UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 – 24 SEPTEMBER 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
AJENG ISNAINI PERMATA SARI, S. Farm. 1206329322
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2014
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 – 24 SEPTEMBER 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
AJENG ISNAINI PERMATA SARI, S. Farm. 1206329322
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JANUARI 2014 ii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
iii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
iv
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan POM. Laporan ini merupakan hasil kerja yang dilakukan oleh penulis selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan POM periode 02 s.d. 24 September 2013, khususnya di lingkungan Direktorat Standardisasi PT dan PKRT. Penulis menyusun laporan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi UI. 2. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt., selaku Pejabat Sementara Dekan Fakultas Farmasi UI sampai dengan 20 Desember 2013. 3. Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan PKPA. 4. Dr. Anton Bahtiar, M.Biomed., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan laporan PKPA. 5. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc., Ph.D., selaku Kepala Badan POM RI. 6. Dra. Muhti Okayani, M.Epid., Apt., selaku Kepala Sub-Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA / BE Obat dan juga selaku Pembimbing lapangan PKPA dari Badan POM RI, atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
7. Reni, S.Si, Apt., selaku Kepala Sub-Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
8. Dra. Moriana Hutabarat, M.Si., selaku Kepala Sub-Direktorat Bimbingan Industri farmasi atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
9. Rusri Diyana, S.Si, Apt., selaku Kepala Seksi Penilaian BA/BE Obat atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
v
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
10. Shanty Milani, S.Si, Apt., selaku Kepala Seksi Standardisasi BA/BE Obat atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
11. Dra. Ernawati M, Apt., selaku Kepala Seksi Pengaturan PT dan PKRT atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
12. Dra. Triyekti Hidayati, Apt., selaku Kepala Pengembangan Eksport atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker
13. Sri Hayanti, S.Si, Apt., selaku Kepala Seksi Tata Operasional atas bimbingan dan arahan selama melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
14. Seluruh staf pengajar, tata usaha dan karyawan di Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas pengajaran dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Profesi Apoteker. 15. Keluarga, orang tua dan saudara atas dukungan, perhatian, dan doa yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 16. Seluruh rekan Apoteker UI angkatan LXXVII, atas dukungan, semangat, dan kerja samanya yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik untuk laporan ini sangat diharapkan oleh penulis untuk adanya perbaikan. Semoga laporan PKPA di Badan POM ini dapat memberi manfaat kepada perkembangan ilmu farmasi dan ilmu pengetahuan lainnya.
Penulis
Januari 2014
vi
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
vii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama NPM Program Studi Judul
: Ajeng Isnaini Permata Sari, S.Farm. : 1206329322 : ProfesiApoteker : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan Periode 2 - 24 September 2013
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan bertujuan untuk memahami dan menjelaskan tugas dan tanggung jawab apoteker yang dilakukan di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT pada khususnya dan seluruh kegiatan yang dilakukan di BPOM pada umumnya; dan membekali dirinya dengan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis ketika bekerja di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT. Sedangkan tujuan dari tugas khusus adalah menambah pengetahuan mahasiswa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Sub Dit Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat; dan memahami penetapan kriteria uji bioekivalensi untuk suatu produk obat, yaitu Salbutamol MDI. Kata kunci : Direktorat Standardisasi PT dan PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Sub Dit Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat, Salbutamol MDI Tugas Umum : xii + 41 halaman; 4 lampiran Tugas Khusus : iii + 20 halaman Daftar Acuan Tugas Umum : 10 (1998 - 2011) Daftar Acuan Tugas Khusus : 7 (2002 - 2010)
viii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name NPM Study Program Judul
: Ajeng Isnaini Permata Sari, S.Farm. : 1206329322 : Apothecary Profession : Report of Pharmacist Internship Program at Directorate of Standardization PT and PKRT, National Agency of Food and Drug Control Period September 2nd - 24th 2013
Pharmacists Professional Practice at Program at Directorate of Standardization PT and PKRT, National Agency of Food and Drug Control aims to understand and explain the duties and responsibilities of pharmacists conducted in the Directorate of Standardization PT and PKRT in particular and all the activities carried out in the National Agency of Food and Drug Control and equip themself with the insight, knowledge, skills and practical experience while working in the Directorate of Standardization PT and PKRT. While the purpose of specific assignmentis to increase knowledge of students about things related to SubDirectorate of Standardization and Assessment BA/BE drugs, and understand the criteria for bioequivalence trials for a drug product, namely Salbutamol MDI. Keywords : Directorate of Standardization PT and PKRT, National Agency of Food and Drug Control, Sub-Directorate of Standardization and Assessment BA/BE drugs, Salbutamol MDI General Assignment : xii + 41 pages; 4 appendixes Specific Assignment : iii + 20 pages Bibliography of General Assignment : 10 (1998 - 2011) Bibliography of Specific Assignment : 7 (2002 - 2010)
ix
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................. v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ....................................... vii ABSTRAK .................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................1 1.1 Latar Belakang............................................................................................1 1.2 Tujuan .........................................................................................................2 1.3 Manfaat .......................................................................................................2 BAB 2. TINJAUAN UMUM BADAN POM REPUBLIK INDONESIA .......4 2.1 Sejarah Badan POM ...................................................................................4 2.2 Visi dan Misi BPOM RI.............................................................................4 2.2.1 Visi .....................................................................................................4 2.2.2 Misi ....................................................................................................4 2.3 Tugas Pokok dan Fungsi BPOM RI ........................................................5 2.4 Budaya Organisasi BPOM RI.............................................................. 5 2.5 Struktur Organisasi BPOM RI ............................................................ 6 2.5.1 Kepala Badan POM ...........................................................................6 2.5.2 Sekretariat Utama ..............................................................................6 2.5.3 Deputi I Bidang Pengawasan PT dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) ......................................................................7 2.5.4 Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen ...........................................................................8 2.5.5 Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya ..........................................................................................9 2.5.6 Pusat-Pusat.........................................................................................10 2.5.7 Inspektorat .........................................................................................12 2.5.8 Balai Besar/Balai POM .....................................................................12 2.6 Kerangka Konsep SISPOM .................................................................. 12 2.6.1 Sub-Sistem Pengawasan Produsen ....................................................13 2.6.2 Sub-Sistem Pengawasan Konsumen .................................................13 2.6.3 Sub-Sistem Pengawasan Pemerintah/Badan POM ...........................13 2.7 Kebijakan Strategis BPOM RI .................................................................14 2.8 Kemitraan BPOM RI .................................................................................15 2.8.1 Nasional .............................................................................................15 2.8.2 Internasional.......................................................................................15 2.9 Target Kinerja BPOM RI ...........................................................................16 x
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT STANDARDISASI PT DAN PKRT........................................................................................................17 3.1 Visi dan Misi...............................................................................................17 3.2 Tugas Pokok ...............................................................................................17 3.3 Fungsi..........................................................................................................17 3.4 Dasar Hukum ..............................................................................................18 3.5 Peran Direktorat Standardisasi PT dan PKRT ...........................................18 3.6 Struktur Organisasi .....................................................................................19 BAB 4. PELAKSAAAN PKPA ...........................................................................25 BAB 5. TEORI DAN PEMBAHASAN ..............................................................29 5.1 Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT ....................29 5.2 Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat .........................31 5.3 Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi ..............................................34 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................36 6.1 Kesimpulan ................................................................................................36 6.2 Saran ...........................................................................................................36 DAFTAR ACUAN ...............................................................................................37
xi
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan RI .......... 38 Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT ........... 39 Lampiran 3. Alur Revisi Farmakope Indonesia .................................................. 40 Lampiran 4. Alur Perumusan RSNI ................................................................... 41
xii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi membuat perubahan di berbagai bidang termasuk di bidang teknologi pembuatan obat dan teknologi pengolahan pangan. Hal inilah yang menyebabkan industri farmasi dan industri pengolahan pangan dapat memproduksi produknya dalam skala besar dengan ragam jenis yang sangat luas. Untuk itulah, pemerintah membentuk Badan POM sebagai suatu Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) di bidang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya ketika mengkonsumsi obat dan makanan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai badan pengawas obat dan makanan, Badan POM mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi masyarakat dari produk obat produk makanan yang berbahaya. Dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di Badan POM memerlukan tenaga ahli yang mengerti bidang obat dan makanan, salah satunya adalah apoteker. Oleh karena itu, praktek kerja profesi apoteker di Badan POM sebagai salah satu lembaga pemerintahan sangat diperlukan bagi mahasiswa Pendidikan Program Studi Apoteker. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) adalah suatu kegiatan wajib dalam kurikulum pendidikan Program Studi Apoteker dimana mahasiswa melakukan magang atau kerja praktek untuk mendapatkan pengalaman kerja sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dari seorang apoteker. PKPA dapat dilakukan di apotek, rumah sakit, industri farmasi dan lembaga pemerintah. Badan POM adalah salah satu lembaga pemerintahan yang dapat dijadikan tempat untuk melaksanakan PKPA. PKPA di Badan POM merupakan suatu bentuk praktek kerja profesi di lembaga pemerintahan yang dapat memberikan gambaran yang lebih luas mengenai peran apoteker dalam penentuan kebijakan obat baik secara regional atau nasional. Selain itu dapat mengetahui gambaran peran apoteker 1
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
dalam bidang pengawasan produksi, distribusi dan penggunaan obat dan makanan sampai di seluruh pelosok Indonesia. Pengalaman kerja di Badan POM dapat memberikan banyak manfaat bagi Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker sebelum masuk ke dalam dunia kerja. Salah satu manfaat yang dapat dirasakan oleh mahasiswa adalah mengetahui cara pengawasan pre-market dan post-market yang berstandar internasional, meliputi produksi, perizinan, pengujian dan pendistribusian obat dan makanan. Sehingga ketika berada di dunia kerja yang sebenarnya para calon apoteker siap untuk membantu pemerintah dalam melindungi masyarakat dari resiko penggunaan obat. Peranan apoteker di bidang pemerintahan adalah dalam penyiapan perumusan kebijakan, penyusun pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk obat. Di Badan POM terdapat bidang khusus yang merancang penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur yaitu Direktorat Standarisasi PT dan PKRT. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Apoteker sangat berperan besar di bidang pemerintahan khususnya dalam hal penyusunan standar, pedoman serta peraturan perundang-undangan di bidang PT dan PKRT. Maka diadakan PKPA di Direktorat Standarisasi PT dan PKRT.
