UNIVERSITAS INDONESIA
STATUS HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Analisis Kasus Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps) TESIS
JEANITA ADELINE 1006828514
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2013
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
STATUS HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANGUNDANG PERKAWINAN (Analisis Kasus Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps) TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan
JEANITA ADELINE 1006828514
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2013 i
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
HALAM AN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh
:
Nama
:
Jeanita Adeline
NPM
:
1006828514
Program Studi
:
Magister Kenotariatan
Judul Tesis
:
STATUS HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN
(Analisis
Kasus
Putusan
Nomor
69/Pdt.G/2010/PN.Dps)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar M agister Kenotariatan pada Program Studi M agister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas I ndonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing
: Surini Ahlan Sjarif,S.H,M .H.
Penguji
: Prof. Wahyono Dharmabrata, S.H, M .H.
Penguji
: M elyana Yustikarini, S.H, M .H.
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 16 Januari 2013
iii
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya maka penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tugas akhir dengan judul ³67$786 +8.80 3(5-$1-,$1 3(5.$:,1$1 ATAS HARTA BENDA DALAM
PERKAWI NAN BERDASARKAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERKAWI NAN (Analisis Kasus Terhadap 3XWXVDQ 1RPRU 3GW*31'SV ´ ini ditujukan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Dalam kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, terutama kepada:
1.
Bapak
Prof. Safri Nugraha, S.H., L.L.M., Ph.D., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia 2.
Bapak
Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 3.
Ibu Surini Ahlan Sjarif,S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing tesis dengan pengetahuan dan wawasannya yang luas, dan tentunya tidak dapat saya lupakan jasanya seumur hidup saya telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya dan memaklumi keterlambatan penulis saat bimbingan, serta dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4.
Seluruh dosen Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia iv
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
A B ST R A K
Nama Program Studi Judul Pembimbing
: Jeanita Adeline : Kenotariatan : Status Hukum Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan : Surini Ahlan Syarief, S.H., M.H.
Perjanjian perkawinan atau prenuptial agreement adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon mempelai yang akan menikah. Banyaknya angka perceraian yang berujung masalah, khususnya sesuatu yang menjadi akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perkawinan, contohnya adalah timbulnya harta gono-gini dirasakan perlu dibuatnya perjanjian perkawinan. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut, maka aturan mengenai harta para pihak diatur dengan jelas di sana, baik mengenai harta bawaan maupun harta yang dihasilkan oleh para pihak selama masa perkawinan. Tentunya prosedur pembuatan perjanjian perkawinan haruslah dengan prosedur yang berlaku seperti perjanjian tersebut harus dibuat pada saat atau sebelum berlangsungnya perkawinan, dibuat dengan akta notaris, dan harus didaftarkan di Lembaga Pencatat Perkawinan. Begitu juga dengan masalah perubahan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perubahan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada sehingga berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihaknya. Perjanjian perkawinan hendaknya dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya. Penulis dalam penulisan skripsi ini mencoba menganalisa perlindungan hukum terhadap harta benda perkawinnan yang menggunakan perjanjian perkawinan, serta perlindungan hukum terhadap perjanjian perkawinan yang mengalami perubahan. Kata kunci: Perjanjian Perkawinan, Perubahan Perjanjian Perkawinan, Status Hukum Perjanjian Perkawinan
vii
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
A B ST R A C T
Name Study Program Title Counselor
: Jeanita Adeline : Kenotariatan : The Legal Status Of Preuptial Agreement In Accordance With Indonesian Civil Code And Marriage Statue (Case Analysis Number 69/Pdt.G/2010/PN.Dps) : Surini Ahlan Syarief, S.H.,M.H.
Prenuptial agreement is a written contract between two people who are about to marry that concerns about various financial issues. It covers the control and possession of property and other assets taken into the marriage and later obtained during the marriage either individually or jointly, as well as the couple's future earnings, and how such property or assets will be distributed in the event of divorce or death. These agreements are fairly common if either or both parties have substantial assets, children from a prior marriage, potential inheritances or earn high incomes. The writer of this thesis analyze the impact of law protection on prenuptial agreement against the financial issues in a marriage with prenuptial agreement and how the protection takes place on the prenuptial agreement which has been changed after the marriage. As a result of the recent high number of divorces which ended with problems, pre-nuptial agreement is expected to minimized those problems in advance. However, the procedure on creating the prenuptial agreement has to be made by law which would bound the two parties legally. Furthermore, any changes on the prenuptial agreement after the marriage has also be done by law to make it remain valid legally. Key words: Prenuptial Agreement, Changing of Prenuptial Agreement, Legal Status of Prenuptial Agreement
viii
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR I SI HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................
iii
KATA PENGANTAR«««««««««««««««««««««.....
iv
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI..........................................................
vi
ABSTRAK............................................................................................................
vii
ABSTRACT..........................................................................................................
viii
DAFTAR ISI«««««««««««««««««««««««««.....
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang«««««««««««««««««««.... 1 1.2 3HUPDVDODKDQ««««««««««««««««««««... 9 1.3 Metode PeQHOLWLDQ«««««««««««««««««««...... 10 1.4 Sistematika 3HQXOLVDQ««««««««««««««««««.. 12 BAB I I KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASAKAN KI TAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANGUNDANG PERKAWINAN (Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 69/ Pdt.G/ 2010/ PN. Dps) 2.1 Keabsahan
Perjanjian
Perkawinan
yang
Diubah
Setelah
Perkawinan Berlangsung 2.1.1 3HUNDZLQDQ««««««««««««««««««««... 14 2.1.2 Harta Benda 3HUNDZLQDQ«««««««««««««««. 33 2.1.3 PerjanjiaQ3HUNDZLQDQ«««««««««««««««.... 44 2.2 Analisis Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps Tentang Perceraian Mengenai Perjanjian Perkawinan yang Disahkan Pengadilan Negeri Pada Saat Perceraian 2.2.1 Kasus 3RVLVL««««««««««««««««««««.. 77 2.2.2
Pertim bangDQ+DNLP«««««««««««........................
ix
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
2.2.3 PutuVDQ+DNLP«««««««««««««««««««. 96 2.2.4
Analisi s .DVXV«««««««««««««««««««..
99
BAB I I I PENUTUP 3.1. Kesimpulan««««««««««««««««««««««... 105 3.2. 6DUDQ««««««««««««««««««««««««.... 107 DAFTAR PUSTAKA
x
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari kepentingan para pihak yang pada umumnya diawali dengan proses negosiasi sehingga tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Kebebasan berkontrak menjadi dasar sebuah kontrak atau perjanjian yang secara implisit memberikan panduan bahwa para pihak memiliki kedudukan seimbang serta memberikan rasa keadilan. Perkembangan hukum perikatan pada saat ini dipengaruhi oleh dinamika hubungan masyarakat yang telah membawa dampak perkembangan bagi hukum positif di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri dianggap sudah tidak dapat mengakomodasikan perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern, termasuk diterimanya pengaruh sistem hukum lain. Hal ini mengingat latar belakang sejarah pembentukannya yang sudah sedemikian tua warisan jaman Belanda. Perubahan terhadapa Kitab UndangUndang Hukum Perdata diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Manusia maupun Badan Hukum sebagai subjek hukum menggunakan perjanjian dalam perkembangan modern ini. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut memberikan perlindungan hukum serta mengakomodir kepentingankepentingan para pihak. Perjanjian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam buku ketiga yang di dalamnya terdapat aturan umum yang 1 Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2
berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku untuk perjanjian tertentu seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, tukar menukar, dan perbuatan hukum lainnya. Perjanjian khusus lainnya adalah mengenai perjanjian perkawinan yang terdapat dalam buku kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 'HILQLVL GDUL SHUMDQMLDQ DGDODK ³3HUVHWXMXDQ WHUWXOLVOLVDQ \DQJ GLEXDW oleh dua pihak atau lebih, masing-masing sepakat akan menaati apa yang tersebut GDODP SHUMDQMLDQ WHUVHEXW´1Perjanjian
dalam
Bahasa
Belanda
disebut
overeenkomst dan dalam Bahasa Inggris disebut contract. Menurut Black Law 'LFWLDQRU\ SHQJHUWLDQ SHUMDQMLDQ DWDX \DQJ ELDVD GLVHEXW NRQWUDN LDODK ³An agreement between two or more parties creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law´2 Terdapat pula definisi perjanjian menurut 6XEHNWL\DLWX³3HUMDQMLDQDGDODKVXDWXSHULVWLZDGLPDQDVHRUDQJEHUMDQMLNHSDGD seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu KDO´ 3 Penulis sendiri berpendapat perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sebuah perjanjian hendaknya memuat keadilan dan keseimbangan para pihak di dalamnya. Perjanjian atau yang biasa disebut kontrak ini memiliki 4 asas, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensus, asas daya mengikat, dan 1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, (Jakarta: Gramedia, 2008), hal. 502. 2
Bryan A Garner, Black Law Dictianory eight edition, (Thomson Bussines, 2004).
3
Subekti, Hukum Perjanjian ,(Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 1. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
3
asas itikad baik. Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang di dalamnya harus memuat hal kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan kausa yang halal. Sebuah perjanjian juga memiliki unsur-unsur, yaitu adanya kaidah hukum, adanya subjek hukum, adanya persuasi, adanya kata sepakat, dan adanya akibat hukum. Kaidah hukum yang dimaksud dalam sebuah perjanjian bisa berupa peraturan tertulis, seperti perjanjian atau traktat ataupun peraturan tidak tertulis seperti hukum adat. Subjek hukum dalam sebuah perjanjian biasa dilakukan oleh sesama individu, sesama Badan Hukum, ataupun antara individu dengan Badan Hukum. Persuasi dalam sebuah perjanjian adalah kehendak para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, hal sepakat tersebut diatur dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengenai kehendak para pihak dalam perjanjian. Akibat hukum sendiri melihat apakah suatu perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Perkawinan merupakan ikatan yang sakral dan mulia antara laki-laki dan perempuan yang dilandaskan pada rasa saling mengasihi di antara keduanya. Masyarakat sendiri melihat perkawinan sebagai suatu peristiwa biasa yang wajarnya terjadi. Tanpa disadari, perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang memiliki banyak akibat bagi kehidupan masyarakat. Sebuah perkawinan tidak sesederhana seperti apa yang dipikirkan masyarakat awam. Perkawinan berkaitan dengan banyak hal seperti masalah hak dan kewajiban suami istri, masalah harta benda dalam perkawinan, dan masalah putusnya perkawinan. Salah satu hal yang sering diangkat menjadi isu di Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
4
masyarakat saat ini adalah mengenai masalah harta benda dalam perkawinan. Para pasangan biasanya cenderung kurang memperhatikan masalah pengaturan harta benda perkawinan karena dirasa dapat merusak nilai-nilai perkawinan yang dianggap sakral, hal ini disebabkan karena perkawinan juga mengandung aspek religius, terutama dalam hal pembuatan perjanjian tertulis mengenai harta benda dalam perkawinan. Beberapa waktu belakangan ini dalam kehidupan sehari-hari, fenomena mengenai perjanjian perkawinan banyak muncul di kalangan para selebritis. Mereka melakukan perkawinan dengan pasangan yang dicintainya dengan menggunakan perjanjian perkawinan. Hal ini masih dirasakan janggal oleh masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki nilai-nilai ketimuran yang masih memegang teguh adat istiadat.
Masyarakat Indonesia masih merasa
janggal jika suatu pernikahan yang dianggap suci dan sakral dibatasi dengan suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan pada saat sebelum dilakukannya pernikahan. Perjanjian tersebut mengatur kepentingan-kepentingan para pihak di dalamnya yang biasanya mengatur masalah harta, namun bisa juga mengatur hal lain seperti hak asuh anak dan hal kekerasan dalam rumah tangga atau biasa yang disingkat KDRT. Definisi perjanjian perkawinan sendiri tidak dinyatakan secara jelas dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Perkawinan, yang ada hanyalah mengenai pengaturan perjanjian perkawinan itu sendiri. Penulis dalam hal definisi perkawinan tersebut menggunakan pendapat para ahli hukum. Menurut pendapat Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
5
3URI $OL $IDQGL6+SHUMDQMLDQNDZLQ DGDODK ³3HUMDQMLDQ \DQJ PHQJDWXUDNLEDW suatu perkawinan di dalam bidang harta keND\DDQ´4 Menurut pendapat J. Satrio, 6+SHUMDQMLDQNDZLQDGDODK³3HUMDQMLDQPHQJHQDLKDUWDDWDXPHQJHQDLEHKHHU 5 DWDV KDUWD´6. Penulis sendiri memiliki pendapat mengenai pengertian perjanjian perkawinan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin laki-laki maupun perempuan, yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan, dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka. Perjanjian perkawinan belum lama menjadi isu di masyarakat. Menurut beberapa literatur yang diperoleh penulis, perjanjian perkawinan mulai banyak disuarakan beberapa tahun belakangan ini, ketika para kalangan selebritis mulai sering menghiasi layar kaca dengan kisah perceraiannya. Hal yang menjadi permasalahan bagi mereka ketika bercerai biasanya adalah masalah pembagian harta gono-gini ataupun masalah hak asuh anak. Hal inilah yang melatarbelakangi masyarakat mulai merujuk pada perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dirasa dapat melindungi masalah harta benda jika sekiranya terjadi perceraian. Seringkali masyarakat Indonesia masih merasa tidak etis membicarakan perjanjian perkawinan karena seperti berpikir kemudian hari akan bercerai, oleh karena itu hal ini masih dianggap tabu. Pada umumnya, orang-orang yang tertarik menggunakan perjanjian perkawinan adalah orang-orang yang sudah mapan dan memiliki penghasilan tetap ataupun orang-orang yang sudah pernah menikah dan 4
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT.Bina Aksara, 1986), hal. 172. 5
Pengelolaan
6
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 146. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
6
bercerai sehingga merasa trauma dan merasa perlu menggunakan perjanjian perkawinan. Pergeseran norma mulai tampak ketika masyarakat mulai tertarik menggunakan perjanjian perkawinan dalam ikatan pernikahan yang sakral di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Perjanjian perkawinan masih merupakan hal yang masih dirasa tabu dan asing bagi masyarakat. Ada masyarakat yang bisa menerima konsep pemikiran tentang pembuatan perjanjian perkawinan, tetapi masih banyak masyarakat yang masih belum dapat menerimanya. Perjanjian perkawinan masih menjadi hal yang belum terjamah masyarakat secara umum. Hal ini disebabkan masih
banyaknya
pandangan
masyarakat
yang
menganggap
perjanjian
perkawinan sebagai sesuatu yang tidak lazim, materialistis, dan tidak sesuai dengan adat ketimuran. Perjanjian perkawinan memang masih merupakan hal yang tabu bagi masyarakat umum, namun hal ini sudah menjadi trend di kalangan artis, pejabat, pengusaha atau orang-orang kalangan atas. Mereka pada umumnya berpikir dengan adanya perjanjian perkawinan akan lebih melindungi harta benda milik masing-masing, sehingga tidak bercampur satu sama lain. Bagi masyarakat pada umumnya, perjanjian perkawinan tetaplah perlu, tetapi bukan dalam pengertian untuk kepentingan material. Perjanjian perkawinan digunakan untuk mempermudah masing-masing pihak dalam hal mana terjadi perceraian, karena dengan adanya perjanjian perkawinan masalah pembagian harta gono-gini dapat dengan mudah diselesaikan. Perjanjian perkawinan merupakan hal yang bermanfaat bagi siapa saja, tidak memandang harta, jabatan, atau kekuasaan. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
7
masing-masing pihak, artinya perjanjian perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian maupun kematian, sehingga jelas dibedakan mana yang merupakan harta gono-gini dan mana yang merupakan harta pribadi masing-masing. Perjanjian perkawinan juga untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga dalam hal mana terjadi penyitaan terhadap seluruh aset keluarga. Perjanjian perkawinan juga bermanfaat melindungi hak-hak perempuan. Pengaturan perjanjian perkawinan terdapat dalam Buku Kesatu tentang Orang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, namun dengan adanya asas lex specialist derogate legi generali 7, maka yang sekarang digunakan adalah Undang-Undang Perkawinan, kecuali bagi mereka yang melangsungkan perkawinan ketika Undang-Undang Perkawinan belum terbentuk masih tunduk pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Isu hukum yang diangkat penulis dalam penelitian ini melihat pada Undang-Undang Perkawinan maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana kedua peraturan tersebut memberikan perlindungan terhadap harta beda yang timbul dari perkawinan setelah ada perjanjian perkawinan. Penulis ingin mengacu pada kekuatan akta perjanjian perkawinan tersebut guna melindungi harta benda tersebut dalam menyelesaikan penelitian ini. Berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan mengijinkan adanya perubahan terhadap perjanjian perkawinan, yang mana dibuat sebelum atau pada saat akan 7
Hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
8
dilangsungkannya perkawinan. Melihat pada pasal tersebut, isu hukum berikutnya yang ingin diteliti oleh penulis adalah mengenai keabsahan perjanjian perkawinan yang diubah setelah perkawinan tersebut berlangsung. Penelitian ini juga merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berisi syarat-syarat sahnya perjanjian. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan telah memberikan gambaran bagaimanakah seharusnya perjanjian perkawinan ini berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian perkawinan di dalam pembuatannya memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sebuah perjanjian perkawinan menjadi sah dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Namun, di dalam prakteknya di masyarakat masih terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Seperti halnya dalam analisis kasus dengan putusan nomor: 69/Pdt.G/2010/PN. Dps, dimana di dalam kasus tersebut terdapat masalah yang dapat menjadi perdebatan. Sesuai dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang
Perkawinan,
bahwa
perjanjian perkawinan dibuat
dan
didaftarkan sebelum / pada saat perkawinan berlangsung, namun yang terjadi dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan tidak didaftarkan ke Catatan Sipil, tetapi pada saat perceraian berlangsung dimintakan pengesahan untuk perjanjian perkawinan yang belum didaftarkan tersebut. Hal yang menjadi perdebatan adalah apakah Pengadilan Negeri berwenang mengesahkan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung namun tidak didaftarkan ke Catatan Sipil, karena Kitab UndangUniversitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
9
Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan sudah mengatur mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan.
