UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS PENGELOLAAN RISIKO DAN PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH ANTARA BANK SYARIAH X DAN PT. Z PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN PENGADILAN AGAMA (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
SKRIPSI
NAFILA RAHMAWATI 0806461663
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS PENGELOLAAN RISIKO DAN PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH ANTARA BANK SYARIAH X DAN PT. Z PADA BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL DAN PENGADILAN AGAMA (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
NAFILA RAHMAWATI 0806461663
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JULI 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi salah satu syarat untuk mencapai gelar ini dilakukan dalam rangka memenuhi
Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di dalam karya tulis ini dibahas mengenai pengelolaan risiko dalam pembiayaan murabahah serta penyelesaian sengketa wanprestasi dalam pembiayaan murabahah pada Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama dengan melakukan analisis terhadap putusan Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kedua orang tua penulis di Jombang, Ibu Dwi Retnowati dan Ayah Syamsul Hidayat, beserta kedua adik penulis, Hanifa Rahmawati dan Hafid Filial Akbar. Terima kasih kepada Ayah dan Ibu yang telah selalu mendoakan, membimbing dan mendukung penulis, tidak hanya dalam rangka penulisan skripsi ini namun juga dalam seluruh fase kehidupan. Terima kasih kepada seluruh keluarga atas semua binaan, nasihat, ridho, dan kekuatan yang diajarkan selama ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai simbol terima kasih kepada keluarga, semoga ke depannya penulis dapat selalu berbakti kepada orang tua dan keluarga;
2.
telah Dr. Yeni Salma Barlinti S.H., M.H, sebagai pembimbing skripsi yang
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi. Mba Yeni tidak hanya berperan sebagai pembimbing, namun juga teman untuk berbagi kendala yang dihadapi penulis dalam penyelesaian skripsi. Semoga Mba Yeni tidak jera mengahadapi mahasiswa bimbingan seperti penulis yang sering merepotkan beliau; 3.
Divisi Hukum Bank BNI Syariah, terutama Ibu Bayi‟ Rohayati selaku General Manager Divisi Hukum, Kepatuhan dan Kesekretariatan BNI Syariah serta Saudari Ita Munir Rahmawati, selaku Yurist pada Divisi
v Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Hukum, Kepatuhan dan Kesekretariatan BNI Syariah yang telah membantu penulis dalam memperoleh sebagian data yang diperlukan penulis sebagai
rujukan penulisan skripsi; 4.
sebagai pembimbing akademik penulis Brian Amy Prastyo. S.H., M.L.I.,
selama masa kuliah penulis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Terima kasih atas segala pengarahan yang diberikan selama masa perkuliahan; 5.
Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala ilmu pengetahuan, pengalaman serta pelajaran hidup yang telah disampaikan. Semoga segala pengabdian Bapak dan Ibu menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT;
6.
Biro Admistrasi dan Biro Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Reguler, antara lain Pak Selam dan Pak Djon (penjaga PK IV) dan pihak lain yang telah sangat membantu kelancaran proses administrasi selama masa studi dan pengurusan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
7.
Keluarga besar di Surabaya Mbah Mulyati, Mbah Kaserin, Bude Rintis Purwati, Tante Hefi Rudiarti, Oom Ahmad Nasrudin, dan Nabila Syaiba Rahmaniar yang telah mendukung dan memberikan banyak pelajaran hidup kepada penulis;
8.
Keluarga Bapak Umam Syaifudin, Ibu Susanah, Safira Dwi Anggraeni serta Aldy Reza Pambudi yang selama tujuh tahun terakhir telah menemani, mendukung, mendoakan dan belajar dewasa bersama. Terima kasih telah menjadi pemacu semangat dan motivasi penulis untuk selalu menjadi lebih
baik. Semoga Allah SWT selalu meridhoi dan meng-ijabah do‟a kita; 9.
Sahabat-sahabat penulis, Januarita Eki Puspitasari (Jep) terima kasih untuk selalu mengingatkan tentang perjuangan, serta untuk segala inspirasi dan pengalaman hidup yang dibagi. Untuk Shinta Octavia (Pao-pao) terima kasih atas segala ketulusan hati dan keramahan selama ini, semoga tetap menjadi anak Jakarta yang polos dan lugu. Untuk David Irmantius (Pakde) yang telah menjadi penghibur dan pembuat onar dengan bahan pembicaraan tentang kedewasaan. Juga untuk Devis Dersi Anugrah yang selalu membuat
vi Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
ABSTRAK
Nama NPM Program Studi Judul
: : : :
Nafila Rahmawati 0806461663 Ilmu Hukum (Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi) Tinjauan Yuridis Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Pembiayaan Murabahah Antara Bank Syariah X dan PT. Z Pada Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama (Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
Praktek dual banking system di Indonesia semakin menjamur sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an. Perkembangan ini diikuti dengan tumbuhnya layanan perbankan dengan sistem konvensional dan syariah, antara lain dalam bentuk layanan pembiayaan konsumtif dan produktif dengan sistem murabahah (jual beli dengan margin yang disepakati). Hal yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini adalah praktek pembiayaan murabahah terkait pengelolaan risiko dan prudential banking pada Bank Syariah X yang diterapkan pada PT. Z, selain itu peneliti juga mengangkat masalah mengenai komparasi kesesuaian putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP dengan peraturan terkait Perbankan Syariah dan hukum Islam. Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan teknik analisis data melalui pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini penulis menganalisa praktek pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z, serta membandingkan penyelesaian sengketa pada Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Pengadilan Agama dengan. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat penyimpangan atas hukum Islam serta prinsip prudential banking yang dilakukan oleh Bank Syariah X. Di samping itu, terdapat pula penyimpangan atas hukum Islam dan asas keadilan dalam putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP.
Kata Kunci:
Pembiayaan Murabahah, Pengelolaan Risiko, Prudential Banking, Penyelesaian Sengketa Wanprestasi, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Pengadilan Agama.
ix Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
ABSTRACT Name NPM Major Subject Title
: : : :
Nafila Rahmawati 0806461663 Law (Economic of Law) Judicial Review of Risk Management and Dispute Resolution of Default in Murabahah Funding Between Bank Syariah X and PT. Z at Badan Arbitrase Syariah Nasional and Religious Court (Analysis on a Verdict of Religious Court Number 729/Pdt.G/2009/PA.JP)
Since economic crisis in the last 1990, dual banking system practice has grown bigger in Indonesia. This growth is shown by the amount existence of banks that provide service using both conventional system and Islamic system, like consumptive and productive funding services using murabahah system (a trading system using the negotiated margin). As the subject matter in this study are the implementation of murabahah funding related to risk management and prudential Banking of Bank Syariah X which is applied to PT Z, besides that the writer also examine the suitability of Pengadilan Agama Verdict No.729/Pdt.G/2009/PA.JP to the Law related in shariah Banking and Islamic Law. The study is done descriptively by using data analysis in qualitative approach. In this study, the writer analyzes the implementation of murabahah funding between Bank Syarih X and PT Z, the writer also compare the dispute settlement in National Department of Islamic Arbitration (Basyarnas) and Religious Court to positive and Islamic Law. The writer finally concludes that there are some misappropriations of the Islamic shariah and prudential banking principal done by Bank Syariah X. In addition, it is also found that there is inconsistency on Verdict of Pengadilan Agama Number 729/Pdt.G/2009/PA.JP with Islamic shariah and principle of justice.
Keywords:
Murabahah funding, risk management, prudential banking, Dispute Resolution of Default, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Religious Court.
x Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................ iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ................................ vii ABSTRAK .................................................................................................. viii ABTRACT ................................................................................................. ix DAFTAR ISI .............................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv BAB I
PENDAHULUAN ............................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ....................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 7 1.4 Definisi Operasional ....................................................... 8 1.5 Metode Penelitian ........................................................... 12 1.6 Sistematika Penulisan....................................................... 13
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBIAYAAN MURABAHAH, RISIKO, PENGELOLAAN RISIKO, FORCE MAJEURE SERTA WANPRESTASI ................................................... 16 2.1 Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah ......................... 16 2.1.1 Definisi Pembiayaan Murabahah ..................... 16 2.1.2 Landasan Hukum dan Syariah Pelaksanaan Murabahah di Indonesia .................................. 18 2.1.3 Ketentuan Umum dan Syarat Murabahah ........ 19 2.1.4 Pembebanan Biaya .......................................... 21 2.1.5 Murabahah dengan Pesanan ............................ 23 2.1.6 Pembayaran Dalam Murabahah ....................... 24 2.1.7 Pola Arus Kas Murabahah ............................... 25 2.1.8 Garis Besar Praktik Pembiayaan Murabahah Oleh Perbankan Syariah Di Indonesia .............. 29 2.2 Konsep Dasar Risiko dan Pengelolaan Risiko ............... 30 2.2.1 Definisi Risiko ................................................ 30 2.2.2 Definisi Pengelolaan Risiko ............................ 32 2.2.3 Karakteristik Manajemen Risiko Dalam Bank Islam ...................................................... 33 2.2.4 Proses Manajemen Risiko ............................... 36 2.2.5 Jenis-Jenis Risiko ............................................ 37 2.2.6 Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah ........... 47 2.3 Konsep Dasar Wanprestasi dan Force Majeure ............. 50 2.3.1 Definisi Wanpretasi ......................................... 50
xi Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5 2.3.6 2.3.7
Akibat Wanprestasi ......................................... 51 Wanprestasi Dari Pihak Kreditur ..................... 52 Definisi Force Majeure .................................... 53 Klasifikasi Force Majeure ............................... 54 Pengaturan Force Majeure Terkait Kontrak Jual Beli dalam KUH Perdata .......................... 56 Syarat-syarat Force Majeure dalam KUH Perdata ....................................... 57
BAB III
ASPEK HUKUM KONTRAK, PRUDENTIAL BANKING SERTA PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH ................................................................... 58 3.1 Hukum Kontrak dan Perjanjian Dalam Pembiayaan Murabahah ................................................................... 58 3.1.1 Perikatan Menurut KUH Perdata ..................... 59 3.1.2 Perikatan Menurut Hukum Syariah Islam ........ 63 3.1.3 Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata dan Hukum Islam dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah .................................. 72 3.1.4 Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak ............. 74 3.2 Aspek Prudential Banking Terkait Pembiayaan Murabahah ............................................... 80 3.2.1 Analisis Pembiayaan ....................................... 85 3.2.2 Penetapan Batas Maksimum Pemberian Kredit .............................................................. 87 3.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................... 88 3.2.4 Modal Minimum Bank ................................... 88 3.2.5 Kualitas Aktiva Produktif ................................ 89 3.2.6 Posisi Devisa Neto .......................................... 90 3.2.7 Giro Wajib Minimum ...................................... 90 3.2.8 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tiap Tahun ................. 91 3.3 Pilihan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Murabah ... 91 3.3.1 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Agama .......................................... 94 3.3.2 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Negeri ........................................... 96 3.3.4 Badan Arbitrase Syariah Nasional ................... 97
BAB IV
STUDI KASUS PERMASALAHAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK SYARIAH X DENGAN PT Z PADA BASYARNAS DAN PENGADILAN AGAMA .................. 101 4.1 Pelaksanaan Program Pembiayaan Investasi Dengan Menggunakan Skema Murabahah Pada Bank Syariah X terhadap PT Z ............................. 101 4.2 Metode Pembuatan Akad Murabahah Antara
xii Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
4.3 4.4 BAB V
Bank Syariah X dan PT Z Berkaitan dengan Pengelolaan Risiko Pembiayaan ................................... 111 Kasus Posisi ................................................................. 114 Analisa Kasus .............................................................. 116
PENUTUP ........................................................................ 125 5.1 Kesimpulan ..................................................................... 125 5.2 Saran ............................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 129 LAMPIRAN ..............................................................................................
xiii Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampran 2 Lampiran 3
Putusan Pengadilan Agama Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP Contoh Akta Akad Pembiayaan Produktif Al-Murabahah Bank Syariah Contoh Cara Pengisian Akta Akad Pembiayaan Produktif AlMurabahah Bank Syariah
xiv Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Dunia perbankan telah tumbuh menjadi salah satu pendukung yang tangguh untuk keberlangsungan ekonomi suatu negara. Sejak awal periode 1970, gerakan Islam
di
tingkat
nasional
memasuki
bidang
perekonomian
dengan
diperkenalkannya sistem ekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya bukan hal yang baru dalam tradisi pemikiran intelektual Islam, terutama dalam tradisi para pemikir Islam Klasik yaitu masa kejayaan umat Islam. 1 Pertumbuhan sistem ekonomi Islam telah ditunjukkan dengan lahirnya lembaga keuangan yang menggunakan Prinsip Syariah Islam. Di antara lembaga tersebut terdapat Bank Syariah, Asuransi Syariah, dan Pasar Modal Syariah. 2 Bank Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam Islam. Kelahiran lembaga keuangan yang bebas bunga, terutama di negara–negara Muslim telah memberikan dimensi baru dalam bidang ekonomi. Secara umum bank Syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang kelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip–prinsip Islam. 3 Bank syariah telah membuktikan bahwa keunggulan yang dimilikinya mampu mengatasi dampak krisis perekonomian. Hal ini kemudian disikapi dengan banyaknya konversi perbankan konvensional menjadi perbankan syariah. Perbankan syariah mengusung ide bebas bunga atau bebas dari unsur riba dalam
1
Muslimin H Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII-Press. 2005), hlm. 44. 2
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media: 2005), hlm. 158. 3
Sudin Haron, Islamic Banking, Rules and Regulation, (Malaysia: Selangor Darul Ehsan, Pelanduk Publication, 1997), hlm. 5.
1 Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
2
memberikan pelayanan pada nasabahnya. Kajian bebas bunga ini juga merupakan konsep yang diajarkan kepada orang Yahudi, Yunani, Romawi serta Nasrani. Fenomena konversi perbankan konvensional menjadi perbankan syariah ini juga diikuti oleh dunia Perbankan di Indonesia.
Pengaturan tentang Bank Syariah di Indonesia sebelumnya telah diatur dalam Undang–undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang diuraikan secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat 13. Yang dimaksud dengan prinsip Syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dunia perbankan syariah Indonesia juga telah menyediakan banyak produk untuk melayani kebutuhan pembiayaan para nasabahnya dan pengguna jasa perbankan.
Produk-produk tersebut diselaraskan dengan prinsip-prinsip dasar
perbankan syariah yang bebas bunga pada akad dalam Islam. Beberapa prinsip dasar tersebut antara lain adalah (a) prinsip titipan atau simpanan (Depository / alWadi‟ah), (b) prinsip bagi hasil (profit sharing), prinsip jual beli (sale and purchase), (c) prinsip sewa (operational lease and financial lease), serta (d) prinsip jasa (fee-based service).4 Prinsip-prinsip tersebut merupakan bentuk kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah, dimana hal ini diatur di
dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Dari kegiatan usaha perbankan Syariah sebagaimana disebutkan di atas, salah satu yang sering digunakan dalam dunia perekonomian adalah kegiatan jual-beli. Ada banyak bentuk akad jual beli dalam Islam, akan tetapi dalam perbankan syariah hanya mengakomodasi tiga jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja
4
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani. 200), hlm. 83.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
3
dan investasi, yaitu murabahah, istishna‟ dan salam. Dari tiga produk tersebut penyaluran dana dengan prinsip murabahah adalah yang paling banyak dan
mencapai bilangan 70.4% dari jumlah total pembiayaan (Laporan Bank Syariah tahun 2007). Angka ini menunjukkan bahwa murabahah merupakan produk bank syariah yang potensial. Dominannya pembiayaan
murabahah terjadi karena
pembiayaan ini cenderung memiliki risiko yang lebih kecil dan lebih mengamankan bagi shareholder sehingga
menjadi bisnis yang populer pada 5
bank-bank Islam karena nyaris tanpa risiko. Dikatakan nyaris tanpa risiko karena kemungkinan Bank untuk menanggung kerugian dalam transaksi dan perjanjian murabahah lebih kecil dibandingkan kemungkinan menanggung kerugian dalam praktek mudharabah dan musyarakah yang murni berkonsep Profit and Loss Sharing.6 Murabahah merupakan suatu sistem jual-beli dalam suatu keadaan dimana pihak pembeli - karena satu dan lain hal – tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa mendapatkan barang tersebut. Dalam proses murabahah, Bank sebagai perantara dapat menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya. Besarnya angka yang menunjukkan minat pengguna jasa perbankan syariah terhadap produk murabahah, dapat dijadikan gambaran bagi pihak perbankan syariah untuk selalu melengkapi variabel yang berhubungan dengan implementasi murabahah. Penggunaan produk murabahah sendiri dalam perbankan syariah pada umumnya ditujukan untuk membiayai kebutuhan nasabah maupun pengguna jasa perbankan syariah non-nasabah. Murabahah atau Bai‟ al-Murabahah merupakan pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan
5
Kusmiyati, Asmi Nur Siwi. “Risiko Akad dalam Pembiayaan Murabahah Pada BMT di Yogyakarta: Dari Teori ke Terapan” Dalam Jurnal Ekonomi Islam La Riba (Vol. 1. No. 1. Juli 2007), hlm. 2 6
Profit and Loss Sharing merupakan sistem bagi hasil dimana Bank dan nasabah saling berbagi dan menanggung keuntungan maupun kerugian.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
4
atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.7 Di dalam akad murabahah terdapat suatu perikatan antara nasabah dan
Bank, dimana perikatan yang dimaksud adalah bentuk perikatan Islam. Substansi dari hukum perikatan Islam tentunya lebih luas dibandingkan dengan hukum perdata Barat, karena mencakup hubungan antara manusia dengan manusia serta hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah SWT). 8 Hukum Perikatan Islam juga mengandung proteksi yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan
kepada manusia, terhadap kelemahan sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling menguasai atau melampaui batas-batas hak orang lain. 9 Dengan adanya perikatan dalam pembiayaan dengan sistem murabahah maka timbul akibat hukum berupa hak dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam murabahah, yaitu pihak Bank dan nasabah yang bersangkutan. Lahirnya akibat hukum tersebut membuat Bank dan nasabah harus pandai memposisikan diri untuk melaksanakan hak dan kewajiban, karena setelah akad murabahah ditandatangani sebagai implikasi dari ijab qabul, maka nasabah dan bank terikat dalam akad yang mereka sepakati dan sekaligus tunduk kepada hukum positif dan hukum Islam. Adanya akibat hukum berupa hak dan kewajiban membuka kemungkinan lahirnya wanprestasi oleh para pihak. Bentuk wanprestasi misalnya default atau kelalaian dimana nasabah sengaja tidak membayar angsuran. Dari sisi Bank juga dimungkinkan terjadi wanprestasi, misalnya karena fluktuasi harga, sehingga harga barang naik setelah bank membelikan untuk nasabah, sehingga Bank menaikkan harga jual barang dimana harga tidak sesuai dengan harga pada kontrak. Dalam akad murabahah yang notabene merupakan akad perjanjian jual beli,
ada persyaratan atau rukun yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah baik secara hukum maupun dari segi syariah. Perjanjian jual beli pada dasarnya merupakan perjanjian tukar-menukar pada mana salah satu prestasinya terdiri dari
7
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Pasal 20 angka 6 Buku II tentang Akad. 8
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 4.
9
Ibid, hlm. 5.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
5
sejumlah uang dalam arti pembayaran yang sah. 10 Persyaratan perjanjian jual beli adalah sama dengan persyaratan perjanjian pada umumnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan dari para pihak, para pihak yang membuat perjanjian merupakan subjek hukum yang cakap
hukum, perjanjian tersebut mengenai suatu hal tertentu serta objek yang diperjanjikan merupakan suatu sebab yang halal. Sementara itu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), jual beli atau disebut dengan bai‟11 juga
didasarkan atas suatu perjanjian atau akad, dimana syarat dan rukun akad ditentukan dalam Pasal 22 KHES. Syarat dan rukun tersebut antara lain adalah adanya pihak-pihak yang berakad, adanya obyek akad, ada tujuan pokok akad, dan ada kesepakatan. Ketentuan tambahan agar suatu akad atau perjanjian sah secara Islam, diatur bahwa akad tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perUndang-Undangan, ketentuan umum dan/atau kesusilaan. 12 Dalam perjanjian jual beli dimungkinkan terjadinya wanprestasi oleh para pihak. Adanya kemungkinan wanprestasi ini merupakan risiko dalam perjanjian jual beli. Pasal 1460 KUH Perdata13 menentukan bahwa risiko atas suatu barang yang telah dibeli menjadi tanggungan si pembeli meskipun barang tersebut belum diserahkan pada pembeli. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pihak pembeli. Keadaan ini juga tidak sesuai dengan salah satu asas akad atau asas perjanjian dalam Islam, yaitu asas keadilan (al-„adalah). Dalam asas ini, para pihak dalam perikatan dituntut berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian dan semua kewajibannya. 14
10
Soerjopratiknjo, Hartono, Aneka Perjanjian Jual Beli. Cet. Ke-2, (Yogyakarta: PT. Mustika Wikasa: 1994), hlm. 69. 11
Bai‟ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang
12
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Pasal 26 Bab Ketiga Buku Kedua. 13
Pasal 1460 KUH Perdata berbunyi “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntur harganya. 14
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 34.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
6
Kemungkinan akan terjadinya wanprestasi serta risiko selama proses yang harus disadari oleh masing-masing pembiayaan berlangsung, merupakan hal
pihak. Untuk mengamankan transaksinya dari berbagai macam risiko dan wanprestasi, maka baik Bank maupun nasabah harus mempelajari klausul kontrak pembiayaan dan melakukan pengelolaan risiko. Problema hukum di atas harus diselesaikan sesuai kapasitas tanggung jawab masing-masing pihak dan didasarkan pada hukum Islam serta ketentuan hukum positif yang berlaku baik
dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, fatwa DSN MUI terkait, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta berbagai macam peraturan perUndang-Undangan mengenai jual beli murabahah. Telah banyak karya tulis yang membahas mengenai pembiayaan murabahah, termasuk juga yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 15 Dalam penulisan ini murabahah yang dibahas difokuskan pada segi pengelolaan segala jenis risiko, bentuk dan penerapan prinsip prudential banking pada institusi perbankan syariah, wanprestasi dan tanggung jawab para pihak terkait wanprestasi. Hal ini dikarenakan risiko, wanprestasi dan tanggung jawab para pihak dalam pembiayaan murabahah merupakan satu kesatuan. Dalam pembiayaan murabahah selalu terdapat risiko yang memungkinkan terjadinya wanprestasi. Dengan adanya risiko, maka diperlukan pengelolaan dan antisipasi risiko agar dapat menekan kerugian yang mungkin terjadi karena wanprestasi. Salah satu wujud dari antisipasi dan pengelolaan risiko bagi pihak perbankan adalah dengan menerapkan prinsip prudential banking. Namun dalam hal risiko sudah tidak dapat diantisipasi hingga terjadilah wanprestasi, maka diperlukan tanggung jawab dari para pihak. Berangkat dari pola pikir inilah dikatakan bahwa
risiko, prudential banking, wanprestasi dan tanggung jawab para pihak merupakan satu kesatuan.
15
Di antaranya adalah penulisan mengenai murabahah untuk pembiayaan KPR, jaminan dalam murabahah, maupun murabahah secara luas dan umum.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
7
1.2
Pokok Permasalahan
Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya wanprestasi sekaligus melakukan upaya pengelolaan terhadap risiko yang mungkin muncul dalam pembiayaan
murabahah pada bank syariah, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian kali ini:
1. Kemungkinan risiko apa saja yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh
Bank Syariah maupun oleh nasabah dalam praktek pembiayaan murabahah yang disediakan oleh Perbankan Syariah? 2. Bagaimana kesesuaian implementasi pengelolaan risiko dan pembiayaan murabahah yang dibiayai oleh Bank Syariah X atas proyek PT Z dibandingkan dengan hukum syariah Islam dan KUH Perdata? 3. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian murabahah terkait wanprestasi yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama?
1.3
Tujuan Penulisan Penulisan dengan tema mengenai tanggung jawab bank dan nasabah dalam
hal wanprestasi dan pengelolaan risiko pembiayaan murabahah pada Bank Syariah ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut: 1.
Untuk mengidentifikasi risiko wanprestasi yang mungkin terjadi dalam pembiayaan murabahah, baik dilakukan oleh pihak nasabah maupun pihak Bank sendiri, serta mempersiapkan antisipasi hukum terhadap kemungkinan risiko tersebut.
2.
Untuk memperdalam pemahaman tentang implementasi hukum kontrak dalam pembiayaan dengan menggunakan skema murabahah pada perjanjian pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dengan PT. Z.
3.
Untuk membandingkan penyelesaian sengketa perjanjian murabahah terkait wanprestasi yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama didasarkan pada ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
8
1.4
Definisi Operasional
Berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini, terdapat beberapa istilah yang membangun kerangka konsep dan kerangka pemikiran
penelitian ini, antara lain berkaitan dengan murabahah, risiko, wanprestasi serta
tanggung jawab dalam suatu perjanjian baik dari segi hukum Islam maupun hukum positif Indonesia. Demikian dijabarkan sebagai berikut:
a.
Murabahah
Murabahah merupakan suatu prinsip jual-beli dalam Islam, dimana jual beli dilakukan dengan adanya tambahan dari harga asal. 16 Fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah, pada bagian Menimbang, menyebutkan bahwa murabahah merupakan suatu bentuk jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan permohonan
kepada
Bank
Syariah
untuk
membeli
benda
yang
diperlukannya. Benda yang telah dibeli oleh Bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada kesepakatan di antara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah biasanya dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar secara tunai. Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang investasi dan pembiayaan persediaan sebagai modal kerja. 17 Dalam hal jual beli dilakukan atas barang yang tidak dimiliki oleh penjual,
maka sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesan pembelian (disebut dengan murabahah KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesan. 18 Menjual barang yang tidak dimiliki adalah
16
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 161.
17
Ibid.
18
Ibid., hlm 103
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
9
tindakan yang dilarang syariah karena termasuk bai‟ al-fudhuli. Para ulama syariah terdahulu telah memberikan alasan secara rinci mengenai pelarangan
tersebut. Akan tetapi, beberapa ulama syariah modern menunjukkan bahwa ini dimana “belum ada barang” berbeda konteks jual beli murabahah jenis
dengan “menjual tanpa kepemilikan barang”. Mereka berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Oleh karena itu, para ekonom dan ulama kontemporer menetapkan bahwa nasabah terikat hukumnya19.
Dalam pembiayaan murabahah juga terkandung beberapa ketentuan umum, antara lain tentang jaminan, berhutang dalam murabahah KPP, penundaan pembayaran oleh debitor mampu, dan aspek bangkrut. Jaminan pada dasarnya bukan merupakan syarat atau rukun yang harus dipenuhi dalam murabahah KPP, jaminan dalam hal ini dimaksudkan agar pemesan tidak main-main dengan pesanannya. Berhutang dalam murabahah KPP merupakan hutang yang harus segera dilunasi angsurannya kepada pihak Bank, tanpa melihat apakah nasabah melakukan tindakan hukum lain berupa menjual lagi barang pesanan kepada pihak ketiga. Hal ini karena transaksi penjualan kepada pihak ketiga merupakan akad yang benar-benar terpisah dari akad al-murabahah pertama dengan pihak bank. Dalam hal terjadi penundaan pembayaran piutang oleh debitor yang mampu, Bank dapat mengambil tindakan hukum dimana prosedur penyelesaian sengketa diatur lebih lanjut dalam peraturan perUndang-Undangan. Sementara jika debitor dinyatakan bangkrut, maka penagihan hutang harus ditunda hingga ia benarbenar mampu membayar.20
b.
Pembiayaan Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan
bahwa
pembiayaan adalah
penyediaan dan atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
19
Ibid, hlm. 104.
20
Ibid, hlm. 105-106.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
10
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna‟;
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan 5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
c.
Akad Pengertian akad menurut Buku 2 Pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau
pemindahan kepemilikan)
dan
qabul
(pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.21 Di dalam akad terdapat rukun dan syarat akad yang harus dipenuhi agar suatu akad dapat dinyatakan sebagai akad yang sah. Rukun akad terdiri atas: (1) pelaku akad, (2) objek akad, dan (3) shigah atau pernyataan pelaku akad
yang berupa ijab qabul. Sementara syarat akad terdiri atas: (1) syarat berlakunya akad yang terdiri atas syarat umum dan syarat khusus, dimana syarat umum adalah sama untuk semua akad dan syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah, (2) syarat sahnya akad, merupakan syarat yang diperlukan
21
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007),
hlm. 35.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
11
secara Syariah agar suatu akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat, (3) syarat terealisasikannya akad merupakan syarat tentang kepemilikan barang dan wilayah. Syarat barang dimiliki oleh pelaku dan berhak kepemilikan barang yaitu bahwa
menggunakannya. Sementara syarat selanjutnya (4) adalah syarat lazim yaitu bahwa akad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat. 22 Akad atau transaksi yang digunakan Bank Syariah dalam operasinya terutama
diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong
(tabarru‟).
Turunan dari tijarah adalah
perniagaan (al-bai‟) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. 23
d.
Risiko Risiko yang digunakan dalam bahasan penulisan mengenai murabahah ini adalah risiko dari segi hukum atau risiko yang muncul dalam hukum perjanjian sebagaimana dijelaskan oleh Subekti, yaitu kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. 24 Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa persoalan risiko berpokok pangkal pada terjadinya peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Peristiwa atau kejadian di luar kesalahan salah satu pihak ini dengan kata lain disebutkan oleh Subekti sebagai keadaan memaksa (overmacht atau force majeure). Sehingga risiko adalah termasuk juga force majeure yang terjadi.
e.
Wanprestasi Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa wanprestasi adalah suatu keadaan
dimana si berutang (debitur) tidak
22
Ibid, hlm. 35-37.
23
Ibid, hlm. 37.
24
Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. 19. (Jakarta: Intermasa. 2002), hlm. 59.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
12
melakukan apa yang dijanjikannya. Perkataan wanprestasi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi yang
merupakan kelalaian atau kealpaan seseorang dapat berupa empat macam,
yaitu: 25
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
f.
c.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Prudential Banking Prudential banking merupakan prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh perbankan melalui prudential principle guna memelihara tingkat kesehatan bank. Prudential principles dipositifikasi dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
1.5
Metode Penelitian Tipologi penelitian yang diaplikasikan terhadap pokok permasalahan di atas
adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala. 26 Dalam penelitian ini dibahas definisi risiko dan mekanisme pengelolaan risiko secara hukum. Peneliti juga melakukan studi mengenai tanggung jawab
25
Subekti. Op cit. Hlm: 45
26
Mamudji, Sri. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005), hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
13
Bank Syariah dan nasabah terkait wanprestasi, terutama dari aspek kapasitas dan itu akan dipaparkan pula mengenai mekanisme tanggung jawab. Selain
implementasi hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. 27. Data sekunder berasal dari buku, diktat, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, majalah
maupun internet dan produk perUndang-Undangan terkait dengan pembiayaan murabahah. Teknik analisis data yang akan digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan analisa pada berbagai jenis data yang terkumpul antara lain studi dokumen baik artikel ilmiah maupun peraturan perundang-undangan dengan menyertakan hasil wawancara yang dilakukan terhadap karyawan dari divisi hukum dan pembiayaan dari salah satu institusi perbankan syariah di Indonesia.
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian yang
berjudul “Tinjauan Yuridis
Pengelolaan Risiko dan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Pembiayaan Murabahah Antara Bank Syariah X dan PT. Z Pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dan Pengadilan Agama” adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan Pada Bab pertama ini dijabarkan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dari penelitian, definisi operasional yang menjadi landasan pemikiran penulisan, metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data, serta sistematika penulisan sebagai alur dan koridor penulisan.
27
Ibid, hlm. 6.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
14
BAB II Definisi Konsep Tentang Risiko, Pengelolaan Risiko, Pembiayaan Perspektif Fiqih Islam dan Hukum Murabahah serta Wanprestasi dari
Positif
Bab ini akan dibagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas
mengenai definisi pembiayaan murabahah, landasan hukum dan landasan syariah pembiayaan murabahah, ketentuan umum dan persyaratan dalam murabahah,
pembebanan biaya dalam murabahah, jenis murabahah, pembayaran dalam murabahah, pola arus kas murabahah, serta garis besar praktik pembiayaan murabahah oleh perbankan syariah di Indonesia. Pada sub-bab kedua akan dipaparkan definisi dan konsep dasar tentang risiko dilihat dari aspek ekonomi dan hukum, definisi pengelolaan risiko, karakteristik manajemen risiko dalam Bank Islam, jenis-jenis risiko, proses manajemen risiko, serta risiko terkait pembiayaan murabahah. Kemudian dilanjutkan pada sub-bab ketiga akan dibahas mengenai wanprestasi berdasarkan hukum positif Indonesia serta Hukum Islam, akibat dari wanprestasi, kemungkinan wanprestasi dari pihak kreditur, klasifikasi force majeure, syaratsyarat force majeure dan pengaturan force majeure terkait kontrak jual beli dalam KUH Perdata.
BAB III Aspek Hukum Kontrak, Prudential Banking Serta Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah
Dalam Bab ini akan terbagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan menganalisa implementasi hukum kontrak dalam pembiayaan murabahah, perikatan menurut KUH Perdata, perikatan menurut Hukum Syariah Islam, Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata dan Hukum Islam dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah, dan Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak. Sub-bab kedua akan menganalisa aspek prudential banking terkait pembiayaan murabahah, analisis pembiayaan, penetapan batas maksimum pemberian kredit, loan to deposit ratio, modal minimum bank, kualitas aktiva produktif, posisi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
15
devisa neto, giro wajib minimum dan kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi per tahun.
Sub-bab ketiga akan menjelaskan mengenai pilihan penyelesaian sengketa
pembiayaan murabahah, penyelesaian sengketa pada pengadilan agama,
penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri, dan penyelesaian sengketa pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BAB
IV Studi
Kasus Permasalahan
Pembiayaan
Murabahah
dan
Penyelesaian Permasalahan pada Bank Syariah X Pada bab ini akan dilakukan studi kasus pembiayaan murabahah pada Bank Syariah X. Sub-bab pertama akan membahas mengenai pelaksanaan program pembiayaan investasi dengan menggunakan skema murabahah pada Bank Syariah X terhadap PT. Z Sub-bab kedua akan menjelaskan mengenai metode pembuatan akad muarabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z berkaitan dengan pengelolaan risiko pembiayaan. Sub-bab ketiga akan memaparkan kronologis kasus posisi dan sub-bab keempat akan menjelaskan analisa kasus.
BAB V Penutup Dalam Bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok permasalahan yang telah diajukan serta memberikan solusi dan saran antisipatif mengenai manajemen risiko untuk produk pembiayaan murabahah yang disediakan oleh Bank Syariah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBIAYAAN MURABAHAH, RISIKO, PENGELOLAAN RISIKO, FORCE MAJEURE SERTA WANPRESTASI 2.1 Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah
2.1.1 Definisi Pembiayaan Murabahah Transaksi murabahah lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Secara sederhana murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu. Secara singkatnya, murabahah adalah akad28 jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh).29 Murabahah juga diartikan sebagai suatu bentuk jual beli barang dengan tambahan harga (cost plus) atas harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah orang pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam meminjam menjadi transaksi jual beli. 30 Sementara itu
28
Pengertian “Akad” dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II, Bab 1, Pasal 20 angka 1 adalah: kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka transaksi murabahah pada perbankan syariah merupakan jenis transaksi yang mengandung unsur perikatan dan perjanjian sebagaimana ada dalam Hukum Perdata 29
Karim, A. Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Ed. Ketiga. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). Hlm. 113. 30
Mujieb, Muhammad Abdul at.al, Kamus Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 1994),
hlm. 275.
16 Universitas Indonesia Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
17
menurut Sayyid Sabbiq (1998), murabahah adalah penjualan dengan harga pembelian barang berikut untung yang diketahui. 31 Aplikasi Murabahah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada produk
pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar
negeri, seperti Letter of Credit (L/C). Praktek ini paling banyak digunakan karena sangat sederhana dan tidak dipandang asing bagi yang sudah terbiasa bertransaksi di bank umum. Dalam Pasal 1 angka 6 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) murabahah diartikan sebagai pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Pelaksanaan transaksi Bai‟ al-murabah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam ba‟i al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Contoh transaksi seorang pedagang eceran membeli komputer dengan harga Rp.10.000.000,00 kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.2.000.000,00 dan ia menjual kepada pembeli seharga Rp.12.000.000,00. Umumnya si pedagang tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pemesanan dari calon pembeli. Demikian halnya di Bank Syariah, Bank Syariah baru akan memesan barang apabila sudah ada pemesanan dari pembeli. Dengan demikian bai‟ al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian barang secara pemesanan, biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian32 disebut
demikian karena si penjual semata-mata
mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.
31
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: PT Al-Ma‟Arif, 1998 ), hlm. 82.
32
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Op. Cit. Hlm. 103
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
18
2.1.2 Landasan Hukum dan Syariah Pelaksanaan Murabahah
Dalam fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut:33
1.
Al-Qur‟an: dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275.
"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
2.
Al-Qur‟an: dalam QS. An-Nisa [4]: 29. “ hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu….”.
3.
Al-Hadits: Hadis Nabi dari Abu Said al-Khudri: Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.”(H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
4.
Ijma‟: (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II/161; al-Kasani, Bada‟i asSana‟i V/220-222).
5.
Kaidah Fikih : “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Di sisi hukum positif, yang mengatur mengenai masalah murabahah pada perbankan syariah adalah: 1.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku Kedua Bagian Ketujuh Pasal 116 – 113
2.
Fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah
33
Majelis Ulama Indonesia (2003), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi kedua, (Jakarta : MUI), Hlm. 22-25.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
19
3.
Fatwa DSN MUI Nomor 46/DSN-MUI/II/2005 Tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm fi al-Murabahah)
4.
PBI No. 9/19.PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa
Bank Syariah
2.1.3 Ketentuan Umum dan Syarat Murabahah
Murabahah sebagai salah satu produk layanan yang disediakan perbankan syariah, dalam pelaksanaannya harus berlandaskan pada prinsip syariah beserta hukum ekonomi positif sebagaimana disebutkan di atas. Dalam fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 bagian pertama, ditetapkan ketentuan umum murabahah sebagai berikut: 1.
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2.
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari‟ah Islam.
3.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian baran yang telah disepakati kualifikasinya.
4.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
20
Sementara itu pada bagian kedua fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN MUI/IV/2000, diatur ketentuan murabahah kepada nasabah (yang menggunakan
layanan pembiayaan murabahah) sebagai berikut: 1.
Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau
aset kepada bank. 2.
Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.
Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus
menerima
(membeli)-nya
sesuai
dengan
janji
yang
telah
disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4.
Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.
Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.
Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.
Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka: a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam murabahah, sebagaimana disebutkan bahwa murabahah merupakan akad jual beli, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam murabahah berlaku sama dengan persyaratan yang ditentukan dalam jual beli pada umumnya. Rukun dan syarat akad jual beli dalam KHES diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 56. Dalam KHES, buku Kedua bagian pertama Pasal 22 menyebutkan bahwa rukun dan syarat sebuah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
21
akad terdiri atas (a) pihak-pihak yang berakad, (b) obyek akad, (c) tujuan-pokok akad dan (d) kesepakatan. Sementara Pasal 56 menyebutkan bahwa unsur-unsur bai‟ (jual beli) terdiri atas (a) pihak-pihak, (obyek), dan (c) kesepakatan.
