UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KELOMPOK ASSERTIVENESS TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ASERTIF IBU DALAM MENGELOLA EMOSI ANAK USIA SEKOLAH (7-12 thn) DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA BOGOR BARAT
Sidang Hasil Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Oleh: Evin Novianti NPM 0806446252
PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2010
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KELOMPOK ASSERTIVENESS TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ASERTIF IBU DALAM MENGELOLA EMOSI ANAK USIA SEKOLAH (7-12 thn) DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA BOGOR BARAT
Oleh: Evin Novianti NPM 0806446252
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA TAHUN 2010
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
iv Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga proposal tesis dengan judul “Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah (7-12 tahun) di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010“ dapat terwujud tepat waktu yang dijadwalkan.
Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat disusun. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat : 1. Ibu Dewi Irawaty,M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Ibu Krisna Yetti, SKp,M.App.Sc, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3. Ibu Dr. Budi Anna Keliat, SKp, M.App.Sc, selaku pembimbing I tesis yang telah membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini. 4. Ibu Tuti Nuraini,SKp.MBioMed, selaku pembimbing II tesis, yang dengan sabar membimbing penulis, senantiasa meluangkan waktu, dan sangat cermat memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini. 5. Ibu Herni Susanti, MN sebagai co-pembimbing yang membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan juga sangat cermat memberikan masukan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
v Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
6. Rekan-rekan angkatan IV Program Magister Kekhususan Keperawatan Jiwa dan semua pihak yang telah memberikan dukungan selama penyelesaian tesis ini
Semoga amal dan budi baik bapak dan ibu mendapat pahala yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa. Mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Jakarta, Juli 2010
Penulis
v Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juli 2010 Evin Novianti Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah (7-12 tahun) di Kelurahan Balumbang Jaya Kota Bogor tahun 2010 x + 113 hal + 18 tabel + 5 skema + 13 lampiran Abstrak Pada masa usia sekolah, anak belum mampu mengolah masalahnya dengan tepat, anak rentan berperilaku emosional. Tujuan penelitian memperoleh gambaran pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training (AT) terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah. Sampel pada kelompok intervensi dan kontrol masing-masing 32 orang. Terapi kelompok AT membantu ibu mengelola emosi anak melalui komunikasi asertif, dilakukan 6 sesi. Hasil penelitian memperlihatkan peningkatan kemampuan komunikasi asertif ibu pada kelompok yang mendapat AT meningkat secara bermakna (p-value<0,05). Pada kelompook ibu yang tidak mendapat AT, kemampuan komunikasi ibu menurun secara bermakna (pvalue<0,05). Kemampuan anak mengelolaemosi meningkat bermakna (p-value<0,05) yang ibunya mengikuti AT, sedangkan pada kelompok yang ibunya tidak mendapat AT menurun bermakna (p-value<0,05). Terapi ini direkomendasikan pada pelayanan kesehatan di masyarakat khususnya anak usia sekolah. Kata kunci: Kemampuan komunikasi orang tua, mengelola emosi, terapi kelompok Assertiveness Training. Daftar pustaka 53 (1971-2010)
viii Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Tesis, July 2010 Evin Novianti The Influence of Assertiveness Training Group Therapy To Mother’s Ability of Communication to Arrange children emotion (7-12 years) In District of Balumbang Jaya, Bogor 2010 x + 110 page + 18 tables + 5 scheme + 13 appendixs
Abstract The child not yet going to mix immediately the problem, it can be emotional. The aimed of this research was to get comprehensive picture about of influence Assertiveness Training (AT) group therapy to ability of assertive communication. A sample consist of 32 responden intervention, 32 control. AT group therapy help the mother to arrange their child emotion with assertive communication, done in six sessions. Results of this research showed significant increase parents ability of communication and impact to emotional quality of child (p-value<0,05). It recommended to do regulary of Assertiveness Training group therapy in the community based as community mental health for family who have school age to arrage emotion.
Keyword : ability of parent communication , arrange emotion, Assertiveness Training group therapy. Bibliography : 53 item (1971 – 2010)
ix Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya
: Evin Novianti : 0806446252 : Pasca Sarjana : Ilmu Keperawatan : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training Terhadap Kemampuan Komunikasi Asertif Ibu dalam Mengelola Emosi Anak Usia Sekolah (6-12 thn) di Balumbang Jaya Bogor Barat Tahun 2010.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 20 Juli 2009 Yang menyatakan
( Evin Novianti )
vii Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
:
Evin Novianti
NPM
:
0806446252
Tanda tangan
:
…………………………
Tanggal
:
20 Juli 2010
iii Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
DAFTAR SKEMA
Hal Skema 2.1 Rentang respon Asertif ........................................................................
29
Skema 3.1 Kerangka Teori Penelitian
………………………………….....
46
Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
.........................................................
46
Skema 4.1 Desain penelitian pre dan post test .....................................................
72
Skema 4.2 Prose Kerja Terapi Kelompok Assertiveness Training............................ 81
xiv Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Tabel 5.10
Tabel 5.11 Tabel 5.12 Tabel 5.13 Tabel 5.14
Definisi operasional variabel independent dan dependent………………. Sampel penelitian di Balumbang Jaya…………………………………… Tingkat reabilitas alpha…………………………………………………. Teknik analisa variabel penelitian……………………………………….. Analisis ibu berdasarkan usia, pendapatan keluarga, jumlah anak pada kel.intervensi & Kontrol ……...…………………………………………. Distribusi karakteristik ibu menurut tingkat pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan………………………………………………………... Analisis kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training………………………………………... Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training……………………… Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training……………………...…………... Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu antara kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training dan yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training……………………… Analisis selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah mendapat terapi kelompok Assertiveness Training………... Analisis kemampuan anak mengelola emosi anak sebelum ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training………………………………... Analisis perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training………… Analisis kemampuan anak mengelola emosi antara kelompok yang ibunya mendapat terapi kelompok Assertiveness Training dan yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training………………... Analisis selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu diberikan terapi kelompok Assertiveness Training…….. Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif…………………………………. Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif…………………….. Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif……………………………………………..
xiii Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Hal 47 55 61 65 72 73 74
76
77
79 81 83 84
85 85 86 87 89
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Penjelasan tentang penelitian
Lampiran 2.
Lembar persetujuan
Lampiran 3.
Kuesioner A (Data diri ibu)
Lampiran 4.
Kuesioner B (kemampuan komunikasi asertif ibu)
Lampiran 5.
Kuesioner C (kemampuan anak mengelola emosi)
Lampiran 6.
Kisi – kisi soal kemampuan komunikasi asertif ibu
Lampiran 7.
Kisi – kisi soal kemampuan anak mengelola emosi
Lampiran 8.
Modul Terapi Kelompok Assertiveness Training
Lampiran 9.
Keterangan Lulus Uji Etik
Lampiran 10. Keterangan Lulus Uji Kompetensi dan Expert Validity Lampiran 11. Surat Izin Penelitian FIK-UI Lampiran 12. Surat Izin Penelitian Kecamatan Bogor Barat Lampiran 13. Daftar Riwayat Hidup Peneliti
xv Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………………...... HALAMAN JUDUL.....................………………………………………........ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.............................................. HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... KATA PENGANTAR....................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH......................... ABSTRAK..................……………………………………………………....... ABSTRACT....................................................................................................... DAFTAR ISI………………………………………………………………...... DAFTAR TABEL.............................................................................................. DAFTAR SKEMA............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..... BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah................................................................. 1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................
Halaman i ii iii iv v vii viii ix x xii xiii xiv 1 1 10
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................
11 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
15
2.1 Tumbuh Kembang anak sekolah ……....…………………........... 2.2 Perkembangan emosi anak usia sekolah……….....………….…... 2.3 Kecerdasan Emosional……………...…………………….……... 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak .... 2.5 Upaya mengingkatkan perkembangan emosi anak usia sekolah.... 2.6 Terapi Kelompok Assertiveness Training pada orang tua………..
x Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
15 19 20 24 27 38
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL ............................................................. 3.1 Kerangka Teori ………………………………………………….. 3.2 Kerangka Konsep Penelitian.......................................................... 3.3 Hipotesis......................................................................................... 3.4 Definisi Operasional....................................................................... BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 4.1 Desain Penelitian............................................................................ 4.2 Populasi dan sampel .................................................................... 4.3 Tempat Penelitian.......................................................................... 4.4 Waktu Penelitian............................................................................ 4.5 Etika Penelitian............................................................................... 4.6 Alat Pengumpulan Data.................................................................. 4.7 Uji coba instrumen..........................………………....…………… 4.8 Prosedur pengumpulan data............................................................ 4.9 Analisa Data
.............................................................................
BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………………. 5.1 Pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training ……….. 5.1.1 Persiapan ………………...……………………………….. 5.1.2 Pelaksanaan………………...…………………………….. 5.2 Hasil Penelitian…………………………………………………. 5.2.1 Karakteristik Ibu …………………………………………. 5.2.2 Kemampuan komunikasi asertif ibu ……………………... 5.2.3 Kemampuan anak mengelola emosi………………………
44 44 46 47 47 50 50 52 52 55 56 57 60 61 63 67 68 70 70 71 71 74 82
5.2.4 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan Komunikasi asertif ibu……………………………………
xi Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
86
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap Kemampuan komunikasi asertif ibu ……………………………
90
6.1.1 Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif……………………………………………………..
90
6.1.2 Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif ……………………………………
93
6.1.3 Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif……………………………………………………
96
6.2 Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap Kemampuan anak mengelola emosi……………………………
98
6.3 Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi asertif ibu ………………………………………… 6.4 Keterbatasan penelitian .,………………………………………. 6.5 Implikasi hasil penelitian ………………………………………
102 108 108
BAB VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan………………………………………………………... 7.2 Saran………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
110 111
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pengertian Kesehatan terus diperbarui sesuai dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat Indonesia. Undang – Undang Kesehatan terbaru tertuang di dalam UU RI nomor 36 tahun 2009 pasal 1, dikatakan bahwa arti kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan jiwa sendiri menurut Jahoda (dalam Stuart & Laraia, 2005) mempunyai arti dimana seseorang dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh dan berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai dengan kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Berkembangnya kesehatan jiwa seseorang dimulai dari masa kehamilan, dimana pada masa itu peran ibu terhadap bayi sangatlah besar. Kemampuan ibu beradaptasi menghadapi perubahan-perubahan fisik dan psikologis selama masa kehamilan sangat menentukan kualitas mental dari calon bayi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Ahmad (2002, dalam Gomma, 2006) yang menyatakan keseimbangan fisik dan mental seorang ibu memiliki pengaruh yang akan berlanjut sampai tahap melahirkan. Tentu saja perkembangan jiwa tidak berhenti sampai tahap melahirkan melainkan sampai anak tersebut menginjak masa pra sekolah, sekolah, remaja, dewasa muda, dewasa menengah, dewasa tua dan dewasa akhir. Dalam perjalanan perkembangan jiwa tersebut akan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun luar diri individu.
1 Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
2
Ciri – ciri sehat jiwa menurut Jahoda (dalam Stuart & Laraia, 2005) adalah perilaku positif terhadap diri sendiri, mampu tumbuh dan berkembang dan mampu mencapai aktualisasi diri, mempunyai integritas diri, rasa otonomi yang positif, mampu mengekspresikan realita secara tepat dan mampu menguasai lingkungan yang berubah. Sedangkan ciri-ciri sehat jiwa menurut WHO (dalam Towsend & Mary, 2009) adalah menyesuaikan diri secara konstruktif sesuai pada kenyataan, memperoleh kepuasan dari usahannya, merasa lebih puas memberi daripada menerima, saling tolong menolong dan memuaskan, menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang, mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian masalah yang konstruktif dan mempunyai kasih sayang. Dari pengertian dan ciri sehat jiwa, kesehatan jiwa adalah bagian yang terintegrasi antara sehat fisik, mental dan sosial, berkembang selaras, harmonis dengan perkembangan orang lain.
Setiap anak akan menjalani masa tumbuh kembangnya, yang tanpa disadari berpengaruh terhadap perkembangan jiwa di masa yang akan datang (Hartono, 2009). Masa perkembangan yang paling mencolok terjadi pada masa anak sekolah dimana pada masa ini anak sudah mulai memasuki sekolah dasar, suatu kegiatan yang menuntut kemampuan sosial anak. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hurlock (2008) dimana setiap upaya anak memenuhi tugas tumbuh kembangnya, anak kerap mendapat stressor baik secara fisik, psikologis maupun sosialnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ibung (2008) menemukan bahwa diantara tingkatan tugas tumbuh kembang seseorang, rentang usia sekolah (6-12 tahun) yang paling rentan mendapat stress dimana kemampuan anak dalam mengatasi masalahnya masih terbatas sedangkan interaksi sosial yang semakin luas menuntutnya untuk dapat berperilaku sesuai dengan keingingan orang lain (teman, guru, orang tua, saudara, dll). Pada usia sekolah pertumbuhan fisik anak sangat pesat, hal ini juga mempengaruhi kondisi psikis anak, dimana anak dituntut untuk aktif di luar rumah dan membuktikan bahwa dirinya mampu dan patut dibanggakan. Selain itu perkembangan emosi juga mulai berkembang, namun
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
3
di usia sekolah ini, anak belum mampu mengolahnya secara tepat sehingga anak lebih rentan untuk berperilaku emosional.
Begitu banyak tugas tumbuh kembang dan masalah yang akan dihadapi anak di usia sekolah, karenanya anak dituntut untuk meningkatkan kemampuan intelegensinya agar berhasil di bidang akademik. Keberhasilan anak seolah-olah ditentukan hanya dari faktor intelegensi, namun sebenarnya, dipengaruhi juga oleh kemampuan emosional dimana anak mampu untuk mengelola emosinya dan menyelesaikan masalahnya, inilah yang disebut dengan kecerdasan emosi. Pendapat ini dibenarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1995 dalam Gottman, 2008) bahwa kecerdasan emosional anak sama pentingnya dengan kecerdasan intelegensi. Faktor intelegensi hanya dianggap menyumbangkan 20% saja dalam keberhasilan anak, sedangkan sisanya adalah kecerdasan emosional. Penelitian Goleman (1995 dalam Gottman, 2008) membuktikan bahwa anak dengan kemampuan mengelola emosi tinggi akan mampu menguasai emosi, menjalin hubungan dengan orang lain. Perbandingan antara pengaruh IQ dan EQ inilah dipercaya bahwa kemampuan anak mengelola emosi merupakan faktor yang ikut menentukan dalam prestasi belajar dan kemampuan anak meraih kesuksesan di masa yang akan datang.
Pengertian emosi untuk semua tingkat usia sama, yaitu suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan/pikiran ditandai oleh perubahan biologis dan psikologis seseorang. Pada usia anak sekolah, lingkungan sosialnya semakin berkembang, disinilah kemampuan mengelola emosi terlihat dalam keseharian anak berinteraksi dengan lingkungannya (orang tua, guru, teman). Hal ini memperlihatkan bahwa emosi anak pada tingkat sekolah menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian anak dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, dimana nantinya anak mampu mengelola emosinya dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
4
Bentuk reaksi emosi yang dimiliki anak sekolah tidak sama dengan orang dewasa, menurut Hartono (2009) karena tuntutan sosial anak usia sekolah semakin luas dan pengalaman anak terhadap situasi yang dapat membangkitkan emosi akan lebih beragam maka respon emosi yang ditampilkan oleh anak juga berbeda. Emosi anak usia sekolah menurut Sulungbudi (2006), berupa marah yang mungkin tidak meledak-ledak lagi namun dikemas dalam bentuk lain seperti merajuk, menggerutu, mengomel, protes dan sebagainya. Letak perbedaannya adalah di faktor penyebab tercetusnya reaksi emosi dan bagaimana
cara
mengekspresikannya
(Hurlock,2008).
Emosi-emosi
tersebut
sesungguhnya lazim terdapat pada anak usia sekolah, namun karena stressor yang besar di masa sekolah dan kemampuan anak menyelesaikan masalahnya masih terbatas, anak butuh lebih banyak bimbingan dan latihan mengendalikan emosinya.
Kondisi yang dapat memunculkan emosi di usia sekolah dapat berasal dari kondisi fisik / kesehatan anak, suasana rumah, cara orang tua dalam mendidik anak, hubungan dengan para anggota keluarga, hubungan dengan teman sebaya dan bimbingan orang tua terhadap anak (Hurlock,2008). Sedangkan menurut Nurjanah (2008) faktor yang dapat mempengaruhi emosi anak adalah karakteristik anak (usia, kondisi fisik, intelegensi, jenis kelamin), kemampuan menghadapi dan menyelesaikan konflik sosial dan kondisi lingkungan seperti keluarga, lingkungan fisik anak dan lingkungan sekolah anak. Faktorfaktor dari dalam dan luar anak mempengaruhi emosi anak. Apabila anak mengalami tuntutan dari berbagai pihak ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman menyelesaikan konflik, emosi yang muncul dapat saja berupa ledakan emosi atau bahkan menutup rapat-rapat emosi tersebut maka anak cenderung membantah perintah ibu, banyak protes, tidak mau mengikuti keinginan orang tua. Agar situasi tersebut tidak berlangsung terus-menerus, dibutuhkan penataan lingkungan sekitar anak yaitu orang tua, guru, pengasuh, teman, nenek, kakek, kakak atau adik.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
5
Orang-orang di sekitar anak dapat menjadi pelatih anak dalam menyeimbangkan emosinya (Gordon, 2009), namun pelatih emosi anak yang paling baik adalah orang tua, karena sifat hubungan dipengaruhi oleh sikap percaya, suportif, terbuka dan bebas dari rasa cemas. Orang tua merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, orang tua adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan anak (Hurlock,2008). Sesuai dengan teori tumbuh kembang psikoseksual dari Sigmund Freud (dalam Rosa,2008) mengatakan bahwa orang tua berpengaruh pada perkembangan anak yang bersifat dramatik. Melalui proses belajar yaitu melihat, meniru dan melakukan apa yang dilakukan orang tuanya, anak mengadopsi perilaku orang tuanya. Menurut Tyaswanti (2009) dalam penelitiannya tentang hubungan antara orang tua dengan kreatifitas anak, dikatakan bahwa hubungan interpersonal orang tua dengan anak merupakan hubungan antar pribadi antara orang tua dengan anak yang pada dasarnya merupakan hubungan timbal balik yang dipengaruhi oleh sikap percaya, sikap suportif dan sikap terbuka. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh perilaku orang tua terhadap anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nabble (2009) tentang pengaruh antara hubungan orang tua-anak terhadap kemampuan anak mengelola emosi. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kedua variable tersebut. Dari kedua penelitian dapat dilihat bahwa secara sadar atau tidak oleh orang tua, perilaku mereka direkam, diresapi dan ditiru menjadi kebiasaan bagi anak. Hal ini karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tua sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.
Menurut Gottman dan DeClaire (2002) ada beberapa cara pembelajaran pengetahuan emosional anak yang dilakukan orang tua yaitu dengan menyadari perasaan anak, mampu berempati, menghibur dan membimbing mereka. Pola komunikasi yang hangat dan asertif antara pasangan orang tua (bapak dan ibu) akan mempengaruhi pola komunikasi dalam keluarga (Ramadhani, 2008). Antara bapak dan ibu sebagai orang tua sudah ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas, dimana bapak sebagai kepala keluarga bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga dan ibu sebagai
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
6
pendamping bapak dalam mengelola kebutuhan anak dan mengelola keuangan keluarga. Pengasuhan terbaik bagi seorang anak adalah ibunya, sebab sosok seorang ibu adalah sosok yang paling dikenal anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Papalia dan Olds (1990, dalam Ramadhani, 2008) menegaskan bahwa komunikasi anak dan ibu telah terjadi pada bulan-bulan pertama usia anak. Dalam hal ini orang tua terutama ibu yang paling paham dengan kemampuan anak mereka menyelesaikan masalahnya sehari-hari.
Orang tua dalam pola pengasuhannya berupaya menciptakan suasana yang demokratis dan hangat, namun tetap saja menemui beberapa kendala dimana orang tua tidak mampu menghadapi tangisan anak, kerewelan anak, protes anak dan sifat melawan anak. Orang tua bahkan dianggap pihak yang paling bertanggung jawab dan patut disalahkan apabila anak gagal dalam mencapai keberhasilan (Gordon, 2009). Dalam penelitan yang dilakukan oleh Gottman dan DeClaire (2009) emosi orang tua sendiri menjadi penghalang mereka untuk mampu bicara dengan anak ketika anak merasa sedih, takut atau marah. Proses penelitian yang panjang sekitar 10 tahun lamanya, menemukan bahwa anak membutuhkan orang tua untuk melatih emosi mereka. Orang tua harus meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi emosi anak.
Ketrampilan orang tua menangani anak usia sekolah menurut Knapp dan Jongsma (2002) dalam bukunya yang berjudul The Parenting Skill adalah memenuhi kebutuhan fisik anak, menjalin komunikasi yang asertif, menerapkan peraturan yang jelas di rumah, menjadi role model untuk menciptakan tanggung jawab terhadap suatu kegiatan dan membimbing anak dalam menyelesaikan masalahnya. Sedangkan kemampuan orang tua (terutama ibu) yang harus dimiliki untuk meningkatkan emosi anak menurut Gottman dan DeClaire (2008) adalah kemampuan menyadari emosi anak, mengenali emosi sebagai peluang untuk akrab, mendengarkan si anak untuk memberi label emosi dengan kata-kata dan menentukan batas-batas sambil menolong si anak memecahkan masalah. Cara yang efektif untuk mencapai kemampuan tersebut adalah dengan membangun komunikasi asertif bersama anak.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
7
Asertif mengandung arti kata ketegasan dan kebebasan mengekspresikan emosi tanpa rasa takut (Ramadhani, 2008). Sedangkan komunikasi asertif adalah komunikasi yang terbuka, menghargai diri sendiri dan orang lain. Komunikasi asertif tidak menaruh perhatian hanya pada hasil akhir saja tapi juga hubungan perasaan antar manusia (Mujiadi, 2008). Kemampuan komunikasi ibu secara asertif adalah kemampuan yang harus terus menerus dilatih dan ditingkatkan bersama anak. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang mendorong seseorang berkembang secara optimal, baik fisik maupun psikis, mengandung pesan yang jelas, positif, terbuka, dapat dipercaya dan tidak menghakimi (Ramadhani, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Elias, dkk (2003) menunjukkan bahwa kemampuan anak mengelola emosinya bisa ditingkatkan dengan cara berkomunikasi dengan anak. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Burton (1971) yaitu tentang hubungan antara komunikasi asertif orang tua dengan konsep diri anak. Dari beberapa penelitian diatas, membuktikan bahwa dengan hubungan yang baik dan hangat melalui komunikasi asertif dan penciptaan lingkungan yang kondusif dapat menumbuhkan kemampuan anak. Dengan sikap asertif yang ditunjukkan orang tua, anak akan terhindar dari ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan sesuatu yang ingin diutarakan.
Upaya ibu untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya seperti bertanya atau berkonsultasi dengan ahlinya seperti spesialis anak, psikolog, psikiater, dan lainnya. Beberapa program yang diikuti orang tua untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara positif masih saja dirasakan kekurangannya, karena tidak diberikan contoh model dan latihan tersendiri untuk melatih ketrampilan tersebut. Selain itu tidak ada juga feedback terhadap latihan ketrampilan bicara orang tua, apakah yang dilakukan sudah benar atau tidak (Ramadhani, 2008). Diperlukan suatu latihan untuk bagaimana cara berkomunikasi secara asertif di rumah, dimana orang tua nantinya sebagai pelatih anak dalam meningkatkan kemampuan emosi anak. Latihan tersebut harus dilakukan berulang-ulang dan diterapkan ke anak, sehingga memerlukan bimbingan dan arahan secara intensif dari seorang terapis (Safaria, 2009). Pelatihan
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
8
yang diperlukan oleh orang tua adalah dalam bentuk Terapi Kelompok Assertiveness Training (Towsen & Mary, 2009).
Terapi Kelompok Assertiveness Training merupakan tindakan untuk melatih seseorang mencapai perilaku assertif (Kaplan & Saddock, 2005). Pendapat yang sama dikemukan juga oleh Hopkins (2005) dimana terapi ini untuk melatih kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa disertai adanya perasaan cemas. Tujuan dari melatih dan memperbaiki kepercayaan diri seseorang dalam berperilaku (Girdano & George,1985). Menurut Fortinash (2004) tujuan Terapi Kelompok Assertiveness Training adalah mempelajari dan melatih ketrampilan interpersonal dasar seseorang. Terapi Kelompok Assertiveness Training menekankan pada proses mempelajari respon–respon asertif dalam berbagai situasi, melatih kemampuan asertif langkah demi langkah. Terapi Kelompok Assertiveness Training pada ibu yang mempunyai anak usia sekolah perlu dilakukan untuk membantu ibu menghadapi keluhan dan masalah anak di usia sekolahnya secara asertif. Assertiveness Training dilakukan dalam bentuk kelompok yang memberi kesempatan anggotanya untuk saling berbagi pengalaman, saling membantu dan menyelesaikan masalah. Sasaran dalam Terapi Kelompok Assertiveness Training bukan hanya aspek kognitif saja tapi juga aspek sikap dan psikomotor. Perubahan ketiga ranah tersebut akan tercapai apabila anggota kelompok berperan aktif selama proses melalui bermain peran setelah melihat demonstrasi/modeling beberapa ketrampilan asertif. Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis dan sering terjadi pada anggota kelompok.
Menurut Miller dan Hansen (1973) dimana perubahan perilaku yang lebih baik dapat dilakukan dengan teknik asertif. Assertiveness training merupakan tindakan untuk melatih kemampuan dasar interpersonal yang sering terganggu pada klien gangguan jiwa, melalui komunikasi yang baik, rasional, klien gangguan jiwa dapat meningkatkan sosialisasinya dengan orang lain (Wahyuningsih, 2008). Program Terapi Kelompok
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
9
Assertiveness Training juga dilakukan pada kelompok orang tua dengan ekonomi menengah ke bawah. Penelitian yang dilakukan oleh Berman dan Rickel (2008) pada 56 orang tua dengan anak usia sekolah dilatih dalam 5 sesi. Hasil penelitian didapat bahwa Terapi Kelompok Assertiveness Training mampu meningkatkan kepercayaan diri anak usia sekolah dan menciptakan lingkungan rumah sehingga keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak dapat membantu mereka menyelesaikan keluhan dan masalah anak dengan lebih asertif. Dari kedua penelitian tersebut muncullah beberapa pertanyaan, bagaimana jika kemampuan asertif orang tua khususnya ibu dilatih dan diterapkan di masa sebelum beranjak remaja, dilakukan di komunitas masyarakat untuk mengatasi resiko-resiko terjadinya gangguan emosi di masa yang akan datang melalui Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Assertiveness Training.
Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan wilayah ke tiga setelah Sindang Barang dan Bubulak sebagai area penerapan model praktik keperawatan jiwa komunitas. Wilayah Balumbang Jaya mempunyai beberapa fasilitas untuk mendukung kesehatan penduduknya yaitu 1 buah Puskesmas yang bergabung ke Puskesmas Sindang Barang, 1 buah Puskesmas Pembantu, 12 buah Posyandu, 9 kelompok Poswindu, 1 praktek dokter, 1 praktek bidan, dan 44 orang kader kesehatan jiwa yang sudah dilatih. Jumlah penduduk di wilayah RW 01-09 sampai dengan tahun 2008 tercatat 6254 jiwa dengan prosentase anak usia sekolah menunjukkan jumlah yang cukup signifikant yaitu 713 orang (11,4%) tersebar di 315 KK. Banyaknya jumlah anak usia sekolah menjadi perhatian yang cukup besar dari Puskesmas Sindang Barang sebagai Puskesmas Pembina di wilayah Bogor Barat. Beberapa program Puskesmas untuk mendukung kesehatan anak adalah posyandu balita yang secara bergiliran ke masing-masing RW setiap bulannya, program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang diadakan pihak penyelenggara sekolah bekerja sama dengan puskesmas Sindang Barang. Program UKS ini fokus pada masalah gizi dan kesehatan fisik anak sekolah tetapi belum mengarah kepada penanganan kesehatan jiwa anak sekolah. Berdasarkan wawancara dengan
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
10
penanggung jawab program kesehatan jiwa masyarakat Wilayah Bogor Barat, belum adanya program untuk meningkatkan kemampuan emosi anak.
Hasil deteksi dini yang dilakukan kader kesehatan jiwa bersama dengan mahasiswa pasca sarjana keperawatan jiwa UI tahun 2009 sampai dengan sekarang di 9 RW Kelurahan Balumbang Jaya terdapat 315 keluarga yang mempunyai anak usia sekolah. Studi pendahuluan pada 10 keluarga bahwa mereka menerapkan komunikasi tertutup dengan anaknya dan cenderung memiliki gaya pengasuhan ke arah otoriter dan agresif. Orang tua memaksakan kehendaknya ke anak, menganggap bahwa anak belum dapat berpikir tentang apa yang baik untuk dirinya. Respon negatif yang dikeluarkan oleh anak langsung saja dibantah oleh orang tua tanpa diikuti penjelasan sehingga membuat anak menjadi bingung dan serba salah di hadapan orang tua. Ada sekitar 20 orang anak dari 47 anak usia sekolah di RW 09 ini menunjukkan perilaku banyak diam, sulit diberi pengarahan dari orang tua, kurang motivasi belajar, banyak bermain dan sulit konsentrasi, kondisi ini seringkali membuat orang tua tidak tahu apa yang harus dilakukan pada anak mereka. Disamping itu menurut keterangan dari Puskesmas Sindang Barang belum ada kegiatan khusus untuk melatih orang tua bagaimana cara komunikasi secara asertif ke anak dengan usia tumbuh kembang 6-12 tahun.
Berdasarkan hasil deteksi dini dan studi pendahuluan tersebut, perlunya diberikan pelatihan kepada ibu dalam bentuk Terapi Kelompok Assertiveness Training agar para ibu mengerti dan memahami secara kognitif, psikomotor dan sikap bagaimana cara berkomunikasi secara asertif pada anak. Terapi Assertiveness Training pada keluarga sehat merupakan upaya promotif pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat oleh puskesmas untuk meningkatkan kesehatan jiwa baik kepada individu dan keluarga di kelurahan Balumbang Jaya menjadi latar belakang perlunya dilakukan penerapan Terapi Kelompok Assertiveness Training dalam meningkatkan kemampuan komunikasi asertif ibu dalam mengelola emosi anak.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
11
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian tentang tugas tumbuh kembang anak usia sekolah, pengaruh orang tua terhadap kemampuan anak mengelola emosi serta terapi untuk meningkatkan kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1.2.1 Terdapat 774 anak usia sekolah (11,76%) dalam 315 KK yang tersebar di 9 RW Desa Siaga Sehat Jiwa. 1.2.2 Ditemukannya ibu yang belum mengetahui cara berkomunikasi dengan anak usia sekolah dan pengaruhnya terhadap kemampuan anak mengelola emosi. 1.2.3 Ditemukannya ibu yang belum mengetahui bagaimana cara berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah pada saat anak menemui masalah dengan lingkungan sosialnya. 1.2.4 Belum adanya kegiatan puskesmas untuk mengajarkan cara melatih kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya.
Penelitian ini melakukan Terapi Kelompok Asseritiveness Training terhadap kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah, adapun pertanyaan penelitian adalah : 1.2.1 Apakah
Terapi
Kelompok
Assertiveness
Training
berpengaruh
terhadap
kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah? 1.2.2 Apakah Terapi Kelompok Assertiveness Training berpengaruh pada kemampuan anak mengelola emosi setelah ibu diberikan Terapi Assertiveness Training. 1.2.3 Apakah ada faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah? 1.2.4 Apakah ada faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan anak mengelola emosi setelah ibu diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
12
1.3 Tujuan Tujuan Umum : diperoleh gambaran tentang pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor.
Tujuan Khusus : 1.3.1 Diketahui Karakteristik ibu : usia, jumlah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, jumlah anak, status perkawinan dan jenis kelamin anak. 1.3.2 Diketahui kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah sebelum dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.3 Diketahui kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.4 Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.5 Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.6 Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah sebelum dan sesudah pada kelompok yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.7 Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu diberikan terapi pada kelompok
kontrol yang tidak mendapatkan Terapi
Kelompok Assertiveness Training 1.3.8 Diketahui perbedaan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah antara kelompok ibu yang mendapat dan yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
13
1.3.9 Diketahui perbedaan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok yang mendapat Terapi Kelompok Assertiveness Training dan yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training 1.3.10 Diketahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terhadap anak usia sekolah.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Aplikatif Pelaksanaan meningkatkan
Terapi
Kelompok
kemampuan
Assertiveness
kognitif,
Training
psikomotor
dan
diharapkan sikap
ibu
dapat dalam
berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah, maka Terapi Kelompok Assertiveness Training bermanfaat sebagai: a. Panduan perawat spesialis jiwa dalam melaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada ibu yang memiliki anak usia sekolah dalam berkomunikasi secara asertif. b. Panduan
perawat
spesialis
jiwa
dalam
meningkatkan
kemampuan
melaksanakan diagnosa sehat anak usia sekolah c. Panduan perawat spesialis jiwa dalam meningkatkan kemampuan koping keluarga dalam menghadapi masalah emosi anak usia sekolah. d. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah e. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya kesehatan jiwa keluarga dan kesehatan jiwa anak usia sekolah.
1.4.2 Manfaat Keilmuan a. Metode Terapi Kelompok Assertiveness Training sebagai salah satu terapi spesialis keperawatan jiwa bagi keluarga sehat jiwa yang mempunyai anak pada masa usia sekolah.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
14
b. Dilakukan Penelitian gabungan terapi antara Terapi Keluarga dan Cognitive Behaviour Therapi sebagai evidance based.
1.4.3 Manfaat Metodologi a. Dapat menerapkan teori atau metode yang terbaik meningkatkan kemampuan orang tua dalam berkomunikasi secara asertif. b. Hasil penelitian berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui kemampuan anak mengelola emosi setelah orang tua mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian ini. Adapun konsep dari teori tersebut meliputi: konsep tumbuh kembang anak usia sekolah, konsep perkembangan emosi anak usia sekolah, konsep terapi kelompok
Assertiveness
Training
2.1 Tumbuh Kembang Anak Sekolah Perkembangan anak usia sekolah adalah peningkatan kemampuan anak pada usia 612 tahun dalam berbagai hal termasuk interaksi dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Pencapaian kemampuan ini akan membuat anak bangga terhadap dirinya. Keberhasilan mengerjakan tugas perkembangan akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya di kemudian hari. Sebaliknya, kegagalan melaksanakan tugas perkembangan menimbulkan ketidakbahagiaan pada anak dan kesulitan dalam mengerjakan tugas perkembangan yang berikutnya (Hurlock, 2008).
Pada usia 6–12 tahun ini, anak berada pada masa usia sekolah dimana anak akan mulai belajar dan berperan serta dalam sebuah sistem belajar yang tersusun secara sistematis dalam jadwal yang ditetapkan oleh sekolah atau suatu lembaga pendidikan. Pada masa ini anak juga belajar menguasai kemampuan untuk bekerja dan mendapatkan keterampilan dewasa. Anak belajar bahwa mereka mampu untuk menguasai dan menyelesaikan tugasnya. Jika anak terlalu ditekan pada aturan dan kaidah tertentu, maka anak akan mengembangkan kepercayaan bahwa kewajiban adalah keharusan bagi mereka sehingga ditanggapai berlebihan terhadap dorongan bekerja anak. Anak yang produktif belajar menikmati kompetisi kerja dan kebanggaan dalam melakukan sesuatu yang baik (Kaplan & Saddock, 1996).
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
16 Perasaan ketidakmampuan dan inferioritas, suatu hasil negatif yang potensial dari stadium ini, disebabkan oleh beberapa sumber yaitu anak mungkin dibedakan disekolah, dikatakan kurang cerdas, diberikan perlindungan secara berlebihan dirumah, anak membandingkan dirinya sendiri sebagai anak yang tidak baik dibanding orang tuanya. Guru dan orang tua yang baik akan mendorong anak ke nilai-nilai ketekunan dan produktifitas, gigih dalam usaha mengatasi masalah sulit merupakan hal yang akan sangat membantu anak menciptakan kreatifitas industri dalam dirinya. Namun sebaliknya bila anak tidak mendapatkan bimbingan yang semestinya dari orang dewasa yang memahami perkembangan psikososial sehat maka anak akan berkembang rasa inferior atau rendah diri dalam dirinya.
Periode ini merupakan kelanjutan dari masa Pra Sekolah (3-5 tahun) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif, memori, bahasa, pemikiran kritis, kreatifitas dan perkembangan emosi (Hurlock, 2008). Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. Masa ini disebut juga “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang remaja.
Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain (Ibung,2008). Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan, perkembangan motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak–anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan–ketrampilan motorik, anak–anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak–anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
17 Pada tahap ini penting bagi anak untuk merasa diterima di lingkungan teman sebayanya. Anak yang memiliki perbedaan fisik dengan teman sebaya beresiko tumbuh menjadi anak yang sensitif dan kurang percaya diri (Ibung, 2008). Perbedaan fisik yang dapat menimbulkan rasa frustasi pada anak dan dapat mengganggu emosional anak diantaranya adalah kondisi fisik yang lemah, fisik yang tidak terlalu tinggi atau pendek dibanding teman sebaya, obesitas.
Menurut teori Piaget (dalam Stuart & Laraia, 2005) pemikiran anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit. Operasional adalah hubunganhubungan logis antara konsep, sedangkan operasional konkrit adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objek dan peristiwa nyata dan dapat diukur. Masuknya anak ke sekolah dasar, diikuti oleh perkembangan kognitif yang besar. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benarbenar berada pada stadium belajar. Anak berusaha untuk tampil lebih baik dari teman-temannya agar mendapatkan perhatian dari orang tua, guru dan teman dengan belajar lebih giat lagi.
Dalam hal perkembangan memori di usia anak sekolah, tidak begitu terlihat peningkatan yang berarti. Memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatankegiatan belajar anak ketika mempelajari dan mengingat informasi. Anak berusaha mengatasinya dengan cara pengulangan (Rehearsal), pengkategorian (organization), melakukan perbandingan (imagery) dan pemunculan kembali (Retrieval). Perlu dipahami bahwa disamping strategi peningkatan memori tersebut, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak seperti tingkat usia, sifat anak (sikap, motivasi dan kesehatan), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya (Yusuf & Nurihsan, 2008).
Perkembangan pemikiran kritis pada anak usia sekolah juga mengalami kemajuan yang signifikan dimana anak mengembangkan pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
18 mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu berfikir secara reflektif dan evaluatif. Sejalan dengan berkembangnya fungsi kognitif, berkembang pula kreativitas anak untuk menciptakan sesuatu yang baru melalui jalur pendidikan (Hurlock, 2008).
Selama
masa
anak-anak
awal,
perkembangan
bahasa
terus
berlanjut.
Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Kesulitan anak dalam merangkai kata-kata dan menyampaikan pesan kepada teman atau orang dewasa
menghalangi
usahanya
untuk
berkomunikasi.
Kondisi
ini
dapat
menimbulkan rasa kecewa dan mempengaruhi emosional anak (Gomma, 2006)
Dalam hal kemampuan sosialnya, anak menghadapi dunia sosial yang lebih luas lagi. Pada tahap ini, anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.
Ungkapan emosional pada masa usia sekolah merupakan ungkapan yang menyenangkan, anak tertawa genit atau terbahak-bahak, mengejangkan tubuh atau berguling-guling di lantai dan menunjukkan pelepasan dorongan yang tertahan (Hurlock,2008). Tidak semua emosi pada usia ini menyenangkan. Banyak ledakan amarah terjadi dan anak menderita kekhawatiran dan perasaan kecewa. Dengan bertambah besarnya tubuh, anak-anak mulai mengungkapkan marah dalam bentuk
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
19 murung, menggerutu dan berbagai ungkapan kasar. Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadikan fase ini merupakan saat sulitnya emosi anak dihadapi orang tua (Gomma, 2006)
Sejumlah penelitian terbaru menemukan bahwa faktor IQ hanya dianggap menyumbangkan 20% menentukan keberhasilan anak, sedangkan sisanya lebih dipengaruhi oleh kematangan anak dalam mengelola emosi. Anak-anak yang memiliki kemampuan menguasai emosinya lebih percaya diri, lebih bahagia, popular, sukses di sekolahnya dan mampu menjalin hubungan dengan orang lain dengan baik (Ramadhani,2008). Berikut akan dibahas lebih dalam tentang perkembangan emosi anak.
2.2 Perkembangan emosi anak usia sekolah Emosi setiap orang mencerminkan keadaan jiwanya yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya (Suseno, 2009). Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, kondisi biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan dalam bertindak (Hartono, 2009). Dari kedua pengertian tersebut, emosi tidak hanya diartikan dalam bentuk perasaan semata tapi juga perubahanperubahan pada aksi dan tingkah laku sehari-hari.
Emosi pada tingkat usia sekolah mengalami peningkatan dan beraneka ragam respon yang ditimbulkan tergantung pada kemampuan anak dalam menghadapi stressor (Ibung, 2008). Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih halus karena anak harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa emosi yang menyenangkan.
Menurut Hurlock (2008) berkembangnya variasi emosi anak dipengaruhi oleh bagaimana reaksi sosial mengatasi perilaku emosi anak terutama pada saat anak menuntut dipenuhinya suatu kebutuhan dirinya. Jika ledakan emosi marah berhasil memenuhi kebutuhan anak, anak tidak hanya akan terus menggunakan perilaku
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
20 tersebut untuk mencapai tujuan tetapi juga akan menambah ledakan marah untuk mencapai kembali tujuannya. Jadi, emosi pada anak sesungguhnya dapat dipelajari dan dibentuk oleh lingkungan sekitar anak tersebut.
Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi, yaitu pendapat dari paham nativistik yaitu Rene Descartes (1950 dalam Iskandar, 2006) mengatakan bahwa emosi anak pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir. Sedangkan pendapat empiristik yaitu William-James asal Amerika dan Carl Lange asal Denmark (1950, dalam Iskandar, 2006) berpendapat bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar anak sejak anak lahir. Keduanya menyusun suatu teori emosi dinamakan teori James-Lange dan merumuskan bahwa emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan dari luar.
Perumusan terjadinya emosi dari teori James-Lange (1950, dalam Iskandar 2006) didukung oleh Hurlock (2008) yang menyatakan bahwa perkembangan emosi seorang anak ditentukan dari bagaimana seorang anak belajar mengembangkan emosinya dari lingkungan di sekitar anak. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi pada orang lain, seorang anak juga bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang yang diamati. Anak belajar menirukan reaksi emosional orang lain, terutama pada orang yang disukai dan dikagumi anak. Sudah jelas bahwa reaksi emosi anak dipelajari dan melebur ke dalam pola emosi anak karena itu perlunya pengendalian pola belajar emosi yang positif. Semakin bertambahnya usia anak akan semakin sulit mengubanya (Hurlock,2008) maka sebelum anak berada pada tahap dewasa, orang tua masih punya kesempatan untuk mengubahnya. Oleh sebab itu masa anak di usia sekolah disebut sebagai “periode kritis” dalam perkembangan emosinya.
2.3 Kecerdasan Emosional Istilah “Kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence) dipopulerkan oleh Daniel Goleman (2009) berdasarkan hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan
kecerdasan
emosional
sama
pentingnya
dengan
kecerdasan
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
21 intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengetahui dan menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, memahami emosi dan mengarahkan emosi (Hein, 1999). Kecerdasan emosional menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosional dan kemampuan sosialnya (Tridhonanto & Agency, 2002)
Kondisi emosi anak yang baik (Goleman, 2009) yaitu dapat mengutarakan perasaan mereka dengan jelas dan langsung, lebih dapat mengendalikan dorongan-dorongan dan keinginan mereka, tidak didominasi oleh emosi negative seperti rasa takut, kekhawatiran, rasa bersalah, rasa malu, kekecewaan, rasa putus asa, rasa tidak berdaya, ketergantungan, berbohong, putus asa; dapat menyeimbangkan perasaan dengan alasan, logika dan kenyataan; merasa percaya diri; independent (mandiri); bisa memotivasi diri; optimistis; mengerti perasaan orang lain; mau belajar yang lebih baik lagi; mampu bertanggung jawab; mampu bertahan melawan tekanan; mampu menyelesaikan konflik dengan baik; memahami rasa putus asa dengan baik; tidak terlibat dalam perilaku yang merusak diri seperti narkoba; memiliki banyak teman; kemampuan akademis lebih baik dan mampu menciptakan suasana aman, nyaman yang membuatnya lebih banyak belajar.
Pengelolaan emosi menjadi satu permasalahan yang sering dihadapi oleh siapapun terutama dalam situasi tertekan, sulit dan melibatkan emosi positif dan negatif. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi ini khususnya yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam dan benci akan membuat anak terbawa dan terpengaruh secara mendalam sehingga mengakibatkan tidak mampu lagi berpikir rasional (Ramadhani, 2008).
Ketika anak mengalami kemarahan, mampu menerima perasaan tersebut apa adanya dan tidak berusaha menolaknya namun berusaha untuk menyeimbangkannya secara konstruktif, maka ia mampu untuk meredakan rasa marah, kecewa tersebut sehingga tidak berlarut-larut berada dalam emosi negatif tersebut (Goleman, 2009). Seorang
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
22 anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi pasti memiliki orang tua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi pula. Anak belajar dan mencontoh orang tuanya sendiri dalam mengelola emosi.
Dengan kata lain, kecerdasan emosi diartikan sebagai kemampuan mengelola emosi melalui memonitor, mengenali dan memahami emosi diri sendiri dan orang lain sehingga dapat digunakan sesuai situasi dan kondisi. Kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) menentukan potensi anak untuk mempelajari ketrampilanketrampilan sosialnya, didasarkan pada 5 komponen yaitu kesadaran diri, pengelolaan perasaan, motivasi, empati dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain, berikut dijelaskan dengan lebih jelas : 2.3.1 Kesadaran Diri Untuk dapat merespon emosi orang lain dengan baik, terlebih dahulu anak mengenal dan merasakan emosi diri sendiri, memahami mengapa timbul emosi negatif dan positif. Dengan demikian anak akan mampu menghargai dirinya sendiri dalam mengambil suatu tindakan atau berespon terhadap suatu peristiwa. Pada usia anak, wajar jika seorang anak belum kenal betul dengan emosi-emosi yang dirasakannya. Anak sering kali mengungkapkan emosi mereka secara tidak langsung dan dengan cara-cara yang membingungkan orang tua. Pesan yang dimunculkan oleh anak tidak dapat ditangkap dan diartikan dengan baik oleh orang tua sehingga menimbulkan kesalahpahaman orang tua pada anak. Akibatnya, orang tua menjadi mudah marah dan emosi dan anakpun tidak mampu mengenali emosinya sendiri. Karena itulah, dengan membantu anak menjadi “kaca” baginya. Ketika anak murung, orang tua membantu dengan mendeskripsikan wajah dan perasannya. Dengan demikan anak belajar mengenali bahwa apa yang ia rasakan. 2.3.2 Mengelola dan mengekspresikan perasaan Kemampuan mengelola emosi yaitu kemampuan anak untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan untuk mengelola emosi erat kaitannya dengan kemampuan anak dalam menghadapi rasa marah, frustasi, sedih, kekecewaan. Kemampuan ini dapat menghindari anak terperangkap dalam suasana emosinya sendiri, dapat berpikir secara rasional
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
23 dalam menghadapi masalah dan dapat mengungkapkan perasaan, pendapat secara positif. Orang tua dapat membantu untuk mengekspresikan perasaan anak. Berikan kesempatan anak untuk menangis ketika anak sedih atau kecewa, menjerit ketika anak takut, berteriak ketika anak marah. Kemampuan mengelola dan mengekspresikan perasaannya tidaklah tumbuh dengan sendirinya, membutuhkan peran serta dan bimbingan orang tua (Tridhonanto, 2002). Ciri lain dari kemampuan mengelola perasaannya menurut Suseno (2009) adalah anak mampu bersikap toleransi terhadap frustasi dan mampu mengelola amarah lebih baik, dapat mengendallikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga, memiliki kemampuan mengatasi ketegangan dalam dirinya dan dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan. 2.3.3 Memotivasi diri Yaitu kemampuan anak untuk memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, menumbuhkan optimis dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat anak mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, berusaha keras menghadapi hambatan besar, tidak mudah putus asa. Setiap masalah yang dihadapi membutuhkan kematangan emosional, dibutuhkan pemahaman akan tujuan menyelesaikan masalah. Ciriciri memotivasi diri menurut Suseno (2009) adalah motivasi diri selalu diiringi oleh rasa tanggung jawab yang tinggi, pemusatan pada tugas yang dikerjakan, dapat menguasai diri dan tidak bertindak impulsif dalam setiap menyelesaikan masalah. 2.3.4 Empati Kemampuan untuk berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan anak menyelami perasaan orang lain (orang tua, saudara, teman, guru, dll) atau peka sehingga mampu bertenggang rasa, mampu membaca dan memahami perasaan orang lain dilihat dari bahasa non verbal, ekspresi wajah atau intonasi suara orang lain. Kemampuan lainnya yang dapat diasah adalah kemampuan menerima
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
24 pendapat orang lain, memahami kebutuhan dan kehendak orang lain yang mungkin berbeda dari pendapat pribadi dan mampu untuk mendengarkan perasaan orang lain secara aktif. 2.3.5 Ketrampilan Sosial/kerja sama dengan orang lain Yaitu kemampuan anak untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut dan mampu mengatasi konflik-konflik interpersonal secara efektif. Seorang anak yang mempunyai kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa bersikap saling menghormati hak-hak orang lain. Untuk mencapai suatu tujuan yang baik sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (orang tua dan anak misalnya) dalam memecahkan masalah, membutuhkan ketrampilan berbicara tegas dalam komunikasi, memberi kesempatan orang lain untuk mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan secara bersama-sama dan menjalankannya bersama-sama pula. Beberapa ciri lain menurut Gottman (2008)adalah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain, memiliki sifat bersahabat dengan teman sebaya, memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain, senang menolong orang lain dan bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Goleman (2009) menjelaskan bahwa perilaku kecerdasan emosional (EQ) tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensinya, melainkan harus dari satu dimensi. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk mengelola kompetensi yang lain. Antara satu kompetensi dengan kompetensi lainnya saling berhubungan. Jadi tidaklah mungkin memiliki ketrampilan mengelola emosi tanpa memiliki kesadaran diri, pengaturan diri, empati maupun kesadaran sosial.
2.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Faktor–faktor penentu yang mempengaruhi perkembangan emosi anak,
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
25 diteliti oleh Carl Roger pada area tahun 1930-an (dalam Yusuf & Nurihsan, 2008) seorang tokoh psikolog terdiri dari : 2.4.1 Faktor Eksternal Faktor eksternal terutama lingkungan keluarga yaitu kondisi kesehatan, status social ekonomi, tingkat pendidikan, iklim intelektual dalam keluarga dan interaksi social / hubungan antara anggota keluarga.
2.4.2 Faktor Internal Faktor interanal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri, yaitu kesadaran diri (self-insight), penerimaan diri (self-acceptance) dan tanggung jawab diri (self-responsibility).
Sedangkan menurut Ibung (2008) dalam penelitiannya tentang stress pada anak, ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi anak, berdasarkan dua kelompok besar yaitu : 2.4.1 Faktor Internal a. Karakter kepribadian anak Anak yang pendiam atau tertutup menemui kesulitan mengenali emosi yang dirasakan bahkan mengekspresikannya. Mereka lebih memilih tidak mengekspresikan perasaannya pada orang lain bahkan pada orang terdekatnya sekalipun. b. Kondisi fisik anak Kondisi fisik anak memiliki makna psikologis yang melebihi makna perbedaan fisiknya. Kondisi dimana anak sering sakit akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri untuk bersosialisasi, bermain, mengembangkan ketrampilan komunikasi.
2.4.2 Faktor Eksternal a. Lingkungan rumah Adalah lingkungan rumah anak yang dapat mempengaruhi emosinya. Anak tinggal didalam keluarga yang terdiri dari orang tua, adik, kakak serta orang lain yang dekat dengan anak setiap hari.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
26 1) Orang tua Orang tua sebagai orang terdekat dengan si anak. Tugas orang tua adalah mengasuh, mendidik dan mengembangkan anak-anaknya. Kondisi orang tua dapat mempengaruhi emosi anak, dimana orang tua tidak mampu memenuhi emosi anak. Macam-macam kondisi orang tua seperti kedua orang tua yang sibuk bekerja, atau salah satu orang tua diam di rumah tapi sibuk dengan urusannya sendiri, sikap orang tua yang kasar dan otoritas. Perlakuan kasar secara fisik memiliki kerugian karena akan menyakiti anak secara fisik dan psikologis.
Menurut Zhuo (2008) keluarga yang ideal (lengkap) terdiri atas dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran ibu. Peran ibu adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak serta menjadi contoh dan teladan bagi anak. Sedangkan peran ayah adalah sebagai pencari nafkah, memberikan rasa aman bagi keluarga, berpartisipasi dalam pendidikan anak dan sebagai tokoh yang tegas, bijaksanan dan mengasihi keluarga.
Dalam penelitian Paterson (1992, dalam Ramadhani, 2008) juga menunjukkan bahwa peran orang tua dalam berkomunikasi positif sangat besar pengaruhnya, dimana orang tua mempunyai kemampuan dalam merespon secara cepat kebutuhan anaknya baik kebutuhan fisik, psikologis dan sosialnya. Anak dengan gangguan perilaku antisosial akan mengembangkan perilaku antisosialnya melalui proses belajar dengan keterlibatan aktif dalam pola interaksi represif dengan kedua orang tuanya.