1.2 Rumusan Masalah Perjanjian perkawinan memberikan jalan keluar bagi pasangan yang hendak menikah maupun yang sudah menikah dalam hal pembagian harta benda. Saat ini masyarakat sudah mulai terbuka, sehingga sudah tidak lagi merasa tabu ataupun menodai kesakralan sebuah perkawinan jika membahas mengenai perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pasangan ini diharapkan dapat memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginan para pihak bilamana terjadi perceraian, namun tidak berarti jika dibuat perjanjian perkawinan maka para pasangan seolah-olah berpikiran akan bercerai suatu hari nantinya. Hal perjanjian perkawinan ini adalah sebagai antisipasi sesuai dengan sifat hukum, mengingat diperlukannya perjanjian perkawinan yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi masalah-masalah perceraian yang menitikberatkan pada perebutan harta gono-gini. Penulis menyampaikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian perkawinan yang diubah setelah perkawinan tersebut berlangsung? 2. Bagaimanakah analisis putusan nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps terhadap perjanjian perkawinan yang disahkan Pengadilan Negeri pada saat perceraian?
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
10
1.3 Metode Penelitian Penelitian tesis ini menggunakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normative untuk mengkaji berbagai sumber data hukum yang ada. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, yaitu mencari pengertian, unsur-unsur serta aspek-aspek dari suatu perjanjian perkawinan, syarat-syarat perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan, serta dampak yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan terhadap para pihak maupun pihak ketiga. Tipe penelitian ini bersifat preskriptif, dimana penelitian ini memberikan jalan keluar atau solusi dari dibuatnya perjanjian perkawinan terhadap para pihak yang membuatnya serta terhadap pihak ketiga. Bahan-bahan
diperlukan
dalam
melakukan
penelitian
untuk
mendukung keberhasilan suatu penelitian. Menurut Soerjono Soekanto, bahan± bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan±bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang termasuk dalam bahan hukum primer, antara lain norma dasar atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundand-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat, serta bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam tesis ini adalah Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
11
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang termasuk bahan hukum sekunder antara lain Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan tesis ini antara lain berupa berbagai macam buku±buku yang berkenaan dengan perkawinan, khususnya perjanjian perkawinan, penelitian hukum, dan buku±buku lain yang cocok dengan topik yang dibahas.
3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contoh bahan hukum tersier adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam tesis ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap informan maupun nara sumber. Penulis dalam penulisan tesis ini melakukan wawancara terhadap Bapak Erik Sinurat dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta dan Ibu Notaris Tan Susy, salah satu Notaris di Jakarta Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka atau dokumen, yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
12
Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan cara memperoleh data langsung dari masyarakat, yang disebut data primer, terdiri dari hasil wawancara terhadap informan dan nara sumber. Peneliti dalam penelitian ini menganalisa secara kualitatif, yaitu melakukan penelitian memahami perjanjian perkawinan itu sendiri dilihat dari sisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan. Hasil penelitian ini berbentuk evaluatif analitis, yaitu semua data yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan teori atau kaedah hukum yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tertutama yang berkaitan dengan penulisan tesis ini.
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari tiga bab yang masingmasing terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu: I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Metode Penelitian 1.4 Sistematika Penulisan II. Keabsahan Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan (Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN. Dps)
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
13
2.1 Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Diubah Setelah Perkawinan Berlangsung 2.1.1 Perkawinan 2.1.2 Harta Benda Perkawinan 2.1.3 Perjanjian Perkawinan 2.2 Perjanjian Perkawinan yang Disahkan Pengadilan Negeri Pada Saat Perceraian (Analisis Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps Tentang Perceraian) 2.2.1 Kasus Posisi 2.2.2 Pertimbangan Hakim 2.2.3 Putusan Hakim 2.2.4 Analisis Kasus III. Penutup 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
14
BAB I I KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN KI TAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN. Dps)
2.1 Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Diubah Setelah Perkawinan Berlangsung 2.1.1 Perkawinan 2.1.1.1 Perkawinan M enurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata A. Asas-Asas Perkawinan Asas-asas perkawinan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu8: 1. Perkawinan menganut asas monogami mutlak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) dilahirkan di dunia Barat yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen, oleh karena itu perkawinan secara poligami dilarang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 27 KUHPerdata yang berbunyi:
8
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan, (Jakarta: Rizkita), 2009, hal 55.
14 Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
15
´'DODPZDNWX \DQJ VDPD VHRUDQJ ODNL KDQ\DGLSHUEROHKNDQ mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang SHUHPSXDQKDQ\DVDWXRUDQJODNLVHEDJDLVXDPLQ\D´ 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengandung hubungan keperdataan, yaitu hanya memandang sahnya perkawinan dari segi undang-undang dan dengan demikian tidak
mempersoalkan
faktor
agama
dalam
urusan
perkawinan. Perkawinan dilangsungkan menurut tata cara undang-undang, yaitu dilakukan dihadapan pegawai atau pejabat Catatan Sipil. 3. Perkawinan tidak memperhatikan aspek biologis Perkawinan dapat dilaksanakan asalkan telah memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Perkawinan tidak memperhatikan unsur biologis, misalnya impotensi, mandul, kemampuan untuk mendapatkan anak, ataupun perkawinan pasangan dengan usia lanjut. Hal-hal tersebut bukan merupakan halangan untuk melangsungkan perkawinan.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
16
B. Syarat-Syarat Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai dua syarat dalam perkawinan, yaitu 9: 1. Syarat Material a.
Syarat Material yang Bersifat Umum 1) Persetujuan Bebas Calon Suami-Isteri Perkawinan bebas dari pengaruh atau unsur paksaan dan kekhilafan mengenai orang dengan siapa perkawinan itu akan dilangsungkan. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah pengaruh-pengaruh tersebut dapat dituntut pembatalannya. 2) Adanya pengaturan mengenai batas umur minimun tertentu untuk melangsungkan perkawinan, yaitu lakilaki 18 tahun dan untuk wanita 15 tahun. 3) Calon Suami-Isteri Dalam Keadaan Tidak Kawin Syarat ini didasarkan atas dasar monogami mutlak. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana diatur dalam
waktu
yang
sama
seorang
laki-laki
diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya. 9
Ibid, hal 63. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
17
4) Adanya aturan mengenai masa iddah, dimana seorang perempuan mempunyai waktu tunggu untuk menikah lagi yaitu setelah lewat 300 hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah percampuran benih.
b.
Syarat Material Khusus 1) Adanya larangan perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, yaitu antar wangsa (mereka berasal dar satu nenek moyang yang sama) dan antar ipar (mereka yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan. 2) Adanya larangan perkawinan di antara mereka yang dengan keputusan hakim terbukti melakukan zinah. 3) Adanya larangan perkawinan untuk kedua kalinya antara orang-orang yang sama, dan harus menunggu jangka
waktu
satu
tahun
sejak
pembubaran
perkawinan mereka yang terakhir. 4) Kewajiban meminta izin berlaku bak bagi anak sah maupun tidak sah, anak yang diperwalikan atau yang berada di bawah pengampuan, maupun anak yang masih di bawah umur.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
18
2. Syarat Formil Selain syarat material, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
juga
mengatur
syarat
formil
dari
sebuah
perkawinan10, yaitu: a. Melangsungkan perkawinan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal melangsungkan perkawinan, yaitu: 1) Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumumannya. 2) Perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, di hadapan pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu calon mempelai, dan dengan dihadiri oleh dua orang saksi. 3) Kedua calon mempelai dalam melangsungkan harus menghadap sendiri di muka pegawai catatan sipil. 4) Apabila ada alasan penting tidak bisa hadir, dapat menguasakan
kepada
pihak
lain
untuk
melangsungkan perkawinan. 5) Suatu upacara keagamaan baru boleh dilakukan, setelah kedua belah pihak membuktikan di hadapan pejabat agama telah melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai catatan sipil. 10
Ibid, hal. 77. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
19
b. Pengumuman akan dilangsungkan perkawinan Pemberitahuan tersebut harus diumumkan oleh Kantor Catatan
Sipil
dengan
cara
penempelan
surat
pengumuman pada pintu besar gedung instansi dimana disimpan akta-akta catatan sipil dan berlangsung selama 10 hari. Pengumuman tersebut diperlukan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah perkawinan yang tidak memenuhi
syarat
undang-undang.
Hal
mengenai
pengumuman ini diatur dalam Pasal 50-58 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
C. Akibat Hukum Perkawinan M enurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Akibat hukum perkawinan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu11: 1. Terhadap hubungan suami istri Akibat hukum perkawinan terhadap hubungan suami istri berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
11
Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung: Nuansa Aulia), 2007, hal. 88. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
20
a. Suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolongmenolong dan bantu-membantu. b. Setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya. Ia wajib tinggal bersama dengan suaminya dalam rumah dan wajib mengikuti dimana suami memilih tempat tingal. c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mendudukan suami sebagai berikut: 1) Suami adalah kepala dari persatuan suami istri. 2) Suami harus memberi bantuan kepada istrinya. 3) Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya. 4) Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga yang baik. 5) Suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan istrinya. d. Istri mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka pengadilan, sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung atau biasa disingkat SEMA 3/1963.12
12
Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung 3/1963. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
21
2. Terhadap harta kekayaan Masalah harta kekayaan diatur dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan mengenai masalah perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 139 sampai dengan 167 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain: a. Sejak saat perkawinan berlangsung, berlaku persatuan bulat harta kekayaan suami istri dan tidak boleh ditiadakan sepanjang perkawinan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. b. Persatuan bulat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi: 1) Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian hari. 2) Hasil, penghasilan, dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan. 3) Utang-utang
suami/istri
sebelum
dan
sesudah
perkawinan. 4) Kerugian-kerugian yang dialami selama perkawinan. c.