1.2 Tujuan Setelah menyelesaikan PKPA di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT dengan baik, Peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker diharapkan dapat: Memahami dan menjelaskan tugas dan tanggung jawab apoteker yang dilakukan di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT pada khususnya dan seluruh kegiatan yang dilaku kan di Badan POM pada umumnya. Membekali dirinya dengan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis ketika bekerja di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
3
1.3 Manfaat Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan Pengawas Obat dan Makanan diharapkan dapat membekali para calon apoteker dengan berbagai ilmu dan pengalaman, sehingga dapat memahami proses pengawasan obat dan makanan yang dilakukan BPOM, dan diharapkan dapat bermanfaat ketika berada di masyarakat dan dapat melaksanakan tugas sebagai seorang apoteker secara maksimal.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN POM REPUBLIK INDONESIA
2.1 Sejarah Badan POM Pada awalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) bernaung di bawah Departemen Kesehatan RI sebagai Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, dengan tugas pokok melaksanakan pengaturan dan pengawasan obat, makanan, kosmetika dan alat kesehatan, obat tradisional, narkotika serta bahan berbahaya. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). LPND kemudian diubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. BPOM berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan.
2.2 Visi dan Misi BPOM RI 2.2.1 Visi Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat. 2.2.2 Misi a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar Internasional. b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten. c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini. 4
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
5
d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan. e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
2.3. Tugas Pokok dan Fungsi BPOM RI Badan POM merupakan Lembaga Pemerintahan Non Kementrian (LPNK). Tugas Badan POM RI adalah melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pengawsan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dalam
melaksanakan
tugasnya
tersebut,
Badan
POM
RI
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan. b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan. c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM. d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan. e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
2.4. Budaya Organisasi BPOM RI Untuk membangun organisasi yang efektif dan efisien, budaya organisasi BPOM RI dikembangkan dengan nilai-nilai dasar sebagai berikut: a. Profesional Menegakkan profesionalisme dengan integritas, obyektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi. b. Kredibel Memiliki kredibilitas yang diakui oleh masyarakat luas, nasional dan Internasional. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
6
c. Cepat tanggap Tanggap dan cepat dalam bertindak mengatasi masalah. d. Kerjasama Mengutamakan kerjasama tim. e. Inovatif Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
2.5. Struktur Organisasi BPOM RI Secara struktural komponen Badan POM terdiri atas Kepala, Sekretaris Utama, tiga Deputi yaitu Deputi I yang bertanggung jawab dalam Bidang Pengawasan PT dan NAPZA, Deputi II yang bertanggung jawab dalam Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, serta Deputi III yang bertanggung jawab dalam Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, serta memiliki empat Pusat yaitu Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Pusat Riset Obat dan Makanan, serta Pusat Informasi Obat dan Makanan. Struktur organisasi Badan POM RI dapat dilihat di lampiran 1. 2.5.1. Kepala Badan POM Kepala Badan POM mempunyai tugas : a. Memimpin Badan POM sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. b. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas Badan POM. c. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan POM yang menjadi tanggung jawabnya. d. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain.
2.5.2. Sekretariat Utama
Sekretariat Utama bertugas melaksanakan koordinasi perencanaan strategis dan organisasi, pengembangan pegawai, pengelolaan keuangan, Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
7
bantuan hukum, hubungan masyarakat dan kerjasama internasional, serta akses masyarakat terhadap Badan POM melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) yang menerima dan menindaklanjuti berbagai pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan. Di samping itu, dilakukan pembinaan administratif beberapa pusat yang ada di lingkungan Badan POM dan unit-unit pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekretariat Utama terdiri atas: a. Biro Perencanaan dan Keuangan Melaksanakan
koordinasi,
perumusan
rencana
strategis
dan
pengembangan organisasi, penyusunan program dan anggaran, keuangan serta evaluasi dan pelaporan. b. Biro Kerjasama Luar Negeri Melaksanakan koordinasi kegiatan kerjasama internasional yang berkaitan dengan tugas Badan POM. c. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Melaksanakan koordinasi kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan,bantuan hukum, layanan pengaduan konsumen dan hubungan masyarakat. d. Biro Umum Melaksanakan koordinasi urusan ketatausahaan pimpinan, administrasi pegawai, pengembangan pegawai, keuangan serta perlengkapan dan kerumahtanggaan. Sekretariat Utama Badan POM secara administrasi membina pelaksanaan tugas sehari-hari dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Pusat Riset Obat dan Makanan dan Pusat Informasi Obat dan Makanan.
2.5.3. Deputi I Bidang Pengawasan PT dan Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif (NAPZA) Deputi Bidang Pengawasan PT dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang Pengawasan PT, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA). Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
8
Deputi Bidang Pengawasan PT dan NAPZA terdiri dari: a. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang Penilaian Obat dan Produk Biologi. b. Direktorat Standarisasi PT dan PKRT Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang Pengaturan dan Standardisasi PT dan PKRT c. Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang Pengawasan Produksi PT dan PKRT. d. Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang Pengawasan Distribusi PT dan PKRT. e. Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.
2.5.4 Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen tugas yaitu melaksanakan perumusan kebijakan di bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Deputi Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
9
Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen terdiri dari : a. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penilaian obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetik. b. Direktorat Standarisasi Obat Tradisional Kosmetik dan Produk Komplemen Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengendalian dan standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang inspeksi sarana produksi dan distribusi serta sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplimen, fasilitas produksi dan proses produksi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen. d. Direktorat Obat Asli Indonesia Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengembangan Obat Asli Indonesia.
2.5.5 Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
10
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya terdiri dari : a. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penilaian keamanan pangan. b. Direktorat Standarisasi Produk Pangan Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan. c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang inspeksi dan sertifikasi pangan. d. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan. e. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Bertugas menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya.
2.5.6 Pusat-Pusat
Badan POM memiliki empat Pusat yang berfungsi sebagai unsur pelaksana tugas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari secara teknis dibina oleh Deputi dan secara administrasi dibina oleh Sekretariat Utama. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
11
a. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) dipimpin oleh seorang Kepala dan mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu PT, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melaksanakan pembinaan mutu laboratorium pengawasan obat dan makanan. Pusat Pengujian Obat dan Makananan Nasional terdiri Bidang PT dan Bahan Berbahaya; Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; Bidang Pangan; Bidang Produk Biologi; Bidang Mikobiologi; Kelompok Jabatan Fungsional; dan Sub Bagian Tata Usaha. b. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Penyidikan Obat dan Makanan dipimpin oleh seorang Kepala dan bertugas melaksanakan kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di bidang PT, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, makanan serta produk sejenis lainnya. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan terdiri dari Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Bidang Penyidikan PT dan Obat Tradisional; Bidang Penyidikan Makanan; Bidang Penyidikan Narkotika dan Psikotropika; Kelompok Jabatan Fungsional; dan Sub Bagian Tata Usaha. c. Pusat Riset Obat dan makanan Pusat Riset Obat dan Makanan dipimpin oleh seorang Kepala dan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi; keamanan pangan dan PT. Pusat Riset Obat dan Makanan terdiri dari tiga bidang yaitu: Bidang Toksikologi; Bidang Keamanan Pangan; Bidang PT; Kelompok Jabatan Fungsional; dan Sub Bagian Tata Usaha. d. Pusat Informasi Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan adalah unsur pelaksana tugas Badan POM yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari secara teknis dibina Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
12
oleh Deputi dan secara administrasi dibina oleh Sekretariat Utama. Pusat Informasi Obat dan Makanan dipimpin oleh seorang Kepala. Pusat Informasi Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang pelayanan informasi obat, informasi keracunan dan teknologi informasi. Pusat Informasi Obat dan Makanan terdiri dari Bidang Informasi Obat; Bidang Informasi Keracunan; Bidang Teknologi Informasi; Kelompok Jabatan Fungsional; dan Sub Bagian Tata Usaha.
2.5.7 Inspektorat
Inspektorat dipimpin oleh inspektur yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Inspektorat dibina oleh Sekretariat Utama. Inspektorat bertugas melaksanakan
pengawasan
fungsional
di
lingkungan
Badan
POM.
Inspektorat terdiri dari kelompok Jabatan Fungsional dan Sub Bagian Tata Usaha.
2.5.8 Balai Besar / Balai POM
Balai Besar / Balai POM (BB/BPOM) berfungsi sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan POM yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan obat dan makanan di wilayah kerjanya, diatur dengan Keputusan Kepala BPOM setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Pada saat ini, Badan POM RI memiliki BB/BPOM yang tersebar di 31 provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 19 Balai Besar POM dan 12 Balai POM.
2.6 Kerangka Konsep SISPOM Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem pengawasan yang komprehensif, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar di masyarakat. Untuk menekan sekecil mungkin resiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis yakni : Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
13
2.6.1 Sub--Sistem Pengawasan Produsen Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan caracara yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung
jawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi
penyimpangan dan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditetapkan maka
produsen dikenakan sangsi, baik
administratif maupun pro justisia. 2.6.2 Sub-Sistem Pengawasan Konsumen Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya. 2.6.3 Sub-Sistem Pengawasan Pemerintah/Badan POM Sistem
pengawasan
oleh
pemerintah
melalui
pengaturan
dan
standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung
penegakan
hukum.
Untuk
meningkatkan
kesadaran
dan
pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
14
2.7 Kebijakan Strategis BPOM RI Badan POM RI mewujudkan visi dan misinya dalam memenuhi tantangan perubahan lingkungan strategis yang kompleks dan dinamis melalui dua kebijakan strategis yaitu pemantapan infrastruktur dan revitalisasi program POM. a. Perkuatan infrastruktur Badan POM Agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisiensi serta memiliki kemampuan beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang berubah dengan cepat, perlu dilakukan transformasi mendasar, mencakup antara lain:
Mental model dan sistem berpikir sumber daya manusia.
Sistem operasi yang terkendali oleh kinerja melalui insentif.
Struktur pengambilan keputusan yang mampu menciptakan akuntabilitas publik.
