UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU KI (89 TAHUN) DENGAN MASALAH RISIKO JATUH DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
SHERLY WULANDARI 0806334451
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013 v
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU KI (89 TAHUN) DENGAN MASALAH RISIKO JATUH DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan
SHERLY WULANDARI 0806334451
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013 ii
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
iii
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
iv
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis senantiasa dimudahkan dalam penyelesaian pembuatan karya ilmiah akhir ini yang berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu KI (89 tahun) dengan Masalah Risiko Jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur”. Salawat dan salam pun semoga selalu tercurah bagi Rasulullah SAW.
Penulis sangat menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu: 1. Dewi Irawaty MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Kuntarti S.Kp., M. Biomed selaku Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Riri Maria S.Kp., MANP selaku dosen koordinator mata kuliah Karya Ilmiah Akhir Ners. 4. Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati S.Kep., MN selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, perhatian, dan waktunya di sela-sela kegiatan yang padat. 5. Semua dosen-dosen maupun kakak-kakak residen pembimbing lapangan. 6. Papa dan Mama tercinta, motivator utama dalam hidupku, terima kasih atas dukungan berupa cinta, support, doa, dan finansial yang tak terbalas. 7. Irvan Fahlevi yang selalu mendukung dan menghibur. 8. Sahabat-sahabat terdekat Ulik, Tiwi, Sara, Niimma, Eny, Inka, temanteman kost Uswatun Hasana, Queen, geng korea, dan lain-lain yang telah memberikan pengalaman tak terlupakan dan memotivasi untuk terus lebih baik.
v
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
9. Teman-teman kelompok Cempaka di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur yang telah saling memberikan masukan, ide, keceriaan, dan dukungan selama menjalani peminatan Keperawatan Gerontik 10. Teman-teman seperjuangan profesi angkatan 2012 yang
telah saling
memberikan motivasi dan dukungan selama menjalani praktik profesi dari awal hingga akhir. 11. Pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu.
Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan. Tentunya karya ilmiah ini tidak terlepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan.
Depok, Juli 2013 Penulis
vi
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
vii
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Sherly Wulandari : Profesi Keperawatan :Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu KI (89 tahun) dengan Masalah Risiko Jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur
Tuntutan masyarakat perkotaan atas tersedianya tempat tinggal bagi lansia semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah lansia. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur merupakan salah satu rumah perawatan bagi lansia dengan berbagai fasilitas yang dapat mempertahankan kemandirian dan kualitas hidup lansia pada tingkat yang optimal. Beberapa fasilitas yang tersedia merupakan usaha pencegahan jatuh bagi lansia. Karya ilmiah ini bertujuan menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif bagi lanjut usia yang risiko jatuh dengan menggunakan intervensi reorientasi lingkungan. Intervensi reorientasi lingkungan merupakan tindakan pencegahan jatuh bagi lansia yang mengalami gangguan sensori lihat. Intervensi ini bertujuan untuk meminimalisasi faktor risiko jatuh berupa lingkungan yang asing. Kata Kunci: lanjut usia, reorientasi lingkungan, risiko jatuh
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Sherly Wulandari : Nursing profession : Analysis of Clinical Nursing Practice of Urban Public Health at Mrs. KI (89 years old) with Fall Risk Problem in Wisma Cempaka Sasana Trena Werdha Karya Bhakti Cibubur
The demands of urban public for availablity of older adults facilities increase by the increasing of older adults quantity. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur is one of institution which provide many facilities that can maintain older people ability and life quality at the optimum level. Some facilities are preventive care of fall in elderly. This paper aims to describe a comprehensive nursing care for the elderly with fall risk problem using environment reorientation as the intervention. Environment reorientation is one of fall preventive interventions for elderly with vision ability lost. This intervention aims to minimize risk fall factor such as an unfamiliar environment.
Keywords: elderly, environment reorientation, risk fall,
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
HALAMAN PENGESAHAN
iv
KATA PENGANTAR
v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
vii
ABSTRAK
viii
DAFTAR ISI
x
1. PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
6
1.3 Tujuan Penulisan
7
1.3.1 Tujuan Umum
7
1.3.2 Tujuan Khusus
7
1.4 Manfaat Penulisan
8
2. TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1 Teori Penuaan
9
2.2 Risiko Jatuh pada Lansia
11
2.2.1 Pengertian Jatuh
11
2.2.2 Faktor Risiko Jatuh
11
2.2.3 Komplikasi Jatuh pada Lanjut Usia
12
2.2.4 Jenis Jatuh
14
2.2.5 Pengkajian Risiko Jatuh
15
2.2.6 Pencegahan Jatuh
16
2.3 Katarak
17
2.3.1 Definisi Katarak
17
2.3.2 Patofisiologi Katarak
18
2.4 Komunikasi Efektif pada Lansia
20
2.5 Perawatan Jangka Panjang pada Lansia
20
2.5.1 Pelayanan jangka panjang berbasis Komunitas (Community-Based Long-Term Care)
20
x
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
2.5.2 Institutional Long-Term Care (Pelayanan Jangka Panjang Institusional)
22
3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
25
3.1 Pengkajian
25
3.1.1 Identitas Residen
25
3.1.2 Riwayat Kesehatan Residen
25
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
26
3.1.4 Psikososial, Emosional, dan Aktivitas Residen
28
3.1.5 Pengkajian Lingkungan
29
3.2 Analisis Data
30
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
31
3.4 Implementasi
33
3.5 Evaluasi
35
4. ANALISIS SITUASI
38
4.1 Profil Lahan Praktik
38
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Risiko Jatuh
42
4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
43
4.4 Alternatif Intervensi Lain yang dapat dilakukan
45
5. PENUTUP
46
5.1 Kesimpulan
47
5.2 Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir perkembangan manusia. Seseorang pada tahap perkembangan lansia mengalami penurunan fisiologis pada berbagai sistem tubuh yang disebut dengan proses penuaan (Stanley, 2006). Salah satu bagian dari proses menua adalah terjadinya perubahan fisiologis secara makro pada sistem-sistem tubuh lansia. Sistem-sistem yang fungsinya menurun meliputi sistem kulit dan integumen, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, menurunnya kekebalan tubuh, sistem perkemihan dan reproduksi, sistem neurologis, sistem muskuloskeletal, serta kemampuan kognitif, serta penurunan sensori (Tamher, 2010).
Perubahan anatomi dan fisiologi pada lansia dapat terjadi di berbagai sistem dan organ tubuh salah satunya adalah pada mata. Salah satu gangguan sensori yang paling sering terjadi pada lanjut usia adalah katarak. Katarak merupakan gangguan yang sebagian besar dialami oleh lanjut usia dan disebabkan oleh adanya kerusakan oksidatif pada protein lensa dan penumpukan lemak (lipofusin) di lensa okular. (Ebersole, 2005)
Setelah usia 75 tahun, 70% lansia di Amerika mengalami katarak yang secara signifikan merusak kemampuan penglihatan mereka (Ebersole, 2005). Besar jumlah katarak di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 15,3 juta atau 7,4% dari total penduduk (Renstra Nasional PGPK). Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, Supriyantoro (2012) mengatakan katarak merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada usia lanjut. Prevalensi kebutaan katarak di Indonesia sebesar 1,47% pada tahun 1994, dan terus meningkat setiap tahunnya. Jenis katarak dengan angka
1 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
terbesar adalah katarak senilis/ penuaan. Lansia dengan katarak mengalami adanya penurunan kemampuan mobilisasi, penurunan kemandirian, dan lingkungan menjadi lebih berbahaya (Busacco, 2011). Hal tersebut meningkatkan risiko jatuh pada lanjut usia yang mengalami katarak.
Jatuh seringkali dianggap sebagai konsekuensi alami dari penuaan. Lansia memiliki ketakutan yang sangat realistis untuk mengalami jatuh. Kejadian jatuh sangat mempengaruhi angka kesakitan dan kematian pada lanjut usia. Angka kejadian bervariasi sesuai usia maupun situasi. 30 sampai 40% lanjut usia yang berusia lebih dari 65 tahun dan tinggal di lingkungan komunitas akan jatuh pada usia berapapun. 50% lanjut usia yang mendapatkan perawatan jangka panjang, dan sekitar 60% lanjut usia yang memiliki riwayat jatuh di tahun sebelumnya, berisiko tinggi untuk jatuh kembali di tahun berikutnya. 20% sampai 30% lanjut usia yang mengalami jatuh, akan menderita cidera parah seperti fraktur dan trauma kepala yang mengakibatkan penurunan kemampuan mobilitas dan kemandirian, dan peningkatan risiko kematian dini (Daley, 2009). Penelitian yang Konsekuensi dari jatuh tidak hanya sekedar cedera yang serius, namun juga memalukan, menyakitkan, dan dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas, dan kemandirian atau kehilangan rasa percaya diri (Miller dalam Stanley, 2006).
Insiden jatuh di rumah perawatan seperti panti werdha 3 kali lebih banyak (Darmojo, 2009). Kasus jatuh yang terjadi di poliklinik layanan terpadu usia lanjut RSCM pada tahun 2000 sebesar 15,53% (285 kasus). Pada tahun 2001 tercatat 15 pasien lansia (dari 146 pasien) yang dirawat karena instabilitas dan sering jatuh. Pada tahun 1999, 2000, dan 2001 masing-masing tercatat sebanyak 25 pasien, 31 pasien, dan 42 pasien yang harus dirawat karena fraktur femur akibat jatuh (Supartondo, Setiati & Soejono, 2003 dalam Maryam, dkk 2008). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian jatuh pada lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jatuh merupakan
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
3
kasus yang paling besar dalam kategori pelaporan kejadian yang merugikan di panti werdha (Ebersole, 2005). Biaya perawatan akut yang harus dikeluarkan untuk perawatan cidera akibat jatuh diperkirakan mencapai jutaan dolar (Perrel et al dalam ebersole 2005). Oleh karena itu, usaha pencegahan terjadinya jatuh pada lansia merupakan langkah yang perlu dilakukan karena bila sudah terjadi jatuh, pasti akan menyebabkan komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan kondisi lansia (Darmojo & Martono dalam Maryam, 2004).
Kasus kematian yang diakibatkan oleh cedera akibat jatuh terhitung tidak sedikit yaitu 40%. Rasio bervariasi di setiap negara dan populasi yang diteliti. Rasio jatuh yang berakibat fatal di USA pada lanjut usia di atas 65 tahun adalah 36,8 per 100.000 populasi. Di Kanada, tingkat kematian akibat cedera jatuh adalah 9,4 per 10.000 dan rasio kematian di Finlandia di atas usia 50 tahun adalah 55,4 pada laki-laki dan 43,1 pada perempuan di 100.000 orang. (WHO, 2007)
Berbagai faktor predisposisi pada lanjut usia yang dapat meningkatkan risiko jatuh seperti hipotensi postural, penggunaan obat-obatan psychoactive seperti benzodiazepines, anticholinergicz, opioids), penggunaan empat jenis obat atau lebih, lingkungan yang tidak aman, penyakit-penyakit yang tidak terdiagnosa (seperti Parkinson, alzeimer, dan lain-lain), gangguan keseimbangan, penurunan kekuatan otot atau rentang pergerakan sendi (Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, 2009). Penurunan kemampuan sensori penglihatan, pendengaran, dan peraba pun sangat mempengaruhi risiko jatuh pada lanjut usia. Berdasarkan Nanda (2009), faktor-faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko jatuh antara lain adalah usia di atas 65 tahun, hidup seorang diri, gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
4
Masalah risiko jatuh pada lanjut usia di Indonesia dapat terus meningkat khususnya pada lanjut usia yang tinggal di perkotaan. Komnas Lansia menyatakan hasil survey BPS RI - Susenas menunjukkan bahwa rasio ketergantungan lansia di daerah perkotaan terus meningkat sejak tahun 2005, 2007, hingga 2009. Beberapa faktor yang membedakan kesehatan lansia pedesaan dengan lansia yang tinggal di perkotaan antara lain adalah faktor lingkungan dan gaya hidup.
Lansia yang tinggal di perkotaan terpapar dengan lingkungan yang tinggi polusi. Pola hidup lansia yang merupakan lanjutan dari tahap tumbuh kembang sebelumnya berdampak pula pada pola nutrisi yang berbeda antara lansia yang tinggal di pedesaan dengan lansia yang tinggal di pedesaan. Makanan yang dikonsumsi lansia yang tinggal di perkotaan cenderung mengandung zat kimia yang tinggi sedangkan kandungan yang dibutuhkan tubuh, seperti protein, serat, dan vitamin, cenderung rendah. Komnas Lansia mengatakan kedua hal tersebut memicu proses penuaan yang lebih cepat pada lansia di perkotaan yang diindikasikan dengan penurunan sensori dan penyakit degeneratif lainnya.