2) Hubungan dengan kakak atau adik Anak yang lebih besar sering mengkritik penampilan dan perilaku adiknya, senang menggoda dan memerintah adik. Bila orang tua
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
27 berusaha menghentikan hal ini, mereka dianggap pilih kasih (Hurlock, 2008).
b. Lingkungan luar rumah Adalah faktor di luar rumah anak yang dapat menimbulkan perilaku emosional pada anak : 1) Tidak memiliki teman di sekolah atau lingkungan rumah Kondisi ini mengakibatkan anak tidak mempunyai tempat untuk berbagi, tidak mempunyai kesempatan untuk melatih ketrampilan social dan komunikasinya. Anak akan mudah marah, tersinggung, malas bergaul, dijauhi teman-teman. 2) Ketidakmampuan anak memahami materi di sekolah Keterbatasan intelektual / pola belajar yang tidak tepat menjadi faktor penyebab anak menjadi lebih emosional di rumah. Anak dituntut belajar ekstra keras untuk menguasai materi yang terkadang menimbulkan rasa frustasi pada anak. Akibatnya anak tidak dapat mengoptimalkan kemampuan intelektualnya 3) Peran guru di sekolah. Seperti halnya orang tua, guru adalah figure otoritas bagi seorang anak. Guru yang tidak sabar dan tidak peduli akan membuat anak takut ke sekolah. Guru yang tidak mampu membaca situasi anak semakin membuat anak tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah. Kondisi ketidaknyamanan di sekolah akan terlihat melalui perilaku emosional anak di rumah, anak menjadi lebih sulit untuk diajak bekerja sama oleh orang tua dan saudaranya.
2.5 Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan anak mengelola emosi Kemampuan orang tua dalam mengembangkan kemampuan mengelola emosi anak menurut Gottman dan DeClaire (2008) dapat ditempuh melalui langkahlangkah berikut : 2.5.1 Menyadari emosi anak
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
28 Dalam hal ini orang tua membimbing anak untuk dapat mengenal emosinya, mengidentifikasikannya dan peka terhadap hadirnya emosi pada orang lain. Meminta anak mengekspresikan emosi merupakan cara agar anak menyadari emosinya. 2.5.2 Mengakui emosi sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar Perhatian dan pengakuan emosi anak oleh orang tua akan membantu anak belajar untuk empati. Demikian pula apabila orang tua menangani emosi anak, anak akan belajar dan melihat model pada diri orang tua tentang bagaimana menangani masalah dengan baik 2.5.3 Mendengarkan dengan empati dan meneguhkan perasaan anak Orang tua berperan sebagai “pendengar aktif” yang baik buat anak maka akan meningkatkan rasa percaya anak pada orang tua dan membuat anak memahami makna memperhatikan orang lain dan empati pada orang lain 2.5.4 Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata Menolong anak memberi nama emosinya mempunyai efek menentramkan perasaan anak. Selain itu anak juga dapat lebih memahami apa yang terjadi dalam dirinya. 2.5.5 Menentukan batas dan membantu anak memecahkan masalah Menentukan batas-batas perilaku anak (mana wilayah yang boleh dan yang tidak boleh) akan mampu membina hubungan antara orang tua dengan anak usia sekolah yang lebih sehat lagi. Selain itu membantu anak memecahkan masalah dengan cara bekerja sama dengannya untuk memikirkan alternative pemecahan masalah dan membuat anak lebih matang kemampuannya dalam memecahkan masalahnya.
Selain ketrampilan orang tua dalam meningkatkan kemampuan mengelola emosi membutuhkan suatu sarana atau fasilitas untuk tercapainya kemampuan orang tua dalam melatih anak mengelola emosinya. Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan ke orang tua seputar perkembangan emosi anak yaitu Psikoedukasi keluarga, terapi kelompok terapeutik (TKT) dan Terapi Kelompok Assertiveness Training (Towsend, 2009).
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
29 2.5.1 Psikoedukasi keluarga Diberikan pada keluarga dengan anak telah mengalami suatu masalah perkembangan seperti terganggunya konsep diri, kecemasan, perubahan peran, koping individu dan keluarga tidak efektif (Towsend, 2009). Melalui bimbingan dan konseling lewat psikoedukasi keluarga, keluarga dapat mengetahui
proses
yang
terjadi
pada
anak
dan
bagaimana
cara
mengembangkan emosi anak usia sekolah 2.5.2 Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) Terapi Kelompok Terapeutik ditujukan untuk melatih orang tua menstimulasi perkembangan anak. Sampai sejauh mana orang tua mampu menilai anak mereka sudah mencapai tugas perkembangan atau belum. Sesi-sesi pada terapi kelompok terapeutik berdasarkan pada kognitif, sosial, psikomotor, moral. 2.5.3 Assertiveness Training Kata
asertif
dan
Assertiveness
Training
banyak
digunakan
dalam
perkembangan ilmu psikologi, mulai berkembang sejak tahun 1970-an (Shelton, 1977), yang kemudian mulai digunakan di kalangan bisnis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hubungan antara pelaku bisnis (Emmons, 1977). Namun sejalan dengan berkembangnya jaman, penghargaan terhadap kesulitan pengembangan dan penghargaan diri (karier, peran gender) hubungan antar individu mulai dirasakan sebagai sesuatu hal yang sangat penting (Lange & Jakubowski, 1983). Sehingga kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan sosialnya menuntut individu tersebut untuk melakukan perubahan dalam hal sikap dan perilaku sosial. Menurut Girdano dan George (1986), respon asertif dapat dilihat dibawah ini.
Skema 2.1 Rentang respon asertif Pasif • • • •
Asertif
Pemalu Menarik diri Tertutup Enggan/malas membicarakan hal yang benar. • Perilaku “tidak enak dengan orang lain”
• Lebih “terbuka” membicarakan perasaannya • Peduli dengan hal yang benar dan meluruskan hal yang benar secara konstruktif • Produktif secara social
Agresif • Sifat bermusuhan • Berapi-api membela yang menurutnya benar walaupun itu dgn cara melanggar atau merampas. • Secara terang-terangan berperilaku menakut-nakuti orang lain agar keinginan tercapai
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
30 a. Pengertian Asertif Asertif (Assertiveness) diartikan sebagai kemampuan untuk mengekspresikan emosi, mempertahankan kebenaran dan mempertahankan interaksi dengan orang lain secara jujur, bertanggung jawab dan bebas dari rasa cemas (Willis & Daisley,1995). Kata asertif sendiri mengandung arti tindakan yang bertanggung jawab, dimana seseorang akan mempertahankan pendapatnya yang benar dan mampu untuk membuat pilihan yang pantas, keluar dalam bentuk perilaku yang asertif. Perilaku asertif merupakan perilaku berani menuntut hak-hak orang lain, berperilaku asertif berarti memberikan respon yang relevan dan konsisten dengan tuntutan konteks sosial tertentu (Alberti & Emmons dalam Towsend, 2009)
Alberti dan Emmons (1971 dalam Towsend, 2009) mendefinisikan bahwa perilaku asertif mengandung makna perasaan nyaman, latihan mempertahankan pendapat yang benar terhadap orang lain. Assertiveness Training diartikan sebagai suatu prosedur yang berisi jenis-jenis perilaku, kognitif, teknik afektif yang dapat digunakan untuk memfasilitasi menemukan kesadaran diri dalam berperilaku (Lazarus, 1977). Assertiveness Training melatih individu berperilaku asertif yaitu terbuka dan jujur pada diri sendiri dan orang lain, mau mendengarkan keluhan orang lain, menunjukkan pengertian pada situasi orang lain yang sulit, dapat mengambil keputusan pada situasi sulit, mampu bersikap tegas, dapat menjelaskan point-point yang ingin diutarakan untuk menghindari penyimpangan, berani berbicara, saling menghargai antar pribadi dan berani memposisikan diri di hadapan orang lain (Willis & Daisley, 1995).
Dilatihnya Assertiveness Training konsekuensi yang akan diperoleh individu adalah penyelesaian konflik yang selama ini selalu dihadapi individu, mengatasi situasi sulit dan saling berbagi dalam mengambil keputusan, menambah rasa nyaman serta mengurangi situasi yang dapat menimbulkan emosi marah (Towsend, 2009). Assertiveness Training juga diberikan pada orang tua, Willis dan Daisley (1995) dalam bukunya mengatakan bahwa ada banyak pesan yang ditanamkan pada otak anak oleh keluarganya dan orang-orang di sekitar anak.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
31 Hal tersebut dapat diserap oleh anak bagaimana anak dapat bersikap dan mengambil keputusan, tergantung pada bagaimana cara asuh atau didikan orang tua ke anak. Seringkali kalimat yang tidak asertif dilontarkan orang tua ke anak mereka seperti kalimat-kalimat larangan dan nasihat yang sebenarnya tidak disukai anak. Atas dasar itulah orang tua butuh dilatih bagaimana bersikap dan berkomunikasi ke anak mereka.
Penerapan Assertiveness Training menurut Lange dan Jakubowski (1983) dilakukan dalam 4 tahap yaitu Describing (menggambarkan perilaku baru untuk dipelajari); Learning (belajar perilaku baru melalui petunjuk demonstrasi); Practicing (mempraktekan perilaku baru dengan umpan balik); Transferring (menerapkan perilaku baru ke dalam lingkungan yang nyata). Melalui metode tersebut, Assertiveness Training akan membersihkan pikiran dan mempelajari perilaku baru yang lebih asertif. Hambatan sifat buruk seseorang dapat dihilangkan dengan cara mengatasi pikiran-pikiran negatif yang dapat menghambat perilaku asertif, melatih perilaku baru seperti cara komunikasi, cara membicarakan perasaan, bahasa tubuh asertif, ekspresi wajah dalam kondisi berbeda pendapat, penggunaan kata “saya”, memberikan pujian sebagai tanda sependapat dan improvisasinya (Frank & Hobbs, 1992).
Assertiveness Training dikembangkan oleh Alberti dan Emmons (1977) di dalam teorinya yang dilakukan dalam 11 sesi yaitu : 1) Sesi 1: terapis mengajak individu mengenali perilaku diri sendiri. Pada sesi ini diharapkan individu dapat mengenali perilaku dirinya sendiri dan meningkatkan kesadaran diri apakah perilaku asertif sudah ia lakukan, apakah individu merasakan adanya kepuasan berhubungan dengan orang lain, seberapa efektifkah hubungan dengan orang lain. individu juga diminta untuk mengkaji bagaimana perasaan dan perilaku diri sendiri. 2) Sesi 2: individu diminta untuk konsentrasi pada situasi-situasi tertentu yang menimbulkan konflik. Diharapkan dengan konsentrasi individu dapat mengingat kembali ke masa lalu situasi yang bagaimanakah yang dapat
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
32 membuat individu berperilaku agresif dan bagaimana selama individu menyelesaikan masalah yang tidak menyenangkan selama ini. 3) Sesi 3: individu diminta untuk mereview respon-responnya terhadap situasi yang kurang menyenangkan. individu menuliskan beberapa perilaku yang telah diingat di tahap 2 tadi, terapis membimbing setiap komponenkomponen asertif seperti kontak mata, postur tubuh/bahasa tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, suara, isi pesan, bagaimana respon individu jika dilihat dari setiap komponen asertif. Setelah itu dianalisa apakah perilaku yang dilakukan selama ini mengarah ke asertif, pasif atau agresif. 4) Sesi 4: terapis mendemonstrasikan cara-cara komunikasi asertif. individu mengobservasi model asertif yang dicontohkan. Pada tahap ini akan banyak membantu dimana individu diperlihatkan contoh model untuk mengatasi perasaan dan perilaku saat menghadapi masalah sulit dengan sangat baik. Disini
terapis
memperlihatkan
komponen-komponen
asertif
dan
mencontohkaan kalimat-kalimat asertif. 5) Sesi 5: setelah diberi contoh (modelling) oleh terapis, individu diminta mempertimbangkan
alternatif
respon.
Diskusikan,
apakah
dengan
permodelan pada sesi 4 mampu mengatasi masalah sulit yang biasa dihadapi individu. Pertanyakan pendapat individu, apabila perilaku tersebut dirubah akan membawa keuntungan tersendiri buat individu, terutama untuk perilaku menyerang yang kerap diterima oleh individu. Bedakan antara asertif, agresif dan pasif. 6) Sesi 6: terapis mengajak individu untuk mendiskusikan harapan-harapannya tentang bagaimana cara agar situasi sulit dapat diatasi, setelah itu individu melakukan latihan (redemonstrasi)seperti yang ada di model di tahap 4. Peserta mempraktekkan cara-cara tindakan asertif tersebut, buatlah se”natural” mungkin, sesuaikan dengan kemampuan diri. Ulangi tahap demi tahap sesering mungkin sampai diri merasa nyaman. 7) Sesi 7: pada sesi ini terapis memberikan contoh kasus untuk diperagakan kembali oleh individu (Role play pada beberapa situasi). Disini akan diberi penilaian oleh terapis apakah perilaku yang telah dipelajari sudah dikuasai individu. Pada sesi ini kemungkinan peserta menemukan beberapa alternatif
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
33 pilihan penyelesaian masalah. individu dipersiapkan untuk mencoba cara yang asertif menghadapi situasi yang sesungguhnya. 8) Sesi 8: setelah mempraktekkan seluruh komponen yang ada pada asertif, individu diberikan Feedback. Tahap ini sangat penting karena mengevaluasi tindakan asertif yang telah dipelajari. Review tahap 3 untuk mengetahui apakah komponen-komponen asertif
sudah dilakukan atau belum. Catat
bagian-bagian untuk memperkuat tampilan asertif. 9) Sesi 9: individu akan diuji kemampuan asertifnya pada situasi yang sesungguhnya. Individu berlatih asertif di luar ruang pelatihan untuk mengaplikasikan perilaku asertif yang telah dipelajari. individu diminta untuk melaporkan hasilnya dalam bentuk catatan tertulis, kesulitan-kesulitan apa yang dialami selama melakukan tindakan alternatif pada kondisi yang sesungguhnya. 10) Sesi 10: setelah berlatih dengan kondisi yang nyata, individu mendiskusikan bersama individu kesulitan yang ditemukan dan diminta untuk melakukan latihan berulang-ulang. Motivasi diri untuk mengulang beberapa kegiatan yang dapat mendukung terhadap meningkatnya perilaku asertif. 11) Sesi 11: ini adalah sesi yang terakhir, pada sesi ini terapis mengajarkan caracara dimana individu harus mampu menghargai dirinya sendiri atas semua upaya yang telah dilakukannya. individu perlu dukungan terhadap apa yang telah dilakukan untuk menjadi asertif, baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rezan dan Mustafa Zengel (2009) mahasiswa dari Negara Turkey meneliti keefektifan program Assertiveness Training pada remaja untuk meningkatkan kemampuan asertif mereka. Pada penelitian ini digunakan “Rathus Assertiveness Training” terdiri dari 12 sesi dan aplikasinya hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Alberti dan Emmons (1977). Berikut beberapa sesi yang dilakukan oleh Rezan dan Mustafa Zengel : 1) Sesi 1 : pada sesi ini terapis menjelaskan struktur kerja dari kelompok, peran anggota kelompok, kenyamanan, tujuan program dan tujuan dari masingmasing anggota kelompok. Terapis bersama-sama dengan anggota kelompok
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
34 merumuskan masalah apa saja yang anggota hadapi dan harapan mereka dengan mengikuti kelompok ini. Di sesi pertama yang dilakukan oleh Rezan,dkk belum dilakukan oleh Alberti dan Emmons (1975) karena masih dilakukan secara individu, sedangkan Rezan dilakukan secara kelompok. 2) Sesi 2: terapis mendiskusikan pikiran-pikiran negatif, perasaan negative yang kiranya dapat menghambat jalannya terapi. Disini anggota harus meyakinkan dirinya kalau perilaku orang lain dapat dirubah dengan merubah terlebih
dahulu
perilaku
diri
sendiri.
Disini
terapis
mengajarkan
menggunakan kalimat “saya” untuk menceritakan pendapatnya. Pada sesi ini ada kesamaan di sesi 1 dan 2 yang dilakukan oleh Alberti dan Emmons, dimana anggota kelompok diminta untuk mereview kembali ingatan mereka dan memutuskan perilaku mana yang harus dirubah. 3) Sesi 3: prinsip ”personal right”, disini individu diberi penjelasan ada 10 dasar perilaku asertif yang harus dimiliki oleh individu yaitu benar untuk diperlakukan dengan hormat, benar untuk mengungkapkan perasaan, pendapat dan kepercayaan, benar untuk mengatakan “tidak” tanpa rasa bersalah, benar untuk melakukan suatu kesalahan dan menerima tanggung jawab terhadapnya, benar untuk didengarkan dan ditanggapi serius, benar untuk mengubah cara berpikir dan benar untuk meminta apa yang diinginkan. Disini terapis berusaha untuk meyakinkan para peserta perilaku yang harus dirubah dan tujuan yang akan mereka capai jika tetap berada didalam kelompok terapi. 4) Sesi 4: menjelaskan tentang perbedaan karakteristik asertif, agresif dan pasif, disini terapis menggunakan metode ceramah dan diskusi. 5) Sesi 5: terapis memberikan latihan-latihan kasus untuk para anggota, agar dapat lebih memahami situasi-situasi mana yang masuk dalam kategori asertif, pasif dan agresif. Sesi ini sama dengan sesi 4,5,6 dan 7 pada teori Alberti dan Emmons, namun bedanya setelah terapis memberi contoh (modeling) para anggota melakukan demonstrasi ulang (role play) dengan sesama anggota kelompoknya dan mendapatkan feed back dari para anggota kelompok.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
35 6) Sesi 6: terapis mengajak anggota untuk membahas hambatan-hambatan dalam berperilaku asertif. Sesi ini hampir sama dengan yang dilakukan Alberti dan Emmos dimana para anggota membahas hambatan kognitif yang dapat menghambat jalannya terapi. Untuk dapat merubah orang lain, anggota harus yakin dulu kalau orang lain dapat berubah. 7) Sesi 7: terapis mengajak peserta untuk membahas alternative perubahan pikiran dan pengingatan pengalaman yang berhubungan dengan asertif, agresif dan pasif. Di sesi ini juga sama dengan sebelumnya, dimana para anggota mereview ulang perilaku mereka. 8) Sesi 8: terapis memberikan contoh cara-cara komunikasi asertif (modeling), kemudian anggota melakukan role play cara-cara komunikasi asertif di dalam kelompok, anggota kelompok yang lain memberikan feed back. 9) Sesi 9: terapis melatih komunikasi non verbal/bahasa tubuh asertif. kemudian anggota melakukan role play cara-cara komunikasi asertif di dalam kelompok, anggota kelompok yang lain memberikan feed back. 10) Sesi 10 dan 11: terapis melatih komunikasi asertif untuk pengembangan diri dan kemampuan sosialisasi. 11) Sesi 12: melakukan evaluasi dari keseluruhan sesi. Anggota kelompok memberikan masukan satu sama lain kemampuan yang telah dicapai.
Teori yang dikembangkan oleh Willis dan Daisley (1995) tentang Assertiveness Training pelaksanaannya lebih simple dari yang dilakukan oleh Alberti dan Emmons (1977) dan Rathus (1977). Willis melakukan Assertiveness Training dalam 5 sesi. Sesi 1 diberikan oleh terapis agar memiliki kemampuan menjadi pendengar aktif. Kemampuan mendengar yang baik bukan berarti menjadi pasif, tetapi menerima pesan/informasi dari lawan bicara dan meresponnya terlebih dahulu. Ini akan menjadi sesi yang sulit untuk dapat menerima apa yang orang lain katakan. Sesi ke 2 mendemonstrasikan apa yang telah dimengerti oleh peserta. Pada sesi ke 2 ini mempelajari teknik-teknik dalam menanggapi respon dari lawan bicara seperti “saya mendengar apa yang kamu katakan”, “saya mengerti apa yang kamu rasakan”. Pada sesi ke 3 terapis melatih kemampuan untuk dapat mengatakan apa yang dirasakan, dipikirkan, mengungkapkan setuju,
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
36 mengatakan pada lawan bicara ketidaksetujuan atas perilakunya. Sesi ke 4 terapis melatih untuk mengatakan hal yang spesifik terhadap apa yang diinginkan atau terjadi. Disini dilatih untuk mengatakan kalimat kritik/protes, mengungkapkan kalimat dimana individu merasa dipojokkan oleh situasi yang kurang menyenangkan. Sesi ke 5 melatih untuk memperhitungkan konsekuensi dari solusi yang diambil. Selain itu dilatih juga untuk mengungkapkan kalimat “mempertimbangkan” pada saat mengajak lawan bicara mengambil keputusan.
Penelitian lain oleh yang juga melakukan Assertiveness Training dilakukan juga 5 sesi, namun kali ini dilakukan pada klien Schizofrenia untuk meningkatkan kemampuan dan penampilan klien selama berinteraksi dengan orang lain. Assertiveness Training yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2009) hampir sama dengan 3 peneliti di atas, sesi 1 terapis melatih kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan negatif, sesi 2 melatih kemampuan mengungkapkan keinginan dan kebutuhan, sesi 3 mengekspresikan kemarahan, sesi 4 melatih mengatakan
“tidak”
untuk
permintaan
yang
tidak
rasional,
sesi
5
mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi. Sepertinya pelaksanaan sesi-sesi Assertiveness Training yang dilakukan Wahyuningsih lebih difokuskan pada tindakan/action bagaimana berkomunikasi dengan orang lain tanpa rasa bersalah.
Dari 4 penelitian diatas tentang Assertiveness Training peneliti melihat bahwa ada sesi-sesi yang dapat diadopsi untuk menyusun sesi-sesi Assertiveness Training yang mengacu pada cara orang tua menghadapi anak usia sekolah sebagai upaya orang tua mengelola emosi anak. Di sesi satu terapis mengambil dari Rathus (1977) bahwa peserta diberi pengetahuan terlebih dahulu tentang perbedaan karakteristik asertif, pasif dan agresif pada anak, terapis akan membimbing orang tua untuk review kembali respon-respon orang tua jika menghadapi keluhan, rasa marah, protes, rasa kecewa anak ke orang tua. Seperti yang disampaikan oleh Willis dan Daisley (1995) bahwa orang tua perlu memiliki kemampuan menjadi pendengar yang baik namun terlebih dahulu orang tua perlu mengetahui perbedaan asertif, agresif dan pasif. Setelah itu
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
37 orang tua di dalam kelompoknya merumuskan tujuan sebagai anggota kelompok dan tujuan kelompok, seperti pada teori Rathus (1977) karena tercapainya tujuan tergantung pada tingkat kohesif (hubungan yang saling mempengaruhi) antar anggota kelompok. Sesi ke dua merupakan tambahan dari teori Towsend (2009) yang mengatakan untuk bisa bersikap asertif, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah meningkatkan kemampuan mendengar (listening skill).
Di sesi ke tiga terapis mengambilnya dari hasil penelitian Wahyuningsih (2009), melatih ibu menyampaikan perbedaan pendapat ke anak di saat anak juga dihadapkan pada situasi sulit. Di sesi ini peneliti mengambil teori “personal right” yaitu benar untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda dan benar untuk dihargai, penting bagi orang tua untuk tahu batasan-batasan orang tua dalam bersikap asertif, kemampuan orang tua untuk mengenali situasi mana yang memerlukan asertif. Sesi ke empat terapis melatih menyampaikan keinginan/harapan orang tua dalam mengubah perilaku negatif anak lewat caracara mengajak anak untuk kerja sama dengan orang tua dengan tujuan orang tua dapat mengendalikan emosi anak tanpa anak merasa tertekan atau merasa orang tua adalah penguasa dirinya. Pada sesi ini terapis akan menjadi modeling memberi contoh cara anak menuruti perintah orang tua, cukup hanya dengan memberinya informasi tanpa kesan memojokkan anak.
Sesi ke lima terapis melatih ibu untuk mengatakan kata “tidak” untuk permintaan anak yang tidak rasional. Kondisi dimana anak rewel atau menuntut dipenuhinya keinginan tanpa mereka ingin tahu apa yang dialami orang tua mereka. Terapis menggunakan ketrampilan yang sudah diajarkan di sesi-sesi sebelumnya, untuk digunakan kembali pada sesi ini seperti, mendengarkan keluhan anak, menempatkan diri pada posisi anak dan menangkap pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan pada anak. Sesi ke enam adalah sesi dimana para ibu melakukan sharing untuk mempertahankan sikap asertif yang telah mereka lakukan. Ide-ide lain untuk menanggapi emosional anak dibicarakan pada sesi ini. Para ibu saling bertukar pikiran tentang keberhasilan, kemampuan komunikasi asertif mereka ke anak.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
38 Penggunaan Assertiveness Training di beberapa penelitian, dikembangkan dalam bentuk kelompok. Alasan mengapa Assertiveness Training dilakukan di dalam kelompok karena memberikan manfaat tersendiri dimana setiap anggota kelompok mendapat kesempatan melakukan praktek dalam kelompoknya sehingga dapat melakukan perilaku sesuai contoh, merasakan emosi yang menyertai perilaku tersebut dan dapat memberikan umpan balik, pengukuhan dan dorongan. Keuntungan lainnya latihan di dalam kelompok, membuat individu sadar, bahwa ada orang lain yang mempunyai masalah yang sama dengannya. Perasaan ini akan meningkatkan keterbukaan dan memberikan motivasi untuk berubah yang lebih besar lagi (Lange & Jakubowski, 1983)
2.6 Terapi Kelompok Assertiveness Training pada orang tua Terapi Kelompok Assertiveness Training telah banyak dibuktikan dalam penelitian untuk menguji keefektifannya dalam menyatakan hak-hak pribadi dan melatih individu untuk mendapatkan hak bicara tersebut. Terapi Kelompok Assertiveness Training perlu dilatih dan diterapkan pada ibu sebagai upaya meningkatkan kemampuan anak mengelola emosi. 2.6.1 Pengertian Berdasarkan pengertian Assertiveness Training Rathus (1977), Markel dan Bogusky (1976), dapat diartikan bahwa Terapi Kelompok Assertiveness Training pada ibu adalah suatu terapi kelompok yang memfasilitasi ibu menyampaikan apa yang menurutnya benar tanpa perilaku marah, berlangsung
secara
jujur,
mengekspresikan
bentuk
dukungan
yang
diperlihatkan dalam bentuk perasaan, opini dan kepercayaan. Komunikasi yang asertif merupakan salah satu unsur Assertiveness Training ibu dalam menghadapi emosi anak, dimana ibu dapat merespon emosi anak dan mengatakan apa yang menurut ibu benar, namun menempatkannya pada posisi anak. 2.6.2 Indikasi Terapi kelompok Assertiveness Training dapat membantu meningkatkan interaksi antara orang tua dan anak usia sekolah melalui komunikasi yang asertif sehingga diharapkan mampu untuk meningkatkan perkembangan
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
39 emosi anak. Assertiveness Training diberikan pada orang tua dengan anak usia sekolah dalam membantu kesiapan perkembangan emosional anak, sehingga anak mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri saat ini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terkait yang dilakukan pada sekelompok usia, Assertiveness Training efektif untuk meningkatkan health promotion yaitu mendukung kesehatan jiwa agar lebih sehat dan produktif sesuai dengan tingkat usia, oleh karena itu Assertiveness Training penting untuk dikembangkan pada diagnosa sehat yaitu Kesiapan peningkatan perkembangan anak usia sekolah (Readiness for enhanced organized School age) dan kesiapan peningkatan koping (Readiness for enhanced coping) (NANDA, 2008).
2.6.3 Tujuan Tujuan akhir setelah pemberian terapi kelompok Assertiveness Training pada ibu adalah : a. Meningkatkan
pemahaman
ibu
terhadap
perbedaan
karakteristik
komunikasi asertif, agresif dan pasif b. Meningkatkan rasa percaya diri ibu dalam mengekspresikan perasaan dan pendapat ibu ke anak c. Meningkatkan kemampuan ibu menanggapi keluhan-keluhan anak. d. Meningkatkan kemampuan ibu dalam merespon keluhan anak. e. Meningkatkan kemampuan ibu menegur perilaku anak yang ingin dirubah f. Meningkatkan kemampuan ibu memberikan pujian ke anak g. Meningkatkan kemampuan ibu mengungkapkan harapan ibu ke anak tanpa kesan “menyuruh” anak. h. Meningkatkan kemampuan ibu memberikan motivasi ke anak i. Meningkatkan kemampuan ibu menyatakan alasan marah ke anak j. Meningkatkan kemampuan ibu memberikan alternative hukuman ke anak k. Meningkatkan kemampuan ibu mengatakan “tidak” terhadap permintaan anak yang kurang rasional.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
40 2.6.4 Prinsip a. Lakukan secara konsisten, tetap katakan apa yang ibu inginkan tanpa marah, mudah terpancing emosi atau tertawa. Fokus pada tujuan yang ingin ibu capai ke anak. b. Berikan informasi yang jelas ke anak. Ibu mengkomunikasikan secara jelas dan spesifik ke anak. Pada saat menerima informasi dari anak, ibu memperhatikan bahasa tubuh penerimaan seperti posisi tubuh berhadapan, kontak mata sejajar, suara tegas dan jelas. Begitu pula pada saat memberikan suatu informasi ke anak, tunjukkan perhatian ibu ke anak, hentikan segala kegiatan yang tengah dilakukan ibu. c. Mengatakan dengan jujur dan langsung ke anak apa yang ibu rasakan. Mengungkapkan apa yang dipikirkan ibu, apa yang dirasakan dan harapan ibu langsung ke anak jangan melalui orang lain untuk menyampaikannya ke anak d. Fogging berarti mengakui kebenaran atau kemungkinan adanya kebenaran pada apa yang anak katakan mengenai ibu. Fogging juga berarti tanggapan ibu terhadap kritikan anak tanpa marah, mudah terpancing emosi. Ibu harus mengakui jika anak mengatakan hal yang benar tentang dirinya.
2.6.5 Kriteria terapis Terapi Kelompok Assertiveness Training merupakan kombinasi dari latihan kognitif dan perilaku yang dilakukan perawat spesialis jiwa (Towsend, 2009). Sebelum melakukan terapi ini, seorang terapis terlebih dahulu memahami perbedaan perilaku asertif dan agresif, perbedaan antara respon dan reaksi, mampu berkomunikasi positif. Dari pemahaman tentang hal tersebut dijadikan dasar menunjukkan model perilaku asertif, membantu klien pada sesi role play dan meningkatkan ketrampilan melakukan perilaku asertif pada situasi yang lebih kompleks.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
41 2.6.6 Pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training a. Teknik Pelaksanaan Teknik pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training mengacu pada pedoman Forkas (1997) yang menggunakan empat teknik Assertiveness training yaitu menjelaskan tujuan latihan dan perilaku (Instruction), mencontohkan perilaku yang akan dilatih (Modeling), berlatih perilaku yang dicontohkan dengan kelompok/orang lain (Role playing) dan memberikan umpan balik terhadap perilaku baru yang telah dipraktekkan (Feedback). b. Pembagian sesi-sesi pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training Strategi pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training dibagi menjadi 6 sesi (modifikasi tahapan terapi Assertiveness Training Vinick,1983 dan Wahyuningsih, 2009) terdapat penambahan 2 sesi diawal untuk memberi pemahaman ibu tentang asertif. 1) Sesi I : Melatih ibu memahami perbedaan karakteristik komunikasi asertif, pasif dan agresif pada anak Tujuan dari sesi I ini adalah agar ibu memahami perbedaan antara asertif, agresif dan pasif : definisi, ciri-ciri, bahasa tubuh respon anak terhadap ke 3 jenis komunikasi. Ibu juga dapat memahami cara menangkap pesan/kebutuhan anak yang disampaikan pada situasi yang tidak menyenangkan, ibu merespon situasi dengan bahasa tubuh yang asertif, ibu mampu memahami emosi anak dan menempatkan diri pada posisi anak. Pelaksanaan kegiatan melalui teknik describing untuk menjelasan materi asertif, maksud dan tujuan terapi Assertiveness Training, modeling dengan pemberian beberapa contoh-contoh komunikasi asertif, pasif dan agresif dengan tampilan beberapa model. 2) Sesi II: Melatih kemampuan ibu menjadi pendengar aktif terhadap keluhan anak. Tujuan dari sesi II ini adalah memanfaatkan waktu “diam” untuk memikirkan respon apa yang akan dikeluarkan ibu dan mempelajari
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
42 bahasa tubuh yang menunjukkan keterbukaan dan penerimaan. Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah ibu memberi kesempatan anak untuk menceritakan perasaan/ pengalamannya, ibu memberi
kesempatan
anak
untuk
menceritakan
perasaan/
pengalamannya, mendengarkan anak dengan seksama dan penuh perhatian,
menunjukkan
mengidentifikasikan
perasaan
perhatian anak
dengan dan
satu
kata,
membantu
anak
mengidentifikasi nama perasaan yang sedang dialami anak. Pelaksanaan sesi ini menggunakan teknik instruction dimana terapis menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan learning expression
dan
penjelasan
tentang
bahasa
tubuh
ibu
saat
mendengarkan keluhan anak. Modeling yaitu dengan mencontohkan posisi tubuh ibu saat berhadapan dengan anak. Di sesi ini terapis juga menggunakan role playing untuk ibu melakukan kembali apa yang sudah dimodelkan oleh terapis, kemudian anggota kelompok yang lain memberikan umpan balik terhadap perilaku baru yang telah dipraktekkan (Feedback). 3) Sesi III: Melatih menyampaikan perbedaan pendapat ibu dalam mengambil keputusan bersama anak. Tujuan sesi III ini adalah ibu mampu mengidentifikasi perbedaan pendapat yang muncul antara orang tua-anak dan bekerja sama dalam mengambil keputusan. Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah ibu menjabarkan dengan spesifik masalah ke anak (sesuai apa yang dilihat ibu pada diri anak), ibu memberi informasi ke anak terkait perilaku negatif anak, ibu belajar menghindari kalimat ”perintah” dan mengucapkan kata kunci yang dapat dimengerti anak serta mengungkapkan apa yang ibu rasakan ke anak. 4) Sesi IV: Melatih menyampaikan harapan ibu untuk mengubah perilaku negatif anak Tujuan sesi IV adalah ibu mampu mengidentifikasi harapan atau keinginan mengubah perilaku anak yang kurang menyenangkan. Kegiatan yang dilakukan adalah ibu membicarakan perasaan dan
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
43 kebutuhan anak terhadap perilaku anak yang perlu diubah, membicarakan perasaan dan kebutuhan ibu, mengajak anak bicara mengeluarkan
ide
untuk
menemukan
pemecahan
masalah,
menuliskan semua ide tanpa evaluasi dari ibu, mengungkapkan pendapat ibu tentang ide mana yang ibu suka dan mana yang tidak disuka, memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan 5) Sesi V : Melatih ibu mengatakan “tidak” untuk permintaan anak yang kurang rasional Tujuan sesi V ini adalah : ibu mampu menolak permintaan anak yang kurang rasional. Kegiatan yang dilakukan adalah ibu memberi informasi tentang masalah anak (jangan berkata tidak), menerima dan mengakui perasaan anak, menjabarkan masalah tanpa "menuduh", mengganti kata "tidak" dengan "ya" disertai dengan syarat yang harus dilakukan anak terlebih dahulu (Sebelum mengatakan kalimat penolakan, katakan "biarkan ibu pikirkan dulu idemu itu"). 6) Sesi VI: Sharing mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi Tujuan sesi VI ini adalah: ibu mampu mengidentifikasi perilaku asertif yang telah dilatih, menyampaikan manfaat perubahan perilaku asertif ke anak, mengungkapkan hambatan latihan perilaku asertif dan menggunakan perubahan perilaku asertif pada situasi yang berbeda.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
44 BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
Dalam BAB ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis penelitian dan definisi operasional yang memberi arah pada pelaksanaan penelitian dan analisis data.
3.1 Kerangka Teori Kerangka teori merupakan land asan penelitian, yang disusun berdasarkan informasi dan konsep-konsep teori terkait. Kerangka teori yang peneliti susun ini menjelaskan secara detail bahwa kesehatan dan keberhasilan anak usia sekolah dipengaruhi oleh faktor fisik, kognitif, memori, pemikiran kritis, bahasa, psikososial dan yang tak kalah pentingnya adalah perkembangan emosi. Telah dibuktikan oleh beberapa ahli psikologi melalui penelitian, bahwa keberhasilan seorang anak tidak hanya tergantung pada kecerdasan inteligen melainkan kecerdasan emosional (kemampuan anak mengelola emosinya).
Anak usia sekolah ternyata mengalami beberapa masalah/stress, dimana tuntutan dari lingkungan sekitar sudah semakin luas. Pernyataan ini sesuai pada Ibung (2009) dalam penelitiannya tentang masalah dan stress pada anak usia sekolah. Faktor stressor yang kiranya dapat mempengaruhi kesehatan jiwa anak usia sekolah berasal dari dalam dan luar anak, diantaranya adalah orang tua yang akan menjadi role model bagi si anak. Ibu diharapkan dapat menjadi contoh bagi anak untuk dapat mengatasi masalah-masalah anak dengan lingkungannya dengan kematangan emosi anak. Apabila anak mampu mengatasi masalahnya dengan baik, maka ia dapat menjadi pribadi yang asertif, penuh percaya diri dan mampu untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
45 Dibutuhkan beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan anak mengelola emosinya yaitu upaya sekolah dengan bimbingan konselingnya (program UKS), psikoedukasi keluarga tentang bagaimana mengatasi anak dengan masalah emosi, terapi kelompok terapeutik untuk usia sekolah. Namun beberapa upaya tersebut masih ada kekurangannya dimana perlu latihan secara intensif dan mengarah hanya pada satu pokok masalah saja yaitu pengendalian emosi anak. Perlunya seorang pelatih untuk melatih anak mengelola emosinya di rumah. Subjek yang sangat cocok adalah orang tua (ibu), karena ibu adalah orang terdekat dengan anak dan berinteraksi lebih banyak dengan anak ketimbang gurunya. Perlunya diberi pembekalan agar ibu bisa menjadi seseorang yang dapat memberi contoh baik bagi anak terutama perkembangan emosi. Terapi Kelompok Assertiveness Training lah yang dirasakan sangat cocok diberikan bagi ibu dengan anak usia sekolah yang belum dapat berkomunikasi secara asertif ke anak, terutama pada saat anak mengalami emosi yang meledak-ledak.
Tindakan untuk mengelola emosi anak usia sekolah melalui bagaimana cara berkomunikasi asertif dituangkan dalam sesi-sesi di Terapi Kelompok Assertiveness Training. Terapi Kelompok Assertiveness Training merupakan strategi preventif yang ditujukan untuk menyehatkan kondisi emosi ibu dan anak melalui komunikasi asertif. Ibu dilatih untuk belajar mengenali emosi diri sendiri, emosi
anak,
menerima
perasaan
anak
dan
bukan
mengabaikannya,
mengkomunikasikan kebutuhannya, menolak permintaan anak yang kurang rasional dapat dilakukan di Terapi Kelompok Assertiveness Training ini.
Berikut gambaran kerangka teori penelitian yang dijabarkan pada skema 3.1 dilakukan berdasarkan pada teori-teori yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
46
Skema 3.1 Kerangka Teori Penelitian Carl Roger( 1930) a. Faktor Eksternal lingkungan keluarga : kondisi kesehatan, status social ekonomi, tingkat pendidikan, iklim intelektual dalam keluarga dan interaksi social / hubungan antara anggota keluarga. b. Faktor Internal berasal dari dalam diri anak itu sendiri: kesadaran diri (self-insight), penerimaan diri (self-acceptance) dan tanggung jawab diri (selfresponsibility). Ibung, 2008 a. Faktor Internal : Karakter kepribadian anak Kondisi fisik anak b. Faktor eksternal (Ibung, 2008) • Orang tua • Hubungan dgn kakak & adik • Lingkungan luar rumah : sekolah, teman, guru, Ketidakmampuan anak mempelajari pelajaran sekolah Faber dan Mazlish (2009) a. Kemampuan orang tua dalam membantu anak mengatasi perasaan-perasaan negative anak seperti frustasi, cemas, kemarahan b. Kemampuan orang tua menjalin kerja sama dengan anak c. Kemampuan orang tua mencari alternative pengganti hukuman d. Kemampuan orang tua mendorong otonomi / kemandirian anak. e. Kemampuan orang tua memberikan pujian ke anak
Komunikasi efektif orang tua (Ramadhani, 2008)
Perkembangan fisik (Hurlock, 1994) bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya
Intervensi kep: - Penyuluhan - Psikoedukasi keluarga - Terapi kelompok terapeutik
Perkembangan kognitif (teori Piaget) Berkembangnya daya pikir anak ke arah yang lebih konkrit, rasional & objektif.
Program UKS Bimbingan konseling sekolah
Anak usia sekolah Assertiveness training (Vinick,1983) : 1. Sesi I: melatih klien memahami asertif, agresif dan kesopanan 2. Sesi II: mengidentifikasi hak personal dan hak orang lain 3. Sesi II: mengurangi hambatan kognitif dan afektif untuk perilaku asertif : cemas, marah, perasaan bersalah dan pikiran irasional 4. Sesi IV: meningkatkan ketrampilan perilaku asertif dalam situasi nyata dan observasi model Assertiveness training (Wahyuningsih, 2008) : Sesi I : melatih kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan Sesi II : melatih kemampuan mengungkapkan keinginan dan kebutuhan Sesi III : mengekspresikan kemarahan Sesi IV : mengatakan “tidak” untuk permintaan yang tidak rasional dan menyampaikan alasan Sesi V : mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi.
Perkembangan memori (Matlin, 1994) Berkembangnya memori jangka panjang daripada jangka pendek.
1. 2. 3. 4. 5.
Perkembangan Emosi (Goleman, 1995) Mengenali emosi diri Kemampuan mengelola perasaan Memotivasi diri Mengenali emosi orang lain/Empati Membina hubungan
Perkembangan pemikiran kritis (Santrock, 1998 dalam Rosa, 2005) Pemahaman / refleksi terhadap masalah secara mendalam, mempertahankan pikiran tetap terbuka Perkembangan bahasa (Hurlock, 1994) Pembendaharaan kosa kata dan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan Psikososial (Rosa, 2005) anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
45 3.2 Kerangka Konsep Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi asertif ibu meliputi aspek kognitif, psikomotor dan sikap. Kemampuan ini dihitung dalam bentuk skor sebelum mendapat terapi dan sesudah mendapat Terapi Kelompok Assertiveness Training. Kemampuan anak mengelola emosi diukur juga sebelum dan sesudah mendapatkan terapi, untuk mengetahui apakah terapi yang diberikan diikuti juga dengan meningkatnya juga kemampuan anak mengelola emosi.
Variabel yang dapat mempengaruhi variabel terikat (kemampuan komunikasi asertif ibu) disebut variabel confounding yaitu faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi ibu seperti usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak, jumlah pendapatan, status perkawinan dan jenis kelamin anak.
Variabel bebas (independent) adalah Terapi Kelompok Assertiveness Training itu sendiri, dilakukan dalam 6 sesi. Kemampuan komunikasi kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif diukur sebelum dan sesudah terapi. Ketiga variabel tersebut dijelaskan dalam bentuk kerangka konsep (skema 3.2)
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
46 Skema 3.2 Kerangka Teori Penelitian Pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training :
Variable dependent
Sesi I : melatih ibu memahami perbedaan karakteristik komunikasi asertif, pasif, agresif pada anak Sesi II : melatih ibu menjadi pendengar aktif terhadap keluhan anak Sesi III : melatih ibu menyampaikan perbedaan pendapat ke anak dalam mengambil keputusan Sesi IV : melatih ibu menyampaikan keinginan/harapan orang tua mengubah perilaku negatif anak. SesiV: melatih ibu mengatakan “tidak” untuk permintaan anak yang kurang rasional Sesi VI : Sharing mempertahankan sikap asertif dalam berbagai situasi
Kemampuan komunikasi asertif ibu meliputi Kognitif, Psikomotor dan Afektif
Kemampuan anak mengelola emosi
Variable independent
Variable dependent
Kemampuan komunikasi asertif ibu meliputi Kognitif, Psikomotor dan Afektif
Karakteristik Ibu : 1. Usia ibu 2. Tingkat pendidikan 3. Jumlah anak 4. Jumlah pendapatan keluarga/bulan 5. Status perkawinan 6. Jenis kelamin anak
Kemampuan anak mengelola emosi
Variable counfounding
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
47 3.3 Hipotesis Penelitian 3.3.1 Ada perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu yang mendapat Terapi Kelompok Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Terapi Kelompok Assertiveness Training dalam mengelola emosi anak 3.3.2 Ada faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi ibu dan anak dalam mengelola emosi anak usia sekolah.
3.4 Definisi Operasional Variabel penelitian terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Yang termasuk variabel bebas adalah terapi Assertiveness Training sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah.
Definisi operasional dimaksudkan untuk menjelaskan makna variabel yang sedang diteliti. Di dalam definisi operasional terdapat unsur-unsur penelitian yang memberikan cara mengukur suatu variabel.
Dengan kata lain definisi
operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan caranya mengukur suatu variabel (Sugiyono, 2009).
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel independen dan dependen Variabel
Definisi operasional
Alat ukur dan cara ukur
Hasil ukur
Skala
Variabel confounding Usia ibu
Rentang waktu antara saat
Responden
Ditulis dalam
lahir sampai saat
melingkari salah satu
bentuk angka
pengambilan data,dihitung
option terkait usia ibu
Interval
saat ulang tahun terakhir Tingkat pendidikan
Jumlah anak
Responden
1. SD
responden berdasarkan
melingkari salah satu
2. SMP
ijazah terakhir
option terkait tingkat
Jenjang pendidikan formal
Ordinal
pendidikan
3. SMU 4. Perguruan tinggi
Jumlah anak kandung atau
Responden
ditulis
tiri yang diasuh oleh ibu
melingkari salah satu
bentuk angka
dan tinggal dalam 1 rumah
option terkait jumlah
dalam
Interval
anak Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
48 Variabel Jumlah pendapatan
Definisi operasional Jumlah pendapatan
Alat ukur dan cara ukur Responden
Hasil ukur ditulis
keluarga dalam 1 bulannya
melingkari salah satu
bentuk angka
dalam bentuk rupiah
option terkait jumlah
dalam
Skala interval
pendapatan Status perkawinan
Suatu kepastian dalam
Responden
1. Menikah
sebuah hubungan yang sah
melingkari salah satu
2. Janda
dalam sebuah ikatan sah
option terkait status
secara agama maupun
perkawinan
Nominal
sipil. Jenis kelamin anak
penggolongan responden
Responden
1. Laki-laki
yang terdiri laki-laki dan
melingkari salah satu
2. Perempuan
perempuan
option terkait status
Nominal
perkawinan Variabel Dependen : Kemampuan komunikasi asertif ibu
Kemampuan mengenal emosi anak, mendengarkan dengan empati perasaan dan keluhan anak, menolong anak mengetahui perasaannya dan membantu anak memecahkan masalahnya
Alat ukur dengan
skor
kuisioner. Penilaian
terendah=46
dengan skala Likkert
skor tertinggi=
dalam 4 pilihan
184
Interval
jawaban
Variabel Independen : Terapi Assertiveness training Kelompok Kegiatan terapi yang check list lembar dilakukan secara Assertiveness observasi berkelompok pada ibu untuk Training meningkatkan kemampuan berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah terdiri dari 6 sesi yaitu : Terapi
Sesi I : melatih orang tua memahami perbedaan karakteristik komunikasi asertif, pasif, agresif pada anak Sesi II : melatih orang tua menjadi pendengar aktif terhadap keluhan anak Sesi III : melatih orang tua menyampaikan perbedaan pendapat ke anak dalam mengambil keputusan
1. dilakukan
Nominal
Assertivene ss Training 2. tidak dilakukan Assertivene ss Training
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
49 Sesi IV : melatih orang tua menyampaikan keinginan/harapan orang tua mengubah perilaku negatif anak Sesi V : melatih orang tua mengatakan “tidak” untuk permintaan anak yang kurang rasional Sesi VI: Sharing mempertahankan sikap asertif dalam berbagai situasi
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
50
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Pada penelitian ini digunakan desain penelitian yaitu Quasi experimental pre and post test with control group” dengan intervensi Terapi Kelompok Assertivenes Training. Rancangan ini terdapat kelompok kontrol (pembanding) memungkinkan peneliti melihat perubahan-perubahan yang telah terjadi setelah adanya intervensi/program (Hasan, 2004). Penelitian
dilakukan
untuk
mengetahui
perbedaan
kemampuan
ibu
berkomunikasi asertif dalam mengelola emosi anak usia sekolah sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah pada kelompok ibu yang diberi intervensi Terapi Kelompok Assertiveness Training dengan kelompok kontrol ibu yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training di kelurahan Balumbang Jaya Bogor. Dengan demikian teridentifikasi adanya pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan ibu berkomunikasi asertif dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009) bahwa pada penelitian Quasi experimental dapat digunakan untuk membuktikan pengaruh suatu intervensi/perlakuan pada subyek dan mengukur hasil (efek) intervensi tersebut. Dampak sampingan dari peningkatan kemampuan komunikasi asertif ibu ke anak setelah diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training adalah peningkatan kemampuan anak mengelola emosinya. Kemampuan ibu dalam berkomunikasi asertif diukur sebelum dan sesudah diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training, demikian juga dengan kemampuan anak mengelola emosi akan diukur sebelum dan sesudah ibu diberikan Terapi Kelompok Assertiveness Training dalam bentuk skala kemampuan mengelola emosi anak. Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
51 Pengukuran
kemampuan
kognitif,
psikomotor
dan
sikap
ibu
dalam
berkomunikasi asertif ke anak dan kemampuan anak mengelola emosi dilakukan sebelum dan sesudah kelompok ibu mendapatkan intervensi dari terapis berupa Terapi Kelompok Assertiveness Training. Desain penelitian pre and post test with control group dapat dilihat pada skema 4.1 berikut : Skema 4.1 Disain Penelitian pre and post test with control group Pre test
Intervensi
Post test
Assertiveness Training
Kelompok Intervensi
01
Kelompok Kontrol
03
X
02
04
Keterangan: X:
intervensi Terapi Kelompok Assertiveness Training pada ibu dalam
berkomunikasi asertif pada anak sekolah yang mencakup lima sesi pelaksanaan Terapi Kelompok Assertivenss Training O1 : Kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training. O2 : Kemampuan komunikasi asertif ibu sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training. O3: Kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training O4: Kemampuan komunikasi asertif ibu setelah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training O2 – O1 : Perbedaan kemampuan ibu dalam berkomunikasi asertif sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
52 O4 – O3 : Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok kontrol O1 – O3
: Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
O2 – O4 : Perbandingan kemampuan komunikasi asertif ibu sesudah dilakukan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Populasi disebut juga universe yaitu sekelompok indvidu yang tinggal di wilayah yang sama atau sekelompok individu/subjek yang memiliki karakteristik yang sama (Chandra, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu di Kelurahan Balumbang Jaya Kota Bogor pada tahun 2010 yang memiliki anak usia sekolah, tersebar di 9 RW Desa Peduli Sehat Jiwa berjumlah 315 KK
4.2.2 Sampel Sample utama pada penelitian ini adalah ibu dengan kriteria inklusi memiliki anak usia sekolah, tinggal bersama dengan anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya, bisa membaca dan menulis, bersedia menjadi responden dan tinggal menentap di Balumbang Jaya. Jika ada ibu yang mempunyai lebih dari 1 anak usia sekolah, yang dipilih adalah anak yang tertua, untuk mempersiapkan komunikasi asertif ibu menjelang anak memasuki masa remajanya.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
53 Salah satu aspek penting dalam pembuatan rancangan penelitian adalah menentukan besar sample minimal. Perkiraan besar sample dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tujuan penelitian dan desain yang dipilih. Dalam hal ini peneliti menggunakan clinical judgment yang artinya mengambil nilai-nilai yang secara klinis dianggap penting berdasarkan
penelitian
sebelumnya
yang
telah
dipublikasikan
(Sastroasmoro, 2008). Untuk menghitung besar sample untuk menguji hipotesis pada 2 kelompok independent dengan desain pre dan post test with control group, maka digunakan rumus n1= n2=
2 ( Z1-α/2+ Z1-β) s ² (µ1 - µ2)
Keterangan: n
: besar sampel minimum
Z1-α/2
:
Z1-β
: nilai distribusi normal baku (table Z) pada β tertentu
σ
: Standar deviasi dari beda 2 rata-rata berpasangan dari penelitian terdahulu
µ1
: rata-rata pada keadaan sebelum intervensi (penelitian sebelumnya)
µ2
: rata-rata pada keadaan setelah intervensi (penelitian sebelumnya)
nilai distribusi normal baku (table Z) pada α tertentu
Standar deviasi dan selisih rata-rata sebelum dan sesudah terapi diambil dari 3 penelitian sebelumnya, hal ini ditujukan untuk memperkecil bias jika hanya didapat dari 1 penelitian saja. Penelitian sebelumnya yang diambil adalah penelitian yang dilakukan oleh Kimberley (2008) tentang pengaruh Assertiveness Training terhadap kecemasan sosial anak usia sekolah di Midwest didapatkan hasil Sd=4,85 dan selisih rata-rata intervensi
(µ1-µ2)=11,58.
Penelitian
kedua
tentang
efektifitas
Assertiveness Training pada siswa sekolah terhadap pencapaian tingkat asertif di Turkey School oleh Rezan dan Zengel (2009), didapatkan hasil Sd=14,3 dan selisih rata-rata intervensi (µ1-µ2)= -25,6. Dari kedua penelitian tersebut, diperoleh rata-rata Sd=9,57 dan selisih rata-rata intervensi (µ1-µ2)= -7,01. Dengan derajat kepercayaan 95% (Z1-α/2 = 1,96) dan kuat uji 80% (Z1-β= 0,842). Besarnya kuat uji (power) dapat dilihat pada tabel distribusi Z. Perhitungan besar sample : Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
54
2 ( 1,96 + 0,842) 9,57 ² -7,01
n1= n2=
n1=n2 = 29,2 ~ 29. Peneliti
perlu
menambahkan
besar
sample
untuk
mengantisipasi
kemungkinan subjek yang terpilih drop out, loss to follow up atau subjek yang tidak taat (Sastroasmoro, 2008). Besarnya sample yang ditambah berdasarkan rumus : n’ =
n… (1 – f)
Keterangan : n’ = sample revisi n = besar sample yang didapat f = tingkat asumsi droup out sample 10% Berdasarkan rumus diperoleh sample revisi 31,5 orang, dibulatkan menjadi 32 orang. Dalam hal ini berarti jumlah sample kelompok intervensi 32 orang dan jumlah sample kelompok kontrol 32 orang, total responden 64 orang. Teknik pengambilan sampel secara cluster random
sampling
yaitu
pengambilan sampel berdasarkan gugus kelompok yang memenuhi kriteria inklusi disesuaikan dengan besar sampel berdasarkan jangka waktu untuk mendapatkan sampel penelitian (Sugiyono,2009). Kelompok ibu yang telah memenuhi kriteria inklusi dibuat berdasarkan wilayah kelompok tertentu (RW) di Kelurahan Balumbang Jaya dan dibuat daftar urutan kelompok kemudian diambil secara acak sejumlah kelompok yang diinginkan peneliti yaitu 4 kelompok. Kelompok kontrol adalah kelompok sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang ada di wilayah kelurahan sindangbarang sedangkan kelompok intervensi adalah kelompok sampel yang memenuhi kriteria dan berada di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya (Tabel 4.2). Pemilihan 2 lokasi ini untuk meminimalkan terjadinya bias antar 2 kelompok. Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
55 Peneliti akan meneliti di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya pada 6 RW yaitu RW 01 dan 02 sebagai kelompok intervensi, dan RW 09, 10 sebagai kelompok kontrol. Sedangkan RW 03,04 dan 05 telah peneliti gunakan untuk uji validitas yang dilakukan sebanyak 3x uji. Penentuan 6 RW berdasarkan persamaan karakteristik ibu. Sample dipilih secara simple random sampling karena setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2009). Table 4.1 Sample Penelitian di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat Kelompok RW Jumlah responden (ibu) Kel. 1 (Rw 1) 8 Kelompok Kel. 2 (Rw 1) 8 intervensi Kel. 3 (Rw 2) 8 Kel. 4 (Rw 2) 8 Kel. 5 (Rw 9) 8 Kel. 6 (Rw 9) 8 Kelompok kontrol Kel.7 (Rw 10) 8 Kel.8 (Rw 10) 8 TOTAL 64 Jumlah keseluruhan sampel adalah 64 pasang (ibu dan anak usia sekolah) terdiri dari 32 orang kelompok intervensi dan 32 orang kelompok kontrol.
4.3 Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya Kota Bogor yang telah dan sedang dilaksanakan program Desa Siaga Sehat Jiwa, merupakan tempat praktik mahasiswa kekhususan keperawatan jiwa Universitas Indonesia.
4.4 Waktu Penelitian Waktu penelitian dimulai dari
bulan Maret sampai akhir Juni 2010, yang
dimulai dari kegiatan penyusunan proposal, pengumpulan data, dilanjutkan dengan pengolahan hasil serta penulisan laporan penelitian. Untuk melakukan pengambilan data dan intervensi yang direncanakan selama 6 minggu mulai minggu keempat Mei sampai minggu keempat Juni 2010, kegiatan Terapi Kelompok Assertiveness Training selama 6 minggu yaitu satu minggu persiapan Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
56 dan pre-test, empat minggu intervensi Terapi Kelompok Assertiveness Training dan satu minggu untuk penutupan dan post-test.
4.5 Etika penelitian Uji etik pada proposal penelitian ini dilakukan oleh Komite Etik Penelitian Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan untuk memastikan bahwa penelitian ini layak atau tidaknya untuk diujikan. Setelah dinyatakan lolos seleksi oleh Komite, peneliti melanjutkan ke pembuatan modul Terapi Kelompok Assertiveness Training. Modul Terapi Kelompok Assertiveness Training dibuat sebagai bahan acuan terapis dalam melakukan terapi, dikonsulkan kepada 2 orang yang ahli di bidangnya. Selain modul, peneliti juga mempersiapkan buku kerja untuk ibu berisi tentang materi Assertiveness Training mulai dari sesi 1 sampai sesi 6 dengan bahasa yang mudah dipahami oleh ibu. Buku raport juga disusun untuk memonitoring pelaksanaan tugas-tugas komunikasi asertif ibu ke anak usia sekolah tiap sesinya. Tahap selanjutkan setelah modul, buku kerja dan raport selesai disusun, terapis menguji pelaksanaan modul tersebut melalui uji expert / uji kemampuan terapis. Uji ini dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya, di Laboratorium Keperawatan Jiwa dengan responden ibu dan anak. Setelah terapis dinyatakan lulus dalam uji expert peneliti melanjutkannya dengan menyebar kuisioner kepada responden ibu dan anak. Sebelum dilakukan pengambilan data awal berupa pengisian kuisioner tentang kemampuan komunikasi orang tua, semua kelompok ibudiberikan informasi tentang rencana, tujuan dan manfaat penelitian melalui pemberitahuan tertulis. Setiap responden diberi hak penuh untuk menyetujui atau menolak menjadi responden dengan cara menandatangani formulir Informed concent atau surat pernyataan bersedia untuk dilibatkan dalam penelitian.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
57 Peneliti menjelaskan bahwa responden dijaga kerahasiaannya dimana informasi yang didapat dari mereka hanya untuk penelitian ini dan tidak dipublikasikan. Selama kegiatan, nama responden tidak dicantumkan, sebagai gantinya peneliti menggunakan nomor responden. Peneliti juga meyakinkan responden bahwa identitas responden dari informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya sehingga responden bebas dari rasa tidak nyaman. Semua responden menyetujui untuk mengikuti penelitian ini sampai selesai.
4.6 Alat Pengumpul Data Pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti yang dilaksanakan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden dan mengisi kuesioner secara lansung dalam pembagian kusioner ini responden didampingi oleh peneliti agar pengisian kuesioner lebih akurat. 4.6.1 Kuisioner A (data sosiodemografi) Instrumen ini berupa kuisioner berisi 7 pertanyaan meliputi kode responden, usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan keluarga setiap bulannya, status perkawinan, jumlah anak dan jenis kelamin anak. Pertanyaan dalam bentuk pertanyaan tertutup dan peneliti memberi jawaban yang tersedia, sesuai dengan option yang dipilih oleh responden. 4.6.2 Kuisioner B (kemampuan komunikasi asertif ibu) Instrumen ini digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi ibu meliputi kemampuan secara kognitif, psikomotor dan sikap ibu. Untuk mengukur kemampuan
kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam
berkomunikasi secara asertif menggunakan instrument kuisioner tentang cara-cara komunikasi orang tua dalam mengelola emosi anak. Instrumen diisi sendiri oleh ibu sebanyak 2 kali yaitu sebelum menerima Terapi Assertiveness Training (pre-test) dan setelah selesai menerima terapi (post-test). Item pertanyaan terdiri dari pernyataan positif (Favorable) dan pernyataan negative (Unfavorable) hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias karena responden akan monoton menjawab pertanyaan positif pada item dengan nilai tertinggi (Anwar, 2008). Sedangkan Item Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
58 Unfavorable atau pernyataan negatif pemberian scoring dibalik. Untuk kemampuan kognitif: tidak setuju (nilai 4), kurang setuju (nilai 3), setuju (nilai 2), sangat setuju (nilai 1). Lembar observasi kemampuan psikomotor ibu melakukan komunikasi ke anak usia sekolah diisi oleh peneliti setiap sesinya sebagai dokumentasi peneliti bahwa responden telah melakukan ketrampilan komunikasi asertif. Penggolongan skoring untuk kemampuan komunikasi asertif ibu dengan menggunakan kategorisasi berdasarkan model distribusi normal (Azwar, 2008) dengan menetapkan terlebih dahulu batasannya berdasarkan 6 satuan standard deviasi (σ) yaitu 3 bagian di sebelah kiri mean (bertanda negatif) dan 3 bagian lagi di sebelah kanan mean (bertanda positif). Dihitung terlebih dahulu luas jarak sebarannya dengan cara nilai maksimum – nilai minimum. Setelah itu dicari mean teoritisnya. Bila diinginkan penggolongan skala ke dalam 3 kategori tingkatan, maka ke enam satuan standar deviasi dibagi ke dalam 3 bagian, dengan rumus : X<(µ – 1,0σ) untuk skala rendah, (µ – 1,0σ) < X < (µ + 1,0σ) untuk skala sedang dan (µ + 1,0σ) < X untuk skala tinggi. Penggolongan skoring komposit kemampuan komunikasi asertif ibu sebagai berikut, diketahui nilai minimum 46 (46x1) dan nilai maksimum 184 (46x4) maka luas jarak sebaran 184-46 = 138. Satuan deviasi standard (σ) = 138/6=23. Nilai mean teoritisnya 115. Dari rumus diatas didapat skala rendah : X < 92 ; skala sedang 92< X< 138 ; skala tinggi 138 < X. Penggolongan skoring kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif sebagai berikut, diketahui nilai minimum 20 (20x1) dan nilai maksimum 80 (20x4) maka luas jarak sebaran 80-20 = 40. Satuan deviasi standard (σ) = 40/6 dibulatkan menjadi 6. Nilai mean teoritisnya 50. Dari rumus diatas didapat skala rendah : X < 44 ; skala sedang 44< X< 56 ; skala tinggi 56 < X.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
59 Penggolongan skoring kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif sebagai berikut, diketahui nilai minimum 14 (14x1) dan nilai maksimum 56 (14x4) maka luas jarak sebaran 56-14 = 42. Satuan deviasi standard (σ) : 44/6 = 7. Nilai mean teoritisnya 35. Dari rumus diatas didapat skala rendah : X < 35 ; skala sedang 35< X< 42 ; skala tinggi 42 < X. Penggolongan skoring sikap ibu dalam berkomunikasi asertif sebagai berikut, diketahui nilai minimum 12 (12x1) dan nilai maksimum 48 (12x4) maka luas jarak sebaran 48-12=36. Satuan deviasi standard (σ) : 36/6 = 6. Nilai mean teoritisnya 30. Dari rumus diatas didapat skala rendah : X < 24 ; skala sedang 24< X< 36 ; skala tinggi 36 < X.
4.6.3 Kuisioner C (kemampuan anak mengelola emosi) Untuk melihat apakah Assertiveness training yang dilakukan pada ibu mempunyai dampak pada emosi anak, dapat dilihat dengan mengukur kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah terapi. Instrument diadopsi dari Tridhonanto dan Agency (2009) dengan menggunakan Skala kemampuan anak mengelola emosi disusun dengan menggunakan skala Likert yang dimodifikasi, terdiri dari 4 jawaban alternative yaitu selalu (nilai 4), sering (nilai 3), kadang-kadang (nilai 2) dan tidak pernah (nilai 1). Penggolongan skoring kemampuan anak mengelola emosi, diketahui nilai minimum 25 (25x1) dan nilai maksimum 100 (25x4) maka luas jarak sebaran 100-25=75. Satuan deviasi standard (σ) : 75/6 dibulatkan menjadi 12. Nilai mean teoritisnya 62,5. Dari rumus diatas didapat skala rendah : X < 50,5 ; skala sedang 50,5< X< 74,5 ; skala tinggi 74,5 < X.
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
60 4.7 Uji coba instrument 4.7.1 Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisioner. Kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Sunyoto, 2010). Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi product moment, dengan rumus :
r=
n ( ∑ xy ) − ( ∑ x ∑ y ) {n ∑ x 2 − ( ∑ x ) 2 }{n ∑ y 2 − ( ∑ y ) 2 }
Keterangan: r = koefisien validitas item yang di cari n = jumlah responden x = skor yang diperoleh subjek dalam setiap item Y = skor yang diperoleh subjek dalam setiap item Pengujian untuk menentukan signifikan atau tidak signifika dengan membandingkan nilai r hitung dengan r table untuk degree of freedom = n-k. jika r hitung untuk r tiap butir pertanyaan bernilai positif dan lebih besar dari r table (lihat corrected item-total correlation), maka butir pertanyaan tersebut dikatakan valid (Sunyoto, 2010). 1. Uji Validitas Kuisioner B Uji validitas untuk instrument kemampuan ibu, dilakukan sebanyak 3 kali uji yaitu di RW 03,04 dan 05, sampai seluruh pertanyaan mencapai validitas yang kuat. Instrument aspek kognitif dari 25 pertanyaan menjadi 20 pertanyaan, aspek psikomotor dari 20 pertanyaan menjadi 14 pertanyaan dan aspek sikap dari 20 pertanyaan menjadi 12 pertanyaan. Uji validitas diuji pada 30 responden dengan karakteristik yang sama. 2. Uji Validitas Kuisioner C Uji validitas untuk instrument kemampuan anak mengelola emosi, dilakukan sebanyak 2 kali uji. Dari 30 pertanyaan terdapat 5 pertanyaan Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
61 yang kurang valid. 25 pertanyaan yang tersisa kemudian diujikan lagi dan mencapai tingkat validitas yang kuat. 4.7.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variable. Butir pertanyaan dikatakan reliable atau handal apabila jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten. Pengujian reabilitas adalah dengan menggunakan metode Alpa Cronbach’ (ά). Uji reabilitas Cronbach menurut table diatas nilai yang sangat reliabel dan layak untuk disebarkan kepada responden. Table 4.2 Tingkat Reabilitas Berdasarkan Nilai Alpha Alpha Tingkat Reliabilitas 0,00 s. d 0,20
Kurang Reliabel
>0,20 s. d 0,40
Agak Reliabel
>0,40 s. d 0,60
Cukup Reliabel
>0,60 s. d 0,80
Reliable
>0,80 s. d 1,00
Sangat Reliabel
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen kognitif r=0,787 (reliabel), instrument psikomotor r=0,839 (sangat reliabel) dan instrumen sikap r=0,787 (reliabel). Untuk uji reliabilitas instrument kemampuan anak mengelola emosi, memperoleh r=0,823.
4.8 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 4.8.1 Persiapan 1. Peneliti mengajukan terlebih dahulu surat ijin penelitian kepada Kepala Kesehatan Bangsa (Kesbang) Kota Bogor Barat yang dilanjutkan kepada Kecamatan Bogor Barat. 2. Setelah mendapat ijin dari Kecamatan Bogor Barat, surat dilanjutkan ke Kepala Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
62 4.8.2 Pelaksanaan 1. Pre-test Sebelum melakukan terapi kelompok Assertiveness Training kepada kelompok intervensi dan kontrol dilakukan pre-test untuk mengetahui kemampuan ibu dalam berkomunikasi ke anak dan kemampuan anak mengelola emosinya. 2. Pelaksanaan terapi kelompok Assertiveness Training Setelah pre-test pada kelompok intervensi yang dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya, peneliti memberikan penjelasan seputar kegiatan terapi, jadwal pertemuan dan materi yang akan didapatkan. Setelah tercapai kesepakatan, peneliti melanjutkannya ke sesi 1. Sedangkan untuk kelompok kontrol tidak diberi perlakuan/intervensi berupa pemberian materi. Metode yang digunakan pada sesi 1 adalah ceramah, tanya jawab dan diskusi kelompok. Pada hari berikutnya peneliti melakukan Assertiveness Training sesi 2,3,4,5 dan 6 pada jam dan hari yang berbeda pada setiap kelompok. Dalam setiap sesinya, responden akan diobservasi kemampuan psikomotor. Setelah 1 sesi selesai, peneliti akan memberikan kesempatan 1 hari untuk menerapkan pada anak di rumah, hal ini dilakukan agar responden dapat mengaplikasikan tiap sesinya lebih lama. 3. Post-test Peneliti kembali melakukan post-test kepada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah kelompok 2 hari setelah sesi ke-6 selesai dilakukan. Pada kelompok kontrol, setelah dilakukan post-test peneliti memberikan penyuluhan tentang kemampuan anak mengelola emosi dan komunikasi asertif orang tua. Skema kerja penelitian pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap cara berkomunikasi ibu pada anak usia sekolah dalam mengelola emosinya di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor digambarkan pada skema 4.2
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
63 Skema 4.2 Proses kerja penelitian pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Minggu V
Minggu I
Minggu II – IV Minggu V
1. Persiapan a. Inisiasi b. Prakunjung an 2. Pre- test
Terapi Kelompok Assertivene ss Training dilakukan selama 2 minggu
Post- test Kelompok Intervensi: 1. Sesi I : melatih ibu memahami perbedaan karakteristik komunikasi asertif, pasif, agresif pada anak 2. Sesi II : melatih ibu menjadi pendengar aktif terhadap keluhan anak 3. Sesi III : melatih ibu menyampaikan perbedaan pendapat ke anak dalam mengambil keputusan 4. Sesi IV : melatih ibu menyampaikan keinginan/harapan ibu mengubah perilaku negatif anak. 5. Sesi V: melatih ibu mengatakan “tidak” untuk permintaan anak yang kurang rasional 6. Sesi VI : sharing mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi
Dilakukan sesudah intervensi sesi 6 selesai
Minggu V Post-test
Kelompok kontrol
4.9 Analisa Data 4.9.1 Pengolahan Data Ada 3 langkah untuk pengolahan data yaitu : persiapan, tabulasi, penerapan data sesuai dengan pendekatan (Arikunto, 2006). Sedangkan menurut Sugiyono (2005) membagi proses pengolahan data menjadi 4 tahap yaitu : 1. Editing Data yaitu Penyuntingan data dilakukan guna menghindari terjadinya kesalahan atau kemungkinan kesalahan, kuesioner belum terisi atau tidak lengkap dan lain-lain. 2. Coding Data yaitu untuk memudahkan proses entry data, setiap pertanyaan diberi kode 3. Entry Data, dilakukan setelah memberi kode, selanjutnya memasukan data 4. Cleaning Data, yaitu data yang sudah dimasukan dilakukan pengecekan, pembersihan kesalahan pada saat entry data, untuk diperbaiki dan sesuai dengan data yang dikumpulkan Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
64 4.9.1 Analisis Data 1. Uji Homogenitas Setelah dilakukan pengumpulan data pre-test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, peneliti melakukan terlebih dahulu uji persyaratan analisis (Sugiyono, 2008) diperlukan guna mengetahui apakah analisis data untuk pengujian hipotesis dapat dilanjutkan atau tidak. Beberapa teknik analisis data menuntut uji persyaratan analisis. Analisis varian mempersyaratkan bahwa data berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan kelompok-kelompok yang dibandingkan homogen. Oleh karena itu analisis varian mempersyaratkan uji normalitas dan homogenitas data tergantung pada jenis data pada tiap variabel. Uji normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dengan menggunakan teknik Chi-kuadrat (jenis data yang diuji nominal atau ordinal) menguji normalitas data yang disajikan secara kelompok. Prinsip pengujian dua mean dengan variable yang dihubungkan berbentuk numerik dan kategori, adalah melihat perbedaan variasi kedua kelompok data. Oleh karena itu dalam pengujian ini diperlukan informasi apakah varian kedua kelompok yang diuji sama atau tidak.bentuk varian kedua kelompok data akan berpengaruh pada standard error yang akhirnya akan membedakan rumus pengujiannya. Analisa ini menggunakan secara komputerisasi, terlihat pada bagian Test of Homogenity of Variance Levene test. Dengan demikian perbedaan yang terjadi dalam hipotesis benar-benar berasal dari perbedaan antara kelompok, bukan akibat dari perbedaan yang terjadi di dalam kelompok (Sabri, 2008) 2. Analisis Univariat Analisis univariat meliputi usia ibu, pendidikan, jumlah pendapatan keluarga tiap bulannya, status perkawinan, jumlah anak, budaya, jenis kelamin anak dan urutan kelahiran anak. Data tersebut diolah dalam bentuk proporsi pada data kategori dan untuk data numerik digunakan Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
65 nilai mean, median, standard deviasi, batas minimal dan maksimal, kemudian dilakukan analisa terhadap hasil data tersebut. 3. Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah suatu analisa untuk menguji hubungan antara dua variable. Pemilihan uji ini dilakukan berdasarkan jenis data, skala, jumlah populasi/sample yang diteliti (Hasan, 2004). Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu uji kesetaraan untuk mengidentifikasi varian variable antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol sehingga dapat dilihat kesetaraan karakteristik dalam berkomunikasi dengan anak usia sekolah. 4. Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk membuktikan terdapat faktorfaktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi asertif ibu terhadap anak usia sekolah dalam mengelola emosi anak. Analisis ini menggunakan regresi linier ganda.
Table 4.3 Teknik Analisis Variabel Penelitian Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010 No
Variable
Variable
Uji Statistik
Uji kesetaraan sebelum intervensi (karakteristik responden) No
Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Cara Analisis
Karakteristik ibu dan anak 1
Usia ibu (interval)
Usia ibu (interval)
t-test independent
2
Jumlah anak (interval)
Jumlah anak (interval)
t-test independent
3
Tingkat pendidikan (ordninal)
Tingkat pendidikan (ordninal)
4
Penghasilan keluarga tiap 1
Penghasilan keluarga tiap 1
bulan (interval)
bulan (interval)
5
Status perkawinan (nominal)
Status perkawinan (nominal)
Chi-square
6
Jenis kelamin anak (nominal)
Jenis kelamin (nominal)
Chi-square
Chi-square t-test independent
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
66 Analisis perbedaan kemampuan komunikasi ibu sebelum dan sesudah intervensi No 1
Variable Kemampuan
Variable Kemampuan
Cara Analisis
Komunikasi Orang tua
Komunikasi Orang tua
Kemampuan komunikasi ibu
Kemampuan komunikasi ibu
pada kelompok intervensi
pada kelompok intervensi
sebelum diberikan
setelah diberikan Assertiveness
Assertiveness training
training (interval)
t-test dependent / Paired t-test
(interval) 2
3
Kemampuan komunikasi ibu
Kemampuan komunikasi ibu
pada kelompok kontrol
pada kelompok kontrol sesudah
sebelum (interval)
(interval)
Selisih kemampuan
Selisih kemampuan komunikasi
komunikasi ibu sebelum dan
ibu sebelum dan sesudah pada
sesudah pada kelompok
kelompok kontrol (interval)
t-test dependent / Paired t-test
Independent t-test
intervensi (interval) 4
No 1
Kemampuan komunikasi ibu
Kemampuan komunikasi ibu
pada kelompok intervensi
pada kelompok kontrol setelah
setelah (interval)
(interval)
Independent t-test
Variable Kemampuan anak
Variable kemampuan anak
mengelola emosi
mengelola emosi
Kemampuan anak mengelola
Kemampuan anak mengelola
emosi pada kelompok
emosi pada kelompok intervensi
intervensi sebelum ibu
setelah ibu diberikan diberikan
diberikan terapi kelompok
terapi kelompok Assertiveness
Cara Analisis
t-test dependent / Paired t-test
Assertiveness training (interval) training (interval) 2
3
Kemampuan anak mengelola
Kemampuan anak mengelola
t-test dependent /
emosi pada kelompok kontrol
emosi pada kelompok kontrol
Paired t-test
sebelum ibu diberikan terapi
sesudah ibu diberikan terapi
(interval)
(interval)
Selisih Kemampuan anak
Selisih Kemampuan anak
mengelola emosi sebelum dan
mengelola emosi sebelum dan
sesudah ibu diberikan terapi
sesudah ibu diberikan terapi
pada kelompok intervensi
pada kelompok kontrol
Independent t-test
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
67 No 4
Variable Kemampuan
Variable Kemampuan
Komunikasi Orang tua
Komunikasi Orang tua
Kemampuan anak mengelola
Kemampuan anak mengelola
emosi pada kelompok
emosi pada kelompok kontrol
Cara Analisis
Independent t-test
intervensi setelah ibu diberikan setelah ibu diberikan terapi terapi (interval)
(interval)
Faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi ibu. 1
Assertiveness Training (data kategorik)
2
Usia ibu (numerik)
3
Pendidikan ibu (ordinal)
4
Jumlah pendapat per bulan (numerik)
5
Jumlah anak (numerik)
6
Status perkawinan (kategorik)
7
Jenis kelamin anak (kategorik)
Kemampuan komunikasi
Korelasi Regresi
ibu
linier
Universitas Indonesia Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
68
BAB 5 HASIL PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang proses pelaksanaan dan hasil penelitian pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu secara asertif dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat 24 Mei – 22 Juni 2010.
5.1 Proses Pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training. Proses pelaksanaan dimulai dari tahap persiapan dan pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training 5.1.1 Persiapan Persiapan penelitian dimulai dengan mengurus surat izin penelitian pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bogor Barat. Setelah mendapat izin, peneliti meneruskan surat tembusan ke Kepala Kecamatan Bogor Barat, kemudian melanjutkan surat tembusan dari Kecamatan ke Kelurahan Balumbang Jaya.
Tahap berikutnya peneliti mempersiapkan empat orang pengumpul data yaitu kader dari masing-masing kelompok intervensi yang bersedia membantu dengan latar pendidikan SMP, aktif dalam kegiatan Kesehatan Jiwa dan cukup berpengaruh baik di lingkungan warga. Persiapan untuk pengumpul data yaitu memberi pelatihan terlebih dahulu tentang cara pengisian instrumen, isi dari masing-masing butir pertanyaan instrument dan cara pengumpulan data penelitian. Selama melakukan pelatihan, pengumpul data banyak bertanya seputar cara menjawab butir pertanyaan instrument.
68
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
69
Setelah mempersiapkan pengumpul data peneliti menentukan lokasi penelitian yaitu Kelurahan Balumbang Jaya RW 01, 02,09 dan 10. Pemilihan tempat penelitian berdasarkan pada waktu luang ibu-ibu yaitu diatas jam 12 siang dan waktu anak pulang sekolah. Hanya Rw 01 dan 02 yang mempunyai waktu anak pulang sekolah yang sama karena itu peneliti memutuskan Rw 01 dan 02 sebagai kelompok intervensi, masing-masing Rw terdiri dari 2 kelompok. Sedangkan untuk kelompok kontrol peneliti memutuskan Rw 09 dan 10 sebagai kelompok kontrol yang memiliki kesamaan karakteristik ibu yang sama.
Selanjutnya peneliti bekerjasama dengan kader kesehatan jiwa mencari responden yang sesuai dengan kriteria inklusi. Jumlah ibu dan anak usia sekolah di Rw 01 Kelurahan Balumbang Jaya sebanyak 38 orang anak sekolah dan Rw 02 sebanyak 28 orang. Dari 66 anak dilakukan pengambilan sample secara acak dengan menggunakan kocokan, mendapatkan jumlah pasangan ibu dan anak sebanyak 32 pasang responden, terdiri dari Rt 01 = 3 orang, RT 02 = 4 anak, RT 03 = 9 anak, sedangkan Rw 02 sebanyak 32 orang ibu dan anak, yang tersebar di Rt 01 = 5 anak, Rt 02 = 3 anak, Rt 03 = 8 anak.
Setelah mendapatkan 32 pasang responden untuk kelompok intervensi dan 32 pasang kelompok kontrol, peneliti membina hubungan saling percaya dengan calon responden, melakukan kontrak kegiatan, menjelaskan tujuan penelitian, menandatangani lembar persetujuan penelitian dan pembagian kelompok. Kelompok intervensi dibagi menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 8 pasang ibu dan anak dan masing-masing kelompok dikoordinasi oleh kader yang telah dilatih untuk mengumpulkan data.
Peneliti memulai penelitian dengan melakukan pre-test untuk kelompok intervensi yang dilaksanakan di Rw 01 dan di rumah salah seorang warga yang telah disewa oleh peneliti sebagai tempat pertemuan. Pelaksanaan Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
70
kegiatan pre test pada kelompok intervensi dilaksanakan pada Hari Senin tanggal 1 Juni 2010, sedangkan kelompok kontrol dilakukan pada Hari Selasa tanggal 2 Juni 2010. Responden yang mengikuti pre-test berjumlah 64 orang, masing-masing 32 orang untuk kelompok intervensi dan kontrol.
5.1.2 Pelaksanaan Pelaksanaan Terapi Kelompok Assertiveness Training dilaksanakan setiap hari Selasa dan Kamis untuk kelompok 1 dan 2 sedangkan hari Rabu dan Jumat untuk kelompok 3 dan 4, masing-masing kelompok terdiri atas 8 pasang anggota ibu dan anak. Terapi Kelompok Assertiveness Training dilakukan sebanyak 6 sesi yang dilakukan dalam 10 kali pertemuan, sesi 1-4 dilakukan masing-masing 2x pertemuan, sedangkan sesi 5-6 dilakukan satu kali pertemuan. Pada sesi 1, 2, 3. 4 di awal sesi mendiskusikan terlebih dahulu isi sesi, tujuan dan perilaku apa yang ingin dipelajari (instruction) kemudian menjelaskan (describing), setelah itu terapis mencontohkan perilaku yang akan dilatih (modeling) kemudian dilanjutkan dengan melatih didalam kelompok (role playing) setelah itu peserta memberikan umpan balik terhadap perilaku baru (feedback). Perilaku baru dipelajari kembali di rumah bersama dengan anak (implementation). Pada hari kedua untuk sesi yang sama, peserta menceritakan kemampuan yang dipelajari, kemudian melakukan latihan kembali (role playing), feedback dan melakukan kembali latihan di rumah (implementation). Lama kegiatan rata-rata berlangsung 60 menit setiap sesi. Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training.
Selama kegiatan penelitian seluruh anggota kelompok mengikuti kegiatan sesuai dengan waktu dan jam yang ditentukan. Setiap pertemuan, para responden hadir bersama dengan anak usia sekolah, ibu dan anak bergantian melakukan role play yang diperankan dulu oleh peneliti bersama dengan seorang kader. Para responden terlihat antusias mencoba bagaimana Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
71
berkomunikasi asertif dengan anak. tidak ada anggota kelompok yang drop out.
Kegiatan post-test dan terminasi kegiatan penelitian pada kelompok intervensi setelah sesi 6 berakhir, yaitu pada sore hari tanggal 5 Juni 2010 untuk kelompok I dan III diikuti sejumlah 32 responden, sedangkan untuk kelompok II dan IV pada tanggal 22 Juni 2010 diikuti oleh 32 responden. Untuk kelompok kontrol kegiatan post-test, terminasi, penyuluhan dan pembagian leaflet dilakukan pada pagi hari tanggal 23 Juni 2010 diikuti oleh 32 responden.
5.2 Hasil Penelitian Hasil penelitian ini terdiri dari karakteristik ibu, kemampuan komunikasi ibu dan pengelolaan emosi anak 5.2.1 Karakteristik Ibu Karakteristik ibu yang diteliti meliputi usia, pendidikan, penghasilan, jumlah anak, status perkawinan, jenis kelamin anak dan kesetaraan karakteristik pada kelompok yang diberi terapi kelompok Assertiveness Training dan yang tidak diberikan terapi kelompok Assertiveness Training . 1. Karakteristik usia, pendapatan keluarga dan jumlah anak dari ibu yang mendapat dan tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training Karakteristik ibu berdasarkan usia, pendapatan keluarga dalam satu bulan dan jumlah anak termasuk data numerik yang dianalisis dengan menggunakan mean, median, standard deviasi dan nilai minimalmaksimal.
Sedangkan untuk menguji kesetaraan karakteristik ibu
berdasarkan usia, jumlah pendapatan dan jumlah anak dianalisis dengan menggunakan uji t-test independent. Hasil dapat dilihat pada tabel 5.1.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
72
Tabel 5.1 Analisis usia ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak dalam keluarga pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat Tahun 2010 (n=64) Variabel Usia Ibu Pendapatan keluarga Jumlah anak
Kelompok Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total Intervensi Kontrol Total
N
Mean
Median
SD
Min-Maks
95% CI
32 32 64 32 32 64 32 32 64
36,41 36,31 36,36 651.312 702.968 677.140 2,75 2,47 2,61
35,00 35,00 35,00 497.000 825.000 661.000 3,00 2,00 2,50
7,304 7,100 7,202 241.958 204.248 223.103 1,368 0,95 1,159
27 – 55 24 – 54 24– 55 430.000-1.300.000 450.000-950.000 430.000-1.300.000 1–5 1–5 1–5
33,77 – 39,04 33,75 – 38,87 33,75– 39,04 564.077-738.547 629.329-776.608 564.077-776.608 2,26 – 3,24 2,13 – 2,81 2,13 – 3,24
Didapatkan hasil bahwa total dari 64 ibu memiliki rata – rata usia 36 tahun dengan usia termuda 24 tahun dan tertua 55 tahun. Untuk jumlah pendapatan keluarga tiap bulannya mempunyai rata-rata keseluruhan Rp677.140,00 dengan pendapatan terendah sebesar Rp 440.000,- dan tertinggi Rp 1.300.000,00. Dari 64 responden ibu, rata-rata mempunyai jumlah anak 3 orang, rata-rata ibu mengasuh 3 orang anak, minimum 1 anak dan maksimum 5 anak pada kelompok intervensi dan kontrol.
Karakteristik ibu berdasarkan usia, jumlah pendapatan dan jumlah anak antara
kelompok
intervensi
dan
kontrol
sebelum
mendapatkan
Assertiveness Training adalah sama/homogen, karena semua karakteristik memiliki p-value>0,05.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
pvalue 0,959
0,360
0,344
73
2. Karakteristik
ibu
berdasarkan
tingkat
pendidikan,
status
perkawinan dan jenis kelamin anak pada kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol. Karakteristik ibu menurut tingkat pendidikan ibu, jenis kelamin anak dan status perkawinan ibu adalah data kategorik yang diuji dengan menggunakan distribusi frekuensi. Sedangkan untuk menguji kesetaraan karakteristik ibu berdasarkan tingkat pendidikan, status perkawinan dan jenis kelamin anak dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi karakteristik ibu menurut tingkat pendidikan, jenis kelamin anak dan status perkawinan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di Kelurahan Balumbang Jaya tahun 2010 (n=64) Karakteristik Jenis Kelamin Anak Status Perkawinan Tingkat pendidikan
Laki – laki Perempuan Kawin Janda SD,SMP SMU, S-1
Kel. intervensi (n = 32) N % 16 50 16 50 28 87,5 4 12,5 28 87,5 4 12,5
Kel. kontrol (n = 32) N % 19 59,4 13 40,6 27 84,4 5 15,6 29 90,6 3 9,3
Jumlah (n = 64) N % 35 54,6 29 45,3 56 85,9 8 14,06 57 89,06 9 14,06
pvalue 0,616 1,000 0,756
Hasil statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin anak paling banyak adalah laki-laki berjumlah 35 orang (54,6%), status perkawinan ibu terbanyak adalah status menikah berjumlah 55 orang (85,9%) dan tingkat pendidikan ibu paling banyak adalah pendidikan SD,SMP yaitu 57 orang (89,06%).
Karakteristik ibu berdasarkan jenis kelamin anak, status perkawinan dan tingkat pendidikan antara kelompok intervensi dan kontrol sebelum mendapatkan
terapi
kelompok
Assertiveness
Training
adalah
sama/homogen, karena semua karakteristik memiliki p-value>0,05.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
74
5.2.2
Kemampuan komunikasi asertif ibu ke anak usia sekolah. Pada bagian ini akan dijelaskan kemampuan komunikasi asertif ibu ke anak usia sekolah dalam mengelola emosi anak sebelum dan sesudah dilakukan terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol, kesetaraan kemampuan komunikasi asertif ibu pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, selisih kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi dan kontrol dan kemampuan komunikasi asertif ibu setelah terapi pada kelompok intervensi dan kontrol. 1. Kemampuan komunikasi asertif ibu terhadap anak usia sekolah sebelum mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol. Kemampuan komunikasi asertif ibu ke anak usia sekolah sebelum mendapatkan terapi dapat dilihat secara komposit maupun lebih terinci lagi dalam 3 aspek yaitu aspek kognitif, psikomotor dan sikap ibu.
Tabel 5.3 Analisis kemampuan komunikasi asertif ibu terhadap anak usia sekolah sebelum mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010 (n=64) Aspek Kognitif Psikomotor Sikap Komposit
Kelompok Intervensi
N 32
Mean 44,13
SD 6,215
SE 1,099
Min-Max 32 – 57
Kontrol
32
37,75
7,988
1,412
25 – 56
Intervensi
32
26,25
5,436
0,961
16 – 34
Kontrol
32
25,84
4,601
0,813
17 – 32
Intervensi
32
26,75
4,158
0,735
18 – 35
Kontrol
32
25,97
3,814
0,674
19 – 32
Intervensi
32
97,13
5,260
0,931
66 – 126
Kontrol
32
89,56
5,460
0,966
61 – 120
p-value 0,001 0,748 0,436 0,395
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
75
Hasil analisis tabel 5.3 menunjukkan kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif menunjukkan rata-rata 40,94 dengan nilai minimum 25 dan maksimum 57. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan kognitif sebelum mendapatkan terapi Assertiveness Training berada pada rentang sedang. Kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif adalah 26,04 dengan nilai minimum 16 dan maksimum 34.Dapat disimpulkan bahwa ratarata kemampuan psikomotor sebelum mendapatkan terapi Assertiveness Training berada pada rentang sedang.
Sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif adalah 26,36 dengan nilai minimum 18 dan maksimum 35. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan sikap sebelum mendapatkan terapi Assertiveness Training berada pada rentang sedang.
Sebelum diberikan terapi kelompok Assertiveness Training, terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan kemampuan ibu dalam berkomunikasi asertif dengan menggunakan analisis t-test independent. Didapatkan hasil bahwa kemampuan psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif terdapat perbedaan yang kurang bermakna dimana p-value>0,05 sehingga dapat disimpulkan kemampuan komunikasi asertif ibu dari aspek psikomotor dan sikap sebelum mendapatkan terapi Assertiveness Training pada kedua kelompok sama / homogen.
Sedangkan kemampuan kognitif ibu dalam beromunikasi asertif menunjukkan nilai p-value<0,05, ini berarti kemampuan kognitif ibu sebelum mendapatkan terapi Assertiveness Training pada kedua kelompok tidak sama / heterogen. Dilihat secara keseluruhan, kesetaraan kemampuan komposit sebelum mendapat terapi Assertiveness Training pada kedua kelompok adalah sama / homogen. Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
76
2. Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah terapi Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training. Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-dependent, tercantum pada table 5.4
Kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan setelah pemberian Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training terjadi peningkatan bermakna sesudah dilakukan terapi (pvalue<0,05) dari 97,13 menjadi 151,19 naik 54,06 point. Tabel 5.4 Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan setelah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Kemampuan Kognitif
Psikomotor
Sikap
Komposit kemampuan ibu
Sebelum Sesudah Selisih Sebelum Sesudah Selisih Sebelum Sesudah Selisih Sebelum Sesudah Selisih
N
Mean
SD
SE
32 32
44,13 65,75 21,62 26,25 45,50 19,25 26,75 39,94 13,19 97,13 151,19 54,06
6,215 4,886 1.329 0,961 0,935 0,026 4,158 2,327 1,831 11,334 8,148 3,186
1,099 0,864 0,235 0,961 0,935 0,026 0,735 0,411 0,324 2,795 1,275 1,520
32 32 32 32 32 32
T
df
Pvalue
95% CI
-15,482
31
0,000
-24,474 ; -18,776
-15,082
31
0,000
-21,853 ; -16,647
-16,036
31
0,000
-14,865 ; -11,510
-15,533
31
0,000
54,06 -24,474 ; -11,510
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek kognitif, meningkat secara bermakna setelah dilakukan terapi Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value<0,05) dari 44,13 menjadi 65,75 naik sebesar 21,62 point.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
77
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek psikomotor, meningkat secara bermakna setelah dilakukan terapi Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value<0,05) dari 26,25 menjadi 45,50 naik sebesar 19,25 point.
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek sikap, meningkat secara bermakna setelah dilakukan terapi Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value<0,05) dari 26,75 menjadi 39,94 naik sebesar 13,19 point.
3. Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan setelah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan setelah terapi pada kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training dianalisis dengan menggnunakan uji t-test dependent dengan hasil tercantum pada table 5.5 Tabel 5.5 Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan setelah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Kemampuan Kognitif Sebelum Sesudah Selisih Psikomotor Sebelum Sesudah Selisih Sikap Sebelum Sesudah Selisih Komposit Sebelum kemampuan Sesudah Selisih
N 32 32 32 32 32 32 32 32
Mean 37,75 33,31 4,438 25,84 24,59 1,250 25,97 24,44 1,531 89,56 82,34 7,22
SD 7,988 6,864 1,124 4,601 4,825 0,224 3,814 2,816 0,998 16,403 14,505 1,898
SE 1,412 1,210 0,202 0,813 0,853 0,040 0,674 0,498 0,176 2,899 2,561 0,338
t
df
P-value
95% CI
9,741
31
0,000
3,508 ; 5,367
3,536
31
0,001
0,529 ; 1,971
4,019
31
0,000
0,754 ; 2,308
5,756
31
0,0003
7,219 0,529 ; 5,367
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
78
Kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah pada kelompok ibu yang tidak mendapat terapi mengalami penurunan bermakna setelah terapi (pvalue<0,05) dari 89,56 menjadi 82,34 turun sebesar 7,219 point, masih berada pada rentang sedang.
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek kognitif pada kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan penurunan kognitif secara bermakna setelah terapi (p-value < 0,05) dari 27,75 menjadi 33,31 turun sebesar 4,438 point.
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek psikomotor pada kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan penurunan psikomotor bermakna setelah terapi (p-value < 0,05) dari 25,84 menjadi 24,59 turun sebesar 1,25 point.
Kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek sikap pada kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan penurunan sikap bermakna setelah terapi (p-value < 0,05) dari 25,97 menjadi 24,44 turun sebesar 1,531 point.
4. Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu antara yang mendapat Assertiveness Training dengan yang tidak mendapat Assertiveness Training Perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu antara yang mendapat terapi Assertiveness Training dengan yang tidak mendapat Assertiveness Training dianalisis dengan menggunakan uji t-test independent, dengan hasil seperti pada tabel 5.6
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
79
Tabel 5.6 Analisis perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu antara kelompok yang mendapat Assertiveness Training dengan yang tidak mendapat Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Aspek Kognitif Psikomotor Sikap Komposit
Kelompok
N
Mean
SD
SE
Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol
32 32 32 32 32 32 32 32
65,75 33,31 45,50 24,59 39,94 24,44 151,19 82,34
4,886 6,846 5,292 4,825 2,327 2,816 12,505 14,487
0,864 1,210 0,935 0,853 0,411 0,498 2,210 2,561
T
df
P value
95% CI
21,817
62
0,000
29,465 ; 35,410
16,515
62
0,000
18,376 ; 23,437
24,000
62
0,000
20,777
62
0,000
14,209 ; 16,791 68,844 14,209 ; 35,410
Dari table di atas terlihat bahwa ada perbedaan yang bermakna (pvalue<0,05) antara yang mendapat Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Training setelah dilakukan terapi kelompok Assertiveness Training. Kelompok yang mendapat terapi menunjukkan hasil yang lebih tinggi yaitu 151,19 (rentang kemampuan sangat tinggi) sedangkan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training 82,34 (rentang kemampuan sedang), selisih antara kelompok intervensi dan kontrol sebesar 68,8%.
Kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif antara yang mendapat dan yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan perbedaan bermakna pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value < 0,05) dimana kelompok yang mendapat Assertiveness Training kemampuan kognitifnya lebih tinggi daripada kelompok yang tidak mendapat terapi.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
80
Kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif antara yang mendapat dan yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan perbedaan bermakna pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value < 0,05) dimana kelompok yang mendapat Assertiveness Training kemampuan psikomotornya lebih tinggi daripada kelompok yang tidak mendapat terapi.
Sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif antara yang mendapat dan yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan perbedaan bermakna pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training (p-value < 0,05) dimana kelompok yang mendapat Assertiveness Training memiliki sifat lebih tinggi daripada kelompok yang tidak mendapat terapi.
5. Selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dengan setelah pemberian terapi kelompok Assertiveness Training antara kelompok yang mendapat dan yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dengan setelah pemberian terapi kelompok Assertiveness Training antara kelompok yang mendapat dan yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training dengan menggunakan uji t-test independent dengan hasil seperti pada tabel 5.7
Selisih keseluruhan kemampuan komunikasi asertif ibu pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training menunjukkan kenaikan skor kemampuan setelah mendapat terapi kelompok Assertiveness Training sebesar 54,06% sedangkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training menunjukkan penurunan skor kemampuan setelah Assertiveness Training sebesar 7,22%. Dapat disimpulkan bahwa terdapat selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu, dimana kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
81
bermakna (p-value<0,05) dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training Tabel 5.7 Analisis selisih perbedaan kemampuan komunikasi asertif ibu sebelum dan sesudah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010 (n=64) Kemampuan Kognitif Psikomotor Sikap Komposit selisih
N
Mean
SD
SE
t
df 62
Pvalue 0,000
Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi
32 32 32 32 32 32 32
21,62 -4,44 19,25 -1,25 13,19 -1,53 54,06
7,902 2,577 7,220 2,000 4,652 2,155 19,77
1,397 0,456 1,276 0,354 0,822 0,381 3,495
-17,739
Kontrol
32
-7,22
6,732
1,191
95% CI -28,999 ; -23,126
-15,479
62
0,000
-23,147 ; -17,853
-16,240
62
0,000
-16,530 ; -12,907
-16,486
62
0,000
46,840 -28,999 ; -12,907
Selisih kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif pada kelompok
yang
mendapat
terapi
kelompok
Assertiveness
Training
menunjukkan kenaikan skor kemampuan setelah mendapat terapi kelompok Assertiveness Training sebesar 21,62 point. Sedangkan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan penurunan skor kemampuan setelah terapi kelompok Assertiveness Training sebesar 4,44%. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan selisih kemampuan kognitif ibu, dimana kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training.
Selisih kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif pada kelompok yang mendapat terapi Assertiveness Training menunjukkan kenaikan skor kemampuan psikomotor setelah mendapat Assertiveness Training sebesar 19,25% sedangkan kelompok yang tidak mendapat terapi Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
82
kelompok Assertiveness Training menunjukkan penurunan skor kemampuan psikomotor setelah terapi kelompok Assertiveness Training sebesar 1,25%. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan selisih komposit kemampuan komunikasi psikomotor ibu, dimana kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training.
Selisih sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training menunjukkan kenaikan skor sikap komunikasi setelah mendapat terapi kelompok Assertiveness Training sebesar 13,19 % sedangkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training menunjukkan penurunan skor sikap setelah terapi kelompok Assertiveness Training nilai sebesar 1,53%. Dapat disimpulkan bahwa terdapat selisih perbedaan sikap komunikasi asertif ibu, dimana kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training
5.2.3
Kemampuan anak mengelola emosi Pada bagian ini akan dipaparkan hasil analisis kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah ibu diberikan terapi Assertiveness Training, kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu diberikan terapi pada kelompok kontrol, kemampuan anak mengelola emosi setelah ibu diberikan terapi pada intervensi dan kontrol dan selisih kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan sesudah ibu diberikan terapi pada kelompok intervensi dan kontrol.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
83
1. Kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training Kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training dianalisis menggunakan mean, median, standard deviasi dan nilai minimum maksimun. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.8 Tabel 5.8 Analisis kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan Terapi Kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Kelompok
N
Mean
Intervensi Kontrol Total
32 32 64
51,19 49,91 50,55
Median 50,50 49,50 50,00
SD
Min - Max
7,337 6,331 6,834
38 – 71 36 – 68 36 – 71
p-value 95% CI 48,54 ; 53,83 47,62 ; 52,19 47,62 ; 53,83
0,457
Rata-rata kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan Assertiveness Training adalah 50,55 dengan nilai terendah 36 dan tertinggi 71. Kelompok intervensi menunjukkan kemampuan anak mengelola emosi lebih tinggi yaitu 51,19 (kemampuan sedang) dibandingkan kelompok kontrol 49,91 (kemampuan rendah).
Kesetaraan kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol dianalisis dengan menggunakan uji t-test independent. Kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan terapi Assertiveness Training antara kelompok intervensi dan kontrol terdapat perbedaan yang kurang bermakna dimana p-value>0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan/homogen antara kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan terapi Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
84
2. Perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan setelah ibu mendapat Assertiveness Training pada kelompok yang mendapat dan yang tidak mendapat Assertiveness Training. Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan anak mengelola emosinya sebelum dan sesudah Assertiveness Training dianalisis dengan menggunakan uji t-test dependent dengan hasil seperti pada tabel 5.9
Tabel 5.9 Analisis kemampuan anak mengelola emosi sebelum dan setelah ibu mendapat terapi Assertiveness Training pada kelompok yang mendapat dan yang tidak Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Kelompok Intervensi Sebelum Sesudah Selisih Kontrol Sebelum Sesudah Selisih
N 32 32 32 32
Mean 51,19 80,59 29,406 49,91 47,94 1,969
Sd 7,337 7,448 0,111 6,331 6,390 0,059
SE 1,297 1,317 0,02 1,119 1,130 0,011
t -15,880
df 31
P-value 0,000
95% CI -33,183 ; -25,629
7,361
31
0,000
1,423 ; 2,514
Rata-rata Kecerdasan emosi anak sebelum mendapat terapi Assertiveness Training adalah 50,55 (kecerdasan emosi sedang) dan setelah diberikan Assertiveness Training menjadi 64,25 (kecerdasan emosi tinggi). Terjadi peningkatan bermakna sesudah dilakukan terapi (p-value<0,05) dari 50,55 menjadi 64,25 naik 27,437 point.
Kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok yang diberikan terapi kelompok Assertiveness Training meningkat secara bermakna (p-value<0,05) sebesar 29,406 sedangkan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok yang tidak diberikan terapi kelompok Assertiveness Training menurun secara bermakna (p-value<0,05) sebesar 1,969.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
85
3. Perbedaan kemampuan anak mengelola emosi antara kelompok ibu yang mendapat terapi Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Training Perbedaan kemampuan anak mengelola emosi antara kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Training dinalisa dengan menggunakan uji t-test independent, dengan hasil seperti pada table 5.10 Tabel 5.10 Analisis perbedaan kemampuan anak mengelola emosi antara kelompok ibu yang mendapat terapi Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Trainingdi Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Kelompok
N
Mean
SD
SE
t
df
P value
Intervensi Kontrol
32 32
80,59 47,94
7,448 6,390
1,317 1,130
18,824
62
0,000
Mean diff 95% CI 32,656 29,188 ; 36,124
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training adalah 80,59 (kemampuan mengelola emosi sangat tinggi) dan kelompok
ibu yang tidak mendapat
Assertiveness Training adalah 47,94 (kemampuan anak mengelola emosi sedang). Dari hasil uji statistik tersebut, dapat disimpulkan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok ibu yang diberikan terapi Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dengan perbedaan sebesar 32,656.
4. Selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dengan setelah ibu diberikan terapi kelompok Assertiveness Training antara kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training dan yang tidak mendapat Assertiveness Training. Selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dengan setelah ibu diberikan terapi Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
86
kontrol dianalisis dengan menggunakan uji t-test independent dengan hasil tercantum pada tabel 5.11 Tabel 5.11 Analisis selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi sebelum dengan sesudah terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok ibu yang mendapat dan yang tidak mendapat Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Tahun 2010 (n=64) Kelompok Intervensi Kontrol
N
Mean
SD
SE
T
Df
P value
95% CI
32 32
29,41 1,97
10,475 1,513
1,852 0,267
-16,769
32,293
0,000
-35,185 ; -27,565
Selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok ibu yang mendapat
terapi
Assertiveness
Training
menunjukkan
kenaikan
skor
kemampuan setelah mendapat Assertiveness Training sebesar 29,41% sedangkan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training menunjukkan penurunan skor kemampuan setelah Assertiveness Training sebesar 1,97%. Dapat disimpulkan bahwa selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok ibu yang mendapat Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan dengan kelompok ibu yang tidak mendapat Assertiveness Training
4.2.4
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi asertif ibu Pada bagian ini akan disampaikan hasil analisis hubungan antara usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan keluarga, jumlah anak, jenis kelamin anak dan status perkawinan, Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi asertif ibu dilihat dari aspek kognitif dalam mengelola emosi anak usia sekolah.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
87
1. Faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif ibu Hubungan antara usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan keluarga, jumlah anak dan Assertiveness Training dengan kemampuan ibu dari aspek kognitif ibu dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Regresi Linier Sederhana. Kekuatan hubungan dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam 4 area, yaitu r = 0,00 – 0,25 berarti tidak ada hubungan/hubungan yang lemah, r = 0,26 – 0,50 berarti hubungan sedang, r = 0,51 – 0,75 berarti hubungan kuat, dan r = 0,76 – 1,00 berarti hubungan sangat kuat / sempurna (Hasan,2004). Hasil tercantum pada tabel 5.12
Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif ibu di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Karakteristik Ibu
Aspek Kognitif Ibu N
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
AssertivenessTraining Usia Tingkat pendidikan Jumlah pendapatan Jumlah anak Jenis kelamin anak Status perkawinan
r
64 64 64 64 64 64 64
0,915
R2
t
P value
0,838
16.623 -0,100 -0,521 0,653 -0,510 1.214 0,762
0,000 0,921 0,605 0,516 0,612 0,230 0,449
Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat/sempurna (r = 0,915)
antara
karakteristik
AssertivenessTraining
ibu
dengan
dan
pemberian
kemampuan
terapi
kognitif
kelompok
ibu
dalam
berkomunikasi secara asertif. Karakteristik ibu dan pemberian terapi kelompok
AssertivenessTraining
berpeluang
untuk
meningkatkan
kemampuan kognitif ibu sebesar 83,8 %
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
88
2.
Faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif Hubungan antara usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan keluarga, jumlah anak dan Assertiveness Training dengan kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif, dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Regresi Linier Sederhana, dengan hasil tercantum pada tabel 5.13
Tabel 5.13 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Karakteristik Ibu
Aspek Psikomotor Ibu N
Assertiveness Training Usia Tingkat pendidikan Jumlah pendapatan Jumlah anak Jenis kelamin anak Status perkawinan
64 64 64 64 64 64 64
R
0,844
R2
0,712
t 11.416 0,331 -0,954 1.305 -0,663 1.528 0,401
P value 0,000 0.742 0,344 0,197 0,510 0,132 0,690
Hasil analisis dari tabel 5.14 diatas dapat diketahui bahwa Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat/sempurna (r = 0,844) antara karakteristik ibu dan pemberian terapi AssertivenessTraining dengan kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif. Karakteristik ibu dan pemberian terapi kelompok AssertivenessTraining berpeluang untuk meningkatkan kemampuan psikomotor ibu sebesar 71,2 %
3. Faktor yang berkontribusi terhadap sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif. Hubungan antara usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan keluarga, jumlah anak dan Assertiveness Training dengan sikap ibu dalam
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
89
berkomunikasi secara asertif dianalisis dengan menggunakan uji Korelasi Regresi Linier Sederhana, dengan hasil tercantum pada tabel 5.14 Tabel 5.14 Analisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2010 (n=64) Karakteristik Ibu
Aspek Sikap Ibu N
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
AssertivenessTraining Usia Tingkat pendidikan Jumlah pendapatan Jumlah anak Jenis kelamin anak Status perkawinan
64 64 64 64 64 64 64
r
0,907
R2
0,823
t 15.704 0,749 -0,325 -0,178 -0,077 -0,019 -0,061
P value 0,000 0,457 0,747 0,860 0,939 0,985 0,952
Hasil analisis dari tabel 5.15 diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat/sempurna (r = 0,907) antara karakteristik ibu dan pemberian terapi kelompok AssertivenessTraining dengan sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif. Karakteristik ibu dan pemberian terapi kelompok AssertivenessTraining berpeluang untuk meningkatkan sikap ibu sebesar 82,3 %
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
BAB 6 PEMBAHASAN
Bab ini akan memaparkan tentang pembahasan hasil penelitian, mendiskusikan hasil interpretasi data yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, keterbatasan penelitian baik dari aspek metodologis maupun proses pelaksanaan, dan implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan keperawatan jiwa, keilmuan dan penelitian berikutnya
6.1 Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak. Kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif meliputi pengetahuan ibu tentang gaya komunikasi asertif dibedakan dari gaya komunikasi pasif dan agresif. Kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif dengan cara menanggapi keluhan anak dan mencari pemecahan masalah bersama dengan anak dan yang ketiga adalah sikap ibu dalam berkomunikasi asertif. Akan diuraikan lebih lanjut pengaruh Assertiveness Training terhadap ketiga kemampuan ibu tersebut serta variabel confounding yang berkontribusi.
6.1.1 Pengaruh
Terapi
Kelompok
Assertiveness
Training
terhadap
Kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi secara asertif Kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif sebelum mendapat terapi Assertiveness Training pada kelompok intervensi adalah 44,13 (rentang kemampuan sedang) baru mencapai 55,1% dari skore tertinggi yaitu 80. Sedangkan pada kelompok kontrol, skor sebelum mendapat terapi Assertiveness Training adalah 37,75 (rentang kemampuan rendah) baru mencapai 47,18% dari skore tertinggi yaitu 80.
Data tersebut diatas menunjukkan bahwa walaupun pendidikan ibu sebagian besar adalah SD tidak berarti ibu tidak memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang komunikasi dengan anak usia sekolah. Meskipun aspek kognitif pada kelompok intervensi sudah terbilang sedang, namun
90 Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia
91 butuh 44,9% lagi untuk mencapai tingkat pemahaman maksimum tentang bagaimana berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah. Sedangkan pada kelompok kontrol membutuhkan 52,81% untuk mencapai tingkat pemahaman maksimum tentang komunikasi asertif. Sebelum dilakukan terapi Assertiveness Training, kemampuan kognitif antara kelompok intervensi dan kontrol tidak homogen namun akan dianalisis perbedaan kognitif ini dengan menggunakan uji analisis selisih kemampuan kognitif ibu sebelum dan sesudah dilakukan terapi Assertiveness Training.
Dikatakan oleh Lawrence (dalam Notoatmodjo, 2003) bahwa perubahan pada individu dilatarbelakangi oleh faktor pengetahuan, sikap dan keyakinan. Hal ini sebagai landasan bagi orang tua untuk benar-benar memahami gaya komunikasi asertif, apa manfaat jika diterapkan ke anak sejak dini. Pemahaman secara kognitif akan diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku ibu.
Setelah dilakukan Assertiveness Training, kelompok yang mendapat Assertiveness Training menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training. Sesudah mendapatkan terapi Assertiveness Training, kemampuan kognitif menjadi 65,75 (82,1%). Dalam waktu 3 minggu terapi Assertiveness Training, kemampuan kognitif ibu naik sebesar 27% dari kemampuan kognitif sedang ke kemampuan kognitif tinggi, butuh 17,9% lagi untuk mencapai kemampuan kognitif maksimum.
Penelitian yang dilakukan oleh Alberti dan Emmons (1977) tentang pengaruh latihan asertif pada individu yang mengalami depresi. Penelitian yang berlangsung selama 32 hari melalui 11 sesi pada 64 orang responden, membuktikan terdapat pengaruh yang signifikant terhadap perubahan sikap dan konsep diri orang depresi (p-value<0,05).
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
92 Sedangkan kelompok ibu yang tidak mendapatkan terapi Assertiveness Training, menunjukkan penurunan secara bermakna (p-value<0,05). Kemampuan kognitif ibu turun menjadi 33,31 (41,63%). Jadi, dalam waktu 3 minggu tidak mendapat terapi Assertiveness Training, kemampuan kognitif ibu menurun sebesar 5,55%. Kemampuan kognitif ibu sebelum terapi berada pada skala kemampuan rendah, dan setelah 3 minggu tidak mendapat terapi Assertiveness Training, tetap berada pada kemampuan kognitif rendah.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pemberian terapi kelompoko Assertiveness Training pada kelompok intervensi berdampak cukup besar pada pemahaman perilaku asertif secara kognitif. Karena terapi kelompok Assertiveness Training merupakan salah satu jenis terapi perilaku (Towsend, 2009), maka pemahaman secara kognitif sangat diperlukan diawal terapi untuk memudahkan ibu berespon dan menanggapi emosi anak (Faber & Mazlish, 2009).
Terapi kelompok Assertiveness Training mendukung ibu memahami dan menanggapi segala respon emosi yang dimunculkan anak akibat dari kebutuhan anak yang tidak terpenuhi (Emmons, dalam Towsend, 2009). Dengan latihan asertif, ibu melatih diri menerima emosi diri sendiri, menerima emosi anak, memikirkan dengan aktif cara menanggapi emosi anak. Ibu akan memahami bahwa dengan cara agresif atau pasif setiap kali menghadapi keluhan anak, tidak membawa dampak yang positif pada hubungan orang tua dan anak (Gottman & DeClaire, 2008).
Perbedaan selisih kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Naik sebanyak 21,62 point atau naik sebesar 27%. Sedangkan pada kelompok kontrol
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
93 terjadi penurunan secara bermakna (p-value<0,05), turun sebanyak 4,438 point atau turun sebesar 5,55%.
Antara kelompok yang mendapat dan tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training terlihat selisih perbedaan kognitif sebesar 17,18 point (21,45%) lebih tinggi pada kelompok yang mendapat Assertiveness Training. Kemampuan sebelum terapi tidak sama/heterogen antara kedua kelompok, namun setelah mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training, terlihat bahwa kelompok intervensi menunjukkan selisih kenaikan yang cukup signifikant, naik dari kemampuan kognitif sedang menjadi kemampuan kognitif tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwandari dan Purwanti (2008) tentang peningkatan kecerdasan emosi anak lewat pelatihan pembentukan karakter anak oleh guru di sekolah menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikant (p-value=0,05). Penelitian ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan pada orang tua melalui terapi kelompok Assertiveness Training. Terjadi peningkatan kognitif pada orang tua setelah dilakukan terapi kelompok Assertiveness Training, meliputi pemahaman tentang gaya komunikasi asertif, mampu membedakan gaya komunikasi asertif, agresif dan pasif yang selama ini dilakukan oleh ibu ke anak.
6.1.2 Pengaruh
Terapi
Kelompok
Assertiveness
Training
terhadap
Kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi secara asertif Kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi adalah 26,25 (rentang kemampuan sedang) baru mencapai 46,8% dari skore tertinggi yaitu 56. Sedangkan pada kelompok kontrol, skor sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training adalah 25,84 (rentang kemampuan sedang) baru mencapai 46,1% dari skore tertinggi yaitu 56.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
94 Walaupun aspek psikomotor sudah terbilang sedang pada kelompok intervensi, butuh 53,1% lagi untuk mencapai kemampuan psikomotor maksimum. Sedangkan pada kelompok kontrol membutuhkan 53,85% untuk mencapai kemampuan psikomotor maksimum tentang cara berkomunikasi asertif.
Berdasarkan hasil diskusi dengan para responden sebelum dilakukannya terapi kelompok Assertiveness Training, para ibu mengeluhkan sulitnya mengelola emosi anak dengan cara berbicara yang baik, ibu cenderung ingin mendapatkan hasil yang cepat, ingin anak segera memenuhi apa yang diminta oleh ibu. Adanya keinginan dan kesadaran akan perubahan sikap ibu, dibutuhkan perubahan dari aspek kognitif terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan oleh Lewin, dkk (1987 dalam Gordon, 2008) bahwa anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri sikap dan perilakunya terganggu, anak mudah menyerah. Karena itu butuh penelitian lebih lanjut tentang keterkaitan pola asuh terhadap kemampuan komunikasi asertif ibu.
Setelah dilakukan terapi kelompok Assertiveness Training, kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training menunjukkan peningkatan kemampuan psikomotor lebih tinggi secara bermakna (pvalue<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Sesudah mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training, kemampuan psikomotor ibu menjadi 45,5 (81,25%). Dalam waktu 3 minggu terapi kelompok Assertiveness Training, terjadi kenaikan kemampuan psikomotor sebesar 34,45% dari kemampuan psikomotor sedang ke kemampuan psikomotor tinggi. Butuh 18,75% lagi untuk mencapai kemampuan psikomotor maksimum.
Sedangkan kelompok ibu yang tidak mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training, menunjukkan penurunan psikomotor secara bermakna (p-value<0,05). Kemampuan psikomotor ibu turun menjadi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
95 24,59 (43,9%). Jadi, dalam waktu 3 minggu tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training, kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif turun sebesar 2,2%. Kemampuan psikomotor ibu sebelum terapi berada pada skala kemampuan sedang, dan setelah 3 minggu tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training, turun ke rentang skala kemampuan psikomotor rendah.
Komunikasi asertif membutuhkan latihan bertahap dan berulang untuk mencapai kemampuan komunikasi asertif karenanya terapi kelompok Assertiveness Training ini dilakukan dalam 6 sesi, dimana sesi 1-4 diulang sebanyak 2x dan sesi 5,6 sebanyak 1x. Tahap-tahap dalam setiap sesinya adalah describing (menggambarkan perilaku baru yang akan dipelajari), learning (mempelajari perilaku baru melalui demonstrasi oleh terapis), practicing atau role play (mempraktekkan kembali perilaku baru di dalam kelompok), feedback (pemberian masukan atau penilaian dari terapis) dan implementation (melatih perilaku yang dipelajari ke situasi nyata di rumah bersama dengan anak). Tahapan yang dilakukan pada Assertiveness Training sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2009) dalam penelitiannya melatih sikap asertif ke klien dengan perilaku kekerasan. Kunci keberhasilan terapi kelompok Assertiveness Training adalah kemampuan menjadi pendengar yang aktif, membutuhkan waktu hanya 510 menit untuk mendengar keluhan anak dengan penuh perhatian, mata sejajar dengan anak, berhadapan, rileks dan menahan diri untuk memberikan nasihat ke anak. Proses ini sesuai dengan Assertiveness Training yang dilakukan oleh Alberti dan Emmons (1977) sebanyak 11 sesi. Proses ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sobur (1993, dalam Ramadhani, 2008) bahwa komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak adalah proses pemindahan informasi, ide, pengertian, pemahaman
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
96 dari orang tua ke anak atau sebaliknya, kemudian diinterpretasikan sesuai dengan tujuan dan adanya saling pengertian antara kedua belah pihak. Perbedaan selisih kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Naik sebanyak 19,25 point atau naik sebesar 34,45%. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan secara bermakna (p-value<0,05), turun sebanyak 1,25 point atau turun sebesar 2,22%. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kemampuan psikomotor ibu dalam berkomunikasi asertif dapat diasah dan ditingkatkan setelah mendapatkan latihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Burton dan White (1971 dalam Safaria, 2009) bahwa proses pembentukan kompetensi emosi anak salah satunya adalah komunikasi asertif orang tua kepada anaknya yang diperoleh melalui latihan yang intensif.
Penelitian ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Burton L.White (dalam Ramadhani, 2008) yang menunjukkan bahwa peran orang tua dalam berkomunikasi positif sangat besar pengaruhnya, dimana orang tua mempunyai kemampuan dalam merespon secara cepat kebutuhan anaknya baik kebutuhan fisik, psikologis dan sosialnya.
6.1.3 Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap Sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif Sikap ibu dalam berkomunikasi asertif ke anak usia sekolah sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi adalah 26,75 (rentang kemampuan sedang) baru mencapai 58,1% dari skore tertinggi yaitu 46. Sedangkan pada kelompok kontrol, skor sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training adalah
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
97 25,97 (rentang kemampuan sedang) baru mencapai 56,4% dari skore tertinggi yaitu 46.
Walaupun aspek sikap sudah terbilang sedang pada kelompok intervensi, butuh 41,84% lagi untuk mencapai sikap ibu yang maksimum dalam berkomunikasi asertif ke anak. Sedangkan pada kelompok kontrol membutuhkan 43,54% untuk mencapai sikap ibu yang maksimum tentang sikapkomunikasi asertif.
Aspek sikap mengarahkan seseorang pada perasaan atau perilaku yang menghasilkan sikap, nilai dan kepercayaan (Towsend, 2009). Bloom (1956, dalam Potter & Perry, 2005) mengkategorikan lima kategori sikap, yaitu menginternalisasi nilai-nilai yang bertujuan untuk mengontrol perilaku, mengorganisasi atau mengatur nilai urutan prioritas, menilai sesuatu, berespon dengan aktif berpartisipasi dan penerimaan yang terlihat dari kemauan mendengar yang berasal dari keingintahuan. Sikap ibu yang ditingkatkan selama pemberian terapi kelompok Assertiveness Training adalah mau menerima perubahan, keyakinan kalau emosi anak bisa dikendalikan melalui komunikasi asertif ibu, menyadari sikap yang akan dirubah, berespon aktif selama Assertiveness Training berlangsung. menanggapi dan berespon terhadap keluhan anak.
Komunikasi asertif membutuhkan kesadaran diri orang tua akan sikap selama berkomunikasi dengan anak usia sekolah. Tanpa adanya kesadaran diri, tidak akan diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku. Aspek sikap dapat berubah jika terjadi pemahaman secara kognitif tentang tujuan dan keuntungan apa yang akan diperoleh selama mengikuti terapi kelompok Assertiveness Training.
Setelah dilakukan terapi kelompok Assertiveness Training, kelompok yang mendapat Assertiveness Training menunjukkan peningkatan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif lebih tinggi secara bermakna (p-
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
98 value<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat Assertiveness Training. Sesudah mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training, sikap ibu pada kelompok intervensi menjadi 39,94 (86,8%). Dalam waktu 3 minggu mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training, terjadi kenaikan sikap ibu sebesar 28,7% dari skala sikap sedang ke skala sikap tinggi. Butuh 13,7% lagi untuk mencapai sikap komunikasi asertif yang maksimum. Sedangkan kelompok ibu yang tidak mendapatkan terapi kelompok Assertiveness
Training,
menunjukkan
penurunan
sikap
dalam
berkomunikasi asertif secara bermakna (p-value<0,05). Sikap ibu turun menjadi 24,44 (53,1%). Jadi, dalam waktu 3 minggu tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training, sikap ibu turun sebesar 2,3% dan tetap berada pada skala sikap sedang.
Sikap orang tua adalah urutan kedua yang paling berperan setelah domain kognitif. Selama mengikuti terapi kelompok Assertiveness Training di Kelurahan Balumbang Jaya, ibu banyak mengeluhkan bahwa mereka tidak mungkin dapat merubah anak untuk bisa mendengar ibu, ibu yakin kalau pengaruh dari lingkungan teman lebih kuat dibandingkan sikap asertif ibu di rumah. Sesuai dengan teori Bloom bahwa pemahaman kognitif akan diikuti oleh sikap dan perilaku. Keyakinan yang kurang akan
keberhasilan
teknik
komunikasi
dalam
terapi
kelompok
Assertiveness Training disebabkan oleh pemahaman yang kurang akan gaya komunikasi asertif itu sendiri. Karenanya, pemahaman pada sesi 1 dan 2 harus dimiliki oleh seluruh ibu.
Perbedaan selisih sikap ibu dalam berkomunikasi asertif pada kelompok yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Naik sebanyak 13,19 point atau sebesar 28,7%. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
99 penurunan secara bermakna (p-value<0,05), turun sebanyak 1,531 point atau sebesar 2,3%.
6.2
Pengaruh Terapi Kelompok Assertiveness Training pada ibu yang mendapat dan yang tidak mendapat Terapi Kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan anak mengelola emosi Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kemampuan emosi anak sebelum ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi adalah 51,19 (rentang kemampuan sedang) dengan nilai minimum 38 dan maksimum 71. baru mencapai 51,19%% dari skore tertinggi yaitu 100. Sedangkan pada kelompok kontrol, skor sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training adalah 49,91 (rentang kemampuan rendah) baru mencapai 49,91% dari skore tertinggi yaitu 100.
Kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok intervensi masih butuh 48,81% lagi untuk mencapai kemampuan maksimum. Sedangkan pada kelompok kontrol membutuhkan 50,09% untuk mencapai kemampuan mengelola emosi yang maksimum.
Kemampuan anak mengelola emosi sebelum ibu mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training ternyata sudah berada pada rentang kemampuan sedang. Asumsi peneliti adalah anak mendapatkan lingkungan support system selama menjalankan perannya sebagai anak dan pelajar. Anak tidak hanya meniru orang tuanya di rumah tapi juga guru mereka di sekolah. Seperti yang dikatakan oleh Mubayidh (2007) bahwa guru ikut mendidik murid mengembangkan rasa tanggung jawab pada dirinya, mengajarkan menghormati diri sendiri, mengajarkan memberi pertolongan pada temannya dan membantu beradaptasi pada situasi sulit. Setiap anak akan menjalani masa tumbuh kembangnya, yang tanpa disadari berpengaruh terhadap perkembangan jiwa di masa yang akan datang. Masa
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
100 perkembangan yang paling mencolok terjadi pada masa anak sekolah dimana anak sudah mulai memasuki sekolah dasar, terjadi perluasan kemampuan sosial anak. Di usia sekolah ini, anak belum mampu mengolahnya secara tepat sehingga anak lebih rentan untuk berperilaku emosional (Hurlock, 2008). Sebagai seorang pelajar, anak lebih banyak diarahkan pada kemampuan kognitif saja, tetapi jarang untuk diajarkan atau dilatih untuk mengembangkan aspek emosinya. Seagai contoh pelatihan tentang bagaimana mengelola emosi anak, menghadapi konflik, berkomunikasi secara asertif, mengelola stress dan ketrampilan lainnya. Akibatnya banyak siswa yang tidak terampil dalam mengelola emosi dan stress belajar. Tak jarang ditemui pelajar yang tidak mau belajar, melawan orang tua, dll (Safaria, 2009). Setelah
ibu
mendapatkan
terapi
kelompok
Assertiveness
Training,
menunjukkan peningkatan kemampuan anak mengelola emosi lebih tinggi secara bermakna pada kelompok ibu yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training (p-value<0,05) dibandingkan kelompok ibu yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Sesudah terapi kelompok terapi Assertiveness Training, kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok intervensi naik menjadi 80,59%. Dalam waktu 3 minggu, terjadi kenaikan sebesar 29,4% dari skala sedang ke skala tinggi. Butuh 19,41% lagi untuk mencapai kemampuan mengelola emosi maksimum. Sedangkan pada kelompok ibu yang tidak mendapatkan
terapi kelompok
Assertiveness Training, menunjukkan penurunan kemampuan anak mengelola emosi secara bermakna (p-value<0,05) sebesar 47,94%. Jadi, dalam waktu 3 minggu tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training, kemampuan anak mengelola emosi turun sebesar 1,97% dan tetap berada pada rentang skala rendah. Kemampuan anak mengelola emosi dapat meningkat jika orang tua diberikan pelatihan terlebih dahulu. Untuk merubah perilaku negative anak di rumah, gaya bicara, menanggapi keluhan anak secara asertif , menjadikan orang tua sebagai role model dalam mengelola emosi dalam menyelesaikan masalahnya
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
101 ditiru oleh anak. Sebaliknya, jika anak tidak dilatih sejak di usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya, sehingga anak cenderung menyelesaikannya dalam bentuk emosi (Rosa, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Shapiro, dkk (1997 dalam Safaria, 2009) tentang pelatihan emosi anak mengatakan bahwa anak yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih mudah menangani ketegangan emosi di sekolah maupun hubungan dengan temannya. Anak akan lebih percaya diri dan sukses secara akademik. Sebaliknya, anak yang tidak pernah dilatih memiliki kemampuan mengelola emosi yang rendah dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalahnya. Penelitian lain yang mendukung terhadap hasil dari terapi Assertiveness Training adalah penelitian Rose (1975) yang meneliti tentang pengaruh Assertiveness Training terhadap konsep diri dan kompetensi sosial anak. Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu. Hasil penelitian membawa pengaruh positif terhadap konsep diri anak. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti hanya bedanya, penelitian yang dilakukan oleh Shapiro, dkk (1997) dilakukan langsung ke anak dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini meningkatkan kecerdasan emosi anak melalui pelatihan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi secara asertif ke anak usia sekolah terapi kelompok terapi Assertiveness Training. Hasilnya terlihat terjadi peningkatan secara bermakna (p-value<0,05). Setelah dilatih, ibu menerapkan di rumah sebagai pelatih emosi anak, memberi contoh penyelesaian masalah ke anak dan menjadi pendengar aktif bagi keluhan anak. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Goleman (1996 dalam Nurjanah, 2008) bahwa kemampuan untuk memonitor, mengenali dan memahami emosi sehingga dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Orang tua dapat menjadi role model bagi anak mengontrol emosinya ketika ada masalah (Gordon, 2009). Orang tua diyakini dapat mempengaruhi perilaku anak karena orang tua merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
102 anak dan orang yang paling banyak menghabiskan waktu, berinteraksi dengan anak (Hurlock,2008). Melalui proses belajar yaitu melihat, meniru dan melakukan apa yang dilakukan orang tuanya, anak mengadopsi perilaku orang tuanya. Selisih perbedaan kemampuan anak mengelola emosi pada kelompok ibu yang mendapat terapi kelompok Assertiveness Training lebih tinggi secara bermakna (p-value<0,05) dibandingkan kelompok ibu yang tidak mendapat terapi kelompok
Assertiveness Training, terjadi kenaikan sebanyak 29,4%.
Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan secara bermakna (pvalue<0,05) sebanyak 1,97%. Peningkatan banyak terjadi pada kelompok intervensi, sebaliknya pada kelompok kontrol terjadi penurunan. Hal ini disebabkan karena pemberian terapi kelompok Assertiveness Training diikuti secara serius dan sungguhsungguh baik pelaksanaan di kelompok maupun latihan di rumah. Adanya komitmen untuk mau berubah adalah kunci utama dalam pelatihan ini. Orang tua juga harus mampu mengenali emosinya sendiri, tidak berbicara dengan anak dalam kondisi emosi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bohner (1953, dalam Ramadhani, 2008) bahwa orang tua berperan dalam pembentukan perilaku anak. Sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, ditiru oleh anak. Secara sadar atau tidak sadar proses tersebut terekam oleh anak. Hal ini karena anak mengidentifikasi diri mereka pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi pada orang lain (Hurlock, 2008). 6.3
Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Kemampuan Komunikasi Asertif Ibu. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sangat kuat/sempurna antara karakteristik ibu dan pemberian terapi Assertiveness Training terhadap peningkatan kemampuan kognitif (r=0,915), kemampuan psikomotor (r=0,844) dan sikap ibu (r=0,907).
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
103 Karakteristik ibu dan pemberian terapi kelompok Assertiveness Training berpeluang untuk meningkatkan kemampuan kognitif ibu dalam berkomunikasi asertif sebesar 83,8%, berpeluang untuk meningkatkan kemampuan psikomotor ibu sebesar 71,2 % dan berpeluang untuk meningkatkan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif sebesar 82,3%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap orang tua dalam berkomunikasi secara asertif ke anak diperoleh dengan cara dilatih ketrampilan berkomunikasi asertif melalui terapi kelompok Assertiveness Training
1. Usia Ibu Hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia ibu ikut berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif dengan anak usia sekolah. Semakin bertambahnya usia ibu semakin meningkat pula kedewasaan, menunjukkan kematangan kedewasaan secara psikologis, dilihat dari perilaku yang semakin bijaksana, mampu berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap orang lain (Nurjanah, 2008). Pendapat dari Goleman (1998) menyatakan bahwa usia seseorang erat kaitannya dengan pengalaman dan ketrampilan yang semakin bertambah dalam menghadapi berbagai macam stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping. 2. Tingkat pendidikan Ibu Tingkat pendidikan ibu terbanyak pada kedua kelompok intervensi dan kontrol
adalah
SD,SMP
(89,06%),
namun
setelah
dianalisis,
memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan ibu ikut berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif dengan anak usia sekolah. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Notoatmojo (2003) mengatakan pendidikan formal ibu mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dipahami, semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi pula
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
104 kemampuan ibu menyerap informasi yang masuk. Dalam penelitian ini, karena pendidikan ibu 60,9% SD, maka peneliti lebih banyak memberikan materi dalam bentuk role play dan demonstrasi kembali dalam kelompok. Terjadi proses pengidentifikasian oleh ibu yang kemudian dicontoh dan diterapkan ke anak. Pendapat lain tentang pendidikan menurut (Nurhalijah, 2003) mengatakan bahwa proses berubah seseorang dapat ditingkatkan melalui pendidikan non formal yang dapat diperoleh melalui media-media di masyarakat (televisi, majalah, koran, penyuluhan masyarakat, dll) dan juga pelatihan Assertiveness Training ini. Dengan bertambahnya pengetahuan ibu yang berasal dari pelatihan yang diikuti secara terus menerus, mampu membawa perubahan kemampuan ibu dalam berkomunikasi dengan anak usia sekolah. 3. Jumlah pendapatan keluarga Pendapatan keluarga adalah semua penerimaan baik tunai maupun bukan tunai yang berasal dari hasil bekerja, berjualan dalam jangka waktu tertentu (Soekanto, 1983). Pendapatan yang diperoleh, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Besarnya pendapatan akan memenuhi jumlah kebutuhan setiap anggotanya. Dampak kondisi perekonomian, sering memicu konflik karena pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan anggotanya (Hawari, 1996). Keluarga yang memiliki pekerjaaan dan pendapatan akan menjadi sistem pendukung untuk kesehatan jiwa masing-masing anggotanya. Demikian sebaliknya jika jumlah pendapatan berkurang atau memang tidak mencukupi dalam setiap bulannya akan memunculkan stressor pada setiap anggotanya, terlihat pada gaya komunikasi orang tua ke anak yang terlihat lebih agresif atau pasif agresif (Ramadhani,2008). Pendapat Hawari (1996) tidak sesuai dengan hasil penelitian dimana dengan jumlah pendapatan yang rendah dibawah UMR masih dapat meningkatkan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dan masih berminat untuk melakukan latihan komunikasi dengan anaknya di rumah.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
105 Hal ini terlihat melalui tugas yang diberikan oleh peneliti dikerjakan oleh ibu. Pada setiap pertemuan ibu antusias untuk menanyakan apakah yang dikerjakan ibu sudah benar. 4. Jumlah anak dalam keluarga Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah anak yang tinggal serumah dengan ibu adalah
3 orang,
namun
setelah dilakukan
analisis,
memperlihatkan bahwa jumlah anak dalam keluarga ikut berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif dengan anak usia sekolah. Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan ibu dalam keadaan hidup, dirawat dan diasuh ibu. Banyaknya anak dalam keluarga mengakibatkan beratnya beban dan tanggung jawab keluarga baik secara sosial maupun ekonomi yang selanjutnya tidak hanya berpengaruh pada kebutuhan fisik saja tapi juga psikologis berupa perhatian dan kasih sayang (Ibung, 2008). Tanpa orang tua sadari, hal ini berpengaruh pada cara orang tua menanggapi keluhan anak. Di saat anak mempunyai masalah dan tidak mau bekerja sama dengan orang tua, orang tua tidak mampu menangkap pesan yang anak sampaikan karena harus membagi perhatian kepada anakanak yang lain sehingga emosi anak tidak tersalur dan terkesan lebih emosional. Pendapat dari Ibung (2008) tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang justru menemukan adanya kontribusi antara jumlah anak dengan peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif. Jika dilihat dari sosiodemografi responden, umumnya tinggal dimana lingkungan sekitar mereka masih bersifat keluarga dekat. Sehingga dalam hal mengurus anak, lebih banyak dibantu oleh orang tua atau saudara terdekat yang tinggal di sekitar rumah.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
106 5. Jenis kelamin anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin anak ikut berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif dengan anak usia sekolah. Pandangan masyarakat secara umum ikut berperan dalam emosi anak, dimana anak perempuan lebih dituntut untuk dapat merasakan dan mengekspresikannya. Sementara itu anak laki-laki dimotivasi untuk memperlakukan diri sendiri dengan tepat, diajari untuk beradaptasi dengan situasi sulit dan menengangkan (Mubayidh, 2006). Anak laki-laki dan perempuan mempunyai cara khusus untuk mengekspresikan emosinya. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 4.500 anak laki-laki dan 3200 anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih mampu mengenali emosi dan perasaan mereka dibandingkan dengan anak laki-laki (Bower & Trowell, 1996), sehingga dapat mempengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan, menanggapi anak-anak mereka dilihat dari jenis kelaminnya. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Suseno (2009) yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara anak lakilaki dan perempuan. 6. Status perkawinan ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan ibu ikut berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan kognitif, psikomotor dan sikap ibu dalam berkomunikasi asertif dengan anak usia sekolah. Keluarga menurut Bailon dan Maglaya (1978) adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Masing-masing berperan sesuai bagiannya. Suami berperan mencari nafkah dan istri berperan mengatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan kebutuhan anggota keluarganya. Saling keterikatan dan ketergantungan satu sama lain berpengaruh pada cara mereka menyelesaikan setiap masalah rumah tangga, termasuk masalah emosi anak (Gomma, 2006). Dalam hal ini status perkawinan
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
107 dilihat dari sisi sebagai dukungan sosial terhadap ibu yang harus mengurus, mengatur kebutuhan rumah tangga sekaligus mendidik anak-anak di selasela pekerjaan mereka. Pendapat Hawari (2007) mengenai status perkawinan berbeda dengan Gomma, menyatakan bahwa dalam suatu pernikahan akan muncul berbagai permasalahan perkawinan yang secara langsung ikut menyumbangkan faktor stress atau beban disamping harus tetap menjalankan perannya masing-masing. Jika peran suami istri tidak harmonis, berada pada ambang perceraian, maka akan memberi dampak pada hubungan orang tua ke anak yang terlihat lewat gaya komunikasi orang tua dengan anak (Rhamadani, 2008). Pada penelitian ini, ibu masih mampu berlatih dengan anak walaupun harus menjalankan tugas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga seperti memasak, mencuci, berjualan, mengantar anak ke sekolah, dll.
7. Terapi kelompok Assertiveness Training Hasil penelitian menunjukkan terdapat kontribusi yang sangat kuat antara terapi kelompok Assertiveness Training dengan kemampuan berkomunikasi asertif ke anak (p-value=0,000). Rata-rata kemampuan komunikasi pada kelompok intervensi lebih besar yaitu 150,94 daripada kelompok kontrol 105,41. dengan kata lain bahwa kemampuan komunikasi ibu dipengaruhi oleh latihan asertif melalui terapi kelompok Assertiveness Training. terapi kelompok Assertiveness training mendukung ibu mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan anak, meliputi cara memberikan tanggapan terhadap keluhan anak, mendengarkan dengan aktif setiap keluhan dan emosi anak, mencari tahu apa yang sebenarnya anak butuhkan, mencari jalan keluar dengan mendiskusikan bersama dengan anak. Tujuan akhir dari terapi kelompok Assertiveness training adalah meningkatkan kemampuan anak mengelola emosinya sehingga anak mampu mencoba mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang tua (Emmons & Alberti, 1977).
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
108 6.4 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini yaitu tempat pelaksanaan dapat diatasi dengan mencari rumah warga yang disewa dan berada di tengah-tengah lokasi, yang dapat ditempuh oleh para peserta pelatihan. Tempat pelatihan dirasakan cukup tenang, nyaman, jauh dari keramaian. Kegiatan ini sangat menarik perhatian ibuibu di sekitar wilayah, terutama anak-anak, sehingga dapat mengganggu konsentrasi peserta dalam mengikuti terapi kelompok Assertiveness Training. Keterbatasan lain pada saat melatih pengumpul data, peneliti tidak mengukur ulang / mengevaluasi apakah para pengumpul data memiliki kemampuan yang sama dalam mengumpulkan data.
6.5 Implikasi Hasil Penelitian. Berikut ini diuraikan implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan keperawatan jiwa, keilmuan dan pendidikan keperawatan, dan terhadap penelitian berikutnya. 6.5.1 Pelayanan keperawatan jiwa Terapi kelompok Assertiveness Training dapat digunakan sebagai salah satu satu terapi untuk meningkatkan perkembangan emosi anak usia sekolah. Selain itu Terapi kelompok Assertiveness Training dapat diterapkan dalam program kesehatan jiwa bekerja sama dengan puskesmas untuk mendukung upaya promosi kesehatan anak dan keluarga.
6.5.2 Keilmuan dan pendidikan keperawatan Hasil penelitian menunjukkan pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi orang tua dalam mengelola emosi anak usia sekolah sebagai bentuk intervensi promotif kesehatan jiwa anak dan keluarga di masyarakat. Hasil penelitian ini dapat menambah keilmuan terapi bagi perawat khususnya mata ajar keperawatan jiwa tentang terapi kelompok dalam upaya meningkatkan kesehatan pada kelompok umur anak usia sekolah.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
109 6.5.3 Penelitian berikutnya Pada penelitian keperawatan, perlu dikembangkan penelitian lain tentang pengaruh Assertiveness Training jika dilakukan langsung ke anak usia sekolah di dalam kelompoknya dan tidak melibatkan orang tua, apakah dengan memberi latihan asertif pada anak dengan dukungan dari teman sebaya mampu meningkatkan kemampuan anak mengelola emosi daripada pelatihan yang diberikan kepada ibu sebagai pelatih emosi anak di rumah.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut: 7.1 Kesimpulan 7.1.1 Karakteristik orang tua yang mempunyai anak usia sekolah dengan usia termuda 24 tahun dan tertua 55tahun dengan pendapatan keluarga rata-rata sebesar Rp 677.140,00 mengasuh anak paling banyak 5 orang. Pendidikan orang tua terbanyak adalah SD,SMP (89,06%) dengan status perkawinan paling banyak menikah (85,9%). 7.1.2 Kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif sebelum mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan kontrol adalah kemampuan sedang 7.1.3 Kemampuan anak mengelola emosi anak sebelum ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training pada kelompok intervensi dan control adalah sedang. 7.1.4 Kemampuan ibu dalam berkomunikasi asertif meningkat secara bermakna (p-value<0,05) dari kemampuan sedang ke tinggi setelah ibu mendapat terapi kelompok Assertiveness Training. Sedangkan peda kelompok yang tidak mendapat terapi kelompok Assertiveness Training, kemampuan berkomunikasi asertif turun secara bermakna (p-value<0,05) dan tetap berada di kemampuan sedang. 7.1.5 Kemampuan anak mengelola emosi meningkat secara bermakna (pvalue<0,05) dari kemampuan sedang ke tinggi setelah ibu mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training. Sedangkan kemampuan anak mengelola emosi yang ibunya tidak mendapatkan terapi kelompok Assertiveness Training menurun secara bermakna (p-value <0,05) 7.1.6 Karakteristik ibu dan Terapi kelompok Assertiveness Training berpeluang meningkatkan kemampuan kognitif sebesar 83,8%, psikomotor sebesar 71,2% dan sikap ibu sebesar 82,3%.
110 Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Universitas Indonesia
111
7.2 Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu sebagai berikut: 7.2.1 Aplikasi keperawatan 1. Ditetapkannya kebijakan oleh Departemen Kesehatan di bidang pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat sebagai salah satu upaya
menyehatkan jiwa generasi penerus bangsa dimulai dari kesehatan jiwa keluarga. Melalui pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa, melatih perawat puskesmas dan pembentukan kader kesehatan jiwa di masing-masing wilayah, dapat meningkatkan swadaya masyarakat dan selanjutnya dapat menjadikan misi kesehatan jiwa keluarga sebagai tanggung jawab masyarakat bersama. Menetapkan batasan kerja yang menjadi tanggung jawab dan wewenang antara kader kesehatan jiwa, perawat jiwa puskesmas, dan perawat spesialis keperawatan jiwa. 2. Departemen Kesehatan RI menetapkan suatu kebijakan untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan pada kelompok sehat yang berbasis komunitas sesuai dengan issue kesehatan jiwa di dunia yaitu pemberdayaan masyarakat khususnya pada generasi penerus bangsa. 3. Organisasi profesi menetapkan terapi kelompok Assertiveness Training sebagai salah satu kompetensi dari perawat spesialis keperawatan jiwa. 4. Peneliti dalam hal ini mahasiswa S2 Keperawatan jiwa melakukan sosialisasi
hasil
penelitian tentang terapi kelompok Assertiveness
Training kepada Kesbang Wilayah Bogor Barat dan puskesmas Sindang Barang kota Bogor. 5. Pentingnya dilakukan pelatihan untuk tim kader dimana penelitian ini dilakukan, untuk tetap memonitor perkembangan emosi anak usia sekolah dan kemampuan ibu dalam menanggapi keluhan anak secara asertif. Secara berkala, mahasiswa S2 Keperawatan Jiwa bekerja sama dengan pihak Puskesmas, menanggapi masukan dari kader kesehatan jiwa seputar perkembangan emosi anak dan melakukan supervisi. 6. Melakukan pelatihan-pelatihan lanjutan yang dapat dilakukan di keluarga maupun sekolah-sekolah dasar.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
112
7. Dinas kesehatan bekerja sama mahasiswa Spesialis keperawatan jiwa melakukan pelatihan kepada perawat puskesmas khususnya yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan jiwa untuk diterapkan diwilayah kerja masing-masing dan adanya supervisi yang berjenjang dan terjadual untuk pelaksanaan terapi kelompok Assertiveness Training. 8. Menjadikan terapi kelompok Assertiveness Training sebagai salah satu kompetensi yang harus dilakukan pada pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat (berbasis komunitas) oleh Perawat spesialis keperawatan jiwa.
7.2.2 Pengembangan keilmuan 1. Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya menggunakan evidence based dalam
mengembangkan teknik pemberian asuhan
keperawatan jiwa dalam penerapan Assertiveness Training bagi orang tua dan anak usia sekolah. 2. Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya mengembangkan cara meningkatkan kemampuan komunikasi asertif orang tua dalam meningkatkan kecerdasan anak dalam mengelola emosinya. 3. Pihak pendidikan tinggi keperawatan hendaknya mengembangkan modul Assertiveness Training, melakukan pengesahan validitas isi secara resmi terhadap modul yang digunakan dalam pelaksanaan Assertiveness Training dan hendaknya dilakukan juga uji kelayakan modul pada responden lain yang tidak mengikuti penelitian
7.2.3 Penelitian berikutnya 1. Penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk mengetahui keefektifan penggunaan
terapi
kelompok
Assertiveness
Training
dalam
meningkatkan kemampuan orang tua dalam berkomunikasi secara asertif sehingga meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola emosinya.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
113
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada emosi anak yang orang tuanya dilatih dengan terapi kelompok Assertiveness Training untuk melihat sejauh
mana anak
mampu
mengelola
emosi
mereka dengan
menggunakan studi Cohort yaitu orang tua yang telah dilatih, untuk diketahui sejauh mana keberhasilannya mengelola emosi anak. Hasil penelitian merupakan data awal untuk melakukan penelitian terapi kelompok Assertiveness Training terapeutik di masyarakat. 3. Pada penelitian ini yang bersifat two-tail telah menjawab hipotesa bahwa Assertiveness Training pengaruh secara bermakna terhadap peningkatan kemampuan ibu dalam berkomunikasi secara asertif, karena itu perlunya diteliti lebih lanjut tentang faktor perancu lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi kelompok Assertiveness Training selain karakteristik ibu, seperti adanya pengaruh pola pengasuhan otoriter, demokratis atau pola asuh permisif yang dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi orang tua dalam mengelola emosi anak. 4. Perlu
dilakukan
penyempurnaan
pelaksanaan
terapi
kelompok
Assertiveness Training untuk menjadikan terapi kelompok Assertiveness Training sebagai salah satu model bentuk terapi keperawatan jiwa kelompok sehat di masyarakat. 5. Strategi yang penting diterapkan untuk terapi spesialis Keperawatan Jiwa yang berbentuk kelompok adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat yaitu kader kesehatan jiwa yang cukup berpengaruh kuat untuk menghadirkan responden pada setiap kegiatan. Hal ini ditujukan untuk memperkecil drop out responden. 6. Instrumen yang sudah digunakan dalam penelitian ini hendaknya dilakukan uji validitas kembali jika ingin digunakan sebagai alat ukur dalam pelaksanaan penelitian yang terkait dengan terapi kelompok Assertiveness Training ataupun kemampuan anak mengelola emosi.
Universitas Indonesia
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
DAFTAR PUSTAKA
Artikel elektronik Assertiveness Training direkomendasikan oleh dr. Janet Klosko New York Psychological Assosiation, (2010, http://www.ctcli/assertivenss.html, diperoleh 23 Februari 2010). Azwar Saifudin.(2008). Penyusunan skala psikologi. Edisi 11. Jakarta : Pustaka Pelajar. Bower,M & Trowell,J.(1996). The emotional needs of young children and their families.1th edition. New York : Routledge. Burke,R & Herron,R. (2004). 18 kiat membesarkan anak dengan memanfaatkan kecerdasan emosional. Edisi 1. Jakarta : PT Interaksa Karisma. Chandra.(2008). Metodologi penelitian kesehatan. Edisi 1. Jakarta : EGC Emmons & Alberti.(1977). Assertiveness: innovation, explanations, issues and impact. San Luis : Impact Publisher Faber,A & Mazlish,E.(2009). Berbicara agar anak mau mendengar dan mendengar anak agar mau bicara. Edisi 2. Jakarta : IKAPI. Frank & Hobbs,P. (1992). Experiental training practical guidelines. Edisi 1. Tavistock: London & New York. Fortinash, K.M. & Holoday, P.A. (2004). Psychiatric mental health nursing. Third edition, St. Louis Missouri: Mosby – Year Book Inc. Forkas (1997, Assertiveness training with individual who are moderately and midly retarded, diunduh tanggal 30 Februari 2010) Girdano,D&Everly,G.(1986). Controlling stress and tension.A holistic approach.edisi 2. New Jersey: Prantice-Hall Goleman,D.(1998). Working with emotional intelligence. New York : Bantan Gomma,A.B.(2006). Mendidik mentalitas anak, panduan orang tua menumbuhkan mentalitas luar biasa pada anak-anaknya. Edisi 1. Sukoharjo : Samudera.
Gordon Thomas.(2009). Menjadi orang tua efektif mendidik anak agar bertanggung jawab. Edisi 13. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Gottman J & DeClaire J.(2008). Mengembangkan kecerdasan emosional anak. Edisi1. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hartono,A.(2009). Emotional quality parenting cara praktis menjadi orang tua pelatih emosi.edisi 1. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Hasan,I.(2004). Analisis data penelitian dengan statistik. Edisi 2. Jakarta : PT Bumi Aksara. Hawari,D.(1996). Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jogjakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa. Hurlock, E.(2008). Perkembangan anak jilid 1. Edisi 6. Jakarta : Erlangga. Ibung D,S.(2008). Panduan praktis bagi orang tua dalam memahami dan mendampingi anak usia 6-12 tahun. Edisi 1. Jakarta:Flex Media Komapatindo Isgiyanto.(2009). Teknik pengambilan sample. Edisi 1. Jogjakarta : Mitra Cendikia. Iskandar,J.(2006). The power of soul for greath health.edisi 1. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. Kaplan, H.L., & Saddock, B. J. (1996). Comprensive text book of psychiatry Vol. 1. 6th ed. Baltimore : Williams & Wilkins. Lange,A.J & Jakubowski,P.(1983). Responsible assertive behavior. 3th edition. Chicago: Research press. Lazarus,R.S and Folkman,S. (1971). Stress, appraisal and coping. Edisi 1. SpringerVerlag : New York. Markel & Bogusky (1976). Assertive training for parent. The council for exceptional children Chicago, 4(1), EC 082 947. Michel,F. (2008). Module Assert yourself. Perth, Western Australia: Clinical Intervention Psycotherapy Mubayidh Makmun.(2007). Kecerdasan dan kesehatan emosional anak. Edisi 2. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Nurjanah, SpSi.(2008). Mengembangkan kecerdasan emosi pada anak. Gifted Review jurnal keberbakatan dan kreatifitas, 02(01), 13-19. Notoatmojo,S.(2003).Pendidikan dan perilaku kesehatan.Jakarta: Reneka Cipta
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Nurhalijah, dkk.(1989). Peran orang tua dalam meningkatkan prestasi belajar anak. Jakarta : BPK Gunung Mulia Olivia,F. (2002). Mendampingi anak belajar. Bebaskan anak dari stress dan depresi belajar. Jakarta : Media Komputindo. Paterson,G.Reid,J.and Dishion,T.(1992). Antisocial boys. (1th Ed). Castalia: Eugene,OR. Potter, P.A. & Perry,A.G. (2005). Fundamental of nursing : concept, process, and practice, Philadelphia : Mosby Years Book Inc. Purwandari,E & Purwati. (2008). Character building : pengaruh pendidikan nilai terhadap kecerdasan emosi anak. Diunduh tanggal 8 Maret 2010. Ramadhani,S.(2008). The art of positive communicating, mengasah potensi dan kepribadian positif pada anak melalui komunikasi positif. Edisi 1. Yogyakarta: Book Marks. Rathus,S.A.(1977). An experimental investigation of assertive training in a group setting. Journal of behavior therapy and experimental psychiatry. Rosebown Max. (1983). Hand book of short-term. Edisi 1. USA : Mc.Graw Hill Book Company. Rosa,S.(2005). Psikologi perkembangan. Edisi 1. Jakarta : Balai pustaka. Sabri,L & Sutanto,P.H. (2008). Statistic kesehatan. Edisi 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Safari,T & Eka,N.S. (2009). Manajemen Emosi. edisi 1. Jakarta : PT Bumi Aksara. Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta : CV Sagung Seto. Sulungbudi,F.(2006, http://puterakembara.org/archives10/00000059.shtml. diunduh tanggal 26 Januari 2010) Sunyoto,D. (2010). Uji khi kuadrat dan regresi untuk penelitian. Edisi 1. Jakarta : Graha Ilmu.
Stuart,G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (8th edition). St Louis: Mosby Sugiyono. (2009). Metodologi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Edisi 7. Jakarta : Alfabeta
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Suseno,T.A.(2009). EQ anak Vs EQ orang tua. Edisi 1. Jogjakarta : Locus. Soekanto, Soerjono. (1983). Kamus sosiologi. Edisi 1. Jakarta : CV Rajawali. Townsend&Mary (2009). Psychiatric Mental Health Nursing. (6th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Tridhonanto,Al & Agency,B.(2009). Melejitkan kecerdasan emosi (EQ) buah hati. Edisi 1. Jogjakarta : Bookmarks. Vinick (1983, The effect of assertiveness training on aggression and self concept in conduct disordered adolescent, diunduh tanggal 26 Januari 2010) Willis,L & Daisley,J.(1995). The assertiveness trainer,A practical handbook on assertiveness for trainer and running assertiveness course. 3th edition. USA : Mc.Grow Hill Book Comapany. Yusuf,S.LN&Nurihsan,A.J. (2008). Teori kepribadian. Edisi 2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Zhuo,G.(2008). How to make parenting and communication with your teenagers. Edisi 1. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Lampiran 1 PENJELASAN TENTANG PENELITIAN Judul Penelitian
:
“ Pengaruh terapi kelompok Assertiveness Training terhadap kemampuan komunikasi ibu dalam mengelola emosi anak usia sekolah di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat” Peneliti
: Evin Novianti
No Telpon
: 08174823589
Saya Evin Novianti (Mahasiswa Program Magister Keperawatan Spesialis Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia) bermaksud mengadakan penelitian untuk mengetahui pengaruh Assertiveness Training : cara komunikasi orang tua terhadap kemampuan ank usia sekolah dalam mengelola emosinya di Kelurahan Balumbang Jaya Bogor Barat. Hasil penelitian ini akan direkomendasikan sebagai masukan untuk program pelayanan keperawatan keseatan jiwa di komunitas / masyarakat. Peneliti menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi siapapun. Peneliti berjanji akan menjunngjung tinggi hak-hak responden dengan cara : 1) Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh,baik dalam proses pengumpulan data, pengolahan data, maupun penyajian hasil penelitian nantinya. 2) Menghargai keinginan responden untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini. Melalui penjelasan singkat ini, peneliti mengharapkan responden saudara. Terimakasih atas kesediaan dan partisipasinya.
Peneliti,
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Lampiran 2 LEMBAR PERSETUJUAN
Setelah membaca penjelasan penelitian ini dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan, maka saya mengetahui manfaat dan tujuan penelitian ini, saya mengerti bahwa peneliti menghargai dan menjungjung tinggi hak-hak saya sebagai responden.
Saya menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif bagi saya. Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan jiwa khususnya di komunitas / masyarakat.
Persetujuan yang saya tanda tangani menyatakan bahwa saya berpartisipasi dalam penelitian ini.
Bogor, ..................................2010 Responden,
.............................................
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Lampiran 3 DATA DEMOGRAFI RESPONDEN (KUISIONER A)
Petunjuk Pengisian : 1. Bacalah dengan teliti pertanyaan berikut 2. Isilah pertanyaan pada tempat yang telah tersedia 3. Apabila pertanyaan berupa pilihan, cukup dijawab dengan menuliskan angka pada kotak yang telah tersedia
A. DATA IBU 1. Nama Ibu 2. Usia ibu 3. Status perkawinan ( ) Kawin ( ) Janda
:................................................................... :................................................................... : ( ) Cerai ( ) Belum menikah
4. Jumlah Anak : a. …………usia………………. b. …………usia………………. c. …………usia………………. d. …………usia………………. 5. Pendidikan terakhir ibu a. SD :( b. SLTP :( c. SMU :( d. Diploma/ D-III :( e. Perguruan Tinggi : (
) tamat ) tamat ) tamat ) tamat ) tamat
( ) tidak tamat ( ) tidak tamat ( ) tidak tamat ( ) tidak tamat ( ) tidak tamat
6. Pendapatan keluarga dalam 1 bulan : Rp……………………….
7. Jenis kelamin anak yang sedang bersekolah SD ( ) Laki-laki ( ) Perempuan
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
Lampiran 6
Variable
Kemampuan komunikasi ibu
TOTAL
KISI-KISI INSTRUMEN KEMAMPUAN KOMUNIKASI IBU SECARA ASERTIF Nomor item Jumlah Indikator Kemampuan kognitif ibu - Pengertian asertif, pasif dan agresif - Ciri-ciri gaya komunikasi asertif, pasif dan agresif - Akibat masing-masing gaya komunikasi asertif, pasif, agresif - Cara berkomunikasi asertif Kemampuan psikomotor ibu - Menjadi pendengar aktif - Mengakui perasaan anak - Sikap verbal dan non verbal komunikasi asertif - Mengatakan “tidak” pada anak - Mengungkapkan perasaan dan pendapat orang tua Kemampuan afektif ibu - Menjadi pendengar aktif - Mengakui perasaan anak - Sikap verbal dan non verbal komunikasi asertif - Mengatakan “tidak” pada anak - Mengungkapkan perasaan dan pendapat orang tua
Favorable
Unfavorable
9,10,18
13,14
20
2,3,4,8 5,7,11,19
20
1,6
12,15,16,17 14
21,24,25 23,28,34 22
27
33
30,31
32
26,29 12 35 43 44
40,46 38 41,43 39
36
37,38
27
19
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010
46
Lampiran 7 KISI-KISI INSTRUMEN KECERDASAN EMOSI ANAK Variable
Kecerdasan emosi anak
TOTAL
Indikator Mengenali emosi diri Mengelola emosi Memotivasi diri sendiri Mengenali emosi orang lain / empati Membina hubungan dengan orang lain
Nomor item Favorable Unfavorable 1,2,3 4,5 6,7,8 9,10 11,12,13 14,15 16,17,18 19,20
Jumlah 5 5 5 5
21,22,23
24,25
5
15
10
25
Pengaruh terapi..., Evin Novianti, FIK UI, 2010