UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 15 - 26 JULI 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
MALIHATUR ROSYIDAH, S.Farm. 1206329796
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2014
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 15 - 26 JULI 2013 LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
MALIHATUR ROSYIDAH, S.Farm. 1206329796
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2014 ii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
iv
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 15-26 Juli 2013. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
2.
Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Pejabat Sementara Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia sampai dengan 20 Desember 2013.
3.
Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
4.
Ibu Baitha Palanggatan M, M.Farm., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan laporan ini.
5.
Ibu Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D. selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
6.
Dra. Dettie Yuliati, Apt., M.Si. selaku Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengenal Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
7.
Ibu dr. Zorni Fadia selaku Kasubdit Standardisasi, Ibu Dra. Dara Amelia, Apt., MM. selaku Kasubdit Farmasi Komunitas, Bapak Drs. Ellon Sirait, Apt., M.Sc., PH.selaku Kasubdit Farmasi Klinik, Ibu Dra. Hidayati Mas’ud, Apt., MM. selaku Kasubdit Penggunaan Obat Rasional yang telah banyak membantu dan membimbing penulis. v
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
8.
Bapak Desko Irianto, SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan pembimbing atas bantuan, bimbingan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis.
9.
Ibu Sri Bintang Lestari, S.Si., Apt., M.Si, selaku Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Klinik sekaligus pembimbing laporan tugas khusus PKPA.
10. Seluruh staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas segala keramahan, pengarahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan PKPA. 11. Bapak dan Ibu staf pengajar beserta segenap karyawan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 12. Rekan-rekan Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia angkatan LXXVII atas kebersamaan dan dukungan selama menempuh pendidikan. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan PKPA ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata semoga laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.
Penulis,
2014
vi
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
vii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
ABSTRAK
Nama NPM Program Studi Judul
: : : :
Malihatur Rosyidah, S.Farm. 1206329796 Profesi Apoteker Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 15 – 26 Juli 2013
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki peran yang besar dalam upaya pembangunan kesehatan yakni melalui perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan salah satu Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang membawahi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang berperan dalam upaya peningkatan pelayanan kefarmasian yang terdiri atas Subdirektorat Farmasi Klinik, Farmasi Komunitas, Penggunaan Obat rasional dan Standardisasi. Pelayanan kefarmasian yang ideal dan merata di seluruh wilayah Indonesia perlu didukung dengan adanya suatu standar dan kebijakan yang merupakan peran dari Ditjen Binfar Alkes serta dukungan dari pelaksana pelayanan kefarmasian. Kegiatan PKPA dilaksanakan pada tanggal 15 - 26 Juli 2013 dengan tujuan mengetahui dan memahami peran apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian beserta implementasinya. Salah satu implementasi dari kebijakan yang disusun oleh Dirjen Binfar Alkes yaitu evaluasi penggunaan antibiotik secara Defined Daily Dose (DDD) untuk meningkatkan kualitas terapi antibiotik di RSUP Fatmawati yang mengacu pada standard World Health Organization (WHO). Kata Kunci
: Praktek Kerja Profesi Apoteker, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Farmasi Klinik, Farmasi Komunitas, Penggunaan Obat Rasional, Standardisasi. Tugas Umum : xii + 34 halaman : 3 lampiran Tugas Khusus : iv + 31 halaman : 4 gambar, 3 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 9 (2005-2013) Daftar Acuan Tugas Khusus : 13(1997-2012)
viii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name NPM Study Program Title
: : : :
Malihatur Rosyidah, S. Farm. 1206329796 Profession of Apothecary Pharmacist Intenship Program at The Directorate of Pharmaceutical Services Directorate General of Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan the Ministry of Health of The Republic of Indonesia, Period 15 to 26 July, 2013
Ministry of Health of the Republic of Indonesia has a major role in the efforts of health development through the formulation, determination and implementation policies in scope of health. Directorate General of Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan is one of the General Directorate under the Ministry of Health of the Republic of Indonesia, the Directorate General of Pharmaceutical Services play a role in efforts to improve pharmacy services consist of Sub-Directorate of Clinical Pharmacy, Community Pharmacy, Rational Drug Use, and Standardization. The ideal and equitable of pharmaceutical services throughout Indonesia requires the policies and standards which are the role of Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices and the support of the implementer of pharmacy services. Pharmacists Internship Program (PIP) was held on 15 to 26 July 2013 The Directorate of Pharmaceutical Services. The aim of PIP was to understanding the role of pharmacists in the Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices, particularly in the Directorate of Pharmaceutical Services and its implementation. One of the policies in implementation which had drawn up by the Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices was the use evaluation of antibiotics in Defined Daily Dose (DDD) to improve the quality of antibiotic therapy in RSUP Fatmawati refered to the World Health Organization (WHO) standard. Keywords
: Pharmacist Internship Program, Ministry of Health of The Republic of Indonesia, Directorate General of Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, The Directorate of Pharmaceutical Services, Clinical Pharmacy, Community Pharmacy, Rational Drug Use, Standardization. General Assignment : xii + 34 pages; 3 appendixes Specific Assignment : iv + 31 pages, 4 pictures, 3 appendixes References of General Assignment: 9 (2005-2013) References of Specific Assignment: 13 (1997-2012)
ix
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i HALAMAN JUDUL........................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................ vii ABSTRAK .......................................................................................................viii ABSTRACT ....................................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xii BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................1 1.2 Tujuan .............................................................................................3 BAB 2. TINJAUAN UMUM ............................................................................4 2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ..................................4 2.1.1 Dasar Hukum ........................................................................4 2.1.2 Visi dan Misi .........................................................................4 2.1.3 Tujuan ...................................................................................5 2.1.4 Nilai-nilai ..............................................................................5 2.1.5 Struktur Organisasi ...............................................................6 2.1.6 Fungsi....................................................................................7 2.1.7 Strategi ..................................................................................7 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ...........8 2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi .......................................................8 2.2.2 Sasaran Kebijakan.................................................................8 2.2.3 Struktur Organisasi ...............................................................10 2.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian .........................................10 2.3.1 Tugas .....................................................................................10 2.3.2 Fungsi....................................................................................11 2.3.3 Struktur Organisasi ...............................................................11 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS .........................................................................12 3.1 Tugas dan Fungsi ............................................................................12 3.2 Sasaran Kebijakan ...........................................................................13 3.3 Struktur Organisasi .........................................................................13 3.3.1 Subdirektorat Standarisasi ....................................................14 3.3.2 Subdirektorat Farmasi Komunitas ........................................15 3.3.3 Subdirektorat Farmasi Klinik................................................15 3.3.4 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional ............................16 3.4 Kegiatan ..........................................................................................17 3.4.1 Kegiatan Umum ....................................................................17 3.4.2 Sub Direktorat Standarisasi ..................................................18 3.4.3 Sub Direktorat Farmasi Komunitas ......................................18 x
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
3.4.4 Sub Direktorat Farmasi Klinik ..............................................19 3.4.5 Sub Direktorat Penggunaan Obat Rasional ..........................19
BAB 4. PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN .........................................21 BAB 5. PEMBAHASAN ...................................................................................24 5.1 Subdirektorat Farmasi Komunitas ..................................................24 5.2 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional ......................................27 5.3 Persiapan dalam Implementasi SJSN..............................................29 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................33 6.1 Kesimpulan .....................................................................................33 6.2 Saran ...............................................................................................33 DAFTAR ACUAN.............................................................................................34 LAMPIRAN .......................................................................................................35 DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................38
xi
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia......................................................................................35 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ......................................................................36 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian .................................................................................37
xii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Salah satu hak dasar setiap individu maupun warga negara Indonesia
lainnya
ialah
mendapatkan
kesehatan
melalui
pelayanan
kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilakukan dengan memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan masyarakat (Presiden Republik Indonesia, 2009). Permasalahan yang saat ini dihadapi Indonesia dalam penyelenggaraan kesehatan adalah ketidakseimbangan peningkatan antara biaya dan mutu pelayanan kesehatan yang didapat sehingga mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Permasalahan ini disebabkan antara lain oleh perkembangan teknologi kedokteran dan obat-obatan, pemberian pelayanan kesehatan yang tidak rasional, adanya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berlebihan serta kurangnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia (PT. ASKES, 2010). Perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, UU tentang SJSN (UU Nomor 40 Tahun 2004) turut menegaskan bahwa jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial. Pada hakekatnya jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak. Upaya pembangunan kesehatan di Indonesia perlu terus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan ini, termasuk peningkatan pelayanan kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memiliki peran yang besar dalam upaya pembangunan kesehatan yakni melalui perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. Salah satu Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Kesehatan yang berperan dalam upaya peningkatan pelayanan kefarmasian adalah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar dan Alkes, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Upaya peningkatan pelayanan kefarmasian di Indonesia bukan hanya 1
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
merupakan tugas dan peran dari pemerintah, khususnya Ditjen Binfar Alkes, namun turut membutuhkan koordinasi dari berbagai pihak, antara lain apoteker dan masyarakat. Apoteker dalam hal ini berperan mewujudkan pelayanan kefarmasian yang ideal dengan melakukan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien (patient oriented) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Pelayanan kefarmasian yang dapat dilakukan berupa pelayanan informasi obat, konseling, dan penyuluhan kepada masyarakat secara umum dan pasien secara khusus. Pelayanan kefarmasian yang ideal dan merata di seluruh wilayah Indonesia perlu didukung dengan adanya suatu standar dan kebijakan. Perumusan standar dan kebijakan tersebut merupakan peran dari Ditjen Binfar Alkes, yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, standar dan kebijakan yang telah disusun tidak dapat berfungsi dengan optimal jika pelaksana pelayanan kefarmasian tidak memahami standar dan kebijakan dengan baik. Oleh karena itu, Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia menyelenggarakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Tujuan diselenggarakannya PKPA ini ialah agar para mahasiswa apoteker dapat mengetahui dan memahami peran, tugas, dan fungsi dari Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Selain itu, diharapkan mahasiswa apoteker dapat mengetahui, mempelajari, dan memahami kebijakan-kebijakan, penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
3
1.2 Tujuan Tujuan dilaksanakan
Praktek Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) di
Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sebagai berikut : a. Mengetahui dan memahami peran apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. b. Mengetahui program kerja yang terdapat di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian beserta implementasinya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN UMUM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2.1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan, dipimpin oleh Menteri Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Kementerian Kesehatan, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk mengganti nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan (Peraturan Presiden No. 47/2009). Tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden (Kementerian Kesehatan, 2010).
2.1.1 a.
Dasar Hukum
Peraturan Presiden RI No. 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara
b.
Peraturan Presiden RI No. 24 tahun 2010 tentang kedudukan, tugas dan fungsi kementerian negara serta susunan organisasi, tugas dan fungsi eselon I kementerian negara
c.
Peraturan Menteri Kesehatan RI no.1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan
2.1.2 Visi dan Misi Kementerian kesehatan Republik Indonesia periode 2010-2014 memiliki visi “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” (Kementerian Kesehatan, 2011). Untuk mencapai visinya maka Kementerian Kesehatan menetapkan misi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2011) :
4
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
5
a. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
2.1.3
Tujuan Tujuan Kementerian Kesehatan adalah Terselenggaranya pembangunan
kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kementerian Kesehatan, 2011).
2.1.4 Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan maka nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2011) : a.
Prorakyat Kementerian kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Hal tersebut dimaksudkan agar tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi.
b.
Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat (meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat bawah) harus ikut berpartisipasi secara aktif.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
6
c.
Responsif Program kesehatan yang dirancang Kementerian Kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Kementerian Kesehatan harus tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, disesuaikan dengan situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diberikan dapat berbeda pula.
d.
Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan, dan bersifat efisien.
e.
Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari KKN, transparan, dan akuntabel.
2.1.5
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan memiliki susunan organisasi yang menunjang
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, maka Struktur organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Kementerian Kesehatan, 2010) : a.
Sekretariat Jenderal.
b.
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
c.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
d.
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
e.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
f.
Inspektorat Jenderal.
g.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
h.
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
i.
Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi.
j.
Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat.
k.
Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan.
l.
Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
7
m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n.
Pusat Data dan Informasi.
o.
Pusat Kerja Sama Luar Negeri.
p.
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan.
q.
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan.
r.
Pusat Komunikasi Publik.
s.
Pusat Promosi Kesehatan.
t.
Pusat Inteligensia Kesehatan.
u.
Pusat Kesehatan Haji.
Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.6
Fungsi Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Kementerian
Kesehatan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2010): a.
Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan.
b.
Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
c.
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan.
d.
Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah.
e.
Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
2.1.7
Strategi Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun 2010-2014
dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2011): a.
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta, dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.
b.
Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta berbasis bukti dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
8
c.
Meningkatkan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
terutama
untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d.
Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu.
e.
Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
f.
Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
2.2
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2.2.1
Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan Standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2010). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010) : a.
Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
b.
Pelaksanaan kebijakan bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
c.
Penyusunan NSPK dibidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
d.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
e.
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.2
Sasaran Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil program yang tersusun dalam RENSTRA 2010-2014 Kementerian Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang
memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
9
hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a.
Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Luaran: Meningkatnya ketersediaan Obat Esensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. - Persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%. - Persentase instalasi farmasi Kab/ Kota sesuai standar sebesar 80%.
b.
Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Luaran: Meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan PKRT. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaatsebesar 95%. - Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 60%. - Persentase sarana distribusi alat kesehatan yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%.
c.
Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Luaran: Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasiaan sesuai standar sebesar 45%. - Persentase
Puskesmas
Perawatan
yang
melaksanakan
pelayanan
kefarmasian sesuai standar sebesar 15%. - Persentase penggunanaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah sebesar 60%.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
10
d.
Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Luaran: - Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis. - Jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar.
2.2.3
Struktur Organisasi Ditjen Binfar dan Alkes dipimpin oleh Direktur Jenderal yang
bertanggung
jawab
langsung
kepada
Menteri
Kesehatan
(Kementerian
Kesehatan, 2010). Struktur Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Kementerian Kesehatan, 2010): a.
Sekretariat Direktorat Jenderal
b.
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
c.
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
d.
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
e.
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 2.
2.3
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
2.3.1
Tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian (Kementerian Kesehatan, 2010).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
11
2.3.2 Fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010) a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
d.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
e.
Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
2.3.3
Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas (Kementerian
Kesehatan, 2010): a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 3.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah direktorat yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini adalah gabungan dari Direktorat Farmasi Klinik dan Direktorat Penggunaan Obat Rasional. Adapun dasar hukum perubahan struktur organisasi tersebut ditetapkan dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 (Kementerian Kesehatan, 2010; Kementerian Kesehatan, 2005). Dalam peraturan tersebut diatur fungsi dan tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
3.1
Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010
pasal
568,
Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 568, Direktorat Pelayanan Kefarmasian menyelengarakan fungsi: a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 12
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
13
e.
Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
3.2
Sasaran Kebijakan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai 4
direktorat, salah satunya adalah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Direktorat ini memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan berupa kegiatan Peningkatan Pelayanan Kefarmasian. Sasaran kegiatannya adalah meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas pelayanan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut adalah : a.
Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 40%.
b.
Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 35%.
c.
Persentase Penggunaan Obat Rasional di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah sebesar 55%.
3.3
Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1144/MENKES/PER/VII/2010 pasal 570 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas : a.
Subdirektorat Standardisasi
b.
Subdirektorat Farmasi Komunitas
c.
Subdirektorat Farmasi Klinik
d.
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional
e.
Subbagian Tata Usaha
f.
Kelompok Jabatan Fungsional Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
14
Tiap
subdirektorat
dan
subbagian
dipimpin
oleh
seorang kepala
subdirektorat dan kepala subbagian untuk bagian Tata Usaha. Setiap subdirektorat memiliki dua
seksi, seperti Subdirektorat Standardisasi yang memiliki Seksi
Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Kemudian, Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas. Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki seksi Pelayanan Farmasi Klinik dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Serta yang terakhir Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional yang terdiri atas Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Selanjutnya, tiap subdirektorat tersebut membawahi empat staf untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Struktur organisasi dapat dilihat pada lampiran 3.
3.3.1 Subdirektorat Standardisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1144/MENKES/PER/VII/2010 pasal 571, Subdirektorat Standardisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Standardisasi menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
Subdirektorat Standardisasi terdiri atas: a.
Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
15
b.
Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang penggunaan obat rasional.
3.3.2 Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat
Farmasi
Komunitas
mempunyai
tugas
melaksanakan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Komunitas menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010) : a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas.
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedonman di bidang farmasi komunitas.
c.
Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas.
d.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas: a.
Seksi pelayanan Farmasi Komunitas Seksi pelayanan Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi komunitas.
b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
3.3.3 Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
16
Dalam
melaksanakan
tugas
tersebut
Subdirektorat
Farmasi
Klinik
menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik.
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi klinik.
c.
Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik.
d.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas: a.
Seksi Pelayanan Farmasi Klinik Seksi pelayanan Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi klinik.
b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
3.3.4 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional.
b.
Penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
17
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas: a.
Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang penggunaan obat rasional.
b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
3.4
Kegiatan Penetapan Kinerja di Lingkungan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
3.4.1 Kegiatan Umum a.
Layanan Perkantoran: Administrasi Kegiatan dan Administrasi Perkantoran.
b.
Koordinasi kerja lintas sektor dalam rangka sosialisasi NSPK, program dan pendamping dalam bidang pelayanan kefarmasian tahun 2012.
c.
Pencetakan buku pedoman, standar, dan peraturan pelayanan kefarmasian.
d.
Advokasi implementasi kebijakan, pedoman, dan standar.
e.
Pengembangan konsep joint training antara Apoteker, Dokter, Perawat, dan TTK.
f.
Dokumen kinerja: Penyusunan laporan tahunan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012, Penyusunan laporan akuntabilitas kinerja pemerintahan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012, dan Penataan berkas dan penyusunan arsip Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012.
g.
Dokumen perencanaan dan pengelolaan anggaran: Penyusunan program dan rencana kerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2013 dan Penyusunan RKAKL dan DIPA tahun 2013.
h.
Laporan manajemen keuangan dan kekayaan Negara: Penyusunan laporan BMN Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012 dan Penyusunan laporan keuangan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012.
i.
Peningkatan kemampuan SDM Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
18
j.
Peningkatan kapasitas dan kerjasama dalam negeri.
k.
Peningkatan kapasitas dan kerjasama luar negeri.
l.
Koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian.
m. Rapat koordinasi teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. n.
Optimalisasi sistem pelaporan menggunakan software.
o.
Pengembangan kelembagaan.
p.
Kajian kebutuhan biaya obat dalam sistem Jaminan Kesehatan (APBN-P).
q.
Kajian farmakoekonomi dalam sarana pelayanan kesehatan (APBN-P).
3.4.2 Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Finalisasi Formularium Jamkesmas.
b.
Penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotik.
c.
Studi sistem Jaminan Kesehatan terkait obat (APBN-P).
3.4.3 Subdirektorat Farmasi Komunitas Dalam Subdirektorat Farmasi Komunitas dibuat penetapan kinerja untuk tahun 2013, yang mana sasaran kegiatannya yaitu terlaksananya pelayanan kefarmasian sesuai standar di komunitas. Adapun indikator kinerja untuk targettarget yaang harus dicapai dalam rangka mewujudkan sasaran kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : a.
Tersusunnya konsep akreditasi dan sertifikasi apotek dalam pelayanan kefarmasian.
b.
Tersusunnya revisi Pedoman PIO.
c.
Terlaksananya koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian.
d.
Tersedianya audio visual tentang pelayanan kefarmasian di komunitas.
e.
Tersedianya software PIO yang update.
f.
Terlaksanannya advokasi pelayanan kefarmasian di Puskesmas kepada mahasiswa program profesi Apoteker.
g.
Tersedianya modul TOT pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
19
h.
Terlaksananya percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan di wilayah Timur.
i.
Terlaksananya percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan di wilayah Tengah.
j.
Terlaksananya percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan di wilayah Barat.
Kebijakan Obat Nasional menurut SK Menkes No.189/Menkes/SK/III/2006 : a.
Ketersediaan, pemerataan & keterjangkauan obat, termasuk obat esensial.
b.
Menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.
c.
Penggunaan Obat yang Rasional.
3.4.4 Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Penyusunan Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik.
b.
Monitoring pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
c.
Bimtek pelayan kefarmasian di Rumah Sakit.
d.
Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka Akreditasi Standar Rumah Sakit versi 2012.
e.
Pembekalan SDM IFRS dalam rangka pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
f.
TOT pelayanan kefarmasian diICU.
g.
Workshop peningkatan peran IFRS dalam SJSNAPBN-P.
h.
Workshop peningkatan peran IFRS dalam Sistem SJSN tahan II (APBN-P).
3.4.5 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) memiliki kegiatan sebagai berikut: a.
Integrasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian untuk menerapkan penggunaan obat rasional.
b.
Revisi modul penggerakan POR. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
20
c.
Workshop penggunaan antibiotik yang rasional.
d.
Konsinyasi kebijakan POR.
e.
Penyebaran informasi penggunaan obat rasional dan obat generik.
f.
Penerapan CBIA (Cara Belajar Insan Aktif) dalam rangka pemberdayaan masyarakat (APBN-P).
g.
Penyebaran informasi POR dan obat generik (APBN-P).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) UI angkatan LXXVII di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan pada tanggal 15 - 26 Juli 2013. Hari pertama kegiatan PKPA dimulai pada pukul 09.00 WIB diawali dengan acara perkenalan antara pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan peserta PKPA. Acara perkenalan ini dilaksanakan di ruang 805 yaitu ruang rapat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan diwakili oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. selaku perwakilan dari sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Pada acara perkenalan ini para peserta PKPA diberikan pengantar umum, pengarahan, pembekalan berupa penjelasan mengenai visi, misi, kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Pembekalan ini dilakukan agar para peserta PKPA dapat menjalankan tugas selama berlangsungnya kegiatan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan baik. Pada pelaksanaan PKPA ini, terdapat 13 orang mahasiswa yang melaksanakan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang kemudian dibagi lagi menjadi 2 kelompok untuk dibimbing langsung oleh staf subdirektorat farmasi komunitas dan subdirektorat farmasi klinik. Kelompok peserta PKPA yang ditempatkan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dibimbing oleh Bapak Desko Irianto SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari pertama pelaksanan PKPA, peserta belum berkenalan dengan Direktur, Kepala Subdirektorat dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha karena sedang tidak ada di tempat atau sedang melaksanakan tugas dinas. Para peserta hanya diperkenalkan dengan sebagian staf Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari ketiga peserta PKPA mendapatkan pengarahan dari Ibu Fachriah, S.Si., Apt selaku Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dari subdirektorat Farmasi Komunitas yang memberikan penjelasan umum secara 21
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
22
singkat mengenai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan memberikan pemaparan panjang mengenai hal-hal yang dilakukan pada bagian pekerjaannya yakni di subdirektorat Farmasi Komunitas. Pada hari kelima peserta PKPA mendapatkan materi oleh subdirektorat lainnya yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Materi diberikan oleh Ibu Sri Bintang L, S.Si., Apt. selaku Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Klinik. Materi subdirektorat penggunaan obat rasional diberikan oleh Bapak Roni Syah Putra, S.Farm., Apt. selaku staf subdirektorat penggunaan obat rasional. Selanjutnya, peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Enam orang peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Komunitas berupa Care Plan Oleh Apoteker Untuk Pasien Diabetes; Kebijakan Obat Nasional di Australia; Care Plan Untuk Pasien Hipertensi; Care Plan Untuk Pasien Hiperkolesterolemia sebagai Upaya Mengurangi Resiko Penyakit Jantung Koroner; Pemaparan Pengalaman Australia Mengenai Proses Evaluasi Obat Dalam Sistem PBS; dan Kebijakan Obat Nasional terhadap Keputusan Formularium di Thailand, China, dan Australia (Perubahan dan Peluang Pendaftaran Obat). Tujuh orang peserta PKPA lainnya mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Klinik berupa Evaluasi Penggunaan Obat di Australia, Evaluasi Penggunaan Obat di China, Evaluasi Penggunaan Obat di RSUP Fatmawati, Sistem Pelayanan Informasi Obat di Australia, Penyusunan Formularium Rumah Sakit Menurut WHO, Teori dan Implementasi Rekonsiliasi Obat di Rumah Sakit dan Sistem Pelayanan Informasi Obat di Amerika. Kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung selama dua pekan. Dalam pekan pertama, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas umum kegiatan PKPA. Peserta PKPA mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di setiap subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Penyusunan laporan umum dilakukan melalui observasi dan diskusi dengan pembimbing–pembimbing beberapa subdirektorat dari pemaparan materi yang diberikan. Selain itu, penyusunan juga dilakukan dengan menelusuri beberapa literatur yang disarankan pembimbing seperti Permenkes No.1144 Tahun 2011. Pada pekan kedua, peserta PKPA diberikan Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
23
kesempatan untuk berdiskusi dengan pembimbing dalam penyelesaian tugas khusus yang diberikan oleh subdirektorat. Penyusunan tugas khusus dilakukan dengan mendalami literatur yang ditelusuri secara individual disertai diskusi intensif antar individu dengan pembimbing masing-masing.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 5 PEMBAHASAN
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan salah satu bagian dari Kementrian Kesehatan yang membantu Kementrian Kesehatan untuk melaksanakan tugasnya dengan cara merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari 4 Direktorat, salah satunya adalah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian (Ditbinyanfar). Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI dibentuk berdasarkan Permenkes No. 1144 tahun 2010. Direktorat ini terdiri dari 43 personil yang terdiri dari 14 orang di bagian struktural dan 29 orang staf. Jabatan struktural terdiri dari Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, empat orang Kepala Subdirektorat, delapan Kepala Seksi dan Kepala Subbagian Tata Usaha. Jam operasional dimulai pukul 08.00-16.00 WIB dari hari Senin hingga Kamis, kecuali hari Jumat hingga pukul 16.30. Staf-staf yang ada berasal dari latar belakang pendidikan yang beragam, yakni apoteker, ahli madya farmasi, dokter, sarjana komputer dan hukum. Salah satu tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yaitu penyusunan NSPK serta pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Penggunaan NSPK harus selalu mengikuti perkembangan ilmu kesehatan. Oleh karena itu, pendidikan berkelanjutan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan setiap pegawai. Pendidikan berkelanjutan dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan yang berkoordinasi dengan negara-negara lain yang lebih berkembang dalam pelayanan kefarmasian. Tugas lainnya adalah penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.
5.1. Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat farmasi komunitas mempunyai beberapa program kerja yang sedang dilaksanakan, salah satunya melakukan peningkatan peran dan 24
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
25
fungsi Apoteker di puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar dan percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Indonesia. Dengan demikian, sumber daya manusia di puskesmas memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam rangka memelihara kesehatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Akan tetapi, penyebaran apoteker di puskesmas masih belum merata, hanya sekitar 18% puskesmas di seluruh Indonesia yang memiliki apoteker, hal ini disebabkan karena kurangnya pengaturan penyebaran kerja apoteker di sarana pelayanan kesehatan. Kurangnya
pemahaman
peran
apoteker
di
puskesmas
berkontribusi
menimbulkan terjadinya permasalahan, diantaranya banyak apoteker yang tidak bekerja sesuai dengan bidang profesi pendidikannya dan beralih bekerja di bidang lain. Oleh karena itu, subdirektorat farmasi komunitas berusaha untuk menyamakan persepsi apoteker di Indonesia dengan melakukan advokasiadvokasi ke perguruan tinggi mengenai peran dan fungsi apoteker di Puskesmas. Hal ini dilakukan dengan harapan agar hasil advokasi disosialisasikan kepada para calon apoteker mengenai pentingnya peran apoteker di puskesmas. Adapun kegiatan yang telah dilakukan untuk menarik minat agar para calon apoteker berminat bekerja di puskesmas yakni melalui kegiatan seminar nasional yang ditujukan kepada mahasiswa program studi profesi apoteker dan mahasiswa sarjana farmasi yang dilakukan di tiga kota yakni Jakarta, Bandung
dan
Yogyakarta.
