UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA KETERLIBATAN AYAH DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK SULUNG USIA PRASEKOLAH TERHADAP ADIK BAYI THE CORRELATION BETWEEN FATHER INVOLVEMENT AND PROSOCIAL BEHAVIOR AMONG PRECSHOOL-AGE FIRSTBORNS TOWARD BABY SIBLING
SKRIPSI
JUWITA ARDIANA DWITYA 0706281122
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM REGULER DEPOK JUNI 2012
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA KETERLIBATAN AYAH DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK SULUNG USIA PRASEKOLAH TERHADAP ADIK BAYI THE CORRELATION BETWEEN FATHER INVOLVEMENT AND PROSOCIAL BEHAVIOR AMONG PRECSHOOL-AGE FIRSTBORNS TOWARD BABY SIBLING
SKRIPSI (Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana)
JUWITA ARDIANA DWITYA 0706281122
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM REGULER DEPOK JUNI 2012
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin. Rasa syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas segala kemudahan, kekuatan, dan pelajaran yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini. Peneliti pun menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini juga tidak mungkin terjadi tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Rini Hildayani, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas segala ilmu, feedback, dan juga kesabaran yang diberikan selama peneliti menyelesaikan skripsi ini. 2. Dra. Yudiana Ratna Sari M.Si selaku pembimbing akademis selama peneliti berkuliah di Fakultas Psikologi. 3. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi dan Luh Surini Yulia Savitri, S.Psi, M.Psi selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Para kepala sekolah dan guru-guru di PAUD/TK/PG tempat peneliti melakukan pengambilan data. Terimakasih atas segala kemudahan dan doa yang diberikan. Semoga ibu dan bapak tidak lelah untuk selalu memberi yang terbaik bagi murid-murid ibu dan bapak semua. 5. Orangtua peneliti, yang tak pernah berhenti memberikan dukungan dan doanya. Terimakasih juga atas kesabaran dan pengertiannya selama menunggu peneliti menyelesaikan skripsi ini. 6. Nabilatunnawal, Novalia Tri Utami, Sarah Tasykuri Izzati, Staniah Pertiwi, dan Yuli Adhrianti, teman-teman terbaik yang tetap meluangkan waktu untuk memberikan bantuan dan memberi semangat, meskipun di tengah kesibukan masing-masing yang juga tidak sedikit.
iv Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
7. Pipit, Qnoy, Uci, Nurul, Syasya, Putri, Mba Winna, dan Mba Uti, temanteman seperjuangan dalam menuntut ilmu atas segala inspirasi untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Izza
Dinillah,
Malena
Awinewa,
dan
Mutiara
Rian,
teman-teman
seperjuangan selama pengerjaan skripsi di semester sembilan. 9. Ristiana Istiqomah, teman yang selalu setia menjadi tempat berbagi cerita yang penting dan tidak penting tentang hal-hal yang tidak dipahami oleh banyak orang. 10. Seluruh teman-teman Psikologi UI angkatan 2007, atas inspirasi-inspirasi yang telah diberikan kepada peneliti selama berkuliah di Fakultas Psikologi UI, baik secara sadar ataupun tidak. 11. Ibel, Vita, Mega, Prisil, Fitri, Rika, dan teman-teman Psikologi UI angkatan 2008 lainnya, teman seperjuangan peneliti dalam mengerjakan skripsi di semester sepuluh. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu. Jika ada kritik, saran, atau pertanyaan mengenai penelitian ini dapat menghubungi saya melalui email
[email protected].
Depok, 21 Mei 2012
Juwita Ardiana Dwitya
v Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Juwita Ardiana Dwitya Program Studi : Psikologi Judul : Hubungan Antara Keterlibatan Ayah dan Perilaku Prososial pada Anak Sulung Usia Prasekolah Terhadap Adik Bayi Kelahiran adik bayi dapat menjadi sumber stres yang cukup besar bagi anak pertama (Levy dan Winniecott dalam Teti, Sakin, Kucera, Corns, dan Eiden, 1996). Salah satunya adalah anak bisa menjadi lebih agresif terhadap adiknya (Teti et al, 1996). Perilaku agresi dapat dikurangi dengan mengembangkan perilaku prososial (Bushman dan Huesmann, 2010). Faktor keluarga adalah salah satu hal yang memengaruhi perkembangan perilaku prososial pada anak. Pada masa pasca kelahiran adik bayi, secara otomatis ibu akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bayi yang baru lahir sehingga diharapkan ayah dapat lebih terlibat dengan anak sulungnya (Volling, 2005). Dalam beberapa penelitian sebelumnya, keterlibatan ayah ditemukan memiliki hubungan dengan beberapa aspek perkembangan anak, seperti perkembangan perilaku prososial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Enam puluh lima orang ayah dan ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini untuk melaporkan keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung. Keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan Paternal Index of Child Care Inventory (Nangle, Kelley, Fals-Stewart, dan Levant, 2003), sedangkan perilaku prososial diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Kata kunci: adik bayi, anak sulung usia prasekolah, keterlibatan ayah, perilaku prososial
vii Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
ABSTRACT Name Study Program Title
: Juwita Ardiana Dwitya : Psychology : The Correlation between Father Involvement and Prosocial Behavior Among Preschool-Age Firstborns Toward Baby Sibling
The arrival of a baby sibling can be a major stressor for firtsborn children (Levy and Winniecott, in Teti, Sakin, Kucera, Corns, and Eiden, 1996). This event can increase children’s aggressiveness towards the baby (Teti et al, 1996). Aggressive behavior can be decresead by developing prosocial behavior (Bushman and Huesmann, 2010). Family is one of factors that can determined child’s prosocial behavior. After the arrival of a baby sibling, mother will automatically spend more time with the newborn, so father’s involvement with the firstborn is expected to be improved (Volling, 2005). In some previous studies, the father involvement was found to have correlation with some aspect of children’s development, such as the development of prosocial behavior. This study was conducted to measure the correlation between father involvement and prosocial behavior among preschool-age fistborns toward baby sibling. Sixty five fathers and mothers were participated in this study, reporting father involvement and firstborn’s prosocial behavior. Father involvement was measured using Paternal Index of Child Care Inventory (Nangle, Kelley, FalsStewart, dan Levant, 2003), while firstborn’s prosocial behavior was measured using instrument that was developed by researcher. The result of the study shows that there is no correlation between father involvement and prosocial behavior among preschool-age firstborns toward baby sibling. Key word: baby sibling, father involvement, preschool-age firstborn, prosocial behavior
viii Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………... i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………. ii LEMBAR PENGESAHAN……………………..…………………………………. iii KATA PENGANTAR……………………………………………………………... iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………. vi ABSTRAK………………………………………………………………………… vii ABSTRACT………………………………………………………………...…...... viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. ix 1. PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1 1.2 Permasalahan…………………………………………………………….. 7 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………… 7 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………….. 7 1.5 Sistematika Penulisan……………………………………………………. 8 2. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 9 2.1 Keterlibatan Ayah………………………………………………………. 9 2.1.1 Definisi Keterlibatan Ayah……………………………………….. 9 2.1.2 Dimensi Keterlibatan Ayah………………………………………. 10 2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keterlibatan Ayah…………… 11 2.2 Perilaku Prososial………………………………………………………. 15 2.2.1 Definisi Perilaku Prososial………………………………………... 15 2.2.2 Bentuk Perilaku Prososial………………………………………… 16 2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Prososial……………. 17 2.3 Masa Early Childhood………………………………………………...... 23 2.3.1 Definisi Masa Early Childhood…………………………………... 23 2.3.2 Perkembangan Fisik Masa Early Childhood……………………... 23 2.3.3 Perkembangan Kognitif Masa Early Childhood………………….. 24 2.3.4 Perkembangan Psikososial Masa Early Childhood………………. 25 2.4 Dinamika Hubungan Keterlibatan Ayah dan Perilaku Prososial Anak Sulung Usia Prasekolah Terhadap Adik Bayi………………………….. 26 3. METODE PENELITIAN………………………………………………… 28 3.1 Tipe dan Desain Penelitian……………………………………………... 28 3.1.1 Tipe Penelitian……………………………………………………. 28 3.1.2 Desain Penelitian…………………………………………………. 29 3.2 Masalah dan Hipotesis Penelitian………………………………………. 29
ix Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
3.2.1 Masalah Penelitian………………………………………………... 29 3.2.2 Hipotesis Penelitian………………………………………………. 29 3.3 Variabel Penelitian……………………………………………………… 30 3.3.1 Keterlibatan Ayah………………………………………………… 30 3.3.2 Perilaku Prososial………………………………………………… 30 3.4 Partisipan Penelitian……………………………………………………. 31 3.4.1 Karakteristik Partisipan………………………………………….. 31 3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel……………………………………... 31 3.4.3 Jumlah Partisipan…………………………………………………. 32 3.5 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….... 32 3.6 Alat Ukur Penelitian…………………………………………………….. 33 3.6.1 Alat Ukur Keterlibatan Ayah……………………………………... 33 3.6.2 Alat Ukur Perilaku Prososial ……………………………………... 35 3.6.3 Data Responden…………………………………………………… 38 3.7 Tahap Penelitian………………………………………………………… 39 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian……………………………………….. 39 3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian…………………………………….. 40 3.8 Pengolahan dan Analisis Data…………………………………………... 40 4. HASIL DAN ANALISIS HASIL…………………………………………..42 4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian……………………………….... 42 4.2 Gambaran Umum Hasil Penelitian…………………………………….... 45 4.3 Hasil Analisis Utama……………………………………………………. 46 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN………………………………. 48 5.1 Kesimpulan……………………………………………………………… 48 5.2 Diskusi…………………………………………………………………... 48 5.3 Saran…………………………………………………………………….. 51 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 54
x Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5
Kisi-Kisi Alat Ukur PICCI (Paternal Index of Child Care Inventory)…. 35 Kisi-Kisi Alat Ukur Perilaku Prososial…………………………………. 38 Gambaran Umum Aspek Demografis Anak Sulung……………………. 42 Gambaran Umum Aspek Demografis Anak Kedua…………………….. 42 Gambaran Umum Aspek Demografis Subjek Ibu………………………. 43 Gambaran Umum Aspek Demografis Subjek Ayah……………………. 44 Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian………………………... 45
xi Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Reliabilitas Alat Ukur………………………………………………... 1 A. Reliabilitas Alat Ukur Keterlibatan Ayah (PICCI)………………. 1 B. Reliabilitas Alat Ukur Perilaku Prososial………………………... 2 Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian……………………... 4 A. Gambaran Umum Skor Keterlibatan Ayah………………………. 4 B. Gambaran Umum Skor Perilaku Prososial………………………. 4 Analisis Utama……………………………………………………….. 5
xii Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Di dalam proses perkembangan keluarga, perubahan di dalam keluarga sangat wajar terjadi. Perubahan-perubahan yang dimaksud di antaranya adalah kehilangan anggota keluarga (baik akibat kematian atau sebab lain) ataupun penambahan anggota keluarga (baik akibat kelahiran, pernikahan, atau yang lain). Perubahan-perubahan ini sering kali diasosiasikan dengan peningkatan stres pada individu-individu dalam keluarga tersebut yang berusaha untuk menyesuaikan kembali peran dirinya dalam keluarga ataupun peraturan-peraturan dalam interaksi keluarga (Minuchin, 1985; Stewart, 1990 dalam Teti, Sakin, Kucera, dan Corns; 1996). Contoh penyesuaian peran misalnya, ketika ada penambahan anggota keluarga akibat kelahiran, seorang anak tunggal yang tadinya memiliki peran dalam keluarga hanya sebagai anak akan mendapat peran tambahan sebagai kakak. Sementara contoh penyesuaian peraturan misalnya, seorang suami yang tadinya diperbolehkan untuk menghabiskan sebagian waktu akhir pekannya dengan teman-teman, sesudah menjadi ayah diharapkan lebih meluangkan waktu akhir pekan bersama anak-anaknya. Pada keluarga dengan penambahan anggota keluarga karena proses kelahiran yang bukan merupakan anak pertama, peningkatan stres terjadi bukan hanya pada orang tua, tetapi pada anak-anak yang lebih tua dalam keluarga tersebut (Dunn & Kendrick, 1982; Field & Reite, 1984; Legg, Sherick, & Wadland, 1974; Nadelman & Begun, 1982 dalam Volling, 2005). Seperti yang dikemukakan oleh Levy dan Winniecott (dalam Teti et al, 1996) bahwa kelahiran adik bayi dapat menjadi sumber stres yang cukup besar bagi anak pertama. Meskipun kelahiran adik bayi dapat menjadi sumber stres yang cukup besar, terutama bagi anak pertama, reaksi terhadap kelahiran tersebut bisa berbeda-beda. Beberapa anak bisa menyambut baik kelahiran anggota keluarga baru dan hanya mengalami sedikit stres atau bahkan tidak sama sekali. Sementara beberapa anak bisa merasa lebih terganggu setelah kelahiran, bahkan menjadi lebih agresif terhadap anggota keluarga baru (Teti et al, 1996). Contoh perilaku
1
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
2
agresi yang muncul pada anak adalah memukul, mendorong, menendang, menggigit, mencubit, menarik rambut, dan berebutan mainan (Papalia, Olds, dan Feldman; 2007). Perilaku agresi yang muncul pada anak usia dini memiliki berbagai dampak. Dalam hubungannya dengan kehadiran adik, perilaku agresi yang ditunjukkan kakak terhadap adik dilaporkan dapat membuat adik tumbuh menjadi anak yang juga menampilkan perilaku agresi, begitupun sebaliknya dengan perilaku agresi adik terhadap kakak (Williams, Conger, dan Blozis; 2007). Menurut Bushman dan Huesmann (2010), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku agresi ini adalah dengan mengembangkan perilaku non-agresi, salah satunya perilaku prososial. Perilaku prososial didefinisikan sebagai segala perilaku yang dilakukan secara sadar dan menguntungkan orang lain (Eisenberg, Fabes, dan Spinrad; 2006). Perilaku prososial memiliki tiga bentuk, yaitu perilaku berbagi, perilaku menolong, dan perilaku memberi rasa nyaman (Eisenberg et al, 1999). Perkembangan perilaku prososial ini dilaporkan dimulai ketika anak berada pada usia prasekolah (Davies, 1992). Beberapa bentuk perilaku prososial yang muncul pada usia prasekolah adalah memberikan rasa nyaman, melindungi, dan memberikan pertolongan (Murphy dalam Davies, 1992). Hasil penelitian dari Sugianti (2004) menunjukkan beberapa bentuk perilaku altruisme, yang merupakan bagian dari perilaku prososial, yang muncul secara spesifik dalam konteks kelahiran adik bayi, yaitu mengelus-elus adik, menghibur adik, menjaga adik, dan berbagi mainan dengan adik. Perkembangan perilaku prososial pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga (Eisenberg et al, 2006). Faktor keluarga menjadi salah satu hal yang penting pada perkembangan perilaku prososial anak karena lingkungan keluarga adalah agen utama dalam proses sosialisasi perilaku prososial pada anak (Eisenberg dan Mussen, 1997). Keluarga dapat mendorong atau justru menghambat perkembangan perilaku prososial anak. Banyak ahli yang menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menentukan kecenderungan perilaku prososial pada anak adalah kualitas hubungan antara anak dan orangtuanya, baik melalui pengasuhan maupun interaksi yang terjalin antara
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
3
