UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 18 – 29 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi MELINDA ANGGITA SETIYADI, S.Farm. 1106153340
ANGKATAN LXXV
PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI DEPOK DESEMBER 2012
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 18 – 29 JUNI 2012
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mempleh gelar Sarjana Farmasi Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
MELINDA ANGGITA SETIYADI, S.Farm. 1106153340
ANGKATAN LXXV
PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI DEPOK DESEMBER 2012 ii
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 18 – 29 Juni 2012 adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama NPM Tanda Tangan
: Melinda Anggita Setiyadi, S.Farm. : 1106153340 :
Tanggal
: 28 Januari 2013
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Melinda Anggita Setiyadi, S.Farm. NPM : 1106153340 Program Studi : Apoteker Fakultas : Farmasi Jenis karya : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: 1. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 18 – 29 Juni 2012. 2. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Etercon Pharma Jl. Raya Semarang – Demak Km 9 Jawa Tengah Periode 9 Juli - 31 Agustus 2012. 3. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 50 Jl. Merdeka No. 24, Bogor Periode 3 September – 6 Oktober 2012. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
: Depok Dibuat di Pada tanggal : 28 Januari 2013 Yang menyatakan,
( Melinda Anggita Setiyadi, S.Farm. )
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Melinda Anggita Setiyadi
Program Studi : Profesi Apoteker Judul
: Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi Dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 18 – 29 Juni 2012
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan dan gambaran mengenai kebijakan, pengawasan dan pengendalian pada kegiatan distribusi dan produksi kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas dalam melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK), serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Untuk mendapatkan gambaran mengenai aktivitas yang dilakukan, maka penulis ditempatkan di direktorat tersebut dan melakukan pengkajian kebijakan tentang pencegahan diversi prekursor di negara Canada dan Thailand. Pengkajian dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari tentang diversi prekursor dan upaya pencegahan yang berlaku di Canada dan Thailand. Negara Canada dan Thailand memiliki Undang-Undang yang memuat aturan dan sangsi pidana maupun perdata berkaitan dengan diversi prekursor di negaranya. Canada memiliki Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, sedangkan Thailand memiliki Undang-Undang Pengawasan Komoditi tahun 1952.
Kata Kunci
: Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Diversi Prekursor, Kebijakan
Tugas Umum : xi + 59 halaman; 7 gambar; 7 lampiran Tugas Khusus : v + 30 halaman; 3 tabel; 3 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 14 (1984 – 2012) Daftar Acuan Tugas Khusus: 18 (1952 – 2012)
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Melinda Anggita Setiyadi
Program Study : Apothecary Profession Title
: Apothecary Internship Report at Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Period June 18th - June 29th 2012
Apothecary internship at Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia aims to gain knowledge and an overview of policies, monitoring and controlling the activities of distribution and pharmaceutical production. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian has a duty to carry out the preparation of the formulation and implementation of policies and preparation of Norms, Standards, Procedures and Criteria (NSPK), and providing technical guidance and evaluation in the field of production and distribution of pharmacy. To get an overview of the activities carried out, the authors placed in the directorate and assessing the policy on the prevention of diversion of precursors in Canada and Thailand. The assessment carried out with the aim to learn about the diversion of precursors and prevention policies in Canada and Thailand. Country Canada and Thailand have Act containing rules and sanctions relating to civil and criminal diversion of precursors in the country. Canada has the Controlled Drugs and Substances Act SC 1996, while Thailand has the Commodities Control Act of 1952.
Keywords
: Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, the diversion of precursors, Policy
General Assignment : xi + 59 pages; 7 pictures; 7 appendix Special Assignment : v + 30 pages; 3 tables; 3 appendix Bibliography of general assignment: 14 (1984 – 2012) Bibliography of general assignment: 18 (1952 – 2012)
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhannahu Wa Ta’ala, karena berkat rahmat, taufik dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan kegiatan dan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian kesehatan republik indonesia Laporan ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan serta pengarahan baik secara moril maupun materil dari semua pihak. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan dan kesungguhan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt. selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dan Pembimbing atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk memasuki dan mengamati direktorat ini, atas segala bimbingan, dan masukan kepada penulis.
2.
Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
3.
Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
4.
Prof. Dr. Endang Hanani, MS., Apt selaku pembimbing dari Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang selalu sabar dan teliti dalam membimbing penulis.
5.
Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D., Apt. selaku Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementerian Kesehatan RI.
6.
Dra. R. Dettie Yuliati, Msi., Apt. selaku Kasubdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis. iv
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
7.
Dra. Nur Ratih Purnama, M.Si., Apt. selaku Kasubdit Produksi Kosmetika dan Makanan berserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis.
8.
Drs. Riza Sultoni, MM., Apt., selaku Kasubdit Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus berserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis.
9.
Dita Novianti MM., Apt, selaku Kasubdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis.
10.
Drs. Suhata selaku Kasubag TU Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian atas kesempatan, bantuan, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
11.
Staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas segala keramahan, pengarahan, bimbingan, dan bantuan selama penulis melaksanakan Program Kerja Praktek Apoteker.
12.
Staf pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
13.
Keluarga tercinta, atas semua kasih sayang, perhatian, cinta, dorongan, semangat dan doa yang tiada hentinya dipanjatkan untuk penulis.
14.
Teman-teman Apoteker Angkatan 75 atas kerja sama dan pertemanan yang baik selama ini.
15.
Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan laporan PKPA ini. Semoga semua jasa dan bantuan yang telah diberikan, akan mendapatkan
balasan dan ridho dari Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan segala kritik, saran, dan masukkan yang membangun, mendukung dan bermanfaat dari para pembaca. Semoga laporan kegiatan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Depok, Desember 2012 Penulis v
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................iv DAFTAR ISI...........................................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xi BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................1 1.1
Latar Belakang .................................................................................1
1.2
Tujuan...............................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4 2.1
Tinjauan Umum Kementerian Kesehatan ........................................4 2.1.1 Logo Kementerian Kesehatan ..............................................4 2.1.2 Visi dan Misi ........................................................................4 2.1.3 Strategi..................................................................................4 2.1.4 Nilai-Nilai.............................................................................5 2.1.5 Tugas ....................................................................................6 2.1.6 Fungsi ...................................................................................6 2.1.7 Tujuan Kementerian Kesehatan............................................7 2.1.8 Sasaran Strategis ..................................................................7 2.1.9 Arah Kebijakan ....................................................................8 2.1.10 Kewenangan ......................................................................10 2.1.11 Susunan Organisasi ............................................................12
2.2
Tinjauan Tentang Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ..............................................................................13 vi
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
2.2.1 Tugas dan Fungsi................................................................13 2.2.2 Tujuan................................................................................13 2.2.3 Sasaran dan Indikator.. .......................................................14 2.2.4 Kegiatan..............................................................................14 2.2.5 Struktur Organisasi .............................................................14 2.2.5.1 Sekretariat Direktorat Jenderal...........................................14 2.2.5.2 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan....15 2.2.5.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ............................16 2.2.5.4 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan...17 2.2.5.5 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kenfarmasian .....18 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN ...................................................................................20 3.1
Tugas Pokok dan Fungsi ................................................................20
3.2
Tujuan.............................................................................................20
3.3
Sasaran............................................................................................21
3.4
Strategi............................................................................................21
3.5
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian....................................................................................21
3.6
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional .....................................................................................21 3.6.1 Tugas dan Fungsi................................................................21 3.6.2 Struktur Organisasi .............................................................22
3.7
Subdirektorat Kosmetika dan Makanan .........................................23 3.7.1 Tugas dan Fungsi................................................................23 3.7.2 Struktur Organisasi .............................................................23
3.8
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus ........................................24 3.8.1 Tugas dan Fungsi................................................................24 3.8.2 Struktur Organisasi .............................................................24 vii
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
3.9
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat ...............25 3.9.1 Tugas dan Fungsi................................................................25 3.9.2 Struktur Organisasi .............................................................26
3.10 Sub Bagian Tata Usaha ..................................................................26 3.10.1 Umum .................................................................................26 3.10.2 Kepegawaian ......................................................................26 3.10.3 Kerumahtanggaan Direktorat .............................................27 3.11 Komponen Kegiatan.......................................................................27 3.11.1 Capacity Building ...............................................................27 3.11.1.1 Komponen Output ............................................................27 3.11.1.2 Detil Kegiatan...................................................................28 3.11.2 Pembinaan Industri .............................................................28 3.11.2.1 Komponen Output ............................................................28 3.11.2.2 Detil Kegiatan...................................................................28 3.11.3 Aliansi Strategi ...................................................................28 3.11.3.1 Komponen Output ............................................................28 3.11.3.2 Detil Kegiatan...................................................................29 3.11.4 Kemandirian Bahan Baku Obat..........................................29 3.11.4.1 Komponen Output ............................................................29 3.11.4.2 Detil Kegiatan...................................................................29 3.11.5 Penyusunan Pedoman/Standar............................................29 3.11.5.1 Komponen Output ............................................................29 3.11.5.2 Detil Kegiatan...................................................................30 3.11.6 Penguatan Regulasi dan Sosialisasi....................................30 3.11.6.1 Komponen Output ............................................................30 3.11.6.2 Detil Kegiatan...................................................................30 3.11.7 Penguatan Infrastruktur/Sarana ..........................................30 viii Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
3.11.7.1 Komponen Output ............................................................30 3.11.7.2 Detil Kegiatan...................................................................31 3.11.8 Reposisi dan Revitalisasi Obat Generik .............................31 3.11.8.1 Komponen Output ............................................................31 3.11.8.2 Detil Kegiatan...................................................................31 3.12 Sumber Daya Manusia....................................................................32 BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN ...........................................33 BAB 5 PEMBAHASAN .....................................................................................35 5.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional ..36 5.1.1 Produksi Obat ........................................................................37 5.1.2 Produksi Obat Tradisional.....................................................39 5.1.3 Distribusi Obat dan Obat Tradisional....................................44 5.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan ..............................47 5.2.1 Produksi Kosmetika ..............................................................48 5.2.2 Produksi Makanan.................................................................49 5.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus ........................................50 5.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat..................54 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................58 6.1
Kesimpulan.....................................................................................58
6.2
Saran...............................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................59 LAMPIRAN ........................................................................................................62
ix
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2.1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan..................................62 Lampiran 2.2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ..........................................63 Lampiran 2.3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ..........................................64 Lampiran 2.4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan .......................................................................................65 Lampiran 2.5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ........67 Lampiran 2.6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan .......................................................................................68 Lampiran 2.7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian....................................................................................69
x
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Logo Kementerian Kesehatan ..........................................................3 Gambar 5.1. Grafik jumlah industri farmasi per provinsi pada tahun 2008-2010 ........................................................................................................38 Gambar 5.2. Grafik penyebaran industri obat tradisional per provinsi pada tahun 2008-2009 .....................................................................................43 Gambar 5.3. Grafik jumlah industri kecil obat tradisional di Indonesia periode 2008-2010.......................................................................................44 Gambar 5.4. Grafik jumlah pedagang farmasi pada tahun 2008-2010 ...............45 Gambar 5.5. Grafik jumlah industri kosmetika per provinsi tahun 2008-2010 ...49 Gambar 5.6. Tampilan Program SIPNAP ...........................................................54
x
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Pembangunan suatu negara mencakup aspek pembangunan kesehatan yang harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dimana pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat sendiri merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2009b). Agar terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat, maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama untuk melaksanakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan tersebut meliputi setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2009b). Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang dikhususkan pada pelayanan publik, memiliki tanggung jawab dan andil yang besar dalam mewujudkan harapan masyarakat Indonesia yang sehat melalui upaya kesehatan. Kementerian Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Kementerian Kesehatan memiliki Direktorat Jenderal yang 1
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
2 merupakan unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
526,
Bab
VII
Permenkes
No.
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan; dan pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terbagi menjadi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Farmasi, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, serta Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tanggung jawab mensinergikan melalui penyusunan kebijakan dan pedoman-pedoman yang dapat dipergunakan, termasuk di dalamnya upaya-upaya peningkatan mutu produksi dan distribusi kefarmasian. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan; perumusan dan pelaksanaan kebijakan; dan penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) serta bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Para calon apoteker hendaknya memahami peran seorang apoteker dalam bidang kefarmasian khususnya di dalam pemerintahan. Dasar keilmuan yang dimiliki oleh seorang apoteker ikut berpartsipasi dalam melaksanakan perannya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Untuk mendapatkan gambaran mengenai dunia kerja di lingkungan pemerintahan, maka diadakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
2 1.2
Tujuan Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: 1.2.1. Mengamati kegiatan dan memahami tugas dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 1.2.2. Memahami peran, tanggung jawab dan fungsi apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN UMUM
2.1.
Tinjauan Umum Kementrian Kesehatan Kementerian
Kesehatan
merupakan
unsur
pelaksana
pemerintah
dibidang kesehatan yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan bertanggung jawab kepada Presiden (Departemen Kesehatan RI, 2010). 2.1.1 Logo Kementerian Kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 1984)
Gambar 2.1. Logo Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Arti simbol-simbol pada logo Bhakti Husada adalah sebagai berikut: a. Palang Hijau terletak di dalam Bunga Wijayakusuma dengan lima daun mahkota makna Pancakarsa Husada melambangkan tujuan pembangunan kesehatan sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional. b. Bunga Wijayakusuma ditopang oleh lima kelompok daun berwarna hijau melambangkan Pancakarya Husada pada hakikatnya adalah penjabaran makna pembangunan kesehatan. c. Bunga Wijayakusuma dengan lima daun mahkota berwarna putih dan kelopak daun berwarna hijau mempunyai makna melambangkan pengabdian luhur. d. Palang Hijau melambangkan pelayanan kesehatan. e. Tulisan “BHAKTI HUSADA” bermakna pengabdian dalam upaya kesehatan paripurna. 3
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
4
f. Bentuk garis bulat telur melambangkan kebulatan tekad, keterpaduan dengan berbagai unsur masyarakat. Pancakarsa Husada: a. Peningkatan kemampuan masyarakat menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan. b. Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan. c. Peningkatan status gizi masyarakat. d. Pengurangan kesakitan (Morbiditas) dan kematian (Mortalitas). e. Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan semakin diterimanya norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Pancakarya Husada: a. Peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan. b. Pengembangan tenaga kesehatan. c. Pengendalian, pengadaan, dan pengawasan obat serta makanan, dan bahan berbahaya bagi kesehatan. d. Perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan lingkungan. e. Peningkatan dan pemantapan manajemen dan hukum. 2.1.2. Visi dan Misi Visi yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan”. Sedangkan dalam rangka mendukung visi tersebut, Kementerian Kesehatan memiliki Misi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
5
2.1.3.
Strategi Kementerian Kesehatan telah membuat beberapa strategi dalam rangka
pembangunan kesehatan yang dapat mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkannya. Adapun strategi yang dijalankan adalah (Kementerian Kesehatan RI, 2010) : a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggungjawab. 2.1.4. Nilai-Nilai Guna mewujudkan Visi dan mengembangkan Misi yang ada, Kementerian Kesehatan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Pro Rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan
selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
6
b.
Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua
pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. c.
Responsif Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini menjadi dasar dalam
mengatasi permasalahan
kesehatan yang berbeda-beda,
sehingga
diperlukan penanganan yang berbeda pula. d.
Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang
telah ditetapkan dan bersifat efisien. e.
Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel. 2.1.5. Tugas Kementerian Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Kementerian Kesehatan RI, 2010). 2.1.6. Fungsi Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Kementerian
Kesehatan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
7
c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. 2.1.7 Tujuan Kementerian Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Tujuan dari penjabaran Visi dan Misi Kementerian Kesehatan
yaitu
terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan yang berhasil-guna dan berdaya-guna dapat dicapai melalui pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan, serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang didukung oleh sistem informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, serta hukum kesehatan. Fungsi-fungsi administrasi
kesehatan
tersebut, terdiri
dari perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian, serta pertanggungjawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan. 2.1.8 Sasaran Strategis Sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014, yaitu : a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan: 1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun. 2) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup. 3) Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup. 4) Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per 1.000 kealahiran hidup. 5) Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) dari 36,8 persen menjadi kurang dari 32 persen. 6) Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh naskes terlatih
(cakupan PN)
sebesar 90%. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
8
7) Persentase puskesmas rawat inap yang mampu PONED sebesar 100%. 8) Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan PONEK sebesar 100%. 9) Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%. b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan : 1) Menurunnya prevalensi Tuberculosis dari 235 menjadi 224 per 100.000 penduduk. 2) Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API dari 2 menjadi per 1.000 penduduk. 3) Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi dibawah 0,5%. 4) Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90%. 5) Persentase desa yang mencapai UCI dari 80% menjadi 100%. 6) Angka kesakitan DBD dari 55 menjadi 51 per 100.000 penduduk. c. Menurunnya disparasitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender, dengan menurunnya disparasitas separuh dari tahun 2009. d. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi resiko financial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. e. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen. f. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). g. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. h. Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Miinimal (SPM).
