UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Oleh: WELAS RIYANTO NPM : 0906621520
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN PENERAPAN TEORI MODEL ADAPTASI ROY DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Oleh: WELAS RIYANTO NPM : 0906621520
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
ii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiratAlloh SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia Nya, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul : “Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari semua pihak yang terkait Karya Tulis Ilmiah ini tidak dapat terwujud, untuk itu dengan segala hormat perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dewi Irawaty, MA, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. DR. Ratna Sitorus Sudarsono, S.Kp. M.App.Sc, selaku pembimbing dan supervisor utama yang telah banyak meluangkan waktu memberikan pengarahan dengan sabar, cermat dan teliti kepada penulis selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah di Pelayanan Kesehatan. 3. Lestari Sukmarini, S.Kp. MNS, selaku supervisor yang telah banyak memberikan pengarahan dengan sabar, cermat dan teliti kepada penulis selama Praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah di Pelayanan Kesehatan. 4. Desmawati, S.Kp. MARS, selaku pembimbing klinik RSUP Fatmawati yang telah banyak memberikan motivasi, kesempatan dan bimbingannya selama menjalani masa praktek residensi. 5. Seluruh jajaran Direksi RSUP Fatmawati, Ka. Komite Keperawatan, Ka Bidang Pelayanan Keperawatan, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 6. Seluruh dosen pengajar Program Paska Sarjana Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Khususnya Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dan seluruh staf akademik, perpustakaan, dan tata usaha yang telah membantu selama proses pembelajaran serta penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
viii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
7. Seluruh perawat di IGD, Unit Hemodialisa IP2K, IBS, Lt 4 utara, 4 selatan, 5 utara, 5 selatan IRNA B RSUP Fatmawati, yang telah banyak memfasilitasi dan bekerja sama selama penulis melaksanakan residensi. 8. Bapak dan Ibu serta istri tercinta Agustin, anak-anakku : Halimah Nabihah Riyanto, Muhammad Nabil Riyanto, serta saudara-saudaraku yang banyak memberikan semangat, dukungan dan do’a hingga penulis dapat melanjutkan pendidikan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 9. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas inpirasi, kerja sama dan dukungan motivasi, serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ini. Akhirnya semoga bimbingan dan bantuan beliau dicatat sebagai amal ibadah oleh Alloh SWT dan harapanpenulis bahwa Karya Tulis Ilmiah yang masih jauh dari sempurna ini mendapat saran dan masukan agar menjadi lebih baik dan semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat. Depok, 1 Juli 2012
Penulis
ix Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Karya Tulis Ilmiah, Juli 2012 Welas Riyanto Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Penerapan Teori Model Adaptasi Roy di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. xx + 107 hal + 1skema + 1 gambar + 3 tabel + 12 grafik + 1 lampiran Abstrak Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan praktek residensi keperawatan medikal bedah yang telah dilaksanakan selama dua semester. Tiga kegiatan utama yang telah dilakukan yaitu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan perkemihan, praktek keperawatan berbasis pembuktian, dan inovasi keperawatan. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan gangguan perkemihan menggunakan konsep model adaptasi Roy. Masalah keperawatan yang umumnya terjadi pada pasien dengan gangguan perkemihan diantaranya kelebihan volume cairan, intoleran aktifitas, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan pola tidur, cemas, perubahan penampilan peran, koping tidak efektif. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dilakukan berbagai intervensi keperawatan yang bersifat regulator dan kognator. Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis pembuktian, dilakukan dengan menerapkan exercise intradialysis untuk meningkatkan adekuasi hemodialisis dalam hal penurunan ureum kreatinin. Hasil menunjukkan ada perbedaan adekuasi hemodialisis sebesar 14.85 %. Inovasi keperawatan dilakukan dengan melaksanakan edukasi menggunakan multi media video dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodialisis. Hasil program inovasi menunjukkan bahwa tindakan ini mampu meningkatkan kepatuhan pengaturan diet dan cairan pada pasien yang sedang menjalani hemodialisis.. Disimpulkan bahwa model adaptasi Roy dapat mengembangkan perilaku yang tidak efektif menjadi perilaku yang adaptif pada pasien dengan gangguan perkemihan. Disarankan agar model adaptasi Roy dapat diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien perkemihan, exercise intradialysis dapat dilakukan untuk meningkatkan adekuasi hemodialisis dalam pengeluaran ureum kreatinin, dan melakukan edukasi pada pasien dengan menggunakan pendekatan problem based learning sehingga pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dengan gangguan perkemihan. Kata kunci : Gagal ginjal kronik, model adaptasi Roy, ecercise intradialysis, edukasi multimedia (video) Daftar pustaka : 36 (1992 -2012)
xi Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
MEDICAL SURGICAL NURSING PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Analysis of Medical Surgical Nursing Clinical Practice of Residency on Patient with Urinary System Disorder using Roy’s Adaptation Theory Fatmawati Hospital Jakarta Final Scientific Report, July 2012 Welas Riyanto xx + 107 pages + 1 scheme + 1 figure + 3 tables + 12 graphs + 1 appendix Abstract The purpose of this final scientific report is to describe series of activities in clinical practice residency in medical surgical nursing that had been conducted for 2 semesters. Three main activities are providing nursing care on urinary system disorder patients, evidence based nursing care, and nursing innovation. Roy’s Adaptation Theory was used as an approach in giving nursing care for patient with urinary tract disorder. The common nursing problems in patient with urinary tract disorder are excessive body fluid, intolerance activity, imbalance nutrition: less of body requirement, sleep pattern disturbance, anxiety, ineffective role performance, and ineffective coping pattern. Some nursing intervention had been implemented to solve those problems from regulator and cognator mechanism in Roy adaptation theory. The implementation of evidence based nursing practice was on implementation of exercise intra-dialysis to improve health education in decreasing urea and creatinine serum. The result shows that significant different of 14.85% in hemodialysis education. The innovation activity was on the use of multimedia video for education in diet and fluid management for hemodialysis patient. The result of innovation shows that these multimedia educations can improve patient adherence to diet and fluid restriction for hemodialysis patient. The conclusion: Roy’s Adaptation Theory can change maladaptive to adaptive behavior in patient with urinary tract disorder. It is suggested that this theory can be implemented in delivering nursing care for patient with urinary tract disorder, also exercise intradialysis can improve urea and creatinine excretion. Problem based learning is the best approach to educate patient with urinary tract disorder. Keywords : chronic kidney failure, Roy’s Adaptation model, ecercise intradialysis, multimedia education (video) Bibliography: 36 (1992 -2012)
xii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………. iv LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………….. ix ABSTRAK ......................................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii DAFTAR SKEMA ................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvi DAFTAR TABEL .................................................................................................. xvii DAFTAR GRAFIK ................................................................................................ xviii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xx BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................. 1.2.1 Tujuan Umum ....................................................................... 1.2.2 Tujuan khusus ....................................................................... 1.3 Manfaat ........................................................................................... 1.3.1 Pelayanan keperawatan ......................................................... 1.3.2 Pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan ................... 1.3.3 Pendidikan keperawatan ..................................................... BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit ginjal kronik (PGK) ........................................................... 2.1.1 Pengertian ............................................................................. 2.1.2 Etiologi ................................................................................. 2.1.3 Klasifikasi ............................................................................ 2.1.4 Patofisiologi ......................................................................... 2.1.5 Manifestasi klinik ................................................................. 2.1.6 Pemeriksaan diagnostik ........................................................ 2.1.7 Penatalaksanaan ................................................................... 2.1.8 Therapi pengganti ginjal ....................................................... 2.2 Teori adaptasi roy ............................................................................. 2.2.1 Manusia ................................................................................ 2.2.2 Lingkungan .......................................................................... 2.2.3 Kesehatan ............................................................................. 2.2.4 Keperawatan .......................................................................... 2.3 Penerapan teori Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium V …................................. 2.3.1 Pengkajian prilaku dan stimulus .......................................... 2.3.2 Diagnosa keperawatan .......................................................... 2.3.3 Tujuan keperawatan ............................................................. xiii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
1 3 3 4 4 4 4 5 6 6 6 7 8 9 10 12 13 15 17 20 20 21 24 24 29 30
2.3.4 Intervensi keperawatan ........................................................ 2.3.5 Evaluasi ................................................................................ BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM PERKEMIHAN 3.1 Gambaran kasus kelolaan utama ....................................................... 3.2 Penerapan Teori Adaptasi Roy pada kasus kelolaan utama .......... 3.2.1 Pengkajian prilaku dan stimulus .......................................... 3.2.1.1 Mode adaptasi fisiologis ........................................ 3.2.1.2 Mode adaptasi konsep diri ..................................... 3.2.1.3 Mode adaptasi fungsi peran ................................... 3.2.1.4 Mode adaptasi interdependen ................................ 3.2.2 Diagnosa keperawatan ..................................................... 3.2.3 Penetapan tujuan .................................................................. 3.2.4 Intervensi keperawatan ........................................................ 3.2.5 Evaluasi keperawatan .......................................................... 3.3 Pembahasan berdasarkan Teori Adaptasi Roy ................................. 3.3.1 Mode adaptasi fisiologis ....................................................... 3.3.2 Mode adaptasi konsep diri .................................................... 3.3.3 Mode adaptasi fungsi peran ................................................. 3.3.4 Mode adaptasi interdependensi ............................................. 3.4 Analisa penerapan Teori Adaptasi Roy pada 34 kasus kelolaan ..... 3.4.1 Mode adaptasi fisiologis ....................................................... 3.4.1.1 Kasus kegawatan sistem perkemihan .................... 3.4.1.2 Kasus renal disease ............................................... 3.4.1.3 Kasus obstruksi ..................................................... 3.4.1.4 Kasus infeksi .......................................................... 3.4.1.5 Kasus neoplasma ................................................... 3.4.2 Mode adaptasi konsep diri .................................................... 3.4.3 Mode adaptasi fungsi peran ................................................. 3.4.4 Mode adaptasi interdependensi ............................................
30 36 37 38 38 38 43 44 45 45 46 47 47 60 60 68 70 71 73 73 73 74 75 77 78 78 79 80
BAB 4 PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN 4.1 Hasil jurnal reading (Critical Review) ............................................... 4.2 Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis pembuktian ................... 4.3 Pembahasan .....................................................................................
85 87 91
BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN 5.1 Analisa situasi ............................................................................... 5.2 Analisa penerapan inovasi ............................................................... 5.3 Kegiatan inovasi .............................................................................. 5.4 Desiminasi awal program desiminasi .............................................. 5.5 Melaksanakan program inovasi ........................................................ 5.6 Melaksanakan evaluasi .................................................................... 5.7 Pembahasan .....................................................................................
94 95 96 97 99 99 104
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan .......................................................................................... 6.2 Saran ................................................................................................
106 107
xiv Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR SKEMA Skema
2.1 Model konseptual Roy
............................................... 12
xvi Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1
Sepeda statis yang digunakan exersice intra dialisis .............. 88
xvii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 3.1
Rencana asuhan keperawatan, implementaasi dan evaluasi ......
48
Tabel 4.1
Evalusi nilai ureum kreatinin kelompok pasien yang dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta …………..
89
Tabel 4.2
Tabel evalusi nilai ureum kreatinin kelompok pasien yang tidak dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta ………………………………………………………..
89
xviii Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Nilai rata-rata ureum kreatinin kelompok pasien yang dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta ….
90
Grafik 4.2 Nilai rata-rata ureum kreatinin kelompok pasien yang tidak dilakukanexercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta….....................................................................................
90
Grafik 4.3 Nilai rata-rata adekuasi hemodialisa kelompok pasien exercise intradialisis dan kelompok pasien non exercise intradialisis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta …………
91
Grafik 5.1 Nilai berat badan pre intervensi dan post intervensi edukasi 100 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………. Grafik 5.2 Nilai kadar HB pre intervensi dan post intervensi edukasi 100 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………. Grafik 5.3 Nilai Albumin pre intervensi dan post intervensi edukasi 101 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 …………… Grafik 5.4 Nilai globulin pre intervensi dan post intervensi edukasi 101 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 …………… Grafik 5.5 Nilai ureum pre intervensi dan post intervensi edukasi 102 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………. Grafik 5.6 Nilai creatinin pre intervensi dan post intervensi edukasi 102 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………. Grafik 5.7 Nilai natrium pre intervensi dan post intervensi edukasi 103 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan
xix Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 …………… Grafik 5.8 Nilai kalium pre intervensi dan post intervensi edukasi 103 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………. Grafik 5.9 Nilai clorida pre intervensi dan post intervensi edukasi 104 menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 ……………
xx Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Resume kasus
xxi Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Perawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang di dasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spritual yang komprehensif serta di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yg mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (Lokakarya keperawatan Nasional 1986). Praktik keperawatan berarti membantu individu atau kelompok dalam mempertahankan atau meningkatkan kesehatan yang optimal sepanjang proses kehidupan dengan mengkaji status, menentukan diagnosa, merencanakan dan mengimplementasi
strategi
keperawatan
untuk
mencapai
tujuan,
serta
mengevaluasi respon terhadap perawatan dan pengobatan (National Council of State Board of Nursing/NCSBN). Praktik keperawatan profesional merupakan pondasi dari berbagai kegiatan dalam upaya mengoptimalisaikan mutu asuhan keperawatan, melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan serta pemantauan terhadap tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan keperawatan yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan berkelanjutan yang dilakukan bagi tenaga keperawatan baik sebagai klinisi ataupun sebagai pendidik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klinik seorang perawat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan adalah adalah Program spesialis keperawatan medikal bedah. Peminatan system perkemihan adalah salah satu dari kekhususan yang ada dalam program spesialis keperawatan medical bedah khususnya memperdalam
pelaksanaan asuhan
keperawatan profesioanl masalah terkait system perkemihan. Residensi keperawatan medikal bedah peminatan sistem perkemihan dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta selama dua semester. Ruangan yang digunakan adalah ruang perawatan bedah perkemihan Lt IV Selatan, Lt IV Utara, ruang
1 Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Universitas Indonesia
2
perawatan penyakit dalam Lt V Selatan, Lt V Utara, IGD, dan unit Hemodialysis Instalasi Pelayanan dan Pemeriksaan Khusus (IP2K). Selama menjalani praktek residensi 1 dan 2 berbagai kompetensi yang dicapai yaitu mampu melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan system perkemihan, mampu melaksanakan tindakan keperawatan mandiri dengan basis pembuktian ilmiah (evidence based nursing practice), berperan sebagai edukator bagi perawat diruangan / pasein / keluarga serta melakukan program inovasi dalam upaya memberikan pengembangan intervensi keperawatan berdasarkan hasil riset keperawatan. Pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan selama residensi 1 dan 2 menggunakan pendekatan proses keperawatan yang didasarkan pada pembuktian ilmiah dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan. Kasus-kasus gangguan system perkemihan yang telah dilakukan penatalaksanaan asuhan keperawatan selama residensi sebanyak 34 kasus, antara lain : penyakit ginjal kronik stage V on HD, Benigna Prostat Hyperplasia (BPH), batu saluran kemih dengan hidronefrosis, Vesicolithiasis, tumor buli (TCC Buli), striktur uretra, BPH dengan batu cetak ginjal bilateral, Pielonefrosis dextra. Kasus sistem perkemihan yang dikelola mempunyai dampak yang berbeda-beda dari setiap kasus dan pasien, dampak yang ditimbulkan dari gangguan sistem perkemihan ini akan memunculkan perubahan prilaku. Perubahan perilaku pada pasien-pasien dengan kasus system perkemihan ini memerlukan pengelolaan asuhan keperawatan yang profesional sehingga pasien mampu beradaptasi dengan adaptif terhadap perubahan fungsi system perkemihan yang terjadi. Pendekatan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy dipandang sangat ideal untuk diterapkan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan profesional. Teori ini merupakan teori model keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku adaptif serta mampu merubah perilaku yang inadaptif. Roy menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk holistik, yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
3
Menjalankan peran sebagai peneliti (researcher), penulis menjalankan peran sebagai peneliti yaitu dengan melakukan Evidence Based Practice in Nursing (EBN) exercise intradialisis terhadap adekuasi hemodialisis (dalam menurunkan kadar ureum creatinin) pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis. EBN dilaksanakan berdasarkan pembuktian ilmiah penelitian-penelitan terdahulu. Exercise intradialisis yang penulis lakukan dengan menggunakan sepeda statis. Latihan ini bertujuan untuk mengoptimalkan adekuasi hemodialisis (dalam menurunkan kadar ureum creatinin) pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis. (Kong, Tattersall, Greenwood & Farrington (1999). Peran penulis yang lain dalam praktek residensi adalah sebagai inovator. Inovasi yang dilakukan adalah pelaksanaan edukasi pengelolaan diet dan cairan dengan menggunakan multi media (video) pada pasien CKD on HD. Berdasarkan
uraian
diatas,
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban
selama
menjalankan praktek residensi, maka prktikan menyusun laporan analisis praktek keperawatan. Laporan analisis praktek keperawatan ini menggambarkan pengalaman selama praktek residensi dengan penerapan model konsep dan teori adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system perkemihan, serta menjalankan peran sebagai pendidik, peneliti dan inovator. 1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran yang menyeluruh terhadap pengalaman praktek residensi dan penerapan model konsep dan teori adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan perkemihan di RSUP Fatmawati Jakarta.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
4
1.2.2 Tujuan Khusus Melakukan analisis hasil kegiatan praktek residensi keperawatan medikal bedah meliputi: a. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy di RSUP Fatmawati Jakarta. b. Peran perawat sebagai researcher dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based nursing practice) dalam menerapkan hasil penelitian pada area keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan di RSUP Fatmawati. c. Peran perawat sebagai inovator dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan di RSUP Fatmawati. d. Peran perawat sebagai educator
pada pasien, keluarga serta SDM
Keperawatan di RSUP Fatmawati 1.3 Manfaat 1.3.1 Pelayanan Keperawatan a. Digunakan sebagai bahan acuan, pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy, sehingga berdampak
dalam
meningkatkan
kemampuan
adaptasi
pasien
dan
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan. b. Menumbuhkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan hasil-hasil penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based nursing practice pada berbagai kasus gangguan sistem perkemihan. 1.3.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan Keperawatan a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu keperawatan dalam hal penerapan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, melakukan intervensi mandiri perawat berdasarkan pembuktian (evidence based nursing practice) dan sebagai inovator pada area keperawatan medikal bedah khususnya gangguan system perkemihan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
5
b. Dipergunakan sebagai bahan acuan dan gambaran dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem perkemihan dengan menerapkan Teori Adaptasi Roy. 1.3.3 Pendidikan Keperawatan Penerapan teori keperawatan dan model adaptasi dari Sister Callista Roy akan memberikan pemahaman kepada institusi pendidikan bahwa teori dan model keperawatan dapat menjadi kajian pada semua aspek peran perawat (sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti, dan peran perawat sebagai inovator).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan landasan teori mengenai Penyakit Ginjal Kronik (PGK), Teori Adaptasi Roy, dan penerapan Teori Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V. 2.1 Penyakit Ginjal Kronik (PGK) 2.1.1 Pengertian Penyakit Gagal Ginjal Kronik adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Wilson, 2005). Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach, et al, 2005). Menurut Brunner & Suddarth (2001), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). 2.1.2 Etiologi Beberapa penyakit yang secara permanen merusak nefron dapat menyebabkan terjadinya
penyakit
ginjal
tahap
akhir.
Penyebab
GGK
termasuk
glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626).
6 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
7
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain: a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik b. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis. c. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis. d. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif. e. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal. f. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis. g. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale. h. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
2.1.3 Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan derajat (stadium) penyakit, ditetapkan atas dasar perhitungan nilai dari GFR. Pedoman K/DOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus Cockroft-Gault untuk orang dewasa, yaitu: Klirens kreatinin (ml/men.) = (140 – usia) x berat badan x (0,86 jika wanita) 72 x kreatinin serum Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit adalah sebagai berikut (Black & Hawks, 2005; Brown & Edwards, 2005): a. Kerusakan ginjal dengan LFG normal (LFG > 90 ml/menit/1.73 m2) b. Kerusakan ginjal dengan LFG ringan (LFG > 60 - 89 ml/menit/1.73 m2) c. Kerusakan ginjal dengan LFG sedang (LFG > 30 - 59 ml/menit/1.73 m2) d. Kerusakan ginjal dengan LFG berat (LFG > 15 - 29 ml/menit/1.73 m2) e. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit/1.73 m2 atau dialysis
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
8
2.1.4 Patofisiologi Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor.
Hal
ini
mengakibatkan
terjadinya
hiperfiltrasi,
yang
diikuti
olehpeningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis
renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal,
ikut
memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti,
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Dengan
menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR ) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
9
tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Smeltzer,2002:1448). Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal. 2.1.5 Manifestasi Klinik Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien (Brunner & Suddarth, 2002). a. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher. b. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal (pruritus). Kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehingga mudah rusak dan patah.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
10
Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas kehilangan protein kronik (garis Muehrcke) (Price & Wilson, 2003). Perubahan kulit pada pasien dapat menyebabkan gangguan konsep diri body image. c. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta pernapasan kussmaul d. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran GI. e. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku. f. Penglihatan yaitu ditandai iritasi mata atau sindrom mata merah akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjungtiva. Konjungtiva juga bisa mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin g. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop. Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut osteodistrofi renal, disebabkan oleh perubahan kompleks kalsium dan fosfat. h. Reproduktif yaitu yang ditandai perubahan estrogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan psikologis dan fisik yang menyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat seksual. 2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
11
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006). Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaaan laboratorium maupun radiologi. Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada GGK dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu untuk menentukan derajat kegawatan GGK, menentukan gangguan sistem dan membantu menegakkan etiologi. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, dan
juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dilakukan untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit. pemeriksaan urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi glomerulus. Pemeriksaan
laboratorium,
dilakukan
untuk
menetapkan
adanya
GGK,
menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK, menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Dalam menetapkan ada tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu duji. Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus. Analisis urin dapat mengesan kelainan-kelainan yang berlaku pada ginjal. Yang pertama dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan reagen tertentu untuk mengesan sunstansi yang normal maupun abnormal termasuk protein dalam urin. Kemudian urin diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari eritrosit dan leukosit dan juga apakah adanya kristal dan silinder. Bisanya dijumpai hanya sedikit protein albumin di dalam urin. Hasil positif pada pemeriksaan dipstick menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan yang lebih sensitif bagi menemukan protein adalah pemeriksaan laboratorium untuk estimasi albumin dan kreatinin dalam urin. Nilai banding atau ratio antara albumin dan kreatinin dalam urin memberikan gambaran yang bagus mengenai ekskresi albumin per hari.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
12
Foto Polos Abdomen sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai tomogram memberi keterangan yang lebih baik. Pemeriksaan Pielografi Intra-Vena (PIV), pada penyakit ginjal kronik tahap lanjut tak bermanfaat lagi oleh karena ginjal tak dapat mengeluarkan kontras dan PGK ringan mempunyai resiko penurunan faal ginjal lebih berat, terutama pada usia lanjut, diabetes melitus, dan nefropati asam urat. Pemeriksaan foto dada, dilakukan untuk melihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi perikardial. Tak jarang ditemukan juga infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang menurun. Pemeriksaan rongent tulang untuk mencari osteodistrofi (terutama falang/ jari), dan kalsifikasi metastatik. 2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik disesuaikan dengan derajat penyakit ginjal kronik yang dialami pasien. Menurut Kidney Diasease Outcome Quality Initiative (2007) tatalaksana penyakit ginjal kronik meliputi : 2.1.7.1. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). a. Peranan diet. Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori. Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK
harus
adekuat
dengan
tujuan
utama,
yaitu
mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. c. Kebutuhan cairan. Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
13
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral. Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). 2.1.7.2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik . Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapatdiberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. b. Anemia. Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. c. Keluhan gastrointestinal. Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan
utama
(chief
complaint)
dari
GGK.
Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. d. Kelainan kulit. Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. e. Kelainan neuromuscular. Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi. f. Hipertensi. Pemberian obat-obatan anti hipertensi. g. Kelainan sistem kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. 2.1.8. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
14
2.1.8.1. Hemodialisis. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Keberhasilan tindakan hemodialisis adalah adekuasi hemodialisis atau kecukupan dialisis yang dapat dilihat dari formula Kt/V dan URR. Kt/V adalah penilaian keberhasilan cuci darah dengan melibatkan faktor-faktor kemampuan dari ginjal buatan, lamanya cuci darah dan volume tubuh pasien. Angka idealnya 1,8 untuk cuci darah 2X/minggu selama 4-5 jam tiap dialisis. URR (ureum ratio rate) adalah rasio ureum sebelum dan sesudah hemodialisis. Target ideal URR adalah 65%. (www.kidney, 2012).
Penelitian telah membuktikan bahwa adekuasi hemodialisis terutama URR dapat ditingkatan dengan melakukan aktifitas atau exersice selama hemodialisis berlangsung seperti yang dilakukan oleh
Kong et all.
(1999) The effect of exercise during haemodialysis on solute removal dengan hasil ada perbedaan yang bermakna antara pasien yang melakukan exersice intra dialysis dan yang tidak melakukan exersice intra dialysis. 2.1.8.2. Dialisis peritoneal (DP). Akhir-akhir ini sudah populer
Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
15
penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 2.1.8.3. Transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu : Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 7080% faal ginjal alamiah, kualitas hidup normal kembali, masa hidup (survival rate) lebih lama, komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan, biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
2.2 Teori Adaptasi Roy Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan ilmu dan filosofisnya melalui tiga pendekatan. Dimulai dengan pendekatan teori sistem, Roy mengkombinasikan dengan teori adaptasi Helsen (1964) untuk membangun pengertian konsepnya. Helsen (1964)
sendiri mengartikan respon adaptasi
sebagai fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang diperlukan individu. Sistem diartikan Helsen sebagai seperangkat bagian yang saling berhubungan satu dengan bagian lain, dimana masing-masing bagian saling berketergantungan. Sistem mempunyai input, out put, kontrol, proses dan umpan balik. Pendekatan kedua yang dikembangkan Roy berasal dari Teori Melson. Melson menyatakan perilaku manusia adalah hasil adaptasi dari lingkungan dan kekuatan organisme. Perilaku adaptif adalah berfungsinya stimulus dan tingkatan adaptasi, yang dapat berpengaruh terhadap stimulus fokal, stimulus kontekstual,
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
16
dan stimulus residual, dimana adaptasi dipandang sebagai suatu proses adanya respon positif terhadap perubahan lingkungan. Respon tersebut merupakan refleksi keadaan organisme terhadap stimulus. Selain konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi konsep humanisme dalam model konseptualnya yang berasal dari konsep Abraham Maslow. Menurut Roy humanisme dalam keperawatan adalah keyakinan terhadap kemampuan koping individu sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Roy mengidentifikasikan empat hal utama dari teori sistem umum dan teori adaptation-level. Empat hal utama dari teori sistem yang teridentifikasi tersebut adalah : 1) ada satu kesatuan (holism); 2) ada proses kontrol yang saling tergantung (interdependence control processes); 3) ada umpan balik informasi (information feedback), dan 4) adanya kompleksitas dari sistem kehidupan (complexity of living systems). Hal utama dari teori adaptation-level yang teridentifikasi pada model adaptasi Roy adalah bahwa 1) perilaku (behavior) merupakan kemampuan beradaptasi; 2) adaptasi dipandang sebagai fungsi stimulasi dan tingkat adaptasi; 3) individu memiliki tingkat adaptasi yang dinamis; serta 4) adanya proses merespon yang bersifat positif dan aktif dari manusia (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Teori Roy dikenal dengan model adaptasi Roy. Teori ini merupakan teori model keperawatan yang menguraikan bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang inefektif. Roy menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk holistik, yang berinteraksi secara konstan dengan perubahan lingkungan . Sebagai sistem adaptif, Roy menggambarkan manusia secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, output, dan proses umpan balik.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
17
Skema 2.1 model konseptual Roy ’’Manusia Sebagai Sistem Adaptasi’’ Masukan Tingkat adaptasi (stimulus fokal, konstektual dan residual
Proses kontrol
Mekanisme koping (Regulator Kognator)
Efektor
Keluaran
Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi
Respons adaptif dan inefektif
Feed back
Sumber : Tomey dan Alligood. 2006. Dalam memahami konsep model ini, Roy memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai yang dimilikinya yaitu 4 aspek penting : manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan.