Pola aktivitas pada lansia perkotaan dan pedesaan pun berbeda. Lansia perkotaan yang umumnya sibuk bekerja di masa muda dan terbiasa dibantu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga sejak muda. Perubahan status sosioekonomi pada saat lanjut usia, misalnya pensiun, membuat lansia mengalami kehilangan rutinitas bekerja tersebut. Kebiasaan melakukan pekerjaan seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain yang jarang dilakukan di masa muda, membuat seseorang cenderung membutuhkan bantuan pula di masa tuanya. Kedua hal ini, yaitu penyakit degeneratif dan tingkat kemandirian yang rendah ini berdampak pada berbagai masalah gerontik, salah satunya risiko jatuh.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
5
Lansia yang tinggal di Sasana Tresna Werdha (STW) merupakan salah satu contoh lansia yang tinggal di perkotaan. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Ria Pembangunan yang berlokasi di Cibubur merupakan salah satu pilihan hunian yang banyak diminati oleh lansia. STW secara garis besar berbeda dengan panti sosial. Perbedaan yang ada adalah alasan masuk lansia dan latar belakang lansia yang tinggal di STW. Alasan utama lansia-lansia tersebut tinggal di STW adalah atas dasar keinginan mereka sendiri dan tanpa paksaan. Latar belakang pendidikan dan gaya hidup mereka pun berbeda dibanding lansia yang tinggal di panti sosial. Sasana pun menyediakan fasilitas caregiver untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari lansia yang mengalami keterbatasan. Caregiver merupakan fasilitas pilihan sehingga tidak semua lansia menggunakan fasilitas ini.
Wisma Cempaka merupakan salah satu wisma yang ada di STW dan didalamnya terdapat 18 lansia. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa terdapat 8 lansia (42,10%) yang memiliki risiko jatuh sedang hingga berat. Upaya pencegahan kejadian jatuh yang telah dilakukan oleh sasana antara lain adalah pemberian alat bantu jalan bagi lansia yang membutuhkan dan jenis alat bantu jalan disesuai dengan kebutuhan lansia, gerakan balance exercise diberikan di beberapa jenis senam yang rutin diikuti oleh penghuni sasana, serta modifikasi lingkungan yang aman dengan adanya handrail di sepanjang lorong sasana, penggunaan tangga yang minimal dan lantai yang dijaga agar tidak licin.
Ibu KI(89 tahun) merupakan lanjut usia yang tinggal di Sasana Tresna Werdha Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur sejak tahun 2002. Ibu KI dibantu oleh seorang caregiver dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu KI sering mengeluhkan pandangannya yang kabur akibat katarak di kedua matanya sehingga beliau tidak mampu berjalan jauh tanpa ditemani caregiver. Beliau mengatakan takut jatuh apabila berjalan sendiri di luar wisma. Hal ini
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
6
disebabkan karena beliau pernah memiliki pengalaman jatuh sebelumnya beberapa tahun yang lalu. Ibu KI merupakan lansia yang aktif mengikuti aktivitas-aktivitas rutin yang disediakan oleh sasana. Namun dengan keterbatasan penglihatan beliau, beliau sering tidak mengikuti aktivitas tertentu. Salah satu intervensi inovasi yang telah dilakukan untuk mengatasi risiko jatuh pada Ibu KI adalah membantu Ibu KI untuk mengenali lingkungan sesuai kemampuan sensori Ibu KI. Tujuan intervensi ini adalah agar Ibu KI dapat mengenali benda-benda di sekitar kamar dan wisma beliau yang diharapkan dapat meminimalisasi risiko jatuh beliau. Cara ini merupakan bentuk lain dari modifikasi lingkungan sebagai salah satu intervensi dari diagnosa risiko jatuh pada lanjut usia akibat penurunan sensori penglihatan.
Berdasarkan gambaran latar belakang tersebut, penulis mencoba menerapkan proses asuhan keperawatan dengan menggunakan konsep dan teori keperawatan gerontik untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada Ibu KI. Proses asuhan keperawatan telah dilakukan selama 7 minggu dengan inovasi intervensi orientasi lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah Mata merupakan salah satu organ yang mengalami perubahan dan penurunan kemampuan melihat pada sebagian besar lansia. Salah satu masalah penglihatan yang paling banyak dialami lansia di Indonesia adalah katarak. Peningkatan angka kejadian katarak di Indonesia merupakan angka yang paling tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Lansia yang tinggal di daerah perkotaan lebih rentan terkena berbagai masalah kesehatan termasuk katarak. Hal ini disebabkan karena terpaparnya sinar matahari dan pola hidup (makanan dan aktivitas) yang tidak sehat. Sasana Tresna Werdha merupakan salah satu institusi dan pilihan tempat hunian bagi lansia yang tinggal di perkotaan. Masalah yang paling banyak terjadi di sebagian besar
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
7
penghuni sasana, seperti halnya panti werdha lain, yaitu risiko jatuh. Risiko jatuh pada lansia yang tinggal di institusi atau panti werdha lebih tinggi dibanding lansia yang tinggal di komunitas. Penanganan risiko jatuh pada lanjut usia yang telah dilakukan di sasana antara lain adalah latihan balance yang terdapat di beberapa senam rutin, peminjaman alat bantu jalan sesuai kebutuhan lansia, serta penyediaan lingkungan yang aman bagi lansia yaitu adanya handrail dan lantai yang dijaga agar tidak licin. Faktor risiko jatuh berbeda pada setiap lansia sehingga intervensi yang dilakukan pun sebaiknya sesuai dengan faktor risiko yang terdapat pada individu lansia. Pada laporan ini, penulis akan memaparkan gambaran analisis asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada lansia dengan risiko jatuh yang disebabkan faktor sensori di wisma cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Ria Pembangunan Cibubur.
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu KI (78 tahun) dengan masalah risiko jatuh di wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Ria Pembangunan Cibubur.
1.3.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah: 1.3.2.1 Memaparkan profil pelayanan lanjut usia di Sasana Tresna Werdha Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur 1.3.2.2 Menjelaskan terapi reorientasi lingkungan pada lanjut usia dengan risiko jatuh 1.3.2.3 Menggambarkan hasil pengkajian pada Ibu KIdengan masalah risiko jatuh di Wisma Cempaka
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
8
1.3.2.4 Menggambarkan diagnosis dan rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada lanjut usia dengan masalah risiko jatuh 1.3.2.5 Menggambarkan implementasi yang telah dilakukan pada Ibu KIdengan masalah risiko jatuh 1.3.2.6 Mendeskripsikan evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan
1.4 Manfaat Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengurangi risiko jatuh pada lansia, antara lain: 1.4.1
Bagi Pelayanan Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pelayanan kesehatan dan keperawatan khususnya di institusi panti mengenai intervensi keperawatan yang tepat untuk mengurangi risiko jatuh pada lanjut usia khususnya yang mengalami keterbatasan sensori penglihatan. Dengan adanya berbagai informasi pada laporan ini, pemberi asuhan keperawatan pada lansia di panti dan institusi pelayanan kesehatan jangka panjang lainnya diharapkan dapat lebih waspada dengan kejadian jatuh pada lansia. Perubahan yang baik dimulai dari pemberi asuhan langsung hingga tatanan fasilitas dan kebijakan institusi diharapkan dapat mengurangi angka kejadian jatuh dan menghindari komplikasi jatuh pada lansia di Indonesia.
1.4.2
Bagi Keilmuan Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan ilmu mengenai pendekatan asuhan keperawatan pada lanjut usia yang memiliki risiko jatuh dengan penurunan sensori. Laporan ini juga diharapkan dapat menjadi data dasar bagi peneliti
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
9
selanjutnya di bidang Keperawatan Gerontik khususnya terkait risiko jatuh pada lanjut usia dengan penurunan sensori penglihatan.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Teori Penuaan Penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus secara berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan memengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001). Secara umum telah diidentifikasi bahwa lanjut usia pada umumnya mengalami berbagai gejala akibat terjadinya penurunan fungsi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi (Tamher, 2009).
Penuaan dianggap sebagai sesuatu yang normal. Penuaan merupakan rangkaian perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi di dalam suatu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley, 2006). Terdapat beberapa teori penuaan baik secara biologis maupun psikososial. Teori-teori biologis antara lain adalah teroi genetika, teori Wear-And-Tear, teori lingkungan, teori imunitas, dan teori neuroendokrin.
Teori Wear-And-Tear (dipakai dan rusak) merupakan teori yang mengatakan bahwa organ tubuh akan mengalami malfungsi disebabkan oleh akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi yang dapat merusak sintesis DNA (Elliopoulus dalam Stanley, 2006). Kerusakan sintesis DNA ini mendorong malfungsi molekuler hingga akhirnya kerusakan pada organ dan sistem tubuh. Teori ini menyebutkan radikal bebas sebagai salah satu contoh dari sampah metabolik tersebut. Radikal bebas adalah molekul atau atom dengan suatu elektron yang tidak berpasangan dan menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Jenis molekul ini merupakan jenis yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi
9 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
10
selama metabolisme. Radikal bebas dalam kondisi normal dihancurkan dengan cepat oleh sistem enzim pelindung. Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi di dalam struktur biologis yang penting, saat itu kerusakan organ pun terjadi (Brookbank dalam Stanley, 2006). Teori ini mengatakan secara tidak langsung bahwa proses metabolisme yang terus berjalan di sepanjang hidup seseorang dan menghasilkan akumulasi radikal bebas menyebabkan suatu organ mengalami penurunan fungsi. Hal ini terjadi karena radikal bebas dapat merusak DNA. Penumpukan sampah metabolisme dan DNA yang rusak dapat menghambat nutrisi menuju sel sehingga mengakibatkan malfungsi organ. Contoh penyakit yang dimaksud pada teori ini adalah penyakitpenyakit yang diakibatkan oleh usia lanjut. (Carlson, 2009)
Teori kedua yang juga mencetuskan penurunan fungsi pada lanjut usia adalah teori neuroendokrin. Para ahli menyimpulkan bahwa penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Salah satu neurologi yang mengalami gangguan secara universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses, dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respons ini kadang-kadang diinterpretasikan
sebagai
tindakan
melawan,
ketulian,
atau
kurangnya
pengetahuan. Pada umumnya, sebenarnya yang terjadi bukan satupun dari halhal tersebut, tetapi orang lanjut usia sering dibuat untuk merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif atau tidak patuh. Perawat dapat memfasilitasi proses pemberian perawatan dengan cara memperlambat instruksi dan menunggu respons mereka. (Stanley, 2006)
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
11
2.2. Risiko Jatuh pada Lansia 2.2.1. Pengertian Jatuh Jatuh adalah sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada di bawah atau lantai tanpa disengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et. Al. dalam Wati, 2011). Jatuh merupakan sindrom gerontik yang paling utama dan menyebabkan kesakitan dan kematian pada orangorang yang berusia di atas 65 tahun (Cesari et al dalam Ebersole, 2005). Menurut WHO (2007), jatuh adalah penyebab yang paling menonjol dari cedera yang tidak disengaja di kalangan lansia. Morse (2009) mengatakan bahwa ketika seseorang terjatuh namun sempat memegang handrail dan tidak mendarat di tanah, maka kejadian tersebut dinamakan ‘nyaris jatuh’ dan ‘nyaris jatuh’ juga harus tetap dilaporkan dan dilakukan pencatatan. Cidera yang disebabkan oleh jatuh merupakan penyebab utama kematian pada lanjut usia. Jatuh merupakan sebuah gejala dari sebuah masalah meskipun jatuh akan menjadi fokus dari masalah tersebut ketika terjadi. Jatuh dapat mengindikasikan adanya masalah pada neurologis, sensori, kognitif, medikasi, muskuluskeletal atau penyakit fisik lainnya. Definisi diagnosa risiko jatuh pada Nanda (2009) adalah peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik. 2.2.2 Faktor Risiko Jatuh Diagnosis yang tidak lengkap terkait penyebab jatuh seorang lanjut usia dapat menyebabkan kejadian jatuh berulang. Faktor jatuh dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik jatuh pada lansia antara lain adalah usia yang lebih dari 65 tahun, faktor fisiologis pada lansia, proses penyakit, proses medikasi, abnormalitas kaki dan gaya berjalan, dan faktor psikologis. Faktor fisiologis antara lain anemia, artritis, penurunan kekuatan atau masalah lain pada eksterimitas bawah, diare, pusing ketika memutar atau menegakkan kepala, gangguan
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
12
pada pendengaran, gangguan pada penglihatan, gangguan pada sikap tubuh, gangguan keseimbangan, hambatan mobilitas fisik, gangguan tidur, penyakit vaskular, inkontinensia, penyakit kronis,dan lain-lain. Penurunan kognitif dan penggunaan obat juga merupakan faktor intrinsik yang meningkatkan risiko jatuh. (Ebersole, 2006; Nanda, 2009; VISN 8 Patient Safety Center, 2012) Faktor ekstrinsik jatuh sebagian besar merupakan dari faktor lingkungan. Lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh bagi lansia adalah lingkungan yang berantakan, tidak ada bahan antiselip di kamar mandi, restrain atau pemasungan, karpet yang berlekuk, pencahayaan ruangan yang redup atau asing, kondisi cuaca, serta lantai yang basah atau licin, hidup seorang diri, tungkai bawah tiruan (prostesis), menggunakan alat bantu jalan (misalnya tongkat, walker) dan menggunakan kursi roda, penerangan yang tidak cukup, terputusnya aliran listrik/lampu, aktivitas yang berisiko, dan waktu (malam hari) (Nanda, 2009; VISN 8 Patient Safety Center, 2012). Menurut Ebersole (2006), faktor ekstrinsik jatuh secara umum merupakan interaksi antara faktor lingkungan seperti lantai yang licin dan lain-lain, dengan faktor intrinsik seperti terbatasnya penglihatan, kerusakan kognitif, atau kesalahpahaman. Pada pengaturan institusional, faktor fasilitas seperti tenaga yang terbatas, kurangnya program toileting, restrain, dan siderail juga turut meningkatkan risiko jatuh. 2.2.3 Komplikasi Jatuh pada Lanjut Usia Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera dan kerusakan fisik dan psikologis. Konsekuensi yang paling ditakuti dan rentan terjadi pada kejadian jatuh adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas, dan pelvis. Faktor osteoporosis sangat mempengaruhi tingkat keparahan komplikasi jatuh pada lanjut usia (Miller dalam Stanley, 2006).
