UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa 1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2012 i
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa 1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2012 ii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
iv
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
v
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang sebesar-besarnya penyusun sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karuniaNya kepada penyusun sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka mencapai gelar Magister Keperawatan Jiwa pada Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia. Dalam penyusunan tesis ini penyusun mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun bermaksud mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dewi Irawaty, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., sebagai dosen pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penyusun sehingga penyusun dapat terus berproses menyelesaikan tesis ini. 4. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes. sebagai dosen pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu, dan mengarahkan penyusun sehingga dapat memahami rancangan berjalannya penelitian tesis ini. 5. Mustikasari, S.Kp., MARS., sebagai penguji 1 yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini. 6. Ibu Nurhalimah, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.J., sebagai penguji 2 yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini. 7. Novy Helena C.D.,S.Kp., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang dengan penuh pengertian mengarahkan penyusun selama menjalani masa studi Program Magister Keperawatan Jiwa. 8. Bpk. Darsono, sebagai Kepala Puskesmas Kersamanah, yang telah dengan terbuka mengizinkan penyusun untuk melakukan penelitian di Kecamatan Kersamanah Garut. 9. Bpk. Iyus dan Ibu Ai sebagai staf program Kesehatan Jiwa Puskesmas Kersamanah yang telah banyak membantu dalam proses penelitian. vi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
10. Ibu Lilis, Ibu Nyai, Ibu Nunung, Ibu Siti dan Ibu Alit, sebagai kader kesehatan jiwa yang telah bersedia dan penuh semangat menjalani peran PMO dalam penelitian ini. 11. Seluruh dosen Program Pasca Sarjana Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membagi ilmu yang dimilikinya. 12. Keluarga yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penyusun. 13. Teman-teman Angkatan VI Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang unik dan selalu memberikan semangat kepada penyusun. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini nantinya.
Depok, Juli 2012
Penyusun
vii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
viii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juli 2012 Rahmi Imelisa Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran ABSTRAK Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah. Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga Daftar pustaka 29 (2006-2011)
ix Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Universitas Indonesia
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2012 Rahmi Imelisa The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut. xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix ABSTRACT The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah. Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation References 29 (2006-2011)
x Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Universitas Indonesia
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juli 2012 Rahmi Imelisa Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran pengawas minum obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut xviii + 118 hal + 29 tabel + 5 skema + 17 lampiran ABSTRAK Prevalensi schizophrenia di Kersamanah adalah sebesar 2.6/1000 jiwa, dan 39,8% klien drop out berobat. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (terapi keperawatan) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan purposive sampling. Penelitian menggunakan instrumen kemandirian CMHN Jakarta dan MARS. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan bermakna kemandirian dan kepatuhan berobat setelah diberikan terapi keperawatan (p-value<α=0.05). Terdapat perbedaan perubahan bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol (p-value<α=0.05). Terdapat hubungan erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat (p-value < α=0.05). Saran dari penelitian ini adalah dikembangkannya asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO di Kersamanah. Kata kunci : schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat, PMO dan psikoedukasi keluarga Daftar pustaka 29 (2006-2011)
ix
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
POSTGRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2012 Rahmi Imelisa The effect of nursing process to client, family and ‘Pengawas Minum Obat’ role to independency and medication adherence of schizophrenic client in Kersamanah Garut. xviii + 118 page + 29 table + 5 scheme + 17 appendix ABSTRACT The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p-value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah. Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation References 29 (2006-2011)
x
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR SKEMA DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Pelayanan Keperawatan 1.4.2 Ilmu Pengetahuan 1.4.3 Penelitian Keperawatan
i ii iii iv v vi viii ix x xi xiv xv xviii 1 9 11 11 11 12 12 12
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Schizophrenia 2.1.1 Definisi schizophrenia 2.1.2 Proses terjadinya schizophrenia 2.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia 2.1.4 Proses keperawatan pada klien dengan schizophrenia 2.1.4.1 Pengkajian 2.1.4.2 Diagnosa keperawatan 2.1.4.3 Intervensi keperawatan 1. Intervensi keperawatan generalis 2. Intervensi keperawatan spesialis 3. Pemberdayaan kader dan peran pengawas minum obat 2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi 1. Asuhan keperawatan generalis pada klien 2. Family Psychoeducation pada keluarga 3. Pelaksanaan peran Pengawas Minum Obat oleh kader 2.1.4.5 Hasil akhir dan evaluasi intervensi keperawatan
41 41 44 45
2.2 Kemandirian klien schizophrenia 2.2.1 Efek schizophrenia terhadap aktivitas sehari-hari 2.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian
47 48 49
xi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13 16 18 20 21 27 30 30 31 34
2.2.3 Pengukuran kemandirian 2.3 Kepatuhan berobat 2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan 2.3.2 Batasan karakteristik 2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan 2.3.4 Cara mengukur kepatuhan
50 50 52 52 53
BAB 3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka teori 55 3.2 Kerangka konsep penelitian 59 3.3 Hipotesis 62 3.4 Definisi operasional 62 BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan penelitian 4.2 Populasi dan sampel 4.2.1 Populasi 4.2.2 Sampel 4.3 Waktu dan tempat penelitian 4.4 Etika penelitian 4.5 Instrumen penelitian 4.6 Uji coba instrumen 4.7 Prosedur pelaksanaan penelitian 4.7.1 Tahap persiapan 4.7.2 Tahap pelaksanaan 4.7.3 Tahap akhir 4.8 Pengolahan data 4.9 Analisa data 4.9.1 Analisa data univariat 4.9.2 Analisa data bivariat 4.9.3 Analisa data multivariat
64 65 65 66 69 70 73 75 76 76 77 77 78 79 79 80 82
BAB 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik klien schizophrenia 5.1.1 Karakteristik usia klien 5.1.2 Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan 5.1.3 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 5.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 5.2.1 Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut xii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
83 83 84 86
87 87
5.2.2 Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 88 5.2.3 Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90 5.2.4 Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91 5.3 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut 5.3.1 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 5.3.2 Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 5.3.3 Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 5.3.4 Hubungan karakteristik dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
92 92 93 95 96
5.4 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 98 BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kemandirian klien 6.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien 6.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 6.4 Faktor predisposisi klien schizophrenia 6.5 Keterbatasan penelitian 6.6 Implikasi hasil penelitian
109 110 111 112
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 7.2 Saran
113 114
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
99 104
117
xiii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR SKEMA Skema 2.1 Model Stress Adaptasi Stuart
20
Skema 3.1 Kerangka teori
58
Skema 3.2 Kerangka konsep penelitian
61
Skema 4.1 Rancangan penelitian
64
Skema 4.2 Gambaran prosedur penelitian
78
xiv
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Diagnosa keperawatan pada klien dengan schizophrenia
27
Tabel 3.1 Definisi operasional dan variabel penelitian
63
Tabel 4.1 Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol
69
Tabel 4.2 Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia
74
Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia
74
Tabel 4.4 Analisis bivariat variabel penelitian
81
Tabel 5.1 Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
84
Tabel 5.2 Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 84 Tabel 5.3 Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
85
Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 86 Tabel 5.5 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
86
Tabel 5.6 Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
87
Tabel 5.7 Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
88
Tabel 5.8 Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum xv
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89 Tabel 5.9 Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 89 Tabel 5.10 Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
90
Tabel 5.11 Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 90 Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut 91 Tabel 5.13 Perbedaan rata-rata kemandirian sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
92
Tabel 5.14 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
93
Tabel 5.15 Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
93
Tabel 5.16 Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
94
Tabel 5.17 Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
95
Tabel 5.18 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
95
Tabel 5.19 Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
96
xvi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Tabel 5.20 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
97
Tabel 5.21 Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
97
Tabel 5.22 Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
98
Tabel 6.1 Perbandingan presentase peningkatan kemandirian pada penelitian CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut
102
xvii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR LAMPIRAN
Jadwal pelaksanaan penelitian
Lampiran 1
Penjelasan penelitian
Lampiran 2
Lembar persetujuan responden (informed consent)
Lampiran 3
Kuesioner 1
Lampiran 4
Kuesioner 2
Lampiran 5
Kuesioner 3
Lampiran 6
Keterangan lolos uji etik
Lampiran 7
Keterangan lolos expert validity
Lampiran 8
Keterangan lolos uji kompetensi
Lampiran 9
Standar Asuhan Keperawatan Jiwa (Diagnosa Gangguan)
Lampiran 10
Modul terapi Family Psycho Education (FPE)
Lampiran 11
Buku kerja FPE
Lampiran 12
Buku evaluasi PMO
Lampiran 13
Buku evaluasi peneliti
Lampiran 14
Pedoman pembekalan kader
Lampiran 15
Surat-surat
Lampiran 16
Daftar riwayat hidup peneliti
Lampiran 17
xviii
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah Schizophrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapat perhatian. Menurut World Health Organiztion (WHO), schizophrenia merupakan gangguan mental serius yang mempengaruhi sekitar tujuh dari 1000 populasi orang dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 - 35 tahun. Walaupun insidennya rendah (3/10.000), prevalensi penyakit ini cukup tinggi karena penyakit ini bersifat kronis (WHO, 2012). Prevalensi median dari schizophrenia adalah 4.6/1.000 untuk prevalensi point, 3.3/1.000 for prevalensi periodik dan 4.0/1.000 untuk lifetime prevalence dan 7.2/1.000 untuk risiko morbiditas (NCBI, 2012). Melihat prevalensi ini, schizophrenia perlu mendapat perhatian dalam penanganan dan pencegahan meningkatnya prevalensi. Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia tidak jauh berbeda dengan prevalensinya di dunia. Angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan data riskesdas adalah sebesar 4,6/1000 jiwa (Balitbangkes, 2007). Angka ini sama dengan angka prevalensi median gangguan jiwa di dunia. Di Indonesia diperkirakan sekitar 1 juta penduduk menderita gangguan jiwa (Depkes, 2012). Hasil pendataan kesehatan untuk schizophrenia ini bisa jadi merupakan fenomena ‘gunung es’ di mana angka sebenarnya di lapangan dapat lebih besar, karena stigma yang buruk mengenai gangguan jiwa yang menyebabkan kejadian gangguan jiwa atau schizophrenia banyak ditutuptutupi oleh masyarakat. Penyakit schizophrenia juga dianggap penyakit yang tidak kalah berbahaya dibandingkan dengan penyakit-penyakit fisik kronis lainnya. Ho, Black dan Andreasen (2003, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa schizophrenia mungkin merupakan penyakit yang paling membingungkan dan paling tragis 1 Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2
yang mengancam jiwa, dan mungkin juga penyakit yang paling merusak. Penyakit ini tidak kalah berbahaya dibanding penyakit fisik kronis lainnya pada usia dewasa. Schizophrenia menyerang pada usia muda, karena itu tidak seperti pasien dengan kanker atau penyakit jantung, pasien dengan schizophrenia masih tetap hidup bertahun tahun setelah onset penyakit dan terus menderita karena efek penyakit tersebut, sehingga menghambat mereka untuk menjalani kehidupan dengan normal, seperti sekolah, bekerja, memiliki teman dekat, menikah, atau memiliki anak. Schizophrenia dapat berefek terhadap individu, keluarga dan juga menyebabkan beban ekonomi yang besar di masyarakat (Townsend, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga dan menjadi beban bagi masyarakat. Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran (Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan masyarakat sekitar dapat juga Kebanyakan
orang
dengan
terkena dampak dari schizophrenia.
schizophrenia
memiliki
kesulitan
dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Orang
dengan
schizophrenia
akan
mengalami
gangguan
dalam
kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari, seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3
untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Unit terdekat yang dapat membantu pasien dengan schizophrenia adalah keluarga. Karena prevalensinya yang tinggi dan penyakit ini bersifat kronik maka selain memberikan penanganan secara medis dengan obat-obatan, diperlukan juga terapi untuk meningkatkan kemandirian klien agar selama menjalani pengobatan kemandirian klien dapat ditingkatkan dan dapat mengurangi kebergantungan pasien pada orang lain. Schizophrenia sampai dapat menyebabkan kematian karena kejadian bunuh diri. Radomsky, Haas, Mann, dan Sweeney (1999, dalam Townsend, 2009) memperkirakan 10% pasien dengan schizophrenia meninggal karena bunuh diri. Penelitian lain memperkirakan kejadian ide bunuh diri pada klien schizophrenia sekitar 40 - 55% dan percobaan bunuh diri sekitar 20 – 50% (Addington, 2006 dalam Townsend, 2009). Mempertimbangkan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini kepada individu, maka schizophrenia ini perlu mendapat perhatian serius dalam penanganannya. Penanganan masalah gangguan jiwa perlu dirancang dengan baik dengan mengikutsertakan berbagai pihak. Menurut perhitungan utilisasi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tertier kesenjangan pengobatan diperkirakan >90%. Hal ini berarti bahwa hanya <10% orang dengan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan (Diatri, 2011). Perawatan pasien dengan schizophrenia dapat disediakan pada taraf komunitas, dengan keaktifan keluarga dan keterlibatan komunitas di sekitar pasien (WHO, 2012). Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah ini diperlukan penanganan tidak hanya kepada klien, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat yang dapat terkena dampak dari penyakit ini. Banyak penanganan berupa terapi telah dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu untuk mengatasi masalah gangguan jiwa. Berbagai penelitian juga terus dikembangkan untuk mengetahui efek dari terapi-terapi tersebut. Townsend (2009) menyatakan bahwa saat ini dan mungkin selamanya tidak akan ada
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
4
satu penanganan saja yang bisa mengatasi schizophrenia. Karena itu, penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif, melibatkan multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009). Karena itu, penanganan schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi, rehabilitasi dan sebagainya. Penanganan penyakit schizophrenia dapat melibatkan penanganan medis, psikoterapi dan rehabilitasi. Dalam keperawatan telah dikenal adanya Standar Asuhan Keperawatan (SAK) Jiwa yang merupakan panduan bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya. SAK ini digunakan oleh perawat untuk memberikan tindakan keperawatan generalis. SAK ini berisi panduan untuk menangani diagnosa keperawatan Sedangkan untuk terapi spesialis keperawatan jiwa telah dikembangkan berbagai psikoterapi untuk individu, kelompok dan keluarga. Keluarga sebagai unit sosial terdekat dengan klien juga memerlukan terapi untuk menangani anggota keluarganya yang mengalami schizophrenia. Selain asuhan keperawatan generalis sesuai SAK, saat ini telah dikembangkan pula psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psychoeducation dan Triangle Therapy (Keliat & Walter, 2011). Berbagai terapi ini terus dikembangkan dan banyak dilakukan penelitian untuk terus mengembangkan metoda terapi dan efeknya untuk masalah dan gangguan kesehatan jiwa. Family psycho-education (FPE) atau psikoedukasi keluarga adalah salah satu terapi untuk keluarga yang dapat digunakan di berbagai setting pelayanan keperawatan jiwa. Psikoedukasi adalah pendekatan edukasional dan pragmatis yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga yang sakit, mengurangi kekambuhan, dan memperbaiki keberjalanan fungsi pasien dan keluarga (Stuart, 2009). Psikoedukasi keluarga dapat diberikan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
5
pada keluarga dalam berbagai setting, baik di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum maupun di komunitas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek dari pemberian FPE ini secara langsung kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada klien. Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (Kaplan-Meier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pada keluarga memberikan dampak yang positif terhadap klien. Pemberdayaan masyarakat dalam menangani schizophrenia juga tidak dapat diabaikan.
Seperti
telah
disampaikan
sebelumnya
bahwa
masalah
schizophrenia memberikan dampak pada keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Karena
itu
keberadaan
keluarga
dan
masyarakat
perlu
dipertimbangkan dalam rangka menangani masalah gangguan jiwa ini. Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing (CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK) merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik, tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011). Dalam CMHN masyarakat diberdayakan agar dapat mengatasi masalah kesehatan jiwa di wilayah tempat tinggalnya. Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
6
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan health education kepada keluarga klien. Hasil analisis menunjukkan rata-rata kemandirian pasien pada kelompok intervensi sebelum penerapan model CMHN yaitu 29.94, standar deviasi 11.27, dan setelah penerapan model CMHN yaitu 38.83, standar deviasi 9.32. Rata-rata waktu produktif pasien pada kelompok intervensi sebelum penerapan model CMHN yaitu 2.21, standar deviasi 1.36, dan setelah penerapan model sebesar 3.82, standar deviasi 1.28. Ada perbedaan bermakna kemampuan kognitif keluarga sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi (p value = 0.000), sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna (p value = 0.123) ada perbedaan bermakna kemampuan psikomotor sebelum dan setelah penerapan model CMHN baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (p value = 0.000 dan 0.027). Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan model CMHN berdampak positif terhadap klien dan keluarga. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pola kunjungan rumah seperti pada penelitian di atas ditambah dengan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat). Peran PMO digunakan dengan mempertimbangkan sumber daya yang telah ada, yaitu tersedianya kader yang khusus berperan dalam program kesehatan jiwa dan fenomena yang ditemukan selama peneliti melakukan studi pendahuluan yang akan dijelaskan lebih rinci pada paragraf selanjutnya. Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010). Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah dikembangkan oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan klien. PMO sendiri sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan, atau jika tidak memungkinkan dapat dilakukan oleh kader atau keluarga klien (Nizar, 2010). Pada penelitian ini akan diujicobakan pelaksanaan peran PMO oleh kader.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
7
Kecamatan Kersamanah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial untuk diberikan terapi spesialis. Jumlah klien gangguan jiwa di kecamatan tersebut sampai akhir Desember 2011 mencapai 98 orang dari total jumlah penduduk 37.681 orang. Dengan demikian prevalensi gangguan jiwa di kecamatan tersebut adalah 2,6/1000 jiwa. Angka ini lebih besar dari prevalensi di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 2,2/1000 jiwa. Desa Kersamanah yang memiliki jumlah klien paling banyak, yaitu 35 klien, sempat diberitakan sebagai ‘desa gila’ pada tahun 2008 dalam salah satu media massa di Jawa Barat. Berdasarkan data Bulan Januari 2012 yang diperoleh dari data sekunder di puskesmas, didapatkan data dari 98 klien, sebanyak 39 klien terdata drop out (DO) obat dengan alasan berbeda-beda. Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengunjungi enam keluarga dengan schizophrenia. Dari hasil pengkajian didapatkan dua dari enam klien belum mandiri melakukan perawatan diri dan salah satu klien tersebut mengalami pemasungan sehingga perawatan dirinya semakin buruk. Empat dari enam klien menunjukkan gejala fase aktif schizophrenia seperti halusinasi, disorganisasi pembicaraan, gejala-gejala negatif seperti afek datar, dan tidak ada motivasi untuk beraktivitas. Semua klien tidak mengetahui bagaimana cara mengatasi masalah keperawatan, seperti halusinasi, isolasi sosial dan risiko perilaku kekerasan yang muncul pada dirinya. Empat dari enam klien yang dikaji, tidak teratur minum obat dengan berbagai alasan. Alasan yang dikemukakan terkait pengobatan antara lain, klien menolak minum obat karena bosan, klien tidak minum obat karena keluarga merasa tidak perlu diobati, dan klien minum obat semaunya karena tidak diawasi oleh orangtuanya yang sudah tua. Hal ini menunjukkan bahwa klien memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kemandirian dan meningkatkan kepatuhan klien minum obat. Studi pendahuluan juga dilakukan kepada keluarga klien untuk mengetahui usaha keluarga untuk mengatasi penyakit klien dan dampak kondisi klien pada
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
8
keluarga. Empat dari enam keluarga merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan pada anggota keluarganya yang sakit. Dua keluarga merasa terancam dan takut kepada klien dan pernah menjadi korban perilaku kekerasan klien. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga tidak memiliki koping yang adekuat untuk merawat klien. Untuk itu keluarga perlu diberikan terapi untuk meningkatkan pengetahuannya tentang cara merawat klien serta meningkatkan kopingnya dalam menghadapi klien. Kelima desa di Kecamatan Kersamanah memiliki 4-5 kader untuk membantu petugas kesehatan di puskesmas. Hal yang sudah dilakukan kader yang ada adalah membantu pasien mendapatkan obat dari puskesmas, memotivasi pasien dan keluarga untuk mengingatkan pasien untuk minum obat, mengidentifikasi pasien baru dan melaporkannya ke pihak puskesmas.. Peneliti juga menanyakan perihal kunjungan kader dan petugas puskesmas ke rumah warga. Satu dari enam keluarga yang dikaji adalah kader kesehatan jiwa yang dinilai cukup aktif di puskesmas. Satu keluarga lain menyatakan bahwa kader dan petugas puskesmas tidak pernah mendatangi rumahnya. Satu keluarga lain berikutnya menyatakan jarang, tetapi keluarga akan mendatangi puskesmas jika gejala klien muncul lagi. Sedangkan tiga keluarga lain menyatakan kader kesehatan jiwa maupun petugas puskesmas jarang datang ke rumahnya, petugas atau kader hanya datang ketika memberikan obat atau menyampaikan ada kegiatan di puskesmas. Kader juga belum pernah mendapatkan pelatihan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) sebelumnya. Peneliti tertarik untuk memberdayakan kader untuk melakukan kunjungan rumah sebagai salah satu peran KKJ untuk melakukan peran PMO. Kecamatan Kersamanah terdiri dari lima desa, yaitu Desa Kersamanah, Desa Sukamaju, Desa Girijaya, Desa Nanjungjaya, dan Desa Sukamerang. Puskesmas utama berlokasi di Desa Sukamerang, dan puskesmas pembantu terletak di Desa Kersamanah dan Desa Nanjungjaya. Dengan adanya puskesmas pembantu, diperkirakan akses warga ke puskesmas cukup terjangkau. Puskesmas juga menyediakan pemeriksaan psikiater gratis di
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
9
puskesmas satu minggu sekali dan pemberian obat gratis. Dapat disimpulkan bahwa jarak puskesmas dan biaya pengobatan seharusnya tidak menjadi hambatan untuk klien berobat. Jumlah petugas puskesmas untuk kesehatan jiwa di Kecamatan Kersamanah adalah 2 orang, dibantu 2 orang lainnya untuk teknis di lapangan. Petugas puskesmas merasa perlu dibantu oleh kader dalam menjalankan tugasnya di lapangan seperti menyampaikan obat ke rumah klien. Pengelolaan klien secara langsung ke rumah-rumah kurang optimal dilakukan oleh petugas puskesmas karena keterbatasan tenaga. Kecamatan Kersamanah juga belum pernah terpapar dengan terapi spesialis keperawatan jiwa. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, FPE pada keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Kecamatan Kersamanah merupakan salah satu kecamatan di Provinsi Jawa Barat yang memiliki prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa di Provinsi Jawa Barat. Jumlah klien yang terdeteksi sampai Bulan Desember 2012 adalah 98 orang. Dari 98 klien, sebanyak 39 orang terdata drop out (DO) obat karena berbagai alasan. Dari hasil studi pendahuluan diketahui empat dari enam klien belum mandiri dalam melakukan perawatan diri, bahkan salah satu klien dipasung oleh keluarga. Semua klien yang dikaji menyatakan tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah yang dialaminya, seperti halusinasi, isolasi sosial, defisit perawatan diri dan perilaku kekerasan. Enam keluarga yang dikaji mengatakan tidak tahu dalam merawat klien dengan gangguan jiwa. Dua keluarga merasa takut dan pernah menjadi korban
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
10
perilaku kekerasan klien. Seluruh keluarga belum pernah terpapar oleh terapi spesialis keperawatan jiwa seperti FPE sebelumnya. Setiap desa memiliki sumber daya berupa kader sebanyak 4-5 orang yang bertugas untuk membantu petugas puskesmas menjalankan program kesehatan jiwa di kecamatan tersebut. Namun menurut keluarga petugas puskesmas dan kader tidak teratur datang ke rumah klien. Belum pernah ada program PMO sebelumnya. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, didapatkan masalah-masalah penelitian sebagai berikut: 1.2.1 Prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah, yaitu sebesar 2,6/1000 jiwa, lebih tinggi dibanding prevalensi di Jawa Barat sebesar 2,2/1000 jiwa. 1.2.2 Empat dari enam klien yang dikunjungi belum mandiri dalam melakukan ADL (Activity Daily Living) nya. 1.2.3 Sebesar 39 dari 98 klien (39,8%) dinyatakan drop out berobat. 1.2.4 Semua keluarga yang dikunjungi belum memahami cara merawat klien di rumah. 1.2.5 Kader tidak teratur melakukan kunjungan rumah. 1.2.6 Belum pernah dilakukan FPE dan peran PMO sebelumnya. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan kepada klien, FPE kepada keluarga dan memberdayakan kader untuk menjalankan peran PMO kepada klien dengan schizophrenia di Kersamanah Garut, dengan pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah pemberian asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat oleh kader mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut? 2. Apakah ada hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
11
3. Apakah karakteristik klien mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.2.1 Diketahuinya karakteristik klien schizophrenia di Kersamanah Garut 1.3.2.2 Diketahuinya kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 1.3.2.3 Diketahuinya kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 1.3.2.4 Diketahuinya pengaruh asuhan keperawatan kepada klien, FPE kepada keluarga dan peran PMO oleh kader terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 1.3.2.5 Diketahuinya hubungan antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah. 1.3.2.6 Diketahuinya
karakteristik
yang
berkontribusi
terhadap
kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
12
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1.4.1 Pelayanan keperawatan Dengan penelitian ini diharapkan Unit Kesehatan Jiwa Puskesmas Kersamanah dapat mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan sasaran klien, keluarga dan kader. Penelitian ini juga diharapkan menjadikan masukan bagi puskesmas untuk mengadakan pelatihan CMHN untuk program kesehatan jiwa di Kecamatan Kersamanah. Bagi kader yang sudah terbentuk diharapkan dapat menjadi masukan untuk menjalankan peran sebagai Kader Kesehatan Jiwa sesuai dengan model CMHN. 1.4.2 Ilmu pengetahuan 1.4.2.1 Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dalam pengembangan kader sesuai dengan model CMHN 1.4.2.2 Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi keluarga, kader dan petugas puskesmas dalam memberikan intervensi pada klien dengan schizophrenia 1.4.3 Penelitian keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait intervensi kepada klien dengan schizophrenia, keluarga dan kader.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
13
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa
Rahmi Imelisa 1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2012
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT
TESIS
Rahmi Imelisa 1006749182
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2012
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan disampaikan tinjauan pustaka mengenai schizophrenia, termasuk penanganan kepada klien, keluarga dan peran kader dalam PMO, kemandirian, dan kepatuhan berobat. 2.1 Schizophrenia Berikut ini akan dibahas mengenai definisi schizophrenia, proses terjadinya schizophrenia, tanda dan gejala schizophrenia, dan proses keperawatan pada klien dengan schizophrenia. 2.1.1 Definisi schizophrenia Kata ‘schizophrenia’ adalah kombinasi dari dua kata dari Yunani, ‘schizein’, yang berarti terbelah, dan ‘phren’, yang berarti pikiran. Namun bukan berarti pikiran terbelah seperti yang terjadi pada seseorang dengan kepribadian terbelah, tetapi keyakinan bahwa pembelahan terjadi antara kognitif dan emosional seseorang (Stuart, 2009). Schizophrenia merupakan salah satu fase dari psikosis. Untuk memahami schizophrenia terlebih dahulu perlu dipahami mengenai pengertian psikosis. Psikosis adalah kondisi mental di mana terjadi disorganisasi kepribadian, kerusakan dalam fungsi sosial dan kehilangan kontak atau distori terhadap realita. Mungkin terjadi halusinasi dan waham. Psikosis dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya kerusakan
organik (Townsend, 2009). Stuart (2009) mendefinisikan psikosis sebagai kondisi mental dimana seseorang memiliki pengalaman realita yang berbeda dari orang lain. Pada kondisi ini pasien tidak akan menyadari bahwa orang lain tidak mengalami apa yang dialaminya dan pasien akan merasa heran karena orang lain tidak bereaksi sama dengan dirinya (Stuart, 2009). Dan Fontaine (2009) mendefinisikan psikosis
13 Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
14
sebagai
pengalaman
perubahan
mental
yang
menetap,
seperti
ketidakmampuan berpikir jernih, tidak mampu memaknai sesuatu dengan benar, dan tidak mampu mengontrol emosi yang berlebih. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa psikosis adalah gangguan mental di mana klien mengalami perubahan persepsi terhadap realita. Klien dengan psikosis mengalami kesulitan dalam memaknai kenyataan. Definisi psikosis dan schizophrenia seringkali beriringan. Shizophrenia sendiri menurut Townsend (2009) merupakan salah satu tahapan dari psikosis, yaitu saat tanda dan gejala muncul sangat mencolok. Stuart (2009)
mendefinisikan
schizophrenia
sebagai
penyakit
otak
neurobiologis yang menetap. Menurutnya pula, bahwa schizophrenia merupakan gejala klinis
yang berdampak pada kehidupan individu,
keluarga dan komunitasnya. Stuart mengelompokkan schizophrenia ke dalam rentang respon neurobiologis. Schizophrenia oleh Videbeck (2008), diartikan sebagai suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Dan Fontaine (2009) mendefinisikan schizophrenia sebagai kombinasi dari kerusakan berpikir, gangguan persepsi, ketidaknormalan perilaku, gangguan afektif dan kerusakan kompetensi sosial. Dapat disimpulkan bahwa schizophrenia merupakan gangguan neurobiologis yang dimanifestasikan dengan gangguan persepsi terhadap realita dan disertai dengan perilaku yang abnormal. Berikut ini adalah kriteria DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Townsend, 2009) yang digunakan untuk mendiagnosa schizophrenia:
1. Gejala karakteristik: dua (atau lebih) dari gejala berikut, masingmasing terjadi dalam waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang jika berhasil ditangani):
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
15
a. Delusi (waham) b. Halusinasi c. Disorganisasi pembicaraan d. Perilaku katatonik e. Gejala negatif (misal afek datar, alogia, atau avolisi) 2. Disfungsi sosial atau okupasional: untuk waktu yang signifikan sejak muncul gangguan, satu atau lebih area mayor atau fungsi seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri berada di bawah normal pada level sebelum onset gangguan (atau jika onset pada masa anak atau remaja, kegagalan mencapai pencapaian tingkat interpersonal, akademik atau okupasional). 3. Durasi: gangguan berlanjut dan menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan. Selama 6 bulan ini termasuk masa 1 bulan gejala aktif (atau kurang jika penanganan baik) dan dapat termasuk fase prodromal atau residual. Selama masa prodromal dan residual ini, tanda-tanda dari gangguan ini dapat berupa gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala yang telah diuraikan pada kriteria 1 dan muncul dalam bentuk yang melemah (misal keyakinan yang aneh, ekpresi persepsi yang tidak biasa). 4. Eksklusi skizoafektif dan mood disorder: Gangguan skizoafektif dan mood disorder dengan masalah psikotik telah dikeluarkan karena (1) tidak ada depresi mayor, manic, atau episode campuran yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood terjadi selama fase aktif, durasi totalnya berhubungan langsung dengan durasi masa aktif dan residual. 5. Esklusi masalah substansi atau kondisi kesehatan umum: Gangguan yang terjadi tidak secara langsung merupakan efek fisiologis dari
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
16
penggunaan substansi tertentu (misal penyalahgunaan obat, atau pengobatan) atau kondisi medis secara umum. 6. Berhubungan dengan gangguan perkembangan pervasif: jika ada riwayat autis atau masalah perkembangan lainnya, maka diagnosa schizophrenia ditambahkan hanya jika waham atau halusinasi yang sangat kuat muncul selama sekurang-kurangnya 1 bulan (atau kurang jika penanganan baik).