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
9
2.1.9 Arah Kebijakan Arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan didasarkan pada arah kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dengan memperhatikan permasalahan kesehatan yang telah diindentifikasi melalui hasil review pelaksanaan pembangunan kesehatan sebelumnya. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan periode tahun 2010-2014, perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Namun untuk menjamin terlaksanannya berbagai upaya kesehatan yang dianggap prioritas dan mempunyai daya ungkit besar di dalam pencapaian hasil pembangunan kesehatan, dilakukan upaya yang bersifat reformatif dan akseleratif. Upaya tersebut meliputi pengembangan Jaminan Kesehatan Masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK, ketersediaan, keterjangkauan obat di seluruh fasilitas kesehatan, saintifikasi jamu, pelaksanaan reformasi birokrasi, pemenuhan
bantuan
operasional
kesehatan
(BOK),
penanganan
daerah
bermasalah kesehatan (PDBK), pengembangan pelayanan untuk Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Langkah-langkah pelaksanaan upaya reformasi tersebut disusun di dalam dokumen tersendiri, dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 ini. Upaya kesehatan tersebut juga ditujukan untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, gender, dan antar tingkat sosial ekonomi melalui pemihakan kebijakan yang lebih membantu kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengalokasikan sumberdaya yang lebih memihak kepada kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengembangan instrument untuk memonitor kesenjangan antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi, dan peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah yang tertinggal.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
10
Selain itu, untuk dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, kedelapan fokus prioritas pembangunan nasional bidang kesehatan didukung oleh peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kesehatan, sistem informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui: a. Peningkatan
kualitas
perencanaan,
penganggaran
dan
pengawasan
pembangunan kesehatan. b. Pengembangan perencanaan pembangunan kesehatan berbasis wilayah. c. Penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan. d. Penataan dan pengembangan sistem informasi kesehatan untuk menjamin ketersediaan data dan informasi kesehatan melalui pengaturan sistem informasi yang komprehensif dan pengembangan jejaring. e. Pengembangan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat. f. Peningkatan penapisan teknologi kesehatan dari dalam dan luar negeri yang cost effective. g. Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif. h. Peningkatan pembiayaan kesehatan dalam rangka pencapaian sasaran luaran dan sasaran hasil. i. Peningkatan pembiayaan kesehatan di daerah untuk mencapai indikator SPM. j. Penguatan advokasi untuk peningkatan pembiayaan kesehatan. k. Pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta. l. Peningkatan efisiensi penggunaan anggaran. m. Peningkatan biaya opersional Puskesmas dalam rangka peningkatan kegiatan preventif dan promotif dengan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). 2.1.10. Kewenangan Kementerian
Kesehatan
RI
mempunyai
menyelenggarakan fungsinya. Kewenangan tersebut
kewenangan yaitu
dalam
(Kementerian
Kesehatan RI, 2010): a. Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
11
pembangunan secara makro. b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota di bidang Kesehatan. c. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan. d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan. e. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan. f. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan. g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan. h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan. i. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan. j. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan. k. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan. l. Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak. m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan. p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan. q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi. r. Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan. s. Surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa. t. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat essential (buffer stock nasional). Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
12
u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu dan pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan. 2.1.11. Susunan Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1144/Menkes/Per/VIII/2010 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, susunan organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Departemen Kesehatan RI, 2010): a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
13
Bagan
struktur
organisasi
Kementerian
Kesehatan
dapat
dilihat
pada
Lampiran 2.1. 2.2.
Tinjauan Tentang Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sesuai dengan Permenkes RI Nomor: 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. 2.2.1.
Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai
tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2010). Dalam melaksanakan tugasnya, Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2.2.2. Tujuan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tujuan sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 2010): a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan; Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
14
b. Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan dan kerasionalan; dan c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional. 2.2.3. Sasaran dan Indikator Sasaran hasil Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). 2.2.4. Kegiatan Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT). c. Peningkatan pelayanan kefarmasian. d. Peningkatana produksi dan distribusi kefarmasian. 2.2.5. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari (Lampiran 2.2.) (Departemen Kesehatan RI, 2010): 2.2.5.1.Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Dalam Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
15
melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi: a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran. b. Pengelolaan data dan informasi. c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat. d. Pengelolaan urusan keuangan. e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan. f. Evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 2.3.): a. Bagian Program dan Informasi. b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat. c. Bagian Keuangan. d. Bagian Kepegawaian dan Umum. e. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.5.2.Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya,
Direktorat
Bina
Obat
Publik
dan
Perbekalan
Kesehatan
menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
16
analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan;dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 2.4.): a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.5.3.Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
17
klinik, dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 2.5.): a. Subdirektorat Standarisasi. b. Subdirektorat Farmasi Komunitas. c. Subdirektorat Farmasi Klinik. d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.5.4. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 588, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
18
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 2.6.): a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan. b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. c. Subdirektorat Inspeksi Alkes dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. d. Subdirektorat Standarisasi dan Sertifikasi. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.5.5.Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya,
Direktorat
Bina
Produksi
dan
Distribusi
Kefarmasian
menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan
di bidang produksi dan distribusi
kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
19
produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 2.7.): a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN
3.1.
Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempuyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Departemen Kesehatan RI, 2010). Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan
perumusan kebijakan
di bidang produksi dan
distribusi
kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan peizinan dibidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat. 3.2.
Tujuan Tujuan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian tahun 2011 – 2014 adalah sebagai arah dalam penyelenggaraan program produksi dan distribusi kefarmasian serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian (Kementerian Kesehatan RI, 2011). 20
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
21
3.3.
Sasaran (Kementerian Kesehatan RI, 2011)
a. Tersedia bahan baku obat dan obat tradisional. b. Tersusunnya standar kefarmasian di bidang obat, obat tradisional, kosmetik, dan makanan. c. Industri farmasi prakualifikasi WHO. 3.4.
Strategi (Kementerian Kesehatan RI, 2011)
a. Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan. b. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu. c. Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional. d. Mebentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya. 3.5.
Struktur
Organisasi
Direktorat
Bina
Produksi
dan Distribusi
Kefarmasian Struktur
Organisasi
Direktorat
Bina
Produksi
dan
Distribusi
Kefarmasian terdiri dari (Departemen Kesehatan RI, 2010): a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Sudirektorat Produksi dan Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional. 3.6.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional (Departemen Kesehatan RI, 2010)
3.6.1. Tugas dan Fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
22 bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. 3.6.2. Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional terdiri atas: a.
Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Seksi
Standardisasi
melakukan penyiapan
Produksi
bahan
dan
perumusan
Distribusi dan
mempunyai
pelaksanaan
tugas
kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. b.
Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi Seksi
Perizinan
Sarana
Produksi
dan
Distribusi
mempunyai
tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menangani penerbitan usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, pedagang besar bahan baku farmasi, industri obat tradisional dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
23
3.7.
Subdirektorat
Produksi
Kosmetika
dan
Makanan (Departemen
dan
Makanan
Kesehatan RI, 2010) 3.7.1. Tugas dan Fungsi Subdirektorat
Poduksi
Kosmetika
mempunyai
tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang produksi kosmetika dan makanan. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi kosmetika dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kosmetika dan makanan. c. Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi kosmetika dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan. 3.7.2. Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan terdiri atas: a.
Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. b.
Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian,
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
24 pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi kosmetika. 3.8.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus (Departemen Kesehatan RI, 2010)
3.8.1. Tugas dan Fungsi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. c. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. d. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. 3.8.2. Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus terdiri dari atas: a.
Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
25 Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. b.
Seksi Sediaan Farmasi Khusus Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan
bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan. Subdirekorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka dalam hal ini Subdirektorat tersebut menangani/menerbitkan izin import/eksport prekusor, psikotropika. 3.9.
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat (Departemen Kesehatan RI, 2010)
3.9.1. Tugas dan Fungsi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelengarakan fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. c. Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
26 d. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 3.9.2. Struktur Organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat terdiri atas: a.
Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obt dan bahan baku obat. b.
Seksi Kerjasama Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan
koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 3.10. Sub Bagian Tata Usaha Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat dengan perincian sebagai berikut: 3.10.1. Umum a. Pencatatan surat-menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem arsiparis untuk keperluan. b. Distribusi surat masuk dan surat keluar ke Subdit-Subdit maupun eksternal Direktorat. c. Pengetikan (komputerisasi) surat-surat terutama untuk keperluan pimpinan. d. Menyusun daftar kepustakaan untuk keperluan Direktorat. e. Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis. 3.10.2.Kepegawaian Membuat data dan informasi kepegawaian antara lain: Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
27 a. Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama jabatan, eselon dan golongan. b. Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama jabatan serta alamat. c. Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun. d. Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai untuk seluruh pegawai. e. Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian. f. Menyusun dan menyimpan data KP4 (Surat Keterangan Untuk Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh pegawai. g. Mengurus kenaikan pangkat pegawai. h. Membantu pengurusan kenaikan pangkat berkala. i. Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian). 3.10.3. Kerumahtanggaan Direktorat a. Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara. b. Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang inventaris kerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen (Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. c. Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. d. Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur. e. Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di Gudang Direktorat. f. Membantu penyelesaian secara administrasi untuk pembayaran telepon Direktorat. 3.11.
Komponen Kegiatan
3.11.1. Capacity Building 3.11.1.1.Komponen Output Peningkatan kemampuan dan kompetensi petugas pusat dan daerah. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
28
3.11.1.2.Detil Kegiatan a. Harmonisasi dan peningkatan kemampuan dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi (prodis) kefarmasian. b. Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. c. Training of Trainer (TOT) pembinaan bidang produksi dan makanan. d. TOT pembinaan bidang obat dan obat tradisional. e. TOT pembinaan bidang kosmetik/makanan. f. TOT penyuluh keamanan pangan dan TOT pengawas pangan bagi petugas kabupaten/kota. g. TOT tentang bahan berbahaya. h. TOT pembinaan bidang obat dan obat tradisional. i. Refreshing training system pelaporan dinamika obat PBF. 3.11.2. Pembinaan Industri 3.11.2.1. Komponen Output Peningkatan kemampuan pelaku usaha di bidang kefarmasian dan makanan dalam memenuhi persyaratan dan daya saing. 3.11.2.2.Detil Kegiatan a. Bimbingan teknis sistem pelaporan dinamika obat PBF. b. Peningkatan kemampuan industri obat tradisional. c. Peningkatan kemampuan industri obat. d. Peningkatan kemampuan industri kosmetika dan makanan. e. Coaching/pendampingan bagi KUKM obat tradisional. f. Peningkatan kemampuan industri obat tradisional. g. Pembinaan industri farmasi dalam rangka dukungan akselerasi pelaksanaan prakualifikasi. 3.11.3. Aliansi Strategi 3.11.3.1.Komponen Output Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
29 Terlaksananya pembinaan secara terpadu untuk seluruh stakeholder pada bidang kefarmasian dan makanan. 3.11.3.2.Detil Kegiatan a. Penyusunan roadmap/blueprint bidang bahan bahan baku obat. b. Penyusunan roadmap/blueprint bidang kosmetika dan makanan. c. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat. d. Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional. e. Aliansi strategis bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor. f. Aliansi strategis di bidang prakualifikasi. g. Koordinasi lintas sector di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. h. Rapat konsultasi bina produksi dan distribusi kefarmasian. 3.11.4. Kemandirian Bahan Baku Obat 3.11.4.1.Komponen Output Tersedia masterplan pengembangan kemandirian bahan baku dan uji coba pembuatan bahan baku eksipien. 3.11.4.2.Detil Kegiatan a. Studi kelayakan produksi antibiotika (kemandirian di bidang obat). b. Rapat koordinasi dalam rangka persiapan produksi bahan baku obat. c. Studi kelayakan pengembangan BBO. d. Penyusunan masterplan dan amdal unit produksi. e. Desain dan rancang bangun peralatan. f. Pemantapan regulasi dalam rangka kemandirian bahan baku obat.. g. Persiapan produksi bahan baku obat. h. Uji coba pemanfaatan bahan baku obat pada produksi dalam negeri (subsidi pembiayaan) 3.11.5. Penyusunan Pedoman/Standar 3.11.5.1.Komponen Output Tersedianya standar yang dapat digunakan untuk pembinaan, pengawasan, dan pelayanan di bidang kefarmasian dan makanan. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
30 3.11.5.2.Detil Kegiatan a. Penyusunan dan pengembangan NSPK (Norma, Standard, Prosedur, dan Kriteria) obat tradisional. b. Penyusunan dan pengembangan NSPK obat dan bahan baku obat. c. Pengembangan kodeks kosmetika Indonesia. d. Penilaian komponen perizinan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan Spesial Access Scheme (SAS). e. Sertifikasi ISO 9001:2008 untuk 5 jenis pelayanan perijinan. f. Kajian monografi baru FHI. g. Penyusunan pedoman penilaian SAS. 3.11.6. Penguatan Regulasi dan Sosialisasi 3.11.6.1.Komponen Output Tersedianya dan tersosialisasikannya NSPK di bidang kerfarmasian dan makanan. 3.11.6.2.Detil Kegiatan a. Penyebaran informasi tentang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) bermutu, aman, dan bergizi. b. Dukungan narasumber prodis kefarmasian. c. Sosialisasi pedoman pelaksanaan pembinaan produksi obat dan bahan baku obat. d. Pemberdayaan masyarakat di bidang kosmetika dan makanan melalui media cetak. e. Pameran/bursa peneliti dan industri Indonesia. f. Sosialisasi pedoman penggunaan bahan tambahan pangan. 3.11.7. Penguatan Infrastruktur/Sarana 3.11.7.1.Komponen Output Tersedianya dukungan sarana dan prasaranan pelaksanaan tugas dan fungsi produksi dan distribusi kefarmasian.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
31 3.11.7.2.Detil Kegiatan a. Penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan perkantoran. b. Pemeliharaan software Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan sistem pelaporan dinamika obat Pedagang Besar Farmasi (PBF). c. Evaluasi kinerja dan monitoring kegiatan Direktorat Bina Prodis Kefarmasian. d. Pemantapan system pelaporn dinamika PBF. e. Penyusunan program dan kegiatan Direktorat Bina Prodis Kefarmasian. f. Penyusunan
laporan
akuntanbilitas
kinerja
Direktorat
Bina
Prodis
Kefarmasian. g. Alat pengolah data Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. h. Review penerapan SIPNAP dan system pelaporan dinamika obat PBF. i. Implementasi SIPNAP DAN system pelaporan dinamika obat PBF. j. Penerapan E-Licensing dalam rangka pelayanan dinamika obat PBF. k. Penerapan system pelaporan industry farmasi. l. Evaluasi pelaksanaan SAS. m. Penyelesaian system pelaporan dinamika obat PBF dengan system registrasi obat. 3.11.8. Reposisi dan Revitalisasi Obat Generik 3.11.8.1.Komponen Output Peningkatan penggunaan obat generik yang rasional. 3.11.8.2.Detil Kegiatan a. Peningkatan kapasitas SDM dalam rangka pengembangan kebijakan di bidang revitalisasi dan reposisi obat generik. b. Peningkatan kapasitas SDM provinsi dan kabupaten dalam pembinaan industri kabupaten dalam pembinaan industri farmasi. c. Pertemuan
peningkatan
kapasitas
industri
farmasi
dalam
penetapan
bioekuivalensi dan bioavailabilitas obat generik. d. Penyusunan daftar pemasukan terekomendasi dalam menjamin kualitas bahan baku obat generik. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
32 e. Pembinaan industri farmasi dalam implementasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) terkini. f. Sosialisasi dan promosi obat generik. g. Bimbingan teknis pada industri dan advokasi percepatan izin edar obat generik. h. Pertemuan pembekalan menganai hak atas kekayaan intelektual terkait obat generik. i. Pembuatan profil spesifikasi obat generik. 3.12. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang terdapat pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian berjumlah 31 orang dengan perincian sebagai berikut: Tabel 3.1. Sumber Daya Manusia (SDM) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Jumlah
Organisasi
SDM
Direktur Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
1
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisiona
6
Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan
7
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,
8
Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat
8
Sub Bagian Tata Usaha
7
Total
37
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilaksanankan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kegiatan PKPA berlangsung sejak tanggal 18 Juni - 29 Juni 2012, dilakukan mulai pukul 09.00 sampai pukul 16.00 WIB. Tabel 4.1. Jadwal Kegiatan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
No 1
Hari dan Tanggal Senin, 18 Juni 2012
a.
b.
c.
d.
e.
2
Selasa, 19 Juni 2012
a.
b. c. 3
Rabu, 20 Juni 2012
a. 33
Kegiatan Penerimaan mahasiswa PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan oleh ibu Dra. Rida W, Apt., MKM. Perkenalan mengenai Kementrian Kesehatan dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan oleh ibu Dra. Rida W, Apt., MKM. Pembagian kelompok PKPA ke dalam Direktorat yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Penjelasan umum dan pengenalan struktur organisasi di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian oleh ibu Dra. Mindarwati, Apt. Menelaah peraturan perundangundangan (tugas harian dari ibu Dra. Nur Ratih P, Apt., M.Si). Pembekalan tentang peraturan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan oleh Bapak Drs. Suhata. Pre test tertulis tentang obat generik dan antibiotik oleh bapak Drs. Suhata. Pre test tertulis tentang penggunaan obat rasional oleh Bapak Drs. Suhata. Pembekalan materi tentang Subdit Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
34
b.
4
Kamis, 21 Juni 2012
a. b.
5
Jum’at, 22 Juni 2012
a.
6
Senin, 25 Juni 2012
b. c. a. b. c.
7
Selasa, 26 Juni 2012
8
Rabu, 27 Juni 2012
a. b.
9
Kamis, 28 Juni 2012
a. b.
10
Jum’at, 29 Juni 2012
a. b. c.
Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional oleh Kepala Subdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Ibu Dra. Dettie Yuliati, Apt., MS. Pembekalan materi tentang Subdit Produksi Kosmetik dan Makanan oleh kepala Subdit Produksi Kosmetik dan Makanan Ibu Nur Ratih P, Apt., M.Si. Kunjungan ke Pusat Pelayanan Terpadu (loket Registrasi). Pembekalan tentang Subdit Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus oleh Kepala Subdit Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus Bapak Drs. Riza Sultoni, Apt., MM. Pembekalan materi tentang Subdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku oleh Kepala Seksi Kerja Sama ibu Rostilawati, S.Si., Apt. Mengerjakan tugas umum. Mengerjakan tugas khusus. Mengerjakan tugas umum. Mengerjakan tugas khusus. Kunjungan ke loket registrasi. Mengikuti rapat penyusunan Farmakope V di Hotel Aston Kuningan. Revisi tugas umum. Mengikuti rapat penyusunan Farmakope V di Hotel Aston Kuningan. Revisi tugas umum. Mengikuti rapat penyusunan Farmakope V di Hotel Aston Kuningan. Revisi tugas umum. Mengerjakan tugas khusus. Perpisahan antara mahasiswa PKPA dengan Kasubdit, karyawan dan staf Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 5 PEMBAHASAN
Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 mengenai Kesehatan, dimana pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pemerintah
bertanggung
jawab
merencanakan,
mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga bertanggungjawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai kesehatan setinggi-tingginya. Pemerintah juga bertugas untuk menjamin ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan ksehatan. Kementerian kesehatan melalui Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasi yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan yang betugas untuk melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Departemen Kesehatan RI, 2010).
