UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12 KELURAHAN BARANANG SIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR
Dwi Heppy Rochmawati 0906573742
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JUNI 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
MANAJEMEN KASUS SPESIALIS JIWA DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RW 02 DAN RW 12 KELURAHAN BARANANG SIANG KECAMATAN BOGOR TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR Disusun guna memenuhi tugas untuk menyelesaikan Mata Ajar KIA pada Program Spesialis Keperawatan Jiwa
Dwi Heppy Rochmawati 0906573742
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JUNI 2012
ii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
ABSTRAK
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS UNIVERSITAS INDONESIA
ILMU
KEPERAWATAN
Karya Ilmiah Akhir, Juli 2012
Dwi Heppy Rochmawati Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien Gangguan Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur xviii + 180 hal + 19 tabel + 3 skema + 5 lampiran
Jumlah klien gangguan jiwa yang ditemukan adalah 18 orang (2,44%) dari total penduduk dewasa 737 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan dari estimasi gangguan jiwa di Jawa Barat (0,22%). Defisit perawatan diri adalah salah satu bentuk gangguan jiwa dan dialami oleh seluruh klien gangguan jiwa yang ditemukan. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan management of care kasus spesialis terhadap klien defisit perawatan diri dengan pendekatan Self Care Orem. Metode yang digunakan adalah studi serial kasus defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa. Paket terapi yang diberikan : 1 Behaviour theraphy, 2 Behaviour theraphy dan Supportif Theraphy, 3 Behaviour theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Terapi diberikan kepada 17 klien (9 skizofrenia, 4 retardasi mental dan 4 demensia). Hasil pelaksanaan terapi adalah paket terapi ketiga sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan dan menurunkan tanda gejala klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia dan retardasi mental. Terapi-terapi tersebut kurang efektif bagi klien demensia. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa behaviour theraphy, supportif theraphy dan self help group dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa bagi klien defisit perawatan diri khususnya dengan skizofrenia dan perlu dilakukan penelitian lanjut tentang terapi spesialis keperawatan jiwa yang tepat untuk klien defisit perawatan diri dengan demensia.
Kata kunci :
Behaviour theraphy, Self Care Orem, defisit perawatan diri.
Daftar pustaka 57 (1997-2012)
vii Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
ABSTRACT
POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA
The Last Paper of Science, July 2012 Dwi Heppy Rochmawati Mental Specialist Case Management Self-Care Deficit for Client of Mental Disorders at RW 02 and RW 12 Kelurahan Baranang Siang East of Bogor xviii + 180 page + 19 table + 3 scheme + 5 appendixs
The amount of clients of mental disorders found were 18 people (2.44%) of the total adult population of 737 people. This amount shows an increase from an estimate of mental disorder in West Java (0.22%). Self-care deficit is one form of mental disorder and is experienced by all clients of mental disorders was found. The purpose of this paper is to describe management of care the scientific end case specialists to client self-care deficit with Orem’s Self Care approach. The method used is the serial case study of self-care deficits in psychotic clients with life-giving therapy nursing specialists. Therapy are : first package of Behavior Therapy, second package of Behavior Therapy and Supportive Therapy, third package of Behavior Therapy, Supportive Therapy and Self Help Group. Therapy was given to the 17 client (9 schizophrenia, 4 mental retardation, and 4 dementia). The results of the implementation of these therapies is that the package of three highly effective therapy to improve coping mechanism and reduce the symptoms signs on the client's self-care deficit with a medical diagnosis of schizophrenia and mental retardation in performing self-care. These therapies are less effective for clients with dementia. Based on the above results need to be recommended that the behavior therapy, supportive therapy and self help group can be made standard of therapy of nursing specialist self-care deficit of clients and schizophrenia in particular, and have done research about nursing specialist mental therapy is right for the client self-care deficits with dementia.
Keywords: Behavior Therapy, Self Care Orem, self-care deficit. Bibliography 57 (1997-2012)
viii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahi Robbil Aalamiin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat Rahmat dan Kasih Sayang-Nya Karya Ilmiah Akhir dengan judul “Manajemen Kasus Spesialis Jiwa Defisit Perawatan Diri pada Klien Gangguan Jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur” dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis tidak lepas mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kepala Kecamatan Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam mengembangkan program Community Mental Health Nursing (CMHN) di Wilayah Kecamatan Bogor Timur khususnya Kelurahan Baranang Siang. 2. Kepala Puskesmas Bogor Timur beserta seluruh staf yang telah bekerjasama dan memfasilitasi serta memberikan kesempatan pada mahasiswa dalam mengembangkan progam Community Mental Health Nursing (CMHN) di Wilayah Puskesmas Bogor Timur. 3. Kepala Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur yang telah bekerja sama, memfasilitasi dan memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengaplikasikan kemampuan perawat spesialis khususnya dalam mengembangkan program CMHN di Wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. 4. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
ix
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
5. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 6. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S. Kp., M. App. Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai. 7. Ice Yulia Wardani, S. Kp., M. Kep., Sp. Kep. J., selaku pembimbing II yang telah memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini hingga selesai. 8. Mustikasari, S. Kp., MARS., selaku Dosen Wali yang selalu memberikan arahan dan motivasi untuk tetap semanagt dan maju meraih yang terbaik. 9. Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 10. Herni Susanti, S.Kp., M.N, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 11. Novy Helena C.D., S. Kp., M. Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok
Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia 12. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun karya ilmiah akhir ini. 13. Seluruh keluarga terutama suami (Hery Apriyanto) dan anak-anakku tercinta (Kiky, Vicky dan Ricky Ilyasa) yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama proses studi. 14. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan Tahun 2009 senasib seperjuangan. 15. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
x
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat untuk semua kebaikan yang telah penulis terima dan semoga laporan Karya Ilmiah Akhir ini dapat dipergunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa.
Depok, Mei 2012
Dwi Heppy Rochmawati
xi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................
i
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ...............................................................
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .........................................
vi
ABSTRAK ...................................................................................................
vii
ABSTRACT .................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ix
DAFTAR ISI ................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xviii
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................
9
1.2.1 Tujuan Umum ...........................................................................
9
1.2.2 Tujuan Khusus ..........................................................................
9
1.3 Manfaat Penulisan ..............................................................................
10
1.3.1 Manfaat Aplikatif ......................................................................
10
1.3.2 Manfaat Keilmuan .....................................................................
10
1.3.3 Manfaat Metodologi ..................................................................
11
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa ..................................................................................
12
2.2 Skizofrenia .........................................................................................
14
2.2.1 Pengertian .................................................................................
14
2.2.2 Penyebab ...................................................................................
15
xii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
2.2.3 Tanda dan Gejala .......................................................................
16
2.2.4 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia ..............................................
18
2.3 Retardasi Mental ................................................................................
20
2.3.1 Pengertian ..................................................................................
20
2.3.2 Penyebab ...................................................................................
21
2.3.3 Tanda dan Gejala .......................................................................
24
2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental .....................................
25
2.4 Demensia ............................................................................................
26
2.4.1 Pengertian .................................................................................
26
2.4.2 Penyebab ...................................................................................
27
2.4.3 Tanda dan Gejala ......................................................................
27
2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia ................................................
27
2.5 Defisit Perawatan Diri ........................................................................
29
2.5.1 Pengertian ................................................................................
29
2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri ................................................
29
2.5.3 Respon terhadap Stresor pada Defisit Perawatan Diri .............
40
2.5.4 Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri ...............................
46
2.5.5 Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri ........................
52
2.6 Konseptual Model Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa ..........
69
2.6.1 Teori dan Konsep Model Self Care Dorothy Orem ..................
70
2.6.2 Konsep Community Mental Health Nursing ............................
75
2.6.3 Aplikasi dan Kerangka Konsep Proses Keperawatan dengan Pendekatan Model Orem’s Self Care .......................................
84
3. MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR 3.1 Profil Wilayah .....................................................................................
88
3.1.1 Kecamatan Bogor Timur ............................................................
88
3.1.2 Kelurahan Baranang Siang ........................................................
91
3.1.3 RW 02 dan RW 12 .....................................................................
92
3.2 Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa ..............................................
96
xiii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
3.2.1 Puskesmas Bogor Timur ............................................................
96
3.2.2 Kelurahan Baranang Siang ........................................................
96
3.2.3 RW 02 dan RW 12 .....................................................................
96
4. PELAKSANAAN DAN HASIL MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI 4.1 Hasil Pengkajian ................................................................................
109
4.1.1 Karakteristik ............................................................................
109
4.1.2 Stressor Predisposisi ...............................................................
111
4.1.3 Stressor Presipitasi ....................................................................
113
4.1.4 Respon terhadap Stressor ..........................................................
114
4.1.5 Kemampuan Klien ....................................................................
116
4.2 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis .....................................
118
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan ........................................................
120
4.4 Pelaksanaan dan Hasil Tindakan Keperawatan ..................................
126
4.4.1 Tindakan Keperawatan .............................................................
126
4.4.2 Hasil .........................................................................................
138
4.5 Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut .................................................
151
4.5.1 Evaluasi Keperawatan ..............................................................
151
4.5.2 Rencana Tindak Lanjut .............................................................
151
4.6 Hambatan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan ...................................
152
4.6.1 Pelaksanaan Terapi ...................................................................
152
4.6.2 Lingkungan Perawatan .............................................................
153
5. PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik .......................................................................................
154
5.1.1 Usia ...........................................................................................
154
5.1.2 Pendidikan .................................................................................
155
5.1.3 Status Pekerjaan ........................................................................
156
5.1.4 Status Perkawinan .....................................................................
156
5.2 Stressor Predisposisi ..........................................................................
157
xiv
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
5.3 Stressor Presipitasi .............................................................................
159
5.4 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri
161
dengan Pendekatan Teori Dorothy Orem Self Care Model .............
161
5.4.1
Respon terhadap Stressor .......................................................
163
5.4.2
Kemampuan Klien .................................................................
166
5.5 Efektifitas Penerapan Terapi pada Defisit Perawatan Diri ................
169
5.3.1 Efektifitas BT ............................................................................
169
5.3.2 Efektifitas BT+ST, BT+ST+SHG .............................................
172
5 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ...........................................................................................
177
6.2 Saran ..................................................................................................
179
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW 02 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur
94
Tabel 3.2
Distribusi KK Sehat, Risiko dan Gangguan di RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur
96
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
110
Tabel 4.2
Distribusi Stressor Predisposisi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011April 2012 (n=18)
112
Tabel 4.3
Distribusi Stressor Presipitasi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011April 2012 (n=18)
113
Tabel 4.4
Distribusi Respon terhadap Stressor Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011April 2012 (n=18)
115
Tabel 4.5
Distribusi Kemampuan Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
117
Tabel 4.6
Distribusi Diagnosa Keperawatan Penyerta Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
119
Tabel 4.7
Distribusi Diagnosa Medis Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
119
Tabel 4.8
Rencana Pemberian Terapi Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
125
Tabel 4.9
Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Klien dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
126
xvi
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Keluarga dengan Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
131
Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Keperawatan Kelompok Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n=18)
135
Tabel 4.12
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober 2011-April 2012
139
Tabel 4.13
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode Oktober 2011-April 2012
140
Tabel 4.14
Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011April 2012
141
Tabel 4.15
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Skizofrenia Periode Oktober 2011-April 2012
146
Tabel 4.16
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Retardasi Mental Periode Oktober 2011-April 2012
147
Tabel 4.17
Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Pre dan Post Terapi Klien Defisit Perawatan Diri dengan Diagnosa Medis Demensia Periode Oktober 2011April 2012
147
Tabel 4.18
Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
150
Tabel 4.19
Distribusi Kemampuan Kelompok dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
151
xvii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Rentang Respon Perawatan Diri
45
Gambar 2.2
Orem’s Self Care Model
72
Gambar 2.3
Aplikasi Penerapan Orem’s Self Care Model
87
Gambar 3.1
Struktur Pengelolaan Klien Gangguan Jiwa RW
100
02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang
xviii
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Rekapitulasi
Hasil
Pengkajian
Karaktersitik
Klien
Defisit
Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012
Lampiran 2
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Predisposisi Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012
Lampiran 3
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Faktor Presipitasi Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012
Lampiran 4
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Penilaian Terhadap Stresor Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012
Lampiran 5
Rekapitulasi Hasil Pengkajian Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Periode Oktober 2011-April 2012
xix
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (UU No 36, 2009). Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001 yaitu kondisi sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara
produktif
dan
mempunyai
kontribusi
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan menurut Stuart (2009) kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas, pencapaian diri dan optimis. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan atau kondisi yang sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun sosial, mampu menyadari tentang diri dan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat berfungsi secara produktif baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.
WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, namun hanya 40% yang terdiagnosis. Selain itu, 10% populasi orang dewasa pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, 20% pasien di puskesmas teridentifikasi mengalami gangguan jiwa dan satu orang dari empat rumah tangga mempunyai keluhan gangguan perilaku. Data WHO (2006) mengungkapkan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Panik dan cemas adalah gejala paling ringan dan dari total populasi, sekitar 13,2 juta orang mengalami depresi.
1 Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
2
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan
Penelitian
Pengembangan
Kesehatan
Kemenkes
Republik
Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota Bogor. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan jiwa baik gangguan jiwa ringan hingga berat cukup tinggi dan membutuhkan penanganan yang serius serta berkesinambungan.
Gangguan jiwa menurut Townsend, (2005) merupakan respon maladaptif terhadap stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat, mengganggu fungsi sosial, pekerjaan, dan fisik individu. Disfungsi yang terjadi dapat berupa disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat (PPDGJ III, 2003). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) 4th edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan sebagai kumpulan gejala (sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari perilaku dan psikologis yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan stress dan ketidakmampuan (kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih) atau meningkatan resiko penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan.
Gangguan jiwa menurut Kaplan dan Sadock (2007), merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
3
hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stresor yang menyebabkan disfungsi baik biologis, psikologis atau perilaku dimana disfungsi atau perubahan ini tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya setempat yang menyebabkan timbulnya penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan peran sosialnya.
Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut PPDGJ III (tahun 2003) bahwa Skizofrenia termasuk salah satu gangguan jiwa, selain gangguan mental organik, gangguan mood dan afektif, gangguan neurotik, gangguan kepribadian, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis dan gangguan perilaku dan emosional. Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007). Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir (arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme) dan perilaku bizarre (agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip). Gejala negatif yaitu afek tumpul,
ketidakmampuan
dalam
berpikir,
kehilangan
motivasi,
ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan, sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja (bermasalah dalam pekerjaan) atau menurunnya aktifitas sosial sehari-hari (termasuk perawatan diri).
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
4
Gejala kognitif yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, tidak logis. Sedangkan gejala depresi atau perubahan
mood
yaitu
dysphoria,
keinginan
bunuh
diri
dan
ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2009).
Penjelasan di atas memberikan makna bahwa individu dengan skizofrenia mengalami perubahan-perubahan pada perasaan, pikiran dan perilaku menjadi maladaptif sehingga mempengaruhi individu tersebut dalam berperan terhadap dirinya atau orang lain. Berdasarkan gejala-gejala negatif, kognitif dan depresi tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia beresiko untuk mengalami Defisit Perawatan Diri.
Defisit perawatan diri adalah kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktifitas kebersihan diri secara mandiri (merawat tubuh dan fungsi tubuh) yang meliputi aktifitas mandi, berpakaian dan berhias untuk diri sendiri sesuai situasi dan kondisi, aktifitas makan, dan aktifitas toileting (Herdman,
2012).
Perawatan
diri
membutuhkan
kesadaran
dan
pemahaman yang baik untuk memenuhinya, karena perawatan diri merupakan salah satu kebutuhan yang sangat dasar bagi manusia. Berdasarkan pengalaman penulis di komunitas, walaupun klien telah dijelaskan pentingnya perawatan diri dan diajarkan cara-cara memenuhi kebutuhan perawatan diri hingga dimotivasi dengan menyediakan kebutuhan untuk perawatan diri namun masih banyak klien belum melaksanakannya dengan baik. Kondisi ini memberikan arti bahwa manajemen untuk mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri masih ada yang kurang atau tidak berkesinambungan.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
5
tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang Air Besar (BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri (WHO & FIK UI, 2006). Penatalaksanaan klien dengan Defisit Perawatan Diri yang dilakukan di masyarakat sudah dikembangkan melalui Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan kesehatan jiwa di komunitas diberikan oleh perawat puskesmas yang telah mendapat pelatihan. Perawat melakukan manajemen asuhan dengan melakukan kunjungan ke keluarga, sedangkan kolaborasi terkait pemberian obat atau yang lainnya dilakukan di puskesmas.
Intervensi keperawatan terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan generalis diajarkan dan dilatih kepada klien dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting. Tindakan keperawatan spesialis Defisit Perawatan Diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati (2008) terhadap 110 klien gangguan jiwa yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor menunjukkan hasil bahwa dengan pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa token ekonomi menunjukkan peningkatan kemampuan. Kemampuan klien merawat diri diukur dan diobservasi secara statistik dan menunjukkan hasil bahwa pada klien Defisit Perawatan Diri yang diberikan terapi token ekonomi mengalami peningkatan kemampuan dibandingkan dengan klien Defisit Perawatan Diri yang tidak diberikan terapi token ekonomi. Pada klien Defisit Perawatan Diri di komunitas, terapi perilaku token ekonomi yang diberikan oleh penulis menunjukkan hasil efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
6
Konsep pelayanan keperawatan diterapkan dengan memberi pelayanan pada tiga strategi pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Kegiatan yang harus dilakukan dalam upaya mencapai tiga pencegahan tersebut yaitu dengan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (continuity care) atau pelayanan yang dilakukan di rumah sakit hingga di masyarakat. Kegiatan
pencegahan
primer
berupa
promosi
kesehatan
dapat
dikembangkan di masyarakat dalam bentuk community mental health nursing (CMHN). Kegiatan pencegahan sekunder berupa penyembuhan atau kuratif dapat dilakukan di rumah sakit jiwa dan puskesmas atau masyarakat bagi kasus gangguan mental berat dan gangguan mental emosional. Sedangkan kegiatan pencegahan tersier atau rehabilitatif dapat dilakukan di masyarakat tidak hanya oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan
pemberdayaan
masyarakat
melalui
kegiatan
memberikan
pemahaman, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah kesehatan jiwa warganya.
Upaya untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Bentuk pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa komunitas ini dikenal dengan istilah Community Mental Health Nursing (CMHN) ( Keliat, dkk, 2007). Program CMHN ini pertama kali dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan beberapa tempat lain di Indonesia. Provinsi Jawa Barat khususnya Kota Bogor merupakan daerah pertama kali dikembangkannya program CMHN yang bukan karena bencana alam. Program ini dikembangkan oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia melalui
Program
Pendidikan
Spesialis
Keperawatan
Jiwa
yang
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pertama kali dilaksanakan tahun 2006 di Kelurahan Sindang Barang, kemudian tahun 2008 di Kelurahan Bubulak, tahun 2010 di Kelurahan Katulampa dan mulai tahun 2011 di Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan dan keberhasilan program CMHN ini menunjukkan bahwa program telah efektif untuk memulihkan masalah kesehatan jiwa pada klien yang masih
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
7
berada di masyarakat baik yang sudah mengalami gangguan jiwa maupun yang masih mengalami masalah psikososial atau klien yang mempunyai risiko untuk mengalami gangguan jiwa.
Kegiatan CMHN yang telah dilakukan penulis di komunitas bekerja sama dengan pihak Puskesmas Bogor Timur dan Kelurahan Baranang Siang. Pertama kali yang dilakukan adalah pembentukan RW Siaga Sehat Jiwa, perekrutan Kader Kesehatan Jiwa dan penyelenggaraan Pelatihan Kader Kesehatan Jiwa. Kegiatan yang dilakukan oleh kader setelah mengikuti pelatihan adalah deteksi dini pada keluarga dan diperoleh daftar keluarga sehat, resiko maupun gangguan jiwa. Bersama kader penulis melakukan kunjungan rumah dan memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Program CMHN bertujuan untuk meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat, mempertahankan individu yang sehat jiwa tetap sehat, mencegah terjadinya gangguan pada kelompok masyarakat yang risiko atau rentan dan memulihkan klien gangguan jiwa untuk menjadi mandiri dan produktif. Tujuan dari kelurahan peduli sehat jiwa adalah agar masyarakat ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit, serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di masyarakat.
Karya Ilmiah Akhir ini dilaporkan dan dianalisis berdasarkan praktik klinik keperawatan jiwa III di Kelurahan Baranang Siang selama 9 minggu yaitu dari tanggal 20 Februari sampai dengan 20 April 2012. Kelurahan Baranang Siang merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan dan Puskesmas Bogor Timur. Jumlah penduduk berdasarkan laporan sistem pendataan profil Kelurahan Baranang Siang Bulan Desember 2011, yaitu sebanyak 24.162 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 6608 KK. Kasus gangguan jiwa yang ditemukan sebanyak 91 orang, yang berarti prevalensi gangguan jiwa di Kelurahan Baranang Siang sebesar 0,59% atau lebih besar dari prevalensi di Jawa Barat yaitu 0,22%
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
8
(Riskesdas, 2007). Dari 91 orang ini tersebar di 14 RW kelurahan Baranang Siang, dan 18 orang di antaranya berada di wilayah RW 02 dan RW 12.
Berdasarkan
survey serta pengalaman penulis dalam melakukan
perawatan kepada klien selama di komunitas khususnya RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang ditemukan beberapa masalah keperawatan. Dari sejumlah 1.168 penduduk (186 jiwa di RW 02 dan 982 jiwa di RW 12), ditemukan jumlah penduduk dewasa adalah 817 jiwa. Angka gangguan mental emosional sebanyak 148 jiwa dari 200 jiwa yang diperkirakan, angka gangguan jiwa yang ditemukan 18 jiwa dari 4 jiwa berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Angka tersebut meningkat hampir 450% dari angka gangguan jiwa tingkat nasional yaitu 0,46%.
Masalah keperawatan pada klien gangguan jiwa yang ada di RW 02 dan RW 12 yaitu halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial, waham, resiko bunuh diri, perilaku kekerasan/risiko perilaku kekerasan dan defisit perawatan diri. Dari tujuh masalah keperawatan tersebut yang paling sering ditemukan adalah masalah defisit perawatan diri, sebanyak 18 orang (100%) klien mengalami Defisit Perawatan Diri. Penulis melakukan manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan Defisit Perawatan Diri dengan pendekatan CMHN.
Tindakan keperawatan yang tepat, di tatanan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah Defisit Perawatan Diri ini. Tindakan yang sudah dikembangkan dalam mengatasi Defisit Perawatan Diri ini terdiri dari tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan yaitu klien diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting (BAK dan BAB secara benar). Tindakan keperawatan spesialis yang tepat dan dapat dilakukan untuk klien dengan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
9
Defisit Perawatan Diri antara lain adalah terapi perilaku, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psiko edukasi keluarga. Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa ini menunjukan hasil yang signifikan dalam dalam
pemenuhan
kemampuan
klien
mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif
kebutuhan dalam
perawatan
memenuhi
diri
dan
kebutuhan
meningkatkan
perawatan
diri.
Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir.
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Menggambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap pasien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model Self Care Dorothea Orem.
1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.2.1 Diketahui karakteristik pasien yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur. 1.2.2.2 Diketahui gambaran kasus yang meliputi stressor, respon dan kemampuan yang dimiliki klien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur. 1.2.2.3 Diketahui pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap klien yang mengalami Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur. 1.2.2.4 Diketahui manajemen kasus yang tepat pada pasien Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
10
Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Orem. 1.2.2.5 Diketahui
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
perawatan Defisit Perawatan Diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Kecamatan Bogor Timur dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson.
1.3 Manfaat 1.3.1 Manfaat Aplikatif 1.3.1.1 Klien Defisit Perawatan Diri bisa dirawat di komunitas dengan
baik
oleh
keluarga
dan
masyarakat
yang
berpartisipasi sebagai kader kesehatan jiwa yang telah dibekali dengan ilmu kesehatan jiwa. 1.3.1.2 Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya pada klien dengan Defisit Perawatan Diri yang diberikan oleh perawat jiwa di komunitas. 1.3.1.3 Menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun program kebijakan Puskesmas dalam penanggulangan masalah gangguan jiwa pada klien Defisit Perawatan Diri di masa mendatang.
1.3.2 Manfaat Keilmuan 1.3.2.1 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa
komunitas
dalam
menangani
masalah
Defisit
Perawatan Diri pada pasien gangguan jiwa di komunitas 1.3.2.2 Masukan
bagi
pengelola
program
kesehatan
jiwa
masyarakat di Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam merencanakan program-program yang lebih efektif dan merupakan dasar dalam merumuskan kebijakan dalam menangani masalah kesehatan jiwa.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
11
1.3.3 Manfaat Metodologi 1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa program pasca sarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di masyarakat. 1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada kelompok gangguan jiwa dan melakukan koordinasi serta kerjasama dengan jajaran masyarakat 1.3.3.3 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini selanjutnya dapat menjadi bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa. 1.3.3.4 Berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi pasien dengan masalah Defisit Perawatan Diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tentang konsep-konsep dasar keperawatan dan medis yang mendasari penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, yaitu Gangguan Jiwa, Skizofrenia, Retardasi Mental, Demensia, Defisit Perawatan Diri dan penatalaksanaan klien Defisit Perawatan Diri dengan pendekatan Model Self Care Dorothea Orem dan Community Mental Health Nursing (CMHN). 2.1 Gangguan Jiwa Tingginya angka gangguan jiwa di Indonesia merupakan hal yang sangat serius karena mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, menimbulkan beban sosial ekonomi yang tinggi, mengakibatkan kemiskinan, kehilangan produktivitas, dan disintegrasi keluarga. Menurut Depkes (2008) hasil data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas, 2007), menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Sedangkan gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6 ‰ dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 2,02% ; untuk daerah Jawa Barat khususnya Kota Bogor yaitu 0,40%. Hal ini berarti bahwa dari setiap 1000 jumlah penduduk akan ditemukan sebanyak 4 orang yang menderita gangguan jiwa di Kota Bogor. Kondisi ini merupakan masalah yang serius dan membutuhkan penanganan yang sangat efektif.
Gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola perilaku, atau psikologis seseorang yang secara klinik bermakna, dan secara khusus berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (disability) atau secara bermakna meningkatnya risiko merasa sangat menderita, merasa sakit, kecacatan, atau kehilangan arti penting dari kebebasan (American Psychiatric Association, 2000 dalam Townsend, 2005). Disfungsi yang terjadi dapat berupa disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, biologik dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat (Maslim, 2003).
12
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
13
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR) 4th edition (1994) gangguan jiwa didefinisikan sebagai kumpulan gejala (sindrom) atau pola klinik yang signifikan dari perilaku dan psikologis yang terjadi pada individu dan dikaitkan dengan stress dan ketidakmampuan (kerusakan fungsi dalam satu area atau lebih) atau meningkatan risiko penderitaan, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan. Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan gangguan jiwa adalah suatu sindrom dari beberapa disfungsi yaitu disfungsi perilaku, psikologis dan biologis yang mengakibatkan penderitaan bagi diri klien dan keluarga.
Ganguan jiwa ini sangat luas mulai dari yang sangat ringan atau berat memerlukan perawatan hingga berhasil. Klasifikasi gangguan jiwa ringan hingga berat didasarkan akan gejala klinis yang ditampakkan oleh klien (Bastaman, 2010). Gangguan jiwa ringan dicirikan sering dilanda kecemasan, gangguan panik, sulit berkonsentrasi, serta gangguan tidur, sedangkan gangguan jiwa berat dicirikan dengan ketidakmampuan membedakan yang nyata dan tidak nyata, perilaku irasional, agresif, serta paranoid. Menurut Maslim (2003) yang termasuk dalam gangguan jiwa adalah : gangguan mental organik termasuk di dalamnya demensia, skizofrenia, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak-kanak dan remaja, serta kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis.
Berdasarkan penggolongan tersebut, jelaslah bahwa skizofrenia, retardasi mental dan demensia merupakan gangguan jiwa. Berikut akan diuraikan satu persatu mengenai skizofrenia dan retardasi mental.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
14
2.2 Skizofrenia Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Hawari, 2001). Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia remaja akhir atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi persepsi, pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizofrenia adalah bentuk parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per seribu dari populasi orang dewasa, terutama di kelompok usia 15-35 tahun (WHO, 2011).
2.2.1 Pengertian Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Sedangkan menurut Kaplan & Saddock (2007), skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat disebabkan karena penyakit yang mempengaruhi otak ditandai dengan perubahan perilaku, emosi dan pikiran.
Penetapan diagnosa skizofrenia berdasarkan gejala-gejala khas yang ditampakkan seperti halusinasi, delusi. dan gejala khas ini telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih, serta harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall
quality)
dari
beberapa
aspek
pribadi,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak mampu berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial (Maslim, 2003)
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
15
2.2.2 Penyebab Menurut Stuart (2009) penyebab Skizofrenia terdiri atas biologis, psikologis, sosial dan lingkungan. a. Biologis Penyebab skizofrenia dari segi biologis terdiri dari genetik, neurotransmiter, neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teoriteori virus. Menurut Kaplan & Saddock (2007), pengaruh faktor genetik terhadap skizofrenia belum teridentifikasi secara spesifik namun ada 9 ikatan kromosom yang dipercayai untuk terjadinya skizofrenia yaitu 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q. Menurut Shives (2005), anak dengan orang tua yang salah satunya mengalami skizofrenia mempunyai risiko 10% dan bila kedua orang tua mengalami skizofrenia maka anak akan berisiko 40% mengalami skizofrenia juga.
Individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa korteks prefrontal dan korteks limbik otak tidak berkembang dengan sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volume otak, fungsi yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada sistem
neurotransmitter.
Fokus
pada
korteks
frontal
mengimplikasikan gejala negatif pada skizofrenia dan sistem limbik (dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif pada skizofrenia serta sistem neurotransmitter menghubungkan kedua daerah tersebut terutama dopamin, serotonin dan glutamat (Frisch & Frisch, 2006).
Menurut teori yang disampaikan bahwa pada masa kehamilan khususnya pada trimester kedua bila terpapar virus influenza berisiko untuk terjadinya skizofrenia pada anak (Shives, 2005). Jadi, berdasarkan keterangan di atas bahwa ditinjau dari faktor biologis, skizofrenia terjadi karena genetik, kortek prefrontal dan kortek limbik yang tidak berkembang, pengaruh neurotransmitter
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
16
serta adanya serangan virus pada masa kehamilan.
b. Psikologis Penyebab skizofrenia secara psikologis adalah karena keluarga dan perilaku individu itu sendiri. Faktor keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian yang berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah yang jauh atau yang memberikan perhatian berlebihan, konflik pernikahan, dan anak yang didalam keluarga selalu dipersalahkan (Stuart, 2009). Komunikasi dalam bentuk pesan ganda ini menyebabkan
individu
yang
menerimanya
berisiko
untuk
mengalami skizofrenia.
c. Sosial dan lingkungan Penyebab skizofrenia secara sosial dan lingkungan adalah status sosial ekonomi. Status sosioekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan pekerjaan individu (Lipson et al, 1996 dalam Videbeck, 2008). Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti skizofrenia dan salah satu faktornya adalah masalah status sosial.
Isaacs (2005) dalam teori keluarga, bagian fungsi keluarga yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah keluarga yang sangat mengekspresikan emosi (high expressed emotion). Pola asuh yang dilakukan oleh keluarga yang terlalu berlebihan menjadi pemicu terjadinya skizofrenia. Baik itu pola asuh positif maupun negatif.
2.2.3 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala klien yang mengalami skizofrenia yang paling umum menurut Seagel dan Smith (2011) adalah sosial penarikan, permusuhan dan kecurigaan, kerusakan kebersihan diri, ekspresi tatapannya datar, ketidakmampuan menangis atau mengekspresikan kegembiraan,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
17
depresi, aneh atau pernyataan tidak rasional, pelupa tidak dapat berkonsentrasi, ekstreme terhadap kritik, dan aneh penggunaan kata atau cara bicara. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir yaitu arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme dan perilaku bizarre yaitu agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip. Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir, kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan, sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja yaitu bermasalah dalam pekerjaan atau menurunnya aktifitas sosial sehari-hari yaitu tidak memperhatikan kebersihan diri. Gejala kognitif yaitu kurang perhatian, mudah terdistraksi, gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, tidak logis dan gejala depresi atau perubahan mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan beberapa gejala tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami gangguan jiwa berat atau skizofrenia berisiko untuk mengalami Defisit perawatan diri.
Skizofrenia terdiri dari beberapa tipe berdasarkan DSM-IV-TR (APA, 2000 dalam Frisch, 2006) yaitu skizofrenia paranoid dengan tanda curiga, bermusuhan, garang ; skizofrenia katatonik yaitu seperti patung, tidak mau makan, tidak mau minum ; skizofrenia hebefrenik, perilaku
seperti
anak
kecil,
merengek-rengek,
minta-minta
;
skizofrenia simplek, penampilan seperti gelandangan, jalan terus, keluyuran ; dan skizofrenia latent, ditandai dengan autustik, seperti
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
18
gembel. Jenis Skizofrenia yang berisiko untuk terjadi defisit perawatan diri adalah skizofrenia katatonik, simplek dan latent. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia mempunyai gejala negative dan gejala positif, dimana defisit perawatan diri merupakan gejala negatif dan cenderung ditunjukan oleh skizofrenia katatonik simplek dan latent.
Fase skizofrenia dibagi dua yaitu fase akut dan fase kronik. Fase Akut adalah fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan, ditandai dengan Waham ; Halusinasi ; Perubahan arus pikir yaitu arus pikir terputus dalam pembicaraan terjadi tiba-tiba tanpa bisa melanjutkan isi pembicaraan, inkoheren yaitu berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau), neologisme yaitu menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri tapi tidak dimengerti oleh orang lain ; Perubahan perilaku yaitu hiperaktif atau perilaku motorik yang berlebihan, agitasi yaitu perilaku yang menunjukkan kegelisahan, iritabilitas yaitu mudah tersinggung. Fase Kronik ditandai dengan gejala akut, sudah berlangsung 6 bulan atau lebih dengan tanda atau gejala-gejala yang sama dengan fase akut. Selain itu timbul gejala-gejala lainnya seperti : Sikap masa bodoh, apatis secara emosional, gangguan berpikir yang tampak dari pembicaraan yang tidak terangkai atau aneh, menarik diri dari pergaulan sosial, bermasalah dalam pekerjaan, tidak memperhatikan kebersihan diri, gangguan motorik atau pergerakan (Keliat, 2007).
2.2.4 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia Skizofrenia dapat diawali dengan atau tanpa fase prodormal (early psikosis). Gejala yang tampak pada fase ini adalah gangguan pola tidur,
gangguan napsu makan, perubahan perilaku, afek datar,
pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan perubahan dalam penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung mendapatkan terapi maka skizofrenia dapat dihindari. Namun pada
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
19
beberapa klien, mereka tidak menyadari atau tidak mengalami fase ini sehingga tidak mendapatkan penangganan awal dan berakhir pada skizofrenia. Pengobatan skizofrenia lebih efektif bila dimulai sedini mungkin saat gejala mulai muncul (World Federation for Mental Health, 2009). Penatalaksanaan pengobatan Skizofrenia mengacu pada penatalaksanaan Skizofrenia secara umum.
Anti Psikotik Obat-obat antipsikotik efektif mencegah penyebaran keadaan akut dan mencegah relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik yaitu antipsikotik tradisional (tipikal) dan antipsikotik atipikal. Jenis antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik. Atipikal antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizofrenia tapi juga meningkatkan kualitas hidup.
Varcarolis
(2006) menyebutkan
antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama karena memiliki karakteristik : efek ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala positif sebaik mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif.
Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone, olanzapine dan quetiapine. Target kerja kelompok atipikal mengatasi baik gejala positif maupun negatif. Golongan atipikal mempunyai efek samping lebih ringan dari golongan tipikal dan walaupun muncul gejala efek samping, biasanya klien masih bisa mentoleransinya. Selain itu kelompok atipikal juga bisa mengatasi gejala cemas dan depresi, menurunkan kecenderungan perilaku bunuh diri dan memperbaiki fungsi neurokognitif (Varcarolis, 2006). Sedangkan yang termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara lain haloperidol, tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Varcarolis, 2006). Target kerja kelompok tipikal adalah mengatasi gejala positif. Golongan tipikal mempunyai efek samping lebih dari golongan atipikal (Kuo, 2004 dalam Varcarolis 2006). Pengobatan pada klien skizofrenia yang paling umum diberikan adalah chlorpromazine tablet
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
20
dengan pilihan dosis 25 mg dan 100 mg, injeksi dengan dosis 25 mg/ml; haloperidol tablet dengan pilihan dosis 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg, injeksi 5 mg/ml; dan triheksipenidil tablet sediaan dosis 2 mg.
Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal berupa reaksi distonia akut, akatisia, dan Parkinson; kejang dan sindrom maligna neuroleptik. Efek samping non neorologis mencakup sedasi; fotosensitivitas; dan gejala antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, kontsipasi, retensi urin, dan hipotensi ortostatik (Videbeck, 2008).
Obat pencegahan efek ekstrapiramidal diberikan melalui jenis obat pencegahan sindrom ekstrapiramidal yaitu trihexyphenidil (THP), biperidin dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006). Trihexyphenidil dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari dan difehidamin dosis yang diberikan 10-400 mg/hari untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi ekstrapiramidal akibat obat (Kaplan & Saddock, 1997).
2.3 Retardasi Mental 2.3.1 Pengertian Menurut PPDGJ III (2003), bahwa retardasi mental merupakan gangguan jiwa. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)
(2002)
Retardasi
mental
yaitu
:
Kelemahan
atau
ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 7075 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa ; keterampilan merawat diri, ADL ; keterampilan social ; penggunaan sarana masyarakat ; kesehatan dan keamanan ; akademik fungsional ; bekerja dan rileks, dan lain-lain.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
21
Menurut Durand (2007), retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Sedangkan menurut Rosyadi (2009), Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama terlihat selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Retardasi mental kadang disertai gangguan jiwa atau gangguan fisik lain.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa retardasi
mental
adalah
keterlambatan
pertumbuhan
dan
perkembangan yang berlangsung sejak masa kanak-kanak dan berpengaruh terhadap penurunan kemampuan secara kognitif, bahasa, motorik, sosial, ketrampilan. Bahkan ada beberapa yang disertai dengan gangguan jiwa dan atau gangguan fisik lain.
2.3.2 Penyebab Menurut Kaplan dan Sandock (1997), penyebab dari retardasi mental dibagi menjadi faktor genetik, faktor prenatal, faktor perinatal, gangguan didapatkan masa anak – anak, dan faktor lingkungan dan sosiokultural; a. Faktor Genetik, meliputi; kelainan kromosom (sindrom down, fragile X syndrome, sindrom klinefelter, sindrom Cri-du-chat dan sindrom turner). Sindrom Down Pada sindrom down, retardasi mental adalah ciri yang menumpang.
Orang dengan sindrom down cenderung
menunjukkan perburukan yang jelas dalam bahasa, daya ingat, ketrampilan merawat diri sendiri dan memecahkan masalah pada usia 30 tahun.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
22
Fragile X Syndrome Pada orang dengan fragile X syndrome, merupakan penyebab tunggal kedua yang tersering dari retardasi mental. Ciri perilaku orang dengan sindroma ini adalah tingginya angka gangguan defisit atensi/hiperaktif, gangguan belajar dan gangguan perkembangan pervasif, seperti gangguan autistik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perservatif dengan
kelainan
dalam
mengkombinasikan
kata-kata
membentuk frasa dan kalimat. Orang dengan sindroma X rapuh tampaknya memiliki ketrampilan dalam komunikasi dan sosialisasi yang relatif kuat dan fungsi intelektual mereka tampaknya menurun pada periode pubertal. Sindrom Cri-du-chat Anak-anak dengan sindrom tangisan kucing kehilangan bagian kromosom
5.
Mereka
mengalami
retardasi
berat
dan
menunjukkan banyak stigmata yang seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letak rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing yang khas, walaupun akan hilang dengan sendirinya dengan bertambahnya usia.
b. Faktor Perinatal Gangguan metabolik seperti fenilketonuria (FKU), penyakit Hartup, intoleransi
ruktosa,
galaktosemia.
Rubela
maternal
juga
mengakibatkan kecatatan, sifilis, toksoplamosis atau diabetes, penyalahgunaan beberapa obat. Selain itu juga malnutrisi dapat mengakibatkan bayi mengalami risiko retardasi mental.
c. Gangguan didapat pada Masa Anak-Anak Status perkembangan seseorang anak kadang-kadang berubah secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
23
kemajuan perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau ketrampilan anak tampak terganggu.
Infeksi adalah hal yang paling mempengaruhi integritas sereberal, infeksi yang sering terjadi adalah ensefalitis dan meningitis. Ensefalitas campak telah hampir dapat dihilangkan dengan pemakaian vaksin. Sebagian episode ensefalitis disebabkan oleh virus.
Kadang-kadang
klinisi
harus
mempertimbangkan
kemungkinan penyakit masa lalu dengan demam tinggi. Meningitis yang
didiagnosa
terlambat
juga
dapat
mempengaruhi
perkembangan kognitif anak.
Trauma kepala pada anak-anak juga menjadi penyebab kecacatan mental, termasuk kejang, kecelakaan bermotor, kecelakaan di rumah misalnya jatuh dari meja, dari jendela terbuka. Selain itu, penyiksaan anak juga menyebabkan retardasi mental.
d. Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiokultural Retardasi mental ringan secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami gangguan kultural, kelompok sosioekonomi rendah dan banyak keluarga yang mengalami retardasi mental dengan retardasi derajat yang sama. Malnutrisi juga menjadi penyebab kecacatan mental, kemudian perawatan bayi yang buruk, pemaparan dengan zat toksin. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan pengasuh yang berganti- ganti tetapi tidak adekuat. Kurangnya stimulus dari orang tua terhadap perkembangan anak juga menjadi penyebabnya.
Anak yang mengalami retardasi mental, seringkali mempunyai diagnosa ganda yaitu diagnosa yang mengacu pada retardasi mental dan yang kedua adalah diagnosa yang berhubungan dengan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
24
gangguan mental dan diagnosa emosional (Shives, 1998). Keterlambatan perkembangan kognitif jelas merupakan bagian yang menyatu dengan retardasi mental ini, karena perkembangan kognitif merupakan salah satu pertimbangan dalam menetapkan diagnosa retardasi mental.
Pada
keluarga
dengan
retardasi
mental
hendaknya
menjadi
perencanaan dari intervensi karena keluarga dapat mengalami masalah psikososial. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan anak yang memiliki kecacatan seringkali mempunyai tingkat stress yang sangat tinggi (Friedrich, Witmer & Cohen, 1985 dalam Shives, 1998). Menurut Shives (1998) klien dengan retardasi mental membutuhkan perawatan yang ekstra dan keluarga membutuhkan tambahan sumber dan dukungan.
2.3.3 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan : a. Lamban dan kesulitan menggeralisasikan dalam mempelajari halhal
yang
baru,
mempunyai
kesulitan
dalam
mempelajari
pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus. b. Kemampuan bicara sangat kurang terutama pada retardasi mental berat. c. Cacat fisik, ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala. d. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, pada retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
25
e. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim, kesulitan memberikan perhatian terhadap lawan main. f. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri : menggigit diri sendiri, membenturbeturkan kepala. g. Perilaku agresif melukai diri.
Ketidakmampuan merawat diri merupakan salah satu tanda dan gejala pada klien dengan retardasi mental. Klien retardasi mental, baik yang disebabkan karena faktor genetik, perinatal, faktor didapat pada masa anak-anak maupun faktor lingkungan dan sosiokultural memiliki kelainan kognitif sehingga mengalami keterbatasan dalam melakukan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara kognitif, bahasa, sosial, motorik, termasuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
2.3.4 Terapi Psikofarmaka Retardasi Mental Terapi yang terbaik diberikan pada klien ini, adalah pencegahan primer, pencegahan tersier dan pencegahan tertier (Kaplan & Saddock, 1997). Terapi ini hampir sama dengan terapi keperawatan. Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan mental. Sedangkan pencegahan sekunder adalah jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit. Pencegahan tersier adalah untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya.
Intervensi farmakologik dalam terapi gangguan mental komorbid pada klien retardasi mental adalah banyak kesamaan seperti untuk klien yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk klien dengan gangguan mental yang tidak retardasi mental (Kaplan & Saddock,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
26
1997). Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindroma perilaku berikut ini yang sering terjadi diantara retardasi mental. Sehingga terapi farmakologi yang diberikan pada klien ini adalah simptomatis sesuai dengan gejala yang dialami. Perilaku agresi dan perilaku melukai diri, menggunakan Lithium (Eskalith) dalam mengendalikannya. Naltrexone (Trexan) banyak digunakan untuk menurunkan perilaku melukai diri sendiri pada klien retardasi mental yang memenuhi kriteria autistik infantil. Selain itu ada Carbamazepine (Tegretol), Valproic acid (Depakene). Sedangkan untuk gerakan motorik stereotipik, medikasi antipsikotik seperti haloperidol (haldol) dan chlorpromazine (thorazine) dapat digunakan untuk menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang. Kemarahan yang eksplosif dapat diturunkan dengan penghambat- seperti propanolol dan buspirone.
2.4 Demensia 2.4.1 Pengertian Demensia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan dan degenerasi sel-sel otak secara abnormal, termasuk penurunan kemampuan daya ingat, disorientasi waktu, orang dan tempat, serta hilangnya fungsi-fungsi intelektual lainnya (Varcarolis, Carson & Shoemaker, 2006). Demensia adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir tanpa adanya penurunan fungsi kesadaran. Demensia atau kepikunan seringkali dianggap wajar terjadi pada lanjut usia karena merupakan bagian dari proses penuaan yang normal.
2.4.2 Penyebab Menurut Keliat (2011) penyebab demensia adalah : genetik, penggunaan alkohol, cedera kepala, penyempitan pembuluh darah otak yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, kerusakan jaringan otak yang berlangsung pelan dan bertahap, gangguan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
27
neurotransmitter (asetilkolin, norepineprin, dan glutamat).
2.4.3 Tanda dan Gejala Menurut Keliat (2011) klien yang mengalami demensia sedang sampai berat memiliki tanda dan gejala sebagai berikut : sulit melakukan kegiatan sehari-hari; daya ingat menurun atau hilang; tidak mengenal waktu, tempat dan orang; sulit belajar dan mengingat informasi baru; pelupa (lupa barang miliknya atau lupa kejadian masa lalu); cepat marah dan sulit diatur; sering mengulang kata-kata; kurang konsentrasi; kurang kebersihan diri; tremor; kurang koordinasi gerakan; gangguan keseimbangan (rentan terhadap kecelakaan, misalnya jatuh)
Menurut Maslim (2003) dalam PPDGJ III apabila ditemukan 4 dari tanda gejala di atas ditambah dengan adanya masalah kognitif, afektif dan intelektual akbibat degenerasi sel-sel otak, maka klien didiagnosis mengalami demensia.
2.4.4 Terapi Psikofarmaka Demensia Penatalaksanaan atau pengobatan klien dengan demensia yang sering diberikan adalah benzodiazepin, antipsikotik, dan antioksidan. Pemberiannya tergantung pada gejala yang dialami oleh klien (Clark, 2000).
a. Benzodiazepin Salah satu pengobatan demensia adalah dengan menggunakan obat sedatif atau hipnotik (benzodiazepin). Biasanya diberikan diazepam tablet 2 mg dengan dosis 2-3 kali sehari atau 5 mg; atau diazepam (valium) injeksi 10 mg sekali sehari. Efek obat yang diharapkan : mengurangi kecemasan, menurunkan agitasi, mengurangi stress. Efek samping obat yang bisa terjadi sedasi atau mengantuk, risiko ketergantungan, risiko penyalahgunaan zat.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
28
Tindakan keperawatan untuk efek samping obat sedasi atau mengantuk, yaitu obat diberikan sebelum tidur sesuai anjuran dokter, kolaborasi untuk menurunkan dosis obat dan minta obat yang kurang mengandung sedatif, anjurkan klien untuk tidak mengendarai
kendaraan
atau
menjalankan
kendaraan
bila
mengalami sedasi; sedangkan tindakan keperawatan untuk efek samping risiko ketergantungan dan penyalahgunaan zat, yaitu anjurkan klien untuk menggunakan obat sesuai dengan resep dokter,
beri
pendidikan
kesehatan
tentang
akibat
dari
ketergantungan dan penyalahgunaan obat.
b. Antipsikotik dosis rendah Obat yang biasa diberikan adalah haloperidol atau risperidon. Cara pemberian haloperidol tablet sediaan 0,5-1 mg dosis 1-2 kali sehari atau risperidon tablet 0,5-1 mg dosis 2 kali sehari. Efek obat yang diharapkan yaitu mengontrol agitasi, mengurangi gejala gangguan psikotik, menurunkan agresi atau perilaku kekerasan. Efek samping obat haloperidol pada klien demensia yang perlu diwaspadai oleh perawat adalah mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi dan hipotensi ortostatik.
Tindakan keperawatan untuk efek samping obat mulut kering yaitu berikan permen, es, minum air sedikit-sedikit dan membersihkan mulut secara teratur; pandangan kabur yaitu berikan bantuan untuk tugas yang membutuhkan ketajaman penglihatan; konstipasi yaitu makan makanan tinggi serat; sedasi yaitu tidak menyetir atau mengoperasikan peralatan yang berbahaya; hipotensi ortostatik yaitu perlahan-lahan bangkit dari posisi baring atau duduk.
c. Antioksidan Obat yang biasa diberikan adalah vitamin E dosis tinggi yaitu 1000 units yang diberikan dengan dosis 2 kali sehari. Efek obat yang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
29
diharapkan adalah mengurangi kerusakan pada fungsi peredaran darah untuk
klien dengan demensia vaskuler. Efek samping
penggunaan obat ini pada klien demensia jarang terjadi.
2.5 Defisit Perawatan Diri 2.5.1 Pengertian Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktifitas perawatan diri untuk diri sendiri : mandi; berpakaian dan berhias untuk diri sendiri ; aktifitas makan sendiri ; dan aktifitas eliminasi sendiri (Herdman, 2012). Defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi, berganti pakaian, makan dan toileting (Wilkinson, 2007). Menurut beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa defisit perawatan diri adalah suatu kondisi seseorang yang mengalami gangguan untuk melakukan aktifitas perawatan diri meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
2.5.2 Stressor Defisit Perawatan Diri Proses terjadinya defisit perawatan diri ini dapat diuraikan terlebih dahulu dari proses terjadinya gangguan jiwa itu sendiri yang dihubungkan
dengan
defisit
perawatan
diri.
Stuart
(2009)
menggambarkan dua dimensi yang dapat menjelaskan stressor atau penyebab terjadinya defisit perawatan diri yaitu meliputi stressor predisposisi dan stressor presipitasi.
2.5.2.1 Stressor Predisposisi Stuart (2009) mendefinisikan stressor predisposisi sebagai faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, psikososial dan sosial kultural. Stuart (2009) membedakan stressor predisposisi menjadi tiga, meliputi biologis, psikologis dan sosial
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
30
budaya. Stressor predisposisi ini kejadiannya telah berlalu. Penjelasan secara rinci tentang ketiga stressor predisposisi tersebut sebagai berikut :
a. Biologis,
terkait
dengan
adanya
neuropatologi
dan
ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara biologi riset neurobiologikal memfocuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.
Sistem Limbik merupakan cincin kortek yang berlokasi di permukaan medial masing-masing hemisfer dan mengelilingi pusat kutup serebrum. Fungsinya adalah mengatur persyarapan otonon dan emosi (Suliswati,et al, 2005 : Stuart, 2009). Fungsi sistem limbik berikutnya adalah menyimpan dan menyatukan informasi berhubungan dengan emosi, tempat penyimpanan memori dan pengolahan informasi. Disfungsi pada sistem limbik menghadirkan beberapa gejala klinik seperti hambatan emosi dan perubahan kebribadian, isyarat antara rangsangan dan pengalaman masa lalu, emosi, perilaku saling mempengaruhi, adanya periode peristiwa ketakutan, amukan, kemarahan dan
ketegangan
(Kaplan, Saddock & Grebb, 1997). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa klien dengan defisit perawatan diri mengalami gangguan pada sistem limbik sehingga tidak bisa mengontrol perilaku untuk dapat merawat diri.
Lobus Frontal berperan penting menjadi media yang sangat berarti dalam perilaku dan berpikir rasional, yang saling berhubungan dengan sistem limbik (Suliswati,et al, 2005 : Stuart, 2009). Menurut Townsend (2005) lobus frontal terlibat dalam dua
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
31
fungsi serebral utama yaitu kontrol motorik gerakan voluntir termasuk fungsi bicara, fungsi fikir dan kontrol berbagai ekspresi emosi. Kerusakan pada daerah lobus frontal dapat meyebabkan gangguan berfikir, dan gangguan dalam bicara/disorganisasi pembicaraan serta tidak mampu mengontrol emosi sehingga berperilaku maladaptif. Klien defisit perawatan diri yang mengalami
kerusakan
pada
lobus
frontal
mengakibatkan
timbulnya perilaku maladaptif yaitu tidak mampu berperilaku untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Hypotalamus adalah bagian dari diensefalon yaitu bagian dalam dari serebrum yang menghubungkan otak tengah dengan hemisfer serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai respon tingkah laku terhadap emosi dan juga mengatur mood dan motivasi (Suliswati, et al, 2005 ; Stuart, 2009). Kerusakan hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang aktivitas dan
malas melakukan sesuatu. Apabila kerusakan
hipotalamus terjadi pada klien defisit perawatan diri, maka akan terjadi gangguan mood dan penurunan motivasi sehingga mengakibatkan klien tidak dapat melakukan aktifitas perawatan diri.
Selain gangguan pada struktur otak, proses terjadinya gangguan defisit perawatan diri berdasarkan faktor biologis disebabkan juga oleh adanya kondisi patologis dan ketidakseimbangan dari beberapa
neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut adalah
dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin.
Dopamine fungsinya mencakup regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan pemecahan masalah secara volunter (Boyd & Nihart, 1998 ; Suliswati, et al, 2005). Transmisi dopamin berimplikasi pada penyebab gangguan emosi tertentu. Menurut
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
32
Hawari (2001)
fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam
perasaan) dan psikomotor (perilaku) pada klien skizofrenia dipengaruhi oleh dopamin. Gangguan pada fungsi dopamin akan menyebabkan terjadinya gangguan fungsi regulasi gerak dan koordinasi, emosi, serta kemampuan pemecahan masalah. Apabila gangguan fungsi dopamin ini terjadi pada klien skizofrenia, akan menyebabkan klien mengalami gangguan dalam regulasi gerak dan koordinasi, emosi, serta kemampuan pemecahan masalah sehingga klien tidak dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Serotonin berperan sebagai pengontrol nafsu makan, tidur, alam perasaan, halusinasi, persepsi nyeri, muntah. Serotonin dapat mempengaruhi fungsi kognitif yaitu alam pikir, afektif yaitu alam perasaan dan psikomotor yaitu perilaku (Hawari, 2001). Menurut Wilkinson (2007) jika serotonin mengalami penurunan akan mengakibatkan kecenderungan perilaku yang maladaptif. Pada klien dengan defisit perawatan diri cenderung menunjukkan perilaku maldapatif. Perilaku maladaftif yang dapat dilihat yaitu tidak adanya aktifitas dalam melakukan aktifitas perawatan diri seperti : mandi, berganti pakaian, makan dan toileting.
Norepineprin (Boyd & Nihart, 1998 ; Suliswati, et al, 2005) berfungsi untuk kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; proses pembelajaran dan memori. Jika terjadi penurunan kadar norepinephrine
akan
mengakibatkan
kelemahan
yang
menunjukkan kecenderungan klien menampilkan perilaku negatif. Kelemahan yang terjadi mengakibatkan klien defisit perawatan diri berperilaku negatif seperti tidak melakukan aktifitas mandi, tidak berhias, tidak memperhatikan makan dan minum serta tidak melakukan aktifitas toileting dengan benar.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
33
Acetylcholine (Ach) (Boyd & Nihart, 1998) berperan penting untuk belajar dan memori. Jika terjadi peningkatan kadar acetylcholine akan dapat menurunkan ‘atensi dan mood’. Penurunan atensi dan mood menyebabkan terjadinya perubahan fungsi otak sebagai pusat pengatur perilaku manusia. Salah satu dampak perilaku dari penurunan atensi dan mood ini adalah defisit perawatan diri. Pada klien defisit perawatan diri terjadi penurunan atensi dan mood yang dapat dilihat dengan adanya gejala kurang perhatian untuk dirinya dan malas dalam beraktivitas. Defisit perawatan diri tidak dapat dikendalikan hanya dengan psikofarmaka saja tetapi melalui pendekatan psikoterapi yang mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif salah satunya dengan menggunakan terapi perilaku : token ekonomi.
Pada klien dengan defisit perawatan diri diperkirakan mengalami kerusakan pada sistem limbik dan lobus frontal yang berperan dalam pengendalian atau pengontrolan perilaku, kerusakan pada hipotalamus yang berperan dalam pengaturan mood dan motivasi. Kondisi kerusakan ini mengakibatkan klien defisit perawatan diri tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk berperilaku secara adaptif melakukan aktifitas perawatan diri : mandi, berhias, makan minum dan toileting. Klien defisit perawatan diri juga diperkirakan mengalami perubahan pada fungsi neurotransmitter. Perubahan dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin menyebabkan adanya perubahan regulasi gerak dan koordinasi, emosi, kemampuan memecahkan masalah; perilaku cenderung negatif atau berperilaku maladaptif; terjadi kelemahan serta penurunan atensi dan mood.
b. Psikologis, meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
34
komunikasi secara verbal (Stuart, 2009). Beberapa aspek tersebut diperkirakan ikut berperan menjadi penyebab secara psikologis terjadinya defisit perawatan diri.
Konsep diri, dimulai dari gambaran diri secara keseluruhan yang diterima secara positif atau negatif oleh seseorang. Penerimaan gambaran diri yang negatif menyebabkan perubahan persepsi seseorang dalam memandang aspek positif lain yang dimiliki. Peran merupakan bagian terpenting dari hadirnya konsep diri secara utuh. Peran yang terlalu banyak dapat menjadi beban bagi kehidupan seseorang, hal ini akan berpengaruh terhadap kerancuan dari peran dirinya dan dapat menimbulkan depresi yang berat. Ideal diri adalah harapan, cita-cita serta tujuan yang ingin diwujudkan atau dicapai dalam hidup secara realistis. Identitas diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengenal siapa dirinya, dengan segala keunikannya. Harga diri merupakan kemampuan seseorang untuk menghargai diri sendiri serta memberi penghargaan terhadap kemampuan orang lain. Seseorang yang memandang dirinya secara negatif sering mengabaikan
gambaran
dirinya,
tidak
memperhatikan
kebutuhannya dengan baik, sehingga berakibat pula pada tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan diri.
Intelektualitas ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang, pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Menurut Potter & Perry (2005) klien dengan defisit perawatan diri cenderung memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang rendah, sehingga tidak mampu memutuskan untuk melakukan aktifitas perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
35
Kepribadian, pada klien defisit perawatan diri biasanya ditemukan klien memiliki kepribadian yang tertutup. Klien tidak mudah menerima masukan dan informasi yang berkaitan dengan kebersihan diri. Klien juga jarang bergaul dan cenderung menutup diri. Klien memiliki ketidakmampuan untuk mengevaluasi atau menilai keadaan dirinya
dan tidak mampu memutuskan
melakukan peningkatan keadaan menjadi lebih baik.
Moralitas, klien defisit perawatan diri menganggap dirinya tidak berguna, memandang dirinya rendah, dan negatif. Pandangan negatif terhadap diri sendiri ini menyebabkan klien mengalami penurunan motivasi untk melakukan aktifitas perawatan diri. Kesimpulannya, adanya penilaian diri yang negatif menyebabkan tidak ada tanggung jawab secara moral pada klien untuk melakukan aktifitas perawatan diri.
Menurut beberapa penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa konsep diri negatif, intelektualitas yang rendah, kepribadian dan moralitas yang tidak adekuat merupakan penyebab secara psikologis untuk terjadinya defisit perawatan diri. Klien defisit perawatan diri memerlukan perhatian yang cukup besar untuk dapat mengembalikan konsep diri yang seutuhnya.
c. Sosial Budaya, meliputi status sosial, umur, pendidikan, agama, dan kondisi politik. Menurut Townsend (2005) ada beberapa hal yang dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa, salah satunya adalah dengan masalah status sosial. Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rendah berpeluang lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi tinggi. Faktor sosial ekonomi tersebut meliputi kemiskinan, tidak memadainya sarana dan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
36
prasarana, tidak adekuatnya pemenuhan nutrisi, rendahnya pemenuhan kebutuhan perawatan untuk anggota keluarga, dan perasaan tidak berdaya. Termasuk dalam faktor sosial ekonomi adalah
kemampuan
untuk
menyediakan
peralatan
dan
perlengkapan mandi : sabun, pasta gigi, sampo, handuk, dll
Potter dan Perry (2005), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi praktik hygiene seseorang adalah citra tubuh, praktek sosial, status sosial ekonomi, pendidikan yang rendah, pengetahuan, kultur budaya, motivasi kurang dan kondisi fisik yang lemah.
Citra tubuh, merupakan konsep subyektif seseorang tentang penampilan
fisiknya.
Citra
tubuh
mempengaruhi
cara
mempertahankan perawatan diri. Menurut Struart (2009) citra tubuh adalah kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi serta perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi. Dapat disimpulkan bahwa citra tubuh sangat berpengaruh bagi seseorang terutama dalam hal penampilan fisiknya, seseorang memiliki keyakinan terhadap ukuran, struktur, fungsi dan penampilan diri untuk melakukan perawatan diri. Citra tubuh yang negatif menyebabkan penurunan motivasi melakukan aktifitas perawatan diri.
Tahap Perkembangan, pelajaran kebersihan diri dari orang tua yang meliputi kebiasaan keluarga, jumlah orang di rumah, dan ketersediaan peralatan kebersihan diri merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawatan kebersihan diri. Remaja dapat menjadi lebih perhatian pada kebersihan diri karena ada ketertarikan pada teman. Dapat disimpulkan bahwa perkembangan sangat
berpengaruh
terhadap
seseorang
untuk
melakukan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
37
perawatan diri sesuai dengan usia dan kelompok kerja.
Pengetahuan, pengetahuan tentang pentingnya kebersihan diri dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik kebersihan diri. Pembelajaran yang diharapkan dapat menguntungkan dalam mengurangi risiko kesehatan dan memotivasi seseorang untuk memenuhi perawatan diri yang diperlukan. Semakin rendah tingkat pengetahuan seseorang menyebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Kultur atau budaya, kepercayaan kebudayaan klien dan nilai pribadi mempengaruhi perawatan diri. Kebudayaan di Asia kebersihan dipandang penting bagi kesehatan. Beberapa negara di Eropa, mandi biasa dilakukan hanya sekali dalam seminggu. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kebiasaan yang dimillki tiap daerah ataupun bangsa dalam hal perawatan diri berbedabeda,
disesuaikan
dengan
letak
giografis
dan
kebiasaan
masyarakat setempat
Motivasi, setiap orang memiliki keinginan dan pilihan tentang waktu untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut sesuai dengan kebutuhan. Seseorang juga memiliki pilihan mengenai bagaimana melakukan perawatan diri. Jika orang tersebut tidak memiliki motivasi, maka dia tidak mampu menentukan pilihan, hal ini akan mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan perawatan diri.
Kondisi fisik, orang yang mengalami atau menderita penyakit tertentu atau yang menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan perawatan kebersihan diri. Menurut Wilkinson (2007) defisit perawatan diri sering kali disebabkan oleh intoleransi aktifitas, hambatan mobilitas fisik,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
38
nyeri, ansietas, gangguan kognitif atau persepsi .
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi, pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan, motivasi yang kurang dan kondisi fisik yang lemah dapat mempengaruhi klien dalam mempertahankan aktifitas pemenuhan perawatan diri, sehingga mengakibatkan klien mengalami defisit perawatan diri.
2.5.2.2 Stressor Presipitasi Stuart (2009) mendefinisikan stressor presipitasi sebagai suatu stimulus yang dipersepsikan oleh individu apakah dipersepsikan sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi bisa berupa stimulus internal maupun eksternal yang mengancam individu. Komponen stressor presipitasi terdiri atas sifat, asal, waktu dan jumlah stressor.
Sifat stresor, terjadinya defisit perawatan diri berdasarkan sifat terdiri dari biologis, psikologis, dan sosial budaya. Sifat stresor yang tergolong komponen biologis, misalnya penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak. Komponen psikologis, misalnya : intelegensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang tidak menyenangkan, kurangnya motivasi. Selanjutnya komponen sosial budaya, misalnya : adanya aturan yang sering bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa sehingga klien melakukan perilaku yang terkadang menentang hal tersebut yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan kebiasaan dan lingkungan setempat.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
39
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal atau yang berasal dari diri sendiri seperti persepsi individu yang tidak baik tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya., merasa tidak mampu, ketidakberdayaan. Stresor eksternal atau berasal dari luar diri seperti kurangnya dukungan keluarga, dukungan masyarakat, dukungan kelompok/teman sebaya, dan lain-lain.
Stuart (2009) menjelaskan bahwa waktu dilihat sebagai dimensi kapan stresor mulai terjadi dan berapa lama terpapar stressor sehingga menyebabkan munculnya gejala. Lama dan jumlah stresor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali kejadiannya (frekuensi) serta jumlah stresor. Bila baru pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk pencegahan primer. Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila frekuensi dan jumlah stresor lebih sedikit juga akan memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai frekuensi dan jumlah stresor lebih banyak. Dengan kata lain seorang perawat harus memahami kondisi stresor yang dialami oleh seorang individu sehingga penanganannya juga akan lebih baik.
Berbagai penyebab/stressor di atas, yang meliputi stressor predisposisi dan stressor presipitasi yang dialami oleh klien defisit perawatan diri akan memunculkan beberapa respon. Respon-respon tersebut merupakan pikiran, sikap, tanggapan, perasaan dan perilaku yang ditunjukkan klien terhadap kejadian yang dialami.
2.5.3 Respon terhadap Stresor Klien Defisit Perawatan Diri Menurut Stuart (2009), respon terhadap stressor merupakan suatu respon dari proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya. Secara spesifik
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
40
proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial.
2.5.3.1 Respon Kognitif Menurut Stuart (2009) respon kognitif adalah penilaian individu secara kognitif terhadap stressor yang dialami dan merupakan mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stresor yang dipengaruhi oleh : a) Pandangan/pengertian : sikap, terbuka terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. b) Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya. c) Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman
secara
individual.
d)
Efektifitas
koping
yang
dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. e) Koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien.
Menurut Herdman (2012) respon kognitif pada klien defisit perawatan diri meliputi tidak mengetahui cara perawatan diri yang benar,
adanya
gangguan
kognitif,
penurunan
persepsi,
ketidakmampuan melihat bagian tubuh dan ketidakmampuan memahami hubungan spasial. Dapat disimpulkan bahwa respon kognitif klien defisit perawatan diri adalah adanya penurunan kemampuan secara kognitif, ketidakmampuan mengambil keputusan dan ketidakmampuan mengatasi masalah.
2.5.3.2 Respon Afektif Menurut Stuart (2009) Respon afektif adalah penilaian individu secara afektif terhadap stressor yang dialami. Hal ini terkait dengan : 1) Ekspresi emosi : respons emosi dalam menghadapi masalah dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
41
percaya, antisipasi, surprise. 2) Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. 3) Mood dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. 4) Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut.
Menurut Stuart (2009) respon afektif defisit perawatan diri terkait dengan : sedih, bingung, apatis/pasif, sehingga tidak ada motivasi untuk melakukan perawatan diri. Tidak memiliki keinginan merawat diri, tidak berdaya, putus asa, frustasi, gugup, muram, gelisah, perasaan tidak mampu, perasaan negatif tentang dirinya dan rasa tidak berguna, berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan diri. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Herdman (2012) bahwa respon afektif klien defisit perawatan diri adalah penurunan motivasi dan adanya kecemasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon afektif yang berhubungan dengan klien defisit perawatan diri adalah adanya perasaan sedih, apatis/pasif, tidak adanya motivasi melakukan perawatan diri, perasaan negatif tenrhadap dirinya, penurunan mood dan terbentuknya sikap dan pola yang menetap terhadap penurunan kemauan perawatan diri karena stressor sudah dialami terlalu lama.
2.5.3.3 Respon Fisiologis Menurut Stuart (2009) Respons fisiologis adalah penilaian individu yang dimanifestasikan dengan adanya interaksi neuroendokrin, yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan penunjang, meliputi : hormon pertumbuhan,
prolaktin,
hormon
adenokortikotropik,
hormon
luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmiter lain di otak. Respons fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatnya aktivitas dari pituitari adrenal.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
42
Menurut Herdman (2012) respon fisiologis pada klien defisit perawatan diri, dapat dilihat dari adanya kelelahan, keletihan, kelemahan, penurunan muskuloskeletal, penurunan neuromuskuler, nyeri, ketidaknyamanan.
Apabila dihubungkan dengan peran
neurotransmitter norepineprin, bahwa penurunan kadar norepineprin akan menyebabkan kelemahan sehingga mengakibatkan seseorang berperilaku negatif. Salah satu perilaku negatif yang ditimbulkan adalah enggan melakukan aktifitas perawatan diri. Kesimpulannya, penurunan
kadar
norepineprin
menyebabkan
kelelahan
dan
mengakibatkan defisit perawatan diri.
2.5.3.4 Respon Perilaku Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres. Respon perilaku pada defisit perawatan diri bermacam-macam. Menurut Herdman (2012) perilaku yang ditampilkan klien defisit perawatan diri meliputi : gangguan kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan
aktifitas
perawatan
diri
:
mandi;
gangguan
kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan aktifitas berhias; gangguan kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan aktifitas makan minum; dan gangguan kemampuan dalam melakukan atau menyelesaikan aktifitas toileting.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas mandi untuk diri sendiri, meliputi ketidakmampuan untuk menuju/mengakses kamar mandi; mengeringkan tubuh; mendapatkan perlengkapan mandi; memperoleh sumber air; mengatur suhu air mandi; dan ketidakmampuan untuk membersihkan tubuh (Herdman, 2012). Pada klien defisit perawatan diri : mandi, ada yang mengalami gangguan ketidakmampuan untuk melakukan semua aktifitas di atas,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
43
ada juga yang hanya mengalami gangguan ketidakmampuan melakukan beberapa aktifitas tersebut.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian untuk diri sendiri, meliputi gangguan dalam hal mengikat pakaian; mendapatkan/mengambil pakaian; mengenakan aksesoris yang diperlukan pakaian; memakai, melepas dan mengganti sepatu; memakai, melepas dan mengganti kaus kaki; memakai, melepas dan mengganti aksesoris yang diperlukan pakaian; memilih pakaian;
mempertahankan
penampilan
pada
tingkat
yang
memuaskan; mengambil pakaian; menempatkan pakaian di tubuh bagian bawah; menempatkan pakaian di tubuh bagian atas; menggunakan alat bantu; menggunakan resleting (Herdman, 2012). Seperti halnya ketidakmampuan perawatan diri : mandi, pada klien yang mengalami ketidakmampuan perawatan diri : berhias, tidak semua klien mengalami ketidakmampuan melaksanakan semua fungsi di atas, bahkan ada yang hanya melakukan aktifitas berpakaian secara umum memerlukan bantuan.