Peraturan perundang-undangan sesuai dengan perkembangan.
b. Revitalisasi Program POM Kebijakan revitalisasi Badan POM diarahkan terutama pada kegiatan prioritas yang memiliki efek sinergi dan daya ungkit yang besar terhadap tujuan perlindungan masyarakat luas, mencakup antara lain:
Evaluasi mutu, keamanan dan khasiat produk berisiko oleh tenaga ahli berdasarkan bukti-bukti limiah.
Standardisasi mutu produk untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan daya saing menghadapi era pasar bebas.
Pelaksanaan cara-cara produksi dan distribusi yang baik sebagai builtin control.
Operasi pemeriksaan dan penyidikan terhadap produksi, distribusi dan peredaran narkotika, psikotropika dan prekursor serta produk-produk ilegal.
Monitoring iklan dengan melibatkan peran aktif masyarakat dan organisasi profesi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
15
Komunikasi,
informasi
dan
edukasi
kepada
masyarakat
untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk.
Bimbingan teknis terutama kepada industri kecil menengah yang berfokus pada peningkatan kualitas produk.
2.8 Kemitraan BPOM RI 2.8.1 Nasional a. Sasaran
Terwujudnya komunikasi yang efektif dan kemitraan yang konstruktif antara staf Badan POM RI dengan semua stakeholders termasuk pelaku usaha, konsumen, asosiasi profesi, LSM, media masa serta instansi lain dan Pemda. b. Strategi
Mengembangkan infrastruktur komunikasi yang kuat dan efektif antara seluruh komponen Badan POM RI dan semua stakeholder. Mewujudkan kemitraan yang konstruktif dengan Pemda dan instansi lain secara lintas sektor. 2.8.2 Internasional a. Sasaran
1)
Terjalinnya hubungan dan kerjasama yang efektif dengan regulatory agency di berbagai negara dan lembaga-lembaga internasional terkait.
2)
Badan POM RI dikenal dan diakui secara internasional.
3)
Badan POM RI sebagai center of excellence untuk tingkat regional dan internasional.
b. Strategi
1)
Berpartisipasi dan memberikan kontribusi yang berarti dalam perundingan dan pertemuan regional dan internasional.
2)
Meningkatkan kerjasama, tukar menukar informasi dan tenaga ahli dengan mitra luar negeri baik secara bilateral maupun multilateral. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
16
2.9 Target Kinerja BPOM RI Target kinerja Badan POM RI adalah sebagai berikut : a. Terkendalinya penyaluran PT dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). b. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klaim pada label dan iklan di peredaran. c. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat. d. Penurunan kasus pencemaran pangan. e. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai. f. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT STANDARDISASI PT DAN PKRT
3.1 Visi dan Misi Memberikan pelayanan yang terbaik, bersikap adil dan transparan serta tanggap terhadap keluhan pendaftar dengan tetap mengutamakan perlindungan masyarakat dari obat dan makanan yang beresiko terhadap kesehatan. Pelayanan “CEPPATT” Cekatan Efisien Profesional Pasti (waktu dan biaya) Tanggap Transparan
3.2 Tugas Pokok Direktorat Standardisasi PT dan PKRT mempunyai tugas pokok, pertama penyiapan/ pembuatan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman,
standar,
kriteria,
dan
prosedur,
yang
kedua
pelaksanaan
pengendalian, bimbingan teknis, dan yang ketiga melakukan evaluasi dan pelaporan di bidang standardisasi PT dan PKRT.
3.3 Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan rencana dan program standardisasi PT dan PKRT. b. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang standardisasi PT dan PKRT.
17
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
18
c. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan di bidang Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT. d. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman standar,
kriteria
dan
prosedur,
serta
pelaksanaan
pengendalian,
pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang standardisasi dan penilaian bioavailabilitas dan bioekivalensi obat. e. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman standar,
kriteria
dan
prosedur,
serta
pelaksanaan
pengendalian,
pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang bimbingan industri farmasi. f. Evaluasi dan penyusunan laporan dibidang standardisasi PT dan PKRT.
3.4 Dasar Hukum a. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. b. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. c. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. d. PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. e.
Surat
Keputusan Bersama
Menkes RI
dan MenPAN RI
No.
264A/Menkes/SKB/VII/2003 dan No. 02/SKB/M.Pan/7/2003 tentang Tugas, Fungsi dan Kewenangan dibidang Pengawasan Obat dan Makanan.
3.5 Peran Direktorat Standardisasi PT dan PKRT. Untuk menjamin mutu obat yang beredar perlu suatu standar acuan yang dinamis dan terharmonisasi secara regional maupun internasional, hingga perlu upaya pemantapan standar dan regulasi PT dan PKRT. Standar PT dan PKRT menjadi sangat penting dalam era globalisasi karena jaminan mutu produk merupakan modal dasar yang sangat penting agar produk dapat bersaing di pasar nasional dan pasar internasional. Terselenggarakannya
good
government
dan
clean
goverment
merupakan persyaratan bagi setiap pemerintah untuk mewujudkan aspirasi Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
19
masyarakat guna mencapai tujuan dan cita-cita negara. Direktorat standardisasi PT dan PKRT mempunyai peran yang strategis dalam merumuskan regulasi dan standar mutu PT dan PKRT, meningkatkan standar mutu obat generik melalui uji BE, serta melakukan bimbingan terhadap industri farmasi dalam penggunaan standar, meningkatkan daya saing yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
3.6 Struktur Organisasi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT dipimpin oleh Direktur yang bertanggung jawab langsung kepada Deputi Bidang Pengawasan PT dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). Struktur organisasi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT dapat dilihat pada lampiran 2. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT terdiri dari : 1. Sub-Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT Sub-Direktorat
Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi PT dan PKRT. Dalam melaksanakan tugasnya, Sub-Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan rencana dan program standardisasi dan pengaturan PT dan PKRT. b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan standardisasi PT dan PKRT. c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan PT dan PKRT. d. Evaluasi dan penyusunan laporan Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
20
Sub-Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT terdiri dari: 1) Seksi Standardisasi PT dan PKRT Seksi Standardisasi PT dan PKRT mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana dan program, pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang standardisasi PT dan PKRT. 2) Seksi Pengaturan PT dan PKRT Seksi Pengaturan PT dan PKRT mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana dan program, pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang pengaturan PT dan PKRT. Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, dibuat program kerja Sub-Direktorat yaitu:
Pembuatan draft suplemen dan revisi Farmakope Indonesia.
Penyusunan rancangan peraturan /Pedoman /Standar /Kriteria /Kajian di bidang PT dan PKRT.
Penyusunan Standar Obat Baru (SOB).
Penyusunan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) dalam bidang PT dan PKRT.
Membuat buletin informasi PT.
2. Sub-Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavailabilitas/ Bioekivalensi (BA/BE) Obat Sub-Direktorat
Standardisasi
dan
Penilaian
Bioavailabilitas
/Bioekivalensi (BA/BE) Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan standardisasi dan penilaian bioavailabilitas/bioekivalensi obat. Dalam melaksanakan tugasnya, Sub-Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavailabilitas/Bioekivalensi Obat menyelenggarakan fungsi: Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
21
a.
Penyusunan pedoman yang terkait dengan uji bioavailabilitas atau bioekivalensi dan pelaksanaan uji bioavailabilitas/bioekivalensi di laboratorium.
b.
Penyusunan pedoman metodologi spesifik zat aktif.
c.
Melakukan penilaian protokol uji bioavailabilitas/bioekivalensi obat.
d.
Melakukan penilaian laporan hasil uji bioavailabilitas /bioekivalensi obat jadi yang didaftarkan di badan POM untuk dipasarkan di Indonesia maupun khusus ekspor.
e.
Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi bioavaibilitas atau bioekivalensi obat copy.
f.
Melakukan penilaian kemampuan laboratorium uji bioekivalensi terhadap pemenuhan aspek klinik sesuai dengan Good Clinical Practice (GCP) dan aspek bioanalitik sesuai Good Laboratory Practice (GLP) melalui inspeksi.
g.
Mempersiapkan materi untuk BE study report dalam rangka Harmonisasi ASEAN di bidang BE.
Sub
Direktorat
Standardisasi
dan
Penilaian
Bioavailabilitas/
Bioekivalensi Obat terdiri dari: 1) Seksi Standardisasi Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE) Obat Seksi Standardisasi Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE) Obat mempunyai
tugas
melakukan
penilaian
protokol
uji
bioavailabilitas/bioekivalensi obat, melakukan penilaian laporan hasil uji bioavailabilitas/bioekivalensi obat jadi yang didaftarkan di Badan POM untuk dipasarkan di Indonesia maupun khusus ekspor, evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi bioavaibilitas atau bioekivalensi obat copy, melakukan penilaian kemampuan laboratorium uji bioekivalensi terhadap pemenuhan aspek klinik sesuai dengan Good Clinical Practice (GCP) dan aspek bioanalitik sesuai Good Laboratory Practice (GLP) melalui inspeksi.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
22
2) Seksi Penilaian Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE) Obat Seksi
Penilaian
Bioavailabilitas/Bioekivalensi
(BA/BE)
Obat
mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana dan program, pedoman, standar, kriteria
dan
prosedur,
di
bidang
penilaian
bioavailabilitas/
bioekivalensi obat. 3) Seksi Tata Operasional Seksi Tata Operasional mempunyai tugas melakukan urusan tata operasional
di
lingkungan
direktorat,
yang
meliputi
urusan
kepegawaian, Admnistrasi kegiatan surat-menyurat, rencana anggaran kegiatan, perlengkapan rumah tangga, arsip-arsip direktorat, dan dokumentasi, mengelola Barang Milik Negara (BMN).
Dalam melaksanakan tugasnya, Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE obat menyelenggarakan fungsi : a.
Penyusunan rencana dan program standardisasi dan penilaian BA/BE obat.
b.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanan standardisasi BA/BE obat.
c.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman,
standar,
kriteria
dan
prosedur,
serta
pelaksanaan penilaian BA/BE obat. d.
Evaluasi dan penyusunanan laporan standardisasi BA/BE obat.
e.
Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat.
3. Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan
bahan
perumusan
kebijakan
teknis
dan
penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan bimbingan industri farmasi. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
23
Dalam melaksanakan tugasnya, Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi menyelenggarakan fungsi: a.