Dalam melaksanakan tugas,
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan
di bidang produksi dan distribusi
kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di 35
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
36 bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dn Distribusi kefarmasian terdiri dari empat subdirektorat dan subbagian Tata Usaha. Keempat subdirektorat tersebut yaitu: a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Sudirektorat Produksi dan Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. (Departemen Kesehatan RI, 2011) Masing-masing subdirektorat memiliki tugas dan tanggung jawab yang spesifik, dan beberapa kegiatan yang masuk dalam perencanaan kegiatan tahun 2012. Sebagian kegiatan sudah terlaksana, dan sebagian lagi masih dalam proses pelaksanaan ataupun persiapan. Upaya pemerintah dalam mencapai pembangunan kesehatan yaitu dengan membuat beberapa regulasi yang sistematis dalam masing-masing bidang kefarmasian yang diampu oleh keempat subdirektorat dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi kefarmasian. Sepanjang pelaksanaan PKPA di Kementerian Kesehatan RI, dapat kami simpulkan mengenai masingmasing subdirektorat di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sebagai berikut: 5.1.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat tradisional memiliki
tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat ini bersama Badan POM atau Balai POM melaksanakan standarisasi terhadap produsen, dan distributor obat dan obat tradisional. Salah satunya adalah agar produksi suatu obat sesuai dengan CPOB (cara pembuatan obat yang baik) atau CPOTB (cara pembuatan Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
37 obat tradisional yang baik) dan distribusi obat dilaksanakan sesuai dengan CDOB (cara distribusi obat yang baik). Surat rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB, CPOTB atau CDOB ini akan dikeluarkan oleh Badan POM atau Balai POM kepada Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI setelah melakukan audit. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Kepala Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat tradisional dibantu oleh dua seksi yang memiliki tugas dalam penyususnan dan pelaksanaan regulasi dari segi standarisasi dan perizinan, yaitu Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi; dan Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Pada pembahasan mengenai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat tradisional akan dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu produksi obat, produksi obat tradisional, distribusi obat dan obat tradisional. 5.1.1 Produksi Obat Regulasi mengenai produksi obat berkaitan dengan industri farmasi produsen obat jadi maupun bahan obat. Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan dan farmasi. Sedangkan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar, mutu sebagai bahan farmasi (Menteri Kesehatan RI, 1990). Sayangnya, belum ada industri farmasi di indonesia yang memproduksi bahan baku obat yang memenuhi standar. Upaya untuk mengarah pada berdirinya industri bahan baku obat di Indonesia sedang digalakan oleh pemerintah agar terciptanya kemandirian obat. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
38 Perkembangan jumlah dan jenis produk yang diproduksi oleh Industri Farmasi dalam negeri serta kebijakan Pemerintah yang kondusif telah mendorong sarana industri farmasi Indonesia hingga menjadi salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan jumlah konsumen yang terus bertambah. Tercatat bahwa di Indonesia terdapat 21 Provinsi yang belum memiliki sarana industri farmasi antara lain Provinsi Aceh, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Sementara jumlah industri farmasi di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 yang hanya tersebar di 12 provinsi dimana Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah industri farmasi terbanyak diikuti oleh Provinsi Jawa Timur (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Gambar 5.1. Grafik jumlah industri farmasi per provinsi pada tahun 2008 – 2010.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
39 Kenyataan bahwa jumlah industri farmasi terus meningkat dari tahun ke tahun di wilayah Indonesia bagian barat ini dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan industri farmasi di Indonesia bagian timur dalam rangka pemerataan sarana tersebut di seluruh Indonesia. Keberadaan industri farmasi yang banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian barat ini juga salah satu sebab dari mahalnya harga obat di bagian timur akibat tingginya biaya distribusi. Faktor keamanan, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keadaan ekonomi masyarakat di wilayah timur Indonesia juga harus ditingkatkan untuk mendukung upaya tersebut. Hal ini penting untuk membuka akses masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan khususnya bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Melihat dari kenyataan tersebut, Pemerintah sedang mengupayakan berdirinya Industri Farmasi di Indonesia bagian timur guna menekan biaya guna pemenuhan kebutuhan kesehatan dari segi sediaan farmasi (Kementerian Kesehatan RI, (2011). Subdirektorat Produksi Obat dan Obat Tradisional saat ini sedang menyusun Farmakope V dan direncanakan tahun 2013 untuk dapat segera diterbitkan guna membantu Industri Farmasi dan kalangan farmasis dalam memenuhi informasi berkaitan dengan bahan baku obat. 5.1.2. Produksi Obat Tradisional Dari segi produksi Obat Tradisional (OT), di Indonesia sendiri sudah mulai meningkat dan berkembang. mayoritas masyarakat kian banyak yang berpaling pada obat tradisional terkait slogan back to nature atau hidup sehat dengan herbal. Obat tradisional (OT) merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang telah digunakan selama berabad-abad untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan dan pengobatan penyakit. Berdasarkan bukti secara turun-menurun dan pengalaman (empiris), OT hingga kini masih digunakan oleh masyarakat di Indonesia dan di banyak negara lain. Sebagai warisan budaya bangsa yang telah dibuktikan banyak memberi kontribusi pada pemeliharaan kesehatan. Jamu sebagai OT asli Indonesia perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Dalam perjalanan sejarahnya dengan didorong dan ditunjang oleh Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
40 perkembangan iptek serta kebutuhan upaya kesehatan modern, OT telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan yang dimaksud mencakup aspek pembuktian khasiat dan keamanannya, jaminan mutu, bentuk sediaan, cara pemberian, pengemasan dan penampilan serta teknologi produksi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong peningkatan pemanfaatan OT Indonesia sekaligus menjamin pelestarian Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jamu adalah OT Indonesia yang digunakan secara turun-menurun berdasarkan pengalaman. Obat herbal terstandar adalah hasil pengembangan jamu atau hasil penellitian sediaan baru yang khasiat dan keamanannya telah dibuktikan secara ilmiah atau uji preklinik dan bahan bakunya telah terstandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah terstandarisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2008). Program pengembangan OT secara berjenjang tersebut merupakan implementasi strategis dari ketentuan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sekaligus sebagai upaya pendayagunaan sumber daya alam Indonesia secara berkesinambungan (sustainable use). Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan bahwa OT harus memenuhi standar yang ditetapkan. Sesuai Penjelasan UU No. 23 Tahun 1992, standar yang dimaksud adalah Materia Medika Indonesia (MMI) atau standar lain yang ditetapkan. Upaya pembuatan standar bahan OT sudah dimulai jauh sebelum UU No. 23 Tahun 1992 ditetapkan. Pada tahun 1977 Indonesia telah menerbitkan Materia Medika Indonesia jilid I (MMI I). MMI I berisi 20 (dua puluh) monografi simplisia, MMI II berisi 21 (dua puluh satu) monografi simplisia, MMI III berisi 20 (dua puluh) monografi simplisia, MMI IV berisi 20 (dua puluh) monografi simplisia, monografi V berisi 60 (enam puluh) monografi simplisia. MMI belum ditetapkan sabagai standar wajib karena lebih merupakan spesifikasi simplisia yang menjadi acuan dalam pemeliharaan dan pengawasan mutu. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, sekitar tiga dasawarsa terakhir, teknologi pembuatan OT mengalami banyak perubahan sejalan dengan meningkatnya permintaan pembuktian khasiat dan keamanan secara ilmiah. Penggunaan bahan OT bentuk serbuk mulai diganti dengan ekstrak. Untuk Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
41 mengantisipasi peredaran penggunaan ekstrak tumbuhan obat yang tidak memenuhi persyaratan, pada tahun 2000 Departemen Kesehatan telah menerbitkan buku Parameter Standar Ekstrak Tumbuhan Obat. Pada tahun 2004 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menindaklanjuti dengan menyusun dan menerbitkan Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (METOI) Vol. I yang berisi 35 monografi ekstrak dan pada tahun 2006 diterbitkan METOI Vol. II yang memuat 30 monografi ekstrak. Upaya
untuk
mencegah
atau
mengurangi
dampak
negatif
dari
perkembangan lingkungan eksternal seperti perdagangan bebas multi lateral dan perkembangan faktor internal terhadap kesehatan masyarakat dan industri nasional, Departemen Kesehatan menerbitkan Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas) Tahun 2007. Kotranas mempunyai tujuan: 1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan. 2. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar mempunyai daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi masyarakat dan devisa negara yang berkelanjutan. 3. Tersedianya OT yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya, teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal. 4. Manjadikan OT sebagai komoditi unggul yang memberikan mutu manfaat yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memberikan peluang kesempatankerja dan mengurangi kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ditetapkan beberapa langkah kebijakan antara lain dengan peningkatan produksi, mutu dan daya saing komoditi tumbuhan obat Indonesia serta penyusunan Farmakope Obat Tradisional Indonesia. Produksi komoditi tumbuhan obat Indonesia
harus memenuhi
persyaratan cara budidaya dan pengolahan pascapanen yang baik sehingga simplisia yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Sebagai pelaksanaan dari langkah kebijakan tersebut, pada tahun 2008 Departemen Kesehatan bersama BPOM serta pakar dari beberapa perguruan Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
42 tinggi dan lembaga penelitian menyusun naskah Farmakope Obat Tradisional Indonesia yang merupakan buku standar simplisia dan ekstrak tumbuhan obat. Dalam proses pembahasan yang intensif di sidang pleno, disepakati nama buku diubah terakhir menjadi Farmakope Herbal Indonesia (FHI). Untuk menyusun FHI edisi I telah ditetapkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 374/Menkes/SK/IV/2008 tentang Panitia Farmakope Obat Tradisional Indonesia dan Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan No. HR.00.DJ.III.272.1 tentang Panitia Pelaksana Penyusun Farmakope Obat Tradisional Indonesia. Produksi OT dapat dilaksanakan oleh Industri Obat Tradisional (IOT), Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT), Usaha Jamu Racikan (UJR) maupun Usaha Jamu Gendong (UJG). IOT adalah industri obat tradisional dengan total asset diatas dari Rp. 600.000.000,- tidak termasuk harga tanah dan bangunan. IOT dapat memproduksi seluruh jenis produk OT kecuali dalam bentuk suppositoria dan steril. IKOT adalah industri obat tradisional dengan total asset tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- tidak termasuk harga tanah dan bangunan. IKOT dapat memproduksi seluruh jenis produk OT asalkan penanggung jawabnya adalah seorang Apoteker dan memenuhi CPOTB jika membuat tablet dan kapsul. Cairan obat oral dan kapsul tidak boleh diproduksi jika tidak memenuhi syarat. UJR adalah usaha peracikan, pencampuran, dan atau pengolahan obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel atau parem dengan skala kecil, dijual di satu tempat tanpa penandaan atau merk dagang. UJG adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat tradisional dalam bentuk cairan, pilis, tapel atau parem, tanpa penandaan dan atau merk dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan (Departemen Kesehatan RI, 1990). Indonesia memiliki industri OT dimana penyebaran pada tingkat provinsi/kab/kota belum banyak berkembang pada wilayah Indonesia bagian tengah maupun Indonesia bagian timur. Hal ini terlihat dari grafik menunjukkan Grafik Jumlah Industri Obat Tradisional per Provinsi pada tahun 2008 – 2010. Terdapat 25 Provinsi di Indonesia yang belum memiliki sarana tersebut, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali, Nusa Tenggara Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
43 Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Gambar 5.2. Grafik penyebaran industri obat tradisional per provinsi pada Tahun 2008-2009. Berdasarkan
ketersediaannya, jumlah
sarana Industri
Kecil Obat
Tradisional (IKOT) pada tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 38% namun pada tahun 2010 terjadi penurunan sekitar 34%. Industri Kecil Obat Tradisional di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2010 hanya tersebar di 25 Provinsi, sementara 8 (delapan) provinsi yang belum memiliki sarana IKOT antara lain Provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua Barat dan Papua. Jumlah sarana Industri Kecil Obat Tradisional tahun 2008 – 2010 yang tersebar hanya di 25 Provinsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
44
Gambar 5.3. Grafik Jumlah Industri Kecil Obat Tradisional di Indonesia periode 2008-2010. 5.1.3 Distribusi Obat dan Obat Tradisional Dalam rangka meningkatkan cakupan sarana pelayanan kesehatan terutama terkait ketersediaan sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat kesehatan terdapat beberapa cara salah satunya dengan melihat jumlah sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Sarana distribusi tersebut mencakup Pedagang Besar Farmasi, Apotek, Toko Obat, Penyalur Alat Kesehatan dan Sub Penyalur Alat Kesehatan. Cakupan sarana distribusi Pedagang Besar Farmasi yang berperan sebagai distributor utama ini sudah banyak berkembang di Indonesia dan kini kian memegang peranan penting dalam upaya memfasilitasi keterjangkauan masyarakat terhadap pemerataan akses obat terutama obat esensial. Pedagang Besar Farmasi mempunyai peranan besar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan secara luas seperti penyebaran obat – obatan dan alat kesehatan yang dibutuhkan dan diminati pasar, tentunya dengan mempertimbangkan prinsip–prinsip ekonomi. Perkembangan jumlah sarana PBF di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 5.4., yang menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah PBF yang paling banyak terutama bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
45 Yogyakarta). Hal ini dimungkinkan oleh karena Provinsi Jawa Timur menjadi pusat distribusi dari PBF yang mendistribusikan obat dan perbekalan kesehatan lainnya di regional Indonesia bagian timur sebagai upaya meminimalisir harga obat terkait biaya yang harus dikeluarkan untuk pengiriman obat ke wilayah tersebut.
Gambar 5.4. Grafik jumlah pedagang farmasi pada tahun 2008-2010. Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bahwa Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan setiap cabangnya terdapat beberapa kewajiban yang harus diikuti, diantaranya mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/PER/IX/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002, Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa Pedagang Besar Farmasi dan setiap cabangnya wajib menyampaikan laporan secara berkala sekali 3 (tiga) bulan mengenai usahanya yang meliputi jumlah penerimaan dan penyaluran masingmasing jenis obat kepada Menteri dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat dengan menggunakan formulir model PBF-9. Hal ini diaplikasikan melalui suatu sistem pelaporan secara elektronik. Dalam rangka memfasilitasi pelaporan dinamika obat Pedagang Besar Farmasi tersebut diperlukan adanya sistem pelaporan yang komprehensif, terintegrasi dan mudah dikelola. Selama ini pihak PBF biasanya melaporkan distribusi obat tersebut Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
46 melalui dokumen (hardcopy) yang dikirimkan lewat pos, dalam jumlah lembar kertas yang tidak sedikit. Sistem ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif ,oleh karena itu pihak Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Binfar dan Alkes telah membuat sebuah sistem pelaporan dengan menggunakan software agar pelaporan distribusi/penyaluran obat yang terpusat mudah dikelola, diakses dan didistribusikan. Aplikasi Software Sistem Pelaporan PBF (Pedagang Besar Farmasi) merupakan suatu sistem yang dirancang untuk dapat mengakumulasi dan mengakomodasi data secara cepat, tepat dan akurat. Operasional, sistem software ini sangat diperlukan dalam mengelola informasi pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berasal dari sektor swasta dalam hal ini PBF. Software tersebut dapat membantu PBF mengirimkan laporan distribusi obat dalam bentuk file softcopy ke Dinas Kesehatan Provinsi, yang kemudian data softcopy tersebut akan diolah/dikompilasi oleh Dinas Kesehatan provinsi. Hasil olahan/kompilasi data oleh Dinas Kesehatan Provinsi tersebut kemudian dikirimkan juga dalam bentuk softcopy ke Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Binfar dan Alkes. Apotek merupakan sarana distribusi yang dalam menjalankan fungsinya bersifat dwifungsi yaitu fungsi ekonomi dan sosial. Fungsi ekonomi menuntut agar apotek memperoleh laba untuk menjaga kelangsungan usaha sedangkan fungsi sosial adalah untuk pemerataan distribusi dan sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat kepada masyarakat. Orientasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (product-oriented) menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient-oriented). Jumlah apotek di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula dengan toko obat, dimana toko obat juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, walaupun banyak yang sudah mulai beralih izin menjadi Apotek. Sebagai bagian dari sistem distribusi obat, Toko Obat memiliki fungsi yang strategis dalam upaya pemerataan ketersediaan obat agar obat mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan salah satu kebijakan nasional di bidang obat. Pembinaan dan pengawasan mutlak dilakukan
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
47 dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahan dalam penggunaan obat. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat Obat dan Obat Tradisional antara lain: a. Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi dan pedagang besar bahan baku farmasi. b. Perizinan industri farmasi, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi dan pedagang besar bahan baku farmasi. c. Penyusunan Farmakope Herbal dan Suplemen Farmakope Indonesia. d. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap industri farmasi, industri obat tradisional, pedagang besar farmasi dan pedagang besar bahan baku farmasi. 5.2.
Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam
mengatur regulasi produksi kosmetik dan makanan yaitu penyiapan
bahan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan. Selain itu, Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Kepala subdirektorat dibantu oleh dua seksi, yaitu Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika Dan Makanan, dan Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika dan Makanan. Masing-masing bagian tersebut memiliki tugas sebagai berikut: a. Seksi Standardisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan. b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi kosmetika. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
48
5.2.1. Produksi Kosmetika Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Kemenkes RI, 2010b). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1175/Menkes/Per/ VIII/2010 tentang izin produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah industri kosmetika harus menerapkan Cara Produksi Kosmetika yang Baik (CPKB) dalam proses produksinya. CPKB merupakan seluruh aspek kegiatan pembuatan kosmetika yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Pada industri kosmetik golongan A, wajib menerapkan seluruh aspek CPKB. Pada industri kosmetik golongan B, harus mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB. Diaturnya izin produksi kosmetika ini bertujuan untuk menjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat. Peraturan yang berkaitan dengan CPKB tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 965/Menkes/SK/XI/1992. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1176/Menkes/Per/ VIII/2010 tentang notifikasi kosmetika, diatur mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk kosmetik sebelum diedarkan ke masyarakat. Notifikasi kosmetik ini ditujukan agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Pengaturan mengenai notifikasi di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Banyak kemudahan yang didapat setelah diberlakukannya notifikasi, salah satunya adalah penerapan sistem online dalam melakukan notifikasi. Pendaftar dapat melakukan notifikasi secara online melalui website http://notifkos.pom.go.id/bpom-notifikasi/. Pada notifikasi, terdapat kelemahan, yaitu konsumen sulit untuk mengetahui apakah Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
49 produk yang beredar tersebut telah ternotifikasi atau belum ternotifikasi. Keadaan tersebut disebabkan karena dalam notifikasi tidak wajib mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik. Pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan menyusun Formularium Kosmetik Indonesia. Berdasarkan data cakupan sarana Industri Kosmetika di Indonesia pada tahun 2008– 2010 terdapat 18 provinsi yang belum memiliki sarana tersebut yaitu Kepulauan Riau, Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Gambar 5.5., menunjukkan cakupan jumlah sarana Industri Kosmetika yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 – 2010.
Gambar 5.5. Grafik jumlah industri kosmetika per provinsi tahun 2008-2010. 5.2.2 Produksi Makanan Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan tambahan dalam makanan, kadar melanin dalam susu formula, serta pembinaan terhadap industri rumah tangga.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
50 Dengan dilakukannya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh sub Direktorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan, diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi syarat mutu dan keamanan. Kemudahan dalam mendapatkan perizinan usaha kosmetika dan makanan, dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat sehingga dapat menjadi lahan pekerjaan baru yang inovatif dan menguntungkan. Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB) telah diterbitkan oleh BPOM yang tertuang dalam Peraturan BPOM RI no. HK.05.1.23.04.12.2206 tahun 2012. 5.3
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor,
dan Sediaan Farmasi Khusus bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap importir produsen narkotika, psikotropika dan prekursor untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika,
Psikotropika,
Prekursor,
dan
Sediaan
Farmasi
Khusus
menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan; b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan; c. Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan;
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
51 d. Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan; dan e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan. Pada pelaksanaannya, Kepala Subdirektorat dibantu oleh dua seksi, yaitu Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; dan Seksi Sediaan Farmasi Khusus. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. Sedangkan Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan.
Subdirektorat ini bekerjasama dengan BPOM dalam hal pemberian izin impor bagi importir narkotika, psikotropika, prekursor farmasi. Selain itu, subdirektorat ini juga mengurus perizinan sediaan farmasi khusus. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau sintetis atau semisintetis
yang
dapat
menyebabkan
perubahan
menghilangkan rasa nyeri dapat menimbulkan
kesadaran
sampai
ketergantungan (Departemen
Kesehatan RI, 2009). Subdirektorat ini mengatur regulasi narkotik dari produksi sampai dengan distribusi dan bersifat spesifik. Siapapun yang akan mengimpor dan memproduksi harus mendapat ijin khusus dari pemerintah. Pemerintah menunjuk PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai penanggung jawab dalam penyediaan sediaan yang mengandung zat aktif golongan narkotika. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Departemen Kesehatan RI, 1997). Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
52 Sediaan farmasi khusus merupakan sediaan farmasi yang belum mempunyai izin edar di Indonesia, namun sangat dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan masyarakat atau merupakan obat sumbangan dari negara lain. Sediaan tersebut diberi izin untuk digunakan karena ditujukan bagi pengobatan penyakit langka. Kurangnya nilai komersil pada sediaan ini menyebabkan tidak ada importir atau produsen yang bersedia mengurus registrasi dan izin edarnya (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. Permohonan importir perkusor narkotika atau psikotropika dapat dilakukan secara on-line dan harus ada laporan tiap bulannya. Layanan prima kepada produsen mengenai permohonan izin impor bagi importir narkotika disediakan di loket 1 lantai 5 gedung baru Kementerian Kesehatan. Loket 1 melayani perizinan yang berkaitan dengan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus. Loket I melayani perizinan Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir Terdaftar (IT), Importir Produsen (IP). SPI adalah Surat Persetujuan Menteri kesehatan untuk mengimpor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. SPE adalah Surat Persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Permohonan izin impor dan ekspor dapat diakukan melalui layanan online yang terdapat di website www.e-pharm.dinkes.go.id. Pada saat penyerahan berkas, produsen wajib datang untuk memberikan berkas yang diperlukan. Jika berkas diterima maka selanjutnya akan mengkuti alur perizinan yang sesuai dengan Lampiran 2.8. untuk mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) untuk mengimpor sedangkan surat persetujuan ekspor (SPE) diberikan untuk mengekspor narkotika, psikotropika, prekursor farmasi. Jika berkas ditolak maka produsen dapat memperbaikinya dan dapat kembali setelah diperbaiki. Waktu yang diperlukan untuk proses penerbitan izin SPI adalah paling lama 10 hari kerja setelah dokumen diterima dan lengkap. 10 Hari kerja ini dapat menjadi lebih lama dikarenakan proses pengkajian dan pembubuhan tanda tangan yang harus menyesuaikan jadwal pejabat terkait. Kesalahan yang sering dilakukan oleh pengguna jasa antara lain kesalahan Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
53 penulisan dan kesalahan dalam kelengkapan berkas yang tidak lengkap sesuai yang ditetapkan. Petugas yang melayani produsen pada loket tersebut adalah pegawai di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dilakukan secara terjadwal dan bergantian setiap harinya, sehingga seluruh pegawai diwajibkan untuk mengerti tentang tata cara perizinan. Sub Direktorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sedian Khusus Farmasi telah menyelenggarakan program SIPNAP, yaitu sistem yang mengatur pelaporan penggunaan Narkotika dan Psikotropika dari Unit Layanan (Puskesmas, RS dan Apotek) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan pelaporan elektronik selanjutnya Kab/Kota melaporkan ke tingkat yang lebih tinggi (Dinkes Provinsi dan Diten Binfar dan Alkes) melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet. Berdasarkan Permenkes RI No. 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan pada pasal 539, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan, pengolahan, dan penyajian Data Penggunaan Obat Narkotika dan Psikotropika dari unit pelayanan (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan data pelaporan tersebut Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah menggunakan Sistem Pelaporan dalam bentuk software aplikasi yaitu Sistem Pelaporan narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) yang dapat diakses secara online dan tampilan aplikasinya dapat dilihat pada Gambar 5.6.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
54
Gambar 5.6. Tampilan Program SIPNAP. 5.4.
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Tujuan dari tugas yang diemban oleh subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat yaitu agar Negara Indonesia dapat mandiri dalam pengadaan obat dan bahan baku obat. Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam negeri. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat;
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
55 b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat; c. Penyiapan bahan koordinasi serta pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat; d. Penyiapan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat; dan e. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Pada pelaksanaannya, Kepala Subdirektorat dibantu oleh dua seksi, yaitu Seksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat; dan Seksi Kerjasama. Seksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Bahan baku obat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, karena harga bahan baku obat memiliki pengaruh yang besar terhadap biaya produksi dan pada akhirnya mempengaruhi harga obat jadi. Apabila bahan baku obat dapat diproduksi di dalam negeri, diharapkan harga obat akan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Upaya untuk mewujudkan kemandirian tersebut tertuang dalam program kerja subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Direktorat Jendral Bina Farmasi dan Alat kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain perencanaan strategi, kajian dan tinjauan tentang peraturan yang mendukung kemandirian obat dan bahan baku obat di Indonesia. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan bahan baku obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana untuk riset, menstimulasi berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
56 distribusi bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional. Pengalokasian dana riset diberikan pemerintah kepada industri farmasi, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian lainnya dalam rangka memacu penelitian mengenai bahan baku obat,. Dana ini dapat digunakan untuk mengembangkan bahan baku obat asli Indonesia seperti ekstrak-ekstrak tanaman asli Indonesia, yang memenuhi standar internasional. Rencana jangka panjang pemerintah yaitu mendirikan Pusat Ekstrak Daerah dan Pusat Ekstrak Nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah namun ada beberapa faktor yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri. Bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi dari pada harga bahan baku impor. Pada bagian ini, subditrektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mengkaji upaya agar dapat menurunkan tarif pajak komponen bahan baku obat dan pemberian subsidi terhadap komponen yang diperlukan dalam produksi bahan baku obat. Ketika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri, pemerintah akan membantu dalam hal pemasaran bahan baku dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan mendapatkan profit yang lebih besar. Pada tahun 2012, subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat berencana untuk melaksanakan program kerja yang mendukung tumbuhnya industri bahan baku obat, diantaranya adalah : a. Program pembuatan lima belas bahan baku obat dapat tercapai. b. Pembuatan draft-draft kebijakan kerjasama penelitian dengan BPPT dan LIPI terkait ekstrak jahe dan kunyit, mengenai bagaimana mendapatkan ekstrak yang sesuai standar dan melakukan percobaan produksi dalam skala laboratorium. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
57 c. Menyelenggarakan Expo penelitian bahan baku obat, yang mempertemukan peneliti bahan baku obat, pemerintah dan pengusaha sehingga diharapkan dapat tercapai kerjasama dalam bidang industri bahan baku obat secara domestik. d. Membangun dan mengembangkan E-report PBF, yaitu sistem pelaporan dinamika obat di sarana distribusi obat yaitu pedagang besar farmasi (PBF) yang berbasi web dengan system on line. e. Pembangunan laboratorium sertifikasi bahan baku obat. f. Pembanguna laboratorium BA-BE untuk penunjang kebutuhan pemenuhan syarat obat generik menggunakan bahan baku obat produksi lokal.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Dapat disimpulkan dari kegiatan
(PKPA)
yang
Praktek
Kerja Profesi
Apoteker
telah dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian, Kementerian Kesehatan yaitu: a. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan bagian dari Kementerian
Kesehatan
RI
yang
bertugas
melaksanakan
penyiapan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Kebijakan yang dibuat berkaitan dengan perizinan dan pengaturan obat termasuk obat psikotropika dan narkotika, sediaan farmasi khusus, obat tradisional, kosmetika, makanan, dan kemandirian produksi obat. b. Apoteker sebagai tenaga kefarmasian yang mengutamakan kesehatan masyarakat baik dari aspek regulasi di pemerintahan maupun di tengah komunitas masyarakat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan wadah bagi profesi apoteker untuk dapat menjalankan sumpah profesi apoteker yaitu membaktikan hidup demi kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan, dan menjalankan tugas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. 6.2.
Saran
a. Meningkatkan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dan penerapan regulasi dari Kementerian Kesehatan dapat terlaksana secara maksimal. b. Membuat regulasi berkaitan dengan kebijakan berkaitan dengan deviasi prekursor dan baik dalam bahan baku ataupun dalam sediaan obat bebas terbatas untuk mencegah kegiatan produksi narkotika dan psikotropika ilegal.
56
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI (1984). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 569/Menkes/Per/XI/1984 tentang Lambang Kesehatan untuk Upaya Kesehatan Rakyat diseluruh Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.(1997). Undang-Undang No. 5 Tahun 1997, tentang Psikotropika. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.(1990). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.(2009). Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, tentang Narkotika. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.(2009b). Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, tentang Kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.(2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1144/Menkes/PER/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.(1990). Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.(2008). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 121/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.(2010b).Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.(2010c).Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Profil Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. Kementerian
Kesehatan
RI.(2012).
Tupoksi.
Juni
25,
2012.
http://www.depkes.go.id 59
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
Kementerian
Kesehatan
RI.(2012b). Review Penerapan Sistem Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem Pelaporan Dinamika Obat PBF Regional I, II dan III Tahun 2010. http://www.binfar.depkes.go.id
60
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
LAMPIRAN
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
62 Lampiran 2.1 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
63 Lampiran 2.2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
64 Lampiran 2.3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
SEKRETARIS DITJEN BINFAR DAN ALKES
KABAG PI
KABAG PEGUM
KABAG HOH
KABAG KEUANGAN
KASUBBAG PROGRAM
KASUBBAG KEPEGAWAIAN
KASUBBAG HUKUM
KASUBBAG VER.&AKUN
KASUBBAG DATIN
KASUBBAG TU&GAJI
KASUBBAG ORGANISASI
KASUBBAG ANGGARAN
KASUBBAG EVAPOR
KASUBBAG RT
KASUBBAG HUMAS
KASUBBAG PERBENDAHARAAN
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
65 Lampiran 2.4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
66 Lampiran 2.5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
DIREKTUR BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
SUBBAGIAN TATA USAHA
SUBDIT STANDARISASI
SUBDIT FARMASI KOMUNITAS
SEKSI SANDARISASI PELAYANAN KEFARMASIAN
SEKSI PELAYANAN FARMASI KOMUNITAS
SEKSI STANDARISASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KOMUNITAS
SUBDIT FARMASI KLINIK
SEKSI PEMANTAUAN FARMASI KLINIK
SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI FARMASI KLINIK KELOMPOK JABFUNG
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
SUBDIT PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
SEKSI PROMOSI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
SEKSI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
67 Lampiran 2.6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
68 Lampiran 2.7.Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
69 Lampiran 2.8. Alur Proses Perijinan
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN PERIODE 18 – 29 JUNI 2012
PENGKAJIAN KEBIJAKAN TENTANG PENCEGAHAN DIVERSI PREKURSOR DI NEGARA CANADA DAN THAILAND
MELINDA ANGGITA SETIYADI, S. Farm. 1106153340
ANGKATAN LXXV
PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI DEPOK DESEMBER 2012
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i DAFTAR ISI........................................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN DAN TABEL ....................................................................v BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................1 1.1
Latar Belakang .................................................................................1
1.2
Tujuan...............................................................................................2
1.3
Ruang Lingkup .................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5 2.1
Prekursor ..........................................................................................5 2.1.1 Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Prekursor.............5 2.1.1.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 2010 Tentang Prekursor ...........................................................................5 2.1.1.2
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahaan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) ................................6
2.1.1.3
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika, 1988) .................................9
2.1.1.4
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 168/Menkes/ Per/II/2005 tentang Prekursor Farmasi ...........................10
ii
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
2.2
International Narcotic Board (INCB) (Dewan Narkotika Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa) ...................................11
2.3
United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi PBB Menentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Senyawa Psikotropika, 1988) .......................................................................13
2.4
Precursors and Chemicals Frequently Used In The Illicit Manufacture Of Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, UN 2011 (Prekursor dan Bahan Kimia yang Sering Digunakan dalam Pembuatan Narkotika dan Psikotropika oleh Illicit , PBB 2011). .............................................................................................15
BAB 3 PEMBAHASAN .....................................................................................16 3.1
Canada ...........................................................................................16 3.1.1 Kebijakan Pemerintah Canada Berkaitan dengan Prekursor.... ........................................................................................................16 3.1.2. Upaya Pemerintah Canada Mencegah Diversi Prekursor ....16 3.1.2.1. Resolusi dan Komitmen Internasional Negara Canada ..................................................................16 3.1.3. Lembaga Berwenang ...........................................................17 3.1.3.1.
Departemen Kesehatan Canada ........................16
3.1.3.2.
The Royal Canada Mounted Police (RCMP) ...18
3.1.3.3.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Canada .........................................18
3.1.3.4
Bea Cukai dan Badan Pendapatan Canada (CCRA) .............................................................19
3.1.3.5
Keterbatasan Kekosongan Kerangka Kebijakan Canada ...............................................................20
3.1.4. Sangsi ..................................................................................21 3.2
Thailand..........................................................................................22
iii
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
3.2.1 Kebijakan Pemerintah Thailand Berkaitan dengan Prekursor ..............................................................................................22 3.2.2. Upaya Pemerintah Thailand Mencegah Diversi Prekursor ..24 3.2.2.1.
Pra-Notifikasi ...................................................24
3.2.2.2.
Kerjasama Internasional ...................................24
3.2.2.3.
