (0,155%), D III Keperawatan 492 orang (74,89%), DIV Kebidanan 5 orang (0,76%), DIII kebidanan 37 orang (5,63%), Bidan 11 orang (1,67%), DIII Keperawatan anestesi 13 orang (1,98%), SPK 56 orang (8,52%), DIII Perawat gigi 3 orang (0,45%) dan SPR gigi 6 orang (0,91%). Jadi tampak sebagaian besar tingkat pendidikan pelayanan keperawatan adalah DIII keperawatan dan kebidanan. 3.1.6. Pencapaian Kinerja Pencapaian kinerja pelayanan RSUP Persahabatan tahun 2010 adalah : a. Bed Occupancy Rate (BOR) 70,87%, ALOS 6,43 hari, Turn Over Interval (TOI) 2,36, Bed Turn Over (BTO) 44,99 , Gross Death Rate (GDR) 5,35% dan Net Death Rate (NDR) 3,14%. b.
Pencapaian program peningkatan mutu pelayanan keperawatan diantaranya angka pasien jatuh 2,19%, angka infeksi luka infus 7,64% dan angka dekubitus 10,25%.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
53
c.
Hasil survey persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan yaitu responden yang menyatakan baik sebesar 70%
d.
Penerapan asuhan keperawatan yang mengacu ke Standar Asuhan Keperawatan (SAK) adalah: 1) pengkajian 75%, 2) Diagnosa keperawatan 46%, 3) Perencanaan 60%, 4) Tindakan keperawatan 79% dan 5) Evaluasi keperawatan 41%.
e.
Hasil evaluasi program pengembangan SDM Keperawatan melalui pendidikan formal dari DIII keperawatan ke S1 Keperawatan rata-rata 4-5 orang/ tahun, sedangkan tenaga perawatan yang mengikuti pelatihan/ pendidikan informal terkait dengan kompetensi dasar ”Management Patient Care” yang meliputi manajemen asuhan keperawatan.
3.2. Manajemen Praktek Keperawatan Profesional di RSUP Persahabatan Kebijakan Direktur RSUP Persahabatan yang ada terkait dengan program MPKP yaitu MPKP menjadi salah satu indikator mutu untuk pelayanan rawat inap maupun unit pelayanan umum di RSUP Persahabatan, sehingga telah dilakukan pengembangan MPKP pada beberapa ruangan yaitu pada tahun 2002 di ruang Melati Bawah. MPKP terdiri atas empat pilar yaitu pilar manajemen approach, compensatory reward, profesional relationship dan patient care delivery. Pengembangan MPKP di RSUP Persahabatan di mulai di unit pelayanan umum yaitu ruang Melati bawah tahun 2002 telah dikembangkan model praktik keperawatan profesional pemula (MPKPP). Sedangkan pada ruangan lain belum dilakukan. Fakultas Ilmu Keperawatan melalui praktek spesialis keperawatan jiwa bekerja sama dengan RSUP Persahabatan selanjutnya akan mengembangkan MPKP di 13 ruangan rawat inap hampir seluruh ruang di unit pelayanan umum dan diharapkan tahun 2014 semua ruangan sudah menggunakan MPKP.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
54
3.2.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Ruang Cempaka Atas merupakan salah satu ruangan di unit pelayanan umum khusus merawat pasien dewasa kelas III dengan kasus penyakit dalam.
Manajemen
pelayanan
keperawatan
yang
digunakan
menggunakan pendekatan metode Tim. Sedangkan ruang bedah kelas merupakan salah satu ruangan yang memberikan pelayanan umum terutama untuk kasus bedah dan kemoterapi bagi pasien dewasa Berikut ini diuraikan tentang gambaran profil ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas serta manajemen pelayanan keperawatan profesional di ruang tersebut. 3.2.1.1 Profil Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas Ruang Cempaka Atas RSUP Persahabatan merupakan salah satu ruangan kelas III yang memberikan pelayanan umum terutama untuk masalah fisik yaitu penyakit dalam untuk pasien dewasa. Pada bulan Januari 2012 BOR 73,76, ALOS 7,86 dan TOI 2,60. Ruangan ini belum menggunakan pendekatan MPKP. Metode asuhan keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk metode tim dengan dua tim. Kapasitas tempat tidur sebanyak 30 buah tempat tidur yang dibagi dalam 10 kamar dan 1 kamar Isolasi. 1 kamar terdiri atas 3 kamar tidur. Jumlah tenaga keperawatan adalah 16 orang yang terdiri dari satu Karu, dua Katim dan 13 perawat pelaksana dengan latar belakang pendidikan 2 orang S1 Keperawatan, 13 orang DIII Keperawatan dan 1 orang SPK. Tim satu memiliki 7 orang PP sedangkan tim dua memiliki 6 orang PP. Ruang Bedah Kelas RSUP Persahabatan merupakan salah satu ruangan yang memberikan pelayanan umum terutama untuk kasus bedah dan kemoterapi bagi pasien dewasa. Pada bulan Januari 2012 BOR 59,49, ALOS 5,11 dan TOI 3,02. Ruangan ini belum menggunakan pendekatan MPKP. Metode asuhan Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
55
keperawatan yang dipergunakan adalah bentuk metode tim dengan dua tim. Kapasitas tempat tidur sebanyak 32 buah tempat tidur yang dibagi dalam 10 kamar yang terdiri dari 1 kamar Isolasi dan 1 kamar kemoterapi. 1 kamar terdiri atas 3-4 tempat tidur. Jumlah tenaga keperawatan adalah 14 orang yang terdiri dari satu Karu, dua Katim dan 11 perawat pelaksana dengan latar belakang pendidikan 3 orang S1 Keperawatan dan 11 orang DIII Keperawatan. Tim satu memiliki 5 orang PP sedangkan tim dua memiliki 6 orang PP. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa belum ada perawat yang pernah mengikuti pelatihan MPKP, sedangkan untuk pelatihan askep dasar semua perawat pernah mengikutinya. Dari sini dapat diketahui bahwa level MPKP Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan adalah MPKP Pemula, belum tingkat professional, meskipun sudah ada tenaga S 1 keperawatan tetapi baru perawat pelaksana (MPKP profesional tingkat I / Basic, minimal Karu dan Katim berpendidikan S 1 Keperawatan), sedangkan sebagian besar tenaga keperawatan masih memiliki tingkat pendidikan D3 Keperawatan. 3.2.1.2 Gambaran Pelaksanaan MPKP di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas Pengkajian di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas didasarkan pada
pendekatan
pilar
profesional
MPKP.
Pengkajian
managemen pelayanan merupakan hal yang baru pertama kali dilakukan oleh Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI
dalam
Residensi III Spesialis Keperawaan Jiwa FIK UI tahun 2012. Pengkajian di Ruang Cempaka Atas dan bedah kelas menggunakan metode wawancara dilakukan kepada kepala ruangan, dua orang ketua tim dan dua orang perawat pelaksana. Kuesioner SE berhasil didistribusikan oleh residen dan diisi Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
56
oleh semua perawat di Ruang Cempaka Atas dan bedah kelas, sebanyak 2 kepala ruang, 4 orang ketua tim dan 20 (dua puluh) perawat
pelaksana
mengisi
kuesioner
SE. Pelaksanaan
observasi dokumen juga berhasil dilakukan oleh residen terhadap semua komponen empat pilar MPKP. a. Kepala Ruangan Secara umum, kemampuan kepala ruang baik Cempaka Atas maupun Bedah Kelas dalam melaksanakan MPKP berada dalam tingkat yang sama. Hal ini dikarenakan keduanya sama-sama memiliki jenjang pendidikan D3 Keperawatan dan memiliki masa kerja lebih dari lima tahun di RSUP Persahabatan. Dalam pelaksanaannya, kepala ruang Cempaka atas memiliki beban kerja yang lebih tinggi sehubungan dengan jumlah perawat yang kurang bila dibandingkan
dengan
jumlah
pasien,
sehingga
menyebabkan kepala ruang Cempaka atas sering terlibat dalam asuhan keperawatan pada pasien yang mengurangi kegiatan manajerialnya. Berikut dipaparkan gambaran pelaksanaan pilar MPKP dari kepala ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas. Pilar I: Management Approach 1. Perencanaan Fungsi perencanaan karu terdiri atas empat kegiatan yaitu visi, misi, filosofi dan rencana kegiatan yang terdiri dari rencana harian, rencana bulanan dan rencana tahunan. Empat kegiatan ini menunjang kualitas asuhan keperawatan kepada pasien karena karu bertanggung jawab dalam pencapaian visi, misi dan filosofi yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh ketua tim dan perawat pelaksana dalam proses keperawatan di ruangan. Pembuatan rencana harian diperlukan supaya Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
57
karu dapat membagi waktunya untuk melakukan kegiatan manajerial dan asuhan selama jam kerja setiap hari, sedangkan pembuatan rencana bulanan dan tahunan
bermanfaat
untuk
menjaga
konsistensi
pelaksanaan MPKP di ruangannya. Visi, misi dan filosofi di ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas merujuk pada visi, misi dan filosofi rumah sakit. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tidak tercantumnya aspek holistik pasien dalam visi, misi dan filosofi ruangan. Hal ini berpengaruh pada belum terlaksananya
kegiatan
di
ruangan
pada
aspek
keholistikan pasien sehingga masalah psikososial pasien sering terabaikan di ruangan. 2. Pengorganisasian Fungsi pengorganisasian karu terdiri atas tiga kegiatan yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi pasien. Struktur organisasi yang ideal seharusnya juga mencantumkan
posisi
perawat
CLMHN
untuk
memudahkan perawat ruangan dalam berkoordinasi melakukan asuhan keperawatan psikososial kepada pasien. Struktur
organisasi
di
kedua
ruangan
sudah
menggambarkan kedudukan kepala ruangan, adanya posisi tim I dan II, dan jumlah perawat pelaksana tiap tim serta jumlah pasien yang dikelola. Struktur organisasi di kedua ruangan belum terlihat kedudukan perawat CLMHN. Hal ini menunjukkan bahwa ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas belum memperhatikan pada masalah psikososial pasien yang dirawat di ruangan. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
58
3.
Pengarahan Fungsi pengarahan terdiri atas operan, supervisi,
pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan pendelegasian. Berdasarkan pengkajian terhadap fungsi pengarahan karu Cempaka Atas dan Bedah Kelas yaitu belum dilakukannya kegiatan operan sesuai format, diagnosa keperawatan tidak pernah menjadi fokus dalam operan, post conference jarang dilakukan karena alasan kesibukan, dan kegiatan supervisi hanya diartikan sebagai kegiatan penilaian perawat baru. Hal ini coba diintervensi oleh Penulis dengan melakukan pelatihan dan pendampingan terhadap kegiatankegiatan tersebut. 4.
Pengendalian Fungsi pengendalian terdiri atas indikator mutu, audit dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Keempat kegiatan ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat sejauh mana kualitas asuhan keperawatan diberikan sesuai dengan standar. Untuk kegiatan pengendalian, baik karu Cempaka Atas maupun Bedah Kelas belum pernah melakukan survei masalah keperawatan dikarenakan tidak adanya instruksi dari bidang keperawatan. Survei masalah keperawatan diperlukan untuk mengetahui prosentase diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien yang dirawat. Survei masalah juga sebaiknya mengikutsertakan masalah psikososial pasien sehingga dapat menjadi masukan bagi Liaison nurse dan dapat menjadi dasar bagi Karu dalam menentukan kebijakan untuk melakukan pengembangan staf.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
59
Survei kepuasan digunakan untuk mengetahui kepuasan pasien setelah menjalani rawat inap di ruangan. Nilai dari survei kepuasan ini dapat menjadi penentu seberapa kualitasnya asuhan keperawatan yang diberikan. Perawat sebagai Liaison nurse juga melakukan survei kepuasan pada pasien dan hasilnya di kedua ruangan nilai survei kepuasan pasien memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak hanya membutuhkan asuhan keperawatan fisik saja tetapi juga asuhan keperawatan psikososial. Pilar II: Compensatory Reward Pilar kedua MPKP yaitu compensatory reward terdiri atas rekruitment dan seleksi dimana perawat spesialis Keperawatan Jiwa bertanggung jawab memberikan asuhan keperawatan psikososial bagi pasien yang memerlukan terapi spesialis dan melatih perawat
S1 dan perawat ruangan
(D3) memberikan
asuhan keperawatan psikososial. Penulis dalam praktik di kedua ruangan tidak menjadikan pilar II sebagai fokus intervensi, tetapi Penulis melatih karu dalam melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan katim dan perawat
pelaksana
dimana
selama
ini
penilaian
kinerja
diasumsikan sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional. Penulis juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat digunakan oleh karu. Pilar III: Professional Relationship Pilar ketiga yaitu professional relationship terdiri atas empat kegiatan yaitu visit dokter, case conference, rapat keperawatan dan rapat tim kesehatan. Pilar III tidak menjadi fokus Penulis selama praktik residensi, namun Penulis sudah menunjukkan contoh pelaksanaan case conference di masing-masing ruangan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
60
Respon karu dalam pelaksanan case conference sangat baik karena menyadari bahwa kegiatan ini penting dalam usaha meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan menjaga aspek kognitif perawat ruangan. Pilar IV: Patient Care Delivery Pemberian asuhan keperawatan difokuskan pada tiga diagnosa keperawatan psikososial selama Penulis praktik di kedua ruangan, yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan harga diri rendah situasional. Hasil pelatihan dan pendampingan pada kedua karu menunjukkan hasil bahwa karu Cempaka Atas dan Bedah Kelas sudah mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi antara kegiatan manajerial dengan asuhan keperawatan. Hal ini akhirnya membuat pasien tidak dirawat secara holistik. b. Ketua Tim Pilar I: Management Approach (1) Perencanaan Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan rencana harian dan rencana bulanan. Hal yang sama terjadi pada katim di kedua ruangan, dimana pembuatan rencana harian sudah membudaya namun belum mencantumkan waktu dan hanya mencantumkan order dari pihak medis. Untuk diagnose psikososial ketua tim di kedua ruangan belum membudaya dalam
melakukannya
pada
rencana
harian.
Hal
ini
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan psikososial pada pasien yang dikelola di timnya. (2) Pengorganisasian Kegiatan katim di aspek ini adalah pembuatan daftar dinas dan daftar alokasi pasien. Ketua tim di kedua ruangan samasama mengalami kesulitan dalam pembuatan alokasi pasien, Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
61
namun setelah dilatih ketua tim mampu membuat alokasi pasien di format yang sudah disediakan walaupun belum membudaya. (3) Pengarahan Fungsi pengarahan katim terdiri atas supervisi,
pre
conference dan post conference, iklim motivasi dan pendelegasian. Kegiatan pre conference umumnya sudah dilakukan oleh katim di ruang Cempaka Atas, namun di ruang Bedah Kelas kegiatan pre conference sering dilakukan oleh karu. Kegiatan post conference mulai membudaya di ruang Cempaka Atas setelah dilatih oleh Penulis, tapi cukup sulit dilakukan di ruang Bedah Kelas dikarenakan beban kerja yang tinggi. Kegiatan lain di aspek pengarahan sudah membudaya. Pilar II: Compensatory Reward Kegiatan katim di pilar ini hanyalah penilaian kinerja. Penulis dalam praktik di kedua ruangan tidak menjadikan pilar II sebagai fokus intervensi, tetapi Penulis melatih katim dalam melakukan penilaian kinerja terhadap kemampuan perawat pelaksana dimana selama ini penilaian kinerja diasumsikan sebagai penilaian perawat untuk jabatan fungsional. Penulis juga membuat raport penilaian kinerja supaya dapat digunakan oleh katim. Pilar III: Professional Relationship Pilar ketiga yaitu professional relationship terdiri atas empat kegiatan yaitu visit dokter dan case conference. Pilar III tidak menjadi fokus Penulis selama praktik residensi, namun Penulis sudah menunjukkan contoh pelaksanaan case conference di masing-masing ruangan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
62
Pilar IV: Patient Care Delivery Pemberian asuhan keperawatan difokuskan pada tiga diagnosa keperawatan psikososial selama penulis praktik di kedua ruangan, yaitu ansietas, gangguan citra tubuh, dan harga
diri
rendah
situasional.
Hasil
pelatihan
dan
pendampingan pada katim di kedua ruangan menunjukkan hasil bahwa katim Cempaka Atas dan Bedah Kelas sudah mampu melakukan asuhan keperawatan psikososial namun belum membudaya dengan alasan beban kerja yang tinggi. Hal ini akhirnya membuat pasien tidak dirawat secara holistik. c. Perawat Pelaksana Pilar I: Management Approach Kegiatan perawat pelaksana di aspek ini adalah pembuatan rencana harian. Dalam praktiknya, pembuatan rencana harian sudah membudaya namun belum mencantumkan waktu dan hanya mencantumkan order dari pihak medis. Penulis melakukan pelatihan pada dua perawat pelaksana di masingmasing ruangan dan hasilnya perawat pelaksana yang dilatih sudah membudaya dalam membuat rencana harian sesuai format. Pilar IV: Patient Care Delivery Masalah yang dihadapi oleh perawat pelaksana di kedua ruangan dalam melakukan asuhan keperawatan secara holistik adalah beban kerja yang dirasakan terlalu tinggi. Kualitas asuhan keperawatan psikososial untuk diagnosa keperawatan ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri situasional meningkat setelah dilatih oleh Penulis.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan dan manajemen pelayanan keperawatan pada pasien harga diri rendah (HDR) situasional dengan pemberian terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi keluarga kepada care giver menggunakan pendekatan teori adaptasi Roy. Terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga diberikan pada pasien dan keluarga (caregiver) yang sebelumnya telah diberikan terapi generalis harga diri rendah situasional. Pemberian asuhan keperawatan diawali dengan pengkajian dan penegakan diagnosa keperawatan yang dirumuskan berdasarkan data yang ditemukan saat pengkajian. Kemudian ditentukan intervensi yang dapat diberikan sampai dengan terapi spesialis, implementasi dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan asuhan keperawatan. 4.1 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan harga diri rendah situasional menggunakan
pendekatan
Model
Stres
Adaptasi
Stuart
untuk
dapat
menggambarkan terjadinya masalah harga diri rendah situasional secara sistematis sedangkan konsep-konsep pada teori Roy diterapkan pada keseluruhan proses asuhan keperawatan. Jumlah pasien yang dirawat di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP Persahabatan sebanyak 75 orang namun yang memiliki masalah keperawatan harga diri rendah situasional sebanyak 33 orang (44%). Hasil manajemen kasus pada pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dipaparkan di bawah ini.
63 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
64
4.1.1
Pengkajian
4.1.1.1 Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah Situasional Pengkajian terhadap Pasien dengan harga diri rendah situasional secara detail menggunakan pendekatan konsep Stres Adaptasi Stuart (Stuart & Laraia, 2005) yang dikembangkan dalam bentuk scaning pengkajian. Karakteristik pasien jika dikaitkan dengan model adaptasi Roy merupakan stimulus kontekstual karena karakteristik pasien bukan stimulus yang secara langsung tetapi mempengaruhi stimulus fokal. Karakteristik 33 orang pasien dengan harga diri rendah situasional yang mendapat terapi kognitif di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP Persahabatan dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan sebelum mengalami sakit, status perkawinan, lama rawat dan frekuensi masuk rumah sakit. Berdasarkan pengkajian terhadap 33 Pasien dengan harga diri rendah situasional didapatkan data sebagai berikut : Tabel 4.1. Karakteristik Pasien Harga diri rendah situasional Berdasarkan Usia, Lama rawat dan Frekuensi Masuk RS di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (N=33) No
Variabel
1.
Mean
Usia Pasien* 41,36 2. Lama rawat* 9,18 3. Frekuensi masuk RS 2,24 Keterangan : *usia dalam tahun Lama rawat dalam hari
SD
Min-Maks
14,59 3,450 1,17
17 – 68 4 – 14 1-4
Berdasarkat tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan bahwa rata-rata pasien berada dalam rentang usia dewasa yaitu 41 tahun, lama rawat rata-rata 9,18 hari dan frekuensi pasien masuk rumah sakit adalah 2,12 kali. Pada tabel 4.2 untuk jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin perempuan (66,67%), tingkat pendidikan rendah (SMP) yaitu 12 orang (36,36%), setengahnya tidak bekerja (57,57%), dan status perkawinan (57,57%) kawin dan memiliki pasangan.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
65
Tabel 4.2. Karakteristik Pasien dengan Harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (N=33) No 1
2.
3.
4.
Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status perkawinan Kawin Belum Kawin Janda/ Duda Pendidikan SD SMP SMA PT Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja
Jumlah
Prosentase (%)
10 23
30 70
19 7 7
57,57 21,21 21,21
8 12 9 4
24,24 36,36 27,27 12,12
14 19
42,42 57,57
4.1.1.2 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber individu untuk menghadapi stres baik secara biologis, psikososial dan sosial kultural Stuart dan Laraia (2005). Sedangkan menurut model adaptasi Roy Faktor predisposisi merupakan stimulus kontekstual dan residual yang memberikan pengaruh pada stimulus fokal. Faktor predisposisi ini sudah dimiliki pasien sejak lebih dari enam bulan sebelum pasien masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan sehingga pengkajian terhadap faktor ini sangat penting untuk mengetahui pengalaman pasien di masa lalu. Pengalaman pasien tersebut akan mempengaruhi besarnya risiko harga diri rendah situasional dari pasien yang mengalami penyakit fisik. Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah situasional pada pasien dijabarkan pada tabel 4.3. Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi aspek biologis terbanyak yaitu riwayat menderita penyakit fisik lebih dari 6 (enam) bulan sebanyak 20 orang (60,60%) dan sebanyak 14 orang (42,42%) adalah riwayat penyakit keluarga,
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
66
maksudnya adalah bahwa pasien memiliki keturunan memiliki penyakit fisik tersebut. Sebanyak 20 orang (60,60%) pada aspek psikologis memiliki pengalaman tidak menyenangkan, pengalaman tidak menyenangkan pasien terkait dengan penolakan, kehilangan dna konflik dengan pekerjaan. Secara sosial budaya sebanyak 20 orang (60,60%) memiliki pendidikan rendah dan sosio ekonomi rendah. Tabel 4.3. Faktor Predisposisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari - April 2012 (n= 33) No 1
2.
3.