Penyusun rencana dan program bimbingan industri farmasi.
b.
Pelaksana penyiapan bahan perumusan penyusun kebijakan teknis dan penyusun pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksana pengembangan produksi.
c.
Pelaksana penyiapan
bahan perumusan kebijakan teknis dan
penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksana pengembangan ekspor. d.
Evaluasi dan penyusun laporan bimbingan industri farmasi.
Untuk melaksanakan tugasnya maka Sub-Direktorat Bimbingan Industri Farmasi mempunyai road map tahun 2013 sebagai berikut :
Verifikasi pelaksanaan fasilitas subsidi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
Pemutakhiran regulasi/ pedoman/ standar/ kriteria/ kajian dibidang pengawasan PT dan PKRT.
Analisis klasifikasi post tarif produk farmasi dan Harmonized System (HS) code produk farmasi.
Penyusunan rancangan pedoman/ standar/ kriteria informasi obat.
Sosialisasi kebijakan regulasi/ pedoman/ standar/ kriteria bidang obat ke stake holder.
Partisipasi dalam workshop, seminar, sosialisasi, rapat teknis dan kegiatan lintas sektor di bidang industri farmasi.
Pemutakhiran pedoman/ standar/ kriteria informasi obat. Dalam menjalankan tugasnya, Sub-Direktorat Bimbingan Industri
Farmasi dibantu oleh 2 seksi, yaitu: a. Seksi Pengembangan Produksi Seksi Pengembangan Produksi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana dan program,
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
24
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta evaluasi dan laporan di bidang pengembangan produksi. b. Seksi Pengembangan Ekspor Seksi Pengembangan Ekspor mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan rencana dan program, pedoman, standard, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang pengembangan ekspor.
Dalam pelaksanaan tugas Sub-Direktorat Bimbingan Industri Farmasi berkoordinasi dengan Sub-Direktorat lain di dalam Direktorat Standardiasi PT dan PKRT (Sub-Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT, Sub-Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat), dan juga dengan Direktorat lain di lingkungan kedeputian I seperti Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT, Direktorat Pengawasan Produksi PT dan PKRT, dan Direktorat Pengawasan NAPZA serta kebiroan BPOM yaitu Hukmas, PIOM dan KSLN.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 4 PELAKSANAAN PKPA
Pelaksanaan PKPA di Badan POM RI dimulai dari tanggal 2 September sampai tanggal 24 September 2013. Pelaksanaan ini dimulai dengan registrasi peserta PKPA lalu dilanjutkan dengan pembukaan dan presentasi secara umum oleh kepala Biro Umum yang diakhiri dengan pre-test (ujian awal). Kemudian dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi dari masing-masing unit kerja Badan POM sampai hari ketiga yang bertempat di Aula Gedung C dari jam 8 sampai jam 16.30. Setelah itu, pelaksanaan PKPA dilanjutkan di masing-masing unit kerja sesuai pembagian kelompok yang telah dilakukan di awal. Pelaksanaan di unit tempat kerja di Direktorat Standarisasi PT dan PKRT ini dimulai dari tanggal 6 September sampai tanggal 20 September 2013 dari jam 8.00 sampai jam 16.30. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT adalah Direktorat yang berada di bawah Deputi Bidang Pengawasan PT dan NAPZA yang bertugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan teknis, pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi dan pelaporan di bidang standardisasi PT dan PKRT. Untuk melaksanakan semua tugas ini maka Direktorat Standardisasi PT dan PKRT dibagi ke dalam 3 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT, Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat dan Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi. Adapun kegiatan di setiap Sub Direktorat adalah sebagai berikut: A. Pelaksanana PKPA di Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavaibilitas dan Bioekuivalen (BA/BE) Obat Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan standarisasi dan penilaian BA/BE obat. Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
maka
Sub
Direktorat
Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat memiliki 3 seksi yaitu Seksi 25 Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
26
Standardisasi BA/BE Obat, Seksi Penilaian BA/BE Obat dan Seksi Tata Operasional. 1. Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat dilaksanakan dari tanggal 6 September 2013 sampai 10 September 2013. 2. Kegiatan Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavaibilitas dan Bioekuivalensi (BA/BE) Obat a. Penjelasan mengenai tugas pokok dan fungsi Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavaibilitas dan Bioekuivalen (BA/BE) Obat yang dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. b. Mempelajari Pedoman Uji Ekivalen. c. Mempelajari Tata Laksana Bioekivalen. d. Mempelajari Obat-Obat Yang Wajib Uji Ekivalen. e. Mengerjakan tugas mempelajari dan menerjemahkan “Standards For Bioequivalence Testing Laboratory”. f. Mengerjakan tugas mempelajari dan menerjemahkan “ Criteria For Recognized BE Centre To Conduct BE Study”.
B. Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standarisasi PT dan PKRT. Untuk
melaksanakan
tugas
tersebut
maka
Sub
Direktorat
Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT memiliki 2 seksi yaitu Seksi standardisasi PT dan PKRT dan Seksi Pengaturan PT dan PKRT. 1. Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT dilaksanakan dari tanggal 11 September 2013 sampai 16 September 2013. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
27
2. Kegiatan di Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT a. Penjelasan
tentang
tugas
pokok
dan
fungsi Sub
Direktorat
Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT, kemudian dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. b. Penjelasan proses penyusunan Farmakope Indonesia. c. Penjelasan proses perumusan RSNI. d. Mengerjakan tugas berupa penyusunan metode analisa suatu sediaan obat. Contohnya:
Identifikasi dan penetapan kadar tablet PiperakuinDihidroartemisinin dalam sediaan tablet secara KCKT.
e. Mengerjakan tugas berupa penyiapan bahan untuk penyusunan ketentuan umum dan lampiran Farmakope yang bersumber dari USP 35 tahun 2012 volume 1, 2, dan 3, yaitu : Antibiotik Baku Pembanding Spektrofotometri Produk Biologi Identifikasi revisi monografi FI IV dan suplemennya
C. Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi Sub-Direktorat Bimbingan Industri Farmasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang bimbingan industri farmasi. Untuk melakukan tugas ini Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi memiliki 2 seksi yaitu Seksi Pengembangan Produksi dan Seksi Pengembangan Eksport.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
28
1. Waktu Pelaksanaan Pelaksanaan PKPA di Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi dilaksanakan dari tanggal 17 September 2013 sampai 19 September 2013. 2. Kegiatan PKPA di Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi a. Penjelasan tentang tugas pokok dan fungsi Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi yang dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. b. Mengerjakan tugas menerjemahkan “Food and Drug Administrasi of Cold, Cough, Allergy, Bronchodilator and Antiasthmatic Drug Product For Ever-The-Counter Human Use. Setelah 11 hari di unit kerja di Direktorat Standarisasi PT dan PKRT, maka hari selanjutnya kembali ke auditorium untuk melakukan presentasi tentang pelaksanaan PKPA di masing-masing direktorat. Acara ini berlangsung selama 2 hari yaitu tanggal 23 dan 24 September 2013. Dan pada akhir acara dilakukan post-test untuk mengukur seberapa paham para peserta PKPA dalam melaksanakan berbagai kegiatan di masing-masing direktorat.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 5 TEORI DAN PEMBAHASAN
5.1 Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standarisasi PT dan PKRT. Standar itu sendiri adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengam memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (PP 102 tahun 2000). Sedangkan standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pihak (PP 102 tahun 2000). Dalam pembuatan standar dari PT dan PKRT, Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT membuat perumusan standar/pedoman/kriteria/kajian yang selanjutnya akan dibahas dengan unit kerja terkait dan para ahli di bidangnya salah satu standar di bidang obat adalah Farmakope. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT melakukan revisi Farmakope Indonesia secara berkala. Revisi dapat berupa Suplemen Farmakope atau Farmakope dengan edisi baru. Suplemen Farmakope berisi monografi obat-obat yang belum ada di Farmakope Indonesia edisi IV ataupun yang sudah ada di Farmakope Indonesia edisi IV tetapi terdapat perubahan
atau
penambahan
seperti
perubahan
metode
pengujian,
penambahan jenis pengujian, perubahan persyaratan dan informasi lainnya. Suplemen I Farmakope Indonesia edisi IV dikeluarkan pada tahun 2009, Suplemen II Farmakope Indonesia edisi IV dikeluarkan tahun 2010, 29
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
30
Suplemen III Farmakope Indonesia edisi IV dikeluarkan tahun 2011, dan Farmakope Indonesia edisi ke V akan segera dikeluarkan. Farmakope Indonesia adalah suatu standar yang bersifat “mandatory” yang artinya wajib untuk digunakan oleh seluruh industri farmasi dalam membuat obat di Indonesia. Jika monografi obat tidak tercantum di dalam Farmakope Indonesia dan Suplemen Farmakope Indonesia maka industri farmasi dapat menggunakan standar farmakope dari negara yang lain seperti United State Pharmacopeia (USP), European Pharmacopeia (EP), Japan Pharmacopeia (JP). Selain Farmakope, Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT juga menyusun Standar Obat Baru (SOB). Kriteria pemilihan SOB yaitu : Obat sudah lama beredar tetapi belum ada standar di Farmakope Obat yang potensial untuk dipalsukan Obat essensial Obat fast moving Obat life style Obat golongan antibiotika Obat untuk penyakit kronis Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT juga membuat standar mutu berupa Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI). Direktorat Standardisasi PT dan PKRT memiliki 2 Panitia Teknis sesuai dengan ruang lingkupnya yaitu Panitia Teknis 11-01 untuk PT dan Panitia Teknis 11-02 untuk PKRT. Panitia teknis terdiri dari perwakilan pemerintah, pakar, produsen, dan konsumen. Penyusunan SNI dimulai dengan penyusunan Rancangan SNI (RSNI) oleh sekretariat yang kemudian dibahas oleh Panitia Teknis. Proses pembahasan ini berlangsung sebanyak 3 kali pembahasan, yang akan menghasilkan RSNI 1, RSNI 2 dan RSNI 3. Setelah mendapatkan hasil RSNI 1 dan RSNI 2 maka selanjutnya dilaksanakan Rapat Konsensus untuk membahas RSNI 2. Rapat Konsensus ini dihadiri oleh Panitia Teknis dan Tim Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
31
Ahli Standar (TAS) yang ditugaskan oleh BSN. Rapat Konsensus ini harus kuorum (dihadiri >2/3 anggota Panita Teknis dan seluruh pihak terwakili) serta tercapai konsensus. Hasil dari Rapat Konsensus adalah RSNI 3. Selanjutnya RSNI 3 dikirim ke Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk dilakukan jejak pendapat. Jajak pendapat dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu, melalui Sistem Informasi SNI (SISNI), sms atau manual. Peserta jajak pendapat adalah Panitia Teknis dan MASTAN (Masyarakat Standar). Jajak pendapat harus kuorum (>50% peserta jajak pendapat memberikan suara). Hasil jajak pendapat disetujui bila >2/3 peserta menyetujui dan <1/4 peserta aktif dan observer tidak menyetujui. Setelah RSNI 3 disetujui dalam jajak pendapat, sekretariat menyerahkan Rancangan Akhir SNI (RASNI) ke BSN yang selanjutnya dapat ditetapkan sebagai SNI. Berbeda dengan Farmakope Indonesia, SNI bersifat sukarela (voluntary). Produk yang sesuai SNI, mutunya akan terjaga dan akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. SNI yang telah disusun oleh Sub Dit Standar adalah: antara lain d-aletrin dalam anti nyamuk bakar, d-aletrin dalam anti nyamuk mat, transflutrin dalam anti nyamuk bakar dan transflutrin dalam anti nyamuk mat, dan SNI yang terbaru terbit pada tahun 2012 yaitu Dietiltoluamid (DEET) dalam penolak nyamuk – Bagian I:Losion (SNI 4946.1:2012). Selain pembuatan standar, Sub Direktorat Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT juga membuat Rancangan Peraturan/ standar/ kajian/ pedoman di bidang Pengawasan PT dan PKRT bekerja sama dengan unit teknis terkait di kedeputian Bidang Pengawasan PT dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif serta Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat. Rancangan peraturan/standar/kajian/pedoman
yang
telah
disusun
oleh
Sub
Dit
Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT diantaranya yaitu : Pedoman Penggunaan dan Keamanan Thiomerosal Pada Sediaan Farmasi, Pedoman Uji Disolusi, dan lain lain.
