UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE: STUDI PENERAPAN BIAYA ADMINISTRASI DALAM PAYMENT POINT ONLINE BANK OLEH PT PLN (PERSERO)
SKRIPSI
AMALIA NURUL RAHMA HENNY MARLYNA
FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK JANUARI 2013
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
ABSTRAK
Judul
:
Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen dan Prinsip Good Corporate Governance: Studi Penerapan Biaya Administrasi dalam Payment Point Online Bank oleh PT PLN (Persero)
Skripsi ini membahas mengenai perlindungan konsumen dalam prinsip good corporate governance. Selain itu, juga dibahas pelanggaran PT PLN (Persero) dalam penerapan biaya administrasi dalam Payment Point Online Bank ditinjau dari pengaturan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan prinsip good corporate governance. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah PT PLN (Persero) diduga melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan prinsip good corporate governance. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar PT PLN (Persero) mengambil sikap yang tegas dalam penerapan biaya administrasi dalam Payment Point Online Bank agar sesuai dengan pengaturan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan prinsip good corporate governance.
Kata kunci: Perlindungan konsumen, good corporate governance, payment point online bank
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi, khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa.1 Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.2 Semakin variatif barang dan/atau jasa membawa manfaat bagi konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhannya yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Di sisi lain, perkembangan ekonomi menyebabkan konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.3 Tidak dapat terelakkan lagi, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai hak mereka. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.4 Meskipun dalam masyarakat terdapat jargon “pembeli adalah raja”, jargon tersebut tidak sepenuhnya tepat. Hal ini dikarenakan konsumen seringkali memiliki bargaining position yang lebih rendah daripada penjual. Di lain pihak, hukum senantiasa berkembang, sesuai dengan living law dalam masyarakat. Jika kepentingan masyarakat berkembang, harus diikuti pula dengan perkembangan hukum. Dengan kata lain, kebutuhan akan hukum dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri.5 Dikaitkan dengan kedudukan konsumen yang semakin dirugikan dalam perkembangan perekonomian, terdapat suatu urgensi untuk mengatur permasalahan ini, sehingga muncul hukum perlindungan konsumen sebagai salah satu perkembangan hukum di Indonesia. 1
Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Penjelasan Umum Paragraf Kesatu. 2
Ibid.
3
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1. 4
Ibid., hal. 2.
5
Ibid., hal. v.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Pada tahun 1962, Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy menyampaikan pentingnya kedudukan konsumen dalam masyarakat, mengingat dua pertiga dari jumlah uang yang dipergunakan dalam kehidupan ekonomi berasal dari konsumen. Akan tetapi, suara konsumen tidak didengarkan. Gerakan perlindungan konsumen kemudian berkembang di seluruh dunia, bahkan termasuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).6 Perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai sebelum adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sejak tahun 1973 telah menghadapi banyak permasalahan terkait dengan konsumen.7 Selama belum adanya UU Perlindungan Konsumen, tidak berarti bahwa tidak ada peraturan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur sedikit mengenai perlindungan konsumen dalam Buku III tentang Perikatan, khususnya pada bagian mengenai perikatan jual beli. Namun, peraturan tersebut dirasa kurang dalam mengakomodir permasalahan konsumen yang terus berkembang. Kurang lebih 24 tahun, dalam berbagai seminar, lokakarya, atau pertemuan-pertemuan lainnya, baik pertemuan ilmiah maupun non ilmiah, yang dihadiri berbagai lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat maupun para ahli, satu hal yang menjadi benang merah adalah adanya suatu urgensi untuk menyusun suatu perundang-undangan perlindungan konsumen. Hingga pada akhirnya, tanggal 20 April 1999 telah disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.8 Dengan adanya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak berarti perjuangan telah selesai. Perekonomian semakin berkembang, permasalahan terkait dengan konsumen juga semakin kompleks. Meskipun telah ada peraturan yang secara khusus mengatur, bukan berarti segala permasalahan perlindungan konsumen menjadi mudah diatasi. Persoalan kualitas produk yang rendah, penggunaan zat tambahan pangan yang dilarang atau tidak mengikuti dosis yang ditentukan, persoalan pembelian rumah ditinjau dari kualitas maupun 6
Ibid., hal. 2-4.
7
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya Widya, 1990), hal. vii -
8
Ibid., hal. xi.
viii.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
perjanjian kredit yang diberlakukan, asuransi, perbankan, dan yang sering dikeluhkan oleh konsumen adalah yang terkait dengan pelayanan publik seperti pengurusan KTP, paspor, surat tanah atau sertifikat tanah serta pengurusan izin bangunan yang tidak tidak jelas besaran biaya yang diatur oleh Pemerintah.9 Masalah tarif dan pelayanan jasa dari Telkom, PAM/PDAM, serta PLN juga sering dikeluhkan konsumen. Terkait dengan pernyataan sebelumnya, keluhan konsumen selalu sama, yaitu mengenai kenaikan tarif, namun tidak diiringi dengan peningkatan pelayanan jasa terhadap konsumen. Pada asasnya, pelaku usaha tidak dapat memperjanjikan kepada konsumen yang menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan baru, peraturan tambahan, peraturan lanjutan atau perubahan lanjutan, termasuk di dalamnya mengenai tarif, yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha.10 Terkait dengan keluhan konsumen dalam hal kenaikan tarif, dewasa ini, PT PLN (Persero) dinilai telah melakukan praktek pungutan liar atas pengenaan biaya tambahan dengan dalih administrasi bank pada setiap tagihan listrik bulanan pelanggan.11 Memang, PLN berhak membangun kerja sama dengan siapa saja, dalam rangka peningkatan kinerjanya, termasuk dengan berbagai bank dalam rangka pembayaran rekening listrik. Namun, tindakan tersebut dinilai merugikan konsumen dan telah mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pembayaran listrik melalui sistem online telah diberlakukan PLN sejak tahun 27 Oktober 200012, pada peringatan Hari Listrik Nasional oleh Menteri ESDM dengan nama Pembayaran Tagihan Listrik Fleksibel dan Otomatis atau yang sering disingkat PraQtis. Kemudian, pada tahun 2008, PraQtis berganti nama menjadi Payment Point Online Banking atau PPOB. PPOB merupakan layanan pembayaran tagihan listrik secara online real time yang diselenggarakan PLN bekerja sama dengan lembaga perbankan.13 Konsumen dapat membayarkan tagihan listrik 9
Ibid., hal. viii.
