UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI (Analisis Data Rekam Medik Tahun 2006– 2009)
TESIS
Helsy Pahlemy NPM.0806422076
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
i
HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI (Analisis Data Rekam Medik Tahun 2006– 2009)
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Helsy Pahlemy NPM.0806422076
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN DEPARTEMEN FARMASI FMIPA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Helsy Pahlemy
NPM
: 0806422076
Tanda Tangan : Tanggal
: 16 Juli 2010
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah swt, karena hanya atas rahman dan rahim-Nya, saya
dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulisan tesis ini
diselenggarakan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Magister Ilmu Kefarmasian pada Departemen Farmasi Univerersitas Indonesia. Saya menyadari tanpa bantuan serta bimbingan semua pihak, sejak masa perkuliahan hingga penyusunan tesis ini, tidak lah bisa saya menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dra. Retno MSc, Phd dan dr. P. Sandy Noveria, MKK selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam rangka penyusunan tesisi ini; 2. Dra. Azizahwati MS.Apt dan Dr. Asliati Asril SpKJ selaku penguji yang telah memberikan kontribusi terhadap perbaikan tesis ini; 3. Pihak Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati khususnya instalasi rawat jalan metadon yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh data yang saya perlukan; 4. Kementrian Kesehatan khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan serta yang memberikan izin serta dukungan sejak awal hingga akhir masa perkuliahan 5. Suamiku tercinta, anak-anakku tersayang Miskawaih dan Adley yang terus memberikan doa, semangat dan pengertian yang besar; 6. Mama dan Papa yang doa, kasih sayang, semangat
serta cintanya
memberikan inspirasi bagi semua anak-anaknya; 7. Uda serta adik-adik yang memberikan doa, dukungan,dan bantuan yang memperlancar penyelesaian tesis ini; 8. Semua sahabat : Siti Mariam, Siti Fauziyah, Maya, Ilan yang telah banyak membantu memberikan kontribusi, dukungan serta semangat sejak awal hingga akhir perkuliahan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
v
9. Semua sahabat di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan atas dukungan dan doanya; 10. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Akhir kata, saya berharap semoga Allah swt berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu . Smeoga tesis ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, 16 Juli 2010 Penulis
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
vii
ABSTRAK
Program Studi : Ilmu Kefarmasian Judul : Hubungan antara Dosis dan Retensi pada Terapi Rumatan Metadon Faktor yang mempengaruhi retensi terapi rumatan metadon telah diketahui, namun demikian penelitian yang ada masih terbatas pada dosis rumatan dan dosis terbesar serta pada satu episode perawatan. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara retensi dengan berbagai pengukuran dosis dan perawatan berulang (multiepisode) terapi rumatan metadon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu berada dalam terapi dan dosis yang diberikan pada terapi rumatan metadon. Penelitian dilakukan secara retrospektif cross sectional terhadap data sekunder berupa data rekam medik pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon antara tahun 2006-2009 pada Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Penelitian ini melibatkan 231 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan dosis awal rata-rata Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran 20-40 mg); dosis 2 minggu terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran 15-80 mg), dosis rumatan terkecil rata-rata= 57,82 mg (kisaran 15115 mg), dosis rumatan terbesar rata-rata = 78,45 mg (kisaran 25-210 mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38 mg (kisaran 22,5-165 mg). Nilai retensi 46,8%. Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000). Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan hasil tidak bermakna dengan nilai P berturut-turut adalah (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103). Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak mempengaruhi retensi. Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode: tidak terdapat hubungan antara dosis dan rumatan baik pada episode pertama maupun pada episode kedua. Penelitian ini menyimpulkan semakin besar dosis metadon semakin besar retensi pada terapi rumatan metadon. Kata kunci: metadon, dosis, retensi, multiepisode, terapi rumatan metadon XIII+p.125
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
viii
ABSTRACT
Program Title
: Pharmacy : Relationship between Dose and Retention on Methadone Maintenance Therapy Multiepisode on Ketergantungan Obat Hospital, Jakarta and Fatmawati Central General Hospital, Jakarta (Medical Record Data Analysis in 2006-2009)
Factors affecting the retention of methadone maintenance therapy has been known, however, there is still limited research on the maintenance dose and the highest doses and in one episode of treatment. For that needed research that explores the relationship between the retention of the various dose measurement and treatment of recurrent (multiepisode) methadone maintenance therapy. This study aimed to determine the relationship between retention and the measurement doses given on methadone maintenance therapy. This study was a retrospective cross sectional on opioid dependence’s patient medical records who received methadone maintenance therapy between the years 2006-2009. This study involved 231 patients in Ketergantungan Obat Hospital and Fatmawati Hospital Jakarta who entered the inclusion criteria. Results showed that patients got methadone dose: average initial dose = 24.61 mg (range 20-40 mg); two weeks dose mean = 47.26 mg (range 15-80 mg); lowest maintenance dose mean = 57.82 mg (range15-115 mg); highest maintenance dose mean = 78.45 mg (range 25-210 mg), the average maintenance dose = 68.38 mg (range 22.5-165 mg). The retention rate = 46.8%. The highest maintenance dose showed a significant correlation with retention (P = 0.000). Initial dose, 2 weeks dose, the lowest maintenance dose, the average maintenance dose showed no significant results with retention. Age, history of therapy, history of missed doses, and drug interactions did not affect retention. Relation dose and retention in patients undergoing multiepisode: there was no correlation between dose and retention in the first episode and the second episode. This study concluded that there is a positive significant relation between the highest maintenance dose of methadone and retention on methadone maintenance therapy. Key words: methadone, dosage, retention multiepisode therapy, methadone maintenance
XIII+p.125
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
ix
DAFTAR ISI 1.
2.
3.
4.
PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………..
4
1.3
Tujuan Penelitian
4
1.4
Manfaat Penelitian ……………………………………
………………………………………. ……………………………….
5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 6 2.1
Terapi Ketergantungan Opioid …………………………..
6
2.2
Neurobiologi Penyalahgunaan Obat ……………………….
9
2.3
Terapi Rumatan Metadon …………………………………
14
2.4
Metadon …………………………………………………..
20
2.5
Retensi ……………………………………………………… 26
METODE PENELITIAN . ……………………………………..
29
3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………
29
3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian ……………………………..
29
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
……………………………
29
3.4 Landasan Teori ……………………………………………..
30
3.5 Kerangka Konsep dan Hipotesis ……………………………..
31
3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………….
32
3.7 Analisis Data …………………………………………………
35
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………….
37
4.1. Karekteristik Pasien ………………………………………….
37
4.2 Deskripsi Reaksi Obat TIdak Diinginkan ……………………
42
4.3 Deskripsi Dosis Metadon …………………………………...
46
4.4 Retensi ……………………………………………………… 4.5 Hubungan antara Dosis Awal, Dosis 2 Minggu, Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar dan Dosis Rumatan Rata-Rata dengan Retensi………….………………
48
4.6 Hubungan antara Umur, Riwayat Terapi, Riwayat Dosis 51 Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi…………………. 57 4.7 Hubungan antara Dosis dan Retensi Pada Multi Episode…… 4.8 Keterbatasan Penelitian ……………………………………….
59
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
x
5. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………
61
DAFTAR REFERENSI ………………………………………………
63
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Kerja Reseptor Opioid ................................................. 24
Tabel 4.1
Karakteristik sampel
Tabel 4.2
Persentase Pasien Yang Mengalami Keluhan ..........
Tabel 4.3
Deskripsi Keluhan Putus Obat dan Efek Samping ...... 40
Tabel 4.4
Deskriptif dosis metadon
Tabel 4.5
Analisis Korelasi Berbagai Pengukuran Dosis dan
………………………………. 38
………………………….
Retensi ...................................……………………… Tabel 4.6
39 42 49
Analisa Korelasi Umur, Riwayat Terapi, Riwayat Dosis Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi ……………………………………………….......
51
Tabel 4.7
Karakteristika terapi ………………………………
52
Tabel 4.8
Analisa Hubungan Dosis Awal, Dosis 2 Minggu, Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar dan Dosis Rumatan Rata-Rata dan Retensi Terapi Multiepisode..... ........................................................
58
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Kondisi awal: Produksi normal nordrenalin ..............
12
Gambar 2.2
Penghambatan akut enzim: Produksi NA rendah......
12
Gambar 2.3
Penghambatan
opioid
kronik
menyebabkan
peningkatan ektifitas enzim: kadar NA normal Gambar 2.4
Penghentian
heroin
menyebabkan
13
peningkatan
cAMP akibat hilangnya penghambatan: NA sangat meningkat..............................................................
13
Gambar 2.5
Kadar plasma selama 3 hari pemberian ……………
20
Gambar 4.1
Grafik fungsi survival pasien terapi metadon …....
47
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Alur Penelitian
Lampiran 2
Lembar Pengumpul Data .....................................
Lampiran 3
Rekapitulasi Data Pasien Rumatan Metadon .............. 71
Lampiran 4
Frekuensi Distribusi Dosis Awal Metadon ...........
72
Lampiran 5
Frekuensi Distribusi Dosis Metadon 2 minggu......
73
Lampiran 6
Frekuensi Interaksi Obat ..........................................
74
Lampiran 7
Interaksi Obat Pada Terapi Rumatan Metadon ......
75
Lampiran 8
Profil Metadon ………………………………........
76
Lampiran 9
Analisa Statistik ......................................……......
79
Lampiran 10
Data Hasil Penelitian Pasien Rumatan Metadon ….
107
Lampiran 11
Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian
124
………………………………….
69 70
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah besar yang menjadi persoalan global dan meningkat secara cepat dan signifikan lonjakannya di Asia, termasuk Indonesia adalah penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) dan penularan HIV/AIDS. Jumlah pengguna NAPZA di Indonesia terus meningkat hingga pada tahun 2008 sudah mencapai 3.6 juta orang (Badan Narkotika Nasional, 2009). Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyebutkan penularan HIV tertinggi terjadi pada pengguna NAPZA suntik/penasun yaitu 52.18% (Departemen Kesehatan, 2009). Heroin merupakan psikoaktif yang paling banyak digunakan dengan cara injeksi di Asia, meskipun penggunaan amfetamin juga meningkat beberapa tahun ini (WHO,2008). Penyalahgunaan opiat merupakan persoalan utama dunia dalam terapi penyalahgunaan, diestimasi terdapat 15 – 21 juta orang berusia 15-64 tahun diseluruh dunia yang menggunakan opiat dan sekitar 2.8-5 juta adalah penduduk Asia timur dan Tenggara. Di Indonesia, prevalensi
pengguna
heroin
berusia
15-64
tahun
adalah
0.16
%
(UNDOC,2009) atau lebih dari 300.000 orang. Tingkat mortalitas pengguna heroin dalam kisaran 1-2% per tahun akibat overdosis, penyakit akibat penggunaan obat dan kematian akibat kekerasan (ASEAN-USAIN, 2007). Kematian prematur karena masalah kriminal untuk mendukung kebiasaan menggunakan heroin; ketidak jelasan pada dosis, kemurnian, dan bahkan identitas heroin yang digunakan; dan infeksi serius akibat obat yang tidak steril dan penggunaan jarum suntik bersamaan. Penggunan heroin umumnya mengalami infeksi bakteri yang menyebabkan abses kulit; endokarditis, infeksi paru khususnya tuberkulosis dan infeksi virus yang menyebabkan hepatitis C dan sindrom penurunan sistem kekebalan tubuh (Acquired Immune Dediciency Syndrome) (O’Brien, 2006). Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
2
Terapi ketergantungan opioid terdiri atas intervensi farmakologi dan psikosoial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid, mencegah bahaya penggunaan opioid dan meningkatkan kualitas kesehatan dan fungsi sosial pasien (WHO, 2009). Terapi rumatan metadon diketahui paling bermanfaat dan cost effective untuk menangani ketergantungan opioid serta mengurangi bahaya akibat penggunaannya (WHO, 2008). Terapi Rumatan Metadon mengurangi mortalitas, tingkat reinkarserasi (Kate A Dole, 2005) , biaya sosial akibat tingkat kriminalitas (Marsch et al, 1988) dan penyebaran penyakit seperti infeksi HIV (Novick et al, 1990). Mengingat penularan HIV/AIDS terbesar adalah melalui penularan jarum suntik, maka pelayanan program terapi rumatan metadon di Indonesia dilakukan sebagai salah satu kegiatan Harm Reduction untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. (Depkes, 2007). Tujuan pemberian metadon diawal masa induksi adalah mengurangi tanda dan gejala putus obat pada pasien dan memastikan keamanannya dengan meterkecilkan risiko yang timbul (Edwards-S.H., et al, 2003). Penelitian ini bermaksud juga mempelajari prevalensi dan profil keluhan yang timbul pada masa induksi terapi rumatan metadon. Konsensus NIH (National Institutes of Health) mengenai terapi yang efektif untuk ketergantunganan opiat menyatakan dosis metadon 60 mg setiap hari dapat mencapai tujuan terapi yaitu abstinen dari opiat (NIH, 1997). Toleransi silang terhadap heroin meningkat sebagai fungsi dari peningkatan dosis metadon dan menyebabkan penghambatan efek eforia. Dosis metadon harian 60 mg atau lebih memadai untuk mendapatkan tingkat toleransi terhadap efek heroin pada mayoritas individu (Edwards-Sue Henry, 2003). Hubungan antara dosis metadon dan retensi diteliti oleh Liu et. al (2009) yang menemukan dosis metadon yang lebih tinggi dapat mencapai retensi yang lebih lama dan terdapat hubungan positif antara dosis metadon dan retensi pasien. Prosentase retensi pasien pada beberapa kisaran dosis dipelajari oleh D’Ippoliti et.al (1998) yang meneliti 1503 pasien dan menemukan bahwa pasien yang menerima dosis ≥ 60mg/hari dan 30-59 gram berada dalam terapi berturut-turut sebanyak 70% dan 50%. Dickinson et al, Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
3
(2006) meneliti hubungan antara dosis dengan metadon dan menemukan bahwa dosis metadon yang lebih tinggi terkait dengan peningkatan retensi pasien pada terapi rumatan metadon.
Dosis maksimum metadon yang
diberikan berhubungan secara bermakna dengan retensi pasien, yaitu sebesar 14%. Sebagian besar penelitian metadon berfokus pada satu episode terapi, seringkali terapi tersebut berdurasi pendek dan pada beberapa kasus hal itu menggambarkan hanya sebagian kecil perjalanan terapi. James Bell, Tracy Burrell, Devon Indig, Stuart Gilmour (2005) menemukan tingginya turn over pasien pada terapi rumatan metadon.
Hampir dua pertiga pasien
meninggalkan terapi dalam 1 tahun dan dua per tiga dari yang meninggalkan terapi mengalami multipel episode. Strike C.J. et al (2005) menemukan episode terapi berulang
memiliki durasi terapi lebih singkat dibandingkan
episode awal, karenanya usaha untuk mempertahankan pasien dalam terapi perlu dilakukan pada terapi pertama. Penelitian di RSKO Jakarta mengenai prediktor retensi selama 1 tahun atau lebih pada bermacam variabel yaitu usia, dosis metadon, jenis kelamin, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan dan status pernikahan.
Hasilnya
menunjukkan dosis dan usia adalah prediktor retensi 1 tahun atau lebih pada terapi rumatan metadon (Nuryalis, 2008). Melanjutkan penelitian tersebut, penelitian ini bermaksud menelaah hubungan antara dosis dan retensi tidak hanya pada episode perawatan pertama, tetapi juga pada episode selanjutnya. Selain itu, hubungan antara usia, riwayat terapi, faktor kepatuhan dalam hal ini diamati melalui kejadian dosis terlewat, serta interaksi obat yang digunakan secara bersamaan yang ingin diketahui dalam penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis metadon dan retensi pada pasien yang mengalami perawatan berulang (multiepisode) belum dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta. Informasi mengenai hubungan antara retensi dan dosis metadon diperlukan untuk mengetahui Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
4
seberapa besar dosis yang diberikan pada pasien mempengaruhi besarnya retensi dan apakah pemberian dosis metadon yang lebih besar akan mendapatkan retensi yang lebih lama. Berikut adalah permasalah secara rinci: a.
Berapa dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata metadon yang diterima pasien pada terapi rumatan metadon?
b.
Berapa retensi yang dicapai pasien pada terapi rumatan metadon?
c.
Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi?
d.
Bagaimana hubungan antara umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan interaksi obat dengan retensi pada terapi rumatan metadon?
e.
Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada pasien yang mengalami perawatan multiepisode?
1.3 Tujuan Penelitian: 1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada terapi rumatan metadon. 1.3.2 a.
Tujuan Khusus Mengetahui dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata yang diterima pasien pada terapi rumatan metadon .
b.
Mengetahui retensi yang dicapai pasien terapi rumatan metadon.
c.
Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
5
d.
Mengetahui hubungan umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan interaksi obat terhadap retensi .
e.
Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode
1.4
Manfaat Penelitian
a.
Informasi mengenai dosis metadon dan retensi dapat menjadi dasar evaluasi kesuaian dosis untuk meningkatkan efektifitas terapi. Data mengenai keluhan pasien pada periode waktu tertentu merupakan pertimbangan bagi petugas untuk melakukan titrasi dosis.
b.
Besaran retensi dapat menjadi informasi capaian efektifitas terapi rumatan metadon.
c.
Informasi mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis dengan retensi menjadi pertimbangan bagi penetapan dosis yang paling mempengaruhi efektifitas terapi
d.
Pengetahuan faktor lain yang mempengaruhi retensi menjadi perhatian untuk meningkatkan efektifitas terapi rumatan metadon
e.
Gambaran kejadian multipel episode dan hubungannya dengan retensi dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang tepat terutama terhadap keberlanjutan terapi rumatan metadon.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Ketergantungan Opioid Terapi ketergantungan opioid merupakan serangkaian intervensi farmakologi dan psikososial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan bahaya akibat penggunaan opioid, mencegah bahaya akibat penggunaan
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
6
opiod dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan pasien (WHO, 2009). Prototipe opiat, yaitu morfin dan kodein berasal dari getah buah Papaver somniferum. Obat semi sintetik yang dihasilkan dari morfin adalah hidromofron, diasetilmorfin (heroin) dan oksikodon.
Opioid sintetik
termasuk meperidin, propoksifen, difenoksilat , fentanil, buprenorfin, tramadol, metadon dan pantazosin (Kasper et al, 2005).