Jumlah
Prosentase (%)
20 14 5 10
60,60 42,42 15,15 30,30
19 13 20
57,57 40 60,60
Sosial budaya a. Pendidikan rendah b. Status ekonomi rendah c. Komunikasi tertutup
20 20 10
60,60 60,60 30,30
d. Dirawat berulang
16
48,48
Faktor Predisposisi Biologis a. Riwayat menderita penyakit fisik b. Riwayat penyakit keturunan di keluarga c. Terpapar zat kimia/ radiasi d. Riwayat merokok Psikologis a. Introvert b. Riwayat kegagalan c. Pengalaman tidak menyenangkan
4.1.1.3 Faktor Presipitasi Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu, yang merupakan bagian dari input dapat bersifat biologis, psikologis maupun sosial kultural. Faktor presipitasi merupakan masalah yang dirasakan individu yang waktu terjadinya adalah enam bulan atau kurang sebelum pasien dirawat dan terus dirasakan sampai pasien dirawat. Faktor presipitasi penting dikaji untuk mengetahui seberapa besar masalah yang dihadapi pasien sehingga menyebabkan pasien mengalami harga diri rendah situasional. Tabel 4.4 menyajikan distribusi faktor presipitasi pasien dengan harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
67
Tabel 4.4. Distribusi Faktor Presipitasi Berdasarkan Waktu dan Jumlah Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari - April 2012 (n= 33) Variabel Mean 1. Waktu stresor* 5.75 2. Jumlah stresor 2,6 Keterangan : *waktu stresor dalam bulan
Min - Maks 1 - 24 1-4
Pada tabel 4.4 terlihat sebanyak 33 orang (100%) asal stressor berasal dari diri sendiri dan 11 orang (33,33%) juga diperberat oleh stresor dari luar dirinya. Stresor yang berasal dari dalam diri pasien terkait dengan persepsi pasien yang negatif tentang dirinya yang muncul dari aspek kognitif, afektif dan karakteristik dari pasien. Sedangkan stressor eksternal sebagian besar berasal dari pekerjaan, biaya dan hospitalisasi. Untuk lama dan jumlahnya stressor, rata-rata pasien memiliki stresor kurang dari 6 (enam) bulan dan jumlah stresor rata – rata pasien memiliki lebih dari dua stressor yang berasal dari stressor biologis, psikologis, dan sosiokultural. Tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi aspek biologis dari seluruh pasien adalah kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit (100%) dan secara psikologis (100%) adalah kesedihan karena kondisi penyakit yang didukung juga oleh presipitasi sosial budaya dimana 23 orang (70%) berkaitan dengan hospitalisasi sehingga pasien yang sebelumnya bekerja menjadi tidak bekerja dan 18 orang pasien (54,54%) karena kemiskinan dan gangguan peran.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
68
Tabel 4.5. Faktor Presipitasi Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari - April 2012 (n= 33) No
Faktor Presipitasi
1.
Sifat stressor a. Biologis 1.Kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit 2. Hasil laboratorium Abnormal b. Psikologis 1. Kecemasan tentang biaya 2. Kesedihan tentang kondisi penyakit 3. Kegagalan c .Sosial budaya 1. hospitalisasi 2. kemiskinan 3. gangguan peran Asal stressor a. Internal b. Eksternal
2.
Jumlah
Prosentase (%)
33
100
18
54,54
20 33
60,60 100
23
70
23 18 18
70 54,54 54,54
33 11
100 33,33
4.1.1.4 Penilaian terhadap Stresor Penilaian terhadap stresor menurut model adaptasi Roy meliputi stimulus fokal, karena data yang diperoleh berdasarkan atas bagaimana respon pasien terhadap masalah yang dihadapinya. Penilaian terhadap stresor ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Pada tabel 4.6. dijelaskan secara rinci distribusi penilaian terhadap stressor pada 33 Pasien yang mengalami harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan. Tabel 4.6 memperlihatkan (72,72%) respon pasien secara kognitif adalah menilai dirinya negatif, (51,51%) respon fisiologis pasien mengalami gangguan pola tidur dan untuk respon afektif mayoritas pasien (100%) merasa sedih/ khawatir dan bingung. Pada respon perilaku sebagian besar pasien (60,60%) mengkritik diri bahwa dirinya tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan yang menunjukkan harga diri rendah dan respon sosial sebanyak (84,84%) aktivitas pasien terbatas dan (72,72%) pasien bersikap pasif.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
69
Tabel 4.6. Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari - April 2012 (n= 33) No 1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah
Prosentase (%)
Respon Kognitif a. Menilai diri negatif b. Sulit konsentrasi
24 21
72,72 63,63
c. Merasa tidak berguna/ tidak berdaya d. Sulit untuk membuat keputusan
18 15
54,54 45,45
22 33 33 16 33
66,66 100 100 48,48 100
17 14 10
51,51 42,42 30,30
8 12 20 15
24,24 36,36 60,60 45,45
15 28 24
45,45 84,84 72,72
Penilaian terhadap Stresor
Respon Afektif a. Menyalahkan diri b. Sedih/ khawatir c. Bingung d. Kesal e. Malu Respon Fisiologis a. Gangguan pola tidur b. Gangguan pola makan c. Keluhan Fisik Respon Perilaku a. Marah b. Menangis c. Mengkritik diri d. Motivasi menurun Respon Sosial a. Menghindari interaksi b. Aktivitas terbatas c. Pasif
4.1.1.5 Sumber Koping Sumber koping pada model adaptasi Roy merupakan bagian dari stimulus residual. Pada sumber koping kita bisa melihat nilai yang dipakai oleh pasien atau keyakinan yang diyakini, dukungan sosial dari keluarga maupun kelompok. Selain masuk dalam stimulus residual sebagai input, juga termasuk proses kontrol, yaitu mekanisme koping : kognator. Berdasarkan tabel 4.7 maka dapat dijelaskan bahwa mayoritas pasien (75,75%) tidak tahu dan tidak mampu mengatasi harga diri rendah situasional, demikian juga dengan keluarganya, sebanyak (81,81%) juga tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan merawat anggota keluarga dengan harga diri rendah situasional. Ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
70
dari pasien dan keluarga yang rendah, kurangnya informasi terkait tentang masalah psikososial yang dapat mempengaruhi penyakit fisik, selain itu karena pasien dan keluarga lebih berfokus pada kondisi penyakit pasien sehingga kurang peduli terhadap masalah psikososial. Sehingga dari kurangnya informasi tersebut mengakibatkan pasien dan keluarga tidak mampu melakukan perawatan. Sebagian besar pasien sudah memiliki kelompok dengan penyakit fisik yang sama (63,63%) sehingga dapat menjadi support system bagi perawatan pasien. Sebagian besar pasien (81,81%) memiliki Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan dan jarak pelayanan kesehatan jauh/ tidak terjangkau oleh sebagian besar pasien (66,66%). Sebagian besar pasien (75,75%) juga memiliki keyakinan bahwa dirinya akan sembuh. Tabel 4.7. Sumber Koping Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari - April 2012 (n= 33) No
Sumber Koping
1
Kemampuan personal a. Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional b. Tahu dan mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional Dukungan Keluarga a. Keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional b. Keluarga tahu cara mengatasi harga diri rendah situasional Dukungan Kelompok a. Memiliki kelompok dengan kondisi penyakit yang sama b. Tidak memilki kelompok dengan kondisi penyakit yang sama Ketersediaan Material a. Pribadi/ memiliki penghasilan b. Bantuan Keluarga c. Jamkesmas d. Pelayanan kesehatan jarak tidak terjangkau Keyakinan positif a. Yakin akan sembuh b. Tidak yakin akan sembuh
2
3
4
5
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Jumlah
Prosentase (%)
25
75,75
8
24,24
27
81,81
6
18,18
21 12
63,63 36,36
8 10 27 22
24,24 30,30 81,81 66,66
25 8
75,75 24,24
Universitas Indonesia
71
4.1.1.6 Mekanisme Koping Mekanisme koping pada model adaptasi Roy merupakan bagian dari stimulus fokal, yaitu respon atau perilaku yang dimunculkan pasien pada saat menghadapi masalah. Pada sebagian besar kasus yang ditemukan, mekanisme koping yang dipergunakan untuk masalah harga diri rendah adalah proyeksi (48%), supresi (44%) dan reaksi formasi (16%). Ketiga mekanisme koping tersebut bisa juga disebut sebagai defense mechanism. 4.1.1.7 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis a. Diagnosa Keperawatan Masalah Harga diri rendah situasional pada pasien merupakan masalah psikososial terbanyak ketiga setelah ansietas dan gangguan citra tubuh yang Penulis temukan pada pasien yang dirawat selama praktik Residensi III periode Februari – April 2012. Dari 75 pasien yang dirawat dengan masalah psikososial, 33 kasus (44%) merupakan kasus pasien dengan harga diri rendah situasional. Kombinasi diagnosa keperawatan psikososial pada pasien yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Diagnosa Keperawatan Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (N=33) No
Diagnosa Keperawatan Psikososial
Ansietas+GCT*+HDR* situasional Ansietas+Ketidakberdayaan+GCT* HDR* situasional 3. Ansietas+Ketidakberdayaan+HDR* situasional 4. Ansietas dan HDR* situasional Total Keterangan: GCT*= Gangguan Citra Tubuh HDR*= Harga diri rendah 1. 2.
Jumlah Pasien 5 19
Prosentase % 15,15 57,57
6
18,18
3 33
9 100
Berdasarkan kombinasi diagnosa keperawatan psikososial pasien pada tabel 4.8 tergambar bahwa diagnosa keperawatan psikososial terbanyak adalah kombinasi diagnose keperawatan ansietas, ketidakberdayaan dan gangguan
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
72
citra tubuh dan harga diri rendah situasional yaitu sebanyak 19 pasien (57,57%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang dirawat tidak memiliki satu diagnosa saja, tetapi ada diagnosa lain yang menyertai. Sehingga terapi yang akan diterapkan juga tidak hanya satu saja untuk pasien dengan harga diri rendah situasional, tetapi juga untuk mengatasi masalah lain yang ada pada pasien tersebut. b. Diagnosa medis Diagnosa medis dari pasien yaitu 11 orang (33,33%) diabetes melitus, 7 orang (21,21%) diabetes melitus dan hipertensi, 6 orang (18,18%) Fraktur, 4 orang (12,12%) Kanker payudara, 2 orang (6%) Benign Prostat Hyperplasia (BPH), parese 1 orang (3,03%), Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) 1 orang (3,03%) dan Cepalgia 1 orang (3,03%). Berdasarkan diagnosa medis penyakit fisik yang dialami pasien, respon stres adaptasi pasien juga berbedabeda. Hal ini ditunjukkan berdasarkan dari hasil pengkajian dimana pasien yang memiliki diagnosa penyakit kronis (yang sudah > 1 kali masuk RS) atau yang sebelumnya sudah memiliki riwayat penyakit fisik (Diabetes melitus dan hipertensi) lebih sedikit adaptif dan mampu menggunakan kopingnya yang ditunjukkan dengan respon yang tampak pada pasien sedikit lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memiliki diagnosa penyakit terminal (kanker) ataupun penyakit yang didapatkan karena trauma yang tiba-tiba seperti fraktur, BPH, parese dan Cepalgia. 4.1.1.8 Pengkajian Keluarga (care giver) Pengkajian yang dilakukan Penulis tidak hanya difokuskan kepada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional, tetapi juga kepada keluarga (care giver). Hal ini terkait dengan peran keluarga sebagai sumber dukungan dan juga bisa menjadi stressor bagi pasien. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan karakteristik keluarga (care giver) yang disajikan pada tabel 4.9 berikut:
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
73
a. Karakteristik Keluarga (care giver) Psikoedukasi keluarga ini diberikan pada keluarga yang memiliki pasien dengan harga diri rendah situasional, khususnya tertuju pada pemberi asuhan (yang merawat) pasien atau dikenal dengan istilah ‘care giver’. Berikut pada tabel 4.9 diuraikan karakteristik 33 keluarga (care giver) pasien dengan harga diri rendah situasional di ruang Cempaka atas dan bedah kelas RSUP Persahabatan yang dikelompokkan berdasarkan usia caregiver, hubungan dengan pasien, jenis kelamin dan tingkat pendidikan Tabel 4.9. Distribusi Karakteristik Keluarga (care giver) Berdasarkan Usia Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (N=33) Variabel 1 Usia care giver Keterangan: *usia dalam tahun
Mean 37,54
Min - Maks 17 – 57
Tabel 4.10. Karakteristik Keluarga (care giver) Di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (N=33) No 1.
2.
3.
Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SMP SMA Hubungan dengan Pasien Istri/ Suami Anak Orang tua Saudara
Jumlah (n=33)
Prosentase (%)
13 20
39,39 60,60
6 17 10
18,18 51,51 30,30
14 6 5 8
42,42 18,18 15,15 24,24
Berdasarkan tabel 4.9 maka diketahui karakteristik care giver berdasarkan usia ratarata berusia dewasa 37 tahun dan pada tabel 4.10 terlihat sebagian besar jenis kelamin adalah wanita (60,60%). Karakteristik pendidikan care giver adalah pendidikan rendah yaitu SMP (51,51%) dan sebagian besar care giver adalah suami/ istri pasien (42,42%).
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
74
Berdasarkan pada tabel 4.10 tergambar bahwa secara keseluruhan care giver mengalami ansietas kemudian diikuti dengan koping keluarga tidak efektif dan gangguan pola tidur. Terapi psikoedukasi keluarga selain mengatasi masalah dalam perawatan pasien yang mengalami harga diri rendah situasional juga dapat mengatasi masalah care giver dalam merawat anggota keluarganya yang sakit. Tabel 4.11 Diagnosa Keperawatan Care giver Pasien Harga Diri Rendah Situasional di Ruang Cempaka Atas Dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Periode Februari – April 2012 (n=33)
1 2
Ansietas Koping keluarga tidak efektif
33 23
Prosentase (%) 100 70
3
Gangguan pola tidur
18
54,54
No
Diagnosa Keperawatan
Jumlah
4.1.2 Rencana Tindakan Keperawatan Rencana tindakan berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang telah disusun melalui hasil Workshop Keperawatan Jiwa FIK UI (2009) meliputi tindakan keperawatan generalis dan spesialis dengan target pada individu. Kombinasi mengenai rencana tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional dapat dilihat pada tabel 4.12. Kombinasi rencana tindakan keperawatan berdasarkan tabel 4.12, masing-masing pasien diberikan terapi spesialis untuk target individu dan terapi keluarga yaitu psikoedukasi keluarga untuk keluarga (care giver). Tujuan pemberian terapi spesialis adalah untuk menghilangkan atau mengurangi harga diri rendah yang dirasakan dan meningkatkan kemandirian pasien dan care giver dalam berperilaku adaptif.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
75
Tabel 4.12 Rencana Tindakan Keperawatan Sesuai Standar Asuhan Keperawatan (n=33) Diagnosa Kepera watan Harga Diri Rendah Situasional
4.1.3
Pasien
Generalis Keluarga
Sesuai SAK Masingmasing Diagnosa
Sesuai SAK Masingmasing Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis Pasien Keluarga Kelompok Terapi Kognitif Logoterapi
Terapi Psikoedukasi keluarga (FPE)
Terapi Suportif
Pelaksanaan dan Hasil Tindakan
4.1.3.1 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana yang telah disusun, dan tetap berfokus pada kondisi pasien dan keluarga serta kondisi lingkungan perawatan. Pelaksanaan keperawatan generalis dan spesialis untuk diagnosa harga diri rendah situasional dapat dilihat pada tabel 4.13 Tabel 4.13. Tindakan Keperawatan Generalis Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) No 1 2 3 4 5 6
Standar tindakan keperawatan generalis Menyebutkan penyebab HDR* Situasional Menyebutkan tanda dan gejala HDR* Situasional Menyebutkan kemampuan & aspek positif yang dimiliki Membantu pasien menilai kemampuan tersebut Melatih kemampuan positif yang dipilih pasien Motivasi pasien untuk melakukan kegiatan yang dilatih Dalam kehidupan sehari – hari
n 33 33 33 33 33 33
% 100 100 100 100 100 100
Keterangan: HDR*= Harga diri rendah
Berdasarkan pada tabel 4.13 dapat diketahui bahwa semua pasien dengan harga diri rendah situasional mendapatkan tindakan keperawatan generalis. Tindakan keperawatan generalis ini dilakukan oleh penulis bekerjasama dengan perawat ruangan yang memiliki pendidikan S1 dan D3 yang sebelumnya telah dilatih untuk tindakan generalis diagnosa psikososial ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri rendah situasional.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
76
Tindakan generalis ini dilakukan rata-rata 3 – 4 kali pertemuan. Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan kepada pasien antara lain: memberikan pendidikan kesehatan
terkait dengan penyakit fisik, harga diri rendah
situasional, hubungan antara penyakit fisik yang mengakibatkan harga diri rendah, pasien dan perawat bersama mengidentifikasi kemampuan positif yang masih dapat pasien lakukan di rumah sakit dan melatih kemampuan positif tersebut dengan cara pertama perawat yang memberikan contoh setelah itu pasien disuruh untuk mencoba melakukannya. Kegiatan yang dilatih tersebut yaitu makan, minum sendiri tanpa bantuan, melakukan perawatan diri secara minimal (misal: berhias, memakai baju sendiri), melakukan gerakan-gerakan pasif (ROM) pada ekstremitas yang masih dapat digerakan, pada beberapa pasien melatih berjalan menggunakan kruk dan kursi roda secara mandiri. Kemudian setelah melatih kemampuan tersebut, memasukkan kemampuan yang telah dilatih ke dalam jadwal aktivitas harian, sehingga harapannya pasien walaupun dalam kondisi sakit, bedrest di tempat tidur tetapi masih mampu melakukan aktivitas minimal dengan menggunakan bagian tubuh yang dapat berfungsi dan dapat mengatasi rasa rendah diri dari pasien tersebut karena kondisi sakit yang mengakibatkan pasien ketergantungan kenyataannya pasien mampu mandiri seperti orang yang tidak mengalami penyakit fisik. Tabel 4.14. Tindakan Keperawatan Generalis untuk keluarga (caregiver) Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) No
Standar Tindakan keperawatan generalis untuk keluarga
1
Memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga meliputi ; pengertian HDR Situasional, penyebab HDR yang dialami oleh pasien, tanda dan gejala serta proses terjadinya HDR Situasional. 2 Melatih keluarga cara merawat pasien dengan HDR Situasional 3 Melatih keluarga cara menumbuhkan harga diri positif melalui kegiatan yang positif yang pasien lakukan Keterangan: HDR*= Harga diri rendah
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
n
%
33
100
33 33
100 100
Universitas Indonesia
77
Berdasarkan pada tabel 4.14 diketahui bahwa semua keluarga pasien (care giver) dengan harga diri rendah situasional mendapatkan tindakan generalis. Hal ini disebabkan sebagian besar pasien yang dirawat di RSUP Persahabatan didampingi oleh keluarga (care giver). Tindakan generalis untuk keluarga ini dilakukan oleh penulis bekerjasama dengan perawat ruangan (pendidikan D3 dan S1) yang sebelumnya telah dilatih untuk diagnosa psikososial yaitu ansietas, gangguan citra tubuh dan harga diri rendah situasional. Tindakan generalis tersebut dilakukan rata-rata 3 – 4 kali pertemuan. Kegiatan yang dilakukan dengan metode perawat yang terlebih dahulu mendemonstrasikan kemudian setelah itu keluarga (care giver) diminta untuk mempraktekkan kembali. Kegiatan yang dilatihkan dan diajarkan kepada keluarga yaitu tentang bagaimana cara merawat pasien penyakit fisik (sesuai dengan kondisi penyakit fisik pasien), cara merawat pasien yang mengalami harga diri rendah (dapat dilihat pada lampiran leaflet), membiasakan keluarga untuk melakukan pujian kepada pasien atas kemampuan positif yang pasien mampu lakukan. Tabel 4.15. Pelaksanaan Terapi Kognitif pada Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) Sesi 1 2 3 4
Standar Tindakan keperawatan spesialis (Terapi Kognitif) Mengidentifikasi pikiran otomatis yang negatif Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif Pasien mengungkapkan manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negative Support system
n 33 33 33
% 100 100 100
33
100
Berdasarkan tabel 4.15 bahwa semua pasien dengan harga diri rendah situasional mendapatkan terapi kognitif sampai selesai dengan frekuensi ratarata 3 - 4 kali pertemuan dengan tiap pertemuan 45 – 60 menit. Pelaksanaan terapi kognitif dilakukan sendiri oleh penulis selaku perawat CLMHN. Selama proses pelaksanaan terapi, sebagian besar pasien mampu mengikuti dengan baik dan ada beberapa pasien yang kesulitan mengidentifikasi pikiran rasional
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
78
untuk melawan pikiran otomatis negatif, sehingga pada sesi ini harus dilakukan berulang-ulang dan juga dengan meminta bantuan dari keluarga pasien. Sebagian besar pasien memiliki distorsi pikiran negatif yaitu overgeneralisasi yaitu memikirkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan tidak akan menghasilkan yang baik dan filter mental yaitu fokus pada kejadian negatif atau pikiran negatif dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau mempengaruhi yang lain. Pasien penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional ini berpikir pesimis terhadap tindakan pengobatan yang dilakukan seperti pasien berpikir kalau akan tergantung dengan obat seumur hidup, karena tergantung dengan obat dan alat bantu pasien akan merasa lemah, tidak berdaya, tidak mampu melakukan kegiatan seperti sebelumnya dan selalu membanding-bandingkan kondisi saat ini dengan kondisi sebelumnya. Penulis dalam melakukan terapi kognitif pada pasien dengan harga diri rendah situasional ini selalu melibatkan keluarga (caregiver). Dengan harapan agar setelah dilakukan sesi dari masingmasing terapi
ini
keluarga dapat terus
memonitor dan
melakukan
pendampingan kepada pasien sehingga harapannya pasien dan keluarga mampu meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam mengatasi masalah. Tabel 4.16. Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga pada Care giver Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) No 1 2 3 4 5
Standar Tindakan keperawatan spesialis (Psikoedukasi Keluarga) Pengkajian masalah yang dialami dalam merawat pasien dan masalah care giver Perawatan pasien dengan penyakit fisik yang dialami dan harga diri rendah situasional Manajemen Ansietas Manajemen beban keluarga Hambatan dan pemberdayaan keluarga
n 33
% 100
33
100
33 33 33
100 100 100
Pada tabel 4.16 semua keluarga (care giver) pasien harga diri rendah situasional mendapat psikoedukasi keluarga, walaupun terkadang ada beberapa care giver yang tidak secara rutin mengikuti dari masing-masing sesi terapi. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga tersebut istirahat atau ada
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
79
keperluan lain sehingga harus digantikan dengan anggota keluarga lain. Tetapi ini tidak menjadi hambatan bagi penulis, penulis tetap melakukan psikoedukasi keluarga kepada anggota keluarga tersebut, dengan catatan anggota keluarga yang telah penulis berikan terapi agar memberikan informasi tersebut kepada care giver yang sering merawat pasien. Selain itu penulis selalu memberikan leaflet setelah pelaksanaan dari masing-masing sesi terapi sehingga dapat memudahkan proses penyampaian informasi dari terapi yang diberikan. Pelaksanaan terapi spesialis dapat saja dimulai dahulu dengan terapi kognitif yang diberikan kepada individu kemudian baru dilakukan psikoedukasi keluarga, tetapi tidak selalu karena juga disesuaikan dengan kondisi pasien dan care giver. Pada pelaksanaan psikoedukasi keluarga terkadang penulis tidak melakukan sesuai urutan dari sesi-sesinya, tetapi menyesuaikan dan melihat kebutuhan care giver pada saat itu. Khusus untuk pertemuan pertama penulis tetap melakukan pengkajian awal terhadap masalah yang dialami pasien dan care giver (sesi 1) dan setelah itu baru menyesuaikan dengan kebutuhan care giver seperti jika pada saat itu care giver terlihat ansietas maka penulis langsung memberikan terapi untuk manajemen ansietasnya seperti tarik nafas dalam, hypnosis lima jari, relaksasi progressif atau thought stopping atau jika pada saat itu ada anggota keluarga lain maka Penulis langsung memberikan sesi manajemen beban. Pelaksanaan sesi terakhir dari masing-masing terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah Support system. Pada pelaksanaan sesi ini Penulis melakukan secara beriringan sehingga lebih efisien, dimana support system bagi individu adalah keluarga atau orang terdekat pasien. Diharapkan dengan pemberian terapi ini diharapkan keluarga dapat menjadi support system bagi pasien dalam memperoleh kemandirian seoptimal mungkin sesuai dengan kondisi fisik pasien saat ini.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
80
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) dilakukan dalam 4-5 kali pertemuan dengan masing-masing pertemuan 30 - 45 menit. Pelaksanaan pada sesi 1 – 3 dari terapi ini adalah melibatkan anggota keluarga yang terlibat langsung dengan pasien, yaitu care giver dan pada sesi 4 – 5 melibatkan 1 – 3 anggota keluarga lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan dan kesediaan anggota keluarga untuk mengikuti terapi ini. 4.1.3.2 Pelaksanaan Terapi Medik Terapi medis tidak diberikan pada pasien dengan harga diri rendah situasional karena diagnosa/masalah ini masih dapat diatasi dengan terapi keperawatan yang diberikan. Terapi medik diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit fisik yang dialami pasien. Kolaborasi yang dilakukan penulis selaku perawat CLMHN adalah bekerjasama dengan perawat ruangan dan dokter penanggung jawab pasien dimana penulis melakukan sharing pengetahuan dan ketrampilan dalam mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku pasien yang mengalami harga diri rendah situasional saat pemeriksaan kesehatan fisik dan psikososial. Selain itu jika ada pasien penyakit fisik yang mengalami tanda dan gejala kearah gangguan mental emosional berat maka penulis selaku perawat CLMHN akan merujuk ke psikiater. Berdasarkan atas pengkajian terapi medis yang dilakukan terhadap pasien dengan harga diri rendah situasional serta kolaborasi dengan dokter penanggung jawab ruangan, terapi medis yang bersifat psikofarmaka yang diberikan kepada pasien berupa anti insomnia dalam dosis yang kecil dan terkandung didalam terapi medis tersebut. 4.1.4 Evaluasi Hasil Evaluasi hasil kemampuan pasien dan keluarga dengan diagnosa harga diri rendah situasional setelah diberikan terapi keperawatan dinilai dengan cara membandingkan hasil pengkajian dan kemampuan pasien dan keluarga (care giver) setelah mendapatkan terapi. Tabel 4.17. menjelaskan persentase jumlah pasien yang mengalami peningkatan kemampuan dalam mengatasi masalah harga diri rendah situasional.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
81
Tabel 4.17 Jumlah Pasien dan Keluarga Berdasarkan Hasil Evaluasi PelaksanaanTerapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (N=33) No 1
2
Kemampuan Pasien Mampu melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran rasional, kemampuan ini telah membudaya pada pasien.
Jumlah
Prosentase
27
81.81
Mampu melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran rasional dengan bimbingan dan belum membudaya
6
18,18
30
90,90
3
9,09
Keluarga Mampu mengoptimalkan peran sebagai caregiver/ social support, kemampuan mengenal masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban Belum mampu mengoptimalkan peran sebagai caregiver/ social support serta butuh pendampingan dalam mengenal masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban.
Berdasarkan tabel 4.17 di atas dapat dilihat bahwa dari 33 pasien harga diri rendah situasional dan care giver, sebagian besar pasien (81,81%) memiliki kemampuan melawan pikiran otomatis negatif dengan pikiran rasional secara membudaya dan (90,90%) keluarga (care giver) mampu mengoptimalkan peran sebagai care giver / social support dan memiliki kemampuan mengenal masalah, cara perawatan, manajemen ansietas dan beban dalam perawatan pasien. Jumlah pasien dan care giver yang mengalami peningkatan kemampuan setelah diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga melebihi target dari yang penulis harapkan yaitu terjadi peningkatan (57%) atau 19 pasien dan (72,72%) atau 24 orang care giver.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
82
Tabel 4.18 Evaluasi Pemberian Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga Terhadap Penilaian Stresor Pasien Harga Diri Rendah Situasional Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) Pre
No
Penilaian Terhadap Stresor
1
Respon Kognitif a. Menilai diri negatif b. Sulit konsentrasi c. Merasa tidak berguna/ tidak berdaya d. Sulit untuk membuat keputusan Respon Afektif a. Menyalahkan diri b. Sedih/ khawatir c. Bingung d. Kesal e. Malu
2
3
4
5
Respon Fisiologis a. Gangguan pola tidur b. Gangguan pola makan c. Keluhan Fisik Respon Perilaku a. Marah b. Menangis c. Mengkritik diri d. Motivasi menurun Respon Sosial a. Menghindari interaksi b. Aktivitas terbatas c. Pasif
Post
Selisih
Jml
%
Jml
%
Jml
%
24 21 18
72,72 63,63 54,54
2 5 0
6,06 15,15 0
22 16 18
66,67 48,48 54,54
15
45,45
2
6,06
13
39,39
22 33 33 16 33
66,66 100 100 48,48 100
3 8 13 3 8
9,09 24,24 30,30 9,09 24,24
19 25 20 13 25
57,57 75,75 60,60 39,39 75,75
17 14 10
51,51 42,42 30,30
11 9 8
33,33 27,27 24,24
6 5 2
18,18 15,15 6,06
8 12 20 15
24,24 36,36 60,60 45,45
3 2 5 8
9,09 6,06 15,15 24,24
5 10 15 7
15,15 30,30 45,45 21,21
15 28 24
45,45 84,84 72,72
3 11 7
9,09 33,33 21,21
12 17 17
36,36 51,51 51,51
Berdasarkan tabel 4.18 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pasien terhadap stresor, secara umum pasien mengalami peningkatan harga diri. Hal ini tampak dari adanya penurunan gejala/respon yang menunjukkan
adanya
harga
diri
rendah
pada
pasien
dengan
membandingkan respon pasien saat pre dengan post diberikan intervensi keperawatan. Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada respon afektif yaitu perasaan malu sebesar 75,57%. Respon lain yang memiliki perubahan atau selisih yang besar terlihat pada respon kognitif khususnya menilai diri negatif yaitu sebesar 66,67%. Data ini menunjukkan bahwa dengan pemberian terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi keluarga
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
83
kepada care giver penilaian pasien harga diri rendah situasional terhadap stresor yang paling berpengaruh adalah respon kognitif dan respon afektif. Peningkatan
kemampuan
pasien
ini
juga
tampak
dari
tingkat
kemandiriannya. Pada saat pengkajian dari 33 pasien terdapat 10 orang tingkat kemadirian self care dan 23 orang partial care. Pada akhir terapi tingkat kemandirian pasien menjadi 15 orang partial care dan lainnya 18 orang self care. Pada pasien dan keluarga yang telah mampu mandiri dan diperbolehkan pulang, diupayakan kepada pasien dan keluarga untuk mengikuti kelompok suportif dan kelompok swabantu yang ada di lingkungan RSUP Persahabatan khususnya yang telah ada yaitu untuk penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan TBC. Berdasarkan tabel 4.19 terlihat kemampuan care giver, secara umum mengalami peningkatan peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor. Hal ini tampak dari adanya selisih peningkatan dengan membandingkan kemampuan care giver saat pre dengan post diberikan psikoedukasi keluarga. Perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada kemampuan kognitif yaitu kemampuan mengenal masalah dalam merawat pasien penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional dan mengetahui tanda, gejala, penyebab dan cara perawatan sebesar (72,72%). Kemampuan lain yang memiliki perubahan atau selisih yang besar terlihat pada manajemen stres/ ansietas yaitu sebesar (70%). Pada kemampuan psikomotor perubahan atau selisih yang paling besar terlihat pada cara merawat pasien dengan penyakit fisik yang mengalami harga diri rendah situasional. Data ini menunjukkan bahwa dengan pemberian psikoedukasi keluarga terjadi peningkatan kemampuan keluarga (care giver) dalam merawat pasien.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
84
Tabel 4.19 Evaluasi Kemampuan Kognitif dan Psikomotor care giver Setelah diberikan Psikoedukasi Keluarga Di Ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan Februari-April 2012 (n=33) No
Kemampuan Caregiver
1
Kemampuan Kognitif a. Mampu mengenal masalah dalam merawat Pasien penyakit fisik yang mengalami HDR Situasional b. Mampu menyebutkan perubahan yang terjadi dalam keluarga c. Mampu menyebutkan keinginan dan harapan dalam mengatasi masalah d. Mengetahui tanda, gejala, penyebab dan cara perawatan e. Mampu mengetahui stressor dalam merawat Pasien f. Mengetahui cara manajemen ansietas/ stress g. Mengetahui beban yang dihadapi dalam merawat Pasien HDR situasional h. Mengetahui cara mengurangi beban
2
Kemampuan Psikomotor a. Mampu mempraktikan cara merawat Pasien dengan penyakit fisik yang mengalami HDR situasional b. Mampu mempraktikkan cara mengelola stres/ ansietas dengan beberapa cara c. Mampu mempraktikkan cara mengurangi beban keluarga sesuai dengan masalah yang dihadapi d. Mampu berbagi tugas dan melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat Pasien.
Pre
Post
Selisih
Jml
%
Jml
%
Jml
6
18,18
30
90,90
24
72,72
10
30,30
28
84,84
18
54,54
21
63,63
33
100
12
36,36
6
18,18
30
90,90
24
72,72
10
30,30
27
81,81
17
51,51
5
15,15
28
84.84
23
70
23
70
33
100
10
30
18
54,54
25
75,75
7
21,21
2
4,04
30
90,90
28
84,84
5
15,15
28
75,75
23
70
10
30,30
30
90,90
20
60,60
25
75,75
33
100
8
24,24
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
%
Universitas Indonesia
85
4.1.5 Kendala Dan Rencana Tindak Lanjut Pelaksanaan Asuhan Keperawatan 4.1.5.1 Kendala Pada Pelaksanaan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga a. Beberapa pasien dengan harga diri rendah situasional mengalami kesulitan dalam pengenalan aspek positif yang dimiliki disebabkan karena tingkat pendidikan pasien yang rendah. b. Latar belakang pendidikan care giver yang sebagian besar SMP cukup menyulitkan mereka dalam memahami materi yang disampaikan sehingga perlu pengulangan 2-3 kali untuk beberapa sesi. c. Penulis sudah memberikan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional sesuai SAK tetapi karena kurangnya fasilitas seperti ruangan yang tenang dan privacy dalam melakukan terapi menyebabkan konsentrasi pasien terganggu. d. Perawat ruangan belum semuanya membudaya dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah situasional, sehingga terapi generalis yang seharusnya dapat dilakukan oleh semua perawat ruangan, masih perlu dilakukan oleh Penulis. e. Belum tersedianya perawat CLMHN pada ruang perawatan umum, sehingga asuhan keperawatan dan terapi yang diberikan tidak dapat berkelanjutan. 4.1.5.2 Rencana Tindak lanjut a. Melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan dan jadwal latihan pasien untuk mempertahankan kemampuan yang sudah dicapai pasien dan keluarga (care giver) b. Mempertimbangkan tersedianya perawat CLMHN di ruang perawatan/rumah sakit umum di RSUP Persahabatan c. Melakukan koordinasi dengan perawat yang berada di poli penyakit dalam dan perawat yang tergabung dalam tim edukator terutama untuk penyakit diabetes mellitus, hipertensi, jantung untuk mengikutsertakan pasien pada kegiatan suportif atau kelompok swabantu yang ada di RSUP Persahabatan.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
86
4.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan Jiwa di RSUP Persahabatan Pelaksanaan asuhan keperawatan tidak terlepas dari manajemen pelayanan keperawatan. Asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional dengan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan teori Adaptasi Roy ini dilakukan di unit pelayanan umum sehingga manajemen pelayanan yang digunakan adalah manajemen paraktik keperawatan profesional (MPKP). Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan di ruang Cempaka Atas dan Bedah Kelas RSUP Persahabatan. Berikut ini uraian manajemen pelayanan yang dilakukan : 4.2.1 Pengkajian Asuhan keperawatan pasien harga diri rendah situasional di unit pelayanan umum membutuhkan kerjasama dan koordinasi berbagai pihak terkait. Dalam hal ini melibatkan kepala bidang keperawatan, kepala ruang dan perawat ruangan serta berkoordinasi dengan tenaga medis pasien seperti dokter, farmasi dan gizi untuk mendapatkan pelayanan holistik bagi pasien. Hasil pengkajian manajemen keperawatan professional teridentifikasi bahwa RSUP persahabtan telah terbentuk memiliki visi misi yang mengedepankan kepentingan pasien. Terbukti dengan prestasi rumah sakit pada tahun 2007 atas predikat Patient Safety dan mendapat akreditasi penuh atas 16 standar pelayanan. Pengembangan manajemen pelayanan MPKP di tiap ruangan juga telah terbentuk struktur organisasi, visi, misi, dan filosofi yang menyesuaikan dengan visi misi rumah sakit. Penerapan asuhan keperawatan untuk dignosa keperawatn fisik sudah mengacu kepada Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang diterbitkan oleh RSUP Persahabatan. Tetapi untuk standar asuhan keperawatan dignosa psikososial yang sudah tersosialisasikan baru hanya 5 (lima) dignosa keperawatan yaitu ansietas, harga diri rendah situasional, gangguan citra tubuh, ketidakberdayaan dan keputusaan. Di kedua ruangan yaitu Cempaka Atas dan Bedah Kelas masing-masing telah memiliki 4 orang perawat (Karu, 2 Katim dan 1
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
87
perawat pelaksana) yang telah dilatih kemampuan MPKP dan penerapan asuhan keperawatan psikososial. Sehingga harapannya perawat yang telah mendapatkan pelatihan akan berpartisipasi dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional di ruangannya. Pengkajian terhadap kegiatan yang bersifat professional relationship yaitu telah melakukan kolaborasi dan sistem rujukan kepada dokter spesialis jiwa/ psikiater jika menemukan pasien yang juga mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa berat. Dimana peran perawat CLMHN melakukan asuhan keperawatan kepada pasien tersebut, memonitor efek dari terapi medis yang diberikan, pendidikan kesehatan kepada care giver serta mempersiapkan discharge planning pasien agar pasien mampu mandiri. RSUP juga sudah memilki poli psikiatri dan poli khusus untuk konsultasi VCT pada pasien dengan HIV/AIDS. 4.2.2 Perencanaan Berdasarkan
hasil
pengkajian
manajemen
pelayanan
keperawatan
profesional di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional maka dapat disusun perencanaan sebagai pedoman dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional akan melibatkan keluarga dan perawat yang ada diruangan. Selain itu juga pihak medis (Psikiater) jika membutuhkan pengobatan atau konsultasi psikiatri. 4.2.3 Pelaksanaan Kegiatan pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatn profesional dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional dilakukan dengan mengacu pada perencanaan yang telah disusun. Penulis bersama perawat generalis yang sudah dilatih melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan SAK psikososial yang telah disepakati. Perawat ruangan dan keluarga melakukan pemantauan atau monitoring terhadap kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari yaitu melakukan kegiatan yang telah dilatih dan sesuai kemampuan pasien.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
88
Penulis melakukan case conference kepada perawat ruangan, dokter penanggung
jawab
ruangan
terkait
dengan penyakit
fisik
yang
mengakibatkan masalah psikososial yaitu harga diri rendah, tentang perawatan pasien harga diri rendah situasional, memberdayakan keluarga sebagai
support
system
bagi
pasien,
supervisi
terhadap
asuhan
keperawatan psikososial kepada karu, katim dan perawat pelaksana yang telah dilatih dan evaluasi kinerja yang didokumentasi dalam bentuk raport bagi perawat. Seluruh pasien harga diri rendah situasional dilakukan follow up dan discharge planning ketika akan pulang. Penulis berkoordinasi dengan pihak
poli
penyakit
dalam
untuk
berkoordinasi
terkait
dengan
diikutsertakan dalam kelompok suportif dan kelompok swabantu yang sudah ada di RSUP Persahabatan seperti kelompok penyakt jantung, DM, TBC dan asma untuk meningkatkan mekanisme koping dan sumber koping pasien sehingga dapat terus adaptif. 4.2.4 Evaluasi Evaluasi pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan professional menunjukkan bahwa hampir seluruh kegiatan yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan. Perawat ruangan terlibat dalam perawatan pasien harga diri rendah situasional di ruangan masing-masing melalui intervensi generalis psikososial harga diri rendah situasional kepada pasien dan dengan melibatkan keluarga (care giver). Kemudian perawat ruangan dan keluarga melakukan monitoring terhadap kegiatan atau kemampuan positif yang telah dilatih kepada pasien dan keluarga. Hasil akhir dari implementasi terhadap pasien dan keluarga (care giver) dapat meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga sehingga dapat adaptif terhadap stimulus atau stressor yang muncul.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah situasional di ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan, manajemen pelayanan yang menunjang pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus spesialis meliputi karakteristik pasien harga diri rendah situasional, pengkajian pasien harga diri rendah situasional dan efektifitas penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) menggunakan pendekatan teori Adaptasi Roy. 5.1
Karakteristik Pasien Dengan Harga Diri Rendah Situasional
5.1.1 Usia Pasien Pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional sebagian besar berada pada rentang usia dewasa, tepatnya usia 41 tahun. Erik Erikson menggambarkan periode antara usia kira-kira 20-40 tahun sebagai stadium keintiman lawan absorpsi atau isolasi diri (intimacy versus self-absorption or isolation) (Kaplan & Sadock, 2005). Keintiman adalah bagaimana kemampuan individu membentuk persahabatan dan pergaulan yang hangat dengan orang lain. Kemampuan dalam hal membina hubungan yang erat/hangat dengan orang lain berbeda pada tahapan usia. Semakin meningkat usia seseorang semakin mengarahkan pada peran rasa tanggung jawab dan hubungannya dengan orang lain dan semakin peka terhadap kebutuhan orang lain. Berdasarkan tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada usia ini adalah melibatkan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Pada usia ini produktifitas manusia berada pada level yang optimal. Kegagalan memenuhi tugas perkembangan pada usia ini menyebabkan timbulnya rasa frustasi yang dapat mengakibatkan harga diri rendah. Ini sesuai dengan yang 89 Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
90
dikemukakan Boyd dan Nihart (1998), orang dewasa yang berusia 25 – 44 tahun beresiko lebih tinggi mengalami depresi. Dimana salah satu diagnosa keperawatan pada pasien depresi adalah harga diri rendah. Jadi pasien dewasa berusia 25 – 44 tahun juga beresiko tinggi mengalami harga diri rendah situasional. Definisi
lain
yang
mengembangkan
menerangkan
peran
dalam
bahwa
ketidakmampuan
hubungannya
dengan
untuk
orang
lain,
menimbulkan individu tetap terpisah dari orang lain, sehingga terjadi absorpsi diri atau isolasi sosial, tanpa perlekatan antar sesama individu pada tiap kelompok sosial (Kaplan & Sadock, 2005). Hal ini memberikan gambaran bahwa kematangan usia mempengaruhi penerimaan pasien terhadap suatu perubahan perilaku. Secara umum dapat disimpulkan bahwa umur berpengaruh terhadap kemampuan seseorang melakukan perannya dalam kehidupan sosial, karena umur seseorang diantaranya dapat menunjukkan maturitas/kematangan seseorang dalam berpikir dan bertindak (berperilaku) dalam hubungannya dengan orang lain. Sehingga jika individu tidak mampu melakukan perannya di kehidupan sosial dan tidak mampu menunjukan
maturitas/
kematangan
dapat
mengakibatkan
individu
mengalami harga diri rendah sesuai dengan situasi tersebut. 5.1.2
Jenis Kelamin Salah satu diagnosa keperawatan pada pasien dengan depresi adalah harga diri rendah. Depresi kebanyakan dialami pada wanita. Ini sesuai dengan yang
dikemukakan
Sosrosumihardjo
(2007
dalam
Hapsari
2007),
kemungkinan wanita mengalami depresi satu setengah kali sampai dua kali dibandingkan pria. Berdasarkan atas definisi tersebut wanita memiliki kemungkinan mengalami harga diri rendah karena penyakit fisik yang dialaminya. Tingginya masalah psikososial terutama depresi pada wanita, jika kita analisa lebih dikarenakan pada tanggung jawab seorang wanita terhadap
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
91
peran sosialnya yang tidak dapat dilakukan karena sakit. Seorang wanita lebih banyak memegang peran sosial didalam keluarga bahkan dilingkungan masyarakatnya, dibandingkan laki-laki. Disamping itu perempuan lebih didominasi
oleh
perasaan-emosional
atau
afektifnya
daripada
logika/rasionalnya. 5.1.3 Pendidikan Pasien Tingkat pendidikan pada sebagian besar pasien yang didiagnosa harga diri rendah situasional adalah SMP (36,36%). Pendidikan menjadi suatu tolok ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyelesaikan
masalah
yang
dihadapinya.
Pendidikan
cenderung
memberikan arah bagaimana seseorang menyelesaikan masalah secara rasional di samping aspek emosionalnya, misalnya mengambil keputusan untuk mencari bantuan dalam menyelesaikan masalahnya. Hal ini senada dengan pendapat Kopelowicz (2002) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan seseorang akan berkorelasi positif dengan keterampilan koping yang dimiliki. Pendidikan sebagai sumber koping berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerima informasi yang dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi seseorang. Pasien yang memiliki diagnosa harga diri rendah situasional ini sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga memiliki sumber koping yang kurang baik dalam menghadapi masalah. Jika dikaitkan dengan temuan di atas, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah mendukung terjadinya perilaku harga diri rendah. Analisa lain karena sebagian besar pasien mengalami penyakit fisik yang mengharuskan untuk dirawat yang menganggap bahwa dirinya lemah, tidak berdaya karena proses penyakitnya, merasa tidak berguna, tidak mampu berperan seperti sebelumnya, pikiran yang muncul berfokus kepada pikiran negatif ditambah lagi karena sebagian besar berpendidikan rendah
sehingga mekanisme
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
92
koping yang keluar adalah koping yang buruk, yang mengakibatkan mereka merasa rendah diri karena kondisinya tersebut. Hasil temuan tersebut berkaitan dengan pernyataan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara individu berperilaku, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian pasien terhadap stressor (Stuart dan Laraia, 2005). Jelas bahwa aspek intelektual merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya masalah psikososial karena berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menyampaikan ide atau pendapatnya, dan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Dan ketika harapan/keinginan tersebut tidak tercapai dapat mengakibatkan seseorang mengalami harga diri rendah sesuai dengan situasinya tersebut. 5.1.4 Pekerjaan Pasien Sebagian besar pasien mempunyai riwayat tidak bekerja sebelum mengalami sakit (57,57%). Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya proses terjadinya gangguan jiwa dan masalah psikososial. Menurut Hawari (2007) masalah pekerjaan merupakan sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat diatasi dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit. Kondisi tidak memiliki pekerjaan pada kasus dirawat ini semakin membuat pasien mengkritik diri, menilai diri negatif dan merasa tidak berguna sehingga mengalami harga diri rendah. Pekerjaan seseorang terkait erat dengan status sosial ekonomi yang bersangkutan. Masalah yang ditemukan pada pasien harga diri rendah situasional terkait dengan pekerjaan adalah adanya perasaan tidak mampu, merasa diri bodoh, merasa tidak ada orang lain yang peduli dan tidak memiliki ketrampilan serta tidak memiliki penghasilan. Analisa Penulis terhadap pasien harga diri rendah situasional bahwa memiliki pekerjaan identik dengan keberhasilan dalam memperoleh keuangan secara mandiri.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
93
Pasien yang tidak memiliki pekerjaan tidak mendapatkan penghasilan dan beresiko lebih tinggi mengalami masalah psikososial dibanding dengan pasien yang masih terjaga untuk tetap produktif di usia produktif mereka. Pemberian terapi kognitif pada pasien harga diri rendah situasional memberikan dampak yang cukup signifikan dalam membantu pasien mengidentifikasi dan melatih kemampuan positif yang masih dimiliki. Walaupun pasien berada dalam kondisi dengan penyakit fisik yang sangat tergantung pada orang lain, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas minimal sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan aktivitas tersebut pasien menyadari bahwa dibalik kelemahan fungsi tubuhnya, pasien masih memiliki kemampuan positif yang lain. Akhirnya pasien tidak lagi berfokus kepada kelemahannya tersebut, dan mengakibatkan penigkatan harga diri pasien. 5.1.5 Status Perkawinan Pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional yang dikelola sebagian besar (57,57%) menikah dan memiliki pasangan. Hawari (2007) menyatakan bahwa berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang. Pendapat ini memberikan gambaran bahwa pernikahan akan memberikan beban tambahan bagi pasien dalam menjalani kehidupan kelak, jika pasien kembali ke masyarakat, walaupun pendapat sebaliknya ada yang mengatakan bahwa status pernikahan juga dapat menjadikan pencetus terjadinya masalah kesehatan jiwa dan psikososial. Friedman (2010) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) fungsi dalam sebuah keluarga, yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan penempatan sosial, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, serta memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota keluarga. Seseorang yang telah berkeluarga akan menjalankan fungsi-fungsi keluarga tersebut. Berbagai fungsi keluarga ini merupakan stresor setiap orang yang berkeluarga sehingga ketidakmampuan dalam melaksanakan fungsi tersebut menyebabkan terjadinya harga diri rendah. Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
94
Harga diri rendah yang dialami seseorang dapat menyebabkan seseorang menjadi enggan berinteraksi dengan orang lain karena merasa tidak percaya diri. Selain itu pasien yang memiliki karakteristik status perkawinan sudah menikah (kawin) lebih berisiko terjadinya perilaku harga diri rendah. Hal ini terkait dengan adanya ketegangan peran atau konflik tidak mampu menjalankan peran karena mengalami keterbatasan/kelemahan fisik akibat penyakit fisik. Pasien yang memiliki masalah harga diri rendah akan menilai negatif pada dirinya sendirinya dan masa depannya sehingga pasien tersebut akan mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuannya dan hubungannya dengan orang lain. Dengan diberikannya terapi kognitif pasien dilatih untuk mengubah cara berfikir yang negatif dengan pikiran positif dan dapat berperilaku adaptif. Ini sesuai dengan pernyataan Beck et al (1987 dalam Townsend, 2009) tujuan terapi kognitif adalah pasien dapat mengenal pikiran otomatis negatif, memahami hubungan antara kognitif, afektif dan perilaku, mengatasi kelaianan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara menggantikannya dengan pikiran yang lebih realistis. 5.1.6 Lama Rawat dan Frekuensi Masuk Rumah Sakit Roy (2008) menyatakan bahwa frekuensi dan lama rawat merupakan stimulus kontekstual yang mempengaruhi kemampuan mous adaptasi pasien dalam berperilaku. Rawat berulang merupakan stimulus residual bagi pasien karena masih ada persepsi dan penilaian masyarakat tentang keparahan penyakit fisik dan berhubungan dengan beban care giver dalam merawat pasien. Stimulus ini mempengaruhi kemampuan adaptasi pasien terutamam subsistem kognator, sehingga pasien mengalami gangguan konsep diri yaitu harga diri rendah situasional . Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa waktu atau lamanya terpapar stresor, yakni terkait sejak kapan, sudah berapa lama, dan berapa kali kejadian (frekuensi) akan memberikan dampak adanya keterlambatan dalam
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
95
mencapai kemampuan dan kemandirian. Keliat (2002) juga menyatakan semakin singkat pasien dirawat maka akan memberikan keuntungan bagi pasien dan keluarga. Hal ini akan meminimalkan kemungkinan kemunduran fungsi sosial dan kemampuan pasien karena masalah penyakit fisiknya saat ini sehingga pasien dapat mengalami harga diri rendah situasional. Rata-rata lama sakit pasien dirawat relatif belum terlalu lama sehingga kemungkinan besar pasien dapat mencapai kemampuan mengatasi masalah dan kemandirian khususnya dalam hal ini kemampuan menghadapi stresor yang mengancam harga diri pasien. Kondisi kronis memberikan konsekuensi bagi pasien dalam memperberat masalah yang ada dan bagi keluarga akan menambah beban yang harus ditanggung. Pendapat diatas senanda dengan pernyataan Stuart dan Laraia (2005), seseorang yang baru pertama kali terkena masalah, penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang
intensif dengan tujuan untuk tindakan
pencegahan primer. Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa penanganan pasien dalam tingkat status apapun tetap memerlukan upaya yang serius dari semua pihak. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masalah menjadi lebih parah dan meningkatkan fungsi pasien yang lebih tinggi sesuai yang dimiliki pada semua level status kesehatannya. Inilah prinsip pencegahan baik pada tingkat primer, sekunder maupun tersier dalam keperawatan jiwa yang berkelanjutan. Pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga memberikan dampak yang cukup baik dalam memberdayakan kemampuan pasien dan keluarga (care giver). Hal ini bertujuan agar pasien tetap mampu berperan secara adaptif dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuan dimiliki oleh masing-masing pasien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
96
5.2. Kondisi Pasien Harga Diri Rendah Situasional 5.2.1 Faktor Predisposisi Sebagian besar pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga ditemukan faktor predisposisi biologis berupa penyakit fisik dan riwayat penyakit keluarga. Riwayat penyakit fisik sebelumnya ditemukan pada 20 pasien dari 33 pasien harga diri rendah situasional yang dikelola. Copel (2007) menyatakan ketidakseimbangan zat kimiawi dalam otak (neurotransmitter) seperti serotonin, norepinefrin dopamine dan asetilkolin dapat menyebabkan terjadinya perilaku harga diri rendah. Selain itu faktor biologis terjadinya harga diri rendah situasional dapat berasal penyakit fisik yang menahun, riwayat perilaku kesehatan yang buruk, riwayat masuk rumah sakit berulang dan riwayat putus obat (Stuart, 2009). Semua hal tersebut dapat menyebabkan gangguan metabolisme dalam tingkat jaringan bahkan sampai ke dalam tingkatan sel tubuh manusia termasuk sel-sel saraf (Smeltzer dkk, 2008; Townsend, 2009). Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan pada lobus frontal dan sistem limbik. Kerusakan pada lobus frontal akan dapat menyebabkan gangguan berfikir dan ketidakmampuan pasien dalam mengontrol emosi sehingga respon kognitif pasien yaitu menilai secara negatif tentang diri, orang lain dan lingkungan serta berperilaku yang maladaptif sebagai akibat cara berpikir yang negatif (Townsend, 2009). Pasien dengan penyakit fisik kronis dan mendapat terapi medis jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan pada bagian otaknya sehingga jelaslah bahwa pasien dengan penyakit fisik kronis, terminal yang mendapatkan terapi medis dapat mengalami masalah gangguan jiwa ringan sampai berat. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian tersebut diatas. Hasil pengkajian faktor predisposisi biologi pasien harga diri rendah situasional memiliki kesamaan dengan pengkajian repons fisiologis pada mode adaptif (Roy, 2008) tentang kontribusi fisiologis terhadap terjadinya harga diri rendah situasional.
Persamaan yang ditemukan terletak pada
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
97
kontribusi biologi terhadap proses koping sehingga mengakibatkan terjadinya harga diri rendah situasional. Secara psikologis teridentifikasi sebagian besar pasien (60,60%) memiliki riwayat pengalaman tidak menyenangkan. Pengalaman tidak menyenangkan dapat berupa penolakan, kegagalan yang berulang, dan tidak tercapai ideal diri yang diharapkan. Kondisi ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laraia (2005) yaitu sumber harga diri yang berasal dari diri sendiri. Faktor yang mempengaruhi harga diri yang berasal dari diri sendiri seperti kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis, sedangkan yang berasal dari orang lain adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis. Faktor predisposisi ketiga adalah sosial budaya. Teridentifikasi (60,60%) adanya faktor sosial ekonomi rendah dan (60,60%) pendidikan yang rendah. Townsend (2009) menyatakan harapan peran budaya, tekanan dari kelompok
dan perubahan dalam struktur sosial merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi harga diri. Berdasarkan definisi tersebut pasien dengan sosioekonomi rendah dapat mengalami harga diri rendah disebabkan karena ketidaksesuaian antara kondisi kenyataan hidup dengan penghasilan yang didapatkan. Sedangkan pendidikan yang rendah dapat menjadi pencetus harga diri rendah bisa disebabkan karena ketidakmampuan seseorang memecahkan masalah dengan menggunakan koping yang ada atau bisa juga karena sulit beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Stuart dan Laraia (2005) mengemukakan bahwa pendidikan dapat dijadikan tolok ukur kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Faktor predisposisi yang teridentifikasi pada model adaptasi stress Stuart senada dengan stimulus kontekstual dan residual. Persamaan terletak pada faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah harga diri rendah pasien. Sama dengan stimulus fokal, stimulus kontekstual juga dilihat dari aspek internal
dan eksternal. Aspek internal pada stimulus kontekstual
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
98
teridentifikasi dalam faktor predisposisi biologi. Aspek eksternal pada stimulus kontekstual dan stimulus residual teridentifikasi dari faktor predisposisi psikologi dan sosial budaya. 5.2.2 Faktor Presipitasi Faktor presipitasi biologis pasien harga diri rendah situasional yang mendapatkan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga adalah kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit fisik (100%) dan hasil laboratorium abnormal (54,54%). Kessler (1977, dalam Townsend, 2009) menitik beratkan pada faktor biologis yaitu melihat penyebab masalah psikososial yang dihadapi oleh pasien yang dirawat di rumah sakit dikarenakan karena kondisi kesehatannya dan hasil dari tindakan yang diberikan terkait dengan penyakit fisiknya. Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa stressor pencetus biologis pasien dengan harga diri rendah situasional adalah karena kondisi penyakitnya dan hasil pemeriksaan laboratorium dari penyakitnya. Stuart (2009) menyatakan bahwa stresor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah trauma dan ketegangan peran berhubungan dengan transisi sehat-sakit; serta stresor biologis yang dapat berwujud penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, dan zat beracun lainnya. Asumsi stresor presipitasi terjadinya harga diri rendah pada pasien dengan penyakit fisik adalah adanya transisi dari kondisi sehat ke sakit akibat penyakit yang diderita. Perubahan dalam fungsi tubuh akibat penyakit fisik yang dialami dan juga perubahan bentuk tubuh yang mungkin disebabkan karena adanya luka, fraktur dan proses pembedahan (tindakan medis) sehingga membuat gambaran diri pasien dan ideal diri pasien terganggu yang akhirnya mengakibatkan perubahan pada harga diri pasien. Stressor presipitasi yaitu kondisi sehubungan dengan penyakit akan mempengaruhi mekanisme koping pasien tersebut. Viedebeck (2008) menyatakan mekanisme koping individu tergantung dari respon pasien terhadap penyakit dan terapi.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
99
Berdasarkan definisi tersebut maka kesehatan fisik berpengaruh terhadap cara individu berespon terhadap stres atau gangguan psikososial. Semakin sehat individu, semakin baik koping nya terhadap stres atau penyakit. Pada pasien dengan penyakit fisik akan mengalami status nutrisi yang buruk, kurang tidur sehingga dapat menghambat kemampuan individu melakukan koping. Jika koping individu buruk maka akan jatuh kepada masalah psikososial seperti harga diri rendah, isolasi, putus asa dan lain-lain. Faktor presipitasi psikologis pada pasien teridentifikasi (100%) merasakan kesedihan terhadap kondisi penyakit yang dialami. Perasaan kesedihan karena kondisi fisik yang lemah, tidak berdaya dan mengalami keterbatasan dilatarbelakangi oleh pengalaman yang tidak menyenangkan atau kegagalan/ kehilangan yang pernah dialami pasien. Sehingga pengalaman traumatis tersebut memicu kondisi pasien saat ini yang berakibat pasien mengalami harga diri rendah situasional. Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemungkinan menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan ( Lambert & Lambert, 1985 dalam Viedebeck, 2008 ). Respon kehilangan
dipengaruhi
oleh
respon
individu
terhadap
kehilangan
sebelumnya (faktor predisposisi). Pasien dengan penyakit fisik biasanya mengalami kehilangan terkait dengan kehilangan aspek diri (biopsikososial) yang disebabkan karena kehilangan fungsi tubuh (biologis) yang berakibat pada kehilangan peran sosial (pekerjaan, kedudukan). Kondisi kehilangan saat ini menjadi pemicu bangkitan traumatis terhadap kehilangan yang sebelumnya pernah terjadi. Sehingga jika pasien tidak mampu beradaptasi terhadap proses kehilangan ini akan mengakibatkan munculnya masalah psikososial yaitu depresi. Kondisi Dimana salah satu diagnosa keperawatan dari diagnosa medis depresi ini adalah harga diri rendah situasional maupun kronis, tergantung dari waktu dan lamanya individu tersebut mengalaminya.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
100
Faktor sosial budaya yang menjadi pencetus terjadinya harga diri rendah situasional (70%) adalah karena hospitalisasi yang mengakibatkan pasien tidak dapat bekerja. Ini berkaitan dengan peran dan tanggung jawab pasien di keluarga. Sebanyak (54,54%) pasien juga mengalami ketidakmampuan berperan di keluarga. Ketidakmampuan pasien dalam melaksanakan peran dan fungsinya dalam keluarga baik sebagai suami maupun sebagai istri menyebabkan kualitas hubungan di dalam keluarga menurun. Hal ini akhirnya mengganggu ideal diri dan peran diri pasien sehingga muncul harga diri rendah pada pasien. Kondisi hospitalisasi dapat mengakibatkan pasien mengalami harga diri rendah situasional, ini terkait dengan resourcefulness pasien yang buruk. Resourcefulness adalah penggunaan kemampuan dalam penyelesaian masalah, dimana seseorang meyakini bahwa dia dapat melakukan koping terhadap situasi yang tidak menguntungkan atau situasi baru, terhadap lingkungan yang menimbulkan stres dan perasaan depresi yang menyertai (Zauszniewski, 1995 dalam Viedebeck, 2008). Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit dapat mengalami masalah psikososial harga diri rendah situasional karena stressor lingkungan baru mengakibatkan pasien tidak mampu beradaptasi, dan mekanisme koping pasien yang buruk karena penyakit fisiknya akhirnya pasien jatuh kepada penurunan rasa percaya diri yaitu harga diri rendah situasional. Asal stresor pada pasien harga diri rendah situasional berasal dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara biologis dan psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005) pada Model Stres Adaptasi Stuart bahwa stresor dapat berasal dari internal maupun eksternal. Pasien harga diri rendah situasional rata-rata memiliki lebih dari dua stressor yang berasal dari stressor internal dan eksternal.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
101
Seluruh pasien harga diri rendah situasional (100%) asal stressor berasal dari stresor internal dan (33,33%) diantaranya juga memiliki stresor eksternal. Stresor internal berasal dari diri sendiri berupa stresor secara biologis dan psikologis, sedangkan stresor eksternal berupa stresor sosial kultural. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Stuart dan Laria (2005). Waktu stresor rata-rata yang dialami pasien adalah kurang dari 6 bulan. Stuart dan Laraia (2005) menyatakan jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan lebih sulit diselesaikan dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu. Setiap stresor atau masalah membutuhkan koping untuk menyelesaiknnya. Jika semakin banyak stresor yang dimiliki oleh individu maka individu tersebut makin dituntut untuk memiliki koping yang adekuat untuk dapat mengatasinya. Pada pasien yang di rawat tidak memiliki koping yang adekuat sehingga pasien jatuh pada kondisi harga diri rendah situasional. Stresor yang berasal dari internal dan eksternal yang teridentifikasi pada model adaptasi stress Stuart sesuai dengan stimulus fokal pada model adaptasi Roy. Persamaan dua konsep ini terletak pada pengaruh langsung terhadap penyebab harga diri rendah pasien. Kedua model ini melihat faktor presipitasi dan stimulus fokal sebagai stimulus pencetus yang menyebabkan terjadinya harga diri rendah pada pasien. Selain itu dua model ini melihat stimulus tersebut berasal dari dua stimulus yaitu internal dan eksternal. Stimulus internal pada stimulus fokal model adaptasi Roy teridentifikasi dalam bentuk faktor presipitasi biologi dan psikologis model adaptasi stress Stuart. Stimulus eksternal pada stimulus fokal model adaptasi Roy teridentifikasi dalam bentuk faktor presipitasi sosial budaya. 5.2.3 Faktor Penilaian Terhadap Stresor Penilaian terhadap stresor yang ditemukan berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dengan harga diri rendah situasional dimanifestasikan dalam bentuk respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, perilaku dan respon
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
102
sosial. Pada pasien dirawat ini teridentifikasi (72,72%) pasien secara kognitif menilai diri negatif dan (63,63)% diantaranya menyatakan sulit konsentrasi. Pada pasien yang mengalami harga diri rendah situasional, perubahan proses pikir ditunjukkan dengan adanya distorsi kognitif seperti pikiran bahwa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan tidak pantas menerima kondisi sakitnya, ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan dan merasa tidak memiliki tujuan hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan (Stuart & Laraia, 2005) penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat pasien terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu dengan lingkungannya terhadap suatu stresor. Pada pasien harga diri rendah situasional kegagalan dan pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialaminya yang tidak sesuai dengan harapan dan ideal diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan menyebabkan pasien mengkritik diri dan mengalami harga diri rendah. Pasien harga diri rendah situasional dirawat memiliki faktor predisposisi pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti kegagalan membina hubungan, kehilangan, penolakan sehingga merasa bodoh, tidak percaya diri atau merasa orang lain tidak mengakui keberadaan pasien, atau kegagalankegagalan lain dalam fungsi dan peran yang dijalaninya. Kenyataan yang ada pada pasien ini sesuai dengan yang diuraikan Townsend (2009); Herdman (2012); dan Fortinash (2004) bahwa pada pasien harga diri rendah penilaian individu berupa adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman berada dengan orang lain, merasa hubungan tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Pasien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
103
Penilaian terhadap stresor dalam bentuk respon afektif menunjukkan bahwa sebagian besar pasien (100%) merasa malu, sedih/ khawatir dan bingung dengan kondisi diri,. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) yang menjelaskan bahwa pada respon afektif terkait erat dengan respon emosi dalam menghadapi masalah. Respon yang muncul dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, tidak menerima, tidak percaya, dan menolak hubungan dengan orang lain. Penilaian afektif sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Rasa malu terhadap kondisi diri disebabkan karena kondisi fisik yang dialami tidak sesuai dengan ideal diri dan gambaran diri sehingga berpengaruh pada penampilan peran sehingga pasien jatuh pada kondisi harga diri rendah situasional. Respon fisiologis yang ditemukan pada pasien harga diri rendah yang dirawat adalah gangguan pola tidur dan pola makan serta keluhan-keluhan fisik (psikosomatis). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan data bahwa pasien dengan masalah harga diri rendah situasional sering terfokus pada persepsi dan pikirannya sendiri tentang kodisi penyakitnya saat ini sehingga hal ini menyebabkan motivasi menurun dan menghambat aktivitas seharihari. Stuart dan Laraia (2005) menyatakan manifestasi fisik pada pasien dengan harga diri rendah berupa hipertensi dan gangguan psikosomatis. Respon fisik terhadap perubahan harga diri adalah penurunan energi, lemah, agitasi, penurunan libido, tidak nafsu makan dan penurunan berat badan, makan berlebihan, diare atau konstipasi, dan gangguan tidur. Pada kondisi seperti ini berdasarkan hasil kolaborasi dengan dokter penanggung jawab ruangan dan psikiater, farmakoterapi yang diberikan terkait dengan penyakit fisik pasien juga sudah mencakup untuk mengatasi atau mengurangi gejala psikosomatis pasien. Seperti untuk meningkatkan nafsu makan, dokter memberikan vitamin untuk penambah nafsu makan, begitu juga dengan gangguan tidur dokter memberikan terapi anti insomnia pada pasien.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
104
Respon perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan atau kegiatan yang dilakukan pasien berkaitan dengan pandangannya terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Pada pasien harga diri rendah perilaku yang ditampilkan yakni mengkritik diri sendiri, menunda keputusan, hubungan yang buruk, merusak diri sendiri, bermusuhan, motivasi menurun, dan penurunan perawatan diri/kebersihan diri. Pada 33 orang pasien dirawat sebanyak (60,60%) mengkritik diri dan (45,45%) diantaranya mengalami penurunan motivasi dan perilaku lain berupa marah dan menangis. Perilaku mengkritik diri dominan pada pasien harga diri rendah karena pasien tidak memiliki kepuasan terhadap kondisi diri dan tidak mampu menerima diri apa adanya sehingga pasien selalui menilai diri secara negatif. Penurunan motivasi disebabkan karena pasien pikiran dan persepsi pasien terfokus pada diri sendiri dan khususnya pada pasien dengan depresi selain mengalami kehilangan minat dan kegembiraan juga berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2001). Respon sosial seseorang dipengaruhi bagaimana individu memandang stressor itu sendiri. Apabila individu menilai secara kognitif bahwa stressor tersebut membahayakan atau mengancam maka akan muncul perilaku dengan kewaspadaan meningkat seperti reaksi perilaku ansietas dan harga diri rendah. Respon sosial harga diri rendah menurut Stuart dan Laraia (2005) meliputi pasif, menyalahkan diri dan menarik diri. Tampak jelas berdasarkan hasil pengkajian respon sosial pasien adalah (72,72%) pasif dan (84,84%) aktivitas terbatas. Koping pasien dalam menghadapi masalahnya ini juga tampak sebagai respon sosial.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
105
5.2.4 Faktor Sumber Koping Kemampuan personal yang dimiliki sebagian besar pasien (75,75%) tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah Situasional. Kemampuan personal yang harus dimiliki pasien meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa kemampuan yang harus dimiliki pasien dalam mengatasi masalahnya meliputi kemampuan mengenal atau mengidentifikasi masalah, menentukan masalah yang akan diatasi, dan kemampuan menyelesaikan masalahnya. Keluarga merupakan stimulus residual dan bisa menjadi sumber pendukung maupun stressor bagi pasien. Pasien akan memperoleh pembelajaran perilaku dari keluarga. Oleh karena itu peran keluarga sangat penting untuk menciptakan lingkungan terapeutik yang akan mempengaruhi kemampuan adaptif pasien. Keluarga sebagai sumber social support bagi pasien sebanyak (81,81%) tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam merawat pasien harga diri rendah Situasional. Namun, seluruh pasien (100%) mendapatkan support dari keluarga sebagai orang yang merawat pasien di rumah sakit. Menurut Friedman (2010), salah satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Anggota keluarga sebagai orang terdekat dan selalu berdampingan dengan pasien idealnya memiliki kemampuan dalam merawat pasien (care giver) secara optimal. Salah satu bentuk dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari kelompok. Sebanyak (63,63%) pasien memiliki kelompok dengan kondisi penyakit yang sama. Dukungan dari kelompok sangat berpengaruh terhadap stressor dan koping pasien. Semakin rendah dukungan kelompok yang diterima oleh pasien menyebabkan peningkatan stresor. Demikian sebaliknya jika dukungan dari kelompok yang diterima semakin meningkat maka kemampuan koping akan meningkat dan pasien akan merasa berharga
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
106
di kelompoknyua sehingga tidak terjadi harga diri rendah. Hal ini sesuai dengan Viedebeck (2008) yang menyatakan bahwa dukungan sosial yang membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor dalam mencapai ketrampilan koping yang efektif. Analisa yang dapat ditegakkan adalah bahwa dengan dukungan sosial maka seseorang akan merasa dihargai dan dapat meningkatkan harga diri pasien. Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material aset merupakan salah satu sumber koping (Stuart & Laraia, 2005). Pada pasien dirawat hanya sebagian kecil (24,24%) yang memiliki penghasilan individu dan penghasilan ini tidak mencukupi untuk biaya perawatan sehingga biaya perawatan juga berasal dari bantuan keluarga (30,30%). Namun (81,81%) pasien memiliki jamkesmas/SKTM serta (66,67%) memiliki tempat tinggal yang tidak terjangkau dengan pelayanan kesehatan. Seseorang yang memiliki material asset
memungkinkan untuk
mengakses
pelayanan
kesehatan yang
dibutuhkan sebagai solusi terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi. Sebagian besar pasien (75,75%) memiliki keyakinan positif terhadap kondisi penyakitnya. Keyakinan yang positif akan menimbulkan motivasi dalam menyelesaikan segala stresor yang dihadapi. Keyakinan positif ini akan berkorelasi terhadap stresor pasien. Keyakinan positif pasien berkaitan dengan aspek spiritual. Spiritualitas mencakup keberadaan individu dan keyakinannya tentang makna hidup dan tujuan hidup (Viedebeck, 2008). Penelitian telah menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan bantuan yang tulus bagi individu yang mengalami masalah penyakit fisik, psikososial maupun kejiwaan, yang berperan sebagai media koping utama dan merupakan sumber makna dan koherensi dalam hidup mereka atau membantu dalam menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993 dalam Viedebeck, 2008). Karena keyakinan dan spiritualitas membantu pasien dalam melakukan koping terhadap stres dan penyakit.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
107
Aspek penilaian terhadap stresor dan sumber koping ini sesuai dengan proses koping pada model adaptasi Roy (2008). Proses koping pada model adaptasi Roy terdiri atas subsistem regulator dan kognator. Subsistem regulator teridentifikasi dari penilaian terhadap stresor dan sumber koping yang berkaitan dengan fisiologis. Sedangkan penilaian terhadap stresor dan sumber koping yang konsep diri, fungsi peran dan interdependensi diidentifikasi pada penilaian stresor fungsi kognitif, afektif, perilaku dan sosial serta sumber koping (kemampuan personal, sumber koping, asset material dan keyakinan yang positif). 5.2.5 Faktor Mekanisme Koping Semua pasien menggunakan mekanisme koping untuk mengahadapi stresor dengan berfokus pada masalah. Sebagian besar pasien juga menggunakan mekanisme koping yang berfokus pada emosi dan kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa pasien kurang mampu mengembangkan mekanisme koping yang adaptif dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya. Roy mengkategorikan mekanisme koping menjadi subsistem regulator atau kognator (Roy, 2008). Mekanisme koping dari subsistem regulator terjadi melalui saraf, kimia, dan proses endokrin. Mekanisme koping dari subsistem kognator terjadi melalui kognitif-emotif proses. Mekanisme koping yang digunakan oleh pasien sebagian besar menggunakan mekanisme koping yang berfokus pada emosi (ego defense mechanisme) antara lain supresi, proyeksi dan reaksi formasi. Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada tindakan untuk menghadapi stress, termasuk upaya penyelesaian masalah yang secara langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri dari
pengalaman
yang
menakutkan
berhubungan
dengan
respons
neurobiologik (Stuart & Laraia, 2005).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
108
Penggunaan mekanisme koping yang berfokus pada emosi, tidak dapat menyelesaikan masalah dengan efektif, seperti yang dialami oleh sebagian besar pasien yang dirawat. Penggunaan mekanisme koping, seperti supresi memberikan rasa aman yang tidak berlangsung lama pada pasien, tanpa menyelesaikan penyebab utama dari masalah dan mekanisme koping proyeksi juga tidak menyelesaikan masalah tetapi lebih memberikan efek negatif terhadap perilaku pasien. Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care giver menggambarkan bahwa sebagian besar pasien mampu mengembangkan mekanisme koping adaptif. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang dapat
diubah
melalui
tiga
strategi
yaitu
menggunakan
kekuatan/kekuasaan/dorongan, pemberian informasi, dan diskusi partisipan. Pendapat tersebut memberikan penjelasan bahwa mekanisme koping adaptif, dapat dikembangkan melalui berbagai strategi dan prinsip utamanya adalah adanya penyampaian informasi. Penjelasan ini memberikan konsekuensi bagi perawat sebagai terapis harus mampu memberikan pembelajaran kepada pasien dalam bentuk transfering dan role model, khususnya dalam bentuk pemberian terapi yang bertujuan mengarahkan perilaku pasien kearah yang adaptif. 5.2 Efektifitas Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah Situasional yang Diberikan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi Keluarga Dengan Menggunakan Model Adaptasi Roy Roy (1968, dalam Tomey & Alligood, 2006), menyatakan bahwa manusia digambarkan sebagai suatu model adaptif yang terbuka, yang terdiri dari bagian-bagian yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Manusia akan menerima stimulus baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Stimulus ini akan membuat aktivasi dari mekanisme koping dan mempengaruhi sistem adaptif manusia. Jika kemampuan manusia tersebut tidak bisa
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
109
mengatasi stimulus yang masuk, akan muncul respon yang inefektif, bisa dalam bentuk perilaku. Perilaku merupakan upaya dari seluruh sistem untuk mempertahankan keseimbangan sistem perilaku dan individu memiliki keunikan tersendiri dalam pola tindakan perilaku yang diperlihatkannya dengan orang lain. Pada karya tulis ini, penerapan model adaptasi Roy untuk mengatasi masalah harga diri rendah situasional dapat digunakan dengan baik. Stimulus fokal (input) yang juga merupakan faktor presipitasi bagi pasien harga diri rendah situasional adalah penyakit fisik pasien yaitu diabetes mellitus, hipertensi, fraktur, kanker payudara, BPH, Parese, DHF dan Cepalgia serta hasil laboratorium yang abnormal. Sedangkan karakteristik pasien, asset ekonomi, lama dirawat (hospitalisasi) dan frekuensi masuk RS merupakan stimulus kontekstual sedangkan karakteristik keluarga (care giver), faktor lingkungan, keyakinan (spiritualitas) serta nilai/ norma yang dianut merupakan stimulus residur bagi pasien harga diri rendah situasional. Proses kontrol pada model adaptasi Roy merupakan mekanisme koping yang dimiliki pasien. Pada pasien harga diri rendah situasional, mekanisme yang kita fokuskan adalah kognator, yaitu masalah kognitif dan afektif. Pada pasien harga diri rendah situasional mekanisme ini tidak mampu menghasilkan adaptasi yang baik, sehingga pasien mengalami harga diri rendah situasional. Tindakan keperawatan dalam bentuk terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care giver yang diberikan berguna untuk memperkuat mekanisme koping kognator pasien. Pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga ini sesuai dengan konsep model adaptasi Roy, yang diarahkan pada konsep input, proses kontrol, efektor dan output. Intervensi dalam hal ini lebih difokuskan pada terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care giver yang diberikan oleh perawat
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
110
dengan tujuan untuk meningkatkan mekanisme koping, yaitu kognator pada pasien harga diri rendah situasional. Hasil pelaksanaan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care giver
di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP
Persahabatan yang diberikan pada pasien telah memberikan pengaruh yang efektif terhadap perubahan perilaku pasien kearah yang adaptif dan perubahan terhadap respon kognitif, afektif, perilaku kearah yang lebih baik. Hasil tersebut tentunya integral dengan peran perawat yang memberikan asuhan keperawatan di Ruang Cempaka atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan. Hal ini juga tidak terlepas dari konsep asuhan keperawatan jiwa yang dikemukakan Stuart dan Laraia (2005), bahwa kunci dan alat terapeutik bagi perawat jiwa adalah penggunaan diri sendiri terapis disamping ilmu perilaku yang dimilikinya. Perawat memandang luas adanya perbedaan pengalaman manusia sebagai pasien disepanjang rentang sehat-sakit dalam pemenuhan kebutuhan pasien secara biologis, psikologis, dan sosiokultural. Hubungan perawat-pasien merupakan faktor penentu dalam proses keperawatan secara menyeluruh. Hasil terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dan keluarga secara umum menunjukkan hasil yang efektif. Hal ini dibuktikan dengan kondisi akhir pasien dan care giver setelah mengikuti terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menunjukkan peningkatan kemampuan yang mandiri secara kognitif, perilaku, dan sosial serta respon kognitif, perilaku, afektif, dan sosial yang adaptif. Pada pelaksanaannya semua pasien yang mendapatkan paket terapi kognitif dan care giver mendapatkan psikoedukasi keluarga. Hasil yang didapatkan memberikan pengaruh kepada pasien dengan harga diri rendah situasional dimana terjadi perubahan respon kognitif, afektif, perilaku dan sosial dalam
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
111
mengahadapi
kondisi
penyakit
fisik
yang
dialaminya.
Sedangkan
psikoedukasi keluarga yang diberikan pada care giver menunjukkan adanya peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor dalam hal merawat pasien dengan kondisi penyakit fisik dan psikososial, mengatasi ansietas, berbagi beban serta pemberdayaan kelompok melalui support system yang lain selain keluarga. Terapi yang diberikan akan memperkuat proses kontrol, yaitu mekanisme koping kognator. Setelah itu, mekanisme koping kognator yang kuat akan mempengaruhi efektor, yaitu sistem adaptif pasien. Pada pasien harga diri rendah situasional, sistem adaptif yang akan terpengaruh adalah konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dengan mekanisme koping yang adaptif, ketiga sistem adaptif tersebut akan menghasilkan perilaku adaptif. Sehingga output pada model adaptasi Roy ini terlihat pada respon adaptif, yaitu respon-respon positif pada pasien harga diri rendah situasional. Berdasarkan data-data di atas dapat dikatakan bahwa model adaptasi Roy pada pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional sangat efektif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penerapan terapi kognitif pada pasien harga diri rendah situasional dan psikoedukasi keluarga kepada care giver terbukti efektif adalah pada pasien dengan diagnosa harga diri rendah situasional. Hal ini dapat diperkirakan karena adanya; 1) pasien tersebut memiliki masalah psikososial yang belum sampai tahap gangguan sehingga proses pasien dalam penerimaan terapi lebih mudah dan pasien juga merasakan dampak rasional dari terapi kognitif yang diberikan 2) standar asuhan keperawatan (SAK) untuk diagnosa dan terapi kognitif serta psikoedukasi keluarga yang ada telah baku (dalam bentuk modul yang telah diteliti) untuk penanganan pasien dengan masalah psikososial. Sementara itu dalam pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dengan harga diri rendah situasional dalam karya ilmiah akhir ini juga ditemukan fakta bahwa terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
112
dapat dilaksanakan dengan beriringan. Maksudnya disini adalah pada saat Penulis melakukan terapi kognitif pada sesi 4, bisa dilakukan psikoedukasi keluarga, karena isi pada sesi ini merupakan pemberdayaan support system. Selain itu sangat penting dilakukan terapi psikoedukasi keluarga disamping terapi yang diberikan kepada individu. Dimana keluarga (care giver) merupakan orang terdekat pasien. Sesuai dengan tugas dan kewajiban keluarga antara lain (Bailon, 2011) sebagai berikut, 1) mengenal masalah kesehatan, 2) membuat keputusan tindakan kesehatan, 3) memberi perawatan pada anggota keluarganya, 4) menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan 5) menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan. Sementara itu Roy (dalam Tomey & Alligood, 2006), juga mempunyai pendapat mengenai keluarga, bahwa keluarga merupakan pasien, keluarga juga merupakan salah satu support system pasien. Selain adanya ikatan emosional dalam keluarga, tiap anggota keluarga mempunyai kewajiban terhadap sesama anggotanya sebagaimana yang terlukiskan dalam batasan berikut, bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih
yang
mempunyai hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan yang terus menerus, yang tinggal dalam satu atap, yang mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban antara satu orang dengan
yang lainnya (Friedman, 2010). Sumber koping keluarga dapat
berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang memadai, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan (Stuart & Laraia, 2005). Hasil penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada keluarga (care giver) pada diagnosa keperawatan harga diri rendah situasional memberikan pengaruh yang sangat berarti pada peningkatan harga diri dan kemampuan pasien. Perilaku pasien dan keluarga yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga secara nyata mengalami
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
113
perubahan ke arah yang adaptif. Hal ini tidak terlepas dari peran keluarga sebagai faktor pendukung pasien. Oleh karena itu peran serta keluarga dalam rangka membangun fungsi positif yang dimiliki pasien perlu difasilitasi. Sehingga sangat efektif jika perawat memberikan terapi kognitif bagi pasien dan psikoedukasi keluarga bagi keluarga (care giver) dimana peran serta keluarga tetap diakomodasi melalui terapi psikoedukasi keluarga. 5.3 Implikasi Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga. Pemberian terapi keperawatan jiwa spesialis khususnya terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga memberikan pengaruh yang cukup efektif bagi perubahan tanda, gejala dan peningkatan kemampuan pasien dan keluarga. Terutama dalam meningkatkan kemampuan positif yang masih dimiliki pasien sebagai akibat penurunan fungsi dari masalah penyakit fisik dialaminya. Selain itu pemberian terapi ini memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis. Implikasi yang dapat diraih dari hasil penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dengan masalah psikososial, khususnya masalah harga diri rendah situasional adalah fakta adanya efektifitas terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga bagi masalah keperawatan dalam meningkatkan perilaku adaptif pasien, mengubah pikiran/ persepsi negatif terhadap kondisi penyakit fisik yang dialami dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, manajemen ansietas dan pemberdayaan support system. Dampak tersebut dapat terlihat dari perubahan respon pasien baik secara kognitif, sosial, dan perilaku kearah perilaku adaptif sehingga tidak terjadi harga diri rendah. Di antara perilaku yang dapat diamati adalah bahwa pasien tidak menunjukkan persepsi/ pikiran negatif terhadap stresor atau masalah yang dihadapi dan pasien mampu melakukan hubungan yang baik dengan orang lain sesuai dengan kebutuhannya secara jujur dan terbuka serta
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
114
percaya diri, dan yang paling penting pasien tidak merasa rendah diri dan mampu menerima kondisi dirinya. Hal ini tentunya selain memberikan manfaat bagi pasien dan keluarganya, pasien mampu adaptif terhadap stressor terutama penyakit fisik sehingga pasien mampu mandiri dan mengurangi beban keluarga (care giver) dan keluarga terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam merawat pasien sehingga secara timbal balik berdampak pada peningkatan harga diri pasien. Hasil terapi ini juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pelayanan keperawatan secara menyeluruh di ruangan. Perawat dapat menggunakan fakta ini sebagai data untuk memberikan keyakinan bagi diri perawat dan seluruh anggota tim yang menangani pasien, terutama berkaitan dengan kondisi status kesehatan pasien dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pentingnya peran perawat CLMHN di unit pelayanan umum rumah sakit. Penerapan terapi kognitif pada pasien dan psikoedukasi keluarga pada care giver ini juga dapat dijadikan dasar penetapan terapi modalitas keperawatan bagi pasien di ruang rawat melengkapi terapi modalitas yang lainnya baik keperawatan, medik, dan lainnya dalam pendekatan tim pelayanan keperawatan pada pasien khususnya dengan pasien masalah psikososial yang dirawat di rumah sakit umum. Namun demikian, sejalan pelaksanaan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga yang diberikan pada diagnosa keperawatan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy yang telah berhasil seperti diuraikan pada penjelasan di atas, disadari masih memiliki beberapa keterbatasan karena beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi tersebut, diantaranya:
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
115
5.3.1 Sumber Daya Manusia Tidak adanya perawat yang memiliki latar belakang pendidikan spesialis jiwa, memberikan dampak tersendiri untuk pelaksanaan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada pasien dengan harga diri rendah
situasional.
Penulis
melaksanakan
terapi
kognitif
dan
psikoedukasi keluarga pada 33 orang pasien dan care giver secara mandiri sehingga terkait dengan keberlanjutan terapi kurang begitu optimal jika penulis tidak berada di ruangan. Selain itu, penulis tidak menggunakan instrument yang sudah baku untuk mengukur kondisi awal sebelum dilakukan terapi dan kondisi akhir setelah terapi selesai diberikan. Karena justifikasi yang diberikan tentang efektivitas terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga akan lebih ilmiah jika dilakukan pengukuran terhadap respon pasien jika berdasarkan sumber yang valid. Oleh karena itu disarankan untuk tulisan ilmiah berikutnya, sebaiknya menggunakan instrument dalam mengukur respon pasien, salah satunya instrument Rosenberg’s Scale. 5.3.2 Pasien dan keluarga Psikodinamika pasien harga diri rendah sangat variatif memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk mengkaji kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi tiap pasien sesuai dengan latar belakang masalah masingmasing. Hal ini masih ditambah dengan kemampuan masing-masing pasien dan keluarga dalam menerima pembelajaran terapi sesuai karakteristik pasien dan keluarga masing-masing. Fakta ini memberikan konsekuensi bagi Penulis untuk menyediakan waktu yang cukup agar pencapaian tujuan secara spesifik berdasarkan kebutuhan pasien dapat terpenuhi. .
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
116
5.3.3 Lingkungan Perawatan Fasilitas pendukung dari ruangan untuk psikoterapi belum tersedia tersedia secara khusus. Fasilitas yang dipergunakan oleh Penulis masih minimal, artinya tidak ada ruangan yang secara khusus dipergunakan untuk pelaksanakan psikoterapi, khususnya psikoedukasi keluarga. Hal ini penting bagi pelaksanaan psikoterapi pada pasien dan care giver yang memerlukan waktu dan syarat privacy serta menghindari adanya distraksi konsentrasi bagi pasien dan terapis.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan menguraiakan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa di unit pelayanan umum. 6.1 Kesimpulan Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus pada pasien harga diri rendah situasional yang diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan pendekatan teori Adaptasi Roy di Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan. Kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 6.1.1 Hasil pengkajian karakteristik pasien harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan mayoritas berusia dewasa, jenis kelamin perempuan, pendidikan menengah kebawah (SMP), Tidak bekerja, kawin, lama rawat rata-rata 9 hari dan frekuensi masuk rumah sakit rata-rata 2 kali. 6.1.2 Hasil pengkajian faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah situasional yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis adalah karena adanya riwayat penyakit fisik yang dialami, aspek psikologis karena pengalaman yang tidak menyenangkan dan pada aspek
sosial budaya yaitu karena pendidikan rendah dan status
ekonomi rendah. 6.1.3 Hasil pengkajian faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu karena kondisi tubuh sehubungan dengan penyakit fisik yang dialami dan aspek psikologis yaitu kesedihan karena kondisi penyakit. 6.1.4 Hasil pengkajian penilaian terhadap stresor secara kognitif adalah sebagian besar pasien menilai diri negatif, respon afektif merasa sedih/ khawatir dan bingung, respon fisiologis sebagian besar memiliki gangguan pola tidur. Respon Perilaku sebagian besar mengkritik diri
117
Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
118
dan respon sosial sebagian besar pasien memilki aktivitas yang terbatas. 6.1.5 Hasil pengkajian sumber koping mayoritas pasien Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional, sebagian besar keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi harga diri rendah situasional, lebih dari setengahnya pasien memiliki kelompok dengan penyakit yang sama, sebagian besar memakai Jamkesmas untuk pengobatan, sebagian besar pasien memiliki tempat tinggal yang tidak terjangkau dengan pelayanan kesehatan (jauh) dan sebagian besar pasien memiliki keyakinan positif akan kesembuhan penyakitnya. 6.1.6 Hasil pengkajian karakteristik keluarga (care giver) pada pasien harga diri rendah situasional di Ruang Cempaka Atas dan Bedah kelas RSUP Persahabatan mayoritas berusia dewasa, jenis kelamin perempuan, pendidikan rendah (SMP) dan hubungan dengan pasien sebagian besar adalah pasangan pasien istri/ suami. 6.1.7 Rencana pelayanan untuk pasien dan care giver dengan harga diri rendah situasional semua pasien dan care giver diberikan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga. 6.1.8 Manajemen terapi keperawatan generalis dimana (100%) pasien dan care giver mendapatkan tindakan generalis untuk harga diri rendah situasional. Terapi keperawatan spesialis dengan memberikan terapi kognitif kepada pasien dan psikoedukasi keluarga kepada care giver didapatkan (81,81%) pasien mampu melawan pikiran otomatis negatif dan
telah
membudaya
dan
(90,90%)
care
giver
mampu
mengoptimalkan peran sebagai support system, mengenal masalah, cara merawat pasien, manajemen ansietas dan manajemen beban. 6.1.9 Pada evaluasi akhir seluruh pasien mengalami peningkatan harga diri yang tampak dari respon pasien secara kognitif, fisiologis, afektif, perilaku, dan sosial. Perubahan atau selisih nilai pre dan post yang paling besar yaitu respon afektif (75,75%), respon kognitif (66,67%) dan diikuti oleh respon sosial yaitu sebesar (51,51%).
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
119
6.1.10 Pada evaluasi akhir seluruh care giver mengalami peningkatan kemampuan yaitu mengenal masalah dalam merawat pasien, cara merawat pasien, manajemen stres/ ansietas dan manajemen beban. Perubahan atau selisih pre dan post yang terlihat paling besar yaitu pada kemampuan dalam merawat pasien (84,84%) dan manajemen stres/ ansietas 6.1.11 Efektifitas terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada karya ilmiah ini disadari sebagai hasil kumulatif dari terapi modalitas yang dilakukan, yaitu dari terapi keperawatan, sumber dukungan pasien, motivasi pasien dan care giver, faktor lingkungan dan psikofarmaka terkait dengan penyakit fisik pasien. 6.1.12 Model adaptasi Roy mampu mengakomodasi asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah situasional, karena model ini mengembangkan adaptasi individu terhadap stressor. Harga diri rendah merupakan proses adaptasi yang tidak efektif, jika efektif maka perilaku ini tidak terjadi. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan hasil karya ilmiah ini maka ada beberapa saran yang dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di unit pelayanan umum. 6.2.1
Bagi Kementerian Kesehatan 6.2.1.1 Manajemen kasus spesialis keperawatan pada pasien dan keluarga dengan harga diri rendah yang dilakukan dalam bentuk pelayanan CLMHN di unit pelayanan umum dapat dipertimbangkan sebagai kajian lanjut pentingnya peran CLMHN
di RSU sebagai advokasi, sosialisasi dan
komunikasi 6.2.1.2 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan jiwa spesialistik bagi pasien di tatanan rumah sakit umum.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
120
6.2.1.3 Melakukan advokasi pelayanan psikososial pasien terintegrasi
dengan
keluarga
dan
program
yang
kesehatan
masyarakat, baik ditingkat kabupaten, propinsi maupun tingkat nasional. 6.2.1.4 Menyusun uraian tugas dan wewenang yang jelas antara perawat D3, S1 dan Spesialis keperawatan jiwa melalui metode konsultan yang dapat digunakan oleh seluruh rumah sakit umum dalam penanganan masalah psikososial. . 6.2.2 Bagi RSUP Persahabatan 6.2.2.1 Menerapkan pelayanan holistik pada pasien di RSUP tidak hanya berfokus pada penyakit fisik saja dan memberdayakan fungsi keluarga, kelompok maupun komunitas dalam meningkatkan fungsi perawatan bagi pasien 6.2.2.2 Perlunya perawat CLMHN yang ditempatkan di unit pelayanan umum dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang holistik dan kolaborasi dengan Psikiater. 6.2.2.3 Membuat kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan spesialistik khususnya membuat standar asuhan keperawatan untuk diagnose psikososial. 6.2.2.4 Meningkatkan dan mempertahankan kerjasama dengan pihak pendidikan tinggi keperawatan untuk mengembangkan praktik keperawatan jiwa spesialis. 6.2.2 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI 6.2.3.1
Melanjutkan kerjasama dengan RSUP Persahabatan dalam bentuk praktik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai sarana sosialisasi dan penerapan asuhan keperawatan jiwa profesional dan psikososial.
6.2.3.2
Membantu pengembangan program CLMHN dan MPKP dengan menempatkan lulusan perawat spesialis jiwa di RSUP Persahabatan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
121
6.2.3.3
Mempersiapkan Perawat CLMHN atau Spesialis Jiwa untuk bertanggung jawab dalam melakukan monitoring terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya dan terhadap pelaksanaan Asuhan keperawatan psikososial di RSUP Persahabatan.
6.2.3.4
Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis melalui
program
standarisasi
dan
lisensi
praktik
keperawatan jiwa spesialis. 6.2.4
Penulis 6.2.4.1
Mengembangkan kemampuan dalam manajemen pelayanan keperawatan sesuai dengan kondisi pasien, keluarga, masyarakat, serta kondisi pelayanan di unit pelayanan umum dengan menggunakan konsep teori keperawatan yang sesuai
6.2.4.2
Meningkatkan kemampuan sebagai perawat CLMHN dalam melakukan manajemen asuhan keperawatan jiwa spesialis pada pasien dengan melakukan kolaborasi dengan Psikiater.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA Burns, D.D. (1998). Terapi kognitif. Pendekatan baru bagi penanganan depresi. Terjemahan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Boyd, M.A., & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice, Philadelphia: Lippincott Cavusaglu, H. (2001). Self esteem in adolescence: A comparison of adolescents with diabetes mellitus and leukimia. Pediatric Nursing, July-August 2001 Vol 27 no 4. Copel, L.C. (2007). Kesehatan jiwa dan psikiatri, pedoman klinis perawat (psychiatric and mental health care nurse’s clinical guide). Edisi Bahasa Indonesia.Cetakan kedua. Alih bahasa: Akemat. Jakarta: EGC Depkes RI. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI FIK-UI, (2011), Laporan Spesialis Keperawatan Jiwa: Residensi dan Aplikasi, FIK- UI Depok Friedman, Marilyn M. (2010). Keperawatan keluarga : teori dan praktik (family nursing : theory and practice) alih bahasa : Ina Debora R.L, Jakarta : EGC Fleischacker, W.et al (2006). Factors influencing compliance in schizophrenia patients. Journal Clin psychiatry:64(suppl 16);10-13 Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3th ed). New York : Thomson Delmar Learning. Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. New Jersey. Sixth edition. Pearson Education. Inc Frisch, N.C. dan Frisch, L.E., (2006). Psychiatric mental health nursing. (3rd ed.). Canada: Thomson Delmar Learning Goldenberg, I dan Goldenberg, H. (2004). Family therapy an overview. Sixth edition. United States: Thomson Grandfa. (2007). Tanggulangi depresi secara tepat. http://id.shvoong.com/ medicine-and-health/neurology/1670144-tanggulangi-depresi-secaratepat/, diperoleh 19 Mei 2012 Hamid, dkk. (2002). Persepsi pasien dan suami tentang pengaruh mastektomi terhadap citra tubuh dan fungsi seksual. JKI, 6(2), hal 50-60 146 Universitas Indonesia
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
147
Hardman, P. (1999). A liaison project : A review october 1999. North manchester healthcare journal, 99 Hapsari, H. (2007). Wanita Lebih Rentan Depresi. ¶ http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/kesehatan/wanita-lebih-rentan-depresi-3.html. diperoleh tanggal 3 Mai 2012. Hawari, D. (2007). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta : FK-UI Kaplan, H.I., Sadock, B.J. dan Grebb, J.A. (2005). Sinopsis psikiatri. Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa : Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis Psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara. Keliat, dkk. (2006). Modul IC CMHN; Manajemen kasus gangguan jiwa dalam keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan World Health Organization Kristyaningsih, T. (2009). Pengaruh terapi kognitif terhadap perubahan harga diri dan kondisi depresi pasien gagal ginjal kronik di ruang haemodialisa RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2009. Tesis. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Herdman Heather. (2012). NANDA. Nursing diagnoses: definition classification 2012 - 2014. Iowa, USA: NANDA International
&
Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya Mohr.WK, (2006). Psychiatric mental health nursing (6 th edition), Philadelpia, Lippincott Williams & Wilkins. Nauli. (2011). Pengaruh logoterapi kelompok dan psikoedukasi keluarga pada lansia depresi dengan diagnose keperawatan harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial di Kelurahan Katulampa. Jakarta. Tesis FIK UI, tidak dipublikasikan. Notoatmodjo, S. (2010). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nurbani. (2009). Pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap masalah psikososial ansietas dan beban keluarga (caregiver) dalam merawat pasien stroke di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. Tesis FIK UI, tidak dipublikasikan
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
148
Purwaningsih, S. (2011). Rencana kerja kinerja pengelolaan pengembangan sumber daya manusia pada bidang pelayanan keperawatan RSUP Persahabatan. Jakarta. Kertas kerja perseorangan. RSUP Persahabatan, tidak dipublikasikan Rahayuningsih, A. (2007). Pengaruh Terapi Kognitif terhadap tingkat harga diri dan kemandirian pasien dengan Kanker Payudaradi RS Kanker Dharmais Jakarta. Tidak dipublikasikan Roy,S.C. (2008). The Roy adaptation model. 3rd Ed. Chestnut Hill. Masachusets Sadock, B.J & Sadock, V.A. (2005). Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry: behavioral science/ clinical psychiatry. 10th Ed. Lippincot: Williams & Wilkins. Sari. (2009). Pengaruh Family Psychoeducation therapy terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Kabupaten Bireun Nangroe Aceh Darussalam, Tesis FIK UI, tidak dipublikasikan Shives, R.L.(2005). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing. (6th ed.). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, JL., Cheever, K.H. (2008). Brunner & suddarth’s: Textbook of medical-surgical nursing (11 th ed). Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. Stuart, G. W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th ed.). Canada: Mosby, Inc. Stuart, G. W. & Laraia, M.T. (2005). Principle and practice of psychiatric nursing. (8th ed.). Philadelphia, USA: Mosby, Inc. Tomey, M.A & Alligood, M. R (2006), Nursing Theories and Their Work, (6th Ed).St. Louis: Mosby Elsevier Townsend, C.M. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa : Renata Komalasari dan Alfrina Hany. Jakarta: EGC. Varcarolis, E.M. (2010),Foundations of psychiatric mental health nursing. Sixth edition. St Louis Missouri.\ Varcarolis, Elizabeth. M.et.al. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing a Clinical Approach. Edisi 5. Saunders Elsevier. St. Louis. Missouri
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
149
Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse. St. Louis: Mosby. Workshop Keperawatan Jiwa FIK – UI, (2011). Kumpulan Terapi Individu. Jakarta: FIK – UI (Tidak dipublikasikan). Workshop Keperawatan Jiwa FIK UI. (2009). Draft Standar Asuhan Keperawatan Program Spesialis Jiwa. Tidak dipublikasikan.
Universitas Indonesia Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 ∑ %
Riwa yat pena yakit fisik 1 1
Biologis Paparan Riwa kimia/ yat radiasi peny. kelua rga 1 1 1
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1
1 1 1
1 1
1 1 1 1
1
1 1
1 1 1
1 1 20 60,60
1 1 14 42,42
5 15,15
MATRIK PENGKAJIAN FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI DIAGNOSA PSIKOSOSIAL HDR PADA KLIEN DENGAN PENDEKATAN ADAPTASI STRES STUART DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN JAKARTA FAKTOR PREDISPOSISI FAKTOR PRESIPITASI Psikologis SosialKultural Biologis Psikologis SosialKultural Sedih Kegag Hspitalisasi Kmis Gg. Dirawat Komunikasi Status Pnddkn Kondisi Cemas Introvert Riwayat Pengala krn alan kinan Peran berulang Tertutup ekono rendah krn krn Kegaglan man penya mi peny. biaya Tdk kit rendah fisik menyena ngkan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19 13 20 14 10 20 20 33 20 33 23 23 18 18 57,57 39,39 60,60 42,42 30,30 60,60 30,30 100 60,60 100 70 69,69 54,54 54,54
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
MATRIK PENGKAJIAN PENILAIAN STRESOR DIAGNOSA PSIKOSOSIAL PADA KLIEN HDR DENGAN PENDEKATAN ADAPTASI STRES STUART DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN KOGNITIF
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 ∑ %
Menilai diri negatif
1 1 1 1
Sulit Kons entra si
1 1 1 1
Mrs tdk b’gu na/ tdk b’da ya
AFEKTIF Sulit Buat kepts an
Menya lahkan diri
Sedih Kha watir
Bingu ng
1
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
22 66.66
33 100
33 100
1 1
1
1 1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1
1 1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1 1
1 1
1
1 1 1 1 1 1
1 1 1
1
1 1
1 1 1 1
1 1
24 72.72
21 63.63
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1
1 1
1 1 1
1 1
1 1
1
1 18 54.5
1 1 1
15 45,4
FISIOLOGIS Kesal
1 1 1 1 1
1
1
1 1 1 1 1 1
1 1
1
16 48.48
PERILAKU
Malu
Ggg Pola tidur
Ggg Pola Mkn
Kel. Fisik
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1 1 1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 33 100
1 1 1
Marah
Menan gis
1 1 1
1
1 1 1
1 1
M’kritik diri
1 1 1 1 1
SOSIAL Mtivasi turun
1 1
1
1
1 1 1
1
1
1
1 1
1
1 1
1 1 1 1 1 1
1
1 1
1 1
1
1
1
1
1
1
1 1 1 1 1
1
1
1
1
1
1 17 51.51
1 15 45.45
28 84,84
1 1
1 14 42.42
10 30,30
8 24.24
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
12 36.36
1
20 60.60
1
M’hindar
pasif
1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1
1
1 1 1
1
1 1
1
1
1
1
1 1 1 1 1 1 1
1 1 1
1 1
1 1 1 1 1
1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1
1
1 1
1 1 1 1 1
1 1
1
Aktiv. T’batas
1 1 1
1 1
1
1 1
1
1
1
1
1 15 45,45
24 72.72
DISTRIBUSI TERAPI SPESIALIS YANG DIBERIKAN KEPADA KLIEN HDR SITUASIONAL DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN PERIODE 20 FEBRUARI - 20 APRIL 2012
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 TOTAL %
Klien Ny.Em Ny. Mae Ny.Sa Ny.Sur Ny.Yul Ny.Rg Ny.Zn Ny.MS Ny.Sul Ny.Mel Ny.Sd Ny. Sup Ny.Ais Ny.Am Ny.Ar Ny.Kan Ny.Kod Ny.Nng Ny.Nov Ny.Res Tn.Ab Tn.Bo Tn.De Tn.Sup Tn.Ras Tn.Tah Tn.Kus Ny.Min Tn.Am Tn.Den Tn.Ad Ny.St Ny.Kus ∑ %
CT 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 33 100
BT
1
1 1
1 1
1 6 18,18
TERAPI SPESIALIS RP TS 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 22 11 66,66 33,33
FPE 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 33 100
SUPORTIF 1
1
1 1 1
1 1 1 1 1
1
1 1 13 39,39
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
DISTRIBUSI SUMBER KOPING PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN PERIODE 20 FEBRUARI - 20 APRIL 2012
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 ∑ %
Kemampuan Personal Tidak Tahu Tahu/ Mampu
Dukungan Keluarga Ada mampu Ada tdk mampu rawat rawat
1 1 1 1 1
1
1 1 1 1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1 1
6 27.27
Jauh
1 1 1 1 1
1
1
1 1
21 66.66
1
8 24.24
1
1
1
1 1 1 1 1
1
1 1
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 27 81.81
1 1 22 66.66
Tdk Yakin Sembuh
1
1 1
1
10 30.3
Yakin akan Sembuh
1 1 1 1 1
1 1 1 12 36.36
dekat
1 1 1 1 1 1
1 1
1
Keyakinan Positif
1
1 1
1 1
0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1 1 1
1
8 30.3
Jamkesmas
1 1 1
1 1 1
1
1 1 27 69.69
1 1
Akses
Bantuan Klg
1
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1 1
Pribadi
1
1
1 1
Tidak ada
1 1
1 1 1
1 1
Ada
Ketersedian Materi
1
1
1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 25 75,75
Tidak ada
1 1 1 1 1
1 1
Dukungan Kelompok
11 33.33
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
25 75.75
1 1 8 24.24
REKAPITULASI MANAJEMEN KASUS KLIEN DENGAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN 20 PEBRUARI - 20 APRIL 2012 Diagnosa Keperawatan No
Klien
Dx Medik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Ny.Em Ny. Mae Ny.Sa Ny.Sur Ny.Yul Ny.Rg Ny.Zn Ny.MS Ny.Sul Ny.Mel Ny.Sd Ny. Sup Ny.Ais Ny.Am Ny.Ar
Ca Mamae CVD,HT Ca mamae Ca mamae HT DM,HT Anemia HT, Stroke DHF Cepalgia DM,HT DM DM Ca mamae DM Fraktur Cruris DM,HT DM,HT Parese DM BPH Fraktur Fraktur
17 18 19 20 21 22 23
Ny.Kan Ny.Kod Ny.Nng Ny.Nov Ny.Res Tn.Ab Tn.Bo Tn. De
Ansietas
GCT
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √
√ √
√ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √
Tdk Berdaya
Terapi HDR Situasional
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Peran Tidak Efektif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Tingkat ketergantungan
Gen
Sp
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE
M P P P M P M P P M P P M P M P
√ √ √ √ √ √ √
CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE
P P P M P P P
REKAPITULASI MANAJEMEN KASUS KLIEN DENGAN TERAPI KOGNITIF DAN PSIKOEDUKASI KELUARGA DI RUANG CEMPAKA ATAS DAN BEDAH KELAS RSUP PERSAHABATAN 20 PEBRUARI - 20 APRIL 2012 Diagnosa Keperawatan No
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Klien
Tn.Sup Tn.Ras Tn.Tah Tn.Kus Ny.Min Tn.Am Tn.Den Tn.Ad Ny.St Ny.Kus
Dx Medik
DM,HT DM BPH Fraktur HT BPH Fraktur Fraktur HT,DM HT,DM
Ansietas √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
GCT
Tdk Berdaya
√ √
√
√
√
√ √ √
√ √ √ √ √
√
Terapi HDR Situasional √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Peran Tidak Efektif √ √ √ √ √
√
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Tingkat ketergantungan
Gen
Sp
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE CT,FPE
P M P P M P P P P P
Universitas Indonesi MODUL TERAPI KOGNITIF UNTUK PASIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH Oleh: Tjahjanti Kristyaningsih, SKp Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc. Novi Helena C. Daulima, SKp, M.Sc
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2009
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
1
BAB I PENDAHULUAN Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang prevalensi cukup banyak. WHO mencatat pada tahun 2006 terdapat 121 juta orang mengalami depresi, sebanyak 5,8 % pria dan 9,5 % wanita di dunia pernah mengalami episode depresif dalam hidup mereka (Andra, 2007). Diperkirakan, pada tahun 2020, depresi akan menempati peringkat kedua setelah penyakit jantung, yang umum dialami masyarakat di dunia. Bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian bunuh diri akibat depresi menempati peringkat ke-11 penyebab kematian penduduk (Amril, 2007). Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitas-aktivitas umum (Copel, 2007). Pasien dapat mengungkapkan bahwa mereka merasa murung, tidak ada harapan, terbuang dan tidak berharga. Depresi yang merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa khususnya gangguan mood atau gangguan alam perasaan ini dapat mengganggu kehidupan individu. Individu diliputi kesedihan jangka panjang dan drastis, agitasi, disertai dengan keraguan terhadap diri sendiri, rasa bersalah, dan marah yang dapat mengubah aktivitas hidupnya terutama aktivitas yang melibatkan harga diri, pekerjaan dan hubungan dengan orang lain (Videbeck, 2001). Seseorang yang mengalami kondisi depresi pada umumnya mengalami masalah dalam aspek harga diri, yaitu harga diri rendah. Harga diri rendah adalah evaluasi yang negatif terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (NANDA, 2005). Individu yang mengalami kondisi depresi 2
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
dan menunjukkan perilaku harga diri rendah biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau aspek positif dirinya sendiri. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada individu yang mengalami depresi dan menunjukkan perilaku harga diri rendah adalah dengan membantu pasien memeriksa penilaian kognitif dirinya terhadap situasi yang berhubungan dengan perasaan untuk membantu pasien dalam meningkatkan penghayatan diri dan kemudian melakukan tindakan untuk mengubah perilaku. Pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah berupa meluaskan kesadaran diri, eksplorasi diri, evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005). Pada kondisi depresi yang memiliki masalah keperawatan harga diri rendah mungin membutuhkan intervensi keperawatan yang lebih lanjut. Hal ini dikarenakan pasien cenderung memiliki pikiran-pikiran negatif pada dirinya. Intervensi keperawatan lanjut yang dimaksud adalah pemberian terapi-terapi spesialistik yang tertuju untuk individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dimana salah satu dari terapi individu adalah terapi kognitif, yaitu suatu bentuk psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif. Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980).
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3
Untuk lebih terarah dalam mencapai tujuan kegiatan terapi kognitif, maka dibuat sebuah modul Terapi Kognitif pada pasien Depresi dan Harga Diri Rendah. Kegiatan terapi kognitif yang dikembangkan dalam modul ini merupakan modifikasi modul Terapi Kognitif yang telah direkomendasikan dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK – UI pada tahun 2008 lalu yang meliputi 9 sesi dan dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Dengan pemberian terapi kognitif ini diharapkan pasien dapat merubah pikiranpikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif sesuai dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan dirinya.
BAB III PENUTUP Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan alam perasaan yang memunculkan gejala yang mengindikasikan adanya disfungsi afek, emosi, pikiran dan aktivitas-aktivitas umum (Copel, 2007). Seseorang yang mengalami kondisi depresi pada umumnya memiliki diagnosa keperawatan harga diri rendah, yaitu evaluasi atau perasaan yang negatif terhadap diri dan kemampuan diri yang berkepanjangan (NANDA, 2005). Individu yang mengalami kondisi depresi dan menunjukkan perilaku harga diri rendah biasanya memiliki cara pandang terhadap dirinya yang bersifat negatif dimana ia tidak mampu mengenal kemampuan atau aspek positif dirinya sendiri, sehingga pendekatan penyelesaian masalah harga diri rendah ini berupa memperluas kesadaran diri, eksplorasi diri, evaluasi diri, perencanaan yang realistik dan komitmen terhadap tindakan (Stuart & Laraia, 2005). Intervensi keperawatan lanjut berupa pemberian terapi-terapi spesialistik yang tertuju untuk individu, kelompok, keluarga dan masyarakat dimana salah satu dari terapi individu adalah terapi kognitif, yaitu suatu bentuk psikoterapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara pasien menafsirkan dan memandang segala sesuatu pada saat pasien mengalami kekecewaan, sehingga pasien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif.
4
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
33
BAB II PROSES PELAKSANAAN TERAPI KOGNITIF
2. Keluarga No
Aspek yang dinilai
1
Mengungkapkan dukungan dalam membantu pasien untuk melaksanakan terapi kognitif di rumah Membantu pasien dalam pelaksanaan membuat catatan harian Memberi pujian terhadap perilaku positif pasien
2 3
Keluarga Ya Tidak
A. Pengertian Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berfikir yang diinginkan (positif) dan merubah pikiran-pikiran yang negatif (Boyd & Nihart, 1998). Menurut Granfa (2007), terapi Kognitif adalah suatu proses-proses mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya harga diri dan depresi yang menetap. Terapi kognitif bukanlah suatu cara bagaimana memecahkan masalah pasien, namun suatu cara membantu pasien untuk mengembangkan cara-cara baru dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman di masa lalu dan mencari alternatif penyelesaian masalahnya sendiri (Boyd & Nihart, 1998). Dengan demikian maka, terapi kognitif merupakan suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekecewaan, kegagalan dan ketidakberdayaan, sehingga pasien dapat menjadi lebih baik dan dapat kembali produktif. B. Tujuan Terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta pertumbuhan pribadi (Burn, 1980). Menurut Copel (2007), terapi kognitif bertujuan untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir yang
32
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
5
rasional, terlibat dalam uji realitas, dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran tidak logis dan negatif menjadi pemikiran yang positif, obyektif, dan masuk akal (rasional). C. Indikasi Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah untuk pengontrolan marah dan pengguna obat (Beck et al, 1979 dalam Varcarolis 2006). Terapi kognitif sangat bermanfaat pada pasien yang mengalami permasalahan dalam cara berfikir seperti pada pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al, 1993 dalam Boyd & Nihart, 1998). Gejala yang khas pada pasien depresi meliputi kelelahan, tidak mampu berkonsentrasi atau membuat keputusan, merasa sedih, tidak berharga atau sangat bersalah. Diagnosa keperawatan yang tepat dengan gejala tersebut adalah harga diri rendah (NANDA, 2005). Sedangkan diagnosa keperawatan lainnya yang berhubungan dengan kondisi depresi ini adalah ansietas, berduka disfungsional, keputusasaan, ketidakberdayaan, isolasi sosial, koping individu tidak efektif, dan resiko bunuh diri (Copel, 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikasi pemberian terapi kognitif adalah untuk pasien dengan masalah depresi maupun masalah psikiatrik lainnya yang memiliki diagnosa keperawatan tersebut, khususnya pada pasien dengan harga diri rendah baik situasional maupun kronik.