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
13
Konsekuensi lain dari jatuh termasuk kerusakan jaringan lunak dan akibat terbaring lama, yaitu terbaring di permukaan tanah selama sedikitnya 5 menit setelah jatuh. Ketidakmampuan untuk bangun tanpa pertolongan orang lain setelah jatuh meskipun tanpa cedera. Cedera kepala yang disebabkan jatuh juga merupakan komplikasi yang menjadi penyebab utama kematian pada lansia. Cidera yang diakibatkan oleh jatuh merupakan masalah awal pada lansia yang mengarah pada kematian. 50% kasus jatuh yang mengakibatkan seorang lansia harus dirawat di rumah sakit, meninggal dalam jangka waktu setahun (Ebersole, 2006; Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, 2009) Dampak psikososial dapat terjadi pada lansia setelah jatuh. Meskipun tidak mengalami cedera fisik, syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi, termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, menarik diri dari kegiatan sosial, pembatasan dalam aktivitas
sehari-hari,
sindroma
setelah
jatih
(menggenggam
dan
mencengkeram), falafobia (fobia jatuh), hilangnya kemandirian dan pengendalian, depresi, perasaan rentan dan rapuh, dan perhatian tentang kematian dan keadaan menjelang ajal (Miller dalam Stanley, 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh Cesari et al dalam Ebersole (2005) bahwa jatuh dapat mengakibatan kehilangan kepercayaan diri yang merupakan
awal
dari
penurunan
aktivitas
fisik,
peningkatan
ketergantungan dan menarik diri diri dari sosial. Dampak jatuh tidak hanya dirasakan oleh lansia yang mengalami namun juga institusi dimana lansia tersebut tinggal, seperti panti werdha. Jatuh merupakan kasus yang paling besar dalam kategori pelaporan kejadian yang merugikan di panti werdha (Ebersole, 2005). Biaya perawatan akut yang harus dikeluarkan untuk perawatan cidera akibat jatuh diperkirakan mencapai jutaan dolar (Perrel et al dalam ebersole 2005).
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
14
2.2.4 Jenis Jatuh Terdapat beragam faktor jatuh pada seseorang khususnya lansia. Pengkajian mengenai penyebab jatuh seseorang sangat perlu dilakukan untuk menentukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi kejadian jatuh selanjutnya atau untuk memprediksi risiko jatuh seseorang. Dalam Modul Program Pencegahan Jatuh oleh Wati (2011), terdapat pembagian 3 tipe jatuh berdasarkan morse (2009). Tipe jatuh tersebut dibagi berdasarkan kemungkinan jatuh dapat diprediksi yaitu jatuh kecelakaan, jatuh fisiologis antisipasi, dan jatuh fisiologis tidak terantisipasi. Jatuh kecelakaan (accident fall) merupakan jatuh yang tidak disebabkan oleh faktor fisik namun disebabkan oleh faktor eksternal yaitu lingkungan. Lingkungan yang tidak aman atau tindakan seseorang yang tidak tepat merupakan penyebab utama dari jatuh tipe ini. Salah satu contoh jatuh kecelakaan adalah ketika seorang lansia yang masih bugar terpeleset di lantai yang basah karena hujan. Intervensi pencegahan pada jenis jatuh ini adalah
dengan
menjauhkan
lansia
dari
benda-benda
berbahaya,
mengorientasikan lansia pada kondisi lingkungan sekitar, dan memberikan informasi mengenai cara menggunakan alat bantu jalan atau kursi roda dengan benar. Jatuh fisiologis antisipasi (anticipated physiological falls) merupakan jenis jatuh yang dapat diprediksi. Salah satu cara memprediksi kemungkinan atau risiko jatuh seseorang adalah dengan melakukan penilaian skala jatuh Fall Morse Scale (FMS). Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan Berg Balance Test (BBT). Salah satu contoh jatuh fisiologis antisipasi adalah seorang lansia pascastroke dengan skor FMS 70 dan hasil BBT 12. Lansia tersebut diprediksi berisiko tinggi
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
15
jatuh sehingga perlu dilakukan intervensi pencegahan yang tepat sebelum kejadian jatuh terjadi. Jatuh fisiologis tidak terantisipasi (Un-anticipated physiological falls) merupakan jenis jatuh yang disebabkan oleh kondisi fisik seseorang namun kondisi tersebut tidak dapat diprediksi terjadinya. Contoh kondisi fisik yang tidak dapat diprediksi tersebut adalah epilepsy. Kondisi epilepsy membuat seseorang tidak mampu mengontrol tubuhnya sehingga terjatuh. Kondisi lain yang termasuk jenis jatuh fisiologis tidak terantisipasi adalah kejang, pingsan, “drop attack”, atau fraktur panggul patologis (Morse, 2009) Oleh karena itu, seseorang dengan kondisi fisik seperti ini harus selalu berada di tempat aman sehingga ketika kejadian tidak terduga tersebut terjadi, ia dapat jatuh di lingkungan yang aman. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jatuh jenis ini tidak dapat dicegah namun perawat dapat mencegah komplikasi parah yang diakibatkan oleh jatuh tersebut. 2.2.5 Pengkajian Risiko Jatuh Pengkajian risiko jatuh merupakan salah satu bentuk usaha pencegahan primer jatuh pada lansia. Pengkajian jatuh dapat dilakukan dengan mengunakan FMS (Morse, 2009). Berg Balance Test (BBT) juga diperlukan
sebab
keseimbangan
merupakan
faktor
yang
juga
mempengaruhi risiko jatuh. Beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: gangguan mobilisasi; frekuensi ke toilet meningkat; gangguan penglihatan; hipotensi ortostatik; gangguan tidur; riwayat jatuh yang disebabkan oleh pusing meilhat cahaya, vertigo, kehilangan keseimbangan, dan
lain-lain;
penggunaan obat-obatan
psikotropi maupun diuretic dan antikoagulan. (Diakses pada 5/6/2013 dari http://www.patientsafety.gov)
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
16
2.2.6 Pencegahan Jatuh Intervensi untuk pencegahan primer termasuk pengkajian fisik dan psikososial yang seksama, peninjauan ulang penggunaan obat-obatan, pengkajian lingkungan, dan perbaikan atau penatalaksanaan masalah-masalah potensial (Stanley, 2006). Morse (2009) membagi rencana pencegahan jatuh berdasarkan tipe jatuh. Tipe jatuh pertama yaitu jatuh kecelakaan. Tindakan pencegahan jatuh jenis ini adalah dengan memastikan bahwa lingkungan lansia aman. Tindakan
pencegahan
jatuh
kecelakaan
berupa
menghapus
faktor
penyebabnya. Pencegahan jatuh kecelakaan pada lansia yang berada di sasana dapat berupa pemeriksaan keamanan kursi roda, tongkat, atau walker haruslah aman, pemasangan handrail dan segala sesuatu (seperti kotak sampah, telepon umum, dan lain-lain) yang menghalangi rute lansia harus disingkirkan. Tindakan pertama untuk mencegah jatuh fisiologis antisipasi adalah dengan mengidentifikasi siapa saja yang mungkin/berisiko jatuh dengan menggunakan FMS. Lansia-lansia yang memiliki risiko jatuh tinggi maupun rendah harus diuji lebih lanjut untuk melihat kemungkinan penyebab jatuh yang dapat diperbaiki maupun diminimalisasi. Seperti contoh dengan penggunaan medikasi untuk mengurangi konfusi, kolaborasi dengan fisioterapi untuk meningkatkan kekuatan otot dan memperbaiki RPS, atau mengajarkan cara menggunakan alat bantu jalan yang benar. Pengkajian fisik yang disarankan oleh Stanley (2006) antara lain adalah kemampuan sensoris. Tindakan pencegahan adalah dengan penggunaan kacamata yang sesuai dan diperlukan penanganan katarak, glaukoma, atau degenerasi macula secara tepat untuk mencegah jatuh. Jatuh fisiologis tidak terantisipasi tidak dapat diduga dan diprediksi. Tujuan tindakan pencegahan pada jenis jatuh ini adalah mencegah kejadian jatuh terjadi dua kali. Contoh, perawat mengajarkan kepada lansia yang memiliki
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
17
hipotensi bagaimana cara berdiri dari dari posisi duduk dengan perlahan atau dengan memasangkan proteksi untuk mencegah fraktur panggul. Setelah didapat hasil pengkajian jatuh menggunakan perhitungan FMS, Morse (2009) menyarankan gambaran besar program intervensi jatuh. Pada lansia dengan skala FMS yang rendah atau berisiko rendah, intervensi yang dilakukan adalah dengan menggunakan strategi pencegahan jatuh kecelakaan yaitu memastikan
lingkungan
aman
dan
tingkatkan
pengetahuan
tenaga
keperawatan. Pada lansia dengan skor FMS tinggi atau berisiko jatuh tinggi, sebaiknya dilakukan intervensi pencegahan jatuh fisiologis antisipasi dengan melakukan monitoring, melindungi saat perpindahan/berjalan, mencegah jatuh dari kursi atau ranjang, dan pencegahan cidera. Perlu adanya usaha untuk mengurangi skor FMS dengan meningkatkan ambulasi yang aman, evaluasi kemampuan komunikasi, memfasilitasi balance exercise secara rutin, dan optimalisasi status kesehatan. Setelah intervensi tersebut dilakukan, perlu adanya evaluasi skor FMS maupun BBT untuk mengkaji kembali risiko jatuh seorang lansia. 2.3 Katarak 2.3.1 Definisi Katarak Katarak adalah adanya halangan seperti ‘awan’ pada lensa ocular yang normalnya jernih (Whiteside et al, 2006). Halangan atau ‘awan tersebut disebabkan oleh adanya penumpukan protein pada nukleus lensa. Hal ini menyebabkan cahaya yang masuk ke retina pun terreduksi. Retina pada usia 60 tahun keatas hanya menerima cahaya sebanyak 1/3 dari jumlah cahaya yang diterima saat usia 20 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena katarak mengabsorbsi cahaya terlalu banyak sehingga pandangan menjadi terganggu secara signifikan. (Busacco, 2011) Manifestasi klinis dari katarak adalah penurunan kemampuan melihat secara progresif namun tidak disertai nyeri (Kupfer dalam Ebersole,
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
18
2005). Tanda spesifik dari katarak adalah cahaya yang tidak focus, rabun saat melihat benda dalam jarak tertentu, seperti melihat dua bulan, penurunan persepsi mengenai cahaya dan warna, dan sensitivitas yang ditandai dengan silau. Katarak pada seseorang dengan usia 60an yang sehat merupakan katarak yang tipis sehingga tidak mengganggu pandangan. Namun katarak dapat meningkat seiring usia hingga dibutuhkan operasi untuk menghilangkannya. (Ebersole, 2005; Whiteside et al, 2006)
Gambar 2.1 Sisi Pandang Lansia dengan Katarak (kehilangan kontras) Haegerstrom-Portnoy G. Optom Vis Sci 2005;82(2):87-93 dalam Whiteside (2006)
2.3.2 Patofisiologi Katarak Umumnya penyebab katarak yang paling sering terjadi adalah faktor hereditas dan faktor usia. Pernyebab utama dari terjadinya katarak adalah usia yang
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
19
lanjut, terlalu sering terpapar dengan sinar matahari (terutama radiasi ultraviolet- β, konsumsi alkohol dan pola makan yang tidak sehat atau riwayat diabetes. (Ebersole, 2005; Whiteside, 2006) Perubahan penglihatan akibat penuaan pada awalnya dimulai dengan penurunan kemampuan akomodatif yang pada umumnya dimulai pada dekade keempat kehidupan. Kerusakan akomodatif ini disebabkan oleh otot-otot siliaris yang menjadi lebih lemah dan kedur, dan lensa ,kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan (pada penglihatan jarak dekat). Sklerosis juga dialami oleh sfingter pupil sehingga ukuran pupil menurun. Miosis pupil tersebut mempersempit lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu tapi belum mengganggu aktivitas sehari-hari. Meningkatnya keruhan lensa kristalin yang terjadi dari waktu ke waktu hingga menyebabkan perubahan warna (kekuningan) dapat menyebabkan katarak. Terlapat penumpukan cairan keruh di bawah lensa sehingga menghalangi cahaya menuju retina. hal ini menyebabkan penglihatan menjadi kabur dan penurunan kontras pada warna. Untuk mengatasi hal ini, penggunaan warna-warna terang direkomendasikan untuk membantu lansia membedakan warna. (Whiteside, 2006) Mata Normal
Gambar 2.2 Ilustrasi perbandingan refleksi bayangan pada mata normal dengan mata katarak (Whiteside, 2006)
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
20