Kerjasama Sub-Regional ..................................24
3.2.2.4
Pelatihaan Regional Penanganan Narkotika dan Diversi Prekursor...............................................25
3.2.3. Lembaga Berwenang ...........................................................25 3.2.4 Sangsi ..................................................................................27 BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................29 4.1
Kesimpulan.....................................................................................29
4.2
Saran...............................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30 LAMPIRAN ........................................................................................................33
iv
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar jenis prekursor farmasi menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 2010 tentang prekursor ..........................................33 Lampiran 2. Definisi dan penggolongan narkotika................................................34 Lampiran 3. Definisi dan penggolongan psikotropika ...........................................38
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Daftar prekursor dan senyawa kimia di bawah pengawasan............. 14 Tabel 3.1. Daftar bahan kimia kategori 8011, 8021, dan 8031 .......................... 19 Tabel 3.2. Kekuatan hukum yang mengatur diversi narkotika, psikotropika, dan prekursor di Thailand.................................................................. 23
v
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia Indonesia merupakan salah satu modal
pembangunan nasional yang perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terusmenerus, termasuk derajat kesehatannya. Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika dan Psikotropika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat. Upaya tersebut juga disertai dengan pencegahan, pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap obat golongan Narkotika - Psikotropika termasuk prekursornya. Narkotika dan Psikotropika (NAP) di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, NAP dapat pula menimbulkan kerugian karena menyebabkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Dampak yang terjadi sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. Lebih dari 20 tahun terakhir, Dewan Pengurus Narkotika Internasional (INCB) telah menganalisis dan menemukan kecenderungan serta pola baru pada tindakan penyalahgunaan prekursor, yang menunjukkan kelemahan di sektor kendali dan kebijakan pemerintah pada tingkat nasional maupun internasional. Misalnya, telah ditemukan modus baru dimana phenylacetic acid dan derivatnya dapat digunakan untuk menghasilkan senyawa methamphetamine. Selain itu juga ditemukan penyalahgunaan acetic anhydride dan potassium permanganat yang digunakan Illicit untuk memproduksi heroin. Ditemukan pula penyalahgunaan prekursor yang ada dalam bentuk obat sediaan jadi, seperti sediaan obat bebas yang mengandung pseudoefedrin, diakumulasi sedemikian rupa kemudian diekstraksi untuk menghasilkan metamphetamine. Oleh karena itu, setiap negara 1
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
2 harus
melakukan
pengawasan
terhadap
prekursor
untuk
mencegah
penyalahgunaannya oleh Illicit untuk memproduksi narkotika dan psikotropika. Kejahatan Prekursor bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan Prekursor. Perkembangan kualitas kejahatan Prekursor tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang mengatur tentang prekursor tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 44 Tahun 2010. Pengaturan prekursor dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan prekursor untuk keperluan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pencegahan dan memberantas
penyalahgunaan
dan
peredaran
gelap
Prekursor
sangat
membutuhkan langkah-langkah konkrit, terpadu dan terkoordinasi secara nasional, regional maupun internasional. Dalam
upaya
melakukan
pengendalian
dan
pengawasan
serta
penanggulangan penyalahgunaan Prekursor karena menyangkut tugas dan fungsi berbagai sektor terkait diperlukan adanya suatu Peraturan Pemerintah yang menata secara menyeluruh pengaturan prekursor, termasuk prekursor dalam bentuk sediaan obat bebas dan bebas terbatas. 1.2. Tujuan Tujuan
dari
tugas
khusus
PKPA
dari
subdirektorat
Narkotika,
PSikotropika, dan Sediaan Farmasi Khusus yaitu: 1.2.1. Mengkaji kebijakan pemerintah negara Canada dan Thailand berkaitan dengan kebijakan dalam pencegahan diversi prekursor. 1.2.2. Mempelajari mengenai diversi prekursor dan kebijakan yang diterapkan baik tingkat nasional maupun internasional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
3 1.3. Ruang Lingkup Mengkaji kebijakan di negara Canada dan Thailand dengan pertimbangan sebagai berikut : 1.3.1. Canada 1.3.1.1 Profil negara Canada merupakan negara maju dan terluas di Amerika Utara yang memiliki bentuk negara federal dengan sistem pemerintahan parlementer. Bentuk pemerintahan monarki konstitusional yang di sahkan pada tahun 1867 di bawah kerajaan Inggris dengan kepala negara Ratu Elizabeth II yang dibantu oleh seorang Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (Mahkamah Konstitusi RI, 2012). 1.3.1.2.Kebijakan Nasional Pemerintah federal Canada memiliki wewenang untuk menangani urusanurusan nasional seperti kebijakan luar negeri dan perdagangan internasional, pertahanan, perikanan, transportasi dan komunikasi, perpajakan, sistem moneter dan perbankan, hukum pidana, imigrasi dan hak-hak asasi manusia. Kebijakan hukum yang dibuat oleh parlemen mengadopsi kebijakan dari negara Inggris dan dibawah pengawasan Kerajaan Inggris. (Kedutaan besar Canada, 2012). 1.3.1.3.Kebijakan tentang Prekursor Kebijakan mengenai kontrol berkaitan dengan prekursor berada di bawah dua departemen dan dua lembaga pemerintah federal yaitu :
a. Health Canada melalui lembaga Royal Canadian Mounted Police (RMP). b. Department of Foreign Affairs and International Trade melalui lembaga Canada Customs and Revenue Agency (Kementerian Kesehatan Canada,2001) 1.3.2 Thailand Thailand merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang sedang berkembang pesat dan memiliki kebijakan yang ketat terhadap pengaturan prekursor di negaranya. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
4 1.3.2.1 Profil negara Thailand merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang sedang berkembang pesat. Bentuk negara berupa kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja
dengan
bentuk
pemerintahan
monarki
konstitusional.
Kekuatan
perekonomian Thailand sebagian besar ditopang dari kegiatan expor. yang didukung oleh investasi langsung dari Jepang, Amerika Serikat, Singapura, dan negara-negara lain, sehingga kegiatan ekspor meningkat pesat. Sektor pariwisata menyumbang banyak kepada ekonomi Thailand, dan industri ini memperoleh keuntungan tambahan dari melemahnya Baht
dan stabilitas Thailand.
Berdasarkan data dari World Bank, angka kemiskinan di Thailand semakin menurun dari tahun ke tahun (Index Muhdi. 2007). 1.3.2.2 Kebijakan Nasional Sang Raja mempunyai sedikit kekuasaan langsung di bawah konstitusi namun merupakan pelindung Buddhisme Thailand dan lambang jati diri dan persatuan bangsa. Raja yang memerintah saat ini dihormati dengan besar dan dianggap sebagai pemimpin dari segi moral, suatu hal yang telah dimanfaatkan pada beberapa kesempatan untuk menyelesaikan krisis politik. kepala negara adalah Perdana Menteri, yang dilantik sang raja dari anggota-anggota parlemen dan biasanya adalah pemimpin partai mayoritas. Pemerintah Thailand memiliki wewenang untuk menangani urusan-urusan nasional serta kebijakan luar negeri (Index Muhdi, 2007). 1.3.2.3 Kebijakan tentang Prekursor Kebijakan mengenai kontrol berkaitan dengan narkotika dan prekursor berada di bawah Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand, departemen Food and Drug Administration of Thailand. Thailand memiliki lembaga Office of The Narcotics Control Board (ONCB) yang bertugas mengawasi kegiatan ilegal berkaitan
dengan
diversi
narkotika,
psikotropika
dan
senyawa
kimia
(AIPA, 2008).
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Prekursor Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika (PP. Republik Indonesia No. 44 Th. 2010 Tentang Prekursor).Prekursor sebagai bahan pemula atau bahan kimia banyak digunakan dalam berbagai kegiatan baik pada industri farmasi, industri non farmasi, sektor pertanian maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengadaan prekursor untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi, industri non farmasi dan kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini baru diatur dalam tingkat Peraturan Menteri. (Penjabaran PP. Republik Indonesia No.
44
Th. 2010 Tentang
Prekursor). Kendatipun prekursor sangat dibutuhkan di berbagai sektor, apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan atau disalahgunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika secara gelap akan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan. Meningkatnya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika dewasa ini sangat erat kaitannya dengan penggunaan alat-alat yang berpotensi dalam penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika maupun prekursor sebagai salah satu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang digunakan untuk memproduksi Narkotika dan Psikotropika secara gelap (Penjabaran PP. RI No.
44
Th. 2010 Tentang
Prekursor). 2.1.1 Kebijakan Pemerintah Indonesia Berkaitan dengan Prekursor 2.1.1.1.Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 2010 Tentang Prekursor Pemerintah RI mempertimbangkan bahwa untuk melaksanakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 52
5
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
6
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Prekursor. Pengaturan Prekursor bertujuan untuk: a. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor; b. Mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor; c. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan prekursor; dan d. Menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peraturan Pemerintah ini mengatur penggolongan dan kegiatan yang berkaitan dengan prekursor. Penggolongan dan jenis prekursor mengadopsi Konvensi PBB tahun 1988 di mana dibedakan dalam tabel I dan tabel II. Kegiatan perencanaan kebutuhan tahunan prekursor, merupakan tanggungjawab dari menteri kesehatan. Rencana kebutuhan disusun berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan kebutuhan dan penggunaan prekursor secara nasional. Menteri berdasarkan rencana kebutuhan tersebut melaporkan kepada badan internasional di bidang Narkotika. Kegiatan pengadaan prekursor yang meliputi produksi dan penyimpanan. Kegiatan impor dan ekspor prekursor yang mencakup persyaratan surat persetujuan impor dan ekspor, pengangkutan dan transito. Kemudian kegiatan peredaran yang mencakup penyaluran dan penyerahan. Pengaturan berkaitan pencatatan dan pelaporan. Kebijakan terhadap pengawasan dan ketentuan peralihan. 2.1.1.2.Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahaan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971). Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, tertib, dan damai. Upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, perlu dilakukan upaya secara Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
7
terusmenerus di bidang kesejahteraan rakyat dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya penyalahgunaan obat, psikotropika, narkotika, dan zat adiktif. Psikotropikamerupakan senyawa obat yang sangat bermanfaat untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan, tetapi penyalahgunaannya dapat menimbulkan masalah kesehatan dan kesejahteraan umat manusia serta masalah sosial lainnya. Semakin pesatnya kemajuan di bidang transportasi dan informasi yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, maka masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika juga meningkat sehingga perlu kerja sama internasional untuk mengatasinya. Resolusi The United Nations Economic and Social Council (Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa) Nomor 1474 (XLVIII), tanggal 24 Maret 1970, maka pada tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971, di Wina, Austria, diselenggarakan The United Nations Conference for the Adoption of a Protocol on Psychotropic Substances (Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Adopsi Protokol Psikotropika), telah menghasilkan Convention on Psychotropic Substances 1971(Konvensi Psikotropika 1971). Konvensi tersebut merupakan suatu perangkat hukum internasional yang mengatur kerja sama internasional. dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan psikotropika, serta pencegahan, pemberantasan penyalahgunaannya dengan membatasi penggunaan hanya bagi ke-pentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Materi muatan konvensi pada hakikatnya sudah selaras dengan usaha Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap psikotropika. Pengesahan konvensi tersebut dapat lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerja sama dengan negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaannya. Dari aspek kepentingan dalam negeri dengan menjadi pihak pada konvensi tersebut Indonesia dapat lebih mengkonsolidasikan upayanya dalam mencegah dan melindungi kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda, terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. Di samping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
8
tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri. Dengan demikian penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan
dapat lebih
dimantapkan. Ketentuan Konvensi tersebut selaras dengan usaha Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap penggunaan dan peredaran psikotropika), sehingga sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, Pemerintah RI memandang perlu untuk mengesahkan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) dengan Undangundang. Dalam Konvensi ini beberapa materi pokok yang diatur, antara lain, sebagai berikut: a. Pengertian tentang psikotropika, manfaat, bahaya dan penggolongannya. b. Lingkup Pengawasan terhadap psikotropika dan pelaporan ke sekretaris Jenderal PBB. c. Penggunaan, Penandaan, dan Periklanan berkaitan dengan psikotropika. d. Perdagangan Internasional psikotropika serta kewajiban untuk mendaftar apabila negara tersebut melarang import atau ekspor psikotropika. e. Tindakan untuk Pertolongan Pertama dan Keadaan Darurat Psikotropika yang termasuk dalam Daftar Psikotropika yang dibawa melalui pengangkutan internasional. f. Pemeriksaan atas para produsen, eksportir, importir, serta distributor psikotropika, sarana pelayanan kesehatan dan lembaga ilmu pengetahuan yang menggunakan psikotropika. g. Kewajiban Para Pihak melaporkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penerapan Konvensi di negaranya, perubahanperubahan penting dalam hukum dan peraturan perundang-undangan psikotropika. h. Pencegahan Penyalahgunaan psikotropika, identifikasi dini, pengobatan dan rehabilitasi secara terkoordinasi serta pelatihan secara personal. i. Pencegahan penyalahgunaan melalui perdagangan gelap. j. Penerapan Ketentuan Tentang Pengawasan Yang Lebih Ketat Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
9
Indonesia bukan sebagai negara penanda tangan Konvensi, maka sesuai dengan isi Pasal 25 dan 26 Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), cara yang ditempuh untuk menjadi Pihak pada Konvensi adalah dengan menyampaikan Piagam Aksesi. Apabila Indonesia telah menyampaikan Piagam Aksesi, maka Konvensi ini akan mulai berlaku bagi Indonesia secara internasional setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Piagam Aksesi oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa. Aspek luar negeri yang hendak dicapai adalah untuk memperlancar kerja sama internasional di bidang penanggulangan bahaya peredaran gelap dan penyalahgunaan psikotropika dengan semua negara dan lembaga internasional, terutama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya yang lebih dahulu telah meratifikasi konvensi ini. 2.1.1.3.Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika, 1988) Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Austria pada tanggal 27 Maret 1989 dan telah pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Sejalan dengan cita-cita bangsa dan komitmen Pemerintah dan rakyat untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam setiap usaha memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, Indonesia memandang perlu meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Praffic Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
10
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan
Peredaran
Gelap
narkotika
dan
Psikotropika, 1988) dengan Undang-undang. Maka dibuatlah Undang-Undang nomor 7 tahun 1997 yang mengesahkan kebijakan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan
Peredaran
Gelap
narkotika
dan
Psikotropika, tahun 1988 yang akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk mengambil langkah-langkah dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik dan psikotropik di Indonesia. 2.1.1.4.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 168/Menkes/Per/II/2005 tentang Prekursor Farmasi. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Prekursor dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa prekursor merupakan salah satu zat atau bahan, di satu sisi sangat dibutuhkan dalam berbagai kegiatan industri dan di sisi lain sangat potensial
disalahgunakan
untuk
keperluan
memproduksi
narkotika
atau
psikotropika secara gelap. Penggunaan prekursor yang tidak sesuai dengan peruntukkannya atau disalahgunakan akan menimbulkan gangguan kesehatan, instabilitas bidang ekonomi, gangguan keamanan serta kejahatan secara internasional, oleh karena itu perlu diawasi secara ketat. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Prekursor Farmasi. Jenis prekursor yang termasuk dalam Prekursor Farmasi dibawah pengawasan Kementerian Kesehatan dapat dilihat di lampiran 1. Permenkes tentang Prekursor Farmasi ini memuat beberapa kebijakan meliputi : a. Ijin dan ketentuan Importir kegiatan Produsen Prekursor Farmasi atau disingkat IP Prekursor Farmasi. b. Ijin dan ketentuan kegiatan Importir Terdaftar Prekursor Farmasi atau disingkat IT Prekursor Farmasi (Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi). c. Industri Farmasi yang menggunakan prekursor dalam kegiatan industrinya. d. Kebijakan ekspor Prekursor Farmasi. e. Penyaluran dan penggunaan Prekursor Farmasi. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
11
f. Pencatatan dan pelaporan penggunaan Prekursor Farmasi. g. Penandaan pada prekursor yang diedarkan. h. Pembinaan dan pengawasan oleh Menteri. i. Sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan terhadap IP Prekursor Farmasi dan IT Prekursor Farmasi. 2.2.
International Narcotic Board (INCB) (Dewan Narkotika Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa) International Narcotics Control Board (INCB) adalah badan pengawasan
independen dan quasi peradilan yang merupakan implementasi konvensi pengawasan obat internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). INCB didirikan pada tahun 1968 sesuai dengan Single Convention on Narcotic Drugs, 1961. Badan
ini
sebelumnya
di
bawah
pakta
perjanjian pembentukan
pengawasan obat di PBB. Fungsi dari INCB yaitu membuat pakta perjanjian diantaranya adalah : the Single Convention on Narcotic Drugs, 1961; the Convention on Psychotropic Substances of 1971; dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988. Secara garis besar, INCB memiliki andil sebagai berikut : a. Berkaitan dengan produksi, perdagangan dan penggunaan narkotika Psikotropika secara legal, INCB berupaya bekerja sama dengan pemerintah, untuk memastikan bahwa kecukupan pasokan obat tersedia untuk keperluan medis dan ilmiah, dan bahwa pengalihan obat dari jalur legal (licit) ke jalur ilegal sedapat mungkin tidak terjadi. INCB juga memantau kontrol Pemerintah atas bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan obat-obatan secara ilegal dan membantu mereka dalam mencegah pengalihan bahan kimia tersebut ke dalam peredaran gelap. b. Mengenai
industri
ilegal,
perdagangan
dan
penggunaan
narkotika
psikotropika, INCB mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pengawasan nasional dan internasional serta memberikan kontribusi untuk memperbaiki situasi seperti itu. INCB juga bertanggung jawab untuk memperkirakan senyawa kimia yang dapat disalahgunakan oleh illicit untuk digunakan dalam Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
12
pembuatan narkoba, kemudian menentukan apakah senyawa tersebut harus ditempatkan di bawah kontrol lembaga internasional. Termasuk tanggungjawab dari INCB diantaranya : a. Mengelola sistem
kebutuhan
narkotika,
sistem
penilaian sukarela
untuk senyawa psikotropika, monitoring kegiatan legal yang melibatkan obat melalui sistem pengembalian statistik, dengan maksud untuk membantu pemerintah dalam mencapai, antara lain keseimbangan penyediaan dan permintaan. b. Mengawasi dan mempromosikan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan senyawa yang sering digunakan dalam pembuatan narkotika dan psikotropika secara ilegal dan menilai zat tersebut untuk menentukan apakah ada perubahan dalam lingkup senyawa dibawah pengawasan seperti yang tertera pada Tabel I dan II dari konvensi 1988. c. Menganalisa informasi yang diberikan oleh Pemerintah, badan-badan PBB, badan-badan khusus atau organisasi internasional yang berkompeten, dengan tujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian internasional pengendalian obat secara memadai telah dilakukan oleh Pemerintah, dan merekomendasikan tindakan perbaikan. d. Mempertahankan dialog berkelanjutan dengan Pemerintah untuk membantu mereka dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian pengendalian obat internasional dan untuk tujuan itu, merekomendasikan, di mana bantuan yang tepat, teknik atau keuangan yang akan disediakan. INCB dapat dihubungi untuk meminta penjelasan jika terjadi pelanggaran yang berkaitan dengan perjanjian, untuk mengusulkan langkah-langkah tepat perbaikan untuk Pemerintah yang tidak sepenuhnya menerapkan ketentuanketentuan perjanjian atau menghadapi kesulitan dalam menerapkan kebijakan dan, jika perlu, untuk membantu Pemerintah dalam mengatasi kesulitan tersebut. Namun, jika INCB mencatat bahwa tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi yang serius belum bisa diambil, maka hal tersebut membutuhkan perhatian dari pihak yang bersangkutan yaitu Komisi Narkotika dan Dewan Ekonomi dan Sosial. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
13
Sebagai
usaha
terakhir,
merekomendasikan kepada negara penghasil,
pihak
mengekspor obat
INCB bertindak dalam
kerjasama
perjanjian yang atau yang
memberdayakan INCB untuk
telah berhenti mengimpor obat dari keduanya. Dalam erat dengan
semua
Pemerintah.
kasus, Dalam
rangka untuk menindaklanjuti tujuan dari perjanjian, Dewan INCB memelihara diskusi yang baik dengan Pemerintah negara anggota. Dialog tersebut dilakukan melalui konsultasi yang teratur dan melalui misi yang diatur dalam perjanjian dengan Pemerintah yang bersangkutan. Misalnya, negara menjadi pihak dalam konvensi dan telah memperkuat undang-undang mereka, terutama tentang psikotropika, atau meningkatkan koordinasi upaya pengendalian obat nasional. 2.3.