2.1.4 Pembebanan Biaya
Terdapat beda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan
kepada harga jual barang. Mazhab Maliki membolehkan biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu. 34 Ulama mazhab Syafi‟i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.35 Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual. 36 Sementara itu mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual. 37 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan
dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga
34
A Dawsk Hasheite, al Dawski „ala Sharhil-Kabir. Hlm 160; al-Qurthubi, II, hlm. 40
35
Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj „ala Ma‟arif Ma‟ani Alfad al Minhaji. Hlm. 78
36
Al-Kasani, Bada‟us Sana‟ fi Tartibisy-Syara‟: Syarah Tuhfatul-Fuqaha lil-Samarqandi.
Hlm. 223 37
Al-Bahuti, Kasyaful-Qina‟ an Matin al-Aqna, III. Hlm: 234
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
22
membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus
dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat
tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.38 Pembebanan dalam hal jaminan pada dasarnya bukan merupakan syarat atau rukun yang harus dipenuhi dalam murabahah KPP, jaminan dalam hal ini dimaksudkan agar pemesan tidak main-main dengan pesanannya. Kemudian berhutang dalam murabahah KPP merupakan hutang yang harus segera dilunasi angsurannya kepada pihak Bank, tanpa melihat apakah nasabah melakukan tindakan hukum lain berupa menjual lagi barang pesanan kepada pihak ketiga. Hal ini karena transaksi penjualan kepada pihak ketiga merupakan akad yang benarbenar terpisah dari akad al-murabahah pertama dengan pihak bank. Dalam hal terjadi penundaan pembayaran piutang oleh debitor yang mampu, maka Bank dapat mengambil tindakan secara hukum dimana prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa diatur lebih lanjut dalam peraturan perUndang-Undangan. Sementara jika debitor dinyatakan bangkrut, maka penagihan hutang harus ditunda hingga ia benar-benar mampu membayar. 39 Terkait dengan pembiayaan murabahah, maka ciri pembebanan biaya di bank Syariah adalah sebagai berikut:40 1. Keuntungan dan beban biaya yang disepakati tidak kaku dan ditentukan berdasarkan kelayakan tanggungan resiko dan korban masing – masing. 2. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. Sisa hutang selepas kontrak dilakukan kontrak baru.
38
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit., Hlm: 114
39
Ibid. Hal: 105-106
40
M. Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 1, (Jakarta: Bangkit, 1992), Hlm. 5 – 6
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
23
3. Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dana biaya administrasi selalu dihindarkan karena persentase mengandung potensi melipatgandakan. 4. Pada bank Islam tidak dikenal keuntungan pasti (fixed return), ditentukan kepastian sesudah mendapat untung, bukan sebelumnya. 5. Uang dari jenis yang sama tidak bisa diperjualbelikan atau disewakan atau dianggap barang dagangan. Oleh karena itu, bank Islam pada dasarnya tidak memberikan pinjaman berupa uang tunai, tetapi berupa pembiayaan atau
talangan dana untuk pengadaan barang dan jasa.
2.1.5 Murabahah dengan Pesanan Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya (bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah). Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang tertentu dengan spesifikasi tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada pada saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjual kepada si pemesan. Dalam murabahah melalui pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah.41 Hal ini sekadar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. Hamish ghadiyah ini dapat digunakan untuk menutupi kerugian penjual dalam hal pembeli membatalkan pesanannya. Dalam murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya
41
Hamish ghadiyah merupakan uang tanda jadi ketika ijab-kabul
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
24
2.1.6 Pembayaran Dalam Murabahah
Sebagaimana jenis pembiayaan lain yang dipraktekkan di dunia perbankan, pembiayaan dalam murabahah dapat dipilih dengan menggunakan pembayaran
tunai maupun cicilan. Pada pelaksanaannya dikenal murabahah muajjal, yang
dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran di kemudian (setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk
lump sum (sekaligus).42
Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:43 1.
Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment Account atau Investasi Tidak Terikat)
2.
Pembiayaan murabahah yang didanai dengan RIA (Restricted Investment Account atau Investasi Terikat)
3.
Pembiayaan murabahah yang didanai dengan modal bank
Dalam membayar cicilan murabahah oleh nasabah, apabila nasabah mempercepat kewajiban pembayarannya sebelum jatuh tempo, maka bank memperbolehkan mengurangi bagian keuntungannya, yaitu dengan cara dikreditkan ke rekening piutang murabahah. Apabila terjadi penundaan membayar kewajiban dengan sengaja, maka nasabah membayar denda, dengan jumlah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama pada saat akad ditandatangani. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta‟zir yaitu untuk membuat nasabah untuk lebih disiplin terhadap kewajibannya. Denda tersebut diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan) bukan untuk pendapatan bank.
42
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit., hlm 115
43
Ibid. hlm 117
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
25
2.1.7 Pola Arus Kas Murabahah
Nasabah yang akan menggunakan pembiayaan murabahah sebagai produk jasa suatu institusi perbankan syariah harus mengerti gambaran
umum operasionalisasi pembiayaan murabahah. Langkah-langkah yang
perlu ditempuh oleh calon nasabah antara lain adalah sebagai berikut: 44 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang
atau aset kepada Bank Syariah. 2. Jika Bank Syariah menerima permohonan tersebut makan Bank harus membeli terlebih dahulu barang yang dipesan dengan pembelian yang sah kepada pedagang barang yang dimaksud. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama Bank sendiri dan pembelian itu harus sah serta bebas riba. Dalam hal ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya-biaya yang diperlukan. Dimungkinkan bagi Bank untuk memberikan kuasa pembelian barang kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang dibutuhkannya. Jika demikian maka akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank. 3. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual sebesar harga beli ditambah dengan margin atau keuantungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat. Terkait dengan hal ini maka kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad atau perjanjian tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 5. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang juga merupakan hasil kesepakatan antara Bank dan nasabah. Dalam jual beli tersebut Bank diperbolehkan meminta nasabah untuk menyediakan jaminan dan/atau membayar uang muka saat
44
Dikuti Dari Skripsi Analisis Atas Penagihan Pajak Dela Oktafriani FISIP UI 2010
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
26
menandatangani
kesepakatan
awal
pemesanan.
Hal
ini
untuk
menghindari cedera janji dari nasabah. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut maka biaya riil dibayarkan oleh bank dari uang muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang sehingga timbul kerugian
bagi pihak Bank, maka Bank dapat meminta kekurangan untuk kerugiannya kepada nasabah. Nasabah dapat menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap berkewajiban
menyelesaikan utangnya kepada Bank. Secara umum, aplikasi perbankan dari bai‟ al-murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
Skema 1 Transaksi Bai’ al-Murabahah45
1. Negosiasi & Persyaratan
2. Akad Jual Beli BANK
NASABAH 6. Bayar
5. Terima Barang dan Dokumen
3. Beli barang
4. Kirim SUPPLIER (PENJUAL)
45
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hal 114
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
27
Berdasarkan Skema di atas maka dapat disimpulkan bahwa murabahah ini terdiri dari:
1. Terdapat tiga pihak yang terkait yaitu:
a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan
kepada lembaga keuangan b. Penjual barang atau supplier
c. Lembaga Keuangan atau Bank yang mebeli barang sekaligus bertindak sebagai penjual barang kepada pemohon atau nasabah pemesan barang
2. Terdapat dua akad transaksi yaitu: a. Akad dari penjual barang kepada Lembaga Keuangan b. Akad dari Lembaga Keuangan kepada pihak yang memesan barang (nasabah)
3. Terdapat tiga janji yaitu: a. Janji dari Lembaga Keuangan untuk membelikan barang b. Janji mengikat dari Lembaga Keuangan untuk membeli barang untuk pemohon c. Janji mengikat dari nasabah oemohon untuk membeli barang yang btelah dipesan dari Lembaga Keuangan
Dalam prakteknya pola arus kas pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
28
Skema 2 Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Taqsith atau Bayar Cicilan46
Rp Barang diterima oleh Bank
Bank sebagai pembeli
Cash Out
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Bank sebagai penjual Barang diserahkan oleh Bank Cash In
Skema 3 Al-Bai’ Naqdan wal Murabahah Muajjal atau Bayar Lump Sum di Akhir47
Rp Barang diterima oleh Bank
Cash Out
Cash In Rp Barang diserahkan oleh Bank
46
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 119
47
Ibid. Hlm 121
Bank sebagai penjual
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
29
2.1.8 Garis Besar Praktik Pembiayaan Murabahah Oleh Perbankan Syariah
Di Indonesia
Pembiayaan murabahah yang umum dipraktikkan oleh Perbankan Syariah
di Indonesia memiliki perbedaan dengan konsep klasik murabahah.
Perbedaan karakteristik pokok pembiayaan murabahah dalam literatur klasik dan praktik di Indonesia dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1 Perbandingan Karakteristik Pokok Pembiayaan Murabahah Dalam Literatur Klasik dan Praktik di Indonesia48 Karakteristik Pokok
Praktik Klasik
Tujuan transaksi
Kegiatan jual-beli
Tahapan transaksi
Dua tahap i. Penjual membeli barang dari produsen
Proses transaksi
Status kepemilikan barang pada saat akad
48
Pembiayaan dalam rangka penyediaan fasilitas / barang Satu tahap Bank selaku penjual dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
barang pada
produsen untuk dijual kembali
pembeli
kepada nasabah tersebut
Barang telah dimiliki penjual saat akad penjualan dengan pembeli dilakukan
Perhitungan tingkat margin
ii. Penjual menjual
Praktik di Indonesia
i. Perhitungan laba
Barang belum jelas dimiliki penjual saat akad penjualan dengan pembeli dilakukan
i. Perhitungan menggunakan
menggunakan biaya
benchmark atas rate yang
transaksi riil
berlaku dalam pasar uang
Ascarya. Op. Cit. Hal 221-222
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
30
ii. Perhitungan laba
Sifat pemesanan barang oleh nasabah
ii. Perhitungan laba
merupakan lump
menggunakan presentase per
sum dan wholesale
annum dan dihitung
berdasarkan baki debet
pembiayaan
Tidak tertulis Ada dua pendapat
Tertulis dan bersifat mengikat
yaitu mengikat dan tidak mengikat
Pengungkapan harga pokok dan margin Tenor Cara pembayaran transaksi jual-beli Kolateral
Harus transparan
Harus transparan
Sangat pendek
Jangka panjang (1-15 tahun)
Cash and carry
Dengan cicilan
Tanpa kolateral
Ada kolateral/jaminan tambahan
2.2 Konsep Dasar Risiko dan Pengelolaan Risiko 2.2.1 Definisi Risiko Risiko dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. 49 Selain itu istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang
49
Diakses dari KBBI online http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php pada 28 November 2011
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
31
dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Vaughan (1978) mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:50 Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian) Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan)
terhadap
kemungkinan
kerugian.
Dalam
ilmu
statistik,
chance
dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat
perbedaan antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko tidak ada. Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian) Istilah possibility berarti bahwa probabilitas suatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif. Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian) Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan Risk is the dispersion of actual from expected results Risiko dalam hal ini merupakan penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan.
Sementara itu Prof. Subekti dalam bukunya mengartikan risiko sebagai kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar
kesalahan salah satu pihak. 51 Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Risiko dapat terjadi pada
50
Diakses dari http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050881/jurnal-akuntansipemerintah/manajemen-risiko-di-lingkungan-pemerintah-pengantar-aplikasi-pada-unit-unitdepartemen-keuangan/pengertian-manajemen-risiko.html pada 28 November 2011 51
Subekti, Op. Cit. Hal:59
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
32
pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. Risiko yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam,
operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari organisasi.
Risiko dalam konteks dunia perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap pendapatan dan permodalan bank. 52 Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, namun tetap dapat dikelola dan dikendalikan agar tidak terjadi dampak sistemik yang fatal bagi kas perbankan.
2.2.2 Definisi Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko atau biasa disebut juga dengan manajemen risiko merupakan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha.53 Sasaran dari kebijakan manajemen risiko adalah melakukan kegiatan pengidentifikasian, pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar secara terarah, terintregasi dan berkesinambungan. Dengan demikian manajemen risiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning system) terhadap kegiatan usaha bank. Tujuan manajemen risiko itu sendiri adalah sebagai berikut:54
52
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 255
53
Ibid.
54
Ibid.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
33
1.
Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator.
2.
Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang bersifat unacceptable.
3.
Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled.
4.
Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
5.
Mengalokasikan modal dan membatasi risiko.
2.2.3 Karakteristik Manajemen Risiko Dalam Bank Islam
Manajemen risiko pada sistem perbankan syariah mempunyai karakter yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional. Perbedaan ini disebabkan karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya pada bank yang beroperasi secara syariah. Adiwarman A. Karim (2007) dalam bukunya menyebutkan bahwa perbedaan mendasar antara bank Islam dengan bank konvensional bukan terletak pada bagaimana cara mengukur (how to measure), melainkan pada apa yang dinilai (what to measure). Perbedaan tersebut akan tampak terlihat dalam proses manajemen risiko operasional bank Islam yang meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, antisipasi risiko dan monitoring risiko. a.
Identifikasi Risiko Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pada perbankan syariah terdapat risiko-risiko khusus yang melekat pada bank syariah, dimana risiko ini tidak terdapat pada perbankan konvensional, sehingga diperlukan penanganan yang khusus pula untuk risiko pada perbankan syariah. Dalam hal ini, keunikan bank Islam terletak pada enam hal: 55 1.
Proses transaksi pembiayaan
Karakteristik bank Islam dalam proses ini setidaknya terlihat pada tiga aspek, yaitu proses transaksi pembiayaan syariah, proses transaksi bagi hasil dana pihak ketiga dan proses transaksi devisa. 2.
Proses manajemen Keunikan bank Islam dalam proses manajemen terlihat pada sistem dan prosedur operasional akuntansi dan Chart of Account (CoA),
55
Ibid. hlm 257
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
34
sistem dan prosedur operasional tutup buku, serta sistem dan prosedur operasional pengembangan produk.
3.
Sumber daya manusia Keunikan bank Islam terkait sumber daya manusia dapat dilihat
dalam spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya mencakup dalam bidang perbankan secara umum tetapi juga meliputi aspek syariah. 4.
Teknologi
Keunikan Bank Islam dalam bidang teknologi terlihat pada Business Requirement Specification (BRS) untuk pembiayaan berbasis bagi hasil dan BRS dana pihak ketiga. 5.
Lingkungan eksternal Keunikan bank Islam dalam hal ini terlihat pada keberadaan dual regulatory body, yaitu bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional dimana sistem perbankan syariah di Indonesia wajib untuk tunduk pada dua regulatory body ini.
6.
Kerusakan Keunikan bank Islam dalam hal ini terlihat misalnya ketika terjadi kerusakan pada objek ijarah atau IMBT (Ijarah Muntahiya Bittamlik).
b.
Penilaian Risiko Dalam penilaian risiko, keunikan bank Islam terlihat pada hubungan antara probability dan impact, atau dikenal dengan Qualitative Approach. Pendekatan secara kualitatif ini digunakan untuk menilai dan mengukur risiko terutama dari segi ekonomi.
c.
Antisipasi Risiko Antisipasi risiko dalam bank Islam bertujuan untuk: 1.
Preventive Dalam Hal ini, bank Islam memerlukan persetujuan Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mencegah kekeliruan proses dan transaksi dari aspek syariah. Bank Islam juga memerlukan opini
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
35
bahkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) bila Bank Indonesia memandang persetujuan DPS belum memadai atau berada
di luar wilayah kewenangannya. 2.
Detective
Pengawasan dalam bank Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek perbankan oleh Bank Indonesia dan aspek syariah oleh DPS karena seringnya timbul pemahaman yang berbeda atas suatu transaksi,
apakah melanggar syariah atau tidak. 3.
Recovery Koreksi atas suatu kesalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk aspek perbankan dan DSN untuk aspek syariah.
d.
Monitoring Risiko Aktivitas monitoring risiko dalam bank Islam tidak hanya meliputi manajemen bank Islam, tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas Syariah. Hal ini dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut:
Tabel 2 STATUS DAN KONDISI TIAP LANGKAH YANG DIAMBIL56
Frekuensi
Dewan Pengawas Syariah
Materi/Isi Laporan Hasil
6 bulanan
Pengawasan Syariah
Board Level & Risk Management
Management
56
Hasil Pengawasan (Narrative Summary)
- Risk Map Tahunan
Summary
Commitee Middle
Contoh
- Narrative Summary
Triwulan
Summary + Detail
Operational Risk Management
Ibid. Hlm 259
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
36
Plan (OMRP)
Day to Day
Bulanan
Operation
Detail
Frekuensi
2.2.4 Proses Manajemen Risiko Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, pada tahap awal
bank
syariah
harus
secara
tepat
mengenal
dan
memahami
serta
mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis bank. Selanjutnya secara berturutturut, bank syariah perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko. Proses ini terus berkesinambungan sehingga menjadi sebuah lifecycle.57 Skema 4 Siklus Manajemen Risiko58
Assessing Identifying
Measuring
Understanding
Managing Monitoring
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko memperhatikan Hal-hal sebagai berikut:59
57
Ibid. Hlm 260
58
Ibid.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
37
1.
2.
Identifikasi risiko dilakukan dengan melakukan analisis terhadap: a.
Karakteristik risiko yang melekat pada aktivitas fungsional.
b.
Risiko dari produk dan kegiatan usaha.
dengan melakukan: Pengukuran risiko dilaksanakan
a.
Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
b.
Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor risiko yang bersifat material. 3.
Pemantauan risiko dilaksanakan dengan melakukan: a. Evaluasi terhadap eksposur risiko. b. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen risiko ynag bersifat material.
4.
Pelaksanaan proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank
2.2.5 Jenis-Jenis Risiko Secara umum, risiko yang melekat pada aktivitas fungsional Bank Syariah dapat diklasifikasikan dalam risiko pembiayaan, risiko pasar dan risiko operasional sebagaimana dijelaskan berikut:60 1.
Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, risiko pembiayaan ini mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait pembiayaan korporasi.
59
Ibid Hlm 260
60
Ibid. Hlm 260-261
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
38
1. Risiko Terkait Produk
a. Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts (NCC)
Analisa ini menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan memperhitungkan risiko yang ada
dari pembiayaan pembiayaan berbasis NCC, seperti murabahah. Penilaian ini mencakup: 1. Default risk (risiko kebangkrutan), yakni risiko yang terjadi
pada first way out. Risiko ini dipengaruhi oleh:61 i. Industry risk, merupakan risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh karakteristik jenis usaha yang bersangkutan,
riwayat
exposure
pembiayaan
yang
bersangkutan di bank konvensional maupun bank syariah, terutama perkembangan Non Performing Financing jenis usaha yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan (industry financial standard). ii. Kondisi internal perusahan nasabah, seperti manajemen, organsasi pemasaran, teknis produksi dan keuangan. iii. Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti: kondisi grup usaha, keadaan force majeure, permasalahan hukum,kewajiban off balance sheet (L/C import, bank garansi), market risk (forex risk, interest risk, security risk), riwayat dan restrukturisasi pembayaran. Default risk digunakan untuk menentukan Customer Risk Rating (CRR, Rating Risiko Nasabah) yang diukur sebagai berikut:
61
Ibid. Hlm 261-263
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
39
Tabel 3 Rating Risiko Nasabah62 Scoring
RATING
SCORE
TINGKAT RISIKO
1 = Baik sekali
5
Very Low Risk
2 = Baik
4
Low Risk
3 = Cukup / sedang
3
Moderate Risk
4 = Kurang
2
High Risk
5 = Buruk sekali
1
Very High Risk
Kondisi internal perusahaan nasabah diukur dari hasil analisis aspek manajemen, pemasaran, teknis produksi, dan keuangan perusahaan. Industry rating diukur pada tingkat nasional dan ciri-ciri umum sebagai berikut: Tabel 4 Scoring Rating Industri 63 SCORE Industry Risk Rating
Ciri-ciri Umum
Prospek permintaan sangat baik, struktur industri sangat 5
Very Low Risk
kuat, kinerja keuangan dan kinerja pinjaman di atas rata-rata industri
62
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 154
63
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 167
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
40
4
Low Risk
3
Moderate Risk
Di atas rata-rata kinerja industri Rata-rata industri dengan prospek pertumbuhan yang memadai dan mempunyai kemampuan keuangan yang cukup untuk membayar kembali pinjamannya
2
High Risk
Di bawah rata-rata kinerja industri Industri berisiko untuk
1
Very High Risk
diberikan pinjaman dengan prospek dan kemampuan keuangan yang meragukan
2. Recovery risk (risiko jaminan), merupakan pembayaran kembali atas sisa pinjaman nasabah dari hasil penjualan jaminan, apabila first way out tidak dapat diharapkan. Hal ini dipengaruhi oleh: Kesempurnaan pengikatan jaminan. Nilai jual kembali jaminan (marketability jaminan). Faktor negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain
atas jaminan, lamanya taksasi ulang jaminan. Kredibilitas penjamin (jika ada).
b. Risiko pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC) Analisa jenis ini mengidentisikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memeperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
41
berbasis Natural Uncertainty Contracts, seperti mudharabah dan musyarakah. Penilaian risiko ini mencakup tiga aspek yaitu:
1.
Business Risk (risiko bisnis yang dibiayai), yakni risiko yang out. terjadi pada first way
2.
Shrinking
risk
(risiko
berkurangnya
nilai
pembiayaan
mudharabah atau musyarakah), yakni risiko yang terjadi pada second way out. 3.
Character risk (risiko karakter buruk mudharrib), yakni risiko yang terjadi pada third way out.
2. Risiko Terkait Pembiayaan Korporasi Kompleksitas dan volume pembiayaan korporasi menimbulkan risiko tambahan selain risiko yang terkait dengan produk sehingga membutuhkan analisis yang lebih komprehensif, yang meliputi Analisis Sales Cost, Profits, Assests and Liabilities serta Analisis Cash Flow64. Risiko tambahan terkait pembiayaan korporasi yang harus diantisipasi adalah:65 a.
Risiko yang Timbul dari Perubahan Kondisi Bisnis Nasabah Setelah Pencarian Pembiayaan Setidaknya ada tiga risiko yang timbul dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan. Pertama, yaitu over trading yang terjadi ketika nasabah mengembangkan volume bisnis yang besar dengan dukungan modal yang kecil. Keadaan
ini akan menimbulkan krisis cash flow. Kedua, yaitu adverse trading, terjadi ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan mengambil kebijakan melakukan pengeluaran tetap (fixed costs) yang besar setiap tahunnya serta bermain di pasar yang tingkat volume
64
penjualannya
tidak
stabil.
Perusahaan
dengan
Ibid. Hlm 269-271
65
Diadaptasikan dari Brian Coyle, Measuring Credir Risk, (Kent-U.K: CIB Publishing, 2000), Hlm 7-13
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
42
karakteristik seperti ini merupakan perusahaan yang secara posisi yang lemah serta berisiko tinggi. potensial berada dalam
Ketiga, adalah Liquidity Run yang terjadi ketika nasabah mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh alasan yang tidak terduga. Kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan nasabah menyelesaikan kewajibannya pada bank.
b.
Risiko yang timbul dari Komitmen Kapital yang Berlebihan Dalam memberikan pinjaman, bank dapat juga melakukan kesalahan dengan mengambil komitmen kapital yang berlebihan dan menandatangani kontrak untuk pengeluaran berskala besar. Bank maupun supplier pembiayaan perdagangan seringkali tidak mampu mengontrol pengeluaran yang berlebihan dari sebuah perusahaan. Namun demikian, bank dapat mencoba memonitor dengan melihat neraca perusahaan yang terakhir dipublikasikan dimana komitmen pengeluaran kapital diungkap.
c.
Risiko yang Timbul dari Lemahnya Analisis Bank Terdapat tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank. Pertama, analisis pembiayaan yang keliru, dalam konteks ini terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tak terduga, tetapi memang dikarenakan sejak awal nasabah yang bersangkutan memiliki risiko tinggi. Keputusan pembiayaan bisa
jadi merupakan keputusan yang tidak valid. Kesalahan dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang tersedia. Kedua, creative accounting, merupakan istilah untuk
menggambarkan
penggunaan
kebijakan
akuntansi
perusahaan yang memberikan keterangan menyesatkan tentang laporan
posisi
perusahaan
keuangan
dibuat
lebih
suatu besar
perusahaan. untuk
Keuntungan
menjamin
tingkat
kemampuan membayar kembali pinjaman dan menaikkan rating.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
43
Ketiga, karakter nasabah, terkadang nasabah dapat memperdaya bank dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Terkait dengan kemungkinan ini bank harus membuat keputusan berdasarkan informasi objektif tentang karakter nasabah.
2.
Risiko Pasar
Market risk atau risiko pasar merupakan risiko kerugian yang terjadi
pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) berupa suku bunga dan nilai tukar. Risiko pasar ini mencakup hal-hal sebagai berikut:66 a.
Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko ini timbul sebagai akibat dari fluktuasi tingkat bunga. Meskipun bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga, baik dari sisi pendanaan maupun pembiayaan, tetapi bank syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat bunga. Hal ini disebabkan karena pasar yang dijangkau oleh bank syariah juga terdiri atas nasabah selain nasabah yang loyal atas prinsip syariah. Pricing risk yang dihadapi oleh bank syariah antara lain sebagai berikut: 1.
Direct Competitor Market Rate (DCMR) yaitu tingkat bagi hasil dari bank-bank yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah.
2.
Indirect Competitor Market Rate (ICMR), yaitu tingkat bunga pada bank-bank konvensional.
3.
Expected Competitive Return for Investor, yaitu hasil investasi yang kompetitif yang diharapkan oleh investor.
Beberapa contoh risiko yang terkait dengan tingkat bunga pada pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut: 1.
Dalam pembiayaan murabahah, margin tidak dapat dinaikkan dari ketetapan di awal akad. Apabila terjadi kenaikan suku bunga, maka pendapatan margin dari pembiayaan murabahah
66
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm 272-274
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
44
menjadi lebih kecil dibanding pendapatan bunga. Akibatnya bagi hasil yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah
menjadi lebih kecil dari bunga. 2.
Dalam pembiayaan dikaitkan dengan transaksi murabahah, bila
kenaikan nisbah tidak disepakati oleh masing-masing pihak, bank hanya akan memperoleh bagi hasil atas margin murabahah dalam jumlah tetap sebagaimana lazimnya dalam pembiayaan murabahah.
b.
Risiko Pertukaran Mata Uang (Foreign Exchange Risk)67 Risiko ini muncul sebagai konsekuensi pergerakan kurs atau fluktuasi nilai tukar terhadap rugi-laba bank. Meskipun aktivitas syariah tidak terpengaruhi risiko kurs secara langsung (karena dalam bank syariah tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi), tetapi bank syariah tidak akan dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing. Risiko kurs ini akan meningkat bila jumlah posisi yang diambil besar, baik posisi long maupun short dan fluktuasi pasar tinggi. mengingat bank syariah tidak diperkenankan melakukan transaksi yang bersifat spekulatif seperti forward, margin trading, option dan swap, maka yang boleh dijalankan adalah untuk kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga (simpanan) dan transaksi yang dilaksanakan harus tunai atau spot. Termasuk tunai disini adalah pembayaran dengan cek, pemindahbukuan, transfer dan sarana pembayaran tunai lainnya.
c.
Risiko Harga (Price Risk) Risiko harga adalah kemungkinan kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan. Untuk perbankan syariah, di samping risiko harga atas instrumen keuangan yang masih sangat terbatas, juga terkait risiko harga komoditas termasuk dalam transaksi murabahah.
67
Ibid. hlm 273-274
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
45
Risiko ini terjadi apabila harga barang yang dibeli atau dipesan turum sehingga nasabah membatalkan pesanannya. Sebaliknya bila harga barang naik maka bank akan terkena risiko tingkat bunga.
d.
Risiko Likuiditas (Liquidity Risk) Risiko ini antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Risiko likuiditas ini
berupa: 1.
Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya
perbankan
syariah
dan
bank
syariah
yang
bersangkutan. 2.
Dalam mudharabah kontrak, memungkinkan nasabah untuk menarik dananya kapan saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
3.
Mismatching antara dana jangka pendek dengan pembiayaan jangka panjang.
4.
Keterbatasan instrumen keuangan untuk solusi likuiditas.
5.
Bagi hasil antar bank kurang menarik, karena final settlementnya harus menunggu selesainya perhitungan cash basis pendapatan bank yang biasanya baru terlaksana pada akhir bulan.
3.
Risiko Operasional68 Risiko operasional merupakan risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Faktor penyebab terjadinya risiko ini adalah aspek infrastruktur (terkait teknologi, kebijakan, lingkungan, pengamanan, perselisihan dan sebagainya), proses dan sumber daya. Risiko operasional mencakup lima hal, yaitu risiko reputasi, risiko kepatuhan, risiko transaksi, risiko strategis dan risiko hukum. Dampak dari risiko 68
Ibid. hlm 275-278
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
46
operasional ini dapat berupa terjadi penarikan besar-besaran terhadap masalah likuiditas, ditutup oleh Bank dana pihak ketiga, timbulnya
Indonesia maupun kebangkrutan. Risk) Risiko reputasi (Reputation
a.
Risiko ini disebabkan oleh adanya publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank atau adanya persepsi negatif terhadap bank. Beberapa hal yang mempengaruhi reputasi antara lain adalah manajemen,
pemegang saham, pelayanan yang disediakan, penerapan prinsipprinsip syariah, dan publikasi. Alasan-alasan yang menyebabkan turunnya
reputasi
adalah
kesalahan
manajemen,
melanggar
peraturan, melanggar Fatwa DSN, terjadi skandal keuangan, kurang kompeten dalam pengelolaan dan pelayanan, integritas diragukan dan performance keuangan yang kurang baik. b.
Risiko kepatuhan (Compliance Risk) Risiko ini disebabkan oleh tidak dipatuhinya ketentuan-ketentuan yang ada, baik ketentuan internal maupun eksternal sebagai berikut: i.
Ketentuan Giro Wajib Minimum, Net Open Position, NonPerforming Financing dan Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan.
ii.
Ketentuan dalam penyediaan produk.
iii.
Ketentuan dalam pemberian pembiayaan.
iv.
Ketentuan dalam pelaporan baik laporan internal, laporan kepada Bank Indonesia maupun laporan kepada pihak ketiga lainnya.
v.
Ketentuan perpajakan.
vi.
Ketentuan dalam akad dan kontrak.
vii.
Fatwa Dewan Syariah Nasional.
c.
Risiko Strategis (Strategic Risk) Risiko ini disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
47
peruabahan perUndang-Undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Indikasi dalam risiko strategi ini dapat dilihat dari kegagalan dalam
mencapai target bisnis yang telah diterapkan. Risiko Transaksi (Transactional Risk)
d.
Risiko transaksi disebabkan oleh permasalahan dalam pelayanan atau produk-produk yang disediakan. Penyebab timbulnya risiko ini antara lain adalah: kekeliruan, kecurangan, kesempurnaan akad,
kasus-kasus hukum, sistem teknologi dan informasi, dan pos terbuka. e.
Risiko Hukum (Legal Risk) Risiko hukum merupakan risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perUndang-Undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan (perjanjian) seperti tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Berkaitan dengan risiko hukum ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: i.
Keharusan memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis.
ii.
Keharusan melaksanakan prosedur analisis aspek hukum terhadap produk dan aktivitas baru.
iii.
Keharusan memiliki satuan kerja yang berfungsi sebagai legal watch, baik terhadap hukum positif maupun fatwa DSN dan ketentuan lain yang berdasarkan prinsip syariah.
iv.
Keharusan menilai dampak perubahan ketentuan atau peraturan terhadap risiko hukum.
v.
Keharusan untuk menerapkan sanksi secara konsisten.
vi.
Keharusan untuk melakukan kajian secara berkala terhadap akad, kontrak, dan perjanjian-perjanjian bank dengan pihak lain dalam hal efektivitas dan enforceability.
2.2.6 Risiko Terkait Pembiayaan Murabahah Pembiayaan murabahah merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran di kemudian, baik
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
48
dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus). Dengan demikian pemberian pembiayaan murabahah dengan jangka waktu panjang dapat menimbulkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil pada dana pihak ketiga. 69 Risiko dalam pembiayaan murabahah timbul karena kenaikan
DCRM (Direct Competitor‟s Market Rate), kenaikan ICRM (Indirect Competitor‟s Market Rate) dan kenaikan ECRI (Expected Competitive Return for Investors). Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu
maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan hal berikut: a. Tingkat (margin) keuntungan saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah (Direct Competitor‟s Market Rate - DCRM). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. b. Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional (Indirect Competitor‟s Market Rate - ICRM). Semakin cepat perubahan ICRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. c. Ekspektasi Bagi Hasil kepada Dana Pihak Ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah (Expected Competitive Return for Investors - ECRI). Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. Dalam transaksi murabahah, bank menanggung pembelian suatu barang atau aset dan harga barang di-mark-up (dinaikkan) sebelum dijual kembali pada nasabah sesuai kontrak dengan prinsip tambah biaya (cost plus). Dalam transaksi murabahah, bank tidak turut menanggung untung dan rugi, melainkan lebih berperan sebagai intermediator finansial. 70 Fiqih menganggap murabahah dengan mark-up berbeda dengan transaksi serupa 69
Ibid. hlm 263-264
70
Lewis, Mervyn K. Dan Latifa M. Algoud. Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek [Islamic Banking]. Diterjemahkan oleh Burhan Subrata. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007). Hal 75
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
49
yang berbunga karena mark-up tidak mesti dihubungkan dengan tempo pinjaman, tetapi kelebihan dialokasikan untuk biaya pelayanan dan bukan
karena pembayarannya ditangguhkan. Transaksi murabahah dianggap halal karena bank lebih dulu memperoleh barang untuk dijual kembali dengan
harga yang dinaikkan, artinya bank menjual suatu komoditas untuk mendapatkan laba. Dalam prosesnya, bank menanggung risiko yang mungkin terjadi antara waktu pembelian dan penjualan kembali; misalnya, tiba-tiba
harga barang turun sehingga nasabah menolak menerima barang, jadi bank bertanggungjawab atas barang sebelum diterima nasabah. 71 Dalam pelaksanaan transaksi murabahah berdasarkan pesanan, terdapat beberapa potensi risiko dalam transaksi tersebut, yaitu: a. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat. Risiko bagi bank yang timbul berdasarkan pesanan dengan sifat tidak mengikat adalah setelah bank membeli barang sesuai pesanan pembeli,
nasabah
membatalkan barang yang dipesannya itu. b. Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat. Risiko bagi bank atas transaksi ini adalah lebih kecil daripada tranasaksi murabahah berdasarkan pesanan yang tidak mengikat. Salah satu cara mengikat nasabah adalah bank syariah dapat meminta uang muka kepada nasabah dan harus disetor kepada bank syariah.
Untuk mengatasi kekhawatiran dari bank syariah atas cidera janji nasabah, maka nasabah sebagai pembeli hendaknya membuat janji (waad). Waad adalah “Janji salah satu pihak untuk melaksanakan transaksi”. 72 Waad
atau promise dalam perspektif Syariah artinya adalah janji salah satu pihak tetapi belum menjadi suatu perikatan atau akad karena belum ada kesepakatan mengenai syarat dan kondisi secara spesifik. Dalam waad bila pihak yang berjanji tidak memenuhi janjinya, maka sanksinya lebih
71
Ibid. Hal 77
72
Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Cet. 1, (Jakarta: Bank Indonesia, 2006), Hal 85
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
50
merupakan sanksi moral. 73 Waad baru menjadi akad apabila telah terdapat surat penawaran dari bank yang telah disetujui oleh nasabah. Penawaran tersebut dilanjutkan dengan penanda tanganan perjanjian pembiayaan murabahah antara Bank dan Nasabah.
Dalam transaksi pembiayaan murabahah, waad dibuat oleh pihak yang paling besar kemungkinannya untuk melakukan cidera janji yaitu pihak pembeli atau nasabah, sedangkan bank sebagai pihak dirugikan bila transaksi
jual beli tersebut batal. Oleh karenaitu, waad pembelian barang dibuat oleh nasabah bukan oleh bank. Untuk mencegah resiko tersebut bank dapat meminta uang muka atau tanda jadi kepada nasabah sebagai bukti keseriusan nasabah untuk melakukan pembelian barang. Apabila di kemudian hari pemesan menolak membeli barang tersebut, kerugian riil bank dapat diambil dari uang muka. Dengan demikian jika kerugian bank sebagai penjual lebih besar dari uang muka yang dibayar nasabah, bank dapat meminta tambahan biaya kepada nasabah sebagai pemesan barang. Akan tetapi pada pelaksanannya hal demikian jarang terjadi, karena sebagian besar nasabah saat mengajukan pembiayaan murabahah sudah melakukan pembayaran uang muka kepada pihak ketiga yang menjadi supplier bank.
2.3 Konsep Dasar Wanprestasi dan Force Majeur 2.3.1 Definisi Wanpretasi Subekti,
dalam
bukunya
Hukum
Perjanjian
menyebutkan
bahwa
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Perkataan wanprestasi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi yang merupakan kelalaian atau kealpaan seseorang dapat berupa empat macam, yaitu: 74
73
Karim, Adiwarman. A., Op. Cit. Hlm. 65
74
Subekti, Op. Cit., Hlm 45
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
51
e.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
f.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
g.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
h.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Berbicara mengenai wanprestasi tentu tidak terlepaskan dari perikatan dan perjanjian yang menjadi dasar penentu ada atau tidaknya wanprestasi. Berkaitan
dengan wujud isi atau prestasi perikatan, terdapat pengelompokkan perikatan sebagai berikut:75 a.
Kewajiban untuk memberikan sesuatu
b.
Kewajiban untuk melakukan atau berbuat sesuatu
c.
Kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu
Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan Hal ini maka tiap pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus melaksanakan apa yang menjadi inti dari perjanjian tersebut dengan itikad baik. Dengan terjadinya wanprestasi maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat unsur itikad baik yang diupayakan para pihak.
2.3.2 Akibat Wanprestasi Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena 76 ada unsur salah padanya, maka ada akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.
Akibat hukum tersebut antara lain adalah: a.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata, dalam Hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, 75
Satrio, J, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. (Bandung: Alumni. 1993).
76
Ibid. Hlm 144
Hlm. 50.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
52
kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun
untuk tidak melakukan sesuatu. b.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1237 KUH Perdata, bahwa sejak debitur lalai, maka risiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur.
c.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1266 KUH Perdata, bahwa jika perjanjian berupa perjanjian timbal balik maka kreditur berhak menuntut
pembatalan perjanjian dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi. d.
Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
e.
Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR).
Namun demikian, semua akibat wanprestasi di atas tidak mengurangi hak dari pihak kreditor untuk tetap menuntut pemenuhan atas kewajiban pihak debitor atau pihak yang melakukan wanprestasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa debitor dapat menuntut pemenuhan kewajiban yang belum terlaksana sekaligus menuntut pemenuhan Hal-Hal di atas sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata.