Istilah opioid
meliputi keseluruhan senyawa yang memiliki hubungan dengan opium, suatu produk alami yang dihasilkan dari poppy (Brunton L dan Keith L Parker, 2006). Secara umum, terdapat dua pendekatan farmakologikal terapi ketergantungan opioid yaitu berdasarkan detoksifikasi dan terapi putus obat serta terapi rumatan agonis (WHO, 2009). 2.1.1 Detoksifikasi dan penanganan medik putus obat Detoksifikasi meliputi proses pembersihan tubuh dari obat yang sering disertai putus obat (NIDA, 2009). Tujuan detoksifikasi adalah menyediakan terapi yang mengurangi gejala putus obat dengan aman dan nyaman dari perubahan mood akibat penggunaan NAPZA (Wodak Alex, 2001). Detoksifikasi umumnya dianggap sebagai tahap awal terapi karena didesain untuk menangani efek psikologis yang akut dan berbahaya akibat penghentian penggunaan obat (NIDA, 2009).
Putus obat opioid terjadi
puncaknya pada 2-3 hari setelah penghentian penggunaan. Simptom fisik umumnya hilang dalam 5-10 hari, walaupun simptom psikologikal dapat berlangsung hingga beberapa minggu atau beberapa bulan. Berikut adalah kriteria Diagnostik Putus Opioid berdasarkan International Classification Disease X (ICD X) a.
Salah satu dari yang tersebut di bawah ini : 1)
berhenti atau mengurangi penggunaan opioida yang berat dan lama (beberapa minggu atau lebih).
2)
pemberian suatu antagonis opioida sesudah periode penggunaan opioid. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
7
b.
Tiga atau lebih dari yang tersebut di bawah ini, terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa hari sesudah kriteria a :
c.
1)
perasaan disforik
2)
mual atau muntah
3)
nyeri otot
4)
lakrimasi atau rinore
5)
pupil melebar, piloereksi, atau berkeringat
6)
diare
7)
menguap berkali-kali
8)
demam
9)
insomnia
Gejala-gejala pada kriteria b secara klinis menyebabkan tekanan batin yang jelas atau hendaya (disfungsi) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
d.
Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan karena kondisi medik umum dan tidak disebabkan karena gangguan jiwa lain. Relaps setelah detoksifikasi adalah hal yang umum. Pada kejadian
relaps sebaiknya diberikan pengulangan detoksifikasi atau ditinjau pilihan terapi yang lain (Wodak, Alex, 2001). Walaupun terdapat manfaat pada kesehatan pasien setelah detoksifikasi, belum ada bukti bahwa detoksifikasi menyebabkan abstinen yang lama atau secara bermakna meningkatkan kesehatan dan fungsi dalam jangka panjang pada mayoritas pengguna opioid (NSW MMT Clinical Practice Guideline, 1999).
2.1.2 Terapi Rumatan Terapi rumatan memiliki pendekatan jangka panjang yang memberikan kesempatan pada pasien jarak bagi diri mereka sendiri dengan gaya hidup menggunakan obat serta kembali memasuki kehidupan sosial yang normal. Melalui
pengontrolan
craving
dan
penggunaan
opioid,
terapi
ini
memungkinkan terjadi pemulihan kondisi medik secara perlahan (ASEANUSAID, 2007). Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
8
Terapi substitusi Opioid merupakan bentuk intervensi yang efektif, evidence-based, sangat direkomendasikan oleh WHO dan Badan Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) untuk mencegah penyebaran HIV dan menangani ketergantungan opioid. Intervensi yang diberikan meliputi pemberian opioid dengan durasi kerja panjang pada pasien ketergantungan opioid, biasanya melalui rute pemberian non-parenteral, untuk tujuan terapetik mencegah atau secara substansial mengurangi injeksi opioid terlarang seperti heroin. (WHO, 2008). Terapi rumatan substitusi lebih efektif dibandingkan terapi putus obat atau terapi antagonis dalam menurunkan penggunaan NAPZA dan mempertahankan pasien dalam terapi karena menurunkan penggunaan opioid terlarang lebih besar dan retensi yang lebih lama (WHO, 2008). Obat yang digunakan pada terapi rumatan opioid: •
Metadon Metadon, suatu agonis opioid sintetik yang memiliki durasi kerja
panjang, biasanya diberikan secara oral sebagai larutan dapat diberikan satu kali sehari dan menggantikan kebutuhan heroin yang multipel pemberian seharinya. Metadon menstabilkan gaya hidup pecandu, mengurangi perilaku kriminal dan juga mengurangi penggunaan jarum secara bersamaan dan perilaku yang menyebabkan transmisi HIV dan penyakit lain. Terapi rumatan metadon diketahui menyebabkan efek samping yang rendah dan secara substansial meningkatkan kesehatan. •
Buprenorfin Buprenorfin merupakan agonis parsial opioid µ yang aktifitasnya
lebih rendah dibandingkan metadon. Buprenorfin tidak diserap dengan baik melalui oral, karenanya rute pemberiannya adalah sublingual.
Dengan
peningkatan dosis buprenorfin, efek yang diberikan plateau. Karena bersifat parsial agonis, dapat muncul “efek ceiling” dimana pada dosis yang lebih tinggi buprenorfin tidak memberikan efek tambahan, sehingga memiliki margin keamanan yang lebih luas. Buprenorphine dikombinasi dengan nalokson dengan rasio 4:1 (Subxone) untuk menghilangkan kekhawatiran tablet sublingual dilarutkan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
9
dan disuntikkan oleh para pecandu. Nalokson adalah antagonis opioid yang sedikit diserap melalui sublingual dan oral tetapi diserap dengan baik secara intravena. Akibatnya, pecandu opioid yang menginjeksi buprenorfin/nalokson akan mengalami sidnrom putus obat karena terokupasinya reseptor opioid µ oleh nalokson. Efektifitas Buprenorfin serupa dengan metadon pada dosis yang adekuat dalam mengurangi penggunaan opioid dan meningkatakan fungsi psikososial, akan tetapi buprenorfin yang lebih mahal dibandingkan metadon dan dikhawatirkan mempengaruhi capaian retensi. Jika digunakan sebagai terapi substitusi pada wanita hamil memberikan insiden sindrom putus lebih rendah pada neonatal. 2.2 Neurobiologi penyalahgunaan Obat 2.2.1 Definisi Ketergantungan dan Adiksi Ketergantungan
fisik
merupakan
kondisi
adaptasi
yang
dimanifestasikan sebagai sindrom putus obat yang spesifik kelompok obat, yang terjadi melalui penghentian obat secara tiba-tiba, penurunan dosis secara dengan cepat, penurunan kadar obat dalam darah dan atau pemberian suatu antagonis. Adiksi merupakan penyakit primer, kronik, neurobiologi yang dipengaruhi perkembangan dan manifestasinya oleh faktor genetik, psikososial dan lingkungan. Pada paparan berulang, obat adiktif menginduksi perubahan adaptif seperti toleransi (misalnya peningkatan dosis untuk mempertahankan efek). Ketika NAPZA tidak lagi tersedia, maka gejala putus obat muncul. Ketika terjadi sindrom putus obat, maka ketika itu ditetapkan terjadi ketergantungan. Adiksi terjadi ketika ditemukan penggunaan obat yang kompulsif, berulang, relaps meskipun terdapat konsekuensi negatif, dipicu oleh craving yang terjadi sebagai respon pemicu (Luscher C., 2007). 2.2.2 Ketergantungan: Toleransi dan Putus Obat Setelah paparan kronik oleh zat adiktif, otak menunjukkan tanda adaptasi.
Sehingga diperlukan peningkatan dosis secara progresif untuk Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
10
menjaga efek tetap muncul. Fenomena ini dikenal sebagai toleransi, hal ini dapat menjadi masalah serius karena meningkatnya efek samping, misalnya depresi pernafasan dan dapat menyebabkan kefatalan akibat overdosis. Toleransi terhadap opioid dapat terjadi akibat berkurangnya konsentrasi obat atau durasi kerja yang singkat pada sistem target (toleransi farmakokinetik). Dapat juga terjadi akibat berubahnya fungsi reseptor opioid (toleransi farmakodinamik).
Fosforilasi reseptor dapat menyebabkan
internalisasi reseptor sehingga menginduksi terjadinya toleransi. (Luscher C., 2007). 2.2.3 Fenomena Farmakologi Toleransi; walaupun penyalahgunaan obat dan adiksi merupakan kondisi kompleks yang terkait dengan banyak variabel, terdapat sejumlah fenomena farmakologi.
Pertama, adalah perubahan pada cara tubuh
merespon obat pada pemberian berulang. Toleransi merupakan respon paling umum terhadap pemberian berulang, dapat dinyatakan sebagai berkurangnya respon terhadap obat setelah pemberian berulang. Pada kurva hubungan efek dengan dosis ketika pemberian suatu obat, pada pemberian berulang, kurva bergeser kearah kanan (toleransi). Akibatnya diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk menghasilkan efek yang sama dengan efek yang muncul ketika pemberian obat pertama kali (Brunton LL., and Keith Parker, 2006). Sensitisasi; pada obat stimulan seperti kokain atau amfetamin, terjadi kebalikan toleran, yang disebut sensitisasi.
Terjadi peningkatan respon
setelah pemberian berulang suatu obat . Pada sensitisasi, kurva dosis- efek bergeser kearah kiri.
Untuk mengatasi sensitisasi diperlukan interval
pemberian dosis yang lebih lama. Toleransi silang terjadi pada pemberian berulang suatu obat yang menyebabkan toleransi tidak hanya obat tersebut tapi juga pada obat lain yang sama struktur dan mekanisme kerjanya (Brunton LL., and Keith Parker, 2006).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
11
2.2.4 Neurobiologi Ketergantungan Opioid Toleransi, ketergantungan dan adiksi opioid merupakan manifestasi perubahan otak yang timbul akibat penyalahgunaan opioid kronik. Pengguna opioid dalam proses pemulihan bekerja mengatasi efek perubahan otak tersebut. Pengobatan seperti metadon, buprenorfin bekerja pada struktur otak yang sama dan memiliki efek protektif atau perbaikan.
Meskipun obat
tersebut efektif, untuk hasil optimal perlu diberikan bersamaan dengan terapi psikososial yang sesuai (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Lokus sereleus (LS) adalah area otak yang terlibat pada terjadinya ketergantungan opioid dan putus obat. Gambar dibawah ini menunjukkan bagaimana opioid mempengaruhi proses pada LS yang mengontrol pelepasan noradrenalin (NA), suatu bahan kimia yang menstimulasi kesadaran, tonus otot dan pernafasan selain fungsi lainnya. Pada kondisi normal (Gambar 2.1), bahan opioid alami yang dihasilkan tubuh berikatan dengan reseptor opioid pada permukaan syaraf. Ikatan tersebut mengaktifasi enzim yang mengubah adenosin triposfat (ATP) menjadi siklik adenosin monoposfat (cAMP), yang selanjutnya memicu pelepasan
NA.
Sebelum dimulai
penyalahgunaan
opioid,
neuron
menghasilkan cukup NA untuk memelihara tingkat normal kesadaran, tonus otot dan respirasi.
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.1 Kondisi awal: Produksi normal Noradrenalin Ketika heroin atau opioid lain berikatan dengan reseptor opioid µ, terjadi penghambatan enzim yang mengubah ATP menjadi cAMP.
Akibatnya
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
12
semakin sedikit cAMP yang dihasilkan, semakin sedikit NA yang dilepaskan. Kesadaran, tonus otot, dan pernafasan menjadi tertekan, sehingga muncul efek opioid akut seperti nafas dalam.
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.2 Penghambatan akut enzim; produksi NA rendah abnormal Pada penggunaan heroin berulang, syaraf meningkatkan suplai enzim dan molekul ATP.
Dengan bahan baku yang bertambah, syaraf dapat
menghasilkan cAMP yang cukup untuk mengatasi efek penghambatan obat dan melepaskan NA dalam jumlah normal meskipun menggunakan heroin. Pada tahap ini, individu tidak lagi mengalami intensitas efek opioid yang sama dengan efek ketika pertama kali menggunakan.
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.3 Penghambatan opioid kronik menyebabkan peningkatan aktifitas enzim: kadar NA normal Ketika heroin dihentikan setelah penyalahgunaan yang kronik, pengaruh penghambatan obat menjadi hilang. Suplai enzim dan ATP tinggi, sehingga syaraf menghasilkan kadar cAMP yang tinggi dan menyebabkan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
13
pelepasan NA dalam jumlah banyak. Pasien merasakan gejala putus obat – cemas, kramp otot, menggigil dan lainnya. Syaraf akan kembali pada kondisi dasar (gambar 2.1) dalam beberapa hari atau beberapa minggu (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002).
Gambar 2.4 Penghentian heroin menyebabkan peningkatan cAMP akibat hilangnya penghambatan; NA sangat meningkat Bagian otak lain selain LS yang berkontribusi terhadap timbulnya gejala putus obat adalah system reward mesolimbik. Sistem ini menghasilkan tanda pada bagian otak yang disebut ventral tegmental area (VTA) yang menyebabkan pelepasan dopamin (DA) pada nucleus akumben (NAc). Pelepasan dopamain ini ke NAc menyebabkan perasaan senang. Toleransi opioid mengurangi pelepasan dopamin VTA ke NAc dapat mencegah pasien merasakan kesenangan dari kegiatan reward yang normal seperti makan, perubahan ini pada VTA dan system reward DA merupakan system otak yang penting yang mendasari craving dan penggunaan obat yang kompulsif. Bagian otak lain yang mengatur ingatan atau memori yang mengubungkan perasaan senang dengan kondisi lingkungan. Memori ini, disebut hubungan terkondisi, sering menyebabkan craving ketika pasien kembali berhubungan dengan orang, tempat, atau sesuatu dan hal itu akan mendorong pasien menggunakan NAPZA meskipun banyak halangan. Pada awal masa ketergantungan, stimulasi opioid pada system reward otak merupakan alasan utama menggunakan opioid berulang, penggunaan opioid secara kompulsif dilakukan oleh dorongan mendapatkan rasa senang. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
14
Peningkatan kompulsi ini terkait dengan toleransi dan ketergantungan (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). 2.3 Terapi Rumatan Metadon 2.3.1 Prinsip Terapi Rumatan Metadon Metadon menghilangkan persoalan terkait ketergantungan opioid karena karakteristik farmakologikanya memungkinkan pasien berfungsi secara normal. Pemberian yang teratur metadon dengan dosis yang konsisten memberikan kondisi stabil dan hubungan terapetik antara pasien membantu reintegrasi sosial dan akses terhadap pelayanan kesehatan (NSW, 1999). Metadon memiliki karakteristik farmakologi yang menguntungkan, yaitu (NSW. MMT Clinical Practice Guideline, 1999): •
Absorbsi yang baik secara oral tanpa menimbulkan intoksikasi cepat
•
Bersifat toleransi silang dengan heroin, menghilangkan putus heroin dan mengurangi penggunaan heroin
•
Memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga pemberian dosis tunggal mampu memelihara kadar dalam darah
Tujuan terapi rumatan adalah (WHO, 2009) •
Mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid
•
Mengurangi atau menghentikan injeksi dan risiko transmisi bloodborne virus
•
Mengurangi risiko over dosis
•
Mengurangi aktifitas kriminal
•
Meningkatkan kesehatan psikologis dan fisik
2.3.2 Optimalisasi Manfaat Terapi Rumatan Metadon Manfaat terapi rumatan metadon akan optimal jika program mudah diakses, memasuki terapi yang tepat dan lamanya retensi terapi.
Faktor yang
meterbesarkan partisipasi program metadon adalah (NSW MMT Clinical Practice Guideline, 1999): a.
Waktu dalam terapi ;
Semakin lama terapi , semakin besar
kecenderungan peningkatan outcome terapi. Orang yang drop out dari Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
15
terapi, khususnya pada tahun pertama, cenderung memiliki laju relaps yang tinggi. b.
Dosis metadon; Dosis metadon yang lebih tinggi (60 mg atau lebih) terkait dengan rendahnya penggunaan opioid dan retensi yang lebih lama
c.
Kualitas Hubungan terapetik; Program yang lebih efektif ditemukan pada pasien yang memiliki hubungan yang baik dengan petugas kesehatan yang terkait, selain itu staf yang berorientasi terapi rumatan dibandingkan abstinen terkait dengan outcome terapi yang lebih baik.
d.
Pelayanan medis dan konseling; Beberapa penelitian menunjukkan penyediaan perawatan kesehatan yang adekuat dan pelayanan konseling pada pasien menyebabkan retensi dan outcome yang lebih baik.
2.3.3. Kriteria Terapi Rumatan Metadon Karakteristik pengguna NAPZA adalah terdapat pola maladaptif penggunaan obat yang diindikasikan melalui timbulnya konsekuensi buruk akibat penggunaan NAPZA yang berulang.
Misalnya gagal memenuhi
kewajiban di tempat kerja, sekolah, atau rumah tangga; penggunaan berulang pada situasi yang membahayakan fisik, misalnya berkendaraan dalam pengaruh obat, persoalan hukum, persoalan sosial dan interpersonal disebabkan oleh penggunaan opioid berlebihan seperti adu argumentasi dan perkelahian (Dypiro, 2003). Untuk memenuhi kategori dalam diagnosis ketergantungan obat, paling tidak tiga dari kriteria berikut harus ada selama periode 12 bulan, sesuai Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder 4th ed. Text Revision (DSM-IV-TR): a.
Toleransi
b.
Putus obat, diindikasikan sebagai munculnya tanda gejala putus obat atau penggunaan obat yang sama atau serupa untuk menghilangkan atau menghindari gejala putus obat
c.
Obat digunakan dalam jumlah besar atau periode yang lebih lama dari yang diindikasikan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
16
d.
Keinginan yang persisten atau usaha yang gagal untuk menghentikan atau mengontrol penggunaan obat
e.
Menghabiskan waktu untuk kegiatan mendapatkan, menggunakan, atau pulih dari efek nya
f.
Kegiatan sosial, pekerjaan atau rekreasional terhenti atau berkurang akibat penggunaan obat
g.
Obat digunakan kontinyu meskipun mengetahui terdapat persoalan persisten atau berulang pada fisik, atau psikologi disebabkan atau diperberat oleh obat yang digunakan.
Selanjutnya, untuk mengikuti PTRM, pasien harus memenuhi kriteria berikut: a.