Empat elemen tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain karena merupakan suatu sistem. 2.2.1. Manusia Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif. Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistic sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, control, output, dan proses umpan balik. Proses control adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan cara adaptasi. Lebih spesifik manusia di definisikan sabagai sebuah sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam empat cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologi, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. 2.2.1.1. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan sosial yang berinteraksi dengan lingkungan secara terus menerus. 2.2.1.2. Manusia
menggunakan
mekanisme
pertahanan
untuk
mengatasi
perubahan-perubahan biopsikososial. Manusia sebagai sistem adaptif, dapat digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai masukan (input), kontrol, keluaran (output) dan proses umpan balik (feedback). 2.2.1.3. Untuk mencapai suatu homeostasis atau terintegrasi, seseorang harus beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
18
2.2.1.4. Kemampuan beradaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif. Adaptasi merupakan proses dan hasil dari pikiran dan perasaan seseorang, sebagai individu atau kelompok, menggunakan kesadaran dan memilih dalam interaksi manusia dan lingkungan. Adaptasi merupakan hasil stimulus dari tiga klasifikasi yatiu : stimulus fokal, kontekstual dan residual. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap individu, dengan kata lain merupakan stimulus internal atau eksternal yang dengan segera mengkonfrontasi individu, misalnya stimulus fokal adalah adanya penyakit ginjal kronik yang menyebabkan pasien mengalami kelebihan volume cairan tubuh. Stimulus kontekstual yaitu stimulus yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi, dapat dilakukan observasi,
dan diukur
secara subyektif. Merupakan stimulus yang menunjang terjadinya sakit atau keadaan tidak sehat (faktor presipitasi). Stimulus ini muncul secara bersamaan, dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal. Contoh stimulus kontekstual adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pembatasan cairan. Stimulus residual yaitu sikap, keyakinan dan pemahaman individu yang dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut dengan faktor predisposisi sehingga terjadi kondisi fokal. Helson (1964, dalam Roy, 1989) menyatakan bahwa stimulus residual berkembang sesuai pengalaman yang lalu, dimana hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Individu mungkin saja tidak sadar akan pengaruh faktor-faktor ini, atau stimulus ini mungkin tidak jelas tampak memiliki suatu efek bagi observer. Contohnya adalah kurangnya pengetahuan pasien tentang pentingnya pembatasan cairan pada pasien PGK.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
19
Stimulus merupakan kesatuan informasi bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu : Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan cara adaptasi. Roy menggambarkan interaksi antara stimulus yang mempengaruhi subsistem koping yang terdiri ; a. Subsistem regulasi adalah faktor bawaaan dan berdasar pada respon fisiologi, dan reaksi kimia tubuh (Roy & Andrews, 1991). Subsistem regulator adalah gambaran respon yang kaitannya dengan perubahan pada sistem saraf, kimia tubuh dan organ endokrin. b. Subsistem kognator adalah gambaran respon yang berkaitan dengan perubahan kognitif dan emosi, termasuk didalamnya persepsi, proses informasi, pembelajaran, dan membuat alasan dan emosional, yang termasuk didalamnya mempertahankan untuk mencari bantuan. Adaptasi didefinisikan sebagai konsep yang dinamis, yaitu sebuah proses dan merupakan sebuah hasil dari pemikiran dan perasaan seseorang atau kelompok, penggunaan kesadaran dan pilihan untuk menciptakan integrasi manusia dan lingkungan (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Roy menyatakan bahwa sistem adaptasi memiliki empat mode adaptasi (Roy & Andrews, 1991), yaitu : a.
Fungsi fisiologis yang berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas dan bagaimana proses adaptasi dilakukan untuk mengatur sembilan kebutuhan fisiologis tersebut, yaitu oksigenasi, cairan dan elektrolit, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, fungsi sistem endokrin, integritas kulit, sensori/indra dan fungsi neurologis.
b.
Konsep diri, berupa seluruh keyakinan dan perasaan yang dianut individu dalam satu waktu tertentu, berupa persepsi dan partisipasi terhadap reaksi orang lain dan tingkah laku langsung. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self. The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Sedangkan The personal self, berkaitan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
20
dengan konsistensi diri, ideal diri, moral – etik, spiritual dan perasaan cemas diri orang tersebut. c.
Penampilan peran, yaitu penampilan fungsi peran yang berhubungan dengan tugas individu dilingkungan sosial/ mode fungsi peran yang mengenal pola pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Fokusnya
pada
bagaimana
seseorang
dapat
memerankan
dirinya
dimasyarakat sesuai kedudukannya. d.
Interdependensi, adalah hubungan individu dengan orang lain dan sebagai support sistem. Fokus interdependensi adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta dan kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Model
fungsi
interdependensi
juga
melihat
keseimbangan
antara
ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima. 2.2.2. Lingkungan. Lingkungan digambarkan sebagai dunia didalam dan diluar manusia. Lingkungan merupakan input bagi manusia sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus internal dan eksternal. Lebih luas lagi lingkungan didefinisikan sebagai segala kondisi, keadaan di sekitar yang mempengaruhi keadaan, perkembangan dan perilaku manusia sebagai individu atau kelompok dengan kata lain lingkungan merupakan stimulus bagi manusia/individu. 2.2.3 Kesehatan Menurut Roy, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh dan terintegrasi secara keseluruhan. Integritas atau keutuhan manusia menyatakan secara tidak langsung bahwa kkesehatan atau kondisi tidak terganggu mengacu kelengkapan atau kesatuan dan kemungkinan tertinggi dari pemenuhan potensi manusia. Jadi Integritas adalah sehat, sebaliknya kondisi yang tidak ada integritas kurang sehat. Definisi kesehatan ini lebih dari tidak adanya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
21
sakit tapi termasuk penekanan pada kondisi sehat sejahtera. Menurut Roy tujuan praktek keperawatan adalah
meningkatkan kesehatan
seseorang dengan
meningkatkan respon adaptif. Roy juga menyatakan bahwa sehat tidak hanya diartikan sebagai keadaan bebas dari penyakit, rasa tidak bahagia, dan stress, namun lebih kepada kemampuan untuk mengatasi, penyakit, rasa tidak bahagia dan stress dengan cara yang baik / adaptif (Andrew & Roy, 1991 dalam Alligood & Tomey, 2006). 2.2.4. Keperawatan. Roy (1983) menggambarkan keperawatan sebagai disiplin ilmu dan praktek. Sebagai
ilmu,
keperawatan
mengobservasi,
mengklasifikasikan
dan
menghubungkan proses yang secara positif berpengaruh pada status kesehatan. Sebagai disiplin, praktek, keperawatan menggunakan pendekatan pengetahuan untuk
menyediakan
pelayanan
pada
orang-orang.
Lebih
spesifik
dia
mendefinisikan keperawatan sebagai ilmu da praktek dari peningkatan adaptasi untuk meningkatkan kesehatan sebagai tujuan untuk mempengaruhi kesehatan secara positif. Keperawatan meningkatkan adaptasi individu dan kelompok dalam situasi yang berkaitan dengan kesehatan, Jadi model adaptasi keperawatan menggambarkan lebih spesifik perkembangan ilmu keperawatan dan praktek keperawatan yang berdasarkan ilmu keperawatan tersebut. Dalam model tersebut, keperawatan terdiri dari tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Roy mengungkapkan, pendekatan holistic keperawatan dilihat sebagai proses untuk mempertahankan keadaan baik dan tingkat fungsi yang lebih tinggi. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan (4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian dengan damai. Proses keperawatan terkait model adaptasi Roy dapat diterapkan dalam lima langkah, yaitu :
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
22
2.2.4.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu : a. Pengkajian perilaku (behavior) Pengkajian
perilaku
(behavior)
merupakan
langkah
pertama
proses
keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku pasien adaptif atau maladaptif.
Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi
normal maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Data perilaku meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian. b. Pengkajian stimulus, didefinisikan sebagai yang memprovokasi sebuah respon. Stimulus dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan
sistem
keyakinan);
keluarga
(struktur
dan
tugas-tugas);
tahap
perkembangan (faktor usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi); efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual. 2.2.4.2. Diagnosa Keperawatan Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 diagnosa keperawatan merupakan hasil proses pendapat dalam penyampaian pernyataan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
23
status adaptasi seseorang. Penetapan diagnosa keperawatan dibuat dengan cara menghubungkan antara perilaku (behavior) dengan stimulus. Ada tiga hal yang mendukung penetapan diagnosa keperawatan yaitu 1) suatu pernyataan dari perilaku dengan stimulus yang sangat mempengaruhi; 2) suatu ringkasan tentang perilaku dengan stimulus yang relevan; dan 3) penamaan/pemberian label yang meringkaskan pola perilaku ketika lebih dari satu mode dipengaruhi oleh stimulus yang sama. 2.2.4.3. Penetapan tujuan keperawatan. Tujuan adalah harapan perilaku akhir dari manusia yang dicapai. Itu dicatat merupakan indikasi perilaku dari perkembangan adaptasi masalah pasien. Pernyataan masalah meliputi perilaku. Pernyataan tujuan meliputi: perilaku, perubahan yang diharapkan dan waktu. Tujuan jangka panjang menggambarkan perkembangan individu, dan proses adaptasi terhadap masalah danm tersedianya energi untuk tujuan lain (kelangsungan hidup, tumbuh, dan reproduksi). Tujuan jangka pendek mengidentifikasi hasil perilaku pasien setelah managemen stimulus fokal dan kontektual. Juga keadaan perilaku pasien itu indikasi koping dari sub sistim regulator dan kognator. 2.2.4.4. Intervensi dan implementasi Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu 1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan 4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan). Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkahUniversitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
24
langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi pasien. 2.2.4.5. Evaluasi Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006)
2.3
Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronik stadium V
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V dilakukan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy secara holistik mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Teori Adaptasi Roy membagi pengkajian menjadi dua tahap yaitu pengkajian perilaku dan stimulus. Pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V pengkajian perilaku dilakukan pada seluruh model adaptasi yang meliputi fisiologi-fisik, konsep diri, fungsi peran dan saling ketergantungan (interdependence). Adapun pengkajian stimulus adalah mengkaji penyebab munculnya perilaku yang tidak efektif serta faktor yang mendukung respon tidak efektif. 2.3.1 Pengkajian perilaku dan stimulus 2.3.1.1 Mode adaptasi fisiologis Pengkajian pada model ini mencakup pengkajian oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, indera / sensori, cairan dan elektrolit, neurologis dan endokrin.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
25
a. Oksigenasi Perilaku yang perlu dikaji tentang pemenuhan kebutuhan oksigenasi meliputi pemenuhan ventilasi, respirasi, pertukaran gas dan transportasi gas. Pasien penyakit ginjal kronik stadium V dapat mengalami retensi natrium yang mengakibatkan penumpukan cairan di ekstremitas dan di paru, sehingga ekspansi paru tidak optimal. Penurunan fungsi ginjal juga menyebabkan meningkatnya retensi asam, sehingga kompensasi pernafasan dibutuhkan untuk mempertahankan pH darah dalam rentang yang normal. Gangguan transportasi Oksigen sebagai akibat dari penurunan jumlah sel darah merah dampak dari produksi eritropoetin terganggu, menyebabkan terjadi penurunan transportasi oksigen di dalam darah. Pengkajian keperawatan meliputi sesak nafas, pola nafas, keteraturan bernafas, suara nafs, warna kulit dan membran mukosa, tanda-tanda sianosis, pucat, anemis, nadi, tekanan darah, bunyi jantung, capillary refill time (CRT), serta analisa gas darah. Pengkajian stimulus fokal, kontekstual maupun residual difokuskan pada hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku yang maladaptif. b. Nutrisi Pada pengkajian perilaku pola nutrisi pasien penyakit ginjal kronik stadium V dapat dikaji adalah tinggi badan, berat badan, kebiasaan makan . Keluhan tidak nafsu makan, mual, muntah, sukar menelan, stomatitis, kebersihan mulut dan gigi, mengkaji sensasi rasa dan pengecapan, riwayat alergi, program diet yang dijalani. Pasien penyakit ginjal kronik stadium V biasanya mengeluh mual, muntah dan kurang nafsu makan akibat tingginya kadar ureum. Selain itu, pengkajian tinggi badan, berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) perlu dilakukan untuk melihat adanya masalah pasien dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi. Sebagian besar pasien penyakit ginjal kronik stadium V akan mengalami edema, sehingga perlu diketahui berat badan aktual pasien agar pemenuhan kebutuhan energi dapat diketahui. Pengkajian stimulus yang perlu dikaji makanan kesenangan pasien yang mungkin tidak tersedia atau tidak sesuai dengan makanan yang disajikan selama dalam perawatan, atau bahkan makanan yang disenangi oleh pasien adalah makanan yang harus
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
26
dihindari oleh pasien. Kondisi lingkungan yang tidak nyaman juga memungkinkan nafsu makan pasien menurun. c. Eliminasi Pengkajian perilaku eliminasi adalah buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Pada pasien PGK stadium V perlu dikaji tentang kebiasaan BAK, dimana biasanya penyakit ginjal kronik stadium V mengeluh frekuensi BAK menurun dan jumlah urin yang menurun atau bahkan tidak ada produksi. Hal ini terjadi karena penurunan fungsi ginjal dalam melakukan fungsi ekskresinya. Penggunaan obat terhadap peningkatan fungsi ginjal dalam mengekresikan sisa metabolism (urine). d. Aktivitas dan istirahat Pengkajian perilaku pada aktivitas dan istirahat dilakukan untuk mengetahui aktivitas fisik yang biasa dilakukan pasien sebelum dan sesudah sakit. Pengkajian istirahat dan tidur meliputi kebiasaan tidur, kesulitan dalam tidur. Toleransi aktifitas, penggunaan alat bantu ketika beraktifitas, pasien penyakit ginjal kronik stadium V sering mengeluh lemas, yang mana hal tersebut bisa terjadi akibat anemia yang dialami pasien. Pengkajian stimulus difokuskan pada permasalahan anemia, kelelahan, kondisi fisik, kondisi psikologis, lingkungan sekitar dan juga pola kebiasaan pasien. Pola istirahat dan tidur perlu dilakukan pengkajian stimulus tingkat kecemasan psaien terkait penyakit ginjal kronik stadium V yang harus menjalani therapy hemodialisis. e. Proteksi Pengkajian perilaku dan stimulus pada pengkajian proteksi antara lain meliputi kondisi kulit pasien adakah luka bila ada bagaimanakah karateristik lukanya, insisi operasi, drainase bila ada, riwayat alergi, riwayat infeksi. Pasien dengan penyakit penyakit ginjal kronik stadium V biasanya mengeluhkan kulit kering dan adanya rasa gatal pada kulit akibat uremic toxins yang dialaminya. Pengkajian terkait laboratorium juga sangat perlu dilakukan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
27
f. Sensori Pengkajian perilaku dan stimulus yang berkaitan dengan sensori dapat dikaji adanya keluhan panca indera seperti penglihatan, penciuman, pendengaran dan pengecapan apakah mengalami gangguan atau tidak. g. Cairan dan elektrolit Pada pengkajian perilaku dan stimulus cairan dan elektrolit perlu dilakukan pengamatan keseimbangan cairan dengan mengukur terhadap intake dan output pasien dalam 24 jam. Peningkatan vena jugularis, edema, dan asites mengindikasikan pasien penyakit ginjal kronik stadium V mengalami kelebihan cairan. Kemudian, pengkajian laboratorium terkait pemeriksaan kimia seperti ureum, kreatinin dan kadar elektrolit juga perlu dilakukan. h. Fungsi neurologis Pengkajian perilaku dan stimulus pada fungsi neurologis biasanya terkait dengan tingkat kesadaran, respon motorik, orientasi dan respon pasien. Munculnya keluhan sakit kepala, delirium ataupun aktivitas kejang menggambarkan gangguan pada status neurologis pasien, sehingga observasi dan manajemen pada tanda dan gejala tersebut harus dilakukan. i. Fungsi endokrin Pengkajian perilaku dan stimulus fungsi ini terkait dengan fungsi endokrin seperti riwayat menderita penyakit DM, pembesaran kelanjar serta pemeriksaan kadarkadar glukosa darah. 2.3.1.2 Mode adaptasi konsep diri Agustiani (2006) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya, yang dibentuk melalui pengalamanpengalaman yang dia peroleh dari interaksi dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Stuart dan Sundeen (dalam Keliat, 1992), bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
28
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Dengan kata lain, konsep diri didefenisikan sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1990). Konsep diri juga dapat diartikan sebagai penilaian keseluruhan terhadap penampilan, perilaku, perasaan, sikap-sikap, kemampuan serta sumber daya yang dimiliki seseorang. Konsep diri sebagai suatu penilaian terhadap diri juga dijelaskan dalam defenisi konsep diri yang dikemukakan oleh Partosuwido, dkk (1985) yaitu bahwa konsep diri adalah cara bagaimana individu menilai diri sendiri, bagaimana penerimaannya terhadap diri sendiri sebagaimana yang dirasakan, diyakini, dan dilakukan, baik ditinjau dari segi fisik, moral, keluarga, personal, dan sosial. Penderita penyakit ginjal kronik stadium V biasanya memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti hemodialisis dan peritoneal dialysis yang harus dilakukan seumur hidupnya. Ketergantungan terhadap terapi tersebut juga dapat memberikan dampak pada gambaran diri, ideal diri, moral, etik, dan spiritual pasien. Pengkajian dapat difokuskan pada bagaimana penerimaan pasien terhadap penyakit dan terapinya yang sedang pasien jalani, harapan pasien dan penatalaksanaan selanjutnya, serta nilai yang diyakini terkait dengan penyakit dan terapinya. 2.3.1.3 Mode fungsi peran Model fungsi peran berkaitan dengan pola-pola interaksi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, adakah energy dan waktu pasien melakukan aktivitas dirumah, apakah pasen mempunyai pekerjaan tetap kegaiatan yang dilakukan dalam kemasyarakatan dll. Model fungsi peran berfokus pada bagaimana seseorang dapat merealisasikan dirinya di masyarakat sesuai dengan kedudukannya. Pengkajian perilaku juga dapat dilakukan dengan melakukan anamnesa bagaimana pasien bersosialisasi dengan lingkungan selama dalam
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
29
perawatan ataupun dengan lingkungan masyarakat, serta kepatuhan terhadap terapi yang dianjurkan. 2.3.1.4 Mode saling ketergantungan (interdependence) Model saling ketergantungan merupakan suatu gambaran tentang hubungan dekat seseorang, orang yang paling bermakna dalam kehidupannya, sikap member dan menerima terhadap kebutuhan dan aktifitas kemasyarakatan. kepuasan akan kebutuhan kasih sayang, berkembang, dan sumber untuk mencapai integritas suatu hubungan, serta keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Pasien yang menglamai Penyakit ginjal kronik dapat menjadi faktor pencetus timbulnya rasa cemas, tidak berdaya, dan ketergantungan pasien pada orang lain terutama terhadap anggota keluarga. Fokus model saling ketergantungan adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta atau kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Perawat juga mampu menggali data bagaimana pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan adanya keterbatasan dan perubahan status kesehatan yang dialami.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan Menurut Roy (1999), diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang diperoleh dari suatu perumusan interpretasi data terhadap status adaptasi seseorang yang dihubungkan antara perilaku dengan beberapa stimulus yang berkaitan. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V menurut diagnosa keperawatan dari Nanda (2010) dan diangkat berdasarkan empat mode adaptasi diantaranya adalah : 2.3.2.1 Mode fisiologis a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi akibat penurunan fungsi ginjal b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan oksigen akibat anemia dan kelelahan c. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
30
d. Resiko
penurunan
perfusi
jaringan
(perifer,
kardiopulmonal,
renal)
berhubungan dengan penurunan oksigen jaringan akibat anemia e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum, kelembaban kulit kurang 2.3.2.2 Mode konsep diri a. Cemas berhubungan dengan krisis situasi terkait dengan proses penyakit, pengobatan dan perawatan yang akan dijalani 2.3.2.3 Mode fungsi peran a. Perubahan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi; tidak dapat menjalankan peran dengan baik. 2.3.2.4 Mode interdependensi a. Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
2.3.3 Tujuan keperawatan Tujuan keperawatan adalah akhir perilaku yang diharapakan dapat dicapai oleh seseorang setelah diberikan pelayanan keperawatan. Pernyataan tujuan terdiri dari 3 kesatuan, yaitu : a) perilaku yang diobservasi, b) perubahan yang diharapkan, dan c) waktu yang disusun untuk mencapai tujuan. Tujuan keperawatan pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V tercapai ketika pasien mampu beradaptasi secara adaptif pada model adaptasi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
2.3.4 Intervensi keperawatan Intervensi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah stimulus fokal, kontekstual dan residual stimuli dan juga memperluas kemampuan koping pasen pada tatanan yang adaptif, sehingga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
31
penyakit ginjal kronik stadium V berpedoman pada Nursing Intervension Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC) ( Dochterman & Bulechek, 2007), dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy adalah sebagai berikut: 2.3.4.1 Kelebihan volume cairan a. Monitoring cairan b. Manajemen cairan/elektrolit c. Rencana terapi pengganti ginjal Aktivitas regulator
meliputi : Kaji status cairan (timbang badan tiap hari,
keseimbangan masukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan edema, distensi vena jugularis, tekanan darah, denyut nadi dan irama nadi); catat pemasukan dan pengeluaran cairan secara akurat; batasi pemasukan cairan; monitor perubahan berat badan sebelum dan sesudah pelaksanaan dialysis; kolaborasi dengan medis dalam pemberian diuretik; identifikasi sumber potensial cairan (medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, makanan); monitor nilai serum dan elektrolit urin; monitoring kadar elektrolit darah; kolaborasi pemberian diuretic sesuai indikasi. Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang pentingnya pembatasan cairan dan caranya; edukasi tentang pencatatan cairan; edukasi tentang kelebihan cairan, penyebab dan bahayanya; edukasi tentang pentingnya menjaga diet; edukasi tentang manajemen rasa haus dan cara pengaturan intake cairan 2.3.4.2 Penurunan perfusi jaringan a. Circulatory care (perawatan sirkulasi) b. Peripheral sensation management (manajemen sensasi perifer) Aktivitas regulator meliputi : Pemantauan tanda-tanda vital; monitor intake dan output cairan; pengaturan posisi semi foller; monitoring kecepatan, irama dan kedalaman pernafasan; auskultasi bunyi jantung dan suara paru; monitoring
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
32
adanya diritmia; monitoring adanya kelelahan, tahkipnea, orthopnea; perawatan sirkulasi: observasi warna, kelembaban kulit, evaluasi edema, CRT; batasi aktivitas; anjurkan ROM aktif atau pasien selama bed rest; terapi oksigen 2 – 4 lt/ menit; pantau dan interpretasi nilai laboratorium; kolaborasi manajemen pengobatan Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang penurunan perfusi jaringan 1.3.4.3 Intoleransi aktivitas a. Manajemen energy b. Terapi aktivitas Aktivitas regulator meliputi : Awasi TD, nadi, pernafasan, selama & sesudah aktivitas. Catat respon terhadap aktivitas; kaji faktor yang menimbulkan keletihan: anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah, depresi; monitor intake nutrisi yang adekuat; berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat cukup; monitor respon oksigenasi pasien terhadap perawatan diri atau aktivitas keperawatan; tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi; bantu pasien memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik; anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, lelah atau pusing; anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis; kolaborasi pemberian oksigen dan transfusi bila perlu Aktivitas Cognator meliputi : Jelaskan penyebab keletihan; edukasi teknik untuk menghemat energy; edukasi alternative perawatan diri sesuai dengan keterbatasan 2.3.4.4 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh a. Manajemen mual b. Manajemen nutrisi c. Monitoring nutrisi
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
33
Aktivitas regulator meliputi : Monitoring intake / pemasukan nutrisi dan kalori; Pantau adanya tanda/gejala hiperglikemia (trias poli, kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran); pantau adanya tanda-tanda hipoglikemia: (takhikardi, palpitasi, tremor, gelisah, rasa lapar, konfusi, penurunan kesadaran); monitor kadar glukosa darah, KGDH sesuai program; berikan terapi insulin sesuai program; berikan diet DM sesuai program; anjurkan makan sedikit tapi sering; tentukan program diit dan pola makan pasien; observasi keluhan mual atau muntah; anjurkan untuk sering melakukan perawatan mulut; Kolaborasi (Nilai laboratorium : BUN, albumin serum, transferin, natrium & kalium; Batasi kalium, natrium, & pemasukan fosfat sesuai indikasi; Berikan diit tinggi kalori, rendah garam, rendah/sedang protein; Berikan obat antihiperglikemik; Berikan obat sesuai indikasi: Sediaan besi, Kalsium, Vitamin D, Vitamin B Kompleks, Antiemetik) Aktivitas cognator meliputi : Edukasi tentang pentingnya nutrisi dan mematuhi diet; Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dubutuhkan. 1.3.4.5 (Resiko) kerusakan integritas kulit a. Manajemen gatal b. Perawatan kaki c. Perawatan luka Aktivitas regulator meliputi : Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vascular; Inspeksi area tergantung terhadap edema; Pertahankan linen kering, bebas keriput; Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan; Lakukan perawatan luka dengan baik dan benar; Anjurkan pasien untuk merubah posisi dengan sering; Selidiki keluhan gatal; Lakukan kompres lembab & dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritus; Pertahankan kuku pendek; Kolaborasi pemberian therapy sesuai kebutuhan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
34
Aktivitas Cognator meliputi :Jelaskan tentang pengaruh penyakit, rasa gatal dan efek samping bila dilakukan garukan; Ajarkan pasien tentang pencegahan ulkus diabetic; Jelaskan tentang pengaruh kadar gula darah yang tidak terkontrol 1.3.4.6 Cemas a. Anxiety reduction b. Relaxation Therapy Aktivitas regulator meliputi : Mengobservasi tanda verbal dan non verbal kecemasan klien; Lakukan pendekatan dengan tenang dan meyakinkan; Dorong pengungkapan secara verbal tentang perasaan, persepsi dan kecemasan; Kontrol stimulasi yang dapat menimbulkan stress bila diperlukan sesuai kebutuhan klien; Dukung penggunaan mekanisme koping yang tepat misalnya berdoa; Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit; Motivasi untuk mengungkapkan perasaan; Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril; Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan; Kontrol stimulant, yang sesuai dengan kebutuhan pasien; Dukung mekanisme pertahanan yang layak; Dampingi pasien untuk menjelasan gambaran yang realistis terhadap peristiwa yang akan terjadi; Tunjukkan pada pasien penggunaan tehnik relaksasi; Kaji kemampuan pasien untuk mengambil keputusan; Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat menurunkan kecemasan Aktivitas cognator meliputi : Edukasi proses penyakit dan regimen terapi; Edukasi metode mengurangi kecemasan 1.3.4.6 Perubahan penampilan peran a. Peningkatan peran b. Dukungan keluarga Aktivitas regulator meliputi : Bantu pasien mengidentifikasi berbagai peran yang masih dapat dioptimalkan; Bantu pasien mengidentifikasi perannya dalam keluarga; Bantu pasien mengidentifikasi transisi peran; Bantu pasien dalam
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
35
mengidentifikasi kegagalan peran; Bantu psien dalam mengidentivikasi perubahan peran akibat sakit atau ketidakmampuan; Bantu pasien mengidentifikasi prilaku yg dibutuhkan untuk peran baru; Fasilitasi komunikasi antara pasien dan keluarga atau antara anggota keluarga; Bantu pasien dan keluarga dalam mengidentifikasi dan mengatasi konflik Aktifitas Cognator meliputi : Diskusikan perubahan peran yang terjadi; Diskusikan koping yang positif dalam menghadapi perubahan peran; Diskusikan dengan keluarga tentang perubahan peran pasien; Anjurkan kelurga untuk terus memberikan dukungan kepada pasien. 1.3.4.7 Koping tidak efektif a. Dukungan spiritual b. Lakukan komunikasi terapeutik c. Peningkatan koping Aktivitas regulator meliputi : Nilai pengertian pasien terhadap proses penyakit; Dukung pasien akan harapan yang realistik sebagai cara terkait dengan perasaan tak berdaya Gunakan ketenangan, pendekatan yang menentramkan; Bantu pasien dalam pengembangan penilaian objektif; Sediakan bagi pasien pilihan yang realistik mengenai aspek-aspek perawatan yang pasti; Evaluasi kemampuan pasien membuat keputusan; Coba untuk mengerti perspektif pasien terhadap situasi yang penuh stress; Jangan dukung keputusan yang dibuat pasien bila pasien dalam keadaan stress; Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual, jika diinginkan; Dukung pasien menggunakan mekanisme pertahanan yang tepat; Bantu pasien mengembangkan jalan keluar yang konstruktif untuk marah dan permusuhan; Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain; Dukung pasien mengidentifikasi nilai-nilai hidup yang spesifik; Perkenalkan pasien pada seseorang atau kelompok yang mempunyai pengalaman sama dan berhasil menjalani; Bantu pasien menilai sumber-sumber yang ada untuk menemukan tujuan; Nilai keinginan pasien terhadap dukungan social; Bantu pasien untuk mengidentifikasi support sistem yang ada.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
36
Aktivitas cognator meliputi : Konseling; Edukasi manajemen stress; Berikan pembelajaran individual 2.3.5 Evaluasi Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi, Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Evaluasi yang dilakukan adalah membandingkan respon perilaku yang dihasilkan setelah dilakukan intervensi keperawatan dengan perilaku yang dirumuskan pada rumusan tujuan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM PERKEMIHAN Pada bab 3 ini praktikan akan menggambarkan asuhan keperawatan pada 1 (satu) kasus kelolaan utama, dan analisis asuhan keperawatan dari 33 (tiga puluh empat) kasus kelolaan lainnya pada pasien dengan gangguan system perkemihan selama praktikan melakukan praktek residensi. Adapun pendekatan teori yang digunakan pada semua kasus kelolaan adalah pendekatan Teori Adaptasi Roy. 3.1
Gambaran Kasus Kelolaan Utama
Pasien bernama Tn. SB, umur 58 tahun, status menikah, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Pengemudi Angkutan Kota, alamat rumah di Jln Rempoa RT 01/01 N0 25 Kelurahan Rempoa, Kec Ciputat Timur Kab Tanggerang Selatan, Banten. Pasien dirawat di RSUP Fatmawati mulai tanggal 25 Oktober 2011 dengan keluhan utama sesak nafas sejak 2 minggu SMRS. Sesak dirasakan semakin memberat ketika beraktivitas fisik seperti berjalan dan naik tangga dan berkurang bila duduk atau tidur dengan 2 bantal, nyeri dada (-), batuk kering, demam (-). Pada saat pengkajian (25/10/2011) keluhan utama pasien adalah kaki bengkak, lemas, dan nafas terasa sesak. Satu minggu yang lalu (September/2011),
pasien dirawat di Bakti Husada
(Gaplek) karena keluhan lemah, letih, lesu, dan hasil pemeriksaan labolatorium saat itu Hb 6 gr/dL, sehingga pasien mendapatkan terapi transfusi darah. Saat itu pasien juga mengalami keluhan kaki bengkak namun hanya sedikit. Pasien dinyatakan menderita CKD dan disarankan untuk menjalani cuci darah, namun pasien menolak karena alasan biaya. Setelah mendapatkan tranfusi darah dan keluhan membaik pasien pulang paksa dari RS. Setelah kurang lebih seminggu dirumah bengkak di kaki semakin bertambah, lemas (+), sesak (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan berkurang (+). kemudian tanggal 25/10/2011 pasien berobat kembali ke IGD RS Bakti Husada (Gaplek). Pasien dirujuk ke RSUP Fatmawati atas permintaan keluarga. Hemodialisis cito
37 Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
38
dilakukan pada tanggal 28/10/2011. Hasil pemeriksaan laboratorium saat itu: Hb 8.3 gr/dl, ureum 265 mg/dl, kreatinin 12.8 mg/dl. Berdasarkan riwayat penyakit dahulu Tn. SB mengatakan bahwa dirinya menderita DM sejak 9 tahun yang lalu, dengan riwayat makan banyak tetapi BB berkurang (+), banyak minum tetapi tetap haus (+), dan terbangun malam untuk BAK (+). Pasien mengatakan tidak kontrol rutin, pasien minum obat glibenclamid 2x/hari tetapi tidak teratur.