2.3.3 Wanprestasi Dari Pihak Kreditur Pada prakteknya, tidak hanya pihak debitur yang melakukan wanprestasi, namun dapat terjadi sebaliknya yaitu pihak kreditur yang melakukan wanprestasi. Meskipun Undang-Undang (dalam hal ini KUH Perdata) banyak menyebut pihak debitur yang melakukan wanprestasi, tidak menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi justru dilakukan oleh pihak kreditur. Kemungkinan ini perlu dicermati guna menghindari sengketa antar kedua belah pihak. Berkaitan dengan wanprestasi yang dilakukan oleh kreditur, J. Satrio (1993) dalam bukunya menyebutkan bahwa ada cara memandang yang keliru apabila terdapat wanprestasi yang dilakukan oleh kreditur. Jika dipandang dari sudut
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
53
kewajiban penyerahan, memang penjual berkedudukan sebagai debitur dan pembeli berkedudukan sebagai kreditur. Sementara jika ditinjau dari segi
kewajiban untuk menerima penyerahan (dan penjual mempunyai hak untuk menuntut penerimaan), sehingga pembeli yang dalam perikatan yang satu
berkedudukan sebagai kreditur, dalam perikatan yang lain ia berkedudukan sebagai debitur. Sehingga sebenarnya tidak benar kalau dikatakan ada wanprestasi pada kreditur, sebab di sana kreditur sebenarnya berkedudukan sebagai debitur. 77
2.3.4 Definisi Force Majeure Berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata, force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat. Pasal 1244 dan juga Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan Pasal-Pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya.
Dari rumusan-rumusan dalam Pasal KUH Perdata seperti tersebut diatas dapat dilihat kausa force majeure menurut KUH Perdata, sebagai berikut : 1.
Force majeure karena sebab-sebab yang tak terduga. Dalam Hal ini, menurut Pasal 1244, jika terjadi Hal-Hal yang tidak terduga (pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, Hal tersebut bukan termasuk dalam kategori
77
Ibid. Hlm 176
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
54
wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat diminta tanggung jawabnya. 2.
Force majeure karena keadaan memaksa.
Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force majeure sehingga dia
idak perlu bertanggung
jawab atas tidak
dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut
disebabkan oleh keadaan memaksa. Lihat Pasal 1245 KUH Perdata. 3.
Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang. Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perUndang-Undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245 KUH Perdata).
2.3.5 Klasifikasi Force Majeure Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure dapat dibedakan sebagai berikut: 1.
Force majeure yang objektif Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan. Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dan kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
2.
Force majeure yang subjektif. Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
55
Selanjutnya jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak, suatu force majeure dapat dibeda-bedakan kedalam : 1.
Force majeure yang absolut
Yang dimaksud dengan force majeure yang absolut adalah suatu force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya barang yang merupakan objek dari kontrak
musnah. Dalam hal ini kontrak tersebut “tidak mungkin” untuk dilaksanakan. 2.
Force majeure yang relatif Sementara itu, yang dimaksud dengan force majeure yang bersifat relatif adalah satu force majeure dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya terhadap kontrak impor-expor dimana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang itu. Dalam hal ini barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor), sungguhpun dalam keadaan tidak normal masih dapat dilakukan. Misalnya jika dikirim barang dengan jalan penyeludupan. Keadaan seperti ini sering dikatakan bahwa kontrak masih mungkin (possible) dilaksanakan, tetapi tidak praktis lagi.
Kemudian, apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya force majeure, maka dapat dibedakan kedalam : 1.
Force majeure permanen, Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai
kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah diluar kesalahan debitur. 2.
Force majeure temporer Sebaliknya, suatu force majeure dikatakan bersifat temporer bilamana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, dimana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
56
Misalnya jika barang objek dari kontrak tersebut tidak mungkin dikirim ketempat kreditur karena terjadinya pergolakan sosial ditempat kreditur
tersebut. Akan tetapi nantinya ketika keadaan sudah menjadi aman, tentunya barang tersebut masih mungkin dikirim kembali.
2.3.6 Pengaturan Force Majeure Kontrak Jual Beli dalam KUH Perdata Force majeure untuk kontrak jual beli, khususnya mengenai risiko sebagai akibat dari force majeure tersebut diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata.78 Dengan demikian, menurut Pasal 1460 setelah kontrak jual beli tersebut ditandatangani risiko beralih kepada pihak pembeli, sungguhpun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan. Ini merupakan ketentuan yang tidak tepat, sebab pengalihan risiko (akibat dari force majeure) tersebut semestinya terjadi sejak saat penyerahan seharusnya dilakukan. Dalam sistem KUH Perdata suatu kontrak hanya bersifat obligatoir saja. Artinya, setelah kontrak tersebut dilakukan, masih memerlukan tindakan hukum lainnya, yaitu yang disebut dengan “penyerahan” yang dapat dilakukan setelah kontrak jual beli dilakukan. Mestinya risiko baru beralih sejak saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan. Karena Pasal 1460 KUH Perdata ini berada diluar sistem dan dirasakan sangat tidak adil bagi pihak pembeli, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Edarannya No.3 Tahun 1963 memintakan agar para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. Karena itu pula, pengaturan risiko sebagai akibat dari force majeure dari Pasal 1460 tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan risiko dalam hukum kontrak secara umum.
78
Pasal 1460 KUH Perdata berbunyi “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
57
2.3.7 Syarat-syarat Force Majeure dalam KUH Perdata
Dari seluruh Pasal-Pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang force majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu force majeure
adalah sebagai berikut : a.
Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak terduga” oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
b.
Peristiwa tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi tersebut atau debitur (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
c.
Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut diluar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
d.
Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat. Sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan” para pihak (lihat Pasal 1545 KUH Perdata), bukan “tidak disengaja”. Sebab kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak disengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian” (negligence).
e.
Para pihak tidak dalam keadaan itikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata).
f.
Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mengkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata).
g.
Jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata.
h.
Risiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). Pasal 1460 KUH Perdata mengatur hal ini secara tidak tepat (diluar sistem).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
BAB III
TINJAUAN HUKUM KONTRAK, PRUDENTIAL BANKING SERTA PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN
PEMBIAYAAN MURABAHAH
3.1 Hukum Kontrak Dalam Pembiayaan Murabahah Setiap produk atau jasa yang ditawarkan oleh perbankan syariah kepada nasabah harus melalui perikatan, oleh karenanya perikatan dalam setiap produk atau jasa perbankan syariah merupakan dasar dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.79 Dalam pembiayaan murabahah pada bank syariah, umumnya terdapat dua pihak yang terlibat yaitu Bank dan nasabah. Dengan adanya dua pihak dalam pembiayaan murabahah ini berarti terdapat suatu hubungan berupa perikatan di antara keduanya. Pembiayaan murabahah yang tentunya merupakan suatu bentuk perjanjian, di dalamnya terdapat aspek hukum kontrak. Dalam karya tulis ini, penulis membahas perikatan baik secara hukum Islam maupun hukum perdata, karena dasar pembentukkan bank syariah adalah hukum Islam dan hukum perdata selaku hukum yang mengatur secara umum di Indonesia.
79
Afzarul Rahman, Economic Doctrines of Islam, Lahore, Islamic Publication, 1990. Lihat juga Muhammad Syafi‟I Antonio, Op.cit, hlm. 29
58 Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
59
3.1.1 Perikatan Menurut KUH Perdata
Perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.80 Dari sini dapat disimpulkan bahwa suatu perikatan lahir karena adanya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. perjanjian antara dua pihak untuk saling
Dengan adanya perjanjian ini maka timbullah hak dan kewajiban bagi tiap-tiap pihak yang terlibat dalam perikatan. Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undang–undang Hukum Perdata dibawah titel Tentang Perikatan, mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864. Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari Undang-Undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan. Didalam Kitab Undang–undang Hukum Perdata, asas kebebasan untuk melakukan perikatan (freedom of contract) mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan Pasal 1320 angka 4. Dengan kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang–undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
80
Subekti, Op. Cit. Hal 1
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
60
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang – undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Ketentuan tersebut memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa pada
dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.
Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang–undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang
dilarang.81 Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda82 dalam kenyataannya
dapat
menimbulkan
ketidakadilan.
Kebebasan
berkontrak
didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah. Hal ini banyak ditemui dalam perjanjian atau kontrak yang berlangsung antara Bank dan nasabah. Bank merupakan pihak yang mempunyai dana yang sangat dibutuhkan oleh nasabah, sehingga Bank mempunyai bargaining power yang lenih kuat dibandingkan nasabah. Keadaan ini sering dimanfaatkan oleh Bank dalam pembuatan perjanjian, dimana klausula kontrak yang ditawarkan oleh Bank lebih sering berbentuk klausula baku yang harus diterima begitu saja oleh nasabah apabila nasabah ingin mendapatkan bantuan pembiayaan dari Bank. Kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak memiliki makna kebebasan berkontrak yang positif dan negatif. Kebebasan berkontrak yang positif adalah bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat kontrak yang mengikat
yang mencerminkan kehendak bebas para pihak. Dengan prinsip tersebut, maka
81
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 46 82
Ridwan Khairandy dalam bukunya berjudul Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak memberikan definisi Kebebasan Berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian. Sedangkan Pacta sunt servanda adalah apa yang disepakati oleh para pihak dalam kontrak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak sebagaimana layaknya undang – undang.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
61
pembentukan suatu kontrak dan pemilihan isi kontrak adalah hasil kehendak bebas para pihak. Kebebasan kontrak negatif bermakna bahwa para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang kontrak yang mengikat itu tidak mengaturnya. 83 Namun kebebasan ini tentunya dibatasi oleh ketentuan perUndang-Undangan
yang berlaku, dimana walaupun suatu hal tidak diatur di dalam kontrak yang bersangkutan namun apabila hal tersebut diatur di dalam peraturan perUndang Undangan maka para pihak wajib menjalankan sesuai dengan apa yang disebutkan
di dalam peraturan perUndang-Undangan terkait. Asas Kerelaan, hal ini sejalan dengan Pasal 1321 Kitab Undang–undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Asas kejujuran dan kebenaran, hal ini sejalan pula dengan Pasal 1321 Kitab Undang–undang Hukum Perdata sebagaimana telah disebutkan diatas. Sehingga jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sebaiknya suatu akad atau perjanjian dibuat secara tertulis, hal ini yang akan dijadikan sebagai bukti otentik bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Pada umumnya perjanjian dalam bentuk tertulis disebut juga dengan kontrak. Berdasarkan Black‟s Law Dictionary, perjanjian memiliki pengertian yang luas daripada kontrak, karena kontrak biasanya dibuat dalam bentuk tertulis diantara dua atau lebih orang yang melahirkan kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu hal khusus. Dalam membuat suatu perikatan, hal penting yang harus ada dan mendasari bentuk suatu perikatan atau kontrakadalah itikad baik. Dalam hukum kontrak, itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu:84
83
Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cet.2, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), Hal 42
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
62
1.
Penafsiran kontrak harus didasarkan pada itikad baik. Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata, sehingga untuk menetapkan isi
kontrak perlu dilakukan penafsiran agar diketahui dengan jelas maksud para penting dalam penafsiran kontrak, jika pihak. Asas itikad baik berperan
kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Dalam Pasal 1343 KUH Perdata ditentukan bahwa:
“Jika kata–kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu daripada memegang teguh arti kata – kata menurut huruf.” Dengan demikian, kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau maksud para pihak. 2.
Fungsi menambah Dengan fungsi yang kedua ini, itikad baik dapat menambah isi suatu perjanjian tertentu dan juga dapat menambah kata–kata ketentuan UndangUndang mengenai perjanjian itu. Fungsi yang demikian ini dapat diterapkan apabila ada hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak.
3.
Fungsi yang membatasi dan meniadakan Suatu perjanjian tertentu atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang–undang mengenai kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah berubah sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam keadaan yang demikian itu,
kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan ditiadakan seluruhnya atas itikad baik.
84
P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Nederland, (Jakarta: Percetakan Negara, 1990), hlm. 11. Sebagaimana dikutip dalam Ridwan Khairandy, Op.cit, hlm. 231
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
63
3.1.2 Perikatan Menurut Hukum Syariah Islam
Dalam Islam, konsep mengenai perikatan dan perjanjian ini diatur dalam bab mengenai muamallah. Dalam hukum Islam suatu perikatan memerlukan suatu
tanggung jawab moral yang sangat tinggi untuk, dipenuhi oleh masing-masing
pihak yang melakukan perikatan, karena merupakan tanggung jawab yang wajib setelah berada di alam akhirat. Berbeda dipenuhi ketika hidup di dunia maupun
dengan perikatan yang ada dalam ketentuan hukum positif yang pemenuhannya hanya berlaku di dunia saja. Perikatan dalam hukum Islam memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi untuk pemenuhannya karena apabila tidak dipenuhi di dunia akan menjadi tanggung jawab ketika di alam akhirat. Terdapat dua hal yang berhubungan dengan perjanjian dalam Islam, yaitu al-„aqdu (akad) dan al-„ahdu (janji).85 Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.86 Kata al-„aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah: 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Dalam kaitannya dengan hukum perikatan Islam, Fathurahman Djamil mengemukakan enam asas yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu: 87 1.
Asas Kebebasan (Al–Hurriyah) Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya, namun kebebasan ini tidaklah absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka perikatan tersebut boleh
85
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 45.
86
Ghufron A. Mas‟adi. Fiqih Muamalah Konstektual. Cet.1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Hal: 75 87
Ibid. Hal 249 – 251
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
64
dilaksanakan. Adapun dasar hukumnya adalah surat Al – Maidah ayat 1, yang berbunyi:
“Hai orang – orang yang beriman, penuhilah akad – akad itu”. Kebebasan berkontrak dalam system hukum Islam dilaksanakan antara dua
jalur. Pertama, perbuatan kontrak sebagaimana difirmankan Allah SWT melalui kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Kedua, prinsip larangan terhadap riba dan uncertainty (gharar). 2.
Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al–Musawah) Suatu perbuatan muamallah salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Antara sesama manusia masing–masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing–masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut.
3.
Asas Keadilan (Al–„Adalah) Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT yang sering kali disebutkan dalam Al Qur‟an. Bersikap adil sering kali Allah SWT tekankan kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada takwa. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur‟an Surat Al- A‟raaf (7) ayat 29: “Katakanlah: “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil.”
4.
Asas Kerelaan (Al–Ridha) Segala transaksi yang dilakuakan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing–masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan dan mis–statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Disamping itu pula, jika hal tersebut terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur sukarela ini
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
65
menunjukkan keikhlasan dan itikad baik dari para pihak. Asas kerelaan ini 29, yang berbunyi: sesuai dengan Surat An–Nisa ayat
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
5.
Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash–Shidq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan mudharat adalah dilarang. Dalam surat Al–Ahzab ayat 70 disebutkan bahwa: “Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar.” 6.
Asas Tertulis (Al–Kitabah) Hukum syara‟ mensyaratkan lebih sekedar sepakat terhadap suatu akad (kontrak), yakni dengan mensyaratkan salah satu dari hal – hal berikut:88 a. Kontrak tertentu tidak cukup dengan ijab kabul semata, tetapi harus dalam bentuk tertulis, yang sering disebut dengan istilah “kontrak
formal”. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al Qur‟an surat Al–Baqarah ayat 282, yang artinya sebagai berikut: “Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai
untuk
waktu
yang
ditentukan,
maka
kamu
menuliskannya.” b. Al–Uqud al–Ainiyah, yang merupakan kontrak riil, yakni akad baru ada setelah adanya suatu levering (serah terima). Kedalam kelompok akad 88
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua, Cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 31 – 32
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
66
seperti ini, termasuk akad–akad sebagai berikut: Hibah, Pinjam meminjam („ariah), Penitipan barang (Al–Wadi‟ah), Qirad yakni suatu persekutuan modal (mudharabah), Rahn (Jaminan hutang).
Dengan demikian, Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya tertulis, dihadiri oleh saksi–saksi, dan suatu perikatan dilakukan secara
diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi, dan/atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut.
Dari keenam asas tersebut Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti (2005) dalam buku yang berjudul Hukum Perikatan Islam di Indonesia menambahkan asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid. Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti disebutkan dalam Q.S Al-Hadid ayat 4 bahwa: “Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” Kegiatan muamalat termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas dari nilai–nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal ini. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. 89
89
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm.. 30-31, Lihat Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hlm. 723–727, AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Cet. 1,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
67
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari
kegiatan tolong menolong (tabarru‟). Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al – bai‟) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala
variasinya. 90 Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan asas akad dalam Pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) antara lain bahwa akad dilakukan berdasarkan 11 asas: 91 1.
Sukarela atau ikhtiyari yaitu setiap akad dilakukan berdasarkan kehendak para pihak dan bukan karena keterpaksan.92
2.
Menepati janji atau amanah yaitu setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
3.
Kehati-hatian atau ikhtiyati yaitu setiap akad dilakukan dan dilaksanakan dengan pertimbangan yang matang.
4.
Tidak berubah yaitu setiap akad memiliki tujuan yang jelas dan terhindar dari spekulasi.
5.
Saling menguntungkan yaitu setiap akad dilakukan dengan niat untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga terhindar dari manipulasi.
6.
Kesetaraan atau taswiyah yaitu keadaan dimana para pihak yang melaksanakan akad memiliki kedudukan yang setara serta memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, tidak berat sebelah.
Jakarta:Prenada Media, 2004), Hal. 125-126, dan Yeni Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, Hlm. 78-79. 90
Ascarya, Op. Cit. Hal 37
91
Achmad Fauzi, “Bank Syariah, Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, http://www.pta-samarinda.net/pdf/Subag%20Umum/EkS Achmad%20fauzi.pdf, hlm. 6, diunduh tanggal 14 April 2010 92
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An–Nisa: 9 “Hai orang–orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
68
7.
Transparansi yaitu akad dilakukan dengan pertanggungjawaban kepada para pihak secara terbuka.
8.
Kemampuan yaitu akad dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing
pihak. 9.
Kemudahan atau taisir yaitu di dalam akad diberikan kemudahan bagi masing-masing pihak untuk melaksanakannya.
10. Itikad baik yaitu akad dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemaslahatan.
11. Sebab yang halal yaitu akad tidak bertentangan dengan hukum (Achmad Fauzi; 2010:6)
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-„aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.93 Sedangkan istilah al-„ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenskomst, yaitu suatu perrnyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. 94 Abdoerraoef
mengemukakan terjadinya suatu
perikatan (al-„aqdu) melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut:95 1.
Al „Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali-Imran: 76.
2.
Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama, persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
93
Djamil, Fathurrahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et. al. Cet. 1. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001), Hal 247-248 94
Ibid. Hal 248
95
Abdoerraoef. Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. (Jakarta: Bulan Bintang. 1970), Hlm 122-123
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
69
3.
Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka oleh Al Qur‟an yang terdapat dalam QS. terjadilah apa yang dinamakan aqdu
Al-Maidah ayat 1: “maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu itu, tetapi „akdu.
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi:96 1.
Subjek Perikatan (Al–„Aqidain) Al–„aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek dalam perikatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu orang dan badan hukum yang masing – masing memiliki hak dan kewajiban. Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. 97 Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa subjek hukum adalah orang perorangan, persekutuan atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum untuk mendukung hak dan kewajiban.
2.
Objek Perikatan (Mahallul „Aqd) Mahallul „Aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa
96
Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatn tersebut dan ada tau tidak adanya sesuatu itu. Secara singkat rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟I dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Sedangkan syarat secara singkat didefinisikan sebagai ketentuan, peraturan atau petunjuk yang harus diindahkan dan dilakukan. Rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. 97
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit. Hlm.127
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
70
benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud seperti manfaat. Pasal 24 KHES menyebut bahwa objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Pengertian amwal pada Pasal 1 angka 9 adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik benda berwujud maupun abstrak, baik benda terdaftar maupun tidak terdaftar, benda bergerak atau tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis 3.
Tujuan Perikatan (Maudhu‟ul „Aqd) Maudhu‟ul „aqd adalah tujuan dan hukum suatu aqad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Menurut ulama Fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut, apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.98 Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat – syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut: a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. c. Tujuan akad harus dibenarkan syara‟.
4.
Ijab Kabul (Sighat al-„Aqd) Sighat al–„Aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama Fiqh mensyaratkan tiga hal dalam
melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut:99 a. Jala‟ul ma‟na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
98
99
Fathurrahman Djamil, Op. Cit, hlm. 257 – 258
Ibid, hlm. 253
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
71
b. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. ijab dan kabul menunjukkan kehendak c. Jazmul iradataini, yaitu antara
para pihak secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.
Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini: 100 a. Lisan, para pihak menggungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan
kabul yang dilakukan oleh para pihak. b. Tulisan, adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau perikatan–perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan badan hukum. Hal ini diperlukan karena alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang–orang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut. c. Isyarat, suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnya adalah berupa tunawicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman yang sama. Dengan demikian ijab kabul dalam bentuk isyarat hanya diakui jika salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat melakukan sighat aqad dalam bentuk lisan atau tertulis. d. Perbuatan, seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta‟athi atau mu‟athah (saling memberi dan menerima).
Di dalam lapangan hukum Islam, jual beli termasuk ke dalam lapangan hukum perjanjian, atau aqad (Arab). Jual beli merupakan suatu bentuk aqad khusus yaitu tunduk kepada ketentuan khusus tentang aqad jual beli namun tetap
100
Ahmad Azhar Basyir, Asas–asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000), hlm. 68 - 71
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
72
tunduk kepada ketentuan umum tentang aqad. 101 Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran). Kata al-Bai‟ (jual) dan asy-Syira
(beli) digunakan biasanya dalam pengertian yang sama, tetapi mempunyai makna yang bertolak belakang. 102 Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran
harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar).103 Berkaitan dengan jasa jual beli yang disediakan perbankan syariah dalam bentuk produk pembiayaan selalu menyinggung two level of playing fields, yaitu sharia level dan legal level. Sebagai konsekuensinya, satu istilah hukum akan dapat menimbulkan dua arti yang berbeda pada level yang berbeda (the same word may have two different meanings in different level). Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian, sementara dalam perspektif syariah (sharia level) akad tidak selalu berati perjanjian. Suatu akad baru dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya kesepakatan antara bank syariah dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan telah diketahui. 104
3.1.3 Kombinasi Hukum Perikatan KUH Perdata dan Hukum Islam dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah Hal mendasar yang membedakan perikatan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian
lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama
101
M. Hasballah Thaib. Hukum dan Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah. (Medan: Pustaka Bangsa Press. 2004) Hal 8-15. 102
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki. Jilid 12. (Bandung: PT al-Ma‟arif. 1987), Hal 44 103
104
Ibid. Hal 45 Karim, A. Adiwarman. Op. Cit. Hal: 362
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
73
dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka.105
Dalam pembuatan sebuah kontrak atau surat perjanjian, Bank tetap harus
memperhatikan nilai-nilai syariah dan mengacu pada hukum positif. Dengan
demikian langkah penyusunan serta bentuk formal surat perjanjian bank syariah tidak akan jauh berbeda dengan surat perjanjian lainnya. Secara umum, dalam membuat suatu kontrak perjanjian, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut:106 1.
Penguasaan atas aspek bisnis dari kontrak Para pihak harus mengetahui, memahami, serta menguasi aspek bisnis dari kontrak yang akan mereka sepakati, baik dari sisi jenis, karakteristik hingga risiko bisnis tersebut.
2.
Identifikasi pihak-pihak dalam kontrak Masing-masing pihak harus melakukan identifikasi terhadap para pihak yang terlibat dalam kontrak yang akan disepakati, apakah yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah suatu badan hukum atau perorangan.
3.
Pengenalan karakteristik pihak-pihak dalam kontrak Para pihak harus mengetahui serta memahami karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
4.
Penguasaan regulasi Para pihak harus mengetahui, memahami serta menguasai seluruh regulasi yang akan terkait dengan isi kontrak yang akan mereka sepakati.
5.
Penggunaan tenaga lain
Para pihak harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kemungkinan penggunaan tenaga lain yang dapat menunjang terlaksananya kontrak mereka dengan baik.
105
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 47
106
Karim, A. Adiwarman. Op. Cit. Hal: 364
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
74
Setelah mengetahui dan memahami beberapa hal yang terkait sebelum membuat suatu kontrak, langkah selanjutnya adalah para pihak melakukan
beberapa tahap pembuatan kontrak, yaitu: 107 1.
Persyaratan Tahapan Permohonan dan Pengajuan
2.
Kesepakatan para pihak
Dalam tahapan ini, para pihak berperan langsung untuk mendapatkan kesepakatan awal tentang apa yang akan disepakati oleh kedua belah pihak
sebelum menuangkannya dalam sebuah kontrak. Kesepakatan harus disepakati dalam sebuah kontrak. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka para pihak tidak perlu membuat kontrak. 3.
Negosiasi rancangan kontrak
4.
Penandatangan kontrak Penandatangan aqad atau kontrak dilakukan dalam satu majelis dengan dihadiri oleh para pihak yang akan melakukan transaksi yaitu pihak nasabah, Bank, Notaris dan saksi-saksi.
5.
Pelaksanaan kontrak Dalam tahapan ini diperlukan pengawasan dari Bank agar pembiayaan yang diberikan oleh Bank digunakan sesuai tujuan awal oleh nasabah.
6.
Sengketa kontrak Mencantumkan klausula sengketa dalam kontrak merupakan hal yang penting. Pada umumnya tahapan pertama mengatasi sengketa adalah dengan musyawarah. Apabila tidak tercapai mufakat dan perdamaian maka ditempuh langkah selanjutnya sesuai dengan disepakati dalam kontrak, berupa penyelesaian melalui Arbitrase maupun di Pengadilan. Berkaitan dengan
kegiatan perbankan Syariah, maka penyelesaian dilakukan di Badan Arbitrase Syariah Nasional, Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
3.1.4 Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak Pada dasarnya segala transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk fasilitas pembiayaan, selalu dituangkan dalam suatu
107
Ibid. Hal: 154
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
75
surat perjanjian. Berkaitan dengan hal ini maka para pihak dapat memasukkan aspek-aspek syariah dalam konteks hukum positif Indonesia sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak yang memenuhi syarat sahnya perjanjian baik menurut 108 syariah maupun KUH Perdata Pasal 1320. Dengan kata lain, jika bank syariah
dan nasabah membuat perjanjian yang bentuk formalnya didasarkan pada Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata, sementara substansi perjanjian didasarkan atas ketentuan syariah, maka perjanjian tersebut dikatakan sah baik dilihat dari segi hukum nasional maupun sisi syariah.
Perikatan dalam Islam tidak jauh berbeda dengan konsep perikatan secara perdata yang didasarkan pada ketentuan dalam KUH Perdata, karena perikatan secara hukum Islam maupun hukum perdata sama-sama menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perikatan tersebut. Begitu juga dalam akad murabahah yang di dalamnya terdapat bentuk perikatan antara bank dan nasabah, dimana bank bertindak sebagai sahib al-mal atau kreditur dan nasabah bertindak sebagai debitur. Dari perikatan atau akad antara keduanya timbul hubungan hukum berupa hak dan kewajiban masing-masing. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban pihak lain yang harus dipenuhi. Sehingga hak dan kewajiban para pihak merupakan satu siklus yang tidak terputus sampai terwujudnya tujuan perikatan. Dilihat dari segi mengikat atau tidaknya suatu perikatan jual beli yang sahih, maka jual beli dengan sistem murabahah bersifat mengikat kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad tanpa seizin pihak lain. 109 Berkaitan dengan hal tersebut maka terdapat hak dan kewajiban para pihak
yang ditentukan di dalam akad guna mencapai tujuan dari perikatan yang dimaksud. Timbulnya hak di dalam Islam, menurut ulama Fiqih disebabkan oleh hal-hal berikut:110
108
Ibid. Hal: 360
109
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004). Hlm 111
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
76
1. Syara‟, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan. 2. Akad, seperti akad jual-beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik.
3. Kehendak pribadi, seperti nazar atau janji. 4. Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang orang lain. 5. Perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaian menggunakan milik seseorang. Dalam perjanjian pembiayaan murabahah, hak milik nasabah maupun Bank
timbul akibat adanya akad murabahah yang di dalamnya melaksanakan proses jual-beli. Sebagai akibat dari proses jual-beli, maka muncullah hak menerima harga dan pembayaran bagi penjual (Bank) dan hak menerima barang bagi pembeli (nasabah).111 Berkaitan dengan proses jual-beli maka tidak menutup kemungkinan bahwa di dalamnya terjadi utang-piutang untuk pelunasan pembayaran. Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya bahwa pelunasan pembayaran murabahah bisa dilakukan dengan cara angsuran maupun tunai. Dengan adanya pembayaran secara angsuran dan utang-piutang dalam murabahah maka diperlukan perlindungan hak bagi Bank dan nasabah. Perlindungan hak bagi Bank ditujukan agar Bank mendapatkan jaminan pelunasan pembayaran atas skim murabahah yang telah disediakannya, terutama bagi pembiayaan murabahah yang dilunasi dengan cara angsur oleh nasabah. Telah banyak ditemukan kasus kredit macet terkait pembiayaan murabahah, dimana nasabah mengalami kendala untuk melunasi angsurannya. Dalam pemenuhan hak utang-piutang, hukum syariah Islam berpedoman pada Al-Qur‟an sebagaimana disebutkan berikut:
“... dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan sekiranya engkau menyedekahkannya, hal itu lebih mulia bagimu jika mengetahui.”112
110
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 74
111
Ibid. Hal 73
112
QS. al-Baqarah ayat 280
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
77
Sejajar dengan hak masing-masing pihak yang dapat dituntut, ada kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Kewajiban dalam
pengertian akibat hukum dari suatu akad biasa diistilahkan sebagai “Iltizam”. Secara istilah iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain
berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.113 Substabsi hak sebagai taklif (yang menjadi keharusan yang terbebankan kepada orang lain) dari sisi penerima dinamakan hak, sedang dari sisi
pelaku dinamakan iltizam yang artinya keharusan atau kewajiban. Jadi antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam suatu konsep.114 Sebagimana sebab munculnya hak, munculnya kewajiban dalam Islam disebabkan oleh hal-hal berkut: 1. Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak untuk melakukan sebuah perikatan, seperti akad jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya. 2. Kehendak sepihak, yaitu keadaan seperti ketika sesorang menyampaikan suatu janji atau nazar. 3. Perbuatan yang bermanfaat, yaitu seperti ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan. Maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya. 4. Perbuatan yang merugikan, yaitu seperti ketika sesorang merusak atau melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani oleh iltizam atau kewajiban tertentu.
Iltizam atau kewajiban dalam Islam terhadap suatu hutang pada prinsipnya
harus dipenuhi oleh orang yang berutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu Hukum Islam memberikan beberapa alternatif pemenuhan iltizam, misalnya melalui cara: 115
113
Ghufron, A. Mas‟adi. Op. Cit. Hal 34
114
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 78.
115
Ibid. Hlm 79-80
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
78
1. Hawalah, yaitu pengalihan iltizam atau kewajiban berupa keharusan membayar utang kepada pihak lain (pihak ketiga). Prinsip hawalah ini banyak digunakan pada kehidupan modern. Sebagai contoh misalnya seorang nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank. Pihak bank lalu membayar piutang tersebut lalu bank menagih pada pihak ketiga. 2. Kafalah (mengumpulkan, menjamin, menanggung), yaitu jaminan yang
diberikan oleh pihak penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua, yakni pihak yang ditanggung. 3. Taqashi, merupakan suatu keadaan di mana orang berpiutang terhalang menagih piutangnya karena ia sendiri berutang kepada orang yang berpiutang kepada dirinya. Dalam kondisi seperti ini masing-masing terhalang untuk menuntut hak tagihan, namun mereka tetap terbebani dengan iltizam atau kewajiban masing-masing.
Sehubungan dengan hubungan hukum antara Bank Syariah dengan nasabah, yang berlaku adalah hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata karena KUH Perdata merupakan hukum positif di Indonesia. Dalam hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, bagi pembuatan suatu perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Berdasarkan asas ini maka setiap pihak bebas memperjanjikan hal-hal yang dikehendaki oleh mereka sebagi isi perjanjian sepanjang isi perjanjian tidak bertentangan dengan UndangUndang serta ketertiban umum. Dengan disepakatinya hal-hal tertentu sebagai isi perjanjian maka perjanjian tersebut berlaku secara sah dan mengikat sebagai Undang-Undang terhadap para pihak yang membuatnya.
Sebagian besar ketentuan hukum perjanjian dalam KUH Perdata bersifat tidak memaksa (aanvullend recht) yang berarti boleh disimpangi oleh para pihak dengan membuat ketentuan dan syarat-syarat lain yang dibuat di dalam perjanjian. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat di antara para pihak mengenai isi suatu perjanjian, sementara hal yang dipersengketakan tersebut tidak diatur secara tegas di dalam perjanjian maupun dalam hukum perjanjian, maka para pihak dapat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
79
mengacu pada ketentuan kebiasaan.116 Ketentuan di atas sesuai juga dengan Pasal 1347 KUH Perdata yang menentukan bahwa “hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, secara diam-diam dianggap telah dimasukkan pula yang demikian itu tidak secara tegas kedalam perjanjian itu, meskipun hal
dinyatakan dalam perjanjian itu”.
Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 1347 KUH Perdata itulah
ketentuan syariah berlaku bagi penafsiran perjanjian antara bank syariah dengan nasabah. Sekalipun prinsip atau ketentuan syariah bukanlah merupakan hukum positif, tetapi prinsip atau ketentuan syariah berkedudukan sebagai hukum kebiasaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1347 KUH Perdata. Oleh karena itu berlaku terhadap hubungan hukum antara bank dan nasabahnya sepanjang belum diatur dalam perjanjian dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa dalam hukum perjanjian. Dengan kata lain apabila di dalam perjanjian antara Bank Syariah dengan nasabah telah tidak diperjanjikan mengenai hal yang dipersengketakan, sedangkan dalam KUH Perdata juga tidak mengaturnya, maka prinsip atau ketentuan syariah itu (yang belum dituangkan sebagai ketentuan dan syarat-syarat dari perjanjian yang bersangkutan) harus dirujuk. 117 Pada umumnya, perjanjian kredit bank mempunyai bentuk baku (standart contract) yang telah ditentukan oleh masing–masing bank. Standart contract merupakan perjanjian tertulis yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh bank sebagai pihak kreditur. Dalam prakteknya bentuk perjanjian kredit bank memang telah disediakan pihak bank sedangkan nasabah hanya tinggal mempelajari dan memahaminya dengan baik. Dengan adanya standart contract,
ketika bank telah menyetujui permohonan kredit kepada nasabah, maka bank akan mengajukan formulir perjanjian kredit yang berisi perjanjian antara pihak bank dengan nasabah tersebut. Dalam kontrak standar tersebut sebagian besar isisnya
116
Hal ini berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang” 117
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 1999), Hal 137.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
80
sudah ditetapkan oleh pihak Bank yang tidak membuka kemungkinan untuk dinegosisasikan lagi, sementara sebagian lagi sengaja dikosongkan untuk
memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak nasabah dan baru diisi setelah diperolah kesepakatan.118 Pada umumnya nasabah menyetujui apa yang tertera
dalam standart contract tersebut dan menandatanganinya. Pembuatan perjanjian antara Bank Syariah dan nasabah dengan metode
standard contract tentu merupakan perjanjian yang berat sebelah. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian baku dalam perbankan dibuat secara sepihak oleh Bank, sehingga perjanjian baku sering berat sebelah yaitu memuat lebih banyak hak-hak Bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, dan kurang memuat secara seimbang mengenai hak-hak nasabah dan kewajiban-kewajiban Bank. Dalam perjanjian baku seperti ini banyak dimasukkan klausula yang menekan nasabah dimana hal tersebut bertentangan dengan asas kepatutan atau asas keadilan. Pada banyak kasus, pengadilan sering berpendapat bahwa dalam hal pembuatan perjanjian yang berat sebelah, Bank dianggap telah melakukan penyalahgunaan keadaan atau misbruik van omstandigheden yang berarti bahwa saat perjanjian dibuat Bank telah menyalahgunakan keadaan nasabah yang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi Bank yang mempunyai bargaining power lebih kuat sebagai penyedia dana sementara nasabah sebagai pihak yang sangat membutuhkan fasilitas pembiayaan. Jika nasabah menolak klausul yang diajukan oleh Bank maka Bank akan menolak memberikan pembiayaan. 119
3.2. Aspek Prudential Banking Terkait Pembiayaan Murabahah
Sebagaimana halnya perbankan konvensional, dunia perbankan syariah juga memerlukan rambu-rambu sebagai koridor operasional kegiatannya. Hal ini sering disebut dengan prudential principle yang diartikan sebagai prinsip kehati-hatian
118
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Peransurasian Syariah Di Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2004), Hal 186. 119
Sjahdeini, Op. Cit. Hal 139 – 140
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
81
di dalam dunia perbankan. Istilah prudent sangat terkait dengan pengawasan dan manajemen bank. Kata prudent itu sendiri secarara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan bahwa lembaga perbankan syariah harus untuk asas kehati–hatian. 120 Ketentuan
menerapkan prudential principle dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut Sutan Remy Sjahdeini diabaikannya rambu –
rambu kesehatan oleh bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah memberikan dampak kerugian yang jauh lebih besar dari pada hal itu dilakukan oleh bank konvensional. 121 Adapun alasan mengenai hal itu, alasan pertama, karena resiko yang dihadapi oleh Bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam hal pembiayaan diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil kepada nasabahnya, jauh lebih besar dari pada resiko yang dihadapi oleh bank konvensional yang memberikan kredit dengan jaminan. Pada pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip Syariah tidak boleh meminta agunan dari nasabah. Dengan kata lain, bank yang menjalankan usaha bedasarkan prinsip syariah semata–mata hanya dapat mengandalkan first way out sebagai sumber pengembalian dana yang diinvestasikan oleh bank dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil. Sedangkan pada pemberian kredit oleh bank konvensional, penyerahan agunan oleh nasabah debitur merupakan unsur penting sebagai second way out, juga bank konvensional masih dapat mengandalkan second way out berupa agunan kredit dan penjaminan apabila first way out mengalami kegagalan.122
Alasan kedua, apabila terjadi kegagalan pada pembiayaan yang diberikan oleh bank yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip Syariah, nasabah tidak 120
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.21. 121
Sjahdeini, Op. Cit. Hal 172
122
Ibid. Hal 173
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
82
berkewajiban untuk mengembalikan dana bank tersebut. Sebagaimana telah diuraikan dimuka, pada pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil, banklah yang
harus memikul kehilangan dana yang telah diberikan kepada nasabah untuk resiko yang dipikul nasabah hanya berupa diputarkan dalam usahanya. Sedangkan
tidak memperoleh keuntungan dari jerih payahnya dalam menjalankan dan mengelola usaha itu.123
Pada prakteknya, bank syariah memang mengenakan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan utama adanya agunan pada bank syariah adalah untuk melaksanakan prinsip kehati–hatian dalam menyalurkan dana pihak ketiga, hal ini sebagai bentuk penerapan prinsip 5 C‟s of Credit. Alasan ini memang dapat diterima, karena dana yang disalurkan ke masyarakat bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana yang berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh pihak bank syariah. Tujuan dilakukan pengikatan jaminan adalah untuk melaksanakan prinsip kehati–hatian. Sedangkan prinsip kehati–hatian berdasarkan Syariat Islam adalah pada syarat sahnya perjanjian Islami itu sendiri. Muhammad Amin Suma mengatakan bahwa asas – asas perjanjian dalam perbankan Syariah adalah asas rela sama rela (ridha „iyyah), asas manfaat, asas keadilan, dan asas saling menguntungkan. 124 Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas–asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan berdasarkan prinsip kehati–hatian. Untuk itu sebelum memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Penetapan rambu-rambu perbankan tersebut ditujukan agar bank sebagai financial intermediary institution yang melakukan kegiatan usaha perkreditannya,
123
Ibid. Hal 174
124
Muhammad Amin Suma, Ekonomi Syariah sebagai Alternatif System Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 20, Agustus –September 2002, hlm. 18
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
83
yang menggunakan dana masyarakat dan pihak ketiga lainnya harus selalu dalam perkreditan rakyat maupun bank syariah keadaan sehat.125 Baik bank umum, bank
wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, serta modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
wajib melakukan kegiatan usaha bank dengan prinsip kehati-hatian.126 Prinsip kehati-hatian atau prudential principle ini kemudian dituangkan
lebih detail ke dalam prudential standards atau rambu-rambu kesehatan bank. Pada Pasal 29 ayat 3 Undang – undang Perbankan menegaskan bahwa: “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara - cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepadanya.