5.2 Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat terdiri dari tiga seksi yaitu seksi Standardisasi BA/BE Obat, seksi Penilaian BA/BE Obat Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
32
dan seksi Tata Operasional. Seksi Standardisasi BA/BE Obat lebih berperan dalam penyusunan pedoman, standar, kriteria, prosedur serta pelaksanaan standardisasi BA/BE obat. Seksi Penilaian BA/BE Obat berperan dalam penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan penyusunan pedoman standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan penilaian bioekivalensi obat. Semakin banyaknya obat copy yang beredar dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang sangat pesat. Oleh karena itu, diperlukan standar mutu terhadap obat copy tersebut apakah memiliki efek terapetik yang sama dengan obat inovator. Oleh karena itu kebutuhan uji bioavailabilitas/bioekivalensi obat makin meningkat. Uji bioekivalensi dapat diartikan sebagai suatu uji komparatif (farmakokinetik/farmakodinamik)
yang
dirancang untuk
menunjukkan
bioekivalensi antara obat copy dengan obat inovatornya. Sedangkan bioavailabilitas dapat diartikan sebagai persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian obat tertentu, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dari urin. Obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru (New Chemical Entity) dibutuhkan penilaian mengenai keamanan (safety), khasiat (efficacy) dan mutu (quality) secara lengkap, diantaranya harus melewati penilaian khasiat melalui uji klinis dan bioavaibilitas obat. Sedangkan untuk produk obat copy penilaian ditekankan pada penilaian aspek mutu obat antara lain berupa bioekivalensi dengan obat inovator sebagai obat pembanding yang merupakan baku mutu. Uji bioekivalensi perlu dilakukan karena obat copy yang akan dihasilkan pada dasarnya tidak mempunyai komposisi yang sama dengan obat inovatornya, hal ini dapat disebabkan perbedaan supplier dan spesifikasi bahan baku obat, eksipien, dan perbedaan proses produksi obat dari suatu industri farmasi, yang dapat menyebabkan perbedaan bioavailabilitas obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam rangka menjamin khasiat, keamanan dan mutu dari suatu produk obat, melakukan penilaian obat sebelum beredar yang dilakukan berdasarkan data pembuktian aspek yang meliputi khasiat, keamanan dan mutu. Dalam penilaian obat copy, perlu Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
33
dibuktikan kesetaraannya dengan obat inovator atau obat komparatornya melalui uji bioekivalensi (BE) atau uji bioavaibilitas (BA) atau uji disolusi terbanding sehingga dapat dikatakan interchangeable. Dengan melakukan uji bioekivalensi (BE) maka diharapkan obat copy yang dihasilkan memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu serta menjamin bahwa obat copy ekivalen secara terapetik dengan obat inovatornya. Dalam rangka mempersiapkan harmonisasi ASEAN pada tahun 2015 mendatang, Badan Pengawas Obat dan Makanan ikut berperan serta dalam perumusan regulasi pelaksanaan uji bioekivalensi obat di ASEAN. Hal ini merupakan kemampuan positif dari Badan Pengawas Obat dan Makanan yang perlu dimaksimalkan dalam rangka berperan aktif secara internasional, diantaranya membuat Pedoman uji BE (Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.3.1818 tanggal 29 Maret 2005), Tata Laksana Uji Bioekivalensi (Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.1.3682 tanggal 18 Juli 2005, Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Obat dalam rangka harmonisasi ASEAN diantaranya, aktif berperan dalam ACCSQ-PPWG (ASEAN Consultative Committee on Standard and Quality Pharmaceutical Product Working Group) dimana kegiatan ACCSQ-PPWG tersebut bertujuan untuk mengupayakan harmonisasi persyaratan / dibidang farmasi di antara negaranegara anggota ASEAN dimana Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat sebagai vocal point harmonisasi bidang BE telah ikut menyusun : Revisi ASEAN Guideline for The Conduct of BA/BE Studies, kriteria pemilihan obat komparator, Format ASEAN BE Study Record, ASEAN Inspection Criteria for BA/BE Studies, ASEAN Inspection Checklist for BE Studies (analytical part and clinical part). Obat copy yang ditetapkan dalam kriteria wajib uji bioekivalensi telah ditetapkan
melalui
Peraturan
Kepala
Badan
POM
No.
HK.03.1.23.12.11.10217 tanggal 30 Desember 2013 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi.
Saat
ini
Sub
Direktorat
Standardisasi
dan
Penilaian
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Obat sedang melakukan rancangan penyusunan
buku
tanya
jawab
tentang
pedoman
uji
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
34
biavailabilitas/bioekivalensi jilid ke-2 yang berisi tentang pertanyaan seputar pengujian bioekivalensi dan persyaratan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pedoman / standar lainnya yang akan dibuat oleh Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavailabilitas dan Bioekivalensi Obat adalah pedoman inspeksi uji BE termasuk Standar Laboratorium uji BA/BE yang berisi tentang persyaratan laboratorium uji bioekivalensi dalam melaksanakan uji BE seperti persyaratan GCP (Good Clinical Practice) dan GLP (Good Laboratory Practice), revisi pedoman uji bioekivalensi, buku tanya jawab pedoman uji bioekivalensi yang melengkapi buku pedoman uji bioekivalensi, dan metodologi uji BE spesifik zat aktif. Untuk dapat melaksanakan uji bioekivalensi laboratorium paling sedikit harus memiliki sertifikat akreditasi untuk pemenuhan SNI 17025 sesuai ruang lingkup obat yang diuji atau mendapat pengakuan dari BPOM. Sampai saat ini, di Indonesia terdapat 7 laboratorium swasta yang telah diakui dan terakreditasi oleh KAN. Laboratorium uji BE dalam melakukan uji BE harus memenuhi aspek manajemen (QMS) dan aspek klinik sesuai GCP (Good Clinical Practice) ICH-E6, dan juga aspek bioanalitik sesuai GLP (Good Laboratory Practice) ISO 17025/OECD. Bidang Sub Direktorat Standardisasi dan Penilaian Bioavailabililitas /Bioekivalensi obat juga berkoordinasi dengan Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi, dalam hal penilaian Laporan Uji Bioekivalensi, dan inspeksi laboratorium uji BE.
5.3 Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi Sub Direktorat Bimbingan Industri Farmasi dalam menjalankan fungsinya memberikan bimbingan kepada industri farmasi dalam pemenuhan persyaratan regulasi/ standar dalam rangka meningkatkan daya saing, meningkatkan mutu produksi dan meningkatkan ekspor melalui: Melakukan kerjasama lintas sektor (Kementerian/ Lembaga lain) untuk pengkajian terkait kemampuan produksi Industri Farmasi di Indonesia dan ekspor/ impor. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
35
Melakukan kajian dan memberi masukan terkait free trade agreement (FTA) dengan negara ASEAN. Melakukan kajian Bea
masuk untuk bahan baku obat dengan
mempertimbangkan kemampuan dalam negeri.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Pelaksanaan PKPA di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT di Badan
POM
memberikan
pengetahuan,
wawasan,
keterampilan
dan
pengalaman praktis tentang tanggung jawab apoteker yang dilakukan di Direktorat Standardisasi PT dan PKRT. Selain itu juga memberikan pemahaman bahwa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT bekerja sama dengan Direktorat yang lainnya. Hal sebaliknya juga dilakukan oleh Direktorat Standardisasi PT dan PKRT yaitu membantu Direktorat lain dalam hal pembuatan standar seperti farmakovigilan pada Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT, membantu Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi melalui pengujian BA/BE dan juga membantu tersosialisasikannya standar dan peraturan yang baru dibuat oleh bidang lainnya melalui Sub-Direktorat Bimbingan Industri Farmasi. Maka dapat
disimpulkan bahwa semua direktorat di Badan POM dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya selalu bekerja sama dengan direktorat lainnya.
