UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK Y DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR
INDRYANI DEWY NPM: 1006823311
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI DEPOK JULI 2013
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK Y DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
INDRYANI DEWY 1006823311
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI DEPOK JULI 2013 Universitas Indonesia
i Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah peneliti nyatakan dengan benar.
Nama
: Indryani Dewy
NPM
: 1006823311
TandaTangan
:
Tanggal
: 10 Juli 2013
Universitas Indonesia
ii Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Indryani Dewy NPM : 10068023311 Program Studi : Ilmu Keperawatan Judul :Analisis Praktek Klinik
Keperawatan
Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program Studi Ekstensi Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing :Widyatuti,S.Kp.,MKes.,Sp.Kom
(______________________)
Penguji
(______________________)
Ditetapkan di Tanggal
: Ns. Ibnu Abas,S.Kep
: Depok : 10 Juli 2013
Universitas Indonesia
iii Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah akhir Ners yang berjudul “Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur STW Karya Bakti RIA Pembangunan Cibubur” dapat dilaksanakan dengan baik. Saya menyadari dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini terdapat banyak hambatan dan kesulitan. Namun, atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini tepat waktu. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Widyatuti S.Kp.,MKes.,Sp.Kom selaku pembimbing yang tidak pernah bosan memberikan bimbingan, masukan; 2. Ibu Dwi Nurviyandari, S.Kep., MN selaku dan coordinator peminatan keperawatan gerontik; 3. Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep. selaku kepala perawatan dan pembimbing lapangan di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, dan seluruh staf dilingkungan
Sasana Tresna Werdha yang telah mendukung seluruh
kegiatan yang diadakan mahasiswa; 4. Kedua orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan baik secara materi maupun motivasi serta mendoakan saya demi kelancaran penyelesaian karya ilmiah akhir ini. 5. Sahabat dan teman-teman saya ekstensi 2010 dan rekan satu bimbingan (Rizky, Aul, Mita, Jusy, P. Naedie seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun sangat membantu penulisan ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki.Saran dan kritik yang membangun sehingga di masa yang akan datang dapat membuat penelitian yang lebih baik.
Depok,10 Juli 2013 Penulis
Universitas Indonesia
iv Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Indryani Dewy
NPM
: 10068623311
Program Studi : Profesi Keperawatan Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jeniskarya
: Karya Ilmiah Akhir Ners
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti ”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Padatanggal : 10 Juli 2013 Yang menyatakan
( Indryani Dewy )
Universitas Indonesia
v Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Indryani Dewy
Program Studi : Profesi Keperawatan Judul
: Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Perubahan fisik pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan pada berbagai fungsi tubuh termasuk pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan penurunan kekuatan otot dan keseimbangan. Penurunan kekuatan otot ini dapat menghambat mobilitas fisik pada lansia yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain. Peran perawat sangat penting dalam mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan kekuatan otot dengan memberikan
latihan
pergerakan sendi (ROM). Setelah memberikan asuhan keperawatan selama tujuh minggu menunjukkan peningkatan kekuatan otot pada klien dan komplikasi dari imobilisasi dapat dicegah.
Kata Kunci: Perubahan fisik, hambatan mobilitas fisik, latihan pergerakan rentang sendi /ROM
vi Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
ABSTRACT
: Indryani Dewy Name Study Program : Nursing Profession Title : Clinical Practice Analysis of Urban Problems Health Nursing at Grandma Y With Impaired Physical Mobility at Bungur’s homestead Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Physical changes in the elderly cause a decrease in the various functions of the body including the musculoskeletal system that causes a decrease in muscle strength and balance. This decline in muscle strength can inhibit physical mobility in the elderly that causes dependence on others. Nurse's role is very important in preventing complications due to decreased muscle strength by providing training joint motion (ROM). After providing nursing care for seven weeks showed an increase in muscle strength in the client and preventable complications of immobilization.
Keywords: Physical changes, physically impaired mobility, ROM/ Range Of Motion exercises
vii Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...........................................................v ABSTRAK ............................................................................................................ vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................x BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan .........................................................................................................9 1.3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................11 2.1 Lansia ....................................................................................................... 11 2.1.1. Pengertian .............................................................................................11 2.1.2.Permasalahan Kesehatan Pada Lansia ...................................................12 2.1.3. Pelayanan Geriatri Terpadu ..................................................................14 2.2. Asuhan Keperawatan Klien dengan Hambatan Mobilitas Fisik ..............15 2.2.1.Pengertian Mobilitas dan Imobilitas .................................................... 15 2.2.2. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik ....................................................16 2.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Fisik .............................16 2.2.4. Kemandirian Pada Lansia .....................................................................20 2.2.5. Aktivitas Sehari-Hari Pada Lansia ....................................................... 21 2.3. ROM (Range Of Motion)........................................................................26 2.3.1. Pengertian ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) ........................ 26 2.3.2.Tujuan ROM .........................................................................................26 2.3.3.Jenis-Jenis ROM ....................................................................................27 2.3.4. Jenis Gerakan ....................................................................................... 27 2.3.5. Indikasi ROM ....................................................................................... 27 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ....................................... 28 3.1 . Gambaran Kasus .....................................................................................28 3.2. Rencana Intervensi Keperawatan ...........................................................30 3.3. Implementasi Keperawatan ..................................................................... 31 3.4. Evaluasi Keperawatan dan Rencana Tindak Lanjut ..............................32 BAB 4 ANALISIS SITUASI ...............................................................................36 4.1 Profil Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti ............................................36 4.2 Analisis Masalah Konsep Penuaan ...........................................................38 4.3 Analisis Masalah terkait Konsep Lansia di Panti .....................................39 4.4. Analisis Tindakan ROM (Range Of Motion) ..........................................43 4.5. Analisis Tindakan Balance Exercise .......................................................44 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................47 5.1 Simpulan ...................................................................................................47 5.2 Saran .........................................................................................................48
viii Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................49 LAMPIRAN .......................................................................................................... x
ix Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sejak dalam kandungan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Masa usia tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65 dan 75 tahun (Potter & Perry, 2005). Meningkatnya usia harapan hidup merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan. Peningkatan usia harapan hidup mencermin kan panjangnya masa hidup lanjut usia (BPS,2004). Menurut Depkes RI, (2007) rata-rata usia harapan hidup tertinggi adalah di Jepang yaitu 80,93 tahun (pria 77,63 tahun dan wanita 84,41 tahun), Amerika serikat 77,14 tahun (pria 74,37 tahun dan wanita 80,05 tahun), sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) perkiraan lansia di Indonesia yang berusia lebih dari 65 tahun sebanyak 7,18% pada tahun 2000 dan diperkirakan naik menjadi 8,5% pada tahun 2020 penduduk lansia di Indonesia sebanyak 28,8 juta atau 11,34 %, dan merupakan lansia yang terbesar didunia (Nurviyandari, 2011) Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Semakin bertambahnya usia, maka seseorang akan rentan terhadap suat penyakit karena adanya penurunan pada sistem tubuhnya. Penurunan dan perubahan struktur fungsi, baik fisik maupun mental pada sistem muskuloskeletal dapat mempengaruhi mobilitas fisik pada lansia yang mengakibatkan gangguan pada mobilitas fisik pada lansia yang akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk tetap beraktivitas.
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang dan pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati kehidupan. Walaupun jenis aktivitas berubah sepanjang kehidupan manusia, mempertahankan mobilitas optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia. Lansia yang mempunyai mobilitas fisik yang tinggi akan meningkatkan kontrol keseimbangan fisiknya, sehingga resiko jatuh sangat rendah (Guccione, 2000).
1 Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
Penurunan
aktivitas akan menyebabkan kelemahan, atropi sehingga akan
mengakibatkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas. Selain itu, berbagai kondisi medis yang lebih prevalen di saat usia lanjut cenderung akan menghambat aktivitas rutin pada individu tersebut (Taslim, 2001).
Hambatan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk sebagian besar orang tidak terjadi secara tiba-tiba, bergerak dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidakaktifan, tetapi lebih berkembang secara perlahan dan tanpa disadari. Intervensi yang dapat dilakukan yaitu dengan diarahkan pada pencegahan ke arah konsekuensi-konsekuensi imobilisasi dan ketidakaktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya jika tidak diatasi atau aktivitas tidak dipertahankan akan menghambat mobilitas fisik.
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2012). Hambatan mobilitas fisik yang terjadi pada lansia mempengaruhi perubahanperubahan dalam motorik yang meliputi menurunnya kekuatan dan tenaga yang biasanya menyertai perubahan fisik yang terjadi karena bertambahnya usia, menurunnya kekerasan otot, kekakuan pada persendian, gemetar pada tangan, kepala dan rahang bawah. Hambatan mobilitas fisik umumnya disebabkan oleh adanya gangguan pada muskuloskeletal. Perubahan fisik akan mempengaruhi tingkat kemandirian lansia.
Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak bergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Lerner, 1976). Orem, (2001) menggambarkan lansia sebagai unit yang juga menghendaki kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya. Penurunan tingkat kemandirian lansia, salah satunya dapat disebabkan karena adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
3
Kelemahan otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung (Darmojo, 2004 dalam Nurviyandari, 2011). Kane dan Ouslander (dalam Siburian, 2007) menjelaskan urutan tiga teratas dari masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar). Bahaya fisik yang ada di dalam komunitas dan tempat pelayanan kesehatan menyebabkan lansia beresiko mengalami cedera.
Cedera atau jatuh merupakan penyebab utama kematian akibat kecelakaan pada klien yang berusia 75 tahun atau lebih (Accident Facts,1993 dalam Potter & Perry,2005). Bahaya fisik khususnya yang mengakibatkan jatuh, dapat diminimalkan melalui pencahayaan yang adekuat, pengurangan penghalang fisik, pengontrolan bahaya yang mungkin ada di kamar mandi, dan tindakan pengamanan. Bagi lansia, keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan fisiologis dasar, seperti makanan dan air (Stockslager & Schaeffer, (2008). Beberapa ahli yaitu Burbank, Butler, Evans, Nied & Franklin dan Wilmore meresepkan olahraga bagi lansia yang berunsur memadukan gerak untuk melatih keseimbangan, dengan pembebanan yang memacu kekuatan otot, peregangan untuk meningkatkan kelenturan badan, dan kontraksi otot-otot badan (Budiharjo, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mira Koniyo, (2011) menyimpulkan bahwa 75% tindakan ROM pasif mampu mengatasi konstipasi pada pasien stroke dan penelitian Wuri yang menyimpulkan dengan seringnya seseorang melakukan ROM sangat bermanfaat menjaga kebugaran tubuh pada lansia.
Latihan fisik berupa ROM (Range of Motion) aktif dan pasif perlu diberikan kepada lansia, karena dianggap memberi pengaruh yang lebih signifikan, antara lain: fleksibilitas untuk melatih keadekuatan gerakan sendi, dan kekuatan. Pada klien dengan DM dapat terjadi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
4
Resiko ketrebatasan fisik 2-3 lipat pada lansia penderita DM, dan risiko ini lebih besar pada wanita. Dampak semua ini adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM yang mengalami jatuh dan fraktur Brown, 2007). Mobilitas yang baik dapat diperoleh dengan melakukan latihan fisik yang berguna untuk menjaga agar fungsi sendi-sendi dan postur tubuh tetap baik agar tidak terjadi kekakuan sendi. Latihan dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan lansia (Siburian, 2006; Martono, 2009).
Aktivitas fisik dapat memberikan pengaruh yang baik bagi kesehatan tubuh pada lansia salah satunya adalah melatih kemampuan otot sendi pada lansia. Lansia yang masih terus melakukan latihan fisik, masih mempunyai koordinasi dan keterampilan fisik yang lebih baik dibanding yang tidak melakukan latihan fisik. Aktivitas ringan sampai sedang secara teratur dapat meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung serta menaikkan ambilan oksigen oleh otot jantung dan skeletal serta terbukti menurunkan keletihan, meningkatkan energi sehingga dapat membantu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan psikologis (Smeltzer, dan Bare, 2002). Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur dapat mencegah osteoporosis, termasuk patah tulang karena osteoporosis dan jatuh. Olahraga dapat meningkatkan massa tulang, kepadatan, dan kekuatan pada lansia. Olahraga juga melindungi melawan patuh tulang panggul (Megan, 2008).
Peningkatan jumlah lansia harus diiringi oleh pembinaan kesejahteraan lanjut usia yang ditangani oleh Depsos yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan, sehingga lansia dapat menikmati sisa hidupnya dengan tenang, aman dan sejahtera baik lahir maupun batin. Namun masih ditemukan lansia di Indonesia yang terlantar, dari 18 juta lansia,tercatat sebanyak 2,8 juta orang dan lansia rawan telantar 4,6 juta orang, hal ini terjadi karena faktor ekonomi, gaya hidup, ataupun budaya (Salim, 2013 dalam tempo.co, 2013).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
5
Perubahan nilai-nilai keluarga dipengaruhi akibat tehnologi informasi dan derasnya budaya luar yang masuk ke Indonesia. Perubahan -perubahan yang cepat akibat modernisasi menyebabkan masalah psikologis yang dihadapi lansia. Perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri menyebabkan persaingan kerja yang tinggi dan peningkatan mobilitas penduduk yang cepat. Proses konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri juga terus meningkat, hal ini mendorong penduduk usia produktif meninggalkan daerah pertanian menuju ke pusat-pusat industri. Kondisi ini membuat lansia frustasi karena perhatian anak merawat lansia berkurang.
Merawat
orang tua pada masyarakat pedesaan adalah pekerjaan yang mulia.
Bahkan ada kepercayaan jika orang tua yang dirawat sang anak meninggal, anak tersebut seperti menerima berkah, masyarakat di pedesaaan tidak mengenal panti jompo. Pada masa mendatang kecenderungan bentuk extended family berubah menjadi nuclear family, dengan konsekuensi terjadi perubahan dalam nilai-nilai keluarga (Kartomo, 1994). Keadaan keluarga pada masyarakat perkotaan yang kurang kondusif dan ketidakmampuan keluarga mengurus lansia akan memicu alternatif penitipan lansia pada satu hunian khusus lansia yang banyak terdapat didaerah perkotaan yaitu panti werdha. Lansia dapat memilih untuk tetap tinggal bersama keluarga atau tinggal di institusi. Latar belakang dilakukannya pelayanan dan pembinaan terhadap lansia di PSTW oleh Pemda DKI Jakarta, antara lain karena semakin tergesernya nilai-nilai pola keluarga kecil yang mengakibatkan terlantarnya sebagian lansia ( Nataprawira, 2012).
Salah satu satu program pemerintah dalam mengatasi peningkatan jumlah lansia ialah dengan adanya pembangunan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) dan merupakan salah satu pemecahan masalah perkotaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi masalah lansia yang jumlahnya akan terus meningkat. Keberadaan panti ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu masyarakat perkotaaan untuk membantu merawat orang tua dan memberi kesempatan mereka beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
6
tresna werdha yang berarti menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah satu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok usia lanjut dalam menapaki hari akhor kehidupannya (Ihromi, 1999). Panti jompo atau panti werdha
adalah
mereka yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang merawat. Pelayanan dalam panti selain dalam bentuk makan, minum dan tempat tidur juga pelayanan kerohanian seperti belajar agama dan rekreasi, sedangkan pelayanan diluar panti adalah pelayanan lansia dimasyarakat/keluarga (Depsos,2002).
