UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN TRAUMA SIKU POST ORIF DAN STSG DI RUANG RAWAT BEDAH GEDUNG A RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Yuanita Fransiska 0806334584
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI DEPOK JULI 2013
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN TRAUMA SIKU POST ORIF DAN STSG DI RUANG RAWAT BEDAH GEDUNG A RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
Yuanita Fransiska 0806334584
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
ii Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
iii Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Karya ilmiah akhir ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Karya Ilmiah Akhir (KIA) semester genap untuk jenjang profesi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. KIA ini dapat saya selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dorongan semangat yang tak terhingga. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Ns. Muhamad Adam, M.Kep., Sp.Kep.MB sebagai dosen penguji sekaligus pembimbing yang telah bersedia memberikan pengarahan, pencerahan, dan bimbingan kepada saya selama penyusunan KIA ini. 2. Ibu Debie Dahlia, S.Kp., MHSM sebagai dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) yang telah memberikan bimbingan terkait praktik klinik yang menjadi landasan dalam penyusunan KIA. 3. Ibu Ns. Hepi Suprianti, S.Kep. sebagai kepala ruangan Ruang Bedah Lantai 4 Zona A Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah memberikan bimbingan dan masukan serta motivasi selama praktik klinik. 4. Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP sebagai koordinator mata ajar KIA dan seluruh dosen pengajar yang memberikan banyak ilmu dan informasi di setiap perkuliahan. 5. Orang tua tercinta, Bapak Yusmadi dan Ibu Nurul Afifah yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tiada terhingga. 6. Adik-adik tersayang, Isni Aristia dan Salsia Octa Berliana, yang selalu mengganggu tetapi tetap memberikan motivasi selama penyusunan KIA. 7. Deni Tri Hartanto, ST. yang selalu sabar, setia, dan senantiasa memberikan motivasi serta mendengarkan keluh kesah yang saya alami selama penyusunan KIA khususnya dan masa kuliah profesi umumnya. 8. Rekan kelompok peminatan profesi KMB bagian bedah di RSCM: Dhian Luluh Rohmawati, Dini Sulistyanti, Rahayu Setiawati, Dias Syeh Tarmidzi,
iv Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Nurhidayat, dan Lidia Nafratilofa atas kekompakan, suka duka, dan pengalaman terindah yang akan selalu menjadi kenangan manis dan tak terlupakan. 9. Sahabat-sahabat tersayang: Melati, Trie Utari Dewi, Winda Eriska, Aulia Laili Nisa, Tiara Eka Putri, Dian Fitriani, dan Niken Puspitaningrum, yang selalu memberikan informasi dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 10. Bapak Marwah Ali Ashari (Om Hari), yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 11. Para perawat Ruang Bedah Lantai 4 Zona A Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo yang bersedia berbagi pengalaman terkait praktik klinik di rumah sakit. 12. Teman-teman mahasiswa reguler angkatan 2008 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan semangat dan bersedia berbagi banyak informasi dalam menyelesaikan KIA ini. Saya menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Besar pula harapan saya agar tugas akhir ini dapat menjadi dasar bagi penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat.
Depok, Juli 2013 Penulis
v Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
vi Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Yuanita Fransiska
Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Trauma Siku Post ORIF dan STSG di Ruang Rawat Bedah Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah yang banyak terjadi pada masyarakat perkotaan. Kasus kecelakaan yang terjadi dapat menyebabkan trauma fisik sehingga pasien harus menjalani operasi Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dan Split Thickness Skin Graft (STSG) serta imobilisasi lengan kiri. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien trauma siku post ORIF dan STSG di RSCM. Salah satu masalah keperawatan pada trauma siku ialah hambatan moblitas fisik akibat nyeri pada daerah post operasi. Evidence based practice keperawatan yang diterapkan pada pasien adalah latihan Range of Motion (ROM) untuk mencegah kekakuan dan meningkatkan rentang gerak pada pasien imobilisasi. Hasil intervensi menunjukkan setelah latihan ROM dua kali sehari selama enam hari, rentang gerak pasien meningkat dan kekakuan berkurang. Perawat hendaknya memberikan intervensi keperawatan latihan ROM pada pasien bedah terutama pasien yang mengalami trauma.
Kata kunci
: Kecelakaan Lalu Lintas, Latihan ROM, ORIF, STSG, Trauma Siku
vii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Yuanita Fransiska
Study Program: Nursing Science Title
: Clinical Practice Analysis of Urban Public Health Nursing for Elbow Trauma Patient Post ORIF and STSG in Surgical Ward Building A RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Traffic accidents are one of the many problems that occur in urban communities. The accidents can cause physical trauma to the patient so they have to undergo Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) and Split Thickness Skin Graft (STSG) surgery and also immobilization. The purpose of this paper was to analyzed the clinical practice of urban public health nursing to patients posttraumatic elbow ORIF and STSG in RSCM. One of the nursing problem from elbow trauma was impaired physical mobility that caused by postoperative pain. Nursing evidence based practice that applied to the patient was Range of Motion (ROM) exercise to prevent stiffness and improve range of motion in patients with immobilization. The results showed that after twice daily for six days ROM exercises, the patient range of motion improved and stiffness decreased. Nurses should provide ROM exercises as the nursing interventions in surgical patients, especially patients who have experienced trauma.
Key words
: Elbow Trauma, ORIF, ROM Excercise, STSG, Traffic Accident
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Pernyataan Orisinalitas Halaman Pengesahan Kata Pengantar Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi Abstrak Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum 1.2.2 Tujuan Khusus 1.3 Manfaat Penulisan 1.3.1 Manfaat bagi Pendidikan 1.3.2 Manfaat bagi Profesi Keperawatan 1.3.3 Manfaat bagi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) 2.2 Trauma Siku 2.2.1 Fraktur 2.2.2 Penatalaksanaan Trauma pada Siku 2.2.2.1 Penatalaksanaan Bedah 2.2.2.2 Penatalaksanaan Modalitas Keperawatan BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 3.1 Pengkajian 3.1.1 Informasi Umum 3.1.2 Riwayat Kesehatan 3.1.3 Keluhan Utama 3.1.4 Aktifitas dan Istirahat 3.1.5 Sirkulasi 3.1.6 Integritas Ego 3.1.7 Eliminasi 3.1.8 Makanan dan Cairan 3.1.9 Higiene 3.1.10Neurosensori 3.1.11Pernapasan 3.1.12Keamanan 3.1.13Interaksi Sosial 3.1.14Penyuluhan dan Pembelajaran 3.2 Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan 3.4 Implementasi dan Evaluasi ix
i ii iii iv vi vii ix xi xii xiii 1 1 4 4 4 5 5 5 5 6 6 8 9 11 12 14 18 18 18 10 19 19 20 21 21 22 22 22 23 23 24 24 26 30 31
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB IV ANALISIS SITUASI 4.1 Analisis Kasus Terkait KKMP 4.2 Analisis Kasus 4.3 Analisis Evidence Based Practice 4.4 Alternatif Pemecahan Masalah BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
x
33 33 35 42 44 46 46 46 48
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Hasil Laboraturium Pasien
25
Tabel 4.1 Analisis Data
29
xi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Siku
11
Gambar 2.2 Lapisan Kulit untuk Split Thickness Skin Graft dan Full Thickness Skin Graft 13
xii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Pemeriksaan Penunjang
Lampiran 2
Prosedur Latihan Range of Motion (ROM)
Lampiran 3
Rencana Asuhan Keperawatan
Lampiran 4
Catatan Perkembangan
xiii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan bermotor merupakan salah satu masalah kesehatan pada masyarakat perkotaan yang banyak terjadi. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2010 sebanyak 1,24 juta orang meninggal akibat kecelakaan di jalan Data WHO tersebut juga menyebutkan negara yang memiliki pendapat rendah sampai menengah memiliki rating kecelakaan lalu lintas paling tinggi, yaitu 20,1 per 100.000 populasi sedangkan pada negara dengan pendapatan tinggi memiliki rating lebih rendah, yaitu 8,7 dari 100.000 populasi. WHO juga menyebutkan peningkatan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan bermotor yang fatal di Indonesia (WHO, 2013). Pendapatan yang rendah hingga menengah dan tingginya jumlah kendaraan bermotor membuat Indonesia memiliki jumlah kasus kecelakaan yang sangat banyak, yaitu sebanyak 108.696 kasus pada tahun 2011 (BPS, 2013). Kecelakaan bermotor ini menimbulkan banyak konsekuensi pada korbannya terutama terkait dengan kesehatan.
Masalah kesehatan yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dapat berupa luka ringan hingga kematian. Badan Pusat Statistik (BPS, 2013) menyimpulkan data yang bersumber dari kantor kepolisian Republik Indonesia, yaitu pada tahun 2011 sebanyak 108.945 korban kecelakaan mengalami luka ringan, 35.285 korban mengalami luka berat, dan 31.195 korban meninggal dunia. Riyadina & Subik (2007) dalam penelitiannya menyebutkan dari 138 korban kecelakaan motor yang masuk ke IGD RSUP Fatmawati, sebanyak 52,2% mengalami cedera ringan dan 47,8% mengalami cedera parah. Penelitian tersebut juga menggambarkan persentase jenis luka yang terjadi akibat kecelakaan motor, yaitu luka terbuka 42,0%, patah tulang 18,0% dan luka lecet 14,5%. Hal serupa juga disampaikan Riyadina, Suhardi, & Permana (2009) berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
2
yang menyebutkan bahwa pola bagian tubuh yang terkena cedera dari 928.317 responden yaitu kaki (63,8%), tangan (47,8%), kepala (19,6%) dan badan (10,2%) dengan luka lecet (65,9%), memar (49%), luka terbuka (26,7%), terkilir atau teregang (21%) serta patah tulang/anggota tubuh terputus sekitar 9,1%. Patah tulang atau fraktur dan luka lecet merupakan salah satu masalah yang cukup banyak terjadi pada korban kecelakaan berdasarkan data di atas.
Fraktur ekstremitas merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada kecelakaan kendaraan beroda dua. Penelitian yang dilakukan Cahyadi & Soegandi (2008) menyimpulkan dari 31 kasus kecelakaan kendaraan roda dua yang dibawa ke instalasi forensik RSUP dr. Sardjito, semua korban (100%) mengalami fraktur atau patah tulang pada ekstremitas. Penelitian lain yang dilakukan Conroy, et al. (2007) menyebutkan bahwa sebanyak 24,8% responden dari data Crash Injury Research Enginering Network (CIREN), mengalami cedera pada ekstremitas atas. Landy et al. (2010) dalam penelitiannya juga menyebutkan dari 336 kasus yang diidentifikasi, sebanyak 67%. tipe cedera yang paling sering terjadi adalah cedera ekstremitas bawah. Sumber ini juga menyebutkan fraktur ekstremitas atas juga sering ditemukan, yaitu fraktur humerus (11%), ulna (7%), radius (6%), tangan (4%), dan pergelangan tangan (2%). Fraktur yang terjadi akibat kecelakaan ini perlu ditangani secara cepat dan tepat.
Penatalaksanaan fraktur perlu dilakukan dengan menggunakan prinsip yang tepat. Smeltzer & Bare (2002) menyebutkan prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan
fragmen
tulang
ke
posisi
anatomis
normal
(reduksi),
mempertahankan reduksi sampai terjadi penyembuhan (imobilisasi), dan mempercepat pengembalian fungsi dan kekuatan normal bagian yang terkena (rehabilitasi). Salah satu caranya sesuai dengan penelitian Harris et al. (2009) pada fraktur metakarpal dengan menggunakan traksi dan imobilisasi tulang yang patah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan dari 59 pasien, 80 % diantaranya mengalami perbaikan dari kekakuan pada awal perbaikan fraktur. Cara lainnya dengan pembedahan yaitu Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) seperti penelitian Boraiah et al. (2009). Penelitian tersebut mendapatkan hasil 17 dari 18 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
3
pasien fraktur acetabular yang dilakukan ORIF dan Total Hip Arthroplasty (THA) mengalami penyembuhan yang sukses. Pasien dengan ORIF perlu mendapat imobilisasi agar proses penyembuhan tidak terganggu. Penggunaan splint biasanya dilakukan setelah pemasangan ORIF. Komplikasi yang terjadi setelah imobilisasi dengan splint adalah kekakuan pada sendi di sekitar tempat terjadinya trauma (Boyd, Benjamin, & Maj, 2009). Bengkak juga dapat terjadi pada ujung ekstremitas yang menyebabkan menurunnya rentang gerak sendi pada daerah tersebut.
Rehabilitasi
perlu
dilakukan
untuk
mencegah
kekakuan
dan
mengembalikan rentang gerak sendi di sekitar daerah trauma.
Salah satu bentuk rehabilitasi yang penting untuk dilakukan untuk mencegah kekakuan dan mengembalikan rentang gerak sendi di sekitar daerah trauma adalah dengan melakukan latihan Range of Motion (ROM). Latihan ini sangat penting dilakukan karena latihan ROM dapat meningkatkan status fungsional daerah yang mengalami trauma. Penelitian MacDermid et al. (2012) dengan 315 terapis tangan sebagai responden meyakini bahwa penggunaan edukasi pasien (95%) dan ROM aktif pada tahap akut serta program latihan rumah (99%), ROM aktif (99%), peregangan (97%), penguatan (97%), melakukan ADL dan pekerjaan rutin (97%), ROM pasif (95%), dan ROM aktif asistif (95%) digunakan secara umum pada tahap rehabilitasi fungsional. Penelitian lain yang dilakukan Bland et al. (2008) menyebutkan bahwa pembatasan ROM aktif dapat membuat penurunan fungsi tangan. Oleh karena itu, latihan ROM sangat diperlukan bagi pasien yang mengalami trauma, terutama pada ekstremitas atas.
Latihan ROM perlu dilakukan pada pasien fraktur sejak berada di rumah sakit. Salah satu rumah sakit di kawasan perkotaan dengan kasus pasien fraktur yang cukup banyak adalah RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Jumlah pasien fraktur siku dan lengan atas berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencapai 165 pasien pada 2012 dan 68 pasien pada 2013 (Divisi Rekam Medik RSCM, 2013). Hasil pengamatan terhadap beberapa pasien yang di rawat di ruang bedah ortopedi ditemukan bahwa penyebab fraktur tersering adalah akibat kecelakaan kendaraan roda dua dan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
4
pasien tersebut tidak secara rutin dilakukan latihan ROM selama masa perawatan. Hasil wawancara dengan salah satu pasien yang mengalami fraktur siku kiri akibat kecelakaan kendaraan roda dua di Kota Bogor, yaitu Ny. S (51 tahun) diperoleh informasi bahwa latihan ROM sebenarnya dilakukan oleh dokter rekam medik dan fisioterapis, tetapi tidak rutin setiap hari dilakukan. Pasien yang diwawancara juga menyebutkan bahwa perawat sering mengingatkan pasien untuk menggerak-gerakkan tubuh, tetapi tidak pernah mengajarkan dan mendampingi saat pasien melakukan latihan. Oleh karena itu, analisis trauma akibat kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu masalah masyarakat perkotaan dan latihan ROM sebagai salah satu intervensi pasien trauma pada salah satu pasien trauma siku di RSUPN Cipto Mangunkusumo perlu dilakukan.
1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1
Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien trauma siku post ORIF dan STSG di ruang rawat bedah lantai 4 zona A Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo. 1.2.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: a. Menganalisis kasus kelolaan utama yaitu pasien dengan trauma siku post ORIF dan STSG. b. Menganalisis masalah keperawatan dengan konsep terkait KKMP dan konsep trauma siku akibat kecelakaan lalu lintas. c. Menganalisis latihan ROM sebagai salah satu intervensi dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien trauma siku.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
5
1.3 Manfaat Penulisan Laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.1.1 Bagi Pendidikan Manfaat penulisan ini bagi pendidikan ialah sebagai bahan pertimbangan terhadap pengembangan
kurikulum
pada
pendidikan
keperawatan.
