UNIVERSITAS INDONESIA
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TESIS
NAMA : AGUNG DHEDY DWI HANDES NPM : 0906580546
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2011
i
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
NAMA : AGUNG DHEDY DWI HANDES NPM : 0906580546
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA JAKARTA JUNI 2011
ii
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : :
AGUNG DHEDY DWI HANDES 0906580546 ILMU HUKUM PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D
(
)
Penguji
: Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.
(
)
Penguji
: Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H.
(
)
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 16 Juni 2011
iii
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: AGUNG DHEDY DWI HANDES
NPM
: 0906580546
Tanda Tangan : Tanggal
: 16 Juni 201
iv
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat yang telah dilimpahkanNya dan tak lupa shalawat serta salam selalu terlimpah kepada teladan penulis, Nabi Muhammad SAW, sehingga penulisan tesis yang berjudul “Peranan Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditinjau dari Perspektif Penegakan Hukum Pidana” dapat penulis selesaikan sebagai tugas akhir dalam menempuh studi program pascasarjana pada Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Tesis ini membahas tentang Peranan Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang diatur dalam Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut merupakan lingkup tugas, wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang Intelijen Yustisial Kejaksaan (law intellegence) yang mengarah pada kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana. Implementasi peran Intelijen Yustisial Kejaksaaan tersebut oleh Jaksa Agung dibentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat) yang mengakomodir fungsi pengawasan terhadap aliran kepercayaaan dan keagamaan yang ada di Indonesia dan mempunyai peran penting terhadap status penilaian apakah agama atau kepercayaan yang dianut seseorang dianggap sesat dan menyimpang atau tidak. Sementara itu kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 semula adalah Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi
undang-undang
Sebagaimana
disebutkan
dengan dalam
Undang-Undang Penjelasan
No. Umum
5
Tahun
1969.
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah
v
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan. Dengan kata lain, UU ini diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama. Atas tersusunnya Tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang selama ini telah membantu dan memberikan dukungan dalam proses penyelesaian Tesis ini. Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1.
Pimpinan Kejaksaan Agung R.I. yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada kami untuk menempuh studi Magister Hukum pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
2.
Bapak Rektor dan para wakil Rektor Universitas Indonesia dan pimpinan lainnya.
3.
Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bapak Prof. Safri Nugraha, S.H., LLM, Ph.D (Dekan), Ibu Dr. Siti Hayati Hoesin, S.H., M.H. (Wakil Dekan) dan Bapak Kurnia Toha, S.H., LLM, Ph.D (Sekretaris Fakultas).
4.
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. dan Kepala Sub Program Magister Ilmu Hukum, Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H.
5.
Bapak Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. selaku Ketua Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Pascasarjana Ilmu Hukum dan Bapak Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D selaku pembimbing yang ditengah kesibukannya telah meluangkan banyak waktu memberikan bimbingan selama proses penulisan tesis ini.
6.
Bapak/Ibu Dosen, yang telah melimpahkan ilmu pengetahuan dan semangat untuk terus belajar
7.
Seluruh tenaga sekretariat/administrasi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum dan Sekretariat Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran selama studi ini berlangsung.
vi
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
8.
Kedua orang tua penulis, Bapak H. Karnawi Iksan, SIp dan Ibu Sri Eni serta kedua mertua penulis, Bapak Umar Hadi dan Ibu Sustri Minarti. Terimakasih banyak atas segala dorongan dan doanya selama ini. Semoga Allah SWT memberikan semua kebaikan kepada ayahanda dan ibunda semua.
9.
Istriku tercinta Ria Etika, SE, terimakasih atas segala dukungan dan doanya dan kepada ketiga buah hati penulis, Fabian Krisna, Salman Arsy Yahya dan Saif Arsy Yahya, papi ingin menyampaikan rasa cinta dan sayang sebesarbesarnya kepada kalian, juga kepada saudara-saudaraku serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan doanya.
10. Rekan-rekan Mahasiswa dan kawan-kawan semuanya yang tidak sempat penulis disebutkan namanya, terimakasih sobat atas doa dan semangatnya.
Dalam proses penyusunan tesis ini penulis menyadari betapa terbatasnya kemampuan penulis, baik dalam substansi ilmu maupun cara menyajikannya. Untuk itu, penulis sangat berterima kasih jika ada saran, kritik dan koreksi demi kesempurnaan tesis ini dimasa yang akan datang. Namun demikian penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan terhadap penegakan hukum pada umumnya. Amin Jakarta, 16 Juni 2011
Penulis
vii
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ========================================================== Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama NPM Program Studi Konsentrasi Fakultas Jenis Karya
: : : : : :
Agung Dhedy Dwi Handes 0906580546 Ilmu Hukum Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Hukum Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exlusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Peranan Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditinjau dari Perspektif Penegakan Hukum Pidana, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Pada tanggal
: Jakarta : 16 Juni 2011
Yang menyatakan,
(Agung Dhedy Dwi Handes)
viii
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………. iii KATA PENGANTAR…………………………………………………………….. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS…………………………………………. vii ABSTRAK…………………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI……………………………………………………………………… x
BAB
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………... 1 1.2 Permasalahan……………………………………………...... 10 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………… 11 1.4 Kegunaan Penelitian………………………………………….. 11 1.5 Metode Penelitian…………………………………………….. 12 1.6 Kerangka Teori……………………………………………….. 15 1.7 Kerangka Konsepsional……………………………………… 17 1.8 Sistematika ……………….......……………………………… 19
BAB
2
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA 2.1 Pendekatan Kebijakan terhadap Masalah kejahatan……….. 21 2.2 Pengertian Sistem Peradilan Pidana………………………... 23 2.3 Tujuan Sistem Peradilan pidana……………………………… 27 2.4 Kejaksaan Republik Indonesia……………………………... 30 2.4.1 Tugas dan Wewenang Kejaksaan…………………... 31 2.4.2 Tinjauan Tentang Intelijen Yustisial Kejaksaan…… 39
BAB
3
PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA OLEH KEJAKSAAN 3.1 Masalah Aliran Kepercayaan dan Agama di Indonesia 3.1.1 Pengertian Aliran Kepercayaan…………………….. 3.1.2 Pengertian Agama…………………………………… 3.1.3 Kebijakan atas kebebasan Beragama dan Kepercayaan di Indonesia…………………………... 3.1.4 Tindak Pidana Penodaan Agama dalam KUHP……… 3.1.5 Tindak Pidana Penodaan Agama dalam RUU KUHP 3.1.6 Pengaturan Tindak Pidana Penodaan Agama di Beberapa Negara……………………………………. 3.2 Pengawasan terhadap Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama oleh Kejaksaan 3.2.1 Sejarah Tim Pakem………………………………… ix
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
53 63 70 72 82 86
95
3.2.2 Landasan Yuridis Pembentukan Tim Pakem……… 3.2.3 Pola Kerja Tim Pakem…………………………….. Penanggulangan Aliran Kepercayaan 3.2.4 Pola Menyimpang dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama………………………… 3.3 Kasus-Kasus Aliran Menyimpang di Indonesia 3.3.1 Children of God (COG)/ajaran sek bebas………….. 3.3.2 Agama Baha’i………………………………………. 3.3.3 Al-Qiyadah al-Islamiah ……………………………. 3.3.4 Salamullah …………………………………………. 3.4.5 Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)……………….. 3.4 Kasus-Kasus Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia 3.4.1 Ahmad Moshaddeq………………………………………. 3.4.2 Lia Aminuddin/Lia Eden………………………………... 3.4.3 Antonius Richmond Bawengan (RAB)……………….. 3.4. 4 Drs. FX. Mardjana
104 112
119 130 131 132 134 135 148 149 151 151
BAB
4
ANALISIS PERAN KEJAKSAAN DALAM PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ ATAU PENODAAN AGAMA 4.1 Kewenangan Pengawasan Alian Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Kejaksaan……………………………………………… 159 4.2 Kepastian Hukum Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama……………………………………………………… 173 4.3 Kendala-Kendala Dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama……………………………………………………… 189
BAB
5
PENUTUP 5.1 Kesimpulan………………………………………………… 202 Saran………………………………………………………… 203 5.2
DAFTAR REFERENSI DAFTAR LAMPIRAN
x
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
ABSTRAK
Nama : AGUNG DHEDY DWI HANDES Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis : Peranan Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditinjau dari Perspektif Penegakan Hukum Pidana.
Tesis ini membahas tentang Peranan Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang diatur dalam Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang merupakan lingkup tugas, wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang Intelijen Yustisial (law Intellegence) yang mengarah pada kegiatan Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana, yang selanjutnya oleh Jaksa Agung dibentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat) yang memiliki peran penting terhadap status penilaian apakah kepercayaan atau agama yang dianut seseorang dianggap sesat/menyimpang atau tidak. Ditemukan kendala-kendala yang dihadapi antara lain Tim Pakem tidak memiliki metode untuk menilai sebuah aliran kepercayaan maupun ajaran agama. Tim Pakem tidak memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang dapat dijadikan pedoman dalam mengambil suatu tindakan, dan kemampuan personil yang kurang professional, sehingga mengakibatkan gerak pengawasan kurang cepat dalam menghadapi ulah aliran kepercayaan menyimpang. Sementara itu kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 semula adalah Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan. Dengan kata lain, UU ini diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama
Kata kunci
: Pengawasan, Penodaan, Aliran Kepercayaan, Agama, Kejaksaan, Intelijen Yustisial.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
ABSTRACT
Name
: AGUNG DHEDY DWI HANDES
Study Program
: Jurisprudence
Thesis Title
: The role of the District Attorney’s Office in supervising any beliefs and preventing the misuse and/or the disgrace of a religion reviewed from Criminal Law Enforcement Perspective.
The thesis discusses the role of the District Attorney’s Office in supervising any beliefs which may be harmful for the society and the state and in preventing the misuse and/or the disgrace of a religion governed in Article 30 clause (3) letters d and e of the Law No. 16 of the year 2004 on the District Attorney’s Office of the Republic of Indonesia, which includes the scope of duty, authority, and functions of the District Attorney’s Office in law intelligence specializing in Investigation, Security, and Support to prevent criminal acts; in order to do those, further, the DA (District Attorney) has formed a team, namely Tim Pakem, which supervises any beliefs in society and has significant roles in evaluating whether a belief or a religion followed by someone is considered misleading/deviating or not. It is discovered that there have been some problems faced by Tim Pakem; for example, it does not have a method to evaluate a belief or a religion teaching. It does not have SOP (Standard Operational Procedure) which may become guidance to act, and its personnel are not yet professional, so the supervision movement is not fast enough to deal with any deviating belief. Meanwhile, the function of the Law No. 1/PNPS/1965 on the Misuse and/or the Disgrace of a Religion in overcoming the problems of the disgrace of a religion is still needed as the control of public order to have harmony among religious followers. The Law No. 1/PNPS/1965 was a President Decree issued in 1965, and then in 1969 it was enacted to become a law with the Law No. 5 of the year 1969. As referred to in the General Explanation of the Law No. 1/PNPS/1965 in points 3 and 4, one of the purposes to issue that law is to ensure that the harmony among religious followers can be enjoyed by all the people in Indonesia, and to protect that harmony from a disgrace or an insult. In other words, this law is issued in order to maintain the harmony among religious followers, either the harmony in the same religion followers or the harmony among different religion followers.
Key words
: Supervision, Disgrace, Beliefs, Religions, District Attorney’s Office, Law Intelligence.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Inti terdalam dari negara hukum Indonesia dapat diidentifikasi dari tunduknya penguasa dan rakyat Indonesia terhadap hukum Indonesia. Dalam keadaan demikian hukum harus merupakan titik sentral dalam kehidupan perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Bila hukum dijadikan titik sentral, maka faktor penegakan hukum memiliki peranan penting apabila cita-cita hukum yakni “keadilan” betul-betul ingin diwujudkan. Dalam usaha memperkuat prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan normanorma hukum maupun peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang professional, berintegritas dan disiplin yang di dukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya setiap negara hukum termasuk negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak hukum yang berkualifikasi demikian.1 Salah satu lembaga penegakan hukum yang ada di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia,2 di samping lembaga penegak hukum lainnya. 1
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta; Gramedia, Pustaka Umum, 2004), hal. 2 2 Lihat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang kejaksaan Republik Indonesia, lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
2
Kejaksaan mengemban misi yang harus disukseskan untuk kelanjutan pembangunan bangsa dan negara:3 a) mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; b) mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum-hukum dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat; c) mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain untuk menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; d) menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah negara; e) melindungi kepentingan rakyat melalui penegakkan hukum.
Dalam rangka supremasi hukum, fungsi Kejaksaan sangat penting dalam mewujudkan hukum in concreto. Menurut Bagir Manan, mewujudkan hukum in concreto bukan hanya fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk di dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum dan penegak hukum. Kejaksaan dan Kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses peradilan.4 Tugas pokok Kejaksaan Republik Indonesia adalah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundangundangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dan
pembangunan di bidang hukum. 3
Hastra Liba, 14 Kendala Penegakkan Hukum; Mahasiswa dan Pemuda sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum dan HAM, (Jakarta: Yayasan Annisa, 2002), hal. 63 4 Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, (Makalah disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum se-Indonesia, FH Unpad, Bandung, 6 April 1999), hal.17
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
3
Tugas dan peran Kejaksaan di Indonesia telah diatur di dalam Bab III Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 mengenai Tugas dan Wewenang. Tugas dan wewenang umum Kejaksaan menurut ketentuan pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 adalah sebagai berikut. 1.
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a.
melaksanakan penuntutan;
b.
melaksanakan penetapan hakim dan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.
2.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan surat kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3.
Dalam
bidang
ketertiban
dan
ketentraman
umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarakan kegiatan: a.
peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.
pengamanan kebijakan penegakkan hukum;
c.
pengawasan peredaran barang cetakan;
d.
pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
4
Organisasi Kejaksaan Agung terdiri atas : 5 a.
Jaksa Agung;
b.
Wakil Jaksa Agung;
c.
Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan;
d.
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen;
e.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum;
f.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus;
g.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara;
h.
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan;
i.
Badan Pendidikan dan Pelatihan;
j.
Staf Ahli;
k.
Pusat.
Kejaksaan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mempunyai tugas dan wewenang:6 a.
menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
b.
mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang;
c.
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d.
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; 5
Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2010 adalah pengganti Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 6 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
5
e.
dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara pidana;
f.
mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang Intelijen Yustisial yang bertanggungjawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Intelijen.7 Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang Intelijen Kejaksaaan. Lingkup bidang Intelijen meliputi kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana untuk mendukung penegakan hukum baik preventif maupun represif di bidang ideologi, ekonomi, keuangan, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, melaksanakan cegah tangkal terhadap orang-orang tertentu dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum.8 Dalam melaksankan tugas dan wewenangnya tersebut, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen menyelenggarakan fungsi : 9 a.
perumusan kebijakan di bidang intelijen;
b.
koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang intelijen;
c.
pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri;
d.
memberikan dukungan teknis secara intelijen kepada bidang lain di lingkungan Kejaksaaan; 7
Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia. 8 Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia. 9 Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
6
e.
pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang intelijen;
f.
pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung
Keberadaan Kejaksaan khususnya peran intelijennya dalam mendukung optimalisasi kinerja Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana mempunyai peranan penting dalam mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya maka dilakukan kegiatan-kegiatan Intelijen dan atau operasi Intelijen sesuai dengan kebutuhan yang meliputi fungsi penyelidikan (LID), Pengamanan (PAM), dan Penggalangan (GAL).10 Adapun “sasaran” pelaksanaan fungsi tersebut diatas adalah:11 1) masalah ideologi, politik, media masa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumber daya manusia, pertahanan keamanan, tindak pidana perbatasan dan pelanggaran wilayah perairan. 2) masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan, perbankan, sumber daya alam, pertahanan, penanggulangan tindak pidana ekonomi serta pelanggaran zona ekonomi eksklusif. 3) masalah aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup serta penanggulangan tindak pidana umum. Kegiatan Intelijen diartikan sebagai usaha, pekerjaan dan tindakan yang diwujudkan dalam bentuk penyelidikan, pengamanan, penggalangan yang dilakukan secara rutin, terus-menerus dan berdasarkan suatu tata cara kerja yang tetap. 10
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, laporan Hasil Penelitian: Peningkatan Operasi Intelijen Yustisial Dalam Rangka Pengamanan Pembangunan dan Hasil-hasilnya, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1995/1996), hal. 5. Lihat juga Pasal 130 Keputusan Jaksa Agung (KEPJA) No. KEP-115/JA/10/1995 11 Pasal 131 Keputusan Jaksa Agung (KEPJA) No. KEP-115/JA/10/1995
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
7
Sedangkan Operasi Intelijen adalah usaha kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada suatu rencana yang terinci di luar tujuan yang rutin, dalam ruang dan jangka waktu tertentu dan yang dilakukan atas dasar perintah pihak atasan yang berwenang. Adapun pengertian kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan adalah:12 a) Penyelidikan (LID) adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk memperoleh bahan keterangan yang dibutuhkan mengenai masalah tertentu yang setelah melalui proses pengolahan dapat digunakan untuk membuat perkirakan mengenai masalah yang dihadapi sehingga dapat ditentukan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dengan resiko yang diperhitungkan. b) Pengamanan (PAM) adalah semua usaha, pekerjaan dan kegiatan serta tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan menumpas serta menggulung setiap usaha pekerjaan, kegiatan dan operasi pihak musuh/lawan yang melakukan penyelidikan, sabotase dan penggalangan. c) Penggalangan (GAL) adalah semua usaha, pekerjaan dan tindakan secara berencana dan terarah oleh sarana-sarana intelijen, dengan membuat tujuan khusus membuat, menciptakan dan atau mengubah suatu kondisi di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan dan sesuai dengan kehendak pihak atasan yang berwenang untuk mendukung kebijaksanaan yang ditempuh dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan.
Berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi Intelijen Yustisial kejaksaan tersebut, berkembangnya berbagai aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang dan munculnya aliran-aliran keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini cukup pesat,
12
Togar Hutagaol, Administrasi Dan Produk Intelijen Kejaksaan, Pusdiklat Kejaksaan Republik Indonesia, 2006, hal.7
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
8
sebagai contoh adalah kasus Ahmadiyah13 yang menarik perhatian berbagai kalangan, dimana terjadi perbedaan pandangan dan persepsi tentang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, yang pada akhirnya banyak menimbulkan keresahan dan permasalahan hukum dan tentunya hal ini membawa konsekuensi terhadap situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan khususnya peran Intelijen Yustisial Kejaksaan yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang berujung pada terjadinya berbagai tindak pidana dalam masyarakat.14 Implementasi dari peran Intelijen Yustisial Kejaksaaan dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang membahayakan masyarakat dan negara dengan membentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan dalam Masyarakat). Titik berat ditekankan pada kinerja Tim Pakem, karena lembaga yang mengakomodir peran pengawasan terhadap aliran kepercayaaan dan keagamaan yang ada di Indonesia tersebut mempunyai peran penting terhadap status apakah agama atau kepercayaan yang dianut seseorang sesat/ menyimpang atau tidak.
13
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor : JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara Nomor : 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri dengan Nomor : 75/D.I/VI/2003 tanggal 5 Juni 2003. MUI pada tahun 1980 pernah mengeluarkan fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Kemudian pada tahun 2005 MUI menegaskan kembali melalui fatwa terbarunya yang juga menyatakan bahwa ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Dan puncaknya pada tanggal 9 Juni 2008, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor : 03 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. 14 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pasal 30 ayat (3) huruf d dan e disebutkan “Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang didalam penjelasan pasal demi pasal lebih lanjut dijelaskan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini lebih bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud turut menyelenggarakan adalah mencakup kegiatan-kegiatan yang bersifat membantu, turut serta dan bekerja sama dan dalam turut menyelenggarakan tersebut kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
9
Tim Pakem dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Kewenangan untuk mengawasi aliran kepercayaan dan mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tersebut tidak hanya dimiliki oleh Kejaksaan tetapi juga dipunyai oleh departemen/instansi lainnya, sehingga dipandang perlu adanya koordinasi, maka dibentuk Tim Pakem di pusat dan daerah. Berbagai kritikan dari masyarakat muncul karena Kejaksaan dianggap kurang mampu
mengakomodir
peran
pengawasan
tersebut
dan
mengidentifikasi
berkembangnya berbagai aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang dan mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di Indonesia yang berujung pada kasus-kasus penodaan agama. Sementara
itu
kedudukan
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Mahkamah Konstitusi tetap dinyatakan konstitusional sebagai hukum pidana yang masih berlaku di Indonesia15. Namun oleh sebagian pihak dianggap sudah tidak memadai lagi karena sudah ketinggal zaman, diskriminatif, dan banyak menimbulkan multitafsir sehingga banyak
mengalami
pertentangan
dalam
penggunaannya.
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 dianggap sebagai produk cacat secara substanstif dan tidak dapat diterima secara sosiologis. Undangp-Undang No.1/PNPS/1965 dibentuk oleh konfigurasi politik yang otoriter, sentralistik dan terpusat, dan bukan dibentuk oleh konfigurasi politik yang demokratis. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka timbul keinginan penulis untuk mengadakan penelitian yang lebih konprehensif dan mendalam dalam rangka penyusunan tesis, dimana pembahasan akan dilakukan mengenai masalah peranan Kejaksaan dalam bidang intelijen, dan penulis memberikan judul tesis “Peranan Kejaksaan
Dalam
Pengawasan
Aliran
Kepercayaan
Dan
Pencegahan
15
Lihat Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dalam Uji Materil Undang-Undang No.1/PNPS/1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
10
Penyalahgunaan
dan/atau
Penodaan
Agama
Ditinjau
Dari
Perspektif
Penegakan Hukum Pidana”.
1.2
Permasalahan Reformasi Kejaksaan menuntut adanya peningkatan peran kejaksaan dalam
mendukung sistem pertahanan negara terutama dalam menjaga stabilitas keamanan nasional. Intelijen Yustisial Kejaksaan dibawah Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan dibidang Intelijen Yustisial yang bertanggungjawab langsung kepada Jaksa Agung. Peran Intelijen Yustisial Kejaksaan diharapkan mampu memelihara situasi keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga mampu untuk mencegah dan menegakkan hukum dari berbagai tindak kejahatan yang terjadi dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan masalah pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sementara itu desakan sebagian masyarakat beragama terhadap penerapan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, makin mendapat tentangan yang luas karena undang-undang tersebut dianggap tidak memadai lagi karena sudah ketinggal zaman, diskriminatif, dan banyak menimbulkan multitafsir sehingga banyak mengalami pertentangan dalam penggunaannya. Berdasarkan pernyataan permasalahan tersebut diatas, penelitian ini akan didasari pada beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana peranan Kejaksaan dalam pengawasan terhadap aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama?
2.
Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama?
3.
Bagaimana kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama?
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
11
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan
latar
belakang
dan
Pokok
Permasalahan
sebagaimana
dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan : 1.
Mengetahui peranan Kejaksaan dalam pengawasan terhadap aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama?
2.
Mengetahui Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam pengawasan terhadap aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama?
3.
Mengetahui kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama?
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan baik dari segi teoritis
maupun praktis. 1.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan peranan Kejaksaaan dalam pengawasan terhadap aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum acara pidana serta dapat menambah kepustakaan bagi para pihak yang berminat dan berkepentingan dalam masalah ini.
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan dan bahan masukan bagi Kejaksaan RI dan dapat menggugah minat para akademisi untuk selalu mengkritisi produk peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan pula bagi kalangan atau pihak-pihak yang bergerak dalam bidang legislatif agar dapat menentukan kebijakan legislatif di bidang perundang-undangan pidana yang dapat menunjang sistem peradilan pidana.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
12
1.5
Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian untuk menemukan jaawaban dari pemasalahan dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian hukum yuridis normative. Penelitian ini bersifat deskriptif dalam menjawab permasalahan tentang “Peranan Kejaksaan Dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan Dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Ditinjau Dari Perspektif Penegakan Hukum Pidana”. Penelitian deskriptif berupaya untuk menguraikan
dan
memaparkan
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang hendak dibahas.
2.
Pendekatan Masalah Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangn (statute approach) yang mengatur tentang kewenangan Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) terutama yang berkaitan dengan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan. Di samping itu juga dipergunakan pendekatan konsep (conceptual approach) untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan konsep teori yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik agama, serta pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu perbandingan pengaturan tindak pidana penodaan agama di beberapa negara yaitu Austria, Belanda, Denmark, India, Jepang, Jerman, Pakistan
dan Yunani.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
13
3.
Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. a.
Data Primer Data yang diperoleh melalui studi lapangan (field research)
b.
Data Sekunder Data yang diperoleh melalui studi pustaka (documentary research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari berbagai konsepsi, teoriteori, asas-asas, doktrin-doktrin dan pelbagai dokumen
yang
berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan hukum yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu meliputi semua peraturan yang berkaitan dengan Peran Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama, juga yang berupa rancangan dan lain-lainnya. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu meliputi kepustakaan hukum, artikel, makalah dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier, yaitu meliputi kamus, catatan perkuliahan dan lain sebagainya.
4.
Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih sebagai tempat penelitian untuk melakukan penelitian dalam
rangka menjawab permasalahan ini dilakukan di
wilayah Jakarta. Alasan pemilihan lokasi penelitian karena Kejaksaan Agung dan Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berkedudukan di Jakarta yang meliputi seluruh kantor Kejaksaan Negeri di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tersebut. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa Jakarta banyak menyidangkan kasuskasus penodaan agama.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
14
5.
Teknik Pengumpulan Data a.
Wawancara Dalam rangka memperoleh data primer,
dan konfirmasi data
sekunder maka dilakukan wawancara dengan informan yang ditetapkan.
Wawancara
yang
digunakan
adalah
wawancara
terpimpin (guided interview), atau disebut juga wawancara terarah (directive interview) dalam arti ada pedoman pertanyaan dalam melakukan wawancara untuk memperoleh data dari para informan. Mereka yang menjadi informan adalah yang berkompeten untuk memberikan keterangan-keterangan seperti kejaksaaan Agung RI beserta jajarannya yang diwakili Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Intelijen, Direktur Sosial dan Politik pada Jaksa Agung Muda Intelijen, Kepala kejaksaan Tinggi, Asisten Intelijen kejaksaan Tinggi, kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan pihak terkait lainnya yang berkaitan dengan masalah aliran kepercayaan dan keagamaan.
b.
Studi dokumen Dengan metode ini akan dikumpulkan berbagai bahan hukum beserta catatan dan laporan data lainnya yang terdapat pada berbagai tempat institusi penelitian ini dilakukan. Pengumpulan tersebut meliputi berbagai peraturan dan literatur seperti UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan Peraturan lainnya seperti Keputusan Jaksa Agung maupun Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan masalah pengawasan aliran kepercayaan dan
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
15
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
6.
Analisis data Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer kemudian dianalisa secara yuridis dengan metode kualitatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini.
1.6
Kerangka Teori Sistem Peradilan Pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.16 Sistem ini dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Pelaksanaan ini dilakukan oleh sistem peradilan pidana (SPP) yang terdiri dari Polisi (penyidik), Jaksa (penuntut umum), Hakim (pengadilan), dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam
SPP
juga
diperlukan
adanya
keterpaduan
dan
sinkronisasi
(sycronisation) antar sub sistem. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural
(structural
sycronisation),
sinkronisasi
substansial
(substancial
sycronisation), dan sinkronisasi kultural (cultural sycronisation). Sinkronisasi tersebut sangat diperlukan dalam SPP untuk mencapai fungsi dan tujuan SPP. Adanya sinkronisasi antar sub sistem yang terlibat dalam SPP dalam struktur hukum (structural
sycronisation)
mulai
dari
kepolisian
sampai
pada
lembaga
pemasyarakatan merupakan salah satu hal yang sangat menentukan dalam pencapaian fungsi dan tujuan SPP, selain itu perlu didukung adanya sinkronisasi substansi hukum (substancial sycronisation) menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku
16
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan System Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1997), hal. 140
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
16
dan sinkronisasi kultural hukum (cultural sycronisation) menyangkut budaya hukum baik aparat penegak hukum maupun masyarakat.17 Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan perkataan lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik.18 Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksanaannya.19 Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga penegak hukum, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak akan terlepas dari masalah-masalah yang mungkin timbul. Berhasil tidaknya suatu upaya penegakan hukum dipengaruhi oleh faktorfaktor atau unsur-unsur yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Sukanto, ada lima unsur penegakan hukum, yaitu:20 a) faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi undang-undangnya sendiri; b) faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum; c) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d) faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; e) faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan karsa manusia didalam pergaulan hidup. 17
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang : UNDIP, 1995), hal. 1-2 Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), hal. 40 19 Achmad Ali, Menguak tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), (Jakarta: Gunung Agung, 2002) hal. 97 20 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Cet 3, (Jakarta : Radja Grafindo Persada, 1993), hal. 5 18
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
17
Hasil studi mengenai reformasi hukum di Indonesia juga mempunyai pendapat yang sama, bahwa keberhasilan suatu penegakan hukum dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu:21 a) isi peraturan perundang-undangan; b) sumber daya manusia; c) fasilitas pendukung; d) kelompok kepentingan dalam masyarakat; e) budaya hukum.
1.7
Kerangka Konsepsional Untuk menyamakan persepsi mengenai istilah-istilah dan pengertian-
pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini diberikan arti dari istilah-istilah dan pengertian yang bersangkutan antara lain: 1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia). 2. Intelijen Kejaksaan sebagai Intelijen Hukum atau Intelijen Yustisial (law intellegence) dalam pola pelaksanaannya berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka penegakan hukum untuk pengamanan pembangunan dan hasil-hasilnya. Selain itu penyelenggaraan fungsi Intelijen Kejaksaan selalu mengarah pada kegiatan, tindakan ataupun usaha untuk mendukung keberhasilan operasi yustisi, dalam hal ini penyelesaian perkara tindak pidana yang terjadi di dalam masyakat. Lingkup bidang Intelijen meliputi kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan 21
Firos Gaffar dan Ifdal kasim, Reformasi Hukum di Indonesia (terjemahan dari Diagnostic Assasment of legal Development in Indonesia) : hasil studi perkembangan hukum – Proyek Bank Dunia, Penterjemah Niar Reksodiputro dan Imam Pambagyo (Jakarta : Cyberconsult, 1990), hal. 118
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
18
penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana untuk mendukung penegakan hukum baik preventif maupun represif di bidang ideologi, ekonomi, keuangan, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, melaksanakan cegah tangkal terhadap orang-orang tertentu dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum. 3. Kegiatan Intelijen diartikan sebagai usaha, pekerjaan dan tindakan yang diwujudkan dalam bentuk penyelidikan, pengamanan, penggalangan yang dilakukan secara rutin, terus-menerus dan berdasarkan suatu tata cara kerja yang tetap. Operasi Intelijen adalah usaha kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada suatu rencana yang terinci di luar tujuan yang rutin, dalam ruang dan jangka waktu tertentu dan yang dilakukan atas dasar perintah pihak atasan yang berwenang. 4. Penyelidikan (LID) adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk memperoleh bahan keterangan yang dibutuhkan mengenai masalah tertentu yang setelah melalui proses pengolahan dapat digunakan untuk membuat perkirakan mengenai masalah yang dihadapi sehingga dapat ditentukan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dengan resiko yang diperhitungkan. Pengamanan (PAM) adalah semua usaha, pekerjaan dan kegiatan serta tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan menumpas serta menggulung setiap usaha pekerjaan, kegiatan dan operasi pihak
musuh/lawan
yang
melakukan
penggalangan. Penggalangan (GAL)
penyelidikan,
sabotase
dan
adalah semua usaha, pekerjaan dan
tindakan secara berencana dan terarah oleh sarana-sarana Intelijen, dengan membuat tujuan khusus membuat, menciptakan dan atau merobah suatu kondisi di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan dan sesuai dengan kehendak pihak atasan yang berwenang untuk mendukung kebijaksanaan yang ditempuh dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan. 5. Tim Pakem adalah lembaga yang mengakomodir peran pengawasan terhadap aliran kepercayaaan dan keagamaan yang ada di Indonesia. Tim Pakem
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
19
dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
1.8
Sistematika Untuk mempermudah pemahaman isi tesis, penulis menggunakan sistematika
didalam pembahasannya, sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang Masalah; Permasalahan; Tujuan Penelitan; Kegunaan Penelitian; Metode Penelitian; Kerangka Teori; Kerangka Konsepsional dan Sistematika.
Bab 2
Tinjauan Umum Tentang Kejaksaaan Dalam Sistem Peradilan Pidana yang menguraikan Pendekatan Kebijakan Terhadap Masalah Kejahatan, Pengertian Sistem Peradilan Pidana; Tujuan Sistem Paradilan Pidana; Kejaksaan Republik Indonesia, Tugas dan Wewenang Kejaksaan dan Tinjauan Tentang Intelijen Yustisial Kejaksaan.
Bab 3
Pengawasan
Aliran
Kepercayaan
dan
Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama oleh Kejaksaan yang menguraikan Masalah Aliran Kepercayaan dan Agama di Indonesia;
Pengawasan
terhadap
Aliran
Kepercayaan
dan
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama oleh Kejaksaan; Kasus-Kasus Aliran Menyimpang di Indonesia dan Kasus-Kasus Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
20
Bab 4
Analisis
Peran
Kepercayaan
Kejaksaan
dan
Dalam
Pencegahan
Pengawasan
Penyalahgunaan
Aliran dan/atau
Penodaaan Agama yang menguraikan Kewenangan Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama oleh Kejaksaan;
Kepastian
Hukum
dalam
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama; dan Kendala-Kendala dalam
Pengawasan
Aliran
Kepercayaan
dan
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama oleh Kejaksaan.
Bab 5
Penutup yang menguraikan Kesimpulan dan juga akan diuraikan Saran-Saran bagi pihak terkait berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasial penelitian ini.
Universitas Indonesia Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
21
BAB 2 TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Bab ini akan membahas tentang Pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, Pengertian Sistem Peradilan Pidana, Tujuan Sistem Peradilan Pidana, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Tugas dan wewenang Kejaksaaan serta tinjauan tentang Intelijen Yustisial Kejaksaan. Dengan adanya pembahasan tersebut diharapkan dapat memperjelas pola pikir dalam bab ini.
2.1
Pendekatan Kebijakan terhadap Masalah Kejahatan Untuk dapat memahami dengan baik mengenai dasar-dasar teoritis
penanggulangan kejahatan melalui pemberdayaan sistem peradilan pidana, terlebih dahulu harus diingat bahwa belakangan ini penegakan hukum pidana telah ditempatkan dalam kerangka berfikir yang lebih luas, yang melibatkan perangkat penegakan hukum secara keseluruhan dan memasukkan hal itu ke dalam kerangka berfikir yang bersifat yuridis.22 Secara umum penegakan hukum menurut Purnadi Purbacaraka dapat diartikan sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidahkaiadah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan dengan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.23 Untuk dapat menyerasikan nilai-nilai yang terpelihara dalam kaidah-kaidah tadi dengan sikap tindak anggota masyarakat, tidak cukup semata-mata dilakukan dengan menggunakan hukum pidana. Bahkan, hukum lain mungkin lebih berpotensi menghasilkan tujuan yang diharapkan. Di bidang hukum pidana sendiri, penegakan 22
Dwi Prasetyo Wiranto, Tesis : Peran Kepolisian Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Studi Terhadap Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika), (Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1998), hal. 16 23 Soejono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta : BPHN, 1983), hal. 3
21 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
22
hukum pidana berarti menyerasikan nilai-nilai yang dicita-citakan tadi dengan perilaku anggota masyarakat untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian hidup bersama, dengan menggunakan sangsi pidana. Penggunaan sangsi pidana dapat berbentuk penjatuhan nestapa bagi anggota masyarakat yang melanggar kaidah-kaidah yang telah disepakati tadi. Dan penggunaan sangsi pidana sedapat mungkin dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah upaya lain tidak berhasil (ultimum remedium). Oleh karena itu, penegakan hukum pidana berarti pula upaya untuk mewujudkan nilai tahap akhir, yaitu cita-cita dari suatu masyarakat yang tergambar dari berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini berarti telah diakuinya pendekatan kebijakan dalam hukum pidana. Pendekatan kebijakan dalam hukum pidana dimaksudkan sebagai upaya dalam menanggulangi kejahatan, hoefnagels menamakan pendekatan ini sebagai kebijakan criminal (criminal policy), yaitu sebagai keseluruhan upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan (a rational total of the responses to crime).24 Uraian diatas menunjukkan adanya pendekatan terhadap masalah kejahatan. Antonie A.G Peters menggarisbawahi bahwa perhatian utama pendekatan ini diorientasikan kepada kebijakan, perencanaan, dan organisasi.25 Hal tersebut dapat dikenali dengan adanya berbagai ciri tertentu. Pertama, adanya pendekatan terpadu terhadap pelaksanaan peradilan pidana, yaitu para pembuat kebijakan, para penegak hukum dan masyarakat secara bersama-sama bertanggungjawab atas masalah kejahatan. Hal ini berarti pencegahan kejahatan juga melibatkan berbagai institusi sosial lain yang berada di luar sistem peradilan pidana.26Kedua, hukum pidana dilihat hanya sebagai salah satu bagian dari bentuk-bentuk alternatif pengawasan sosial. Pilihan penggunaan hukum pidana merupakan cara rasional tanpa mengecilkan arti pertimbangan-pertimbangan moral untuk mengatasinya dengan cara lain. Ketiga, ciri lain yang tergambar dalam pendekatan ini adalah memperjuangkan efisiensi. Hal ini 24
Hoefnagels, The Otherside of Criminology, Deventer : Kluwer BV, 1973, hal. 99. Antonie AG Peters, “Main Currents in Criminal Law Theory”, dalam Jan Van Dijk ed, Criminal Laws in Action, (London : Kluwer Law and Taxation, 1996), hal. 32 26 John Graham, Crime Prevention Strategies in Europe and North America, (Helsinki : Helsinki Institute for Crime Prevention and Control Affiliated with the United Nations, 1990), hal. 1860 25
22 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
23
terlihat dari dengan dilibatkannya seluruh potensi masyarakat untuk semaksimal mungkin menekan angka kejahatan. Pendekatan kebijakan terhadap kejahatan membawa implikasi yang sangat luas. Pada satu sisi hal itu merupakan reorientasi terhadap tujuan penanggulangan kejahatan, yang menyebabkan perlunya perombakan di setiap lini potensi yang mengemban fungsi pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Kondisi demikian merembes pula, bahkan sebenarnya terutama ditujukan terhadap peradilan pidana. Hukum pidana yang diwakili oleh berbagai institusi penyelenggara peradilan pidana, diharapkan mampu menanggulangi kejahatan secara maksimal. Sebagai kelanjutan diakuinya pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, bahkan sebagai konsekuensi mutlak pendekatan tersebut terhadap hukum pidana adalah pengadopsian pendekatan sistemik dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan demikian, pada sisi penegakan hukum pidana dilakukan dengan memberdayakan sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, dalam subbab selanjutnya, penulis mengemukakan secara garis besar pengertian dan tujuan sistem peradilan pidana.
2.2
Pengertian Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana untuk pertama kali dikenalkan oleh para pakar dan
hukum pidana dan ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dengan meningkatnya angka kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada saat itu pendekatan hukum yang digunakan adalah hukum dan ketertiban.27 Berbicara tentang sistem peradilan pidana, tentu tidak akan terlepas dari topik bahasan tentang sistem itu sendiri. Pengertian sistem (system) adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai
27
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Ekstensialisme dan Abolisialisme (Bandung : Bina Cipta, 1996), hal. 7
23 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
24
sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar acak dan saling membantu untuk mencapai suatu hasil.28 Pengertian lain tentang sistem adalah suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait dalam suatu tujuan tertentu. Sehingga adanya kelemahan atau kerusakan dalam sistem tersebut akan menyebabkan rusaknya sistem dalam arti keseluruhan, sehingga tujuan sistem tidak akan tercapai.29 Sistem peradilan pidana identik dengan sistem penegakkan hukum pidana. Dimana sistem penegakkan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan
atau
kewenangan
menegakkan
hukum.
Mardjono
Reksodiputro
memberikan batasan terhadap sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan advokat/pengacara. Dalam kesempatan lain Mardjono juga menerjemahkan sistem peradilan pidana sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Menanggulangi disini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berbeda dalam batas-batas toleransi masyarakat.30 Menurut Soedjono Dirdjosisworo, penyelenggaraan peradilan pidana dapat dipahami sebagai mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan serta pelaksaan putusan pengadilan.31 Pengertian lain dikemukanan oleh M. Faal. Beliau berpendapat bahwa sistem peradilan pidana adalah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana, masingmasing komponen fungsi yang terdiri dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para si terhukum, 28
Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan Jilid 2,(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia, 1992), hal. 37 29 Loebby Lukman, KUHAP Kita, Antara Harapan dan Kenyataan, (Jakarta: FH UI Depok, 1997), hal. 14 30 Madjono Reksodiputro, “Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) Dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Ed. 1. Cet. III. (Jakarta : Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal. 84 31 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,(Bandung : Armico, 1984), hal. 15
24 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
25
yang bekerja secara bersama-sama, terpadu di dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu untuk menanggulangi kejahatan.32 Ada beberapa penekanan dalam definisi ini, yaitu: Pertama, penekanan pada adanya “sistem, dari suatu proses”. Sistem disini merupakan proses pelaksanaan perencanaan kerja yang terdapat dalam suatu lembaga, dalam hal ini peradilan pidana. Jadi tersirat adanya suatu tahapantahapan (proses) secara sistematis dalam melaksanakan peradilan pidana. Kedua, penekanan pada fungsi komponen-komponen lembaga yang berperan dalam menjalankan proses tersebut. M. faal menyebutkan ada empat komponen yang masing-masing mempunyai tugas berbeda. Keempat urutan komponen tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Urutan komponen ini menunjukkan rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan yang sama agar dapat menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan. Ketiga, penekanan pada cara bagaimana komponen-komponen dari lembaga tersebut bekerja. Masing-masing komponen dari lembaga yang menjalankan proses ini merupakan institusi-institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Ditegaskan oleh M. Faal bahwa dalam memainkan perannya masing-masing, kesemua komponen tersebut harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan disini merupakan keserampakan di antara komoponenkomponen dari lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya masingmasing, sehingga terlaksananya seluruh tahap dari proses tersebut. Keserampakan tadi diharapkan menjadi sesuatu kekuatan yang sinergis untuk mencapai tujuan. Keempat, pengertian sistem peradilan pidana dikaitkan dengan tujuan dari proses, komponen dan cara kerja sistem tersebut. Tujuan disini merupakan tujuan keseluruhan, baik tujuan dari prioses, tujuan dari pelaksanaan fungsifungsi komponen maupun tujuan dari cara kerja komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu, tujuan tersebut mesti dipahami dengan baik oleh setiap komponen. Peranan yang sangat besar dari semua komponen dalam menjalankan seluruh tahapan proses menyebabkan pemahaman mengenai tujuan ini begitu penting. Tanpa pemahaman yang seragam mengenai tujua tersebut, proses atau tahap-tahap pelaksanaan rencana kerja dari lembaga ini akan sulit terlaksana dengan baik. Tujuan proses itu adalah menanggulangi kejahatan.