Kriteria Inklusi; Memenuhi kriteria ICD-X untuk ketergantungan opioid.
1.
Usia yang direkomendasikan: 18 tahun atau lebih. Klien yang berusia kurang dari 18 tahun harus mendapat second opinion dari profesional medis lain.
2.
Ketergantungan opioida (dalam jangka waktu 12 bulan terakhir).
3.
Sudah pernah mencoba berhenti menggunakan opioid terkecil satu kali.
b. 1.
Kriteria Eksklusi Pasien dengan penyakit fisik berat. Hal ini perlu pertimbangan khusus yakni meminta pendapat banding profesi medik terkait.
2.
Psikosis yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan langkah terapi.
3.
Retardasi Mental yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan langkah terapi.
Program Terapi Metadon tidak diberikan pada pasien dalam keadaan overdosis atau intoksikasi opiat. Penilaian terhadap pasien tersebut dapat dilakukan sesudah pasien tidak dalam keadaan overdosis atau intoksikasi. 2.3.4 Pemberian Dosis Awal Metadon Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama. Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi 45 menit
setelah pemberian dosis awal untuk Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
17
memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan (Depkes. 2006). Diperlukan keseimbangan antara menghilangkan simptom putus obat dan menghindari terjadinya toksisitas dan kematian selama fase induksi . Tujuannya adalah meterkecilkan simptom dan tanda putus oabt dan meterkecilkan risiko sedasi dan toksisitas (Edwards- S.H. et al, 2003). Metadon berbentuk cair digunakan di Indonesia, kemudian diencerkan sampai menjadi 100cc. Pasien harus hadir setiap hari di klinik. Metadon akan diberikan oleh asisten apoteker atau perawat yang diberi wewenang oleh dokter. Pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan petugas PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa metadon telah ditelan. Pasien harus menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia telah menerima dosis metadon hari itu (Depkes 2006). 2.3.5
Fase Stabilisasi Terapi Rumatan Metadon Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari
dosis awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama. Peningkatan dosis harus dilakukan secara gradual, mengingat dibutuhkan waktu 5-7 hari untuk mencapai kadar serum steady state setelah setiap penambahan dosis. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan.
(Depkes,
2006). `
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
18
2.3.6
Fase Rumatan Terapi Rumatan Metadon Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus
dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial (Depkes, 2006). Pada fase ini, sebagian besar pasien telah secara substansial mengurangi penggunaan heroinm sudah memiliki toleransi terhadap metadon dan sebagian besar tidak lagi mengalami putus zat sepanjang hari. Mungkin pasien meminta peningkatan dosis akibat mengalami putus zat episodik, craving, atau relaps menggunakan heroin. 2.3.7
Kriteria Penambahan Dosis Beberapa kriteria penambahan dosis adalah sebagai berikut:
a. adanya tanda dan gejala putus opiat (obyektif dan subyektif); b. jumlah dan/atau frekuensi penggunaan opiat tidak berkurang/ masih menggunakan heroin; c. craving tetap masih ada. Prinsip terapi pada PTRM adalah start low go slow aim high, artinya memulai dosis yang rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan adalah aman, dan dosis rumatan yang tinggi adalah lebih efektif (Depkes, 2006). 2.3.7
Pedoman Penyesuaian Dosis
Dari berbagai laporan diketahui bahwa umumnya overdosis metadon terjadi akibat pemberian dosis yang terlalu agresif selama dua minggu pertama terapi. Penyebab utama adalah kombinasi antara overestimasi toleransi dan underestimasi akumulasi obat.
Setelah fase stabilisasi, overdosis terjadi
umumnya akibat interkasi obat khususnya dengan hipdotik dan atau sedatif. a.
Fase stabilisasi awal (0-2 minggu)
Metadon memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang bermakna selama fase stabilisasi awal. Karena waktu paruhnya yang panjang, kadar plasma
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
19
meningkat hingga lima hari pada dosis yang sama. Karenanya, dosis yang adekuat pada hari pertama dapat bersifat toksik pada hari ketiga atau kelima. Edukasi pasien: dijelaskan faktor risiko dan tanda overdosis pada pasien dan keluarganya dan dinasehati untuk mencari pertolongan medis segera jika pasien menunjukkan tanda toksisitas. b.
Fase stabilisasi akhir (2-6 minggu)
Selama fase stabilisasi akhir, pasien hanya mengalami putus obat parsial. Penyesuaian dosis sebaiknya dilakukan tidak lebih dari setiap tiga atau empat hari.
Penyesuaian dosis biasanya antara 5-10 mg, tergantung keparahan,
onset dan durasi simptom putus obat. c.
Fase rumatan (lebih dari 6 minggu)
Pada periode ini, sebagian besar pasien telah mengurangi penggunaan opioid, memiliki toleransi yang lebih besar pada metadon, tidak lagi mengalami putus obat. Mereka terkadang menginginkan kenaikan dosis karena simptom putus obat subyektif, craving opioid atau relaps. (The College Physicians and Surgeon Ontario , 2005). 2.4 Metadon 2.4.1 Fisikokimia Metadon merupakan basa yang larut dalam lemak dengan pKa 9.0, karenanya terionisasi lengkap pada pH 7,4 (>90%). Diberikan dalam bentuk garam klorida yang larut baik dalam air (DJ. Birkett, 1989). Metadon dipasarkan dihampir seluruh dunia dalam campuran rasemik yaitu campuran 50:50 dua enansiomer yang disebut (R) – atau levo atau lmetadon dan (S) atau dextro atau d-metadon.
Secara in vitro, diketahui
bahwa konsentrasi (R)- metadon yang diperlukan untuk menghambat ikatan nalokson pada otak tikus 10 kali lebih kecil dibandingkan (S) metadon. Pada manusia, (R) MET memiliki potensi analgesik sekitar 50 kali dibandingkan bentuk (S) (Eap CB, Jean-Jacques Deglon, Pierre Baumann, 1999).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
20
2.4.2 Farmakokinetika Secara umum kadar dalam darah meningkat sekitar 1 – 7,5 jam setelah pemberian metadon secara oral dan selanjutnya mulai turun. Onset efek terjadi sekitar 30 menit – 1 jam setelah pemberian. Waktu paruh pemberian dosis tunggal metadon adalah 12 -18 jam dengan nilai tengah 15 jam. Pada dosis berulang, waktu paruh metadon melebar menjadi 13 hingga 47 jam dengan nilai tengah 24 jam. Memanjangnya waktu paruh berkontribusi pada kadar metadon dalam darah terus yang naik selama minggu pertama pemberian dan menurun relatif lambat diantara waktu pemberian.
Sumber: (Edwards-Sue Henry, 2003).
Gambar 2.1 Kadar metadon plasma selama 3 hari pemberian Metadon mencapai kondisi steady state didalam tubuh (ketika laju eliminasi obat sebanding dengan laju pemberian) setelah 4-5 kali waktu paruh atau sekitar 3-10 hari. Ketika stabilisasi tercapai, variasi konsentrasi dalam darah relatif kecil dan tercapai penekanan gejala putus obat dengan baik. Adanya fluktuasi konsentrasi metadon memunculkan putus obat diantara waktu pemberian metadon. 2.4.3
Absorpsi Metadon diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna dan rute lainnya dan
mengalami hanya sedikit metabolisme lintas pertama hati. Setelah pemberian oral (pada terapi ketergantungan heroin) absorbsi metadon rasemik terjadi
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
21
secara cepat dan bioavailabilitas oral antara 36-100% (Lacy, Charles.F et al, 2008). Laju absorbsi metadon dipengaruhi oleh P-glikoprotein intestinal (P-gp). P-gp berperan dalam fenomena resistensi terhadap obat ; yang dikeluarkan dari sel oleh unit membrane P-gp. Fungsi fisiologi P-gp meliputi mencegah absorbsi bahan toksik melalui permukaan internal dan eksternal, dan membantu eliminasinya. Pada kasus metadon, P-gp mentransfernya keluar epitel intestinal, masuk ke usus besar. Pada individu yang memiliki P-gp tinggi, jumlah obat yang diabsorbsi menurun.
(Vendramin A, Anella M.
Sciacchitano, 2009). Penghalang terhadap akses ke sirkulas sistemik meliputi absorpsi dari lumen gastrointestinal melewati mukosa intestinal, metabolisme oleh isoform di mukosa gastrointestinal (khususnya CYP3A4) dan metabolisme lintas pertama oleh hati (DJ . Birkett, 1999). Bersihan intrinsik metadon oleh enzim CYP3A4 di saluran gastrointestinal cukup rendah sehingga ekstraksi obat yang melampaui mukosa intestinal dan melewati liver sangat rendah. Secara keseluruhan, tidak terlihat kecenderungan perubahan sistematik yang bermakna dalam jumlah absorbsi metadon dari saluran gastrointersinal.
a.
Distribusi Metadon memiliki laju distribusi ke jaringan yang tinggi, tersebar ke
darah dan jaringan otak dalam jumlah kecil, dan terdapat dalam konsentrasi besar di ginjal, limfa, liver dan paru. Selama kehamilan, metadon tersebar ke plasenta, sehingga konsentrasi pada cairan amniotik serupa dengan plasma ibu. Volume distribusi pada kondisi steady state 1–8 L/kg. Ikatan protein plasma asam α-1 glikoprotein sedang (0,9; fraksi tidak terikat 0,1) dan variasi nilai tersebut terkait dengan jumlah dan konsentrasi α-1 glikoprotein serta adanya obat kompetitif. Akan tetapi, konsentrasi obat bebas pada steady state tidak akan dipengaruhi oleh derajat ikatan protein. Derajat ikatan protein mempengaruhi volume distribusi dan selanjutnya waktu paruh eliminasi Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
22
dengan perubahan laju akumulasi pada steady state dan derajat fluktuasi konsentrasi obat (DJ Birkett, 1999). 2.4.4
Metabolisme Metadon dimetabolisme diliver melalui N-demetilasi menjadi produk
metabolit yang tidak stabil yang mengalami siklisasi menjadi 2-etil 5-metil3,3,difenilpirolidin
(EMDP)
dan
2-etil-1,5-dimetil-3,3
difenilpirolidin
(EDDP). Metabolit tersebut dan obat utuh mengalami parahidroksilasi dan selanjutnya berkonjugasi dengan asam glukuronat.
Ketiganya diekskresi
diempedu dan merupakan produk ekskresi utama. Produk metabolit lainnya metadol dan normetadon memiliki aktifitas farmakologi yang serupa dengan metadon tetapi terdapat pada konsentrasi kecil. (Jenkis, Edward. J.C, 1998).
Sumber: Jenkis, Edward. J.C, 1998
Metabolisme metadon melibatkan sistem sitokrom P450 (CYP450) sebagian besar melalui isoform CYP3A4, yang terutama terdapat di usus besar dan liver. Isoform lainnya yaitu CYP2B6 dan CYP2C19 berperan juga dalam proses tersebut menjadi bentuk tidak aktif (Lacy, Charles F. et al, 2008). 2.4.5
Eliminasi Bersihan Metadon sebagian melalui ginjal dan sebagian lagi hepatik.
Sebesar kurang dari 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Karena sifatnya yang lipofilik dan basa, perubahan pH berpengaruh pada laju ekskresi metadon; pada pH lebih dari 6, ekskresi melalui ginjal menurun hingga 4% dari jumlah total.
Ketika pH kurang dari 6, laju ekskresi Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
23
meningkat hingga lebih besar 30%, pada kondisi pH tetap, variasi antar individu pada bersihan ginjal sebesar 27% (Vendramin A, Anella M. Sciacchitano, 2009). Jalur metabolik utama yaitu demetilasi menjadi EEDP merupakan 4060% bersihan total. Ini berarti, faktor yang mengubah jumlah atau aktifitas CYP3A4, khususnya di liver, memiliki pengaruh yang bermakna terhadap bersihan
metadon
dan
karenanya
konsentrasi
pada
steady
state.
Penghambatan lengkap terhadap CYP3A4 dapat menyebabkan berkurangnya setengah bersihan metadon, dan meningkatan aktifitas CYP3A4 akan meningkatkan sekitar 50% bersihan metadon (DJ Birkitt, 1989). 2.4.6
Farmakodinamik Metadon berikatan dengan reseptor Mu (μ), Kappa (κ), and Delta (δ)
yang berbeda afinitas dan efeknya (tabel 2.1). Reseptor opioid terdapat dalam konsentrasi yang berbeda pada daerah yang berbeda di system syaraf. Beberapa reseptor yang terlibat menginduksi analgesia terdapat pada periaquductal gray, reseptor yang bertanggung jawab terhadap efek penguatan terdapat pada ventral tegmental area (VTA) dan nukleus akumben. Terdapat reseptor opiat pada lokus sereleus yang berperan penting pada pengendalian aktifitas otonom; aktivasinya menyebabkan penghambatan firing sereleus. Setelah putus obat terdapat peningkatan firing lokus sereleus yang menyebabkan munculnya hiperaktifitas otonom pada putus opiat (Zevin Shoshana and Benowitz Neal L, 1998). Tabel 2.1 Kerja Reseptor Opioid Reseptor Opioid Kerja
µ
κ
Analgesia (supraspinal) Sedasi Depresi pernafasan Hipotermia Efek penguatan Eforia Miosis Penurunan motilitas sal cerna
Analgesia (spinal) Sedasi
δ Analgesia Depresi pernafasan Efek penguatan
Disforia
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
24
Ligan endogen
Mual dan muntah Retensi urin Endomorfin β- endorfin
Diuresis dinorfin
Mual dan muntah Enkefalin β- endorfin Sumber: White, J.M. (1999)
Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasi oleh aktivasi reseptor μ pada supraspinal dan aktivasi reseptor κ pada spinal cord. Efek opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor μ adalah eforia, miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor μ opioid juga meningkatkan kadar dopamin mesolimbik, mengganggu proses pembelajaran dan memori, memfasilitasi potensiasi jangka panjang dan menghambat motilitas kantung kemih dan dieresis.
Sebaliknya stimulasi
reseptor κ sering dikaitkan dengan disforia (Ghodse, Hamid, 2002). Aktivasi reseptor μ dan κ memiliki kerja seluler serupa sebagai berikut: •
Menghambat aktifitas adenilat siklase dan produksi cAMP melalui mekanisme yang dimediasi protein G1
•
Meningkatkan masuknya K+ yang menghipolarisasi syaraf
•
Menekan masuknya Ca2+ yang menurunkan jumlah Ca2+ intrasel dan menghambat pelepasan transmisi melalui reseptor opioid yang berlokasi di ujung presinap (Carruthers et al, 2000). Selain bekerja pada reseptor opioid, metadon juga berperan sebagai
antagonis reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat) non kompetetif dan menghambat ambilan kembali serotonin.
Reseptor NMDA dan sistem
serotonergik berperan penting dalam mengatur pernafasan, dan terdapat potensi perubahan fungsi pernafasan sebagai akibat modulasi oleh metadon. Pada dosis normal, kerja metadon pada pernafasan diakibatkan oleh aktifitas reseptor opioid (White, J.M, 2002). 2.4.7
Reaksi Tidak Diinginkan
Selama pemberian jangka panjang, efek yang tidak diinginkan berkurang setelah beberapa minggu, walaupun demikian, konstipasi dan berkeringat mungkin akan menetap. Reaksi yang tidak diinginkan akibat penggunaan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
25
metadon meliputi: perpanjangan interval QT, torsade de pointes, hipotensi (efek kardiovaskular),
eforia, disforia, halusinasi, sakit kepala, insomsia,
agitasi, disorientasi, mengantuk, pusing, sedasi, bingung dan kejang ( efek sistem syaraf pusat). Efek pada dermatologi adalah kulit merah dan gatal, efek pada endokrin dan metabolik terjadi penurunan libido, hipokalemia, hipomagnesia, antidiuretik dan amenorea. Efek pada saluran gastrointestinal adalah mual, muntah, konstipasi, anoreksia, spasme saluran empedu, sakit perut, penambahan berat badan. Efek pada genitourinari adalah retensi urin dan impotensi, sedangkan pada otot syaraf dan rangka adalah terjadi lemas, efek samping pada mata miosis dan gangguan penglihatan, pada pernafasan adalah depresi pernafasan , hambatan nafas dan udem paru. Efek samping lain meliputi keterhantungan fisik dan psikologikis dan kematian
(Lacy,
CF.et al, 2008). Seluruh opioid termasuk metadon mengurangi produksi saliva, sementara itu pengguna opioid sering kali memiliki nutrisi dan higiene gigi dan mulut yang tidak baik. Akibatnya persoalan gigi umum dialami pasien rumatan metadon. Pasien didukung untuk meningkatkan kebersihan gigi dan mulut (Edwards, SH et al, 2009).
2.5 Retensi Dalam menangani penyakit kronik dan mencegah relaps , terapi jangka panjang merupakan strategi yang paling efektif dan diperlukan untuk mengatasi ketergantungan obat (UNDOC, 2008). Menurut Ward et al (1988), terdapat dua outcome yang memiliki relevansi terhadap efektifitas terapi rumatan metadon, yaitu retensi dan penurunan penggunaan heroin. Retensi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu program rumatan. Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan peningkatan yang bermakna pada outcome terapi pada pasien yang tetap dalam terapi rumatan metadon selama paling tidak satu tahun (yaitu penurunan injeksi dan pengugunaan heroin) (NHS, 2004). Terapi
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
26
metadon jangka panjang menunjukkan hasil yang lebih efektif dibandingkan terapi jangka pendek (Sees et al, 2000). Menurut Ward et al (1998) terapi rumatan metadon yang memiliki pendekatan jangka pendek hanya akan sesuai bagi minoritas pasien ketergantungan
opiod.
Terutama
pasien
yang
memiliki
riwayat
ketergantungan opiod jangka pendek dan memiliki akses terhadap sumber daya sosial dan psikologikal yang bermakna. Rekomendasi yang diberikan untuk meningkatkan retensi pasien adalah: membantu pasien untuk tetap dalam terapi; membangun hubungan antara pasien dan petugas kesehatan yang baik; respon terhadap pelayanan yang diperlukan pasien; memberikan dosis yang tepat (NTA, 2005). Berbagai penelitian menunjukkan semakin lama pasien berada dalam terapi rumatan metadon semakin besar terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup dan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tidak kembali menggunakan opioid. Jika terapi dihentikan, penelitian menujukkan sebagian besar pasien akan mengalami relaps dalam satu tahun pertama setelah meninggalkan terapi (Ward et.al., 1998). Ward
et.al (1998) membagi dua jenis prediktor retensi yaitu
karakteristik pasien dan karakteristik terapi.