2.1.2 Proses Terjadinya Schizophrenia Untuk memahami proses terjadinya schizophrenia, perlu dipahami pula perjalanan gangguan psikotik, karena schizophrenia merupakan salah satu fase yang muncul pada perjalanan gangguan psikotik. Berikut ini akan diuraikan mengenai empat fase perjalanan gangguan psikotik. Schizophrenia dapat muncul tiba-tiba, tetapi kebanyakan tanda dan gejala berkembang secara lambat dan bertahap. Gejala yang dapat muncul seperti menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim, kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali mengabaikan hygiene (Videbeck, 2008). Psikosis berkembang dalam empat fase, yaitu fase premorbid, fase prodromal, fase schizophrenia dan fase residual. Berikut ini adalah uraian dari setiap fase tersebut. 2.1.2.1 Fase I : Fase premorbid Fase ini ditandai dengan periode munculnya ketidaknormalan fungsi, walaupun hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari efek penyakit tertentu (Lehman et al, 2006 dalam Townsend, 2009). Indikator premorbid dari psikosis, diantaranya adalah riwayat psikiatri keluarga, riwayat prenatal, dan komplikasi obstetrik dan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
17
defisit neurologis. Faktor premorbid lain adalah pribadi yang terlalu pemalu dan menarik diri, hubungan sosial yang kurang baik dan menunjukkan perilaku antisosial. Faktor usia dan jenis kelamin
perlu
menjadi
perhatian,
perilaku
menyimpang
cenderung lebih muncul saat remaja. Dan perilaku antisosial lebih sering ditunjukkan oleh gender laki-laki, sementara perilaku pasif dan menarik diri sering ditemui pada wanita (Olin dan Mednick, 1996 dalam Townsend, 2009). Pada tahap ini individu telah mengalami gangguan dalam menjalankan fungsi dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada fase ini tanda-tanda psikotik belum muncul sehingga pencegahan pada klien yang telah menunjukkan perilaku premorbid perlu diperhatikan. 2.1.2.2 Fase II : Fase prodromal Fase ini menunjukkan tanda dan gejala tertentu yang mengarah pada manifestasi fase akut dari penyakit ini. Fase prodromal dimulai dengan adanya perubahan fungsi premorbid dan meluas sampai munculnya gejala psikotik. Fase ini dapat terjadi dalam beberapa
minggu
atau
bulan,
tetapi
banyak
penelitian
menyatakan bahwa fase prodromal terjadi antara 2 sampai 5 tahun. Lehman dan asosiasinya (2006 dalam Townsend, 2009), menyatakan bahwa selama fase prodromal pasien akan mengalami kerusakan fungsional penting dan gejala-gejala yang tidak spesifik, seperti gangguan tidur, kecemasan, mudah tersinggung, mood depresi, penurunan konsentrasi, lemah, dan defisit perilaku seperti penurunan fungsi peran dan menarik diri dari lingkungan sosial. Gejala positif seperti abnormalitas persepsi, referensi ide, dan kecurigaan berkembang pada akhir fase prodromal dan semakin mendekati kejadian psikosis (Townsend, 2009). Pada fase ini tanda-tanda psikotik mulai muncul dengan intensitas rendah. Pengenalan tanda dan gejala
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
18
dan penanganan pada fase ini perlu diperhatikan agar tidak berkembang menuju fase aktif. 2.1.2.3 Fase III : Fase Schizophrenia Fase schizophrenia merupakan fase aktif dari perjalanan penyakit psikosis. Pada fase ini gejala gangguan tampak sangat mencolok (Townsend, 2009).
Tanda dan gejala pada fase ini akan
diuraikan pada sub pokok bahasan berikutnya mengenai tanda dan gejala schizophrenia. 2.1.2.4 Fase IV : Fase Residual Schizophrenia ditandai dengan adanya masa remisi dan eksaserbasi. Fase residual biasanya mengikuti fase aktif penyakit. Selama fase residual, gejala dari masa akut dapat hilang atau tidak mencolok lagi. Gejala negatif mungkin masih ada, dan afek datar dan kerusakan fungsi peran biasa terjadi. Kerusakan residual biasanya berkembang antara masa masa aktif psikosis.
2.1.3 Tanda dan gejala schizophrenia Pengelompokkan tanda dan gejala schizophrenia dikembangkan dalam beberapa sistem pengelompokkan. Satu sistem mengelompokkan tanda dan gejala ini dalam 2 kelompok, yaitu gejala positif dan negatif. Sistem lain mengelompokkannya dalam 5 kelompok gejala, yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif, disfungsi sosial dan okupasional, serta gejala mood (Stuart, 2009). Sistem yang membagi gejala menjadi 5 kelompok mempermudah pemahaman kita akan efek schizophrenia pada individu, keluarga dan masyarakat (komunitas). Gejala positif adalah gejala di mana perilaku yang muncul berlebihan dibandingkan dengan perilaku normal, sebaliknya gejala negatif adalah gejala yang muncul saat perilaku lebih menurun dibandingkan perilaku
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
19
normal. Gejala positif adalah gangguan atau fungsi yang berlebihan dari fungsi normal, biasanya berrespon terhadap semua jenis obat obatan antipsikotik. Gejala positif dapat dikelompokkan menjadi gangguan proses pikir; yaitu munculnya waham (paranoid, somatik, kebesaran, religious, nihilistik, atau penyiksaan; siar pikir, sisip pikir atau kontrol pikiran) dan halusinasi (pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap atau penghidu), dan disorganisasi pembicaraan dan perilaku; yaitu gangguan pemikiran formal (inkoherensi, word salad, derailment, ketidaklogisan, kehilangan asosiasi, pemikiran tangensial, sirkumstansial, pembicaraan tertekan, pembicaraan terputus, atau sulit untuk bicara) dan perilaku yang aneh (katatonia, gangguan pergerakan, penururan perilaku sosial) (Stuart, 2009). Gejala positif menunjukkan perilaku klien yang berlebihan. Gejala positif ini biasanya memunculkan perilaku agresif dan dapat membahayakan klien dan orang lain di sekitarnya. Gejala negatif adalah penurunan atau hilangnya fungsi normal, biasanya tidak berrespon terhadap antipsikotik biasa dan lebih berrespon terhadap antipsikotik atipikal. Yang termasuk ke dalam gejala negatif adalah masalah emosi seperti afek datar (keterbatasan rentang atau intensitas dari
ekspresi
emosi),
dan
anhedonia/asocial
(ketidakmampuan
merasakan kesenangan atau membangun kontak sosial. Gejala negatif lain yaitu kerusakan kemampuan membuat keputusan, dapat dilihat dari adanya alogia (terbatasnya pemikiran dan pembicaraan), avolisi/apatis (kurang inisiatif dalam perilaku mencapai tujuan), dan kerusakan perhatian (tidak mampu fokus secara mental dan tidak mampu mempertahankan perhatian) (Stuart, 2009). Dari penjelasan ini dapat dianalisa bahwa gejala negatif dapat berkontribusi besar terhadap kemandirian klien. Klien yang menunjukkan gejala negatif akan mengalami penurunan motivasi dan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, sehingga dapat terjadi defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
20
2.1.4 Proses Keperawatan Pada Klien Dengan Schizophrenia Unsur dalam proses keperawatan adalah pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, intervensi, dan evaluasi (Nursalam, 2008). Berikut ini adalah Model Stress Adaptasi Stuart, yang merupakan salah satu model yang dapat dikembangkan dalam pendekatan proses keperawatan jiwa. Model ini mengintegrasikan aspek biologis, psikologis dan sosial budaya dalam pelayanan kepada klien. Tahapan yang terjadi sehingga muncul diagnosa keperawatan pada klien dapat dilihat pada skema 2.1. Skema 2.1 Model Stress Adaptasi Stuart
Sumber: Stuart (2009)
2.1.4.1 Pengkajian Pengkajian klien schizophrenia dimulai dari mengkaji faktor predisposisi.
Selanjutnya
dikaji
faktor
presipitasi,
faktor
presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme koping (Stuart, 2009). 1. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi menurut Model Stress Adaptasi Stuart terdiri dari tiga faktor, yaitu biologis, psikologis dan sosial budaya. Pendapat lain menyatakan bahwa schizophrenia
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
21
dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa penyebab diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor lingkungan (Townsend, 2009). a. Faktor Biologis Faktor biologis terdiri dari latar belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologi, kondisi kesehatan umum, dan paparan terhadap zat racun. 1) Genetik Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saudara dari individu
schizophrenia
dengan
memiliki
kecenderungan lebih besar untuk terkena penyakit ini dibandingkan populasi secara umum. Risiko umum untuk terkena schizophrenia adalah 1 persen di antara populasi penelitian, sedangkan saudara kandung atau keturunan
dari
klien
yang
teridentifikasi
schizophrenia memiliki risiko 5 sampai 10 persen terkena schizophrenia (Andreasen & Black, 2006 dalam Townsend, 2009). Pada penelitian ini faktor genetik akan diukur sebagai variabel perancu karena faktor genetik (herediter) menjadi faktor yang menyebabkan tingginya risiko seseorang menderita schizophrenia. Kejadian schizophrenia pada kembar monozigot memiliki rasio 4 sampai 5 kali risiko dibandingkan kembar dizigot dan sekitar 50 kali dibanding populasi umum (Sadock & Sadock, 2007 dalam Townsend, 2009). Karena setengah kasus menunjukkan bahwa hanya salah satu dari pasangan monozigot yang terkena
schizophrenia,
maka
beberapa
peneliti
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
22
menyimpulkan bahwa ada faktor lingkungan yang berinteraksi dengan faktor genetik (Townsend, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa schizophrenia terjadi tidak hanya karena faktor biologis saja, tetapi ada interaksi dengan faktor lain. 2) Sensitivitas biologi Hipotesis dopamin menyatakan bahwa schizophrenia (atau gejala mirip schizophrenia) dapat disebabkan oleh aktivitas berlebih dari syaraf yang tergantung dopamine pada otak. Beberapa neurotransmitter telah diimplikasikan Yaitu
sebagai
dopamine,
penyebab
schizophrenia.
norepinephrine,
serotonin,
glutamate, dan GABA. Sistem dopaminergik adalah yang paling banyak dipelajari dan yang paling dekat berkaitan dengan gejala penyakit (Townsend, 2009). Teori ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan neurotransmitter sangat berperan dalam munculnya tanda dan gejala schizophrenia. 3) Kondisi kesehatan umum Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009) melaporkan bahwa data epidemiologis menunjukkan insiden schizophrenia yang tinggi setelah paparan influenza pada masa prenatal. Ketidaknormalan anatomis juga dapat berkaitan dengan schizophrenia. Dengan penggunaan teknologi neuroimaging, ditemukan ketidaknormalan struktur otak pada klien dengan schizophrenia. Adanya pelebaran ventrikel otak adalah temuan yang paling konsisten; namun peluasan sulci dan atropi cerebellar
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
23
juga ditemukan. Pemeriksaan juga menunjukkan penurunan ukuran lobus frontal, tetapi hal ini tidak selalu ditemukan. MRI telah digunakan untuk mengeksplorasi abnormalitas pada area-area yang spesifik
seperti
amygdala,
hippocampus,
lobus
temporal dan ganglia basalis pada otak seorang dengan schizophrenia. Pada klien schizophrenia diduga terjadi ‘salah susun’ pada sel piramida di hippocampus (Jonsson, Luts, Guldberg-Kjaer, & Brun, 1997 dalam Townsend, 2009). Teori ini menunjukkan bahwa schizophrenia dapat
terjadi
pada
seseorang
yang
memiliki
abnormalitas struktur otak. 4) Kondisi fisik. Beberapa penelitian melaporkan adanya keterkaitan
antara
schizophrenia
dengan
epilepsi
(khususnya pada lobus temporalis), penyakit Huntington, trauma kelahiran, trauma kepala pada masa dewasa, penyalahgunaan alcohol, tumor otak (khususnya pada sistim limbik), masalah cerebrovascular, systemic lupus eritematosus, myxedema, parkinsonism, dan penyakit Wilson (Townsend, 2009). Pernyataan ini menunjukkan korelasi antara kondisi fisik dengan kondisi psikologis. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan (Nasrallah et al, 2005 dalam Stuart, 2009) bahwa seseorang dengan schizophrenia memiliki morbiditas dan mortalitas lebih tinggi karena penyakit medis. b. Faktor Psikologis Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan, keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
24
diri, motivasi, pertahanan psikologis dan locus of control atau perasaan seseorang mampu mengontrol nasibnya sendiri. Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa petugas kesehatan harus memikirkan kedua
faktor,
mempengaruhi
biologis
dan
psikososial,
yang
schizophrenia.
Penyakit
ini
mempengaruhi seseorang secara individual tetapi dampak secara psikologis akan unik pada setiap orang. Seperti dinyatakan pada sub pokok bahasan sebelumnya bahwa schizophrenia terjadi tidak karena satu faktor saja melainkan karena adanya interaksi antara berbagai faktor. Faktor psikologis juga merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dan perlu diberikan penanganan selain untuk mengatasi aspek biologis dari schizophrenia. c. Faktor Sosial Budaya Faktor sosial budaya terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Townsend, 2009). Schizophrenia banyak terjadi pada individu dari golongan sosial konomi rendah (Ho, Black & Andreasen, 2003 dalam Townsend, 2009). Hidup dalam kemiskinan, seperti tinggal di tempat yang padat, nutrisi yang tidak mencukupi, tidak adanya perawatan prenatal, kurangnya sumber-sumber dalam menghadapi stress, dan merasa tidak berdaya untuk merubah kondisi miskin seseorang menjadi faktor ekonomi yang dapat menjadi predisposisi schizophrenia (Townsend, 2009).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
25
Pandangan alternatif adalah hipotesa downward drift, yang menyatakan bahwa, karena karakter penyakit ini, individu dengan schizophrenia memiliki kesulitan untuk mempertahankan pekerjaan dan beralih pada tingkat sosial ekonomi yang lebih rendah (atau gagal untuk meningkat dari kelompok sosial ekonomi yang rendah). Pandangan ini mempertimbangkan bahwa kondisi sosial ekonomi
yang
sulit
merupakan
konsekuensi
dari
schizophrenia, bukan sebagai penyebab (Townsend, 2009).
2. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi dalam Model Stress Adaptasi Stuart dapat berasal dari faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya. Stressor pencetus dapat berasal dari internal klien atau lingkungan di luar klien. Selain menggambarkan sumber stressor, perlu diketahui pula waktu dan berapa kali stressor terjadi (Stuart, 2009). Tidak ada bukti yang ilmiah yang membuktikan bahwa stress menyebabkan schizophrenia. Tetapi sangat memungkinkan bahwa stress berkontribusi terhadap keparahan penyakit ini. Diketahui bahwa stress yang ekstrim dapat mencetuskan fase psikotik. Stress dapat menjadi pencetus penyakit pada individu yang memiliki kecenderungan genetis terhadap schizophrenia (Townsend, 2009). 3. Penilaian stressor Merupakan
pandangan
klien
mengenai
stressor.
Schizophrenia dapat berkembang karena adanya hubungan antara jumlah stress yang dialami seseorang dan ambang
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
26
batas stress seseorang (Stuart, 2009). Walaupun tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa stress adalah penyebab dari schizophrenia, namun diyakini bahwa stress dapat memperburuk schizophrenia (Jones & Fernyhough, 2007 dalam Stuart, 2009). 4. Sumber Koping Schizophrenia membutuhkan penyesuaian pada klien dan keluarga. Penyesuaian yang diperlukan setelah seseorang mengalami masalah psikosis adalah: (1) gangguan kognisi, (2) mencapai pemahaman, (3) keseimbangan semua aspek kehidupan, dan (4) meraih pencapaian kerja dan pendidikan (Stuart, 2009). 5. Mekanisme Koping Pada fase aktif psikosis, pasien menggunakan mekanisme pertahanan yang tidak disadari untuk melindungi diri dari pengalaman yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh penyakitnya. Berbagai mekanisme koping digunakan oleh klien schizophrenia. Mekanisme koping dapat dijelaskan berkaitan dengan schizophrenia. Regresi terjadi karena masalah pemrosesan informasi dan pengeluaran banyak energi untuk mengatasi ansietas. Proyeksi digunakan sebagai usaha untuk menjelaskan kebingungan persepsi dengan mengalihkan masalah pada sesuatu atau seseorang. Menarik diri terjadi karena kesulitan menjalin kepercayaan dan karena terlalu asik dengan dunianya sendiri. Keluarga seringkali menyangkal
diagnosa
schizophrenia
pada
anggota
keluarganya. Mekanisme koping yang perlu dikaji pada klien dengan schizophrenia adalah strategi koping kognitif, emosional, interpersonal, fisiologis, dan spiritual (Stuart, 2009).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
27
2.1.4.2 Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan schizophrenia adalah diagnosa gangguan yang terdiri dari 11 diagnosa keperawatan yaitu gangguan sensori persepsi, gangguan proses pikir, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, isolasi sosial, defisit perawatan diri, risiko perilaku kekerasan, regiment terapeutik
inefektif,
regimen
keluarga
inefektif,
berduka
disfungsional dan kerusakan komunikasi verbal. Berikut ini akan dipaparkan mengenai data subjektif dan data objektif yang menunjukkan 7 diagnosa gangguan utama. Tabel 2.1 Diagnosa Keperawatan Pada Klien Schizophrenia No
Data Subjektif
Data Objektif
1
Mendengar suara-suara atau kegaduhan Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
Bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicara Marah-marah tanpa sebab Mencodongkan telinga ke arah tertentu Menutup telinga
Mengatakan ada serangga di permukaan kulit Merasa seperti tersengat listrik Memiliki isi pikir yang berulang-ulang diungkapkan dan menetap Takut terhadap objek atau situasi tertentu atau cemas berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya Merasa benda-benda di sekitarnya aneh dan tidak nyata
Menggaruk-garuk permukaan kulit
2
Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu Ketakutan pada objek yang tidak jelas Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu Menutup hidung Sering meludah Muntah
-
Diagnosa Keperawatan Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi dengar/suara
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penglihatan Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Penghidu Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pengecapan Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Perabaan Gangguan proses pikir: Waham
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
28
3
4
5
Merasa berada di luar tubuhnya Merasa diawasi atau dibicarakan oleh orang lain Berpikir bahwa pikiran atau tindakannya dikontrol orang lain Mengatakan memiliki kekuatan fisik atau kekuatan lain atau yakin bahwa orang lain dapat membaca pikirannya Mengkritik diri sendiri Perasaan tidak mampu Pandangan hidup yang pesimis Penolakan terhadap kemampuan diri
Menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain Merasa tidak aman berada dengan orang lain Mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain Merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu Tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan Merasa tidak berguna Tidak yakin dapat melangsungkan Isi pembicaraan mengancam
Penurunan produktivitas Kurang memperhatikan perawatan diri Berpakaian tidak rapi Selera makan kurang Tidak berani menatap lawan bicara Lebih banyak menunduk Bicara lambat Nada suara lemah
Harga Diri Rendah
Tidak memiliki teman dekat Menarik diri Tidak komunikatif Tindakan berulang dan tidak bermakna Asyik dengan pikirannya sendiri Tidak ada kontak mata Tampak sedih, afek tumpul
Isolasi Sosial
Muka merah dan tegang Pandangan tajam Mengatupkan rahang dengan kuat Mengepalkan tangan Jalan mondar-mandir Bicara kasar Suara tinggi, menjerit atau berteriak Mengancam secara verbal atau fisik Melempar atau memukul benda/orang lain Merusak barang atau benda Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah/mengontrol perilaku kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
29
6
-
Gangguan kebersihan diri: rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau, kuku panjang dan kotor Tidakmampu berhias/berdandan: rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur (klien pria), tidak berdandan (klien wanita) Tidak mampu makan mandiri: makan berceceran, makan tidak pada tempatnya Tidak mampu defekasi/berkemih mandiri: defekasi/berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah defekasi/berkemih
Defisit Perawatan Diri
7
Memberikan isyarat secara tidak langsung, misal mengatakan “tolong jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauh’ Mengancam akan bunuh diri
Memiliki rencana bunuh diri dengan menunjukkan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut Mencederai diri sendiri
Risiko Bunuh Diri
Sumber : (Keliat, dkk., 2011)
2.1.4.3 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan jiwa dikelompokkan dalam intervensi generalis
dan
intervensi
spesialis.
Intervensi
generalis
menggunakan standar yang telah disepakati di Indonesia yaitu SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. SAK jiwa ini berisi panduan Strategi Pelaksanaan (SP) untuk melakukan komunikasi terapeutik pada klien dan pada keluarga. Intervensi spesialis keperawatan jiwa dapat berupa psikoterapi yang saat ini telah dikembangkan dengan sasaran individu, keluarga, dan kelompok. 1. Intervensi Keperawatan Generalis Intervensi
keperawatan
generalis
dilakukan
dengan
menggunakan panduan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. SAK berisi panduan untuk melakukan komunikasi
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
30
terapeutik kepada klien dan keluarga. SAK untuk pasien maupun untuk keluarga berisi SP 1 sampai SP 5 s.d 12. Masing-masing SP adalah panduan untuk melakukan satu kali komunikasi terapeutik kepada klien ataupun keluarga. SP dapat dilakukan berulang-ulang jika kriteria keberhasilan yang diharapkan belum tercapai. Pada setiap SP klien diarahkan untuk mengenali masalahnya dan dilatih untuk mengatasi masalahnya secara mandiri. Misalnya untuk klien dengan isolasi sosial, pada pertemuan pertama (SP 1), klien bersama-sama dengan perawat mengenali penyebab isolasi sosialnya terjadi, kemudian klien diajak untuk menyadari pentingnya bersosialisasi, dan klien dilatih untuk berkenalan dengan anggota keluarganya. Pada SP berikutnya klien dilatih untuk bersosialisasi secara bertahap sampai klien dapat melakukannya secara mandiri. SP keluarga diberikan agar keluarga memahami masalah yang dialami klien, keluarga mengetahui cara merawat klien, sampai keluarga mampu merawat klien secara mandiri di rumah. Panduan lengkap SAK untuk intervensi kepada klien dan keluarga dapat dilihat pada lampiran. 2. Intervensi Keperawatan Spesialis Intervensi keperawatan spesialis juga dapat diberikan kepada klien dan keluarga. Intervensi keperawatan spesialis telah banyak dikembangkan baik untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Terapi spesialis untuk individu diantaranya adalah cognitive therapy, behavioral therapy, cognitive-behavioral therapy, social skill training, thought stopping, progressive relaxation dan assertiveness training. Selain terapi-terapi tersebut, masih banyak terapi lain yang
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
31
terus dikembangkan untuk memberikan intervensi kepada individu dengan schizophrenia. Intervensi keperawatan spesialis untuk keluarga yang telah dikembangkan antara lain adalah family psychoeducation dan triangle therapy. Pada penelitian ini, akan dilakukan family psychoeducation
kepada
keluarga
dengan
klien
schizophrenia. Intervensi keperawatan spesialis jiwa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah FPE. Family Psychoeducation (FPE) Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai penyakit yang tidak hanya mengenai individu saja, tetapi juga seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status mental keluarga saat salah satu anggota keluarga mengalami schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga mendapatkan terapi. Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat sistem keluarga, mencegah atau menghambat kekambuhan, dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber, bukan sebagai stressor, dengan berfokus pada penyelesaian masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik untuk beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan tentang
mekanisme
koping
yang
efektif,
program
psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
32
dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang lain (Townsend, 2009). Intervensi
psikoedukasi
yang
sudah
cukup
terkenal
dikembangkan oleh National Alliance on Mental Illness (NAMI). Dalam program dari keluarga ke keluarga, keluarga saling mengajari satu sama lain mengenai penyakit ini, metoda
koping
yang
digunakan,
dan
sumber-sumber
dukungan yang ada. Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang mengalami gangguan, seperti schizophrenia, depresi mayor, dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan terapi farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart, 2009). Psikoedukasi ini terbukti memperbaiki gejala umum dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart, 2009). Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk memberikan edukasi kepada keluarga tentang schizophrenia, dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk merubah pola komunikasi keluarga dan penyelesaian masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho, Black, dan Andreasen (2003 dalam Townsend, 2009) melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif pada penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat tercapai dengan mengikutsertakan keluarga dalam pelayanan. Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
33
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009). FPE dilakukan dalam 5 sesi, yaitu : (1) sesi 1, pengkajian masalah keluarga, (2) sesi 2, edukasi kepada keluarga tentang cara merawat klien dengan gangguan jiwa, (3) sesi 3, manajemen stress keluarga, (4) sesi 4, manajemen beban keluarga, dan (5) sesi 5, pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga. Penjelasan lengkap mengenai FPE pada klien schizophrenia dapat dilihat pada modul FPE terlampir. 3. Pemberdayaan Kader dan Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Intervensi lain yang dapat diberikan di komunitas adalah dengan menerapkan model CMHN. Pada penelitian ini akan dilakukan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran PMO kepada klien dengan schizophrenia di rumah. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mereka
mampu
mengontrol
diri
dan
terlibat
dalam
pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998 dalam Keliat, 2010). Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Desa Siaga Sehat Jiwa. Pemberdayaan kader kesehatan jiwa sebagai tenaga potensial yang ada di masyarakat diharapkan mampu mendukung program CMHN yang diterapkan di masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal. Metode
yang
dipakai
dalam
mengembangkan
kader
kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, dan rasional (Keliat, 2010).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
34
Kemampuan kader kesehatan jiwa dalam melakukan kegiatan perlu dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui manajemen pemberdayaan kader yang konsisten dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Pengembangan kader kesehatan jiwa digambarkan sebagai suatu proses pengelolaan motivasi kader sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Hal ini juga merupakan penghargaan bagi kader karena melalui manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader akan
mendapatkan
kompensasi
berupa
penghargaan
(compensatory reward) sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya (Keliat, 2010). Manajemen pemberdayaan kader kesehatan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa berfokus pada proses rekruitmen, seleksi, orientasi, penilaian kinerja, dan pengembangan kader. Proses ini dilakukan dalam mempersiapkan Desa Siaga Sehat Jiwa, juga setiap kali ada penambahan kader baru (Keliat, 2010). a) Proses rekruitmen kader kesehatan jiwa Rekruitmen kader kesehatan jiwa adalah suatu proses pencarian dan pemikatan para calon kader yang mempunyai kemampuan dalam mengembangkan Desa Siaga Sehat Jiwa. Proses awal dalam merekrut kader adalah
dengan
melakukan
sosialisasi
tentang
pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa disertai dengan kriteria kader yang dibutuhkan. Adapun kriteria kader adalah sebagai berikut: 1) Bertempat tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa 2) Sehat jasmani dan rohani
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
35
3) Mampu membaca dan menulis dengan lancar menggunakan bahasa Indonesia 4) Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga suka rela 5) Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program kesehatan jiwa komunitas 6) Menyediakan waktu untuk kegiatan CMHN 7) Mendapat izin dari suami atau istri atau keluarga (Keliat, 2010) Rekruitmen kader dilakukan di tiap desa pada wilayah puskesmas yang akan dikembangkan menjadi Desa Siaga Sehat Jiwa. Kader Kesehatan Jiwa DSSJ direkrut dengan rasio satu KKJ bertanggung jawab terhadap 15-20 keluarga (Keliat, 2010). Proses rekrutmen kader di Desa Siaga Sehat Jiwa dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang dapat menentukan calon kader yang mampu dan mau melakukan kegiatan kesehatan jiwa di lingkungan tempat tinggalnya.
Perawat CMHN
melakukan
koordinasi
dengan kepala desa, kepala dusun, atau dengan organisasi masyarakat yang ada di wilayah kerjanya, seperti PKK. Proses rekrutmen kader kesehatan jiwa dilakukan sebagai berikut. 1) Perawat CMHN mengadakan pertemuan dengan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat untuk menjelaskan pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa dan kebutuhan kader kesehatan jiwa.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
36
2) Perawat CMHN menjelaskan kriteria
kader dan
jumlah kader yang dibutuhkan untuk tiap desa dan dusun. 3) Tokoh masyarakat melakukan pencarian calon kader berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 4) Kader yang telah direkrut mengisi biodata pada formulir yang telah disediakan untuk proses seleksi selanjutnya. (Keliat, 2010). b) Proses Seleksi Kader Kesehatan Jiwa Proses
seleksi
adalah
serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan untuk memutuskan apakah calon kader diterima atau tidak sebagai kader kesehatan jiwa. Proses seleksi ini penting untuk mendapatkan sumber daya manusia yang mempunyai motivasi dan kemampuan yang tepat sesuai dengan yang dibutuhkan. Proses seleksi calon kader di Desa Siaga Sehat Jiwa adalah sebagai berikut. 1) Perawat CMHN melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat
atau
organisasi
masyarakat
dalam
menentukan calon kader yang memenuhi syarat. 2) Kader terpilih harus mengisi surat pernyataan bersedia menjadi kader kesehatan jiwa dan bersedia menjalankan program CMHN. 3) Kader terpilih diwajibkan mengikuti pelatihan kader kesehatan jiwa. (Keliat, 2010) c) Proses Orientasi Kader Kesehatan Jiwa Setiap kader yang akan melaksanakan program kesehatan jiwa akan melalui masa orientasi, yaitu mengikuti sosialisasi program CMHN dan pelatihan kader kesehatan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
37
jiwa. Orientasi yang dilakukan mencakup informasi budaya kerja dan informasi umum tentang visi, misi, filosofi,
kebijakan
Desa
Siaga
Sehat
Jiwa,
dan
kemampuan kader kesehatan jiwa. Kegiatan orientasi menggunakan metode klasik selama 2 hari, praktik lapangan selama 3 hari, dan dilanjutkan dengan praktik penerapan Desa Siaga Sehat Jiwa. Materi pelatihan kader kesehatan jiwa mencakup : 1) Program Desa Siaga Sehat Jiwa 2) Deteksi keluarga di masyarakat: kelompok keluarga sehat, kelompok keluarga yang berisiko mengalami masalah psikososial, dan kelompok keluarga dengan gangguan jiwa 3) Peran serta dalam menggerakkan masyarakat pada kegiatan: i) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok keluarga sehat jiwa ii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang berisiko mengalami masalah psikososial iii) Penyuluhan kesehatan untuk kelompok yang mengalami gangguan jiwa iv) Terapi aktivitas kelompok dan rehabilitasi pasien gangguan jiwa 4) Supervisi keluarga dan pasien gangguan jiwa yang telah mandiri 5) Perujukan kasus pasien gangguan jiwa 6) Pelaporan kegiatan kader kesehatan jiwa d) Kemampuan Kader Kesehatan Jiwa Kemampuan kader yang dinilai di sini adalah kemampuan dalam:
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
38
1) Mendeteksi keluarga di Desa Siaga Sehat Jiwa: Sehat, Risiko, dan Sakit. 2) Menggerakkan
keluarga
sehat
untuk mengikuti
penyuluhan sehat jiwa sesuai dengan usia anak. 3) Menggerakkan
keluarga
yang
berisiko
untuk
mengikuti penyuluhan risiko gangguan jiwa. 4) Menggerakkan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mengikuti penyuluhan tentang cara merawat pasien. 5) Menggerakkan pasien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan rehabilitasi. 6) Melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri. 7) Merujuk kasus ke perawat CMHN. 8) Mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan (Keliat, 2010) e) Peran PMO (Pengawas Minum Obat) PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat. Berikut ini adalah standar PMO yang dikembangkan untuk klien tuberculosis. 1) Persyaratan Pengawas Minum Obat Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah sebagai berikut: i) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. ii) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. iii) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. iv) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
39
v) Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk cara penularan, pengobatan dan perawatannya (Nazir, 2010). Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. 2) Tugas Seorang Pengawas Minum Obat Berikut ini adalah tugas seorang PMO berdasarkan standar PMO untuk pasien tuberculosis (TB). Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO adalah: i) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. ii) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. iii) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan. iv) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TB
yang
mempunyai
gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke petugas kesehatan terdekat. v) Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan
obat
di
pelayanan
kesehatan
terdekat. vi) Membantu petugas kesehatan dalam rangka memantau perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
40
Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang ditetapkan depkes. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan PMO juga berperan melakukan hal-hal lain berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan seperti pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010).
2.1.4.4 Pedoman pelaksanaan terapi 1. Asuhan keperawatan generalis pada klien Asuhan keperawatan generalis pada klien dilakukan dengan menggunakan panduan SAK untuk diagnosa keperawatan pada klien gangguan jiwa. Diagnosa yang akan digunakan pada penelitian adalah 7 diagnosa utama pada klien gangguan jiwa, yaitu gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan proses pikir: waham, harga diri rendah, isolasi sosial, risiko perilaku kekerasan, defisit perawatan diri, dan risiko bunuh diri. SAK terdiri dari pedoman asuhan kepada klien dan kepada keluarga. Pedoman tersebut dikembangkan per diagnosa keperawatan. Intervensi kepada individu berfokus untuk membantu klien mengenali masalahnya, dan melatih klien mengatasi masalahnya sendiri. Sedangkan intervensi kepada keluarga
berfokus
untuk
membantu
keluarga
untuk
mengenali masalah yang dialami oleh anggota keluarganya yang sakit dan melatih keluarga untuk merawat klien di rumah. Panduan SAK lengkap dapat dilihat pada lampiran. 2. Family Psychoeducation pada keluarga a) Pengertian
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
41
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005). Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode yang
berdasarkan
pada
penemuan
klinik
terhadap
pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan
jiwa
profesional
sebagai
bagian
dari
keseluruhan intervensi klinik untuk anggota keluarga yang mengalami gangguan. Terapi ini menunjukkan adanya peningkatan outcomes pada klien dengan schizofrenia dan gangguan jiwa berat lainnya (Anderson, 1983 dalam Levine, 2002). Sedangkan
menurut
Carson
(2000),
psikoedukasi
merupakan alat terapi keluarga yang makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejalagejala perilaku. Jadi pada prinsipnya psikoedukasi dapat membantu pengetahuan
anggota tentang
keluarga penyakit
dalam
meningkatkan
melalui
pemberian
informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. b) Tujuan terapi 1) Tujuan Umum Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002), tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mencegah
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
42
kekambuhan mempermudah keluarga
klien
gangguan
kembalinya
dan
jiwa,
klien
masyarakat
dan
ke
dengan
untuk
lingkungan memberikan
penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga yang lain dalam mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat klien gangguan jiwa untuk waktu yang lama. 2) Tujuan Khusus i) Meningkatkan
pengetahuan
anggota
keluarga
tentang penyakit dan pengobatan ii) Meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan iii) Mengurangi beban keluarga iv) Melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang perkembangan keluarga v) Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan,
bertukar
pandangan
antar
anggota
keluarga dan orang lain c) Proses pelaksanaan terapi Meski tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur umum yang dapat memodifikasi kebutuhan pertemuan individu keluarga, tetapi yang paling penting dari program Family
Psyhcoeducation
adalah
bertemu
keluarga
berdasarkan pada kebutuhan, dan keluarga mendapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan tenaga kesehatan jiwa profesional. Adapun proses kerja untuk melakukan psikoedukasi pada keluarga adalah:
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
43
i) Persiapan -
Identifikasi
dan
seleksi
keluarga
yang
membutuhkan psikoedukasi sesuai indikasi dan kriteria yang telah ditetapkan -
Menjelaskan
tujuan
dilaksanakan
psikoedukasi
keluarga -
Membuat kontrak waktu, bahwa terapi akan dilaksanakan dalam beberapa kali pertemuan dan anggota keluarga yang mengikuti keseluruhan pertemuan adalah orang yang sama yang tinggal serumah dengan klien
ii) Pelaksanaan Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok, pencapaian terapi Family Psyhcoeducation dapat dilakukan dalam 5 sesi: -
Sesi 1
: Pengkajian Masalah Keluarga
-
Sesi 2
: Perawatan Klien Gangguan Jiwa
-
Sesi 3
: Manajemen Stres Keluarga
-
Sesi 4
: Manajemen Beban Keluarga
-
Sesi 5
: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
Panduan lengkap mengenai terapi FPE dapat dilihat pada modul terapi FPE terlampir.
3. Pelaksanaan Peran PMO oleh kader Pelaksanaan peran PMO oleh kader akan dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Persiapan kader
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
44
i) Peneliti meminta izin dan berkoordinasi dengan petugas puskesmas untuk mengumpulkan kader ii) Kader yang bertempat di desa yang dipilih untuk kelompok intervensi 2 dikumpulkan oleh peneliti di satu tempat yang telah disepakati iii) Kader diberikan materi mengenai schizophrenia, peran kader kesehatan jiwa dan peran pengawas minum obat iv) Kader dilatih untuk menjadi pengawas minum obat b. Pelaksanaan i) Kader mengunjungi klien ke rumahnya setiap minggu satu kali ii) Kader melakukan wawancara kepada klien iii) Kader melakukan klarifikasi kepada keluarga klien iv) Kader melakukan penghitungan obat v) Kader menjelaskan pentingnya berobat c. Evaluasi Pelaksanaan kunjungan kader untuk menjalankan peran PMO didokumentasikan dalam buku kerja kader ke rumah klien. Pedoman kerja dan buku kerja kader terlampir.
2.1.4.5 Hasil Akhir dan Evaluasi Intervensi Keperawatan Intervensi pada penelitian ini meliputi pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien dengan schizophrenia berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul, pemberian terapi spesialis FPE kepada keluarga klien dan pemberdayaan kader untuk menjalankan peran PMO. Evaluasi pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien dengan schizophrenia dapat dilihat dari kriteria evaluasi yang
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
45
tercantum pada SAK. Masing-masing disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang muncul. Pada dasarnya setelah diberikan
intervensi
tersebut,
klien
mampu
mengatasi
masalahnya sendiri. Termasuk di dalamnya kemandirian klien dalam melakukan aktivitas perawatan dirinya sendiri. Pada setiap intervensi pada masing-masing diagnosa keperawatan jiwa yang muncul pada klien dengan schizophrenia. Selalu diikuti dengan intervensi untuk meningkatkan kesadaran klien dan keluarga dalam hal pengobatan klien. Karena masalah pengobatan menjadi masalah yang cukup perlu perhatian dalam schizophrenia.
Karena
itu,
intervensi
keperawatan
juga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan klien dalam berobat. Intervensi FPE kepada keluarga dimaksudkan agar setelah diberikan terapi pengetahuan keluarga tentang penyakit dan pengobatan meningkat, kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan meningkat, beban keluarga berkurang, keluarga dapat mengungkapkan perasaan dan bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain. Intervensi
berikutnya
adalah
pemberdayaan
kader
untuk
menjalankan peran PMO kepada klien. Peran ini perlu menjadi pertimbangan mengingat fenomena ketidakpatuhan berobat yang ada pada klien schizophrenia. Peran PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga, kader ataupun masyarakat sekitar. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba pelaksanaan peran PMO oleh kader. Hasil akhir yang diharapkan setelah pelaksanaan peran ini adalah peningkatan kepatuhan berobat klien schizophrenia. 2.2 Kemandirian Klien Schizophrenia
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
46
NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif dari schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi emosi klien, dan ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan kurangnya rasa nyaman atau minat dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini menjadi dasar untuk memahami bahwa klien schizophrenia akan mengalami gangguan dalam aktivitasnya. Klien dengan schizophrenia terpisah dari dunia nyata dan memiliki dunianya sendiri, seperti pengertian kata schizophrenia yang diambil dari bahasa Yunani ‘schizein’ yang berarti terbelah dan ‘phren’ yang berarti pikiran (Townsend, 2009). Orang dengan schizophrenia dapat mendengarkan suara yang tidak dapat didengar orang lain. Mereka dapat berpikir bahwa orang lain dapat membaca pikirannya, mengontrol pikirannya, atau berencana untuk menyakiti mereka. Hal ini menakutkan bagi penderita schizophrenia dan membuat mereka menarik diri atau gelisah berlebihan. Keluarga dan masyarakat sekitar dapat juga terkenai dampak dari schizophrenia. Kebanyakan
orang
dengan
schizophrenia
memiliki
kesulitan
dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien. Hal ini menyebabkan klien banyak tergantung kepada orang lain, terutama keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan klien menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini selaras ciri sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana seorang individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu melakukan banyak hal secara mandiri.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
47
2.2.1 Efek schizophrenia pada aktivitas sehari-hari (ADL = Activity Daily Living) Schizophrenia bisa berdampak besar pada aktivitas sehari-hari dan seluruh bagian dari kehidupan seseorang akan terpengaruh oleh pengalaman memiliki penyakit psikotik. Kesulitan menjalani hidup bagi seseorang dengan penyakit mental seperti schizophrenia, adalah karena harus menghadapi gejala yang terus muncul, menghadapi masalah pengobatan dan penanganan lain, dan merasa asing, terisolasi dan kesepian. Berhubungan dengan orang lain menjadi sulit, walaupun merasa perlu, ada perasaan takut untuk menjadi dekat dengan orang lain dan masalah dalam memanaje stress yang dapat disebabkan oleh kedekatan dengan orang lain (Chang & Johnson, 2008). Kesulitan meluas terkait dengan aktivitas hidup sehari-hari tergantung tidak hanya pada keparahan penyakit atau gejala sisa, tetapi juga pada keterlambatan perkembangan yang disebabkan oleh onset munculnya penyakit. Orang muda yang memiliki penyakit psikotik akan sulit membangun hubungan sosial yang baik dan keterampilan hidup seharihari karena onset penyakit ini. Penilaian yang buruk dan pemikiran yang terganggu menyebabkan klien sulit membuat keputusan dalam aktivitas sehari-hari. Karena itu, orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan
mengenai
kebersihan
diri,
berpakaian,
berbelanja,
memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami banyak kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak bekerja walaupun mereka menginginkannya. Saat mereka bekerja, mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait manajemen pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka (Chang & Johnson, 2008).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
48
Pendapat lain menyatakan bahwa orang dengan schizophrenia akan mengalami berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu dalam bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal. Schizophrenia memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup karena gejala dapat menjadi sangat merusak bagi klien dan bagi orang lain yang dekat dengan klien. Misal, klien dengan schizophrenia bisa jadi bicara tidak masuk akal, hal ini dapat mengarahkan pada isolasi sosial dari keluarga dan kontak sosial lain yang lebih lanjut dapat memperburuk gejala. Klien dengan schizophrenia juga dapat mengalami depresi dan atau penyalahgunaan substansi, keduanya meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Dampak selanjutnya adalah kesulitan dalam bekerja, mengejar tujuan, seperti menyelesaikan pendidikan, membina hubungan, dan hidup mandiri dan berarti (medifocus, 2011). 2.2.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian Kemandirian klien schizophrenia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut, yaitu: 1. Usia Pada masa usia anak-anak, manusia mempelajari untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri. Dan pada saat memasuki usia lansia, manusia mengalami kemunduran kemandirian dikarenakan penurunan fisiologis lansia.
2. Kondisi sakit Mengalami
rasa
sakit dapat
menghambat
seseorang
dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Seperi dinyatakan oleh Chang dan Johnson bahwa orang dewasa yang memiliki nyeri yang kronis
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
49
seringkali tidak mampu melakukan aktivitas sesuai dengan tugas tumbuh kembang pada usianya (Chang & Johnson, 2008). 2.2.3 Pengukuran kemandirian Kemandirian klien schizophrenia dapat diukur dengan instrumen yang pernah digunakan dalam penelitian CMHN Jakarta oleh Keliat, Helena, dan Riasmini (2011). Instrumen tersebut terdiri dari 26 item yang berisi tentang kegiatan sehari-hari klien. Skala pengukuran masing-masing kegiatan tersebut, menggunakan tiga kategori, yaitu tidak dilakukan (T), dilakukan dengan bantuan (B), dan dilakukan mandiri (M).
2.3 Kepatuhan berobat Berikut ini akan dipaparkan mengenai definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan, batasan karakteristik, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat, dan cara mengukur kepatuhan. 2.3.1 Definisi kepatuhan dan ketidakpatuhan Definisi mudah untuk menggambarkan kepatuhan yang sering digunakan oleh praktisi kesehatan adalah perilaku pasien untuk mengikuti permintaan dokter (Jaret, 2001 dalam Brannon & Feist, 2010). Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010). Kata ‘kepatuhan’ dapat diasosiasikan dengan kata kooperatif dan kolaborasi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara pasien dengan petugas kesehatan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pasien berperan aktif dalam meningkatkan derajat kesehatannya sendiri. Haynes (1979 dalam Brannon & Feist, 2010) memberikan defisini yang lebih luas mengenai kepatuhan, yaitu perluasan perilaku seseorang (yang dimaksud adalah dalam berobat, mengikuti aturan diet atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai dengan anjuran kesehatan. Definisi ini
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
50
meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan pola hidup sehat seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga cukup, menghindari menggunakan
stress
berkepanjangan,
alkohol.
Selanjutnya
tidak
merokok,
kepatuhan
dan
juga
tidak
termasuk
menjadwalkan pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara teratur, menggunakan sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain yang sesuai dengan saran kesehatan terbaik yang tersedia. Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau pemberi asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga dan/atau komunitas) serta profesional pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif secara klinis atau sebagian tidak efektif (NANDA, 2010) Ketidakpatuhan dipengaruhi oleh kondisi penyakit itu sendiri. Orangorang biasanya lebih patuh pada pengobatan dibandingkan pada kebutuhan untuk merubah pola hidup, seperti diet atau olah raga. Ratarata angka ketidakpatuhan adalah sebesar 25%. Philip Ley, seorang peneliti yang melakukan penelitian mengenai kepatuhan selama lebih dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin sederhana jadwal pengobatan, dan semakin singkat durasinya, maka kepatuhan akan semakin tinggi (Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010). Karena itu tenaga kesehatan perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan ketidakpatuhan klien dalam berobat. 2.3.2 Batasan Karakteristik Batasan karakteristik ketidakpatuhan menurut NANDA (2010) adalah: 1. Perilaku menunjukkan individu gagal mematuhi ketetapan 2. Terjadi perkembangan komplikasi
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
51
3. Terdapat perburukan gejala 4. Gagal mempertahankan janji untuk kunjungan klinis 5. Gagal mengalami perkembangan kesehatan 6. Uji objektif (misal tindakan fisiologis, deteksi penanda fisiologis) 2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia (Brannon & Feist, 2010) 1. Faktor pribadi Beberapa faktor yang telah diteliti dan terbukti mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat adalah faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin. Faktor lain yang penting adalah kepribadian seseorang dan faktor pribadi lain seperti faktor emosi, dan faktor keyakinan seseorang. 2. Norma budaya Keyakinan budaya dan norma-norma memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya pada tingkat kepatuhan tetapi apa yang terdapat dalam kepatuhan (Brannon & Feist, 2010). Contohnya adalah keyakinan individu pada hal-hal yang dapat memberikan kesembuhan atau kesehatan akan mempengaruhi pemilihan seseorang pada terapi medis. Individu tersebut cenderung akan memilih hal diyakini tersebut dan secara otomatis, kepatuhan akan menurun. Terkadang seseorang mengkombinasikan pengobatan tradisional, atau sesuai dengan keyakinannya, dengan terapi medik. Perilaku ini akan ternilai sebagai ketidakpatuhan oleh kedua belah pihak (Brannon & Feist, 2010).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
52
Norma budaya juga dapat meningkatkan kepatuhan, misalnya tingginya kepatuhan lansia di Jepang, dibandingkan dengan lansia Amerika atau Eropa. Sistem pelayanan kesehatan di Jepang menyediakan pelayanan untuk semua warga negara dengan pelayanan yang beragam, hal ini menciptakan kepercayaan warga kepada pelayanan kesehatan di Jepang. 3. Interaksi praktisi kesehatan dengan pasien Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menilai hubungan antara interaksi praktisi kesehatan dan pasien dengan kepatuhan pasien. Praktisi yang berhasil membangun hubungan kemitraan dengan pasien, akan cenderung mencapai kepuasan bagi pasien dan pasien akan lebih mudah mengikuti sarannya (Fuertes et.al, 2007 dalam Brannon & Feist, 2010). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam membina hubungan baik dengan pasien diantaranya adalah komunikasi verbal dan karakter pribadi praktisi kesehatan. 2.3.4 Cara Mengukur Kepatuhan Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa teknik telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan gambaran mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat digunakan dalam mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada praktisi kesehatan, (2) bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada orang lain, (4) memantau penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia, dan (6) menggunakan kombinasi dari cara-cara tersebut (Brannon & Feist, 2010). Berbagai metoda tadi memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Beberapa peneliti lebih memilih untuk menggunakan kombinasi dari metoda-metoda tersebut. Teknik yang sering digunakan oleh para peneliti adalah mewawancarai pasien, menghitung obat yang ada, memonitor secara elektronik, dan melakukan pengukuran biokimia.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
53
Teknik ini lebih banyak disetujui untuk mengukur kepatuhan dibandingkan dengan hanya mengandalkan pernyataan dari pasien atau praktisi klinis. Namun teknik ini memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan biaya lebih besar. Salah satu instrumen untuk mewawancarai klien untuk mengukur kepatuhan berobat adalah instrumen yang dikembangkan dari penelitian oleh Thompson K, et.al (2000) dan Fialko L, et al yang dinamakan intstrumen
MARS
(Medical
Adherence
Rating
Scale)
(virtualmedicalcentre.com). Instrumen ini terdiri dari 10 pernyataan mengenai kepatuhan berobat dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
Pada bab ini dijelaskan mengenai kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis penelitian dan definisi operasional yang memberikan arah terhadap pelaksanaan penelitian serta analisis data. 3.1 Kerangka Teori Pada kerangka teori ini akan dijelaskan mengenai schizophrenia, kemandirian, kepatuhan berobat dan intervensi yang dapat dilakukan pada klien dengan schizophrenia berdasarkan literatur. Kerangka teori akan digambarkan pada skema 3.1. Stuart
(2009)
mendefinisikan
schizophrenia
sebagai
penyakit
otak
neurobiologis yang menetap. Schizophrenia merupakan gejala klinis yang berdampak pada kehidupan individu, keluarga dan komunitasnya (Stuart, 2009). Schizophrenia bukan penyakit yang homogen yang disebabkan oleh satu penyebab tetapi merupakan hasil dari kombinasi predisposisi genetik, disfungsi biokimia, faktor fisiologis, dan stress psikososial (Townsend, 2009). Stuart (2009) mengembangkan Model Stress Adaptasi untuk membantu memahami masalah keperawatan jiwa. Menurut Stuart, faktor predisposisi gangguan jiwa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu faktor biologis, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis terdiri dari latar belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum, dan paparan terhadap zat racun. Faktor psikologis terdiri dari kecerdasan, keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai takdir sendiri. Dan faktor sosial budaya termasuk usia, gender, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan,
55 Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
56
afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Stuart, 2009). Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan diagnosa schizophrenia adalah gangguan sensori persepsi: halusinasi, gangguan proses pikir, isolasi sosial, harga diri rendah, risiko perilaku kekerasan, defisit perawatan diri, risiko bunuh diri, kerusakan komunikasi verbal, regimen terapeutik inefektif, dan regimen keluarga inefektif (NANDA, 2011). Saat ini telah dikembangkan SAK (Standar Asuhan Keperawatan) untuk sebelas diagnosa tersebut. SAK berisi SP (Strategi Pelaksanaan) untuk setiap diagnosa yang memberikan arahan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan jiwa dan keluarga. Kebanyakan
orang
dengan
schizophrenia
memiliki
kesulitan
dalam
menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan diri, berpakaian, berbelanja, memasak dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanage waktu (Chang & Johnson, 2008). Penderita schizophrenia memerlukan pengobatan medis secara teratur dan terkontrol. Seringkali penderita schizophrenia mengalami putus obat karena berbagai faktor seperti malas, merasa sudah sembuh, dan sebagainya. Jangka waktu pengobatan yang lama dapat menjadi faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan klien pada pengobatan. Kepatuhan berobat sendiri diartikan sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010). Dengan adanya fenomena ketidakpatuhan pada klien schizophrenia, maka diperlukan pengawasan dalam mengkonsumsi obat-obatan.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
57
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat. Peran ini dapat dilakukan oleh keluarga, kader kesehatan atau orang lain yang memenuhi kriteria PMO (Nazir, 2010). Tidak ada penanganan tunggal untuk penyakit schizophrenia ini. Karena itu, penanganan yang efektif membutuhkan dukungan yang komprehensif dari berbagai disiplin ilmu, yaitu terapi farmaka dan berbagai bentuk penanganan psikososial, seperti latihan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, latihan keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009). Keperawatan jiwa di Indonesia telah mengembangkan berbagai terapi untuk klien gangguan jiwa. Terapi yang dikembangkan dapat dikelompokkan menjadi terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi juga telah dikembangkan tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk keluarga, kelompok, dan masyarakat. Penanganan masalah schizophrenia tidak hanya dirancang untuk individu saja. Karena schizophrenia juga berdampak pada keluarga klien dan masyarakat. Untuk itu, dalam keperawatan telah dikembangkan terapi-terapi keluarga dan model CMHN untuk memberdayakan masyarakat menangani schizophrenia. Terapi keluarga, family psychoeducation telah banyak dibuktikan manfaatnya untuk keluarga dengan klien gangguan jiwa, maupun pada keluarga dengan gangguan psikososial. Model CMHN adalah pendekatan untuk memberdayakan berbagai elemen masyarakat dalam menangani masalah gangguan jiwa. Model CMHN memberdayakan salah satunya kader dalam mewujudkan Desa Siaga Sehat Jiwa. Peran kader dalam CMHN adalah mendeteksi, menggerakkan keluarga, menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
58
Skema 3.1 KERANGKA TEORI Input FAKTOR PREDISPOSISI: Biologis: latar belakang genetik, status nutrisi, sensitivitas biologis, kondisi kesehatan umum, dan paparan terhadap zat racun Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan locus of control, atau rasa menguasai takdir sendiri Sosial budaya: usia, gender, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, afiliasi politik, pengalaman sosialisasi, dan tingkat integrasi sosial (Stuart, 2009) FAKTOR PRESIPITASI: Nature : biologis, psikologis, sosial budaya Origin : internal, eksternal Timing : kapan, berapa lama, berapa kali stressor muncul Number : berapa banyak stressor dalam periode waktu tertentu (Stuart, 2009) Jenis faktor precipitasi : kejadian hidup yang penuh tekanan, ketegangan hidup dan perselisihan (Stuart, 2009).
Proses DIAGNOSA MEDIS : Schizophrenia: Penyakit otak neurobiologis yang menetap (Stuart, 2009). Suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2010).
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Gangguan sensori persepsi: halusinasi, Gangguan Proses Pikir, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri, Risiko Bunuh Diri, Kerusakan komunikasi verbal Regimen terapeutik inefektif Regimen keluarga inefektif (NANDA, 2011) Penelitian ini berfokus pada diagnosa gangguan sensori persepsi: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri
PENANGANAN INDIVIDU: Generalis : SP 1 - SP 5 s.d SP 12 Terapi spesialis : cognitive therapy, behavioral therapy, cognitive-behavioral therapy, assertiveness training, thought stopping, social skill training, progressive relaxation therapy (Keliat & Walter, 2011). Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah terapi generalis SP1-SP5 untuk diagnosa: halusinasi, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial, Risiko Perilaku Kekerasan, Defisit Perawatan Diri
KELUARGA: Generalis : SP 1 – SP 5 s.d SP 12 Terapi spesialis : Family psychoeducation (FPE), Triangle therapy (Keliat & Walter, 2011). FPE adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005 )
Terapi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah FPE
CMHN : Kader Tugas kader : Mendeteksi, menggerakkan keluarga, menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010) PMO : Seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat (Nazir, 2010) Pada penelitian ini dikembangkan peran PMO merujuk pada peran PMO pada penyakit tuberculosis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Output DAMPAK PENYAKIT Kemandirian klien: kebersihan diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanaje waktu (Chang & Johnson, 2008). Bekerja, sekolah, aktivitas sehari-hari, menjadi orang tua, merawat diri, hidup mandiri, aktivitas di waktu luang, hubungan interpersonal (www.medifocus.com, 2011) Kepatuhan berobat klien: Kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010) Universitas Indonesia
59
3.2 Kerangka Konsep Kerangka konsep ini merupakan bagian dari kerangka teori yang akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Pada kerangka konsep ini akan dijelaskan mengenai terapi keperawatan yang dipilih yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO. Kerangka konsep akan digambarkan pada skema 3.2. Penelitian ini mengukur kemandirian klien schizophrenia serta kepatuhan berobat klien sebagai variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah intervensi keperawatan berupa pemberian asuhan keperawatan generalis kepada klien, FPE kepada keluarga dan pelaksanaan peran kader sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Asuhan keperawatan kepada klien diberikan sesuai SAK generalis yang terstandar sebagai intervensi mendasar kepada klien. FPE yang diberikan kepada keluarga klien merupakan salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukatif dan pragmatik (Stuart, 2009). FPE dipilih karena menurut Safier (1997, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Peran PMO dapat menjadi salah satu kegiatan untuk memberdayakan kader kesehatan di masyarakat. Pemberdayaan kader serupa dengan pemberdayaan masyarakat yaitu merupakan proses pengembangan potensi pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998, dalam Keliat, 2010). Salah satu kegiatan kader kesehatan jiwa dalam
buku
modul
IC-CMHN
adalah
mendeteksi,
menggerakkan
keluarga,
menggerakkan pasien, kunjungan rumah, merujuk kasus, dokumentasi (Keliat, 2010). Kader dapat melaksanakan peran PMO pada saat melakukan kunjungan rumah. Peran PMO dipilih pada penelitian ini karena sudah ada sumber daya di tempat penelitian dan karena cukup tingginya kejadian drop out berobat pada klien schizophrenia di Kersamanah Garut.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
60
Variabel pengganggu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian atau dikenal juga dengan confounding variable, yaitu berupa karakteristik responden. Karakteristik klien yang dapat mempengaruhi kemandirian klien antara lain adalah usia (Stuart, 2009) dan kondisi sakit (Chang & Johnson, 2008). Dan karakteristik yang mempengaruhi variabel kepatuhan berobat klien adalah usia, jenis kelamin dan faktor budaya (Brannon & Feist, 2010).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
61
Skema 3.2 KERANGKA KONSEP PENELITIAN VARIABEL INDEPENDEN 1. 2.
3.
Asuhan keperawatan generalis pada klien (SP 1 - SP 5 s.d SP 12) FPE pada keluarga klien Sesi 1 : pengkajian masalah keluarga Sesi 2 : edukasi cara merawat klien Sesi 3 : manajemen stress keluarga Sesi 4 : manajemen beban keluarga Sesi 5 : pemberdayaan komunitas Peran PMO oleh kader
Pre-test
Post-test VARIABEL DEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
Kemandirian
Kemandirian
Kepatuhan berobat
Kepatuhan berobat
CONFOUNDING VARIABLES (Kemandirian): - Usia (Stuart, 2009) - Kondisi sakit (Chang & Johnson, 2008)
CONFOUNDING VARIABLES (Kepatuhan): - Usia - Jenis kelamin - Faktor budaya (Brannon & Feist, 2010)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Universitas Indonesia
62
3.3 Hipotesis Menurut Nursalam (2008), hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 3.3.1 Ada perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader 3.3.2 Ada perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok yang diberikan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader dengan kelompok kontrol 3.3.3 Ada hubungan antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah 3.3.4 Ada hubungan antara karakteristik klien dengan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah.
3.4 Definisi Operasional Variabel yang telah didefinisikan perlu dijelaskan secara operasional, sebab setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berlainan. Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Pada tabel 3.1 akan dijelaskan mengenai definisi operasional dari semua variabel dependen, independen dan variabel pengganggu (confounding variables).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
63
Tabel 3.1 DEFINISI OPERASIONAL DAN VARIABEL PENELITIAN No
Variabel
Definisi Operasional
A. Variabel Independen 1 Asuhan Asuhan keperawatan adalah Keperawatan proses sistematik mulai dari pengkajian hingga implementasi. Implementasi yang dilakukan sesuai dengan SAK untuk klien gangguan 2 Family Terapi spesialis yang Psychoeducation diberikan kepada keluarga (FPE) dengan cara pemberian informasi dan edukasi yang terapeutik 3 Peran Pengawas Pengawasan langsung untuk Minum Obat menjamin keteraturan (PMO) pengobatan klein schizophrenia. Peran PMO dalam penelitian ini akan dilakukan oleh kader B. Variabel Dependen 1 Kemandirian Kemampuan pasien dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa secara mandiri
2
Kepatuhan berobat
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kepatuhan adalah kesesuaian klien meminum obat sesuai aturan
C. Variabel Pengganggu 1 Usia Lamanya klien hidup, yang dihitung sejak tahun klien lahir hingga tahun penelitian dilakukan 2 Jenis kelamin Identitas klien sesuai dengan kartu identitas resmi klien 3 Kondisi sakit Kondisi fisik klien jika klien (keluhan fisik) merasakan nyeri atau tidak 4
Faktor budaya (keyakinan terhadap pelayanan kesehatan)
Norma budaya klien yang mempengaruhi keyakinan klien terhadap pengobatan dan tindakan medis
Alat Ukur Cara Ukur
dan
Check list : observasi
Hasil Ukur
Skala
1. Tidak diberikan
Nominal
2. Diberikan
Check list : observasi
1. Tidak diberikan
Nominal
2. Diberikan Check list : Observasi
1. Tidak diberikan
Nominal
2. Diberikan
Kuesioner kemandirian CMHN Jakarta, 24 item, skor 048 Kuesioner MARS, 6 item, skor 0-6
Nilai kemandirian 0-52
Interval
Nilai kepatuhan berobat 0-6
Interval
Kuesioner isian
Dinyatakan dalam tahun
Interval
Kuesioner isian
1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Tidak ada nyeri 2. Ada nyeri 1. Positif 2. Negatif
Nominal
Kuesioner isian
Kuesioner isian
Nominal
Nominal
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan mengenai rencana pelaksanaan penelitian, mulai dari rancangan penelitian, populasi dan sampel, waktu dan tempat penelitian, etika penelitian, instrumen penelitian sampai pada cara menganalisa data hingga hasil penelitian dapat disajikan. 4.1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan penelitian atau menguji kesahihan hipotesis (Nursalam, 2008). Penelitian ini adalah
penelitian
kuantitatif
yang
menggunakan
rancangan
quasy
experimentpre-post test dengan grup kontrol. Rancangan kuasi eksperimen berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental (Nursalam, 2008). Intervensi pada penelitian ini yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien schizophrenia dan FPE pada keluarga dan peran Pengawas Minum Obat (PMO) oleh kader. Kelompok kontrol akan diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien di rumah, setelah penelitian selesai dilakukan. Efek yang akan dilihat pada klien schizophrenia adalah kemandirian dan kepatuhan berobat klien. Secara skematik, rancangan penelitian dapat dilihat pada skema 4.1. Skema 4.1 Rancangan penelitian quasy experimental pre-post test with control group Pre test
Post test
Kelompok Intervensi X
O1
O2
Kelompok Kontrol Keterangan :
O3
O4
64 Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
65
X
: Intervensi pada kelompok intervensi yaitu asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader
O1
: Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum diberikan intervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi
O2
: Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah diberikanintervensi asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi
O3
: Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum penelitian dimulai pada kelompok kontrol
O4
: Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum penelitian dimulai pada kelompok kontrol
O2 – O1 = Y1
: Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan generalis pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader
O4 – O3 = Y2
: Perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian
Y2 – Y1 = Y3
: Perbedaan perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
4.2 Populasi dan sampel 4.2.1 Populasi Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian, atau disebut juga universe (Ali, 1985 dalam Taniredja & Mustafidah, 2011). Sedangkan Nursalam (2008) menyatakan bahwa populasi adalah subjek (misalnya manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh klien yang
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
66
mengalami schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut yang terdata pada Januari 2012 sebanyak 98 orang. 4.2.2 Sampel Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui teknik sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah klien dengan schizophrenia yang tinggal dengan keluarganya sebagai caregiver. Besar sampel akan ditentukan berdasarkan rumus besar sampel untuk uji beda mean kelompok independen, dengan menggunakan derajat kepercayaan (confidence interval = CI) sebesar 95%, α = 0,05 dan β = 80%. Penelitian sebelumnya yang digunakan peneliti adalah penelitian penerapan CMHN di Jakarta oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011) yang mengukur variabel kemandirian dengan
= 9,32, dan (
1
–
2)
yaitu (38,83 – 29,94). Adapun rumus yang digunakan adalah rumus berikut. 2 =
[
(
Keterangan :
+
−
)
]
= jumlah sampel = standar normal deviasi untuk α (dapat dilihat pada tabel distribusi Z) = standar normal deviasi untuk β (dapat dilihat pada tabel distribusi Z) = estimasi standar deviasi dan beda mean data pre test dan post test −
= Beda mean yang dianggap bermakna secara klinik antara sebelum dan sesudah perlakukan (Dharma, 2011).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
67
Dengan rumus tersebut, dapat dilakukan perhitungan berikut. 2(9,32) [1,96 + 0,842] = (38,83 − 29,94) = 17,26, dibulatkan menjadi 18 orang. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing kelompok antara 10 s/d 20 (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan kejadian drop out responden, karena itu perlu dilakukan koreksi jumlah sampel untuk mengantisipasi kejadian drop out ini. Rumus yang dapat digunakan untuk ini antisipasi ini adalah sebagai berikut.
=
(1 −
)
Keterangan : = besar sampel setelah dikoreksi = besar sampel yang akan dihitung 1−
= perkiraan proporsi subjek yang drop out, perkiraan 10% (f=0,1)
(Dharma, 2011) Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung koreksi sampel sebagai berikut. =
18 (1 − 0,1)
= 20 orang.
Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Teknik ini adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
68
antara populasi yang sesuai dengan kriteria yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi untuk sampel dalam penelitian ini adalah klien yang didiagnosa schizophrenia, tinggal menetap di Kecamatan Kersamanah dan tinggal bersama keluarga sebagai caregiver. Penelitian ini melibatkan keluarga dan kader dalam satu paket intervensi, walaupun perhitungan sampel tetap berdasarkan jumlah klien. Setelah didapatkan sampel yang sesuai kemudian ditetapkan keluarga dan kader yang berkaitan dengan klien tersebut. Tidak dilakukan pengukuran variabel pada keluarga dan kader karena penelitian berfokus pada kondisi klien. Sampel untuk kelompok intervensi adalah klien schizophrenia yang tinggal di Desa Sukamaju, Desa Mekar Raya (pemekaran Desa Sukamaju), dan Desa Girijaya. Jumlah total klien yang memenuhi kriteria adalah 28 klien. Dua orang klien tidak dapat ditemui, sehingga pada saat pretest terdata 26 klien. Selama proses terapi pada 8 orang klien drop out dari penelitian dikarenakan menolak diintervensi, klien bepergian ke luar dari Kecamatan Kersamanah untuk waktu yang lama, dan klien sulit berkomunikasi. Sehingga total klien untuk kelompok intervensi adalah 18 orang. Sampel untuk kelompok kontrol diambil dari Desa Kersamanah. Data awal pada Bulan Januari 2012 jumlah klien di Desa Kersamanah adalah 35 orang. Pada saat penelitian jumlah klien yang masih ada berjumlah 24 orang. Lima orang didrop out dengan alasan sulit ditemui, pasien masih akut sehingga sulit berkomunikasi dengan klien, dan klien dinyatakan sembuh menurut data dari puskesmas. Jumlah akhir klien kelompok kontrol adalah 19 orang. Pemetaan kelompok intervensi dan kontrol dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
69
Tabel 4.1 Pemetaan jumlah klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol No Kelompok Nama Desa 1
Intervensi
Sukamaju
Klien Klien Drop Total Inklusi out 24 10 4
2
Intervensi
Mekar raya
(*)
11
4
7
3
Intervensi
Giri Jaya
10
7
2
5
4
Kontrol
Kersamanah 35
24
19
19
TOTAL
Klien Responden 6
37
(*)pemekaran Desa Sukamaju, jumlah total termasuk ke dalam jumlah klien di Desa Sukamaju
4.3 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan dalam waktu 5 minggu. Minggu pertama digunakan untuk persiapan yaitu melatih kader untuk melakukan peran PMO dan melakukan pengukuran kemandirian dan kepatuhan berobat, mengurus perizinan penelitian ke Puskesmas dan Kecamatan Kersamanah. Minggu kedua digunakan untuk mengukur variabel dependen (pre-test) pada semua responden di kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pretest untuk kelompok intervensi dilakukan mulai tanggal 24 Mei 2012. Intervensi dilakukan selama 3 kali kunjungan dengan jarak masing-masing kunjungan selama 1 minggu. Pretest untuk kelompok kontrol dilakukan mulai tanggal 30 Mei 2012. Post test dilakukan pada tanggal 18-21 Juni 2012 untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut di 4 desa, yaitu Desa Kersamanah, Desa Girijaya, Desa Sukamaju dan Desa Mekar Raya. Kecamatan ini dipilih karena prevalensinya yang lebih tinggi (2,6/1000 jiwa) dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa Jawa Barat (2,2/1000 jiwa).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
70
4.4 Etika penelitian Responden dalam penelitian ini adalah klien schizophrenia yang memiliki hak asasi manusia. Karena itu setiap responden perlu dilindungi hak-haknya dengan memperhatikan etika penelitian. Prinsip etika yang harus diperhatikan dalam penelitian ini yaitu etika terhadap responden, prinsip etik terapi yang dilakukan, prinsip etik peneliti sebagai terapis dan prinsip etik proposal penelitian. Ethical clearance (uji etik) untuk memvalidasi proposal penelitian. Uji etik dilakukan oleh komite etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia karena penelitian ini menggunakan manusia sebagai responden. Uji etik dilakukan agar penelitian tidak menyalahi prinsip etik. Keterangan lolos uji etik diperoleh pada tanggal 30 April 2012 (lampiran 7). Prinsip etik untuk modul terapi yang dilakukan dalam penelitian, dilakukan agar terapi yang dilakukan tidak melanggar prinsip etik kepada responden. Prinsip etik ini diperoleh dengan cara memvalidasi modul dari terapi yang akan dilakukan kepada pakar (expert validity). Keterangan lolos expert validity diperoleh pada Bulan April 2012 (lampiran 8). Uji kompetensi dilakukan untuk meyakinkan kemampuan peneliti dalam memberikan intervensi kepada responden. Uji kompetensi dilakukan untuk menilai kemampuan peneliti untuk melakukan asuhan keperawatan kepada klien dan FPE kepada keluarga klien, dan kemampuan klien melatih kader untuk menjalankan peran PMO. Uji kompetensi dilakukan pada Bulan Mei 2012 (lampiran 9). Adapun etika dalam penelitian kepada responden yang perlu diperhatikan selama proses penelitian menurut Nursalam (2008), terdiri dari 3 bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
71
4.4.1 Prinsip manfaat 1. Bebas dari penderitaan Menurut
prinsip
ini
penelitian
harus
dilaksanakan
tanpa
mengakibatkan penderitaan kepada subjek. Terapi yang dilakukan oleh peneliti banyak terbukti memberikan dampak positif kepada subjek penelitian, seperti digambarkan pada bab I. Pada penelitian ini terbukti tidak ada penderitaan atau bahaya pada klien schizophrenia yang disebabkan oleh terapi yang dilakukan peneliti. Setiap tahapan tindakan
sudah
direncanakan
dalam
modul
dengan
mempertimbangkan dampak positif bagi klien dan keluarga sebagai sasaran terapi. 2. Bebas dari eksploitasi Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun. Untuk memenuhi prinsip ini, sebelum penelitian, klien dan keluarganya diberikan informasi yang jelas mengenai proses penelitian dan penggunaan penelitian selanjutnya. Bukti bahwa klien dan/atau keluarga telah mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan setuju dijadikan subjek penelitian tercantum dalam format informed consent. 3. Risiko (benefits ratio) Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang berakibat kepada subjek pada setiap tindakan. Pemilihan intervensi yang dilakukan didasari dari keuntungan yang didapatkan yang disampaikan dalam literatur-literatur dan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Sebelum penelitian, peneliti menyepakati langkah-langkah penelitian bersama-sama pihak puskesmas dan kader, dan disepakati langkah yang dirancang peneliti memiliki
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
72
banyak keuntungan untuk klien, keluarga, kader dan program kesehatan jiwa di puskesmas. 4.4.2 Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity) 1. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination) Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa adanya sanksi apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang klien. Dalam pelaksanaannya, peneliti telah memberikan penjelasan mengenai proses penelitian lalu meminta kesediaan responden tanpa memaksa. Klien yang tidak bersedia menjadi responden penelitian tidak akan diikutsertakan dalam penelitian sesuai dengan kriteria eksklusi klien pada saat pemilihan sampel. 2. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full disclosure) Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggungjawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek. Hal ini dilakukan dengan memberikan informasi lengkap sebelum mendapat persetujuan dari responden dan meyakinkan responden bahwa responden memiliki akses kepada peneliti secara langsung selama penelitian berlangsung. Selama penelitian peneliti didampingi oleh kader yang dikenal oleh klien dan keluarga, peneliti memberitahukan tempat tinggal selama penelitian dan nomor telepon peneliti (jika diperlukan). 3. Informed consent Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
73
akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu. Informed consent diisi oleh klien atau keluarga sebelum peneliti melakukan pre-test. Lembar informed consent dapat dilihat pada lampiran 3. 4.4.3 Prinsip keadilan (right to justice) 1. Hak untuk mendapatkan penanganan yang adil (right in fair treatment) Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian. Prinsip ini diaplikasikan dengan tidak membeda-bedakan perlakuan pada semua klien schizophrenia. 2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy) Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia (confidentiality). Untuk memenuhi prinsip etik ini, responden tidak akan memberikan nama jelas, tetapi hanya inisial, dan data mentah hasil penelitian akan segera dimusnahkan setelah penelitian selesai. 4.5 Instrumen penelitian Pada penelitian ini digunakan 3 instrumen yaitu kuesioner untuk mengukur karakteristik responden, kuesioner untuk mengukur kemandirian, dan kuesioner untuk mengukur kepatuhan berobat. Instrumen untuk mengukur karakteristik berisi pertanyaan tentang usia, jenis kelamin, keluhan fisik, dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Instrumen ini terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, ditambah 3 pertanyaan mengenai
faktor
predisposisi
yang
menyebabkan
klien
menderita
schizophrenia. Peneliti menyediakan pilihan jawaban dan responden memilih dengan memberikan tanda pada pilihan jawaban.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
74
Instrumen kemandirian menggunakan instrumen yang telah digunakan dalam penelitian mengenai penerapan model CMHN di Jakarta. Instrumen ini terdiri dari 26 pertanyaan mengenai kegiatan yang dapat dilakukan klien. Pilihan jawaban terdiri dari ‘dilakukan mandiri’, ‘dilakukan dengan bantuan’ dan ‘tidak pernah dilakukan’. Komponen kemandirian yang diukur meliputi kemampuan klien dalam melakukan kegiatan sehari-hari klien, secara rinci komponen yang diukur dalam variabel kemandirian ini dapat dilihat pada tabel 4.2
mengenai
kisi
kisi
instrumen
pengukuran
kemandirian
klien
schizophrenia. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen ini pada penelitian CMHN Jakarta adalah r alpha dengan pearson product moment sebesar 0,933. Tabel 4.2 Kisi-kisi instrumen pengukuran kemandirian klien schizophrenia No 1 2 2 3 4 5
Komponen yang diukur Perawatan diri Aktivitas fisik Sosialisasi Kegiatan mengatasi gejala Mekanisme koping Pengobatan
No Pernyataan 1,2,3 4,5,6,7,8,12,13,16 9,10,11,14,15 17,18 19,20,21 22,23,24,25,26 TOTAL
Jumlah item 3 8 5 2 3 5 26
Instrumen kepatuhan berobat menggunakan Medication Adherence Rating Scale (MARS) (virtual medical centre, 2012). Instrumen ini terdiri dari 10 pernyataan dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Gambaran mengenai komponen dalam instrumen untuk pengukuran kepatuhan berobat ini dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen pengukuran kepatuhan berobat klien schizophrenia No 1 2 2 3 4 5
Komponen yang diukur Perawatan diri Aktivitas fisik Sosialisasi Kegiatan mengatasi gejala Mekanisme koping Pengobatan
No Pernyataan 1,2,3 4,5,6,7,8,12,13,16 9,10,11,14,15 17,18 19,20,21 22,23,24,25,26 TOTAL
Jumlah item 3 8 5 2 3 5 26
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
75
4.6 Uji coba instrumen Uji coba instrumen dilakukan untuk meyakinkan bahwa instrumen yang akan digunakan saat penelitian merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Uji coba instrumen terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas yang menjadi dasar agar peneliti yakin bahwa instrumen penelitiannya dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur
dan
mampu
menunjukkan
konsistensinya
dalam
pengukuran (Dharma, 2011). Uji coba instrumen dilakukan pada 20 orang klien dengan schizophrenia di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat. 4.6.1 Uji validitas Tekhnik uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: (Dharma, 2011) 1. Content validity Yaitu validitas yang menunjukkan kemampuan item pertanyaan dalam instrumen dapat mewakili semua unsur dimensi konsep yang sedang diteliti. Validitas ini dilakukan dengan meminta seorang pakar (expert) untuk menelaah instrumen yang digunakan, apakah seluruh item pertanyaan telah mencakup isi konsep yang diteliti. 2. Construct validity Yaitu validitas yang menunjukkan bahwa instrumen disusun secara rasional berdasarkan konsep yang sudah mapan. Validitas ini dilakukan dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan untuk uji ini adalah dengan menggunakan Pearson Product Moment. Koefisien korelasi yang diharapkan untuk jumlah responden 20 orang sesuai r table adalah 0.444. Hasil uji validitas untuk instrumen pengukuran kemandirian didapatkan 3 item yang tidak valid yaitu nomor 12,13 dan 15. Nomor 12 tidak digunakan pada penelitian karena cukup terwakili oleh item nomor 13. Sedangkan nomor 13 dan 15 tetap digunakan karena
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
76
pertimbangan peneliti bahwa item tersebut penting untuk ditanyakan. Item nomor 18 tidak digunakan karena di tempat penelitian tidak terdapat fasilitas yang menyediakan layanan kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK). Hasil uji validitas untuk instrumen kepatuhan berobat didapatkan 3 item yang tidak valid yaitu nomor 3,7 dan 8. Semua item tersebut tidak digunakan dalam penelitian. Item nomor 6 valid secara statistik tetapi tidak peneliti gunakan dalam penelitian dengan pertimbangan bahwa item tersebut dinilai ambigu dan membingungkan saat ditanyakan pada responden. 4.6.2 Uji Reliabilitas Uji reliabilitas adalah uji instrumen yang dilakukan untuk mengukur tingkat konsistensi dari suatu pengukuran.Uji reliabilitas dapat dilakukan dengan menguji konsistensi internal suatu alat ukur menggunakan metoda 1 kali uji dengan metode item covariance menggunakan cronbach alpha (Dharma, 2011). Hasil uji reliabilitas untuk instrumen pengukuran kemandirian didapatkan koefisien alpha cronbach sebesar 0.860, sedangkan untuk instrumen pengukuran kepatuhan berobat didapatkan reliabilitas sebesar 0.778.
4.7 Prosedur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir. 4.7.1 Tahap persiapan Pada tahap ini peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian kepada Kecamatan
Kersamanah
dan
Puskesmas
Kersamanah.
Setelah
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
77
berkoordinasi dan mendapatkan izin dari Kecamatan Kersamanah dan Puskesmas Kersamanah, peneliti memulai tahap awal penelitian. Penelitian ini melibatkan kader untuk menjalankan peran PMO. Jumlah kader sebanyak lima orang. Untuk menyetarakan kemampuan kader diadakan uji intereter. Hasil uji interrater untuk pengukuran kemandirian kelima kader dinyatakan lulus uji interrater yaitu mencapai nilai Kappa >0.6. Untuk pengukuran kepatuhan berobat 2 kader memiliki nilai Kappa <0.6, yaitu 0.583 dan 0.545. Untuk kedua kader ini dilakukan penyamaan persepsi agar selanjutnya dapat menjalankan peran PMO. Pada tahap ini selanjutnya peneliti melakukan pre-test dibantu oleh kader untuk mengukur kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum diberikan intervensi. 4.7.2 Tahap pelaksanaan Pada tahap ini peneliti mulai memberikan intervensi kepada kelompok intervensi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Pada setiap kunjungan, peneliti sekaligus sebagai terapis bersama-sama dengan kader dan melakukan intervensi yang berbeda pada waktu kunjungan yang sama. Pada setiap klien dan keluarga, kunjungan dilakukan selama 3 kali. 4.7.3 Tahap akhir Pada tahap ini dilakukan kembali pengukuran kemandirian dan kepatuhan berobat. Pada kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien gangguan jiwa di rumah.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
78
Gambaran pelaksanaan penelitian selama lima minggu tersebut dapat dilihat pada skema 4.2 di bawah ini. Skema 4.2 Gambaran Prosedur Penelitian
PERSIAPAN PENELITIAN (minggu ke-1)
Penentuan sampel Informed consent Pengukuran karakteristik responden Pembekalan dan pelatihan kader Pre test: kemandirian dan kepatuhan berobat
PROSES (minggu ke-2 sampai ke-4)
AKHIR PENELITIAN (minggu ke-5)
Kelompok intervensi : 1. Asuhan keperawatan generalis pada klien (3 kali) 2. FPE pada keluarga (3 kali) 3. Peran PMO oleh kader (3 kali)
Minggu ke-5: Post test: kemandirian dan kepatuhan berobat Kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah
Kelompok Kontrol: Pada akhir penelitian akan diberikan pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien schizophrenia di rumah
4.8 Pengolahan data Pengolahan data adalah langkah yang dilakukan setelah data mentah dari kuesioner telah dikumpulkan.Data diolah agar dapat
dianalisa dan
menghasilkan informasi. Agar data dapat dianalisa dan menghasilkan informasi yang akurat, ada empat tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1. Editing Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten. 2. Coding Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berupa angka/bilangan. Kegunaan coding adalah untuk mempermudah
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
79
pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data. Contoh coding pada penelitian ini misalnya pada kuesioner 1 yang digunakan untuk mengukur karakteristik responden. Untuk pertanyaan jenis kelamin, jika klien berjenis kelamin laki-laki diberikan kode 1, dan jika responden perempuan diberikan kode 2. Untuk kuesioner 2 (pengukuran kemandirian), coding dilakukan pada masing-masing pilihan jawaban yang disediakan, yaitu 0=jika klien tidak pernah melakukan kegiatan yang ditanyakan, 1=jika klien dapat melakukan kegiatan namun dengan bantuan dari orang lain, dan 2=jika klien dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Untuk kuesioner 3 (pengukuran kepatuhan), diberikan kode 1 untuk jawaban ‘ya’ dan 0 untuk jawaban ‘tidak’. 3. Processing Processing adalah langkah memproses data, agar data yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan meng-entry data dari kuesioner ke paket program komputer. 4. Cleaning Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak. (Hastono, 2007) 4.9 Analisa data Analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari analisa univariat, analisa bivariat dan analisa multivariat. 4.9.1 Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang diukur dalam penelitian, yaitu dengan distribusi frekuensi. Hasil statistik deskriptif meliputi mean, median, modus, standar deviasi,
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
80
minimal dan maksimal serta proporsi dari variabel penelitian (Supriyanto, 2007). Karakteristik klien terdiri dari data numerik dan data kategorik. Data numerik yang disajikan dalam bentuk statistik deskriptif adalah variabel usia. Sedangkan data kategorik yaitu jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan disajikan dalam bentuk distribusi proporsi. Kemandirian
disajikan
dalam
data
interval
yang
kemudian
diinterpretasikan dalam kategori kemandirian rendah (skor 0-16), sedang (17-32) dan tinggi (33-48). Kepatuhan berobat disajikan dalam data interval yang kemudian dikategorikan menjadi kepatuhan rendah (0-3) dan kepatuhan tinggi (4-6). 4.9.2 Analisa Bivariat Analisa bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan antara dua variabel. Pemilihan uji statistik yang akan digunakan untuk melakukan analisis didasarkan pada skala data, jumlah populasi/sampel dan jumlah variabel yang diteliti (Supriyanto, 2007). Dalam penelitian ini analisis bivariat digunakan untuk menguji kesetaraan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol dan menganalisis perbedaan kemandirian dan kepatuhan berobat pada klien schizophrenia. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan uji beda mean. Untuk menguji kesetaraan karakteristik responden, digunakan uji independent t-test untuk usia karena data tersebut berskala numerik. Dan untuk karakteristik gender, kesehatan umum (keluhan fisik), dan keyakinan pada pelayanan kesehatan akan digunakan rumus chi-square karena berskala kategorik (lihat tabel 4.3.1).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
81
Perbedaan kemandirian dan kepatuhan berobat klien sebelum dan sesudah intervensi dianalisa dengan menggunakan uji beda 2 mean pada kelompok yang sama yaitu menggunakan uji paired t-test. Tingkat kemaknaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 95% (alpha = 0,05). Untuk lebih mudah melihat cara analisis yang akan digunakan dapat dilihat pada tabel 4.3.2. dan tabel 4.3.3. Kemandirian dan kepatuhan berobat dianalisa hubungannya dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson (lihat tabel 4.3.4)
Tabel 4.3 Analisis Bivariat Variabel Penelitian 1. Analisis Uji Kesetaraan Karakteristik Responden No 1 2 3 4
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis Keluhan fisik Usia Gender Keyakinan
Kesehatan umum Usia Gender Keyakinan
Chi-square Independent t-test Chi-square Chi-square
2. Analisis Kemandirian Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi No Variabel Kemandirian
Variabel Kemandirian
Cara Analisis
1
Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian (data interval) Kemandirian responden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval) Perbedaan kemandirian responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian
Independent t-test
2
3
Kemandirian responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval) Kemandirian responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval) Perbedaan kemandirian responden kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
Independent t-test Paired ttest
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
82
3. Analisis Kepatuhan Berobat Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi No Variabel Kepatuhan berobat
Variabel Kepatuhan berobat
Cara Analisis
1
Kemandirian responden kelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)
Independent t-test
Kepatuhan berobat responden kelompok kontrol sesudah penelitian (data interval)
Independent t-test
Perbedaan kepatuhan berobat responden kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian
Paired t-test
2
3
Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval) Kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval) Perbedaan kepatuhan berobat responden kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO
4. Analisis hubungan kemandirian dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah intervensi No Kelompok intervensi
Kelompok kontrol
Cara Analisis
1
Kemandirian dan kepatuhan berobat klien kelompok kontrol sebelum penelitian (data interval)
One-sample t-test
Kemandirian dan kepatuhan berobat klien kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO (data interval)
4.9.3 Analisa Multivariat Analisa multivariat dilakukan untuk menganalisis pengaruh intervensi setelah dikontrol karakteristik responden. Analisa multivariat yang akan digunakan adalah ancova (analysis of covariance). Ancova digunakan untuk menguji pengaruh variabel covariance (skala interval/rasio) terhadap hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (Dharma, 2011). Ancova mirip dengan multiple regression, tetapi juga menampilkan anova. Ancova digunakan untuk membandingkan mean dari dua atau lebih kelompok (Polit & Beck, 2006).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 5 HASIL PENELITIAN
Pada bab ini disajikan hasil penelitian mengenai pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. Penelitian dilakukan mulai tanggal 24 Mei 2012 sampai 19 Juni 2012.
Penelitian ini melibatkan 18 orang klien
schizophrenia di kelompok intervensi dan 19 orang klien schizophrenia di kelompok kontrol. Data yang disajikan dalam bab ini meliputi data karakteristik klien, kemandirian dan kepatuhan berobat klien sebelum diberikan terapi, kemandirian dan kepatuhan berobat klien setelah diberikan terapi, perubahan kemandirian dan kepatuhan berobat klien setelah diberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 5.1. Karakteristik klien schizophrenia Berikut ini disajikan karakteristik klien berdasarkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Data numerik, yaitu usia disajikan dalam mean, median, standar deviasi, nilai minimal-maksimal, dan confidence interval untuk ratarata. Sedangkan untuk data kategorik, yaitu jenis kelamin, keluhan fisik, dan keyakinan terhadap tindakan medis disajikan dalam persentase. Dalam penyajian mengenai karakteristik responden ini, disajikan pula faktor predisposisi yang menyebabkan responden mengalami schizophrenia. Faktor predisposisi tersebut juga disajikan dalam persentase. 5.1.1. Karakteristik usia klien Karakteristik usia klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 5.1. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui
83
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Universitas Indonesia
84
bahwa rata-rata usia klien adalah 36.16 tahun (95% CI: 32.77; 39.56), dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun. Tabel 5.1 Analisis karakteristik klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Varia bel Usia
Kelompok
N= 37
Mean
Median
SD
MinMaks
95% CI
Intervensi
18
35.06
35.5
8.342
20-52
30.91;39.20
Kontrol
19
37.21
37
11.797
19-70
31.52;42.90
Total
37
36.16
36
10.18
19-70
32.77;39.56
Keterangan : usia dalam tahun
Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan antara usia klien pada kelompok intervensi dengan usia klien pada kelompok kontrol. Uji yang digunakan untuk melakukan uji kesetaraan pada variabel numerik adalah dengan menggunakan independent t-test. Hasil uji kesetaraan untuk variabel usia klien dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Kesetaraan karakteristik klien schizophrenia berdasarkan usia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Usia
Kelompok
N=37
Mean
SD
SE
Intervensi
18
35.06
8.342
1.966
Kontrol
19
37.21
11.797
2.706
p-value 0.527
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa tidak ada perbedaan usia klien schizophrenia dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p-value 0.527 (p-value > α=0.05). 5.1.2. Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan Karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel 5.3. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa jumlah klien laki-laki yang diikutkan dalam penelitian adalah sebanyak 22 orang (59.6%) dan klien perempuan sebanyak 15
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
85
orang (40.5%). Klien yang mengalami keluhan fisik yaitu berupa nyeri sebanyak 6 orang (16.2%) dan yang tidak mengalami nyeri sebanyak 31 orang (83.8%). Klien yang memiliki keyakinan negatif terhadap pelayanan kesehatan sebanyak 1 orang (2.7%) dan klien yang memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan sebanyak 36 orang (97.3%). Tabel 5.3 Distribusi karakteristik klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel
Jenis kelamin Keluhan fisik Keyakinan yankes
Kelompok intervensi (N=18) N %
Kelompok kontrol (N=19) N %
N
%
10
55.6
12
63.2
22
59.6
Perempuan
8
44.4
7
36.8
15
40.5
Tidak ada nyeri
12
66.7
19
100
31
83.8
Ada nyeri
6
33.3
0
0
6
16.2
Kategori Laki-laki
Jumlah
Negatif
1
5.6
0
0
1
2.7
Positif
17
94.4
19
100
36
97.3
Pada karakteristik klien yang berupa data kategorik, yaitu jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan, dilakukan uji kesetaraan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antara karakter klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Uji kesetaraan dilakukan dengan menggunakan rumus chi-square. Kesetaraan karakteristik jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
86
Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik klien berdasarkan jenis kelamin, keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel
Kelompok intervensi (N=18)
Kategori
N Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
%
Kelompok kontrol (N=19) N
%
OR
Jumlah N
%
10
55.6
12
63.2
22
59.6
8
44.4
7
36.8
15
40.5
x²
P-value
0.222
0.743
95% CI 1.371 0.368; 5.116
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa tidak ada perbedaan karakteristik jenis kelamin pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p-value 0.743 (p-value > α=0.05). Karakter keluhan fisik dan keyakinan terhadap pelayanan medis tidak dilakukan uji kesetaraan karena data yang didapatkan terlalu homogen. 5.1.3. Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini adalah gambaran karakteristik klien berdasarkan faktor predisposisi yang menyebabkan klien mengalami schizophrenia. Faktor tersebut yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial budaya. Tabel 5.5 Faktor predisposisi pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Kel. Intervensi Variabel
Kategori
N=18
%
Kel. Kontrol N=19
%
Total N=37
%
Tidak
11
61.1
8
42.1
19
51.4
Biologis
Ya
7
38.9
11
57.9
18
48.6
Tidak
1
5.6
0
0
1
2.7
Psikologis
Ya
17
94.4
19
100
36
97.3
Sosial Budaya
Tidak
0
0
5
26.3
5
13.5
Ya
18
100
14
73.7
32
86.5
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
87
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa 18 orang klien (51.4%) memiliki faktor predisposisi biologis, 36 dari 37 orang klien (97.3%) memiliki predisposisi psikologis, dan 32 dari 37 orang klien (86.5%) memiliki faktor predisposisi sosial budaya. 5.2. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini akan disajikan data hasil penelitian mengenai kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut, pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut dan hubungan karakteristik klien dengan kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut. 5.2.1. Kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini akan disajikan hasil analisa data mengenai kemandirian klien schizophrenia yaitu meliputi analisa kemandirian klien sebelum dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sebelum dan sesudah dilakukan terapi, analisa kemandirian klien sesudah dilakukan terapi dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kemandirian
klien
schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Tabel 5.6 Analisis kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut N= 37
Mean
Medi an
MinMaks
Variabel
Kelompok
SD
95% CI
Intervensi
18
29.83
31
11.577
7 -- 44
24.08; 35.59
Kemandirian
Kontrol
19
28.47
32
13.636
4 -- 45
21.90; 35.05
Total
37
29.14
32
12.519
4 -- 45
24.96; 33.31
Kemandirian : 0-16= rendah, 17-32=sedang, 33-48=tinggi
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
88
Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa rata-rata kemandirian keseluruhan klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi adalah kemandirian sedang, yaitu sebesar 29.14 (95% CI: 24.96; 33.31) dengan nilai terrendah 4 dan nilai tertinggi 45. Uji kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum diberikan terapi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan ratarata kemandirian klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil uji kesetaraan dapat dilihat pada tabel 5.7. Tabel 5.7 Analisis kesetaraan kemandirian klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Kemandirian
Kelompok
N
Mean
SD
SE
Intervensi
18
29.83
11.577
2.729
T
Kontrol
19
28.47
13.636
3.128
(-)0.326
p-value 0.746
Berdasarkan tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value 0.746 (> α=0.05). Dengan kata lain terdapat kesetaraan antara rata-rata nilai kemandirian klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 5.2.2. Perubahan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Analisa perbedaan nilai kemandirian klien antara sebelum dan sesudah dilakukan terapi dilakukan untuk mengetahui apakah perubahan yang terjadi pada data post-test cukup bermakna secara statistik. Hasil uji perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan terapi tersebut dapat dilihat pada tabel 5.8.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
89
Tabel 5.8 Analisis perbedaan kemandirian klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Kelompok
N= 37
Mean pretest
Intervensi
18
29.83
Kontrol
19
28.47
Meanpaired
SD
SE
95% CI
t
pvalue
31.61
(-)1.778
2.21 1
0.52 1
(-)2.877; (-)0.678
(-)3.411
0.003
28.84
(-)0.368
1.11 6
0.25 6
(-)0.906; 0.170
(-)1.439
0.167
Mean posttest
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa pada kelompok intervensi nilai rata-rata kemandirian klien schizophrenia meningkat dari 29.83 menjadi 31.61. Rata-rata selisih antara post-test dan pre-test adalah 1.778 (95% CI -2.877; -0.678). Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna setelah diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value 0.003 (<α=0.05). Diketahui pula nilai rata-rata kemandirian klien schizophrenia pada kelompok kontrol meningkat dari 28.47 menjadi 28.84. Rata-rata selisih nilai kemandirian pre dan posttest adalah sebesar -0.368 (95% CI -0.906; 0.170). Perubahan nilai kemandirian yang terjadi pada kelompok kontrol dapat disimpulkan tidak bermakna. Hal ini dibuktikan dari nilai p-value 0.107 (>α=0.05). Tabel 5.9 Analisa beda rata-rata selisih kemandirian klien sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel
Kelompok
N=37
Mean
SD
SE
Selisih kemandirian
Intervensi
18
1.78
2.211
0.521
Kontrol
19
0.37
1.116
0.256
t (-)2.468
p-value 0.019
Berdasarkan tabel 5.9 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata selisih kemandirian pada kelompok
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
90
intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value 0.019 (<α=0.05). 5.2.3. Kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Kemandirian klien sesudah dilakukan terapi dibandingkan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa posttest kemandirian dapat dilihat pada tabel 5.10. Tabel 5.10 Analisis kemandirian klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut N= 37
Mean
Medi an
MinMaks
Variabel
Kelompok
SD
95% CI
Kemandi rian
Intervensi
18
31.61
32.5
10.472
12--46
26.40; 36.82
Kontrol
19
28.84
34
13.853
4--45
22.16; 35.52
Total
37
30.19
33
12.236
4--46
26.11; 34.27
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa rata-rata nilai kemandirian keseluruhan klien schizophrenia setelah diberikan terapi adalah 30.19 (kemandirian sedang) (95% CI 26.11; 34.27) dengan nilai terrendah 4 dan nilai tertinggi 46. Uji independent t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan nilai kemandirian klien setelah diberikan terapi pada kelompok intervensi. Hasil analisa dapat dilihat pada tabel 5.11. Tabel 5.11 Perbedaan kemandirian klien schizophrenia setelah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Kemandirian
Kelompok
N=37
Mean
SD
SE
Intervensi
18
31.61
10.472
2.468
t
Kontrol
19
28.84
13.853
3.178
(-)0.688
p-value 0.499
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
91
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata nilai kemandirian setelah diberikan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai pvalue 0.499 (>α=0.05). 5.2.4. Hubungan karakteristik dengan kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah karakteristik usia dan keluhan fisik. Faktor-faktor ini merupakan confounding variables yang dapat mempengaruhi efek terapi. Berikut ini adalah analisa
faktor-faktor
tersebut
untuk
mengetahui
faktor
yang
mempengaruhi kemandirian secara bermakna, dan untuk mengetahui perubahan kemandirian yang disebabkan oleh terapi tanpa dipengaruhi confounding variables tersebut. Teknik analisa yang digunakan adalah dengan menggunakan analysis of covariance (Ancova), dengan hasil yang dapat dilihat pada 5.12 dan 5.13. Tabel 5.12 Analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut B
p-value
Usia
(-)0.007
0.817
Keluhan fisik
(-)0.178
0.844
Kelompok
(-)1.454
0.035
Karakteristik
Berdasarkan tabel 5.12 diketahui bahwa faktor usia dan keluhan fisik adalah faktor yang tidak bermakna dalam mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor terapi adalah faktor yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna dalam kemandirian klien schizophrenia. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value yang lebih kecil dari α (=0.05).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
92
Tabel 5.13 Perbedaan rata-rata perubahan kemandirian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol Kelompok
Sebelum dikontrol
Setelah dikontrol
Intervensi
1.78
1.801
Kontrol
0.37
0.347
Berdasarkan tabel 5.13 dapat dilihat perbedaan antara nilai rata-rata perubahan kemandirian klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, setelah dikontrol dari confounding variables. Dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata sebelum dan sesudah dikontrol oleh confounding variables. Pada kelompok intervensi rata-rata kemandirian klien schizophrenia mengalami peningkatan dari 1.78 menjadi 1.801, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.347. 5.3. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Garut Berikut ini akan disajikan analisa data mengenai variabel dependen kepatuhan berobat pada klien. Analisa yang disajikan meliputi analisa univariat, bivariat dan multivariat. 5.3.1. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Analisa mengenai kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan deskriptif stastistik. Hasil analisa tersebut dapat dilihat pada tabel 5.14.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
93
Tabel 5.14 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Kepatuha n berobat
Kelompo k
N=3 7
Mea n
Media n
Intervensi
18
1.72
2.00
Kontrol
19
2.26
2.00
Total
37
2.00
2.00
SD 1.52 6 2.44 6 2.04 1
MinMaks 0-4 0-6 0-6
95% CI 0.96; 2.48 1.08; 3.44 1.32; 2.68
Kepatuhan : 0-3=rendah, 4-6=tinggi
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian berada dalam rentang rendah, yaitu sebesar 2.00 (95% CI 1.32; 2.68) dengan nilai terrendah 0 dan nilai tertinggi 6. Tabel 5.15 Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Kepatuhan berobat
N=37
Mean
Intervensi
18
Kontrol
19
Kelompok
SD
SE
1.72
1.526
0.561
2.26
2.446
0.36
t 0.802
p-value 0.428
Analisis kesetaraan kepatuhan berobat klien schizophrenia antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan uji independent t-test. Dari tabel 5.15 diketahui bahwa terdapat kesetaraan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dilihat dari nilai p-value 0.428 (>α=0.05). 5.3.2. Perubahan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini adalah hasil analisa perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah diberikan terapi pada kelompok
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
94
intervensi. Uji yang dilakukan adalah dengan menggunakan paired ttest pada masing-masing kelompok. Hasil analisa tersebut dapat dilihat pada tabel 5.16. Tabel 5.16 Analisis perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Kelompok
N= 37
Mean pretest
Mean posttest
Meanpaired
Intervensi
18
1.72
2.89
(-)1.167
Kontrol
19
2.26
2.63
(-)0.368
SD
p-value
SE
95% CI
t
1.15
0.271
(-)1.739; (-)0.595
(-)4.302
0.000'
0.684
0.157
(-)0.698; (-)0.039
(-)2.348
0.031
Berdasarkan tabel 5.16 diketahui bahwa kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi meningkat dari 1.72 menjadi 2.89. Sedangkan rata-rata selisih antara nilai pre dan posttest adalah 1.167 (95% CI -1.739; 0.595). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat sebelum dan sesudah diberikan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Hal ini dibuktikan oleh nilai p-value 0.000 (<α=0.05). Pada kelompok kontrol terdapat pula perubahan nilai rata-rata kepatuhan berobat klien schizophrenia yaitu dari 2.26 menjadi 2.63. Nilai rata-rata selisih antara pre dan posttest sebesar -0.368 (95% CI: 0.698; -0.039). Dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah penelitian. Hal ini dilihat dari nilai pvalue 0.031 (<α=0.05).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
95
Tabel 5.17 Analisis beda rata-rata selisih kepatuhan berobat klien schizophrenia sebelum dan sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel
Kelompok
N=37
Mean
Selisih kepatuhan
Intervensi
18
1.17
SD 1.15
0.271
SE
Kontrol
19
0.37
0.684
0.157
p-value
t (-)2.582
0.014
Berdasarkan tabel 5.17 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara
rata-rata
selisih
kepatuhan
berobat
klien
schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value 0.014 (<α=0.05). 5.3.3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini adalah kepatuhan berobat klien sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil deskripsi statistik dapat dilihat pada tabel 5.18. Tabel 5.18 Analisis kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut N= 37
Median
SD
MinMaks
2.89
3.00
2.272
0-6
1.76; 4.02
19
2.63
3.00
2.692
0-6
1.33; 3.93
37
2.76
3.00
2.465
0-6
1.93; 3.58
Variabel
Kelompok
Kepatuha n berobat
Intervensi
18
Kontrol Total
Mean
95% CI
Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa rata-rata kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah dilakukan terapi adalah 2.76 (kepatuhan rendah) (95% CI 1.93; 3.58), dengan nilai terrendah 0 dan nilai tertinggi 6.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
96
Pada tabel 5.19 dapat dilihat perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah diberikan intervensi kepada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Tabel 5.19 Perbedaan kepatuhan berobat klien schizophrenia sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Variabel Kepatuhan
Kelompok
N=37
Mean
SD
SE
Intervensi
18
2.89
2.272
0.536
Kontrol
19
2.63
2.692
0.618
p-value
t (-)0.313
0.756
Berdasarkan tabel 5.19 diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat klien sesudah diberikan terapi baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. 5.3.4. Hubungan
karakteristik
dengan
kepatuhan
berobat
klien
schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Berikut ini adalah analisa multivariat untuk variabel dependen kepatuhan berobat. Analisa multivariat ini menggunakan uji ancova untuk mengetahui faktor-faktor yang secara bermakna mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia dan untuk mengetahui perubahan nilai kepatuhan berobat klien schizophrenia setelah faktorfaktor yang mempengaruhinya dikontrol. Sehingga dapat diketahui perubahan kepatuhan berobat klien yang hanya disebabkan oleh terapi yang diberikan pada penelitian, yaitu pemberian asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Hasil analisa ancova tersebut dapat dilihat pada tabel 5.20 dan tabel 5.21.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
97
Tabel 5.20 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Karakteristik
B
p-value
Usia
(-)0.07
0.655
Keyakinan
1.462
0.136
Jenis kelamin
(-)0.512
0.111
Kelompok
(-)0.904
0.006
Berdasarkan tabel 5.20 dapat diketahui bahwa faktor usia, keyakinan terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna. Faktor kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan mempengaruhi kepatuhan berobat secara bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p-value yang lebih kecil dari α (=0.05). Tabel 5.21 Perbedaan rata-rata kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Kelompok
Sebelum dikontrol
Setelah dikontrol
Intervensi
1.17
1.221
Kontrol
0.37
0.317
Berdasarkan tabel 5.21 dapat diketahui perbedaan rata-rata kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pengaruh confounding variables dihilangkan. Dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi terdapat peningkatan dari 1.17 menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.317.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
98
5.4. Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Pada tabel 5.22 dapat dilihat mengenai hubungan antara variabel dependen kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Uji yang digunakan adalah dengan menggunakan one sample t-test. Tabel 5.22 Analisis hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut
Variabel Kemandirian dan kepatuhan berobat
N=37 37
Pearson correlation
p-value
0.66
0.000
Berdasarkan tabel 5.22 diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat dan searah antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Ini berarti bahwa semakin tinggi kemandirian klien, maka semakin tinggi pula kepatuhan berobat. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi dan p-value 0.000 (<α =0.05).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 6 PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas mengenai hasil penelitian dan analisa dari pengolahan data yang didapatkan pada bab 5 sebelumnya. Kerangka pembahasan pada bab ini meliputi pembahasan mengenai pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kemandirian klien, faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia, pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia, keterbatasan penelitian dan implikasi hasil penelitian. 6.1. Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kemandirian klien Hasil analisa data menunjukkan bahwa kondisi kemandirian awal keseluruhan klien schizophrenia sebelum dilakukan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO adalah kemandirian sedang. Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Ini menunjukkan bahwa kemandirian klien terganggu karena kondisi schizophrenia. Masalah kemandirian klien schizophrenia perlu mendapat perhatian karena akan banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi schizophrenia dapat berdampak pada kondisi keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan intervensi agar tidak menimbulkan masalah baru.
99
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
100
Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan adalah
mengkhawatirkan
masa
depan,
berkurangnya
konsentrasi,
terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009). Dengan potensi yang dimiliki oleh klien, klien dapat meningkatkan kemandiriannya dengan cara dilatih untuk menjalankan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan terapi yang sesuai kepada klien dan keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan kemandirian pada kelompok yang mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO lebih meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan terapi. Terdapat perbedaan yang bermakna antara selisih kemandirian pada kelompok yang mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO dengan kelompok kontrol. Perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa pemberian terapi atau kunjungan secara rutin dan terstruktur dapat meningkatkan kemandirian klien. Pada penelitian ini dilakukan asuhan keperawatan generalis pada klien agar klien dapat dilatih langsung untuk mandiri dalam melakukan kegiatan seharihari. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien sesuai dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien, dalam penelitian dikelola 5 diagnosa yaitu gangguan sensori persepsi; halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Asuhan keperawatan ini dapat membantu meningkatkan kemandirian klien karena dalam isi asuhan keperawatan, klien diajarkan untuk mengatasi masalahnya dan dapat menjalani kegiatan sehari-hari secara wajar dan mandiri. Pada keluarga diberikan terapi psikoedukasi agar keluarga sebagai caregiver mampu
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
101
meningkatkan kemandirian klien sehari-hari seperti mensupport klien untuk mengatasi masalahnya sendiri seperti mengingatkan cara mengontrol halusinasi, dan mensupport klien untuk mandiri dalam aktivitas sehari-hari seperti mencuci bajunya sendiri, mengingatkan klien untuk merawat diri, dan sebagainya. Penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (KaplanMeier survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Dalam penelitian ini FPE diasumsikan dapat berpengaruh terhadap perawatan keluarga sebagai caregiver kepada klien dengan schizophrenia. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011) mengenai penerapan model CMHN Jakarta. Intervensi yang dilakukan berupa pemberian asuhan keperawatan pada klien dan health education kepada keluarga yang dilakukan selama 12 kali kunjungan. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah penelitian baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Terdapat peningkatan kemandirian sebesar 8,88 pada kelompok intervensi dan sebesar 3,96 pada kelompok kontrol. Penelitian tersebut dapat menjadi dasar perbandingan dengan penelitian ini yang melakukan kunjungan untuk kelompok intervensi sebanyak 3 kali dengan menambah peran kader sebagai Pengawas Minum Obat. Pada penelitian ini, setelah dilakukan terapi rata-rata nilai kemandirian klien masih berada pada rentang kemandirian sedang. Pada kelompok intervensi terjadi peningkatan sebesar 1,778 dan pada kelompok kontrol sebesar 0,368. Pada penelitian ini terjadi peningkatan 3,7% dalam 3 kali kunjungan,
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
102
sedangkan pada penelitian CMHN Jakarta terjadi peningkatan 17,1% dalam 12 kali kunjungan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel 6.1 Tabel 6.1 Perbandingan persentase peningkatan kemandirian pada penelitian CMHN Jakarta dengan penelitian Kersamanah Garut 3 kali 12 kali 1: 4 Intervensi
Askep, FPE, PMO
Askep, HE
Peningkatan
1,778
8,88
Persentase
3,7%
17,1%
1 : 4.9
Pada penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ratio perubahan kemandirian klien lebih tinggi pada penelitian CMHN Jakarta. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah tim yang terlibat dalam penelitian lebih banyak. Pada penelitian di Kersamanah Garut ini peneliti melakukan terapi sendiri. Sehingga keefektifan waktu kunjungan dan pelaksanaan terapi menjadi kurang efektif. Pada penelitian yang dilakukan pada CMHN Jakarta, rata-rata tingkat pendidikan responden adalah menengah, sedangkan pada penelitian di Kersamanah Garut adalah pada tingkat rendah, yaitu di bawah SMU. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi kognitif, psikomotor dan afektif klien dalam meningkatkan kemandiriannya. Stuart (2009) menyatakan bahwa klien dengan tingkat pendidikan rendah memiliki motivasi yang rendah untuk menjalani pengobatan. Klien dengan pendidikan yang rendah juga menjadi kurang peka terhadap informasi-informasi terkait pengobatannya. Stuart (2009) menyatakan pula bahwa klien dengan pendidikan yang rendah selanjutnya memiliki penghasilan yang rendah atau bahkan tidak bekerja. Pada penelitian di Kersamanah Garut, diketahui bahwa sebagian besar klien dan keluarganya tidak bekerja atau memiliki penghasilan yang rendah. Keberhasilan asuhan keperawatan sebagai bagian dari paket intervensi dalam meningkatkan kemandirian klien schizophrenia didukung pula oleh penelitian
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
103
sebelumnya. Penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Nangroe Aceh Darussalam, juga mengukur dampak pemberian asuhan keperawatan kepada klien terhadap kemandirian klien pasung. Dari penelitian ini diketahui bahwa setelah diberikan intervensi defisit perawatan diri terjadi peningkatan yang bermakna pada aspek kemandirian klien, yang terdiri dari aktivitas harian, aktivitas sosial, cara mengatasi masalah dan pengobatan klien (Sari, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi langsung kepada klien memberikan pengaruh yang bermakna pada kemandirian klien. Keberhasilan pemberian asuhan keperawatan pada klien dalam penelitian ini dapat dilihat dari satu contoh kasus, yaitu Tn.E yang perubahannya secara subjektif dirasakan sangat signifikan oleh keluarga. Tn. E memiliki HDR (Harga Diri Rendah), Isolasi sosial, dan DPD (Defisit Perawatan Diri). Klien sering merasa malu karena kondisi dirinya dan tidak mau ke luar rumah, lebih sering tidur, mandi seperlunya (atau jika diingatkan), klien juga malas mencuci baju sendiri. Setelah dilakukan intervensi, terjadi perubahan yaitu klien mau mencuci bajunya, mandi dan membersihkan rumah, dan mau datang ke puskesmas walaupun masih didampingi kakaknya serta berkunjung ke rumah temannya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikembangkan terapi spesialis selanjutnya untuk keluarga yaitu terapi suportif dan self help group. Hal ini karena mempertimbangkan banyaknya klien dengan gangguan jiwa, dan potensi keluarga yang memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan. Dengan terapi spesialis tersebut masalah yang muncul pada keluarga dengan klien schizophrenia dapat dikurangi dengan mengoptimalkan potensi keluarga sendiri. Peningkatan yang dicapai pada kelompok intervensi dalam penelitian ini adalah sebesar 3,7% dan nilai kemandirian sesudah intervensi adalah 31,61. Hal ini berarti peningkatan yang dihasilkan belum optimal pada klien, dilihat
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
104
dari nilai maksimum kemandirian yang belum tercapai, yaitu 48. Dan walaupun terjadi peningkatan setelah intervensi dalam penelitian ini, namun rata-rata kemandirian tersebut masih berada pada rentang kemandirian sedang. Hal ini dapat disebabkan karena diperlukan pembudayaan yang lebih lama untuk merubah perilaku dan diperlukan kekonsistenan pendampingan pada klien dan keluarga agar perilaku yang sudah baik dapat bertahan dan meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pavlov, bahwa perilaku merupakan hal yang dipelajari oleh makhluk hidup. Pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memberikan stimulus secara berulang-ulang sehingga menjadi pola perilaku (Varcarolis & Halter, 2010). Peningkatkan kemandirian klien dan nilai optimal dari kemandirian dapat dicapai dengan cara memberikan pendampingan secara teratur oleh kader, evaluasi secara berkala oleh pihak puskesmas atau spesialis jiwa sekaligus sebagai pendampingan, serta dilakukan konsultasi kepada spesialis jiwa untuk psikoterapi yang tepat pada masing-masing klien dan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dengan perhitungan statistik didapatkan bahwa diperlukan 30 kali kunjungan untuk mencapai nilai kemandirian yang optimal. Faktor usia dan keluhan fisik adalah faktor yang tidak bermakna dalam mempengaruhi kemandirian klien schizophrenia pada penelitian ini. Faktor terapi adalah faktor yang bermakna dalam mempengaruhi kemandirian. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan menyebabkan perubahan bermakna dalam kemandirian klien schizophrenia. Pada kelompok intervensi rata-rata kemandirian klien schizophrenia mengalami peningkatan dari 1.78 menjadi 1.801, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.347. 6.2 Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran PMO pada kepatuhan berobat klien Kondisi awal kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah kepatuhan berobat rendah.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
105
Kepatuhan berobat yang rendah dapat terjadi pada penyakit-penyakit kronis yang memerlukan waktu jangka panjang untuk pengobatan. Rata-rata kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian berada dalam rentang kepatuhan rendah. Klien dengan schizophrenia biasanya menjalani pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Seperti dinyatakan dalam Stuart (2009) bahwa pada beberapa klien dengan masalah kesehatan jiwa, program pengobatan dapat berlangsung selama beberapa bulan atau bahkan seumur hidup. Kondisi ini dapat menyebabkan muncul perasaan bosan, lelah dan sebagainya sehingga dapat menurunkan kepatuhan berobat klien schizophrenia. Penelitian Wardhani (2009) menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan dapat disebabkan oleh berbagai aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan obat, aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga, dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Perilaku ketidakpatuhan pasien yang paling banyak dilakukan adalah perilaku menurunkan dosis obat. Penyebab perilaku ini adalah pandangan pasien bahwa kerugian minum obat lebih besar dibandingkan dengan manfaat minum obat. Analisa data penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Setelah dilakukan terapi terjadi peningkatan rata-rata kepatuhan berobat sebesar 1.167 pada kelompok intervensi dan sebesar 0,368 pada kelompok kontrol. Peningkatan tersebut dapat terjadi karena terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga serta peran PMO oleh kader. Seperti dinyatakan dalam penelitian Wardhani (2009) bahwa kepatuhan berobat dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu diantaranya adalah aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Paket intervensi yang diberikan dalam penelitian pada klien schizophrenia di Kersamanah Garut ini memberikan intervensi pada aspek-aspek yang dapat
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
106
mempengaruhi kepatuhan berobat tersebut sehingga kepatuhan berobat dapat meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah asuhan keperawatan kepada klien schizophrenia sesuai SAK Jiwa, FPE kepada keluarga sebagai caregiver dan peran PMO oleh kader untuk menjamin keteraturan berobat klien. Intervensi yang diberikan kepada klien berupa asuhan keperawatan sesuai SAK dapat membantu meningkatkan kepatuhan berobat klien karena dalam salah satu strategi pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, terdapat satu strategi pelaksanaan mengenai pengobatan klien. Dalam intervensi tersebut klien diberikan penjelasan mengenai obat-obatan yang diminum klien, fungsi obat-obatan tersebut, berapa lama klien harus berobat dan apa alasannya, klien juga diajarkan mengenai pengobatan yang benar, jadwal kontrol dan akibat yang ditimbulkan jika klien tidak teratur berobat. Penjelasan-penjelasan ini dapat meningkatkan kepatuhan berobat klien karena pengetahuan yang baik menjadi dasar untuk perilaku yang sesuai. Sesuai dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Bloom (dalam Notoatmodjo, 2002), bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi
oleh
pengetahuannya.
Berbagai
penelitian
membuktikan hubungan searah antara pengetahuan dan perilaku seseorang, dengan arti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka dapat diasumsikan semakin baik pula perilakunya. Pada penelitian ini dalam paket terapi diberikan FPE kepada keluarga. Pada sesi 2 diberikan pemberian informasi mengenai cara perawatan klien berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien, termasuk mengenai pengobatan klien. Diasumsikan bahwa keluarga dapat memberikan kontribusi secara tidak langsung kepada klien untuk meningkatkan kepatuhan berobat klien. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wardhani (2009) bahwa
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
107
keluarga juga berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung sebagai penyebab ketidakpatuhan. Keberhasilan FPE dalam berbagai variabel yang diukur pada keluarga telah banyak diteliti. Salah satu penelitian yang dilakukan mengenai FPE adalah penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban yang dirasakan keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Nangroe Aceh Darussalam, yang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan bermakna pada beban keluarga dan terjadi peningkatan yang bermakna pada kemampuan keluarga merawat klien pasung. Dalam penelitian ini, aspek perawatan pada klien diasumsikan termasuk ke dalam kemampuan keluarga mengatur pengobatan klien. karena itu pemberian FPE kepada keluarga secara tidak langsung menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat pada klien. Rata-rata nilai kepatuhan berobat setelah dilakukan terapi adalah 2,76 yang berarti masih berada pada rentang kepatuhan rendah. Peningkatan yang hanya sebesar 1,9% dalam penelitian ini dapat disebabkan karena perubahan perilaku klien memerlukan pendampingan agar membudaya. Dan untuk mencapai nilai optimal yaitu 6 diperlukan intervensi lebih lanjut seperti keberlanjutan peran PMO oleh kader dengan rentang kunjungan yang lebih sering, karena pada saat penelitian kader melakukan kunjungan 1 kali dalam seminggu menyesuaikan dengan kunjungan peneliti. Selain itu dapat dilakukan kunjungan berkala dari pihak puskesmas, serta konsultasi pada spesialis jiwa secara berkala untuk psikoterapi yang tepat yang dapat mendukung meningkatnya kepatuhan berobat klien. Aspek pengobatan yang dapat mempengaruhi pengobatan diantaranya adalah durasi pengobatan yang cenderung lama pada klien schizophrenia. Hal diungkapkan oleh Philip Ley, seorang peneliti yang melakukan penelitian mengenai kepatuhan selama lebih dari 30 tahun, menyatakan bahwa semakin sederhana jadwal pengobatan, dan semakin singkat durasinya, maka
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
108
kepatuhan akan semakin tinggi (Ley, 1997 dalam Brannon & Feist, 2010). Pada klien dengan schizophrenia kejadian drop out berobat juga seringkali menjadi masalah karena jangka waktu pengobatan yang lama. Klien seringkali merasa bosan, atau merasa sudah sembuh. Karena itu peran PMO untuk klien dengan schizophrenia juga diperlukan untuk mengurangi angka drop out berobat. Karena lamanya durasi pengobatan klien schizophrenia, maka klien perlu mendapat dukungan agar teratur berobat. Dukungan dapat diberikan oleh keluarga sebagai unit terdekat dengan klien, dan keluarga juga dapat menjalankan peran Pengawas Minum Obat. Ketiga bagian dari paket terapi berkaitan dengan pengobatan klien. Dalam asuhan keperawatan generalis yang diberikan kepada klien sesuai dengan diagnosa keperawatan terdapat strategi pelaksanaan untuk membahas mengenai pengobatan klien, sehingga dapat membantu meningkatkan kesadaran klien akan pentingnya berobat. Pada FPE kepada keluarga sesi 2, keluarga diberikan pengetahuan mengenai kondisi penyakit klien termasuk pengobatannya dan keluarga dilatih untuk membantu klien teratur berobat. Dan peran PMO yang merupakan hal yang baru yang memang ditujukan spesifik untuk masalah pengobatan klien. Peran Pengawas Minum Obat adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk meyakinkan keteraturan klien meminum obat. Peran PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga atau kader atau pemberi layanan kesehatan (Nizar, 2010). Pengembangan peran PMO telah banyak dikenal pada penyakit tuberculosis karena kepatuhan minum obat pada penyakit ini dianggap rendah, sementara drop out berobat dapat memperburuk kondisi pasien dengan tuberculosis. Peran PMO yang dijalankan dalam penelitian ini adalah kader memotivasi klien untuk teratur berobat, memberikan penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi pengobatan klien dan menganjurkan klien untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas (Nazir, 2010). Dengan dikunjungi oleh kader klien dan keluarga mendapatkan informasi bahwa pengobatan mudah dan murah didapat. Selain itu dengan mendapatkan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
109
penjelasan dari kader, klien dan keluarga dapat lebih memahami manfaat dari pengobatan, sehingga termotivasi untuk teratur menjalani pengobatan. Dalam penelitian ini kader juga memotivasi klien untuk berobat dengan cara menceritakan keberhasilan pengobatan pada klien lain. Faktor usia, keyakinan terhadap pelayanan medis dan jenis kelamin tidak mempengaruhi kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna. Faktor kelompok menjadi faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan berobat klien. Ini dapat berarti bahwa terapi yang diberikan mempengaruhi kepatuhan berobat secara bermakna. Setelah dikontrol oleh faktor confounding, pada kelompok intervensi terdapat peningkatan dari 1.17 menjadi 1.221, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 0.37 menjadi 0.317. Keyakinan klien terhadap pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kepatuhan berobat klien. Hal ini dapat disebabkan karena homogenitas klien dan keluarga. Klien dan keluarga akan lebih cenderung memilih cara pengobatan yang diyakini dapat memberikan perubahan pada kondisi klien. Sehingga kepatuhan berobat klien akan dipengaruhi oleh keyakinan yang selanjutnya mempengaruhi pemilihan klien terhadap alternatif pengobatan. Pada penelitian ini hanya satu orang yang memiliki keyakinan negatif pada pengobatan medis. Hal ini dapat disebabkan oleh program kesehatan jiwa yang cukup menjadi sorotan di Kecamatan Kersamanah, sehingga klien dan keluarga memiliki harapan yang besar terhadap program program kesehatan jiwa yang dikembangkan di puskesmas. Dan dapat disebabkan oleh kedekatan dengan petugas kesehatan sehingga sudah terbina kepercayaan yang baik. 6.3 Hubungan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian dan kepatuhan berobat klien
schizophrenia
di
Kecamatan
Kersamanah
Kabupaten
Garut
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
110
berhubungan secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Ini berarti bahwa semakin tinggi kemandirian klien, maka semakin tinggi pula kepatuhan berobat. Analisa data menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Dalam kuesioner kemandirian 4 item berkaitan dengan pengobatan klien. Mandiri dalam berobat menjadi salah satu aspek yang ditanyakan dalam pengukuran kemandirian. Koefisien korelasi positif menunjukkan hubungan searah antara kemandirian dengan kepatuhan berobat klien schizophrenia. Artinya semakin tinggi kemandirian maka kepatuhan berobat pun semakin meningkat. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jika kemandirian ditingkatkan, maka kepatuhan berobat pun akan ikut meningkat. Maka usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan berobat dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan kemandirian klien. Item dalam pengukuran kepatuhan berobat adalah tidak pernah lupa jadwal minum obat dan tidak pernah terlewat jadwal minum obat. Kemandirian yang diukur dalam penelitian ini menunjukkan kemampuan klien melakukan aktivitasnya sehari-hari tanpa bantuan dari orang lain. Aktivitas sehari-hari tersebut termasuk di dalamnya adalah mengenai pengobatan klien. Klien yang sudah mandiri dan teratur dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari dapat diasumsikan bahwa klien tersebut juga teratur dan mandiri dalam pengobatan. Hal ini dapat menjadi alasan yang mendasari hubungan yang erat antara kemandirian dengan kepatuhan berobat. 6.4 Faktor Predisposisi Klien Schizophrenia Dalam penelitian ini juga diteliti mengenai faktor predisposisi yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa. Faktor predisposisi psikologis dimiliki oleh seluruh klien kecuali 1 orang, yang tidak menyatakan ada faktor
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
111
psikologis sebelum tanda dan gejala schizophrenianya muncul. Faktor psikologis yang menyebabkan schizophrenia pada klien dalam penelitian ini antara lain karena kegagalan dalam rumah tangga, kegagalan dalam usaha, pengalaman tarumatis, kehilangan, dan sebagainya. 86,5% memiliki predisposisi budaya seperti kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Dan 51.4% terkaji memiliki predisposisi biologis seperti faktor keturunan, trauma kepala, terpapar narkoba, dan sebagainya. Menurut Model Stress Adaptasi Stuart (Stuart, 2009), faktor predisposisi dapat dikelompokkan menjadi faktor biologis, psikologis dan faktor sosial budaya. Pendapat lain menyatakan bahwa schizophrenia dapat merupakan hasil dari kombinasi beberapa penyebab diantaranya faktor biologis, faktor psikologis, dan faktor lingkungan (Townsend, 2009). Maka faktor predisposisi dapat merupakan kombinasi dari beberapa faktor, misalnya salah satu klien mengalami schizophrenia setelah ditinggal meninggal oleh suaminya dalam kondisi hamil dan tidak bekerja, sehingga klien merasa terbebani secara psikologis dan sosial budaya. 6.5 Keterbatasan penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu waktu penelitian. Waktu penelitian yang dirancang sebelumnya adalah selama 8 minggu dengan 5 kali kunjungan untuk terapi. Namun karena keterbatasan waktu penelitian maka penelitian hanya dilakukan selama 5 minggu dengan 3 kali kunjungan untuk terapi. Kunjungan dilakukan dengan melakukan beberapa SP atau sesi dalam satu kali pertemuan. Keterbatasan penelitian yang lain adalah isi dari kuesioner kepatuhan berobat yaitu MARS lebih sesuai jika ditujukan untuk klien yang sedang menjalani pengobatan, sedangkan pada penelitian ini klien yang tidak berobat pun diikutsertakan dengan skor kepatuhan berobat nol (0).
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
112
6.6 Implikasi hasil penelitian 1. Bagi pelayanan keperawatan Penelitian ini memberikan pengalaman terutama kepada kader untuk menjalankan peran PMO. Pengalaman dalam melakukan kunjungan dan mengikuti asuhan keperawatan yang diberikan oleh peneliti, dapat memberikan pengetahuan baru kepada kader dalam menghadapi klien dan keluarga dengan schizophrenia. Penelitian ini juga dapat menjadi dasar pengembangan program Desa Siaga Sehat Jiwa yang sedang direncanakan di Kecamatan Kersamanah dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. 2. Bagi keilmuan Penelitian ini memberikan pengembangan ilmu baru mengenai intervensi kepada klien schizophrenia terutama mengenai peran Pengawas Minum Obat yang sebelumnya dikembangkan pada klien tuberculosis. Penelitian ini memberikan gambaran bagi peneliti, kader dan pihak puskesmas untuk memberikan intervensi yang komprehensif pada klien dan keluarga dengan melibatkan peran spesialis jiwa, peran kader, dan peran petugas kesehatan dari puskesmas. 3. Bagi penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk pelaksanaan penelitian mengenai klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Beberapa usulan penelitian yang disarankan oleh peneliti adalah sebagai berikut. -
Analisis faktor predisposisi schizophrenia pada klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut.
-
Pengaruh pendidikan kesehatan mengenai cara merawat klien di rumah terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
-
Pengaruh terapi Self Help Group terhadap kemampuan keluarga merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 7.1 Kesimpulan 1. Karakteristik usia klien adalah rata-rata 36.16 tahun, lebih dari setengah klien berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar tidak memiliki keluhan nyeri dan hampir seluruhnya memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan. 2. Kemandirian
klien
schizophrenia
di
Kersamanah
Garut
adalah
kemandirian sedang. 3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah kepatuhan rendah. 4. Pemberian asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader meningkatkan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna. 5. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia yang tidak mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader mengalami peningkatan yang tidak bermakna. 6. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemandirian akan menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat, dan peningkatan kepatuhan berobat
akan
meningkatkan
kemandirian
klien
schizophrenia
di
Kersamanah Garut. 7. Tidak ada karakteristik klien schizophrenia yang berkontribusi secara bermakna
terhadap
kemandirian
dan
kepatuhan
berobat
klien
schizophrenia di Kersamanah Garut.
113
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
114
7.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Pelayanan keperawatan Penanggungjawab program kesehatan jiwa Puskesmas Kersamanah dapat mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa dengan sasaran klien, keluarga dan kader. Kemandirian klien dapat dioptimalkan dengan keberlanjutan kunjungan dari petugas puskesmas maupun kader. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien dapat ditingkatkan dengan pemberian asuhan keperawatan generalis pada klien, yaitu pemberian asuhan keperawatan sesuai diagnosa keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan pedoman SAK. Petugas kesehatan di Puskesmas Kersamanah dapat melatih kader untuk melakukan asuhan keperawatan generalis, melakukan pendampingan dan supervisi. Intervensi kepada keluarga, dapat dilakukan dengan melanjutkan pemberian FPE oleh perawat spesialis jiwa. Rancangan akhir yang dapat ditargetkan pada keluarga adalah membentuk kelompok-kelompok pendukung
sesama
keluarga
yang
memiliki
anggota
keluarga
schizophrenia. Terapi spesialis yang dapat dilakukan selanjutnya di Kersamanah adalah terapi supportif dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan kelompok-kelompok self help group. Pemberdayaan kader yang dapat diteruskan adalah dengan menjalankan peran PMO. Kader dapat melakukan kunjungan rutin kepada klien dan keluarga untuk memantau keteraturan berobat klien. Semua kegiatan dapat didokumentasikan di dalam status klien yang diarsipkan di puskesmas. Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
didapatkan hasil
bahwa
untuk
mendapatkan kemandirian yang optimal perlu dilakukan kunjungan rutin dan evaluasi berkelanjutan oleh tenaga kesehatan. Secara statistik, pada kelompok intervensi dapat ditingkatkan kemandirian dengan melakukan
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
115
kunjungan sebanyak 30 kali. Sedangkan untuk kepatuhan berobat secara statistik perlu dilakukan kunjungan sebanyak 11 kali untuk mendapatkan rata-rata kepatuhan yang optimal. 2. Ilmu pengetahuan Penelitian ini dapat dijadikan model untuk mengembangkan peran PMO kader di masyarakat pada klien schizophrenia. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar bagi pengembangan paket terapi untuk klien dan keluarga dengan klien schizophrenia. SAK, modul, buku kerja, buku evaluasi, buku pedoman pembekalan kader dan buku pegangan kader yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditelaah lebih lanjut dan digunakan untuk intervensi peran PMO di Kersamanah Garut. Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian lain terkait intervensi dengan kunjungan ke rumah klien, untuk mengetahui pola kunjungan yang lebih efektif. Penelitian ini juga dapat menjadi gambaran pola kunjungan antara petugas puskesmas, perawat spesialis dan kader. 3. Penelitian keperawatan Penelitian lain perlu dilakukan untuk terus mengembangkan intervensi kepada klien schizophrenia di masyarakat. Penelitian yang perlu dilakukan antara
lain
untuk mengetahui faktor
yang paling berkontribusi
menyebabkan schizophrenia di Kecamatan Kersamanah, mengetahui intervensi yang paling optimal untuk mengatasi masalah yang dapat muncul pada klien dengan schizophrenia seperti kemandirian dan kepatuhan berobat. Penelitian juga perlu dilakukan untuk mengembangkan paket intervensi yang efektif, komprehensif dengan memberdayakan berbagai pihak seperti petugas kesehatan dari puskesmas, tenaga keperawatan generalis maupun spesialis, kader dan keluarga klien schizophrenia. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan kelompok intervensi yang diberikan intervensi asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
116
PMO, dengan kelompok intervensi yang hanya diberikan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga saja. Buku pedoman dan buku pegangan kader mengenai PMO perlu ditinjau ulang dan dilakukan penelitian untuk mengujicobakan keefektifan rancangan peran PMO tersebut. Penelitian selanjutnya dapat pula meneliti mengenai keefektifan jumlah kunjungan ke rumah klien schizophrenia, mengetahui hasil evaluasi kemandirian dengan rentang waktu pembudayaan terapi lebih lama dan sebagainya. Frekuensi kunjungan dapat menggunakan dasar penelitian ini dan penelitian CMHN Jakarta sebelumnya. Kepatuhan berobat klien perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan instrumen yang lebih representatif dan diujicobakan pola intervensi yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan berobat klien dengan keterlibatan kader kesehatan. Frekuensi kunjungan dapat diujicobakan sesuai saran untuk pelayanan keperawatan dan waktu pembudayaan terapi kepada klien dapat dipertimbangkan dari hasil penelitian ini.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
117
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangkes. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Depkes. Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7thed). USA: Wadsworth Cengage Learning. Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia. Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media. Diatri.(2011). www.depkes.go.id. Februari, 24. 2012. Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6thed). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Depok: FKM UI. Keliat, B.A. (2007). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta : EGC. __________. (2010). Manajemen keperawatan jiwa komunitas desa siaga : CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC. Keliat, B.A., Helena, N. & Riasmini, N.M. (2011). Efektifitas penerapan model community mental health nursing terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. Hibah riset unggulan UI. Keliat & Walter. (2011). Buku saku terapi keperawatan. Depok: FIK UI. NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC. Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberculosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan (ed.2). Jakarta: Salemba Medika. Polit, D.F., & Beck, C.T. (2006). Nursing research: principles and methods (7thed). Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
118
Shimazu, et.al. (2008). Family psychoeducation for major depression: randomised controlled trial. The British Journal of Psychology. Februari 26, 2012. http://bjp.rcpsych.org/content/198/5/385.abstract. Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9thed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. Sugiyono.(2007). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta. Taniredja, T., & Mustafidah, H. (2011).Penelitian kuantitatif: sebuah pengantar. Bandung: Alfabeta. Tim Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011). Draft modul terapi. Depok: FIK UI. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6thed). Philadelphia: F.A. Davis Company. Varcarolis, Elizabeth M & Halter, Margareth J. (2010). Foundation of psychiatric mental health nursing : a clinical approach (6th ed). New York: Elsevier Inc. Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC. World
Health Organization. Februari 24, mental_health/management/schizophrenia/en/.
2012.
www.who.int/
www.depkes.go.id, Februari 24, 2012. www.medifocus.com. (2011). Februari 2012. www.nami.org. Februari 26, 2012. www.ncbi.nlm.nih.gov. Februari 24, 2012. www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.
Universitas Indonesia
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 1
JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut’
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kegiatan
Waktu Penelitian (2012) Februari Maret April Mei Juni Juli I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Penyusunan proposal Ujian proposal Revisi proposal Expert validity, uji kompetensi, ethical clearance Surat izin penelitian Pengumpulan data Analisa data Penyusunan laporan Sidang hasil Perbaikan (revisi) Sidang tesis Revisi tesis Pengumpulan tesis
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 2
PENJELASAN PENELITIAN
Judul penelitian
: Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut
Peneliti
: Rahmi Imelisa
Telepon
: 08996036184
Saya, Rahmi Imelisa, adalah mahasiswa Program Magister Keperawatan Jiwa Universitas
Indonesia.
memberikan
asuhan
Saya
bermaksud
keperawatan
kepada
mengadakan klien
penelitian
dengan
dengan
schizophrenia,
memberikan terapi spesialis FPE (family psychoeducation) kepada keluarga dan memberdayakan peran kader sebagai PMO (Pengawas Minum Obat). Hasil akhir yang akan diteliti adalah dampak terapi-terapi tersebut pada kemandirian dan kepatuhan berobat klien. Responden akan dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama akan mendapat asuhan keperawatan pada klien dan FPE pada keluarga. Kelompok kedua akan mendapat asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader. Dan kelompok ketiga tidak mendapatkan intervensi apa-apa selama penelitian, namun di akhir penelitian, keluarga akan menerima panduan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah. Pada penelitian ini peneliti akan menjunjung hak-hak responden dengan cara : (1) merahasiakan identitas responden, (2) memberikan kebebasan kepada klien untuk berhenti menjadi responden selama penelitian berlangsung. Demikian penjelasan penelitian ini saya buat. Terima kasih.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 3
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Setelah membaca penjelasan penelitian dan mendapatkan penjelasan langsung dari peneliti, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
:
Alamat
:
Menyatakan setuju untuk dijadikan responden dalam penelitian yang berjudul: ‘Pengaruh asuhan keperawatan pada klien, keluarga dan peran Pengawas Minum Obat terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut’. Saya telah memahami segala konsekuensi yang saya dapatkan selama menjadi responden dan saya menandatangani lembar persetujuan ini dengan kemauan sendiri.
Garut, …………………2012
(…………………………….)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 4
KUESIONER 1 Karakteristik Responden Petunjuk pengisian : Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan pada keluarga klien. Jawablah pertanyaan di bawah ini, sesuai dengan kondisi anggota keluarga anda yang mengalami schizophrenia dengan sebenar benarnya. 1. Berapakah usia anggota keluarga anda tersebut saat ini? ……………… tahun 2. Jenis kelamin anggota keluarga tersebut? Laki-laki Perempuan 3. Apakah saat ini anggota keluarga anda yang menderita schizophrenia sedang memiliki keluhan fisik yang menyebabkan nyeri? Tidak ada nyeri Ada nyeri 4. Bagaimana keyakinan anggota keluarga anda tersebut terhadap pengobatan dan tindakan medis? Positif Negatif 5. Faktor biologis No
Faktor biologis
1
Latar belakang genetik (keturunan)
2
Riwayat status nutrisi kurang baik
3
Memiliki sensitivitas biologis untuk gangguan jiwa
4
Kondisi kesehatan secara umum kurang baik
5
Adanya paparan terhadap racun
Faktor biologis lain : …………….. (narasikan)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Jawaban Ya Tidak
6. Faktor psikologis No
Faktor psikologis
1
Adanya gangguan inteligensia
2
Adanya gangguan keterampilan verbal
3
Adanya gangguan kepribadian
4
Adanya pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu
5
Motivasi diri kurang baik
6
Konsep diri negatif
Jawaban Ya Tidak
Faktor psikologis lain : ……. (narasikan) 7. Faktor sosial budaya Faktor sosial budaya
No 1
Pendidikan rendah
2
Penghasilan rendah
3
Pengalaman sosial tidak menyenangkan
Faktor sosial budaya lain : …………….. (narasikan)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Jawaban Ya Tidak
Lampiran 5
KUESIONER 2: KEMANDIRIAN KLIEN Petunjuk Pengisian: 1. Kuesioner ini diisi dengan cara wawancara terhadap pasien atau keluarga 2. Berikan tanda cek (√ ) sesuai kondisi terkini pasien pada kolom yang disediakan. 3. Jika jawaban adalah: Tidak Pernah dilakukan pasien, isilah kolom T Dilakukan pasien dengan bantuan, isilah kolom B Dilakukan sendiri (mandiri) oleh pasien, isilah kolom M 4. Isilah pernyataan pada kolom dibawah dengan sebenar – benarnya.
NO
KEGIATAN-KEGIATAN YANG DILAKUKAN PASIEN
1.
Mandi dengan benar dan bersih
2.
Buang air besar/buang air kecil dengan bersih.
3.
Mengganti pakaian dengan pakaian bersih
4.
Membereskan pakaian kotor
5.
Merapikan tempat tidur
6.
Mengambil makanan dengan rapi
7.
Mempersiapkan makanan.
8.
Membersihkan ruangan
9.
Ngobrol dengan teman
10.
Ngobrol dengan keluarga
11.
Mendengarkan saran dari keluarga
12.
Bepergian dengan kendaraan sendiri
13.
Bepergian dengan kendaraan umum
14.
Mengikuti kegiatan keluarga
15.
Mengikuti kegiatan masyarakat
16.
Melakukan kegiatan sehari-hari secara teratur.
17.
Melakukan kegiatan untuk mengatasi gejala yang dialami
18.
Mengikuti terapi aktivitas kelompok
19.
Menceritakan masalah yang dialami kepada petugas kesehatan
20.
Menceritakan masalah yang dialami kepada keluarga.
21.
Menceritakan masalah yang dialami kepada teman dekat.
22.
Kontrol ke Puskesmas atau Rumah Sakit secara teratur
23.
Minum obat sesuai jenisnya
24.
Minum obat sesuai dosis (takaran yang seharusnya)
25.
Minum obat tepat waktu
26.
Minum obat sesuai cara
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Kemampuan M
B
T
Lampiran 6
KUESIONER 3 Kepatuhan Berobat Petunjuk pengisian : -
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ditujukan kepada klien dan keluarga klien (anggota keluarga yang mengalami schizophrenia).
-
Berikan tanda checklist ( V ) pada kolom di sebelah kanan pernyataan yang sesuai dengan jawaban anda!
No Pernyataan 1
Apakah anda pernah lupa meminum obat?
2
Apakah anda teledor dalam waktu meminum obat?
3 4
Saat anda merasa lebih baik, apakah anda terkadang tidak meminum obat anda? Sewaktu-waktu, saat anda merasa lebih buruk karena meminum obat, apakah anda berhenti meminum obat?
5
‘Saya meminum obat hanya jika saya sakit’
6
Bagi saya tidak wajar jika pikiran dan tubuh saya diatur oleh obat
7
Pikiran saya lebih jelas karena meminum obat
8
Dengan terus meminum obat, saya dapat mencegah penyakit
9
Saya merasa aneh, seperti zombie, karena meminum obat
10
Pengobatan membuat saya merasa lelah dan loyo
Sumber : Medication Adherence Rating Scale, www.virtualmedicalcentre.com
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Ya Tidak
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 11
MODUL PANDUAN FAMILY PSYCHOEDUCATION THERAPY (TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA) PADA KLIEN SCHIZOPHRENIA
Oleh : Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga modul panduan Family Psychoeducation untuk keluarga klien dengan schizophrenia ini dapat diselesaikan. Modul ini adalah panduan untuk melaksanakan terapi spesialis Family Psychoeducation di lingkungan masyarakat atau di rumah sakit. Terapi ini dimaksudkan agar keluarga memiliki pengetahuan yang adekuat mengenai masalah yang dialami klien, mampu merawat klien dan mampu mengatasi masalah yang muncul di dalam diri dan keluarga karena merawat klien. Karena itu modul ini berisi langkah-langkah dalam melaksanakan Family Psychoeducation (FPE) pada keluarga klien dengan schizophrenia di masyarakat. Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., yang telah mengarahkan pembuatan modul ini dan kepada pihak-pihak lain yang telah turut membantu tersusunnya modul ini. Penyusun sangat mengharapkan masukan yang membangun untuk mengembangkan modul ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap modul ini dapat digunakan secara luas untuk keluarga klien dengan schizophrenia.
Depok,
April 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR ISI Halaman sampul
i
Kata pengantar
ii
Daftar isi
iii
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang
1
1.2 Tujuan
3
1.3 Manfaat
3
Bab II Pedoman pelaksanaan psikoedukasi keluarga pada keluarga dengan anggota keluarga schizophrenia 2.1 Sesi 1: Pengkajian masalah keluarga
4
2.2 Sesi 2: Cara perawatan klien gangguan jiwa
8
2.3 Sesi 3: Manajemen stress keluarga
11
2.4 Sesi 4: Manajemen beban keluarga
14
2.5 Sesi 5: Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga
18
Bab III Penutup
22
Daftar pustaka
23
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NAMI (National Alliance on Mental Illness) menyatakan bahwa gejala negatif dari schizophrenia termasuk terjadinya afek datar dan menurunnya ekspresi emosi klien, dan ketidakmampuan memulai atau mengakhiri aktivitas, dan kurangnya rasa nyaman atau minat dalam hidup (NAMI, 2012). Pernyataan ini menjadi dasar untuk memahami bahwa klien schizophrenia akan mengalami gangguan dalam aktivitasnya. Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Dari sini dapat dilihat bahwa schizophrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Bagi klien sebagai individu, schizophrenia menyebabkan gangguan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari atau berdampak kepada kemandirian klien. Hal ini menyebabkan klien banyak tergantung kepada orang lain, terutama keluarga. Kemandirian sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan klien menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini selaras ciri sehat jiwa pertama, yaitu memiliki otonomi atau kemandirian. Di mana seorang individu dapat menentukan apa yang akan dilakukannya dan mampu melakukan banyak hal secara mandiri. Orang dengan schizophrenia membutuhkan dukungan dan pengetahuan mengenai kebersihan diri, berpakaian, berbelanja, memasak, dan membereskan rumah, mengatur keuangan, membangun hubungan sosial dan memanaje waktu. Bekerja dapat akan mengalami banyak kesulitan dan banyak orang dengan schizophrenia yang tidak bekerja walaupun mereka menginginkannya. Saat mereka bekerja, mereka akan sangat membutuhkan dukungan terkait manajemen pengobatan dan pekerjaan dan kejelasan tentang status kesehatan mereka (Chang & Johnson, 2008). Beberapa pemberi layanan menangani schizophrenia sebagai penyakit yang tidak hanya mengenai individu saja, tetapi juga seluruh keluarga. Walaupun keluarga tampak memiliki koping yang baik, dapat dipastikan ada pengaruh pada status mental keluarga saat salah satu anggota keluarga mengalami schizophrenia. Safier (1997, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menjadi dasar pentingnya keluarga mendapatkan terapi. Intervensi kepada keluarga dimaksudkan untuk memperkuat sistem keluarga, mencegah atau menghambat kekambuhan, dan mempertahankan klien di masyarakatnya. Program psikoedukasi ini memperlakukan keluarga sebagai sumber, bukan sebagai stressor, dengan berfokus pada penyelesaian masalah yang konkrit, dan perilaku menolong yang spesifik untuk beradaptasi dengan stress. Dengan memberikan informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan tentang mekanisme koping yang efektif, program psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang lain (Townsend, 2009). Psikoedukasi untuk keluarga termasuk dengan individu yang mengalami gangguan, seperti schizophrenia, depresi mayor, dan gangguan bipolar, biasanya dikombinasikan dengan terapi farmaka (Nathan and Gorman, 2007 dalam Stuart, 2009). Psikoedukasi ini terbukti memperbaiki gejala umum dan mengurangi penolakan serta beban keluarga (Stuart, 2009). Terapi keluarga biasanya terdiri dari program utama untuk memberikan edukasi kepada keluarga tentang schizophrenia, dan program yang lebih luas dengan keluarga dibentuk untuk mengurangi manifestasi konflik yang jelas dan untuk merubah pola komunikasi keluarga dan penyelesaian masalah. Respon terhadap terapi ini sangat dramatis. Ho, Black, dan Andreasen (2003 dalam Townsend, 2009) melaporkan pada beberapa penelitian bahwa hasil positif pada penanganan klien dengan schizophrenia ini dapat tercapai dengan mengikutsertakan keluarga dalam pelayanan. Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009). 1.2 Tujuan Setelah diberikan terapi family psychoeducation, keluarga diharapkan mampu: 1.2.1
Memahami masalah yang dialami oleh anggota keluarga dengan schizophrenia
1.2.2
Mengatasi masalah pada diri sendiri yang muncul karena merawat anggota keluarga dengan schizophrenia
1.2.3
Mengatasi beban pada keluarga yang muncul karena adanya anggota keluarga dengan schizophrenia
1.2.4
Memanfaatkan sarana di komunitas untuk membantu keluarga
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1.3 Manfaat Terapi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga dan klien dengan schizophrenia. 1.3.1
Bagi keluarga, dapat memiliki kemampuan untuk merawat klien dan mengatasi masalah yang timbul karena merawat klien
1.3.2
Bagi klien, secara tidak langsung mendapatkan perawatan yang optimal dari keluarga
BAB II PEDOMAN PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI KELUARGA (FAMILY PSYCHOEDUCATION) PADA KELUARGA DENGAN ANGGOTA KELUARGA SCHIZOPHRENIA
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Adapun urutan dari terapi ini adalah sebagai berikut: 2.1 Sesi 1: Pengkajian Masalah Keluarga Pada sesi pertama ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Terapi ini mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya pada orangtua, anak, saudara kandung, dan pasangan. Pengkajian dibuat terpisah antara masalah yang dirasakan oleh caregiver dan anggota keluarga yang lain. Pengkajian berfokus pada masalah dalam merawat klien sakit dan masalah yang muncul pada diri karena merawat klien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada saat mengkaji masalah ini adalah sebagai berikut (Saunders, 1997 dalam Stuart, 2009): -
Situasi bagaimana yang membuat stress pada keluarga anda?
-
Bagaimana perasaan anda mengenai ketergantungan, interaksi sosial atau respon terhadap tindakan pada anggota keluarga yang sakit?
-
Seberapa besar dukungan yang anda dapatkan dari profesional kesehatan mental, komunitas atau keluarga besar anda?
2.1.1 Tujuan sesi I: 1.
Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga
2.
Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga
3.
Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah dalam merawat dan masalah pribadi yang dirasakan karena merawat) 4.
Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga
2.1.2 Setting Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman 2.1.3 Alat dan bahan Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi) 2.1.4 Metode Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab 2.1.5 Langkah-langkah: 1.
2.
Persiapan a.
Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b.
Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
Pelaksanaan Fase Orientasi: a.
Salam terapeutik: salam dari terapis
b.
Memperkenalkan nama dan panggilan terapis
c.
Menanyakan nama dan panggilan peserta
d.
Validasi: Menanyakan bagaimana perasaan peserta dalam mengikuti program psikoedukasi keluarga saat ini
e.
Kontrak: Menjelaskan tujuan pertemuan pertama yaitu untuk bekerjasama dan membantu keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa
f.
Terapis mengingatkan langkah – langkah setiap sesi sebagai berikut: 1) Menyepakati pelaksanaan terapi selama 5 sesi 2) Lama kegiatan 45 – 60 menit 3) Keluarga mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai dengan anggota keluarga yang tidak berganti
Fase Kerja : a.
Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
gangguan jiwa yang dialami salah satu anggota keluarga 1) Masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga sendiri 2) Masalah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa 3) Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga 4) Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri b.
Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa 1) Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-perubahan yang dialami dalam keluarga
c.
Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi keluarga
d.
Memberikan kesempatan keluarga untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil diskusi yang sudah dilakukan
Fase Terminasi: a.
Evaluasi: 1) Menyimpulkan hasil diskusi sesi I 2) Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai sesi I 3) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan kemampuan keluarga dalam menyampaikan apa yang dirasakan
b.
Tindak lanjut: 1) Menganjurkan keluarga untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada anggota keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi keluarga dan perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga dengan gangguan jiwa
c.
Kontrak: 1) Menyepakati topik sesi 2 yaitu menyampaikan tentang gangguan jiwa dan cara merawat klien gangguan jiwa 2) Menyepakati waktu dan tempat untuk pertemuan selanjutnya
2.1.6 Evaluasi dan dokumentasi 1.
Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format Evaluasi Sesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah Keluarga Tanggal : No
Kegiatan
1 2 3
Hadir dalam terapi Menyepakati kontrak kegiatan Menyampaikan masalah yang dialami (masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga) Aktif dalam diskusi
4
2.
1
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Dokumentasi Kemampuan Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh keluarga yaitu masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan masalah yang dialami selama merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa dan perubahan– perubahan yang terjadi dalam keluarga. Format Dokumentasi Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga (caregiver) Tanggal: Masalah pribadi dalam merawat
No
Masalah yang muncul karena anggota keluarga sakit
Keinginan Harapan
1. 2. 3.
Format Dokumentasi Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga (anggota keluarga lain) Tanggal: No
Nama anggota keluarga
Masalah pribadi dalam merawat
Masalah yang muncul karena anggota keluarga sakit
1. 2. 3.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Keinginan Harapan
2.2 Sesi II: Perawatan Klien Gangguan Jiwa Sesi II ini berfokus pada edukasi mengenai masalah yang dialami oleh klien. Edukasi yang diberikan kepada keluarga terkait dengan diagnosa medis dan diagnosa keperawatan yang dialami klien. Edukasi pada sesi II ini disesuaikan dengan SAK keluarga yang telah dikembangkan pada untuk intervensi generalis. Intervensi yang diberikan pada sesi II ini didasarkan dengan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien. Bellack dan Mueser (1993 dalam Fortinash & Worret, 2004) menyatakan bahwa intervensi dengan memberikan edukasi pada keluarga dapat membantu keluarga menghadapi stressor karena klien sakit, yang berefek positif pada kondisi klien. Townsend (2009) menyatakan dampak positif program psikoedukasional secara tidak langsung pada klien yaitu bahwa dengan memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga yang lain. 2.2.1 Tujuan sesi II: 1.
Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien
2.
Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa
3.
Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
4.
Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
2.2.2 Setting Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman 2.2.3 Alat Leaflet/lembar balik, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi) 2.2.4 Metoda Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab 2.2.5 Langkah-langkah 1.
Persiapan a.
Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b.
Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.
Pelaksanaan Fase Orientasi a.
Salam terapeutik: salam dari terapis.
b.
Evaluasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang masalah yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c.
Kontrak: menyepakati waktu dan lama sesi.
Fase Kerja a.
Mendiskusikan tentang gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggota keluarga (misalnya: perilaku kekerasan, halusinasi). 1) Anggota keluarga menyampaikan pengalamannya selama ini 2) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi pendapat
b.
Menyampaikan tentang konsep gangguan jiwa meliputi pengertian, penyebab, tanda, prognosis, intervensi dan terapi. 1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka 2) Memberi kesempatan kepada keluarga untuk bertanya
c.
Mendiskusikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang selama ini dilakukan oleh keluarga.
d.
Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya klien dengan halusinasi atau perilaku kekerasan. 1) Meminta keluarga untuk mendemonstrasikan kembali salah satu cara merawat klien dengan gangguan jiwa, misalnya halusinasi. 2) Memberi masukan terhadap hal–hal yang perlu ditingkatkan oleh keluarga. 3) Memberi kesempatan anggota keluarga lain untuk memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah.
Fase Terminasi a.
Evaluasi 1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi II selesai 2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b.
Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang materi gangguan jiwa yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
c.
Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.2.6 Evaluasi dan dokumentasi 1.
Evaluasi Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. Format Evaluasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No
Anggota keluarga
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan pengertian gangguan jiwa Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarga Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara merawat klien Aktif dalam diskusi
Dokumentasi Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh keluarga yaitu tentang gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga. Format Dokumentasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No 1 2 3
Masalah yg dialami klien
Cara mengatasi masalah
2.3 Sesi III: Manajemen Stress Keluarga Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi keinginan-keinginan tersebut (Townsend, 2009). Stressor adalah keinginan dari lingkungan internal atau eksternal individu yang meningkatkan respon fisiologis dan/atau psikologis seseorang. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang tepat. Manajemen stress adalah berbagai metode yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup; termasuk latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, terapis mengajarkan cara-cara memanajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver. 2.3.1 Tujuan sesi III: 1.
Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
2.
Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga
3.
Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres
4.
Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres
2.3.2 Setting Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman. 2.3.3 Alat Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi), alat bantu disesuaikan dengan teknik manajemen stress yang dipilih. 2.3.4 Metode Ceramah, diskusi, curah pendapat, role play (bermain peran) dan tanya jawab. 2.3.5 Langkah-langkah 1.
2.
Persiapan a.
Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b.
Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
Pelaksanaan Fase Orientasi a.
Salam terapeutik: salam dari terapis
b.
Validasi: menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, yaitu tentang materi gangguan jiwa dan cara merawat klien di rumah
c.
Kontrak: menyepakati lama waktu terapi (sesi) serta materi yang akan disampaikan
Fase Kerja Menanyakan pada keluarga terkait stres yang mereka alami dengan adanya klien gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
a.
Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
b.
Memberikan
pujian/penghargaan
atas
kemampuan
anggota
keluarga
menyampaikan pendapat/perasaannya c.
Menjelaskan tentang stres yang dialami keluarga akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet
d.
Meminta anggota keluarga mengidentifikasi tanda dan gejala serta cara mengurangi stres sesuai dengan penjelasan terapis
e.
Mendemontrasikan cara mengurangi stres yang dialami oleh anggota keluarga
f.
Meminta anggota keluarga untuk mendemontrasikan kembali cara mengurangi stres yang telah diajarkan
Fase Terminasi a.
Evaluasi 1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi III selesai 2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b.
Tindak lanjut: menganjurkan keluarga untuk berlatih cara mengurangi stres.
c.
Kontrak: menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan berikutnya.
2.3.6 Evaluasi dan dokumentasi 1.
Evaluasi Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. Format Evaluasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2.
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami keluarga Menyebutkan cara mengatasi stress dalam merawat klien gangguan jiwa Memperagakan cara mengatasi stres yang telah diajarkan Aktif dalam diskusi
Dokumentasi Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh keluarga, yaitu cara mengatasi stres dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format Dokumentasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (caregiver) No
Tanda-tanda stres yang dialami caregiver
Cara mengatasi stres yang dapat digunakan
1 2 3
Format Dokumentasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (anggota keluarga lain) No
Nama anggota keluarga
Tanda-tanda stres yang dialami anggota keluarga
Cara mengatasi stres yang dapat digunakan
1 2 3
2.4 Sesi IV: Manajemen Beban Keluarga Pada sesi IV ini terapis bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersamasama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga. Family psychoeducation telah terbukti dapat memperbaiki gejala umum penyakit dan mengatasi penolakan dan beban yang dirasakan keluarga. Pengaruh dari adanya anggota keluarga dengan gangguan mental sering disebut dengan beban keluarga (Stuart, 2009). Sebuah survey mengenai caregiver di keluarga menunjukkan bahwa beban yang paling besar dirasakan adalah mengkhawatirkan masa depan, berkurangnya konsentrasi, terganggunya rutinitas sehari-hari, merasa bersalah karena merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik, merasa terperangkap di rumah, dan merasa sedih karena perubahan pada anggota keluarga (Rose et al., 2006 dalam Stuart, 2009). Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif. Dengan mengkaji beban keluarga perawat dapat bekerja sama dengan keluarga untuk mengidentifikasi dalam hal mana keluarga memerlukan bantuan (Stuart, 2009). 2.4.1 Tujuan Sesi IV: 1.
Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
2.
Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3.
Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh terapis.
4.
Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan perannya masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.
2.4.2 Setting Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman 2.4.3 Alat Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi) 2.4.4 Metode Ceramah, diskusi, curah pendapat, roleplay dan tanya jawab 2.4.5 Langkah-langkah 1.
2.
Persiapan a.
Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b.
Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
Pelaksanaan Fase Orientasi a.
Salam terapeutik: salam dari terapis.
b.
Evaluasi: menanyakan penerapan cara mengatasi stres yang sudah dilakukan keluarga di rumah sesuai dengan yang diajarkan pada sesi sebelumnya dan hasil yang dirasakan.
c.
Kontrak: menyepakati kontrak waktu dan topik yang akan disampaikan yaitu tentang beban keluarga.
Fase Kerja a.
Menanyakan apa yang dirasakan anggota keluarga tentang beban objektif maupun subjektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. 1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka 2) Memberikan kesempatan anggota keluarga lain untuk memberi tanggapan 3) Memberikan pujian dan penghargaan atas kemampuan anggota keluarga menyampaikan pendapat/perasaannya
b.
Menanyakan pendapat anggota keluarga tentang cara mengatasi beban yang sudah dilakukan dengan adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
c.
Menjelaskan macam-macam beban keluarga dan cara mengatasi beban yang dialami keluarga karena adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa dengan menggunakan leaflet.
d.
Meminta anggota keluarga untuk mengulangi menyebutkan macam-macam beban keluarga dan cara mengatasi beban yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sesuai dengan penjelasan terapis.
e.
Terapis mendemonstrasikan satu cara untuk mengatasi beban yang dipilih oleh keluarga.
f.
Memberi kesempatan anggota keluarga untuk mendemonstrasikan ulang.
g.
Memberikan pujian atas partisipasi anggota keluarga selama pelaksanaan terapi.
Fase Terminasi a.
Evaluasi 1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi IV selesai 2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama keluarga
b.
Tindak lanjut 1) Menganjurkan keluarga untuk menerapkan cara mengatasi beban yang telah diajarkan.
c.
Kontrak: menyepakati waktu, tempat dan topik pertemuan berikutnya
2.4.6 Evaluasi dan dokumentasi 1.
Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan. Format Evaluasi Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga No
Kegiatan 1
1 2 3 4
2.
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi beban dalam merawat klien gangguan jiwa Memperagakan cara untuk mengatasi beban keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa Aktif dalam diskusi
Dokumentasi Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh keluarga, yaitu cara mengatasi beban keluarga serta demonstrasi cara mengatasi beban keluarga.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format Dokumentasi Sesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga No 1 2 3
Nama anggota keluarga
Beban keluarga
Cara mengatasi beban
2.5 Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart, 2009). Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan kesehatan mental. 2.5.1 Tujuan Sesi V: 1.
Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di rumah.
2.
Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.
3.
Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help Group.
2.5.2 Setting Peserta (keluarga), terapis dan tenaga kesehatan dari puskesmas duduk berhadapan dengan posisi melingkar. 2.5.3 Alat Lembar balik/leaflet, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.5.4 Metoda Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab 2.5.5 Langkah-langkah 1.
2.
Persiapan a.
Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b.
Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
Pelaksanaan Fase Orientasi a.
Salam terapeutik: salam terapeutik dari terapis
b.
Evaluasi: mengevaluasi hasil keluarga dalam menerapkan cara untuk mengatasi beban pada keluarga
c.
Kontrak: menyampaikan topik pada sesi ini yaitu tentang pemberdayaan komunitas.
Fase Kerja a.
Menanyakan hambatan yang dirasakan selama merawat klien gangguan jiwa di rumah 1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat 2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
b.
Menanyakan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan selama ini 1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat 2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
c.
Menjelaskan kepada keluarga bagaimana seharusnya hubungan keluarga dengan tenaga kesehatan
d.
Menjelaskan kepada keluarga bagaimana cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
e.
Memberi kesempatan keluarga untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari Puskesmas (atau yang mewakili) tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help Group. 1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat 2) Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
3) Memfasilitasi dialog antara keluarga dengan pihak Puskesmas 4) Menyimpulkan hasil diskusi Fase Terminasi a.
Evaluasi 1) Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi V selesai 2) Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b.
Tindak lanjut 1) Menganjurkan keluarga untuk tetap menerapkan apa yang telah dilakukan selama terapi yaitu merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah, menyarankan keluarga untuk memanfaatkan sistem rujukan yang telah ada, menjalankan kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh pihak puskesmas dan disepakati oleh keluarga
c.
Terminasi akhir yaitu menyerahkan kelompok pada pihak puskesmas
2.5.6 Evaluasi dan dokumentasi 1.
Evaluasi Proses Evaluasi ketepatan waktu pelaksanaan terapi khususnya tahap kerja, keaktifan keluarga, keterlibatan keluarga dan proses pelaksanaan secara keseluruhan
Format Evaluasi Sesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga No
Kegiatan
Anggota keluarga 1
1 2 3 4
5 6 7
2.
2
3
4
5
6
7
8
Hadir dalam terapi Menyampaikan hambatan yang dialami dalam merawat klien gangguan jiwa Menyampaikan hambatan yang dialami dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan Mengetahui sistem rujukan Menyepakati adanya kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh Puskesmas Aktif dalam diskusi
Dokumentasi Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan oleh keluarga, yaitu hambatan yang dialami dalam merawat klien dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan, menyebutkan cara mengatasi hambatan dan kesepakatan keluarga untuk pembentukan Self Help Group yang akan difasilitasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
9
10
oleh Puskesmas. Format Dokumentasi Sesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga No
Nama Keluarga
Hambatan dalam merawat klien & dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan
Menyebutkan cara mengatasi hambatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
BAB III PENUTUP Keluarga adalah unit terdekat dengan klien yang akan terpengaruh karena kondisi sakit klien, baik masalah dalam aspek psikososial maupun gangguan jiwa. Keluarga juga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal baik fisik maupun mental. Karena itu intervensi keperawatan perlu mempertimbangkan keluarga sebagai sasaran intervensi. Family Psychoeducation adalah terapi spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan merawat klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu diperlukan pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar walaupun salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, keseimbangan keluarga tetap terjaga. Terapi ini dapat memberikan dampak positif kepada keluarga dan secara tidak langsung kepada klien. Bagi keluarga, dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien, meningkatkan kemampuan merawat klien, memperbaiki koping keluarga, dan meningkatkan kemampuan mengatasi masalah karena kondisi sakit klien. Bagi klien, akan mendapatkan perawatan yang optimal oleh keluarga, mendapatkan dukungan yang adekuat dari keluarga dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kemandirian dan menurunkan kekambuhan pada klien.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: Principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia. Fortinash, K.M & Worret, P.A.H. (2004). Psychiatric mental health nursing (3rd ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. NAMI. www.nami.org. Februari 24, 2012. NIMH. www.nimh.nih.gov, Februari 24, 2012.
Sari, Hasmila. (2009). Modul panduan family psychoeducation therapy. Depok: FIK UI. Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9th ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 12
BUKU KERJA PSIKOEDUKASI KELUARGA DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA
Oleh : Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
IDENTITAS KELUARGA Nama klien
:
Nama anggota keluarga
: -
Alamat
:
FAMILY PSYCHOEDUCATION (PSIKOEDUKASI KELUARGA) DENGAN KLIEN SCHIZOPHRENIA Family Psychoeducation adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena keluarga yang akan merawat klien di rumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka panjang. Karena itu diperlukan pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
walaupun salah satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, keseimbangan keluarga tetap terjaga. Terapi ini dilakukan dalam 5 sesi yaitu: Sesi 1
: Identifikasi masalah keluarga
Sesi 2
: Cara merawat klien dengan gangguan jiwa
Sesi 3
: Manajemen stress keluarga
Sesi 4
: Manajemen beban keluarga
Sesi 5
: Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga
Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Setiap sesi tidak terbatas untuk dilakukan dalam satu pertemuan. Penjelasan untuk setiap sesi akan dibahas selanjutnya.
SESI I: PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA Sesi pertama dilakukan untuk menemukan masalah yang ada pada keluarga. Pada sesi ini terapis dan keluarga bersama-sama mengidentifikasi masalah yang timbul di keluarga karena memiliki klien gangguan jiwa. Tindakan ini mengikutsertakan seluruh anggota keluarga yang terpengaruh dan terlibat dalam perawatan klien, terutama caregiver. Hal yang perlu diidentifikasi adalah makna gangguan jiwa bagi keluarga dan dampaknya
pada orangtua, anak, saudara kandung, dan
pasangan. Tujuan sesi I: 5. Peserta dapat menyepakati kontrak program psikoedukasi keluarga 6. Peserta mengetahui tujuan program psikoedukasi keluarga 7. Peserta mendapat kesempatan untuk menyampaikan pengalamannya dalam merawat klien dengan gangguan jiwa (masalah karena klien sakit dan masalah pribadi yang dirasakan karena merawat) 8. Peserta dapat menyampaikan keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI I. PENGKAJIAN MASALAH KELUARGA Format Dokumentasi Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga (caregiver)
No
Masalah pribadi dalam merawat
Masalah yang muncul karena anggota keluarga sakit
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Keinginan / Harapan
Format Dokumentasi Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga (anggota keluarga lain)
No
Nama anggota keluarga
Masalah pribadi dalam merawat
Masalah yang muncul karena anggota keluarga sakit
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Keinginan/ Harapan
SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA Sesi II ini berfokus untuk membahas mengenai masalah yang dialami oleh klien. Keluarga akan berbagi cara merawat klien yang selama ini dilakukan dan kemudian membahas bersama-sama perawat mengenai cara merawat yang baik. Keluarga kemudian dilatih oleh perawat untuk melakukan perawatan langsung pada klien. Psikoedukasi keluarga ini terbukti berdampak positif pada klien. Dampak positif dari program psikoedukasional yaitu bahwa dengan memberikan informasi mengenai penyakit klien pada keluarga dan memberikan saran mengenai koping yang baik, akan menurunkan kecenderungan klien untuk kambuh dan menurunkan kemungkinan pengaruh berbahaya gangguan jiwa terhadap anggota keluarga yang lain. Tujuan sesi II: 5. Keluarga mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien 6. Keluarga mengetahui tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa 7. Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah 8. Keluarga mampu memperagakan cara merawat klien dengan gangguan jiwa di rumah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI II: CARA MERAWAT KLIEN GANGGUAN JIWA Format Dokumentasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No 1
Masalah yg dialami klien
Cara mengatasi masalah
2
3
4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA (Manajemen Stress Keluarga) Stress adalah kondisi ketidakseimbangan yang terjadi saat ada kesenjangan keinginan individu dalam lingkungan internal atau eksternalnya dengan kemampuannya untuk menghadapi keinginan-keinginan tersebut. Stressor adalah semua hal yang dapat menyebabkan stress. Kondisi klien dengan schizophrenia dapat menjadi stressor tersendiri bagi keluarga. Setiap stressor dapat dihadapi dengan memiliki kemampuan koping yang baik. Untuk meningkatkan kemampuan koping yang baik, diperlukan manajemen stress yang tepat. Manajemen stress adalah berbagai cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengurangi tekanan dan respon maladaptif lain terhadap stress dalam hidup. Cara tersebut antara lain dengan latihan relaksasi, latihan fisik, musik, mental imagery, atau teknik teknik lain yang berhasil pada individu tersebut. Sesi III dari FPE adalah sesi untuk membantu mengatasi masalah masing-masing individu keluarga yang muncul karena merawat klien. Stress akan terjadi terutama pada caregiver yang setiap saat berinteraksi dengan klien. Pada sesi III ini, perawat mengajarkan cara-cara manajemen stress pada seluruh anggota keluarga, terutama caregiver. Tujuan sesi III: 5. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres yang dirasakan akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga 6. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara mengatasi stres yang dialami akibat salah satu anggota mengalami gangguan jiwa dalam keluarga 7. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres 8. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI III: CARA MENGATASI STRESS KELUARGA (Manajemen Stress Keluarga) Format Dokumentasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (caregiver) No
Tanda-tanda stres yang dialami caregiver
Cara mengatasi stres yang dapat digunakan
1
2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Format Dokumentasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Stres Keluarga (anggota keluarga lain) No
Nama anggota keluarga
Tanda-tanda stres yang dialami anggota keluarga
Cara mengatasi stres yang dapat digunakan
1
2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA (Manajemen Beban Keluarga)
Pada sesi IV ini perawat bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, membicarakan mengenai masalah yang muncul karena klien sakit dan mencari pemecahan masalah bersama-sama. Pada sesi ini sangat diperlukan kontribusi dari seluruh anggota keluarga untuk memecahkan masalah yang dirasakan keluarga. Beban dapat bersifat subjektif atau objektif. Beban objektif terkait dengan perilaku klien, penampilan peran, efek luas pada keluarga, kebutuhan akan dukungan, dan biaya yang dikeluarkan karena penyakit. Beban subjektif adalah perasaan terbebani yang dirasakan oleh seseorang; bersifat individual dan tidak selalu berhubungan dengan bagian dari beban objektif. Tujuan Sesi IV: 5. Keluarga mengenal beban subjektif maupun objektif yang dialami keluarga akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. 6. Keluarga mengetahui cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. 7. Keluarga mampu menjelaskan cara mengatasi beban yang telah diajarkan oleh perawat. 8. Semua anggota keluarga menyepakati cara mengatasi beban keluarga dan perannya masing-masing dalam mengatasi beban keluarga.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI IV: CARA MENGATASI BEBAN KELUARGA (Manajemen Beban Keluarga) Format Dokumentasi Sesi IV Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Beban Keluarga No 1
Beban keluarga
Cara mengatasi beban
2
3
4
5
6
7
8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS (Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga)
Pada sesi V ini, akan dibahas mengenai pemberdayaan sumber-sumber di luar keluarga, yaitu di komunitas untuk membantu permasalahan di keluarga dengan klien gangguan jiwa. Keluarga yang merawat klien dengan gangguan jiwa seringkali merasa malu, merasa dikucilkan dan merasa sendiri dalam merawat. Sumber-sumber dukungan yang sebelumnya ada dapat hilang atau terbatas karena kebutuhan untuk merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Keluarga dapat merasa malu atau takut jika anggota keluarga yang sakit menunjukkan perilaku yang tidak pantas pada orang lain. Semua aspek dari beban subjektif dapat membatasi akses pada sistem dukungan sosial. Keluarga seperti ini memerlukan bantuan untuk membangun kembali dukungan sosialnya (Stuart, 2009). Komunitas memiliki pengaruh yang besar dalam rehabilitasi dan pemulihan klien dengan gangguan jiwa. Pemberi layanan kesehatan, termasuk perawat, harus menjalani peran pemimpin dalam mengkaji keadekuatan dan keefektifan sumber-sumber di komunitas dan dalam merekomendasikan perubahan untuk memperbaiki akses dan kualitas dari layanan kesehatan mental. Tujuan Sesi V: 4. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa di rumah. 5. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi. 6. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari puskesmas tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan Self Help Group.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
SESI V: CARA MENGATASI HAMBATAN DENGAN MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS (Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga) Format Dokumentasi Sesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga No
Hambatan dalam merawat klien & dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan
Menyebutkan cara mengatasi hambatan
1
2
3
4
5
6
7
8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
CATATAN HARIANKU (Caregiver) Tanggal
No
Cara yang digunakan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Hasil
CATATAN HARIANKU (Anggota keluarga lain) Tanggal
No
Cara yang digunakan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Hasil
Lampiran 13
BUKU EVALUASI / RAPPORT Klien schizophrenia (Pegangan kader)
Disusun oleh : Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
IDENTITAS PMO Nama
:
Alamat
:
Telepon
:
Jumlah Klien binaan
:
Klien binaan
: -
1. 2. 3. 4.
Evaluasi keteraturan berobat Evaluasi kegiatan sehari-hari (living skill assessment) Evaluasi penurunan gejala Evaluasi kemampuan sosialisasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Klien 1 Nama Usia Alamat
: …….. : ……. tahun : ……………
EVALUASI KEPATUHAN BEROBAT No
Perilaku
1 2
Meminum obat sesuai jadwal Meminum obat sesuai dosis Tidak pernah terlewat waktu meminum obat Terus meminum obat walaupun merasa baikan Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu Menyatakan obat membuat klien lebih baik
3 4 5 6
Pertemuan keI II III IV V VI VII VIII IX X
Keterangan : - Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-. - Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah dilakukan klien - Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Catatan Kader : No 1
Hari, Tanggal
Jam
Catatan -
Klien/pasien: Keluarga : Jumlah Obat : Haloperidol Trihexyphenidyl Chlorpomazide TTD
2
3
4
5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
EVALUASI KEGIATAN SEHARI-HARI (LIVING SKILL ASSESSMENT) No
Kegiatan sehari-hari
Pertemuan keI II III IV V VI VII VIII IX X
Fisik 1 Perawatan diri : mandi Perawatan diri : makan dan minum Perawatan diri : berdandan Perawatan diri : BAB dan BAK 2 Olah raga fisik Menggunakan transportasi 3 umum 4 Memasak 5 Belanja 6 Membersihkan rumah 7 Partisipasi dalam olah raga Menggunakan fasilitas 8 rekreasional 9 Beribadah Emosional 1 Hubungan antar manusia 2 Kontrol diri 3 Penghargaan diri 4 Mengurangi stigma 5 Pemecahan masalah Kemampuan berbincang6 bincang Intelektual 1 Mengatur keuangan 2 Menetapkan tujuan 3 Pengembangan masalah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
EVALUASI PENURUNAN GEJALA No
Kegiatan sehari-hari
Pertemuan keI II III IV V VI VII VIII IX X
Gejala positif 1 Waham 2 Halusinasi 3 Tidak nyambung (inkoheren) 4 Bicara berputar-putar 5 Sedikit bicara 6 Bicara mudah beralih 7 Diam kaku 8 Gangguan pergerakan Gejala negatif 1 Afek datar 2 Hilang minat 3 Tidak mau bersosialisasi Pikiran dan pembicaraan 4 terbatas Kurang inisiatif dalam 5 mencapai tujuan 6 Sulit fokus 7 Sedikit bicara 8 Diam kaku
EVALUASI KEMAMPUAN SOSIALISASI No
Kemampuan sosialisasi
1 2 3
Berkomunikasi sesuai (koheren) Memiliki keinginan dan minat Tidak mengalami paranoid Minat cukup baik pada kegiatan-kegiatan rekreasional Mampu memulai pembicaraan Mampu memperkenalkan diri pada orang lain
4 5 6
Pertemuan keI II III IV V VI VII VIII IX X
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 14
BUKU EVALUASI ‘PENGARUH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, KELUARGA DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA DI KERSAMANAH GARUT’
Oleh : Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA 2012
IDENTITAS KELUARGA Nama Klien
:
Alamat
:
Nama caregiver
:
Nama anggota keluarga
Nama Nama kader
:
-
…………..
-
…………
-
………….
-
………….
-
………….
-
………….
:
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pertemuan 1
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 1 pasien Implementasi
Evaluasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga: Pengkajian Masalah Keluarga Tanggal : No 1 2 3 4
Kegiatan
1
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Hadir dalam terapi Menyepakati kontrak kegiatan Menyampaikan masalah yang dialami (masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan perubahan yang dialami dalam keluarga) Aktif dalam diskusi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa Format Evaluasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
Hadir dalam terapi Menyebutkan pengertian gangguan jiwa Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarga Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara merawat klien Aktif dalam diskusi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
9
10
Evaluasi Kinerja Kader Tanggal : No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati Menjelaskan tujuan interaksi Melakukan wawancara kepada klien Melakukan wawancara kepada caregiver Melakukan penghitungan obat Mendokumentasikan kegiatan Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Penilaian Ya Tidak
Pertemuan 2
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 2 pasien Implementasi
Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa Format Evaluasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan pengertian gangguan jiwa Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarga Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara merawat klien Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader Tanggal : No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati Menjelaskan tujuan interaksi Melakukan wawancara kepada klien Melakukan wawancara kepada caregiver Melakukan penghitungan obat Mendokumentasikan kegiatan Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Penilaian Ya Tidak
Pertemuan 3
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 3 pasien Implementasi
Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa Format Evaluasi Sesi II Psikoedukasi Keluarga: Perawatan Klien Gangguan Jiwa No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan pengertian gangguan jiwa Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarga Menyebutkan dan mendemonstrasikan cara merawat klien Aktif dalam diskusi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga Format Evaluasi Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga No
Kegiatan 1
1 2 3 4 5
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
Hadir dalam terapi Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami keluarga Menyebutkan cara mengatasi stress dalam merawat klien gangguan jiwa Memperagakan cara mengatasi stres yang telah diajarkan Aktif dalam diskusi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi Kinerja Kader Tanggal : No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati Menjelaskan tujuan interaksi Melakukan wawancara kepada klien Melakukan wawancara kepada caregiver Melakukan penghitungan obat Mendokumentasikan kegiatan Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Penilaian Ya Tidak
Pertemuan 4
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 4 pasien Implementasi
Evaluasi
Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga Format Evaluasi Sesi IV Psikoedukasi Keluarga: Manajemen Beban Keluarga No
Kegiatan 1
1 2 3 4
2
3
Anggota keluarga 4 5 6 7 8
9
10
Hadir dalam terapi Menyebutkan tanda-tanda dan cara mengatasi beban dalam merawat klien gangguan jiwa Memperagakan cara untuk mengatasi beban keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader Tanggal : No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati Menjelaskan tujuan interaksi Melakukan wawancara kepada klien Melakukan wawancara kepada caregiver Melakukan penghitungan obat Mendokumentasikan kegiatan Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Penilaian Ya Tidak
Pertemuan 5
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Evaluasi SP 5 pasien Implementasi
Evaluasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga: Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga No
Kegiatan
Anggota keluarga 1
1 2 3 4 5 6 7
2
3 4 5 6 7 8 9 10
Hadir dalam terapi Menyampaikan hambatan yang dialami dalam merawat klien gangguan jiwa Menyampaikan hambatan yang dialami dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan Menyebutkan cara mengatasi hambatan dalam merawat klien gangguan jiwa dan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan Mengetahui sistem rujukan Menyepakati adanya kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh Puskesmas Aktif dalam diskusi
Evaluasi Kinerja Kader Tanggal : No 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai Melakukan kunjungan sesuai jadwal yang disepakati Menjelaskan tujuan interaksi Melakukan wawancara kepada klien Melakukan wawancara kepada caregiver Melakukan penghitungan obat Mendokumentasikan kegiatan Menyepakati kontrak berikutnya
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Penilaian Ya Tidak
Lampiran 15
PEDOMAN PEMBEKALAN KADER
Disusun oleh : Rahmi Imelisa, S.Kep., Ners. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang besar penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penyusun sehingga buku pedoman kader untuk peran Pengawas Minum Obat (PMO) pada klien schizophrenia ini dapat diselesaikan. Buku pedoman ini adalah panduan untuk menjalankan peran PMO pada klien dengan schizophrenia. Peran ini dapat dilakukan oleh kader, keluarga atau tenaga kesehatan lain yang dipercaya oleh klien. Peran PMO ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian, keteraturan berobat, sosialisasi dan pemantauan gejala klien schizophrenia. Modul ini berisi panduan dalam menjalankan peran PMO dan materi-materi lain yang dapat menjadi bekal bagi seorang PMO schizophrenia. Penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., yang telah mengarahkan pembuatan buku pedoman ini dan kepada berbagai pihak yang telah turut membantu tersusunnya buku panduan ini. Penyusun
sangat
mengharapkan
masukan
yang
membangun
untuk
mengembangkan buku pedoman ini lebih lanjut. Dan penyusun berharap buku pedoman ini dapat digunakan secara luas oleh keluarga klien atau kader untuk mengawasi pengobatan klien dengan schizophrenia.
Depok,
April 2012
Penyusun
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR ISI Halaman sampul
i
Kata pengantar
ii
Daftar isi
iii
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang
1
1.2 Tujuan
2
1.3 Manfaat
2
Bab II Pelaksanaan Peran Pengawas Minum Obat 2.1 Pengawas minum obat
3
2.2 Kepatuhan berobat
4
2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia
5
2.4 Pelaksanaan peran PMO
5
Bab III Penutup
7
Daftar pustaka
8
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Klien dengan schizophrenia, memerlukan pengobatan jangka panjang dan kontrol rutin. Dalam kenyataannya, seringkali klien merasa bosan, merasa obat tidak bermanfaat, merasa obat memperburuk kondisinya atau merasa sudah tidak memerlukan obat lagi. Kondisi ini mempengaruhi kepatuhan klien dalam berobat. Akibatnya kondisi klien kembali memburuk dan sering terjadi rawat ulang pada klien dengan schizophrenia. Kepatuhan adalah perilaku klien mengikuti saran dari tenaga kesehatan. Salah satunya adalah kepatuhan berobat, di mana klien mengikuti instruksi dokter dalam berobat. Ketidakpatuhan klien dalam berobat dapat dipengaruhi oleh faktor individu, faktor budaya, dan faktor kepercayaan pada tenaga medis. Klien dengan schizophrenia adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam membedakan antara realita dengan dunia khayal nya. Klien schizophrenia seringkali bingung dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, termasuk berobat. Oleh karena itu, klien schizophrenia memerlukan pengawasan dalam meminum obat. Pengawasan dalam berobat telah dikembangkan untuk penyakit tuberculosis dengan adanya istilah PMO (Pengawas Minum Obat). PMO bertugas untuk menjamin keteraturan berobat klien. PMO dikembangkan pada penyakit tuberculosis mengingat pengobatan jangka panjang yang perlu dijalani oleh klien tuberculosis. Begitu pula dengan klien schizophrenia, klien dengan schizophrenia memerlukan waktu jangka panjang untuk berobat. Selain itu, kejadian putus obat juga sering terjadi pada klien schizophrenia yang menyebabkan tingginya angka kekambuhan. Karena itu, pengembangan peran PMO pada klien dengan schizophrenia perlu dikembangkan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga, masyarakat atau kader, atau tenaga kesehatan yang dipercaya oleh klien sehingga dapat meningkatkan kepatuhannya dalam berobat. Buku panduan ini berisi mengenai hal-hal yang perlu diketahui oleh seorang PMO untuk menjalankan perannya. Pemberdayaan
masyarakat
merupakan
proses
pengembangan
potensi
pengetahuan maupun keterampilan masyarakat agar mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri (Helvie, 1998 dalam Keliat, 2010). Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal. Metode yang dipakai dalam mengembangkan kader kesehatan jiwa sebaiknya teratur, sistematis, dan rasional (Keliat, 2010). Dalam penelitian ini akan diberdayakan kader untuk melakukan kunjungan rumah dan melakukan pengawasan kepada klien yaitu dalam kepatuhan berobat, kemandirian aktivitas sehari-hari, penurunan gejala, dan sosialisasi klien. Kader yang telah terbentuk di setiap desa di Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut terdiri dari 5-6 orang di masing-masing desa, dan beberapa di antaranya adalah keluarga dari klien gangguan jiwa. Kader yang terbentuk tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan sesuai standar CMHN. Sebelum kader melakukan kunjungan kepada klien, maka kader perlu diberikan pembekalan agar dalam pelaksanaan perannya, kader dapat membantu mensukseskan program pengawasan sesuai dengan pedoman yang telah dibuat. Dengan latar belakang ini, maka peneliti merasa perlu dilakukan pembekalan kader mengenai pengawasan terutama pengawasan minum obat klien schizophrenia.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
1.5 Tujuan Tujuan dilakukannya kegiatan pembekalan kader ini adalah untuk melatih dan menyamakan persepsi kader dalam menjalankan peran Pengawas Minum Obat. 1.6 Manfaat Kegiatan pembekalan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1.3.1 Kader Memiliki kemampuan mengawasi keteraturan berobat, sosialisasi, penurunan gejala dan kemandirian klien 1.3.2 Klien Mendapatkan pelayanan yang intensif dari tenaga kesehatan yang diwakili oleh kader 1.3.3 Puskesmas Membantu mensukseskan program puskesmas untuk menurunkan angka schizophrenia di Kersamanah
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB II PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO)
2.1 Pengawas Minum Obat PMO atau Pengawas Minum Obat adalah seseorang yang mengawasi dan menjamin keteraturan klien minum obat. Berikut ini adalah standar PMO yang dikembangkan untuk klien tuberculosis. 2.1.1 Persyaratan Pengawas Minum Obat Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah sebagai berikut: 1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. 2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. 4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. 5. Memahami tanda dan gejala penyakit termasuk cara penularan, pengobatan dan perawatannya (Nazir, 2010). Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. 2.1.2 Tugas Seorang Pengawas Minum Obat Tugas seorang PMO adalah: 1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. 3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan. 4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala
mencurigakan
TB
untuk
segera
memeriksakan diri ke petugas kesehatan terdekat. 5. Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan obat di pelayanan kesehatan terdekat. 6. Membantu
petugas
kesehatan
dalam
rangka
memantau
perkembangan penyakit tuberkulosis di desanya. Point 1 sampai 4 adalah tugas pokok PMO yang ditetapkan depkes. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan PMO juga berperan melakukan hal-hal lain berkaitan dengan pasien TB dan petugas kesehatan seperti pada poin 5 dan 6 di atas (Nazir, 2010). 2.2 Kepatuhan berobat Kepatuhan dapat didefinisikan pula sebagai kemampuan dan kemauan seseorang untuk mengikuti praktik kesehatan yang dianjurkan (Brannon & Feist, 2010). Definisi ini meluas dari pengobatan menjadi mempertahankan pola hidup sehat seperti melakukan perawatan sesuai, melakukan olahraga cukup, menghindari stress berkepanjangan, tidak merokok, dan tidak menggunakan alkohol. Selanjutnya kepatuhan juga termasuk menjadwalkan pemeriksaan kesehatan atau pemeriksaan gigi secara teratur, menggunakan sabuk pengaman, dan melakukan perilaku lain yang sesuai dengan saran kesehatan terbaik yang tersedia. Ketidakpatuhan berobat menunjukkan perilaku individu dan/atau pemberi asuhan yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang ditetapkan oleh individu (dan/atau keluarga dan/atau komunitas) serta profesional pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif secara klinis atau sebagian tidak efektif (NANDA, 2010). Tingkat kepatuhan tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi beberapa teknik telah digunakan oleh para peneliti dan mampu memberikan gambaran mengenai ketidakpatuhan. Ada enam hal dasar yang dapat digunakan dalam mengukur kepatuhan, yaitu: (1) bertanya kepada praktisi kesehatan, (2) bertanya kepada pasien, (3) bertanya kepada orang lain, (4) memantau penggunaan obat, (5) pemeriksaan biokimia, dan (6) menggunakan kombinasi dari cara-cara tersebut (Brannon & Feist, 2010). 2.3 Obat-obatan untuk klien schizophrenia 1. Haloperidol Adalah obat antipsikotik atipikal yang efektif untuk mengatasi hiperaktivitas, agitasi dan mania. Haloperidol digunakan untuk manifestasi psikosis akut dan kronis, termasuk schizophrenia dan kondisi manik. 2. Trihexyphenidyl Trihexyphenidyl digunakan untuk mengatasi gejala penyakit Parkinson dan tremor yang disebabkan oleh masalah medis atau pengobatan. 3. Chlorpomazide Chlorpomazide digunakan untuk mengatasi gangguan psikotik dan gejala seperti halusinasi, waham, dan rasa bermusuhan. Obat ini juga digunakan untuk mencegah dan menangani mual dan muntah, untuk menangani masalah perilaku pada anak, dan untuk mengurangi cegukan berat. 4. Trifluperazine (Stelazine) Obat antipsikotik tipikal, satu golongan dengan chlorpomazide. 5. Risperidon Obat antipsikotik atipikal.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.4 Pelaksanaan peran PMO Pelaksanaan peran PMO dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke tempat
tinggal
klien
dengan
schizophrenia.
Kunjungan
dilakukan
berkesinambungan selama klien menjalani pengobatan. 2.4.1 Tujuan Tujuan setiap pertemuan adalah untuk menjaga keteraturan berobat klien dan meningkatkan kepatuhan klien untuk berobat 2.4.2 Setting Kader datang ke tempat tinggal klien. Duduk berhadapan saat mewawancarai klien dan keluarga. Wawancara klien dan keluarga dilakukan terpisah. 2.4.3 Alat dan bahan Alat tulis dan buku evaluasi kader PMO 2.4.4 Metode Wawancara, tanya jawab, hitung obat 2.4.5 Langkah-langkah: 1. Mengidentifikasi perilaku keteraturan berobat 2. Mewawancara klien mengenai perilaku berobat 3. Memotivasi klien untuk teratur berobat 4. Mewawancarai keluarga untuk memvalidasi keteraturan berobat klien 5. Menghitung obat yang ada 6. Mendokumentasikan tindakan 2.1.6 Evaluasi Evaluasi dilakukan pada masing-masing klien yang dikunjungi dan
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
dilakukan pemantauan perilaku di setiap pertemuan. Format evaluasi yang dapat digunakan dapat dilihat di bawah ini. Tabel 2.1 Format evaluasi keteraturan berobat klien schizophrenia Nama Klien Alamat
: :
No
Perilaku
1 2 3
Meminum obat sesuai jadwal Meminum obat sesuai dosis Tidak pernah terlewat waktu meminum obat Terus meminum obat walaupun merasa baikan Bertanya pada tenaga kesehatan jika efek obat dirasakan mengganggu Menyatakan obat membuat klien lebih baik
4 5 6
Pertemuan keI II III IV V VI VII VIII IX X
Keterangan : - Tuliskan tanggal pertemuan di kolom pertemuan ke-. - Beri tanda checklist pada kolom pertemuan, untuk perilaku yang sudah dilakukan klien - Identifikasi perilaku lain yang menunjukkan kepatuhan
2.5 Pelaksanaan Pembekalan Kader 2.5.1 Setting Kegiatan dilakukan di ruangan seminar, kader sebagai peserta duduk melingkar dan peneliti berdiri di depan peserta. 2.5.2 Metoda Ceramah, tanya jawab, diskusi, role play. 2.5.3 Alat dan bahan Ruang seminar, LCD, laptop, power point presentation, buku pedoman kader, buku kerja kader.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
2.5.4 Waktu dan tempat Pembekalan kader akan dilakukan pada minggu pertama sebelum penelitian (peran kader) dimulai. 2.5.5 Langkah-langkah 1. Persiapan 2. Pelaksanaan 3. Evaluasi
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
BAB III PENUTUP
Keteraturan berobat menjadi hal penting yang perlu diperhatikan pada klien dengan schizophrenia mengingat waktu pengobatan dalam jangka panjang. Karena kondisi sakitnya, klien schizophrenia memerlukan seseorang untuk mengawasi keteraturan berobat. Peran ini dapat dilakukan oleh seorang PMO (Pengawas Minum Obat) yang berfungsi menjaga keteraturan berobat klien. Menjaga keteraturan berobat klien dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah, lalu melakukan wawancara kepada klien dan keluarga, lalu mneghitung persediaan obat yang tersisa. Metoda ini adalah metoda yang paling praktis dan murah untuk mengecek perilaku kepatuhan klien dalam berobat. Akhirnya penyusun berharap bahwa buku panduan ini dapat bermanfaat bagi pelayanan kesehatan jiwa dan dapat memudahkan kader menjalankan tugasnya. Dampak akhir yang diinginkan dari peran PMO ini adalah prognosa klien yang baik, sehingga klien dapat hidup produktif dan mencegah kekambuhan klien.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
DAFTAR PUSTAKA Brannon, L., & Feist, J. (2010). Health psychology: an introduction to behavior and health (7th ed). USA: Wadsworth Cengage Learning. NANDA International. (2010). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC. Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.
Lampiran 17
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Biodata Nama
: Rahmi Imelisa
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta/ 2 Juni 1984 Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Dosen tetap
Alamat instansi
: STIKES Jenderal Ahmad Yani Cimahi
Alamat rumah
: Jl. Utama Bbk. Cihapit No.64 Rt.05/08 Cicaheum Bandung.
No telepon
: 08996036184
Riwayat pendidikan SDN Awigombong III Bandung
: 1989-1991
SDN Jatihandap II Bandung
: 1991-1995
SLTPN 20 Bandung
: 1995-1998
SMUN 10 Bandung
: 1998-2001
Program Sarjana PSIK -FK UNPAD : 2001-2006 Program Profesi Ners FIK UNPAD : 2006-2007 Riwayat pekerjaan Perawat magang RS.Krakatau Medika Cilegon (2007) Dosen tetap Program Studi Ilmu Keperawatan (S.1) STIKES Jenderal Ahmad Yani Cimahi (2008-sekarang)
Pengaruh asuhan..., Rahmi Imelisa, FIK UI, 2012.