32
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991), hal. 24-25
25 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
26
Penggunaan kata sistem dalam istilah sistem peradilan pidana berarti bahwa kita menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlunya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub sistem kearah tercapainya tujuan bersama.33 Menurut pendapat Muladi dikatakan: Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang sama. Untuk mencapainya dibutuhkan sebuah mekanisme yang terarah dan adanya keserampakan. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan mengurangi efektifitas sistem bahkan akan menyebabkan keseluruhan sistem disfungsional.34 Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem peradilan pidana juga telah mencakup pengertian keterpaduan dan koordinasi. Sehingga diperlukan juga sinkronisasi yang mengandung makna keserampakan dan keselarasan untuk mengantisipasi fragmentasi yang dapat terjadi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang disimpulkan Muladi bahwa : Penyebutan “Integrated” dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) untuk menekankan adanya integrasi dan koordinasi dan juga sinkronisasi terhadap: a. komponen-komponen yang bersifat struktural yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi baik yang bersifat institusional maupun non institusioanal dan lembaga penasehat hukum. b. Komponen substansional yaitu hukum pidana, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana yang harus dilihat dalam konteks sosial untuk keadilan. Dalam konteks ini juga perlu dihayati asas legalitas, asas kegunaan/kelayakan, asas prioritas dalam mengoperasionalkan hukum pidana. c. Komponen kultural yaitu ideology, pandangan, sikap dan bahkan falsafah yang mendasari sistem peradilan pidana yang pada akhirnya disebut sebagai model. Model yang kita anut mestinya adalah model yang realistik yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan (model keseimbangan kepentingan).35 33
Madjono Reksodiputro, op. cit hal. 145 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 1-5 35 Ibid. 34
26 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
27
2.3
Tujuan Sistem Peradilan Pidana Tujuan dari sistem peradilan pidana merupakan hal yang sangat menentukan
dari keberhasilan sistem tersebut. Masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana harus memiliki persepsi yang sama terhadap tujuan tersebut. Selain itu, setiap kewenangan dan tindakan yang dilakukan masing-masing sub-sistem harus mengarah pada tujuan sistem tersebut. Menurut Loebby loqman tujuan sistem peradilan pidana adalah: terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari sistem peradilan pidana adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari hukum acara pidananya yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat.36 Dalam cakupan yang lebih luas, tujuan sistem peradilan pidana adalah: a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang salah di pidana, serta: c. berusaha agar mereka yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.37
Dari apa yang telah penulis uraikan diatas, jelas bahwa pada intinya sistem peradilan pidana bertujuan utama untuk mencegah kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat dan menciptakan keadilan bagi masyarakat. Namun tentunya dalam pelaksanaannya dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dan otoritas untuk menyelenggarakan peradilan pidana. Sehingga dengan adanya wewenang untuk memerangi kejahatan tersebut sudah barang tentu tugas pokok menjadi beban tanggungjawabnya.
36
Loebby Lukman, Jakarta, 13 November 2001). 37 Ibid.
‘Eksistensi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana”, (Makalah,
27 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
28
Penyelenggaraan peradilan pidana dipahami sebagai mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Sehingga diharapkan dengan adanya kerja sama komponen-komponen tersebut dapat membentuk apa yang di kenal dengan nama suatu “integrated criminal justice system” atau sistem peradilan pidana yang terpadu. Dalam system peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut:38 1) Kepolisian, dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan dari public manakala terjadi tindak pidana; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyelidikan kepada kejaksaan dan memastikan di lindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 2) Kejaksaan dengan tugas pokok; menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. 3) Pengadilan yang berkewajiban untuk; menegakkan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasar hukum; dan menyiapkan arena public untuk persidangan sehingga public dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini. 4) Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk: menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan terlindunginya hakhak narapidana; menjaga agar kondisi LP memadai untuk perjalanan pidana 38
MaPPI FH-UI, “Media Hukum dan Keadilan”, Vol. 1 No. 8 Oktober 2002. hal. 20-22.
28 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
29
setiap narapidana; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan narapidana untuk kembali kemasyarakat. 5) Pengacara, dengan fungsi: melakukan pembelaan bagi klien; dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.
Di Indonesia yang mendasari sub system-sub system sebagaimana tersebut diatas mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Tetapi belum ada upaya yang sistematis dan signifikan dalam rangka mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formil yang hanya mendasarkan pada acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut adalah apa yang disebut dengan kebijakan pidana (criminal policy). Sementara tuntutan perkembangan system informasi dan teknologi, semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut. Di samping Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat banyak kelemahan mendasar, tetapi adalah sangat tidak memadai jika UU tersebut dijadikan satu-satunya sandaran bagi kiblat dan muara hukum pidana formil di Indonesia. Sebagaimana Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa politik kriminal merupakan usaha masyarakat yang rasional dalam menanggulangi kejahatan (baik proaktif maupun reaktif), pada umumnya dirumuskan melalui perangkat perundangundangan yang berkenaan dengan masing-masing lembaga yang terlibat dalam upaya penegakkan hukum dalam proses peradilan pidana. Tujuan yang hendak dicapai adalah mengurangi keinginan melakukan pelanggaran aturan pidana, serta sekaligus memenuhi rasa keadilan masyarakat.39 Penjelasan-penjelasan yang melihat pentingnya kesatuan tindak, koordinasi, kerjasama antar penegak hukum, seperti sedikit diuraikan diatas, akan lebih tegas lagi kebenarannya apabila kita melihat penjelasan Soerjono Soekanto tentang faktor39
Mardjono Reksodiputro, Menuju pada Suatu Kebijakan Kriminal dalam HAM dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994. hal. 92.
29 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
30
faktor penegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. faktor hukumnya sendiri (misalnya undang-undang); 2. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum; 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.40 Oleh karena itu, menurut pendapat penulis bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi berhasilnya kinerja penegakkan hukum ternyata tidak hanya dimonopoli oleh satu faktor saja yaitu faktor penegak hukumnya saja, namun ada faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam mendukung keberhasilan dari sistem peradilan pidana tersebut yaitu faktor hukumnya, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan juga faktor kebudayaan.
2.4
Kejaksaan Republik Indonesia Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa tujuan sistem peradilan pidana pada
akhinya tetap bergantung besar pada faktor koordinasi antara penyelenggaraan peradilan pidana yang merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Sehingga diharapkan dengan adanya kerja sama komponen-komponen tersebut dapat membentuk apa yang di
40
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 5
30 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
31
kenal dengan nama suatu “integrated criminal justice system” atau sistem peradilan pidana yang terpadu. Posisi Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem peradilan pidana yang memiliki kewenangan di bidang penuntutan memegang peranan yang sangat penting dalam proses penegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembicaraan pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang peranan kejaksaaan, sehingga diharapkan dapat memperjelas pola pikir yang diuraikan dalam bagian ini.
2.4.1 Tugas dan Wewenang Kejaksaaan Di Indonesia, lembaga Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan memperhatikan Undang-Undang Kejaksaan tersebut maka jelas bahwa Kejaksaan berada dalam lingkungan kekuasaan eksekutif yang berarti lembaga Kejaksaan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.41 Tirtaamidjono mengatakan bahwa: Kejaksaan adalah suatu alat pemerintah yang bertindak sebagai penuntut dalam suatu perkara pidana terhadap pelanggar hukum pidana. Sebagai demikian itu ia mempertahankan kepentingan masyarakat. Ia yang mempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan supaya perbuatan yang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak. Kepadanya pulalah semata-mata diserahkan penuntutan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.42
41
Mengenai kedudukan Kejaksaan yang berada di lingkungan kekuasaan eksekutif menurut Andi Hamzah adalah bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan) menyatakan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang”. Perkataan “lain-lain Badan Kehakiman” bukan “lain-lain Badan Pengadilan”, yang berdasarkan Sistem Hukum Eropa Kontinental termasuk Jaksa Agung atau Kejaksaan pada Mahkamah Agung. Jadi keberadaan Kejaksan menurut UUD 1945 (sebelum perubahan) adalah dibawah MA yang berarti berada di lingkungan Kekuasaan Yudikatif, seperti keberadaan Kejaksaan di masa kolonial. Poltak Partogi Nainggolan, Ed, Bunga Rampai Kajian RUU Tahun 2002, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekjen DPR RI, 2002), hal. 25-26 42 Mr. M. H. Tirtaamidjono, Kedudukan Hakim dan Djaksa, (Jakarta : Fasco, 1953), hal. 15
31 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
32
Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa lembaga Kejaksaan mempunyai kedudukan dan peranan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan. Sebenarnya ada kegamangan yang timbul dari rumusan normative tersebut. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah mengandung konsekuensi bahwa ia merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang tidak dapat bertindak independen dalam mewujudkan fungsi substantifnya sebagai institusi penegak hukum dan keadilan. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan tentang pengertian Jaksa, Penuntut Umum dan Penuntutan, adalah sebagai berikut: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.43
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim.44
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.45 43
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik
Indonesia. 44
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik
Indonesia 45
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik
Indonesia
32 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
33
Jaksa selaku penegak hukum, didalam menggunakan kewenangannya bertindak dalam hal bersentuhan dengan kepentingan publik, seperti pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta penahanan dengan caracara yang diatur oleh Undang-Undang tidak menutup kemungkinan dapat melanggar hak asasi manusia. Berkenaan dengan hal tersebut Adnan Buyung Nasution, mengatakan bahwa: “Kejaksaan Agung harus menegakkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai negaa hukum. Yaitu kebenaran dan keadilan serta hak-hak asasi manusia, pikiran ini bersifat normative, karena substansi hukum itu berisi norma-norma yang seharusnya menjadi dasar dan acuan dalam sikap maupun tindakan kejaksaan yang menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan kata lain perkataan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia itulah roh dari hukum. Nilai-nilai hak asasi manusi menjadi bagian dari roh hukum karena hak-hak asasi manusia merupakan intisasri dari pengertian negara hukum maupun demokrasi”.46 Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, terjadi perubahan tugas dan wewenang. Lembaga Kejaksaaan tidak lagi melakukan penyidikan lanjutan, akan tetapi polisi-lah yang berperan sebagai penyidik. Sehinga tugas dan wewenang Kejaksaan di Indonesia dalam hal penyidikan telah beralih ke pihak Kepolisian, oleh karena itu mengenai tugas dan kekuasaan
dalam
menangani
penyelidikan
adalah
menjadi
tanggungjawab
sepenuhnya Kepolisian, terutama dalam usaha mengungkap setiap tindak kejahatan mulai sejak awal hingga selesai terungkap berdasarkan penyelidikannya.47 Namun demikian jaksa tetap diberi wewenang melakukan penyidikan beberapa tindak pidana yang besar maupun yang biasa sebagaimana diatur oleh hukum acara pidana khusus dalam beberapa undang-undang, yang dikenal sebagai tindak pidana khusus, seperti misalnya tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi 46
Adnan Buyung Nasution, Posisi Kejaksaan : kemandirian kelembagaan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum, (Pokok-pokok Pikiran sebagai Pengantar Diskusi pada Seminar sehari tentang “Posisi Kejaksan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum” diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa tahun 2000, Jakarta, Tanggal 20 Juli 2000). 47 Gunawan Ilham, Peranan Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, (Jakata : Sinar Grafika, 1994), hal. 56
33 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
34
dan subversi.48 Beberapa Undang-Undang tadi dilengkapi dengan hukum acara pidana khusus yang merupakan pengecualian dari pada yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dikalangan para pakar hukum Indonesia (dan Belanda) hal itu sebagaimana dilukiskan oleh adagium hukum lex specialis derogate lex generali, atau generalibus specialis derogant.49 Tugas dan wewenang penuntut umum dalam rangka melaksanakan penuntutan diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat(3) dan ayat (4), dengan member petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyediaan dari penyidik; c. memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan
atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepala seksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawan sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. 48
Penjelasan Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 49 RM. Surachaman – Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hal. 32-33
34 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
35
Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan. Serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.50 Kejaksaan yang merupakan salah satu sub-sistem dari sistem peradilan pidana, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, tercermin dalam sistem penuntutan pada umumnya. Keberadaan lembaga kejaksaan, khususnya jaksa selaku penuntut umum berkaitan dengan tugas penuntutan, pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan hukum pidana dan penegakkan hukum pada umumnya. Hal ini diawali oleh pengambilalihan penuntutan oleh negara dari orang, keluarga atau pihak yang hakhaknya dilanggar. Hal itu disebabkan negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian posisi dan kapasitas dasar setiap jaksa atau penuntut umum adalah sebagai alat negara yang memiliki kepentingan umum (representatives of public interest).51 Lembaga kejaksaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam peradilan pidana, jaksa merupakan tokoh sentral diantara 3 (tiga) komponen aparatur penegak hukum lain (polisi, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan). Kedudukan jaksa di berbagai negara tergantung pada sistem peradilan pidana yang dianutnya. Dalam Guidelines on the Role of the Prosecutor (Pedoman tentang Peranan Jaksa) yang diadopsi oleh konggres PP tentang Prevention of Crime and Treatment of Offenders pada tahun 1990, dalam point 10 disebutkan bahwa: 52 “prosecutor shall perform active role in criminal proceedings, inchiding institutions of prosecution ans, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of 50
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, alenea keenam. 51 Chistina Soerya, et.al. Kedudukan Kejaksaan sebagai Penegak Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001), hal. 3 52 I Wayan Suandra, et al. laporan Hasil Penelitian : Eksistensi Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001), hal. 22
35 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
36
these investigation of crime, supervision of the execution of court decisions and the exercise of other functions as representative of the public interest”. (para jaksa hendaknya melaksanakan peran aktif dalam proses perkara pidana, termasuk mengadakan penuntutan serta dalam diberi wewenang oleh undangundang atau sesuai dengan praktek setempat, melakukan penyidikan kejahatan, mengawasi sahnya penyidikan tersebut, mengawasi eksekusi putusan pengadilan dan dalam melaksanakan fungsi-fungsi lain sebagai kepentingan umum). Pada umumnya sistem peradilan pidana yang dianut oleh berbagai negara dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu sistem penuntutan tunggal (single prosecution system) dan sistem penuntutan ganda (dual prosecution system) Dikatakan sistem penuntutan tunggal (single prosecution system), jika:53 1. 2. 3. 4.
5.
6.
kejaksaan merupakan lembaga yang independen di pimpin oleh Jaksa Agung; pimpinan tidak ditetapkan berdasarkan pertimbangan politik dan tidak berada di bawah pengawasan atau pengaruh politik; kepolisian tidak melakukan penuntutan, kecuali penyidikan; memiliki kewenangan yang indenpenden untuk melakukan penyidikan, di samping dapat meminta polisi untuk melakukan penyidikan tambahan atau melakukan penyidikan sendiri; mempunyai wewenang diskresi untuk tidak melakukan penuntutan walaupun terdapat bukti yang kuat yang menunjukkan kesalahan terdakwa; mempunyai kewenangan diskresi untuk menghentikan penuntutan sebelum putusan pengadilan dijatuhkan.
Dalam sistem tunggal, jaksa merupakan satu-satunya aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan penuh untuk tidak atau melakukan penuntutan terhadap terdakwa, di damping itu jaksa dapat melakukan penyidikan. Di beberapa yurisdiksi, memang penyidikan kejahatan-kejahatan ekonomi dan korupsi harus mendapat persetujuan jaksa. Bahkan di beberapa yurisdiksi, jaksa diberi wewenang mengambil alih penyidikan yang sedang ditangani polisi. Dengan kata lain yurisdiksi-
53
Ibid,, hal. 22-23.
36 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
37
yurisdiksi tersebut jaksa adalah dominuslistis atau master of the procedure yaitu “gang penguasa perkara”.54 Sedangkan dalam sistem penuntutan ganda (dual public prosecution system) mempunyai karakteristik sebagai berikut:55 “Pimpinan lembaga penuntutan melaksanakan kontrol tersendiri atas lembaganya, baik kelanjutan ataupun akhir dari penuntutan pidana, namun kewenangan ini dalam kenyataannya tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pimpinan penuntutan atau ditarik secara langsung di bawah pengawasannya. Sebagai contoh sebagian penuntutan dilaksanakan oleh polisi, sekalipun hanya di tingkat pengadilan rendah”. Menurut pendapat penulis, Indonesia cenderung mengikuti sistem penuntutan tunggal (single prosecution system), dimana kejaksaan merupakan lembaga yang independen di pimpin oleh Jaksa Agung, Kepolisian tidak melakukan penuntutan, kecuali penyidikan, Kejaksaan memiliki kewenangan yang independen untuk melakukan penyidikan, di samping dapat meminta polisi untuk melakukan penyidikan tambahan atau melakukan penyidikan sendiri, serta mempunyai wewenang diskresi untuk tidak melakukan penuntutan walaupun terdapat bukti yang kuat yang menunjukkan kesalahan terdakwa dan mempunyai kewenangan diskresi untuk menghentikan penuntutan sebelum putusan pengadilan dijatuhkan.56 Peran jaksa pada lembaga penuntutan/kejaksaan dalam menyelenggarakan sistem peradilan pidana sangat penting karena jaksa adalah pejabat peradilan yang menjembatani antara tahap penyidikan sampai ke tahap pemeriksaan pengadilan. Jaksa adalah pejabat peradilan yang memonopoli keputusan untuk menuntut dan/atau tidak menuntut sehingga perlu memiliki kemandirian sesuai dengan salah satu karakteristik sistem penuntutan tunggal (single prosecution system) dengan harapan penerapan dan penegakkan hukum benar-benar tidak memihak. 54
Ibid., hal. 23 B.D. Srimarsita, et al. laporan Pengkajian : Posisi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih Menjamin Perwujudan Keadilan dan Kepastian Hukum, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001), hal. 2 56 Bunyi Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik Indonesia, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang “Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. 55
37 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
38
Tugas dan peran Kejaksaan di Indonesia telah diatur di dalam bagian Bab III Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai Tugas dan Wewenang. Tugas dan wewenang umum Kejaksaan menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1.
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melaksanakan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.
2.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan surat kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan; a.
peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.
pengamanan kebijakan penegakkan hukum;
c.
pengawasan peredaran barang cetakan;
d.
pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan negara; e.
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
38 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
39
Kejaksaan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mempunyai tugas dan wewenang:57 a.
menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
b.
mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang;
c.
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d.
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara;
e.
dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan perkara pidana;
f.
mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)
karena
keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2.4.2 Tinjauan Tentang Intelijen Yustisial Kejaksaan Membahas tentang peran kejaksaan dalam Intelijen, tentu tidak akan terlepas dari topik bahasan tentang pengertian intelijen itu sendiri. Menurut pendapat Kunarto, kata intelijen berasal dari intelligent (Belanda) yang berarti cerdas, cerdik, pandai. Berasal dari kata intelligence (Inggris) yang berarti kecerdasan, berita, pandai. Dan juga berasal dari kata intelligentia (Inggris) yang berarti kaum perpelajar, cerdik pandai. Jadi disimpulkan bahwa intelijen mengandung makna bahwa pekerjaan memerlukan kecerdasan. Dalam arti luas, intelijen merupakan suatu proses yang memerlukan pemikiran dan pengelolaan, untuk menghasilkan suatu informasi penting tentang sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi. Untuk itu, diperlukan suatu alat yang disebut kecerdasan.
Makna kecerdasan dalam intelijen tidak berarti hanya
sekedar pintar menguasi ilmu intelijen, namun juga banyak akal, mampu memahami 57
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksan Republik Indonesia
39 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
40
masalah, mampu membaca situasi dan menyesuaikan diri dengan cepat. Intelijen juga berkait langsung dengan segala sesuatu yang harus diketahui sesegera mungkin untuk menunjang setiap inisiatif tindakan.58 Sedangkan keberadaannya.
Manulang Intelijen
mengartikan
merupakan
intelijen
lembaga
berdasarkan
yang
berfungsi
fungsi
dan
melakukan
penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Fungsi penyelidikan melakukan halhal yang stratejik dan taktis. Fungsi pengamanan sesuai dengan misi dan visi intelijen itu, yakni menjaga keselamatan negara, bangsa dan rakyat. Di Indonesia, fungsi keamanan bertujuan menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di dalamnya memberikan pengamanan kepada Presiden, baik sebagai pribadi maupun pejabat tinggi negara beserta keluarganya. Sedangkan fungsi penggalangan dilakukan intelijen di wilayah negara akreditasi.59 Menurut pendapat Jono Hatmodjo, secara alamiah intelijen telah ada bersamasama dengan perkembangan peradaban manusia dan timbul sebagai akibat kebutuhan manusia yang menyangkut kelangsungan hidup, keamanan dan perwujudan citacitanya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan berbagai upaya, baik bagi kepentingan dirinya sendiri maupun kelompok atau bangsanya. Intelijen merupakan upaya dini untuk menentukan langkah-langkah lebih awal berdasarkan perkiraan dengan segala resiko yang diperhitungkan, sehingga langkah-langkah yang diambil dapat direncanakan secara cermat.60 Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, intelijen ikut berkembang walaupun hakikat intelijen tidak berubah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara intelijen sangat dibutuhkan, baik dimasa damai maupun masa perang guna menentukan arah kebijaksanaan yang akan ditempuh pimpinan. Sebagai dasar dalam penyelenggaraan intelijen, berpedoman kepada pengertian dasar, fungsi dan 58
Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta : Cipta manunggal, 1999), hal.
19 59
Manulang, Menguak Tahu Intellijence, (Jakarta : Panta Rhei, 2002), hal. 3 Jono Hatmojo, Intelijen Sebagai Ilmu, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003) dalam Bayu Setiawan, Tesis: Perlindungan Hukum Badan Intelijen Dalam Melaksanakan Salah Satu Tugas Di Bidang Pemberantasan Terorisme Di Indonesia Di Tinjau Dari Perspektif Ketahanan Nasional, (Program Studi Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2006). hal. 75 60
40 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
41
dapat mengakomodasikan kepentingan intelijen bagi lembaga/institusi sesuai dengan spesifikasi teknis masing-masing.61 Intelijen secara generik berasal dari kata “Intelligence” yang berarti kecerdasan, kemampuan mempelajari, memahami dan menghadapi satu situasi atau seni memahami sesuatu atau menggunakan akal.62 Sebagai satu aktifitas, Intelijen dapat dimaknai sebagai pekerjaan professional yang dilakukan agen-agen pemerintah dalam rangka penyediaan informasi – dan kontra-intelijen untuk kebutuhan keamanan nasional. Dalam perkembangan abad modern ini, peran intelijen yang dimiliki suatu negara sangat vital. Ada alasan mendasar mengapa suatu negara memerlukan aparat intelijen, yaitu intelijen biasa mendukung national policy (intelligence is a policy support). Dalam mendukung national policy itu, intelijen memberikan masukanmasukan kepada policy maker / decision maker, agar national policy dan strategic decision-nya bisa tepat, cerdas, tegas, benar, aman serta penuh dengan kebijakan (wisdom).63 Badan Intelijen adalah sebuah badan yang dibentuk dan diberi mandat oleh negara untuk:64 1) Memberikan analisa dalam bidang-bidang yang relevan dengan keamanan nasional; 2) Memberikan peringatan dini atas krisis yang mengancam; 3) Membantu manajemen krisis nasional dan internasional dengan cara mendeteksi keinginan lawan atau pihak-pihak yang potensial menjadi lawan; 4) Memberikan informasi untuk kebutuhan perencanaan keamanan nasional; 61
Ibid. 62 Seri 5 Penjelasan singkat (Backgrounder) Reformasi Intelijen di Indonesia. Dokumen ini merupakan bagian dari 10 series Penjelasan Singkat (Backgrounder) yang diterbitkan atas kerjasama IDSPS (Institude for Defense and Security and Peace Studies) dan Rights & Democracy Kanada untuk menyediakan informasi isu-isu di bidang reformasi sector keamanan bagi masyarakat sipil. Juni 2008. 63 Alex Dinuth, Mengapa Negara Perlu Memiliki Aparat Intelijen, Jurnal CSICI-Tahun 1/Juli 2004- No. 02, hal. 69 64 Seri 5 Penjelasan singkat (Backgrounder) Reformasi Intelijen di Indonesia. loc. cit.
41 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
42
5) Melindungi informasi rahasia; 6) Melakukan operasi kontra-intelijen.
Dalam sebuah negara, terdapat dua jenis badan intelijen, yaitu badan intelijen strategis dan badan-badan intelijen taktis. Pembedaan ini ditentukan berdasarkan situasi dan ruang lingkup tugasnya. Di Indonesia, badan intelijen strategis hanyalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk kebutuhan strategis negara dan cenderung berfungsi untuk mengatasi keamanan eksternal. Sementara badan-badan intelijen taktis terdapat di lingkungan militer, kepolisian, kejaksaan, bea dan cukai, bahkan pemerintahan daerah untuk kebutuhan-kebutuhan yang sangat terbatas di lingkungan institusi-institusi tersebut dan cenderung bersifat internal. Tugas badan intelijen strategis meliputi: 1) pengumpulan; yaitu aktivitas untuk memperoleh data baik melalui sumber-sumber terbuka maupun tertutup, seperti mata-mata, agen dan penghianat dari pihak lawan, 2) analisa; yang meliputi analisis, penyajian dan transformasi data menjadi produk intelijen untuk kebutuhan para pengambil kebijakan, 3) operasi kontra-intelijen;
yaitu serangkaian upaya untuk mencegah
badan intelijen asing atau kelompok-kelompok intelijen lain yang dikendalikan pihak asing melakukan spionase, subversi dan sabotase terhadap Negara.65
Di beberapa negara badan intelijen strategis juga melakukan operasi tertutup (cocert action) berupa tindakan-tindakan untuk memengaruhi secara langsung kondisi-kondisi politik, militer maupun ekonomi negara lain tanpa terlibat dan disadari negara tersebut. operasi tertutup ini dilakukan sebagai bagian dari aksi militer atau diplomasi atau terpisah ketika aksi-aksi lain gagal atau tidak mungkin dilakukan. 65
Ibid.
42 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
43
Sedangkan badan-badan intelijen taktis melakukan tugas-tugasnya terbatas untuk kebutuhan dan ruang lingkup yang terbatas dengan tujuan: 1) mendeteksi dan menganalisa ancaman masalah; 2) mendukung proses penegakkan hukum, keamanan dan ketertiban umum; 3) mendukung proses dan pelaksanaan kebijakan; dan Menjaga kerahasiaan digunakan.
informasi,
kebutuhan,
sumber
dan
metode
yang
66
Pada saat ini Indonesia memiliki beberapa badan intelijen di dalam menghadapi berbagai permasalahan pertahanan dan keamanan, baik nasional maupun internasional. Badan-badan intelijen tersebut, diantaranya ialah Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), Badan Intelijen Kepolisian (BIK), Intelijen Yustisial Kejaksaan Agung, Intelijen Ditjen Imigrasi, dan Intelijen Ditjen Bea Cukai. Dalam kaitannya dengan konsep menghadapi berbagai masalah pertahanan dan keamanan dalam negeri, Kejaksaan ikut berperan aktif terutama dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, dimana Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, dan juga pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.67 Dalam hal ini, tugas dan wewenang tersebut, oleh Jaksa Agung didelegasikan terhadap bawahannya yang dalam hal ini dibawah pengawasan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel). Jaksa Agung Muda Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan dibidang Intelijen Yustisial yang bertanggungjawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial dibidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan 66
Ibid. Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang kejaksaan Republik Indonesia. 67
43 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
44
keamanan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.68 Dalam melaksankan tugas dan wewenangnya tersebut, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen menyelenggarakan fungsi: 69 a.
perumusan kebijakan di bidang intelijen;
b.
koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang intelijen;
c.
pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri;
d.
memberikan dukungan teknis secara intelijen kepada bidang lain di lingkungan Kejaskaaan;
e.
pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang intelijen;
f.
pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung
Oleh karena itu, keberadaan kejaksaan khususnya peran intelijen dalam mendukung optimalisasi kinerja Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana mempunyai peranan penting dalam mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan
baik
preventif
menyelenggarakan
maupun
ketertiban
dan
represif,
melaksanakan
ketentraman
umum
dan serta
atau
turut
pengamanan
pembangunan nasional dan hasil-hasilnya maka dilakukan kegiatan-kegiatan Intelijen dan atau operasi Intelijen sesuai dengan kebutuhan yang meliputi fungsi penyelidikan
68
Pasal 12 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia 69 Pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia
44 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
45
(LID), Pengamanan (PAM), dan Penggalangan (GAL). adapun “sasaran” pelaksanaan fungsi tersebut di atas adalah: 70 1) masalah ideologi, politik, media masa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumber daya manusia, pertahanan keamanan, tindak pidana perbatasan dan pelanggaran wilayah perairan. 2) masalah investasi, produksi, distribusi, keuangan, perbankan, sumber daya alam, pertahanan, penanggulangan tindak pidana ekonomi serta pelanggaran zona ekonomi eksklusif. 3) masalah aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup serta penanggulangan tindak pidana umum.
Kegiatan Intelijen diartikan sebagai usaha, pekerjaan dan tindakan yang diwujudkan dalam bentuk penyelidikan, pengamanan, penggalangan yang dilakukan secara routine, terus-menerus dan berdasarkan suatu tata cara kerja yang tetap. Sedangkan Operasi Intelijen adalah usaha kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada suatu rencana yang terinci diluar tujuan yang routine, dalam ruang dan jangka waktu tertentu dan yang dilakukan atas dasar perintah pihak atasan yang berwenang. Adapun pengertian kegiatan Penyelidikan, Pengamanan dan penggalangan adalah: 71 a) Penyelidikan (LID) adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk memperoleh bahan keterangan yang dibutuhkan mengenai masalah tertentu yang setelah melalui proses pengolahan dapat digunakan untuk membuat perkirakan mengenai masalah yang dihadapi sehingga dapat
70
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, laporan Hasil Penelitian: Peningkatan Operasi Intelijen Yustisial Dalam Rangka Pengamanan Pembangunan dan Hasil-hasilnya, (Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1995/1996), hal. 5. Lihat juga Pasal 130 Keputusan Jaksa Agung (KEPJA) No. KEP-115/JA/10/1995 71 Togar Hutagaol, loc. cit., hal.7
45 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
46
ditentukan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dengan resiko yang diperhitungkan. b) Pengamanan (PAM) adalah semua usaha, pekerjaan dan kegiatan serta tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan menumpas serta menggulung setiap usaha pekerjaan, kegiatan dan operasi pihak musuh/lawan
yang
melakukan
penyelidikan,
sabotase
dan
penggalangan. c) Penggalangan (GAL) adalah semua usaha, pekerjaan dan tindakan secara berencana dan terarah oleh sarana-sarana intelijen, dengan membuat tujuan khusus membuat, menciptakan dan atau merobah suatu kondisi di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan dan sesuai dengan kehendak pihak atasan yang berwenang untuk mendukung kebijaksanaan yang ditempuh dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan.
Semua kegiatan yang berhubungan dengan Intelijen Yustisial Kejaksaan umumnya mengikuti empat langkah perputaran roda intelijen (roda perputaran intelijen (intelligence cycle) yang berorientasi kepada tugas pokok kesatuan. Empat langkah tersebut adalah:72
1) Langkah Pertama: 1. Pengarahan pimpinan untuk menentukan kebutuhan intelijen berlandaskan tugas pokok. Ada masalah yang dihadapi pimpinan berdasarkan keterangan atau intelijen yang telah ada yang diterima baik dari dalam maupun dari luar kesatuan yang perlu dijawab dengan mengumpulkan keterangan oleh petugas di lapangan.
72
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, laporan Hasil Penelitian: Peningkatan Operasi Intelijen Yustisial Dalam Rangka Pengamanan Pembangunan dan Hasil-hasilnya, (Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1995/1996), hal. 5. Lihat juga Togar Hutagaol, loc. cit.
46 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
47
2. Penyusunan rencana pengumpulan keterangan oleh staf Intelijen. Rencana pengumpulan keterangan merupakan arahan/pedoman selanjutnya dalam pengumpulan keterangan, oleh karena itu harus disusun secara lengkap dan baik. 3. Penyampaian perintah atau permintaan pengumpulan kepada badan pengumpul keterangan. Penyampaian perintah diberikan kepada petugas dari dalam, sedangkan permintaan dilakukan kepada pemberi keterangan dari kuar kesatuan.
2) Langkah Kedua: 1.
Pelaksanaan pengumpulan keterangan dengan memanfaatkan badan pengumpul dan sumber yang ada sesuai kemampuan dan akses yang dimilikinya.
2.
Salah satu cara untuk pengumpulan keterangan adalah dengan memanggil/meminta keterangan dari sumber informasi, untuk itu dibuat surat dinas resmi.
3.
Hasil dari pengumpulan keterangan oleh para petugas/badan pengumpul dilaporkan dalam bentuk laporan informasi yang memenuhi unsure SIABIDIBAM (siapa, apa, bilamana, dimana, bagaimana, mengapa).
4.
Setiap laporan harus ringkas, objektif, teliti, lengkap dan tepat pada waktunya.
3) Langkah Ketiga: Pengolahan keterangan yang terkumpul menjadi Intelijen. Pengolahan meliputi langkah-langkah kegiatan: 1.
Pencatatan Dalam; a) Buku kerja intelijen b) Peta situasi c) Kepentingan file (penyimpanan)
2.
Penilaian. 47
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
48
Penilaian adalah penelitian terhadap informasi yang baru diterima untuk mentukan sumber dan ketepatan atau derajat kebenaran informasi yang masuk (Accuracy), ada dua cara penilaian: a) Penilaian sumber atau badan pengumpul ditentukan dengan kode A sampai F. A=dipercaya sepenuhnya B=biasanya dapat dipercaya C=agak/masih dapat dipercaya D=biasanya tidak dapat dipercaya E=tidak dapat dipercaya F=kepercayaannya tidak dapat dinilai b) Penilaian ketepatan/kebenaran isi informasi. Tingkat penilaian kebenaran informasi dinyatakan dengan angka Arab 1 sampai dengan 6. 1=diperkuat oleh keterangan dari sumber lain 2=sangat mungkin benar 3=mungkin benar 4=kebenarannya diragukan 5=tidak mungkin benar 6=kebenarannya tidak mungkin dapat ditentukan. 3.
Penafsiran. Pengertian penafsiran adalah proses menterjemahkan informasi menjadi intelijen (produk). Penafsiran meliputi langkah-langkah: 1.
Analisa, penyaringan dan pemilihan terhadap keterangan yang sudah dinilai guna memisahkan unsure-unsur yang penting yang berguna bagi pelaksanaan tugas.
2.
Integrasi, merupakan penggabungan dari unsur-unsur yang telah dipisahkan dalam proses analisa dengan keterangan lain yang sudah dikenal untuk memperoleh gambaran yang logis
48 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
49
(hypotesa) tentang kegiatan lawan atau pengaruh karakteristik daerah operasi terhadap pelaksanaan tugas. 3.
Kesimpulan, kesimpulan dipakai untuk mentukan tindakan yang akan dilakukan oleh lawan dan sangat bermanfaat untuk membuat perkiraan.
4) Langkah Keempat: Penyampaian/distribusi
intelijen
yang
telah
dihasilkan
kepada
pemakai/pengguna/user. Penyampaian dapat diartikan sebagai pengiriman keterangan dari intelijen dengan ketentuan: 1.
Tepat pada waktunya
2.
Dalam bentuk tertentu
3.
Disampaikan
kepada
kesatuan/badan
yang
akan
menggunakannya.
Sebagai laporan hasil pelaksanaan dan pertanggungjawaban operasi intelijen yustisial yang telah dilaksanakan segera dibuat laporan operasi intelijen (lapopsin)
yang
disampaikan
kepada
pimpinan
kejaksaan
yang
memerintahkan operasi.
Empat langkah roda perputaran intelijen (roda perputaran intelijen (intelligence cycle)) yang berorientasi kepada tugas pokok kesatuan tersebut akan selalu berkesinambungan secara terus-menerus dan menghasilkan poduk intelijen yang selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan selanjutnya. Implementasi dari kegiatan-kegiatan dan operasi Intelijen yustisial Kejaksaan tersebut sejalan dengan diberikannya tugas Kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang membahayakan masyarakat dan negara dengan membentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat). Tim Pakem dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa
49 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
50
Agung
RI No.Kep-004/J.A/01/1994
tentang
Pembentukan
Tim
Koordinasi
dan
mencegah
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Kewenangan
untuk
mengawasi
aliran
kepercayaan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 adalah bersifat koordinatif, artinya tidak hanya
dimiliki
oleh
kejaksaan/Jaksa
Agung
tetapi
juga
dipunyai
oleh
departemen/instansi lainnya dan dijalankan secara bersama-sama. Sehingga dalam rangka koordinasi tersebut, maka dibentuk Tim Pakem di pusat dan daerah. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan kesimpulan dalam bab ini yaitu: 1) Pendekatan kebijakan dalam hukum pidana dimaksudkan sebagai upaya dalam menanggulangi kejahatan, yang menurut hoefnagels pendekatan ini sebagai kebijakan criminal (criminal policy), yaitu sebagai keseluruhan upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan (a rational total of the responses to crime). Pendekatan terhadap masalah kejahatan ini menurut Antonie A.G Peters diorientasikan kepada kebijakan, perencanaan, dan organisasi. Hal tersebut dapat dikenali dengan adanya berbagai ciri tertentu. Pertama, adanya pendekatan terpadu terhadap pelaksanaan peradilan pidana, yaitu para pembuat kebijakan, para penegak hukum dan masyarakat secara bersama-sama bertanggungjawab atas masalah kejahatan. Hal ini berarti pencegahan kejahatan juga melibatkan berbagai institusi sosial lain yang berada di luar sistem peradilan pidana. Kedua, hukum pidana dilihat hanya sebagai salah satu bagian dari bentuk-bentuk alternatif pengawasan sosial. Pilihan penggunaan hukum pidana merupakan cara rasional tanpa mengecilkan arti pertimbangan-pertimbangan moral untuk mengatasinya dengan cara lain. Ketiga, ciri lain yang tergambar dalam pendekatan baru ini adalah memperjuangkan efisiensi. Hal ini terlihat dari dengan dilibatkannya seluruh potensi masyarakat untuk semaksimal mungkin menekan angka kejahatan. Sebagai kelanjutan diakuinya pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, bahkan sebagai konsekuensi mutlak pendekatan tersebut terhadap hukum pidana adalah pengadopsian pendekatan sistemik dalam 50 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
51
penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan demikian, pada sisi penegakan hukum pidana dilakukan dengan memberdayakan sistem peradilan pidana. 2) Sistem peradilan pidana identik dengan sistem penegakkan hukum pidana. Dimana sistem penegakkan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan atau kewenangan menegakkan hukum. Mardjono Reksodiputro memberikan batasan terhadap sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan dan advokat/pengacara. 3) Tujuan sistem peradilan pidana adalah: terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari sistem peradilan pidana adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari hukum acara pidananya yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat. Dalam cakupan yang lebih luas, tujuan sistem peradilan pidana adalah: mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang salah di pidana, serta berusaha agar mereka yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. 4) Posisi Kejaksaan sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem peradilan pidana yang memiliki kewenangan di bidang penuntutan memegang peranan yang sangat penting dalam proses penegakkan hukum itu sendiri. Tugas dan peran Kejaksaan di Indonesia telah diatur di dalam bagian Bab III Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengenai Tugas dan Wewenang. Tugas dan wewenang umum Kejaksaan menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1.
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a.
melaksanakan penuntutan;
b.
melaksanakan penetapan hakim dan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 51
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
52
c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.
2.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan surat kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan; a.
peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.
pengamanan kebijakan penegakkan hukum;
c.
pengawasan peredaran barang cetakan;
d.
pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan negara; e.
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
5) Dalam kaitannya dengan konsep menghadapi berbagai masalah pertahanan dan keamanan dalam negeri, Kejaksaan ikut berperan aktif terutama dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, dimana Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan Intelijen Yustisial (law intelligence) berupa pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan juga pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dengan membentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat). Tim Pakem dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
52 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
53
BAB 3 PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA OLEH KEJAKSAAN
Sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya, mengenai implementasi dari peran Intelijen Yustisial Kejaksaan tersebut adalah sejalan dengan diberikannya tugas kepada Kejaksaan oleh Undang-Undang untuk Mengawasi Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan membentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat). Selanjutnya dalam bab ini akan diuraikan tentang Masalah Aliran Kepercayaan dan Agama di Indonesia dan peran Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
3.1 Masalah Aliran Kepercayaan dan Agama Di Indonesia 3.1.1
Pengertian Aliran Kepercayaan Sudah menjadi fakta sejarah bahwa pencapaian kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sangat ditentukan oleh “spirit” perjuangan bangsa yang tinggi dan tidak kenal menyerah, bahkan rela mengorbankan jiwa dan raga serta telah banyak menjadi syuhada sebagai pahlawan bangsa. Kondisi “basic character” bangsa Indonesia pada waktu itu, yang tercipta karena penjajahan Belanda selama 350 tahun dan dalam pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, telah menumbuhkan bangkitnya kesadaran identitas bangsa Indonesia dibuktikan dengan gigih saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Landasan identitas sebagai ikon kejuangan pengabdian dan cinta tanah air tersebut telah menjadi modal dasar bagi pembangunan spiritual, mewujudkan nation and character building dan membangun manusia seutuhnya masa sekarang maupun yang
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
54
akan datang.67 Salah satu wujud pembangunan spiritual di Indonesia telah tumbuh dan berkembangnya golongan masyarakat yang menganut kepercayaan lebih dikenal dengan sikap kebatinan, kejiwaan dan kerohaniaan yang penampilannya lebih banyak dipandang sebagai budaya atau sosok perilaku kehidupan bercorak spiritual.68Cara kehidupan spiritualisme pada perikehidupan bangsa Indonesia merupakan warisan lama yang pernah dianut sebagai kepercayaan. Hal ini diungkapkan dari hasil proyek penelitian Departemen Pendidikan dan kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyebutkan: “orang-orang kita memang mempunyai pembawaan gemar sekali merundingkan, memusyawarahkan, mengadakan orientasi, ramah tamah (sarasehan) dalam hal-hal mengenai soal-soal kebatinan, suka menggambargambarkan tentang maksud, arti tujuan serta jiwa suatu benda atau barang yang lahir itu.69 Sehingga melalui aliran keagamaan budaya warna spiritual di samping muncul sebagai pernyataan penghayatan kebudayaan batin, kejiwaan, kerohaniaan juga disebutkan banyak berperan kepercayaan diri tentang hal-hal yang bersifat ghaib, mistik dan metafisika seperti hari baik atau buruk, kekebalan, tentang keris dan tentang segala hal yang memberikan dorongan spiritual bagi kehidupan mereka.70 Keberadaan aliran kepercayaan secara hukum menurut praktik agama dan kepercayaannya itu yang dicantumkan pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) bahwa katakata “kepercayaannya itu” yang dimaksud adalah aliran kepercayaan, kebatinan dan kepercayaan suku, adat atau agama-agama lokal yang saat proklamasi kemerdekaan populasinya mencapai 40% dan penduduk Indonesia masih menganut berbagai aliran kepercayaan meliputi beberapa bentuk aliran kepercayaan dan kebatinan, antara lain; Paguyuban Ngestu Tunggal (Pangestu), Sumarah, Susilo Budi Darmo (Subud), Perjalanan, Sapta Dharma, Tri Tunggal dan Manunggal. Kepercayaan suku atau yang sering disebut agama-agama lokal seperti Dayak, Badui, Suku Anak dalam/Kubu 67
IGM Nurdjana, Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Peran Polisi, Bakorpakem & Pola penanggulangan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, September 2009), Cet.1, hal. 1 68 Ibid. 69 Departemen P & K, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1976/1977), hal. 257. 70 IGM Nurdjana, op. cit., hal. 6-7 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
55
Gayo, Sunda Wiwitan, Batak Parmalim, Tolottang, Wana, Tonaas Walian, kepercayaan masyarakat adat Papua, dan kepercayaan adat Cina pernah terdaftar 384 aliran seperti; Kong Hua Kung Hui, Tjiang Kim, Hok Tek Bio dan lain-lain yang tersebar di Indonesia.71 Di samping itu terdapat aliran kepercayaan yang bukan sekedar menghayati kebatinan, kejiwaan dan kerohaniaan, tetapi sudah menjurus kepada agama baru. Hal ini menimbulkan pertentangan bahkan keresahan karena terjadi penyimpangan atau didatakan sebagai aliran sesat bagi penganut-penganut agama yang sah diakui pemerintah seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.72Kondisi yang diperbuat oleh aliran kepercayaan menyimpang sangat substansial dan menjadi potensial konflik timbulnya keresahan antar kelompok kepercayaan. Hukum yang mengatur golongan aliran kepercayaan semula dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menjadi bagian dari organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau menjadi payung hukum atas keberadaan berbagai jenis aliran kepercayaan yang memiliki hak hidup di Indonesia.73 Perkembangan selanjutnya pasca-reformasi dan amandemen UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Agama telah mengatur keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia menjadi landasan hukum yaitu Pasal 28 E ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 29 ayat (2). Pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Ungkapan tentang kalimat “kepercayannya itu” dengan pemahaman yang dualistis yaitu pertama; frase kepercayaannya itu dengan pengertian kepercayaan
71
Ibid. Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 73 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan 72
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
56
yang dianut agama dan kepercayaan atas keyakinan agama yang dianut di Indonesia.74 Menurut Soeganda Poerbakawatja dan H. Harahap, Aliran yaitu suatu cabang dari paham dan rentetannya masih berinduk pada salah satu agama (madzhab, orde, sekte dan lain-lain)”, sedangkan pengertian Kepercayaan diartikan sebagai suatu paham dinamis yang terjalin dengan adat istiadat yang masih hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih terbelakang pokok kepercayaannya, berbentuk apa saja atau kehidupan nenek moyangnya sepanjang masa.75 Menurut AC. Kruyt, Arti kepercayaan adalah urusan hati nurani menyita seluruh manusia makanya berakar dalam jiwa manusia sebagai keseluruhannya dengan segala ungkapannya yang segi-seginya itu, manusia mengungkapkan dalam dirinya apa yang hidup dalam dirinya berupa kepercayaan terutama dengan dua cara dalam perbuatan atau upacara (ritus).76 Lain lagi dengan pendapat Koentjaraningrat, menyinggung tentang kepercayaan yang menyebutkan: Konsep yang saya anut adalah bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu: 1. 2.
Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religious. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib (supernatural). Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan menusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam ghaib. Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam sub.2, dan yang melakukan sistem upacara-upacara religius tersebut dalam sub.3.77
3. 4.
Perkembangan lebih lanjut perkataan aliran kepercayaan bukanlah diartikan terpisah, tetapi dirangkaikan menjadi aliran kepercayaan. Pengertian aliran kepercayaan yang dimaksud adalah semua aliran kepercayaan yang ada dalam 74
IGM Nurdjana, op. cit., hal. 9 Soeganda Poerbakawatja dan H. harahap, Wiki Ensiklopedi Pendidikan,( Jakarta: Gunung Agung, 1982). 76 A.C. Kruyt, Keluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen, BPK, (Jakarta: Gunung Mulia, 1976), hal. 3 77 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentelitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1997), hal.137. 75
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
57
masyarakat. Sebutan tentang kepercayaan dalam masyarakat telah ditunjuk sesuai peristilahan yang semula pernah dimuat dalam: 1) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang (UU) Presiden Republik Indonesia tentang Pokok-Pokok Kepolisian RI Nomor 13 Tahun 1961 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kepolisian Negara, yang berbunyi: “mengawasi aliranaliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara”. 2) Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pokok Kejaksaan Nomor 15 tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, yang berbunyi: “mengawasi
aliran-aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan Negara”.
Istilah aliran kepercayaan semula berpangkal pada kegiatan Musyawarah Nasional kepercayaan yang diadakan di Yogyakarta tahun 1970 yang menyebutkan pengertian aliran kepercayaan itu dirinci oleh: “Sekretaris Kerja Sama Kepercayaan merupakan semua kegiatan kejiwaan, kebatinan, kerohanian, karena menampung hampir semua aspirasi penghayat / penganut kepercayaan”.78 Sedangkan PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dalam pokok-pokok pola pelaksanaan tugas PAKEM menyebutkan yang dimaksud dengan aliran kepercayaan dalam masyarakat mencakup: 1.
Aliran keagamaan meliputi: Sekte keagamaan, gerakan keagamaan, pengelompokan jemaah keagamaan, baik agama langit maupun agama bumi (Agama Wahyu dan Agama Budi).
2.
Kepercayaan
Budaya
meliputi:
Aliran-aliran
kebatinan,
kejiwaan,
kerohanian/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sebagainya. 3.
Mistik, kejawen, pedukunan, peramalan, paranormal, metafisika.
Aliran keagamaan sumber utamanya adalah kitab suci berdasarkan wahyu Tuhan, sedangkan aliran kepercayaan sumber utamanya adalah budaya bangsa yang 78
Wiwoho Soedjono, Badan Sarasehan Generasi Muda HPK Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Yogyakarta: 1981). Hal. 3 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
58
mengandung nilai-nilai spiritual/kerohanian yang hidup dan telah membudaya dalam masyarakat sebagai hasil penalaran daya, ciptarasa, karsa dan hasil karya manusia.79
Mengingat banyaknya aliran kepercayaan dalam masyarakat yang bermacammacam maka untuk memudahkan mengidentifikasi aliran kepercayaan maka bisa dikenali tiga tipologi aliran kepercayaan yaitu: 1) Tipologi Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, meliputi berbagai aliran kebatinan, kerohanian, dan aliran kepercayaan suku atau kepercayaan agama-agama lokal yang pada hakikatnya merupakan budaya spiritual, meyakini atas kebenaran Sang Maha Pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Jenis aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti aliran kebatinan dan kerohanian Paguyuban Sumarah, Perjalanan, Kerohanian Sapta Dharma, Pangestu, dan Susila Budi Dharma (Subud). Kelima jenis aliran kepercayaan tersebut organisasinya berpusat di Jawa dan pengaruhnya telah meluas sampai di luar jawa diantaranya dengan cabang-cabang organisasi yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Irian dan Nusa Tenggara.80
2) Tipologi Aliran kepercayaan Menyimpang/Sesat “Aliran sesat” ditinjau dari arti bahasa terdiri dari dua kata yaitu aliran dan sesat. Kata aliran berasal dari kata dasar alir yang mendapat akhiran -an. Arti kata aliran adalah sesuatu yang mengalir (tentang hawa, air, listrik dan sebagainya); sungai kecil, selokan, saluran untuk benda cair yang mengalir (seperti pipa air); gerakan maju zat alir (fluida), misal gas, uap atau cairan secara
79 80
Kejaksaan Agung RI, Pokok-Pokok Pola Pelaksanaan Tugas Pakem, (Jakarta, 1985). Hal.3 IGM Nurdjana, op.cit., hal. 73 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
59
berkesinambungan81. Arti kata sesat adalah salah jalan, tidak melalui jalan yang benar, salah, keliru, berbuat yang tidak senonoh, menyimpang dari kebenaran82. Pengertian aliran sesat apabila dikaitkan dengan arti katanya dapat dimaknakan sebagai suatu gerakan yang berkesinambungan (terus menerus) yang menyimpang dari kebenaran. Penyimpangan kebenaran dalam hal ini dikaitkan dengan ajaran agama yang diakui di Indonesia. Keberadaan aliran-aliran sesat atau menyimpang dapat dikenali dengan adanya pemahaman yang menyimpang dari ajaran agama yang dianut anggotanya, dan biasanya didominasi oleh aliran-aliran yang mengatasnamakan agama. Pemahaman dan pengertian tentang aliran kepercayaan menyimpang atau sesat diperlukan penafsiran yang memberikan kepastian hukum karena akan bersentuhan langsung dengan sangsi hukum jika terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang aliran kepercayaan di Indonesia. Dimensi hukum yang mengatur tentang pengertian “penyimpangan” seperti rumusan yang diatur menurut Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama secara substansial disebutkan bahwa aliran kepercayaan menyimpang atau sesat. Penyimpangan yang
dimaksud
adalah
‘aliran-aliran”
atau
oganisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama.83 Sedangkan arti “penyimpangan” esensinya adalah penyelewenganpengelewengan
ajaran
agama
dan
kepercayaan
serta
penyelewengan-
penyelewengan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana. Pengertian penyimpangan diuraikan sebagai berikut: “Berhubung dengan maksud maupun tujuan ketentraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai 81
Dessy Anwar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Karya Abdi Tama, 2001),
hal. 30. 82
Ibid, hal 435. Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Penyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. 83
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
60
ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Adapun penyelewenganpenyelewengan keagamaan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai aturan pidana yang telah ada”.84 Sedangkan pengertian “menyimpang” atau disebutkan sebagai aliran sesat, secara aktual didasarkan pada fatwa MUI No. 4 Tahun 2007 tanggal 3 Oktober 2007 yang menetapkan Al-Qiyadah Al-Islamiyah itu sebagai alian sesat. Proses penetapan fatwa MUI, didasarkan kepada beberapa kasus penodaan agama, khususnya terhadap agama Islam, maka untuk menetapkan suatu aliran secara sesat atau tidak melalui fatwa MUI tersebut terdapat 10 ketentuan yang digunakan untuk menetapkan suatu aliran sesat atau tidak yaitu: 1.
Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan asSunnah,
2.
Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an,
3.
Mengingkari autentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an,
4.
Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir,
5.
Mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
6.
Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul,
7.
Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
8.
Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat, seperti haji tidak ke Baitullah,
9.
Shalat fardhu tidak lima waktu, dan
84
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Angka 4 dan 5. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
61
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.85 Jika suatu aliran memiliki salah satu dari kriteria dari kriteria tersebut diatas, maka dianggap menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan ditetapkan sebagai aliran sesat. Selain itu juga, aliran atau kelompok sesat didefinisikan MUI, sebagai paham atau pemikiran yang dianut dan diamalkan oleh sebuah kelompok yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam serta menyimpang dari dalil syar’i. kesalahan adalah kekeliruan pemahaman dan praktik yang terkait dengan perkara akidah atau syariah, tetap diyakini kebenarannya yang konsekuensinya adalah kekufuran. Sebagaimana telah diuraikan diatas, Keberadaan aliran-aliran sesat atau menyimpang dapat dikenali dengan adanya pemahaman yang menyimpang dari ajaran agama yang dianut anggotanya, dan biasanya didominasi oleh aliran-aliran yang mengatasnamakan agama.
3) Tipologi Alian Kepercayaan Mistik/ Klenik Tipologi atau jenis dan bentuk aliran kepercayaan mistik “klenik” dalam perkembangan baru aliran ini semakin beranggapan dari yang praktik secara klenik tradisional dan modern kegiatannya meliputi: 1) Praktik perdukunan,
85
Rapat Kerja Nasional 2007 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan pedoman penetapan aliran sesat seiring dengan maraknya berbagai aliran sesat di Indonesia. Pedoman ini salah satunya menjadi rekomendasi pihak aparat keamanan untuk menindak kelompok aliran sesat. Menurut MUI Pusat, pedoman itu di antaranya berisi pengertian aliran sesat. Menurut MUI, pengertian aliran sesat adalah kelompok yang menganut dan mengamalkan faham atau pemikiran yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Menurut MUI, sebuah kelompok dinyatakan aliran sesat jika menyimpang berdasarkan dalil Syar`i. Dalam pedoman itu, disebutkan juga 10 kriteria sesat. Satu faham dinyatakan sesat apabila memenuhi salah satu dari 10 kriteria ini, di antaranya menyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil Syar`i. Selain itu mereka mengingkari salah satu dari Rukun Iman dan Rukun Islam.MUI menegaskan, penetapan pedoman ini pendapat pribadi perorangan, namun merujuk pada Al-Quran dan hadist Nabi. Rakernas MUI juga mengeluarkan 14 rekomendasi ekstern. Pedoman ini berisi seruan kepada pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi kontrol dan antisipasi terhadap kecenderungan gerakan yang memperkeruh kehidupan beragama, seperti aliran Al Qiyadah Al-lsmiyah dan lainnya. Dalam http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/11/06/48549/MUI-Mengeluarkan-Pedoman-Penetapan-Aliran-Sesat-/112, diundah pada hari Senin 18 April 2011 pukul 08.00 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
62
2) Paranormal, 3) Pengobatan (alternatif), 4) Santet, tenung, sihir 5) Metafisika, supernatural dan berbagai praktek spiritisme. Okultisme.86
Aliran kepercayaan yang berindikasi mistik “klenik” dengan praktik klasik model pedukunan atau “dukun palsu” di atas akan semakin banyak dihadapi pihak yang berwenang (aparat penegak hukum), karena disertai dengan delik pidana murni yaitu penipuan dan pembunuhan.87 Secara spesifik tentang pedukunan, santet, sihir dan tenung di Indonesia, menurut Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara memberikan pengertian “secara sederhana, dukun dapat diberikan batasan sebagai orang yang melakukan praktik ilmu ghaib. Khususnya di Jawa dikenal bermacam-macam dukun seperti; dukun siwer (ahli mencegah kemalangan), dukun prewangan (ahli menghubungkan manusia dengan roh), dukun pijat (ahli dalam memijat tubuh), dukun susuk (ahli dalam memasukkan, membenamkan perhiasan berupa emas, berlian dan sebagainya ke dalam tubuh manusia), dukun jampi (ahli pengobatan dengan obatobatan tradisional), dukun sihir (ahli dalam menganiaya atau mencelakakan lawan), dan sebagainya.88 Fenomena aliran menyimpang bersifat mistis, dan animis dalam hal ini diwakili oleh apa yang dilakukan Sumanto,89 yaitu dengan memakan daging manusia untuk menjadi kebal dan aliran bersifat klasik pengobatan yang metafisika yang dilakukan oleh Ponari (9 tahun) di Jombang,90 yaitu metode penyembuhan penyakit dengan menggunakan batu hitam yang dicelupkan ke dalam air kemudian air tersebut diminum oleh si pasien. 86
IGM Nurdjana, op.cit., hal. 146 Ibid, hal. 9 88 Tubagus Roony Rahman Nitibaskara, Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia,( Jakarta, Peradaban, 2003). Dalam IGM Nurdjana, Op.cit, hal. 147 89 http://www.tempointeraktif.com, diunduh pada Hari Senin 4 April 2010 Pukul 21.35 Wib. 90 http://kesehatan.kompas.com/read/2009/02/16/21050729/Kasus.Ponari..Potret.Buruk.Layan an.Kesehatan. diunduh pada Hari Senin 4 April 2010 Pukul 21.35 Wib. 87
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
63
3.1.2
Pengertian Agama Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia,
tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui wahyu, maupun sebagai bagian dari kebudayaan.91 Ada dua hal yang menjadi alasan orang berminat dalam mempelajari agama. Pertama : Agama sebagai suatu yang berguna bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun mayarakat. Kedua: Karena ada pandangan yang negatif terhadap agama, di mana agama hanya dianggap sebagai khayal, ilusi dan merusak masyarakat.92 Walaupun demikian bukan berarti bahwa semua manusia beragama, atau beragama pada kadar yang sama. Dalam sejarah tercatat bahwa ada kelompokkelompok tertentu yang anti agama bahkan memusuhi agama, akan tetapi juga sebaliknya banyak juga kelompok-kelompok yang sangat taat dan menghayati ajaran agamanya dan terjalin baik sehingga kekuatan ghaib tersebut bisa memperkuat pribadinya. Sehingga agama dapat menjadi anutan, ikutan dan dihormati seperti imam, ulama, kyai, pendeta, pastor dan lain-lain. Oleh karena itu agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pribadi dan masyarakat. Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia,
91
Khotimah, Makna “Agama” Hingga Munculnya “Agama Baru”, Jurnal Fak. Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2008, hal. 1 92 Zakiah Deradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal.12 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
64
dan ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orang-orang yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan,fantasi, ilustrasi.93 Menurut Mukti Ali minimal ada tiga alasan berkaitan dengan hal ini, yakni : 1.
Karena pengalaman agama adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistis,
tiap
orang
mengartikan
agama
itu
sesuai
dengan
pengalamannya sendiri, atau sesuai dengan pengalaman agama sendiri. Oleh karena itu tidak ada orang yang bertukar pikiran tentang pengalaman agamanya dapat membicarakan satu soal yang sama. 2.
Bahwa barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional lebih dari pada membicarakan agama, karena agama merupakan hal yang sakti dan luhur.
3.
Bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. Orang yang giat pergi ke Mesjid atau Gereja, ahli tasawuf atau mistik akan condong untuk menekankan kebatinannya. Sedangkan ahli antropologi yang mempelajari agama condong untuk mengartikannya sebagai kegiatan-kegiatan dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat diamati.94
Menurut sejarah, agama tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebutuhan manusia. Salah satu dari kebutuhan itu adalah kepeningan manusia dalam memenuhi hajat rohani yang bersifat spritual, yakni sesuatu yang dianggap mampu memberi motivasi semangat dan dorongan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, unsur rohani yang dapat memberikan spirit dicari dan dikejar sampai akhirnya mereka menemukan suatu zat yang dianggap suci, memiliki kekuatan,maha tinggi dan maha kuasa. Sesuai dengan taraf perkembangan cara berpikir, manusia mulai menemukan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan. Dapatlah dimengerti bahwa hakikat agama merupakan fitrah naluriah manusia yang tumbuh dan berkembang dari dalam dirinya 93
Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam,(Jakarta: Wijaya, 1965), hal. 20 Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Badan Penerbitan IAIN Wali Songo Press, hal. 1-2 94
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
65
dan pada akhirnya mendapat pemupukan dari lingkungan alam sekitarnya. Ada yang menganggap bahwa agama di dalam banyak aspeknya mempunyai persamaan dengan ilmu kebatinan. Yang dimaksud ilmu agama di sini pada umumnya adalah agamaagama yang bersifat universal. Artinya para pengikutnya terdapat dalam masyarakat yang luas yang hidup di berbagai daerah.95 Makna agama dapat diartikan dalam tiga bentuk, yaitu : a.
Batasan atau definisi agama diambil dari kata ”agama” itu sendiri Kata ”agama” berasal dari bahasa sangsekerta mempunyai beberapa arti. Satu pendapat mengatakan bahwa agama berasal dari dua kata, yaitu a dan gam yang berarti a = tidak, sedangkan gam = kacau, sehingga berarti tidak kacau (teratur)96. Ada juga yang mengartikan a = tidak, sedangkan gam = pergi, berarti tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun.97 Apabila dilihat dari segi perkembangan bahasa, kata gam itulah yang menjadi go dalam bahasa Inggris dan gaan dalam bahasa Belanda. Adalagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, karena agama memang harus mempunyai kitab suci.98 Selanjutnya Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah: 1.
mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa
2.
mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa
3.
mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa
4.
mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan petunjuk.99
95
T. H. Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan, (Jakarta : Galura Pase, 2006), hal. 19. Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam II, ( Jakarta : Widjaja, 1973), hal. 5 97 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 3, (Universitas Indonesia : Jakarta, 1985), hal. 5 98 Ibid. 99 Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional,(Yogyakarta : Yayasan An- Nida, 1969), hal. 9 96
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
66
b.
Batasan atau definisi agama berasal dari kata ad-din Din dalam bahasa Semit memiliki makna undang-undang atau hukum, kemudian dalam bahasa Arab mempunyai arti menguasai, mendudukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan100. Bila kata ad-din disebutkan dalam rangkaian dinullah, maka hal ini dipandang bahwa agama tersebut berasal dari Allah, sedangkan jika disebut din-nabi, maka hal ini dipandang nabi lah yang melahirkan dan menyiarkannya, namun apabila disebut dinummah, maka hal ini dipandang bahwa manusialah yang diwajibkan memeluk dan menjalankan.101 Ad-din bisa juga berarti syariah yaitu nama bagi peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah selengkapnya atau prinsip-prinsipnya saja dan dibedakan kepada kaum muslimin untuk melaksanakanya, dalam mengikat hubungan mereka dengan Allah dan manusia.102 Apabila ad-Din memiliki makna millah berarti mempunyai makna mengikat. Maksud agama adalah untuk mempersatukan segala pemeluk-pemeluknya dan mengikat mereka dalam suatu ikatan yang erat sehingga menjadi pondasi yng kuat yang disebut dengan batu pembangunan, atau mengingat bahwa hukum-hukum agama itu dibukukan atau didewankan.103 Kata ad-din juga bisa berarti memiliki makna nasehat, seperti dalam hadits dari Tamim ad-Dari r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda: ad-dinu nasihah. Para sahabat bertanya ”Ya Rasulullah, bagi siapa?” Beliau menjelaskan: ”bagi Allah dan kitabNya, bagi RasulNya dan bagi para pemimpin muslimin serta bagi seluruh muslimin”. (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ahmad).104 100
Harun Nasution, op.cit.,hal. 9 Taib Thahir Abdul Muin, op.cit, hal. 6 dan 122 102 Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Daarul Qalam, Qahirah, cetakan ketiga, 1966, hal. 74 103 Hasbi ash-Shiddiqy, Al-Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hal. 50 104 Ustaz Imam Ghazali bin Hasan, Kitab al-Imamah,(Surakarta: Pustaka Al-Makmuriyah, 1981), hal. 43 101
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
67
Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa ada lima unsur yang perlu di perhatikan, sehingga bisa memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan agama yang jelas serta utuh. Kelima unsur itu adalah : Allah, Kitab, Rasul, pemimpin, umat, baik mengenai arti masing-masing maupun kedudukan serta hubungannya satu dengan yang lain. Pengertian tersebut telah mencakup dalam makna nasihat. Imam Ragib dalam kitab alMufradat Fil gharibil Qur’an, dan imam Nawawi dalam ’’Syarh Arba’in menerangkan bahwa nasihat itu maknanya sama dengan ”menjahit” (alkhayatu an-nasihu), yaitu menempatkan serta menghubungkan bagian (unsur) yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kedudukan masingmasing.105 Selanjutnya secara terminologi makna ad-din menurut Taib Thahir Abdul Muin adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa orang yang mempunyai akal memegang (menurut peraturan Tuhan itu) dengan kehendaknya sendiri tidak dipengaruhi, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan di akherat.106 Sedangkan menurut H. Agus Salim mengatakan bahwa ad-din adalah ajaran tentang kewajiban dan kepatuhan terhadap aturan, petunjuk, perintah yang diberikan Allah kepada manusia lewat utusan-utusanNya, dan oleh rasul-rasul-Nya yang diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan teladan.107
c.
Batasan atau definisi agama berasal dari kata ”religi” Kata religi berasal dari bahasa latin yang sering dieja dengan kata religio. Di antara penulis Romawi, di antaranya Cicero berpendapat bahwa religi itu berasal dari akar kata leg yang berarti mengambil, mengumpulkan,
105
Imam Ragib, dalam Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama,(Yogyakarta: Wali Songo Press) hal. 5 106 Taib Thahir Abdul Muin, loc.cit., hal. 5 107 Agus Salim, Tauhid, Taqdir, Tawakal,(Jakarta : Tinta Mas, 1967), hal. 6 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
68
menghitung, atau memperhatikan. sebagai contoh, memperhatikan tandatanda tentang suatu hubungan dengan ketuhanan atau membaca alamat.108 Pendapat lain juga mengatakan, dalam hal ini diungkapkan oleh Servius bahwa religi berasal dari kata lig yang mempunyai makna mengikat. Sedangkan kata religion mempunyai makna suatu perhubungan, yakni suatu perhubungan antara manusia dengan zat yang di atas manusia (supra manusia).109 Secara terminologi kata religion menurut Edward Burnett Tylor (18321971), seorang sarjana yang dianggap sebagai orang pertama yang memberikan definisi tentang agama, menurutnya Religion is the bilief in the spritual beings.110 Emile Durkheim memberikan definisi: Religion is an interpendent whole composed of beliefst and rites (faits and practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known as a church. (Artinya : Agama itu adalah suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling bersandar yang satu pada yang lain, terdiri dari akidah-akidah (kepercayaan) dan ibadah-ibadah semua dihubungkan dengan hal-hal yang suci, dan mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat yang disebut dengan Gereja).111 Sedangkan menurut Ogburn dan Nimkhoff adalah Religion is a system of beliefs, emotional attitude and practices by means of which a group of people attempt to cope with ultimate problems of human life. Artinya: Agama itu adalah suatu pola akidah-akidah, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal ultimate dalam kehidupan manusia.112 108
A. C. Bouquet, Comperative Religion, Peguin Book, Inc, Harmondsworth, Middlessex,England, 1973, hal. 3. 109 Ibid. 110 Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 10, hal. 663 111 H. M. Rosyidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi,(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 49 112 Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
69
Definisi tersebut mengandung beberapa unsur yaitu : 1.
unsur kepercayaan
2.
unsur emosi
3.
unsur sosial
4.
unsur yang terkandung dalam kata ultimate berarti “yang terpenting“ tidak ada yang lebih penting dari padanya atau yang mutlak.
Dengan demikian pengertian agama, baik itu berasal dari kata agama, ad-din atau religi merupakan gambaran pengertian agama yang menurut Mukti Ali sangat sulit diartikan, karena itu tidak menutup kemungkinan jika ada kalangan-kalangan lain memberikan pengertian yang berbeda pula terhadap konsep atau pengertian agama itu sendiri.113 Melihat fenomena ini para ahli mencoba mengalihkan persoalan dari definisi agama kepada definisi “orang beragama“ seperti pendapat Mircea Eliade mengatakan: A religion man is one who recognizes the essential differences betwen the sacred and the profane and prefers the sacred. Artinya: Orang beragama ialah orang yang menyadari perbedaan-perbedaan pokok antara yang suci dan yang biasa serta mengutamakan yang suci.114 Menurut perspektif Khonghucu seperti yang dipaparkan dalam Tiong Yong, Bab Utama, agama merupakan bimbingan bagi manusia untuk menempuh jalan suci. Hidup di dalam Jalan Suci, berarti mengikuti Watak Sejati atau Firman Tuhan. Dalam perspektif Khonghucu, hanya Tuhan dan Firman-Nya saja yang bersifat kekal. Yang lain tidaklah bersifat mutlak. Dijelaskan lebih lanjut bahwa manusia lah yang wajib untuk mengembangkan Jalan Suci. Bukan sebaliknya.115 Dalam ajaran agama Hindu “agama” mengandung pengertian satya, arta, diksa,
tapa,
brahma
dan
absolut. Arta adalah dharma atau
yajna.
Satya
adalah
perundang-undangan
kebenaran
yang
mengatur
hidup
yang
113
Khotimah, op.cit.,, hal. 8 H. M. Rosyidi,loc.cit., hal. 49 115 Budi Santoso Tanuwibowo (Sekretaris Umum MATAKIN), (Makalah Seminar Nasional Agama Khonghucu Dalam Perspektif Teologis,Legal, Sosio Kultural dan Spiritual, Semarang , 12 Februari 2000), hal. 1. 114
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
70
manusia. Diksa adalah penyucian. Tapa adalah semua perbuatan suci. Brahma adalah doa atau mantra-mantra.Yajna adalah kurban. Pengertian lain juga sebagai dharma. “Dharma” atau kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi yang kekal dan abadi.116 Dalam Agama Buddha menurut Ven. C. Nyanasatta T, menerangkan pengertian agama yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam kamus Oxford, yaitu: “suatu kepercayaan dan persujudan atau pengakuan manusia akan adanya gayapengendalian yang istimewa dan terutama dari suatu manusia yang harus ditaati dan pengaruh pemujaan tadi atas perilaku manusia”.117 Kemudian disebutkan bahwa seseorang dikatakan tidak beragama apabila orang tadi tidak seksama, tidak seksama, tidak senonoh dari kelakuan akhlaknya dan sama sekali tidak cermat. Dalam arti yang lebih luas lagi “agama” dapat ditafsirkan sebagai: ”suatu badan dari pelajaran kesusilaan dan filsafat dan pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui baik”. Dalam hal demikian, ajaran sang Buddha itu adalah suatu agama dan umat Buddhis memiliki suatu agama yang sangat mulia untuk dianutnya. Selanjutnya dikatakan juga bahwa agama adalah cara tertentu untuk pemujaan kepada para Dewa, Dewa Agung. Dengan kata-kata para Dewa, Dewa Agung, Dewa Agung mereka maksudkan adanya kekuatan gaya tak terlihat yang menguasai alam semesta atau sedikit-dikitnya yang bersangkut paut dengan itu, dengan istilah agama tadi mereka maksudkan sikap seluruhnya yang harus diusahakan terhadap kekuatan-kekuatan gaya-gaya itu.118
3.1.3
Kebijakan atas kebebasan Beragama dan Kepercayaan di Indonesia Jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan, diatur dalam konstitusi yaitu,
Pertama, Pasal 28 E ayat (1) dan (2) dan Kedua, Pasal 29 ayat (1) dan (2) UndangUndang Dasar 1945: 116
Gede Pudja, Weda Parikrama (Jakarta : Depag RI , 2000), hal. 24. Ven C. Nyanasatta, T., “Apakah Agama itu“, dalam majalah (Buddhis No. 13, Januari 1960), hal. 20. 118 Buddhis, Majalah Pelajaran Buddha, No. 13, Januari 1960, hal. 8. 117
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
71
Pasal 28 E 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 29 1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat.
Pasal 22 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beibadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga ditegaskan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Di samping itu, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
72
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada dinegara pihak (Pasal 27).119 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negative (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
3.1.4 Tindak Pidana Penodaan Agama dalam KUHP Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama/Tuhan memiliki padanan istilah dalam bahasa asing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata Blasphemy berasal dari Bahasa Inggris Zaman Pertengahan: blasfemen, yang pada
119
Lihat Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, Diadopsi dan terbuka untuk penandatangan, ratifiasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
73
gilirannya berhubungan dengan Bahasa Yunani blasphemein, berasal dari kata blaptein artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi.120 Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God, religion, a religious icon, or something else considered sacred121yang artinya ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu symbol agama, atau sesuatu yang lain dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, blasphemy is the malicious, revilement of God and Religion122 yang artinya dengan niat jahat menghina Tuhan dan agama. Menurut Kamus Online Merriam-Webster,123 blasphemy adalah 1) a: the act of insulting or showing contempt or lack of reverence of Go; b: the act of claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or inviolable yang artinya 1) a: tindakan menghina atau menunjukan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan, 2) ketidakhormatan terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggu-gugat. Tindak pidana penodaan agama merupakan bagian dari delik-delik agama. Perumusan delik-delik agama dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana biasanya didasarkan atas suatu alternatife atau penggabungan beberapa teori tergantung pada kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pada umumnya dikenal tiga jenis teori yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik agama, yaitu:124 1) Friedensschutz-theorie, yang memandang ketertiban umum sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (der religiosce intercom fessionelle feriede);
120
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy, diunduh pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib. 121 Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson Reuters, St. Paul, 2009, hal. 193 122 Ibid. 123 http://www. merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy, diunduh pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib. 124 Oemar Seno adji, Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang dan dimasa yang akan Datang, (Jakarta : CV Pancurah Tujuh, 1971). Hal. 50. Lihat juga Tim Peneliti Seksi B (pidana) Badan Perencanaan LPHP, Laporan Penelitian Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, LPHN, Jakarta, 1975, hal. 12 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
74
2) Gefuhlsshutz-theorie, yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (das heiligste Innenleben der Einzelnen we der
gesamtheit). Teori ini dikemukakan oleh
Binding, dan; 3) Religionsschutz-theorie, yang memandang agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh Negara (das kulturhut der Religion and der Ungeheuren idealismus, der aus ihr Furreine grosse Menge von Menschen hervergeht). Teori ini dikemukakan oleh Kohler dan Kahl.
Dibeberapa negara, perbuatan “penghujatan terhadap Tuhan (blasphemy) atau penodaan agama” bukan merupakan tindak pidana atau sekalipun masih diatur dalam perundang-undangan, namun sudah tidak pernah ditegakkan lagi. Di Amerika Serikat, di beberapa negara bagian125 masih dapat ditemukan ketentuan mengenai penodaan agama, meskipun sudah tidak pernah ditegakkan lagi. Sejak tahun 1952 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Ameriksa Serikat dalam kasus Joseph Burstyn, inc v. Wilson, menyatakan bahwa hukum Negara bagian New York mengenai penodaan agama inkonstitusional dan bertentangan dengan kebebasan berbicara126(freedom of speech) sehingga penuntutan terhadap penodaan agama akan bertentangan dengan Konstitusi. Konsep tindak pidana penodaan agama di Inggris sudah dipersempit sejak 150 tahun yang lalu, yaitu hanya penghinaan terhadap agama dan kepercayaan Kristen berdasarkan Hukum Kebiasaan England dan Wales, akan tetapi sudah sangat jarang sekali ada orang dituntut karena tindak pidana penodaan agama. Orang yang terakhir kali dihukum karena penodaan agama di Inggris adalah John William Gott (1921) dengan enam bulan kerja paksa dan Dennis Lemon (whitehouse v. Lemon, 1977) 125
Misalnya di Negara bagian Massachusetts, Michigan, Oklahoma, Pennsylvania, South Caroline, dan Wyoming, dalam god Discussion, “What Do the State Blasphemy law’s Say? http://www.goddiscussion.com/7751/what-do-the-state-blasphemy-laws-actually-say/, diunduh pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib. 126 http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy, diunduh pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
75
dengan pidana dendan $500.127Pada tahun 2008, Inggris kemudian menghapus ketentuan mengenai penodaan agama di negara England dan Wales. Persemakmuran Australia tidak mengakui adanya tindak pidana penodaan agama dan beberapa ketentuan mengenai penodaan agama di Australia hanya sekumpulan peraturan yang sudah tidak pernah digunakan (dead letter) dan sudah tidak pernah ada penuntutan terhadap penodaan agama (blasphemy) sejak tahun 1919.128 Pada tingkat federal, penodaan agama bukan merupakan tindak pidana baik berdasarkan Commonwealth Act 1914 (KUHP Persemakmuran Australia) maupun berdasarkan hukum kebiasaan. Sekarang ini, satu-satunya pembatasan hukum federal Australia terhadap penghinaan terhadap Tuhan adalah Reg 21 section 2(d) mengenai Peraturan Pendaftaran Kapal (Shipping Registration Regulation 1981) yang mementukan bahwa penggunan nama untuk kapal yang didaftarkan yang “menghina Tuhan atau sepertinya akan menghinan anggota masyarakat”adalah dilarang. Di tingkat Negara bagian persemakmuran ini, hanya dua dari negara bagian Australia yang memiliki perundang-undangan pidana mengenai penodaan agama yaitu New South Wales dan Tasmania.129 Majelis Parlementer Dewan Eropa di Strasbourg pada tahun 2007 menerima rekomendasi 1085 mengenai penghujatan terhadap Tuhan (blasphemy), penghinaan keagamaan (religious insult), dan pernyataan kebencian (hate speech) terhadap seseoang atau kelompok orang berlatar belakang agama mereka. Dalam rekomendasi tersebut diberikan pedoman kepada anggota Dewan Eropa dalam memandang Pasal 10 (freedom of expression) dan Pasal 9 (freedom of though, conscience, and religion) Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia, dimana dicapai kesepakatan bahwa 127
Brienton Priestley, Blaphemy and The Law: A Comparative Studi (2006)”, dalam http://www.brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm, pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib 128 Penuntutan terakhir karena penghinaan pada Tuhan terjadi di Victoria pada tahun 1919, setelah wartawan Robert Ross menerbitkan satu bagian menyindir. Fitnah dakwaan penghinaan Tuhan dijatuhkan, tetapi Ross dinyatakan bersalah karena mengirim bahan-bahan yang menghina Tuhan melalui surat dan dihukum enam bulan kerja paksa. 129 Hanya kasus R.v.William Rolando Jones (1871) yang berhasil dituntut dan dijatuhi pidana denda $100 dan 2 tahun penjara terkait penodaan agama di South Wales, dikutip dari Wikipedia, “Blasphemy in Australia”, Brienton Priestley, New South Wales Law Reform Commission Blasphemy Discussion, Paper 24 (1992)”, http://www.brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm, pada Senin 11 April 2011 Pukul 10.45 Wib Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
76
yang dianggap kejahatan adalah penodaan dan penghinaan agama yang dilakukan dengan sengaja melalui pernyataan/pidato kebencian (hate speech) terhadap orang atau sekelompok orang karena latar belakang agama mereka.130 Meskipun ketentuan blasphemy dalam hukum positif di beberapa negara sudah tidak menjadi peraturan yang tidak pernah ditegakkan lagi dan upaya menghapus ketentuan blasphemy dalam perundaang-undangan pidana sedang gencar dilaksanakan, namun dibeberapa negara lain, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam atau Islam sebagai agama negara, penodaan agama tetap dianggap kejahatan (tindak pidana)131contohnya adalah Indonesia. Di Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia.132 Sila Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum’ dan bukan negara agama, sehingga Indonesia menganut prinsip “non– preferential treatment” (tidak ada perlakuan khusus) terhadap suatu agama apapun di Indonesia.133 Indonesia adalah negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh negara-negara barat dan negara-
130
Ibid. Delik agama merupakan delik yang tidak netral artinya tidak semua Negara memandang penodaan agama sebagai tindak pidana. Delik yang tidak netral lainnya adalah delik kesusilaan, misalnya tentang pornografi dan delik ideology karena perbuatan tersebut berada dalam alam pikiran. Selain delik agama merupakan delik yang tidak netral, delik agama merupakan pembatasan secara langsung terhadap kebebasan beragama yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Oleh karena itu, penerapan delik-delik agama di berbagai Negara sering mendapatkan perlawanan (resistensi) dan menimbulkan kontroversi. 132 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 133 Landasan hukum prinsip ini adalah Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) 131
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
77
negara sosialis134sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam peraturan perundang-undangan pidana dipandang sebagai suatu pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan.135 Istilah delik agama mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut agama, delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.136 Delik menurut agama banyak tersebar dalam KUHP seperti misalnya Pembunuhan, Pencurian, Penipuan, Penghinaan, Fitnah, dan delik-delik kesusilaan (zina dan pemerkosaan). Delik terhadap agama terlihat terutama dalam Pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut beragama), termasuk juga Pasal 156
KUHP dan Pasal 157 KUHP (penghinaan
terhadap golongan/penganut agama; dikenal dengan istilah group libel). Delik yang berhubungan dengan agama dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal 175 s.d 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 yang meliputi perbuatan-perbuatan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Merintang pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 175); Mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 176); Menertawan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diijinkan (Pasal 177 huruf (a)); Menghina benda-benda keperluan ibadah (Pasal 177 huruf(b)); Merintangi pengangkutan mayat ke keburan (Pasal 178); Menodai/merusak kuburan (Pasal 179); Menggali, mengambil dan memindahkan jenazah (Pasal 180); Menyembunyikan, menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (Pasal 181); Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ke-2).
134
Oemar Seno adji, Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang dan dimasa yang akan Datang, (Jakarta : CV Pancurah Tujuh, 1971). Hal. 50. Lihat juga Tim Peneliti Seksi B (pidana) Badan Perencanaan LPHP, Laporan Penelitian Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, LPHN, Jakarta, 1975, hal. 12 135 Ibid. Lihat juga Pasal 28 J UUD 1945 yang merupakan Landasan Hukum bagi Pembatasan terhadap kebebasan (hak asasi manusia)di Indonesia. 136 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981), hal. 71 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
78
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunakan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhana Yang Maha Esa.” Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama, Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah hanya agama itu sendiri. Tak termasuk “kepercayaan” atau aliran kepercayaan yang tetap hidup di Indonesia. Agama, menurut pasal ini mutlak, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.137 Pasal 156 a tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tida ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men-stressingkan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 menyebutkan: “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaaan pemusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata Negara”. Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrechts (WvS)
Belanda, 137
melainkan
dari
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
tentang
Ibid, hal. 79-80 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
79
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.138 Adapun maksud dari undang-undang tersebut dibentuk adalah Pertama, untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaranajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan Kedua, untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan agama/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhana Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi, apabila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-undang tersebut dan konsiderannya, maka maksud dibentuknya undang-undang ini adalah dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat untuk mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil dan makmur dan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama. Benih-benih delik penodaan agama dapat dilihat dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965. undang-undang ini terdiri dari empat pasal yang selengkapnya sebagai berikut: Pasal 1 “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”. Pasal 2 (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila dalam pelarangan tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain 138
Ibid, hal. 71 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
80
setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Menteri
Agama,
Pasal 3 “Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”. Pasal 4 “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluakan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke- Tuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 156a ini dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejahatan terhadap ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi minoritas golongan dan termasuk golongan aliran kepercayaan dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas. Alasan aturan penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP, dengan memperhatikan konsideran dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal:139 139
IGM Nurdjana, op.cit., hal. 207-208 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
81
1)
undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.
2)
timbulnya bebagai aliran kepercayaan atau organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.
3)
aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Mahe Esa.
4)
seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (Confusius), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “causa prima” negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan melihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Goslastering
sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.140
140
Ibid, Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
82
3.1.5 Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Rancangan KUHP (Versi Pebruari 2008) Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu Pasal yaitu Pasal 156a, dalam RKUHP, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada delapan pasal. Dari delapan pasal itu di bagi dalam dua bagian: 1) Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap agama. Bagian ini terdiri dari dua paragraf yang mengatur tentang penghinaan terhadap Agama (Pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (Pasal 345). Paragraf 1 Penghinaan terhadap Agama Pasal 341 Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak kategori III. Pasal 342 Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 343 Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, aturan agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 344 1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 34, dengan maksud agar isi tulisan atau gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
83
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesi pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
Paragraf 2 Penghasutan untuk meniadakan Keyakinan Terhadap Agama Pasal 345 Setiap orang yang dimuka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV 2) Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini terdiri dari dua paragraf yang mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (Pasal 346-347) dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348). Pasal 346 (1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 347 Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
84
Pasal 348 Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV Tabel 1 Perbandingan Pasal-Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP
No
Pasal
Bunyi pasal
Ancaman pidana
1.
341
2.
342
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia Setiap orang yang di muka umum menghina keangungan Tuhan, firman dan sifat-Nya
3.
343
4.
344
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak kategori III. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 2) dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
5.
345
6.
346
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai atau merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, aturan agama, atau ibadah keagamaan 1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 34, dengan maksud agar isi tulisan atau gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum 2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesi pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama Setiap orang yang dimuka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (1) Setiap orang yang mengganggu, 1) dipidana dengan pidana merintangi, atau dengan melawan hukum penjara paling lama 3 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
85
7.
347
8.