Berikut adalah karakteristik
pasien yang mempengaruhi retensi: 1.
Usia; berbagai penelitian mengkonfirmasi hubungan antara usia yang lebih tua dan waktu retensi yang lebih lama.
2.
Jenis Kelamin; masih terdapat perbedaan antara berbagai hasil penelitian mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap retensi, sebagian menyebutkan jenis kelamin bukanlah prediktor retensi, sedangkan sebagian menyebutkan laki-lakui cenderung meninggalkan terapi lebih cepat dibandingkan perempuan.
3.
Riwayat kriminal; pasien yang memiliki riwayat kriminal ekstensif memiliki persoalan untuk tetap dalam terapi.
4.
Riwayat penggunaan opioid; pasien yang memiliki riwayat penggunaan opioid yang lama dan intensitas terkait dengan peningkatan kemungkinan relaps setelah meninggalkan terapi. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
27
5.
Penyesuaian
psikologikal;
terdapat
hubungan
antara
gejala
psikopatologi yang parah dengan retensi 6.
Pekerjaan; riwayat pekerjaan terkait dengan retensi yang lebih besar dan outcome yang lebih baik setelah meninggalkan terapi
7.
Tinggal dengan keluarga/partner; terdapat kecenderungan bahwa pasien yang menyelesaikan terapi adalah pasien yang tinggal dengan keluarga.
8.
Penggunaan alkohol; penggunaan alkohol yang tinggi berhubungan negatif dengan retensi.
9.
Penggunaan banyak obat-obat lain (multidrug); pasien yang hanya menggunakan opioid cenderung bertahan dalam terapi rumatan metadon.
10.
Motivasi dan ekspektasi terhadap terapi; motivasi untuk berubah adalah variabel penting untuk memprediksi outcome terapi.
Sedangkan karakteristik terapi yang mempengaruhi retensi pasien sebagai berikut (Ward et. al . 1998): 1.
Dosis metadon; dosis metadon merupakan prediktor penting terhadap retensi.
2.
Filosofi terapi; program rumatan jangka pendek cenderung kurang sukses dalam penyelesaian terapi, lebih banyak gagal mempertahankan pasien dalam terapi dan berkurang kapasitasnya mengubah perilaku pasien.
3.
Pelayanan tambahan; pelayanan medik, psikologis dan keuangan pad apasien selama terapi terkait dengan peningkatan retensi
4.
Aksesibilitas klinik; kemudahan mencapai lokasi terapi dan waktu layanan yang tersedia cenderung mempengaruhi retensi
5.
Biaya terapi; pasien pada terapi gratis memiliki retensi lebih kecil dibandingkan pasien yang harus membayar
6.
Dosis bawa pulang; ketentuan dosis bawa pulang yang lebih banyak terkait dengan peningkatan retensi.
7.
Penilaian cepat; terdapat kecnederungan pasien yang mendapatkan penilaian cepat akan lebih besar retensinya
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
28
Menurut Ward et al (1998) durasi optimum rumatan metadon adalah sepanjang pasien merasakan manfaat dari konsumsi metadon setiap hari, dan mengingat ketergantungan heroin adalah kondisi yang kronik, cenderung relaps sukar dipercaya terapi berlangsung dalam waktu pendek sementara heroin relatif bebas tersedia dimasyarakat.
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pengambilan data dilakukan secara retrospektif cross sectional terhadap data sekunder berupa rekam medik pasien rumatan metadon di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta (RSKO) dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta.
Data yang didapat lalu dikumpulkan
sebagai satu populasi mengingat fokus pada penelitian ini adalah dosis dan retensi yang diberikan pada pasien ketergantungan opioid yang menerima terapi rumatan metadon, sehingga tempat pelaksanaan penelitian tidak merupakan faktor yang dibandingkan. Hubungan antara berbagai dosis (dosis awal, dosis 2 minggu terapi, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan
dosis rumatan rata-rata) dengan retensi terapi rumatan metadon
selanjutnya diinvestigasi. 3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rawat Jalan Metadon Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta sejak Januari hingga Juni 2010. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang menjalani Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di RSKO Jakarta dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
29
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien program terapi rumatan metadon yang pertama kali mendapatkan terapi pada tahun 2006 – 2008 yang memenuhi kriteria inklusi dan diamati sejak awal terapi hingga 31 Desember 2009.
Metode pengambilan sampel dilakukan secara total
sampling. Kriteria Inklusi: a.
Pasien pecandu opiat yang menjalani PTRM
b.
Pasien pecandu opiat yang menerima terapi rumatan metadon untuk pertama kalinya di RSKO Jakarta dan RSUPF pada tahun 2006 – 2008
c.
Pasien berada dalam terapi lebih dari 6 minggu (42 hari).
Kriteria Eksklusi: a.
Pasien program terapi metadon yang mendapatkan terapi anti retroviral
b.
Pasien program terapi metadon yang mendapatkan terapi anti tuberkulosa
c.
Pasien program terapi metadon yang memiliki data pengobatan tidak lengkap/ pasien pindahan/pasien transit.
3.4 Landasan Teori Pemilihan terapi pada pasien ketergantungan heroin dilakukan berdasarkan penilaian pasien, pemeriksaan pilihan terapi yang ada serta negosiasi dengan pasien sekitar terapi yang sesuai.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
30
Pencegahan Relaps
Abstinen R e l a p s
Kriteria Inklusi
• •
Manajemen Putus Obat P e n g e h e n ti a n
Terapi Rumatan (agonis) Metadon (Agonis penuh) Buprenorfin (Agonis parsial) Dosis : Rumatan terbesar Rumatan rata-rata Rumatan terkecil Setelah 2 minggu Awal
Fase Rumatan
Retensi
Fase Stabilisasi Fase Induksi
Pengguna Heroin
Ketergantungan
Harm Reduction • Pendidikan over dosis • Info penurunan risiko HIV/AIDS
Diadaptasi dari: : Ali Gowing, L., Ali, R. & White, J. 2000
Terapi rumatan diberikan pada pengguna heroin yang tidak sesuai dengan program rehabilitasi tetapi ingin berhenti atau secara permanen mengurangi penggunaan heroin serta semua kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan heroin. Intervensi terapi rumatan secara substansi merupakan terapi jangka panjang, yang secara konsisten menunjukkan pengaruh positif terhadap outcome terapi.
Kemampuan intervensi terapi untuk terus
mempertahankan pasien merupakan ukuran efikasinya. Semakin lama durasi terapi, semakin besar kecenderungan efikasi terapi (ASEAN-USAID,2007). 3.5
Kerangka Konsep dan Hipotesis Penelitian
3.5.1 Kerangka Konsep Variabel terikat pada penelitian ini adalah retensi, yang merupakan salah satu outcome terapi rumatan metadon yang efektif (Ward et al, 1988). Retensi merupakan suatu indikator berfungsinya program rumatan terapi metadon. Penetapan dosis yang memadai merupakan faktor kritikal dalam Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
31
meningkatkan outcome terapi rumatan metadon (National Treatment Agency for Substance Abuse, 2001). Peles E, Shaul Schreiber, Miriam Adelson (2006) menyatakan penggunaan dosis yang lebih tinggi merupakan prediktor retensi
lebih
lama.
Dosis awal metadon Dosis 2 minggu terapi Retensi Terapi Dosis rumatan terkecil Dosis rumatan terbesar Dosis rumatan rata-rata • • • •
Umur Riwayat dosis terlewat (missed dose) Riwayat terapi sebelumnya Interaksi obat
3.5.2 Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan wata- rata metadon dan retensi pada
program rumatan metadon baik pada episode pertama
maupun episode kedua terapi.
3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.6 .1 Variabel Penelitian 3.6.1.1 Variabel Independen •
Dosis Awal : dosis metadon yang diterima pasien pada hari pertama terapi. Skala: ordinal 1.
< 30 mg
2. ≥ 30 mg •
Dosis Rumatan Terkecil: dosis metadon terkecil yang diterima pasien pada fase rumatan. Skala:ordinal Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
32
1. < 60 mg 2. ≥ 60 mg •
Dosis Terbesar: Dosis rumatan metadon terbesar yang diterima pasien pada fase rumatan. Skala: ordinal 1. < 100 mg 2. ≥ 100 mg
•
Dosis Rata-Rata Rumatan : dosis metadon rata-rata yang diterima pasien setelah minggu ke enam (hari ke42) . Skala: ordinal 1. < 60 mg 2. ≥ 60 mg
•
Dosis 2 minggu adalah dosis yang diterima pasien pada hari ke 14 terapi. Skala: ordinal 1. Dosis < 40 mg 2. Dosis 41-59 mg 3. Dosis ≥60 mg
3.6.1.2 Variabel Dependen •
Retensi
Lamanya peserta dalam terapi dihitung dari hari pertama pasien mendapat metadon hingga keluar terapi atau hingga akhir batas pengambilan data. Skala: ordinal. 1.
< 365 hari
2. ≥ 365 hari 3.7.1.3 Variabel Perancu •
Usia adalah umur pasien saat masuk terapi rumatan dihitung dari tahun
dilakukan pencatatan dikurangi tahun kelahiran. Skala: ordinal 1.
18 – 24 tahun
2.
25 – 35 tahun
3.
> 35 tahun
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
33
•
Riwayat terapi ketergantungan opioid adalah keterangan mengenai riwayat terapi terkait obat sebelum mengikuti terapi rumatan metadon. Skala : nominal 1. Tanpa riwayat terapi 2. Ada riwayat terapi
•
Riwayat dosis terlewat adalah catatan ketidak hadiran pasien di PTRM setiap harinya tanpa alasan. Skala : nominal 1. Tidak terdapat riwayat dosis terlewat 2. Dosis terlewat 1-2 hari berurutan 3. Dosis terlewat 3-4 hari berurutan
•
Interaksi Obat adalah pengaruh metadon dengan obat lain atau sebaliknya akibat penggunaan secara bersamaan. Skala: nominal 1.
Tidak ada interaksi obat
2.
Ada interaksi obat
3.6.2 Definisi Operasional a. Terapi rumatan metadon adalah terapi jangka panjang menggunakan metadon, obat yang memiliki kerja yang sama atau serupa dengan zat yang menyebabkan ketergantungan (heroin). b. Retensi adalah lamanya pasien didalam terapi rumatan metadon setelah mendapatkan terapi lebih dari 6 minggu (42 hari) c. Opioid adalah istilah umum bagi alkaloid buah opium (Papaver somniferum), analog sintetiknya dan senyawa yang disintesis didalam tubuh, berinteraksi dengan reseptor yang sama, memiliki kapasitas menghilangkan rasa sakit, menyebabkan rasa senang (eforia). d. Fase stabilisasi awal: periode pada terapi rumatan metadon dari hari pertama hingga minggu ke-2 (hari ke-14) e. Fase stabilsasi akhir: periode pada terapi rumatan sejak minggu ke-3 hingga minggu ke 6
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
34
f. Fase rumatan adalah periode pada terapi rumatan metadon setelah minggu ke-6 ( atau setelah hari ke- 42) g. Dosis awal adalah dosis yang diterima pasien saat pertama kali mengikuti program rumatan metadon atau ketika pasien drop out yang masuk kembali. h. Dosis 2 minggu terapi adalah dosis yang diterima pasien pada hari ke 14 terapi rumatan metadon i. Dosis rumatan terkecil adalah dosis metadon terkecil yang diterima pasien pada fase rumatan dalam program terapi rumatan metadon. j. Dosis rumatan terbesar adalah dosis metadon terbesar yang diterima pasien pada fase rumatan dalam program terapi rumatan metadon. k. Dosis rumatan adalah dosis metadon rata-rata yang diterima pasien pada fase rumatan dalam terapi rumatan metadon l. Drop out (DO) adalah berhenti dari program rumatan metadon atau tidak mengambil atau minum metadon 5 hari berturut-turut atau lebih . m.
Status Terapi adalah posisi pasien dalam terapi ketika dilakukan pengambilan data. Meliputi : berhenti berencana, pindah terapi, ditahan polisi, pindah PTRM lain, DO tanpa alasan, DO dengan alasan, aktif dalam terapi
n. Putus metadon adalah sekumpulan gejala yang berbeda dan tingkat keparahan yang bervariasi yang terjadi pada penghentian atau pengurangan penggunaan metadon, meliputi mual atau muntah, nyeri otot, lakrimasi atau rinore, berkeringat, diare, menguap berkali-kali, demam dan insomnia. o. Keluhan adalah apa yang dirasakan pasien selama dalam terapi yang tercatat pada rekam medis. p. Riwayat terapi adalah semua jenis terapi terkait penggunaan opioid termasuk detoksifikasi, rehabilitasi dan terapi lainnya sebelum memasuki terapi rumatan metadon. q. Riwayat dosis terlewat ditentukan berdasarkan catatan ketidak hadiran pasien di PTRM setiap harinya tanpa alasan.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
35
r. Interaksi obat adalah pengaruh antara metadon dengan obat lainnya atau sebaliknya yang digunakan bersamaan sesuai dengan catatan pada rekam medik s. NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) adalah zat yang bila masuk kedalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf puasat/otak sehingga menyebabkan gangguan fisik, psikiksi dan fungsi sosial 3.7 Analisis Data 3.7.1 Pengumpulan data Data yang dikumpulkan berasal dari rekam medik meliputi seluruh variabel yang diteliti. Data tersebut dikumpulkan pada lembar pengumpulan data yang meliputi antara lain karakteristika pasien yaitu: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan. Data karakteristik terapi meliputi dosis metadon yang meliputi dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar, dosis rumatan rata-rata serta dosis akhir. Selanjutnya dikumpulkan data mengenai keluhan yang dialami pasien serta kehadiran pasien dalam terapi. 3.7.2 Pengolahan Data Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah kedalam tabel rekapitulasi sesuai dengan variabel yang sudah ditentukan sebelumnya. Proses pengolahan data meliputi: a.
Edit Data ; Data mentah yang sudah didapatkan diperiksa kembali kelengkapan dan ketepatannya. Kemudian untuk data yang tidak lengkap dilakukan pengecekan data melalui komputer petugas PTRM.
b.
Pengkodean ; Data mentah yang sudah lengkap dan jelas yang semula
berbentuk huruf diubah menjadi berupa angka atau bilangan. Pengkodean dilakukan untuk mempermudah pada saat analisa dan mempercepat saat memasukkan data. c.
Pemrosesan ;
Pada tahap ini data yang telah mengalami pengkodean
diproses secara statistika . Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
36
d.
Pembersihan (Cleaning); Dilakukan pemeriksaan ulang data yang sudah di-entry.
3.7.3 Analisis Data Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara statistik dengan analisis deskriptif dan analisis korelasi.
Hubungan antara variabel dianalisis
menggunalan analisis tabulasi silang. Selanjutnya dilakukan analisis regresi logistik biner .Uji dilakukan dua arah dengan P < 0.05 dianggap bermakna. 3.7.4 Analisis Interaksi Obat Interaksi obat yang terjadi dianalisa menggunakan: -
Software The Medical Letter’s Adverse Drugs Interactions Programs
-
Stockley’s Drug Interactions
-
Drug Interactions: Analysis and Management.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
37
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHANSAN
Penelitian dilakukan terhadap pasien ketergantungan opioid yang mengalami perawatan di unit rawat jalan Metadon di dua rumah sakit yaitu Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati Jakarta.
Secara keseluruhan, sebesar 231 pasien (38,25%) dari populasi
termasuk dalam kategori inklusi.
Sedangkan sisanya termasuk dalam
kategori eksklusi, yaitu 85 pasien pindahan / rujukan (14%), 75 pasien yang mendapatkan ARV (12,41%) dan 213 pasien yang tidak sampai rumatan di episode perawatan pertama (35,26%).
Rincian data populasi terdapat pada
lampiran 2. 4.1. Karakteristika Pasien Sampel penelitian terdiri atas 200 laki-laki (86,6%) dan rata-rata usia 28 tahun, dengan kisaran usia
18 hingga 48 tahun dan sebagian besar
(68,4%) berusia 25-35 tahun. Sebesar 163 orang (70,6%) berpendidikan SMA atau sederajat, 164 orang telah memiliki pekerjaan (71%), 97 orang belum menikah (42%) dan sebanyak 86 orang berdomisili di Jakarta Selatan (37,2%). Sebanyak
158 orang (68,4%) memiliki riwayat masalah hukum
terkait penggunaan NAPZA
dan mayoritas (56,7%) telah menggunakan
selama opiat 5-10 tahun. Sebagian besar sampel yaitu 149 orang (64,5%) memiliki riwayat merokok, sebesar 107 orang (46,8%) mengkonsumsi alkohol, sebesar 60 orang (26%) memiliki riwayat penggunaan benzodiazepin dan riwayat amfetamin sebesar 82 orang (35,5%).
Rincian karateristik sampel dapat
dilihat pada Tabel 4.1
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
38
Tabel 4.1 Karakteristik sampel Karakteristik Pasien
Jumlah (Persen)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 18-24 25-35 >35 Pendidikan < SMP SMA Perguruan Tinggi Status Pernikahan Menikah Tidak Menikah Riwayat Hukum Ada riwayat masalah hukum Tidak ada riwayat masalah hukum Riwayat Penggunaan Zat Aditif Nikotin Alkohol Opiat Benzodiazepin Amfetamin Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Domisili Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Depok Bekasi Tangerang Outcome Terapi Pindah Terapi Tertangkap Polisi Pindah PTRM lain DO tanpa alasan DO dengan alasan Pasien aktif Pasien yang mengalami 2 episode perawatan Pasien dengan 3 episode perawatan
200(86,6) 31(13,4) 55(23,8) 158(68,4) 18(7, 8) 15(6,5) 163(70,6) 53(22,9) 97(42,0) 134(58,0) 158(68,4) 73(31,6) 149(64,5) 107(46,3) 231(100) 60(26) 82(35,5) 164(71) 67(29) 86(37,2) 14(6,1) 43(18,6) 13(3,6) 5(2,2) 21(9,1) 10(4,3) 39(16,9) 3(1,3) 6(2,6) 27(11,7) 108(46,8) 4(1,7) 83(35,9) 43(18,61) 4(1,7) Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
39
4.2 Deskripsi Reaksi Obat Tidak Diinginkan Hasil pengamatan terhadap reaksi obat tidak diinginkan berupa keluhan putus obat menunjukkan pada minggu pertama 220 orang (95,2%) mengeluhkan putus obat, pada minggu kedua sebesar 174 orang (75,3%) dan minggu ketiga dan keempat masing-masing 68,8% dan 54,5%.