Herdman (2012), mengemukakan tentang gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan kegiatan makan sendiri, meliputi ketidakmampuan membawa makanan dari tempat makan ke mulut; mengunyah makanan; menyelesaikan makan; mengambil makanan ke tempat makan; membersihkan peralatan makan; menelan makanan dengan cara yang diterima oleh masyarakat; menelan makanan
dengan
aman;
menelan
makanan
yang
cukup;
memanipulasi makanan di mulut; membuka container/tempat makan; mengambil cangkir atau gelas; menyiapkan makanan untuk dikonsumsi; menelan makanan; dan ketidakmampuan menggunakan perangkat alat bantu. Klien defisit perawatan diri : makan, pada kondisi tertentu sesuai tingkatannya memerlukan bantuan memenuhi
kebutuhan
makan
dan
minumnya,
mulai
untuk dari
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
44
menyediakan makanan, memulai dan memproses makanan hingga membersihkan perlengkapan makan.
Gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting untuk diri sendiri, meliputi ketidakmampuan klien melaksanakan
kebersihan
toilet
yang
tepat;
menyiram toilet atau commode; sampai atau menuju toilet atau commode; memanipulasi pakaian untuk toileting; bangkit dari toilet atau commode; dan ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau commode (Herdman, 2012). Pada ketidakmampuan ini, pasie memerlukan bantuan untuk memnuhi kebutuhan toiletingnya baik di kamar mandi atau bahkan di tempat tidur karena adanaya keterbatasan fisik.
2.5.3.5 Respons Sosial Menurut Stuart (2009), respons sosial yaitu memandang masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping yang dipergunakannya. Biasanya individu cenderung menyalahkan dirinya sendiri, bersikap pasif dan perilakunya menarik diri.
Respon sosial defisit perawatan diri pada beberapa individu adalah : kecenderungan untuk isolasi, partisipasi
sosial berkurang, acuh
dengan lingkungan, personal hygiene jelek/tidak terpenuhi, sulit berinteraksi, tidak tertarik dengan kegiatan yang bersifat menghibur (Stuart, 2009). Klien biasanya cenderung menarik diri dari pergaulan lingkungan sosial, karena kebersihan dirinya yang kurang, klien menghindar bertemu dengan orang lain karena tidak percaya diri.
Respon yang telah diuraikan di atas merupakan sekumpulan tanda dan gejala pada klien dengan defisit perawatan diri, apabila terdapat pada klien menyebabkan klien berada pada rentang maladaptif karena ketidakmauan, ketidaktahuan dan ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
45
perawatan
diri.
Penulis
memberikan
tindakan
keperawatan
untuk
menjadikan klien berada pada rentang adaptif.
Rentang Respon Perawatan Diri Defisit perawatan diri merupakan respon maladaptif klien, sehingga penulis berupaya untuk mengubah respon maladaptif tersebut menjadi respon adaptif dengan cara meningkatkan kemampuan-kemampuan klien dan keluarga untuk bisa memenuhi aktifitas perawatan diri. Perawatan diri merupakan pola aktifitas kegiatan untuk diri sendiri yang membantu untuk memenuhi tujuan terkait kesehatan dan dapat ditingkatkan (Herdman, 2012). Gambar berikut ini menggambarkan tentang rentang respon adaptif dan maladaptif defisit perawatan diri.
Respon Adaptif
1. 2. 3.
Mampu melakukan perawatan diri secara mandiri Menggunakan alat-alat untuk membantu perawatan diri Menggunakan dukungan orang lain untuk melakukan perawatan diri
Respon Maladaptif
1. 2. 3.
Tidak mau melakukan perawatan diri Tidak mampu melakukan perawatan diri Tidak tahu cara melakukan perawatan diri
Gambar 2.1 Rentang Respon Perawatan Diri Stuart & Laraia ( 2005)
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa klien defisit perawatan diri berada pada rentang respon maladaptif karena adanya ketidakmauan, ketidakmampuan dan ketidaktahuan untuk melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. Apabila klien memiliki kemauan, kemampuan dan pengetahuan tentang cara melakukan aktifitas perawatan diri dan dapat melaksanakan kegiatan tersebut secara mandiri, menggunakan alatalat untuk membantu perawatan diri hingga memanfaatkan sistem pendukung
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
46
yang ada untuk melakukan perawatan diri, maka klien tersebut berada pada rentang respon yang adaptif.
Berdasarkan keterangan di atas diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan adalah ketidakmampuan melakukan aktifitas perawatan diri : mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. Tujuan yang akan dicapai terhadap klien dan keluarga adalah meningkatkan kemampuan klien dan keluarga dalam memahami dan melaksanakan aktifitas pemenuhan perawatan diri yang meliputi memenuhi kebutuhan mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
2.5.4 Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri Kemampuan atau koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi atau berespon terhadap suatu permasalahan akibat stres yang dialami. Perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan, dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh klien. Klien defisit perawatan diri diharapkan memiliki kemampuan yang meliputi dua hal, yaitu sumber koping dan mekanisme koping. Menurut Stuart (2009) sumber koping terdiri dari empat hal, yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief).
Sumber koping adalah beberapa sumber potensi baik secara internal maupun
eksternal
yang dapat
dimanfaatkan
untuk
membantu
menyelesaikan masalah akibat stressor yang ada (Stuart, 2009). Mekanisme
koping
adalah
upaya
sadar
dari
individu
dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat paparan stressor. Penggunaan mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber stres, serta kemampuan seseorang dalam menghadapi realitas hidup, hubungan interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
47
2009). Kesimpulannya, sumber koping maupun mekanisme koping merupakan kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh klien defisit perawatan diri dalam berespon terhadap stressor sehingga bisa berperilaku secara adaptif.
2.5.4.1 Kemampuan Individu Kemampuan individu adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dan biasa dilakukan dalam menghadapi masalah. Kemampuan individu yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan dalam memahami (kognitif) terhadap masalah yang dihadapi secara rasional. Kemampuan dalam mengontrol emosi (afektif) terhadap masalah yang ada. Secara fisiologis dan perilaku yang perlu dioptimalkan adalah hidup teratur (aktivitas dan istirahat) dan pola makan yang teratur dan bergizi sehingga asupan energi bisa mensuplai otak dengan baik. Kemampuan memanfaatkan (dukungan sosial) yang ada dan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dengan tidak bertolak belakang dari nilai yang dimiliki.
Menurut Herdman (2012), kemampuan individu yang harus dimiliki oleh klien defisit perawatan diri adalah kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri dalam hal pemenuhan kebutuhan mandi ; berhias ; makan dan minum ; serta toileting. Sedangkan pada klien defisit perawatan diri biasanya didapatkan data rendahnya motivasi klien dalam merawat diri, keterbatasan intelektual klien yang sangat mempengaruhi dalam kemampuan perawatan diri dan keterbatasan fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
2.5.4.2 Dukungan Sosial Stuart (2009) dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangakan. Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
48
orang-orang disekitar klien termasuk kader dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga. Klien dengan defisit perawatan diri sangat memerlukan dukungan sosial ini, karena dukungan sosial akan membuat individu merasa tidak sendiri dan berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang care pada dirinya. Apabila dukungan sosial tidak adekuat maka seseorang akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor/masalahnya.
Keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuankemampuan tentang cara merawat klien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang cara melakukan aktifitas perawatan diri, kemampuan memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri pada klien, kemampuan untuk melakukan perawatan diri pada klien defisit perawatan diri.
Kader kesehatan sebagai sistem pendukung bagi klien juga harus memiliki kemampuan-kemampuan untuk ikut merawat klien defisit perawatan diri. Kemampuan yang harus dimiliki oleh kader kesehatan jiwa adalah kemampuan dalam melakukan kegiatan untuk memberikan dukungan, dorongan dan motivasi kepada klien untuk melakukan aktifitas pemenuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. Kemampuan lain yang harus dimiliki adalah pengetahuan tentang cara melakukan perawatan diri dan kader harus siap memberikan bantuan pada klien apabila diperlukan.
2.5.4.3 Ketersediaan Pelayanan kesehatan dan Finansial Materi Ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat akan mempermudah dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan termasuk penanganan masalah defisit perawatan diri. Tujuan ketersediaan pelayanan kesehatan adalah supaya masyarakat mudah
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
49
mendapatkan
pelayanan
kesehatan.
Pelayanan
kesehatan
diselenggarakan oleh institusi pelayanan kesehatan yang disebut Rumah Sakit. Menurut UU RI no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,dalam BAB VI pasal 19 ayat 1-3 Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan terdiri dari Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu jenis kekhususan tertentu. Contoh Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa memberikan pelayanan kesehatan terkait masalah kesehatan jiwa. Pelayanan
kesehatan
harus
bisa
menjamin
dan
memberikan
kemampuan pada klien untuk menyelesaikan masalah kesehatan.
Ketersediaan finansial, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan membutuhkan dana. Dana bisa berasal dari dana pribadi, asuransi kesehatan pribadi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (JAMKESDA). Klien defisit perawatan diri kebanyakan menunjukkan kemampuan materi yang lemah atau kurang. Kelemahan atau kekurangan ekonomi juga menyebabkan klien defisit perawatan diri tidak mampu menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Kelemahan atau kekurangan ekonomi termasuk ketidakmampuan secara ekonomi untuk menyediakan peralatan dan perlengkapan perawatan diri. Peralatan dan perlengkapan perawatan diri tersebut meliputi menyediakan sabun, pasta gigi, sampo ; pakaian yang memadai ; makanan yang bergizi dan sarana untuk toileting.
Menurut UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 Bab IX pasal 144 ayat 15, dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang mendapatkan kehidupan kejiwaan yang sehat ; upaya kesehatan jiwa tersebut terdiri dari tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif klien gangguan jiwa dan psikososial ; upaya
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
50
kesehatan jiwa tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat ; pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan ; pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, klien-klien defisit perawatan diri yang tidak mampu secara ekonomi bisa menggunakan fasilitas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam hal materi terkait perawatan kesehatannya. Fasilitas yang dimaksudkan adalah fasilitas berupa jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang bisa didapatkan melalui persetujuan RT, RW dan Kelurahan setempat. Beberapa klien defisit perawatan
diri
yang
membutuhkan
jamkesda
sudah
berhasil
memanfaatkan fasilitas tersebut.
2.5.4.4 Kepercayaan Kepercayaan (positive belief) merupakan keyakinan dan gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Stuart (2009) mengemukakan bahwa keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang kemampuan mengatasi masalah, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan.
Penyimpangan dalam aspek keyakinan pada klien defisit perawatan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
51
diri biasanya memiliki pikiran negatif terhadap kemampuan diri dalam melakukan aktifitas perawatan diri. Penyimpangan lain tidak adanya kepercayaan kepada petugas kesehatan bahwa petugas kesehatan dapat membantu klien mengatasi masalahnya. Hal ini terbukti dari sebagian besar perilaku klien dan keluarga dalam mencari pengobatan bagi klien yang mengalami gangguan jiwa. Orang yang didatangi pertama kali adalah Dukun, karena mereka percaya bahwa Dukun bisa membantu kesembuhan mereka. Klien defisit perawatan diri juga memiliki anggapan bahwa perilaku yang ada pada klien tidak akan dapat diubah karena sudah terbentuk sejak lama dan bukan merupakan masalah bagi klien.
Kemampuan-kemampuan yang terdiri dari sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien defisit perawatan diri inilah yang menjadi perhatian khusus perawat, karena dengan mengetahui sumber koping dan mekanisme koping tersebut menjadi dasar dalam pemberian suatu terapi kepada klien defisit perawatan diri. untuk mencapai standar kemampuan yang harus dimiliki oleh klien dan atau keluarga. Defisit perawatan diri, diperkirakan sebagai akibat dari kurangnya sumber pendukung internal dan eksternal, sehingga klien tidak mempunyai motivasi dalam melakukan kegiatan sehari-hari dalam melakukan perawatan diri.
Berikut ini diuraikan mengenai tindakan keperawatan atau intervensi yang dilakukan kepada klien dan keluarga klien defisit perawatan diri. Tindakan keperawatan diberikan untuk melatih klien dan keluarga klien agar memiliki kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan sebagai upaya dalam melakukan aktifitas pemenuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
2.5.5 Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua : (1) Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan klien dan keluarga
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
52
melakukan
pemenuhan kebutuhan perawatan
diri. (2) Untuk
membantu klien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan yang tidak dapat dilakukan klien.
Pada klien defisit perawatan diri, terapi yang dapat diberikan antara lain terapi generalis (individu, keluarga dan kelompok) dan terapi spesialis keperawatan jiwa di antaranya yaitu terapi perilaku (individu), terapi supportif dan self help group (kelompok) serta psikoedukasi keluarga (keluarga).
2.5.5.1 Tindakan terhadap Klien Tindakan keperawatan diberikan kepada klien dengan tujuan supaya klien memiliki kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis.
Tindakan Generalis Tindakan generalis yang dilakukan adalah menjelaskan, melatih dan mengajarkan kepada klien tentang cara memenuhi kebutuhan perawatan diri. Hal ini bertujuan supaya klien memiliki kemampuan secara mandiri untuk menyelesaikan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta toileting untuk diri sendiri.
Setelah diberikan tindakan keperawatan ini diharapkan klien mampu mengungkapkan
keinginan
untuk
meningkatkan
kemandirian.
Menurut Herdman (2012) kemandirian yang akan dicapai adalah kemandirian
dalam
mempertahankan pengembangan
menjaga
kesehatan;
kemandirian
dalam
hidup; kemandirian dalam mempertahankan pribadi;
kemandirian
dalam
mempertahankan
kesejahteraan; meningkatkan pengetahuan tentang strategi untuk perawatan diri; meningkatkan tanggung jawab untuk perawatan diri; dan meningkatkan perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
53
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan untuk klien defisit perawatan diri adalah : a) Memberikan penjelasan tentang pentingnya perawatan diri, alat-alat yang diperlukan untuk melakukan perawatan diri dan cara-cara melakukan perawatan diri.
b) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau menyelesaikan aktivitas mandi untuk diri sendiri, dengan cara melatih dan mengajarkan klien untuk mandiri memenuhi aktifitasnya. Tindakan yang diberikan adalah melatih klien untuk menuju/mengakses kamar mandi; melatih klien untuk mengeringkan tubuh; melatih klien untuk mendapatkan perlengkapan mandi; melatih klien untuk memperoleh sumber air; melatih klien untuk mengatur suhu air mandi; melatih klien untuk membersihkan tubuh (Herdman, 2012). Asuhan keperawatan yang diberikan perawat kepada klien defisit perawatan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang diperlukan.
c) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian untuk diri sendiri, ditujukan agar klien mampu memenuhi kebutuhan berhias. Herdman (2012), menyebutkan tindakan yang diberikan adalah melatih klien untuk mengikat pakaian; melatih
klien
untuk
mendapatkan/mengambil
pakaian;
melatih klien untuk mengenakan aksesoris yang diperlukan pakaian; melatih klien untuk memakai, melepas dan mengganti sepatu; melatih klien untuk memakai, melepas dan mengganti kaus kaki; melatih klien untuk memakai, melepas dan mengganti aksesoris yang diperlukan pakaian; melatih klien
untuk
memilih
pakaian;
melatih
klien
untuk
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
54
mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan; melatih klien untuk mengambil pakaian; melatih klien untuk menempatkan pakaian di tubuh bagian bawah; melatih klien untuk
menempatkan
pakaian
di
tubuh
bagian
atas;
menggunakan alat bantu; melatih klien untuk menggunakan resleting.
d) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau menyelesaikan kegiatan makan sendiri, bertujuan untuk memandirikan klien dalam hal pemenuhan kebutuhan makan dan minum. Herdman (2010), menyebutkan tindakan yang dilakukan adalah melatih klien untuk membawa makanan dari tempat makan ke mulut; melatih klien untuk mengunyah makanan; melatih klien untuk menyelesaikan makan; melatih klien untuk mengambil makanan
ke
tempat
makan;
melatih
klien
untuk
membersihkan peralatan makan; melatih klien untuk menelan makanan dengan cara yang diterima oleh masyarakat; melatih klien untuk menelan makanan dengan aman; melatih klien untuk menelan makanan yang cukup; melatih klien untuk memanipulasi makanan di mulut; melatih klien untuk membuka container/tempat makan; melatih klien untuk mengambil
cangkir
atau
gelas;
melatih
klien
untuk
menyiapkan makanan untuk dikonsumsi; melatih klien untuk menelan makanan; melatih klien untuk menggunakan perangkat alat bantu.
e) Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting untuk diri sendiri,
bertujuan
untuk
membantu
klien
memenuhi
kebutuhan toileting. Herdman (2012) menyebutkan tindakan yang dilakukan adalah melatih klien untuk melaksanakan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
55
kebersihan toilet yang tepat; melatih klien untuk menyiram toilet atau commode; melatih klien untuk sampai ke toilet atau commode; melatih klien untuk memanipulasi pakaian untuk toileting; melatih klien untuk bangkit dari toilet atau commode; melatih klien untuk duduk di toilet atau commode.
Tindakan Spesialis Terapi spesialis keperawatan jiwa yang diberikan meliputi terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga. Terapi individu yang diberikan adalah terapi perilaku token ekonomi, terapi kelompok yang diberikan pada klien defisit perawatan diri adalah terapi kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu, sedangkan terapi keluarga yang diberikan adalah terapi psikoedukasi keluarga.
a. Terapi Perilaku/Behaviour Theraphy Behaviour Therapy (BT) merupakan terapi spesialis keperawatan jiwa yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku negatif menjadi perilaku positif. Salah satu cara untuk merubah perilaku negatif menjadi positif adalah dengan token economy. Token ekonomi adalah bentuk dari reinforcement positif yang digunakan baik secara individu maupun kelompok klien di ruang psikiatri (Stuart & Laraia, 2005). Token ekonomi yaitu sebuah teknik berdasarkan prinsip prinsip pengkondisian operan. Token ekonomi didesain bagi klien gangguan jiwa agar menghasilkan perilaku yang diinginkan.
Pelaksanaan
token
ekonomi
meliputi
mengidentifikasi
kemampuan interpersonal yang positif dan perilaku self care klien yang akan dikuatkan dan mendapatkan dispensasi berupa tanda/token pada klien apabila kemampuannya meningkat (Mc.Monagle & Sultana, 2004). Terapi perilaku token ekonomi ini merupakan proses pendidikan dan peningkatan tingkah laku,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
56
sehingga dibutuhkan adanya keterbukaaan, kehangatan, empati dan komunikasi terapeutik.
Tujuan terapi perilaku ini adalah untuk menghasilkan perubahanperubahan positif dalam berbagai perilaku meliputi kesehatan pribadi, interaksi sosial, kehadiran dan formasi dalam pekerjaan dan
tugas
rumah
tangga,
mengidentifikasi
kemampuan
interpersonal yang positif, mengidentifikasi perilaku self care klien, meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian tokens (tandatanda). Contohnya pada peningkatan perilaku merawat diri : mandi, berpakaian/berhias, makan dan toileting.
Terapi perilaku token ekonomi digunakan untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam berbagai tingkah laku yang meliputi kesehatan pribadi, interaksi-interasi sosial, kehadiran dan formasi dalam pekerjaan, performasi akademik, tugas-tugas rumah tangga. Menurut Carson (2000) manfaat lain dari token ekonomi adalah mengajarkan nilai pada klien karena token diberikan apabila ada perubahan perilaku. Menurut Gerald Corey (2003) tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik. Harapannya adalah perolehan tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup dengan mengajarkan supaya memelihara tingkah laku yang baru.
Prinsip terapi ini adalah : Individu menerima token segera setelah mempertunjukkan perilaku yang diinginkan; bentuk token adalah suatu obyek yang benar-benar diinginkan klien atau kehormatan yang penuh arti atau hadiah yang bagus; hadiah dapat bersifat individual tergantung dari umur, jenis kelamin, hobi, dan tipe intensitas dari tanda yang tampak pada klien; besarnya
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
57
reward/hadiah adalah sama nilainya untuk semua individu dalam suatu kelompok; penggunaan dari hukuman (respon costs) lebih sedikit risikonya dibandingkan bentuk-bentuk hukuman yang lain; individu dapat belajar ketrampilan-ketrampilan yang berhubungan dengan masa depan.
Terapi token ekonomi yang dikembangkan mengacu pada 3 (tiga) tahapan terapi token ekonomi (Liberman, 2000, Mc.Monagle & Sultana, 2004 dalam Stuart & Laraia, 2005). Ketiga tahapan terapi tersebut adalah sesi 1, yaitu mengadakan kontrak; sesi 2, melatih
kemampuan
klien
merawat
diri
:
yaitu
mandi
dan
berpakaian/berhias, makan minum dan toileting (BAB dan BAK); sesi 3, yaitu mengungkapkan manfaat dan hasil dari latihan setiap sesi serta merencanakan tindak lanjut.
Pada pelaksanaannya,
penulis melakukan modifikasi pada
tahapan yang kedua, yaitu melatih kemampuan klien. Modifikasi tersebut adalah melakukan tahapan kedua melalui 4 kali pertemuan. Sehingga langkah-langkah pelaksanaan terapi ini terbagi dalam beberapa sesi, yaitu : Sesi 1 : Mengidentifikasi dan menyepakati perilaku negative yang ingin diubah dan token yang akan diberikan jika perilaku negative tidak dilakukan dan berubah menjadi perilaku positif Sesi 2 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 1 menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan perawatan diri : mandi dan memberikan token jika sudah dilakukan Sesi 3 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 2 menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan perawatan diri : berhias dan memberikan token jika sudah dilakukan Sesi 4 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negative 3
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
58
menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan perawatan diri : makan minum teratur dan memberikan token jika sudah dilakukan Sesi 5 : Melatih kemampuan mengubah perilaku negative 4 menjadi perilaku positif, yaitu melatih klien untuk melakukan perawatan diri : toileting (BAB dan BAK) dengan tepat dan memberikan token jika sudah dilakukan Sesi 6 : Mengungkapkan manfaat serta hasil dari latihan setiap sesi serta merencanakan tindak lanjut dan menulis/mengisi buku catatan kegiatan harian klien.
b. Terapi Suportif/Supportif Terapi Supportif group merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap issue-isue dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan. Tujuan awal dari grup ini didirikan adalah memberikan support dan menyelesaikan pengalaman isolasi dari masing-masing anggotanya (Grant-Iramu, 1997 dalam Hunt, 2004).
Tujuan terapi suportif adalah memberikan dukungan kepada individu sehingga mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan cara menguatkan daya tahan mental yang ada, mengembangkan mekanisme baru yang lebih baik untuk mempertahankan kontrol diri dan mengembalikan keseimbangan yang adaptif (dapat menyesuaikan diri), sehingga mampu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi serta mampu mengambil keputusan secara otonom (Maramis, 1998 dan Rockland, 1989 dalam Stuart & Laraia, 2005).
Prinsip yang harus diperhatikan pada terapi suportif adalah memperlihatkan hubungan saling percaya, memikirkan mengenai
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
59
ide dan alternatif untuk memecahkan masalah, mendiskusikan area yang tabu (tukar pengalaman mengenai rahasia dan konflik internal secara psikologis), menghargai situasi yang sama dan bertindak bersama, adanya sistem pendukung yang membantu (mutual support dan assistance) serta pemecahan masalah secara individu (Chien, Chan & Thompson, 2006).
Pelaksanaan supportif group terbagi menjadi empat sesi yaitu : Sesi 1 : mengidentifikasi kemampuan dan sumber pendukung yang ada. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan mengenai pengetahuan klien dan keluarga tentang defisit perawatan diri, cara yang biasa dilakukan untuk perawatan diri, hambatan dalam melakukan serta mengidentifikasi sumber pendukung yang ada. Sesi 2 : menggunakan sistem pendukung yang berasal dari dalam, monitor hasil dan hambatannya Kegiatan yang dilakukan pada sesi 2 ini adalah mendiskusikan bersama
klien
dan
keluarga
mengenai
kemampuan
menggunakan sistem pendukung dari dalam, misalnya keluarga dan hambatannya. Hasil dari sesi 2 ini adalah klien memiliki daftar kemampuan dalam menggunakan sistem pendukung yang berasal dari dalam. Sesi 3 : menggunakan sistem pendukung yang berasal dari luar, monitor hasil dan hambatannya. Kegiatan yang dilakukan pada sesi 3 ini adalah mendiskusikan bersama
klien
dan
keluarga
mengenai
kemampuan
menggunakan sistem pendukung dari luar, misalnya kelompok atau masyarakat dan hambatannya. Hasil dari sesi 3 ini adalah klien memiliki daftar kemampuan dalam menggunakan sistem pendukung yang berasal dari luar.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
60
Sesi 4 : mengevaluasi hasil dan hambatan dalam menggunakan sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar. Kegiatan yang dilakukan pada sesi ini adalah mengevaluasi pengalaman
yang
dipelajari
dan
pencapaian
tujuan,
mendiskusikan hambatan dan kebutuhan yang diperlukan terkait dengan penggunaan sumber pendukung baik yang berasal dari dalam maupun dari luar, dan cara memenuhi kebutuhan tersebut.
c. Kelompok Swa Bantu/Self Help Group Self
help
group
merupakan
satu
pendekatan
untuk
mempertemukan kebutuhan keluarga dan sumber penting untuk keluarga dengan gangguan jiwa (Citron, et.all, 1999). Self help group merupakan suatu kelompok atau peer dimana tiap anggota saling berbagi masalah baik fisik maupun emosional atau issue tertentu (Anonim, 2008). Self help group bertujuan untuk mengembangkan empathy diantara sesama anggota kelompok di mana sesama anggota kelompok saling memberikan penguatan untuk membentuk koping yang adaptif. Self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa perlu dilakukan untuk membantu keluarga mengatasi permasalahannya yang diselesaikan bersama dalam kelompok.
Hasil penelitian pengaruh self help group terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien
gangguan jiwa di Kelurahan
Sindang Barang dan Katulampa menunjukkan
kemampuan
kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa meningkat secara bermakna setelah melaksanakan self help group (Utami, 2008). Bila dilihat dari hasil tersebut self help group sangat penting dilakukan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
61
Tujuan dari terapi ini adalah : Membentuk self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, Melakukan implementasi self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, Mengevaluasi self
help
group
pada
keluarga
dengan
gangguan
jiwa,
Mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa.
Prinsip Self help group, Pembentukan self help group harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini : Tiap anggota kelompok berperan secara aktif untuk berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi melalui
kelompok;
Sesama
anggota
saling
memahami,
mengetahui dan membantu berdasarkan kesetaraan, respek antara satu dengan yang lain dan hubungan timbal balik; Self help group merupakan kelompok informal dan dibimbing oleh volunteer; Self help group adalah kelompok self supporting anggota self help group berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi melalui kelompok. Pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan ditanggung bersama kelompok; Kelompok anggota
harus menghargai privacy dan kerahasiaan dari kelompoknya;
Pengambilan
keputusan
dengan
melibatkan kelompok dan kelompok harus bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan.
Pembentukan kelompok self help group merupakan langkah awal dalam kegiatan self help group. Pembentukan self help group dilaksananakan dalam tiga kali pertemuan . a) Pertemuan pertama : Pembentukan kelompok Pertemuan ini menjelaskan tentang konsep self help group dan langkah-langkah pelaksanaan self help group Menjelaskan tentang konsep self help group meliputi pengertian self help group, tujuan self help group, prinsip
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
62
self help group, membuat beberapa kesepakatan (seperti nama kelompok, anggota kelompok) dan aturan dalam melaksanakan self help group. Menjelaskan lima langkah kegiatan self help group : Langkah I : Memahami masalah Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan masalah yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga
dengan
gangguan
jiwa.
Setiap
anggota
mengungkapkan masalah yang dihadapinya. Pertemuan kedua dan seterusnya mendiskusikan kembali apa ada masalah lain yang dialami oleh keluarga. Hasil dari langkah pertama adalah kelompok memiliki daftar masalah.
Langkah II : Cara untuk menyelesaikan masalah. Kegiatan yang dilakukan adalah peserta
saling berbagi
informasi bagaimana cara mengatasi permasalahan yang terjadi berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat. Bila penyelesaian
masalah
tidak
ditemukan
maka
bisa
menggunakan pedoman untuk menyelesaikan masalah. Materi yang dapat diberikan adalah memberikan informasi tentang kesehatan jiwa, tanda sehat jiwa, gangguan jiwa (penyebab, tanda dan gejala, dampak gangguan jiwa bagi klien dan keluarga), cara yang dapat dilakukan untuk merawat anggota keluarga seperti berinteraksi, membantu melakukan perawatan diri (mandi, menyisir rambut, menggosok gigi, berpakaian), melakukan kegiatan (seperti menyiapkan makan, mencuci piring, merapihkan rumah, berbelanja), memberikan pujian klien dan keluarga, cara memberikan obat. Materi tersebut diberikan oleh anggota kelompok itu sendiri ataupun oleh tenaga kesehatan yang ditunjuk dan disepakati oleh kelompok. Pertemuan kedua dan
seterusnya
kegiatan
yang
dilakukan
adalah
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
63
mendiskusikan cara penyelesaian masalah yang lain, apakah ada tambahan. Jika cara penyelesaian masalah tidak ditemukan dapat konsul kepada ahlinya. Hasil dari langkah kedua adalah kelompok memiliki daftar cara penyelesaian masalah
Langkah III : Memilih cara pemecahan masalah. Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan tiap-tiap cara
penyelesaian
masalah
penyelesaian masalah
yang
ada
dalam
daftar
dan memilih cara penyelesaian
masalah dengan mempertimbangkan faktor pendukung dan penghambat
dalam
menyelesaikan
masalah
tersebut.
Pertemuan ke dua dan seterusnya adalah mendiskusikan apakah ada cara lain yang dipilih dalam mengatasi masalah. Hasil dari langkah ke tiga ini adalah daftar cara penyelesaian masalah yang dipilih
Langkah IV : Melakukan tindakan untuk penyelesaian masalah. Kegiatan yang dilakukan adalah tiap peserta melakukan role play (bermain peran) cara penyelesaian masalah yang telah dipilih. Pertemuan ke dua dan selanjutnya melakukan role play cara lain yang telah dipilih oleh kelompok. Hasil dari langkah ke empat adalah kelompok memiliki daftar penyelesaian masalah yang sudah dilatih.
Langkah V : Pencegahan kekambuhan. Kegiatan yang dilakukan adalah mendiskusikan cara – cara mencegah kekambuhan, tanda dan tanda kekambuhan dan tindakan
yang
dilakukan
saat
kekambuhan
terjadi.
Pertemuan kedua dan selanjutnya adalah mendiskusikan tentang cara lain untuk mencegah kekambuhan dan tindakan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
64
yang dilakukan saat kekambuhan terjadi. Hasil dari langkah kelima adalah
daftar cara mencegah kekambuhan dan
tindakan yang dilakukan jika kekambuhan terjadi.
b) Pertemuan kedua : Pendampingan Pertemuan kedua dilakukan setelah penjelasan konsep self help group dan lima langkah kegiatan self help group. Pertemuan ini dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok namun masih didampingi oleh tenaga profesional. Mendiskusikan masalah yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Setiap peserta
mengungkapkan masalah yang dihadapinya.
Kelompok membuat daftar masalah . Mendiskusikan cara mengatasi permasalahan yang terjadi berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat. Kelompok menyusun daftar cara penyelesaian masalah. Mendiskusikan tiap-tiap cara penyelesaian masalah yang ada dalam daftar penyelesaian masalah dan memilih cara penyelesaian masalah. Kelompok membuat daftar cara penyelesaian masalah yang dipilih. Melakukan role play (bermain peran) oleh peserta tentang cara penyelesaian masalah yang telah dipilih. Kelompok membuat daftar penyelesaian masalah yang sudah dilatih. Mendiskusikan cara – cara mencegah kekambuhan, tanda dan tanda kekambuhan dan tindakan yang dilakukan saat kekambuhan terjadi. Kelompok membuat daftar cara mencegah kekambuhan dan tindakan yang dilakukan jika kekambuhan terjadi.
c) Pertemuan ketiga : Pelaksanaan Mandiri Pertemuan ketiga merupakan tahap akhir pembentukan self help group, dipimpin oleh leader yang merupakan anggota
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
65
kelompok tersebut. Peran terapis pada pertemuan ketiga ini adalah memfasilitasi jalannya kegiatan self help group Mendiskusikan masalah lain yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa berdasarkan daftar masalah .Bila ada masalah
baru,
kelompok menulis pada daftar masalah. Mendiskusikan cara mengatasi permasalahan yang terjadi berdasarkan daftar masalah yang sudah dibuat. Mendiskusikan cara penyelesaian masalah yang lain yang ditulis dalam daftar cara penyelesaian masalah. Melakukan role play (bermain peran) oleh peserta tentang cara penyelesaian masalah yang telah dipilih. Mendiskusikan tindakan lain yang dapat dilakukan saat kekambuhan terjadi.
2.5.5.2 Tindakan terhadap Keluarga Tindakan keperawatan diberikan kepada keluarga klien dengan tujuan supaya keluarga klien memiliki kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan untuk membantu klien memenuhi kebutuhan perawatan diri. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis.
Tindakan Generalis Tindakan generalis yang dilakukan adalah menjelaskan, melatih dan mengajarkan kepada keluarga klien tentang cara memenuhi kebutuhan perawatan diri. Tindakan/intervensi generalis yang diberikan
kepada
keluarga
bertujuan
untuk
meningkatkan
kemampuan keluarga dalam : a. Mengidentifikasi masalah defisit perawatan diri yang meliputi pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. b. Mengambil keputusan dalam merawat klien dengan defisit
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
66
perawatan diri yang meliputi pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. c. Merawat klien dengan defisit perawatan diri yang meliputi membantu klien dalam pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. d. Memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk merawat klien defisit perawatan diri termasuk menyediakan peralatan untuk pemenuhan aktifitas mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. e. Memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk mendukung merawat klien dengan defisit perawatan diri.
Kegiatan yang dilakukan dalam memberikan tindakan keperawatan generalis kepada keluarga adalah : a. Mendiskusikan bersama keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh klien untuk menjaga perawatan diri klien b. Menganjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri klien dan membantu mengingatkan klien dalam merawat diri sesuai jadwal yang telah disepakati. c. Menganjurkan
keluarga
untuk
memberikan
pujian
atas
keberhasilan klien dalam merawat diri.
Tindakan Spesialis Tindakan spesilis yang diberikan oleh penulis terhadap keluarga klien adalah terapi spesialis keperawatan jiwa psikoedukasi keluarga. Berikut ini dijelaskan secara rinci tentang terapi psikoedukasi keluarga.
Terapi Psikoedukasi Keluarga/Family Psico Educasy Family Psychoeducation Therapy adalah salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan
edukasi
melalui
komunikasi
yang
terapeutik.
Program
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
67
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart, 2009).
Psikoedukasi keluarga merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga keperawatan jiwa profesional sebagai bagian dari keseluruhan intervensi
klinik untuk anggota keluarga
yang
mengalami gangguan. Terapi ini menunjukkan adanya peningkatan outcomes pada klien dengan schizofrenia dan gangguan jiwa berat lainnya (Anderson, 1983 dalam Levine, 2002).
Prinsip psikoedukasi dapat membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi klien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri.
Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang perawatan klien dengan gangguan jiwa pada anggotanya (Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002), Stuart (2009) tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa,
meningkatkan fungsi klien dan keluarga
sehingga mempermudah klien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah untuk memberi dukungan terhadap anggota keluarga yang lain dalam mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat klien gangguan jiwa untuk waktu yang lama.