Pengembangan
kurikulum yang dimaksud ialah untuk memasukkan konsep kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu masalah keperawatan dalam mata kuliah Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dan latihan ROM sebagai salah satu praktikum wajib pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah (KMB), khususnya pada sistem muskuloskeletal. 1.1.2 Bagi Profesi Keperawatan Laporan ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dan motivasi bagi perawat yang bertugas di bagian bedah rumah sakit untuk melakukan latihan ROM pada pasien trauma. 1.1.3 Bagi Rumah Sakit Asuhan keperawatan pada pasien fraktur dengan latihan ROM ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi rumah sakit untuk merancang Standard Operational Procedure (SOP) tentang pemberian latihan ROM oleh perawat pada pasien trauma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjabarkan tinjauan pustaka sebagai landasan teoritis dalam penelitian ini. Hal-hal yang dibahas pada bab ini adalah mengenai konsep tentang Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP). Bab ini juga membahas tentang trauma siku, penatalaksanaan bedah untuk trauma siku, dan intervensi modalitas keperawatan untuk trauma siku. 2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) adalah suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan
masyarakat
dengan
dukungan
peran
aktif
masyarakat
serta
mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara berkesinamungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebaga suatu kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehdupan manusia secara optimal sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya (Depkes RI, 2006). Perkesmas merupakan perpaduan konsep kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan dengan upaya pencapaian derajat kesehatan optimal yang dilakukan melalui peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) di semua tingkat pencegahan (levels of prevention) dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan pasien sebagai mitra kerja dalam perencanaan pelaksanaan dan evaluasi pelayanan keperawatan (Depkes RI, 2006). Tujuan perkesmas ini adalah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan dengan pemberian pelayanan keperawatan secara langsung kepada seluruh masyaraat dalam rentang sehat sakit dengan adanya kesinambungan pelayanan kesehatan (continuity care). Perkesmas berorientasi pada proses pemecahan masalah dengan proses keperawatan dengan 6
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
7
menerapkan langkah-langkah dari pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Sasaran perkesmas adalah seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga, dan kelompok berisiko tinggi dengan melibatkan masyarakat sebagai mitra dan kerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Salah satu kelompok masyarakat risiko tinggi yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan (urban). Data WHO menyebutkan mayoritas populasi dunia tinggal di area urban sejak tahun 2007 yang berdampak pada kesehatan populasi, derajat kesehatan, dan lingkungan (WHO, 2013). Sumber ini juga menyebutkan tren pada kesehatan perkotaan adalah 828.000.000 penduduk perkotaan hidup pada kondisi kemiskinan. Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Gejala urbanisasi di sebuah kotadapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus berubah (bertambah) dan terjadi perubahan pada tatanan masyarakat. Masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota. Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki karakteristik dan merupakan hal yang penting dalam melakukan praktik (Allender, 2001). Karakteristik tersebut diantaranya
yaitu
masalah
kesehatan
yang
diangkat
merupakan
lahan
keperawatan. Praktik yang dilakukan harus merupakan kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan klinik. Fokus utama pelayanan asuhan keperawatan adalah pada populasi. Pelayanan asuhan keperawatan masyarakat perkotaan juga harus menekankan terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan diri. Implementasi keperawatan juga mempromosikan tanggung jawab pasien dan self care. Pengukuran dan analisis diperlukan untuk menemukan masalah yag terjadi. Asuhan keperawatan masyarakat perkotaan juga mengguakan prinsip teori organisasi dan melibatkan kolaborasi interprofesional.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
8
Peran perawat terhadap salah satu masalah pada masyarakat perkotaan ini sangat besar. Potter & Perry (2006) menyebutkan bahwa mengendarai kendaraan bermotor merupakan salah satu faktor penentu kesehatan seseorang. Perawat berperan dalam tiga tingkat pencegahan terkait kecelakaan lalu lintas sebagai masalah kesehatan masyarakat perkotaan. Tiga tingkat pencegahan tersebut adalah pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan primer adalah pencegahan yang sebenarnya, pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi penyakit dan gangguan fungsi, dan diberikan kepada klien yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan primer menurut Potter & Perry (2006) meliputi dua hal, yaitu peningkatan kesehatan dan perlindungan khusus yang meliputi imunisasi dan penyediaan nutrisi. Pencegahan sekunder berfokus pada individu yang mengalami masalah kesehatan atau penyakit, dan individu yang berisiko mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan sekunder terbagi menjadi diagnosis dini dan tindakan segera dan keterbatasan ketidakmampuan. Pencegahan tersier dilakukan ketka terjadi kecacatan atau ketidakmampuan yang permanen dan tidak dapat disembuhkan. Pencegahan tersier terdiri dari cara meminimalkan akibat dari penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang bertujuan untuk mencegah komplikasi dan penurunan kondisi kesehatan (Potter & Perry, 2006). Salah satu fenomena yang terjadi pada masyarakat perkotaan adalah peningkatan mobilitas masyarakat yang berdampak pada peningkatan jumlah alat transportasi. Jenis alat transportasi yang banyak digunakan masyarakat perkotaan adalah kendaraan bermotor. WHO menyebutkan peningkatan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan bermotor yang fatal di Indonesia (WHO, 2013). Masalah kesehatan dapat timbul dari adanya kecelakaan tersebut dimana sebagian besar masalah terjadi akibat adanya trauma fisik. 2.2 Trauma Siku Trauma pada siku dapat terjadi pada seluruh komponen pembentuk siku. Trauma tersebut dapat terjadi pada tulang dan sendi siku, pembuluh darah, dan dapat pula Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
9
merobek kulit permukaan siku. Jenis trauma yang dapat terjadi pada siku dijelaskan pada bagian berikut. 2.2.1 Fraktur Fraktur atau patah tulang memiliki beberapa definisi. Price & Wilson (2006) mendefinisikan fraktur sebagai patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Hal serupa dikemukakan Smeltzer & Bare (2002) dengan definisi fraktur yaitu terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya yang terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Montague, Watson, & Herbert (2005) menyebutkan bahwa tulang akan mengalami fraktur atau patah ketika kapasitasnya untung mengabsorbsi energi terlampaui dan biasanya diikuti oleh cedera traumatik. Oleh karena itu, kesimpulan fraktur berdasarkan tiga definisi tersebut adalah patah tulang yang terjadi akibat adanya trauma atau stres yang menyebabkan kontinuitas tulang terputus. Fraktur dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Montague, Watson, & Herbert (2005) membagi fraktur berdasarkan keparahan, arah fraktur, tekanan, dan lokasi anatomi.
Fraktur
tertutup,
terbuka,
complicated,
komplit,
Greenstick,
Comminuted, dan displaced adalah jenis fraktur berdasarkan keparahan. Fraktur dapat digolongkan berdasarkan arahnya, yaitu transversal, oblik, spiral, dan linear. Fraktur kompresi, avulsi, dan stres adalah penggolongan fraktur berdasarkan tekanan. Jenis fraktur yang digolongkan berdasarkan lokasi anatomis adalah osteokondrial, ekstra atau intrakapsular, dan berdasarkan area tulang mayor. Manifestasi klinis yang terjadi pada fraktur beragam dan berbeda pada beberapa jenis fraktur. Manifestasi klinis fraktur secara umum dijelaskan oleh Smeltzer & Bare (2002), yaitu nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. Nyeri dapat terjadi terus menerus saat tulang belum diimobilisasi dan dapat pula terjadi akibat spasme otot yang merupakan respon otot untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. Gerakan fragmen tulang yang terus terjadi dapat menyebabkan pergeseran fragmen tulang. Pergeseran yang terjadi pada fraktur lengan atau tungkai akan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
10
menyebabkan
deformitas
yang dapat
terlihat
maupun
teraba
sehingga
menyebabkan ekstremitas dapat kehilangan fungsi. Pemendekan tulang dapat terjadi pada fraktur panjang akibat kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Krepitus dapat terjadi akibat gesekan antar fragmen sehingga teraba derik tulang. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi pada kulit akibat dari trauma dan perdarahan. Tulang memiliki kemampuan untuk beregenerasi ketika terjadi cedera. Tahapan penyembuhan tulang terdiri dari lima tahap, yaitu tahap inflamasi, proliferasi sel, pembentukan kalus, penulangan kalus, dan remodeling tulang dewasa (Maher, Salmond, & Pellino, 2002; Smeltzer & Bare, 2002). Tahap pertama yaitu tahap inflamasi yaitu respon tubuh terjadi bila cedera dan timbul hematoma akibat perdarahan pada jaringan. Daerah fraktur akan diisi oleh sel makrofag untuk membersihkan daerah tersebut dan akan terjadi nyeri dan bengkak selama satu sampai tiga hari. Tahap kedua adalah tahap proliferasi sel yang terjadi selama tiga hari sampai dua minggu yang ditandai dengan pembentukan fibrokartilago (penggantian hematoma dengan jaringan granulasi). Waktu 2 sampai 6 minggu merupakan tahap ketiga atau pembentukan kalus, yaitu saat dimana jaringan granulasi menjadi dewasa. Tahap ke empat adalah tahap osifikasi atau penulangan kalus, yaitu kalus menjembatani celah antara fragmen fraktur. Kalus ini nantinya akan berubah menjadi tulang. Tahap ke lima adalah tahap remodeling yang terjadi antara enam minggu sampai satu tahun. Tahap ini merupakan tahap akhir perbaikan tulang patah dimana terjadi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya (Maher, Salmond, & Pellino, 2002; Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur pada siku dapat terjadi pada seluruh tulang yang menyusun siku. Tulang penyusun siku dapat dilihat pada gambar berikut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
11
Gambar 2.1 Anatomi Tulang Siku Sumber: Restrepo, 2002
Sendi siku terbentuk antara humerus dan tulang lengan bawah. Siku dan sendi radio-ulnar proksimal menempati rongga yang sama dengan ligamen tertentu. Permukaan artikular humerus diselubungi tulang rawan hialin, kecuali permukaan medial troklea. Tulang rawan bonggol troklear ulna diselingi oleh jaringan fibrosa yang terletak transversal di seberang bagian dalam bonggol. Pangkal radius diselubungi tulang rawan hialin yang melanjut ke sekeliling pangkal dan terus ke sendi radio ulnar proksimal. Bagian posterior kapsul (ligamen posterior) tipis dan makin berkurang ke medial. Bagian anterior (ligamen anterior) terbentuk secara tidak teratur, dimana beberapa serat brakialis masuk ke dalamnya (O’Rahilly & Muller, 1995; Vigue & Martin, 2006).
2.2.2 Penatalaksanaan Trauma pada Siku Penatalaksanaan untuk trauma pada siku bermacam-macam dan tergantung bagian siku yang terkena dan keparahan trauma. Penatalaksanaan tersebut dapat melalui tindakan pembedahan, misalnya dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) apabila terjadi trauma pada tulang dan skin graft apabila terjadi trauma parah pada kulit. Asuhan keperawatan juga sangat penting untuk menunjang pemenuhan kebutuhan dasar dan meningkatkan penyembuhan trauma siku. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
12
2.2.2.1 Penatalaksanaan Bedah a. Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) Open reduction atau reduksi terbuka harus dilakukan ketika metode tertutup gagal atau tidak efektif dan ketika permukaan artikular mengalami fraktur dan berubah tempat, ketika fraktur merupakan akibat dari metastasis tumor, ketika ada cedera arteri atau cedera multipel. Reduksi terbuka biasanya diikuti dengan fiksasi internal untuk menstabilkan fraktur dan meningkatkan penyembuhan fraktur. Alat yang digunakan untuk fiksasi internal bergantung pada tipe fraktur reduksi yang dilakukan dan area fraktur. Alat yang digunakan dapat berupa wire dan pin (untuk fraktur yang kecil), screw dan plates (biasanya digunakan pada batang tulang), nail dan sliding screw-plate (biasanya digunakan untuk fraktur panggul) (Maher, Salmond, & Pellino, 2002).
Rehabilitasi setelah dilakukan ORIF adalah dengan mengambalikan Range of Motion (ROM) pada sendi. Kekakuan dapat terjadi pada sendi akibat dari masa imobilisasi yang lama pemendekan otot di sekitar fraktur. Metode mobilisasi sendi selama periode rehabilitasi dapat berupa latihan rentang gerak, contionous passive motion, latihan otot (isometrik, isotonik, dan isokinetik), latihan gaya berjalan, dan terapi okupasi (Maher, Salmond, & Pellino, 2002).
b. Skin Graft Skin graft (pencangkokan kulit) adalah teknik untuk melepaskan potongan kulit dari suplai darahnya sendiri dan kemudian memindahkannya sebagai jaringan bebas ke lokasi yang jauh (resipien) (Smeltzer & Bare, 2002). Teknik skin graft umumnya digunakan untuk memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi tumor kulit, untuk menutup daerah kulit yang terkelupas dan untuk menutup luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup untuk menutupnya. Teknik skin graft ini dapat diklasifikasikan menjadi autograft, allograft, dan xenograft. Autograft adalah jaringan yang diperoleh dari kulit pasien sendiri. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
13
Allograft adalah jaringan yang diperleh dari donor dengan spesies yang sama. Xenograft adalah jaringan dari spesies lain. Graft juga dibedakan berdasarkan ketebalannya bergantung pada banyaknya dermis yang diambil. Split thickness graft dapat dipotong dengan ketebalan yang bervariasi (tipis, sedang, atau tebal) dan umumnya digunakan untuk menutup luka atau defek yang lebar. Full thickness graft terdiri atas epidermis dan keseluruhan dermis tanpa jaringan lemak di bawahnya. Jenis cangkokan ini digunakan untuk menutup luka yang tidak bisa ditutup langsung (Smeltzer & Bare, 2002).