10
Indonesia (a), op.cit., ps. 18 (1) huruf g.
11
NN, “PLN dan Bank Kerjasama Raup 100 Miliaran Rupiah Setiap Bulan”, Info Konsumen Indonesia, (April-Mei 2012), hal. 7. 12
NN, “Konsumen Gugat PLN dan Menteri Karena Biaya Administrasi Listrik”, diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505163aee1bdd/konsumen-gugat-pln-dan-menteri-karena-biayaadminsitrasi-listrik tanggal 23 September 2012. 13
Ibid.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
mereka melalui ATM, teller, autodebet, sms banking, internet banking, serta melalui downlinedownline perbankan yang menyediakan fasilitas PPOB. Bambang Dwiyanto, selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN mengatakan bahwa tujuan awal dari PLN menerapkan PPOB dengan bekerja sama dengan beberapa bank adalah untuk menerapkan prinsip good corporate governance14 dalam tubuh PLN. Hal ini didasari adanya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap keterpurukan keuangan dan moneter negara sangat signifikan. Oleh karena itu, sejak tahun 2002, Pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa peraturan tentang kewajiban untuk menerapkan corporate governance di lingkungan BUMN, termasuk PLN salah satunya.15 Dengan adanya PPOB, uang yang masuk ke PLN bisa terkontrol rapi sejak dari pembayaran oleh pelanggan sampai ke kas perusahaan di kantor pusat. Tidak ada lagi sistem uang dibayarkan di loket ranting, baru disetorkan ke cabang, lalu ke wilayah, lalu ke pusat. Terlebih lagi saat pencatatan uang itu dilakukan secara manual dan transfer ke jenjang-jenjang berikutnya masih secara tradisional. Dengan adanya PPOB, pembayaran rekening listrik langsung tersambung ke komputer yang memproses pekerjaan keuangan berikutnya, yaitu pembuatan laporan dan audit di PLN. Maka, dengan sistem ini proses keuangan di PLN menjadi sangat terkontrol, canggih dan modern, serta dapat dipertandingkan dengan perusahaan kelas dunia lainnya.16 PPOB juga dikatakan dapat mengurangi korupsi di kalangan pegawai PLN. Hal ini didasarkan pada saat konsumen PLN melakukan pembayaran di loket-loket PLN, sering terdapat oknum yang melakukan penahanan uang pembayaran listrik tersebut. Selain itu, PLN juga beralasan bahwa dengan adanya PPOB, pembayaran tagihan rekening listrik lebih mudah, karena dapat dibayarkan melalui ATM bahkan melalui convenience store seperti Alfamart.17 Dengan
14
Ibid., hal. 8. Ditegaskan pula oleh Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012. 15
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan HakHak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 115. 16
Dahlan Iskan, “Membangun Dua Pondasi http://www.pln.co.id/?p=3250 tanggal 23 September 2012. 17
Tanpa
Banyak
NN, “PLN dan Bank Kerjasama”.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Bunyi”,
diunduh
dari
demikian, tidak ada lagi antrian panjang menjelang tanggal 20 setiap bulannya di loket-loket pembayaran PLN. Di satu sisi, PPOB memudahkan konsumen dalam melakukan transaksi pembayaran tagihan listrik. Namun, di sisi lain, sejak diterapkannya PPOB, konsumen dalam melakukan pembayaran tagihan listrik dikenakan biaya administrasi. Tidak hanya itu, biaya administrasi yang dikenakan juga bervariasi, berkisar antara Rp 1.600,- hingga Rp 5.000,-.18 Terkait dengan permasalahan pengenaan biaya administrasi oleh PLN dalam rangka penerapan PPOB tersebut, LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) melalui kuasa hukum David L. Tobing, telah mengajukan gugatan terhadap PLN, Menteri ESDM, dan Menteri Negara BUMN di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan perbuatan melawan hukum tersebut didaftarkan No.510/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 12 September 2012. Gugatan terhadap PLN tersebut didasari pada tidak adanya kesepakatan antara konsumen dengan PLN dalam pengenaan biaya administrasi tersebut. Konsumen mendalilkan adanya pasal 5 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pada prinsipnya konsumen hanya berkewajiban membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Adapun nilai tukar yang disepakati adalah berdasarkan penjelasan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang tidak menyebutkan biaya administrasi termasuk dalam biaya yang disepakati. Dalil gugatan tersebut diperkuat dengan adanya Surat Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) No.75/BPKN/5/2010 tanggal 31 Mei 2010 kepada Menteri ESDM. BPKN menyarankan beberapa hal, yaitu: (1) tidak seharusnya biaya administrasi PPOB dibebankan kepada konsumen; (2) konsumen tetap diberikan pilihan untuk membayar secara konvensional dan gratis sebagaimana cara pembayaran konvensional selama ini; (3) meski pemberlakuan PPOB dianggap positif, biaya yang timbul merupakan tanggung jawab PLN; (4) biaya yang telah dipungut dari konsumen wajib dikembalikan untuk diperhitungkan dengan kewajiban membayar pada rekening listrik bulan berjalan; (5) pihak bank atau pelaku usaha yang ditunjuk melayani pembayaran wajib memberikan informasi tentang tambahan biaya administrasi untuk fasilitas pembayaran PPOB PLN; (6) sebagai upaya melindungi konsumen jasa listrik, Menteri ESDM
18
NN, “Konsumen Gugat PLN dan Menteri”.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
diminta menindaklanjuti dengan meninjau kembali kebijakan sistem PPOB yang telah ditetapkan PLN. Terhadap gugatan tersebut, PLN menyatakan bahwa kompetensi mereka adalah dalam bidang ketenagalistrikan.19 Oleh karena itu, mereka bekerja sama dengan lembaga perbankan dalam menjalankan sistem pembayaran secara online. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memudahkan konsumen dalam melakukan pembayaran. Di sisi lain, juga memudahkan PLN dalam menerima pembayaran, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.20 Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya terdapat dua pertanyaan yang menarik Penulis untuk membahas lebih lanjut yaitu sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah posisi perlindungan konsumen dalam prinsip good corporate governance?