Pasien juga mengatakan makan tidak dikontrol.
Tekanan darah tinggi diketahui ketika dirawat di Bakti Husada (Gaplek). Penyakit DM juga dialami oleh ibu dan kakaknya. 3.2
Penerapan Teori Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan dilakukan secara holistik dan komprehensif mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. 3.2.1 Pengkajian Perilaku dan Stimulus 3.2.1.1 Mode Adaptasi fisiologis a. Oksigen dan Sirkulasi 1) Pengkajian Perilaku Respirasi : Bentuk dada simetris, sesak (+), ekspansi paru kiri – kanan sama, tidak tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada empisema subkutan, frekwensi nafas 22 x/menit, teratur, fetor uremikum (+), pernafasan cuping hidung tidak ada, tactile fremitus kanan dengan kiri sama, bunyi nafas vesikuler pada lapangan paru kanan – kiri, batuk (-), wheezing (-), ronchi (-). Pasien mempunyai kebiasaan merokok 1 bungkus setiap hari (rokok kretek) tanpa filter. Ro thorax: CTR >50%. Sirkulasi:
TD 160/100 mmHg, HR 90 x/menit, kuat, dan teratur,
diaforesis tidak ada, tidak ada riwayat hematemesis dan melena, akral hangat, pengisian kapiler CRT 3 detik. Bunyi jantung S1,S2 normal, Gallop dan murmur tidak ada, tidak terdapat distensi vena jugularis,
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
39
pemeriksaan konjungtiva anemis (+), keluhan pusing (+). Terjadi perubahan tanda-tanda vital pada saat perubahan posisi, yaitu : sebelum aktifitas TD 160/100 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 22x/mnt; setelah aktifitas (berjalan dari kamar mandi) TD 160/100 mmHg, nadi 96 x/mnt, respirasi 26x/mnt. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: penurunan fungsi ginjal; stimulus kontekstual: Pasien mengalami hipertensi; stimulus residual: pasien mengalami cemas dengan penyakitnya. b. Nutrisi 1) Pengkajian Perilaku Sejak satu bulan ini pasien mengalami penurunan nafsu makan karena pasien mulutnya terasa pahit dan mual, muntah (-). BB sebelum sakit adalah 72 kg, sedangkan saat pengkajian BB 69 kg (turun 3 kg dalam 1 bulan), TB 174 cm. BB Ideal = 76,6 kg. Pemeriksaan fisik mata anemis, sclera tidak ikterik, bising usus 12 x/menit dan tidak ada nyeri tekan. Saat pengkajian nafsu makan pasien masih kurang (anoreksia), pasien merasa mual, tidak muntah dan tidak ada keluhan sulit menelan. Pasien mendapat diet ginjal 1900 kkal/hari + protein 1.9 gr/kgBB/hari + RG (rendah garam) 2. Porsi yang diberikan habis ½ porsi saja. Biokimia (28/10/2011): Hb 8,3 gr/dl (13-16), Ht 24% (40-48), protein total 4.7, albumin 2.3 g/dl (3.4-4.8), globulin 2.4 g/dl, GDS 250 (70-200). 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: kadar ureum darah pasien 265 mg/dL sehingga pasien mengalami mual dan tidak nafsu makan; stimulus residual: kurang pengetahuan. c. Eliminasi 1) Pengkajian Perilaku
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
40
Eliminasi feses: BAB 1x/hari, feses berwarna kuning, konsistensi lunak, saat ini BAB di kamar mandi dengan bantuan keluarga, kesulitan BAB (-), bising usus 12 x/menit. Eliminasi urin: pasien dapat BAK spontan, frekuensi 3-4x/hari, distensi kandung kemih (-), nyeri kandung kemih tidak ada, pasien mendapat terapi lasix 2x40 mg, urine output 24 jam 1500 cc. Sebelum masuk RS pasien juga masih bisa BAK spontan, namun frekuensi dan jumlah kencingnya berkurang sejak 2 bulan yang lalu. Hasil urinalisis (28/10/2011): Bj urin 1,020, warna kuning, kejernihan : agak keruh, protein +3, darah +1. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: gagal ginjal tahap akhir dengan CCT hitung 6.14 ml/menit; kontektual: overload cairan, protein total 4.7, albumin 2.3 g/dl (3.4-4.8), globulin 2.4 g/dl; residual: terapi diuretik d. Aktivitas dan Istirahat 1) Pengkajian Perilaku Aktifitas : saat pengkajian pasien masih terlihat lemah, aktivitas dilakukan di tempat tidur kecuali BAB dilakukan di kamar mandi. Pasien mengatakan badan terasa lemas dan lelah dan pasien kadang masih merasa sesak jika sudah berjalan dari kamar mandi. Pasien dapat melakukan perawatan diri dan mobilisasi secara mandiri, walaupun untuk berjalan harus dilakukan pelan-pelan karena tubuhnya terasa lemas. Istirahat: pasien mengatakan jika malam susah tidur, tidur malam paling 23 jam. Pasien mengatakan sering terbangun, karena itu pasien jadi sering merasa ngantuk dan tertidur di siang hari. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: anemia (Hb: 8,3 gr/dl), ureum plasma 265 mg/dl, penyakit kronis; stimulus kontekstual: intake nutrisi kurang adekuat (hanya habis ½ porsi), gula darah sewaktu (28/10/2011) : 250 , koping tidak efektif; stimulus residual: kurang pengetahuan tentang penyakit.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
41
e. Proteksi 1) Pengkajian Perilaku Orientasi baik, tidak ada letargi. Kulit kering bersisik, terdapat edema di kaki kanan dan kiri, Pasien mengeluh kulit terasa gatal, dan kaki terasa kebas. Pasien biasa menggaruk kulitnya jika sedang merasa gatal. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: edema, uremic frost; stimulus kontekstual: GDS 250, Ureum 265 mg/dl, nutrisi tidak adekuat; stimulus residual: kebiasaan menggaruk, kurang pengetahuan tentang manajemen gatal. f. Sensori 1) Pengkajian Perilaku Mata simetris, penglihatan mulai menurun, pasien hanya dapat membaca jelas dari jarak dekat, katarak (-), reflex cahaya (+).Telinga simetris, lubang telinga kanan dan kiri bersih, tidak ada nyeri tekan, pendengaran baik. Hidung simetris dan bersih, tidak ada sekret, tidak ada nyeri tekan di sekitar hidung, pasien dapat mencium dan membedakan bau. Integumen: kulit terlihat kering dan mengkilap, sebagian bersisik. Pasien mengatakan kulit terasa gatal. Pasien mengeluh kaki, terutama telapaknya terasa kebas/kesemutan. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: edema (+), kulit kering bersisik, uremic frost (+); stimulus kontekstual: (28/10/2011) ureum 265 mg/dl stimulus residual: kurang pengetahuan tentang manajemen gatal. g. Cairan dan Elektrolit 1) Pengkajian Perilaku Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 90 x/mnt, JVP 5+2 cm H2. Shiffting dullness (+), ascites (+), Lingkar perut 90 cm, pitting edema di ektremitas kaki (+3). Keseimbangan cairan (29/10/2011) : intake cairan : minum 1500 cc/hr. Output : urin (800cc/24 jam) + IWL 500 cc/24 jam). Balance
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
42
cairan : 1500-1300 = (+) 200 cc/24 Jam. Pasien mengatakan susah untuk membatasi minum karena cuaca udara di ruangan panas sehingga dirinya sering merasa haus. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit darah tanggal 28/10/11, natrium 136 mEq/L (135-145), kalium 5.23 mEq/L (3.55.5), klorida 105 mEq/L (100-106), ureum 265 mg/dl (<50), kreatinin 12.8 mg/dl (0.5-1.5). 2) Pengkajian stimulus Stimulus fokal: CKD (penurunan fungsi ginjal); stimulus kontekstual: Riwayat DM 9 tahun tanpa kontrol rutin; stimulus residual: kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan serta manfaat pembatasan minum pada pasien gagal ginjal. h. Fungsi Neurologi 1) Pengkajian Perilaku Penampilan umum sedang, kesadaran compos mentis (GCS 15). Refleks pupil terhadap cahaya baik, kekuatan dan pergerakan ekstremitas bilateral simetris (5/5). Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, tidak terdapat tanda-tanda defisit neurologis. Orientasi terhadap tempat, orang dan waktu baik. i. Fungsi Endokrin 1) Pengkajian Perilaku Terdapat riwayat DM sejak 9 tahun yang lalu, pengobatan dan kontrol tidak teratur. Kadar gula darah sewaktu 250 mg/dl. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: DM sejak 9 tahun yang lalu; stimulus kontekstual: riwayat keluarga dengan DM pada ibu kakaknya; stimulus residual: pengetahuan pasien tentang penyakit kurang. j. Fungsi Reproduksi 1) Pengkajian Perilaku
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
43
Pasien memiliki 4 orang anak, 2 orang anaknya sudah menikah dan 2 orang lagi masih sekolah SMA kelas 1 dan kelas 3. Pasien mengatakan sejak sakit mengalami penurunan aktifitas seksual, namun pasien menganggap bukan masalah, hal yang sama juga disampaikan istrinya, harapan yang sampaikan adalah bagaimana suaminya cepat sembuh dan bisa bekerja lagi mencari nafkah untuk keluarga. 3.2.1.2 Model Adaptasi Konsep Diri a. Physical Self 1) Pengkajian Perilaku a) Sensasi diri: pasien mengatakan tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga. Pasien juga mengatakan cemas dengan rencana pemasangan double lumen. b) Body image: pasien mengungkapkan tidak malu dengan kondisi sakitnya, pasien hanya merasa sedih karena harus menderita penyakit seperti sekarang dan tidak dapat menafkahi keluarganya. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: penyakit kronis; stimulus kontekstual : rencana pemasangan double lumen; stimulus residual: kurang pengetahuan. b. Personal Self 1) Pengkajian Perilaku a) Moral/etik/spiritual Pasien beragama Islam dan sampai saat ini pasien masih berusaha untuk menjalankan kewajibannya sesuai kemampuannya. Pasien sholat di tempat tidur. Pasien mengungkapkan dirinya selalu berdoa kepada Alloh agar diberi kesembuhan dan diangkat penyakitnya. b) Self consistency Pasien selama perawatan tampak lebih banyak diam termenung dan melamun, namun ketika ditanya pasien mau menjawab dengan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
44
ekspresi yang sesuai. Pasien mengatakan sedih dan tidak siap jika harus menjalani cuci darah seumur hidup, apalagi karena pengurusan keterangan tidak mampu belum selesai sedangkan cuci darah harus dilakukan dan pasien tidak ada biaya tindakan cuci darah. Pasien juga menanyakan apakah cuci darah harus dilakukan selamanya? Pasien terlihat cemas ketika mengungkapkan perasaanya. c) Ideal diri Pasien mengatakan ketika sehat dirinya masih bisa melakukan segalanya sendiri, tapi sekarang setelah sakit mau jalan saja susah. Pasien menyadari bahwa setiap orang bisa sakit termasuk dirinya. 2) Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: adanya penyakit menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan perubahan gaya hidup; stimulus kontekstual: rencana pemasangan double lumen dan hemodialisis jangka panjang; stimulus residual: pengetahuan pasien tentang penyakit dan tindakan hemodialisa kurang.
3.2.1.3 Model Fungsi Peran a. Pengkajian Perilaku Pasien bekerja sebagai pengemudi angkutan dalam kota (angkot). Menurut pasien semenjak sakit 2-3 bulan yang lalu pasien tidak dapat rutin setiap hari membawa mobil angkot, karena pasien sakit dan harus menjalani perawatan. Pasien juga mengungkapkan karena sakitnya ini dirinya malah menjadi beban anak dan isterinya. Pasien bertanya apakah nanti penyakitnya bisa sembuh seperti semula dan tidak perlu cuci darah lagi. b. Pengkajian Stimulus Stimulus fokal: stress karena penyakit kronis dan hospitalisasi; stimulus kontekstual: tidak dapat bekerja sebagai sopir angkot setiap hari; stimulus
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
45
residual: kurang pengetahuan tentang terapi pengganti ginjal membuat pasien khawatir. 3.2.1.4 Model Adaptasi Interdependen a. Pengkajian Perilaku 1) Receptive behavior Pasien mengatakan masih belum percaya jika ia menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seumur hidup. Pasien masih sering kepikiran dan merasa sedih, namun pasien masih mau menjalani prosedur pengobatan
dan
perawatan
yang
dilakukan
terhadapnya.
Pasien
mendapatkan dukungan dari keluarganya, terutama isterinya selalu berada di dekat pasien serta anak-anaknya yang selalu bergantian menemani bapak dan ibunya di rumah sakit, sehingga hal ini mampu memberikan ketenangan kepada pasien. Pasien masih belum mampu membatasi minumnya karena hal iini disebabkan udara di runganan yang panas dan pasien sering merasa haus. 2) Contributive behavior Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga, tetangga dan kerabat / teman sejawat sopir angkot. Pasien juga dapat melakukan interaksi dengan perawat ataupun teman sekamarnya. Pasien mampu memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuannya, misal minum dan makan sendiri dengan bantuan minimal dari keluarga. b. Pengkajian stimulus: Stimulus fokal: penyakit kronis menyebabkan stress dan ketergantungan akan terapi; stimulus kontekstual: kelemahan fisik; stimulus residual: kurang pengetahuan.
3.2.2 Diagnosa Keperawatan Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. SB adalah sebagai berikut : Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
46
3.2.2.1 Mode adaptasi fisiologi a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan diit. b. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen jaringan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia); kelemahan/ keletihan umum; tidak adekuat intake nutrisi. c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia; penurunan masukan oral; mual. d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon terhadap kecemasan 3.2.2.2 Mode adaptasi konsep diri a. Cemas berhubungan dengan perubahan gaya hidup; kompleksitas pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan. 3.2.2.3 Mode adaptasi konsep peran a. Perubahan penampilan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi; tidak dapat menjalankan peran dengan baik. 3.2.2.4 Mode adaptasi fungsi interdependensi a. Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif. 3.2.3 Penetapan Tujuan Penetapan tujuan merupakan penetapan suatu penetapan yang jelas tentang hasil (outcome) perilaku individu yang akan dicapai melalui asuhan keperawatan (Roy & Andrews, 1991). Tujuan intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif dan untuk merubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
47
3.2.4 Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan berfokus pada upaya yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fokus intervensi adalah
stimulus yang
mempengaruhi perilaku individu, untuk itu intervensi yang dibuat ditujukan untuk mengatur stimulus-stimulus yang ada sehingga dapat meningkatkan adaptasi individu. Manajemen stimulus mencakup upaya merubah, meningkatkan, menurunkan, menghilangkan atau mempertahankan stimulus yang ada. Intervensi keperawatan setiap diagnosa keperawatan tercantum pada tabel 3.1
3.2.5 Evaluasi Evaluasi keperawatan Teori Adaptasi Roy didasarkan pada perilaku yang diharapkan dibandingkan perilaku yang ditunjukkan seseorang, apakah bergerak kearah pencapaian tujuan atau keluar dari tujuan yang ditentukan. Evaluasi dilakukan setiap hari dan didokumentasikan dalam catatan perkembangan. Hasil akhir dari evaluasi keperawatan tercantum dalam tabel 3.1
Berikut ini penjabaran rencana perawatan pasien dengan penerapan Teori Adaptasi Roy:
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
48
Tabel 3.1 Rencana Asuhan Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi pada Tn. SB
Pengkajian Perilaku
Pengkajian Stimulus Respon inefektif pada Stimulus fokal : mode adaptasi fisik: GGK Kelebihan volume cairan Penurunan filtrasi Data Subjektif : Pasien mengungkapkan glomerulus BAK masih bisa, 34x/hari namun jumlah menurun, kaki bengkak. Pasien mengeluh sesak Stimulus jika beraktivitas berat. kontekstual : Pasien mengungkapkan pasien sering merasa haus menderita DM 9 karenanya udara dan tahun kontrol ruangan yang panas tidak rutin sehingga susah untuk membatasi minum Stimulus residual: pasien Data Objektif : tidak memahami TD : 160/100 mmHg, pentingnya HR : 90 x/menit, RR : pembatasan 22 x/ menit cairan pada Intake oral cairan ± 1500cc/24 jam, pasien GGK
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan diit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 x 24 jam terjadi perbaikan kelebihan volume cairan ditandai: Tekanan darah stabil Edema berkurang atau (-) Ascites berkurang atau (-) Tidak ada peningkatan JVP Pasien patuh terhadap pembatasan cairan Intake dan out put seimbang
Intervensi (NIC) & Implementasi 1. Manajemen cairan 2. Monitoring cairan 3. Rencana terapi pengganti ginjal Aktivitas regulator : a. Kaji status cairan Timbang badan harian Keseimbangan masukan dan haluaran cairan Turgor kulit dan edema Distensi vena leher Tekanan darah, denyut nadi dan irama nadi. b.Catat pemasukan dan pengeluaran akurat c. Batasi masukan cairan d.Kolaborasi pemberian diuretic & tindakan hemodialisa
Evaluasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam, pasien masih belum menunjukkan perilaku yang adaptif, pasien masih belum bisa membatasi minum 600 cc/24 jam. Setelah 12 hari perawatan akhirnya pasien menunjukkan perilaku yang adaptif. S : keluhan sesak berkurang, pasien mengungkapkan akan membatasi minum seperti yang dianjurkan oleh perawat dan dokter, karena takut bengkak semakin besar dan sesak sesak semakin berat. O: TD 150/95 mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 37°C Intake 600 cc, Urine /24 jam 300 cc, IWL 500 cc, BC – 200 cc/24 jam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
49
output/24 jam: 800cc+500 (IWL) BC: +200cc/ 24 jam JVP 5+2 cmH2O Pitting edema pada ekstremitas +3 Ascites +, LP 90 cm CCT 6.13 cc/mnt
Kimia Darah (28/10/2011); Ureum : 265 mg/dl (< 50) Creatinin : 13.1 mg/dl (0,5 – 1,5) GDS 250 (70-200) Ro thorax: CTR >50%.
e. Monitoring perubahan BB sebelum dan sesudah tindakan hemodialisis f. Monitoring nilai serum dan elektrolit g.Identifikasi sumber potensial cairan. Medikasi dan cairan untuk pengobatan Makanan h.Kolaborasi medikasi (Lasix 2 x 40 mg) i. Kolaborasi pelaksanaan hemodialisis Aktivitas cognator : a. Edukasi tentang penting pembatasan cairan dan caranya b. Ajarkan pasien/klg untuk mengumpulkan/ mencatat urine 24 jam. c. Jelaskan pada pasien dan keluarga kelebihan cairan, penyebab dan bahayanya. d. Edukasi cara mengurangi rasa haus, spt minum air dingin, mengatur alokasi jumlah minum/hari. e. Self efficacy tentang restriksi cairan
Edema (-) BB 59.5 kg, LP 86 cm JVP 5+2cmH2O Pasien mampu menguraikan kembali pentingnya membatasi cairan dan pengendalian rasa haus. Pasien dan keluarga dapat melakukan penghitungan keseimbangan cairan secara mandiri dan bisa menentukan kebutuhan minum pasien. A : masalah teratasi/ perilaku adaptif. Pasien pulang tgl 6 Nov 2012
P : setelah keluar dari RS pasien direncanakan akan melakukan cuci darah 2x seminggu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
50
Respon inefektif pada mode adaptasi fisik: Intoleransi aktivitas Data Subjektif : Pasien mengungkapkan lemas dan cepat capek Pasien mengungkapkan mual, & tidak nafsu makan Sesak jika beraktivitas berat Data Objektif : Pasien tampak lemah Haemoglobin : 8.3gr/dl. Konjungtiva anemis TD : 160/100 mmHg, HR : 90 x/menit, RR : 22 x/ menit TTV setelah berjalan dari km.mandi :TD : 160/100 mmHg, HR : 96 x/menit, RR : 26 x/ menit Ro thorax: CTR >50%.
Stimulus fokal : anemia (Hb 8.3 gr/dl), CHF Fc II Stimulus kontekstual : intake nutrisi kurang adekuat, restriksi cairan. Stimulus residual: kurang pengetahuan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan: Menurunnya suplai oksigen jaringan akibat anemia kelemahan/ keletihan umum
1. Manajemen energy Setelah perawatan 10x24 2. Terapi aktivitas jam, diharapkan pasien dapat Aktivitas Regulator menunjukkan a. Kaji faktor yang kemampuan menimbulkan keletihan untuk melakukan : Anemia, aktifitas tanpa Ketidakseimbangan mengeluh adanya cairan dan elektrolit, kelainan. Retensi produk sampah, Ditandai dengan : Depresi Pasien b.Monitor intake nutrisi berpartisipasi yang adekuat. dalam aktivitas c. Awasi TD, nadi, yang dapat pernafasan, selama & ditoleransi. sesudah aktivitas. Catat Pasien respon terhadap melaporkan aktivitas. peningkatan rasa d.Monitor respon sejahtera/nyama oksigenisasi pasien n terhadap perawatan diri Pasien atau aktifitas melakukan keperawatan. istirahat & e. Berikan aktivitas aktivitas secara alternatif dengan bergantian periode istirahat yang Tidak terjadi cukup. perubahan TTV f. Tingkatkan selama atau kemandirian dalam setelah aktivitas aktivitas perawatan diri Haemoglobin 10 yang dapat ditoleransi, gr/dl bantu jika keletihan terjadi.
Setelah 10 hari perawatan: S: Pasien mengatakan sudah kuat turun dari tempat tidur untuk mandi dan BAK-BAB di kamar mandi, pasien juga mengatakan keluhan lemasnya sudah berkurang. Sesak setelah aktifitas (-) O : pasien dapat melakukan perannya dalam memenuhi ADL, pasien makan & minum sendiri, mandi, BAK-BAK kekamar mandi keluarga membantu sesuai kebutuhan
TD 150/95 mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 37°C Hb 9,1 gr%
A : masalah teratasi/perilaku pasien adaptif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
51
g.Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, kelemahan atau pusing. h.Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis. i. Kolaborasi medikasi (asam folat 1x1, B12 3x1, Captopril 3 x 12.5 mg, Hp pro 2 x 1) Aktivitas Cognator : a. Jelaskan kepada pasien penyebab kelatihan b. Ajarkan pasien teknik penghematan energy, misal mandi dengan duduk, duduk untuk melakukan tugas-tugas. c. Ajarkan alternative perawatan diri sesuai keterbatasan Respon inefektif mode adaptasi Perubahan nutrisi
pada Stimulus fokal : fisik: penumpukan toksin (ureum 265 mg/dl) Data Subjektif : rasa mual-mual Pasien mengeluh mual dan tidak nafsu (+), muntah (-) dan mulut terasa pahit
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, penurunan masukan oral,
Setelah perawatan 7x24 jam perawatan, masukan nutrisi adekuat ditandai dengan :
1. Manajemn mual 2. Manajemen nutrisi 3. Monitoring nutrisi Aktivitas Regulator : a. Monitoring intake / pemasukan nutrisi dan kalori
Setelah 6 hari perawatan perilaku pasien mulai adaptif, pasien mau menghabiskan porsi makannya, . GDS pasien juga masih tinggi (200 g/dl) Pada hari ke-7 perawatan, perilaku pasien untuk memenuhi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
52
Pasien mengungkapkan nafsu makan kurang Pasien mengungkapkan tidak tahu tentang diet pada pasien gagal ginjal
makan
Stimulus kontekstual : Data Objektif : diet ginjal 1900 Porsi yang diberikan kkal/hari + hanya habis ½ porsi protein dari diet 1900 kkal/hari 1.9gr/kgBB/hr + + protein 1.9gr/kgBB/hr RG 2 + RG 2. Pasien tampak lemah Stimulus Fetor uremik (+) Hasil laboratorium : Hb residual: 8.3 g/dl, Ht 29 g/dl, Pengetahuan protein total 4.7, mengenai diet albumin 2.3 g/dl pada pasien Kadar ureum : 265 GGK kurang mg/dl karena Diet yang didapat diet 1900 kkal/hari + protein kurangnya informasi yang 1.9gr/kgBB/hr + RG 2 didapat
mual.