Terlihat
adanya kecenderungan penurunan keluhan yang dilaporkan pada minggu berikutnya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Persentase Pasien Yang Mengalami Keluhan Waktu
Jumlah (persen)
Hari 1-7
220(95,2)
Hari 8-14
174(75,3)
Hari 15-21
159(68,8)
Hari 22-28
126(54,5)
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif sehingga tidak menelaah kualitas atau derajat keluhan putus obat, sehingga nilai ini belum secara utuh menggambarkan bagaimana keluhan yang dialami pada pada periode waktu tersebut. Keluhan putus obat yang dirasakan sangat bervariasi dan keluhan yang dirasakan mayoritas pasien (88,5%) adalah kesulitan tidur (insomnia), nyeri otot (50,6%), serta mual muntah (11.3%) konstipasi (13%). Rincian lengkap keluhan putus obat terdapat pada tabel 4.3. Keluhan putus obat yang paling banyak ditemukan adalah gangguan tidur (88,5%).
Gangguan tidur berkorelasi positif terhadap peningkatan
potensi relaps penyalahgunaan heroin pada terapi rumatan metadon. Penyebabnya adalah penurunan kadar opioid endogen (dinorfin) yang berpartisipasi dalam regulasi tidur. Heroin berikatan pada situs yang sama dengan opioid endogen dan menekan produksi opioid endogen. Ketika heroin dihentikan penggunaannya atau berkurang kadarnya, fungsi opioid endogen dibawah kondisi sebelumnya sehingga terjadi hiperaktifitas syaraf lokus sereleus dan gangguan homeostatis tidur (Yi Jung Li, 2009).
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
40
Sebesar 50,5% pasien mengeluhkan nyeri otot, Goldsmith (1984) menemukan keluhan putus obat terkait dengan masa stabilisasi serta dosis, pasien dengan dosis lebih rendah mengeluhkan sakit otot lebih sering dibandingkan pasien yang mendapatkan dosis sedang atau tinggi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi hal ini. Tabel 4.3 Deskripsi keluhan putus obat dan efek samping Jenis keluhan
Jumlah (persen)
Keluhan putus obat Mual atau muntah 26(11,3) Nyeri otot 117(50,6) Lakrimasi atau rinore 15(6, 5) Pupil melebar, piloereksi / berkeringat 16(6.9) Diare 23(10) Menguap 25(10,8) Demam 6(2,6) Insomnia (gangguan tidur) 204(88,5) Tidak Mood 8 (3,4) Keluhan efek samping Konstipasi 30(13) Disfungsi seksual 3(1,3) Gatal 12(5,2) Nafsu makan menurun 24(10,4) Bangun tidur lemas 8(3,4) Sedangkan keluhan efek samping yang diamati meliputi konstipasi (13%), nafsu makan menurun (10,4%) dan gatal (5,2%).
Rincian lengkap
keluhan efek samping terdapat pada tabel 4.3. Ditemukan seorang pasien yang mengeluhkan dada berdebar setelah mengkonsumsi metadon, selanjutnya pasien dirujuk ke bagian Kardiologi. Pasien tersebut menerima dosis 55 mg, dan merasakan keluhan pada hari ke 25 terapi.
Pemeriksaan ECG sebaiknya dilakukan pada pasien yang
mendapatkan dosis metadon sangat tinggi (Eap C.B. et al 2002), dinyatakan bahwa perpanjangan interval QT dan torsade de pointes terkait dengan dosis metadon ≥ 200 mg tetapi juga telah diamati terjadi pada dosis yang lebih rendah (Lacy, C.F., et al, 2007) . Jumlah pasien yang mengalami keluhan sejak minggu pertama terapi (95.2%) menurun hingga minggu keempat (54.5% ). Hal ini menunjukkan tercapainya tujuan masa induksi yaitu penyesuaian dosis dengan cara aman Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
41
hingga dapat mencegah putus obat (Payte, 2003.
Karena penelitian ini
retrospektif sifatnya, tidak dapat ditelaah intensitas keluhan dari minggu I hingga selanjutntya. Selain itu, pengamatan dilakukan dalam jangka waktu 7 hari, sehingga pada minggu IV pasien yang mengeluhkan putus obat bisa saja terkait dengan proses titrasi yang masih berlangsung dan dosis terapetik yang belum tercapai. Pada penelitian ini ditemukan 30 pasien (13 %) mengeluh konstipasi, usia pasien tersebut bervariasi antara 22- 40 tahun, mendapat dosis antara 20 mg – 100 mg dan berada dalam terapi hari pertama hingga 1.5 tahun. Satu orang berusia diatas 40 tahun sedangkan sisanya dibawah 40 tahun, untuk mengatasi keluhan tersebut diberikan laksatif. Tidak terlihat kecenderungan keluhan konstipasi terjadi pada usia diatas 40 tahun. Goldsmith et al (1984) menemukan kecenderungan terjadinya konstipasi pada dosis kurang dari 19 mg atau antara 60-79 mg dan 57% terjadi pada pasien diatas 40 tahun. Efek
konstipasi
kemungkinan
tidak
terdapat
pada
pasien
ketergantungan heroin karena terdapat variasi kadar opioid akibat injeksi narkotik kerja pendek. Sebaliknya, kadar opioid pada pasien terapi rumatan metadon terjaga selama 24 jam, sehingga memunculkan efek narkotik yang lebih persisten pada usus halus (Goldsmith et al , 1984). Konstipasi terjadi akibat ikatan opioid dengan reseptor opioid di perifer saluran gastrointestinal sehingga terjadi penurunan peristalsis, berkurangnya sekresi empedu, pankreas dan intestinal serta meningkatkan tonus ileocaecal dan sfingter. Waktu transit feses meningkat kadar air feses berkurang (Colliet B.J., 1998). Toleransi efek konstipasi terjadi sangat lambat, sehingga efek konstipasi merupakan efek samping yang cenderung menetap (Vendramin and Annella M Sciacchitano, 2009). Mual muntah dikeluhkan oleh 26 pasien (11.3 %) untuk mengatasi keluhan tersebut, pasien diberikan anti emetik. Collet (1998) menemukan hingga 40% terjadi mual dan hingga 15% kejadian muntah pada pasien yang diterapi dengan opioid. Sebanyak 3 pasien mengeluhkan masalah disfungsi seksual, mendapatkan dosis metadon yang bervariasi yaitu 30 mg, 50 mg dan 100 mg Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
42
dan berada dalam terapi antara 45 hari hingga 1,5 tahun. Dan kisaran usia dibawah 40 tahun, yaitu berturut turut adalah 26 tahun, 37 tahun dan 32 tahun. Pasien yang mengalami masalah seksual tersebut tidak mengkonsumsi secara bersamaan obat lain yang dapat menyebabkan penekanan dorongan seksual termasuk antihipertensi dan psikotropik (R.T. Brown and Megan Zueldorff, 2007). Goldsmith et al (1984) menemukan terdapat hubungan dosis dan usia dengan disfungsi seksual dimana pasien yang menerima metadon dibawah 20 mg atau diatas 80 mg paling sering mengeluhkan masalah seksual, sebesar 43% pasien yang mengeluhkan masalah disfungsi seksual berusia diatas 40 tahun sedangkan 18% diantaranya berusia dibawah 40 tahun. Kerja opioid menyebabkan gangguan produksi hormon hipotalamik dan pituitari (LH, FSH dan GnRH), peningkatan kadar prolaktin serum, menekan produksi testosteron. Terapi penggantian pada kadar testorsteron yang rendah mungkin efektif mengatasi disfungsi libido atau erektil, dan potensi orgasme lambat atau anorasmia. Terapi penggantian kadar androgen yang rendah pada wanita juga meningkatkan libido dan mood .
Perlu
dilakukan evaluasi pada kesehatan mental dan emosional selain pemeriksaan hormonal mengingat penderita ketergantungan obat banyak yang mengalami komorbiditas psikiatrik. (R.T. Brown and Megan Zueldorff, 2007). 4.3 Deskripsi Dosis Metadon Dosis awal yang diterima oleh 227 pasien (98,1%) berkisar antara 2030 mg dengan nilai dosis awal rat-rata adalah 24,61 mg, sedangkan nilai ratarata berbagai kisaran dosis terdapat pada tabel 4. 4. Tabel 4. 4 Deskriptif Dosis Metadon Dosis awal Nilai terkecil
20
15
Dosis rumatan terkecil 15
Nilai terbesar
40
80
115
210
165
Range
20
65
115
185
142.5
24,61
47,26
57,82
78,45
68,38
Rata-rata
Dosis 2 minggu
Dosis rumatan terbesar 25
Dosis rumatan rata-rata 22.5
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
43
4.3.1 Dosis awal Mayoritas pasien (98%) mendapatkan dosis awal 20 mg hingga 30 mg, kisaran tersebut sesuai pedoman terapi rumatan metadon. Secara umum, dosis
awal
metadon
dapat
dibedakan
dalam
dua
kategori,
yaitu
ketergantungan opioid dengan neuroadaptasi sedang-tinggi--biasanya mulai dengan 25-30 mg, meskipun dinilai memiliki toleransi opioid yang tinggi dosis awal tidak boleh melebihi 40 mg. Ketergantungan opioid yang dinilai tidak atau kemungkinan belum terbentuk neuroadaptasi dapat diberikan dosis awal 20 mg atau kurang (NSW Health Department, 1999). Pemberian dosis awal memperhatikan prinsip keamanan mengingat mortalitas tertinggi pada terapi rumatan metadon
terjadi pada hari-hari
pertama terapi (J Martin, 2010). Hal itu terkait dengan lebih lambatnya metabolisme metadon pada pasien yang baru menerima terapi dibandingkan pasien yang telah mencapai kadar steady-state. Selain itu, toleransi silang yang tidak lengkap antara metadon dan opioid lain menyebabkan pasien yang baru mengikuti terapi rumatan metadon memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap metadon dibandingkan seharusnya, dan karenanya dosis awal dapat dianggap menjadi terlalu tinggi. Perbedaan ini menjelaskan kecenderungan terjadi toksisitas fatal bagi pasien diawal terapi dan tidak pada pasien yang telah mencapai steady state (J.M. Corkery et. al , 2004). Ditemukan 2 pasien yang mendapat dosis awal masing-masing 35 mg dan 40, dant tidak ada pasien yang mendapat lebih dari 40 mg. Dosis awal dalam kisaran tersebut hanya diberikan jika secara pasti diketahui pasien mengalami ketergantungan opioid sebelumnya, atau nampak keparahan gejala putus obat. Pemberian dosis awal 40 mg dilakukan ketika pemberian dosis 30 mg tidak terjadi penurunan keluhan putus obat yang memadai dalam waktu 24 jam setelah pemberian (J. Martin, 2010).
Pemberian dosis awal metadon
tidak boleh melebihi 40 mg dan terdapat peningkatan risiko over dosis pada dosis awal diatas 30 mg (NSW Health Department, 1999). Prinsip keamanan masa induksi didasarkan atas peningkatan dosis hingga diamati kondisi pasien pada kadar puncak metadon, atau sekitas 3 – 8 jam setelah pemberian (Payte, 2003). Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
44
4.3.2
Dosis 2 minggu terapi
Sebagian besar pasien (50.3%) mendapatkan dosis metadon pada 2 minggu pertama terapi sebesar 41-59 mg dan hanya 10 % pasien mendapat dosis ≥ 60 mg. Dari hasil perhitungan statistika dapat dilihat kecenderungan retensi yang dicapai oleh pasien yang mendapat dosis 2 minggu dalam kisaran tersebut. Pada penelitian sebelumnya, outcome terapi lebih baik pada pasien yang mendapat dosis lebih tinggi. Pada pasien yang tetap mengkonsumsi heroin atau opioid lain, meningkatkan dosis metadon merupakan pendekatan yang efektif untuk mengurangi penggunaan heroin. Agar peningkatan dosis setelah minggu pertama berjalan aman, sebaiknya dilakukan secara gradual, mengingat memerlukan hingga tujuh hari mencapai steady state baru setelah peningkatan dosis. Peningkatan dosis sebaiknya dilakukan setiap 3–5 hari (NSW MMT, 1999). Ditemukan pasien yang merasa nyaman dengan dosis rendah dan tidak perlu didorong untuk menaikkan dosisnya.
Pada penelitian ini 3 pasien
menerima dosis metadon 2 minggu berturut-turut sebesar 15 mg, 20 mg dan 22.5 mg. Pasien tersebut mendapatkan dosis tersebut setelah melalui proses titrasi dosis hingga dicapai dosis yang optimal. Ketiga pasien tersebut merasa nyaman dengan dosis 15-22.5 mg dan tidak merasakan keluhan putus obat. Selain itu, terapi 2 minggu pertama tidak dimaksudkan untuk mencapai dosis optimum dan penyesuaian dosis lebih lanjut dapat dilakukan setelah pasien mencapai stabilisasi awal (Henry-Edwards, Sue et al., 2009). 4.3.3
Dosis rumatan terkecil Dosis rumatan metadon terkecil rata-rata pada penelitian ini adalah
57,82 mg dengan kisaran 15– 115 mg.
Pasien yang mendapatkan dosis 15
mg pada fase rumatan dimungkinkan karena pasien tersebut mengalami dosis terlewat selama 3 hari berturut-turut sehingga dosisnya harus dikurangi hingga separuhnya untuk mencegah terjadinya over dosis terkait dengan kekhawatiran berkurangnya toleransi terhadap metadon.
Pasien tersebut
akan dinaikkan dosisnya secara bertahap hingga mencapai dosis optimal. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
45
Ditemukan 9 pasien pada fase rumatan awal (lebih dari 6 minggu) mendapatkan dosis metadon lebih dari 100 mg, pasien tersebut mengeluh putus obat dan sesuai pedoman terapi dosis dinaikkan 5-10 mg setiap 3–5 hari hingga mencapai dosis optimal.
Preston et al (2000) menemukan
peningkatan dosis metadon pada pasien yang masih menggunakan heroin dianggap efektif sebagai cara menghentikan penggunaan heroin. Trafton et al (2005) menemukan beberapa pasien memerlukan dosis lebih tinggi dibanding yang lain agar mampu menghentikan penggunan heroin. 4.3.4
Dosis rumatan terbesar Dosis rumatan terbesar rata-rata adalah 78,45 mg, dengan kisaran 25 –
210 mg. Pasien yang mendapatkan dosis terbesar 25 mg adalah pasien yang sejak awal fase rumatan hingga akhir batas penelitian merasa nyaman dan tidak mengalami keluhan putus zat dengan dosis tersebut. Pasien tersebut pada awalnya mengeluh muntah dan tidak bersedia dinaikkan dosisnya. Terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi pada pasien tersebut yang terkait dengan farmakokinetika metadon. Bioavailabilitas metadon berkisar 80% sedangkan variasi antar subyek 36-100% (Eap et. al 2002), sehingga pasien yang memiliki bioavailabilitas tinggi, pada dosis yang relatif kecil dapat mencapai efek terapetik. 4.3.5
Dosis rumatan rata-rata Nilai rata-rata dosis rumatan dalam penelitian ini adalah 68,38 mg.
Nilai dosis rumatan tersebut sudah termasuk dalam kisaran dosis rumatan efektif dalam terapi rumatan metadon, yaitu dalam kisaran 60-100 mg per hari (SH Edwards, 2003). Dosis rumatan yang tinggi (> 60 mg per hari) pada dasarnya
diberikan
bertujuan
untuk:
mencegah
gejala
putus
obat,
menginduksi toleransi silang yang memadai terhadap heroin untuk mencegah intoksikasi dan mencegah craving terhadap heroin (Ward, J., Wayne Hall, and Richard P. Mattick, 2009). Donny E.C et al (2005) menemukan diperlukan dosis metadon yang relatif lebih besar untuk mencapai kisaran efek terapetik. Dosis metadon Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
46
yang relatif lebih kecil (30 – 60 mg) efektif menekan gejala putus obat; akan tetapi diperlukan dosis yang lebih besar untuk mendapatkan efek toleransi silang terhadap efek heroin. Pasien yang mendapat dosis relatif lebih rendah (< 80 mg) akan mendapatkan efek toleransi silang yang tidak lengkap terhadap eforia dan efek penguatan heroin. Donny et al (2002) menemukan pemberian metadon sebesar 120 mg/hari memberikan efek blokade terhadap efek heroin 20 mg/70 mg dinilai menggunakan skala analog visual tetapi efek tersebut tidak muncul pada dosis 30 mg dan 60 mg. Kisaran dosis metadon rumatan rata-rata pada penelitian ini adalah antara 22.5 -165 mg. Perbedaan dosis metadon yang dibutuhkan oleh pasien salah satunya dapat dijelaskan oleh perbedaan sifat farmakokinetika dan farmakodinamika metadon. Hanna Julia et al, (2005) menemukan variasi nilai bersihan oral metadon, variasi parameter farmakokinetik serta variasi pengukuran farmakodinamika 4.4
Retensi Waktu retensi rata-rata adalah 393,0 hari (kisaran 43 – 1601) hari dan
sebesar 46,8 % dari total 231 pasien bertahan dalam terapi selama 1 tahun atau lebih.
Sampel penelitian yang aktif dalam terapi rumatan metadon
berjumlah 83 orang (38.96%), sisanya yaitu 147 (69%) adalah pasien yang mengalami drop out, 53 (36%) diantaranya masuk kedalam terapi rumatan metadon episode kedua dan 43 (29.25%) diantaranya hingga fase rumatan. Dari pasien yang mengalami episode kedua, 8 orang (18.6%) diantaranya drop out dan kembali memasuki terapi episode ketiga dan 2 pasien memasuki terapi hingga episode perawatan keempat. Rincian status pasien dalam terapi terdapat pada tabel 4.1 . Hubungan antara berbagai pengukuran dosis dengan retensi pada pasien yang mengalami episode kedua baik episode pertama dan episode kedua tidak bermakna. Hasil ini dapat terjadi kemungkinan karena jumlah data yang terbatas sehingga tidak dapat menjelaskan hubungan tersebut. Analisis Kaplan Meier dilakukan untuk mengetahui proporsi pasien yang masih dalam terapi rumatan metadon.