Sasana wredha adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang yang telah lanjut usia, baik yang secara sukarela maupun diserahkan keluarga untuk diurus segala keperluannya, yang dikelola baik oleh yayasan maupun dikelola oleh pemerintah, dan sudah menjadi kewajiban negara untuk menjaga dan memelihara setiap warga negaranya seperti tercantum dalam peraturan pemerintah No 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia, yang mencakup pelayanan keagamaan, mental, spiritual, pelayanan kesehatan dan pelayanan umum serta kemudahan dalam penggunaaan fasilitas umum bagi lansia (menkokesra, 2005). Salah satu contoh panti werdha yang ada didaerah perkotaan yaitu Sasana Tresna Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan sebagai salah satu pilihan hunian lansia saat ini merupakan suatu institusi milik organisasi RIA Pembangunan yang sudah mempersiapkan sasana werdha bagi para lansia yang berpendidikan baik dan masih produktif. Sasana Tresna Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan dilengkapi oleh fasilitas hunian klinik, fasilitas penunjang kesehatan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia. Dukungan dari berbagai pihak diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang mandiri dan sejahtera bagi lansia. Dengan demikian mereka dapat menjalani kehidupan sebagai lansia yang mandiri, sehat, dan produktif, tanpa membebani atau tergantung pada orang lain.
Hal
ini sesuai dengan sasaran Healthy City yaitu terwujudnya tempat yang
mampu menjalin kerjasama antar masyarakat, pemerintah daerah dan pihak swasta, serta dapat menampung
aspirasi masyarakat dan kebijaksanaan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
7
pemerintah secara seimbang dan berkelanjutan dalam mewujudkan sinergi pembangunan yang baik.,terselenggaranya upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya yang dapat mengikatkan kesehatan dan mencegah terjadinya resiko penyakit dengan memaksimalkan seluruh potensi sumber daya di kota secara mandiri. dan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang adil dan merata bermutu sesuai dengan standard dan etika profesi.(Barton, . 2000).
Perawat memiliki peranan yang penting dalam memberikan asuhan keperawatan keparawatan pada lansia yang memutuskan tinggal di satu tempat/sasana dengan melakukan pengkajian aspek biopsikososiospiritual. Asuhan keperawatan untuk mengatasi hambatan mobilitas fisisk adalah megajarkan cara penggunaan alat bantu jalan, membantu dalam ambulasi klien, mengajarkan cara melakukan latihan rentang gerak sendi untuk memepertahankan kekuatan dan fleksibilitas sendi klien, memberikan kompres yang hangat pada area yang nyeri/kaku (Wilkinson dan Ahern, 2012). Hambatan dalam mobilitas fisik dapat mengakibatkan tingkat ketergantungan kepada orang lain menjadi tinggi. Salah satu Pengkajian keperawatan mengenai kemandirian menggunakan indeks katz atau Barthel indeks. Hal ini sesuai dengan teori Orem yang menyatakan bahwa lansia juga menghendaki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sesuai kemampuannya.Namun akibat proses penuaan yang terjadi pada lansia mengakibatkan tingkat kemandirian lansia menjadi berkurang sehingga lansia menjadi tergantung kepada orang lain
Hasil pengkajian dan penelitian sebelumnya tentang keterbatasan rentang gerak sendi di STW Karya Bhakti khususnya di Wisma Bungur, didapatkan delapan dari 14 lansia (44,4 %) memiliki keterbatasan rentang gerak sendi, tujuh diantaranya memiliki
ketergantungan
sebagian,
sedangkan
satu
lansia
memiliki
ketergantungan total. Masalah keterbatasan sendi dikarenakan rasa nyeri saat sendi digerakkan, kekakuan sendi, serta penurunan fungsi yang akhirnya menyebabkan suatu kondisi keterbatasan dalam pergerakan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
8
Observasi yang dilakukan di STW KBRP, Kegiatan untuk melatih kekuatan otot dan fleksibilitas sendi sudah menjadi kebijakan STW untuk melatih kekuatan otot werdha sehingga diharapkan tingkat kemandirian juga meningkat. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari meliputi senam bugar lansia, senam GLO (Gerak latih Otak) disebut dengan triloka, senior fitnes, senam bersama, serta senam jantung yaitu senam pagi, namun tidak semua lansia mengikuti kegiatan senam yang diadakan dengan optimal, hal ini disebabkan berbagai kondisi seperti lansia yang memiliki riwayat jatuh sehingga mengikuti senam diatas kursi roda, tidak seriusnya lansia mengikuti gerakan yang diinstruksikan, keterbatasan sumber daya manusia yang memantau latihan senam yang dilakukan oleh lansia, akibat kelemahan organik (impairment), keterbatasan kemampuan (disability), dan ketidakmampuan melakukan kegiatan (handicap), dan tidak semua lansia berpartisipasi dalam kegiatan senam tersebut. Sementara pengkajian tingkat kemandirian melalui indeks katz tidak dilakukan pemantauan secara rutin. Jika tingkat kemandirian lansia yang tinggal di STW ini terganggu baik karena faktor penuaan ataupun karena riwayat jatuh sehingga mengakibatkan ketergantungan lansia menjadi tinggi, maka STW menjadi fasilitator dalam menyediakan tenaga sosial/caregiver yang membantu lansia memenuhi kebutuhan sehari-hari
Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan dari salah satu penghuni wisma Bungur STW Bakti RIA Pembangunan adalah hambatan mobilitas fisik, dimana nenek Y mengalami keterbatasan dalam kemandirian mengurus dirinya sendiri, sehingga nenek Y sanagat bergantung kepada orang lain (caregiver), menggunakan alat bantu ambulasi berupa kursi roda, tongkat, atau walker. Nenek Y juga mengalami penurunan kekuatan otot, hasil penilaian indeks Katz : 1= gangguan fungsional berat (ketergantungan tinggi)/ skala E, dimana aktivitas seperti mandi, toileting, kontinen,berpindah tempat masih bergantung terhadap orang lain sehingga diberikan skor 0, dan aktivitas makan dapat dilakukan secara mandiri walaupun masih perlu disiapkan oleh orang lain, oleh karena itu diberikam nilai 1. Nenek Y juga mempunyai riwayat jatuh sebanyak empat kali serta mengalami masalah neuropati perifer akibat penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan fenomena dan data diatas menjadikan penulis merasa tertarik untuk
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
9
mempelajari dan mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada nenek Y dengan masalah hambatan mobilitas fisik, disertai dengan penurunan sensasi rasa kebas karena neuropati perifer akibat komplikasi dari penyakit DM yang dialami. 1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Terpaparnya asuhan keperawatan pada nenek Y
dengan masalah
hambatan mobilitas fisik di Wisma Bungur STW Karya Bakti RIA Pembangunan
1.2.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan ini adalah teridentifikasinya: a. Data pengkajian yang mendukung penegakan diagnosa hambatan mobilitas fisik pada nenek Y b. Penetapan diagnosa hambatan mobilitas fisik pada nenek Y c. Rencana intervensi terhadap diagnosa hambatan mobilitas fisik pada nenek Y d. Implementasi masalah hambatan mobilitas fisik berupa latihan ROM (Range Of Motion) dan senam kaki di Wisma Bungur STW Karya Bakti RIA Pembangunan (KBRP) e. Evaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan dan mendokumentasikan asuhan keperawatan pada nenek Y dengan masalah hambatan mobilitas fisik. 1.3. Manfaat Penulisan 1.3.1. Bagi Pengelola STW Karya Bakti RIA Pembangunan (KBRP) Penulisan karya ilmiah akhir ini dapat dijadikan masukan dan data awal terhadap evaluasi pencapaian kegiatan senam lansia untuk melatih kekuatan otot werdha yang tinggal di sasana, sehingga kekuatan otot dan rentang gerak sendi nenek Y dapat meningkat dengan rutin melakukan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
10
ROM. Selain itu dengan terbatasnya sumber daya manusia yang ada di STW KBRP dapat memanfaatkan caregiver yang membantu nenek Y dengan memberikan pelatihan dasar latihan gerak sendi ( ROM) 1.3.2. Bagi Institusi Keperawatan. Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan bisa menjadi data yang mendukung bahwa hambatan mobilitas fisik adalah masalah utama yang banyak ditemukan pada lansia akibat perubahan fisik dan penyakit, selain itu hasil penulisan ini bisa menjadi data dasar untuk mengembangkan intervensi dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia, sehingga kekuatan otot lansia dan fleksibilitas sendi meningkat sehingga diharapkan tingkat kemandirian lansia dapat meningkat dan ketergantung an kepada orang lain berkurang
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Lansia 2.1.1. Pengertian Lansia dan Proses Penuaan Lanjut Usia (lansia ) adalah seseorang yang telah berumur 60 tahun ke yang rentan terhadap bermacam masalah kesehatan (Beni, 2001; KKBI, 2010). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mendefinisikan
lansia
adalah seseorang yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannnya terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian (Prihastuti, 2001). UndangUndang no 23 tahun 1992 mendefinisikan lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologik, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada aspek kehidupan termasuk kesehatannya. Lanjut usia (lansia) adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batasan usia 60 tahun ke atas. Berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih, dimana telah terjadi perubahan biologik, fisik dan mental dan rentan terjadi berbagai penyakit.
Kesejahteraan individu lansia tergantung pada faktor fisik, mental, sosial dan lingkungan. Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap klien yang
bukan
merupakan proses yang patologis. Perubahan ini terjadi pada setiap orang tetapi dengan kecepatan yang berbeda dan bergantung pada keadaan dalam kehidupan. Berbagai
teori
menjelaskan
tentang
proses
penuaan.
Teori
biologis
mendefinisikan penuaan sebagai akhir suatu proses yang menyebabkan perubahan di dalam sel dan jaringan tubuh. Salah satu teori biologis adalah wear and tear theory yang menjelaskan bahwa tubuh akan mengalami kerusakan sesuai jadwal. Teori ini juga menjelaskan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi fungsi tubuh (Stanley dan Beare, 2007). Proses penuaan (degeneratif) dapat menyebabkan atrofi. Atrofi dapat terjadi pada otot, kerangka tulang, kulit, otak, hati, ginjal serta jantung.
11
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
12
Atrofi pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena kurang aktif dari organ tersebut, tidak cukup nutrisi, dan kurang stimulasi hormonal (osteoporosis wanita menopause), dan kehilangan sel. Atrofi pada otot menimbulkan tungkai mengecil (menjadi lebih kurus) karena berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut otot tipe II, tenaga berkurang/menurun. Atrofi pada saraf menyebabkan saraf kehilangan serabut myelin, sehingga kecepatan hantaran saraf berkurang serta refleks menjadi lebih lambat (Hanafiah, 2008). Atrofi otot dan saraf bersamaan menyebabkan gerakan menjadi lebih kaku (seperti robot), dan gangguan keseimbangan berdiri, kondisi ini akan mengakibatkan resiko terjadinya jatuh. Atrofi pada kerangka tulang, tulang menjadi lebih rapuh sehingga mudah mengalami patah tanpa cedera yang berarti, terutama pada wanita dimana terjadi penurunan kalsium yang berdampak berkurangnya kepadatan tulang sehingga tinggi badan berkurang karena tulang punggung yang memendek serta hilangnya cairan pada lempeng (diskus) antar tulang belakang. Tulang punggung juga akan bertambah bongkok yang mengakibatkan tinggi badan semakin berkurang, osteoporosis yang lebih lanjut menyebabkan nyeri, deformitas dan fraktur (Hanafiah, 2008; Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Hal ini dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot terutama otot ekstremitas bawah, ketahanan, dan koordinasi serta terbatasnya range of motion (ROM) (Miller, 2004). Kelemahan otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung (Darmojo, 2004 dalam Nurviyandari, 2010). 2.1.2. Permasalahan Kesehatan Pada Lansia Proses menjadi tua adalah proses alamiah, yang berarti seseorang telah melewati tiga tahap kehidupan yaitu: anak, remaja, dan dewasa. Tahap kehidupan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Lansia akan mengalami berbagai masalah kesehatan. Masalah kesehatan terbagi dalam tiga kategori yaitu: disease ( aspek pato- fisiologis), illness ( aspek psikologis) dan sicknesss (aspek sosial). Tribudi & Yudarini, (2001) menggambarkan konseptual menurut Blum, bahwa status kesehatan lansia dipengaruhi empat kelompok faktor sebagai
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
13
berikut: status kesehatan lansia, pengaruh berbagai faktor terhadap kesehatan lansia, upaya pelayanan kesehatan lansia, dan pembinaan kesehatan usia lanjurt dimasyarakat.
Faktor pertama yaitu status kesehatan lansia: meskipun secara perorangan terlihat sebagai kemunduran fisik dan penyakit yang spesifik, namun secara kelompok perlu dipelajari proporsi dan distribusi kesehatan lansia ditinjau dari berbagai faktor seperti jenis kelamin, gaya hidup dan lain-lain. Gaya hidup kurang gerak banyak terjadi pada lansia penghuni panti yang dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti tingkat mobilitas dan perilaku dari kelompok teman sebaya yang kurang gerak ataupun anjuran untuk penggunaan kursi roda pada penghuni yang pasif (Stanley dan Beare, 2007).
Faktor kedua yaitu pengaruh berbagai faktor terhadap status kesehatan lansia: faktor-faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit meliputi: pola diet, kurang olah raga, kebiasaan merokok, dan diabetes mellitus. Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis. Lansia yang mengalami penurunan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan bertumpu pada keluarganya. Keluarga dapat menjadi support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya agar mereka tetap bahagia dan sejahtera. Peran keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan atau meningkatkan status mental mental, mengantisipasi perubahan sosial dan ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia (maryam, 2008).
Upaya pelayanan kesehatan lansia merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi kesehatan lansia. Upaya pelayanan kesehatan meliputi kegiatan promotif/preventif seperti penyuluhan gizi dan olahraga, fisioterapi dan tindakan rehabilitatif, pengobatan, dan pelayanan laboratorium. Pembinaan kesehatan lanjut usia di masyarakat merupakan faktor ke empat yang mempengaruhi kesehatan lansia. Departemen kesehatan telah mengeluarkan kebijakan tentang pembinaan kesehatan lansia dengan harapan agar lansia mampu mandiri selama mungkin dan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
14
keluarga dapat memahami dan berperan serta dalam pembinaan lansia. Keberadaan panti ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu meringankan tugas keluarga untuk merawat lansia dan memberi kesempatan mereka beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana tresna werdha yang berarti tempat menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah satu pemecahan masalah kelompok usia lanjut dalam menapaki hari akhir kehidupannya (Ihromi, 1999). Jenis pembinaan mengetahui sedini mungkin proses penuaaan, pentingnya pemeriksaan berkala, latihan jasmani, diet yang seimbang, kegiatan sosial, juga perlu diajarkan penggunaan alat bantu sesuai dengan kebutuhan Bagan1.Pengaruh Berbagai Faktor Terhadap Status kesehatan Lansia Faktor dalam diri lansia: jenis kelamin, gaya hidup, pendidikan, pekerjaan, status pekerjaan, status perkawinan, perumahan, upaya pengobatan
Faktor Lingkungan: biologis, fisik, sosial- budaya
Status Kesehatan lansia
Faktor keluarga: jenis kelamin, jumlah generasi, sikap dan praktek, kehidupan beragama, tingkat sosial
Faktor Pelayanan kesehatan
Sumber: Blum dalam Tribudi & Yudarini, (2001) (telah diolah kembali)
2.1.3. Pelayanan geriatri terpadu Pelayanan geriatri terpadu dapat dilaksanakan diberbagai tingkat
pelayanan
seperti rumah sakit, puskesmas, klinik swasta, panti wredha dan di rumah pasien/keluarganya. Fasilitas pelayanan untuk pasien geriatri dikategorikan sebagai berikut: a) pelayanan sederhana (hanya memiliki fasilitas poliklinik), b), pelayanan sedang (memiliki fasilitas poliklinik dan klinik siang (day hospital), c),pelayanan lengkap (memiliki fasilitas poliklinik dan klinik siang,ruang rawat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
15
akut dan kronik), d) pelayanan paripurna (merupakan pelayanan lengkap ditambah fasilitas panti wredha) (Riley, Abeles, Teitelbaum, 1982 dalam Tribudi & Yudarini, (2001).
2.2. Asuhan keperawatan Klien dengan Hambatan Mobilitas Fisik 2.2.1. Pengertian Mobilitas Fisik Dan Imobilitas Fisik Mobilitas secara langsung banyak bergantung pada sistem muskuloskeletal, tetapi mobilitas yang aman dipengaruhi oleh beberapa aspek fungsi tubuh seperti perubahan kemampuan sensoris dan perubahan akibat perubahan pada sistem muskuloskeletal, penglihatan, pendengaran terutama bila lansia tidak mengenal dengan baik lingkungan dipanti (Miller, 2004).
Mobilitas merupakan pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang, yang jenisnya berubah-ubah sesuai dengan rentang kehidupan manusia. Mempertahankan kemampuan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lanjut usia (Stanley dan Beare, 2007). Mobilitas fisik merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan immobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas (Perry & Potter, 2005), sementara menurut NANDA, (2011) menyatakan hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu atau lebih ektremitas secara mandiri dan terarah, meliputi tingkat 0: mandiri total; tingkat 1: memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu; tingkat 2: memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan, pengawasan atau pengajaran; tingkat 3: memerlukan bantuan orang lain dan peralatan atau alat bantu; tingkat 4: ketergantungan: tidak berpartisipasi dalam aktivitas, yang ditandai dengan penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak balikkan posisi, dispnea setelah beraktivitas, perubahan cara berjalan, pergerakan gemetar, keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus, keterbatasan rentang pergerakan sendi, tremor akibat pergerakan, ketidakstabilan postur, pergerakan lambat, pergerakan tidak terkoordinasi.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
16
2.2.2. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik Keletihan dan kelemahan menjadi penyebab paling umum yang sering terjadi dan menjadi keluhan bagi lanjut usia. Sekitar 43% lanjut usia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang gerak yang turut berperan terhadap intoleransi akivitas fisik dan penyakit, sekitar 50% penurunan fungsional pada lanjut usia dikaitkan dengan kejadian penyakit sehingga mengakibatkan mereka menjadi ketergantungan kepada orang lain (Stanley dan Beare, 2007). Sementara menurut Hadiwinoto dan Setiabudi (1999) menyebutkan bahwa depresi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penurunan ADL pada lanjut usia.
2.2.3 Faktor -Faktor Yang Berpengaruh Pada Mobilitas Fisik Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan internal dan eksternal. a) Faktor Internal Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah: Penurunan fungsi muskuloskeletal:
Otot (adanya atrofi, distrofi, atau
cedera), tulang (adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteomalaisa, Sendi (adanya artritis dan tumor) Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit degeneratif, terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi. Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan trauma. Defisit perseptual: berkurangnya kemampuan kognitif Jatuh Perubahan fungsi sosial Aspek psikologis b) Faktor Eksternal Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah:
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
17
Program terapeutik: Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada program
pembatasan
yang
meliputi
faktor-faktor
mekanis
dan
farmakologis, tirah baring, dan restrain. Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan traksi) atau alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan pemberian oksigen). Agens farmakologik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat
mengurangi
pergerakan
atau
menghilangkannya
secara
keseluruhan. Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera. Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor fisiologis atau psikologis. Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera ketika
seseorang berusaha
untuk memperoleh
kebebasan
dan
mobilitasnya. Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni panti
jompo,
mereka
yang
dapat
berjalan
dianjurkan
untuk
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
18
menggunakan kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif. karakteristik
staf:
Karakteristik
dari
staf
keperawatan
yang
mempengaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat
dengan
suatu
komitmen
untuk
menolong
lansia
mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah komplikasi imobilitas. Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi dari imobilitas. Hambatan – hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak. Kebijakan - kebijakan institusional:
faktor lingkungan lain yang
penting untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi.
Praktik
pengaturan
yang
formal
dan
informal
mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional
ini dan
kebebasan individu. Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas. Sementara Faktor yang berpengaruh dalam mobilitas fisik menurut Long et al, (1993 dalam Potter& Perry, 2005) meliputi perubahan metabolik, perubahan sistem muskuloskeletal. Perubahan metabolik akibat defisiensi kalori dan protein Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
19
yang mengalami penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Jika terjadi defisiensi
protein menyebabkan pemecahan asam amino yang dieksresikan
daripada yang dimakan, sehingga tubuh mengalami keseimbangan negatif, kehilangan berat badan, penurunan masa otot terutama pada hati, jantung, paruparu, saluran pencernaan dan sistem kekebalan dan kelemahan akibat katabolisme jaringan
Usia lanjut mamiliki risiko malnutrisi yang tinggi karena
terjadi
penurunan asupan makanan yang disebabkan oleh perubahan fungsi usus, metabolisme yang tidak efektif, kegagalan homeostatis dan defek utilisasi nutrien. ( Thomas, 2003)
Perubahan pada sistem muskuloskeletal dapat mempengaruhi imobilisasi melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi (Potter& Perry, 2005).
Pemberian asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan analisis data, merencanakan intervensi keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai intervensi/rencana yang ada, dan melakukan evaluasi berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Pengkajian merupakan tahap pertama dari proses keperawatan. Pengkajian klien dengan hambatan mobilitas fisik dapat diperoleh baik melalui data subyektif maupun data obyektif. Data subyektif yang perlu digali antara lain riwayat gejala seperti kelelahan, nyeri, kelemahanotot, riwayat gangguan sistemik pada neurologis, muskuloskeletal, riwayat trauma seperti fraktr, cedera kepala, atau pembedahan abdomen. Sedangkan data obyektif yang perlu dikaji adalah fungsi motorik pada lengan atau tungkai, kemampuan mobilitas, gaya berjalan, alat bantu jalan, rentang gerak sendi, tekanan darah pernafasan, sirkulasi perifer, serta motivasi dari individu itu sendiri (Carpenito, 2009).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
20
Meningkatkan mobilitas pergerakan yang optimal, meningkatkan mobilitas ektremitas dengan latihan rentang gerak sendi (ROM), memberikan kompres hangat untuk meredakan nyeri, memposisikan tubuh yang sejajar untuk mencegah komplikasi, membantu klien dalam berpindah dan mempertahankan kesejajaran tubuh yang baik saat menggunakan alat bantu adalah intervensi yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik (Carpenito, 2009)
2.2.4. Kemandirian Pada Lansia Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi yang masih aktif. Seseorang lansia yang menolak untuk melakukan fungsi dianggap sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. (Maryam,2008). Kemandirian adalah kemampuan atau keadaan dimana individu mampu mengurus atau mengatasi kepentingannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain (Zulfajri, 1995).
Lansia yang mandiri adalah lansia yang kondisinya sehat dalam arti luas masih mampu untuk menjalankan kehidupan pribadinya (Partini, 2005). Kemandirian pada lansia meliputi kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari – hari , seperti : mandi, berpakaian rapi, pergi ke toilet, berpindah tempat, dapat mengontrol BAK, atau BAB, serta dapat makan sendiri(Ranah,2006). Dorethea Orem, (1959) mengembangkan teori yang dikenal dengan teori Capable Of Self Care (mampu merawat diri sendiri) dibidang keperawatan dan menekankan pada kebutuhan klien tentang keperawatan diri sendiri dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan secara mandiri. Teori Self Care mengungkapkan hubungan antara tindakan untuk merawat diri sendiri dengan perkembangan fungsi individu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eka, (2012) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar lansia memiliki tingkat kemandirian yang tinggi disebabkan olehh kondisi panti dan keterbatasan caregiver, walaupun sudah tidak mampu untuk berjalan dengan normal. Teori Self Care Deficit mengungkapkan ketidakmampuan individu (lansia) dalam merawat diri (Gallo, 1998). Fokus dari teori ini mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien, dalam hal ini lansia.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
21
2.2.4.1 Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Pada Lansia Kemandirian pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: usia, imobilitas dan mudah jatuh (Lueckenotte, 1996). Lansia yang telah memasuki usia 70 tahun memiliki penurunan dalam beberapa hal termasuk dalam penurunan kemandirian. Penurunan kemandirian pertama disebabkan oleh usia. Badan Kesehatan Dunia (WHO), 2012 membagi empat batasan umur lansia meliputi usia perteengahan (Middle age): kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (Elderly): kelompok usia antara 60-74 tahun, lanjut usia (Old): kelompok usia antara 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very Old): kelompok usia diatas 90 tahun. Berdasarkan pembagian usia diatas dikatakan usia lanjut jika seseorang telah mencapai umur 60 tahun.
Imobilitas adalah faktor kedua yang mempengaruhi kemandirian lansia. Imobillisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et all,1995 dalam Potter &Perry, 2005).
Penyebab imobilisasi gangguan pada jantung, pernafasan,
gangguan sendi dan tulang, penyakit rematik seperti pengapuran atau patah tulang, stroke/ penyalit saraf, parkinson dan gangguan penglihatan.
Jatuh adalah faktor ketiga yang mempengaruhi kemandirian pada lansia. Jatuh pada lansia adalah masalah yang paling sering terjadi (Stanley, 2006). Jatuh adalah sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada di bawah atau lantai tanpa disengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et. al. 2009, dalam Nurviyandari, 2011). Kemampuan fisik dan mental yang menurun sering menyebabkan jatuh pada lansia, yang akan mengakibatkan penurunan aktivitas dalam kemandirian,
2.2.5. Aktifitas Kehidupan sehari - hari pada Lansia (Activity Daily Living) Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah aktivitas yang biasa dilakukan dalam sepanjang hari normal yang mencakup: ambulasi, makan, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan berhias. Kondisi yang mengakibatkan kebutuhan untuk
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
22
bantuan dalam AKS dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau rehabilitatif (Perry & Potter, 2005; Hardywinito & Setiabudi, 2005). AKS adalah Suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas kehidupan sehari – hari secara mandiri. Maryam.R,Siti, (2008) menyimpulkan penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat.
Pengkajian ADL penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau besarnya bantuan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengukuran kemandirian ADL akan lebih mudah dinilai dan dievaluasi secara kuantitatif dengan sistem skor yang sudah banyak dikemukakan oleh berbagai penulis ADL dasar, sering disebut ADL saja, yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan mobilitas (Sugiarto, 2005).
Kemampuan ADL adalah kemampuan dasar yang seharusnya dapat dilakukan oleh manusia sehat dengan menggunakan indeks kemandirian Katz untuk AKS yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam hal makan, kontinen (BAB/BAK), berpindah ke kamar mandi dan berpakaian dapat diberi penilaian dalam melakukan aktifitas sehari – hari sebagai berikut (Toni, 2001) : a. Makanan: kemampuan untuk menyiapkan makanan untuk dirinya yang sederhana meliputi kemampuan untuk menyendokkan nasi dalam piring, memilih lauk, kemandirian dalam menghabiskan makanan serta kebersihan piring/gelas serta kerapihan meletakan peralatan makanan. Mandiri: mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri. Bergantung : bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya, tidak makan sama sekali, dan makan parenteral atau melalui naso gastrointestinal tube (NGT).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
23
b. Berpakaian: kemampuan untuk mengenakan pakaian dari gantungan baju atau setelah mandi, mengambil serta baju dari rak, mengenakan serta menancing atau membuka/melepaskannya Mandiri: mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian, mengancing / mengikat pakaian. Bergantung: tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian. c. Berpindah: kemampuan bepergian Mandiri : berpindah dari tempat tidur, bangkit dari kursi sendiri. Bergantung : bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak melakukan sesuatu atau perpindahan d. Ke kamar kecil: kemampuan mengatur hajat besardan kecil seperti masuk dan keluar WC, mencopot serta merapihkan pakaina serta kemampuan untuk cebok atau membersihkan alat vitalnya Mandiri : masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genitalia sendiri. Bergantung : menerima bantuan untuk masuk kekamar kecil dan menggunakan pispot. e. Mandi: kemampuan untuk menyiram tempat yang tertentu, menyabuni serta menggosok daki ditempat tertentu, menyirami kembali anggota tubuh yang terkena sabun, menggunakan handuk sampai mengeringkan tubuh. Mandiri: bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau ektremitas yang tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya. Bergantung : bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh , bantuan masuk dan keluar dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri. f. Kontinen: apakah dalam melakukan hajat kecil atau hajat besar, pasien tersebut mengalami kesulitan atau masih dapat mengaturnya secara mandiri Mandiri : BAB dan BAK seluruhnya dikontrol sendiri. Bergantung : inkontinesia persial atau total : menggunakan kateter dan pispot, enema dan pembalut / pempers.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
24
2.2.5.1. Indeks Katz Pengkajian kemandirian pada lansia dapat menggunakan indeks katz, yang meliputi aktivitas mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat, kontinen dan makan. Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan orang lain. Pengkajian ini didasarkan pada status aktual dan bukan pada kemampuan. Alat ini secara luas dapat mengukur kemampuan fungsional lansia di lingkungan klinis dan rumah (Wallace & Shelkey, 2008). Indeks Katz membentuk suatu kerangka kerja untuk mengkaji kebutuhan hidup mandiri lansia atau bila ditemukan suatu penurunan fungsi, maka akan disusun titik fokus perbaikannnya. Indeks Katz telah menetapkan skala dalam ADL oleh dua kemandirian yaitu kemandirian tinggi (indeks A,B,C, D ), dan kemandirian rendah (E, F)
2.2.5.2 Barthel Indeks / Indeks Barthel (IB) Salah satu alat pengukuran kemandirian lansia yang umum digunakan adalah menurut Indeks Barthel yang mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas. IB tidak mengukur ADL instrumental, komunikasi dan psikososial. Item-item dalam IB dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat pelayanan keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien. IB merupakan skala yang diambil dari catatan medik penderita, pengamatan langsung atau dicatat sendiri oleh pasien. Dapat dikerjakan dalam waktu kurang dari 10 menit (Sugiarto, 2005). IB versi 10 item terdiri dari 10 item dan mempunyai skor keseluruhan yang berkisar antara 0-100, dengan kelipatan 5, skor yang lebih besar menunjukkan lebih mandiri.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
25
Tabel 2.1.Indeks Barthel (IB)
No. Item yang dinilai 1.
Makan (bila makanan harus dipotong-potong dulu = dibantu)
2.
Transfer dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali (termasuk duduk di bed)
3.
Hygiene personal (cuci muka, menyisir, bercukur jenggot, gosok gigi)
4.
Naik & turun kloset/ WC (melepas/memakai pakaian, cawik, menyiram WC)
5.
Mandi
6.
Berjalan di permukaaan datar (atau bila tidak dapat berjalan, dapat mengayuh kursi roda sendiri)
7.
Naik & turun tangga
8.
Berpakaian(termasuk memakai tali sepatu, menutup resleting)
Dibantu Mandiri 5
10
5-10
15
0
5
5
10
0
5
10
15
0
5
5
10
5
10
9.
Mengontrol anus
5
10
10.
Mengontrol kandung kemih
5
10
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
26
Tabel 2.2.Penilaian Skor Indeks Barthel (IB) Penulis
Interpretasi
Shah dkk
0-20 Dependen Total 21-60 Dependen Berat 61-90 Dependen Sedang 91-99 Dependen Ringan 100
Lazar dkk
Independen/Mandiri
10-19 Dependen Perawatan 20-59 Perawatan diri, dibantu 60-79 Kursi roda, dibantu 80-89 Kursi roda, independen/mandiri 90-99 Ambulatori, dibantu 100
Granger
Independen/Mandiri
0-20 Dependen Total 21-40 Dependen Berat 41-60 Dependen Sedang 61-90 Dependen Ringan 91-100 Mandiri
Sumber: (Sugiarto, 2005) telah diolah kembali.
2.3. ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) 2.3.1. Pengertian ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) Latihan gerak (Range of Motion) merupakan terapi latihan untuk memelihara atau meningkatkan kekuatan otot (Brunner&Sudarth,2002). Pengertian Range Of Motion (ROM)
atau biasa dikenal dengan rentang gerak sendi adalah
latihan/aktivitas fisik untuk meningkatkan kesehatan dan mempertahankan sendi yang mungkin dilakukan pada salah satu dari potongan tubuh: sagital, frontal dan transversal (Perry & Potter, 2005)
2.3.2. Tujuan ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) Meningkatkanataumempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot. Mempertahankan fungsi jantung dan pemapasan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
27
Mencegah kontrakur dankekakuan pada sendi.
2.3.3. Jenis-jenis ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) RomAktif : Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif. Kekuatan otot 75%). Sendi yang digerakan pada ROM aktif yaitu seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif. Jenis gerakan fleksi, ekstensi,hiper ekstensi,rotasi, sirkumduksi, supinasi pronasi, abduksi, aduksi Rom Pasif : Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
2.3.4. Jenis gerakan a. Leher: fleksi, ekstensi, fleksi lateral, hipertekstensi, rotasi b. Bahu tangan kanan dan kiri: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dalam, rotasi luar. c. Siku tangan kanan dan kiri:fleksi, ekstensi, pronasi, supinasi. d. Pergelangan tangan :fleksi, ekstensi, hiperekstensi,abduksi, adduksi. e. Jari-jari tangan:fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, oposisi. f. Pinggul: fleksi,ekstensi,hiperekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dalam, rotasi luar. abduksi,adduksi, rotasi internal/ eksternal. g. Lutut: fleksi, ekstensi h. Pergelangan kaki:dorsofleksi,plantarfleksi, inversi, eversi. i. Jari kaki: fleksi,ekstensi, abduksi, adduksi.
2.3.5. Indikasi ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran b. Kelemahanotot c. Fase rehabilitasi fisik d. Klien dengan tirah baring lama
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini akan menjelaskan asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien kelolaan utama pada nenek Y , yang dimulai dari pengkajian sampai evaluasi. Data diperoleh melalui data subyektif dan data obyektif diperoleh melalui pemeriksaan fisik dan data sekunder yang didapat status kesehatan klien. asuhan keperawatan pada nenek Y telah dilakukan selama 7 minggu dan dituangkan dalam bentuk laporan.
3.1. Gambaran Kasus Nenek Y, 81 tahun, lahir di Padang Panjang, 24 Oktober 1932, Islam, status perkawinan: janda, pendidikan terakhir:SMA, pekerjaan saat ini tidak bekerja, alamat rumah: Duta Kranji Blok C No 52 Bintara bekasi Barat. Diagnosa Medis:Hipertensi, katarak, riwayat NIDDM Alasan nenek Y tinggal di STW pada awalnya dibawa ke STW Karya Bakti RIA pembangunan oleh anaknya, yang menurutnya anaknya tidak mau dibebani oleh orang tuanya. Setelah beberapa bulan nenek Y merasa kerasan tinggal di panti dan tidak mau lagi kembali ke rumah anaknya, kecuali hanya sekedar menginap beberapa hari, karena ia merasa kesepian anaknya sibuk bekerja sementara cucunya sibuk sekolah. Masalah Kesehatan yang pernah dialami adalah nenek Y pernah mengalami jatuh sebanyak empat kali kali,yaitu sebelum masuk STW KBRP, setelah tinggal di STW nenek Y mengalami jatuh pada tanggal 15/8/2012, 10/11/12 dan tanggal 5/4/13, mata sebelah kiri tidak bisa melihat karena mengalami katarak sejak tahun 1990,riwayat NIDDM dan dirasakan saat ini nenek Y mengeluh tangan dan kaki terasa kebas/baal, badan terasa lemas, bila berdiri tidak kuat sehingga harus dibantu tongkat/ walker, dalam ambulasi lebih banyak menggunakan kursi roda, dan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari ia difasilitasi oleh anak-anaknya dengan menyediakan dua orang caregiver yang menjaganya secara bergantian. Ia
28 Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
29
juga mengikuti kegiatan yang diadakan STW seperti senam dan pengajian yang diadakan di wisma Bungur. Pada saat kegiatan itu ia lakukan diatas kursi roda Nenek Y mengatakan selama di STW
tidak melakukan sholat 5 berjamaah di
mushola STW, karena ia merasa kesulitan dalam pergerakananya bila melaksanakan ibadah sholat berjamaah di mushola. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, postur tubuh nenek Y semampai, kulit putih, berambut pendek dan beruban. Tingkat kesadaran compos mentis, Suhu 36 0C, Nadi: 80x/menit, Tekanan darah: 120/80 mmHg, Pernafasan: 20x/menit, Tinggi badan: 155 cm, Berat badan: 60 kg, IMT: 24,97, LILA: 20 cm Pemeriksaan sistematik dan kebersihan perorangan pada kepala didapatkan rambut memiliki rambut yang tebal dan beruban, terdistribusi merata, kebersihan kepala bersih, tidak mudah tercabut, tidak ada lesi. Pada mata kiri ada katarak,ia mengatakan kedua kaki dan tangan terasa kebas sejak 1 tahun yang lalu. Oedema pada tungkai tidak ada, untuk membantu dalam aktivitas sehari-hari nenek Y menggunakan lebih banyak menggunakan kursi roda. Kekuatan otot 4444 5555 4444 5555 Hasil pengkajian pada lansia: Geriatric Depression Scale (GDS): 12 = depresi ringan, Mini Mental State Examination (MMSE): 26, Pengkajian Tingkat Kemandirian Indeks Katz: 1 ( gangguan fungsional berat/ ketergantungan tinggi), Pengkajian Risiko jatuh: Morse fail Scale (MFS)/ Skala Jatuh dari Morse: 80 = risiko jatuh tinggi dan hasil pegkajian Berg Balance Test (BBT): 22. Interpretasi: lansia memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker. Hasil laboratorium tanggal 12/10/2012 GD N: 115 mg/dl, GD 2jam PP: 226 Tanggal 14/5/13 GDS: 113 mg/dl, asam Urat: 4,3 mg/dl. Sementara hasil foto pelvis AP tanggal 14/1/13 disimpulkan tidak tampak fraktur/dislokasi Terapi Medis yang pernah didapatkan Glukopag 500 mg 1x1, Simvastatin 1 x10 mg (malam) namun saat ini tidak diberikan lagi. Obat yang saat ini masih dikonsumsi nenek Y Leparson 2 x ½ tablet, Lapibal/methycobalt 1 x 500 mg, Amplodipine 1x5 mg. Berdasarkan hasil pengkajian langkah selanjutnya adalah
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
30
menganalisis data untuk menunjang tegaknya diagnosa keperawatan dapat dilihat pada lampiran1. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, mahasiswa menyimpulkan dua prioritas utama masalah keperawatan pada nenek Y yaitu hambatan mobilitas fisik dan risiko jatuh. Pengkajian lengkap dapat dilihat pada lampiran 1 langkah selanjutnya adalah menyusun rencana asuhan keperawatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
3.2. Rencana Keperawatan Diagnosa Keperawatan pertama yaitu: hambatan mobilitas fisik. Tujuan umumnya adalah mobilitas fisik meningkat setelah diberikan tindakan keperawatan selama 7 minggu. Adapun tujuan khusus adalah a) klien mampu melakukan ROM, b) mendemonstrasi ulang sesuai dengan instruksi yang diberikan, c)
klien melakukan
latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan sendi secara mandiri 2x sehari, d) klien mampu melakukan gerakan senam kaki minimal 1x/hari, e) klien mampu melakukan ADL sesuai kemampuannya secara mandiri dengan pengawasan.f). Kekuatan Otot meningkat
Intervensi : Rencana tindakan yang dibuat dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik meliputi:a) monitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap pagi, b) motivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot, c) diskusikan dengan klien tentang masalah kekakuan sendi dan otot yang dialami klien, d) diskusikan bersama klien mengenai perawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi, e) ajarkan klien dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, f) ajarkan dan bantu klien dalam proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi, g) ubah klien yang imobilisasi minimal setiap dua jam, h) berikan penguatan positif, i) bantu klien menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan, j) ajarkan dan latih ROM aktif atau pasif, k) motivasi klien mempraktekkan latihan ROM yang telah diajarkan bersama-sama, l) motivasi klien melakukan latihan ROM tiap pagi setelah bangun tidur dan sore hari sebelum mandi, m) ajarkan dan latih klien senam kaki, n) motivasi klien melakukan latihan senam kaki secara mandiri, 0)
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
31
dokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan senam kaki. P) Intervensi kolaborasi yang penulis buat adalah konsultasikan ke ahli terapi fisik dan okupasi, q) berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik, kolaborasi untuk melakukan pemeriksaan gula darah. Diagnosa keperawatan yang kedua adalah risiko jatuh. Tujuan umumnya adalah
setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 7 minggu, tidak terjadi jatuh.
Adapun tujuan khususnya adalah : a) klien dapat mempertahankan keseimbangan
tubuh, b)klien tidak jatuh ketika berpindah tempat dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya, c) klien tidak mengeluh pusing.
Rencana tindakan yang dibuat dalam mengatasi masalah risiko jatuh meliputi: a) pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital, b) kaji kekuatan otot, c) lakukan penilaian risiko jatuh dengan FMS, d) kaji kemampuan klien dalam kegiatan/latihan., e) motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan senam panti sesuai dengan kemampuan lansia, f) orientasikan lingkungan , g)beri peringatan pada tempat-tempat berbahaya, h) atur tata letak barang yang mudah dijangkau oleh klien, i) anjurkan klien menggunakan alas kaki yang tidak licin. Pada direct care yang dilakukan: j)bantu klien saat ambulasi,
k) latih klien
balance exercise, l) latih lansia untuk ROM aktif asistif, m) dokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan latihan balance exercise. Intervensi kolaborasi yang penulis rencanakan adalah: n) kolaborasi dengan pihak panti dalam memodifikasi lingkungan klien, o) pemberian medikasi untuk menunjang kekuatan tulang. Rencana asuhan klien secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 2. 3.3. Implementasi Implementasi keperawatan dalam hambatan mobilitas fisik yang penulis lakukan adalah: a) memonitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap pagi, b) memotivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot, c) mendiskusikan dengan klien tentang masalah kekakuan sendi dan otot yang dialami klien, d) mendiskusikan bersama klien mengenai perawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi, e) mengajarkan klien dan memantau
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
32
penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, f) mengajarkan dan membantu klien dalam proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi, g) mengubah klien yang imobilisasi minimal setiap dua jam, h) memberikan penguatan positif, i) membantu klien menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan, j) mengajarkan dan latih ROM aktif atau pasif, k) memotivasi klien mempraktekkan latihan ROM yang telah diajarkan bersama-sama, l) memotivasi klien melakukan latihan ROM tiap pagi setelah bangun tidur dan sore hari sebelum mandi, m) mengajarkan dan latih klien senam kaki, n) motivasi klien melakukan latihan senam kaki secara mandiri, 0) mendokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan senam kaki. P) Intervensi kolaborasi untuk melakukan pemeriksaan gula darah. Implementasi keperawatan dalam mencegah risiko jatuh yang penulis lakukan adalah : a) memonitor keadaan umum dan tanda-tanda vital, b) mengkaji kekuatan otot, c) melakukan penilaian risiko jatuh dengan FMS, d) mengkaji kemampuan klien dalam kegiatan/latihan., e) memotivasi lansia untuk mengikuti kegiatan senam panti sesuai dengan kemampuan lansia, f) mengorientasikan lingkungan, g)memberi peringatan pada tempat-tempat berbahaya, h) membantu mengatur tata letak barang yang mudah dijangkau oleh klien, i) memganjurkan klien menggunakan alas kaki yang tidak licin, j)membantu klien saat ambulasi, k) melatih klien balance exercise, l) melatih lansia untuk ROM aktif asistif, m) mendokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan melatih balance exercise, mengajarkan dan melatih ROM aktif atau pasif.
3.4. Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut Minggu pertama praktek adalah awal pertemuan dengan klien. Klien terlihat ramah dan kooperatif menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa dan tindakan yang dilakukan terhadapnya. Setelah dilakukan kesepakatan tentang tindakan keperawatan yang akan dilakukan berupa latihan RPS yang bertujuan untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik yang terjadi. Bentuk latihan yang dilakukan adalah ROM aktif
yang dilakukan selama enam kali dalam
seminggu. Latihan dimulai dari pergerakan daerah kepala dan leher sampai pada
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
33
gerakan kaki. Masing-masing gerakan dilakukan pengulangan sebanyak sepuluh kali. Pada minggu ini juga dilakukan kesepakatan tentang latihan senam kaki yang bertujuan untuk mengatasi masalah kebas/baal pada daerah kaki, dan klien setuju untuk melakukan senam kaki. Minggu kedua praktik, kemampuan klien dalam latihan RPS belum mengalami perubahan yang berarti. Klien masih terlihat melakukan gerakan dengan duduk diatas tempat tidur sehingga RPS daerah pinggul tidak bisa dilakukan denagn optimal. Namun untuk RPS anggota gerak lain dapat dilakukan klien dengan sesuai instuksi yang diberikan, namun klien perlu dibantu pada saat klien melakukan fleksi lateral dan rotasi daerah leher. Pada minggu ini latihan senam kaki juga belum menunjukkan perubahan terhadap rasa kebas yang dialami klien. Selain melatih ROM dan senam kaki, mahasiswa juga melatih klien menggunakan alat bantu jalan berupa walker untuk mobilisasi jalan dan memantau penggunaan alat bantu jalan. Rencana tindak lanjut yaitu melatih klien RPS aktif, memberikan motivasi agar melakukan RPS
dan senam kaki secara mandiri, memantau
kemampuan mobilitas klien secara fungsional. Minggu ketiga mahasiswa praktik, klien mampu melakukan RPS dengan lebih baik, gerakan dilakukan klien sesuai dengan instruksi yang diberikan. RPS pada daerah pinggul masih belum dilakukan oleh karena klien masih merasa cemas bila dimotivasi berdiri, dan klien melakukan RPS daerah pinggul masih dengan posisi duduk diatas tempat tidur. Senam kaki masih tetap dilakukan dan di evaluasi pada minggu ketiga masih mengeluh kebas pada kaki serta masih belum mampu melakukan gerakan ke sepuluh senam kaki yaitu merobek-robek kertas koran dengan kaki. Rencana tindak lanjut: pantau kemampuan mobilitas klien secara fungsional, motivasi klien melakukan latihan RPS dan senam kaki secara mandiri, kolaborasi untuk melakukan tes gula darah Minggu keempat mahasiswa praktik, klien mampu melakukan RPS dengan lebih baik, gerakan dilakukan klien sesuai dengan instruksi yang diberikan, namun klien mengeluh nyeri saat melakukan gerakan rotasi bahu kanan. Senam kaki dilakukan sesuai intruksi yang diberikan, klien masih merasa kesulitan dalam merobekrobek kertas koran. Rencana tindak lanjut: kolaborasi dengan dokter untuk
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
34
memberi terapi analgesik, kompres dengan air hangat sebelum melakukan RPS, motivasi klien untuk latihan RPS dan senam kaki secara mandiri, kolaborasi untuk melakukan tes gula darah Minggu kelima mahasiswa praktik, mahasiswa memberikan kompres sebelum latihan RPS dilakukan. Klien mengatakan enakan setelah dilakukan kompres hangat, klien mampu melakukan RPS dengan baik, rasa nyeri pada bahu kanan masih ada. RPS daerah pinggul masih belum maksimal. Senam kaki mampu dilakukan oleh klien, namun klien tetap mengeluh kebas pada daerah kaki. Gerakan merobek-robek kertas belum mampu dilakukan oleh klien. Rencana tindak lanjut: kompres dengan air hangat sebelum melakukan RPS, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik dan tetap motivasi klien melakukan RPS dan senam kaki. Minggu keenam mahasiswa praktik,mahasiswa tetap memberikan
kompres
hangat didaerah bahu sebelum latihan RPS dilakukan. Klien mengatakan tidak rutin melakukan kompres hangat karena tidak nyeri bila tidak digerakkan. Gerakan ROM pada rotasi bahu dapat klien lakukan lebih baik, RPS daerah pinggul masih belum maksimal. Senam kaki mampu dilakukan oleh klien, namun klien tetap mengeluh kebas pada daerah kaki. Gerakan merobek-robek kertas belum mampu dilakukan oleh klien. Rencana tindak lanjut: motivasi klien melakukan RPS dan senam kaki Minggu ketujuh mahasiswa
praktik, klien mobilisasi masih dengan bantuan
caregiver, dan kekuatan otot meningkat dengan nilai 5555 5555 5555 5555 Kaki dirasakan klien sudah mulai ada perubahan sedikit. Rencana tindak lanjut: motivasi terus klien untuk melatih kekuatan otot dan RPS/ rentang pergerakan sendi 1x/hari selama 30 menit, latih klien senam kaki untuk memperkuat dan memperlancar aliran darah didaerah kaki 1x/hari/ selang seling dengan latihan ROM, kolaborasi dengan perawat untuk mengevaluasi kemandirian klien setiap minggu setelah 2 minggu, kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk meningkatkan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi klien.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
35
Evaluasi yang didapatkan setelah melakukan intervensi dalam mengatasi risiko jatuh adalah dengan melakukan balance exercise, dimulai pada minggu ke empat praktek. sebelum dilakukan balance exercise klien tidak mampu menahan tubuhnya, setelah dilakukan latihan balance exercise klien mampu melakukan berdiri tegak dalam satu garis tangan disamping tubuh mata terbuka pandangan ke depan, klien mampu menekuk kebelakang kaki kanan menahan 10 detik, bergantian kaki kiri
dengan berpegangan pada kursi selama 5 menit. Klien
mampu melakukan melacak mata dengan meletakkkan ibu jari dengan jarak 10 cm dari wajah oleh mata tanpa menggerakan bagian tubuh lain setelah 2 x latihan, klien masih terlihat sempoyongan ketika berdiri lama, klien mengatakan lebih suka
menggunakan
tongkat
dibanding
walker
bila
berjalan
didalam
kamarnya,karena dengan menggunakan walker dirasakan terlalu sempit bila digunakan didalam kamar serta tidak ada kejadian jatuh selama mahasiswa praktek. Rencana tindak lanjut lakukan modifikasi lingkungan (meletakkan barang yang rapi, pencahayaan kamar yang terang, memasang pengaman/hand rail, dan jaga lantai jangan licin dan memasang tanda garis yang berbeda warna untuk membedakan ketinggian lantai). Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk mengkaji ulang penilaian FMS tiga bulan mendatang. Kolaborasi dengan perawat ruangan melakukan latihan keseimbangan tubuh/balance exercise
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS SITUASI
Bab ini akan dijelaskan mengenai pembahasan hasil asuhan keperawatan terkait hambatan mobilitas fisik yang telah dilakukan selama tujuh pekan kepada salah satu nenek yang ada di STW Karya Bhakti RIA Pembangunan. Pembahasan yang dilakukan berupa pembahasan terkait profil STW dan analisa asuhan keperawatan, analisa satu intervensi yang telah diimplementasikan. Pembahasan hasil asuhan keperawatan akan dilakukan sesuai dengan teori yang disampaikan pada Bab 2. Pada Bab ini juga akan dijelaskan mengenai keterbatasan yang dialami penulis selama melakukan asuhan keperawatan, serta implikasi hasil implementasi terhadap profesi keperawatan
4.1. Profil lahan praktek Sasana Tresna Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan (STW KBRP) terletak diwilayah Kecamatan Cibubur Kotamadya Jakarta Timur. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Ria Pembangunan dimiliki dan dikelola oleh Yayasan RIA Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. Kata “RIA” merupakan kepanjangan dari “Rukun Ibu Ampera”. Sejak diambil alih oleh suatu yayasan yang bernama Yayasan Karya Bakti perlahan-lahan STW RIA Pembangunan mulai tertata dan menjadi hunian yang asri dan nyaman bagi lansia.
Sasana Tresna Werdha merupakan sebuah sarana tempat tinggal bagi sekelompok orang yang berusia lanjut yang dahulu orang lebih mengenalnya dengan sebutan panti werdha. Awal didirikannya Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri para lansia sekaligus untuk menghapus paradigma masyarakat dahulu yang menganggap bahwa wisma atau panti werdha merupakan tempat pengucilan orang tua yang menjadi beban bagi keluarganya. Mereka pun menyadari bahwa lansia juga membutuhkan teman sebaya sebagai tempat saling mengadu dan berbagi cerita, merajut semangat agar tetap saling merasa bermakna
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
dan bermanfaat bagi kehidupan. Berkurangnya peran sosial kemasyarakatan dan menurunnya tuntutan tanggung jawab rutin dalam keluarga, kadang membuat kehidupan lansia menjadi kurang bermakna apabila hanya duduk berdiam diri di rumah.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan khusus kepada generasi lanjut usia. Pelayanan yang ada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan bagi para lansia untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan berupa konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pelayanan sosial berupa pembinaan mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional (angklung), bernyanyi, kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan kegiatan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi. Selain itu, di sasana tresna werdha ini lansia dapat memanfaatkan hobi yang dapat dilakukan dan ada rekreasi bersama; pelayanan harian lanjut usia melalui pemeriksaan kesehatan harian berupa pemeriksaan tanda-tanda vital, pelayanan individu dan pelayanan kelompok sesuai kebutuhan lansia
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan memiliki slogan sebagai hunian pilihan lanjut usia masa kini. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan bagi lansia yang ingin menetap di STW RIA Pembangunan. Adapun syaratnya antara lain: berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani, mandiri, ingin tinggal di STW atas keinginan sendiri, memiliki penanggung jawab keluarga, dan yang terpenting adalah tidak ada paksaan. STW RIA Pembangunan dilengkapi oleh sarana dan prasarana, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha, fasilitas penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas hunian meliputi wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8 kamar. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3 kamar VIP, bangsal rawat inap 15 tempat tidur, pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia antara lain dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, ruang pemeriksaan kesehatan.
Salah satu wisma yang terdapat di STW KBRP adalah Wisma Bungur yang memiliki kapasitas 25 tempat tidur yang masing-masing kamar ada kamar mandinya. Fasilitas yang ada di Wisma Bungur, antara lain: ruang TV yang juga bisa digunakan sebagai ruang kegiatan lansia di Wisma Bungur, ruang makan bersama, 2 buah kulkas, dapur, taman yang asri dan teras, serta ada ruang setrika. Wisma ini diperuntukkan bagi lansia yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Lansia yang parsial care juga boleh tinggal di wisma ini, tetapi harus memiliki caregiver pribadi untuk membantu kebutuhan lansia tersebut.
STW KBRP telah memiliki
kebijakan untuk mempertahankan kekuatan dan
mobilitas sendi yang dilakukan kepada para wredha yang tinggal dengan program aktivitas fisik berupa senam pagi yang dilakukan setiap hari. Pada hari senin lansia melakukan senam bugar lansia, selasa senam gerak latih otot yang disebut triloka, rabu senam senior fitnes, dan kamis lansia melakukan senam relaksasi.
4.2 Analisis Masalah Konsep Penuaan
Asuhan keperawatan diberikan selama tujuh pekan ditujukan pada nenek Y dengan diagnosa hambatan mobilitas fisik dan resiko jatuh. Klien kelolaan utama yang diberikan asuhan keperawatan di wisma Bungur selama tujuh pekan ialah Nenek Y, saat ini berusia 81 tahun. Berdasarkan WHO usianya nenek Y sudah dikategorikan sebagai lansia dengan usia tua (old). Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Proses penuaan adalah hal yang alamiah, sebagai akibat dari proses metabolisme yang terus menerus, sehingga pada suatu saat proses perbaikan tidak dapat mengimbangi proses kerusakan yang terjadi sehingga akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokemis pada jaringan tubuh yang pada
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan serta mengakibatkan penurunan fungsi tubuh secara perlahan, progresif dan irreversible (Depkes 2000). Hal ini seseuai dengan teori Tear and Wear yang menyatakan proses penuaan terjadi karena usang dan tidak dapat memperbaiki diri (Hayflick, 1988 dalam Miller, 2004). Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologik yang terdiri dari tiga fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase regresif (Depkes 2000). Fase regresif merupakan mekanisme lebih ke arah kemunduran yang dimulai dari dalam sel, komponen terkecil dari tubuh manusia. Sel-sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran yang dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Didalam struktur anatomik proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran didalam sel. Manifestasi proses menua antara lain: rambut rontok dan memutih, permukaan kulit keriput, banyak gigi yang tanggal (ompong), daya penglihatan dan pendengaran berkurang, perubahan sistem saraf pusat, sistem endokrin, dan lain-lain (Hanafiah, 2008).
4.3. Analisis Masalah terkait Konsep Lansia di Panti
Perubahan-perubahan yang cepat akibat modernisasi menyebabkan masalah psikologis yang dihadapi lansia. Perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri menyebabkan persaingan kerja yang tinggi dan peningkatan mobilitas penduduk yang cepat. Perubahan masyarakat diperkotaan
yang memiliki
kompetisi yang sangat tinggi menjadikan waktu untuk merawat lansia semakin sedikit, yang menyebabkan lansia merasa kesepian. Hal ini pula yang dialami oleh nenek Y yang tinggal di STW KBRP, pada awalnya datang ke STW atas saran anaknya yang memiliki keterbatasan merawat orang tuanya. Nenek Y merasa saat itu ia di minta tinggal di STW karena anaknya tidak mau dibebani oleh tanggung jawab merawat dirinya.
Hal ini akibat perubahan nilai-nilai keluarga dan akibat proses industrialisasi menyebabkan kesempatan mengurus orang tua semakin berkurang dan lansia merasa kesepian (Wiyono, 1994), dan semakin tergesernya nilai-nilai pola keluarga kecil yang mengakibatkan terlantarnya sebagian lansia (Nataprawira,
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2012). Keberadaan panti werdha ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu masyarakat perkotaaan untuk membantu merawat orang tua dan memberi kesempatan mereka beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana tresna werdha yang berarti menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah satu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok usia lanjut dalam menapaki hari akhir kehidupannya (Ihromi, 1999). Menkokesra, (2005) yang mendefinisikan sasana wredha adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang yang telah lanjut usia, baik yang secara sukarela maupun diserahkan keluarga untuk diurus segala keperluannya, yang dikelola baik oleh yayasan maupun dikelola oleh pemerintah.
Alasan masuk nenek Y ada beberapa yang sesuai dengan konsep STW yaitu berusia minimal 60 tahun, dapat mengurus sendiri (dalam hal ini karena keterbatasan fisik nenek Y, keluarga memfasilitasi dengan menyediakan caregiver), lulus tes kesehatan dan memiliki sponsor/penjamin selama nenek Y tinggal di STW. Konsep STW merupakan hunian masa kini yang terdapat di wilayah perkotaan sebagai tempat pelayanan kepada para lansia yang ingin mengaktualisasikan diri.
Nenek Y telah mengalami klien masalah kesehatan perkotaan yaitu riwayat menderita penyakit diabetes Mellitus (DM) akibat perubahan dalam sistem endokrin. Selama di sasana tresna werdha, nenek Y mengalami riwayat terjatuh sebanyak tiga kali, mata mengalami gangguan penglihatan/ katarak dan kurangnya kemampuan nenek dalam mengurus dirinya sendiri, hal ini yang mendorong keluarganya meminta bantuan petugas sosial/social worker untuk membantu keutuhannya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Burduli, 2009; Brown, 2007; Sclatter,2003 yang menyatakan
DM pada lansia seringkali kelemahan
kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin ada perubahan pada kemampuan lansia di dalam mengurus diri sendiri. .
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Dibandingkan dengan lansia lainnnya, resiko keterbatasan fisik 2-3 kali lipat pada lansia penderita DM, dan risiko ini lebih besar pada wanita. Dampak semua ini adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM yang mengalami jatuh dan fraktur. Neuropati yang dialami oleh nenek Y yang mengeluh kebas (baal) pada kaki merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dideritanya. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhora, (2007) yang menyimpulkan pemeriksaan sensorik kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2, didapatkan hasil sebagian besar (60,87%) responden memiliki sensasi kaki normal.
Hambatan mobilitas fisik yang dialami nenek Y dapat diakibatkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang ada meliputi penurunan dalam sisem muskuloskeletal, riwayat jatuh, sedangkan faktor ekternal dapat disebabkan oleh lingkungan STW itu sendiri yang memicu terjadinya imobilisasi atau akibat agen farmakologik. Mobilisasi nenek Y terbatas di kursi roda. Penelitian Purwaningsih (2000) dalam Setiyawan (2008) menyimpulkan pada pasien immobilisasi post operasi fraktur yang mengalami tirah baring menyatakan bahwa dari 78 orang pasien tirah baring yang dirawat sebanyak 15,8% mengalami luka dekubitus. Penelitian yang sama pada pasien immobilisasi post operasi fraktur yang mengalami tirah baring di Rumah Sakit Moewardi Surakarta, dimana kejadian luka dekubitus sebanyak 38,2% (Setiyajati, 2000 dalam Setiyawan, 2008). Kemandirian akan menurun bila penurunan imobilitas tidak diatasi dan tingkat aktivitas tidak ditingkatkan (Stanley dan Beare, 2007). Hal itu sesuai dengan data yang didapatkan dari nenek Y yang mengalami penurunan tingkat kemandirian sehingga ketergantungan kepada orang lain/ caregiver menjadi tinggi. Hasil pengkajian indeks katz nenek Y mengalami
gangguan fungsional berat/
ketergantungan tinggi dimana skor yang didapatkan pada saat pengkajian adalah 1 sehingga kebutuhan sehari-hari nenek Y tergantung oleh caregiver. Kemandirian berarti tanpa pengawan, pengarahan, atau bantuan orang lain. Pengkajian ini didasarkan pada status aktual dan bukan pada kemampuan. Alat ini secara luas dapat mengukur kemampuan fungsional lansia di lingkungan klinis dan rumah (Wallace & Shelkey, 2008). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Kobayashi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
(2009) yang menyimpulkan bahwa responden lansia yang tinggal diinstitusi memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dalam ADL, dan penelitian Eka Ediawati (2012)
yang menyimpulkan lansia
memiliki kemandirian dalam
aktivitas seperti mandi (96,5%), ke kamar mandi (96,5%), makan (100%), berpindah tempat/berjalan (95,1%).
Penelitian Marie-Claire menyimpulkan
hubungan status gizi dengan tingkat
kemandirian dapat memprediksi lamanya waktu perawatan. Sebanyak 54,2% penderita yang mengalami malnutrisi dan risiko malnutrisi mempunyai tingkat kemandirian rendah yang dilihat dari indekz Katz pada skala D-G. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Covinsky et al, (1999) menjelaskan adanya hubungan antara kajian klinis status gizi dengan tingkat kemandirian dengan nilai p = 0,03 dan dapat digunakan untuk memprediksi angka mortalitas. Sementara penelitian siti Zulaeha,2009) meyimpulkan bila diketahui status gizinya maka dapat diprediksikan tingkat kemandirian pada aktifitas kehidupan sehari-hari penderita
Jatuh yang pernah dialami oleh nenek Y karena mengalami gangguan fungsi tungkai bawah, gangguan keseimbangan, dan kemampuan gerak. Jatuh adalah sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada di bawah atau lantai tanpa disengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et. al. 2009). Berdasarkan survei di masyarakat AS, terdapat sekitar 30% lansia berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya (Fuller,2007). Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang, lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit (Fuller,2007, Kane Oslander, 2009). Hasil penelitian Eka, (2012) menyimpulkan sebanyak 63 orang (44%) pada lansia yang tinggal di PTSW Budi Mulya mempunyai resiko jatuh yang tinggi. Kekuatan otot nenek Y yang kurang dikarenakan adanya penurunan massa otot, perubahan distribusi darah ke otot, otot menjadi lebih kaku dan ada penurunan kekuatan otot. Olah raga dapat meningkatkan kekuatan otot, massa otot, perfusi otot dan kecepatan konduksi saraf ke otot. Tulang, sendi, dan otot saling terkait. Jika sendi tidak dapat digerakkan, maka otot yang melintasi sendi akan memendek dan mengurangi ROM. Latihan fleksibilitas sendi dan otot dapat
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot yang melintasi sendi, sehingga ROM bisa dipertahankan
4.4. Analisis Tindakan ROM (Range Of Motion) Satu intervensi yang diterapkan oleh mahasiswa dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik dan masalah neuropati perifer ialah latihan ROM dan senam kaki. ROM aktif merupakan salah satu latihan / aktifitas fisik yang dilakukan oleh individu itu sendiri sesuai dengan kemampuan untuk menggerakkan sendinya. Dengan latihan rutin paling sedikitnya 2-3 kali setiap minggunya dalam waktu 20-30 menit mampu memberikan manfaat yang berarti diantaranya dapat meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan keletihan, dalam hal ini dikhususkan pada lansia yang mengalami penurunan massa otot serta kekuatannya untuk melakukan mobilisasinya. Latihan/aktifitas fisik dapat membuat kondisi tubuh lebih baik, meningkatkan kesehatan dan mempertahankan kesehatan jasmani. Hal ini juga digunakan sebagai terapi membetulkan deformitas atau mengembalikan seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal (Perry & Potter, 2005).
Program latihan bermanfaat bagi lansia yang sehat maupun lansia yang mempunyai
masalah
fisik
karena
dapat
meningkatkan
tingkat
energi,
mempertahankan mobilitas dan meningkatkan kemampuan pulmonal dan kardiovaskuler (Stanley dan Beare, 2007). Jika seseorang latihan (excercise), maka akan terjadi perubahan fisiologis dalam sistem tubuh. Dengan demikian dapat disimpulkan dengan seringnya seseorang melakukan latihan aktifitas fisik seperti halnya ROM aktif sangat bermanfaat untuk menjaga kebugaran tubuh pada lansia sehingga otot-otot dalam tubuh tetap terjaga elastisitasnya dan sendi dapat melakukan pergerakannya dengan baik, terutama dalam kemampuan mobilisasi.
Keuntungan fungsional atas latihan bertahanan (resistance training) berhubungan dengan hasil yang didapat atas jenis latihan bertahanan, antara lain yang mengenai kecepatan gerak sendi, luas lingkup gerak sendi (range of motion) dan jenis kekuatan yang dihasilkannya ( pemendekan atau pemanjangan). Keuntungan yang
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
didapat akan sangat besar bila kemampuan maksimum atas jenis latihan akan meningkat sebagai akibat latihan tersebut (Hadi-Martono, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Wuri, (2009) menyimpulkan bahwa ada pengaruh latihan rom aktif terhadap kemampuan mobilisasi sebelum dan sesudah latihan rom aktif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Afifka dan Warsito, (2012) menyimpulkan senam lansia efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia dengan nilai signifikansi p-value 0,001 yang berarti sig <α=(0,05).
4.5. Analisis Tindakan Balance Exercise Jatuh terjadi ketika sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat, dan tiba-tiba, gangguan lingkungan, serta faktor intrinsik seperti hilang atau berkurangnya sistem sensorik yang esensial untuk mendeteksi gerakan pusat gravitasi tubuh, gangguan sistem saraf pusat untuk mengorganisasikan dan menghantarkan respon postural yang tidak efektif akibat terganggunya sistem neuromuskular, gaya berjalan abnormal, refleks postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan kelemahan otot.
Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama otot ekstremitas bawah sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan keseimbangan seperti kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, penurunan irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, susah atau terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung (Tinetti, 1992; Kane, 1994; Reuben, 1996; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo, 2004).
Gangguan keseimbangan postural jika tidak dikontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko jatuh Gunarto (2005). Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia (Siburian, 2006). Jatuh merupakan gangguan keseimbangan yang
terjadi pada 31% - 48% lansia (Kane,1994).
Berdasarkan survei di masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan sekitar 30%
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih banyak.Gerakan ataupun senam untuk melatih meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan bagi lansia dengan tujuan khusus yang dilakukan selama waktu yang ditentukan.
Teori yang dikemukakan oleh Nyman (2007) bahwa latihan (balance exercise) dapat menimbulkan adanya kontraksi otot, hal ini sesuai teori dari Guyton (1997) menjelaskan ketika otot sedang berkontraksi, sintesa protein kontraktil otot berlangsung jauh lebih cepat daripada kecepatan penghancurannya, sehingga menghasilkan filamen aktin dan miosin yang bertambah banyak secara progresif di dalam miofibril. Kemudian miofibril itu sendiri akan memecah di dalam setiap serat otot untuk membentuk miofibril yang baru. Peningkatan jumlah miofibril tambahan yang menyebabkan serat otot menjadi hipertropi. Dalam serat otot yang mengalami hipertropi terjadi peningkatan komponen sistem metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemampuan sistem metabolik aerob dan anaerob yang dapat meningkatkan energi dan kekuatan otot.
Peningkatan kekuatan otot inilah yang membuat lansia semakin kuat dalam menopang tubuh dan melakukan gerakan, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh American College of Sport Medicine, latihan yang dapat meningkatkan
kekuatan
otot
yang
pada
akhirnya
akan
meningkatkan
keseimbangan postural lansia dapat dilakukan 3-4 minggu latihan dengan frekuensi 3 kali seminggu. tentunya hal ini perlu dilakukan secara teratur dan tidak memaksakan diri. Waktu yang dianjurkan sebagai tahapan awal melakukan latihan adalah dua kali dalam sepekan dengan durasi 30 menit setiap latihan (Nurviyandari,2011; Nyman, 2007; Guyton, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusnanto,Indarwati, dan Nisfil Mufidah (2007) menyimpulkan bahwa ada pengaruh latihan balance exercise terhadap peningkatan keseimbangan postural lansia di UPSTW Bangkalan dan terdapat variasi peningkatan keseimbangan postural pada tiap-tiap lansia setelah dilakukan intervensi latihan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
balance exercise. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena tiap-tiap lansia berbeda dalam memaksimalkan setiap gerakan dalam balance exercise.
4.6. Keterbatasan Keterbatasan waktu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah hambatan mobilitas fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan mobilitas fisik klien, dimana mahasiswa hanya melakukan implementasi pada saat dinas, sementara untuk mencapai hasil yang optimal latihan rentang gerak sendi sebaiknya dilakukan 2-3x/hari dengan waktu selama 30 menit,sehingga untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu meningkatkan mobilitas fisik dengan memberikan penguatan kepada klien agar melakukan pengulangan latihan secara mandiri agar dapat meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas sendi secara optimal.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Beranjak dari tujuan khusus yang telah diidentifikasi, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Hambatan mobilitas fisik adalah masalah utama yang banyak ditemui pada lansia, karena proses penuaan dimana tubuh mengalami penurunan berbagai fungsi tubuh termasuk dalam sistem muskuloskeletal. Faktor yang mempengaruhi mobilitas fisik yang perubahan metabolik, perubahan sistem muskuloskeletal
2.
Perubahan milai-nilai dalam keluarga mempengaruhi keluarga dalam merawat lansia, akibat industrilisasi dan moderinisasi menyebabkan waktu merawat lansia semakin sempit.
3.
Panti adalah salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan lansia.
STW
KBRP merupakan hunian masa kini yang terdapat di wilayah perkotaan sebagai tempat pelayanan kepada para lansia yang ingin mengaktualisasikan diri, dengan persyaratan lulus tes kesehatan, mandiri, mempunyai penjamin, yang didukung oleh sarana dan prasarana yang menunjang seperti klinik, fasilitas penunjang. 4.
Panti wredha sebagai community base artinya peranannya tidak terlepas dari peran serta keluarga dan masyarakat.
5.
Hasil pengkajian yang dilakukan terhadap nenek Y, yaitu terdapatnya hambatan mobilitas fisik didukung oleh ketidakmampuan klien dalam melakukan kebutuhan sehari-hari sehingga harus dibantu oleh caregiver, kekuatan otot yang menurun, ketidakmampuan untuk mandi, berpindah, toileting, kontinen, sehingga tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada orang lain, mengeluh kebas yang dirasakan sudah lama seta gangguan pada mata yaitu klien mengalami katarak yang mengakibatkan mata kiri sudah tidak mampu melihat serta menggunakan alat bantu berupa kursi roda, tongkat dan walker.
6.
Rencana asuhan keperawatan disusun sesuai dengan diagnosis yang telah ditegakkan yaitu, monitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
pagi, motivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot, ajarkan klien dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, ajarkan dan bantu klien dalam proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi, ajarkan dan latih ROM aktif atau pasif, motivasi klien mempraktekkan latihan ROM yang telah diajarkan bersama-sama, ajarkan dan latih klien senam kaki, kolaborasi untuk melakukan pemeriksaan gula darah. 7.
Implementasi dilakukan dengan latihan rentang gerak sendi, melatih senam kaki, melatih penggunaan alat bantu jalan Evaluasi menunjukkan adanya peningkatan kemandirian lansia, dari nilai 1 menjadi nilai 2,kekuatan otot meningkat dari 4444 5555 menjadi 4444 5555
5555 5555 5555 5555
. 5.2 Saran 1.
Latihan ROM sebaiknya dilakukan secara teratur 2-3x/minggu agar kekuatan otot dan fleksibiltas sendi bertambah.
2.
Perlu upaya yang terus menerus untuk mengatasi keluhan neuropati yang dialami nenek Y dengan melakukan senam kaki agar peredaran darah perfer dapat lancar
3.
Balance exercise perlu dilakukan agar keseimbangan tubuh meningkat sehingga risiko jatuh dapat diihindari.
4.
Modifikasi lingkungan seperti mengatur tata letak kamar dan pencahayaan yang cukup terang agar klien dapat melakukan mobilisasi dengan alat bantu yang tepat, serta dapat menghindari risiko jatuh.
5.
Kolaborasi dengan perawat agar melakukan pemeriksaan FMS tiga bulan mendatang
6.
Kolaborasi dengan perawat STW agar melakukan observasi yang ketat terutama pada pada lansia yang mempunyai risiko jatuh yang tinggi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
49
DAFTAR PUSTAKA Ayu ,Dyah. A., Warsito, Bambang E. ( 2012). Pemberian Intervensi Senam Lansia Pada Lansia Dengan Nyeri Lutut. Jurnal Nursing Studies. Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 60 – 65 .
http://ejournal
s1.undip.ac.id/index.php/jnursing diakses tgl 13 /5/13 jam 23.15) Aristo Farabi. (2007). Hubungan Tes “Time Up and Go” dengan Frekuensi Jatuh Pasien Lanjut Usia. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenegoro Semarang Barton, Hugh.( 2000). Healthy Urban Planning. WHO; London. Budiharjo, dkk. (2005). Pengaruh Senam Aerobic Low Impact Intensitas Sedang Terhadap Kelenturan Badan Pada Wanita Lanjut Usia Terlatih. Berkala Ilmu Kedokteran. 37(4:178) Burduli M. (2009). The Adequate Control of Type 2 Diabetes Mellitus in an Elderly Age. Available from: http://www.gestosis.ge/Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010 Brian J. Sharkey. (2003). Kebugaran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Brown AF, Mangione CM, Saliba D, Sarkisian CA. (2003) Guidelines for Improving the Care of the Older Person with Diabetes Mellitus. JAGS;51:S265-75.http://www.american- geriatrics.org/products/ position papers/JAGSfinal05.pdf Carpenito, L.J.(2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis edisi 9. Jakarta: EGC Depkes RI. (2000). Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta Eka, Ediawati. (2012). Gambaran Tingkat Kemandiorian Dalam Activity Of Daily Living (ADL) Dan Resiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Mulya 01 Dan 03 Jakarta Timur. Skripsi. FIK UI Fuller GF. (2007).
Falls in The Elderly. Diakses tanggal 3 Juli 2013:
http://www.aafp.org/afp/20000401/2159.html
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
50
Gazotti C. (2000). Clinical Usefulness Of The Mini Nutritional Assessment Scale In Geriatric Medicine. J Nutr Health aging, 4(3):176-81 Gholamreza V.(2010). Association Between Socio-Demographic Factors and Diabetes Mellitus in The North Of Iran: A Population-Based Study. International Journal of Diabetes Mellitus 154–157. Guccione, A.A. (2000). Geriatric physical therapy. 2nd edition. Philadelpia: Mosby. Hal: 45, 102, 285, 461 Gunarto, Sigit. 2005. Pengaruh Latihan Four Square Step Terhadap Keseimbangan Pada Lansia. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik FKUI. Jakarta. Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hal: 104-105, 1346 Hamid, A. (2007). Penduduk Lanjut Usia Di Indonesia Dan Masalah Kesejahteraannya.http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&f ile=print&sid=522 diunduh pada tanggal 24 Juni 2013 Hanafiah, H. (2008).Kelainan Muskulo Skeletal Pada Lanjut Usia.
Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Bedah pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Ihromi, T. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. (2009). Essentials of Clinical Geriatrics. 6th ed. New York: McGraw Hill.p.363- 70. Kobayashi, N.,Nurviyandari,D.,Yammamoto,M., Sugiyama,T., Sugai. (2009). Severity Of Dementia As A Risk Factor For Repeat Fall Among The Institutionalized Elderly In Japan. Journal Of Nursing and Health Sciences Leli, Mulyati. (2012). Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi, Nyeri Dan Ankle Brachial Index (Abi) Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di RSUD Curup Bengkulu.
Akademi Kesehatan Sapta Bakti
Bengkulu
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
51
Lueckenotte. (1996). Pengkajian Gerontologi. Ahli bahasa oleh: Aniek maryunani. Jakarta: EGC Martono, Hadi. (2009). Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Martono, Hadi. & Darmojo, Boedhi, R. (2004). Ilmu kesehatan usia lanjut. edisi 3 Jakarta: FIK-UI Maryam, S. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta: Salemba Medika. 2008. Mira,A.K. (2011). Efektifitas ROM Pasif Dalam Mengatasi Konstipasi Pada Pasien Stroke di Ruang Neuro Badan Layanan Umum Daerah Gorontalo RSU DR.M.M. Dunda Kabupaten Gorontalo. Jurnal Haealth & Sport, Vol 3,Nomer 1 Miller, A.C. (2004). Nursing care of older adult theory and practices. (2nd ed).Philadelphia: JB. Lippincott Company Nataprawira, I. (2012). Strategi Customer Relations Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia V Jelambar Jakarta Barat Melalui Pendekatan Model Communicative Competence. Universitas Indonesia: Skripsi Nurhadi, Wiyono. (1994). Lansia Sebagai Modal Permbangunan: Peluang dan Tantangan. Warta Demografi tahun ke 24 N0 1 Nurviyandari, D. (2010). Modul: Program Pencegahan Jatuh Pada Lanjut Usia. Hibah Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2010 Iptek bagi Masyarakat (IbM). Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Nyman.
2007.
Why
Do
I
Need
To
Improve
My
Balance?.
www.balancetraining.org.uk. Diakses tanggal 13 Juni 2013. Potter,P. A & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses, dan Praktik). Edisi 4. Volume 1. Jakarta:EGC. Pinkstaff SM. (2004) Aging with Diabetes-An Underappreciated Cause of Progressive Disability and Reduced Quality of Life. http://www. clinicalgeriatrics. com/article/3441 20 Rahman
S,
Rahman
T,
Ismail
A,
Rashid.(2007).
Diabetes-associated
macrovasculopathy: pathophysiology and pathogenesis, Diabetes Obes Metab9(6): 767–80. 5. Indonesia Keilmuan Keperawatan Komunitas.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
52
Rachmah,.L.A Aktivitas Fisik pada Lansia. Staf Pengajar FIK.Universitas Negeri Jogyakarta. File PDF. Diakses tanggal 27/6/2013 Romanus, Beni. (2001). Kesejahteraan Lansia Masa Depan: Sehat, Produktif dan Mandiri. Warta Demografi tahun ke 31 no 21, 2001 Rahardjo, Tri.Budi,W., Priyotomo,Y. (1994). Permasalahan Kesehatan Lansia dan Upaya Pelayanan Melalui Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut. Warta Demografi tahun ke 24 N0 1, 1994 Riyadi, Sujono, Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakart: Graha Ilmu Sclatter A. (2003) Diabetes in the Elderly: The Geriatrician’s Perspective. Can J Diab.;27(2):172-5.http:// www.diabetes.ca/files/ElderlySclaterJune03.pdf Shoba S.(2005). Preventing Of Falls In Older Patients. Diakses tanggal 3 Juli 2013 di: http://www.aafp.org/afp/20050701/81.html Siti Zulaekah dan Dyah Widowati (2009) . Hubungan Status Gizi
(Mini
Nutritional Assesment) Dengan Tingkat Kemandirian (Indeks Katz) Penderita Di Divisi Geriatri Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. jurnal kesehatan, issn 1979-7621, vol. 2, no. 2, Desember 2009 hal 131136
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Siburian, P. (2007). Empat Belas Masalah Kesehatan Utama Pada Lansia. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view= article&catid=28:kesehatan&id=3812:empat-belas-masalah-kesehatanutama-pada-lansia pada tanggal 24 Juni 2013 Subramaniam I, Gold JL.(2005.) Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad Geri.: http://www.jiag.org/ sept/diabetes.pdf Stanley, M.& Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C., Bare,B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth (edisi 8). Volume 1. Diterjemahkan oleh Waluyo, A. Jakarta : EGC Stocklager, Jaime & Schaeffer, Liz. (2008). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Alih Bahasa: Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
53
Taslim,
H.
(2001).
Gangguan
Muskuloskeletal
pada
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072001/pus-1.htm
Usia
Lanjut.
(diakses
tgl
13/5/13 jam 23.00) http://www.tempo.co/read/news/2013/05/26/173483297/28-Juta-LansiaIndonesia-Telantar diakses tagnggal 8 JUli 2013 Wilkinson,J.M; Ahern,N.R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC. Wuri U. (2009). Pengaruh Latihan Rom Aktif Terhadap Kemampuan Mobilisasi Pada Lansia Dengan Gangguan Muskuloskeletal Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 03 Ciracas Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 5, No. 3, Oktober 2009
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Pengkajian dan Analisis Data
Lampiran 2
Rencana Asuhan Keperawatan
Lampiran 3
Hasil Pengkajian MMSE
Lampiran 4
Hasil Pengkajian GDS
Lampiran 5
Hasil Pengkajian FMS
Lampiran 6
Hasil Pengkajian Indeks Katz
Lampiran 7
Hasil pengkajian BBT
x
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lamp 1
LAPORAN PKKMP GERONTIK NAMA :INDRYANI DEWY NPM : 1006823311 PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UI PENGKAJIAN Nama Panti
: STW Karya Bakti RIA Pembangunan
Alamat Panti : Jl. Karya Bakti No 2 Cibubur Jakarta Timur Tanggal Masuk: 18 November 2011 No Register
:
I.
IDENTITAS a. Nama : Nenek Y b. Jenis kelamin : Perempuan c. Umur : 81 tahun/ Padang Panjang, 24 Oktober 1932 d. Agama : Islam e. Status perkawinan : Janda f. Pendidikan terakhir : SMA g. Pekerjaan : Tidak bekerja : Duta Kranji Blok C No 52 Bintara bekasi Barat h. Alamat rumah
II.
ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI Nenek Y awalnya dibawa ke STW Bakti RIA pembangunan oleh anaknya, yang menurutnya anaknya tidak mau dibebani oleh orang tuanya. Setelah beberapa bulan nenek Y merasa kerasan tinggal di panti dan tidak mau lagi kembali ke rumah anaknya, kecuali hanya sekedar menginap beberapa hari
III.
RIWAYAT KESEHATAN A. Masalah Kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini Masalah kesehatan yang pernah dialami adalah nenek Y pernah mengalami jatuh sebanyak 3 kali, mata sebelah kiri tidak bisa melihat karena mengalami katarak sejak tahun 1990,riwayat NIDDM . saat ini nenek Y mengeluh tangan dan kaki terasa kebas, badan terasa lemas, bila berdiri tidak kuat sehingga harus dibantu tongkat/ walker B. Masalah kesehatan keluarga/keturunan Nenek Y tidak mampu mengingat penyakit yang diderita oleh anggota keluarganya
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
IV.
KEBIASAAN SEHARI-HARI A. Biologis 1. Pola makan Nenek Y makan teratur selama di STW3x sehari, yaitu maan pagi, makan siang dan makan sore. Nenek Y menyukai semua makanan yang dihidangkan. Porsi makanan yang bisa dihabiskan hanya ½ porsi 2. Pola minum Nenek Y memiliki kebiasaan minum hanya ketika makan, dalam 1 hari hanya 3-4 gelas (@ 200 cc), selain itu nenek Y hanya sedikitsedikit saja. 3. Pola tidur Nenek Y mengatakan kebiasaan tidur siang tidak menentu, terkadang nenek Y tertidur siang ketika menonton televisi. Kebiasaan tidur malam mulai pukul 21-05 pagi 4. Pola eliminasi Pola eliminasi BAB tidak teratur biasanya 2 hari sekali, sedangkan pola eliminasi BAK dalam sehari sekitar 3-4 kali/hari karena nenek Y takut sering BAK. Bila malam hari nenek Y memakai panpres untuk mencegah ngompol 5. Aktivitas sehari-hari Kegiatan yang dilakukan nenek Y setelah bangun pagi adalah sholat subuh, mandi, sarapan, lalu nenek Y mengikuti kegiatan yang ada di STW seperti senam pagi, pengajian. Sedangkan bila tidak ada kegiatan nenek Y berdiam diri di kamar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari nenek Y dibantu oleh caregiver 6.
Rekreasi Nenek Y mengatakan kegiatan rekreasi yang dilakukan sehari-hari adalah menonton televisi, sedangkan kegiatan rekreasi yang dilakukan diluar STW hanya bila dijemput oleh anak/cucunya
B. Psikologis 1. Keadam emosi Keadaan emosi nenek Y cukup stabil, nenek Y masih mengenang suaminya dengan terus mengulang pertemuan pertama dengan alm. suaminya. Nenek Y sering mengulang pembicaraan tentang lawan jenis misalnya ingin mencari pria yang mau mengawininya. C. Sosial 1. Dukungan keluarga
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Keluarga mendukung nenek Y tinggal di STW, setiap akhir pekan/hari libur keluarga rutin mengunjungi nenek Y. Keluarga juga memperhatikan keterbatasan fisik orangtuanya sehingga keluarga menyiapkan tenaga caregiver untuk membantu kebutuhan orangtuanya 2. Hubungan antar keluarga Keluarga nenek Y merupakan keluarga besar. Nenek Y mengatakan ada seorang anaknya yang sudah menikah dan tinggal di Belanda, komunikasi yang terjalin antar anggota keluarga terjalin baik dan berlangsung dua arah.
3. Hubungan dengan orang lain Nenek Y cukup akrab dengan penghuni wisma Bungur lain, nenek Y juga orang yang sangat ramah bahkan terhadap orang yang baru dikenalnya. D. Spiritual/kultural Nenek Y melaksanakan sholat 5 waktu dikamar, karena nenek Y merasa kesulitan bila melaksanakan ibadah sholat berjamaah di mushola. Nenek Y juga aktif mengikuti pengajian yang dilaksanakan di panti maupun yang dilakukan sendiri. E. Pemeriksaan fisik 1. Tanda vital a. Keadaan umum putih,gaya b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Kesadaran Suhu Nadi Tekanan darah Pernafasan Tinggi badan Berat badan IMT LILA
: postur tubuh nenek Y semampai, kulit berjalan diseret dan agak membungkuk : Compos mentis : 36 0C : 80x/menit : 120/80 mmHg : 20x/menit : 155 cm : 60 kg : 24,97 : 20 cm
2. Pemeriksaan sistematik dan kebersihan perorangan a. Kepala Rambut :
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Nenek Y memiliki rambut yang tebal dan beruban, terdistribusi merata, kebersihan kepala bersih, tidak mudah tercabut, tidak ada lesi Mata : Keadaan dan penampilan struktur mata: alis mata sejajar dan simetris. Konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pada mata kiri ada katarak. Nenek Y tidak bisa melihat pada mata kirinya. Nenek Y masih mampu melihat dengan jarak yang sangat dekat hanya dengan mata kanannya Hidung : Hidung mancung, tidak ada pengeluaran cairan dan peradangan/polip Mulut : Mukosa mulut lembab, lidah dan gigi bersih, gigi banyak yang tanggal hanya bersisa 8 buah gigi. Telinga : Keadaan dan penampilan struktur telinga: telinga sejajar mata, tidak ada lesi, pengeluaran cairan dan serumen tidak ada. b. Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan vena jugolaris dileher
c. Dada/thorax Dada : Dada simetris, penggunaan otot bantu nafas tidak ada Paru-paru: Suara nafas vesikuler, ronkhi - /-, wheezing - / Jantung : Warna kulit sama, penonjolan mata disekitar preiorbital tidak ada, tidak ada pembesaran KGB dan vena jugolaris. BJ I-II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada d. Abdomen : Abdomen lemas, tidak tampak striae, BU (+) 6x/menit,pembesaran hati dan limfa tidak teraba. e. Muskuloskeletal Nenek Y mempunyai masalah pada sistem muskuloskelal, mengeluh kedua kaki dan tangan terasa kebas sejak 1 tahun yang lalu. Oedema pada tungkai tidak ada, untuk membantu dalam aktivitas sehari-hari nenek Y menggunakan tongkat/walker. Kekuatan otot 4444 5555 5555 5555
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
f. Lain-lain g. Keadaan lingkungan : Kamar tertata rapi dan bersih, kamar mandi tidak licin
V.
INFORMASI PENUNJANG a. Diagnosa Medis : Hipertensi, katarak, riwayat NIDDM b. Laboratorium : Tanggal 12/10/2012 HB : 11,35 gr/dl (12-14) Leukosit : 5,75 ribu/uL (5000 -10.000) Trombosit : 261.000ribu/uL (150-400.000) Eritrosit : 3,78 juta/uL (4.00 – 5.00) Hematokrit : 33% (32-37) (6,6 – 8,7) Prot total : 7,1 gr/dl Albumin : 4,5 gr/dl (3,2 – 5,2) Globulin : 2,6 gr/dl (2,3 – 3,5) Bil. Direk : 0,7 mg/dl ( 0,3- 1,0) Bil. Indirek : 0,4 mg/dl ( < 0,6) SGOT : 18 iu/L (6-21) SGPT : 8 iu /L (4-20) Gamma GT : 16 iu/L ( < 50) (10-50) Ureum : 36 mg/dl Creatinin : 1,3 mg/dl (0,5- 1,5) Asam urat : 3,3 mg/dl (2,5 -6,6) GD N : 115 mg/dl ( 60 -100) GD 2jam PP : 226 mg/dl ( < 140) Natrium : 133,8 mMol (135-145) Kalium : 4,1 mMol (3,8-5,3) Chol. Total : 245 HDL : 48 LDL : 119 Tanggal 14/5/13 GDS : 113 mg/dl A. Urat : 4,3 mg/dl Hasil foto pelvis AP tanggal 14//1/13: Kesan : tidak tampak fraktur / dislokasi (RS Medika BSD) c. Terapi Medis: Leparson 2 x ½ Lapibal/methycobalt 1 x 500 mg Amlodipine 1x5 mg
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
PENGKAJIAN PADA LANSIA a. Geriatric Depression Scale (GDS): 12 = depresi ringan b. Mini Mental State Examination (MMSE): 26 c. Pengkajian Tingkat Kemandirian Indeks Katz: 1 ( gangguan fungsional berat/ kemandirian tinggi) d. Pengkajian Resiko Jatuh: Morse fail Scale (MFS)/ Skala Jatuh dari Morse: 80 = resiko jatuh tinggi e. Berg Balance Test (BBT): 22. Interpretasi: lansia memiliki resiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
ANALISA DATA NO 1.
DATA FOKUS MASALAH DS: Hambatan mobilitas fisik - Nenek Y mengatakan tidak melakukan sholat ke mushola karena tidak kuat berjalan jauh - Nenek Y mengatakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dibantu caregiver atau menggunakan tongkat/walker - Nenek Y mengatakan pernah mengalami riwayat jatuh selama dipanti sebanyak 3 kali - Nenek Y mengatakan bila tidak ada kegiatan lebih suka rebahan dikamar - Nenek Y mengatakan mata kiri tidak bisa melihat karena katarak sejak tahun 1990 - Nenek Y mengatakan bila berpindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya perlu didampingi oleh orang lain/caregiver - mempunyai riwayat jatuh sehingga takut bila melakukan aktivitas sendiri - kebutuhan sehari hari seperti makan masih dapat dilakukan sendiri, namun perlu disiapkan, untuk aktivitas toileting dan mandi ia dibantu oleh caregiver, DO: - Dalam memenuhi kebutuhan seharihari nenek Y dibantu caregiver - Hasil BBT (Berg Balance Test): 22 - Hasil indeks Katz: 1: gangguan fungsional berat - Untuk ambulasi nenek Y menggunakan tongkat/walker - Untuk perubahan posisi nenek Y dari tidur ke posisi duduk atau berdiri nenek Y membutuhkan bantuan orang lain - klien mengalami penurunan kognitif (sering lupa) - klien mendapat terapi leparson 2x ½ tablet - mata kiri klien tidak mampu melihat klien dalam melakukan ambulasi menggunakan kursi roda, walker/tongkat dan dibantu oleh caregiver
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
2.
3.
- klien mengalami penurunan sensasi rasa. - Nenek Y terlihat sempoyongan ketika ambulasi berjalan DS: Resiko jatuh - Nenek Y mengatakan pernah mengalami riwayat jatuh selama dipanti sebanyak 3 kali yaitu pada tanggal 15/8/2012. 10/11/12 dan tanggal 5/4/13 - Nenek Y mengatakan tidak mampu berdiri lama karena gemetar/ sempoyongan - Nenek Y mengatakan didalam kamar selalu menggunakan sandal yang tidak licin - Nenek Y mengatakan kaki dan tangan terasa kebas. DO - Nenek Y terlihat sempoyongan ketika ambulasi berjalan - Hasil pengkajian MFS: 80= resiko jatuh tinggi - Nenek Y sudah memakai sandal karet didalam maupun di luar kamar - Cara bejalan nenek Y diseret dan posisi tubuh agak membungkuk - Nenek Y mendapat obat Leparson 2 x ½ tab - Nenek Y menderita katarak dan tidak bisa melihat pada mata kiri - Hasil BBT (Berg Balance Test): 22= lansia memiliki riwayat jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan berupa tongkat, kruk atau walker. DS: Resiko ketidakstabilan kadar glukosa - Nenek Y mengatakan tangan dan kaki darah terasa kebas - Nenek Y mengatakan pernah menderita kencing manis, tetapi sekarang tidak minum obat kencing manis lagi - Nenek Y mengatakan makanan yang disajikan habis ½ porsi - Nenek Y mengatakan DO: - Nenek Y mendapat terapi Lapibal 1 x 500 mg - Nenek Y riwayat menderita NIDDM - Hasil GDS tanggal 14/5/13: 113 mg/dl dan asam urat 4,3 mg/dl
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Lamp 2
NO
Diagnosis Keperawatan Hambatan mobilitas fisik
Tujuan TUM: Hambatan mobilitas fisik meningkat setelah diberikan tindakan keperawatan dalam waktu 7 minggu TUK: 1. Teridentifikasinya tingkat kekuatan otot dan kemampuan mobilitas fisik residen 2. Residen dapat mendemostra sikan tindakan-tindakan untuk meningkatkan mobili tas fisik dan mencegah kekakuan sendi 3. Residen mampu melakukan latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan sendi secara mandiri
Kriteria Evaluasi Individu akan: - Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan - Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan - Berjalan dengan menggunakan langkah sejauh 50-100 meter - Mampu berpindah dari tempat tidur ke kursi atau berjalan
Intervensi
Rasional
MANDIRI Kaji kemampuan mobilitas secara fungsional setiap pagi Evaluasi dan validasi keadaan residen saat ini Kaji tingkat motivasi pasien untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot Diskusikan dengan residen tentang masalah kekakuan sendi dan otot yang dialami klien Diskusikan bersama residen mengenai perawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi Ajarkan pasien dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi Ubah pasien yang imobilisa si minimal setiap dua jam Berikan penguatan positif Bantu pasien menggunakan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Menentukan pilihan intervensi yang tepat pada residen Intervensi yang dilakukan sesuai dengan keadaan residen saat ini Motivasi yang kuat untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan partisipasi residen dalam melakukan aktivitas
-
Untuk mengetahui secara jelas penyebab kekakuan pada sendi dan otot yang dialami
-
Mengetahui sejauh mana usaha residen menyelesaikan masalah
-
Mendukung alat mobilitas yang tepat
-
Mengajarkan pasien menggunakan postur tubuh dan mekanika tubuh yang benar
-
Mencegah terjadinya penekanan pada kulit dan mencegah terjadinya dekubitus Meningkatkan motivasi dan harga diri pasien
-
alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan Ajarkan dan latih dalam latihan ROM aktif atau pasif
Motivasi residen memprak tekkan latihan ROM yang telah diajarkan bersamasama Motivasi residen melakukan latihan ROM tiap pagi setelah bangun tidur dan sore hari sebelu mandi Dokumentasikan tingkat kekuatan otot residen KOLABORASI Konsultasikan ke ahli terapi fisik dan okupasi Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
-
Mencegah terjadinya cedera jatuh saat ambulasi
-
Meningkatkan pengetahuan residen dalam mmpertahankan dan meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot serta meningkatkan sirkulasi
-
Meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan sirkulasi secara berkelompok
-
Meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan sirkulasi secara mandiri
-
Melihat perkembangan sebelum sesudah dilakukan intervensi
-
Sumber untuk mengembangkan perencanaan aktivitas pasien Membantu mengurangi nyeri sebelum melakukan mobilitas
-
dan
NO
Diagnosis Keperawatan Resiko jatuh
Tujuan
Kriteria Evaluasi TUM: Pasien tidak jatuh ketika: Resiko jatuh tidak terjadi Berdiri tegak setelah diberikan tindakan Berjalan keperawatan dalam waktu Duduk 7x24 jam Berpindah tempat Dari tempat tidur TUK: Menaiki anak tangga 1. Meningkatnya pengetahuan Menuruni anak tangga residen tentang resiko jatuh 2. Meningkatnya kekuatan otot dan keseimbangan pada residen 3. Meningkatnya kebersihan dan kerapihan kamar 4. Meningkatnya kekuatan otot dan keseimbnagan pada residen 5. Meningkatnya kewaspada an resiko jatuh pada residen
Intervensi MANDIRI Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan resiko jatuh Lakukan pengkajian resiko jatuh pada pasien yang masuk panti Berikan penjelasan pada residen tentang resiko jatuh dan kondisi ruangan yang menyebabkan resiko jatuh Kaji kemampuan penglihat an dan ingatkan untuk menggunakan kacamata ketika ambulasi Kaji adanya dan atasi inkontinensia urin Pantau cara berjalan, keseimbangan, dan tingkat keletihan saat ambulasi Bantu pasien saat ambulasi secara aman dengan atau tanpa alat bantu bila perlu Sediakan alat bantu berjalan misalnya tongkat, walker dan demonstrasikan cara berpegangan pada handrail untuk mencegah jatuh Jauhkan bahaya lingkungan misalnya menyediakan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Rasional -
-
-
Menentukan dan memantau lingkungan fisik untuk meningkatkan kewaspadaan residen terhadap resiko jatuh Memberikan pengawasan yang ketat terhadap pasien yang memiliki resiko tinggi jatuh Meningkatkan pengetahuan tentang resiko jatuh sehingga meningkatkan kerjasama klien dalam mencegah jatuh
-
Mencegah terjadinya resiko jatuh akibat gangguan penglihatan
-
Peningkatan resiko jatuh meningkat dengan keadaan inkontinensia urin Mengetahui resiko jatuh pada pasien saat ambulasi
-
-
Menghindari resiko cedera jatuh
-
Penggunaan alat bantu jalan membantu pasien dalam ambulasi dengan menjaga keseimbangan tubuh
-
Lingkungan yang aman menurunkan resiko jatuh pada pasien
penerangan yang adekuat, lantai yang tidak licin, tersdianya handrail dikamar dan kamar mandi Bantu pasien menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan Motivasi residen mengikuti senam lansia untuk meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan Motivasi residen untuk melakukan ROM dikamar baik dalam keadaan berbaring atau duduk Lakukan kerjasama sama dengan caregiver/residen untuk merapikan kamar Jelaskan pada residen agar mengganti keset kaki lama yang telah aus dengan keset kaki yang memiliki alas karet dibawahnya Beri tanda”area licin dan basah ” dengan warna terang dan ukuran besar pada lantai yang sedang dipel atau lantai yang tergenang air KOLABORASI Konsultasikan ke ahli fisio terapi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
-
Mencegah terjadinya cedera jatuh saat mobilitas
-
Meningkatkan keseimbangan
kekuatan
otot
dan
-
Meningkatkan keseimbangan
kekuatan
otot
dan
-
Kamar yang rapi memudahkan residen berjalan dan mengurangi resiko tersandung
-
Keset kaki yang telah aus bagian karetnya cenderung mudah bergeser dan tertekuk sehingga meningkatkan resiko jatuh
-
Menghindari resiko jatuh akibat tergelincir
-
Melatih cara berjalan dan latihan fisik untuk memperbaiki mobilitas, keseimbang an, dan kekuatan.
Lamp 3
Mini Mental State Examination (MMSE) Max
Score Orientation
5
(4
5
(5
)
Sebutkan (tahun) (bulan) (tanggal) (hari) (musim/ jam)? )
Dimanakah kita sekarang (kamar) (wisma) (kota) (provinsi) (negara)? Registration
3
( 3
)
Sebutkan 3 ojek benda.: 1 detik utuk menyebutkan masingmasing. Kemudian tanyakan kepada lansia setelah kita menyebutkan 3 benda tersebut. Beri nilai 1 untuk masingmasing jawaban yang benar. Ulangi sampai lansia dapat menyebutkan semuanya. HItung berapa kali lansia mencoba menyebutkan. Mencoba __lemari, meja kursi____ Attention and Calculation
5
(4
)
Menghitung kelipatan 7 sampai 5 kali, atau jika tidak
mampu dengan hitungan uang. Atau jika tidak bias memakai angka minta nenek menyebutkan bacaan kebalik dari satu kata Recall 3
(3
)
Sebutkan kembali 3 benda yang disebutkan di awal. Beri 1 poin untuk jawaban yg benar Language
2
(2
)
Menyebutkan 2 benda yang ada di meja/sekitar
1
( 1
)
Buat/Ulangi satu kalimat tidak boleh ada penghubung (jangan lebih dari 5 kata).Contoh matahari terbit dari timur
3
(3
)
Ikuti 3 Perintah “ Ambil kertas di tangan mu, lipat menjadi dua dan letakan diatas lantai”
1
( 0
)
Baca dan ikuti perintah: Tutup matamu
1
( 1
)
Tulis kalimat
1
( 0
)
Gambarkan kembali gambar berikut. (yang dinilai jumlah sisi dan ada yang beririsan)
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Interpretasi Hasil Nilai hasil: 26 Nilai maksimal 30 Nilai < 23
: gangguan kognitif
Nilai 23-30
: Normal
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Lamp 4
PENGKAJIAN PADA LANSIA Geriatric Depression Scale Beri tanda ceklist (√) antara jawaban ya atau tidak pada tiap pertanyaan. Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan
Ya
1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda?
V
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda?
V
Tidak
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa?
V
4. Apakah anda senantiasa bosan?
V
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan?
V
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat
V
dilupakan? 7. Apakah anda bersemangat setiap waktu?
V
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan
V
menimpa anda? 9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu?
V
10. Apakah anda merasa tidak berdaya?
V
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup?
V
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada
V
berjalan-jalan ke luar dan melakukan sesuatu yang baru? 13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda?
V
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? 15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan
V V
kehidupan sampai sekarang? 16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih?
V
17. Apakah anda merasa tidak berguna?
V
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda?
V
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? 20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang
V V
baru? 21. Apakah anda memiliki energi maksimal?
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
V
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong?
V
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari
V
anda? 24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil?
V
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis?
V
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi?
V
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari?
V
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari
V
perkumpulan sosial? 29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan?
V
30. Apakah pikiran anda jernih?
V
Total nilai : 5
Interpretasi Hasil Nilai 0-9 : normal Nilai 10-19
: depresi ringan
Nilai 20-30
: depresi berat
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
D. Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
Pengkajian 1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir
Skala Tidak
0
0
Ya
25
__________
0
15
15
__________
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih Tidak dari satu penyakit
Nilai
Ya
3. Alat bantu jalan; -
Bed rest/ dibantu perawat
0
-
Kruk/ tongkat/ walker
15
30
-
Berpegangan pada benda-benda di sekitar
30
________
(kursi, lemari, meja) 4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang infus?
Tidak
0
0
Ya
20
__________
5. Gaya berjalan/ cara berpindah -
Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat
0
bergerak sendiri)
10
10
-
Lemah (tidak bertenaga)
20
_________
-
Gangguan/ tidak normal (pincang/
__0_______
diseret) 6. Status Mental -
Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
0
-
Lansia mengalami keterbatasan daya
15
ingat Total Nilai
55
Interpretasi Hasil Nilai 0-24 : Tidak memiliki risiko jatuh Nilai 25-50: Risiko jatuh rendah Nilai ≥51 : Risiko jatuh tinggi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Lamp 5
Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
Pengkajian 1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir
Skala Tidak
0
25
Ya
25
__________
0
15
15
__________
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih Tidak dari satu penyakit
Nilai
Ya
3. Alat bantu jalan; -
Bed rest/ dibantu perawat
0
-
Kruk/ tongkat/ walker
15
-
Berpegangan pada benda-benda di sekitar
30
15 ________
(kursi, lemari, meja) 4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang infus?
Tidak
0
0
Ya
20
__________
5. Gaya berjalan/ cara berpindah -
Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat
0
bergerak sendiri)
10
15
-
Lemah (tidak bertenaga)
20
_________
-
Gangguan/ tidak normal (pincang/
__15_____
diseret) 6. Status Mental -
Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
0
-
Lansia mengalami keterbatasan daya
15
ingat Total Nilai
80
Interpretasi Hasil Nilai 0-24 : Tidak memiliki risiko jatuh Nilai 25-50: Risiko jatuh rendah Nilai ≥51 : Risiko jatuh tinggi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Lamp 6
A. Pengkajian Tingkat Kemandirian: Indeks Katz
Aktivitas Skor (1 atau 0)
Mandiri
Tergantung
(Skor 1) Tanpa pengawasan,
(Skor 0) Dengan
pengarahan, atau
Pengawasan, pengarahan,
bantuan orang lain.
dan bantuan orang lain.
MANDI
(Skor 1) Melakukan mandi
(Skor 0) Perlu bantuan lebih
Skor:
secara mandiri atau
dari satu bagian tubuh, perlu
_0______
memerlukan bantuan hanya
bantuan total.
untuk bagian tertentu saja misalnya punggung atau bagian yang mengalami gangguan. BERPAKAIAN
(Skor 1) Bisa memakai
(Skor 0) Perlu bantuan lebih
Skor:
pakaian sendiri, kadang perlu dalam berpakaian atau
__0_______
bantuan untuk menalikan
bahkan perlu bantuan total.
sepatu. KE TOILET
(Skor 1) Bisa pergi ke toilet
(Skor 0) Perlu bantuan
Skor:
sendiri , membuka
dalam eliminasi
___0______
melakukan BAB BAK sendiri.
BERPINDAH
(Skor 1) Bisa berpindak
Skor:
tempat sendiri tanpa bantuan, dalam berpindah dari bed ke
____0_____
alat bantu gerak
kursi roda, bantuan dalam
diperkenankan
berjalan.
KONTINEN
(Skor 1) Bisa mengontrol
(Skor 0) inkontinensia
Skor:
eliminasi
sebagian atau total baik
_____1_____
(Skor 0) Perlu bantuan
bladder maupun bowel.
MAKAN
(Skor 1) bisa melakukan
(Skor 0) Perlu bantuan
Skor:
makan sendiri. Makanan
dalam makan, nutrisi
______1____
dipersiapkan oleh orang lain
parenteral
diperbolehkan.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Total Skor:___1__
Interpretasi Hasil Nilai 6 : Kemandirian penuh Nilai 4: Gangguan fungsional sebagian (kemandirian sebagian) Nilai 0-2 : Gangguan fungsional berat (Ketergantungan tinggi)
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Lamp 7
BERG BALANCE SCALE (BBS) Perintah dalam Berg Balance Scale 1. Duduk ke berdiri Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan (
) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( v ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan (
) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali
mencoba (
) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
(
) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan (
) 4 mampu berdiri selama dua menit
(
v)3
mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
(
) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
(
) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
(
) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit (v
) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
(
) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
(
) 2 mampu duduk selama 30 detik
(
) 1 mampu duduk selama 10 detik
(
) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk Instruksi: silahkan duduk ( v ) 4 duduk dengan aman dengan pengguanaan minimal tangan (
) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
(
) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
(
) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri
ke duduk (
) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
5. Berpindah Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga tangan ( ( ( ( (
) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan v ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik (
) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( v ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan (
) 2 mampu berdiri selama 3 detik
(
) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan aman
(
) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan (
) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( v ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan (
) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
(
) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi mampu berdiri selama 15 detik
(
) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama 15 detik
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh) (
) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
(
) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
(
) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
(
) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( v ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda (
) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
(
) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
(
) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga keseimbangan
(
) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba
( v ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya keseimbangan atau terjatuh 10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan ( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi (
) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
(
) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan
(
) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
(v ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
11. Berputar 360 derajat Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang berlawanan (
) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau
kurang (
) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang
(
) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
(
) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
(
v ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa bantuan Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali. (
) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
(
) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
(
) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
(
) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( v ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan
13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa, cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa (
) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama
30 detik (
) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
(
) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
(
) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik
( v ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
14. Berdiri dengan satu kaki Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan (
) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
(
) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
(
) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
(
) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi dapat berdiri mandiri
( v ) 0 tidak mampu mencoba
Total Skor:___22_____ Interpretasi Hasil Nilai 0-20 : Lansia memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat antu jalan berupa kursi roda Nilai 21-40 : Lansia memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker Nilai 41-56 : Lansia memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013