Anoreksia (-) Mual-mual (-). Muntah (-) Berat badan ideal Tonus otot meningkat Intake nutrisi meningkat Ureum menurun
b.Pantau tanda dan gejala hiperglikemi (tria poli, kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran c. Kaji/catat pemasukan diet d.Perhatikan keluhan mual/muntah e. Anjurkan makan sedikit tapi sering f. Anjurkan untuk sering melakukan perawatan mulut Kolaborasi : Nilai laboratorium : albumin serum, transferin, natrium & kalium Berikan diit tinggi kalori, rendah garam, rendah/sedang protein. Memberikan obat antihiperglikemik (novorapid 3 x 5 unit sebelum makan dan levemir 1 x 5 unit malam hari) Berikan obat sesuai indikasi: Antiemetik (ranitidine 2
kebutuhan nutrisi adaptif, namun sampai hari ke-10 perawatan GDS masih 157 mg/dl dan albumin masih rendah (2.9 g/dl). S: Pasien mengatakan porai makan habis Pasien mengungkapkan keluhan mual sudah tidak ada O: Porsi makan yang diberikan habis Mual-mual (-) Muntah (-) Tonus otot baik Gigi dan mulut bersih GDS 157 mg/dl Albumin 2,9 g/dl A : masalah teratasi sebagian, perilaku masih inefektif P : Lanjutkan manajemen dan monitoring nutrisi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
53
x 1 aml, omeprazole 2 x 20 mg) Aktivitas Cognator : a. Libatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan makanan. b.Jelaskan rasional pembatasan diet & hubungannya dengan penyakit DM, ginjal & peningkatan urea & kadar kreatinin. c. Kolaborasi dengan ahli gisi tentang jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan Respon inefektif pada Stimulus fokal: mode fungsi fisiologis: Cemas, penyakit kronis Gangguan pola tidur . Data subyektif: Pasien mengatakan malam susah tidur, tidur malam 2-3 jam. Pasien mengatakan tidur malam sering terbangun. Pasien mengatakan merasa ngantuk dan tertidur di siang hari. Pasien juga mengatakan
Stimulus kontekstual: Koping tidak efektif Stimulus residual: kurang pengetahuan
Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon kecemasan
Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam, kebutuhan tidur terpenuhi, ditandai dengan : Jumlah jam istirahat tidur bertambah Pasien lebih segar Pasien melakukan
1. Sleep Enhancement 2. Anxiety reduction Aktifitas Regulator: a. Monitor pola tidur & jumlah jam tidur pasien b. Bantu pasien mengidentifikasi factorfaktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur seperti, ketakutan, keemasan. c. Anjurkan pasien untuk
Setelah 3 hari, perilaku pasien mulai adaptif, pasien dapat tidur malam mulai jam 22.00 WIB, namun mudah terbangun jika ada suara. Pasien dapat berperilaku adaptif pada hari ke enam. S : Pasien mengungkapkan sudah bisa tidur nyenyak O: Pasien terlihat lebih segar Ptosis (lingkaran hitam di mata)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
54
teknik untuk meningkatkan jumlah jam tidur .
cemas dengan rencana pemasangan double lumen Pasien mengatakan tidak siap jika harus cuci darah seumur hidup, karena biaya yang tidak ada.
sudah mulai tidak tampak. Informasi dari Perawat jaga malam, pasien tidur malam cukup nyenyak.
A : Masalah teratasi/perilaku Aktifitas Cognator: a. Jelaskan pentingnya pasien adaptif tidur bagi proses penyembuhan b. Yakinkan pasien iritabilitas dan perubahan mood adalah konsekwensi umum yang menyebabkan deprivasi tidur. c. Diskusikan dengan pasien & keluarga pentingnya kenyamanan, teknik meningkatkan tidur yang dapat memfasilitasi tidur yang optimal.
Data objektif: Pasien tampak cemas Pasien terlihat banyak melamun Pasien tampak tidak segar dan cerah. Pasien terlihat kusut Ptosis (lingkaran hitam di mata) pada kelopak mata
Respon inefektif pada Stimulus fokal : mode konsep diri: cemas CKD, penyakit kronis Data Subjektif : Pasien mengatakan Stimulus tidak siap jika harus : kontekstual
mengurangi tidur siang d. Ajarkan/anjurkan relaksasi otot atau teknik relaksasi lainnya
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Cemas berkurang atau hilang,
1. Anxiety reduction 2. Relaxation therapy Aktivitas Regulator: a. Jalin kepercayaan dengan komunikasi terbuka dengan pasien
Setelah dilakukan perawatan selama 5 hari perilaku pasien pada mode konsep diri adaptif. S:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
55
cuci darah seumur hidup, karena biaya yang tidak ada dan kepengurusan surat keterangan tidak mampu belum selesai dan apakah nantinya surat SKTM akan berhasil. Pasien juga mengatakan cemas dengan rencana pemasangan double lumen Pasien juga menanyakan apakah cuci darah harus dilakukan selamanya? Data Objektif : Pasien tampak cemas Pasien terlihat banyak melamun
Pasien sebagai kebutuhan kepala keluarga pengobatan. Stimulus residual : pengetahuan psn kurang
ditandai dengan : Pasien mampu beradaptasi dalam menghadapi penyakit yang dialaminya. Pasien memahami penyakit dan pentingnya pengobatan Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan. Pasien mengukapkan kesiapannya menjalani pemasangan doble lumen dan tindakan cuci darah seumur hidup.
b. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya mengenai kecemasan. c. Kaji ketakutan dan kecemasan pasien d. Kaji mekanisme koping yang biasa digunakan pasien dalam mengurangi kecemasan e. Dukung mekanisme koping yang tepat yang telah digunakan : berdoa. f. Evaluasi perubahan makna bagi pasien dan anggota keluarga atau pasangannya. g. Motivasi pasien untuk membagi perasaannya dengan pasangannya. h. Tawarkan dan atur kunjungan dari anggota kelompok pendukung (misal kelompok hemodialisa jika diperlukan). i. Ajarkan teknik relaksasi, seperti tarik nafas dalam, meditasi, dsb.
Pasien mengungkapkan sudah tidak terlalu cemas dan takut lagi untuk pemasangan doble lumen dan tindakan cuci darah. Pasien mengatakan semuanya diserahkan pada Allah SWT, apapun yang dialaminya sekarang dan selalu berdoa diberikan kekuatan dan kesembuhan. Pasien mengatakan jaminan pengobatan (surat SKTM) telah selesai.
O:
Pasien tampak terlihat lebih tenang. Pasien berpartisipasi / bersedia untuk pemasangan doble lumen dan tindakan hemodialisa. Pasien dilakukan penjadwalan cuci darah seminggu dua kali (senin dan kamis).
A : Masalah teratasi / mode
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
56
j.
Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril.
konsep diri adaptif.
Aktivitas Cognator : a. Berikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta therapi pengganti ginjal (tindakan hemodialisa ). Respon inefektif mode fungsi peran
pada Stimulus fokal: Stress karena penyakit kronis, Data: hospitalisasi Pasien bekerja sebagai pengemudi angkutan Stimulus dalam kota (angkot). kontekstual : Menurut pasien semenjak sakit 2-3 tidak dapat bulan yang lalu pasien bekerja sebagai tidak dapat rutin setiap sopir angkot hari membawa mobil angkot, karena pasien Stimulus sakit dan harus menjalani perawatan. residual: kurang Pasien juga pengetahuan mengungkapkan karena sakitnya ini dirinya malah menjadi beban
Perubahan penampilan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi; tidak dapat menjalankan peran dengan baik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7x24 jam, terjadi adaptasi penampilan peran ditandai dengan : Peningkatnya pengetahuan mengenai perubahan peran selama dalam perawatan Pasien mampu menjelaskan
peran Hasil evaluasi menunjukkan 1. Peningkatan pasien perilaku yang adaptif dari pasien 2. Dukungan keluarga S: Aktifitas Regulator: a. Bantu pasien Pasien mengatakan sudah mengidentifikasi mulai bisa menerima perannya dalam kondisinya. keluarga. Pasien mengungkapkan hanya b. Bantu pasien bisa berdoa kepada Allah mengidentifikasi SWT agar tetap diberi berbagai peran dalam kekuaan dan kesehatan.. kehidupan, transisi peran, kegagalan peran Pasien mengungkapkan dan perubahan peran dirinya akan melakukan akibat sakit dan masa tugasnya sebagai kepala perawatannya. keluarga sesuai kemampuan c. Bantu pasien yang dimilikinya. mengidentifikasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
57
anak dan isterinya. Pasien bertanya apakah nanti penyakitnya bisa sembuh seperti semula dan tidak perlu cuci darah lagi.
perubahan peran karena adanya penyakit/ketida kmampuan Pasien mampu menyampaikan strategi untuk perubahan peran yang dialami. Pasien mampu menyampaikan penerimaan positif terhadap perubahan peran akibat penyakit & hospitalisasi Pasien mampu menggunakan koping yang efektif Keluarga mampu berbagi peran selama pasien dirawat dirumah sakit.
perilaku yang dibutuhkan untuk peran baru. Aktifitas Cognator: a. Diskusikan dengan pasien dan keluarga koping yang positif dalam menghadapi perubahan peran. b. Diskusikan dengan keluarga dan pasien tentang perubahan peran pasien serta njurkan kelurga untuk memberikan dukungan. c. Diskusikan dengan psien dan keluarga perubahan peran yang terjadi.
Pasien akan rutin berobat dan melaksanakan cuci darah sesuai program pengobatan.
O:
Pasien terlihat lebih tenang
A : Masalah teratasi / mode fungsi peran adaptif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
58
Respon inefektif pada Stimulus fokal: mode interdependensi: penyakit kronis menyebabkan Data: stress dan Pasien mengatakan ketergantungan masih belum percaya akan terapi; jika ia menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah Stimulus seumur hidup. kontekstual: Pasien masih sering kelemahan fisik. kepikiran dan merasa sedih, namun pasien Stimulus masih mau menjalani residual : kurang prosedur pengobatan pengetahuan. dan perawatan yang dilakukan terhadapnya. Pasien mendapatkan dukungan dari keluarganya, terutama isterinya selalu berada di dekat pasien serta anak-anaknya yang selalu bergantian menemani bapak dan ibunya di rumah sakit, sehingga hal ini mampu memberikan ketenangan kepada pasien.
Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif.
Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, koping pasien efektif dengan kretiria hasil : Pasien mengatakan memahami penyakit yang dialaminya. Pasien mengatakan kemauannya untuk menggunakan sumber-sumber yang ada dalam meningkatkan kopingnya yang efektif. Pasien mampu menggunakan support system yang ada di rumah sakit. Pasien dapat menggunakan teknik relaksasi saat mengalami stres
1. Dukungan spiritual 2. Komunikasi therapeutik 3. Peningkatan koping 4. Konseling Aktifitas Regulator: a. Bantu pasien dalam pengembangan penilaian obyektif. b. Dukung pasien akan harapan yang realistik. c. Dukung pasien dalam penggunaan mekanisme pertahan yang tepat d. Bantu pasien mengidenstifikasi support system yang ada. e. Bantu pasien mengidentifikasi kemampuan dalam mengatasi stress f. Eksplorasi koping yang biasa digunakan, dukung koping yang positif. g. Identifikasi harapan pasien. h. Berikan pujian atas koping positif. i. Perkenalakan pasien pada seseorang atau
Hasil evaluasi menunjukkan perilaku yang adaptif dari pasien. S: Pasien mengatakan tetap bersyukur kepada Alloh SWT karena masih diberikan kemudahan dan biaya perawatan ditanggung SKTM Pasien mengungkapkan istri, anak-anaknya, kerabat sopir angkutan serta tetangganya selalu mendoakan kesehatannya. Keluarga pasien (istri & anaknya) mengatakan bahwa suami / ayahnya sudah tidak sering melamun. . O: Pasien terlihat lebih terbuka dalam berdiskusi dengan perawat & teman sekamarnya. A: masalah teratasi / mode interdependensi adaptif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
59
kelompok yang mempunyai pengalaman sama dan berhasil menjalaninya. Aktifitas cognator: a. Berikan pendidkan dalam manejemen stres. b. Diskusikan dengan pasien tentang koping yang efektif c. Diskusikan peran keluarga dlm merubah perilaku dan membantu pasien dlm beradaptasi & meningkatkan koping efektif dalam kehidupan. d. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan penatalak sanaannya agar pasien dapat mengambil keputusan dengan tepat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
60
3.3
Pembahasan Berdasarkan Teori Adaptasi Roy
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada Tn. SB dengan penyakit ginjal kronik stage V melalui penerapan Teori Adaptasi Roy, yang dimulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. Pengkajian yang telah dilakukan sesuai teori Adaptasi Roy yang terdiri dari dua tahap yaitu : pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus. Pengkajian perilaku meliputi 4 model adaptasi, yaitu model adaptasi fisiologis, model adaptasi konsep diri, model adaptasi fungsi peran dan model adaptasi interdependensi. Sedangkan tujuan dari asuhan keperawatan yang dilaksanakan adalah sesuai dengan Teori Adaptasi Roy yaitu membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi selama sehat dan sakit (Perry & Potter, 2005). Ketika seseorang sakit dan dirawat serta ia tidak dapat beradaptasi terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal maka seorang perawat mempunyai peranan penting dalam membantu pasien beradaptasi terhadap kebutuhannya tersebut. Berikut ini praktikan akan membahas asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada Tn.SB berdasarkan perubahan kebutuhan dari empat model adaptasi menurut Teori Adaptasi Roy. 3.3.1 Mode adaptasi fisiologis Mode fisiologis berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas yaitu oksigenasi, cairan dan elektrolit, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, fungsi sistem endokrin, integritas kulit, sensori/indra dan fungsi neurologis. Dari pengkajian fisiologis tersebut, ada 4 masalah keperawatan yang diangkat pada Tn. SB, yaitu sebagai berikut: 3.3.1.1 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; kurang pengetahuan tentang manajemen cairan dan diit. Kelebihan volume cairan adalah kondisi peningkatan retensi cairan isotonik pada seseorang individu dengan batasan karakteristik ansietas, pernapasan dangkal / dispnoe, edema, asupan melebihi haluaran, oliguri dll (Wilkinson, 2007). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
61
Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang berlebih. Karena adanya retensi cairan isotonik, konsentrasi natrium dalam serum masih normal. Kelebihan cairan tubuh terjadi akibat overload cairan / adanya gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan. Pada care yang dialami Tn. SB ini dikarenakan adanya kemunduran dan kerusakan nefron dengan hilangnya fungsi ginjal secara progresif. Bersamaan dengan menurunnya LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan berkurangnya clearance, kadar serum urea nitrogen dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih berfungsi menjadi hipertrofi karena menyaring zat terlarut dalam jumlah besar, akibatnya ginjal mengalami kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin secara baik. Dengan demikian ginjal akan semakin rusak, jumlah nefron yang berfungsi berkurang dan LFG total semakin menurun, sehingga tubuh tidak mampu mengeluarkan cairan, garam dan produk sisa lainnya melalui ginjal. Akibatnya dengan mudah terjadi keracunan air (water overload). (Black & Hawks, 2005). Berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya didapatkan data bahwa Tn. SB menderita DM sejak 9 tahun yang lalu, dengan riwayat makan banyak tetapi BB berkurang (+), banyak minum tetapi tetap haus (+), dan terbangun malam untuk BAK (+). Pasien mengatakan tidak kontrol rutin, pasien minum obat glibenclamid 2x/hari tetapi tidak teratur.
Pasien juga mengatakan makan tidak dikontrol.
Tekanan darah tinggi diketahui ketika dirawat di RS Bakti Husada (Gaplek). Penyakit DM yang tidak terkontrol pasien akan menyebabkan kerusakan kapiler glomerulus pada ginjal, dimana glukosa yang tinggi mengakibatkan terjadinya penebalan membran basal dan pelebaran glomerulus yang akhirnya membuat kebocoran protein dalam urin. (Lewis, et al, 2005) Penumpukan cairan di dalam tubuh yang dialami Tn.SB menyebabkan gangguan jantung, sehingga pasien mengeluh cepat lelah dan sesak nafas terutama bila beraktivitas berat. Saat pengkajian, keluhan sesak terjadi ketika pasien berjalan ke kamar mandi dan berkurang ketika istirahat. Pasien tidur menggunakan satu bantal. Hal tersebut menunjukkan perbaikan CHF yang dialaminya.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
62
Intervensi spesifik yang dilakukan pada Tn. SB dalam mengatasi kelebihan volume cairan adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan cognator yang meliputi kegiatan monitoring cairan, manajemen cairan dan rencana therapy pengganti ginjal. Tindakan terpenting pada kasus ini adalah pembatasan intake cairan, karena pada Tn SB yang mengalami penyakit ginjal kronik dengan laju filtrasi glomerulus 6,14 ml/menit akan cenderung mengalami penurunan fungsi ginjal, sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkan cairan dari tubuh dan akhirnya menyebabkan hipervolemia. Pasien dengan keadaan hipervolemia dan gangguan keseimbangan elektrolit, cairan yang masuk dan cairan yang keluar harus seimbang. Masukan dan haluaran oral, parenteral, urin, dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan. Cairan yang keluar melalui kulit dan paru serta akibat dari proses metabolisme normal juga dipertimbangkan dalam penatalaksanaan cairan. Pengawasan dan pengaturan secara ketat terhadap konsumsi cairan pada pasien gagal ginjal tahap akhir perlu diawasi, karena tingginya rasa haus akan menyebabkan pasien tidak mampu melaksanakan pembatasan cairan yang telah ditetapkan. Pengalaman praktikan terhadap data pasien gagal ginjal tahap akir rata-rata pasien mengkonsumsi air melebihi ketentuan yang telah ditetapkan. Menurut Smeltzer & Bare (2008) mengungkapkan, banyaknya asupan cairan ditentukan dengan jumlah urine yang dikeluarkan selama 24 jam + 500 ml (IWL). Sedangkan menurut Baughman (2000), cairan yang diperbolehkan pada pasien gagal ginjal tahap akhir adalah 500-600 ml/24 jam atau lebih dari pengeluaran urin 24 jam. Asupan cairan yang terlalu banyak dapat mengakibatkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, edema dan intosikasi air. (Price & Wilson, 2003). Tn. SB juga menunjukkan perilaku yang inefektif terhadap pembatasan cairan yang ditetapkan. Tn. SB mengungkapkan udara ruangan sangat panas sehingga dirinya sering merasa haus dan tidak dapat minum sesuai yang dianjurkan. Untuk mengatasi hal tersebut praktikan melakukan intervensi dengan membantu pasien
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
63
mengatur alokasi waktu dan interval minum dalam 24 jam, dimana praktikan membagi jumlah air yang harus diminum dalam tiga shift. Pengaturannya adalah 50 % dari total jumlah air minum yang ditentukan untuk periode waktu diantara shift pagi karena pada periode ini pasien lebih aktif, mendapatkan dua kali makan yaitu makan pagi dan siang serta obat-obatan oral lebih banyak diberikan pagi hari. 25% sampai 33% dari total jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk periode waktu diantara shift sore dan sisanya dialokasikan untuk periode waktu malam hingga esok paginya. Dengan pengaturan seperti ini diharapkan dapat membantu pasien dalam mengatasi rasa hausnya. Intervensi lain yang praktikan lakukan untuk meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator pada mode adaptasi fisiologis cairan elektrolit Tn. SB adalah dengan menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk mengatur suhu air minum. Pemberian kepingan es atau menganjurkan pasien untuk mengulum batu es juga dapat membantu pasien mengurangi sensasi haus akibat pembatasan cairan. Perlu diperhatikan adalah penjelasan kepada pasien untuk mengecek jumlah cc dari batu es yang dikulumnya dengan cara membiarkan es mencair pada suhu kamar dan selanjutnya diukur berapa cc. Jika pasien tidak toleransi untuk mengulum batu es, pengaturan suhu air minum juga dapat membantu mengatasi sensasi haus yang dirasakan oleh pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Black & Hawks (2005) bahwa air dingin lebih efektif dalam menurunkan sensasi haus karena air dingin dapat menstimuli cold reseptor di mukosa mulut. Mulut yang kering yang disebabkan penurunan aliran saliva diberi tanda oleh sensor-sensor yang ada di mukosa oropharingeal (mekanoreseptor, reseptor dingin dan hangat, dan mungkin reseptor air). Jika reseptor ini terangsang tanpa disertai defisiensi cairan yang menyeluruh di dalam tubuh, seperti pada saat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut atau memakan makanan yang sangat kering, maka akan timbul haus (Schmidt & Thews, 1989), dengan memberikan air dingin akan meningkatkan cold reseptor dalam menekan sensasi haus. Dari penelitian Brunstrom (1997), yang membandingkan air dengan suhu 5oC dan 22oC, menunjukkan air dengan suhu 5oC lebih efektif menurunkan haus dibandingkan suhu 22oC.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
64
Dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy, pada akhir perawatan (hari ke-12) Tn. SB menunjukkan perilaku yang adaptif, dimana masalah kelebihan cairan teratasi, Edema (-), BB 59.5 kg, LP 86 cm, JVP 5+2cmH2O. Pasien mampu menguraikan kembali pentingnya membatasi cairan dan pengendalian rasa haus, Pasien dan keluarga dapat melakukan penghitungan keseimbangan cairan secara mandiri dan bisa menentukan kebutuhan minum pasien.Demikian juga keluhan sesak setelah aktifitas mulai berkurang. Pasien juga menyatakan akan terus menjalani cuci darah dan pasien menyadari ia akan menjalani hal itu selamanya.
3.3.1.2 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan menurunnya suplai oksigen jaringan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (anemia); kelemahan/ keletihan umum; tidak adekuat intake nutrisi. Intoleransi aktifitas adalah suatu keadaan dimana seorang individu tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan
atau aktivitas
sehari-hari yang diinginkan. Dengan batasan
karakteristik ketidaknyamanan atau dispnoe yang mambutuhkan pergerakan tenaga, melaporakan kelatihan / kelamahan secara verbal, denyut jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktifitas (Wilkinson, 2007). Diagnosa ini diangkat karena berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada Tn. SB ditemukan data pasien terlihat lemah, aktivitas dilakukan di tempat tidur kecuali BAB dilakukan di kamar mandi. Pasien mengatakan badan terasa lemas dan lelah dan pasien kadang masih merasa sesak jika sudah berjalan dari kamar mandi, pasien lebih banyak berada di atas tempat tidur, terjadi perubahan tanda vital setelah berjalan dari kamar mandi, pasien mengeluh kadang masih terasa sesak jika beraktivitas berat, pasien juga mengalami anemia dengan kadar Hb 8,3 gr/dl. Pada dasarnya anemia pada GGK adalah akibat adanya defek eritropoesis terhadap rangsangan hipoksia. Di samping itu sumsum tulang tidak bereaksi terhadap umur eritrosit yang memendek (sumsum yang nongeneratif). Ada 3 mekanisme yang berperan dalam defek eritropoesis pada GGK yaitu
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
65
pertama menurunnya produksi eritropoetin akibat kerusdakan ginjal, kedua adanya perubahan afinitas hemoglobin tehadap oksigen yang berakibat meningginya efisiensi pembebasan pembebasan oksigen jaringan secara relatif terhadap beratnya anemia dan yang ketiga adanya toksin dalam darah yang menghambat respon eritrosit terhadap eritropoesis. Pada orang normal, kira-kira 90% dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam ginjal; sisanya terutama dibentuk dalam hati. Namun sampai sekarang belum diketahui dengan pasti di bagian ginjal mana eritropoetin dibentuk. Ada suatu kemungkinan yang cukup kuat bahwa selsel epitel tubulus ginjallah yang menyekresi eritropoetin, karena darah yang anemik tidak dapat mengirim cukup banyak oksigen dari kepiler peritubular ke sel-sel tubular yang memakai banyak sekali oksigen, jadi dengan demikian akan merangsang produksi eritropoetin. Disamping
itu ada beberapa faktor yang
memperberat terjadinya anemia antara lain adanya zat inhibitor eritropoesis, perdarahan akibat trombopati, anemia hemolitik akibat terjadinya mikroangiopati, kehilangan darah akibat pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau tertinggal di alat hemodialisa, serta akibat defisiensi zat besi dan zat nutrisi lainnya (Smeltzer & Bare, 2008). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi intoleransi aktifitas pada Tn. SB adalah melakukan sejumlah aktivitas regulator dan cognator yang terdiri dari manajemen energi, terapi aktifitas, mengkaji faktor yang menimbulkan keletihan : (anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah, Depresi), memonitor intake nutrisi yang adekuat. mengawasi tekanan darah, nadi, pernafasan, selama & sesudah aktivitas. mencatat respon terhadap aktivitas, memonitor respon oksigenisasi pasien terhadap perawatan diri atau aktifitas keperawatan, memberikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup. meningkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi. menganjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, nafas pendek, kelemahan atau pusing. menganjurkan untuk beristirahat setelah dialysis.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
66
Hasil evaluasi setelah 10 hari perawatan menunjukkan perilaku pasien mulai adaptif pasien mengatakan keluhan sesak setelah aktifitas jauh berkurang, pasien dapat melakukan perannya dalam memenuhi ADL, pasien makan & minum sendiri, mandi, BAK-BAK kekamar mandi keluarga membantu sesuai kebutuhan, TD 150/95 mmHg, nadi 84 x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu 37°C Hb 9,1 gr%, Ht 21, eritrosit 2.97 3.3.1.3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia; penurunan masukan oral; mual. Perubahan nutrisi adalah resiko terjadinya keadaan individu yang mengalami kekurangan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolik
Batasan
karakteristik untuk menegakkan diagnosa nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah berat badan kurang dari 20% atau lebih dari ideal terhadap tinggi badan dan kerangka, serta melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari anjuran kecukupan gizi harian (Wilkinson, 2007). Pada Tn. SB ditemukan data sejak satu bulan ini pasien mengalami penurunan nafsu makan karena pasien mulutnya terasa pahit dan mual, muntah (-). BB sebelum sakit adalah 72 kg, sedangkan saat pengkajian BB 69 kg (turun 3 kg dalam 1 bulan), TB 174 cm. BB Ideal = 76,6 kg. Pemeriksaan fisik mata anemis, sclera tidak ikterik, bising usus 12 x/menit dan tidak ada nyeri tekan. Saat pengkajian nafsu makan pasien masih kurang (anoreksia), pasien merasa mual, tidak muntah dan tidak ada keluhan sulit menelan. Porsi yang diberikan habis ½ porsi saja. Biokimia (28/10/2011): Hb 8,3 gr/dl (13-16), Ht 24% (40-48), protein total 4.7, albumin 2.3 g/dl (3.4-4.8), globulin 2.4 g/dl, GDS 250 (70-200). Keluhan yang sering muncul pada pasien gagal ginjal kronik mulut terasa pahit dan mual kemungkinan disebabkan karena tingginya kadar ureum darah (Smeltzer & bare, 2008). Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan nutrisi pada Tn. SB adalah dengan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi : manajemn mual, manajemen nutrisi dan monitoring nutrisi. Manajemen nutrisi dan edukasi tentang pentingnya diit yang dianjurkan untuk kesembuhan penyakit. Manajemen nutrisi yang dilakukan antara lain : memonitoring intake / pemasukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
67
nutrisi dan kalori, memantau tanda dan gejala hiperglikemi (tria poli, kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran), mengkaji / mencatat pemasukan diet, memperhatikan keluhan mual, menganjurkan makan sedikit tapi sering, menganjurkan untuk sering melakukan perawatan mulut, melibatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan makanan, menjelaskan rasional pembatasan diet & hubungannya dengan penyakit DM, ginjal & peningkatan urea & kadar kreatinin serta kolaborasi dengan ahli gisi tentang jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan. Pasien mendapat diet ginjal 1900 kkal/hari + protein 1.9 gr/kgBB/hari + RG (rendah garam) 2. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada pasien yang belum menjalani hemodialisis, protein diberikan 0,6 - 0,8 gr/kgBB/hari, sedangkan bagi yang sudah menjalani hemodialisis protein diberikan 1.2-1.3 gr/kgBB/hari (NKF, 2000). Hasil evaluasi pada Tn. SB terhadap permasalahan nutrisi menunjukkan sebagian perilaku adaptif setelah dilakukan perawatan selama 7 hari, pasien telah menghabiskan porsi diet yang diberikan, keluhan mual tidak ada, pasien juga mengungkapkan akan mematuhi program diit yang telah dianjurkan. Namun perilaku inefektif masih ditemukan pada hasil pemeriksaan gula darah sewaktu sampai hari ke-10 perawatan GDS masih 157 mg/dl dan albumin masih rendah (2.9 g/dl).
3.3.1.4 Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon kecemasan terhadap penyakit dan kebutuhan pengobatan. Gangguan pola tidur adalah gangguan jumlah dan kuantitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodek) yang dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas. Batasan karakteristik ketidakpuasan tiudr, keluhan verbal tentang kesulitan dalam tidur, total tidur kurang dari usia normal, insomnia pada saat tidur (Wilkinson, 2007). Pada Tn. SB didapatkan data data perilaku inefektif pada pola istirahat dan tidur yaitu : pasien mengatakan malam susah tidur, tidur malam 2-3 jam, pasien Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
68
mengatakan tidur malam sering terbangun, pasien mengatakan merasa ngantuk dan tertidur di siang hari. Pasien tampak tidak segar dan cerah, pasien terlihat kusut, ptosis (lingkaran hitam di mata) pada kelopak mata. Kutner (2007) menyatakan hampir 60% pasien dalam kohort penelitiannya melaporkan pasien dialysis mengalami kesulitan tidur. Faktor diduga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gangguan pola tidur pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, diantaranya faktor demografi, faktor fisiologis, faktor gaya hidup, faktor psikologis dan faktor dialysis (Unruh, et al, 2006). Penelitian yang dilakukan Merlino, et all (2006) terhadap 883 pasien dialysis didapatkan hasil bahwa terjadi gangguan : insomnia 69,1%, restless leg syndrome (RLS) 18,4%, obstructive sleep apnoea syndrome (OSAS) 23,6%, excessive daytime sleepiness (EDS) 11,8%, possible narcolepsy 1,4%, tidur sambil jalan 2,1%, possible rapid eye movement behaviour disorders (RBD) 2,3%. Sulitnya mempertahankan tidur di malam hari akan berdampak rasa kantuk di siang hari, kurang energy, penurunan kewaspadaan dan konsentrasi akan menyebabkan penurunan kualitas hidup yang memiliki korelasi positif dengan kelangsungan hidup pasien, sehingga perlu dilakukan manajemen yang tepat sesuai faktor yang mempengaruhinya (Unruh, et al, 2006) Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah Gangguan pola tidur pada Tn. SB adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan cognator yang meliputi: sleep enhancement, dan anxiety reduction, meliputi monitor pola tidur & jumlah jam tidur pasien, memantu pasien mengidentifikasi factor-faktor yang mungkin menyebabkan kurang tidur seperti, ketakutan, keemasan. Menganjurkan pasien untuk mengurangi tidur siang, mengajarkan/anjurkan relaksasi otot atau teknik relaksasi lainnya, menjelaskan pentingnya tidur bagi proses penyembuhan, menyakinkan pasien iritabilitas dan perubahan mood adalah konsekwensi umum yang menyebabkan deprivasi tidur.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
69
Hasil evaluasi menunjukkan setelah 6 hari perawatan, perilaku pasien pada mode fisiologis istirahat adaptif, pasien mengatakan Pasien mengungkapkan sudah bisa tidur nyenyak, pasien terlihat lebih segar, ptosis (lingkaran hitam di mata) sudah mulai tidak tampak, informasi dari Perawat jaga malam, pasien tidur malam cukup nyenyak. 3.3.2 Mode adaptasi konsep diri Pada mode konsep diri ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu : 3.3.2.1 Cemas berhubungan dengan perubahan gaya hidup; kompleksitas pengobatan dan kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan. Cemas atau ansietas adalah suatu keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak mudah atau dread yang disertai dengan respon autonomis, sumbernya sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu; atau disebut juga perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Ini merupakan tanda bahaya yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan kemampuan individu untuk membuat pengukuran untuk mengatasi ancaman. Karakteristik adalah mengekpresikan keluhan karena perubahan pada kejadian kehidupan, gelisah, insomnia (Wilkinson, 2007). Pengangkatan diagnosa ini didasarkan pada hasil pengkajian perilaku dan stimulus, dimana ditemukan perilaku inefektif pada mode adaptasi konsep diri (psikologis), yang ditunjukkan dengan data : asien mengatakan tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga. Pasien juga mengatakan cemas dengan rencana pemasangan double lumen. Pasien mengatakan sedih dan tidak siap jika harus menjalani cuci darah seumur hidup, apalagi karena pengurusan keterangan tidak mampu belum selesai sedangkan cuci darah harus dilakukan dan pasien tidak ada biaya tindakan cuci darah. Pasien juga menanyakan apakah cuci darah harus dilakukan selamanya. Pasien terlihat cemas ketika mengungkapkan perasaanya. Smeltzer & Bare (2002), mengungkapkan bahwa pasien dengan hemodialisis jangka panjang akan merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
70
diramalkan dan menimbulkan gangguan dalam kehidupannya. Pasien dengan tindakan hemodialisis biasanya menghadapi permasalahan fisik, finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian. Intervensi yang dilakukan praktikan untuk mengatasi masalah cemas pada Tn. SB adalah dengan melakukan aktivitas untuk meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator, yaitu dengan menjalin kepercayaan dengan komunikasi terbuka
dengan pasien,
memberikan
kesempatan kepada
pasien untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaanya mengenai kecemasan. mengkaji ketakutan dan kecemasan pasien, mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan pasien dalam mengurangi kecemasan, mendukung mekanisme koping yang tepat yang telah digunakan : berdoa, mengevaluasi perubahan makna bagi pasien dan anggota keluarga atau pasangannya, memootivasi pasien untuk membagi perasaannya dengan pasangannya, menemukan dengan pasien lain yang sudah menjalani hemodialisa, ajarkan teknik relaksasi tarik nafas dalam dan melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan moril. Disamping itu juga pemberian pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta tindakan hemodialisa. Hasil evaluasi menunjukkan, setelah 5 hari perawatan perilaku pasien dalam mode konsep diri mulai adaptif. Pasien mengungkapkan sudah tidak terlalu cemas dan takut lagi untuk pemasangan doble lumen dan tindakan cuci darah, penyakit yang dideritanya semuanya diserahkan pada Allah SWT apapun yang dialaminya sekarang dan selalu berdoa diberikan kekuatan dan kesembuhan. Pasien mengatakan jaminan surat SKTM telah selesai sehingga keluarga tidak banyak terbebani olehbiaya RS, Pasien tampak terlihat lebih tenang dan berpartisipasi / bersedia untuk pemasangan doble lumen dan tindakan hemodialisa. Pasien dilakukan penjadwalan cuci darah seminggu dua kali (senin dan kamis).
3.3.3 Mode adaptasi fungsi peran Pada model ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu:
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
71
3.3.3.1 Perubahan penampilan peran berhubungan dengan penyakit kronis dan hospitalisasi; tidak dapat menjalankan peran dengan baik. Perubahan penampilan peran ini adalah pola perilaku dan pengekspresian diri yang
tidak
sesuai
dengan
konteks
lingkungan,
norma
dan
harapan.
Karakteristiknya adalah perubahan persepsi peran, ansietas, ketidakadekuatan rasa percaya, ketidakadekuatan motivasi (Wilkinson, 2007). Pengangkatan diagnosa ini didasarkan pada data yang didapatkan pada pengkajian perilaku dan stimulus pada Tn. SB didapatkan inefektif pada mode peran, yaitu semenjak sakit 2-3 bulan yang lalu hingga saat ini pasien tidak dapat rutin setiap hari membawa mobil angkot, karena pasien sakit dan harus menjalani perawatan, pasien juga mengungkapkan karena sakitnya ini ia malah menjadi beban anak dan isterinya. Dari pengkajian stimulus didapatkan data: stress karena penyakit kronis, hospitalisasi, tidak dapat bekerja sebagai sopir angkot setiap hari, kurang pengetahuan tentang terapi pengganti ginjal. Intervensi yang dilakukan pada Tn. SB untuk mengatasi perubahan peran ini adalah : Peningkatan peran pasien dan dukungan keluarga aktifitas regulator dan kognatornya meliputi : membantu pasien mengidentifikasi perannya dalam keluarga, membantu pasien mengidentifikasi berbagai peran dalam kehidupan, transisi peran, kegagalan peran dan perubahan peran akibat sakit dan masa perawatannya, membantu pasien mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan untuk peran baru. Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga koping yang positif dalam menghadapi perubahan peran, perubahan peran pasien, anjuran kepada kelurga untuk memberikan dukungan serta mendiskusikan dengan pasien / keluarga perubahan peran yang terjadi. Hasil analisis menunjukkan setelah 12 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif dimana pasien mengungkapkan sudah mulai bisa menerima kondisinya, selalu berdoa kepada Allah SWT agar tetap diberi kekuaan dan kesehatan, akan melakukan tugasnya sebagai kepala keluarga sesuai kemampuan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
72
yang dimilikinya, akan rutin berobat dan melaksanakan cuci darah sesuai program pengobatan dan pasien terlihat lebih tenang 3.3.4 Mode adaptasi interdependensi Pada mode ini praktikan mengangkat satu diagnosa keperawatan, yaitu: 3.3.4.1 Koping tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi akibat penyakit kronis dan pengobatan yang lama dan kompleks; kurang pengetahuan tentang koping yang efektif. Koping individu tidak efektif adalah ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadap stressor, pilihan respon untuk bertindak secara tidak adekuat, dan / atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang tersedia. Karakteritiknya adalah : perubahan dalam pola kebiasaan komunikasi, ketidakmampuan untuk mengatasi masalah atau meminta bantuan secara verbal, ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan, penurunan penggunaan dukungan sosial (Wilkinson, 2007). Pengangkatan diagnosa ini didasarkan dari hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada Tn. SB ditemukan data bahwa : Pasien mengatakan masih belum percaya jika ia menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seumur hidup, masih sering kepikiran dan merasa sedih. Intervensi untuk mengatasi masalah koping tidak efektif pada Tn. SB adalah : Dukungan spiritual, komunikasi therapeutik, peningkatan koping dan konseling dengan aktifitas regulator dan kognator membantu pasien dalam pengembangan penilaian obyektif, mengidenstifikasi support system yang ada, membantu mengidentifikasi kemampuan dalam mengatasi stress, memberikan pujian atas koping positif, serta melibatkan anggota keluarga lainnya dalam memberikan dukungan kepada pasien sehingga dengan intervensi-intervensi tersebut koping pasien dapat meningkat. Hasil evaluasi akhir menunjukkan perilaku pasien adaptif dimana pasien mengatakan tetap bersyukur kepada Alloh SWT karena masih diberikan kemudahan dan biaya perawatan
ditanggung SKTM, Pasien
mengungkapkan istri, anak-anaknya, kerabat sopir angkutan serta tetangganya selalu mendoakan kesehatannya. Keluarga pasien (istri & anaknya) mengatakan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
73
bahwa suami / ayahnya sudah tidak sering melamun. Pasien terlihat lebih terbuka dalam berdiskusi dengan perawat & teman sekamarnya. 3.4
Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada 34 (tiga puluh empat) Kasus Kelolaan
Selama kegiatan praktek residensi kekhususan system perkemihan, praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy. Sebagaimana kasus kelolaan utama, praktikan juga melakukan asuhan keperawatan pada kurang lebih 33 kasus lainnya dengan gangguan system perkemihan, yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Kegawatan sistem perkemihan : 3 kasus; 2) renal disease : 14 kasus; 3) obstruksi : 11 kasus; 4) infeksi : 3 kasus; 5) neoplasma : 2 kasus (lampiran 1). Pada sub bab ini praktikan akan memaparkan tentang analisis hasil penerapan Teori Adaptasi Roy pada kasus-kasus dengan gangguan system perkemihan yang praktikan kelola berdasarkan klasifikasi/kategori kasus. 3.4.1 Mode Adaptasi Fisiologis 3.4.1.1 Kasus Kegawatan Sistem Perkemihan Dari 34 kasus yang dipaparkan, tiga diantaranya merupakan kasus kegawatan dalam sistem perkemihan. Kegawatan sistem perkemihan yang dialami oleh pasien adalah kondisi kelebihan volume cairan. Pada kasus kegawatan system perkemihan pasien CKD diagnosa keperawatan utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan. Masalah keperawatan tersebut diangkat karena berdasarkan data fokus yang ditemukan pada ketiga pasien mengalami sesak nafas, ronchi (+), edema ekstremitas derajat 3, ascites (+), JVP 5 + 3 cmH2O, produksi urin 100 - 200 cc/hari, dan hasil laboratorium menunjukkan ureum > 269 mg/dl, albumin <2,5 g/dl. Intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ini meliputi aktifitas regulator dan cognator, diantaranya dengan melakukan manajemen cairan,
manajemen
hipervolemia,
pemantauan
vital
sign,
pemeriksaan
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
74
laboratorium rutin, dan kolaborasi (medikasi dan tindakan hemodialisa cito). Keberhasilan intervensi untuk mengatasi masalah kelebihan volume cairan pada kasus kegawatan system perkemihan ini terletak pada penanganan yang cepat termasuk tindakan hemodialisa cito. 3.4.1.2 Kasus Renal Disease Pada kasus renal disease praktikan mengelola sebanyak 14 (enam belas) kasus yang terdiri dari kasus-kasus penyakit ginjal kronik stage V yang baru terdiagnosa maupun yang telah menjalani hemodialisa yang dirawat di ruang perawatan, dan pasien CKD yang telah hemodialisa rutin di unit hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati. Pada kasus renal disease ini dari pengkajian perilaku dan stimulus mode adaptasi fisiologis rata-rata pasien menunjukkan perilaku yang inefektif. Seperti halnya pada kasus utama, perilaku inefektif yang ditunjukkan oleh kasus renal disease ini terkait dengan penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan ginjal tidak mampu lagi melaksanakan fungsinya secara normal. Smeltzer dan Bare (2008) menyatakan bahwa gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia yang akhirnya mengganggu kerja system tubuh lainnya. Perilaku inefektif yang ditunjukkan oleh pasien-pasien renal disease ini sesuai dengan system tubuh yang terganggu dari masing-masing pasien tersebut. Diagnosa keperawatan yang muncul pada mode fisiologis pasien-pasien dengan kasus renal disease diantaranya adalah : 1) kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi akibat penurunan fungsi ginjal; 2) intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay dan demand oksigen akibat anemia dan kelelahan; 3) resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum, dan kelembaban kulit kurang yang kurang; 4) resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, mual; 5) resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan preload akibat overload cairan; gangguan pola
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
75
tidur berhubungan dengan respon kecemasan terhadap penyakit dan kebutuhan pengobatan; Dari semua diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus renal disease, khususnya CKD stage V, diagnosa keperawatan yang umumnya muncul adalah kelebihan volume cairan tubuh. Hal tersebut muncul karena pada penderita CKD stage V, ginjal telah mengalami penurunan fungsi, dimana laju filtrasi glomerulus dibawah 15 ml/mnt sehingga menyebabkan ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan cairan dari tubuh. Intervensi keperawatan spesifik yang diberikan pada masalah keperawatan ini meliputi manajemen cairan, manajemen hipervolemia, pemantauan vital sign, pemeriksaan laboratorium rutin, kolaborasi medikasi, dan pemberian edukasi tentang penyakit dan terapi yang harus dijalankan. Pada pasien CKD yang sudah rutin menjalankan terapi pengganti ginjal (hemodialisis), pemberian intervensi ditekankan pada bagaimana pasien agar mampu mengontrol dan mengelola kebutuhan cairannya sendiri, agar setiap kali hemodialisa tidak mengalami peningkatan berat badan diantara dua waktu hemodialisis > 5% dari berat badan kering. Pemberian intervensi ini meliputi pemberian informasi tentang bagaimana cara mengurangi haus pada pasien, yaitu dengan mengulum kepingan es batu secara periodik, mengunyah permen karet yang tidak mengandung glukosa, melakukan perawatan mulut yang sering, berkumur (salah satunya dengan larutan baking soda) dan mengatur asupan cairan yang ditentukan untuk 24 jam (Black & Hawks, 2005). 3.4.1.3 Kasus Obstruksi Pada kasus obstruksi, praktikan mengelola 11 kasus kelolaan yaitu: BPH, batu ginjal, striktur uretra, batu ginjal kiri, hidronefrosis bilateral e.c batu ginjal, batu cetak ginjal kanan, batu vesica. Hasil pengkajian perilaku dan stimulus menunjukkan rata-rata pasien memiliki perilaku inefektif pada mode fisiologis, yaitu pasien mengalami nyeri, perubahan pola eliminasi, dan resiko infeksi. Pada ketiga kasus kelolaan yang mengalami BPH, pasien dirawat di rumah sakit karena
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
76
mengalami retensi total, dan semuanya sudah menggunakan kateter lebih dari 1 bulan. Masalah utama yang muncul pada kasus obstruksi akibat BPH adalah perubahan pola eliminasi: retensi urin; nyeri akut berhubungan dengan peningkatan kontraksi ureteral dan atau tindakan pembedahan; Nyeri merupakan pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat kerusakan jaringan yang actual atao potensial, gigambarkan dalam istilah kerusakan (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan (Wilkinson, 2007). Sensasi nyeri dipersepsikan melalui dua cara: (1) cara cepat, melalui serabut saraf diameter besar dan akson bermielin, menimbulkan sensasi nyeri yang tajam, terlokalisasi baik, seperti tusukan, dan (2) cara lambat, melalui serabut saraf diameter kecil dan akson bermielin sedikit, menimbulkan sensasi nyeri yang menyebar (difus) seperti terbakar. Variasi sensasi nyeri dihasilkan dari integrasi potensial aksi yang berbeda-beda dari reseptor nyeri dan mekanisme nyeri yang tersimulasi. Pada kasus BPH, keluhan nyeri biasanya lebih diungkapkan pasien setelah pasien menjalani operasi Trans Uretral Resection Prostate (TURP). Pada kasus batu ginjal, proses peradangan atau iritasi yang tercetus akibat adanya batu pada saluran kemih dapat menjadi sumber timbulnya nyeri. Hal ini disebabkan oleh disekresikannya
mediator
kimia
kinin
dan
prostaglandin,
yang
selain
menyebabkan vasodilatasi juga merangsang reseptor nyeri (Seeley, 2004). Nyeri pada batu ginjal bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang bersifat kolik (ritmik), tergantung dari letak batu. Nyeri yang bersifat kolik biasanya terjadi apabila batu terletak di ureter atau dibawahnya. Jika terjadi hidronefrosis akut, biasanya akan terjadi kolik renalis dimana pasien akan mengalami nyeri hebat di daerah CVA (costo vertebra angle) pada sisi ginjal yang terkena, namun jika penyumbatan berkembang secara perlahan (hidronefrosis kronis) bisa tanpa menimbulkan gejala atau nyeri tumpul di daerah CVA.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
77
Intervensi spesifik yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri ini adalah dengan melakukan aktivitas regulator dan cognator yang meliputi: manajemen nyeri, manajemen lingkungan, pemantauan vital sign, pemberian edukasi tentang penyakit dan penyebab nyeri yang dirasakan serta kolaborasi pemberian analgetik. Intervensi mandiri manajemen nyeri meliputi latihan relaksasi seperti nafas dalam, guided imagery dan relaksasi otot progresif. Selain intervensi mandiri perawat, bagi pasien dengan nyeri sedang praktikan juga melakukan tindakan kolaborasi dalam pemberian analgetik (contoh: ultracet, asam mefenamat), sedangkan pada pasien post operasi dengan nyeri sedang sampai berat diberikan obat analgesic kuat, seperti tramadol. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien dapat menunjukkan perilaku adaptif pada hari ke-4 sampai hari ke-10 perawatan. Aktivitas regulator dan cognator
untuk mengatasi retensi urin pada pasien
obstruksi umumnya adalah dengan melakukan perawatan retensi urin, kateterisasi urin, perawatan kateter urin dan irigasi kandung kemih. Pada pasien obstruksi, terutama pasien BPH, sebelum kateter dilepas pasien juga diajarkan keagel exercise untuk menghindari kejadian inkontinensia urin akibat pemakaian kateter yang lama. Hasil evaluasi didapatkan rata-rata pasien BPH menunjukkan perilaku adaptif eliminasi urin pada hari ke-6 post operasi TURP. 3.4.1.4 Kasus Infeksi Kasus infeksi yang praktikan kelola adalah pyonefrosis akibat batu ginjal dekstra 2 kasus dan bilateral 1 kasus. Hasil pengkajian perilaku dan stimulus mode fisiologis pada ketiga kasus infeksi menunjukkan perilaku inefektif pada mode fisiologi yaitu adanya keluhan nyeri, dan perubahan pola eliminasi. Diagnosa utama yang praktikan angkat pada kasus ini adalah nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi dan perubahan pola eliminasi urin. Intervensi keperawatan dilakukan melalui aktifitas regulator dan cognator yang meliputi kegiatan manajemen nyeri, teknik relaksasi, perawatan kateter dan slang nefrostomi serta pencegahan infeksi. Hasil evaluasi menunjukkan perilaku adaptif
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
78
terhadap fungsi fisiologis sensasi nyeri dan eliminasi urin dicapai pada hari ke enam post operasi. 3.4.1.5 Kasus Neoplasma Pada kasus neoplasma, praktikan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan TCC buli sebanyak 2 orang. Perilaku yang ditunjukkan pada mode fisiologis adalah adanya retensi urin, pasien mengalami hematuria, dan adanya bekuan darah (stolsel) pada urin, sehingga akhirnya pasien juga mengeluh nyeri. Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada pasien TCC buli adalah perubahan pola eliminasi urin (retensi urin) berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik saluran perkemihan (tumor buli); dan Nyeri akut berhubungan dengan tindakan reseksi tumor bladder. Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan pola eliminasi adalah dengan melakukan perawatan retensi urin, irigasi kandung kemih dan manajemen eliminasi urin, yang meliputi kegiatan mengkaji kepatenan drainase urin, mempertahankan kepatenan kateter, memonitor intake dan output cairan, memonitor tanda dan gejala retensi urin dan kolaborasi dalam irigasi kandung kemih. Hasil evaluasi menunjukkan kedua pasien menunjukkan respon yang adaptif, dan siap menjalani program pengobatan kemoterapi, dan keduanya dapat
menunjukkan
perilaku adaptif
dengan
mengikuti prosedur
yang
direncanakan. 3.4.2 Mode Adaptasi Konsep Diri Dari 34 kasus yang praktikan kelola, rata-rata pasien menunjukkan perilaku inefektif pada mode konsep diri, dimana umumya pasien mengalami cemas dengan penyakitnya atau rencana pengobatan yang akan dijalaninya. Pada kelompok obstruksi umumnya pasien mengeluh cemas karena akan menjalani operasi, dimana bagi sebagian pasien, operasi yang akan dijalaninya merupakan pengalaman pertama bagi dirinya. Rata-rata tingkat kecemasan pasien obstruksi berada pada rentang cemas ringan sampai sedang.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
79
Tingkat kecemasan yang lebih tinggi dialami oleh pasien yang menderita penyakit terminal, renal disease dan TCC Buli. Pasien-pasien yang didiagnosa dengan gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seumur hidup mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan kasus infeksi dan obstruksi. Demikian juga halnya pasien TCC buli yang direncana operasi sistektomi membuat pasien mengalami cemas sedang sampai berat. Diagnosa keperawatan utama yang praktikan angkat pada mode adaptasi konsep diri dari semua kasus kelolaan umumnya adalah cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis & kebutuhan pengobatan serta krisis situasi. Intervensi yang praktikan lakukan guna meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator pada mode konsep diri ini umumnya meliputi pemberian edukasi tentang proses penyakit dan kebutuhan pengobatan, terapi relaksasi. Hasil evaluasi menunjukkan rata-rata pasien renal disease penurunan kecemasan terjadi antara hari ke-6 sampai hari ke-12 perawatan. Pasien obstruksi penurunan kecemasan terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-10 perawatan, pasien infeksi penurunan kecemasan terjadi pada hari ke-6 sampai hari ke-9 sedangkan pada pasien neoplasama penurunan kecemasan terjadi pada 2 minggu perawatan. Perbedaan pencapaian ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada pasien renal disease dan neoplasma umumnya pasien mengalami kondisi kesehatan yang lebih parah dan tidak menentu. Ditambah dengan kenyataan bahwa pasien harus menjalani cuci darah seumur hidup
3.4.3 Mode Adaptasi Fungsi Peran Dari 34 kasus yang praktikan kelola, umumnya pasien yang mengalami perilaku inefektif pada mode fungsi peran ini adalah pasien dengan CKD stage V. Penyakit ginjal kronis membuat penderitanya mengalami berbagai ketidakmampuan, sehingga membuat pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama dibandingkan pasien lainnya, terkadang membuat pasien harus kehilangan pekerjaannya, karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan ia bekerja dengan optimal. Kondisi ini membuat pasien mengalami gangguan dalam Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
80
menjalankan perannya, baik peran sebagai kepala keluarga, karyawan ataupun yang lainnya. Intervensi keperawatan yang praktikan lakukan untuk meningkatkan mode adaptasi fungsi peran adalah dengan meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator pasien, yaitu dengan : membantu pasien mengidentifikasi berbagai peran dalam
hidupnya, membantu pasien mengidentifikasi ketidakmampuan
peran, membantu pasien mengidentifikasi peran baru sesuai kemampuan pasien, membantu pasien mengidentifikasi strategi positif untuk menjalani peran baru, dan sebagainya. Hasil evaluasi menunjukkan perilaku adaptif rata-rata dicapai pasien pada hari ke-7 sampai hari ke-12 perawatan. 3.4.4 Mode Adaptasi Interdependensi Dari 34 kasus yang praktikan kelola hanya beberapa pasien saja yang mengalami perilaku inefektif pada mode ini dan umumnya adalah pasien dengan renal disease. Tindakan hospitalisasi membuat pasien renal disease harus berjauhan dengan keluarganya untuk waktu yang cukup lama, sehingga membuat pasien tidak bisa memberikan perhatian dan kasih sayang pada keluarga terdekatnya. Seperti yang dikeluhkan oleh Tn. GM, dimana pasien sering memikirkan anaknya satu-saunya yang masihbalita yang harus ditinggalkan bersama neneknya di rumah karena isterinya harus menunggui dirinya di rumah sakit. Ketidakmampuan fisik dan ketergantungan seumur hidup pada tindakan dialysis juga sering membuat pasien renal disease mengalami kecemasan berat, sehingga membuat pasien menjadi pribadi yang lebih sensitive, mudah tersinggung dan kadang menjadi pemarah, dari beberapa pasien yang sudah menjalani hemodialisi lebih dari 5 tahun didapatkan gambaran bahwa mereka terkadang sangat sensitive terhadap hal-hal yang sebenarnya sepele seperti yang diungkapkan oleh Ny. SW, Ny. YA, Tn. NS dan Tn. YR.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
81
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan mekanisme koping regulator dan cognator pada mode ini adalah dengan melakukan family support, dan coping enhancement. Hasil evaluasi pada pasien kelolaan secara keseluruhan menunjukkan adanya perubahan perilaku pada pasien, perilaku yang tadinya inefektif akhirnya menjadi adaptif, walaupun rentang waktu yang dicapai untuk menunjukkan perilaku adaptif oleh pasien berbeda-beda. Keberhasailan sangat ditentukan tingkat kemauan dan motivasai pasien itu sendiri dan persepsi pasien dan kelaurga terhadap penyakit. Disamping supor keluarga terdekat juga sangat mendukung keberhasilan penyelesaian masalah yang muncul. Penerapan Teori Model Adaptasi Roy terhadap 34 kasus kelolaan dapat disimpulkan bahwa pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik, karena teori ini memperhatikan seluruh aspek baik fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Praktikan selama menjalankan praktik residensi tidak menemukan kendala yang berarti dalam penerapan Teori Adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pasien dengan berbagai gangguan pada sistem perkemihan, karena proses adaptasi sendiri merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Intervensi keperawatan yang praktikan lakukan dalam membantu pasien mencapai kemampuan adaptasinya adalah dengan menggabungkan intervensi dalam Teori Adaptasi Roy dengan Nursing Intervention Criteria (NIC) dan Nursing Outcome Criteria (NOC) yang selalu diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan. Intervensi yang ada dalam NIC dan NOC itu tidak memerlukan modifikasi yang luas/banyak, karena kenyataannya intervensi NIC itu sendiri terdiri dari aktivitasaktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan aktivitas regulator dan cognator dalam Teori Adaptasi Roy.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
82
Taksonomi yang ada dalam NIC, intervensi keperawatan digunakan untuk masalah dalam 7 domain, yaitu: fisiologis dasar, fisiologis kompleks, perilaku, keamanan, keluarga, sistem kesehatan dan komunitas. Taksonomi tersebut tidak jauh berbeda
dengan taksonomi model adaptasi Roy, yang merumuskan
intervensi keperawatan untuk meningkatkan mekanisme koping dalam 4 model adaptasi, yaitu model adaptasi fungsi fisiologis, model adaptasi konsep diri, model adaptasi fungsi peran dan interdependensi. Jika dikelompokkan dalam Teori Adaptasi Roy, taksonomi NIC fisiologis dasar dan kompleks serta keamanan masuk dalam model fisiologis; taksonomi perilaku dapat dimasukkan dalam model konsep diri, taksonomi keluarga, sistem kesehatan dan komunitas masuk dalam model fungsi peran dan interdependensi. Tujuan akhir dari penerapan Teori Adaptasi Roy adalah membantu pasien agar dapat mencapai perilaku adaptif dalam menghadapi stimulus yang ada. Pada pasien yang dapat mencapai perilaku adaptif setelah diberikan perawatan, perawat dapat tetap dengan rencana yang telah dibuat, namun jika respon perilaku tidak efektif, maka perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap intervensi yang telah dilakukan dan kemungkinan perlu dikembangkan atau diberikan intervensi lain yang lebih dapat meningkatkan perilaku adaptif pasien. Akhirnya, praktikan merekomendasikan agar asuhan keperawatan dengan pendekatan Teori Adaptasi Roy hendaknya dapat diterapkan pada pelayanan perawatan di klinik. Karena itu, perlu ditingkatkan kemampuan perawat dalam megkaji perilaku adaptif dan inefektif yang muncul pada pasien serta pengkajian stimulus baik fokal, kontekstual maupun residual yang mempengaruhi perilaku adaptif dari pasien selama dalam perawatan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 4 PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN Bab ini menguraikan Pengalaman praktikan selama menjalani praktek residensi di RSUP Fatmawati dalam menjalankan peran melakukan parktik mandiri berbasis fakta tentang exsercise / latihan intradialisis terhadap adekuasi hemodialisis (dalam menurunkan kadar ureum kreatinin pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta. Hemodialisis adalah prosedur pembersihan darah melalui suatu ginjal buatan dan dibantu pelaksanaannya oleh semacam mesin (Lumenta, 1992). Hemodialisis sebagai terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Hemodialisis merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam program penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik (Smeltzer, 2001). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermiable menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer, 2001). Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan hemodialisis disebut adekuasi hemodialisis. Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat dengan criteria antara lain : keadaan umum dan nutrisi yang baik, tekanan darah normal, tidak ada gejala akibat anemia, tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa, metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal, tidak didapatkan komplikasi akibat uremia, kualitas hidup yang memadai (www.kidney, 2012).