Hasil analisis menunjukkan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
47
median waktu survival adalah 622 hari, artinya 50% pasien bertahan selama sampai hari ke-622.
Gambar 4.1 Grafik fungsi survival pasien terapi metadon Retensi terapi dianalisis menggunakan analisis kurva regresi survival, suatu tipe regresi log-linier. Hasil analisis survival menunjukkan median waktu survival adalah 622 hari dan 46.8% pasien berada dalam terapi setelah 1 tahun dalam terapi rumatan metadon. Temuan ini lebih besar dibandingkan yang ditemukan di Italia dengan kisaran 40% (D.D’Ilppoliti et al, 1998). Hal ini kemungkinan terkait dengan
dosis terbesar rata-rata pada penelitian
tersebut lebih kecil (44 mg) dibandingkan dosis terbesar rata-rata pada penelitian ini (78.17 mg).
Peles et al (2005) menemukan retensi terapi
setelah 1 tahun sebesar 74.4% dan tingginya penghentian penggunaan opioid sebesar 65.8%. Berbagai penelitian menunjukkan terjadi peningkatan outcome pasien tersebut pada waktu retensi selama 1 tahun atau lebih. Retensi didalam terapi memiliki hubungan dengan peningkatan produktifitas sosial, berkurangnya Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
48
tingkat kriminal, dan tingkat mortalitas. Prosentase pasien yang bekerja, melanjutkan sekolah, atau bekerja dirumah tangga meningkat (Ward, J, et al, 2009). Pasien yang mengikuti terapi rumatan metadon akan terjadi okupasi reseptor opioid mu secara kontinyu yang merupakan faktor penstabil sehingga memungkinkan pasien rumatan metadon memiliki perilaku yang normal dan menghentikan
penggunaan
heroin.
Dalam
hal
ini
metadon
bukanlah ”pengganti” heroin karena metadon memiliki sifat farmakokinetika yang sangat berbeda dengan efek yang berbeda pula. Okupasi reseptor opioid mu oleh metadon terjadi stabil dan menetap sangat berbeda dengan kondisi
”puncak”
yang
berlebihan
dan
berulang
diikuti
dengan
kondisi ”lembah” yang berlebihan akibat heroin (Goldstein, Avram, 1998). Dari hasil analisis logistik biner terhadap variabel dosis rumatan rata-rata dan dosis rumatan terbesar, dosis rumatan terbesar menunjukkan nilai yang bermakna terhadap retensi ≥ 1 tahun (P=0,000). Persamaan regresi logistik biner memberikan nilai OR 3,485; ini berarti pasien dengan dosis rumatan terbesar ≥ 100 mg memiliki kesempatan 3,845 kali lebih besar untuk bertahan didalam terapi ≥ 1 tahun dibandingkan pasien dengan dosis rumatan terbesar < 100 mg. Hasil analisis logistic biner mengkonfirmasi hasil uji bivariat, yaitu dosis rumatan terbesar mempengaruhi retensi secara bermakna.
Pasien dengan
dosis rumatan terbesar ≥ 100 mg memiliki kemungkikan bertahan didalam terapi ≥ 1 tahun 3,5 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan dosis terbesar < 100 mg. Ini berarti menaikkan dosis menguntungkan bagi pasien karena dapat meningkatkan retensi terapi. 4.5 Hubungan antara retensi dengan dosis awal, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar, dosis rumatan rata-rata dan dosis setelah 2 minggu Hasil Uji Fisher menunjukkan dosis retensi terbesar berhubungan secara bermakna dengan retensi (P = 0,000). Hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
49
hasil tidak bermakna dengan kemaknaan berturut-turut adalah (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103). Tabel 4.5 Tabulasi silang perbagai pengukuran dosis dan retensi Jenis Dosis
Retensi juml(persen) < 365
>365
Dosis awal < 30 mg
60(52,6)
54(47,4)
Dosis awal ≥ 30 mg
63(53,8)
54(46,2)
Dosis 2 minggu < 30 mg
23(51,1)
22(48,9)
Dosis 2 minggu 31-59 mg
81(52,6)
73(47,7)
Dosis 2 minggu > 60 mg
19(59,4)
108(40,6)
Dosis rumatan terkecil < 60 mg
60(52,6)
54(47,4)
Dosis rumatan terkecil ≥ 60 mg
63(53,8)
54(46,2)
Dosis rumatan terbesar < 100 mg
107(60.1)
71(39,9)
Dosis rumatan terbesar ≥ 100
16(30,2)
37(69,8)
Signifikansi P = 0.895 P = 0.360
P = 0.895
P = 0.000 P = 0,103
mg Dosis rumatan rata-rata < 60 mg
52(60,5)
34(39,5)
Dosis rumatan rata-rata ≥ 60 mg
71((49,0)
74(51)
Hubungan antara dosis rumatan terbesar dengan retensi (P
= 0,000)
menggambarkan semakin besar dosis rumatan terbesar maka retensi akan semakin besar. Hasil ini sejalan dengan temuan G.I. Dickinson et al., (2006) yang menemukan hubungan paling erat adalah antara dosis rumatan terbesar dengan retensi. Strain et al, (1993) menemukan dosis yang lebih besar memberikan outcome terapi lebih baik berupa retensi dan penggunaan heroin dibandingkan dosis lebih rendah. Toleransi silang terhadap heroin meningkat dengan meningkatkannya dosis dan menghambat efek eforia . Dosis metadon 60 mg atau lebih memadai untuk mencapai tingkat toleransi pada mayoritas individu, diperlukan dosis lebih dari 100 mg per hari untuk pasien yang memiliki metabolisme cepat.
Hubungan antara dosis rumatan terbesar
dengan retensi menunjukkan hubungan yang paling besar kemaknaannya dibandingkan berbagai pengukuran dosis lainnya. Hasil ini sejalan dengan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
50
temuan G.I. Dickinson et al., (2006) yang menemukan hubungan paling erat adalah antara dosis rumatan rata-rata dan dosis rumatan terbesar dengan retensi.
Caplehorn dan Bell (1995) menemukan pasien yang mendapatkan
dosis ≥ 80 mg/hari memiliki kecenderungan dua kali lebih besar untuk bertahan dalam terapi, dan pasien yang mendapatkan dosis ≤ 40mg/hari memiliki kecenderungan dua kali lebih besar menggunakan heroin dibandingkan pasien yang menerima dosis 80 mg/hari. Walaupun tidak bermakna, hubungan antara dosis rumatan rata-rata dan retensi menujukkan pasien dengan dosis rumatan rata-rata ≥ 60 mg memiliki proporsi lebih besar (51%) berada dalam terapi ≥ 1 tahun dibandingkan pasien yang menerima dosis rumatan < 60 mg (39,5%). Dickinson et al, (2006) menemukan dosis rumatan rata-rata berhubungan bermakna dengan retensi. Konsensus para ahli di NIH (National Institues of Health) menyatakan dosis 60 mg dapat mencapai tujuan terapi (NIH, 1997). Penggunaan dosis rumatan yang tinggi (>60 mg per hari) dimaksudkan untuk mencapai tiga hal: mencegah gejala putus obat, menginduksi toleransi silang yang memadai dan mencegah intoksikasi serta mencegah caving heroin. Pada dosis 2 minggu terapi, walaupun tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, pasien dosis 2 minggu < 40 mg dan 41-59 mg berada didalam terapi ≥ 1 tahun sebesar 48,9% dan 47,4%, jumlah ini lebih besar dibandingkan pasien dengan dosis > 60 mg (40,6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Brady (2005) yang menyatakan retensi tidak memiliki hubungan yang konsisten dengan dosis setelah 2 minggu; pasien dengan dosis lebih dari 80 mg memiliki retensi yang paling rendah. Sesuai pedoman pemberian dosis metadon pada awal terapi, yaitu start low, go slow, aim high, maka pemberian dosis pada awal terapi yang sesuai pedoman, yaitu peningkatan dosis 5-10 mg setiap 3-5 hari maka keamanan yang menjadi suatu hal yang utama pada terapi tercapai begitu pun dengan retensi. Magura et al. (1998) menyatakan pentingnya variabel pada-terapi (intreatment) dan dosis merupakan salah satu variabel tersebut.
Dosis
berpengaruh terhadap outcome retensi. Hasil suatu meta analisis 13 uji klinik random, double blind oleh M. Farret et al (2002) menemukan pemberian Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
51
dosis metadon ≥ 50 mg pada 890 pasien meningkatkan retensi (25% lebih kecil kegagalan retansi, OR. 1.25) dan mengurangi penggunaan heroin sebesar 72% (OR.1.72%) dibandingkan pasien yang mendapat dosis lebih rendah <50 mg (392 pasien). 4.6 Hubungan antara umur, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat dengan retensi Analisis hubungan Ki kuadrat menunjukkan retensi tidak berhubungan secara bermakna dengan usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, interaksi obat (P =0,753; 0,752; 0,845; 0,052). Tabel. 4.6 Tabulasi silang hubungan umur, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat dan interaksi obat dengan retensi Deskripsi
Retensi
Signifikansi
< 365
≥ 365
Usia < 25
28(50,9)
27(49,1)
Usia 25-34
84(53,2)
74(46,8)
Usia ≥ 35
11(61,1)
7(38,9)
33(55)
27(45)
Dengan riwayat terapi
90(52,6)
81(47,4)
Tanpa Riwayat dosis terlewat
5(45,5)
6(54,5)
Riwayat dosis terlewat 1-2 hari
77(54,2)
65(45,8)
Riwayat dosis terlewat 3-4 hari
41(52,6)
37(47,4)
Tanpa interaksi obat
100(56,8)
76(43,2)
Ada interaksi obat
23(41,8)
32(58,2)
Tanpa riwayat terapi
P = 0,753
P = 0,766
P = 0,845
P = 0.052
4.6.1 Hubungan usia dan retensi Hasil analisis hubungan antara usia dan retensi menujukkan hubungan negatif dan tidak ada bermakna.
Pada penelitian ini ditemukan proporsi
pasien terbesar yang berada dalam terapi > 1 tahun adalahpasien yang lebih muda (< 25 tahun ; 49,1%). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Miguel del Rio (1997) dan temuan TOPS
yang menyatakan akumulasi
penggunaan NAPZA oleh pasien terkait mempengaruhi kemungkinan Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
52
keberhasilan terapi obat. Miguel del Rio (1997) menyatakan penggunaan heroin dalam jangka panjang yang disertai dengan kegiatan prekontemplasi berkelanjutan lebih berhubungan dengan penghentian penggunaan obat dibandingkan penggunaan jangka pendek. Saxon et al. (1996) menemukan pada orang yang lebih tua terdapat kemungkinan peningkatan ketidak puasan terhadap gaya hidup ketergantungan obat sejalan dengan meningkatnya usia. 4.6.2 Hubungan riwayat terapi dan retensi Sejumlah 60 pasien (74%) merupakan pasien yang telah menjalani terapi ketergantungan opioid sebelumnya sedangkan 11 (74%) belum mendapat riwayat terapi ketergantungan opioid . Rincian data riwayat terapi terdapat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Karakteristik terapi Karakteristik Riwayat Terapi Tidak ada Riwayat Terapi Ada Riwayat Terapi Riwayat dosis terlewat Tanpa dosis terlewat Dosis terlewat 1-2 hari berturut-turut Dosis terlewat 3-4 hari berturut-turut Lamanya penggunaan opiat < 5 tahun 5- 10 tahun > 10 tahun
Jumlah (persen) 60(26,0) 171(74,0) 11(4,8) 142(61,5) 78(33,3) 40(17,3) 131(56,7) 60(26,0)
Analisis hubungan riwayat terapi dan retensi terdapat hubungan yang postitif tetapi tidak terlihat kemaknaannya. Sebesar 47,4% pasien dengan riwayat terapi berada dalam tetapi > 1 tahun, nilai ini lebih besar dibandingkan pasien tanpa riwayat terapi (45%).
Dilihat dari karakteristika
usia, proporsi pasien tanpa riwayat terapi yang berusia < 25 tahun (20%) relatif sama dengan pasien yang memiliki riwayat terapi (25%). Hal ini sejalan dengan temuan Cacciola et al (2005), bahwa terdapat lebih besar proporsi outcome yang baik (tetapi tidak bermakna) pada pasien yang Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
53
memiliki riwayat terapi dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat terapi sebelumnya. Menurut mereka, pasien yang belum memiliki riwayat terapi memiliki risiko kegagalan outcome terapi lebih besar dibandingkan pasien yang memiliki riwayat terapi. Hal ini terkait dengan karakteristik pasien yang baru mengalami terapi ketergantungan adalah pasien dengan usia lebih muda, kemungkinan tinggal dekat dengan lingkungan pengguna NAPZA dan menganggap penggunaan NAPZA bukanlah hal yang serius. E. Liu et al (2009) menemukan hal yang berbeda, menurut mereka pasien yang tidak memiliki riwayat terapi prediktor retensi. Pasien tanpa riwayat terapi kemungkinan memiliki keinginan yang lebih besar dan kepercayaan yang lebih tinggi terhadap efektifitas terapi rumatan metadon, berbeda dengan pasien yang memiliki riwayat terapi yang merupakan pasien yang telah mengalami kegagalan untuk mencoba berhenti menggunakan opioid. 4.6.3 Hubungan dosis terlewat dan retensi Sebesar 142 pasien (61%) mengalami dosis terlewat satu hingga dua hari berturut-turut, hanya 11 orang (4,8%) yang tidak pernah mengalami dosis terlewat, sedangkan pasien yang mengalami dosis terlewat 3 hingga 4 hari sebesar 78 orang (33,3%).
Data rinci mengenai riwayat dosis terlewat
terdapat pada tabel 4.7. Terdapat berbagai alasan pasien yang mengalami dosis terlewat dan hal tersebut tidak ditelaah dalam penelitian ini. Dengan mendalami alas an pasien mengalami dosis terlewat maka pemahaman terhadap pengaruh dosis terlewat terhadap retensi akan lebih utuh. Selain itu, factor motivasi juga perlu dipertimbangkan, pasien yang mengalami dosis terlewat tetapi dengan motivasi tinggi untuk tetap bertahan didalam terapi tentu berbeda dengan pasien yang mengalami dosis terlewat tetapi kurnag memiliki motivasi didalam terapi. Hubungan antara dosis terlewat dengan retensi tidak menunjukkan hubungan bermakna.
Pasien yang mengalami dosis terlewat 1-2 hari
cenderung lebih banyak berada dalam terapi 1 tahun atau lebih (54,5%) Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
54
dibandingkan yang mengalami dosis terlewat 3-4 hari berturut–turut (47,4%). Pasien dengan dosis terlewat 3 hari atau lebih akan mendapatkan dosis metadon separuh dari dosis sebelum terjadi dosis terlewat, secara bertahap dosis dinaikkan hingga mencapai dosis optimal. Pasien yang mengalami dosis terlewat lebih dari 3-4 hari tetapi bertahan didalam terapi dimungkinkan karena proses penaikan dosis terjadi memadai sehingga dosis optimal dengan waktu yang realtif cepat dicapai sehingga tidak menmbulkan putus zat yang terkait dengan relaps penggunan heroin. Selain itu, alasan dosis terlewat juga serta motivasi pasien didalam mempertahankan terapi perlu dieksplorasi lebih lanjut. 4.6.4 Hubungan interaksi obat dengan retensi Pengamatan interaksi obat yang digunakan secara bersamaan menemukan siprofloksasin (13), alprazolam (11) alkohol (10) dan tramadol (7) paling banyak ditemukan digunakan bersamaan dan berinteraksi dengan metadon. Rincian obat yang berinteraksi dengan metadon terdapat pada Lampiran 6. Hasil analisis hubungan antara interaksi obat dengan retensi tidak memberikan hasil yang bermakna. Pasien yang tidak mengalami interaksi obat cenderung lebih sedikit (43,2%) yang berada pada terapi 1 tahun atau lebih dibandingkan pasien yang mengalami interaksi obat (58,2%). Kemaknaan klinik interaksi obat pada metadon dapat berupa peningkatan atau penurunan efek metadon yang tidak diharapkan pada pasien rumatan metadon. Laju kegagalan baik mortalitas maupun morbiditas program rumatan metadon akibat interaksi obat, belum diketahui (Day. R., 1999). Ditemukan 13 pasien yang mendapatkan siprofloksasin bersamaan dengan metadon. Interaksi keduanya terjadi melalui penghambatan aktifitas CYP1A2 dan CYP3A4 oleh siprofloksasin.
Akibat penghambatan
metabolisme metadon dapat terjadi bingung dan sedasi (Baxter, 2008). Perhatian perlu diberikan pada pasien yang menggunakan siprofloksasin dan metadon bersamaan, khususnya jika terdapat faktor lain seperti merokok atau penggunaan obat yang merupakan inhibitor enzim.
Waspadai perlunya Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
55
perubahan dosis metadon. Pada penelitian ini, tidak terlihat adanya efek sedasi pada pasien akibat penggunaan siprofloksasin dan metadon. Penggunaan alprazolam (golongan benzodiazepin) bersamaan dengan metadon ditemukan pada 11 pasien, estazolam (4 pasien) dan bromazepam (1 orang). Penggunaan bersamaan benzodiazepin dosis rendah hingga sedang masih dimungkinkan tetapi perlu diwaspasai peningkatan rasa kantuk dan berkurangnya kinerja psikomotor . Penggunaan bersamaan benzodiazepin dosis tinggi merupakan faktor risiko terhadap kematian mendadak pada pasien yang mendapatkan terapi metadon (Baxter, K., 2008).
Tercatat
seorang pasien yang menerima metadon dosis 50 mg di PTRM lalu membeli metadon 50 mg secara illegal dan mengkonsumsi alprazolam 2 tablet, pasien ditemukan tidak sadarkan diri.