348
membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, (2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah
(tiga) tahun atau denda paling Kategori IV. 2) dipidana dengan denda paling Kategori II.
pidana banyak pidana banyak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV
Jika dalam KUHP lama hanya ada satu pasal yang dikaitkan dengan penodaan agama (pasal 156 a), dalam RKUHP, satu pasal itu direntang menjadi 8 pasal. Tindak pidana terhadap agama yang termaktub dalam RKUHP terdiri dari dua bagian, yaitu tindak pidana terhadap agama dan tindak pidana terhadap kehidupan beragama. Bagian pertama berisi penghinaan terhadap agama yang terdiri dari 4 pasal (pasal 341-344). Pada bagian ini, RUU KUHP sebenarnya melanjutkan KUHP lama soal delik agama, tepatnya delik terhadap agama. Karena itu, yang ingin dilindungi oleh bagian ini adalah agama itu sendiri. Perlindungan itu diberikan untuk melindungi agama dari tindakan penghinaan. Hal-hal yang dipandang sebagai penghinaan terhadap agama antara lain adalah penghinaan terhadap agama (341), menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya (342); mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (343); menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambar, memperdengarkan rekaman yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341-343 (344 ayat 1); penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia (345).141 141
Pasal 345 sebenarnya agak berbeda dengan pasal-pasal sebelumnya. Jika pasal 341-344 lebih memberi perlindungan terhadap agama, pasal 345 lebih menekankan perlindungan pada pemeluk agama. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
86
Dari gambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi untuk menyusun dan memunculkan pasal-pasal tentang agama dalam RKUHP yang seharusnya lebih berorientasi pada perlindungan korban ajaran agama dan kepercayaan. Pasal-pasal dalam RKUHP tentang agama ini semestinya diorientasikan di samping untuk melindungi kepentingan umum, juga untuk melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas dan juga melindungi minoritas penganut aliran kepercayaan dari ancaman diskriminasi dan kesewenang-wenangan mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan cara pandang atas berbagai masalah keagamaan dan kepercayaan tidak kemudian dituduh melakukan penodaan agama, tetapi tidak ada penodaan atas kepercayaan yang dianut seseorang. Karena, menuduh orang melakukan penodaan dan kepercayaan tidak bisa hanya berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus bisa dibuktikan bahwa orang tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan dan melecehkan agama dan kepercayaan. Sementara itu, ancaman pidana yang terdapat dalam RKUHP semakin menakutkan dan menimbulkan rasa was-was bagi kalangan umat beragama, terutama bagi kalangan pluralis dan penggiat hak asasi manusia. dalam pandangan kaum pluralis urusan agama seharusnya diserahkan kepada individu dan negara tidak ikut mencampuri urusan agama apalagi masalah penafsiran agama dan kepercayaan.
3.1.6 Pengaturan Tindak Pidana Penodaan Agama di beberapa Negara Berikut ini akan dipaparkan beberapa peraturan perundang-undangan pidana di beberapa negara yang masih mengatur mengenai penodaan agama sebagai tindak pidana. 1) Austria KUHP Austria mengatur tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 188 yang mengatur tindak pidana berupa penghinaan terhadap agama dan
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
87
Pasal 189 mengatur mengenai tindak pidana mengganggu kegiatan keamanan.142 Section 188 of the Austrian Penal Code deals with the offence of disparaging of religious precepts: everyone who publicly disparages or mocks a person or a thing, respectively, being object of worship or a dogma, a legally permitted rite, or a legally permitted institution of a church or religioussociety located in Austria in a manner capable of giving rise to a justified annoyance is liable to imprisonment for a term not exceeding six months or to a fine.143 Pasal 188 “Barangsiapa di depan umum menghina atau mengejek seseorang atau sesuatu, yang masing-masing, merupakan objek dari pemujaan atau suatu aliran agama, suatu ritual keagamaan yang sah menurut agama, atau sah menurut institusi gereja atau suatu kelompok keagamaan yang berada di Austria dalam berbagai cara yang mampu menimbulkan satu gangguan menurut hukum akan dihukum penjara yang tidak melebihi enam bulan atau dikenakan denda.”
Section 189 of the Penal Code provides for the offence of disturbance of the practice of religion: (1) everyone who forcibly or threatening with force, precludes or disturbs divine service or an act of divine service of a church or religious society located in Austria is liable to imprisonment for a term not exceeding two years. (2) and everyone who is up to mischief at a place destined for a legally permitted practic of religion or on the occasion of a legally permitted public divine service or a legally permitted act of divine service or with an object directly destined for a legally permitted divine service of a church or religious society located in Austria in a manner capable of giving rise to a justified annoyance is liable to imprisonment for a term not exceeding six months or to a fine.144
142
European Commission Democracy for Through Law (Venice Commission) “Annex II: Analysis of the Domestic Law concercing Blasphemy, Religious, Insult and Inciting Religious Hatred in Albania, Austria, Belgium, Denmark, France, Greece, Ireland, The Netherlands, Poland, Romanis, Turkey, United Kingdom”, Http://www.venice.coe.int/docs/2008/CDL-AD(2008)09 diunduh pada Hari Senin 4 April 2010 Pukul 21.35 Wib. 143 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 144 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
88
Pasal 189 1) Barangsiapa dengan paksaan atau dengan ancaman kekerasan menghalangi atau mengganggu misa atau suatu kegiatan misa suatu gereja atau kelompok keagamaan yang berada di Austria dihukum penjara tidak lebih dari dua tahun; 2) Barangsiapa berperilaku jahat di suatu tempat yang diperuntukkan untuk satu kegiatan keagamaan yang diizinkan oleh hukum atau ada kalanya suatu suatu misa umum yang sah menurut hukum atau suatu tindakan dari suatu objek yang secara langsung diperuntukkan untuk satu misa dari suatu gereja yang sah menurut hukum atau kelompok keagamaan yang berada di Austria dengan suatu cara yang mampu menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dikenakan hukuman penjara tidak lebih dari enam bulan atau sejumlah denda. 2) Belanda Negara Belanda adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia, bahkan sampai pada hal yang sangat kontroversial seperti pengakuan atas hak kaum lesbian dan gay, legalisasi prostitusi, dan legalisasi pemakaian ganja. Meskipun demikian, ketentuan mengenai penodaan agama masih mendapat tempat tersendiri dalam perundang-undangan pidana Belanda. Dalam KUHP Belanda, melalui Stb. 1932-524, dicantumkan suatu ketentuan yang dikenal dengan Godslasteringswet atau menurut penciptanya Lex Doner mengenai penodaan terhadap agama dan golongan penduduk yang diatur dalam Pasal 147 dan 147a.145 Artikel 147 Met gevangenisstraf van ten hoogste drie maanden of geldboete van de tweede categorie wordt gestraft: 1. hij die zich in het openbaar, mondeling of bij geschrift of afbeelding, door smalende godslasteringen op voor godsdienstige gevoelens krenkende wijze uitlaat; 2. hij die een bedienaar van de godsdienst in de geoorloofde waarneming van zijn bediening bespot;
145
European Commission Democracy for Through Law (Venice Commission) “Annex II: Analysis of the Domestic Law concercing Blasphemy, Religious, Insult and Inciting Religious Hatred in Albania, Austria, Belgium, Denmark, France, Greece, Ireland, The Netherlands, Poland, Romanis, Turkey, United Kingdom”, Http://www.venice.coe.int/docs/2008/CDL-AD(2008)09 diunduh pada Hari Senin 4 April 2011 Pukul 21.35 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
89
3. hij die voorwerpen aan een eredienst gewijd, waar en wanneer de uitoefening van die dienst geoorloofd is, beschimpt.146 Pasal 147 Dipidana penjara tidak lebih dari tiga bulan atau denda kategori kedua akan dikenakan terhadap: 1) Barangsiapa di depan umum, baik lisan atau tulisan atau gambar, menghina perasaan keagamaan dengan menghina Tuhan; 2) Barangsiapa menertawakan petugas agama dalam melaksanakan tugastugasnya; 3) Seseorang yang membuat pernyataan bersifat menghina tentang objek digunakan untuk perayaan keagamaan pada suatu waktu dan tempat yang mana perayaan tersebut adalah sah menurut hukum.
Artikel 147a 1) Hij die een geschrift of afbeelding waarin uitlatingen voorkomen die, als smalende godslasteringen, voor godsdienstige gevoelens krenkend zijn, verspreidt, openlijk tentoonstelt of aanslaat of, om verspreid, openlijk tentoongesteld of aangeslagen te worden, in voorraad heeft, wordt, indien hij weet of ernstige reden heeft om te vermoeden dat in het geschrift of de afbeelding zodanige uitlatingen voorkomen, gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste twee maanden of geldboete van de tweede categorie.147 148
Pasal 147a 1) Barangsiapa yang menyebarkan, menampilkan atau mengumumkan secara tertulis atau melukiskan di depan umum, yang berisi pernyataan yang menyerang perasaan keagamaan dengan alasan untuk menyakiti mereka dan menghina Tuhan, atau barangsiapa mempunyai persediaan untuk disebarkan, ditampilkan atau ditempatkan di depan umum, dikenakan hukuman penjara dari tidak lebih dari dua bulan atau denda kategori kedua;
3) Denmark KUHP Denmark mengatur tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 140 yang berbunyi: 146
http://wetten.overheid.nl/BWBR0001854/TweedeBoek/TitelV/Artikel147a/geldigheidsdatu m_02-06-2011 diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 147 Ibid. 148 Brenton Priestley, “Blasphemy and The Law:A Comparative Study (2006)”, http://www.brentonpriestley.com/writing/blasphemy.htm, diunduh pada Hari Senin 4 April 2010 Pukul 21.35 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
90
Article 140 Any person who, in public, mocks or scorns the religious doctrines or acts of worship of any lawfully existing religious community in this country shall be liable to imprisonment for any term not exceeding four months.149 Pasal 140 “barang siapa yang di depan umum, menertawakan atau menghina dogma atau ibadah dari setiap komunitas agama sah yang ada di negara ini dapat dikenakan pidana penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari empat bulan. Pasal ini sudah tidak pernah digunakan lagi sejak 1983 ketika kelompok Nazi di vonis untuk propaganda antisemit. Pasal pernyataan kebencian (hate speech) dalam Pasal 226 b lebih sering digunakan. Penghapusan pasal ini diajukan tahun 2004, akan tetapi gagal memenuhi suara mayoritas. Pasal ini kembali telah didiskusikan terutama setelah munculnya kontroversi kartun Nabi Muhammad di Denmark. 4) India150 India adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Agama Hindu tidak mengenal konsep penodaan agama (blasphemy). Meskipun demikian, dalam KUHP India, Bab XV ada mengatur mengenai kejahatan yang berkaitan dengan penodaan agama (Pasal 295-298). Dalam Pasal 295A KUHP India hanya diatur mengenai penghinaan terhadap kelompok agama. Article 295A Deliberate and malicious acts, intended to outrage religious feelings or any class by insulting its religion or religious beliefs. Whoever, with deliberate and malicious intention of outraging the religious feelings of any class of [citizens of India], [by words, either spoken or written, or by signs or by visible representations or otherwise], insults or attempts to insult the religion or the religious beliefs of that class, shall be punished with
149
http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 150 Indian Penal Code 1860 (Act No. 45 of 1860) Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
91
imprisonment of either description for a term which may extend to [three years], or with fine, or with both.]151 Pasal 295A Tindak dengan sengaja dan niat jahat ditujukan untuk menyakitkan hati perasaan kelompok agama manapun dengan menghina agama atau kepercayaannya. Dalam Penjelasan Pasal 295A disebutkan: Siapapun, dengan sengaja dan niat jahat menyakiti hati perasaan religius dari kelompok manapun (warga negara India), (melalui kata-kata, baik lisan atau tertulis, atau melalui tanda atau pernyataan kelihatan atau jika tidak) hinaan atau usaha untuk menghina agama atau kepercayaan religius dari kelompok itu, akan dihukum dengan hukuman penjara maksimal (tiga tahun atau denda atau dengan keduanya). 5) Jepang Dalam KUHP Jepang, Tindak Pidana Penodaan Agama diatur dalam Bab XXIV “Kejahatan Mengenai Tempat Pemujaan dan Makam”. Pasal 188 mengenai Menajiskan Tempat Pemujaan;152 Article 188 1) A person who in public profanes a shrine, temple, cemetery or any other place of worship shall be punished by imprisonment with or without work for not more than 6 months or a fine of not more than 100,000 yen. 2) A person who interferes with a sermon, worship or a funeral service shall be punished by imprisonment with or without work for not more than 1 year or a fine of not more than 100,000 yen.153 Pasal 188 Gangguan terhadap ibadah Agama berbunyi: (1) Seseorang yang secara terbuka menajiskan suatu candi Shinto, suatu kuil Buddha, suatu makam atau sesuatu tempat pemujaan yang lain, diancam pidana penjara dengan atau tanpa kerja paksa selam tidak lebih dari enam bulan atau denda tidak lebih dari 50 yen. 151
http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 152 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 153 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
92
(2) Seseorang yang mengganggu khotbah, pemujaan, atau upacara penguburan, diancam pidana dengan penjara dengan atau tanpa kerja paksa selama tidak lebih dari satu tahun atau denda tidak lebih dari 100 yen. 6) Jerman154 Bab XI dari Strafgesetzbuch (1998), KUHP Jerman, berkaitan dengan Kejahatan yang berkaitan dengan Agama dan Filsafat Kehidupan, Pasal 166 (1), dikenal Gotteslasterungsklausel, berkaitan secara khusus dengan penodaan agama (blasphemy) berbunyi: Chapter Eleven Crimes Which Relate to Religion And Philosophy of Life Section 166 Insulting of Faiths, Religious Societies and Organizations Dedicated to a Philosophy of Life (1) Whoever publicly or through dissemination of writings (Section 11 subsection (3)) insults the content of others' religious faith or faith related to a philosophy of life in a manner that is capable of disturbing the public peace, shall be punished with imprisonment for not more than three years or a fine.155 Pasal 166 (1), Barangsiapa di depan umum atau melalui penyebaran tulisan-tulisan.. menghina isi (kandungan) iman agama lain atau kepecayaan yang terkait dengan filsafat hidup dengan cara yang mampu menggangu ketertiban umum, dipidana dengan pidana penjara selama tidak lebih dari tiga tahun atau denda. 7) Pakistan156 Diantara semua negara dengan penduduk mayoritas Islam, Pakistan merupakan Negara yang menerapkan ketentuan mengenai penodaan agama yang paling ketat sekaligus kejam di seluruh dunia. Pada tahun 1982, Pesiden Zia ul-Haq memperkenalkan Pasal 295B ke KUHP Pakistan, yang menghukum perbuatan “ mengotori kitab suci Al-Quran” dengan pidana penjara seumur hidup. Pada tahun 1986, Pasal 295C diperkenalkan, 154
Andi Hamzah, loc.cit.,hal. 132 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 156 University of California Los Angeles (UCLA) International Institute, “Government Measures Limit Spread of Anger in Malaysia”. http://www.asiamedia.ucla.edu/religion/article.asp?parentid=45889 155
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
93
mengamanatkan hukuman mati untuk “penggunaan komenter bersifat menghina Nabi Suci”.157 Article 295C Use of derogatory remarks, etc., in respect of the Holy Prophet: Whoever by words, either spoken or written, or by visible representation or by any imputation, innuendo, or insinuation, directly or indirectly, defiles the sacred name of the Holy Prophet Muhammad (peace be upon him) shall be punished with death, or imprisonment for life, and shall also be liable to fine.158 Pasal 295C KUHP Pakistan menyatakan bahwa: “barangsiapa dengan kata-kata, baik lisan atau tertulis atau dengan pernyataan yang dapat dilihat, atau oleh tuduhan, sindiran, atau sindiran tersembunyi, secara lanngsung atau tidak langsung, mencemarkan nama Suci Nabi Muhammad harus dihukum mati, atau penjara seumur hidup, dan juga harus dikenakan denda.” 8) Yunani Bab II KUHP Yunani dalam Pasal 198, 199, dan 201 mengatur tindak pidana yang mencakup penghinaan pada Tuhan. Pasal 198 mengenai “Penghinaan terhadap Tuhan dengan Niat Jahat” menyatakan:159 The Chapter 7 of the Greek Penal Code is entitled Plots Against Religious Peace and contains four articles. According to Article 198 “Malicious Blasphemy”: 1. One who publicly and maliciously and by any means blasphemes God shall be punished by imprisonment for not more than two years. 2. Except for cases under paragraph 1, one who by blasphemy publicly manifests a lack of respect for the divinityshall be punished by imprisonment for not more than three months.”160 Pasal 198 1) Barangsiapa di depan umum dan dengan niat jahat/dengki serta dengan cara apapun menghina Tuhan akan dihukum penjara selama tidak lebih dari dua tahun. 157
Jo-Anne Frud’homme, Policing Belief: The Impact of Bleshemy laws on Human Rights, Freedom House, Wahington DC, 2010, hal. 1 158 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. 159 Jo-Anne Frud’homme, op.cit., hal. 36 dan 108 160 http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 Pukul 09.25 Wib. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
94
2) Kecuali kasus-kasus berdasarkan paragraf (1), barangsiapa yang menghina Tuhan di depan umum berupa kurangnya rasa hormat terhadap ketuhanan akan dihukum penjara selama tidak lebih dari tiga bulan. According to Article 199 “Blasphemy Concerning Religions”: “One who publicly and maliciously and by any means blasphemes the Greek Orthodox Church or any other religion tolerable in Greece shall be punished by imprisonment for not more than two years.” Pasal 199 mengenai “Penghinaan terhadap Agama”menyatakan:161 “Barangsiapa di depan umum dan dengan niat jahat serta dengan cara apapun menghina Gereja Orthodox Yunani atau agama lain apapun yang ditolerir di Yunani akan dihukum oleh hukuman penjara selama tidak lebih dari dua tahun.” Yunani tidak menggunakan lagi hukum mengenai penghinaan pada Tuhan untuk melindungi agama apapun selain dari Gereja Orthodok, yang adalah Gereja Negara Yuni. Penduduk Yunani adalah homogeny dalam hal agama, yaitu Kristen Orthodok hampir 98%, sehingga Kristen dianggap sebagai agama resmi.162 Tabel 2 Perbandingan ancaman pidana terhadap penodaan agama di beberapa negara
No
Negara
1.
Austria
2.
Belanda
3.
Denmark
4.
India
Ancaman Pidana
Pasal 188 dan 189: penjara maksimal 6 bulan atau denda Pasal 147: penjara maksimal 3 bulan atau denda kategori II Pasal 148: penjara maksimal 2 bulan atau denda kategori II Pasal 140: penjara maksimal 4 bulan atau pidana denda Pasal 295A: penjara maksimal 3 tahun atau denda
161
Jo-Anne Frud’homme, loc.cit., hal. 36 dan 108 Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor US Departement of State, “Greece” in International Religious Freedom Report 2009, dalam http://www.state.gov/g/dr/rls/irf/2009/127313.htm. diunduh pada Hari Senin 4 April 2010 Pukul 21.35 Wib. 162
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
95
5.
Jepang
6. 7.
Jerman Pakistan
8.
Yunani
Pasal 188 (1): penjara maksimal 6 bulan atau denda Pasal 188 (2): penjara maksimal 1 tahun atau denda Pasal 166 (1): penjara maksimal 3 tahun atau denda Pasal 295C: penjara maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup dan denda Pasal 198 (1), penjara maksimal 2 tahun Pasal 198 (2), penjara maksimal 3 bulan
Dari perbandingan diatas, dapat dianalis sebagai berikut: 1.
KUHP (code penal) Pakistan menerapkan ancaman pidana yang paling tinggi mengenai penodaan agama yaitu pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup, disusul India (mak. 3 tahun), Jerman (mak. 3 tahun) dan Yunani (mak. 2 Tahun).
2.
KUHP (code penal) Austria, Belanda, Denmark, India, Jepang, dan Jerman memberikan alternatif dalam penjatuhan pidana yaitu selain penjara atau pidana denda, jadi bersifat pilihan.
3.
KUHP (code penal) Pakistan selain menjatuhkan pidana penjara juga menambah pidana denda (double punishment).
4.
KUHP (code penal) Belanda merupakan KUHP yang paling rendah dalam menjatuhkan sangsi pidana penjara.
5.
Yunani yang memiliki agama resmi yaitu Kristen Orthodok, akan tetapi ancaman hukuman dalam KUHP (code penal) Yunani lebih rendah dari RKUHP Indonesia. KUHP Yunani ancaman pidana maksimal 2 Tahun penjara sedangkan dalam RKUHP Indonesia ancaman maksimal adalah 7 Tahun (Pasal 344 (1))
3.2
Pengawasan Aliran Kepercayaan Dan Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Oleh Kejaksaan
3.2.1 Sejarah Tim Pakem Sejarah pembentukan Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Kejaksaan dimulai pada Tahun 1952. Awal tahun 1952, Departemen Agama (Depag) membuat definisi minimum Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
96
tentang agama yaitu memuat unsur-unsur adanya nabi, adanya kitab suci, dan adanya pengakuan internasional. Definisi minimum tentang agama tersebut membawa konsekuensi terhadap aliran kebatinan/kepercayaan bukan sebagai “ekspresi religius” yang sah. Karena menurut aliran kepercayaan/kebatinan, Tuhan itu ada di dalam hati setiap manusia dan tidak mempunyai perantara baik melalui nabi ataupun kitab sucinya. Definisi ini memperoleh perlawanan dari agama Hindu Bali, dan akhirnya dicabut.163 Selanjutnya Departemen Agama (Depag) melaporkan adanya 360 (tiga ratus enam puluh) agama baru dan kebatinan/kepercayaan pada 1953. Atas dasar laporan Depag inilah maka dibentuk Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat) dibawah Departemen Agama. Di mana pada awalnya fungsi Pakem pada saat itu adalah mengawasi agama-agama baru, kelompok kebatinan/kepercayaan dan kegiatan-kegiatan
mereka.
Sebenarnya
pengawasan
terhadap
aliran
kebatinan/kepercayaan sudah ada sejak masa kolonial, tetapi tujuannya pada waktu itu adalah untuk meredam pemberontakan yang dilakukan oleh para petani.164 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kejaksaan RI, di mana Pasal 2 ayat (3) yang memberikan tugas kepada
Kejaksaan
untuk
mengawasi
aliran
kepercayaan/kebatinan
yang
membahayakan masyarakat dan negara, semakin memperjelas keberadaan Pakem di institusi penegak hukum ini. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, merupakan produk hukum yang menegaskan tugas kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan, dan ini sekaligus menarik institusi Pakem berada di bawah Kejaksaan yang sebelum tahun 1961 berada di bawah Departemen Agama (Depag). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, menambah tugas Kejaksaan disamping untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana di pengadilan, juga melakukan pengawasan aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara. Konsideran 163
Niels Mulders, Kebatinan Dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan Dan Perubahan Kulturil), (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 5 164 Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
97
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, menempatkan Kejaksaan sebagai alat negara dalam penegakan hukum untuk menyelesaikan revolusi. Inilah yang menjadikan Kejaksaan terbebani untuk mengamankan revolusi, sehingga hal-hal yang mempunyai potensi “mengganggu” atau melanggar revolusi maka Kejaksaan mempunyai tugas untuk melakukan penegakan hukum. Dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 menafsirkan penegakan hukum untuk pengamanan revolusi tidak hanya penuntutan tetapi juga pengawasan terhadap aliran kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara.165 Pasca tragedi 1965, aliran kepercayaan/kebatinan sering dikaitkan dengan tragedi 1965. Di sinilah peran Tim Pakem untuk melakukan pengawasan terhadap para pengikut aliran kepercayaan/kebatinan. Akibat stigmatisasi dan hubungannya dengan tragedi 1965, maka terjadi eksodus besar-besar kepindahan pengikut aliran kepercayaan/kebatinan ke agama-agama ”resmi” lainnya.166 Aliran kebatinan perjalanan merupakan contoh bagaimana negara melakukan stigmatisasi terlibat tragedi 1965, di mana di beberapa daerah di Jawa Barat seperti di Kabupaten Majalengka, Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat melalui Pakem mengeluarkan
surat
keputusan
No.02/Kep/PAKEM/1970
tentang
pelarangan/pembubaran Aliran Kebatinan Perjalanan. Di Kabupaten Sumedang Kejari setempat juga melarang dan membubarkan Aliran Perjalanan Kebatinan, yang menurut Kejari Kabupaten Sumedang bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan di Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai yang dilarang oleh Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar dari Islam. Lebih jauh Kejari Kabupaten Sumedang mengatakan Aliran Kebatinan Perjalanan jelas-jelas di dalam melakukan ibadahnya telah menyimpang dari ajaran agama Islam, sehingga telah menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Pelarangan dan pembubaran
165 166
Ibid. Ibid, hal. 8-10 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
98
organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan juga dilakukan oleh Pakem di Kabupaten Subang.167 Direktorat Sosial dan Politik (Sospol) Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pernah mengirimkan surat kepada Aliran Kebatinan Perjalanan pada Oktober 1992, yang pada intinya memberitahukan kepada Aliran Kebatinan Perjalanan bahwa ada surat keputusan pelarangan dan pembubaran organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan No.SK-23/PAKEM/1967 23 Mei 1967.168 Kejaksaan Agung (Kejagung) juga mengeluarkan SK No Kep-129/JA/12/1976 tentang pelarangan Ajaran-Ajaran SiswaSiswa Alkitab/Saksi-Saksi Yehova 7 Desember 1976. Kemudian Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan No Kep-108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat. Adapun latar belakang pembentukan Tim Pakem tersebut menurut konsideran Surat Keputusan No Kep-108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat, adalah untuk pembinaan dan pengawasan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan: a) Agar kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak mengarah kepada pembentukan agama baru; b) Dapat mengambil langkah-langkah atau tindakan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara ; c) Pelaksanaan aliran kepercayaan benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Sebelum Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan No Kep108/J.A/5/1984 tentang
Pembentukan
Tim
Koordinasi
Aliran
Kepercayaan
Masyarakat tentang Tim Pakem, pada periode 1971 s/d 1983 tercatat Kejaksaan
167
Engkus Ruswana, “Kasus-Kasus Pelanggaran Hukum Dan HAM Yang Dialami Masyarakat Adat/Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, Makalah Seminar Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum, (2008) hal 11-12 168 Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
99
Agung telah melakukan pelarangan terhadap enam aliran kepercayaan/kebatinan dan juga sekte di dalam agama-agama resmi, yaitu : a.
Aliran Darul Hadist, Islam Jemaah, JPID Jappenas DII organisasi yang bersifat/berjaran serupa;
b.
Aliran Kepercayaan Manunggal;
c.
Agama Budha Jawi Wisnu;
d.
Ajaran Agama Jawa Sanyoto;
e.
Saksi Yehova;
f.
Ajaran yang dikembangkan oleh Abdul Rahman dan pengikutnya (Aliran Inkarsunnah) dan larangan beredarnya buku tulisan tangan karangan Moch. Icham Sutarto.169
Pada Tahun 1991 Pemerintah dan DPR membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 memperluas tugas Kejaksaan yaitu tidak hanya penuntutan kasus-kasus pidana, tetapi juga di dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum Kejaksaan mempunyai tugas antara lain : a.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.
Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.
Pengamanan peredaran barang cetakan;
d.
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat;
e.
Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama;
f.
Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, UndangUundang Nomor 5 Tahun 1991 tetap mempertahankan pasal soal pengawasan aliran 169
Jamintel Kejagung, “Jaminan Perlindungan Hukum Dan HAM Untuk Kebebasan Beragama Dan Beribadah Menurut Agama Dan Kepercayaannya”, makalah seminar Watimpres Bidang Hukum, 2008. Hal. 8 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
100
kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat. Tetapi UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 menambahkan tugas di bidang ketertiban umum dan ketentraman, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, dan untuk pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dijadikan referensi Surat Keputusan Kejaksaan Agung untuk pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat (Bakorpakem) No. Skep-004/J.A/01/1994, disamping Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dan Undang-Undang No.2/PNPS/1962 tentang Larangan Organisasi-Organisasi Yang Tidak Sesuai Dengan Kepribadian Bangsa. Kejaksaan Agung memformalkan Tim Pakem dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem), yang kemudian mencabut Surat Keputusan Nomor Kep-108/J.A/5/1984. Disini Kejaksaan Agung melihat adanya perkembangan dan meningkatnya kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa, yang menjadi latar belakang pembentukan Surat Keputusan No.Kep-004/J.A/01/J.A/01/1994. Sementara itu dalam implementasi peran pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di tingkat lokal, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Utara (Sumut) telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No.Kep-07/0.02/Dsb.1/02/1994 tentang pelarangan kegiatan dalam bentuk dan cara apapun dari Aliran/Ajaran Ahmadiyah Qodiyan di seluruh Provinsi Sumatera Utara pada 12 Februari 1994. SK Kepala Kajati Sumut tersebut berdasarkan atas hasil rapat koordinasi Pakem Tingkat I Sumut masing-masing pada 18 September 1993 dan 15 Januari 1994 di Kajati Sumut. Juga fatwa MUI Sumut No.356/MUI/SU/VII/1984 pada 16 Juli 1984 yang merekomendasikan agar Ahmadiyah Qadian (JAI) dilarang berkembang di Sumut. Kemudian juga hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI pada 4 Agustus 1984 menegaskan bahwa aliran/ajaran Ahmadiyah Qadian adalah bertentangan dengan aqidah agama Islam dan menimbulkan keresahan masyarakat. Rekomendasi Tim Pakem dan fatwa MUI Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
101
Sumut serta Rakernas MUI mempunyai pengaruh kuat terhadap SK Kepala Kajati Sumut, ketika ketiganya dijadikan referensi atau bahan pertimbangan untuk melarang kegiatan Ahmadiyah Qadian di Sumut.170 Sementara itu di Kabupaten Kuningan Jawa Barat, pada 3 Nopember 2002 Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) termasuk Kepala Kejaksaan Negeri, Pimpinan DPRD, MUI dan Pimpinan Pondok Pesantren mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pelarangan Aliran/Ajaran Jemaah Ahmadiyyah Indonesia (JAI) di Wilayah Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Hasil rapat Tim Pakem Kabupaten Kuningan pada 30 Oktober 2002 sampai dengan 2 Nopember 2002, dan juga rapat Muspida serta Pimpinan Pondok Pesantren dan Organisasi Masa Islam pada 14 September 2002 dijadikan referensi untuk memutuskan melarang Jemaah Ahmadiyyah Indonesia di Kabupaten Kuningan. 171 Pasca reformasi 1998, Pemerintah dan DPR kembali melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan menggantinya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e tetap mempertahankan tugas Kejaksaan di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, dan pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan
agama.
Di
sini
terlihat
kejaksaan
masih
melihat
aliran
kepercayaan/kebatinan merupakan potensi yang membahayakan masyarakat dan negara, khususnya untuk pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Jadi kebijakan pemerintahan pasca reformasi terhadap aliran kepercayaan adalah sama dengan orde baru dan orde lama. Pasca pembentukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Tim Pakem semakin menunjukan eksistensinya terutama di daerahdaerah, hal ini terlihat ketika Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep170
Uli Parulian Sihombing, Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: The Indonesian legal Resource Center (ILRC), 2008), Cet. 1, hal. 37 171 Ibid.hal. 39 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
102
116/J.A/11/2007 tanggal 9 Nopember 2007 tentang Pelarangan Aliran dan Ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah. Juga memerintahkan kepada jajaran Kejaksaan RI dan Tim Pakem di seluruh Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan AlQiyadah Al Islamiyah tersebut, dan melakukan tindakan sesuai ketentuan perundangundangan yang berlaku apabila SK pelarangan ini tidak diindahkan. Sebelum Jaksa Agung mengeluarkan SK pelarangan Al Qiyadah Al Islamiyah, sebelumnya MUI pada 3 Oktober 2007 mengeluarkan fatwa sesatnya Al Qiyadah Al Islamiyah No. 04/2007. Kemudian hasil rakor Pakem Pusat 7 Nopember 2007 merekomendasikan pelarangan Al Qiyadah Al Islamiyah.172 Dalam suasana yang lain di tingkat lokal, Tim Pakem Tingkat I Provinsi Sumatera Barat dan MUI Sumatera Barat lebih dulu mengeluarkan rekomendasi dan fatwa sesatnya dan larangan Al Qiyadah Al Islamiyah masing-masing pada 5 Oktober 2007 dan 24 September 2007. Tim Pakem Tingkat I Provinsi Sumatera Barat secara tegas menyatakan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah adalah ajaran sesat dan menyesatkan dan telah keluar dari ajaran Islam. Rekomendasi Tim Pakem tersebut persis sama dengan fatwa MUI Sumatera Barat. Bahkan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat menindaklanjuti rekomendasi Tim Pakem dan MUI tersebut dengan melakukan kriminalisasi terhadap pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah atas tuduhan melakukan penodaan agama melanggar Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat telah memutuskan Dedi Priyadi dan Gery Yudistira, para pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah, terbukti melanggar pasal 156 a KUHP karena melakukan penyebaran ajaran yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Agama Islam.173 Kerja Tim Pakem Pusat semakin terlihat terutama di dalam kasus Ahmadiyah.174 Di mana hasil rapat Bakorpakem Pusat pada 16 April 2008 berkaitan dengan kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyatakan beberapa hal, yaitu :
172
Data diperoleh pada saat wawancara dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Fietra Sani, SH.,MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 173 Uli Parulian Sihombing, op.cit., hal. 38 174 Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
103
a.
Hasil pemantauan Bakorpakem selama tiga bulan, ternyata Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak melaksanakan 12 butir penjelasan JAI 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertangungjawab;
b.
Bakorpakem berpendapat bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah melakukan kegiatan dan penafsiran yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Islam yang dianut di Indonesia, dan menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketertiban dan ketentraman umum;
c.
Bakorpakem merekomendasikan agar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diperintahkan
dan
diberi
peringatan
keras
untuk
menghentikan
perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sesuai dengan Undang-Undang No.1/PNPS/1965; d.
Bakorpakem menghimbau kepada para pemuka/tokoh agama beserta organisasi kemasyarakatan dan semua lapisan masyarakat menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan menghormati proses penyelesaian Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Kemudian rekomendasi Bakorpakem atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yaitu Menteri Agama,
Jaksa
Agung,
dan
Menteri
Dalam
Negeri
No.3/2008,No.
Kep-
033/A/JA/6/2008, No 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat. Kemudian SKB 3 menteri tersebut ditindaklanjuti secara teknis dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Sekertaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal
Kesatuan
No.SE/SJ/1322/2008,
Bangsa
dan
Politik
No.SE/B-1065/D/08/2008
Departemen dan
Dalam
Negeri
No.SE/119/921.D.III/2008
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
104
tentang Pedoman Pelaksanaan keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI.175
3.2.2
Landasan Yuridis Pembentukan Tim Pakem Landasan hukum pembentukan Tim pengawas aliran kepercayaan dan
pencegahan penyahgunan dan/atau penodaan agama oleh Kejaksaan RI adalah sebagai berikut: 1.
Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan menjelaskan tugas Kejaksaan di bidang ketertiban dan ketentraman umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara, serta mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Sebenarnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e merupakan pengulangan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Juga Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan. Adapun pengulangan di maksud adalah: 1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Kejaksaan mempunyai tugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Menurut penjelasan pasal diatas disebutkan bahwa pelaksanaan tugas dalam Pasal 2 ayat (3) tersebut dijiwai oleh kesadaran akan sila pertama dari negara kita. Tindakan ‘mengawasi’ sudah mengandung tindakan-tindakan tertentu terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, dan tindakan ini merupakan pencegahan.
175
Data diperoleh pada saat wawancara dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Fietra Sani, SH.,MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
105
Sehubungan dengan tugas dan wewenang dalam mengawasi aliranaliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961), maka pada tanggal 5 Pebruari 1963 dikeluarkan Instruksi Menteri/Jaksa Agung Nomor 01/Instr/Secr/1963 tentang penyelesaian persoalan di bidang Pakem Kejaksaan sebagai berikut;176 1.
Sebagaimana dimaklumi, dalam tugas-tugas yang dibebankan kepada
kejaksaan
termasuk
juga
mengawasi
aliran-aliran
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara (undang-undang pokok kejaksaan Pasal 2 ayat 3). 2.
Tidak dapat disangkal bahwa di dalam masyarakat terdapat aliranaliran kepercayaan/kebatinan yang benar, yaitu yang memberi kepada pengikutnya kekuatan jiwa, dan bersandarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disamping aliran-aliran yang benar itu ada aliran-aliran yang sesat yang tidak baik bagi masyarakat dan negara, dan golongan ini tidak semakin berkurang jumlahnya, melainkan menunjukkan grafik yang baik.
3.
Peneropongan oleh Pakem Kejaksaan terhadap aliran-aliran kepercayaan/gerakan agama, diarahkan kepada gejala-gejala yang dapat menghalang-halangi jalannya pembangunan semesta dewasa ini. Ini berarti bahwa pakem tersebut harus mencurahkan kewaspadaannya terhadap; a.
Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan
yang dapat menimbulkan
gangguan ketertiban/ketentraman umum. b.
Ajaran-ajaran/gerakan-gerakan yang dapat merugikan para pengikutnya
atau
masyarakat
umumnya
dibidang
mental/spiritual dan material.
176
Laporan Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Penyajian Hasil Penelitian Peranan Kejaksaan Dalam Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, Jakarta, Tahun 2005, hal. 23-26 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
106
perlu diketahui bahwa diantara aliran-aliran/gerakan-gerakan tersebut ada yang berkembang menuju kearah kehidupan sosial, politik yang membahayakan. 4.
Di dalam hal sesuatu gerakan agama/aliran kepercayaan menampakkan tanda-tanda kecenderungan kea rah kesesatan, hendaklah saudara mengambil langkah bagi pencegahannya di dalam team catur tunggal dan mengusahakan agar kepincangankepincangan dapat dilenyapkan.
5.
Ada beberapa kemungkinan mengambil tindakan; a.
Peristiwa
yang
bersangkutan
mengandung
unsur-unsur
kepidanaan: 1) Penanggung jawab dituntut dimuka pengadilan, bila perlu diusulkan
kepada
instansi
yang
kompeten
agar
ditutup
tanpa
aliran/gerakannya ditutup, atau 2) Diusulkan
supaya
aliran/gerakannya
diadakan penuntutan pidana Sebelum diputuskan untuk menyampingkan perkara, lebih dahulu dimintakan pertimbangan kami dapat atau tidaknya tuntutan hukuman ditiadakan. b.
Peristiwa yang bersangkutan tidak mengandung unsure-unsur kepidanaan, tetapi cukup membahayakan; 1) Aliran/gerakan diusulkan untuk ditutup, penutupan serupa ini telah beberapa kali diperintahkan oleh instansi yang berwenang, atau 2) Para penanggungjawab diberi peringatan seperlunya, peringatan ini dapat diberikan oleh atau atas nama Catur Tunggal setempat.
6.
Diminta agar saudara-saudara mengusahakan pada waktunya pengiriman laporan-laporan agar segala sesuatu dapat diikuti dan ditinjau di dalam hubungan yang lebih luas. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
107
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara mempunyai tugas dan wewenang antara lain dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum turut menyelenggarakan kegiatan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama (Pasal 27 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991). Terhadap perbuatan penodaan dan penghinaan agama, dapat dilakukan tindakan sebagai berikut; 1.
Pembekuan aliran kepercayaan/kerohanian. Pembekuan
kegiatan
suatu
masyarakat/kerohanian/kebatinan
dan
aliran
kepercayaan
pendukun
hendaklah
bersandarkan kepada: a.
Ketentraman hidup beragama
b.
Adanya tindakan-tindakan/kegiatan-kegiatannya bertentangan dengan melanggar suatu peraturan hukum yang berlaku
c.
Terbukti menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum
d.
Terbukti
bertentangan
dengan
policy/kebijaksanaan
pemerintah e.
Terbukti menjadi alat/tempat berlindung orang-orang yang berusaha/melakukan kegiatan-kegiatan untu come back PKI, menjadi tempat bernaung orang-orang PKI mantan/Ex PKI, orang-orang yang berusaha menggagalkan PELITA (Surat Jaksa Agung No. B-523/C/69).
2.
Instansi yang membekukan Dalam hal pembekuan aliran kebatinan, dapat dilaksanakan oleh; a.
Kepala
Kejaksaan
Negeri,
kalau
aliran
tersebut
hanya
berkembang dalam wilayah hukum kejaksaan negeri setempat. b.
Kepala Kejaksaan Tinggi, kalau aliran tersebut berkembang dalam dua wilayah hukum kejaksaan negeri atau lebih. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
108
c.
Kejaksaan Agung, kalau aliran tersebut berkembang dalam dua wilayah hukum Kejaksan Tinggi atau lebih (Surat Jaksa Agung No. B-170/B-2/i/73).177
2.
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama Kelahiran Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan
dan atau Penyalahgunaan Agama tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kepercayaan/kebatinan. Untuk mencegah anarki keagamaan, menurut Mulder, Presiden Sukarno mengamanatkan hanya enam agama yang dianggap resmi dan legal yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Mengacu kepada penjelasan pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 memang menyebutkan enam agama tersebut, meskipun penjelasan tersebut menggunakan istilah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia, dan tidak ada perkataan “agama-agama resmi” secara eksplisit. Tetapi penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tetap membatasi agama-agama lain selain enam agama tersebut, karena agama-agama lain tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 atau aturan hukum lainnya.178 Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang (UU) oleh Undang-Undang No.5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Penpres No.1/PNPS/1965 sendiri merupakan produk dari demokrasi terpimpin. Istilah demokrasi terpimpin bisa dilihat dari konsideran Undang-Undang No.1/PNPS/1965 yang menjelaskan di butir a dan b bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju kemasyarakatan adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah
177 178
Ibid, hal. 33-35 Uli Parulian Sihombing, op.cit., hal. 28 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
109
penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Di sini sangat jelas bahwa pengaman revolusi merupakan justifikasi untuk dikeluarkannya Penpres No.1/PNPS/1965.179 Moh. Mahfud MD mengakui Presiden Sukarno di masa demokrasi terpimpin sering mengeluarkan Penpres, satu produk hukum yang materinya disejajarkan dengan Undang-undang. Moh. Mahfud MD memaknai demokrasi terpimpin seperti yang dituangkan di dalam Tap MPRS No.VIII/MPRS/1965, yaitu mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambil putusan berdasarkan “musyawarah untuk mufakat” dengan konsekuensi bahwa jika sampai tahap tertentu mufakat bulat tidak dapat dicapai maka keputusan tentang masalah yang dimusyawarahkan itu diserahkan kepada pimpinan untuk menentukannya. Konsep inilah yang menurut Sukarno merupakan demokrasi kekeluargaan yang lebih sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.180 Feodalisme sangat kental mendominasi setiap keputusan di dalam demokrasi terpimpin, seperti yang dikatakan oleh A. Syafii Maarif: Demokrasi kekeluargaan yang dia (Sukarno) maksudkan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan dan kekuasaan sentralnya seorang “sesepuh”, seorang tetua yang tidak mendiktatori tetapi memimpin, mengayomi. Siapa yang dia maksudkan dengan tema-tema atau “tetua” pada waktu itu adalah dirinya sendiri.181 Konfigurasi politik sangat menentukan karakter produk hukum. Suatu konfigurasi politik otoriter juga mempengaruhi produk hukumnya otoriter, sementara konfigurasi politik yang demokratis maka produk hukumnya akan responsif. Pada masa demokrasi terpimpin konfigurasi politiknya adalah otoriter, sentralistik, dan terpusat di tangan Presiden Sukarno. Hal itu bisa dilihat dari bekerjanya pilar-pilar demokrasi di mana kehidupan kepartaian dan legislatif adalah lemah, sebaliknya Presiden sebagai kepala eksekutif sangat kuat, dan kebebasan pers tidak ada.182
179
Ibid, hal. 29 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hal. 30-31 181 Ibid. 182 Ibid, hal. 111 180
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
110
Pasca tragedi 1965, aliran kepercayaan/kebatinan sering dikaitkan dengan tragedi 1965. Di sinilah peran Tim Pakem untuk melakukan pengawasan terhadap para pengikut aliran kepercayaan/kebatinan. Akibat stigmatisasi dan hubungannya dengan tragedi 1965, maka terjadi eksodus besar-besar kepindahan pengikut aliran kepercayaan/kebatinan ke agama-agama ”resmi” lainnya.183 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 memberikan wewenang kepada Menteri/Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dalam Suatu Keputusan Bersama (SKB) untuk memberikan peringatan keras kepada siapa saja yang melanggar Pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tersebut mengikuti logika hukum yang dibangun oleh pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1/PNPS/1965. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 memberikan wewenang kepada Presiden untuk membubarkan organisasi/aliran terlarang yang melanggar Pasal 2 ayat (1) itu setelah mendengarkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sebelum kasus SKB 3 Menteri tersebut, pelarangan aliran kepercayaan dilakukan langsung oleh Jaksa Agung ataupun Kajati dan Kajari.
3.
Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat Kewenangan
untuk
mengawasi
aliran
kepercayaan
masyarakat
dan
kewenangan mencegah penodaan/penyalahgunaan agama yang dimiliki oleh kejaksaan/Jaksa Agung didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Tugas Tim Pakem menurut Pasal 3 Keputusan Jaksa Agung tersebut adalah: a.
Menerima dan menganalisa laporan dan atau informasi tentang Aliran Kepercayaan Masyarakat;
183
Niels Mulder, op.cit., hal. 8-10 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
111
b.
Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman umum;
c.
Mengajukan laporan dan saran sesuai dengan jenjang wewenang dan tanggung jawab.
d.
Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tim Pakem berfungsi: a.
Menyelenggarakan rapat baik secara berkala maupun sewaktu-waktu sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan pertemuan, konsultasi dengan instansi dan badanbadan lainnya yang dipandang perlu, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah sesuai dengan kepentingannya;
c.
Mengadakan pertemuan dengan penganut aliran kepercayaan yang dipandang perlu.
Susunan Tim Pakem Pusat adalah Jaksa Agung merupakan Ketua yang dibantu oleh Jaksa Agung Muda Intelijen, Direktur Sosial dan Budaya pada Jaksa Agung Muda intelejen, dan Kepala Sub Direktorat Sosial dan Budaya Intelejen. Anggota-anggotanya terdiri dari Departemen Agama yang diwakili oleh Kepala Litbang, Departemen Dalam Negeri yang diwakili oleh Direktorat Sosial Politik, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
diwakili oleh Direktur Jenderal
Kebudayaan (sekarang dipindahkan ke Departemen Pariwisata dan Kebudayaan yang diwakili oleh Direktur Jenderal Nilai Seni, Budaya dan Film), TNI diwakili oleh Aster TNI Korstanas, Polri diwakili oleh Intelpam, dan BIN diwakili oleh Deputi II BIN.184
184
Data diperoleh pada saat wawancara dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Fietra Sani, SH.,MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
112
Tabel 3 Data Aliran Kepercayaan/keagamaan Yang dilarang Kejaksaan Agung
Nama aliran
Tanggal pelarangan
kepercayaan/keagamaan
dan Sk pelarangan
No
1
Organisasi Agama Eyang
2
Perhimpunan
185
Dasar hukum pelarangan
21 Maret 1959
SK Perdana Menteri No:
3 April 1963
Keppres No: 54 Tahun 1963
29 Oktober 1971
SK Kejagung No: KEP-
122/P.M/1959
Theosofi
Tjabang
Indonesia 3
Aliran-aliran Darul hadist Djamaah Qur’an Hadist, Islam Djamaah,
089/B.A/10/1971
JPID, Jappenas DII, dan organisasi yang bersifat/berajaran serupa 4
Aliran Kepercayaan Manunggal
31 Juli 1976
SK Kejagung No: KEP06/B/7/1976
5
6
Agama Budha Jawi Wisnu
Ajaran Agama Jawa Sanyoto
18 Desember
SK Kejagung No: KEP-
1976
011/B.2/12/1976
29 Oktober 1980
SK Kejagung No: KEP115/J.A/10/1980
7
Ajaran Yang Dikembangkan Oleh
30 September
SK Kejagung No: KEP-
Abdul Rahman Dan
1983
169/J.A/9/1983
9 Nopember 2007
SK Kejagung No: KEP-
Pengikutnya
(Aliran
PengikutInkarus-
Sunnah) Dan Larangan Beredarnya Buku Tulisan Tangan Karangan Moch Ircham Sutarto 8
Aliran dan ajaran Al-Qiyadah AlIslamiyah
3.2.3
116/J.A/11/2007
Pola Kerja Tim Pakem Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa keberadaan Tim Pakem kejaksaan
khususnya peran intelijennya dalam mendukung optimalisasi kinerja Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana mempunyai peranan penting dalam mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. 185
Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
113
Maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pakem adalah bagian dari kegiatan-kegiatan Intelijen dan atau operasi Intelijen sesuai dengan kebutuhan yang meliputi fungsi penyelidikan (LID), Pengamanan (PAM), dan Penggalangan (GAL). adapun sasaran pelaksanaan fungsi tersebut diatas adalah masalah aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Kegiatan Intelijen diartikan sebagai usaha, pekerjaan dan tindakan yang diwujudkan dalam bentuk penyelidikan, pengamanan, penggalangan yang dilakukan secara routine, terus-menerus dan berdasarkan suatu tata cara kerja yang tetap. Sedangkan Operasi Intelijen adalah usaha kegiatan yang dilakukan berdasarkan pada suatu rencana yang terinci diluar tujuan yang routine, dalam ruang dan jangka waktu tertentu dan yang dilakukan atas dasar perintah pihak atasan yang berwenang. Adapun
pengertian kegiatan
Penyelidikan, Pengamanan dan penggalangan adalah: a) Penyelidikan (LID) adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk memperoleh bahan keterangan yang dibutuhkan mengenai masalah tertentu yang setelah melalui proses pengolahan dapat digunakan untuk membuat perkirakan mengenai
masalah
yang
dihadapi
sehingga
dapat
ditentukan
kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dengan resiko yang diperhitungkan. b) Pengamanan (PAM) adalah semua usaha, pekerjaan dan kegiatan serta tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan menumpas serta menggulung setiap usaha pekerjaan, kegiatan dan operasi pihak musuh/lawan yang melakukan penyelidikan, sabotase dan penggalangan. c) Penggalangan (GAL) adalah semua usaha, pekerjaan dan tindakan secara berecana dan terarah oleh sarana-sarana Intelijen, dengan membuat tujuan khusus membuat, menciptakan dan atau merobah suatu kondisi di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan dan sesuai dengan kehendak pihak atasan yang berwenang untuk mendukung
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
114
kebijaksanaan yang ditempuh dan untuk menghilangkan hambatanhambatan.186
Surat Keputusan Jaksa Agung No Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) khusunya Pasal 3 ayat (1) dan (2) hanya menjelaskan fungsi dan tugas Tim Pakem. Menurut Pasal 3 ayat (2) Surat Keputusan Jaksa Agung No Kep-004/J.A/01/1994 Tim Pakem mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan rapat baik secara berkala maupun sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Tim Pakem juga bisa mengadakan pertemuan, konsultasi dengan instansi dan badan-badan lainnya yang dipandang perlu, baik lembaga pemerintah ataupun non-pemerintah sesuai kepentingannya. Tim Pakem juga bisa mengadakan rapat dengan penganut aliran kepercayaan yang dipandang perlu. bahwa berkaitan dengan fungsi Pengawasan Aliran kepercayaan yang dilakukan oleh Intelijen Yustisial Kejaksaan melalui Tim Pakem, mencakup: 1) Aliran-aliran keagamaan meliputi; sekte keagamaan, gerakan keagamaan, pengelompokan jema’ah keagamaan, baik agama langit maupun agama bumi. 2) Kepercayaan-kepercayaan budaya meliputi: aliran kebatinan, kejiwaan, kerohanian/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 3) Mistik Kejawen, Pedukunan atau Peramalan, Paranormal, Metafisika. Aliran-aliran kegamaan sumber utamanya adalah kitab suci berdasarkan wahyu Tuhan, sedangkan aliran-aliran kepercayaan, sumbernya adalah budaya bangsa yang mengandung nilai-nilai spiritual/kerohanian warisan leluhur yang hidup dan telah membudaya dalam masyarakat sebagai hasil penalran daya cipta, daya rasa, daya karsa dan hasil karya manusia.187
186 187
Togar Hutagaol, loc.cit.,, hal.7 Kejaksaan Agung RI, Pokok-Pokok Pola Pelaksanaan Tugas Pakem, Jakarta, 1985. Hal.3 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
115
Dimana dalam cakupannya Tim Pakem memiliki ruang lingkup untuk setiap bidang tugasnya: 1) Bidang keagamaan meliputi masalah-masalah: a.
Aliran/sekte/jema’ah seperti: Ahmadiyah, Islam Jema’ah, Darul Hadist, Inkarus Sunah dan hare Kresna.
b.
Khotbah ekstrem, yang mengandung penghinaan, penodaan atau mendiskreditkan agama lain yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
c.
Dakwah zending, penyiaran agama yang dapat meresahkan masyarakat setempat.
d.
Tulisan yang isinya merusak, menghina, menodai agama, atau mengganggu kerukunan intern/antar umat beragama.
e.
Hubungan antar umat beragama dengan penganut kepercayaan.
f.
Keresahan umat beragama.
g.
Pengajaran, pembekuan kegiatan organisasi/aliran keagamaan.
h.
Sekte-sekte keagamaan yang dibawa dan dikembangkan oleh orangorang asing.
i.
Lain-lainnya yang menyangkut keagamaan yang negative sifatnya.
2) Bidang kepercayaan meliputi masalah-masalah: a.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Kerukunan intern/antar sesame penganut kepercayaan.
c.
Konflik antara kepercayaan dengan pemeluk agama.
d.
Perkawinan, sumpah/janji, penguburan, identitas penganut aliran kepercayaan.
e.
Kepercayaan china/Khong Hu Cu.
f.
Kepercayaan asing yang bersumber dari ajaran dan budaya di luar negeri.
g.
Kerukunan antara penganut kepercayaan dengan pemeluk agama.
h.
Eks. G 30 S/PKI dalam organisasi aliran kepercayaan.
i.
Pelanggaran, pembekuan kegiatan organisasi/aliran kepercayaan. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
116
j.
Organisasi aliran/kepercayaan yang telah dilarang.
k.
Organisasi kepercayaan asing yang bersumber dan di kembangkan oleh orang-orang asing.
l.
Perdukunan, peramalan, para normal, mistik, kejawen.
m. SARA antara golongan kepercayaan dan golongan agama atau sebaliknya. n.
Lain-lainnya menyangkut keagamaan dan kepercayaan yang bersifat negatif.188
Dalam pola kerjanya Tim Pakem Pusat dan Daerah senantiasa ditekankan untuk melakukan pelaporan secara berkala ataupun insidentil kepada Jaksa Agung mengenai pelaksaan tugas, memberikan saran maupun pendapat dalam rangka pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama dan melakukan rapat koordinasi dengan instansi terkait lainnya, Ini berarti ada atau tidaknya kasus aliran kepercayaan/kebatinan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, Tim Pakem tetap melakukan pengawasan. Tim Pakem juga dibentuk di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tim Pakem pada Kejaksaan Tinggi dibentuk dengan keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi, sementara Tim Pakem di tingkat Kota/Kabupaten dibentuk dengan Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri.
189
Sementara anggaran untuk
operasionalisasi Tim Pakem Pusat dibebankan kepada Anggaran Kejaksaan Agung yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).190 Sedangkan dana untuk operasional tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota dipastikan tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk Tim Pakem.191
188
Soedjono C, Pedoman Tugas-tugas PAKEM, (Surabaya : Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, 1996), hal. 6-10 189 Data diperoleh pada saat wawancara dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Fietra Sani, SH.,MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 190 Ibid., Fietra Sani mengungkapkan bahwa anggaran untuk operasional Tim Pakem Pusat sangat minim dan tidak sebanding dengan beban kerja aparat intelijen dilapangan yang setiap hari harus memantau kondisi dan kejadian dilapangan. 191 Wawancara dengan Kasi Sosial Politik Kejati DKI Firli Siregar, SH. MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 21 Pebruari 2010 di Kejati DKI. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
117
Sebagai contoh di dalam melakukan pola kerjanya, Tim Pakem dalam kasus Jemaah Ahmadiyyah Indonesia (JAI), Tim Pakem Pusat mengadakan rapat koordinasi dengan anggota-anggotanya.192Akhirnya, rapat koordinasi Tim Pakem Pusat pada 12 Mei 2005 menghasilkan kesepakatan bahwa JAI tidak melaksanakan 12 butir penjelasan JAI secara konsisten. Juga menyatakan JAI telah melakukan kegiatan dan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam, serta merekomendasikan agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Undang-Undang No.1/PNPS/1965. Rekomendasi Tim Pakem Pusat tertanggal 16 April 2008 ditindaklanjuti dengan Keputusan Bersama antara Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut dan pengurus JAI. Bahkan 3 Menteri tersebut mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 193 Sementara itu di dalam kasus Al Qiyadah Al Islamiyah, Jaksa Agung mengeluarkan Keputusan No. Kep-116/A/J.A/11/2007 tertanggal 9 Nopember 2007 perihal Larangan Kegiatan Aliran dan Ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah di Seluruh Indonesia. Keputusan Jaksa Agung tersebut dikeluarkan berdasarkan atas keputusan fatwa MUI No.04/2007 tertanggal 3 Oktober 2007, hasil sidang komisi rekomendasi Rakernas MUI 2007 tertanggal 6 Nopember 2007, dan hasil rapat koordinasi Pakem tertanggal 7 Nopember 2007. Fatwa MUI No.4/2007 sendiri menyatakan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah berada di luar Islam dan orang yang mengikutinya adalah 192
Untuk kasus JAI, Tim Pakem Pusat telah mengadakan rapat koordinasi dengan anggotanya selama empat kali yaitu masing-masing pada 18 Januari 2005, 12 Mei 2005, 15 Januari 2008 dan 16 April 2008. Sebenarnya hasil rapat Tim Pakem pusat pada 18 Januari dan 12 Mei 2005 sudah menyatakan JAI adalah menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam dan merekomendasikan melarang Ahmadiyah, akan tetapi Jaksa Agung tidak menindaklanjuti rekomendasi Tim Pakem pusat itu. Kemudian pada 15 Janauri 2008, Tim Pakem memutuskan memberikan kesempatan kepada JAI untuk melaksanakan 12 butir penjelasan JAI. 193 Lihat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-003/A/JA/2008, Nomor: 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI) dan Warga Masyarakat. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
118
murtad. Bagi mereka yang telanjur mengikuti ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah, supaya bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila alhaq), Ajaran aliran alQiyadah al-Islamiyah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham dan ajaran al- Qiyadah alIslamiyah, menutup semua tempat kegiatan serta menindak tegas pimpinan aliran tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.194 Hasil rapat Tim Pakem Pusat pada 7 Nopember 2007 merekomendasikan pelarangan ajaran dan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di seluruh Indonesia. Selain itu Tim Pakem menghimbau agar MUI meneliti aliran dan ajaran yang berkembang di masyarakat yang menyimpang dari aqidah dan syariah.195 Di dalam kasus Al Qiyadah Al Islamiyah di DKI Jakarta, Tim Pakem Tingkat I DKI Jakarta dimana Ketuanya adalah Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jakarta, telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Nomor : KEP-81/O.1/Dsp.4/10/2007,
tanggal
30
Oktober
2007,
tentang
Pelarangan
ajaran/aliran Al Qiyadah Al Islamiyah di Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan: 1.
Ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah adalah sesat dan menyesatkan dan telah keluar dari Islam;
2.
Melarang segala bentuk dan kegiatan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah di DKI Jakarta;
3.
Meminta kepada Pemda dan Muspida Provinsi DKI Jakarta beserta jajarannya sampai kepada tingkat terendah untuk menyikapi dan mendukung pelarangan ini.196
194
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 04 Tahun 2007 Tentang Aliran Al-Qiyadah Al-
Islamiyah. 195
Diakses dari gatra.com (www.gatra.com/2007-11-07/artikel.php?id=109324) Data diperoleh pada saat wawancara dengan Kasi Sosial Politik Kejati DKI Firli Siregar, SH. MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 21 Pebruari 2011 di Kejaksaan Tinggi DKI. 196
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
119
3.2.4 Pola Penanggulangan Aliran Kepercayaan Menyimpang dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Perkembangan aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia sangat pesat, di satu pihak merupakan warisan budaya spiritual leluhur bangsa Indonesia, sedangkan di lain pihak adanya banyak aliran kepercayaan yang pernah dilarang dan kasus-kasus yang masih terjadi yang ditimbulkan oleh aliran kepercayaan menyimpang ataupun kasus penodaan agama dirasa sangat meresahkan. Oleh karena itu diperlukan arah kebijakan
yang serius dan upaya pencegahan serta
penanggulangan yang lebih efektif. Peran Kejaksan melalui Intelijen Yustisial kejaksaan yang dalam hal ini terakomodir dalam peran Tim Pakem yang mengawasi perkembangan aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia semakin berat. Kejaksaan dituntut untuk lebih pro-aktif dalam melakukan peran pengawasan. karena sifat pengawasan yang dilaksanakan tidak hanya penanggulangan yang bersifat pencegahan tetapi mempunyai makna kewajiban yang lebih luas lagi. Jadi bukan hanya waspada atau bersifat menunggu menangani terhadap kasus-kasus yang ditimbulkan oleh aliran kepercayaan, melainkan lebih bersifat represif penanggulangan dalam bentuk tindakan nyata preventif, persuasive, prepersif bahkan rehabilitative. Peran pengawasan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Tindakan Preventif Tindakan preventif dimaksudkan sebagai usaha pencegahan yang bersifat aktif efektif sehingga dapat dihindarkan dan dicegah terjadinya kasus-kasus yang berimplikasi negatif dan ditimbulkan oleh aliran kepercayaan dan keagamaan dalam masyarakat. Usaha pencegahan dapat ditempuh secara persuasif edukatif yaitu dengan melakukan pengarahan dan bimbingan masyarakat atau dengan penyuluhan langsung yang bersifat tatap muka serta dengan cara pendekatan lainnya kepada masyarakat yang bersifat himbauan dan ajakan serta bentuk konsultasi tertentu. Tujuan dari usaha pencegahan ini agar sedini mungkin dapat dihindarkan timbulnya kasus-kasus dari aliran kepercayaan dan keagamaan seperti:
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
120
a.
Melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai yang telah digariskan dengan jelas oleh pemerintah.
b.
Kegiatan-kegiatan yang meresahkan masyarakat, mengarah kepada masalah SARA dan perbuatan pidana seperti penodaan agama, kekerasan, perusakan serta dapat menjadi pemicu timbulnya konflik sosial dan gangguan ketentraman keamanan dan ketertiban umum.197
Cara pemberdayaan masyarakat untuk mencegah meningkatnya tren aliran kepercayaan menyimpang melalui pendekatan kepada masyarakat yaitu sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan dan pencerahan tentang pemahaman aliran kepercayaan dan keagamaan yang mempunyai hak hidup di Indonesia. Sekaligus pemahaman tentang indikasi berbagai aliran kepercayaan dan keagamaan menyimpang seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dan Undang-Undang No. 5/1969. Cara untuk dapat dicegah misalnya mulai dengan mengumpulkan berbagai informasi, setelah data lengkap selanjutnya kepada pelaku dapat diundang untuk berdialog atau konsultasi serta dapat pula dipanggil untuk dimintai keterangan, kemudian juga melihat secara langsung kegiatan dilakukan. Dengan demikian dapat diberikan penilaian yang tegas untuk mengambil tindakan preventif. Dalam prakteknya, upaya preventif Tim Pakem disebut juga dengan pembinaan, yaitu pembinaan terhadap masyarakat dengan beberapa cara; 1) Melakukan Penyuluhan hukum Adapun tujuan dari penyuluhan hukum mengenai masalah aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama adalah sebagai berikut: a)
Menjadikan masyarakat paham hukum khususnya dalam masalah pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, dalam arti memahami ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam peraturan-
197
IGM Nurdjana, op.cit., hal. 291-292 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
121
peraturan hukum yang mengatur tentang penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tersebut. b) Membina dan meningkatkan kesadaran hukum warga masyarakat sehingga setiap warga taat pada hukum dan secara sukarela tanpa dorongan atau paksaan dari siapapun melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana yang ditentukan oleh hukum.
Dalam melakukan penyuluhan hukum ini hendaknya aparat Kejaksaan yang bertugas harus menguasai materi/bahan yang hendak disampaikan, sehingga masyarakat yang menjadi peserta penyuluhan hukum bisa mengerti maksud dan tujuan yang disampaikan.
2) Melakukan Penerangan Hukum Penerangan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan terorganisir yang kegiatannya lebih menjurus kearah menggambarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari seseorang. Penerangan hukum dapat dilakukan dengan mengadakan ceramah-ceramah, pemutaran film atau alat visual lainnya yang berisikan tema-tema hukum khususnya dalam hal penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan sangat berguna bagi masyarakat. Dengan mengadakan penerangan
dan
penyebarluasan
peraturan
dan
perundang-undangan
dimungkinkan kesadaran hukum masyarakat lebih cepat meningkat dan benarbenar tercapai. Sekalipun pada hakikatnya tujuan penyuluhan hukum dan penerangan hukum adalah sama yakni memasyarakatkan hukum dan peraturan-peraturan, namun di pandang dari segi pendekatannya ada perbedaan yakni tindakan penyuluhan hukum tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban dari seseorang tetapi juga menunjukkan upaya-upaya apa untuk melaksanakan hak dan kewajiban dari seseorang sesuai dengan ketentuan
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
122
yang berlaku sehingga penyelenggaraannya harus dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah dan secara bertatap muka.
3) Melakukan pendekatan Keagamaan/Kepercayaan Dengan melalui jalur agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga dapat dibentuk publik opini, terutama sekali pada masyarakat desa yang relatife religius dan pada umumnya mengagumkan pimpinan dan informilnya yang kharismatik dari pada pimpinan formal atau pejabat pemerintah. Keadaan demikian itu perlu di perhatikan bagi aparat Kejaksaan yang bermaksud memasuki daerah pedesaan, termasuk penyuluhan hukum yang diselenggarakan oleh Intelijen Kejaksaan. Misi yang diemban dapat gagal sama sekali apabila salah pendekatan. Dan bisa berhasil dengan baik bila dilakukan pendekatan sebaik mungkin antara lain dengan melalui pendekatan keagamaan tersebut. Pendekatan disini dapat berupa berbagai variasi, disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat antara lain dengan: a)
Melalui tokoh setempat, misi yang disampaikan melalui tokoh agama, tokoh adat, tokoh kepercayaan dan sebagainya akan dapat diperhatikan oleh masyarakat setempat dan dengan melalui mereka dapat digunakan pula sarana dan media yang ada untuk menyampaikan misi tersebut.
b) Melalui ajaran, untuk memudahkan masalah pemhaman mengenai peraturan dan perundang-undangan formil yang dapat diuraikan dengan dikiaskan pada ajaran agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dan yang paling penting bahwa petugas harus menghindarkan diri dari tingkah laku yang bertentangan dengan adat atau ajaran agama/kepercayaan setempat.
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
123
4) Kerja
sama
dan
koordinasi
dengan
instansi-instansi/pejabat
pemerintah Kerja sama dan koordinasi serta komunikasi sesama instansi/pejabat pemerintah diperlukan untuk: a) Mewujudkan keserasian dan keterpaduan dalam rumusan sikap dan tindakan antara sesamas instansi/pejabat pemerintah dalam menangani kasus-kasus aliran kepercayaan/keagamaan terhadap kegiatannya yang mempunyai dampak negative terhadap masyarakat. b) Guna
mendapatkan
kebijaksanaan
terpadu
sesame
instansi/pejabat pemerintah yang berwenang di bidang tugastugas penanganan masalah kepecayaan/keagamaan menurut bidang dan porsinya masing-masing serta untuk penindakan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas Tim PAKEM oleh Intelijen Kejaksan. c) Menghindarkan terjadinya sikap pro dan kontra sesame instansi pejabat pemerintah terhadap penanganan dan penindakan kasuskasus yang menyangkut aliran kepercayaan/keagamaan. d) Bagi masing-masing instansi/pejabat untuk dijadikan pegangan dan pedoman dalam penanganan kasus-kasus serupa.198
Kerja sama dengan instansi-instansi/pejabat pemerintah ini tergabung dalam suatu komunitas seperti PAKEM, yang terdiri dari Kejaksaan Negeri, Pemerintah Daerah, Kodim, Polres, Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang terdiri dari wakil Bupati/Wakil Walikota, Kepala Kantor kementerian Agama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan Pimpinan instansi terkait. 198
Fachrizal Afandi, PAKEM: Salah Satu Upaya Negara dalam Melindungi Agama, dalam Al-Qanun, Vol. 12 No. 2, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Desember 2009, hal. 499 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
124
Selain itu ada juga Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA)199 yang terdiri dari Walikota/Bupati, Komandan Distrik Militer, Kepolisian, Kejaksaan, Keimigrasian, Bea Cukai dan instansi terkait lainnya. KOMINDA adalah forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dan unsur pimpinan daerah di provinsi dan kabupaten/kota. Penyelenggaraan KOMINDA di Propinsi menjadi tugas dan tanggungjawab gubernur, sedangkan di kabupaten/kota menjadi tugas dan tanggungjawab bupati/walikota.200 Tim PAKEM di dalam penyelenggaraan pencegahan penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama melibatkan antara lain: 1) Departemen Agama merupakan aparatur negara di bidang keagamaan (disamping melaksanakan sebagian dari tugas umum pemerintah), dalam kaitannya dengan tugas menilai suatu aliran keagamaan, ini bertujuan untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan aliran keagamaan yang menyimpang dari kaidah-kaidah dasar agama yang bersangkutan. 2) Departemen
Pendidikan
Nasional
yang
menilai
aliran-aliran
keagamaan dan aliran kepercayaan masyarakat dari sudut pandang kebudayaan, terutama kebudayaan asli Indonesia yang sudah turun temurun dan merupakan salah satu kekayaan bangsa. Kebudayaan tersebut berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esadan ritual yang membrikan pengikutnya nilai-nilai luhur dalam hal kerohanian. 3) Pemerintah
Kota/Pemerintah
Kabupaten
yaitu
pada
bagian
Kesejahteraan Bangsa; pemerintah kota/kabupaten menilai suatu aliran keagamaan dan aliran kepercayaan masyarakat dari sisi sosial;
hubungannya dengan masyarakat.
199
KOMINDA dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah. 200 Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
125
4) Kepolisian, yang khusus melihat aliran keagamaan dan kepercayaan dari segi keamanan. Baik keamanan sekitar maupun keamanan para pengikut aliran keagamaan atau aliran kepercayaan itu sendiri agar tidak terjadi konflik di masyarakat yang dapat membahayakan. 5) Kejaksaan, yang membawahi instansi-instansi tersebut di dalam Tim PAKEM. Kejaksaan berfungsi sebagai penegak hukum, kejaksaan berhak mengeluarkan keputusan untuk melarang suatu aliran kepercayaan masyarakat atau mengusulkan agar aliran keagamaan atau aliran kepercayaan masyarakat tersebut ditutup/dibubarkan apabila terbukti
aliran
keagamaan
atau
aliran
kepercayaan
tersebut
meresahkan masyarakat di samping melakukan pembinaan terhadap aliran-aliran
keagamaan/aliran
kepercayaan.
Keputusan
atas
pelanggaran tersebut dilaksanakan atas nama Tim PAKEM Kejaksaan yang terdiri dari berbagai elemen tersebut.201
Selain koordinasi dan konsultasi dengan sesama instansi/pejabat pemerintahan juga diperlukan konsultasi dengan badan-badan organisasi keagamaan dan kepercayaan seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), DGI (dewan Gereja Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia), PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia), dan HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Fungsi dan wewenang wadah musyawarah, forum konsultasi dan komunikasi antara pemimpin-peminpin/pemuka-pemuka agama adalah: a) Wadah atau forum bagi pemimpin-pemimpin atau pemuka-pemuka agama untuk membicarakan tanggungjawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. 201
Fachrizal Afandi, op.cit.,, hal. 500 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
126
b) Wadah atau forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama untuk membicarakan kerjasama dengan pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan. c) Wadah
musyawarah
membicarakan
segala
sesuatu
tentang
tanggungjawab bersama dan kerjasama diantara para warga negara yang menganut berbagai agama, dengan pemerintah berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. d) Keputusan-keputusan yang diambil oleh wadah musyawarah merupakan kesepakatan
yang
mempunyai
nilai
ikatan
moral
dan
bersifat
saran/rekomendasi bagi pemerintah.202
Tindakan preventif untuk aliran kepercayaan (termasuk didalamnya aliran keagamaan ataupun aliran kebatinan) yang dicurigai menyalahgunakan dan atau menodai suatu agama antara lain: a)
Pembinaan pertama, dilakukan oleh Tim PAKEM Kejaksaan dengan melakukan penelitian terhadap aliran keagamaan dan aliran kepercayaan di dalam masyarakat yang di curigai tersebut tanpa ikut campur di dalam kegiatan aliran keagamaan dan aliran kepercayaan tersebut. Tujuan dari pembinaan ini adalah untuk mengetahui secara seksama kegiatan ataupun ajaran-ajaran yang dilakukan oleh aliran keagamaan tersebut. Tim PAKEM terus memantau kegiatan tersebut dengan bersikap pro aktif dan bekerja sama dengan masyarakat setempat.
b) Jika ditemukannya suatu keganjalan, tindakan selanjutnya Tim PAKEM melakukan komunikasi dengan pemimpin aliran keagamaan atau aliran kepercayaan tersebut. Tim PAKEM menyampaikan halhal yang dianggap oleh Tim PAKEM meresahkan bagi masyarakat,
202
Ibid, hal. 501 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
127
dan hendaklah hasil pembicaraan tersebut diperhatikan secara seksama oleh Ketua aliran keagamaan tersebut. c)
Setelah pembinaan dengan cara melakukan komunikasi dan dialog, pembinaan selanjutnya adalah dilakukan dengan cara meminta pendapat
dari
lembaga-lembaga
keagamaan
ataupun
majelis
keagamaan seperti MUI, dan lain sebagainya yang bersangkutan dengan keagamaan tersebut. Pada tahap pembinaan ini, Tim PAKEM yang juga berasal dari lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI di minta pendapat mereka mengenai ajaran-ajaran dari aliran kegamaan dan kepercayaan yang dicurigai menyimpang, Tim PAKEM yang berasal dari lembaga seperti MUI menilai apakah aliran keagamaan tersebut menyimpang dari ajaran resmi atau tidak, yang mana penyimpangan tersebut dapat dikategorikan membahayakan bagi masyarakat dan negara. Tujuan dari tindakan pembinaan yang dilakukan Tim PAKEm dengan
cara meminta pendapat dari
lembaga-lembaga keagamaan ini adalah agar aliran keagamaan yang bersangkutan
tidak
menjadi
provokator
di
tengah-tengah
masyarakat.203
2.
Tindakan Represif Melakukan kegiatan yang bersifat aktif dengan tindakan represif yaitu untuk
menanggulangi kasus-kasus yang sudah terjadi dengan upaya membatasi atau mengeliminir akibat atau resiko yang timbul. Usaha penanggulangan dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara:204 1) Penindakan yang bersifat administratif Yaitu Tim Pakem bekerja sama dengan instansi terkait lainnya, selanjutnya diambil tindakan oleh Tim Pakem dapat berupa:
203 204
Ibid, hal. 502 IGM Nurdjana, op.cit., hal. 292-294 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
128
a.
Pernyataan tertulis dari yang bersangkutan untuk tidak mengulangi melakukan kegiatan yang dapat meresahkan masyarakat;
b.
Penutupan tempat, penyitaan peralatan dan buku-buku yang digunakan;
c.
Peringatan-peringatan dikeluarkan
tertulis
pelarangan
dan
terhadap
apabila
tidak
ditaati
atau
aliran
dilakukan
tugas
organisasi
kepercayaan dan keagamaan yang bersangkutan.
2) Penindakan Yustisial Yaitu
sesuai
peraturan
perundang-undangan
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aliran kepercayaan dan keagamaan yang menyimpang yang melakukan tindak pidana umum. Tujuan dari penindakan ini adalah agar kasus dapat diungkap dan diselesaikan secara tuntas mulai dari pemeriksaan oleh petugas Polri, diajukan ke kejaksaan dan dilimpahkan ke Pengadilan agar diberikan vonis yang setimpal dengan perbuatannya. Langkah ini dilakukan sebagai efek jera terhadap pelaku agar diharapkan menyesali perbuatannya dan tidak mengulangi perbuatan menyimpang tersebut. Penindakan Yustisial dilakukan sebagai bagian dari poses berjalannya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Data-data dan keteranganketerangan awal yang sudah dihimpun dalam proses intelijen yustisial sebelumnya dapat membantu dan memudahkan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan aparat kepolisian, yang selanjutnya hal tersebut juga sangat membantu kejaksaan dalam melakukan penuntutan di pengadilan. Oleh karena itu keberhasilan atas keakuratan informasi dan data Intelijen Yustisial Kejaksaan sangat membantu proses penegakan hukum selanjutnya.
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
129
3
Tindakan Kuratif dan Rehabilitatif Tindakan kuratif dan rehabilitatif adalah suatu usaha Tim Pakem, setelah
dilakukan tindakan preventif ataupun represif, yang bersifat psikologis, sosiologis dan strategis sebagai langkah kuratif atau memperbaiki menghilangkan ajaran-ajaran yang menyimpang untuk kembali ke pokok ajaran agama, keagamaan dan kepercayaan yang menjadi dasar hak hidup bagi lembaga keagamaan dan kepercayaan tersebut.205 Langkah kuratif harus disertai dengan pembimbingan kesadaran spiritual agar psikologis dan sosiologis untuk kembali kepada kebenaran ajaran aliran keagamaan dan kepercayaan masing-masing dengan hidup harmonis, toleransi sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang multikultural dan pluralistis budaya, adat istiadat yang dijamin kebebasannya oleh hukum dasar bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Hak Asasi Manusia. Proses tindakan kuratif apabila dilanjutkan kepada tahap rehabilitasi atas aliran kepercayaan menyimpang atau memulihkan jati diri para penganutnya dan merehabilitasi lembaga organisasi keagamaan dan kepercayaan bahwa permasalahan unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran pokok dipahami dan dihayati tersebut untuk ditinggalkan maka secara sosiologis akan mengembalikan kehidupan keagamaan dan kepercayaan tersebut, kembali sejajar dengan lembaga keagamaan dan kepercayaan lainnya berpartisipasi mendukung persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia untuk melanjutkan reformasi dan pembangunan menuju masyarakat yang sejahtera materil spiritual atau masyarakat yang sejahtera sosial religius.206
205 206
Ibid. hal. 294 Ibid, hal. 295 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
130
3.3
Kasus-Kasus Aliran Kepercayaan Menyimpang Di Indonesia
3.3.1 Children of God /ajaran sek bebas Aliran Children of God didirikan pada tahun 1968 di Huntington Beach, California, Amerika Serikat oleh David Berg.207 sebelumnya ia bekerja sebagai pendeta Christian and Misionary Alliance (C & MA). Di antara pengikutnya, ia dikenal dengan nama Moses David, Mo, atau Bapak David. Salah satu daya tarik yang membuat Children of God diminati oleh anak-anak muda saat itu adalah praktik metode penginjilan yang mereka sebut sebagai Flirty Fishing (menjala dengan lirikan). Inti ajaran yang mulai dipraktikkan sejak tahun 1974 ini adalah menggunakan seks untuk memperlihatkan kasih tuhan. Kehidupan seks yang bebas diantara para pengikutnya telah menimbulkan beberapa masalah bagi kelompok ini. Banyak bermunculan laporan adanya hubungan intim antara orang dewasa dengan anak-anak. Beberapa anak mengalami pelecehan seksual sejak 1978 hingga 1985.208 Mengapa ‘sek bebas” muncul dalam Children of God tidak lain disebabkan oleh adanya sebuah ajaran sentral dari teologi mereka yang disebut “hukum kasih”. Secara sederhana, ajaran ini mengatakan bahwa bila tindakan seseorang dimotivasi oleh kasih yang tidak egois dan penuh pengorbanan dan tidak dimasudkan untuk menyakiti orang lain, maka tindakan itu sesuai dengan kitab suci dan dengan demikian sah di mata Allah. Mereka percaya bahwa ajaran ini mengatasi semua hukum Alkitab lainnya, kecuali hukum yang melarang homoseksual yang mereka yakini sebagai suatu “kekejian” dimata Allah. Para pengikut Children of God percaya bahwa seksualitas manusia adalah kebutuhan emosional dan fisik serta merupakan sesuatu yang alamiah dan bahwa hubungan heteroseksual antara orang yang dianggap dewasa menurut hukum dan sama-sama mau adalah suatu kejaiban yang murni dan
alamiah dari ciptaan Allah dan diizinkan menurut kitab suci.209
207
http://www.davidberg.org/mission diunduh pada hari Minggu 3 April 2011 Pukul 10.35
208
IGM Nurdjana, op. cit., hal. 110 http://www.davidberg.org/mission diunduh pada hari Minggu 3 April 2011 Pukul 10.35
Wib 209
Wib Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
131
Para anggota dewasa boleh berhubungan seks dengan sesama anggota dewasa yang berlainan jenis. Remaja di atas usia 16 tahun juga diizinkan berhubungan seks dengan remaja yang seusia mereka. Hubungan seks antara anak-anak dan orang dewasa dilarang keras. Para anggotanya sangat dianjurkan untuk berhubungan seks dengan anggota yang membutuhkan. Hal ini disebut “berbagi” atau ‘hubungan seks pengorbanan”. Tak seorang pun boleh dipaksa melakukan seks diluar kehendak mereka, namun anggota-anggota yang tidak “berbagi” dianggap egois dan tidak mengasihi.210 Karena ajarannya dianggap menyesatkan dan membahayakan masyarakat Indonesia, khususnya mengenai ajaran seks bebas, akhirnya aliran Children of God (COG) dilarang oleh Kejaksaan Agung melalui Surat Keputusan Jaksa Agung No. 058/JA/3/1984 tertanggal 12 Maret 1984.
3.3.2
Agama Baha’i Aliran Baha’i didirikan oleh Mirza Ali Muhammad Asy-Syairazi. Ia lahir di
Shiraz, Iran pada 1820 M. Pada 1844, Mirza Ali Muhammad mengumumkan bahwa ia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Gelarnya adalah “Sang Bab” yang artinya “pintu” dalam bahasa Arab. Sang Bab percaya dirinya menjadi pembuka jalan bagi datangnya wahyu dari Tuhan yang besar lagi, yang disebutnya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan”.211 Di antara ajaran-ajaran moralnya, Baha’i memiliki keyakinan yang dianggap menyimpang dari agama Islam. Baha’i cenderung menyatukan semua ajaran agama, baik Islam, Nasrani, Yahudi maupun agama lain kedalam ajarannya. Diantara ajarannya yang dianggap menyimpang adalah tidak percaya pada hari kiamat, tidak percaya surga dan neraka, pemimpinnya menyerukan diri sebagai representasi dari nabi-nabi terdahulu, percaya pada angka-angka keramat (terutama angka 19) dan tidak percaya risalah Nabi Muhammad sebagai yang terakhir.212 210
Ibid. http://pahamsesat.blogspot.com/2010/02/mengenal-bahai.html diunduh pada hari Minggu 3 April 2011 Pukul 10.35 Wib 212 http://www.voa-islam.com diunduh pada hari Minggu 3 April 2011 Pukul 10.35 Wib 211
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
132
Beberapa ajaran lain yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, di antaranya:213 1.
Menganggap syari’at sudah tidak berlaku dan keluar dari ikatan-ikatan agama Islam;
2.
Membuat beberapa aturan yang tidak berlaku sesuai dengan Islam, di antaranya adalah seorang istri yang ditalak tidak perlu menanti masa iddah (waktu penantian) untuk menilah lagi;
3.
Shalat dikerjakan sendiri-sendiri. Shalat berjamaah hanya dilakukan saat shalat jenazah;
4.
Kiblatnya bukan menghadap ka’bah.
Baha’i telah melalui sejarah panjang di Indonesia. Paham Baha’i pertama kali masuk ke Indonesia pada 1878 melalui Sulawesi yang dibawa oleh pedagang bernama Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Perkembangannya di Indonesia tidak terlalu memperoleh tanggapan dari masyarakat. Meski demikian, sejumlah orang kemudian tertarik menjadi pengikutnya. Sejak tanggal 15 Agustus 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 264/ tahun 1962 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi termasuk Baha’i.214
3.3.3 Al-Qiyadah al-Islamiah Al-Qiyadah al-Islamiah didirikan oleh Ahmad Moshaddeq pada tahun 2006 yang mengaku sebagai Al-Masih Al-Maw’ud. Meskipun mengaku berlandaskan agama Islam, aliran baru ini memunculkan doktrin yang menyimpang dari syariat agama Islam. Selain memiliki syahadat baru, di mana setiap pengikutnya diminta beriman pada Al-Masih Al-Maw’ud dan menganggap orang yang tidak beriman
213
Ibid. Lihat Keputusan Presiden No. 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (Amorc), Dan Organisasi Baha’i. 214
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
133
padanya adalah kafir. Al-Qiyadah juga tidak mewajibkan shalat lima waktu, puasa, membayat zakat dan naik haji.215 Ada beberapa ajaran Al-Qiyadah al-Islamiah yang menyimpang dari Islam, disimpulkan oleh MUI bahwa aliran ini menolak sunatullah atau hadist nabi dan kenabian Muhammad SAW. Selain itu, pengikutnya juga dilarang menunaikan shalat lima waktu. Mereka hanya melakukan shalat satu kali di malam hari yang disebut Qiyamulail. Aliran ini tidak mewajibkan shalat, puasa dan haji karena beranggapan pada abad ini masih masuk ke dalam periode Mekkah, yaitu tahap awal perkembangan Islam sebelum akhirnya terbentuk khalifah Islamiyah. Aliran ini juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada Al-Masih AlMau’ud.216 Majelis Ulama Indoenesia (MUI) menegaskan bahwa aliran ini berada di luar Islam. Sehingga mereka yang meyakininya akan dianggap murtad. Mereka yang sudah telanjur mengikutinya diminta segera bertobat dan kembali pada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Qur’an dan hadist. Selanjutnya, pemerintah melalui Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto sesuai rapat koordinasi pengawas aliran dan kepercayaan masyarakat (Rakor Pakem) di Kejaksaan Agung pada tanggal 7 November 2007, menyatakan bahwa aliran tersebut sesat dan terlarang di seluruh wilayah Indonesia.217 Jaksa
Agung
mengeluarkan
Keputusan
No.
Kep-116/A/J.A/11/2007
tertanggal 9 Nopember 2007 perihal Larangan Kegiatan Aliran dan Ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah di Seluruh Indonesia. Keputusan Jaksa Agung dikeluarkan berdasarkan atas keputusan fatwa MUI No.04/2007 tertanggal 3 Oktober 2007, hasil sidang komisi rekomendasi Rakernas MUI 2007 tertanggal 6 Nopember 2007, dan hasil rapat koordinasi Pakem tertanggal 7 Nopember 2007. Di dalam kasus ini, fatwa MUI yang menjadi referensi, kemudian disusul oleh hasil rapat koorinasi Pakem. 215
Nasrul Koharudian, Ahmad Moshaddeq dan Ajarannya Al-Qiyadah al-Islamiah, (Yogyakarta : Media Pressindo, 2008), hal. 21 216 Lihat Fatwa MUI No. 4 Tahun 2007 Tentang Aliran Al-Qiyadah al-Islamiah 217 Data diperoleh pada saat wawancara dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Fietra Sani, SH.,MH, dilakukan pada hari Senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
134
Fatwa MUI No.4/2007 sendiri menyatakan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah berada di luar Islam dan orang yang mengikutinya adalah murtad. Dengan adanya pelarangan ini, semua dokumen yang berkaitan dengan organisasi tersebut, dalam bentuk buku maupun lainnya ditarik dari peredaran dan disita oleh petugas yang berwenang.
3.3.4
Salamullah Lia Aminuddin adalah pendiri kelompok ini. namun masyarakat lebih
mengenal mereka sebagai kelompok Lia Eden/Lia Aminuddin. Lia Eden adalah nama pemimpin mereka yang mengaku merupakan wakil perwujudan Jibril dimuka bumi. Lia meyakini dirinya telah ditemui oleh Malaikat Jibril dan diberi wahyu untuk menyampaikan semua yang diajarkan “Jibril” kepada para pengikutnya.218 Pada tahun 1998, Lia Eden mengumumkan dirinya sebagai Imam Mahdi yang akan membawa keamanan dan keadilan di dunia sebelum tibanya hari kiamat. Di lain kesempatan ia juga mengaku sebagai Bunda Maria. Anaknya, Ahmad Mukti disebutnya sebagai Yesus Kristus. Seakan tak peduli terhadap segala kontroversi yang di timbulkan, tahun 2000 kelompok ini dengan berani menyatakan berdirinya agama baru, yaitu agama Salamullah.219 Beberapa ajaran Lia Eden/Lia Aminuddin:220 1.
Malaikat Jibril akan turun ke bumi dan bersemayam di dalam diri Lia Aminuddin, oleh sebab itu dimanapun Lia berada selalu bersama Jibril Alaihi Salam.
2.
Lia Aminuddin mengaku menjadi juru bicara Jibril Alaihi Salam, dan mengaku sebagai Nabi dan Rasul.
3.
Lia Aminuddin mengaku mendapatkan wahyu.
4.
Lia Aminuddin mengaku mendapatkan mukjizat.
5.
Agama yang dibawa oleh Lia Aminuddin bernama Salamullah/agama parenialisme yang menghimpun seluruh agama.
218
IGM Nurdjana, op.cit., hal. 129-130 Ibid, hal. 131 220 M. Yundra Zara, et. al. Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, (Yogyakarta : Banyu Media, 2007), hal. 30 219
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
135
6.
Lia Aminuddin mengaku sebagai Imam Mahdi.
7.
Ahmad Mukti (puteranya) dianggap sebagai Nabi Isa.
8.
Abdul Rahman diyakini sebagai Wakil/Imam Besar Ajaran Salamullah.
9.
Air Sumur Salamullah berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit.
10. Mencukur semua jenis rambut yang ada dalam tubuh. Mulai dari rambut kepala, ketiak dan lain-lain lalu membakarnya, hal itu dianggap sebagai bentuk ibadah yang diperintahkan “Jibril” melalui Lia Aminuddin. Barang siapa yang telah melakukan itu sama dengan bayi yang baru dilahirkan.
Karena dianggap ajarannya menyimpang dan menyesatkan, selanjutnya MUI mengeluarkan fatwa pada tanggal 22 Desember 2007 yang menyatakan bahwa ajaran Sallamullah adalah sesat. Kemudian Lia Eden/Lia Aminuddin ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan penodaan/penistaan agama.
3.3.5 Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Aliran Ahmadiyah adalah aliran yang mengikuti ajaran Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani dan berdiri pada tanggal 23 Maret 1889. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qodiyan, nama sebuah desa di India, pada tanggal 13 Februari 1835 dan meninggal pada 26 Mei 1908.221 Pada awalnya (tahun 1882) Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid (reformer), namun pada tanggal 4 Maret 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan dirinya menerima wahyu langsung dari Tuhan yang menunjukknya sebagai al-Mahdi al-Mau’ud (Imam Mahdi yang dijanjikan) dan agar 221
Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani (Tanpa Tempat : Yayasan Wisma Damai, 1989), hal. xi. Buku Da’watul Amir karya Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad yang juga Khalifah al-Masih II (pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadiyah), adalah buku yang pada mulanya dimaksudkan sebagai penjelasan tentang apa itu Ahmadiyah yang ditujukan kepada pada raja di Afganistan. Buku ini sekarang menjadi salah satu pegangan hidup beragama Aliran Ahmadiyah Qodiyan. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
136
umat Islam berbai’at kepadanya.222 Pada 23 Meret tahun itu pula Ghulam Ahmad menerima bai’at 20 orang dari kota Ludhiana, di antara mereka terdapat Hadrat Hakim Nurudin yang kelak menjadi Khalifah al-Masih I, pemimpin tertinggi Ahmadiyah. Pada tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad membuat pengakuan yang lebih menghebohkan. Ia mengatakan, selain sebagai al-Mahdi ia juga mengaku mendapat wahyu dari Allah yang menyatakan bahwa Nabi Isa a.s., yang dipercaya umat Islam dan umat Kristen bersemayam di langit, sebenarnya telah wafat.223 Menurut Mirza Ghulam Ahmad, janji Allah untuk mengutus Nabi Isa kedua kalinya ke dunia diwujudkan dengan jalan menunjuk dirinya sebagai al-Masih al-Mau’ud (al-Masih yang dijanjikan).224 Penunjukan Allah terhadap Mirza Ghulam Ahmad tersebut menurutnya adalah ”wahyu” sebagaimana termuat dalam Kitab Tadzkirah225 yang berbunyi sebagai berikut : “al-Masih anak Maryam, rasulullah, telah wafat. Sesuai dengan janji, engkau datang menyandang warna sifatnya. Janji Allah pasti akan genap”.226
Dengan pengakuan ini, maka menurut Ahmadiyah, dalam diri Mirza Ghulam Ahmad terdapat dua personifikasi, yaitu al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang
222
Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hal. 90. Menurut Keyakinan pengikut Ahmadiyah, Nabi Isa Isa, setelah dipaku di palang salib oleh kaum Yahudi, tidaklah mati tetapi hanya pingsan. Sesudah sembuh beliau menyingkir dari Palestina ke daerah-daerah Timur, di mana bertebaran sepuluh suku Israil lainnya. Akhirnya beliau sampai di Kashmir dimana beliau wafat dan dikuburkan di Khan Yar Street Srinagar. Sampai kini kuburan itu masih ada. Lihat Syafi R.Batuah, Ahmadiyah : Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986), Cet. XVII, hal. 4 224 Buku Da’watul Amir karya Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad yang juga Khalifah al-Masih II (pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadiyah), adalah buku yang pada mulanya dimaksudkan sebagai penjelasan tentang apa itu Ahmadiyah yang ditujukan kepada pada raja di Afganistan. Buku ini sekarang menjadi salah satu pegangan hidup beragama Aliran Ahmadiyah Qodiyan hal. xii 225 Kitab Tadzkirah, adalah kumpulan mimpi, kasyf dan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad. Kitab ini menjadi kitab suci dan pegangan utama Aliran Ahmadiyah 226 Tadzkirah, hal. 190. Terjemah dikutip dari kitab Da’watul Amir. 223
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
137
dinantikan.227 Pada tahun 1901, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul. Pengakuan sebagai nabi dan rasul itu dapat dilihat dalam berbagai buku dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad, baik dalam buku-buku karyanya sendiri maupun dalam tulisannya di berbagai media massa, seperti surat kabar atau majalah.228 Di antaranya adalah: 1.
Mirza Ghulam Ahmad dalam Daafi’ al-Bala’ : “Dan Dia-lah Tuhan yang haq yang telah mengutus rasul-Nya di Qodiyan” [Daafi’ al-Bala’, Qodiyan, 1946, cetakan ketiga, halaman 11]
2.
Mirza Ghulam Ahmad dalam Haqiqat al-Wahyi : “Demi diriku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya Dia telah mengutusku dan m
enyebutku sebagai nabi”. [Haqiqat al-Wahyi,
Qodiyan, 1934, halaman 68). 3.
Mirza Ghulam Ahmad dalam Nuzul al-Masih : “Saya adalah nabi dan rasul, artinya saya adalah bayangan yang sempurna, sebagaimana kaca yang menampakkan gambaran yang sempurna, dari Muhammad dan kenabian Muhammad” [Nuzul alMasih, Qodiyan, 1909, cetakan pertama, halaman 3]
4.
Mirza Ghulam Ahmad dalam Izalah al-Auham : Kitab Tadzkirah, adalah kumpulan mimpi, kasyf dan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad. Kitab ini menjadi kitab suci dan pegangan utama Aliran Ahmadiyah.
5.
Mirza Ghulam Ahmad dalam Haqiqat al-Wahyi :
227
Da’watulAmir, karya Hazrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad yang juga Khalifah al-Masih II (pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadiyah), adalah buku yang pada mulanya dimaksudkan sebagai penjelasan tentang apa itu Ahmadiyah yang ditujukan kepada pada raja di Afganistan. Buku ini sekarang menjadi salah satu pegangan hidup beragama Aliran Ahmadiyah Qodiyan hal. 190-191 228 Mirza Ghulam Ahmad menulis ± 84 buku. Diantara buku-buku yang pernah ditulisnya, yang menjadi pegangan pengikut Ahmadiyah, adalah : Barahin Ahmadiyah, Fath-i Islam, Kasyf al-Ghita, Masih Hindustan Man, Izalah-i Auham, Mawahib al-Rahman, Haqiqat al-Wahyi, dan al-Wasiyah. Selain itu, terdapat pula tulisan dalam harian al-Hakam, harian resmi Ahmadiyah. Sedangkan kumpulan wahyu, ilham dan kasyf yang diterima Mirza terangkum dalam Kitab Tazkirah Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
138
“Sesungguhnya
Allah
Ta’ala
telah
menjadikanku
Mazhar
(penampakkan) bagi seluruh nabi dan dinisbatkan (Allah) kepadaku nama-nama mereka : saya Adam, saya Syit, saya Nuh, saya Ibrahim, saya Ishaq, saya Isma’il, saya Ya’qub, saya Yusuf, saya Isa, saya Musa, saya Daud, dan saya adalah penampakkan sempurna (mazhar kamil) dari Muhammad SAW, artinya saya adalah bayangan Muhammad”. 6.
Pada Koran Badr229 yang terbit tanggal 5 Maret 1908 (Mirza wafat tanggal 26 Mei 1908), Mirza Ghulam Ahmad menegaskan pengakuan dirinya sebagai Rasul dan Nabi. [Hal ini juga termuat dalam kitab Haqiqot Nubuwwah].
7.
Dalam Kitab Barahin Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad berkata : “Saya adalah penampakkan (buruz) dari nabi yang terkahir (Muhammad SAW), sebagaimana dijelaskan dalam ayat (Saya adalah nabi). Dan Allah menamakanku Muhammad dan Ahmad. Saya adalah perwujudan (I’tibar al-wujud) diri Muhammad SAW. Oleh karenanya, tidak mengguncangkan kenabian akhir dari Muhammad dengan adanya kenabianku. Karena bayangbayang (al-zhillu) tidak terpisah dari aslinya, dan bahwa aku adalah bayang-bayang (al-zhillu) Muhammad. Oleh karena itu, belum habis kenabian penutup (khatmun nubuwwah), oleh adanya Muhammad, karena kenabian (nubuwwah) Muhammad tidak terbatas pada diri Muhammad. Artinya diri Muhammad memang adalah nabi, sedangkan kenabian (nubuwwah) Muhammad adalah hal yang berbeda.
8.
Pernyataan Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 23 mei 1908 yang dimuat dalam Koran “Akhbar ‘Am” tanggal 26 Mei 1908 (tepat pada hari kematiannya) : Koran Badr adalah juga Koran resmi terbitan Ahmadiyah ketika itu.
229
Koran Badr adalah juga Koran resmi terbitan Ahmadiyah ketika itu.
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
139
“Saya adalah seorang nabi sebagimana telah ditetapkan Allah, sekiranya saya menolaknya saya akan berdosa. Jika Allah menyebutku nabi maka bagaimana mungkin aku menolaknya. Dan saya akan tetap meyakini ini hingga saya meninggal dunia”.
Hampir semua tulisan karya Mirza Ghulam Ahmad dipenuhi oleh pengakuanpengakuannya sebagai al-Mahdi, al-Masih dan Nabi. Selain itu, karya-karyanya juga dipenuhi oleh kutipan-kutipan al-Qur’an dengan tambahan teks tertentu yang diakuinya sebagai wahyu dari Allah. Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia (1908), Jemaat Ahmadiyah dipimpin oleh seorang Amir yang bergelar Khalifah alMasih. Terpilih sebagai Khalifah al-Masih yang pertama adalah Maulavi Hakim Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Hingga tahun yang disebut terakhir ini, semua pengikut Ahmadiyah meyakini pengakuan Mirza ghulam Ahmad sebagai nabi, termasuk didalamnya Muhammad Ali (pemimpin Ahmadiyah Lahore) sebagaimana tertuang dalam berbagai tulisannya. Salah satu tulisannya menyatakan : “…Meskipun berbeda penafsiran, sesungguhnya kami berpendapat : bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan seorang nabi dan memilih seorang yang dipercaya (shiddiqan)…dan orang yang kami berbai’at kepadanya (Mirza Ghulam Ahmad) adalah orang yang terpercaya, dan dia adalah rasul Allah yang terpilih (al-Mukhtar) dan suci (al-muqaddas)”.230 Hal ini juga dibenarkan oleh pengikut Ahmadiyah Qodiyan. Dalam buku Apa dan Mengapa Ahmadiyah, dinyatakan : “Sebelum 1914 keyakinan Muhammad Ali dan Khawajah Kamaluddin tidak berbeda dari keyakinan Ahmadiyah lainnya mengenai kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Ahmad a.s. kedua-duanya membenarkan bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul. Tetapi sesudah itu kedua orang itu mengingkari kenabian beliau. Namun begitu, mereka tetap menganggap beliau sebagai Imam Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan. Inilah perbedaan pokok di antara aliran Qodiyan dan dan aliran Lahore. Karena perbedaan ini aliran Lahore tidak mempunyai perlainan lagi dari keyakinan ummat Islam lain dan karena itu aliran tersebut lambat laun ditelan kembali oleh golongan-golongan itu. Sedangkan aliran Qodiyan 230
Majalah al-Furqon terbitan Januari 1942 yang mengutip langsung Koran al-Hakam tanggal 18 Juli 1908 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
140
(yangasli atau Jema’at Ahmadiyah) tetap dalam pendiriannya yang semula, dan kian hari kian berkembang ke seluruh dunia”.231 Setelah Hakim Nuruddin (Khalifah al-Masih I) wafat, terjadi pertentangan politis antara Muhammad Ali dan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Sebagian besar pengikut Ahmadiyah menunjuk Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Khalifah al-Masih II yang berkedudukan di Qodiyan. Sementara itu Muhammad Ali memisahkan diri dan membentuk jama’ah Ahmadiyah yang berpusat di Lahore. Sejak saat itu, Ahmadiyah terpecah menjadi dua yaitu Ahmadiyah Qodiyan yang disebut juga Djama’at-i Ahmadiyah232 dan Ahmadiyah Lahore yang disebut juga Ahmadiyah Andjuman Isha’at-i Islam. Dalam ajaran Ahmadiyah Qodiyan, sebagaimana telah disebut di atas, dengan tegas meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, selain sebagai al-Mahdi dan al-Masih, adalah juga seorang nabi dan rasul. Hal itu secara eksplisit juga diungkapkan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, pemimpin Ahmadiyah Qodiyan yang juga putra Mirza Ghulam Ahmad, dalam kitabnya Da’watul Amir.233 Pernyataan eksplisit Mirza Basyiruddin Mahmud mengenai keyakinannya akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga pernah dituangkan dalam sebuah buku berbahasa Inggris berjudul The Truth About the Split (Kebenaran tentang Perpecahan). Buku ini merupakan terjemahan dari buku berbahasa Urdu yang berjudul A’inah-I Sadaqat, yang terbit pertama kali pada tahun 1924.234 Berikut adalah di antara cuplikan pernyataan Mirza Basyiruddin Mahmud dalam buku tersebut : “Mengenai subjek pokok dari artikel saya, saya menulis bahwa sebagaimana kami berkeyakinan al-Masih yang dijanjikan sebagai salah satu Nabi dari
231
Syafi R.Batuah, Ahmadiyah : Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986), Cet. XVII, hal. 21 232 Ahmadiyah Qodiyan pada awalnya berkedudukan di Qodiyan (India) namun dengan pecahnya India dan Pakistan, pusat gerakannya kemudian berpindah ke Rabwah (Pakistan). Setelah Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad meninggal dunia pada 8 Nopember 1965, maka dipilihlah Mirza Nasir Ahmad menjadi Khalifal al-Masih III hingga wafatnya 9 Juni 1982. Saat ini Ahmadiyah Qodiyan dipimpin oleh Mirza Tahir Ahmad, sebagai Khalifah al-Masih IV 233 Da’watul Amir, op.cit., hal. 42-56 234 Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Benarkah Ahmadiyah Sesat ? : Suatu Tanggapan, (Yogjakarta : PB GAI, 2002), hal. 6 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
141
Nabi-Nabi Tuhan, kami tidak mungkin menganggap yang menolah beliau adalah muslim”. (hal.137-138)235 “Dan akhirnya, didasarkan atas dalil ayat al-Qur’an bahwa orang-orang yang gagal untuk mengenal al-Masih yang dijanjikan sebagai Rasul, meskipun mereka menyatakan dia (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai orang yang shaleh dengan lidahnya, adalah benar-benar kafir”. (hal. 140)236 Keyakinan akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad dalam ajaran Ahmadiyah Qodiyan juga dijelaskan dalam buku Ahmadiyah : Apa dan Mengapa?. Berikut kutipannya : “Menurut al-Qur’an, setiap nabi adalah rasul dan sebaliknya setiap rasul adalah nabi. Seorang dikatakan nabi karena ia mendapat kabar ghaib dari Allah SWT, yang mengatakan ia adalah seorang nabi. Dan ia disebutkan rasul karena ia diutus oleh Allah SWT kepada manusia. Selaras dengan itu, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah a.s. adalah nabi dan rasul”.237 Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Golongan Qodiyan)238 dalam edaran resminya menanggapi keberatan-keberatan dari pihak Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang ditandatangani Ir. Syarif Ahmad Lubis, M.Sc, ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia : “Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi dan Rasul adalah berdasar pengakuan bahwa beliau mendapat wahyu dan diangkat Tuhan. Jadi, bukan atas kemauan beliau sendiri. Tuhan mempunyai kekuasaan dan wewenang mengangkat siapa saja diantara hamba-hamba yang dipilih-Nya”.239 Selain keyakinan itu, Ahmadiyah Qodiyan juga mengkafirkan orang yang menolak kenabian Mirza, menyebut isteri Mirza sebagai ummul mu’minin dan para pengikut yang berbai’at kepadanya sebagai shahabat, khalifahnya disebut sebagai 235
Ibid. Ibid. hal. 7. 237 Syafi R.Batuah, Ahmadiyah : Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986), Cet. XVII, hal. 5. 238 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor : JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara Nomor : 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri dengan Nomor : 75/D.I/VI/2003 tanggal 5 Juni 2003. 239 Jema’at Ahmadiyah Indonesia, Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, hal. 1 236
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
142
khulafa rasyidun, serta menjadikan Qodiyan, sementara ini Rabwah, menjadi ma’ad (kota tempat kembali) yang harus dikunjungi anggota Jema’at Ahmadiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Mirza Bashir Ahmad : “… oleh karenanya, al-Qur’an telah menamakan Mekkah Ma’ad (tempat kembali), yakni suatu tempat yang kaum muslimin bias kembali secara berulang-ulang dan mengambil faedah kerohanian daripadanya. Dalam satu ilham yang diterima Mirza Ghulam Ahmad a.s., Qodiyan juga disebut Ma’ad sebab pada waktu itu para jemaat berbondong-bondong datang berulang kali untuk memperoleh tarbiat; dan begitulah Insya Allah akan berlaku di masa yang akan datang. Selama Qodiyan belum kembali ke tangan kita maka Rabwah-lah yang merupakan tempat penggantinya sebab disinilah pada waktu ini kedudukan Khilafat Ahmadiyah. Maka menjadi keharusan bagi para anggota jema’at berkunjung ke Rabwah dengan sesering-seringnya…”.240 Sementara itu, Ahmadiyah Lahore menyatakan hanya mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih, al-Mahdi, Mujaddid dan Muhaddas, bukan sebagai nabi. Persoalannya benarkah demikian sikap Ahmadiyah Lahore? Bagaimana pula dengan ajaran-ajarannya yang lain? Dengan pengakuannya bahwa Mirza sebagai al-Mahdi, al-masih, mujaddid dan muhaddas, apakah mereka berbeda dengan golongan Qodiyan? Hal ini perlu ditelusuri dalam literature yang mereka terbitkan sendiri. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan penelusuran tersebut. Pertama, Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana telah disebut di atas, dalam berbagai tulisannya sendiri jelas mengaku dirinya sebagai al-Masih, al-Mahdi dan nabi/rasul, dan Ahmadiyah Lahore berimam kepada orang yang mengaku dirinya nabi. Oleh karenanya, hukum para pengikut ini (Ahmadiyah Lahore) sama dengan hukum orang yang diikuti/diimaminya. Kedua, sebelum terpecah menjadi dua golongan, semua pengikut Ahmadiyah mengakui kenabian Mirza, termasuk Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore, sebagaimana juga telah disebut di atas. Bahkan dalam Bigham Shulh, yang merupakan lembaran penjelasan mengenai golongan mereka dikatakan : “Kami melihat bahwa Hadlrat al- Masih al-Mau’uud dan al-Mahdi al-Ma’huud adalah 240
Hazrat Mirza Bashir Ahmad, Dasar-Dasar Pendidikan Bagi Jema’at, terjemah oleh R. Ahmad Anwar dari Tarbiyyati Jemaat Aur Uske Ushul, (Tanpa Tempat : Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1994) Cet. Ketiga, hal. 60 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
143
seorang nabi dan rasul-Nya…”.241 Dengan begitu pengakuan Ahmadiyah Lahore bahwa Mirza hanyalah al-Masih, al-Mahdi dan Mujaddid hanyalah retorika, karena mereka tidak pernah secara resmi menginkari tulisan-tulisan (pengakuan) mereka sebelumnya.242 Selain itu, pendapat mereka bahwa Mirza adalah mujaddid adalah hiilat lafziyyah (tipuan kata) karena maksud pernyataan tersebut senada dengan pendapat Qodiyan tentang Mirza sebagai “nabi zhilyi” atau “buruzy”, “nabi ghairu tasyri’i” dan “nabi ummati”. Hal itu terlihat dalam tulisan Muhammad Ali Lahore dalam kitabnya al-Nubuwwah fi al-Islam, yang ditulisnya setelah Hazrat Mirza Bashir Ahmad, Dasar-Dasar Pendidikan Bagi Jema’at, terjemah oleh R. Ahmad Anwar dari Tarbiyyati Jemaat Aur Uske Ushul, (Tanpa Tempat :Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1994) Cet. Ketiga, hal. 60 oktober 1913. ia memisahkan diri dari kelompok Qodiyan. Pendapatnya ialah: “Sesungguhnya al-Masih al-Mau’uud dalam tulisannya terdahulu menetapkan satu hal, yaitu bahwa pintu kenabian memang tertutup, namun salah satu bentuk kenabian masih memungkinkan dicapai/diraih. Hal ini tidak berarti kami mengatakan bahwa pintu kenabian masih terbuka, tetapi kami katakan bahwa bahwa pintu kenabian tertutup, hanya saja salah satu bentuk kenabian masih tetap ada dan berlanjut hingga akhir kiamat. Itu juga tidak berarti kami mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi nabi, tetapi dapat saja (seseorang) mencapai kenabian itu dengan jalan mengikuti Nabi Muhammad SAW. Orang semacam ini dapat disebut sebagai manusia biasa pada satu sisi, dan sebagai nubuwwah juziyyah pada sisi yang lain…”.243 Ketiga, selain meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih dan alMahdi, Ahmadiyah Lahore memiliki keyakinan yang sama dengan Ahmadiyah Qodiyan dalam hal Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu dari Allah yang wajib diikuti oleh seluruh manusia, dan bahwa semua yang ditulisnya serta pengakuannya adalah kebenaran yang wajib diikuti oleh semua muslim. Bahkan Muhammad Ali dalam Nubuwwah fi al-Islam menyatakan :
“Sesungguhnya kalian (Ahmadiyah Qodiyan) dengan menjadikan Mirza sebagai nabi yang sempurna, pengakuan kalian itu derajatnya tidak lebih 241
Majallah al-Furqon terbitan Januari 1942, mengutip Kitab Bigham Shulh, 16 Oktober 1913. Muhammad Taqi Usmani, dalam Majallah Majma’al-Fiqh al-Islami, Buku Kedua Juz Pertama, hal. 224 243 Nubuwwah fi al-Islam, hal. 158 242
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
144
tinggi dari pengakuan kami kepadanya (Mirza). Dengan menjadikkan kenabianya (Mirza) sebagai nubuwwah juziyyah, maka sesungguhnya kami meyakini akan wajibnya mengikuti wahyu (yang diturunkan kepada Mirza) pada batas yang kalian imani, bahkan kami mengimaninya secara amaliyah melebihi yang kalian imani”.244 Keempat, bahwa betapapun kedua kelompok ini berbeda dalam beberapa hal, namun mereka sepakat pada hal-hal berikut : 1.
Bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Mahdi al-Ma’huud dan al-Masih al-Mau’uud, sebagaimana diberitakan nabi Muhammad SAW.
2.
Bahwa pada Mirza Ghulam Ahmad diturunkan wahyu, yang wajib dibenarkan dan diikuti oleh seluruh manusia.
3.
Bahwa kedua kelompok ini sesungguhnya memiliki “konsep kenabian” Mirza Ghulam Ahmad, meski penjelasannya berbeda.
4.
Bahwa apa yang didakwahkan, diucapkan, dan ditulis dalam semua karya dan tulisan Mirza Ghulam Ahmad adalah sebuah kebenaran
5.
Bahwa mereka yang mendustakan atau mengingkari dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir.
Berdasarkan bukti-bukti ajaran Ahmadiyah, sebagaimana tertuang dalam berbagai literature karya Mirza Ghulam Ahmad dan para tokoh pengikutnya di atas, serta setelah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis serta Ijma’ Ulama, maka MUI menetapkan fatwa bahwa Aliran Ahmadiyah, baik Qodiyani ataupun Lahore, sebagai keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan. Hal itu didasarkan pada:245 1.
Bahwa Nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah secara qath’i telah menetapkan bahwa kenabian dan kerasulan telah berakhir(tertutup) setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW., maka siapa saja yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad berarti ia telah keluar
244
Muhammad Taqi Usmani, op.cit.,, hal. 23 Majelis Ulama Indonesia, Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan, Penjelasan Tentang Fatwa Aliran Ahmadiyyah.hal. 115-116. Dalam http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84&limitstart=15 Diunduh pada Senin 11 Mei 2010 Pukul 08.30 Wib 245
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
145
dari Islam. Dan bahwa aqidah ini (tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW) adalah keyakinan yang fundamental dan mendasar, yang tidak menerima ta’wil dan takhshish apapun, karena ia telah ditegaskan dengan jelas dalam al-Qur’an dan Hadis- Hadis Mutawatir yang qath’i serta telah menjadi Ijma’ seluruh Ulama. 2.
Bahwa Mirza Ghulam Ahmad telah nyata-nyata mengaku dirinya sebagai nabi maka ia telah keluar dari Islam. Adapun adanya ta’wil dan tafsir akan kenabiannya sebagai “nabi zhilyi” , “buruzy”, “nabi ghairu tasyri’i” atau “nabi ummati” hukumnya adalah sama. Hal itu dikarenakan Aqidah tentang khataman nabiyyin, adalah aqidah qath’iyyah yang tidak dapat dita’wil ataupun ditakhshish. Tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran mereka. Sebagaimana para shahabat nabi memerangi Musailamah
al-Kadzdzaab,
Aswad
al-‘Unsa
dan
Thalaihah
bin
Khuawailid yang mengaku nabi dengan cara mena’wil ma’na nubuwwah dan risalah. 3.
Bahwa berimam dengan orang mengaku dirinya nabi hukumnya sama dengan yang diimaminya.
4.
Bahwa pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan menjelang Hari Kiamat, sebagaimana diakui Qodiyan maupun Lahore, adalah kebohongan dan pembohongan terhadap alQur’an, Sunnah Mutawatir, dan Ijma’.
Selain itu, seperti telah dijelaskan di atas, bahwa meskipun MUNAS MUI VII menetapkan aliran Ahmadiyah telah keluar dari Islam, sesat dan menyesatkan,246 MUI tetap mengajak dan menyerukan para pengikut Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq sejalan dengan al-Qur’an dan Hadis (al-ruju’ ila al246
Musyawarah Nasional (MUNAS) VII MUI tanggal 26-29 Juli 2005 M./19-22 Jumadil Akhir 1426 H. menegaskan kembali fatwa dan keputusan MUNAS II MUI tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai murtad (telah keluar dari Islam). Dalam http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84&limitstart=15 Diunduh pada Senin 11 Mei 2010 Pukul 08.30 Wib Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
146
haq). MUI juga meminta pemerintah untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah dan membekukan organisasinya serta menutup semua tempat kegiatannya. Selain itu, para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (ijma’) juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, dibawah anjuran Rabithah ‘Alam Islami, merekomendasikan antara lain : 247 1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; 2)
Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam;
3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka; 4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.
Kekufuran Ahmadiyah juga telah ditetapkan oleh Fatwa ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), yaitu dalam fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami OKI, melalui keputusannya No. 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985. Dalam fatwa tersebut dinyatakan :248 “Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah 247 248
Majelis Ulama Indonesia, loc.cit Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
147
adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW”. Fatwa serupa ini juga telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga fatwa/ulama di berbagai negara Islam. Di Mesir, misalnya, Majma’ al-Buhuts juga telah menetapkan fatwa kafir terhadap Ahmadiyah.249 Berbagai Ormas Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah dan Persis, telah memfatwakan hal yang sama mengenai Aliran Ahmadiyah. Muhammadiyah sejak tahun 1926 sudah memfatwakan kesesatan dan kekufuran Ahmadiyah. Demikian juga NU, bahkan dalam bahtsul masail terakhir yang diselenggarakan di Lirboyo, dalam menyikapi fatwa MUNAS MUI VII, Lembaga Bahtsul Masail NU juga menetapkan hal yang sama. Sementara itu, Persis (Persatuan Islam), melalui tokohnya Ahmad Hassan, pernah dua kali melakukan debat terbuka dengan ahli dakwah Ahmadiyah, yaitu pada tahun 1933 di Bandung dan 1934 di Jakarta. Ahmad Hassan adalah seorang tokoh pembaharu Islam yang sangat keras menentang ajaran Ahmadiyah. Pasca MUNAS MUI VII, dukungan terhadap fatwa mengenai Aliran Ahmadiyah juga disampaikan oleh berbagai ormas Islam, seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Syarikat Islam (SI), al-Irsyad al-Islamiyah, ICMI, YPI al-Azhar, Front Pembela Islam (FPI), Front Perjuangan Islam Solo, Majelis Mujahidin Indonesia, Hidayatullah, al-Ittihadiyah, PERTI, FUUI, alWashliyah, dan Ormas Islam lainnya di seluruh Indonesia (terlampir). Selain itu dukungan atas Fatwa MUNAS MUI ini juga disampaikan oleh kyai-kyai Pengasuh Pondok Pesantren di Jawa, Madura dan Sumatra.250 Dan puncaknya pada tanggal 9 Juni 2008, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor : 03 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus 249 250
Ibid. Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
148
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Namun, sampai saat ini belum ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan Jemaah Ahmadiyyah Indonesia telah melakukan “penodaan agama”.
3.4
Kasus-Kasus Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia
3.4.1 Ahmad Moshaddeq Ahmad Moshaddeq adalah pendiri aliran Al Qiyadah Al Islamiyah dan terkena penerapan Pasal 156 a KUHP tentang tindak pidana penyalahgunaan atau penodaan agama. Munculnya aliran Al Qiyadah Al Islamiyah terjadi atas hasil pertapaan Moshaddeq di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, selama 40 hari 40 malam pada juni 2006. kemudian pada 23 Juli 2006 dihadapan 54 umatnya, Moshaddeq kemudian berikrar sebagai Rasulullah dengan gelar Al Masih Al Mawud yang artinya juru selamat yang dijanjikan.251 Dalam ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah yang dipimpin Ahmad Moshaddeq, tidak mengakui nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan sebagai rasul, melainkan Ahmad Moshaddeq mengakui dirinya sebagai Rasul dengan gelar Al Masih Al Mawud, kemudian mengganti kalimat syahadat menjadi Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna al masishul mau’ud Rasulullah yang artinya : saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa al masih al mawud utusan Allah. Kemudian dalam ajarannya tidak/belum mewajibkan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat, dan ibadah haji kepada para penganutnya.252 Atas dasar itulah kemudian MUI mengeluarkan fatwa sesat karena ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran dalam Islam.253 Menindaklanjuti fatma MUI tersebut, Jaksa Agung melarang aktifitas kegiatan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah yang dipimpin Ahmad Moshaddeq melalui SK Kejagung No. KEP-116/A/J.A/11/2007. Tidak lama setelah MUI menyatakan aliran tersebut sesat, Tim Pakem DKI Jakarta yang diketuai oleh Kepala Kejaksaan 251
http://albahar.wordpress.com/2007/10/24/mui-aliran-al-qiyadah-al-islamiyah-sesat/ Ibid. 253 http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84&limitstart=15 Diunduh pada Senin 11 Mei 2010 Pukul 08.30 Wib. 252
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
149
Tinggi DKI Jakarta hari senin tanggal 29 Oktober 2007 mengeluarkan larangan penyebaran ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah dan segala bentuk kegiatannya di Jakarta. Ahmad Moshaddeq kemudian di sidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menuntut Ahmad Moshaddeq dengan hukuman lima tahun penjara karena melanggar ketentuan Pasal 156 a KUHP. Alasannya perbuatan terdakwa yang menyebarkan ajaran ke dalam komunitas Al Qiyadah Al Islamiyah bahwa dirinya adalah nabi atau Rasul pengganti nabi Muhammad SAW ditambah lagi dengan ajaran yang tidak mewajibkan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat dan ibadah haji merupakan penodaan terhadap agama Islam.254Kemudian oleh Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ahmad Moshaddeq dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama melanggar Pasal 156 a KUHP dan dihukum penjara selama empat tahun.
3.4.2 Lia Aminuddin/Lia Eden Lia Aminuddin adalah nama pemimpin kelompok Eden atau aliran agama Salamullah atau biasa dikenal Lia Eden. Lia Aminuddin mengumumkan dirinya sebagai Imam Mahdi yang akan membawa keamanan dan keadilan di dunia sebelum tibanya hari kiamat. Di lain kesempatan ia juga mengaku sebagai Bunda Maria. Anaknya, Ahmad Mukti disebutnya sebagai Yesus Kristus. Seakan tak peduli terhadap segala kontroversi yang di timbulkan, tahun 2000 kelompok ini dengan berani menyatakan berdirinya agama baru, yaitu agama Salamullah.255 Beberapa ajaran Lia Aminuddin: 1.
Malaikat Jibril akan turun ke bumi dan bersemayam di dalam diri Lia Aminuddin, oleh sebab itu dimanapun Lia berada selalu bersama Jibril Alaihi Salam.
254
Wawancara dengan Muhammad Muhadjir SH, pada hari Senin 11 Mei 2011 di Kejaksaan Agung, Jakarta. M uhammad Muhadjir SH adalah Jaksa Penuntut Umum yang menyidangkan perkara Ahmad Moshaddeq. 255 IGM Nurdjana, op.cit., hal. 131 Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
150
2.
Lia Aminuddin mengaku menjadi juru bicara Jibril Alaihi Salam, dan mengaku sebagai Nabi dan Rasul.
3.
Lia Aminuddin mengaku mendapatkan wahyu.
4.
Lia Aminuddin mengaku mendapatkan mukjizat.
5.
Agama
yang
dibawa
oleh
Lia
Aminuddin
bernama
Salamullah/agama parenialisme yang menghimpun seluruh agama. 6.
Lia Aminuddin mengaku sebagai Imam Mahdi.
7.
Ahmad Mukti (puteranya) dianggap sebagai Nabi Isa.
8.
Abdul Rahman diyakini sebagai Wakil/Imam Besar Ajaran Salamullah.
9.
Air Sumur Salamullah berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit.
10.
Mencukur semua jenis rambut yang ada dalam tubuh. Mulai dari rambut kepala, ketiak dan lain-lain lalu membakarnya, hal itu dianggap sebagai bentuk ibadah yang diperintahkan “Jibril” melalui Lia Aminuddin. Barang siapa yang telah melakukan itu sama dengan bayi yang baru dilahirkan.256
Karena ajarannya dianggap meresahkan kemudian MUI mengeluarkan fatwa sesat ajaran Lia Eden yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.257 Pada tahun 2005, oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, perkara Lia Aminuddin dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Selatan, Lia Eden dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama melanggar Pasal 156 a KUHP dan dihukum penjara selama dua tahun. 256
Hartono Ahmad Jais, Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2010), Cet. 21, hal. 145-146. 257 Pengakuan Lia Aminuddin, didampingi dan mendapat ajaran dari Jibril ditanggapi dan diluruskan oleh Majelis Ulama Indonesia yang kemudian mengeluarkan fatwa yang dikeluarkan dan ditetapkan pada tanggal 22 Desember 1997. dalam http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84&limitstart=15 Diunduh pada Senin 11 Mei 2010 Pukul 08.30 Wib Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
151
3.4.3 Antonius Richmond Bawengan (RAB) Kasus yang menjerat Anthonius Richmord Bawengan (ARB), warga asal Manado ini terjadi pada 3 Oktober 2010. Ketika itu ARB yang menggunakan KTP berdomisili di Kebon Jeruk, Jakarta, menginap di tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/Kecamatan Kranggan, Temanggung. Di dusun tersebut, ARB membagi-bagikan selebaran dan buku yang antara lain tertulis Hajar Aswad di dinding kabah disebut sebagai kelamin wanita. tempat pelemparan jumrah yang merupakan bangunan setengah lingkaran disebut terdakwa berkelamin laki-laki Selain itu, terdakwa menggambarkan wajah Islam sebagai bengis dan kejam.258 Tulisan tersebut kemudian memancing emosi umat Islam di Temanggung. Salah satu provokasinya adalah anti Bunda Maria dan ia juga mengutip ayat-ayat Al Qur’an secara serampangan. Singkatnya kemudian Antonius Richmond Bawengan diperkarakan dan perkaranya di limpahkan oleh Kejaksaan Negeri Temanggung ke Pengadilan Negeri Temanggung dengan Dakwaan melanggar Pasal 165 a KUHP tentang Penodaan Agama.
Oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Temanggung, terdakwa
Anthonius Richmord Bawengan dituntut lima tahun penjara dan pada Selasa 8 Pebruari 2010 oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Temanggung, Antonius Richmond Bawengan diberi putusan dengan hukuman lima tahun penjara.259
3.4.4. Drs. FX Marjana Drs. FX Marjana adalah Dosen Fakultas Kepeguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten. Drs FX Marjana diadukan oleh Front Umat Islam (FUI) Klaten atas laporan dari Mahasiswa FKIP Unwidha tentang penghinaan dan penodaan agama (delik agama). Kasus tersebut berawal pada Senin tanggal 27 April 2009, saat diadakan ujian skripsi di Kampus Unwidha Klaten dimana Marjana mewakili rektor untuk memberikan sambutan. Namun saat menyampaikan sambutan, Marjana dinilai telah mendiskriditkan umat Islam. 258 259
Republika.go.id, diunduh Selasa, 08 Februari 2011, 09:13 WIB Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
152
Diantaranya ungkapan bahwa Islam adalah agama yang suka bermusuhan dan banyaknya golongan (aliran), menjadi salah satu bukti. Ungkapan lain yang dianggap menistakan agama Islam antara lain; Zaman sekarang ini adalah zaman batu. Hindu menyembah Candi Prambanan, Budha menyembah Candi Borobudur, dan Islam menyembah Ka’bah. Umat beragama kini berasal dari keturunan orang yang kurang ajar, sebab Nabi Adam dikeluarkan dari surga karena melanggar perintah Allah. Bahkan, mahasiswa yang akan mengikuti ujian dengan mengucapkan kata Insya Allah, harus dikeluarkan dan batal ikut ujian.260 Selanjutnya oleh Kejaksaan Negeri klaten, Perkara terdakwa Drs FX Marjana di limpahkan ke Pengadilan Negeri Klaten dengan Dakwaan melakukan tindak pidana penodaan agama. Oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten, terdakwa Drs FX Marjana dinyatakan bersalah melakukan penodaan agama melanggar ketentuan Pasal 156 a KUHP dan divonis dua tahun penjara.261 Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan kesimpulan dalam bab ini yaitu: 1.
Keberadaan aliran kepercayaan secara hukum menurut praktik agama dan kepercayaannya itu yang dicantumkan pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) bahwa kata-kata “kepercayaannya itu” yang dimaksud adalah aliran kepercayaan, kebatinan dan kepercayaan suku, adat atau agama-agama lokal yang saat proklamasi kemerdekaan populasinya mencapai 40% dan penduduk Indonesia masih menganut berbagai aliran kepercayaan. Di samping itu terdapat aliran kepercayaan yang bukan sekedar menghayati kebatinan, kejiwaan dan kerohaniaan, tetapi sudah menjurus kepada agama baru. Hal ini menimbulkan pertentangan bahkan keresahan karena terjadi penyimpangan atau didatakan sebagai aliran sesat bagi penganut-penganut agama yang sah diakui pemerintah seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
2.
Menurut Soeganda Poerbakawatja dan H. Harahap, Aliran yaitu suatu cabang dari paham dan rentetannya masih berinduk pada salah satu agama (madzhab, 260
http://mediakeberagaman.com/dosen-unwidha-jadi-terdakwa-kasus-penodaan- agama.php Diunduh pada Senin 11 Mei 2010 Pukul 08.30 Wib. 261 Ibid. Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
153
orde, sekte dan lain-lain)”, sedangkan pengertian Kepercayaan diartikan sebagai suatu paham dinamis yang terjalin dengan adat istiadat yang masih hidup dari berbagai macam suku bangsa yang masih terbelakang pokok kepercayaannya, berbentuk apa saja atau kehidupan nenek moyangnya sepanjang masa. Menurut AC. Kruyt, Arti kepercayaan adalah urusan hati nurani menyita seluruh manusia makanya berakar dalam jiwa manusia sebagai keseluruhannya dengan segala ungkapannya yang segi-seginya itu, manusia mengungkapkan dalam dirinya apa yang hidup dalam dirinya berupa kepercayaan terutama dengan dua cara dalam perbuatan atau upacara (ritus). Sedangkan PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) dalam pokok-pokok pola pelaksanaan tugas PAKEM menyebutkan yang dimaksud
dengan aliran kepercayaan dalam masyarakat
mencakup: 1) Aliran keagamaan meliputi: Sekte keagamaan, gerakan keagamaan, pengelompokan jemaah keagamaan, baik agama langit maupun agama bumi (Agama Wahyu dan Agama Budi), 2) Kepercayaan Budaya meliputi: Aliran-aliran kebatinan, kejiwaan, kerohanian/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sebagainya, 3) Mistik, kejawen, pedukunan, peramalan, paranormal, metafisika. Aliran keagamaan sumber utamanya adalah kitab suci berdasarkan wahyu Tuhan, sedangkan aliran kepercayaan sumber utamanya
adalah
budaya
bangsa
yang
mengandung
nilai-nilai
spiritual/kerohanian yang hidup dan telah membudaya dalam masyarakat sebagai hasil penalaran daya, ciptarasa, karsa dan hasil karya manusia. 3.
Mengingat banyaknya aliran kepercayaan dalam masyarakat yang bermacammacam maka untuk memudahkan mengidentifikasi aliran kepercayaan maka bisa dikenali tiga tipologi aliran kepercayaan yaitu: 1) Tipologi Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) Tipologi Aliran kepercayaan Menyimpang,
dan 3) Tipologi Alian Kepercayaan Mistik/ Klenik. 4.
Menurut Mukti Ali agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah:
1)mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa, 2) mempunyai kitab suci dari Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
154
Tuhan yang Maha Esa, 3) mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa, dan 4)mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan petunjuk. 5.
Jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan, diatur dalam konstitusi yaitu, Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 dan Kedua, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam tataran Internasional Indonesia sudah meratifikasi tentang International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR) melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
6.
Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama/Tuhan memiliki padanan istilah dalam bahasa asing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata Blasphemy berasal dari Bahasa Inggris Zaman Pertengahan: blasfemen, yang pada gilirannya berhubungan dengan Bahasa Yunani blasphemein, berasal dari kata blaptein artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi. Menurut Black’s Law
Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God, religion, a
religious
icon,
or
something
else
considered
sacred,
yang
artinya
ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu symbol agama, atau sesuatu yang lain dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, blasphemy is the malicious, revilement of God and Religion yang artinya dengan niat jahat menghina Tuhan dan agama. Menurut Kamus Online Merriam-Webster, blasphemy adalah 1) a: the act of insulting or showing contempt or lack of reverence of Go; b: the act of claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or inviolable yang artinya 1) a: tindakan menghina atau menunjukan penghinaan atau kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan, 2) ketidakhormatan terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggu-gugat. 7.
Tindak pidana penodaan agama merupakan bagian dari delik-delik agama. Perumusan delik-delik agama dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana biasanya didasarkan atas suatu alternatif atau penggabungan beberapa teori Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
155
tergantung pada kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pada umumnya dikenal tiga jenis teori yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik agama, yaitu: 1) Friedensschutz-theorie, yang memandang ketertiban umum sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (der religiosce intercom fessionelle feriede), 2) Gefuhlsshutz-theorie, yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi (das heiligste Innenleben der Einzelnen we der gesamtheit). Teori ini dikemukakan oleh Binding, dan 3) Religionsschutz-theorie, yang memandang agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh Negara (das kulturhut der Religion and der Ungeheuren idealismus, der aus ihr Furreine grosse Menge von Menschen hervergeht). 8.
Istilah delik agama mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut agama, delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Benih-benih delik penodaan agama dapat dilihat dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965. undang-undang ini terdiri dari empat pasal.
9.
Pasal 156a dimasukkan ke dalam KUHP Bab V tentang Kejahatan terhadap ketertiban Umum yang mengatur perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Alasan aturan penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP, dengan memperhatikan konsideran dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal: 1), undang-undang ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. 2), timbulnya bebagai aliran kepercayaan atau organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. 3), karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaranUniversitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
156
ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Mahe Esa. 4), seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu (Confusius). undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya 10. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Rancangan KUHP (Versi Pebruari 2008) diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya ada delapan pasal. Dari delapan pasal itu di bagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap agama. Bagian ini terdiri dari dua paragraf yang mengatur tentang penghinaan terhadap Agama (Pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (Pasal 345). Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini terdiri dari dua paragraph yang mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (Pasal 346-347) dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348). 11. Sejarah pembentukan Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Kejaksaan dimulai pada Tahun 1952. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, di mana Pasal 2 ayat (3) yang memberikan
tugas
kepada
Kejaksaan
untuk
mengawasi
aliran
kepercayaan/kebatinan yang membahayakan masyarakat dan negara, merupakan produk hukum yang menegaskan tugas kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan/kebatinan, dan ini sekaligus menarik institusi Pakem berada di bawah Kejaksaan yang sebelum tahun 1961 berada di bawah Departemen Agama (Depag). Yang kemudian Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan No Kep-108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat. Adapun latar belakang pembentukan Tim Pakem tersebut menurut Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
157
konsideran Surat Keputusan No Kep-108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat, adalah untuk pembinaan dan pengawasan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan: 1) Agar kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak mengarah kepada pembentukan agama baru; 2) Dapat mengambil langkah-langkah atau tindakan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 3) Pelaksanaan aliran kepercayaan benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab. 12. Pada Tahun 1991 Pemerintah dan DPR membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 memperluas tugas Kejaksaan yaitu tidak hanya penuntutan kasuskasus pidana, tetapi juga di dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum Kejaksaan yang salah satu tugasnya adalah Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat dan Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Yang kemudian Kejaksaan Agung memformalkan Tim Pakem dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem), yang kemudian mencabut Surat Keputusan Nomor Kep108/J.A/5/1984. 13. Pasca reformasi 1998, Pemerintah dan DPR kembali melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan menggantinya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e tetap mempertahankan tugas Kejaksaan di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, diantaranya adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan negara dan masyarakat, dan pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. 14. Landasan hukum pembentukan Tim pengawas aliran kepercayaan dan pencegahan penyahgunan dan/atau penodaan agama oleh Kejaksaan RI adalah Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
158
sebagai berikut: 1) Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. 2) Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. 3) Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. 15. Pola Kerja Tim Pakem adalah bagian dari kegiatan-kegiatan Intelijen dan atau operasi Intelijen sesuai dengan kebutuhan yang meliputi fungsi penyelidikan (LID), Pengamanan (PAM), dan Penggalangan (GAL). adapun sasaran pelaksanaan fungsi tersebut diatas adalah masalah aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Penyelidikan (LID) adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk memperoleh bahan keterangan yang dibutuhkan mengenai masalah tertentu yang setelah melalui proses pengolahan dapat digunakan untuk membuat perkirakan mengenai masalah yang dihadapi sehingga dapat ditentukan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan dengan resiko yang diperhitungkan. Pengamanan (PAM) adalah semua usaha, pekerjaan dan kegiatan serta tindakan yang bertujuan untuk mencegah dan menumpas serta menggulung setiap usaha pekerjaan, kegiatan dan operasi pihak musuh/lawan yang melakukan penyelidikan, sabotase dan penggalangan. Penggalangan (GAL) adalah semua usaha, pekerjaan dan tindakan secara berecana dan terarah oleh sarana-sarana Intelijen, dengan membuat tujuan khusus membuat, menciptakan dan atau merobah suatu kondisi di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menguntungkan dan sesuai dengan kehendak pihak atasan yang berwenang untuk mendukung kebijaksanaan yang ditempuh dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan. 16. Pola Penanggulangan Aliran Kepercayaan Menyimpang dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dilakukan dengan cara tindakan: 1) Preventif, 2) Represif, dan 3) Kuratif dan Rehabilitaif.
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
159
BAB 4 ANALISIS PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN ATAU/PENODAAAN AGAMA OLEH KEJAKSAAN
Bab ini akan membahas tentang analisis kewenangan Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan agama oleh Kejaksaan,
Kepastian
Hukum
Undang-Undang
No.
1/PNPS/1965
tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan kendala-kendala Dalam Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dengan adanya analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam tesis ini.
4.1
Kewenangan
Pengawasan
Aliran
Kepercayaan
dan
Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Kejaksaan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).262 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,263 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai 262
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 35-36 263 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990), hal. 30
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
160
suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.264 Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.265 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.266 Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.267 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.268 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber
dari
konstitusi,
juga
dapat
bersumber
dari
luar
konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
264
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 52 265 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hal. 1 dalam Soni tobelo Manyawa, Teori kewenangan, makalah, Januari 2011. hal. 3. Dalam http://sonny-tobelo.blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html. diunduh pada Senin 18 Mei 2011 Pukul 8.45 Wib. 266 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, 1998), h. 37-38 267 Miriam Budiardjo, loc.cit., hal. 35 268 Rusadi Kantaprawira, op.cit., hal. 39
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
161
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.269 Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe
voegdheden).
Wewenang
merupakan
lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.270 Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan hukum.
271
perundang-undangan
untuk
menimbulkan
akibat-akibat
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:
Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).272 269
Philipus M. Hadjon, loc.cit. 270 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung : Universitas Parahyangan, 2000), hal. 22 271 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 65. 272 Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 4
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
162
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara “atribusi”, “delegasi”, maupun “mandat”. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).273 Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan:274 a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority. b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name. c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.
273
Soni tobelo Manyawa, Teori kewenangan, makalah, Januari 2011. hal. 3. Dalam http://sonny-tobelo.blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html. diunduh pada Senin 18 Mei 2011 Pukul 8.45 Wib. 274 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998), hal. 16-17
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
163
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besarbesaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:275 a. delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegasi memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
275
Philipus M. Hadjon, loc.cit.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
164
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.276 Berdasarkan hal-hal yang penulis uraikan diatas, legalitas yang dimiliki oleh Kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sah (konstitusional). Hal ini berarti Kejaksaan merupakan lembaga yang diakui secara sah dalam Pemerintahan Republik Indonesia begitupula dengan kewenangan-kewenangan yang dimilikinya menjadi konstitusional artinya memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat. Oleh karena itu kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan terutama berkaitan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan adalah kewenangan yang resmi yang dibebankan untuk Kejaksaan dan merupakan tugas pokoknya. Salah satu tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan diantaranya adalah di bidang ketertiban dan ketentraman umum, dimana Kejaksaan turut
menyelenggarakan
kegiatan
pengawasan
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan masyarakat dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Sebagai tindaklanjut dari wewenang Kejaksaan tersebut, Jaksa Agung sebagai pemimpin tertinggi di lembaga Kejaksaan memiliki kewenangan atribusi dengan membentuk atau memformalkan peran pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan 276
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 219
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
165
agama dengan membentuk Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dengan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat tanggal 15 Januari 1994. Adapun maksud dibentuknya Tim Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat oleh Jaksa Agung dengan memperhatikan konsideran keputusan tersebut adalah:277 a. Bahwa dengan semakin meningkat dan berkembangnya kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dilakukan pengawasan secara intensif; b. Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya koordinasi dan kerjasama antar instansi pemerintah yang terkait; c. Bahwa untuk pelaksanaan koordinasi dan kerjasama tersebut perlu dibentuk Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Tim
Koordinasi
Pengawasan
Aliran
kepercayaan
Masyarakat
yang
selanjutnya disebut Tim Pakem Pusat di bentuk dengan Keputusan Jaksa Agung. Tim Pakem DaerahTingkat I dibentuk dengan Keputusan Kepala kejaksaaan Tinggi. Tim Pakem Daerah Tingkat II dibentuk dengan Keputusan Kepala kejaksaan Negeri.278 Susunan dan keanggotaan Tim Pakem Pusat adalah:279 a. b. c. d.
Ketua merangkap anggota : Jaksa Agung I Wakil Ketua merangkap anggota : Jaksa Agung Muda Intelijen Sekertaris I merangkap anggota : Direktur Sosial dan Budaya pada Jaksa Agung Muda Intelijen Sekertaris II merangkap anggota : Kepala Sub Direktorat PAKEM pada Direktorat Sosial dan Budaya Intelijen Anggota : Wakil-wakil dari : 1. Departemen Agama : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan 2. Departemen Dalam Negeri : Direktorat Jenderal Sosial Politik 3. Departemen Pendidikan dan kebudayaan : Direktorat Jenderal Kebudayaan 4. Mabes ABRI/BAKORSTANAS : Aster Kasum ABRI 277
Lihat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat, Bagian Menimbang. 278 Pasal 1 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat 279 Pasal 2 ayat (2) Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
166
5. 6.
Mabes POLRI : Direktur Intelpam Bakin : Deputi II Kabakin
Susunan dan Keanggotaan Tim Pakem Daerah Tingkat I adalah :280 a. b. c. d.
Ketua merangkap anggota : Kepala Kejaksaan Tinggi Wakil Ketua merangkap anggota : Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sekertaris I merangkap anggota : Kepala Seksi Sosial dan Budaya Anggota-anggota wakil-wakil dari : 1. Pemerintah Daearah Tingkat I 2. Kodam/Korem/Bakorstanasda 3. Polda/Polwil 4. Kanwil Departemen Agama 5. Kanwil Departemen Pendidikan dan kebudayaan Susunan dan Keanggotaan Tim Pakem Daerah Tingkat II adalah :281
a. b. c. d.
Ketua merangkap anggota : Kepala Kejaksaan Negeri Wakil Ketua merangkap anggota : Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sekertaris merangkap anggota : Kepala Sosial dan Budaya Kejaksaan Negeri Anggota-anggota wakil-wakil dari : 1. Pemerintah Daearah Tingkat II 2. Kodim 3. Polres 4. Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya 5. Kantor Departemen Pendidikan dan kebudayaan Tugas Tim Pakem menurut Pasal 3 Keputusan Jaksa Agung No.Kep-
004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat adalah: a. menerima dan menganalisa laporan dan atau informasi tentang Aliran Kepercayaan Masyarakat; b. meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman umum; 280
Pasal 2 ayat (3) Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat 281 Pasal 2 ayat (4) Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
167
c. mengajukan laporan dan saran sesuai dengan jenjang wewenang dan tanggung jawab. d. dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tim Pakem berfungsi: a. Menyelenggarakan rapat baik secara berkala maupun sewaktu-waktu sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan pertemuan, konsultasi dengan instansi dan badan-badan lainnya yang dipandang perlu, baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah sesuai dengan kepentingannya; c. Mengadakan pertemuan dengan penganut aliran kepercayaan yang dipandang perlu.
Tim Pakem senantiasa membuat laporan berkala maupun insidentil kepada Jaksa Agung RI mengenai Pelaksanaan tugas Tim Pakem dan Saran dan Pendapat dalam rangka upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya suatu problem Aliran Kepercayaan Masyarakat. Lapoan tersebut dibuat dan disampaikan oleh Tim Pakem Daerah Tingkat II kepada Tim Pakem Daerah Tingkat I, Tim Pakem Daerah Tingkat I kepada Tim Pakem Pusat dan Tim Pakem Pusat kepada Jaksa Agung.282 Dari uraian tugas Tim pakem tersebut, terlihat bahwa tugas Tim Pakem merupakan implementasi dari tugas Intelijen Yustisial Kejaksaan, dimana semua kegiatan yang berhubungan dengan Intelijen Yustisial Kejaksaan umumnya mengikuti empat langkah perputaran roda intelijen (roda perputaran intelijen (intelligence cycle) yang berorientasi kepada tugas pokok kesatuan. Empat langkah tersebut adalah:283
282
Pasal 5 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-04/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat 283 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, laporan Hasil Penelitian: Peningkatan Operasi Intelijen Yustisial Dalam Rangka Pengamanan Pembangunan dan Hasil-hasilnya, (Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1995/1996), hal. 5. Lihat juga
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
168
1.
Langkah Pertama: 1) Pengarahan pimpinan untuk menentukan kebutuhan intelijen berlandaskan tugas pokok. Ada masalah yang dihadapi pimpinan berdasarkan keterangan atau intelijen yang telah ada yang diterima baik dari dalam maupun dari luar kesatuan yang perlu dijawab dengan mengumpulkan keterangan oleh petugas di lapangan. 2) Penyusunan rencana pengumpulan keterangan oleh Staf Intelijen. 3) Rencana pengumpulan keterangan merupakan arahan/pedoman selanjutnya dalam pengumpulan keterangan, oleh karena itu harus disusun secara lengkap dan baik. 4) Penyampaian perintah atau permintaan pengumpulan kepada badan pengumpul keterangan. Penyampaian perintah diberikan kepada petugas dari dalam, sedangkan permintaan dilakukan kepada pemberi keterangan dari kuar kesatuan.
2.
Langkah Kedua: 1) Pelaksanaan
pengumpulan
keterangan
dengan
memanfaatkan
badan
pengumpul dan sumber yang ada sesuai kemampuan dan akses yang dimilikinya. 2) Salah
satu
cara
untuk
pengumpulan
keterangan
adalah
dengan
memanggil/meminta keterangan dari sumber informasi, untuk itu dibuat surat dinas resmi. 3) Hasil dari pengumpulan keterangan oleh para petugas/badan pengumpul dilaporkan dalam bentuk laporan informasi yang memenuhi unsure SIABIDIBAM (siapa, apa, bilamana, dimana, bagaimana, mengapa). 4) Setiap laporan harus ringkas, objektif, teliti, lengkap dan tepat pada waktunya. Togar Hutagaol, Administrasi Dan Produk Intelijen Kejaksaan, Pusdiklat Kejaksaan Republik Indonesia, 2006, hal.7-11
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
169
3.
Langkah Ketiga: Pengolahan keterangan yang terkumpul menjadi Intelijen. Pengolahan meliputi langkah-langkah kegiatan: 1) Pencatatan Dalam; a) Buku kerja intelijen b) Peta situasi c) Kepentingan file (penyimpanan) 2) Penilaian. Penilaian adalah penelitian terhadap informasi yang baru diterima untuk mentukan sumber dan ketepatan atau derajat kebenaran informasi yang masuk (Accuracy) a) Penilaian sumber atau badan pengumpul ditentukan dengan kode A sampai F. A=dipercaya sepenuhnya B=biasanya dapat dipercaya C=agak/masih dapat dipercaya D=biasanya tidak dapat dipercaya E=tidak dapat dipercaya F=kepercayaannya tidak dapat dinilai b) Penilaian ketepatan/kebenaran isi informasi. Tingkat penilaian kebenaran informasi dinyatakan dengan angka Arab 1 sampai dengan 6. 1=diperkuat oleh keterangan dari sumber lain 2=sangat mungkin benar 3=mungkin benar 4=kebenarannya diragukan 5=tidak mungkin benar 6=kebenarannya tidak mungkin dapat ditentukan. 3) Penafsiran.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
170
Pengertian penafsiran adalah proses menterjemahkan informasi menjadi intelijen (produk). Penafsiran meliputi langkah-langkah: a. Analisa, penyaringan dan pemilihan terhadap keterangan yang sudah dinilai guna memisahkan unsure-unsur yang penting yang berguna bagi pelaksanaan tugas. b. Integrasi, merupakan penggabungan dari unsur-unsur yang telah dipisahkan dalam proses analisa dengan keterangan lain yang sudah dikenal untuk memperoleh gambaran yang logis (hypotesa) tentang kegiatan lawan atau pengaruh karakteristik daerah operasi terhadap pelaksanaan tugas. c. Kesimpulan, kesimpulan dipakai untuk mentukan tindakan yang akan dilakukan oleh lawan dan sangat bermanfaat untuk membuat perkiraan.
4.
Langkah Keempat: Penyampaian/distribusi
intelijen
yang
telah
dihasilkan
kepada
pemakai/pengguna/user. Penyampaian dapat diartikan sebagai pengiriman keterangan dari intelijen dengan ketentuan: 1) Tepat pada waktunya 2) Dalam bentuk tertentu 3) Disampaikan kepada kesatuan/badan yang akan menggunakannya.
Sebagai laporan hasil pelaksanaan dan pertanggungjawaban operasi intelijen yustisial yang telah dilaksanakan segera dibuat laporan operasi intelijen (lapopsin)
yang
disampaikan
kepada
pimpinan
kejaksaan
yang
memerintahkan operasi.
Sedangkan berkaitan dengan fungsi Tim Pakem adalah sifatnya kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait. Dimana kegiatannya meliputi menyelenggarakan rapat
baik
secara
berkala
maupun
sewaktu-waktu
sesuai
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
kebutuhan,
171
menyelenggarakan pertemuan, konsultasi dengan instansi dan badan-badan lainnya yang dipandang perlu, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah sesuai dengan kepentingannya, dan mengadakan pertemuan dengan penganut aliran kepercayaan yang dipandang perlu. Sifat koordinasi disini maksudnya bahwa keanggotan Tim Pakem tidak hanya dari aparat Kejaksaan saja namun dari instansi-instansi/pejabat pemerintah lain yang tergabung dalam suatu komunitas seperti PAKEM, yang terdiri dari Kejaksaan Negeri, Pemerintah Daerah, Kodim, Polres, Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang terdiri dari wakil Bupati/Wakil Walikota, Kepala Kantor kementerian Agama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan Pimpinan instansi terkait. Selain itu ada juga Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA)284 yang terdiri dari
Walikota/Bupati,
Komandan
Distrik
Militer,
Kepolisian,
Kejaksaan,
Keimigrasian, Bea Cukai dan instansi terkait lainnya. KOMINDA adalah forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dan unsur pimpinan daerah di provinsi dan kabupaten/kota. Penyelenggaraan KOMINDA di Propinsi menjadi tugas dan tanggungjawab gubernur, sedangkan di kabupaten/kota menjadi tugas dan tanggungjawab bupati/walikota.285Perbedaanya terletak pada objek pengawasan dimana Tim Pakem hanya mengawasi masalah aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sedangkan Komunitas Intelijen Daerah (KOMINDA), cakupannya lebih luas terutama berkaitan dengan masalah keamanan dan ketertiban masyarakat. Berdasarkan atas penjelasan-penjelasan diatas, maka dalam bab ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1)
legalitas yang dimiliki oleh Kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sah (konstitusional) sehingga kewenangan-kewenangan yang dimilikinya 284
KOMINDA dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah. 285 Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
172
menjadi konstitusional artinya memiliki landasan hukum yang kuat dan mengikat. 2) Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan terutama berkaitan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam 30 ayat (3) d dan e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan diantaranya adalah di bidang
ketertiban
menyelenggarakan
dan
ketentraman
kegiatan
umum,
pengawasan
dimana kepercayaan
Kejaksaan yang
turut dapat
membahayakan masyarakat dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. 3) Sebagai tindaklanjut dari wewenang Kejaksaan tersebut, Jaksa Agung sebagai pemimpin tertinggi di lembaga Kejaksaan memiliki kewenangan atribusi dengan membentuk atau memformalkan peran pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dengan membentuk Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dengan Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat tanggal 15 Januari 1994. 4) Dari uraian tugas Tim pakem sebagaimana diatur dalam Keputusan Jaksa Agung RI No.Kep-004/J.A/01/1994, terlihat bahwa tugas Tim Pakem merupakan implementasi dari tugas Intelijen Yustisial Kejaksaan, dimana semua kegiatan yang berhubungan dengan Intelijen Yustisial Kejaksaan umumnya mengikuti empat langkah perputaran roda intelijen (roda perputaran intelijen (intelligence cycle) yang berorientasi kepada tugas pokok kesatuan. 5) Berkaitan dengan fungsi Tim Pakem adalah sifatnya kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait. Sifat koordinasi disini maksudnya bahwa keanggotan Tim Pakem tidak hanya dari aparat Kejaksaan saja namun dari instansiinstansi/pejabat pemerintah lain yang tergabung dalam suatu komunitas seperti PAKEM, yang terdiri dari Kejaksaan Negeri, Pemerintah Daerah, Kodim, Polres, Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang terdiri dari wakil Bupati/Wakil Walikota,
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
173
Kepala Kantor kementerian Agama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan Pimpinan instansi terkait.
4.2
Kepastian Hukum Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Upaya penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum. Semua faktor ini berkaitan sangat erat sehingga kelemahan pada satu faktor dapat mempengaruhi faktor lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu hukum (undang-undang), penegak hukum, sarana atau fasilitas
yang mendukung, masyarakat dan
kebudayaan.286 Diantara faktor-faktor tersebut, faktor hukum (undang-undang) dan faktor penegak hukum yang paling relevan dibahas dalam permasalahan penegakan hukum khususnya hukum pidana. Faktor hukum (undang-undang) merupakan faktor yang paling penting karena berkaitan dengan langsung dengan tujuan hukum (undangundang)
itu sendiri, yaitu mewujudkan “keadilan”, “menjamin kepastian” dan
memberikan “manfaat’ bagi sebanyak-banyak orang. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan oleh tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang dan tidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam menafsirkan dan serta penerapannya.287 Apabila ketiga hal tersebut tidak dipenuhi, maka tujuan hukum sebagaimana telah diuraikan diatas juga akan sulit dicapai. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan asas-asas berlakunya undang-undang, dan suatu aturan hukum pidana juga harus bisa mengikuti 286
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 5 287 Ibid, hal. 17-18
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
174
perkembangan masyarakat. Perundang-undangan hukum pidana yang bersifat absolete dan unjust (sudah kuno dan tidak adil) serta outmoded and unrel (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan kenyataan) seharusnya dilakukan pemikiran kembali. Pemikiran kembali dapat berupa reevaluasi, review, reorientasi, dan reformulasi terhadap kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini.288 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) adalah produk masa lampau dan dapat dikatakan saat ini sudah kuno, dan sering menimbulkan multitafsir. Di negaranegara dengan sistem demokrasi yang masih lemah, menganut sistem otoriter atau terdapat kompromi dalam sistem yudisial, termasuk Indonesia pada tahun 1965 dimana undang-undang ini dikeluarkan, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 telah banyak menimbulkan efek yang merugikan, yaitu:289 1.
Pemerintah menyalahgunakan undang-undang ini untuk membungkam oposisi, pengkritik pemerintah dan kelompok pembangkang lainnya, misalnya di Mesir;
2.
Individu mereka-reka dakwaan penodaan agama terhadap yang lain dalam kelompok masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan sepele, misalnya di Yunani;
3.
Kelompok religius ekstrem menyalahgunakan undang-undang penodaan agama sebagai pembenaran untuk menyerang kelompok religius minoritas, dengan menciptakan lingkungan yang tidak toleran dimana diskriminasi diperkenankan oleh Negara, misalnya di Pakistan;
4.
Lembaga keagamaan, baik secara resmi maupun tidak mendapat dukungan pemerintah,
menggunakan
undang-undang
penodaan
menekan anggota kelompok sekte minoritas yang
agama
untuk
menyimpang dari
penafsiran mengenai doktrin agama yang disetujui pemerintah, misalnya Indonesia.
288
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008), hal.
289
Jo-Anne Prud’homme, op.cit., hal. 1
14-15
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
175
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 telah diajukan permohonan pembatalan oleh sekelompok masyarakat ke Mahkamah Konstitusi.290 Dalam menyikapi uji materiil undang-undang a quo, dipersidangan muncul tiga pendapat yaitu: 1) kelompok yang menyatakan undangundang a quo konstitusional dan harus dipertahankan eksistensinya, 2) kelompok yang menyatakan undang-undang a quo konstitusional tapi perlu dilakukan di revisi; dan, 3) kelompok yang menyatakan undang-undang a quo inkonstitusional dan harus dibatalkan dan dicabut. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) dalam putusannya Nomor: 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010, menyatakan menolak semua permohonan pemohon dalam sidang Uji Materil Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 memerlukan penyempurnaan, bahkan sebuah undang-undang baru pun mungkin perlu dibuat untuk mengakomodasi substansi undang-undang itu, untuk menjamin perlindungan dan kebebasan beragama. Tetapi sampai undang-undang baru seperti itu disahkan, maka UndangUndang No.1/PNPS/1965 jo. Undang-Undang No.5 Tahun 1969 tidak perlu dicabut karena akan menyebabkan kevakuman hukum. 291 Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa undang-undang itu masih berada dalam koridor UUD 1945 dan masih dalam koridor dokumen-dokumen internasional tentang Hak Asasi Manusia. Mahkamah Konstitusi juga berargumen bahwa negara memang tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, tetapi negara justru harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat melakukan pembatasan290
Permohonan diajukan oleh empat individu yaitu KH Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI), Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) 291 M. Atho Mudzhar, Pengaturan Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indonesia dan Berbagai Negara. Makalah Disampaikan pada Kajian tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140 tanggal 19 April 2010 tentang Uji Materil UU No.1/PNPS/1965, diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dilaksanakan di Hotel Anna Muara, Padang, pada 28 Juni 2010. Hal. 4
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
176
pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memberikan rambu-rambu tentang bagaimana cara membaca pasal-pasal tertentu dan ungkapanungkapan tertentu yang termuat dalam undang-undang tersebut. Sebagaimana telah disinggung di muka, Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama semula adalah Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969. Dengan
demikian,
apa
yang
kemudian
disebut
sebagai
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 itu sesungguhnya diundangkan pada tahun 1969, pada saat mana negara tidak dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, UU tersebut dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sah secara hukum serta mengikat bagi setiap warga negara.292 Bunyi pasal-pasal dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1 “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Pasal 2 (1) Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
292
Ibid.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
177
Pasal 3 “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 5 tahun”. Pasal 4 Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa; Pasal 5 Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Secara sepintas, rumusan Pasal 1 ini memberi kesan seolah-olah UU ini mengatur tentang kebolehan intervensi Pemerintah atau negara terhadap agama atau terhadap keyakinan warga masyarakat, sehingga memasuki forum internum kebebasan beragama. Sesungguhnya apabila kita perhatikan penjelasan UU itu yang merupakan suatu kesatuan dengan batang tubuh UU-nya, maka kita akan memahami bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 hanya mengatur forum externum kebebasan beragama karena tujuan UU ini bukanlah untuk intervensi Pemerintah/negara terhadap agama, atau aspek-aspek doktrin agama, atau penafsiran agama, melainkan bertujuan untuk memupuk dan melindungi ketentraman beragama sebagaimana disebut pada Butir 4 Penjelasan Umum UU tersebut. Dengan kata lain, UU ini adalah bagian dari upaya negara atau Pemerintah untuk mencegah terjadinya benturan umat beragama dan memelihara ketentraman serta ketertiban masyarakat yang dapat
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
178
terganggu karena adanya polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan yang menyimpang. Bahkan pada Butir 2 dan 3 Penjelasan Umum UU tersebut ditegaskan bahwa UU itu diperlukan untuk memelihara persatuan nasional dan persatuan bangsa. Tentu saja, tugas Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban negara yang sah dan legal. 293 Hal itulah sebenarnya yang dilakukan Pemerintah ketika menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 9 Juni 2008. SKB itu pada intinya memperingatkan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran paham atau penafsiran agama yang nyata-nyata telah menimbulkan polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat, sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. SKB itu juga memperingatkan dan memerintahkan warga masyarakat pada umumnya untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI. Bagi Pemerintah, nampaknya masalah JAI ketika itu mempunyai dua aspek pertimbangan. Pada satu sisi, JAI sebagai penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada sisi lain, warga JAI ketika itu adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat, yang karenanya harus dilindungi. Untuk menangani kedua sisi masalah itu secara simultan maka Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SKB tersebut pada tanggal 9 Juni 2008. Perlu dicatat, bahwa dasar kebijakan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan melindungi kelompok 293
Ibid, hal. 7
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
179
masyarakat JAI itu adalah Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini. Dengan pertimbangan tersebut di atas maka Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan secara yuridis serta sosiologis masih relevan dengan tugas-tugas kenegaraan. Seperti diketahui, meskipun Khonghucu adalah salah satu dari 6 agama yang disebutkan dalam Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tetapi umat Khonghucu Indonesia pada suatu masa telah dibatasi ruang geraknya oleh Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967,294 sehingga mereka tidak dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat mereka di muka umum. Sebagai akibatnya, sebagian mereka kemudian bergabung dengan salah satu dari 5 agama lainnya, baik dalam kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat, maupun dalam pencantuman identitas agama dalam Kartu Tanda Penduduk dan sebagainya, (meskipun mungkin mereka masih tetap memeluk agama Khonghucu). Hal ini berlangsung selama 33 tahun, yaitu sejak tahun 1967 hingga 2000. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, yang pada intinya menetapkan pencabutan larangan sebagaimana diatur oleh Inpres No. 14 Tahun 1967 tersebut.295 Dengan pencabutan ini, maka secara legal pembatasan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia tidak berlaku lagi. Pada Tahun 2002, dengan Kepres No. 19 Tahun 2002, Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai Hari Nasional.296 Kemudian pada tahun itu juga (2002), Menteri Agama RI dengan Surat Keputusan No. 331 tahun 2002 menyatakan bahwa Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional. Tetapi dengan penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional itu pun masih belum serta-merta umat Khonghucu memperoleh kebebasan beragama dan hak-hak sipil mereka, karena masih ada pendapat dalam masyarakat bahwa Hari Raya Imlek bukanlah milik umat 294
lihat Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Jakarta 6 Desember 1967. 295 Lihat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, Jakarta 17 Januari 2000. 296 Lihat Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek, Jakarta 9 April 2002.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
180
Khonghucu semata tetapi adalah milik seluruh masyarakat keturunan Tionghoa. Kemudian perlu dicatat bahwa hak beragama umat Khonghucu dan hak-hak sipil mereka itu baru terpenuhi secara faktual setelah Menteri Agama RI mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor: 12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 perihal Penjelasan mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu, yang menyatakan sebagai berikut:297 1) Bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 1 PNPS 1965 Pasal 1 Penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu (Confusius). Sebagaimana diketahui UU tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu. Selanjutnya berkaitan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin pendeta Khonghucu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) tersebut. 2) Berkaitan dengan butir 1 tersebut di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para penganut agama Khonghucu dapat dilakukan sesuai peraturan perundangan yang ada. Demikian pula hak-hak sipil lainnya. 3) Berkaitan dengan butir 1 di atas kami (Menteri Agama) berpendapat bahwa pendidikan agama Khonghucu sesuai dengan ketentuan pasal 12a UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan akan memfasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Khonghucu di sekolah-sekolah. ..dst. Sejak keluarnya Surat Menteri Agama Nomor: 12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 itulah umat Khonghucu di Indonesia secara faktual memperoleh kembali kebebasan menjalankan agama dan hak-hak sipil mereka. Perlu dicatat, bahwa dasar hukum yang dijadikan pijakan oleh Menteri Agama dalam menerbitkan surat tanggal 24 Januari 2006 itu adalah Undang-Undang No.1/PNPS/1965, yang menurut Surat Mahkamah Konstitusi Nomor: 356/PAN.MK/XII/2005 tanggal 28 Desember 2005, yang ditujukan kepada Saudara Ws. Budi S. Tanuwibowo, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), menyatakan bahwa Undang297
Ibid, hal. 9
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
181
Undang No. 1/PNPS/1965 jo Undang-Undang No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2727) masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 adalah penyelamat hak beragama dan hak-hak sipil umat Khonghucu di Indonesia, dan karenanya UU ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.298 Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
dapat
dikatakan
sebagai
pijakan
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/ penghinaan. Dengan kata lain, UU ini diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama. Sebagai aturan hukum, UU ini telah dijadikan dasar oleh para hakim di Pengadilan dalam memutus perkara-perkara yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Keputusan-keputusan hakim itu telah menjadi kekuatan hukum tetap dan telah secara efektif berfungsi memelihara kerukunan umat beragama, bukan saja umat Islam, tetapi juga umat beragama lainnya. Sejumlah keputusan pengadilan juga telah diterbitkan antara lain dalam perkara Lia Eden, Kasus Ahmad Moshaddeq, Antonius Richmond Bawengan (RAB) dan kasus Drs. FX Marjana. Dengan demikian, Undang-Undang No.1/PNPS/1965 telah terbukti berhasil memelihara kerukunan antarumat beragama dan juga kerukunan internal umat beragama, baik Islam, Kristen, maupun Katolik. Karena itu Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mengenai
pendapat
yang
mengatakan
bahwa
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 adalah diskriminatif karena membatasi agama hanya pada enam agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, adalah 298
Ibid, hal. 10
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
182
pendapat yang tidak benar. Memang pada Penjelasan Pasal 1 paragraf pertama UU itu dikatakan sebagai berikut: “Agama-agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.” Tetapi kemudian dalam paragraf ketiga Penjelasan Pasal 1 itu juga, secara eksplisit disebutkan sebagai berikut: “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Perlu dicermati di sini bahwa baik ketika menyebutkan enam agama tersebut di atas maupun ketika menyebutkan agama-agama lainnya, Penjelasan Pasal 1 itu menyebutkan bahwa kedua jenis kelompok agama itu mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 UUD 1945. Bahkan ketika menyebut agama-agama lainnya selain yang enam tersebut, Penjelasan itu secara eksplisit menyatakan bahwa jaminan itu bersifat penuh. Karena itu, Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan
hasil
Uji
Materil
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
di
Mahkamah Konstitusi, terdapat fakta-fakta yang dikemukakan oleh pemohon yang menyatakan bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 inkonstitusional.299 Hal tersebut adalah: 1) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak memenuhi syarat formal legislasi karena dibentuk pada masa Demokrasi Terpimpin/masa revolusi dan diberi bentuk hukum yang tidak sesuai dengan UUD 1945; 2) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 menimbulkan diskriminasi karena adanya pembatasan mengenai sejumlah agama yang diakui oleh negara; 3) Negara tidak berhak mencampuri urusan keyakinan beragama dalam hal menentukan penafsiran mana yang “benar” dan “salah”.;
299
Lihat Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam uji Materil Undang-Undang No.1/PNPS/1965.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
183
4) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tidak menjamin kebebasan beragama dan bertentangan dengan HAM karena dapat menghukum orang yang memiliki keyakinan berbeda dari penafsiran keagamaan yang diakui oleh negara; 5) Pembatasan yang dilakukan oleh negara hanya boleh dilaksanakan sebatas pada perilaku warga Negara saja dan bukan membatasi keyakinan keberagamaan seseorang; 6) Melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama karena memberikan ancaman pidana atas dasar delik penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat digunakan oleh rezim berkuasa untuk menekan kaum beragama minoritas lainnya; Sedangkan pendapat pihak yang menyatakan bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 konstitusional adalah:300 1) Membicarakan aturan
penyalahgunaan dan
penodaan agama, bukan
menghambat kebebasan beragama di Indonesia; 2) Kebebasan beragama bukanlah merupakan hal mutlak yang sebebas-bebasnya melainkan juga harus tunduk pada pembatasan yang ada dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; 3) Pengaturan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama merupakan bentuk perlindungan Negara untuk menjamin kerukunan dan toleransi beragama, sehingga tetap penting untuk dipertahankan. 4) Pengaturan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama semata-mata ditujukan untuk memberikan perlindungan atas ketertiban umum bagi masyarakat Indonesia; 5) Jika tidak ada Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan
Agama
maka
kebebasan
beragama
di
Indonesia
dapat
disalahgunakan untuk saling menghujat antara penganut salah satu agama dengan penganut agama lainnya, sehingga menimbulkan anarki;
300
Ibid.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
184
6) Pengaturan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama masih sangat dibutuhkan meskipun secara formal perlu diperbaiki, namun secara substansial masih relevan, sehingga dapat terus digunakan.
Selain
hal
tersebut
diatas,
menyangkut
formalitas
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 ternyata juga ditemukan sejumlah persoalan antara lain:301 1) Formalitas Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama bermasalah karena secara historis dibentuk dalam keadaan darurat revolusi. 2) Pembentukan
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
tentang
Pencegahan
Penodaan Agama sangat terkait dengan konteks sosial politik di alam Demokrasi Terpimpin. 3) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama tidak sah atau harus dinyatakan batal karena tidak memenuhi syarat pembentukan (uji formal). 4) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama cacat formal karena tidak sesuai dengan ketentuan UU No.10 Tahun 2004 terutama mengenai sistematika dan hubungan antara pasal-pasal dan penjelasannya serta lampiran Undang-Undang.
Bahwa atas permasalahan tersebut, pendapat pihak yang menyatakan bahwa Undang-Undang No.1/PNPS/1965 konstitusional menyatakan sebagai berikut:302 1) Secara materiil Undang-Undang No.1/PNPS/1965 adalah masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama; 2) Manakala norma tersebut masih relevan pada suatu konteks yang lain, maka ketika itu norma tersebut layak dipertahankan
301 302
M. Atho Mudzhar. op.cit.,hal. 21 Ibid.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
185
3) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dibuat oleh Pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, sudah diseleksi melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966,303 yang hasilnya menyebutkan tetap diberlakukan sebagai undang-undang. 4) Undang-Undang No. 10/2004 tidak dapat dijadikan pedoman dalam menilai pembentukan undang-undang yang lahir sebelum lahirnya Undang-Undang No.10/ 2004. Kedudukan Lampiran hanyalah pedoman/arahan yg tidak mutlak diikuti;
Menurut pendapat penulis terdapat beberapa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bunyi pasal dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, yaitu: 1.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Menyangkut materi pokok dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan Penjelasannya ditemukan sejumlah persoalan antara lain: 1) Rumusan Pasal 1 UU ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena sejumlah frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran agama” merupakan klausul yang multitafsir yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama orang lain. frasa seperti “penafsiran yang menyimpang” maupun “pokok-pokok ajaran agama” tidak dijelaskan secara rinci dan lengkap dalam penjelasan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. 2) Undang-Undang
Nomor
1/PNPS/1965
terkesan
diskriminatif
karena
penjelasan Undang-Undang a quo hanya membatasi pengakuan terhadap enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu; 3) Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, Pemerintah terkesan intervensi dengan menggiring badan/aliran kebatinan untuk menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, hal ini seakan-akan Pemerintah mendorong bagi masyarakat yang
303
lihat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Diluar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
186
tidak memeluk enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu agar memilih agama tersebut karena keyakinannya tidak diakui. 2.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1/PNPS/1965 Menyangkut materi dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU a quo dan Penjelasannya ditemukan sejumlah persoalan antara lain: 1) Ketentuan Pasal 2 adalah tindak lanjut dari Pasal 1, sedangkan rumusan Pasal 1 UU ini sendiri merupakan klausul yang multitafsir. Rumusan kaidah maupun norma dalam Pasal 1 tidak memenuhi asas lex certa, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa suatu rumusan ketentuan pidana harus jelas untuk menjamin kepastian hukum. Sehingga rumusan yang menimbulkan multitafsir akan mengakibatkan efektifitas penegakan hukum terhadap Pasal 2 juga akan mengalami gangguan. 2) Kewenangan memberikan “perintah dan peringatan keras” adalah bentuk dari pemaksaan (coercion) atas kebebasan beragama yang sejatinya merupakan hak yang melekat dalam diri setiap manusia; 3) Pemaksaan berupa “perintah dan peringatan keras” menyebabkan negara terjebak dalam intervensi atas kebebasan beragama yang merupakan hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945. 4) Pelarangan yang ditujukan untuk membubarkan sebuah organisasi/aliran terlarang bersifat sangsi administratif sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur/jaminan seseorang meninggalkan ajarannya karena yang mau diluruskan adalah keyakinannya yang menyimpang bukan organisasi/alirannya
3.
Pasal 3 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 Menyangkut materi dalam Pasal 3 UU a quo ditemukan sejumlah persoalan antara lain: 1) Pasal 3 menyalahi hukuman administrasi, karena ancaman pidanya lebih dari satu tahun. Padahal Pasal 3 adalah tindak lanjut dari pelanggaran Pasal 2 dimana sangsinya bersifat administrasi.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
187
2) Klausul “pemidanaan”telah memasuki forum internum dari hak kebebasan beragama dan merupakan ketentuan diskriminatif yang bersifat ancaman (threat) dan memaksa (coercion). 3) Rumusan pasal a quo bertentang dengan syarat kriminalisasi karena tidak dapat berjalan efektif (unforceable) karena tidak dapat menggambarkan perbuatan yang dilarang dengan teliti (precision principle) sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.
4.
Pasal 4 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 Menyangkut materi dalam Pasal 4 UU a quo ditemukan persoalan antara lain: 1) Unsur-unsur pemidanaan (permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan) yang terdapat dalam Pasal a quo UU ini tidak mengandung kejelasan sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum. Hal ini diakibatkan karena adanya disparitas dalam penjatuhan pidana.
Berdasarkan atas apa yang penulis uraikan diatas, penulis berkesimpulan: 1.
Pada tahun 1965 Indonesia membuat regulasi berupa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Secara sepintas, rumusan Pasal 1 ini memberi kesan seolah-olah UU ini mengatur tentang kebolehan intervensi Pemerintah atau negara terhadap agama atau terhadap keyakinan warga masyarakat, sehingga memasuki forum internum kebebasan beragama. Namun apabila kita perhatikan penjelasan UU itu yang merupakan suatu kesatuan dengan batang tubuh UU-nya, maka kita akan memahami bahwa UU a quo hanya mengatur forum externum kebebasan beragama karena tujuan UU ini bukanlah untuk intervensi Pemerintah/negara terhadap agama, atau aspek-aspek doktrin agama, atau penafsiran agama, melainkan bertujuan untuk memupuk dan melindungi ketentraman beragama sebagaimana disebut pada Butir 4 Penjelasan Umum UU tersebut.
2.
Pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, Pemerintah tidak berada dalam posisi penafsir tunggal. Dalam konteks adanya pelanggaran, Presiden mendapat masukan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Mendagri. UU a quo
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
188
tidak hanya mengakui 6 agama sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 1, melainkan melindungi juga agama lain seperti dinyatakan dalam bagian Penjelasan lainnya, dan mereka mendapat jaminan penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945; 3.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bagian dari upaya negara atau Pemerintah untuk mencegah terjadinya benturan umat beragama dan memelihara ketentraman serta ketertiban masyarakat yang dapat terganggu karena adanya polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan yang menyimpang. Bahkan pada Butir 2 dan 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditegaskan bahwa UndangUndang Nomor 1/PNPS/1965 diperlukan untuk memelihara persatuan nasional dan persatuan bangsa. Tentu saja, tugas Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat serta pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban negara yang sah dan legal.
4.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dapat dikatakan sebagai pijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/ penghinaan. Dengan kata lain, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 diterbitkan dengan tujuan antara lain untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama.
5.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sudah terbukti bisa menghantarkan harmoni,
meskipun
ada
percikan-percikan;
Undang-Undang
Nomor
1/PNPS/1965 sudah terbukti bisa memberikan proteksi, regulasi, dan harmoni pada tataran tertentu, maka harus tetap dipertahankan dan untuk mengantisipasi berbagai perkembangan intern dan antar umat beragama, dinamika nasional dan dinamika internasional. Sebagai aturan hukum, UU ini telah dijadikan dasar oleh para hakim di Pengadilan dalam memutus perkara-perkara yang terkait dengan
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
189
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Keputusan-keputusan hakim itu telah menjadi kekuatan hukum tetap dan telah secara efektif berfungsi memelihara kerukunan umat beragama, bukan saja umat Islam, tetapi juga umat beragama lainnya. antara lain dalam perkara Lia Eden, Kasus Ahmad Moshaddeq, Antonius Richmond Bawengan (RAB) dan kasus Drs. FX Marjana. Dengan demikian, Undang-Undang No.1/PNPS/1965 telah terbukti berhasil memelihara kerukunan antarumat beragama dan juga kerukunan internal umat beragama, baik Islam, Kristen, maupun Katolik. 6.
Praktik diskriminasi yang mungkin pernah dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU a quo terhadap UUD 1945.
7.
Perlunya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.
8.
Dalam
hubungan
ini,
sesungguhnya
penjudulan
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965 sudah tepat, karena seperti kita ketahui, judul UU ini adalah Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Artinya, UU itu bagian dari upaya mencegah terganggunya ketentraman dan ketertiban umum, hanya saja dalam pelaksanaannya seringkali UU ini disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menghakimi sesuatu faham keagamaan tanpa terlebih dahulu melihat tingkat gangguannya terhadap ketentraman dan ketertiban publik.
4.3
Kendala-Kendala
Dalam
Pengawasan
Aliran
Kepercayaan
dan
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Terdapat sebuah fakta di mana sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara untuk mengawasi agama dan aliran kepercayaan masih ada sampai saat ini. Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan (Pakem), sering juga disebut dengan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem), yang dibentuk di bawah
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
190
Kejaksaan diberikan mandat oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 khususnya Pasal 33 ayat (3) huruf d dan e untuk mengawasi aliran dan Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan agama. Memerhatikan perkembangan aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia yang sedemikian pesat, yang di satu pihak merupakan warisan budaya spiritual leluhur bangsa Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional, sedangkan di lain pihak adanya banyak aliran kepercayaan yang pernah dilarang dan kasus-kasus yang masih terjadi yang ditimbulkan oleh aliran kepercayaan menyimpang dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan arah kebijakan yang serius dan upaya pencegahan serta penanggulangan yang lebih efektif. Sedangkan peran Intelijen Yustisial kejaksaan yang dalam hal ini terakomodir dalam peran Tim Pakem yang mengawasi perkembangan aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia banyak mengalami kendala-kendala dan hambatan-hambatan dalam tujuannya untuk mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.304 Kejaksaan sebagai bagian dari lembaga penegak hukum, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak akan terlepas dari masalah-masalah yang mungkin timbul. Berhasil tidaknya suatu upaya penegakan hukum dipengaruhi oleh faktorfaktor atau unsur-unsur yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Sukanto, ada lima unsur penegakan hukum, yaitu: 305 a) Faktor Hukum Dalam negara hukum setiap organ negara bergerak dan bertindak harus berdasarkan norma hukum yang berlaku. Sebuah norma dianggap sah sebagai norma hukum yang mengikat umum apabila norma itu dianggap berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subyek hukum yang diikatnya. 304
Pasal 12 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia 305 Soerjono Soekanto, op.cit.,hal. 5
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
191
Menurut Jimly Ashiddiqie, norma hukum yang baik yang akan diberlakukan harus berdasarkan pada empat pertimbangan yaitu pertimbangan yang bersifat filosofis, juridis, politis, dan sosiologis.306 Pertama, keberlakuan filosofis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Republik Indonesia, nilai filosofis terkadung dalam Pancasila sebagai ’staats-fundamentalnorm’. Rumusan kelima Pancasila terkandung nilai religiusitas Ketuhanan yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas dalam ikatan kebineka-tunggalikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat. Kelima nilai filosofis tersebut tidak boleh diabaikan atau ditentang oleh norma hukum yang akan disusun dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kedua, keberlakukan juridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari teknis yuridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu memang; (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi; (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara satu kondisi dengan akibatnya; (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu. Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, maka sebuah norma hukum dapat dikatakan berlaku secara juridis. Ketiga, keberlakuan politis. Suatu norma dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya memang didukung oleh faktor kekuatan politik yang nyata. Keberlakuan secara politik terkait dengan teori kekuasaan yang memberikan legitimasi kepada kekuasaan untuk mengambil keputusan terkait dengan kepentingan
masyarakat.
306
Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 242-244
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
192
Kempat, keberlakuan sosiologis. Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini
cenderung
mengutamakan
pendekatan
yang
bersifat
empirik
dengan
mengutamakan beberapa kriteria; (i) kriteria pengakuan (recognition theory). Kriteria pengakuan menyangkut tentang sejauhmana subyek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri pada norma hukum yang bersangkutan. Jika subyek hukum yang bersangkutan merasa tidak terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya (ii) kriteria penerimaan (reception theory) Kriteria penerimaan terkait dengan kesadaran masyarakat untuk menerima daya atur dan daya paksa norma hukum tersebut baginya (iii) kriteria faktisitas hukum. Sedangkan kriteria faktisitas hukum menekankan pada kenyataan faktual yaitu sejauh mana hukum itu sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Jika suatu norma hukum secara juridis formal berlaku, diakui dan diterima sebagai norma yang eksis, tetapi dalam prakteknya tidak efektif, maka dalam faktanya norma hukum itu tidak berlaku. Dengan demikian, norma hukum dapat dikatakan berlaku secara sosiologis kalau dapat memenuhi kriteria tersebut diatas.
Ketentuan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini diantaranya mengatur tentang hirarki dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
193
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah:307 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3.
Peraturan Pemerintah
4.
Peraturan Presiden
5.
Peraturan Daerah
Berdasarkan pertimbangan keberlakuan peraturan perundang-undangan dan hirarkinya, maka terkait dengan Peran Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran dan Pencegahan penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dapat disampaikan bahwa salah satu landasan Peran Kejaksaan dalam Pengawasan Aliran dan Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama adalah diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e disebutkan “Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan
pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan masyarakat dan negara dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Didalam penjelasan pasal demi pasal lebih lanjut dijelaskan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini lebih bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan,
sedangkan
yang
dimaksud
turut
menyelenggarakan adalah mencakup kegiatan-kegiatan yang bersifat membantu, turut serta dan bekerja sama dan dalam turut menyelenggarakan tersebut kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak disebutkan secara lebih jelas dan detail bagaimana mekanisme turut menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bersifat membantu, turut serta dan bekerja sama dan dalam turut menyelenggarakan tersebut. 307
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
194
Sementara
itu
kedudukan
Undang-Undang
No.1/PNPS/1965
tentang
Pencegahan Penodaan Agama sebagai undang-undang hukum pidana formal yang masih berlaku banyak mengalami pertentangan dalam keberlakuannya. Oleh sebagian pihak Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dianggap tidak memenuhi syarat formal legislasi karena dibentuk pada masa Demokrasi Terpimpin/masa revolusi dan diberi bentuk hukum yang tidak sesuai dengan UUD 1945, selanjutnya Undang-Undang No.1/PNPS/1965 menimbulkan diskriminasi karena adanya pembatasan mengenai sejumlah agama yang diakui oleh Negara, negara dianggap mencampuri urusan keyakinan beragama dalam hal menentukan penafsiran mana yang “benar” dan “salah”. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dianggap tidak menjamin kebebasan beragama dan bertentangan dengan HAM karena dapat menghukum orang yang memiliki keyakinan berbeda dari penafsiran keagamaan yang diakui oleh negara; dan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 dianggap melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama karena memberikan ancaman pidana atas dasar delik penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat digunakan oleh rezim berkuasa untuk menekan kaum beragama minoritas lainnya;
b) Faktor Penegak Hukum Setidaknya ada empat permasalahan terkait dengan Pengawasan yang dilakukan oleh Tim Pakem. 1) terkait dengan fungsi pengawasan apakah bersifat preventif atau represif. Berdasarkan ketentuan yang ada dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, fungsi pengawasan bersifat preventif dan bernuansa edukatif. Fakta lapangan menunjukkan, berbagai rekomendasi yang dikeluarkan Tim Pakem ditindak lanjuti dengan tindakan represif. 2) terkait indikator penilaian dalam melakukan pengawasan terhadap agama dan kepercayaan. Tidak ada ukuran yang jelas dan tegas tentang indikator yang dipergunakan oleh Tim Pakem dalam memutuskan untuk melakukan pengawasan. Yang sering menjadi indikator hanyalah unsur ketertiban. Selain indikitator untuk melakukan pengawaan, Tim Pakem tidak memiliki
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
195
metode untuk menilai sebuah ajaran agama. Penilaian selalu diserahkan kepada departemen terkait, bila terkait dengan agama maka diserahkan kepada Departemen Agama dan Kepada departemen Kebudayaan Pariwisata terkait dengan aliran Kepercayaan. Dalam melakukan penilaian suatu ajaran agama, Misalnya Islam, Tim Pakem menjadikan MUI sebagai referensi untuk penilaian. 3) Tim Pakem tidak memiliki Standard Operational Procedure (SOP). Sebagai fungsi pemerintahan yang memiliki peran penting dalam kehidupan beragama, Tim Pakem tidak didukung dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap elemen yang ada dalam Internal Tim Pakem dalam mengambil suatu tindakan. Dengan tidak adanya SOP ini, maka kebijakan terkait dengan berjalannya Tim Pakem sangat tergantung pada aktor-aktor yang dalam Tim Pakem (aparat Intelijen Yustisial). Sehingga potensi penyalahgunaan dan timbulnya kesewenang-wenangan sangat besar. 4) Tim Pakem sering menjadi alat kepentingan kelompok mayoritas. Karena tidak jelasnya indikator pengawasan Tim pakem serta tidak adanya standar operasional dalam bekerja, pada akhirnya Tim Pakem bekerja karena kuatnya desakan yang kuat dari kelompok masyarakat tertentu. Padahal negara
seharusnya
berkewajiban
melayani
kehidupan
beragama
warganegaranya secara adil, tanpa diskriminasi.
c)
Faktor Sarana atau Fasilitas Dalam seminar penyajian hasil penelitian peningkatan wewenang kejaksaan
dalam pengawasan aliran kepercayaan dirumuskan bahwa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pengawasan aliran kepercayaan antara lain:308 1) beberapa anggota Tim Pakem tidak memiliki data yang lengkap tentang aliran kepercayaan dan biodata pengawasnya, bahkan sistem penyimpanan 308
Laporan Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Penyajian Hasil Penelitian Peranan Kejaksaan Dalam Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, Jakarta, Tahun 2005, hal. 50-51
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
196
data pun kurang baik, sehingga menyulitkan pencarian/pelacakan terhadap mereka. 2) kemampuan personil yang kurang professional, sehingga gerak pengawasan kurang cepat dalam menghadapi ulah aliran kepercayaan. 3) kurang lancarnya komunikasi antara pejabat yang satu dengan yang lain, atau antara pejabat dengan penghayat sehingga apabila ada masalah dengan aliran kepercayaan tidak bisa segera dibahas bersama. 4) ada perbedaan persepsi antara para pejabat yang berwenang tentang pengertian dan cakupan aliran kepercayaan.
Selain itu, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Direktur Sosial Politik (Dir. Sospol) JAM INTEL Fietra Sani, SH.,MH menyatakan bahwa kegiatan Tim Pakem Pusat tidak didukung dengan pendanaan yang memadai. Anggaran operasional Tim Pakem Pusat dibebankan kepada APBN namun tidak mencukupi operasional kerja Tim Pakem yang selalu memantau kegiatan aliran kepercayaan dan kegiatan keagamaan yang berada di Jakarta. Fietra Sani juga enggan menyebutkan berapa besarnya anggaran operasional tersebut.309 d) Faktor Masyarakat Berhasilnya usaha Tim Pakem dalam mengimplementasikan peran dan fungsinya dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama sangat tergantung pada peran serta masyarakat. Masyarakat penganut aliran kepercayaan dan penganut agama adalah objek pengawasan. Hak kebebasan beragama bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apapun agamanya. Oleh karena itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi. Untuk tujuan309
Wawancara dilakukan senin tanggal 7 Pebruari 2010 di Kejaksaan Agung Republik
Indonesia.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
197
tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan statistik tahun 2005 adalah sebanyak 218.868.791 jiwa.310 Sedangkan jumlah penduduk Indonesia menurut agama adalah 208.819.860 jiwa.311 Dari jumlah penduduk Indonesia menurut agama tersebut, penduduk yang beragama Islam sebesar 182.082.594 jiwa, Kristen sebesar 12.964.795 jiwa, Katholik sebesar 6.941.884 jiwa, Hindu sebesar 4.586.754 jiwa, dan Budha sebesar 2.242.833 jiwa.312 Tabel 4 Jumlah Penduduk Indonesia menurut Agama Tahun 2005 No
Agama
Jumlah
1.
Islam
182.082.594
2.
Kristen
12.964.795
3.
Katholik
6.941.884
4.
Hindu
4.586.754
5.
Budha
2.242.833
Berdasarkan jumlah penduduk Indonesia menurut agama tersebut dapat dipastikan bahwa akan memunculkan gerakan-gerakan berbasis agama sebagai fenomena global yang terjadi secara terpisah dari keadaan lokal maupun nasional. Munculnya gerakan-gerakan berbasis agama dapat dilihat dari sisi “egoisme komunitas agama”, yang muncul sebagai egoisme atau rasa mementingkan diri
310
http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/Itemid,165/ diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 pukul 10.00 WIb 311 http://www.docstoc.com/docs/26770650/Jumlah-Penduduk-Indonesia-Menurut-AgamaTahun-2005-Created-by diunduh pada Hari Kamis 2 Juni 2011 pukul 10.00 WIb 312 Ibid.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
198
sendiri pada tingkat masyarakat.313 Para aktivis dari gerakan ini percaya bahwa komunitas mereka adalah satu-satunya pemegang kebenaran, bahwa mereka mempunyai amanat suci untuk menerapkan kepercayaan mereka di seluruh dunia dan kepentingan komunitas mereka lebih penting dari kepentingan pribadi. Dua varian dari gerakan ini adalah “kaum radikal” yang memilih jalan radikal untuk mencapai tujuan mereka, termasuk jalan kekerasan dan teror. Varian yang lain adalah “kaum perubahan bertahan” (gradual) yang memilih jalan bertahap untuk mencapai tujuan mereka, melalui kegiatan sosial, pendidikan dan partai politik. Gerakan ini sering disebut sebagai “fundamentalisme”, sebuah istilah kontoversial bagi para ulama dan pengikut agama. Pada sisi lain, ada “Pluralisme Komunitas Agama” sebuah sikap pluralis dalam masyarakat. Para aktivis dari kelompok ini percaya bahwa keberagaman (termasuk keberagaman agama) adalah sifat alami dari dunia yang hidup, dan dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan konflik di antara komunitas-komunitas agama yang berbeda. Ada dua jenis dari gerakan ini yaitu ‘kaum toleran” dan “kaum altruis”.314 Aktivis dari golongan “toleran” menerima kehadiran golongan lain, tetapi sungguh percaya bahwa mereka lebih superior dibandingkan golongan lain. Sedangkan aktivis golongan “altrius” menerima kehadiran golongan lain tetapi juga memakai kepentingan golongan lain sebagai landasan tindakan moralnya. Varian pluralis ini memainkan peran yang penting dalam membina kemanusiaan dan lingkungan melalui tindakan dan menunjukkan perdamaian, solidaritas, perbedayaan budaya, pluralisme agama dan ketahanan lingkungan pada semua tingkat masyarakat. Dari yang penulis uraikan diatas, gerakan dari “kaum radikal” sebuah gerakan keagamaan yang merupakan varian dari jenis egoisme komunitas agama menjadi peluang munculnya friksi-friksi yang dapat berpotensi menjadi ancaman bagi
pembangunan bangsa. 313
Darwis Khudori, Ed. Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, Peluang Ancaman untuk Perdamaian, keamanan, dan Perkembangan Bangsa-bangsa, (Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, 2009), hal. 6 314 Darwis Khudori, Ed. Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, Peluang Ancaman untuk Perdamaian, keamanan, dan Perkembangan Bangsa-bangsa, (Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, 2009), hal. 7-8
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
ataukah Penerbit ataukah Penerbit
199
e)
Faktor kebudayaan Sudah menjadi fakta sejarah bahwa pencapaian kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sangat ditentukan oleh “spirit” perjuangan bangsa yang tinggi dan tidak kenal menyerah, bahkan rela mengorbankan jiwa dan raga serta telah banyak menjadi syuhada sebagai pahlawan bangsa. Landasan identitas sebagai ikon kejuangan pengabdian dan cinta tanah air tersebut telah menjadi modal dasar bagi pembangunan spiritual, mewujudkan nation and character building dan membangun manusia seutuhnya masa sekarang maupun yang akan datang.315 Salah satu wujud pembangunan spiritual di Indonesia telah tumbuh dan berkembangnya golongan masyarakat yang menganut kepercayaan lebih dikenal dengan sikap kebatinan, kejiwaan dan kerohaniaan, yang penampilannya lebih banyak dipandang sebagai budaya atau sosok perilaku kehidupan bercorak spiritual316. Cara kehidupan spiritualisme pada perikehidupan bangsa Indonesia merupakan warisan lama yang pernah dianut sebagai kepercayaan. Sehingga melalui aliran keagamaan budaya warna spiritual di samping muncul sebagai pernyataan penghayatan kebudayaan batin, kejiwaan, kerohaniaan juga disebutkan banyak berperan kepercayaan diri tentang hal-hal yang bersifat ghaib, mistik dan metafisika seperti hari baik atau buruk, kekebalan, tentang keris dan tentang segala hal yang memberikan dorongan spiritual bagi kehidupan mereka.317 Keberadaan aliran kepercayaan secara hukum menurut paraktik agama dan kepercayaannya itu yang dicantumkan pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) bahwa katakata “kepercayaannya itu” yang dimaksud adalah aliran kepercayaan, kebatinan dan kepercayaan suku, adat atau agama-agama lokal yang saat proklamasi kemerdekaan populasinya mencapai 40% dan penduduk Indonesia masih menganut berbagai aliran kepercayaan yang tersebar di Indonesia. Di samping itu terdapat aliran kepercayaan yang bukan sekedar menghayati kebatinan, kejiwaan dan kerohaniaan, tetapi sudah menjurus kepada agama baru. Hal ini menimbulkan pertentangan bahkan keresahan karena terjadi penyimpangan atau didatakan sebagai aliran sesat bagi penganut315
IGM Nurdjana, loc.cit., hal. 1 Ibid. 317 Ibid, hal. 7 316
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
200
penganut agama yang sah diakui pemerintah seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.318 Kondisi yang diperbuat oleh aliran kepercayaan menyimpang sangat substansial dan menjadi potensial konflik timbulnya keresahan antar kelompok kepercayaan. Sering pula terjadi kegiatan aliran kepercayaan yang melakukan praktik-praktik dukun, black magic, atau adanya alian kepercayaan yang menyesatkan. Dalam hal lain soal perkawinan, kematian dan praktik-praktik kepercayaan juga menimbulkan permasalahan sendiri. Dampak negatif dari akulturasi budaya yang kemudian berkembang menjadi agama-agama baru tersebut yang pernah terjadi atau yang akan timbul banyak mengarah kepada penodaan agama dan gangguan kamtibmas atau dapat menimbulkan perpecahan serta ancaman bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Dari apa yang penulis uraikan, faktor-faktor tersebut menjadi kendala terhadap kinerja Tim Pakem dalam mengawasi perkembangan aliran kepercayaan dan keagamaan di Indonesia dalam tujuannya untuk mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan
ketertiban
dan
ketentraman
umum
serta
pengamanan
pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang komprehensif dari seluruh komponen agar faktor-faktor pendukung penegakan hukum tersebut dapat berjalan dengan baik. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan adalah: 1. Perlunya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundangundangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.
318
Ibid.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
201
2. Bahwa komponen Tim Pakem perlu dibekali dengan pelatihan dan pengetahuan yang memadai agar dalam menjalankan tugas dilapangan mampu mengatasi segala permasalahan dengan baik. 3. Perlunya dilakukan pembinaan terhadap masyarakat, baik melalui penyuluhan hukum, penerangan hukum, melakukan pendekatan keagamaan, koordinasi dengan instansi terkait. Upaya-upaya tersebut merupakan upaya preventif dalam upaya Tim Pakem mencegah sedini mungkin timbulnya kasus-kasus dari aliran kepercayaan dan keagamaan seperti melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai yang telah digariskan dengan jelas oleh pemerintah dan kegiatan-kegiatan yang meresahkan masyarakat, mengarah kepada masalah SARA dan perbuatan pidana seperti penodaan agama, kekerasan, perusakan serta dapat menjadi pemicu timbulnya konflik sosial dan gangguan ketentraman keamanan dan ketertiban umum. 4. Perlunya Tim Pakem diberi sarana dan fasilitas yang memadai sebagai penunjang kerja, baik di dalam kantor maupun diluar/lapangan. Diantaranya adalah sarana internet, computer, alat komunikasi, sarana transportasi dan dana operasional yang cukup. Dengan adanya sarana dan fasilitas yang memadai diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat terlayani dengan cepat disamping informasi yang berkembang mengenai masalah aliran kepercayaan dan keagamaan yang terjadi dalam masyarakat dapat cepat tertangani dengan pengambilan keputusan yang tepat. 5. Perlunya dilakukan upaya-upaya pembinaan dan pendekatan yang baik dari pemerintah dalam rangka tetap menghidupkan nilai-nilai budaya lokal melalui aliran keagamaan, pernyataan penghayatan kebudayaan, kebatinan, kejiwaan, dan kerohaniaan. Upaya ini dilakukan dalam rangka mencegah agar tidak menjurus kepada pembentukan agama baru maupun terjadinya kasus penodaan agama sehingga potensi penyimpangan tersebut dapat dicegah sedini mungkin.
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
202
BAB 5 PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Dalam rangka mendukung kebijakan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif, melaksanakan dan atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya, Kejaksaan memiliki peran dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama diatur di dalam Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut merupakan lingkup tugas, wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang Intelijen Yustisial Kejaksaan (law intellegence) yang dalam pola pelaksanaannya berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka penegakan hukum untuk pengamanan pembangunan dan hasil-hasilnya. Penyelenggaraan fungsi Intelijen Yustisial Kejaksaan selalu mengarah pada kegiatan, tindakan ataupun usaha untuk mendukung keberhasilan operasi yustisi, dalam hal ini penyelesaian perkara tindak pidana yang terjadi di dalam masyakat. Lingkup bidang Intelijen meliputi kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana untuk mendukung penegakan hukum baik preventif maupun represif di bidang ideologi, ekonomi, keuangan, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, melaksanakan cegah tangkal terhadap orang-orang tertentu dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum. Implementasi dari peran Intelijen Yustisial Kejaksaaan
dalam
pengawasan
aliran
kepercayaan
dan
pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dengan membentuk Tim Pakem (Pengawasan Kepercayaan Dalam Masyarakat). Tim Pakem merupakan lembaga yang mengakomodir fungsi pengawasan terhadap aliran kepercayaaan dan 202 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
203
keagamaan yang ada di Indonesia dan Tim Pakem di bentuk di pusat maupun di daerah. Dalam pelaksanaan tugasnya, peran Tim Pakem dalam melaksanakan fungsi pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dilaksanakan dengan pola penanggulangan tindakan preventif, persuasif, rehabilitatif dan kuratif. 2.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dipengaruhi oleh faktor-faktor atau unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu antara lain Faktor Hukum, Faktor Penegak Hukum, Faktor Sarana atau Fasilitas, Faktor Masyarakat dan Faktor kebudayaan.
3.
Kedudukan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang penodaan Agama dalam mengatasi masalah penodaan agama masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 semula adalah Penetapan Presiden yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1969. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1/PNPS/1965 pada butir 3 dan 4, salah satu tujuan penerbitan UU itu adalah agar ketentraman beragama dapat dinikmati oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia, dan untuk melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan. Dengan kata lain, UU ini diterbitkan dengan tujuan untuk memelihara kerukunan umat beragama, baik kerukunan internal umat beragama maupun antarumat beragama.
5.2 1.
Saran Tingkatkan kinerja Kejaksaan dalam pengawasan aliran kepercayaan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dengan berusaha untuk memperbaiki segala hambatan dan kendala-kendala dengan memaksimalkan potensi yang ada.
203 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
204
2.
Kejaksaan harus berani untuk membawa kasus-kasus penodaan agama ke Pengadilan tanpa ketergantungan dari pihak lain.
3.
Kejaksaan secepatnya untuk mengeksekusi Pembubaran Aliran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di waktu yang akan datang.
204 Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
DAFTAR REFERENCES
BUKU-BUKU
Abdul Manaf, Mudjahid. Ilmu Perbandingan Agama, ( Yogyakarta: Badan Penerbitan IAIN Wali Songo Press, 1996) Ahmad Jais, Hartono. Aliran Dan Paham Sesat Di Indonesia, (Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2010) Afandi, Fachrizal. PAKEM: Salah Satu Upaya Negara dalam Melindungi Agama, dalam Al-Qanun, Vol. 12 No. 2, (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Desember 2009) Ali, Achmad. Menguak tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), (Jakarta : Gunung Agung, 2002) Ali, Mukti. Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, (Yogyakarta : Yayasan An- Nida, 1969) Ash Hasbi, Shiddiqy. Al-Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1952) Ashiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2006) Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Ekstensialisme dan Abolisialisme (Bandung : Bina Cipta, 1996) B.D, Srimarsita, P. Joko Subagyo, Rr. Yoeniarti Sasongko, Moh. Anwar, Abdul Gofar, Joko Yuhono. laporan Pengkajian : Posisi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih Menjamin Perwujudan Keadilan dan Kepastian Hukum, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001) Bouquet, A. C. Comperative Religion, Middlessex,England, 1973
Peguin
Book,
Inc,
Harmondsworth,
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998) Chistina Soerya, Rr. Yoeniarti Sasongko, Abdul Gofar, J.A. Alwahdy. Kedudukan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001)
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Darwis Khudori, Darwis, Ed. Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, Peluang ataukah Ancaman untuk Perdamaian, keamanan, dan Perkembangan Bangsabangsa, (Yogyakarta : Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009) F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) Firos Gaffar dan Ifdal kasim. Reformasi Hukum di Indonesia (terjemahan dari Diagnostic Assasment of legal Development in Indonesia) : hasil studi perkembangan hukum – Proyek Bank Dunia, Penterjemah Niar Reksodiputro dan Imam Pambagyo (Jakarta : Cyberconsult, 1990) Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian) (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991) Nasution, Buyung Adnan. Posisi Kejaksaan : kemandirian kelembagaan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum, Pokok-pokok Pikiran sebagai Pengantar Diskusi pada Seminar sehari tentang “Posisi Kejaksan dalam Mewujudkan Supremasi Hukum” diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa tahun 2000, (Jakarta, Tanggal 20 Juli 2000) Departemen P & K, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1976/1977) Deradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) Dirdjosisworo, Soedjono. Filsafat Peradilan Hukum,(Bandung : Armico, 1984)
Pidana
dan
Perbandingan
Effendy, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta; Gramedia, Pustaka Umum, 2004) Fuadi, Munir. Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), (Bandung; Citra Aditya Bhakti, 2003) Gamer, Bryan A. (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson Reuters, St. Paul, 2009) Graham, John. Crime Prevention Strategies in Europe and North America, (Helsinki : Helsinki Institute for Crime Prevention and Control Affiliated with the United Nations, 1990) Gunawan Setiardja, A. . Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Hamzah, Andi. KUHP Jepang Sebagai Perbandingan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987) Hatmojo, Jono. Intelijen Sebagai Ilmu, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003) Hazrat Mirza Bashir Ahmad, Dasar-Dasar Pendidikan Bagi Jema’at, terjemah oleh R. Ahmad Anwar dari Tarbiyyati Jemaat Aur Uske Ushul, (Tanpa Tempat : Jema’at Ahmadiyah Indonesia, 1994) Hoefnagels, The Otherside of Criminology,( Deventer : Kluwer BV, 1973) Hutagaol, Togar. Administrasi Dan Produk Intelijen Kejaksaan, (Pusdiklat Kejaksaan Republik Indonesia, 2006) Ilham, Gunawan. Peranan Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, (Jakata : Sinar Grafika, 1994) Indian Penal Code 1860 (Act No. 45 of 1860) Indroharto. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994) J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998) Jo-Anne Frud’homme, Policing Belief: The Impact of Bleshemy laws on Human Rights, Freedom House, (Wahington DC, 2010) Kejaksaan Agung Republik Indonesia, laporan Hasil Penelitian: Peningkatan Operasi Intelijen Yustisial Dalam Rangka Pengamanan Pembangunan dan Hasilhasilnya, (Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1995/1996) -------------------. Pokok-Pokok Pola Pelaksanaan Tugas Pakem, Jakarta, 1985 Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentelitet dan Pembangunan, (Jakarta; PT. Gramedia, 1997)
Koharudian, Nasrul. Ahmad Moshaddeq dan Ajarannya Al-Qiyadah al-Islamiah, (Yogyakarta : Media Pressindo, 2008) Kruyt, A.C. Keluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen, BPK, (Jakarta: Gunung Mulia, 1976) Kunarto. Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta : Cipta manunggal, 1999) Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Laporan Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Penyajian Hasil Penelitian Peranan Kejaksaan Dalam Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, (Jakarta, Tahun 2005) Liba, Hastra. 14 Kendala Penegakkan Hukum; mahasiswa dan Pemuda sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum dan HAM, (Jakarta, Yayasan Annisa, 2002) Lukman, Loebby. KUHAP Kita, Antara Harapan dan Kenyataan, (Jakarta ; FH UI Depok, 1997) ----------------. Eksistensi Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001 MD, Mahfud. Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998) M, Faal. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), (Jakarta : Pradnya Paramita, 1991) Manulang. Menguak Tahu Intellijence, (Jakarta : Panta Rhei, 2002) Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang : UNDIP : 1995) Mulders, Niels. Kebatinan Dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Kelangsungan Dan Perubahan Kulturil), (Jakarta: Gramedia , 1983) Majelis Ulama Indonesia, Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan, Penjelasan Tentang Fatwa Aliran Ahmadiyyah Mulyosudarmo, Suwoto. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990) Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 3, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1985) Nawawi Arief, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 1996)
Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Peran Polisi, Bakorpakem & Pola penanggulangan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, September 2009) Partogi, Poltak Nainggolan. Ed, Bunga Rampai Kajian RUU Tahun 2002, (Jakarta : Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekjen DPR RI, 2002)
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Parulian Sihombing, Uli. Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: The Indonesian legal Resource Center (ILRC), 2008) Penal Code of Finland. Peters, Antonie AG. “Main Currents in Criminal Law Theory”, dalam Jan Van Dijk ed, Criminal Laws in Action, (London : Kluwer Law and Taxation, 1996) Poerbakawatja, Soeganda dan H. harahap. Wiki Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta, Gunung Agung, 1982) Priestley, Brienton. Blaphemy and The Law: A Comparative Studi (2006) Prakoso, Djoko. Tugas dan Peranan Jaksa dalam Pembangunan,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986) Pudja, Gedhe, Wedha Parikrama, (Jakarta : Depag RI, 2000) Ragib, Imam, dalam Mudjahid Abdul Manaf. Ilmu Perbandingan Agama,(Yogyakarta: Wali Songo Press, tanpa tahun) Reksodiputro, Mardjono. Kriminologi dan System Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Lembaga Kriminologi UI, 1997) ----------------. Menuju pada Suatu Kebijakan Kriminal dalam HAM dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta, 1994) ---------------. Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) Dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Ed. 1. Cet. III. (Jakarta : Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997) Roony Rahman Nitibaskara, Tubagus. Teori, Konsep dan Kasus Sihir Tenung di Indonesia,( Jakarta, Peradaban, 2003) Rosyidi, H. M. Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974) RM,
Surachaman–Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995)
Negara,
Peranan
dan
Salim, Agus. Tauhid, Taqdir, Tawakal,(Jakarta : Tinta Mas, 1967) S. Lev, Daniel. Hukum Dan Politik Di Indonesia (Kesinambungan Dan Perubahan), (Jakarta: LP3ES, 1990) Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Seno Adji, Oemar. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) ------------------. Perkembangan Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Sekarang dan dimasa yang akan dating, (Jakarta : CV Pancurah Tujuh, 1971) ------------------. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) Setiawan,Bayu. Tesis: Perlindunagn Hukum Badan Intelijen Dalam Melaksanakan Salah Satu Tugas Di Bidang Pemberantasan Terorisme di Indonesia di Tinjau dari Perspektif ketahanan Nasional, (Program Studi Kajian strategic ketahanan Nasional, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2006) Soedjono, Wiwoho. Badan Sarasehan Generasi Muda HPK Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,( Yogyakarta, 1981) Soedjono, C. Pedoman Tugas-tugas PAKEM, (Surabaya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, 1996) Soekanto, Soerjono. “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Cet 3, (Jakarta : Radja Grafindo Persada, 1993) -------------------. Penegakan Hukum, (Jakarta : BPHN, 1983) Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004) Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : UMM Press, 2005), Suandra, I Wayan, Niniek Suparni, Nandan Iskandar, Ratna Nurul Afiah, Alboin Pangaribuan, Moh. Anwar, J.A. Alwahdy. laporan Hasil Penelitian : Eksistensi Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2001) Syafa’at. Mengapa Anda Beragama Islam,(Jakarta: Wijaya, 1965) Syafii Ma’arif, Ahmad. Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Studi Perdebatan Di Dalam Konstituante), (Jakarta: LP3ES, 2006)
Syaltut, Mahmud. Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Daarul Qalam, Qahirah, cetakan ketiga, 1966. Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani (Tanpa Tempat : Yayasan Wisma Damai, 1989) Syafi R.Batuah. Ahmadiyah : Apa dan Mengapa, (Tanpa Tempat : Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986) Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Thalhas, T. H. Pengantar Studi Ilmu Perbandingan, (Jakarta, Galura Pase, 2006) Thahir. Taib, Abdul Muin. Ilmu Kalam II, ( Jakarta, Widjaja, 1973) Tirtaamidjono, Mr. M. H. Kedudukan Hakim dan Djaksa, (Jakarta : Fasco, 1953) Ustaz Imam Ghazali bin Hasan. Kitab al-Imamah,(Surakarta: Pustaka Al-Makmuriyah, 1981) Wiranto, Dwi Prasetyo. Tesis : Peran Kepolisian Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Studi Terhadap Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika), Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1998) Wiryono Prodjodikoro, R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2004) Yesmil Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasindo, 2008) Zara, M. Yundra. et. al. Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, (Yogyakarta : Banyu Media, 2007) Zahara Idris, dan Lisma Jamal. Pengantar Pendidikan Jilid 2,(Jakarta ; PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia, 1992)
UNDANG-UNDANG
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 ------------------. Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik -------------------. Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. --------------------. Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan -------------------. Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia -------------------. Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
-------------------. Nomor 15 Tahun 1961 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kejaksaan Republik Indonesia -------------------. Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan -------------------. Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana -------------------. Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama ------------------. Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang -------------------. Nomor 2/PNPS/1962 tentang Larangan Organisasi-Organisasi yang Tidak Sesuai dengan Kepribadian Bangsa. Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelijen Daerah Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: JA.5/23/13 Tahun 1953 tentang Badan Hukum Jemaat Ahmadiyyah Indonesia Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Jakarta 6 Desember 1967 Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, Jakarta 17 Januari 2000
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek, Jakarta 9 April 2002 Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam uji Materil Undang-Undang No.1/PNPS/1965 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Diluar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang-Undang Dasar 1945 Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1991 tanggal 20 Nopember 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia TAP MPR No.II/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
KEPUTUSAN JAKSA AGUNG
Keputusan Jaksa Agung Nomor. KEP-115/JA/10/1995 Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008 Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-108/J.A/5/1984 Tentang Tim Pakem Keputusan Jaksa Agung Nomor. Kep-116/A/J.A/11/2007 tentang Larangan Kegiatan Aliran dan Ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah di Seluruh Indonesia.
MAKALAH
Jamintel Kejagung, “Jaminan Perlindungan Hukum Dan HAM Untuk Kebebasan Beragama Dan Beribadah Menurut Agama Dan Kepercayaannya”, makalah seminar Watimpres Bidang Hukum (2008) Hamzah. Andi, Konsep dan Strategi Pembaruan kejaksaan Republik Indonesia, makalah yang diajukan pada Workshop Govermance Audit of The Public Prosecutor Service, (tanggal 21-22, Tuban, Bali, Pebruari 2001) Hamzah. Andi, Posisi Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Makalah diajukan pada Seminar Menyambut Hari Bhakti Adhyaksa 22 Juli 2000, AULA JAM DATUN, (Kejaksaan Agung, 20 Juli 2000)
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Manan. Bagir, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum se-Indonesia, FH Unpad, (Bandung, 6 April 1999) Ruswana. Engkus, “Kasus-Kasus Pelanggaran Hukum Dan HAM Yang Dialami Masyarakat Adat/Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, Makalah Seminar Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum (2008) Tanuwibowo, Budi Santoso. Makalah Seminar Nasional Agama Khonghucu Dalam Perspektif Teologis, Legal, Sosio Kultural dan Spiritual, (Semarang, 2000) Philipus
M. Hadjon, Tentang Surabaya, tanpa tahun
Wewenang,
Makalah,
Universitas
Airlangga,
Soni tobelo Manyawa, Teori kewenangan, makalah, (Januari 2011) Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, 1998)
JURNAL
Alex Dinuth, Mengapa Negara Perlu Memiliki Aparat Intelijen, Jurnal CSICI-Tahun 1/Juli 2004- No. 02 MaPPI FH-UI, Media Hukum dan Keadilan, Vol. 1 No. 8 Oktober 2002 Laporan Tahunan kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Program Studi Agama dan lintas Budaya (Center for Religious and Cross Cultural Studies/CRCS, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Januari 2010. Ringkasan Eksekutif, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Dan Toleransi 2010, The Wahid Institute, Jakarta, 2010 Seri 5 Penjelasan singkat (Backgrounder) Reformasi Intelijen di Indonesia. Dokumen ini merupakan bagian dari 10 series Penjelasan Singkat (Backgrounder) yang diterbitkan atas kerjasama IDSPS (Institude for Defense and Security and Peace Studies) dan Rights & Democracy Kanada untuk menyediakan informasi isu-isu di bidang reformasi sector keamanan bagi masyarakat sipil. Juni 2008 Khotimah, Makna “Agama” Hingga Munculnya “Agama Baru”, Jurnal Fak. Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2008
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung : Universitas Parahyangan, 2000) Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 10, hal. 663 NewWorldEncyclopedia Merriam-Webster’s Online Dictionery Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) Kitab Tadzkirah
MAJALAH
Majalah Budhis, No. 13 Tahun 1960 Tundra Tabloid Koran Badr Majalah al-Furqon Majallah Majma’al-Fiqh al-Islami Nubuwwah fi al-Islam
INTERNET
http://www.ahmadiyah.org/indez.php. http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/11/06/48549/ http://www.tempointeraktif.com http://kesehatan.com/read/2009/02/16/21050729
gatra.com (www.gatra.com/2007-11-07/artikel.php?id=109324)
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy,
http://www. merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011
Republika.go.id, http://www.goddiscussion.com/7751/what-do-the-state-blasphemy-laws-actually-say/, Http://www.venice.coe.int/docs/2008/CDL-AD(2008)09 http://www.Tundratabloid http://www.asiamedia.ucla.edu/religion/article.asp?parentid=45889
http://www.davidberg.org/mission http://pahamsesat.blogspot.com/2010/02/ http://www.voa-islam.com/news/indonesia/2009/10/26/1509/agama-bahai-shalatmenghadap-keisrael/ http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=84&limitstart=15 http://albahar.wordpress.com/2007/10/24/mui-aliran-al-qiyadah-al-islamiyah-sesat/. http://mediakeberagaman.com/dosen-unwidha-jadi-terdakwa-kasus-penodaan- agama.php http://sonny-tobelo.blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html. http://www.lexadin.nl/wlg/legis/nofr/eur/lxweuk.htm http://wetten.overheid.nl/BWBR0001854/TweedeBoek/TitelV/Artikel147a/geldigheidsdatum
http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/Itemid,165/ http://www.docstoc.com/docs/26770650/Jumlah-Penduduk-Indonesia-Menurut-AgamaTahun-2005-Created-by
Universitas Indonesia
Peranan Kejaksaan...,Agung Dhedy Dwi Handes,FHUI,2011