83 Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
84
Pencapaian adekuasi hemodialisis dapat tercapai dengan mengoptimalkan faktor internal pasien dan faktor eksternal. Faktor internal pasien diantaranya kemauan pasien untuk tetap menjalankan program therapy yang sudah ditetapkan misalnya pembatasan minum, mematuhi program diet serta kepatuhan pasien dalam mengikuti hemodialisis sesuai program yang telah dicanangkan. Sedangkan faktor ekternal yang berkontribusi terhadap pencapaian adekuasi hemodialisa adalah waktu atau lama pelaksanaan hemodialisis, kecepatan aliran mesin hemodialisa, dan banyaknya cairan yang akan dikeluarkan dari pasien. Selama menjalani hemodialisis pasien diupayakan melakukan hal-hal yang mampu meningkatkan aktulisasi dirinya, atau bahkan ada aktifitas yang mampu membantu optimalisasi pelaksanaan hemodialisis, misalnya latihan fisik (exercise) intradialisis. Dasselaar,
Huisman dan Franssen (2004), mengukapkan bahwa
latihan selama hemodialisis dapat meningkatkan kekuatan otot, fungsi mental dan fisik, serta efisiensi dialisis. Latihan jasmani atau regular physical activity memberikan beberapa manfaat pada pasien-pasien (End Stage Renal Disease) ESRD, diantaranya adalah menurunkan resiko mortalitas kardiovaskular, pada pasien hipertensi akan mempermudah kontrol tekanan darah, pada pasien diabetes akan memperbaiki kadar gula darah, dan juga memperbaiki kwalitas hidup karena adanya perbaikan kondisi kejiwaan dan fungsi fisik. Exercise bagi pasien CKD akan dapat meningkatan kemampuan dalam beraktifitas dengan dioptimalkannya otot-otot ekremitas sehingga mampu memberikan dampak terhadap kelancaran aliran darah sebagai akibat dari relaksasi dan kontraksi otot. Saat ini pasien yang sedang menjalani HD di Ruang Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati tidak banyak melakukan kegiatan yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesehatan, hal sering yang dilakukan adalah menonton televisi, tidur-tiduran atau ngobrol dengan yang lainnya. Berdasarkan dokumen keperawatan yang ada adekuasi masih perlu ditingkatkan, waktu jam pelaksanaan hemodialis rata-rata 4 jam.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
85
Hasil wawancara dengan para perawat yang ada di ruang hemodialisa terkait upaya peningkatan adekuasi, mereka sangat mendukung bila ada satu cara untuk mengoptimalkannya.
Berkenaan
dengan
hal
tersebut
maka
praktikan
melaksakanan inovasi penerapan exersice intra dialysis, sebagai salah satu cara dalam meningkatkan adekuasi hemodialisa terkait pengeluaran ureum kreatinin. Pertimbangan yang memperkuat pelaksanaan inovasi ini dilaksanakan antara lain : Pendidikan staf ruang HD D3 Keperawatan dan S1 keperawatan, seluruh staf telah mengikuti pelatihan hemodialisis, staf yang kompak dan mampu bekerja sama dengan baik, di ruang HD tersedia 20 mesin hemodialisis yang siap melayanan pasien, pasien bersedia bekerja sama dengan dengan tim kesehatan, tindakan hemodialisis 2 kali sehari untuk hari senin s/d jumat, 1 kali sehari untuk hari sabtu. dan mulai bulan Mei 2012 hari Sabtu dilaksanakan HD 2 kali shif. Berdasarkan hal tersebut praktikan kemudian menginplemantasikan tentang inovasi exercise intra dialiasi di Ruang Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta. 4.1. Hasil Jurnal Reading (Critical Review) Beberapa hasil penelitian terkait exersice selama hemodialisis adalah sebagai berikut. 4.1.1. Exercise Training During Hemodialysis Improves Dialysis Efficacy and Physical Performance. Parsons, et all. (2006) Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dampak dari intradialytic program latihan, yang terdiri dari 60 menit kumulatif durasi, intensitas rendah latihan selama 2 jam pertama dialisis, terhadap kemanjuran dialisis, kinerja fisik, dan kualitas kehidupan dalam perawatan diri pasien hemodialisis (HD). Subyek dari penelitian adalah 13 pasien HD pasien yang stabil kondisinya, dialisis selama minimal 6 bulan dengan kesehatan, paru dan system muskulosketelal yang baik untuk olahraga. Metode yang digunakan One-group repeated measures.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
86
Tehnik pelaksanaan penelitian ini adalah latihan intradialytic selama 5 bulan di dimana subjek dilakukan 3 kali seminggu (ergometer siklus, mini stepper) selama 30 menit dalam setiap 2 jam pertama HD. Hasil utama ukuran: optmalisasi Dialisis (dalam satu kolam model urea kinetika [spKt / V]) dinilai sebelum dan pada akhir setiap bulan dari program latihan. dan kualitas hidup. (Penyakit Ginjal Kualitas Hidup-Short Form [KDQOL]) adalah ditentukan pada awal dan pada minggu 10 dan 20 dari latihan program. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebuah program latihan intensitas rendah intradialytic adalah terapi tambahan yang layak, yang meningkatkan efikasi HD dan fungsi fisik pada pasien HD. 4.1.2. The effect of on exercise program training during hemodialysis on dialysis efficacy, blood pressure and quality of life in stage renal disease (ESRD) patien. Parson, Toffelmere dan King (2004) Peneliitian ini untuk mengetahui apakah program latihan selama dialysis pada pasien CKD dapat meningkatkan penghapusan urea (meningkatkan efektivitas dialysis). Subyek penelitian dilakukan terhadap 6 pasien yang sedang menjalani hemodialisis dengan metode One group pre test post test. Tehnik pelaksanaan dari penelitian ini adalah pasien melakukan siklus ergometri 3x kali perminggu selama 15 menit pada 3 jam pertama dialysis. Ureum diukur selama 2 jam pertama dialisa. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa latihan selama dialysis dapat meningkatkan penghapusan ureum dan olah raga selama dialisis sangat dianjurkan. 4.1.3. Physiological effect of exercise during dialysis on chronik renal failure patients. Raymond (2004) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui effect hemodialisis
terhadap
pengeluaran
ureum dan
ureum
exercise selama rebound
setelah
hemodialisis. Dilaksanakan terhadap 15 pasien hemodialisis (7 perempuan, 8 lakilaki) dengan menggunakan metode quasi eksperiment. Tehnik pelaksanaan pasien melakukan latihan mengayuh sepeda selama 30 menit kemudian dievaluasi Nadi, sistol diastole dan MAP serta dilakukan pengukuran ureum sebelum dan sesudah
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
87
latihan terhadap pasien intervensi maupun control. Hasil yang didapatkan pada penelitian iini adalah ada perbedaan yang bermakna terhadap ureum. 4.1.4. The effect of exercise during haemodialysis on solute removal. Kong, et all. (1999) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aliran darah dalam otot rangka dengan latihan selama dialysis terhadap pengapusan ureum, kreatinin dan kalium. Penelitian di lakukan terhadap Sebelas pasien (usia 32-78 tahun), telah menjalani
hemodialisis
selama
(4-58
bulan)
dipelajari
pada
sesi
dialisis dipasangkan. Satu dengan olahraga dan yang lainnya sebagai control. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperiment. Tehnik pelaksanaan dari penelitian ini adalah pasien melakukan latihan mengayuh sepeda selama 30 menit kemudian dievaluasi nadi, sistol diastole dan MAP serta dilakukan pengukuran ureum
sebelum dan sesudah latihan. Terhadap pasien intervensi
maupun control. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tedapat perbedaan yang bermakna terhadap ureum.
4.2. Pelaksanaan Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Praktikan melaksanakan Evidence Based Nursing, exersice intradialisis terhadap adekuasi hemodialisis (dalam menurunkan kadar ureum kreatinin) pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Jakarta berupa latihan mengguakan sepeda statis. Kegiatan EBN diawali dengan meminta izin melaksanakan praktek di unit hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati antara lain kepada Ka Ruangan Hemodialisis dan Ka. Instalasi Pelayanan dan Pemeriksaan Khusus (IP2K), kemudian setelah mendapatkan izin praktek maka praktikan menjelaskan rencana program latihan exersice intradialisis dengan menggunakan seeda statis kepada tim kesehatan yang ada di pelayanan dengan harapan dapat meneruskan program latihan yang akan dilakukan. Pasien yang terlibat dalam EBN ini sejumlah 18 orang, dengan perincian 9 orang pada kelompok control (tanpa intervensi) exersice intradialisis dan 9 orang pada
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
88
kelompok intervensi exersice intra dialysis dengan kondisi status hemodinamik stabil, pasien menggunakan akses doble lumen atau dilakukan pemasangan cemino. Karakteristik pasien pada kelompok exersice dan kelompok non exersice relatif sama yaitu hemodialisisa dilakukan 2 x seminggu, menggunakan mesin presineus, alat dialyzer dengan merk yang sama serta QB 230 – 250. Kegiatan diawali dengan menjelaskan dan mendemontrasikan cara penggunaan sepeda statis selama pasien hemodialisis, kemudian pasien dianjurkan mencobanya. Latihan dilakukan selama dua minggu saat pasien menjalani hemodialisis sesuai jadwal dengan lama latihan 60 menit dilaksanakan pada jam ke 3 atau ke 4 hemodialisis. Kemudian pada minggu ketiga pelaksanaan latihan dilakukan pemeriksaan ureum kreatinin pre dan post hemodialisis, pada kelompok exersice intradialysis dan kelompok
yang tidak dilakukan exersice intradialysis.
Penghitungan adekuasi dilakukan dengan formula Urea Reduction Ratio (URR), adekuasi dikata baik bila URR > 60 %. Gambar 4.1. Sepeda statis yang digunakan exersice intra dialysis
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
89
Berikut hasil penerapan EBN di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta. Tabel. 4.1. Evalusi nilai ureum kreatinin kelompok pasien yang dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pre hd
NAMA
Ny. BH Tn. AA Ny. KU Ny. AW Tn. FJ Ny. SW Ny. SY Ny. JR Tn. WY Rata Rata
Post hd
Penurunan
Ureum
Kretinin
Ureum
Kretinin
Ureum
Kretinin
Adekuasi (%)
253 178 154 255 238 205 218 208 208 213.00
6.9 17.5 9.9 12.7 15.9 12.2 12.1 15.7 13.9 12.98
54 36 43 51 42 41 51 51 58 47.44
2.7 4.4 3.4 3.1 5.6 2.6 3.4 4.6 4.7 3.83
199 142 111 204 196 164 167 157 150 165.56
4.2 13.1 6.5 9.6 10.3 9.6 8.7 11.1 9.2 9.14
78.66 79.78 72.08 80.00 82.35 80.00 76.61 75.48 72.12 77.45
Tindakan latihan dengan menggunakan sepeda statis terhadap 9 pasien yang terdiri dari 3 pasien laki-laki dan hemodialisis. Rata-rata ureum
6 pasien perempuan yang menjalani
pre dialysis 213, kreatinin pre dialysis 12,98.
Sementara rata-rata ureum post dialysis 47.44, kreatinin post dialysis 3.83. Dengan demikian terdapat penurunan kadar ureum rata-rata 165.56 point dan kreatinin rata-rata 9.14 point serta adekuasi hemodialisa 77.45 %. Tabel. 4.2. Tabel evalusi nilai ureum kreatinin kelompok pasien yang tidak dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pre hd
NAMA
Tn. HS Tn. MH Tn. ZY Ny. MR Tn. IK Ny. ST Tn. BS Ny. HS Ny. YM Rata Rata
Post hd
Penurunan
Ureum
Kretinin
Ureum
Kretinin
Ureum
Kretinin
Adekuasi (%)
152 154 201 208 101 118 148 152 139 152.56
12.9 11.5 9.8 7.3 7.1 4.8 10.7 12.9 9.3 9.59
60 62 71 73 56 39 45 60 39 56.11
5.1 4.8 4.6 3 4.6 1.8 3.6 5.1 3.1 3.97
92 92 130 135 45 79 103 92 100 96.44
7.8 6.7 5.2 4.3 2.5 3 7.1 7.8 6.2 5.62
60.53 59.74 64.68 64.90 44.55 66.95 69.59 60.53 71.94 62.60
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
90
Pada kelompok pasien yang tidak dilakukan exersice intradialisis, terdiri dari 5 pasien laki-laki laki dan 4 pasien perempuan perempuan, memiliki rata-rata rata ureum pre dialysis 152.56, 56, kreatinin pre dialysis 9.59. Sementara rata-rata rata ureum post dialysis 56.11, 11, kreatinin post dialysis 33.97. Dengan demikian terdapat erdapat penurunan kadar ureum rata-rata 96.44 44 point dan kreatinin rata-rata 5.62 point serta adekuasi hemodialisa 62.60 %. Grafik. 4.1. Nilai rata rata-rata ureum kreatinin kelompok pasien yang dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
250
213
200 150 100
pre post
47.44
50
12.79 3.38
0 ureum
kreatinin
Grafik. 4.2. Nilai rata-rata rata ureum kreatinin kelompok pasien yang tidak dilakukan exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
160 140 120 100 80 60 40 20 0
152.56
pre
56.11
post 9.59 3.97
ureum
kreatinin
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
91
Grafik.. 4.3. 4. Nilai rata-rata adekuasi hemodialisa kelompok pasien exercise intradialisis dan kelompok pasien non exercise intradialisis di Unit Hemodialiasa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta
77.45 62.60
exercise non exercise
4.3. Pembahasan. Latihan jasmani atau regular physical activity memberikan beberapa manfaat pada pasien-pasien pasien ESRD (End Stage Renal Disease), diantaranya adalah menurunkan resiko mortalitas kardiovaskular, pada pasien hipertensi akan mempermudah kontrol tekanan darah, pada pasien diabetes akan memperbaiki kadar gula darah, dan juga memperbaiki kwalitas hidup karena adanya perbaikan kondisi kejiwaan dan fungsi fisik. Di Amerika serikat diketahui bahwa penyebab kematian terbanyak pada pasien ESRD adalah kematian sehubungan dengan kardiovaskular dan hampir 80 % pasien ES ESRD RD mempunyai riwayat hipertensi, karenanya latihan jasmani sangat potensial menurunkan mortalitas pada populasi ini. Rizzioli, et al. (2004) menyarankan bahwa exercise selama pengobatan dialisis aman dan baik bagi kinerja psikofisik serta mampu meningkatk meningkatkan an efisiensi dialytic lebih baik (p <0,005). Hal senada juga disampaikan oleh Parsons, Parsons wt al. (2004) bahwa exercise selama dialisis mampu meningkatkan penghapusan ghapusan urea serum. Hal ini juga dianjurkan bahwa exercise selama dialisis dilakukan selama 2 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
92
jam pertama dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh Johansen (2007), mengungkapkan bahwa efek dari exercise pada pasien dengan CKD, berdampak pada peningkatan kualitas hidup menjadi lebih baik. bahwa exercise dapat meningkatkan banyak indikator fungsi fisik, seperti kebugaran, massa otot, fisik kinerja. Dilain pihak bahwa exercise dapat meningkatkan pengelolaan hipertensi, mengurangi peradangan, dan memperbaiki fungsi endotel. Selama pelaksanaan EBN ini tidak ada pasien yang mengalami gangguan / masalah dalam menjalankan latihan menggunakan sepeda statis, hal ini menggambarkan bahwa latihan ini aman dilakukan pada pasien hemodialisis, tentunya
dengan kriteria pasien dengan hemodinamik stabil, akses vaskuler
ketika menjalani hemodialisa adalah melalui dobel lumen atau cemino. Bagi pasien yang menggunakan akses vaskuler femoralis, tekanan darah yang tidak stabil / hipertensi, dan keluhan sesak yang hebat merupakan kontra indikasi untuk melakukan latihan ini. Pada hasil penilaian yang dilakukan pada kelompok intervensi didapatkan penurunan rata-rata yang signifikan yaitu kadar ureum rata-rata 165.56 point dan kreatinin rata-rata 9.14 point serta adekuasi hemodialisa 77.45 %, sedangkan pada kelompok control didapatkan penurunan kadar ureum rata-rata 96.44 point dan kreatinin rata-rata 5.62 point serta adekuasi hemodialisa 62.60 %. Dengan demikian terdapat perbedaan pencapaian adekuasi hemodialisa sebesar 14.85 %. Pelaksanaan esercise intradialisis akan berdampak pada peningkatan pelebaran vaskuler, hal ini akan meningkatkan kapasitas volume vaskuler dalam mengantarkan zat-zat sisa metabolism ke mesin hemodialisis sehinga clearance lebih maksimal. Lung R (2004), dalam penelitiannya tentang Physiological effects of exercise during dialysis on chronic renal failure patients dengan metode quasi experiment terhadap 15 pasien hemodialisis (7 perempuan, 8 laki-laki) didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap ureum yaitu 20 %. Demikian juga halnya penelitian oleh Parsons et all (2006), Exercise Training During Hemodialysis Improves Dialysis Efficacy and Physical Performance terhadap 13
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
93
pasien yang sedang menjalani hemodialisis dengan metode One group repeated measures. Hasil penelitian ini adalah program latihan intensitas rendah selama intradialitic dapat meningkatkan adekuasi HD dan fungsi fisik pasien. Pada pelaksanaan EBN ini belum bisa mencapai hasil yang maksimal seperti yang dilakukan oleh penelitian Lung R (2004) yang mencapai perbedaan 20 % antara yang melakukan exercise dan yang non exersice, Perbedaan hasil yang praktikan dapatkan pada EBN ini sebesar 14.85 %, hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunakan sepeda statis yang praktikan gunakan adalah tanpa tahanan / beban, serta lama pelaksanaan exercise rata-rata 60 menit yang dilakukan pada jam ketiga atau keempat pelaksanaan HD. Berdasarkan pengalaman praktikan dalam menerapan EBN ini dapat disimpulkan bahwa latihan selama hemodialisis dengan menggunakan sepeda statis dapat meningkatkan penurunan kadar ureum dan kratinin, sehingga latihan selama hemodialisis dapat digunakan sebagai terapi mengatasi optimalisasi pengeluaran ureum kretinin pasien hemodialisis.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 5 KEGIATAN INOVASI PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
Pelaksanaan kegiatan inovasi ini dilakukan dalam rangka melaksanakan peran dan fungsi sebagai perawat spesialis yaitu sebagai leader / pemimpin harus memiliki kemampuan kepemimpinan klinik dalam memberikan asuhan keperawatan, sebagai role model, narasumber, fasilitator, koordinator, dan advokat baik bagi pasien maupun perawat ruangan. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk membuat suatu perubahan / inovasi pada pelaksanaan asuhan di pelayanan sehingga kualitas asuhan keperawatan yang diberikan menjadi lebih optimal. 5.1. Analisa situasi RSUP Fatmawati Jakarta adalah Rumah Sakit vertikal tipe A Pendidikan dibawah Kementrian Kesehatan yang memiliki tugas pokok menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi perumahsakitan di Indonesia khususnya di wilayah Jakarta Selatan, melalui upaya pelayanan kesehatan promotif, kuratif, preventif dan rehabilitative secara terpadu terpadu. RSUP Fatmawati telah menempuh berupaya dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, dengan perkembangan pelayanan kesehatan bagi penderita gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan hemodialisis. Hal ini tercermin dari perkembangan ketersedian sarana dan prasarana serta SDM dalam pemberian pelayanan Hemodialisis. Unit Hemodialisa merupakan pelayanan penunjang yang berada dalam kendali Istalasi Pemeriksaan dan Pelayanan Khusus (IP2K) RSUP Fatmawati. Saat ini Unit hemodialisa tersedia 20 unit mesin hemodialisa yang terdiri dari 10 jenis presineus dan 10 jenis Nipro. Pelayanan kegiatan hemodialisis dilakukan selama jam kerja dan diluar jam kerja bila ada permintaan kegiatan cito, lama waktu yang diberikan selama pelaksanaan hemodialisis adalah 4 jam setiap kali hemodialisis. Mulai bulan mei 2012 pelayanan hemodialisa yang semula hari sabtu hanya shiff pagi, saat ini mulia dibuka shiff sore. SDM Perawat Unit Hemodialisis berjumlah 23 orang dengan sertivikasi pelatihan hemodialisis. Kegiatan hemodialisis dilakukan 2 shiff, yaitu shiff pagi (jam 07.00
94 Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
95
s/d jam 13.00) dan shiff sore (jam 11.00 s/d 20.00). Dalam setiap shiff bertugas sebanyak 6 orang, serta tersedia jadwal petugas cito yang diambil dari petugas yang jaga saat itu terutama yang bertugas shiff sore. Pasien yang menjalani therapy hemodialisis di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati sekitar 110 pasien, baik yang sudah terjadwal atau yang belum sebagian besar adalah gagal ginjal stage 5 yang diakibatkan oleh penyakit Diabetus Militus dan penyakit hipertensi. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa pasien yang sedang menjalani hemodialisis bahwa pemberian informasi secara lisan berupa pembatasan cairan, makan yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi telah diberikan oleh SDM Perawat HD ketika, namun pelaksanaannya belum terstruktur dengan baik mulai dari penjadwalan akan kebutuan informasi kesehatan, tidak ada leflet atau bahan bacaan yang dapat dapat memperjelas informasi yang disampaikan, serta belum dioftimalkannya penggunaan ruang edukasi bagi pasien hemodialisis. Disamping itu data yang didapat terkait pengaturan cairan didapatkan bahwa peningkatan berat badan diantara dua waktu hemodialisis cukup besar yaitu berkisar diantara 2 kg – 3,5 kg, bahkan ada yang mencapai 5 kg. 5.2. Analisa penerapan inovasi Analisa situasi ruangan hemodialisa RSUP Fatmawati dilakukan untuk mengatahui sejauh mana penerapan inovasi ini dapat berjalan dengan baik, dengan menggunakan analisa SWOT. 5.2.1. Strength (kekuatan) a. Pendidikan D3 Keperawatan dan S1 keperawatan b. Memiliki SDM perawat yang semuanya telah mengikuti pelatihan hemodialisis. c. Memiliki team kerja yang kompak dan mampu bekerja sama dengan baik. d. Terdapat dr On site selama hemodialisis e. SDM hemodialisis ingin ada perubahan kearah baik dalam pelayanan hemodialisis
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
96
f. Sebagian besar pasien cara bayar dengan sistem Jaminan. g. Tersedia Televisi yang bisa dikoneksikan dengan CD player sebagai media edukasi. 5.2.2. Weaknes (kelemahan) a. Pelaksanaan lama waktu hemodialisis 2 kali seminggu hanya 4 jam. b. Edukasi terkait diit dan pengaturan cairan belum terstruktur. c. Belum mempunyai tim edukasi hemodialisis. d. Belum tersedia materi edukasi terkait diit dan pengaturan cairan. e. Tidak tersedia leflet edukasi mengenai hemodialisa f. Tenaga konseling gizi belum tersedia di ruang hemodialisis 5.2.3. Oportunity (kesempatan) a. Tindakan hemodialisis 2 kali sehari untuk hari senin s/d jumat, 1 kali sehari untuk hari sabtu. Direncanakan mulai bulan april sabtu 2 kali. b. Pendikan berkelanjutan bagi SDM. (Karu mengikuti S1 Keperawatan). c. Tersedia 20 mesin hemodialisis yang siap melayanan pasien. d. Pasien bersedia bekerja sama dengan dengan tim kesehatan. e. Tersedia fasilitas untuk edukasi baik ruang edukasi ataupun media elektronik 5.2.4. Threat (ancaman) a. Pasien rata-rata memiliki kenaikan berat badan diantara dua hemodialisis 2,5 -3 kg. 5.3. Kegiatan Inovasi 5.3.1. Kontrak pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kegiatan ini diawali dengan pencarian fenomena masalah keperawatan yang ada di Unit Hemodialisis RSUP Fatmawati terkait program inovasi
yang
akan
dilakukan.
Praktikan
melakukan
identifikasi
dan
mendiskusikan fenomena yang ditemukan dengan kepala ruangan dan beberapa perawat primer, dan ternyata apa yang ditemukan praktikan juga dirasakan oleh perawat primer dan kepala ruangan. Mereka mengungkapkan bahwa masalah
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
97
pengaturan diit dan cairan pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis melalui edukasi terstruktur perlu dioptimalkan, sehingga kegiatan ini menjadi program kerja perawat di Unit Hemodialisis yang nantinya bisa terbentuk tim edukasi hemodialisis. Setelah melakukan diskusi dengan kepala ruangan, CI (Clinical Instructure) Klinik dan Supervisor , akhirnya disepakati untuk membuat suatu program penerapan edukasi dengan menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis. Selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan bimbingan mengenai proposal kegiatan inovasi yang akan dilakukan (dengan pembimbing akademik), pembimbing klinik di pelayanan, serta pendekatan dengan pihak struktural (kepala ruangan dari seluruh ruang rawat yang terkait). Kemudian dilakukan kontrak pelaksanan kegiatan dengan kepala ruangan dan staf perawat di Unit Hemodialisis. 5.4. Desiminasi awal program inovasi Program desiminasi awal dimulai dengan pembuatan proposal kegiatan program inovasi dan media yang diperlukan untuk pelaksanaan program inovasi mengenai penerapan edukasi dengan menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis, yang selanjutnya disosialisasikan kepada kepala ruangan dan staf serta dokter penanggung jawab di Unit Hemodialisis IP2K RSUP Fatmawati Desiminasi awal program inovasi dilakukan dengan presentasi mengenai rencana program inovasi yang dilaksanakan di Unit Hemodialisis pada hari Jumat, tanggal 27 April 2012, pukul 09.00 s/d 10.00 WIB. Presentasi program inovasi dilakukan selama 1 jam, terdiri pembukaan (5 menit), presentasi (15 menit), tanya jawab (35 menit), dan penutup (5 menit). Kegiatan dihadiri oleh Ka. Komite Keperawatan, Pembimbing Klinik, Supervisor, kepala ruangan HD, Staf perawat HD. Adapun isi diskusi presentasi inovasi terdiri atas; a. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan inovasi ini?
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
98
Pada tahap awal, praktikan melakukan identifikasi pasien hemodialisis sesuai dengan kriteria responden yang ditentukan.
Tahap berikutnya adalah praktikan membuat kontrak waktu pelaksanaan edukasi.
Pelaksanaan edukasi berupa pemutaran video di ruangan hemodialisis yang akan dilakukan saat hemodialisis berlangsung dalam waktu 30 menit dan dilakukan sebanyak 1 minggu 2 kali selama 2 minggu setiap hari selasa dan jum’at.
Peserta edukasi terdiri dari responden dan anggota keluarga
Inovasi dilakukan dengan memberikan pendidikan kesehatan terkait pengauran diet dan cairan pada pasien yang sedang menjalani hemodialisis, melalui pemutaran video dengan materi pengaturan diet dan cairan serta penambahan materi exersice selama hemodialisis berlangsung. Kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama dengan perawat hemodialisis, terutama yang bertugas di unit pelayanan hemodialisis (fresineus).
Setelah 2 minggu pelaksanaan, praktikan kembali mengevaluasi hasil pemeriksaan biokimia responden meliputi albumin, ureum, kreatinin, kolesterol serta pengukuran berat badan. Pada tahap akhir, praktikan melakukan evaluasi dan melakukan analisis hasil yang dicapai. Setelah hasil penerapan inovasi diperoleh, selanjutnya praktikan melakukan sosialisasi hasil inovasi kepada staff Rumah Sakit atau ruangan dan membuat rencana selanjutnya
b. Saran dan masukan dari pembimbing klinik dan supervisor a. Materi edukasi videdo terkait pengaturan diit dan cairan harap disesuaikan kontek materi dengan gambar yang ditampilkan. b. Penggunaan bahasa disesuaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien dan keluarga. c. Gambar yang ditampilkan hendaknya memberikan informasi yang mudah dilaksanakan dalam keaan riil di kehidupan pasien dan keluarga.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
99
5.5. Melaksanakan program inovasi Kegiatan program inovasi berlangsung selama 2 minggu, tanggal 30 April s/d 11 Mei 2012. Pelaksanaan inovasi terdiri dari prosedur sebagai berikut: 5.5.1. Melakukan identifikasi pasien hemodialisis sesuai dengan kriteria responden yang ditentukan. 5.5.2. Praktikan membuat kontrak waktu pelaksanaan edukasi. 5.5.3. Pelaksanaan edukasi berupa pemutaran video di ruangan hemodialisis yang akan dilakukan saat hemodialisis berlangsung dalam waktu 30 menit dan dilakukan sebanyak 1 minggu 2 kali selama 2 minggu setiap hari senin dan kamis. 5.5.4. Peserta edukasi terdiri dari responden dan anggota keluarga 5.6. Melakukan evaluasi Evaluasi program inovasi penerapan edukasi dengan menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis sebagai berikut : 5.6.1. Evaluasi terhadap perawat Perawat yang ada diruang hemodialisis telah juga berperan serta dalam pelaksanaan pemberian edukasi melalui video ini. Perawat menilai bahwa pelaksanaan edukasi dengan metode seperti ini akan meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang penatalaksanaan diet dan latihan bagi pasien hemodialisis. Pelaksanaan pemberian edukasi melalui metode seperti ini juga dinilai mudah dilakukan, karena dapat dilakukan kapan saja. Selain itu juga, tayangan dalam video tersebut, dapat mengurangi kebosanan pasien selama hemodialisis berlangsung. 5.6.2. Evaluasi terhadap pasien Evaluasi dilakukan pada 9 responden pasien hemodialisis, evaluasi yang dilakukan meliputi penilaian berat badan diantara waktu dialysis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti hemoglobin, ureum, kreatinin, protein total,
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
100
albumin, globulin, dan elektroli elektrolit. t. Hasil pre dan post intervensi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Grafik 5.1. Nilai berat badan pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 70.00 60.00 50.00 40.00
BB pre
30.00
BB post
20.00 10.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Tindakan edukasi yang dilakukan dari data dapat meningkatkan kepatuhan pembatasan cairan yang dapat dilihat dari berat badan pasien, terdapat tiga pasien (S, K, N) tidak ada peningkatan berat badan, empat pasien terjadi penurunan berat badan (EP, M, A, A2). Namun masih ada dua pasien yang mengalami peniingkatan berat badan (Y dan M2). Grafik 5.2. Nilai kadar HB pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan peng pengaturan aturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012
10.00 8.00 6.00
HB pre
4.00
HB post
2.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
101
Pada penilaian kadar HB didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan kadar HB pada pasien (S, M, K, A2 dan M2) rata-rata rata rata 0.5 point, walaupun demikian masih ada pasien yang mengalami penurunan kadar HB yaitu pasien (EP, Y dan A1) sebesar - 0.1s/d – 2.1 point point. Grafik 5.3.. Nilai Albumin pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50
Albumin pre
2.00
Albumin post
1.50 1.00 0.50 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Penilaian kadar albumin rata rata-rata rata pasien mengalami peningkatan kadar albumin (S, M, N, A2 dan M2) rata rata-rata rata 0.1 point, namun ada juga pasien yang mengalami penurunan kadar albumin (EP, Y, A) sebesar -0.2 s/d -0.3 point. Grafik 5.4.. Nilai globulin pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 2 6.00 5.00 4.00 3.00
globulin pre
2.00
globulin post
1.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
102
Kadar globulin rata-rata rata mengalami penurunan (EP, S, Y, K, N, A dan M2) sebesar -0.49 0.49 point. Hanya dua pasien (M dan A2) yang mengalami peningkatan globulin sebesar 0.06 s/d 0.10 point. Grafik 5.5.. Nilai ureum pre intervensi dan post intervensi edukasi kasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 300.00 250.00 200.00 150.00
Ureum pre
100.00
Ureum post
50.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Nilai ureum pada beberapa pasien mengalami penurunan (EP, M, A dan A2) berkisar – 9.00 s/d – 42.00 point.. Namun terdapat beberapa pasien justru mengalami peningkatan kadar ureum (S, Y, K, N dan M2) berkisar 9.00 s/d 68.00 point Grafik 5.6.. Nilai creatinin pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan ppengaturan engaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 25.00 20.00 15.00
cretinin pre
10.00
kreatinin post
5.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
103
Nilai kreatinin hampir seluruh pasien mengalami penurunan (EP, S, M, Y, K, N, A dan A2) berkisar -0.10 0.10 s/d -2.30 2.30 point, kecuali pasien M2 justru terjadi peningkatan nilai kreatinin sebesar 0.60 point. Grafik 5.7.. Nilai natrium pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati Fatmawati tahun 2012 160.00 140.00 120.00 100.00 80.00
Na Pre
60.00
Na Post
40.00 20.00 0.00 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Nilai natrium rata-rata rata mengalami peningkatan sebesar 1.00 s/d 45.00 point yaitu yait pada pasien (EP, M, A dan M2), hanya terdapat 2 pasien yang mengalamai penurunan kadar natrium sebesar -1.00 s/d -5.00 5.00 point, dan hanya terdapat 3 pasien nilai ai natriumnya tetap / tidak ada perubahan (S, K dan N). Grafik 5.8.. Nilai kalium pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012
7 6 5 4
K Pre
3
K Post
2 1 0 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
104
Kadar kalium sebagian besar mengalami penurunan sebesar -0.30 s/d -1.78 point pasien (EP, M, YN, A, A2 dan M2) dengan rata rata-rata penurunan -0.47. 0.47. Hanya terdapat dua pasien yang mengalami peningkatan kadar kalium sebesar 0.01 point (S dan K). Grafik 5.9.. Nilai clorida pre intervensi dan post intervensi edukasi menggunakan multimedia (video) dalam melakukan pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodiaisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati tahun 2012 115 110 105
Cl Pre
100
Cl Post
95 90 EP
S
M
Y
K
N
A
A2
M
Pada evaluasi penilaian kadar klorida klorida terjadi penurunan kadar klorida rata-rata rata 0.22 point. Penurunan terjadi pada pasien (S, K, N dan A2), dan terjadi juga peningkatan nilai klorida 1.00 s/d 4.00 point pada pasien (EP, Y, A dan M2), dan satu pasien tetap / tidak ada pperubahan yaitu pasien M.
5.7. Pembahasan. Salah satu fungsi dan tugas keperawatan adalah melakukan Pendidikan Kesehatan terhadap klien/ masyarakat, yang dipandang perlu setelah ditentukan diagnose keperawatan hal ini dilakukan sebagai langkah awal dalam intervensi keperawatan. Berbagai macam metod metode yang dapat dilakukan diantaranya dengan menggunanakan multimedia video. Disamping peserta dapat mendengarkan isi materi juga dapat melihat ilustrasi materi yang disampaikan. Dari hasil penerapan inovasi terdapat beberapa pencapaian tujuan terkait pelaksanaan anaan edukasi dengan menggunakan multimedia video yaitu adanya
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
105
peningkatan rata-rata capaian penurunan berat badan sebesar -0.02 point, peningkatan rata-rata nilai HB sebesar 0.5 point, peningkatan kadar albumin sebesar 0.11 point, penurunan kadar kreatinin sebesar -6.20 point, penurunan kadar kalium -0.49 point dan klorida -0.22 point. Peningkatan kadar HB dan albumin serta penurunan berat badan, kreatinin, kalium dan klorida mengindikasikan keberhasilan pelaksanaan inovasi,walaupun pencapaiannya tidak maksimal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai factor diantaranya pelaksanaan edukasi yang hanya dilakukan selama 2 kali selama seminggu dan hanya 2 minggu kegiatan karena keterbatasan waktu. Disamping faktor tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda diantara pasien dan keluarga terhadap materi yang disampaikan. Dalam pelaksanaan ivovasi pendidikan kesehatan menggunakan multi media video, praktikan tidak menemukan kendala yang berarti dan dapat berjalan dengan lancar. Inovasi ini dapat meningkatan perilaku adaptip baik bagi pasien dan keluarga pasien dalam meningkatkan pengetahuan terkait pengaturan diet dan cairan pada pasien hemodialisa di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati Jakarta. Untuk kedepan bisa ditingkatkan dan dikembangkan terkait materi yang ada sesuai kebutuhan pasien.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan analisis pengalaman yang diperoleh selama menjalani praktek residensi keperawatan dalam menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, dengan mengaplikasikan Teori Adaptasi Roy pada pasien dengan gangguan system perkemihan, penerapan intervensi keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based nursing) dan pelaksanaan proyek inovasi.
6.1 Simpulan 6.1.1 Teori Adaptasi Roy dapat diterapkan pada asuhan keperawatan pasien dengan gangguan system perkemihan, karena dapat memenuhi semua aspek kebutuhan dari pasien, yaitu meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, konsep diri, adaptasi dan ketergantungan. Dengan penerapan Teori Adaptasi Roy ini diharapkan pasien mampu beradaptasi dengan penyakitnya, perawatan dan pengobatan yang harus dijalani selanjutnya, seperti pelaksanaan hemodialisis yang harus dijalan pasien seumur hidup. 6.1.2 Pada praktek keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah didapatkan bahwa menerapan EBN exercise intradialisis dengan menggunakan sepeda statis pada 9 pasien di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati dapat meningkatkan penurunan kadar ureum dan kratinin hingga 14.85 %, sehingga latihan selama hemodialisis dapat digunakan sebagai terapi mengatasi optimalisasi pengeluaran ureum kretinin pasien hemodialisis 6.1.3 Kegiatan inovasi merupakan suatu kegiatan pengembangan konsep solusi atau metode (dapat berupa modifikasi metode yang sudah ada atau metode baru) dalam
106
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
107
praktek keperawatan yang disusun berdasarkan fenomena masalah yang ada di lahan praktek dan kebutuhan ruangan, yang dikembangkan melalui proses journal reading dan study literature. Proyek inovasi yang dilakukan praktikan adalah pelaksanaan edukasi dengan menggunakan multi media video dan didaptkan hasil bahwa ivovasi ini mampu meningkatkan kepatuhan pengaturan diet dan cairan pada pasien yangsedang menjalai therapy hemodialisis di Unit Hemodialisa IP2K RSUP Fatmawati.
6.2 Saran 6.2.1 Perawat hendaknya dapat menerapkan dan mengembangkan Teori Adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system perkemihan pada seluruh kasus dengan mengembangkan format pengkajian dengan mengaplikasikan Teori Adaptasi Roy. 6.2.2 Intervensi keperawatan yang dilaksanakan diharapkan berdasarkan pembuktian ilmiah hendaknya dapat dilaksanakan oleh perawat professional yang ada di ruangan, dan perawat spesialis diharapkan dapat selalu mengembangkan intervensi keperawatan mandiri dengan mengaplikasikan hasil EBN guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien. 6.2.3 Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang bisa dicegah atau diperlambat progresifitasnya jika diketahui dan ditangani sejak dini, terutama pada kasus-kasus akibat DM dan hipertensi, untuk itu upaya deteksi sedini mungkin perlu dilakukan dan edukasi pada pasien yang beresiko terkena CKD harus selalu dijalankan oleh perawat yang mengelola pasien, baik yang ada di ruang rawat maupun yang menjalani rawat jalan.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA Agustiani H. (2006). Psikologi perkembangan, pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung. Refika Aditama. Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2006). Nursing theory : Utilization and application (3rd ed). St. Louis, MO: Mosby/Elsevier. Black, J.M. & Hawks, J.H.. (2005). Medical-surgical nursing. Clinical management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis. Missouri. Elsevier Saunders. Brunner dan Suddarth. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Brunstrom, J.M. (1997). Effects of temperature and volume on measures of mouth dryness, thirst and stomach fullness in males and females, diunduh dari http://www.medscape.com/medline/9268423 tanggal 11 juli 2012. Calhoun, J.F. & Cocella, J.R. (1990). Psychology of Adjusment and Human Relationship. New York: McGraw-Hill Publishing Co. Chiew H. Kong, James E. Tattersall, Roger N. Greenwood and Ken Farrington. (1999). The effect of exercise during haemodialysis on solute removal. Oxford Journals Medicine . Nephrology Dialysis Transplantation. Volume14, Issue12. Pp. 2927-2931. Dochterman, J.M., Bulecheck, G.N. (2007). Nursing Interventions Classification (NIC) 4th Edition. Missouri: Mosby Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC. Hedayati SS, Finkelstein FO. (2009). Epidemiology, diagnosis, and management of depression in patients with CKD. Am J Kidney :741‐52. Judith Dasselaar, Roel Huisman, Casper Franssen. (2004). The haemodynamic response to submaximal exercise during isovolaemic haemodialysis. Nephrol Dialisis Transplant. Keliat, Budi Anna. (1992). Gangguan Konsep Diri. Jakarta: EGC Kirsten L. Johansen. (2007). Exercise in the End-Stage Renal Disease Population. J Am Soc Nephrol . 18: 1845–1854. Lumenta, Nico, A, dkk. (1992). Penyakit Ginjal. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Merlino G , A Piani , Dolso P , Adorati M , Cancelli saya , Valente M , Gigli GL. (2006). Sleep disorders in patients with end-stage renal disease undergoing dialysis therapy. Nephrol. Dial. Transplant. 184-190 Nancy G. Kutner, Rebecca Zhang, Yijian Huang, Donald L. Bliwise. (2007) Association of Sleep Difficulty with Kidney Disease Quality of Life Cognitive Function Score Reported by Patients Who Recently Started Dialysis. Clinikal Journal of the American Sosiety of Nefrologi. vol. 2 no. 2 284-289 NANDA. (2010). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification. Philadelphia: NANDA International. Pace, R.C. (2007). Fluid Management in Patient on Hemodialysis. Nephrology Nursing Journal. September-Oktober.Vol. 34, No. 5. 557 Parsons TL, Toffelmire EB, King-VanVlack CE. (2004). The effect of an exercise program during hemodialysis on dialysis efficacy, blood pressure and quality of life in end-stage renal disease (ESRD) patients. Clin Nephrol. Apr; 61(4):261-74. Partosuwido, S.R., Nuryoto, S & Irfan, S. (1985). Peranan Konsep Diri dan Perkembangan Psikososial Anak Remaja yang Kurang Berprestasi di DIY. Laporan Penelitian. (tidakditerbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Price Silvia A,Wilson L. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC Price, S.A. & Wilson, L.M. (1992). Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : ECG. Raymond Leung, (2004). Physiological effects of exercise during dialysis on chronic renal failure patients. Journal of Exercise Science and Fitness, 2(1) :3 0-35. Rizzioli E, Cerretani D, Normanno M, Munaro D, Berto A, Contarello G, Rizzo E, Conz PA; (2004). Physical exercise during hemodialysis session: effect on quality of life. G Ital Nefrol. Nefrolologia e Dialisi. Nov-Dec;21 Roy, S.C. & Andrews, H.A. (1999). The Roy Adaptation Model by Callista Roy, The (2nd Edition), Publisher: Appleton & Lange Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2001). Brunner And Suddarth’s Texbook Of Medical Surgical Nursing. Lippincott; Philadelphia. Schmidt, R.F. & Thews, G. (1989). Human physiology. 2nd Completely Revised Edition. New York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Sukandar E. (2006). Terapi Pengganti Ginjal dengan Dialisis. Dalam:Nefrologi Klinik. Edisi III. FK UNPAD. Suwitra, (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hlm 581-584. Suyono.S., (2001). Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Unruh, M.L., Abdel-Kader, K., and Weisbord, S.D. (2006). Symptom Burden, Depression, and Quality of Life in Chronic and End-Stage Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol 4: 1057-106 ______,(2006). Exercise During Dialysis Enhances Results And Overall Physical Performance. Diunduh dari http://tanggal www.sciencedaily.com/news. tanggal 10 Januari 2012 jam 21.15 WIB. _______,(2006). Regular exercise improve health of people with long term kidney disease, study suggests. Diunduh dari http://www.sciencedaily.com/news. tanggal 10 Januari 2012 jam 21.15 WIB. _______,(2012). Hemodialisis dose and adequacy. Diunduh http://kidney.niddk.nih.gov. tanggal 12 januari 2012 jam 20.30 WIB
dari
_______,(2012). Kidneydiseases. Diunduh dari http:// www.ygdi.org. tanggal 12 januari 2012 jam 20.30 WIB
Universitas Indonesia Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Lampiran 1: Resume Kasus RESUME PERAWATAN PASIEN MENGGUNAKAN TEORI ADAPTASI ROY NO
1
2
3
IDENTITAS PASIEN KEGAWATAN Tn. AS (75 tahun), agama Islam, status menikah, pendidikan tamat SMP, pekerjaan Swasta. Sumber pembiayaan SKTM. Dx medis: CKD on HD Ny. SR (68 tahun), agama Kristen, status menikah, pendidikan tamat SMA, pekerjaan ibu rumah tangga. Sumber pembiayaan Jamkesmas. Dx medis: Acut on CKD stage V, DM tipe II, Hipertensi Ny. AW (59 tahun), agama Islam, status menikah, pendidikan tamat SD, ibu rumah tangga. Sumber pembiayaan SKTM. Dx medis: CKD on HD
ASPEK SPESIFIK TEORI MODEL Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : Tn. AS merupakan pasien CKD on HD rutin 2x/minggu. Jadwal HD Tn AS seharusnya besok, namun karena kondisi pasien memburuk (sesak napas) keluarga membawanya ke IGD RSUP Fatmawati. TD 190/110 mmHg, N 94x/menit, RR 30 x/menit, ronchi basah (+), edema pretibial +3, ascites (+), JVP 5+2 cmH2O, produksi urin 100-300 cc/hari, Hb 8,4 gr%, albumin : 2.1 g/dl. Ureum 293 mg/dl, kretinin 20.7 mg/dl. Stimulus fokal: CKD on HD. kontekstual: hipertensi, residual: ketidakpatuhan terhadap restriksi cairan. Masalah utama yang muncul adalah kelebihan volume cairan. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator & kognator yaitu: manajemen cairan, manajemen hipervolemia, pemantauan tanda vital, pemeriksaan laboratorium, kolaborasi medikasi & HD cito. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 180/90 mmHg, N 90x/mnt, R 28x/mnt, pasien mengeluh sesak napas semakin berat sejak dua hari ini, ronchi (+), edema kedua ektremitas +3, ascites (+), JVP 5+3 cmH2O, produksi urin 100-250 cc/hari, Hb 9,1 gr%, albumin : 2.8 g/dl, ureum 269 mg/dl, kreatinin 10.4 mg/dl. GDS 285, Rongent thorax CTR 65 %. Stimulus fokal: CKD stage V, konstektual : DM tipe II, Hipertensi, residual : ketidakpatuhan pasien untuk control penyakit DM secara rutin. Masalah utama yang muncul adalah kelebihan volume cairan. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator & kognator yaitu: manajemen cairan, manajemen hipervolemia, pemantauan tanda vital, pemeriksaan laboratorium, kolaborasi medikasi & HD cito. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : Ny. AW merupakan pasien CKD on HD rutin 2x/minggu setiap hari senin dan kamis. Jadwal HD Ny. AW seharusnya besok pagi, karena kondisi pasien sesak napas dan kaki bengkak (+), keluarga membawanya ke IGD RSUP Fatmawati. TD 170/90 mmHg, N 90 x/menit, RR 26 x/menit, ronchi (+), edema +3, ascites (+), JVP 5+3 cmH2O, produksi urin 200-300 cc/hari, Hb 7,3 gr%, albumin : 2.4 g/dl. Stimulus fokal: CKD on HD. kontekstual: riwayat DM 10 tahun, residual: ketidakpatuhan terhadap restriksi cairan. Masalah utama yang muncul adalah kelebihan volume cairan. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator & kognator yaitu: manajemen cairan, manajemen hipervolemia, pemantauan tanda vital, pemeriksaan laboratorium, kolaborasi medikasi & HD cito.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
NO
4
5
IDENTITAS PASIEN RENAL DISEASE Tn. SB (58 tahun), agama islam, status menikah, pendidikan SMA, pekerjaan pengemudi angkutan kota, Sumber pembiayaan SKTM. Dx medis : CKD stage V, DM tipe II, hipertensi.
Tn. HS (56 tahun), agama Islam, pendidikan SMA, karyawan pabrik konveksi, status menikah dengan 2 orang anak, Sumber pembiayaan ditanggung perusahaan. Diagnosa medis: CHF Fc II, DM tipe 2, CKD stage V dengan anemia
ASPEK SPESIFIK TEORI MODEL Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 160/100 mmHg, N 90x/mnt, R 22x/mnt, Rongent thorax CTR > 50 % pasien mengeluh sesak (+), konjungtiva anemis (+), BB saat pengkajian 69 Kg, BB Ideal 76.6 kg, porsi makan habis ½ porsi, mual (+) , Hb 8.3 gr%, albumin : 2.3 g/dl, ureum 265 mg/dl, GDS 250, pitting edema kaki +3, ascites (+), lingkar perut 90 cm. JVP 5+2 cmH2O. Stimulus fokal: CKD stage V, konstektual : DM tipe II, Hipertensi, residual : ketidakpatuhan pasien untuk control penyakit DM secara rutin. Masalah utama yang muncul adalah kelebihan volume cairan, cemas, perubahan penampilan peran. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator & kognator yaitu: manajemen cairan, manajemen hipervolemia, pemantauan tanda vital, pemeriksaan laboratorium, kolaborasi medikasi & HD, menjalin kepercayaan dengan komunikasi terbuka, mendukung mekenisme koping berdoa yang telah digunakan, mengajarkan tehnik relaksasi, membantu pasien mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan untuk peran baru. Perilaku adaptif kelebihan volume cairan teratasi setelah 12 hari perawatan, perilaku adaptif konsep diri cemas teratasi setelah hari ke 5 perawatan, perilaku adaptif mode fungsi peran teratasi pada hari ke 7 perawatan. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: Pasien menderita DM Sejak 8 tahun yang lalu, terkontrol dengan glibenclamid tab 1x1. Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu berobat secara rutin. Obat hipertensi rutin diminum nipediphin 2 x 1 tab. TD 130/80 mmHg, N 90x/mnt, R 22 x/mnt, sesak nafas (+), suara nafas ronkhi, pitting edema pretibial +3, ascites (+), lingkar perut 86 cm, BB 70 kg, Balance cairan + 350cc/hari, pasien direncakanan akan dilakukan inisiasi HD selasa 13 maret 2012. Pasien terlihat sedih dan cemas. Stimulus fokal: CKD stage V, kontekstual: CHF Fc II, residual: kurang pengetahuan tentang manajemen cairan. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh dan cemas. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: monitor cairan, manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit, pentingnya membatasi cairan, cara mengatasi haus dan anxiety reduction. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada model fisiologis cairan dan elektrolit adaptif setelah 7 hari perawatan, sedangkan perilaku pada mode konsep diri adaptif setelah 6 hari perawatan. pasien mengatakan tetap tawakal menghadapai cobaan dari Alloh SWT walaupun kadang masih terasa sedih. Pasien juga menyatakan siap menjalani hemodialisis seumur hidup karena pasien sadar bahwa itu merukan cara mengatasi penyakit yang dideritanya.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
6
7
8
Ny. BM (56 tahun), agama Islam, status Janda dengan 3 anak, pedagang sayur keliling, Sumber pembiayaan Jamkesmas. Dx medis: CKD stage V on HD dengan anemia, overload cairan, ulkus DM pedis dextra. Tn. GM (40 tahun), agama hindu, pendidikan tamat SMA, pekerjaan pengemudi taksi, menikah dengan 1anak masih balita, Sumber pembiayaan Jamkesmas. Dx medis: Acute on CKD, Hipertensi, DM 2 hiponatremia Ny. SW (54 tahun), agama Islam, pendidikan D3, pekerjaan Ibu rumah tangga, status menikah dengan 4 orang anak. Sumber pembiayaan Jamkesmas. Dx medis: CKD on HD rutin 2x/minggu sejak 5 tahun yang lalu. Hiperteni terkontrol
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: kesadaran apatis GCS 9 (E2M4V3), TD 100/70 mmHg, N 80 x/mnt, R 28 x/mnt, sesak (+), ronkhi (+), pitting edema pretibial +4, Acites (+), albumin 1,5 mg/dl. balance cairan -250 cc/hari, JVP 5+3cmH2O. Stimulus fokal : CKD stage V, kontekstual: hipoalbuminemia. Masalah utama yang diangkat adalah gangguan pertukaran gas dan kelebihan volume cairan tubuh. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: terapi oksigen, monitor cairan, manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan kepada keluarga pasien karena pasien mengalami penurunan kesadaran. Edukasi yang diberikan terkait proses penyakit dan rencana penanganan. Praktikan merawat selama 1 hari karena pasien dipindahkan ke ruang ICU karena kondisinya semakin memburuk. Pasien meninggal setelah 1 hari dirawat di ICU. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 170/80 mmHg, N 80 x/mnt, R 22x/mnt, pasien mengeluh tubuh terasa lemas. Pasien terlihat lebih banyak tiduran di tempat tidur. Hasil laboratorium menunjukkan kadar elektrolit natrium darah rendah (128), GDS tinggi (200). Mode konsep diri : pasien mengatakan sangat ketakutan jika suatu saat harus menjalani cuci darah seumur hidup karena masih memiliki anak kecil. Stimulus fokal: hiponatremia, kontekstual: GDS tinggi, residual: krisis situasi. Masalah utama yang diangkat adalah keletihan (fatigue) dan kecemasan. Intervensi keperawatan dilakukan melalui aktivitas regulator dan kognator. Aktivitas regulator meliputi: monitor cairan dan elektrolit, manajemen elektrolit: hiponatremia, monitor tanda-tanda vital dan kolaborasi medikasi. Aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit, dan pentingnya nutrisi.Hasil evaluasi diperoleh pada model fisiologis keletihan adaptif setelah 7 hari perawatan. Kecemasan adaptif pada hari ke 6 perawatan, pasien mengatakan siap menjalani hemodialisis seumur hidup karena biaya pengobatan ditanggung jamkesmas. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 170/90 mmHg, N 84 x/mnt, R 22 x/mnt, sesak (+), ronkhi (-), pitting edema kaki +1, BAK + 50-100 cc/hari, JVP 5+2 cmH2O. Pasien mengatakan sudah bisa menerima kenyataan dengan sakit ginjal yang dideritanya, pasien masih susah untuk membatasi minum yang telah ditetapkan. IDWG 3 kg setiap kali dilakukan HD. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: ketidakpatuhan dalam membatasi intake cairan, residual: koping tidak efektif. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang pentingnya membatasi cairan dan cara mengatasi haus. Setelah 2 minggu perawatan pasien menunjukkan perilaku mulai adaptif, pasien dapat mengatur minum dan membatasi cairan, walaupun terkadang masih melakukan minum lebih sari ketentuan, namun IDWG tidak lagi lebih dari 2 kg diantara pelaksanaan HD.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
9
10
11
Tn. FJ (29 tahun), pendidikan tamat SMA, agama Islam, belum menikah, tidak bekerja. Sumber pembiayaan : SKTM DKI. Dx medis CKD on HD rutin 2x/minggu sejak 2 tahun yang lalu akibat glomerulonefritis. Tn. BP (36 tahun), agama Islam, status menikah dengan 3 orang anak, pendidikan D3, pekerjaan swasta. Sumber pembiayaan Jamkesmas. Diagnosa medis: CKD stage V dengan anemia, furunkulosis kruris, CHF Fc II.
Ny. YA (53 tahun), agama Islam, status menikah dengan 2 anak, pendidikan SD, pekerjaan pedagang jamu gendong. Pembiayaan TMLD (Tangsel). Dx medis: CKD on HD 2x/minggu tahun 2005
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 110/70 mmHg, N 84x/mnt, R 20 x/mnt, sesak (-), ronkhi (-), pitting edema (-), pasien minum 600-700cc/hari. Pasien mengatakan malam sulit untuk bisa tidur, tidur malam sekitar 3-4 jam, pasien tampak kusut dan tidak segar. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: proses kehilangan, residual: koping tidak efektif. Masalah utama yang diangkat adalah perubahan pola tidur. Intervensi keperawatan dilakukan melalui aktivitas regulator dan kognator yang meliputi tindakan monitoring pola tidurdan jumlah tidur, mengidentifikasi penyebab kurang tidur seperti ketakutan dan kecemasan, menjelaskan pentingnya tidur bagi proses penyembuhan, mengajarkan tehnik relaksasi otot, menganjurkan pasien mengurangi tidur siang. Setelah 1 minggu, perilaku pasien mulai adaptif, pasien melakukan relaksasi otot progresif 1-2x/hari. Pasien mengatakan mulai dapat tidur malam walaupun masih sering terbangun dan susah tidur lagi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 150/90 mmHg, N 90 x/mnt, R 22 x/mnt, sesak nafas (+), ronkhi (+), pitting edema pretibial +3, ascites (+), BB 56 kg, Ureum 205 mg/dl, kreatinin 20,5 mg/dl. Balance cairan -300cc/hari, pasien telah dilakukan HD cito pada saat masuk IGD RSUP Fatmawati. Furunkulosis di kaki (+) & pasien mengeluh sangat gatal, sehingga pasien sering menggaruknya. Stimulus fokal: CKD & uremia, kontekstual: CHF Fc II, residual: kurang pengetahuan tentang manajemen cairan & manajemen gatal. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh dan kerusakan integritas kulit. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: monitor cairan, manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, manajemen gatal, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, sedangkan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit, pentingnya membatasi cairan, cara mengatasi haus, pentingnya menjaga kebersihan diri dan cara mencegah kerusakan kulit dan mengurangi gatal. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada model fisiologis cairan & elektrolit adaptif setelah 6 hari perawatan.Masalah kerusakan integritas kulit mulai teratasi hari ke-5, furunkulosis tampak mengering pada hari ke 7 dan pasien mengatakan rasa gatal berkurang. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 140/90 mmHg, N 84x/mnt, R 22 x/mnt, sesak (+), ronkhi (-), pitting edema pretibial +2, BAK 3-4 x/hari dengan jumlah 01-20 cc setiap kali BAK, JVP 5+2 cmH2O. Pasien berusaha membatasi membatasi minum, tetapi sulit karena rasa haus. BB pre HD 55 kg, BB HD terakhir 52 kg (IDWG 3 kg). Stimulus fokal: CKD, kontekstual: ketidakpatuhan dalam retriksi cairan, residual: koping tidak efektif. Masalah utama yang diangkat adalah risiko kelebihan volume cairan tubuh. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang pentingnya membatasi cairan. Perilaku masih inefektif. Pada pelaksanaan HD berikutnya IDWG masih 3,2 kg, Pasien mengatakan susah untuk membatasi minum karena sering merasa haus akibat perjalanan berjualan jamu gendong.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
12
Ny. DT (32 tahun), agama Islam, pendidikan SMA, Ibu rumah tangga, status menikah dengan 2 orang anak. Pembiayaan Jamkesmas. Dx medis: CKD stage V, anemia normositik normokron
13
Tn. NS (52 tahun), agama Islam, pendidikan S1, PNS, status menikah dengan 3 orang anak. Pembiayaan Askes. Dx medis: CKD on HD rutin 2x/minggu sejak 6 tahun yang lalu. Hiperteni terkontrol dengan captopril
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 130/100 mmHg, N 84x/mnt, R 24x/mnt, sesak (+), ronkhi (+), pasien terlihat pucat, HB : 7,8 gr%, konjungtiva anemis (+), pitting edema pretibial +2, balance cairan + 250 cc/hari, pasien mengatakan sulit membatasi minum karena cuaca sangat panas. Mode konsep diri : pasien mengatakan tidak percaya jika dirinya menderita penyakit gagal ginjal dan harus cuci darah. Pasien tampak sedih. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: ketidakpatuhan terhadap pembatasan intake cairan, residual: krisis situasi dan kurang pengetahuan. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh dan kecemasan. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: monitor cairan, manajemen cairan, monitor tandatanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit, pentingnya membatasi cairan, cara mengatasi haus dan. Hasil evaluasi diperoleh perilaku pada model fisiologis cairan & elektrolit adaptif setelah 6 hari perawatan, sedangkan perilaku pada mode konsep diri adaptif setelah 7 hari perawatan. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 190/110 mmHg, N 96 x/mnt, R 22x/mnt, sesak (+), ronkhi (-), pitting edema pretibial +2, BAK 1x/hari dengan jumlah + 10-20 cc/hari, JVP 5+2 cmH2O. Pasien mengatakan sudah dapat menerima kenyataan, menderita sakit ginjal dan menjalani hemodialisis seumur hidupnya, namun pasien susah untuk membatasi minum. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: ketidakpatuhan pembatasan intake cairan, residual: koping tidak efektif. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan melakukan edukasi tentang pentingnya membatasi cairan, cara mengatasi haus. Setelah 3 minggu pasien menunjukkan perilaku mulai adaptif, pasien dapat mengatur minum dan membatasi cairan walau terkadang minum masih lebih dari yang dianjurkan, namun IDWG tidak lagi lebih dari 2 kg.
14
Tn. YR (60 tahun), agama Islam, pendidikan tamat D3, status menikah, pekerjaan pendiunan PNS. Pembiayaan TMLD (Depok). Dx medis: CKD on HD kronik sejak 9 tahun yang lalu.
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 140/80 mmHg, N 84x/mnt, R 22x/mnt, sesak (+), ronkhi (+), pitting edema pretibial +1, BAK 2-3x/hari dengan jumlah + 150cc/hari, JVP 5+2 cmH2O. Pasien mengatakan sudah biasa karena sudah menjalani HD hampir 10 tahun dan sadar penyakit ini merupakan cobaan dari alloh SWT. Pasien mengatakan terkadang tidak bisa membatasi minum karena merasa haus. BB pre HD 61 kg, BB HD terakhir 58 kg, IDWG 3 kg. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: ketidakpatuhan pembatasan intake cairan, residual: kurang pengetahuan etntang manajemen cairan. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator memberikan edukasi tentang pentingnya membatasi cairan, dan cara mengatasi haus. Setelah 3 minggu pasien menunjukkan perilaku mulai adaptif, pasien dapat mengatur minum dan membatasi IDWG 1 kg.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
15
Ny. YS (62 tahun), agama Islam, pendidikan S1, sumber pembiayaan Askes AD, status menikah. Dx medis: CKD on HD kronik sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat DM tipe II terkontrol 8 tahun dengan glibenclamid
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 150/80 mmHg, N 80x/mnt, R 20x/mnt, sesak (+), ronkhi (+), pitting edema pretibial +2, BAK 1-2x/hari dengan jumlah < 150 cc/hari, JVP 5+2 cmH2O, BB pre HD 50 kg, sebelumnya 47 kg, IDWG 3 kg. Pasien mengatakan sering merasa sedih dan cemas, pasien juga tidak bisa membatasi minum, jika merasa haus pasien akan minum. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: koping tidak efektif, residual: kurang pengetahuan tentang manajemen cairan. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh dan kecemasan. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan melakukan edukasi, penurunan kecemasan. Setelah 3 minggu pasien menunjukkan perilaku mulai adaptif, pasien dapat mengatur minum dan membatasi cairan. IDWG 1,5 kg.
16
Tn. HS (30 tahun), agama Islam, status menikah belum punya anak, pendidikan SMA. pekerjaan sopir angkutan umum (metromini), Pembiayaan Jamkesmas.Dx medis CKD stage V
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 130/100 mmHg, N 88x/mnt, R 22x/mnt, sesak (+), pitting edema pretibial +2, balance cairan -250cc/hari, shifting dullness (+). Mode konsep diri : pasien terlihat sangat sedih ketika membicarakan kondisi sakitnya dan tidak percaya harus cuci darah seumur hidunya. Stimulus fokal: CKD, residual: krisis situasi dan kurang pengetahuan. Masalah utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan tubuh dan duka cita. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator adalah: monitor cairan, manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, kolaborasi medikasi dan hemodialisis, dan aktivitas kognator dilakukan dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit, pentingnya membatasi cairan, anxiety reduction, coping enhancement. Praktikan merawat pasien selama 6 hari dan hasil evaluasi menunjukkan perilaku pada mode fisiologis cairan dan elektrolit mulai adaptif, edema mulai berkurang. Pada mode konsep diri perilaku masih inefektif. Pasien mau menjalani pengobatan dan perawatan, namun terlihat sering melamun.
17
Ny. SS (50 tahun) agama Islam, status menikah dengan 3 anak, pendidikan SMP, pekerjaan ibu rumah tangga. Dx medis: CKD on HD rutin 2x/minggu sejak 1 tahun yang lalu, Hipertensi grade II terkontrol
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 160/100 mmHg, N 96x/mnt, R 22x/mnt, sesak (-), ronkhi (-), pitting edema (+), BAK 1-2x/hari dengan jumlah + 100 cc/hari, JVP 5 cmH2O, BB pre HD 52 kg, BB kering 51 kg, IDWG 1 kg. Pasien mengatakan sudah dapat membatasi minum sesuai anjuran. Pasien mengatakan merasa sedih dan cemas dengan kondisinya kesehatannya yang tidak menentu. Stimulus fokal: CKD, kontekstual: kecemasan, residual: koping tidak efektif. Masalah utama kecemasan. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator dan aktivitas kognator dilakukan dengan melakukan edukasi, penurunan kecemasan Setelah 4 minggu pasien menunjukkan perilaku adaptif, pasien mengatakan mulai mengatai kecemasan dengan sering berdoa dan berpasarah kepada Alloh SWT.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
18
19
20
OBSTRUKSI Tn. BA (65 tahun), agama Islam, status duda dengan 2 anak, tingkat pendidikan SMP, Kuli panggul di terminal lebak bulus. Pembiayaan Jamkesmas. DX medis BPH retensi urin Ny. HE (53 tahun), agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan ibu rumah tangga, status menikah dengan 3 anak. Pembiayaan TMLD (Tangsel). DX medis: Batu ginjal post ESWL Tn.HA (46 Tahun) Agama Islam, menikah dengan 1 anak, pendidikan SMA, bekerja sebagai pengemudi taksi. Pembiayaan Jamkesmas. Dx.Medis : Striktur uretra
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : Sejak 2 bulan yang lalu tidak bisa BAK sehingga dipasang kateter dan dilakukan penggantian kateter secara berkala seminngu sekali. Pasien direncanakan akan dilakukan TURP. Stimulus fokal: BPH, kontekstual: obstruksi uretra akibat pembesaran prostat, residual: kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur operasi. Masalah utama pre operasi: perubahan eliminasi retensi urin, cemas; post operasi: nyeri akut, resiko regimen terapi inefektif. Regulator & kognator: perawatan kateter urin, irigasi kandung kemih, kegel exercise, edukasi dan penurunan kecemasan. Pada hari ke-7 perawatan pasien diperbolehkan pulang dengan perilaku adaptif pada model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: pasien post dilakukan ESWL H+2, keluhan nyeri skala 5, BAK spontan, urin keruh. Stimulus fokal: batu ginjal, kontekstual: tindakan ESWL, residual: riwayat batu sebelumnya. Masalah yang muncul perubahan pola eliminasi, nyeri akut, dan kurang pengetahuan. Intervensi keperawatan dilakukan dengan aktivitas regulator (perawatan retensi urin, manajemen dan monitoring cairan, monitor tanda vital, manajemen nyeri), dan aktivitas kognator melalui pemberian edukasi. Pada hari ke-5 perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: sejak 3 bulan SMRS pasien mengalami sulit BAK, BAK harus mengedan, tidak ada riwayat trauma pada alat kelamin. Pasien mengatakan cemas dengan rencana tindakan operasi yang akan dijalaninya. Pasien mengatakan kali pertama ia dirawat dan harus menjalani operasi. Stimulus fokal: penyempitan uretra, kontekstual: gaya hidup, residual: kurang pengetahuan. Masalah yang muncul: perubahan pola eliminasi: retensi urin, cemas, resiko regimen terapi inefektif, nyeri post op. Aktivitas Regulator & kognator: perawatan kateter, manajemen nyeri, edukasi proses penyakit. Setelah 5 hari perawatan perilaku adaptif.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
21
Tn. AL (60 tahun), Agama Islam, status menikah 4 anak, tingkat pendidikan SD, pekerjaan pemulung. Pembiayaan TM DKI, Diagnosa Medis : BPH + Batu buli
22
Tn. (67 tahun), agama Kristen protestan, pendidikan SMP, tidak bekerja, status duda.Pembiayaan TMLD (Depok) Dx medis : batu multiple ginjal kiri post (Percutaneous Nephrolithotomy dan nephrolithotripsy) PCNL sinistra.
23
Tn. GN (63 tahun), beragama Islam, status menikah, pendidikan SMU. Karyawan toko elektronik, namun sejak 1 bulan yang lalu tidak bekerja. Pembiayaan SKTM Diagnosa Medis: Hidronefrosis bilateral e.c batu ginjal.
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : Pre Op: BAK menetes sejak 1 bulan yang lalu sehingga pasien dipasang kateter. Pasien mengatakan belum pernah dirawat di RS, apalagi dioperasi seperti yang akan dialaminya lusa, pasien terlihat cemas. Post op: pasien mengeluh nyeri skala 6, terpasang 3 way kateter, urin warna merah (warna air cucian daging), TD 130/90mmHg, N 84x/mnt, R 20x/mnt. Stimulus fokal: pembesaran prostat & batu, tindakan TURP+ litotripsi, stimulus kontekstual: riwayat batu 5 th yg lalu yang sembuh dengan pengobatan, residual: kurang pengetahuan. Masalah yang muncul : Nyeri akut, perubahan pola eliminasi: retensi urin, resiko tinggi infeksi, cemas, kurang pengetahuan. Regulator & kognator: manajemen nyeri, monitoring cairan, irigasi bladder, edukasi tentang penyakit, prosedur pengobatan & kebutuhan perawatan . Hari ke-9 post operasi pasien pulang dengan perilaku adaptif pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: Pasien post Percutaneous Nephrolithotomy dan nephrolithotripsy (PCNL) sinistra hari pertama, TD 140/90mmHg, N 90x/mnt, R 20x/mnt, keluhan saat pengkajian nyeri skala 5, pasien terpasang nefrostomi sinestra. Produksi nefrostomi dan folley catheter kemerahan, balance cairan + 200 cc/24 jam. Stimulus fokal: tindakan operasi PCNL & nefrostomi, kontekstual: usia tua, residual: koping tidak efektif. Masalah utama pasien: perubahan eliminasi urin, nyeri akut, resiko manajemen terapi inefektif. Intervensi keperawatan yang dilakukan meliputi aktivitas regulator (perawatan kateter urin & slang nefrostomi, pencegahan infeksi, manajemen nyeri, monitoring tanda vital, monitoring intake & output) dan aktivitas kognator dengan memberikan edukasi tentang proses penyakit. Hari ke 10 post operasi pulang dengan perilaku adaptif pada mode fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 140/90mmHg, N 90x/mnt, R 20x/mnt, nyeri pinggang bilateral sejak 10 tahun yang lalu, namun sejak Januari 2012 keluhan nyeri mulai terasa parah, skala nyeri 7, dan kencing tidak lancer, terkadang bercampur darah segar, saat ini pasien terpasang nefrostomi bilateral. Stimulus fokal: batu ginjal multiple, tindakan nefrostomi, kontekstual: riwayat kencing batu hanya berobat alternative, residual: riwayat hipertensi sejak 6 tahun yang lalu namun tidak control teratur. Masalah yang muncul: perubahan eliminasi urin, nyeri kronis, resiko infeksi & cemas. Aktivitas regulator & kognator yang dilakukan meliputi: manajemen nyeri, monitoring tanda vital, monitoring & manajemen cairan, perawatan slang nefrostomy, pencegahan infeksi, edukasi. Setelah 6 hari perawatan perilaku pada mode fisiologis retensi urin masih inefektif, pasien direncanakan akan dilakukan PCNL. Perilaku nyeri sebagian adaptif, skala nyeri menurun (4), pasien dapat melakukan teknik relaksasi. Perilaku pada mode konsep diri, fungsi peran & interdependensi adaptif.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
24
25
Tn. NP (35 tahun), agama Islam, pendidikan D3, Pegawati PT. POS Indonesia, pembiayaan Askes. Dx medis: Batu kalix kanan Ny. AL (65 tahun), agama Islam, pendidikan D3, pekerjaan IRT, Pembiayaan Askes. Dx medis: hidronefrosis e.c batu ureter distal.
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 130/80 mmHg, N 88 x/mnt, R 20x/mnt, nyeri pinggang kanan sejak 3 minggu SMRS, BAK tidak lancar dan keruh, riwayat PCNL dextra 4 tahun yang lalu. Stimulus fokal: adanya batu di kalix ginjal; kontekstual: riwayat batu sebelumnya; residual: riwayat batu pada keluarga (ayah pasien). Masalah yang muncul: nyeri akut, perubahan eliminasi urin. Regulator & kognator: manajemen nyeri, monitoring tanda vital, monitoring & manajemen cairan, edukasi. Setelah 6 hari perawatan perilaku pada mode fisiologis, konsep diri, peran & interdependensi adaptif. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : TD 150/90 mmHg, N 92 x/mnt, R 20 x/mnt nyeri pinggang kiri sejak 4 minggu SMRS, nyeri skala 7-8, riwayat hematuria (+), passing stone (+). Pasien direncakanan akan dilakukan URS. Pasien mengeluh cemas karena sebelumnya belum pernah dirawat apalagi dioperasi. Stimulus fokal: batu ureter menyebabkan retensi dan nyeri, kontektual : usia lanjut, residual: pasien sering menahan untuk minum, minum sekitar 500 cc/24 jam. Masalah utama pada pasien adalah: perubahan pola eliminasi retensi urin, nyeri akut, cemas. Aktivitas regulator & kognator : perawatan kateter urin, monitor & manajemen cairan, monitor tanda vital, manajemen nyeri, edukasi tentang proses penyakit. Hari ke 4 perawatan perilaku adaptif.
26
Tn. KN (59 tahun), Agama Islam, status menikah dengan 3 anak, pendidikan SMA, pekerjaan wiraswasta, pembiayaan pribadi. Dx medis : BPH
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : TD 150/90 mmHg, N 92 x/mnt, R 20 x/mnt, sejak 3 bulan yang lalu tidak bisa BAK sehingga dipasang kateter. Pasien direncanakan akan dilakukan operasi TURP, pasien tampak cemas dan banyak bertanya tentang prosedur operasi yang akan dijalaninya. Stimulus fokal: BPH, kontekstual: obstruksi uretra akibat pembesaran prostat, residual: kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur operasi. Masalah utama pre operasi: perubahan eliminasi retensi urin, cemas; post operasi: nyeri akut. Aktivitas regulator yang dilakukan meliputi: perawatan kateter urin, irigasi kandung kemih, dan kegel exercise, sedangkan aktivitas kognator meliputi: edukasi dan penurunan kecemasan. Pada hari ke-8 perawatan pasien pulang dengan perilaku adaptif pada model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
27
Tn.DS (62 tahun), agama Islam, status menikah dengan 4 anak, tingkat pendidikan sarjana, pekerjaan sopir taksi. Sumber pembiayaan ditanggung perusahaan. Dx medis: Batu cetak ginjal kanan
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: TD 150/80 mmHg, N 88 x/mnt, R 20 x/mnt Pasien post PCNL hari 1, mengeluh nyeri skala 6, terpasang nefrostomy dekstra dengan produksi kemerahan sebanyak 200 cc/24 jam jam, terpasang dower catheter dengan produksi kemerahan 1.750 cc/24 jam. Pasien mengatakan tidak tahu cara pencegahan agar kencing batunya tidak berulang. Stimulus fokal: PCNL; kontekstual: terpasang nefrostomy & dower catheter; residual: kurang pengetahuan. Masalah yang muncul: nyeri akut, perubahan pola eliminasi. Regulator & kognator: manajemen nyeri, monitoring cairan, manitor tanda vital, perawatan nefrostomy dan dower catater, edukasi. Pada hari ke-7 perawatan pasien pulang dengan perilaku adaptif tercapai.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
28
29
30
Tn. HS (37 tahun), Agama Katholik, pendidikan S1, pekerjaan PNS, menikah dengan 2 anak, pembiayaan Askes. Dx medis : batu vesica INFEKSI Tn. NP (63 tahun). Beragama Islam. Status menikah dengan 4 anak. Pendidikan SMA, Pekerjaan Satpam. Sumber pembiayaan SKTM. Dx Medis: pielonefrosis dextra Tn. KY (35 tahun). Beragama Kristen protestan. Status menikah dengan 3 anak. Pendidikan D3, Pekerjaan Swasta. Sumber pembiayaan sendiri. Dx Medis: pielooefrosis dextra
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: nyeri pinggang kanan sejak 2 bulan SMRS, BAK keruh, riwayat PCNL sinistra 2 tahun yang lalu. Stimulus fokal: adanya batu di vesica; kontekstual: riwayat batu sebelumnya; residual: kurang pengetahuan tentang pencegahan batu berulang. Masalah utama yang muncul: nyeri akut, perubahan eliminasi urin, kurang pengetahuan. Regulator & kognator: manajemen nyeri, monitoring tanda vital, monitoring & manajemen cairan, edukasi. Setelah 5 hari perawatan pasien menunjukkan perilaku adaptif pada mode fisiologis, konsep diri, peran & interdependensi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : TD 140/90mmHg, N 90x/mnt, R 20x/mnt S 38 oC, Pasien mengeluh nyeri di pinggang sebelah kanan sejak 1 bulan yang lalu, menjalar (+), hilang timbul (+), riwayat passing stone (+), hematuria (+), mual (+), muntah (+), demam (+). Pasien post operasi nefrostomi kanan hari pertama. Stimulus fokal: adanya batu di ureter, kontekstual: Infeksi & nefrostomi, residual: kurang pengetahuan. Masalah utama yang muncul adalah nyeri dan cemas. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator berupa manajemen nyeri, pemantauan tanda vital, kolaborasi medikasi dan aktivitas kognator berupa pemberian edukasi terkait penyakit dan pengobatan serta perawatan yang akan dilakukan. Pasien hari ke 9 pulang dengan perilaku adaptif pada model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : TD 130/80 mmHg, N 80 x/mnt, R 20 x/mnt S 37.5 oC, Pasien mengeluh nyeri di pinggang sebelah kanan sejak 3 bulan yang lalu, menjalar (+), hilang timbul (+), riwayat passing stone (+), hematuria (+), mual (+), muntah (-), demam (+). Pasien post operasi nefrostomi kanan hari ke dua. Stimulus fokal: adanya batu di ureter, kontekstual: Infeksi & nefrostomi, residual: kurang pengetahuan. Masalah utama yang muncul adalah nyeri dan cemas. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator berupa manajemen nyeri, pemantauan tanda vital, kolaborasi medikasi dan aktivitas kognator berupa pemberian edukasi terkait penyakit dan pengobatan serta perawatan yang akan dilakukan. Pasien hari ke 6 pulang dengan perilaku adaptif pada model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
31
32
33
Tn. SP (38 tahun). Beragama Islam. Status menikah dengan 1 anak. Pendidikan SMP, Pekerjaan Dagang kelontong. Sumber pembiayaan Jamkesda. Dx Medis: pielonefrosis bilateral NEOPLASMA Tn. AR (64 tahun), agama Islam, status menikah dengan jumlah anak 3 orang, pendidikan SMP, Pekerjaan pedagang baso keliLing. sumber pembiayaan Jamkesmas Dx medis: TCC Buli T4N1M0 + Pyonefrosis sinistra Tn. BB (68 tahun), agama Islam, status menikah dengan 2 anak, pekerjaan karyawan pabrik semen, pendidikan tamat SMA, sumber pembiayaan SKTM. Dx medis: Susp TCC Buli + TBC on OAT
Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data : TD 150/90 mmHg, N 90 x/mnt, R 20 x/mnt S 37 oC, Pasien mengeluh nyeri di pinggang sebelah kanan dan kiri sejak 6 bulan yang lalu, menjalar (+), hilang timbul (+), riwayat passing stone (+), hematuria (+), mual (+), muntah (-), demam (+). Pasien post operasi nefrostomi bilateral (kiri dan kanan) hari ke pertama. Stimulus fokal: adanya batu di ureter, kontekstual: Infeksi & nefrostomi, residual: kurang pengetahuan. Masalah utama yang muncul adalah nyeri dan cemas. Intervensi yang dilakukan meliputi aktivitas regulator berupa manajemen nyeri, pemantauan tanda vital, kolaborasi medikasi dan aktivitas kognator berupa pemberian edukasi terkait penyakit dan pengobatan serta perawatan yang akan dilakukan. Pasien hari ke 7 pulang dengan perilaku adaptif pada model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: Kesadaran CM, TD 150/90mmHg, N 92x/mnt, R 20x/mnt S 37 oC, terpasang nefrostomi sejak sebulan yang lalu. Produksi nefrostomi lancar 2.000 cc/24 jam, warna urin kuning keruh, terpasang dower catheter produksi 150 cc/24 jam kecoklatan, terpasang IVFD RL 1.000 cc/24 jam, minum1.750 cc/24 jam balance cairan: +100cc/24 jam. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya tidak percaya kalau sakit kanker dan harus dilakukan pengangkatan ginjal, pasien tampak cemas. Stimulus fokal: TCC buli, kontekstual: nefrostomi sinistra, residual: koping tidak efektif. Masalah utama yang diangkat adalah perubahan pola eliminasi dan cemas. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator melalui: perawatan slang nefrostomi, monitor & manajemen cairan, monitor tanda-tanda vital, dan aktivitas kognator melalui pemberian edukasi tentang proses penyakit, tanda & gejala infeksi, dan pencegahan infeksi. Setelah 7 hari perawatan perilaku pada model fisiologis belum adaptif, sedangkan pada mode konsep diri mulai adaptif. Pasien menyadari kondisinya penyakitnya. Hasil pengkajian pada ke-4 model adaptasi diperoleh data: Kesadaran CM, TD 160/90 mmHg, N 94 x/mnt, R 20 x/mnt S 37.5 oC, keluhan utama BAK merah sejak 3tahun yang lalu. Tanggal 22/02/2012 pasien menjalani nefrostomi dextra karena mengalami hidronefrosis. Saat pengkajian pasien masih terpasang nefrostomi dextra. Produksi nefrostomi lancar 2.300 cc/24 jam, BAK spontan 1x/hari + 150 cc, minum 2,5 lt. Pasien dan keluarga tidak mengetahui tentang penyakitnya dan tidak percaya bahwa dirinya sakit tomor. Pasien dan keluarga mengatakan bahwa sakitnya karena diguna-guna orang lain. Pasien tampak cemas. Stimulus fokal: TCC buli, kontekstual: nefrostomi dextral, residual: kurang pengetahuan. Masalah utama yang diangkat adalah perubahan pola eliminasi, resiko infeksi dan kecemasan. Intervensi keperawatan yang dilakukan melalui aktivitas regulator melalui: perawatan slang nefrostomi, monitor & manajemen cairan, monitor tanda vital, pencegahan infeksi dan aktivitas kognator melalui pemberian edukasi tentang proses penyakit, tanda & gejala infeksi, pencegahan infeksi, dan penurunan kecemasan. Setelah 7 hari perawatan perilaku pada model fisiologis belum adaptif, sedangkan pada mode konsep diri mulai adaptif
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012
Analisis praktik..., Welas Riyanto, FIK UI, 2012