UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU SM (89 TAHUN) DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
AULIA LAILI NISA 0806456966
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI DEPOK JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU SM (89 TAHUN) DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Keperawatan
AULIA LAILI NISA 0806456966
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI DEPOK JULI 2013
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ners ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Aulia Laili Nisa
NPM
: 0806456966
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 08 Juli 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas akhir ini diajukan oleh: Nama : Aulia Laili Nisa NPM : 0806456966 Program Sudi : Profesi Keperawatan Judul Penelitian : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan pada Program Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN
Penguji
: Ns. Ibnu Abas, S.Kep
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 8 Juli 2013
iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Aulia Laili Nisa
NPM
: 0806456966
Program Studi
: Profesi Keperawatan
Departemen
: Ilmu Keperawatan
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis karya
: Karya Ilmiah Akhir Ners
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah akhir ners saya yang berjudul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 08 Juli 2013 Yang menyatakan
( Aulia Laili Nisa ) iv
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat. Karya ilmiah akhir ners ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Karya Ilmiah Akhir. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini; 2. Riri Maria, S.Kp., MANP, selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir; 3. Ns. Ibnu Abas, S.Kep selaku pebimbing klinik Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti; 4. Lelaki baik nan sholeh suamiku tercinta, Salingga Yusrianda, terima kasih atas semua doa dan kebaikannya 5. Umi, Abi, Mama, dan Papa yang tiada hentinya memberikan doa, dukungan material, dan moral; 6. A Vabi, Rahman,dan Arief yang selalu memberikan semangat dan doa; 7. Teman-teman KKMP Peminatan Gerontik Wisma Cempaka yang selalu bersama dalam suka dan duka selama praktik dan menyusun karya ilmiah akhir ners; 8. Dian Fitriani yang telah banyak membantu mencarikan jurnal-jurnal; Harapan penulis mudah-mudahan segala bantuan, bimbingan, dorongan, dan doa yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT. Semoga karya ilmiah akhir ners ini nantinya dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan. Depok, 08 Juli 2013 Penulis v
ABSTRAK
Nama : Aulia Laili Nisa Program Studi : Profesi Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur Hambatan komunikasi verbal merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami lanjut usia (lansia). Hambatan komunikasi verbal yang terjadi pada lansia berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular. Karya ilmiah akhir ners ini bertujuan menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu SM (89 tahun) dengan masalah hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. Intervensi dalam asuhan keperawatan ini terdiri dari mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan komunikasi, yaitu melalui terapi wicara. Hasil evaluasi dari 23 implementasi menunjukkan peningkatan kemampuan mengucapkan kata, kalimat sederhana, dan kalimat kompleks. Mrs. SM juga terlihat percaya diri menyanyi di hadapan orang lain. Kesimpulannya adalah terapi wicara merupakan cara meningkatkan komunikasi pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Kata kunci: hambatan komunikasi verbal, lanjut usia, terapi wicara
vi
ABSTRACT
Name : Aulia Laili Nisa Study Program : Nursing Pofession Title : Clinical Nursing Practice Analysis of Urban Health on Mrs. SM (89 years) with Impaired Verbal Communication at Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur Impaired verbal communication is one of health problems experienced by elderly. Impaired verbal communication that occurs on elderly is associated with cerebrovascular disease. The aim of this study is to analyze urban community nursing care on Mrs. SM (89 years) with impaired verbal communication at Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. Nursing Intervention includes active listening, decreased anxiety, improved communication through speech therapy. The results from 23 implementations showed an increament in the ability to say words, simple sentences, and complex sentences. Mrs. SM also looked confident while singing in front of others. The conclusion is speech therapy is a way to improve communication on the elderly with impaired verbal communication. Keywords: impaired verbal communication, elderly, speech therapy
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………. iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................... iv KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v ABSTRAK………………………………………………………………… vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………… viii 1. PENDAHULUAN …………………………………………..…............. 1 1.1 Latar Belakang ……………………………………………............... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 3 1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 5 2.1 Teori Penuaan……………………………………………………….. 5 2.2 Prinsip Komunikasi Efektif…………………………………………. 6 2.3 Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan Cerebrovaskular . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 2.3.1 Definisi Hambatan Komunikasi Verbal……………………… 6 2.3.2 Patofisiologi Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan Cerebrovaskular ……………………………………….. 7 2.3.3 Jenis-jenis Hambatan Komunikasi Verbal…………………… 8 2.4 Terapi Wicara pada Lansia dengan Hambatan Komunikasi Verbal... 10 2.5 Konsep Long Term Care……….………………………………….... 12 3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA………………………… 14 3.1 Pengkajian…………………………………………………………... 14 3.1.1 Identitas Diri…………………………………………............. 14 3.1.2 Riwayat Kesehatan.......…………………………………........ 14 3.1.3 Aktivitas Sehari-hari …………………………………............ 16 3.1.4 Pemeriksaan Fisik ……………………………………............ 17 3.2 Analisis Data…………………………………….………………...... 18 3.3 Perencanaan…………………………………….………………….... 19 3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal………………………………………………………............ 19 3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik………………………………………………………............... 22 3.4 Implementasi…………………………………….………………….. 22 3.4.1 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal………………………………………………………............ 22 3.4.2 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik………………………………………………………............... 27 3.5 Evaluasi…………………………………….……………………….. 28 viii
3.5.1 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal………………………………………………………............. 28 3.5.2 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik………………………………………………………............... 31 4. ANALISIS SITUASI……………………………………………........... 33 4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………… 33 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Kasus Terkait……………... 35 4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Lain... 36 4.4 Alternatif Intervensi yang dapat Dilakukan………………………… 37 5. PENUTUP…………………………………………………………….... 37 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 37 5.2 Saran………………………………………………………………... 41 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………............. 42 LAMPIRAN
ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hambatan komunikasi verbal merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami lanjut usia (lansia). Lansia yang mengalami hambatan komunikasi mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hambatan komunikasi verbal merupakan penurunan, keterlambatan, atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses, menghantarkan, dan menggunakan sistem simbol, yaitu segala sesuatu yang memiliki atau menghantarkan makna (Wilkinson dan Ahern, 2012). Hambatan komunikasi verbal dapat terjadi akibat faktor fisiologis, psikologis, maupun budaya. Wilkinson dan Ahern (2012) menyebutkan penyebab terjadinya hambatan komunikasi verbal meliputi perubahan pada sistem saraf pusat, perubahan konsep diri, defek anatomi seperti celah palatum perubahan pada sistem neuromuskular, sistem pendengaran, atau pita suara. Selain itu, tumor otak, kondisi emosi, perbedaan budaya, efek samping obat, dan kondisi lingkungan juga merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya hambatan komunikasi verbal. Angka kejadian lansia yang mengalami kesulitan mengungkapkan pikiran secara verbal, seperti afasia, di dunia mencapai 38% dari lansia yang mengalami gangguan cerebovaskular (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Hasil penelitian ASEAN Neurological Association dalam Yayasan Stroke Indonesia (2012) di tujuh negara ASEAN menunjukkan 15% dari penderita stroke mengalami gangguan neuropsikologi ini. Selain itu, jumlah penderita stroke di tiga rumah sakit Jakarta, yaitu RSCM, RS Fatmawati, dan RS Persahabatan rata-rata 200 orang per bulan, sekitar 12 hingga 15% dari jumlah tersebut mengalami afasia (Said, 2011). Data-data yang disebut di atas menunjukkan bahwa hambatan komunikasi verbal yang terjadi pada lansia berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular. Penyakit cerebrovaskular ini biasanya berkaitan dengan pola hidup. Lansia di kota besar seperti Jakarta biasanya setelah pensiun kurang memiliki aktivitas bermanfaat. Kurangnya aktivitas ditambah pola makan yang kurang baik, seperti makan makanan cepat saji, menyebabkan lansia di perkotaan lebih berpeluang terkena penyakit cerebrovaskular. Serangan yang terjadi pada hemispher kiri dapat menyebabkan gangguan dalam
1
Universitas Indonesia
2
berkomunikasi (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Besarnya angka kejadian lansia yang mengalami hambatan komunikasi verbal perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan hambatan komunikasi verbal menyebabkan lansia mengalami kesulitan untuk
melakukan
komunikasi
dan
dikhawatirkan
dapat
menurunkan
angka
kesejahteraan dan kesehatan lansia. Upaya peningkatan kesejahteraan dan kesehatan lansia, terutama lansia yang mampu melakukan kegiatan di kota besar seperti Jakarta, selama ini telah dilakukan oleh Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Berbagai program yang ditawarkan oleh STW Karya Bhakti meliputi program peningkatan kesehatan seperti senam, relaksasi, dan terapi musik. Program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan yang diselenggarakan STW Karya Bhakti untuk mengakomodasi kebutuhan lansia dengan hambatan komunikasi verbal adalah dengan berlatih pengucapan huruf vokal, a, i, u, e, o, di akhir senam dan relaksasi. Pengkajian yang di lakukan di Wisma Cempaka, STW Karya Bhakti menunjukkan 21% residen mengalami hambatan komunikasi verbal. Salah satu residen yang mengalami gangguan ini adalah Residen yang berjenis kelamin perempuan dan berusia 87 tahun. Residen pernah menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 dan di awal tahun 2004 Residen mulai mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Akibatnya, Residen sering merasa malu saat berinteraksi karena apa yang Residen ucapkan terkadang tidak dipahami oleh orang lain. Mahasiswa telah memberikan asuhan keperawatan kepada Residen selama tujuh minggu berpraktik di Wisma Cempaka, STW Karya Bhakti. Asuhan keperawatan yang dilakukan berupa terapi wicara. STW Karya Bhakti sendiri sebenarnya telah memfasilitasi latihan bicara dalam kegiatan senam dan relaksasi. Akan tetapi, latihan yang diajarkan hanya terbatas pada pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Cara pengucapan suatu kata ataupun kalimat belum diajarkan. Oleh karena itu, mahasiswa memberikan inovasi dalam asuhan keperawatan kepada Residen yaitu terapi wicara yang meliputi senam lidah yaitu menggerakan lidah ke depan, ke atas, ke bawah, dan kesamping, latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti Universitas Indonesia
3
ba bi bu be bo, latihan pengucapan kata-kata seperti word finders dan everyday objects, latihan pengucapan kalimat seperti objects and action, everyday activities, sentence builders, dan phrase builders (Berthier, 2005). Selain itu, di minggu terakhir terapi wicara dimodifikasi dengan menyanyikan lagu-lagu kesukaan residen. Salah satu target terapi wicara yang berhasil dicapai adalah residen percaya diri dalam menyanyikan lagu Halo-halo Bandung dan Kebunku di depan residen lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Angka kejadian hambatan komunikasi verbal pada lansia di Jakarta mencapai 12 hingga 15% dari jumlah penderita stroke di tiga rumah sakit (Said, 2009). Besarnya angka kejadian lansia yang mengalami hambatan komunikasi verbal perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan hambatan komunikasi verbal menyebabkan lansia mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi dan dikhawatirkan dapat menurunkan angka kesejahteraan dan kesehatan lansia. Terkait masalah keperawatan yang terjadi pada lansia, hambatan komunikasi verbal merupakan salah satu masalah yang perlu mendapatkan asuhan keperawatan. Perawat profesional yang memandang residen secara holistik tentunya memahami bahwa hambatan komunikasi verbal dapat menganggu interkasi lansia dengan orang lain. Oleh karena itu, asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal perlu dilaksanakan agar dapat dilihat kefektifan dari terapi yang telah diberikan. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu SM (87 tahun) dengan hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka, Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi: 1. Memberikan gambaran pelayanan lansia di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti. 2. Memaparkan hasil pengkajian Residen dengan masalah keperawatan utama hambatan komunikasi verbal. Universitas Indonesia
4
3. Memaparkan rencana asuhan keperawatan kepada Residen dengan masalah keperawatan utama hambatan komunikasi verbal. 4. Memaparkan pengaruh intervensi terapi wicara pada Residen dengan hambatan komunikasi verbal. 5. Menggambarkan evaluasi asuhan keperawatan pada Residen dengan masalah keperawatan utama hambatan komunikasi verbal.
1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Manfaat bagi Instansi Pendidikan Keperawatan Hasil penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal . Hai ini agar institusi pendidikan keperawatan dapat mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi perawat profesional.
1.4.2
Manfaat bagi Instansi Pelayanan Keperawatan Kesehatan Lansia
Hasil penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Hal ini agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
1.4.3
Manfaat bagi Karya Ilmiah Akhir Ners Selanjutnya
Hasil penulisan ini dapat digunakan dalam karya ilmiah terkait hambatan komunikasi verbal pada lansia dan asuhan keperawatan yang dapat diberikan.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Penuaan Proses penuaan merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap individu. Proses penuaan menyebabkan fungsi organ tubuh dapat mengalami penurunan bahkan kerusakan. Teori wear and tear dan teori radikal bebas menjelaskan bagaimana proses menua dapat mempengaruhi fungsi atau kerja sistem kardiovaskular. Teori wear and tear mengansumsikan tubuh manusia seperti mesin yang akan usang setelah dipakai terus-menerus selama bertahun-tahun (Miller, 2012). Perubahan pada sistem kardiovaskular salah satunya, yaitu pembuluh darah mengalami penyempitan dan menjadi kurang elastis akibat penumpukan plak atau yang disebut aterosklerosis (Miller, 2012). Plak pada satu atau lebih pembuluh darah otak dapat mengakibatkan penyumbatan total atau parsial aliran darah sehingga sirkulasi serebral menurun (Smeltzer dan Bare, 2005). Penurunan sirkulasi serebral ini dapat menyebabkan stroke dan mengakibatkan terjadinya hemiplegia, afasia, disfagia, hemianopia, penurunan kesadaran, disfungsi usus dan kandung kemih, hal ini bergantung pada bagian otak yang terkena. Teori radikal bebas menjelaskan penurunan fungsi kerja tubuh merupakan akibat dari akumulasi radikal bebas dalam tubuh (Miller, 2012). Radikal bebas merupakan zat yang terbentuk dalam tubuh manusia sebagai hasil metabolisme (Stanley dan Beare, 2007). Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah atau yang biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak. Sementara itu, plak yang menghambat sebagian lumen pembuluh darah, sewaktu-waktu dapat terlepas dan terbawa aliran darah. Plak yang sampai pada pembuluh darah yang kecil seperti kapiler, disebut tromboemboli, akan menghambat total aliran darah ke otak sehingga menyebabkan stroke (Price dan Wilson, 2003). Selain itu, akumulasi dari zat karsiogenik dapat menyebabkan terjadinya tumor atau kanker pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005). Universitas Indonesia
5
6
2.2 Prinsip Komunikasi Efektif Komunikasi efektif diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi efektif terjadi jika pesan, ide, atau gagasan dari komunikator tersampaikan dalam sebuah kontak sosial (Potter dan Perry, 2005). Kegagalan dalam berkomunikasi akan menyebabkan tidak tersampaikannya pesan dengan baik. Komunikasi efektif terdiri dari lima prinsip, yaitu respect, empathy, audible, clarity, dan humble. Respect merupakan sikap menghormati dan menghargai lawan bicara. Empathy merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi yang dihadapi orang lain. Empati dapat melatih kemampuan mendengar dan menerima umpan balik dengan sikap positif. Audible merupakan kemampuan mendengarkan pesan dari pemberi pesan dengan baik. Clarity berarti pesan yang disampaikan harus jelas dan tidak menyebabkan ambiguitas. Humble merupakan sikap rendah hati yang diperlukan untuk menumbuhkan respect dan empathy kepada orang lain (Potter dan Perry, 2005). 2.3
Hambatan
Komunikasi
Verbal
pada
Lansia
Post
Gangguan
Cerebrovaskular 2.3.1 Definisi Hambatan Komunikasi Verbal Hambatan komunikasi verbal merupakan penurunan, keterlambatan, atau tidak adanya
kemampuan
untuk
menerima,
memproses,
menghantarkan,
dan
menggunakan sistem simbol, yaitu segala sesuatu yang memiliki atau menghantarkan makna (Wilkinson dan Ahern, 2012). Penyebab terjadinya hambatan komunikasi verbal meliputi perubahan pada sistem saraf pusat, perubahan konsep diri, defek anatomi seperti celah palatum perubahan pada sistem neuromuskular, sistem pendengaran, atau pita suara. Selain itu, tumor otak, kondisi emosi, perbedaan budaya, efek samping obat, dan kondisi lingkungan juga merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya hambatan komunikasi verbal (Wilkinson dan Ahern, 2012). Batasan karakteristik residen dengan hambatan komunikasi verbal meliputi tidak adanya kontak mata ketika berinteraksi, kesulitan dalam mengolah kata-kata atau kalimat, kesulitan mengungkapkan pikiran secara verbal, gangguan penglihatan, bicara pelo, bicara gagap, dan kesulitan dalam mempertahankan pola komunikasi yang sebelumnya dapat dilakukan (Wilkinson dan Ahern, 2012). Universitas Indonesia
7
2.3.2 Patofisiologis Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan Cerebrovaskular Residen yang pengalami gagguan cerebrovaskular dapat mengalami gangguan berbicara atau berkomunikasi. Hal ini dapat terjadi karena gangguan cerebrovaskular mempengaruhi sistem neurologi. Penelitian Nadeau, Rothi, dan Crosson(2000) menunjukkan hambatan komunikasi verbal dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dapat pula dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak. Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah atau yang biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak. Sumbatan tersebut mengakibatkan pembuluh darah ruptur sehingga aliran darah mengalami gangguan dan mengakibatkan sel kekurangan oksigen sehingga terjadi infark (Price dan Wilson, 2003). Selain itu, akumulasi dari zat karsiogenik dapat menyebabkan terjadinya tumor atau kanker pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005). Lesi yang terdapat pada hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini terdapat area broca, kerusakan yang ditimbulkan
tidak akan menghalangi
seseorang mengeluarkan suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak mampu menggucapkan seluruh kata-kata atau hanya memahami kata-kata sederhana dan kemampuan mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan akan terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan Bare, 2005). Residen yang mengalami lesi pada lobus temporalis kiri masih mampu mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi pemahaman terhadap kata-kata yang diucapkan atau tertulis terganggu hal ini disebut disfasia reseptif (Smeltzer dan Bare, 2005). Hal ini terjadi karena pada lobus temporalis superior di hemisfer dominan yang dinamakan area wernicke berfungsi untuk pendengaran dan penglihatan. Informasi dari area wernicke tersebut akan disampaikan ke area broca melalui fasikulus arkuatus, kemudia diproses menjadi gambaran yang Universitas Indonesia
8
mendetail dan tersusun untuk bicara, kemudian berproyeksi ke kortek motorik yang menimbulkan gerakan lidah, bibir dan larinx yang sesuai untuk menghasilkan suara. Girus angularis dibelakang area wernicke akan memproses informasi dari kata-kata yang dibaca sehingga menjadi kata-kata bentuk auditorik pada area wernicke (Smeltzer dan Bare, 2005). 2.3.3 Jenis-jenis Hambatan Komunikasi Verbal Penelitian Ninds (2006) menyebutkan satu dari empat residen post stroke di United Kingdom menggalami gangguan berbicara, menulis, dan membaca. Cigna (2005) menyebutkan gangguan yang mungkin terjadi meliputi gangguan artikulasi, gangguan kelancaran berbicara, dan gangguan suara. Sedangkan menurut Touhy dan Jett (2010) gangguan komunikasi post stroke meliputi dysatria, afasia, dan apraxia. Gangguan artikulasi merupakan ketidakmampuan individu menghasilkan suara yang jelas. Cigna (2005) menyebutkan gangguan artikulasi merupakan gangguan phonologikal yang memunculkan ketidaksesuaian antara bunyi suara dan katakata sehingga kalimat kurang dapat dipahami. Gangguan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gangguan artikulasi motorik dan gangguan artikulasi fungsional. Gangguan artikulasi motorik melibatkan kerusakan di susunan otak pusat atau perifer, sedangkan gangguan artikulasi fungsional belum diketahui penyebabnya. Gangguan kelancaran berbicara dapat terjadi akibat ketidakmampuan individu mengontrol bunyi suara. Cigna (2005) menyebutkan gangguan kelancaran berbicara terjadi akibat adanya perpanjangan atau pengulangan
dalam
memproduksi bunyi suara. Gangguan kelancaran berbicara termasuk dalam abnormalitas kelancaran aliran suara yang keluar, misalnya gagap. Gangguan suara dapat terjadi karena abnormalitas fungsi laring dan saluran pernafasan. Cigna (2005) menyebutkan gangguan suara terjadi karena ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat. Individu yang mengalami gangguan suara tidak mampu menghasilkan suara yang berkualitas, nada, resonan, dan durasi yang efektif. Universitas Indonesia
9
Disatria merupakan kesulitan dalam berbicara.Touhy dan Jett (2010) menyatakan disatria dapat terjadi akibat kasus neurologik seperti paralisis otot yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Disatria menyebabkan ketidakjelasan dan kesalahan dalam pengucapan suatu kata. Individu yang mengalami disatria dapat mengalami kesulitan dalam berbicara sehingga pembicaraannya sulit untuk dipahami. Disfasia atau afasia merupakan hilangnya kemampuan individu mengekspresikan diri sendiri atau mengerti bahasa. Touhy dan Jett (2010) mengemukakan kerusakan yang terjadi di area lobus frontal menyebabkan hilangnya kemampuan ekspresif, yaitu ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri, sedangkan kerusakan pada lobus temporal kiri mengakibatkan hilangnya kemampuan reseptif, yaitu ketidakmampuan mengerti apa yang dikatakan orang lain. Afasia terbagi dalam enam jenis, meliputi aculcullia, agnosia, agraphia, dyslexia, anomia, paraphasia, dan perseveration (Touhy dan Jett, 2010). Aculcullia merupakan ketidakmampuan mengerjakan matematika atau simbol-simbol angka umum. Agnosia merupakan ketidakmampuan mengenali benda-benda yang sudah dikenal sebelumnya dengan merasakannya melalui panca indera. Agraphia merupakan ketidakmampuan menulis kata-kata. Dyslexia merupakan kesulitan dalam membaca. Anomia merupakan kesuitan dalam memilih kata-kata yang tepat terutama kata benda. Paraphasia merupakan kesalahan penggunaan kata-kata. Perseveration merupakan pengulangan terus- menerus pada satu aktivitas atau kata atau kalimat yang tidak tepat. Apraxia merupakan kelainan bicara yang disebabkan kelainan motorik. Apraxia menghambat kemampuan seseorang untuk menggerakkan lidah dan biir secara benar (Touhy dan Jett, 2010). Apraxia juga dapat diartikan sebagai kesukaran dalam pembentukan dan menghubungkan katakata yang dimengerti walaupun susunan otot-otot utuh. Apraxia juga dapat mempengaruhi proses mengunyah dan menelan.
Universitas Indonesia
10
2.4 Terapi Wicara pada Residen dengan Hambatan Komunikasi Verbal Asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada residen dengan hambatan komunikasi verbal, yaitu melalui terapi wicara. Terapi wicara merupakan treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Target terapi wicara adalah untuk meningkatkan harapan hidup sehari-hari. selain itu, terapi yang diberikan pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal bertujuan meningkatkan komunikasi lansia secara verbal, tulisan, atau isyarat (Bakheit et al., 2007). Tujuan terapi wicara secara spesifik meliputi meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, dan kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Tugas-tugas dalam terapi wicara meliputi word finders, everyday objects, objects and action, everyday activities, sentence builders, dan phrase builders, (Berthier, 2005). Senam lidah dapat dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan untuk merilekskan otot-otot lidah. Senam lidah terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan pertama adalah menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan lidah dengan rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang bawah. Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan. Gerakan kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam adalah tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan kedelapan adalah membuka bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir adalah merapatkan bibir (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga perlu dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan agar residen mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar mengucapkan kata atau kalimat (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000). Tahapan ini mengajarkan cara pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga dilatih seperti pengucapan ba bi bu be bo, pa pi pu pe po, ma mi mu me mo, ta ti tu te to, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo.
Universitas Indonesia
11
Word finders atau mencari kata-kata merupakan tugas pertama dalam terapi wicara. Residen diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari (Berthier, 2005). Contoh pertannyaannya yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” jawabnya, “Air”. “Setelah mandi kita memakai baju dan?” jawabnya, “Celana”. “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri dari ayah dan?” jawabannya, “Ibu”. Everyday objects atau benda sehari-hari merupakan tugas kedua dari terapi wicara. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk mengucapkan nama benda-benda tersebut (Berthier, 2005). Contoh nama benda yang dilatih seperti kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah, dan kain pel. Objects and action atau benda dan aksi merupakan tugas ketiga dari terapi wicara. Residen pada tahap ini ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan seharihari. Setelah itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan benda tersebut (Berthier, 2005). Contohnya residen ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen dapat membuat kalimat seperti, “Saya minum teh menggunakan gelas.” Selanjutnya residen ditunjukkan sebuah pulpen, kalimat yang dapat dibuat seperti, “Saya menulis menggunakan pulpen.” Terakhir residen ditunjukkan sebuah sepatu, kalimat yang dapat dibuat seperti, “Saya pergi memakai sepatu.” Everyday activities atau aktivitas sehari-hari merupakan tugas keempat dari terapi wicara. Residen pada tahap diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan (Berthier, 2005). Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas sehari-hari. Contohnya residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen dapat membuat kalimat seperti, “Mahasiswa membaca buku.” Contoh lainnya residen diberi kata kerja menyetir, maka kalimat yang dapat dibuat, “Ayah menyetir mobil.” Contoh terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka kalimat yang dapt dibentuk, “Ibu mencuci baju.”
Universitas Indonesia
12
Sentence builders atau membuat kalimat merupakan tugas keempat dalam terapi wicara. Sentence buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari (Berthier, 2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” jawabannya, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.” Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit di barat?” jawabannya, “Bukan, matahari terbit di timur.” Tahap kedua adalah menjawab pertanyaan membandingkan (Berthier, 2005). Contoh pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih lembut dari batu?” jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.” Contoh pertanyaan lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?” jawabannya, “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim kemarau.” Phrase builders atau membuat frase merupakan tugas kelima dari terapi wicara. Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut (Berthier, 2005). Susunan kalimat yang dibuat pada tahap pertama bepola subjek predikat object, misalnya frase raja hutan, kalimat yang dapat dibuat “Singa adalah raja hutan.” Contoh lainnya frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan. Contohnya frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, maka kalimat yang dapat dibuat “Dia mengirim bunga untuk hari ibu.” 2.5 Konsep Long Term Care Konsep keperawatan masyarakat perkotaan meliputi konsep keperawatan gerontik. Hal ini dikarenakan lansia merupakan bagian dari masyarakat perkotaan. Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta orang atau sekitar 11 persen dari total penduduk Indonesia (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2008). Prinsip keperawatan gerontik salah satunya adalah mengusahakan lansia lebih sejahtera, berguna, dan bahagia sehingga tidak menjadi beban di keluarga maupun masyarakat. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh instansi pemerintah, para profesional kesehatan, serta bekerja Universitas Indonesia
13
sama dengan pihak swasta dan masyarakat untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) lansia. Pelayanan kesehatan, sosial, dan ketenagakerjaan telah dibentuk pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat individual, kelompok lansia, keluarga, Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW), Sasana Tresna Werdha (STW), sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar (primer), sarana pelayanan kesehatan rujukan (sekunder), dan sarana pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (tersier) untuk mengatasi permasalahan pada lansia (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2008). Pelayanan yang diselengarakan oleh panti werdha merupakan pelayanan holistik. Pelayanan holistik ini mencakup social residence, nursing home, hospice, dan day care. Social residence merupakan pelayanan untuk mengatasi permasalahan atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia (Scourfield, 2007). Pelayanan ini diperuntukan bagi lansia dengan tingkat kemampuan fungsional potensial atau yang masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fasilitas-fasilitas yang disediakan antara lain fasilitas hunian, fasilitas klinik, dan pelayanan 24 jam. Nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia yang mengalami penurunan fisiologis tubuh sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya (Miller, 2012). Lansia dengan tingkat kemandirian partial care memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Lansia dengan tingkat kemandirian
sebagian
total care memerlukan
bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik. Hospice merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia yang membutuhkan perawatan paliatif. Perawatan paliatif ini dibutuhkan akibat penyakit terminal atau kondisi menjelang kematian. Prinsip pelayanan bertujuan agar lansia bisa kembali menghadap Tuhan tanpa rasa sakit atau dapat meninggal dengan damai dan
Universitas Indonesia
14
bermartabat (Miller, 2012). Fasilitas yang disediakan meliputi konsultasi dokter, asuhan keperawatan paliatif, dan bimbingan rohani. Panti werdha juga menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari (Miller, 2012). Setelah kegiatan di panti selesai, lansia yang mengikuti program ini dipersilahkan untuk kembali ke rumah. Program-program yang disediakan meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam, menjahit, berkebun, menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Lansiadi STW mendapat fasilitas kamar pribadi, makan 3x sehari, yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam, serta snack 2x sehari di pagi dan sore hari. Aspek nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian partial care dan
total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW juga menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari. Program yang dapat diikuti seperti senam, relaksasi, pengajian, angklung, merajut, dan menyulam.
Universitas Indonesia
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Diri Ibu S menjadi residen kelolaan utama selama tujuh pekan praktik di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti). Residen merupakan seorang janda yang sebelumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pendidikan terakhir residen adalah sekolah rakyat. Residen telah tinggal di Wisma Cempaka sejak 28 November 2011, sebelumnya tinggal dengan anaknya di Manggarai Selatan I/5 RT 12 RW 01. Residen memilih untuk tinggal di STW STW Karya Bhakti karena ingin menikmati masa tua dengan kegiatan yang bermanfaat. Selama di rumah, residen menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan tidur, tidak ada kegiatan lainnya.
3.1.2 Riwayat Kesehatan Residen memiliki riwayat kesehatan pernah mengalami tumor otak. Residen telah menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura. Pasca operasi tersebut, residen mengalami gangguan bicara (bicara kurang jelas) sejak awal tahun 2004. Akibat dari gangguan bicara ini residen merasa malu karena perkataannya terkadang tidak dimengerti oleh lawan bicara. Selain mengalami gangguan bicara, residen juga mengalami pendengaran, yaitu tuli sensorineural sehingga dalam berkomunikasi mahasiswa perlu berbicara lebih keras, jelas, dan perlahan-lahan. Residen juga mengalami gangguan penglihatan karena katarak, tetapi belum dioperasi karena keluarga tidak setuju dengan alasan sudah tua. Residen pernah menjalani operasi tumor usus pada tahun 2009 di RSCM.
Kedua orangtua Residen telah lama meninggal. Menurut residen kedua orangtuanya meninggal karena memang sudah tua. Residen mengatakan tidak mengetahui apakah keluarganya memiliki penyakit keturunan karena zaman
Universitas Indonesia
15
16
dahulu peralatan medis belum canggih. Residen juga menyangkal keluarganya memiliki riwayat penyakit diabetes melitus, dan asma. 3.1.3 Aktivitas Sehari-hari Hasil interpretasi Indeks Katz menunjukkan gangguan fungsional sebagian atau kemandirian sebagian sehingga aktifitas sehari-hari residen dibantu oleh caregiver. Residen makan 3x sehari, ditambah snack cracker 2x sehari dan segelas susu tinggi kalsium di pagi hari. Residen menghindari makanan yang mengandung kolestrol seperti udang dan cumi. Residen minum air putih 1,5-2 liter sehari yang dibagi dalam 5 gelas ± 300-350 cc ditambah segelas teh manis, menggunakan gula jagung, sebanyak 250 cc. Awalnya sekali minum bisa sampai 600 cc, tetapi karena sering BAK akhirnya jumlah sekali minum dikurangi yang penting kebutuhannya terpenuhi. Residen tidak mengalami kesulitan untuk memulai tidur, tidur dengan nyenyak, dan selalu merasa segar saat banyak tidur. Residen tidak mengalami inkontinesia, BAK 3-4x sehari,dan BAB 1x sehari setiap pagi. Residen selalu mengikuti kegiatan yang ada di STW seperti senam, main angklung, kebaktian, mendengarkan musik, dan menonton film. Rekreasi yang dilakukan Residen berupa mendengarkan musik, menonton televisi, dan bermain angklung Residen menerima dukungan dari anak, cucu, dan cicitnya termasuk keputusan residen tinggal di STW. Akan tetapi, residen sebenarnya kecewa karena dari 7 orang anaknya tidak ada yang bersedia tinggal dengannya. Hubungan residen dengan keluarganya baik. Selama tujuh pekan mahasiswa berpraktik, terlihat tiga kali Residen dikunjungi keluarganya, yaitu saat hari paskah, saat berobat ke Rumah Sakit Pasar Rebo, dan saat menubus obat. Residen terlihat senang dengan kunjungan di hari paskah. Akan tetapi, terlihat sedikit kecewa dengan kunjungan saat ke rumah sakit dan menubus ini. Hal ini karena anak dan menantunya terlihat terpaksa, biaya berobatpun menggunakan uang residen, bahkan harus membelikan makan siang dan mengganti uang bensin. Hal inilah yang membuat residen terkadang menanggis ketika menceritakan keluarganya.
Universitas Indonesia
17
Residen berinteraksi dengan residen lainnya misalnya dengan tetangga kamarnya, yaitu Eyang S. Akan tetapi, residen lebih sering mendengarkan saja daripada banyak berbicara. Hal ini dikarenakan perkataan residen terkadang tidak jelas sehingga sulit dipahami orang lain. Hal ini membuat residen terkadang merasa malu. Jika ada masalah dengan residen lain, residen akan mengalah karena tidak ingin ribut. Selain itu, kontak mata resinden juga kurang saat berbicara dengan orang lain. Residen juga berinteraksi dengan petugas STW dan rajin mengikuti acara binjang antar kita (BAKI). Saat BAKI biasanya Residen meminta caregiver untuk ikut hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak STW. Biasanya setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang disampaikan pihak STW. Residen beragama Kristen Protestan. Residenrajin mengikuti kebaktian dari STW 2x seminggu, yaitu hari kamis dan minggu. Residen meyakini bahwa kesehatan merupakan anugerah dari Tuhan. Jika sekarang merasa banyak penurunan itu karena sudah tua. Residen juga merasa sudah ingin dipanggil Tuhan. Hal ini karena residen merasa sudah mengalami banyak penurunan dan tidak ingin merepotkan keluarganya. Residen juga pernah bermimpi didatangi oleh suami dan kedua orangtuanya yang sudah meninggal, tetapi residen merasa kecewa karena tidak ikut diajak menghadap Tuhan. 3.1.4 Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum Residen baik, kesadaran compos mentis, suhu tubuh 36,8 C, frekuensi nadi 79x per menit, frekuensi pernafasan 20x per menit, tinggi badan 152 cm, berat badan 60 kg, indeks massa tubuh 25,9, dan lingkar lengan atas 28 cm. Rambut berwarna putih, rontok, dan terdapat ketombe. Residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu kacamata. Tidak ada pengeluaran sekret dan lesi pada hidung. Residen menggunakan gigi palsu dan dibersihkan satu kali setiap hari, mukosa bibir lembab, dan tidak terdapat lesi pada mulut, residen kesulitan berbicara atau Universitas Indonesia
18
mengungkapkan kata-kata seperti air, bung, dan putih. Residen juga terkadang berbicara gagap seperti saat mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah “Eeellemarii”. Tidak ada pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi penumpukan kotoran pada telinga, terjadi penurunan pendengaran. Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, peningkatan JVP, atau pun nyeri pada leher.
Suara paru bronko vesikuler, tidak terdapat suara tambahan seperti wheezing atau ronkhi. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat bunyi tambahan seperti murmur dan gallop. Abdomen supel, teraba benjolan pada abdomen sinistra, nyeri tekan terkadang muncul terkadang tidak, sudah dilaporakan ke dr. Nia dan dirujuk pemeriksaan USG di RS Pasar Rebo dan hasilnya terlihat massa. Menurut dokter kandungan di RS Pasar Rebo seharuanya dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam RSCM, tempat dimana Residen pernah menjalani operasi tumor usus. Hasil pengkajian Fall Morse Scall dan Berg Balance Test menunjukkan Residen berisiko jatuh rendah, sedangkan hasil Mini Mental State Examination menunjukan hasil yang normal, yaitu tidak ada gangguan kognitif. Kuku kaki Residen juga terlihat panjang. Hal ini dikarenakan Residen tidak mampu menjangkau kuku kakinya untuk dipotong. Kekuatan otot pada ektremitas atas sama, yaitu mampu melakukan tahanan terhadap tekanan kuat dan gravitasi, sedangkan pada ekstremitas bawah sendi lutut masih mampu melawan gravitasi dan tekanan lemah hingga sedang. 3.2 Analisis Data Data-data subjektif menunjukkan bahwa residen memiliki riwayat post operasi tumor otak pada tahun 2003 dan mengalami gangguan bicara atau bicara tidak jelas sejak tahun 2004. Residen lebih sering mendengarkan saja daripada banyak berbicara saat berinteraksi dengan residen lain karena perkataan residen terkadang tidak jelas sehingga sulit dipahami orang lain. Residen terkadang merasa malu karena berbicara tidak jelas. Jika ada kegiatan, seperti bincang antar kita (BAKI) residen meminta caregivernya untuk hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak STW. Setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang disampaikan pihak STW. Universitas Indonesia
19
Data-data objektif yang diperoleh melalui pengkajian fisik menunjukkan residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu kacamata. Residen kesulitan berbicara atau mengungkapkan kata-kata seperti air, bung, dan putih. Residen juga terkadang berbicara gagap seperti saat mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah “Eeellemarii”. Tidak ada pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi penumpukan kotoran pada telinga, tetapi terjadi penurunan pendengaran yang dapat diakibatkan dari proses penuaan, yaitu tuli sensorineural. Masalah keperawatan yang dapat disimpulkan dari datadata tersebut, yaitu hambatan komunikasi verbal (Wilkinson dan Ahern, 2012). Data-data subjektif menunjukkan residen kesulitan melakukan aktivitas memotong kuku kaki. Hal ini karena ketidakmampuan menjangkau kuku kaki. Data-data objektif menunjukkan residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu kacamata. Kuku kaki Residen juga terlihat panjang. Selain itu, kekuatan otot pada ektremitas atas sama, yaitu mampu melakukan tahanan terhadap tekanan kuat dan gravitasi, sedangkan pada ekstremitas bawah sendi lutut hanya mampu melawan gravitasi dan tekanan lemah hingga sedang. Masalah keperawatan yang dapat disimpulkan dari data-data tersebut, yaitu hambatan mobilitas fisik (Wilkinson dan Ahern, 2012). 3.3 Perencanaan 3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal Analisis data-data pengkajian pada Residen menghasilkan masalah keperawatan utama yaitu hambatan komunikasi verbal. Selanjutnya untuk menyelesaikan masalah tersebut disusunlah rencana asuhan keperawatan. Rencana asuhan keperawatan yang dibuat terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum atau tujuan jangka panjang dari rencana asuhan keperawatan. Tujuan umum dari rencana asuhan keperawatan yang diberikan, yaitu setelah dilakukan intervensi keperawatan Residen dapat menunjukkan peningkatan komunikasi (Wilkinson dan Ahern, 2012). Tujuan umum ini dijelaskan secara spesifik dalam Universitas Indonesia
20
tujuan khusus, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain. Tujuan umum dan tujuan khusus dapat tercapai dengan diberikannya intervensi keperawatan. Intervensi dalam rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan komunikasi dengan gangguan pendegaran dan penglihatan (Wilkinson dan Ahern, 2012). Intervensi pertama, yaitu menjadi pendegar aktif dengan hadir di dekat residen, berbicara berhadapan dan mempertahankan kontak mata, berusaha menangkap pesan verbal dan non verbal yang residen berikan. Penurunan ansietas dilakukan dengan meningkatkan kepercayaan diri residen, yaitu memotivasi residen untuk mengikuti kegiatan yang diadakan STW serta menjelaskan manfaat dan waktu yang dibutuhkan untuk terapi wicara. Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk peningkatan komunikasi dengan gangguan pendengar meliputi berbicara jelas, singkat, perlahan, dan diulang bila perlu. Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk peningkatan komunikasi dengan gangguan bicara meliputi senam lidah, latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan, latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan everyday objects, latihan pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects and action dan everyday activities, latihan pengucapan kalimat lebih kompleks dengan metode latihan sentence builders dan phrase builders, serta latihan bernyanyi. Senam lidah yang akan dilakukan terdiri dari sembilan gerakan. Gerakan-gerakan ini bertujuan untuk merilekskan otot-otot lidah. Gerakan pertama adalah menjulurkan lidah ke depan. Gerakan kedua adalah sentuhkan lidah dengan rahang atas. Gerakan ketiga adalah sentuhkan lidah dengan rahang bawah. Gerakan keempat adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan. Gerakan kelima adalah sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam adalah tersenyum. Gerakan ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan kedelapan adalah membuka bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir adalah merapatkan bibir. Universitas Indonesia
21
Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga perlu dilakukan dalam terapi wicara. Hal ini bertujuan agar residen mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar mengucapkan kata atau kalimat. Tahapan ini residen akan diajarkan cara pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o. Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga dilatih seperti pengucapan ba bi bu be bo, pa pi pu pe po, ma mi mu me mo, ta ti tu te to, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo. Intervensi keperawatan selanjutnya, yaitu latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan everyday objects. Metode word finders melatih residen menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari. Contoh pertannyaannya yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” jawabnya, “Air”. “Setelah mandi kita memakai baju dan?” jawabnya, “Celana”. Metode everyday objects melatih residen mengucapakan nama benda yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemudian dilatih untuk mengucapkan nama benda-benda tersebut. Contoh nama benda yang dilatih seperti kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah, dan kain pel. Intervensi keperawatan selanjutnya, yaitu melatih pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects and action dan everyday activities. Residen pada tahap objects and action ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan sehari-hari. Setelah itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan benda tersebut. Contohnya residen ditunjukkan sebuah gelas. Residen pada tahap everyday activities diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan. Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas sehari-hari. Contohnya residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen dapat membuat kalimat seperti, “Mahasiswa membaca buku.” Intervensi keperawatan selanjutnya yaitu, melatih pengucapan kalimat yang lebih kompleks yaitu dengan metode sentence builders dan phrase builders. Sentence buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab Universitas Indonesia
22
pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari. Contoh pertanyaannya yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” jawabannya, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.” Tahap kedua adalah menjawab pertanyaan membandingkan. Contoh pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih lembut dari batu?” jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.” Residen pada tahap phrase builders tidak hanya dilatih membuat kalimat berpola subjek predikat objek, tetapi juga dilatih untuk menambahkan kata keterangan dalam setiap kalimat yang dibuat. Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut. Susunan kalimat yang dibuat pada tahap pertama bepola subjek predikat objek, misalnya frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan., maka kalimat yang dapat dibentuk seperti “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Intervesi keperawatan selanjutnya, yaitu latihan bernyanyi. Lagu-lagu yang dipilih dalam latihan ini adalah lagu-lagu kesukaan residen dan lagu-lagu yang sebelumnya telah residen hafal. 3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik Masalah Keperawatan kedua pada Residen adalah hambatan mobilitas fisik. Rencana asuhan keperawatan dibuat dengan tujuan meningkatkan atau mengoptimalkan kekuatan otot sehingga masalah mobilitas fisik residen dapat berkurang (Wilkinson dan Ahern, 2002). Rencana intervensi perawatan yang dibuat meliputi, latihan rentang pergerakan sendi (RPS), latihan perubahan posisi dari jongkok ke berdiri, latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri, dan membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti memotong kuku kaki.
3.4 Implementasi 3.4.1 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Komunikasi Verbal Pelaksanaan rencana keperawatan hambatan komunikasi verbal dilakukan selama 23 kali pertemuan, dimana per pekannya menggunakan lima hingga enam hari. Residen dan perawat duduk berhadapan. Perawat memotivasi residen untuk Universitas Indonesia
23
mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi. Residen juga dijelaskan manfaat dari terapi wicara, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan katakata yang jelas dan dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain. Selain itu, perawat membuat kontrak waktu untuk terapi wicara, yaitu enam kali pertemuan setiap pekannya dan dilakukan selama empat pekan. Implementasi selanjutnya dilakukan dengan melatih senam lidah dan latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dan konsonan. Pertama residen dijelaskan manfaat dari senam lidah, yaitu untuk merilekskan otot-otot lidah. Selanjutnya residen diajarkan sembilan gerakan senam lidah, yaitu menjulurkan lidah ke depan, sentuhkan lidah dengan rahang atas, sentuhkan lidah dengan rahang bawah, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri, tersenyum, memonyongkan bibir, membuka bibir hingga selebar-lebarnya, dan merapatkan bibir. Setelah senam lidah, residen dilatih untuk mengucapkan huruf vokal a i u e o. Selanjutnya Residen dilatih untuk mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan dari ba bi bu be bo hingga za zi zu ze zo yang terdiri dari 21 penggabungan huruf. Waktu tiga hari diperlukan untuk melatih residen mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan dan satu hari untuk mengeveluasi latihan pengucapan semua huruf. Setiap harinya residen dilatih mengucapkan tujuh penggabungan huruf vokal dan konsonan. Pertemuan pertama melatih pengucapan ba bi bu be bo, ca ci cu ce co, da di du de do, fa fi fu fe fo, ga gi gu ge go, ha hi hu he ho, dan ja ji ju je jo. Pertemuan kedua setelah senam lidah dan mengevalusi pengucapan huruf hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan ka ki ku ke ko, la li lu le lo, ma mi mu me mo, na ni nu ne no, pa pi pu pe po, qa qi qu qe qo, dan ra ri ru re ro. Pertemuan ketiga setelah senam lidah dan mengevalusi pengucapan huruf hari sebelumnya, residen dilatih mengucapkan sa si su se so, ta ti tu te to, va vi vu ve vo, wa wi wu we wo, xa xi xu xe xo, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo. Pertemuan keempat melakukan
Universitas Indonesia
24
evaluasi terhadap latihan yang telah diberikan dan membuat rencana tindak lanjut untuk melatih mengucapkan kata-kata. Pertemuan kelima dan keenam setelah senam lidah Residen dilatih untuk mengucapkan kata-kata. Metode pertama yang digunakan adalah word finders. Perawat memberikan tujuh pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari, kemudian Residen diminta untuk menjawabnya. Pertannyaan yang diberikan yaitu, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” “Setelah mandi kita memakai baju dan?” “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri dari ayah dan?” “Warna bendera Indonesia adalah merah dan?” “Semut itu kecil, kalau gajah itu?” “Di Wisma Cempaka suasananya tenang, kalau di pasar?” “Kopi rasanya pahit, kalau gula rasanya?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk kembali melatih pengucapan kata-kata sederhana dengan metode everyday objects. Pertemuan ketujuh dan kedelapan setelah senam lidah dan mengvaluasi kegiatan hari sebelumnya, Residen kembali dilatih mengucapkan kata-kata. Perbedaannya metode yang digunakan adalah everyday objects. Kata-kata yang dilatih dikhususkan pada benda-benda yang biasa residen temui dalam kehidupan seharihari. Residen pada tahap ini akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan untuk aktivitas sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk mengucapkan nama benda-benda tersebut. Nama benda yang dilatih pada hari ketujuh merupakan benda yang terdiri dari satu kata, yaitu kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, dan sepatu. Nama benda yang dilatih dihari kedelapan merupakan benda yang terdiri dari dua kata, yaitu tempat tidur, tempat sampah, buku tulis, baju merah, sendal coklat dan kain pel. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects and action. Pertemuan kesembilan dan kesepuluh setelah senam lidah dan mengvaluasi kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat sederhana menggunakan metode objects and action. Residen pada tahap ini ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan sehari-hari. Setelah itu, residen diminta Universitas Indonesia
25
untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan benda tersebut. Pertemuan kesembilan residen ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen diminta membuat kalimat. Selanjutnya benda-benda yang ditunjukkan meliputi pulpen, sepatu, cermin, dan kursi. Pertemuan kesepuluh residen ditunjukkan benda yang terdiri dari dua kata, kemudian residen diminta membuat kalimat menggunakan nama benda tersebut. Benda-benda yang ditunjukkan meliputi tempat sampah, buku tulis, tempat tidur, sikat gigi, dan gunting kuku. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih kembali pengucapan kalimat sederhana dengan metode everyday activities. Pertemuan kesebelas dan keduabelas setelah senam lidah dan mengevaluasi kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat sederhana menggunakan metode everyday activities. Residen pada tahap diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan. Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas sehari-hari. Kata kerja yang digunakan seperti membaca, menyetir, mencuci, menyiram, menyetrika, dan memasak. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk mengevaluasi latihan membuat kalimat sederhana meliputi objects and action dan everyday activities. Pertemuan ketigabelas perawat dan residen melakukan evaluasi latihan membuat kalimat sederhana. Evaluasi pertama ditujukkan untuk melatih mengucapkan kalimat sederhana menggunakan metode objects and action. Evaluasi kedua ditunjukkan untuk melatih membuat kalimat sederhana menggunakan metode everyday activities. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih membuat kalimat tentang fakta dan perbandingan. Pertemuan keempatbelas dan kelimabelas setelah senam lidah, Residen dilatih membuat kalimat sederhana menggunakan metode sentence builders. Sentence buiders terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari. Tahap pertama ini dilatih pada Pertemuan keempatbelas. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” “Apakah matahari terbit di barat?” “Apakah darah berwarna putih?” Tahap kedua adalah menjawab Universitas Indonesia
26
pertanyaan membandingkan. Tahap kedua ini dilatih pada Pertemuan kelimabelas. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan yaitu, “Apakah bulu lebih lembut dari batu?” “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?” “Apakah Residen lebih muda dari perawat?” Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih membuat kalimat menggunakan frase dan kalimat berpola subjek predikat objek keterangan. Pertemuan keenambelas dan ketujuhbelas setelah senam lidah dan mengevaluasi kegiatan hari sebelumnya, Residen dilatih mengucapkan kalimat menggunakan metode phrase builders. Residen di tahap sebelumnya telah berlatih mengucapkan kalimat sederhana berpola subjek predikat objek (SPO). Residen di tahap ini tidak hanya dilatih membuat kalimat berpola SPO, tetapi juga dilatih untuk menambahkan kata keterangan dalam setiap kalimta yang dibuat. Residen pada tahap ini diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut. Susunan kalimat yang dibuat pada hari keenambelas bepola subjek predikat objek. Frase-frase yang digunakan seperti raja hutan, kue coklat, dan hari libur. Susunan kalimat yang dibuat pada pertemuan berikutnya berpola subjek predikat objek keterangan. Frase-frase yang digunakan seperti kue coklat, hari ibu, dan anak pintar. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk mengevaluasi latihan membuat kalimat meliputi sentence builders dan phrase builders. Pertemuan kedelapanbelas perawat dan residen melakukan evaluasi latihan membuat kalimat. Evaluasi pertama ditujukkan untuk melatih mengucapkan kalimat menggunakan metode sentence builders. Evaluasi kedua ditunjukkan untuk melatih membuat kalimat sederhana menggunakan metode phrase builders. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melatih pengucapan kalimat dalam lagu-lagu kesukaan Residen. Empat pertemuan selanjutnya setelah senam lidah, perawat dan Residen berlatih pengucapan kalimat dalam lagu-lagu. Lagu yang dipilih Residen untuk dilatih pada pertemuan kesembilanbelas adalah lagu Halo-halo Bandung. Lagu yang dipilih Residen untuk dilatih pada pertemuan keduapuluh adalah lagu Kebunku. Lagu dari daerah batak dipilih Residen untuk dilatih pada ertemuan keduapuluh Universitas Indonesia
27
satu, yaitu lagu Rambadia. Lagu terakhir yang dipilih Residen adalah lagu Indonesia Raya. Selanjutnya perawat membuat rencana tindak lanjut untuk melakukan evaluasi sumatif terhadap rangkaian implementasi untuk mengatasi masalah hambatan komunikasi verbal pada Residen. Pertemuan terakhir, yaitu hari keduapuluh tiga perawat melakukan evaluasi sumatif. Evaluasi ini meliputi senam lidah, pengucapaan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dan konsonan, word finders, everyday objects, objects and action, everyday activities, sentence buiders, phrase builders, dan latihan menyanyi. 3.4.2 Implementasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik Implementasi pertama yang dilakukan adalah menjelaskan manfaat dari rentang pergerakan sendi, yaitu mempertahankan dan meningkatan kekuatan otot. Selanjutnya
melatih rentang pergerakkan sendi (RPS). Latihan rentang
pergerakan sendi yang dilakukan meliputi sendi kepala, ekstremitas atas, pinggul, dan ekstremitas bawah. Awalnya perawat memberi kesempatan untuk melakukan RPS aktif sesuai kemampuan residen. Hal ini karena sebelumnya residen sudah rajin mengikuti kegiatan senam di STW. Selanjutnya digerakan-gerakan yang residen
lupa,
perawat
memberi
contoh
lalu
meminta
residen
untuk
meredemonstrasikannya. Contoh gerakannya meliputi supinasi dan fleksi lengan. Selanjutnya untuk gerakan-gerakan pada sendi yang mengalami penurunan kekuatan otot, perawat meberikan bantuan, misalnya fleksi dan ekstensi sendi lutut. Pertemuan kedua dan ketiga perawat melatih cara perubahan posisi. Pertemuan kedua melatih perubahan posisi dari jongkok ke berdiri. Residen awalnya mengalami kesulitan untuk melakukan perubahan posisi ini. Akhirnya dengan menggunakan alat bantu, yaitu berpegangan pada kursi, residen mampu meredemonstrasikan cara perubahan posisi ini. Pertemuan ketiga perawat melatih residen untuk melakukan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri. Residen tidak mengalami kesulitan untuk meredemonstrasikan perubahan posisi
Universitas Indonesia
28
ini. Pertemuan keempat perawat melakukan evaluasi mengenai perubahan posisi dari jongkok ke berdiri dan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri. Pertemuan kelima perawat membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari residen, yaitu memotong kuku kaki. Sebelum dipotong kuku kaki residen direndam dalam air hangat selama 10 menit. Sambil memotong kuku kaki, perawat mengajarkan cara-cara memotong kuku kaki lansia pada caregiver Residen. Hal ini dimaksudkan agar caregiver dapat membantu Residen dalam memotong kuku kaki. Pertemuan terakhir perawat melakukakn evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan asuhan keperawatan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah mobilitas fisik pada Residen. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi latihan RPS, evaluasi latihan perubahan posisi dari jongkok ke berdiri, dan evaluasi latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri. Selain itu perawat juga mengevaluasi cara mengunting kuku kaki. 3.5 Evaluasi 3.5.1 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hamabatan Komunikasi Verbal Evaluasi asuhan keperawatan meliputi evaluasi subjektif, objektif, analisis, dan perencanaan. Evaluasi implementasi pertama residen menyatakan senang setelah dilakukan senam lidah dan latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan. Residen juga menyatakan bersedia melakukan terapi wicara enam kali pertemuan per pekan dan dilakukan selama empat pekan. Residen mengetahui manfaat terapi wicara yaitu untuk memperlancar bicara dan perkataannya dapat dimengerti oleh orang lain. Residen juga dapat melakukan senam lidah dengan sembilan gerakan yaitu menjulurkan lidah ke depan, sentuhkan lidah dengan rahang atas, sentuhkan lidah dengan rahang bawah, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kanan, sentuhkan lidah dengan sudut bibir kiri, tersenyum, memonyongkan bibir, membuka bibir hingga selebar-lebarnya, dan merapatkan bibir. Residen juga mampu mengucapkan huruf vokal a i u e o. Selanjutnya Residen juga mampu mengucapkan penggabungan huruf vokal dan huruf konsonan seperti ba bi bu be bo, ma mi mu me mo, pa pi pu pe po, sa si su Universitas Indonesia
29
se so, dan ta ti tu te to. Akan tetapi, di hari pertama dan kedua masih mengalami kesulitan dalam pengucapan ca ci cu ce co, ra ri ru re ro, fa fi fu fe fo, dan va vi vu ve vo dan di hari ketiga menunjukkan perbaikan dalam pengucapan. Hal ini menunjukkan bahwa residen mampu mengetahui manfaat terapi wicara dan meredemontrasikan latihan senam lidah dan pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan. Evaluasi pada implementasi pengucapan kata-kata menunjukkan residen mampu menjawab pertannyaan-pertanyaan
yang diberikan yaitu “Setelah mandi kita
memakai baju dan?” jawabannya “Celana” “Seorang anak mempunyai orang tua yang terdiri dari ayah dan?” jawabannya “Ibu” “Kopi rasanya pahit, kalau gula rasanya?” jawabannya “Manis” “Warna bendera Indonesia adalah merah dan?” jawabannya “Putih” “Semut itu kecil, kalau gajah itu?” jawabannya “Besar”. Akan tetapi, saat menjawab pertanyaan, “Mencuci tangan menggunakan sabun dan?” “Di Wisma Cempaka suasananya tenang, kalau di pasar?” residen tampak masih kurang jelas saat mengucapkan kata air dan ramai. Selain itu residen juga mampu menyebutkan nama benda yang dilatih seperti kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat sampah, dan kain pel. Residen mengatakan senang setelah berlatih kata-kata dan tidak menyangka masih memiliki banyak kata-kata yang dapat diucapkan dengan jelas. Hal ini menunjukkan bahwa residen mampu berlatih mengucapkan kata-kata. Evaluasi tahap pengucapan kalimat sederhana menunjukkan saat diperlihatkan sebuah benda, residen kesulitan dalam membuat kalimat sendiri, tetapi mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat yang dicontohkan. Contohnya residen ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen dapat meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Saya minum teh pakai gelas.” Selanjutnya residen ditunjukkan sebuah pulpen, dan meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Saya menulis pakai pulpen.” Terakhir residen ditunjukkan sebuah sepatu, dan meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Saya pergi memakai sepatu.” Selain itu residen juga kesulitan membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan, tetapi bisa meredemonstrasikan pengucapan setelah mendengar pengucapan kalimat tersebut sebanyak dua kali. Contohnya residen diberi kata Universitas Indonesia
30
kerja membaca, kemudian meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Mahasiswa membaca buku.” Contoh lainnya residen diberi kata kerja menyetir, maka meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Ayah menyetir mobil.” Contoh terakhir residen diberi kata kerja mencuci, maka meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Ibu mencuci baju.” Residen juga mengatakan senang setelah berlatih membuat kalimat sederhana sambil berjoget. Hal ini menunjukkan residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat sederhana. Perencanaan selanjutnya, yaitu melatih pengucapan kalimat yang lebih kompleks. Evaluasi pada tahap pengucapan kalimat yang lebih komplek menunjukkan residen dapat masih kesulitan dalam membuat kalimat, tetapi mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat seperti saat ditanya “Apakah lampu merah tanda kendaraan boleh melaju?” residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus berhenti.” Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit di barat?” residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Bukan, matahari terbit di timur.” Tahap kedua adalah menjawab pertanyaan membandingkan. Contoh pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih lembut dari batu?” residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.” Contoh pertanyaan lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?” residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat, “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim kemarau.” Contoh lainnya berlatih mengucapkan frase kue coklat, maka residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek keterangan.
Contohnya
frase
kue
coklat,
maka
residen
mampu
meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Contoh lainnya frase hari ibu, residen mampu meredemonstrasikan pengucapan kalimat “Dia mengirim bunga di hari ibu.” Evaluasi dalam menyanyikan lagu-lagu, residen mampu menyanyikan lagu-lagu lagu Halo-halo Bandung, Kebunku dari awal hingga akhir, tetapi sedikit kesulitan mengucapkan kata pariyangan, bung, dan merah. Sedangkan untuk lagu Rambadia dan Universitas Indonesia
31
Indonesia Raya residen sedikit lupa kata-kata di akhir lagu sehingga perlu diberikan bantuan atau stimulus. Residen menyatakan senang bernyanyi sambil berjoget-joget. Residen juga percaya diri saat bernyanyi di depan residen lain. Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan komunikasi verbal dapat teratasi. 3.5.2 Evaluasi Asuhan Keperawatan pada Hambatan Mobilitas Fisik Kegiatan Evaluasi dilakukan setelah implementasi dilakukan. Evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan dari implementasi yang dilakukan. Residen mengatakan senang setelah berlatih RPS dan berterima kasih kepada perawat karena telah mengajarkan. Selain itu, residen terlihat mampu meredomnstrasikan RPS aktif pada sendi kepala dan ekstremitas atas, ektremitas bawah, yaitu sendi pergelangan dan jari-jari kaki, RPS aktif asistif pada sendi panggul dan sendi lutut. Selain itu residen mengetahui manfaat dari latiha RPS yaitu agar sendi dan otot tidak kaku. Residen juga mampu melakukan latihan perubahan posisi dari jongkok ke berdiri dengan menggunakan alat bantu, yaitu berpegangan pada kursi. residen juga mengetahui manfaat latihan ini, yaitu untuk memudahkan residen saat mengambil barang di lantai tanpa harus membungkuk. Selain itu, menurut residen latihan ini berguna agar residen tidak jatuh saat mengambil barang.
Residen juga mampu melakukan latihan perubahan posisi dari tidur ke duduk lalu berdiri. Residen mengetahui tujuan latihan ini, yaitu agar jika bangun tidur tidak langsung berdiri karena bisa pusing. Residen merasa senang dan mengucapakan terima kasih setelah kuku kakinya dipotong. Residen dan caregiver juga mengetahui sebelum kuku kaki dipotong perlu direndam pada air hangat agar kuku tidak keras dan mudah dipotong. Caregiver juga mengetahui memotong kuku harus dengan cara mendatar agar tidak lancip sehingga tidak melukai residen Universitas Indonesia
32
saat menggaruk. Pertemuan keenam mengevaluasi sumatif seluruh implementasi yang
telah
dilakukan
dan
menunjukkan
bahwa
Residen
mampu
meredemonstrasikan dan mengingat asuhan keperawatan yang diberikan. Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan kemampuan residen untuk melakukan latihan mempertahankan dan meningkatan kekuatan otot. Hal ini ditandai dengan kemampuan residen untuk melakukan rentang pergerakan sendi, latihan perubahan posisi, dan motivasi yang kuat untuk tetap mengikuti kegiatan senam dan relaksasi yang diselenggarakan STW. Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari metode alternatif sehingga masalah hambatan mobilitas fisik dapat teratasi.
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS SITUASI
4.1 Profil LahanPraktik Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti (STW Karya Bhakti) berdiri sejak tanggal 14 Maret 1984. Pendirian STW Karya Bhakti diprakasai oleh mantan ibu negara, Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto, dan selanjutnya kepemilikan dan pengelolaannya diatur oleh Yayasan Ria Pembangunan. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan salah satu bentuk pelayanan holistik untuk meningkatkan angka kesehatan dan kesejahteraan lansia di Indonesia, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Visi STW Karya Bhakti yaitu pengabdian pada sesama dengan memberikan pelayanan secara terpadu dan menyeluruh baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual pada lanjut usia. Visi tersebut direalisasikan dalam misi membantu pemerintah dan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan sosial pada lansia. Misi tersebut tertuang dalam agenda kegiatan yang telah dibentuk oleh STW antara lain meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas pelayanan sesuai kebutuhan, melengkapi sarana dan prasarana seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, bermitra dengan dunia pendidikan dan pemerintah, menjadi tempat keterpaduan fasilitas dan pemberian pelayanan kepada masyarakat khusus usa lanjut, bekerja sama dengan institusi terkait regional maupun global, dan berperan aktif di dalam gerakan “peduli lansia” dan “lansia peduli”. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Fasilitas-fasilitas yang disediakan antara lain fasilitas hunian, yaitu wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8 kamar. Sealin itu disediakan pula fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3 kamar VIP, 15 tempat tidur bangsal rawat inap, dan pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma Universitas Indonesia
33
34
Kenanga. Selain itu, fasilitas dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, taman, dan kolam ikan juga disediakan. Lansia mendapat makanan tiga kali sehari, yaitu di pagi, siang, dan sore hari. Selain itu, residen juga mendapat snack dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari. Lansia yang ingin tinggal di STW YKBRP memiliki beberapa persyaratan, yaitu berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani dan rohani, mandiri, memilih tinggal di STW atas keinginan sendiri bukan karena paksaan, dan memiliki penanggung jawab keluarga. Aspek nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian partial care dan total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia
adalah
adanya
caregiver
untuk
membantu
lansia
memenuhi
kebutuhannya. Program pelayanan lain yang ditawarkan oleh STW Karya Bhakti meliputi program peningkatan kesehatan seperti konsultasi dokter, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pemeriksaan tanda-tanda vital secara rutin, senam, relaksasi, dan terapi musik. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti juga menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari. Program-program yang disediakan meliputi program kerohanian seperti tadarus, pengajian, dan kebaktian. Program kesenian seperti bermain angklung, merajut, menyulam, menjahit, berkebun, menonton film, dan mendengarkan musik. Program-program tersebut bertujuan agar lansia dapat tetap aktif mengikuti kegiatan sesuai dengan kemampuannya. Wisma Cempaka merupakan salah satu ruangan di STW Karya Bhakti. Wisma Cempaka terdiri dari 26 kamar tidur. Wisma Cempaka dipimpin oleh seorang pekerja sosial yang bertanggung jawab pada seluruh residen. Setiap reiden menempati satu kamar pribadi. Residen di Wisma Cempaka saat ini berjumlah 19 orang yang terbagi dalam 15 orang dengan tingkat kemandirian minimal care dan empat orang dengan tingkat kemandirian partial care. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari residen dengan tingkat kemandirian partial care dibantu oleh Universitas Indonesia
35
caregiver. Caregiver yang berada di Wisma Cempaka berjumlah empat orang di pagi hari dan satu orang di malam hari. Residen yang memerlukan pelayanan kesehatan diarahkan ke klinik yang terletak di wisma Wijaya Kusuma yang memiliki tenaga perawat 24 jam. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada residen tampak belum optimal. Hal ini karena keterbatasan jumlah tenaga perawat dan ketersediaan alat di STW Karya Bhakti. Residen di wisma Cempaka memiliki kondisi kesehatan yang beragam. Perawat diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik dan mengenali karakteristik lansia agar mutu pelayanan tetap terjaga. 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Kasus Terkait Masalah keperawatan utama pada Ibu S adalah Hambatan komunikasi verbal. Residen memiliki riwayat kesehatan pernah mengalami tumor otak. Residen telah menjalani operasi tumor otak pada akhir tahun 2003 di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura. Pasca operasi tersebut, Residen mengalami gangguan bicara (bicara kurang jelas) sejak awal tahun 2004. Akibat dari gangguan bicara ini Residen merasa malu karena perkataannya terkadang tidak dimengerti oleh lawan bicara. Selain mengalami gangguan bicara, Residen juga mengalami pendengaran, yaitu tuli sensorineural sehingga dalam berkomunikasi mahasiswa perlu berbicara lebih keras, jelas, dan perlahan-lahan.
Residen merupakan bagian dari masyarakat perkotaan. Tingginya beban hidup di perkotaan membuat meningkatnya aktivitas masyarakat perkotaan. Tingkat aktivitas masyarakat perkotaan dapat mecapai 24 jam setiap harinya. Tingginya tingkat aktivitas berdampak pada pola hidup yang kurang sehat. Pola hidup yang kurang sehat ini mencakup kurang olah raga, sering mengonsumsi makanan cepat saji dan makanan berpengawet, serta jarang mengonsumsi sayur dan buah. Pola hidup yang kurang sehat ini akan berdampak pada kesehatan seseorang. Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya zat karsiogenik dalam tubuh. Zat karsiogenik yang terakumulasi di otak dapat menyebabkan terjadinya tumor otak (Smeltzer dan Bare, 2005). Lesi yang terdapat pada hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis, pada lobus ini terdapat area broca, Universitas Indonesia
36
kerusakan yang ditimbulkan tidak akan menghalangi seseorang mengeluarkan suara. Akan tetapi mengakibatkan seseorang tidak mampu menggucapkan seluruh kata-kata atau hanya memahami kata-kata sederhana dan
kemampuan
mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan akan terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan Bare, 2005). 4.3 Analisis salah satu intervensi dengan konsep dan penelitian lain Implementasi unggulan dalam asuhan keperawatan pada Residen adalah melatih terapi wicara. Terapi wicara merupakan treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Tujuan terapi wicara secara spesifik meliputi meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, dan kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).
Terapi wicara yang dilakukan pada Residen terdiri dari lima hingga enam pertemuan setiap minggunya. Terapi wicara ini dilakukan sebanyak 23 kali pertemuan. Intensitas pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapi. Hal ini sesuai penelitian Greener, Enderby, dan Whurr (2001) yang menyatakan treatment yang dilakukan pada pasien penderita afasia di rumah sakit United Kingdom terdiri dari dua sesi setiap minggu masing-masing satu jam yang dinamai terapi standar, sedangkan terapi intensif adalah terapi yang diberikan dalam lima jam tiap sesi per minggu. Terapi wicara yang dilakukan meliputi menyanyikan lagu-lagu kesukaan residen. Lagu-lagu yang dipilih meliputi lagu Halo-halo Bandung, Kebunku, Rambadia, dan Indonesia Raya. Peningkatan pengucapan kata-kata yang cukup jelas terlihat saat Residen menyanyikan lagu-lagu tersebut. Hal ini juga terlihat pada penelitian Hebert, Racette, Gagnon, dan Peretz (2003) yang menyatakan bernyanyi yang dikaitkan dengan koor menunjukkan makna yang efektif dalam terapi wicara pada orang-orang Prancis. Selain itu penelitian Racette, Bard, & Peretz (2004) juga menunjukkan bahwa pasien afasia lebih mengingat dan mengulangi kata-kata ketika bernyanyi dibandingkan ketika berbicara. Hasil penelitian menunjukkan Universitas Indonesia
37
bahwa bernyanyi akan membuat sinkronisasi dengan indera pendengaran sehingga bernyanyi akan lebih efektif daripada berbicara biasa. Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan komunikasi verbal dapat teratasi. 4.4 Alternatif Intervensi yang dapat Dilakukan Intervensi utama yang dilakukan pada Residen dengan masalah keperawatan hambatan komunikasi verbal adalah terapi wicara. Terapi wicara merupakan treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Caracara yang telah dilakukan dalam terapi wicara pada residen meliputi senam lidah, latihan pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan seperti ba bi bu be bo, latihan pengucapan kata-kata melalui metode word finders dan everyday objects, latihan pengucapan kalimat sederhana melalui metode objects and action dan everyday activities, serta latihan pengucapan kalimat yang lebih kompleks dengan metode sentence builders dan phrase builders, (Berthier, 2005). Alternatif cara lain yang dapat dikembangkan dalam melatih residen dengan hambatan komunikasi verbal adalah melalui terapi wicara melalui kata-kata yang sebelumnya sudah dikenal. Kata-kata yang digunakan dapat berupa kata-kata yang terdapat pada doa dan pepatah. Racette, Bard, & Peretz (2004) mengatakan latihan pengucapan kata-kata dalam doa akan terasa lebih efektif karena kata-kata tersebut telah dikenal sebelumnya. Selain itu, untuk mengatasi hambatan komunikasi verbal akibat gangguan pendengaran dapat dilakukan teknik komunikasi menggunakan lip reading. Teknik lip reading merupakan cara mengerti perkataan orang lain dengan melihat gerak bibir seseorang ketika bericara kata yang normalnya dapat didengar (Ortiz, Universitas Indonesia
38
2008). Teknik ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mendengar apa yang dibicarakan orang lain melalui membaca gerak bibir (Miller, 2012). Petugas kesehatan juga diharapkan memiliki kemampuan berkomunikasi pada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Hal ini diperlukan agar pesan dari petugas kesehatan kepada lansia ataupun sebaliknya dapat tersampaikan dengan baik dan tidak terjadi ambiguitas. Selain itu, dengan berkomunikasi dengan petugas, kontak sosial lansia diharapkan dapat meningkat sehingga lansia dengan hambatan komunikasi verbal tidak merasa rendah diri.
Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan model long term care yang mengkombinasikan antara social residence, nursing home, dan day care. Aspek social residence pada STW meliputi pelayanan untuk mengatasi permasalahan atas kebutuhan tempat tinggal dan makan bagi lansia. Aspek nursing home merupakan pelayanan yang ditujukan bagi lansia dengan tingkat kemandirian partial care dan
total care sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk
memenuhi semua kebutuhannya. Salah satu fasilitas yang tersedia adalah adanya caregiver untuk membantu lansia memenuhi kebutuhannya. STW
juga
menyediakan program day care atau yang dikenal dengan istilah pelayanan harian lanjut usia (PHLU). Program ini ditunjukkan bagi lansia yang tinggal bersama keluarga, tetapi memerlukan kegiatan bermanfaat bersama lain di siang hari.
Ibu S (87 tahun) memiliki riwayat post operasi tumor otak pada tahun 2003 dan mengalami gangguan bicara atau bicara tidak jelas sejak tahun 2004. Residen lebih sering mendengarkan saja daripada banyak berbicara saat berinteraksi dengan residen lain karena perkataan residen terkadang tidak jelas sehingga sulit dipahami orang lain. Residen terkadang merasa malu karena berbicara tidak jelas. Jika ada kegiatan, seperti bincang antar kita (BAKI) residen meminta caregivernya untuk hadir. Hal ini karena penurunan pendengaran membuat residen tidak menangkap dengan jelas semua informasi yang disampaikan pihak STW. Setelah BAKI residen meminta caregiver menggulangi informasi yang disampaikan pihak STW.
Data-data objektif yang diperoleh melalui pengkajian fisik menunjukkan residen mengalami gangguan penglihatan parsial, yaitu mata katarak yang ditandai dengan noda putih pada lensa mata kanan dan penggunaan alat bantu penglihatan yaitu kacamata. Residen kesulitan berbicara atau mengungkapkan kata-kata seperti air, bung, dan putih. Residen juga terkadang berbicara gagap seperti saat Universitas Indonesia
39
40
mengucapkan kata lemari yang diucapakan adalah “Eeellemarii”. Tidak ada pengeluaran serumen pada telinga, tidak terjadi penumpukan kotoran pada telinga, tetapi terjadi penurunan pendengaran yang dapat diakibatkan dari proses penuaan, yaitu tuli sensorineural. Analisis data-data pengkajian pada Residen menghasilkan masalah keperawatan utama yaitu hambatan komunikasi verbal. Tujuan umum dari rencana asuhan keperawatan yang diberikan, yaitu setelah dilakukan intervensi keperawatan Residen dapat menunjukkan peningkatan komunikasi (Wilkinson dan Ahern, 2012). Tujuan umum ini dijelaskan secara spesifik dalam tujuan khusus, yaitu meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti, serta dapat bertukar pesan secara akurat dengan orang lain. Intervensi dalam rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari mendengar aktif, penurunan ansietas, peningkatan komunikasi
dengan
gangguan
pendegaran
dan
penglihatan
(Wilkinson dan Ahern, 2012). Intervensi keperawatan yang akan diberikan untuk peningkatan komunikasi dengan gangguan bicara meliputi senam lidah, latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan, latihan pengucapan kata-kata dengan metode word finders dan everyday objects, latihan pengucapan kalimat sederhana dengan metode objects and action dan everyday activities, latihan pengucapan kalimat lebih kompleks dengan metode latihan sentence builders dan phrase builders, serta latihan bernyanyi. Terapi wicara yang dilakukan pada Residen selama 23 pertemuan menunjukkan peningkatan
bermakna
pada
pola
komunikasi
Residen.
Residen
dapat
mengucapkan kata-kata yang sebelumnya sulit diucapkan, seperti air, pariyangan, dan merdeka. Residen juga mampu mengucapkan kalimat sederhana seperti “Saya minum teh pakai gelas”, “Saya menulis pakai pulpen”, dan “Saya pergi memakai sepatu”. Selain itu Residen juga dapat mengucapkan kalimat yang lebih kompleks seperti “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim kemarau”, “Benar, bulu lebih lembut dari batu”, dan “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Residen juga terlihat percaya diri saat menyanyikan lagu Halo-halo Bandung di depan residen lain. Universitas Indonesia
41
Latihan-latihan yang telah dilakukan residen menunjukkan adanya peningkatan kemampuan residen dalam berkomunikasi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kejelasan dalam ucapan, kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, serta kemampuan mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti. Analisis kesimpulan yang dapat ditarik adalah residen mampu menerima dan mempelajari metode alternatif untuk hidup dengan gangguan bicara sehingga hambatan komunikasi verbal dapat teratasi. 5.2
Saran
Mahasiswa atau perawat perlu mengetahui teknik berkomunikasi dengan lansia hambatan komunikasi verbal. Teknik yang dapat digunakan, yaitu berbicara lebih keras, jelas, perlahan-lahan, dan diulang jika perlu. Kontak mata dan jarak saat berkomunikasi
juga
perlu
diperhatikan.
Kontak
mata
harus
ada
saat
berkomunikasi dan jarak antara mahasiswa dan residen juga tidak boleh terlalu jauh. Mahasiswa atau perawat juga perlu mengetahui teknik mengajarkan terapi wicara kepada lansia dengan hambatan komunikasi verbal. Lansia sebaiknya diberi kesempatan terlebih dahulu untuk mengucapkan kata atau kalimat menurut kemampuannya.
Ketika
mendemonstrasikan.
lansia
Setelah
terlihat
itu,
lansia
kesulitan, dapat
barulah
diminta
membantu
kembali
untuk
meredemonstrasikan cara pengucapan kata atau kalimat tersebut. Kesabaran juga dibutuhkan dalam melatih terapi wicara pada lansia. Penurunan kognitif dan pendengaran merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Mahasiswa atau perawat terkadang perlu melakukan demonstrasi pengucapan kata atau kalimat secara berulang-ulang. Selain itu, intensitas pertemuan juga cukup sering, yaitu lima hingga enam kali per pekan.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Bakheit, A. M. O., Shaw, S., Barret, L., Wood, J., Griffiths, S., Carrington, S., Searle, K., & Kautsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group, controlled study of the effect of intensity of speech and language therapy on early recovery from poststroke aphasia. Clinical Rehabilitation, 21, 885‐894 Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and treatment. Drugs and Aging, vol 22 (2), p163-82 Cigna (2005, Februari). Speech Therapy. 12 Juni 2013. http://www.cigna.com Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). Speech and language therapy for aphasia following stroke. Cochrane Review. Oxford: The Cochrane Library. Hebert, S., Racette, A., Gagnon, L., & Peretz, I. (2003). Revisiting the dissociation between singing and speaking in expressive aphasia, Brain, 126, 1838-1850 Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2008, September). Lanjut usia. 12 Juni 2013. http://www.kemsos.go.id Miller, Carol. (2012). Nursing for wellnes in older adults. 6th ed. Ohlo: Lippincott Williams &Wilkins Ninds. (2006, Maret). Aphasia. 12 Juni 2013. http://www.ninds.nih.gov Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Aphasia and language: Theory to practice. New York: Guilford Press. Ortiz, Rodriguez. (2008). Lipreadin in thr prengually deaf: what makes a skilled speechreader?. The Spanish Journal of Psychology, vol 11, no 2, p488-502 Potter, P.A., & Perry, G.A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik (Edisi 4) (Yasmin Asih et al., Penerjemah.). Jakarta: EGC. Price, S.A., dan Wilson, L.M. (2003). Patofisiologi. Jakarta: EGC Racette, A., Bard, C., & Peretz, I. (2006). Making non‐fluent aphasics speak: Sing along! Brain, 129, 2571-2584
Universitas Indonesia
42
43
Said, Ikhwan M. (2011). Kompetensi pembentukan kalimat penderita afasia tidak lancar yang disebabkan oleh stroke iskemik. Makalah Kolita, vol 8, p640 Scourfield, Peter. (2007). Helping older people in residential care remain for citizens. British Journal of Social Work, vol 37, p1135-1152 Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006). Operant conditioning and errorless learning procedures in the treatment of chronic aphasia. International Journal of Psychology, 41(6), 527–540 Smeltzer, Suzanne., & Bare, Brenda. (2005). Brunner & suddarth’s texsbook of medical surgical nursing. Lippincott-Reven Publishers : Philadelphia Stanley, Mickey dan Beare, P.G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik (Edisi 2). Jakarta: EGC Touhy dan Jett. (2010). Ebersole & Hess’gerontological nursing & healthy aging. Missouri: Mosby Wilkinson, JM., dan Ahern, NR. (2012). Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis nanda, intervensi nic, kriteria hasil noc. Ed 9. Jakarta: EGC Yayasan Stroke Indonesia (2012, Januari). Afasia, gangguan berbahasa pasca stroke. 12 Juni 2013 http://www.yastroki.or.id/read.php?id=49
Universitas Indonesia