Pengunaan bersamaan benzodiazepin dan
metadon dapat meningkatkan efek sedasi dan depresi pernafasan dan kemungkinan meningkatkan efek opioid (Baxter K., 2008). Ditemukan 9 pasien yang mengkonsumsi alkohol, hal ini diperkuat dengan data riwayat penggunaan alkohol pasien relatif besar yaitu 46%. Metadon dan alkohol merupakan depresan Sususan Syaraf Pusat, dan kemungkinan terjadi peningkatan supresi pada pusat pengendalian pernafasan. Alkohol memiliki “dual“ efek, pada penggunaan akut akan meningkatkan efek metadon akibat
penghambatan metabolisme obat, sedangkan pada
penggunaan kronik dapat mengurangi AUC (Area Under Curve) dan waktu paruh metadon karena menginduksi sitokrom P450 Kefatalan
(Baxter,K., 2008).
terkait peningkatan sedasi menekankan pentingnya peringatan
kepada pasien mengenai bahaya akibat penggunaan secara bersamaan alkohol dan metadon. Pada penelitian ini, ditemukan pasien yang mengeluh tidak enak badan, tidur terbangunm dan mengaku sering menggunakan alkohol, kemungkinan alkohol yang digunakan secara kronik mengurangi AUC metadon dan menginduksi metabolism metadon sehingga kadarnya didalam tubuh menurun, sehingga terjadi reaksi putus zat. Ditemukan 4 pasien yang mendapatkan flukonazol dan 2 pasien mendapat ketokonazol (golongan azol) yang diketahui berinteraksi dengan metadon yang dimediasi penghambatan aktifitas sitokrom P450 isoenzim Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
56
CYP3A4, sehingga bersihan metadon berkurang (Baxter, K.,2008). Direkomendasikan untuk pemantauan ketat terhadap peningkatan efek metadon. Tidak ditemukan efek sedasi akibat penggunaan flukonazol dan ketokonazol pasien yang menggunakan metadon. Ditemukan seorang pasien yang menggunakan metadon bersamaan dengan simetidin dan enam orang yang menggunakan bersamaan dengan ranitidin.
Simetidin dan ranitidin menghambat aktifitas enzim hati yang
terkait dengan N demetilasi metadon, mengurangi metabolisme metadon, sehingga terakumulasi,
akibatnya dapat terjadi efek depresan pernafasan
yang berlebihan, selain itu dilaporkan terjadi penurunan fungsi liver terutama pada pasien berusia lanjut.
(Baxter, K., 2008).
Tidak ditemukan efek
depresan pernafasan yang fatal akibat penggunaan ranitidin atau simetidin dan metadon. Ditemukan seorang pasien yang mendapatkan eritromisin bersamaan dengan metadon.
Interaksi antara kedua obat tersebut terjadi melalui
penghambatan sitokrom P450 isoenzim CYP3A4 (Baxter, K., 2008). Ditemukan pasien yang mendapatkan eritromisin namun tidak terdapat keluhan hingga 15 hari. . Terdapat 1 pasien yang menggunakan rifampisin bersamaan dengan metadon, diketahui bahwa rifampisin merupakan inducer poten sehingga meningkatkan aktifitas enzim sehingga terjadi penurunan kadar metadon dalam tubuh (Baxter, 2008). Penggunaan bersamaan tidak disarankan, akan tetapi efeknya dipantau dan diberikan penigkatan dosis yang memadai (sebesar dua hingga tiga kali lipat) jika diperlukan. Pada penelitian ini, tidak terlihat adanya penyesuaian dosis pada pasien yang menerima rifampisin dan tidak terjadi keluhan putus obat. Penelitian ini tidak menemukan efek klinik akibat interaksi obat dengan metadon karena tidak terdapat catatan tersebut pada rekam medik. Setidaknya terdapat informasi interaksi obat yang terjadi berdasarkan literatur serta jenis dan frekuensi penggunaan obat yang berinteraksi dengan metadon. Kemungkinan terjadi interaksi yang bermakna secara klinik pada penggunaan metadon dengan obat lain merupakan suatu hal yang substansial. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
57
Walaupun sebagian besar interaksi farmakokinetika tidak mengancam jiwa, tetap saja memberikan konsekuensi yang penting, yaitu timbulnya gejala putus obat, terjadi relaps (kembali menggunakan heroin) dan meninggalkan terapi rumatan metadon (Ferrari et al 2004). 4.7
Hubungan Antara Dosis dengan Retensi Pada Pasien yang
Mengalami Multiepisode Pasien yang mengalami episode kedua sebesar 43 orang, 34 orang mengalami retensi selama 1 tahun atau lebih pada episode pertama (tingkat retensi 79,1%) sedangkan pada episode kedua 14 orang pasien mengalami perawatan lebih dari 1 tahun (32,6%).
Sebesar 19 orang (44,2 %)
mendapatkan dosis akhir episode perawatan I ≥ 60 mg, sedangkan 16 orang (37,2%) mendapatkan dosis 30-59 mg. Mayoritas pasien ( 37 orang) yang mengalami episode kedua berhenti dari terapi episode pertama tanpa alasan (86%). Analisis uji tabulasi silang antara berbagai pengukuran dosis dengan retensi pada pasien yang mengalami multi episode (2 episode) pada episode pertama tidak menunjukkan hubungan bermakna pada episode pertama maupun episode kedua. Pada penelitian ini, pasien yang memasuki terapi berulang (multiepisode) hingga fase rumatan dalam jumlah yang memadai untuk dianalisis adalah hingga episode perawatan kedua, sedangkan pasien yang memasuki terapi hingga episode ketiga jumlahnya tidak memadai untuk diolah secara statistika. Prosentase pasien yang mengalami retensi 1 tahun atau lebih pada episode pertama lebih besar (79,1%) dibandingkan dengan episode kedua (32,5%). Temuan ini sejalan dengan C.J. Strike et al (2005) yang
menyatakan
episode
perawatan
berulang
kemungkinan
tidak
menyebabkan peningkatan outcome, data yang ada menunjukkan episode perawatan berulang memiliki durasi terapi yang lebih rendah dibandingkan episode awal. Karena itu, usaha untuk mempertahankan pasien tetap dalam terapi pada episode pertama diperlukan agar pasien mendapatkan manfaat besar dari terapi rumatan metadon.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
58
Rincian hasil tabulasi silang terdapat pada tabel 4.8. Tabel. 4.8 Tabulasi silang hubungan dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi Deskripsi episode 1
Retensi
Signifikansi
< 365
≥365
Dosis awal < 30 mg
7(26,9)
19(73)
Dosis awal > 30 mg
211,76)
15(88,23)
2(25)
6(75)
Dosis 2 minggu 41 – 59 mg
620,68)
23(79,3)
Dosis 2 minggu > 60 mg
1(16,67)
(583,3)
Dosis rumatan terkecil < 60 mg
4(17,39)
19(82,60)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
5(25)
15(75)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
1(9)
10(91)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
8(25)
24(75)
Dosis rumatan rata-rata < 60 mg
2
14
Dosis rumatan rata-rata > 60 mg
7
20
Dosis 2 minggu < 40 mg
Deskripsi episode 2
Retensi < 365
P = 0.446
P = 0.711 P =0.407 P = 0.260 Signifikansi
≥365
Dosis awal < 30 mg
11(78,57)
3(21,42)
Dosis awal > 30 mg
18(62,06)
11(37,93)
0
0
Dosis 2 minggu 41 – 59 mg
27(67,5)
13(32,5)
Dosis 2 minggu > 60 mg
2(66,67)
1(33,33)
Dosis rumatan terkecil < 60 mg
21(70)
9(30)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
8(61,53)
5(38,46)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
10(76,92)
3(23,07)
Dosis rumatan terbesar > 60 mg
19(63,33)
11(36,67)
Dosis rumatan rata-rata < 60 mg
17(68)
8(32)
Dosis rumatan rata-rata > 60 mg
12(66,67)
6(33,33)
Dosis 2 minggu < 40 mg
P = 0.281
P = 0.324
P = 1,000
P = 0.726 P = 0.491 P = 1,000
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
59
Hendaknya pasien didukung untuk terus berada dalam terapi dan tidak keluar dari terapi hingga rehabilitasi sosial telah tercapai dengan memuaskan dan pasien tidak lagi menggunakan heroin selama paling kurang 1 tahun. Dan, jika pasien keluar dari terapi dan mengalami relaps, sebaiknya mereka diterima untuk segera mungkin kembali mengikuti terapi rumatan metadon dan memasuki fase induksi kembali dengan dukungan penuh staf terapi. Sebaliknya B. Nosyk et al (2009) menemukan pasien yang mengalami terapi multiepisode cenderung untuk bertahan pada terapi dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan periode sebelumnya. Dengan demikian perlu diberikan dukungan terhadap pasien drop out yang bermaksud kembali mengikuti terapi
untuk mendapatkan outcome yang lebih baik dari terapi
sebelumnya. 4.8 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian retrospektif, sehingga terdapat beberapa keterbatasan sebagai berikut: a.
Dalam meneliti efek dosis terhadap retensi, tidak dicermati pengaruh tingkat keparahan ketergantungan dan pelayanan psikososial terhadap retensi . Analisis dilakukan pada data keluhan gejala putus obat atau efek samping pasien yang terbatas pada jenis keluhan tanpa dilengkapi dengan tingkat keparahan sehingga tidak terukur kecenderungan perbaikan atau perburukan kondisi pasien. Selain itu, keluhan yang terkait dengan masalah psikis sering kali tidak tercatat atau ditemukan.
b.
Analisis data interaksi obat terbatas hanya pada obat yang tercatat pada rekam medis, belum terdapat data terintegrasi dan kemungkinan terjadi penggunaan obat lain yang tidak terdata.
c.
Data hasil pemeriksaan fungsi hati pasien terapi rumatan metadon tidak terkumpul dan tidak dilakukan secara periodik, sehingga tidak dapat dilakukan analisis terhadap pengaruh pemberian berbagai kisaran dosis metadon terhadap fungsi hati.
d.
Data yang terkumpul pada pasen yang mengalami multiepisode masih sangat terbatas, perlu dilakukan penelitian yang melibatkan lebih banyak Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
60
pasien serta mengeksplorasi kaitan antara motivasi serta kepuasan pasien terhadap retensi terapi. Walaupun demikian, penelitian mengenai hubungan dosis metadon dan retensi belum dilakukan di RS Ketergantungan Obat dan RS Fatmawati, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaksanan terapi dimasa depan serta perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
61
BAB 5 KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: a.
Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran 20-40 mg); dosis 2 minggu terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran 15-80 mg), dosis rumatan terkecil rata-rata= 57,82 mg (kisaran 15-115 mg), dosis rumatan terbesar ratarata = 78,45 mg (kisaran 25-210 mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38 mg (kisaran 22,5-165 mg).
b.
Nilai retensi 1 tahun atau lebih = 46,8% .
c.
Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000). Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan ratarata menunjukkan hasil tidak bermakna, (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103).
d.
Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak mempengaruhi retensi
e.
Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode: tidak terdapat hubungan antara dosis dan retensi baik pada episode pertama maupun pada episode kedua
5.2
Saran
Berikut adalah beberapa saran untuk penelitian terkait dosis metadon dan terapi rumatan metadon dimasa yang akan datang: a.
Penelitian prospektif mengenai hubungan dosis metadon dan retensi dengan mempertimbangkan tingkat keparahan gejala putus obat menggunakan skala putus opiat dan intensitas craving dan pelayanan psikososial.
b.
Penelitian prospektif mengenai dosis metadon yang diberikan dikaitkan dengan efek interaksi obat terhadap efektifitas terapi dan kejadian efek samping. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
62
c.
Penelitian prospektif yang mengamati pengaruh pemberian bermacam kisaran dosis metadon jangka panjang termasuk efek tehadap fungsi hati.
d.
Penelitian
mengenai
terapi
rumatan
metadon
yang
mengalami
multiepisode yang melibatkan lebih banyak pasien serta mengeksplorasi kaitan antara motivasi serta kepuasan pasien terhadap retensi terapi. e.
Penelitian terhadap hubungan dosis dengan keluhan yang menggunakan skala yang terukur sehingga dapat diketahui kecukupan besaran dosis yang diberikan untuk mengurangi keluhan pada berbagai periode waktu.
f.
Farmasis lebih berperan dalam pemberian konsultasi kepada pasien maupun petugas kesehatan lain terkait untuk mencegah timbulnya persoalan terkait pengunaan metadon.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
63
DAFTAR PUSTAKA Ali Gowing, L., Ali, R. & White, J. 2000, ‘The Management of Opioid Withdrawal’, Drug and Alcohol Review, vol. 19, pp. 309–318. In Treatnet Modul C: Modul 2- Leaders Guide . Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)- USAID, 2007, Managing Opioid Dependence: Treatment and Care for HIV Positive Injecting Drug Users, Jakarta: ASEAN Secretariat. Baxter, K., ed., Stockley’s Drug Interactions, Eight Edition, London: Pharmaceutical Press, 2008. B.J. Collett, Opioid tolerance: the Clinical Perspective, British Journal of Anaesthesia 1998; 81:58-68. Badan Narkotika Nasional (31 Januari 2010) 3,6 Juta Warga Indonesia Gunakan Narkoba,. (7 Desember 2009). Http://www.BNN.go.id./ Barnett PG, Hui The cost-effectiveness of methadone maintenance, Mt. Sinai J Med, 2000- Oct Nov;67,5-6, 365-74) Bell, James, Tracy Burell, Devan Indig, Stuart Gilmour, Cycling In and Out Treatment; Participation Methadone Treatmentin NSW, 1990-2002. Drug and Alcohol Dependence, 81 (2006) 55-61. Birkitt, DJ, Discussion Paper : Drug Interactions with Methadone: Pharmacokinetics, Proceedings of expert workshop on the induction and
stabilization
of
Patients
on
methadone.
www.australiansplantauthorithy.gov.au. Booth RE. Karen F Corsi, Susan K. M , Factors Associated with Methadone Meintenance Treatment Retention among Street-Recruited Injection Drug Users, Drug and Alcohol Dependence 74 (2004) 177-185. Brady et al., Methadone Maintenance Dose and Rate of Induction. Abstract. J. Addiction Disease, 24(3) 2005. Brown R.T. and Megan Zueldorff, Opioid Substitution with Metadone and Buprenorphine: Sexsual Disfunction as a Side Effect of Therapy, Heroin Addict Relat Clin Probl 2007; 9(1):35-44.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
64
Cacciola,
J.S et al, Treatment outcomes: First time versus treatment –
experienced clients, Journal of Substance Abuse Treatment 28 (2005) S13-S22. Caplehorn J, Bell J, Methadone Maintenance Treatment, Britain has been overcommitted to pshychological theories of drug dependence, British Medical Journal, 310, 463, 1995. Collet B.J., Opiod tolerance: the clinical perspective, British Journal of Anaesthesia 1998; 81:58-68. Corkerey, J.M. et al, The effects of methadone and its role in fatalities,(2004) Hum. Psycopharmacol Clin Exp 2004; 19;565-576. Crettol,
Severine.,
Chin,
B.
Eap.,
2007,
Pharmacokinetic
and
Pharmacogenetic Factors Influencing Methadone Plasma Levels, Heroin Addict Rela, Clin Probl 2007;9(2):39-46. Dickinson, G.L., et. al. (2006).
A six-year evaluation of methadone
prescribing practices at a substance misuse treatment centre in the UK, Journal of Clinical Pharmacy and Theraupetics (2006) 31, 477 – 484. D’Ippoliti Daniela, Marina Davoli, Carlo A Ferucci, Fulvia Pasqualini, Anna Maria Bargagli, Retention in Treatment of Heroin Users in Italy; the Role of Treatment type and of methadone maintenance dosage, Drug and Alcohol Dependence 52 (1998) 167-171. Day. R., 1999, Drug Interactions-Definitions and Clinical Perspective, Proceedings of expert workshop on the induction and stabilization of Patients on methadone. www.australiansplantauthorithy.gov.au. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007). Modul dan Kurikulum Pelatihan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Jakarta. Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon, Lampiran Kepmenkes No. 499/Menkes/SK/VII/ 2006 tanggal 17 Juli 2006. Departemen Kesehatan. (4 januari 2010). Jumlah Kumulatif AIDS di Indonesia 18.442 Kasus (14 Desember 2009).
Http://www.
Depkes,go.id/.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
65
Dolan, Kate A et al, Four-year follow-up of imprisoned male heroin users and methadone treatment: mortality, re-incarceration and hepatitis C infection, Addiction, volume 100 Issue 6, pages 820-828, 2005. Donny E.C., Walsh, S.L., Bigelow,G.E. & Eissenberg T & Stitzer (2002), High Dose Methadone Produse Superior opioid blockade and comparable withdrawal suppression to lower doses ini opioid dependent humans,Abstract. Psichopharmacology (Berl), 161. 201 – 212. Donny, E.C., et al, Methadone doses of 100 mg or greater are more effective than lower doses at suppressing heroin self administration in opioiddependent volunteers, Addiciton, 100 1496 – 1509, 2005 Eap, Chin.B., Thierry Buclin, Pierrre Baumann, Interindividual Variability of the Clinical Pharmacokinetics of Methadone, Clin. Pharmacokinet. 41 (14), 1153-1195, 2002. E. Lin et al., Correlates of Methadone Client Retention: A Prospective Cohort Study in Guazhou Province China, International Journal of Drug Policy 20 (2009) 304-308. Edwards, SH. et al. Clinical Guidelines and Procedures for the use of Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence, Australian Government Department of Health and Ageing. Canberra: 2003. Ferrari A., Ciro Pio Rosario, Alfio Bertolini, Emilio Sternieri, 2004, Methadone
–
metabolism,
pharmacokinetics
and
interactions,
Pharmacological Research 50 (2004) 551-559. Giacomuzzi S.M., A. Khreis, Y. Riemer, K. Garber and M.Ertl, Buphrenorphine and Methadone Maintenance Treatment – Sexual Behaviour and Dysfunction Prevalence, 2009, Letters in Drug Design & Discovery, 2009, 6, 13 Goldsimth, D.S., et al, Methadone Folkware: Beliefs about Side Effects and Their Impact on Treatment, Human organization, Vol. 43, No. 4, 1984. Goldstein A and James Herera, Heroin addicts and methadone treatment in Albuquerque: a 22-year follow up, Drug and Alcohol Dependence, Vol. 40, Issue 2, December 1995, 139-150. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
66
Goldstein, Avram, (20 Februari 2010), Neurobiology of Heroin Addiction and of Methadone Tratment, (10/23/2000). http://www.aatod.org/19983.html Hanna J. et al, Within – and between- subject variability in methadone pharmacokinetics and pharmacodynamics in methadone maintenance subjects, Br.J.Clin. Pharmacol. 60:4, 404-413. 2005. Hansten, Philip D., John T. Horn, Drug Interactions: Analysis and Management, Fact and Comparisons, 2000. Henry-Edwards, Sue., et al., Clinical Guidelines and Procedures for the Use of Methadone in the Maintenance Treatment of Opioid Dependence, in Pharmacotherapies for The Treatment of Opioid Dependence, Mattick, Richard P., ed., New York: Informa Healrhcara, 2009. International Centre for Advancement of Adriction Treatment. 2009. Methadone
Treatment:
Detoxification,
Pharmacological
and
Rationale,
Methadone
Use
in
Maintenance,
www.opiateaddictionrx.info/ J.A. Trafton, Jared Minkel, Keith Humphreys, Determining Effective Methadone Doses for Individual Opioid-Dependent Patients, Plos Medicine, March 2006, Vol 3, Issue. Jeff Ward et al Methadone Maintenance Treatment and Other Opioid Replacement Therapies. Amsterdam, Harwood Academic Publishers, 1998, p.214. Jenkins, AJ and Edward J. Cone, (1998).