6
TANGGAPAN RASIONALKU Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
Tanggapan Rasionalku
CATATAN HARIANKU Hari / Tgl
Jam
Pikiran Otomatis
Tanggapan Rasionalku
Hasil
E. Evaluasi Evaluasi akhir kemampuan pasien dan keluarga dalam melaksanakan terapi kognitif secara mandiri 1. Pasien Pasien No Aspek yang dinilai Ya Tidak 1 Mengungkapkan pikiran otomatis 2 Mengungkapkan alasan 3 Mengungkapkan tanggapan rasional 4 Mengungkapkan hasil/manfaat terapi 5 Membuat catatan harian
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
31
2) Tindak Lanjut a) Menganjurkan pada keluarga untuk dapat menerima dan merawat pasien di rumah b) Menganjurkan keluarga untuk mengingatkan pasien dalam melaksanakan tugas-tugas mandiri yang telah dibuat bersama perawat dalam pertemuan sebelumnya. 3) Kontrak yang akan datang a) Membuat kesepakatan dengan keluarga untuk dapat menjadi support system bagi pasien b) Menyepakati waktu dan tempat 6. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien dan keluarga pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan. DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF No.
Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
30
D. Karakteristik Pasien Pasien yang dapat diberikan terapi kognitif adalah pasien dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah dengan karakteristik perilaku adalah: 1. Mengkritik diri sendiri atau orang lain, 2. Penurunan produktivitas, 3. Perilaku destruktif tertuju pada orang lain atau diri sendiri, 4. Gangguan dalam berhubungan, 5. Rasa diri penting yang berlebihan, 6. Perasaan tidak mampu, 7. Rasa bersalah, 8. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, 9. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, 10. Ketegangan peran yang dirasakan, 11. Pandangan hidup yang bertentangan, 12. Penolakan terhadap kemampuan personal, 13. Pengurungan diri/menarik diri secara sosial, 14. Penyalahgunaan zat, 15. Menarik diri dari realitas 16. Khawatir. Prasyarat kondisi lain yang dibutuhkan dalam pemberian terapi ini adalah : 1. Pasien bersedia untuk mengikuti/menjalani terapi. 2. Kondisi fisik saat dilakukan terapi dalam keadaan sehat, ditunjukkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah) dalam keadaan normal dan stabil 3. Komunikasi pasien koheren 4. Pasien kooperatif
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
7
E. Kriteria Terapis Semua profesi di bidang kesehatan yang memiliki legalitas dalam melakukan terapi kognitif dapat melaksanakan terapi ini, seperti medis (khususnya psikiater), psikolog dan perawat spesialis keperawatan jiwa. F. Peran Terapis Tiga konsep fundamental dalam terapi kognitif yang dapat dilakukan oleh seorang terapis (Anonim, 2008), yaitu: 1. Collaborative Empirisme, yaitu pasien-terapis menjadi co-investigator dan menguji fakta yang dapat menunjang dalam menolak kognisi pasien yang keliru. 2. Socratic Dialogue, yaitu dengan menggunakan tehnik bertanya yang merupakan anjuran utama dalam proses terapeutik dimana tujuan pertanyaan adalah untuk mengklarifikasi dan mendefinisikan persoalan, membantu mengidentifikasikan pikiran, images, dan asumsi menilai konsekuensi dari pikiran maladaptif bagi pikiran dan perilaku. 3. Guide Discovery, yaitu terapis memandu pasien untuk memodifikasi keyakinan dan asumsi yang maladaptif dimana pasien-terapis secara bersama-sama merekam perkembangan gangguan yang dialami pasien. G. Strategi Pelaksanaan Terapi kognitif yang akan dijabarkan dalam modul ini merupakan hasil modifikasi dari modul terapi kognitif dalam Workshop Keperawatan Jiwa, FIK-UI pada tahun 2008. Terapi yang awalnya terdiri dari 9 sesi diringkas menjadi 4 sesi dengan tidak menghilangkan/mengurangi kemaknaan dari kesembilan sesi tersebut. Adapun 8
d) Jelaskan peraturan terapi yaitu pasien dan keluarga duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai. c. Tahap Kerja 1) Jelaskan pada keluarga tentang pengertian, tujuan dan manfaat terapi kognitif bagi pasien 2) Jelaskan pada keluarga tentang pelaksanaan terapi kognitif yang telah dilakukan pasien termasuk pembuatan catatan hariannya. 3) Minta pasien untuk menjelaskan pada keluarga tentang pikiran-pikiran negatif yang dirasakan, cara mengatasi/melawan pikiran tersebut, pembuatan catatan harian, dan manfaat hasil yang dirasakan pasien dalam menjalani terapi kognitif. 4) Libatkan keluarga dalam mengidentifikasi perilaku pasien sebelum, selama dan sesudah mengikuti terapi kognitif. 5) Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang telah dimiliki pasien 6) Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan masalah-masalah (pikiran negatif) pasien 7) Libatkan keluarga dalam diskusi untuk membantu penyelesaian masalah yang telah dilakukan pasien 8) Beri pujian terhadap kemampuan pasien dan keluarga. d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan pasien dan keluarga setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
29
b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat 4. Metode Diskusi dan tanya jawab 5. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien dan keluarga 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik Salam dari terapis kepada pasien dan keluarga 2) Evaluasi / Validasi a) Menanyakan perasaan pasien dan keluarga pada saat ini b) Menanyakan apa pasien sudah membuat catatan harian (kegiatan) dalam upaya untuk mengatasi pikiran otomatis dan perasaannya. 3) Kontrak a) Jelaskan tujuan pertemuan, yaitu keluarga dapat memberikan dukungan bagi pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri di rumah b) Jelaskan pengertian dan tujuan terapi kepada keluarga, yaitu meningkatkan kemampuan pasien dalam mengatasi pikiran-pikiran otomatis (negatif) dan cara penyelesaian masalah yang timbul akibat pikiran otomatis tersebut. c) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 45 – 60 menit
28
penjelasan dari keempat sesi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sesi Pertama: Identifikasi pikiran otomatis, yaitu dengan mengidentifikasi seluruh pikiran otomatis negatif, berdiskusi untuk 1 pikiran otomatis yang dipilih, memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif pertama dan membuat catatan harian. 2. Sesi Kedua: Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri dalam sesi 1 (memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif 1), mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis kedua dengan langkah-langkah yang sama seperti dalam sesi 1. 3.
Sesi Ketiga: Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melakukan tugas mandiri sesi kedua di rumah, mendiskusikan penyelesaian terhadap pikiran otomatis ketiga dengan langkahlangkah yang sama seperti dalam sesi 1 – 2, mendiskusikan cara dan kesulitan pasien dalam menggunakan catatan harian, dan diskusikan manfaat dan perasaan setelah pasien mengikuti terapi (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi).
4. Sesi Keempat : Support system, yaitu melibatkan keluarga untuk dapat membantu pasien dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
9
H. Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan terapi kognitif untuk kelompok intervensi di setiap pertemuan dibuat berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan responden. Responden diberikan alternatif pilihan waktu, yaitu saat proses haemodialisa, setelah haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal haemodialisa di pagi hari), atau sebelum haemodialisa (untuk pasien yang memiliki jadwal haemodialisa di siang hari). Intervensi terapi kognitif yang terdiri dari 4 sesi ini dilakukan dalam 4 kali pertemuan/kunjungan pasien untuk menjalani terapi haemodialisa. Dalam proses pemberian terapi kognitif, peneliti mengamati kemampuan responden dalam pembuatan catatan harian secara mandiri melalui buku catatan harian pasien/responden. Peneliti juga mencatat hasil evaluasi pelaksanaan terapi pada buku raport pasien/responden yang dipegang peneliti.
TANGGAPAN RASIONALKU Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
Tanggapan Rasionalku
CATATAN HARIANKU Hari / Tgl
Jam
Pikiran Otomatis
Tanggapan Rasionalku
Hasil
I. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan pemberian terapi kognitif ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien dengan mengutamakan privasi pasien. Mungkin dapat menggunakan skerm (penutup/pembatas), ruangan khusus dan/atau ruangan yang tenang/tidak bising sehingga proses pelaksanaan terapi dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan dari lingkungan sekitar dan privasi pasien terjaga.
D. Sesi 4, yaitu Support system 1. Tujuan a. Meningkatkan komunikasi perawat dengan pasien dan keluarga b. Pasien mendapat dukungan (support sistem) dari keluarga c. Keluarga dapat menjadi support sistem bagi pasien 2. Setting Pasien, keluarga dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman 3. Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terapeutik
10
27
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi keempat), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melaksanakan tugasnya, berdiskusi bersama keluarga untuk mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan terapi kognitif secara mandiri di rumah. b) Menyepakati waktu dan tempat f. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF No.
Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
BAB III PEDOMAN PELAKSANAAN TERAPI KOGNITIF A. Sesi 1 : Identifikasi pikiran otomatis yang negatif 1. Tujuan a. Pasien mampu mengungkapkan pikiran-pikiran otomatis yang negatif. b. Pasien mampu memilih 1 pikiran otomatis negatif yang dirasakan paling utama (mengganggu) untuk didiskusikan dalam pertemuan saat ini. c. Pasien mampu memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif pertama d. Pasien dapat menuliskan pikiran otomatis negatif dan tanggapan rasionalnya e. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah 2. Setting Tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman 3. Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat 4. Metode a. Sharing b. Diskusi dan tanya jawab 5. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Membuat kontrak dengan 11pasien 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif
26
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
11
b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik a) Perkenalkan nama dan nama panggilan terapis (pakai papan nama) b) Menanyakan nama dan panggilan pasien 2) Evaluasi / Validasi a) Menanyakan perasaan pasien pada saat ini b) Menanyakan apa yang sudah dilakukan pasien untuk mengatasi perasaannya 3) Kontrak a) Menjelaskan pengertian dan tujuan terapi, yaitu meningkatkan kemampuan pasien mengenal pikiran otomatis dan hal yang mendasari pemikiran tersebut. b) Menjelaskan tentang proses pelaksanaan, tugas-tugas yang harus dikerjakan pasien di rumah, buku kerja yang akan digunakan pasien dalam melaksanakan tugastugasnya. c) Menjelaskan jumlah pertemuan dan sesisesi dalam terapi. d) Menjelaskan bahwa pertemuan pertama berlangsung selama kurang lebih 45 – 60 menit. e) Menjelaskan peraturan terapi, yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai
11) Anjurkan pasien untuk mengungkapkan hasil yang diperoleh selama mengikuti pertemuanpertemuan dalam terapi. 12) Beri pujian terhadap kemampuan pasien. d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Menanyakan perasaan pasien setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai
c. Tahap Kerja 1) Terapis mengidentifikasi masalah yang dihadapi pasien 2) Diskusikan sumber masalah, perasaan pasien serta hal yang menjadi penyebab timbulnya masalah. 12
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
2) Tindak Lanjut a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis negatif ketiga dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan rencana tindakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif ketiga tersebut. b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pikiran dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran negatif ketiga tersebut. c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiranpikiran otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi ketiga ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspekaspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif ketiga yang belum diidentifikasi dalam pertemuan ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya. 25
c. Tahap Kerja 1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien dalam membuat catatan harian di rumah 2) Diskusikan ketiga yang ingin diselesaikan dalam pertemuan ini 3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif ketiga dengan cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif yang pertama/kedua yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 4) Latih kembali pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang sama seperti sesi pertama/kedua. 5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif keduanya tersebut. 6) Diskusikan perasaan pasien setelah menggunakan tahapan-tahapan dalam memberikan tanggapan rasional (melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif) dan beri umpan balik. 7) Diskusikan manfaat tanggapan rasional yang dirasakan pasien dalam menyelesaikan pikiran otomatis yang timbul. 8) Tanyakan apakah cara tersebut dapat menyelesaikan masalah yang timbul karena pikiran otomatisnya. 9) Tanyakan hambatan yang dialami pasien dalam memberi tanggapan rasional dan menyelesaikan masalahnya. 10) Diskusikan cara mengatasi hambatan. 24
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
3) Diskusikan pikiran-pikiran otomatis yang negatif tentang dirinya. 4) Minta pasien untuk mencatat semua pikiran otomatis yang negatif pada lembar pikiran otomatis negatif yang terdapat dalam buku catatan harian pasien. Perawat mengklasifikasikan bentuk distorsi kognitif dari pikiran otomatis negatif pasien dalam buku catatan perawat. 5) Bantu pasien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif yang paling mengganggu pasien dan ingin diselesaikan saat ini. 6) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif dengan memberi tanggapan positif (rasional) berupa aspek-aspek positif yang dimiliki pasien dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 7) Latih pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien untuk melawan pikiran-pikiran otomatis yang negatif dengan cara: a) Minta pasien untuk mengingat dan mengatakan pikiran otomatis negatif. b) Minta pasien untuk mengatakan aspek positif dalam (tentang) dirinya untuk melawan pikiran otomatis negatif tersebut. c) Lakukan kedua hal tersebut diatas minimal 3 kali d) Evaluasi perasaan pasien setelah melakukan latihan ini 8) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif tersebut 9) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain 13
10) Memberikan pujian terhadap keberhasilan pasien d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah menjalani terapi sesi pertama ini b) Terapis memberikan pujian yang sesuai 2) Tindak Lanjut a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis yang negatif dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif tersebut. b) Anjurkan pasien untuk identifikasi apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pikiran dan catat waktu / situasi timbulnya pikiran negatif tersebut. c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiranpikiran otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi pertama ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. d) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspekaspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif pertama yang belum diidentifikasi dalam pertemuan pertama ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya. 3) Kontrak akan datang a) Sepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi kedua), yaitu mengevaluasi 14
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
2) Evaluasi Validasi a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien pada saat ini b) Menanyakan apakah pasien telah melakukan latihan secara mandiri di rumah. c) Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif pertama dan kedua masih muncul, waktu atau situasi munculnya pikiranpikiran otomatis negatif tersebut, adakah pikiran otomatis negatif yang baru, dan tanggapan rasional lainnya. d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba berlatih mandiri dalam menyelesaikan masalah dan membuat catatan harian di rumah. Perawat melihat buku catatan harian pasien. e) Menanyakan apakah pasien telah mengidentifikasi pikiran otomatis ketiga untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan pertemuan dari sesi ketiga ini, yaitu meningkatkan kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga dan mengungkapkan hasil atau manfaat dalam mengikuti terapi. b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 menit c) Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai.
23
2. 3.
4. 5.
d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul. e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis negatif lainnya. f. Pasien dapat memberi tanggapan (perasaan) terhadap pelaksanaan terapi kognitif di rumah. g. Pasien dapat mengungkapkan hambatan yang ditemui dalam membuat catatan harian. h. Pasien dapat mengungkapkan hasil dan manfaat dalam mengikuti terapi kognitif i. Pasien dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiranpikiran otomatis negatif yang timbul. Setting Tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman Alat a. Diri perawat dan kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat Metode Diskusi dan tanya jawab Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien 2) Mempersiapkan alat dan tempat yang kondusif
kemampuan pasien dalam melaksanakan tugas-tugasnya di rumah dan berdiskusi untuk penyelesaian terhadap pikiran otomatis negatif yang kedua b) Sepakati waktu dan tempat 6. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF No.
Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
TANGGAPAN RASIONALKU Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
b. Tahap Orientasi 1) Salam Terapeutik : Salam dari terapis kepada pasien 22
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
15
Tanggapan Rasionalku
TANGGAPAN RASIONALKU
CATATAN HARIANKU Hari / Tgl
Jam
Pikiran Otomatis
Tanggapan Rasionalku
Hari / Tanggal
Hasil
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
Tanggapan Rasionalku
CATATAN HARIANKU B. Sesi 2, yaitu Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif 1. Tujuan a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran otomatis negatif pertama yang telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya (Sesi 1). b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif kedua yang akan diselesaikan dalam pertemuan kedua ini. c. Pasien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif kedua dan menuliskannya di lembar/buku catatan harian. d. Pasien mampu meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah terkait dengan pikiran otomatis yang timbul. e. Pasien mampu menuliskan kembali pembuatan catatan harian terkait dengan penyelesaian masalah dalam mengatasi pikiran otomatis lainnya. 2. Setting tempat Pasien dan terapis dalam suatu ruangan yang tenang dan nyaman 16
Hari / Tgl
Jam
Pikiran Otomatis
Tanggapan Rasionalku
Hasil
C. Sesi 3, yaitu Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif (ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif). 1. Tujuan a. Evaluasi kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional dan pembuatan catatan harian terhadap pikiran otomatis yang negatif pertama dan kedua tentang dirinya yang telah didiskusikan dalam pertemuan sebelumnya. b. Pasien mampu memilih pikiran otomatis negatif ketiga yang akan diselesaikan dalam pertemuan ini. c. asien mampu memberikan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif ketiga tentang dirinya dan menuliskannya di lembar tanggapan rasional dalam buku catatan harian pasien.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
21
3) Kontrak yang akan datang a) Menyepakati topik pertemuan yang akan datang (sesi ketiga), yaitu mengevaluasi kemampuan pasien dalam melaksanakan tugasnya, berdiskusi untuk penyelesaian terhadap pikiran otomatis negatif yang ketiga, dan berdiskusi manfaat hasil daam mengikuti terapi kognitif. b) Menyepakati waktu dan tempat 6. Evaluasi dan Dokumentasi a. Evaluasi 1) Ekspresi pasien pada saat terapi 2) Evaluasi dilakukan terhadap pencapaian tujuan terapi b. Dokumentasi 1) Terapis mendokumentasikan pencapaian hasil terapi yang dilakukan 2) Dokumentasikan rencana pasien sesuai dengan yang telah dirumuskan DAFTAR PIKIRAN OTOMATIS NEGATIF No.
Hari / Tanggal
Daftar Pikiran Otomatis yang Negatif
20
3. Alat a. Diri perawat dan kemampuan berkomunikasi secara terapeutik b. Tempat duduk, alat tulis, buku catatan harian (untuk pasien) dan buku kerja perawat 4. Metode Diskusi dan tanya jawab 5. Langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Mengingatkan kontrak dengan pasien. 2) Mempersiapkan alat dan tempat kondusif.
yang
b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik Salam dari terapis kepada pasien 2) Evaluasi Validasi a) Menanyakan perasaan dan kondisi pasien pada saat ini. b) Menanyakan apakah pasien telah melakukan latihan secara mandiri di rumah. c) Menanyakan apakah pikiran otomatis negatif pertama masih muncul, waktu atau situasi munculnya pikiran otomatis tersebut, pikiran otomatis negatif yang baru, dan tanggapan rasional yang lainnya. d) Menanyakan apakah pasien telah mencoba berlatih mandiri dalam menyelesaikan masalah dan membuat catatan harian di rumah. Perawat melihat buku catatan harian pasien.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
17
e) Menanyakan apakah pasien telah mengidentifikasi pikiran otomatis kedua untuk didiskusikan dalam pertemuan ini. 3) Kontrak a) Menjelaskan tujuan pertemuan kedua ini adalah meningkatkan kemampuan pasien dalam memberi tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang kedua. b) Menjelaskan lama kegiatan yaitu 30 – 45 menit. c) Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu pasien duduk dengan terapis berhadapan dari awal sampai selesai. c. Tahap Kerja 1) Evaluasi kemampuan dan hambatan pasien dalam membuat catatan harian di rumah 2) Diskusikan dengan pasien untuk memilih satu pikiran otomatis negatif kedua yang ingin diselesaikan dalam pertemuan kedua ini 3) Diskusikan cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan cara yang sama seperti dalam melawan pikiran otomatis negatif yang pertama yaitu dengan memberi tanggapan positif (aspek-aspek positif yang dimiliki pasien) dan minta pasien mencatatnya dalam lembar tanggapan rasional. 4) Latih kembali pasien untuk menggunakan aspek-aspek positif pasien dalam melawan pikiran otomatis negatif keduanya dengan cara yang sama seperti sesi pertama. 5) Tanyakan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif keduanya tersebut. 18
6) Motivasi pasien berlatih untuk pikiran otomatis yang lain 7) Memberikan pujian terhadap keberhasilan pasien. d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan pasien setelah menjalani terapi b) Terapis memberikan pujian yang sesuai 2) Tindak lanjut a) Anjurkan pasien untuk berlatih di rumah tentang cara melawan pikiran otomatis negatif kedua dengan aspek positif yang dimiliki pasien dan melakukan tindakan pasien yang direncanakan untuk mengatasi pikiran otomatis negatif kedua tersebut. b) Anjurkan pasien untuk mengidentifikasi di rumah apakah pikiran otomatis negatif yang telah didiskusikan masih muncul dalam pikiran dan catat waktu/situasi timbulnya pikiran negatif kedua tersebut. c) Anjurkan pasien untuk identifikasi pikiranpikiran otomatis negatif lainnya yang belum diidentifikasi dalam sesi kedua ini dan minta pasien untuk mencatatnya dalam buku catatan hariannya. b) Anjurkan pasien untuk identifikasi aspekaspek positif lainnya dalam menanggapi pikiran otomatis negatif kedua yang belum diidentifikasi dalam pertemuan kedua ini dan mencatatnya dalam buku catatan hariannya.
Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
19
MODUL PANDUAN TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA
DISUSUN OLEH: Nurbani, S.Kp Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc Herni Susanti, S.Kp, M.N
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA 2011
1 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keluarga merupakan salah satu sasaran dalam meningkatkan kesehatan mental, karena keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal baik secara fisik maupun mental. Keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 2010). Kesehatan keluarga terdiri dari kesehatan fisik dan mental keluarga yang saling ketergatungan. Kesehatan fisik dan mental tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Kesehatan fisik akan mempengaruhi kesehatan mental, begitu pula sebaliknya. Kesehatan mental keluarga, merupakan sebuah interaksi, kesehatan keluarga menunjukkan kepada keadaan, dimana terjadi proses internal atau dinamika, seperti hubungan interpersonal keluarga. Fokusnya terletak pada hubungan antara keluarga dan subsistem-subsistemnya, seperti subsistem orang tua atau keluarga dan para anggotanya (Friedman, 2010). Kesehatan fisik maupun kesehatan mental anggota keluarga dapat dipengaruhi oleh kesehatan yang ada dalam anggota keluarga, misalnya penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota keluarga. Penyakit fisik merupakan salah satu jenis penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan nasional di Indonesia. Penyakit fisik atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus hansen merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit fisik terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat Fisik dan Frambusia, 2007). Jumlah penderita fisik di seluruh dunia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, tetapi di Indonesia jumlah penderita fisik cenderung naik. Pada tahun 2008 prevalensi penderita fisik global yang terdata dari 118 negara sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami penurunan sebanyak 19,6% dari tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari tahun 2006 ke 2007. Di negara-negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas fisik (WHO, 2010).