Selain
menjelaskan
advokasi
pelayanan
kefarmasian di puskesmas seminar ini juga berkaitan dengan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan di era SJSN. Tema yang diangkat pada seminar nasional ini yaitu prospek puskesmas dan fungsi strategis apoteker dalam pelayanan kesehatan di era SJSN. Materi yang diberikan pada seminar ini yaituperan profesi dalam implementasi jaminan kesehatan sesuai UU SJSN dan UU BPJS , gambaran pelayanan kefarmasian sebagai bagian dari pelayanan kesehatan di puskesmas, prospek puskesmas dan fungsi strategis Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
26
apoteker dalampelayanan kesehatan di era SJSN, praktek pelayanan kefarmasian di puskesmas, kebijakan ditjen binfar dan alkes dalam pelayanan kesehatan di era SJSN,
dukungan kepala puskesmas dalam pelayanan
kefarmasian di puskesmas. Subdirektorat Farmasi Komunitas jugamelakukan advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (product oriented) menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented). Apoteker di apotek berperan sebagai pemberi informasi obat kepada masyarakat. Oleh karena itu, apoteker seharusnya berada di apotek selama kegiatan apotek berlangsung atau selama jam buka apotek, namun pada kenyataannya masih banyak apotek yang terus melakukan pelayanan kefarmasian walaupun apoteker tidak berada di apotek. Hal ini menyebabkan kurangnya pengawasan penyerahan obat ke pasien dan pemberian informasi yang tentunya bertentangan dengan PP 51 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh apoteker. Subdirektorat Farmasi Komunitas juga membuat software PIO yang diupdate setiap dua tahun sekali. Software PIO dalam bentuk compact disc (CD)dan online melalui website ini dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik menuju pelayanan kesehatan yang paripurna. PIO berupasoftware ini melengkapi buku-buku, leaflet, poster, standar dan pedoman pelayanan kefarmasian yang telah ada. Software PIO dalam bentuk CD awalnya dibagikan lewat kantorkantor di lingkungan Depkes atau melalui organisasi ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia), sebelum berubah menjadi IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Dengan menginstal CD tersebut, untuk menggunakannya tidak perlu terhubung dengan internet.Software ini berisi informasi obat dengan fitur-fitur yang lengkap mulai dari nama kimia, indikasi, regimen dosis, farmakologi, stabilitas penyimpanan, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, pengaruh obat (terhadap kehamilan, ibu menyusui, anak-anak, hasil laboratorium), parameter monitoring, mekanisme aksi, hingga informasi yang perlu diketahui pasien. Melalui software ini diharapkan pelayanan Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
27
kefarmasian di komunitas dan rumah sakit dapat lebih baik(Kementrian Kesehatan, 2011). Sosialisasi software PIO sudah dilakukan dibeberapa kota di Indonesia seperti Dinas Kota Batam yang telah melakukan sosialisasi penggunaan software PIO kepada seluruh Apoteker Pengelola Apotek yang ada di Batam pada tahun 2008 lalu. Begitu pula di Kota Bandung juga telah dilakukan sosialisasi software PIO ini pada bulan Oktober 2013.
5.2. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat PORmempunyai program kerja, yaitu membuat kebijakan-kebijakan seputar penggunaan obat rasional di puskesmas dan rumah sakit. Penggunaan obat rasional penting untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya pengobatan, mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan. Dalam kenyataannya, masih banyak terdapat praktek penggunaan obat tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan tidak disadari oleh para klinisi, misalnya asam mefenamat diresepkan untuk mengatasi demam padahal tersedia parasetamol yang jelas lebih aman. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat yang diberikan cenderung berlebih terutama obat antibiotik dan steroid (Dwiprahasto, 2006). Selain itu, kenyataan di masyarakat, tumbuh paradigma jika tidak mengkonsumsi antibiotik maka penyakitnya tidak sembuh. Hal ini memaksa tenaga kesehatan untuk meresepkan antibiotik walaupun sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pasien. Untuk meningkatkan penggunaan obat rasional, maka Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional melakukan PPOR. Program ini merupakan kegiatan pembinaan POR yang terarah, sistematis, terkoordinir dan Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
28
berkesinambungan dengan menyertakan wilayah atau daerah dan lembaga atau
perorangan
untuk
melaksanakan
POR
bersama-sama
dengan
mengembangkan pelaksanaannya pada pelayanan kesehatan dasar, rujukan, maupun kepada masyarakat. Prioritas pengembangannya dengan melakukan pembinaan kepada tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar pemerintah dan fasilitas
pelayanan
kesehatan
rujukan
pemerintah
serta
dilakukan
pemberdayaan masyarakat dengan melakukan edukasi mengenai POR. Keberhasilan program PPOR sangat bergantung kepada penerapan langkahlangkah program yang didukung oleh puskesmas dan rumah sakit serta seluruh upaya berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian Kesehatan, 2012). Program kerja Subdirektorat POR saat ini, untuk melihat penggunaan obat rasional mengacu pada 3 indikator yaitu penggunaan antibiotik terhadap ISPA non pneumonia, penggunaan antibiotik pada diare non spesifik, serta persentase penggunaan suntikan pada penyakit myalgia. Hal ini dilatarbelakangi masih tingginya penggunaan antibiotik di pelayanan kesehatan dasar. Dimana Subdirektorat POR melakukan pemantauan penggunaan obat rasional di pelayanan kesehatan dasar dan Rumah Sakit serta melihat peresepan obat generik yang bertujuan untuk meminimalisir penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan menggalakkan peresepan obat generik. Penerapan CBIA dalam rangka pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan pelatihan dan sosialisasi mengenai POR kepada tenaga kesehatan, kader, dan Dinas Kesehatan daerah yang dilakukan oleh Ditbinyanfar. Promosi penggunaan obat rasional dilaksanakan secara gencar sebagai antisipasi penanggulangan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penggunaan obat rasional. POR tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas karena tercapainya POR merupakan hasil dari kualitas pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas yang baik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
29
5.3. Persiapan dalam Implementasi SJSN Salah satu terobosan baru dalam pelayanan kesehatan yang akan segera dimulai pada awal tahun 2014 adalah JKN yang termasuk dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Melalui terobosan ini, seluruh masyarakat Indonesia akan terlindungi dalam cakupan asuransi kesehatan sosial, sehingga dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa hambatan biaya. Untuk mempersiapkan terobosan ini, Kementerian Kesehatan telah mengintensifkan upaya persiapan implementasi JKN, termasuk salah satunya dengan membentuk Pokja Persiapan Jaminan Kesehatan Nasional Bidang Kesehatan. Pengembangan aspek kefarmasian dan alat kesehatan untuk pelaksanaan JKN meliputi: 1) Aksesibilitas, 2) Keterjangkauan, dan 3) Penggunaan obat rasional. Dari aspek aksesibilitas, dilakukan pengembangan drug supply management, kapasitas produksi industri farmasi, dan sistem informasi obat dan alatkesehatan. Untuk menjamin keterjangkauan, dilakukan pemantapan regulasi serta penguatan analisis kebutuhan. Sedangkan aspek penggunaan
obat
rasionaldikembangkan
melalui
peningkatan
POR,
peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dan penggunaan alkes yang tepat guna. Sampai dengan Juni 2013, persiapan yang telah dilaksanakan meliputi: 1) Penyiapan NSPK, 2) Pembiayaan, 3) Penyusunan instrumen penunjang, dan 4) Pelaksanaan kajian serta sosialisasi. Pada
penyiapan
NSPK,
upaya
persiapan
ditujukan
kepada
Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan, dan e-catalogue. Penyusunan Formularium Nasionaltelah sampai pada Finalisasi, berupa review daftar obat yang akan dicantumkan untuk kemudian melaksanakan Pleno (tahap finalisasi). Kompendium alat kesehatan merupakan kumpulan standar dan ilustrasi alat kesehatan yang disajikan secara komprehensif, yang dapat digunakan sebagai acuan pelayanan kesehatan dalam menentukan pembelian alat kesehatan yang cost-effective sesuai mutunya. Kemajuan pembuatan kompendium alat kesehatan saat ini telah sampai pada
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
30
penyelesaian draft akhir yang hasilnya akan dilakukan tindak lanjut antara lain: a.
Melakukan rapat dengan produsen/distributor alat kesehatan
b.
Melakukan rapat dengan lintas sektor (Ditjen BUK, Ditjen Bina GKIA, Ditjen P2PL, dll)
c.
Melakukan rapat dengan asosiasi dan profesi.
Seluruh proses tersebut – termasuk penyusunan NSPK e-catalogue-berjalan simultan, sehingga pada triwulan III 2013 sudah siap dimanfaatkan. Pada penyiapan Pembiayaan, telah dilakukan analisis dengan kesimpulan pembiayaan kebutuhan anggaran obat pelayanan kesehatan dasar dipenuhi dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta didukung Dana Alokasi Khusus. APBN Pemerintah Pusat akan dialokasikan untuk menyediakan obat program kesehatan. Untuk Penyusunan Instrumen Penunjang, telah diluncurkan ecatalogue, yang menjadi upaya Pemerintah dalam melakukan pengendalian harga obat melalui lelang harga satuan. Tahun ini, e-catalogue obat berisikan 327 item obat, 219 diantaranya lebih murah dari HET tahun 2012. Selain pada obat, e-catalogue juga diterapkan untuk komoditas alat kesehatan. Ecatalogue alat kesehatan akan memuat informasi: nama, jenis, spesifikasi, harga, dan janji layanan. Sebagaimana pada obat, pembuatan e-catalogue alat kesehatan di bawah koordinasi LKPP, dimana saat ini sudah sampai tahap penilaian kewajaran harga. Untuk itu LKPP perlu melakukan tindak lanjut review harga yang didapatkan dengan memperhatikan: struktur harga alat kesehatan, FOB yang didapatkan dari faktur perusahaan, informasi harga pembelian di RumahSakit/FasilitasPelayanan Kesehatan, dan harga Kontrak terdahulu. Review tersebut selalu melibatkan Ditjen BUK dan Ditjen Binfar Alkes. Dan untuk kajian serta sosialisasi, sedang dilakukan Kajian Besaran Komponen Biaya Obat dalam
Kapitasi Pelayanan Kesehatan Dasar dan
Kajian HTA Alat Kesehatan. Sosialisasi FormulariumNasional telah dilakukan seiring penyusunannya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
31
Pada awal 2014 pihak yang akandijamin dalam SJSN ini meliputi pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat, TNI, Polri, PNS dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan perkembangannya maka berikutnya akan menjamin seluruh masyarakat di Indonesia. Tujuan
mendasar
dari
Sistem
Kesehatan
Nasional
adalah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan respon dari pemerintah sekaligus menjamin keadilan dalam kontribusi pembiayaan bagi pemenuhan masyarakat terkait pelayanan kesehatan dasar. Untuk menunjang hal tersebut dibutuhkan fasilitas kesehatan dan SDM yang sesuai aturan dan standar Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Terdapat banyak dokter dan spesialis yang menolak ditempatkan di daerah terpencil karena jauh dari akses informasi dan pengembangan diri, demikian halnya dengan tenaga perawat, bidan serta tenaga kesehatan lainnya. Hal ini merupakan salah satukendala menjelang diberlakukannya SJSN pada Januari tahun 2014. Tindakan nyata untuk menindaklanjuti kendala tenaga kesehatan ini maka Kementrian Kesehatan melalui BPPSDM bekerja sama dengan DirektoratJenderalPendidikanTinggi serta Australian Agency for International Developmenttelah menyelenggarakan program PJJ. Program PJJ adalah program pendidikan jarak jauh yang memberikan kesempatan strategis kepada para perawat dan bidan untuk mengikuti kuliah tanpa harus meninggalkan tempat pelayanan mereka. Dengan demikian tidak mengganggu akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanannya di Puskesmas, Rumah Sakit, serta fasilitas layanan kesehatan lainnya sambil kuliah. UU No. 12 tahun 2012 tentangPerguruan Tinggi mengaturjenjang minimal dalampendidikan tinggi tenagakesehatan adalah Diploma III. Sumber informasi lainmenyebutkan bahwa kuranglebih 140.000 perawat dan bidanyang tersebar dalam berbagailayanan primer belummengantongi ijasah DiplomaIII. BPPSDM dengandukungan Pemerintah Australia melaluiprogram AIPHSS adalah mengupayakan akreditasi para perawat dan bidan melalui PJJ. Program PJJ ini bertujuan untukmemberikan akreditas sekaligus Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
32
menjaminpara perawat dan bidan dengan gelarbelum DiplomaIII agar tetap belajar tanpa harus meninggalkan pekerjaan atau pelayanan mereka di puskesmas, rumah sakit dan atau fasilitas layanan kesehatan yang ada. Sasaran didik dari program PJJ adalah tenaga kesehatan PNS dan Non-PNS yang secara sosial, ekonomi dan waktunya tidak memungkinkan mengikuti pendidikan lanjutan melalui jalur reguler. Perguruan Tinggi penyelenggara program PJJ adalah Poltekes Kemenkes yang memenuhi persyaratan dan memiliki kebutuhan prioritas pembangunan nasional antara lain Poltekes Jayapura, Sorong, Kupang, Mataram, Kaltim, Medan dan Banjarmasin. Modus penyelenggaraan PJJ menggunakan Modus Ganda (dual mode) yaitu secara tatap muka dan jarak jauh. Perangkat PJJ terdiri dari enam unsur seperti lembaga penyelenggara, teknologi informasi dan komunikasi, strategi pembelajaran, materi ajar, tutor/ dosen dan peserta belajar (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Koordinasi yang dilakukan dalam setiap Subdit di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sudah cukup baik. Terbukti dengan dilakukannya kegiatan yang sifatnya saling mendukung, contohnya pada kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan penggunaan obat rasional yang dikerjakan oleh Subdit POR dan didukung dengan adanya formularium dan standar yang disusun oleh Subdit Standardisasi. Adanya koordinasi yang baik dalam penentuan kebijakan dapat menghasilkan suatu sistem kebijakan yang baik pula. Namun, sistem yang baik belum tentu dapat mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia, hal ini dikarenakan implementasi sistem kebijakan yang belum baik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan a.
Apoteker di di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menjalankan peran sesuai
dengan
tugas
dan
fungsinya
menurut
Permenkes
RI
No.
1144/Menkes/Per/VIII/2010. b.
Program kerja yang sedang berjalan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dandilaksanakan oleh Sub Direktorat Farmasi Komunitas dan Sub Direktorat PenggunaanObat Rasional yaitu pembuatan software PIO, menyelenggarakan advokasi ke perguruan tinggi mengenai peran dan fungsi Apoteker di Puskesmas, menyelenggarakan PPOR dan CBIA.
6.2 Saran a.
Penyelenggaraan PKPA di Kementerian Kesehatan RI khususnya Direktorat Bina Pelayanan Kefamasian sebaiknya dilaksanakan dalam waktu yang lebih lama, agar calon Apoteker mendapat bekal pengetahuan yang lebih merata dari tiap Sub Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian baik mengenai tugas, fungsi serta implementasinya secara langsung.
b.