Pharmacokinetics: Drug
Absorbstion, Distribution, and Elimination. Karch, S.B and William Meil, ed. .In Drug Abused Hand Book, Florida: CRC Press LLC. Joseph, Herman, Sharon Stancliff, John Langford. (2000).
Methadone
Maintenance Treatment (MMT): A Review of Historitical dan Clinical Issues.
The Mount Sinai Journal of Medicine Vol 67 Nos. 5 & 6
October/November 2000. Kasper, Dennis L., et. al., Harrison’s Manual of Medicine, 16th ed., New York, McGraw-Hill, 2005.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
67
Katzung, Betram G., Basic & Clinical Pharmacology, 10th Ed. New York, McGraw-Hill Medical, 2007. Kosten, Thomas R. and P. George, The Neurobiology of Opiod Dependence : Implication for Treatment, Research Reviews -The Neurobiology of Opioid Dependence, 2002. Liu, Enwu., et al, 2009, Correlates of methadone client retention : A prospective cohort study in Guizhou province, China., International Journal of Drug Policy 20 (2009) 304 – 308. Luscher, Christian, 2007, Drug of Abuse. In Basic & Clinical Pharmacology, 10th ed., Katzung BG. Ed., New York: McGraw-Hill Company, 2007. Magura S, Nwakeze PC., Demsky SY., Pre-and in-treatment predictors of retention in methadone treatment , Addiction Vol 93 No. 1 51-60., 1998 Marsch LA, The Efficacy of methadone maintenance interventions in reducing illicit opiate use, HIV risk behaviors and criminality; a meta analysis, Addiction, 1988 Apr;93(4):512-32. Methadone Maintenance Guidelines, 2005. Miguel del rio, Annie Mino, Thomas V Perneger, 1997, Predictors of patient retention in a new established methadone maintenance treatment programme, Addiction (1997) 92 (10), 1353-1360. National Treatment Agency for Substance Misuse (2005). Methadone Dose and Methadone Maintenance treatment. National Treatment Agency for Substance Misuse, (2005). Retaining Clients in Drug treatment. London. Nosyk B., et. al. 1999, Proportional Hazards Frailty Models for Recruitment Methadone Maintenance Treatment, Abstract. American Jour of Epid 2009 170(6):783-792 Novick et al, 1990, Absence of antibody to human immunodeficiency virus in long-term, socially rehabilitated methadone maintenance patients, Arch Intern Med. 1990 Jan;150(1):97-9 NSW Health Department, 1999. NSW Methadone Maintenance Treatment Clinical Practice Guidelines. Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
68
O’Brien Charles, P, 2006 , Drug Addiction and Drug Abuse, In Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of Therapeutic , 11th , 2006 Ottomanelli G., Methadone Patients and Alcohol Abuse, J of Substance Abuse Treatment, Vol 16, Issue 2, 113-121 Oviedo-Jokes, Eugenia, et al., Deacetylmorphine versus Methadone for the Treatment of Opioid Addiction, N Eng J Med 361:8, 2009 Payte, Thomas J., Methadone Treatment. Safe Induction Techniques. Heroin Add & Rel Clin Probl 2003; 6 (1): 35-42. Peles E, Shaul Schreiber, Miriam Abelson, Factors Predicting Retention in Treatment: 10-year experience of a methadone maintenance rtreatment (MMT) clinic in Israel, Drug and Alcohol Dependence 82 (2006) 211217. Preston KL, Umbricht A, Epstein DH.
Methadone Dose increase and
abstinence reinforcement for treatment heroin use during methadone maintenance, Arch Gen Psychiat 2000; 57:395-404. Saxon et al., Pre-treatment characteristic program philosophy and level of ancillary services as predictors of methadone maintenance treatment outcome. Abstract. Addiction 91,1197 – 1209. Stephen J, Heishman, ed., 1998. Pharmacodynamics, In . In Drug Abused Hand Book, Florida: CRC Press LLC. Strike C.J., William Gnam, Karen Urbanoski, Benedikt Fischer, David C. Marsch, Margaret Millson.
Factors Predicting 2-year Retention in
Methadone Maintenance Treatment for Opioid Dependence. Addictive Behaviors 30 (2005) 1025 – 1028. The College of Phycisians and Surgeon of Ontaria, (2005).
Methadone
Maintenance Guidelines, Ontario. Toombs, JD, (March 12 2008). Oral Methadone Dosing for Chronic Pain, htpp:/pain-topics.org/pdf/.(17 Feb 2010). Trafton, Jodie A., Jared Minkel, Keith Humphreys, 2006, Determining Effective Methadone Doses for individual Opioid-Dependent Patients, Plos Medicine, Vol.3 Issue 3.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
69
United Nations Office on Drugs and Crime. (2008). Principles of Drug Dependence Treatment. United Nations Office on Drugs and Crime. (2009). World Drug Report, Viena, DC: Author Vendramin,
Andrea.,
Anella
M.
Sciacchitano,
Pharmacology
and
Neurochemistry of Methadone, Heroin Addict Relat Clin Probl 2009, 11(3) : 11-28. Villafranca S.W., John D. McKellar, Jodie A. Trafton, Keith Humphreys. Predictors of Retention in Methadone Programs: A Signal Detection Analysis. Drug and Alcohol Dependence 83 (2006) 218 -224. White,
Jason
M,
(1999).
Drug
Interactions
with
Methadone:
Pharmacodynamics. In Proceedings of Expert Workshop on the Induction
and
Srabilisation
of
Patients
onto
Methadone.
http://www.australianplanauthorithy.gov/au/. 10 Januari 2010. Wodak, Alex, (2001). Drug Treatment for Opioid Dependence, Australian Prescriber, Vo. 24 No.1 2002. World Health Organization. (2004).
WHO/UNODC/UNAIDS position
paper : Substitution maintenance therapy in the management of opioid dependence and HIV/AIDS prevention. World Health Organization. (2009). Guidelines for Psychosocially Assisted Pharmacological Treatment of Opioid Dependence.
Geneva: DC:
Author World Health Organozation (2008), Operational Guideline for the Management of Opioid Dependence in South East Asia Region. New Delhi, DC: Author. Yi-jung Li et al, Electroacupuncture Treatment Normalized Sleep Disturbanced on Morphin withdrawal Rats (6 Juli 2010), Oxford University Press. http://ecam.oxfordjournals.org./cgi/content/full Zevin Shoshana and Benowitz Neal L (1998), In Drug Abused Hand Book, Florida: CRC Press LLC.
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
70
Lampiran 1
Alur Penelitian Pencatatan nomer rekam medis dan nama pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon di RS. Ketergantungan Obat dan RS. Fatmawati Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2010 dan memenuhi kriteria inklusi
Pengumpulan rekam medis di Instalasi Rawat Jalan Metadon
Pencatatan data sampel pada lembar pengumpul data
Validasi data
Pengolahan Data
Penyusunan Hasil Penelitian
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
71 Lampiran 2 LEMBAR PENGUMPUL DATA Nama Pasien
No. RM
Entry date
Sex
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Status pernikahan
Riwayat Penyalahgunaan Obat N
Riwayat Terapi
Status terapi
NO RM
NAME
Obat bersama an
Jan tgl/ dosis
Retensi
Feb tgl/ dosis
Dosis awal
Dosis 2 minggu
Maret tgl/ dosis
April tgl/ dosis
Dosis rumatan terkecil
Mei tgl/ dosis
A
C
O
Dosis rumatan terbesar
Dosis rumatan terbesar
Keluhan
Juni tgl/ dosis
Juli tgl/ dosis
Agustus tgl/ dosis
B
A
Sept tgl/dosis
K
H
Riwayat Hukum I
Okt Nov tgl/dosis tgl/ dosis
Des tgl/ dosis
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
72 Lampiran 3
Rekapitulasi Data Pasien Rumatan Metadon
Total jumlah pasien
RSKO Jakarta (2007-2008) 197 (100)
RS. Fatmawati (2006-2008) 407 (100)
Total 604 (100)
Pindahan /Rujukan
23
62
85 (14)
ARV
34
41
75 (12.4)
Episode 1tidak sampai rumatan
87
126
213 (35.26)
Inklusi
53
178
231 (38.25)
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
73 Lampiran 4 Frekuensi Distribusi Dosis Awal Metadon
Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
20.00
80
34.6
34.6
34.6
25.00
95
41.1
41.1
75.8
30.00
52
22.5
22.5
98.3
35.00
2
.9
.9
99.1
40.00
2
.9
.9
100.0
Total
231
100.0
100.0
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
74 Lampiran 5 Frekuensi Distribusi Dosis Metadon 2 Minggu Terapi
Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
15.00
1
.4
.4
.4
20.00
1
.4
.4
.9
22.50
1
.4
.4
1.3
25.00
7
3.0
3.0
4.3
27.50
1
.4
.4
4.8
30.00
13
5.6
5.6
10.4
35.00
23
10.0
10.0
20.3
40.00
36
15.6
15.6
35.9
45.00
34
14.7
14.7
50.6
47.50
2
.9
.9
51.5
50.00
47
20.3
20.3
71.9
55.00
18
7.8
7.8
79.7
57.50
1
.4
.4
80.1
60.00
19
8.2
8.2
88.3
65.00
16
6.9
6.9
95.2
70.00
5
2.2
2.2
97.4
75.00
2
.9
.9
98.3
80.00
4
1.7
1.7
100.0
Total
231
100.0
100.0
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
75 Lampiran 6 Frekuensi Interaksi Obat No
Nama Obat
Frekeuensi kejadian 13
1
Siprofloksasin
2
Flukonazol
4
3
Deksametason
3
4
Nitrazepam
1
5
Subutex
3
6
Dektromethrofan
1
7
Tramadol
7
8
Ketokonazol
2
9
Alprazolam
11
10
Alcohol
9
11
Clozapin
4
12
Codein
2
13
Bromazepam
1
14
Fluoksetin
1
15
Eritromisin
1
16
Salbutamol
2
17
Estazolam
4
18
Rifampisin
6
19
Simetidin
1
20
Klaritin
1
21
Klobazam
2
22
Cannabis
3
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
76
Lampiran 7 Interaksi Obat Pada Terapi Rumatan Metadonab Obat yang berinteraksi Ketokonazol
Efek yang timbul
Mekanisme
Konsentrasi metadon meningkat
Penghambatan kuat CYP3A4
Flukonazol
Bioavailabilitas metadon meningkat (AUC + 35%; bersihan berkurang 24%).
. Flukonazol bekerja menghambat isoenzim CYP3A4 dan CYP2C9 sehingga bersihan metadon berkurang c
Eritromisin Deksametason
Konsentrasi metadon meningkat Perpanjangan interval QT dapat menyebabkan aritmia Konsentrasi metadon menurun
Penghambatan CYP3A4 Efek aditif perpanjangan interval QT metadon dan klozapin Menginduksi CYP3A4
Diazepam
Konsentrasi metadon meningkat
Substrat CYP3A4
Klozapin
Konsentrasi metadon meningkat Perpanjangan interval QT dapat menyebabkan aritmia Konsentrasi metadon meningkat
Substrat CYP3A4 dan CYP2D2 Efek aditif perpanjangan interval QT metadon dan klozapin Substrat CYP3A4 dan CYP2D7
Alprazolam (benzodiazepine) Siprofloksasin
Toksisitas alprazolam meningkat
Interaksi potensial, menekan SSP , menurunkan metabolisme alprazolam Penghambatan CYP3A4 dan CYP1A2
Tramadol
Konsentrasi metadon menurun
Alkohol
Konsentrasi metadon menurun
Tramadol
Konsentrasi metadon meningkat
Dapat menggeser metadon pada reseptor µopioid sehingga dapat terjadi putus obat Menginduksi aktifitas CYP3A4, Menurunkan
Rekomendasi Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Obat anti jamur yang tidak menghambat CYP3A4 (misalnya terbinafin) sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang menerima metadon. Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan). Hindari penggunaan bersamaan Monitor timbulnya efek (misalnya depresi pernafasan). Hindari penggunaan bersamaan Dilakukan
pengamatan
berlebihan
pasien
secara
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
77
fraksi bebas metadon Fluoksamin
Konsentrasi metadon meningkat (+20 40%)
Domperidon
Perpanjangan interval QT
Ranitidin Simetidin
Timbul toksisitas narkotik
Penurunan metabolisme
Diberikan secara hati-hati, khususnya untuk pasien risiko tinggi Hindari penggunaan secara bersamaan pada pasien dialysis dan gunakan hari-hati pada kondisi lain.
Dekstromethrophan
Toksisitas dekstramethropan oleh metadon; dektramethropan menginduksi delirium Menimbulkan toksisitas bromazepam
Metadon menghambat CYP2D6
Hindari penggunaan bersamaan
Metadon menghambat metabolisme
Hindari penggunaan bersamaan
Bromazepam
Fluoksamin menghambat CYP1A2, CYP2C19 dan CYP3A4; metadon dapat dimetabolisme oleh lebih dari 1 enzim tersebut.
seksama, dan jika diperlukan penyesuaian dosis metadon dialkukan berdasarkan tanda klinik Monitor timbulnya efek berlebihan (misalnya depresi pernafasan).
Sumber: Ferrari et al/ Pharmacological Research 50 (2004) 551-559, catt: telah diolah kembali
Berdasarkan literatur: a Ferrari, Anna, Coccia CPR., Bertolini, A., Sternieri, E., Methadone- metabolism, pharmacokinetics and interaction, Pharmacological Research 50 (2004) 551-559 b Philip D. Hansten and John T. Horn. Drug Inteactions : Analysis and Management, 2000 c Vendramin A, Anellla M. Sciacchitano, Pharmacology and Neurochemistry of Methadone, Heroin Addict Relat Clin Probl 2009;11(3): 11-28
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
78
Lampiran 8 Profil Metadon MEKANISME KERJA / PENGGUNAAN • Berikatan dengan reseptor opiate di SSP, menyebabkan hambatan pada penghantaran rasa sakit, mengubah persepsi dan respon rasa sakit; menyebabkan depresi SSP d. • Manajemen ketergantungan opioid . • Digunakan juga untuk mengatasi rasa sakit sedang hingga paraha.
FARMAKOKINETIKA/ FARMAKODINAMIK
ADR/MONITORING
INTERAKSI
Memiliki efek lebih lama dibandingkan morfin • Metadon dimetabolisme diliver terutama melalui sitokrom P450 isoenzim CYP3A4; dan cepat terakumulasi pada pemberian berulang. sitokrom CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19 dan CYP1A2 juga dianggap berperan minor . • Memiliki efek depresan pernafasan yang lebih konsekuensinya, penggunaan bersama obat besar dibandingkan morfin, walaupun efek yang menginduksi atau menghambat insoenzim sedatif lebih rendah, pada pemberian berulang tersebut menyebabkan perubahan konsentrasi dapat menyebabakan tanda sedasi. metadon plasma • Perpanjangan QT dan torsade de pointes dilaporkan jarang terjadi, khususnya pada dosis • Risiko terjadinya gangguan jantung pada pasien yang mendapatkan metadon yang juga diatas 100 mg, menggunakan obat yang mempengaruhi • Udem paru pada overdosis bisanyanya konduksi jantung atau keseimbangan elektrolita. menyebabkan kefatalana. • Dapat menyebabkan konstipasi, pusing, • Anestetik barbiturate: efek aditif. Simetidin, protease inhibitor: monitor peningkatan efek mengantuk perut kembung, mual, dan flush depresan pernafasan dan SSP. Depresan SSP: pada beberapa hari pertama. Kesulitan (tranquilizer, sedative, alcohol): efek aditif bernafas,nafas pendek, irama jantung tak depresan SSP. Fluoksamin: awasi peningkatan beraturan, ansietas atau tremorb efek depresan perrnafasan, monitor tanda dan • Tanda /gejala over dosis: miosis, depresi gejala putus zat jika fluoksamin dihentikan. pernafasan, kulit dingin, sirkulasi kolaps, Hidantoin, barbiturate, rifampin: menurunkam kejang, hambatan kardiopulmonari, efektifitas metadon. apnea,hipotensi, koma, kematianc. Pengasam urin : meningkatkan bersihan • Parameter yang dimonitor: status pernafasan d metadonc. dan mental , tekanan darah a Martindale: The Complete Drug Reference; bMedical Drug Reference2.0; cAtoZDrug Facts; d Lacy , C.F., et al, Drug Information Handbook, 2007 • Mulai kerja: Oral analgesic : 0,5 – 1 jam, efek puncak: penggunaan oral kontinyu 3- 5 hari. • Durasi kerja: 4-8 jam, meningkar 22-48 jam pada pemberian ulang • Distribusi: V dis 1-8 L/kg • Ikatan protein 85% - 90% • Metabolisme: hepatik ; N demetilasi terutama melalui CYP3A4, CYP2B6, dan CYP2C19 menjadi metabolit tidak aktif. • Bioavailabilitas: 36%-100% • Waktu paruh eliminasi: 8-59 jam; dapat lebih lama padapH alkalin, menurun selama kehamilan • Waktu mencapai kadar puncak 1-7,5 jam • Ekskresi: urin (< 10% dalam bentuk tidak berubah); meningkat pada pH > 6 • Pada ClCr < 10 ml/menit: berikan 50% hingga 75% dari dosis normal • Pada kerusakan hepatic: hindari penggunaan pada penyakit liver yang parahd
•
Universitas Indonesia
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010
Hubungan Dosis..., Helsy Pahlemy, FMIPA UI, 2010