6.2 Saran Untuk memahami proses pengawasan obat dan makanan yang dilakukan di Badan POM maka diharapkan pelaksanaan PKPA di Badan POM selanjutnya dapat dilakukan di seluruh direktorat Badan POM tidak hanya di satu direktorat, agar mahasiswa dapat lebih banyak memiliki pengetahuan dan pengalaman praktis semua kegiatan yang dilaksanakan di Badan POM.
36
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
BPOM Republik Indonesia. 2005. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.3682. tahun 2005 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi. Jakarta: Sekretariat Negara. BPOM Republik Indonesia. 2005. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.3.1818. tahun 2005 tentang Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Sekretariat Negara. BPOM Republik Indonesia. 2011. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.12.11.10217 tahun 2011 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Keputusan Presiden RI No. 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang RI No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 1998. Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara.
37
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
38
Lampiran 1 Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Inspektorat
Sekretariat Utama 1. Biro Perencanaan dan Keuangan 2. Biro Kerjasama Luar Negeri 3. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat 4. Biro Umum
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
Pusat Riset Obat dan Makanan
Pusat Informasi Obat dan Makanan
Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi 2. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT 3. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik & PKRT 4. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Teraprtik & PKRT 5. Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA)
1. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik 2. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 4. Direktorat Obat Asli Indonesia
1. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan 2. Direktorat Standardisasi Produk Pangan 3. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan 4. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan 5. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
UNIT PELAKSANA TEKNIS BPOM Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
39
Lampiran 2 DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK DAN PKRT
Direktorat Standardisasi PT dan PKRT
Sub Dit Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT
Sub Dit. Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat
Sub Dit. Bimbingan Industri Farmasi
Seksi Standardisasi PT dan PKRT
Seksi Standardisasi BA/BE Obat
Seksi Pengembangan Produksi
Seksi Pengaturan PT dan PKRT
Seksi Penilaian BA/BE Obat
Seksi Pengembangan Ekspor
Seksi Tata Operasional
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
40
Lampiran 3 Alur Revisi Farmakope Indonesia
Badan POM Sekretariat
Kementrian
Penyusun
Hasil
Panitia Farmakope
Draft SK Panitia
Persiapan
SK Panitia Farmakope
Pleno awal Penetapan kriteria
List monogafi yang akan disusun
Inventarisasi monografi
Perencanaan
Pembagian tugas
Penyusunan draft monografi
Drafting dan rapat Editing Pleno
Draft akhir monografi
Rapat teknis 1, 2, 3 dst Pleno
Dewan Redaksi
Penetapan
FARMAKOPE
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
41
Lampiran 4 Alur Perumusan RSNI
Usulan zat Instansi terkait (BPOM, Kemperin, KemKes, BSN)
Pantek
Drafting RSNI 1
Rapat Pantek 1,2,3... n RSNI 2, RSNI 3
BSN Konsensus
Pantek dan mastan
Ok Jajak Pendapat RSNI 4
Ok
e-balloting
Panitia teknis dan mastan
ditolak
SNI
Dokumen Teknis
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 – 24 SEPTEMBER 2013
KAJIAN KRITERIA UJI BIOEKIVALENSI SALBUTAMOL MDI
AJENG ISNAINI PERMATA SARI, S.Farm. 1206329322
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2014
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK (PT) DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA (PKRT) BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL. PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 2 – 24 SEPTEMBER 2013
KAJIAN KRITERIA UJI BIOEKIVALENSI SALBUTAMOL MDI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Apoteker
AJENG ISNAINI PERMATA SARI, S.Farm. 1206329322
ANGKATAN LXXVII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JANUARI 2014 ii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Tujuan ......................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3 2.1.Uji Ekivalensi................................................................................ 3 2.2.Asma ............................................................................................. 10 2.3.MDI .............................................................................................. 12 2.4.Salbutamol .................................................................................... 14 2.4.1 Aspek Fisikokimia ................................................................ 14 2.4.2 Aspek Farmakologi............................................................... 14 2.4.3 Aspek Farmakokinetika ........................................................ 15 BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN ................................................... 16 3.1. Waktu dan Tempat Pengkajian ..................................................... 16 3.2. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 16 BAB 4. PEMBAHASAN .............................................................................. 17 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 19 5.1. Kesimpulan .................................................................................. 19 5.2. Saran............................................................................................ 19 DAFTAR ACUAN ....................................................................................... 20
iii
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting
dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Menurut UU No.36 Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental, dan sosial serta bukan hanya merupakan bebas dari penyakit. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197 Tahun 2004, yang dimaksud dengan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Asma merupakan salah satu penyakit di Indonesia yang cukup tinggi angka kematiannya. Pada tahun 2009, asma menjadi penyebab kematian peringkat ke enam di Indonesia, sedangkan di dunia, penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian. Paling banyak adalah di negara-negara anglo-saxon seperti Inggris, Australia, New Zealand, Kanada, dan Amerika. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun 2009, ada 300 juta penderita asma di seluruh dunia. Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta penderita asma. Sebanyak 95 persen di antaranya adalah penderita asma tak terkontrol. Untuk itu perlu dilakukan tindakan kuratif dengan berbagai jenis obat. Salah satunya menggunakan produk obat yang memiliki zat aktif salbutamol yang merupakan golongan β2 agonis. Salbutamol merupakan suatu senyawa yang 1
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
selektif merangsang reseptor β2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Efek utama setelah pemberian peroral adalah efek bronkodilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi otot bronkus. Karena pada serangan asma dibutuhkan tindakan cepat untuk penderita, maka dibuatlah sediaan MDI (Metered-Dose Inhaler) yang memiliki efek lebih cepat dibandingkan sediaan lainnya seperti tablet dan syrup. Karena semakin hari biaya kesehatan semakin tinggi, maka diperlukan substitusi obat innovator dengan obat copy generik yang berkualitas. Obat copy generik harus ekivalen secara terapetik dengan obat inovatornya sehingga dapat dijadikan alternatif selain produk innovator. Untuk itulah perlu dilakukan uji ekivalensi terhadap obat copy tersebut. Uji ekivalensi ini juga akan menjamin efikasi, keamanan, dan mutu yang sama antara obat copy dan innovatornya.
1.2.
Tujuan
1.2.1. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Sub Dit standardisasi dan penilaian BA/BE obat 1.2.2. Memahami penetapan kriteria uji bioekivalensi untuk suatu produk obat, yaitu Salbutamol MDI.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uji Ekivalensi BPOM sebagai institusi berkewajiban menilai semua produk obat sebelum dipasarkan, memberi nomor izin edar dan selanjutnya melakukan pengawasan terhadap produk tersebut setelah dipasarkan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa obat yang beredar memenuhi standar efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Untuk produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimiabaru (new chemical entity = NCE) dibutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan dan mutu secara lengkap. NCE ini yang dipatenkan oleh pabrik penemunya disebut juga obat inovator. Sedangkan untuk produk obat yang merupakan produk “copy” hanya dibutuhkan standar mutu yang antara lain berupa bioekivalensi dengan produk obat innovator sebagai produk pembanding (reference product) yang merupakan baku mutu. Uji Ekivalensi adalah uji in vivo dan/atau in vitro untuk menentukan ekivalensi antara obat uji (obat copy) dengan obat komparator. Uji Ekivalensi in vivo yang selanjutnya disebut Uji Bioekivalensi adalah uji bioavailabilitas atau farmakodinamik komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara obat uji (obat copy) dengan obat inovator/komparator. Sedangakan Uji Ekivalensi in vitro yang selanjutnya disebut Uji Disolusi Terbanding adalah uji disolusi komparatif yang dilakukan untuk menunjukkan similaritas profil disolusi antara obat uji dengan obat inovator/komparator. Sesuai Peraturan Kepala BPOM RI no HK.03.1.23.12.11.10217 tahun 2011 tentang obat wajib uji ekivalensi, tercantum daftar obat copy yang mengandung zat aktif yang wajib uji bioekivalensi. Selain peraturan tersebut, ada
3
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
4
peraturan Kepala BPOM RI no HK.00.05.3.1818 tentang Pedoman Uji Bioekivalensi tercantum tentang kriteria untuk uji ekivalensi, yaitu : 1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi farmakokinetik, studi farmakodinamik komparatif, atau uji klinik komparatif. Dokumentasi ekivalensi in vivo diperlukan jika ada risiko bahwa perbedaan bioavailabilitas dapat menyebabkan inekivalensi terapi. a. Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini : 1) obat-obat untuk kondisi yang serius yang memerlukan respons terapi yang pasti (critical use drugs), misal : antituberkulosis, antiretroviral, antimalaria, antibakteri, antihipertensi, antiangina, obat gagal jantung, antiepilepsi, antiasma. 2) batas keamanan/indeks terapi yang sempit; kurva dosis-respons yang curam, misal : digoksin, antiaritmia, antikoagulan, obat - obat sitostatik, litium, fenitoin, siklosporin, sulfonilurea, teofilin. 3) terbukti ada masalah bioavailabilitas atau bioinekivalensi dengan obat yang bersangkutan atau obat-obat dengan struktur kimia atau formulasi yang mirip (tidak berhubungan dengan masalah disolusi), misal : -
absorpsi bervariasi atau tidak lengkap;
-
eliminasi presistemik yang tinggi;
-
farmakokinetik nonlinear;
-
sifat-sifat fisiokimia yang tidak menguntungkan (misal : kelarutan rendah, permeabilitas rendah, tidak stabil, dsb.).
4) eksipien
dan
proses
pembuatannya
diketahui
mempengaruhi
bioekivalensi b. Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik, misal : sediaan transdermal, supositoria, permen karet nikotin, gel testosteron dan kontraseptif bawah kulit. c. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
5
d. Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah satu zat aktifnya memerlukan studi in vivo. e. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan nonsistemik (oral, nasal, okular, dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi harus
ditunjukkan
dengan
studi
klinik
atau
farmakodinamik,
dermatofarmakokinetik komparatif dan/atau studi in vitro. Pada kasuskasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah masih diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorpsi yang tidak diinginkan. Dalam hal. a s/d d, pengukuran kadar obat dalam plasma versus waktu biasanya cukup untuk membuktikan efikasi dan keamanan. Jika tidak, studi klinik atau farmakodinamik dapat digunakan untuk membuktikan ekivalensi. 2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi terbanding) a. Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo (tidak termasuk butir 1). b. Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan– uji disolusi terbanding dapat
diterima
untuk
kekuatan
yang
lebih
rendah
berdasarkan
perbandingan profil disolusi. 1) Tablet lepas cepat Produk obat “copy” dengan kekuatan berbeda, yang dibuat oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika : -
semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten ( sampai 10 mg per satuan dosis), zat inaktifnya sama banyak untuk semua kekuatan;
-
studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilh kekuatan yang lebih rendah); Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
6
-
profil disolusinya mirip antar kekuatan, f2 > 50.