United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances,
1988
(Konvensi
PBB
Menentang
Perdagangan Gelap Narkotika dan Senyawa Psikotropika, 1988). Peristiwa yang melatarbelakangi pelaksanaan konvensi di mana terjadi tren dan besarnya kenaikan produksi Narkotika ilegal, yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan mempengaruhi dasar-dasar ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Kenyataan bahwa anak-anak digunakan di berbagai belahan dunia sebagai pasar konsumen narkoba dan untuk tujuan pasar perdagangan obat-obatan narkotika dan psikotropika ilegal, yang melibatkan bahaya tak terhitung. Maraknya kegiatan kriminal terorganisir yang mengancam stabilitas, keamanan dan kedaulatan negara, dimana peredaran gelap adalah kegiatan pidana internasional, penindasan yang menuntut perhatian mendesak dan prioritas tertinggi. Peredaran gelap menghasilkan keuntungan yang besar dan kekayaan yang memungkinkan organisasi kriminal transnasional untuk menembus, dan merusak struktur pemerintahan. Konvensi ini didasari oleh keinginan untuk menghilangkan akar penyebab masalah penyalahgunaan obat-obatan narkotika dan psikotropika, termasuk permintaan untuk obat-obatan terlarang dan senyawa-senyawa tertentu yang digunakan untuk peredaran gelap. Sehingga harus dilakukan langkah-langkah pasti untuk memonitor senyawa-senyawa kimia tertentu, termasuk prekursor, dan
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
14
pelarut,
yang
digunakan
dalam
pembuatan
obat-obatan
narkotika
dan
psikotropika. Tujuan Konvensi ini adalah untuk mempromosikan kerjasama di antara anggota konvensi sehingga didapat solusi yang lebih efektif di berbagai aspek peredaran gelap obat-obatan narkotika dan zat psikotropika yang memiliki dimensi
internasional.
Dalam
melaksanakan
kewajibannya
berdasarkan
Konvensi, setiap anggota wajib mengambil tindakan, termasuk tindakan legislatif dan administratif, sesuai dengan ketentuan masing-masing sistem legislatif dalam negeri. Senyawa kimia yang dapat disalahgunakan untuk memproduksi narkotika ataupun psikotropika diatur dalam konvensi dan di golongkan menjadi dua bagian dalam tabel I dan tabel II. Tabel I berupa daftar prekursor yang harus diawasi, sedangkan tabel II berisi senyawa kimia berupa reagen dan pelarut yang dapat digunakan untuk kegiatan diversi prekursor. Berikut ini adalah tabel daftar prekursor, reagen dan pelarut yang diawasi : Tabel 2.1. Daftar prekursor dan senyawa kimia di bawah pengawasan. Tabel 1 Acetic anhydride N-acetylanthranilic acid Ephedrine Ergotamine Isosafrole Lysergic acid 3,4-methylenedioxyphenyl-2-propanone Norephedrine 1-phenyl-2-propanone Piperonal Potassium permanganate Pseudoephedrine Safrole
Tabel 2 Acetone Anthranilic acid Ethyl Ether Hydrochloric acid Methyl ethyl keton Phenylacetic acid Piperidine Sulphuric acid Toluene
The salt of the substances listed in this Table whenever the existence of such The salt of the substances listed in this salts is possible (the salts of Table whenever the existence of such hydrochloric acid and sulphuric acid salts is possible are specifically excluded)
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
15
2.4
Precursors and Chemicals Frequently Used In The Illicit Manufacture Of
Narcotic
(Prekursor dan
Drugs
and
Bahan
Psychotropic
Substances,
Kimia yang
Sering
UN
2011
Digunakan
dalam Pembuatan Narkotika dan Psikotropika oleh Illicit , PBB 2011) Laporan Dewan Pengendalian Narkotika PBB pada tahun 2011 ini merupakan kelanjutan dari Perjanjian Internasional pertama yaitu Konvensi Opium Internasional yang ditandatangani di Den Haag pada tahun 1912, yang menciptakan dasar dari pengawasan obat internasional. Pada saat yang sama, konvensi PBB Menentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Senyawa Psikotropika tahun 1988, memasuki dekade ketiga sejak berlakunya kebijakan dalam konvensi. Selama waktu itu, kontrol obat-obatan terlarang di tingkat Internasional mengalami prestasi yang signifikan. Selama lebih dari 20 tahun, Dewan, dengan mandat untuk memantau dan menilai kepatuhan Pemerintah dengan kewajiban mereka menurut pasal 12 dari Konvensi 1988, telah mengidentifikasi dan menganalisa tren dan pola dalam perdagangan prekursor, mengidentifikasi kelemahan dalam kebijakan nasional dan sistem kontrol internasional beserta memberikan solusi kepada Pemerintah terkait dengan solusi konstruktif dan memiliki target. Upaya memperkuat penggunaan Sistem Pre-Export Notification (PEN) yang merupakan sistem pemberitahuan secara online dan mengembangkan inisiatif Internasional untuk mensukseskan
Proyek Prisma
dan
Proyek
Kohesi,
Dewan
Komisaris
berkeyakinan bahwa, selama dekade berikutnya, dapat terus membawa ke tujuan utama yaitu Pemerintah yang mampu mencegah diversi prekursor dan melakukan investigasi terhadap trafficking. Pada tahun 2011, kerjasama ini menghasilkan prestasi yang cukup besar dari 133 Pemerintah. Lebih dari 250 kasus penyitaan bahan kimia di bawah pengawasan, dengan total lebih dari 240 ton dan ribuan liter, yang akan digunakan dalam memproduksi obat terlarang. Namun demikian, Diversi prekursor masih menjadi masalah bagi masyarakat internasional. Melalui upaya bersama secara Internasional maka dapat ditemukan solusi yang efektif untuk mengekang kegiatan ini terkait dengan perdagangan narkoba dan kejahatan Internasional yang terorganisir. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1
Canada
3.1.1. Kebijakan Pemerintah Canada berkaitan dengan prekursor Canada mengaksesi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 pada bulan November 1990. Pada saat itu, Undang-Undang Obat dan Makanan, dan Undang-Undang Pengendalian Narkotika, tidak membahas mengenai bahan prekursor kimia. Pada tahun 1997, Canada mengesahkan Undang-Undang Pengendalian Obat-obatan dan Senyawa dengan ketentuan untuk kontrol prekursor dan pengembangan peraturan untuk impor, ekspor, produksi, dan distribusi prekursor. Canada menerapkan kebijakan dan program untuk memenuhi beberapa kewajiban prekursor terkait Konvensi. Sebagai tindak lanjut dari Konvensi PBB tahun 1988, Canada menyusun Undang-Undang yang mengatur kebijakan narkotika dan prekursor yaitu Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, c. 19 (Undang-Undang Obat dan Senyawa Kimia dalam Pengawasan, tahun 1996). 3.1.2. Upaya Pemerintah Canada Mencegah Diversi Prekursor 3.1.2.1.Resolusi dan Komitmen Internasional Negara Canada a.
Pra-Notifikasi Ekspor Resolusi S-20/4 B pada kontrol prekursor, mengadopsi UNGASS 1998,
dimana di dalam resolusi tersebut meminta agar pemerintah meningkatkan mekanisme dan prosedur untuk memantau perdagangan prekursor. Hal tersebut mencakup pertukaran informasi yang berkelanjutan antara ekspor, impor dan transit dari dan menuju Amerika, khususnya mengirim notifikasi pra-ekspor ke negara-negara pengimpor untuk semua zat Tabel I, ditambah anhidrida asetat dan kalium permanganat. Penggunaan notfikasi pra-ekspor pemberitahuan sejauh ini menjadi mekanisme yang efektif untuk mencegah pengalihan bahan kimia 16
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
17 prekursor, namun notifikasi untuk senyawa kimia reagen dan pelarut di tabel II belum dilaksanakan. b.
Daftar Special Surveillance Pengaturan prekursor yang tercantum dalam Tabel I dan Tabel II Konvensi
1988 menyebabkan kesulitan bagi trafficker untuk mengurus persetujuan pemerintah berkaitan dengan persyaratan konvensi. Akibatnya, beberapa trafficker menemukan senyawa kimia baru dan metode baru untuk membuat prekursor atau senyawa kimia narkotika dan psikotropika. Resolusi ECOSOC 1996/29 meminta INCB dan UNDCP untuk melakukan pengkajian ulang senyawa yang belum termasuk dalam daftar senyawa diawasi yang dapat disalahgunakan dan diperdagangkan secara internasional oleh iillicit. Pada tahun 1998, dibuatlah daftar senyawa baru yang diawasi dan masuk dalam kategori non-scheduled substances international special surveillance. Dua puluh tujuh zat diidentifikasi dari daftar 500 zat. 3.1.3. Lembaga Berwenang Pemerintah Canada menunjuk dua departemen dan dua lembaga federal untuk
melaksanakan
pemantauan,
pengawasan
dan
pengendalian
yang
berhubungan dengan penggunaan prekursor. 3.1.3.1 Departemen Kesehatan Canada Banyak negara pengekspor memerlukan verifikasi oleh negara pengimpor bahwa transaksi tersebut adalah sah, dan bahwa perusahaan importir berhak untuk menerima prekursor tertentu. Tidak adanya peraturan yang mengatur impor bahan kimia prekursor di Negara Canada, Departemen Kesehatan Canada mengeluarkan sebuah "Surat Tidak Keberatan" untuk pengimpor Canada, yang mengirim prekursor ke pemasok asing dengan surat pemesanan. Tidak ada dasar hukum untuk surat ini, yang merupakan kewenangan industri, memungkinkan kegiatan pemesanan barang impor zat yang dibutuhkan untuk melakukan bisnis. Data yang dikumpulkan berupa tahapan dan proses impor yang berfungsi untuk pelacakan sebuah mekanisme impor prekursor yang terdapat di Tabel I ke dalam negeri Canada. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
18 3.1.3.2 The Royal Canada Mounted Police (RCMP) The Royal Canada Mounted Police (RCMP) bertugas menangani laporan lapangan dari transaksi mencurigakan dan memulai investigasi saat ada bukti yang jelas adanya laboratorium produksi gelap. Penyelidikan oleh RCMP berhasil meningkatkan jumlah laboratorium yang terdeteksi dan dibongkar tiap tahunnya di Canada. RCMP juga membantu penegakan hukum negara selain Canada sejauh hal tersebut diijinkan dan berada di bawah undang-undang. Pada tahun 1995, RCMP mendirikan National Diversion Reporting Program, di mana banyak anggota detasemen RCMP perkotaan melakukan upaya untuk berkoordinasi dan memberikan bantuan kepada perusahaan produsen senyawa kimia dan perusahaan terkait. Hal ini dilakukan dengan memberikan program pendidikan yang bertujuan untuk mengatasi ruang lingkup permasalahan yang berkaitan dengan diversi senyawa kimia, bagaimana cara untuk mengetahui sebuah kerjasama bisnis yang merupakan transaksi mencurigakan, informasi mengenai bahan kimia yang paling disalahgunakan, dan besarnya masalah yang terkait dengan produk jadi. RCMP pada tahun 2001 melakukan proses re-engineering National Diversion Reporting Program. Program ini mencakup koordinasi nasional yang berpusat di Ottawa dan bidang koordinasi meliputi wilayah Vancouver, Toronto, Edmonton, Montreal, yang akan bekerja sama dengan personil RCMP lainnya, lembaga dan penegak hukum domestik maupun asing, departemen pemerintah federal (Departemen Kesehatan Canada, Luar Negeri dan Perdagangan Internasional, dan Agensi Bea dan Pendapatan Canada) dan industri swasta. 3.1.3.3.Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Canada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Canada bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin ekspor individu maupun izin ekspor umum melalui Undang-Undang Izin Ekspor dan Impor tahun 1992, bahan kimia prekursor dalam Tabel I dan Tabel II dari Konvensi 1988 adalah, sebagai langkah sementara, ditempatkan di Grup 8 dari Daftar Kendali Ekspor, menurut kategori yang didefinisikan dalam Chemical Action Task Force. Ekspor bahan kimia dalam Kategori 8011 memerlukan izin ekspor individu untuk semua tujuan selain Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
19 Amerika Serikat. Efedrin dan pseudoefedrin membutuhkan izin untuk semua tujuan ekspor. Ekspor semua bahan kimia Grup 8, yang beradadi atas ambang batas yang disyaratkan, khususnya ke Bolivia memerlukan izin ekspor individu; untuk bahan kimia lainnya, semua ekspor yang melebihi ambang batas diharuskan memiliki izin ekspor umum. Berikut ini adalah tabel daftar bahan kimia kategori 8011, 8021 dan 8031 : Tabel 3.1. Daftar bahan kimia kategori 8011,8021, dan 8031. 8011 Names of Substance Ephedrine (all destinations) Ergometrine Ergotamine Lysergic acid 1-phenyl-2-propanone Pseudoephedrine (all destinations) N-Acetylanthranilic acid 3,4-Methlenedioxyphenyl-2-propanone 8021 Names of Substance Piperidine Safrole Isosafrole Piperonal Anthranilic acid Phenylacetic acid 8031 Names of Substance Acetone Ethyl ether Methyl ethyl ketone Toluene Potassium permanganate Sulfric acid Hydrochloric acid
Threshold Quantity 1 kg 10 kg 10 kg 10 kg 20 kg 1 kg 40 kg 4 kg Threshold Quantity 0,5 kg 4 kg 4 kg 4 kg 30 kg 1 kg Threshold Quantity 2000 l 2000 l 2000 l 2000 l 500 kg 2000 l 2000 l
3.1.3.4.Bea Cukai dan Badan Pendapatan Canada (CCRA) Lembaga Bea Cukai dan Badan Pendapatan Canada melakukan penelitian dan pengumpulan informasi untuk mengembangkan program yang terkait crossborder gerakan bahan kimia prekursor. Program dari Bea Cukai dan Badan Pendapatan Canada untuk menangani diversi bahan kimia dengan mekanisme memantau semua kegiatan impor dan ekspor dari 23 bahan kimia yang diidentifikasi dalam Tabel I dan Tabel II dari Konvensi 1988. Selain itu, lembaga Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
20 ini akan akan menyelidiki transaksi mencurigakan untuk mengidentifikasi risiko tinggi yang mungkin terjadi oleh importir dan eksportir. Informasi ini akan membantu para pemeriksa perbatasan dalam tindakan pemeriksaan dan penegakan hukum berkaitan dengan diversi bahan kimia prekursor untuk produksi gelap. Kebijakan dalam pemantauan dan pengendalian lintas batas pergerakan prekursor oleh Lembaga Bea Cukai dan Pendapatan Canada adalah sebagai berikut: a. CCRA memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang Pabean untuk merebut dan / atau menahan setiap pengiriman kimia terdaftar di Grup 8 dari Undang-Undang Izin Ekspor dan Impor, ketika melebihi batas ambang dan tidak memiliki dokumentasi yang sesuai. b.
Impor dan ekspor bahan kimia prekursor dipantau dan diselidiki secara ad hoc, biasanya penyelidikan yang dimulai berdasarkan analisa atau lainnya informasi yang diterima dari aparat penegak hukum.
3.1.3.5 Keterbatasan Kekosongan Kerangka Kebijakan Canada a.
The Royal Canada Mounted Police (RCMP) Tidak adanya peraturan yang memadai yang mengatur bahan kimia
prekursor menyebabkan kesulitan dalam melakukan penyeldikan diversi kimia. Penegak hukum asing telah mengerahkan dan meningkatkan jumlah tekanan pada RCMP untuk mengambil tindakan terhadap gerakan, penjualan dan penyitaan bahan kimia prekursor. Kurangnya kerangka peraturan yang komprehensif yang mengatur distribusi domestik bahan kimia prekursor, ditambah dengan sumber daya terbatas, membatasi kemampuan nasional dan lembaga penegak lokal untuk mengontrol transaksi ini. Saat ini, RCMP hanya mengandalkan National Diversion Reporting Program,untuk mendapatkan informasi mengenai transaksi mencurigakan dari bahan kimia prekursor. Industri swasta bersedia membantu polisi dalam melaksanakan tugas mereka, namun mereka enggan untuk banyak terlibat tanpa peraturan yang tepat atau kode etik tertentu yang akan melindungi mereka dalam hal aksi pembalasan dari illicit. Harus diingat bahwa saat ini hampir tidak ada
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
21 pembatasan terhadap persyaratan siapa saja yang dapat mendistribusikan dan siapa saja yang dapat membeli prekursor. b.
Bea Cukai dan Badan Pendapatan Canada (CCRA) CCRA dituntut oleh badan-badan hukum domestik dan internasional
terhadap kurangnya Canada dari kontrol atas bahan kimia prekursor. CCRA adalah baris pertahanan pertama untuk barang yang masuk Canada. Kurangnya kerangka peraturan yang komprehensif yang membatasi wewenang CCRA untuk mengidentifikasi, menangkap, menahan atau menyita pengiriman mencurigakan bahan kimia prekursor yang diimpor ke Canada. 3.1.4. Sangsi Kekuatan hukum di negara Canada berkaitan dengan sangsi terhadap prekursor dan bahan kimia dalam pengawasan yang tertera dalam tabel I dan Tabel II konvensi 1988 berada di bawah Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, c. 19 (Undang-Undang Obat dan Senyawa Kimia dalam Pengawasan, tahun 1996). Undang-Undang tersebut sudah mengalami amandemen pada 20 September 2012. Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, c. 19 mencakup sangsi terhadap penyelewengan berkaitan dengan obat-obatan terlarang dan senyawa kimia tertentu yang dapat mengalami diversi untuk produksi obat-obatan terlarang. Prekursor dan senyawa kimia dalam pengawasan masuk dalam kategori schedule VI. Kebijakan tentang sangsi terhadap penyelewengan prekursor dan bahan kimia dalam pengawasan tertuang dalam bab I mengenai Pelanggaran dan sangsi, subbab bentuk pelanggaran. Peraturan berkaitan prekursor meliputi bagian (6) impor dan ekspor yang berbunyi: Ayat (1) “Kecuali sebagaimana diizinkan di bawah peraturan, tidak ada orang yang
diperbolehkan
mengimpor
ke
Canada
atau ekspor
dari
Canadasenyawa yang termasuk dalam Schedule I, II, III, IV, V atau VI” Ayat (2) “ Kecuali sebagaimana diizinkan di bawah peraturan, tidak ada orang yang diperbolehkan memiliki senyawa yang termasuk dalam Schedule I, II, III, IV, V atau VI untuk kepentingan eksport dari Canada”. Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
22 Setiap orang yang melanggar ayat (1) atau (2) mendapatkan hukuman : a. Subjek masalah pelanggaran adalah berkaitan zat yang termasuk dalam Daftar Psikotropika golongan I atau II, yang bersalah dalam kejahatan pelanggaran dan bertanggung jawab untuk penjara seumur hidup; b. Subjek masalah pelanggaran adalah zat yang termasuk dalam schedule III atau VI: 1) Bersalah karena terbukti melakukan pelanggaran dituntut dan dikenakan hukuman penjara selama tidak melebihi sepuluh tahun, atau 2) Bersalah karena pelanggaran terhadap summary conviction dan bertanggung jawab untuk penjara dalam jangka waktu tidak lebih dari delapan belas bulan, dan c. di mana subjek-masalah pelanggaran adalah zat yang termasuk dalam Daftar IV atau V, 1) Bersalah karena pelanggaran dituntut dan dikenakan hukuman penjara selama tidak melebihi tiga tahun, atau 2) Bersalah karena pelanggaran dihukum pada Ringkasan keyakinan dan bertanggung jawab penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun. 3.2
Thailand
3.2.1. Kebijakan Pemerintah Thailand Berkaitan dengan Prekursor Thailand bukan negara penghasil prekursor.Bahan kimia dan prekursor didapatkan melalui jalur impor untuk tujuan medis dan industri. Untuk mengontrol penyimpangan prekursor dan zat kimia penting dari industri yang sah, Komite Pengendalian Prekursor Kimia telah dibentuk sejak tahun 1993 untuk merumuskan strategi nasional pada kontrol prekursor, mengawasi kontrol prekursor dan implementasi, dan mengintegrasikan upaya yang dilakukan oleh lembaga kontrol prekursor yang bersangkutan. Sesuai dengan Konvensi PBB tahun 1988, 23 bahan kimia yang tercantum dalam tabel I dan tabel II, telah dikendalikan di Thailand. Selain itu, dalam menanggapi keprihatinan domestik, 8 prekursor tambahan dan bahan kimia juga berada di bawah kontrol, yang terdiri asetil klorida, kloroform, diacetate ethylidine, asam asetat pekat, triklorida fosfor, fosfor pentaklorida, tionil klorida dan kafein (Annex thailand). Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
23 Menurut laporan dari International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) tahun 2012, Thailand peringkat nomor sembilan dalam daftar negaranegara di seluruh dunia yang melaporkan kebutuhan legal untuk bahan kimia dalam pengawasan selama tahun 2009 dan 2010. Selama tahun 2010, lembaga pemerintah Thailand yang menangani bidang narkotika, Office of The Narcotics Control Board (ONCB) melaporkan penyitaan lebih dari 33 juta tablet pseudoefedrin yang siap diedarkan untuk negara-negara tetangga Thailand. Hingga Juni 2011, ONCB Thailand telah melaporkan penyitaan 7,5 juta tablet pseudoefedrin. Akibatnya, Thai Food and Drug Administration (FDA) dan pejabat ONCB bekerja dengan parlemen untuk mengadopsi peraturan impor yang lebih ketat dan kontrol untuk senyawa efedrin dan pseudoefedrin. Pemerintah Thailand memiliki 5 hukum yang memiliki keterkaitan terhadap kebijakan untuk mengontrol prekursor kimia yang disebutkan di atas, yaitu B.E. UU Narkotika 2522 (1979),UU zat psikotropika B.E. 2518 (1975), UU Impor dan Ekspor B.E. 2522 (1979), UU Senyawa Berbahaya B.E. 2535 (1992) dan UU Pengwasan Komoditas B.E. 2495 (1952). Pra-Notifikasi Ekspor (PEN) juga dilakukan untuk mencegah penyimpangan prekursor dan bahan kimia penting untuk pembuatan secara ilegal narkotika dan psikotropika (Annex thailand). ONCB membedakan kebijakan hukum dinegaranya terkait dengan narkotika dan diversi prekursor sebagai berikut: Tabel 3.2. Kekuatan hukum yang mengatur diversi narkotika, psikotropika, dan prekursor di Thailand. Kategori
Sub-kategori
Narkotika
Narkotika
UU Narkotika th. 1979.
Senyawa Psikotropika
UU senyawa Psikotropika th. 1975 Keputusan
Senyawa Volatil Diversi Kimia
Senyawa
Pengawasan
Darurat
Pengawasan
Penggunaan Senyawa Volatil th. 1990
Narkotika kategori IV
untuk Komoditi
Produksi Narkotika
Kebijakan hukum Thailand
dalam
UU Narkotika th. 1979. UU Pengawasan Komoditi th. 1952.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
24 3.2.2. Upaya Pemerintah Thailand Mencegah Diversi Prekursor 3.2.2.1.Pra-Notifikasi Pemerintah Thailand menerapkan Pre-Export Notification atau PraNotifikasi Ekspor (PEN) yang dilakukan untuk mencegah penyimpangan prekursor dan bahan kimia penting untuk pembuatan narkotika dan psikotropika secara ilegal. 3.2.2.2.Kerjasama Internasional Thailand ikut serta dalam penandatangan tiga konvensi PBB tentang pengawasan narkotika yaitu Single Convention on Narcotic Drugs, 1961, yang diamandemen pada tahun 1972, Convention on Psychotropic Substances, 1971 dan United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. Thailand telah secara aktif bekerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional tentang pengendalian obat selama lebih dari tiga puluh tahun yang mengarah ke pengembangan mekanisme, baik dalam bentuk bilateral dan multilateral, memiliki badan untuk mengatasi masalah narkoba domestik, regional, dan internasional. 3.2.2.3.Kerjasama Sub-Regional Thailand bekerja sama dengan negara-negara tetangga di kawasan subregional untuk memecahkan masalah narkoba. Mekanisme signifikan adalah kerjasama antar empat negara, yaitu Cina, Laos, Myanmar, dan Thailand pada kontrol obat. Pertemuan pemimpin negara dan menteri terkait dari empat negara yang diselenggarakan pada 10-11 Agustus 2001 di Yangoon dan pada tanggal 2728 Agustus 2001 di Beijing. Pertemuan mengadopsi Deklarasi Beijing yang menggarisbawahi rangka kerjasama. Empat negara menyoroti pengendalian bersama obat-obatan dan penyelundupan prekursor sepanjang Sungai Mekong. Thailand juga mengundang India untuk bergabung dengan kerjasama empat
negara
(China,
India,
Laos,
Myanmar
dan
Thailand)
dengan
menyelenggarakan pertemuan pemimpin negara dan menteri terkait dari lima negara pada 23-25 Juli 2003 di Chiang Rai, Thailand. Pertemuan tersebut berhasil Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
25 diselenggarakan dengan penekanan pada kontrol prekursor dan kerjasama pembangunan alternatif. Lokakarya lima-negara kelompok kerja pada kontrol prekursor diadakan pada tanggal 16-18 Desember 2003 di Thailand. Pertemuan kedua dari pemimpin negara lima negara tersebut diselenggarakan pada tanggal 21-23 April 2004 di Pattaya, Thailand. Pertemuan ketiga diadakan pada tanggal 11-13 Januari 2005 di New Delhi, India. 3.2.2.4.Pelatihan Regional Penanganan Narkotika dan Diversi Prekursor Regional Pelatihan Thailand mendapat dukungan dari Pemerintah Jepang melalui JICA dan NPA dalam melaksanakan Kerjasama Regional Pengembangan Kapasitas dalam Analisis NAPZA dan Peningkatan Penegakan Hukum NAPZA. Pelatihan secara kualitatif obat dan analisis kuantitatif bagi para ilmuwan yang dilakukan di Thailand dan di negara-negara CLMV (China, Laos, Myanmar dan Vietnam). Proyek ini sangat bermanfaat bagi pekerjaan investigasi dan intelijen dalam identifikasi sumber obat terlarang. ONCB
sebagaimana ditunjuk oleh ASEAN Senior Officials on Drugs
Matters (ASOD) sebagai Pusat Pelatihan Penegakan Hukum Narkotika ASEAN, terorganisir dengan dukungan dari the Colombo Plan Drug Advisory Programme (DAP). Kursus Pelatihan Pengendalian Prekursor dan Senyawa Kimia dalam Pengawasan dilaksanakan pada 02-08 Juli 2007 di Bangkok. Para peserta berasal dari negara-negara ASEAN, dan India. Tujuan utama dari pelatihan ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang gambaran peredaran gelap prekursor dan bahan kimia di Asia Tenggara, Cina dan India, termasuk teknik investigasi dan metode untuk melakukanpengawasan kegiatan diversi prekursor dan senyawa kimia. Pengetahuan pada kontrol prekursor dan kimia bagi aparat penegak hukum ASEAN narkotika di negara-negara ASEAN yang sebagian besar masih kurang pengalaman dan keterampilan yang memadai dalam bidang tersebut. 3.2.3. Lembaga Berwenang Menyadari bahwa masalah narkotika telah menjadi salah satu masalah yang paling serius yang perlu ditangani, Pemerintah Kerajaan Thailand dan anggota lain dari INTERPOL yang menghadiri Pertemuan INTERPOL tentang Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
26 Pengendalian Narkotika di Kota Lahor, Pakistan selama 19-23 Januari, 1960, sependapat dengan rekomendasi bahwa badan pengawas narkotika harus dibentuk di setiap negara untuk bertindak sebagai badan koordinasi dalam melaksanakan kegiatan pencegahan narkoba dan penindasan domestik maupun internasional. Menanggapi rekomendasi dari pertemuan tersebut, Pemerintah Kerajaan Thailand pertama kali mendirikan Narcotics Center Board (NCB) pada tanggal 11 April 1961. Dewan ini diketuai oleh Direktur Jenderal Departemen Kepolisian, dan anggota Dewan yang terdiri dari Sekretaris Tetap Deputi, Direktur dan Perwakilan dari berbagai instansi yang bersangkutan. Dewan NCB telah mendirikan Thailand Central Bureau of Narcotics (Biro Pusat Narkotika Thailand), yang berada di wabah Departemen Kepolisian, untuk bertindak sebagai badan koordinasi dalam melakukan penghapusan dan pencegahan praktek gelap narkotika, dan kegiatan lain sesuai dengan komitmen yang dibuat ke negaranegara asing dan organisasi-organisasi internasional. NCB menunjuk sub komite di setiap bidang, dan Daerah Sub-Komite untuk berkoordinasi dengan Biro Pusat Narkotika. Selain itu, Divisi Sub-7 di Divisi Kejahatan Supresi juga didirikan di Departemen Kepolisian sebagai unit khusus yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan supresi narkoba. Meskipun NCB telah didirikan sesuai dengan resolusi Kabinet, undangundang tidak dikeluarkan untuk kedua atau untuk menganugerahkan wewenang kepada Dewan. Fungsi Dewan, oleh karena itu, secara otomatis dihentikan setiap kali ada perubahan pemerintahan. Meskipun reorganisasi Dewan baru dilakukan, Dewan masih belum bisa bekerja pada kapasitas maksimal, dan dihadapkan dengan
berbagai
masalah. Akibatnya,
penyebaran
narkoba
memiliki
kecenderungan untuk meningkat secara dramatis. Sampai pada tanggal 16 November 1976, NCB atau Dewan Pengendalian Narkotika didirikan dengan dasar Undang-Undang Pengendalian Narkotika (Narcotics Control Act) BE2519 tahun 1976 dan Office of the Narcotics Control Board (ONCB) juga dibentuk untuk bertindak sebagai badan koordinasi nasional untuk pencegahan dan pemberantasan narkoba. Sekretariat Dewan Pengendalian Narkotika berada di kantor Perdana Menteri.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
27 Pada tanggal 1 Oktober 2002, ONCB dialihkan untuk berafiliasi dengan Departemen Kehakiman sebagai badan independen di bawah Menteri Kehakiman sesuai
dengan
Undang-Undang
tentang
Organisasi
Kementerian,
Sub-
Kementerian, Departemen, BE2.545 (2002). 3.2.4. Sangsi Undang-Undang yang mengatur mengenai diversi senyawa kimia guna produksi narkotika tercantum dalam Undang-Undang Pengawasan Komoditi (Commodity Control Act) B.E. 2495 tahun 1952. Undang-Undang tersebut dibuat sebagai kekuatan hukum untuk melindungi masyarakat terhadap penyalahgunaan komoditi yang memiliki potensi mengancam keselamatan publik, stabilitas ekonomi dan nasional (bagian 4). Pelaksanaan pengendalian oleh Pemerintah bertujuan untuk: a. Membatasi jumlah komoditi yang diperbolehkan untuk dimiliki. b. Membatasi jumlah komoditi yang dapat diperoleh pihak tertentu. c. Peraturan dalam kegiatan perdagangan, pembuangan, menjaga dalam penyimpanan dan kegiatan apapun yang berkaitan dengan komoditi, serta pelaksanaan pengawasan sesuai dalam pelatihan terhadap semua tempat perdagangan yang digunakan untuk menjual komoditas. d. Menentukan waktu, premis dan kegiatan pemusnahan komoditi. e. Menentukan jenis, jumlah dan jenis komoditi yang diizinkan untuk dimusnahkan. f. Melarang pembuangan atau penggunaan komoditi. g. Menentukan metode untuk mendistribusikan komoditi. h. Menentukan bisnis dan metode lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam Bagian 4. Setiap orang yang melanggar keputusan berdasarkan Undang-Undang tersebut, dapat dipidana penjara dengan jangka waktu yang tidak lebih dari sepuluh tahun atau denda tidak melebihi lima puluh ribu bath atau dikenakan pidana penjara dan denda. Jika orang tersebut melakukan suatu pelanggaran yang lebih berat, maka dapat dikenakan pidana ganda. Komoditi yang tidak memiliki data lengkap, dapat dilakukan penyitaan oleh pihak berwenang. Dalam Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
28 pelaksanaan Undang-Undang Pengawasan Komoditi ini, setiap pejabat berwenang memberikan tindakan pidana terhadap berdasarkan KUHP, Kitab II, Bagian I, Bab II dari halaman 129 sampai dengan halaman 146. Pelanggaran dapat dikenakan denda dua kali lipat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan Dapat disimpulkan dari kegiatan mengkaji kebijakan pemerintah negara
Canada dan Thailand berkaitan dengan kebijakan dalam pencegahan diversi prekursor sebagai tugas khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA)
di
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan yaitu: 4.1.1 Negara Canada dan Thailand memiliki Undang-Undang yang memuat aturan dan sanksi pidana maupun perdata berkaitan dengan diversi prekursor di negaranya. Canada memiliki Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, sedangkan Thailand memiliki UU Pengawasan Komoditi tahun 1952.
4.1.2 Diversi prekursor merupakan suatu tindakan penyalahgunaan senyawa kimia yang digunakan sebagai prekursor untuk memproduksi senyawa narkotika dan/atau psikotropika secara ilegal. Pengawasan terhadap senyawa prekursor menjadi penting untuk diperketat karena prekursor merupakan bahan yang primer untuk melakukan produksi, sedangkan illicit selalu mencari cara untuk dapat memproduksi narkotika dan psikotropika. 4.2.1 Saran Pemerintah Indonesia dapat mengadaptasi kebijakan dalam pencegahan diversi prekursor yang telah diterapkan di negara Canada maupun Thailand.
29
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
AIPA.(2008). Fifth Meeting of the ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) Fact-Finding Committee (AIFOCOM) to Combat the Drug Menace Singapore, 22-25 June 2008 : Country Report of Thailand. Bhumibol Adulyadej, Rex. (1952). Commodity Control Act B.E. 2495 (1952). Thailand. Index Muhdi. (2007). Country Profile : Thailand. Library of Congress : Federal Research Division. Kedutaan Besar Kanada. (2012). Government of Canada: Organisasi Politik dan Hukum. Diunduh pada 15 Oktober 2012 http://www.canadainternational.gc.ca/indonesia-indonesie/abouta_propos/organization-organisation.aspx?lang=ind&view=d. Kementerian Kesehatan Canada.(2001). Discussion document : Control of Precursors and Other Substances Frequently Used in the Clandestine Production of Controlled Substances. Office of Controlled Substances Drug Strategy and Controlled Substances Programme Healthy Environments and Consumer Safety Branch Health Canada. Kementerian Kesehatan Canada. (1996). Controlled Drugs and Substances Act S.C. 1996, c. 19. Published by the Minister of Justice Canada. Kementerian Kesehatan RI. (1996). Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahaan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971). Kementerian Kesehatan RI. (1997). Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Kementerian Kesehatan RI. (1997). Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika, 1988) Kementerian Kesehatan RI. (1997). Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
30
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
Kementerian Kesehatan RI. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 168/Menkes/Per/II/2005 tentang Prekursor Farmasi. Mahkamah Konstitusi RI. (2012). Profil Negara Canada. Diunduh pada 15 Oktober 2012. http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/Canada.pdf. ONCB.About Us : Background. Diunduh pada 22 Oktober 2012 dari http://en.oncb.go.th/file/about_bg.html ONCB.Narcotics Control Laws. Diunduh pada 22 Oktober 2012 dari http://en.oncb.go.th/file/information_narcotics.html. PBB. (1988). United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 PBB. (2011). International Narcotics Control Board : Precursors and chemicals frequently used in the illicit manufacture of narcotic drugs and spychotropic substances. Vienna, Austria. PBB. (2011). Precursors and Chemicals Frequently Used In The Illicit Manufacture Of Narcotic Drugs and Psychotropic Substances. Presiden RI.(2010). Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 2010 tentang Prekursor.
31
Universitas Indonesia
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
LAMPIRAN
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
33 Lampiran 1. Daftar Jenis Prekursor Farmasi menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 tahun 2010 Tentang Prekursor. DAFTAR JENIS PREKURSOR FARMASI Nama Barang No. H.S. Anhidrida Asetat 2915.24.00.00 Asam Klorida 2806.10.00.00 Asam Sulfat 2807.00.00.00 Aseton 2914.11.00.00 Etil Eter 2909.11.00.00 Kalium Permanganat 2841.51.00.00 Metil Etil Keton 2914.12.00.00 Toluen 2902.30.00.00 Asam N-asetil antranilat dan 2824.23.00.00 garamnya 10. Efedrin dan garamnya 2939.41.10.00 11. Ergometrin (INN) dan garamnya 2939.61.10.00 12. Ergotamin (INN) dan garamnya 2939.62.00.00 13. Isosafrol 2932.91.00.00 14. Asam lisengat dan garamnya 2939.63.00.00 15. 3,4-Metilen dioksi fenil-22932.92.00.00 propanon 16. 1-Fenil-2-propanon 2914.31.00.00 17. Piperonal 2932.93.00.00 18. Pseudoefedrina (INN) dan 2939.42.00.00 garamnya 19. Safrol 2932.94.00.00 20. Norefedrin (lain-lain) 2939.49.00.00 21. Asam antranilat 2922.43.00.00 22. Dietil eter 2909.11 - Mutu farmasi 2909.11.10.00 - Lain-lain 2909.11.90.00 23. Asam fenil asetat dan garamnya 2916.34.00.00 24. Piperidina dan garamnya 2933.32.00.00 25. Asam sulfat; oleum 2807 - Asam sulfat dari Copper Smelter 2807.00.10.00 - Lain-lain 2807.00.90.00 Termasuk garamn-garamnya kecuali asam klorida dan asam sulfat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
No. CAS 108-24-7 7647-01-0 7664-93-9 67-64-1 60-29-7 7722-64-1 78-93-3 108-88-3 89-52-1 299-42-3 60-79-7 113-15-5 120-58-1 82-58-6 4676-39-5 103-79-7 120-57-0 90-82-4 94-59-7 154-41-6 118-92-3 60-29-7 103-82-2 110-89-4 7664-93-9
34 Lampiran 2. Definisi dan Penggolongan Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika (Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Penggolongan narkotika berdasarkan UU no. 22 Tahun 1997 adalah sebagai berikut : 2.1 1.
Narkotika Golongan I Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2.
Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tananam Papever Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkut tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3.
Opium masak terdiri dari : a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun ataubahan lain. c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4.
Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon termasuk buah dan bijinya.
5.
Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk sebuak dari kelaurga Erythroxylaceae termasuk tanaman genus Erythroxylon yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
6.
Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7.
Kokaina, metil eter-1-bensoil eksgonina.
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
35 Lanjutan lampiran 2. Definisi dan Penggolongan Narkotika 8.
Tanaman ganja, semua tanaman termasuk biji, biah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9.
Tetrahydrocannabinol dan semua isomer serta semua bentuk stereo kiminya.
10. Delta 9 tetrahycannabinol dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina
: 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)6,14-endoeteno-oripavina
12. Acetil-alfa-metilfentanil : N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida 13. Alfa-metilfentanil
: N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil
: N-[1-[1-metil-2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
15. Beta-hidroksifetanil
: N-[1(β-hidroksifenetil)--4-peperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metil-
: N-[1(β-hidroksifenetil)-3-metil-4-peperidil] Fetanil propionanilida
17. Desomorfina
: dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina
: Tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)6,14endoeteno- oripavina
19. Heroina
: diacetilmorfina
20. Ketobemidona
: 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil
: N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil
: N-(3-metil-1[2-(2-tienil)etil-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP
: 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil
: 4’-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP
: 1-fenetil-4-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester)
26. Tiofentanil
: N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
36 Lanjutan lampiran 2. Definisi dan Penggolongan Narkotika 2.2.Narkotika Golongan II Senyawa yang termasuk narkotika golongan II diantaranya adalah : 1. Alfasetilmetadol
: alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
2. Alfameprodina
: alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-Propionoksipiredina
3. Alfametadol
: alfa-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol
4. Alfaprodina
: alfa-1, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
5. Alfentanil
: N-[1-[2-(4-etil-4, 5-dihidro-5-okso-1Htetrazol1-il) etil]-4-(metoksimetil)-4-piperidinil]-Nfenilpropanamida
6. Alilprodina
: 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
7. Anileridina
: asam-1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4karboksilat etil ester.
8. Aseltilmetadol
: 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
9. Benzettidin
: asam-1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4karboksilat etil ester
10. Benzilmorfina
: 3-benzilmorfina
11. Morfina-N-oksida 12. Morfin metrobomina dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida 13.. Morfina
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
37 Lanjutan lampiran 2. Definisi dan Penggolongan Narkotika 2.3. Narkotika Golongan III Senyawa yang termasuk narkotika golongan III diantaranya adalah : 1. Asektildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena
: alfa-(+)-4-dimetilamino-1, 2-difenil-3-metil-2butanol propionat
3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina
: 3-etil morfina
5. Kodeina
: 3-metil morfina
6. Nikodikodina
: 6-nikotinildihidrokedeina
7. Nikokodina
: 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina
: N-dimetilkodeina
9. Polkodina
: morfoliniletilmorfina
10. Propiram
: N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2Piridilpropionamida
11. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas. 12. Campuran atau sediaan Opium dengan bahan lain bukan narkotika. 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika. 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
38 Lampiran 3. Definisi dan Penggolongan Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku (Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika). DAFTAR JENIS PREKURSOR FARMASI
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama Barang No. H.S. Anhidrida Asetat 2915.24.00.00 Asam Klorida 2806.10.00.00 Asam Sulfat 2807.00.00.00 Aseton 2914.11.00.00 Etil Eter 2909.11.00.00 Kalium Permanganat 2841.51.00.00 Metil Etil Keton 2914.12.00.00 Toluen 2902.30.00.00 Asam N-asetil antranilat dan 2824.23.00.00 garamnya 10. Efedrin dan garamnya 2939.41.10.00 11. Ergometrin (INN) dan garamnya 2939.61.10.00 12. Ergotamin (INN) dan garamnya 2939.62.00.00 13. Isosafrol 2932.91.00.00 14. Asam lisengat dan garamnya 2939.63.00.00 15. 3,4-Metilen dioksi fenil-22932.92.00.00 propanon 16. 1-Fenil-2-propanon 2914.31.00.00 17. Piperonal 2932.93.00.00 18. Pseudoefedrina (INN) dan 2939.42.00.00 garamnya 19. Safrol 2932.94.00.00 20. Norefedrin (lain-lain) 2939.49.00.00 21. Asam antranilat 2922.43.00.00 22. Dietil eter 2909.11 - Mutu farmasi 2909.11.10.00 - Lain-lain 2909.11.90.00 23. Asam fenil asetat dan garamnya 2916.34.00.00 24. Piperidina dan garamnya 2933.32.00.00 25. Asam sulfat; oleum 2807 - Asam sulfat dari Copper Smelter 2807.00.10.00 - Lain-lain 2807.00.90.00 Termasuk garam-garamnya kecuali asam klorida dan asam sulfat
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
No. CAS 108-24-7 7647-01-0 7664-93-9 67-64-1 60-29-7 7722-64-1 78-93-3 108-88-3 89-52-1 299-42-3 60-79-7 113-15-5 120-58-1 82-58-6 4676-39-5 103-79-7 120-57-0 90-82-4 94-59-7 154-41-6 118-92-3 60-29-7 103-82-2 110-89-4 7664-93-9
39 Lanjutan lampiran 3. Definisi dan Penggolongan Psikotropika No. 1.
DAFTAR PSIKOTROPIKA GOLONGAN I Nama Lazim Nama Lain Nama Kimia BROLAMFETAMINA DOB (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi-α-metilfenetilamina DET 3-[2-(dietilamin)etil]indol DMA (±)-2-5-dimetoksi-α-metilfenetilamina DMHP 3-(1,2-dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9trimetil-6H dibenzo(b,d)piran-1-ol 3-[2-(dimetilamino)etil]indol DMT (±)-4-etil-2,5-dimetoksi-α-fenetilamina DCET ETISIKLIDINA N-etil-1-fenilsikoheksilamina PCE ETRIPTAMINA 3-(2-aminobutil)indole KATINONA (-)-(S)-2-aminopropiofenon 9,10-didehidro-N, (+)-LISERGIDA N-dietil-6-metilergolina-8-β-karboksamida LSD,LSD-25 (±)-N-dimetil-3,4-(metilendikoksi)fenetilamina 3,4,5-trimetoksifenetilamina MDMA 2-(metilamino)-1-fenilpropan-1-on MEKATINONA Meskalina (±)-sis-2-amino-4-metil-5-fenil-2-oksazolina 4-metilaminoreks 2-metoksi-α-metil-4,5(metilendioksi)fenetilamina MMDA (±)-N-etil-α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin N-etil MDA N-hidroksi MDA (±)-N-[α-metil-3,4(metilendioksi)fenetil]hidrokdilamina Paraheksil 3-heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6HPMA dibenzol[b,d]piran-1-ol Psilosina,psilotsin p-metoksi-α-metilfenetilamina 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-ol PSILOSIBINA 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il PHP,PCPY ROLISIKLIDINA Dihidrogen posfat STP,DOM 1-(1-fenilsikloheksi)pirolidina MDA TENAMFETAMINA 2,5-dimetoksi-α-4-dimetilfenetilamina TCP TENOKSILIDINA α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina TMA 1-(1-(2-bienil)sikloheksil)piperidina (±)-3,4,5-trimetoksi-α-metilfenetilamina
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
40 Lanjutan lampiran 3. Definisi dan Penggolongan Psikotropika DAFTAR PSIKOTROPIKA GOLONGAN II No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
NO.
NAMA LAZIM AMFETAMINA DEKSAMFETAMINA FENETILINA FENMETRAZINA FENSIKLIDINA LEVAMFETAAMINA MEKLOKUALON METAMFETAMINA METAMFETAMINA RASEMAT METAKUALON METILFENIDAT SEKOBARBITAL ZIPEPPROL
PCP Levamfetamina levometamfetamina
NAMA KIMIA (±)-α-metilfenetilamina (±)-α-metilfenetilamina 7-[2-[(α-metilfenetil)amino]etil]teofilina 3-metil-22fenilmorfolin 1-(1-fenilsikloheksi)piperidina (-)-O-α-metilfenetilamina (-)-N-α-metilfenetilamina 3-(o-klorofenil)-2-metil-4-(3H)kuinazolinon (+)-(S)-N,α-dimetilfenetilamina (+)-N, α-dimetilfenetilamina 2-metil-3-o-toll-4-(3H)-kuinazolinon Metil-α-fenil-2-piperidinaasetat Asam 5-alil-5-(1-metilbutil)barbiturat α-(α-metoksibenzil)-4-(β-metoksifenetil)-1piperazinetano
DAFTAR PSIKOTROPIKA GOLONGAN III NAMA LAZIM NAMA LAIN NAMAKIMIA
1. 2.
AMOBARBITAL BUPRENOFRINA
3. 4.
BUTALBITAL FLUNITRAZEPAM
5. 6.
GLUTETIMIDA KATINA
7.
PENTAZOSINA
8. 9.
PENTOBARBITAL SIKOBARBITAL
No.
NAMA LAIN
(+)-norpseudoefedrina
Asam 5-etil-5-isopentilbarbiturat 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2trimetil-propil]-6,14-endoetano-6,7,8,14tetrahidrooripavina Asam 5-alil-5-isobutilbarbiturat 5-(o-fluorofenil)-1,3-dihidro-1-metilnitro-2H-1,4-benzodiazepin-2-on 2-etil-2-fenilflutarimida (+)-®-α-[®-1-aminoetil]benzyl alkohol (2R*,6R*,11R*)-1,2,3,4,5,6-heksahidro6-11-dimetil-3-(3-metil-2-butenil)-2,6metano-3-benzazosin-8-ol Asam 5-etil-5-(1-metilbutil)barbiturat Asam 5-(1-sikloheksen-1-il)-5etilbarbiturat
DAFTAR PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV NAMA LAZIM NAMA LAIN NAMA KIMIA
1 2.
ALLOBARBITAL ALPRAZOLAM
3. 4. 5. 6. 7.
AMFEPRAMONA AMINOREX BARBITAL BENZFETAMINA BROMAZEPAM
8.
BROTIZOLAM
Dietilpropion
Asam 5,5-dialilbarbiturat 8-kloro-1-metil-6-fenil-4H-S-triazolo[4,3α][1,4] benzodiazepine 2-(dietilamino0propiofenon 2-amino-5-fenil-2-oksazolina Asam 5,5-dietilbarbiturat N-benzil-N-α-dimetilfenetilamina 7-bromo-1,3-dihidro-5-(2-piridil)-2H-1,4benzodiazepin-2-on 2-bromo-4-(o-klorofenil)-9-metil-6H-
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012
41 Butobarbital 10.
DELORAZEPAM
11.
DIAZEPAM
12.
ESTAZOLAM
13. 14.
ETIL AMFETAMINA ETIL LOFLAZEPATE
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
ETINAMAT ETIKLORVINOL FENCAMFAMINA FENDIMETRAZINA FENOBARBITAL FENPROPOREXS FENTERMINA FLUDIAZEPAM
23.
FLURAZEPAM
24.
HALAZEPAM
25.
HALOKSAZOLAM
26.
KAMAZEPAM
27.
KETAZOLAM
28.
KLOBAZAM
No.
NAMA LAZIM
29.
KLOKSAZOLAM
30.
KLONAZEPAM
31.
KLORAZEPAT
32.
KLORDIAZEPOKSIDA
33.
KLOTIAZEPAM
34. 35.
LEFETAMINA LOPRAZOLAM
36.
LORAZEPAM
37.
LORMETAZEPAM
N-etilamfetamina
NAMA LAIN
SPA
tienol[3,2-1]-s-triazolo[4,3-α](1,4)diazep Asam 5-butil-5-etilbarbiturat 7-kloro-5-(o-kolrofenil)-1,3-dihidro-2H-1,4benzodiazepin-2-on 7-kloro-1,3-dihidro-1-metil-fenil-2H-1,4benzodiazepin-2-on 8-kloro-6-fenil-4H-s-triazolo[4,3-α][1,4] benzidiazepina N-etil-α-fenetilamina Etil-7-kloro-5-(o-fluorofenil)-2,3-dihidro-2okso-1H-1,4-benzodiazepina-3-karboksilat 1-etnilsikloheksanol karbamat 1-kloro-3-etil-1-penten-4-in-3-ol N-etil-3-fenil-2-norbornannamina (+)-2S,3S)-3,4-dimetil-2-fenilmorfolina Asam 5-etil-5-fenilbarbiturat (±)-3-[(α-metilfenetil)amino]propionitril α, α-dimetilfenetilamina 7-kloro-5-(o-fluorofenil)-1,3-dihidro-1-metil2H-1,4-benzodiazepin-2-on 7-kloro-1-[2-(dietilamino)etil]-5-(ofluorofenil)-1,3-dihidro-2H-1,benzodiazepine2-on 7-kloro-1,3-dihidro-5-fenil-1-(2,2,2,trifluoroetil)-2H-1,4-benzodiazetin-2-on 10-bromo-11b-(o-fluorofenil)-2,3,7,11btetrahidrooksazolo[3,2d][1,4]-benzodiazepin6-(5H)-on 7-kloro-1,3-dihidro-3-hidroksi-1-metil-5fenil-2H-4-benzodiazepin-2-on dimetilkarbamat (ester) 11-kolor-8,12b-dihidro-2,8-dimetil-12b-fenil4H-[1,3]oksazino[3,2-d][1,4]benzodiazepine4,7-(6H)-dion 7-kloro-1-metil-5-fenil-1H-1,5-benzidiazepin2,4 (3H,5H)-dion NAMA KIMIA 10-kloro-11b-(o-klorofenil)-2,3,7,11btetrahidro-oksazolo[3,2-d][1,4]benzodiazepin-6-(5H)-on 5-(o-klorofenil)-1,3-dihidro-7-nitro-2H-1,4benzodiazepin-2-on Asam 7-kloro-2,3-dihidro-2-okso 5-fenil-1H1,4-benzodiazepin-3-karboksilat 7-kloro-2-(metilamino)-5-fenil-3H-1,4benzodiazepin-4-oksida 5-(o-klorofenil)-7etil-1,3-dihidro-1-metil-2Htieno[2,3-e]-1,4-diazepin-2-on (-)-N,N-dimetil-1,2-difeniletilamina 6-(o-klorofenil)-2,4-dihidro-2-[(4-metil-1piperazini)metilen] 8-nitro-1H-imidazol[1,2-α][1,4]benzodiazepin-
Laporan praktek ..., Melinda Anggita Setiyadi, FFar UI, 2012