2.4 Komunikasi Efektif pada Lansia Melibatkan lansia dalam berbagai kegiatan dan mengajak lansia berkomunikasi secara rutin merupakan salah satu cara memebrikan stimulasi kognitif bagi lansia. Hal ini meningkatkan kemampuan orientasi diri pada lansia dan menurunkan risiko jatuh (Wati, 2011). Dalam melakukan intervensi, komunikasi sangatlah mempengaruhi keefektifan terapi. Terdapat berberapa strategi khusus dalam berkomunikasi dengan lansia seperti yang disampaikan oleh The Gerontological Society of America (diakses pada 26/6/13 dari www.geron.org). Strategi tersebut bertujuan untuk memperbaiki interaksi dengan lansia, memperbaiki komunikasi antar muka (face-to-face), optimalisasi interaksi antara tenaga kesehatan professional dengan lansia. Secara umum, strategi komunikasi efektif tersebut antara lain adalah dengan mengenali karakteristik lansia sebelum melakukan tindakan maupun pengkajian, hindari cara berbicara
yang menggurui,
mengendalikan perilaku non-verbal, minimalisasi kebisingan lingkungan sekitar, hadapkan wajah didepan lansia saat berbicara dan sejajarkan bibir dengan bibir mereka, sampaikan informasi dengan struktur kalimat yang baik dan sederhana, bertanya dengan pertanyaan terbuka, perbanyak diam dan mendengarkan, verifikasi di akhir pembicaraan, dan gunakan humor. Dengan dilakukannya komunikasi efektif, hubungan saling percaya dapat terjalin dengan cepat dan baik serta dapat dipertahankan lebih lama. Hal ini mempengaruhi keefektifan dilakukannya suatu intervensi keperawatan dan tercapainya tujuan keperawatan. 2.5 Perawatan Jangka Panjang pada Lansia 2.5.1 Pelayanan jangka panjang berbasis Komunitas (Community-Based LongTerm Care) Pelayanan jangka panjang berbasis komunitas mengarah pada diagnostik medis maupun non medis, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitative, personal, sosial, supportif, dan pelayanan paliatif di beberapa pengaturan yang bervariasi pada seseorang yang kehilangan kemampuan dalam
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
21
merawat diri sendiri karena penyakit kronis atau kerusakan fisik, kognitif, maupun emosional. Beberapa jenis pelayanan antara lain adalah rumah perawatan, hospice care, adult daycare program, residential care facilities, Long term supportive care, Program of All Inclusive Care For The Elderly. (Arenson et al, 2009) Perawatan di rumah (home care) didefinisikan oleh American Medical Association sebagai sebuah pelayanan di rumah masing-masing lansia dengan tuuan mempertahankan level maksimal kenyamanan, fungsi, dan kesehatan lansia. Pelayanan home care terdiri atas HHC, pelayanan medis di rumah, monitoring pengobatan melalui telephone (telemedicine monitoring), pelayanan intensif dengan tekhnologi, hospice care, and long-term supportive care. (Arenson, 2009) Hospice care merupakan program pelayanan paliatif dan suportif pada pasien dan keluarga dengan penyakit terminal dengan tujuan menyediakan kenyamanan dalam menghadapi kematian di rumah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hospice care dapat meningkatkan kualitas hidup. Gejala yang dirasakan cukup dapat dikontrol sehingga lansia tersebut dapat mempertahankan fungsi maksimal. Mereka dapat menurunkan skor dari nyeri, mual, sesak napas, dan kesulitan istirahat, serta fungsi dan interaksi dengan anggota keluargapun dapat meningkat. Dengan terkontrolnya keluhan fisik tersebut, lansia dengan penyakit terminal tersebut dapat berkonsentrasi dengan kebutuhan emosional dan spiritual di akhir hidup mereka. (Arenson, 2009) Adult daily care program merupakan program bagi lansia yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga perlu dijaga dan dibantu selama satu hari. Program ini bertujuan tetap memenuhi kebutuhan dan keamanan lansia ketika anggota keluarga mereka bekerja atau tidak dapat membantu lansia tersebut. Seperti namanya, program ini
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
22
hanya untuk kurang dari 24 jam, sehingga lansia tidak dapat tinggal lebih lama di pelayanan ini. (Arenson, 2009) Perawatan residensial (Residential care facilities atau RCFs) merupakan alternative dari rumah perawatan pada lansia yang memiliki kebutuhan perawatan kronis. Pelayanan ini merupakan bentuk lebih sederhana dari . Meskipun keduanya menyediakan tempat tinggal dan perawatan bagi lansia dengan keterbatasan, namun terdapat beberapa perbedaan karakteristik. Perbedaan tersebut antara lain adalah pada orientasi filosofi, pengetahuan dan keterampilan pekerja, keterbatasan pada tipe pelayanan yang tersedia, keterbatasan pada kebutuhan residen, dan jenjang regulasi oleh pemerintah. RCFs juga memiliki standar yang berbeda dari segi bangunan dan pelayanan. Senior living merupakan salah satu contoh RCFs di luar negeri. Layanan ini menyediakan tempat tinggal khusus lansia, makanan, dan bantuan bagi lansia dengan keterbatasan meskipun keadaan residen tidak separah pasien yang ada di rumah perawatan secara umum. (Arenson, 2009) The Program of All inclusive Care for Elderly juga dikenal dengan sebutan PACE. Organisasi ini menyediakan kelengkapan kebutuhan medis seperti pemeriksaan diagnostik laboratorium, radiologi, perawatan akut, pelayanan keperawatan, tempat tinggal, adult day health, rumah sakit, serta rumah perawatan bagi anggotanya. Salah satu syarat keanggotaan layanan ini adalah berusia lebih dari 55 tahun. (Arenson, 2009) 2.5.2 Institutional Long-Term Care (Pelayanan Jangka Panjang Institusional) Rumah perawatan (nursing home) merupakan contoh dari institusi pelayanan jangka panjang. Pelayanan ini menyediakan tempat tinggal dengan segenap fasilitas kesehatan yang dibutuhkan kalangan lansia. Residen dengan keterbatasan mobilitas, kognitif, maupun dengan demensia akan mendapatkan bantuan (Assisted living) dalam memenuhi
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
23
kebutuhan sehari-hari. Lansia dengan masalah kesehatan fisik seperti diare, stroke, dan lain-lain akan dirawat dengan fasilitas yang cukup sehingga tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Selain fasilitas, tenaga kesehatan di rumah perawatan juga mencukupi kebutuhan residen dan bertanggung jawab atas segala keadaan residen dengan melakukan tindakan-tindakan yang terstandarisasi seperti monitoring status kesehatan residen, tindakan pencegahan, pengobatan, perawatan, maupun evaluasi. Selain pelayanan kesehatan, bangunan rumah perawatan juga memiliki standar-standar tertentu yang telah ditetapkan dengan penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi lansia. (Arenson, 2009) Rumah perawatan yang telah tersertifikasi telah melakukan persetujuan untuk membersikan pelayanan yang sebaik mungkin untuk semua residen. Rumah perawatan dituntut untuk membantu masing-masing residen dalam mempertahankan keadaan fisik, mental, dan psikososial yang maksimal. Perhatian,
perawatan,
dan
terapi
sangat
dibutuhkan
untuk
mempertahankan atau meningkatkan kesehatan residen dan residen berhak untuk memilih maupun menolak pelayanan yang diberikan. Berdasarkan tuntutan-tuntutan tersebut, pemerintahan California mengatur beberapa hukum mengenai standar pelayanan bagi rumah perawatan. Sebagaimana tertulis pada salah satu artikel dari California Advocates for Nursing Home Reform, standar yang harus dipenuhi antara lain adalah pemenuhan kebutuhan dasar, tenaga kesehatan yang cukup terutama di bidang keperawatan yang telah bersertifikasi, menyusun
asuhan
keperawatan yang komprehensif secara individu terhadap semua residen, bantuan
toileting
(pencegahan
inkontinensia
maupun
manajemen
inkontinensia bagi lansia), penggunaan selang makan hanya pada kondisi yang diperlukan (mencegah penurunan kemampuan makan fisiologis), menyediakan air minum yang cukup dan mengontrol intake cairan untuk mencegah dehidrasi pada residen, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
24
makan, pengendalian infeksi, medikasi, quality control, perawatan personal, pencegahan kecelakaan, layanan fisioterapi, perawatan mata, THT dan gigi. (diakses pada 4/7/2013 dari http://www.canhr.org/ )
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Residen Ibu I (89 tahun) merupakan salah satu dari 19 residen yang tinggal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Wedha Yayasan Karya Bhakti Ria Pembangunan (STW YKBRP). Data-data identitas mengenai residen sebagian besar didapat dari rekam medik di klinik Wijaya Kusuma dan sebagian didapat dari hasil pengkajian penulis. Residen merupakan residen kelolaan utama. Residen berusia 89 tahun dan tinggal di sasana sejak tahun 2008. Latar belakang pendidikan beliau adalah akademi sekretaris. Beliau bekerja sebagai sekretaris perusahaan swasta hingga pensiun. Residen pernah menikah dan tinggal di Singapura bersama suami selama 3 tahun namun beliau bercerai tanpa memiliki anak dan kembali lagi ke Indonesia. Residen memutuskan untuk menjual rumah pribadinya dan tinggal di sasana karena tidak ingin menjadi beban keluarganya. Beliau dekat dengan salah seorang keponakan sehingga beliau mempercayakan keponakan beliau tersebut yang mengatur seluruh keuangan beliau. Residen memilih tinggal di sasana juga didasari kebutuhan tempat yang aman dan nyaman serta adanya kegiatan baru yang disediakan di sasana setiap hari. Keputusan beliau sepenuhnya didukung oleh keluarga. Latar belakang residen adalah suku Jawa dan memeluk agama Islam. Residen menjalani ibadah wajib islam yaitu shalat 5 waktu. 3.1.2 Riwayat Kesehatan Residen Residen tidak memiliki riwayat anggota keluarga yang mengidap penyakit keturunan maupun penyakit menular. Rekam medik menyatakan bahwa
25 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
26
pada tahun 2002, residen pernah menderita radang paru-paru dan dirawat di RSCM selama dua minggu. Residen mengatakan pernah menjalani operasi katarak pada tahun 2008 di mata sebelah kanan. Pada minggu pertama praktik mahasiswa program Profesi Gerbong PKKMP Gerontik, residen mengeluhkan nyeri hebat di punggung bagian bawah dan pinggang. Beliau mengatakan, seminggu sebelumnya beliau menghadiri acara ulang tahun sepupunya ke-100. Di acara tersebut, beliau duduk terlalu lama (3 jam) sehingga nyeri di punggung tersebut muncul.
3.1.3 Pemeriksaan Fisik Pada minggu pertama, Residen mengeluhkan
nyeri punggung bagian
bawah sehingga aktivitas beliau hanya di atas tempat tidur. Beliau mengatakan nyeri tersebut bertambah ketika beliau bergerak meskipun hanya bergeser atau sekedar mengangkat kepala. Ketika dilakukan interaksi pada
minggu
pertama,
mahasiswa
mencoba
membantu
Residen
memberikan posisi yang nyaman sebelum beliau tidur malam, beliau terlihat tegang dan sering berteriak kesakitan hanya karena gerakan yang sedikit. Pengkajian nyeri telah dilakukan dengan menggunakan format PQRST. Pemicu nyeri pada Residen adalah posisi yang tidak ergonomis dalam waktu yang lama. Setelah dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit, diagnosa medis pada Residen adalah HNP (Herniasi Nukleus Pulposus). Residen memberikan skor 8 (quality) untuk nyeri yang saat itu dialaminya. Daerah (region) nyeri yang terjadi pada Residen adalah sekitar punggung bagian bawah. Severity atau penyebaran nyeri pada Residen adalah berpusat di punggung bagian bawah dan menyebar hingga ke pinggang dan punggung bagian atas. Time atau frekuensi nyeri adalah sekitar 5-10 detik namun nyeri tidak menghilang begitu saja.
Keluhan utama pada minggu keempat, residen adalah kemampuan melihatnya yang sudah tidak jelas. Beliau mengatakan orang-orang dan
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
27
benda-benda yang berada di sekitarnya hanya terlihat seperti bayangan dan berwarna abu-abu. Beliau dapat mengenali warna-warna tertentu seperti merah, biru terang dan putih pada jarak maksimal 1 meter. Hasil pengkajian visus, didapat nilai 1/300 yaitu hanya dapat melihat gerakan tangan yang melambai.
Pengkajian lain seperti BBT, MMSE, indeks Katz dan GDS baru dapat dilakukan pada minggu keempat terkait penyembuhan nyeri residen dan kemampuan residen bergerak dengan leluasa tanpa timbul nyeri. Skor GDS residen adalah 5 yaitu normal dan residen tidak mengalami depresi. Hasil MMSE residen pun masih dalam rentang normal yaitu 26 sehingga residen tidak mengalami gangguan kognitif. Skor pengkajian tingkat kemandirian dengan menggunakan Indeks Katz pada residen adalah 4, menunjukkan bahwa residen menglami gangguan fungsional sebagian dan tingkat kemandirian sebagian.