Gambar 2.2 Lapisan Kulit untuk Split Thickness Skin Graft dan Full Thickness Skin Graft Sumber: Smeltzer & Bare, 2002
Graft diambil dari lokasi “donor” atau “host” dan dipasangkan pada lokasi yang dikehendaki yang disebut lokasi “resipien” atau “graft bed”. Syarat daerah resipien harus terpenuhi agar cangkokan kulit dapat hidup dan efektif (Smeltzer & Bare, 2002). Syarat tersebut diantaranya: 1. Lokasi resipien harus memiliki pasokan darah yang adekuat sehingga fungsi fisiologi normal dapat berlangsung kembali, 2. Cangkokan harus melekat rapat dengan dasar (bed) lokasi resipien (untuk menghindari penumpukan darah atau cairan) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
14
3. Cangkokan harus terfiksasi kuat (terimobilisasi) sehingga posisinya dipertahankan pada lokasi resipien 4. Daerah pencangkokan harus bebas dari infeksi. Cangkokan kulit dapat dijahitkan atau tidak pada lokasi resipien. Cangkokan ini juga bisa dipotong dan dibentangkan seperti jala agar menutupi suatu daerah yang lebar. Proses revaskularisasi (pembentukan kembali pasokan darah) dan pelekatan kembali cangkokan kulit pada dasar lokasi resipien (recipient bed) dinamakan “take”. Cangkokan yang berwarna merah muda menandakan terjadinya vaskularisasi. Pasien dan keluarga harus melaporkan adanya drainase yang tidak lazim atau reaksi inflamasi di sekitar tepi luka. Lokasi donor juga dipilih dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu: 1. mencapai kecocokan warna sedekat mungkin dengan memperhatikan jumlah cangkokan kulit yang diperlukan 2. mencocokkan tekstur dan kualitas kulit untuk membawa rambut 3. mendapatkan cangkokan kulit yang setebal mungkin tanpa mengganggu kesembuhan luka lokasi donor 4. mempertimbangkan efek kosmetik pada lokasi donor setelah kesembuhan terjadi sehingga lokasi ini sebaiknya dipilih dari tempat yang tersembunyi. Lokasi donor akan sembuh melalui reepitelisasi pada jaringan dermis yang terbuka dan telanjang. Perawatan yang rinci terhadap lokasi donor sama pentingnya dengan lokasi resipien. Biasanya lokasi donor akan ditutupi dengan kasa halus dan tidak melekat atau kasa selaput yang bersifat transparan yang memudahkan pemeriksa untuk melihat luka tanpa mengganggu kasa pembalutnya (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.2.2 Penatalaksanaan Modalitas Keperawatan a. Imobilisasi Imobilisasi digunakan pada pasien dengan fraktur. Tujuan imobilisasi adalah untuk mengamankan bagian yang terluka pada sistem muskuloskeletal untuk mencegah cedera lebih lanjut, meningkatkan penyembuhan, meningkatkan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
15
hasil fungsional, dan mengurangi nyeri (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Imobilisasi dapat menjadi bagian dari rehabilitasi post ORIF. Sendi di atas dan di bawah daerah yang diimobilisasi harus secara aktif dilatih. Latihan juga dilakukan pada ekstremitas yang tidak mengalami masalah. NSHCC Wound Care Comitte (2010) juga menyebutkan bahwa resipien skin graft harus diimobilisasi selama lima hari dan pada banyak kasus backslab digunakan untuk mengurangi pergerakan ekstremitas dan friksi diantara graft dan daerah pembedahan. Sumber ini juga menyebutkan bahwa elevasi lengan dengan menempatkan bantal di bawah lengan perlu dilakukan untuk mendukung lengan dan meningkatkan kenyamanan.
b. Latihan Range of Motion (ROM) Range of Motion (ROM) merupakan salah satu contoh dari latihan isokinetik yang berfungsi untuk menjaga mobilitas (DeLaune & Ladner, 2002). Latihan ROM dapat dilakukan pasif atau aktif untuk memfasilitasi peningkatan fleksibilitas atau kekuatan (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Tujuan latihan ROM adalah untuk mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan, mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atropi otot, dan kontraktur, dan mempersiapkan latihan lebih lanjut (Potter & Perry, 2006). Latihan ROM sebagai terapi modalitas terbagi menjadi empat jenis, yaitu: 1. Passive Range of Motion (PROM) Latihan Passive Range of Motion (PROM) adalah aplikasi kekuatan eksternal tanpa kontraksi otot yang aktif (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Kekuatan eksternal tersebut dapat berasal dari terapis dan peralatan mekanik. Bentuk latihan ini berguna untuk mencegah kontraktur sendi, meningkatkan atau menjaga ROM sendi normal, dan aman digunakan untuk otot yang mengalami paralisis. PROM juga berfungsi untuk mengurangi adhesi dan menstimulasi penyembuhan, menghasilkan fiksasi yang lebih kuat pada struktur yang sembuh. Continous Passive Motion (CPM) adalah salah satu alat yang dapat digunakan. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
16
2. Active Assistive Range of Motion (AAROM) ROM aktif asistif adalah kontraksi aktif otot dengan bantuan dari tekanan eksternal seperti terapis, alat mekanik atau ekstremitas yang lain. Asisten membantu mendukung berat tungkai sehingga resistensi terhadap gravitasi terbentuk. Aktif asistif ROM dapat membantu meningkatkan fleksibilitas, kekuatan otot, dan meningkatkan koordinasi otot. Latihan aktif asistif ini dapat dilakukan dengan bantuan terapis atau pasien sendiri. Pasien dapat menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk membantu bergerak (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). 3. Active Range of Motion (AROM) ROM aktif adalah kontraksi otot aktif melawan tekanan gravitasi (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Latihan aktif meningkatkan kekuatan otot dan fungsi ekstremitas keseluruhan. Pasien yang dapat melakukan ROM aktif kadang lebih merasa sedikit nyeri dibanding dengan ROM pasif atau aktif asistif. Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau secara mandiri. Cara melakukan latihan ROM aktif seperti yang ada dalam lampiran 2. Penelitian terkait latihan ROM cukup banyak. Latihan ini berfungsi untuk mengembalikan fungsi rentang pergerakan pasien setelah dilakukan imobilisasi pada daerah yang fraktur. Penelitian yang dilakukan Bland et al. (2008) menyebutkan bahwa pembatasan ROM aktif dapat membuat penurunan fungsi tangan Salah satu penelitian yang membahas mengenai latihan ROM sebagai salah satu terapi pada pasien fraktur siku adalah penelitian yang dilakukan MacDermid et al. (2012). Penelitian tersebut melibatkan 315 terapis tangan di Amerika Serikat dan Kanada dimana sebanyak 80% dari terapis tersebut memberikan perawatan langsung pada pasien di daerah urban. Selama fase akut tahap penyembuhan fraktur siku, 87% terapis selalu menggunakan aktif ROM pada bagian tubuh pasien yang sehat dan 75% dengan teratur menggunakan ROM aktif asistif. ROM pasif (32%) dan peregangan (26%) jarang digunakan pada fase ini. Sebanyak 83% terapis tangan juga menilai baik ROM aktif maupun ROM aktif asistif merupakan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
17
terapi modalitas yang sangat efektif pada pasien fraktur siku. Terapis lebih berfokus pada pengembalian fungsi dan manajemen mengurangi nyeri dan edema selama tahap rehabilitasi. 99% terapis yang telah disurvey sebagian besar setuju untuk melakukan ROM aktif pada siku, 98% setuju dengan peregangan siku, 97% setuju menggunakan latihan peregangan pada daerah sekitar siku, latihan fungsional (97%), ROM pasif (95%), dan ROM aktif asistif (95%). Hal tersebut sesuai dengan protokol untuk rehabilitasi fraktur siku yang dibuat oleh Bano et al (2006).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini membahas mengenai kasus kelolaan utama yang dirawat di ruang bedah lantai 4 Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo. Bab ini memuat proses keperawatan yang dimulai dari pengkajian, analisis data dan penentuan prioritas diagnosis keperawatan, dan rencana asuhan keperawatan. Catatan perkembangan mengenai implementasi asuhan keperawatan dan evaluasi juga terdapat dalam bab ini. 3.1 Pengkajian 3.1.1 Informasi Umum Ny. S (51 tahun) dengan nomor registrasi 384-47-52 adalah pasien di ruang 404 lantai 4 zona A RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ny. S lahir pada 23 Maret 1962 di Madura dan bersuku Madura. Ny. S mengalami kecelakaan lalu lintas pada 8 Mei 2013 yang terjadi akibat motor yang ditumpanginya masuk ke lubang saat berusaha menyalip kontainer sehingga membuat ia terpental ke sisi kiri. Ny. S tidak mengetahui berapa kecepatan motor tersebut dan hal yang klien ingat hanya saat lengan kirinya bergesek dengan ban belakang kontainer. Ny. S kemudian pingsan selama 15 menit dan dibawa ke RS PMI Bogor. Ny. S lalu dirujuk dari RS PMI ke RSCM dengan alasan peralatan tidak memadai. 3.1.2 Riwayat Kesehatan Klien masuk ke IGD RSCM pada 9 Mei 2013 dengan status lokalis lengan atas kiri tampak luka terbuka dengan diameter 3 cm x 1 cm x 0,5 cm dan terjadi perdarahan aktif serta hematoma. Klien juga merasa nyeri tekan pada lengan atas kiri denganVAS 4 dan pergerakan terbatas. Klien kemudian dilakukan operasi evakuasi hematoma, ORIF K-Wire lateral epicondyle humerus kiri, repair muscle belly brachiocondialis kiri dan muscle belly fleksor. Diagnosis medis klien post operasi adalah fraktur tertutup lateral epicondyle kiri pasca repair, closed 18
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
19
degloving brachii et elbow sinistra post repair, ruptur total muscle belly bracioradialis kiri post repair, trombosis arteri radialis kiri pasca bypass graft. Klien kemudian dipindahkan ke ruang 404 lantai 4 zona A RSCM pada 12 Mei 2013. Klien menjalani operasi kedua pada 22 Mei 2013 dengan tindakan debridemen nekrotomi dan eksisi tangensial dengan kesimpulan raw surface baik. Instruksi post operasi ini adalah rawat luka setiap hari dengan madu dan elastic verban agar granulasi baik, dan elevasi tangan kiri 30. Klien menjalani operasi ketiga pada 31 Mei 2013 dengan diagnosis medis raw surface antebrachii sinistra dan tindakan operasinya adalah tutup defek dengan STSG dan debridemen. Donor site yang digunakan adalah kulit pada paha kiri. 3.1.3 Keluhan Utama Pengkajian yang dilakukan pada klien post ORIF hari ke 26 dan post STSG hari ke 4. Keluhan klien saat itu adalah nyeri pada daerah resipien STSG pada lengan kiri, menjalar hingga seluruh lengan, skala 3 sampai 4. Klien juga merasa nyeri pada paha kiri tempat donor kulit dan nyeri menjalar pada seluruh ekstremitas kiri. Klien mengatakan penyebab nyeri itu adalah karena elastic verban yang dirasa terlalu kencang, kualitas nyeri sedang, waktu, durasi 2 sampai 3 jam, dan frekuensi hilang timbul, terutama saat klien bergerak. Faktor pencetus nyeri adalah apabila klien berpindah posisi sehingga klien malas bergerak. Cara menghilangkan nyeri adalah dengan istirahat dan minum obat. Klien terlihat mengerutkan muka, menjaga area yang sakit, dan mengalami penyempitan fokus saat nyeri terasa. Klien marah bila ada yang menyentuh atau menggerakkan lengan dan kaki kirinya secara tiba-tiba. Klien mengatakan karena nyeri klien malas bergerak dan menggerak-gerakkan tubuhnya. 3.1.4 Aktifitas dan Istirahat Keluhan klien yang lain adalah klien tidak dapat tidur saat malam maupun siang hari. Klien mengatakan ia merasa takut jika tidur karena teringat dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi. Klien juga merasa takut jika ia tidur maka terjadi hal yang tidak diinginkan seperti terjadi bencana gempa atau kebakaran dan klien tidak bisa menyelamatkan diri. Tidur malam klien tidak tentu dan sering Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
20
terbangun, tidur siang hanya 30 menit selama di rawat di rumah sakit. Klien tampak pucat dan sering terlihat melamun. Pekerjaan klien di rumah adalah sebagai ibu rumah tangga dengan hobi memasak. Aktivitas waktu luang saat di rumah adalah mengurus pekerjaan rumah tangga. Klien saat ini merasa bosan karena sudah lama di rawat. Klien juga tampak sering kesal dan marah-marah. Pengkajian neuromuskular didapatkan data bahwa massa atau tonus otot klien kuat pada ekstremitas kanan dan lemah pada ekstremitas kiri. Postur klien membungkuk saat berjalan karena menjaga area yang sakit. Tangan kiri terlihat tremor saat diangkat dan rentang gerak klien terbatas. Rentang gerak ekstremitas kanan tidak tidak terbatas tetapi tangan kiri tidak mampu bergerak. Rentang gerak lengan kiri, abduksi sudut 5, fleksi sudut 5 Kaki kiri dapat digerakkan tetapi rentang gerak terbatas. Klien mengatakan karena nyeri jadi malas bergerak. Klien mengatakan latihan ROM sebenarnya dilakukan oleh dokter rekam medik dan fisioterapis, tetapi tidak rutin setiap hari dilakukan. Klien juga menyebutkan bahwa perawat sering mengingatkan pasien untuk menggerak-gerakkan tubuh, tetapi tidak pernah mengajarkan dan mendampingi saat pasien melakukan latihan. Klien mengatakan fisioterapis yang datang hanya duduk di depan tempat tidurnya dan menyuruh ia meremas-remas jari dan sudah selesai. Klien mengatakan selain itu tidak pernah melakukan latihan rentang gerak sendiri dan merasa badannya menjadi kaku. Tampak jari tangan kiri bengkak dan tidak dapat digerakkan. Bahu klien juga tidak dapat melakukan fleksi dan ekstensi. Tidak ada deformitas pada klien dan kekuatan ototnya 5 pada semua bagian ekstremitas kanan, 0 (nol) pada tangan kiri, 1 pada pada ekstremitas bawah bagian proksimal (daerah donor site STSG) dan 5 pada ekstremitas bawah distal. 3.1.5 Sirkulasi Klien tidak memiliki riwayat mengenai masalah jantung seperti hipertensi, demam rematik, flebitis, penyembuhan lambat, klaudikasi. Tekanan darah klien dalam batas normal, yaitu 110/80 mmHg. Tekanan nadi klien teraba kuat pada karotis, temporal, jugularis, femoralis, popliteal, postibial, dan dorsalis pedis dengan frekuensi 98 x/menit. Nadi pada radialis dan brakialis kanan teraba kuat, tetapi sulit teraba pada sebelah kiri karena tertutu elastic verban. Bunyi jantung S1/S2, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
21
murmur tidak ada, galop tidak ada, irama reguler, kualitas kuat. Tidak ada distensi vena jugularis. Suhu ekstremitas 36,5C warna kulit kuning langsat, tetapi kulit lebih gelap pada tangan kiri. CRT 3 detik pada semua ekstremitas, tanda Homan’s negatif, tidak ada varises, tidak ada abnormalitas kuku, penyebaran kualitas rambut merata. Membran mukosa klien lembab, bibir lembab, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dan tidak ada diaforesis. 3.1.6 Integritas Ego Integritas ego klien mengalami stres karena penyakit dan cara menangani stres adalah dengan menangis sendiri. Klien dirawat dengan jaminan Jamkesda dan memiliki masalah finansial saat suami bangkrut sebagai peternak sapi. Pemenuhan kebutuhan finansial saat ini dibantu oleh anak pertama yang sudah bekerja. Status hubungan dengan keluarga dan orang sekitar baik. Klien tidak tampak menganut suatu budaya tertentu. Klien beragama Islam dan rajin menjalankan ibadah sebelum sakit tapi selama sakit klien mengatakan sulit untuk menjalankan ibadah karena nyeri dan merasa kotor. Klien mengatakan tidak merasa tidak berdaya selama sakit karena saat sakit memang sudah sewajarnya mendapat bantuan dari orang lain. Klien terlihat tampak tenang tetapi sering melamun dan cemberut, dan tampak cemas. Klien mengatakan takut tangannya tidak sembuh dan tidak dapat berfungsi seperti semula. Klien tidak mudah tersinggung tetapi sering tidak sabar terutama jika keluarga lambat memenuhi kebutuhannya. 3.1.7 Eliminasi Klien mengatakan belum BAB sejak operasi ketiga dan mengalami konstipasi. Saat ini klien tidak menggunakan laksatif. Karakteristik feses sebelum operasi keras, BAB terakhir tanggal 30 Mei 2013 dengan bantuan yal sebelum operasi. Klien tidak memiliki riwayat perdarahan dan hemoroid. Pola BAK klien normal, sebelumnya menggunakan kateter urin tetapi sekarang kateter sudah dilepas. Klien dapat BAK spontan tetapi untuk menuju kamar mandi harus dengan bantuan. Frekuensi BAK klien 5 kali sehari dan tidak mengalami retensi. Karakteristik urin kuning jernih dan klien tidak mengalami nyeri atau rasa terbakar atau kesulitan BAK. Klien tidak memiliki riwayat penyakit ginjal atau Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
22
kandung kemih dan tidak menggunakan diuretik. Klien tidak mengalami nyeri tekan abdomen, abdomen teraba lunak, tidak ada massa, dan bising usus 11 x/menit. 3.1.8 Makanan dan Cairan Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dnegan diet makanan rumah sebanyak 3 x sehari dan klien biasanya menghabiskan setengah porsi. Klien mengatakan merasa kehilangan selera makan karena nyeri, tetapi selalu menghabiskan susu yang diberikan rumah sakit sebagai makanan selingan. Klien tidak merasa mual dan mumtah dan tidak ada nyeri ulu hati. Klien tidak memiliki alergi terhadap makanan dan tidak ada masalah mengunyah atau menelan. Berat badan sebelumnya berkisar antara 67 sampai 68 kg dan tidak ada perubahan berat badan yang terjadi. Berat badan klien sekarang 67 kg, tinggi badan 152 cm, IMT 28,9 kg/cm2, bentuk tubuh gemuk. Turgor kulit klien elastis dan membran mukosa lembab. Edema tidak ada, hanya pada tangan kiri. Tidak ada pembesaran tiroid, tidak ada massa/hernia, tidak ada halitosis. Kondisi gigi lengkap dan gusi berwarna merah, gigi depan tampak keropos, penampilan lidah bersih dan merah, bising usus 11 x/menit. 3.1.9 Higiene Aktivitas klien sehari-hari tergantung bantuan keluarga dan perawat, mobilitas klien turun tempat tidur harus dibantu karena klien merasa nyeri. Klien dapat makan sendiri tapi butuh bantuan untuk diambilkan makanan. Kebutuhan mandi, berpakaian dan toileting dibantu oleh keluarga. Waktu mandi yang diinginkan adalah pagi dan sore hari. Klien tidak menggunakan alat bantu atau prostetik dan bantu diberikan oleh suami dan keluarga. Penampilan umum klien tampak selalu memakai pakaian tidur dan terlihat bersih dan rapi. Klien tidak bau badan dan tidak ada kutu. Kondisi kulit kepala bersih. 3.1.10 Neurosensori Klien mengatakan saat ini tidak merasa ingin pingsan, tidak sakit kepala, dan tidak merasa kesemutan. Klien tidak memiliki masalah pada pendengaran dan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
23
penglihatan. Status mental klien cemas dan takut akibat trauma pada kecelakaan yang terjadi. Orientasi klien baik terhadap waktu, tempat, dan orang. Kesadaran klien compos mentis dan kooperatif. Memori saat ini dan yang lalu baik. Klien tidak menggunakan kacamata dan alat bantu dengar. Ukuran atau reaksi pupil klien kanan 2 mm/ kiri 2 mm, isokhor. Tidak ada facial drop, dapat menelan dengan normal. Genggaman tangan kanan kuat tetapi tangan kiri tidak dapat menggenggam. Postur klien tegak membungkuk karena menahan sakit. Refleks tendon dalam kanan positif, tendon kiri tidak dapat terkaji karena nyeri. 3.1.11 Pernapasan Klien mengatakan tidak mengalami sesak napas dan tidak memiliki riwayat penyakit pernapasan seperti bronkitis, asma, tuberkulosis, emfisema, dan pneumonia. Klien tidak merokok dan tidak menggunakan alat bantu pernapasan. Frekuensi pernapasan 24 x/menit, dalam, dan simetris. Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan dan tidak ada napas cuping hidung. Fremitus (+/+), bunyi napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). Klien ridak ada sianosis, jari tabuh, dan tidak ada sputum. 3.1.12 Keamanan Klien tidak memiliki alergi atau sensitivitas dan tidak ada perubahan sistem imun. Klien menerima transfusi darah sebanyak 237 cc pada tanggal 22 Juni 2013 pukul 22.00 karena Hb saat itu 9,6 mg/dL dan tidak ada reaksi transfusi. Klien memiliki riwayat cedera kecelakaan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Klien mengalami fraktur tertutup lateral humerus epicondyle dan sendi diimobilisasi post ORIF. Tidak ada masalah punggung, pembesaran nodus, dan tidak menggunakan alat ambulatori. Protese yang terpasang adalah K-Wire di siku kiri. Suhu tubuh klien 36,5C, tidak ada diaforesis. Integritas kulit terlihat terpasang elastic verban di tangan kiri (resipien site STSG) dan paha kiri (donor site STSG), terdapat rembesan di kedua tempat tersebut. Klien mengatakan saat terjadi kecelakaan kulitnya hancur. Klien mengatakan saat ini kulit tangannya sudah ditambal dengan kulit dari paha. Laporan pembedahan klien sudah dilakukan tutup defek raw surface dengan STSG. Terpasang elastic verband di lengan kiri Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
24
dan paha kiri, terdapat rembesan, bau tidak tercium, dan terasa gatal. Rencana ganti balutan besok (4 Juni 2013) dengan dokter bedah plastik. Kekuatan umum klien lemah, tonus otot ekstremitas kanan kuat, tetapi ekstremitas kiri lemah, cara berjalan berpegangan pada benda sekitar dan dituntun, ROM terbatas karena klien takut akan nyeri jika akan menggerakkan tubuhnya. Tidak ada parestesia dan paralisis. 3.1.13 Interaksi Sosial Klien saat ini berstatus menikah dengan lama 22 tahun. Klien hidup dengan suami dan anak. Masalah-masalah atau stres yang dihadapi karena penyakit, keluarga besar tersebar di Jakarta, Bogor, dan Madura. Orang pendukung lain yang sering membantu menjaga klien adalah kakak perempuan klien. Peran klien dalam keluarga sebagai ibu dan istri. Masalah yang timbul karena sakit adalah suami jadi tidak dapat bekerja karena harus menunggu klien di rumah sakit. Suami juga beralih peran untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Klien tidak memiliki masalah komunikasi. Klien berbicara dengan jelas dan aktif berkomunikasi dengan suami, keluarga, dan pasien lain. Pola interaksi keluarga adalah komunikasi terbuka. 3.1.14 Penyuluhan dan Pembelajaran Klien menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan. Klien dapat membaca dan menulis dengan pendidikan tamat SMU. Klien tidak memiliki keterbatasan kognitif. Keyakinan kesehatan yang dilakukan adalah rajin mengonsumsi madu karena klien percaya madu dapat menguatkan daya tahan tubuh. Klien tidak memiliki orientasi terhadap kesehatan berdasarkan agama atau kurtural yang dianut. Klien tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakitpenyakit seperti diabetes, tuberkulosis, penyakit jantung, stroke, hipertensi, penyakit ginjal, kanker, dan lain-lain. Obat-obatan yang dikonsumsi klien saat ini adalah antibiotik Cefixime 2 x 100 mg PO, analgesik Mefinal 3 x 500 mg PO, dan Ultracet 3 x 37,5 mg PO. Klien tidak mengonsumsi obat-obatan tanpa resep, tembakau, dan alkohol. Harapan pasien terhadap perawatan atau pembedahan ini adalah semoga tangannya kembali normal. Perencanaan pulang klien belum Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
25
diketahui, sumber-sumber seperti orang yang merawat setelah pulang dan keuangan ada. Perubahan yang diantisipasi setelah pulang adalah kebutuhan pemenuhan ADL dan membutuhkan bantuan dalam semua kegiatan. Klien akan kontrol poli ortopedi/ bedah plastik setelah pulang, namun tidak akan langsung pulang ke rumah tetapi tinggal dikosan karena rumah klien terletak di Bogor dan klien takut jika pulang ke rumah akan sulit kontrol. Hasil laboraturium klien pada tanggal 2 Juni 2013 tertera pada tabel dibawah ini. Pemeriksaan
Hasil Lab
Nilai Normal
Hemoglobin
9,6 g/dL
12,0 – 14,0 g/dL
Hematokrit
29,6 %
40 – 48 %
Jumlah Leukosit
13.570/ mm3
5000 – 10000/ mm3
Jumlah Trombosit
508.000/ mm3
150000 – 400000/ mm3
MCV/ VER
88,1 fL
82 – 92 fL
MCH/ HER
28,6 pg
27 – 31 pg
32,6 g/dL
32 – 36 g/dL
Basofil
0,1 %
0–1%
Eosinofil
3,4%
1–3%
Neutrofil Segmen
72,4%
50 – 70 %
Limfosit
16,7 %
20 – 40 %
Monosit
7,4 %
2–8%
Hematologi:
MCHC/ KHER Diffcount:
Tabel 3.1 Hasil Laboraturium Pasien Sumber: Rekam Medik Pasien, 2002
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
26
3.2 Analisis Data dan Diagnosis Keperawatan Data yang diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien diklasifikasikan dan di analisis untuk merumuskan masalah keperawatan. Masalah keperawatan ini akan menjadi landasan dalam pembuatan diagnosis keperawatan yang diurutkan berdasarkan prioritas. Analisis data selengkapnya terdapat dalam tabel di bawah ini. Masalah
Data Fokus
Keperawatan
DS:
Nyeri akut -
Keluhan klien adalah nyeri pada daerah resipien STSG pada lengan kiri, menjalar hingga seluruh lengan, skala 3 sampai 4.
-
Klien juga merasa nyeri pada paha kiri tempat donor kulit dan nyeri menjalar pada seluruh ekstremitas kiri.
-
Klien mengatakan penyebab nyeri itu adalah karena elastic verban yang dirasa terlalu kencang, kualitas nyeri sedang, durasi 2 sampai 3 jam, dan frekuensi hilang timbul, terutama saat klien bergerak.
-
Faktor pencetus nyeri adalah apabila klien berpindah posisi sehingga klien malas bergerak.
-
Cara menghilangkan nyeri adalah dengan istirahat dan minum obat.
DO: -
klien post ORIF hari ke 26 dan post STSG hari ke 4
-
TTV: TD 110/88 mmHg, Nadi 98 x/menit, RR 24 x/menit, S 36,5C
-
P: saat bergerak Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri S: skala 4 T: saat bergerak, durasi 30-60 menit
-
Klien terlihat mengerutkan muka, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
27
-
Klien terlihat menjaga area yang sakit,
-
Klien terlihat mengalami penyempitan fokus saat nyeri terasa.
-
Klien tampak marah bila ada yang menyentuh atau menggerakkan lengan dan kaki kirinya secara tiba-tiba.
DS:
Gangguan pola -
Klien mengatakan tidak dapat tidur saat malam maupun tidur siang hari.
-
Klien mengatakan ia merasa takut jika tidur karena teringat dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi.
-
Klien juga merasa takut jika ia tidur maka terjadi hal yang tidak diinginkan seperti terjadi bencana gempa atau kebakaran dan klien tidak bisa menyelamatkan diri.
-
Tidur malam klien tidak tentu dan sering terbangun, tidur siang hanya 30 menit selama di rawat di rumah sakit.
-
TTV: TD 110/88 mmHg, Nadi 98 x/menit, RR 24 x/menit, S 36,5C
DO: -
Klien tampak pucat dan sering terlihat melamun.
-
Klien saat ini merasa bosan karena sudah lama di rawat.
-
Klien juga tampak sering kesal dan marah-marah.
DS:
Hambatan -
Klien mengatakan karena nyeri jadi malas bergerak.
mobilitas fisik
-
Klien mengatakan latihan ROM sebenarnya dilakukan oleh dokter rekam medik dan fisioterapis, tetapi tidak rutin setiap hari dilakukan.
-
Klien
juga
menyebutkan
bahwa
perawat
sering
mengingatkan pasien untuk menggerak-gerakkan tubuh, tetapi tidak pernah mengajarkan dan mendampingi saat pasien melakukan latihan. -
Klien mengatakan fisioterapis yang datang hanya duduk di depan tempat tidurnya dan menyuruh ia meremas-remas jari dan sudah selesai.
-
Klien mengatakan selain itu tidak pernah melakukan latihan rentang gerak sendiri dan merasa badannya menjadi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
28
kaku. DO: -
Genggaman tangan kanan kuat tetapi tangan kiri tidak dapat menggenggam.
-
Postur klien tegak membungkuk karena menahan sakit.
-
Refleks tendon dalam kanan positif, tendon kiri tidak dapat terkaji karena nyeri.
-
massa atau tonus otot klien kuat pada ekstremitas kanan dan lemah pada ekstremitas kiri.
-
Tangan kiri terlihat tremor saat diangkat dan rentang gerak klien terbatas.
-
Rentang gerak ekstremitas kanan tidak tidak terbatas tetapi tangan kiri tidak mampu bergerak.
-
Rentang gerak lengan kiri, abduksi sudut 5, fleksi sudut 5
-
Kaki kiri dapat digerakkan tetapi rentang gerak terbatas.
-
Tampak jari tangan kiri bengkak dan tidak dapat digerakkan.
-
Bahu klien juga tidak dapat melakukan fleksi dan ekstensi.
-
Tidak ada deformitas pada klien
-
Kekuatan ototnya 5 pada semua bagian ekstremitas kanan, 0 (nol) pada tangan kiri, 1 pada pada ekstremitas bawah bagian proksimal (daerah donor site STSG) dan 5 pada ekstremitas bawah distal.
DS:
Intoleransi aktifitas -
Klien mengatakan karena nyeri jadi malas bergerak.
DO: -
TTV: TD 110/88 mmHg, Nadi 98 x/menit, RR 24 x/menit, S 36,5C
-
Hasil laboraturium: hemoglobin 9,6 g/dL hematokrit 29,6 %
-
Klien mendapat transfusi darah 237 cc pada 2 Juni 2013
-
Aktivitas klien sehari-hari tergantung bantuan keluarga dan perawat, mobilitas klien turun tempat tidur harus dibantu karena klien merasa nyeri. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
29
-
Klien dapat makan sendiri tapi butuh bantuan untuk diambilkan makanan.
-
Kebutuhan mandi, berpakaian dan toileting dibantu oleh keluarga.
DS:
Kerusakan -
Klien mengatakan saat terjadi kecelakaan kulitnya hancur
integritas kulit
-
Klien mengatakan saat ini kulit tangannya sudah ditambal dengan kulit dari paha
DO: -
Laporan pembedahan klien sudah dilakukan tutup defek raw surface dengan STSG
-
Terpasang elastic verband di lengan kiri dan paha kiri, terdapat rembesan, bau tidak tercium.
-
Rencana ganti balutan besok (4 Juni 2013) dengan dokter bedah plastik
DS:
Risiko penyebaran -
Klien mengatakan kulit di dalam balutannya terasa gatal
-
Klien mengatakan terdapat rembesan pada balutannya.
infeksi
DO: -
klien post ORIF hari ke 26 dan post STSG hari ke 4
-
TTV: TD 110/88 mmHg, Nadi 98 x/menit, RR 24 x/menit, S 36,5C
-
Terpasang elastic verband di lengan kiri dan paha kiri, terdapat rembesan, bau tidak tercium.
-
Hasil laboraturium jumlah leukosit 13.570/ mm3, Basofil 0,1 %, Eosinofil 3,4%, Neutrofil 72,4%, Segmen Limfosit16,7 %, Monosit7,4 %
-
Jari tangan kiri terlihat bengkak
Tabel 3.2 Analisis Data Sumber: Data Primer dan Sekunder, 2013
Prioritas diagnosis keperawatan: 1. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
30
2. Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG 3. Ganggan pola tidur b.d beban psikologis akibat kecelakaan lalu lintas. 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan yang diberikan kepada Ny. S sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah ditetapkan. Rencana asuhan keperawatan tersebut dibuat berdasarkan hasil data subjektif dan objektif yang ditemukan pada klien. Rencana asuhan keperawatan yang lengkap terdapat dalam lampiran 3. Rencana asuhan keperawatan dibuat untuk diagnosis keperawatan pertama yaitu hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi. Tujuan pemberian asuhan keperawatan ini adalah agar klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal dan sesuai dengan toleransi klien dalam 6 x 24 jam. Kriteria evaluasi dari penyelesaian diagnosis ini diantaranya klien dapat termotivasi untuk melakukan latihan pergerakan sendi, nyeri berkurang dan lebih rileks, terjadi peningkatan tonus otot, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Rencana intervensi yang diberikan diantaranya mengajarkan teknik relaksasi seperti napas dalam dan masase punggung, mengajarkan dan mengevaluasi latihan Range of Motion (ROM) dan membantu klien untuk melakukan ambulasi. Diagnosis keperawatan kedua yaitu risiko infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG diselesaikan melalui rencana asuhan keperawatan yang berfokus pada pencegahan infeksi. Kriteria evaluasi untuk diagnosis keperawatan ini diharapkan tidak terjadi penyebaran infeksi setelah intervensi selama 6 x 24 jam yang ditandai dengan luka operasi tidak gatal dan penyembuhan luka baik. Intervensi yang dapat diberikan diantaranya dengan memotivasi dan mengajarkan klien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri dan melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. Gangguan pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan sebagai diagnosis keperawatan ketiga diselesaikan dengan tujuan agar pola tidur klien tidak terganggu setelah intervensi selama 3 x 24 jam. Kriteria evaluasi dari rencana intervensi ini diantaranya adalah klien mengatakan dapat memulai tidur kembali dengan mudah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
31
bila terbangun, jumlah jam tidur meningkat, dan merasa lebih segar saat bangun. Klien juga diharapkan dapat terlihat lebih tenang dan tanda-tanda vital klien dalam batas normal. Rencana intervensi yang diberikan adalah dengan memberikan lingkungan yang tenang serta memberikan relaksasi melalui napas dalam, guided imagery, dan masase punggung. 3.4 Implementasi dan Evaluasi Implementasi yang diberikan pada klien sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat dengan modifikasi sesuai kondisi klien saat pemberian intervensi. Implementasi dan evaluasi secara keseluruhan terintegrasi dalam catatan perkembangan yang terlampir pada lampiran 4. Berikut akan dibahas secara singkat mengenai implementasi dan evaluasi asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny. S. Implementasi yang diberikan pada Ny. S untuk diagnosis keperawatan pertama adalah dengan mengobservasi tanda-tanda vital, memberikan medikasi untuk mengurangi nyeri, mengkaji kekuatan otot, mengelevasi tangan kiri, dan mengajarkan latihan ROM. Hasil yang diperoleh setelah intervensi selama 6 hari adalah nyeri klien berkurang dari skala awal 4 dan setelah intervensi menjadi 2. Kekuatan otot klien juga bertambah dari awalnya tangan kiri klien tidak dapat melawan gravitasi sampai pada hari ke enam klien dapat mengangkat tangan kirinya dan melawan gravitasi, tetapi belum mampu diberikan tahanan. Rentang gerak klien juga bertambah dimana awalnya klien tidak mampu menggerakkan tangan kirinya dan pada hari ke enam klien sudah dapat melakukan fleksi dan abduksi pada bahu kiri. Klien juga sudah dapat melakukan oposisi pada jari-jari tangan kiri walau bengkak masih ada. Diagnosis keperawatan kedua yaitu risiko infeksi diberikan intervensi dengan mengajarkan cuci tangan kepada klien dan keluarga terutama dengan teknik 6 langkah dan menerapkan 5 moments mencuci tangan. Klien dan keluarga dapat melakukan cuci tangan 6 langkah dengan benar walau klien harus dibantu untuk mencuci tangan karena tangan kirinya terbalut elastic verban. Klien dan keluarga juga sudah menerapkan lima waktu mencuci tangan walau harus sering Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
32
diingatkan. Perawatan luka operasi sebagai port di entri agen infeksi dilakukan dengan teknik aseptik dan berkolaborasi dengan dokter bedah plastik. Selama delapan hari dilakukan dua kali penggantian balutan. Kulit resipien STSG pada penggantian balutan kedua tampak berwarna gelap, saat balutan diangkat terlihat kulit sudah take 90%, sisanya masih berwarna merah 7% dan 3% berwarna merah muda, tampak slough di sekitar bagian bawah. Klien kemudian harus melakukan rawat jalan untuk penggatian balutan selanjutnya. Gangguan pola tidur yang dialami klien dapat teratasi pada hari ke tiga perawatan. Implementasi yang diberikan pada klien yaitu mengajarkan teknik relaksasi napas dalam, mengajarkan teknik distraksi dengan guided imagery dan hipnosis lima jari, dan melakukan masase punggung. Hari ke tiga klien mengatakan semalam sudah dapat tidur nyenyak dari pukul 22.00 sampai pukul 05.00 dan terbangun 2 x karena BAK tetapi dapat melanjutkan tidur lagi. Klien juga mengatakan merasa segar saat bangun dan ketakutan akibat kecelakaan sudah tidak dirasakan lagi. Klien terlihat lebih bersemangat dan tenang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB IV ANALISIS SITUASI
Bab ini membahas mengenai analisis masalah keperawatan yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas dengan konsep terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dan konsep terkait trauma siku. Analisis kasus terkait diagnosa yang telah ditegakkan, rencana asuhan keperawatan, dan implementasi serta evaluasi yang telah diberikan juga dibahas dalam bab ini. Bab ini juga mencakup analisis mengenai latihan ROM sebagai Evidence Based Practice (EBP). Alternatif solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan efektivitas latihan ROM sebagai salah satu intervensi keperawatan pada pasien trauma juga dibahas dalam bab ini. 4.1 Analisis Kasus Terkait KKMP Ny. S (51 tahun) merupakan korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kota Bogor. Indonesia sebagai salah satu negara dengan pendapatan rendah hingga menengah juga memiliki jumlah kasus kecelakaan yang sangat banyak, yaitu sebanyak 108.696 kasus pada tahun 2011 (BPS, 2013). WHO juga menyebutkan peningkatan kendaraan bermotor juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan bermotor yang fatal di Indonesia (WHO, 2013). Kecelakaan bermotor ini menimbulkan banyak konsekuensi pada korbannya terutama terkait dengan kesehatan. Faktor risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas yang terjadi di perkotaan bermacam-macam. Moskal, Martin, & Laumon (2012) menganalisis faktor risiko terbesar terjadinya cedera pada kecelakaan kendaraan bermotor ditemukan bahwa laki-laki, tidak menggunakan helm, mengonsumsi alkohol, usia terlalu tua atau muda berisiko lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan. Hal ini tidak sesuai dengan Ny. S yang berjenis kelamin wanita, tidak mengonsumsi alkohol dan berada pada usia pertengahan.
33
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
34
Pasien Ny. S (51 tahun) merupakan pasien yang mengalami trauma siku akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi saat membonceng sepeda motor. Kecelakaan lalu lintas akibat sepeda motor dapat menyebabkan trauma pada bagian tubuh terutama ekstremitas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan penelitian Conroy, et al. (2007) yang menyebutkan sebanyak 24,8% responden dari data Crash Injury Research Enginering Network (CIREN), mengalami cedera pada ekstremitas atas. Penelitian lain yang dilakukan Landy et al. (2010) terhadap 336 kasus kecelakaan sepeda motor juga menyebutkan fraktur ekstremitas atas sering ditemukan, yaitu fraktur humerus (11%), ulna (7%), radius (6%), tangan (4%), dan pergelangan tangan (2%). Trauma siku merupakan jenis trauma yang dialami Ny. S. Peran perawat terhadap salah satu masalah pada masyarakat perkotaan ini sangat besar. Potter & Perry (2006) menyebutkan bahwa mengendarai kendaraan bermotor merupakan salah satu faktor penentu kesehatan seseorang. Perawat berperan dalam tiga tingkat pencegahan terkait kecelakaan lalu lintas sebagai masalah kesehatan masyarakat perkotaan. Tiga tingkat pencegahan tersebut adalah pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan primer adalah pencegahan yang sebenarnya, pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi penyakit dan gangguan fungsi, dan diberikan kepada klien yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan primer menurut Potter & Perry (2006) meliputi dua hal, yaitu peningkatan kesehatan dan perlindungan khusus yang meliputi imunisasi dan penyediaan nutrisi. Peningkatan kesehatan dalam pencegahan primer ini meliputi pendidikan kesehatan dalam hal ini mengenai penyuluhan tentang safety riding bagi para pengendara kendaraan bermotor. Pemeriksaan kesehatan secara rutin seperti pemeriksaan mata terhadap pengendara kendaraan bermotor juga dapat menjadi pencegahan primer untuk mendeteksi secara dini masalah kesehatan yang ada. Perlindungan khusus juga diperlukan pada pengguna kendaraan bermotor sebagai tindak pencegahan kecelakaan lalu lintas yaitu dengan menggunakan alat perlindungan seperti helm, jaket, dan sarung tangan serta menaati peraturan dan rambu lalu lintas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
35
Pencegahan sekunder berfokus pada individu yang mengalami masalah kesehatan atau penyakit, dan individu yang berisiko mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan sekunder terbagi menjadi diagnosis dini dan tindakan segera dan keterbatasan ketidakmampuan (Potter & Perry, 2006). Aktivitas pencegahan sekunder dilakukan melalui pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat. Tindakan keperawatan pada pasien yang mengalami kecelakaan pada fase akut adalah dengan mengkaji berdasarkan urutan primary dan secondary survey serta memberikan intervensi segera sesuai hasil pengkajian seperti menghentkan perdarahan pada luka terbuka, memasang bidai atau mengimobilisasi fraktur, dan memberikan cairan jika terjadi syok. Perawat memberikan intervensi perioperatif pada pasien yang mengalami kecelakaan dan membutuhkan intervensi bedah. Perawatan preoperatif termasuk pemberian edukasi mengenai pre dan post operasi dilaksanakan perawat untuk menurunkan kecemasan klien. Perawatan post operatif yang komprehensif juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien dan mencegah komplikasi lebih lanjut dari adanya trauma akibat kecelakaan. Pencegahan tersier dilakukan ketka terjadi kecacatan atau ketidakmampuan yang permanen dan tidak dapat disembuhkan. Pencegahan tersier terdiri dari cara meminimalkan akibat dari penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang bertujuan untuk mencegah komplikasi dan penurunan kondisi kesehatan (Potter & Perry, 2006). Perawatan pada tingkat ini bertujuan untuk membantu klien mencapai tingkat fungsi semaksimal mungkin. Pasien kecelakaan dapat mengalami trauma seperti fraktur tulang yang perlu imobilisasi dalam waktu lama. Intervensi yang dilakukan untuk rehabilitasi adalah dengan melakukan latihan sesuai dengan program terapi yang dibutuhkan. 4.2 Analisis Kasus Trauma siku yang terjadi pada Ny. S berdampak pada tulang, kulit, otot, dan pembuluh darah. Hal ini terjadi karena saat Ny. S terpental dari sepeda motor, siku kiri Ny. S bergesek dengan ban belakang kontainer yang sedang berjalan dan terbentur dengan aspal jalan. Ny. S mengalami fraktur tertutup lateral epicondyle, ruptur pada kulit, otot brachii, dan otot brakioradialis serta trombosis arteri Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
36
radialis kiri akibat gesekan dan tekanan besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Montague, Watson, & Herbert (2005) yang menyebutkan bahwa tulang akan mengalami fraktur atau patah ketika kapasitasnya untung mengabsorbsi energi terlampaui dan biasanya diikuti oleh cedera traumatik. Pasien kemudian dibawa ke RSCM dan dilakukan penatalaksanaan bedah. Penatalaksanaan bedah yang dilakukan pada pasien berfungsi untuk memperbaiki cedera yang terjadi. Tindakan bedah yang dilakukan pada pasien adalah operasi evakuasi hematoma, Open Reduction and nternal Fixation (ORIF) K-Wire lateral epicondyle humerus kiri, repair muscle belly brachiocondialis kiri dan muscle belly fleksor, dan bypass graft arteri radialis. Hematoma terjadi akibat terjadi perdarahan pada jaringan yang cedera dan perlu segera di evakuasi dalam 48 jam untuk menghindari nekrosis avaskular kartilago, pembentukan (Smeltzer & Bare, 2002; Graber, Toth, & Hertring,, 2006 ). Fraktur yang terjadi pada siku Ny. S dilakukan penanganan awal dengan operasi ORIF K-Wire. ORIF menjadi pilihan utama untuk penatalaksanaan fraktur karena lebih efektif untuk
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Hal ini sesuai dengan penelitian Boraiah et al. (2009) yang mendapatkan hasil 17 dari 18 pasien fraktur acetabular yang dilakukan ORIF dan Total Hip Arthroplasty (THA) mengalami penyembuhan yang sukses. ORIF KWire seperti yang digunakan pada Ny. S merupakan salah satu jenis reduksi terbuka pada fraktur dengan menggunakan kawat yang dilakukan segera untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya (Smeltzer & Bare, 2002). Hasil rontgen lengan kiri setelah ORIF ini dapat dilihat pada lampiran 2. Ny. S juga menjalani operasi Split Thickness Skin Graft (STSG) untuk mengatasi luka abrasi pada kulit di sekitar siku. Ny. S menjalani operasi pengangkatan debridemen sebelum dilakukan STSG untuk membuang jaringan nekrotik di kulit siku kiri. Kulit donor yang diambil untuk cangkok kulit ini adalah kulit di bagian proksimal paha kiri. Hal ini sesuai dengan kriteria kulit donor menurut Smeltzer & Bare (2002), yaitu mempertimbangkan efek kosmetik pada lokasi donor setelah kesembuhan terjadi sehingga lokasi ini dipilih dari tempat yang tersembunyi. Kulit yang sudah dicangkok kemudian ditutup dengan menggunakan balutan yang Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
37
tebal dan balutan sirkular untuk memberikan tekanan yang sama sehingga kulit dapat melekat pada dasar kulit (graft bed). Keluhan pasien yang dialami pada post ORIF hari ke 26 dan post STSG hari ke 4 adalah nyeri pada daerah siku kiri dan paha kiri. Nyeri yang terjadi pada Ny. S terjadi di siku kiri tempat terjadinya fraktur dan resipien skin graft, sedangkan paha kiri merupakan donor skin graft. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter & Perry (2006) bahwa nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan perawat saat mengkaji nyeri. Nyeri yang dialami Ny. S pada bagian siku menjalar hingga seluruh lengan dan nyeri pada donor site di paha kiri menjalar hingga seluruh kaki kiri. Faktor pencetus nyeri yang diungkapkan Ny. S adalah saat ia bergerak dan nyeri akan timbul terus menerus. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan substansi seperti histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung dalam reseptor yang berespon terhadap bahaya (nosiseptor). Kombinasi substansi dengan reseptor nyeri yang mencapai ambang nyeri menyebabkan terjadinya aktivasi neuron nyeri yang menyebarkan impuls saraf menyebar sepanjang saraf perifer aferen. Serabut saraf perifer terbagi dua yaitu serabut A yang berperan untuk mengirimkan sensasi tajam, terlokalisasi dan jelas, dan serabut C yang menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, viseral, menjalar, dan terus menerus (Potter & Perry, 2006; Price & Wilson, 2007). Ny. S terlihat marah bila ada yang menyentuh atau menggerakkan lengan dan kaki kirinya secara tiba-tiba. Ny. S juga terlihat mengerutkan muka, menjaga area yang sakit, dan mengalami penyempitan fokus saat nyeri terasa. Hal ini sesuai dengan respon perilaku seseorang saat mengalami nyeri seperti tertulis dalam Potter & Perry (2006). Tanda-tanda vital saat nyeri adalah tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 92 x/menit, frekuensi pernapasan 24 x/menit. Nyeri pada Ny. S juga dikaji menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan Ny. S mengatakan saat itu skala nyerinya empat. VAS digunakan karena skala ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry, 2006).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
38
Ny. S mengatakan karena nyeri menjadi malas bergerak karena takut nyerinya terasa. Ny. S juga mengatakan tidak pernah melakukan latihan rentang gerak dan merasa badannya menjadi kaku. Hal ini sesuai dengan pernyataan Potter & Perry (2006) yang menyebutkan pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin. Faktor lain yang menyebabkan Ny. S jarang bergerak dan tidak melakukan latihan rentang gerak rutin adalah kurangnya dukungan bagi pasien untuk melakukan latihan. Ny. S mengatakan latihan ROM sebenarnya dilakukan oleh dokter rekam medik dan fisioterapis, tetapi tidak rutin setiap hari dilakukan. Ny. S juga menyebutkan bahwa perawat sering mengingatkan pasien untuk menggerakgerakkan tubuh, tetapi tidak mengajarkan dan mendampingi saat pasien melakukan latihan. Ny. S mengatakan fisioterapis yang datang hanya duduk di depan tempat tidurnya dan menyuruh ia meremas-remas jari dan sudah selesai. Ny. S mengatakan pula selain itu tidak pernah melakukan latihan rentang gerak sendiri dan merasa badannya menjadi kaku. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chan et al. (2009) pada pasien yang sudah menjalani pembedahan ortopedi bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan fisioterapis, motivasi pasien untuk mengikuti penatalaksanaan, dan kepatuhan pasien. Postur Ny. S membungkuk saat berjalan karena menjaga area yang sakit. Tangan kiri terlihat tremor saat diangkat dan rentang gerak pasien terbatas. Rentang gerak ekstremitas kanan tidak tidak terbatas tetapi tangan kiri tidak mampu bergerak. Rentang gerak lengan kiri, abduksi sudut 5, fleksi sudut 5. Kaki kiri dapat digerakkan tetapi rentang gerak terbatas. Tampak jari tangan kiri bengkak dan tidak dapat digerakkan. Bahu pasien juga tidak dapat melakukan fleksi dan ekstensi. Tidak ada deformitas pada pasien dan kekuatan ototnya 5 pada semua bagian ekstremitas kanan, 0 (nol) pada tangan kiri, 1 pada pada ekstremitas bawah bagian proksimal (daerah donor site STSG) dan 5 pada ekstremitas bawah distal. Diagnosis keperawatan pertama yang diangkat adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada daerah post operasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah mengobservasi tanda-tanda vital, memberikan medikasi untuk mengurangi nyeri, mengkaji kekuatan otot, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
39
mengimobilisasi lengan kiri, mengajarkan, memotivasi dan mendampingi pasien untuk latihan ROM pada tubuh yang tidak sakit, mengajarkan teknik relaksasi seperti napas dalam dan masase punggung, dan membantu pasien untuk melakukan ambulasi. Imobilisasi dengan menggunakan back slab dan balutan sirkular juga dilakukan untuk mengurangi nyeri. Hal ini sesuai dengan pendapat Lucas (2005, dalam Drozd, Miles, & Davis, 2009) bahwa selain menggunakan obat, tindakan nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan bebat. NSHCC Wound Care Comitte (2010) juga menyebutkan bahwa resipien skin graft harus diimobilisasi selama lima hari dan pada banyak kasus backslab digunakan untuk mengurangi pergerakan ekstremitas dan friksi diantara graft dan daerah pembedahan. Sumber ini juga menyebutkan bahwa elevasi lengan dengan menempatkan bantal di bawah lengan perlu dilakukan untuk mendukung lengan dan meningkatkan kenyamanan. Latihan ROM dilakukan dengan metode pengajaran dan pendampingan serta motivasi kepada pasien untuk melakukannya. Respon Ny. S positif untuk mengikuti latihan ROM ini ditandai dengan meningkatnya motivasi untuk melakukan latihan ROM sesuai jadwal, yaitu pagi dan sore hari. Pembahasan mengenai latihan ROM akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab selanjutnya. Hasil dari latihan ini adalah peningkatan Kekuatan otot pasien juga bertambah dari awalnya tangan kiri pasien tidak dapat melawan gravitasi sampai pada hari ke enam pasien dapat mengangkat tangan kirinya dan melawan gravitasi, tetapi belum mampu diberikan tahanan. Rentang gerak pasien juga bertambah dimana awalnya pasien tidak mampu menggerakkan tangan kirinya dan pada hari ke enam pasien sudah dapat melakukan fleksi dan abduksi pada bahu kiri. Pasien juga sudah dapat melakukan oposisi pada jari-jari tangan kiri walau bengkak masih ada. Teknik relaksasi napas dalam, masase punggung, dan pemberian medikasi yaitu Mefinal dan Ultracet diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien sehingga nyeri menjadi berkurang. Ny. S mengatakan merasa lebih rileks dan tenang setelah diberikan intervensi tersebut. Penelitian Hernandez-Reif et al. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
40
(2001) dan Bell (2008) membuktikan bahwa terapi masase efektif mengurangi nyeri dan meningkatkan range of motion pada pasien low back pain. Kasus pada penelitian (low back pain) dengan kasus yang dialami Ny. S (trauma siku) memang berbeda tetapi efek terapi yang diberikan sama. Hal ini dapat terjadi karena intervensi yang disebutkan di atas dapat menngkatkan pelepasan mediator kimiawi seperti endorfin dan dinorfin yang berperan untuk menghambat impuls nyeri (Potter & Perry, 2006). Hasil yang diperoleh setelah intervensi selama 6 hari adalah nyeri pasien berkurang dari skala awal 4 dan setelah intervensi menjadi 2. Diagnosis keperawatan kedua yang diangkat adalah risiko penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG. Diagnosis ini diangkat berdasarkan data bahwa Ny. S mengalami luka terbuka pada siku dan paha kiri. Risiko penyebaran infeksi dapat terjadi karena luka dapat menjadi port di entri mikroorganisme dan benda asing ke dalam tubuh. Hasil laboraturium Ny. S menunjukkan jumlah leukosit mengalami peningkatan, yaitu leukosit 13.570/ mm3, Peningkatan jumlah leukosit menandakan adanya infeksi (DeLaune & Ladner, 2002). Tanda lain dari infeksi pada Ny. S adalah jari tangan kiri terlihat bengkak. Integritas kulit yang rusak walaupun sudah dibalut tetap rentan terhadap terjadinya infeksi lebih lanjut. Tindakan keperawatan yang diberikan untuk mengatas diagnosis kedua adalah memotivasi dan mengajarkan pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri, melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik, imobilisasi daerah fraktur, mengajarkan cuci tangan kepada pasien dan keluarga terutama dengan teknik 6 langkah dan menerapkan 5 moments. Imobilisasi pada siku kiri dilakukan pada Ny. S untuk memfasilitasi penyatuan skin graft. Skin graft sebelumnya ditutup dengan supratul dan kasa lembab yang susun sedemikian rupa sehingga penyebaran tekanan merata. Imobilisasi kemudian dilakukan dengan menggunakan back slab dan balutan sirkuler. Hal ini sesuai dengan NSHCC Wound Care Comitte (2010) juga menyebutkan bahwa resipien skin graft harus diimobilisasi selama lima hari dan pada banyak kasus backslab digunakan untuk mengurangi pergerakan ekstremitas dan friksi diantara graft dan daerah pembedahan. Sumber ini juga menyebutkan bahwa elevasi lengan dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
41
menempatkan bantal di bawah lengan perlu dilakukan untuk mendukung lengan dan meningkatkan kenyamanan. Perawatan luka operasi sebagai port di entri agen infeksi dilakukan dengan teknik aseptik dan berkolaborasi dengan dokter bedah plastik. Selama delapan hari dilakukan dua kali penggantian balutan. Kulit resipien STSG pada penggantian balutan kedua tampak berwarna gelap, saat balutan diangkat terlihat kulit sudah take 90%, sisanya masih berwarna merah 7% dan 3% berwarna pink, tampak slough di sekitar bagian bawah. Hal ini tidak sesuai dengan pedoman Skin Graft Management Guidelines oleh NSHCC Wound Care Comitte (2010) yang menyebutkan skin graft biasanya take 100% dan telah menyatu pada hari ke lima. Faktor lain seperti nutrisi dan perfusi jaringan yang adekuat dapat mempengaruhi proses penyatuan skin graft dengan graft bed. Pasien kemudian harus melakukan rawat jalan untuk penggatian balutan selanjutnya. Diagnosis keperawatan ketiga adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan beban psikologis pasca kecelakaan. Implementasi yang diberikan pada pasien yaitu mengajarkan teknik relaksasi napas dalam, mengajarkan teknik distraksi dengan guided imagery dan hipnosis lima jari, dan melakukan masase punggung. Teknik yang dapat digunakan untuk membantu tidur adalah imajinasi terbimbing (guided imagery) yaitu dimana seseorang menggunakan semua indera untuk merasakan sensasi relaksasi. Selama imajinasi terbimbing, pasien berkonsentrasi langsung pada gambar atau adegan menyenangkan yang bertujuan untuk membuat pasien lebih merasa rileks (DeLaune & Ladner, 2002). Masase punggung dapat menstimulasi sirkulasi pasien dan meningkatkan relaksasi otot, dan menurunkan ketegangan otot sekaligus menjadi kesempatan bagi perawat untuk melakukan pengkajian kulit (Brunner & Suddart, 2002). Masase yang dilakukan pada pasien menggunakan losion yang berguna sebagai pelumas kulit selama masase. Kombinasi teknik relaksasi tersebut dapat membuat gangguan pola tidur pasien teratasi pada hari ke tiga. Pasien mengatakan semalam sudah dapat tidur nyenyak dari pukul 22.00 sampai pukul 05.00 dan terbangun 2 x karena BAK tetapi dapat melanjutkan tidur lagi. Pasien juga mengatakan merasa segar saat bangun dan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
42
ketakutan akibat kecelakaan sudah tidak dirasakan lagi. Pasien terlihat lebih bersemangat dan tenang. 4.4 Analisis Evidence Based Practice Pasien yang mengalami fraktur dan pasien post STSG memerlukan imobilisasi. Imobilisasi pada pasien fraktur berfungsi untuk menjaga agar penyembuhan tulang dapat berjalan dengan normal. Pergerakan pada tulang saat proses penyembuhan dapat menimbulkan cedera lebih lanjut pada fraktur. Pasien yang menjalani STSG juga harus diimobilisasi karena skin graft harus terfiksasi kuat (terimobilisasi) sehingga posisinya dipertahankan pada lokasi resipien (Brunner & Suddart, 2002). Komplikasi yang terjadi setelah imobilisasi dengan splint adalah kekakuan pada sendi di sekitar tempat terjadinya trauma (Boyd, Benjamin, & Maj, 2009). Bengkak juga dapat terjadi pada ujung ekstremitas yang menyebabkan menurunnya rentang gerak sendi pada daerah tersebut. Rehabilitasi perlu dilakukan untuk mencegah kekakuan dan mengembalikan rentang gerak sendi di sekitar daerah trauma. Range of Motion (ROM) merupakan salah satu contoh dari latihan isokinetik yang berfungsi untuk menjaga mobilitas (DeLaune & Ladner, 2002). Latihan ROM dapat dilakukan pasif atau aktif untuk memfasilitasi peningkatan fleksibilitas atau kekuatan (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Latihan ROM sebagai terapi modalitas terbagi menjadi empat jenis. Latihan Passive Range of Motion (PROM) adalah aplikasi kekuatan eksternal tanpa kontraksi otot yang aktif (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Kekuatan eksternal tersebut dapat berasal dari terapis dan peralatan mekanik. Bentuk latihan ini berguna untuk mencegah kontraktur sendi, meningkatkan atau menjaga ROM sendi normal, dan aman digunakan untuk otot yang mengalami paralisis. PROM juga berfungsi untuk mengurangi adhesi dan menstimulasi penyembuhan, menghasilkan fiksasi yang lebih kuat pada struktur yang sembuh. Continous Passive Motion (CPM) adalah salah satu alat yang dapat digunakan. ROM aktif asistif adalah kontraksi aktif otot dengan bantuan dari tekanan eksternal seperti terapis, alat mekanik atau ekstremitas yang lain. Asisten Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
43
membantu mendukung berat tungkai sehingga resistensi terhadap gravitasi terbentuk. Aktif asistif ROM dapat membantu meningkatkan fleksibilitas, kekuatan otot, dan meningkatkan koordinasi otot. Latihan aktif asistif ini dapat dilakukan dengan bantuan terapis atau pasien sendiri. Pasien dapat menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk membantu bergerak. ROM aktif adalah kontraksi otot aktif melawan tekanan gravitasi (Maher, Salmond, & Pellino, 2002). Latihan aktif meningkatkan kekuatan otot dan fungsi ekstremitas keseluruhan. Pasien yang dapat melakukan ROM aktif kadang lebih merasa sedikit nyeri dibanding dengan ROM pasif atau aktif asistif. Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau secara mandiri. Latihan Range of Motion (ROM) adalah salah satu terapi modalitas pada pasien kecelakaan yang mengalami trauma post operasi. Latihan ini berfungsi untuk mengembalikan fungsi rentang pergerakan pasien setelah dilakukan imobilisasi pada daerah yang fraktur. Penelitian yang dilakukan Bland et al. (2008) menyebutkan bahwa pembatasan ROM aktif dapat membuat penurunan fungsi tangan Salah satu penelitian yang membahas mengenai latihan ROM sebagai salah satu terapi pada pasien fraktur siku adalah penelitian yang dilakukan MacDermid et al. (2012). Penelitian tersebut melibatkan 315 terapis tangan di Amerika Serikat dan Kanada dimana sebanyak 80% dari terapis tersebut memberikan perawatan langsung pada pasien di daerah urban. Selama fase akut tahap penyembuhan fraktur siku, 87% terapis selalu menggunakan aktif ROM pada bagian tubuh pasien yang sehat dan 75% dengan teratur menggunakan ROM aktif asistif. ROM pasif (32%) dan peregangan (26%) jarang digunakan pada fase ini. Sebanyak 83% terapis tangan juga menilai baik ROM aktif maupun ROM aktif asistif merupakan terapi modalitas yang sangat efektif pada pasien fraktur siku. Terapis lebih berfokus pada pengembalian fungsi dan manajemen mengurangi nyeri dan edema selama tahap rehabilitasi. 99% terapis yang telah disurvey sebagian besar setuju untuk melakukan ROM aktif pada siku, 98% setuju dengan peregangan siku, 97% setuju menggunakan latihan peregangan pada daerah sekitar siku, latihan fungsional (97%), ROM pasif (95%), dan ROM aktif asistif (95%). Hal tersebut Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
44
sesuai dengan protokol untuk rehabilitasi fraktur siku yang dibuat oleh Bano et al (2006). Latihan ROM yang diberikan kepada Ny. S menggunakan kombinasi dari berbagai jenis latihan ROM. Latihan yang diberikan pada tangan kiri adalah latihan ROM pasif pada hari pertama dan kedua, dan dilanjutkan dengan latihan aktif asistif dengan dibantu tangan kanan pasien yang sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Maher, Salmond, & Pellino (2002) yang menyatakan bahwa ROM aktif asistif adalah kontraksi aktif otot dengan bantuan dari tekanan eksternal seperti terapis, alat mekanik atau ekstremitas yang lain. ROM aktif asistif juga dilakukan pada kaki kiri pasien karena pasien sulit menggerakkan akibat nyeri pada daerah donor STSG. ROM aktif diajarkan kepada pasien untuk bagian leher dan ekstremitas kanan. Pasien dapat melakukan semua gerakan latihan ROM aktif pada ekstremitas yang sehat. Keterbatasan rentang gerak terlihat pada ekstremitas kiri. Setelah intervensi selama enam hari, hasil yang diperoleh dari latihan ROM yang dilakukan cukup signifkan. Pasien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 10, tetapi jari telunjuk menyentuh jempol. Tangan kiri sudah tampak lebih lemas. Pasien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kanan. Pasien dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri sudah dapat digerakkan bebas. Kekuatan otot tangan kiri berada pada poin 3 dan kak kiri berada pada poin 4. 4.5 Alternatif Pemecahan Masalah Latihan ROM sebagai salah satu terapi modalitas bagi pasien yang mengalami trauma sangat penting untuk dilakukan. Pelaksanaan di ruangan berdasarkan wawancara dengan beberapa pasien dan observasi diketahui bahwa perawat tidak ada yang mengajarkan secara langsung atau memotivasi pasien untuk melakukan latihan ROM. Perawat menyuruh pasien menggerak-gerakkan tangannya saja, Latihan ROM diberikan oleh fisioterapis dan dokter rehabilitasi medik, tetapi tidak dilakukan setiap hari.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
45
Hasil latihan ROM yang dilakukan pada pasien trauma siku telah dapat meningkatkan rentang gerak pada bahu, pergelangan tangan, dan jari-jari. Latihan ini juga perlu diterapkan bagi pasien dengan trauma pada bagian lain terutama ekstremitas. Pengetahuan perawat mengenai cara melakukan latihan ROM ini perlu ditingkatkan untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan dan melatih pasien melakukan ROM. Perawat perlu menerapkan latihan ROM sebagai salah satu terapi modalitas yang memiliki banyak manfaat bagi pasien bedah yang menjalani imobilisasi. Perawat perlu menyediakan waktu untuk memberikan edukasi kepada pasien tentang cara melakukan ROM dan memotivasi pasien untuk melakukan latihan tersebut mandiri sesuai dengan batas-batas yang diijinkan. Latihan ini hendaknya menjadi salah satu intervensi keperawatan yang diterapkan dan tertulis dalam rencana intervensi dan selalu dilakukan perawat. Perawat juga hendaknya berkolaborasi dengan dokter bedah ortopedi atau rehabilitasi medik dan fisioterapis terkait dengan pelaksanaan ROM pada pasien. Salah satu alasan lain perawat tidak memberikan latihan ROM adalah kendala waktu yang tidak cukup saat dinas karena perawat hanya sendirian. Alternatif pemecahan masalah ini adalah perawat dapat memberikan latihan ROM pada pasien pre operasi sehingga saat pasien post operasi sudah dapat melakukannya. Perawat juga dapat membuat jadwal latihan ROM ini, misal setiap pagi dan sore hari satu jam setelah makan. Hal ini dapat membuat pasien mengingat kapan harus melakukan latihan ini. Nyeri dapat menjadi hambatan bagi perawat untuk memotivasi pasien melakukan latihan ROM. Strategi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan latihan setelah pemberian analgesik. Pemberian terapi modalitas untuk menghilangkan nyeri sebelum latihan juga dapat dilakukan seperti distraksi dengan mendengarkan musik dan latihan relaksasi napas dalam. Hal ini dapat meningkatkan motivasi pasien melakukan ROM karena nyeri sebagai salah satu hambatan sudah berkurang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang banyak terjadi di masyarakat perkotaan dan masalah kesehatan yang paling banyak timbul adalah trauma, terutama fraktur pada ekstremitas. b. Fraktur ekstremitas yang dialami pasien kelolaan adalah trauma siku. Masalah keperawatan yang timbul dari trauma siku adalah hambatan mobilitas fisik akibat nyeri, risiko penyebaran infeksi akibat kerusakan integritas kulit, dan gangguan pola tidur akibat beban psikologis setelah kecelakaan. Intervensi yang diberikan diantaranya imobilisasi, latihan ROM, teknik relaksasi napas dalam, masase punggung, distraksi, perawatan luka, dan elevasi lengan. Hasil intervensi menunjukkan masalah gangguan pola tidur teratasi dan masalah keperawatan lain teratasi sebagian. c. Evidence based practice yang diterapkan pada pasien ini adalah latihan ROM. Latihan ROM dapat menjadi salah satu terapi modalitas yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik pada pasien trauma siku untuk mencegah kekakuan dan meningkatkan rentang gerak. 5.2 Saran Perawat perlu menerapkan latihan ROM sebagai salah satu terapi modalitas yang memiliki banyak manfaat bagi pasien bedah yang menjalani imobilisasi. Perawat perlu menyediakan waktu untuk memberikan edukasi kepada pasien tentang cara melakukan ROM dan memotivasi pasien untuk melakukan latihan tersebut mandiri sesuai dengan batas-batas yang diijinkan. Latihan ini hendaknya menjadi salah satu intervensi keperawatan yang diterapkan dan tertulis dalam rencana 46
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
47
intervensi dan selalu dilakukan perawat. Perawat juga hendaknya berkolaborasi dengan dokter bedah ortopedi atau rehabilitasi medik dan fisioterapis terkait dengan pelaksanaan ROM pada pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). (2013). Jumlah Kecelakaan, Koban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2011. Diunduh dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17&n otab=14 pada 16 Juni 2013 Bell, J. (2008). Massage therapy helps to increase range of motion, decrease pain and assist in healing a client with low back pain and sciata symptoms. J Bodyw Mov Ther. 2008 Jul;12(3):281-9. doi: 10.1016/j.jbmt.2008.01.006. Epub 2008 Apr 10 diunduh pada 1 Juli 2013 Bland, M. D., et al. (2008). Restricted active range of motion at the elbow, forearm, wrist, or fingers decreases hand function. J HAND THER. 2008;21:268–75. Diunduh pada 16 Juni 2013 Boraiah, S., et al. (2009). Open reduction internal fixation and primary total hip arthroplasty of selected acetabular fractures. J Orthop Trauma. 2009 Apr, 23(4): 243-8 doi: 10.1097/BOT.0b013e3181923fb8. Brunner & Suddarth (2002). Text book of Medical Surgical Nursing, Alih Bahasa: dr. H. Y. Kuncara (2002). Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC. Cahyadi, Y. & Soegandhi. (2008). Variasi cedera pada kecelakaan lalulintas antara kendaraan roda dua dan empat yang dikirim ke instalasi forensik RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Chan, et al. (2009). Patient Motivation and Adherence to Postsurgery Rehabilitation Exercise Recommendations: The Influence of Physiotherapists’ Autonomy-Supportive Behaviors. Arch Phys Med Rehabil Vol 90, December 2009 diunduh dari http://www.selfdeterminationtheory.org/SDT/documents/2009_ChanLonsdale EtAl.pdf pada 20 Juni 2013 Conroy, C., et al. (2007). Upper extremity fracture patterns following motor vehicle crashes differ for drivers and passengers. Injury. 2007 Mar:38(3):350-7.Epub2006 Jun 9. DeLaune, S.C. & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of Nursing Standards and Practice (2nd ed.) (pp 1158-1163). New York: Delmar Drozd, M., Miles, S., & Davies, J. (2009). Casting: Below-elbow back slabs. Emergency Nurse. September 2009|Volume 17|Number 5 diunduh pada 20 Juni 2013 48
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
49
Graber, M. A., Toth, P. P., Herting, R. L. (2006). Buku Saku Dokter Keluarga University of IOWA. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harris, A. R., et al. (2009). Metacarpal neck fractures: Results of treatment with traction reduction and cast immobilization. Hand (N. Y). 2009 June, 4(2): 161-164. PMCID: PMC2686789 Diunduh pada 20 Juni 2013. Hernandez-Reif, M., et al. (2001). Lower back pain is reduced and range of motion increased after massage therapy. Int J Neurosci. 2001;106(3-4):13145. Diunduh pada 20 Juni 2013 Landy, D. C., et al. (2010). Upper extremity fractures in pedestrian versus motor vehicle accidents: an underappreciated concern. Ioa Orthop. J. 2010. 30: 99102. PMCID: PMC2958279. Diunduh pada 20 Juni 2013 MacDermid, et al. (2012). A survey of practice patterns for rehabilitation post elbow fracture. The Open Orthopaedics Journal, 2012, 6, 429-439. Maher, A, B., Salmond, S, W., & Peilino, T, A. (2002). Orthopaedic nursing. Philadelphia: W.B Saunders Company. Montague, S. E., Watson, R., & Herbert, R. A. (2005). Physiology for nursing practice. Toronto: Elsevier Moscal, A., Martin, J.L., & Laumon, B. (2012).Risk factors for injury accidents among moped and motorcycle riders. Accid Anal Prev. 2012 Nov;49:5-11. doi: 10.1016/j.aap.2010.08.021. Epub 2010 Oct 2 diunduh pada 20 Juni 2013 NSHCC Wound Care Comitte (2010). Skin graft management guidelines. Sidney: NSHCC O’Rahilly, R., & Muller, F. (1995). Anatomi: Kajian ranah tubuh manusia. Jakarta: UI Press. Potter, P.A & Perry, A. G. (2006). Fundamental of nursing: concept, theory and practice. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, E/6, Vol.2. (Alih bahasa Brahm U. Pendit). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Restrepo, J. D. (2002). Chapter 23: The elbow. Diunduh dari http://www2.fiu.edu/~dohertyj/Chapter%2023_jld.ppt pada 26 Juni 2013. Riyadina, W. & Subik, I. P. (2007). Profil keparahan cedera pada korban kecelakaan sepeda motor di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Universa Medicina 2007: 26: 64-72 Vol 26-No.2.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
50
Riyadina, W., Suhardi, & Permana, M. (2009). Pola dan determinan sosiodemografi cedera akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 10, Oktober 2009. Vigue, J., & Martin, E. (2006). Atlas of the human body. Prague: Adam Studio World Health Organization (WHO). (2013). Global status report on road safety 2013: supporting a decade of action. Diunduh dari www.who.int pada 16 Juni 2013.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Lampiran 1 Prosedur Latihan Range of Motion (ROM)
Bagian Tubuh Leher
Latihan Aktif Tekuk kepala ke depan hingga dagu menempel di dada. Tegakkan kembali kepala. Tekuk kepala kea rah samping (ke arah bahu) kanan dan kiri secara bergantian. Hadapkan muka ke arah samping kanan dan kiri secara bergantian.
Bahu
Luruskan tangan disamping tubuh , lalu angkat dan turunkan kedua bahu secara bersamaan. Angkat lengan dari posisi di samping tubuh menjadi disamping kepala. Kembalikan ke posisi semula. Gerakkan lengan ke arah samping dari posisi istirahat di sisi tubuh ke posisi di samping kepala. Gerakan lengan dari posisi di samping kepala, menurun, hingga menyilang didepan tubuh sejauh mungkin. Gerakkan lengan dari posisi di samping kepala, menurun, hingga menyilang dibelakang tubuh sejauh mungkin. Rentangkan lengan ke samping setinggi bahu dan bergerak melewati bidang horizontal menyilang depan tubuh sejauh mungkin. Rentangkan lengan ke samping setinggi bahu dan gerakkan melewati bidang horizontal menyilang sejauh mungkin ke belakang tubuh. - Rentangkan lengan ke samping setinggi bahu dan bengkokkan siku membentuk sudut 900. - Gerakkan lengan ke atas sehingga ujung jari mengarah ke atas. Kemudian gerakkan lengan kebawah sehingga ujungujung jari menghadap ke bawah.
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Gerakkan lengan ke depan, atas, belakang, dan turun dalam satu lingkaran penuh. Siku
Gerakkan lengan bagian bawah ke depan dan ke atas menuju bahu dan kemudian luruskan. Gerakkan lengan bagian bawah kebelakang sejauh mungkin Putar tangan bagian bawah sehingga telapak tangan menghadap ke atas. Putar tangan bagian bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah.
Pergelangan
Gerakkan telapak tangan kea rah bawah bagian dalam lengan
tangan
bawah dan luruskan kembali. Bengkokkan telapak tangan kea rah bagian luar lengan bawah sejauh mungkin Bengkokkan pergelangan tangan ke samping kea rah ibu jari. Bengkokkan telapak tangan kea rah samping kelingking.
Jari-jari tangan
Kepalkan telapak tangan dan luruskan kembali. Bengkokkan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin. Kembangkan jari-jari tangan dan kemudian dekatkan kembali. Sentuh ujung jari-jari lainnya secara bergantian. Gerakkan ujung ibu jari menyilang dipermukaan telapak tangan mengarah kelima jari, dan gerakkan menjauhi telapak tangan. Rentangkan ibu jari ke samping. Dekatkan kembali dengan jari lainnya.
Panggul
Gerakkan salah satu kaki depan ke atas. Posisi lutut dalam keadaan ditekuk, luruskan dan turunkan kembali. Gerakkan kaki kebelakang melebihi garis tengah tubuh. Gerakkan salah satu kaki ke samping luar dan kembalikan dari posisi tersebut sehingga kaki menyilang kaki lainnya di depan. Gerakkan salah satu kaki kebelakang kemudian putar ke atas, samping dan kebawah.
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Putar kaki kea rah garis tengah tubuh. Putar kaki kea rah samping menjauhi garis tengah tubuh. Lutut
Tekuk lutut kebelakang sehingga betis mendekati paha, dan luruskan kembali. Gerakkan telapak kaki ketas sehingga jari-jari mengarah keatas.
Pergelangan kaki
Gerakkan telapak kaki kebawah ssehingga jari-jari menghadap kebawah. Balikkan telapak kearah lateral. Balikkan telapak kaki kearah medial.
Jari-jari kaki
Tekuk jari-jari ke bawah dan luruskan kembali. Rentangkan jari-jari kaki dan kemudian rapatkan kembali.
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Lampiran 2 Hasil Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Thorax
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
2. Foto Siku Kiri a. Sebelum ORIF
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
b. Sesudah ORIF
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Lampiran 3 Rencana Asuhan Keperawatan No. 1.
Diagnosis Tujuan Intervensi Keperawatan Hambatan mobilitas fisik Tujuan Mandiri b.d nyeri pada daerah Klien dapat melakukan - Kaji fungsi motorik klien post operasi mobilisasi secara optimal sesuai dengan toleransi klien dalam 6 x 24 jam - Atur posisi tidur agar tidak menekan area fraktur - Kaji kemampuan klien untuk Kriteria Evaluasi - Klien termotivasi melakukan mobilisasi untuk melakukan - Bantu klien untuk melakukan menggerak-gerakkan latihan rentang gerak sendi ekstremitas kiri dan melakukan lathan - Ajarkan serta libatkan keluarga rentang gerak untuk membantu klien melakukan - Rentang gerak lengan latihan rentang gerak sendi kiri, abduksi sudut - Bantu klien untuk melakukan mobilisasi secara bertahap sesuai 20-30, fleksi sudut tingkat toleransi klien 20-30 - Klien mengatakan - Catat lokasi, lamanya intensitas, penyebaran, perhatikan tandanyerinya berkurang, tanda non verbal, misalnya skala 2 merintih, mengaduh dan gelisah - Tonus otot ada pada
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Rasional - Untuk menentukan kemampuan motorik klien, menentukan adanya gangguan motorik pada klien - Untuk mengurangi nyeri akibat penekananan pada area fraktur - Untuk menentukan tingkat toleransi aktivias yang dapat klien lakukan - Untuk mempertahankan tonus otot, mencegah atrofi otot, dan mencegah kontraktur - Untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien - Untuk meningkatkan kemampuan mobilisasi klien dan mencegah terjadinya komplikasi akibat immobilisasi - Untuk mengkaji nyeri yang dialami oleh klien
-
ekstremtas kiri, kekuatan otot menngkat menjad 3 pada ekstremitas kri Klien tampak rileks Klien mengatakan nyerinya berkurang Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, nafas 12-20x/menit, suhu 36,50-37,50 C)
-
Jelaskan penyebab nyeri dan perubahan karakteristik nyeri.
-
Berikan tindakan nyaman, misalnya pijatan punggung, ciptakan lingkungan yang tenang. Bantu atau dorong penggunaan nafas dalam Bantu dengan ambulasi sering sesuai indikasi tingkatkan pemasukan cairan sedikitnya 3-4 L/hari atau sesuai indikasi. Berikan kompres hangat pada punggung
-
-
2.
Risiko penyebaran
Tujuan: Setelah
ansietas. Kaji skala nyeri klien
Kolaborasi - Kolaborasikan dengan fisioterapi terkait toleransi klien untuk mobilisasi dan latihan yang diizinkan - Berikan obat sesuai dengan indikasi Mandiri
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
- Untuk memberikan pilihan dalam keefektifan intervensi - Membantu dalam meningkatkan kemampuan koping pasien serta menurunkan ansietas - Meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot, dan meningkatkan koping - Mengarahkan kembali perhatian dan membantu dalam relaksasi otot. - Meningkatkan aliran darah pasca operasi, mengurangi terjadinya dehidrasi cairan akibat pengeluaran cairan berlebih pasca operasi - Menghilangkan tegangan otot dan dapat menurukan refleks spasme.
- Memberikan informasi terkait hal-hal yang dapat dilakukan untuk membantu mobilisasi klien - Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberi relaksasi mental dan fisik.
infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
intervensi 6 x 24 jam, tidak terjadi penyebaran infeksi Kriteria Evaluasi: - Klien mengatakan luka operasi tidak gatal - Klien mengatakan lukanya terasa lebih nyaman - Penyembuhan luka baik ditandai dengan tidak ada rembesan, tampak jaringan granulasi dan vaskularisasi, skin graft take 95%, tidak ada pus, dan tidak ada jaringan nekrotik
- Anjurkan kepada klien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama perawatan. - Pantau tanda dan gejala infeksi (suhu tubuh, denyut jantung, drainase, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit dan keletihan). - Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (usia lanjut dan malnutrisi). - Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit, protein serum dan albumin).\ - Amati penampilan praktik hiegiene personal untuk perlindungan terhadap infeksi. - Jelaskan kepada paien dan keluarga mengapa sakit atau terapi meningkatkan risiko terhadap infeksi. - Instruksikan untuk menjaga higiene personal untuk melindungi tubuh terhadap infeksi (mencuci tangan). - Ajarkan klien teknik mencuci
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
- Mengurangi risiko penyebaran infeksi
-
Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya.
-
Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman.
-
Untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.
-
Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi
-
-
-
-
-
-
tangan yang yang benar. Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruang klien. Tetapkan kewaspadaan universal. Batasi jumlah pengunjung, bila diperlukan. Lakukan perawatan luka secara aseptik. Anjurkan pada klien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan. Latih dan instruksikan klien/caregiver pada prosedur cuci tangan dengan teknik bersih dan steril. Sediakan nutrisi optimal (protein, lipid, kalori, mineral dan multivitamin). Sediakan hidrasi adekuat Jaga area pembedahan tetap kering dan bersih, ganti balutan dengan hati-hati, dan stimulasi sirkulasi. Bantu dengan debridement/terapi enzimatik jika dibutuhkan. Gunakan cairan fisiologis dengan
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Mengurangi insiden kontaminasi infeksi.
Untuk mempromosikan kulit yang sehat dan penyembuhan yang baik. Mengurangi kehilangan cairan melalui kulit Membantu proses alami tubuh untuk penyembuhan.
Untuk membersihkan atau irigasi luka
suhu tubuh. - Bersihkan luka degan syrnge irigasi atau kasa, hindari kapas. - Jaga kelembaban lingkungan pada bagian luka.
3.
Gangguan pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan
Tujuan Pola tidur tidak terganggu setelah intervensi 3 x 24 jam Kriteria Evaluasi - Klien mengatakan dapat memulai tidur kembali dengan mudah setelah terbangun. - Klien mengatakan dapat tidur pada malam hari selama5 jam - Klien mengatakan
- Gunakan balutan penutup yang tepat (missal semipermeabel, basah ke kering, duoderm, tegaderm, hydrocolloid dll. Kolaborasi - Berikan obat topical atau sistemik jika dibutuhkan. - Berikan antbiotik sesuai program medis Mandiri - Kaji kebiasaan tidur klien , masalah tidur, waktu tidur biasanya, dan jumlah jam tidur. - Catat perubahan waktu tidur dan akibat perubahan tersebut terhadap kehidupan - Atur jadwal pemberian asuhan keperawatan dengan tidak mengganggu jadwal tidur - Batasi intake cairan pada waktu malam - Berikan lingkungan yang tenang
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Kapas mengandung banyak serat Melindungi luka dan jaringan sekitar dari rembesnya sekresi atau drainase dan membantu penyembuhan.
-
Menentukan pola tidur biasadan perbandingan dengan kebutuhan saat ini.
-
Akibat perubahan pola tidur dapat berpengaruh pada kelemahan fisik dan mental, konsentrasi, minat, dan nafsu makan Memberikan waktu lebih lama untuk tidur
-
-
Mengurangi kebutuhan eliminasi pada waktu malam Meningkatkan relaksasi persiapan tidur
merasa lebih segar saat bangun di pagi hari. - Klien terlihat lebih tenang - Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, nadi 60100x/menit, nafas 1220x/menit, suhu 36,5037,50 C)
dan nyaman - Berikan masase pada punggung - Demonstrasikan teknik relaksasi seperti biofeedback, self hypnosis, visualization, progressive muscle relaxation Kolaborasi - Berikan obat-obatan yang memberikan efek sedasi sesuai program dokter
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
-
-
Melancarkan aliran darah dan meningkatkan kenyamanan. Metode tersebut dapat mengurangi respon simpatis dan mengurangi stres dapat menginduksi tidur.
Jika gangguan tidur sudah mengganggu fungsi kehidpan.
Lampiran 4 Catatan Perkembangan Tanggal 3-6-13
Diagnosis Keperawatan - Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Ganggan pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
Implementasi -
-
-
-
-
-
Evaluasi
Mengobservasi S: TTV - klien mengatakan setelah Mengajarkan napas dalam dan minum teknik relaksasi obat merasa lebih baik, napas dalam skala nyeri masih 4 Memberikan - Klien mengatakan tidak medikasi bisa tidur karena selalu Ultracet dan terbayang dengan kejadian Mefinal kecelakaan. Mengkaji - Keluarga mengatakan kekuatan otot senang sudah diingatkan klien kembal tentang cuci tangan Memberikan 6 langkah bantal untuk O: elevasi tangan - klien dapat melakukan kiri. teknik napas dalam dengan Mengajarkan benar, pengkajian nyeri: keluarga P: saat bergerak melakukan cuci Q: kuat tangan 6 R: tangan kiri, menjalar langkah hingga seluruh tangan dan Mengkaji pola ekstremitas kiri tidur, penyebab S: skala 4 perubahan pola T: saat bergerak, durasi 30tidur, pengaruh 60 menit perubahan pola - TTV setelah napas dalam tidur terhadap TD: 110/80 mmHg, N: kehidupan 92x/menit, RR: 24 x/menit - Klien dan keluarga dapat meredemonstrasi cuci tangan 6 langkah - Klien tampak pucat, dan hanya berbaring di tempat tidur - Kekuatan otot (kiri/kanan)
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
4-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Ganggan pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
-
-
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotvasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mengajarkan latihan ROM Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Mereview hasil laboraturium Memotivasi klien dan keluarga mencuci tangan Mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi
0000 5555 3333 5555 - Tangan kiri tampak bengkak dan kaku A: Masalah belum teratasi P: - Ajarkan latihan ROM - Ajarkan hipnosis lima jari - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - klien mengatakan setelah melakukan hipnosis lima jari klien merasa sangat rileks dan dapat mengingat hal yang menyenangkan - Klien mengatakan dapat sedikit melupakan kejadian kecelakaan - Keluarga dan klien mengatakan sudah melakukan cuci tangan 6 langkah - Klien mengatakan skala nyerinya berkurang menjadi 3 O: - klien dapat melakukan teknik napas dalam dengan benar, - pengkajian nyeri: P: saat digerakkan paksa Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri S: skala 3 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 30-
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
hipnosis lima jari
-
-
-
-
5-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Ganggan
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotivasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan
60 menit TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, RR: 22 x/menit Klien tampak pucat, dan hanya berbaring di tempat tidur Kekuatan otot (kiri/kanan) 0000 5555 3333 5555 Tangan kiri tampak bengkak dan kaku Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien baru dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi
A: Masalah belum teratasi P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Lakukan masase bila masih belum dapat tidur - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - klien mengatakan setelah melakukan hipnosis lima jari kemarin klien dapat tidur sebanyak 5 jam tanpa terbangun semalam. - Klien mengatakan dapat mengalihkan pikiran dari ingatan tentang kejadian kecelakaan
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
-
-
-
-
-
Mefinal - Klien mengatakan Mengkaji badannya terasa enak dan kekuatan otot pegalnya hilang setelah di klien massase Mendampingi - Klien mengatakan sudah klien melakukan latihan ROM melakukan sendiri saat pagi hari, saat latihan ROM ini klien sudah mampu Memberikan menggeser tangan kirinya bantal untuk - Klien mengatakan skala elevasi tangan nyerinya berkurang kiri. menjadi 3 Mereview hasil O: laboraturium - klien dapat melakukan Memotivasi teknik napas dalam dengan klien dan benar, keluarga - pengkajian nyeri: mencuci tangan P: saat bergerak Memberikan Q: kuat back rub R: tangan kiri, menjalar (masase hingga seluruh tangan dan punggung) pada ekstremitas kiri klien S: skala 2 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 3060 menit - TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 85x/menit, RR: 18 x/menit, S: 36C - Klien dapat melakukan abduksi bahu 10, fleksi bahu 5, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 5, tetapi jari belum dapat menyentuh jempol. - Kekuatan otot (kiri/kanan) 1111 5555 3333 5555 - Tangan kiri tampak bengkak dan kaku
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
6-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Ganggan pola tidur b.d trauma akibat kecelakaan - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan
-
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotvasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mengajarkan latihan ROM Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Mereview hasil
- Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien baru dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi A: Masalah belum teratasi P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Motivasi keluarga untuk melakukan masase bila masih belum dapat tidur - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - klien mengatakan setelah melakukan hipnosis lima jari dan napas dalam nyeri yang dirasakan dapat berkurang - Klien mengatakan semalam sudah dapat tidur nyenyak dari pukul 22.00 sampai pukul 05.00 dan terbangun 2 x karena BAK tetapi dapat melanjutkan tidur lagi - Klien mengatakan skala nyerinya berkurang menjadi 2 O: - pengkajian nyeri: P: saat bergerak Q: kuat R: tangan kiri, menjalar
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
donor STSG
-
-
laboraturium Memotivasi klien dan keluarga mencuci tangan Mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi hipnosis lima jari
-
-
-
-
hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri S: skala 3 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 3060 menit TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, RR: 22 x/menit Klien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 5, tetapi jari belum dapat menyentuh jempol. Kekuatan otot (kiri/kanan) 1111 5555 4444 5555 Tangan kiri tampak bengkak dan kaku Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien baru dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi
A: Gangguan pola tidur teratasi Hambatan mobilitas fisik dan risiko infeksi teratasi sebagian P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Motivasi keluarga melakukan masase bila masih belum dapat tidur - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
7-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Mendampingi klien saat dilakukan penggantian balutan Memotivasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mendampingi klien melakukan latihan ROM Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Mereview hasil laboraturium Memotivasi klien dan keluarga mencuci tangan
- Observasi TTV dan tanda infeksi S: - klien mengatakan saat diganti balutan klien merasa sangat sakit skala nyeri 5-6 tetapi setelah balutan diganti skala nyeri berkurang jadi 3 - Keluarga dan klien mengatakan sudah melakukan cuci tangan 6 langkah O: - klien dapat melakukan teknik napas dalam dengan benar, - pengkajian nyeri: P: saat diganti balutan Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri, S: skala 3 setelah napas dalam T: saat diganti balutan - TTV setelah diganti balutan TD: 100/60 mmHg, N: 86x/menit, RR: 20 x/menit - Klien tampak meringis dan berteriak saat diganti balutan - Kulit resipien STSG tampak berwarna gelap, saat balutan diangkat, kulit sudah take 90%, sisanya masih berwarna merah 7% dan 3% berwarna pink, tampak slough di sekitar bagian bawah. - Klien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
8-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotvasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mengajarkan latihan ROM
bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 5, tetapi jari belum dapat menyentuh jempol. - Kekuatan otot (kiri/kanan) 1111 5555 4444 5555 - Tangan kiri tampak bengkak dan kaku - Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi A: Masalah belum teratasi P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - Keluarga dan klien mengatakan sudah melakukan cuci tangan 6 langkah - Klien mengatakan sudah melakukan latihan ROM sendiri setiap pagi dan sore hari - Klien mengatakan skala nyerinya 3 O: - klien dapat melakukan teknik napas dalam dengan benar, - pengkajian nyeri:
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
donor STSG
-
-
-
Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Memotivasi klien dan keluarga mencuci tangan Memotivasi teknik relaksasi dan distraksi hipnosis lima jari
-
-
-
-
-
P: saat bergerak Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri S: skala 3 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 3060 menit TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, RR: 22 x/menit Klien tampak pucat, dan hanya berbaring di tempat tidur Klien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 10, tetapi jari telunjuk menyentuh jempol. Kekuatan otot (kiri/kanan) 2222 5555 4444 5555 Tangan kiri tampak bengkak dan kaku Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi
A: Masalah teratasi sebagian P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Lakukan masase bila masih
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
10-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotvasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mengajarkan latihan ROM Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Memotivasi klien dan keluarga mencuci tangan Memotivasi teknik relaksasi dan distraksi hipnosis lima jari Memberikan edukasi perencanaan pulang
belum dapat tidur - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - Klien mengatakan skala nyerinya 2 - Klien mengatakan memahami apa yang sudah diajarkan O: - klien dapat melakukan teknik napas dalam dengan benar, - pengkajian nyeri: P: saat bergerak Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan ekstremitas kiri S: skala 3 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 3060 menit - TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, RR: 22 x/menit - Klien tampak pucat, dan hanya berbaring di tempat tidur - Klien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 10, tetapi jari telunjuk menyentuh jempol. - Kekuatan otot (kiri/kanan) 2222 5555 4444 5555 - Tangan kiri tampak
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
11-6-13
- Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri pada daerah post operasi dan intoleransi pada aktivitas - Risiko penyebaran infeksi b.d kerusakan integritas pada kulit resipien dan donor STSG
-
-
-
-
-
-
Mengobservasi TTV dan tanda infeksi Memotvasi melakukan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi Ultracet dan Mefinal Mengkaji kekuatan otot klien Mengajarkan latihan ROM Memberikan bantal untuk elevasi tangan kiri. Memotivasi
bengkak dan kaku - Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kiri. Klien dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri dapat fleksi A: Masalah teratasi sebagian P: - Dampingi klien saat latihan ROM - Dampingi klien untuk melakukan hipnosis lima jari - Lakukan masase bila masih belum dapat tidur - Motivasi melakukan napas dalam dan cuci tangan - Observasi TTV dan tanda infeksi S: - klien mengatakan setelah melakukan hipnosis lima jari klien merasa sangat rileks dan dapat mengingat hal yang menyenangkan - Keluarga dan klien mengatakan sudah melakukan cuci tangan 6 langkah - Klien mengatakan skala nyerinya 3 O: - klien dapat melakukan teknik napas dalam dengan benar, - pengkajian nyeri: P: saat bergerak Q: kuat R: tangan kiri, menjalar hingga seluruh tangan dan
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
-
-
klien dan keluarga mencuci tangan Memotivasi teknik relaksasi dan distraksi hipnosis lima jari Mereview edukasi perawatan di rumah
-
-
-
-
ekstremitas kiri S: skala 3 setelah napas dalam T: saat bergerak, durasi 3060 menit TTV setelah napas dalam TD: 110/70 mmHg, N: 78x/menit, RR: 22 x/menit Klien dapat melakukan abduksi bahu 15, fleksi bahu 15, elevasi dan depresi bahu kiri, dan menekuk ruas jari kiri 10, tetapi jari telunjuk menyentuh jempol. Kekuatan otot (kiri/kanan) 3333 5555 4444 5555 Tangan kiri sudah tampak lebih lemas Klien dapat melakukan ROM pada kepala dan ekstremitas kanan. Klien dapat menggeser tangan kirinya ke samping kiri dan kanan, kaki kiri sudah dapat digerakkan bebas.
A: Masalah teratasi sebagian P: - Motivasi klien melakukan latihan mandiri di rumah. - Motivasi klien melakukan hal yang sudah diajarkan di rumah
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013
Lampiran 5 BIODATA PENULIS
Nama
: Yuanita Fransiska
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 31 Maret 1991 Agama
: Islam
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
NPM
: 0806334584 : Kp. Sindang Karsa RT 01 RW 10 No. 42, Kelurahan
Alamat
Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Kode Pos 16455 No. HP
: 085710086118
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan Tahun
Pendidikan Formal
1996 – 2002
SDN Sindangkarsa 2
2002 – 2005
SMPN 12 Depok
2005 – 2008
SMAN 1 Depok
2008 – 2012
Program Sarjana Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2012 – 2013
Program Profesi Ners Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Yuanita Fransiska, FIK UI, 2013