Sedangkan tujuan khusus dari terapi psikoeduksi ini adalah : meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan; meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
68
menurunkan angka kekambuhan; mengurangi beban keluarga; melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang perkembangan keluarga; melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang lain.
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai seperti diuraikan di atas, pencapaian terapi Family Psyhcoeducy dapat dilakukan dalam 5 sesi, sebagai berikut : Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah yang dihadapi keluarga. Kegiatan yang dilakukan pada sesi 1 ini adalah penyampaian tujuan dan kontrak program psikoedukasi kepada keluarga. Kemudian sharing pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa (masalah pribadi yang dihadapi oleh caregiver dan masalah dalam merawat klien defisit perawatan diri) serta keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti program psikoedukasi keluarga. Sesi 2 : Mendiskusikan cara merawat klien defisit perawatan diri. Kegiatan yang dilakukan pada sesi 2 ini adalah penyampaian materi tentang gangguan jiwa yang dialami oleh klien defisit perawatan diri yaitu materi tentang pengertian, gejala, etiologi, prognosis, intervensi dan terapi yang dapat diberikan kepada klien gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri yang disertai dengan informasi dan demonstrasi serta role play tentang cara merawat klien dengan gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri) di rumah. Sesi 3 : Manajemen stres keluarga Kegiatan yang dilakukan pada sesi 3 ini adalah pemberian materi tentang manajemen stres yang dialami oleh keluarga akibat merawat klien defisit perawatan diri, hambatan dan cara mengatasinya yang disertai dengan diskusi dan role play. Sesi 4 : Manajemen beban keluarga Kegiatan yang dilakukan pada sesi 4 ini adalah mengidentifikasi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
69
adanya tanda-tanda beban yang dialami oleh keluarga dan cara mengatasi beban yang dialami akibat adanya anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri). Cara berkomunikasi serta latihan asertif bagi keluarga untuk mengungkapkan perasaan masing-masing disertai dengan diskusi dan role play. Sesi 5 : Pemberdayaan komunitas untuk membantu keluarga. Kegiatan yang dilakukan pada sesi 5 ini adalah mengidentifikasi hambatan yang dialami oleh keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa (khususnya defisit perawatan diri) di rumah, hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan dan cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi, serta diskusi dengan tenaga kesehatan dari Puskesmas tentang sistem rujukan, advokasi hak-hak klien gangguan jiwa dan mencari dukungan untuk pembentukan kelompok suportif dan swabantu.
Beberapa terapi keperawatan di atas diberikan oleh penulis kepada klien dan keluarganya dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah klien dan keluarga. Keperawatan merupakan suatu profesi dan diakui sebagai suatu disiplin ilmiah karena profesi keperawatan
didasarkan
kepada
ilmu
pengetahuan
yang
teoritis.
Penggunaan pengetahuan yang teoritis, pengembangan metode-metode secara sistematis memberikan peningkatan dan keberhasilan pelayanan keperawatan sehingga tindakan keperawatan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan akhirnya dapat meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri perawat.
2.6 Konseptual Model Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Jiwa Asuhan keperawatan jiwa diberikan kepada klien defisit perawatan diri dengan penerapan teori dan model keperawatan yang tepat dan pendekatan keperawatan. Penulis dalam melakukan asuhan keperawatan klien dengan defisit perawatan diri ini juga menggunakan teori dan model konsep
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
70
keperawatan yaitu teori Self Care Dorothy Orem. Pendekatan keperawatan yang digunakan adalah pendekatan pelayanan keperawatan yang berbasis komunitas yaitu CMHN (Community Mental Health Nursing) yang mengutamakan peran serta masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. Berikut ini diuraikan mengenai teori Self Care Orem dan konsep CMHN.
2.6.1 Teori dan Konsep Model Self Care Dorothy Orem Teori adalah suatu kumpulan pernyataan untuk menguraikan, menjelaskan dan meramalkan hubungan dari beberapa konsep untuk memproyeksikan sebuah fenomena. (Power dan Knapp, 1995, dalam Tomey, 2006). Teori membantu memberikan pengetahuan kepada perawat untuk meningkatkan praktik keperawatan dengan cara menguraikan,
menjelaskan,
meramalkan
dan
mengendalikan
fenomena.
Model merupakan sebuah gambaran yang abstrak dari realitas, sebagai sebuah cara untuk memvisualisasikan realitas sehingga dapat mempermudah cara berpikir. Konseptual model memperlihatkan bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang beraneka ragam dengan aplikasi berbagai teori untuk memprediksi atau mengevaluasi berbagai alternatif dari konsekuensi-konsekuensi. Hal ini menjadi dasar dalam pengembangan dan dalam rangka penerapan terapi spesialis keperawatan jiwa.
Orem memberi label bagi teorinya Self-care deficit theory of nursing sebagai teori umum. Teori ini disusun atas tiga teori yang saling berhubungan: a. Theory self-care (Perawatan diri) Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang bisa melakukan atau mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
71
tanpa bantuan. b. Theory self-care deficit (Ketidakmampuan perawatan mandiri) Asumsi teori ini menjelaskan bahwa suatu saat pada kondisi tertentu, seseorang bisa mengalami kondisi bahwa dia tidak mampu melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri. Sehingga pada kondisi ini individu mengalami self care defisit. c. Theory of nursing system (Teori sistem keperawatan) Asumsi teori ini bahwa ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri, maka dia memerlukan bantuan, dan perawat sebagai nursing agency harus memberikan bantuan kepada orang tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Secara umum, keyakinan dari teori self care menurut Orem adalah bahwa tidak ada keterbatasan pada seseorang untuk melakukan perawatan bagi dirinya sendiri. Artinya bahwa setiap orang mampu untuk melakukan kegiatan memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
Tindakan keperawatan yang diberikan sebagai
bantuan bagi klien bertujuan untuk memandirikan klien dalam pemenuhan perawatan diri/self care.
Gambar 2.2 berikut ini menjelaskan tentang hubungan antara self care demand, dengan self care agency dan peran nursing agency supaya terjadi kemampuan pemenuhan self care secara mandiri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
72
F A K T O R K O N D I S I
SELFCARE R
R
SELFCARE AGENCY
SELFCARE DEMAND D
R
R
R
DEFICIT
NURSING AGENCY
FAKTOR KONDISI
Gambar 2.2. A conceptual framework for nursing. R, Relationship:<, deficitrelationship, current or projected Diambil dari Orem, D.E. (2001). Nursing: Concepts of practice. [6th edition. hal.491] St.Louis: Mosby
Keseluruhan kegiatan perawatan diri dilakukan guna memenuhi kebutuhan perawatan diri seseorang dengan menggunakan metode yang valid yang diistilahkan Orem sebagai therapeutic self care demand, yaitu suatu kegiatan yang sengaja dilakukan sesuai kemampuan didasarkan pada keputusan yang tepat sesuai dengan keadaan. Perawat menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan. Seseorang yang melakukan kegiatan harus mempunyai pengetahuan
sensori
dan
kewaspadaan
pada
situasi,
serta
merefleksikan pada pengetahuan kemudian membuat keputusan.
Seseorang yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri atau pada orang lain disebut sebagai self care agent. Self care agent dipengaruhi oleh conditioning factor yaitu berbagai faktor internal atau eksternal setiap individu yang mempengaruhi kemampuannya
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
73
untuk melakukan self-care seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga, gaya hidup, faktor lingkungan, latar belakang pengalamannya dan ketersediaan sumber daya. Secara normal, orang yang sudah dewasa mampu melakukan perawatan bagi diri sendiri, bayi, anak-anak, lansia, orang sakit dan cacat yang membutuhkan bantuan penuh atau dibantu dalam kegiatan perawatan diri.
Sel care deficit adalah kondisi yang terjadi ketika hubungan antara self-care agency dengan self care therapeutic demand tidak seimbang. Self care agency tidak cukup mampu menggunakan self care therapeutic demand untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhannya. Pada saat inilah diperlukan bantuan dari nursing agency.
Nursing Agency adalah karakteristik orang yang memenuhi syarat dan memiliki
kemampuan memberikan bantuan untuk memenuhi self
care. Nursing agency merupakan seseorang baik laki-laki atau wanita, atau salah satu anggota keluarga klien dengan kemampuan khusus yang bersedia memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. Kemampuan khusus harus mereka miliki agar memungkinkan mereka memberikan bantuan dalam mengatasi tuntutan kesehatan dan memenuhi kebutuhan perawatan diri bagi klien.
Orem mengidentifikasi 5 metode yang dilakukan perawat untuk memberikan bantuan keperawatan yaitu: a. Memberikan bantuan langsung dalam bentuk tindakan keperawatan. b. Memberikan panduan, arahan dan memfasilitasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri. c. Mengajarkan klien tentang prosedur dan aspek-aspek tindakan agar
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
74
klien dapat melakukan perawatan dirinya secara mandiri d. Memberikan dorongan secara fisik dan psikologik agar klien dapat mengembangkan potensinya untuk melakukan perawatan secara mandiri. e. Menyediakan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan pribadi klien untuk meningkatkan kemandirian dalam perawatan.
Tindakan perawatan sebagai metode bantuan yang diberikan pada klien menurut theory of nursing system terdiri dari : a. Wholly compensatory Perawat mengambil alih semua kebutuhan self care terapeutik klien atau
untuk
mengkompensasi
mengikutsertakan
perawatan
ketidakmampuan
dirinya
atau
ketika
klien klien
membutuhkan bimbingan yang kontinu dalam perawatan dirinya. Diberikan pada klien dengan tingkat ketergantungan tinggi (total care). Contoh pada klien defisit perawatan diri yang mengalami keterbatasan fisik, yang tidak mampu melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri. b. Partly compensatory Klien dan perawat bersama-sama memenuhi kebutuhan perawatan diri klien seperti activity daily living atau ambulasi. Perawat mengambil alih beberapa aktifitas self care yang tidak dapat dilakukan klien, contoh pada klien defisit perawatan diri yang berusia lanjut, klien masih dapat melakukan sebagian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. c. Supportive educative system Yaitu dimana klien membutuhkan bantuan dalam mengambil keputusan, mengkontrol tingkah laku dan tambahan ketrampilan serta pengetahuan. Dimana sistem ini klien mampu melakukan perawatan diri dengan bantuan. Peran perawat adalah menjadikan klien sebagai self care agent. Contoh pada klien defisit perawatan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
75
diri dimana keluarganya diajarkan untuk membantu memenuhi kebutuhan perawatan diri klien dalam hal mandi, berhias, makan minum dan toileting.
2.6.2 Community Mental Health Nursing Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui orang (Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan sistem yang menjelaskan sebagai suatu proses yang sejajar dan menunjang proses keperawatan. Proses manajemen keperawatan selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan data (pengkajian),
diagnosa
atau
identifikasi
masalah
kesehatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan antara proses manajemen keperawatan dengan proses asuhan keperawatan
diharapkan
keduanya
saling
menopang
dalam
mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional.
Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat yang membutuhkannya, sehingga manajemen pelayanan keperawatan yang adekuat perlu diterapkan
dalam
mewujudkan
pelayanan
keperawatan
yang
berkualitas. Pelayanan Keperawatan atau intervensi keperawatan untuk penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada upaya pencegahan (preventif) dan promotif, namun upaya ini tidak akan tercapai bila hanya dilakukan di rumah sakit. Oleh karena itu pandangan hospital based bergeser menjadi community based.
Community Mental Health Nursing (CMHN) memberikan perawatan dengan metode yang efektif dalam merespon kebutuhan kesehatan jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental health ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan dari
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
76
Community Mental Health Nursing (CMHN) yaitu memberikan pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip kesehatan jiwa kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan angka risiko terjadinya gangguan jiwa, dan meningkatkan penerimaan komunitas terhadap praktek kesehatan jiwa melalui edukasi (Stuart, 2009).
Community Mental Health Nursing (CMHN) yang dikembangkan diadaptasi dari modul yang dikembangkan oleh FIK UI dan WHO (2006). Kegiatan CMHN ini dilakukan oleh perawat CMHN yang berada di Puskesmas Bogor Timur bersama KKJ. Keliat (2011) menguraikan manajemen keperawatan jiwa komunitas dalam empat pilar, yaitu Pilar I Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas, Pilar II Pemberdayaan Masyarakat, Pilar III Kemitraan Lintas Sektor dan Lintas Program dan Pilar IV Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa. Semua kegiatan ini akan dilakukan oleh perawat CMHN yang berada di Puskesmas bersama dengan Kader Kesehatan Jiwa. Aplikasi penerapan tiap pilar tersebut asalah sebagai berikut :
a.
Pilar I : Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas Pendekatan manajemen yang digunakan adalah empat fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Perencanaan : Siagian
(1990,
dalam
Keliat,
2011)
mendefinisikan
perencanaan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa mendatang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hierarki perencanaan menurut Marquis dan Houston (1998, dalam Keliat, 2011), kegiatan perencanaan yang akan ditetapkan di layanan keperawatan kesehatan jiwa
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
77
komunitas meliputi perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan dan perencanaan.
Rencana kegiatan yang disusun oleh perawat CMHN dalam penatalaksanaan klien gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri disebut sebagai rencana bulanan. Rencana bulanan perawat CMHN terdiri dari kegiatan manajerial dan kegiatan asuhan keperawatan.
Kegiatan manajerial dalam rencana bulanan perawat CMHN yaitu jadwal supervisi kader dan jadwal rapat/pertemuan bersama kader. Kegiatan asuhan keperawatan dalam rencana bulanan perawat CMHN yaitu jadwal memberikan pendidikan kesehatan untuk kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri; jadwal memberikan asuhan keperawatan gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri; jadwal melakukan terapi aktifitas kelompok dan rehabilitasi untuk klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Rencana bulanan tokoh masyarakat/kader disusun untuk membantu menangani masalah defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa di RW 02 dan RW 12. Rencana yang disusun adalah : menggerakkan keluarga klien gangguan jiwa untuk mengikuti penyuluhan tentang cara merawat klien; menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan rehabilitasi; melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan jiwa yang telah mandiri; merujuk kasus gangguan jiwa kepada perawat CMHN dan mendokumentasikan kegitan yang telah dilaksanakan dalam buku kegiatan kader.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
78
Pengorganisasian : Pengorganisasian adalah pengelompokkan aktifitas untuk mencapai suatu tujuan, penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan untuk proses koordinasi aktifitas yang tepat, baik vertikal maupun horizontal, yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) (Keliat, 2011). Pengorganisasian di Desa Siaga Sehat Jiwa terdiri dari struktur organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas dan pengelompokkan keluarga pada Desa Siaga Sehat Jiwa.
Struktur organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas di DSSJ dipimpin oleh perawat CMHN puskesmas. Perawat CMHN bertanggung jawab terhadap Kelurahan Baranang Siang, ada 2 RW di Kelurahan Baranang Siang yang menjadi tanggung jawabnya yaitu RW 02 dan RW 12. Perawat CMHN mengorganisir KKJ yang ada di RW 02 dan RW 12.
KKJ di RW 02 dan RW 12 memiliki daftar keluarga yang sudah dikelompokkan. Pengelompokkan keluarga dilakukan berdasarkan asuhan keperawatan yang diberikan. Yaitu asuhan keperawatan untuk keluarga dan klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Kelompok klien gangguan jiwa dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri dijadwalkan untuk diberikan terapi aktifitas kelompok dan rehabilitasi. Pengarahan : Keliat (2011) mendefinisikan pengarahan sebagai langkah pengejawantahan rencana kegiatan dalam bentuk tindakan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kegiatan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
79
pengarahan yang dilaksanakan pada layanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas yaitu menciptakan budaya motivasi, menerapkan manajemen waktu, melaksanakan pendelegasian, melaksanakan
supervisi
dan
komunikasi
yang
efektif,
melakukan manajemen konflik dan melakukan advokasi serta negosiasi.
Perawat CHMN melakukan kegiatan komunikasi, supervisi dan pendelegasian untuk membantu klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Komunikasi dilakukan kepada KKJ untuk menjalin dan membina hubungan saling percaya dalam rangka penangan klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Supervisi perawat CMHN kepada klien defisit perawatan diri yaitu mengidentifikasi jumlah kunjungan klien defisit perawatan diri ke puskesmas dan kepada KKJ dalam rangka pengawasan untuk memastikan bahwa KKJ melakukan
kegiatan
sesuai
dengan
tujuan
organisasi.
Pendelegasian dilakukan oleh perawat CMHN kepada KKJ untuk menindaklanjuti perawatan di komunitas bagi klien defisit perawatan diri yang sudah berkunjung ke puskesmas. Pendelegasian berikutnya kepada KKJ, berupa kewenangan untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri yang belum berkunjung ke puskesmas agar berkunjung ke puskesmas.
KKJ
melakukan
kegiatan
pengarahan
yang
meliputi
komunikasi, supervisi dan pendelegasian. Komunikasi kepada perawat CMHN dalam hal penanganan klien yang mengalami gangguan jiwa dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa defisit perawatan diri, komunikasi kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan diri dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dalam
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
80
pemberian
asuhan
keperawatan
defisit
perawatan
diri.
Supervisi dilakukan oleh KKJ kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan diri yang sudah mandiri, dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa yang sudah mampu secara mandiri merawat klien gangguan jiwa. Pendelegasian dilakukan KKJ untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri ke puskesmas kepada perawat CMHN. Pengendalian : Fayol
(1984,
dalam
Keliat,
2011),
mendefinisikan
pengendalian atau pengontrolan sebagai metode pemeriksaan untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan menurut rencana yang telah disepakati, instruksi
yang dikeluarkan,
serta prinsip-prinsip yang ditentukan, yang bertujuan untuk menemukan kekurangan dan kesalahan sehingga dapat diperbaiki dan tidak terjadi lagi.
Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN dalam hal pengontrolan adalah monitor dan evaluasi. Perawat CMHN memonitor KKJ dalam melaksanakan program CMHN di wilayahnya. Evaluasi kinerja KKJ dilakukan berdasarkan delapan kemampuan KKJ. Perawat CMHN juga melakukan monitor dan evaluasi terhadap peningkatan kemampuan klien gangguan jiwa defisit perawatan diri dalam perawatan diri, berkurangnya tanda dan gejala yang dialami oleh klien gangguan jiwa defisit perawatan diri.
KKJ melakukan monitor dan evaluasi terhadap rencana kerja yang telah disusun terhadap klien dan keluarga untuk mengatasi masalah defisit perawatan diri. Monitor dan evaluasi kepada klien mengenai peningkatan kemampuan klien dalam
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
81
hal memenuhi kebutuhan perawatan diri dan berkurangnya tanda dan gejala yang dialami klien defisit perawatan diri. Monitor dan evaluasi kepada keluarga mengenai peningkatan kemampuan keluarga dalam hal merawat klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
b.
Pilar II : Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pengembangan potensi pengetahuan maupun ketrampilan masyarakat agar mereka mampu mengontrol diri dan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan mereka sendiri, Helvi (1998, dalam Keliat, 2011). Manajemen pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) di Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) berfokus pada proses rekruitmen, seleksi, orientasi, penilaian kinerja dan pengembangan kader.
Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini KKJ dilakukan oleh perawat CMHN. Perawat CMHN sebelum memberdayakan KKJ harus memiliki kemampuan sebagai perawat CMHN. Kemampuan tersebut didapatkan melalui pelatihan sebagi perawat CMHN. Jadi perawat CMHN yang akan memberdayakan KKJ harus mengikuti pelatihan sebagai perawat CMHN terlebih dahulu.
Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN di Pilar II ini adalah rekruitmen, seleksi, orientasi dan penilaian kinerja KKJ. Perawat CMHN berkoordinasi dengan kepala desa, kepala dusun, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan nama calon KKJ, menentukan KKJ yang memenuhi syarat, melakukan sosialisasi program CMHN, menyelenggarakan pelatihan KKJ dan melakukan penilaian kinerja KKJ. KKJ terpilih dan terlatih akan bersama dengan perawat CMHN memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
82
Kegiatan
yang
dilakukan
KKJ
adalah
mengikuti
proses
rekruitmen, seleksi dan orientasi. KKJ menjalani proses rekruitmen karena ketertarikannya untuk memberikan asuhan keperawatan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. KKJ mengikuti penjelasan dan sosialisasi tentang persyaratan KKJ dari perawat CMHN kemudian memberikan persetujuan dengan menandatangani surat persetujuan menjadi KKJ. KKJ mengikuti proses sosialisasi program CMHN yang disampaikan oleh perawat CMHN dan mengikuti pelatihan KKJ untuk mendapatkan ketrampilan dan pengetahuan merawat klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
c.
Pilar III : Kemitraan Lintas Sektoral & Lintas Program Helvie (1998, dalam Keliat, 2011) menjelaskan kemitraan adalah upaya membangun dan
mempertahankan hubungan dengan
berbagai profesi dan sektor terkait di masyarakat dengan tujuan menyelesaikan
masalah,
mempertahankan
dukungan
merancang guna
program
meningkatkan
baru
dan
kesehatan
masyarakat. Kemitraan dalam layanan kesehatan di komunitas merupakan bentuk strategi kemitraan lintas program dan lintas sektor
yang
terintegrasi
berdasarkan
prinsip
kesetaraan,
keterpaduan, kesepakatan dan keterbukaan (Depkes RI, 2000 dalam Keliat, 2011).
Perawat CMHN melakukan kegiatan kemitraan lintas program dan lintas sektor, untuk menangani klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Kemitraan lintas program yang dilakukan adalah menggalang kerjasama layanan CMHN dengan puskesmas untuk mengidentifikasi masyarakat yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri; melakukan koordinasi dengan dokter di puskesmas untuk pemberian terapi klien defisit perawatan diri, konsultasi klien dan perujukan kasus;
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
83
melakukan koordinasi dengan KKJ mengenai klien defisit perawatan diri yang tidak berkunjung ke puskesmas. Kemitraan lintas sektor yang dilakukan adalah kerjasama dengan dinas kesehatan kota, kecamatan dan kelurahan.
KKJ melakukan kegiatan kemitraan lintas program dan lintas sektor. Kegiatan kemitraan lintas program yaitu melakukan rujukan kasus klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri ke puskesmas dan melaporkan kepada perawat CMHN mengenai kondisi klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Kegiatan kemitraan lintas sektor yang dilakukan KKJ adalah bekerja sama dengan perangkat RT, RW dan organisasi PKK, Karang Taruna, kelompok pengajian, untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
d.
Pilar IV : Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas Keperawatan
kesehatan
jiwa
komunitas
yang
profesional
mempunyai ciri praktik yang didasari oleh ketrampilan intelektual, teknis dan interpersonal. Pendekatan yang digunakan adalah proses keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi dan evaluasi. Perawat CMHN memberikan asuhan keperawatan dibantu oleh kader kesehatan jiwa.
Perawat
CMHN
bertanggung
jawab
memberikan
asuhan
keperawatan jiwa komunitas kepada kelompok klien gangguan jiwa dan keluarga yang anggotanya mengalami gangguan jiwa. Perawat memberikan asuhan pada klien dengan perawatan total (total care) dan perawatan parsial (partial care). Perawat CMHN diharapkan memiliki kemampuan di bawah ini :
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
84
Melaksanakan asuhan keperawatan pada kelompok klien yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
Memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok klien yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
Melaksanakan terapi aktifitas kelompk (TAK) pada kelompok klien gangguan jiwa
Melakukan rehabilitasi pada klien gangguan jiwa
Kader bertanggung jawab untuk memantau perkembangan klien yang sudah mandiri (self care). Sedangkan kemampuan yang harus dimiliki oleh kader adalah :
Mendeteksi keluarga gangguan jiwa
Menggerakkan keluarga klien gangguan jiwa untuk mengikuti penyuluhan tentang cara merawat klien
Menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan rehabilitasi
Melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan jiwa yang telah mandiri
Merujuk kasus kepada perawat CMHN dan
Mendokumentasikan kegitan yang telah dilaksanakan.
2.6.3 Aplikasi dan Kerangka Konsep Proses Keperawatan dengan Pendekatan Model Orem’s Self Care dan CMHN Pemberian asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang dilakukan oleh perawat CMHN bekerja sama dengan KKJ. Pendekatan yang digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan defisit perawatan diri adalah model Self Care yang dikemukakan oleh Dorothy Orem dan konsep CMHN.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
85
Kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan diri dilakukan dengan menggunakan metode yang diistilahkan Orem sebagai therapeutic self care demand, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada kebutuhan yang sesuai dengan kondisinya. Kebutuhan perawatan diri pada klien defisit perawatan diri meliputi aktifitas pemenuhan perawatan diri : mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
Klien, yang masih dapat memenuhi kebutuhan aktifitas`perawatan diri masuk sebagai self care agency. Keluarga dan kader juga merupakan self care agency karena membantu klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri. Self care agent dipengaruhi oleh conditioning factor yaitu berbagai faktor internal atau eksternal setiap individu yang mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan self care seperti usia, jenis kelamin, tahap perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem pelayanan kesehatan, sistem keluarga, gaya hidup, faktor lingkungan, latar belakang pengalamannya dan ketersediaan sumber daya.
Self care deficit adalah hubungan antara self care agency dengan self care therapeutic demand. Self care defisit terjadi ketika self care agency tidak cukup mampu menggunakan self care therapeutic demand untuk melakukan pemenuhan kebutuhan perawatan diri. Saat inilah maka bantuan keperawatan dibutuhkan. Bantuan dibutuhkan untuk memaksimalkan self care therapeutic demand agar self care terpenuhi dan dapat melakukan self care agency untuk menangani masalah defisit perawatan diri.
Nursing Agency dalam hal ini adalah perawat, baik perawat CMHN maupun
perawat
mahasiswa.
Perawat
memberikan
bantuan
berdasarkan kondisi dan macam bantuan yang dibutuhkan oleh klien dan keluarga. Klien menerima asuhan keperawatan dari perawat berdasarkan tiga macam kondisi, wholly compensatory atau pemberian
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
86
bantuan total, partly compensatory atau pemberian bantuan sebagian misalnya pada klien dengan keterbatasan fisik dan supportive educative system atau memberikan pendidikan kesehatan dan melatih klien dan keluarganya untuk dapat berperan sebagai self care agency. Perawat memiliki kemampuan khusus untuk memberikan asuhan perawatan
dalam
mengatasi
masalah
defisit
perawatan
diri.
Kemampuan khusus yang diberikan oleh perawat kepada klien adalah memberikan terapi keperawatan jiwa. Terapi yang diberikan adalah terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi generalis diberikan untuk mengatasi masalah defisit perawatan diri. Sedangkan terapi spesialis merupakan terapi lanjutan dari terapi generalis. Terapi spesialis yang diberikan adalah terapi individu (terapi perilaku : token ekonomi), terapi kelompok (terapi kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu) dan terapi keluarga (terapi psikoeduksi keluarga).
Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan tentang proses pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri, dengan penerapan model Self Care Orem dan CMHN.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
87
Kognitif : - Tidak mampu mengambil keputusan - Tidak mampu merawat diri Afektif : - Perasaan negatif terhadap diri - Sedih - Merasa tidak mampu merawat diri - Kurang motivasi merawat diri Fisiologi : - Lemah/letih/lelah - Penurunan muskuloskeletal Perilaku : - Tidak mandi - Tidak berhias setelah mandi - Tidak makan teratur - Toileting tidak tepat Sosial : - Mengurung diri - Menghindar dari orang lain - Menolak interaksi Kemampuan Klien : - Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan mandi - Ketidakmampuan berhias setelah mandi - Ketidakmampuan makan dan minum dengan benar - Ketidakmampuan melakukan toileting dengan benar
Kognitif : - Mampu mengambil keputusan - Mampu merawat diri Afektif : - Perasaan positif terhadap diri - Tidak merasa sedih - Merasa mampu merawat diri - Memiliki motivasi merawat diri Fisiologi : - Lemah/letih/lelah - Penurunan muskuloskeletal Perilaku : - Mandi - Berhias setelah mandi - Makan teratur - Toileting tepat Sosial : - Bersosialisasi - Berinteraksi dengan orang lain
Terapi Generalis : Individu : DPD Keluarga : DPD Terapi Spesialis Individu : Terapi Perilaku Terapi Spesialis Kelompok – Suppotif -Swa Bantu Terapi Spesialis Keluarga Psikoedukasi keluarga
Kemampuan Klien : - Mampu memenuhi kebutuhan mandi. - Mampu berhias setelah mandi. - Mampu makan dan minum dengan benar - Mampu melakukan toileting dengan benar.
Predisposisi : - Biologi - Psikologi - Sosial budaya Presipitasi : - Biologi - Psikologi - Sosial budaya
Keluarga memiliki kemampuan memberikan dukungan, bimbingan, pengarahan dan motivasi terhadap klien untuk melakukan perawatan diri : mandi, berhias, makan minum dan toileting.
Ketidakmampuan Keluarga dalam memberikan dukungan, bimbingan, pengarahan dan motivasi terhadap klien untuk melakukan perawatan diri : mandi, berhias, makan minum dan toileting.
Gambar 2.3. Aplikasi penerapan diagnosa defisit perawatan diri dengan menggunakan pendekatan model Self Care – Orem
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 3 MANAJEMEN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DI PUSKESMAS BOGOR TIMUR Bab 3 menguraikan manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan di Wilayah Kecamatan Bogor Timur, Puskesmas Bogor Timur dan Kelurahan Baranang Siang sebagai lahan praktek dan pelayanan keperawatan jiwa komunitas. Bertujuan untuk melihat penerapan asuhan keperawatan terhadap klien, keluarga dan komunitas khususnya kelompok klien gangguan jiwa di Wilayah RW 02 dan RW 12. Untuk lebih jelasnya, terlebih dahulu diuraikan tentang profil Kecamatan Bogor Timur yang membawahi Puskesmas Bogor Timur, Kelurahan Baranang Siang dan profil wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
3.1. Profil Wilayah 3.1.1 Kecamatan Bogor Timur Kecamatan Bogor Timur dengan total jumlah penduduk 88.619 jiwa, dipimpin oleh Dra. Rakhmawati, M.Si. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 1995 dan Inmendagri No. 30 Tahun 1995 tanggal 24 Agustus 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tk. II Bogor dan Kabupaten Daerah Tk. II Bogor, wilayah Kecamatan Bogor Timur dengan luas 1.015 Ha, terdiri dari dari 6 (enam) kelurahan 318 RT dan 59 RW. Adapun kelurahan dimaksud adalah : Kelurahan Baranang Siang (Luas 235 Ha), Kelurahan Sukasari (Luas 48 Ha), Kelurahan Katulampa (Luas 491 Ha), Kelurahan Tajur (Luas 45 Ha), Kelurahan Sindangsari (Luas 90 Ha), Kelurahan Sindangrasa (Luas 106 Ha).
Batas wilayah Kecamatan Bogor Timur adalah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bogor Utara, Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Bogor Tengah dan Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
88
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
89
SDM yang dimiliki oleh Kecamatan Bogor Timur yaitu : SD/Sederajat (3 Orang), SMP/Sederajat (5 Orang), SMA/Sederajat (48 Orang), Diploma 3 (3 Orang), Strata 1/Diploma 4 (17 Orang) dan Strata 2 (2 Orang), sehingga total jumlah SDM di Kecamatan Bogor Timur adalah 78 Orang. Berdasarkan komposisi tingkat pendidikan dan jumlah
SDM
yang
dimiliki
oleh
Kecamatan
Bogor
Timur
memungkinkan untuk pengoptimalan pencapaian tujuan Kecamatan Bogor Timur.
Berdasarkan Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2008, susunan organisasi Kecamatan terdiri dari : Camat, Sekretaris Camat (membawahi Kasubag Umum dan kepegawaian serta Kasubag Keuangan), Seksi Pemerintahan ; Seksi Ketentraman dan Ketertiban ; Seksi Pengendalian Bangunan ; Seksi Sosial ; Seksi Perekonomian. Bidang Kesehatan tidak nampak pada bagian susunan kepengurusan di Kecamatan Bogor Timur, hal ini bukan berarti bahwa bidang kesehatan menjadi hal yang tidak diperhatikan pencapaiannya. Kegiatan kesehatan tetap dilaksanakan di bawah tanggung jawab Bidang Sosial. Visi Kecamatan Bogor Timur adalah “Mewujudkan Kecamatan Bogor Timur sebagai wilayah permukiman dan Sentra Ekonomi yang berwawasan
Lingkungan”.
Visi
yang
ditetapkan
belum
menggambarkan adanya perhatian pada sektor kesehatan, tetapi pada pelaksanaannya tetap ada kegiatan yang berkaitan dengan dukungan terhadap sektor kesehatan, contoh : pembinaan posyandu, pelaksanaan UKS di sekolah-sekolah.
Misi Kecamatan Bogor Timur adalah untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, Kecamatan Bogor Timur memiliki misi sebagai berikut : 1). Penataan pusat-pusat perdagangan dan jasa serta kawasan permukiman yang tertib, tentram dan aman. 2). Memberikan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
90
pelayanan yang mudah, cepat dan efisien kepada masyarakat. 3). Pemanfaatan semaksimal mungkin terhadap potensi yang dimiliki demi
lancarnya
penyelenggaraan
pemerintahan,
tercapainya
peningkatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. 4). Memelihara rasa persaudaraan dan kekeluargaan di dalam masyarakat sebagai syarat mutlak bagi terlaksananya program-program pembangunan. Tujuan Kecamatan Bogor Timur sebagai berikut : 1). Meningkatkan manajemen pemerintahan yang baik. 2). Mewujudkan Bogor Timur sebagai wilayah permukiman dan sentra ekonomi yang berwawasan lingkungan yang ditunjang oleh industri non polutan, perdagangan dan jasa. 3). Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerukunan hidup beragama. 4). Menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi di sektor ekonomi. 5). Mengupayakan peningkatan kesehatan, pendidikan, perekonomian, dan kesejahteraan sosial masyarakat. Program kesehatan belum terlihat pada visi dan misi yang dimiliki kecamatan Bogor Timur, tetapi pada butir yang kelima tujuan yang akan dicapai, sektor kesehatan menjadi salah satu tujuan yang akan dicapai.
Sasaran yang akan dicapai adalah : 1). Meningkatnya kualitas sumber daya manusia aparatur Kecamatan. 2). Pemanfaatan lahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi agar dapat dikelola secara tepat dan professional
bagi
pengembangan
ekonomi
masyarakat.
3).
Pemberdayaan dan pembinaan lembaga-lembaga kemasyarakatan (RT, RW dan LPM) agar dapat berperan lebih optimal bagi penciptaan iklim
yang
kondusif
bagi
pelaksanaan
program-program
pembangunan dan pemerintahan. 4). Merangkul para pengusaha yang ada di wilayah Kecamatan Bogor Timur agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan ekonomi masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja yang berasal dari lingkungan sekitar.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
91
3.1.2 Kelurahan Baranang Siang Baranang Siang merupakan salah satu kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Bogor Timur. Kelurahan Baranang Siang dipimpin oleh Bapak Dudi Fitri Susandi, S.ST., M.Si. Struktur jabatan yang ada di Kelurahan Baranang Siang terdiri dari Bidang Sekretariat, Kepala Seksi Pemerintahan, Kepala Seksi Ekonomi Pembangunan, Kepala Seksi Kemasyarakatan, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban. Bidang Kesehatan ada di bawah Kepala Seksi Kemasyarakatan. SDM yang dimiliki Kelurahan Baranang Siang keseluruhan berjumlah 15 orang. Terdiri dari 11 orang PNS dan 4 orang tenaga sukarelawan. Untuk tingkat pendidikan, S 2 sebanyak 1 orang, S 1 sebanyak 2 orang, SMA 6 orang dan SMP 1 orang.
Luas lahan yang dimiliki oleh Kelurahan Baranang Siang adalah 235 Ha dengan topografi dan bentang lahan daratan yang sebagian besar lahan dipergunakan untuk pertanian dan pemukiman penduduk. Batasbatas area kelurahan Baranang Siang yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tegalega, Batas Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sukasari, batas Barat berbatasan dengan Kelurahan Babakan Pasar dan batas Timur berbatasan dengan Kelurahan Katulampa. Kondisi geografis terletak pada sekitar 300 m di atas permukaan laut, suhu udara rata–rata 23 derajat celcius, curah hujan berkisar 300 mm rata-rata per tahun. Orbita (jarak kelurahan dari pemerintahan) dari kecamatan sekitar 0,5 km ; dari pemerintah kota sekitar 2 km ; dari Ibu Kota Propinsi 120 km dan dari Ibu Kota Negara 60 km. Kelurahan Baranang Siang mempunyai 14 RW dengan 83 RT. Jumlah penduduk berdasarkan laporan sistem pendataan profil Kelurahan Baranang Siang Bulan Desember 2011, yaitu sebanyak 24.162 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 6608 KK.
Visi Kelurahan Baranang Siang : Sebagai penunjang kota perdagangan dengan pelayanan Prima. Belum ada unsur kesehatan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
92
yang ikut ditetapkan dalam visi kelurahan Baranang Siang. Visi kelurahan lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor ekonomi yang merupakan pembangunan di sektir fisik.
Misi Kelurahan Baranang Siang : a). Mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat ; b). Mengoptimalkan sektor informal sebagai penggerak perekonomian masyarakat ; c). Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap budaya bersih dan sehat. Program kesehatan tidak dicantumkan secara khusus pada misi kelurahan Baranang Siang, namun dalam poin c bisa dilihat bahwa sektor kesehatan menjadi tujuan atau output yang merupakan perhatian penting .
Kelurahan Baranang Siang membawahi 14 RW, mulai dari RW 01 sampai dengan RW 14. Sarana kesehatan yang dimiliki oleh Kelurahan Baranang Siang adalah Puskesmas 1 buah (Puskesmas Bogor Timur), Puskesmas Pembantu 1 buah (Puskesmas bantar kemang), Posyandu 20 buah dan Posbindu 6 buah. Pelayanan kesehatan yang diberikan berdasarkan kerja sama dengan Puskesmas Bogor Timur, yaitu melakukan upaya : a). Meningkatkan pelayanan posyandu ; b). Pelaksanaan gerakan PSN & K3 dan membudayakan tim Jumantik. Program kesehatan jiwa tidak dikoordinasi secara khusus oleh kasi yang ada di kelurahan, namun menjadi tugas dan tanggung jawab kasi sosial dan kemasyarakatan yang dipimpin oleh ibu Dini Saptirini, S.Sos. Kegaiatn yang telah dilaksanakan anak pembinaan terhadap anak jalanan dan orang terlantar setiap Hari Minggu minggu ketiga.
3.1.3 RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang merupakan wilayah yang menjadi fokus area praktik penulis di Kelurahan Baranag Siang.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
93
Profil RW 02 Kelurahan Baranang Siang RW 02 merupakan wilayah di Kelurahan Baranang Siang yang terdiri dari 4 RT. Wilayah RW 02 diketuai oleh Bapak Heriawan Buhron. Selanjutnya RT 01 di ketuai oleh Bapak Sigit, RT 02 diketuai oleh Bapak Hidajat Bandjaransari, RT 03 diketuai oleh Bapak Refi dan RT 04 diketuai oleh Bapak Mumung Sukadi.
Kelompok usia terbanyak di wilayah RW 02 adalah kelompok usia dewasa tengah yaitu usia 24-65 tahun dengan jumlah 102 jiwa. Masalah
kesehatan
secara
umum
yang
terbanyak
adalah
perkembangan lansia (banyak lansia yang tinggal sendiri karena para anak yang sudah dewasa dan bekerja). Kelompok risiko Hipertensi (17 orang), Diabetes Melitus (7 orang), Asam Urat (4 orang), Jantung (4 orang) dan Asma (2 orang).
Penduduk RW 02 mayoritas beragama Islam, tingkat pendidikan ratarata tamat S1, ada yang S2 dan bahkan S3, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai pemerintahan dan swasta menetap, kebanyakan penduduk berusia lanjut. Perangkat RW 02 sangat terbuka dan kooperatif terhadap praktik mahasiswa spesialis keperawatan jiwa, sehingga mahasiswa sangat dapat bekerjasama dengan para kader Kesehatan Jiwa untuk menangani permasalahan kesehatan khususnya kesehatan Jiwa di wilayah RW 02, dalam rangka mewujudkan Desa Siaga Sehat Jiwa di Kelurahan Baranang Siang.
Berdasarkan tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa sejumlah 186 jiwa penduduk terbagi dalam 4 RT, 14 KK di RT 01, 11 KK di RT 02, 13 KK di RT 03 dan 17 KK di RT 04. Sebanyak 165 orang merupakan penduduk sehat dengan berbagai tingkatan usia, 18 orang penduduk risiko mengalami gangguan jiwa dan 3 orang mengalami gangguan jiwa. Klien yang mengalami gangguan jiwa yang ditemukan di RW 02 adalah 3 orang, 1 orang skizofrenia dan 2 orang lainnya retardasi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
94
mental. Ketiga klien tersebut akan dirawat bersama dengan KKJ dan menjadi fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa serta dilaporkan dalam Karya Ilmiah Akhir ini. Jumlah KKJ di RW 02 adalah 6 orang KKJ dan semuanya sudah mengikuti pelatihan KKJ.
Tabel 3.1 Distribusi Daftar KK Sehat, Risiko dan Gangguan Jiwa di RW 02 Kelurahan Baranang Siang RT No
Kriteria
∑
01
02
03
04
1
∑ KK
14
11
13
17
55
2
∑ Penduduk
37
40
56
53
186
3
∑ Sehat
31
32
51
51
165
4
∑ Risiko
5
6
5
2
18
5
∑ Gangguan
1
2
0
0
3
Profil RW 12 Kelurahan Baranang Siang RW 12 merupakan wilayah di Kelurahan Baranang Siang yang terdiri dari 6 RT. Wilayah RW 12 diketuai oleh Bapak Dadang Tri Komara. Selanjutnya RT 01 di ketuai oleh Bapak Edi Riadi, RT 02 diketuai oleh Bapak Arif, RT 03 diketuai oleh Bapak Maryadi, RT 04 diketuai oleh Bapak Kusnadi, RT 05 diketuai oleh Bapak Agus dan RT 06 diketuai oleh Bapak Iwan. Tabel 3.2 berikut ini menunjukkan karakteristik penduduk RW 12.
Kelompok usia terbanyak di wilayah RW 12 adalah kelompok usia dewasa tengah yaitu usia 24-65 tahun dengan jumlah 329 jiwa. Masyarakat RW 12 merupakan masyarakat yang religius, menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Masalah kesehatan secara umum yang terbanyak adalah perkembangan remaja (banyak remaja putus sekolah karena harus bekerja membantu orang tua mencari nafkah), kemudian Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
95
perkembangan bayi dan balita. Kelompok risiko Hipertensi (32 orang), Asam Urat (15 orang), Asma (15 orang) dan Gastritis (16 orang).
RW 12 memiliki sarana kesehatan berupa dua Posyandu, yaitu Posyandu Melati 1 dan Posyandu Melati 2. Posyandu Melati 1 memberikan pelayanan kepada warga RT 04, 05 dan 06 setiap bulan sekali pada hari Rabu Minggu Ketiga. Posyandu ini memiliki 5 orang kader yang aktif. Sedangkan Posyandu Melati 2 memberikan pelayanan kepada warga RT 01, 02 dan 03 pada hari Kamis Minggu ketiga setiap bulan. Posyandu Kamboja memiliki 4 kader yang aktif. Sedangkan
kegiatan
pelayanan
kepada
Lansia
dilaksanakan
dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Posyandu.
Sarana dan prasarana non kesehatan yang dimiliki RW 12 berupa fasilitas ibadah yaitu 1 buah Mesjid, 3 Mushola, 1 Sekolah Dasar, 1 Madrasah dan 1 PAUD (Pelayanan Anak Usia Dini) yang terletak di RT 03 wilayah RW 12.
Berdasarkan tabel 3.2 dapat dijelaskan bahwa sejumlah 982 jiwa penduduk terbagi dalam 6 RT, 47 KK di RT 01, 45 KK di RT 02, 50 KK di RT 03, 43 KK di RT 04, 36 KK di RT 05 dan 41 KK di RT 06. Sebanyak 837 orang merupakan penduduk sehat dengan berbagai tingkatan usia, 130 orang penduduk risiko mengalami gangguan jiwa dan 15 orang mengalami gangguan jiwa. Klien yang mengalami gangguan jiwa yang ditemukan di RW 12 adalah 15 orang, yang terdiri dari 9 orang skizofrenia, 4 orang dengan dimensia dan 2 orang lainnya retardasi mental. Klien tersebut akan dirawat bersama dengan KKJ dan menjadi fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa serta dilaporkan dalam Karya Ilmiah Akhir ini. Jumlah kader di RW 12 adalah 16 orang KKJ dan semuanya sudah mengikuti pelatihan KKJ.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
96
Tabel 3.2 Distribusi Daftar KK Sehat, Risiko dan Gangguan Jiwa di RW 12 Kelurahan Baranang Siang RT No
3.2.
Kriteria
∑
01
02
03
04
05
06
1
∑ KK
47
45
50
43
36
41
262
2
∑ Penduduk
162
174
182
169
141
154
982
3
∑ Sehat
136
162
135
135
133
136
837
4
∑ Risiko
25
12
40
29
7
17
130
5
∑ Gangguan
1
0
7
5
1
1
15
Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa Manajemen pelayanan kesehatan jiwa adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa di komunitas. Berikut diuraiakn tentang pelaksanaan manejemen pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Bogor Timur, RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
3.2.1 Puskesmas Bogor Timur Puskesmas Bogor Timur berada di bawah koordinasi wilayah Kecamatan Bogor Timur, dipimpin oleh drg. Lindawati, M.KM. SDM yang dimiliki oleh Puskesmas Bogor Timur yaitu : 3 (tiga) orang dokter umum, 3 (tiga) orang dokter gigi, 6 (enam) orang perawat, 4 (empat) orang bidan, 1 (satu) perawat gigi, 1 (satu) D1 gizi, 1 (satu) D1 analis, 1 (satu) D3 kesling, 1 (satu) D3 Farmasi, 1 (satu) S1 Hukum, 1 (satu) D3 Analis, 4 (empat) SMA dan 1 (satu) berpendidikan SMP. Kepemilikan SDM di Puskesmas Bogor Timur sudah mewakili beberapa kebutuhan tenaga terkait kesehatan. Pelaksanaan program CMHN dilakukan oleh Perawat CMHN Ns. Nia Yuniawati, S.Kep.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
97
Puskesmas Bogor Timur membawahi 2 kelurahan yaitu Kelurahan Katulampa dan Kelurahan Baranang Siang. Area yang menjadi lahan praktik penulis adalah Kelurahan Baranang Siang, yang terdiri dari 14 RW, dengan fokus berada di RW 02 dan RW 12. Puskesmas Bogor Timur memiliki 2 Puskesmas Pembantu, yaitu Puskesmas Katulampa yang berada di wilayah Kelurahan Katulampa dan Puskesmas Bantar Kemang yang berada di wilayah Kelurahan Baranang Siang.
Visi Puskesmas Bogor Timur tahun 2011 adalah Puskesmas Bogor Timur sebagai Puskesmas PELITA (profesional, berkualitas, tanggap) dengan pelayanan yang bermutu dan terstandar serta menjadi motor utama dalam pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat sehat mandiri. Jelas terlihat pada visi Puskesmas Bogor Timur bahwa kesehatan merupakan fokus utama pelayanan di puskesmas. Meskipun tidak ada kaitan visi secara langsung terhadap kesehatan jiwa, tetapi visi yang ditetapkan oleh Puskesmas Bogor Timur sudah memberikan perhatian terhadap aspek kesehatan, yang diharapkan cakupannya tidak hanya masalah kesehatan fisik tetapi juga menyangkut kesehatan psikis.
Misi Puskesmas Bogor Timur, yaitu : a). Menyelenggarakan kesehatan prima yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat ; b). Menggalang kemitraan dengan seluruh potensi masyarakat di wilayah kerja dalam rangka mendukung kot Bogor sehat ; c). Menggerakan masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
pembangunan
bidang
kesehatan ; d). Memberdayakan potensi keluarga dan masyarakat untuk mampu berperan aktif dalam mewujudkan keluarga sehat mandiri. Perhatian di bidang kesehatan terlihat jelas pada butir a dalam penetapan Misi Puskesmas Bogor timur.
Program pelayanan dasar yang sudah dilakukan oleh Puskesmas Bogor Timur adalah pelayanan wajib dan pelayanan penunjang.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
98
Pelayanan wajib meliputi : KIA dan KB, Promkes, P2M, BP, Kesling, dan Gizi. Pelayanan penunjang terdiri dari : laboratorium, kesehatan lansia, kesehatan jiwa, kesehatan mata dan kesehatan gigi. Pelayanan inovatif yang dilakukan puskesmaas Bogor timur adalah VCT, IMS, PMTCT, HR, CST, LJSS, PTRM, PKPR, KDRT, Siaga Maternal, dan KTR. Pelayanan kesehatan jiwa sudah masuk dalam program pelayanan dasar yang ditetapkan oleh Puskesmas Bogor Timur dan dilaksanakan oleh Perawat CMHN Ns. Nia Yuniawati, S.Kep.
Uraian di bawah ini menggambarkan tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa komunitas Puskesmas Bogor Timur berdasarkan pendekatan CMHN melalui pelaksanaan empat pilar CMHN. Empat pilar tersebut adalah Pilar I Manajemen Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas, Pilar II Pemberdayaan Masyarakat, Pilar III Kemitraan Lintas Sektor dan Lintas Program dan Pilar IV Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa.
a. Pilar I : Manajemen Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas Pilar
I
kegiatan
CMHN
meliputi
kegiatan
perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Berikut dibahas satu persatu mengenai kegiatan Pilar I di RW 02 dan RW 12 bekerja sama dengan Puskesmas Bogor Timur di bawah koordinasi perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur Ns. Nia Yuniawati, S.Kep. Perawat CMHN sudah mengikuti pelatihan CMHN. Perencanaan : Perawat CMHN sudah mengenal program kesehatan jiwa masyarakat, memiliki visi, misi dan filosofi tentang RW Siaga Sehat Jiwa. Sudah memiliki rencana bulanan yang terdiri dari kegiatan manajerial dan kegiatan asuhan keperawatan yang diberikan untuk klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
99
Kegiatan manajerial perawat CMHN yaitu jadwal supervisi KKJ untuk RW 02 dan RW 12 serta jadwal rapat/pertemuan bersama KKJ RW 02 dan RW 12 dilakukan satu bulan sekali. Kegiatan asuhan keperawatan perawat CMHN yaitu jadwal memberikan pendidikan kesehatan untuk kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri dilakukan satu bulan sekali; jadwal memberikan asuhan keperawatan atau home visite kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri dilaksanakan satu bulan sekali; jadwal melakukan terapi aktifitas kelompok dilakukan seminggu sekali setiap Hari Jumat di Puskesmas Bogor Timur dan jadwal rehabilitasi untuk klien gangguan
jiwa
dengan
masalah
defisit
perawatan
diri
direncanakan selama tiga kali pertemuan.
Rencana bulanan KKJ yang sudah disusun untuk membantu menangani masalah defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa di RW 02 dan RW 12 adalah : menggerakkan keluarga klien gangguan jiwa untuk mengikuti penyuluhan dari perawat CMHN tentang cara merawat klien, satu bulan sekali; menggerakkan klien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK satu minggu sekali di Puskesmas Bogor Timur bersama Perawat CMHN; mengidentifikasi klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri yang telah mandiri untuk mengikuti terapi rehabilitasi; melakukan kunjungan rumah pada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 yang telah mandiri, satu minggu satu klien; merujuk klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri kepada perawat CMHN setiap Hari Kamis dan Jumat setiap minggu, dan mendokumentasikan kegitan yang telah dilaksanakan dalam buku kegiatan kader setelah melakukan semua kegiatan.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
100
Pengorganisasian : Berikut adalah struktur organisasi pengelolaan klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yang dirawat oleh perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur bersama KKJ RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. PUSKESMAS BOGOR TIMUR
Perawat CMHN Kelurahan Katulampa
Perawat CMHN Kelurahan Baranang Siang Ns. Nia Yuniawati, S.Kep
RW 12 Baranang Siang
RW 02 Baranang Siang
RT 01 : Klien : Tn. Und. Kader : Bapak Hidajat B
RT 02 : Klien : 1. Tn. Ttk 2. An. Er Kader : 1. Bapak Djoko S 2. Ibu Sri W.
RT 03 : Klien : -
RT 04 : Klien : -
RT 01 : Klien : -
RT 02 : Klien : Tn. An Kader : Bapak Dedi Suardi
RT 03 : Klien : 1. Tn. Yyn 2. Tn. Dd 3. Nn. Tn 4. Tn. Rj 5. Ny. Mr 6. Tn. Om 7. Ny. Kk Kader : 1. Bapak Enung 2. Bapak Nursaputra 3. Ibu Rini 4. Ibu Astri 5. Bapak Maryadi 6. Bapak Edi Riadi 7. Ibu Enung
RT 04 : Klien : 1. Tn. Ik 2. Ny. Tt 3. Ny. Kp 4. Nn. Is 5. An. Al Kader : 1. Bapak Suhendar 2. Ibu Ade 3. Ibu Euis 4. Ibu Tina 5. Ibu Emma
RT 05 : Klien : Tn. Ai Kader : Bapak TB. Sardrah
RT 06 : Klien : Tn. Dn Kader : Ibu Wawat
Gambar 3.1 Struktur Pengelolaan Klien Gangguan Jiwa RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
101
Struktur organisasi petugas layanan keperawatan kesehatan jiwa komunitas di DSSJ dipimpin oleh perawat CMHN puskesmas. Perawat CMHN bertanggung jawab terhadap Kelurahan Baranang Siang, ada 2 RW di Kelurahan Baranang Siang yang menjadi tanggung jawabnya yaitu RW 02 dan RW 12. Perawat CMHN mengorganisir KKJ yang ada di RW 02 dan RW 12. Perawat CMHN mempunyai daftar klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, 3 orang klien dari RW 02 dan 15 orang klien dari RW 12. Perawat CMHN bertanggung jawab memberikan asuhan keperawatan kepada 18 orang klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri tersebut.
KKJ di RW 02 dan RW 12 sudah memiliki struktur organisasi kepengurusan KKJ di bawah binaan Puskesmas Bogor Timur. RW 02 diketuai oleh Bapak Djoko Suyudono dan RW 12 diketuai oleh Bapak Maryadi. Daftar keluarga di desa siaga sehat jiwa RW 02 dan RW 12 sudah terindentifikasi dengan jelas dan sudah didokumentasikan. Sejumlah 18 KK di RW 02 dan 130 KK di RW 12 merupakan keluarga dengan resiko mengalami gangguan jiwa. Sedangkan jumlah keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa sebanyak 3 KK di RW 02 dan 15 KK di RW 12. Dua orang KKJ RW 02 mengelola satu orang klien gangguan jiwa, sedangkan KKJ di RW 12 masing-masing mengelola satu orang klien gangguan jiwa. Pengarahan : Perawat CHMN bekerjasama dengan KKJ melakukan kegiatan komunikasi, supervisi dan pendelegasian untuk membantu klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Komunikasi dilakukan kepada KKJ untuk menjalin dan membina hubungan saling percaya dalam rangka penanganan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
102
klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Perawat CMHN mengkomunikasikan kepada KKJ mengenai klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri yang belum berkunjung ke puskesmas agar berkunjung dan mendapatkan terapi serta klien yang sudah berkunjung ke puskesmas untuk ditindaklanjuti penanganannya oleh KKJ.
Supervisi perawat CMHN kepada klien defisit perawatan diri yaitu mengidentifikasi jumlah kunjungan klien defisit perawatan diri ke puskesmas. Supervisi perawat CMHN kepada KKJ dilakukan satu bulan sekali dalam rangka pengawasan untuk memastikan bahwa KKJ melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi.
Pendelegasian dilakukan oleh perawat CMHN kepada KKJ. Pendelegasian ini bertujuan untuk menindaklanjuti perawatan di komunitas bagi klien defisit perawatan diri yang sudah berkunjung ke puskesmas. Pendelegasian berikutnya kepada KKJ, berupa kewenangan untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri yang belum berkunjung ke puskesmas agar berkunjung ke puskesmas.
KKJ bekerjasama dengan perawat CMHN melakukan kegiatan pengarahan
yang
meliputi
komunikasi,
supervisi
dan
pendelegasian. Komunikasi kepada perawat CMHN dalam hal penanganan klien gangguan jiwa defisit perawatan diri, komunikasi kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan dalam pemberian asuhan. Supervisi dilakukan oleh KKJ kepada klien gangguan jiwa defisit perawatan diri yang sudah mandiri dilakukan satu minggu sekali. Pendelegasian dilakukan KKJ untuk merujuk kasus klien gangguan jiwa defisit perawatan diri
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
103
ke puskesmas kepada perawat CMHN setiap Hari Kamis dan Jumat setiap minggu. Pengendalian : Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN dalam hal pengontrolan adalah monitor dan evaluasi. Perawat CMHN memonitor KKJ RW 02 dan RW 12 dalam melaksanakan program CMHN di RW 02 dan RW 12. Evaluasi kinerja terhadap KKJ RW 02 dan RW 12 dilakukan berdasarkan delapan kemampuan KKJ. Seluruh KKJ di RW 02 yang berjumlah 6 orang dan KKJ RW 12 yang berjumlah 16 orang sudah melaksanakan delapan kemampuan KKJ dan dievaluasi oleh perawat CMHN dengan hasil baik.
Perawat CMHN juga melakukan monitor dan evaluasi terhadap peningkatan kemampuan klien dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa. Klien dan keluarga menunjukkan peningkatan kemampuan dalam merawat defisit perawatan diri sehingga mampu melakukan kegiatan perawatan diri. Klien dan keluarga juga menunjukkan berkurangnya tanda dan gejala yang dialami oleh klien gangguan jiwa defisit perawatan diri. Sehingga asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat CMHN berhasil dengan baik.
KKJ melakukan monitor dan evaluasi terhadap rencana kerja yang telah disusun terhadap klien dan keluarga untuk mengatasi masalah defisit perawatan diri. Monitor dan evaluasi kepada klien mengenai peningkatan kemampuan klien dalam hal memenuhi kebutuhan perawatan diri dan berkurangnya tanda dan gejala yang dialami klien defisit perawatan diri. Monitor dan
evaluasi
kepada
keluarga
mengenai
peningkatan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
104
kemampuan keluarga dalam hal merawat klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Hasil monitor dan evaluasi KKJ terhadap klien dan keluarga adalah
klien
dan
keluarga
menunjukkan
peningkatan
kemampuan dalam merawat defisit perawatan diri sehingga klien dan keluarga mampu melakukan kegiatan perawatan diri dengan
baik.
Klien
dan
keluarga
juga
menunjukkan
berkurangnya tanda dan gejala defisit perawatan diri yang dimiliki oleh klien, sehingga asuhan keperawatan yang diberikan oleh KKJ telah berhasil.
b. Pilar II : Pemberdayaan Masyarakat Perawat CMHN Ns. Nia Yuniawati, S.Kep., sudah mengikuti pelatihan CMHN, dan sudah memiliki kemampuan sebagai perawat CMHN untuk melaksanakan program CMHN. Kegiatan yang dilakukan oleh perawat CMHN di Pilar II ini adalah rekruitmen, seleksi, orientasi dan penilaian kinerja KKJ. Perawat CMHN berkoordinasi dengan kepala desa, kepala dusun, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk melakukan kegiatan tersebut.
Perawat CMHN melakukan rekruitmen dan seleksi KKJ di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang, didapatkan 7 orang calon KKJ dari RW 02 dan 18 orang calon KKJ dari RW 12. Sebanyak 25 orang calon KKJ yang berhasil direkruit hanya 1 orang yang mengundurkan diri karena tidak ada ijin dari suami calon KKJ. Perawat CMHN kemudian melakukan seleksi dan menyiapkan calon KKJ untuk mengikuti pelatihan KKJ.
Perawat CMHN melakukan sosialisasi program CMHN kepada KKJ. Berikutnya, perawat CMHN melakukan orientasi dan pelatihan KKJ secara serentak yang diikuti oleh 24 orang KKJ dari
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
105
RW 02 dan RW 12 yang ada di Kelurahan Baranang Siang. Materi yang diberikan pada pelatihan adalah : a). Program DSSJ; b). Deteksi keluarga di masyarakat : kelompok sehat, risiko dan gangguan; c). Peran serta dalammenggerakkan masyarakat pada kegiatan penyuluhan; d). Supervisi keluarga dan pasien gangguan yang telah mandiri; e). Perujukan kasus pasien gangguan jiwa; dan f). Pelaporan kegiatan KKJ.
Sebanyak 24 orang KKJ mengikuti proses rekruitmen, seleksi, orientasi dan pelatihan yang diselenggarakan. Seluruh KKJ telah menguasai pengetahuan dasar tentang kesehatan jiwa dan penatalaksanaan klien dengan gangguan jiwa. KKJ melakukan kegiatan deteksi dini keluarga, membuat daftar keluarga sehat, resiko dan gangguan, menggerakkan massa untuk mengikuti penyuluhan kesehatan dan melakukan kunjungan rumah. Seluruh KKJ telah dievalusi kinerjanya oleh perawat CMHN.
KKJ di RW 02 yang berjumlah 6 orang, 3 orang KKJ merawat 3 orang klien gangguan jiwa di RW 02 masing-masing 1 orang klien. Sedangkan KKJ RW 12 yang berjumlah 16 orang, 15 orang KKJ merawat 15 orang klien gangguan jiwa di RW 12 masing-masing 1 orang klien. Sehingga jumlah KKJ yang tidak merawat klien gangguan jiwa di RW 02 adalah 3 orang KKJ dan di RW 12 adalah 1 orang KKJ. KKJ yang tidak merawat klien gangguan jiwa secara langsung ikut membantu KKJ yang merawat klien gangguan jiwa.
c.
Pilar III : Kemitraan Lintas Sektoral & Lintas Program Perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur dan KKJ RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang melakukan kemitraan lintas sektor dan lintas program.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
106
Kemitraan lintas sektoral yang dilakukan oleh perawat CMHN adalah menjalin kerjasama dengan dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas sosial, dinas pertanian, kecamatan dan kelurahan. Kerjasama tersebut dilakukan untuk kelancaran dan pemantauan kegiatan CMHN di wilayah Kelurahan Baranang Siang khususnya RW 02 dan RW 12. Kerjasama dengan dinas kesehatan dilakukan dalam rangka peran serta dan dukungan pelaksanaan kegiatan terapi kelompok swa bantu (Self Help Group). Kerjasama dengan dinas pendidikan adalah pelaksanaan program UKS dalam rangka pembentukan UKS Jiwa pada remaja di SMP dan SMA yang ada di Kelurahan Baranang Siang dan kerjasama dengan PTRM untuk klien yang mempunyai riwayat NAPZA. Kerjasama dengan kecamatan dan kelurahan dilakukan oleh perawat CMHN dalam rangka penyelenggaraan pelatihan KKJ. Kerjasama dengan depertemen sosial dan departemen pertanian dalam pelaksanaan rehabilitasi pada klien gangguan jiwa yang sudah mandiri melalui “Paguyuban Jiwa Sehat Kota Bogor” berupa budidaya tanaman dan buah dalam pot dan pembuatan telur asin.
Kemitraan lintas program, perawat CMHN melakukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, dalam penemuan kasus risiko masalah psikososial dan klien gangguan jiwa di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Kerjasama dengan dokter dilakukan dalam memberikan penatalaksanaan klien gangguan jiwa yaitu untuk mendapatkan terapi dan rujukan ke Puskesmas Bogor Timur maupun Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan. Kerjasama dengan KKJ untuk melakukan sistem rujukan klien gangguan jiwa. Kerjasama dengan Tim ACT Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor dalam pelaksanaan kunjungan klien gangguan jiwa bersama perawat jiwa komunitas dari RSMM. Kunjungan dengan Tim ACT ini telah dilakukan 3 kali, dari hasil kunjungan ada 2 klien harus di rawat di RSMM.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
107
Kegiatan kemitraan lintas program yang dilakukan oleh KKJ yaitu melakukan rujukan kasus klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri ke puskesmas dan melaporkan kepada perawat CMHN mengenai kondisi klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Kegiatan kemitraan lintas sektor yang dilakukan KKJ adalah bekerja sama dengan perangkat RT, RW dan organisasi PKK, Karang Taruna, kelompok pengajian, untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
d.
Pilar IV : Manajemen Kasus Kesehatan Jiwa Komunitas Kegiatan Pilar IV meliputi pemberian asuhan keperawatan jiwa ; pemberian pendidikan kesehatan pada kelompok klien gangguan jiwa; memberikan terapi aktifitas kelompok pada klien gangguan jiwa dan melakukan rehabilitasi pada klien gangguan jiwa.
Asuhan keperawatan jiwa, dilakukan oleh perawat CMHN pada kelompok gangguan jiwa di wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan yang dilakukan perawat CMHN adalah memberikan asuhan keperawatan pada kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri yang membutuhkan bantuan total sebanyak satu orang klien di RW 12 dan bantuan parsial pada kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri sebanyak 4 orang klien di RW 12.
Pendidikan kesehatan dilakukan pada kelompok klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Pemberian pendidikan kesehatan dilakukan oleh perawat CMHN di RW 02 dan RW 12 satu bulan sekali.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
108
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK), dilakukan pada kelompok klien gangguan
jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. Terapi
aktifitas kelompok ini dilakukan oleh perawat CMHN di Puskesmas Bogor Timur ketika klien gangguan jiwa berkunjung ke puskesmas didampingi oleh KKJ dan keluarga. Sudah ada pendokumentasien pelaksanaan terapi aktifitas kelompok.
Rehabilitasi dilakukan pada klien gangguan jiwa di wilayah RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Kegiatan yang dilakukan dikemas dalam bentuk pemberian terapi yaitu terapi self help group atau kelompok swa bantu. Klien dan keluarga diberikan terapi berupa pelatihan tanaman dan buah dalam pot dan pembuatan telur asin. Kelompok Swa Bantu ini dikoordinasi oleh KKJ dan perawat CMHN Puskesmas Bogor Timur dan diorganisir dalam wadah perkumpulan kelompok Swa Bantu yang diketuai oleh Bapak Dedi dengan nama kelompok La Tulipe. KKJ RW 02 dan RW 12 ikut berperan serta dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri. KKJ RW 02 dan RW 12 memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa yang sudah mandiri. KKJ RW 02 dan RW 12 menggerakkan kelompok klien gangguan jiwa untuk mengikuti pendidikan kesehatan. KKJ RW 02 ikut mendampingi satu orang klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri untuk berkunjung ke puskesmas dan mengikuti terapi aktifitas kelompok, sedangkan KKJ RW 12 mendampingi dua orang klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri untuk berkunjung ke puskesmas dan mengikuti terapi aktifitas kelompok. KKJ RW 12 mengikutsertakan 4 orang klien gangguan jiwa di RW 12 untuk mengikuti terapi rehabilitasi yang diselenggarakan. Sudah ada pendokumentasian oleh KKJ di RW 02 dan RW 12 tentang semua pelaksanaan kegiatan tersebut. Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 4 PELAKSANAAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI
Pada bab ini akan dijelaskan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami defisit perawatan diri. Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan dengan pendekatan model Stuart yang meliputi pengkajian stressor predisposisi, stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan yang dimiliki terhadap stressor. Penegakan diagnosa keperawatan dilakukan berdasarkan data-data yang ditemukan. Intervensi dan pelaksanaan terapi keperawatan didasarkan pada pengkajian dan diagnosa keperawatan yang terdiri dari intervensi generalis dan terapi spesialis.
Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada klien defisit perawatan diri yang meliputi hasil pengkajian yang terdiri dari karakteristik klien, stressor predisposisi dan stressor presipitasi, diagnosa keperawatan dan diagnosa medik, rencana tindakan keperawatan, pelaksanaan dan hasil tindakan keperawatan, rencana tindak lanjut dan hambatan pelaksanaan asuhan keperawatan.
4.1
Hasil Pengkajian Pengkajian terhadap klien dengan diagnosa keperawatan defisit perawatan diri dilakukan menggunakan pendekatan konsep stres adaptasi Stuart (2009) yang dikembangkan dalam bentuk pola pengkajian menggunakan scanning. Hasil pengkajian yang meliputi karakteristik klien, stressor predisposisi, stressor presipitasi, respon terhadap stressor dan kemampuan yang dimiliki klien, terhadap 18 orang klien yang mengalami defisit perawatan diri.
4.1.1 Karakteristik Klien Karakteristik 18 klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yang mendapatkan asuhan keperawatan dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan status perkawinan. Seluruh klien bersuku bangsa Sunda dan beragama
109
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
110
Islam. Asuhan keperawatan diberikan mulai bulan Oktober 2011-April 2012. Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Klien dengan Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011-April 2012 (n = 18)
No 1
2
3
4
5
6
7
Karakteristik Klien Jenis Kelamin Laki- Laki Perempuan Usia < 20 Tahun 21 - 40 Tahun > 41 Tahun Status Menikah Belum Menikah Janda/Duda Pendidikan Tidak Sekolah Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi Pekerjaan Bekerja/Sekolah Tidak Bekerja Lama Sakit < 10 Tahun 10 - 20 Tahun > 21 Tahun Lama Rawat 6 bulan 3 bulan
Skizo (n=9)
Jumlah RM Dems (n=5) (n=4)
Skizo (n=9)
Prosentase RM Dems (n=5) (n=4)
8 1
3 2
0 4
44,4 5,6
16,7 11,1
0,0 22,2
0 8 1
2 2 1
0 0 4
0,0 44,4 5,6
11,1 11,1 5,6
0,0 0,0 22,2
3 6 0
0 5 0
0 0 4
16,7 33,3 0,0
0,0 27.8 0,0
0,0 0,0 22,2
1 2 4
4 1 0
0 3 1
5,6 11,1 22,2
22,2 5,6 0,0
0,0 16,7 5,6
2
0
0
11,1
0,0
0,0
6 3
1 4
0 4
33,3 16,7
5,6 22,2
0,0 22,2
7 1 1
1 1 3
3 0 1
38,9 5,6 5,6
5,6 5,6 16,7
16,7 0,0 5,6
1
2
0
5,6
11,1
0,0
8
3
4
44,4
16,7
22,2
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dijelaskan bahwa klien defisit perawatan diri sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yaitu 11 orang klien (61,1%) yang terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 3 orang klien (16,7%) retardasi mental. Usia klien yang mengalami defisit perawatan diri terbanyak adalah 21-40 tahun, yaitu 10 orang klien (55,6%), yang terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia dan 2 orang klien (11,1%) retardasi Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
111
mental. Sebagian besar klien tidak menikah, yaitu 11 orang klien (61,1%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia dan 5 orang klien (27,8%) retardasi mental. Sebagian besar klien berpendidikan dasar (SD), yaitu sebanyak 6 orang klien (33,3%), yang terdiri dari 2 orang klien (11,1%) skizofrenia, 1 orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Klien tidak bekerja sebanyak 11 orang klien (61,1%), yaitu 3 orang klien (16,7%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Lama menderita sakit < 10 tahun, sebanyak 11 orang klien (61,1%), yang terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 1 orang klien retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia, dan sebanyak 15 orang klien (83,3%) dirawat selama 3 bulan, yaitu 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
4.1.2 Stressor Predisposisi Menurut Stuart (2009) stressor predisposisi adalah faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya stres, yang terdiri dari biologis, psikologis dan sosial kultural. Pada klien dengan masalah defisit perawatan diri, stressor predisposisi akan diidentifikasi berdasarkan tiga komponen tersebut. Berdasarkan tabel 4.2 di bawah ini, dijelaskan tentang stressor predisposisi klien defisit perawatan diri. Stressor predisposisi tersebut dijelaskan dalam tiga aspek, yaitu aspek biologi, aspek psikologi dan aspek sosio kultural. Aspek biologis, pada pengkajian aspek biologis didapatkan hasil bahwa masalah defisit perawatan diri terbanyak disebabkan oleh faktor genetik yang dialami oleh 8 orang klien (44,4%), yang terdiri dari 3 orang klien (16,7%), 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 1 orang klien (5,6%) demensia dan hanya 1 orang klien (5,6%) dengan diagnose medis demensia yang disebabkan karena penyakit fisik.
Aspek psikologis, seluruh klien yang mengalami masalah defisit perawatan diri
memiliki
masalah
dengan
komunikasi
secara
verbal,
yaitu
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
112
ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik yaitu 18 orang (100%), terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia, dan sebanyak 5 orang klien (27,8%) dengan diagnose medis retardasi mental mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Aspek sosio kultural, sebagian besar faktor sosio kultural klien mengalami defisit perawatan diri adalah terkait dengan masalah perekonomian atau ekonomi rendah yaitu sebanyak 15 orang (83,3%), terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 3 orang klien lagi (16,7%) demensia, dan sebanyak 5 orang klien tidak bersekolah (27,8%), yaitu 1 orang klien (5,6%) skizofrenia dan 4 orang klien (22,2%) retardasi mental. Tabel 4.2 Distribusi Stressor Predisposisi Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
NO
Stressor Predisposisi
1
Biologi Genetik Penyakit Fisik Narkoba Psikologis Gangguan konsep Diri Terlambat Tumbuh Kembang Kepribadian Tertutup Masalah Komunikasi Sosio Kultural Ekonomi Rendah Tidak Bekerja Tidak Sekolah Tidak Menikah
2
3
Skizo (n=9)
Jumlah RM Dems (n=5) (n=4)
Prosentase (%) Skizo RM Dems (n=9) (n=5) (n=4)
3 0 2
4 0 0
1 1 0
16,7 0,0 11,1
22,2 0,0 0,0
5,6 5,6 0,0
9 0
2 5
2 0
50 0,0
11,1 27,8
11,1 0,0
8 9
2 5
4 4
44,4 50
11,1 27,8
22,2 22,2
9 4 1 6
3 3 4 5
3 4 0 0
50 22,2 5,6 33,3
16,7 16,7 22,2 27,8
16,7 22,2 0,0 0,0
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
113
4.1.3 Stressor Presipitasi Stressor presipitasi dalam hal ini terkait dengan suatu stimulus yang dipersepsikan
oleh
individu
apakah
dipersepsikan
sebagai
suatu
kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stressor presipitasi ini meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2009).
Tabel 4.3 Distribusi Stressor Presipitasi Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
NO
Respon terhadap Stressor
1
Biologis Putus Obat Penyakit Infeksi Psikologis Keinginan tidak terpenuhi Tdk mampu Ungk keinginan Kurang Motivasi Kehilangan orang yang berarti Sosio Kultural Masalah Ekonomi Bangkrut/PHK Konflik Keluarga Asal Stressor Dalam Luar Lama Stressor < 10 tahun 10-20 tahun > 20 tahun Jumlah Stressor 2 Stressor 3 Stressor > 3 Stressor
2
3
4
5
6
Skizo (n=9)
Jumlah RM Dems (n=5) (n=4)
Prosentase (%) Skizo RM Dems (n=9) (n=5) (n=4)
6 3
2 2
2 0
61,1 16,7
11,1 11,1
11,1 0,0
6 4 6 7
4 5 3 3
3 4 3 4
61,1 22,2 61,1 38,9
22,2 27,8 16,7 16,7
16,7 22,2 16,7 22,2
9 3 3
3 0 3
4 0 2
50 16,7 16,7
16,7 0,0 16,7
22,2 0,0 11,1
9 8
4 3
3 3
50 44,4
22,2 16,7
16,7 16,7
7 1 1
1 1 3
3 0 1
38,9 5,6 5,6
5,6 5,6 16,7
16,7 0,0 5,6
0 0 9
0 0 5
0 0 4
0,0 0,0 50
0,0 0,0 27,8
0,0 0,0 22,2
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
114
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dijelaskan tentang stressor presipitasi yang menggambarkan tentang sifat stressor yang meliputi aspek biologis, psikologis dan sosio kultural; asal stressor; lama sakit dan jumlah stressor. Sifat stresor, berdasarkan kasus yang telah dikelola pada 18 klien defisit perawatan diri ditemukan stressor presipitasi biologis sebagian besar berupa riwayat putus obat sebanyak 10 orang klien (55,6%), terdiri dari 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) dan 2 orang klien (11,1%) demensia. Pada stresor psikologis sebagian besar disebabkan karena pengalaman yang tidak menyenangkan yaitu sebanyak 14 orang klien (77,8%), yaitu 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia. Stresor sosio kultural sebagian besar karena adanya masalah ekonomi yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Asal stresor, pada pengkajian asal stressor, sumber permasalahan pada klien defisit perawatan diri sebagian besar berasal dari individu itu sendiri yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Waktu dan lamanya stresor, lamanya klien terpapar stresor sebagian besar < 10 tahun yaitu sebanyak 10 orang klien (55,6%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 1 orang klien (5,6%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia. Jumlah stresor, seluruh klien yang mengalami masalah defisit perawatan diri mengalami lebih dari 3 stressor yaitu sebanyak 18 orang klien (100%), yaitu 9 orang klien (50%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
4.1.4 Respon Terhadap Stresor Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
115
dialaminya (Stuart, 2009). Respon terhadap stresor ini meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial.
Tabel 4.4 Distribusi Respon Terhadap Stresor Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) NO
Respon terhadap Stressor
1
Respon Kognitif Tidak mampu mengambil keputusan Tidak tahu cara merawat diri Respon Afektif Perasaan negatif terhadap diri Sedih Merasa tidak mampu merawat diri Tidak ada motivasi merawat diri Respon Fisiologis Lelah/letih/lemah Penurunan muskuloskeletal Respon Perilaku Tidak mandi dengan benar Tidak berhias setelah mandi Makan tidak teratur Toileting tidak tepat Respon Sosial Mengurung diri Menghindar dari orang lain Menolak Interaksi
2
3
4
5
Schi (n=9)
Jumlah RM Demn (n=5) (n=4)
Prosentase (%) Schi RM Demn (n=9) (n=5) (n=4)
8 5
4 4
4 4
44,4 27,8
22,2 22,2
22,2 22,2
5 5 6 5
3 1 2 2
3 3 4 4
27,8 27,8 33,3 27,8
16,7 5,6 11,1 11,1
16,7 16,7 22,2 22,2
5 6
4 4
4 2
27,8 33,3
22,2 22,2
22,2 11,1
5 6 5 5
4 4 4 4
3 3 3 4
27,8 33,3 27,8 27,8
22,2 22,2 22,2 22,2
16,7 16,7 16,7 22,2
7 5 5
4 1 1
4 3 2
38,9 27,8 27,8
22,2 5,6 5,6
22,2 75,00 50,00
Pada tabel 4.4 di atas dijelaskan tentang respon terhadap stressor yang meliputi respon kognitif, afekif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Respon kognitif, sebagai respon kognitif yang dilakukan klien dengan defisit perawatan diri adalah tidak mampu mengambil keputusan yaitu sebanyak 16 orang klien (88,9%), terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Respon afektif, sebagian besar klien dengan defisit perawatan diri mempunyai respon afektif terhadap stresor terkait dengan masalahnya yaitu
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
116
merasa tidak mampu merawat diri sebanyak 12 orang (66,7%), terdiri dari 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 2 orang klien (11,1%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Respon fisiologis, respon fisik yang ditunjukkan oleh klien defisit perawatan diri sebagian besar yaitu adanya kelelahan, kelemahan dan keletihan sebanyak 13 orang klien (72,2%), terdiri dari 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia serta adanya penurunan muskuloskeletal sebanyak 12 orang klien (66,7%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 2 orang klien (11,1%) demensia.
Respon perilaku, respon perilaku pada klien dengan defisit perawatan diri yaitu tidak toileting dengan benar sebanyak 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) sizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia, serta tidak mandi dengan benar 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (17,6%) demensia.
Respon sosial, respon terhadap stresor yang dilakukan oleh sebagian besar klien defisit perawatan diri terkait dengan respon sosial terbanyak adalah dengan mengurung diri yaitu 15 orang (83,3%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
4.1.5 Kemampuan Klien Kemampuan atau koping adalah pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi masalah. Koping terdiri dari sumber koping dan mekanisme koping. Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap berbagai stresor yang dihadapi. Menurut Stuart (2009), sumber koping terdiri dari kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
117
(social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief). Tabel 4.5 Distribusi Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
NO
Sumber kemampuan
1
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi b. Tidak mampu untuk berhias c. Tidak mampu makan minum teratur d. Tidak mampu toileting dengan benar Keyakinan positif a. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan b. Tidak yakin akan sembuh c. Tidak yakin terhadap yankes Dukungan Keluarga a. Keluarga tdk mengenal b. Keluarga tdk mampu memutuskan c. Keluarga tdk mampu rawat klien d. Keluarga tdk mampu modifikasi e. Keluarga tdk mampu manfaatkan yankes Dukungan Kelompok a. Kelompok tidak memberi moticasi b. Kelompok tidak tahu cara merawat c. Kelompok tidak memberi bantuan
2
3
4
Jumlah Skizo RM Dems (n=9) (n=5) (n=4)
Prosentase (%) Skizo RM Dems (n=9) (n=5) (n=4)
5 6 5 5
4 4 4 4
3 3 3 4
27,8 33,3 27,8 27,8
22,2 22,2 22,2 22,2
16,7 16,7 16,7 22,2
7
5
4
38,9
27,8
22,2
6 7
5 5
4 3
33,3 38,9
27,8 27,8
22,2 16,7
7 6 8 8 8
5 5 5 5 5
3 3 4 4 4
38,9 33,3 44,4 44,4 44,4
27,8 27,8 27,8 27,8 27,8
16,7 16,7 22,2 22,2 22,2
4 5 5
3 3 3
4 1 1
22,2 27,8 27,8
16,7 16,7 16,7
22,2 5,6 5,6
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dijelaskan tentang kemampuan pada 18 klien defisit perawatan diri, yang meliputi kemampuan klien, dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan kelompok serta keyakinan positif klien dengan defisit perawatan diri. Kemampuan klien, berupa ketidakmampuan klien defisit perawatan diri yang dikelompokkan berdasarkan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri mandi, berhias, makan minum dan toileting yang tersebar secara merata yaitu 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
118
klien (16,7%) demensia; 13 orang klien (72,2%), yaitu 6 orang klien (33,3%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia; 12 orang klien (66,7%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 3 orang klien (16,7%) demensia ; dan 13 orang klien (72,2%), yaitu 5 orang klien (27,8%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Keyakinan positif, keyakinan positif yang dimiliki oleh klien dengan defisit perawatan diri adalah keyakinan tentang kesembuhan, keyakinan terhadap tenaga kesehatan dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Sebanyak 16 orang klien (88,9%) merasa tidak yakin terhadap tenaga kesehatan, mereka terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Dukungan, dukungan yang didapatkan klien defisit perawatan diri berasal dari keluarga dan kelompok. Sebanyak 17 orang klien (94,4%) tidak mendapat dukungan keluarga dalam melakukan perawatan diri, terdiri dari 8 orang klien (44,4%) skizofrenia, 5 orang klien (27,8%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia; dan sebanyak 11 orang klien (61,1%), yaitu 4 orang klien (22,2%) skizofrenia, 3 orang klien (16,7%) retardasi mental dan 4 orang klien demensia, tidak mendapat dukungan dari kelompok untuk melakukan kegiatan perawatan diri, yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting.
4.2
Diagnosa Keperawatan dan Medik
4.2.1 Diagnosa Keperawatan Klien yang dikelola mahasiswa Residensi memiliki diagnosa lain selain diagnosa defisit perawatan diri atau disebut juga diagnosa penyerta. Ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
119
Tabel 4.6 Distribusi Diagnosa Keperawatan Penyerta Klien Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
No
Diagnosa Keperawatan
1 2
Defisit Perawatan Diri dan Isolasi Sosial Defisit Perawatan Diri dan Res. Perilaku kekerasan Defisit Perawatan Diri dan Halusinasi Defisit Perawatan Diri dan Kerusakan Kom. Verbal Defisit Perawatan Diri dan Harga Diri Rendah
3 4 5
Skizo (n=9) 7 7
Jumlah RM Dems (n=5) (n=4) 4 4 4 2
Prosentase (%) Skizo RM Dems (n=9) (n=5) (n=4) 38,9 22,2 22,2 38,9 22,2 11,1
6 0
2 2
2 2
33,3 0,0
11,1 11,1
11,1 11,1
9
2
2
50
22,2
22,2
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dijelaskan bahwa klien yang mengalami defisit perawatan diri dan memiliki diagnosa isolasi sosial sebanyak 15 orang klien (83,3%), terdiri dari 7 orang klien (38,9%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia; dan diagnosa defisit perawatan diri dan kerusakan komunikasi verbal 4 orang (22,2%), terdiri dari 2 orang klien (11,1%) retardasi mental dan 2 orang klien (11,1%) demensia.
4.2.2 Diagnosa Medis Tabel 4.7 menggambarkan aspek kolaborasi yaitu dalam penetapan diagnosa medis pada klien defisit perawatan diri. Tabel 4.7 Diagnosa dan Terapi Medis Pada Klien Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) No 1 2 3
Diagnosa Medis Skizofrenia paranoid Demensia Retardasi Mental
Jumlah 9 4 5
Prosentase (%) 50 22,2 27,8
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
120
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, sebanyak 9 orang klien (50%) didiagnosa skizofrenia paranoid, 4 orang klien (22,2%) didiagnosa dimensia dan 5 orang klien (27,8%) didiagnosa retardasi mental.
4.3
Rencana Tindakan Keperawatan Rencana
manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan defisit
perawatan diri dilakukan berdasarkan pada upaya mencegah dan mengelola perilaku negatif pada klien. Rencana keperawatan yang ditetapkan pada klien defisit perawatan diri dan keluarga adalah pemberian terapi generalis defisit perawatan diri, terapi spesialis perilaku token ekonomi dan terapi kelompok suportif untuk klien, terapi self help group serta terapi psikoedukasi keluarga untuk keluarga. Pemberian terapi dilakukan dengan menggunakan pendekatan self care model Dorothy Orem dan CMHN. a. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Klien Rencana tindakan keperawatan untuk klien dengan defisit perawatan diri meliputi rencana pemberian tindakan keperawatan berupa tindakan generalis defisit perawatan diri dan tindakan spesialis defisit perawatan diri. Rencana tindakan keperawatan generalis klien Rencana tindakan keperawatan generalis yang ditetapkan untuk klien adalah tindakan keperawatan generalis defisit perawatan diri dengan tujuan
yang
pertama
adalah
klien
mampu
mengidentifikasi
kemampuan perawatan dirinya. Kemampuan tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan perawatan diri : mandi, kemampuan perawatan diri : berhias, kemampuan makan dan minum dengan benar serta kemampuan toileting dengan tepat. Rencana tindakan yang ditetapkan yaitu bantu klien mengidentifikasi kemampuan perawatan dirinya. Kemampuan pemenuhan kebutuhan perawatan
diri : mandi,
kemampuan perawatan diri : berhias, kemampuan makan dan minum dengan benar serta kemampuan toileting dengan tepat, motivasi klien melakukan kegiatan yang sudah dilatih sesuai kemampuan dan berikan reinforcement positif.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
121
Tujuan kedua yang ditetapkan adalah klien mampu menjelaskan cara melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting. Rencana tindakan yang ditetapkan adalah jelaskan cara melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting, motivasi klien melakukan kegiatan yang dilatih sesuai kemampuan dan berikan reinforcement positif.
Tujuan ketiga adalah klien mampu melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting. Rencana tindakan yang ditetapkan adalah latih cara melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting, motivasi klien melakukan kegiatan yang dilatih sesuai kemampuan dan berikan reinforcement positif. Rencana tindakan keperawatan spesialis klien Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk klien adalah pemberian terapi spesialis perilaku token ekonomi. Terapi perilaku token ekonomi terdiri dari enam sesi yang telah dimodifikasi sesuai kondisi dan kemampuan klien defisit perawatan diri. Keenam sesi yang direncanakan adalah identifikasi dan sepakati perilaku negative yang ingin diubah dan token yang ingin diberikan; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 1, yaitu tidak mandi menjadi perilaku positif; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 2, yaitu tidak berhias menjadi perilaku positif; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 3, yaitu tidak makan minum teratur menjadi perilaku positif; latih kemampuan mengubah perilaku negatif 4, yaitu tidak toileting dengan tepat menjadi perilaku positif dan motivasi klien untuk mengungkapkan manfaat serta hasil dari latihan setiap sesi serta merencanakan tindak lanjut dan menulis/mengisi buku catatan kegiatan harian klien.
Tujuan terapi perilaku ini adalah untuk menghasilkan perubahanperubahan positif pada perilaku kelian defisit perawatan diri meliputi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
122
mandi, berhias, makan minum dan toileting; mengidentifikasi kemampuan interpersonal yang positif; mengidentifikasi perilaku self care klien; meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian tokens (tandatanda).
b. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga dan Kelompok Rencana tindakan keperawatan pada keluarga dan kelompok yang ditetapkan meliputi rencana tindakan keperawatan generalis defisit perawatan diri dan tindakan spesialis. Rencana tindakan generalis untuk keluarga yaitu tindakan generalis defisit perawatan diri dan rencana tindakan spesialis yaitu tindakan spesialis pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Sedangkan tindakan untuk kelompok yang direncanakan adalah pemberian terapi suportif kelompok dan terapi kelompok swa bantu. Rencana tindakan keperawatan generalis keluarga Rencana tindakan keperawatan generalis yang ditetapkan untuk keluarga adalah tindakan keperawatan generalis untuk merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Rencana tindakan tersebut adalah bantu keluarga mengenal masalah defisit perawatan diri; bantu keluarga untuk mengambil keputusan merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri; bantu keluarga merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri; bantu keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk merawat anggota keluarga dan bantu keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Tujuan yang ditetapkan adalah keluarga mampu mengenal masalah defisit perawatan diri; keluarga mampu mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri; keluarga mampu merawat anggota dengan masalah defisit perawatan diri di rumah; keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
123
mendukung untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan keluarga mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Rencana tindakan keperawatan spesialis keluarga Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk keluarga adalah pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Terapi psikoedukasi keluarga ini terdiri dari lima sesi. Rencana tindakan yang ditetapkan pada sesi 1 adalah identifikasi masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri; pada sesi 2, diskusikan bersama keluarga cara merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri; pada sesi 3, manajemen stress keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri; pada sesi 4, manajemen beban keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan pada sesi 5, diskusikan bersama keluarga untuk memberdayakan komunitas yang mendukung dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tujuan yang ditetapkan dalam pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini adalah meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan; meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat
anggota
keluarga
dan
upaya
menurunkan
angka
kekambuhan; mengurangi stress keluarga karena merawat anggota keluarga; mengurangi beban keluarga dalam merawat anggota keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa untuk waktu yang lama. Rencana tindakan keperawatan spesialis kelompok Rencana tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk kelompok adalah pemberian terapi kelompok suportif dan terapi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
124
kelompok swa bantu. Kelompok yang mengikuti terapi ini terdiri dari klien gangguan jiwa dengana masalah defisit perawatan diri, keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri dan KKJ yang ikut merawat klien gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri.
Rencana pemberian terapi kelompok suportif ini dilakukan empat sesi dalam empat kali pertemuan. Rencana tindakan pada sesi 1, yaitu identifikasi kemampuan dan sumber pendukung yang ada. Pada sesi 2, yaitu identifikasi dan gunakan sistem pendukung yang berasal dari dalam, monitor hasil dan hambatannya. Pada sesi 3, yaitu identifikasi dan gunakan sistem pendukung yang berasal dari luar, monitor hasil dan hambatannya. Pada sesi 4, evaluasi hasil dan hambatan dalam menggunakan sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar.
Tujuan yang ditetapkan dengan pemberian terapi ini adalah memberikan dukungan kepada individu sehingga mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan cara menguatkan daya tahan mental yang ada; mengembangkan mekanisme baru yang lebih baik dengan memanfaatkan
sistem
pendukung
dari
dalam
maupun
luar;
mengevaluasi hambatan dalam memanfaatkan sistem pendukung dari dalam dan dari luar; mempertahankan kontrol diri dan mengembalikan keseimbangan yang adaptif atau dapat menyesuaikan diri sehingga mampu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi serta mampu mengambil keputusan secara otonom.
Rencana tindakan terapi kelompok yang kedua adalah pemberian terapi kelompok swa bantu. Terapi kelompok swa bantu dilaksanakan setelah selesai pelaksanaan terapi suportif kelompok. Anggota kelompok swa bantu adalah semua anggota kelompok suportif, yang terdiri dari klien, keluarga dan KKJ. Rencana terapi ini dilakukan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
125
dalam tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama, rencana yang ditetapkan adalah bentuk kelompok, jelaskan konsep terapi yang terbagi dalam lima sesi, pengertian dan tujuan, pertemuan dipimpin oleh perawat. Pertemuan kedua, pelaksanaan kegiatan dan langkah terapi dalam lima sesi, dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok dengan pendampingan. Pertemuan ketiga, pelaksanaan kegiatan lima sesi secara mandiri oleh anggota kelompok dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok.
Tujuan yang ditetapkan dalam pemberian terapi kelompok swa bantu adalah membentuk self help group pada klien dan keluarga dengan gangguan jiwa, melakukan implementasi self help group pada klien dan keluarga dengan gangguan jiwa, mengevaluasi self help group pada
klien
dan
keluarga
dengan
gangguan
jiwa
dan
mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa.
Tabel 4.8 Rencana Pemberian Terapi Klien Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) Jumlah No 1
2
Prosentase
Skizo
RM
Dems
Skizo
RM
Dems
(n=9)
(n=5)
(n=4)
(n=9)
(n=5)
(n=4)
Generalis Individu (DPD)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Keluarga (DPD)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Kelompok (DPD)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Spesialis Individu (Behaviour Theraphy)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Keluarga (Family Psycoeducation)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Kelompok (Supportif Theraphy)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Kelompok (Self Help Group)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Jenis Terapi
Gambar 4.8 di atas menjelaskan rencana pemberian terapi, baik generalis maupun spesialis kepada klien gangguan jiwa dengan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
126
masalah defisit perawatan diri, keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dan kelompok.
4.4
Pelaksanaan dan Hasil Tindakan keperawatan
4.4.1 Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan berdasarkan pada rencana yang telah ditetapkan yang meliputi terapi generalis dan terapi spesialis yang keduanya dilakukan oleh penulis selama berpraktik di komunitas. Tindakan keperawatan dilakukan kepada klien, keluarga dan kelompok.
a. Tindakan Keperawatan untuk Klien Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri adalah pemberian terapi generalis dan terapi spesialis. Pada tabel 4.9 di bawah ini dapat dijelaskan tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan masalah defisit perawatan diri yang berada di Kelurahan Baranang Siang.
Tabel 4.9 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) Jumlah No 1
2
Prosentase
Skizo
RM
Dems
Skizo
RM
Dems
(n=9)
(n=5)
(n=4)
(n=9)
(n=5)
(n=4)
Generalis Individu (DPD)
9
4
4
100,0
80,0
100,0
Keluarga (DPD)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Spesialis Individu (Behaviour Theraphy)
9
4
4
100,0
80,0
100,0
Keluarga (Family Psycoeducation)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Kelompok (Supportif Theraphy)
6
2
0
66,7
40,0
0,0
Kelompok (Self Help Group)
3
1
0
33,3
20,0
0,0
Jenis Terapi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
127 Tindakan keperawatan generalis klien Klien defisit perawatan diri yang mendapatkan terapi generalis sebanyak 17 orang klien (94,4%) dan 1 orang klien (5,6%) tidak mendapatkan terapi generalis. Klien yang tidak mendapatkan terapi generalis adalah karena keterlambatan tumbuh kembang dan ketidakmampuan klien untuk memproses informasi yang masuk.
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan kepada klien adalah tindakan keperawatan generalis defisit perawatan diri. Tindakan pertama pada pertemuan pertama adalah mengidentifikasi kemampuan klien tentang perawatan dirinya, yang meliputi : mandi, berhias, makan dan minum dengan benar serta toileting dengan tepat. Tindakan pertama ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan pada 17 orang klien (94,4%). Klien mampu menyebutkan kemampuan dan ketidakmampuannya dalam melakukan kegiatan perawatan terhadap dirinya.
Hasil dari tindakan pertama ini adalah sebanyak 12 orang klien (70,6%) mengatakan tidak mampu mandi dengan benar dan tidak mampu makan secara teratur dan 13 orang klien (76,5%) mengatakan ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri berhias dan toileting yang tepat.
Tindakan keperawatan yang kedua pada pertemuan kedua adalah menjelaskan kepada klien tentang cara melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting. Tindakan kedua ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan pada 17 orang klien (94,4%). Sebanyak 9 orang klien (52,9%) mampu menyebutkan kembali tentang cara perawatan diri yang dijelaskan penulis. Sebanyak 4 orang klien (23,5%) mengatakan mengerti dan mampu menyebutkan kembali dengan bantuan. Sisanya, yaitu 4 orang klien
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
128
(23,5%) mengatakan mengerti dan belum mampu menyebutkan kembali.
Tindakan keperawatan yang ketiga pada pertemuan ketiga adalah adalah melatih cara melakukan perawatan diri mandi, berhias, makan/minum dan toileting, memotivasi klien melakukan kegiatan yang telah dilatih sesuai kemampuan dan memberikan reinforcement positif. Tindakan ketiga ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan pada 17 orang klien (94,4%). Hasil dari tindakan ketiga ini adalah sebanyak 9 orang klien (52,9%), bersedia dan mampu dilatih untuk melakukan kegiatan perawatan dirinya, yang meliputi mandi, berhias, makan minum teratur dan toileting dalam satu kali latihan. Sedangkan 8 orang klien (47%) mengatakan bersedia dan mampu dilatih dalam 2-3 kali latihan dalam satu kali pertemuan. Tindakan keperawatan spesialis klien Tindakan keperawatan spesialis yang dilakukan untuk klien adalah pemberian terapi spesialis perilaku token ekonomi. Terapi perilaku token ekonomi dilakukan 6 sesi yang telah dimodifikasi sesuai kondisi dan kemampuan klien defisit perawatan diri. Dari 18 orang klien, yang diberikan terapi perilaku token ekonomi adalah sebanyak 17 orang klien (94,4%). Mereka terdiri dari 9 orang klien (50%) skizofrenia, 4 orang klien (22,2%) retardasi mental dan 4 orang klien (22,2%) demensia.
Tindakan keperawatan spesialis yang pertama pada pertemuan pertama adalah mengidentifikasi dan menyepakati perilaku negatif yang ingin diubah dan token yang ingin diterima oleh klien. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya sebanyak 6 orang klien (35,3%) skizofrenia dan 3 orang klien (17,6%) retardasi mental mampu menyebutkan dan menyepakati perilaku negatif yang akan diubah menjadi perilaku positif dengan baik dan menyebutkan
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
129
token yang ingin diterima, sebanyak 4 orang klien (23,5%) demensia mampu menyebutkan dan menyepakati perilaku negatif yang akan diubah menjadi perilaku positif dengan bantuan dan menyebutkan token yang ingin diterima.
Tindakan keperawatan spesialis yang kedua pada pertemuan kedua adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 1, yaitu tidak mandi menjadi perilaku positif, mandi dengan benar. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 7 orang klien (41,2%) skizofrenia, mampu dilatih mandi dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi mental, 1 orang klien (5,8%) demensia, mampu dilatih mandi 3 kali latihan dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 6 orang klien (35,2%) tidak mampu dilatih untuk melakukan perawatan diri mandi.
Tindakan keperawatan spesialis yang ketiga pada pertemuan ketiga adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 2, yaitu tidak berhias
menjadi
perilaku
positif,
mampu
berhias.
Tindakan
keperawatan ini berhasil dilakukan satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 7 orang klien (41,2%) skizofrenia, mampu dilatih berhias dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi mental, 1 orang klien (5,8%) demensia, mampu dilatih berhias 3 kali latihan dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 6 orang klien (35,2%) tidak mampu dilatih untuk melakukan perawatan diri berhias.
Tindakan keperawatan spesialis yang keempat pada pertemuan keempat adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 3, yaitu tidak makan minum teratur menjadi perilaku positif, mampu makan minum secara teratur. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 8 orang klien (47,1%) skizofrenia mampu dilatih makan minum teratur dalam satu kali latihan dan 3 orang klien (17,6%) retardasi mental mampu dilatih
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
130
makan minum teratur dengan 2 kali latihan dalam satu kali pertemuan, serta 4 orang klien (23,5%) demensia mampu dilatih makan minum teratur dengan 3 kali latihan dalam satu kali pertemuan. Sedangkan 2 orang klien (11,8%) tidak mampu dilatih untuk melakukan perawatan diri makan minum.
Tindakan keperawatan spesialis yang kelima pada pertemuan kelima adalah melatih kemampuan mengubah perilaku negatif 4, yaitu tidak toileting dengan tepat menjadi perilaku positif, toileting dengan tepat. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 9 orang klien (52,9%) skizofrenia mampu dilatih toileting dengan tepat dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi mental mampu dilatih toileting dengan tepat 2 kali latihan dalam satu kali pertemuan, serta 4 orang klien (23,5%) demensia mampu dilatih toileting dengan tepat 3 kali latihan dalam satu kali pertemuan.
Tindakan keperawatan spesialis yang keenam pada pertemuan keenam adalah motivasi klien untuk mengungkapkan manfaat serta hasil dari latihan
setiap
sesi
serta
merencanakan
tindak
lanjut
dan
menulis/mengisi buku catatan kegiatan harian klien. Tindakan ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah sebanyak 9 orang klien (52,9%) skizofrenia mampu melakukan dengan baik dalam satu kali latihan dan 4 orang klien (23,5%) retardasi mental tidak mampu melakukan dengan baik serta 4 orang klien (23,5%) demensia mampu melakukan dengan pembimbingan dan bantuan.
Klien yang hanya mendapatkan terapi perilaku token ekonomi sebanyak 5 orang klien (29,4%). Pelaksanaan pertemuannya yaitu semua klien selesai semua sesi dengan pertemuan 6 kali. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan behaviour theraphy
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
131
khususnya dengan masalah defisit perawatan diri yaitu melatih kemampuan mengidentifikasi perilaku negative; mengubah perilaku negative menjadi perilaku positif terutama dalam hal melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum, toileting; menyebutkan manfaat pelaksanaan terapi; dan memasukkan kegiatan klien dalam buku catatan kegiatan harian.
a. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Tindakan keperawatan yang diberikan kepada keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri adalah pemberian terapi generalis dan terapi spesialis. Pada tabel 4.10 di bawah ini dapat dijelaskan tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada keluarga dengan anggota keluarga mengalamai masalah defisit perawatan diri yang berada di Kelurahan Baranang Siang. Tabel 4.10 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Keluarga Klien Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) Jumlah No 1
2
Jenis Terapi
Prosentase
Skizo
RM
Dems
Skizo
RM
Dems
(n=9)
(n=5)
(n=4)
(n=9)
(n=5)
(n=4)
Generalis Individu (DPD)
9
4
4
100,0
80,0
100,0
Keluarga (DPD)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Spesialis Individu (Behaviour Theraphy)
9
4
4
100,0
80,0
100,0
Keluarga (Family Psycoeducation)
9
5
4
100,0
100,0
100,0
Kelompok (Supportif Theraphy)
6
2
0
66,7
40,0
0,0
Kelompok (Self Help Group)
3
1
0
33,3
20,0
0,0
Tindakan keperawatan generalis keluarga Keluarga klien defisit perawatan diri yang mendapatkan terapi generalis sebanyak 18 orang keluarga (100%). Pertemuan pada keluarga dilakukan sebanyak 5 kali. Tindakan keperawatan yang
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
132
dilakukan berupa mengevaluasi kemampuan yang dimiliki keluarga untuk membantu anggota keluarga memenuhi kebutuhan perawatan diri dan melatih kemampuan yang belum dimiliki keluarga untuk membantu anggota keluarga memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting.
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan untuk keluarga adalah tindakan keperawatan generalis untuk merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Tindakan pertama pada pertemuan pertama adalah membantu keluarga mengenal masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu mengenal masalah defisit perawatan diri.
Tindakan kedua pada pertemuan kedua adalah membantu keluarga untuk mengambil keputusan merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan ketiga pada pertemuan ketiga adalah membantu keluarga merawat anggota keluarga yang mengalami defisit perawatan diri. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan keempat pada pertemuan keempat adalah membantu keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk merawat anggota keluarga. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%)
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
133
mampu memodifikasi lingkungan untukmerawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan kelima pada pertemuan kelima adalah membantu keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Tindakan ini berhasil dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat adalah sebanyak 18 keluarga (100%) mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Dari 18 keluarga tersebut, 7 keluarga (38,9%) datang dan memanfaatkan Puskesmas Bogor Timur dan 11 keluarga (61,1%) memanfaatkan praktik kesehatan swasta di lingkungannya. Tindakan keperawatan spesialis keluarga Tindakan keperawatan spesialis yang dilakukan untuk keluarga adalah pemberian terapi psikoedukasi keluarga. Terapi psikoedukasi keluarga ini terdiri dari lima sesi. Sebanyak 18 keluarga mendapat terapi psikoedukasi keluarga, meskipun hanya ada 16 keluarga yang belum mampu merawat anggota keluarga. Pertimbangan diberikannya terapi psikoedukasi keluarga bagi 2 keluarga yang telah mampu adalah mengevaluasi
kembali
dan
menyegarkan
pengetahuan
serta
ketrampilan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang mengalami masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 1 adalah mengidentifikasi masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu menyebutkan masalah yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
134
Tindakan yang dilakukan pada sesi 2, mendiskusikan bersama keluarga cara merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu mempraktikkan cara dalam merawat
anggota keluarga
yang
mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 3, manajemen stress keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam dua kali pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu mengatasi stress yang dialami merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 4, manajemen beban keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasil
yang
didapat
sebanyak
18
keluarga
(100%)
mampu
menyebutkan masalah yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Tindakan yang dilakukan pada sesi 5, mendiskusikan bersama keluarga untuk memberdayakan komunitas yang mendukung dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri. Tindakan ini selesai dilakukan dalam satu kali pertemuan. Hasil yang didapat sebanyak 18 keluarga (100%) mampu memberdayakan komunitas yang mendukung dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Terapi psikoedukasi keluarga dilakukan pada 18 keluarga klien. Frekuensi pertemuan sebanyak 6 kali, 1 kali pada sesi 1, 2, 4 dan 5,
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
135
serta 2 kali pada sesi 3. Pelaksanaan sesi dalam terapi spesialis psikoedukasi keluarga ini berhasil selesai sampai sesi 5. Kegiatan yang
dilakukan
adalah,
bersama
keluarga
mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi dalam merawat klien, mendiskusikan cara merawat klien dengan defisit perawatan diri, manajemen stress keluarga, manajemen beban keluarga dan memberdayakan komunitas yang pendukung untuk merawat klien defisit perawatan diri.
c. Tindakan Keperawatan untuk Kelompok Tindakan keperawatan spesialis yang ditetapkan untuk kelompok adalah pemberian terapi kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu. Kelompok yang mengikuti terapi ini terdiri dari klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri dan KKJ yang ikut merawat klien gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri.
Tabel 4.11 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Kelompok Klien Defisit perawatan diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18) No 1
Terapi Terapi Spesialis a. Supportif Theraphy: Klien Kader Keluarga b. Self Help Group Theraphy : Klien Kader Keluarga c. Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy Klien Kader Keluarga
Jumlah
Persentase (%)
7 18 7
38,9 100 38,9
4 18 2
22,1 100 11,1
4 18 2
22,2 100 11,1
Berdasarkan tabel 4.11 di atas dijelaskan tentang keikutsertaan kelompok dalam terapi spesialis kelompok. Anggota kelompok terdiri dari klien
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
136
gangguan jiwa, KKJ dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa.
Terapi kelompok suportif diberikan kepada 7 orang klien (38,9%). Pelaksanaan pertemuan yaitu 7 orang klien selesai mengikuti semua sesi dengan jumlah pertemuan 4 kali. Pemberian terapi kelompok suportif ini dilakukan empat sesi dalam empat kali pertemuan.
Tindakan spesialis pada sesi 1, yaitu mengidentifikasi kemampuan dan sumber pendukung yang ada. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan.
Hasilnya
adalah
5
orang
klien
(71,4%)
mampu
mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan. Sedangkan keluarga, sebanyak 7 keluarga (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 2, yaitu mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang berasal dari dalam, monitor hasil dan hambatannya. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah 5 orang klien (71,4%) mampu mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan. Sedangkan keluarga, sebanyak 7 keluarga (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 3, yaitu mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang berasal dari luar, monitor hasil dan hambatannya. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah 5 orang klien (71,4%) mampu mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan.
Sedangkan
keluarga,
sebanyak
7
keluarga
(100%)
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
137
mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan spesialis pada sesi 4, mengevaluasi hasil dan hambatan dalam menggunakan sistem pendukung baik yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar. Tindakan ini selesai dalam satu kali pertemuan. Hasilnya adalah 5 orang klien (71,4%) mampu mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan 2 orang klien (28,6%) mampu mengidentifikasi kemampuan dengan bantuan. Sedangkan keluarga, sebanyak 7 keluarga (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri dan kader 18 orang kader (100%) mengidentifikasi kemampuan secara mandiri.
Tindakan terapi kelompok yang kedua adalah pemberian terapi kelompok swa bantu. Terapi kelompok swa bantu dilaksanakan setelah selesai pelaksanaan terapi suportif kelompok. Anggota kelompok swa bantu adalah semua anggota kelompok suportif, yang terdiri dari klien, keluarga dan KKJ. Terapi ini dilakukan dalam lima kali pertemuan, satu kali pertemuan pada sesi 1 dan masing-masing dua kali pertemuan pada sesi 2 dan 3. Sebanyak 4 orang klien (57,1%) mengikuti terapi kelompok swa bantu sampai selesai, 3 orang lainnya (42,9%) tidak mengikuti kegiatan terapi kelompok ini. KKJ yang berjumlah 18 orang KKJ seluruhnya mengikuti terapi kelompok ini. Keluarga klien yang mengikuti hanya 2 keluarga (28,6%).
Pertemuan pertama, tindakan yang dilakukan adalah pembentukan kelompok, menjelaskan konsep terapi yang terbagi dalam lima sesi, pengertian dan tujuan, pertemuan dipimpin oleh perawat. Hasil yang didapat pada sesi 1 ini adalah terbentuk kelompok swa bantu. Kelompok memahami dan mengerti tujuan pembentukan, manfaat dan kegiatan yang dilakukan.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
138
Pertemuan kedua dan ketiga, melaksanakan kegiatan dan terapi dalam lima sesi, dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok, leader berasal dari anggota kelompok, leader memimpin terapi dengan pendampingan. Kegiatan yang dilakukan adalah langkah 1 : memahami masalah, langkah 2 : mendiskusikan cara untuk menyelesaikan masalah, langkah 3 : memilih cara pemecahan masalah, langkah 4 : melakukan tindakan untuk penyelesaian masalah dan langkah 5
: pencegahan
kekambuhan. Hasilnya pertemuan berjalan dengan lancar. Seluruh anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Pertemuan keempat dan kelima, melaksanakan kegiatan lima sesi secara mandiri oleh anggota kelompok dipimpin oleh leader yang ditunjuk oleh kelompok. Kegiatan yang dilakukan adalah langkah 1 : memahami masalah, langkah 2 : mendiskusikan cara untuk menyelesaikan masalah, langkah 3 : memilih cara pemecahan masalah, langkah 4 : melakukan tindakan untuk penyelesaian masalah dan langkah 5
: pencegahan
kekambuhan. Hasilnya pertemuan berjalan dengan lancar. Seluruh anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan ini.
4.4.2 Hasil Pengukuran hasil kemampuan dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengkajian awal dengan kondisi setelah diberikan terapi spesialis keperawatan jiwa. Pengukuran dilakukan secara rinci tentang kemampuan yang dimiliki oleh klien, keluarga dan kelompok. a. Kemampuan Klien Gangguan Jiwa Kemampuan klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri diukur dalam dua hal yaitu respon terhadap streesor dan kemampuan yang dimiliki. Respon terhadap Stressor Respon terhadap stresor dengan masalah defisit perawatan diri diukur dan dibandingkan sebelum dan setelah mendapatkan terapi generalis
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
139
maupun terapi spesialis. Respon terhadap stressor klien defisit perawatan diri meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Tabel 4.12 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
No
Respon terhadap Stressor
1
Respon Kognitif a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri Respon Afektif a. Perasaan negatif terhadap diri b. Sedih c. Merasa tidak mampu merawat diri d. Tidak ada motivasi merawat diri Respon Fisiologis a. Lelah/letih/lemah b. Penurunan muskuloskeletal Respon Perilaku a. Tidak mandi b. Tidak berhias setelah mandi c. Tidak makan dan minum teratur d. Toileting tidak tepat Respon Sosial a. Mengurung diri b. Menghindari dari orang lain c. Menolak interaksi
2
3
4
5
MEAN
Behaviour Theraphy (n=9)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy (n=6)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy Self Help Group (n=3) Pre Post Selisih %
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
8
3
5
62,5
6
1
5
83,3
3
0
3
100
5
0
5
100
3
0
3
100
2
0
2
100
5 5 6
3 1 2
2 4 4
40 80 66,7
3 3 4
1 0 1
2 3 3
66,7 100 75
1 2 2
0 0 0
1 2 2
100 100 100
5
2
3
60
3
1
2
66,7
2
0
2
100
5 6
2 1
3 5
60 83,3
3 3
0 0
3 3
100 100
2 2
0 0
2 2
100 100
5 6 5
2 2 1
3 4 4
60 66,7 80
3 4 3
1 0 0
2 4 3
66,7 100 100
2 2 2
0 0 0
2 2 2
100 100 100
5
0
5
100
3
0
3
100
1
0
1
100
7 5 5 5,5
1 0 0 1,3
6 5 5 4,2
85,7 100 100 76,3
4 2 2 3,3
0 0 0 0,3
4 2 2 2,9
100 100 100 90,6
2 0 0 1,7
0 0 0 0,0
2 0 0 1,7
100 0 0 86,7
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
140
Tabel 4.13 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
No
Respon terhadap Stressor
1
Respon Kognitif a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri Respon Afektif a. Perasaan negatif terhadap diri b. Sedih c. Merasa tidak mampu merawat diri d. Tidak ada motivasi merawat diri Respon Fisiologis a. Lelah/letih/lemah b. Penurunan musculoskeletal Respon Perilaku a. Tidak mandi b. Tidak berhias setelah mandi c. Tidak makan dan minum teratur d. Toileting tidak tepat Respon Sosial a. Mengurung diri b. Menghindari dari orang lain c. Menolak interaksi
2
3
4
5
MEAN
Behaviour Theraphy (n=4)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy(n=2)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy Self Help Group(n=1) Pre Post Selisih %
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
4
2
2
50
2
2
0
0
1
0
1
100
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
3
1
2
66,7
2
0
2
100
1
0
1
100
1 2
0 0
1 2
100 100
0 2
0 0
0 2
0 100
0 1
0 0
0 1
0 100
2
0
2
100
2
0
2
100
1
0
1
100
4 4
1 1
3 3
75 75
2 2
0 0
2 2
100 100
1 1
0 0
1 1
100 100
4 4
1 1
3 3
75 75
2 2
0 0
2 2
100 100
1 1
0 0
1 1
100 100
4
2
2
50
2
0
2
100
1
0
1
100
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
4 1
1 0
3 1
75 100
2 0
0 0
2 0
100 0
1 0
0 0
1 0
100 0
1 3,1
0 0,8
1 2,3
100 79,4
0 1,6
0 0,1
0 1,5
0 73,3
0 0,8
0 0,0
0 0,8
0 80,0
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
141
Tabel 4.14 Distribusi Hasil Evaluasi Respon terhadap Stressor Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012
No 1
2
3
4
5
Behaviour Theraphy(n=4)
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy(n=0)
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
4
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3 4
3 4
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
4 2
4 2
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
3 3
3 3
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
3
0
3
75
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
4 3
0 0
4 3
100 75
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
2 3,3
1 1,8
1 1,5
25 38,3
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Respon terhadap Stressor Respon Kognitif a. Tidak mampu mengambil keputusan b. Tidak tahu cara merawat diri Respon Afektif a. Perasaan negatif terhadap diri b. Sedih c. Merasa tidak mampu merawat diri d. Tidak ada motivasi merawat diri Respon Fisiologis a. Lelah/letih/lemah b. Penurunan muskuloskeletal Respon Perilaku a. Tidak mandi b. Tidak berhias setelah mandi c. Tidak makan dan minum teratur d. Toileting tidak tepat Respon Sosial a. Mengurung diri b. Menghindari dari orang lain c. Menolak interaksi MEAN
Behaviour Theraphy Supportif Theraphy Self Help Group(n=0) Pre Post Selisih %
Berdasarkan tabel 4.12, 4.13 dan 4.14 di atas dapat dibandingkan tentang respon terhadap stressor klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia, retardasi mental dan demensia sebelum dan
sesudah diberikan terapi
generalis
dan terapi
spesialis
keperawatan jiwa. Terapi spesialis yang diberikan adalah behaviour theraphy; behaviour theraphy dan supportif theraphy; serta behaviour theraphy, supportif theraphy dan self help group theraphy.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
142
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Skizofrenia Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon kognitif ketidakmampuan mengambil keputusan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar (100 %). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan ketidaktahuan cara merawat diri pada klien adalah terapi Behaviour Theraphy (100 %), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy
(100%).
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek mengurangi respon afektif perasaan negatif terhadap dirinya adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif menurunkan kesedihan adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek lebih menurunkan respon afektif merasa tidak mampu merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan respon afektif tidak ada motivasi untuk merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi yang mempuyai efek menurunkan respon fisiologis yaitu kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) dan terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon perilaku, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek lebih menurunkan respon perilaku tidak mampu mandi, adalah Behaviour
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
143
Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%); efektif meenurunkan respon perilaku tidak berhias, adalah Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%); efektif menurunkan respon perilaku tidak makan minum, adalah Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%); serta efektif menurunkan respon perilaku tidak toileting dengan tepat adalah terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%)
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif mengurangi respon sosial menghindar dari orang lain adalah terapi Behaviour Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan respon sosial menolak interaksi adalah terapi Behaviour Theraphy (100%) dan terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%).
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Retardasi Mental Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon kognitif ketidakmampuan mengambil keputusan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy yaitu sebesar (100 %). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan ketidaktahuan cara merawat diri pada klien adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
144
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek mengurangi respon afektif perasaan negatif terhadap dirinya adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif menurunkan kesedihan adalah terapi Behaviour Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek lebih menurunkan respon afektif merasa tidak mampu merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta
Behaviour Theraphy, Supportif
Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif menurunkan respon afektif tidak ada motivasi untuk merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi yang mempuyai efek menurunkan respon fisiologis yaitu kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Respon perilaku, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek lebih menurunkan respon perilaku tidak mampu mandi, berhias, makan minum, dan toileting adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) dan Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%)
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi yang efektif mengurangi respon sosial menghindar dari orang lain adalah terapi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
145
Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan terapi
yang efektif
menurunkan respon sosial menolak interaksi adalah terapi Behaviour Theraphy (100%).
Klien Defisit Perawatan Diri Diagnosa Medis Demensia Respon kognitif, dijelaskan bahwa terapi yang memberikan efek khususnya untuk menurunkan ketidaktahuan cara merawat diri pada klien adalah terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon afektif, dijelaskan bahwa terapi yang mempunyai efek mengurangi respon afektif tidak ada motivasi untuk merawat diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon fisiologis, terapi perilaku yang diberikan kepada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia tidak terbukti bisa menurunkan respon fisiologis kelelahan/kelelatihan dan penurunan muskuloskeletal.
Respon perilaku, pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia dapat dijelaskan bahwa terapi yang diberikan hanya mampu mengubah perilaku toileting tidak tepat menjadi tepat yaitu pemberian terapi Behaviour Theraphy (100%).
Respon sosial, terapi yang efektif mengurangi respon sosial mengurung diri adalah terapi Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan respon sosial menghindar dari orang lain dan respon sosial menolak interaksi pada klien defisit perawatan diri yang memiliki diagnosa medis demensia tidak dapat diubah dengan pemberian terapi perilaku.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
146 Kemampuan Klien Kemampuan klien yang diukur di sini adalah kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting serta positif belief.
Tabel 4.15 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Skizofrenia dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 Behaviour Theraphy (n=9)
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=6) No
1
2
Supportif Theraphy
Kemampuan Klien
Self Help Group (n=3) Pre
Post
Selisih
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi
5
1
b. Tidak mampu untuk berhias
6
1
c. Tidak mampu makan minum teratur d. Tidak mampu toileting dengan benar Keyakinan positif a. Tidak yakin akan sembuh
5
b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan MEAN
%
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
5
83,3
4
0
4
100
2
0
2
100
1
4
80
3
0
3
100
2
0
2
100
5
0
5
100
3
0
3
100
2
0
2
100
4
4
0
0
1
0
1
100
0
0
0
0
5
2
3
60
3
1
2
66,7
1
0
1
100
5
5
0
0
3
1
2
66,7
1
0
1
100
5,0
2,0
3,0
57,6
2,9
0,3
2,6
90,5
1,4
0,0
1,4
85,7
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
147
Tabel 4.16 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Retardasi Mental dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 Behaviour Theraphy (n=4)
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=2) No
Supportif Theraphy
Kemampuan Klien
1
2
Self Help Group (n=1) Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi
4
1
3
75
2
1
1
50
1
0
1
100
b. Tidak mampu untuk berhias
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
c. Tidak mampu makan minum teratur d. Tidak mampu toileting dengan benar Keyakinan positif a. Tidak yakin akan sembuh
4
1
3
75
2
1
1
50
1
0
1
100
4
1
3
75
2
0
2
100
1
0
1
100
3
0
3
100
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan
3
0
3
100
0
0
0
0
0
0
0
0
3
1
2
66,7
0
0
0
0
0
0
0
0
3,6
0,7
2,9
81,0
1,1
0,3
0,9
42,9
0,6
0,0
0,6
57,1
MEAN
Tabel 4.17 Distribusi Hasil Evaluasi Kemampuan Klien Pre dan Post Terapi Keperawatan Klien Demensia dengan Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011-April 2012 Behaviour Theraphy (n=4) No
1
2
Behaviour Theraphy
Behaviour Theraphy
Supportif Theraphy (n=0)
Supportif Theraphy
Kemampuan Klien
Self Help Group (n=0) Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Kemampuan klien a. Tidak mampu untuk mandi
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak mampu untuk berhias
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
c. Tidak mampu makan minum teratur d. Tidak mampu toileting dengan benar Keyakinan positif a. Tidak yakin akan sembuh
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
4
100
0
0
0
0
0
0
0
0
b. Tidak yakin terhadap tenaga kesehatan c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
100
0
0
0
0
0
0
0
0
2,7
1,3
1,4
57,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
MEAN
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
148
Berdasarkan tabel 4.15, 4.16 dan 4.17 di atas, dijelaskan tentang perubahan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi masalah defisit perawatan diri pada masing-masing diagnosa medis, yaitu skizofrenia, retardasi mental dan demensia. Kemampuan yang dapat dijelaskan terdiri dari kemampuan individu dan positif belief.
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Skizofrenia Kemampuan individu, terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk mandi, berhias dan makan minum adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk toileting adalah terapi Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap kesembuhan adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%). Terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap tenaga kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Retardasi Mental Kemampuan individu, terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk mandi dan makan minum adalah terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Sedangkan terapi
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
149
yang efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk berhias dan toileting adalah terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta terapi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap kesembuhan dan meningkatkan keyakinan terhadap tenaga kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy (100%). Sedangkan terapi yang memiliki efek meningkatkan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan adalah terapi Behaviour Theraphy (66,7%).
Klien Defisit perawatan Diri Diagnosa Medis Demensia Kemampuan individu, terapi perilaku yang diberikan pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia hanya efektif untuk meningkatkan kemampuan atau menurunkan ketidakmampuan klien untuk toileting yaitu terapi Behaviour Theraphy (100%).
Keyakinan positif, terapi perilaku yang diberikan pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis demensia efektif meningkatkan keyakinan terhadap kesembuhan, meningkatkan keyakinan terhadap tenaga kesehatan dan meningkatkan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan yaitu terapi Behaviour Theraphy (100%).
b. Kemampuan Keluarga dengan Anggota Keluarga Gangguan Jiwa Berdasarkan tabel 4.18 di bawah, dijelaskan tentang perubahan kemampuan yang dimiliki oleh keluarga dalam merawat klien dengan masalah defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
150
Tabel 4.18 Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
No
1
Sumber Kemampuan
Family Psycoeducation Theraphy
Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy
Family Psycoeducation Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy Pre Post Selisih %
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
16
0
16
100
5
0
5
100
2
0
2
100
16
0
16
100
5
0
5
100
2
0
2
100
16
0
16
100
6
0
6
100
3
0
3
100
16
0
16
100
6
0
6
100
3
0
3
100
15
0
15
100
5
0
5
100
2
0
2
100
15,8
0
15,8
100
5,4
0
5,4
100
2,4
0
2,4
100
Dukungan Keluarga a. Keluarga tdk mengenal b. Keluarga tdk mampu memutuskan c. Keluarga tdk mampu rawat klien d. Keluarga tdk mampu modifikasi e. Keluarga tdk mampu manfaatkan yankes MEAN
Dukungan keluarga, terapi yang memiliki efek meningkatkan dukungan keluarga terhadap klien adalah Family Psycoeducation (100%) baik yang diberikan secara terpisah maupun yang dipadu dengan antara Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) dan perpaduan antara Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi-terapi tersebut terbukti efektif meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan dukungan terhadap klien gangguan jiwa dalam hal mengenal masalah, mengambil keputusan untuk merawat, merawat anggota keluarga, memodifikasi lingkungan yang mendukung dan memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa masalah defisit perawatan diri.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
151
c. Kemampuan Kelompok Berdasarkan tabel 4.19 di bawah, dijelaskan tentang perubahan kemampuan yang dimiliki oleh kelompok dalam merawat klien dengan masalah defisit perawatan diri. Tabel 4.19 Distribusi Kemampuan Kelompok dalam Merawat Klien Defisit Perawatan Diri Periode Oktober 2011 - April 2012 (n = 18)
No 1
Pre
Post
Selisih
%
Pre
Post
Selisih
%
Supportif Theraphy dan Self Help Group Pre Post Selisih
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
15
0
15
100
Supportif Theraphy
Sumber Kemampuan Dukungan Kelompok a. Kelompok tidak memberikan motivasi b. Kelompok tidak mengetahui cara merawat diri c. Kelompok tidak memberikan bantuan kepada klien MEAN
Self Help Group
Dukungan kelompok, terapi yang memiliki efek meningkatkan dukungan kelompok terhadap klien adalah Supportif Theraphy (100%), Self Help Group Theraphy (100%) dan perpaduan Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy (100%). Terapi-terapi tersebut terbukti efektif meningkatkan kemampuan kelompok dalam memberikan motivasi terhadap klien gangguan jiwa, merawat klien gangguan jiwa dan memberikan bantuan klien gangguan jiwa dalam merawat diri.
4.5
Rencana Tindak Lanjut
4.6.1 Klien : klien yang telah memiliki perilaku positif diharapkan dapat mempertahankan perilakunya. Perilaku positif yang dimaksud adalah perilaku dalam hal memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting. Kemampuan yang telah
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
%
152
dimiliki oleh klien juga diharapkan bisa untuk dipertahankan. Klien yang mendapatkan pengobatan diharapkan selalu mengkonsumsi obat dan kontrol secara teratur baik ke Puskesmas maupun ke Rumah Sakit Jiwa. Kelompok suportif yang telah terbentuk supaya bisa untuk dipertahankan. Produktifitas yang telah diajarkan diharapkan mampu dipertahankan dan menjadi sumber penghasilan bagi klien untuk menjalani kehidupannya.
4.6.2 Keluarga : Keluarga sebaiknya tetap memberikan motivasi kepada klien untuk melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting. Keluarga juga hendaknya tetap membantu klien untuk mempertahankan perilaku positif klien dalam perawatan diri. Keluarga diharapkan ikut membantu klien dalam hal penyediaan perlengkapan perawatan diri. Keluarga harus mendukung klien untuk patuh minum obat dan kontrol secara teratur. 4.6.3 Lingkungan Perawatan : Lingkungan perawatan yang dimaksud adalah peran serta keluarga dan masyarakat. Masyarakat atau KKJ yang ikut memberikan bantuan, dukungan, motivasi kepada klien maupun keluarga. KKJ diharapkan mampu melakukan kunjungan rumah untuk melakukan evaluasi, dan memberikan dukungan kepada klien. Evaluasi yang dilakukan adalah sejauh mana klien mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan apakah perilaku positif yang sudah dimiliki bisa tetap dipertahankan. Bantuan kader diberikan kepada klien apabila mengalami penurunan motivasi dan klien mengalami kemunduran dalam hal mempertahankan perilaku.
4.7
Hambatan Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
4.7.1 Pelaksanaan Terapi Karakteristik klien mempengaruhi pelaksanaan terapi. Karakteristik tersebut adalah tingkat pendidikan dan usia klien. Tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi dalam pelaksanaan terapi khususnya ketika klien menulis
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
153
buku kerja dan dalam melakukan evaluasi di buku kerja. Klien yang mengalami retardasi mental yang tidak mampu menulis karena mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Memerlukan bantuan dan kerjasama dengan keluarga. Klien dengan usia yang diatas 50 tahun juga memerlukan pendekatan yang lebih intensif dimana perhatian dan proses berpikirnya sudah mulai berkurang sehingga penerimaan terapi menjadi agak lama.
Beberapa klien dalam menjalankan latihan yang diajarkan kurang termotivasi. Hal ini disebabkan klien berpikir bahwa dirinya merasa tidak memiliki masalah dan tidak menganggap perlu untuk mengubah perilaku negatifnya atau belum adanya kesadaran diri dan klien berpendapat bahwa latihan yang dilakukan ternyata juga tidak mengubah kehidupannya. Motivasi atau kesadaran keluarga dalam membantu klien pada beberapa keluarga masih kurang. Hal ini terlihat dari tanggung jawab keluarga dalam membantu dan memberikan motivasi kepada klien untuk melakukan perawatan diri ketika tidak ada penulis sering diabaikan.
4.7.2 Lingkungan Perawatan Lingkungan keperawatan yang dimaksud di sini adalah komunitas yang menjadi tempat bagi klien dan keluarga tinggal. Pemberian asuhan keperawatan yang kurang berkesinambungan khususnya pemberian terapi spesialis, merupakan kendala yang sangat mempengaruhi pencapaian asuhan keperawatan yang diberikan, khususnya pada masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas tentang manajemen kasus spesialis dan manajemen asuhan keperawatan masalah defisit perawatan diri di Kelurahan Baranang Siang yang dilakukan mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan April 2012. Manajemen kasus spesialis dibahas berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan, yaitu mulai dari karakteristik klien, stressor dan efektifitas penerapan terapi dengan pendekatan Self Care Orem dan CMHN serta efektifitas penerapan terapi spesialis untuk mengatasi masalah defisit perawatan diri pada klien gangguan jiwa. Sedangkan manajemen asuhan keperawatan masalah defisit perawatan diri yang dibahas, berdasarkan hasil penerapan manajemen asuhan keperawatan jiwa profesional di Kelurahan Baranang Siang.
5.1 Karakteristik Klien Defisit Perawatan Diri Hasil pengkajian yang telah dilakukan melalui pendekatan model konsep Stuart (2009) bahwa proses terjadinya masalah defisit perawatan diri, dipengaruhi oleh stressor predisposisi, presipitasi, respon terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan klien. Berdasarkan hal tersebut, maka data yang didapatkan dari hasil pengkajian tersebut sangat bervariasi untuk masing-masing klien, meskipun dengan masalah keperawatan yang sama, yaitu defisit perawatan diri.
Karakteristik klien dengan masalah defisit perawatan diri terdiri usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, lamanya mengalami gangguan, dan jumlah perawatan yang telah dijalani. 5.1.1
Usia Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang sebagian besar berada pada rentang usia 21 sampai dengan 40 tahun. Klien defisit perawatan diri yang berada pada rentang usia tersebut sebanyak 10 orang dari 18 orang klien.
154
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
155
Menurut Erikson (2000, dalam Stuart & Sundeen, 1995), pada usia ini individu mulai mempertahankan hubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan, memilih karir, melangsungkan perkawinan. Usia tersebut merupakan usia perkembangan dewasa pertengahan, yaitu usia dimana individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat)
untuk
mengaktualisasikan
dirinya.
Kegagalan
untuk
memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan melaksanakan tugas perkembangannya sering diartikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk merawat diri atau defisit perawatan diri
5.1.2
Pendidikan Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri memiliki pendidikan yang bervariasi, mulai SD, SMP, SLTA, D3 bahkan Sarjana. Tetapi sebagian besar klien yaitu sebanyak 6 orang klien (33,33%) berpendidikan SD. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara individu berperilaku, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara klien berespon terhadap stresor.
Menurut Stuart (2009) bahwa aspek intelektual merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa karena berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menyampaikan ide atau pendapatnya, selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidupnya sehingga akan lebih minimal untuk terjadinya defisit perawatan diri. Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa defisit perawatan diri biasanya banyak terjadi pada klien yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
156
5.1.3 Status Pekerjaan Klien yang dirawat dengan masalah defisit perawatan diri sebagian besar dengan riwayat tidak punya pekerjaan (menganggur) yaitu sebanyak 11 orang klien (61,1%). Menurut Townsend (2005) banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah defisit perawatan diri, salah satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan perawatan diri dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi.
Vega et al (1999, dalam Stuart, 2009) juga menyebutkan bahwa ada beberapa penelitian terkait dengan kemiskinan dan kesehatan mental, hasilnya diyakini bahwa adanya perbedaan risiko untuk mengalami gangguan jiwa antara kelompok utama yang diukur dari stratifikasi sosial dan kemiskinan. Kelompok ini lebih rentan dengan masalah kesehatan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Rendahnya tingkat sosial ekonomi dan kemiskinan, erat kaitannya dengan ketersediaan materi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan penghargaan oleh lingkungan. Keadaan kemiskinan juga menunjukan ketiadaan akses, baik akses sumber daya dan informasi. Kondisi ini mengakibatkan keterbatasan dalam penyelesaian masalah dan akhirnya individu merasa frustasi dengan kondisinya dan merasa iri jika melihat kemampuan orang lain.
5.1.4
Status Perkawinan Klien defisit perawatan diri yang dirawat memiliki status perkawinan belum menikah lebih banyak yaitu 11 orang klien (61,1%). Salah satu faktor predisposisi defisit perawatan diri, menurut Stuart (2009) adalah ketidakmampuan mengungkapkan keinginan, termasuk keinginan hidup berumah tangga. Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan klien merasa frustasi dengan kondisinya yang sendiri dan merasa iri jika melihat orang pacaran dan menikah, Klien merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Jika dikaitkan dengan usia, klien berada dalam
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
157
rentang dewasa muda dimana klien mempunyai tugas perkembangan yang harus dilalui yaitu mengembangkan hubungan intim dengan lawan jenis dalam ikatan pernikahan. Tidak terpenuhinya atau kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan ini merupakan stresor bagi individu yang berujung pada defisit perawatan diri.
5.2 Stressor Predisposisi Hasil pengkajian terhadap stressor predisposisi klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang didapatkan yaitu dari aspek biologi sebagian besar dari faktor genetik (44,4%). Aspek psikologi sebagian besar dari ketidakmampuan mengungkapkan keinginan yaitu (100%) dan dari aspek sosial budaya sebagian besar dari masalah ekonomi (88,9%).
Faktor biologis pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang sebagian besar karena faktor genetik.
Faktor
biologis ini terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan adalah pada perilaku maladaptif klien (Townsend, 2005). Secara biologi riset neurobiologikal memfokuskan pada tiga area otak yang dipercaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hipotalamus. Kondisi lain yaitu adanya kondisi patologis dan ketidakseimbangan dari beberapa neurotransmitter. Neurotransmitter tersebut adalah dopamin, serotonin, norepineprin dan asetilkolin.
Faktor biologis penting untuk diketahui, terkait dengan terapi psikofarmaka yang tepat diberikan pada klien. Adanya gangguan dari salah satu komponen biologis sangat mempengaruhi terapi yang harus diberikan sebagai koreksi terhadap kekurangan atau berlebihnya fungsi atau produksi hormon yang mempengaruhi kerja otak. Keterbatasan pemeriksaan neurobiologis atau bahkan belum dilakukannya pemeriksaan neurobiologis pada klien,
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
158
menyebabkan terapi psikofarmaka yang diberikan kurang efektif, karena bisa tidak tepat sasaran.
Stressor predisposisi berikutnya, yaitu aspek psikologis dan sosial budaya. Aspek psikologis yang menjadi stressor predisposisi terjadinya masalah defisit perawatan diri pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang, sebagian besar karena ketidakmampuan mengungkapkan keinginan dengan baik. Biasanya ada kaitannya dengan tipe kepribadian introvert, gangguan kemampuan komunikasi verbal, menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya dapat disebabkan dari kegagalan dari tugas perkembangannya. Menurut Erikson (2000, dalam Keliat, 2007) untuk mengembangkan hubungan positif setiap orang harus dapat melalui delapan tugas perkembangan (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia. Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, tidak mampu merumuskan
dan
mengungkapkan
keinginan,
dan
merasa
tertekan.
Ketidakmampuan mengungkapkan keinginan ini akan menyebabkan individu menjadi tertekan dan frustasi yang akhirnya berespon dengan menyalahkan diri dan orang lain di sekitarnya.
Aspek sosial budaya merupakan stressor predisposisi yang juga menentukan dan sebagian besar klien defisit perawatan diri terkait masalah pekerjaan atau kondisi ekonomi, ketersediaan tempat tinggal, tuntutan dari masyarakat yang tidak realistis dengan kemampuan dari Klien. Menurut Townsend (2005), salah satu penyebab gangguan gangguan jiwa terkait dengan masalah status sosial ekonomi. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya perawatan diri dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi. Pengetahuan tentang beberapa stressor predisposisi pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yaitu dari
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
159
aspek biologis, psikologis dan sosial budaya menjadi dasar yang kuat bagi perawat dalam menjalankan proses keperawatan secara holistik yaitu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan pendekatan biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pengkajian dan pengetahuan tentang faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya ini juga menjadi dasar bahwa pemberian terapi keperawatan jiwa tetap diberikan di tingkat pelayanan komunitas diantaranya pencegahan primer seperti pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa dan pendidikan tentang tumbuh kembang beserta tugas perkembangannya. Pencegahan sekunder yaitu pencegahan terjadinya gangguan. Serta pencegahan tersier yaitu pengobatan dan perbaikan atau rehabilitatif kondisi klien gangguan jiwa.
5.3 Stressor Presispitasi Pengkajian terhadap stressor presipitasi yaitu dari sifat stresor, asal stresor, waktu dan jumlah stressor pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Klien terpapar stresor yang bersifat biologis, psikologis dan sosial budaya. Presipitasi faktor biologis klien didapatkan yaitu putus (55,6%). Kondisi putus obat pada klien menurut penulis dikarenakan pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kondisi ini membuat kebosanan kepada klien. Pemberian obat pada klien gangguan jiwa juga pada awalnya lebih banyak memberikan efek sekunder dari pada efek optimal, hal ini yang memberi anggapan kepada klien bahwa obat yang dikonsumsinya tidak memberikan efek penyembuhan tetapi menambah gejala atau efek samping.
Presipitasi faktor psikologis pada klien didapatkan memiliki riwayat psikologis berupa mengalami kejadian yang kurang menyenangkan yaitu (77,8%) berupa pengalaman-pengalaman kegagalan dan kehilangan, seperti kegagalan dalam membina hubungan dengan lawan jenis, kehilangan orang yang dicintai atau berarti, kegagalan dalam pekerjaan, pola asuh yang tidak tepat dan kehilangan orang yang berarti. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri,
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
160
intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.
Sedangkan sumber stressor berasal dari internal dan eksternal diri Klien. Sumber internal adalah kegagalan dan perasaan bersalah yang ditujukan kepada dirinya karena perasaan frustasi akan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Sumber eksternal klien yaitu tuntutan dari lingkungan serta kecaman dari lingkungan yang menyebabkan klien tidak mampu memenuhinya. Kondisi ini memberikan konflik pada diri dan lingkungan serta munculnya perasaan tidak berharga. Hal ini sesuai dengan pendapat Stuart (2009) dimana faktor penyebab defisit perawatan diri dari faktor psikologis diantaranya inteligensi, ketrampilan verbal, moral, kepribadian dan kontrol diri, pengalaman yang tidak
menyenangkan,
kurangnya
motivasi.
Pengalaman
yang
tidak
menyenangkan dan kurangnya motivasi menimbulkan terjadinya defisit perawatan diri.
Waktu terpaparnya stressor, klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang sebagian besar terjadi dalam periode awal, sebagian besar terpapar stressor dalam jangka waktu yang pendek atau kurang dari 10 tahun yaitu 55,6%. Jumlah stressor yang dialami sebagian beruntun dan bermacam-macam. Menurut Stuart (2009), waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, serta berapa kali kejadiannya (frekuensi). Bila baru pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk tindakan pencegahan primer.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan jiwa tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi melalui pross dengan beberapa penyebab. Keluarga, klien, KKJ dan umumnya masyarakat hendaknya memahami kondisi ini sehingga bisa melakukan tindakan
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
161
pencegahan untuk terpaparnya kondisi atau kejadian yangbisa merupakan stressor presipitasi terjadinya gangguan jiwa.
5.4 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri dengan Pendekatan Teori Dorothy Orem Self Care Keperawatan adalah seni dan ilmu yang mempunyai tujuan untuk mengembalikan, memelihara atau mencapai integritas, sistem yang stabil, penyesuaian dan adaptasi, sehingga sistem dapat berfungsi secara efisien dan efektif (Tomey, 2006). Pelaksanaan proses keperawatan pada klien dengan defisit
perawatan
diri
terdiri
dari
pengkajian,
penetapan
diagnosa
keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan pelaksanaan evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan.
Pengkajian yang dilakukan dalam manjemen kasus klien dengan defisit perawatan diri menggunakan pendekatan psikodinamika gangguan jiwa menurut Stuart (2009). Penggunaan model Stuart ini sangat efektif dalam menggambarkan kondisi klinis klien dan proses terjadinya gangguan jiwa, khususnya masalah defisit perawatan diri. Pengkajian yang dilakukan dengan pendekatan Stuart ini penting untuk mengetahui proses maladaptif dalam rentang kehidupan klien, yang dapat dijadikan landasan dalam pemberian terapi keperawatan. Selain itu, dilakukan pula pengkajian sesuai dengan respon klien sehingga dapat dirumuskan masalah keperawatan berdasarkan prioritas kebutuhan klien saat ini (here and now).
Hasil pengkajian yang ditemukan pada klien dapat dijelaskan menggunakan konsep Self Care Orem bahwa stressor yang dialami individu pada klien defisit perawatan diri yaitu adanya penurunan motivasi diri untuk melakukan perawatan pada diri sendiri. Penurunan motivasi tersebut ditunjukkan dengan adanya ketidakseimbangan antara self-care agency dengan self care therapeutic
demand
sehingga
klien
mengalami
self
care
deficit.
Ketidakseimbangan ini adalah kondisi self care agency tidak cukup mampu menggunakan self care therapeutic demand untuk melakukan pemenuhan
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
162
kebutuhan perawatan diri. Karena kondisi ini maka klien membutuhkan bantuan untuk memaksimalkan self care therapeutic demand agar self care terpenuhi dan dapat bertindak sebagai self care agency untuk menangani masalah defisit perawatan diri.
Perawatan diri (Self care), asumsinya adalah bahwa setiap orang bisa melakukan atau mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa bantuan. Klien pada kondisi ini tidak mengalami masalah, tidak memerlukan bantuan untuk masalah pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya.
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan perawatan secara mandiri (Self-care deficit), asumsinya bahwa suatu saat pada kondisi tertentu, seseorang bisa mengalami kondisi bahwa dia tidak mampu melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri. Sehingga pada kondisi ini individu mengalami self care defisit, dan memerlukan bantuan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Sistem keperawatan (nursing system), asumsinya bahwa ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri, maka dia memerlukan bantuan, dan perawat sebagai nursing agency harus memberikan bantuan kepada orang tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Klien menerima asuhan dari perawat berdasarkan tiga macam kondisi, wholly compensatory atau pemberian bantuan total, partly compensatory atau pemberian bantuan sebagian misalnya pada klien yang mengalami keterbatasan fisik dan supportive educative system atau memberikan pendidikan kesehatan dan melatih klien dan keluarganya untuk dapat bereperan sebagai self care agency.
Hal inilah yang memberikan dasar bagi pemberian beberapa terapi yaitu terapi behaviour therapy, terapi suportif, self help group dan psikoedukasi keluarga. Pemberian terapi spesialis ini juga berdasarkan pendekatan teori
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
163
Orem’s Self Care yang ditujukan agar klien mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
Terapi yang diberikan yaitu behaviour therapy, terapi suportif, self help group dan psikoedukasi keluarga merupakan terapi spesialis keperawatan jiwa yang merupakan sebuah proses pembelajaran bagi klien untuk meningkatkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri yang dilakukannya dengan cara meningkatkan kemampuan, meningkatkan motivasi dan pengetahuan tentang perawatan diri dan mengubah perilaku maladaptif tidak mau merawat diri menjadi perilaku adaptif mau merawat diri. Pelaksanaan terapi tersebut memberi hasil yang baik karena adanya komunikasi yang baik antara perawat-klien dan adanya peran serta keluarga dan KKJ dalam .
5.4.1 Respon terhadap Stressor Respon terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2009). Dari hasil evaluasi respon terhadap stressor pada klien defisit perawatan diri menunjukkan gejala negatif dan ketidakmampuan. Ini menunjukan bahwa seluruh klien memandang sumber stressornya adalah sebagai suatu ancaman bagi klien. Hampir semua klien memiliki respons negatif dalam menghadapi masalah secara kognitif, afektif, perilaku dan sosial.
Respon kognitif yang dilakukan sebagian besar klien defisit perawatan diri tidak mampu mengambil keputusan (88,9%). Menurut Stuart (2009), penilaian kognitif
merupakan suatu mediator bagi interaksi antara
individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu masalah sebagai ancaman atau potensi dipengaruhi oleh persepsi individu, sikap terbuka terhadap adanya perubahan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan.
Selain itu, penilaian kognitif terhadap
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
164
masalah, dipengaruhi oleh sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi, yang berasal dari diri sendiri dan lingkungan. Kemampuan koping individu juga merupakan hal yang sangat mempengaruhi bagaimana individu menilai suatu masalah, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman secara individual. Efektifitas koping yang biasa dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya, serta koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien, mempengaruhi respon terhadap stresor yang dihadapi.
Respon afektif terhadap stresor terkait dengan sedih, bingung, apatis/pasif, sehingga tidak ada motivasi untuk melakukan perawatan diri (Stuart, 2009). Ekspresi emosi yang sering ditampilkan oleh klien defisit perawatan diri, yaitu perasaan tidak mampu melakukan perawatan diri, perasaan negatif terhadap dirinya dan merasa tidak ada motivasi untuk merawat diri. Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Ekspresi emosi dan perasaan sangat mempengaruhi sikap, yang sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut.
Respon fisiologis terhadap stresor pada klien defisit perawatan diri, terkait dengan adanya kelelahan, keletihan dan kelemahan, keterbatasan muskuloskeletal yang dialami. Menurut Suliswati (2005) dan Stuart (2009) kerusakan hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan motivasi sehingga kurang aktifitas dan malas melakukan sesuatu. Secara umum pada klien defisit perawatan diri mengalami kelelahan dan kelemahan, sehingga tidak melakukan perawatan diri. Respon yang ditampilkan tersebut merupakan respon negatif, yang dilakukan akibat keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan masalah, dan respon bahwa stresor merupakan sesuatu yang harus dihindari, bukan sesuatu yang harus dihadapi atau diselesaikan.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
165
Respon sosial ditunjukkan dengan gejala ketidakmampuan pada kegiatan sosial. Sebagian besar klien defisit perawatan diri (83,3%), memiliki respon sosial yang tidak sesuai yaitu dengan menghindar dari lingkungan dan malu terhadap apa yang dialaminya. Hal ini dapat diamati dengan gejala klien yang menarik diri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain baik secara sukarela maupun atas instruksi perawat dan misalnya menolak untuk melakukan interaksi.
Terapi perilaku terbukti efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis skizofrenia yang menderita sakit kurang dari 10 tahun. Pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia yang menderita sakit lebih dari 10 tahun terapi perilaku bisa diberikan tetapi dikombinasi dengan terapi suportif dan terapi kelompok swa bantu.
Pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis retardasi mental, pemberian terapi perilaku juga efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif, tetapi hasil akan terlihat lebih efektif bila pemberian terapi dipadukan dengan terapi suportif dan swa bantu. Ketidakikutsertaan seluruh klien retardasi mental dalam terapi kelompok suportif dan swa bantu membuat efektifitas pemberian terapi tidak bisa diukur dengan maksimal.
Sedangkan pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis demensia, pemberian terapi perilaku belum cukup efektif untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Hal ini menurut penulis, karena adanya keterbatasan kemampuan kognitif pada klien demensia. Klien demensia mengalami kemunduran dalam hal kognitif sehingga untuk menyerap informasi dan mempraktikkannya merupakan suatu upaya yang berat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
166
5.4.2 Kemampuan Mengatasi Masalah Klien Defisit Perawatan Diri Kemampuan personal yang dimiliki sebagian besar klien yaitu telah dilatih dan diajarkan bagaimana mengenal tentang masalah defisit perawatan diri yang dialaminya, mengenal tentang cara mengatasi defisit perawatan diri yaitu dengan cara latihan merawat diri mandi, berhias, makan minum dan toileting. Hal ini dikarenakan rata-rata klien (69,5%) menunjukkan perilaku tidak merawat diri baik tidak melakukan perawatan diri mandi, berhias setelah mandi, makan minum secara teratur dan toileting dengan tepat. Kemampuan dasar untuk mengenal dan mengatasi defisit perawatan diri menunjukkan hasil yang sangat signifikan, hal ini terlihat dari meningkatnya kemampuan klien defisit perawatan diri dan menurunnya jumlah klien yang memiliki ketidakmampuan untuk merawat diri.
Menurut penulis keberhasilan ini terjadi karena adanya kerjasama yang baik antara perawat, keluarga dan kader dalam mendukung dan berpartisipasi dalam merawat klien defisit perawatan diri. Oleh karena itu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fenomena ini adalah perlunya peningkatan link atau kesinambungan antara pelayanan di masyarakat seperti CMHN yang ditingkatkan terus ke seluruh wilayah di Indonesia. Tindakan yang lain yaitu klien dan keluarga perlu dilatih kemampuan spesialis dalam mengatasi masalah defisit perawatan dirinya.
Dukungan, dukungan berasal dari keluarga dan kelompok, dan dukungan yang paling bermakna adalah dukungan dari keluarga. Sebagian besar kasus yang ditemukan terungkap data bahwa kurangnya dukungan keluarga untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri, menjadi salah satu faktor penentu tidak terpenuhinya kebutuhan perawatan diri klien. Hal ini terbukti dari meningkatnya angka dukungan keluarga, dari hanya 2 keluarga (11,1%) yang mendukung menjadi 100% keluarga mendukungan menjadikan kemampuan klien dalam hal perawatan diri meningkat.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
167
Kondisi ini menurut penulis dikaitkan dengan stigma dan beban yang diterima keluarga atau masyarakat. WHO (2008) mengkategorikan beban keluarga dengan gangguan jiwa dalam dua jenis yaitu beban obyektif dan subyektif. Beban obyektif yaitu beban yang berhubungan dengan masalah dan pengalaman anggota keluarga meliputi gangguan hubungan antar anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktifitas kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik anggota keluarga. Beban Subyektif, yaitu beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, cemas dan malu dalam situasi sosial, koping stress terhadap gangguan prilaku dan frustrasi yang disebabkan karena perubahan hubungan. Laporan WHO (2008), dikatakan bahwa anggota keluarga merupakan pihak utama yang menanggung beban fisik, emosional dan finansial karena adanya salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Ketidakmampuan keluarga dalam menanggung beban ini mengakibatkan rendahnya motivasi keluarga dalam memberikan perawatan klien dengan defisit perawatan diri.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dukungan sosial ini adalah dengan membentuk sebanyak-banyaknya kelompok pemerhati gangguan jiwa, pemberian pendidikan kesehatan jiwa dalam upaya menurunkan diskriminasi dan stigma yang ada, pemberian terapi spesialis psikoedukasi keluarga dalam mengatasi motivasi yang rendah keluarga dalam merawat anggota kelurga dengan defisit perawatan diri.
Ketersediaan pelayanan kesehatan dan finansial : sebagian besar klien termasuk keluarga dengan perekonomian yang rendah, dan tidak memiliki fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) untuk biaya perawatan dan pengobatan. Adanya program pemerintah terhadap jaminan kesehatan bagi masyarakat ini merupakan peluang yang baik dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa. Program pemerintah ini sebaiknya terus ada dan selalu disosialisasikan kepada masyarakat karena ada juga
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
168
masyarakat yang belum mengetahui akan program pemerintah ini. Masalah ini telah berhasil diatasi penulis dengan melakukan kerjasama dengan perangkat RT, RW dan kelurahan untuk memfasilitasi klien mendapatkan JAMKESMAS.
Hasil pengkajian kemampuan klien berupa keyakinan positif pada sebagian besar klien defisit perawatan diri, yaitu hanya sebagian kecil (38,9%) klien yang merasa yakin bisa sembuh. Penghargaan yang rendah dari lingkungan, kurang diberikan kesempatan dalam menyelesaikan masalah, dan stigma terhadap gangguan jiwa yang diderita, merupakan penyebab utama terhadap perasaan tidak mampu dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, rendahnya motivasi klien dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu penyebab ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah.
Terapi perilaku terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis skizofrenia untuk melakukan perawatan diri. Pada klien defisit perawatan diri dengan diagnosa medis skizofrenia efektifitas terapi perilaku ini semakin meningkat dengan perpaduan terapi kelompok suportif dan swa bantu.
Pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis retardasi
mental,
pemberian
terapi
perilaku
juga
efektif
untuk
meningkatkan kemampuan perawatan diri. Tetapi hasil akan terlihat lebih efektif bila pemberian terapi dipadukan dengan terapi suportif dan swa bantu. Ketidakikutsertaan seluruh klien retardasi mental dalam terapi kelompok suportif dan swa bantu membuat efektifitas pemberian terapi tidak bisa diukur dengan maksimal.
Sedangkan pada klien defisit perawatan diri khususnya dengan diagnosa medis demensia, pemberian terapi perilaku belum cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dalam hal perawatan diri. Sehingga perlu
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
169
diberikan terapi spesialis lain yaitu terapi keluarga untuk membantu klien memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
5.5 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri Hasil pelaksanaan terapi behaviour therapy, terapi suportif, terapi kelompok swa bantu dan terapi psikoedukasi keluarga pada klien defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang memberikan dampak yang efektif terhadap perubahan perilaku klien. Khususnya perubahan perilaku dalam kemampuan mengontrol perilaku negatif menjadi positif. Hasil tersebut tentunya tidak terlepas dari keterlibatan tim kesehatan, dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan kondisi klien.
5.5.1 Efektifitas Behaviour Theraphy pada Klien Defisit Perawatan Diri Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukan bahwa behavior therapy memberikan dampak yang lebih efektif dalam menurunkan respon klien khususnya di respon afektif dan sosial. Perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres (Stuart, 2009). Teori ini mendukung bahwa terapi perilaku lebih efektif untuk menurunkan defisit perawatan diri. Individu yang mendapat stresor akan berespon positif atau negatif tergantung analisis individu tersebut.
Terapi perilaku ini memberikan hasil yang efektif walaupun dengan karakteristik klien yang bermacam-macam. Menurut Stuart, (2009) terapi perilaku ini berfokus pada klien. Manusia adalah mahkluk yang unik dengan permasalahan yang berbeda serta dengan koping terhadap stressor yang berbeda pula, ada yang adaptif dan ada yang maladaptif. Koping yang adaptif ini dapat dipelajari dan terapi perilaku mengacu hal tersebut, sehingga terapi
perilaku dapat dilaksanakan dengan beberapa macam
karakteristik yang ada, walaupun dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
170
Sejumlah 18 orang klien yang mengalami defisit perawatan diri, 9 orang dengan diagnosa medis skizofrenia, 4 orang dengan diagnosa medis demensia dan 5 orang klien dengan diagnosa medis retardasi mental. Hanya 13 orang klien (72,2%) yang diberikan terapi perilaku token ekonomi. Klien yang diberikan terapi perilaku adalah 9 orang klien (50%) dengan diagnosa skizofrenia dan 4 orang klien (22,2%) dengan diagnosa retardasi mental. Klien dengan demensia, tidak satupun yang diberikan terapi perilaku. Pertimbangan yang mendasari tidak diberikannya terapi perilaku pada 1 orang klien dengan diagnosa retardasi mental adalah klien tersebut tidak mampu berkomunikasi dua arah maupun satu arah. Tidak memiliki kemampuan berbicara, mendengar, membaca maupun menulis. Sehingga hal ini sangat menyulitkan penulis untuk memberikan terapi perilaku. Meskipun dengan memodifikasi pelaksanaan terapi perilaku, penulis tetap mengalami kesulitan untuk memberikan terapi perilaku klien. Sedangkan pada 4 orang klien (22,2%) retardasi mental lainnya diberikan terapi perilaku karena keempat klien tersebut, meskipun tidak mampu membaca dan menulis, dan mengalami keterlambatan tumbuh kembang, namun klien masih mampu latih sehingga dengan memodifikasi pelaksanaan terapi, penulis dapat memberikan terapi perilaku pada keempat klien tersebut.
Pertimbangan tidak diberikannya terapi perilaku pada 4 orang klien (22,2%) dengan demensia adalah klien tersebut memiliki usia di atas 55 tahun dan mengalami gangguan orientasi realita waktu, tempat dan orang. Klien tidak mampu mengingat dengan baik, tidak mampu mengenal orang lain bahkan anggota keluarganya sekalipun tidak mampu diingat, tidak mengenal waktu dan tempat. Keempat orang klien tersebut mengalami keterbatasan fisik. Semua kegiatan pemenuhan aktifitasnya dibantu dan tergantung pada keluarga, klien tidak mampu untuk diberikan informasi dan diubah secara kognitif, afektif maupun psikomotornya. Sehingga penulis memutuskan untuk tidak memberikan terapi perilaku kepada klien
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
171
demensia. Untuk memberikan bantuan kepada klien penulis memberikan terapi psikoedukasi keluarga.
Terapi perilaku diberikan kepada 9 orang klien (50%) dengan skizofrenia. Hal ini didukung oleh penelitian Fauziah (2010) yang menyatakan bahwa klien yang mendapatkan terapi antipsikotik masih dapat berpikir rasional dan dapat dilatih dalam memecahkan masalah. Terapi perilaku dapat dilakukan pada klien dengan kondisi akut atau klien skizofrenia dengan defisit perawatan diri yang diberikan obat antipsikosis. Evaluasi respon terhadap stressor klien juga didukung oleh penelitian Parendrawati (2008), dalam penelitian tersebut membuktikan bahwa terapi perilaku lebih bermakna dalam meningkatkan kemampuan klien defisit perawatan diri. Kemampuan merawat diri pada klien defisit perawatan diri yang mengikuti terapi perilaku meningkat atau lebih efektif dibandingkan dengan klien yang tidak mengikuti terapi perilaku. Perilaku klien defisit perawatan diri dari maladaptif tidak mampu merawat diri menjadi adaptif dan mampu merawat diri.
Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukan bahwa terapi perilaku ini memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap stressor klien dengan defisit perawatan diri pada aspek afektif dan sosial. Pada respon afektif
yaitu mengurangi rasa sedih dengan Behaviour
Theraphy (100%). Pada respon sosial yaitu menurunkan respon ketidaktertarikan klien untuk berinteraksi sosial, dan hasilnya dengan Behaviour Theraphy (100%), klien mampu berinteraksi sosial.
Pemberian terapi perilaku ini selain meningkatkan respon terhadap stressor juga meningkatkan kemampuan klien defisit perawatan diri untuk melakukan perawatan diri. Melalui pemberian Behaviour Theraphy keyakinan positif klien mencapai angka maksimal (100%).
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
172
5.5.2 Efektifitas Kombinasi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy serta Kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy Klien Defisit Perawatan Diri
Kombinasi terapi perilaku dengan supportive theraphy dan self help group menunjukan hasil yang lebih efektif mengubah perilaku klien defisit perawatan diri. Hal ini terbukti dengan efektifitas terapi tersebut dalam pencapaian respon perilaku, fisiologis, afektif, sosial dan kognitif. Karena selain perilakunya direstrukturisasi oleh terapi perilaku, klien juga disadarkan akan permasalahan yang dialaminya dengan supportive theraphy. Klien dalam kelompok disadarkan tentang perilakunya yang tidak benar yang menyebabkan klien mengalami defisit perawatan diri. Hasil pengkajian pada klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 menunjukan bahwa banyak klien yang merasa dirinya tidak mengalami masalah dan merasa tidak yakin akan sembuh yaitu 61,1%. Kondisi ini juga dapat dijelaskan oleh teori Self Care Orem yang mengasumsikan bahwa setiap orang bisa melakukan atau mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa bantuan. Bantuan hanya akan diberikan ketika klien tidak mampu menggunakan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Setelah diberikan tindakan keperawatan spesialis untuk meningkatkan kemampuan, maka klien dengan masalah defisit perawatan diri mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
Apabila pada pemberian terapi perilaku peningkatan respon terhadap stressor hanya maksimal pada aspek afektif dan sosial, maka pada pemberian terapi secara kombinasi ini peningkatan respon terhadap stressor bisa terjadi pada kelima aspek secara maksimal. Dengan adanya kombinasi terapi ini sangat tepat dilakukan dan hasilnya juga menunjukan hasil yang lebih efektif dalam menurunkan respon negatif defisit perawatan diri baik respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial.
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
173
Kombinasi terapi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy diberikan kepada 3 orang klien (16,7%). Klien tersebut, 2 orang klien (66,7%) dengan diagnosa medis skizofrenia dan 1 orang klien (33,3%) dengan diagnosa medis retardasi mental. Hasil yang dicapai bahwa, klien menunjukkan peningkatan dalam hal respon terhadap stressor pada lima aspek yaitu kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial sebesar 100%. Kemampuan dalam melaksanakan perawatan diri meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting meningkat 100% dan keyakinan positif klien berupa keyakinan untuk sembuh, keyakinan terhadap tenaga dan pelayanan kesehatan meningkat 100%.
Kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy diberikan kepada 4 orang klien (22,2%). Klien tersebut, 3 orang klien (75%) dengan diagnosa medis skizofrenia dan 1 orang klien (25%) dengan diagnosa medis retardasi mental. Hasil kombinasi terapi ini menunjukkan peningkatan respon terhadap stressor pada lima aspek yaitu kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial secara maksimal yaitu 100%. Peningkatan kemampuan dalam hal memenuhi kebutuhan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan minum dan toileting sebesar 100% serta peningkatan keyakinan terhadap kesembuhan, tenaga dan pelayanan kesehatan juga mencapai angka maksimal yaitu 100%.
Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan bahwa dengan pemberian terapi Behaviour Theraphy pada 13 orang klien, hasil yang didapatkan bervariasi. Sebanyak 6 orang klien (46,1%) bisa mencapai hasil yang maksimal untuk meningkatkan respon terhadap stressor dan meningkatkan kemampuan klien dalam hal perawatan diri. Tiga orang klien (23,1%) harus mendapatkan terapi kombinasi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy, untuk meningkatkan respon terhadap stressor dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Sedangkan 4 orang klien (30,8%) setelah mendapatkan paket terapi kombinasi Behaviour Theraphy, Supportif
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
174
Theraphy dan Self Help Group Theraphy baru bisa meningkatkan respon terhadap stressor dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri. 5.5.3 Efektifitas Family Psycoeducation Theraphy untuk Merawat Klien Defisit Perawatan Diri
Family Psycoeducation Theraphy atau terapi psikoedukasi keluarga diberikan kepada seluruh keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, yaitu sebanyak 18 keluarga (100%). Sebelumnya, seluruh keluarga juga sudah diberikan terapi generalis defisit perawatan diri untuk merawat anggota keluarga. Terapi spesialis psikoedukasi keluarga merupakan terapi lanjut dari terapi generalis yang mengukur aspek kognitif, afektif dan psikomotor keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Hasil yang didapatkan adalah 100% keluarga memiliki kemampuan dalam melaksanakan 5 tugas perkembangan keluarga yang meliputi mengenal masalah defisit perawatan diri, mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk perawatan anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Kemampuan yang dimiliki keluarga dari hasil pemberian terapi psikoedukasi keluarga ini adalah keluarga memiliki kemampuan mengenal permasalahan yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga mampu memanajemen stress akibat merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, keluarga mampu memanajemen beban keluarga akibat merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan keluarga
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
175
mampu memberdayakan masyarakat untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
5.5.4
Efektifitas Kombinasi Family Psycoeducation Theraphy dan Supportif Theraphy serta Kombinasi Family Psycoeducation Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy untuk Merawat Klien Defisit Perawatan Diri
Family Psycoeducation Theraphy atau terapi psikoedukasi keluarga sebenarnya sudah cukup efektif untuk membantu keluarga mengatasi masalah defisit perawatan diri pada anggota keluarga. Tetapi kombinasi terapi ini diberikan secara kelompok sehingga selain mengukur peningkatan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarag dengan masalah defisit perawatan diri juga mengukur kemampuan kelompok dalam membantu merawat klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri.
Hasil pelaksanaan kombinasi terapi ini adalah 100% keluarga memiliki kemampuan dalam melaksanakan 5 tugas perkembangan keluarga yang meliputi mengenal masalah defisit perawatan diri, mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, memodifikasi lingkungan yang mendukung untuk perawatan anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Kemampuan keluarga dari hasil pemberian kombinasi terapi ini mencapai peningkatan maksimal yaitu 100%. Kemampuan tersebut adalah kemampuan keluarga mengenal permasalahan yang dihadapi dalam merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, kemampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah defisit
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
176
perawatan diri, kemampuan keluarga memanajemen stress akibat merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri, kemampuan keluarga memanajemen beban keluarga akibat merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri dan kemampuan keluarga memberdayakan masyarakat untuk merawat anggota keluarga dengan masalah defisit perawatan diri.
Sedangkan
kemampuan
yang
dimilikikelompok
daripelaksanaan
kombinasi terapi ini mencapai angka maksimal 100%. Kemampuan tersebut adalah kemampuan memberikan motivasi atau dukungan kepada klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri, kemampuan melakukan cara perawatan diri dan kemampuan memberikan bantuan terhadap klien gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri
Universitas Indonesia Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dibahas simpulan dari penyusunan Karya Ilmiah Akhir dan saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa komunitas. 6.1 Simpulan Karya Ilmiah Akhir ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus spesialis pada klien dengan defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang. Simpulan dari kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah sebagai berikut : Karakteristik klien dengan masalah defisit perawatan diri di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang mayoritas berusia dewasa (21-40) yaitu sebesar 55,6% atau 10 orang klien, rata-rata klien berpendidikan dasar yaitu sebanyak 6 orang klien (33,33%), belum menikah (61,1%) atau sebanyak 11 orang klien dan sebagian besar tidak memiliki pekerjaan 61,1% atau sebanyak 11 orang klien.
Stressor predisposisi penyebab defisit perawatan diri yang paling banyak ditemukan adalah pada aspek biologis yaitu genetik (44,4%), pada aspek psikologis yaitu permasalahan komunikasi verbal atau tidak mampu mengungkapkan keinginan (100%) dan pada aspek sosio kultural yaitu karena masalah perekonomian yang rendah (83,3%). Stressor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien defisit perawatan diri yaitu pada aspek biologis karena putus obat (55,6%), pada aspek psikologis yaitu pengalaman yang tidak menyenangkan (77,8%), pada aspek sosio kultural yaitu karena masalah perekonomian keluarga (88,9%), dengan jumlah stresor lebih dari 3 stresor (88,9%).
Diagnosa medis yang paling banyak ditemukan adalah skizofrenia paranoid (55,6%), sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai diagnosa defisit perawatan diri yaitu isolasi sosial (83,3%), resiko perilaku kekerasan (72,2%) dan halusinasi (55,6%). Terapi spesialis keperawatan jiwa yang dilakukan di
177
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
178
RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang yaitu terapi perilaku (behaviour theraphy), terapi suportif (supportif theraphy), terapi kelompok Swa Bantu (self help group) dan terapi psikoedukasi keluarga (family psicoeducationy). Klien dengan defisit perawatan diri yang mendapatkan terapi spesialis menunjukkan perubahan perilaku, ini terlihat dari perubahan respon terhadap stressor yang dialami oleh klien.
Terapi spesialis keperawatan jiwa dengan defisit perawatan diri tidak berfokus pada satu terapi saja melainkan merupakan gabungan dari beberapa terapi sesuai dengan kebutuhan klien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan klien juga merupakan kombinasi dari macam-macam terapi modalitas yaitu dari terapi keperawatan, psikofarmaka dari medik dan lainnya.
Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukkan bahwa paket terapi yang memberikan efek khususnya untuk lebih mengurangi respon terhadap stressor pada klien dengan defisit perawatan diri dan meningkatkan kemampuan klien untuk merawat diri adalah Behaviour Theraphy (100%), Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy (100%) serta Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group (100%). Dari ketiga paket terapi tersebut, paket terapi ketiga terbukti paling efektif untuk mengatasi masalah klien defisit perawatan diri, yaitu Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Sedangkan terapi untuk keluarga, terapi yang efektif untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien defisit perawatan diri adalah pemberian terapi Family Psycoeducation, Family Psycoeducation dan Supportif Theraphy serta Family Psycoeducation, Supportif Theraphy dan Self Help Group. Dari ketiga paket terapi yang diberikan pada keluarga tersebut, terapi yang terbukti paling efektif untuk meningkatkan kemampuan keluarga adalah pemberian paket terapi yang ketiga, yaitu Family Psycoeducation, Supportif Theraphy dan Self Help Group.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
179
6.2 Saran Berdasarkan simpulan hasil Karya Ilmiah Akhir, ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di RW 02 dan RW 12 Kelurahan Baranang Siang.
6.2.1 Departemen Kesehatan 6.2.1.1 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan jiwa spesialistik bagi klien di tatanan komunitas. 6.2.1.2 Menetapkan
dan
mengatur
kebijakan
terkait
dengan
pelaksanaan fungsi rujukan klien gangguan jiwa, khususnya klien yang memerlukan pengobatan dari puskesmas ataupun perawatan di rumah sakit.
6.2.2 Dinas Kesehatan Kota Bogor 6.2.2.1 Bekerja sama dengan Mahasiswa Spesialis Keperawatan Jiwa dalam melatih perawat puskesmas sebagai perawat CMHN yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan jiwa di wilayah kerja masing-masing. 6.2.2.2 Memfasilitasi jalannya program Community Mental Health Nursing dengan instansi lain seperti Dinas Pendidikan dan Puskesmas. 6.2.2.3 Mengembangkan program CMHN di wilayah lain seperti Bogor Utara, Bogor Selatan dan Tanah Sereal. 6.2.2.4 Memfasilitasi pelaksanaan penelitian oleh mahasiswa S-2 Keperawatan
Jiwa
terhadap
terapi-terapi
spesialis
keperawatan jiwa di area komunitas.
6.2.3 Puskesmas Bogor Timur 6.2.3.1 Perawat CMHN tidak harus melakukan terapi spesialis tetapi memonitor perkembangan perilaku klien yang telah dilatih. 6.2.3.2 Memberikan informasi dasar kepada Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) tentang tanda-tanda perilaku menyimpang pada klien
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
180
sehingga dapat menginformasikan kepada perawat CMHN di Puskesmas Bogor Timur dan bisa ditindaklanjuti. 6.2.3.3 SHG klien yang telah terbentuk, didampingi oleh Kader Kesehatan Jiwa (KKJ) dalam hal pelaksanaannya, hendaknya disupervisi secara berkala oleh perawat CMHN.
6.2.4 Program Spesialis Keperawatan Jiwa 6.2.4.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk praktik mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi keperawatan spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah keperawatan risiko defisit perawatan diri. 6.2.4.2 Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis melalui program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan jiwa spesialis. 6.2.4.3 Hasil temuan pada Karya Ilmiah Akhir ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan terapi sehingga menjadi modalitas terapi keperawatan jiwa yang efektif dalam mencegah timbulnya masalah kesehatan jiwa dan meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat.
6.2.5 Riset Keperawatan 6.2.5.1 Perlunya
dikembangkan
penelitian
tentang
efektifitas
beberapa paket terapi spesialis pada klien dengan defisit perawatan diri. 6.2.5.2 Perlunya pengembangan penelitian untuk menguji efektifitas terapi dengan komparasi berbagai karakteristik klien.
Universitas Indonesia
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
American Nurses Association. (2000). Scope and Standard of Psychiatric Mental Health Nursing Practice. Whasington, D.C: American Nurses Association. American Psychological Association. (2001). Publication Manual of the American Psychological Association. (5th ed.). Washington, DC: American Psychological Association. Anonim. (2008). Self Help Group. http://www.minddisorder.com.diperoleh tanggal 27 Mei 2012 Badudu, J.S. & Zain, S. (1995). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Bastaman, T. K. (2010). Kasus Gangguan Jiwa Ringan Semakin Meningkat. http : //www.duniapustaka.org/. diperoleh pada tanggal 27 Mei 2012. Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA: Lippincott Raven Publisher ______________________. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA: Lippincott Raven Publisher Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse Patient Journey. (2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders Company. Chien, W.T. ; Chan, S.W.C. & Thompson, D.R. (2006). Effects of a Mutual Support Group for Families of Chinesse People with Schizopheria : 18Months Follow Up. http : //bjp.repsych.org. Diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Citron, et.all. (1999). Self Help Groups for Families of Persons with Mental Illness: Perceived Benefits of Helpfulness. http://www.proquest.com. diperoleh tanggal 30 Januari 2008 Corey, G. (2003). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf, diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Dinkes Kota Bogor. (2010). Profil Puskesmas Bogor Timur. Bogor
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Friedman, M. M., 2003. Family Nursing: Research, Theori & Practice. (5 Connecticut: Appleton & Lange.
nd
ed).
Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Canada: Thompson corporation Gillies, D.A. (1994). Nursing Management : A System Approach. (3rd ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta : FKUI Herdman, T. (2012). Nursing Diagnosis : Definition & Classification 2012–2014. Indianapolis: Willey – Balckwell. Hunt. (2004). A Resource Kit for Self Help/Support Group for People Affected by An Eating Disorder. Isaacs, A. (2005). Lippincott’s Review Series : Mental Health and Psychiatric Nursing (3 rd ed). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Kaplan , H.I. ; Saddock, B.J. & . Grebb,J.A. (1997). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th ed.). Jakarta : Bina Rupa Aksara. Jakarta ________________. (2007). Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara. Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor. Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak dipublikasikan Keliat, B.A. & Akemat. (2007). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Keliat, B.A., Akemat, Susanti, H. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC _____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC _____________________________. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
_____________________________. (2011). Manajemen Keperawatan Psikososial & Kader Kesehatan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran : EGC Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga Universitas Press. Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta Mohr, W. K. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Potter, P.A. & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing : Concepts, Process and Practice. Philadelphia : Mosby Year Book Inc. Parendrawati, D.,P. (2008). Pengaruh Terapi Token Ekonomi pada Klien Defisit Perawatan Diri di RSMM Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Rawlin, William & Beck. (1998) Mental Health Psychiatric Nursing a Holistic Life Cycle Approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc Shives, L.R. (1998). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (4 th ed), Philadelphia : Lippincott. __________. (2005). Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing. (6th ed).Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins Smith & Segal. (2011). Coping with Grief and Loss. Support fot Grieving and Breavement. http://www.helpguide.org/mental/grief_loss.htm. Diperoleh tanggal 27 Mei 2012. Stuart, G.W & Sundeen. (1995). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (5th edition). St. Louis : Mosby Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7th edition). St Louis : Mosby Stuart, G.W (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (9th edition). St Louis : Mosby Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar keperawatan Kesehatan Jiwa. Cetakan I. EGC. Jakarta. Tomey, M.A (2001). Nursing Theories and Their Work. The C.V. Mosby Company St.Louis : Mosby Years Book Inc.
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc. Townsend, C.M. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Universitas Indonesia. 2008. Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Universitas Indonesia. Jakarta: UI Utami, T.W. (2008). Pengaruh Self Help Group terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kelurahan Sindang Barang Bogor, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Varcarolis, E.M. (2003), Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and Diagnosis . Philadelphia: W.B Saunders Co Varcarolis, E.M, Carson, V. B, Shoemaker, N. C. (2006). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing: a Clinical Approach. (5th ed). St. Louis: Saunders Elseviers. Videbeck, S.,L. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins. ______________. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC. Wilkinson, J.M. (2005). Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook with Nic Intervention and Noc Outcomes. (8th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall. _____________. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Alih bahasa: Widyawati, dkk. Jakarta: EGC WHO. (2001). The World Health Report 2001. World Health Organization _____. (2006). The Lancet. London : Elseiver Properties SA. Publication Data. _____. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO Library Catalouging-in_____. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/entity/. diperoleh tanggal 27 Mei 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012
Manajamen kasus..., Dwi Heppy Rochmawati, FIK UI, 2012