Pengkajian resiko jatuh pada residen dengan menggunakan Fall Morse Scale menunjukkan bahwa residen memiliki risiko jatuh tinggi dengan skor 65. Skor BBT residen adalah 37 dengan interpretasi bahwa beliau memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat dan walker. Pada pengkajian fisik, terlihat edema derajat satu pada tungkai kedua kaki residen. Residen juga mengatakan beliau merasakan kedua kakinya mati rasa sejak berapa tahun yang lalu dan saat ini menjalar hingga mengarah ke lutut. Setelah dilakukan pengkajian pada
kekuatan otot
residen, ditemukan kelemahan pada ekstremitas bawah yaitu telapak kaki, tidak mampu melawan dorongan dari arah yang berlawanan secara maksimal.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
28
3.1.4 Psikososial, Emosional, dan Aktifitas Residen Residen aktif mengikuti kegiatan rutin di sasana seperti senam, angklung, dan pengajian. Namun beliau jarang mengikuti kegiatan nonton bersama karena katarak di kedua mata beliau. Hubungan sosial residen dengan residen lain di Wisma Cempaka tergolong baik dan tidak pernah terlibat konflik. Aktivitas sehari-hari residen dibantu oleh seorang caregiver. Caregiver tersebut membantu membersihkan kamar residen, menyediakan pakaian bersih, membantu mobilisasi residen agar tidak jatuh, dan lain-lain. Residen mengatakan beliau berani mengikuti kegiatan di pendopo sasana jika ditemani caregiver, jika tidak, beliau tidak akan keluar dan berjalan sendirian karena takut jatuh. Oleh karena itu aktivitas residen terbatas selama caregiver berada di sisinya yaitu dalam rentang pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Setelah caregiver, meninggalkan sasana, aktivitas residen hanya sebatas kamar, kursi di depan kamar beliau, dan ruang tamu Wisma Cempaka. Aktivitas yang biasa dilakukan residen selain kegiatan rutin sasana adalah berbincang di sore hari dengan salah satu residen dari wisma Bungur yaitu Opa S. Beliau senang jika diajak menggunakan bahasa asing yaitu bahasa Inggris.
Pola makan residen adalah 3 kali sehari namun beliau mengonsumsi makanan yang disediakan oleh dapur sasana hanya di siang hari. Menu sarapan dan makan malam beliau adalah buah-buahan atau roti dan biskuit. Beliau mengatakan pola makan beliau memang sudah begitu sejak masih muda. Kebutuhan serat yang cukup tersebut menghasilkan manfaat yaitu pola BAB residen yang teratur yaitu satu kali setiap hari secara rutin. Aktivitas residen sebelum tidur adalah mendengarkan berita di radio. Beliau mengatakan tidak mengalami masalah tidur. Kondisi emosional residen stabil.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
29
3.1.5 Pengkajian Lingkungan Lingkungan residen sehari-hari adalah kamar, lorong dari kamar menuju pintu keluar wisma, ruang tamu, jalan antara wisma dengan pendopo dan pendopo. Kamar residen tergolong rapi sebab selain residen mementingkan kerapihan, residen juga memiliki caregiver yang selalu memenuhi tanggungjawabnya dalam menjaga kerapihan dan keberihan kamar. Furniture yang terdapat di kamar residen antara lain adalah lemari pakaian, dua meja kayu kecil, dua rak plastik, satu meja rias, satu kursi besar dengan punggung, dan dua kursi kecil tanpa punggung. Satu kursi tanpa punggung tersebut sering dialihfungsikan oleh residen di malam hari untuk menaruh makanan yang mungkin akan dimakan beliau di malam hari.
Pintu kamar mandi yang dekat dengan pintu kamar seringkali dibuka oleh residen di sore menjelang malam hari dengan alasan agar kamar mandi beliau tidak bau. Residen serta caregiver selalu menjaga letak benda-benda di kamar beliau tersebut selalu berada di tempat yang sama. Hal ini bertujuan untuk memudahkan beliau dan menghindari kebingungan saat memerlukan sesuatu. Kamar mandi residen juga terjaga dari lantai yang licin namun sering terdapat pakaian yang menggantung di pintu kamar mandi. Secara umum, lingkungan kamar residen tergolong aman dan residen dapat menguasai lingkungan kamar beliau dengan baik.
Lingkungan di luar kamar dalam kegiatan sehari-hari residen adalah daerah sekitar ruang tamu wisma dan pendopo sasana. Residen mengatakan hanya berani keluar kamar hingga kursi di ruang tamu karena takut jatuh. Bendabenda yang terdapat di ruang tamu wisma antara lain adalah 5 kursi besar yang mengelilingi sebuah meja tamu, satu kursi besar yang terletak di sudut ruangan dengan sebuah meja kerja, satu lemari berisi buku-buku, majalah dan bingkai foto, serta beberapa pot bunga yang berukuran besar di sebelah pintu masuk wisma. Pada sore hari, residen juga senang duduk santai di
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
30
kursi depan rumahnya. Terdapat satu kursi kayu dan dua kursi plastik miliki residen. Lantai wisma selalu dijaga agar tidak licin dan dipasang tanda ketika sedang di-pel. Koridor yang dilalui antara Wisma Cempaka menuju pendopo sasana cukup aman. Terdapat handrail di sepanjang koridor dan tidak terdapat benda-benda yang menghalangi rute tersebut seperti kotak sampah, pot bunga, dan lain-lain. Residen mengatakan jika hendak ke pendopo, residen tidak berani sendirian dan selalu ditemani oleh caregiver. Ketika caregiver tidak berada disisinya, residen lebih memilih untuk duduk sendiri di kamar.
3.2 Analisis Data Hasil pengkajian yang telah didapat mengarahkan pada beberapa masalah keperawatan. Masalah keperawatan pertama adalah risiko jatuh. Data-data yang mendukung tegaknya masalah ini terdiri atas data objektif dan data subjektif. Hasil pengkajian FMS pada minggu ketiga menunjukkan bahwa residen memiliki risiko jatuh tinggi yaitu 65 dan memerlukan alat bantu jalan. Hasil BBT residen adalah 37 yaitu memiliki risiko jatuh sedang. Residen mengatakan jika tidak ditemani oleh caregiver beliau tidak berani berjalan keluar wisma karena merasa takut jatuh sebab pernah mengalami jatuh beberapa tahun yang lalu. Residen selalu mengeluhkan penglihatannya yang hanya terlihat abu-abu. Residen mengatakan melihat sosok penulis hanya berwarna gelap seperti bayangan dan putih di bagian kepala (karena memakai jilbab).
Setiap berinteraksi dengan penulis, residen selalu memilih tempat diluar kamarnya dan sering menanyakan benda-benda di yang berada di sekitar tempat beliau duduk. Hal ini menunjukkan bahwa rasa takut jatuh pada residen berdampak pada berkurangnya pemenuhan minat residen dan meningkatkan keterbatasan dalam melakukan aktivitas. Residen mengatakan benda-benda di kamar selalu diletakkan di tempat yang sama agar memudahkannya ketika dibutuhkan. Ketika berinteraksi di dalam kamar, beliau seringkali bingung dan
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
31
menanyakan sesuatu apakah benda tersebut kursi atau meja kecil. Di luar kamar, beliau juga sering menanyakan berapa jumlah kursi, benda apa yang berwarna coklat tersebut, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa klien belum mengenal secara detil benda-benda di sekitar lingkungannya meskipun telah tinggal selama 5 tahun di sasana. Benda-benda di kamar Residen maupun di ruang tamu wisma tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini merupakan sisi positif yang dapat memudahkan residen untuk mengenal lingkungannnya lebih baik.
Masalah kedua adalah nyeri akut. Data-data yang mendukung masalah tersebut adalah data subjektif sebagai berikut: residen mengatakan nyeri bertambah jika beliau bergerak meskipun sedikit, skor maksimal nyeri adalah 8 dan skor minimal adalah 4, residen mengatakan merasa serba salah dengan posisi tidur karena tidak nyaman. Residen mengatakan, seminggu sebelumnya beliau duduk terlalu lama di acara ulang tahun keluarga residen. Residen mengatakan aktivitas selama nyeri ini timbul hanya di atas tempat tidur dengan bantuan penuh oleh caregiver (makan, mandi, dll). Residen mengatakan selama nyeri, tidak pernah mengikuti kegiatan di sasana yang biasanya rutin beliau ikuti. Data objektif yang didapat adalah residen selalu meringis ketika bergerak, residen tidak mampu mengubah posisi selain supine. Diagnose medis yang diberikan ketika residen konsultasi ke rumah sakit adalah HNP. Nyeri berdampak pula pada tidur residen sebab residen mengatakan tidur menjadi tidak nyaman dak tidak merasa segar ketika bangun. Nyeri juga mengakibatkan fokus residen menyempit, interaksi dengan orang lain berkurang, dan gangguan persepsi waktu.
Berdasarkan analisis masalah di atas, terdapat dua masalah keperawatan pada Residen. Masalah pertama adalah risiko jatuh. Masalah kedua adalah nyeri akut.
3.3 Rencana Keperawatan Terdapat dua diagnosa yang diangkat pada Residen. Diagnosa pertama adalah risiko jatuh. Diagnosa kedua adalah nyeri akut. Tujuan yang hendak dicapai pada
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
32
diagnosa ini antara lain adalah risiko jatuh dapat menurun atau terbatas serta tidak terjadi kejadian jatuh pada residen. Kriteria hasil tercapainya tujuan adalah perilaku pencegahan jatuh pada residen, tidak terjadinya kejadian jatuh, dan gerakan yang terkoordinasi. Intervensi umum yang dapat dilakukan antara lain adalah latihan fisik yang dapat diselaraskan dengan kegiatan yang telah terjadwal dari sasana, mengajak residen berdiskusi mengenai faktor risiko yang terdapat pada residen, melakukan manajemen lingkungan (memantau dan memanipulasi lingkungan fisik untuk memfasilitasi keamanan). Secara khusus, intervensi utama yang dilakukan pada residen adalah reorientasi lingkungan, tidak membuat perubahan fisik apapun (memindahkan perabot), bantu residen saat ambulansi dan mobilisasi, memastikan anti slip pada sandal yang digunakan cukup baik, bekerja sama dengan caregiver dengan memberikan pengetahuan pencegahan jatuh, reinforcement positif terhadap perilaku pencegahan jatuh yang telah ada (tidak berjalan sendirian).
Diagnosa kedua adalah nyeri akut. Setelah dilakukan implementasi, diharapkan residen dapat menunjukkan sikap pengendalian nyeri dan tingkat nyeri dapat berkurang. Kriteria hasil tercapainya tujuan tersebut antara lain adalah skor nyeri berkurang, pola tidur kembali normal (gangguan tidur berkurang atau menghilang), selera makan yang baik dapat dipertahankan, kemampuan residen melakukan teknik relaksasi individual (contoh napas dalam), tidak terjadi perubahan dalam frekwensi pernapasan, jantung dan tekanan darah. Intervensi yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan intervensi mandiri dan kolaboratif. Intervensi mandiri yang dapat dilakukan adalah dengan mengajarkan napas dalam terutama sebelum melakukan tindakan yang dapat meningkatkan nyeri (mengubah posisi tidur dan membuat punggung bergerak), memberikan kompres hangat pada lokasi nyeri (bawah punggung), masase punggung sebagai pengalihan di lokasi sekitar punggung yang nyeri (bukan di lokasi nyeri), menyarankan untuk menggunakan korset terutama pada posisi duduk. Intervensi
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
33
kolaboratif yang perlu dilakukan adalah pemberian terapi farmakologis dengan dokter. Lakukan monitoring obat.
3.4 Implementasi Implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi diagnosa pertama antara lain adalah dengan melakukan bina hubungan saling percaya (BHSP) sebab residen menolak jika secara langsung dikatakan berisiko jatuh tinggi. Penulis mengajak residen berdiskusi terkait hasil pengkajian FMS dan BBT yang telah dilakukan sebelumnya dan menunjukkan bahwa Residen termasuk dalam kategori berisiko jatuh tinggi. Penulis menjelaskan manfaat mengenal risiko jatuh pada diri residen. Setelah berdiskusi, residen mengidentifikasi sendiri faktor risiko yang ada pada dirinya yaitu penurunan sensori penglihatan. Penulis menjelaskan beberapa cara untuk mengurangi risiko jatuh yaitu dengan latihan fisik, lingkungan (salah satunya kamar) yang aman dan rapi, menggunakan alat bantu dan lebih mengenal lingkungan. Latihan fisik ROM maupun balance exercise telah didapatkan residen dari senam rutin yang dilakukan hamper tiap hari di sasana.
Penulis lebih berfokus pada reorientasi lingkungan pada Residen. Intervensi ini dilakukan selama 4 minggu yaitu sejak pertengahan minggu keempat hingga minggu ketujuh praktik di STW. Reorientasi yang dilakukan adalah dengan terlebih dahulu mengevaluasi orientasi residen mengenai benda-benda yang berada di kamar, taman di depan kamar, ruang tamu wisma, dan pendopo dengan menyebutkan rupa dan warna. Setelah mengkaji tingkat pengetahuan residen terhadap lingkungan tersebut, penulis memperkenalkan benda-benda yang belum disebutkan oleh residen dengan menyebutkan rupa dan warna. Jika pada evaluasi sebelumnya, terdapat kekeliruan oleh residen dalam menyebutkan warna maupun rupa dan menyebutkan nama benda, penulis akan meluruskan lalu membantu residen untuk mendekati objek tersebut. Jika residen belum mampu juga menyebutkan objek tersebut, penulis akan menyarankan residen untuk menyentuh benda tersebut. Setelah menyentuh benda yang sebelumnya ditebak secara keliru,
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
34
penulis meminta residen menyebutkan kembali nama benda tersebut. Latihan ini dilakukan di sore hari ketika caregiver meninggalkan sasana dan residen telah bangun dari tidur siangnya. Dalam seminggu, reorientasi ini dilakukan sebanyak 3-4 kali. Frekuensi tersebut didapat dari kontrak di awal pertemuan dengan residen. Residen memiliki berbagai keterbatasan dalam melihat warna dan kontras sehingga diperlukan strategi dalam mengklasifikasikan benda d engan warna tertentu. Contoh menanyakan orientasi lingkungan pada Residen, “’apakah benda yang didekat pintu itu terlihat jelas oleh Ibu? Apa warnanya, coba ceritakan pada saya bentuk dan tingginya? Jadi benda apakah itu?”. Contoh penyampaian orientasi lingkungan sebagai berikut, “benda berwarna agak coklat di ruang tamu wisma, tinggi, dan dekat pintu adalah lemari. Lemari tersebut berisi majalah, buku, dan bingkai foto. Lemari tersebut cukup kuat untuk dijadikan pegangan saat berjalan”. Dengan berbagai keterbatasan residen, penulis harus menyampaikan dan mengevaluasi dengan komunikasi yang perlahan sekali dan sesekali memberikan topik perbincangan selingan agar residen tidak bosan dan BHSP tetap terjaga.
Implementasi lainnya pada diagnosa pertama yang telah dilakukan adalah memberikan reinforcement positif pada Residen yang tidak pernah berjalan sendiri tanpa ditemani caregiver atau mahasiswa praktik. Penulis pernah menyarankan residen untuk menggunakan alat bantu jalan untuk mengurangi risiko jatuh dan meningkatkan kemandirian, namun residen menolak dan tetap takut jatuh meskipun menggunakan tongkat maupun walker. Penulis membantu residen saat mengikuti gerakan balance exercise yang terdapat pada Senam Bugar Lansia yang terasa sulit bagi beliau.
Implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi diagnosa nyeri akut antara lain adalah memantau residen meminum obat analgetik, melakukan monitoring TTV. Penulis mengajarkan nafas dalam dan menjelaskan manfaat nafas dalam. Sebelum melakukan tindakan apapun, penulis selalu mengingatkan residen untuk
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
35
melakukan nafas dalam seperti yang telah diajarkan. Selama seminggu pertama, residen menolak dilakukan kompres hangat maupun masase karena tidak dapat mengubah posisi. Di minggu pertama, BHSP belum terjalin sebab fokus residen sangat menyempit akibat nyeri tersebut. Residen bersedia dilakukan kompres hangat dan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
tujuan tindakan ini untuk
membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan rasa nyaman. Kontrak dilakukan kompres hangat dan masase di daerah punggung adalah dua kali seminggu. Hal ini berkaitan dengan kegiatan di sasana yang padat sehingga residen memilih harihari yang jadwalnya tidak terlalu melelahkan. Penulis memilih sore hari sekitar pukul 17.30-18.00 WIB untuk melakukan kompres hangat sekaligus masase daerah punggung ini karena berdekatan dengan waktu istirahat residen agar lebih efektif dan relaksasi tercapai lebih maksimal. Implementasi ini dipadukan dengan pengaturan cahaya redup dan suara musik yang tenang. Di siang hari, penulis selalu memotivasi penggunaan korset terutama jika residen duduk dalam waktu yang lama.
3.5 Evaluasi Pengkajian dan implementasi terkait diagnosa pertama yaitu risiko jatuh baru dapat dilakukan selama empat minggu dimulai dari minggu ke-4 hingga minggu ke-7. Hal ini disebabkan nyeri residen reda sejak pertengahan minggu ketiga dan residen memulai kembali ke aktivitas rutin di minggu keempat tersebut. Setelah dilakukan
pengajian
dan
terbina
BHSP,
penulis
menyarankan
untuk
menggunakan alat bantu jalan yang sesuai (tongkat atau walker) namun residen menolak. Implementasi utama yang dilakukan adalah reorientasi lingkungan. Untuk dapat mengenali benda-benda di dalam kamar dibutuhkan waktu yang tidak banyak, sebab susunan benda di kamar tidak pernah berubah. Residen dapat menyebutkan satu per satu furnitur seperti lemari, kursi, dan meja di minggu pertama. Furnitur-furnitur tersebut digambarkan mulai dari warna, bentuk, fungsi, hingga benda-benda yang berada didalamnya atau di atasnya. Penulis mengevaluasi residen saat berjalan sendiri dari ranjang menuju keluar kamar,
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
36
residen telah menguasai benda-benda yang menghalangi seperti meja hias dan pintu kamar mandi sehingga residen telah terbiasa untuk menyingkirkan terlebih dahulu sebelum melewatinya. Residen memiliki cukup kepercayaan diri saat berjalan di lingkungan kamar sendiri namun penulis tetap menyarankan agar residen membiarkan pintu kamar mandi tertutup selama tidak digunakan agar lebih aman.
Reorientasi lingkungan diluar kamar dimulai sejak minggu kelima. Selagi berbincang di ruang wisma, penulis kembali mengajak residen untuk mengenal benda-benda di dalam ruang tamu wisma. Dibutuhkan waktu kurang lebih sepuluh hari hingga residen dapat menyebutkan kembali benda apa saja yang berada di ruangan tersebut. Benda yang sulit didefinisikan oleh residen adalah lemari yang berada disamping pintu wisma dan pot bunga yang tidak terlihat begitu jelas di pintu samping wisma. Hal ini disebabkan warna yang kurang khas pada benda-benda tersebut. Residen mengingat lemari tersebut dengan warna kecoklatan sebab benda lain terlihat keabuan. Residen juga mengalami kesulitan mengenali pintu yang berwarna putih dan kaca sehingga tidak terlihat jelas. Penulis menyarankan untuk meraba jika usaha melihat dalam jarak dekat tetap tidak efektif. Setelah mengenali kamar dan ruang tamu wisma, penulis melakukan reorientasi lingkungan selagi residen berjalan menuju pendopo. Kurang lebih dalam tiga kali pertemuan, residen mampu mengenali lingkungan di depan kamarnya yaitu terdapat satu kursi besar yang menghadap ke ruang kreasi wisma, dan kursi bermaterial plastik. Kursi tersebut sering berpindah tempat sehingga residen perlu mengulang-ulang kembali di tiap interaksi.
Mengenali lingkungan sekitar merupakan hal yang mudah secara sepintas namun dengan daya ingat yang tidak lagi efektif, maka evaluasi harus terus dilakukan tanpa terputus. Jika residen tidak terus dievaluasi dan kembali diingatkan setelah mampu menggambarkan lingkungan, maka proses reorientasi tersebut tidak berdampak besar dan dapat hilang seiring waktu. Evaluasi dan pemantapan yang
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
37
dilakukan juga tidak boleh terlalu intensif dan monoton sebab dapat mempengaruhi BHSP yang telah terjalin. Dalam melakukan interaksi dan intervensi ini, teknik komunikasi khusus kepada lansia sangat mempengaruhi minat residen kepada proses reorientasi.
Diagnosa kedua adalah nyeri akut. Setelah diberikan terapi farmakologi analgetik, residen masih mengeluhkan nyeri yang hanya berkurang sedikit. Penulis melakukan kompres hangat, residen mengatakan merasa sedikit lebih nyaman. Keesokan harinya, residen mengatakan nyaman yang dirasakan hanya sebentar lalu kembali nyeri. Pada interaksi selanjutnya, penulis melakukan kompres hangat dan dikombinasikan dengan masase punggung. Masase punggung menggunakan lotion. Residen mengatakan lebih nyaman dan dapat istirahat di malam hari lebih baik. Sesuai kesepakatan, kompres hangat dan masase punggung dilakukan di sore hari menjelang waktu tidur residen selama 2 kali seminggu. Dengan pemilihan waktu tersebut, ternyata implementasi lebih efektif dan tujuan tercapai di minggu ketiga. Setelah nyeri tidak dirasakan lagi oleh residen, penulis mengurangi intensitas kompres hangat dan masase. Implementasi yang dilakukan adalah memotivasi residen untuk memakai korset di siang hari terutama pada kegiatan yang mengharuskan residen duduk dalam waktu lama untuk mencegah nyeri berulang. Implementasi tersebut dilakukan dan dipantau hingga minggu ketujuh sehingga nyeri tidak terjadi kembali. Rencana tindak lanjut adalah terus memantau penggunaan korset dan menghindari kelelahan pada Residen.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS SITUASI
4.1. Profil Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan Cibubur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan (STW KBRP) Cibubur merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan yang khusus bagi kalangan lanjut usia. Institusi ini dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Ria Pembangunan. Yayasan ini didirikan dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984 oleh ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto. Terdapat persyaratan bagi lansia yang ingin menjadi residen di STW Karya Bhakti Ria Pembangunan, antara lain adalah berusia di atas 60 tahun, sehat jasmanimaupun rohani, mandiri, memilih tinggal di STW atas keinginan sendiri dan tanpa paksaan, dan menyertakan anggota keluarga sebagai penanggung jawab. Tujuan utama dari STW adalah untuk mempertahankan kualitas hidup lanjut usia dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan meliputi konsultasi dokter, pelayanan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan tekanan darah dan nadi harian, pelayanan individu dan kelompok sesuai kebutuhan, serta rujukan RS dan kegawatdaruratan. Selain pelayanan kesehatan, terdapat pula pelayanan sosial berupa pembinaan mental dan spiritual sesuai keyakinan, senam, dan kegiatan bincang-bincang dengan beberapa tokoh maupun instansi. Sasana juga memfasilitasi residen untuk tetap memenuhi hobi dan minat dengan berbagai fasilitas seni tradisional (angklung), bernyanyi, berkebun, kegiatan keterampilan seperti menyulam maupun menganyam. STW Ria Pembangunan dilengkapi oleh sarana dan prasarana natara lain fasilitas hunian, klinik Werdha, fasilitas penunjuang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas hunian di STW terdiri dari Wisma Aster dengan kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur berkapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, Wisma Kenanga, dan bangsal rawat di Wijaya Kusuma dengan fasilitas 24 jam berjumlah 15 tempat tidur dan 3 kamar VIP. Fasilitas lain pendukung kebutuhan seharihari lansia antara lain adalah dapur, ruang cuci, ruang seba guna, perpustakaan, pendopo, dan ruang pemeriksaan kesehatan. 38 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
39
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan merupakan institusi yang mengadopsi konsep rumah perawatan yang dipadukan dengan konsep recidential care dan adult daily care. Konsep nursing care yang diterapkan oleh STW adalah penyediaan fasilitas kesehatan yang terdapat di Wijaya Kusuma yaitu tersedianya tenaga kesehatan (dokter dan perawat) yang cukup, dilakukannya asuhan keperawatan pada residen, penyediaan makan dan pengendalian intake maupun output cairan dan nutrisi. Pelayanan yang diberikan di Wijaya Kusuma lebih berfokus pada status kesehatan dan proses keperawatan maupun medis lebih diutamakan. Residen diberikan pelayanan komprehensif dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan perawatan personal. Dalam pelaksanaannya, tenaga kesehatan pun menerapkan pengendalian infeksi. Pelayanan di Wisma Wijaya Kusuma juga cukup untuk memenuhi kebutuhan residen dengan penurunan status kesehatan maupun hambatan mobilitas. Pelayanan didukung dengan fasilitas medikasi dan layanan fisioterapi. Wisma Wijaya Kusuma diperuntukkan bagi residen dengan tingkat kemandirian rendah secara fisiologis baik karena hambatan mobilitas maupun demensia. Wisma Wijaya Kusuma juga dapat digunakan sebagai klinik bagi residen dari wisma lain yang mengalami penurunan status kesehatan. Secara umum, Wijaya Kusuma menyediakan fasilitas yang terdapat pada konsep rumah perawatan sebagaimana yang digambarkan oleh Arenson (2009). Fasilitas-fasilitas di Wisma Wijaya Kusuma mendekati standar rumah perawatan yang telah ditetapkan oleh Federasi California di salah satu jurnal dari www.canhr.org bahwa standar rumah perawatan antara lain adalah antara lain adalah pemenuhan kebutuhan dasar, tenaga kesehatan yang cukup terutama di bidang keperawatan yang telah bersertifikasi, menyusun asuhan keperawatan yang komprehensif secara individu terhadap semua residen, bantuan toileting (pencegahan inkontinensia maupun manajemen inkontinensia bagi lansia), penggunaan selang makan hanya pada kondisi yang diperlukan (mencegah penurunan kemampuan makan fisiologis), menyediakan air minum yang cukup dan mengontrol intake cairan untuk mencegah dehidrasi pada residen, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan makan, pengendalian infeksi, medikasi, quality control, perawatan personal, pencegahan kecelakaan, layanan fisioterapi, perawatan mata, THT dan gigi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
40
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan terdiri atas beberapa wisma namun tidak semua wisma menerapkan konsep rumah perawatan. Wisma Wijaya Kusuma merupakan wisma yang menerapkan konsep rumah perawatan. Beberapa wisma lainnya antara lain Wisma Cempaka,Wisma Bungur, Wisma Aster dan Wisma Dahlia tidak dilengkapi dengan standar-standar yang telah ditetapkan bagi rumah perawatan. Sebagian besar wisma yang berada di sasana merupakan penerapan dari konsep recidential care. Recidential care (RCFs) merupakan bentuk yang lebih sederhana dari rumah perawatan (Arenson, 2009). Nama lain dari recidential care adalah senior living. Perbedaan antara recidential care dengan rumah perawatan adalah standar fasilitas yang ditetapkan dan kondisi pasien di recidential care umumnya tidak separah seperti pasien yang berada di rumah perawatan. Sebagaimana konsep recidential care, menyediakan STW menyediakan tempat tinggal khusus lansia berupa kamar, makanan, dan fasilitas caregiver bagi lansia yang membutuhkan. Sebagian besar wisma yang berada di STW tidak dilengkapi dengan tenaga keperawatan dan fasilitas kesehatan khusus di masing-masing wisma. Fasilitas yang didapatkan residen antara lain adalah kunjungan dokter sebanyak dua kali seminggu, kegiatan-kegiatan rutin seperti senam dan kesenian/kerajinan (menganyam dan menyulam), sarana penyaluran hobi seperti berkebun, menyanyi, angklung, dan lain-lain. Sasana juga menerapkan sebagian konsep adult daily care dengan adanya program PHLU (Perawatan Harian Lanjut Usia). Program ini merupakan layanan bagi lanjut usia yang tinggal di rumah (bukan residen). Fasilitas bagi lansia yang merupakan anggota PHLU Yayasan Bhakti Ria adalah kegiatan rutin berupa senam dan kerajinan menyulam, menganyam, dan lain-lain. Fasilitas kesehatan yang didapatkan berupa pemantauan tekanan darah dan nadi. Kegiatan PHLU dilakukan sebanyak dua kali seminggu. Selain kegiatan rutin yang telah dijadwalkan, anggota PHLU akan turut diundang dalam berbagai acara STW, contoh Perayaan Hari Ulang Tahun Lanjut Usia Nasional (HALUN). Namun perbedaan PHLU dengan konsep adult daily care adalah sebagian besar lansia yang menjadi anggota merupakan lansia yang memiliki tingkat kemandirian tinggi. Keunggulan dari konsep STW yang menggabungan ketiga model pelayanan jangka panjang (rumah perawatan, recidential care, dan adult daily care) adalah dapat memenuhi berbagai kebutuhan lansia di Indonesia khususnya Jakarta yang cenderung unik dan beragam. Sasana Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
41
menyediakan Wisma Wijaya Kusuma yang menerapkan konsep rumah perawatan diperuntukkan bagi lansia dengan tingkat ketergantungan tinggi dan penurunan status kesehatan. Bagi lansia-lansia mandiri yang membutuhkan tempat tinggal dan kegiatan yang baru dapat menggunakan wisma lain dengan konsep recidential care. Begitu pula dengan lansia yang masih ingin tinggal di rumah sendiri namun membutuhkan kegiatan dan wadah sosial dengan sesama lanjut usia dapat mengikuti program PHLU yang menerapkan konsep adult daily care. Pilihan program yang disediakan oleh sasana tersebut dilandasi dengan tujuan yang sama yaitu untuk mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan psikososial lansia dalam level yang maksimal meskipun dengan konsep dan strategi yang berbeda sebab kebutuhan setiap lansia berbeda. Kekurangan dari kombinasi yang diterapkan oleh STW ini adalah timbulnya kesulitan dalam menentukan referensi manajemen yang paling efektif dan sesuai untuk diterapkan di STW. Dengan mengadaptasi ketiga konsep sekaligus, STW kesulitan untuk fokus dan total dalam menerapkan masing-masing konsep agar dapat memberikan pelayanan yang optimal. Contoh, dengan wisma yang mengadaptasi model rumah perawatan, Wisma Wijaya Kusuma belum cukup memenuhi standar rumah perawatan yang telah ditetapkan secara umum dari segi kelengkapan fasilitas alat kesehatan dan pemeriksaan diagnostik, maupun asuhan keperawatan yang komprehensif. Adult daily care yang diadaptasi dalam bentuk program PHLU tidak sepenuhnya diterapkan sebab pelayanan yang diberikan sekedar berbentuk psikososial dan pemantauan kesehatan tertentu saja. Adult daily care dengan definisi yang sebenarnya memiliki fungsi lebih mendalam bagi lansia yang menggunakan layanan tersebut. Lansia-lansia yang tergabung dalam PHLU sebagian besar merupakan lansia yang mandiri. Hal ini merupakan syarat lansia yang hendak bergabung di PHLU. Dalam definisi yang sebenarnya, adult daily care merupakan jenis pelayanan bagi lansia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri dan anggota keluarga tidak memiliki waktu untuk membantu lansia tersebut terkait pekerjaan dan lain-lain. Adult daily care menawarkan pelayanan kurang dari 24 jam, membantu lansia tersebut memenuhi kebutuhan dasarnya selagi keluarganya tidak dapat melakukannya. (Arenson, 2009)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
42
4.2. Analisis Masalah Keperawatan Risiko Jatuh dengan Konsep Terkait Penuaan sebagai proses alami merupakan perubahan berbagai fungsi organ maupun sistem tubuh yang tidak dapat dihindari. Ibu KI (89 tahun) mengalami berbagai fungsi tubuh seperti penurunan sensori penglihatan, kekuatan otot, serta perlambatan respon pada suatu informasi maupun stimulus. Penurunan sensori penglihatan yang terdapat pada Ibu KI disebabkan oleh katarak yang diderita residen sejak beberapa tahun yang lalu. Teori penuaan Wear and Tear mencetuskan bahwa setiap proses metabolik manusia menghasilkan sebuah sampah metabolik dan penumpukan sampah tersebut dapat merusak sintesis DNA (Stanley, 2006). Penumpukan sampah metabolik disertai kerusakan DNA tersebut dapat menghambat nutrisi seluler sehingga mengakibatkan malfungsi organ. Penyakit yang dimaksud oleh teori ini adalah penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penambahan usia. (Carlson, 2009) Kerusakan akomodatif pada Ibu KI awalnya disebabkan oleh otot-otot siliaris yang menjadi lebih lemah dan kedur, dan lensa ,kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan (pada penglihatan jarak dekat). Meningkatnya keruhan lensa kristalin yang terjadi dari waktu ke waktu hingga menyebabkan perubahan warna (kekuningan). Cairan keruh di bawah lensa yang terus menumpuk sehingga menghalangi cahaya menuju retina menyebabkan penglihatan menjadi kabur dan penurunan kontras pada warna. Faktor risiko terjadinya katarak adalah usia, paparan sinar matahari (radiasi ultraviolet-β), konsumsi alcohol, pola makan tidak sehat, riwayat diabetes, kolesterol tinggi dan lain-lain (Ebersole, 2005; Whiteside, 2006). Pola makan yang tidak sehat pada Ibu KI menyebabkan kadar kolesterol residen selalu tinggi yaitu 220 mg/dl. Seperti yang dinyatakan dalam teori neuroendokrin, yaitu terdapat penurunan fungsi endokrin pada lansia sehingga terjadi perlambatan sekresi hormone tertentu (tiroid, dll). Sehingga kolesterol pada lansia lebih sulit dikontrol oleh tubuh. Keadaan kolesterol yang cenderung tinggi tersebut mempengaruhi proses perfusi aliran darah menuju pembuluh-pembuluh darah kecil, salah satunya kapiler halus pada mata sehingga dalam waktu lama dalam menyebabkan kematian sel dan syaraf mata serta penurunan fungsi sensori. (Stanley, 2006; Carlson, 2009) Penurunan fungsi sensori penglihatan merupakan salah satu faktor risiko jatuh khususnya pada lansia. Berbagai referensi telah menyebutkan faktor-faktor risiko jatuh pada lansia baik Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
43
secara intrinsic maupun ekstrinsik. Faktor intrinsik yang terdapat pada Ibu KI adlaah usia yang telah mencapai 89 tahun, penurunan kekuatan otot, gangguan pada penglihatan dan keseimbangan yang tidak sempurna (skor BBT 37 atau risiko jatuh sedang). Ebersole (2005) mengatakan bahwa faktor ekstrinsik secara umum merupakan interaksi antara faktor lingkungan dengan faktor intrinsik. Pada Ibu KI, faktor intrinsik penurunan sensori penglihatan, jika didukung dengan lingkungan yang berbahaya, dapat meningkatkan risiko jatuh pada Ibu KI. Karakteristik lingkungan yang berisiko mengancam keamanan Ibu KI adalah benda-benda yang masih asing bagi Ibu KI. Dari hasil pengkajian fisik maupun lingkungan, didapatkan bahwa tipe risiko jatuh pada Ibu KI adalah risiko jatuh fisiologis antisipasi. Untuk mencegah jatuh tipe ini, diperlukan intervensi pencegahan yang sesuai dengan kondisi residen. 4.3. Analisis Intervensi Reorientasi Lingkungan dengan Konsep dan Penelitian Terkait Ebersole (2005) mengatakan bahwa faktor ekstrinsik secara umum merupakan interaksi antara faktor lingkungan dengan faktor intrinsik. Berdasarkan opini Ebersole tersebut, salah satu strategi tindakan pencegahan jatuh adalah dengan mengendalikan kedua faktor tersebut (intrinsik dan ekstrinsik). Faktor intrinsik yang terdapat pada Ibu KI antara lain adalah usia 89 tahun, gangguan sensori penglihatan, penurunan kekuatan otot, dan gangguan keseimbangan. Usia merupakan faktor yang tidak dapat diganggu gugat maupun dimodifikasi. Penurunan otot maupun gangguan keseimbangan telah dilakukan intervensi melalui senam rutin yang dilakukan hampir setiap hari. Maka dapat disimpulkan bahwa saat ini, faktor intrinsik yang paling dominan pada Ibu KI dan belum diatasi adalah gangguan sensori penglihatan. Pada lansia dengan katarak, penglihatan menjadi kabur, perubahan persepsi warna dan kehilangan kontras. Untuk mengatasi hal ini, penggunaan warna-warna terang direkomendasikan untuk membantu lansia membedakan warna (Whiteside, 2006). Faktor Ekstrinsik jatuh yang dimiliki oleh Ibu KI adalah lingkungan yang asing. Lingkungan yang berantakan atau asing merupakan salah satu faktor risiko ekstrinsik jatuh menurut Nanda (2009). Intervensi secara umum untuk mencegah jatuh adalah melakukan modifikasi lingkungan ynag lebih aman dengan cara penerangan yang cukup, lantai yang dijaga agar tidak licin, serta perabot dan benda yang tidak berantakan di lingkungan lansia. Lingkungan aman ini telah tersedia di STW. Namun tetap diperlukan adanya intervensi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
44
pencegahan interaksi antara faktor intrinsik dengan faktor lingkungan tersebut. Salah satu strategi intervensi utama yang dilakukan penulis adalah dengan memfasilitasi re-orientasi lingkungan pada Ibu KI. Pada panduan intervensi keperawatan untuk diagnosa risiko jatuh, tindakan yang direkomendasikan adalah dengan me-reorientasikan lansia dengan realitas dan lingkungan sesegera mungkin jika diperlukan. Tindakan ini diperlukan untuk mengurangi faktor ekstrinsik jatuh berupa lingkugan yang asing serta memberikan stimulus bagi sensori lansia yang mengalami gangguan. Sebagaimana teori penuaan neuroendokrin yang mengatakan bahwa penuaan mempengaruhi neuro atau syaraf yang berdampak pada perpanjangan respon seorang lansia, penulis harus memperhatikan kecepatan penyampaian dan perlu kesabaran hingga residen dapat memahami tujuan maupun melalui proses. Dalam melakukan intervensi ini, komunikasi sangatlah mempengaruhi keefektifan terapi. Terdapat berberapa strategi khusus dalam berkomunikasi dengan lansia seperti yang disampaikan oleh The Gerontological Society of America (diakses pada 26/6/13 dari www.geron.org). Strategi tersebut bertujuan untuk memperbaiki interaksi dengan lansia, memperbaiki komunikasi antar muka (face-to-face), optimalisasi interaksi antara tenaga kesehatan professional dengan lansia. Secara umum, strategi komunikasi efektif tersebut antara lain adalah dengan mengenali karakteristik lansia sebelum melakukan tindakan maupun pengkajian, hindari cara berbicara yang menggurui, mengendalikan perilaku non-verbal, minimalisasi kebisingan lingkungan sekitar, hadapkan wajah didepan lansia saat berbicara dan sejajarkan bibir dengan bibir mereka, sampaikan informasi dengan struktur kalimat yang baik dan sederhana, bertanya dengan pertanyaan terbuka, perbanyak diam dan mendengarkan, verifikasi di akhir pembicaraan, dan gunakan humor. Penggunaan strategi komunikasi di atas telah mempermudah penulis dalam mengendalikan situasi dan mencapai tujuan intervensi. Proses implementasi pun berjalan dengan sedikit kendala. Hal lain yang paling penting adalah evaluasi setelah tujuan tercapai. Mempertahankan merupakan hal yang lebih sulit dibandingkan mencapai tujuan implementasi. Ketika residen telah mampu menyebutkan benda-benda sebagai kriteria hasil, perlu evaluasi dan pengulangan yang terus menerus agar residen tidak hanya mengetahui
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
45
namun juga benar-benar mampu mengenal mengenali lingkungan dan dapat berdampak dalam jangka waktu yang lebih panjang. 4.4. Alternatif Pemecahan Masalah yang Dapat Diberikan Terdapat berbagai strategi intervensi dalam pencegahan jatuh. Intervensi pencegahan pada jatuh fisiologis antisipasi selain intervensi utama telah yang dilakukan penulis adalah pemberian alat bantu jalan (Nanda, 2009; Ebersole, 2005; Stanley, 2006; WHO, 2007; Morse, 2009; Arenson et al, 2009). Selain sebagai upaya pencegahan jatuh, pemberian alat bantu yang sesuai diharapkan dapat meningkatkan kemandirian serta harga diri residen. Dengan menurunnya tingkat ketergantungan dengan orang lain khususnya caregiver, diharapkan harga diri residen dapat meningkat dan berdampak pula dengan semakin luasnya kesempatan residen melakukan aktivitas yang diinginkan. Rasa takut jatuh yang dimiliki residen telah membatasi aktivitas dan minat residen yaitu jadwal kerja caregiver yang hanya sampai pukul 17.00. Setelah caregiver meninggalkan sasana, residen tidak berani melakukan banyak aktivitas yang diinginkan. Hal ini menunjukkan bahwa rasa takut jatuh tersebut telah memberikan komplikasi psikososial pada Ibu KI. Dengan pemberian alat bantu jalan sesuai yang dibutuhkan baik berupa tongkat, walker, maupun tongkat penunjuk jalan, diharapkan tingkat kemandirian Ibu KI dapat meningkat sekaligus menurunkan rasa takut jatuh tersebut. Pelaksanaan intervensi ini membutuhkan waktu yang panjang. Penulis membagi tiga golongan pembagian waktu dalam pelaksaan intervensi ini yaitu waktu untuk mengubah persepsi residen yang negatif terkait alat bantu sehingga residen mau menggunakan alat bantu tersebut, melatih residen menggunakan alat bantu yang diberikan, dan kemudian mengevaluasi residen menggunakan alat bantu tersebut. Setelah residen mampu menggunakan alat bantu dengan benar dalam masa evaluasi tertentu, maka residen dapat dipercaya untuk melakukan aktivitas sendiri (Ahmed, 2009; Wati, 2010). Proses tersebut tidaklah mudah dan cepat sehingga dibutuhkan waktu dan perhatian yang lebih dari tenaga keperawatan. Proses ini juga dapat dipermudah dengan melibatkan caregiver dengan membekali segenap informasi yang dibutuhkan dan pemantauan oleh tenaga keperawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sasana Tresna Werdha (STW) Karya Bhakti Ria Pembangungan Cibubur merupakan institusi yang bergerak dalam bidang kesejahteraan lanjut usia. STW merupakan pelayanan yang mengadaptasi beberapa konsep pelayanan long-term care (jangka panjang) yaitu nursing home, recidential care, dan adult daily care. Konsep nursing home diterapkan di Wisma Wijaya Kusuma. Konsep recidential care diterapkan di beberapa wisma lainnya yaitu Wisma Bungur, Wisma Cempaka, Wisma Dahlia, dan Wisma Aster (VIP). PHLU (Perawatan harian lanjut usia) merupakan program sasana yang mengadaptasi konsep adult daily care. Berbagai pelayanan yang disediakan tersebut secara bertujuan untuk membantu residen mempertahankan kemandirian, status kesehatan, mental, dan psikososial dalam tingkat maksimal lansia tersebut. Sebagaimana hunian lansia, risiko jatuh merupakan masalah yang paling banyak terjadi, begitu pula di STW. Reorientasi lingkungan merupakan salah satu intervensi pada masalah risiko jatuh. Intervensi ini bertujuan untuk mengurangi salah satu faktor jatuh berupa lingkungan yang asing. Reorientasi lingkungan dilakukan dengan membantu residen mengenali benda-benda di sekeliling melalui sensori lihat, dengar, maupun raba. Pada residen yang mengalami gangguan sensori penglihatan dapat melatih penggunaan sensori lainnya, contoh sensori raba. Dalam pelaksanaan, komunikasi efektif dan terapetik sangatlah mempengaruhi keefektifan proses. Ibu KI (89 tahun) merupakan residen di Wisma Cempaka STW yang menjadi residen kelolaan penulis selama masa praktik. Ibu KI mengalami gangguan sensori lihat yaitu katarak di kedua mata. Gangguan ini menjadi salah satu faktor jatuh intrinsik yang paling dominan pada Ibu KI. Dari hasil pengkajian, didapat skor FMS residen 65 yaitu berisiko jatuh tinggi dan skor BBT 37 yaitu risiko jatuh sedang dan membutuhkan alat bantu jalan. Ibu KI juga selalu mengeluhkan takut jatuh karena keterbatasan penglihatannya tersebut. Keluhan kesehatan lain yang dialami Ibu KI adalah nyeri akibat HNP. Dari pengkajian didapatkan skor nyeri 8 dan nyeri mengganggu rasa nyaman dan pola istirahat residen. 46 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
47
Hasil pengkajian mengarahkan penulis pada dua diagnosa keperawatan. Diagnosa pertama adalah risiko jatuh. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa ini antara lain adalah latihan ROM dan BE (balance exercise), menyarankan penggunaan alat bantu jalan, menjaga lingkungan tetap aman, dan reorientasi lingkungan. Diagnosa kedua adalah nyeri akut. intervensi yang dilakukan antara lain adalah mengajarkan teknik relaksasi mandiri napas dalam, kompres hangat, dan masase punggung. Residen juga mendapatkan terapi famakologi analgetik. Implementasi utama yang dilakukan penulis untuk mengataasi diagnosa risiko jatuh adalah reorientasi lingkungan dengan menggunakan teknik komunikasi efektif pada lansia. Berdasarkan kontrak awal, implementasi dilakukan di sore hari dan menyesuaikan dengan pola aktivitas dan istirahat residen. Implementasi lainnya berupa latihan ROM, balance exercise di setiap senam, menyarankan menggunakan alat bantu jalan, dan menjaga lingkungan tetap aman. Implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi diagnosa nyeri akut adalah mengajarkan teknik relaksasi mandiri napas dalam, kompres hangat, masase punggung, serta pemantauan terapi medikasi. Implementasi kompres hangat dan masase punggung adalah dua kali seminggu sesuai kontrak. Setelah implementasi-implementasi tersebut dilakukan, penulis melakukan evaluasi. Residen mampu mengenal lingkungan dalam waktu empat minggu. Meskipun tujuan telah tercapai, namun usaha mempertahankan pencapaian tersebut sangat diperlukan terkait kognitif dan memori residen yang telah menurun. Sedangkan implementasi yang paling efektif dalam mengatasi diagnosa nyeri akut pada Ibu KI adalah kompres hangat yang dikolaborasikan dengan masase punggung dan dilakukan di sore hari. Hal ini terkait peningkatan relaksasi dan menghasilkan efektivitas istirahat yang berkualitas bagi Ibu KI sehingga nyeri menurun dan hilang perlahan. 5.2. Saran Dalam mengatasi masalah kesehatan pada lanjut usia, dibutuhkan perhatian dan strategi khususnya pada lansia dengan risiko jatuh. Risiko jatuh merupakan suatu keadaan kerentanan pada seseorang dalam mengalami jatuh. Intervensi keperawatan yang utama dalam mengatasi masalah risiko jatuh adalah dengan mencegahnya dan tujuan yang hendak
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
48
dicapai adalah seseorang tersebut tidak mengalami jatuh. Dengan menanamkan prinsip dan tekad yang demikian, tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan sebaiknya memahami bahwa tujuan tersebut tidak akan tercapai jika hanya dilakukan satu kali tindakan. Tindakan pencegahan merupakan rangkaian intervensi yang dilakukan secara terus menerus dan disertai dengan pemantauan dan evaluasi yang tidak terputus. Status risiko jatuh pada seorang lansia tidak bersifat abadi sehingga diperlukan perbaharuan data dan pemeriksaan status risiko jatuh dengan menggunakan FMS maupun BBT tiap periode tertentu. Sebagai contoh, status kesehatan Ibu KI dua tahun lalu yang menunjukkan bahwa Ibu KI hanya memiliki risiko jatuh rendah dapat mengalami perubahan saat ini. Dua tahun kemudian, mungkin saja risiko jatuh Ibu KI telah berubah menjadi risiko jatuh tinggi sebab sebagai proses penuaan, Ibu mengalami berbagai penurunan fungsi. Karena itulah, pemeriksaan rutin sangat diperlukan sebagai tindakan pencegahan primer pada masalah risiko jatuh. Agar program pencegahan jatuh pada lansia di institusi teratasi secara efektif, perlu dibentuk adanya tim khusus yang dapat menjalankan program pencegahan jatuh pada semua lansia yang memiliki risiko jatuh secara kelompok. Lanjut usia juga merupakan seseorang yang telah memiliki karakter disertai nilai norma yang tertanam kuat sehingga mempengaruhi persepsi lansia pada beberapa hal termasuk kesehatan. Tenaga keperawatan mungkin akan mengalami penolakan saat akan memberikan beberapa intervensi seperti penggunaan alat bantu jalan maupun reorientasi lingkungan. Namun sebagai tenaga kesehatan yang memahami konsep penuaan dan memiliki dasar ilmu gerontologi, perawat harus memberikan perhatian dan usaha yang lebih sampai lansia akhirnya setuju untuk dilakukan intervensi dan tujuan dapat tercapai. Berbagai cara dapat dilakukan perawat, salah satunya adalah dengan penggunaan komunikasi yang tepat sesuai karakter lansia agar terjalin hubungan saling percaya serta sabar dalam melakukan proses keperawatan yang telah dirancang sebelumnya. Dengan begitu, satu per satu masalah kesehatan lansia dapat diatasi sehingga meningkatkan status kesehatan fisik, mental, psikososial, kemandirian, bahkan kualitas hidup mereka.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
American psychological Association. (1998). What practitioners should know about working with older adults. Arenson, Christine, et al. (2009). Reichel’s care of the elderly: Clinical aspects of aging, 6th ed. New york: Cambridge University Press. Australian Commission on Safety and Quality in Health Care. (2009). Preventing falls
and
harm
from
falls
in
older
people.
22
Juni
2013.
http://www.safetyandquality.gov.au Busacco, Debra. (2011). Rehabilitation strategies for older adults with dual sensory loss. 20 Juni 2013. http://www.allaboutseniors.org/blog/active-adult-livingarticles/rehabilitation-strategies-for-older-adults-with-dual-sensory-loss/
California Advocates for Nursing Home Reform. Nursing home care standards. 4/7/2013. http://www.canhr.org/index.html Ebersole, Priscillia, et al. (2005). Gerontological nursing and health aging: 2nd ed. USA: Elsevier Mosby. Wilkinson, Judith M & Nancy R. Ahern. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan: diagnosis nanda, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, ed 9. Alih bahasa: Esty Wahyuningsih. Jakarta: EGC. Morse, Janice M. (2009). Preventing patient falls: Establishing a fall intervention program, 2nd edition. New York: Springer Publishing Company. Maryam, dkk. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. Norris MA, Walton RE, Patterson CJS, Feightner JW and the Canadian Task Force on Preventive Health Care. (2003). Prevention of Falls in Long- Term Care 49 Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
50
Facilities: Systematic Review and Recommendations. London: Canadian Task Force. Stanley, Mickey. 2006. Gerontologic nursing. Jakarta: EGC. The Gerontological Society of America. (2012). Communicating with older adults: An evidence-based review of what really works. USA: The Gerontological Society of America. World Health Organitation. (2007). WHO global report on falls prevention in older age. France: WHO Press. United States Department of Veterans Affairs. (2012). Fall prevention and management.
25
Juni
2013.
http://www.patientsafety.gov/CogAids/
FallPrevention/
Whiteside, Meredith M., Margaret I. Wallhagen., Elaine Pettengill., (2006). Sensory impairment in older adults. American Journal of Nursing vol. 106, No. 11. Wati, Dwi Nurviyandari K. (2011). Modul: Program pencegahan jatuh pada lanjut usia. Depok: Hibah Pengmas UI IbM.
Analisis praktik ..., Sherly Wulandari, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia