UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN BEBERAPA FAKTOR LAIN TERHADAP WAKTU SADAR EFEKTIF DI KALANGAN CALON DAN AWAK PESAWAT MILITER PADA SIMULASI KETINGGIAN 25000 KAKI
TESIS
VERONICA GALIH GUNARSIH 1106026766
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN PENERBANGAN JAKARTA JUNI 2014
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN BEBERAPA FAKTOR LAIN TERHADAP WAKTU SADAR EFEKTIF DI KALANGAN CALON DAN AWAK PESAWAT MILITER PADA SIMULASI KETINGGIAN 25000 KAKI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Penerbangan
VERONICA GALIH GUNARSIH 1106026766
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN PENERBANGAN JAKARTA JUNI 2014
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Spesialis Kedokteran Penerbangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari perkuliahan sampai penyusunan tesis ini selesai. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof.dr.Bastaman Basuki, MPH, Sp.KP, selaku Ketua Program Studi, yang setiap saat selalu memberi bimbingan dan pengarahan.
2.
dr.Flora Ekasari, Sp.P dan dr Bobby Drastyawan, Sp.P, selaku pembimbing tesis, yang selalu memberi bimbingan dan memberi masukan
3.
Kepala Lakespra Saryanto, yang telah memberikan izin Lakespra Saryanto sebagai tempat penelitian
4.
Kepala Aerofisiologi dan Aeroklinik Lakespra Saryanto beserta seluruh staf yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
5.
Suami, B.Andy Widyanto, SH, yang selalu memberi dukungan baik selama perkuliahan hingga penulisan tesis ini.
6.
Anak-anakku tercinta, Dina, Dika, dan Anna, yang selalu memberi dukungan berupa suasana yang nyaman dalam belajar dan mengerjakan tesis ini.
7.
Senior dan rekan-rekan mahasiswa PPDS Kedokteran Penerbangan FKUI yang senantiasa memberi dukungan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang Kedokteran Penerbangan. Jakarta,
Juni 2014
Veronica Galih Gunarsih iv
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Veronica Galih Gunarsih : PPDS Kedokteran Penerbangan : Hubungan kadar hemoglobin dan beberapa faktor lain terhadap waktu sadar efektif di kalangan calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
Latar belakang : Hipoksia merupakan bahaya potensial dalam penerbangan. Waktu sadar efektif (WSE) merupakan waktu ketika seorang penerbang atau awak pesawat mulai terpajan hipoksia sampai sebelum mengalami inkapasitansi. Selama rentang waktu tersebut seorang penerbang dapat membuat keputusan atau tindakan yang tepat. Hemoglobin sangat berpengaruh terhadap saturasi O2 yang menentukan oksigenasi jaringan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WSE yaitu pada calon dan awak pesawat militer di Indonesia. Metode: Desain penelitian dengan potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Data diambil dari hasil pelaksanaan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto selama Januari-Mei 2014. Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. Lama WSE diperoleh dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Nilai kesamaptaan jasmani ditentukan dengan VO2maks. Analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko WSE. Hasil: Calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA sebanyak 183 orang. Duapuluh lima subyek dikeluarkan karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung, 158 subyek memenuhi kriteria inklusi. Faktor dominan yang memperpanjang WSE adalah Hb, sedangkan yang mempersingkat adalah IMT dan umur. Setiap 1 g/dL Hb menambah WSE 14,7 detik [koefisien regresi (β) = 14,677 ; p = 0,010]. Kenaikan IMT 1 kg/m2 mengurangi WSE 3,3 detik [β = -3,274; 95% interval kepercayaan (CI) = -8,287;1,738 ; p = 0,199]. Penambahan umur 1 tahun mengurangi WSE 3,9 detik (β = -3,917; p = 0,000). Kesimpulan: Kenaikan Hb memperpanjang WSE. Peningkatan IMT dan umur yang bertambah mempersingkat WSE. Kata kunci: hipoksia, waktu sadar efektif, awak pesawat, hemoglobin
vi
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
ABSTRACT
Name Study Programme Title
: Veronica Galih Gunarsih : Aviation Medicine Department of Community Medicine : Correlation between haemoglobin and other risk factors to time of useful consciousness among candidate and military aircrew in 25000 feet hypobaric chamber simulation
Background: Hypoxia is potential hazard in aviation. Time of useful consciousness (TUC) is time during when a pilot or aircrew exposed hypoxia before experiencing incapacitation. During the span of time, a pilot can make the right decision or action. Haemoglobin (Hb) influences the oxygen saturation that determines oxygenation of the body tissue. This study aims to identify the factors affect WSE on candidates and military aircrew in Indonesia. Methods: Study designed was cross sectional with purposive sampling. Data taken from the result of Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) in Lakespra Saryanto Jakarta during January to May 2014. Research subjects were candidates and military aircrews. Time of useful consciousness was obtained from hypoxia demonstration in hypobaric Chambers at 25000 feet altitude simulation. The value of physical fitness was determined by VO2max. Linear regression analysis was used to identify risk factors of TUC. Results: Candidates and military aircrew carried out the ILA were 183 persons. Twenty-five subjects were excluded because of not carried out hypoxia demonstration in hypobaric chamber or treadmill test. The dominant factors that extend TUC were Hb. while shortening were BMI and age. Each 1 g/dL Hb extend TUC 14.7 seconds [regression coefficient (β) = 14.677 ; p = 0.010]. Increasing BMI of 1 kg/m2 shorten TUC 3.3 seconds [(β) = -3.274; 95% confidence interval (CI) = -8.287;1.738 ; p = 0.199]. Addition of age 1 year shorten TUC 3.3 seconds (β= -3.917 ; p = 0.000). Conclusion: Increasing Hb extends TUC, while gain BMI and addition age shorten TUC. Keywords: hypoxia, time of useful consciousness, aircrew, haemoglobin
vii
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................... v ABSTRAK ..................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar belakang .............................................................................. 1 Tujuan penelitian .......................................................................... 2 1.2.1 Tujuan umum ................................................................... 2 1.2.2 Tujuan khusus .................................................................. 2 1.3 Hipotesis ....................................................................................... 3 1.4 Manfaat penelitian ........................................................................ 3 2.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Waktu sadar efektif (WSE) .......................................................... 2.2 Pengaruh hipoksia terhadap metabolisme otak ............................ 2.3 Efek neurologis hipoksia hipobarik ............................................. 2.4 Respons pernapasan terhadap hipoksia hipobarik ......................... 2.5 Respons kardiovaskular terhadap hipoksia hipobarik ................... 2.6 Kerangka teori .............................................................................. 2.7 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif .... 2.7.1 Faktor-faktor dominan ...................................................... 2.7.1.1 Kadar hemoglobin ............................................. 2.7.1.2 Overweight dan obesitas ................................... 2.7.1.3 Kesamaptaan jasmani ....................................... 2.7.1.4 Umur ................................................................. 2.7.2 Faktor-faktor lain .............................................................. 2.7.2.1 Self imposed factors .......................................... 2.7.2.2 Ketinggian dari permukaan laut ........................ 2.7.2.3 Kecepatan ascent .............................................. 2.7.2.4 Lama pajanan .................................................... 2.7.2.5 Aktivitas fisik .................................................... 2.7.2.6 Suhu lingkungan ............................................... 2.8 Kerangka konsep ..........................................................................
5 5 6 7 9 10 12 14 14 14 16 17 18 19 19 21 21 23 24 25 25
3.
METODE .............................................................................................. 3.1 Hasiljadi dan faktor risiko ............................................................ 3.1.1 Definisi (lengkap) hasiljadi dan metode diagnostik .......... 3.1.1.1 Persyaratan pengukuran WSE ............................
26 26 26 26
viii
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
3.1.1.2 Prosedur pengukuran WSE ................................. 3.1.2 Definisi pajanan utama dan metode diagnostiknya ............ Metode ......................................................................................... 3.2.1 Desain penelitian .............................................................. 3.2.2 Perhitungan jumlah sampel .............................................. 3.2.3 Tempat dan waktu penelitian ........................................... 3.2.4 Populasi penelitian ........................................................... 3.2.5 Cara identifikasi subyek ................................................... 3.2.5.1 Kriteria inklusi .................................................. 3.2.5.2 Kriteria eksklusi ................................................ Penyajian data .............................................................................. Faktor risiko lain dan definisi operasional ................................... 3.4.1 Umur ................................................................................. 3.4.2 Indeks masa tubuh (IMT) ................................................. 3.4.3 Kesamaptaan jasmani ....................................................... 3.4.4 Jam terbang ....................................................................... Etika penelitian ............................................................................
27 28 29 29 29 30 30 32 32 33 33 31 33 33 34 34 34
4.
HASIL ................................................................................................... 4.1 Silsilah subyek penelitian ............................................................. 4.2 Profil subyek penelitian ............................................................... 4.3 Analisis univariat ......................................................................... 4.4 Analisis bivariat ........................................................................... 4.5 Analisis multivariat ......................................................................
37 37 37 38 39 41
5.
PEMBAHASAN .................................................................................. 5.1 Keterbatasan ................................................................................. 5.2 Profil subyek penelitian ............................................................... 5.3 Hasil penelitian ............................................................................ 5.3.1 Hubungan antara WSE dan kadar Hb .............................. 5.3.2 Hubungan antara WSE dan IMT ...................................... 5.3.3 Hubungan antara WSE dan kesamaptaan jasmani ............ 5.3.4 Hubungan antara WSE dan umur ..................................... 5.4 Prediksi nilai WSE ........................................................................
43 43 43 44 44 45 46 47 50
6.
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 6.1 Simpulan ...................................................................................... 6.2 Saran .............................................................................................
51 51 51
RUJUKAN .................................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................
52 57
3.2
3.3 3.4
3.5
ix
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL Tabel 2.
Waktu sadar efektif berdasarkan ketinggian dari permukaan laut ...............................................................................................
6
Tabel 3
Risiko penelitian dan tindakan pencegahannya ............................
35
Tabel 4.1
Silsilah subyek penelitian
37
Tabel 4.2
Karakteristik subyek penelitian
.................................................
37
Tabel 4.3
Sebaran umur, jam terbang, Hb, IMT, VO2maks dan waktu sadar efektif subyek (n=158) .....................................................
38
..........................................................
Tabel 4.4
Kadar hemoglobin, IMT, VO2maks, umur dan jam terbang terhadap waktu sadar efektif (n= 158) ........................................ 37
Tabel 4.5
Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif (n=158) .......................................................................................... 41
Tabel 4.6
Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif (model kedua) .......................................................................................... 41
x
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Kerangka teori penelitian ......................................................... 13
Gambar 2.2
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ....................................... 15
Gambar 2.3
Perbandingan saturasi COHb pada penerbang perokok dan bukan perokok .........................................................................
20
Gambar 2.4
Kerangka konsep penelitian ..................................................... 25
Gambar 3.
Profil simulasi ruang udara bertekanan rendah ........................ 28
Gambar 4.1
Diagram baur antara WSE dan kadar Hb.................................. 40
Gambar 4.2
Diagram baur antara WSE dan IMT ......................................
Gambar 4.3
Diagram baur antara WSE dan umur subyek ......................... 40
Gambar 4.4
Diagram baur antara WSE dan jam terbang ..........................
Gambar 4.5
Diagram baur antara WSE dan VO2maks ............................... 40
xi
40
40
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Persetujuan penelitian dari Komite Etik FKUI .....................
57
Lampiran 2.
Surat izin penelitian dari Lakespra Saryanto .........................
58
Lampiran 3
Penjelasan penelitian. ............................................................. 59
Lampiran 4.
Formulir persetujuan setelah penjelasan
Lampiran 5.
Definisi operasional ...............................................................
Lampiran 6.
Formulir pengumpulan data .................................................... 62
Lampiran 7.
Contoh penjumlahan matematika 2 digit ...............................
Lampiran 8.
Tabel jumlah sampel .............................................................. 64
Lampiran 9.
Bukti perhitungan Stata .........................................................
xii
.............................. 60 61
63
65
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Waktu sadar efektif (WSE) merupakan rentang waktu saat seorang penerbang mulai terpajan lingkungan dengan tekanan oksigen inspirasi (PiO2) yang berkurang hingga tidak mampu melakukan tindakan yang tepat atau terjadi gangguan kemampuan terbangnya.[1,2] Waktu ini (WSE) merupakan rentang waktu yang sangat menentukan, dan berkaitan erat dengan hipoksia dalam penerbangan. Selama rentang waktu inilah penerbang dapat membuat keputusan dan melakukan tindakan yang tepat sebelum mengalami inkapasitansi akibat hipoksia.[1] Kejadian hipoksia dalam penerbangan militer maupun sipil pernah dilaporkan. Rayman dan McNaughton melaporkan selama tahun 1976 hingga 1990 terjadi 296 kasus hipoksia selama penerbangan pada angkatan udara Amerika Serikat. Pada penerbangan sipil kasus hipoksia selama penerbangan lebih jarang terjadi. Kecelakaan penerbangan sipil akibat hipoksia selama penerbangan yang pernah dilaporkan diantaranya adalah kecelakaan sebuah Lear Jet di dekat Aberdeenm, Dakota Selatan tahun 1999, dan Helios B737 yang jatuh di Yunani pada tahun 2005.[3] Berbagai penelitian mengenai hipoksia dan WSE telah dilakukan. Penelitian tentang WSE yang dilakukan Mahyastuti terhadap 100 anggota Paskhas TNI AU (1994) dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian setara 20000 kaki (6096 m) mendapatkan bahwa semakin tinggi kadar hemoglobin (Hb), semakin panjang WSE.[4] Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Lopez dan kawan-kawan terhadap 161 pasukan tempur Angkatan Darat Spanyol yang melakukan latihan hipoksia dalam RUBR pada ketinggian setara 25000 kaki (7620 m) selama 6 tahun (1993-1999), mendapatkan bahwa kelompok umur 30-39 tahun mempunyai toleransi terhadap hipoksia yang lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda maupun tua.[5] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Ribeiro dkk (1999) 1
pada
43 orang
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
2
anggota militer angkatan udara Portugis dalam RUBR dengan simulasi ketinggian 25000 kaki (7620 m) menyimpulkan tidak ada perbedaan bermakna WSE pada faktor risiko umur dan kebiasaan merokok.[6] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Rahadyan dkk tahun 2008 pada 128 calon penerbang TNI AU dan 25 calon penerbang PSDP menyimpulkan bahwa subyek terlatih mempunyai WSE lebih singkat dibandingkan yang tidak terlatih, dengan parameter terlatih adalah Left Ventricular End Diastolic Diameter (LVEDD).[7] Penelitian yang dilakukan Ekasari dkk tahun 2003 di RUBR Lakespra Saryanto terhadap 33 orang Paskhas TNI AU menunjukkan bahwa pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) belum jelas terjadi pergeseran kurva disosiasi HbO ke kiri, kemungkinan karena pada ketinggian tersebut rata-rata PaO2 58,4 mmHg, dan SaO2 90,4%.[8] Penelitian ini menggunakan ketinggian 25000 kaki dengan pertimbangan ketinggian 25000 kaki merupakan ketinggian kritis untuk terjadinya masalah penyakit dekompresi, dan dianggap merupakan ketinggian tertinggi yang aman untuk dilakukan latihan hipoksia.[2,9] Selain itu WSE pada ketinggian ini sekitar 3-5 menit, yang merupakan waktu yang singkat bagi awak pesawat untuk mengenali keadaan hipoksia dan dapat melakukan tindakan penyelamatan yang diperlukan apabila terjadi keadaan penurunan tekanan udara pernapasan selama penerbangan. Mengingat pentingnya WSE dalam keselamatan penerbangan, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan WSE.
1.2 Tujuan penelitian 1.2.1
Tujuan umum
Dibuktikannya faktor-faktor faali yang mempengaruhi WSE pada awak pesawat.
1.2.2 a.
Tujuan khusus
Tujuan khusus utama Dibuktikannya pengaruh kadar hemoglobin terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
3
b.
Tujuan khusus lain 1) Dibuktikannya pengaruh Indeks Masa Tubuh (IMT) terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki. 2) Dibuktikannya pengaruh tingkat kesamaptaan jasmani terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki. 3) Dibuktikannya pengaruh umur terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
1.3 Hipotesis a.
Hipotesis utama Subyek dengan kadar hemoglobin yang lebih tinggi mempunyai WSE yang lebih lama pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
b.
Hipotesis lain 1) Subyek yang mempunyai IMT yang lebih besar mempunyai WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki. 2) Subyek yang tingkat kesamaptaan jasmaninya lebih rendah mempunyai kecenderungan WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki. 3) Subyek yang berumur lebih tua mempunyai WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
1.4
Manfaat penelitian
a.
Untuk subyek penelitian 1) Dengan diketahuinya faktor-faktor risiko terhadap lamanya WSE, yaitu kadar hemoglobin, berat badan, kesamaptaan jasmani, dan umur, maka diharapkan para awak pesawat mempunyai kesadaran untuk meningkatkan pola hidup yang lebih baik dalam menjaga kesehatan tubuhnya dalam rangka meningkatkan keselamatan penerbangan. 2) Meningkatkan kesadaran para awak pesawat tentang pentingnya mengenali gejala-gejala hipoksia sedini mungkin, lama WSE pada ketinggian tertentu, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
4
dapat melakukan antisipasi tindakan yang tepat apabila mengalami situasi darurat yang berhubungan dengan hipoksia. b.
Ilmiah Mengidentifikasikan beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif pada awak pesawat.
c.
Untuk tingkat pimpinan Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil tindakan
atau keputusan yang diperlukan dalam rangka
penyusunan program peningkatan kualitas kesehatan awak pesawat dengan tujuan
akhir
tercapainya
keamanan
dan
keselamatan
terbang.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Waktu sadar efektif
Beberapa efek akut penting hipoksia di ketinggian pada orang yang belum teraklimatisasi akan tampak mulai ketinggian lebih dari 10000 kaki (3048 m). Gejala umumnya adalah adalah mengantuk, malas, kelelahan mental dan otot, kadang sakit kepala, mual dan euforia. Semua efek ini berkembang progresif menjadi tahap twitching (kedutan) atau kejang apabila berada di atas 18000 kaki (5486 m), dan akhirnya di atas 23000 kaki (7010 m) dapat berakhir dengan koma yang diikuti kematian pada orang yang belum teraklimatisasi.[10] Salah satu efek utama hipoksia adalah menurunnya kecakapan mental, yang akan menurunkan
kemampuan
dalam
mengambil
keputusan,
mengingat,
dan
melakukan gerakan motorik. Misalnya seorang penerbang yang belum teraklimatisasi pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) selama 1 jam, kemampuan mental biasanya turun menjadi 50% dari normal. Dan setelah 18 jam turun menjadi 20%.[10] Rentang waktu antara berkurangnya tekanan oksigen pernapasan(PiO2) hingga saat terjadi derajat gangguan kinerja yang bermakna disebut dengan waktu sadar efektif (WSE), lamanya interval waktu ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian laboratorium, terdapat banyak cara uji untuk mengetahui gangguan kinerja ini, mulai ketidakmampuan melakukan tugas psikomotor yang kompleks hingga kegagalan melaksanakan perintah lisan sederhana. Dalam praktek sehari-hari, konsep yang paling bermanfaat untuk WSE adalah seorang penerbang mempunyai kemampuan untuk mengenali gejala hipoksia yang dialami dan dapat bertindak untuk mengatasi kesulitan atau situasi berbahaya, misalnya dengan memasang masker oksigen, turun ke ketinggian yang lebih rendah, atau melakukan tindakan penyelamatan lainnya.[11,12] Nilai WSE yang menggambarkan pentingnya hipoksia dalam penerbangan sesuai ketinggian Tabel 2.1.[11] Waktu sadar efektif pada masing-masing 5
individu
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
6
berbeda, tergantung pada banyak faktor, yaitu respons ventilasi pulmoner terhadap hipoksia dan kebugaran fisik umum, umur, derajat latihan dan pengalaman mengalami hipoksia sebelumnya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa WSE pada suatu ketinggian tertentu akan lebih singkat bila hipoksia yang terjadi disebabkan karena dekompresi mendadak bila dibandingkan dengan ascent yang lambat.[11–13]
Tabel 2. Waktu sadar efektif berdasarkan ketinggian dari permukaan laut Ketinggian Meter 5486 6706 7620 8534 9144 10668 12192 13106 15240
Waktu sadar efektif
Kaki 18000 22000 25000 28000 30000 35000 40000 43000 50000
20-30 menit 10 menit 3-5 menit 2,5-3 menit 1-2 menit 0,5-1 menit 15-20 detik 9-12 detik 9-12 detik
Sumber: Reinhart RO. Basic Flight Physiology. New York: The McGraw Hill Companies; 2008.
2.2
Pengaruh hipoksia terhadap metabolisme otak
Kebutuhan O2 jaringan otak adalah sekitar 20% dari seluruh kebutuhan O2 tubuh. Penggunaan O2 oleh jaringan ini relatif konstan, baik pada saat istirahat maupun aktivitas. Jaringan otak sangat terpengaruh oleh kondisi hipobarik, dan merupakan jaringan tubuh pertama yang mengalami gangguan pada kondisi kekurangan oksigen.[14,15] Walaupun terjadi proses kompensasi seperti hiperventilasi, takikardi,
dan
peningkatan
aliran
darah
otak
yang
bertujuan
untuk
mempertahankan jumlah O2 yang diterima jaringan otak, namun dapat juga terjadi kerusakan jaringan apabila hipoksia yang terjadi melampaui kemampuan aklimatisasi. Hipoksia hipobarik mengakibatkan kerusakan jaringan otak melalui berbagai perubahan mekanisme aliran darah otak, metabolisme energi, dan fungsi kognitif seperti kemampuan belajar dan daya ingat.[14] Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
7
Mitokondria merupakan organel yang unik yang menyediakan energi bagi sel otak dalam bentuk ATP dan berperan penting dalam metabolisme energi. Pembentukan ATP dalam memerlukan jumlah
O2 yang bagi kelangsungan hidup sel, dan
kondisi hipoksia dapat mengganggu jalur metabolisme energi ini sehingga mengakibatkan kerusakan sel dan kematian jaringan otak. Semakin naik ke ketinggian tekanan O2pernapasan akan semakin berkurang, di mana kondisi ini akan mempengaruhi aktivitas pernapasan dan pembentukan energi dalam mitokondria otak, sehingga akan menimbulkan gangguan metabolisme energi. Gangguan fungsi mitokondria ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan otak akibat hipoksia.[14] Beberapa penelitian mendapatkan bahwa gangguan fungsi mitokondria akibat hipoksia ini dihubungkan dengan terganggunya rantai transpor elektron dan penurunan pembentukan ATP.[14]
2.3
Efek neurologis hipoksia hipobarik
1) Gangguan mental Gangguan psikologis yang diakibatkan oleh kurangnya tekanan oksigen pada ketinggian adalah masalah yang sangat penting dalam penerbangan, walaupun terdapat variasi yang besar di antara individu yang terpajan hipoksia hipobarik. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan respons pernapasan terhadap hipoksia, di mana terdapat perbedaan tekanan oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri saat terpajan oksigen udara pernapasan dengan tekanan tertentu. Hipokapni yang terjadi akibat hiperventilasi yang disebabkan oleh tekanan oksigen yang rendah dalam arteri berpengaruh pada kemampuan
mental. Rendahnya tekanan CO2 ini akan mengakibatkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga semakin mengurangi tekanan O2 jaringan otak. Selain itu, tekanan CO2 yang rendah juga akan mengakibatkan perubahan pH menjadi lebih alkalosis, terjadi peningkatan afinitas HbO2,sehingga pelepasan O2 ke jaringan otak berkurang.[8,10,12,16]
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
8
2) Psikomotor Psikomotor yang baik dan adekuat dapat dilakukan pada ketinggian di bawah 10000 kaki. Bila tekanan PaO2 turun hingga di bawah 38-40 mmHg, misalnya pada ketinggian 16000-18000 kaki (4877-5486 m), waktu reaksi sederhana akan mulai terpengaruh. Kemampuan pursuit-meter tasks tidak akan terpengaruh hingga ketinggian melebihi 12000-14000 kaki (3658-4267 m), dan berkurangnya kemampuan ini tidak akan mencapai derajat yang berat pada ketinggian di bawah 16000-17000 kaki (4877-5486 m). Kemampuan lain, yaitu choice-reaction time akan terpengaruh walaupun derajat hipoksia tidak berat, misalnya kemampuan ini akan terganggu secara bermakna pada ketinggian
12000
kaki
(3658
m).
Kemampuan
psikomotor
yang
membutuhkan koordinasi kompleks dari mata dan tangan, seperti terbang instrumen seperti yang dipelajari dalam simulator biasanya tidak akan terpengaruh hingga tekanan PaO2turun hingga di bawah 50 mmHg, misalnya pada ketinggian 12000 kaki (3658 m). Kemampuan psikomotor akan diperberat dengan gangguan koordinasi otot yang diakibatkan oleh hipoksia derajat sedang hingga berat. Pada ketinggian sekitar 12000-15000 kaki (36584572 m), akan timbul tremor tangan, penurunan kemampuan motorik halus, sehingga kemampuan untuk memegang suatu pena atau tuas kendali dan mempertahankan pada posisi tertentu akan terganggu secara progresif. Inkoordinasi otot semakin bertambah dengan bertambahnya ketinggian, dan tulisan tangan individu akan sulit dibaca.[12,13] 3) Kemampuan kognitif Kemampuan kognitif tidak akan terganggu sampai ketinggian 10000 kaki (3048 m), atau selama tekanan oksigen alveolar lebih dari 55 mmHg. Bila tekanan oksigen alveolar kurang dari nilai ini, maka kemampuan kognitif akan menurun, mula-mula menurun secara lambat, namun kemudian akan menurun dengan cepat seiring dengan bertambahnya ketinggian. Seseorang yang berada pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) dapat mencapai kemampuan kognitifnya secara optimum dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apabila berada pada ketinggian permukaan laut. Misalnya, hipoksia akan menambah waktu reaksi menjadi dua kali bila Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
9
dibandingkan pada ketinggian permukaan laut. Intensitas efek ini meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian dan kompleksitas tugas secara bermakna akan tampak pada ketinggian lebih dari 12000 kaki(3658 m) dan ambang batas terjadinya gangguan akibat hipoksia masih menjadi perdebatan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas sederhana meningkat 1015% pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) dan meningkat 40-50% pada 18000 kaki (5486 m).[12] Penelitian Cohen dkk menunjukkan bahwa pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) kemampuan kognitif seperti membuat keputusan yang kompleks lebih terpengaruh hipoksia dibandingkan dengan psikomotor. Gangguan kemampuan dalam membuat keputusan akan meningkatkan risiko kecelakaan dalam penerbangan.[17]
2.4
Respons pernapasan terhadap hipoksia hipobarik
Turunnya tekanan O2 udara pernapasan saat naik ke ketinggian akan mengakibatkan berkurangnya tekanan O2 alveolar (PAO2). Berkurangnya tekanan O2 yang mendadak ini akan merangsang kemoreseptor di badan arteri dan badan aorta sehingga terjadi peningkatan ventilasi.[10,12]
Peningkatan ventilasi ini
akan menimbulkan hiperventilasi, akan mengakibatkan pembuangan CO2 melalui pernapasan, sehingga
tekanan CO2 berkurang. Turunnya tekanan CO2 akan
mengakibatkan terjadinya depresi pernapasan.[12,15] Dua kondisi yang berlawanan ini menunjukkan adanya kebutuhan akan O2 yang adekuat untuk mempertahankan keseimbangan asam basa. Besarnya peningkatan ventilasi, dan turunnya tekanan CO2 alveolar (PACO2) bervariasi pada masing-masing individu. Ventilasi pulmoner pada ketinggian 18000 kaki (5486 m) 20-50% lebih besar daripada di atas permukaan laut, sementara pada ketinggian 22000 kaki meningkat 40-60%.[12] Determinan
utama
untuk
perbedaan
PiO2 dan
udara
alveolar
adalah
PACO2.Turunnya tekanan CO2 akan mengurangi perbedaan tekanan antara O2 dan CO2 dalam udara pernapasan dan alveolar. Namun, PACO2 ditentukan oleh rasio antara CO2 yang dihasilkan terhadap ventilasi alveolar, serta tidak dipengaruhi oleh tekanan udara lingkungan. Tekanan CO2 alveolar tetap konstan selama naik Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
10
ke ketinggian, sehingga rasio CO2 yang dihasilkan oleh ventilasi alveolar tidak berubah. Dalam kenyataannya, PACO2 tetap konstan antara ketinggian di atas permukaan laut hingga 8000-10000 kaki (2438-3048 m). Di atas ketinggian ini, PACO2 akan turun sampai pada tingkat yang dapat merangsang
pernapasan
(kurang dari 60 mmHg). Berkurangnya PACO2 ini akan meningkatkan ventilasi alveolar. Tekanan O2 alveolar turun secara linier sesuai dengan berkurangnya tekanan barometer lingkungan hingga ketinggian sekitar 10000 kaki (3048 m). Di atas ketinggian ini, penurunan PAO2 tidak besar bila tidak terjadi peningkatan ventilasi dan akibatnya PACO2 tidak turun.[12] Aktivitas fisik ringan dan sedang di ketinggian menunjukkan respons ventilasi yang sama namun peningkatan ventilasi pulmoner secara proporsional sedikit lebih besar, dan dapat terlihat pada ketinggian 3000 kaki (914 m). Peningkatan ventilasi pulmoner yang diinduksi oleh aktivitas fisik dalam keadaan hipoksia sedang, prosesnya seperti berkurangnya PACO2 saat bernafas dengan udara pernapasan saat istirahat pada ketinggian yang sama. Ada kesesuaian peningkatan dengan PAO2, sekitar 3-5 mmHg.[12]
2.5
Respons kardiovaskular terhadap hipoksia hipobarik
1) Aliran darah Kecepatan aliran darah pada jaringan merupakan faktor penentu besarnya tekanan O2 yang dikirimkan ke sel. Hipoksia yang diakibatkan karena menurunnya tekanan O2 udara pernapasan akan merangsang perubahan sirkulasi umum maupun lokal.[12] 2) Perubahan kardiovaskular umum Respons kardiovaskular akibat hipoksia hipobarik adalah meningkatnya curah jantung untuk memenuhi kekurangan O2 akibat tekanan O2 pernapasan yang berkurang. Peningkatan curah jantung terjadi karena meningkatnya denyut jantung, sedangkan volume sekuncup jantung relatif tidak berubah dengan bertambahnya ketinggian dari permukaan laut. Peningkatan curah jantung akan proporsional dengan peningkatan denyut jantung.[12,15,18] Pada ketinggian lebih dari 6000-8000 kaki (1829-2438 m) dalam keadaan istirahat, Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
11
denyut jantung segera meningkat. Pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 10-15%, pada 20000 kaki (6096 m) peningkatannya 20-25%, dan pada 25000 kaki (7620 m) menjadi dua kali dari denyut jantung di atas permukaan laut. Pada ketinggian, ambilan O2 maksimal dibatasi oleh curah jantung dan berkurangnya saturasi O2, sehingga misalnya pada ketinggian 15000 kaki (4572 m), ambilan O2 maksimal selama aktivitas fisik turun sekitar 70% bila dibandingkan berada di ketinggian permukaan laut. Selain peningkatan curah jantung, mean arterial pressure (MAP) pada kondisi hipoksia sedang umumnya tidak berubah. Namun tekanan darah sistolik umumnya naik dan terjadi penurunan tahanan perifer, sehingga terjadi peningkatan denyut nadi.
Hipoksia akan menyebabkan
vasodilatasi pada sebagian besar pembuluh darah.[12,18] 3) Perubahan kardiovaskular lokal a. Jantung Hipoksia akut akan segera meningkatkan aliran darah jantung dan otak, namun aliran darah ginjal akan berkurang secara bermakna. Aliran darah otot skeletal meningkat 30-100%. Selanjutnya terjadi redistribusi curah jantung, dengan aliran utamanya ke organ penting seperti jantung dan otak. Aliran darah koroner meningkat secara paralel dengan peningkatan curah
jantung,
sebagai
respons
terhadap
kebutuhan
metabolik
miokardium. Individu yang bernafas dengan udara pernapasan pada ketinggian 25000 kaki (7620 m) bila dilakukan elektrokardiografi (EKG) akan menunjukkan hasil yang normal, bahkan saat kehilangan kesadaran. Dengan demikian, pada ketinggian ini terjadi peningkatan aliran darah koroner. Bila jantung tidak dapat melakukan kompensasi, turunnya PaCO2 akan menyebabkan depresi miokardium. Pada hipoksia berat, depresi miokardium ini nampak sebagai depresi segmen S-T dan memendeknya gelombang T pada gambaran EKG. Selanjutnya akan terjadi gangguan irama dan konduksi jantung.[12]
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
12
b. Otak Pada PaO2 di atas 45-50 mmHg, aliran darah otak dipengaruhi oleh tekanan PaCO2. Berkurangnya PaCO2 dari normal 40 mmHg menjadi 20 mmHg akan mengurangi aliran darah otak hingga setengahnya. Turunnya PaO2hingga kurang dari 45 mmHg akan mengakibatkan vasodilatasi hipoksia, sehingga pada tekanan O2 arterial 35-40 mmHg akan meningkatkan aliran darah otak sebesar 50-100%. Terjadi keseimbangan antara vasodilatasi akibat hipoksia dan vasokonstriksi akibat turunnya PaCO2
yang
disebabkan
oleh
meningkatnya
ventilasi
akibat
hipoksia.[8,10,12] c. Paru Hipoksia dengan derajat tertentu akan mengakibatkan vasokonstriksi cepat sirkulasi pulmoner yang reversibel, kemungkinan karena akibat langsung dari oksigen pada sel-sel kemoreseptor dalam dinding pembuluh darah pulmoner. Vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner yang mungkin lokal sesuai dengan ventilasi lokal. Pada saat naik ke ketinggian dengan cepat, seluruh pembuluh darah pulmoner vasokonstriksi, sehingga terjadi peningkatan curah jantung dan tekanan darah arteri pulmoner.[12]
2.6.
Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian dapat digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
13
Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
14
2.7
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif
2.7.1
Faktor-faktor dominan
Dalam penelitian ini, faktor-faktor dominan yang diteliti adalah kadar Hemoglobin (Hb), berat badan, kesamaptaan jasmani, dan umur.
2.7.1.1 Kadar hemoglobin Hemoglobin (Hb) merupakan suatu protein darah yang berfungsi membawa O2 dalam darah. Hb mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, di mana O2 menempel pada Fe2+ di heme. Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dalam sel darah merah. Kadar Hb normal dalam darah adalah 16 g/dL pada pria dan 14 g/dL pada wanita, dan semuanya berada dalam darah. Besi bersifat esensial untuk sintesis Hb; jika darah hilang dari tubuh dan dan defisiensi besi yang timbul tidak dikoreksi, akan terjadi anemia defisiensi besi. Pada keadaan normal, sekitar 97% O2 diangkut dari paru ke jaringan oleh Hb dalam bentuk oksihemoglobin, sedangkan 3% sisanya dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel darah.[10,19] Hubungan antara PaO2 dan SaO2 digambarkan sebagai kurva disosiasi oksihemoglobin (Gambar 2.2) Oksigen sebagian besar (97%) berikatan dengan Hb dalam darah sebagai oksihemoglobin. Afinitas O2 terhadap Hb dipengaruhi oleh pH darah, suhu tubuh, konsentrasi CO2, dan 2.3 DPG. Kurva disosiasi bergeser ke kanan bila pH darah turun (asam), terjadi peningkatan CO2, suhu, atau 2.3 DPG. Pergeseran kurva disosiasi ke kiri bila terjadi keadaan yang berlawanan dengan pergeseran ke kanan.[10,19]
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
15
Gambar 2.2 Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen; pH 7,40, suhu 380C. Sumber: Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.
Keseimbangan asam basa tubuh ditentukan oleh konsentrasi ion H+. Tubuh mengatur konsentrasi ion ini untuk mencegah asidosis atau alkalosis dengan 3 cara, yaitu [10,20]: 1) sistem dapar asam-basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah perubahan konsentrasi H+ yang berlebihan. 2) sistem pernapasan, berfungsi mengatur pembuangan CO2 dari cairan ekstrasel 3) ginjal, berfungsi mengeluarkan urin asam atau alkali, sehingga konsentrasi H+ ekstrasel dapat normal kembali.
Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan asam basa adalah dengan mengatur pola makan. Telah lama diketahui jika makanan berpengaruh besar terhadap keseimbangan asam basa tubuh.[21] Makanan yang mengakibatkan penurunan pH darah adalah yang mengandung protein hewani dan karbohidrat. Sedangkan makanan yang mengakibatkan peningkatan pH adalah yang mengandung mineral seperti buah dan sayur.[22] Oksigenasi jaringan sangat dipengaruhi oleh jumlah O2 yang diangkut dalam darah arteri atau kandungan O2 arteri (CaO2). Kadar Hb sangat mempengaruhi Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
16
CaO2 karena sebagian besar O2 terikat Hb. Terdapat tiga komponen utama yang mempengaruhi CaO2, yaitu Hb, PaO2 dan SaO2.[23] Hubungan ketiga komponen ini dapat digambarkan dengan rumus sebagai berikut [24]: CaO2 = (SaO2 x 1,34 x Hb x 0,01) + (0,023 x PaO2kPa) Keterangan: CaO2 = kandungan O2 arteri (bentuk HbO2 dan yang larut dalam plasma) SaO2 = saturasi O2 arteri 1,34
= konstanta Huffner (volume O2 dalam ml yang dibawa oleh 1 gram Hb)
0,023 = koefisien kelarutan O2 Darah yang cenderung asam akan menggeser kurva disosiasi ke kanan, sehingga diperlukan PO2 yang lebih besar untuk mengikat Hb.[19] Ketika berada di ketinggian, tekanan barometer berkurang, sehingga PO2 juga berkurang. Bila PO2 yang sudah berkurang ini diperberat dengan pH darah yang asam, maka Hb akan semakin sulit berikatan dengan O2. Akibatnya CaO2 akan berkurang, sehingga oksigenasi jaringan berkurang . Keadaan ini akan menurunkan toleransi hipoksia dan WSE semakin singkat. Oleh karena itu, kepada awak pesawat dianjurkan untuk membatasi makanan yang meningkatkan keasaman tubuh, terutama sebelum terbang, sehingga keseimbangan asam basa selama terbang dapat terjaga. Penelitian yang dilakukan Mahyastuti terhadap 100 orang anggota Paskhasau tahun 1994 di Lakespra Saryanto pada simulasi ketinggian RUBR setara 20000 kaki, dan dilakukan analisis data dengan regresi linier, mendapatkan bahwa terdapat hubungan positif antara kadar Hb dan WSE dengan r = 0,18.[4]
2.7.1.2 Overweight dan obesitas Overweight atau obesitas akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Penumpukan lemak abdominal pada obesitas akan mengurangi volume dada, menghambat pergerakan diafragma ke bawah. Compliance dinding dada akan menurun, yaitu terjadi penurunan kemampuan elastisitas dada dan perut akibat saluran pernapasan yang tertutup. Kondisi-kondisi tersebut di atas akan mengakibatkan penurunan volume dan kapasitas vital paru,
kekuatan otot
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
17
pernapasan, serta bertambahnya ruang rugi pernapasan. Tahanan sistem pernapasan meningkat karena diameter saluran nafas yang lebih kecil yang dihubungkan dengan penurunan volume paru. Beberapa penderita obesitas dapat mengalami hipoksia karena terjadi ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi paru, terutama pada penderita dengan kemampuan pengembangan basal paru yang jelek. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa ada korelasi negatif antara kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) dengan obesitas sentral atau overweight, yaitu VEP1 dan KVP yang rendah atau kelainan paru restriktif [25–28]. Selain itu, obesitas akan meningkatkan beban kerja dan metabolisme sel tubuh, sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kebutuhan oksigen ini berakibat terbentuknya reactive oxygen species (ROS) atau radikal bebas dalam bentuk superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida.
Substansi-substansi
ini
berasal
dari
meningkatnya
respirasi
mitokondria dan lepasnya elektron dalam rantai transpor elektron, sehingga terbentuk radikal superoksida.[29] Penumpukan lemak yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan sel, sehingga meningkatkan kadar sitokin seperti interleukin-6 dan TNF-alfa, penurunan kadar adiponektin dan akhirnya meningkatkan risiko inflamasi sistemik.[25,29] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of Instruction of Aerospace Medicine (CIMA) terhadap 161 anggota pasukan tempur angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki, dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA dan kai-kuadrat dengan P<0,05, mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara WSE dan IMT.[5]
2.7.1.3 Kesamaptaan jasmani Perubahan sistem kardiorespirasi pada latihan yang bersifat aerobik umumnya berpengaruh pada sistem transportasi oksigen. Perubahan ini terutama terlihat pada: -
Perubahan ukuran jantung. Umumnya individu yang terlatih akan mempunyai volume rongga jantung yang lebih besar dan tebal dinding jantung tetap normal sehingga volume sekuncup jantung meningkat. Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
18
-
Penurunan denyut nadi per menit. Penyebabnya diperkirakan adanya peningkatan tonus parasimpatis atau penurunan tonus simpatis.
-
Peningkatan volume darah dan hemoglobin. Pada beberapa penelitian didapatkan adanya peningkatan volume darah setelah melakukan latihan aerobik selama beberapa waktu. Sedangkan untuk hemoglobin terjadi peningkatan jumlah hemoglobin total per kgBB.
-
Peningkatan besar otot dan densitas kapiler. Hal ini akan meningkatkan kemampuan pemakaian oksigen oleh otot.[30]
Penelitian yang dilakukan oleh Rahadyan dkk tahun 2007 di Lakespra Saryanto terhadap 122 subyek terlatih (perwira muda lulusan Akademi Angkatan Udara) dan 25 subyek tak terlatih (lulusan siswa SMU) dengan parameter terlatih Left Ventricular End Diastolic Diameter (LVEDD) pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki, serta analisis data dilakukan dengan uji-t independen untuk data kontinu dan uji kai-kuadrat (uji x2) untuk data nominal, mendapatkan bahwa LVEDD mempunyai hubungan bermakna dengan WSE (OR 0,156 (95% CI 0,046 – 0,527). Kelompok dengan LVEDD ≥ 4,85 cm mempunyai risiko 3,0 kali mengalami hipoksia (WSE < 4 menit) dibandingkan kelompok dengan LVEDD < 4,85 cm , (OR 3,0 (95% CI 95% 1,52 – 5,99).[7]
2.7.1.4 Umur Dengan bertambahnya umur, akan terjadi penurunan kapasitas kemampuan aktivitas fisik. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan maksimal penggunaan oksigen atau VO2maks. Berkurangnya VO2maks ini disebabkan oleh berkurangnya curah jantung atau maldistribusi curah jantung yang nampak hingga umur pertengahan [31]. Selain itu, fungsi paru juga akan mengalami penurunan. Penelitian Stanojevic dkk tahun 2007 mendapatkan terjadi penurunan rasio VEP1/KVP yang sesuai umur.[32] Penelitian yang dilakukan oleh Rochat M dkk pada tahun 2013 mendapatkan bahwa VEP1 pada pria mencapai puncaknya pada umur 20 tahun dan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur.[33] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of Instruction of Aerospace Medicine (CIMA) terhadap 161 anggota pasukan tempur Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
19
angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki (7620 m), dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA,dan
kai-kuadrat
dengan P<0,05, mendapatkan bahwa kelompok umur 30-39 tahun mempunyai toleransi yang lebih baik terhadap hipoksia dibandingkan kelompok umur yang lebih muda maupun lebih tua.[5]
2.7.2 Faktor-faktor Lain 2.7.2.1 Self-imposed factor Kabin bertekanan dirancang pada ketinggian kurang dari 10000 kaki (3048 m), yang merupakan ketinggian di mana tubuh masih dapat beradaptasi dengan berkurangnya tekanan udara pernapasan. Namun, adanya self-imposed factors akan dapat meningkatkan ketinggian fisiologis. Sebagai contoh, ketinggian sebenarnya 10000 kaki (3048 m), namun dengan adanya self imposed factors, tubuh akan bereaksi sesuai dengan ketinggian 13000 kaki (3962 m). Beberapa self-imposed factors adalah: a.
Alkohol Alkohol dalam tubuh dapat mengakibatkan hipoksia histotoksik karena alkohol merupakan toksin bagi sel. Telah dilakukan penelitian jika satu ons alkohol sebanding dengan ketinggian fisiologis 2000 kaki (610 m). Alkohol menghambat pengambilan oksigen dan metabolisme pada tingkat seluler, dan tergantung pada jumlah toksin yang beredar dalam sirkulasi tubuh. Selanjutnya efek depresan dari alkohol akan mengaburkan pengenalan penerbang terhadap hipoksia, sehingga mengurangi toleransi terhadap hipoksia. Seseorang yang mengalami kelelahan mental dan fisik mempunyai toleransi buruk terhadap alkohol karena mengalami penurunan kinerja.[2] Penelitian yang dilakukan Van de Borne dkk mendapatkan bahwa alkohol tidak mempengaruhi ventilasi dan respons simpatis terhadap hipoksia dan hiperkapnia, namun terjadi penurunan saturasi O2 sekitar 4% akibat berkurangnya afinitas O2 terhadap Hb.[34]
b.
Kelelahan
merupakan
salah
satu
gejala
hipoksia,
sulit
untuk
membedakannya dengan hipoksia. Penerbang akan sering salah mengartikan Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
20
bahwa kelelahan yang dialaminya bukan gejala hipoksia dan tidak mempertimbangkan tindakan pencegahannya.[11]
c.
Merokok - Karbon monoksida dari rokok, baik dari perokok aktif maupun pasif, merupakan ancaman besar pada penerbang perokok. Karbon monoksida mempunyai afinitas terhadap hemoglobin 210-250 kali lebih besar daripada oksigen, sehingga dapat menyebabkan hipoksia hipemik. Bersama dengan alkohol, merokok tiga batang secara cepat atau merokok 20-30 batang dalam 24 jam sebelum merokok dapat meningkatkan saturasi COHb 8-10 persen. Sekitar 20% perokok akan mengalami suatu smoker’s night vision meskipun berada pada ketinggian permukaan laut. Karena karbon monoksida dapat disetarakan dengan penambahan ketinggian 3000-5000 kaki (924-1524 m).[11] - Tar merupakan residu dari pembakaran tembakau pada rokok, dan merupakan agen utama penyebab keganasan. Tar dapat mengakibatkan destruksi membran mukosa saluran pernapasan. Selain itu dapat mempengaruhi proses pembersihan paru dan mengganggu oksigenasi sehingga akan mengurangi toleransi terhadap hipoksia.[2]
Gambar 2.3 Perbandingan saturasi COHb pada penerbang perokok dan bukan perokok (ketinggian dikalikan 1000 kaki) Sumber: Reinhart RO. Basic Flight Physiology. 3rd ed. New York: The McGraw Hill Companies; 2008
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
21
- Nikotin merupakan zat yang poten yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan saraf dan otot. Beberapa jenis rokok mengandung 10-20 mg nikotin, di mana 2,3 mg di antaranya akan diabsorbsi saat inhalasi, 1,5 mg akan diabsorbsi melalui membran mukosa mulut bila tidak dihisap. Dosis 2,5 mg nikotin per oral dapat mengakibatkan mual, dan dosis 5060 mg bersifat letal. Merokok 2 pak dalam satu hari akan mendapat dosis lebih besar daripada yang disebutkan di atas, namun jarang dilaporkan adanya efek nikotin tersebut, kemungkinan karena detoksifikasi nikotin yang cepat dan adanya peningkatan toleransi.[2]
Penelitian WSE yang dilakukan oleh Ribeiro dkk tahun 1999 terhadap 43 orang anggota angkatan udara Portugis (33 bukan perokok, 10 perokok), mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan WSE yang bermakna antara kelompok perokok dan bukan perokok.[6]
2.7.2.2 Ketinggian dari permukaan laut Semakin tinggi dari permukaan laut (baik dengan kabin bertekanan maupun tidak), semakin besar risiko hipoksia. Oleh karena itu kabin bertekanan pesawat terbang umumnya diatur setara ketinggian 8000 kaki (2438 m). Ketinggian kabin bertekanan yang lebih dari 8000 kaki (2438 m) akan mengakibatkan awak pesawat mengalami hipoksia. Tekanan parsial oksigen menurun saat naik ke ketinggian, sedangkan penerbang harus mendapat oksigen yang cukup bagi metabolisme sel tubuh. Pengaturan tekanan kabin pada ketinggian maksimal 8000 kaki (2438 m) merupakan salah satu cara untuk mencegah hipoksia.[11]
2.7.2.3 Kecepatan ascent Naik ke ketinggian dari permukaan laut membutuhkan penyesuaian tubuh yang dapat mengurangi efek hipoksia dan mempertahankan fungsi sel akibat berkurangnya PiO2. Proses ini disebut dengan aklimatisasi, yang merupakan proses yang kompleks dan melibatkan hampir semua sistem organ. Prinsip-prinsip utama yang terjadi selama proses aklimatisasi adalah [10,19,35]: Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
22
a.
Peningkatan ventilasi paru. Peningkatan ventilasi paru yang mendadak saat naik ke ketinggian akan menurunkan jumlah CO2, sehingga PCO2 turun. Akibatnya akan terjadi penekanan kemoreseptor pusat pernapasan di batang otak, berlawanan dengan efek PO2 yang rendah akan merangsang pernapasan melalui kemoreseptor perifer di badan karotis dan aorta. Efek penekanan terhadap pusat pernapasan akan menghilang dalam waktu 2-5 hari, dan ventilasi meningkat sekitar lima kali normal.
b.
peningkatan jumlah sel darah merah. Proses ini dirangsang oleh eritropoetin sebagai respons terhadap berkurangnya O2 ke ginjal. Peningkatan jumlah sel darah merah akan meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2.
c.
Peningkatan kapasitas difusi paru. Disebabkan karena peningkatan jumlah volume darah kapiler paru dan udara dalam paru sehingga kapiler tersebut melebar. Pelebaran ini menambah luas permukaan kapiler tempat berlangsungnya difusi.
e.
Peningkatan produksi 2.3 DPG sehingga O2 lebih mudah dilepaskan dari Hb di jaringan.
d.
Peningkatan vaskularisasi jaringan perifer, sehingga mengurangi jarak yang harus ditempuh O2 ketika berdifusi dari darah ke dalam sel
f.
Peningkatan jumlah mitokondria sel sehingga kemampuan sel dalam menggunakan O2 semakin efisien walaupun nilai PO2 rendah.
Proses penyesuaian ini berbeda-beda pada masing-masing individu maupun populasi. Apabila waktunya mencukupi, hampir setiap individu mampu melakukan aklimatisasi hingga ketinggian 5500 m (18.045 kaki). Di atas ketinggian ini, terjadi penurunan progresif fungsi organ tubuh yang melampaui kemampuan tubuh untuk melakukan kompensasi.[10,36] Menurut Calleja, faktor adaptasi terhadap ketinggian dari permukaan laut dapat dianggap konstan dan dapat diterapkan atau digunakan untuk ketinggian berapa pun. Lama proses adaptasi ini dapat dihitung dengan rumus : Lama di ketinggian (hari) = 11,4 x ketinggian (Km) Sebagai contoh, untuk beradaptasi pada ketinggian 2500 meter, maka diperlukan 11,4 x 2,5 = 28,5 hari.[37]
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
23
Semakin cepat naik ke ketinggian, toleransi individu terhadap hipoksia semakin kurang efektif. Akibat dari cepatnya naik ke ketinggian, sering seorang penerbang menjadi kurang waspada terhadap gejala hipoksia. Kurangnya pengalaman terhadap perubahan gejala-gejala tubuh sering membuat penerbang mengalami inkapasitansi mendadak.[11]
2.7.2.4 Lama pajanan Berada pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) selama beberapa jam tanpa suplemen oksigen dapat mengakibatkan gejala seperti berada pada ketinggian 16000 kaki 4867 m) selama setengah jam. Gejala yang terjadi berhubungan dengan waktu namun sangat tidak dapat diperkirakan. Semakin tinggi dari permukaan laut, semakin singkat waktu untuk terjadinya hipoksia.[11] Kemajuan teknologi penerbangan, terutama teknologi kabin bertekanan, memungkinkan pesawat terbang mampu terbang hingga ketinggian lebih dari 30000 kaki( 914 m) dengan tekanan dalam kabin dapat tetap dipertahankan setara ketinggian 6000-8000 kaki (1829-2438 m). Tekanan udara dalam kabin dengan ketinggian tersebut 560-590 mmHg, tidak dapat dipaksakan tekanannya sesuai permukaan laut (760 mmHg) karena memerlukan kompresor oksigen yang besar dan kemungkinan terjadi ledakan. Besarnya tekanan udara yang tidak sebesar tekanan udara permukaan laut mengakibatkan lingkungan kabin pesawat terbang menjadi hipobarik, namun dengan tekanan udara ini manusia masih dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap kekurangan oksigen. Dengan kondisi ini maka penerbang atau awak pesawat lain sering terpajan oleh hipoksia hipobarik.[38] Semakin sering terbang, maka semakin sering seorang awak pesawat terpajan oleh hipoksia hipobarik. Pajanan hipoksia hipobarik intermiten dapat merangsang proses aklimatisasi dan meningkatkan ketahanan aerobik manusia. Casas dkk melakukann penelitian hipoksia hipobarik intermiten disertai latihan fisik intensitas rendah dalam RUBR tahun 2000 terhadap 6 orang pendaki gunung selama 17 hari di Barcelona Spanyol, dengan simulasi ketinggian 4000-5500 kaki (1200- 1665 m). Pajanan hipoksia hipobarik dalam RUBR minimal berlangsung selam 3 jam per hari. Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
24
Penelitian ini mendapatkan hasil terjadi kenaikan bermakna pada ventilasi paru maksimal, VO2maks, packed cell volume (PCV), jumlah sel darah merah dan kadar Hb. Subyek pada penelitian ini mengalami adaptasi terhadap ketinggian, dan yang dianggap terpenting adalah adaptasi sistem transpor O2.[39]
2.7.2.5 Aktivitas fisik Aktivitas fisik yang meningkat akan meningkatkan kebutuhan oksigen bagi tubuh. Seorang penerbang dapat mempunyai risiko tinggi mengalami hipoksia selama penerbangan, misalnya karena tidak berfungsinya autopilot dan harus terbang manual dalam cuaca buruk yang tentu saja lebih banyak memerlukan aktivitas fisik. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi awak pesawat lain yang memerlukan lebih banyak tenaga selama penerbangan seperti pramugari dan load master militer.[11]
2.7.2.6 Suhu lingkungan Suhu lingkungan dalam kokpit yang ekstrem, terutama pada pesawat yang berbadan kecil dan mempunyai pengaturan kabin bertekanan yang jelek, akan menurunkan toleransi tubuh terhadap kurangnya oksigen. Suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan toleransi hipoksia.[11,40] Suhu lingkungan yang atau kelembaban udara yang tinggi, disertai berkurangnya kerapatan udara akan sedikit menurunkan tekanan parsial oksigen. Sedangkan kenaikan suhu tubuh akan meningkatkan metabolisme sehingga kebutuhan oksigen bertambah. Akibatnya toleransi terhadap hipoksia menurun, dan dapat terjadi hipoksia pada ketinggian yang rendah.[11,41]
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
25
2.8
Kerangka Konsep
Gambar 2.4. Kerangka konsep penelitian Keterangan : faktor risiko yang dicetak miring tidak diteliti
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 3 METODE
3.1
Hasiljadi dan faktor risiko
3.1.1
Definisi (lengkap) hasiljadi dan metode diagnostiknya
Waktu sadar efektif adalah waktu yang dimiliki oleh seseorang saat mulai terjadi penurunan tekanan oksigen hingga saat dia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang diperlukan sesuai situasi dan kondisi, seperti memakai masker oksigen atau menurunkan ketinggian pesawat terbangnya.[11] Dalam penelitian ini kemampuan yang dinilai adalah melakukan penjumlahan sederhana dua digit susun ke bawah.
3.1.1.1
Persyaratan pengukuran WSE Pengukuran WSE dilakukan saat subyek melakukan latihan hipoksia di
RUBR. Persyaratan untuk mengikuti latihan hipoksia sesuai ketentuan Lakespra Saryanto adalah sebagai berikut [42]: a.
Sehat fisik dan mental
b.
Telah melaksanakan pemeriksaan radiologi (foto thorax) dan hasilnya dinyatakan normal.
c.
Telah melaksanakan pemeriksaan THT dan hasilnya dinyatakan normal.
d.
Telah melaksanakan pemeriksaan spirometri dan hasilnya dinyatakan normal,
e.
Telah melaksanakan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan hasilnya dinyatakan normal
f.
Melaksanakan sinus check di ketinggian 5000 kaki (1524 m). Bila tidak ada keluhan dilanjutkan sesuai kebutuhan.
g.
Bila ada keluhan seperti: hipoksia, trapped gas (sinus block, ear block, aerodontalgia) dan evolved gas dirujuk ke dokter ahli sesuai kelainan tersebut disertai surat pengantar pasien.
h.
Sebelum dan setelah melaksanakan latihan RUBR tidak melaksanakan aktivitas fisik yang berat (12 jam). 26
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
27
3.1.1.2
Prosedur Pengukuran WSE.
Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh petugas terlatih, yang terdiri dari operator RUBR,
pengawas dalam dan pengawas luar, perawat udara serta petugas
administrasi, dan diawasi oleh dokter spesialis penerbangan atau flight surgeon. Prosedur pengukuran WSE dalam RUBR adalah sebagai berikut [42,43]: a.
Subyek telah melaksanakan persyaratan pemeriksaan fisik (foto thorax, EKG, spirometri, dan THT) dengan hasil normal.
b.
Subyek mendapat penjelasan singkat tentang hipoksia dan tata cara pelaksanaan latihan di RUBR.
c.
Setelah mendapat penjelasan, kemudian subyek masuk ke dalam RUBR, dan mengikuti prosedur rutin persiapan latihan, yaitu -
Mengisi data subyek sesuai nomor urut kursi dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan evaluasi subyek.
-
Sebelum dimulai latihan subyek mendapat arahan dari operator RUBR tentang pelaksanaan profil latihan yang akan dilaksanakan.
-
memakai helm dan mengecek fungsi alat komunikasi pada masingmasing helm.
-
Memasang masker oksigen dan dan melakukan PRICE CHECK (Pressure, Regulator, Indicator, Connector, dan Emergency)
d.
Memasang pulse oxymetri (pada ibu jari tangan kiri).
Dilakukan prosedur sinus check, yaitu naik ke ketinggian 5000 kaki (1524 m), kemudian turun lagi, untuk mengetahui apakah ada subyek yang mengalami keluhan nyeri pada sinus paranasalis. Bila ada, tidak diizinkan mengikuti latihan selanjutnya.
e.
Latihan dimulai dengan naik ke ketinggian 25000 kaki (7620 m). Pada ketinggian ini masker oksigen dilepas dan subyek diminta mengerjakan soal penjumlahan angka dua digit secara vertikal.
f.
Waktu sadar efektif dihitung mulai dari saat masker oksigen dilepas. Titik akhir WSE ditentukan ketika subyek salah menjawab dua nomor berturutturut atau diam tidak mengerjakan soal selama 15 detik atau tidak melaksanakan perintah pengawas dan pengawas segera memakaikan kembali masker oksigen. Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
28
g.
Pada titik akhir WSE dicatat saturasi oksigen dan denyut nadi.
h.
Satuan WSE dinyatakan dalam detik.
i.
Setelah seluruh subyek selesai dicatat WSE-nya dan memakai masker oksigen, kembali ke ketinggian sesuai permukaan laut.
Gambar 3. Profil ruang udara bertekanan rendah Keterangan gambar: ABC : Sinus check CD : Naik ke ketinggian 25000 kaki dengan kecepatan 5000 kaki/menit DE : Demonstrasi hipoksia masal selama 5 menit EF : kembali ke ketinggian permukaan laut dengan kecepatan 3000-5000 kaki/menit Ruang Udara Bertekanan Rendah (RUBR) yang digunakan adalah buatan Environmental Tectonics Corporation International. Alat ini merupakan alat simulasi pengenalan reaksi tubuh saat terpajan ketinggian.
3.1.2
Definisi pajanan utama dan metode diagnostiknya
Hemoglobin (Hb) adalah zat protein yang terdapat dalam eritrosit yang memberikan warna merah pada darah, fungsi utamanya adalah sebagai
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
29
pengangkut oksigen. Pada laki-laki dewasa kadar normal adalah 13,5-18,0 g/dL dan perempuan 12-16 g/dL.[44,45] Data kadar hemoglobin diambil dari data hasil pemeriksaan laboratorium subyek yang bersangkutan saat melaksanakan pemeriksaan kesehatan pendahuluan di aeroklinik Lakespra Saryanto. Sebelum pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, subyek diwajibkan berpuasa minimal 10 jam.
3.2
Metode
3.2.1
Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang dengan analisis regresi linier bivariat dan multivariat untuk membuktikan kecenderungan secara signifikan antara WSE dengan faktor-faktor risiko. Bila variabel faktor risiko mempunyai nilai p<0,25, maka akan dipilih sebagai kandidat potensial untuk disertakan dalam analisis multivariat.[46] Untuk membuat prediksi hasiljadi (WSE), digunakan rumus umum [46]: Y = konstanta + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4
(3.1)
Keterangan: Y : hasiljadi β : koefisien regresi X : faktor risiko 3.2.2
Perhitungan jumlah sampel
Data variabel hasiljadi (WSE) adalah waktu (detik) yang merupakan data kontinu. Data faktor risiko: a.
Kadar Hb
: kontinu
b.
Indeks masa tubuh
: kontinu
c.
Umur
: kontinu
d.
Kesamaptaan jasmani
: kontinu
e.
Jam terbang
: kontinu
Jenis data hasiljadi maupun faktor risiko adalah kontinu, dengan demikian uji hipotesis dilakukan dengan analisis regresi linier.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
30
Jumlah sampel minimal untuk analisis regresi linier ditentukan dengan: -
kesalahan α 0,05 (dua arah)
-
kesalahan β 0,20 (20%)
-
koefisien korelasi (r) 0,25, karena nilai r 0,25 merupakan r terkecil yang masih dapat menghasilkan korelasi yang bermakna.[47]
Berdasarkan tabel perhitungan jumlah sampel untuk analisis korelasi diperoleh jumlah sampel minimal adalah 123 orang.[48] Dengan demikian dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebanyak 1,10 X 123 orang = 136 orang.
3.2.3
Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian : Lakespra Saryanto Jakarta. Waktu penelitian : 19 - 30 Mei 2014.
3.2.4
Populasi penelitian
Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. 1) Calon awak pesawat yaitu : a. calon penerbang Prajurit Sukarela Dinas Pendek (PSDP) TNI. Pendidikan Pertama PSDP Penerbang TNI merupakan salah satu pendidikan pertama perwira TNI bagi warga negara terpilih lulusan SMA/sederajat untuk dididik menjadi perwira penerbang TNI.[49] Persyaratan calon penerbang PSDP di antaranya adalah [50,51]: - Warga Negara Indonesia Pria, bukan Prajurit TNI, anggota Polri dan PNS - Tinggi Badan minimal 165 cm dan panjang kaki minimal 100 cm. - Berusia antara 17-22 tahun. - Sehat jasmani, rohani, dan tidak berkacamata. Seleksi calon meliputi seleksi daerah dan pusat. (1)
Seleksi daerah dilakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia dan dibagi menjadi beberapa Panitia Daerah (Panda), yaitu NAD, Sumbagut, Riau, Sumbagsel, Jabar, Jateng, DIY, Surabaya, Madiun, Kalimantan Tim-Sel, Sulawesi, Bali dan Nusra, Ambon, Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
31
Papua, DKI Jaya, Kalimantan Bar-Teng, mantan Catar. Materi yang diujikan antara lain adalah pemeriksaan kesehatan I dan II, serta kesamaptaan jasmani. Bagi yang dinyatakan lulus seleksi daerah akan mengikuti seleksi pusat. (2)
Tingkat pusat di laksanakan oleh Panitia pusat (Panpus) di Wingdikum Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta dan Lanud Adisutjipto Yogyakarta, dengan materi uji antara lain pemeriksaan kesehatan III, psikologi penerbangan, kesamaptaan jasmani, dan antropometrik. Untuk pemeriksaan kesehatan III di Jakarta, dilaksanakan di Lakespra Saryanto. Materi seleksi kesehatan ini meliputi : -
Pemeriksaan kesehatan umum :anamnesis, pemeriksaan fisik, jantung (treadmill), pemeriksaan laboratorium, mata, THT, saraf, spirometri, radiologi.
-
Indoktrinasi latihan aerofisiologis, yaitu pengenalan hipoksia dengan RUBR dan mabuk gerak dengan kursi barany. Syarat untuk dapat mengikuti latihan RUBR sama dengan persyaratan pada awak pesawat, yaitu tidak ada kelainan paru, jantung, dan THT.
b. Calon penerbang TNI AD (Penerbad) Berasal dari bintara organik TNI AD dengan persyaratan antara lain : -
minimal berpangkat sertu maksimal serka,
-
berbadan sehat, tidak bertato dan lulus pemeriksaan kesehatan,
-
usia 26-30 tahun
-
Tinggi badan minimal 165 cm, berat badan seimbang
-
Panjang kaki minimal 100 cm
-
Tidak berkacamata
Seleksi kesehatan tahap I di laksanakan di beberapa daerah dengan materi seleksi meliputi : fisik diagnostik, mata, telinga (audiometri), paru (spirometri, THT, rontgen, laboratorium, dan rekam jantung atau EKG). Seleksi kesehatan yang dilaksanakan di Lakespra Saryanto merupakan
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
32
seleksi kesehatan tahap II, dengan materi seleksi sama dengan calon penerbang PSDP. 2) Awak pesawat militer Adalah awak pesawat (penerbang, navigator, JMU, load master) militer yang melaksanakan ILA di Lakespra Saryanto. Untuk penerbang tempur dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, penerbang pesawat angkut dan helikopter setiap 3 tahun sekali, dan awak pesawat lain setiap 4 tahun sekali. Pelaksanaan ILA berdasarkan surat perintah komandan lanud setempat.[52] Dalam kerangka konsep disebutkan terdapat beberapa faktor risiko yang tidak diteliti. Hal ini disebabkan karena data diambil dari data: - calon siswa penerbang yang telah melakukan ILA sebelum penyusunan proposal penelitian. Seleksi kesehatan dilaksanakan tanggal 7-11 Januari 2014. - Jumlah awak pesawat yang melaksanakan ILA setiap bulan rata-rata 15-20 orang. Rencana jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah 136 orang. Bila harus memenuhi jumlah sampel minimal, maka diperlukan waktu sekitar 7 bulan. Sebagian data diambil dari pelaksanaan ILA mulai Januari – Mei 2014.
3.2.5
Cara identifikasi subyek
Subyek penelitian adalah calon awak pesawat dan awak pesawat militer yang melaksanakan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologis (ILA) Lakespra Saryanto.
3.2.5.1.
Kriteria inklusi
Kriteria inklusi subyek penelitian adalah calon atau awak pesawat militer dengan ketentuan: a.
melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan ILA
b.
bersedia berperan serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir persetujuan penelitian.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
33
3.2.5.2.
Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi subyek penelitian adalah calon atau awak pesawat yang: a.
tidak melaksanakan pemeriksaan kesehatan umum secara lengkap, termasuk laboratorium dan uji latih jantung.
b.
tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia dalam RUBR
3.3
Penyajian Data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk penulisan ilmiah secara narasi dan tabular.
3.4. Faktor risiko lain dan definisi operasional 3.4.1
Umur
Umur adalah umur subyek saat dilakukan penelitian, dinyatakan dalam tahun. Data umur diperoleh dari rekam medis subyek yang bersangkutan atau dari kuesioner.
3.4.2
Indeks masa tubuh (IMT)
Merupakan hasil pengukuran antropometrik pada kombinasi berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m), dinyatakan dengan satuan kg/m2. Metode yang digunakan adalah dengan mengukur : a.
Tinggi badan, satuannya adalah meter
b.
Berat badan, satuannya adalah kilogram
Perhitungan IMT: IMT = BB /TB2
(3.2)
Keterangan : - BB = berat badan (kg) - TB = tinggi badan (meter) Data berat badan dan tinggi badan subyek penelitian diambil dari data hasil pemeriksaan kesehatan berkala yang dilakukan sebelum melaksanakan ILA. Berat Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
34
dan tinggi badan diukur oleh petugas di ruang pemeriksaan umum dengan alat SMIC health care.
3.4.3
Kesamaptaan jasmani
Kesamaptaan jasmani adalah kondisi fisik yang mampu mengatasi beban kerja dan menyelesaikan tugas dengan baik tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki cadangan tenaga yang cukup untuk menghadapi beban tambahan apabila diperlukan.[53] Tingkat kesamaptaan jasmani yang diukur adalah kesamaptaan aerobik dengan cara menghitung VO2maks dari hasil uji latih jantung yang dilakukan oleh subyek penelitian. Uji latih jantung dilakukan satu hari sebelum kegiatan di RUBR, dilakukan dengan metode Bruce dan dalam pengawasan seorang spesialis jantung. Untuk
menentukan
VO2maks
dari
hasil
uji
latih
jantung
digunakan
persamaan[54]: VO2maks = 14,8-(1,379 X t) + (0,451 X t2) – (0,012 X t3)
(3.3)
Keterangan : t = waktu (menit), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan uji latih jantung.
3.4.4
Jam terbang
Jam terbang adalah total waktu pergerakan pesawat terbang sejak mesin dihidupkan untuk tujuan lepas landas sampai penerbangan selesai dan mesin dimatikan.[55] Data jam terbang awak pesawat diperoleh dari hasil anamnesis saat pemeriksaan kesehatan.
3.5.
Etika penelitian
Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah penelitian mengingat penelitian kesehatan akan berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi etika penelitian harus diperhatikan demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta hak asasi manusia.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
35
Pertama-tama dilakukan penjelasan kepada calon subyek penelitian mengenai identitas peneliti, tujuan penelitian dan manfaatnya terutama bagi calon subyek penelitian sendiri. Kemudian diberikan penjelasan mengenai latar belakang dipilihnya topik WSE dan kepentingannya bagi dunia penerbangan, faktor-faktor yang mempengaruhi WSE sesuai dengan kepustakaan, serta hipotesis yang diajukan. Untuk memperlancar pelaksanaan penelitian dijelaskan mengenai : 1)
Prosedur penelitian, mulai dari penjelasan sebelum penelitian, hingga penelitian selesai, termasuk bila mungkin timbul dampak atau risiko akibat penelitian.
2)
Risiko penelitian dan tindakan untuk mencegah atau menguranginya, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Risiko penelitian dan tindakan pencegahannya RISIKO 1. Fisik - Hipoksia - Ear block - Sinus block
2. Psikologis 3. Sosial 4. Legal
TINDAKAN - Hipoksia diatasi dengan suplemen oksigen, dan dilatih cara-cara pemakaian masker oksigen. - Untuk mencegah sinus atau ear block dilakukan sinus check terlebih dahulu pada ketinggian 5000 kaki sebelum latihan dimulai. Bagi yang mengalami sinus atau ear block, tidak dapat mengikuti penelitian. - Untuk mencegah sinus atau ear block selama penelitian diberi penjelasan dan latihan tentang manuver valsava. - Apabila mengalami sinus atau ear block selama penelitian saat turun ke ketinggian permukaan laut, maka akan diterbangkan pada ketinggian tertentu yang lebih tinggi sampai tidak terasa sakit. Setelah itu baru turun kembali dengan kecepatan 1000-2000 kaki per detik. - Apabila peserta tidak dapat melanjutkan penelitian, akan di bawa ke lock chamber (di samping chamber utama) untuk diturunkan pada ketinggian permukaan laut, dan diberi pertolongan medis sesuai keluhan dan gejala yang dialami. Memberikan penjelasan tentang prosedur penelitian, risiko, serta penanganan bila terjadi efek samping. Tidak ada risiko sosial, karena tidak akan mempengaruhi karier pekerjaan. Tidak ada risiko legal, karena mendapat persetujuan dari Komisi Etik FKUI. Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
36
3) Penelitian memerlukan data dari hasil rekam medis dan hasil latihan aerofisiologi yang akan dilakukan oleh calon subyek, tanpa merubah prosedur pelaksanaan ILA. Kerahasiaan harus tetap terjaga dengan cara merubah identitas calon subyek penelitian dengan kode-kode tertentu sehingga tidak semua orang dapat mengakses data penelitian. Diberikan juga kesempatan kepada calon subyek untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas baik secara langsung maupun melalui telepon kepada peneliti. Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan siapa pun, dan apabila menolak berpartisipasi tidak akan mendapat sangsi apa pun. Apabila calon subyek memutuskan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian, diminta untuk menandatangi formulir persetujuan setelah penjelasan.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 4 HASIL
4.1
Silsilah subyek
Pengambilan data dilakukan di Lakespra Saryanto pada tanggal 19-30 Mei 2014. Data yang diambil adalah data hasil pelaksanaan ILA periode Januari – Mei 2014. Selama Periode ini terdapat 183 peserta ILA dengan perincian: 92 calon siswa PSDP, 16 calon Penerbad, 42 orang penerbang dan navigator, 16 siswa penerbang PSDP, serta 17 orang juru mesin udara (JMU). Setelah dilakukan pemeriksaan data-data hasil pelaksanaan ILA, 25 orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung. Dengan demikian data yang dianalisis sebanyak 158.
Tabel 4.1 Silsilah subyek penelitian Subyek penelitian Calon dan awak pesawat yang melaksanakan ILA Tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR Tidak melaksanakan uji latih jantung
Jumlah 183 10 15
Jumlah memenuhi syarat
158
4.2 Profil subyek penelitian Subyek penelitian terbanyak adalah sipil atau calon siswa penerbang PSDP sebesar 57%, dan kualifikasi terbanyak adalah calon penerbang sebesar 65,8% (Tabel 4.2)
37
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
38
Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian (n=158) Pangkat Kolonel Letkol Mayor Kapten Lettu Letda Bintara Sipil Siswa Kualifikasi Calon penerbang Penerbang Navigator Juru mesin udara Siswa penerbang
Jumlah
%
3 3 3 10 6 14 15 90 14
1,9 1,9 1,9 6,3 3,8 8,9 9,5 57,0 8,9
104 34 4 2 14
65,8 21,5 2,5 1,3 8,9
Tabel 4.2 menunjukkan umur subyek termuda adalah 18 tahun, tertua 46 tahun, dengan rata-rata 23,09 tahun. Jam terbang paling sedikit 0 jam, terbanyak adalah 6000 jam, rata-rata 371,49 jam. 4.3.
Analisis univariat
Terdapat 6 subyek yang mempunyai kadar Hb di bawah normal (13 g/dL) dan 1 subyek di atas normal (18g/dL). Namun, secara keseluruhan kadar Hb subyek rata-rata normal (14,99 g/dL%).
Indeks masa tubuh (IMT) berkisar normal
hingga overweight, dengan rata-rata 22,72 kg/m2 . Variabel yang paling bervariasi adalah jam terbang, sedangkan yang paling tidak bervariasi kadar Hb. Tabel 4.3 Sebaran umur, jam terbang, Hb, IMT, VO2maks dan waktu sadar efektif subyek (n=158)
Umur subyek (tahun) Jam terbang (jam) Kadar Hb (g/dL) Indeks masa tubuh (kg/m2) VO2maks (ml/menit/kgBB) Waktu sadar efektif (detik)
Min
Maks
18 0 13 19 30 80
46 6000 18 29 67 300
Rata- Simpang Koefisien rata baku variasi 23,09 6,245 27,05 371,49 1004,900 270,51 14,99 0,894 5,97 22,72 2,277 10,02 47,78 5,875 12,30 235,41 68,438 29,07
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
39
4.4
Analisis Bivariat
Tabel 4.4 di bawah ini merupakan tabel hasil analisis bivariat faktor-faktor risiko waktu sadar efektif. Berdasarkan perhitungan analisis bivariat, kandidat potensial terhadap WSE adalah kadar Hb, IMT, umur, dan jam terbang. Berdasarkan hasil perhitungan yang tercantum pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.1. menunjukkan bahwa nampaknya
semakin tinggi Hb cenderung
semakin
memperpanjang WSE. Sedangkan dari hasil perhitungan tersebut dan Gambar 4.2.- Gambar 4.4. menunjukkan semakin tinggi umur, IMT, dan jam terbang nampaknya cenderung mempersingkat WSE.
Tabel 4.4 Kadar hemoglobin, IMT, VO2maks, umur dan jam terbang terhadap waktu sadar efektif (n= 158)
Kadar hemoglobin Konstanta IMT Konstanta VO2maks Konstanta Umur Konstanta Jam terbang Konstanta
Koefisien regresi kasar 9,072 99,436 -8,141 420,357 -0,317 250,537 -4,163 331,551 -0,240 244,328
95% Interval kepercayaan -2,950 ; 21,093 -81,068 ; 279,940 -12,717 ; -3,565 288,073 ; 513,069 -2,158 ; 1,524 161,892 ; 339,182 -5,766 ; -2,560 293,205 ; 369,897 -0.034 ; -.0139 233,559 ; 255,097
P 0,138 0,278 0,001 0,000 0,735 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
300 250 200 150 100 R Sq Linear = 0.014
50 12.0
14.0
16.0
18.0
Waktu sadar efektif (detik)
Waktu sadar efektif (detik)
40
300 250 200 150 100 R Sq Linear = 0.073
50
18.00 20.00 22.00 24.00 26.00 28.00 30.00
20.0
Indeks masa tubuh (Kg/m2)
Kadar Hb (g%)
300 250 200 150 100 R Sq Linear = 0.144
50 20
30
40
Waktu sadar efektif (detik)
Waktu sadar efektif (detik)
Gambar 4.1 Diagram baur antara WSE Gambar 4.2 Diagram baur antara WSE dan IMT dan kadar Hb
300 250 200 150 100 R Sq Linear = 0.124
50 0
50
Gambar 4.3 diagram baur antara WSE dan umur subyek
Waktu sadar efektif (detik)
1000 2000 3000 4000 5000 6000
Jam terbang (jam)
Umur subyek (tahun)
Gambar 4.4 Diagram baur antara WSE dan jam terbang
300 250 200 150 100 R Sq Linear = 7.386E-4
50 30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
VO2max (ml/menit/KgBB)
Gambar 4.5 Diagram baur antara WSE dan VO2maks Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
41
4.5 Analisis Multivariat Tabel 4.5 merupakan tabel hasil analisis multivariat . Berdasarkan tabel tersebut, faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap lamanya WSE yang bermakna, yaitu kadar Hb, IMT, dan umur. Variabel IMT mempunyai P=1,99 (>0,05), sehingga dibuat model lain dengan mengeluarkan variabel tersebut.
Tabel 4.5 Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif (n=158)
Kadar Hb IMT Umur Konstanta
Koefisien regresi suaian
95% interval kepercayaan
14,677 -3,274 -3,917 180,266
3,526 ; 25,828 -8,287 ; 1,738 -5,762 ; -2,072 -7,257 ; 367,788
P 0,010 0,199 0,000 0,059
Tabel 4.6 merupakan model kedua setelah variabel IMT dikeluarkan. Namun karena terjadi perubahan koefisien regresi kadar Hb dan umur >10%, maka variabel IMT tidak dapat dikeluarkan dari model hasil analisis multivariat. Dengan demikian yang dianggap sebagai model akhir hasil analisis multivariat adalah Tabel 4.5.
Tabel 4.6 Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif (model kedua) n=158
Kadar Hb Umur Konstanta
Koefisien regresi suaian
95% interval kepercayaan
14,523 -4,522 122,159
3,351 ; 25,695 -6,121 ; -2,922 -43,267 ; 287,585
P 0,011 0,000 0,147
Berdasarkan Tabel 4.5 disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar Hb, semakin panjang WSE. Satu unit (1 g/dL) Hb akan menambah WSE 14,7 detik. Semakin tinggi IMT dan umur, semakin singkat WSE. Setiap penambahan IMT 1 kg/m2
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
42
akan mengurangi WSE sebesar 3,3 detik, dan setiap penambahan umur 1 tahun akan mengurangi WSE 3,9 detik. Kadar Hb mempunyai kecenderungan untuk memperpanjang WSE. Faktor IMT dan umur merupakan faktor yang cenderung mempersingkat WSE. Berdasarkan hasil perhitungan multivariat, dapat dibuat prediksi nilai WSE dengan rumus :
Prediksi nilai WSE = 180,266 + (14,677 x kadar Hb) + (-3,274 x IMT) + (-3,917 x umur)
Contoh: 1) Penerbang dengan kadar Hb 13 g/dL, IMT 29 kg/m2, dan umur 46 tahun. Prediksi nilai WSE penerbang tersebut adalah: 180,266 + (14,677 x 13 g/dL) + (-3,274 x 29 kg/m2) + (-3,917 x 46 tahun) = 95,939 detik. 2) Penerbang dengan kadar Hb 16 g/dL, IMT 19 kg/m2, dan umur 18 tahun. Prediksi nilai WSE penerbang tersebut adalah: 180,266 + (14,677 x 16 g/dL) + (-3,274 x 19 kg/m2) + (-3,917 x 18 tahun) = 282,386 detik.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1.
Keterbatasan
Penelitian ini mempunyai keterbatasan, antara lain: 1)
Cara pemilihan sampel menggunakan metode purposif karena keterbatasan waktu dan jumlah subyek. Dengan demikian belum dapat menggambarkan semua calon dan awak pesawat militer.
2)
Hanya berlaku untuk populasi dengan umur 18-46 tahun dengan kadar Hb 13-18 g/dL, dan IMT 19-29 kg/m2.
3)
Beberapa faktor risiko dalam kerangka konsep tidak diteliti karena data diambil dari hasil ILA yang dilaksanakan sebelum proposal penelitian dibuat. Faktor-faktor risiko yang tidak diteliti tersebut adalah: a.
Kebiasaan merokok
b.
Aktivitas fisik (tidak diketahui aktivitas fisik sebelum pelaksanaan demonstrasi hipoksia)
c.
Kebiasaan makan atau jenis makanan yang dimakan sebelum pelaksanaan demonstrasi hipoksia
Faktor-faktor risiko tersebut di atas dapat mempengaruhi model prediksi WSE. 3)
Penentuan titik akhir WSE bersifat subyektif, berdasarkan hasil pengamatan pengawas dalam atau kehendak subyek penelitian, belum menggunakan pemeriksaan saturasi O2. Untuk mengatasinya subyek diminta untuk melaksanakan demonstrasi hipoksia dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan. Titik akhir WSE ditentukan bila subyek melakukan kesalahan penghitungan 1 kali.
5.2. Profil Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan ILA. Pemeriksaan kesehatan dan ILA ini dilaksanakan dalam rangka seleksi calon penerbang militer, serta merupakan 43
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
44
kegiatan rutin tiap 2 tahun untuk penerbang tempur, 3 tahun untuk penerbang angkut dan helikopter, dan 4 tahun untuk awak pesawat lain (JMU, navigator, load master). [51] Subyek terbanyak adalah calon siswa penerbang dari sipil (57%). Umur subyek termuda adalah 18 tahun dan tertua 46 tahun dengan ratarata 23 tahun. Subyek dengan kualifikasi awak pesawat militer aktif sebesar 25,32%.
5.3. Hasil Penelitian 5.3.1
Hubungan antara WSE dan kadar Hb
Kadar Hb subyek penelitian berkisar antara 13 - 18 g/dL, dengan rata-rata 15 g/dL. Analisis regresi linier multivariat antara WSE dan kadar Hb menunjukkan kecenderungan kenaikan Hb akan memperpanjang WSE [koefisien regresi (β) =14,677 ; p = 0,010]. Hasil ini sesuai hipotesis bahwa semakin tinggi kadar Hb semakin lama WSE. Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah yang berperan sebagai pembawa O2 ke seluruh jaringan tubuh. Semakin tinggi kadar Hb dalam darah, semakin banyak kandungan O2 arteri (PaO2), sehingga semakin banyak O2 yang dapat diangkut oleh darah ke seluruh jaringan tubuh.[10,19,23] Hemoglobin berikatan dengan O2 sebagai oksihemoglobin. Sifat ikatan antara Hb dan O2 digambarkan dalam
kurva disosiasi oksihemoglobin. Saturasi
oksihemoglobin (SaO2) dipengaruhi oleh pH, PCO2, ion hidrogen, suhu, dan kadar 2.3- DPG.[55] Peningkatan kandungan CO2 darah (CaCO2) dan penurunan pH darah akan mengurangi afinitas Hb terhadap O2, sehingga terjadi pelepasan O2. Akibatnya kurva
akan
bergeser
ke
kanan.
Hemoglobin
yang
terdeoksigenasi
(deoksihemoglobin) lebih aktif mengikat H+ dibandingkan oksihemoglobin. Kandungan CO2 darah (CaCO2) yang meningkat akan meningkatkan H2CO3 (asam karbonat) darah dan konsentrasi ion H+
sehingga pH darah
menurun.[10,19] Senyawa 2.3
DPG banyak terdapat dalam sel darah merah. Senyawa ini
merupakan senyawa fosfat yang dihasilkan dari proses glikolisis melalui jalur Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
45
Embden Meyerhof. Hipoksia hipobarik akan meningkatkan jumlah senyawa ini. Meningkatnya senyawa ini dalam darah akan menggeser ikatan antara Hb dan O2, sehingga mengurangi afinitas Hb terhadap O2.[19,56] Penelitian ini sesuai dengan penelitian Mahyastuti (1994) terhadap 100 Pasukan Khas TNI AU (Paskhasau).
Pada penelitian tersebut Hb subyek penelitian
berkisar 12,2-17,8 g/dL dengan rata-rata 15,08 g/dL
[95% CI = -0,07;1,17 ; β=
0,55, koefisien korelasi (r) = 0,18; dan p=0,08]. Kesimpulan penelitian ini menyebutkan antara Hb dan WSE ada hubungan positif sedang dan bermakna (0,05 ≤ p ≤ 0,25).[4]
5.3.2
Hubungan antara WSE dan IMT
Indeks masa tubuh (IMT) subyek penelitian berkisar antara 18,71-29,07 kg/m2, dengan rata-rata 22,718 kg/m2. Analisis regresi linier multivariat antara WSE dan IMT menunjukkan bahwa
peningkatan IMT akan cenderung mempersingkat
WSE (β= -3,274, ; 95% CI= -8,287;1,738 ; p= 0,199). Hasil ini sesuai dengan hipotesis, yaitu semakin besar IMT, semakin singkat WSE. Teori yang mendasari adalah pada orang dengan IMT yang besar (overweight atau obesitas) mempunyai masa lemak perut yang dapat menghalangi gerakan ke bawah diafragma saat inspirasi, sehingga compliance saluran pernapasan berkurang. Berkurangnya compliance ini akan menurunkan fungsi paru, yaitu terjadi restriksi. Restriksi akan menurunkan kapasitas vital paru , KVP, dan VEP1.[25–28] Kapasitas vital paru yang baik akan meningkatkan kemampuan paru sebagai tempat pertukaran udara, sehingga oksigenasi paru dan jaringan tubuh akan lebih baik.[8] Oksigenasi jaringan tubuh yang lebih baik akan meningkatkan toleransi terhadap hipoksia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of Instruction of Aerospace Medicine (CIMA) terhadap 161 anggota pasukan tempur angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki, dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA dan kaikuadrat dengan P<0,05, mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara WSE dan IMT.[5] Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena penentuan titik akhir WSE yang subyektif. Pada penelitian Lopez dkk, Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
46
subyek penelitian yang telah mempunyai pengalaman demonstrasi hipoksia di RUBR umumnya mempunyai toleransi terhadap hipoksia yang lebih lama karena memahami kapan saat harus memakai masker oksigen sebagai penanda titik akhir WSE dibandingkan subyek yang belum berpengalaman. Sedangkan subyek dengan IMT yang lebih besar umumnya adalah subyek yang sudah mempunyai pengalaman.[5]
5.3.3
Hubungan antara WSE dengan kesamaptaan jasmani
Kesamaptaan jasmani pada penelitian ini diukur dengan VO2maks yang diperoleh dari hasil uji latih jantung. VO2maks subyek berkisar antara 30,17-67,42 ml/menit/kgBB dengan rata-rata 47,778 ml/menit/kgBB. Hasil analisis regresi linier menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara VO2maks (kesamaptaan jasmani) dengan WSE (β= -0,317 ; 95% CI= -2,158;1,524 ; p = 0,735). Penelitian serupa yang dilakukan Ekasari dkk tahun 2004 terhadap 30 anggota Paskhasau di Lakespra Saryanto dengan metode analisis regresi linier, mendapatkan hasil berbeda, yaitu pada analisis bivariat VO2maks berkorelasi positif lemah dengan WSE (r=0,264 ; p=0,159). Sedangkan setelah analisis multivariat VO2maks tidak bermakna.[8] Ambilan O2 maksimal (VO2maks) merupakan kecepatan maksimal O2 yang dapat dibawa dari atmosfer (lingkungan) menuju
mitokondria untuk memenuhi
kebutuhan proses oksidasi yang menghasilkan energi (ATP) selama aktivitas fisik.[57] Oksigen harus dapat dibawa ke seluruh jaringan tubuh secara efektif ke untuk proses pembentukan energi dalam mitokondria. Tanpa O2 yang cukup proses pembentukan energi ini akan terhambat.[58] VO2maks memberikan gambaran tentang keterbatasan atau kemampuan fungsi tubuh untuk mengirim dan menggunakan O2 untuk kebutuhan metabolisme saat aktivitas fisik berat. Istilah ini secara internasional digunakan sebagai standar rujukan untuk kebugaran jasmani.[59] VO2maks ditentukan oleh curah jantung (frekuensi denyut jantung x volume sekuncup jantung) dan perbedaan kandungan O2 antara arteri (CaO2) dan vena (CvO2). Perbedaan antara CaO2-CvO2 antara individu yang mempunyai kesamaptaan jasmani baik (terlatih) dan kurang (tidak terlatih) tidak jauh berbeda, Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
47
sehingga perbedaan VO2maks lebih dipengaruhi oleh curah jantung.[57] Individu dengan kesamaptaan jasmani yang baik mempunyai curah jantung yang lebih besar, sehingga VO2maks lebih besar. Dengan demikian maka transpor O2 ke jaringan tubuh akan lebih baik.[30] Dengan transpor O2 yang lebih baik, maka akan lebih banyak O2 yang dapat diambil jaringan tubuh untuk proses metabolisme. Pengaruh ketinggian terhadap VO2maks telah banyak diteliti. Penelitian awal yang dilakukan oleh Balke dkk di Red River (2300 m) mendapatkan terjadi penurunan VO2maks sebesar 6%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Elliot dan Atterborn dengan membandingkan kemampuan latihan dengan ergocycle pada ketinggian 1576-3962 m terhadap ketinggian kurang dari 1500 m. Hasilnya adalah penurunan VO2maks sekitar 18%.Penelitian yang dilakukan Ferreti menemukan bahwa penurunan VO2maks merupakan gambaran dari kurva disosiasi oksihemoglobin.Menurut Ferreti,sekitar 70% VO2maks ditentukan oleh curah jantung maksimal pada ketinggian permukaan laut. [60] Semakin tinggi dari permukaan laut, VO2maks semakin berkurang, sehingga kemampuan jaringan untuk mengambil dan memanfaatkan O2 berkurang. Semakin rendah VO2maks pada ketinggian permukaan laut akan mengakibatkan semakin rendah toleransi terhadap hipoksia sehingga WSE semakin singkat. Hasil penelitian yang tidak bermakna kemungkinan disebabkan karena variasi data WSE yang cukup besar, yaitu 29,07% (>20%), sehingga data tersebut tidak homogen atau terdistribusi normal. Waktu sadar efektif yang tidak terdistribusi normal ini kemungkinan disebabkan karena beberapa hal, yaitu adanya ketidakseragaman pada: aktivitas subyek dan asupan makanan sebelum pelaksanaan demonstrasi hipoksia, kebiasaan merokok.
5.3.4
Hubungan antara WSE dan umur
Umur subyek penelitian berkisar antara 18-46 tahun, dengan rata-rata 23,09 tahun. Hasil analisis regresi linier multivariat menunjukkan dengan bertambahnya umur akan cenderung mempersingkat WSE (β= -4,917 ; p = 0,000). Berarti Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan semakin tua subyek semakin singkat Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
48
WSE. Teori yang mendasari hal ini adalah dengan bertambahnya umur, akan terjadi penurunan kecepatan maksimal penggunaan oksigen atau VO2maks. Berkurangnya VO2maks ini disebabkan oleh berkurangnya curah jantung atau maldistribusi curah jantung, Selain itu terjadi juga penurunan fungsi paru, yaitu penurunan rasio VEP1/KVP. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada pria mencapai puncaknya pada umur 20 tahun dan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur.[33] Penelitian Ekasari dkk tahun 2004 terhadap 30 anggota Paskhasau di Lakespra Saryanto dengan metode analisis regresi linier, mendapatkan hasil serupa dengan penelitian ini.
Penelitian tersebut mendapatkan hasil usia berkorelasi negatif
dengan WSE (β= -14,195 ; p=0,016).[8] Penelitian lain sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahyastuti (1994) terhadap 100 anggota Paskhasau mendapatkan bahwa antara umur dan WSE terdapat korelasi negatif sedang dan bermakna (0,05 ≤ p ≤ 0,25 ; β= -0,20 ; r = 0,16 ; p=0,11).[4] Penelitian yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of Instruction of Aerospace Medicine (CIMA) terhadap 161 anggota pasukan tempur angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki, dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA, dan kai-kuadrat dengan P<0,05, mendapatkan hasil yang berbeda, yaitu bahwa kelompok umur 30-39 tahun mempunyai toleransi yang lebih baik terhadap hipoksia dibandingkan kelompok umur yang lebih muda (20-29 tahun) maupun lebih tua (≥ 40 tahun).[5] Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan karena subyektifitas subyek penelitian dalam menentukan titik akhir WSE. Subyek yang berumur 30-39 tahun sudah mempunyai pengalaman demonstrasi hipoksia di RUBR bila dibandingkan dengan subyek yang berumur 20-29 tahun, serta belum mempunyai penurunan fungsi kognitif bila dibandingkan dengan umur yang lebih tua (>40 tahun).[5] Ketentuan tentang batas umur seorang penerbang sipil di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 46 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Keputusan menteri Perhubungan Nomor KM 22 tahun 2002 tentang persyaratan-persyaratan sertifikasi dan operasi bagi perusahaan angkutan udara Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
49
yang melakukan penerbangan dalam negeri, internasional, dan angkutan udara niaga tidak berjadwal pasal I menyatakan bahwa[61]: 1) Instruktur penerbang yang telah mencapai usia 65 tahun, atau yang tidak memiliki sertifikat kesehatan yang layak, tidak boleh bertindak sebagai instruktur penerbang. 2) Personil pesawat udara yang telah mencapai usia 65 tahun tidak boleh menjalankan tugas sebagai instruktur penerbang (pesawat udara) , maupun bertindak sebagai anggota kru penerbangan pada kegiatan pengoperasian pesawat udara. 3) Dalam hal pengoperasian pesawat udara dengan lebih dari satu penerbang, pemegang sertifikat tidak boleh menggunakan jasa seseorang untuk bertindak sebagai PIC pada kegiatan penerbangan berdasarkan peraturan ini dan tidak seorang pun boleh bertindak sebagai PIC pada kegiatan penerbangan berdasarkan ketentuan ini jika telah mencapai 65 tahun atau jumlah total umur kedua penerbang lebih dari 115 tahun. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor PM 26 tahun 2013 yang berisi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) part 121 (amandemen 8) pada bagian subpart M, menyatakan bahwa selain persyaratan pada pengoperasian penerbangan lebih dari satu penerbang
umur kedua
penerbang maksimal 115 tahun, juga menyatakan bahwa pemegang sertifikat yang sudah berusia 60 tahun tidak boleh menjadi kapten penerbang.[55] Ketentuan umur penerbang sipil menurut Annex 1 International Civil Aviation Organization (ICAO) tentang Personnel Licensing adalah sebagai berikut[62]: 1) Penerbang yang telah berusia 60 tahun tidak dapat menjadi kapten penerbang (pilot in command-PIC) untuk penerbangan internasional 2) Dalam satu penerbangan internasional, apabila salah satu penerbang berusia 60 tahun atau lebih, maka penerbang lainnya harus berusia kurang dari 60 tahun. 3) Umur maksimal seorang penerbang adalah 65 tahun. Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, baik nasional maupun internasional, batas atas umur seorang penerbang sipil atau awak pesawat lain adalah 65 tahun Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
50
dan penerbang yang telah berusia 65 tahun tidak dapat menjadi kapten penerbang. Persyaratan usia kapten penerbang sipil di Indonesia lebih ketat daripada peraturan ICAO, yaitu maksimal 60 tahun. Peraturan di Indonesia mensyaratkan bahwa jumlah umur kedua penerbang dalam satu operasi penerbangan maksimal adalah 115 tahun. Misalnya seorang penerbang berusia 60 tahun, maka penerbang lain berusia maksimal 55 tahun. Peraturan tentang kombinasi umur ini dimaksudkan
untuk
meningkatkan
keselamatan
penerbangan
mengingat
penerbang dengan usia lanjut sudah mempunyai penurunan fungsi fisiologis dan kognitif.[63] Penurunan fungsi fisiologis ini akan menurunkan toleransi terhadap hipoksia sehingga WSE semakin singkat.
5.3.5
Prediksi nilai WSE
Berdasarkan hasil perhitungan multivariat didapatkan rumus perhitungan prediksi nilai WSE, yaitu: Prediksi nilai WSE = 180,266 + (14,677 x kadar Hb) + (-3,274 x IMT) + (-3,917 x umur)
Rumus prediksi nilai WSE tersebut di atas hanya terdiri dari 3 faktor dominan, yaitu kadar Hb, IMT, dan umur. Mengingat masih ada faktor-faktor lain yang belum diteliti, seperti kebiasaan merokok, pola makan, aktivitas sebelum demonstrasi hipoksia, suhu, kecepatan ascent, dan lama di ketinggian, maka rumus prediksi ini belum dapat menyimpulkan bahwa peningkatan dan penurunan WSE hanya dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut di atas. Untuk mendapatkan rumus yang benar-benar dapat digunakan untuk membuat prediksi nilai WSE, maka seluruh faktor risiko harus diteliti secara bersamaan.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan subyek calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA di Lakespra Saryanto periode Januari-Mei 2014, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) Terbukti ada 3 faktor risiko dalam tujuan penelitian yang berhubungan secara bermakna dengan WSE, yaitu: a. Kadar Hb terbukti memperpanjang WSE b. Indeks masa tubuh terbukti mempersingkat WSE c. Umur terbukti mempersingkat WSE Hasil ini sesuai dengan penelitian WSE lain yang dilakukan oleh Mahyastuti dkk (1994) menyimpulkan juga kadar Hb dan umur berhubungan positif dengan WSE. 3) Kesamaptaan jasmani tidak terbukti berhubungan dengan WSE.
6.2.
Saran
1) Saran untuk penelitian selanjutnya: perlu diteliti lebih lanjut tentang WSE dengan: a. pemeriksaan saturasi O2 sehingga data titik akhir WSE menjadi lebih obyektif, tidak semata-mata berdasarkan kehendak subyek atau hasil pengamatan pengawas dalam. b. menyertakan faktor-faktor risiko hipoksia lain, yaitu: - aktivitas subyek sebelum pelaksanaan demonstrasi hipoksia. - kebiasaan merokok awak pesawat - kebiasaan makan : total kalori, protein, karbohidrat, lemak. 2) Saran bagi subyek penelitian: a. untuk menjaga agar kadar Hb tetap dalam batas normal, maka perlu mengatur dan menjaga pola makan yang sehat
serta
berolah
raga
teratur. 51
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
52
b.
pentingnya memiliki IMT atau berat badan normal untuk memperpanjang WSE.
3) Saran untuk pengambil kebijakan operasional penerbangan: mengingat umur berpengaruh terhadap WSE, maka pengaturan komposisi tim terbang (setting crew) harus sesuai peraturan yang berlaku. Untuk penerbang sipil di Indonesia jumlah umur maksimal dua penerbang dalam satu operasi penerbangan adalah 115 tahun.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
53
RUJUKAN
1.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11. 12.
13.
Flying into thin air: Neurological effects of hypoxia. Aviation Medicine :: Aerospace Medicine [Internet].[diakses 26 Februari 2014]. Tersedia dari: http://www.avmed.in/2011/03/flying-into-thin-air-neurological-effects-ofhypoxia/ Introduction to aviation physiology. Oklahoma: Civil Aerospace medical Institute Federal Aviation Administration [Internet]. [diunduh 23 November 2013]. Tersedia dari: http://www.faa.gov/pilots/training/airman _education/media/IntroAviationPhys.pdf Cable GG, Westerman R. Hypoxia recognition training in civilian aviation: A neglected area of safety? J Aust Soc Aerosp Med. 2010;5(1):4–6. Mahyastuti M. Hubungan kadar hemoglobin dan beberapa faktor faali dengan waktu sadar efektif calon penerjun high altitude low opening Paskhas TNI AU dalam simulator ruang udara bertekanan rendah setara 20.000 kaki [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 1994. Lopez J, Vallejo P, Rios F, Jimenez R, Valle J. Age factor related to hypoxia tolerance. Disampaikan dalam Simposium RTO HFM “Operational Issues of Aging Crewmembers”. Toulon: North Atlantic Treaty Organization; 2000. p. 11–1 – 11–6. Ribeiro N, Rocha C, Avez J. Time of useful consciousness in crewmembers during hypobaric chamber flights. Disampaikan dalam Simposium RTO HFM “Operational Isues of Aging Crewmembers”. Toulon: North Atlantic Treaty Organization; 2000. p. 12–1. Rahadyan A, Joesoef AH, Kaunang DR. Hubungan morfologi ventrikel kiri orang terlatih dengan responss hipoksia di ruang udara bertekanan rendah. J Kardiol Indones. 2008;29(2):62–8. Ekasari F. Pengaruh faktor transpor oksigen terhadap kecepatan kejadian hipoksia dan pencapaian waktu sadar efektif pada ketinggian 8000 dan 25000 kaki dengan simulasi ruang udara bertekanan rendah [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2004. Rudge FW. Effects of decreased pressure: Decompression sickness. Dalam: Whitton RC, editor. Flight Surgeon’s Guide. Texas: USAF School Of Aerospace Medicine Brooks AFB; 1995. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Edisi 11. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2006. Reinhart RO. Basic Flight Physiology. Edisi 3. New York: The McGraw Hill Companies; 2008. Gradwell DP. Hypoxia and hyperventilation. Dalam: Rainford DJ, Gradwell DP, editor. Ernsting’s Aviation Medicine. Edisi 4. London: Hodder Arnold; 2006. hal. 41–56. Air Accident Investigation & Aviation Safety Board. Aircraft accident report Helios airways flight HCY522 Boeing 737-31S at Grammtiko Hellas on 14 August 2005. Ministry of Transport and Communication Hellenic Republic; 2006.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
54
14. 15.
16.
17.
18.
19. 20. 21. 22.
23.
24. 25.
26.
27.
28.
29.
Li Ji, Liu H, Cui Y, Zhang L, Gong H, Li Y, et al. Acute high-altitude hypoxic brain injury. Neural Reg Res. 2013;8(31):2932–41. Pickard J, Gradwell D. Respiratory physiology and protection against hypoxia. Dalam: Davis JR, Johnson R, Stepanek J, Forgarty JA, editor. Fundamentals of Aerospace Medicine. Edisi 4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. Hal.20-45. Petrassi FA, Hodkinson PD, Walters PL, Gaydos SJ. Hypoxic hypoxia at moderate altitude: Review of the state of the science. Aviat Space Environ Med. 2012;83(10):975–84. Stepanek J, Cocco D, Pradhan GN, Smith BE, Bartlett J, Studer M, dkk. Early detection of hypoxia-induced cognitive impairment using the KingDevick test. Aviat Space Environ Med. 2013;84(10):1017–22. Wirth D, Rumberger E. Fundamentals of aviation physiology. Dalam: Curdt-Chistriansen C, Draeger J, Kriebel J, editor. Principles and Practice of Aviation Medicine. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd; 2009. hal. 71–120. Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. McNamara J, Worthley L. Acid-base balance: Part I. Physiology. Crit care rescucitation. 2001;3:181–7 Remer T. Influence of nutrition on acid-base balance-metabolic aspects. Eur J Nut. 2001;40:214–20. Konig D, Muser K, Dickhuth H-H, Berg A, Peter D. Effect of suplement rich in alkaline minerals on acid-base balance in humans. Nutr J. 2009;8(23):1–8. Martin L. PaO2, SaO2 and Oxygen Content [Internet]. [diakses 15 April 2014]. Tersedia dari: http://dwb4.unl.edu/Chem/CHEM869V/CHEM869V Links/ www.mtsinai.org/pulmonary/ABG/PO2.htm Brown JP, Grocott MP. Humans at altitude: physiology and pathophysiology. Contin Educ Anesth Crit Care Pain. 2013;13(1):17–22. Lad UP, Jaltade VG, Shisedo-Lad S, Satyanarayana P. Correlation between Body Mass Index (BMI), body fat percentage and pulmonary functions in underweight, overweight and normal weight adolescents. J Clin Diagnostic Res. 2012;6(3):350–3. Obesity Related Respiratory Disorders [Internet]. [diakses21 April 2013]. Tersedia dari: http://www.humankinetics.com/excerpts/excerpts/obesityrelated-respiratory-disorders Chen Y, Rennie D, Cormier YF, Dosman J. Waist circumference is associated with pulmonary function in normal-weight, overweight, and obese objects. Am J Clin Nutr. 2007;85:35–9. Ajmani S, Anupama N, Nayanatara A, Vishnu Sarma M, Ganaraja B, Pai SR. Effect of abdominal fat on dynamic lung function test. Int J Biomed Adv Res. 2012;03(8):632–6. Sanchez AF, Santillan EM, Bautista M, Soto JE, Gonzalez AM, Chirino CE, dkk. Inflamation, oxydative stress, and obesity. Int J Mol Sci. 2011;12:3117–32.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
55
30.
31. 32.
33.
34.
35. 36. 37. 38.
39.
40.
41.
42. 43.
44. 45. 46.
Mulijadi H, Yulieanto H. Hubungan antara cardiovascular endurance dengan aerofisiologi hipoksia. Disampaikan dalam Simposium Kardiologi Penerbangan. Jakarta; 2004. Betik AC, Hepple RT. Determinants of VO2 max decline with aging: an integrated perspective. Appl Physiol Nutr Metab. 2008;33(1):130–40. Stanojevic S, Wade A, Stocks J, Hankinson J, Coates AL, Pan H, dkk. Reference ranges for spirometry across all ages: a new approach. . Am J Respir Crit Care Med. 2008;177(3):253–60. Rochat MK, Laubender RP, Kuster D, Braendli O, Moeller A, Mansmann U, dkk. Spirometry reference equations for Central European populations from school age to old age. PLoS One. 2013;8(1). Van De Borne P, Mark AL, Montano N, Mion D, Somers VK. Effects of alcohol on sympathetic activity, hemodynamics, and chemoreflex sensitivity [Internet]. American Heart Association. 1997 [diperbaharui 19 November 1996 ; diakses 27 Maret 2014]. Tersedia dari: http://hyper.ahajournals.org/content/29/6/1278.full Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012 Gallagher SA, Hackett PF. High-altitude illness. Emerg Med Clin North Am. 2004;22:329–55. Calleja GZ. Human adaptation to high altitude and to sea level. Copenhagen: University of Copenhagen; 2007. Hidayat A, Wiradisastra K, Hernowo BS, Achmad TH. Pajanan hipoksia hipobarik intermiten menurunkan metabolisme anaerobik pada tikus jantan Spraque dawley. J Kesehat Masy. 2010;10(1):61–8. Casas M, Casas H, Pages T, Pama R, Ricart A, Josep LV, dkk. Intermittent hypobaric hypoxia induced altitude acclimation and improves the lactate threshold. Aviat Space Environ Med. 2000;71(2):125–30. Harding R. Pressure changaes and hypoxia in aviation. Dalam: Pandolf KB, Burr RE, editor. Medical Aspects of Harsh Environment Textbook of Military Medicine. Washington DC: Borden Institute Office of the Surgeon General, US Army Medical Department; 2002. hal 984–1013. Woodrow AD, Webb JT. Handbook of Aerospace and Operational Physiology. San Antonio: USAF School Of Aerospace Medicine WrightPatterson AFB; 2011. Prosedur Tetap Pemeriksaan dan Penggunaan Alat di Aerofisiologi Lakespra Saryanto. Jakarta; 2010. Buku Petunjuk Teknis TNI AU tentang Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi Awak Pesawat. Jakarta: Tentara Nasional Indonesia Markas Besar Angkatan Udara; 2013. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. Basuki B. Analisis Multivariat Regresi linear-Logistik-Cox. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
56
47. 48.
49.
50.
51.
52. 53. 54. 55.
56. 57. 58.
59. 60. 61.
62. 63.
Basuki B. Panduan Proposal Penelitian. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. Hulley SB, Browner WS, Newman TB. Estimating Sample Size and Power: Applications and Examples. Dalam: Hulley SB, Cummings SR, Browner WS, Grady DG, Newman TB, editor. Designing Clinical Research. Edisi ketiga. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 2007. hal. 65–92. PSDP Penerbang TNI 2013 [Internet]. 2012 [diakses 24 Maret 2014]. Tersedia dari: http://www.tni.mil.id/pages-36-psdp-penerbang-tni2013.html PSDP TNI Pengumuman Penerimaan Calon Siswa PSDP TNI TA 2013 [Internet]. 2013 [diakses 24 Maret 2014]. Tersedia dari: http://tniau.mil.id/content/psdp-tni Penerimaan Siswa Perwira PSDP Penerbang TNI TA 2014[Internet]. 2013 [diakses 24 Maret 2014]. Tersedia dari: http://rekrutmentni.ilmci.com/index.php/ papsdp/halaman/ berita/ persyaratan Buku Petunjuk Teknis TNI AU tentang Uji dan Pemeriksaan Kesehatan. Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor Kep/651/XII/2012; 2012. Buku Petunjuk Teknis TNI AU Tentang Pembinaan Jasmani. Jakarta: Tentara Nasional Indonesia Markas Besar Angkatan Udara; 2002. Atmadja DS, Doewes M. Panduan Uji Latihan Jasmani dan Peresepannya. Edisi 5. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2004. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) part 121 (Amdt.8) Certification and operating requirements: domestic, flag, and supplemental air carrier. Jakarta: Kementerian Perhubungan Republik Indonesia; 2013.hal M-1. Thomas C, Lumb AB. Physiology of haemoglobin. Contin Educ Anaesthesia, Crit Care Pain. 2012;1–6. Levine, BD. VO2max: what do we know, and what do we still need to know? J Physiol. 2008;586(1):25–34. Otto JM, Montgomery HE, Richard T. Haemoglobin concentration and mass as determinants of exercise performance and surgical outcome. Extrem Physiol Med. 2013;2:1–8. Hawkins S, Wismell R. Rate and mechanism of maximal oxygen consumption decline with aging. Sport Med. 2003;33(12):877-88. Parker DL. Effect of altitude and acute hypoxia on VO2max. J Exerc Physiol online. 2004;7(3):121–33. Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 46 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 22 tahun 2002 tentang persyaratan-persyaratan sertifikasi dan operasi bagi perusahaan angkutan udara yang melakukan penerbangan dalam negeri, internasional, dan angkutan udara niaga tidak berjadwal. Jakarta: Kementerian Perhubungan Republik Indonesia; 2008. International Civil Aviation Organization (ICAO). Annex 1 Personnel Licensing. Edisi 11. Montreal: ICAO; 2011. Aerospace Medicine Association. The age 60 rule. Aviat Space Environ Med.2004;75(8):708-15.
Universitas Indonesia
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
57
Lampiran 1. Persetujuan penelitian dari Komite Etik FKUI
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
58
Lampiran 2. Surat izin penelitian dari Lakespra Saryanto
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
59
Lampiran 3. Lembar penjelasan penelitian LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN Saya , sebagai peneliti, akan melakukan penelitian dengan judul “Kadar hemoglobin dan beberapa faktor yang lain terhadap waktu sadar efektif di kalangan calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki”. Tujuan penelitian untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu sadar efektif (WSE), yaitu faktor kadar hemoglobin, berat badan, umur, dan kesamaptaan jasmani. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi masukan dalam perencanaan program pembinaan kesehatan di kalangan awak pesawat militer. Prosedur penelitian adalah sebagai berikut: mengambil beberapa data rekam medis (umur, pangkat, masa kerja, jam terbang, kualifikasi, kadar Hb, hasil treadmill/VO2maks, tinggi dan berat badan). Selanjutnya penelitian tentang WSE dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) dengan simulasi ketinggian 25000 kaki. Pada ketinggian ini masker oksigen dilepas, peserta diminta mengerjakan soal hitungan 2 digit susun ke bawah, dilakukan hingga timbul tanda-tanda hipoksia yaitu tidak mampu mengerjakan 2 soal berturut-turut atau tidak melaksanakan perintah pengawas. Setelah ditentukan titik akhir WSE ditentukan, peserta diminta segera memasang masker oksigen, dan kembali ke ketinggian di atas permukaan laut. Proses ini memerlukan waktu sekitar 20-25 menit. Penelitian ini mempunyai beberapa risiko, seperti hipoksia, earblock, maupun sinus block. Namun telah direncanakan prosedur atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi risiko yang mungkin terjadi. Data-data dari hasil penelitian ini akan Saya jaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Penanggung jawab penelitian ini adalah Saya sendiri. Apabila ada hal-hal yang ingin ditanyakan sehubungan dengan penelitian ini, Saudara dapat menanyakan langsung kepada peneliti atau menghubungi Saya di nomor 085811113971 atau ke Departemen Kedokteran Komunitas FKUI Jl Pegangsaan Timur 16 Jakarta 10230. Apabila selama dalam penelitian ini timbul masalah kesehatan akibat penelitian, dan memerlukan tindakan pengobatan, maka seluruh biaya pengobatan menjadi tanggung jawab peneliti. Tidak ada kompensasi yang akan diberikan dalam penelitian ini, kecuali bila timbul efek samping akibat penelitian. Keikutsertaan Saudara adalah bersifat sukarela. Apabila selama penelitian ini saudara merasa tidak nyaman atau terganggu, maka setiap saat Saudara berhak untuk mengundurkan diri. Hormat Saya, Veronica Galih Gunarsih Peneliti
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
60
Lampiran 4. Formulir persetujuan setelah penjelasan
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN Saya ...........................telah diberi tahu bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan waktu sadar efektif di kalangan calon dan awak pesawat militer, serta telah menerima penjelasan mengenai metode penelitian yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan awak pesawat dalam rangka menghadapi tugas terbangnya. Saya menyadari, bahwa dalam penelitian ini akan mungkin terjadi risiko hipoksia, ear block, atau pun sinus block , dan ada prosedur yang dilakukan untuk mengatasi risiko ini. Saya juga menyadari bahwa hasil penelitian ini akan diperlakukan sebagai rahasia. Saya mengetahui siapa penanggung jawab penelitian ini. Saya juga menyadari bahwa tidak akan dibebani biaya apa pun untuk keperluan penelitian ini. Saya menyadari bila timbul efek samping dalam penelitian ini, biaya akan ditanggung oleh peneliti. Saya menyadari tidak akan mendapat kompensasi apa pun dari penelitian ini. Saya juga menyadari bahwa setiap saat saya dapat menghentikan keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan apa pun juga. Saya telah diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan berkenaan dengan tata cara penelitian ini, dan saya menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini. Tanggal : Tanda tangan Subyek :
Tanda tangan Saksi:
(Nama Jelas)
(Nama Jelas)
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
61
Lampiran 5. Definisi operasional Tabel
Definisi operasional hasiljadi dan faktor risiko
Variabel A.Hasiljadi Waktu Sadar Efektif
Cara Identifikasi
Jenis Data
WSE dihitung mulai dari saat masker oksigen dilepas. Titik akhir WSE ditentukan ketika subyek salah menjawab dua nomor berturut-turut atau diam tidak mengerjakan soal selama 15 detik atau tidak melaksanakan perintah pengawas dan pengawas segera memakaikan kembali masker oksigen.
kontinu
Data kadar hemoglobin diambil dari data hasil pemeriksaan laboratorium subyek yang bersangkutan saat melaksanakan pemeriksaan kesehatan pendahuluan di aeroklinik Lakespra Saryanto.
kontinu
2. Usia
Data umur diperoleh dari rekam medis subyek yang bersangkutan atau dari kuesioner.
kontinu
3. Indeks Masa Tubuh
IMT = BB (kg)/TB2 (meter) Data berat badan dan tinggi badan subyek penelitian diambil dari data hasil pemeriksaan kesehatan berkala yang dilakukan sebelum melaksanakan ILA. Ditentukan dengan menghitung VO2maks dari hasil treadmill yang dilakukan oleh subyek penelitian. Untuk menentukan VO2maks dari hasil treadmill digunakan persamaan(47): VO2maks = 14,8-(1,379 X t) + (0,451 X t2) – (0,012 X t3) Keterangan : t = waktu (menit)
kontinu
Total waktu pergerakan pesawat terbang sejak mesin dihidupkan untuk tujuan lepas landas sampai penerbangan selesai dan mesin dimatikan. Diperoleh dari hasil anamnesis rikkes.
kontinu
B.Faktor risiko 1. Kadar Hemoglobin
4. Kesamaptaan Jasmani
5. Jam terbang
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
kontinu
62
Lampiran 6. Formulir pengumpulan data
FORMULIR PENGUMPULAN DATA
RAHASIA A.DEMOGRAFI Nama: Pangkat/NRP: Jenis Kelamin : A2.Kualifikasi 1.Penerbang 2.Navigator 3.JMU 4.Load Master 5.Calon Penerbang 5.Lain-lain A3. Jam Terbang: .............jam
NO. KUESIONER : A1.Umur : ....tahun
Data-data berikut ini diambil dari hasil pemeriksaan kesehatan dan ILA B1.Tinggi badan : ….…. cm B2.Berat badan ......... kg C. Kadar Hemoglobin : ........gr% D1. Waktu Treadmill :........menit ........detik D2. VO2 max : ...........ml/kgBB/menit E. Waktu sadar efektif : ...... .menit .......detik
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
63
Lampiran 7. Penjumlahan matematika 2 digit
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
64
Lampiran 8. Tabel perhitungan jumlah sampel
Tabel Jumlah sampel minimal untuk penelitian dengan analisis korelasi Satu arah α= α= Dua arah 0,005 0,025 α = 0,01 α = 0,05 β 0,05 0,10 0,20 0,05 0,10 r 0,05 7.118 5.947 4.663 5.193 4.200 0,10 1.773 1.481 1.162 1.294 1.047 0,15 783 655 514 572 463 0,20 436 365 287 319 259 0,25 276 231 182 202 164 0,30 189 158 125 139 113 0,35 136 114 90 100 82 0,40 102 86 68 75 62 0,45 79 66 52 58 48 0,50 62 52 42 46 38
0,20 3.134 782 346 194 123 85 62 47 36 29
Sumber: Hulley SB, Cumming SR. Designing Clinical Research.Philadephia. Lippincott William & Wilkins.2007
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
65
Lampiran 9. Bukti perhitungan Stata
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------no_reg | 0 a1_umur | 158 23.09494 6.245292 18 46 a2_jender | 158 0 0 0 0 b1_pangkat | 158 6.107595 1.790226 0 8 b2_jam_ter~g | 158 371.4937 1004.9 0 6000 -------------+-------------------------------------------------------b3__kual | 158 .7468354 1.449519 0 5 c1_bb | 158 66.78861 7.577329 53 86 c2_tb | 158 1.713956 .0445753 1.6 1.84 c3_lp | 158 76.35443 6.549251 62 94 c4_imt | 158 22.71787 2.277084 18.71095 29.06574 -------------+-------------------------------------------------------d_hb | 158 14.98861 .893998 12.8 18.2 e1_tmt | 158 13.26108 1.417232 9 18.42 e2_vo2max | 158 47.77785 5.875142 30.172 67.42342 f_wse | 158 235.4114 68.43837 80 300 g_sato2 | 60 61.76667 9.471396 32 82 -------------+-------------------------------------------------------h1_pv | 158 4.338291 .216669 3.48 5.05 h2_fvc | 158 4.267025 .8724214 2.71 13.33 h3_fev1 | 158 3.68981 .4700664 2.33 5.19 h4_pfr | 158 9.053101 1.31813 5.09 13.73
ANALISIS BIVARIAT -----------------------------------------------------------------------------f_wse | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------d_hb | 9.071924 6.085969 1.49 0.138 -2.949614 21.09346 _cons | 99.43588 91.38129 1.09 0.278 -81.06844 279.9402 -----------------------------------------------------------------------------c4_imt | -8.140961 2.316391 -3.51 0.001 -12.7165 -3.565422 _cons | 420.3566 52.88548 7.95 0.000 315.8926 524.8207 -----------------------------------------------------------------------------e2_vo2max | -.3165771 .9323061 -0.34 0.735 -2.15815 1.524995 _cons | 250.5368 44.87698 5.58 0.000 161.8918 339.1817 -----------------------------------------------------------------------------a1_umur | -4.162792 .8116048 -5.13 0.000 -5.765945 -2.559639 _cons | 331.5508 19.41302 17.08 0.000 293.2045 369.8971 -----------------------------------------------------------------------------b2_jam_ter~g | -.0240022 .0051029 -4.70 0.000 -.0340818 -.0139225 _cons | 244.328 5.451824 44.82 0.000 233.5591 255.097 ------------------------------------------------------------------------------
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014
66
Lanjutan Lampiran 9
ANALISIS MULTIVARIAT Model 1 . stepwise,pr(.2):reg f_wse d_hb c4_imt a1_umur b2_jam_terbang begin with full model p = 0.2565 >= 0.2000 removing b2_jam_terbang Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 138247.729 3 46082.5764 Residual | 597110.53 154 3877.34111 -------------+-----------------------------Total | 735358.259 157 4683.81057
Number of obs F( 3, 154) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
158 11.89 0.0000 0.1880 0.1722 62.268
-----------------------------------------------------------------------------f_wse | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------d_hb | 14.67698 5.644727 2.60 0.010 3.52589 25.82807 c4_imt | -3.27436 2.537497 -1.29 0.199 -8.287154 1.738435 a1_umur | -3.916663 .9340002 -4.19 0.000 -5.76177 -2.071557 _cons | 180.2655 94.92482 1.90 0.059 -7.257394 367.7883 ------------------------------------------------------------------------------
Model 2 . stepwise,pr(.2):reg f_wse d_hb b2_jam_terbang a1_umur begin with full model p = 0.3105 >= 0.2000 removing b2_jam_terbang Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 131791.547 2 65895.7734 Residual | 603566.713 155 3893.97879 -------------+-----------------------------Total | 735358.259 157 4683.81057
Number of obs F( 2, 155) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
158 16.92 0.0000 0.1792 0.1686 62.402
-----------------------------------------------------------------------------f_wse | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------d_hb | 14.52285 5.655558 2.57 0.011 3.35093 25.69476 a1_umur | -4.52155 .809579 -5.59 0.000 -6.120782 -2.922318 _cons | 122.1591 83.7435 1.46 0.147 -43.26678 287.5849
------------------------------------------------------------------
Hubungan kadar ..., Veronica Galih Gunarsih, FK UI, 2014