2.
Apakah pengenaan biaya admistrasi dalam PPOB tersebut melanggar UUPK dan prinsip good corporate governance?
19
Hasil wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012. 20
Ibid.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
PEMBAHASAN
1.
Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Prinsip Good Corporate Governance Sebelum memasuki pembahasan mengenai kaitan perlindungan konsumen dalam prinsip
good corporate governance, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari good corporate governance. Ada banyak pengertian dari good corporate governance, yang salah satunya didefinisikan oleh Price Waterhouse Coopers, yaitu sebagai berikut. “Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif. Dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memperhatikan kepentingan stakeholders.”21
Adapun prinsip dari good corporate governance, seringkali disingkat dengan TARIF. Kepanjangan dari singkatan tersebut adalah prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, prinsip responsibilitas, prinsip independensi, serta prinsip fairness. Di dalam definisi yang disebutkan sebelumnya terdapat penyebutan kepentingan stakeholders. Timbul pertanyaan lanjutan, yaitu siapa saja yang termasuk stakeholders dalam suatu perusahaan? Freeman mengartikan stakeholders sebagai “any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organization objectives”. Kemudian, Freeman mengganti definisinya tersebut mengenai stakeholders menjadi “those groups who are vital to the survival and success of the organization”. Dari kedua definisi Freeman tersebut, pada definisi yang kedua lebih menekankan pada organisasi atau institusi yang bersangkutan bukan pada individu atau kelompok yang berkepentingan terhadap suatu organisasi pada definisi pertama. Apabila dilihat dari dua definisi tersebut, konsumen merupakan salah satu stakeholders dalam kegiatan perusahaan. Dengan demikian, prinsip-prinsip good corporate governance juga 21
Surya dan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, hal. 26. Lihat juga: Price Waterhouse Cooper, “Conseptual Model on Corporate Governance Definition” (Makalah disampaikan pada BPPN Workshop for Recapitalised, Jakarta 27 September 2000).
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
dapat diterapkan terhadap konsumen. Prinsip good corporate governance yang penting terhadap masyarakat sebagai konsumen adalah prinsip responsibilitas. Konsumen tidak memperhatikan bagaimana suatu perusahaan menjalankan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, atau prinsip kewajaran. Hal ini dikarenakan konsumen tidak memiliki kepentingan yang signifikan terhadap perusahaan, tidak seperti pemegang saham yang menanamkan modal. Bahkan pemberian informasi yang berlebih dapat merugikan perusahaan karena disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.22 Dalam kaitannya dengan prinsip responsibilitas, Einer Elhaude berpendapat bahwa pada dasarnya perusahaan tidak sekadar berdiri untuk mencari keuntungan maksimal belaka, dan bahwa secara normatif, perusahaan tetap bertanggung jawab kepada publik untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum, termasuk juga konsumen.23 Elhaude berpendapat jika manajemen perusahaan mengurangi laba perusahaan demi memenuhi kepentingan umum, hal tersebut tidak melanggar tugasnya dari para pemegang saham yang menginginkan keuntungan maksimal. Sebaliknya, jika manajemen mengorbankan kepentingan umum, maka yang terjadi adalah maksimalisasi keuntungan secara ilegal.24 Permasalahannya adalah terdapat kemungkinan manajemen akan dituntut oleh pemegang saham dengan alasan tidak menjalankan fiduciary duties dan telah menyebabkan perusahaan kehilangan profit.25 Diskusi inilah yang telah menjadi perdebatan dalam perkembangan prinsip good corporate governance.26 22
Surya dan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, hal. 103.
23
Einer Elhauge, “Sacrifing Corporate Profits in the Public Interest”, New York University Law Review (Vol. 80 Juni 2005 No. 3), hal. 3. 24
Ibid., hal. 11.