Hukum perkawinan memiliki akibat berbeda dengan adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan
bentuk
penyimpangan
undang-undang
mengenai harta bersama, yaitu persatuan bulat, sepanjang Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
22
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. 3.Terhadap Kedudukan Anak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal 3 (tiga) macam anak, yaitu13: a. Anak Sah Anak sah adalah anak yang dilahirkan atau dibebaskan selama perkawinan, memperolah suami sebagai bapaknya. Definisi dari anak sah dinyatakan dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai anak sah telah diatur dalam Pasal 250-271a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Anak Luar Kawin Anak luar kawin ada 2 (dua) jenis: 1. Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, kalau kemudian orangtuanya kawin, dan dapat diakui kalau tidak kawin (Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 2. Anak yang lahir dari ayah dan ibu yang dilarang kawin oleh Undang-Undang, atau salah satu pihak atau keduaduanya ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 13
Djaja Meliala, op.cit, hal 97. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
23
Anak ini disebut anak sumbang/anak alam atau anak zinah. Dengan pengakuan terhadap anak luar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Pengakuan dapat dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: - Dalam akta kelahiran si anak; - Dalam akta perkawinan ayah dan ibu kalau mereka kemudian kawin; - Dalam akta yang dibuat oleh kantor Catatan Sipil; - Dalam akta otentik lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kekuasaan orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 289-329, yaitu: a. Terhadap Pribadi Anak - Pasal 298 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Setiap anak, berapapun juga umurnya, wajib menghormati dan menghargai orangtuanya. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orangtua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
24
membiayai
pemeliharaan
dan
pendidikan
anak-anak
mereka. - Pasal 299 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Selama perkawinan orangtuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orangtuanya, sejauh kedua orangtua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. - Pasal
300
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata:
Kekuasaan orangtua itu pada umumnya dilakukan oleh si ayah. Jika bapak berada di luar kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu. - Pasal 301 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Orantua, meskipun mereka itu tidak mempunyai kekuasaan orangtua (karena telah terjadi perceraian), wajib memberi tunjangan bagi pemeliharaan dan penghidupan anak-anak mereka. b. Terhadap Harta Kekayaan si Anak - Pasal 307 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Orang yang memegang kekuasaan orangtua, harus mengurus harta kekayaan si anak yang masih di bawah umur. - Pasal
308
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata:
Terhadap harta kekayaan si anak ini, pemegang kekuasaan orangtua berhak menikmati hasilnya.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
25
- Pasal
309
Pemegang
Kitab
Undang-Undang
kekuasaan
orangtua
Hukum
Perdata:
tidak
boleh
memindahtangankan harta kekayaan si anak ini, selain dengan memperhatikan Pasal 393 yaitu dengan ijin Pengadilan Negeri. - Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orangtua atau perwalian, berhak menikmati hasil dari barang-barang anak-anaknya yang belum dewasa. Dalam hal orangtua itu, baik bapak maupun ibu, dilepaskan dari kekuasaan orangtua atau perwalian, kedua orangtua itu berhak menikmati hasil dari kekayaan anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai perwalian. Perwalian adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orangtua. Dengan demikian anak yang orangtuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau keduanya meninggal dunia, berada di bawah perwalian. Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orangtua, maka anak itu selalu di bawah perwalian.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
26
2.1.1.2 Perkawinan M enurut Undang-Undang Perkawinan A. Asas-Asas Perkawinan Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam UndangUndang Perkawinan adalah sebagai berikut 14: a. Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi,
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum
dan
agama
dari
yang
bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
14
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta), 2005, hal.7. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
27
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan,
agar
supaya
dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih d bawah umur. Berhubungan dengan tersebut, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, oleh karena itu undangundang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, sehingga untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
28
demikian
segala
sesuatu
dalam
keluarga
dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
B. Syarat-Syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan berdasarkan Pasal 6 dan 7 UndangUndang Perkawinan, yaitu 15: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Maksudnya bahwa karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal dan sesuai pula dengan hak-hak asasi manusia, maka para calon yang akan melangsungkan perkawinan, haruslah atas dasar keinginan mereka, tanpa ada pakasaan dari pihak manapun. 2. Seorang pria yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya dalam melangsungkan perkawinan. 3. Apabila salah seorang dari orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin melangsungkan perkawinan cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendak.
15
Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang Tentang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung: Tarsito), 1992, hal.17. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
29
4. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. Selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak. 5. Apabila terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang yang
memberi
persetujuan
dalam
melangsungkan
perkawinan, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapat , maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas
permintaan
orang
tersebut,
dapat
memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut. 6. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga kesehatan
daripada suami dan istri serta keturunannya, perlu ditentukan batas-batas umur. 7. Penyimpangan dalam hal umur dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun wanita.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
30
C.
Akibat
Hukum Perkawinan
M enurut
Undang-Undang
Perkawinan Hukum perkawinan mempunyai akibat di dalamnya, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu16: 1. Terhadap hubungan suami istri Akibat hukum perkawinan terhadap suami istri diatur dalam Pasal 31 sampai dengan 33 UndangUndang Perkawinan, yaitu: a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. c. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. d. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan bersama oleh mereka. e. Suami-istri
wajib
saling
cinta-mencintai,
hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 2. Terhadap harta kekayaan Akibat hukum perkawinan terhadap harta perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36, 37 Undang-Undang Perkawinan, dan dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan apabila dalam 16
Djaja Meliala, op.cit, hal.94. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
31
perkawinan menggunakan perjanjian perkawinan. Akibatakibat tersebut antara lain: a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. c. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. d. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. e. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. f. Akibat hukum perkawinan terhadap harta kekayaan akan berbeda jika terdapat perjanjian perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak
atas
persetujuan
bersama
dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
32
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. 3. Terhadap Kedudukan Anak Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang kedudukan anak ini, antara lain: - Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 UndangUndang Perkawinan). - Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)). Kekuasaan orangtua berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, antara lain:
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
33
- Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
(Pasal
45
Undang-Undang
Perkawinan). - Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan). Hal perwalian juga turut diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu dalam Pasal 50-53. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. 2.1.2 Harta Benda Perkawinan 2.1.2.1 Harta Benda Perkawinan menurut K itab Undang-Undang Hukum Perdata A. Wujud Harta Kekayaan Perkawinan Wujud harta kekayaan perkawinan itu berasal antara lain 17:
17
Husni Syawali, Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut KUH Perdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam, (Bandung: Graha Ilmu), 2009, hal. 47. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
34
1. Berasal dari harta warisan Berdasarkan undang-undang terdapat dua macam cara untuk memperoleh warisan, yaitu: a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang atau ab intestato dan, b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair). 2. Berasal dari hadiah Hadiah merupakan suatu pemberian yang timbul karena rasa simpatik terhadap seseorang yang berprestasi atau menghargai seseorang yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya dalam suatu perkawinan biasanya orang memberi hadiah berupa kado kepada mempelai berdua, oleh karenanya barang-barang tersebut, menjadi harta milik bersama suami-istri. Apabila pada saat pernikahan istri atau mempelai perempuan memperoleh hadiah dari calon suami atau dari anggota keluarga lainnya, maka itu akan menjadi milik istri sendiri dan orang lain harus menghargainya. Harta tersebut akan menjadi harta bersama, yang merupakan percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri, jika tidak ada perjanjian apapun sebelumnya. Hal ini tidak dapat dirubah sepanjang perkawinan. Dengan percampuran harta kekayaan suami istri itu merupakan kekuasaan suami secara penuh, meskipun harta kekayaan itu merupakan harta bawaan istri ke dalam perkawinan yang tidak Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
35
ditentukan lain dalam perkawinan, maka suami mempunyai hak untuk pengurusannya dan suamipun tidak diwajibkan untuk memberikan pertanggungjawaban. Tapi apabila salah satu pihak menentukan lain atau mengadakan perjanjian perkawinan (huwelijkse voorwarden), maka perjanjian itu harus dilakukan sebelum pernikahan ditutup/dilaksanakan dan dinyatakan dalam suatu akta notaris. 3. Berasal dari usaha sendiri Harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun oleh istri dari hasil usahanya sendiri merupakan hak milik mereka masing-masing yang patut dihargai dan dihormati. Pada azasnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas percampuran kekayaan dalam suatu perkawinan, oleh karena itu harta kekayaan yang diperoleh dari hasil usaha suami atau istri selama tidak ditentukan lain, maka harta kekayaan itu termasuk harta percampuran perkawinan. Suami adalah sebagai perkawinan,
kepala
keluarga
jadi dengan sendirinya suami
dalam
mempunyai
tanggungjawab penuh terhadap keluarga dan berhak mengurus serta menjaga harta kekayaan bersama, di samping itu juga ia berhak untuk mengurus harta kekayaan milik istrinya. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 124 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
36
´0LOLNEHUVDPDGDULVXDPLLVWULGLXUXVROHKVXDPL´ Dalam hal ini berarti suami adalah sebagai pemegang kekuasaan marital. Walaupun Pasal 124 tersebut menyatakan bahwa suami mempunyai wewenang pengurusan atas harta kekayaan, tapi dalam beberapa hal istripun mempunyai wewenang untuk mengurusi persatuan harta kekayaan itu, terutama dalam hal; 1. Mengadakan pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan rumah tangganya (Pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) 2. Mengadakan perjanjian (umpama, membuat hutang) dalam menjalankan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan mata pencaharian (Pasal 113 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
B. Bentuk-Bentuk Pengelolaan Harta Kekayaan Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan adanya dua bentuk pengelolaan harta kekayaan perkawinan, yaitu: 1. Secara percampuran harta kekayaan Pada prinsipnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas percampuran harta kekayaan suami istri. Dijelaskan dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata, yaitu; Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
37
´6HMDN PXODLQ\D SHUNDZLQDQ WHUMDGL VXDWX percampuran harta kekayaan suami istri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Jikalau orang ingin dari peraturan umum itu ia harus meletakkan keinginan itu dalam suatu perjanjian yang demikian ini harus diadakan sebelum pernikahan ditutup dan harus GLOHWDNNDQGDODPVXDWXDNWDQRWDULV´ 18 Sebagai dasar prinsip ini ialah Pasal 119 Kitab UndangUndang Hukum Perdata sebagai berikut: ´0XODL VDDW SHUNDZLQDQ GLODQJVXQJNDQ GHPL KXNXP berlakulah persatuan bulat antar arta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara VXDPLGDQLVWUL´ Termasuk harta benda suami istri adalah harta yang dihasilkan oleh mereka (suami istri) sebagai hasil usaha yang didapat
oleh
masing-masing
pihak
setelah perkawinan
dilangsungkan, baik hasil dari suami maupun hasil istri, sedangkan harta yang diperoleh masing-masing pihak sebelum perkawinan dilangsungkan, tetap menjadi hak milik mutlak bagi yang memperoleh harta tersebut, baik harta itu diperoleh merupakan hasil ketentuan undang-undang umpanya harta 18
Ibid, hal. 47. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
38
warisan atau harta hibah, atau harta itu diperoleh dari hasil usahanya sendiri. Apabila sebelum perkawinan berlangsung mereka (suami istri) mengadakan perjanjian untuk pemisahan harta kekayaan (scheiding van gooderen), maka harta kekayaan yang diperoleh masing-masing menjadi hak milik sendirisendiri. Namun demikian dalam suatu perkawinan undangundang menetapkan suami adalah kepala keluarga atau sebagai pengurusnya. Dengan kata lain suami berhak untuk mengurus kekayaan mereka bersama, di samping itu ia berhak mengurus kekayaan milik istrinya. Kekuasaan
suami
itu
didasarkan
asas
maritalemacht, yaitu suami diperbolehkan mengurus dan menentukan; a. Harta kekayaan bersama; b. Sebagian besar harta kekayaan milik istrinya. c. Menentukan tempat kediaman bersama; dan d. Persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan orangtua. Kewajiban seorang suami ialah memberi nafkah, pakaian, pendidikan anak dan sebagainya. Sebelum adanya atau dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, yang berhak untuk mengurus harta kekayaan bersama itu berada di tangan suami sepenuhnya, sedangkan istri dianggap tidak cakap untuk bertindak sebagai subyek Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
39
hukum. Kemudian setelah dikeluarkannya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut menjadikan baik suami maupun istri berhak untuk mengurus dan menjaga harta kekayaan bersama itu, karena sejak saat itu wanita atau istri dapat bertindak sebagai subjek hukum serta segala apa yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan. 2. Dengan perjanjian perkawinan Perjanjian perkawinan berdasarkan ketentuan undang-undang harus dilakukan sebelum perkawinan itu berlangsung dan harus dicatatkan dalam suatu akta notaris. Perjanjian perkawinan merupakan bentuk lain pengelolaan harta kekayaan perkawinan selain percampuran harta kekayaan.
C. Hak dan Kewajiban Suami I stri Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Hak dan kewajiban suami isteri terhadap harta kekayaan perkawinan jatuh pada kekuasaan suami (maritale macht). Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 105 Kitab Undang-Undang HukumPerdata, terlihat asas maritale macht yang menentukan bahwa suami adalah kepala keluarga sedangkan istri harus patuh dan
taat
kepada
suaminya.
Dengan
demikian
suami
diperkenankan untuk mengurus dan menentukan: 1. Harta kekayaan bersama Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
40
2. Sebagian besar kekayaan milik istrinya 3. Menentukan tempat kediaman bersama 4. Persoalan-persoalan
yang
menyangkut
kekuasaan
orangtua.
2.1.2.2 Harta Benda Perkawinan M enurut Undang-Undang Perkawinan A. Wujud Harta Kekayaan Perkawinan19 a. Berasal dari harta bawaan Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah
di
bawah
penguasaan
masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal ini berdasarkan
pada
Pasal
35
ayat
(2)
Undang-Undang
Perkawinan. Dengan demikian harta bawaan ini tetap menjadi milik suami atau istrinya bersangkutan, demikian juga hutang. Masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan tersebut. Sesuai dengan isi Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, yang menyebutkan mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
19
Lihat Pasal 35-37 Undang-Undang Perkawinan. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
41
b. Berasal dari harta bersama Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh baik oleh suami atau istri selama dalam ikatan perkawinan untuk kepentingan
keluarganya,
sehingga
barang-barang
yang
diperoleh dalam perkawinan itu menjadi harta kekayaan bersama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan berbunyi sebagai berikut: ´+DUWDEHQGD\DQJGLSHUROHKVHODPDSHUNDZLQDQPHQMDGLKDUWD EHUVDPD´ Baik suami maupun istri, dalam hal harta bersama ini, dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak sesuai dengan isi Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut: ´0HQJHQDLKDUWDEHUVDPDVXDPLDWDXLVWULGDSDWEHUWLQGDNDWDV SHUVHWXMXDQNHGXDEHODKSLKDN´ Suami istri yang mempunyai hutang selama perkawinan suami istri tersebut, bertanggungjawab dengan harta bersama mereka, maupun dengan harta bawaan mereka. Jika hutang tersebut adalah hutang suami, maka suami yang bertanggungjawab dengan harta bawaanya dan dengan harta bersama. Harta bawaan istri tidak dipertanggungjawabkan untuk hutang suami. Adapaun yang menyangkut hutang suami atau istri, setelah
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
42
perceraian suami atau istri bertanggungjawab sendiri dengan hartanya. c. Berasal dari Hadiah atau Warisan Asas yang berlaku umum di Indonesia sehubungan dengan harta yang diperoleh secara hadiah atau warisan, maka yang menjadi pemiliknya adalah suami atau istri yang menerima hadiah atau warisan itu. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, berbunyi sebagai berikut: ´+DUWD EDZDDQ GDUL PDVLQJ-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang SDUDSLKDNWLGDNPHQHQWXNDQODLQ´ Khusus mengenai harta bawaan dan harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan sebagai hadiah atau warisan, untuk penguasaannya suami atau istri dapat mengadakan perjanjian misalnya dalam penguasaanya akan diserahkan kepada suami. Dengan demikian baik harta yang diperoleh suami maupun harta yang diperoleh istri dari hadiah atau warisan terserah kepada kesepakatan kedua belah pihak (suami istri) untuk kepengurusan hartanya.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
43
B. Bentuk-Bentuk Pengelolaan Harta Kekayaan Perkawinan Undang-Undang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan di dalam pasal-pasal sebagai berikut 20: 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah
di
bawah
penguasaan
masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain 3. Penyimpangan terhadap bentuk-bentuk harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan adalah dengan menggunakan perjanjian perkawinan, yang akan dijelaskan selanjutnya.
C.