Perlunya Program kerja yang lebih ditekankan tentang advokasi ke perguruan tinggi mengenai pemerataan tenaga Apoteker. Karena saat ini, semakin banyak media yang menyampaikan berita kurangnya tenaga Apoteker di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas khususnya di daerah terpencil.
33
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Direktorat Bina Pelayanan kefarmasian. (2013). Pengumuman Seminar Prospek Puskesmas dan Fungsi Strategis Apoteker dalam Pelayanan Kesehatan pada Era SJSN. Fakultas farmasi UGM. Yogyakarta. sumber : http://apoteker.farmasi.ugm.ac.id/berita-159-penggumuman-seminar.html diakses 19 November 2013, pukul 15.00 wib.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Profile Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan. (2013). Majalah Kesehatan Obat Indonesia, Kabar Aiphss, Edisi III. Kementerian Kesehatan Indonesia. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Presiden RI No. 47 tahun 2009 nomor 144 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara, Jakarta. PT. Askes. (2010). DPHO : Pelayanan Obat Terbaik Bagi Peserta dalam Info Askes. Jakarta : PT. Media Citra Solusi Komunikasi.
34
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Universitas Indonesia
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010 35
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
36
Universitas Indonesia
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
37
Universitas Indonesia
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN
AIPHSS
:Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBN-P
: Anggaran pendapatan dan belanja negara-perubahan
BPJS
: Badan penyelengara jaminan sosial
BPPSDM
: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
BUK
: Bina Upaya Kesehatan
CBIA
: Cara belajar insan aktif
GKIA
: Gizi dan Kesehatan ibu dan Anak
HTA
: Health Technology Assessment
ICU
: Intensive care unit
ISPA
: Infeksi saluran pernapasan atas
JKN
:Jaminan Kesehatan Nasional
KKN
: Korupsi, kolusi dan nepotisme
LKPP
: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah
NSPK
: Norma, standar, prosedur dan kriteria
PBS
: Pharmaceutical Benefits Scheme
PIO
: Pelayanan informasi obat
PKRT
: Peralatan kesehatan rumah tangga
POR
: Penggunaan obat rasional 38
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
39
PPOR
: Penggerakan Penggunaan Obat Rasional
P2PL
: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
SDM
: Sumber Daya Manusia
SJSN
: Sistem jaminan sosial nasional
TOT
: Training of trainer
TTK
: Tenaga teknis kefarmasian
PJJ
: Pendidikan Jarak Jauh
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN METODE DDD DI GEDUNG TERATAI LANTAI 3 RSUP FATMAWATI PERIODE BULAN JUNI 2012
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
MALIHATUR ROSYIDAH, S.Farm 1206329796
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2014
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... iv BAB 1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang................................................................................ 1 1.2 Tujuan ............................................................................................. 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4 2.1 Definisi Evaluasi Penggunaan Obat .............................................. 4 2.2 Tujuan Evaluasi Penggunaan Obat ................................................ 4 2.3 Klasifikasi Evaluasi Penggunaan Obat .......................................... 5 2.4 Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi Rumah Sakit....... 8 2.5 Langkah-langkah Evaluasi Penggunaan Obat berdasarkan WHO 12 2.6 Evaluasi Penggunaan Antibiotik ................................................... 17
BAB 3
METODOLOGI PENGKAJIAN ...................................................... 22 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian ...................................................... 22 3.2 Metode Pengkaijan ........................................................................ 22
BAB 4
PEMBAHASAN .................................................................................. 23
BAB 5
PENUTUP............................................................................................ 29 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 29 5.2 Saran .............................................................................................. 29
DAFTAR ACUAN ............................................................................................... 31 LAMPIRAN ......................................................................................................... 33
ii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Grafik Persentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ...................... Gambar 4.2 Grafik Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Jenis Kelamin .............. Gambar 4.3 Grafik Rute Pemberian Antibiotik .................................................... Gambar 4.4 Grafik Penggunaan Antibiotika Berdasarkan DDD (100 Pasien-hari)
iii
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
25 25 26 27
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran1. Defined Daily Dose (DDD) of some common medicines ................. ..33 Lampiran 2. Data pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai RSUP Fatmawati Juni 2012...34 Lampiran 3. Rekapitulasi Jumlah DDD Pemakaian Antibiotika di Gedung Teratai lantai 3 RSUP Fatmawati Juni 2012 ................................................ ..41
iv
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai kesehatan nasional maka perlu dilakukan suatu upaya kesehatan yang merupakan setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Dalam upaya kesehatan tersebut, obat merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Salah satu masalah penting yang dihadapi unit pelayanaan kesehatan adalah rasionalitas penggunaan obat. Pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat serta obat yang diberikan harus efektif dengan mutu yang terjamin dan aman (World Health Organization, 2012). Penggunaan obat rasional membutuhkan pendekatan individual pada pasien. Keberhasilan terapi obat tergantung pada kemampuan dokter dalam mendiagnosis masalah kesehatan utama, memilih dosis yang tepat, bentuk sediaan dan rute administrasi yang tepat. Keberhasilan tersebut didukung dengan kemampuan apoteker dalam menyiapkan obat dengan mengidentifikasi kemungkinan efek samping yang merugikan dan interaksi obat, mencegah terapi duplikasi serta peran petugas kesehatan lainnya seperti perawat dalam memberikan obat kepada pasien (Moore, T, A., et al, 1997).
1
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
Saat ini, penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak. Peresepan antibiotik yang cukup tinggi dan kurang bijak akan meningkatkan
resistensi.
Dampak
resistensi
terhadap
antibiotik
adalah
meningkatknya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Di rumah sakit, penggunaan
antibiotik
yang
tidak
perlu
atau
berlebihan
mendorong
berkembangnya resistensi dan multiple resisten terhadap bakteri tertentu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Salah satu mekanisme untuk menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat adalah melalui program drug utilization review (DUR) atau evaluasi penggunaan obat (Moore, T, A., et al, 1997). Evaluasi penggunaan obat harus direncanakan dengan hati-hati oleh staf medis untuk menyertai obat- obat yang paling menimbulkan masalah bila tidak digunakan dengan tepat. Program ini dilakukan dengan membandingkan penggunaan obat dengan standar atau pedoman pengobatan (Moore, T, A., et al, 1997). Untuk peningkatan terapi optimal pada pasien maka segenap personil yang terlibat dalam proses pengobatan harus menjadi bagian dalam mengevaluasi tindakan termasuk pengobatan yang diberikan. Salah satu fasilitas kesehatan yang melakukan evaluasi penggunaan obat yaitu Rumah Sakit. Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang mempunyai misi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, juga sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan serta tempat penelitian dan pengembangan kesehatan (Siregar, Charles J.P, 2003). Oleh sebab itu, maka laporan ini disusun sebagai informasi mengenai hal-hal terkait dengan evaluasi penggunaan obat yang dilakukan sebagai bagian dari upaya optimalisasi pelayanan kesehatan di sarana fasilitas kesehatan, salah satunya yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
3
1.2
Tujuan Tujuan penulisan laporan evaluasi penggunaan obat ini adalah sebagai
berikut : a.
Memahami konsep evaluasi penggunaan obat berdasarkan World Health Organization (WHO) dan literatur pendukung lainnya.
b.
Memahami proses implementasi dan penyelenggaraan salah satu evaluasi penggunaan obat yaitu secara Defined Daily Dose (DDD) untuk meningkatkan kualitas terapi antibiotik di RSUP Fatmawati.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Evaluasi Penggunaan Obat MenurutWorld Health Organization, evaluasi penggunaan obat (Drug Use
Evaluation/DUE atau Drug utility review/DUR) adalah suatu sistem yang berkelanjutan, tersistematis berdasarkan kriteria evaluasi penggunaan obat yang akan memastikan ketepatan penggunaan obat. Jika terapi dianggap tidak sesuai, maka diperlukan keterlibatan dari penyedia layanan dan pasien agar terapi obat menjadi optimal. Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu proses penilaian terhadap obat atau penyakit spesifik yang meliputi peresepan, penyiapan dan pemberian obat (indikasi, dosis, interaksi obat dan lain-lain). Evaluasi pengobatan (Medication use evaluation/ MUE) mirip dengan DUE tetapi menekankan pada peningkatan hasil terapi dan kualitas hidup pasien, oleh karena itu, diperlukan keterlibatan dari berbagai tenaga profesional yang terkait dengan terapi obat. Evaluasi pengobatan akan menilai hasil klinis (sembuhnya infeksi, penurunan kadar lipid, dan lain-lain) (World Health Organization, 2003). Menurut Kementerian Kesehatan RI, Pengkajian penggunaan obat merupakan
program
evaluasi
penggunaan
obat
yang
terstruktur
dan
berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau pada pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.2
Tujuan Evaluasi Penggunaan Obat Tujuan dari evaluasi penggunaan obat atau evaluasi pengobatan adalah
untuk meningkatkan terapi obat yang optimal dan memastikan bahwa terapi obat memenuhi standar saat perawatan. Tujuan lainnya diantaranya : a. membuat pedoman (kriteria) untuk penggunaan obat yang tepat b. mengevaluasi efektivitas terapi obat c. meningkatkan tanggung jawab / akuntabilitas dalam proses penggunaan obat
4
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
5
d. mengendalikan harga obat e. mencegah masalah-masalah terkait obat, misalnya efek samping obat, kegagalan pengobatan, dosis obat yang salah (penggunaan obat dengan dosis yang berlebihan, penggunaan obat dengan dosis dibawah dosis terapi), dan penggunaan obat-obatan diluar formularium. f. mengidentifikasi bidang-bidang informasi dan pendidikan lebih lanjut yang diperlukan oleh penyedia layanan kesehatan. Sebuah sistem evaluasi penggunaan obat dapat dibentuk relatif cepat setelah masalah-masalah penting diidentifikasi (dari kumpulan data, indikator fasilitas kesehatan, penelitian kualitatif, penelitian efek samping obat lainnya, atau bahkan rekomendasi dari anggota komite farmasi dan terapi) (World Health Organization, 2003).
2.3
Klasifikasi Evaluasi Penggunaan Obat Klasifikasi evaluasi penggunaan obat menurut World Health Organization,
Academy of managed Care Pharmacy dan Russia Rational Pharmaceutical Management Project adalah sebagai berikut : a. Evaluasi Penggunaan Obat Prospektif (Prospective) Tinjauan Prospektif yaitu mengevaluasi terapi obat yang direncanakan pada pasien sebelum obat tersebut diserahkan. Proses ini memungkinkan apoteker untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah sebelum pasien menerima obat. Apoteker secara rutin melakukan tinjauan prospektif dalam praktek sehari-hari dengan menilai dosis obat dan arah resep saat meninjau informasi pasien untuk kemungkinan terjadinya interaksi obat atau terapi ganda. Keuntungan utamanya adalah potensial dalam pencegahan,dan perlu digunakan bila ketidakpatuhan pada kriteria akan menghasilkan dampakserius. Dampak dari DUR ini bersifat langsung, berbagai masalah penggunaan obat dapat terdeteksi dan dicegah : 1) Penyalahgunaan atau penggunaan klinik yang tidak tepat 2) Dosisyangtidak tepat 3) Bentuk sediaan atau rute administrasi yang tidak tepat 4) Durasi terapi yang tidak tepat Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
6
5) Interaksi obat-obat 6) Duplikasi terapi 7) Kontraindikasi obat-penyakit 8) Kondisi khusus pasien (misalnya umur, jenis kelamin, kehamilan, alergi obat dan efek sampinglain) 9) Biaya Contoh : Identifikasi
interaksi
obat-obat
merupakan
hasil
yang
umum
dilakukannya evaluasi penggunaan obat secara prospective. Misalnya, seorang pasien yang sedang menjalani pengobatan dengan warfarin untuk mencegah penggumpalan darah kemudian mendapatkan obat baru yang diresepkan oleh dokter spesialis lain untuk mengobati radang sendi (arthritis). Jika kedua obat tersebut digunakan bersamaan, maka pasien akan mengalami pendarahan internal. Setelah meninjau resep tersebut, maka apoteker mencatat interaksi obat
yang potensial dan menghubungi
dokter penulis resep untuk
mengingatkannya mengenai permasalahan ini.
b. Evaluasi Penggunaan Obat Konkuren(Concurrent) Tinjauan konkuren dilakukan selama pengobatan dan melibatkan pemantauan terapi obat pasien untuk mendorong hasil yang positif. Apoteker diberikan kesempatan untuk mengingatkan dokter penulis resep mengenai masalah potensial dan intervensi dalam bidang-bidang seperti interaksi obatobat, terapiganda, kelebihan atau kurangnya penggunaan dan dosis yang berlebihan atau tidak cukup. Tinjauan ini memungkinkan terapi bagi pasien untuk
diubah
jika
diperlukan.
Evaluasi
penggunaan
obat
konkuren
(Concurrent), membandingkan penggunaan obat dengan kriteria selama terapi, seperti pada Evaluasi Penggunaan Obat Prospektif (Prospective). Bedanya, pada concurrent monitoring, intervensi bersifat koreksi. Masalah umum yang dapat di tunjukkan dalam evaluasi ini diantaranya : 1) Interaksi obat – penyakit 2) Interaksi obat – obat 3) Modifikasi dosis obat Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
7
4) Obat-Kondisi khusus pasien (misalnya umur, jenis kelamin, kehamilan, dan lain-lain) 5) Kurangnya penggunaan atau penggunaan yang berlebihan 6) Perubahan terapi Contoh : Evaluasi obat concurrent sering terjadi saat awal pengobatan dimana pasien sering mendapat beberapa macam obat. Dengan peninjauan secara berkala terhadap rekam medik pasien maka apoteker akan dapat melihat apakah terjadi interaksi antar obat-obat yang diberikan ataupun interaksi yang berpotensi untuk terjadi serta melihat adanya kemungkinan terjadi terapi ganda (misalnya obat dengan indikasi yang sama). Hal ini juga merupakan pertanda bagi apoteker untuk melakukan perubahan dalam pengobatan, seperti antibiotik, atau penyesuaian dosis berdasarkan hasil uji laboratorium.Dokter juga perlu diberi perhatian terhadap situasi yang terjadi sehingga dapat diambil tindakan koreksi.
c. Evaluasi Penggunaan Obat Retrospektif(Retrospective) Tinjauan retrospektif dilakukan setelah pasien menerima obat. Tujuannya untuk mendeteksi pola peresepan, penyiapan atau penyerahan obatobatan. Berdasarkan pola penggunaan obat, standar prospektif dan target intervensi dapat dikembangkan untuk mencegah terulangnyapenggunaan obat yang tidak tepat atau penyalahgunaan obat. Hasil dari tinjauan ini dapat membantu dokter penulis resep dalam meningkatkan perawatan pasien, baik pada target individu maupun dalam populasi tertentu (misalnya, pasien diabetes, asma, atau tekanan darah tinggi). Intervensi tidak dapat dilakukan untuk memperbaiki penggunaan obat pada pasien yang dievaluasi. Tapi dapat digunakan untuk memonitor aspek yang sama seperti pada evaluasi penggunaan obat prospective,misalnya: 1) Evaluasi indikasi 2) Identikasi frekuensi peresepan obat tunggal atau kelompok obat 3) Membandingkan peresepan antardokter 4) Membandingkan peresepan dengan pedoman terapi standar Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
8
5) Monitoring penggunaan terapi obat dengan biaya tinggi 6) Biaya pasien 7) Reaksi efek samping obat yang merugikan 8) Interaksi obat Contoh : Contoh dari evaluasi penggunaan obat retrospektif yaitu identifikasi suatu kelompok pasien yang mana terapinya diluar dari pedoman terapi yang disetujui.misalnya, seorang apoteker dapat mengidentifikasi pasien yang menderita asma, yang menurut riwayat diagnosis dan pengobatan, sebaiknya diberi steroid oral secara inhalasi (dihirup). Dengan menggunakan informasi ini, apoteker kemudian dapat menganjurkan dokter untuk meresepkan obat yang dimaksud.
Peran Lintas Terkait dalam Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
2.4 2.4.1
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Panitia Farmasi dan terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dibentuknya PFT diantaranya : a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta mengevaluasinya. b. Melengkapi staf professional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit setempat.Panitia Farmasi dan terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang yaitu Dokter, Apoteker dan Perawat.Untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari 3 orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada.Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
9
maka sebagai ketua adalah Farmakologi.Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang dirujuk. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali.Rapat Panitia Farmasi dan terapi dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi.Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat (Menteri Kesehatan RI, 2004).
2.4.1.1 Peran Apoteker Dalam Panitia/Komite Farmasi Terapi (KFT ) Apoteker
terlibat
aktif
dalam
kegiatan
KFT
khususnya
terkait
pengendalian penggunaan antibiotik, melalui: a. Pemilihan jenis antibiotik yang akan dimasukkan dalam pedoman penggunaan antibiotik, formularium, dan yang diuji kepekaan. b. Analisis hasil evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif maupun kualitatif. c. Pembuatan kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit. d. Analisis cost effective, Drug Use Evaluation (DUE), dan evaluasi kepatuhan terhadap pedoman penggunaan antibiotik maupun kebijakan terkait yang telah ditetapkan e. Analisis dan pelaporan Efek Samping Obat (ESO)/Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).Berikut ini adalah beberapa tambahan ketentuan yang dapat menjadi bagian dari kebijakan antibiotik di rumah sakit: 1) Pengelolaan antibiotik harus dilakukan oleh instalasi farmasi melalui sistem satu pintu 2) Pedoman Terapi Empiris 3) Pedoman Terapi Definitif 4) Pedoman Profilaksis Bedah 5) Daftar Antibiotik Yang Boleh Dipakai,
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
10
6) Daftar Antibiotik Yang Dibatasi/Restriksi 7) Daftar Antibiotik Yang di “Saving” 8) Pedoman Terapi Antibiotik Injeksi (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.4.2
Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit adalah organisasi yang
terdiri dari staf medis, apoteker yang mewakili farmasi rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan : a. Menunjang pembuatan pedoman pencegahan infeksi. b. Memberikan informasi untuk menetapkan disinfektan yang akan digunakan di rumah sakit. c. Melaksanakan pendidikan tentang pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit. d. Melaksanakan penelitian (surveillans) infeksi nosokomial di rumah sakit. (Menteri Kesehatan RI, 2004).
2.4.2.1 Peran Apoteker Sebagai Anggota Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS) Apoteker berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada pasien dan tenaga kesehatan terkait pengendalian penggunaan antibiotik, melalui: a.
Penetapan kebijakan dan prosedur internal Instalasi Farmasi dalam penyiapan sediaan steril. Misalnya penetapan kebijakan pencampuran dalam laminar air flow cabinet oleh tenaga yang terlatih.
b.
Penetapan kebijakan penggunaan sediaan antibiotik steril sekali pakai (single-dose package) dan penggunaan sediaan steril dosis ganda (multiple-dose container).
c.
Penandaan yang benar termasuk pencantuman tanggal dan jam kadaluwarsa serta kondisi penyimpanan sediaan antibiotik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
11
d.
Peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku (standard precaution) oleh tenaga kesehatan, pasien dan petugas lain yang terlibat dalam perawatan pasien.
e.
Kolaborasi dalam penyusunan pedoman penilaian risiko paparan, pengobatan dan pemantauan terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang pernah kontak dengan pasien penyakit infeksi.
f.
Penyusunan pedoman penggunaan antiseptik dan disinfektan.
g.
Penurunan
kejadian
infeksi
nosokomial
dengan
cara
menjamin
ketersediaan alat kesehatan sekali pakai, antiseptik dan disinfektan. (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.4.3 Tim Pengendalian Resistensi Antibiotik Pengendalian resistensi antibiotik memerlukan kolaborasi berbagai profesi kesehatan antara lain Dokter, Ahli Mikrobiologi, Perawat dan Apoteker. Program pengendalian resistensi antibiotikbertujuan : a. Menekan resistensi antibiotik. b. Mencegah toksisitas akibat penggunaan antibiotik. c. Menurunkan biaya akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak. d. Menurunkan risiko infeksi nosokomial. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan tujuan tercapainya hasil terapi yang optimal pada pasien dengan penyakit infeksi dan menurunkan risiko transmisi infeksi pada pasien lain atau tenaga kesehatan.
2.4.3.1 Peran Apoteker Sebagai Anggota Pengendalian Resistensi Antibiotik Peran penting apoteker yang terlatih dalam penyakit infeksi untuk mengendalikan resistensi antibiotik dapat dilakukan melalui: a. Upaya mendorong penggunaan antibiotik secara bijak 1) Meningkatkan
kerjasama
multidisiplin
untuk
menjamin
bahwa
penggunaan antibiotik profilaksis, empiris dan definitif memberikan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
12
hasil terapi yang optimal. Kegiatan ini mencakup penyusunan kebijakan dan prosedur, misalnya restriksi penggunaan antibiotik, saving penggunaan
antibiotik,
penggantian
terapi
antibiotik,
pedoman
penggunaan antibiotik maupun kegiatan selama perawatan pasien penyakit infeksi. Kegiatan terkait perawatan pasien penyakit infeksi misalnya pemilihan antibiotik yang tepat, mempertimbangkan pola kuman setempat, optimalisasi dosis, pemberian antibiotik sedini mungkin pada pasien dengan indikasi infeksi, de-eskalasi, pemantauan terapi antibiotik. 2)
Terlibat aktif dalam Komite Farmasi dan Terapi
b. Menurunkan transmisi infeksi melalui keterlibatan aktif dalam Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. c. Memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan, pasien dan masyarakat tentang penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik yang bijak. (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.5
Langkah – langkah Evaluasi Penggunaan Obat berdasarkan World Health Organization
a. Menetapkan tanggung jawab Evaluasi penggunaan obat adalah tanggung jawab komite farmasi dan terapi untuk membuat prosedur dalam pelaksanaan program evaluasi penggunaan obat, termasuk menunjuk anggota yang bertanggung jawab dari komite evaluasi dan terapi atau subkomite untuk memantau dan mengawasi proses evaluasi penggunaan obat di rumah sakit atau klinik. Idealnya komite farmasi dan terapiharus menetapkan rencana tahunan, menguraikan obatobatan atau kondisi klinis yang akan menjadi bagian dari proses evaluasi penggunaan obat.
b. Mengembangkan ruang lingkup kegiatan dan menentukan tujuan Komite farmasi dan terapi harus memutuskan tujuan dari evaluasi penggunaan obat dan lingkup kegiatan yang diperlukan. Ruang lingkup dapat
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
13
sangat luas atau dapat fokus pada satu aspek terapi obat dan akan tergantung pada jenis masalah yang diidentifikasi, misalnya: 1) Terlalu sering menggunakan dari obat yang lebih mahal ketika suatu obat ekuivalen yang lebih murah tersedia, sebagaimana terungkap dalam kumpulan data. 2) Penggunaan yang salah (indikasi, dosis, rute pemberian) dari obat tertentu, sebagaimana terlihat dalam grafik pasien, laporan medication error, laporan efek samping obat. 3) Ketepatan pemilihan antibiotik sebagaimana terlihat pada laporan sensitivitas antibiotik 4) Kurangnya informasi pada proses penyerahan, seperti diungkapkan oleh keluhan pasien atau umpan balik. Karena besarnya jumlah obat-obatan yang tersedia di rumah sakit atau klinik, maka komite farmasi dan terapi harus berkonsentrasi pada obat-obatan yang berpotensi tertinggi dalam penyelesaian masalah agar mendapatkan keuntungan terbaik pada pekerjaan yang terlibat. Daerah-daerah prioritas tinggi meliputi: 1) Obat dengan volume tinggi. 2) Obat yang mahal. 3) Obat dengan indeks terapi sempit. 4) Obat dengan insiden efek samping tinggi . 5) Kategori terapi penting, misalnya obat jantung, kondisi darurat, toksikologi, obat intravena, kemoterapi dan analgesik. 6) Obat antimikroba, profilaksis dan terapi. 7) Obat yang sedang dievaluasi untuk tambahan formularium. 8) Obat yang digunakan untuk indikasi yang tidak sesuai (off label). 9) Obat yang digunakan oleh pasien berisiko tinggi. 10) Kondisi klinis umum lain yang seringkali dengan perawatan yang rendah.
c. Menetapkan kriteria untuk evaluasi obat Menetapkan kriteria evaluasi penggunaan obat merupakan hal yang sangat penting, dan merupakan tanggung jawab dari komite farmasi dan terapi. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
14
Kriteria untuk pengobatan apapun harus ditetapkan dengan menggunakan pedoman perawatan standar rumah sakit (dengan asumsi bahwa kriteria telah dikembangkan dengan benar). Dengan tidak adanya pedoman perawatan standar rumah sakit, kriteria mungkin didasarkan pada rekomendasi dari protokol nasional atau protokol penggunaan obat lainnya yang tersedia secara lokal, sumber literatur lain yang relevan, dan/ atau tenaga ahli lokal dan internasional yang diakui. Kredibilitas, dan penerimaan staff dari evaluasi penggunaan
obat
tergantung
pada
penggunaan
kriteria
yang
telah
dikembangkan dari informasi pengobatan berbasis bukti yang telah ditetapkan dari sumber terpercaya dan telah didiskusikan dengan para dokter. Komponen penggunaan obat untuk criteria evaluasi penggunaan obat Penggunaan
: sesuai indikasi untuk obat, tidak adanya kontraindikasi
Pemilihan
: obat yang sesuai untuk kondisi klinis
dosis
: indikasi-dosis spesifik, interval dan durasi pengobatan
Interaksi
: tidak adanya interaksi
obat dengan obat, obat dengan
makanan, obat dengan hasil laboratorium Persiapan
: langkah yang terkait dengan penyiapan obat yang akan diserahkan
penyerahan
: langkah yang terkait dengan penyerahan sejumlah obat yang telah disiapkan
edukasi pasien
: petunjuk spesifik yang diberikan kepada pasien mengenai obat dan penyakit
pemantauan
: klinis dan laboratorium
hasil, misalnya
: penurunan tekanan darah, gula darah, serangan asma
Banyaknya kriteria evaluasi akan membuat proses evaluasi penggunaan obat menjadi lebih sulit, dan dapat mengganggu keberhasilan penyelesaian evaluasi. Oleh karena itu jumlah kriteria yang ditetapkan untuk masing-masing obat sering kali antara 3-5 kriteria.Setelah kriteria ditetapkan, ambang batas ditentukan untuk setiap kriteria untuk menentukan harapan atau tujuan dalam pemenuhan kriteria. Idealnya mencapai 100% dari semua kasus untuk memenuhi kriteria, namun pada kenyataannya hal ini tidak mungkin, dan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
15
komite farmasi dan terapi memutuskan untuk menetapkan ambang batas menjadi 90-95% untuk tindakan korektif.
d. Pengumpulan data Data dapat dikumpulkan secara retrospektif, dari grafik pasien dan catatan lain, atau prospektif, pada saat obat disiapkan. Pengumpulan data Retrospektif mungkin lebih cepat dan paling baik dilakukan pada area perawatan pasien dan gangguan. Keuntungan dari evaluasi prospektif adalah bahwa pengevaluasi dapat ikut campur tangan pada saat obat disiapkan untuk mencegah kesalahan dalam dosis, indikasi, interaksi atau kesalahan lainnya.Sebuah contoh dari kasus ini adalah sistem komputerisasi yang digunakan di beberapa apotek, dalam hal ini komputer dapat memperingatkan apoteker jika data pasien yang dimasukkan ke dalam komputer gagal memenuhi kriteria yang ditetapkan dan mengharuskan mereka untuk memperbaiki masalah tersebut.Sistem seperti ini juga dapat memberikan database yang besar untuk digunakan secara retrospektif. Data harus dikumpulkan dari sampel secara acak sesuai diagram atau catatan resep dari fasilitas layanan kesehatan, biasanya dipilih oleh personil farmasi, tetapi juga oleh perawat atau personil rekam medis. Perlakuan setidaknya dilakukan terhadap 30 pasien, atau 100 pasien untuk kondisi klinis umum, evaluasi dilakukan pada setiap fasilitas kesehatan atau rumah sakit. Semakin besar fasilitas dan semakin banyak praktisi, semakin besar jumlah rekam medis yang diperlukan untuk evaluasi dan analisis. Formulir pengumpulan data berdasarkan kriteria yang dapat dikonfigurasi menjadi pertanyaan sederhana 'ya/ tidak' atau mungkin melibatkan pengisian pertanyaan terbuka.Sumber data termasuk grafik pasien, catatan penyiapan obat, catatan pengobatan yang diberikan, laporan laboratorium, laporan efek samping obat, laporan kesalahan obat, laporan sensitivitas antimikroba, dan dokumentasi petugas serta keluhan pasien.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
16
e. Analisis data Data ditabulasikan dalam bentuk yang sesuai dengan kriteria yang dipilih untuk evaluasi penggunaan obat. Persentase kasus yang memenuhi ambang batas untuk masing-masing kriteria harus dihitung dan diringkas untuk presentasi ke KFT. Sebuah laporan dari semua program evaluasi penggunaan obat yang sedang dilakukan harus disiapkan setiap triwulan.
f. Tanggapan untuk resep dan membuat rencana kegiatan Setelah informasi yang disajikan (misalnya pada penggunaan obat yang tidak tepat atau hasil pasien tidak dapat diterima), KFT harus mengembangkan kesimpulan tentang perbedaan antara hasil aktual dan yang diinginkan. Dengan kata lain, bagaimana hasil aktual berbeda dari ambang tingkat yang diinginkan. KFT kemudian harus memutuskan apa tindak lanjut yang diperlukan dan apakah akan melanjutkan, menghentikan atau memperluas fungsi evaluasi penggunaan obat tersebut. Rekomendasi harus mencakup langkah-langkah spesifik untuk memperbaiki masalah penggunaan obat yang jelas dari dilakukannya evaluasi penggunaan obat. Intervensi untuk meningkatkan penggunaan obat termasuk umpan balik kepada penulis resep dan juga dapat mencakup: 1) Edukasi, misalnya surat, pelayanan edukasi, lokakarya, laporan berkala, diskusi tatap muka 2) Institusi yang mengatur formulir pemesanan obat 3) Institusi yang mengatur pembatasan peresepan 4) Mengubah daftar dan/ atau petunjuk formularium 5) Mengubah pedoman standar pengobatan 6) Menggunakan evaluasi penggunaan obat lain atau melanjutkan yang ada saat ini.
g. Tindak Lanjut Tindak lanjut sangat penting untuk memastikan solusi yang sesuai dari.Apakah intervensi mencapai tujuannya. Jika intervensi tidak dievaluasi, atau masalah penggunaan obat tidak diselesaikan, maka akan evaluasi Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
17
penggunaan obat tidak ada gunanya. Sebagai bagian dari rencana tindak lanjut, komite farmasi dan terapi harus menilai perlunya melanjutkan, memodifikasi atau menghentikan evaluasi tersebut.Dengan demikian, kegiatan evaluasi penggunaan obat harus dievaluasi secara berkala (minimal setiap tahun) dan orang-orang yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap penggunaan obat harus dirancang ulang untuk memberikan perbaikan yang terukur.Masalah umum yang terkait dengan evaluasi penggunaan obat termasuk tanggung jawab jelas untuk kegiatan yang berbeda, lemahnya memprioritaskan masalah, kurangnya dokumentasi, kurangnya personil dan tindak lanjut yang tidak memadai.
2.6
Evaluasi Penggunaan Antibiotik
2.6.1
Definisi Antibiotika Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.Namun dalam praktek sehari-hari antimikroba yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia,
ditentukan
harus
memiliki
sifat
toksisitas
selektif
setinggi
mungkin.Artinya obat tersebut bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes.Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada anti mikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid.Spektrum antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik berspektrum sempit misalnya benzil penisilin dan streptomisin serta antibiotik berspektrum luas misalnya tertrasiklin dan kloramfenikol (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
18
2.6.2. Mekanisme Kerja Antibiotika Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: a. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba Contohnya sulfonamide, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon.Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik.Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar, kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya.Apabila sulfonamid atau sulfon menang bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat maka terbentuk analog asam folat yang non fungsional. Akibatnyakehidupan mikroba akan terganggu. Untuk dapat bekerja dihidrofolat harus diubah menjadi bentuk aktifnya yaitu asam tetrahidrofolat.Enzim dihidrofolat reduktase yang berperan disini dihambat oleh trimetoprim, sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional.PAS merupakan analog PABA. b. Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba Contohnya penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida).Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel; diikuti berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut.Oleh karena itu tekanan osmotik dalam kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka. c. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba Contohnya polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik misalnya antisepsik surface active agents.Polimiksin sebagai senyawa ammonium-kuartener dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba.Polimiksin tidak efektif Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
19
terhadap kuman gram positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel
fungus
sehingga
mempengaruhi
permeabilitas
selektif
membran
tersebut.Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (surface active agents), dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain. d. Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba Contohnya aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein.Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri ribosom terdiri atas dua sub unit, yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Streptomisin berikatan dengan komponen 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan non fungsional bagi sel mikroba.Antibiotika aminoglikosid lainnya yaitu gentamisin, kanamisin dan neomisin memiliki mekanisme yang sama namun potensinya berbeda. Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat sintesis protein. Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya
kompleks
tRNA-asam
amino
pada
lokasi
asam
amino.Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase. e. Antimikroba yang menghambat sintesia asam nukleat sel mikroba Contohnya rifampisin dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polymerase-RNA (pada sub unit) sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang fungsinya menata kromosom yang sangat Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
20
panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
2.6.3. Tujuan dan Cara Evaluasi Penggunaan Antibiotik Secara Kuantitatif Berdasarkan pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotik kementerian kesehatan RI, tujuan dilakukannya evaluasi penggunaan antibiotik yaitu: a.
Mengetahui jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit
b.
Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit
c.
Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematik dan terstandar.
d.
Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit Evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan secara kuantitatif maupun
kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan penghitungan Defined Daily Dose (DDD) per 100 hari rawat atau DDD per 100 bed days, untuk
mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotik yang digunakan. Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssen, untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik. Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif melalui studi validasi. Evaluasi penggunaan antibiotik secara retrospektif dapat dilakukan dengan memperhatikan ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/). DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa.Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari rawat(Kementerian Kesehatan RI, 2011). Berdasarkan World Health Organization (2003),DDD merupakan suatu metodologi untuk mempersiapkan konversi dan standarisasi kuantitas data seperti kemasan, tablet, vial injeksi, botol kedalam perkiraan sederhana dari suatu penggunaan klinik dari obat seperti pada nilai dosis perhari. DDD merupakan rata-rata asumsi dosis pemeliharaan perhari untuk indikasi pengobatan yang utama.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
21
Berikut adalah rumus perhitungan konsumsi antibiotik, DDD per 100 hari rawat: a. DDD per 100 hari rawat inap =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑡𝑎 ℎ𝑢𝑛 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚
100
𝑥 (𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙 𝑎𝑠𝑖𝑥 365)
Cara perhitungan: Untuk menghitung penggunaan antibiotik selama 1 tahun 1) Jumlah antibiotik terjual adalah jumlah antibiotik terjual dalam waktu 1 tahun 2) DDD WHO sesuai dengan ATC/DDD , WHO 2006 3) Angka 100 untuk 100 hari rawat 4) Jumlah populasi: (jumlah tempat tidur x dengan Bed Occupation Rate (BOR) Rumah Sakit dalam tahun yang sama) 5) Angka 365: lamanya hari dalam 1 tahun.
b. DDD 100 patient-days =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒 ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚
100
𝑥 (𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐿𝑂𝑆)
Cara perhitungan: 1) Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik 2) Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length Of Stay/LOS semua pasien) 3) Hitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan pemakaian obat yang berbeda dalam kelompok terapeutik yang sama, yang kemungkinan memiliki efikasi yang sama tetapi memerlukandosis yang berbeda atau obat yang termasuk kelompok terapeutik yang berbeda. DDD menyediakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan formulasi, hal ini kemungkinan dapat memperkirakan trend konsumsi obat dan menunjukkan perbandingan antara kelompok populasi dan sistem pelayanan kesehatan (World Health Organization, 2003).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1
Waktu dan Tempat Pengkajian Penulisan literatur mengenai evaluasi penggunaan obat dilakukan pada
tanggal 23 – 26 Juli 2013, bertempat di ruang rapat Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Selain itu, dilakukan studi literatur dari hasil evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien anak-anak di ruang rawat inap Teratai lantai 3 RSUP Fatmawati periode bulan juni 2012 pada tanggal 2 September – 25 Oktober 2013. 3.2
Metode Pengkajian Metode yang digunakan dalam pengkajian yaitu dengan melakukan studi
literatur untuk mendapatkan informasi tentang evaluasi penggunaan obat (Drug Utility Review/DUR) berdasarkan World Health Organization (WHO) dan pedoman evaluasi penggunaan obat lainnya kemudian menelusuri suatu contoh implementasi perhitungan
Evaluasi Defined
Penggunaan Daily
Dose
antibiotik (DDD)
di
secara
kuantitatif
RSUP
Fatmawati
dengan serta
membandingkannya dengan literatur. Literatur diperoleh dari artikel-artikel, jurnal ilmiah internasional dan pedoman WHO yang dipublikasikan di internet.
22 Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN Salah satu masalah penting yang harus dipenuhi oleh unit pelayanan kesehatan adalah rasionalitas penggunaan obat. Penggunaan obat rasional memerlukan pendekatan individual pasien yang melibatkan seluruh personil profesi kesehatan yang terkait pelayanan perawatan pasien. Untuk menjamin ketepatan suatu intervensi yang diberikan kepada pasien, maka penting dilakukan suatu evaluasi penggunaan obat sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat ini diperlukan untuk mengoptimalkan terapi pasien dengan membandingkan penggunaan obat sesungguhnya dengan standar atau pedoman pengobatan sehingga masalah yang mungkin timbul dapat dideteksi. Evaluasi yang dilakukan mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan pemberian layanan oleh fasilitas kesehatan terhadap pasien. Program evaluasi penggunaan obat dirancang untuk memonitor obat tertentu, kelompok obat maupun obat-obat yang digunakan untuk penyakit tertentu. Bila suatu masalah teridentifikasi, dirancang suatu intervensi dan diterapkan untuk memperbaiki pola penggunaan obat (Moore, T, A., et al, 1997). Evaluasi penggunaan obat dapat dilakukan dalam 3 jenis diantaranya : secara prospective yaitu sebelum pasien menenerima pengobatan, secara concurrent yaitu pemantauan selama pasien menjalani pengobatan maupun retrospective yaitu evaluasi setelah pasien menerima pengobatan (Academy of managed Care Pharmacy, 2009). Partisipasi apoteker dalam program evaluasi penggunaan obat secara langsung dapat meningkatkan kualitas dalam pelayanan baik pasien individu maupun kelompok melalui upaya pencegahan penggunaan obat yang tidak diperlukan atau tidak tepat, mencegah reaksi obat yang merugikan dan meningkatkan efektivitas obat secara keseluruhan. Dalam hal ini, apoteker akan bekerjasama dengan dokter dan petugas pelayanan kesehatan lainnya dalam bentuk komite terapi dan obat (The Drug and Therapeutics Committee) untuk melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan terapi obat pasien (Academy of Managed Care Pharmacy, 2009). Selain itu apoteker dapat berperan aktif dalam Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS), Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). Pada setiap kepanitiaan 23
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
24
tersebut, apoteker berperan penting dalam meningkatkan penggunaan antibiotik yang bijak (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2011). RSUP Fatmawati merupakan RS tipe A pendidikan yang berfungsi sebagai salah satu fasilitas kesehatan yang sangat berperan penting dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat salah satunya upaya kuratif yang melibatkan penggunaan antibiotika untuk penanganan berbagai penyakit infeksi. Evaluasi penggunaan antibiotika dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Berikut merupakan contoh evaluasi penggunaan obat secara kuantitatif dengan metode Defined Daily Dose (DDD) yang dilakukan pada pasien rawat inap lantai 3 teratai di RSUP fatmawati pada bulan juni 2012. Evaluasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotika pada pasien serta memberikan informasi hasil audit antibiotik tersebut. DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan formulasi obat, sehingga memungkinkan untuk menilai trend konsumsi obat dan membandingkan antar kelompok populasi atau sistem pelayanan kesehatan (Hutchison et. al., 2004). Pengambilan data pasien dilakukan secara retrospektif pada pasien anakanak yang dirawat di gedung teratai lantai 3 RSUP Fatmawati yang menerima antibiotik. Evaluasi penggunaan obat secara retrospektif merupakan tinjauan penggunaan obat yang dilakukan setelah pasien menerima obat. Data diambil dari catatan rekam medis pasien dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 100 pasien yang menggunakan antibiotik di ruang rawat inap lantai 3 teratai selama bulan juni 2012. pengambilan data secara retrospektif untuk evaluasi kuantitatif dilakukan sebagai bahan penilaian terhadap jumlah penggunaan antibiotik yang telah diberikan kepada pasien pada ruang perawatan tersebut. Hasil analisa data menunjukkan penggunaan antibiotik dalam satuan DDD/100 pasien-hari dengan rumus sebagai berikut : Data DDD =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐷𝐷𝐷 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘
DDD (100 Patient days) =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝐷𝐷 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆
x 100
Pemantauan penggunaan antibiotik terhadap 100 pasien anak diperoleh hasil bahwa terdapat 52% anak laki-laki yang menggunakan antibiotik sementara anak perempuan yang menggunakan antibiotik yaitu sebesar 48%. Grafik Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
25
persentase pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hasil analisa deskriptif didapatkan bahwa rata-rata lama rawat (LOS) pasien adalah 9 hari, dengan lama rawat minimal 1 hari dan maksimal 72 hari. antibiotik yang terbanyak diberikan untuk anak laki-laki yaitu cefixim, cefotaxim, ampisilin, chloramphenicol, dan cefadroksil sementara antibiotik yang lebih banyak digunakan pada pasien perempuan adalah ceftriaxon, co amoxiclav, ceftazidim, gentamicin dan amoxicillin. Grafik penggunaan antibiotik
berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada Gambar 4.2. Pasien Anak-anak
48% 52%
Laki-laki Perempuan
Gambar 4. 1 Grafik Persentase Pasien berdasarkan Jenis Kelamin 30 25 20 15 10 5 0
Laki-Laki Perempuan
Gambar 4.2 Grafik Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Jenis Kelamin Penggunaan antibiotika pada pasien anak-anak di rawat inap teratai lantai 3 sebagian besar dengan cara parenteral yaitu sebesar 78,85% dan pemberian oral sebesar 22,15% dengan lama pemberian dari satu hari sampai dua puluh hari. Grafik rute pemberian antibiotik dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pasien rata-rata Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
26
menerima antibiotik paling sedikit satu jenis antibiotik dan paling banyak 4 jenis antibiotik. Pemberian parenteral lebih banyak digunakan karena sebagian besar antibiotik dalam bentuk sediaan injeksi (seperti ceftriaxon, cefotaxim, ciprofloxacin, meropenem, ceftazidim dan gentamisin) dan memiliki keuntungan yaitu efek yang cepat, menghindari ketidakpatuhan saat penggunaan antibiotik karena sedian parenteral selalu diberikan oleh perawat, dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar, muntah-muntah, tidak kooperatif, dan sangat berguna untuk keadaan darurat. Rute pemberian antibiotik
22%
Oral Parenteral
78%
Gambar 4.3 Grafik Rute Pemberian Antibiotik Antibiotika yang digunakan dalam pengobatan sebanyak 13 jenis antibiotika, antara lain Ceftriaxon (17,57), Cefixim (4,39), Cefotaxim (3,59), ampisillin (2,98), Metronidazol (1,85), Chloramphenicol (1,53), Co amoxiclav (1,09), Ceftazidim (0,76), Gentamicin (0,74), Sefadroksil (0,67), amoxicillin (0,54), eritromicin (0,25), dan Meropenem (0,09). Ceftriaxon mempunyai DDD penggunaan paling tinggi yaitu 17,57/100 pasien-hari dan yang terendah adalah meropenem dengan DDD 0,09/100 pasien-hari. hal tersebut artinya dari 100 orang, setiap harinya 17 orang menerima ceftriaxon 2 g per hari.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
27
DDD (100 pasien-hari) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
DDD (100 pasien-hari) Gambar 4.4. Grafik Penggunaan Antibiotika Berdasarkan DDD (100 pasien-hari) Tingginya penggunaan ceftriaxon kemungkinan disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut : a. Harga relatif murah, pasien dirawat di lantai 3 gedung teraratai sebagian besar merupakan pasien dengan status ekonomi menengah kebawah, yaitu dengan pembayaran berdasarkan jaminan. b. Pasien dengan status jaminan kesehatan askes dan jamsostek juga cukup banyak. Berdasarkan formularium dari kedua jaminan ini ceftriaxon dan cefotaxim merupakan lini pertama untuk penyakit infeksi, sedangkan seftazidim, fosfomisin dan golongan carbapenem adalah kelompok antibiotika yang lebih sulit untuk pemberiannya karena harus disertai berbagai persyaratan. c. Kemampuan ceftriaxon untuk berpenetrasi keseluruh jaringan dan melintasi sawar otak dijadikan pertimbangan dlam pemilihan antibiotika, sehingga dapat digunakan sebagai terapi penanganan infeksi berat termasuk infeksi pada otak dari pasien cedera kepala berat atau yang mengalami tindakan pembedahan kepala (Katzung, 2007). Evaluasi penggunaan antibiotik yang dilakuakan di RSUP Fatmawati sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan oleh world health organization. Evaluasi penggunaan obat
di RSUP Fatmawati merupakan tanggung jawab
panitia farmasi dan terapi (PFT), dimana proses evaluasi dilakukan secara rutin oleh farmasi klinik. Masing-masing apoteker memegang tanggung jawab terhadap ruang perawatan pasien, sehingga penggunaan obat terus di monitoring. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
28
Pemantauan diantaranya meliputi ketepatan pemilihan antibiotik sesuai dengan indikasi dan hasil tes kultur, perkembangan terapi pasien termasuk terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), serta memberikan informasi penting terkait
penggunaan antibiotika baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan
lainnya. Antibiotika merupakan salah satu obat yang penggunaannya menjadi prioritas untuk dilakukan evaluasi karena semakin tingginya penggunaan antibiotika pada pasien serta kesalahan penggunaan antibiotika tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi. Kriteria evaluasi yang dilakukan diantaranya meliputi penggunaan, pemilihan, dosis, interaksi, penyiapan, pemberian, edukasi serta monitoring penggunaan antibiotika. Masing-masing kriteria yang diamati tergantung dari jenis evaluasi yang dilakukan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Setelah kriteria ditentukan maka dilakukan pengumpulan data pasien yang akan di evaluasi untuk kemudian dianalisis. Dari hasil analisis maka diperoleh kesimpulan mengenai kesesuaian penggunaan obat untuk kemudian dilakuakan pengkajian untuk pembuatan kebijakan dan rencana kegiatan selanjutnya, jika terdapat penyimpangan maka dilakukan tindak lanjut berupa solusi dari permasalahan yang terjadi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan a.
Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu evaluasi yang legal, terstruktur, berkala atas penyedia layanan kesehatan yang meliputi penulisan resep oleh dokter , penyiapan obat oleh apoteker dan penggunaan obat oleh pasien. Program evaluasi penggunaan obat memainkan peran kunci dalam membantu sistem perawatan kesehatan yang sedang dikelola sehingga suatu intervensi yang dilakukan akan lebih efektif dan efisien baik dari segi manfaat dan biaya.
b.
Evaluasi antibiotik secara kuantitatif yang dilakukan di RSUP Fatmawati sesuai dengan evaluasi berdasarkan World Health Organizationyaitu dengan metode defined daily dose (DDD).
5.2 Saran a.
Sebaiknya evaluasi penggunaan obat dilakukan secara berkesinambungan dengan komitmen yangtinggi serta kerjasama dari segenap penyedia layanan kesehatan (dokter penulis resep, apoteker dan perawat) sehingga kualitas pelayanan dan keamanan terapi pasien dapat terus-menerus ditingkatkan.
b.
Sistem pelaporan masalah terkait penggunaan obat harus dibuat seefektif mungkin untuk meminimalkan terulangnya masalah yang serupa serta sebagai tambahan informasi untuk para petugas kesehatan lain dalam melakukan terapi obat..
c.
Seorang apoteker harus terus-menerus meningkatkan kapasitas ilmu terkait dengan obat dan permasalahannya (studi literature berupa pedoman standar, jurnal ilmiah, artikel-artikel kesehatan, dll) sehingga mampu mendeteksi, menyiapkan dengan tepat serta memberikan informasi dan edukasi bagi pasien khususnya serta memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik kepada dokter penulis resep dan merekomendasikan keputusan pemilihan obat yang lebih tepat untuk pasien.
29Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
30
d.
Pasien harus menerima informasi yang selengkap-lengkapnya terkait pengobatan yang diterimanya sehingga mereka dapat secara mandiri menilai apabila terjadi suatu penyimpangan dalam penggunaan obat.
e.
Baiknya
evaluasi
penggunaan
obat
dilakukan
secara
keseluruhan
(prospective, concurrent dan retrospective) untuk mencegah, memantau dan meminimalisir terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan, berkurangnya efektivitas terapi serta peningkatan biaya pengobatan. f.
Evaluasi penggunaan obat layaknya menjadi suatu kriteria penilaian penting dalam akreditasi suatu fasilitas pelayanan.
g.
Evaluasi penggunaan obat khususnya antibiotik baiknya dilakukan secara rutin sehingga proses monitoring terus dilakukan untuk peningkatan kualitas pengobatan atau terapi pasien.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
DAFTAR ACUAN
Academy of Managed Care Pharmacy. (2009). Drug Utilization Review. Alexandria.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Hutchinson, J.M, D.M. Patrick, F. Marra, H. Ng, W.R. Bowie, L. Heule, M. Muscat dan D. L. Monnet. (2004). Measurement of Antibiotic Consumption: A practical guide to the use of the anatomical therapeutic chemical classification and defined daily dose system methodology in Canada. The canadian journal of Infectious Disease.
Katzung, Bertram G. (2006). Basic and Clinical Pharmacology 10th Edition. San Francisco : Mc Graw Hill Lange.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian
untuk
Terapi
Antibiotik.
Direktorat
Jenderal
Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di RS. MenKes RI, Jakarta.
Moore, T, A. Bykov, T. Savelli, dan A. Zagorski. (1997). Guidline for Implementing Drug Utilization Review Programs In Hospital. Russia rational Pharmaceutical management Project, Russia. 31
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
32
Permatasari, Novi. 2012. Evaluasi Penggunaan Antibiotik dengan Metode DDD Di Gedung Teratai Lantai 3 Periode Bulan Juni 2012. Laporan Tugas Khusus PKPA RSUP Fatmawati, Jakarta.
Tjay, T. H., dan K. Rahardja. (2007). Obat-obat penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Gramedia, Jakarta.
World Health Organization. (2012). The Pursuit of Responsible use of medicines : Sharing and Learning from Country Experiences. WHO.
World Health Organization. (2003). Introduction to Drug Utilization Research : Chapter 10. Drug Utilization. Juli 2013. http://www.iuphar.org/pdf/ hum_76.pdf
World Health Organization. (2003). Drug and Therapeutics Committees : A Practical Guide. Departement of Essential Drugs and Medicines Policy World Health Organization in collaboration with Management Sciences for Health. USA.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
LAMPIRAN
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Lampiran 1. Defined daily doses (DDD) of some common medicines (Sumber : WHO, 2003)
Drug name Ceftriaxon Cefixime Cefotaxime Ampisillin Metronidazole (Inj/oral) Chloramphenicol Co Amoxiclav Ceftazidime Gentamicin sulfate Cefadroxil Amoxicillin Erythromycin Meropenem
DDD 2g 0,4g 4g 2g 1,5g 3g 1g 4g 0,24g 2g 1g 1g 2g
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 No
Universitas Indonesia
Nama Pasien
No RM
1 2
Mahardika Farel (L) Devano Madyani (L)
1123902 1152072
3
Pelangi Safitri (P)
1150636
4
Ade Kurniawan (L)
1152083
5
Syila Thalita (P)
1143613
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Reza Fadilah (L) Nuherlina (P) Olla Banyu (L) Dina Farida (P) Riviani (p) Cantika Azahra (P) Rahil (L) Riska Damayanti (P) Zahra Sintia (P) Renza Paradiva (P) Asep (L) Sergio Gofier (L)
1542009 1152004 1151539 1151649 1034404 1110923 1138059 1150327 1152512 1147426 1152492 1153469
18 19
Ririn Parlina (P) Anindya Permata (P)
1154230 1125601
Regimen Antibiotik
Erythromycin 1 x ½ cth (100 mg) (o) Cefotaxim 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 50 mg (o) Ceftazidime 3 x 700 mg (p) Gentamicin 1x 700 mg (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Chloramphenicol 4 x 500 mg (p) Ampicillin 6 x 1 g (p) Cefotaxime 4 x 1 g (p) Ampicillin 4 x 175 mg (p) Chloramphenicol 4 x 150 mg (p) Ceftriaxon 2 x 1,5 g (p) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Cefotaxime 2 x 400 mg (p) Ceftriaxon 1 x 3 g (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Cefixime 2 x 20 mg (o) Cefotaxime 2 x 1,5 g (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Cefotaxime 3 x 600 mg (p) Chloramphenicol 4 x 200 mg (p) Ampisillin 4 x 600 mg (p) Ceftriaxon 1 x 750 mg (p) Meropenem 3 x 250 mg (p) Cefotaxime 2 x 1g (p) Cefotaxim 3 x 1 g (p)
Lama Terapi (hari) 12 4 5 4 1 7 1 1 1 3 3 6 13 14 8 4 5 7 4 8 4 7 6 1 8 3
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
LOS (hari) 7 5 11 13
4 8 14 16 10 6 18 72 17 10 33 10 10 8 3
Total Antibiotik (gram) 1,2 4 0,5 8,4 0,7 14
2,1 1,8 18 26 11,2 24 8 0,2 21 8 14,4 3,2 16,8 4,5 0,75 16 9
DDD
1,2/1 = 1,2 4/4 = 1 0,5/0,4 = 1,25 8,4/4 = 2,1 0,7/0,24 = 2,92 14/2 = 7 2/3 = 0,6 6/2 = 3 4/4 = 1 2,1/2 = 1,05 1,8/3 = 0,6 18/2 = 9 26/2 = 13 11,2/4 = 2,8 24/2 = 12 8/2 = 4 0,2/0,4 = 0,5 21/4 = 5,25 8/2 = 4 14,4/4 = 3,6 3,2/3 = 1,07 16,8/2 = 8,4 4,5/2 =2,25 0,75/2 = 0,375 16/4 = 4 9/4 = 2,25
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan) No
Nama Pasien
No RM
Universitas Indonesia
20
Melinda (P)
1155091
21
Septi (P)
1155132
22 23 24
M. Rifat (L) Raditya Putra (L) M. Akbar (L)
1154645 960908 1156749
25 26
Suci Ariani (P) Naura Andika (P)
1069774 1116961
27 28
Khumaeroh (P) Cristian (L)
1153770
29
M. Rizqon (L)
1042278
30
Thaliza (P)
31
Siti Badriah (P)
Rahmania 1154194
1156787
Regimen Antibiotik
Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Chloramphenicol 4 x 500 mg (p) Ampisillin 4 x 500 mg (p) Chloramphenicol 4 x 500 mg (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Ceftriaxon 1 x 1,5 g (p) Ampisillin 4 x 400 mg (p) Chloramphenicol 4 x 300 mg (p) Cefadroxil 2 x 1 ½ cth (750 mg) (o) Metronidazol 3 x 100 mg (p) Ceftriaxon 1 x 1 g (p) Cefixime 2 x ¼ cth (100 mg) (o) Cefotaxim 2 x 400 mg (p) Ceftriaxon 2 x 1,5 g (p) Ampicillin 3 x 300 mg (p) Chloramphenicol 4 x 225 mg (p) Ceftriaxon 1 x 400 mg (p) Ceftriaxon 1 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 30 mg (o) Chloramphenicol 4 x 250 mg (p) Ceftriaxon 1 x 400 mg (p) Ceftriaxon 1 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 25 mg (o) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Cefixime 2 x 1 cth (100 mg) (o)
Lama Terapi (hari) 5 1 4 4 4 5 3 3 4 7 3 6 1 3 5 3 5 1 5 2 1 3 5
LOS (hari)
3 3
6
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
7 5 26 23 3
14 13
4 7 9
7
Total Antibiotik (gram) 10 8 8 8 7,5 4,8 3,6 9 2,1 3 0,3 9 4,5 2,7 2 0,5 0,3 2 0,4 1,5 0,25 6 0,6
DDD
10/2 = 5 2/3 = 0,67 8/2 = 4 8/3 = 2,67 8/2 = 4 7,5/2 = 3,75 4,8/2 = 1,4 3,6/3 = 1,2 9/2 = 4,5 2,1/1,5 = 1,4 3/2 = 1,5 0,3/0,4 = 0,75 0,8/4 = 0,2 9/2 = 4,5 4,5/2 = 2,25 2,7/3 = 0,9 2/2 = 1 0,5/2 = 0,25 0,3/0,4 = 0,75 2/3 = 0,67 0,4/2 = 0,2 1,5/2 = 0,75 0,25/0,4 = 0,625 6/2 = 3 0,6/0,4 = 1,5
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan) No
Universitas Indonesia
Nama Pasien
No RM
32 33
Roni Setiawan (L) Diki Sodikin (L)
1151403 1067186
34
Raya Elsan (L)
1152211
35 36 37 38 39 40 41 42 43
Regian Dwi (L) Lutfiah K. (P) Aisyah (P) Sofiah (P) Hamdi (L) M. Hafiz (L) Nuril (L) Syarifah (P) Akbar Kurnianto (L)
1068387 1154207 1152846 1152372 1148852 1144885 1145689 1145376 1142398
44
Fauzan tamrin (L)
1147680
45
Ayub Fauzi (L)
1157890
46 47 48 49
Agnes Novianti (P) Alvino Yasaudah (L) Nayla (P) Naya Safira (P)
1098765 1147685 1156780 1154778
Regimen Antibiotik
Ceftriaxon 1 x 1,5 g (p) Ceftriaxon 2 x 1g (p) Cefadroxil 2 x 500 mg (o) Chloramphenicol 4 x 125 mg (o) Cefixime 2 x 30 mg (o) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 25 mg (o) Cefotaxime 2 x 250 mg (p) Ceftriaxon 1 x 1,5 g (p) Cefixime 2 x 100 mg (o) Cefixime 2 x 30mg (o) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Gentamicin 1 x 40 mg (p) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Cefixime 1 x 100 mg (o) Ceftriaxon 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 30 mg (o) Ceftriaxon 2 x 750 mg (p) Cefotaxime 2 x 1 g (p) Cefixime 2 x 100 mg (o) Ceftriaxon 1x 2 g (p) Cefotaxime 2 x 400 mg (p) Ceftriaxon 1 x 200 mg (p) Ceftriaxon 1 x 1 g (p) Ceftazidime 3 x 400 mg (p) Cefixime 2 x 1 cth (100 mg) (o)
Lama Terapi (hari) 2 2 5 3 5 1 5 3 9 10 3 3 8 1 20 1 5 1 1 5 4 1 4 7 3 3
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
LOS (hari) 6 3 3 2 6 4 9 31 10 4 15 3 7 4
5 2 24 11
Total Antibiotik (gram) 3 4 5 1,5 0,3 1 0,25 1,5 13,5 2 0,18 3 0,32 2 2 1 0,3 1,5
8 0,8 0,8 7 3,6 0,6
DDD
3/2 = 1,5 4/2 = 2 5/2 = 2,5 1,5/3 = 0,5 0,3/0,4 = 0,75 1/4 = 0,25 0,25/0,4 = 0,625 1,5/4 = 0,375 13,5/2 = 6,75 2/0,4 = 5 0,18/0,4 = 0,45 3/ 4 = 0,75 0,32/0,24 = 1,333 2/2 = 1 2/0,4 = 5 1 /2 = 0,5 0,3/0,4 = 0,75 1,5/2 = 0,75 2/4 = 0,5 1/0,4 = 2,5 8/2 = 4 0,8/4 = 0,2 0,8/2 = 0,4 7/2 = 3,5 3,6/4 = 0,9 0,6/0,4 = 1,5
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan)
Universitas Indonesia
No
Nama Pasien
No RM
50 51 52
1167958 1179690 1149947
53
Septian (L) Novi lani F. (P) Assyifa Khaerunis (P) M. Rizki W. (L)
1153530
54
Eva Mustika R. (P)
1152454
55
Najwa N. (P)
1074871
56 57
Syahrul Fikri (L) M. Agus (L)
1153180 1143823
58 59
Kameda (L) M. Fajrur (L)
855127 803763
60
Fahri (L)
807975
61 62
Alif (L) Triana Frantia (P)
870866 864785
63
M. Thoriq (L)
1157856
64
Nayla Soleha (P)
1146850
65
Khaerunisa (P)
1144366
Regimen Antibiotik
LOS (hari)
Cefotaxime 2 x 1 g (p) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 1 cth (100 mg) (o)
Lama Terapi (hari) 3 2 3
Ampicillin 4 x 150 mg (p) Chloramhenicol 4 x 100 mg (p) Cefotaxime 2 x 500 mg (p)
1 1 2
1
Amoxicillin 3 x 1 cth (125 ml) (o) Ceftriaxon 2 x 300 mg (p) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 1 C (300 mg) (o) Ceftriaxon 1 x 1,5 g (p) Ceftriaxon 2 x 750 mg (p) Gentamicin 2 x 40 mg (p) Amoxicillin 3 x 1 C (375 mg) (o) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Ceftriaxon 2 x 300 mg (p) Ampicillin 4 x 150 mg (p) Chloramphenicol 4 x 125 mg (p) Metronidazole 3 x 50 mg (p) Cefotaxime 3 x 125 mg (p) Ampicillin 4 x 200 mg (p) Chloramphenicol 4 x 150 mg (p) Ceftriaxon 2 x 250 mg (p)
4 2 1 2 1 5 4 4 2 2 3 6 6 5 4 3 3 7
3
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
12 3 2
3
6 3 5 4 3 4 6 6 9 15
Total Antibiotik (gram) 6 2 0,6
DDD
6/4 = 1,5 2/4 = 0,5 0,6/0,4 = 1,5
0,6 0,4 2
0,6/2 = 0,3 0,4/3 = 0,133 2/4 =0,5
1,5 1,2 2 2 0,6 7,5 6 0,32 1,5 2 1,8 3,6 3 0,75 1,5 2,4 1,8 3,5
1,5/1 = 1,5 1,2/2 = 0,6 2/2 = 1 2/4 = 0,5 0,6/0,4 = 1,5 7,5/2 = 3,75 6/2 = 3 0,32/0,24 = 1,33 1,5/1 = 1,5 2/4 = 0,5 1,8/2 = 0,9 3,6/2 = 1,8 3/3 = 1 0,75/1,5 = 0,5 1,5/4 = 0,375 2,4/2 = 1,2 1,8/3 = 0,6 3,5/2 = 1,75
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan) No
Nama Pasien
No RM
Universitas Indonesia
66 67
M. Khaerun (L) M. Alfian (L)
1156920 1158377
68 69
Sultan Dhana Saputra 1152338 (L) Amirah (P) 1145585
70 71 72 73 74 75
Reza MAulana (L) Radja (L) Kesyafana Azmi (P) Fadli Setawan (L) M. Nahsan (L) Ahmad Sidki (L)
1157008 1157647 1155879 1157697 1146750 1157548
76
Dava Ardiansyah (L)
1152308
77 78
Abdul Rohman (L) Aqila (P)
1156933 1077176
79
Abdul Halim (L)
1155221
80
Aprilia Rahmah (P)
1151547
81
Rizal Adi (L)
1156584
Regimen Antibiotik
Cefotaxime 3 x 500 mg (p) Ampicillin 4 x 500 mg (p) Chloramphenicol 4 x 100 mg (p) Ceftriaxon 1 x 500 mg (p) Cefixime 2 x 100 mg (o) Ceftriaxon 2 x 750 mg (p) Ceftriaxon 2 x 150 mg (p) Cefixime 2 x ½ cth (100 mg) (o) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Cefotaxime 2 x 500 mg (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Ceftriaxon 1 x 600 mg (p) Ceftriaxon 1 x 1 g (p) Cefotaxim 2 x 1 g (p) Cefixime 2 x 100 mg (o) Cefotaxim 2 x 500 mg (p) Cefixime 2 x ½ C (300 mg) (o) Chloramphenicol 4 x 60 mg (o) Ceftriaxon 2 x 300 mg (p) Cefadroxil 2 x 1 cth (125 mg) (o) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Metronidazol 3 x 500 mg (p) Cefadroxil 3 x 1 cth (125 mg) (o) Ceftriaxon 1 x 700 mg (p) Cefotaxime 2 x 1 g (p)
Lama Terapi (hari) 3 4 4 4 3 1 17 6 5 3 9 3 2 2 5 1 4 2 2 6 12 11 10 3 3
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
LOS (hari) 3 4
3 47 8 6 12 3 3 5 2 8 7 12 15 8
Total Antibiotik (gram) 4,5 8 1,6 2 0,6 1,5 5,1 0,6 10 3 18 1,8 2 4 1 1 1,2 0,48 1,2 1,5 24 16,5 3,75 2,1 6
DDD
4,5/4 = 1,125 8/4 = 2 1,6/3 = 0,533 2/2 = 1 0,6/0,4 = 1,5 1,5/2 = 0,75 5,1/2 = 2,55 0,6/0,4 = 1,5 10/2 = 5 ¾ = 0,75 18/2 = 9 1,8/2 = 0,9 2/2 = 1 4/4 = 1 1/0,4 = 2,5 ¼ = 0,25 1,2/0,4 = 3 0,48/3 = 0,16 1,2/2 = 0,6 1,5/2 = 0,75 24/2 = 12 16,5/1,5 = 11 3,75/2 = 1,875 2,1/2 = 1,05 6/4 = 1,5
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan) No
Nama Pasien
No RM
Universitas Indonesia
82
Nayla Camelia (P)
114994
83
Soleha Nur (P)
1146808
84 85
Rendi Cahyadi (L) Yulisa Sukardi (P)
1068254 1155690
86 87 88
Redza Suci R. (P) 1156272 Aida Nur Rahmah 1146268 (P) M. Faiz (L) 1156340
89
Dini Hidayati (P)
1156692
90
Muhidin (L)
1144695
91
M. Ryan (L)
1154906
92
Nayya Inayah (P)
1145799
93 94 95
Hakim A. (L) Vahed (L) Endang Larasati (P)
1156890 1192987 1155940
Regimen Antibiotik
LOS (hari)
Cefixime 2 x 1 cth (100 mg) (o) Ceftriaxon 1 x 200 mg (p) Ceftriaxon 2 x 500 mg (p) Metronidazol 4 x 100 mg (p) Ceftriaxon 2 x 1 g (p) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Cefixime 2 x 200 mg (o) Ceftriaxon 2 x 500 mg (p) Ceftriaxon 1 x 1 g (p)
Lama Terapi (hari) 3 6 7 5 2 3 5 1 2
Ceftriaxon 2 x 750 mg (p) Metronidazol 2 x 250 mg (p) Chloramphenicol 4 x 300 mg (p)
3 3 3
6
Ceftriaxon 1 x 500 mg (p) Cefadroxil 2 x ½ cth (125 mg) (o) Cefixime 2 x 40 mg (o) Ampicillin 2 x 200 mg (p) Chloramphenicol 4 x 150 mg (p) Chloramphenicol 4 x 150 mg (p) Ampicillin 2 x 200 mg (p) Cefotaxim 3 x 150 mg (p) Cefotaxime 2 x 750 mg (p) Amoxicillin 3 x 500 mg (o) Ceftriaxon 1 x 2 g (p)
2 12 5 4 4 5 5 9 3 4 7
10
Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
7 19 5 5 6 4
7
8
6 11 7 12
Total Antibiotik (gram) 0,6 1,2 7 2 4 6 2 1 2
DDD
0,6/0,4 = 1,5 1,2/2 = 0,6 7/2 = 3,5 2/1,5 = 1,33 4/2 = 2 6/2 = 3 2/0,4 = 5 ½ = 0,5 2/2 = 1
4,5 1,5 3,6
4,5/2 = 2,25 1,5/1,5 = 1 3,6/3 = 1,2
1 1,5 0,4 1,6 2,4 3 2 4,05 4,5 6 14
½ = 0,5 1,5/2 = 0,75 0,4/0,4 = 1 1,6/2 = 0,8 2,4/3 = 0,8 3/3 = 1 2/2 = 1 4,05/4 = 1,0125 4,5/4 = 1, 125 6/1 = 6 14/2 = 7
Lampiran 2. Data Pasien IRNA-A Lantai 3 Teratai Bulan Juni 2012 (Lanjutan) No
Nama Pasien
No RM
96
Dina Farida (P)
1151649
97 98 99
Inggit Herwina (P) Ahmad Ninaldy (L) Faras (P)
1157484 1157292 964193
100 Karin (P)
1156890
Regimen Antibiotik
Co Amoxiclav 3 x 500 mg (o) Co Amoxiclav 3 x 625 mg (o) Ceftriaxon 1 x 2 g (p) Cefotaxime 2 x 300 mg (p) Metronidazol 3 x 200 mg (p) Cefotaxim 3 x 400 mg (p) Meropenem 1 g (p) Ceftazidim 3 x 500 mg (p) Gentamicin 2 x 30 mg (p) TOTAL
Lama Terapi (hari) 3 3 3 5 5 1 1 1 4
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014
LOS (hari) 10 7 9 8 7
930
Total Antibioti k (gram) 4,5 5,625 6 3 3 1,2 1 1,5 0,24
DDD
4,5/1 = 4,5 5,625/1 = 5,625 6/2 = 3 ¾ = 0,75 3/1,5 = 2 1,2/4 = 0,3 ½ = 0,5 1,5/4 = 0,375 0,24/0,24 = 1
Lampiran 3. Rekapitulasi Jumlah DDD Pemakaian Antibiotika di Gedung Teratai Lantai 3 RSUP Fatmawati Bulan Juni 2012 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Obat Ceftriaxon Cefixime Cefotaxime Ampisillin Metronidazole (Inj/oral) Chloramphenicol Co Amoxiclav Ceftazidime Gentamicin sulfate Cefadroxil Amoxicillin Erythromycin Meropenem
DDD (100 Pasien-hari) 163,45/930 x 100 = 17,57 40,85/930 x 100 = 4,39 33,425/930 x 100 = 3,59 27,75/930 x 100 = 2,98 17,23/930 x 100 = 1,85 14,227/930 x 100 = 1,53 10,125/930 x 100 = 1,09 7,05/930 x 100 = 0,76 6,863/930 x 100 = 0,74 6,25/930 x 100 = 0,67 5/930 x 100 = 0,54 2,4/930 x 100 = 0,25 0,875/930 x 100 = 0,09
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Malihatur Rosyidah, FFar UI, 2014