25
Ibid., hal. 13. Lihat juga: Surya dan Yustiavandana, yang menyebutkan bahwa Di Amerika Serikat, terdapat suatu rule of law bahwa pengurangan laba dengan tidak melanggar hukum tetap merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duties. Ada dua kesalahan fatal, yaitu pertama bahwa jika manajemen perusahaan gagal untuk memaksimalkan profit karena bertindak secara legal, manajemen dapat dituntut untuk semua kerugian bukan saja karena kerugian dari perusahaan yang meliputi stockholdings dan kompensasi, tetapi juga dapat dituntut oleh setiap pemegang saham dengan alasan bahwa keuntungan mereka juga dirugikan. Sebaliknya, jika manajemen memilih untuk bertidak secara ilegal demi maksimalisasi profit, maka paling tidak manajemen hanya bertanggung jawab atas sanksi hukum dan ekonomi yang ditimpakan pada perusahaan dan tidak harus digugat oleh pemegang saham, karena menghilangkan keuntungan. Dalam kondisi seperti ini, manajemen memilih untuk bertindak ilegal demi mencapai keuntungan, dan yang paling dirugikan dalam hal ini sebenarnya adalah masyarakat. 26
Pertanyaan mengenai kepentingan siapakah yang harus diutamakan merupakan pertanyaan dasar dalam perdebatan tersebut. Kepentingan pemegang saham terhadap perusahaan adalah signifikan, yang didasarkan kembali
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip good corporate governance pada awalnya diciptakan demi kepentingan shareholders, karena memang perusahaan didirikan demi kepentingan pemegang saham.27 Oleh karena itu, implementasi prinsip good corporate governance memang lebih ditekankan kepada perlindungan pemegang saham.28 Perdebatan yang berkembang adalah mengenai prinsip good corporate governance yang melindungi stakeholders lainnya. Sehingga saat ini terdapat prinsip good corporate governance shareholders model dan prinsip good corporate governance stakeholders model.29 Meskipun demikian, banyak negara yang mengombinasikan kedua model good corporate governance tersebut.30 Namun, pencarian mengenai seperti apa metode yang terbaik bagi perusahaan masih terus diperdebatkan.31 Pada corporate governance stakeholder model, meskipun perusahaan didirikan demi kepentingan pemegang saham, tetapi pendirian perusahaan bukanlan untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Saat pendirian perusahaan dilakukan, seharusnya timbul pula kesadaran bahwa jalannya kegiatan perusahaan akan memiliki dampak sosial, ekonomis, dan hukum. Dampak tersebut tidak hanya bagi pendiri usaha melainkan pula bagi masyarakat, lingkungan, dan negara. Konsekuensi logis atas pendirian suatu kegiatan usaha adalah keinginan untuk memberikan kontribusi positif bagi pihak berkepentingan atas usaha tersebut.32 Pada saat
pada pemikiran bahwa perusahaan didirikan demi kepentingan pemegang saham. Akan tetapi, para stakeholders, termasuk konsumen, juga memiliki kepentingan terhadap perusahaan. 27
Steven M. Mintz, “Improving Corporate Governance System: A Stakeholder Theory Approach” diunduh dari http://aaahq.org/AM2004/cpe/Ethics/Forum_08.pdf pada tanggal 20 Desember 2012. 28
Ibid., Mintz menyebutkan “the shareholder model of corporate governance relies on the assumption that shareholders are morally and legally entitled to direct the corporation since their ownership investment is an extension of their natural right to own private property.” 29
Olivier Fremond, “The Role of Stakeholder”, (2002), hal. 1 yang menyebutkan “rivalry between the shareholder models versus the stakeholder model. Shareholder model: the purpose of the corporation is to promote shareholder value, while stakeholder model - the purpose of the corporation is to serve a wider range of interests.” Fremond mengutip OECD Principles of Good Corporate Governance bagian Preface, yaitu “Good corporate governance helps… to ensure that corporations take into account the interests of a wide range of constituencies, as well as of the communities within which they operate, and that their boards are accountable to the company and the shareholders. This, in turn, helps to assure that corporations operate for the benefit of society as a whole.” 30
Ibid., hal. 2
31
Ibid.
32
Surya dan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, hal. 106.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
perusahaan hanya mengejar keuntungan tanpa batas, maka perusahaan telah menjadi objek yang sangat berbahaya bagi masyarakat.33 Dengan demikian, konsumen dapat dikatakan juga memiliki posisi di dalam prinsip good corporate governance. Hal ini dikarenakan perusahaan bergantung pada konsumen.34 Perusahaan memiliki tanggung jawab secara penuh terhadap produk yang dikeluarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Ketentuan mengenai perlindungan konsumen termasuk di dalamnya. Di Indonesia telah terdapat undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut ini adalah kajian terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditinjau dari prinsip-prinsip good corporate governance. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara eksplisit atau tegas mengenai good corporate governance. Akan tetapi, dari pasal-pasal yang ada dalam undangundang tersebut merupakan implementasi dari prinsip-prinsip good corporate governance. 1. Prinsip Transparansi Prinsip transparansi dalam UU No. 8 Tahun 1999 dapat dilihat pada kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.35 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bagi konsumen, keterbukaan mengenai kondisi perusahaan memang tidak menjadi prioritas. Keterbukaan informasi yang diinginkan oleh konsumen adalah mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perusahaan tidak hanya melakukan keterbukaan informasi mengenai kondisi perusahaan. Dalam kaitannya dengan konsumen, prinsip transparansi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha adalah memberikan informasi mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen.36 33
Robert A.G Monks, The Emperors Nightingale: Restoring the Integrity of the Corporation, (Oxford: Capstone, 1998), hal. 27. 34
Surya dan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, hal. 104.