2 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Fisik dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks dan luas. Masalah yang ditimbulkan bukan hanya masalah kesehatan saja tetapi sampai pada masalah ekonomi, pendidikan bagi anak-anak, sosial budaya bahkan juga menjadi masalah negara. Fisik dapat menyebabkan beberapa masalah yang diakibatkan karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap fisik. Stigma tersebut muncul diantaranya karena dampak dari fisik yang dapat berakibat lanjut pada kecacatan, yang akhirnya menimbulkan beberapa masalah bagi penderita, seperti dikucilkan oleh masyarakat, diabaikan dan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan (Kaur & Van Brakel, 2002). Peningkatan jumlah fisik di Indonesia dibuktikan dengan data statistik terbaru yang menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara peringkat ketiga untuk penderita fisik terbanyak, seperti yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada peringatan Hari Fisik Sedunia pada tanggal 31 Januari 2011 yang lalu (Kemenkes RI, 2011, ¶ http://www.bppsdmk.depkes.go.id, diperoleh tanggal 23 Januari 2011). Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia, 2005 ). Terapi keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya. Penelitian psikoedukasi yang berhubungan dengan masalah fisik yang menimbulkan masalah psikososial dilakukan oleh Boesen, dkk (1993) menunjukan hasil berkurangnya kelelahan, bersemangat atau tenaga lebih kuat, gangguan suasana hati lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. B. Tujuan Setelah mempelajari modul ini diharapkan terapis mampu: 1. Melakukan psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarga mengalami penyakit fisik 2. Melakukan melakukan evaluasi psikoedukasi keluarga pada keluarga yang anggota keluarganya mengalami penyakit fisik 3. Melakukan pendokumentasian
3 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA PADA MASALAH PSIKOSOSIAL KELUARGA YANG ANGGOTANYA MENGALAMI PENYAKIT FISIK
A. Pengertian Psikoedukasi keluarga adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart and Laraia, 2005 ). Psikoedukasi keluarga adalah suatu metoda berdasar pada penemuan klinis untuk melatih keluarga-keluarga dan bekerja sama dengan para profesional kesehatan jiwa sebagai bagian dari perawatan menyeluruh secara klinis yang direncanakan untuk anggota keluarga (Minddisorders, 2009). Sedangkan menurut Carson (2000) psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala-gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi ini membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Tujuan utama dari terapi psikoedukasi keluarga adalah saling bertukar informasi tentang perawatan kesehatan mental akibat penyakit fisik yang dialami, membantu anggota keluarga mengerti tentang penyakit anggota keluarganya seperti gejala, pengobatan yang dibutuhkan untuk menurunkan gejala dan lainnya (Varcarolis, Carson and Shoemaker, 2006). 2.
Tujuan Khusus a. Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan. b. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan atau serangan berulang pada penyakit yang diderita. c.
Mengembalikan fungsi pasien dan keluarga
4 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
d. Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain. C. Indikasi Psikoedukasi Keluarga 1. Keluarga dengan masalah psikososial dan gangguan jiwa 2. Keluarga yang membutuhkan latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif. 3. Keluarga yang mengalami stress dan krisis. 4. Keluarga yang membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin mempertahankan kesehatan mentalnya dengan latihan ketrampilan 5. Keluarga yang membutukan pendidikan dan dukungan dalam upaya preventif (pencegahan) timbulnya masalah kesehatan mental keluarga
D. Tempat Psikoedukasi keluarga dapat dilakukan dirumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan yang tenang. Dapat juga dilakukan dirumah keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi kepada perawat tentang bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam keluarga, nilai–nilai yang dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga tentang kesehatan . E. Kriteria Terapist 1. Minimal Lulus S2 Keperawatan Jiwa 2. Memiliki pengalaman dalam praktek keperawatan jiwa
F. Metode Terapi, 1. Diskusi atau tanya jawab 2. Demontrasi tergantung kebutuhan terapi.
G. Alat Terapi Alat terapi tergantung metode yang dipakai. Antara lain alat tulis dan kertas,booklet/leaflet, poster dan lain sebagainya. Namun alat yang paling utama adalah diri perawat sebagai terapis.
5 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
H. Evaluasi Evaluasi yang dilakukan pada disesuaikan dengan tujuan setiap sesi dan ada diformat setiap sesi yang akan dilakukan. Hal yang diharapkan tersebut adalah: 1. Keluarga bersedia menyepakati kontrak,mengetahui tujuan, dapat membagi pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan dengan penyakit fisik dan dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga 2. Perawatan pasien fisik yaitu pengertian fisik, tanda dan gejala, penyebab, dan cara merawatnya. 3. Manajemen ansietas yaitu pengertian, penyebab, tanda dan gejala, dan cara mengatasinya 4. Manajemen beban yaitu tanda dan gejala dan cara mengatasi mengatasi beban yang dirasakan. 5. Hambatan dan Pemberdayaan keluarga I.
Proses Pelaksanaan Psikoedukasi Keluarga akan dilakukan dengan anggota keluarga (caregiver) yang anggota keluarganya mengalami penyakit fisik. Kemudian terapis akan bertemu dengan caregiver dan menanyakan masalah psikososial yang dihadapi saat merawat anggota keluarga yang fisik, dan keluarga (caregiver) dapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan mencari cara pemecahan masalah yang dihadapi. Adapun proses kerja untuk melakukan psiko edukasi pada keluarga adalah : a. Persiapan 1. Identifikasi dan seleksi keluarga (caregiver) yang membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan 2. Menjelaskan tujuan dilaksanakan psikoedukasi keluarga 3. Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan anggota keluarga (caregiver) yang mengikuti keseluruhan pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal serumah dan yang merawat pasien yang sakit fisik. b. Pelaksanaan Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok menganalisa pencapaian terapi dapat dilakukan pada 5 sesi : Sesi 1 : Pengkajian masalah yang dialami (pengalaman keluarga selama merawat anggota keluarga dengan fisik) Sesi 2
: Perawatan pasien dengan penyakit fisik yang tediri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik.
6 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Sesi 3
: Menajemen ansietas yang terdiri dari tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.
Sesi 4
: Manajemen Beban yang terdiri dari tanda-tanda beban dan cara mengatasi beban.
Sesi 5 : Hambatan dan Pemberdayaan keluarga yang terdiri dari peran anggota keluarga dalam merawat pasien fisik dan hambatan yang akan ditemui.
7 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
BAB III PANDUAN TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA (FAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY)
SESI I : PENGKAJIAN MASALAH YANG DIALAMI (PENGALAMAN KELUARGA SELAMA MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN FISIK) A. TUJUAN SESI I : 1. Keluarga (caregiver) dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga. 2. Keluarga (caregiver) mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga. 3. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik ( masalah pribadi yang merawat dan masalah dalam merawat) 4. Keluarga (caregiver) dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga. B. SETTING 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT DAN BAHAN Booklet atau leaflet, modul, name tag dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi) D. METODE Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab. E. LANGKAH – LANGKAH : 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi : a. Salam terapeutik : salam dari terapis. b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis, kemudian menggunakan name tag. c. Menanyakan nama dan panggilan keluarga (caregiver) . d. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) dalam mengikuti program psikoedukasi keluarga saat ini.
8 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
e. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan membantu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan dengan penyakit fisik yang menimbulkan masalah psikososial. f. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1. Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi 2. Lama kegiatan 30 – 45 menit 3. Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota keluarga yang tidak berganti. Fase Kerja : a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan penyakit fisik yang dialami salah satu anggota keluarga. 1. Masalah pribadi dari anggota keluarga (caregiver) sendiri. 2. Masalah dalam merawat anggota keluarga yang sakit fisik. 3. Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga 4. Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri. b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya salah satu anggota keluarga yang menderita fisik. 1. Keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-perubahan yang dialami dalam keluarga seperti perubahan peran dalam keluarga dan fungsi keluarga setelah adanya anggota keluarga yang mengalami sakit fisik. c. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi keluarga. d. Memberikan kesempatan peserta untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil diskusi yang sudah dilakukan. Fase Terminasi : a. Evaluasi : 1. Menyimpulkan hasil diskusi sesi I 2. Menanyakan perasaan keluarga (caregiver)setelah selesai sesi I b. Tindak Lanjut : 1. Menganjurkan keluarga (caregiver)untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada anggota keluarga yang lain tentang masalah psikososial dan perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga dengan penyakit fisik c. Kontrak : 1. Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang penyakit fisik 2. Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya.
9 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga No
Aspek yang dinilai
1 2
Menyepakati kontrak kegiatan Menyebutkan tujuan program psikoedukasi keluarga Menyampaikan pengalaman yang dialami selama merawat anggota keluarga dengan fisik Menyampaikan perubahan yang terjadi dalam keluarga misalnya perubahan peran dan fungsi keluarga setelah adanya anggota anggota keluarga yang mengalami fisik Menyampaikan keinginan dan harapan selama mengikuti program psikoedukasi keluarga Aktif dalam diskusi
3 4.
4 5
Nama anggota keluarga (caregiver)
Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No 1 2 3 4 5 6 7 8
Aspek yang dinilai Menyepakati kontrak dengan keluarga Menjelaskan tujuan dari program psikoedukasi Mendengarkan pengalaman yang disampaikan oleh keluarga Mendengarkan keinginan dan harapan anggota keluarga selama mengikuti program psikoedukasi Kontak mata Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka
10 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Perawat Ya
Tidak
b. Format Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)
Perilaku yang ditampilkan
............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ Tanda Tangan Perawat
11 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
SESI II : PERAWATAN PASIEN DENGAN PENYAKIT FISIK A. TUJUAN SESI II : 1. Keluarga (caregiver) mengetahui tentang penyakit fisik yang diderita oleh anggota keluarganya. 2. Keluarga (caregiver) mengetahui pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik. B. SETTING 1. Keluarga (caregiver) dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT Booklet , modul, name tag dan buku kerja keluarga/caregiver (format evaluasi dan dokumentasi) D. METODE Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab E. LANGKAH – LANGKAH 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Salam terapeutik : salam dari terapis. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang masalah psikososial yang dialami oleh anggota keluarga yang lain. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan kedua yaitu keluarga mengetahui dan dapat menyebutkan tentang penyakit fisik yang dialami oleh anggota keluarganya serta mendapatkan informasi tentang penyakit fisik dari terapis yang terdiri dari pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota keluarga (caregiver) yang tidak berganti.
12 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Fase Kerja a. Mendiskusikan tentang penyakit fisik yang dialami oleh salah satu anggota keluarga:caregiver menyampaikan fisik dari pengertian mereka sendiri b. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver. c. Menyampaikan tentang konsep fisik meliputi pengertian, penyebab, tanda, prognosis, cara merawat anggota keluarga yang mengalami fisik. d. Memberikan kesempatan pada caregiver untuk menanyakan tentang penyakit fisik setelah diberikan penjelasan (hal yang kurang jelas setelah diberi penjelasan). e. Memberikan reinforcement positif terhadap apa yang sudah disampaikan oleh caregiver Fase Terminasi a. Evaluasi 1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi II 2) Menanyakan perasaan keluarga (caregiver) setelah sesi II selesai b. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga (caregiver) untuk menyampaikan tentang materi penyakit fisik yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain c. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya. F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga No 1 2 3 4
Aspek yang dinilai
Nama anggota keluarga (caregiver)
Mengikuti informasi yang disampaikan Menyebutkan kembali pengertian, tanda dan gejala, etiologi, cara merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit fisik Kontak mata Mengikuti kegiatan sampai selesai
13 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ Perawat
No
Aspek yang dinilai
1.
Memberikan informasi tentang penyakit fisik kepada anggota keluarga Memberikan umpan balik atas informasi yang diberikan kepada keluarga. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ya
Tidak
b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:............................................................................ Sesi terapi:............................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)
Perilaku yang ditampilkan
............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ Tanda Tangan Perawat
14 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Sesi III : MANAJEMEN ANSIETAS YANG DIALAMI OLEH KELUARGA A. TUJUAN: 1.
Keluarga (caregiver) mampu menyebutkan pengalaman ansietas yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik dalam keluarga
2.
Keluarga (caregiver) mendapatkan informasi tentang ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik seperti tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas.
3.
Keluarga (caregiver) dapat mendemontrasikan cara menurunkan ansietas
B. SETTING : 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT : 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen
D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah dan redemontrasi
E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya penyakit fisik yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya.
15 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan ketiga yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat menyebutkan tentang ansietas yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala dan cara mengurangi ansietas. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut : 1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver) mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota keluarga yang tidak berganti.
Fase Kerja a. Menanyakan anggota keluarga (caregiver) terkait dengan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik. b. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) menyampaikan pendapat/ perasaannya c. Menjelaskan ansietas yang dialami akibat salah satu anggota mengalami penyakit fisik dengan menggunakan booklet seperti pengertian, tanda dan gejala dan cara menurunkan ansietas. d. Meminta anggota keluarga (caregiver) mengidentifikasi tanda dan gejala dan cara mengurangi ansietas sesuai dengan penjelasan terapis. e. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) menyampaikan pendapat/ perasaannya f. Mendemontrasikan cara mengurangi ansietas yang dialami oleh anggota keluarga (caregiver) yaitu relaksasi atau deep breathing g. Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan ulang cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing.
Fase Terminasi a. Evaluasi 1) Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti sesi III 2) Menyimpulkan hasil diskusi diskusi sesi III
16 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
b. Tindak lanjut Menganjurkan anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih cara mengatasi ansietas. c. Kontrak yang akan datang 1) Menyepakati untuk mendiskusikan tanda dan cara dalam mengatasi beban yang dialami oleh caregiver selama merawat anggota keluarganya yang sakit fisik. 2) Menyepakati waktu dan tempat terapi berikutnya
F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga (Caregiver) No 1 2 3 4 4 5
Aspek yang dinilai
Nama anggota keluarga (caregiver)
Menyampaikan perasaanya ansietas yang dirasakan akibat anggota keluarga menderita penyakit fisik Mengikuti informasi yang disampaikan yaitu tentang ansietas yaitu tanda dan gejala, dan cara mengurangi ansietas caregiver. Mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara untuk menurunkan ansietas yang dialami caregiver Mendemontrasikan kembali cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing Mengikuti kegiatan sampai selesai Kontak mata
17 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No
Aspek yang dinilai
1
Mendiskusikan perasaan ansietas keluarga (caregiver) yang dialami akibat anggota keluarga menderita fisik Memberikan informasi yang disampaikan yaitu tentang tanda dan gejala serta mengatasi ansietas. Mendemontrasikan cara menurunkan ansietas yaitu deep breathing Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka
2 3 4 5 6. 7. 8
Perawat Ya
Tidak
b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)
Perilaku yang ditampilkan ............................................................................ Tanda Tangan Perawat
18 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Sesi 4 : MANAJEMEN MENGATASI BEBAN YANG DIALAMI OLEH KELUARGA (CAREGIVER) A. TUJUAN: 1. Keluarga (caregiver) mengenal tanda-tanda beban yang dialaminya akibat adanya anggota yang menderita fisik 2. Keluarga (caregiver) mengatahui cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik. 3. Keluarga dapat mendemontrasikan cara berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain untuk mengurangi beban. B. SETING : 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT : 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah, redomantrasi E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya cara yang sudah diterapkan untuk mengurangi ansietas yang sudah dijelaskan pada sesi sebelumnya. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan keempat yaitu keluarga (caregiver) mengetahui dan dapat menyebutkan tentang beban yang dialami oleh anggota keluarganya seperti tanda dan gejala dan cara mengurangi beban yang dialami.. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
19 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)
mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti. Fase Kerja a.
Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang tanda-tanda dan cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit fisik.
b.
Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya
c.
Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang dialaminya akibat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit fisik.
d.
Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya
e.
Menjelaskan tentang beban yang dirasakan oleh caregiver seperti pengertian, tanda-tanda, dan cara mengatasi beban yang dirasakan yaitu dengan berkomunikasi terbuka dalam keluarga.
f.
Meminta setiap anggota keluarga menyebutkan kembali tanda-tanda dan cara mengatasi beban keluarga yang sakit fisik.
g.
Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya
h.
Terapis mendemonstrasikan cara mengatasi beban dengan menyampaikan perasaan kepada anggota keluarga yang lain, bagaimana komunikasi terbuka didalam keluarga.
i.
Meminta anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
j.
Memberikan pujian atas peran anggota keluarga
Fase Terminasi a. Evaluasi 1)
Menyimpulkan hasil diskusi sesi IV.
2)
Menanyakan perasaan anggota keluarga (caregiver) setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga sesi IV.
b. Tindak lanjut Menganjurkan setiap anggota keluarga (caregiver) untuk berlatih komunikasi terbuka dalam keluarga dengan menyampaikan perasaannya dan mendiskusikannya dengan anggota keluarga yang lain. c. Kontrak yang akan datang
20 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
1) Menyepakati cara mengatasi hambatan pemberdayaan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita fisik. 2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya. F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a.
Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi. Bagi Keluarga No
Aspek yang dinilai
1
Menyebutkan tanda-tanda beban yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik Menyebutkan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik. Mendemonstrasikan cara yang diajarkan yaitu dengan komunikasi terbuka dalam keluarga. Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir Kontak mata Mendengarkan pendapat orang lain
2 3 4 5 6
Nama anggota keluarga (caregiver)
Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No
Aspek yang dinilai
1
Mendiskusikan tanda-tanda beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik Mendiskusikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik Mendemonstrasikan cara mengatasi beban yang dirasaka keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita fisik dengan latihan komunikasi terbuka dalam keluarga. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka
2 3 4 5 6. 7. 8
21 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Perawat Ya
Tidak
b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)
Perilaku yang ditampilkan
............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ........................................................................... ..........................................................................
Tanda Tangan Perawat
22 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
SESI V : MENGATASI HAMBATAN DAN PEMBERDAYAAN KELUARGA A. TUJUAN SESI V : 1. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga dengan fisik maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri. 2. Keluarga (caregiver) dapat berbagi peran dalam merawat anggota keluarga yang fisik dengan anggota keluarga lainnya. 3. Keluarga (caregiver) dapat membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang sakit fisik baik di rumah sakit maupun di rumah. B. SETTING 1. Keluarga dan terapis duduk berhadapan diruangan yang tenang 2. Terapis menggunakan papan nama C. ALAT: 1. Booklet 2. Instrumen evaluasi dan pulpen D. METODE: Diskusi dan tanya jawab, ceramah, latihan membuat jadual kegiatan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang fisik E. LANGKAH-LANGKAH: 1. PERSIAPAN a. Mengingatkan keluarga minimal satu hari sebelumnya b. Mempersiapkan diri, tempat dan keluarga (cregiver) 2. PELAKSANAAN Fase Orientasi a. Memberikan salam terapeutik. b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga (caregiver) hari ini dan menanyakan apakah keluarga (caregiver) mempunyai pertanyaan dari pertemuan sesi sebelumnya. c. Validasi : Menanyakan bagaimana perasaan keluarga (caregiver) setelah mengikuti sesi sebelumnya. d. Kontrak : Menjelaskan tujuan pertemuan kelima yaitu keluarga (caregiver) dapat memberdayakan anggota keluarga yang lain dan menyebutkan serta mengatasi hambatan dalam merawat anggota keluarga yang fisik maupun masalah pada keluarga (caregiver) sendiri. e. Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut :
23 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
1) Lama kegiatan 30 – 45 menit 2) Keluarga (caregiver)
mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota
keluarga yang tidak berganti. Fase Kerja a. Menanyakan hambatan yang dirasakan keluarga (caregiver) dalam merawat anggota keluarga dengan fisik dan hambatan yang dirasakan oleh anggota keluarga (caregiver) sendiri. b. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya c. Menanyakan pendapat anggota keluarga (caregiver) tentang peran setiap anggota keluarga selama merawat anggota keluarga dengan penyakit fisik. d. Mencatat dan memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/ perasaannya e. Menjelaskan tentang cara berbagi peran dalam keluarga yang lain selama merawat anggota keluarga dengan fisik menggunakan booklet. f. Memberi kesempatan pada keluarga (caregiver) menyebutkan kembali bagaimana membagi peran dalam keluarga selama merawat anggota keluarga dengan fisik. g. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan anggota keluarga (caregiver) dalam memberikan pendapatnya. h. Bersama anggota keluarga (caregiver) untuk membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang menderita fisik baik dirumah sakit maupun saat dirumah. i. Memberikan pujian/ penghargaan atas kemampuan dan peran anggota keluarga (caregiver) dalam membuat jadual dalam merawat anggota keluarga yang mengalami fisik. j.
Mendiskusikan bersama anggota keluarga (caregiver) cara mengatasi hambatan dan mencari solusi yang terbaik untuk caregiver dan anggota keluarga yang lain.
Fase Terminasi a. Evaluasi 1)
Menyimpulkan hasil diskusi pada sesi V
2)
Menanyakan perasaan anggota keluarga setelah mengikuti terapi psikoedukasi keluarga sebanyak lima sesi
b. Tindak lanjut 1)
Menganjurkan untuk saling berbagi peran dalam keluarga
2)
Membuat jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga yang fisik dalam keluarga
3)
Mengatasi hambatan yang dialami bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.
24 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
c. Terminasi dan menganjurkan anggota keluarga melakukan perawatan dan rehabilitasi dengan menggunakan faslitas kesehatan yang mudah terjangkau untuk tindak lanjut pasien fisik apabila sudah pulang kerumah. F. EVALUASI DAN DOKUMENTASI 1. Evaluasi proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. a. Format Evaluasi Berilah tanda ceklist () pada tabel dibawah ini sesuai dengan pengamatan yang terapis selama memberikan terapi Bagi Keluarga No
Aspek yang dinilai
1
Dapat menyebutkan hambatan yang dialami selama merawat pasien fisik dan hambatan bagi caregiver sendiri dengan masalah pribadi yang dirasakan. Menyebutkan cara berbagi peran dalam keluarga Membuat jadual kegiatan keluarga Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir Kontak mata Mendengarkan pendapat orang lain
2 3 4 5 6
Nama anggota keluarga 1
25 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Bagi Perawat Nama Perawat:............................................................................................................ No 1 2 3 4 5 6. 7. 8 9
Perawat
Aspek yang dinilai
Ya
Mendiskusikan hambatan yang dirasakan dalam merawat anggota keluarga yang menderita fisik Mendiskusikan cara berbagi peran dalam keluarga Bersama-sama anggota keluarga membuat jadual kegiatan keluarga Mendiskusikan cara mengatasi hambatan dalam merawat pasien dengan fisik seperti berbagi peran dan menyusun jadual kegiatan dalam merawat anggota keluarga dengan fisik. Kontak mata Mendengarkan anggota keluarga Bersikap empati Memberikan petunjuk yang jelas Sikap terbuka
b. Dokumentasi Tanggal terapi:......................................................................................... Diagnosa keperawatan:......................................................................................... Sesi terapi:......................................................................................... Nama anggota Keluarga (caregiver)
Perilaku yang ditampilkan
............................................................................ ............................................................................ ............................................................................ ........................................................................... ...........................................................................
Tanda Tangan Perawat
26 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012
Tidak
DAFTAR PUSTAKA Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The nurse-patient journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company Friedman, Marilyn (1998) Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktik, Ed.3. Jakarta EGC Stuart,G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th edition). St Laouis: Mosby Thommessen , Bente, et.al (2001), The psychosocial burden on spouses of the elderly with fisik, dementia and Parkinson's disease, Department of Geriatric Medicine, Ullevaal Hospital, Oslo,Norway Section of Geriatric Psychiatry, Rogaland Psychiatric Hospital, Stavanger, Norway The Norwegian Centre for Dementia Research Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Varcarolis, Elizabet.M et.al (2006). Foundations Of Pshychiatric Mental Health Nursing A Clinical Approach, Edisi 5. Sounders Elsevier , St Louis Missouri Visser-Meily A,et al (2005), Psychosocial functioning of spouses in the chronic phase after fisik: improvement or deterioration between 1 and 3 years after fisik,Rudolf Magnus Institute of Neuroscience, University Medical Center Utrecht and Rehabilitation Center De Hoogstraat, Utrecht, The Netherlands.
[email protected] Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
27 Manajemen asuhan..., Fathra Annis Nauli, FIK UI, 2012