Ketentuan ini terdapat pula dalam Pasal 36 Undang – undang Perbankan Syariah, yang berbunyi: “dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menempuh cara–cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya”.
Pasal 29 ayat 3 UU Perbankan secara khusus meminta perhatian mengenai kepentingan nasabah penyimpan dana bank yang harus dijaga yang mungkin dibahayakan sebagai akibat bank tidak memperhatikan prinsip kehati–hatian dalam memberikan pembiayaan dalam kegiatan usaha lain. 127 Mengenai prinsip
125
Ibid. Hal 171
126
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 29 ayat (2)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
84
kehati–hatian dalam perbankan syariah secara jelas dinyatakan dalam Pasal 35 ayat 1 Undang – undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008, yang berbunyi:
“Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam melakukan kegiatan
usahanya wajib menerapkan prinsip kehati–hatian”.
Dalam perspektif Islam prinsip kehati–hatian dalam bertransaksi sangat ditekankan, begitu pentingnya prinsip kehati–hatian ini Rasulullah SAW menyatakan dalam sabdanya: “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan
Abbas
itu
didengar
Rasulullah
SAW,
beliau
membenarkannya” (H.R. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Dalam pelaksanaannya, pelanggaran atas prudential standards pada perbankan konvensional maupun perbankan syariah dapat dikenakan berbagai macam sanksi tergantung jenis pelanggarannya. Bank Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif, sanksi pidana berupa penjara dan denda, maupun sanksi perdata baik kepada bank maupun pada pengurus dan pemilik bank yang bersangkutan.128
127
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 174 128
Ibid. Hal 172
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
85
3.2.1 Analisis Pembiayaan
Analisis pembiayaan dilakukan secara mendalam terhadap itikad, kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk mengembalikan dana pembiayaan
yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan129 antara bank sebagai shahib al
maal dan nasabah sebagai mudharrib. Dalam hal ini Bank Syariah wajib memiliki keyakinan atas kemampuan nasabah dalam mengembalikan pembiayaan.
Operasionalisasi analisis pembiayaan berdasarkan prinsip syariah ini diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Analisis pembiayaan ini sering diterapkan dengan melakukan penilaian 5C, penilaian 5P, serta penilaian 3R yang terdiri dari Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability kepada nasabah pemohon pembiayaan.130 Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang harus dinilai oleh bank syariah sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitor (mudharib), yang kemudian terkenal dengan sebutan “The Five C of Credit Analysis” atau prinsip 5 C‟s yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Character (Karakter) Merupakan penilaian watak atau kepribadian calon debitor yang dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitor untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak akan menyulitkan bank dikemudian hari. Hal ini dapat diperoleh dengan didasarkan pada hubungan antara bank dan calon debitor atau nasabah berdasarkan prinsip syariah atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitor dalam kehidupan kesehariannya. 2. Capacity (Penilaian Kemampuan) Merupakan penilaian kemampuan yang dilakukan oleh Bank untuk meneliti keahlian calon debitor dalam bidang usahanya dan kemampuan
129
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Pasal 8 ayat (1) 130
Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju, 2004, hal.16.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
86
manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang–orang yang tepat. 3. Capital (Modal) Merupakan penilaian terhadap modal nasabah yang dilakukan oleh Bank dengan cara melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitor dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitor yang bersangkutan. 4. Collateral (Jaminan) Merupakan penilaian yang dilakukan terhadap agunan, Tujuannya untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitor umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilai minimalnya sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. Hal ini untuk mengantisipasi jika debitor tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa. 5. Condition of economy (Kondisi Ekonomi) Merupakan penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitor. Bank harus menganalisis keadaan pasar didalam dan diluar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitor yang dibiayai bank dapat diketahui. 131
Selain menerapkan prisip 5 C‟s diatas, bank juga harus menerapkan prinsip 5 P sebagai berikut: 1. Party (Para Pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini debitor. Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan sebagainya. 2. Purpose (Tujuan) Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditor. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal – hal yang positif yang benar – benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar – benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit serta harus pula diperhatikan urgensi dari kredit yang diminta. 3. Payment (Pembayaran)
131
Rachmadi Usman, Aspek – aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002) hlm 246
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
87
Harus pula diperhatikan apakah sumber pembiayaan kredit dari calon debitor cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitor yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitor punya sumber pendapatan dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya. 4. Profitability (Perolehan Laba) Unsur perolehan laba oleh debitor tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit. Untuk itu kreditor harus berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya 5. Protection (Perlindungan) Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitor. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari holding atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan, terutama untuk berjaga–jaga sekiranya terjadi hal–hal diluar skenario atau diluar prediksi semula. 132
3.2.2 Penetapan Batas Maksimum Pemberian Kredit Istilah Batas Maksimum Pemberian Kredit biasa juga disebut sebagai BMPK, yaitu merupakan prosentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. Latar belakang ditetapkannya ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) adalah agar bank melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam, atau bahkan sektor tertentu. Pasal 11 ayat (1) Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998
menyebutkan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan–perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
132
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 24 – 26
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
88
Penerapan BMPK ini terbagi dalam BMPK terhadap pihak terkait (yang merupakan peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai keterkaitan
dengan Bank karena hubungan kerja, keluarga maupun kepemilikan saham) dan pihak tidak terkait. Ketentuan mengenai besarnya BMPK diatur oleh Bank
Indonesia.
Berdasarkan
Pasal
20
SK
Direksi
Bank
Indonesia
No.
31/177/KEP/DIR maka ketentuan tentang BMPK bagi bank umum berlaku juga pada bank dengan prinsip syariah.
3.2.3 Loan to Deposit Ratio (LDR) Adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Dengan ditetapkannya batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan dan loan to deposit ratio yang harus diperhatikan oleh bank syariah, maka bank syariah tidak dapat begitu saja secara serampangan melakukan ekspansi pembiayaan dengan hanya bertujuan untuk secepatnya membesarkan jumlah asetnya. Hal ini dikarenakan dapat membahayakan kelangsungan hidup bank dan membahayakan dana simpanan para nasabah penyimpan dana di bank tersebut.133
3.2.4 Modal Minimum Bank Permodalan suatu Bank terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal minimum bank atau sering juga disebut dengan capital adequacy ratio (CAR) merupakan kecukupan modal minimum yang harus disediakan oleh bank. Batas minimum CAR dapat diubah sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia. Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 ditetapkan bahwa Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan perseratus) dari aktiva tertimbang menurut risiko terhitung sejak akhir bulan Desember 2001. Posisi CAR sangat tergantung pada: 134
133
Sjahdeini, Sutan Remy. Op. Cit. Hal 177
134
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, 2007, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Hlm 165
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
89
a. Jenis aktiva serta besarnya risiko yang melekat padanya. b. Kualitas aktiva atau tingkat kolektibilitasnya.
c. Total aktiva suatu bank, semakin besar aktiva, semakin bertambah pula risikonya.
d. Struktur posisi dan kualitas permodalan bank. e. Kemampuan bank untuk meningkatkan pedapatan dan laba. 3.2.5 Kualitas Aktiva Produktif
Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 135 Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai satu nasabah, dalam satu bank yang sama. Penetapan kualitas yangsama berlaku pula untuk Aktiva Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh lebih dari satu bnak yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian pembiayaan bersama dan/atau sindikasi. Kualitas Aktiva Produktif wajib dinilai secara bulanan. 136 Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan nasabah yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut. Kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan wajib dicantumkan dalam perjanjian antara bank dan nasabah. 137 Ketentuan intern itu wajib memperhatikan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Penanaman dana bank dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap. Kualitas 135
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. TLN No. 4647. Pasal 1 angka 3 136
Ibid. Pasal 7
137
Hasan, Zubairi. Undang – Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Press. 2009. Hal 167
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
90
Aktiva Produktif yang oleh bank telah ditetapkan Lancar dan Dalam Perhatian Khusus akan diturunkan oleh Bank Indonesia menjadi setinggi-tingginya kurang
lancar, apabila dokumentasi nasabah tidak dapat memberikan informasi yang
cukup.
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk pembiayaan dinilai berdasarkan (a) prospek usaha, (b) kinerja nasabah (performance), dan (c) kemampuan membayar.
Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi lima golongan, yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet (Pasal 9 PBI No. 8/21/PBI/2006)
3.2.6 Posisi Devisa Neto Posisi Devisa Neto (PDN) adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari: (a) selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan (b) selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. Posisi Devisa Neto harus dipelihara oleh Bank untuk dihitung secara konsolidasi, yaitu mencakup seluruh kantor cabang di dalam negeri maupun luar negeri. Ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto ini ditetapkan melalui SK Direksi Bank Indonesia No. 31/178/KEP/DIR.
3.2.7 Giro Wajib Minimum
Giro Wajib Minimum atau disebut juga dengan statutory reserve merupakan simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar presentase tertentu dari DPK. 138 Pengaturan mengenai besaran GWM bagi Bank yang bergerak dengan prinsip Syariah dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing 138
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 61/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum. Pasal 1 angka 4
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
91
Bagi Bank Umum yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 2/7/PBI/2000 ditetapkan bahwa GWM Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PBI No.
dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK Bank dalam rupiah. Sementara GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 3% (tiga
perseratus) dari DPK Bank dalam valuta asing.
3.2.8 Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba/Rugi Tahun Para nasabah sebagai penyimpan dana mempunyai kepentingan untuk selalu mengetahui keadaan keuangan banknya dari waktu ke waktu. Pemantauan atas keuangan bank ini antara lain dapat dilakukan melalui neraca dan perhitungan laba atau rugi bank yang bersangkutan. Undang-Undang Perbankan sendiri telah mewajibkan Bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba atau rugi pada masyarakat dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan kewajiban untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba atau rugi tersebut secara tertib oleh setiap bank termasuk bank syariah sangat diperlukan oleh masyarakat mengingat tingkat kesehatan masing-masing bank (sesuai dengan penilaian Bank Indonesia) bersifat rahasia dan tidak boleh diketahui oleh umum. Hanya melalui neraca dan perhitungan laba atau rugi tahunan dari bank yang bersangkutan, sebagaimana diumumkan melalui media cetak, masyarakat dapat mengetahui secara superficial keadaan keuangan bank tertentu.
3.3
Pilihan Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Murabahah Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai
alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah mengalami perkembangan yang signifikan baik dari segi peraturan hukum maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan diundangkannya UndangUndang nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Peradilan Agama. Poin inti dari amandemen Undang–undang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
92
Peradilan Agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan agama berupa kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus
sengketa di bidang ekonomi syariah.
Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan
menjadi pedoman bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang timbul menegaskan akan lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai (tasaluh). Untuk itu para pihak yang ada sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapat menempuh upaya lain yaitu melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa. Institusi penyelesaian sengketa dan sanksi-sanksi merupakan fase terakhir dalam upaya penegakan hukum terkait Perbankan Syariah. Dalam upaya penyelesaian sengketa pembiayaan murabahah yang termasuk sengketa syariah, Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian sengketa terkait Perbankan Syariah setidaknya telah diatur dalam tiga peraturan perUndang-Undangan yaitu:139 a. Undang–undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. b. Undang–undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
139
Hasan, Zubairi. Op. Cit. Hal 226
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
93
Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat dilakukan melalui dua jalur
pengadilan, yaitu: 1. Dilakukan oleh pengadilan agama dalan lingkungan peradilan agama, serta
2. Di luar pengadilan agama dalam hal para pihak telah memperjanjikan melalui akad penyelesaian sengketa selain melalui pengadilan agama. Dengan catatan penyelesaian sengketa tadi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan di luar pengadilan agama sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (a) musyawarah, (b) mediasi perbankan, (c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Namun berdasarkan Pasal 1851, Pasal 1855 dan Pasal 1858 KUH Perdata, penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak
menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).140 Khusus untuk lembaga-lembaga ekonomi syariah, pada umumnya lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan terutama adalah melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Dengan demikian, litigasi atau penyelesaian
140
Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media), 2005, hal. 288
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
94
sengketa melalui gugatan di pengadilan bukan satu-satunya lembaga atau cara yang dapat menyelesaikan sengketa, sebab tersedia beberapa alternatif untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa:
“alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” Maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).141 Pada umumnya di dalam kontrak bisnis sudah disepakati mengenai penyelesaian sengketa agar diserahkan kepada forum tertentu. Para pihak dapat memilih untuk mengajukan sengketa ke lembaga pengadilan maupun lembaga di luar pengadilan yaitu arbitrase. Disamping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).142
3.3.1 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Agama Pasal 49 Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah dan ekonomi syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 49 tersebut, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
141
Karnaen Perwataatmaja, Op., Cit, hlm.78
142
Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hlm. 7
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
95
dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi: (a) bank syariah, (b) lembaga keuangan mikro syariah, (c) asuransi syariah, (d) reasuransi syariah, (e) reksadana syariah, (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g) sekuritas syariah, (h) pembiayaan syariah, (i) pegadaian syariah, (j)
dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan (k) bisnis syariah. sengketa perbankan syariah merupakan Ketentuan bahwa penyelesaian
bagian dari kewenangan pengadilan agama diperkuat oleh Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan bahwa “penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Meskipun demikian dalam Pasal 55 ayat (2) tidak menutup kemungkinan bagi penyelesaian sengketa untuk dilakukan sesuai dengan kesepakatan para pihak di dalam akad perjanjian. Kewenangan pengadilan agama untuk melakukan eksekusi putusan arbitrase dalam sengketa ekonomi syariah tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Pada perkembangannya kewenangan ini dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 menyebutkan bahwa mengenai eksekusi putusan arbitrase (termasuk putusan Basyarnas) dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. 143 Bank dan nasabah sebagai pihak yang membuat perjanjian, pada pelaksanaannya membuat kesepakatan untuk mengajukan eksekusi pada pengadilan agama ataupun pengadilan negeri sesuai dengan domisili yang disepakati. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syari‟ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum.
143
Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 59 ayat (3)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
96
3.3.2 Penyelesaian Sengketa Pada Pengadilan Negeri Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum disebutkan: Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri sebagaimana kemungkinan tersebut dimuat dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan secara opsional bahwa penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak diantaranya: (a) musyawarah, (b) mediasi perbankan, (c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Negeri disebut sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah dikarenakan di dalam kegiatan perekonomian yang dijalankan oleh Bank Syariah, selain terkandung ketentuan syariah dan hukum Islam, mengandung juga ketentuan perdata sebagai hukum positif Indonesia sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Institusi Pengadilan Negeri yang dimaksud di sini adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum tempat para pihak tinggal. Pengadilan Negeri merupakan institusi yang dirasa kurang tepat untuk menangani dan mengadili kasus sengketa ekonomi syariah karena bagaimanapun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terkait dalam akad syariah. Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Begitu juga dilihat dari kapasitas para hakim pada Pengadilan Negeri dimana hakim peradilan umum belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah. Peran Pengadilan Negeri dalam sengketa perbankan syariah adalah dalam hal eksekusi putusan lembaga arbitrase.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
97
Dalam hal terjadi para pihak yang tidak melaksanakan putusan dari lembaga arbitrase secara suka rela, maka putusan arbitrase tersebut dijalankan
menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 dan 639 Reglement op de Rechtsvordering (RV). Menurut ketentuan Pasal 637 dan 639 RV, Pengadilan
Negeri memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur atau eksekusi bagi putusan arbitrase.
3.3.4 Badan Arbitrase Syariah Nasional Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam. 144 Di Indonesia, lembaga penyelesaian sengketa yang dapat menerapkan Hukum Islam adalah Pengadilan Agama. Ruang lingkup perkara yang dapat diselesaikan oleh Pengadilan Agama sebenarnya sangat terbatas, seperti yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 145 Selain berdasarkan pada Pasal 49 ayat (1) tersebut, kewenangan Peradilan Agama dapat mencakup juga penyelesaian perkara muamalat di bidang
perekonomian. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi “Selain tugas dan 144
Diakses dari artikel Sejarah BASYARNAS http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=83 pada 12 Desember 2011 145
Isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah “ Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. perkawinan; b. kewarisan; wasiat; dan hibah; yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam; c. wakaf dan sedekah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
98
kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang-Undang”.
Sementara Undang-Undang yang dimaksud di atas belum terbit, maka pada
tahun 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dibentuk sebagai salah satu upaya untuk melakukan penyelesaian sengeketa di bidang muamalat
(khususnya perekonomian syariah). Berdirinya BAMUI dimaksudkan sebagai antisipasi atas permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan hukum muamalah oleh lembaga keuangan syariah yang pada waktu itu berdiri. 146 Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. BAMUI didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Pada Pasal 1 Peraturan Prosedur BAMUI, disebutkan mengenai yurisdiksi BAMUI yang meliputi: a.
Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BAMUI sesuai dengan Peraturan Prosedur BAMUI.
b.
Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.
Pada perkembangannya kemudian, BAMUI dijadikan sebagai cikal bakal Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. 146
Dewi, Gemala; Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op cit., hlm. 183
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
99
Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-
sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam. Kedudukan hukum Basyarnas
sendiri menjaid semakin kuat setelah dikeluarkannya Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 4 PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah dilakukan secara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi, termasuk mediasi perbankan. Dan jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme arbitase syariah atau melalui lembaga peradilan yang ditentukan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase syariah bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Hasil putusan Badan Arbiterase Syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Apabila hasil putusan Badan Aribiterase Nasional itu tidak dilakukan secara sukarela, maka pelaksanaan putusan atau eksekusi dilaksanakan berdasarkan perintah pengadilan negeri yang disepakati oleh para pihak atau oleh pengadilan Agama. Keputusan arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan hukum dari putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut.147 Pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional, sama dengan aturan yang berlaku dalam Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang diatur dalam Pasal
147
Manan, Abdul. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Pengadilan Agama. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta. Diunduh dari www.badilag.net/data/ARTIKEL/makalah%20pak%20manan.pdf pada 25 April 2012.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
100
59-64 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan melaksanakan putusan secara sukarela.
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada mendaftarkan dan menyerahkan lembar kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan
asli atau salinan autentik putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Upaya hukum atas putusan Basyarnas dan eksekusi sebagaimana
halnya putusan arbitrase lainnya adalah ke Pengadilan Negeri, akan tetapi menurut Muh. Nasikhin, sengketa perbankan syariah yang diselesaikan Basyarnas, maka pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama148
148
Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya, (Semarang: Fatawa publishing, 2010), hlm. 140
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
BAB IV
STUDI KASUS PERMASALAHAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DAN PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK SYARIAH X DAN PT Z
PADA BASYARNAS DAN PENGADILAN AGAMA
4.1 Pelaksanaan Program Pembiayaan Produktif Dengan Menggunakan Skema Murabahah Pada Bank Syariah X terhadap PT Z Sebagaimana telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya bahwa Perbankan Syariah menerapkan pembiayaan dengan sistem murabahah kepada para pengguna jasanya. Pembiayaan dengan sistem murabahah tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan konsumtif untuk membeli keperluan barang langsung jadi serta pembiayaan produktif yaitu untuk pembiayaan modal usaha. Pada karya tulis ini, penulis memfokuskan pada pembiayaan produktif dengan bentuk pembiayaan murabahah yang disediakan oleh Bank Syariah X kepada PT Z. Perjanjian pembiayaan murabahah tersebut dituangkan di dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Di dalam akad perjanjian murabahah yang dimaksud disebutkan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban PT Z maupun Bank Syariah X. Akad perjanjian murabahah tersebut secara garis besar memperjanjikan bahwa Bank Syariah X akan memberikan pembiayaan sebesar Rp 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) kepada PT Z untuk pembiayaan pembelian material proyek pembangunan Rukan SCS.
Akad perjanjian murabahah yang digunakan sebagai pembiayaan antara Bank Syariah X dan PT Z memerlukan analisa lebih lanjut untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan agar akad dapat dikatakan sah menurut yuridis Islam maupun menurut hukum perdata. Dalam bab ini, perjanjian Pembiayaan Al-Murabahah No.53 dianalisa dan dibandingkan dengan kesesuaian akad dalam hukum syariah Islam maupun hukum perdata karena dunia perbankan
101 Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
102
syariah Indonesia mengenal dan menggunakan bersama hukum syariah Islam sekaligus hukum perdata, dimana implementasi produk layanannya tidak selalu
sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam hukum Islam. Adanya kemungkinan penerapan produk layanan yang tidak sesuai dengan hukum Islam
maupun hukum perdata ini menyebabkan tidak sahnya perjanjian yang dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum sehingga para pihak dalam perjanjian mengalami kerugian.
a. Sahnya Perjanjian Berdasarkan Ketentuan Hukum Syariah Islam Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst), istilah akad juga digunakan untuk menyebut kontrak. Agar perjanjian dalam Islam dapat dinyatakan sebagai perjanjian atau akad yang sah, maka terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Berkaitan dengan Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005, maka rukun dan syarat yang harus terpenuhi tersebut antara lain adalah: 1. Para pihak yang membuat akad (al-„aqidan) Dalam hukum Islam, para pihak yang membuat akad haruslah merupakan para pihak yang memiliki kecakapan hukum (tamyiz) sehingga layak untuk menerima hukum dan bertindak hukum atau layak untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban. Selain ditentukan bahwa para pihak haruslah tamyiz, hukum Islam juga menentukan bahwa harus adanya berbilang pihak (lebih dari satu pihak) agar perjanjian dapat terwujud, karena perjanjian merupakan pertemuan ijab dari satu pihak dan kabul dari pihak lain sehingga memerlukan dua pihak. Untuk dapat dinyatakan sah menurut hukum syariah cakap dalam melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai keadaan dapat membedakan hal yang berakibat baik dan buruk bagi dirinya sendiri, keadaan dimana seseorang layak untuk menerima hak dan memikul kewajiban serta mampu untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Jika dikaitkan dengan definisi cakap dalam melakukan perbuatan hukum menurut hukum Islam, maka baik pihak Bank Syariah X maupun PT Z merupakan badan hukum yang masingmasing telah diwakili oleh pribadi hukum yang telah mampu membedakan hal yang baik dan buruk, mampu menerima hak dan memikul kewajiban
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
103
sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam akad murabahah sebagai prestasi bertanggung jawab. yang harus dilakukan serta mampu
Dilihat dari unsur pertama perjanjian menurut hukum Islam ini, dalam akad pembiayaan murabahah nomor 53, dapat ditemukan bahwa unsur para pihak yang membuat akad telah terpenuhi. Para pihak yang mewakili Bank Syariah X dan PT. Z merupakan para pihak yang bisa disebut tamyiz karena telah dewasa dan mampu bertindak hukum. Selain itu mengenai jumlahnya,
para pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah Nomor 53 juga dapat dikatakan sebagai berbilang pihak karena terdapat lebih dari satu pihak, yaitu Bank Syariah X dan PT. Z diamana masing-masing pihak mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan dan hak untuk diperoleh.
2. Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-„aqd) Pernyataan kehendak para pihak merupakan simbol dari kesepakatan yang terjadi sebagaimana salah satu syarat utama perjanjian dalam KUH Perdata. Hal ini menunjukkan tidak adanya unsur paksaan yang dapat menyebabkan batalnya perjanjian. Pernyataan kehendak para pihak terdiri atas ijab dan kabul. Ijab merupakan pernyataan kehendak pertama yang muncul dari suatu pihak untuk melahirkan suatu tindakan hukum, yang dengan pernyataan tersebut ia menawarkan penciptaan tindakan hukum yang dimaksud dimana bila penawaran itu diterima oleh pihak lain maka terjadilah akad.149 Sementara kabul adalah pernyataan kehendak yang menyetujui ijab dan yang dengannya tercipta suatu akad.150 Baik ijab dan kabul disyaratkan harus jelas artinya, bahwa ungkapan baik lisan, tulisan,
isyarat maupun lainnya menunjukkan secara jelas jenis akad yang dikehendaki. Pada dunia perbankan syariah, pernyataan kehendak para pihak diwujudkan secara tersurat dan tertulis di dalam akta akad dimana redaksinya berbeda-
149
Anwar, Syamsul. (Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. Hlm. 127 150
Ibid. Hlm 132
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
104
beda bagi tiap institusi perbankan. Dalam pembiayaan produktif yang diberikan oleh Bank Syariah X kepada PT. Z pernyataan kehendak kedua belah pihak diwujudkan dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53. Sebagai akibat hukum dari adanya akad yang berisi ijab kabul tersebut maka muncul kewajiban hukum bagi Bank Syariah X dan PT. Z. Pada dasarnya keberadaan Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 sebagai kontrak tertulis membuktikan telah ada dan terjadinya kesepakatan
dan ijab kabul antara Bank Syariah X dan PT. Z. Tindakan atau kewajiban hukum yang lahir dari ijab kabul ini bagi Bank Syariah X adalah menyediakan sejumlah dana bagi PT. Z sementara bagi PT. Z tindakan atau kewajiban hukum yang timbul adalah melakukan pelunasan pembayaran dan memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan di dalam akad. Satu hal yang kurang sesuai dengan apa yang disyaratkan dalam hukum Islam mengenai ijab kabul adalah bahwa Bank Syariah X dalam pembuatan ijab (penawaran) untuk pencairan pembiayaan kedua tidak secara tegas dan jelas menentukan kapan waktu pemenuhan kewajiban dan persyaratan yang diperlukan untuk terjadinya pencairan pembiayaan kedua. Hal ini kemudian menimbulkan sengketa antara Bank Syariah X dan PT.Z.
3. Objek akad (mahallul-„aqd) Berdasarkan hukum Islam, objek akad ditentukan secara lebih spesifik agar suatu perjanjian dapat dinyatakan sah menurut syara‟. Ketentuan mengenai objek akad tersebut antara lain adalah: dapat diserahkan, tertentu dan dapat ditransaksikan. Berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah antara
Bank Syariah X dan PT. Z yang pada dasarnya pembiayaan murabahah adalah pembiayaan untuk transaksi jual beli, maka dalam hal ini seharusnya disebutkan benda apa yang menjadi objek jual beli yaitu barang material bangunan, sehingga dapat digolongkan ke dalam benda yang dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam hukum jual beli dalam Islam bahwa dalam melakukan jual beli, barang yang menjadi obyek dalam jual beli haruslah barang yang dapat ditentukan (tidak abstrak). Ketentuan bahwa obyek akad haruslah benda yang dapat ditentukan dimaksudkan agar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
105
para pihak dapat mengetahui dengan jelas sehingga tidak menimbulkan obyek akad atau obyek perjanjian. sengketa di kemudian hari tentang
Pada prakteknya pihak Bank Syariah X memang belum memiliki barang material yang dimaksud yang menjadi obyek perjanjian karena Bank Syariah X baru akan melakukan pembelian barang yang dimaksud jika ada pesanan dari nasabah, sehingga barang yang dimaksud dalam akad masih ada pada supplier. Jual beli dimana barang belum ada pada penjual dari segi
Islam menurut pandangan mazhab Hanafi merupakan akad jual beli yang tidak sah karena barang tidak ada secara nyata sebagai milik penjual. Namun pada perkembangannya dilatarbelakangi oleh dinamisnya kebutuhan lalu lintas kehidupan perekonomian masyarakat yang menghendaki adanya akad dengan sistem di atas, maka jula beli dimana barang belum ada secara nyata pada penjual diperbolehkan sebagai pengecualian berdasarkan prinsip istihsan. Dalam kasus ini, objek yang menjadi pokok dalam perjanjian adalah barang material bangunan yang dapat diserahkan, dapat ditentukan (tertentu), namun tidak dapat ditransaksikan dengan pembiayaan murabahah karena Bank Syariah X tidak pernah berkedudukan sebagai penjual yang sah memiliki barang mengingat pembelian objek perjanjian dilakukan langsung atas nama PT Z, tidak atas nama Bank Syariah yang seharusnya menjadi penjual. Hal ini merupakan keadaan yang bertentangan dengan konsep murabahah yang mensyaratkan kepemilikan barang ada pada Bank.
4. Tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd)
Tujuan akad dalam Islam disesuaikan dengan jenis akad itu sendiri secara spesifik. Dalam hal akad merupakan akad jual beli, maka tujuan dari akad tersebut adalah memindahkan hak milik atas barang dengan imbalan. Tujuan akad merupakan maksud para pihak ketika membuat akad151 sehingga tujuan akad merupakan dasar perikatan kedua belah pihak.
151
Ibid. Hlm 219
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
106
Dalam akad pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dan PT. Z tujuan pokok akad adalah pemindahan sebagai perjanjian jual beli, maka
hak milik atas barang dari Bank Syariah X kepada PT. Z dengan imbalan. putusan Nomor 729/Pdt.G/2009/PA.JP Sebagaimana disebutkan dalam
bahwa pembiayaan murabahah yang diberikan oleh Bank Syariah X kepada PT. Z tidak sesuai dengan konsep murabahah yang merupakan jual beli, karena dalam memberikan pembiayaan yang dimaksud Bank Syariah X
memberikan pencairan pembiayaan yang dikenakan prosentase bunga fluktuatif untuk pelunasannya. Di samping itu, dikaitkan dengan konsep pembiayaan murabahah yang merupakan konsep pembiayaan untuk transaksi jual beli sementara proyek yang akan diselesaikan oleh PT. Z merupakan kegiatan investasi yang membutuhkan modal kerja, kedua hal ini tentunya bukan merupakan metode pembiayaan yang cocok dan benar untuk dilaksanakan dari segi syariah Islam. Proyek pembangunan Rukan PT Z merupakan kegiatan yang membutuhkan jenis pembiayaan investasi dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dengan pola bagi hasil. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara tujuan akad murabahah yang merupakan akad jual beli dengan maksud untuk memindahkan kepemilikan suatu barang, dengan proses pelaksanaan pembiayaan untuk konstruksi Rukan SCS dimana Bank Syariah X hanya menyediakan dana tanpa pernah memiliki barang objek perjanjian secara sah adalah kegiatan yang tidak sejalan dengan prinsip murabahah. Sehingga dalam praktek pembiayaan murabahah tujuan akad dan pelaksanaan Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 merupakan hal yang tidak sesuai
dengan hukum Islam karena ketidaksesuaiaan tujuan awal akad dengan proses pelaksanaan akad.
b. Sahnya Perjanjian Berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata dalam KUH Perdata 1. Adanya kesepakatan Unsur adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yakni Bank Syariah X dengan PT Z dapat dibuktikan telah tercapai dengan telah ditandatanginya
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
107
akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Dengan penandatangan akta
akad murabahah tersebut dapat diartikan bahwa baik pihak Bank maupun Direksi yang mewakili PT Z telah saling menyetujui dan bersepakat mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di dalam akad tersebut, yang kemudian menjadi prestasi yang harus mereka penuhi. Kesepakatan dalam bentuk penandatanganan akad tersebut memberikan
suatu akibat hukum kepada para pihak, dimana kemudian perjanjian atau akad murabahah yang ditandangani berlaku sebagai Undang-Undang bagi Bank Syariah X dan PT Z.152 Dengan berlakunya perjanjian yang diwujudkan dalam akta akad murabahah maka perjanjian yang termuat di dalamnya harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh Bank Syariah X dan PT Z. Berkaitan dengan itikad baik ini maka Bank Syariah X wajib menyediakan nominal pembiayaan dimana besarannya harus sesuai dengan angka yang disepakati di dalam perjanjian. Sementara bagi PT Z, bentuk itikad baik dalam melaksanakan perjanjian ini harus diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X untuk mendapatkan pembiayaan, serta dalam hal pelunasan pembayaran angsuran murabahah. Berkaitan dengan asas Pacta Sunt Servanda, perjanjian dalam bentuk akad murabahah tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Hal ini berarti dalam hal terjadi dispute selama periode pembiayaan murabahah, tidak satupun dari pihak Bank Syariah X maupun dari pihak PT Z dapat melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak meskipun dirasakan
timbulnya kerugian yang besar bagi salah satu pihak. Wajib dimuat di dalam perjanjian mengenai penyelesaian sengketa. Sementara untuk pembatalan perjanjian yang merupakan akibat dari terjadinya sengketa di antara para pihak wajib diselesaikan melalui lembaga Peradilan yang berwenang di bidang perbankan atau ekonomi syariah karena sengketa yang terjadi melibatkan badan hukum perbankan.
152
Asas Pacta Sunt Servanda merujuk pada Pasal 1338 KUH Perdata
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
108
2. Para pihak cakap hukum untuk membuat suatu perjanjian Pembuatan suatu perjanjian merupakan salah satu perbuatan hukum yang
melahirkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya sehingga diperlukan pribadi yang cakap. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 330
KUH Perdata bahwa parameter cakap menurut hukum untuk dapat dinyatakan sah dalam melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini adalah membuat perjanjian, adalah sekurang-kurangnya berusia minimal 21 tahun.
Berkaitan dengan akad murabahah antara Bank Syariah X dan PT Z sebagai para pihak yang membuat perjanjian, dapat diartikan bahwa Bank Syariah X dan PT Z merupakan pihak yang cakap hukum dalam membuat perjanjian. Bank Syariah X dan PT Z sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh Direksi atau pihak yang mempunyai kewenangan mewakili badan hukum tersebut. Bagi pihak PT Z yang berbentuk Perseroan Terbatas, maka yang berhak mewakili PT untuk melakukan perbuatan hukum berupa pembuatan perjanjian adalah Direksi PT Z yang bersangkutan. 153 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam perjanjian murabahah ini adalah para pihak yang cakap hukum baik cakap hukum menurut KUH Perdata maupun menurut ketentuan Syariah Islam. 3. Perjanjian memuat mengenai hal tertentu Semua perjanjian tentunya memuat mengenai suatu hal spesifik yang menjadi tujuan dari perjanjan. Dengan adanya tujuan dari perjanjian yang ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak maka timbullah hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Dalam Akta Akad Pembiayaan Al
Murabahah No.53 dimuat perjanjian jual beli barang material. Selain mengenai perjanjian jual beli, di dalam akad pembiayaan murabahah tersebut juga diperjanjikan mengenai “melakukan perbuatan tertentu”.
153
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroam untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
109
Bank Syariah X berjanji akan memberikan sejumlah pembiayaan kepada PT Z, dimana pembiayaan tersebut akan digunakan untuk membeli keperluan material pembangunan Rukan SCS yang merupakan proyek PT Z. memenuhi serangkaian persyaratan untuk Sementara itu PT Z berjanji untuk
pencairan pembiayaan dan melakukan angsuran pembayaran untuk melunasi biaya pembelian material pembangunan. Berkaitan dengan bentuk perjanjian yang merupakan perjanjian jual beli,
dilihat dari segi hukum dalam KUH Perdata maka jual beli antara Bank Syariah X dan PT Z ini merupakan jual beli mengenai barang tertentu (yaitu barang material bangunan) yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata. Selain itu dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 ini ditentukan pula bahwa pembelian barang material yang menjadi obyek jual beli diserahkan kepada Nasabah. Hal ini berarti penjual (Bank Syariah X) memberikan kuasa kepada pembeli (PT Z) untuk mewakili pribadi penjual dalam melakukan pembelian barang dimana pembelian tersebut dilakukan dengan atas nama penjual. Keadaan yang seperti ini dapat diperjanjikan antara para pihak sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Sebagai derivasi dari perjanjian jual beli dengan skema murabahah ini, maka muncul kewajiban untuk melakukan suatu hal tertentu baik bagi Bank Syariah X maupun PT Z. Bank Syariah X kemudian dibebani kewajiban untuk melakukan pencairan pembiayaan yang akan digunakan sebagai pembelian bahan material yang merupakan obyek akad atau perjanjian murabahah. Bank Syariah X menentukan bahwa pencairan pembiayaan akan dilakukan melalui beberapa tahapan dimana untuk mendapatkan
pencairan yang dimaksud maka PT Z diharuskan memenuhi beberapa persyaratan, antara lain menunjukkan dokumen tertentu kepada Bank Syariah X sebagai bukti telah dijalankannya pembelian bahan material sesuai perjanjian,
serta mengajukan self
financing sebagai
bukti
kesungguhan penyelesaian proyek pembangunan Rukan SCS. Penentuan mengenai obyek akad yang merupakan perjanjian jual beli bahan material untuk keperluan pembangunan proyek Rukan SCS serta penentuan mengenai hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh Bank Syariah X
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
110
dan PT Z merupakan perwujudan dari amanah Pasal 1320 angka 3 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian harus memuat mengenai suatu hal. Sehingga
hal yang dimuat di dalam perjanjian murabahah antara Bank Syariah X dan beli murabahah untuk membeli bahan PT Z ini adalah perjanjian jual
material, dimana pembelian barang yang dimaksud diwakilkan oleh Bank Syariah X kepada PT Z, dengan disertai kewajiban tertentu sebagaimana disebutkan di atas
4. Perjanjian memperjanjikan sebab yang halal Dalam KUH Perdata tidak diatur secara spesifik definisi halal untuk sebab dibuatnya suatu perjanjian. Berdasarkan logika hukum, halal yang dimaksud dalam Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata adalah bahwa hal yang diperjanjikan bukan merupakan suatu hal yang melanggar hukum, dapat diartikan bahwa suatu perjanjian dapat memperjanjikan mengenai hal apapun selama tidak melanggar hukum. Dikaitkan dengan hal ini, maka perjanjian jual beli dengan menggunakan akad murabahah dapat digolongkan sebagai perjanjian atas sebab yang halal karena di dalamnya tidak memuat obyek perjanjian yang merupakan pelanggaran hukum. Dilihat dari perspektif hukum Islam, definisi halal jelas ditentukan secara limitatif sebagai barang yang tidak mengandung unsur haram (Barang yang mengandung unsur haram dalam Islam antara lain: terdapat unsur riba, tidak sah kepemilikannya, jenis narkoba, khamar, dan berbagai jenis barang yang bertentangan dengan syara‟154. Dengan ditentukannya barang yang haram tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal dalam Islam
adalah barang atau sebab di luar dari barang yang ditentukan haram tersebut. Dikaitkan dengan obyek perjanjian murabahah antara Bank Syariah X dengan PT Z maka jual beli bahan material merupakan perjanjian dengan
154
Tidak sahnya jual beli yang dilakukan terhadap suatu yang bukan benar-benar milik penjual sesuai dengan HR an-Nasa‟i, Abu Dawud, dan Ahmad. Sementara penentuan haram barang-barang yang bertentangan dengan syara‟ merupakan kutipan dari HR Ahmad yang berbunyi “Dari Abu Mas‟ud (diriwayatkan) bahwa Rasulullah Saw melarang mengambil harga anjing, upah pelacur, dan upah tukang tenung”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
111
sebab yang halal. Hal ini dikarenakan bahan material dilihat dari segi hukum syariah Islam bukan merupakan barang yang tergolong dalam barang
haram. Bahan material merupakan barang yang halal karena dapat ditentukan kuantitasnya, kepemilikannya dan cara pembeliannya yang sah
sesuai dengan jual beli dalam Islam. Di samping itu, tujuan dari pembelian bahan material tersebut juga tidak ditujukan untuk sesuatu yang bertentangan dengan syara‟. Pembelian bahan material yang ditujukan untuk
pembangunan Rukan SCS merupakan bagian dari pembangunan dan kemajuan perekonomian masyarakat sehingga unsur keempat dari Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sebab yang halal telah terpenuhi baik dari segi KUH Perdata maupun dari segi hukum Islam.
4.2 Metode Pembuatan Akad Murabahah Antara Bank Syariah X dan PT Z Berkaitan dengan Pengelolaan Risiko Pembiayaan Pembiayaan Murabahah memakai prinsip jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. Karakteristiknya adalah Bank Syariah X sebagai penjual harus memberitahu harga bahan material yang ia beli pada supplier dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya.
Pelunasan
pembiayaan oleh PT Z dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembuatan Akad Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 antara Bank Syariah X dengan PT Z dilakukan secara bersama-sama pada tanggal 23 Februari 2005 dan dibuat dihadapan Notaris EY di Jakarta. Pada dasarnya atau pihak perbankan selalu telah terlebih dahulu menyediakan standard contracts
konrak baku yang berhubungan dengan pembiayaan. Namun keberadaan kontrak baku ini tidak menutup kemungkinan penambahan atau pengurangan klausula dalam kontrak oleh Nasabah (dalam hal ini PT Z). Penambahan atau pengurangan klausula tersebut terutama berhubungan dengan persyaratan untuk pencairan pembiayaan, tahapan pencairan pembiayaan, angsuran dan pemberian keringanan jangka waktu pelunasan pembiayaan, serta pilihan penyelesaian sengketa. Hal-hal yang substansial dalam perjanjian seperti ini dapat diusahakan untuk dinegosiasikan sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dan jaminan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
112
bahwa tidak adanya unsur paksaan dalam pembuatan perjanjian karena apabila dapat berakibat batalnya perjanjian. Hal ada paksaan dalam pembuatan perjanjian
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata yang menentukan bahwa paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian dan seterusnya.
Berkaitan dengan penambahan atau pengurangan dalam klausula perjanjian yang dimungkinkan dalam kontrak baku pihak perbankan serta sebagai bentuk
pengelolaan risiko pembiayaan, dalam Akta Akad Al-Murabahah No.53 Bank Syariah X memasukkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Z. Beberapa hal yang harus dilakukan sebagai kewajiban PT Z untuk dapat memperoleh pencairan pembiayaan tahap kedua, yaitu antara lain: - Dalam Pasal 3 ayat (4) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 disebutkan bahwa “Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan fasilitas pembiayan yang diberikan.” - Dalam Pasal 3 ayat (10) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 disebutkan bahwa “Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan Soho Carbela Square.” - Dalam Pasal 3 ayat (23) Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 disebutkan bahwa “Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash Flow yang telah dibuat oleh Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat juta delapan ratus empat puluh delapan ribu sembilan ratus lima belas rupiah)” Pada mulanya, klausula Pasal tersebut di atas telah disetujui oleh PT Z dimana persetujuan tersebut disimbolisasikan dalam penandatangan akta yang dapat diartikan sebagai bentuk kesepakatan atas isi akta atau perjanjian. Berkaitan dengan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X di dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tersebut, setelah proses pencairan pembiayaan tahap pertama, PT Z dituntut untuk membuat surat pernyataan oleh Bank Syariah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
113
X. Surat pernyataan tertanggal 2 Maret 2005 tersebut pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :
“Selanjutnya apabila kelengkapan dokumen perijinan pembangunan Rukan terbatas pada dokumen tersebut di atas SCS seperti, termasuk tetapi tidak
tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah X, MAKA SAYA BERSEDIA UNTUK MENUNDA PENCAIRAN TAHAP
KEDUA DAN TAHAP BERIKUTNYA” Pembuatan surat pernyataan yang dilakukan pada tanggal 2 Maret 2005 merupakan pembuatan perjanjian tambahan yang dilakukan setelah pembuatan akad atau perjanjian pokok murabahah. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian murabahah sendiri telah dibuat pada tanggal 23 Februari 2005, sementara surat pernyataan kesanggupan dibuat pada tanggal 2 Maret 2005 setelah dilakukan pencairan pembiyaan tahap pertama. Tuntutan pembuatan surat pernyataan oleh Bank Syariah X kepada PT Z ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh urgensi untuk mendapat kepastian tentang penggunaan dana pembiayaan yang telah dicairkan pada tahap pertama, sehingga Bank Syariah X mempunyai landasan kepercayaan untuk memberikan pencairan pembiayaan tahap kedua pada PT Z. Pembuatan surat pernyataan tersebut juga merupakan bentuk dari prudential banking (prinsip kehati-hatian) yang harus dilakukan oleh Bank Syariah X dalam penerapan pemberian pembiayaan kepada semua nasabah pengguna jasanya termasuk PT Z. Namun kepentingan urgensi kepastian penggunaan dana dan penerapan prudential banking ini dilakukan dengan cara yang sedikit memaksa pihak PT Z karena pembuatan surat pernyataan tersebut dilakukan secara tiba-tiba ketika akan dilakukan pencairan pembiayaan tahap kedua, yang berarti surat pernyataan ini tidak dibuat sejak awal perjanjian atau tidak diperjanjikan dalam Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53. Pembuatan surat pernyataan yang terkesan dipaksakan oleh pihak Bank Syariah X ini merupakan pembuatan akad perjanjian secara sepihak yang secara jelas dan terang telah menyalahi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata karena tidak ada unsur kesepakatan dalam pembuatan surat pernyataan tersebut, mengingat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
114
surat pernyataan yang dibuat pada tanggal 2 Maret 2005 tidak ditandatangani oleh PT Z dikarenakan klausula berikut: “... termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen tersebut di atas tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah X, maka saya bersedia untuk menunda pencairan tahap kedua dan tahap” dirasa terlalu
berat untuk dipenuhi PT Z. Di samping itu, tuntutan pembuatan surat pernyataan yang dilakukan setelah disepakatinya Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan Prinsip Syariah
karena merupakan persyaratan yang ditambahkan sehingga haram hukumnya.
4.3 Kasus Posisi Berdasarkan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Perkara Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak serta putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 792/Pdt.G/2009/PA.JP dapat diurutkan kronologis peristiwa yang menyebabkan terjadinya sengketa dalam pembiayaan murabahah antara Bank Syariah X dan PT Z sebagai berikut: Pada mulanya terjadi perjanjian pembiayaan produktif dengan menggunakan akad murabahah, dimana pembiayaan murabahah tersebut dibiayai oleh Bank Syariah X untuk pembelian bahan material proyek pembangunan Rukan SCS yang dijalankan oleh PT Z. Para pihak, yaitu Bank Syariah X dan PT Z saling sepakat
untuk
melakukan
perjanjian
pembiayaan
produktif
dengan
menggunakan skema murabahah. Perjanjian pembiayaan murabahah tersebut kemudian dituangkan dalam akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53
yang dibuat pada tanggal 23 Februari 2005 dihadapan Notaris EY, S.H di Jakarta. Dalam Akad Pembiayaan al-Murabahah tersebut dimuat prestasi masingmasing pihak, dimana pihak bank berkewajiban untuk menyediakan fasilitas pembiayaan Al-Murabahah sebesar Rp. 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) untuk digunakan pembelian bahan material dan jasa guna pembangunan proyek Rukan SCS, sedangkan nasabah sebagai pihak berhutang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
115
berkewajiban untuk membayar utangnya sekaligus dengan margin sebagai Ceiling Price yang sesuai perjanjian mereka. Dalam akta perjanjian murabahah tersebut diperjanjikan bahwa pembiayaan murabahah akan dicairkan dalam beberapa tahapan oleh Bank Syariah X
Pencairan pembiayaan murabahah tahap pertama telah dilakukan oleh Bank Syariah X pada tanggal 2 Maret 2005. Pada pencairan tahap pertama tersebut telah diterima oleh PT B pembiayaan sebesar Rp. 2.200.000.000,- (dua miliar
dua ratus juta rupiah) Pada pencairan pembiayaan tahap pertama tersebut, Bank Syariah X menuntut PT Z untuk menyetujui suatu Surat Pernyataan yang baru dibuat setelah ditandatanganinya akad murabahah. Surat yang dimaksud adalah Surat Pernyataan No. 7/031/SP/DPK2 tertanggal 2 Maret 2005 Perihal: Persetujuan Pencairan Pembiayaan. Di dalam surat pernyataan tersebut dimuat beberapa hal yang menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Z untuk mendapatkan pencairan pembiayaan tahap kedua. Di antara salah satu syarat yang disebutkan adalah harus ditunjukkannya IMB asli Rukan SCS. Berkaitan dengan tuntutan Bank Syariah X melalui surat pernyataan yang dibuat setelah disepakatinya akad murabahah, dimana surat pernyataan berisi tambahan kewajiban bagi PT Z, maka PT Z menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut dengan alasan bahwa perlengkapan dokumen perizinan Pembangunan Rukan SCS dianggap berlebihan Seiring dengan perkembangan usahanya dan kebutuhan pendanaan bagi proyek yang sedang dijalankannya, maka PT Z berkehendak mengajukan pencairan pembiayaan tahap kedua kepada Bank Syariah X
Berkaitan dengan pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua, Bank Syariah X tetap bersikukuh pada serangkaian persyaratan yang dimuatkan di dalam Surat Pernyataan No. 7/031/SP/DPK2 tertanggal 2 Maret 2005 Perihal: Persetujuan Pencairan Pembiayaan, agar dipenuhi oleh PT Z, di antaranya adalah penunjukan IMB Rukan SCS yang asli kepada Bank Syariah X PT Z pada akhirnya berusaha untuk memenuhi persyaratan yang diajukan tersebut. PT Z kemudian menindaklanjuti dengan menunjukkan dan memperlihatkan kepada Bank Syariah X mengenai dokumen Kontrak Jasa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
116
Pengurusan IMB antara PT Z dengan pihak ketiga yaitu konsultan/kontraktor JK tertanggal 6 Desember 2005, serta bukti-bukti Kuitansi pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus duabelas juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah dibayar oleh PT Z kepada
konsultan/kontraktor JK sebagai biaya pengurusan pembuatan IMB dan perizinan pembangunan lannya untuk proyek Rukan SCS Namun ternyata bukti surat-surat dan dokumen yang ditunjukkan oleh PT Z
tersebut tidak disetujui oleh Bank Syariah X sebagai dokumen sah untuk memenuhi persyaratan yang diajukan guna memperoleh pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua. Berkaitan dengan hal ini maka Bank Syariah X menolak untuk meberikan pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua kepada PT Z, sehingga menyebabkan penundaan kelangsungan proyek yang harus diselesaikan oleh PT Z. Hal ini tentunya merupakan sebuah kerugian bagi PT Z. PT Z melihat suatu keadaan dimana telah terjadi wanprestasi oleh Bank Syariah X karena Bank Syariah X telah menolak melakukan pencairan pembiayaan sementara persyaratan telah dipenuhi oleh PT Z PT Z kemudian mengajukan sengketa ini ke Basyarnas sesuai dengan bunyi Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 Pasal 15 Tentang Penyelesaian Perselisihan: “Apabila Usaha menyelesaikan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan ini Nasabah dan Bank sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi surat kuasa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk memberikan putusan…….”;
4.4 Analisa Kasus Dalam sengketa antara Bank Syariah X dan PT Z yang diselesaikan melalui Basyarnas dalam Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak para pihaknya adalah sebagai berikut: - Bertindak sebagai Penggugat adalah PT. Z
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
117
- Bertindak sebagai Tergugat adalah Bank Syariah X, dengan bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT)
Sementara itu kedudukan para pihak dalam proses penyeleseian sengketa lanjutan
di
Pengadilan
Agama
sesuai
dengan
putusan
Nomor:
792/Pdt.G/2009/PA.JP berkaitan dengan permohonan pembatalan putusan Basyarnas, para pihaknya adalah sebagai berikut:
-
Bertindak sebagai Pemohon adalah Bank Syariah X
-
Bertindak sebagai Termohon 1 adalah Majelis Hakim Basyarnas yang memeriksa
dan
memutus
perkara
Nomor:
16/tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak dan Termohon II adalah PT. Z
Dalam putusan Basyarnas No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak, disebutkan bahwa PT Z menggugat Bank Syariah X atas wanprestasi karena tidak melakukan kewajibannya berupa pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua. Sementara Bank Syariah X mendalilkan bahwa penolakan atas pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua tersebut disebabkan karena tindakan PT Z yang tidak menyerahkan persyaratan yang diajukan oleh Bank Syariah X. Di antara persyaratan yang diminta tersebut, yang paling substansial adalah penunjukan IMB asli Rukan SCS. Basyarnas
dalam
amar
putusannya
menyatakan
bahwa
perjanjian
pembiayaan murabahah batal demi hukum. Putusan Basyarnas ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perjanjian murabahah Akta No. 53 tahun 2005
bertentangan dengan prinsip syariah yang terpenting diantaranya sebagai berikut: 1. Bentuk perjanjian murabahah mengambil konstruksi kredit modal kerja yang biasa digunakan pada bank konvensional sehingga bertentangan dengan prinsip pembiayaan murabahah yang merupakan akad jual beli. 2. Margin yang ditetapkan dalam perjanjian murabahah berupa ceiling price yang berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain), tidak ditentukan secara lump sum pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase pertahun seperti halnya bunga
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
118
pada perbankan konvensional yang menurut prinsip syariah adalah riba yang
haram hukumnya.
3. Tentang pembebanan bunga dalam surat sanggup/promes sehingga sama artinya dengan riba dan karenanya melanggar prinsip syariah.
4. Akad pembiayaan murabahah No. 53 Tahun 2005 memuat transaksi jual beli antara pemasok dan bank dan jual beli antara bank dengan nasabah telah dibuat dalam satu akad saja. Hal ini bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Poin 1, 2, 3 dan 4 di atas yang menyebutkan bahwa tidak tepatnya penggunaan pembiayaan murabahah untuk konstruksi kredit modal kerja adalah hal yang tidak sesuai dengan rukun murabahah, terutama dalam hal objek akad dan tujuan akad. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa objek akad dalam pembiayaan murabahah adalah barang yang dipindahkan kepemilikannya melalui transaksi jual beli. Dalam perjanjian pembiayaan murabahah Nomor 53 antara Bank Syariah X dan PT. Z hal yang merupakan objek akad menjadi tidaklah jelas karena Bank Syariah X hanya memberikan sejumlah dana kepada PT Z untuk membeli lahan dan barang material untuk bangunan, dimana dalam pencairan dana untuk membeli barang tersebut tidak dinyatakan bahwa Bank Syariah adalah penjual yang sah atau dalam kata lain, pembelian lahan dan barang material tidak dilakukan atas nama Bank Syariah X sebagai penjual melainkan langsung atas nama PT. Z yang seharusnya membeli barang terlebih dulu pada Bank Syariah X. Di samping itu, terhadap pembelian lahan dan barang material yang dimaksud, Bank Syariah X membebankan sejumlah bunga kepada PT Z untuk pelunasannya. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip syariah Islam
yang mensyaratkan transaksi yang bebas dari bunga (unsur riba). Uraian di atas menjelaskan bahwa tujuan awal akad murabahah yang merupakan akad jual beli tidak dijalankan dengan proses yang benar karena mengandung unsur riba dan ketidakjelasan kepemilikan barang yang dijual, sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian murabahah Akta No. 53 tahun 2005 antara Bank Syariah X dan PT Z bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Bertitik
tolak
dari
fakta-fakta
yuridis
yang
dikemukakan
dalam
pertimbangan putusan Basyarnas, terbukti perjanjian dalam Akta Akad
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
119
Murabahah No. 53 Tahun 2005 bertentangan dengan prinsip syariah dan Pasal 1335 KUH Perdata, sehingga sudah melanggar ketentuan Pasal 1337 juncto
tepat kesimpulan dan amar putusan Basyarnas yang menyatakan perjanjian atau demi hukum. Dalam hal suatu perjanjian Akta Akad Murabahah Nomor 53 batal
dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak ada dari awal sehingga sama sekali tidak menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Dalam putusannya, Basyarnas juga memutuskan bahwa telah terjadi
wanprestasi yang dilakukan oleh Bank Syariah X, berupa penolakan pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua kepada PT Z. Berkaitan dengan putusan Basyarnas yang menyebutkan bahwa telah terjadi wanprestasi, hal ini tentunya bertentangan dengan putusan sebelumnya yang menyebutkan bahwa perjanjian batal demi hukum. Penentuan batal demi hukum disebabkan karena perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian, dalam kasus ini Akad Murabahah tidak memenuhi syarat halal karena bertentangan dengan prinsip syariah Islam. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa suatu perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum (null and void), tidak mempunyai akibat hukum kepada para pihaknya dikarenakan perjanjian dianggap tidak ada dari awal atau sama sekali tidak pernah terjadi. Sementara penentuan keadaan wanprestasi menunjukkan adanya suatu akibat hukum yang diderita oleh para pihak (dalam hal ini wanprestasi oleh Bank Syariah X menyebabkan kerugian bagi PT Z) dikarenakan masih adanya hubungan hukum perjanjian. Kedua amar putusan Basyarnas ini jelas bertentangan dan tidak konsisten, dimana di satu sisi menyebutkan bahwa perjanjian batal demi hukum sehingga menghilangkan akibat hukum perjanjian bagi para pihak, sementara di sisi lainnya
disebutkan telah terjadi wanprestasi yang menyebabkan salah satu pihak (dalam hal ini Bank Syariah X) diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya (PT Z). Dalam hal disebutkan bahwa sejak awal tidak ada perikatan, maka dengan sendirinya juga tidak ada wanprestasi, sehingga tidak bisa salah satu pihak dinyatakan telah melakukan wanprestasi atas perikatan yang batal demi hukum tersebut. Ketentuan adanya wanprestasi (event of default) hanya dapat terjadi jika perjanjian yang dimaksud masih ada dan berlaku, namun kemudian salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
120
sehingga berakibat dibatalkannya atau dinyatakan batal (voidable atau vernietigbaar) perjanjian oleh Hakim pengadilan. Perjanjian pembiayaan
Murabahah antara Bank Syariah X dan PT Z tersebut menjadi tidak ada dan tidak berlaku lagi terhitung sejak dinyatakan batal oleh Hakim Arbiitrase karena
perjanjian dalam Akta Akad Murabahah tersebut bertentangan dengan prinsip syariah Islam.
Sengketa yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada intinya
mempermasalahkan mengenai siapa yang terlebih dahulu melakukan wanprestasi. Bank Syariah X mendalilkan bahwa sejak pembuatan awal akad Akta Pembiayaan Murabahah No. 53 di dalamnya telah dicantumkan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Z untuk dapat memperoleh pencairan pembiayaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal berikut: - Pasal 3 ayat (4) Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan fasilitas pembiayan yang diberikan . - Pasal 3 ayat (10) Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan SCS - Pasal 3 ayat (23) Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash Flow yang telah dibuat oleh Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat juta delapan ratus empat puluh delapan ribu Sembilan ratus lima belas rupiah) Persyaratan tersebut memang telah dimasukkan di dalam Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 namun didalamnya tidak disebutkan bahwa persyaratan tersebut harus dipenuhi sejak awal untuk pencairan pembiayaan. Klausula
mengenai persyaratan yang tidak ditentukan secara limitatif kapan waktu pelaksanaannya ini menimbulkan multi tafsir bagi kedua belah pihak dalam perjanjian. Bank Syariah X beranggapan bahwa dokumen tersebut di atas harus sudah diserahkan untuk pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua karena Bank Syariah memerlukan suatu kepastian bahwa pembiayaan murabahah yang diberikannya telah digunakan sesuai dengan tujuan awal. Hal ini juga merupakan perwujudan dari prudential banking yang dilakukan Bank Syariah X dalam bentuk analisis pembiayaan dan pelaksanaan prinsip 5C serta 5P. Namun
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
121
dikarenakan waktu pelaksanaan penunjukan dokumen di atas tidak ditentukan secara pasti oleh Bank Syariah X, maka PT Z dapat beranggapan bahwa penunjukan dokumen dapat diberikan kepada Bank Syariah X sewaktu-waktu jika PT Z telah siap dan menyelesaikan administrasi lainnya.
Sehubungan dengan persiapan dokumen yang dibutuhkan untuk persyaratan pihak PT Z sendiri telah berupaya untuk pembiayaan, terutama IMB Rukan SCS
segera menyelesaikan administrasi dan pengurusan IMB pada pihak ketiga. PT Z juga telah menunjukkan bukti pengurusan IMB kepada Bank Syariah X melalui dokumen Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara PT Z dengan JK, SH tertanggal 6 Desember 2005, serta bukti-bukti kwitansi pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus duabelas juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah dibayar oleh PT Z kepada JK, SH sebagai biaya pengurusan pembuatan IMB dan perizinan pembangunan lannya untuk proyek Rukan SCS. Itikad baik dari PT Z dengan menunjukkan dokumen kontrak jasa dan kwitansi pembayaran kepada Bank Syariah X ternyata tidak dapat menjadi bukti yang cukup bagi Bank Syariah X. Hal ini menjadi alasan penolakan Bank Syariah X dalam menunda pencairan pembiayaan tahap kedua. Berkaitan dengan kronologis sengketa di atas, Pengadilan Agama melalui putusan Nomor : 792/Pdt.G/2009/PA.JP memberikan pertimbangan sebagai berikut: 1. Menimbang, bahwa oleh karena persyaratan IMB telah nyata terdapat dalam materi pokok akad Al-Murabahah No. 53/2005 yaitu Pasal 3 ayat 10 yang bukan persyaratan susulan sebagaimana anggapan Majelis Arbitrase, walaupun harus diakui memang benar ada pernyataan dari Termohon II pada tanggal 2 Maret 2005 untuk mempertegas persyaratan yang ada dalam akad AlMurabahah mengenai IMB itu, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa Majelis Arbritrase (Termohon I) telah luput mencermati persyaratan yang terdapat dalam akad Al-Murabahah Pasal 3 ayat 10 sebagai kontra prestasi yang semestinya wajib dipenuhi oleh Termohon II. 2. Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim suatu perjanjian yang ditambahkan dari perjanjian pokok selama disepakati oleh para pihak adalah dibenarkan secara syar‟i kecuali memperjanjikan yang halal menjadi haram
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
122
atau sebaliknya, terlebih terhadap akad Murabahah No.53/2005 terjembatani dengan Pasal addendum yang ada di Pasal 18 penutup, dan terhadap hal itu majelis hakim menganggap bukanlah penambahan akan tetapi sebagai ada dan telah diperjanjikan sebelumnya penegasan terhadap sesuatu yang telah
3. Menimbang, bahwa selain fakta tersebut diatas, Termohon II ternyata telah mengabaikan persyaratan lainnya, yaitu yang terdapat di Pasal 3 ayat (4) dan Pasal 3 ayat (23) akta Al-Murabahah No.53/2005 yaitu tidak membayar biaya
notaris dan tidak menyerahkan self financing, dimana hal inipun luput di pertimbangkan Termohon I dalam putusannya
Pengadilan Agama dalam hal ini telah menerapkan hukum yang menurut penulis kurang tepat dan meskipun telah sesuai dengan peraturan perUndangUndangan yang berlaku namun belum dapat memenuhi rasa keadilan. Berikut analisa dan alasan penulis berkaitan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama terkait poin di atas: 1. Mengenai IMB yang menjadi persyaratan yang baru muncul sebagai syarat pencairan pembiayaan tahap kedua, memang benar bahwa IMB merupakan dokumen yang substansial dan penting untuk dijadikan bukti dan landasan membangun kepercayaan Bank Syariah X terhadap PT Z. Namun jika dikembalikan pada tidak disebutkannya waktu tertentu dan pasti untuk penunjukan dikumen tersebut oleh Bank Syariah X, hal ini tentunya merupakan suatu bukti bahwa Bank Syariah X sendiri kurang atau bahkan tidak menerapkan prinsip prudential banking sejak semula akad pembiayaan murabahah dibuat. Kelalaian Bank Syariah X ini tidak dapat lantas begitu saja
dilimpahkan kepada PT Z dengan menggunakan alasan bahwa dokumen IMB asli sangat penting. Di samping itu, PT Z juga telah menunjukkan itikad baik dengan menunjukkan bukti-bukti administrasi pengurusan IMB berupa dokumen Kontrak Jasa dengan pihak ketiga beserta kwitansi-kwitansi pembiayaan terkait. Namun hal ini tidak dijadikan pertimbangan oleh Bank Syariah untuk memberikan keringanan atau penangguhan tertentu kepada PT Z. Bank Syariah X justru secara sepihak melakukan tindakan penghentian pembiayaan dan menolak untuk mencairkan pembiayaan tahap kedua tanpa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
123
memberikan pemberitahuan dalam bentuk apapun kepada PT Z. Tindakan menimbulkan kerugian yang besar bagi sepihak Bank Syariah X ini tentunya
PT Z dimana proyek pembanguan Rukan SCS yang harus dilaksanakannya menjadi terhenti karena ketiadaan dana.
Pengadilan Agama seharusnya memberikan perhatian juga kepada itikad baik yang telah diusahakan untuk ditunjukkan oleh PT Z sebagai upaya penyelamatan perjanjian. Itikad baik yang diupayakan PT Z ini merupakan
wujud pelaksanaan Pasal 1338 KUH Perdata paragraf ketiga yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah X dalam sengketa ini adalah pihak yang melakukan kelalaian dengan tidak menerapkan prudential banking sejak awal perjanjian pembiyaan murabahah. Berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh Bank Syariah X maka berlaku Pasal 1366 KUH Perdata yang berbunyi “ setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”. 2. Dalam sengketa ini kelalaian yang dilakukan Bank Syariah X dengan tidak menerapkan prudential banking sejak awal pembuatan perjanjian pembiayaan murabahah, menjadikan suatu keadaan dimana kelalaian tersebut dilimpahkan kepada PT Z dengan menuntut PT Z untuk menandatangani perjanjian tambahan yang dibuat saat pencairan pembiayaan murabahah tahap kedua akan dilakukan. Penolakan yang dilakukan oleh PT Z merupakan bentuk respon yang wajar karena walaupun di dalam Pasal addendum yang ada di Pasal 18 penutup dalam akad pembiayaan murabahah disebutkan bahwa
perjanjian dapat ditambah dengan perjanjian baru, namun penambahan perjanjian baru tersebut juga memerlukan persetujuan para pihak dalam perjanjian (unsur sepakat Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa PT Z belum menyatakan persetujuannya atas persyaratan tambahan yang diajuan oleh Bank Syariah X, hal ini dapat diartikan bahwa PT Z belum sepakat tentang tambahan perjanjian tersebut. Pengadilan agama, disamping melandaskan keputusan pada hukum syariah Islam juga seharusnya berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
124
unsur sepakat terkait pembuatan perjanjian, sehingga meskipun substansi perjanjian baru tidak melanggar syariah Islam namun jika perjanjian tersebut
tidak mendapat kata sepakat dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian, maka jelaslah bahwa perjanjian baru tersebut tidak sah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
1. Kemungkinan risiko yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh Bank
Syariah dalam praktek pembiayaan murabahah antara lain adalah: i.
Risiko pembiayaan terkait produk yang mencakup: (a) risiko kebangkrutan (default risk) yang disebabkan oleh jenis usaha yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan,
(b)
risiko
jaminan
(recovery
risk)
yang
bergantung pada jaminan sebagai pembayaran kembali atas sisa pinjaman nasabah dari hasil penjualan jaminan. ii.
Risiko terkait pembiayaan korporasi yang disebabkan karena: (a) perubahan kondisi bisnis nasabah setelah pencarian pembiayaan, (b) komitmen kapital yang berlebihan, serta (c) lemahnya analisis Bank.
iii.
Risiko hukum yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perUndang-Undangan perikatan
yang
(perjanjian)
mendukung
seperti
tidak
atau
kelemahan
terpenuhinya
syarat
keabsahan suatu kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna, serta tidak terpenuhinya prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akad atau kontrak pembiayaan. iv.
Risiko transaksi dalam bentuk Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat timbul karena nasabah membatalkan barang yang dipesannya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 5 PBI Nomor 13/23/PBI/2011 risiko yang mungkin dihadapi oleh Bank Syariah antara lain adalah Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil, dan Risiko Investasi.
125 Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
126
Kemungkinan risiko yang dapat terjadi dan harus diantisipasi oleh nasabah dalam praktek pembiayaan murabahah antara lain adalah
dalam hal Bank menerapkan standard contract dimana di dalamnya terdapat klausula yang terlalu memberatkan nasabah sehingga memungkinkan terjadinya wanprestasi bagi pihak nasabah yang dapat menyebabkan kerugian lebih lanjut. Di samping itu, pihak nasabah juga perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi dari pihak
Bank dalam bentuk batalnya pencairan pembiayaan murabahah secara sepihak oleh Bank tanpa persetujuan dari nasabah.
2. Pengelolaan risiko dan pembiayaan murabahah yang dibiayai oleh Bank Syariah X atas proyek PT Z dalam Akta Akad Pembiayaan Murabahah Nomor 53 Tahun 2005 telah sesuai dengan yang diamanahkan dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1320 karena telah memenuhi syarat-syarat perjanjian yaitu para pihak yang membuat perjanjian cakap untuk melakukan tindakan hukum, tercapainya akata sepakat, adanya objek perjanjian dan kausa yang halal. Namun dalam prakteknya tidak sejalan dengan apa yang disyaratkan dalam hukum syariah Islam mengenai rukun akad terutama rukun yang mensyaratkan mengenai pernyataan kehendak, rukun mengenai objek akad dan rukun mengenai tujuan akad yang menyebabkan perjanjian Pembiayaan Murabahah Nomor 53 bertentangan dengan prinsip syariah Islam sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum. Disebutkan bahwa perjanjian tidak memenuhi rukun akad karena: i.
Tidak terpenuhinya rukun mengenai pernyataan kehendak disebabkan karena pernyataan yang dibuat Bank Syariah X mengenai persyaratan dokumen untuk pencairan pembiayaan kedua tidak dilengkapi dengan ketentuan yang pasti, jelas dan tegas mengenai tenggat waktu persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh PT. Z.
ii.
Objek akad merupakan objek yang dikategorikan dalam objek akad yang tidak dapat ditransaksikan dengan pembiayaan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
127
murabahah karena Bank Syariah X tidak pernah berkedudukan sebagai penjual yang sah memiliki barang mengingat pembelian objek perjanjian dilakukan langsung atas nama PT Z, tidak atas nama Bank Syariah yang seharusnya menjadi penjual. Hal ini merupakan
keadaan
yang
bertentangan
dengan
konsep
murabahah yang mensyaratkan kepemilikan barang ada pada Bank. iii.
Tidak sesuainya tujuan akad murabahah yang merupakan pembiayaan untuk transaksi jual beli dengan proses pelaksanaan pembiayaan untuk konstruksi Rukan SCS dimana Bank Syariah X hanya menyediakan dana tanpa pernah memiliki barang objek perjanjian secara sah adalah kegiatan yang tidak sejalan dengan prinsip murabahah. Sehingga dalam praktek pembiayaan murabahah
tujuan
akad
dan
pelaksanaan
Akta
Akad
Pembiayaan Al-Murabahah No.5 merupakan hal yang tidak sesuai dengan hukum Islam karena ketidaksesuaiaan tujuan awal akad dengan proses pelaksanaan akad.
3. Penyelesaian sengeketa perjanjian murabahah terkait wanprestasi yang terjadi antara Bank Syariah X dan PT Z pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) telah sesuai dengan ketentuan perUndangUndangan baik KUH Perdata maupun hukum syariah Islam. Namun penyelesaian sengketa pada Pengadilan Agama justru kurang memenuhi
rasa
keadilan
karena
Pengadilan
Agama
kurang
memperhatikan fakta-fakta dan itikad baik yang diupayakan oleh pihak PT. Z dalam pemenuhan kewajibannya. Di samping itu Pengadilan Agama juga melewatkan mempertimbangkan tercapainya kesepakatan dalam perjanjian tambahan berupa surat pernyataan.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
128
5.2 Saran
1. Para pihak yang bermaksud untuk mengadakan suatu perjanjian,
terutama perjanjian pembiayaan, baik bagi institusi perbankan maupun dari pihak nasabah wajib dan harus sama-sama mengerti serta memahami konsep perjanjian, konsep pembiayaan, serta berbagai jenis risiko yang mungkin terjadi dalam pembiayaan. 2. Pihak Bank Syariah perlu untuk lebih jeli dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pembuatan akad pembiayaan dalam bentuk apapun, dikaitkan dengan risiko yang mungkin terjadi, serta memasukkan klausula yang jelas dan tegas mengenai tenggat waktu pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak. Pengelolaan risiko bagi pihak Bank merupakan bentuk antisipasi risiko sehingga dapat dihindari kerugian lebih lanjut terutama dalam aspek pendapatan, permodalan dan reputasi institusi perbankan Syariah. 3. Dewan Pengawas Syariah bersama dengan Bank Indonesia selaku pengawas kegiatan perbankan Syariah di Indonesia perlu melakukan tindakan preventif maupun represif dalam menanggulangi pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh institusi Perbankan Syariah yang menerapkan metode pembiayaan syariah dengan cara salah. Tindakan preventif yang perlu dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dan Bank Indonesia dapat berbentuk upaya pengawasan dan guidance serta recovery kepada Bank yang menyediakan layanan pembiayaan dengan konsep Syariah. 4. Pengadilan Agama perlu lebih teliti dan cermat dalam menerima dan
menangani perkara, terutama perkara mengenai ekonomi syariah yang pada mulanya diperjanjikan oleh para pihak untuk diselesaikan melalui Badan Arbitrase. Hal ini berkaitan dengan kompetensi absolute agar tidak melanggar kewenangan mengadili sesama lembaga peradilan.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdoerraoef. Al-Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Ahmad Azhar Basyir. Asas – asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000. Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2001. Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Aziz, M. Amin. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku 1. Jakarta: Bangkit, 1992. Bank Indonesia Direktorat Perbankan Syariah, Kamus istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Cet. 1. Jakarta: Bank Indonesia, 2006. Dewi, Gemala., Wirdyaningsih., Barlinti, Yeni Salma. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005. Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Peransurasian Syariah Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004. Djamil, Fathurrahman . Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman et. al. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
_________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku kedua,
Cet.1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Ghufron, A. Mas‟adi. Fiqih Muamalah Konstektual. Cet.1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: Fiqh Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Hasan, Zubairi. Undang – Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Ibrahim, Johannes. Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank: Perspektif Hukum dan Ekonomi. Jakarta: Mandar Maju, 2004. Karim, A. Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Ed. Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Lewis, Mervyn K. Dan Latifa M. Algoud. Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek [Islamic Banking]. Diterjemahkan oleh Burhan Subrata. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Mamudji, Sri. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mujieb, Muhammad Abdul et.al. Kamus Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
Nasikhin, Muh. Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya. Semarang: Fatawa Publishing, 2010. Perwataatmaja, Karnaen, dkk. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media, 2005.
Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1993.
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah. Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki. Jilid 12. Bandung: PT al-Ma‟arif, 1987. Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999. _________, Kebebasan Berkontak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesi. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Soerjopratiknjo, Hartono. Aneka Perjanjian Jual Beli. Cet. Ke-2. Yogyakarta: PT. Mustika Wikasa, 1994. Subekti, Hukum Perjanjian. Cet. 19. Jakarta: Intermasa, 2002. Sudin Haron. Islamic Banking, Rules and Regulation. Malaysia: Selangor Darul Ehsan, Pelanduk Publication, 1997. Thaib, M. Hasballah. Hukum dan Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004. Usman, Rachmadi. Aspek – aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Cet. 1, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
MAKALAH JURNAL
Kusmiyati, Asmi Nur Siwi. “Risiko Akad dalam Pembiayaan Murabahah Pada
BMT di Yogyakarta: Dari Teori ke Terapan” Dalam Jurnal Ekonomi Islam La Riba (Vol. 1. No. 1. Juli 2007.
Manan, Abdul. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari`ah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007. _________, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Sebuah Kewenangan Baru Pengadilan Agama. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada 7 Februari 2007
di
Kampus
YARSI
Jakarta.
Diunduh
dari
www.badilag.net/data/ARTIKEL/makalah%20pak%20manan.pdf
pada
25 April 2012 Muslimin, H Kara. Bank Syariah di Indonesia (Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah). Yogyakarta: UII-Press. 2005. Suma, Muhammad Amin, Ekonomi Syariah sebagai Alternatif System Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 20, Agustus –September 2002,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
________, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
________, Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
________, Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
________, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. LN No. 941. TLN No. 4852.
________, Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. LN No. 56 Tahun 2003
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 61/15/PBI/2004 Tentang Giro Wajib Minimum. TLN No. 4390
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. TLN No. 4647
________, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. TLN No. 5247
________, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet.8. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63 (Rv)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
INTERNET
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada 28 November 2011
http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050881/jurnal-akuntansi pemerintah/manajemen-risiko-di-lingkungan-pemerintah-pengantar-
aplikasi-pada-unit-unit-departemen-keuangan/pengertian-manajemen risiko.html diakses pada 28 November 2011 diakses pada 15 Desember 2011
http://www.pta-samarinda.net/pdf/Subag%20Umum/EkS
Achmad%20fauzi.pdf.
diakses pada 14 April 2012
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Item id=83 diakses pada 12 Desember 2011
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012 Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
PUTUSAN
Nomor : 792/Pdt.G/2009/PA.JP BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara pembatalan Putusan Badan Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara :
PT. BANK SYARIAH MANDIRI, Perseroan Terbatas ( PT ) yang berkedudukan di Gedung Bank Syariah Mandiri Jalan MH. Thamrin No. 5 Jakarta yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Drs. IyanRisyadi Riksan, SH. Heri Bertus S. Hartojo, SH., MH. Dan Muhammad Bastian, SH., para advokat yang tergabung pada DIAS dan Associates Low Office yang berkantor di Citylofs Sudirman Tower lanntai 7 unit 729, Jl. KH. Mas Mansyur No. 121, Jakarta, selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON" ;-
Melawan
I. MAJELIS ARBITER BASYARNAS, yang memeriksa dan memutus perkara Nomor: 16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak atas nama Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj. Fatimah Achyar , SH. Dan Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, SH. Yang berkedudukan dan berkantor di Gedung MUI, Lantai 3, Jl. Proklamasi No. 51 Menteng, Jakarta yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Maqdir Ismail , SH. LL.M, Dr. S. F. Merbun, SH., MH., M. Rudjito, SH., MH., Dasril Effendi, SH., MH., Syahrial Zainuddin, SH., Masayun Donny Kertopati, SH. dan Ilham Nur Akbar, SH. para advokat dan konsultan Hukum pada Maqdir Ismail dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Partners Law Firm, yang beralamat di Jl. Bandung No. 4, Menteng, Jakarta Pusat, Selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON I”;
II. PT. ATRIUMASTA SAKTI, suatu Perseroan Terbatas (PT) yang berkedudukan dan berkantor di Taman Gandaria Velley Estate blok A I., RT 012 RW. 005, kelurahan Kebayoran Lama Jakarta Selatan yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Iran Syahril Siregaer, SH., MH., Hendra K. Siregar, SH., Rendy
Tanamo, SH. dan Azis Yanuar, SH., MH. para advokat yang tergabung pada Firma Hukum H.I Siregar dan Rekan yang beralamat di Gedung Setia Budi Atrium Lantai 2 Ruang 209, Jl. HR. Rasuna Said Kav. 62 Kuningan, Jakarta Selatan, selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON II”;
Pengadilan Agama Tersebut ;Telah mendengar keterangan para pihak ;Telah meneliti berkas perkara ;Telah meneliti alat bukti ;-
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya tertanggal 10 Nopember 2009 yang didaftarkan pada tanggal yang sama di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Register pendaftaran Nomor 792/Pdt.G/2009/PA.JP. mengemukakan dalil-dalilnya sebagai berikut:
I. MENGENAI AMAR PUTUSAN BASYARNAS
1. Bahwa Majelis Arbiter BASYARNAS pada tanggal 16 September 2009 telah membacakan Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula Termohon Arbitrase) (Bukti P – 1), serta telah mendaftarkan Putusan tersebut pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana ternyata dalam Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/ 2009/PAJP tertanggal 12 Oktober 2009 (Bukti P – 2).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
2. Bahwa adapun Amar Putusan BASYARNAS yang dimohonkan pembatalannya oleh PEMOHON selengkapnya adalah sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
-Menyatakan eksepsi Termohon tidak dapat diterima. DALAM POKOK PERKARA
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
- Menyatakan Termohon melakukan cidera janji; - Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No.53 tanggal 23 Februari yang dibuat oleh dan dihadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di Jakarta; - Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon dana sebesar Rp.878.791.366,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam Rupiah) yang terdiri atas : a. Pembayaran biaya provisi Bank sebesar Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta Rupiah) atau sebesar 1% (satu persen) dari nilai fasilitas pembiayaan yang berjumlah Rp.35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar Rupiah) karena Akad Murabahah No.53 dinyatakan batal demi hukum; b. Pembayaran uang asuransi proyek (PT. Asuransi Dayin Mitra) sebesar Rp.45.027.000,- (empat puluh lima juta dua puluh tujuh ribu Rupiah); c. Pembayaran uang muka iuran Jamsostek sejumlah Rp.5.962.700,- (lima juta sembilan ratus enam puluh dua ribu tujuh ratus Rupiah); d. Pembayaran uang retribusi kepada Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp.298.135.000,- (dua ratus sembilan puluh delapan juta seratus tiga puluh lima ribu Rupiah);
e. Uang pengembalian cicilan margin sejumlah Rp.179.666.666,- (seratus tujuh puluh sembilan juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam Rupiah). -Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biayabiaya lainnya sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh bukti-bukti pengeluaran yang telah diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik mengenai keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam jangka Majelis dibacakan. waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon. - Memutuskan biaya Kantor Akuntan Publik, baik yang ditunjuk oleh Pemohon dan Termohon maupun yang ditunjuk oleh Majelis ditanggung oleh Pemohon dan Termohon masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen). - Menolak permohonan Pemohon untuk meletakkan sita jaminan. - Menolak permohonan Pemohon mengenai uang paksa (dwangsom). - Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun. - Menolak tuntutan Pemohon selebihnya. - Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan. - Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Pemohon dan Termohon masing-masing sebesar ½ bagian dari biaya perkara ini. - Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar putusan
ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan baru melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi putusan ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon dapat mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat kesehatan PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib berdasarkan kekuatan hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon yang demikian itu.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memerintahkan kepada Sekretaris Sidang selaku Kuasa Arbiter untuk mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jo Surat
Edaran Mahkamah Agung No.08 Tanggal 10 Oktober 2008.
II. MENGENAI DASAR HUKUM PERMOHONAN PEMBATALAN
PUTUSAN BASYARNAS KE PENGADILAN AGAMA. 3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasan Umum Bab VII Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) jo Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang- Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Surat Edaran Mahkamah Agung No.8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah, diberikan hak oleh Undang-Undang kepada salah satu pihak dalam perkara arbitrase untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Agama dengan alasan-alasan yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 70 dan dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Penjelasan Umum Bab VII UU Arbitrase.
III. PUTUSAN DIAMBIL DARI HASIL TIPU MUSLIHAT YANG DILAKUKAN OLEH SALAH SATU PIHAK DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA. 4. Bahwa selama persidangan arbitrase terungkap fakta-fakta hukum yang sangat
material akan tetapi sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Arbiter (TERMOHON I) sehingga memberikan keyakinan kepada PEMOHON bahwa TERMOHON I dan TERMOHON II telah memenuhi unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 70 serta dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Penjelasan Umum Bab VII UU Arbitrase. 5. Bahwa salah satu butir amar Putusan BASYARNAS adalah bahwa PEMOHON semula Termohon Arbitrase melakukan cidera janji. Putusan Majelis Arbiter tersebut didasarkan pada dalil TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase dalam
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Permohonan Arbitrase-nya yang menyatakan bahwa PEMOHON semula telah tidak melakukan pencairan tahap Termohon Arbitrase cidera janji karena
kedua dan seterusnya dari fasilitas pembiayaan Murabahah. Dalil TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase tersebut diterima secara bulat oleh Majelis Arbiter
(TERMOHON I) dengan mengesampingkan fakta hukum bahwa yang cidera janji terlebih dahulu sesuai Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan EFRAN YUNIARTO, SH, Notaris di
Jakarta
(Bukti P – 3), adalah TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase (exceptio et adiplenti contractus). Cidera janji TERMOHON II semula Pemohon Arbitrase yang mengakibatkan PEMOHON semula Termohon Arbitrase untuk tidak mencairkan tahap kedua dan seterusnya dari fasilitas pembiayaan Murabahah adalah sebagai berikut : (a) TERMOHON II telah tidak menunjukkan asli dan memberikan fotocopy dokumen/perijinan mendirikan bangunan (in casu, PIMB dan IMB) seperti yang disyaratkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (10) Akta Akad Pembiayaan AlMurabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan EFRAN YUNIARTO, SH, Notaris di Jakarta, dan kemudian dipertegas TERMOHON II dalam Surat Pernyataan tertanggal 2 Maret 2005 (Bukti P – 4). (b) TERMOHON II telah tidak membayar biaya Notaris sesuai ketentuan Syarat-Syarat Pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (4) Akad AlMurabahah No.53; (c) TERMOHON II telah tidak menyerahkan self financing sesuai ketentuan ketentuan Syarat-Syarat Pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (23) Akad Al-Murabahah No.53.
Terkait dengan persyaratan dalam Akad Murabahah bahwa TERMOHON II harus menyerahkan IMB sebelum PEMOHON melakukan pencairan pembiayaan tahap kedua dan seterusnya, Majelis Arbiter telah mengesampingkan fakta hukum bahwa TERMOHON II telah memperlihatkan kepada PEMOHON dokumen Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara TERMOHON II dengan H. Jayadi Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004 (Bukti P – 5) serta bukti-bukti Kuitansi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus duabelas juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah dibayar oleh TERMOHON
II kepada H. Jayadi Kusumah, SH (Bukti P – 6) sebagai biaya pengurusan pembuatan IMB dan perizinan pembangunan lannya untuk proyek Ruko Soho
Carbella Square.
Bahwa Majelis Arbiter (TERMOHON I) telah tidak secara sungguh-sungguh
untuk membuktikan kebenaran bukti-bukti kuitansi yang diajukan PEMOHON dalam persidangan dengan memanggil H Jayadi Kusuma, SH untuk dikonfirmasi mengenai kebenaran isi bukti kuitansi, padahal PEMOHON telah memintanya melalui Sekretaris BASYARNAS sesuai prosedur persidangan. Adalah sangat tidak logis dan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Arbiter bahwa permintaan PEMOHON kepada TERMOHON II untuk menyerahkan IMB tidak pernah dipenuhi oleh TERMOHON II, padahal TERMOHON II mendalilkan telah mengeluarkan uang sebesar Rp.3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus dua belas juta lima ratus ribu Rupiah) sampai dengan total sebesar Rp.3.800.000.000 (tiga miliar delapan ratus juta Rupiah) yang diserahkan oleh TERMOHON II kepada H. Jayadi Kusumah, SH untuk mengurus IMB dan izin pembangunan lainnya sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara TERMOHON II dengan H. Jayadi Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004.
6. Bahwa PEMOHON menemukan fakta hukum material yang tidak disampaikan secara terbuka dan transparan kepada PEMOHON terkait dengan adanya perubahan isi draft final Putusan (Bukti P - 1) dengan isi Putusan BASYARNAS
yang didaftarkan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Bukti P - 2). Dalam butir 48 (halaman 62) Putusan PEMOHON menemukan perubahan isi Putusan butir 48 yang sebelumnya berbunyi : “48. Tuntutan ganti rugi yang tidak dapat dikabulkan Majelis Arbiter adalah hal-hal sebagai berikut : …..” Menjadi berbunyi sebagai berikut : “48. Tuntutan ganti rugi yang tidak dapat dikabulkan Majelis Arbiter sebelum diverifikasi oleh Akuntan Publik mengenai kebenarannya adalah hal-hal sebagai berikut : …..”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
48 Putusan di atas, PEMOHON melalui Bahwa terkait dengan perubahan isi butir
Surat Ref. No. : DNA/081/X/09 tanggal 15 Oktober 2009 perihal Permohonan Penjelasan
Mengenai
Perubahan
Isi
Putusan
No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara PT Atriumasta Sakti selaku Pemohon dan PT Bank Syariah Mandiri selaku Termohon (Bukti P - 7) telah memohon penjelasan kepada Majelis Arbiter (TERMOHON I). Penjelasan TERMOHON I sangat
diperlukan PEMOHON mengingat perubahan tersebut menurut PEMOHON sangat mendasar, substansial serta terutama pula tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Majelis Arbiter (TERMOHON I) dalam pembacaan Putusan tanggal 16 September 2009. Akan tetapi, sampai tanggal Permohonan Pembatalan aquo PEMOHON ajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggapan Majelis Arbiter belum PEMOHON terima. Bahwa disamping itu, cara yang diambil Majelis Arbiter untuk melakukan perubahan atau perbaikan isi Putusan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan ketentuan Pasal 26 Peraturan Prosedur BASYARNAS.
IV. ISI AMAR PUTUSAN SECARA SUBSTANSI TIDAK LOGIS YURIDIS DAN BERTENTANGAN SATU SAMA LAIN. 7. Bahwa Majelis Arbiter (TERMOHON I) mengeluarkan putusan yang isinya
tidak logis yuridis serta bertentangan satu sama lain. Isi-isi amar yang tidak logis adalah yang berbunyi sebagai berikut : - Menyatakan Termohon melakukan cidera janji; - Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No.53 tanggal 23 Februari yang dibuat oleh dan dihadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di Jakarta;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa menurut hukum perjanjian, apabila suatu perikatan dinyatakan batal demi hukum (null and void), berarti perikatan tersebut sejak awal dianggap tidak ada
dan tidak pernah terjadi. Oleh karena sejak awal tidak ada perikatan, maka dengan sendirinya juga tidak ada cidera janji (wanprestasi), sehingga tidak bisa salah satu
pihak dinyatakan telah melakukan cidera janji atas perikatan yang batal demi hukum tersebut. Ketentuan adanya cidera janji (event of default) hanya dapat terjadi jika perikatan tersebut ada dan berlaku, namun kemudian salah satu pihak
tidak memenuhi syaratsyarat dan ketentuan yang diatur dalam perikatan (perjanjian) aquo sehingga berakibat dibatalkannya (dinyatakan batal) (voidable atau vernietigbaar) perikatan (perjanjian) aquo oleh hakim pengadilan. Dengan kata lain, sebelum dinyatakan batal oleh hakim (arbiter) karena adanya wanprestasi, perjanjian tersebut ada dan berlaku sah serta mengikat para pihak. Perjanjian tersebut menjadi tidak ada dan tidak berlaku lagi terhitung sejak dinyatakan batal oleh hakim karena adanya wanprestasi. Jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tentang syarat sahnya suatu perjanjian, terdapat syarat subyektif dan syarat obyektif. Suatu perjanjian (perikatan) batal demi hukum apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat obyektif, sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (dinyatakan batal oleh hakim). Cidera janji (wanprestasi) merupakan syarat subyektif, yaitu para subyek atau salah satu subyek yang membuat perjanjian (perikatan) misalnya tidak melaksanakan syarat dan ketentuan dalam Akad Pembiayaan Murabahah seperti dalam perkara arbitrase aquo. Dengan demikian terdapat cacat hukum dalam Amar Putusan BASYARNAS karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
8. Bahwa isi-isi Amar Putusan yang bertentangan satu sama lain adalah yang berbunyi sebagai berikut : - Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biayabiaya lainnya sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh buktibukti pengeluaran yang telah diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik mengenai keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
- Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam Putusan Majelis dibacakan. jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon. - Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun. Majelis Arbiter telah membuat kabur pengertian ”Putusan Arbitrase bersifat final and binding” dengan adanya putusan yang masih digantungkan pada keadaan tertentu dalam waktu tertentu yang belum bersifat final. Bunyi Amar Putusan yang menyangkut pembayaran biaya dan penunjukkan Kantor Akuntan Publik yang berkaitan dengan penetapan jumlah biaya yang harus dikembalikan oleh PEMOHON jelas menunjukkan bahwa Putusan aquo belum final, masih menggantung dan belum tuntas. Seharusnya Majelis Arbiter dengan keyakinannya membuat putusan yang tidak menggantung dan masih berpotensi bersengketa yang tidak berkesudahan antara PEMOHON dengan TERMOHON II. Selain itu, petitum putusan mengenai biaya yang harus dikembalikan oleh PEMOHON yang harus mendapat verifikasi terlebih dahulu dari Kantor Akuntan Publik tersebut
bertentangan dengan hukum pembuktian yang seharusnya dilaksanakan dan sudah tuntas sebelum perkara diputus. Majelis Arbiter atau TERMOHON I seharusnya memutus sesuai dengan faktafakta yang terungkap dan bukti-bukti yang diajukan oleh TERMOHON II didepan persidangan. Apabila Majelis Arbiter berdasarkan keyakinannya menganggap alat-alat
bukti
TERMOHON
II
meragukan
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan, maka seharusnya dan sepatutnya Majelis Arbiter menolak secara tegas alat-alat bukti tersebut demi kepastian hukum. Azas hukum
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pembuktian tersebut juga sesuai dengan dan dijunjung tinggi oleh Hukum Islam. Dalam sejarah Islam terkenal kasus kepemilikan Baju Perang yang terjadi antara
Sayyidina Ali (sepupu, sahabat dan menantu Rasulullah SAW) dengan seorang Yahudi. Dalam perkara tersebut Rasulullah SAW memutuskan berdasarkan bukti-
bukti yang diajukan bahwa orang Yahudi lah sebagai pemilik Baju Perang tersebut. Sebenarnya baju tersebut milik Sayyidina Ali, namun Sayyidina Ali tidak dapat membuktikan kepemilikannya atas baju perang tersebut. Dari kasus
baju perang ini kita dapat mengambil I‟tibar (pelajaran) bahwa hakim (arbiter) mengambil putusan berdasarkan bukti-bukti. Majelis Arbiter setelah putusan dibacakan tidak boleh lagi menyuruh para pihak untuk meminta pihak ketiga agar memverifikasi tuntutan dari TERMOHON II mengenai jumlah biaya yang harus dikembalikan
oleh
PEMOHON
sebagaimana
bunyi
petitum
Putusan
BASYARNAS di atas.
V. ISI AMAR PUTUSAN TIDAK DAPAT LAGI MENJADI RUJUKAN DALAM
PELAKSANAAN ISI
PUTUSAN
DAN BERTENTANGAN
DENGAN SIFAT FINAL AND BINDING DARI PUTUSAN ARBITRASE. 9. Bahwa terdapat isi Amar Putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non executable) berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang sampai dengan tanggal Pengajuan Permohonan Pembatalan aquo yaitu yang berbunyi sebagai berikut : - Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan.
- Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukan Kantor Akuntan Publik akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
10. Bahwa memenuhi isi Amar Putusan yang diuraikan dalam butir (9) di atas, PEMOHON semula Termohon Arbitrase dan TERMOHON II semula Pemohon
Arbitrase telah berusaha melaksanakan isi Putusan yaitu menunjuk Kantor Akuntan Publik dengan kronologis sebagai berikut :
(a) Pada tanggal 7 Oktober 2009 TERMOHON II melalui Kuasa Hukumnya dengan Surat No.097/HIS/AS-BSM/X/2009 perihal Pengajuan Kantor Akuntan
Publik, mengajukan Kantor Akuntan Publik (KAP) Doli, Bambang, Sudarmadji & Dadang (DBS & D) sebagai Akuntan Publik yang akan melakukan verifikasi biaya-biaya sesuai isi Putusan BASYARNAS, untuk disetujui PEMOHON (Bukti P - 8); (b) Menanggapi Surat TERMOHON II tersebut, PEMOHON melalui Kuasa Hukumnya atas dasar itikad baik menyampaikan Surat Ref. No.: DNA/080/X/09 tanggal 15 Oktober 2009 perihal Tanggapan Atas Pengajuan Kantor Akuntan Publik, yang isinya menyetujui penunjukkan KAP DBS & D yang diajukan TERMOHON II (Bukti P - 9); (c) PEMOHON dan TERMOHON II bersama-sama kemudian pada tanggal 23 Oktober 2009 melalui Surat Ref. No. : 087/X/09 perihal PermohonanPengajuan Proposal, meminta KAP DBS & D untuk menyampaikan proposal biaya jasa KAP DBS & D dalam menangani pekerjaan verifikasi biaya-biaya lain sesuai isi Putusan BASYARNAS (Bukti P - 10); (d) Akan tetapi, pada tanggal 2 November 2009 sesuai Surat No.164/OL2.11109/DBSD perihal Jawaban Permohonan Pengajuan Proposal, KAP DBS & D menyatakan tidak bersedia untuk mengajukan Proposal yang berarti menolak
untuk menjadi KAP yang akan melakukan verifikasi biaya-biaya lain sesuai Putusan BASYARNAS (Bukti P -11). 11. Bahwa akibat penolakan KAP yang tidak bersedia menjadi KAP yang akan melakukan verifikasi dalam rangka memenuhi isi Amar Putusan yang diuraikan dalam butir (9) di atas, kemudian menjadi tidak jelas mengenai siapa yang berwenang untuk menunjuk KAP. Apabila kewenangan penunjukkan KAP tersebut masih merupakan hak PEMOHON dan TERMOHON II, periode waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Putusan dibacakan sudah terlampaui. Dilain
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
pihak, apabila kewenangan sudah beralih ke Majelis Arbiter, maka hal tersebut tidak sesuai dengan substansi dan „semangat‟ dari isi Amar Putusan, karena
sebenarnya bukan tidak ada kesepakatan antara PEMOHON dan TERMOHON II namun karena KAP yang telah disepakati menyatakan menolak ditunjuk sebagai
KAP.
Dengan demikian isi Amar Putusan TERMOHON tidak dapat lagi dijadikan rujukan dalam pelaksanaan isi Putusan terkait dengan penunjukkan KAP. Apabila
Majelis Arbiter memaksakan untuk menetapkan KAP akan memverifikasi biayabiaya lain sesuai isi Putusan, maka tindakan Majelis Arbiter tersebut bertentangan dengan sifat final and binding dari Putusan arbitrase karena akan ada putusan baru setelah Putusan yang dibacakan pada tanggal 16 September 2009.
VI.
ISI
AMAR
MENGHILANGKAN
PUTUSAN
TELAH
HAK-HAK
MEREDUKSI
PEMOHON
YANG
DAN/ATAU DIJAMIN
UNDANGUNDANG. 12. Bahwa terdapat isi-isi Amar Putusan yang mereduksi dan menghilangkan hak PEMOHON yang telah dijamin Undang-Undang yaitu yang berbunyi sebagai berikut : - Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun. - Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar
putusan ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan baru melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi putusan ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon dapat mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat kesehatan PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib berdasarkan kekuatan hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon yang demikian itu.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa hak untuk mengajukan pembatalan suatu putusan arbitrase adalah hak
yang diberikan serta dijamin hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara arbitrase. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa telah memberikan hak bagi pihak-pihak yang bersengketa melalui forum arbitrase untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU Arbitrase dimaksud.
Tindakan TERMOHON I selaku Majelis Arbiter yang dengan jelas menghalangi disertai “ancaman” atau melarang PEMOHON untuk melaksanakan
haknya
sesuai
Undang-Undang
untuk
mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah melawan hukum, tendensius dan berpotensi tidak obyektifnya Majelis dalam memeriksa dan memutus perkara BASYARNAS No.16/Tahun 2008/Ka.Jak.
VII. ISI AMAR PUTUSAN MELANGGAR KETENTUAN UNDANGUNDANG
NO.30
TAHUN
1999
TENTANG
ARBITRASE
DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (UU ARBITRASE). 13. Bahwa terdapat isi Amar Putusan yang melanggar ketentuan UU arbitrase yaitu yang berbunyi sebagai berikut : - Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan. Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 jo UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo Surat Edaran Mahkamah Agung No.8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah secara a contrario menegaskan bahwa suatu Putusan arbitrase baru memiliki kekuatan eksekusi setelah putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Agama. Putusan Majelis Arbiter yang menghukum PEMOHON semula Termohon Arbitrase untuk melaksanakan putusan sebelum kekuatan eksekusi timbul secara efektif sesuai UU Arbitrase adalah melanggar hukum,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memaksakan diri serta berpotensi tidak independen dalam menangani serta memutus perkara BASYARNAS No.16/Tahun 2008/Ka.Jak.
14. Bahwa dengan demikian cukup alasan bagi Pengadilan Agama Jakarta Pusat berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
Penjelasan Umum Bab VII Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk membatalkan Putusan Badan Arbitrase
Syariah
Nasional
(BASYARNAS)
Perkara
No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka. Jak yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar memberikan putusan sebagai sebagai berikut : 1. Menerima permohonan PEMOHON untuk seluruhnya; 2. Menyatakan cacat hukum Putusan BASYARNAS karena isi amarnya saling bertentangan satu sama lain, dan melanggar ketentuan Undang- Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta ketentuan perundangan yang berlaku. 3. Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009 seluruhnya; 4. Membebankan kepada TERMOHON I dan TERMOHON II untuk membayar seluruh biaya yang timbul dari perkara ini.
Atau, apabila Majelis Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang menangani perkara aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa atas Permohonan Pemohon tersebut Termohon I memberikan jawaban sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
I. EKSEPSI KEWENANGAN ABSOLUT (EXCEPTIO DECLINATOIR) TERMOHON
I
mengajukan
EKSEPSI
KEWENANGAN
ABSOLUT
(EXCEPTIO DECLINATOIR) terhadap alasan yang diajukan oleh PEMOHON, dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut ini :
a. Bahwa pada dasarnya antara PEMOHON dengan TERMOHON II telah menandatangani suatu perjanjian. Perjanjian tersebut sesuai dengan asas Pacta Sunt Servanda mengikat kedua belah pihak. Artinya, antara PEMOHON dengan
TERMOHON II telah bersepakat menyelesaikan sengketa mereka sesuai dengan perjanjian/ klausula arbitrase tersebut; b. Bahwa asas tersebut telah dinormativisasi ke dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 60 menyatakan ”putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”. Selanjutnya asas dan ketentuan Pasal 60 tersebut dipertegas kembali melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 08 Tahun 2008, angka 3 menyatakan ”Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, karenanya para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah tersebut secara sukarela; c. Bahwa meskipun UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 70 menyatakan para pihak dapat mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase, namun upaya pembatalan tersebut bukan merupakan ”banding biasa” terhadap suatu putusan arbitrase. Pembatalan merupakan suatu upaya hukum yang ”luar biasa”. Oleh karena itu tanpa alasan-alasan yang spesifik sebagaimana ditentukan pada Pasal 70 huruf a, b dan c tersebut, maka pada prinsipnya pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase tidak mungkin dapat dilakukan/ dipenuhi. Dengan demikian,
pada prinsipnya suatu putusan arbitrase adalah tingkat pertama dan terakhir (final and binding). Oleh karena itu Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa Permohonan Pembatalan putusan arbitrase yang di ajukan oleh PEMOHON.
d. Bahwa dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Pasal 70 menyatakan :
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;-b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyi oleh pihak lawan;---
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa;--
Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 70 dijelaskan : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. e. Bahwa menurut ketentuan Pasal 70 beserta Penjelasannya tersebut,untuk dapat mempertimbangkan suatu permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase haruslah didukung bukti-bukti berupa putusan pengadilan terhadap alasan-alasan tersebut. Dengan demikian, apabila permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase tidak didukung putusan pengadilan, maka permohonan pembatalan tersebut harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidap dapat diterima;
f. Bahwa berdasarkan butir 8 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor : 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah, menyatakan : ”Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional”.
Bahwa alasan permohonan PEMOHON yang dikemukan pada angka IV. Isi Amar Putusan, secara subtansial tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama lain (mulai dari halaman 7 s/d halaman 9), angka V. Isi amar putusan tidak dapat lagi
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menjadi rujukan dalam pelaksanaan isi putusan dan bertentangan dengan sifat (mulai dari halaman 9 s/d halaman 11), final dan binding dari putusan arbitrase
angka VI. Isi amar putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak (mulai dari halaman 11 s/d halaman 12), pemohon yang dijamin Undang-Undang
dan angka VII. Isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-Undang no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (UU Arbitrase) (halaman 12 s/d halaman 13) adalah mengenai alasan atau pertimbangan dari
putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. Dengan demikian Ketua Pengadilan Agama harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa alasan permohonan PEMOHON pada angka IV s/d VII tersebut.-
II. EXCEPTIO ERROR IN PERSONA DALAM BENTUK DISKUALIFIKASI IN PERSOON TERMOHON I mengajukan Exceptio Error In Persona dalam bentuk Diskualifikasi In Persoon terhadap penarikan TERMOHON I dalam kedudukkan dan kapasitasnya sebagai Majelis Arbitrase yang menjatuhkan Putusan Arbitrase A-quo, dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut ini :
1. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan : “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara atau arbitrase.” Dengan demikian penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase adalah termasuk dalam kategori lembaga peradilan, oleh karena itu status dan kedudukan Majelis Arbitrase sama dengan Majelis
Hakim di peradilan Negara, sehingga Majelis Arbitrase tidak dapat dijadikan pihak dalam setiap upaya hukum yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa dan diputus oleh Majelis Arbitase tersebut, oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon. 2. Bahwa Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut ”UU Arbitrase No.30/99”)
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memberi hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan Arbitrase.
memberi hak kepada PEMOHON untuk Berdasarkan ketentuan di atas, hukum
mengajukan permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Aquo dan tindakan itu sah menurut hukum. Akan tetapi yang harus ditarik sebagai pihak TERMOHON dalam permohonan pembatalan Putusan Arbitrase A-quo adalah
pihak lawan yang bersengketa dalam putusan Arbitrase yang bersangkutan. In casu yang menjadi pihak lawan PEMOHON dalam Putusan Arbitrase Aquo yang dimohon pembatalan sekarang adalah TERMOHON II (PT Atriumasta Sakti), maka yang mesti ditarik oleh PEMOHON sebagai TERMOHON hanya terbatas dan cukup terhadap TERMOHON II saja. Karena dengan menarik TERMOHON II sebagai pihak TERMOHON, secara prosesual dan tata tertib beracara penyelesaian permohonan pembatalan yang diajukannya dapat di selesaikan secara tuntas, tanpa memerlukan menarik Majelis Arbitrase yang bersangkutan sebagai pihak termohon. Bertitik tolak dari tata tertib beracara yang dikemukan TERMOHON I di atas, penarikan TERMOHON I sebagai pihak TERMOHON dalam permohonan pembatalan Putusan Arbitrase A-quo dikatagori sebagai diskualifikasi in persoon. Makna diskualifikasi in persoon dalam tata tertib beracara, orang yang ditarik sebagai pihak salah dan keliru. Demikian halnya dalam kasus ini ditariknya TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan Putusan Arbitrase A-quo dikatagori sebagai tindakan yang salah dan keliru apabila ditinjau dari segi syarat formil. Oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam
permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon 3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa : “Arbiter atau Majelis Arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung-jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau Majelis Arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Dengan demikian Majelis Arbitrase tidak dapat digugat ke pengadilan atas persidangan berlangsung termasuk dalam tindakan yang dilakukan selama proses
mengambil putusan Majelis Arbitrase, kecuali dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan majelis tersebut.
Bahwa tanpa terlebih dahulu adanya pembuktian tentang iktikad tidak baik dari Majelis Arbitrase, maka segala bentuk gugatan terhadap Majelis Arbitrase adalah merupakan perbuatan yang salah dan keliru serta bertentangan dengan hukum,
Oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon. 4. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun 1976, Perihal: Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim, yang menyatakan : “hakim dibebaskan pertanggungan jawab perdata mengenai perbuatan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas peradilan.” Dengan demikian segala bentuk gugatan terhadap Majelis Arbitrase adalah merupakan perbuatan yang salah dan keliru serta bertentangan dengan hukum, Oleh karena itu penarikan TERMOHON I sebagai pihak dalam permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon. 5. Bahwa dengan merujuk kepada praktik internasional sesuai ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules (1976), Article 36 - Correction of the award : (1). Within thirty days after the receipt of the award, either party, with notice to the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the communication of the award make such corrections on its own initiative”
maka apa yang dilakukan oleh PEMOHON telah menyalahi praktikinternasional yang juga merupakan praktik dalam arbitrase di Indonesia. Sebab dari bunyi Pasal 36 UNCITRAL Arbitration Rules (1976) tersebut, yang bisa dilakukan oleh Majelis Arbitrase hanya terbatas pada melakukan koreksi terhadap putusan dalam waktu 30 hari sejak putusan diterima, atas inisiatif salah satu pihak dengan terlebih dahulu memberi tahu pihak lain. Koreksi tersebut hanya terbatas melakukan koreksi terhadap kesalahan ketik atau perhitungan atau kesalahan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
administrative yang berhubungan dengan pekerjaan panitera, oleh karena itu dalam permohonan pembatalan putusan penarikan TERMOHON I sebagai pihak
Arbitrase A-quo adalah cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persoon. Oleh karena penarikan TERMOHON I sebagai pihak mengandung
cacat formil error in persona, maka menurut hukum permohonan PEMOHON terhadap diri TERMOHON I harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard, inadmissable declared).
Berdasarkan tata tertib yang dikemukakan di atas, penempatan dan penarikan Majelis Arbitrase yang memutus putusan Arbitrase A-quo sebagai TERMOHON I dalam permohonan pembatalan ini harus dikeluarkan dari arus proses pemeriksaan perkara.
DALAM POKOK PERKARA Segala sesuatu yang TERMOHON I kemukakan didalam EKSEPSI merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan substansi materi yang dikemukakan dalam POKOK PERKARA ini, dapat TERMOHON I jelaskan, setelah meneliti permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo ternyata PEMOHON mengajukan 5 (lima) alasan yang menjadi dasar permohonan pembatalan sebagaimana yang dikemukakannya pada angka III (mulai dari halaman 4 s/d halaman 7), angka IV (mulai dari halaman 7 s/d halaman 9), angka V (mulai dari halaman 9 s/d halaman 11), angka VI (mulai dari halaman 11 s/d halaman 12), dan angka VII (halaman 12 s/d halaman 13). Sehubungan dengan itu TERMOHON I akan menanggapi dan membantah satu
persatu alasan tersebut sesuai dengan urutan yang dikemukakan dalam permohonan sebagai berikut: 1. Alasan permohonan pembatalan tipu muslihat yang diajukan oleh PEMOHON, tidak memenuhi syarat yang ditentukan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 1.1. Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 menyebut 3 (tiga) alasan permohonan pembatalan putusan Arbitrase yang terdiri dari: a...
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
b...
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Berdasarkan ketentuan Pasal ini terdapat 3 (tiga) alasan permohonan pembatalan
terhadap putusan Arbitrase A-quo yang dapat diajukan oleh PEMOHON.-1.2. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 menentukan syarat keabsyahan alasan-alasan tersebut Penjelasan Pasal 70 tersebut mengatakan;
”...Alasan-alasan permohonan pembatalan yang tersebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” 1.3. Bertitik tolak dari penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99 dimaksud: - Agar alasan permohonan pembatalan yang diajukan oleh PEMOHON syah menurut hukum (wettig, lawfull), apakah alasan itu huruf a, b atau huruf c dalam kasus perkara ini putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase terhadap putusan Arbitrase A-quo merupakan hasil tipu muslihat dan tipu muslihat itu harus dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (gezaag van gewijsde, irrevocable judgement). - Apabila alasan permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo yang diajukan oleh PEMOHON tipu muslihat tetapi tanpa didukung oleh alat bukti berupa putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka alasan tersebut tidak syah menurut hukum (onwettig, unlawfull). 1.4. In casu, dalam perkara ini alasan permohonan pembatalan putusan Arbitrase A-quo yang dikemukakan PEMOHON pada angka III (halaman 4 s/d halaman 7) adalah tipu muslihat tanpa didukung dan dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
- Berarti alasan ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase No.30/99. - Dengan demikian alasan ini tidak sah menurut hukum. Oleh karena itu alasan permohonan pembatalan angka III ini harus ditolak dan dikesampingkan.
2. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya saling pertentangan dalam putusan Arbitrase A-quo tidak mempunyai dasar hukum
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pada angka IV (halaman 7) permohonan, PEMOHON mengemukakan alasan permohonan pembatalan yang kedua yang menyatakan isi amar putusan secara substansi tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama lain. Jika alasan ini dihubungkan dengan angka 7 dan seterusnya, intisari dari pada alasan ini adanya
saling pertentangan satu sama lain yang terdapat dalam amar putusan dalam bentuk satu segi menyatakan TERMOHON melakukan cidera janji, dan pada segi lain menyatakan batal demi hukum akad pembiayaan murabahah nomor 53 tanggal 23 Februari 2005.
2.1. pada dasarnya baik ditinjau dari segi teori dan praktek tidak ada perbedaan hakiki antara batal dengan batal demi hukum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata bahwa pembatalan perjanjian apakah itu diakibatkan oleh karena tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau oleh karena perjanjian itu melanggar ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, agar perjanjian itu batal, pembatalannya harus dimintakan ke Pengadilan. Dengan demikian yang berwenang untuk membatalkan perjanjian itu pada dasarnya adalah hakim.
2.2. Pernyataan Amar Putusan Arbitrase A-quo yang menyatakan perjanjian batal demi hukum sejalan dan sesuai dengan pertimbangan putusan arbitrase a-quo yang tercantum dalam halaman 40 dan seterusnya. Dalam pertimbangan mulai dari halaman 40 dan seterusnya telah dikemukakan beberapa unsur dan persyaratan perjanjian murabahah Akta No. 53 tanggal 23 Februari 2005 bertentangan dengan prinsipprinsip syariah yang terpenting diantaranya: 2.2.1. bentuk perjanjian murabahah tersebut mengambil konstruksi kredit modal kerja yang biasa digunakan pada bank konvensional sehingga bertentangan dengan prinsip pembiayaan murabahah yang merupakan akad jual beli.
2.2.2. margin yang ditetapkan dalam perjanjian murabahah berupa ceiling price yang berubah-ubah secara tidak pasti (uncertain), tidak ditentukan secara lump sum pertahun tetapi ditetapkan dalam prosentase pertahun seperti halnya bunga pada perbankan konvensional yang menurut prinsip syariah adalah riba yang haram hukumnya. 2.2.3. tentang pembebanan bunga dalam surat sanggup/promes sehingga sama artinya dengan riba dan karenanya melanggar prinsip syariah.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
2.2.4. akad pembiayaan No. 53, transaksi jual beli antara pemasok dan bank dan jual beli antara bank dengan nasabah telah dibuat dalam satu akad saja. Hal ini bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Bertitik tolak dari fakta-fakta yuridis yang dikemukakan
dalam pertimbangan putusan arbitrase A-quo, terbukti perjanjian murabahah 53 bertentangan dengan prinsip syariah dan melanggar ketentuan Pasal 1337 Jo. Pasal 1335 KUH Perdata, sehingga sudah tepat kesimpulan dan amar putusan
arbitrase a-quo yang menyatakan perjanjian murabahah 53 batal demi hukum. 2.3. Berdasarkan fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, dibolehkan adanya wakalah dan margin dalam transaksi pembiayaan murabahah dan hal itu telah disepakati oleh PEMOHON dan TERMOHON, sehingga akad murabahah tersebut dianggap sah oleh PEMOHON dan TERMOHON. Tanpa mengurangi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan pada butir 2.2. bahwa akad murabahah 53 bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, sehingga akad murabahah itu dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi pada segi lain oleh karena akad murabahah 53 itu telah sesuai dengan fatwa DSN No. 04/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah, timbul anggapan hukum akad murabahah 53 tersebut sah menurut hukum. Oleh karena akad murabahah 53 dianggap sah menurut hukum maka dengan sendirinya menimbulkan kewajiban hukum bagi para pihak untuk memenuhi pelaksanaannya. Ternyata PEMOHON ingkar memenuhi kewajiban untuk mencairkan sisa fasilitas pembiayaan murabahah sesuai akad. Oleh karenanya sudah tepat dan benar pertimbangan dan kesimpulan Majelis Arbitrase dalam Putusan Arbitrase A-Quo yang menyatakan bahwa PEMOHON telah melakukan
wanprestasi. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 Jo. 1267 KUHPerdata kalimat terakhir, cukup dasar alasan untuk menghukum PEMOHON membayar ganti kerugian dalam bentuk biaya dan kerugian.
Dari fakta-fakta yuridis yang dikemukakan di atas pada hakikatnya tidak ada saling pertentangan antara Amar kedua dengan Amar Ketiga putusan arbitraser aquo, malahan sejalan dan saling mendukung.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
3. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya pelaksanaan isi putusan Arbitrase A-quo bertentangan dengan sifat final and binding 3.1. Putusan arbitrase a-quo tentang Amar poin 5, 6, 7, dan 8 tidak melanggar asas
ultra petitum partium (ultra vires) yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Pada dasarnya amar Putusan arbitrase a-quo poin 5, 6, 7, dan 8 tidak melebihi dari apa yang dituntut oleh PEMOHON asal bahkan masih dalam kerangka dalil
wanprestasi dan petitum angka 5 dan 6 permohonan PEMOHON asal, dan ganti rugi yang dikabulkanpun jauh lebih kecil dari tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh PEMOHON asal dalam petitum angka 5 dan 6. Oleh karena itu amar putusan poin 5.6.7. dan 8 tidak bertentangan dengan asas ultra petitum partium sehingga tidak dapat dikategori putusan arbitrase a-quo mengandung ultra vires. 3.2. Amar putusan poin 5,6,7, dan 8 memang perumusannya belum bersifat final dan definitif, akan tetapi tidak bersifat ultra vires karena yang dikehendaki dari amar tersebut tercipta keadilan dan kebenaran yang hakiki. Berdasarkan fakta yuridis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan isi putusan Arbitrase A-quo tidak bertentangan dengan sifat final and binding. 3.3. oleh karena itu amar putusan poin 5,6,7, dan 8 harus dianggap sebagai upaya konkrit dan definitif untuk menegakkan hukum yang berkeadilan berdasarkan bukti-bukti dan pembuktian yang sahih. Seperti yang TERMOHON I jelaskan di atas, satu segi amar putusan tidak bersifat ultra vires dan pada segi lain harus dianggap sebagai upaya maksimal yang bersifat konkrit dan definitif, dalam rangka menegakkan hukum yang berdasarkan keadilan. Oleh karena itu eksekusi terhadap Putusan arbitrase a-quo selain meliputi amar poin huruf a, b, c, dan d,
yang bersifat condemnatur yakni menghukum PEMOHON (TERMOHON dalam Arbitrase) untuk membayar ganti kerugian yang totalnya berjumlah Rp. 878.791.366,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah), maka selebihnya harus ada hasil perhitungan dari akuntan publik berdasarkan bukti yang akurat dan dihitung secara benar, bukan hanya berdasarkan klaim sepihak.
4. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya isi amar putusan telah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak PEMOHON yang dijamin Undang-Undang.
Bahwa amar putusan poin 15 yang dikemukakan oleh PEMOHON mereduksi hak yang diberikan Undang-Undang kepada PEMOHON untuk mengajukan
permohonan pembatalan terhadap putusan Arbitrase A-quo tidak benar. Maksud dari amar putusan tersebut bukan untuk menghalangi pemohon menggunakan haknya sesuai dengan UU No.30 Tahun 1999, tetapi adalah untuk mencegah para
pihak tidak melakukan tindakan yang tidak patut dalam menghambat pelaksanaan putusan yang final and binding yang pada hakekatnya dikehendaki oleh para pihak.
5. Alasan permohonan pembatalan tentang adanya isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai dasar hukum Dapat TERMOHON I jelaskan prinsip pelaksanaan putusan Arbitrase maupun putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dilaksanakan dalam 2 (dua) bentuk : 1) Dilaksanakan pemenuhannya dengan sukarela 2) Apabila tereksekusi tidak melaksanakan secara sukarela, dilaksanakan secara paksa melalui eksekusi oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama. Sehubungan dengan itu pelaksanaan putusan Arbitrase sudah dapat dipenuhi oleh pihak yang kalah terhitung sejak tanggal putusan tersebut diucapkan oleh Majleis Arbitrase yang bersangkutan. In casu putusan Arbitrase A-quo dijatuhkan pada tanggal 16 September 2009 dan dihadiri oleh PEMOHON dan TERMOHON II,
sehingga jika tanggal putusan itu dikaitkan dengan sifat putusan Arbitrase yang bersifat final and binding dan langsung mempunyai kekuatan eksekutorial, maka terhitung sejak tanggal 16 September 2009 putusan Arbitrase A-quo sudah dapat dipenuhi oleh pihak yang kalah sejak tanggal putusan tersebut dijatuhkan. Apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan Arbitrase A-quo sejak tanggal 16 September 2009, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi putusan secara paksa ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat setelah putusan itu didaftarkan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
oleh Majelis Arbitrase atau kuasanya sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Arbitrase No.30/99.
Bertitik tolak dari penjelasan yang TERMOHON I kemukakan di atas, pencantuman amar poin 13 yang menghukum TERMOHON (sekarang PEMOHON) untuk melaksanakan putusan dalam tempo 30 hari tidak bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang, karena sejak putusan itu dijatuhkan sudah melekat kekuatan eksekutorial dan apabila tidak dilaksanakan
nanti secara sukarela dapat dimintakan eksekusinya kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Sehubungan dengan uraian yang dikemukakan di atas, TERMOHON I memohon agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sebagai berikut:
MENGADILI DALAM EKSEPSI 1. Menerima dan Mengabulkan EKSEPSI TERMOHON I; 2. Menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tidak Berwenang Memeriksa dan Mengadili Perkara a quo; 3. Menyatakan permohonan PERMOHON tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak permohonan pembatalan putusan Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS) No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka. Jak, yang diajukan oleh PEMOHON.
2. Menghukum PEMOHON untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara ini.
Atau Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa atas Permohonan Pemohon Termohon II memberikan jawaban sebagai berikut:
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
DALAM KONPENSI. I. DALAM EKSEPSI.
1. PERMOHONAN YANG DIAJUKAN TIDAK MENERAPKAN DASAR
HUKUM YANG BENAR.
Bahwa dasar hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam mengajukan Permohonan
Pembatalan
Putusan
Badan
Arbitrase
Nasional
Indonesia
(BASYARNAS) Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, karena: 1.1. Pemohon tidak mengindahkan Pasal 72 Ayat (1) Undangundang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase), yang dikutip sebagai berikut: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.” Bahwa permohonan Pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, bertentangan dengan ketentuan hukum. 1.2. Permohonan Pemohon bertentangan dengan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan itu
dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak mengajukan putusan pengadilan yang membuktikan bahwa putusan BASYARNAS yang dimintakan pembatalan oleh Pemohon dalam perkara aquo mengandung unsur-unsur sebagaimana ditentukan Pasal 70 UU Arbitrase;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa melainkan hanya berdasarkan keyakinan Pemohon semata (vide halaman 4 berdasarkan suatu putusan pengadilan poin 4 surat permohonan) dan tidak
sebagaimana ketentuan Pasal 70 beserta penjelasannya dalam UU Arbitrase; 1.3. Bahwa sehubungan dengan tugas dan wewenang yang diberikan UndangUndang terhadap pengadilan agama, tidak terdapat ketentuan mengenai kewenangan memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase maupun putusan arbitrase syariah.
Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.: ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.” 1.4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah, sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan memeriksa permohonan pembatalan putusan Badan Arbitrase Syariah, melainkan suatu edaran mengenai petunjuk pelaksanaan (eksekusi) putusan Badan Arbitrase Syariah. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 1.1. – 1.4. di atas terbukti dan tidak dapat dibantah kebenarannya permohonan pembatalan putusan BASYARNAS yang diajukan Pemohon tidak menerapkan dasar hukum yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
benar dan alasan-alasan mengajukan pembatalan tidak sesuai dengan ketentuan keyakinan Pemohon bahwa Termohon II hukum karena semata-mata berdasarkan
dan Termohon I melakukan tipu muslihat (vide dalil Pemohon halaman 4 poin 4 bene lebih mengarah tuduhan atau fitnah dalam surat permohonannya) yang nota
belaka; Maka Majelis Hakim dalam perkara aquo harus menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima atau menyatakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa permohonan
pembatalan Putusan BASYARNAS yang diajukan Pemohon.
2. OBSCUUR LIBELS. Bahwa Permohonan Pembatalan Putusan BASYARNAS yang diajukan Pemohon secara hukum harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, karena: 2.1. Bahwa Pemohon dalam permohonannya halaman 1 mengajukan Permohonan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BASYARNAS) Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS /Ka.Jak kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap: “I. Majelis Arbiter BASYARNAS, yang memeriksa dan memutus Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak, Cq. Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj. Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., beralamat di Gedung MUI lantai 3, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta 10320, sebagai Termohon I; dan” Bahwa Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas, apakah Permohonan ditujukan terhadap BASYARNAS selaku Lembaga Arbitrase yang merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berada di
bawah MUI atau terhadap pribadi (personal) Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj. Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., karena sesungguhnya Termohon I secara personal tidak beralamat di Gedung MUI lantai 3, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta 10320. 2.2. Bahwa Prof. H. Bismar Siregar, SH., Hj. Fatimah Achyar, SH., dan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH., merupakan pelaksana (Majelis Arbiter) yang ditetapkan Ketua BASYARNAS dalam pemeriksaan sengketa antara PT. Atriumasta Sakti (Termohon II/ Pemohon Arbitrase) terhadap PT. Bank Syariah
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Mandiri (Pemohon/ Termohon Arbitrase) dalam perkara No.: 16/Tahun Hal. 34 dari 76 hal.Put.No.792/Pdt.G/2009/PA.JP 2008/BASYARNAS/Ka.Jak; Oleh
karenanya secara hukum Permohonan Pemohon dimaksud seharusnya diajukan terhadap
BASYARNAS
selaku lembaga
yang
menerbitkan
Putusan
BASYARNAS dan atau terhadap MUI selaku lembaga yang menaungi BASYARNAS, bukan terhadap Termohon I dan Termohon II. 3. ERROR IN PERSONA
Bahwa antara Termohon II dengan Pemohon tidak memiliki hubungan hukum sehubungan dengan Permohonan Pembatalan Putusan BASYARNAS yang diajukan, karena fakta hukumnya Termohon II tidak dalam kapasitas dan atau ikut merumuskan dan memutuskan Putusan BASYARNAS No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diajukan pembatalan oleh Pemohon, Oleh karenanya Permohonan Pemohon yang menarik Termohon II sebagai pihak dalam perkara a quo harus dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
II. DALAM POKOK PERKARA. 1. Bahwa Termohon II menolak dengan keras seluruh dalil-dalil Pemohon dalam surat permohonannya kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya oleh Termohon II; 2. Bahwa fakta hukum yang tidak dapat dibantah kebenarannya, Termohon II tidak pernah ikut serta dalam mempertimbangkan dan memutuskan sebagaimana Putusan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) Perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak karena Termohon II bukan merupakan Arbiter dalam pengambilan keputusan dimaksud;
3. Bahwa Amar Putusan No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak (Putusan BASYARNAS), dikutip sebagai berikut: “DALAM EKSEPSI “Menyatakan eksepsi Termohon tidak dapat diterima”. DALAM POKOK PERKARA “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
“Menyatakan Temohon melakukan cidera janji”; “Menyatakan batal demi hukum Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat oleh dan di hadapan Efran Yuniarto, S.H., Notaris di Jakarta”;
“Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon dana sebesar Rp.878.791.366 (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah) yang terdiri atas:
a. Pembayaran biaya provisi Bank sebesar Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) atau sebesar 1% (satu persen) dari nilai fasilitas pembiayaan yang berjumlah Rp. 35.000.000.000,- (tiga puluh lima miliar rupiah) karena Akda Murabahah No. 53 dinyatakan batal demi hukum”; b. Pembayaran uang asuransi proyek (PT. Asuransi Dayin Mitra) sebesar Rp. 45.027.000,- (empat puluh lima juta dua puluh tujuh ribu rupiah); c. Pembayaran uang muka iuran Jamsostek sejumlah Rp. 5.962.700,- (lima juta sembilan ratus enam puluh dua ribu tujuh ratus rupiah); d. Pembayaran uang retribusi kepada Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 298.135.000,- (dua ratus sembilan puluh delapan juta seratus tiga puluh lima ribu rupiah); e. Uang pengembalian cicilan margin sejumlah Rp. 179.666.666,- (seratus tujuh puluh sembilan juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam rupiah). “Menghukum Termohon untuk mengembalikan kepada Pemohon biaya-biaya lain sepanjang biaya-biaya tersebut didukung oleh buktibukti pengeluaran yang telah diverifikasi oleh Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik mengenai keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya”
“Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk melakukan verifikasi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon adalah Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan Termohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan Majelis dibacakan”. “Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai penunjukkan Kantor Akuntan Publik tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penunjukkan Kantor Akuntan Publik
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
akan dilakukan oleh Majelis setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu pihak yang berperkara, yaitu atau dari Pemohon atau dari Termohon” “Memutuskan biaya Kantor Akuntan Publik, baik yang ditunjuk oleh Pemohon dan Termohon maupun yang ditunjuk oleh Majelis ditanggung oleh Pemohon dan Termohon masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen)” “Menolak permohonan Pemohon untuk meletakkan sita jaminan.” “Menolak permohonan Pemohon mengenai uang paksa (dwangsom)”.
“Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan sehingga karena itu tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum apapun” “Menolak tuntutan Pemohon selebihnya”; “Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ini diucapkan” “Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Pemohon dan Termohon masing-masing sebesar ½ bagian dari biaya perkara ini”; “Memutuskan bahwa apabila Termohon menolak baik dengan cara berdiam diri atau melakukan upaya-upaya hukum yang bertujuan dibatalkannya amar putusan ini, antara lain dengan mengajukan keberatan atau membuat gugatan baru melalui Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum sehingga eksekusi putusan ini, menjadi tertunda apalagi menjadi berlarut-larut, maka Pemohon dapat mengajukan pengaduan dan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dan menurunkan tingkat kesehatan PT. BANK SYARIAH MANDIRI dan Bank Indonesia wajib berdasarkan kekuatan hukum putusan ini memenuhi permohonan Pemohon yang demikian itu”.
“Memerintahkan kepada Sekretaris Sidang selaku Kuasa Arbiter untuk mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tanggal 10 Oktober 2008;”
4. Bahwa Putusan perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak sudah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagaimana
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Akte Pendaftaran Nomor: 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober
2009;
5. Bahwa dalil Pemohon halaman 4 poin 3 mengenai dasar hukum permohonan pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama antara lain: • Pasal 70 UU Arbitrase; jo.
• Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; jo. • Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah;
Bahwa Pemohon melakukan kekeliruan fatal dengan mengajukan permohonan pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, karena: 5.1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan Pemohon berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase dan Pemohon kemudian tidak mengindahkan ketentuan Pasal 72 Ayat (1) UU Arbitrase, yang dikutip sebagai berikut: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.” 5.2. Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.: ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
i. ekonomi syari'ah.”
Bahwa sehubungan dengan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang terhadap pengadilan agama, tidak terdapat ketentuan mengenai kewenangan memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase maupun
putusan arbitrase syariah.
5.3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, sama sekali tidak mengatur mengenai permohonan
pembatalan putusan Badan Arbitrase Syariah melainkan mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan (eksekusi) putusan Badan Arbitrase Syariah. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 5.1. – 5.3. di atas, terbukti Pemohon melakukan kekeliruan hukum yang fatal yaitu tidak menerapkan ketentuan hukum yang benar sebagai dasar permohonannya, oleh karena itu permohonan tersebut harus ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima; 6. Bahwa dalil Pemohon pada halaman 4 – 7 poin 4, 5 dan poin 6 ditanggapi Termohon II sebagai berikut: 6.1. Bahwa Pemohon untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya tidak mengajukan bukti berupa putusan pengadilan yang memutuskan bahwa putusan BASYARNAS yang dimintakan pembatalan oleh Pemohon dalam perkara aquo mengandung unsur-unsur sebagaimana ditentukan Pasal 70 UU Arbitrase; Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan.
Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan itu dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” 6.2. Bahwa Pemohon pada halaman 4 poin 4 dalam surat permohonannya mendalilkan Termohon I dan Termohon II melakukan tipu muslihat, dalil
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pemohon tersebut berdasarkan keyakinan Pemohon belaka tanpa alat bukti yang menyatakan bahwa Termohon I dan sah berupa putusan pengadilan yang
Termohon II dinyatakan bersalah karena melakukan tipu muslihat;. 6.3. Bahwa Pemohon pada halaman 4 – 6 poin 5 dalam surat permohonan mendalilkan mengenai keberatan Pemohon sehubungan proses pembuktian dan pemeriksaan saksi dalam perkara No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputusakan Termohon I, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan sama
sekali, karena pada saat pembuktian baik Pemohon maupun Termohon II hadir dalam persidangan dan memiliki hak yang sama untuk mengajukan dan atau menyatakan keberatan terhadap bukti-bukti dan atau saksisaksi; Penilaian dan Keberatan mengenai terdapatnya “tipu muslihat” dalam putusan Termohon I menurut ketentuan hukum sudah diberikan kesempatan kepada Pemohon sebagaimana Pasal 58 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang dikutip sebagai berikut: “Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.”
Bahwa faktanya justru Pemohon sejak menerima Putusan BASYARNAS tidak pernah mengajukan permohonan kepada Majelis Arbiter (Termohon I) mengenai koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan, namun sebaliknya Pemohon berupaya menghindar dari kewajibannya yang timbul atas Putusan BASYARNAS dengan membiarkan
waktu 14 (empat belas) hari yang diberikan Undang-Undang terlewati dan kemudian Pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 6.4. Bahwa Pemohon pada halaman 6 – 7 poin 6 dalam surat permohonan mendalilkan mengenai perubahan isi draft putusan dengan isi putusan yang didaftarkan BASYARNAS ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yang mana dalil tersebut sangat tidak beralasan dan tidak berdasar secara hukum karena sepengetahuan Termohon II isi draft putusan tersebut belum diparaf dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
ditandatangani oleh Majelis Arbiter (Termohon I) sehingga bukan merupakan putusan yang resmi atas perkara No.: 16/Tahun 2008 /BASYARNAS/Ka.Jak.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 6.1. – 6.4. di atas, maka terbukti dan tidak dapat dibantah lagi kebenarannya Pemohon dalam surat
permohonannya mengajukan alasan-alasan pembatalan Putusan BASYARNAS tidak sesuai dengan ketentuan hukum karena semata-mata berdasarkan keyakinan Pemohon bahwa Termohon II dan Termohon I melakukan tipu muslihat (vide
dalil Pemohon halaman 4 poin 4 dalam surat permohonannya);
7. Bahwa dalil-dalil Pemohon sepanjang mengenai putusan diambil dari hasil tipu muslihat, Termohon II menanggapi hal tersebut sebagai tuduhan yang tidak berdasar, sangat tendensius, semata-mata hanya fitnah dan merupakan pengingkaran Pemohon terhadap pernyataannya sebagaimana tercantum dalam Jawabannya
sewaktu
persidangan
dalam
perkara
No.:
16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang menyatakan “mohon keadilan seadil-adilnya (ex aquo et bono)”, dengan kata lain sesungguhnya Pemohon/Termohon Arbitrase telah mempercayakan sepenuhnya tanpa prasangka buruk dan penuh keikhlasan kepada Majelis Arbiter (Termohon I) untuk memutus sengketanya dan memberikan putusan yang seadil-adilnya; Bahwa Termohon II mensumir Pemohon untuk membuktikan dalil Pemohon yang menyatakan putusan Basyaranas diambil dari hasil tipu muslihat Termohon II dan Termohon I dalam waktu 14 (empat belas) hari, jika tidak dipenuhi maka Termohon II menggunakan hak hukumnya untuk menuntut Pemohon baik secara Pidana maupun Perdata;
8. Bahwa dalil Pemohon pada halaman 7 – 9 poin 7 dan 8 mengenai isi amar Putusan Basyaranas yang tidak logis yuridis dan saling bertentangan ditanggapi Termohon II sebagai berikut: 8.1. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan amar putusan tidak logis dan bertentangan satu sama lain adalah tidak beralasan dan terkesan terlalu dipaksakan, karena sesungguhnya Majelis Arbiter (Termohon I) telah memberikan putusan dengan berpedoman dan melaksanakan al-Quran dan as-Sunnah/alHadits serta ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana disampaikan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
oleh Termohon I dalam pengantar dan pertimbangan-pertimbangan dalam Putusan No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak.;
8.2. Bahwa dalil Pemohon poin 7 pada halaman 7 – 8 sangat tidak beralasan karena Pemohon menggunakan pemahaman hukum perjanjian mengenai akibat
batalnya suatu perjanjian secara sempit untuk mendukung dalil Pemohon; Bahwa salah satu konteks cidera janji yang dimaksud dalam amar putusan yang dikeluarkan Termohon I menurut pemahaman Termohon II berdasarkan pertimbangan
Termohon
Pemohon/Termohon
I
dalam
Arbitrase
putusannya
disebabkan
membatalkan
secara
karena sepihak
pembiayaan/pencairan pembiayaan sebagaimana Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 dengan alasan yang bertentangan dengan Akad itu sendiri maupun prinsip-prinsip syariah; Sedangkan Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 batal demi hukum dikarenakan Akad tersebut isinya bukan al-Murabahah melainkan suatu bentuk lain, tegasnya Akad tersebut tidak mengambil konstruksi alMurabahah tetapi mengambil konstruksi kredit modal kerja untuk membeli bahan material seperti yang biasa diberikan oleh Bank konvensional yang didalamnya membebankan bunga terhadap besar margin serta membebankan bunga dalam Surat Sanggup/Promes. 8.3. Bahwa dalil Pemohon poin 8 pada halaman 8 – 9 yang menyatakan isi amar putusan saling bertentangan satu sama lain sehingga membuat kabur pengertian putusan arbitrase bersifat “final and binding” karena masih terdapat putusan yang digantungkan pada keadaan tertentu dan waktu tertentu yang belum bersifat final, yang mana dalil tersebut menurut Ternohon II adalah karangan belaka dari
Pemohon;
Bahwa secara nyata-nyata Pemohon telah “menyetir” pengertian sifat “final” putusan arbitrase, karena fakta hukum baik secara materiil maupun yuridis formil telah diberikan pengertian sifat final sebagai berikut: Penjelasan Pasal 60 UU Arbitrase. “Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Bahwa sedangkan pengertian “binding” putusan arbitrase adalah mengikat para pihak yang bersengketa sebagai konsekuensi dari pilihan hukum (choice of law)
dan pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) yang disepakati oleh para atau klausula arbitrase. pihak yang bersengketa dalam perjanjian
Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 Pasal 15 Tentang Penyelesaian Perselisihan.
“Apabila Usaha menyelesaikan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan ini Nasabah dan Bank sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi surat kuasa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk memberikan putusan…….”;
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
H. Priyatna Abdurrasyid, (BANI 2002: 182). “…. bahwa putusan akan mengikat hanya terhadap para pihak yang terlibat secara langsung dan terhadap pihak ketiga yang mempunyai klaim.”
8.4. Bahwa Termohon II meskipun tuntutannya tidak dipenuhi seluruhnya, namun dengan jiwa besar menghormati putusan Termohon I dan Termohon II merasakan dan menilai dalam pertimbangan dalam putusannya Termohon I menerapkan dan mendasarkan prinsip-prinsip syariah serta memperhatikan rasa keadilan dengan berpedoman pada al-Quran dan as- Sunnah/al-Hadits, karena: • Termohon I menyerahkan penilaian kebenaran bukti-bukti pengeluaran Termohon II kepada pihak yang berkompeten untuk melakukan hal tersebut dalam hal ini Kantor Akuntan Publik, karena sesungguhnya Termohon II bukan tidak
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
memiliki bukti-bukti melainkan masih perlu diverifikasi kebenarannya sehingga tidak merugikan Pemohon;
• Termohon I menyerahkan penunjukan Kantor Akuntan Publik kepada Termohon II dan Pemohon dengan persetujuan bersama yang dibatasi dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari, yang menurut Termohon II sebagai upaya Majelis Arbiter (Termohon I) membantu agar komunikasi dan hubungan baik antara Termohon II dengan Pemohon tetap terjaganya;
• Termohon I menunjukkan tanggung jawabnya sehubungan penunjukkan bersama Kantor Akuntan Publik oleh Termohon II dan Pemohon, dengan tetap mengantisipasi dalam hal tidak terdapatnya kesepakatan penunjukan bersama maka penunjukan Kantor Akuntan Publik akan dilakukan oleh Majelis Arbiter (Termohon I), sehingga tetap terdapat kepastian hukum penyelesaian sengketa tersebut secara menyeluruh. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana poin 8.1. – 8.4. di atas, maka dalil-dalil Pemohon yang menyatakan Amar Putusan BASYARNAS tidak logis secara yuridis dan saling bertentangan satu sama lain haruslah dikesampingkan. 9. Bahwa dalil Pemohon halaman 9 – 11 poin 9, 10 dan poin 11 yang menyatakan terdapat isi Amar Putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non-executable) dan bertentangan dengan sifat “final and binding” sehingga tidak dapat lagi dijadikan rujukan dalam pelaksanaan putusan ditanggapi Termohon II sebagai berikut: 9.1. Bahwa kekuatan eksekusi putusan arbitrase sudah ada sejak dibacakan dan mengikat para pihak yang bersengketa untuk melaksanakannya secara sukarela sebagaimana konsekuensi pilihan sukarela para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase, hal tersebut sejalan dengan:
Pasal 60 UU Arbitrase. “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.” Pasal 61 UU Arbitrase. “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah. “3. Putusan Badan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), karenanya mengikat para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut secara sukarela;
4. Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh …..” Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas apabila permohonan Pemohon dikabulkan atau diterima oleh Majelis Hakim dalam perkara aquo, maka jelas akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum secara umum dan secara khusus terhadap Termohon II; Serta akan menimbulkan ketidakadilan terhadap Termohon II selaku pencari keadilan yang sudah menempuh prosedur hukum yang disepakati bersama oleh Termohon II dan Pemohon sebagaimana ketentuan Pasal 15 Penyelesaian Sengketa, Akad Pembiayaan Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005; 9.2. Bahwa isi Amar Putusan yang dibuat Termohon I (Majelis Arbiter) menurut Termohon II sudah jelas, berkeadilan serta dapat dilaksanakan (executable) oleh Termohon II dan Pemohon, karena: • Termohon I memberikan keleluasaan kepada para pihak dalam hal ini Termohon II dan Pemohon untuk menentukan secara bersama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Kantor Akuntan Publik ditunjuk untuk melakukan verifikasi;
• Dalam hal penunjukan bersama Kantor Akuntan Publik oleh Termohon II dan Pemohon tidak terlaksana dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, maka penunjukan dilakukan Majelis Arbiter (Termohon I) setelah mendapat laporan dari salah satu pihak; 9.3. Bahwa kronologis penunjukan Kantor Akuntan Publik yang disampaikan Pemohon dalam dalil permohonannya pada halaman 10 poin 10 telah diartikan secara sepihak oleh Pemohon sehubungan jawaban Kantor Akuntan Publik yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menyatakan tidak bisa memenuhi permintaan pengajuan proposal karena faktor kesibukan, yang oleh Pemohon diartikan Kantor Akuntan Publik menolak untuk
melakukan verifikasi biaya-biaya lain sesuai Putusan BASYARNAS; permohonan halaman 10 – 11 poin 11 9.4. Bahwa dalil Pemohon dalam surat
menyatakan pada intinya:
• akibat penolakan Kantor Akuntan Publik dan terlampauinya waktu 30 (tiga puluh) hari untuk menentukan secara bersama Kantor Akuntan Publik menjadikan
tidak jelas/kabur mengenai siapa yang berhak untuk menunjuk Kantor Akuntan Publik; • apabila Majelis Arbiter (Termohon I) menetapkan Kantor Akuntan Publik maka tindakan tersebut bertentangan dengan sifat “final and binding”. Bahwa dalil Pemohon tersebut merupakan pemahaman yang sempit dan naïf serta patut diduga sebagai salah satu upaya Pemohon untuk menghindari kewajibannya yang timbul sehubungan
dengan
Putusan
BASYARNAS
No.:
16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak., karena: • Penunjukkan Kantor Akuntan Publik ditujukan untuk melakukan verifikasi biaya-biaya lain yang dikeluarkan Termohon II, agar diperoleh perhitungan mengenai biayabiaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, namun sangat disayangkan Pemohon mengartikan secara harafiah, sempit dan tendensius dengan menyatakan dengan tidak terlaksananya penunjukan Kantor akuntan Publik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari maka menyebabkan kabur/tidak jelas mengenai pihak yang berhak menunjuk Kantor Akuntan Publik; Bahkan pada kenyataannya Pemohon tidak pernah mengajukan penunjukkan Kantor Akuntan Publik dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, padahal hal tersebut menurut Termohon
II bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan mengingat Pemohon merupakan Lembaga Perbankan yang cukup besar dan bonafide di negeri ini; • Penunjukkan Kantor Akuntan Publik sesungguhnya tidak ada kaitan dengan sifat “final and binding” dari putusan arbitrase, karena berdasarkan ketentuan hukum sifat final putusan arbitrase berarti terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, sedangkan sifat mengikat (binding) putusan arbitrase berarti mengikat para pihak yang
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
sengketanya telah diputus oleh Arbiter untuk melaksanakan putusan arbitrase sebagai konsekuensi dari pilihan penyelesaian dan pilihan hukum para pihak. sebagaimana poin 9.1. – 9.4. di atas, Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum
terbukti bahwa dalil-dalil Pemohon yang menyatakan isi Amar Putusan tidak dapat dilaksanakan (non-executable) dan bertentangan dengan sifat “final and binding” merupakan dalil yang sangat tidak beralasan dan cenderung mengada
ngada, oleh karena itu haruslah dikesampingkan; 10. Bahwa dalil Pemohon halaman 11 – 12 poin 12 yang menyatakan isi Amar Putusan telah mereduksi dan/atau menghilangkan hak-hak Pemohon yang dijamin Undang-Undang
untuk
mengajukan
pembatalan
putusan
BASYARNAS
merupakan dalil yang tidak beralasan dan tidak berdasar, karena: 10.1. Termohon II tidak dalam posisi/kedudukan mereduksi atau menghilangkan hak pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase sehubungan Isi Amar Putusan BASYARNAS yang menyatakan bahwa putusan bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun; 10.2. Isi Amar Putusan BASYARNAS tidak terdapat larangan kepada Pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan terhadap putusan BASYARNAS; (vide Amar Putusan BASYARNAS No.: 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak.); 10.3. Termohon II tidak melihat adanya “ancaman” dalam Isi Amar Putusan BASYARNAS, melainkan Amar Putusan yang memutuskan bahwa Termohon II (Pemohon Arbitrase) diberikan hak berdasarkan putusan BASYARNAS untuk melakukan pengaduan terhadap lembaga yang berwenang mengawasi Pemohon
dalam hal Pemohon melakukan upayaupaya untuk menghindar dari kewajibannya yang timbul berdasarkan Putusan BASYARNAS; 11. Bahwa dalil Pemohon halaman 11 – 12 poin 12 yang menyatakan isi Amar Putusan melanggar ketentuan UU Arbitrase karena menghukum Pemohon/ Termohon Arbitrase untuk melaksanakan putusan sebelum putusan diserahkan dan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama adalah dalil karangan belaka serta terkesan “menyetir” penafsiran ketentuan Undang-Undang untuk sekedar
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
menguatkan dalil Pemohon; Isi Amar Putusan BASYARNAS tersebut justru telah sejalan dengan:
Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. mempunyai kekuatan hukum tetap dan “Putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat para pihak.”
Pasal 61 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.” Pasal 62 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. “(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepadaPanitera Pengadilan Negeri.”
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. “3. Putusan Badan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), karenanya mengikat para pihak harus melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut secara sukarela; 4. Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa , dan oleh …..”
III. PERMOHONAN KEPADA MAJELIS HAKIM Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Termohon II dengan kerendahan hati menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk berkenan kiranya memberikan putusan sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
1. Menerima Eksepsi Termohon II karena tepat dan beralasan. 2. Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA
1. Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pemohon bukanlah Pemohon yang beritikad. Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono dan atau Naar goede juctie Recht doen vide Pasal 178 ayat 3 HIR).
Menimbang, bahwa oleh karena dalil-dalil Pemohon dibantah seluruhnya oleh Termohon I dan Termohon II, maka kepada Pemohon dibebani wajib bukti dan untuk maksud tersebut, Pemohon telah mengajukan alat bukti sebagai berikut:
No BUKTI NAMA DOKUMEN/BUKTI TERTULIS DAN PENJELASAN 1. P – 1 : Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula Termohon Arbitrase) yang dibacakan Majelis Arbiter pada tanggal 16 September 2009 yang dimintakan koreksinya oleh Majelis BASYARNAS kepada PEMOHON dan TERMOHON II. 2. P – 2 : Akte Pendaftaran No.01/BASYARNAS/ 2009/PAJP tertanggal 12 Oktober 2009 berikut Putusan Perkara No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara TERMOHON II (semula Pemohon Arbitrase) dengan PEMOHON (semula Termohon Arbitrase) yang telah diberi catatan pendaftaran oleh petugas Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. P – 3 : Akta Akad Pembiayaan Al-Murabahah No.53 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan EFRAN YUNIARTO, SH, Notaris di Jakarta. 4. P – 4 : Surat Pernyataan TERMOHON II tertanggal 2 Maret 2005. Isi Surat Pernyataan pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : “Selanjutnya apabila kelengkapan dokumen perijinan pembangunan Rukan Soho Carbella Square seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada dokumen tersebut di atas tidak dapat diserahkan kepada Bank Syariah Mandiri,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
MAKA SAYA BERSEDIA UNTUK MENUNDA PENCAIRAN TAHAP KEDUA DAN TAHAP BERIKUTNYA”
5. P - 5 : Kontrak Jasa Pengurusan IMB antara TERMOHON II dengan H. Jayadi Kusumah, SH tanggal 6 Desember 2004.
Dalam Kontrak di atas H Jayadi Kusuma SH berjanji bahwa IMB AKAN DISELESAIKAN DALAM WAKTU 3 (TIGA) BULAN KALENDER TERHITUNG SEJAK TANGGAL PERJANJIAN.
Dengan demikian seharusnya IMB sudah dapat diperoleh oleh TERMOHON II dan dapat diperlihatkan aslinya dan diserahkan fotocopy-nya kepada PEMOHON pada bulan Maret 2005; Namun faktanya, hingga tanggal Berita Acara Serah Terima Dokumen tanggal 15 Februari 2006 antara PEMOHON dengan TERMOHON II, PEMOHON belum pernah melihat apalagi menerima fotocopy IMB dimaksud dari TERMOHON II, padahal biaya pengurusan IMB tersebut sesuai bukti Kuitansi pembayaran yang fotocopy-nya diserahkan kepada PEMOHON oleh TERMOHON II yaitu sebesar Rp3.212.500.000 (tiga miliar dua ratus dua belas juta lima ratus ribu Rupiah) telah dilunasi oleh TERMOHON II. 6. P – 6 : Kuitansi pembayaran per tanggal 1 Maret 2005 sebesar Rp3.800.000.000 (tiga miliar delapan ratus juta Rupiah) yang telah dibayar oleh TERMOHON II kepada H. Jayadi Kusumah, SH. 7. P – 7 : Surat PEMOHON kepada TERMOHON I Ref. No. : DNA/081/X/09 tanggal 15 Oktober 2009 perihal Permohonan Penjelasan Mengenai Perubahan Isi Putusan No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak antara PT Atriumasta Sakti selaku Pemohon dan PT Bank Syariah Mandiri selaku Termohon.
8. P – 8 : Surat Kuasa Hukum TERMOHON II No.097/HIS/ASBSM/ X/2009 tanggal 7 Oktober 2009 perihal Pengajuan Kantor Akuntan Publik, dimana TERMOHON II mengajukan Kantor Akuntan Publik (KAP) Doli, Bambang, Sudarmadji & Dadang (DBS & D) sebagai Akuntan Publik yang akan melakukan verifikasi sesuai Putusan BASYARNAS. 9. P – 9 : Surat Kuasa Hukum PEMOHON Ref. No.: DNA/080/X/09 tanggal 15 Oktober 2009 perihal Tanggapan Atas Pengajuan Kantor Akuntan Publik, dimana
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
PEMOHON atas dasar itikad baik menyampaikan Surat yang isinya menyetujui penunjukkan KAP DBS & D yang diajukan TERMOHON II.
10. P – 10 : Surat PEMOHON dan TERMOHON II Ref. No. : 087/X/09 tanggal 23 Oktober 2009 perihal Permohonan Pengajuan Proposal, dimana PEMOHON dan TERMOHON II meminta KAP DBS & D untuk menyampaikan proposal biaya jasa KAP DBS & D dalam menangani pekerjaan verifikasi biaya-biaya lain sesuai isi Putusan BASYARNAS.
11. P – 11 : Surat KAP DBS & D No.164/OL-2.11109/DBSD tanggal 2 November 2009 perihal Jawaban Permohonan Pengajuan Proposal, dimana KAP DBS & D menyatakan tidak bersedia untuk mengajukan Proposal yang berarti menolak untuk menjadi KAP yang akan melakukan verifikasi biaya-biaya lain sesuai Putusan BASYARNAS
BUKTI TAMBAHAN 12. P – 12 : Yurisprudensi/Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 03/Arb.Btl/2005, yang diambil dari website resmi Mahkamah Agung RI sub Direktori Putusan. Pertimbangan menyatakan
Hukum BAHWA
Mahkamah
Agung
PERMOHONAN
(halaman
20
PEMBATALAN
Putusan) PUTUSAN
ARBITRASE DAPAT DIAJUKAN ATAS ALASAN DILUAR YANG TERTERA DALAM PASAL 70 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 1999. No BUKTI NAMA DOKUMEN/BUKTI TERTULIS DAN PENJELASAN Selengkapnya isi pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: “Menimbang,
bahwa
pertama-tama
Mahkamah
Agung
akan
mempertimbangkan mengenai alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon/Termohon Arbitrase ke Pengadilan Negeri ; bahwa dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tertera bahwa “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu ; bahwa kata “antara lain” tersebut pihak dalam pemeriksaan sengketa”
memungkinkan Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas alasan diluar yang tertera dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999”
Menimbang, bahwa atas bukti P.1 sampai dengan P.12 tersebut, Termohon I tidak mengajukan Bukti bantahan berupa apapun untuk menyanggah bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut; Menimbang, bahwa atas bukti P.1 sampai dengan P.12 tersebut Termohon II mengajukan bukti bantahan sebagai berikut: 1. Fotokopi putusan BASYARNAS Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009 (T.II.1) 2. Surat DIAS & Associates Low Office Ref.no.DNA/087/X/09 tanggal 23 Oktober 2009 (T.II.2) 3. Surat DBS & d. Doli, Bambang, Sudarmaji & Dadang No. 165/OL2.11109/DBSD tanggal 02 Nopember 2009 (T.II.3)
Menimbang, bahwa Pemohon, Termohon I dan Termohon II diberikan kesempatan oleh Majelis untuk menyampaikan kesimpulannya dan masingmasing telah menyampaikan kesimpulannya dipersidangan pada tanggal 08 Agustus 2009;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat dalam putusan ini ditunjuk segala hal ihwal yang telah tercantum dalam berita acara persidangan perkara inisebagai satu kesatuan dalam putusan ini;
TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan ini adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa perkara ini berupa sengketa tentang sah dan tidaknya putusan BASYARNAS no. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak. antara PT. Bank
Syari‟ah Mandiri melawan PT. Atriumasta Sakti, yang oleh PT. Bank Syariah Mandiri diajukan pembatalan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat atas perkara ini tidak mungkin diselesaikan melalui perundingan para pihak sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2008, tentang prosedur mediasi di Pengadilan, karena tentang sah
dan tidaknya suatu perbuatan hukum atau apalagi suatu putusan Arbiter sangat tidak beralasan menurut logika apapun untuk diperbincangkan kembali dalam mediasi;
TENTANG EKSEPSI :Menimbang, bahwa baik Termohon I maupun Termohon II, dalam eksepsinya mengemukakan dua dalil sebagai berikut; 1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini dengan alasan sebagai berikut :a. Bahwa antara Pemohon dan Termohon II telah menandatangani suatu perjanjian yang telah bersepakat menyelesaikan sengketa diantara mereka melalui BASYARNAS. b. Bahwa seseuai Pasal 60 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 bahwa putusan arbritrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Agung RI No. 08 Tahun 2008 angka 3 ;c. Bahwa berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 pembatalan
terhadap Putusan Arbritrase haruslah berdasarkan alasan-alasan yang spesipik sebagaimana ketentuan huruf a, b dan c Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. d. Bahwa permohonan pembatalan terhadap Putusan arbritrase harus didukung bukti-bukti berupa Putusan Pengadilan Negeri alasan-alasan pembatalan yang ditetapkan dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
e. Bahwa menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 08 Tahun 2008 tentang eksekusi Putusan BASYARNAS Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari Putusan BASYARNAS. 2. Permohonan Pemohon error in Persona dengan alasan sebagai berikut:-
a. Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, status dan kedudukan Majelis Arbitrase sama dengan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri, sehingga Majelis Arbitrase tidak dapat dijadikan pihak.
b. Bahwa yang mesti ditarik sebagai Termohon hanya terbatas dan cukup terhadap Termohon II saja sehingga penarikan Termohon I dikategorikan sebagi diskualifikasi in person. c. Bahwa berdasarkan Pasal 21 UU No. 30 tahun 1999, Majelis arbitrase tidak dapat digugat ke Pengadilan atas tindakan yang dilakukan selama proses persidangan termasuk dalam mengambil putusan, kecuali dibuktikan adanya I‟tikad tidak baik dari tindakan majelis tersebut. d. Bahwa menurut surat edaran Mahkamah Agung RI No. 9 tahun 1976, segala bentuk gugatan terhadap majelis arbitrase adalah merupakan perbuatan yang salah dan keliru serta bertentangan dengan hukum. e. Bahwa apa yang dilakukan oleh Pemohon telah menyalahi praktek Internasional sebagaimana Pasal 36 UNCITRAL ARBITRATION RULES (1976).
Menimbang, bahwa pertama-tama Majelis akan mempertimbangkan dalildalil eksepsi Termohon I dan Termohon II, sebagai berikut: 1. Tentang Wewenang Mengadili Menimbang, bahwa dasar perUndang-Undangan yang dijadikan dasar eksepsi
Termohon I dan Termohon II dalam hal ini adalah Pasal 60 dan 70 huruf a, b dan c UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa beserta penjelasannya serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 18 tahun 2008 tentang eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari‟ah. Pasal-Pasal mana juga dijadikan landasan hukum oleh Pemohon.
Menimbang, bahwa dalil eksepsi Termohon I dan Termohon II yang menyatakan berdasarkan Pasal 60 dan 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase Pengadilan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Agama Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara pembatalan putusan BASYARNAS. Majelis hakim berpendapat, pendapat tersebut tidak dapat
dibenarkan karena menurut majelis perkara ini merupakan sengketa perbankkan syariah yang menurut Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tenntang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, jo. Pasal 55 UUNo. 21 tahun 2008 tentang Perbankkan Syari‟ah secara tegas menentukan penyelesaian sengketa Perbankkan Syari‟ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama;
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 60 UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat harus diartikan apabila tidak ada upaya pembatalan putusan tersebut sesuai ketentuan Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 yang diajukan sesuai ketentuan Pasal 71 dan Pasal 72 UU tersebut.
Menimbang,
bahwa
telah
ternyata
permohonan
pembatalan
putusan
BASYARNAS ini diajukan oleh Pemohon secara tertulis ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam waktu kurang dari 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan BASYARNAS kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat sehingga dengan demikian permohonan Pemohon in Cassu telah diajukan sesuai dengan ketentuan dan tenggang waktu yang telah ditetapkan oleh undangundang;
Menimbang, bahwa tentang kenapa perkara ini diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, bukan ke Pengadilan Negeri sebagaimana bunyi Pasal 71 dan 72
UU No. 30 tahun 1999 majelis hakim berpendapat sudah benar dan tepat, karena kecuali telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 21 tahun 2008 sebagaimana tersebut diatas majelis juga berpendapat jikalau tentang kewenangan eksekusi atas putusan BASYARNAS sebagaimana diatur dalam Pasal 60 sampai dengan 64 UU No. 30 tahun 1999 oleh Mahkamah Agung RI dengan surat edarannya Nomor 08 tahun 2008 dinyatakan sebagai wewenang Pengadilan Agama. Maka menurut logika yuridis segala sengketa tentang perbankkan syari‟ah termasuk pembatalan putusan BASYARNAS atas
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
sengketa perbankkan syari‟ah harus pula menjadi wewenang Pengadilan Agama. Dengan demikian kalimat Pengadilan Negeri yang termuat dalam UU No. 30 tahun 1999, khusus yang berkaitan dengan BASYARNAS harus dibaca Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa telah ternyata pula bahwa dalam melaksanakan ketentuan dalam Pasal 59, 61 dan 62 ayat (1), UU No. 30 tahun 2008 tentang Arbitrase.
BASYARNAS telah mendaftarkan putusannya dimaksud kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tidak lagi ke Pengadilan Negeri, maka Majelis hakim berkeyakinan telah ada kesadaran sejak semula dari majelis arbiter BASYARNAS dan pihak-pihak yang bersengketa dalam putusan BASYARNAS ini tentang adanya kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa perbankkan syari‟ah ini. Oleh karena itu Termohon I dan Termohon II seharusnya juga menyadari bahwa perkara pembatalan atas putusan BASYARNAS adalah merupakan sengketa syari‟ah yang penyelesaiannya berada pada Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas majelis hakim berpendapat bahwa perkara ini masuk dalam wewenang Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan oleh karena itu eksepsi Termohon I dan Termohon II tentang tidak berwenangnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat harus ditolak;
2. Tentang Error In Persona Menimbang, bahwa tentang eksepsi dari Termohon I dan Termohon II berupa Error In Persona Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah Majelis Arbiter
BASYARNAS yang didudukkan sebagai Termohon I merupakan bentuk salah orang dan dengan demikian berakibat permohonan ini cacat formil atau tidak;
Menimbang, bahwa pada prinsipnya dalam menentukan sah dan tidaknya seseorang sebagai pihak dalam berperkara adalah terdiri dari orang-orang yang terlibat langsung dalam suatu sengketa, apabila orang-orang yang terlibat langsung tidak ditarik sebagai Termohon, maka dikawatirkan gugatan akan mengandung cacat Plurium litis consortium (gugatan kurang pihak), oleh karena
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
itu majelis hakim berpendapat bahwa Majelis Arbiter BASYARNAS adalah orang yang terlibat langsung dalam perkara ini, sehingga penarikan Majelis Arbiter BASYARNAS sebagai pihak Termohon dapat dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa telah ternyata pula, bahwa posita yang didalilkan oleh Pemohon sangat erat kaitannya dan mengenai apa yang telah dilakukan sendiri oleh majelis arbiter, sehingga menurut majelis hakim, agar putusan dalam perkara
ini dapat menjangkau semua orang yang terlibat dan terkait, maka majelis arbiter BASYARNAS justru harus dijadikan pihak Termohon dalam perkara ini, namun sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang arbritrase dan alternatip penyelesaian sengketa, kedudukan Majelis Arbiter BASYARNAS sebagai Termohon I, dalam perkara ini harus diartikan tidak dalam rangka pertanggung jawaban hukum apapun;-
Menimbang, bahwa terhadap argumentasi Termohon I tentang Majelis arbiter tidak dapat dijadikan pihak berdasarkan Pasal 3 UU No. 4 taghun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, karena status dan kedudukan majelis arbiter sama dengan majelis hakim di Pengadilan Negeri, majelis hakim berpendapat bahwa majelis arbiter tidaklah sama status dan kedudukannya dengan majelis hakim Pengadilan Negeri, karena pengertian hakim sebagaimana maksud Pasal 1 (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata usaha Negara dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan arbiter sebagaimana maksud Pasal 1 (7) UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim berpendapat eksepsi Termohon I dan Termohon II tentang Error In
Persona dalam permohonan ini harus ditolak;
DALAM POKOK PERKARA Menimbang,
bahwa
maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut diatas;
Menimbang, bahwa Pemohon sesuai posita permohonannya mendalilkan bahwa Putusan Badan Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) Nomor 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009, yang mengadili sengketa perbankan syariah antara PT. Bank Syariah Mandiri, dalam hal ini adalah Pemohon, dengan nasabahnya, PT. Atriumasta Sakti , yang dalam hal ini adalah Termohon II, dinilai oleh Pemohon mengandung beberapa cacat hukum yang berakibat dapat dibatalkannya putusan tersebut sesuai ketentuan Pasal 70 UndangUndang No. 30 tahun 1999, antara lain, Putusan diambil secara tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Selanjutnya menurut Pemohon : � Isi amar putusan secara substansi tidak logis yuridis dan bertentangan satu sama lain ; � Isi amar putusan tidak dapat lagi menjadi rujukan dalam pelaksanaan isi putusan dan bertentangan dengan sifat final and binding dari putusan arbritrase; � Isi amar putusan telah mereduksi dan atau menghilangkan hak-hak Pemohon yang dijamin Undang-Undang ; � Isi amar putusan melanggar ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan alternatip penyelesaian sengketa ;
Atas dasar dan alasan tersebut, Pemohon memohon dalam petitumnya agar Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada pokoknya “ Membatalkan Putusan Badan Arbritrase Syariah Nasional ( BASYARNAS ) tersebut diatas “ ;Menimbang, bahwa pada dasarnya baik Termohon I mapun Termohon II menolak dalil dan alasan yang dikemukakan Pemohon tersebut khususnya dalil dan alasan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
yang menyebutkan bahwa Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa ; Menimbang, bahwa Pemohon telah mengajukan bukti surat P. 1 sampai dengan P.
12, sedangkan Termohon I tidak mengajukan bukti-bukti, Termohon II telah mengajukan bukti T II. 1, T.II. 2 dan T.II. 3 ;
Menimbang, bahwa bukti-bukti surat yang diajukan Pemohon tersebut adalah Fotokopi telah bermeterai cukup dan sebagian telah sesuai aslinya yaitu P.3 dan P. 4 dan sebagian lainnya yaitu P. 1, P. 2 dan P. 5 sampai dengan P. 11 tidka diperlihatkan aslinya karena menurut Pemohon asli surat-surat tersebut ada pada Termohon II dan P. 7 karena disaat itu ditujukan kepada Termohon I maka menurut Pemohon aslinya ada pada Termohon I ;-
Menimbang, bahwa baik Termohon I maupun Termohon II tidak menyangkal secara langsung terhadap bukti-bukti surat yang dikatakan Pemohon bahwa asli surat-surat bukti tersebut ada di tangan Termohon I dan Termohon II, sehingga oleh karenanya bukti-bukti tersebut dapat dipertimbangkan ;
Menimbang, bahwa bukti T II. 1 sampai dengan T.II. 3 yang diajukan Termohon II adalah fotokopi yang telah bermetari cukup dan telah sesuai aslinya sehingga dapat dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa berdasarkan keberatan dan bantahan Termohon I dan
Termohon II terhadap permohonan Pemohon agar Pengadilan Agama Jakarta Pusat membatalkan Putusan BASYARNAS ini dikarenakan antara lain sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 bahwa Putusan arbritase baru dapat diajukan permohonan pembatalannya apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yang antara lain “ ……. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa “ , Ternyata menurut Termohon I dan Termohon II dalam kesimpulannya, Pemohon tidak mampu membuktian adanya unsur tipu muslihat
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
yang dilakukan, sebab pengajuan pembatalan dengan dasar tipu muslihat tanpa didukung oleh alat bukti berupa Putusan Pengadilan Pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka alasan permohonan pembatalan tersebut tidak sah menurut hukum, dengan demikian permohonan tersebut harus ditolak
karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999.
Menimbang, bahwa oleh karena alasan utama permohonan untuk membatalkan putusan BASYARNAS ini antara lain adanya “ Unsur tipu muslihat “, dan Termohon I serta Termohon II telah mendifinisikan “ tipu muslihat “ itu secara normatif sesuai penjelasan Pasal 70 Undang-undnag No. 30 tahun 1999 yang dipersepsikan lebih jauh oleh Termohon I dan Termohon II dengan keharusan adanya Putusan Pengadilan Pidana yang telah memperoleh kekauatan hukum tetap, maka untuk lebih jelasnya dan dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, disini Majelis Hakim perlu mengkonstruksi lebih jauh definisi “ tipu muslihat “ yang terdapat dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 apakah benar tipu muslihat disini berkonotasi pidana dan harus ada putusan Pengadilan lain terlebih dahulu yang memutus tentang adanya tipu muslihat itu, kalau seandainya demikian lalu bagaimana dengan limit 30 ( tiga puluh ) hari perkara pembatalan putusan BASYARNAS harus diputus sejak didaftarkan putusan arbritrase itu di Pengadilan;Menimbang, bahwa apabila definisi “ tipu muslihat “ itu telah jelas dari berbagai perspektif, selanjutnya perlu pula diproyeksikan apakah dalam pemeriksaan
sengketa BASYARNAS terdapat tipu muslihat yang dilakukan salah satu pihak atau tidak ;Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim pengertian “ tipu msulihat “ disini harus dimaknai secara lebih luas dan harus dilihat dari berbagai persfektif, baik pidana, perdata bahkan aspek syari‟ah harus lebih ditonjolkan sebab ini adalah transaksi yang bermuatan syari‟ah sehingga aspek syar‟i harus lebih diutamakan, dalam arti jangankan penipuan yang dilakukan secara kongkrit dan kasat mata,
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
penipuan-penipuan terselubung saja bisa berakibat patal disisi Allah , SWT dan Rosulullah, SAW ;-
Menimbang, bahwa apabila perkataan “ tipu muslihat “ itu dikonotasikan lebih ke pidana sehingga perkataan itu berimplikasi pada keharusan adanya putusan pengadilan secara pidana sebelum perkara pembatalannya diajukan, maka ini artinya, kesempatan Pemohon untuk mengajukan permohonan pembatalan
Putusan BASYARNAS itu akan menjadi hilang sebab secara limitatif UndangUndang No. 30 tahun 1999 membatasi waktu permohonan itu diajukan ke Pengadilan dalam tempo 30 ( tiga puluh ) hari sejak perkara itu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama, kecuali itu azas Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan akan menjadi terabaikan karena terjebak dengan birokrasi peradilan yang bertele-tele akibat konstruksi dan interpretasi Pasal dan ayat yang bertendensi ;-
Menimbang, bahwa oleh karena pembuat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, memformulasikan perkataan “ tipu muslihat “ dengan tidak dibatasi ( Muqoyyad ) artinya tidak dikhususkan pada pengertian tertentu maka terhadap perkataan itu berlakulah kaidah ushul fiqih yang sudah menjadi teori yang baku dikalangan fuqoha, yaitu " ”ال ع برة ب عوى م ال ل فظ ال ب خ صى ص ال س بب (yang harus dianggap itu adalah umumnya lafazh (perkataan) bukan khususnya yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan), maksudnya adalah makna hukum harus dipahami dari susunan kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang peristiwa hukum itu muncul. Sehingga dengan demikian perkataan “ tipu
muslihat “ itu harus diberi pengertian yang bersifat umum, dalam arti bisa berkonotasi pidana atau perdata ;Menimbang, bahwa untuk memperkuat tafsir bahwa perkataan “ tipu muslihat “ itu bukan klaim dan monopoli ranah hukum pidana ansich tapi juga bisa ranah hukum perdata, Majelis Hakim disini dapat mengemukakan istilah “ Bedrog “ atau penipuan dalam ranah hukum perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata “ Tiada sesuatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
diberikan karena kekhilapan atau diperoleh dengan paksaan atau “penipuan”. Lebih jauh Pasal 1328 KUH Perdata menegaskan bahwa
penipuan merupakan satu alasan untuk mebatalkan suatu persetujuan, bila pihak adalah sedemikian rupa, sehingga penipuan yang dipakai oleh salah satu
nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat;
Menimbang, bahwa perkataan “ tipu muslihat ” dalam kepustakaan hukum islam lebih di kenal dengan istilah “ Ghorror ” bahkan dalam sebuah hadist Rasulullah SAW menyebutnya dengan istilah “ Ghosysy ” hal ini dikemukakan dalam kitab “Shubulussalam” Juz III kitabul Buyu„ ” yang menerangkan bahwa ketika Rasulullah menginspeksi ke pasar di Madinah, beliau mendapatkan pedagang korma yang mencampuradukkan dagangannya yang kering dan yang basah dengan menyimpan yang basah dibawah dan yang kering diatas (untuk memperberat timbangan dan mengelabui konsumen), maka begitu hal itu diketahui oleh Rasulullah SAW, beliau langsung bersabda dengan mengancam: ًهي اغ ت سل ف قد غش وهي غش ف ل يس ه ن Artinya : Barangsiapa yang membasahi (kurmanya supaya lebih berat) maka sesungguhnya dia telah tidak transparan (menipu) dan barang siapa yang tidak transparan (menipu dalam transaksi) maka tidaklah dia masuk golonganku (bukan muslim); (ashshon‟any, subulussalam, TT, Dahlan, Bandung, Jilid III, hal 29)
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa perbuatan “ tipu muslihat ” yang terdapat dalam Pasal 70 huruf C Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, bisa juga berkonotasi perdata, bahkan syari‟ah, yang tentunya baik proses maupun akibatnya, harus melalui proses dan berakibat perdata pula, oleh karenanya klausula yang terdapat dalam penjelasan Pasal 70 Undang-Undang itu yang menyebutkan bahwa “ alasanalasan permohonan pembatalan disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan Pengadilan …” maka menurut Majelis Hakim putusan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pengadilan disini adalah pengadilan yang memeriksa perkara itu yakni dalam hal ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Menimbang, bahwa oleh karena berdasarkan Penetapan Majelis Hakim No.
792/Pdt.G/2009/PA.JP tanggal 1 Nopember 2009 dan perubahannya tanggal 27 Nopember 2009, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara ini, maka Majelis Hakim
berwenang untuk memeriksa dan memutus persolan tipu muslihat ini, sehingga sebelum mengabulkan atau menolak permohonan Pemohon, terlebih dahulu akan membuktikan dan memutus mengenai ada atau tidak adanya “ tipu muslihat “ yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Menimbang, bahwa oleh karena yang dijadikan alasan permohonan pembatalan putusan BASYARNAS ini oleh Pemohon adalah antara lain “ Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa “, maka dalam kontek ini mau tidak mau Majelis Hakim harus mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan putusan BASYARNAS No.16/tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak
tanggal
16
September
2009
dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan pihak-pihak berperkara. Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan bahwa selain perkataan “ tipu muslihat “ secara yuridis harus dimaknai tidak dalam arti picik, juga untuk lebih jelasnya secara etimologis kosa kata “ tipu muslihat ” itu harus didepinisikan sedemikian rupa.
Menimbang, bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosa kata “ tipu muslihat “ berasal dari kata “ tipu “ , yang artinya adalah perbuatan atau perkataan tidak jujur, (bohong, palsu, dsb) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung, padanannya adalah kata tipu daya, yang artinya adalah terutama, kecurangan yang merugikan orang lain.
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Kemudian berkembang menjadi kata tipu muslihat yang dalam peperangan diartikan siasat/strategi untuk memenangkan perang (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi II tahun 2005);
Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian tersebut maka “ tipu muslihat “ bisa didepinisikan sebagai, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu atau curang) dengan maksud untuk mengakali dengan mencari
keuntungan sendiri dan merugikan orang lain ;Menimbang, bahwa berangkat dari pengertian “ tipu muslihat “ tersebut dalam kontek perkara ini perlu pertimbangan apakah dalam Putusan BASYARNAS No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak, ada perbuatan “ tipu muslihat “ atau tidak. Untuk itu dipertimbangkan sebagai berikut ;-
Menimbang, bahwa sesuai bukti P-3 Pemohon dengan Termohon II telah saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian yang tertuang dalam akad pembiayaan Al Murabahan No. 53/2005 tanggal 23 Februari 2005 yang dibuat dihadapan Notaris EFRAN YUNIARTO, SH di Jakarta.
Menimbang, bahwa Pemohon dengan Termohon II telah memenuhi syarat baik secara subjektif maupun secara objektif untuk melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian terlebih dihadapan Notaris yaitu EFRAN YUNIARTO,SH sehingga keluar “Akad Pembiayaan Al-Murabahah No. 53 tanggal 23 Februari 2005 “ maka Majelis Hakim harus menganggap bahwa apa yang diperbuat oleh
Pemohon dengan Termohon II adalah sah secara hukum karena mereka melakukannya sama-sama ridho, sehingga “ akad Al-Murabahah No. 53/2005 sebagai produk perbuatan hukum dihadapan Notaris adalah sah sebagai akta notariel kecuali dapat dibuktikan sebaliknya “ ;-
Menimbang, bahwa oleh karena akad Al-Murabahah No. 53/2005 tersebut telah dianggap sah secara hukum maka nasabah yaitu Iwan setiawan alias Iwan Soetiawan, dahulu bernama So (Souw) Wie See dan Indra Cahya, bertindak untuk
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
dan atas nama Perseroan Terbatas PT.ATRIUMASTA SAKTI sebagai Direktur & Wakil Direktur, dan pihak Bank yaitu Intan Pribadi sebagai Kepala Divisi
pembiayaan Korporasi Dua (II) Perseroan Terbatas PT. Bank Syari‟ah Mandiri, itu dituntut harus melaksanakan prestasi yang terlibat dalam akad Al-Murabahah
dan kontra prestasi sebagaimana isi dari pada akad itu, dimana pihak perbankan berkewajiban untuk menyediakan pasilitas pembiayaan Al-Murabahah sebesar Rp. 35.000.000.000 (tiga puluh lima milyar rupiah) untuk digunakan pembelian
bahan material dan jasa guna pembangunan proyek Rukan Soho Carbela Square , sedangkan nasabah sebagai pihak berhutang berkewajiban untuk membayar utangnya sekaligus dengan margin sebagai Ceiling Price yang sesuai perjanjian mereka.
Menimbang, bahwa penarikan pembiayaan sesuai ketentuan Pasal 3 akad AlMurabahah, dilakukan secara bertahap sesuai dengan proses penyelesaian proyek yaitu kesemuanya setelah nasabah memenuhi persyaratan, antara lain sebagai berikut: Pasal 3 ayat (4) Nasabah telah menyetor dana untuk pembayaran biaya administrasi, notaris, dan biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan pasilitas pembiayan yang diberikan . Pasal 3 ayat (10) Nasabah telah menunjukkan seluruh dokumen asli serta foto copynya yang berhubungan dengan perizinan pembangunan Rukan Soho Carbela Square. Pasal 3 ayat (23) Nasabah telah menyetor Self Financing secara bertahap sejumlah porsi Nasabah yang sesuai dengan Cash How yang telah dibuat oleh
Bank, yaitu sebesar Rp. 11.804.848.915 (sebelas milyar delapan ratus empat juta delapan ratus empat puluh delapan ribu Sembilan ratus lima belas rupiah).
Menimbang, bahwa oleh karena antara Pemohon dan Termohon II sebagai pihak Bank & Nasabah sudah saling berjanji sebagaimana akad Al-Murabahah No. 53/2005 tersebut diatas maka mereka berkewajiban untuk menunaikan janjijanji mereka tersebut. Sebab perjanjian yang dibuat oleh mereka berlaku sebagai aturan yang mengikat kepada mereka yang membuatnya sehingga hal itu tidak bisa
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
dilanggar oleh kedua belah (Vacta Sunservanda) secara syar‟I hal ini dipertegas
oleh Rasulullah SAW.
) يذمرتلا هاور (الوسلوىى على شروطهن إال شرطا ّحرم حال ال أو أح ّل حراها Artinya : Syarat-syarat (perjanjian) yang dibuat oleh sesama muslim adalah mengikat
mereka,
kecuali
mereka
membuat
syarat/perjanjian
yang
menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal ( HR. Tirmidzi). (Ashshon‟ani/Au Bakar Muhammad (Terjemahan), Subulussalam,
Juz III, Al-Ikhlas, Surabaya 1995: 207/208) ;-
Menimbang, bahwa ternyata terdapat fakta bahwa pihak-pihak telah tidak melaksanakan prestasi sebagai kewajibannya sesuai kesepakatan mereka sebagaimana tertuang dalam akad Al-Murabahah No.53/2005 itu;-
Menimbang, bahwa selintas, sesuai bukti P-1 yang bermaterai cukup tetapi tidak dileges, namun hal itu dikuatkan dengan bukti yang sama yang diajukan Termohon II, yaitu bukti T.II.1, Majelis Hakim menilai bahwa Pemohon telah terlebih dahulu melanggar kesepakatan itu karena tidak melaksanakan prestasi berupa pencairan pembiayaan tahap kedua dan seterusnya disaat Termohon II memerlukan pembiayaan itu untuk melanjutkan konstruksi gedung Rukan yang digarap Termohon II (Nasabah), dan Majelis Hakim semula memberikan penilaian yang sama seperti majelis BASYARNAS (Termohon I) bahwa Pemohon telah berbuat zholim kepada Termohon II bahkan sebagai khianat; namun ternyata setelah dicermati lebih jauh dengan melakukan penelaahan terhadap bukti P-1 dan bukti T.II.1 dihubungkan dengan bukti P-3 terdapat fakta
lain bahwa Pemohon tidak melaksanakan prestasi lanjutan sebagai implementasi dari akad Al-Murobahah No. 53/2005 itu dikarenakan Termohon II sebagai Nasabah tidak melaksanakan kontra prestasi sebagaimana disyaratkan di Pasal 3 ayat (4), ayat (10) dan ayat (23) akad Al-Murobahah itu ;-
Menimbang, bahwa dengan tidak bermaksud mengenyampingkan syaratsyarat lainnya yang harus dipenuhi Termohon II sebagaimana akad Al- Murobahah, Majelis Hakim menilai bahwa IMB merupakan dokumen yang sangat penting dan
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
strategis untuk sebuah bangunan di pusat kota, terlebih untuk sebuah Rukan didirikan dipusat ibu kota Jakarta, sebab seperti Rukan Soho Carbela Square yang
jika hal ini menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bisa saja karena membongkar bangunan tersebut karena ketiadaan IMB pihak Pemkot/Pemprop
dianggap liar, sehingga berakibat kerugian di pihak perbankan, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa dokumen IMB sebagai sebuah persyaratan itu sangat prinsip dan tidak bisa dianggap sepele apalagi hal ini termasuk dalam
perjanjian pokok yang termuat dalam akad Al-Murobahah Pasal 3 ayat (10) yang diperkuat surat pernyataan Termohon II tanggal 2 Maret 2005 (P-4) ;-
Menimbang, bahwa persyaratan yang diwajibkan berupa IMB tersebut rupanya tidak secara palid dan cermat dipertimbangkan oleh Majelis Arbitrase (Termohon I) sebab ketika mempertimbangkan bukti pada pertimbangan hukumnya di point huruf K tentang bukti-bukti, Termohon I menganggap bahwa IMB merupakan syarat susulan ;-
Menimbang, bahwa untuk lebih jelasnya pertimbangan Majelis Arbitrase mengenai IMB ini dapat dikemukakan pertimbangannya pada huruf K angka 22,23,24,25 dan 27, yang lengkapnya adalah sbb : 22. Sehubungan dengan pencairan pertama senilai Rp. 2.200.000.000,- (dua miliar dua ratus juta rupiah) (Bukti surat P-19E) No. 7/031/SP/DPK2 tanggal 2 Maret 2005 Perihal: Persetujuan Pencairan Pembiayaan, surat mana tidak ditandatangani Termohon, akan tetapi telah disetujui Pemohon, timbul pertanyaan mengapa Bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad no. 53
adanya 1MB, namun persyaratan tersebut baru muncul ketika akan dilakukan pencairan kedua; Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Bank sendiri, berarti Bank telah tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian pada saat pencairan ~ pertama dan baru melaksanakan prinsip kehati-hatian itu padapencairan kedua; 23. Benar oleh Pemohon telah dibuat SURAT PERNYATAAN tertanggal 02 Maret 2005 yakni setelah pencairan biaya pertama tanggal 02 Maret 2005 dimana Pemohon dituntut membuat surat penyataan, tetapi tidak ditandatangani
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Pemohon
dengan
alasan
bahwa
perlengkapan
dokumen
perijinan
Pembangunan Rukan Soho Carbella Square dianggap berlebihan (P-17, P-18A) dan (P-18B); Majelis Arbiter berpendapat bahwa Surat Pernyataan yang dibuat setelah akad al-Murabahah ditandatangani bertcntangan dengan Prinsip
Syariah;
24. Dengan permintaan Termohon kepada Pemohon untuk membuat surat pernyataan tersebut diajukan oleh Termohon setelah akad al-Murabahah
ditandatangani, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah berlaku sewenang-wenang terhadap Pemohon di samping berdasarkan sifat akad alMurabahah persyaratan yang ditambahkan setelah akad al-Murabahah ditandatangani adalah dilarang (haram) karena itu tidak berlaku; 25. Sehubungan dengan sikap Termohon yang demikian itu terhadap Pemohon, maka benarlah pendapat Pemohon bahwa Termohon telah bertindak yang bersifat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden); 27. Dari pernyataan kesanggupan tanpa syarat tersebut bagaimana mungkin Pemohon dapat memenuhi janji tanpa syarat, bila dalam kenyataan fasilitas pembiayaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebagai akibat Termohon menunda pencairan pembiayaan susulan dengan alasan karena Pemohon tidak dapat menyerahkan 1MB d.1.1. sebagaimana dipersyaratkan oleh Termohon belakangan setelah Akad No,53 ditandatangani sebagaimana dikemukakan di atas; Berkenaan dengan itu, Majelis Arbiter berpendapat bahwa Termohon telah bertindak zalim terhadap Pemohon yang sangat dilarang dalam Islam;
Menimbang, bahwa dalam pertimbangan tersebut diatas Majelis Arbitrasi
mengulang, paling tidak tiga kali, mengemukakan kata-kata bahwa IMB merupakan persyaratan yang yang ditambahkan atau dipersyaratkan belakangan setelah Akad No. 53/2005 ditandatangani, untuk jelasnya hal ini dapat dilihat dan dikemukakan pertimbangn tersebut pada hurup K sebagai berikut: - 22. .....mengapa bank tidak sejak semula mensyaratkan dalam akad No.53/2005 adanya IMB..... ;- 23. .....perlengkapan dokumen perizinan pembangunan rukan soho carbilla square dianggap berlebihan...;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
-
24.
.....persyaratan
yang ditambahkan
setelah akad al
murabahah
ditandatangani risalah dilarang (haram)...;-
- 27. .....Pemohon tidak dapat menyerahkan IMB dll sebagaimana dipersyaratkan oleh Termohon I belakangan setelah akad No 53/2005 ditandatangani... ;
Menimbang, bahwa oleh karena persyaratan IMB telah nyata terdapat dalam materi pokok akad Al-Murobahah No. 53/2005 yaitu Pasal 3 ayat 10 yang bukan
persyaratan susulan sebagaimana anggapan Majelis Arbitrase, walaupun harus diakui memang benar ada pernyataan dari Termohon II pada tanggal 2 Maret 2005 untuk mempertegas persyaratan yang ada dalam akad Al-Murobahah mengenai IMB itu, sehingga Majelis Hakim menganggap bahwa Majelis Arbritrase ( Termohon I ) telah luput mencermati persyaratan yang terdapat dalam akad almurabahah Pasal 3 ayat 10 sebagai kontra prestasi yang semestinya wajib dipenuhi oleh Termohon II.
Menimbang, bahwa bahwa oleh karena Termohon II telah tidak memenuhi perjanjian sebagaimana yang disyaratkan dalam akad al-murabahah No.53/2005, maka menurut pendapat Majelis Hakim sudah sewajarnya apabila Pemohon tidak mencairkan pembiayaan pada tahap kedua kepada Termohon II, hal ini sebagai konsekwensi atas kelalaian Termohon II memnuhi kontra prestasi yang menjadi kewajibannya ;-
Menimbang, bahwa fakta lain yang menjadi catatan Majelis Hakim adalah pengurusan IMB oleh Termohon II dengan biaya diatas 3 Milyar melalui jasa
konsultan/kontraktor H.Jayadi Kusumah, SH yang memakan waktu bertahuntahun namun tidak kunjung selesai, padahal sebelumnya dijanjikan dalam hitungan bulan IMB tersebut selesai, akan tetapi hal ini oleh Termohon I tidak dipertimbangkan sama sekali dengan dalih bahwa IMB merupakan perjanjian tambahan, dan persyaratan yang ditambahkan setelah akd al-murbahah ditandatangani, menurut Termohon ,I adalah dilarang ( haram ) sehingga Pemohon dianggap telah bertindak yang bersifat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) ;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim suatu perjanjian yang ditambahkan dari perjanjian pokok selama disepakati oleh para pihak adalah
dibenarkan secara syar‟i kecuali memperjanjikan yang halal menjadi haram atau No.53/2005 terjembatani dengan Pasal sebaliknya, terlebih lagi terhadap akad
addendum yang ada di Pasal 18 penutup, dan terhadap hal itu majelis hakim menganggap bukanlah penambahan akan tetapi sebagai penegasan terhadap sesuatu yang telah ada dan telah diperjanjikan sebelumnya;
Menimbang, bahwa selain fakta tersebut diatas, Termohon II ternyata telah mengabaikan persyaratan lainnya, yaitu yang terdapat di Pasal 3 ayat (4) dan Pasal 3 ayat (23) akta al-murabahah No.53/2005 yaitu tidak membayar biaya notaries dan tidak menyerahkan self financing, dimana hal inipun luput di pertimbangkan Termohon I dalam putusannya ;-
Menimbang, bahwa bukti bantahan T. II terutama T.II.1 berupa fotokopi Putusan Arbritrase bukalnah kontra bukti yang melemahkan fakta , sedangkan bukti T.II.2 dan bhukti T.II.3 tidak pula mampu mengkanter bukti, dalil-dalil dan alasan Pemohon ;-
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dihubungkan dengan bukti persangkaan hakim, maka telah ternyata bahwa Termohon II telah melakukan perbuatan yang mengindikasikan ketidakjujuran dalam bertransaksi ;-
Menimbang, bahwa indikator-indikator ketidakjujuran dari Termohon II dalam bertransaksi dapat dilihat dan simpulkan dari hal-hal sebagai berikut :
� Termohon II telah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan dalam akta al-murabahah No.53/2005 Pasal 3 ayat (10) yakni berupa IMB yang merupakan dokumen penting, yang dijanjikan sebelumnya selesai dalam hitungan bulan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang belum juga diselesaikan ;-
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
� Termohon II telah ternyata mengabaikan persyaratan Pasal 3 ayat (4) dan Pasal 3 ayat ( 23 ) akta al-murabahah, yaitu berupa pembayaran biaya notaries dan tidak
menyerahkan self financing. � Termohon II tidak beriktikad baik untuk menetralisir kegundahan Pemohon mengenai syarat-syarat yang diajnjikan itu terutama yang berkaitan dengan IMB dengan mencoba menghadirkan pelaksana jasa kontraktor H. Jayadi Kusumah, SH untuk hadir sebagai saksi dipersidangan BASYARNAS dalam upaya konfirmasi
dan klarifikasi dari yang bersangkutan ;� Bahwa ternyata terhadap apa yang telah disimpulkan diatas oleh Termohon I sebagai Majelis Arbritrase tidak dipertimbangkan.
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon II telah melakukan perbuatan tidak jujur, maka Majelis Hakim dapat menetapkan bahwa perbuatan tidak jujur yang dilakukan oleh Termohon II patut dikategorikan sebagai perbuatan “ tipu muslihat “ , sebagaimana didefisikan dalam pertimbangan sebelumnya ;-
Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan Termohon II dikategorikan sebagai perbuatan tipu muslihat, maka dalam kontek ini Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putusan Termohon I sebagai Majelis Arbritrase diambil dari hasli tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon II ;-
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas tanpa mempertimbangkan bukti lain yang diajukan Pemohon dan Termohon II, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon telah berhasil membuktikan dalil
permohonannya secara sah dan meyakinkan, sehingga oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 70 huruf c, Permohonan Pemohon harus dikabulkan ;-
Menimbang, bahwa karena apa yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam putusan ini lebih mengarah kepada pembatalan karena putusan arbritrase diduga mengandung unsur-unsur antara lain putusan diambil dari hasil tipu muslihat dan tidak mengarah kemana-mana termasuk kepada isi amar putusan BASYARNAS, oleh karenanya petitum No. 2 agar Majelis Hakim menyatakan cacat karena dalam
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
putusan BASYARNAS isi amarnya saling bertentangan satu sama lain harus dikesampingkan dan tidak perlu dipertimbangkan lagi ;-
Menimbang, bahwa terhadap petitum No. 3 oleh karena telah terbukti T. II telah melakukan perbuatan “ tipu muslihat “, maka permohonan Pemohon agar Majelis Hakim
membatalkan
putusan
BASYARNAS
No.16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009
dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai akta pendaftaran No.01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009, adalah dapat dikabulkan ;-
Menimbang, bahwa oleh karena putusan BASYARNAS akan dibatalkan, maka sebagai akibat pembatalan putusan tersebut harus dinyatakan bahwa putusan tersebut
tidak
berkekuatan
hukum,
sehingga
oleh
karenanya
dengan
mempertimbangkan petitum subsider Majelis Hakim perlu menambahkan diktum dalam putusan ini bahwa putusan BASYARNAS tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon I dan Termohon II sebagai pihak yang kalah dalam perkara ini seharusnya sesuai Pasal 181 HIR keduanya harus dihukum untuk membayar biaya perkara, akan tetapi sesuai ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa kepada Termohon I sebagai arbrirter harus dibebaskan dari tanggung jawab hukum, sehingga dengan demikian biaya perkara ini harus dibebankan sepenuhnya kepada Termohon II;
Menimbang, bahwa hal-hal yang tidak dipertimbangkan dalam putusan ini dinyatakan dikesampingkan;-
Mengingat, segala ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku, dan dalil syar'i yang bersangkutan dengan perkara ini;
MENGADILI
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
DALAM EKSEPSI:-
� Menolak eksepsi Termohon I dan T ermohon II seluruhnya ;-
DALAM POKOK PERKARA:-
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;2.Membatalkan
Putusan
BASYARNAS
No.
16/Tahun
2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang diputuskan pada tanggal 16 September 2009
dan yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakatrta Pusat sesuai akta Pendaftaran No. 01/BASYARNAS/2009/PAJP tanggal 12 Oktober 2009 ;3. Menyatakan Putusan BASYARNAS No. 16/tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009 tersebut diatas tidak mempunyai kekuatan hukum;4. Membebankan biaya perkara kepada Termohon II yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp. 306.000,- ( tiga ratus enam ribu rupiah ) ;-
Demikian diputuskan dalam permusyarawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada hari Kamis tanggal 10 Desember 2009 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Dzulhijjah 1430, yang terdiri dari Drs. H. Masrum, MH. sebagai Ketua Majelis dan Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH, Drs. H. Ujang Soleh, SH, Drs. Yusran, MH dan Drs. Subuki, MH masing-masing sebagai hakim-hakim Anggota, putusan mana oleh Ketua Majelis Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Hakim Anggota yang sama dan di bantu oleh Drs. Ach. Jufri, SH sebagai Panitera dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Pemohon, Kuasa Hukum Termohon I dan Kuasa Hukum Termohon II;
Hakim Anggota, Ketua Majelis Ttd. Ttd. Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH, MH, Drs. H. Masrum, MH. Ttd. Drs. H. Ujang Soleh, SH, Ttd. Drs. Yusran, MH
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Ttd. Drs. Subuki, MH Panitera
Ttd. Drs. Ach. Jufri, SH
Perincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,2. Biaya Panggilan : Rp. 265.000,3. Biaya Redaksi : Rp. 5.000,-
4. Materai : Rp. 6.000,- + Jumlah : Rp. 306.000,( tiga ratus enam ribu rupiah ).
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
LAMPIRAN 2
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012
Tinjauan yuridis..., Nafila Rahmawati, FH UI, 2012