Hak dan Kewajiban Suami I stri Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Hak dan kewajiban suami istri terhadap harta kekayaan perkawinan, antara lain 21: 1. Masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
20 21
Lihat Pasal 35-37 Undang-Undang Perkawinan. Lihat Pasal 35-37 Undang-Undang Perkawinan. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
44
2. Suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak mengenai harta bersama.
2.1.2.3 Akibat Harta Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga (Kreditur) Hukum harta perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan kepentingan pihak ketiga (kreditur). Bentuk harta perkawinan yang telah dipilih oleh debiturnya, dapat mempunyai pengaruh terhadap besarnya
jaminan
tagihan
kreditur.
Dipilihnya
bentuk
harta
perkawinan tertentu adalah dengan mengingat akan kemungkinan terjadinya hal-hal yang dapat merugikan dirinya di kemudian hari.
2.1.3 Perjanjian Perkawinan 2.1.3.1 Tujuan Perjanjian Perkawinan Tujuan perjanjian perkawinan menurut Husni Syawali ialah: ´0DNVXG SHPEXDWDQ SHUMDQMLDQ SHUNDZLQDQ LQL DGDODK untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuanNHWHQWXDQWHQWDQJSHUVDWXDQKDUWDNHND\DDQ´ 22 2.1.3.2 M anfaat Perjanjian Perkawinan Perjanjian
perkawinan
sebagaimana
telah
dijelaskan
Penulis
sebelumnya, tentunya memiliki manfaat-manfaat dalam kehidupan
22
Husni Syawali, Op.Cit, hal 70. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
45
kedua pasangan tersebut. Manfaat-manfaat dari perjanjian perkawinan, yaitu23: a. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak (suami istri). Artinya, perjanjian perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian maupun kematian. Adanya perjanjian perkawinan, maka akan jelas mana yang merupakan harta gono-gini dan mana yang merupakan harta pribadi. b. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga. Hal ini dapat dicontohkan jika terjadi penyitaan terhadap seluruh aset keluarga karena bisnis bangkrut, dengan adanya perjanjian perkawinan, ekonomi keluarga akan bisa aman.
2.1.3.3 Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan A. Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata Perjanjian perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki beberapa macam bentuk, antara lain:
23
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Transmedia Pustaka), hal. 83. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
46
1. Tidak Ada Sama Sekali Persatuan Harta Kekayaan Kemungkinan ini didasarkan pada Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana perjanjian tersebut tidak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami sebagai kepala persatuan suami istri, si istri juga berhak memperjanjikan bagi dirinya, akan mengatur sendiri urusan harta kekayaan pribadi baik bergerak maupun tidak bergerak, dan akan menikmati sendiri pula dengan bebas akan segala pendapatnya secara pribadi. Meskipun tidak ada persatuan harta kekayaan, istri juga dapat menyimpang harta pribadinya untuk kepentingan rumah tangga, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Persatuan Hasil dan Pendapatan Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk persatuan untung rugi. Jika terjadi kerugian, yang bertanggungjawab adalah suami sebagai kepala rumah tangga. Selain itu dalam Pasal 146 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa jika pasangan calon pengantin tidak membuat perjanjian perkawinan, hasil dan pendapatan dari kekayaan istri dapat juga menjadi bagian dari harta bersama atau gono-gini.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
47
3. Persatuan Untung dan Rugi Dasar hukum persatuan untung rugi adalah Pasal 144 Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata,
bahwa
tidak
adanya
persatuan harta kekayaan tidak berarti tidak ada persatuan untung rugi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, persatuan untung dan rugi dipikul bersama-sama. Jika persatuan kekayaan suami istri berakhir, harus dilakukan perhitungan secara adil. Suami dan istri tidak dapat memperjanjikan bahwa salah satu pihak harus membayar sebagian utang lebih besar daripada bagian dalam laba persatuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. B. Bentuk-Bentuk Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan mengenai bentuk perjanjian perkawinan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, satu-satunya syarat adalah bahwa suatu perjanjian perkawinan tersebut harus dalam bentuk tertulis. Hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atas dasar itu para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan tersebut dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta otentik. Mengenai hal tersebut akan dijelaskan Penulis dalam pembahasan kemudian. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
48
2.1.3.4 Unsur-Unsur Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pembentukannya memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Unsur-unsur perjanjian tersebut dibedakan antara lain: A. Unsur-unsur perjanjian perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata: Adapun unsur-unsur yang harus ada di dalam sebuah perjanjian perkawinan, antara lain: 1. Perjanjian perkawinan hendaknya dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan berlangsung. Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan jika sebuah perjanjian perkawinan hendaklah dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Hal ini merupakan hal yang mutlak harus dilakukan karena pasal tersebut memberikan ancaman kebatalan terhadap perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yaitu suami dan istri, meskipun perjanjian tersebut dapat mempengaruhi pihak ketiga. Hal ini sudah sewajarnya, mengingat perjanjian tersebut menyangkut akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Suatu hal yang aneh jika yang membuat perjanjian tersebut adalah pihak lain. Perjanjian Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
49
perkawinan juga sama seperti perjanjian pada umumnya dimana perjanjian berlaku bagi undang-undang terhadap para pihak
yang
membuatnya.
Pihak
ketiga
di
sini
juga
diikutsertakan jika memiliki kepentingan terkait di dalamnya, dalam artian untuk melindungi pihak ketiga. Namun secara teknis, pembuatan perjanjian perkawinan dilakukan oleh suami dan istri sebelum perkawinan berlangsung. 2. Dibuat dalam secara tertulis. Perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk tertulis, yaitu dengan akta notaris (Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) 3. Unsur kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas hukum, kesusilaan dan ketertiban umum. Ketiga batasan tersebut merupakan hal yang mutlak tidak boleh dilanggar. Hal tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 139 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 4. Unsur tidak boleh diubah. Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan secara
tegas
menyebutkan
bahwa
setelah
perkawinan
berlangsung perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak dapat diubah.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
50
5. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan. Pasal 147 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan
bahwa
pembuatan
perjanjian
perkawinan
dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan, dan tidak boleh perjanjian perkawinan dibuat setelah perkawinan berlangsung. Hal ini berarti ada perjanjian perkawinan terlebih dahulu, kemudian mulai berlaku sejak perkawinan dilaksanakan.
B. Unsur-unsur perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan: 1. Dibuat oleh calon suami istri. Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa sebelum perkawinan berlangsung, para pihak, yaitu suami istri dapat mengadakan perjanjian tertulis yang isinya juga berlaku bagi pihak ketiga. 2. Dibuat dalam bentuk tertulis. Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, namun UndangUndang Perkawinan tidak mengatakan apakah harus akta otentik atau bisa berupa akta bawah tangan.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
51
3. Unsur kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar hukum, agama, dan kesusilaan, seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. 4. Unsur tidak boleh diubah. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pada prinsipnya tidak boleh diubah, namun Undang-Undang Perkawinan mencatumkan syarat apabila selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan ingin diubah maka harus dengan persetujuan para pihak, yaitu suami istri dan juga tidak merugikan pihak ketiga. 5. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan tidak dapat ditentukan lain.
2.1.3.5 Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian di antara para pihak, yaitu suami istri yang memiliki akibat hukum bagi mereka maupun pihak ketiga yang terkait. Perjanjian perkawinan memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat berlaku mengikat secara hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UndangUndang Perkawinan yang masing-masing juga mengatur masalah Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
52
mengenai perjanjian perkawinan ini. Keduanya memiliki unsur-unsur yang berbeda di dalamnya. Penulis dalam tesis ini membandingkan beberapa aspek perbedaan yang terdapat dalam kedua pengaturan mengenai perjanjian perkawinan tersebut. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bentuk Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan perjanjian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, kedua ketentuan tersebut memiliki perbedaan bentuk. Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: ³$WDVDQFDPDQNHEDWDODQVHWLDSSHUMDQMLDQSHUNDZLQDQ harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan EHUODQJVXQJ´ Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dibuat dalam bentuk tertulis saja, pembuat undang-undang tidak mengatakan lebih lanjut apakah bentuk tertulis tersebut berupa akta otentik atau akta bawah tangan. Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam suatu bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta itu dibuat. Pegawai-pegawai umum tersebut bisa Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
53
disebutkan antara lain, yaitu Notaris jika dalam pembuatan aktaakta perjanjian, Pegawai Kantor Catatan Sipil jika dalam hal akta perkawinan, akta kelahiran, ataupun Akta Sertifikat Tanah yang diterbitkan
oleh
Badan
Pertanahan
Nasional.
Perjanjian
perkawinan, dalam konteks ini termasuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris, selaku pegawai yang berwenang membuat akta perjanjian yang bersifat otentik. Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas menyebutkan akta perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk akta notaris, yang berarti pegawai yang berwenang dalam membuat perjanjian perkawinan adalah Notaris, bukan yang lain. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, yang berarti alat bukti akta otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain. Akta bawah tangan adalah akta-akta yag dibuat tanpa perantaraan pegawai yang berwenang. Akta bawah tangan dapat dicontohkan dengan akta-akta perjanjian jual beli ataupun sewa-menyewa yang tidak dibuat di hadapan Notaris, ataupun dalam konteks ini perjanjian perkawinan yang tidak dibuat di hadapan Notaris. Akta bawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik, yaitu sempurna dan mengikat, asalkan dengan syarat tidak dilumpuhkan dengan bukti lawan ataupun isi dan tanda tangannya diakui oleh pembuatnya.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
54
Terhadap kedua perbedaan peraturan di antara Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata
dengan
Undang-Undang
Perkawinan, J. Satrio dalam bukunya berpendapat mengenai pertimbangan pembuat
undang-undang tidak
mengharuskan
perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta notaris, yaitu: ³'LEXDQJQ\D V\DUDW DNWD 1RWDULHHO EDJL SHUMDQMLDQ kawin dalam Undang-Undang Perkawinan, mungkin atas dasar pertimbangan, bahwa akta notaris mahal, di samping bahwa Notaris hanya ada di kota-NRWDVDMD´24 Pendapat tersebut merupakan hal yang logis, namun jika melihat kembali
pada
maksud
dan
tujuan
pembuatan
perjanjian
perkawinan, dimana perjanjian perkawinan dibuat oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan dengan memiliki harta kekayaan yang cukup banyak, maka alasan tersebut masih bisa dikesampingkan. Kendatipun demikian, pada kenyataannya perjanjian perkawinan tetaplah dibuat dalam bentuk akta otentik. Perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hal ini guna mencegah adanya masalah-masalah di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan mungkin saja bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang apabila terjadi perceraian, salah satu pihak ada yang mengingkari pernah membuat perjanjian 24
J. Satrio, Op.Cit, hal 224. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
55
perkawinan, ataupun dalam kewajiban pemenuhan pembayaran utang ternyata para pihak bilang pernah membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat berupa akta otentik dapat meminimalisasi adanya hal-hal tersebut. Para pihak dalam membuat suatu perjanjian tentunya ingin semua hak dan kewajibannya dapat terlindungi secara baik dan adil, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan di Notaris, diharapkan semua hal tersebut dapat terpenuhi secara baik dan adil. Penulis dalam penelitian ini juga melakukan wawancara dengan Notaris Tan Susy, yang mengatakan bahwa: ³0HVNLSXQ GDODP 8QGDQJ-Undang Perkawinan tidak menyebutkan bahwa perjanjian kawin harus dalam bentuk akta notaris, namun kebanyakan orang bahkan hampir semua dalam pembuatan perjanjian kawin menggunakan akta notaris guna adanya kepastian KXNXPGDQSHPEXNWLDQVHPSXUQDGLNHPXGLDQKDUL´ Penulis berpendapat hendaknya dalam pembuatan perjanjian perkawinan tetap menggunakan bentuk akta otentik demi perlindungan hukum terhadap para pihak suami istri, maupun juga terhadap pihak ketiga yang terkait.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
56
2. Pendaftaran Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan didaftarkan di Pengadilan Negeri di daerah mana perkawinan itu dilangsungkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang pendaftaran tersebut. Di dalam UndangUndang Perkawinan tidak mengatur mengenai pendaftaran perjanjian
perkawinan.
Pengaturan
mengenai
perjanjian
perkawinan yang turut dimuat dalam akta perkawinan ketika dicatatkan
pada
Catatan
Sipil,
terdapat
dalam
Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku mengikat bagi pihak ketiga apabila didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan akan berakibat pada pihak ketiga, yaitu pihak ketiga akan menganggap bahwa dalam perkawinan tersebut menggunakan percampuran harta kekayaan. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin berpendapat bahwa:
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
57
³6HODPD EHOXP GLGDIWDUNDQ SLKDN NHWLJD GDSDW menganggap
bahwa
perkawinan
itu
berlangsung
GHQJDQNHEHUVDPDDQKDUWDSHUNDZLQDQ´ 25 Ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan memiliki akibat terhadap pihak ketiga yang memiliki keterkaitan dengan harta kekayaan suami istri tersebut. Perjanjian perkawinan wajib didaftarkan
karena
apabila
didaftarkan
maka
perjanjian
perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga terhadap apa yang didaftarkan itu. Apabila tidak didaftarkan maka pihak ketiga berpatokan bahwa tidak ada perjanjian perkawinan tersebut, yang berarti terdapat percampuran harta kekayaan. Pendaftaran yang dimaksud di sini sudah harus telah dilaksanakan ketika salah satu pihak suami atau istri ataupun keduanya, berhubungan dengan pihak ketiga. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin kembali berpendapat bahwa: ³6LDSD \DQJ PHQJDGDNDQ KXEXQJDQ KXNXP VHVXGDK pendaftaran itu terikatlah mereka kepada perjanjian NDZLQ\DQJWHODKGLGDIWDUNDQLWX´26 Hal ini dimaksudkan guna mencegah pihak suami ataupun istri merugikan kepentingan pihak ketiga. Pitlo berpendapat bahwa:
25
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni), 1986, hal 82. 26 Ibid, hal 83. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
58
³8QGDQJ-Undang yang menentukan kewajiban pendaftaran itu. Kewajiban pendaftaran itu adalah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga bukan untuk memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk mengikat pihak ketiga dengan sesuatu yang tidak EHQDU´27 Undang-Undang Perkawinan sendiri tidak mengatur mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sendiri hanya menyinggung sedikit tentang pencatatan perjanjian perkawinan apabila ada. Perjanjian perkawinan, meskipun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur pendaftaran, pada prakteknya tetap didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat. Hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap Notaris Tan Susy, menyebutkan yaitu: ³0HVNLSXQ menyebutkan
8QGDQJ-Undang adanya
Perkawinan
pendaftaran
tidak
perjanjian
perkawinan di Pengadilan Negeri setempat, namun demi keamanan saya tetap selalu mendaftarkan perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri terlebih GDKXOX´ Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Dendri Purnomo, yaitu seorang Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang mengatakan bahwa: 27
Ibid, hal 84. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
59
³3HQGDftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri awalnya adalah dari ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang kemudian setelah adanya Undang-Undang
Perkawinan,
hal
tersebut
sudah
PHQMDGLNHELDVDDQ´ Sebelum dibentuk Undang-Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan yang berlaku berdasarkan pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dimana dalam Pasal 152 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyebutkan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri setempat. Pada saat Undang-Undang Perkawinan telah dibentuk dan diundangkan, pendaftaran perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri sudah menjadi kebiasaan yang seolah-olah mutlak harus dilakukan. Pada kenyataan di lapangan praktek, Catatan Sipil sendiri hanya mau menerima perjanjian perkawinan yang telah didaftarkan terlebih dulu di Pengadilan Negeri. Hal tersebut dikarenakan pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri sudah menjadi kebiasaan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan apabila tidak didaftarkan terlebih dahulu. Penulis berpendapat sebaiknya pengaturan mengenai kebiasaan pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri ini dimuat dalam peraturan mengenai perjanjian perkawinan. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
60
positif atau ius constitutum, seharusnya kebiasaan bukanlah sesuatu yang dapat memiliki akibat hukum apabila tidak dilakukan. Kebiasaan mendaftarkan perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri terlebih dahulu ini hendaknya dijadikan suatu hukum positif sehingga dapat berlaku mengikat. Permasalahan selain pendaftaran adalam masalah pengesahan
perjanjian
perkawinan.
Masalah
pengesahan
perjanjian perkawinan ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UndangUndang Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan tidak mensyaratkan mutlak sebuah perjanjian perkawinan harus dibuat dalam akta otentik, namun Undang-Undang Perkawinan hanya mensyaratkan perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Pegawai Pencatat Perkawinan yang dimaksud di sini dapat merupakan pegawai di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi yang beragama Islam, ataupun Pegawai Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim. Penulis dalam tesis ini lebih menitikberatkan pada perjanjian perkawinan bagi masyarakat non muslim, oleh karena itu penulis melakukan penelitian hanya pada Kantor Catatan Sipil saja. Catatan Sipil merupakan lembaga yang dibentuk dengan maksud untuk membuktikan status seseorang, suatu lembaga dimana dicatat kelahiran, pengakuan anak, perkawinan, Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
61
perceraian
dan
kematian.
Semua
hal-hal
tersebut
dapat
memberikan pengaruh pada status seseorang dalam hukum dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pendaftaran dalam Catatan Sipil. Perjanjian perkawinan, dalam konteks ini, turut dilampirkan dan dicatatkan ketika pembuatan akta perkawinan. Perjanjian perkawinan yang masuk pada Pegawai Pencatat
Perkawianan di KUA (Kantor Urusan Agama)
cenderung lebih tidak memiliki kendala yang berarti. Berbeda dengan Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dimana
masih
banyak
hal
yang
dapat
menjadi
suatu
permasalahan. Hal yang menjadi permasalahan adalah karena Undang-Undang Perkawinan dirasa masih kurang mengatur beberapa hal yang sekiranya perlu diatur lebih lanjut. Fungsi dari pencatatan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil ini sebenarnya sama dengan fungsi dari pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri, yaitu guna mengikat pihak ketiga. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, karena pendaftaran sudah menjadi kebiasaan, maka dilakukanlah keduaduanya. Apabila melihat pada fungsinya yang sama, seharusnya cukup dengan mendaftarkan di Catatan Sipil saja sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, namun pada kenyataannya Catatan Sipil tidak mau menerima perjanjian perkawinan yang belum didaftarkan terlebih Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
62
dahulu di Pengadilan Negeri. Hal inilah yang menjadi permasalahan, dimana seharusnya kebiasaan merupakan hal yang boleh dilakukan boleh juga tidak dilakukan, namun dalam konteks pendaftaran perjanjian perkawinan ini menjadi hal yang harus dilakukan, padahal tidak ada dasar hukumnya. Masyarakat sendiri untuk amannya apabila dari pihak Catatan Sipil sendiri sudah mengatakan demikian, akan memilih lebih baik dilakukan saja. Hal inilah yang harus ditegaskan lebih lanjut dalam bentuk hukum positif, penulis berpendapat bahwa sebaiknya pendaftaran ke Pengadilan Negeri tetap dilakukan guna mengikat pihak ketiga, namun pencatatannya tetap dilakukan di Catatan Sipil ketika membuat akta perkawinan. Selain itu, untuk memberikan kepada para pihak serta pihak ketiga, sehingga cenderung lebih aman apabila perjanjian perkawinan didaftarkan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri setempat. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan, dalam hal ini khususnya adalah Kantor Catatan Sipil, mempunyai akibat hukum pada beberapa aspek, yaitu: 1. Akibat Hukum Pada Akta Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan sama halnya dengan perjanjian pada umumnya memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat perjanjian perkawinan yang turut diatur dalam Pasal Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
63
29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah mengenai pencatatatnya. Perjanjian perkawinan harus dicatatkan agar sah dan mempunyai akibat hukum. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan akan dianggap tidak pernah ada, maka akibat hukum perjanjian tersebut dan ketentuan yang terdapat di dalamnya tidak berlaku dan tidak mengikat kedua belah pihak, artinya para pihak tidak mempunyai kewajiban untuk menaati dan memenuhi isi dan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tersebut. 2. Akibat Hukum Pada Harta Perkawinan Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan maka dianggap tidak pernah ada, oleh karena itu di dalam perkawinan tersebut terjadilah persatuan harta sesuai apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata, bagi yang melangsungkan perkawinan sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, ataupun terdapat harta bersama bagi yang melangsungkan perkawinan setelah Undang-Undang Perkawinan muncul. 3. Akibat Hukum Pada Pihak Ketiga Pihak ketiga yang dimaksud di sini adalah pihak yang sama sekali tidak berhubungan dengan perkawinan tersebut, namun memiliki
kepentingan
terhadap
keadaan
harta
benda
perkawinan tersebut. Pasal 29 ayat (1) telah mengatur dengan jelas bahwa perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
64
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga tesangkut. Akibat hukum yang muncul apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan adalah bahwa pihak ketiga beranggapan bahwa dalam perkawinan tersebut terdapat persatuan harta ataupun terdapat harta bersama. Ketiga akibat tersebut pada intinya merujuk pada asas pacta sunt servanda pada suatu perjanjian, yaitu perjanjian berlak bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan berarti tidak dapat berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang terkait di dalamnya, sehingga apabila para pihak tidak melakukan apa yang disebutkan dalam perjanjian perkawinan tersebut bukanlah merupakan wanprestasi.
2.1.3.7
Perubahan Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan pada dasarnya jika dibuat sebelum perkawinan berlangsung bisa diadakan perubahan jika para pihak suami istri menghendakinya. Perjanjian perkawinan sendiri mulai berlaku ketika perkawinan berangsung, oleh karena itu apabila perubahan perjanjian perkawinan dilakukan sebelum perkawinan Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
65
berlangsung masih belum memiliki akibat hukum yang berarti. Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: ³6HJDODSHUXEDKDQGDODPSHUMDQMLDQ \DQJVHGLDQ\DSXQEROHK diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulu pun dibuatnya. Selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun boleh berlaku, jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh segala mereka, yang dulu telah menghadiri dan menyetujui SHUMDQMLDQ´ Undang-Undang Perkawinan sendiri secara tersirat mengatakan bahwa perjanjian perkawinan, sebelum perkawinan dapat diubah dengan kesepakatan para pihak suami istri tersebut. Masalah perubahan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan bukanlah suatu hal yang berarti asalkan kedua belah pihak menyetujuinya, karena perkawinan tersebut belum berlangsung yang berarti perjanjian perkawinan tersebut belumlah berlaku. Masalah timbul ketika perubahan perjanjian perkawinan diadakan ketika perkawinan berlangsung, yang mana perjanjian perkawinan tersebut sudah memiliki dampak akibat terhadap pihak suami istri di dalamnya maupun pihak ketiga yang terkait tersebut. Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah dengan sangat jelas mengatakan bahwa: Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
66
³6HWHODK SHUNDZLQDQ EHUODQJVXQJ SHUMDQMLDQ perkawinan GHQJDQFDUDEDJDLPDQDSXQWLGDNEROHKGLXEDK´ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas tidak memberikan kemungkinan apapun terhadap terjadinya perubahan perkawinan. Larangan terhadap perubahan perjanjian perkawinan ini sebenarnya dimaksudkan bagi perlindungan terhadap pihak ketiga. Pembentuk undang-undang sekiranya mencegah para pihak suami-istri melakukan perubahan perjanjian perkawinan ketika perkawinan berlangsung guna merugikan pihak ketiga dengan adanya perubahan tersebut. Tidak mungkin tidak adanya kemungkinan bahwa sepasang suami istri yang mana memperjanjikan bahwa suatu barang X. Barang X tersebut merupakan barang yang dibawa suami ke dalam pekawinannya dengan istrinya. Suatu hari ketika sudah menikah, suami berhutang kepada A dengan menggunakan barang X sebagai jaminannya. Sebelum masa pembayaran jatuh tempo, suami istri tersebut melakukan perubahan perjanjian perkawinan dengan mengatakan bahwa barang X tersebut merupakan milik istrinya. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan dasar sebaiknya mutlak sebuah perjanjian perkawinan tidak dapat diubah. J. Satrio dalam bukunya berpendapat bahwa: ³3LKDN NHWLJD²kreditur²agar ia tidak bisa sewaktu-waktu dihadapkan kepada situasi yang berubah-ubah yang dapat merugikan dirinya (dalam artian jaminan harta debitur atas SLXWDQJNUHGLWXU ´28 28
J. Satrio, Op. Cit, hal 154. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
67
Undang-Undang Perkawinan mengatur hal yang berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan bahwa: ³6HODPD SHUNDZLQDQ EHUODQJVXQJ SHUMDQMLDn tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan SLKDNNHWLJD´ Undang-Undang Perkawinan memberikan kemungkinan terhadap para pihak suami istri untuk dapat melakukan perubahan terhadap isi dari perjanjian perkawinan tersebut selama perkawinan berlangsung. Undang-Undang Perkawinan memberikan dua persyaratan yang harus dipenuhi
apabila
ingin
melakukan
perubahan
atas
perjanjian
perkawinan tersebut, yaitu mengenai kesepakatan para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. 1. Kesepakatan para pihak Suatu perjanjian, dalam hal ini perjanjian perkawinan, apabila akan diubah maka hal yang harus ditinjau adalah hal kesepakatan. Adanya kesepakatan berarti tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan di dalamnya. Para pihak yang dimaksud dalam hal ini sudah jelas adalah pihak suami istri itu sendiri. Orangtua ataupun walinya meskipun dulu turut berperan dalam pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat memintakan perubahan perjanjian perkawinan. Hal ini Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
68
mengingat bahwa orang-orang yang sudah dalam status menikah ataupun sudah pernah menikah adalah cakap melakukan perbuatan hukum,
sehingga
dalam
melakukan
perubahan
perjanjian
perkawinan tersebut tidak perlu lagi turut campur mereka. Para pihak dalam perubahan perjanjian perkawinan mutlak adalah suami dan istri. 2. Tidak merugikan pihak ketiga Pihak ketiga merupakan orang yang mempunyai kepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu keluarga, yang biasanya yang menjadi masalah adalah jaminan atas piutang-piutangnya sedikit banyak bergantung pada keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya. J. Satrio berpendapat dalam bukunya bahwa: ³.DODX SHPEHQWXN XQGDQJ-undang tidak mencantumkan syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami istri, yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak NHWLJD´29 Maksud dari pembentuk undang-undang mengatur demikian sekiranya adalah guna melindungi kepentingan pihak ketiga. Suami istri yang melakukan perubahan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk merugikan pihak ketiga, maka akan berakibat batal. Hal ini dikarenakan maksud dari adanya syarat ini adalah guna melindungi kepentingan pihak ketiga, apabila pihak ketiga sendiri 29
Ibid, hal 226. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
69
tidak merasa dirugikan dan memintakan batal maka perjanjian tersebut tetap berlaku penuh. Kenyataan di masyarakat, masih terdapat perbedaan pendapat apakah terhadap suatu perjanjian perkawinan boleh diadakan suatu perubahan atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa hendaknya tidak dapat diadakan perubahan terhadap perjanjian perkawinan guna menghindarkan penyalahgunaannya terhadap pihak ketiga. Adapula yang berpendapat bahwa jika kedua belah pihak sudah sepakat untuk mengadakan perubahan perjanjian perkawinan, sebagaimana yang terjadi pada perjanjian pada umumnya, mengapa harus dilarang. Melihat dari kedua perbedaan pendapat tersebut, pendapat yang pertama menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai dasar acuannya, sedangkan pendapat kedua menggunakan UndangUndang Perkawinan sebagai acuannya. Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan adalah jenis peraturan yang setingkat yaitu undang-undang. Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sumber hukum formal di Indonesia di samping kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan doktrin. Undang-undang mempunyai kekuatan dan kekuasaan berlaku. Yang dimaksud dengan kekuatan berlakunya undang-undang adalah kekuatan mengikat antara undangundang, sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan adalah
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
70
kekuasaan berlakunya undang-undang terhadap
lingkungannya.
Menurut pendapat Paul Laband bahwa: ³.HNXDWDQEHUODNXQ\DXQGDQJ-undang didasarkan pada isi dan perintah undang-undang. Mengenai yang terakhir ini undang-undang berisi perintah supaya undang-undang itu berlaku dan ini terletak pada (persetujuan) Pemerintah. Contohnya Bagi Indonesia Undang-Undang yang dirancang dan dibuat Presiden baru boleh berlaku apabila disetujui oleh DPR. Tetapi dnegan persetujuan tersebut undang-undang belum mempunyai kekuatan mengikat, karena untuk itu GLSHUOXNDQSHUXQGDQJDQ´30 Kekuatan berlakunya undang-undang dipengaruhi oleh berbagai asas: 1. Undang-Undang yang lebih rendah derajatnya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi (asas tata jenjang). 2. Undang-undang yang lebih tinggi derajatnya membatalkan undang-undang yang mempunyai derajat lebih rendah. 3. Undang-undang yang derajatnya sama serta mengatur persoalan yang sama, berlaku asas undang-undang yang baru membatalkan yang keluar lebih dahulu (lex posterior derogate lex priori). 4. Undang-undang yang bersifat khusus terhadap undang-undang \DQJ EHUVLIDW XPXP EHUODNX DVDV ³lex specialist derogat legi generali´\DQJDUWLQ\DXQGDQJ-undang yang bersifat khusus lebih kuat daripada yang bersifat umum, sepanjang undang-undang tersebut mempunyai derajat yang sama. 30
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika), 2006, hal 135. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
71
5. Undang-undang tidak berlaku surut, yang artinya undang-undang hanya mengikat hal-hal yang akan datang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan kitab yang berisi kumpulan undang-undang yang dibukukan menjadi satu. Terdapat empat peraturan yang diatur di dalamnya, yaitu Buku I tentang Orang, Buku II tentang Kebendaan, Buku Ketiga tentang Perikatan, dan Buku IV tentang Pembuktian dan Daluarsa. Masalah hukum perkawinan di dalam KUHPerdata, khususnya dalam hal ini adalah masalah perjanjian perkawinan terdapat dalam Buku I tentang Orang. Hal ini berarti bahwa perjanjian perkawinan yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan peraturan yang umum, dimana Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Orang bukan khusus mengatur masalah perkawinan. UndangUndang Perkawinan sendiri merupakan peraturan yang khusus mengatur mengenai perkawinan dan masalah perjanjian perkawinan diatur pula di dalamnya. Melihat dari kedua pertauran tersebut maka berdasarkan asas yang terdapat dalam undang-undang, maka berlakulah asas lex specialist derogat legi generali. Sudah jelas bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan peraturan umum dan Undang-Undang Perkawinan adalah peraturan yang lebih khusus. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan pendapat di masyarakat yang kembali harus dilihat adalah kepada asas dari suatu undangundang tersebut. Penulis merasa bahwa pada kenyataannya memang Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
72
yang harus diberlakukan adalah apa yang diatur Undang-Undang Perkawinan yang merupakan peraturan yang lebih khusus, namun jika kembali melihat pada isi pasalnya, penulis merasa bahwa sebaiknya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah setelah perkawinan dengan cara bagaimanapun guna menghindari ketidakpastian hukum jika para pihak suami istri sering melakukan perubahan terhadap isi dari perjanjian perkawinan tersebut.
2.1.3.8 Keabsahan
Perjanjian
Perkawinan
yang
Diubah
Setelah
Perkawinan Berlangsung Perjanjian perkawinan dapat diubah berdasarkan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mengadakan perubahan terhadap perjanjian perkawinan diperlukan syarat sepakat para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Masalah kesepakatan perubahan perjanjian perkawinan jika dikaitkan dengan asas konsensualisme dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila kedua belah pihak sepakat, maka dapat diadakan perubahan perjanjian perkawinan. Mengenai hal sepakat tersebut para pihak, Pasal 29 ayat (4) UndangUndang Perkawinan menyebutkan bahwa apabila kedua belah pihak ada perjanjian. Perjanjian yang dimaksud di sini tidaklah dijelaskan apakah merupakan perjanjian tertulis atau hanya cukup sepakat kedua belah pihak saja, dan apabila menggunakan perjanjian tertulis, apakah Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
73
harus menggunakan akta notaris atau cukup akta bawah tangan saja. Tidak adanya pengaturan mengenai hal ini merupakan salah satu ketidakjelasan
Undang-Undang
Perkawinan
dalam
mengatur
permasalahan perjanjian perkawinan ini. Penulis dalam rangka penelitian ini
melakukan
wawancara terhadap Bapak Erik Sinupat 31, yaitu seorang pegawai di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta dan Notaris Tan Susy. Beliau mengatakan bahwa tidak adanya peraturan yang jelas mengenai proses atau tata cara perubahan suatu perjanjian perkawinan, namun beliau membantu menjelaskan proses bagaimana suatu perjanjian perkawinan diubah dan bagaimana keabsahannya. Perubahan dalam suatu perjanjian perkawinan tidak dibatasi oleh suatu batasan-batasan tertentu, namun hal-hal yang boleh diubah hanya halhal yang telah diatur sebelumnya dalam perjanjian perkawinan tersebut dan bukan membuat hal-hal baru yang baru. Para pihak yang hendak melakukan suatu perubahan terhadap perjanjian perkawinan mereka, terlebih dahulu harus membuat suatu perjanjian tertulis yang berisikan kesepakatan para pihak untuk mengubah isi dari perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut harus merupakan suatu akta notaris yang dibuat di hadapan Notaris dimana mereka membuat perjanjian perkawinan tersebut. Hal ini bertujuan agar para pihak suami istri tidak dengan 31
Wawancara Bapak Erik Sinurat, tanggal 10 Oktober 2012. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
74
sesuka hati dapat melakukan perubahan terhadap isi perjanjian perkawinan tersebut sehingga dapat merugikan pihak ketiga, selain itu akta notaris merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat. Setelah para pihak sepakat mengadakan perubahan terhadap isi dari perjanjian perkawinan dan sudah dibuatkan akta persetujuan para pihak untuk mengadakan perubahan terhadapnya, maka perubahan tersebut dapatlah dibuat. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana kekuatan dan kedudukan perjanjian perkawinan yang mengalami perubahan, apakah perjanjian perkawinan yang baru menggantikan yang lama ataukah diatur yang lain. Akta perubahan perjanjian perkawinan tersebut tetap dibuat berupa akta otentik di Notaris dimana perjanjian perkawinan sebelumnya dibuat, yang mana terhadap perjanjian perkawinan tersebut hanya terdapat perubahan, bukanlah dibuat suatu akta baru menggantikan yang lama. Keabsahan terhadap perjanjian perkawinan yang mengalami perubahan ialah jelas, karena perjanjian perkawinan yang lama masih tetap berlaku, namun hanya terdapat tambahan perubahan. Terhadap hal yang mengalami perubahan tersebut, maka perubahan yang terdapat di dalam akta perjanjian perkawinan digantikan dengan hal yang mengalami perubahan yang terdapat dalam akta perubahan perjanjian perkawinan. Akta perubahan perjanjian perkawinan tersebut tidak perlu dicatatkan di Catatan Sipil lagi karena pada pokoknya akta perjanjian yang ada masih berlaku dan yang dibuat baru hanya merupakan tambahan saja. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
75
Perubahan perjanjian perkawinan hanya berhubungan antara para pihak dengan Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat akta otentik. Tidak ada ketentuan yang mengatur bagaimana proses perubahan perjanjian perkawinan secara tegas. Hal inilah yang menyebabkan proses-proses yang ada dalam praktek hanya dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Indonesia yang seharusnya berpegang pada hukum positif. Pengaturan akan perubahan perjanjian perkawinan hendaknya ditegaskan dalam suatu peraturan yang jelas dan tegas guna menghindarkan adanya masalah dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang jelas. Prosesnya tetap dapat menggunakan seperti apa yang sudah jalan menjadi kebiasaan, namun kebiasaan tersebut diatur di dalam suatu peraturan yang tegas. Perubahan perjanjian perkawinan tidak terikat dalam batasan-batasan tertentu, oleh karena itu selain melakukan perubahan, para pihak juga dapat melakukan pembatalan atas perjanjian perkawinan yang telah mereka buat. Para pihak tidak dapat dengan semaunya sendiri melakukan pembatalan suatu perjanjian perkawinan, karena pembatalan tersebut memiliki tata cara atau prosedur yang harus dipenuhi agar pembatalan tersebut sah di mata hukum. Pasangan yang akan melangsungkan perkawinan, ketika akan mendaftarkan perkawinannya di Catatan Sipil, maka akan turut mencatatkan perjanjian perkawinan yang telah dibuat di Notaris, yang kemudian akan diberi nomor. Pasangan yang hendak melakukan pembatalan Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
76
terhadap perjanjian perkawinan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu.
Apabila
ketetapan sudah
dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, maka Catatan Sipil akan membuat catatan pinggir di bagian belakang kutipan akta perkawinan pasangan tersebut. Catatan pinggir berfungsi sebagai bahan kronologis perubahan yang terjadi atas suatu akta otentik. Catatan pinggir tersebut berisikan penegasan pembatalan perjanjian perkawinan yang pernah dibuat sebelumnya. Sama seperti halnya perubahan perjanjian perkawinan, pembatalan terhadap perjanjian perkawinan juga tidak diatur secara tegas dalam suatu peraturan hukum positif. Hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap Bapak Erik Sinupat, beliau mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang mengatur proses-proses pembatalan maupun perubahan, semuanya hanya diawali dari kebiasaan yang dilakukan terus-menerus. Mengenai hal perubahan maupun pembatalan perjanjian perkawinan ini hendaknya diatur dalam peraturan yang jelas dan mengikat, sehingga dapat melindungi perjanjian perkawinan itu sendiri dan pihak-pihak yang terkait di dalamnya.
2.2
Analisi Putusan Nomor 69/Pdt.G/2010/PN.Dps tentang Perceraian mengenai Perjanjian Perkawinan yang Disahkan Pengadilan Negeri Pada Saat Perceraian
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
77
Sebelum Penggugat mengajukan surat gugatan kepada Pengadilan Negeri Denpasar, antara Penggugat dan Tergugat telah sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian perkawinan di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Kuta pada tanggal 5 September 2006, sebagaimana Akta Perjanjian Pernikahan No. 21 tertanggal 5 September 2006. Perjanjian perkawinan tersebut dibuat dan ditandatangani pada saat sebelum perkawinan berlangsung.
2.2.1 Kasus Posisi Berkaitan dengan perceraian di antara para pihak (Penggugat dan Tergugat), sebelum perceraian yang diputuskan oleh Hakim, pada saat sebelum melangsungkan perkawinan, para pihak telah membuat dan menandatangani perjanjian perkawinan melalui akta notaris. Namun, perjanjian perkawinan tersebut tidak dilakukan pendaftaran ke Catatan Sipil, sebagaimana mesti yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam memutuskan perkara ini, Hakim mengesahkan perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan tersebut sehingga berlaku sebagaimana mestinya bagi para pihak. Sebagaimana
ternyata
dalam
Putusan
Nomor
69/Pdt.G/2010/PN.Dps, kronologis dari kasus tersebut adalah sebagai berikut: a. Penggugat
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
78
1. Pada tanggal 29 Januari 2010, Penggugat telah mengajukkan surat gugatan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar. 2. Sebelum melangsungkan perkawinan, Penggugat dengan Tergugat telah membuat dan menandatangani perjanjian perkawinan di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Kuta pada tanggal 5 September 2006, sebagaimana ternyata dalam Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 21 tertanggal 5 September 2006. 3. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dilangsungkan pada tanggal 18 Oktober 2006 di Hongkong, sebagaimana ternyata dalam Certificate of Marriage nomor registrasi BK8285 dan telah didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung pada tanggal 13 Februari 2007, dengan registrasi nomor 06/2007. 4. Dalam perkawinan tersebut telah lahir 3 (tiga) orang anak bernama: a.
X, laki-laki, lahir di Denpasar pada tanggal 25 Februari 2007 (berusia 3 tahun), sebagimana Kutipan Akta Kelahiran No. 000003/B4/2007 tertanggal 7 Maret 2007 yang dikeluarkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung, Bali.
b. Y, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2609/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
79
c. Z, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2610/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali. 5. Pada awalnya kondisi perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat berjalan harmonis, sebagaimana layaknya keluarga bahagia pada umumnya. 6. Kondisi perkawinan yang harmonis tersebut tidak berlangsung lama. Hal tersebut disebabkan karena dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat mulai timbul berbagai permasalahan yang tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik, sehingga selalu menimbulkan percekcokan dan pertengkaran yang berlangsung secara terus-menerus. Percekcokan dan pertengkaran tersebut mulai terjadi setelah lahirnya anak pertama para pihak sekitar tahun 2008. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku Tergugat yang sangat boros terhadap uang yang diberikan Penggugat setiap bulannya dan disebabkan pula perbedaan prinsip dan ras di antara Penggugat dengan Tergugat, sehingga hal tersebut selalu menjadi pokok permasalahan terjadinya percekcokan dan pertengkaran di antara para pihak tersebut. 7. Penggugat telah memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk dapat mengubah perilaku serta sikap Tergugat, akan tetapi Tergugat sampai dengan sekarang tidak pernah mengindahkannya, sehingga
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
80
Penggugat tidak sanggup lagi untuk menjalani kehidupan berumah tangga bersama Tergugat. 8. Penggugat dan Tergugat sampai dengan sekarang telah pisah rumah. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut, Penggugat berhak menuntut agar perkawinan di antara Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian.
Selanjutnya, dalam persidangan, Penggugat telah mengajukan alat-alat bukti surat-surat sebagai berikut: Bukti P-1: Fotokopi Akta Perjannjian Pernikahan No. 21 tertanggal 5 September 2006, yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Jakarta. Bukti P-2: Fotokopi Certificate of Marriage No. BK82825 yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal R.I di Hongkong pada tanggal 20 Oktober 2006. Bukti P-3:
Fotokopi Certificate of Marriage No. BK82825 yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal R.I di Hongkong pada tanggal 20 Oktober 2006 dan telah pula didaftarkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung.
Bukti P-4:
Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran No: 00003/B42007 tertanggal 7 Maret 2007 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung. Universitas Indonesia
Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
81
Bukti P-5:
Fotokopi
Kutipan
Akta
Kelahiran
No:
2609/Um.CAMP/2009 tertanggal 25 September 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Bukti P-6:
Fotokopi
Kutipan
Akta
Kelahiran
No:
2610/Um.CAMP/2009 tertanggal 25 September 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Bukti P-7:
Fotokopi Passport Inggris Nomor: 093197918 atas nama Penggugat berlaku sampai dengan 7 Juni 2016.
Selain alat bukti surat tersebut, pihak Penggugat juga mengajukan saksisaksi sebanyak 2 (dua) orang yang keterangannya telah didengar di bawah sumpah. Saksi-saksi tersebut memberikan keterangan sebagai berikut: Saksi 1 : - Saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat tetapi tidak ada hubungan keluarga. - Saksi pernah mendengar Penggugat dan Tergugat bertengkar karena saksi pernah bekerja memasang lampu di rumah pemilik vila dimana vila itu ditempati Penggugat dan Tergugat. - Saksi tidak tahu apa penyebab pertengkaran Penggugat dan Tergugat. Saksi hanya mendengar pertengkaran mulut saja dan tidak pernah melihat pertengkaran fisik. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
82
- Saksi tahu Penggugat dan Tergugat tinggal di vila tersebut bersama 3 (tiga) orang anak mereka. - Sekarang Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah karena saksi tidak pernah melihat lagi Tergugat dan anak-anaknya tinggal di vila tersebut bersama Penggugat. Saksi 2: - Saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat tetapi tidak ada hubungan keluarga. - Saksi pernah mendengar Penggugat dan Tergugat bertengkar karena saksi bekerja di rumah pemilik vila dimana vila itu ditempati Penggugat dan Tergugat. - Saksi tahu Penggugat dan Tergugat mempunyai 3 (tiga) orang anak. - Saksi tahu Penggugat dann Tergugat sudah pisah rumah dan sekarang Penggugat pergi ke Inggris dan Tergugat tinggal bersama anakanaknya. Saksi tidak tahu dimana sekarang Tergugat dan anak-anaknya tinggal. - Saksi sering mendengar Penggugat dan Tergugat bertengkar mulut tetapi saksi tidak tahu apa penyebab pertengkaran tersebut. - Saksi tahu Penggugat mempunyai selingkuhan/ WIL (Wanita Idaman Lain) lebih kurang sejak 1 (satu) tahun yang lalu. WIL Penggugat tersebut tinggal di vila tempat Penggugat tinggal tersebut. - Penggugat pernah bercerita kalau Penggugat selalu memberikan biaya untuk anak-anaknya. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
83
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar agar dapat memutuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan sah menurut hukum Akta Perjanjian Pernikahan No. 21 tertanggal 5 September 2006 yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Kuta; 3. Menyatakan sah menurut hukum, perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan pada tangal 18 Oktober 2006 di Hongkong, sebagaimana Certificate of Marriage No. Registrasi BK8285 dan telah didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung pada tanggal 13 Februari 2007, Regno: 06/200; 4. Menyatakan menurut hukum, perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan pada tanggal 18 Oktober 2006 di Hongkong, sebagaimana Certificate of Marriage No. Registrasi: BK8285 dan telah didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung pada tanggal 13 Februari 2007, Regno: 06/2007, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya; 5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
84
6. Apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar berpendapat lain, maka Penggugat memohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
b. Tergugat Tergugat mengajukan jawaban tertanggal 11 Maret 2010 terhadap gugatan Penggugat tersebut, yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: 1. Tidak benar jika permasalahan yang timbuk dalam rumah tangga kami tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik. 2. Tidak benar jika percekcokan dapertengkaran kami disebabkan karena saya mempunyai perilaku yang sangat boros terhadap uang yang diberikan Niel. Tetapi benar kalau percekcokan dan pertengkaran kami terjadi karena ada perbedaan prinsip dan ras namun meskipun demikian kami selalu bisa menyelesaikan dengan baik. 3. Tidak benar jika Niel telag memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat mengubah perilaku dan sikap saya sehingga Niel tidak sanggup lagi untuk menjalani kehidupan berumah tangga bersama saya.Tetapi adalah benar jika Niel telah meninggalkan saya sewaktu hamil dua bulan karena adanya Wanita Idaman Lain dan kemudian mereka hidup seatap sampai saat ini. 4. Benar jika saya dan Niel telah pisah rumah. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
85
5. Saya menerima dan mengabulkan permintaan cerai Niel karena saya sudah berusaha semampu saya untuk menyelamatkan perkawinan kami tetapi tidak membuahkan hasil. Mengingat keadaan Niel yang: 1. Telah memiliki WIL yang tidak memiliki pekerjaan dan masih bersuami dan. Memiliki tanggungan seorang anak. 2. Suka menghamburkan uang denganWIL nya seperti pergi berlibur ke luar pulau dn keluar negeri beberapa kali untuk berbelanja dan menghabiskan uang. 3. Setiap hari bersama WIL nya makan di restaurant. 4. Gaya hidup WIL nya yang suka menghamburkan uang seperti pergi ke salon, bebrbelanja dan pulang ke kampung halamannya di Jember beberapa kali. 5. Berencana menikahi WIL nya sesuai apa. Yang telah Niel sampaikan kepada saya. Dengan jelas gaya hidup mereka yang seperti ini bisa berpengaruh buruk pada keadaan finansial Niel sementara Niel masih memiliki tanggungan 3 orang anak balita yang masa depannya masih panjang dan memerlukan banyak biaya.
Tergugat turut mengajukan alat bukti surat-surat, guna menyangjak dalil-dalil Penggugat, yaitu sebagai berikut: 1. Asli hasil print Facebook Mey Kyute. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
86
2. Asli foto diri Penggugat dengan WIL nya.
Tergugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar berkenan memutuskan, antara lain: 1. Hak atas pengasuhan ketiga anak kami jatuh ke tangan saya karena selama ini mereka dekat dan dalam pengasuhan saya. 2. Kewajiban Niel membayar biaya pemeliharaan anak sebesar Rp. 15.000.000,- setiap bulannya terhitung sejak bulan April 2010 sampai mereka beranjak dewasa dan dibayar cash selambatlambatnya 6 bulan setelah sidang perceraian diputuskan. 3. Kewajiban Niel membayar biaya pendidikan anak di luar biaya pemeliharaan anak. 4. Niel untuk memberikan fasilitas tempat tinggal rumah untuk saya dan anak-anak mengingat
Niel pernah menolak membayar
perpanjangan kontrak rumah yang ditempati oleh saya dan anakanak. 5. Menghukum Niel untuk membayar perbuatannya yang telah menelantarkan saya selama 15 bulan dengan materi berupa uang sebesar Rp. 250.000.000,6. Menghukum Niel untuk membayar biaya perkara ini.
2.2.2 Pertimbangan Hakim A. Dalam Konvensi Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
87
1.
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat adalah gugatan perceraian dengan alasan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukum kembali;
2. Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat itu Tergugat membantahnya, yakni pertengkaran bukan dimulai oleh Tergugat, melainkan pertengkaran dimulai sejak Penggugat mempunyai selingkuhan dengan wanita idaman lainnya; 3. Menimbang, bahwa Penggugat dalam meneguhkan dalil-dalil telah mengajukan bukti surat bertanda P.1 sampai dengan P.7 dan 2 (dua) orang saksi, sedangkan Tergugat hanya mengajukan bukti berupa surat bertanda T.1 dan T.2 serta tidak mengajukan saksi; 4. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dibantah oleh Tergugat, maka berpedoman pada pasal 283 R.Bg jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 272/K/Sip/1973 tanggal 27 Nopember 1975, maka beban pembuktian terlebih dahulu akan dibebankan kepada Penggugat. 5. Menimbang, bahwa sebelum Majelis mempertimbangkan tentang
dalil-dalil
Penggugat
terlebih
dahulu
akan
dipertimbangkan tentang keabsahan perkawinan Penggugat dan Tergugat; Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
88
6. Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi serta bukti P.1 bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah kawin secara sah di Hongkong pada tanggal 18 Oktober 2006 sesuai dengan Certificate of Marriage No. BK82825 yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal RI di Hongkong pada tanggal 20 Oktober 2006 dan telah pula didaftarkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung pada tanggal 13 Februari 2007. 7. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
bukti
P.1
seperti
dipertimbangkan di atas maka menurut Majelis Hakim telah terbukti perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tersebut telah sah adanya, dan dengan telah terbukti adanya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, maka cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan tuntutan perceraian dari Penggugat tersebut. 8. Menimbang, bahwa sebelum perkawinan berlangsung antara Penggugat dan Tergugat telah membuat perjanjian perkawinan sebagimana tersebut dalam Akta Perjanjian Pernikahan nomor 21 tertanggal 5 September 2006 dihadapan Notaris Eddy Nyoman Winarta, SH. Dengan tidak mengurangi azas kebebasan
berkontrak
antara
Penggugat
dan
Tergugat
sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maka perjanjian perkawinan tersebut Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
89
tetap sah adanya, karena Penggugat dan Tergugat mengatur sendiri
tentang
segala
sesuatu
yang
menyangkut
perkawinannya. 9.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan dalil-dalil dari gugatan Penggugat;
10. Menimbang, bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi Penggugat
diperoleh
fakta-fakta
hukum,
dimana
antara
Penggugat dengan Tergugat sering terjadi pertengkaranpertengkaran dan para saksi sering melihat Penggugat dan Tergugat bertengkar; 11. Menimbang,
bahwa
dalam
jawabannya
Tergugat
juga
menyatakan ³PHQHULPD GDQ PHQJDEXONDQ SHUPLQWDDQ FHUDL Niel karena saya sudah berusaha semampu saya untuk menyelamatkan perkawinan kami tetapi tidak membuahkan KDVLO´; 12. Menimbang, bahwa saksi-saksi Penggugat seperti tersebut di atas juga menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat sekarang ini sudah tidak tinggal bersama lagi, bahkan di vila yang ditempati Penggugat saksi-saksi melihat ada wanita lain di vila tersebut, bahkan sepertinya wanita tersebut isteri muda dari Penggugat. Jika keterangan saksi tersebut dihubungkan dengan bukti-bukti yang diberikan oleh Tergugat terutama foto-foto, Nampak terlihat jelas Penggugat mempunyai wanita idaman Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
90
lain.
Oleh
karena
adanya
wanita
idaman
lain
itulah
menimbulkan keributan sedemikian Nampak sudah terjadi ketidakharmonisan hidup berumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat, terlebih-lebih Tergugat sudah tidak serumah lagi dengan Penggugat. 13. Menimbang, bahwa Tergugat dalam perkara ini tidak ada mengajukan saksi-saksi, tetapi Tergugat mengajukan bukti surat bertanda T.1 dan T.2 yang menunjukkan Penggugat mempunyai Wanita Idaman Lain, yang menunjukkan sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sehingga dirasakan sulit bagi Penggugat dan Tergugat untuk dapat kembali membina rumah tangga yang bahagia dan harmonis. 14. Menimbang, bahwa dari uraian-uraian di
atas Majelis
berkesimpulan bahwa telah diperoleh adanya fakta-fakta yang menunjukkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi, sehingga dengan demikian akan sulit bagi Penggugat dan Tergugat untuk membina rumah tangga yang rukun, bahagia, dan harmonis sebagaimana tujuan perkawinan dalam pasal 1 dan 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 15. Menimbang, bahwa dalam Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pengertian cocok yang terus menerus yang tidak dapat didamaikan (onheel bare tweesplast) Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
91
bukanlah ditekankan pada penyebab cekcok yang harus dibuktikan tetapi melihat kenyataannya adalah benar terbukti adanya cekcok yang terus menerus sehingga tidak dapat didamaikan lagi. 16. Menimbang, bahwa dari uraian-uraian di atas diperoleh suatu kenyataan bahwa alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh Penggugat ternyata telah terbukti dan sesuai pula dengan alasan perceraian yang diatur dalam Pasal 19 hutuf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, oleh karena itu gugatan Penggugat untuk bercerai patut dikabulkan, yaitu dengan menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah putus karena perceraian,sehingga petitum nomor 4 dapat dikabulkan. 17. Menimbang, bahwa dari semua pertimbangan di atas maka gugatan Penggugat patut untuk dikabulkan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Tahun 1975 diperintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengirimkan sehelai salinan resmi putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa materai kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung, guna didaftarkan /dicatatkan dalam register yang diperuntukan untuk itu;
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
92
18. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan yang berarti Tergugat berada pada pihak yang dikalahkan, maka seluruh biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat, yang besarnya disebutkan nanti dalam amar putusan.
B. Dalam Rekonvensi 1. Menimbang, bahwa di samping mengajukan jawaban terhadap gugatan Tergugat Rekonvensi, Penggugat Rekonvensi walaupun secara tidak tegas mengajukan gugatan Rekonvensi, namun membaca dari cara-cara Penggugat Rekonvensi mengajuka jawaban, maka Majelis Hakim menyimpulkan Penggugat Rekonvensi mengajukan gugatan Rekonvensi. 2. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan rekonvensi adalah sebagaimana tersebut dalam gugatannya. 3. Menimbang, bahwa pada intinnya Pengguggat Rekonvensi menyatakan keributan yang terjadi bukanlah dimulai dari Penggugat Rekonvensi, akan tetapi dimulai oleh Tergugat Rekonvensi, akan tetapi dimulai oleh Tergugat Rekonvensi, oleh karena itu memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut: - Hak atas pengasuhan ketiga anak kami jatuh ke tangan saya karena selama ini mereka dekat dan dalam pengasuhan saya. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
93
- Kewajiban Niel membayar biaya pemeliharaan anak sebesar Rp. 15.000.000,- setiap bulannya terhitung sejak bulan April 2010 sampai mereka beranjak dewasa dan dibayar cash selambat-lambatnya 6 bulan setelah sidang perceraian diputuskan. - Kewajiban Niel membayar biaya pendidikan anak di luar biaya pemeliharaan anak. - Niel untuk memberikan fasilitas tempat tinggal rumah untuk saya dan anak-anak mengingat Niel pernah menolak membayar perpanjangan kontrak rumah yang ditempati oleh saya dan anak-anak. - Menghukum Niel untuk membayar perbuatannya yang telah menelantarkan saya selama 15 bulan dengan materi berupa uang sebesar Rp. 250.000.000,- Menghukum Niel untuk membayar biaya perkara ini. 4. Menimbang,
bahwa
terhadap
gugatan
Rekonvensi
tersebut
Tergygat
Rekonvensi tidak memberikan jawaban, namun demikian Majelis Hakim akan menilai gugatan rekonvensi itu terutama mengenai petitum yang dimohonkan itu. 5. Menimbang, bahwa dari perkawinan antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi telah dilahirkan 3 (tiga) orang anak, yakni: - X, laki-laki, lahir di Denpasar pada tanggal 25 Februari 2007 (berusia 3 tahun), sebagimana Kutipan Akta Kelahiran No. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
94
000003/B4/2007 tertanggal 7 Maret 2007 yang dikeluarkan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung, Bali. - Y, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2609/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali. - Z, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2610/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali. 6. Menimbang, bahwa selama ini anak-anak tersebut dipelihara oleh Penggugat Rekonvensi, sedangkan Tergugat Rekonvensi terlalu sibuk bekerja dan juga dengan wanita idaman lainnya, sehingga tidak ada waktu untuk mengurus ketiga anak-anaknya itu, terlebih-lebih anak ketiga yang bernama Y dan Z masih berumur 6 (enam) bulan, yang sangat membutuhkan kasih sayang pemeliharaan ibunya, maka untuk itu demi kelangsungan kehidupan anak-anak, maka ketiga anak-anaknya tersebut lebih baik diserahkan pengasuhannya kepada Penggugat Rekonvensi, dengan catatan Tergugat Rekonvensi dapat sewaktu-waktu menengok dan mencurahkan kasih sayang kepada ketiga anakanaknya itu. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
95
7. Menimbang, bahwa oleh karena ketiga anak-anaknya itu dipelihara oleh Penggugat Rekonvensi, sedangkan Penggugat Rekonvensi tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, maka ada kewajiban Tergugat Rekonvensi untuk memberikan hak alimentasi kepada Penggugat Rekonvensi. 8. Menimbang, bahwa walaupun dalam Certificate of Marriage nomor 21 pada SRLQWGLVHEXWNDQ³VHPXDSHQJHOXDUDQUXPDK tangga, biaya-biaya serta bebanbeban lainnya yang berkenaan dengan pernikahan, termasuk
pula biaya
kehidupan isteri, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang sah yang lahir dari perkawinan mereka, seluruhnya menjadi beban tanggungan dan harus dipikul bersama-VDPD´ QDPXQ NDUHQD WHUMDGL SHUFHUDLDQ PDND VDQJDW DGLO GDQ bijaksana Tergugat Rekonvensi untuk memberikan hak alimentasi kepada Penggugat Rekonvensi. Selama ini antara Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi sudah tidak serumah, untuk mengatasi biaya rumah tangga, Tergugat Rekonvensi secara rutin mengirim biaya penghidupan Penggugat Rekonvensi termasuk sewa rumah, setiap bulan Tergugat Rekonvensi mengirim uang sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), kebiasaan yang telah dilaksanakan ini kiranya perlu dipertahankan dan dikukuhkan, sehingga ditetapkan Tergugat Rekonvensi wajib mengirimkan biaya hidup kepada Penggugat Rekonvensi setiap bulan sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), sampai anak-anak tersebut dewasa, sehingga petitum nomor 1 dan 2 dapat dikabulkan. 9. Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya pengiriman uang setiap bulan sebesar Rp. 15.000.000,-, dimana uang sebesar ini dipergunakan untuk biaya Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
96
hidup, biaya pendidikan dan sewa rumah, maka petitum nomor 3,4,dan 5 tidak perlu dipertimbangkan dan dinyatakan ditolak.