orangtua dan anak (Eisenberg dan Mussen, 1997). Dalam komposisi orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu, tidak dapat dipungkiri bahwa ibu merupakan pengasuh utama bagi anak (Pleck dan Masciadrelli dalam Hossain dan Anziano, 2008). Hal itu juga terjadi pada masa pasca kelahiran adik bayi. Akan tetapi, pada masa ini, secara otomatis ibu biasanya akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bayi yang baru lahir, misalnya saja dalam hal menyusui. Dalam kondisi ibu yang seperti ini, sangat diharapkan kualitas hubungan ayah dan anak sulung dapat ditingkatkan. Hal itu terkait dengan peran ayah yang cukup besar dalam proses penyesuaian anak sulung pasca kelahiran adik bayi (Volling, 2005). Secara lebih spesifik, menurut Stewart et al (dalam Kail, 2001) salah satu keuntungan dari kelahiran adik bayi ini adalah ayah yang lebih terlibat dengan anak sulungnya. Keterlibatan ayah adalah keterlibatan positif yang dimiliki ayah bersama dengan anaknya (Pleck dalam Hodgins, 2007). Menurut Lamb, Pleck, Charnov, dan Levine (dalam Lamb, 1997) keterlibatan ayah memiliki 3 komponen, yaitu paternal engagement, accessibility atau availability, dan responsibility. Paternal engagement mencakup interaksi ayah secara langsung dengan anak, misalnya bermain dengan anak ataupun menyuapi anak. Pada komponen yang kedua yaitu, accessibility atau availability, ayah mungkin tidak berinteraksi secara langsung dengan anak namun masih hadir bagi anaknya, baik secara fisik maupun psikologis. Komponen yang ketiga yaitu responsibility, menunjukkan tanggung jawab ayah terhadap anaknya, mencakup perencanaan dan pengaturan kehidupan anaknya, baik untuk kesejahteraan ataupun perawatan anaknya. Dalam banyak penelitian, telah dibuktikan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sangat penting manfaaatnya bagi perkembangan anak, khususnya dalam hal perkembangan kognitif, emosi, dan sosial. Manfaat-manfaat tersebut dirasakan oleh anak bahkan hingga masa remaja dan dewasa mereka (Allen & Daly, 2007). Dalam perkembangan kognitif misalnya, anak dengan ayah yang lebih terlibat ditemukan memiliki fungsi kognitif yang lebih baik pada usia 1 tahun (Nugent dalam Allen & Daly, 2007) dan IQ yang lebih tinggi pada usia 3 tahun (Yogman et al dalam Allen & Daly, 2007). Selain itu, keterlibatan ayah yang tinggi pada saat anak berusia 7 tahun diprediksi akan membuat anak
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
4
memiliki pencapaian akademis yang tinggi pula ketika telah mencapai usia 20 tahun (Flouri & Buchanan dalam Allen dan Daly, 2007). Dalam perkembangan emosi, anak dengan ayah yang lebih terlibat akan lebih toleran terhadap stres dan frustrasi (Michael et al dalam Allen & Daly, 2007) serta lebih baik dalam mengatur emosi dan impuls dalam situasi adaptif (Easterbrooks dan Goldberg dalam Allen & Daly, 2007). Selain itu, anak dengan keterlibatan ayah yang tinggi biasanya juga akan memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi di masa remaja (King dalam Allen dan Daly, 2007). Sementara dalam perkembangan sosial, anak dengan ayah yang lebih terlibat akan tumbuh menjadi anak yang toleran dan pengertian (McClelland et al, dalam Allen & Daly, 2007), serta dapat bersosialisasi dengan baik (Block & van der Lippe, dalam Allen & Daly, 2007). Keterlibatan ayah yang tinggi saat masa kanak-kanak juga merupakan prediktor yang paling kuat dalam perkembangan rasa empati seseorang di masa kanakkanak dan dewasanya (Bernadette-Shapiro, Ehrensaft & Shapiro; dalam Allen dan Daly, 2007). Volling dan Belsky (1992) melakukan penelitian mengenai interaksi antara ayah dan anak sulung terhadap beberapa keluarga dengan dua anak prasekolah yang anak pertamanya berusia enam tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa anak akan lebih mengembangkan interaksi prososial dengan saudara kandung jika ayah lebih fasilitatif terhadap anak yang lebih tua saat sesi bermain dan jika ayah menunjukkan afeksi yang lebih besar kepada anak yang lebih tua dibandingkan kepada anak yang lebih muda. Selain itu, anak juga dilaporkan akan cenderung lebih murah hati dalam berbagi dengan teman-temannya jika ayah lebih terlibat (Rutherford dan Mussen dalam Allen & Daly, 2007) dan mengembangkan perilaku menolong yang lebih tinggi pada ayahnya jika ayah lebih terlibat dalam pengasuhan anak (Bernadett-Shapiro, Ehrensaft, dan Shapiro dalam Eisenberg et al, 2006). Pada penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa beberapa bentuk perilaku prososial seperti perilaku menolong dan berbagi memiliki hubungan dengan keterlibatan ayah. Akan tetapi, perilaku tersebut terukur dalam konteks hubungan anak dengan teman-temannya. Perilaku prososial anak terhadap temannya tersebut tidak dapat digeneralisasikan dengan perilaku prososial anak terhadap orang lain seperti keluarga ataupun orang asing. Menurut Eisenberg dkk (2006), perilaku
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
5
prososial anak terhadap orang lain ditentukan pula oleh identitas dan karakteristik penerima perilaku prososial tersebut. Menurut berbagai penelitian, anak akan cenderung melakukan perilaku prososial terhadap teman yang disukai dibandingkan dengan teman yang tidak disukai karena adanya unsur kedekatan (Eisenberg et al, 2006). Penelitian lain yang menunjukkan hasil berbeda dilakukan oleh Berndt, Staub dan Noerenberg, dalam penelitiannya, peneliti mengharuskan anak untuk memilih melakukan perilaku prososial terhadap orang asing atau terhadap teman (Eisenber et al, 2006). Hasilnya menunjukkan anak akan cenderung melakukan perilaku prososial terhadap orang asing dibandingkan terhadap teman dengan beberapa alasan seperti temannya akan mengerti tentang pilihannya tersebut, anak ingin berteman dengan orang asing tersebut, atau anak sedang
bersaing
dengan
temannya.
Berbagai
hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa perilaku prososial anak bisa muncul berbeda tergantung kepada siapa penerima perilaku prososial tersebut. Selain hasil-hasil penelitian yang menunjukkan terdapatnya hubungan antara keterlibatan ayah dan beberapa bentuk perilaku prososial, terdapat pula penelitian lain yang menunjukkan hasil yang bertentangan. Penelitian dari Call, Mortimer, dan Shanahan menunjukkan hasil bahwa ada atau tidaknya ayah dalam keluarga tidak memberikan pengaruh terhadap prosocial responding anak (Call, Mortimer, Shanahan; Dunn et al, dalam Eisenberg et al, 2006). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kelahiran adik bayi bisa menimbulkan beragam reaksi anak sulung terhadap adiknya, misalnya munculnya perilaku agresi. Perilaku agresi yang muncul pada masa prasekolah memiliki berbagai dampak negatif bagi perilaku anak di masa yang akan datang. Cara yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresi tersebut adalah dengan mengembangkan perilaku non-agresi, salah satunya adalah perilaku prososial. Perkembangan perilaku prososial pada anak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengasuhan orangtua. Mengingat kondisi ibu pasca kelahiran adik bayi yang secara otomatis akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan adik bayi, diharapkan ayah dapat lebih terlibat dengan anak sulungnya. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku berbagi serta perilaku
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
6
menolong, yang merupakan dua dari berbagai jenis perilaku prososial, secara spesifik kepada teman. Akan tetapi, perilaku prososial terhadap teman tersebut tidak dapat digeneralisasi akan berlaku sama terhadap orang lain. Berdasarkan dinamika hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial serta penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil bertentangan, peneliti ingin meneliti kembali mengenai ada atau tidaknya hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Perilaku prososial dalam konteks hubungan antara saudara kandung di usia prasekolah sangat penting untuk diteliti. Menurut Schroeder (1995), jika sejak kecil anak sudah memiliki empati dan perilaku prososial yang baik, ia akan lebih empatik dan prososial ketika berinteraksi dengan teman sebayanya beberapa tahun kemudian. Dikemukakan pula bahwa hubungan antara saudara kandung juga dapat memengaruhi perkembangan sosial seorang anak nantinya (Volling & Belsky, 1992). Dunn, Furman, dan Lanthier juga menyatakan bahwa kemampuan sosial anak dalam interaksi dengan saudara kandung memengaruhi bagaimana mereka berperilaku dan seberapa sukses mereka ketika berinteraksi dengan temanteman sebaya (Vasta, Miller, dan Ellis; 2004). Dalam penelitian ini, variabel keterlibatan ayah diukur dengan alat ukur Paternal Index of Child Care Inventory (PICCI) (Nangle, Kelley, Fals-Stewart, dan Levant; 2003), yang merupakan inventori yang diisi oleh ayah. Sementara perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh peneliti dan merupakan inventori yang diisi oleh orang tua. Anak sulung usia prasekolah yang memiliki adik bayi dipilih karena biasanya orangtua memutuskan untuk memiliki anak kedua saat anak sulung mereka berada pada usia prasekolah (Martin dan Colbert, 1997). Selain itu, perilaku prososial juga dilaporkan mulai berkembang ketika anak berada pada usia prasekolah (Davies, 1992). Pada anak usia prasekolah, lingkungan keluarga juga masih merupakan lingkungan yang utama bagi anak sehingga diasumsikan perilaku prososial juga akan lebih sering dipraktekkan kepada anggota keluarga terdekat, misalnya adik (Sugianti, 2004). Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental karena
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
7
peneliti tidak memberikan manipulasi pada subjek. Dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional karena ingin melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-random sampling dengan accidental sampling.
1.2 Permasalahan Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah, “Apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi?”
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan sebelumnya, tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu psikologi, khususnya tentang keterlibatan ayah pada anak usia prasekolah. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi tambahan mengenai perilaku prososial pada anak, khususnya dalam konteks hubungan antara saudara kandung.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para ahli yang memperhatikan peran orang tua, khususnya peran ayah dalam pengasuhan anak. Selain itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi para ayah untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak, terlebih lagi jika hasil penelitian memang menunjukkan adanya hubungan positif antara keterlibatan ayah dan perkembangan anak, khususnya perilaku prososial anak.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
8
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab 1 Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik teoritis maupun praktis, serta sistematika penulisan yang digunakan. Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab ini berisi penjelasan konsep-konsep yang relevan dengan penelitian. Konsep yang dijelaskan ialah konsep mengenai keterlibatan ayah, perilaku prososial, anak usia prasekolah, dan dinamika hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Bab 3 Metode Penelitian Bab ini berisi masalah penelitian, hipotesis, dan variabel penelitian. Selain itu dijelaskan pula mengenai tipe/ desain yang digunakan dalam penelitian ini, partisipan penelitian, prosedur pembuatan alat ukur, prosedur penelitian, serta prosedur pengolahan data. Bab 4 Hasil dan Analisis Bab ini berisi gambaran umum partisipan penelitian, gambaran skor variabel keterlibatan ayah dan variabel perilaku prososial, hasil analisis utama, dan hasil analisis tambahan Bab 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab terakhir ini berisi kesimpulan penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian, dan saran metodologis maupun praktis untuk penelitian berikutnya.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab ini akan dijelaskan berbagai konsep yang relevan dengan penelitian ini. Konsep-konsep tersebut meliputi keterlibatan ayah, perilaku prososial, dan juga masa perkembangan early childhood.
2.1 Keterlibatan Ayah 2.1.1. Definisi Keterlibatan Ayah Para peneliti mengenai keterlibatan ayah memiliki sedikit kesulitan untuk mendefinisikan konsep keterlibatan ayah (Cabrera, Tamis-LeMonda, Lamb, dan Boller, 1999). Bahkan, kurangnya definisi yang jelas dan konsisten dari konsep keterlibatan ayah ini menjadi salah satu hambatan terbesar dalam penelitian mengenai peran ayah (Marsiglio dan Pleck dalam Mc-Bride dan Rane, 1998). Keterlibatan ayah seringkali digambarkan dengan jumlah waktu yang ayah habiskan bersama dengan anaknya atau interaksi langsung antara ayah dan anak (Hawkins, Bradford, Palkovitz, Christiansen, Day, dan Call; 2002). Hal itu terjadi karena waktu seringkali dianggap orangtua sebagai hal yang paling penting dalam keterlibatan dengan anak (Daly & Hochschild dalam Hawkins et al, 2002). Akan tetapi, waktu bukan satu-satunya dimensi yang penting dalam keterlibatan ayah (Palkovitz dalam Hawkins et al, 2002). Menurut Cabrera et al (1999), keterlibatan ayah adalah sebuah konsep multidimensional yang terus berkembang, baik dalam level ilmu pengetahuan maupun level kesadaran publik. Sementara, Lamb et al (dalam Hawkins et al, 2002)
mendefinisikan
keterlibatan
ayah
sebagai
sebuah
konstruk
multidimensional yang mencakup komponen afektif, kognitif, dan etis, serta komponen tingkah laku yang dapat diobservasi, termasuk pula di dalamnya bentuk keterlibatan secara tidak langsung, seperti mendukung peran ibu dalam pengasuhan dan menyediakan penghidupan bagi keluarga. Pleck menyatakan keterlibatan ayah adalah perilaku ikut serta secara positif yang dilakukan ayah dalam pengasuhan anaknya (dalam Hodgins, 2007).
9
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
10
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan anak yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku, afeksi, dan kognisi.
2.1.2. Dimensi Keterlibatan Ayah Menurut Lamb, Pleck, Charnov, dan Levine (dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999) keterlibatan ayah memiliki tiga komponen, yaitu: 1. Paternal engagement, mencakup kontak dan interaksi ayah secara langsung dengan anak dalam konteks pengasuhan, bermain, atau rekreasi. Komponen ini merepresentasikan waktu yang dihabiskan dalam interaksi langsung ayah dan
anak
dan
tidak
mencakup
waktu
yang
dihabiskan
dalam
proximity/kedekatan ayah dan anak, misalnya ayah duduk di suatu ruang sementara anak bermain di ruang yang lain (Bronte-Tinkew, Moore, Halle; 2002). 2. Accessibility atau availability, mencakup kehadiran dan keterjangkauan ayah bagi anak, terlepas dari ada atau tidaknya interaksi langsung antara ayah dan anak. Dalam komponen ini, ayah mungkin tidak berinteraksi secara langsung dengan anak namun masih hadir bagi anak, baik secara fisik maupun psikologis (Lamb et al dalam Lamb, 1997). Contoh dari acccessibility adalah ketika ayah membaca surat kabar di satu ruang sementara anak bermain di ruang yang sama. 3. Responsibility, mencakup pemahaman dan usaha ayah dalam memenuhi kebutuhan anaknya, mencakup faktor ekonomi maupun pengaturan dan perencanaan kehidupan anak. Komponen ini dapat menunjukkan tanggung jawab ayah terhadap anaknya, baik untuk kesejahteraan ataupun perawatan anaknya, misalnya membiayai hidup anak dan mengetahui jadwal anak ke dokter. Di komponen ini pula, ayah tidak harus berinteraksi secara langsung dengan anak; pikiran, perhatian, maupun perencanaan yang dilakukan untuk anak juga bisa dimasukkan ke dalam komponen ini (Lamb et al dalam Lamb, 1997).
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
11
Dari ketiga komponen ini, tidak dapat diidentifikasi secara jelas komponen mana yang paling berpengaruh terhadap perkembangan anak (TamisLeMonda dan Cabrera, 1999). Akan tetapi, beberapa ahli berpendapat bahwa komponen responsibility bisa jadi merupakan komponen yang paling penting dalam keterlibatan ayah (Working Group on Conceptualization Male Parenting dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999). Penelitian lain pada ayah keluarga bercerai menunjukkan bahwa dukungan ayah dalam faktor ekonomi merupakan hal terpenting dalam keterlibatan ayah (Argys et al dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999).
2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keterlibatan Ayah Banyak ahli menyatakan bahwa keterlibatan ayah adalah konsep yang multifaceted dan juga multidetermined sehingga konsep ini cenderung lebih sensitif terhadap faktor-faktor kontekstual. Sebuah model dari Doherty et al (dalam National Institute of Child Health and Human Development Early Child Care Research Network (NICHD-ECCRN), 2000) menjelaskan bahwa terdapat lima faktor utama yang dapat memengaruhi keterlibatan ayah, yaitu: 1. Faktor yang berhubungan dengan ayah Berdasarkan model dari Doherty et al, Parke, dan Belsky (dalam NICHDECCRN, 2000) karakter individual ayah memiliki hubungan dengan keterlibatan ayah. Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan ayah adalah pekerjaan, kepribadian, pandangan terhadap pengasuhan anak, dan pandangan terhadap pekerjaan ibu (NICHD-ECCRN, 2000). Menurut Coltrane (dalam NICHD-ECCRN, 2000), ayah yang memiliki jam kerja yang lebih lama akan lebih tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Selain itu, ayah yang memiliki posisi dalam pekerjaan yang lebih prestisius serta lebih menyita waktu dan emosi dilaporkan akan memiliki keterlibatan yang lebih rendah terhadap anak, terutama pada level engagement dan juga accessibility (Grossman et al dan Hood dalam NICHD-ECCRN, 2000). Faktor lain yang juga berhubungan dengan ayah dan memengaruhi keterlibatan ayah adalah kepribadian ayah. Dari segi kepribadian, dilaporkan bahwa ayah yang memiliki self esteem yang lebih tinggi (Volling dan Belsky
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
12
dalam NICHD-ECCRN, 2000), adaptasi hidup yang lebih baik (Grossman, Pollack, dan Golding dalam NIHCD-ECCRN, 2000) serta tingkat depresi (Grossman et al dalam NICHD-ECCRN, 2000) dan hostility yang lebih rendah (Cox, Paley, Payne dan Burchinal dalam NICHD-ECCRN, 2000) akan lebih supportif dan hangat dalam hubungan dengan anaknya. Pandangan ayah mengenai bagaimana seharusnya peran ayah dalam pengasuhan anak juga memiliki efek terhadap keterlibatan ayah (Bronte-Tinkew dan Moore, 2004). Ayah yang memiliki belief tentang pengasuhan yang berfokus terhadap anak akan cenderung lebih terlibat dalam aktivitas pengasuhan anak (Cowan dan Cowan dalam NICHD-ECCRN, 2000). Selain itu, dilaporkan pula bahwa ayah yang lebih menghargai peran mereka sebagai ayah dan merasa memiliki kemampuan yang memadai dalam pengasuhan anak akan lebih terlibat dalam kehidupan anak mereka (Parke, Sawin dalam Bronte-Tinkew dan Moore, 2004). Hal terakhir yang juga dapat memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah pandangan ayah terhadap pekerjaan ibu (NICHDECCRN, 2000). Menurut Peterson dan Gerson (dalam NICHD-ECCRN, 2000), ayah yang memiliki pandangan lebih positif terhadap pekerjaan ibu dilaporkan akan lebih terlibat dalam pengasuhan anak. Melengkapi faktor-faktor di atas, Wu (2005) menyatakan beberapa faktor lain yang berhubungan dengan ayah dan dapat memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan, yaitu pendidikan dan penghasilan serta usia ayah. Pendidikan ayah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam keterlibatan ayah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pendidikan ayah yang rendah merupakan hambatan yang cukup besar dalam keterlibatan ayah dan anak (Saleh et al dalam Wu, 2005). Sementara kemampuan ayah dalam menyediakan dukungan finansial merupakan salah satu indikator keterlibatan ayah dalam kehidupan anak (Wu, 2005). Pendidikan dan usia ayah juga memiliki keterkaitan satu sama lain, ayah dengan level pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki usia yang lebih tua (Wu, 2005). Sementara usia ayah memiliki hubungan yang positif dengan keterlibatan ayah terutama dalam tanggung jawab dalam pengasuhan anak (Wu, 2005). Hasil penelitian dari Heath (dalam Wu, 2005) menunjukkan bahwa ayah yang memiliki
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
13
anak setelah usia 35 tahun akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak, memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap perilaku anak, dan lebih terlibat dalam pengasuhan anak, dibandingkan ayah yang lebih muda.
2. Faktor yang Berhubungan dengan Ibu Karakteristik ibu merupakan salah satu hal yang dapat memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak (Doherty et al, Parke, Pleck dalam NICHD-ECCRN, 2000). Faktor yang berasal dari ibu dan turut memengaruhi keterlibatan ayah di antaranya adalah pekerjaan ibu, usia ibu, dan pandangan ibu terhadap ayah. Menurut Pleck (1997), keterlibatan ayah akan lebih tinggi jika ibu adalah ibu bekerja. Lebih lanjut lagi, semakin tinggi jam kerja ibu, akan semakin tinggi pula keterlibatan ayah (Baruch dan Barnett; Goldscheider dan Waite; dalam NICHD-ECCRN, 2000). Sementara dari segi usia ibu, ayah dilaporkan akan lebih terlibat dalam pengasuhan anak jika keluarga tersebut memiliki ibu dan ayah dengan usia lebih muda (NICHD-ECCRN, 2000). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu cenderung menghambat keterlibatan ayah dalam aktivitas pengasuhan anak jika ibu memiliki belief bahwa ayah tidak kompeten dalam melakukan tugas-tugas pengasuhan (Pleck dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999). Sebaliknya, pandangan ibu terhadap pentingnya keterlibatan ayah dan juga kepuasan ibu terhadap keterlibatan ayah dapat memprediksi frekuensi keterlibatan ayah (DeLuccie dalam TamisLeMonda dan Cabrera, 1999). Peran penting ibu sebagai gatekeeper, khususnya dalam keluarga bercerai, juga dapat menjadi penghambat keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak (Allen dan Doherty; Wattenberg dalam Tamis-LeMonda dan Cabrera, 1999).
3. Faktor yang Berhubungan dengan Anak Beberapa faktor dari anak yang dapat memengaruhi keterlibatan ayah adalah urutan kelahiran, jenis kelamin, usia, dan temperamen anak (NICHDECCRN, 2000). Menurut Vandell (dalam NICHD-ECCRN, 2000), dalam keluarga dengan anak lebih dari satu, ayah akan cenderung untuk lebih banyak
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
14
terlibat dalam pengasuhan anak yang lebih tua sementara ibu mengasuh anak yang lebih muda, terutama yang masih berusia bayi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayah akan lebih terlibat dengan anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan (Harris dan Morgan dalam Pleck, 1997). Lebih lanjut, menurut Radin (dalam Pleck, 1997) perkembangan keterlibatan ayah juga akan lebih stabil sepanjang kehidupan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Hal itu bisa jadi dikarenakan adanya kesamaan identitas gender antara ayah dan anak laki-laki. Dari segi usia, menurut Pleck (1997), keterlibatan ayah akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia anak. Dari segi temperamen, menurut Grych dan Clark (dalam NICHDECCRN, 2000), interaksi ayah dengan anak bertemperamen easy akan lebih positif dibandingkan dengan anak bertemperamen difficult.
4. Faktor yang Berhubungan dengan Pengasuhan Bersama Salah satu hal yang termasuk di dalam faktor ini adalah hubungan pernikahan. Menurut Feldman, Nash, dan Aschenbrenner (dalam NICHDECCRN, 2000), persepsi ayah terhadap hubungan pernikahannya akan secara konsisten memprediksi keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Selain itu, ketika hubungan pernikahan memburuk, ayah dilaporkan akan menjadi lebih negatif dan kurang sensitif dalam pengasuhan anak (Belsky, Youngblade, Rovine, dan Volling dalam NICHD-ECCRN, 2000). Hasil penelitian serupa dari Cox et al (dalam NICHD-ECCRN, 2000) menyatakan bahwa sensitivitas ayah dan juga keterlibatan ayah akan menjadi lebih rendah ketika konflik dalam pernikahan meningkat dan persepsi ayah terhadap pernikahannya menjadi lebih negatif.
5. Faktor yang Berhubungan dengan Kontekstual dan Sosiodemografis Beberapa
faktor
kontekstual
dan
sosiodemografis
yang
dapat
memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah penghasilan keluarga dan etnis (NICHD-ECCRN, 2000). Penghasilan keluarga yang dimaksud adalah proporsi penghasilan keluarga yang didapat dari ayah maupun dari ibu. Berdasarkan hasil penelitian, dilaporkan bahwa jika proporsi penghasilan ayah dalam penghasilan keluarga lebih kecil, ayah akan lebih banyak menghabiskan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
15
waktu dalam aktivitas pengasuhan anak (NICHD-ECCRN, 2000). Dari segi etnis, beberapa penelitian di negara Barat khususnya menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak bervariasi dalam berbagai kelompok ras maupun etnis tertentu (Bronte-Tinkew dan Moore, 2004).
Dalam sebuah penelitian,
Marsiglio (dalam Bronte-Tinkew dan Moore, 2004) menemukan bahwa ayah dari ras Afrika-Amerika lebih jarang membacakan buku untuk anak mereka namun lebih sering bermain dengan anak dibandingkan dengan ayah dari ras EropaAmerika. Selain itu, hasil penelitian lain dari King (dalam Bronte-Tinkew dan Moore, 2004) menyatakan bahwa ayah dari ras Afrika-Amerika lebih sering mengunjungi anak mereka dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pengasuhan anak, dibandingkan dengan ayah dari ras EropaAmerika atau ras Hispanik.
2.2 Perilaku Prososial 2.2.1 Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja dan dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain (Eisenberg et al, 2006). Sementara menurut Wispe dan Staub (dalam Deaux, Dane, Wrightsman, dan Sigelman; 1993), perilaku prososial adalah segala perilaku yang menguntungkan orang lain ataupun memiliki konsekuensi positif. Definisi perilaku prososial yang menitikberatkan pada konsekuensi positif mengundang beberapa kritik dari para ahli. Menurut para ahli, jika definisi perilaku prososial hanya menitikberatkan pada konsekuensi positif, perilaku prososial menjadi tidak ada bedanya dengan perilaku penyuapan (Deaux et al, 1993). Keduanya sama-sama memberikan konsekuensi positif, hanya saja pada penyuapan seseorang mengharapkan imbalan dari pemberian atau bantuan yang diberikannya. Para ahli kemudian mengusulkan sebaiknya perilaku prososial tidak hanya memerhatikan konsekuensi positif yang dihasilkan, melainkan pula motif dari perilaku tersebut. Menurut Boxer, Tisak, dan Goldstein, perilaku prososial bisa muncul karena berbagai motif, baik yang berhubungan dengan kepentingan diri sendiri (egoistic) ataupun murni karena kepedulian terhadap orang lain (dalam Eisenberg et al, 2006). Perilaku yang termasuk ke dalam prososial dan murni didasari oleh
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
16
kepedulian terhadap orang lain dikenal dengan istilah altruisme (Eisenberg et al, 2006). Definisi perilaku prososial yang lebih spesifik dikemukakan oleh Baron dan Bryne (2005), perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, bahkan mungkin melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dari berbagai definisi di atas, definisi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah definisi dari Eisenberg et al (2006) yang menyebutkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja dan dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain. Definisi dari Eisenberg dkk ini dipilih karena merupakan definisi perilaku prososial yang paling umum digunakan, selain itu definisi ini juga dianggap paling sesuai dengan konteks penelitian yang akan dilakukan.
2.2.2 Bentuk Perilaku Prososial Perilaku prososial pada anak usia prasekolah memiliki tiga bentuk (Eisenberg, Guthrie, Murphy, Shepard, Cumberland, dan Carlo; 1999), yaitu: 1. Berbagi, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak memberikan barang kepunyaannya kepada orang lain atau memperbolehkan orang lain menggunakan barang kepunyaannya secara sementara (Eisenberg et al, 1999). Adapun menurut Abu Taleb (dalam YooKyung, 2003), perilaku berbagi adalah perilaku ketika seorang anak menawarkan barang kepunyaannya untuk digunakan oleh orang lain tanpa merasa terganggu. Sementara menurut Barrett dan Yarrow (1977), perilaku berbagi adalah perilaku ketika seorang anak memberikan benda yang sedang digunakan atau memberi kesempatan bagi orang lain untuk menggunakan benda yang sedang digunakan. 2. Menolong, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha untuk meringankan kebutuhan non-emosi orang lain (Eisenberg et al, 1999). Menurut Abu Taleb (dalam YooKyung, 2003), perilaku menolong adalah aksi verbal dan fisik seseorang untuk memberi bantuan kepada orang lain dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan atau berperilaku dengan sesuai. Sementara menurut Barrett dan Yarrow (1977), perilaku menolong adalah
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
17
perilaku memberikan atau menawarkan bantuan secara fisik. 3. Memberi rasa nyaman, yaitu perilaku yang dilakukan ketika anak berusaha meringankan kebutuhan emosi orang lain (Eisenberg et al, 1999). Menurut Barrett dan Yarrow (1977), memberi rasa nyaman adalah mengekspresikan simpati, baik secara fisik maupun verbal. Sementara menurut YooKyung (2003), perilaku memberi rasa nyaman biasanya dilakukan seseorang ketika orang lain sedang mengalami situasi distress seperti menangis atau kesakitan.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Prososial Dalam upaya memahami perilaku prososial lebih lanjut, berbagai penelitian telah dilakukan oleh para ahli, khususnya untuk memahami hal-hal yang dapat memengaruhi perilaku prososial (Clark; Eisenberg; dalam Eisenberg et al, 2006). Secara umum, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial dapat dibagi ke dalam beberapa faktor (Eisenberg et al, 2006), yaitu: 1. Faktor Genetis Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zahn-Waxler dkk (dalam Eisenberg et al, 2006) terhadap anak kembar menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari faktor genetis terhadap munculnya perilaku prososial pada anak hingga anak berusia 20 bulan. Setelah anak tumbuh lebih dewasa, perilaku prososial lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Zahn-Waxler et al dalam Eisenberg et al, 2006). Sementara penelitian lain yang dilakukan oleh Deater-Deckard dan Dunn et al (dalam Eisenberg et al, 2006) pada keluarga tiri menunjukkan bahwa munculnya perilaku prososial pada anak usia prasekolah dan usia sekolah di keluarga tiri lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
2. Faktor Budaya Berbagai penelitian menunjukkan budaya dapat memiliki pengaruh terhadap kemunculan perilaku prososial pada individu-individu di dalamnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku prososial akan lebih sering muncul pada daerah yang lebih menghargai nilai prososial dan komunal seperti daerah Aitutaki (Graves dan Graves dalam Eisenberg et al, 2006), Jawa (Mulder dan Williams dalam Eisenberg et al, 2006) dan suku Papago di Arizona (Rohner,
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
18
Eisenberg dan Mussen dalam Eisenberg et al, 2006). Sementara pada daerah lain seperti Ik (Uganda) dan Alorese (pulau di Jawa bagian timur) perilaku prososial lebih jarang muncul dan sebaliknya perilaku kekerasan yang lebih sering muncul (Turnbull; Rohner dalam Eisenberg et al, 2006). Hal itu dapat terjadi kemungkinan karena adanya perbedaan nilai yang dipersepsi tiap budaya mengenai perilaku prososial, yang akhirnya memengaruhi proses sosialisasi awal dari perilaku prososial di budaya tersebut.
3. Faktor Keluarga Banyak faktor dalam keluarga yang dilaporkan dapat memengaruhi kemunculan perilaku prososial pada seseorang. Beberapa di antaranya adalah struktur keluarga, ukuran keluarga, urutan kelahiran, dan pengasuhan orangtua (Eisenberg et al, 2006). Beberapa penelitian mengenai pengaruh struktur keluarga terhadap perilaku prososial anak menunjukkan hasil yang beragam. Rehberg dan Richman (dalam Eisenberg et al, 2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak usia prasekolah dari keluarga tanpa ayah akan menunjukkan perilaku memberikan rasa nyaman kepada teman sebaya yang lebih tinggi daripada anak dari keluarga utuh. Sementara penelitian lain tidak menunjukkan adanya pengaruh dari ada atau tidaknya ayah dalam keluarga terhadap prosocial responding anak (Call, Mortimer, Shanahan; Dunn et al, dalam Eisenberg et al, 2006). Penelitian lain dari Eisenberg dkk (2006) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerahdaerah dengan budaya perilaku prososial yang menonjol, seperti Kenya, Meksiko, dan Filipina memiliki kecenderungan untuk hidup dengan extended family, yaitu keluarga selain keluarga inti, misalnya kakek dan nenek. Hal itu mungkin saja terjadi karena salah satu agen sosialisasi yang penting bagi perkembangan perilaku prososial pada anak adalah extended family (Belete, 2009). Penelitian mengenai pengaruh ukuran keluarga terhadap perilaku prososial anak juga menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian mengenai ukuran keluarga dan perilaku prososial dari Zaff et al (dalam Eisenberg et al, 2006) menunjukkan bahwa anak dari ukuran keluarga yang lebih besar akan lebih sering menjadi sukarelawan. Sementara hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak dengan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
19
ukuran keluarga yang lebih besar menampilkan perilaku menolong dalam situasi darurat yang lebih rendah (Staub; Weissbord dalam Eisenberg et al, 2006) dan lebih sering menampilkan perilaku memberikan rasa nyaman kepada teman (Rehberg dan Richman dalam Eisenberg et al, 2006). Staub juga berspekulasi bahwa anak dengan ukuran keluarga yang lebih kecil cenderung mengandalkan diri sendiri sehingga memiliki inisiatif yang juga tinggi untuk secara spontan menolong orang lain (dalam Eisenberg et al, 2006). Namun sebaliknya, anak dengan ukuran keluarga yang lebih besar akan cenderung lebih sering menampilkan perilaku menolong dan berbagi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya tuntutan terhadap anak untuk lebih terlibat dalam tugas rumah tangga. Berbagai hasil penelitian lain menunjukkan bahwa urutan kelahiran juga memiliki pengaruh dalam munculnya perilaku sosial. Menurut Sharma (dalam Eisenberg et al, 2006), anak pertama, terutama anak perempuan, akan cenderung menunjukkan perilaku memberi kepada teman yang lebih tinggi. Perilaku prososial anak pertama juga ditemukan akan lebih sering muncul dibandingkan adik-adiknya pada hubungan saudara kandung (Bryant & Crockenberg; Dunn & Munn; Furman & Buhrmester; Stoneman, Brody, & MacKinnon; Whiting & Whiting; dalam Eisenberg et al, 2006). Menurut de Guzman, Edwards, dan Carlo (dalam Eisenberg et al, 2006), hal itu bisa jadi karena sebagai anak tertua, seorang anak memiliki tanggung jawab dalam mengasuh adik-adik yang lain sehingga menyediakan kesempatan yang lebih besar bagi anak tersebut untuk melakukan perilaku prososial. Hasil-hasil penelitian tentang pengasuhan orangtua juga banyak ditemukan memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial anak. Anak akan memunculkan perilaku menolong yang lebih tinggi jika ia menghabiskan lebih banyak waktu dan melakukan banyak aktivitas bersama orangtua (Eberly dan Montemayor dalam Eisenberg et al, 2006) serta ketika ayah lebih terlibat dalam pengasuhan anak (Bernadett-Shapiro, Ehrensaft, dan Shapiro; dalam Eisenberg et al, 2006). Ayah yang lebih terlibat dalam pengasuhan anak akan membuat hubungan antara ayah dan anak menjadi lebih dekat dan lebih kaya (Gronseth; Lamb et al; Owen et al; Snarey; dalam Allen dan Daly, 2007) serta lebih hangat (Eisenberg et al,
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
20
2006). Menurut Further, Clark, dan Ladd (dalam Eisenberg et al, 2006), keterhubungan antara orang tua dan anak; yang mencakup engagement yang positif antara orangtua dan anak, kehangatan, intimasi, dan emosi bahagia; memiliki hubungan positif dengan kecenderungan prososial anak usia TK. Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa reaksi yang cepat dari ibu terhadap kebutuhan anaknya yang berusia 9 bulan akan memprediksi kemunculan empati dan prosocial responsiveness ketika anak berusia 22 bulan (van der Mark et al dalam Eisenberg et al, 2006). Penelitian dari Waters et al (dalam Eisenberg et al, 2006) menunjukkan bahwa kehangatan serta secure attachment yang terjalin antara orangtua dan anak akan membuat anak memiliki orientasi yang positif dan lebih responsif terhadap orangtua. Kecenderungan anak untuk berorientasi positif dan lebih responsif ini akan membuat usaha orangtua dalam mendorong perilaku prososial pada anak menjadi lebih efektif dan anak akan cenderung memunculkan perilaku prososial tersebut. Selain itu, menurut Staub (dalam Eisenberg et al, 2006) kualitas attachment juga penting untuk mengembangkan penilaian positif dan sense of connection terhadap orang lain. Penilaian positif dan sense of connection merupakan karakteristik yang berhubungan dengan kepedulian terhadap orang lain (Oliner & Oliner, dalam Eisenberg et al, 2006). Adanya hubungan yang dekat antara orang tua dan anak menyebabkan orangtua dapat menjadi model yang efektif bagi anak dalam perkembangan perilaku prososialnya serta membuat anak cenderung menginternalisasi nilai-nilai dan perilaku prososial yang dilakukan oleh orangtua (Schroeder, 1995).
4. Faktor Kemampuan Kognitif dan Sosiokognitif Beberapa ahli menyatakan bahwa kemampuan kognitif dan sosiokognitif anak dapat memengaruhi kemunculan perilaku prososial anak. Beberapa di antara kemampuan kognitif dan sosiokognitif ini adalah perspective-taking skill dan penalaran moral perilaku prososial (Batson, Eisenberg, dan Hoffman dalam Eisenberg et al, 2006). Perspective-taking skills adalah kemampuan seseorang untuk berpikir dari sudut pandang orang lain dan juga memahami perasaan serta pemikiran orang lain
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
21
(Santrock, 2007). Perspective-taking skills dilaporkan mulai berkembang secara bertahap sejak usia tiga tahun, yaitu ketika anak masih sulit membedakan perspektif diri dan orang lain, hingga usia 12-15 tahun, ketika anak sudah mampu untuk membedakan dua hal tersebut (Santrock, 2007). Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa perspective-taking skills yang baik dapat membuat anak lebih pengertian dan simpati terhadap kebutuhan atau distres orang lain (Batson et al; Eisenberg et al; Feshbach; Hoffman dalam Eisenberg et al, 2006). Hoffman (dalam Eisenberg et al, 2006) juga menyatakan bahwa perspectivetaking skills pada anak penting dalam mengembangkan kemampuan anak untuk membedakan distres dirinya dan orang lain serta untuk memahami reaksi emosional orang lain. Kemampuan itulah yang akhirnya dapat meningkatkan perilaku prososial anak. Penalaran moral perilaku prososial adalah proses berpikir yang dilakukan seseorang dengan mempertimbangkan keuntungan atau kerugian yang akan didapat, sebelum akhirnya membuat keputusan dalam perilaku menolong, berbagi, atau memberikan rasa nyaman pada orang lain (Shaffer, 1999). Menurut Eisenberg (dalam Shaffer, 1999), terdapat lima tingkatan dari penalaran moral prososial yang didasarkan pada usia anak, yaitu orientasi kesenangan, orientasi kebutuhan, orientasi pengakuan, orientasi empatik, dan orientasi nilai internal. Menurut Eisenberg dan Ma (dalam Eisenberg et al, 2006), anak yang berada pada tingkatan penalaran moral prososial yang lebih rendah akan cenderung melakukan diskriminasi dalam membantu seseorang. Pemberian bantuan dilakukan berdasarkan seberapa dekat ia dengan orang itu. Anak dengan tingkat penalaran moral prososial yang lebih tinggi juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam memunculkan perilaku prososial (Carlo & Randall; Miller, Eisenberg, Fabes, & Shell; Schenk & Grusec; dalam Eisenberg et al, 2006). Menurut Carlo, et al (dalam Eisenberg et al, 2006), anak dengan tingkat penalaran yang lebih tinggi akan cenderung menampilkan perilaku altruistik dan menolong dalam situasi anonymous, sementara anak dengan tingkat penalaran yang lebih rendah akan cenderung menolong dalam situasi publik. Pada anak usia prasekolah, penalaran moral ditemukan memiliki hubungan lebih signifikan pada perilaku berbagi yang spontan daripada perilaku menolong yang spontan dan juga pada
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
22
perilaku prososial yang dilakukan atas permintaan teman sebaya (Eisenberg et al dalam Eisenberg et al, 2006).
5. Faktor Kepribadian dan Disposisi Beberapa aspek kepribadian, terutama yang berhubungan dengan temperamen, memiliki hubungan dengan perilaku prososial (Eisenberg et al, 2006). Faktor-faktor yang termasuk ke dalamnya adalah keramahan dan self esteem (Eisenberg et al, 2006). Pada anak usia prasekolah, anak yang lebih ramah dan tidak malu-malu serta memiliki kecemasan sosial dan social withdrawal yang rendah akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk menolong orang lain (Diener & Kim et al dalam Eisenberg et al, 2006). Keramahan juga ditemukan memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan kemunculan perilaku prososial yang sifatnya lebih spontan (Eisenberg et al dalam Eisenberg et al, 2006) dan ditujukan kepada orang yang tidak dikenal dalam setting yang juga tidak dikenal dibandingkan dengan perilaku prososial kepada anggota keluarga di rumah (Stanhope et al; Young et al; dalam Eisenberg et al, 2006). Pada penelitian lainnya, para peneliti menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara self esteem anak dan kecenderungan prososial mereka, namun hasilnya lebih terlihat pada anak dengan usia yang lebih tua (Eisenberg et al, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan terhadap anak usia prasekolah dan usia sekolah, tidak ditemukan hubungan antara self esteem dan perilaku prososial (Cauley & Tyler; Rehberg & Richman; dalam Eisenberg et al, 2006). Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, penelitian pada anak kelas 4 Sekolah Dasar hingga SMA justru menemukan bahwa anak yang sering memunculkan perilaku prososial memiliki konsep diri yang positif (Laible & Carlo; Larrieu & Mussen; Rigby & Slee; Jacob et al; Huebner & Mancini; Karafantis & Levy; dalam Eisenberg et al, 2006), memiliki self efficacy yang tinggi (Bandura et al; Lichter et al; Sugiyama et al; dalam Eisenberg et al; 2006), dan cenderung memiliki skema diri yang prososial (Froming et al; dalam Eisenberg et al, 2006). Anak yang memiliki konsep diri yang positif akan cenderung merasa kondisi dirinya sudah baik dan kebutuhan diri mereka sudah
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
23
terpenuhi sehingga ia bisa lebih fokus terhadap kebutuhan orang lain dan merasa memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk mendampingi orang lain (Yates dan Youniss dalam Eisenberg et al, 2006).
2.3 Masa Early Childhood 2.3.1. Definisi Masa Early Childhood Menurut Papalia dkk (2007); masa early childhood berkisar antara usia tiga sampai enam tahun. Masa early childhood sering juga disebut dengan masa prasekolah, yaitu masa ketika anak mulai mengembangkan kemampuan yang berkaitan dengan persiapan masuk sekolah dan mulai menghabiskan banyak waktu untuk bermain dengan teman sebaya (Papalia et al, 2007). Anak pada masa perkembangan ini lebih rajin menjelajah hal-hal di sekitarnya, namun penjelajahan yang dilakukan diimbangi pula dengan pengembangan kemampuankemampuan dirinya (Papalia et al, 2007). Perkembangan dan perubahan pada masa early childhood juga masih terus terjadi meski tidak secepat perkembangan yang terjadi di tahap sebelumnya (Papalia et al, 2007).
2.3.2.
Perkembangan Fisik Masa Early Childhood Dari segi perkembangan motorik, anak usia early childhood memiliki
perkembangan yang cukup pesat dalam kemampuan motorik kasar yang melibatkan otot-otot besar, seperti berlari, melempar, memanjat, dan melompat. Hal itu terjadi karena pada usia ini otot dan tulang anak tumbuh lebih kuat disertai dengan kapasitas paru-paru yang lebih besar (Papalia et al, 2007). Perkembangan juga terjadi dalam kemampuan motorik halus anak yang melibatkan otot-otot kecil dan kemampuan koordinasi mata-tangan. Kemampuan motorik halus ini di antaranya adalah mengancingkan baju, menggambar dan mengikat tali sepatu. Perkembangan pada kemampuan motorik halus ini memungkinkan anak untuk lebih bertanggung jawab dalam hal perawatan dirinya sendiri (Papalia et al, 2007). Dengan kemampuan motorik halus dan kasar yang dimiliki, seorang anak usia
prasekolah
diharapkan
dapat
melakukan
sejumlah
kegiatan
yang
berhubungan dengan perilaku prososial, khususnya perilaku prososial terhadap adik bayi. Beberapa perilaku prososial anak early childhood terhadap adik bayi
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
24
yang dikemukakan oleh Sugianti (2004) adalah mendorong kereta dorong adik, membawakan tas ibu yang berisi barang-barang adik, mengambilkan bedak dan popok untuk adik, memakaikan celana untuk adik, dan menyisiri rambut adik.
2.3.3.
Perkembangan Kognitif Masa Early Childhood Menurut Piaget (dalam Papalia et al, 2007), anak early childhood berada
pada tahap kognitif praoperasional, karena pada usia ini anak belum siap untuk ikut serta dalam operasi mental yang logis, seperti yang sudah dimiliki anak pada masa perkembangan selanjutnya. Pada tahap ini, anak lebih berkembang dalam kemampuan representasi atau penggunaan simbol. Hal itu disertai pula dengan kemampuan anak yang mulai berkembang dalam memahami konsep spasial, hubungan kausalitas, identitas, kategorisasi, dan angka (Papalia et al, 2007). Beberapa karakterisik lainnya yang khas pada tahap praoperasional ini adalah egocentrisme dan transductive reasoning (Piaget dalam Papalia et al, 2007). Egocentrisme mengacu pada kecenderungan anak untuk berfokus pada sudut pandangnya sendiri dan tidak dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain. Menurut Piaget (Papalia et al 2007), anak pada tahap ini masih berpikir bahwa seluruh dunia berpusat pada dirinya. Dalam hubungannya dengan kehadiran adik bayi, adanya karakteristik ini dapat menyebabkan anak usia early childhood memandang bahwa ibu mengabaikannya dan sudah tidak sayang lagi padanya karena perhatian ibu dinilai lebih tercurah kepada adik bayi. Pandangan tersebut dapat mendatangkan reaksi yang beragam pada anak, seperti cemas, marah, merasa posisinya tergeser oleh kehadiran adik bayi, dan lebih agresif terhadap adik. Transductive reasoning mengacu pada kemampuan penalaran anak yang cenderung untuk berpikir melompat ke kesimpulan yang tidak beralasan (Papalia et al, 2007). Dalam hubungannya dengan kelahiran adik bayi, adanya karakteristik transductive reasoning ini bisa membuat anak langsung berpikir melompat kepada kesimpulan bahwa ibu lebih sering bersama dengan adik karena dirinya nakal. Padahal, dalam kondisi sebenarnya, ibu lebih sering bersama adik karena adik memang masih butuh perhatian lebih dari orangtua. Selain perkembangan kognitif menurut Piaget, hal yang juga terus
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
25
berkembang pada tahap perkembangan early childhood adalah kemampuan bahasa. Anak usia ini mengalami peningkatan jumlah kosa kata yang tajam lewat proses fast mapping yang memungkinkan anak untuk memahami arti dari suatu kata setelah mendengarnya satu atau dua kali dalam percakapan (Papalia et al, 2007). Perkembangan bahasa lain yang dicapai anak dalam masa early childhood ini di antaranya adalah penggunaan bahasa dalam berkomunikasi (pragmatics), kemampuan berbicara untuk dipahami orang lain (social speech) dan tata bahasa (grammar). Adanya perkembangan kemampuan bahasa pada anak usia early childhood memungkinkan anak
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
lewat kata-kata kepada orang di sekitarnya, termasuk orangtua dan saudara kandung.
2.3.4. Perkembangan Psikososial Masa Early Childhood Usia tiga sampai enam tahun merupakan usia yang sangat penting dalam perkembangan psikososial seorang anak (Papalia et al, 2007). Hal itu terjadi karena pada usia inilah perkembangan self dan emosi anak berakar. Perkembangan self dan emosi yang terjadi pada usia early childhood mencakup bagaimana anak memandang dirinya (self concept), harga diri (self esteem), dan kemampuan anak untuk mengekspresikan dan meregulasi emosi diri serta memahami emosi diri dan orang lain (Papalia et al, 2007). Kemampuan anak untuk memahami emosi orang lain ini juga membuat anak usia early childhood mulai mengembangkan perilaku prososial. Perilaku prosoial ini ditunjukkan anak dengan menolong orang lain, berbagi barang kepunyaan atau makanan, dan menghibur orang lain (Papalia et al, 2007). Selain perkembangan-perkembangan di atas, anak biasanya juga sudah mengembangkan identitas gendernya pada usia early childhood (Papalia et al, 2007). Menurut Erikson (dalam Papalia et al, 2007), pada masa early childhood, anak dihadapkan pada krisis initiative versus guilt. Anak usia ini harus mengatasi konflik dalam diri, yaitu ketika anak bisa dan ingin melakukan banyak hal, namun di satu sisi, ia juga belajar bahwa tidak semua hal yang ia ingin lakukan sesuai dengan yang diperbolehkan oleh lingkungan. Apabila anak berhasil mengatasi konflik ini, ia akan meraih virtue berupa purpose, yaitu keberanian untuk meraih
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
26
tujuan tanpa terlalu dihalangi rasa bersalah atau takut akan hukuman (Erikson dalam Papalia et al, 2007). Perkembangan psikososial yang juga penting pada usia early childhood adalah hubungan dengan anak lain, baik teman sebaya maupun saudara kandung. Hubungan ini dapat menjadi indikator pencapaian kemampuan-kemampuan psikososial lainnya, seperti perilaku prososial, identitas gender dan pemahaman emosi. Interaksi yang agresif maupun bersahabat antar saudara kandung memiliki kontribusi dalam perkembangan kemampuan anak early childhood dalam memahami perasaan, kebutuhan, dan tujuan dari orang lain (Davies, 1992). Kualitas hubungan antara saudara kandung ini juga seringkali terbawa dalam hubungan anak dengan teman sebaya nantinya (Abramovitch et al dalam Papalia et al, 2007). Pada masa perkembangan sebelumnya, anak sudah mulai bermain dengan anak lainnya, namun belum sampai pada tahap berteman. Tahap pertemanan ini baru dimulai di masa early childhood (Papalia et al, 2007). Dalam pertemanan ini anak belajar untuk menyelesaikan masalah dalam hubungan, menempatkan diri dalam posisi orang lain, dan juga belajar mengenai peran gender serta nilai moral (Papalia et al, 2007).
2.4
Dinamika Hubungan Keterlibatan Ayah dan Perilaku Prososial pada Anak Sulung Usia Prasekolah Terhadap Adik Bayi Kelahiran anggota keluarga baru dalam keluarga bisa memunculkan
beragam reaksi pada anak sulung. Kelahiran tersebut dapat menjadi sumber stres yang cukup besar bagi anak pertama dan dapat membuat anak menjadi lebih agresif terhadap adik. Perilaku agresi yang muncul pada kakak terhadap adiknya dapat membuat adik berlaku agresif pula kepada kakaknya, begitu juga sebaliknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku agresi ini adalah dengan mengembangkan perilaku prososial. Perkembangan perilaku prososial dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga. Pada masa pasca kelahiran adik, secara otomatis ibu akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bayi yang baru lahir. Dalam kondisi ibu seperti ini, ayah diharapkan dapat lebih terlibat dalam pengasuhan anak sulungnya.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
27
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa keterlibatan ayah memiliki berbagai manfaat bagi perkembangan anak. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dapat membuat hubungan ayah dan anak menjadi lebih dekat dan hangat. Selain itu, ayah juga menjadi lebih responsif dalam pengasuhan anak. Perilaku ayah yang lebih responsif dalam pengasuhan anak dapat menjadi model yang efektif bagi anak. Selanjutnya, anak akan menginternalisasi nilai-nilai dan perilaku responsif dari ayah tersebut. Internalisasi perilaku responsif tersebut kemudian dapat digeneralisasi oleh anak untuk akhirnya juga lebih responsif terhadap kebutuhan orang lain, termasuk adik. Responsivitas ini dapat tampil dalam konteks perilaku prososial. Berbagai hasil penelitian dan dinamika berkembangnya perilaku prososial pada anak memunculkan asumsi bahwa keterlibatan ayah memiliki hubungan dengan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi, khususnya pada konteks pasca kelahiran adik.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Tipe dan Desain Penelitian 3.1.1 Tipe Penelitian Banyak ahli yang mengelompokkan tipe penelitian dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kumar (1999) menyatakan bahwa tipe-tipe penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan tiga perspektif, yaitu aplikasi dari penelitian, jenis informasi yang diperoleh, dan tujuan penelitian (Kumar, 1999). Ketiga penggolongan penelitian ini tidak berlaku eksklusif, satu penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan penerapannya, namun dapat pula diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian maupun jenis informasinya. Berdasarkan aplikasi dari penelitian, penelitian yang meneliti hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi termasuk ke dalam tipe applied research karena hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi. Menurut Kumar (1999), applied research adalah penelitian yang hasilnya dapat menambah informasi mengenai berbagai isu, masalah, dan fenomena sehingga nantinya dapat digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan, administrasi atau pemahaman tambahan tentang suatu fenomena. Berdasarkan jenis informasi yang diperoleh, penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian kuantitatif karena penelitian ini menggunakan variabel/data kuantitatif sebagai sumber data yang utama. Menurut Kumar (1999), penelitian yang menggunakan variabel/data kuantitatif sebagai sumber data yang utama adalah penelitian kuantitatif. Sementara berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian korelasional karena penelitian dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Menurut Kumar (1999), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan adanya hubungan antara dua atau lebih aspek.
28
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
29
3.1.2 Desain Penelitian Banyak ahli yang telah mengelompokkan desain penelitian dari perspektif yang
berbeda-beda.
Kumar
(1999)
mengelompokkan
desain
penelitian
berdasarkan tiga hal, yaitu jumlah kontak dengan populasi penelitian, waktu penelitian, dan sifat investigasi. Serupa dengan tipe penelitian, desain penelitian ini juga tidak berlaku eksklusif, satu desain penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah kontak dengan populasi penelitian, namun dapat juga diklasifikasikan berdasarkan waktu penelitian dan sifat investigasi. Berdasarkan jumlah kontak dengan populasi penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam desain penelitian cross-sectional atau disebut juga dengan oneshot studies. Hal itu karena dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan pengambilan data sebanyak satu kali (Kumar, 1999). Berdasarkan waktu penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam desain penelitian retrospective. Hal itu karena penelitian dilakukan untuk meneliti fenomena atau situasi yang telah terjadi di
masa
lampau (Kumar, 1999).
Sementara
berdasarkan sifat
investigasinya, penelitian ini termasuk ke dalam desain penelitian noneksperimental. Hal itu karena penelitian non-eksperimental tidak menggunakan manipulasi pada variabel yang diteliti dan hanya menggunakan variabel yang terberi (Shaughnessy & Zechmeister, 1994).
3.2 Masalah dan Hipotesis Penelitian 3.2.1 Masalah Penelitian Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi?
3.2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: Ho : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor total keterlibatan ayah dan skor total perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
30
Ha : terdapat hubungan yang signifikan antara skor total keterlibatan ayah dan skor total perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi.
3.3 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu keterlibatan ayah dan perilaku prososial. Berikut akan dijelaskan definisi konseptual dan operasional dari kedua variabel tersebut.
3.3.1 Keterlibatan Ayah a. Definisi Konseptual Definisi konseptual keterlibatan ayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah perilaku ikut serta ayah dalam pengasuhan anak yang dilakukan secara positif serta mencakup aspek tingkah laku, afeksi, dan kognisi. Definisi ini merupakan kesimpulan dari definisi yang dikemukakan oleh Lamb et al (dalam Hawkins et al, 2002) dan Pleck (dalam Lamb, 1997). b. Definisi Operasional Definisi operasional dari keterlibatan ayah dalam penelitian ini adalah skor yang didapatkan ayah dari alat ukur Paternal Index of Child Care Inventory (PICCI). Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan ayah semakin terlibat dalam pengasuhan, begitupun sebaliknya.
3.3.2 Perilaku Prososial a. Definisi Konseptual Definisi konseptual dari perilaku prososial yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah definisi perilaku prososial yang dikemukakan Eisenberg dkk (2006), yaitu perilaku yang dilakukan secara sengaja dan dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain. b. Definisi Operasional Definisi operasional dari perilaku prososial dalam penelitian ini adalah skor laporan ibu mengenai perilaku prososial anak yang didapatkan dari alat ukur yang dibuat oleh peneliti. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
31
perilaku prososial anak terhadap adik bayi semakin sering muncul, begitupun sebaliknya.
3.4 Partisipan Penelitian 3.4.1 Karakteristik Partisipan Partisipan dari penelitian ini adalah ibu dan ayah yang memiliki anak sulung berusia prasekolah (3-6 tahun) dan juga anak kedua yang berusia bayi (0-2 tahun). Anak sulung yang dipilih dalam penelitian ini adalah anak sulung yang berada pada usia prasekolah karena biasanya orangtua memutuskan untuk memiliki anak kedua saat anak sulung berada pada usia prasekolah (Martin dan Colbert, 1997). Selain itu, menurut Davies (1992), perilaku prososial dilaporkan mulai berkembang pada anak saat anak memasuki usia prasekolah. Pada anak usia prasekolah ini pula, lingkungan keluarga masih merupakan lingkungan yang utama bagi anak sehingga diasumsikan perilaku prososial juga akan lebih sering dipraktekkan kepada anggota keluarga terdekat, salah satunya adik (Sugianti, 2004). Ketiga hal tersebut menjadi dasar peneliti untuk membatasi karakter partisipan, yaitu ibu dan ayah dari anak usia prasekolah yang memiliki adik bayi. Ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini untuk melaporkan perilaku prososial anak terhadap adik bayi. Hal ini karena ibu lebih sering menghabiskan waktu bersama anak. Sementara itu, ayah menjadi partisipan untuk melaporkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan karena ayah dianggap lebih mengetahui mengenai keterlibatan dirinya dalam pengasuhan anak. Struktur keluarga juga dianggap memiliki pengaruh terhadap kemunculan perilaku prososial pada anak, sehingga ayah dan ibu yang dipilih sebagai partisipan dalam penelitian ini dibatasi pada ayah dan ibu dari keluarga yang utuh.
3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-random sampling. Teknik tersebut digunakan karena data mengenai populasi, yaitu anak usia prasekolah yang memiliki adik bayi, sulit didapat sehingga pengambilan sampel sulit dilakukan secara random. Menurut Kumar (1999), pengambilan sampel non-random dilakukan ketika jumlah populasi tidak
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
32
diketahui atau individu-individunya tidak dapat diidentifikasi. Secara lebih spesifik, jenis non-random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Dalam accidental sampling, pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kemudahan dalam mengakses sampel penelitian (Kumar, 1999) Kelebihan teknik pengambilan sampel dengan metode accidental sampling adalah teknik tersebut merupakan teknik yang paling mudah dalam menyeleksi partisipan dan menjamin karakteristik yang dibutuhkan dalam penelitian ada pada sampel (Kumar, 1999). Sementara itu, kelemahan dari metode accidental sampling adalah hasil penelitian tidak dapat digeneralisasi pada populasi sampel secara keseluruhan dan terdapat kemungkinan bahwa sampel tidak cukup merepresentasikan populasi penelitian secara keseluruhan (Kumar, 1999).
3.4.3 Jumlah Partisipan Menurut Guilford dan Fruchter (1978), jumlah sampel minimal dalam sebuah penelitian adalah sebanyak 30 orang. Dengan jumlah responden minimal sejumlah 30 orang, diharapkan data yang diperoleh memiliki persebaran yang merata dan dapat mencapai distribusi yang mendekati normal. Sementara menurut Kerlinger dan Lee (2000), penelitian yang semakin besar jumlah sampelnya akan semakin akurat hasil uji statistiknya jika dibandingkan dengan penelitian yang memiliki jumlah sampel kecil. Jumlah sampel yang semakin besar juga akan membuat error menjadi semakin kecil sehingga semakin dapat mewakili populasi. Berdasarkan hal tersebut, jumlah partisipan yang akan dilibatkan dalam penelitian ini ditentukan minimal berjumlah 30 orang.
3.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari laporan ibu mengenai perilaku prososial anak dan selfreport yang dilakukan ayah mengenai keterlibatannya dalam pengasuhan anak. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dipilih karena dianggap peneliti merupakan metode paling efisien untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan pada jumlah sampel yang relatif besar.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
33
Data mengenai perilaku prososial anak diambil dari laporan ibu karena ibu dianggap sebagai orang yang paling mengetahui mengenai perilaku prososial anak terhadap adik bayi. Self-report ayah mengenai keterlibatan ayah juga diambil karena ayah dianggap paling mengetahui mengenai keterlibatan dirinya dalam pengasuhan anak.
3.6 Alat Ukur Penelitian Terdapat dua alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini. Alat ukur Paternal Index of Child Care Inventory (PICCI) digunakan untuk mengukur keterlibatan ayah. Sementara alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku prososial anak dikembangkan sendiri oleh peneliti.
3.6.1 Alat Ukur Keterlibatan Ayah Alat ukur keterlibatan ayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Paternal Index of Child Care Inventory (PICCI) yang dikembangkan oleh Nangle dkk (Nangle et al, 2003). Alat ukur ini terdiri dari 39 item dan merupakan instrument self-report oleh ayah yang melaporkan seberapa terlibat ayah dalam pengasuhan anak (Nangle et al, 2003). Tiga puluh sembilan item yang ada dalam alat ukur ini mewakili tiga dimensi dari keterlibatan ayah (Nangle et al, 2003), yaitu: 1. Paternal Engagement 2. Accessibility atau Availability 3. Responsibility Secara lebih spesifik, dimensi engagement pada alat ukur PICCI ini diukur dengan menggunakan 12 item, dimensi accessibility diukur dengan menggunakan 9 item, dan dimensi responsibility diukur dengan menggunakan 18 item. Alat ukur PICCI ini telah digunakan dalam beberapa penelitian mengenai keterlibatan ayah, terutama pada penelitian yang secara spesifik mengukur dimensi engagement, accessibility, dan responsibility dari keterlibatan ayah. Dari uji reliabilitas dengan menggunakan metode alpha-cronbach yang dilakukan pada alat ukur PICCI ini didapatkan skor sebesar 0,77 untuk dimensi engagement, 0,84 untuk dimensi responsibility, dan 0,72 untuk dimensi accessibility. Ketiga skor
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
34
tersebut menunjukkan alat ukur PICCI ini reliabel karena indeks reliabilitas menunjukkan hasil lebih besar dari 0,7 (Nangle et al, 2003). Nangle dkk membuat alat ukur PICCI ini dalam bahasa Inggris. Untuk dapat digunakan dalam penelitian ini, peneliti melakukan penerjemahan alat ukur ini ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, dilakukan juga back-translation yang dilakukan oleh salah seorang lulusan program sarjana Sastra Inggris Universitas Indonesia. Setelah diterjemahkan, peneliti melakukan uji coba terhadap sampel yang ditentukan, yaitu ayah dari anak usia prasekolah. Dari data hasil uji coba, peneliti melakukan uji statistik yang dilakukan untuk menguji reliabilitas dan validitas alat ukur sebelum alat ukur digunakan dalam pengambilan data penelitian. Pada alat ukur PICCI, uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode Cronbach Alpha dan menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,849. Uji reliabilitas dengan menggunakan metode Cronbach Alpha biasanya digunakan untuk menguji konsistensi internal dan homogenitas alat ukur (Anastasi dan Urbina, 1997). Mengacu pada batasan koefisien reliabilitas dari Anastasi dan Urbina (1997), batasan koefisien reliabilitas suatu tes yang baik adalah lebih dari 0,8. Berdasarkan batasan tersebut, alat ukur PICCI ini dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang baik dan juga internal consistency yang tinggi serta homogen dalam mengukur satu faktor. Selain uji reliabilitas dilakukan pula uji validitas pada alat ukur melalui construct validity dengan teknik internal consistency. Berdasarkan uji validitas dengan SPSS didapatkan sebelas item yang kurang baik dan harus dihapus, karena item-item tersebut memiliki indeks korelasi kurang dari 0,2. Menurut Aiken (1985), item yang memiliki indeks korelasi kurang dari 0,2 tidak mampu membedakan subjek dengan karakteristik yang tinggi dan rendah. Item-item yang dihapus adalah item bernomor 5, 6, 7, 9, 10, 14, 21, 24, 29, 35, dan 38. Setelah sebelas item tersebut dihapus, dilakukan kembali uji reliabilitas dan uji validitas. Hasil dari uji reliabiltas dan validitas menunjukkan koefisien reliabilitas alat ukur meningkat menjadi 0,884 dan semua item dalam alat ukur memiliki indeks korelasi lebih dari 0,2 atau dapat dikategorikan baik. Selain itu, nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,884 juga menunjukkan bahwa 88,4% dari varians
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
35
observed score merupakan varians true score dan 11,6% merupakan varians error (terdiri dari content sampling error dan content heterogeneity error). Pada alat ukur hasil revisi ini terdapat 28 item yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu dimensi engagement, accessibility, dan responsibility. Berikut ini adalah contoh-contoh item serta penyebaran item per dimensi dalam alat ukur ini:
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur PICCI (Paternal Index of Child Care Inventory) Dimensi
Jumlah Item
Responsibility
Engagement
Accessibility
12
9
7
Contoh Item
Nomor Item
Bangun di malam hari ketika
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
anak sakit
12
Membantu anak saat
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
berpakaian
21
Mendampingi saat anak
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
bermain dengan temantemannya (misal: di taman atau area bermain)
Setiap item dalam alat ukur ini diukur dengan menggunakan 5 pilihan jawaban dengan kisaran skor 1 sampai 5. Jawaban dipilih berdasarkan siapa yang menurut ayah lebih sering melakukan suatu tugas di antara ayah dan ibu. Pilihan 1 dipilih jika ibu lebih sering melakukan suatu tugas dan pilihan 5 jika ayah yang lebih sering melakukan tugas tersebut.
3.6.2 Alat Ukur Perilaku Prososial Alat ukur mengenai perilaku prososial yang digunakan dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti. Alasan pembuatan alat ukur ini adalah untuk membuat alat ukur yang sesuai dengan konteks dan tujuan penelitian karena beberapa alat ukur yang telah ada kurang sesuai dengan konteks penelitian ini. Kebanyakan alat ukur yang telah ada mengukur perilaku prososial anak usia prasekolah dalam konteks hubungan dengan teman sebaya, sementara dalam penelitian ini yang ingin diukur adalah perilaku prososial anak usia prasekolah dalam konteks hubungan dengan adik bayi. Berikut ini adalah proses yang dilakukan dalam pembuatan alat ukur perilaku prososial ini:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
36
1. Berdasarkan teori dan definisi dari perilaku prososial yang ada, peneliti membuat indikator perilaku dan item-item dari setiap indikator perilaku tersebut sehingga didapatkanlah alat ukur perilaku prososial dengan item sejumlah 30 buah. 2. Setelah itu dilakukan expert judgement kepada dua orang dosen, yaitu Luh Surini Yulia Savitri S.Psi., M.Psi yang memberi masukan dari sudut pandang perkembangan anak serta Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati M.Si yang memberi masukan dari sudut pandang psikometri. Berdasarkan hasil expert judgement, peneliti mengganti dan menghapus beberapa item agar item-item pada alat ukur lebih sesuai dengan konteks dan usia anak serta dilakukan pula penyesuaian proporsi jumlah item antardimensi agar lebih seimbang. 3. Hasil revisi tersebut kemudian diujicobakan kepada 30 ibu yang memiliki dua orang anak berusia bayi (0-24 bulan) dan usia prasekolah (3-6 tahun). Uji coba berlangsung selama dua minggu dari tanggal 20 Februari hingga 5 Maret 2012. 4. Dari data yang didapat pada uji coba tersebut, kemudian dilakukan analisis statistik berupa pengujian reliabilitas dan validitas. a. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode Cronbach Alpha dan didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,859. Berdasarkan batasan koefisien reliabilitas dari Anastasi dan Urbina (1997), alat ukur perilaku prososial ini dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang baik karena memiliki konsisten internal yang baik dan homogen dalam mengukur satu faktor. b. Pengujian validitas dilakukan dengan mengukur constuct validity menggunakan teknik internal consistency. Berdasarkan uji validitas ini didapatkan lima item yang memiliki indeks korelasi kurang dari 0,2 atau termasuk ke dalam kategori item yang kurang baik (Aiken, 1985), yaitu item bernomor 7, 17, 18, 19, dan 23. Kelima item kemudian diputuskan untuk dihapus sehingga jumlah item menjadi 25 buah. c. Pada alat ukur hasil revisi dengan 25 item ini kemudian dilakukan kembali pengujian reliabilitas serta validitas. Dari hasil pengujian reliabilitas tersebut didapatkan koefisien reliabilitas yang meningkat menjadi 0,878.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
37
Sementara ketika dilakukan pengujian validitas dengan menggunakan teknik internal consistency ternyata masih terdapat satu item yang memiliki indeks korelasi kurang dari 0,2, yaitu item bernomor 25. Item ini diputuskan untuk dihapus juga sehingga item yang tersisa menjadi 24 buah. Pada alat ukur dengan 24 item ini dilakukan kembali pengujian reliabilitas dan validitas. d. Uji reliabilitas dari alat ukur dengan 24 item ini menunjukkan peningkatan dari sebelumnya dan menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,882. Pada uji validitas ternyata masih ditemukan dua item yang memiliki indeks korelasi kurang dari 0,2 yaitu item bernomor 16 dan 21. Kedua item ini kemudian dihapus sehingga jumlah item menjadi 22 buah. e. Pada alat ukur dengan 22 item ini dilakukan kembali pengujian reliabilitas serta validitas dengan hasil koefisien reliabilitas alat ukur sebesar 0,889 dan semua item memiliki indeks korelasi lebih dari 0,2. Berdasarkan batasan dari Anastasi dan Urbina (1997), alat ukur perilaku prososial ini dapat dikatakan memiliki internal consistency yang tinggi serta homogen dalam mengukur satu faktor. Selain itu, nilai koefisien reliabilitas 0,889 juga menunjukkan bahwa 88,9% dari varians observed score merupakan varians true score dan 11,1% merupakan varians error (terdiri dari content sampling error dan content heterogeneity error). 5. Alat ukur dengan 22 item yang sudah reliabel dan memiliki item-item yang sudah valid inilah yang kemudian digunakan dalam mengukur perilaku prososial pada penelitian ini. Dua puluh dua item pada alat ukur perilaku prososial ini mencakup tiga dimensi perilaku prososial dan sembilan indikator perilaku. Berikut ini adalah indikator dan contoh-contoh item per dimensi dalam alat ukur ini:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
38
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Alat Ukur Perilaku Prososial Bentuk
Indikator Perilaku
Contoh Item
Perilaku Berbagi
1. Memberikan barang kepunyaan / benda
Memberikan makanan miliknya
yang sedang digunakan kepada orang lain
untuk adik
2. Memperbolehkan orang lain menggunakan
Bergantian dengan adik saat
barang kepunyaan / benda yang sedang
menggunakan mainan
digunakan 3. Menawarkan barang kepunyaan / benda
Menawarkan mainan yang
yang sedang digunakan untuk digunakan
sedang dimainkan kepada adik
orang lain Menolong
1. Aksi verbal untuk memberi bantuan kepada
Memberitahu ibu saat adik
orang lain
menangis
2. Memberi bantuan secara fisik
Memberikan botol susu untuk adik
3. Menawarkan bantuan secara fisik
Menawarkan bantuan kepada ibu untuk menjaga adik
4. Menyediakan informasi yang dibutuhkan
Membacakan buku cerita atau
orang lain
menceritakan sesuatu kepada adik
Memberi Rasa
1. Mengekspresikan simpati secara fisik ketika
Mencium adik saat adik
Nyaman
orang lain mengalami distres
rewel/menangis
2. Mengekspresikan simpati secara verbal
Menghibur adik dengan
ketika orang lain mengalami distres
bernyanyi saat adik menangis
3.6.3
Data Responden Data responden yang diambil dan dianalisis dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin anak, usia anak, usia ayah, pekerjaan ayah, pendidikan terakhir ayah, jam kerja ayah, usia ibu, dan pekerjaan ibu. Data-data ini didapat dari laporan ayah yang disertakan dalam alat ukur keterlibatan ayah. Data responden yang diambil dalam penelitian ini dianggap relevan untuk menjelaskan lebih lanjut hasil penelitian yang nantinya akan didapat dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
39
3.7 Tahap Penelitian 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan persiapan penelitian. Persiapan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap. Dalam tiap tahapan, peneliti mendapat bantuan dari dosen pembimbing yang memberi masukan pada setiap proses yang dilakukan. Pertama-tama, peneliti menentukan topik penelitian dengan terlebih dahulu berdiskusi dengan dosen pembimbing. Diskusi yang dilakukan membahas apakah penelitian dengan topik keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak usia prasekolah memungkinkan untuk dilakukan atau tidak. Setelah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing untuk melanjutkan penelitian, peneliti mengumpulkan bahan-bahan dan informasi yang relevan dalam penelitian, baik dari buku, jurnal, maupun internet. Kemudian, peneliti mencari alat ukur keterlibatan ayah dan perilaku prososial yang relevan untuk digunakan dalam penelitian. Alat ukur mengenai keterlibatan ayah yang sesuai dengan penelitian terlebih dahulu didapat daripada alat ukur mengenai perilaku prososial. Sementara dalam pencarian alat ukur perilaku prososial, peneliti menemukan kesulitan dalam mendapatkan alat ukur yang sesuai dengan konteks penelitian. Hal itu membuat peneliti dan dosen pembimbing memutuskan untuk membuat sendiri alat ukur perilaku prososial yang sesuai dengan konteks penelitian. Dalam pembuatan alat ukur perilaku prososial, peneliti juga mendapat masukan dari dosen pembimbing dan dua orang dosen lain yang melakukan expert judgement. Setelah itu, dilakukanlah uji coba alat ukur keterlibatan ayah terhadap 30 orang ayah dan uji coba alat ukur perilaku prososial terhadap 30 orang ibu. Setelah data uji coba didapatkan, peneliti melakukan uji statistik dan juga merevisi kedua alat ukur tersebut agar didapatkan alat ukur yang valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian. Setelah didapatkan alat ukur yang valid dan reliabel, alat ukur diperbanyak untuk kemudian disebarkan kepada partisipan penelitian.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
40
3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan selama satu bulan, sejak awal Maret 2012 hingga awal April 2012, di beberapa PG/TK/PAUD di daerah Depok. Pertama-tama, peneliti meminta izin kepada Kepala Sekolah dari PG/TK/PAUD yang bersangkutan untuk mengambil data dari beberapa orangtua murid di sekolah tersebut. Jika pihak sekolah sudah menyetujui, peneliti kemudian menyebarkan kuesioner kepada orangtua murid yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian. Penyebaran kuesioner kepada subjek dalam penelitian ini dilakukan secara beragam. Pada sekolah yang tidak memperbolehkan orangtua untuk menunggui anaknya di sekolah, peneliti menitipkan kuesioner kepada guru kelas atau kepala sekolah. Setelah itu, biasanya kuesioner akan dititipkan kepada anak untuk diberikan kepada orangtua untuk diisi. Orangtua yang dipilih adalah orangtua yang
sesuai
dengan
kriteria
subjek
penelitian.
Pada
sekolah
yang
memperbolehkan orangtua menunggui anaknya di sekolah, peneliti memberikan kuesioner secara langsung kepada orangtua murid yang memenuhi kriteria. Dikarenakan ada kuesioner yang harus diisi ayah, kuesioner-kuesioner tersebut harus dibawa pulang. Orangtua murid diberi waktu 1-2 hari untuk mengisi kuesioner dan jika sudah selesai, kuesioner akan dikembalikan kepada peneliti.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data Ada dua analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Analisis pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran umum partisipan penelitian yang didapatkan dari data responden yang disertakan pada kuesioner. Data responden yang didapat dalam penelitian ini adalah jenis kelamin anak, usia anak, usia ayah, pekerjaan ayah, pendidikan terakhir ayah, jam kerja ayah, usia ibu, dan pekerjaan ibu. Data yang ada kemudian dianalisis secara deskriptif dengan melihat persentase, ratarata, dan standar deviasi dari skor yang didapatkan. Analisis data yang kedua adalah analisis data utama untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial dengan mengkorelasikan skor total dari kedua variabel tersebut. Perhitungan statistik yang digunakan adalah perhitungan korelasi Pearson Product Moment, karena data dari kedua
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
41
skor variabel tersebut merupakan data dengan skala interval. Jika dibutuhkan, akan dilakukan pula analisis tambahan yang dilakukan untuk menjelaskan hasil penelitian secara lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
BAB 4 HASIL DAN ANALISIS HASIL
Pada bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian mengenai hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Penjelasan pada bab ini akan berisi gambaran umum partisipan penelitian, gambaran skor keterlibatan ayah serta gambaran perilaku prososial anak, hasil analisis hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial, serta hasil analisis tambahan.
4.1 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Partisipan dalam penelitian ini adalah ayah dan ibu dari anak sulung usia prasekolah yang memiliki adik bayi. Usia anak sulung yang menjadi subjek dalam penelitian ini berkisar antara usia 3 hingga 6 tahun. Sementara usia anak kedua berkisar antara 0-24 bulan. Total subjek dalam penelitian ini adalah 65 pasang orangtua yang memiliki anak pertama dan anak kedua dengan kriteria di atas. Berikut ini ditampilkan data demografis berupa usia dan jenis kelamin dari anak sulung dan anak kedua yang dilaporkan oleh ibu:
Tabel 4.1 Gambaran Umum Aspek Demografis Anak Sulung Aspek Demografis
Variasi
Jumlah
Persentase
Usia
3 tahun 1 hari – 4 tahun 0 bulan 4 tahun 1 hari – 5 tahun 0 bulan 5 tahun 1 hari – 6 tahun 0 bulan Laki-laki Perempuan
6 19 40 40 25
9, 2 % 29, 2 % 61, 5 % 61, 5 % 38, 5 %
Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Gambaran Umum Aspek Demografis Anak Kedua Aspek Demografis
Variasi
Jumlah
Persentase
Usia
0 bulan 1 hari – 12 bulan 12 tahun 1 hari – 24 bulan Laki-laki Perempuan Tidak Diisi
37 28 24 38 3
56, 9 % 43, 1 % 36, 9 % 58, 5 % 4, 6 %
Jenis Kelamin
42
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
43
Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa anak sulung yang menjadi subjek penelitian ini memiliki usia berkisar antara 3–6 tahun. Mayoritas subjek memiliki usia dalam rentang 5–6 tahun, dengan persentase sebesar 61,5%, sementara subjek yang memiliki usia dalam rentang 3-4 tahun memiliki persentase terkecil pada penelitian ini dengan persentase sebesar 9,2%. Apabila dilihat dari segi jenis kelamin, mayoritas anak sulung yang menjadi subjek penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar 61,5%. Sementara pada data anak kedua, anak kedua yang menjadi subjek penelitian ini memiliki usia berkisar antara 0-2 tahun. Mayoritas subjek memiliki usia di kisaran 0-12 bulan dengan persentase sebesar 56,9%. Dari aspek jenis kelamin, mayoritas anak kedua dalam penelitian ini memiliki jenis kelamin perempuan dengan persentase sebesar 58,5%. Selain data mengenai anak sulung dan anak kedua, ibu juga mengisi beberapa data demografis mengenai dirinya, yaitu usia, pekerjaan, dan pendidikan terakhir. Pemaparan data demografis ibu dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.3 Gambaran Umum Aspek Demografis Subjek Ibu Aspek Demografis
Variasi
Jumlah
Persentase
Usia
21-25 26-30 31-35 36-40 Tidak Mengisi Bekerja Tidak Bekerja Tidak Mengisi SD SMP SMA / SMK / yang sederajat Diploma S1 Tidak Mengisi
2 25 30 6 2 33 29 3 1 3 14
3,1% 38,5% 46,1% 9,2% 3,1% 50,8% 44,6% 4,6% 1,6% 4,6% 21,6%
18 27 2
27,7% 41,5% 3,1%
Pekerjaan
Pendidikan Terakhir
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa mayoritas subjek ibu dalam penelitian ini berada pada rentang usia 31-35 tahun dengan persentase sebesar 46,1%. Sementara yang paling sedikit adalah subjek yang berusia 21-25 tahun
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
44
dengan persentase 3,1%. Terdapat pula sebanyak 2 orang subjek yang tidak mengisi data usia. Apabila dilihat dari status pekerjaannya, mayoritas subjek ibu pada penelitian ini adalah ibu bekerja, dengan persentase sebesar 50,8%. Sementara 44,6% lainnya adalah ibu rumah tangga, dan 4,6% lainnya tidak mengisi. Tingkat pendidikan terendah dari subjek ibu pada penelitian ini adalah SD dan yang paling tinggi adalah S1. Mayoritas subjek memiliki pendidikan terakhir pada jenjang S1 dengan persentase 41,5%, diikuti jenjang Diploma dengan persentase 27,7%. Selain anak dan ibu, yang juga menjadi subjek dalam penelitian ini adalah ayah. Data demografis yang diambil dari ayah adalah usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan jumlah jam kerja. Berikut ini ditampilkan tabel penyebaran subjek ayah berdasarkan data demografis tersebut:
Tabel 4.4 Gambaran Umum Demografis Subjek Ayah Aspek Demografis
Variasi
Jumlah
Persentase
Usia
21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun 41-45 tahun 46-50 tahun Tidak Mengisi SMP SMA / SMK / yang sederajat Diploma S1 S2
1 6 32 16 3 1 6 3 16 10 23 5
1,5% 9,2% 49,2% 24,6% 4,6% 1,6% 9,2% 4,6% 24,6% 15,4% 35,4% 7,7%
Tidak Mengisi Wiraswasta Guru/Dosen Swasta Dan lain-lain Tidak Mengisi < 40 41-50 51-60 Tidak Mengisi
8 9 5 36 10 5 13 25 4 23
12,3% 13,8% 7,7% 55,4% 15,4% 7,7% 20% 38,5% 6,1% 35,4%
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Jumlah jam kerja per minggu
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
45
Berdasarkan data di atas, dapat terlihat bahwa mayoritas subjek ayah dalam penelitian ini memiliki usia dalam rentang 31-35 tahun dengan persentase sebesar 49,2%. Sementara yang paling sedikit adalah subjek yang berada pada rentang usia 21-25 tahun dan 46-50 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 1,5%. Dari segi tingkat pendidikan, mayoritas subjek ayah memiliki pendidikan terakhir di jenjang S1, dengan persentase 35,4%. Tingkat pendidikan terendah dari subjek ayah pada penelitian ini adalah jenjang SMP, sementara tingkat pendidikan tertinggi adalah jenjang S2. Dari 65 orang subjek ayah dalam penelitian ini, mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan persentase sebesar 55,4%. Sementara yang lainnya ada yang bekerja sebagai wiraswasta, guru/dosen, dokter, buruh, pemadam kebakaran, TNI/AD, PNS, dan juga karyawan BUMN dengan persentase yang beragam. Apabila dilihat dari jumlah jam kerja ayah dalam seminggu, mayoritas subjek ayah dalam penelitian ini memiliki jumlah jam kerja di antara 41-50 jam dalam seminggu, dengan persentase sebesar 38,5%. Sementara yang paling sedikit adalah subjek yang memiliki jumlah jam kerja 51-60 jam per minggu dengan persentase sebesar 6,1%.
4.2 Gambaran Umum Hasil Penelitian Sebelum dijabarkan mengenai hasil korelasi antara dua variabel yang diteliti dalam penelitian ini, akan dijabarkan terlebih dahulu gambaran umum keterlibatan ayah terhadap anak sulung usia prasekolah dan juga gambaran umum perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Gambaran umum kedua variabel tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.5 Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian Variabel
Median
Skor RataRata
Skor Tertinggi
Skor Terendah
Standar Deviasi
Keterlibatan Ayah Perilaku Prososial
84 55
71,78 61,09
96 78
46 35
9,45 8,84
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
46
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa skor rata-rata keterlibatan ayah dalam penelitian ini adalah 71,78. Skor terendah yang didapatkan subjek dalam penelitian ini adalah 46 dan skor tertingginya adalah 96. Sementara standar deviasinya adalah 9,45. Pada variabel perilaku prososial, skor rata-rata yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 61,09 dengan standar deviasi 8,84. Sementara skor terendah yang didapat dalam penelitian ini adalah 35 dan skor tertingginya adalah 78. Alat ukur PICCI pada penelitian ini memiliki kisaran skor antara 28-140 dengan nilai tengah sebesar 84. Sementara skor rata-rata keterlibatan ayah pada penelitian ini adalah sebesar 71,78. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa skor keterlibatan ayah pada penelitian ini tergolong rendah karena skor rata-rata keterlibatan ayah berada di bawah nilai median alat ukur. Sementara alat ukur perilaku prososial memiliki kisaran skor antara 22-88 dengan nilai tengah sebesar 55. Skor rata-rata perilaku prososial yang didapat pada penelitian ini adalah sebesar 61,09. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa skor perilaku prososial pada penelitian ini tergolong tinggi karena skor rata-rata perilaku prososial berada di atas nilai median alat ukur.
4.3 Hasil Analisis Utama Pada bagian ini, akan dijabarkan hasil analisis utama dari penelitian ini, yaitu hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Hubungan antara kedua variabel tersebut didapatkan dengan mengkorelasikan skor keterlibatan ayah dan skor perilaku prososial anak. Teknik korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Dari penghitungan korelasi antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi didapatkan indeks korelasi sebesar 0,085 dengan p=0,5 (p>0,05). Nilai p yang lebih dari 0,05 menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak. Dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Selain analisis utama, peneliti juga melakukan analisis tambahan dengan melihat gambaran keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak ditinjau dari data
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
47
demografis subjek. Akan tetapi, hasil dari analisis tambahan tersebut tidak dapat membantu menjelaskan mengenai hasil analisis utama yang didapatkan sehingga hasil analisis tambahan tersebut tidak dicantumkan dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan, diskusi, dan saran dari penelitian yang telah dilakukan. Bagian kesimpulan berisi jawaban dari permasalahan penelitian. Sementara bagian diskusi berisi hasil penelitian yang dibahas dari segi teori dan metode penelitian. Sebagai penutup, akan dibahas pula saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah.
5.2 Diskusi Pada bagian diskusi ini akan dibahas hasil penelitian ditinjau dari segi teori dan metode penelitian. Ditinjau secara teoritis, hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa indeks korelasi (r) antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial sebesar 0,085. Dari hasil tersebut, dapat diasumsikan bahwa terdapat variabel-variabel lain yang memiliki asosiasi lebih besar dengan perilaku prososial anak. Beberapa hal di antaranya adalah pengasuhan orangtua dan juga pengaruh lingkungan. Pengasuhan orangtua memiliki cakupan yang luas, yaitu pengasuhan ibu sebagai individu, pengasuhan ayah sebagai individu, serta pengasuhan ayah dan ibu sebagai sepasang orangtua. Sementara pengaruh lingkungan bisa didapat dari keluarga selain orangtua dan lingkungan sekolah. Pada pengasuhan orangtua, salah satu variabel yang mungkin memiliki hubungan lebih besar dengan perilaku prososial anak adalah gaya pengasuhan (Hastings, Utendale, dan Sullivan, 2007). Gaya pengasuhan otoritatif yang
48
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
49
diberlakukan orangtua bisa turut berperan dalam perkembangan perilaku prososial, misalnya dengan cara menampilkan perilaku prososial yang dapat ditiru anak, mendorong anak untuk lebih peduli terhadap orang lain serta memunculkan rasa kasih sayang pada anak. Hal-hal tersebut membuat anak lebih mudah untuk menerima upaya sosialisasi perilaku prososial dari orangtua (Hastings et al, 2007). Sementara gaya pengasuhan orangtua yang otoritarian dapat menghambat perkembangan perilaku prososial dengan munculnya penolakan pada anak terhadap upaya sosialisasi perilaku prososial yang dilakukan oleh orangtua (Hastings et al, 2007). Sementara pada faktor lingkungan, salah satu variabel yang mungkin memiliki hubungan yang lebih besar dengan perilaku prososial adalah hubungan antara anak dan guru sekolah (Hastings et al, 2007). Menurut Kienbaum et al (dalam Hastings et al, 2007), anak akan cenderung lebih prososial jika guru memiliki kasih sayang yang lebih hangat, hubungan antara anak dan guru lebih dekat dan tidak berkonflik, serta ketika anak memiliki secure attachment dengan guru. Mayoritas anak sulung pada penelitian ini adalah anak yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah sehingga variabel ini bisa jadi memiliki hubungan yang lebih besar dengan perilaku prososial anak. Dalam penelitian ini, yang diteliti hanyalah variabel keterlibatan ayah, sementara variabel-variabel di atas sayangnya tidak dapat digali dalam penelitian ini. Bisa jadi, perilaku prososial yang tinggi dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan variabel keterlibatan ayah, melainkan dengan variabelvariabel lainnya. Kedua, pada penelitian ini, indeks korelasi antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial dalam penelitian ini sangat kecil, bahkan hampir mendekati angka 0 atau menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua variabel. Hal itu bisa saja terjadi karena angka keterlibatan ayah di Indonesia yang masih tergolong rendah. Hasil dari sebuah penelitian mengenai fathering yang dilakukan selama tahun 2008-2010 pada 33 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara paling “fatherless” di dunia (Krismantari, 2012). Hal itu terjadi karena masih kurangnya kesadaran para ayah di Indonesia mengenai pentingnya peranan ayah dalam pengasuhan anak. Selain itu, hasil
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
50
wawancara yang dilakukan terhadap para pasangan orangtua yang menjadi subjek penelitian pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa para ayah dan ibu masih percaya bahwa tugas ayah adalah bekerja dan mencari uang sementara tugas ibu adalah mengurus dan menjaga anak (Krismantari, 2012). Menurut Risman (dalam Krismantari, 2012), pemahaman mengenai tugas orangtua yang seperti itu bersumber dari nilai patriarki yang masih kuat di Indonesia. Selain itu, kurangnya pengetahuan orangtua mengenai pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak juga turut berperan pada rendahnya keterlibatan ayah di Indonesia. Jika ditinjau secara metodologis, hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, skala yang digunakan dalam alat ukur penelitian. Alat ukur keterlibatan ayah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki lima pilihan jawaban. Pilihan jawaban yang ganjil ini membuat subjek cenderung mengisi pilihan jawaban netral, yaitu pilihan 3. Kedua, alat ukur keterlibatan ayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil adaptasi dari alat ukur PICCI yang dikembangkan oleh Nangle dkk (2003). Sejumlah item dalam alat ukur keterlibatan ayah yang digunakan dinilai cukup berhubungan dengan perkembangan perilaku prososial anak, seperti dalam item “membelikan mainan, buku, video untuk anak”. Akan tetapi, pernyataan tesebut tidak cukup menggambarkan konten mainan, buku, dan video yang disediakan ayah untuk anak, mengingat metode pengumpulan data yang digunakan hanya berupa kuesioner dengan skala Likert. Selain item tersebut, beberapa item dalam alat ukur ini menggali keterlibatan ayah dalam hal-hal yang tidak membutuhkan interaksi langsung dengan anak, seperti “membelikan baju untuk anak” dan “menentukan baju yang sesuai untuk dikenakan anak”. Sementara menurut Bandura (dalam Schroeder, 1995), salah satu cara efektif dalam pengembangan perilaku prososial pada anak adalah lewat modeling. Kebanyakan anak belajar mengenai perilaku prososial melalui observasi yang dilakukan terhadap model-model di dalam lingkungan mereka, termasuk ayah. Masih terdapatnya beberapa item yang kurang menampilkan keterlibatan ayah dalam konteks pengembangan perilaku prososial anak diasumsikan juga
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
51
menyebabkan tidak terdapatnya hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak dalam penelitian ini. Ketiga, pada penelitian ini, pengukuran perilaku prososial pada anak dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh ibu. Hal tersebut memunculkan kemungkinan bias pada ibu saat pengisian kuesioner sehingga memunculkan respon yang tidak sesuai dengan perilaku prososial anak sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, pada penelitian ini, kebanyakan subjek tidak bertemu langsung dengan peneliti. Mayoritas subjek mengisi kuesioner yang dititipkan oleh peneliti kepada guru kelas atau kepala sekolah anak sulung mereka. Terdapat kemungkinan pengisian kuesioner untuk ayah tidak dilakukan oleh ayah, begitu pula dengan ibu. Pengisian kuesioner yang tidak dilakukan oleh subjek yang seharusnya, baik ayah atau ibu, bisa jadi ikut memengaruhi hasil pengukuran yang dilakukan dan akhirnya memengaruhi juga hasil penelitian. Kelima, tidak semua hal-hal yang berhubungan dengan variabel 1 dan variabel 2 diukur dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengukur aspek-aspek yang mudah terukur, seperti usia, jenis kelamin, dan lainlain. Sementara aspek lain seperti pandangan ibu terhadap ayah, dukungan ibu terhadap terlibatnya ayah dalam pengasuhan, ada atau tidaknya anggota keluarga lain yang tinggal satu rumah, temperamen anak, tidak diukur dalam penelitian ini. Jika pengukuran aspek-aspek tersebut dapat dilakukan dalam penelitian mungkin saja hasilnya dapat membantu memperkaya menjelaskan hasil penelitian ini.
5.3 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Jumlah pilihan jawaban pada alat ukur keterlibatan ayah sebaiknya dibuat genap. Hal itu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecenderungan pada subjek untuk memilih pilihan jawaban tengah-tengah atau netral. 2. Ketika memilih alat ukur yang digunakan dalam penelitian, sebaiknya benarbenar dilakukan pencarian/pengonstruksian alat ukur yang sesuai dengan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
52
konteks penelitian. Dengan penggunaan alat ukur yang sesuai dengan konteks penelitian, diharapkan alat ukur dapat benar-benar mengukur hal yang diteliti dalam penelitian tersebut. 3. Pada penelitian ini, pengukuran perilaku prososial pada anak dilakukan dengan pengisian kuesioner yang dilaporkan ibu. Hal tersebut memunculkan kemungkinan untuk terjadinya bias pada ibu dalam pengisian kuesioner. Pemilihan kuesioner sebagai alat pengukuran perilaku prososial dalam penelitian ini dilakukan karena sempitnya waktu penelitian. Dalam penelitian selanjutnya, jika waktu penelitian yang tersedia cukup panjang dan memungkinkan, sebaiknya pengukuran perilaku prososial anak dapat dilakukan dengan menggunakan teknik observasi atau eksperimen mengurangi kemungkinan adanya bias pada ibu saat pengisian kuesioner. Selain teknik tersebut dapat dilakukan pula teknik wawancara terhadap orangtua untuk menggali lebih dalam hal-hal yang tidak terlihat selama observasi atau eksperimen namun berhubungan dengan penelitian, misalnya frekuensi dan konsistensi anak dalam melakukan perilaku prososial sehari-hari. 4. Ketika pengisian kuesioner dilakukan, sebaiknya peneliti bisa bertemu langsung dengan subjek yang bersangkutan, baik ayah maupun ibu. Dengan begitu, peneliti dapat memastikan bahwa yang mengisi kuesioner untuk ayah adalah ayah, begitu pula dengan ibu. 5. Aspek-aspek yang memengaruhi variabel-variabel penelitian dapat diukur pula dalam penelitian ini. Jika tidak memungkinkan, pengukuran aspek-aspek tersebut dapat dilakukan secara sederhana saja untuk melihat gambaran umumnya. Pengukuran aspek-aspek ini bisa dilakukan dengan beberapa teknik, misalnya teknik wawancara terhadap orangtua atau penambahan item pada data partisipan. Hasil dari pengukuran aspek-aspek tersebut kemudian bisa dianalisis lebih lanjut untuk menjelaskan mengenai hasil analisis utama penelitian. 6. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa hubungan yang terjadi antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi tidak signifikan. Hal itu menunjukkan masih ada variabel lain yang memiliki korelasi dengan perilaku prososial anak sulung usia
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
53
prasekolah terhadap adik bayi. Dalam penelitian selanjutnya sebaiknya dapat diteliti pula variabel-variabel tersebut, baik dari segi pengasuhan orangtua maupun lingkungan, secara lebih komprehensif.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA Aiken, L. (1985). Psychological Testing and Assessment: 6th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Allen, S., Daly, K. (2007). The Effects of Father Involvement: An Updated Research Summary of the Evidence Inventory. Guelph: University of Guelph. Anastasi, Anne., Urbina, Susana. (1997). Psychological Testing: 7th edition. USA: Prentice-Hall International, Inc. Baron, R.A., Byrne, Donn. (2005). Social Psychology: 10th edition. Boston: Pearson Education. Barrett, D.E., Yarrow, M.R. (1977). Prosocial Behavior, Social Inferential Ability, and Assertiveness in Children. Child Development. No. 48, pp. 475-481. Belete, Nadia. (2009). Parental Perceptions of Prosocial Behavior in Children With Cancer. Tesis. Johannesburg: University of the Witwaterstrand. Bronte-Tinkew, J., Moore, J.A. (2004). The Developing a Daddy Survey (DADS) Project: Framework Paper. Child Trends. Bronte-Tinkew, J., Moore, J.A., Halle, T. (2002). The Developing a Daddy Survey (DADS) Project and The Collaborative Work of the DADS Working Group. Child Trends. Bushman, B.J., Huesmann, L.R. (2010). Aggression. Dalam Fiske, S.T., Gilbert, D.T., Lindzey, G (ed). Handbook of Social Psychology, Volume One: 5th edition. USA: John Wiley and Sons, Inc. Cabrera, N. J., Tamis-LeMonda C.S., Lamb M.E., Boller K. (1999). Measuring Father
Involvement
In
The
Early
Head
Start
Evaluation:
A
Multidimensional Conceptualization. Davies, Douglas. (1992). Child Development : A Practicioners Guide. USA: Guildford Press. Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., Sigelman, C.K. (1993). Social Psychology in the 90's. California: Brooks/Cole Publishing Company. Eisenberg, N., Mussen, P.H. (1989). The Roots of Prosocial Behavior in Children. Melbourne: Cambridge University Press.
54
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
55
Eisenberg, N., Guthrie, I.K., Murphy, B.C., Shepard, S.A., Cumberland, A., Carlo, G. (1999). Consistency and Development of Prosocial Dispositions: A
Longitudinal
Study.
Child
Development.
Vol.
70,
No.
6
(November/December 1999), pp. 1360-1372. Eisenberg, N., Fabes, R.A., Spinrad, T.L. (2006). Prosocial Development. Dalam W. Damon dan R. Lerner (ed). Handbook of Child Psychology, Volume 3: Social, Emotional, and Personality Development 6th Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Guilford, J.P., Fruchter, Benjamin. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education. Tokyo: McGraw-Hill, Inc. Hastings, P.D., Utendale, W.T., Sullivan C. (2007). The Socialization of Prosocial Development. Handbook of Socialization: Theory and Research. New York: Guilford Press. Hawkins, A.J., Bradford, K.P., Palkovitz, R., Christiansen, S.L., Day, R.D., Call. V.R.A. (2002). The Inventory of Father Involvement: A Pilot Study of a New Measure of Father Involvement. The Journal of Men’s Studies. Vol. 10, No. 2, pp.183-196. Hodgins, Denise. (2007). Father Involvement in Parenting Young Children: A Content Analysis of Parent Education Programs in BC. Tesis. British Columbia: University of Victoria Hossain, Z. & Anziano, M. C. (2008). Mothers’ and Fathers’ Involvement With School-Age Children’s Care and Academic Activities in Navajo Indian Families. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology. Vol. 14, No. 2, 109–117. Kail, Robert V. (2001). Children and Their Development: 2nd Edition. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Kellam, S.G., Ling, X., Merisca, R., Brown, C.H., Ialongo, Nick. (1998). The Effect of The Level of Aggression in The First Grade Classroom on The Course and Malleability of Aggressive Behavior into Middle School. Development and Psychopathology. Vol. 10, pp. 165-185. Kerlinger, F.N., Lee, H.B. (2000). Foundations of Behavioral Research: 4th Edition. USA: Harcourt, Inc.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
56
Krismantari, Ika. (2012). Calling Fathers Back to The Family. (April 23, 2012). The Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/22/callingfathers-back-family.html Kumar, Ranjit. (1999). Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginners. London: Sage Publications. Lamb, Michael. E. (1997). Father and Child Development: An Introductory Overview and Guide. Dalam M. Lamb (ed). The Role of The Father in Child Development Third Edition (1-18). USA: John Wiley & Sons, Inc. Lister, Kelly. M. (2007). Aggression and Prosocial Behavior in Adolescents’ Internet And Face-To-Face Interactions. Thesis. Ohio: Bowling Green State University. Martin, C.A., Colbert, K.K. (1997). Parenting: A Life Span Perspective. USA: McGraw-Hill, Inc. Mc-Bride, B.A., Rane, T.R. (1998). Parenting Alliance as a Predictor of Father Involvement: An Exploratory Study. Family Relations, Vol. 47, No. 3 (Jul, 1998), pp. 229-236. Nangle, S.M., Kelley, M.L., Fals-Stewart, W., Levant, R.F. (2003). Work and Family Variables As Related To Paternal Engagement, Responsibility, and Accessibility in Dual-Earner Couples with Young Children. Fathering. 1.1 (February 2003): 71(20). National Institute of Child Health and Human Development Early Child Care Research Network. (2000). Factors Associated With Father's Caregiving Activities and Sensitivity With Young Children. Journal of Family Psychology. Vol. 14, No. 2, pp.200-219. Papalia, Diane E., Olds, S., Feldman, R. (2007). Human Development: 10th Edition. New York: McGraw-Hill. Pleck,
Joseph H.
(1997).
Paternal Involvement:
Levels,
Sources,
and
Consequences. Dalam M. Lamb (ed). The Role of The Father in Child Development Third Edition (66-103). USA: John Wiley & Sons, Inc. Santrock, J.W. (2007). Child Development: 11th edition. New York: Mc-Graw Hill. Schroeder, David A, et al. (1995). The Psychology of Helping and Altruism:
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
57
Problems and Puzzles. USA: McGraw-Hill. Shaffer, David R. (1999). Developmental Psychology: Childhood and Adolescence 3rd Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company. Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B. (1994). Research Methods in Psychology: 3rd Edition. USA: McGraw-Hill, Inc. Sugianti, Ika. (2004). Gambaran Kualitas Attachment dan Altruisme pada Empat Orang Anak Sulung Usia 3-6 Tahun yang Memiliki Adik Bayi. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi UI. Tamis-LeMonda, C.S., Cabrera, N. (1999). Perspectives on Father Involvement: Research and Policy. Society for Research in Child Development. Vol. 13, No. 2. Teti, D.M., Sakin, J.W., Kucera, E., Corns, K.E., Eiden, R.D. (1996). And Baby Makes Four: Predictors of Attachment Security among Preschool-Age Firstborns during The Transition to Siblinghood. Child Development. Vol. 67, No. 2 (Apr., 1996), pp. 579-596. Vasta, R., Miller, S.A., Ellis, S. (2004). Child Psychology: 4th edition. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc. Volling, B.L. (2005). The Transition to Siblinghood: A Developmental Ecological Systems Perspective and Directions for Future Research. Journal of Family Psychology. Vol 19, No. 4, pp. 542-549. Volling, B.L., Belsky, J. (1992). The Contribution of Mother-Child and FatherChild Relationships to the Quality of Sibling Interaction: A Longitudinal Study. Child Development. Vol. 63, No. 5 (Oct, 1992), pp. 1209-1222. Williams, S. T., Conger, K. J., & Blozis, S. (2007). The Development of Interpersonal Aggression During Adolescence: The Importance of Parents, Siblings, and Family Economics. Child Development, 78, 1526-1542. Wu, L.E. (2005). Father Involvement in Chinese American Families and Children’s Socio-Emotional Development. Tesis. Berkeley: University of California. YooKyung, Kim. (2003). The Effects of Extensive Learning Centers on Preschoolers’ Prosocial Behaviors in A Korean-American Preschool Setting. Disertasi. California: Biola University.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
LAMPIRAN
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
1
Lampiran 1: Reliabilitas Alat Ukur
A. Reliabilitas Alat Ukur Keterlibatan Ayah (PICCI) Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
Reliability Statistics
% 30
100.0
0
.0
30
100.0
Cronbach's Alpha
N of Items .884
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Item-Total Statistics Corrected Item-
Cronbach's
Scale Mean if
Scale Variance
Total
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Correlation
Deleted
I1
68.73
142.271
.363
.882
I2
68.63
146.378
.222
.885
I3
68.17
146.282
.241
.885
I4
68.90
144.231
.318
.883
I5
69.50
145.845
.354
.882
I6
69.00
139.517
.599
.877
I7
68.17
146.420
.251
.884
I8
69.00
144.414
.227
.887
I9
68.37
145.895
.216
.886
I10
68.17
141.247
.352
.883
I11
67.90
146.783
.362
.882
I12
68.40
141.834
.443
.880
I13
68.33
141.126
.384
.882
I14
67.97
144.930
.343
.882
I15
68.37
141.826
.445
.880
I16
68.47
139.085
.581
.877
I17
68.30
136.079
.604
.876
I18
68.60
136.455
.607
.876
I19
67.83
138.489
.556
.878
I20
68.50
146.466
.226
.885
I21
68.37
135.206
.717
.874
I22
68.40
134.041
.847
.871
I23
68.13
140.878
.618
.878
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
28
2
I24
68.30
147.114
.281
.883
I25
68.00
141.310
.428
.881
I26
68.73
128.409
.764
.871
I27
68.60
138.593
.584
.877
I28
68.27
143.306
.310
.884
B. Reliabilitas Alat Ukur Perilaku Prososial
Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
Reliability Statistics %
Cronbach's
30
100.0
0
.0
30
100.0
Alpha
N of Items .889
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Item-Total Statistics Cronbach's Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted
Total Correlation
Alpha if Item Deleted
I1
59.27
92.616
.470
.885
I2
59.40
88.593
.594
.881
I3
59.47
96.120
.266
.890
I4
59.13
93.982
.408
.887
I5
59.97
88.585
.598
.881
I6
59.57
92.668
.354
.889
I7
59.87
92.257
.393
.888
I8
59.93
87.513
.760
.877
I9
59.10
95.886
.222
.892
I10
59.13
90.533
.523
.884
I11
58.97
93.689
.444
.886
I12
59.47
87.085
.811
.876
I13
59.87
91.223
.477
.885
I14
58.80
95.545
.244
.891
I15
59.63
88.999
.644
.880
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
22
3
I16
59.83
89.730
.539
.883
I17
59.27
90.754
.505
.884
I18
58.80
94.648
.465
.886
I19
60.40
92.593
.453
.885
I20
59.43
88.047
.646
.880
I21
58.73
95.651
.370
.887
I22
58.87
90.740
.534
.883
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
4
Lampiran 2: Gambaran Umum Variabel-Variabel Penelitian
A. Gambaran Umum Skor Keterlibatan Ayah Descriptive Statistics N
Minimum
Skor_Ayah
65
Valid N (listwise)
65
Maximum
46
96
Mean
Std. Deviation
71.78
9.450
B. Gambaran Umum Skor Perilaku Prososial
Descriptive Statistics N
Minimum
Skor_Ibu
65
Valid N (listwise)
65
35
Maximum 78
Mean
Std. Deviation
61.09
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012
8.840
5
Lampiran 3: Analisis Utama
Korelasi Keterlibatan Ayah dan Perilaku Prososial Correlations Skor_Ayah Skor_Ayah
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Skor_Ibu
Skor_Ibu .085 .500
65
65
Pearson Correlation
.085
1
Sig. (2-tailed)
.500
N
65
65
Hubungan antara..., Juwita Ardiana Dwitya, FPSI UI, 2012