35
Indonesia (a), Pasal 7 huruf b. 36
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Terkait dengan informasi mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen, lihat pasal 8 sampai pasal 11.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
2. Prinsip Akuntabilitas Prinsip akuntabilitas dalam UU No. 8 Tahun 1999 tercermin dengan adanya hak, kewajiban, serta perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam menjalankan usahanya.37 3. Prinsip Responsibilitas Prinsip responsibilitas tercermin pada keseluruhan pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1999. Prinsip responsibilitas merupakan prinsip yang paling penting bagi konsumen sebagai salah satu stakeholder. Hal ini dikarenakan berdasarkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk selalu menaati peraturan yang ada. Dalam kaitannya dengan konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 merupakan peraturan yang harus ditaati oleh perusahaan (pelaku usaha) demi tercapainya prinsip responsibilitas. 4. Prinsip Independensi Di dalam UU No. 8 Tahun 1999, mengenai prinsip independensi dari pelaku usaha tidak dijelaskan. Hal ini dikarenakan memang fokus dari undang-undang ini adalah terhadap kepentingan konsumen. 5. Prinsip Fairness Mengenai prinsip fairness, dapat ditemukan di dalam asas keadilan38 dan asas keseimbangan 39
dalam UU No. 8 Tahun 1999. Prinsip fairness dalam UU No. 8 Tahun 1999 lebih
ditekankan kepada keseimbangan dan keadilan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha. Namun, apabila ditinjau dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, jelas bahwa kepentingan yang lebih diutamakan adalah kepentingan dari konsumen.40
37
Prinsip akuntabilitas menuntut adanya kejelasan hak dan kewajiban dari pelaku usaha. Dengan adanya kejelasan hak (Pasal 6) dan kewajiban (Pasal 7) dari pelaku usaha , serta adanya pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang (Pasal 8-Pasal 17) dapat diketahui tolok ukur bagaimana seharusnya pelaku usaha bertindak. 38
Ibid., Pasal 2 beserta Penjelasan Pasal 2 angka 2 yang menyebutkan asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 39
Ibid., Penjelasan Pasal 2 angka 3 yang menyebutkan asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 40
Hal ini dapat dilihat dari adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah hak dari konsumen (sembilan hak) dengan hak dari pelaku usaha (lima hak). Hal yang sama juga ditemukan pada perbedaan jumlah yang signifikan antara kewajiban pelaku usaha (tujuh kewajiban) dengan kewajiban konsumen (empat kewajiban).
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Secara keseluruhan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan peraturan yang mendukung terwujudnya prinsip good corporate governance, khususnya pada prinsip responsibilitas.
2.
Analisis Terhadap Dugaan Pelanggaran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dikaitkan dengan Peraturan Perundang-Undangan Terkait dan Prinsip Good Corporate Governance
1. Dugaan Pelanggaran Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kebijakan PLN mengenai penerapan PPOB sebagai sistem pembayaran pelayanan kelistrikan merupakan pelanggaran Pasal 4 UUPK, khususnya dalam huruf c dan huruf g. Pasal 4 huruf c merupakan pasal yang berisikan pengaturan salah satu hak konsumen, yaitu hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sedangkan, dalam Pasal 4 huruf g terdapat pengaturan mengenai hak konsumen untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Dalam kaitannya dengan pasal 4 huruf c UUPK, konsumen tidak diberikan informasi terkait dengan penerapan PPOB sebagai sistem pembayaran pelayanan kelistrikan oleh PLN. 41 PPOB merupakan perjanjian antara PLN dengan bank-bank terkait42, tanpa melibatkan unsur konsumen di dalam pengambilan kebijakan tersebut. Padahal pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.43 Terkait dengan Pasal 4 huruf g, konsumen memiliki hak untuk dilayani dengan benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Hal ini juga sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 29 ayat (1) 41
Hal ini dilihat dari tidak adanya akses untuk memperoleh peraturan terkait PPOB yaitu Keputusan Direksi PLN No. 021.K/0599/DIR/1995 tanggal 23 Mei 1995 tentang Pedoman dan Petunjuk Tata Usaha Pelanggan. 42
Andi Saputra, “Biaya Tagihan Listrik Ditanggung PLN, Bukan Pelanggan” diunduh dari http://news.detik.com/read/2012/09/11/184249/2015178/10/biaya-tagihan-listrik-ditanggung-pln-bukanpelanggan?nd771108bcj pada tanggal 19 Desember 2012. 43
Indonesia (a), Pasal 7 huruf b.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang berisikan pengaturan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Sebelum pelaksanaan PPOB, PLN menyediakan loket-loket pembayaran rekening listrik yang tidak dikenakan biaya administrasi. Saat itu, konsumen tidak perlu membayar biaya administrasi. Akan tetapi di sisi lain, konsumen hanya dapat membayar di loket yang telah ditentukan. 44 Sejak diberlakukannya PPOB, konsumen dapat melakukan pembayaran di mana saja, tetapi konsumen diharuskan membayar biaya administrasi bank. David Tobing berpendapat bahwa seiring dengan berkurangnya loket-loket tersebut maka akan berkurang pula biaya operasional yang dikeluarkan untuk biaya investasi pengadaan loket-loket dan gaji karyawannya.45 Oleh karena itu, biaya tersebut harus dialihkan ke sistem PPOB sebagai pengganti sistem pembayaran konvensional atau loket.46 Sementara itu, PLN menjelaskan bahwa PLN telah melakukan pembayaran kepada pihak bank terkait dengan penerapan PPOB. Akan tetapi, pihak bank berpendapat bahwa dana yang diberikan oleh PLN tidak mencukupi untuk membangun infrastruktur PPOB.47 Penjelasan sebelumnya menggambarkan bahwa tidak adanya ukuran yang pasti mengenai pelayanan yang baik. Hal ini dikarenakannya tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai standar operasional prosedur mengenai seperti apa pelayanan yang baik dalam ketenagalistrikan, khususnya yang terkait pembayaran listrik. PLN beranggapan bahwa dengan kemudahan pembayaran melalui PPOB merupakan suatu bentuk pelayanan yang baik. Namun demikian, konsumen beranggapan sebagai bentuk pelayanan dari PLN seharusnya biaya administrasi tidak dibebankan kepada konsumen. Dengan kata lain, PLN harus membayar fee bank lebih besar daripada yang telah dibayarkan sebelumnya atau sekarang ini. Apabila ditinjau dengan teori segitiga kepuasan, bahwa kepuasan manusia terdiri dari tiga sisi, yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Didasarkan pada teori tersebut, kepuasan konsumen kelistrikan dalam hal pembayaran secara substantif adalah mengenai tarif dari listrik tersebut, termasuk di dalamnya 44
Hasil wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012. 45
Disampaikan di dalam Gugatan LPKSM ADAMSCO kepada PT PLN (Persero) dengan No. Pendaftaran 510/Pdt. G/2012/PN Jakarta Selatan pada tanggal 12 September 2012. 46
Ibid.
47
Hasil wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
adalah apakah biaya administrasi termasuk dalam biaya yang harus dibayarkan. Hal ini dikarenakan sebelumnya konsumen tidak membayar biaya administrasi, namun sekarang biaya administrasi harus diperhitungkan. Kepuasan prosedural adalah terkait dengan kemudahan dari pembayaran. Sementara kepuasan psikologis adalah terkait dengan psikologis konsumen ketika melakukan pembayaran. Dapat dilihat bahwa mengenai biaya administrasi termasuk ke dalam kepuasan substantif dari konsumen terkait dengan pembayaran listrik. Dengan demikian, pelayanan yang baik dalam hal pembayaran listrik didasarkan pada segitiga kepuasan manusia adalah biaya administrasi PPOB tidak dibebankan kepada konsumen. Salah satu klausula dalam Pasal 4 huruf g yaitu mengenai hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif. Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memperlakukan konsumen secara tidak diskriminatif atau tidak membeda-bedakan konsumen. Dalam penerapan PPOB, terdapat perlakuan diskriminatif PLN kepada konsumen. Pertama, PLN juga masih memiliki loket pembayaran di setiap Kantor Rayon PLN yang disebut Loket NonA (Loket Non Administrasi).48 Apabila konsumen melakukan pembayaran di loket tersebut, konsumen tidak perlu membayar biaya administrasi. Ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif dari PLN. Apabila konsumen tinggal di dekat Kantor Rayon PLN, maka dalam melakukan pembayaran rekening listrik, konsumen tersebut tidak perlu membayar biaya administrasi. Sedangkan, bagi konsumen yang tidak berkediaman di dekat Kantor Rayon PLN tersebut, tentunya akan membutuhkan ongkos apabila hendak membayar di Kantor Rayon PLN. Apabila membayar melalui PPOB, maka konsumen tersebut akan dikenakan biaya administrasi. Kedua, apabila konsumen melakukan pembayaran melalui PPOB juga masih terdapat kemungkinan perlakuan diskriminatif. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan besaran biaya administrasi yang berkisar antara Rp 1.600 hingga Rp 5.000.49 PLN menyatakan bahwa penentuan biaya administrasi tersebut adalah kewenangan bank, sehingga PLN tidak turut campur di dalamnya.50 Besaran biaya administratif yang variatif tersebut merupakan perlakuan 48
Hasil wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012. 49
NN, “Konsumen Gugat PLN dan Menteri Karena Biaya Administrasi Listrik”, diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505163aee1bdd/konsumen-gugat-pln-dan-menteri-karena-biayaadminsitrasi-listrik tanggal 23 September 2012. 50
Hasil wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
yang diskriminatif kepada konsumen. Apabila konsumen membayar di Bank A akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 2.500. Namun, konsumen lain yang membayar di Bank B, hanya dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1.600. Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PLN telah melanggar Pasal 4 UUPK, khususnya huruf c dikarenakan tidak memberikan informasi sebelumnya kepada konsumen mengenai penerapan biaya administrasi dalam PPOB. Serta PLN telah melanggar Pasal 4 huruf g UUPK, terkait dengan penerapan biaya administrasi tersebut merupakan bentuk pelayanan yang tidak benar serta masih diterapkan secara diskriminatif. Dikaitkan dengan prinsip good corporate governance, pelanggaran Pasal 4 huruf c dan huruf g terkait dengan pelanggaran prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, dan responsibilitas serta prinsip fairness. Dikatakan sebagai pelanggaran prinsip transparansi dikarenakan penerapan biaya administrasi dalam PPOB merupakan informasi yang seharusnya dibuka kepada konsumen. Terlebih lagi ketika konsumen diharuskan membayar biaya administrasi yang sebelumnya tidak harus dibayarkan. Melanggar prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam kaitannya dengan pemberian pelayanan kepada konsumen listrik itu sendiri. Bentuk diskriminasi terhadap konsumen terkait dengan penerapan biaya administrasi merupakan pelanggaran prinsip fairness.
2. Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada prinsipnya kewajiban konsumen hanya membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati sebelumnya tanpa adanya biaya-biaya tambahan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UUPK. Pasal 5 huruf c UUPK berisi pengaturan mengenai salah satu kewajiban konsumen, yaitu membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati. Adapun dalam hal kelistrikan, nilai tukar yang disepakati antara PLN dengan konsumen yaitu sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Ketenagalistrikan. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Ketenagalistrikan menyebutkan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Klausula “biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik” sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Ketenagalistrikan yang menyatakan bahwa kewajiban konsumen adalah untuk membayar tagihan pemakaian tenaga listrik. Dengan demikian, konsumen hanya wajib membayar biaya sebagaimana yang telah ditentukan dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Ketenagalistrikan. Biaya administrasi yang dikenakan dalam penerapan PPOB tidak pernah diperjanjikan antara PLN dengan konsumen sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya ketentuan tertulis mengenai biaya administrasi dalam perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dengan konsumen.51 Dapat disimpulkan bahwa biaya administrasi bukanlah termasuk pada tarif yang seharusnya dibayarkan oleh konsumen, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun perjanjian. Kewajiban konsumen mengenai pembayaran sesuai dengan nilai yang disepakati terkait dengan prinsip akuntabilitas dalam good corporate governance. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Ketenagalistrikan telah jelas mengatur apa saja yang termasuk ke dalam tarif tenaga listrik yang harus dibayarkan dengan konsumen. Hal ini sesuai dengan prinsip akuntabilitas yang menuntut adanya kejelasan dari suatu tindakan perusahaan. Dalam hal pembayaran listrik sudah jelas apa-apa saja yang harus dibayarkan oleh konsumen kepada PLN.
3. Dugaan Pelanggaran Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sistem pembayaran melalui PPOB merupakan perjanjian kerjasama antara PLN dengan 52
bank.
Oleh karena itu, sudah seharusnya segala biaya yang timbul dari perjanjian tersebut
merupakan kewajiban dan tanggung jawab para pihak dalam perjanjian. Apabila biaya-biaya yang timbul dari perjanjian tersebut, termasuk biaya administrasi, dibebankan kepada konsumen yang notabene merupakan pihak di luar perjanjian, dapat dikatakan PLN telah melakukan suatu pengalihan tanggung jawab. 51
Disampaikan di dalam gugatan LPKSM ADAMSCO kepada PT PLN (Persero) dengan No. Pendaftaran 510/Pdt. G/2012/PN Jakarta Selatan pada tanggal 12 September 2012. Di dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Lampiran 1) tidak menyebutkan rincian biaya apa saja yang termasuk ke dalam pembayaran akibat adanya pembelian tenaga listrik. Mengenai biaya administrasi hanya disebutkan pada pengaturan mengenai mekanisme pasang baru. 52
Ibid., Ditegaskan pula dalam wawancara dengan Bambang Dwiyanto selaku Manajer Senior Komunikasi Korporat dalam wawancara yang dilakukan pada hari Selasa tanggal 20 November 2012.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh PLN merupakan pelanggaran terhadap salah satu prinsip perlindungan konsumen sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK. Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK berisi ketentuan mengenai pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tidak dicantumkan klausula mengenai pengalihan tanggung jawab PLN sebagai pelaku usaha. Akan tetapi, dalam prakteknya memang terjadi pengalihan tanggung jawab oleh PLN mengenai pembayaran biaya administrasi dalam rangka penerapan PPOB. Pada asasnya perjanjian antara PLN dengan bank dalam penyelenggaraan PPOB tidak mengikat pihak ketiga di luar perjanjian, yaitu konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang tidak dapat menetapkan suatu perjanjian bukan untuk dirinya sendiri. Lebih lanjut lagi, diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.53 Dalam ayat (2) disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat membawa kerugian bagi pihak-pihak ketiga, serta tidak dapat membawa keuntungan bagi pihak ketiga kecuali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131754 KUHPerdata. Dengan demikian, perjanjian antara PLN dengan bank tidak mengikat konsumen sebagai pihak ketiga di luar perjanjian. Terlebih lagi perjanjian tersebut telah membawa kerugian kepada konsumen, yaitu harus membayarkan biaya administrasi yang timbul dari perjanjian antara PLN dengan bank. Jadi, dapat disimpulkan bahwa PLN telah melakukan pengalihan tanggung jawab berupa pembebanan biaya administrasi kepada konsumen. Dikaitkan dengan prinsip good corporate governance, pelanggaran Pasal 18 ayat (1) huruf a terkait dengan pelanggaran prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, dan responsibilitas serta prinsip fairness, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
53
Lihat juga ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa segala perjanjian berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya. Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 1316 KUHPerdata mengenai perjanjian garansi. Menurut Soebekti (Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32 (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal. 142) dalam perjanjian garansi, seseorang berjanji pada seorang lain bahwa pihak ketiga akan melakukan suatu perbuatan. 54
Pasal 1317 KUHPerdata memuat ketentuan yang membolehkan seseorang jika ia dalam suatu perjanjian telah minta diperjanjikannya suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu kepada seorang lain, untuk meminta pula diperjanjikan suatu hak untuk pihak ketiga. Lihat: Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 32 (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal. 141-142.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Perlindungan konsumen merupakan salah satu materi yang terdapat di dalam prinsip good corporate governance. Meskipun pada awalnya, prinsip good corporate governance dibentuk demi kepentingan pemegang saham sebagai pendiri perusahaan. Akan tetapi, saat ini mulai timbul pemikiran bahwa kepentingan perusahaan bukan hanya mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Pemikiran yang berkembang saat ini adalah bagaimana perusahaan mampu mendapatkan keuntungan serta bagaimana perusahaan dapat bertahan di dalam dunia bisnis. Kepentingan perusahaan untuk dapat bertahan tidak terlepas dari konsumen. Dengan kata lain, perusahaan bergantung pada konsumen. Apabila perusahaan tidak memiliki konsumen, perusahaan tidak akan mendapatkan keuntungan. Padahal, dibentuknya perusahaan adalah untuk mencari keuntungan. Ketika keuntungan sudah tidak lagi didapat, perusahaan tidak akan bertahan di dunia bisnis. Oleh karena itu, perusahaan mulai mempertimbangkan kepentingan konsumen di dalam pengambilan keputusan perusahaan. Bahkan terdapat pemikiran bahwa perusahaan seharusnya mengurangi keuntungan yang di dapat demi memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk konsumen di dalamnya. Pemikiran seperti inilah yang mendasari lahirnya prinsip good corporate governance stakeholders’ model. Yang sekarang ini berkembang adalah kombinasi kedua model corporate governance tersebut. Dengan demikian, perlindungan konsumen memiliki posisi tersendiri di dalam prinsip good corporate governance. Prinsip good corporate governance tetap memperhatikan kepentingan konsumen demi kelangsungan usaha. 2. Mengenai pengenaan biaya administrasi PLN dalam rangka penerapan PPOB, terdapat dugaan pelanggaran pasal-pasal sebagai berikut di dalam UUPK. a. Pasal 4 huruf c mengenai hak konsumen untuk memperoleh informasi, serta huruf g yaitu mengenai hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang baik, jujur, dan tidak diskriminatif. Dalam hal ini PLN tidak melakukan keterbukaan informasi mengenai penerapan PPOB. Selain itu, PLN juga telah berlaku diskriminatif dalam hal penerapan PPOB, baik dikarenakan masih adanya loket-loket NonA yang terbatas serta besaran biaya administrasi yang variatif. Dikaitkan dengan prinsip good
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
corporate governance, PLN tidak memenuhi prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, prinsip responsibiltas dan prinsip fairness. b. Pasal 5 huruf c mengenai kewajiban konsumen untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Nilai tukar yang disepakati tidak termasuk biaya administrasi PPOB sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Ketenagalistrikan serta Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Dikaitkan dengan prinsip good corporate governance, PLN tidak memenuhi prinsip akuntabilitas. c. Pasal 18 ayat (1) huruf a mengenai pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam hal ini, PLN melakukan pengalihan pembebanan biaya administrasi kepada konsumen. Pihak yang terikat dalam Perjanjian Kerjasama PPOB adalah PLN dan bank penyelenggara, sehingga yang seharusnya membayar biaya administrasi adalah PLN. Dikaitkan dengan prinsip good corporate governance, PLN tidak memenuhi prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas, prinsip responsibiltas dan prinsip fairness.
Saran Berdasarkan kesimpulan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berikut ini adalah beberapa saran terkait dengan pengenaan biaya administrasi PPOB oleh PLN. a. Sesuai dengan pendapat Einer Elhaude, PLN seharusnya dapat mengurangi keuntungan yang didapat untuk membayar biaya administrasi PPOB. Dengan demikian, hal ini tidak membebani konsumen. PLN memang telah membayar fee kepada bank dalam penyelenggaraan PPOB, namun pada kenyataannya pembayaran tersebut tidak cukup. Oleh karena itu, PLN seharusnya mengeluarkan dana lebih untuk menutup pembayaran tersebut. b. Untuk menghilangkan perlakuan diskriminatif pada konsumen, PLN seharusnya memilih apakah akan melanjutkan sistem PPOB, sehingga meniadakan loket-loket NonA. Atau, PLN juga dapat memperbanyak loket-loket NonA tersebut sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Apabila PLN tidak dapat menutup pembayaran fee kepada bank, PLN seharusnya mampu memperjanjikan kepada bank agar biaya administrasi yang dikenakan kepada konsumen adalah sama, tidak bervariasi.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
c. PLN juga harus melakukan transparansi mengenai kegiatan PLN, terlebih lagi yang berkaitan erat dengan konsumen. Dengan demikian, diharapkan selanjutnya tidak terjadi permasalahan seperti ini. d. Sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar konsumen memahami mengenai hak-hak mereka dan dapat melakukan upaya hukum apabila hak-hak tersebut dilanggar oleh pelaku usaha.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel Elhauge, Einer. “Sacrifing Corporate Profits in the Public Interest”. New York University Law Review (Vol. 80 Juni 2005 No. 3). . Monks, Robert A.G. The Emperors Nightingale: Restoring the Integrity of the Corporation. Oxford: Capstone. 1998. Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Daya Widya. 1990. Surya,
Indra dan Ivan Yustiavandana. Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2008.
Internet Iskan,
Dahlan. “Membangun Dua Pondasi Tanpa Banyak http://www.pln.co.id/?p=3250 tanggal 23 September 2012.
Bunyi”
diunduh
dari
Mintz, Steven M. “Improving Corporate Governance System: A Stakeholder Theory Approach” diunduh dari http://aaahq.org/AM2004/cpe/Ethics/Forum_08.pdf pada tanggal 20 Desember 2012. NN. “PLN dan Bank Kerjasama Raup 100 Miliaran Rupiah Setiap Bulan”. Info Konsumen Indonesia (April-Mei 2012). . “Konsumen Gugat PLN dan Menteri Karena Biaya Administrasi Listrik” diunduh dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505163aee1bdd/konsumen-gugat-pln-danmenteri-karena-biaya-adminsitrasi-listrik tanggal 23 September 2012. Saputra, Andi. “Biaya Tagihan Listrik Ditanggung PLN, Bukan Pelanggan” diunduh dari http://news.detik.com/read/2012/09/11/184249/2015178/10/biaya-tagihan-listrikditanggung-pln-bukan-pelanggan?nd771108bcj pada tanggal 19 Desember 2012.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.
Wawancara Wawancara dilakukan dengan Bambang Dwiyanto, Manajer Senior Komunikasi Korporat, pada tanggal 20 November 2012.
Tinjauan Hukum..., Amalia Nurul Rahma, FH UI, 2013