C. Dalam Konvensi dan Dalam Rekonvensi Menimbang, bahwa oleh karena gugatan dalam rekonvensi dikabulkan sebagian, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat Rekonvensi, yang besarnya disebutkan nanti dalam amar putusan.
2.2.3 Putusan Hakim A. Dalam Konvensi 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan sah menurut hukum, Akta Perjanjian Pernikahan nomor 21 tertanggal 5 September 2006 yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Kuta. 3. Menyatakan sah menurut hukum, perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan pada tanggal 18 Oktober 2006 di Hongkong, sebagaimana Certificate of Marriage, nomor registrasi BK8285 dan telah didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badunng pada tanggal 13 Februari 2007, Regno: 06/2007;
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
97
4. Menyatakan menurut hukum, perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan pada tanggal 18 Oktober 2006 di Hongkong, sebagaimana Certificate of Marriage, nomor registrasi BK8285 dan telah didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badunng pada tanggal 13 Februari 2007, Regno: 06/2007, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya; 5. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Denpasar untuk mengirimkan sehelai salinan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum tanpa materai kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung, guna
didaftarkan/dicatatkan
dalam
registrasi
yang
diperuntukkan untuk itu;
B. Dalam Rekonvensi 1. Mengabulkan Gugatan Rekonvensi untuk sebagian. 2. Menetapkan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan antara Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi, yaitu: - X, laki-laki, lahir di Denpasar pada tanggal 25 Februari 2007 (berusia 3 tahun), sebagimana Kutipan Akta Kelahiran No. 000003/B4/2007 tertanggal 7 Maret 2007 yang dikeluarkan
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
98
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung, Bali. - Y, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2609/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali. - Z, perempuan, lahir di Denpasar pada tanggal 26 Juli 2009 (berusia 6 bulan), sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran No. 2610/Um. CAMP/2009 tertanggal 25 September yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Denpasar, Bali. Berada dalam pengasuhan Penggugat Rekonvensi. 3. Menetapkan Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya alimentasi kepada Penggugat Rekonvensi setiap bulannya sebesar Rp. 15.000.000,- sampai anak-anak tersebut dewasa. 4. Menolak gugatan rekonvensi untuk lain dan selebihnya.
C. Dalam Rekonvensi dan Rekonvensi
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
99
Menghukum Penggugat Rekonvensi/ Tergugat Konvensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 441.000,- (empat puluh empat satu ribu rupiah).
2.2.4 Analisis Kasus Putusan hakim dalam kasus perceraian tersebut pada pokoknya telah sesuai dengan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Dalam
menuliskan
tesis
ini,
penulis
menitikberatkan pada putusan hakim dalam konvensi point kedua, dimana hakim menyatakan sah menurut hukum, Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 21 tertanggal 5 September 2006 yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Eddy Nyoman Winarta, SH, Notaris di Kuta. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya di
atas
mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan didaftarkan di Pengadilan Negeri di daerah mana perkawinan itu dilangsungkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang pendaftaran tersebut. Di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang turut dimuat dalam akta perkawinan ketika dicatatkan pada Catatan Sipil, terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
100
Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku mengikat bagi pihak ketiga apabila didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan akan berakibat pada pihak ketiga, yaitu pihak ketiga akan menganggap bahwa dalam perkawinan tersebut menggunakan percampuran harta kekayaan. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin berpendapat bahwa: ³6HODPD EHOXP GLGDIWDUNDQ SLKDN NHWLJD GDSDW menganggap
bahwa
perkawinan
itu
berlangsung
GHQJDQNHEHUVDPDDQKDUWDSHUNDZLQDQ´ 32 Ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan memiliki akibat terhadap pihak ketiga yang memiliki keterkaitan dengan harta kekayaan suami istri tersebut. Perjanjian perkawinan wajib didaftarkan
karena
apabila
didaftarkan
maka
perjanjian
perkawinan tersebut mengikat pihak ketiga terhadap apa yang didaftarkan itu. Apabila tidak didaftarkan maka pihak ketiga beranggapan bahwa tidak ada perjanjian perkawinan tersebut, yang berarti terdapat percampuran harta kekayaan. Pendaftaran yang dimaksud di sini sudah harus telah dilaksanakan ketika 32
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, op. cit, hal 82. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
101
salah satu pihak suami atau istri ataupun keduanya, berhubungan dengan pihak ketiga. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin kembali berpendapat bahwa: ³6LDSD \DQJ PHQJDGDNDQ KXEXQJDQ KXNXP VHVXGDK pendaftaran itu terikatlah mereka kepada perjanjian NDZLQ\DQJWHODKGLGDIWDUNDQLWX´33 Hal ini dimaksudkan guna mencegah pihak suami ataupun istri merugikan kepentingan pihak ketiga. Pitlo berpendapat bahwa: ³8QGDQJ-Undang yang menentukan kewajiban pendaftaran itu. Kewajiban pendaftaran itu adalah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga bukan untuk memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk mengikat pihak ketiga dengan sesuatu yang tidak EHQDU´34 Undang-Undang Perkawinan sendiri tidak mengatur mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sendiri hanya menyinggung sedikit tentang pencatatan perjanjian perkawinan apabila ada. Perjanjian perkawinan, meskipun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur pendaftaran, pada prakteknya tetap didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat. Hasil wawancara
33 34
Ibid, hal 83. Ibid, hal 84. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
102
yang
dilakukan
penulis
terhadap
Notaris
Susy35,
Tan
menyebutkan yaitu: ³0HVNLSXQ
8QGDQJ-Undang
menyebutkan
adanya
Perkawinan
pendaftaran
tidak
perjanjian
perkawinan di Pengadilan Negeri setempat, namun demi keamanan saya tetap selalu mendaftarkan perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri terlebih GDKXOX´ Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Dendri Purnomo, yaitu seorang Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang mengatakan bahwa: ³3HQGDItaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri awalnya adalah dari ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang kemudian setelah adanya Undang-Undang
Perkawinan,
hal
tersebut
sudah
PHQMDGLNHELDVDDQ´ Sebelum dibentuk Undang-Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan yang berlaku berdasarkan pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dimana dalam Pasal 152 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menyebutkan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri setempat. Pada saat Undang-Undang Perkawinan telah dibentuk dan diundangkan, 35
Wawancara Ibu Notaris Tan Susy, tanggal 17 Oktober 2012. Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
103
pendaftaran perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri sudah menjadi kebiasaan yang seolah-olah mutlak harus dilakukan. Pada kenyataan di lapangan praktek, Catatan Sipil sendiri hanya mau menerima perjanjian perkawinan yang telah didaftarkan terlebih dulu di Pengadilan Negeri. Hal tersebut dikarenakan pendaftaran perjanjian perkawinan di Pengadilan Negeri sudah menjadi kebiasaan, dan dikhawatirkan akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan apabila tidak didaftarkan terlebih dahulu. Dalam putusan Hakim mengenai pengesahan Akta Perjanjian
Pernikahan tersebut,
apabila
dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang mengatur pendaftaran perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka putusan tersebut, menurut pendapat penulis, tidak tepat karena bertentangan dengan peraturan yang ada. Meskipun di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan, namun melihat dari ketentuan penutup dari Undang-Undang Perkawinan, maka mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut masih berdasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apalagi seperti telah dibahas sebelumnya di atas, mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan ini telah menjadi sebuah kebiasaan di Catatan Sipil maupun di Pengadilan Negeri itu sendiri. Menurut pendapat penulis, seharusnya Hakim dalam Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
104
mengesahkan
Akta
Perjanjian
Pernikahan
tersebut
lebih
memperhatikan hal ini, karena sah atau tidaknya sebuah perjanjian perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan para pihak tersebut maupun bagi pihak ketiga yang terkait. Akta Perjanjian Pernikahan tersebut seharusnya batal demi hukum, karena syarat-syarat dari ketentuan sebuah perjanjian perkawinan tidak terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan apabila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga, perjanjian perkawinan tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, yang dalam hal ini bertentangan dengan undang-undang. Hakim dalam memutuskan perkara hendaknya lebih memperhatikan peraturan yang ada, tidak hanya dari segi isi perjanjian perkawinan tetapi juga dari segi teknis sahnya sebuah perjanjian perkawinan, karena perjanjian perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga tidak semata sebuah perjanjian pada umumnya, apalagi mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan itu sendiri telah menjadi suatu kebiasaan di Pengadilan Negeri
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
105
BAB I I I PENUTUP
3.1 Kesimpulan 1. Keabsahan
perjanjian
perkawinan
yang
diubah
setelah
perkawinan
berlangsung adalah sah dan tetap mengikat bagi para pihaknya. Kitab Undang-Undang HukumPerdata secara tegas melarang adanya perubahan perjanjian
perkawinan
setelah
perkawinan,
namun
Undang-Undang
Perkawinan mengatur berbeda yaitu perjanjian perkawinan dapat diubah sepanjang disepakati oleh para pihak dan telah diperjanjikan sebelumnya oleh para pihak, sehingga dengan merujuk pada asas lex specialist derogate legi generali, perjanjian perkawinan boleh diubah. Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur bagaimana prosedur perubahan perjanjian perkawinan ataupun pembatalannya, sehingga dalam prakteknya yang berlaku adalah kebiasaankebiasaan yang biasa dilakukan. Perjanjian perkawinan yang mengalami perubahan tetap berlaku, perubahannya dibuat dalam akta tambahan, dimana yang lama masih tetap berlaku mengikat. Akta tambahan tersebut tidak perlu didaftarkan lagi di Pengadilan Negeri dan tidak perlu dicatatkan lagi di Catatan Sipil, karena dirasa telah terdaftar dan tercatat sebelumnya. Perubahan sepanjang tidak merugikan pihak ketiga, hanya berhubungan antara para pihak dengan Notaris. Para pihak yang ingin membatalkan perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya dapat dilakukan dengan mengajukkan permohonan pembatalan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri, kemudian baru diajukkan ke 105 Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
106
Catatan Sipil, untuk kemudian diberi catatan pinggir pada Akta Perkawinan yang bertuliskan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dibatalkan.
2. Perjanjian Perkawinan memiliki syarat-syarat, baik dari segi isi maupun segi teknis agar dapat dinyatakan sah menurut hukum. Dalam putusan yang menjadi bahan analisis dalam tesis ini, salah satu putusan yang dibuat oleh hakim adalah mengesahkan Akta Perjanjian Perkawinan yang tidak didaftarkan di Catatan Sipil maupun di Pengadilan Negeri. Hal tersebut seharusnya bertentangan dengan apa yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menjadi pedoman mengenai pendaftaran suatu perjanjian perkawinan. Sebuah perjanjian perkawinan seharusnya dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan undang-undang, baik dari segi isi maupun segi teknisnya. Dalam kasus ini, hakim dalam memutuskan perkara kurang memperhatikan peraturan yang berlaku serta kurang memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang ada. Undang-Undang Perkawinan memang tidak mengatur mengenai hal pendaftaran perjanjian perkawinan, namun seharusnya seperti apa yang ditentukan dalam Bab Ketentuan Penutup Undang-Undang Perkawinan, maka yang berlaku adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apalagi hal tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan di Catatan Sipil maupun Pengadilan Negeri.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
107
3.2 Saran 1. Penulis menyarankan perubahan isi Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menjadi: ³3DGD ZDNWX DWDX VHEHOXP SHUNDZLQDQ GLODQJVXQJNDQ NHGXD SLKDN atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis mengenai bentuk penyimpangan harta kekayaan berupa akta notaris yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri kemudian disahkan dan dicatatakan ke Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku sah bagi para pihak juga terhadap SLKDNNHWLJDVHSDQMDQJSLKDNNHWLJDWHUVDQJNXW´ Hal yang ditambahkan penulis dalam pasal tersebut adalah mengenai bentuk penyimpangan harta kekayaan, berupa akta notaris, dan pendaftaran ke Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan dalam beberapa hal, perjanjian perkawinan dalam prakteknya masih banyak menggunakan kebiasaan sebagai dasar hukumnya, sehingga penulis menyarankan perubahan isi pasal karena Indonesia merupakan Negara hukum positif, selain itu perubahan isi pasal ini diharapkan dapat mengurangi perbedaan penafsiran yang sering terjadi.
2. Penulis menyarankan agar hal-hal yang berkenaan dengan prosedur perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan dimuat dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa perjanjian perkawinan boleh diubah, namun tidak ada peraturan yang menjelaskan bagaimana prosedurnya, sehingga yang masih Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
108
berlaku adalah kebiasaan-kebiasaan. Prosedur perubahan dan pembatalan tersebut dapat disesuaikan dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan, hanya perlu diatur secara formal demi kepastian hukum. 3. Penulis menyarankan agar Hakim di dalam memutuskan perkara hendaknya lebih teliti dan memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, sehingga dapat diminimalisasi adanya putusan hakim yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku. 4. Penulis menyarankan agar para notaris, khususnya dalam hal pembuatan perjanjian perkawinan, hendaknya memberikan penyuluhan hukum kepada kliennnya agar melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut di Catatan Sipil maupun Pengadilan Negeri, agar perjanjian perkawinan memenuhi syarat-syarat sah dari segi isi maupun dari segi teknisnya.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
109
DAFTAR PUSTAKA Buku Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Bina Aksara, 1986. Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata; Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Gitama Jaya, 2004. Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya. Jakarta: Gitama Jaya, 1986. Damabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata: Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Istri Harta Benda Perkawinan. Jakarta: Rizkita, 2009. Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia, 2008. Garner, Bryan A. Black Law Dictianory Eight Edition. London: Thomson Bussines, 2004. Harahap, M Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. HR, HA Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Bandung: Mandar Maju, 2007. Meliala, Djaja. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga edisi revisi. Bandung: Nuansa Aulia, 2007. Prawirohamidjojo, R Soetojo dan Safioedin, Asis. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni: 1986. Prawirohamidjojo, R Soetojo. Pruralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 1986. Projodikoro, R Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur, 1974. Saragih, Djaren. Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang Tentang Perkawiinan serta Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: Tarsito, 1992. Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013
110
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga: Prespektif Hukum Perdata Barat/ BW, Hukum Islam, dan Hukum Barat edisi revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005. Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian: Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini. Jakarta: Visimedia, 2008. Syawali, Husni. Pengurusan (Bestuur) Atas Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Hukum Islam. Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009. Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [ Burgerlijk Wetboek] . Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosoebono. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976. Indonesia. Undang-undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No. 3019.
Universitas Indonesia Status hukum..., Jeanita Adeline, FH UI, 2013