2) Kapsul berisi butir-butir lepas lambat Jika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f2 > 50) dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup. 3) Tablet lepas lambat Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg per satuan dosis) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2 > 50, dalam 3 pH yang berbeda (antara pH 1.2 dan 7.5) dengan metode uji yang direkomendasi. c. Berdasarkan
sistem
klasifikasi
biofarmaseutik
(Biopharmaceutic
Classification System = BCS) dari zat aktif* serta karakteristik disolusi** dan profil disolusi *** dari produk obat. Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk produk obat oral lepas cepat yang disebutkan dalam butir 2.1.1. 1) zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam usus yang tinggi (BCS kelas 1), serta : -
produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau ;
-
produk obat memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip dengan produk pembanding.
2) zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam usus yang rendah (BCS kelas 3), serta :
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
7
-
produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, dan ;
-
produk obat tidak mengandung zat inaktif yang diketahui mengubah motilitas dan/atau permeabilitas saluran cerna.
3) zat aktif memiliki permeabilitas dalam usus yang tinggi tetapi kelarutan dalam air yang rendah (kelarutan dalam air tinggi hanya pada pH 6.8; BCS kelas 2 asam lemah), serta : -
produk obat memiliki disolusi yang cepat pada pH 6.8, dan ;
-
produk obat memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding (juga berlaku jika disolusi < 10% pada salah satu pH).
3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi a. Produk obat “copy” untuk penggunaan intravena sebagai larutan dalam air yang mengandung zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding. b. Produk obat ”copy” untuk penggunaan parenteral yang lain (misal : intramuskular, subkutan) sebagai larutan dalam air dan mengandung zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang sama atau mirip (similar) dalam kadar yang sebanding seperti dalam produk pembanding. Eksipien tertentu (misal : bufer, pengawet, antioksidan) boleh berbeda asalkan perubahan eksipien ini diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut. c. Produk obat “copy” berupa larutan untuk penggunaan oral (termasuk sirup, eliksir, tingtur atau bentuk larutan lain tetapi bukan suspensi), yang mengandung zat aktif dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding, dan hanya mengandung eksipien yang diketahui tidak mempunyai efek terhadap transit atau permeabilitas dalam saluran cerna dan dengan demikian terhadap absorpsi atau stabilitas zat aktif dalam saluran cerna. d. Produk obat “copy” berupa bubuk untuk dilarutkan dan larutannya memenuhi kriteria a, b, atau c tersebut di atas. e. Produk obat “copy” berupa gas. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
8
f. Produk obat “copy” berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan dalam air dan mengandung zat-zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang sebanding. Eksipien tertentu (misal : pengawet, buffer, zat untuk menyesuaikan tonisitas atau zat pengental) boleh berbeda asalkan penggunaaan eksipien ini diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut. g. Produk obat “copy” berupa sediaan obat topical sebagai larutan dalam air dan mengandung zat-zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang sebanding. h. Produk obat “copy” berupa larutan untuk aerosol atau produk inhalasi nebulizer atau semprot hidung, yang digunakan dengan atau tanpa alat yang praktis sama, sebagai larutan dalam air dan mengandung zat-zat aktif yang sama dalam kadar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang sebanding. Produk obat tersebut boleh memasukkan eksipien lain asalkan penggunaannya diperkirakan tidak akan mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut Untuk ketentuan f, g atau h tersebut di atas, pemohon harus menunjukkan bahwa eksipien dalam produk “copy” nya praktis sama dan dalam kadar yang sebanding dengan produk pembandingnya. Jika informasi mengenai produk pembanding ini tidak dapat diberikan oleh pemohon dan Badan POM tidak memiliki data ini, pemohon harus melakukan studi in vivo atau in vitro untuk menunjukkan bahwa perbedaan dalan eksipien ini tidak mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa obat generik masih menimbulkan keraguan. Baik di mata masyarakat maupun di kalangan praktisi kedokteran. Keraguan terhadap obat generik yang harganya lebih murah mengakibatkan munculnya anggapan bahwa semakin mahal harga obat maka semakin baik kualitasnya. Anggapan ini jelas keliru, karena dalam hal khasiat dan keamanannya obat generik tidak berbeda dengan obat inovator. Hanya saja, bahan baku obat generik dapat berasal dari tempat yang berbeda dari obat inovator (beda suplier). Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
9
Selain itu, masyarakat menganggap obat generik tidak bermutu berdasarkan oleh pengalaman mereka ketika mengkonsumsi obat generik. Contohnya adalah kecepatan obat inovator dalam memberikan efek terapi adalah 30 menit setelah minum obat, tetapi obat generik dengan kandungan yang sama ternyata dapat memberikan efek terapi 2 jam setelah minum obat. Hal ini juga yang membuat masyarakat enggan mengkonsumsi obat generik. Untuk menunjang visi Badan POM, yaitu memberikan perlindungan dan jaminan kepada masyarakat dengan melakukan penilaian obat berdasarkan pembuktian lengkap aspek khasiat, keamanan dan mutu dimana penilaian khasiat dan keamanan obat copy dilakukan berdasarkan data ekivalensi. Maka pada tahun 2005 Badan POM menetapkan Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK 00.05.3.1818 tanggal 29 Maret 2005 tentang “Pedoman Uji Bioekivalensi” yang merupakan pedoman yang mengatur pelaksanaan uji BE di Indonesia untuk menjamin efikasi, keamanan dan mutu obat generik yang beredar Indonesia. Selain itu pada tahun 2011 Badan POM telah menetapkan Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK. 03.1.23.12.11.10217 tentang “Obat Wajib Ekivalensi yang berisi ketentuan obat copy yang wajib uji ekivalensi. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka dalam rangka registrasi obat untuk mendapatkan izin edar, obat yang harus dilakukan uji BE harus menyerahkan laporan uji BE. Dengan adanya uji bioekivalensi dapat memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa obat copy ataupun obat generik yang sudah lolos uji bioekivalensi mempunyai quality, safety, dan efficacy yang sama dengan produk inovator. Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi adalah uji yang dilakukan untuk menjamin ketersediaan hayati obat generik dan kemampuannya dalam memberikan efek yang ekivalen dengan obat inovatornya sehingga dapat mnjamin kualitas obat generik. Jadi walaupun obat generik dan obat copy memiliki harga yang jauh lebih rendah di bawah obat inovator, tetapi mutu, khasiat dan keamanannya ekivalen dengan obat inovatornya. Dengan adanya jaminan ini, diharapkan masyarakat lebih mempercayai obat generik untuk digunakan sebagai pilihan dalam pengobatan. Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
10
2.2. Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi saluran pernapasan, dan gejala pernapasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan napas umumnya bersifat reversible, namun dapat menjadi kurang reversible bahkan relative non reversible, tergantung berat dan lamanya penyakit. Obstruksi saluran pernapasan disebabkan oleh banyak faktor seperti bronkospasme, edema, hipersekresi bronkus, hiperesponsif bronkus, dan inflamasi. Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui dan tidak diketahui, faktor-faktor itu meliputi terpapar alergen, virus, polutan atau zat-zat lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau konstriksi bronkus. Terlepasnya mediator kimiawi yang terbentuk pada saat cedera jaringan, mast sel, dan leukosit di saluran pernapasan juga dapat mengakibatkan timbulnya gejalagejala dan komplikasi asma. Mediator tersebut adalah histamin, eosinophilic chemotactic
factor
of
anaphylaxis
(ECF-A),
bermacam-macam
derivat
prostaglandin (leukotrien dan slow reacting substances of anaphylaxis, SRS-A), tumor necrosis factor (TNF), dan beberapa mediator sitokin (interleukins). Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan atau melalui pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain seperti bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop, batuk yang produktif (sering pada malam hari), dan nafas atau dada seperti tertekan. Gejala bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari. Obat-obat yang efektif untuk asma 1. β2 Agonis Merupakan bronkodilator yang sangat efektif yang bekerja dengan meningkatkan adenyl cyclase sehingga meningkatkan produksi intraseluler siklik AMP (adenosine mono fosfat). Peningkatan c AMP menyebabkan Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
11
relaksasi otot polos, stabilisasi mast sel, dan stimulasi otot rangka. Pemberian melalui aerosol akan meningkatkan bronkoselektivitas, mempercepat efek yang timbul serta mengurangi efek samping sistemiknya. Contoh golongan obat ini adalah albuterol, formeterol, salmeterol, dan terbutalin. 2. Metilxantin Bekerja dengan menghambat fosfodiesterase, suatu enzim intraseluler yang bekerja menginaktivasi c AMP di sel mast otot polos bronkus. Dengan
menghambat
fosfodiesterase,
kadar
c
AMP
meningkat,
menyebabkan bronkodilatasi, menghambat pelepasan mediator kimiawi dari sel mast, pelepasan eosinofil, mengurangi ekudasi plasma. Metilxantin tidak efektif jika diberikan melalui aerosol, maka harus diberikan melalui oral atau injeksi. Contoh golongan obat ini adalan teofilin dan aminofilin. 3. Antikolinergik Obat antikolinergik tidak digunakan secara luas dalam terapi asma. Merupakan inhibitor kompetitif yang dapat berefek bronkodilatasi karena bronkokonstriksi akibat perangsangan parasimpatik. Ipatropium bromid bermanfaat untuk terapi tambahan asma akut berat yang kurang responsif terhadap β2 agonis tunggal. 4. Antialergi Natrium kromolin dan Natrium nedocromil diyakini mempunyai efek stabilisasi membrane sel mast karena rangsangan zat alergen atau exercise induced broncospasm (EIB), sehingga menghambat pelepasan mediator kimiawi dari sel mast. Kedua obat ini tidak menyebabkan bronkodilatasi tetapi hanya mencegah konstriksi, sehingga hanya efektif untuk propilaksis asma karena alergi. 5. Glukokortikoid Dapat meningkatkan jumlah reseptor β2 adrenergik, oleh karena itu mengurangi
produksi
mucus,
hipersekresi,
dan
bronchial
hiperresponsiveness (BHR) Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
12
6. Leukotrin modifiers Penelitian terapi asma juga difokuskan untuk menemukan obat yang dapat menghambat kerja derivat prostaglandin yang disebut leukotrien (LT). leukotrien menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan produksi mukus dan inflamasi. Ada beberapa obat yang bekerja sebagai antagonis LT, yaitu Zafirlukas dan Zileuton.
2.3. MDI Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu, 1. Nebulizer 2. Metered dosed inhaler aerosol (dengan atau tanpa spacer/alat penyambung) 3. Dry powder inhaler Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhirakhir ini mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan ozon. Yang terpenting pada MDI adalah katup terukur (metered valve) yang secara akurat melepaskan partikel obat dengan dosis tertentu. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
13
berkisar 35 µm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 µm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 µm. Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofaring karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara perlahan
mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi perlahansampai maksimal
pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi maksimal
setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping. Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan
obat asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi, tidak menahan nafas selama 10 detik, tidak mengocok kanister sebelum digunakan, tidak berkumur setelah menggunakan MDI dan terbalik pemakaiannya. Kesalahan- kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
14
Adapun kekurangan MDI adalah sebagai berikut :
Manuver tidak mudah (koordinasi inhalasi dan gerakan harus baik)
Partikel MDI yang langsung ke mulut memiliki kecepatan yang tinggi dan ukuran droplet yang besar yang berakibat tingginya deposisi obat di orofaring
Cara pakai dan kondisi optimal hanya sekitar 20% dosis yang mencapai paru
Obat yang mengendap di tenggorokan dan tertelan, tidak banyak manfaatnya karena akan dimetabolisme oleh hati menjadi metabolit yang inaktif
CFC merusak lapisan ozon
Perlu instruksi dan pelatihan cara penggunaan alat
Kelembaban yang tinggi menjadi problem karena obat dapat menggumpal dan MDI tidak efektif pada temperatur di bawah 5 derajat
2.4. Salbutamol 2.4.1. Aspek Fisikokimia (Martindale 36) Berdasarkan Ph Eur. 6.2 (Salbutamol) : Serbuk kristal putih atau hampir putih. Sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol. Lindungi dari cahaya. Berdasarkan USP 31 (Albuterol) : Serbuk kristal putih, sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol. Lindungi dari cahaya. Berdasarkan Ph Eur. 6.2 (Salbutamol sulfat) : Serbuk Kristal putih atau hamper putih. Mudah larut dalam air, praktis tidak larut atau sangat sedikit larut dalam alcohol dan dalam diklorometana. Lindungi dari cahaya. Berdasarkan USP 31 (Albuterol sulfat) : Serbuk putih atau hampir putih. Mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, kloroform, dan eter. Lindungi dari cahaya. 2.4.2. Aspek Farmakologi Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor β2 adrenergik terutama pada otot bronkus. Golongan β2 agonis ini merangsang produksi AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil siklase. Efek utama setelah pemberian per oral adalah efek bronkodilatasi yang disebabkan Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
15
terjadinya relaksasi otot bronkus. Dibandingkan dengan isoprenalin, salbutamol bekerja lebih lama dan lebih aman karena efek stimulasi terhadap jantung lebih kecil maka bisa digunakan untuk pengobatan kejang bronkus pada pasien dengan penyakit jantung atau tekanan darah tinggi. 2.4.3. Aspek Farmakokinetika Salbutamol mudah diabsorbsi di saluran gastrointestinal. Ketika diberikan melalui inhalasi, 10 – 20 % dari dosis mencapai paru-paru. Sisanya mengendap atau ditelan dan diabsorbsi oleh usus. Salbutamol mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan mungkin dalam dinding usus, tetapi tidak dimetabolisme di paru-paru, metabolit utamanya adalah konjugat aktif sulfat. Salbutamol dengan cepat diekskresikan terutama dalam urin, sebagai obat dan metabolitnya yang tidak berubah, proporsi yang lebih sedikit diekskresikan dalam tinja. Waktu paruh plasma salbutamol telah diperkirakan berkisar antara 4-6 jam (Martindale 36).
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1
Waktu dan Tempat Pengkajian Penulisan literatur kajian kriteria uji BE Salbutamol MDI pada tanggal 2 –
24 September 2013, bertempat di Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT.
3.2
Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penulisan tugas khusus tentang kajian
kriteria uji BE Salbutamol MDI, yakni melalui penelusuran/studi literatur dari BPOM di Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT, yaitu di Sub Dit. Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat dan literatur lainnya.
16
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN Produk obat bukan larutan untuk penggunaan nonsistemik (oral, nasal, okular, dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik, dermatofarmakokinetik komparatif dan/atau studi in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah masih diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorpsi yang tidak diinginkan. Dari salah satu poin di atas, yang dikutip dari peraturan kepala Badan POM No. 00.05.3.1818 tanggal 29 Maret 2005 tentang “Pedoman Uji Bioekivalensi”, maka Salbutamol MDI dapat dikatakan wajib uji bioekivalensi dilihat dari sediaannya yang merupakan sediaan aerosol dengan cairan pembawa propelan. Sediaan MDI merupakan sediaan obat dimana zat aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan), yang apabila canister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Maka MDI dipakai sebagai obat dalam bentuk aerosol atau droplet dengan dosis tertentu. Oleh karena itu, obat copy Salbutamol MDI perlu melakukan uji bioekivalensi sebelum produknya beredar untuk memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa obat copy ataupun obat generik yang sudah lolos uji bioekivalensi mempunyai quality, safety, dan efficacy yang sama dengan produk inovator. Di samping itu, ada workshop di tahun 2009 yang membahas tentang bioekivalensi produk obat inhalasi oral yang bekerja lokal yang tercantum dalam Journal of Aerosol Medicine And Pulmonary Drug Delivery Volume 23, Number 1, 2010 yang berjudul “Demonstrating Bioequivalence of Locally Acting Orally Inhaled Drug Products (OIPs): Workshop Summary Report” menjelaskan tentang pentingnya uji bioekivalensi obat copy sebagai jaminan obat copy yang dihasilkan ekivalen secara terapetik dengan produk inovatornya. Dalam workshop tersebut 17
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
18
juga dibahas tentang usaha pendekatan in vitro untuk produk obat inhalasi oral yang bekerja lokal seperti bentuk sediaan MDI dan DPI. Dalam beberapa kasus, data komparatif in vitro dapat diterima jika produk uji memenuhi semua kriteria berikut : Produk ini mengandung zat aktif yang sama (misalnya garam yang sama, ester, hidrat, atau solvate). Bentuk sediaan farmasi yang identik (misalnya pMDI vs pMDI). Jika zat aktif dalam bentuk solid/padat (serbuk dalam suspensi), maka perbedaan dalam struktur
kristal dan/atau bentuk polimorfik tidak
mempengaruhi karakteristik disolusi, kinerja produk, atau partikel aerosol. Perbedaan kualitatif dan kuantitatif eksipien tidak mempengaruhi kinerja produk (misalnya keseragaman dosis yang tercapai), sifat partikel aerosol (misalnya efek higroskopis), dan tidak mempengaruhi penggunaan inhalasi pada pasien (misalnya pasien merasakan efek dingin pada mulut dan tenggorokan). Perbedaan kualitatif dan kuantitatif eksipien tidak mempengaruhi profil keamanan produk. Volume
inhalasi
yang
dihirup
melalui
suatu
alat/perangkat
untuk
menghasilkan jumlah zat aktif yang masuk ke dalam paru-paru harus sama. Penanganan perangkat inhalasi untuk melepaskan sejumlah zat aktif yang diperlukan harus sama. Perangkat inhalasi memiliki ketahanan aliran udara yang sama. Target dosis yang tercapai harus sama.
Universitas Indonesia
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN dan SARAN
5.1
Kesimpulan
5.1.1 Salah satu tugas dari Sub Dit Standardisasi dan Penilaian BA/BE Obat adalah melakukan penilaian terhadap protokol uji BE yang diajukan oleh industri farmasi untuk produk yang akan diedarkan. Tugas lainnya adalah melakukan kajian terhadap zat aktif baru, dengan bentuk sediaan tertentu, apakah diperlukan uji BE dengan melihat kriteria yang tertera di Pedoman Uji Ekivalensi. 5.1.2 Dari hasil kajian kriteria yang tertera di Pedoman Uji Ekivalensi, maka Salbutamol MDI disimpulkan perlu dilakukan uji bioekivalensi untuk menjamin efikasi, keamanan, dan mutu yang sama antara obat copy dan innovatornya.
5.2
Saran Sebaiknya peserta PKPA diikutsertakan dalam proses penilaian suatu
produk dikatakan wajib uji ekivalensi atau tidak. Peserta PKPA juga diharapkan dapat melaksanakan PKPA di Badan POM selanjutnya di seluruh direktorat Badan POM tidak hanya di satu direktorat saja, agar peserta PKPA mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan pengalaman praktis semua kegiatan yang dilaksanakan di Badan POM. Diperlukan juga studi literatur/data lebih lanjut untuk usaha pendekatan in vitro pada Salbutamol MDI.
19
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN Adams, Wallace P., dkk. 2010. Dalam Journal of Aerosol Medicine And Pulmonary Drug Delivery Volume 23, Number 1, 2010. “Demonstrating Bioequivalence of Locally Acting Orally Inhaled Drug Products (OIPs): Workshop Summary Report”. BPOM RI. 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta : BPOM RI. BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.12.11.10217 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi. Jakarta : BPOM RI. Kementerian Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197 Tahun 2004 tentang Upaya Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Pemerintah RI. 2009. UU RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta : Pemerintah RI. Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jakarta : Leskonfi. Supriyatno, Bambang dan Heda Melinda D Nataprawira. 2002. Dalam Jurnal Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 67 – 73. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Jakarta.
20
Laporan praktek….., Ajeng Isnaini, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia