UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (75 TAHUN) DENGAN MASALAH KERUSAKAN MEMORI DI WISMA DAHLIA, PANTI SASANA TRESNA WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
PUPUT WULANDARI 0906511063
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (75 TAHUN) DENGAN MASALAH KERUSAKAN MEMORI DI WISMA DAHLIA, PANTI SASANA TRESNA WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
PUPUT WULANDARI 0906511063
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA DEPOK JULI 2014 ii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Puput Wulandari
NPM
: 0906511063
Tanda Tangan
: ...............................
Tanggal
: Juli 2014
iii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
iv
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya yang telah dilimpahkan sehingga saya dapat menyelesaikan laporan penelitian tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga senantiasa diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyelesaian laporan penelitian ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan semangat dan arahan yang datang dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala hormat saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ibu Ns. Dwi Nurviyadari, S.Kep, M.N selaku pembimbing karya ilmiah akhir Ners (KIAN) yang dengan sepenuh hati mendukung saya, baik berupa waktu, tenaga dan juga dukungan moral sejak awal pembuatan proposal hingga penyusunan laporan akhir. 2. Kepala PSTW Budi Mulya 01 Cipayung yang telah memberikan perizinan, dan telah memfasilitasi selama mahasiswa selama praktik. 3. Perawat dan petugas PSTW Budi Mulya 01 Cipayung yang selalu mendukung, memfasilitasi selama praktik. 4. Para lansia wisma Edelweis dan semua pihak yang telah membantu mahasiswa selama praktik keperawatan gerontik 5. Kedua orang tua, Bapak Dede karjita, ayah tercinta, dan Ibunda tercinta Ibu Marliyah, terima kasih atas dukungan, doa, semangat dan arahan yang selalu diberikan. 6. Nurulita, Yuda Chandra Wiguna, dan Lutfi Kurniawan, saudara-saudara tercinta, yang selalu memberikan dukungan, dan semangat kepada saya untuk menyelesaikan karya ilimiah akhir ini dengan segera. 7. Fauzian R.A. yang tidak pernah lupa mengingatkan dan selalu memotivasi untuk mengerjakan laporan dengan sungguh-sungguh. 8. Teman-teman satu bimbingan : Rani Wijayanti, Destiana Puspasari, Nova Lumban Gaol, Yuli Pramita, Septiana Wulandari . Terima kasih atas arahan dan bimbingan ketika saya mengalami kesulitan. v
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
9. Kurnia Dwi, Fitriayu, Rini Fauziah, Layya Notiva, Purwanti, Retno Indah, Sulastri, dan Islah. Terima kasih telah menjadi penyemangat dan tidak segansegan mengarahkan saya disaat mengalami kesulitan. 10. Teman-teman regular 2009 yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan ini. Saya menyadari bahwa laporan yang saya susun masih memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan pada proses penyusunan karya ilmiah akhir ini ataupun penelitian selanjutnya. Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga penelitian ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi siapapun yang membaca karya ini.
Depok, 10 Juli 2014
Puput Wulandari
vi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Puput Wulandari
NPM
: 0906511063
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Karya Ilmiah Akhir Ners
Demi pemgembangan ilmu pengetahuan, menyutujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Ibu S (75 Tahun) Dengan Masalah Kerusakan Memori Di Wisma Dahlia, Panti Sasana Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung ”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasi tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal
: 10 Juli 2014
Yang menyatakan
Puput Wulandari vii
(
) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
ABSTRAK Nama : Puput Wulandari Program Studi : Profesi Judul KIAN : Analisis Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Ibu S (75 Tahun) Dengan Masalah Kerusakan Memori Di Wisma Dahlia, Panti Sasana Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung Prevalensi demensia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada salah satu panti werdha yaitu Budi Mulia 1 sebanyak 35,2 % lansia dengan diagnosa demensia, dan 40% lansia di wisma Dahlia mengalami penurunan kognitif ringan hingga berat. Laporan ini ditulis untuk menggambarkan analisis praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (PKKMP) yang telah dilakukan untuk menangani masalah demensia (kerusakan memori). Intervensi dilakukan pada Ibu S (75 tahun) dengan keluhan sulit mengingat informasi, lupa, disorientasi waktu, orang dan tempat, serta hasil MMSE 17. Terapi stimulasi kognitif berupa Cognitive Stimulation Therapy dilakukan pada kasus tersebut. Setelah dilakukan CST selama 14 sesi didapatkan adanya peningkatan kemampuan kognitif pada Ibu S (MMSE dari 17 menjadi 23, CDR komponen pekerjaan rumah dan hobi meningkat 1 - demensia ringan, menjadi 0.5 - kemungkinan). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pentingnya program CST sehingga dirasa perlunya keterampilan bagi perawat untuk melaksanakan program tersebut, selain itu deteksi dini demensia dengan MMSE ataupun CDR sebaiknya dilakukan pada setiap lansia di PSTW sehingga program terapi yang tepat dapat dilakukan untuk menangani masalah demensia. Kata kunci : CST, demensia, kerusakan memori, lansia, PSTW, terapi stimulasi kognitif ABSTRACT There is an increase of dementia prevalention in elderly. There are 35,2% of elderly in PSTW Budi Mulia 1 diagnosed dementia, and 40% of elderly in Dahlia homestead encounter to cognitive impairment. This study aimed to describe and analyze clinical practice of urban nursing to solve cognitive impairment for dementia. Intervention performed to Mrs S (75 years old) and complaints of difficulty remembering information, forgetting something, disorientation of time, place, and forget of people name, MMSE indicated to moderate cognitive impairment (score 17). Cognitive Stimulation Therapy (CST) has been done to Mrs. S and after 14 therapy sessions there are an increase of cognitive ability from moderate to mild cognitive impairment (MMSE result: 17 to 23 and CDR incrase in homework and hobbies: 1 to 0,5). The result was showed the important to do CST for dementia, and early identification of memory impairment in elderly must be done. Key word : cognitive stimulation therapy, dementia, elderly, memory impairment, nursing home
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii HALAMAN ORISINALITAS ........................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv KATA PENGANTAR ...................................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................................................ vii ABSTRAK ......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR SKEMA/GAMBAR ........................................................................ x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 11 2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia) ................................................................ 11 2.2 Teori Penuaan ....................................................................................... 13 2.3 Konsep dan Teori Demensia .................................................................. 15 2.4 Instrumen Pengkajian Demensia ........................................................... 21 2.5 Masalah Keperawatan yang dapat Terjadi pada Demensia .................. 25 2.6 Intervensi pada Demensia ..................................................................... 27 2.7 Terapi Kognitif ...................................................................................... 28 2.8 Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia ................................................ 32 BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA .................................... 37 3.1 Pengkajian ............................................................................................. 37 3.2 Analisa Data .......................................................................................... 33 3.3 Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 46 3.4 Rencana Keperawatan ........................................................................... 46 3.5 Implementasi Kerusakan Memori ......................................................... 49 3.6 Evaluasi ................................................................................................. 53 BAB IV ANALISIS SITUASI .......................................................................... 63 4.1 Analisis Profil Pelayanan Sasana Tresna Werdha ................................. 63 4.2 Analisis Diagnosa Keperawatan Kerusakan Memori pada Demensia ... 67 4.3 Analisis Dampak CST Pada Lansia dengan Demensia.......................... 70 4.4 Analisis Intervensi CST dengan Konsep Penelitian Terkait .................. 74 4.5 Alternatif Intervensi Lain ....................................................................... 76 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 77 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 78 5.2 Saran ..................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 81
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2
- Ilustrasi neuron, (a) neuron pada individu normal; (b) neuron da jaringan otak pada individu dengan Alzheimer - Ilustrasi otak pada individu normal dan pada penyakit Alzheimer
x
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2
- Nilai Reliabilitas MMSE pada Beberapa Penelitian - Interpretasi Mini Mental State Exam
xi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
Lampiran 4
- Pemeriksaan Fisik Ibu S (75 tahun) - Rencana Asuhan Keperawatan Ibu S (75 tahun) - Pemeriksaan neuropsikologis, Mini Mental State Exam , Clinical Dementia Rating, Barthel index, BADL, GDS Ibu S (75 tahun) Pre-terapi - Pemeriksaan neuropsikologis, Mini Mental State Exam , Clinical Dementia Rating, Barthel index, BADL, Ibu S (75 tahun) Pasca-terapi
xii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup (UHH). Semakin meningkatnya UHH penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun. Diseluruh dunia penduduk lansia (usia 60 atau lebih) tumbuh sangat cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia lainnya (Kementrian Kependudukan, 2010). Fakta yang dikemukakan melalui Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, ditemukan bahwa setengah dari jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) saat ini berada di Asia (Primadi, dkk, 2013). Pertumbuhan penduduk lansia selama dua dekade terbukti mengalami peningkatan yang signifikan. Data yang didapatkan dari badan pusat statistik Indonesia tahun 2014, terdapat peningkatan usia harapan hidup di Indonesia. Jika pada tahun 1980 usia harapan hidup di Indonesia adalah 52,2 tahun dengan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) sebanyak 7.998.000 jiwa atau sekitar 5,45%. Angka ini meningkat pada tahun 2000, usia harapan hidup yaitu 64,5 tahun dengan jumlah lansia 14.440.000 (7,18%). Diperkirakan hingga tahun 2020, terjadi peningkatan yang cukup signifikan, baik pada angka usia harapan hidup maupun jumlah penduduk lansia. Pada tahun 2020, diproyeksikan usia harapan hidup di Indonesia mencapai 72 tahun dengan jumlah lansia 28.823.000 atau sekitar 11,34%. Peningkatan UHH diikuti oleh sejumlah masalah kesehatan yang khas pada lansia. Penyakit degeneratif muncul seiring dengan meningkatnya usia akibat dari proses penuaan. Seiring peningkatan jumlah lansia di Indonesia, semakin meningkat pula permasalahan penyakit akibat proses penuaan. Lansia merupakan individu yang rentan. Perubahan baik secara fisik, psikologis, maupun sosial menyebabkan lansia menjadi individu yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan.
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
2
Otak sebagai organ kompleks, pusat pengaturan sistem tubuh dan pusat kognitif, merupakan salah satu organ tubuh yang sangat rentan terhadap proses penuaan atau degeneratif. Berbagai penyakit digeneratif pada otak seperti demensia Alzheimer, demensia vaskular, senilis dan Parkinson sering kali dialami oleh lansia. Sedikitnya setengah dari seluruh lansia yang ada dipanti jompo menderita demensia dan diperkirakan bahwa 4 juta penduduk Amerika menderita penyakit Alzheimer dan pada tahun 2050 diperkirakan 14 juta orang di Amerika Serikat yang menderitapenyakit tersebut (Stanley & Beare, 2002). Kasus yang terjadi di kawasan Asia Pasifik, berdasarkan data yang didapatkan dari Alzheimer’s Disease International (ADI) yang disampaikan dalam konferensi resmi se Asia-Pasifik menyebutkan, kasus baru demensia (Alzheimer-Non Alzheimer) bertambah sebanyak 4,3 juta kasus per tahun dan diproyeksikan akan meningkat hingga 19,7 juta kasus baru per tahun pada tahun 2050 (Rees, Chye & Lee, 2005). Kasus demensia di Indonesia hingga tahun 2005 mencapai 606.100 orang dengan 191.400 merupakan kasus baru dan diperkirakan kasusnya meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2020. Data regional yang didapat menyebutkan prevalensi penurunan kognitif pada lansia di Panti sebesar 49,5% (Balqis, 2014). Penelitian tersebut melibatkan dua Panti Sasana Tresna Werdha sebagai sampel, dan instrumen yang digunakan ialah Mini Mental Status Exam (MMSE). Angka tersebut juga hampir sama dengan temuan data yang didapatkan di PSTW Budi Mulia 1. Data yang didapatkan dari PSTW Budi Mulia 1, berdasarkan diagnosa medis terdapat 35,2% lansia mengalami demensia. Sedangkan kasus demensia pada salah satu Wisma yaitu Dahlia (total care) didaptkan 40% lansia mengalami penurunan kognitif ringan hingga berat. Prevalensi dan insidensi demensia terus bertambah seiiring dengan bertambahnya usia seseorang. Demensia merupakan istilah yang dapat menggambarkan penurunan progresif pada fungsi kognitif (Miller, 2012). Sindrom ini merupakan kumpulan dari kelainan fungsi otak yang mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif seseorang. Defisini lebih lanjut menyebutkan bahwa demensia adalah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan dan perkembangan tertinggi karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
3
kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual (Witjaksana, 2008). Kondisi ini biasanya ireversibel atau tidak dapat kembali kepada kondisi semula, sebaliknya demensia bersifat progresif. Gangguan fungsi kognitif yang dialami oleh seseorang dengan demensia tanpa disertai dengan gangguan kesadaran. Kerusakan kognitif menjadi dampak utama dari demensia. Penyebab demensia yang merupakan kerusakan kortikal baik karena gangguan serebrovaskuler maupun plak amiloid ataupun berkurangnya neurotransmiter menyebabkan fungsi luhur otak khususnya kognitif menjadi aspek yang paling terlihat pada demensia. Kerusakan kognitif meliputi: daya ingat, daya fikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa, kemampuan menilai. Gangguan tersebut tidak hanya mempengaruhi kemampuan berfikir, namun juga pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tentunya seseorang akan mengalami kesulitan dalam memenuhi Activity Daily Living (ADL) maupun memecahkan masalah apabila terjadi kerusakan pada kognitif. Penurunan kemampuan dalam memecahkan masalah, melakukan aktivitas, hingga gangguan dalam sosialisasi menjadi permasalahan yang sering kali dialami oleh penderita demensia. Tidak hanya itu, masalah seperti mudah melupakan sesuatu, sulit menerima informasi penting dan baru, lupa meletakkan barang, mengulang kegiatan yang telah dilakukan, tersasar bahkan hingga tindakan berisiko seperti memakan makanan yang tidak layak, keluyuran dapat terjadi pada lansia yang mengalami penurunan kognitif. Pada akhirnya masalah tersebut juga dapat menimbulkan masalah baru, mulai dari masalah fisik/penyakit (cedera, diare, jatuh), masalah psikologi stres hingga depresi pada lansia, masalah dalam sosialisasi seperti kerusakan interaksi sosial hingga tingginya tingkat ketergantungan lansia pada pemberi perawatan. Permasalahan yang muncul akibat demensia memang berdampak langsung pada kualitas hidup lansia. Dampak penurunan kognitif secara progresif dari masalah tersebut mengakibatkan penurunan kemampuan dalam pemenuhan ADL, produktivitas hingga kualitas hidup yang semakin merosot. Tidak hanya itu dapak global juga sering kali muncul mengiringi kasus demensia. Penyakit Alzheimer yang sering kali menyebabkan demensia menghabiskan biaya sekitar 90 miliar US Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
4
dollar per tahun untuk pembiayaan medis, biaya perawatan jangka panjang, dan hilangnya produktivitas (Stanley & Beare, 2002). Stanley dan Beare (2002) juga mengungkapkan demensia merupakan masalah kesehatan yang menghabiskan biaya, tetapi tantangan gejala demensia menimbulkan penurunan kualitas hidup, stress pemberi perawatan, dan pemeliharaan martabat manusia dan mungkin beban kemanusiaan lebih dari yang dapat diperbaiki perawat. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya demensia memiliki dampak yang lebih besar walaupun perawatan terhadap penderita demensia telah dilakukan. Besarnya dampak yang akan dihadapi menunjukkan betapa pentingnya perawatan dan penanganan yang tepat pada demensia dapat mengurangi dampak yang lebih merugikan dari demensia. Penanganan maupun pencengahan terhadap kerusakan memori pada klien demensia telah mendapatkan perhatian khusus sejak beberapa dekade. Berbagai macam tindakan baik secara medikasi maupun non medikasi dilakukan pada demensia untuk menangani masalah yang timbul terutama penurunan kognitif yaitu kerusakan memori. Salah satu teknik yang dikembangkan untuk mengatasi masalah kerusakan memori dari demensia ialah terapi stimulasi kognitif. Beberapa penelitian berhasil membuktikan efektivitas dari terapi stimulasi kognitif/Cognitive Stimulation Therapy (CST). Pengembangan terapi untuk mengatasi kerusakan memori telah dilakukan sejak 1987. Baines (1987) mulai melakukan percobaan terapi stimulasi kognitif. Penelitian ini dilakukan pada klien dengan penurunan kognitif sedang hingga berat. Terapi dilakukan dengan metode RO dan RT serta klien tanpa terapi sebagai kontrol. Terapi dilakukan sebanyak 5 sesi dalam empat minggu, satu sesi membutuhkan waktu 30 menit. Hasil yang ditunjukkan melalui instrumen Information/Orientation and Mental Ability, BRS (Behavioral Rating Scale) dan LSI (Life Satisfaction Index) adanya pengaruh stimulasi kognitif terhadap peningkatan kognitif, dan kualitas hidup. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian berikutnya yang berhasil membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi kognitif dengan peningkatan kognitif dan kualitas hidup (Baldelli, 1993; Bruiel, 1993; Baldelli, 2003;Bottino, 2005; Buschert, 2011;
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
5
Chapman 2004;Coen, 2011; Ferario, 1991; Onder, 2005; Requena, 2006; Spector 2001; Spector 2003). Penelitian terapi stimulasi kognitif yang dilakukan sebelum tahun 1994 masih menggunakan salah satu intervensi yaitu orientasi realitas ataupun Reminiscence Therapy (RT) dengan sistematika pelaksanaan dan waktu yang masih berbeda. Kemudian di tahun 2001 mulai dikembangkan penelitian awal (Spector, et al, 2001) dengan terapi yang lebih terstruktur yaitu Cognitive Stimulation Therapy (CST) dengan intervensi meliputi RO dan RT serta waktu intervensi selama tujuh minggu yang terdiri dari 14 sesi (2 sesi per minggu). Berbagai penelitian berikutnya telah membuktikan pula efektivitas CST dalam penanganan kerusakan memori pada demensia. Sebagian besar penelitian dilakukan di UK, dan keberhasilan serta efektifitas CST dalam menekan pembiayaan untuk terapi demensia membuat NICE Guidance (National Institute Health and Care Execellent) di UK merekomendasikan CST sebagai pedoman penanganan demensia. Keberhasilan dari teknik CST menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan pada klien lansia dengan demensia. Salah satu aplikasinya dapat dilakukan di nursing home ataupun panti werdha. Panti werdha merupakan suatu lembaga pelayanan yang didirikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri (Kemensos, 2012). Berdirinya Panti Sasana Tresna Werda (PSTW) di Indonesia merupakan realisasi dari UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia. Sasaran dari UU No. 13 tahun 1998 hingga saat ini ialah memberikan dorongan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan lansia kepada keluarga dan masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya lanjut usia yang berguna, berkualitas dan mandiri. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai tujuan dari UU No. 13 tahun 1998 dan salah satu program yang dirancang ialah pelayanan sosial melalui PSTW. Manfaat dari pendirian PSTW ialah sebagai upaya ini dilakukan sebagai langkah penertiban, perlindungan dan pelayanan sosial bagi lansia yang dicanangkan pemerintah (Rehsos Kemenkes RI, 2012). Hal ini juga yang berusaha dilakukan di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. PSTW Budi Mulia 1 berusaha memberikan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
6
pelayanan yang prima untuk lansia. Pelayanan yang diberikan merupakan pelayanan dalam jangka waktu panjang (Long term service) untuk memenuhi kebutuhan harian lansia. Selain itu, PSTW Budi Mulia 1 memberikan pelayanan perawatan kesehatan sederhana ataupun dengan sistem rujuk. Berbagai pelayanan dan
pembinaan
baik
fisik,
psikologis,
rohani
maupun
pembinaan
lanjutan/ketrampilan diberikan di Panti ini sebagai salah satu bentuk dorongan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan lansia agar dapat mendukung terwujudnya lanjut usia yang berguna, berkualitas dan mandiri. Pelayanan yang telah tersedia di PSTW Budi Mulia 1 terkait penanganan demensia/kerusakan memori antara lain senam otak, terapi aktifitas serta pengadaan sarana dan prasarana seperti kalender, jam pada setiap wisma. Terapi aktivitas merupakan salah satu bentuk pelayanan yang tersedia di panti ini. terapi ini pula yang menjadi salah satu tindakan untuk menstimulasi gangguan kognitif yang dialami oleh lansia-lansia di PSTW Budi Mulia 1. Dari hasil pengkajian dengan menggunakan instrumen MMSE pada lansia-lansia yang dipilih secara acak di Wisma Dahlia diperoleh bahwa sebanyak 40% lansia mengalami gangguan kognitif ringan hingga berat. Fasilitas yang telah disediakan oleh panti untuk memfasilitasi lansia dengan gangguan kognitif antara lain terapi aktivitas berupa senam bersama, pengajian, kebaktian, dan panggung gembira. Penyediaan fasilitas berupa jam dan kalender juga telah disediakan untuk menstimulasi kognitif yaitu berupa orientasi waktu. Namun, terdapat beberapa wisma yang belum tersedia kalender. Selain itu pada setiap wisma tertulis papan nama panti dengan tulisan yang cukup besar. Tentunya hal ini menjadi sarana bagi lansia khususnya yang mengalami disorientasi tempat. Terapi senam otak juga sudah dilakukan pada beberapa lansia, Selain itu terapi rutin mingguan serta konsultasi rutin bulanan telah dilaksanakan di PSTW Budi Mulia 1 untuk mengurangi dampak progresif dari demensia yang dialami lansia. Ibu S merupakan klien yang mengalami penurunan fungsi kognitif yang tinggal di Wisma Dahlia PSTW Budi Mulia 1. Gejala yang tampak pada Ibu T selama interaksi ialah sulitnya menerima informasi baru, klien tidak dapat mengingat Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
7
nama petugas, waktu, tempat, lansia yang ada di sekitarnya maupun mahasiswa. Klien sering kali lupa dengan hal yang ingin dilakukan dan beberapa kali klien mengatakan ingin melakukan kegiatan padahal kegiatan tersebut baru saja dilakukan. Selain itu, tampak beberapa kali klien menggunakan pakaian yang sama sebelum dan setelah mandi. Berdasarkan hasil pengkajian barthel klien memiliki tingkat ketergantungan minimal (mandiri). Hasil pengkajian MMSE yang dilakukan pada tanggal 12 Mei 2014 didapakan skor 17 yang mengindikasikan adanya kerusakan kognitif berat. Sedangkan pengkajian demensia dengan tabel/instrumen Clinical Dementia Rating (CDR) berdasarkan observasi penulis, menunjukkan bahwa klien mengalami demensia ringan. Hasil wawancara yang dilakukan pada Petugas mengatakan bahwa muncul gejala pikun pada klien. Petugas mengatakan bahwa Ibu S sering kali mengatakan ingin menyanyi di panggung gembira walupun sebenarnya acara itu baru saja dilakukan. Klien tinggal di Wisma Dahlia sejak 1 April 2014. Pada saat itu klien ditemukan oleh petugas dan ingin tinggal di Panti karena ingin bertemu Gubernur DKI Jakarta. Riwayat hipertensi disangkal, hasil pemeriksaan tekanan darah yang dilakukan sebanyak 4 kali menunjukkan tekanan darah masih dalam batas normal berkisar 130/80-90 mmHg. Hasil pemeriksaan tersebut membuat mengarahkan adanya faktor lain yang menyebabkan Ibu S mengalami kerusakan memori yaitu senilis/proses penuaan ataupun kelainan struktur pada jaringan otak (plak amiloid dan adanya kekusutan neurofibril yang akhirnya mempengaruhi sel-sel otak. Aktivitas harian yang dilakukan Ibu S. dipanti masih cukup baik. Ibu S . memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan kegiatan rutin mulai dari higiene, makan, mengikuti senam rutin, pengajian dan panggung gembira. Motivasi Ibu S cukup tinggi namun terkadang klien tidak melaksanakan kegiatan tersebut karena lupa dan tidak ada yang mengingatkan/mengajak untuk melaksanakan jadwal rutin termasuk higiene. Terapi tambahan selain aktivitas belum diprogramkan khusus untuk Ibu S belum ada, namun setiap minggunya saat senam bersama dilakukan pula sesi senam otak di awal ataupun penutup senam. Senam otak dilakukan secara bersama-sama dan dilakukan di lapangan olahraga PSTW Budi Mulia 1.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
8
Kondisi Ibu S saat ini dapan pemenuhan ADL masih dalam kategori mandiri. Hal ini perlu dipertahankan agar kualitas hidup tetap baik serta klien dapat menjalankan dan memenuhi ADL dengan mandiri. Masalah kerusakan memori pada Ibu S memang belum berdampak pada kemampuan pemenuhan ADL, namun mulai mempengaruhi keefektifan dari pemenuhan ADL. Beberapa kegiatan yang dilakukan berulang, maupun kegiatan-kegiatan terjadwal yang terlewati karena lupa, pengulangan cerita maupun pertanyaan saat interaksi dengan petugas, mahasiswa ataupun lansia lain, kasus dompet hilang, mudah cemas ketika menghadapi masalah, hingga masalah gatal-gatal akibat belum optimalnya personal higiene merupakan masalah yang muncul akibat kerusakan memori yang dialami oleh klien. Oleh sebab itu, perlu dilakukan intervensi yang tepat dan berfokus pada peningkatan kognitif untuk mengatasi kerusakan memori serta mencegah komplikasi yang muncul akibat kerusakan memori yang dialami Ibu S. 1.2 Rumusan Masalah Demensia merupakan masalah khas dan sering kali dialami oleh lansia. Gangguan kognitif berupa kerusakan memori menjadi penanda dari sindrom ini. Masalah ini akan menjadi lebih kompleks karena kerusakan memori akan diikuti oleh penurunan kualitas hidup (kemampuan dalam memenuhi ADL, gejala psikososial serta perubahan perilaku). Masalah keperawatan seperti defisit perawatan diri, kerusakan integritas kulit, hingga masalah mengancam lainnya dapat dialami oleh lansia apabila klien tidak diberikan stimulasi untuk tetap dapat mempertahankan kemampuan memenuhi ADL dengan kondisi kognitif saat ini. Oleh sebab itu, intervensi berupa stimulasi kognitif hingga terapi aktivitas dianggap sangat dibutuhkan oleh lansia dengan kerusakan memori. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu S (75 tahun) dengan masalah kerusakan memori selama 7 minggu di Panti Sasana Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
9
1.3.2 Tujuan Khusus: Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1.3.2.1 Menggambarkan profil pelayanan lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung; 1.3.2.2 Menggambarkan hasil pengkajian pada Ibu S (75 tahun) dengan masalah kerusakan memori; 1.3.2.3 Mengambarkan masalah keperawatan yang dialami oleh Ibu S (75 tahun); 1.3.2.4 Mengambarkan rencana asuhan keperawatan pada Ibu S dengan kerusakan memori; 1.3.2.5 Menggambarkan implementasi dan hasil evaluasi asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ibu S dengan masalah kerusakan memori; 1.3.2.6 Menganalisis dampak Cognitive Stimulation Therapy (CST) yang telah dilakukan pada Ibu S (75 tahun) dengan masalah keruskan memori.
1.4 Manfaat Penelitian Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengatasi masalah kerusakan memori pada lansia, antara lain: 1.4.1
Manfaat Praktis atau Aplikatif
Hasil penulisan laporan ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi bidang keperawatan dan pelayanan PSTW terkait intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan memori yang insidensinya semakin meningkat dari tahu ke tahun. Laporan ini diharapkan pula menjadi masukan khususnya bagi bidang keperawatan dari pelayanan kesehatan baik pelayanan dengan konsep home care (rumah rawat), PSTW, Rumah Sakit dan lainnya untuk dapat menerapkan intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pada lansia dengan kerusakan memori. Selain itu, penulisan laporan ini diharapkan menjadi masukan khusunya bagi PSTW Cipayung untuk menyusun program intervensi bagi lansia-lansia yang mengalami masalah kerusakan memori. 1.4.2
Manfaat Teoritis
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
10
Hasil penelitian ini merupakan pengaplikasian langsung dari temuan intervensi bagi lansia dengan kerusakan memori akibat demensia yang telah dikembangkan sebelumnya.
Tindakan
keperawatan
yang
terbukti
memiliki
pengaruh
meningkatkan kemampuan pemenuhan ADL maupun dapat menstimulasi kognitif pada penelitian sebelumnya menjadi acuan dalam merencanakan asuhan keperawatan untuk salah satu kasus demensia. 1.4.3
Manfaat Metodologi
Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pendidikan keperawatan khusunya keperawatan gerontik baik sebagai sumber pengetahuan bagi peneliti dan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sama atau memiliki kemiripan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia) Masa lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase/tahap akhir dari kehidupan manusia. Hutapea (2005) mendefinisikan lanjut usia adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005). Menurut Undang-Undang no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa, lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Definisi tersebut dijelaskan kembali melalui Depkes RI (2001) yang menyebutkan bahwa lansia adalah seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik masih berkemampuan maupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan aktif dalam pembangunan. Batasan usia seseorang dikatakan lansia dapat dijelaskan oleh beberapa pengertian dan penggolongan lansia berikut ini. UU RI No. 13 tahun 1998 menyebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut WHO lansia terbagi menjadi empat tahapan meliputi: usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (eldery) 60-75 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun. Depkes RI (1999), menggolongkan lansia sebagai berikut, usia pra senelis atau virilitas (45-59 tahun), usia lanjut/lansia 60 tahun atau lebih dan, usia lanjut risiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. Beberapa pendapat diatas yang mendefinisikan lansia, jika ditinjau lebih dalam lagi terdapat beberapa esensi yang khas dari fase kehidupan tersebut. Definisi yang dikemukakan Hutapea (2005) mengatakan bahwa adanya fenomena biologis yang dialami oleh lansia. Begitu juga definisi menurut UU no 23 tahun 1992 yang mengatakan bahwa lanjut usia karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Inti dari pendapat tersebut merupakan ciri khas dari
11
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
12
masa tumbuh kembang lansia yaitu perubahan baik fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan fisik yang sering kali dialami oleh lansia beberapa diantara ialah perubahan pada sel, sistem saraf, penglihatan, pendengaran (Stanley&Beare, 2002; Miller, 2012). Perubahan pada tingkat sel meliputi jumlahnya menjadi sedikit, ukuranya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan dan regenerasi sel. Perubahan tidak hanya terjadi pada tingkat sel. Sistem saraf pada lansia seringkali mengalami perubahan. Respon menjadi lambat dan hubungan antara persarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya saraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitive terhadap sentuhan. Perubahan tampak pula pada sistem penglihatan. Adanya penurunan fungsi penglihatan/lapang pandang, daya akomodasi menurun, lensa lebih suram/keruh hingga katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun. Sedangkan pada sistem pendengaran biasanya terjadi penurunan fungsi pendengaran bahkan hingga hilang/tuli, terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, masalah tersebut terjadi pada hampir 50% lansia yang berusia diatas 65 tahun. Pada lansia juga dapat terjadi atrofi membrane timpani yang menyebabkan otosklerosis. Perubahan fisik ini terjadi pada lansia. Walaupun perubahan yang muncul akan berbeda pada setiap individu, namun perubahan tersebut akan terjadi ketika individu memasuki masa lansia. Perubahan-perubahan yang telah disebutkan diatas dapat dijelaskan melalui berbagai teori tentang penuaan yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
13
2.2 Teori Menua Penuaan merupakan sebuah proses alami dalam kehidupan manusia yang bersifat kompleks dan multidimensional. Proses ini akan dialami oleh manusia, namun penuaan pada setiap individu tentunya akan berbeda, tergantung dengan faktor herediter, lingkungan, dan faktor-faktor lainya sehingga mempengaruhi aspek biologi, psikologi, sosial dan juga spiritual seseorang. Penuaan disebut sebagai proses yang kompleks dan multidimensional, karena tidak ada satu teori yang dapat menjelaskan peristiwa fisik, psikologi maupun peristiwa sosial yang terjadi dari waktu ke waktu. Akan tetapi, pendekatan melalui teori-teori yang sudah ada dapat menjelaskan bagaimana penuaan itu terjadi. Teori biologi menjelaskan proses fisik dari penuaan, termasuk perubahan dalam struktur dan fungsi, perkembangan, usia lanjut, dan kematian. Perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekul dan seluler dalam sistem organ dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori biologi juga menjelaskan mengapa umur orang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi usia lanjut (longevity), perlawanan terhadap organisme, dan perubahan sel atau kematian (Miller, C. A., 2004). Beberapa teori penuaan yang dapat menggambarkan terjadinya demensia pada lansia diantaranya ialah teori genetika serta teori wear and tear (dipakai dan rusak). Teori genetika menyebutkan bahwa penuaan adalah proses yang secara tidak sadar diwariskan dan akan berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan (Stanley & Beare, 2002). Menurut teori ini, proses menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai inti sel dan suatu jam genetik yang telah diputar menurut replikasi tertentu . Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. (Miller, C. A., 2004). Teori ini menjelaskan bahwa penuaan dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik dan teori glikogen. Teori-teori tersebut menyatakan bahwa proses tingkat replikasi pada tingkat seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi yang tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
14
menjadi saling menyilang (crosslink) ini mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pada tingkat sel maupun struktur jaringan. Pada akhirnya hal tersebut menyebabkan sistem dan organ tubuh mengalami penurunan fungsi hingga terjadi kegagalan dalam menjalani fungsinya. Teori ini juga menyebutkan frekuensi penyakit autoimun meningkat seiring bertambahnya umur, karena mutasi ataupun kesalahan terjadi pada tingkat molekuler dan seluler. Gambaran proses penuaan tersebut memicu terjadinya penyakit senilis/degeneratif akibat perubahan maupun mutasi pada tingkat seluler. Salah satunya ialah demensia senilis (contoh demensia Alzheimer). Gambaran mutasi yang terjadi pada Alzheimer ialah terjadi dua jenis kerusakan sel otak (neuron) yang biasa terjadi pada orang pengidap Alzheimer ialah plaques/ plak amiloid dan kekusutan benang protein (Miller, 2012). Gumpalan protein yang disebut beta-amyloid mempengaruhi menghambat proses komunikasi antara sel-sel otak. Selain itupada penyakit Alzheimer juga ditemukan struktur tangles/ kusut. Struktur pendukung dalam sel otak tergantung pada normalnya fungsi protein bernama tau. Pada orang dengan Alzheimer, benang protein tau mengalami perubahan yang menyebabkan mereka menjadi tidak waras. Banyak ilmuan percaya bahwa ini adalah kerusakan neuron dan dapat menyebabkan kematian bagi penderita Alzheimer. Teori wear and tear (pemakaian dan pengrusakan) ini terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi. (Maryam, R.S., Ekasari, M.F., Rosidawati, Jubaedi, A., Batubara, I. 2008). Miller, C.A. (2004) dalam bukunya mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti mesin. Sehingga perlu adanya perawatan. Dan penuaan merupakan hasil dari penggunaan. Dalam teori ini, dinyatakan juga bahwa sel-sel tetap ada sepanjang hidup manakala sel-sel tersebut digunakan secara terus-menerus. Teori ini dikenalkan oleh Weisman (1891). Hayflick menyatakan bahwa kematian merupakan akibat dari tidak digunakannya sel-sel karena dianggap tidak diperlukan lagi dan tidak dapat meremajakan lagi sel-sel tersebut secara mandiri. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
15
Terjadinya demensia tipe vaskuler atau infark yang disebabkan karena adanya kerusakan pada vaskuler di otak sehingga menyebabkan perubahan sirkulasi di otak. perubahan tersebut tentunya akan menyebabkan lesi ataupun infark dan pada akhirnya terjadi kerusakan pada sel otak. Apabila kerusakan tersebut terjadi pada korteks serebri ataupun hipokampus maka akan terjadi penurunan kognitif yang terjadi sesuai dengan tingkat kerusakan. Terjadinya kerusakan vaskuler jika merupakan akibat dari penggunaan yang terus menerus sepanjang kehidupan. Risiko terjadinya kerusakan akan meningkat pada klien dengan riwayat kelainan vaskular atau serebrovaskular. Hal ini terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Proses penuaan terjadi tidak hanya pada aspek biologis. Terdapat beberapa teori psikososiologis yang mempengaruhi psikososial lansia dalam proses penuaan. Salah satu teori psikososiologis pada lansia ialah teori kontinuitas. Teori kontinuitas menjelaskan pengaruh kepribadian dengan kebutuhan lansia untuk tetap aktif ataupun menarik diri untuk mencapai kebahagiaan saat usia lanjut (Stanley &Beare, 2002). Seseorang yang menikmati bergabung dengan orang lain dan memiliki kehidupan sosial yang aktif akan terus menikmati gaya hidupnya sampai usia lanjut. Sebaliknya, orang yang lebih menikmati kesendiriaan dan memiliki jumlah aktivitas sosial yang terbatas kemungkinan akan meneruskan gaya hidupnya sepeti itu hingga lansia. Dengan kata lain teori ini mengemukakan bahwa kepribadiaan dan gaya hidup yang telah dinikmati sebelumnya akan dilanjutkan hingga seseorang berusia lanjut. Namun beberapa hal dapat juga menyebabkan seseorang berubah, masalah-masalah seperti ekonomi, sosial, dan pengalaman hidup lainya memungkinkan seseorang untuk berubah. 2.3 Konsep dan Teori Demensia 2.3.1 Definisi Demensia Demensia adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan progresif dan mempengaruhi aktifitas kehidupan parsial dan okupasi yang normal juga aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) (Stanley & Beare, 2002). Demensia merupakan istilah medis yang dapat menggambarkan penurunan progresif pada fungsi kognitif (Miller, 2012). Sindrom ini merupakan kumpulan dari kelainan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
16
fungsi otak yang mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif seseorang. Kemampuan kognitif yang dimaksud antara lain memori, pemahaman, penilaian, pengambilan keputusan, komunikasi serta terjadinya perubahan pada perilaku dan kebiasaan. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Miller (2012), yang menyebutkan bahwa demensia bukan sebuah penyakit, namun sekumpulan gejala atau yang dikenal dengan sindrom.
2.3.2 Etiologi Penyakit yang meningkatkan gejala demensia antara lain penyakit Alzheimer, masalah vaskular seperti demensia multi infark, hidrosefalus tekanan normal, penyakit Parkinson, alkoholisme kronis, penyakit Pick, penyakit Huntington, dan AIDS (Stanley & Beare, 2002). Penyakit Alzheimer sedikitnya menyebabkan dua pertiga kasus demensia (Stanley & Beare, 2002). Penyebab spesifik Alzheimer secara spesifik belum diketahui, meskipun tampaknya genetika berperan dalam hal ini. Burns dan Buckwalter, serta Timiras (1998) dalam Stanley&Beare (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa teori yang cukup populer namun saat ini penjelasannya kurang mendukung ialah teori terkait efek toksik dari alumunium, virus yang berkembang perlahan sehingga menimbulkan respon autoimun dan defisiensi biokimia.
2.3.3 Faktor Resiko (Predisposisi) Demensia Identifikasi faktor risiko merupakan hal yang penting, terutama untuk menentukan langkah pencegahan dan membatu mengarahkan intervensi preventif untuk penyakit ini. Faktor risiko yang dapat memposisikan seseorang lebih mudah mengalami demensia antara lain, usia, keturunan, riwayat penyakit dan pendidikan (Stanley & Beare, 2002). Hasil epidemiologi yang paling konsisten berkaitan dengan meningkatknya prevalensi dan insidensi yang terkait dengan usia. Dalam hal ini lansia merupakan kelompok yang rentan untuk mengalami demensia. Angka insidensi cenderung lebih tinggi terjadi pada wanita dibandigkan laki-laki. Namun tidak ada penjelasan biologis yang bertanggungjawab untuk penjelasan jenis kelamin tersebut. Faktor berikutnya ialah keturunan. Agregasai familial dari sindrom down, Parkinson, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
17
Alzheimer, usia ibu yang sudah lanjut saat melahirkan meningkatkan risiko terjadinya demensia. Selain itu riwayat penyakit sebelumnya: trauma kepala, stroke, riwayat depresi, dan riwayat hipertiroidisme dapat meningkatkan risiko terjadinya demensia. Pendidikan
dan
pekerjaan
dapat
mengimbangi
perubahan-perubahan
neuropatologis pada penyakit Alzheimer dan awitan lambat dari gejala. Pendidikan yang rendah juga berhubungan dengan risiko penyakit Alzheimer dan demensia yang lebih tinggi pada studi biarawati di Amerika Serikat (Stanley & Beare, 2002). 2.3.4 Tipe Demensia Demensia dapat dikategorikan menjadi 4 menurut penyebabnya. Keempat tipe demensia ialah penyakit Alzheimer, demensia vaskuler, lewy body dementia dan demensia frontotemporal (Miller, 2012). 2.3.5 Patofisiologi Perjalanan penyakit hingga munculnya sindrom demensia dapat diawali oleh beberapa penyakit. Pembagian jenis demensia berdasarkan penyebab telah dijabarkan pada bagian sebelumnya yaitu, demensia Alzheimer, vaskular, body lewy dan demensia frontotemporal (Miller,2012). Berikut ini gambaran perjalanan penyakit hingga dapat menyebabkan demensia. Dr. Alois Alzheimer pertama kali mendeskripsikan bahwa terdapat dua struktur abnoemal yang ditemukan pada otak mayat penderita Alzheimer (Stanley & Beare, 2002). Kedua struktur abnormal tersebut ialah plak amiloid dan kekusutan neurofibril. Selain itu, terjadi pula penurunan neurotransmitter tertentu, terutama asetil kolin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
18
Gambar 2.1 Ilustrasi neuron, (a) neuron pada individu normal; (b) neuron da jaringan otak pada individu dengan Alzheimer
Bagian otak yang terkena penyakit Alzheimer terutama pada korteks serebri dan hipokampus. Kedua bagian otak tersebut merupakan bagian penting dalam fungsi kognitif dan memori. Adanya plak amiloid menjadi penghambat komunikasi antara sel-sel otak sehingga terjadi perlambatan baik dalam menerima maupun menyampaikan pesan. Mekanisme patologis yang mendasari penyakit Alzheimer adalah terputusnya hubungan antara bagian-bagian korteks akibat hilangnya neuron piramidal berukuran medium yang berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian tersebut, dan digantikan oleh lesi-lesi degeneratif yang bersifat toksik terhadap sel-sel neuron terutama pada daerah hipokampus, korteks dan ganglia basalis. Hilangnya neuron-neuron yang bersifat kolinergik menyebabkan menurunnya kadar asetil kolin di otak. Otak menjadi atropi dengan sulkus yang melebar dan terdapat perluasan ventrikel-ventrikel serebral.
gambar 2.2 Ilustrasi otak pada individu normal dan pada penyakit Alzheimer:tampak atropi jaringan otak pada penderita Alzheimer
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
19
Pada tipe selanjutnya yaitu demensia multi-infark adalah penyebab demensia kedua yang paling banyak terjadi. Pasien-pasien yang menderita penyakit serebrovaskuler memiliki resiko tinggi untuk mengalami demensia. Hal ini terjadi karena penyakit serebrovaskuler dapat berkembang menjadi infark multiple di otak yang akhirnya akan mengganggu fungsi otak. Namun tidak semua orang yang menderita infark serebri multiple mengalami demensia (Stanley & Beare, 2002). Beberapa penyakit lainnya seperti Parkinson juga dapat mengakibatkan demensia. Waktu yang lama dan tingkat yang semakin parah meningkatkan risiko terjadinya demensia pada penderita Parkinson.
2.3.6 Tanda, Gejala dan Tahapan Demensia Gejala yang muncul pada penderita demensia memiliki kekhasan dan semakin memburuk di tiap tahapnya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kondisi demensia semakin menurun seiring berjalannya waktu. berikut ini dapat menggambarkan bagaimana penurunan tersebut terjadi pada demensia. 2.3.6.1 Tahap Awal Gejala pada tahap awal terjadinya demensia pada penderita Alzheimer terkadang tersembunya dan sebenarnya membahayakan. Pada kondisi tersebut terjadi demensia vascular dengan perubahan-perubahan kognisi tiba-tiba (Stanley& Beare, 2002). Perubahan dapat meliputi, hilangnya memori baru: sehingga sulit menerima informasi baru, pola penilaian yang buruk. Kesulitan dalam mengenal, menghitung angka: seperti kesulitan saat membayar tagihan, mengecek buku tabungan, mengatur uang hingga menelpon dapat menjadi hal yang menyulitkan. mudah merasa cemas dan stress: akibat
perubahan kognisi. Selain itu klien
biasanya kurang inisiatif, konfusi: terkadang mengalami kebingungan antara orientasi waktu dan jarak. Gejala lainyang muncul biasnaya anomia atau kesulitan menyebut nama benda. Contohnya, seseorang dapat mengatakan berikan saya benda yang Anda pakai untuk menulis daripada meminta pensil. Perubahan mental seperti agitasi juga dapat dialami. Seseorang yang sebelumnya tenang mulai menunjukkan ketidakstabilan emosi, cemas dan gelisah. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
20
2.3.6.2 Tahap Pertengahan Tahap ini terjadi diawali dengan memburuknya ingatan saat ini dan ingatan masa lampau. Gejala yang muncul pada tahap ini dapat membuat orang disekitarnya khawatir karena dapat mengancam keselamatan penderita demensia tahap pertengahan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengendalian impuls, menurunya ambang stress, dan kesulitan mengenali lingkungan (Stanley&Beare, 2002). Pada tahap ini seseorang dapat berjalan tanpa tujuan/ berkeluyuran di luar rumah kapanpun termasuk saat cuaca buruk. Apraksia, atau ketidakmampuan melakukan gerakan yang bertujuan meskipun sistem sensori dan moriknya utuh, sebagai contoh seseorang akan kehilangan kemampuan mengikat sepatu, mengancingi pakaian atau memakai dasi. Kerapian akan memburuk sehingga membutuhkan arahan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Agnosia juga dapat terjadi, yaitu ketidakmampuan untuk mengenali objek umum. Sebagai contoh, salah satu tangan memegang sendok, namun ia tidak akan mengetahui apa yang harus dilakukan dengan benda tersebut. Gejala lain yang muncul seperti agreivitas, ansietas, mengeluyur dan gangguan aktivitas lainnya, perilaku yang tidak tepat secara sosial, gangguan irama diurnal, geraan vokalisasi yang berulang, delusi, paranoia, halusinasi, dan upaya untuk meninggalkan tempat perawatan merupakan hal yang sering terjadi di tahap ini (Stanley&Beare, 2002). Afasia dan kofabulasi juga dapat muncul sehingga tidak hal ini menyebabkan penderita demensia mengalami kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Nafsu makan biasanya baik bahkan hiperoral yaitu perilaku yang selalu ingin memasukkan makanan atau benda-benda lain ke dalam mulutnya. Pada akhir tahap ini juga dapat terjadi inkontinensia urin. 2.3.6.3 Tahap Akhir Saat tahap ini terjadi, seseorang akan mengalami gangguan yang parah pada semua kemampuan kognitif. Seseorang semakin terikat pada kursi ataupun kasur atau tempat tidur. Otot-otot semakin kaku dan kontraktur sering kali terjadi. Munculnya paratonia atau gerakan refleks primitif yang terjadi secara tiba-tiba (Stanley&Beare, 2002). Kontrol refleks juga menurun yang ditandai dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
21
terjadinya refleks menghisap dan menggenggam. Terdapat depresi fungsi sistem imun dan jika gangguan ini disertai dengan imobilisasi dapat menyebabkan terjadinya pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis, dan dekubitus. Penurunan nafsu makan dan disfagia juga sering terjadi. Selain itu, aspirasi akibat menurunnya fungsi menelan tidak jarang pula dialami oleh penderita demensia tahap ini. Jika pada tahap pertengahan seseorang mengalami hambatan komunikasi verbal, maka di tahap ini gangguan komunikasi verbal semakin parah. Orang tersebut tidak dapat mengenali anggota keluarga. Terjadi inkontinensia usus dan kandung kemih. Pada tahap ini sebagian besar AKS individu memerlukan bantuan (tingkat kemadirian menurun hingga total care). 2.4 Instrumen Pengkajian Demensia Pengkajian harus dilakukan secara holistik. Penggunaan instrumen pengkajian yang telah ada dan telah terbukti dapat membantu pengumpulan data akurat sangatlah diperlukan. Beberapa instrumen yang perlu digunakan dalam memperoleh data terkait demensia ialah intrumen penilaian kognitif, tingkat demensia. Selain itu, untuk menilai adanya pengaruh demensia dengan kemampuan pemenuhan ADL sehingga diperlukan pula penilaian terhadap tingkat kemandirian yang dapat dilakukan dengan intrumen indeks barthel (basic activity daily living).
2.4.1 Mini Mental Status Exam (MMSE) Mini mental state exam (MMSE) merupakan suatu tes skrining yang dilakukan untuk menilai fungsi kognitif. MMSE cukup efektif dan teliti dalam menilai aspek fungsi kognitif dari fungsi menta; dan menyingkirikan pertanyaan-pertanyaam mengenai suasana hati, pengalaman mental abnormal yang muncul dalam bentuk pikiran (Tufts University School of medicine, 2000, Harsono 1996, Folstein et al, 1975 ). Pemeriksaan neuropsikologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Folstein tahun 1975. Skrining dengan MMSE cukup mudah dilakukan dengang metode wawancara tes ini dapat dilakukan antara lima hingga 10 menit. Friedl (1996) dalam Setopranoto (2002) menyebutkan bahwa nilai MMSE dipengaruhi oleh sosiodemografik yang termasuk diantaranya ialah tingkat Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
22
pendidikan. Selain itu faktor lingkungan seperti stres, juga dapat mempengaruhi hasil dalam pemeriksaan MMSE. Oleh Sebab itu, meminimalisir stress, maupun kondisi yang dapat mendistraksi klien saat wawancara perlu dihindari. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa MMSE merupakan intrumen yang reliabel. Setyopranoto (2002) menyebutkan bahwa reliabilitas MMSE yang dilakukan oleh dua orang dokter pada klien lanjut usia dan penderita stroke iskemik didapatkan nilai sebesar 0,94 (p<0,0001) dan 0,98 (p<0,00001). Selanjutnya beberapa penelitian menyebutkan bahwa intrumen MMSE reliabel untuk digunakan untuk menilai kemampuan kognitif. Folstein (1975) membuktikan bahwa nilai uji reliabel MMSE mencaai 0,89. Demikian pula dengan uji reliabel MMSE yang dilakukan oleh Tatemichi et al, (1994), Poungvarrin et al, (1995) yang menyebutkan hasil uji reliabel MMSE lebih dari 0,94. Terdapat lima domain kognitif yang dinilai dalam instrumen ini yaitu orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat, dan bahasa. Masing-masing komponen kognitif pada MMSE memiliki bobot nilai yang berbeda-beda. Orientasi meliputu orientasi waktu dan tempat memiliki bobot skor 10, registrasi dengan skor maksimal 3, perhatian dan kalkulasi 5, mengingat 3, bahasa 9, sehingga total skor tertinggi yaitu 30. Terdapat beberapa interpretasi yang berbeda dalam pengkategorian hasil skor MMSE. Tabel 2.2 Interpretasi Mini Mental State Exam Skor
25-30
Tingkat Penurunan kognitif kemungkinan
Observasi fungsi harian
Mungkin tanda klinis muncul ringan dan hanya sedikit mempengaruhi pemenuhan ADL. 20-25 Ringan Terdapat pengaruh yang cukup signifikan, mungkin membutuhkan sedikit pengawasan, dukungan maupun bantuan 10-20 Sedang Tanda dan gejala penurunan kognitif jelas terlihat, dibutuhkan pengawasan dalam kegiatan sehari-hari 0-10 berat Klien membutuhkan pengawasan 24 jam dan bantuan untuk pemenuhan ADL Sumber: dementiatoday.com yang telah diolah kembali
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
23
Pada awalnya Folstein et al, (1975) membagi hasil MMSE kedalam tiga kelompok. Skor >23 yang berarti normal, 18-22 kerusakan fungsi kognitif ringan, sedangkan skor <17 mengindikasikan adanya kerusakan kognitif berat. Pengelompokan tersebut kemudian diadaptasikan karena penilaian dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Interpretasi terkait MMSE terbaru dapat dilihat pada tabel 2.2. 2.4.2 Clinical Dementia Rating (CDR) Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan salah satu intrumen penilaian yang digunakan untuk menentukan tingkatan demensia pada seseorang. Burns (2002) menyatakan bahwa CDR adalah suatu metode pemeriksaan umum pada demensia yang digunakan untuk menilai derajat demensia ke dalam beearap tingkatan. Terdapat enam domain fungsi kognitif dan penampilan yang menjadi parameter dalam CDR. Keenam domain tersebut ialah memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial, pekerjaan rumah dan hobi serta perawatan diri. Penilaian dilakukan berdasarkan observasi langsung perawat ataupun observasi yang diberikan dari orang terdekat/orang yang mengetahui keseharian klien seperti anggota keluarga (Alzheimer’s Disease Research Center, 2011). Skala yang terdapat pada setiap domain terdiri dari 5 tingkatan yaitu nilai 0-0,5-12-3. Masing-masing nilai diberikan sesuai dengan gejala dan karakteristik yang muncul pada klien. Oleh sebab itu, CDR harus dilakukan oleh perawat ataupun orang
terdekat
merepresentasikan
klien
agar
kondisi
penilaian klien.
dan
Asosiasi
hasilnya
akurat
Alzheimer
dan
Indonesia
dapat (2003)
menyebutkan bahwa nilai 0 pada CDR, berarti individu normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. 2.4.3 Indeks Barthel Indeks Barthel merupakan instrumen pengkajian
fungsional yang dapat
menggambarkan tingkat kemandirian klien. Instrumen ini direkomendasikan bagi lansia. Pengkajian sebaiknya dilakukan dengan observasi langsung pada klien. Reliabilitas intrumen ini telah di uji coba, Sainsbury et al (2005) menyatakan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
24
bahwa dari 12 penelitian yang ditinjau, ke-12 penelitian tersebut membuktikan bahwa instrument indeks Barthel reliabel digunakan pada lansia. Hasil uji reliabliitas menunjukkan persentase yang tinggi. Shah et al (1998) melaporkan koefisien konsisten internal alfa 0,87 sampai 0,92 yang menunjukkan kehandalan intra dan inter-rater yang sangat baik. Terdapat 10 komponen pemenuhan ADL dengan bobot penilaian yang berbeda pada masing-masing komponen. Komponen pertama ialah pemenuhan ADL berupa makan, skor 0 untuk klien yang tidak mampu makan dengan mandiri, 5 jika membutuhkan bantuan seperti memotong makanan ataupun menentukan makanan. Komponen kedua yaitu mandi skor 0 diberikan jika klien membutuhkan bantuan seperti menyiapkan alat mandi, membersihkan tubuh/mandi, sedangkan skor 5 diberikan jika klien dapat mandi secara mandiri. Komponen penilaian ketiga ialah berhias nilai 0 jika memerlukan bantuan dalam berhias seperti menyisir, menggunting kuku dan sebagainya, sedangkan 5 diberikan jika klien dapat berhias secara mandiri. Pada komponen keempat masih pada domain perawatan diri, yaitu berpakaian skor 0 diberikan jika klien membutuhkan banyak bantuan dalam berpakaian, 5 jika membutuhkan bantuan seperti mengancingi, menarik resleting, sedangkan skor 10 diberikan jika klien dapat menggunakan pakaian secara mandiri tanpa bantuan. Komponen ke-5 sampai dengan ke-7 merupakan pemenuhan ADL terkait eleminasi dan toileting. Komponen ke 5 ialah buang air besar sedangkan komponen ke-6 yaitu terkait buang air kecil. Skor 0 jika terjadi inkontinesia ani maupun urin atau membutuhkan penggunaan enema maupun kateter, skor 5 diberikan jika klien membutuhkan bantuan sesekali saat BAB/BAK, sedangkan skor 10 jika BAK/BAB kontinen. Komponen ke-7 yaitu penggunaan toilet. Klien yang membutuhkan bantuan penuh untuk toileting mendapatkan skor 0, klien membutuhkan bantuan dalam sebagian mendapatkan skor 5. Komponen ke-8 hingga ke-10 terkait mobilisasi. Pada komponen ke-8 yaitu berpindah (dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya), nilai 0 jika klien tidak mampu atau tidak dapat duduk dengan baik. Skor 5 diberikan jika klien membutuhkan bantuan 1 atau 2 penolong untuk dapat duduk, skor 10 jika klien Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
25
membutuhkan bantuan minimal dan skor 15 jika dapat berpindah secara mandiri. Komponen selanjutnya ialah berjalan dipermukaan datar. Pada komponen ini skor 0 diberikan pada klien dengan tirah baring, 5 jika klien menggunakan kursi roda dan dapat menggerakan kursi roda lebih dari 50 meter. Skor 10 diberikan jika klien dapat berjalan dengan bantuan 1 orang dan mampu berjalan sejauh lebih dari 50 meter, sedangkan skor 15 jika klien dapat berjalan secara mandiri. Komponen yang terakhir ialah menaiki tangga. Klien mendapatkan skor 0 pada komponen ini jika tidak mampu menaiki tangga, skor 5 jika mampu menaiki tangga dengan bantuan minimal, dan skor 10 jika mampu secara mandiri. Skor yang dapat diperoleh 0-100. Semakin tinggi skor yang di dapatkan maka semakin mandiri/ klien membutuhkan bantuan semakin minimal. Interpretasi dari skor pada indeks barthel dikelompokan sebagai berikut 0-20 dependen total, 21-60 dependen berat, 61-90 dependen sedang, 91-99 dependen ringan dan 100 dependen (Shah et al, 1998). Pada demensia penurunan kognitif sering kali berdampak pada kemampuan klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya (ADL). Instrumen ini merupakan indikator dasar dari pemenuhan ADL sehingga dapat digunakan termasuk pada lansia di institusi/panti. 2.5 Masalah Keperawatan yang dapat Terjadi pada Demensia Klien dengan demensia telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa klien tersebut mengalami kerusakan maupun perubahan pada korteks serebri dan atau hipokampus otak. Bagian ini merupakan pusat kognitif dan memori manusia. Masalah keperawatan utama yang biasanya muncul pada klien ialah terkait domain kognitif. Diagnosa yang muncul pada domain kognitif biasanya meliputi kerusakan memori, konfusi kronik. Tingkatan demensia dengan tanda dan gejala khas yang muncul pada tiap tingkatannya juga mempengaruhi msalah keperawatan yang muncul. Selain dua diagnosa yang telah disebutkan diagnosa keluyuran. Dampak dari kerusakan memori juga dapat menyebabkan masalah keperawatan lain yang dialami oleh klien antara lain defisit perawatan diri dan defisit perawatan diri dapat terjadi pada klien dengan demensia. Kerusakan memori didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau keterampilan perilaku (NANDA, 2014). Batasan karakteristik Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
26
terjadinya keruskan memori meliputi lupa melakukan kegiatan pada waktu yang telah dijadwalkan, ketidakmampuan mempelajari informasi maupun keterampilan baru, ketidakmampuan melakukan keterampilan yang telah dipelajarinya sebelumnya, tidak mampu mengingat peristiwa, informasi faktual, tidak mampu mengingat kegiatan yang telah dilakukan, mengeluh lupa. Masalah ini yang pada umumnya menjadi masalah utama pada klien dengan demensia. Konfusi kronik menurut klasifikasi NANDA 2012-2014 ialah perburukan kecerdasan dan kepribadian yang irevelsibel, jangka panjang, dan/atau progresif dan ditandai dengan penurunan kemampuan menginterpretasikan stimulus lingkungan; penurunan kapasitas proses pikir intelektual; dan dimanifestasikan dengan gangguan memori, orientasi dan perilaku. Batasan karakterisktik meliputi gangguan interpretasi informasi, perubahan kepribadian, gangguan terhadap respon stimulus, gangguan memori jangka panjang dan/atau pendek, hambatan sosialisasi, gangguan kognitif progresif dan tidak mengalami penurunan kesadaran. Diagnosa keluyuran menurut klasifikasi NANDA 2012-2014 ialah gerakan mondar-mandir, tanpa arah, atau berulang yang membuat individu terpajan terhadap bahaya; sering kali tidak kongruen dengan batasan, batas atau rintangan. Masalah ini biasanya muncul pada demensia tahap pertengahan. Stanley dan Beare (2002) menyebutkan bahwa gejala yang muncul pada demensia tahap pertengahan dapat membuat orang disekitarnya khawatir karena dapat mengancam keselamatan penderita demensia tahap pertengahan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengendalian impuls, menurunya ambang stress, dan kesulitan mengenali lingkungan. Diagnosa lain yang seringkali muncul sebagai akibat dari terjadinya kerusakan memori ialah defisit perawatan diri. NANDA 2012-2014 mendefinisikan defisit perawatan diri merupakan hambatan kemampuan untuk melakukan atau meyelesaikan mandi/aktifitas perawatan diri untuk diri sendiri.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
27
2.6 Intervensi pada Demensia 2.6.1 Terapi Medis Pada penderita Alzheimer terdeteksi adanya struktur abnormal berupa plak amiloid dan kekusutan neurofibril serta adanya penurunan neurotransmitter terutama asetil kolin. Neurotransmitter merupakan penghantar rangsang/ stimulus pada neuron. Penurunan neurotransmitter tentunya akan berdampak pada terhambatnya penyampaian stimulus. Penurunan asetil kolin pada Alzheimer terjadi akibat peningkatan aktivitas Cholinterase Enzyme (CE) (Miller, 2012). Terapi medikasi yang diberikan pada demensia Alzheimer ialah medikasi dengan jenis Cholineterase Inhibitor atau penghambat enzim cholinterase. Prinsip mekanisme kerja CE ialah menghambat sintesis Cholinterase enzyme, sehingga asetil kolin sebagai neurotransmitter dapat diproduksi dengan jumlah yang adekuat (tidak terhambat karena CE). Jenis obat-obatan seperti Rivastigmine, eptastigmine, tacrine, velnacrine, donepezil, metrifonate, galantamine. Penggunaan obat-obatan ini harus sesuai dengan terapi medikasi yang disarankan, selain itu efeksamping yang muncul dari obat kelas Cholineterase antara lain dapat menimbuklan diare, cemas, mual, muntah, insomnia, anoreksi, fatigue. Terapi medikasi lainnya ialah pada demensia dengan penyebab kerusakan vaskuler. Demensia ini biasanya dialami pada lansia dengan riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, arterosklerosis, hiperlipidemia, hingga stroke. Terapi medikasi pada pengontrolan masing-masing penyakit agar mendekati batasan normal. Sedangkan terapi simtomatik pada demensia vaskuler juga terjadi penurunan neurotransmitter kolinergik sehingga Cholineterase Inhibitor dapat diberikan. 2.6.2 Terapi Non Medis Tindakan non medis yang dapat dilakukan untuk menangani demensia seperti, teknik relaksasi, kontrol stressor, terapi stimulasi otak, stimulasi kognitif, senam otak (brain gym). Intervensi keperawatan untuk masalah keperawatan kerusakan memori ialah berfokus pada stimulasi daya ingat dan peningkatan maupun Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
28
mempertahankan kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (ADL). Intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan beberapa intervensi. Intervensi berfokus pada stimulasi otak maupun latihan daya ingat. Salah satu terapi yang terbukti efektif dalam menangani masalah kerusakan memori ialah terapi
kognitif. Beberapa penelitian dapat membuktikan
keberhasilan dari terapi kognitif yaitu Cognitive Stimulation Therapy (CST). Pada pembahasan berikutnya akan dipaparkan mengenai CST serta aplikasinya dalam tindakan keperawatan. 2.7 Terapi Kognitif 2.7.1 Definisi Cognitive Stimulation Therapy Cognitive Stimulation Therapy adalah intervensi yang berfokus pada stimulasi kognitif yang didapat dilakukan pada seseorang dengan demensia ringan hingga sedang (Spector, 2010). CST terdiri dari 14 sesi yang masing-masing sesi memiliki tema aktivitas berbeda. CST pada dasarnya merupakan intervensi yang dilakukan secara kelompok. Kemudian penelitian dikembangkan oleh Orell, et al (2012) dengan sesi yang sama namun dilakukan secara individu. Terapi yang kemudian diberikan nama Individual Cognitive Stimulation Therapy (iCST) terbukti secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Terapi ini dapat dilakukan oleh terapis, perawat, ataupun care workers sebagai terapi untuk klien dengan demensia. 2.7.2 Metode dan Penelitian Terkait CST Program CST yang merupakan pedoman terstruktur untuk terapi demensia/ kerusakan memori merupakan hasil dari studi awal yang dilakukan Spector, et al (2001). Awalnya studi dilakukan difokuskan pada empat residen yang terdiri dari 3 residen yang tinggal di rumah dan satu pada day care centre. Terapi dilakukan selama tujuh minggu yang terdiri dari 14 sesi, sehingga dalam satu minggu dilakukan terapi sebanyak dua sesi. Keberhasilan yang ditunjukkan pada hasil peningkatan kognitif yang signifikan menjadi dasar penelitian sejenis di tahun 2003. Penelitian sejenis pada tahun 2003 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
29
merupakan pengembangan yang dilakukan kembali oleh Spector, et al. Percobaan dilakukan pada residen yang lebih luas. Jika di tahun 2001 penelitian meliputi pada empat kelompok, maka di tahun 2003 lebih banyak kelompok yaitu 23 kelompok (18 residen di rumah rawat dan 5 day care centre). Residen merupakan penderita demensia dengan penurunan kognitif ringan hingga sedang (Mean MMSE=14,4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan kognitif yang signifikan yang dievaluasi dengan instrumen MMSE (p=0,04),ADAS-Cog (p=0,01). CST juga terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup klien demensia. Hal ini ditunjukkan dengan evaluasi Qol-AD yang secara signifikan mengalami peningkatan (p=0,03). Namun CST tidak memiliki pengaruh atau tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kasus depresi dan ansietas. Evaluasi program CST pada saat itu tidak hanya dilakukan secara kualitatif melalui intrumen yang telah disebutkan, akan tetapi tim mengobservasi pengaruh CST secara qualitatif. Secara kualitatif berdasarkan observasi, setelah melakukan program CST selama 14 sesi yang dilakukan secara berkelompok, didapatkan peningkatan kepercayaan diri, terbinanya hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, serta keaktifan dari masing-masing residen. CST diindikasikan pada klien dengan demensia ringan hingga sedang yang disebabkan karena AD, demensia senilis, demensia vaskuler, maupun demensia multi infark. Spector (2003) dan Coen (2011) mengatakan bahwa CST dapat dilakukan pada klien dengan penurunan kognitif ringan hingga berat dengan kisaran hasil MMSE 10-20. Residen dalam penelitian CST yang telah dilakukan ialah lansia dengan usia 60-90 tahun. Beberapa penelitian mengatakan bahwa CST dapat dilakukan pada klien dengan terapi medikasi Cholineterase Inhibitor/ Acetylcholine Inhibitor (ACHEI) (Bottino, 2005; Buschert, 2011). Kombinasi intervensi tersebut juga terbukti lebih efektif dibandingkan pada klien yang hanya mendapatkan terapi ACHEI saja. CST dilakukan selama tujuh minggu yang meliputi 14 sesi atau dilakukan 2 sesi tiap satu minggu. Durasi tiap sesi dalam beberapa penelitian berkisar 30-90 menit. Total pertemuan CST ialah 10-12 jam (Baines 1987; Breuil 1994; Chapman 2004; Coen 2011; Spector 2001; Spector 2003). Hal tersebut Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
30
menunjukan bahwa setidaknya CST dilakukan 45 menit tiap sesi dalam waktu 7 minggu (14 sesi). Individual CST dilakukan selama 45 menit setiap sesinya (Orell, 2012).Durasi tersebut akan diisi dengan kegiatan bertema aktivitas yang dapat menstimulasi kognitif klien. Inti dari CST yaitu orientasi realitas (RO/Reality orientation) dan terapi mengingat kembali (RT/Reminiscence Therapy) (Donovan, 2006). Orientasi realitas (RO) yaitu mengorientasikan kembali klien dengan keadaan yang terjadi saat ini. Orientasi yang diberikan berupa informasi mengenai waktu, tempat maupun orang.Klien dengan demensia dan mengalami kerusakan memori pada umumnya sangat sulit menerima informasi baru. Beberapa hal yang sering terlupakan ataupun sulit diingat pada klien dengan kerusakan memori ialah orang, tempat maupun waktu. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, contohnya ketika klien dengan masalah kerusakan memori pergi ke suatu tempat, kemudian lupa arah untuk kembali. Di Indonesia kasus orang hilang khususnya lansia dengan penyebab utama kerusakan memori seperti ini cukup banyak terjadi. Apabila lansia tersebut mendapatkan orientasi yang baik, masalah tersebut dapat dihindari. Walaupun arah jalan kembali terlupakan, setidaknya klien dapat bertanya kepada orang disekitarnya dengan menyebutkan nama tempat tinggal, ataupun orang yang dikenal. Penerapan RO yang rutin dilakukan selama terapi dapat melatih kemampuan mengingat. Selain itu latihan yang rutin akan membuat klien terbiasa dengan informasi tersebut, sehingga klien dapat terorientasi dengan baik. Metode kedua dalam CST adalah reminiscence therapy (RT) atau terapi kenangan. RT merupakan metode yang digunakan untuk mengingat kembali kejadian yang telah berlalu (Donovan, 2007). Penerapan metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan media seperti melalui musik, album foto, ataupun bercerita. Donovan (2007) dalam penelitiannya telah membuktikan metode ini telah terbukti secara signifikan mampu menstimulasi memori pada demensia. Kedua metode tersebut yang dilakukan secara sistematik dan terjadwal dalam CST telah terbukti dapat menstimulasi dan meningkatkan kemampuan kognitif. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
31
Pernyataan tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Spector, et al (2001). Penelitian percobaan awal pada program CST yang dilakukan oleh Spector, dkk (2001) membuktikan hasil peningkatan kognitif yang signifikan. Pada penelitian tersebut Spektor, dkk menyusun program CST dalam beberapa kegiatan. RO dan RT yang diterapkan kemudian dirancang dalam kegiatan menyalin gambar, permainan kata yang saling terkait, penamaan dan mengelompokkan benda. Penelitian tersebut dilakukan dalam 14 sesi. Berikut ini merupakan uraian rinci mengenai tema kegiatan dalam CST (Spector, 2001): (1) permainan fisik; (2) suara; (3) masa kanak-kanak; (4) makanan; (5) isu terkini; (6) foto wajah/pemandangan; (7) permainan kata berhubungan; (8) kreativitas; (9) mengelompokkan benda; (10) orientasi; (11) menggunakan uang; (12) permainan angka; (13) permainan kata; (14) kuis. Semua kegiatan tersebut dapat menggunakan media sesuai dengan kebutuhan tema aktivitas. Terapis dapat menyiapkan dan memodifikasi media sesuai dengan masing-masing tema.Hal yang harus diperhatikan oleh terapis selain media tiap kegiatan ialah workbook. Work book atau buku kegiatan merupakan buku catatan yang dapat dibaca oleh residen dan terapis mengenai jadwal serta rangkuman kegiatan yang telah dilakukan. Buku ini juga dapat digunakan sebagai reminiscene yang dapat menjadi pengingat residen terkait kegiatan yang sudah dilakukan. Evaluasi keberhasilan CST yang telah dilakukan pada intinya meliputi tiga aspek, yaitu evaluasi kognitif, kualitas hidup serta kemampuan memenuhi ADL. Ketiga aspek tersebut tentunya dapat di evaluasi dengan berbagai intrumen. Spector, 2001 menggunakan intrumen MMSE dan ADAS-Cog untuk menilai kemampuan kognitif. Qol-AD sebagai intrumen penilaian kualitas hidup. Intrumen-intrumen tersebut juga digunakan dalam sejumlah penelitain terkait CST yang selama ini dilakukan. Sedangkan untuk ADL belum dilakukan pada penelitian tersebut. Penilaian sikap/Behavior Rating Scale (BRS), GDS dalam penelitian yang sama didaptkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara depresi, sikap maupun tingkat ansietas. Penilaian IADL (Instrumental of Activity Daily Living) ataupun BADL (Basic Activity Daily Living) dapat dilakukan sebagai cara mengevaluasi adanya perubahan kemampuan memenuhi ADL sebelum dan sesudah terapi. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
32
2.7.3 Prinsip dalam CST Intervensi terapi kognitif dengan CST memang telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan kognitif pada demensia (Spector et al, 2010). Namun dalam aplikasinya terapis ataupun perawat perlu memperhatikan beberapa prinsip dalam pelaksanaan CST. Prinsip kunci CST ialah menstimulasi atau merangsang otak dan mental. Semua sesi pada dasarnya merangsang klien untuk mengeluarkan ide baru, membutuhkan pemikiran serta melatih klien untuk menghubungkan apa yang terjadi. Selain itu, orientasi memang sangat penting dilakukan pada klien, strategi pertanyaan yang implisit akan mengurangi kesan pengulangan. Hal ini dapat dilakukan misalnya saat melakukan sesi isu terkini, klien dapat distimulasi dengan membaca koran serta meminta klien untuk membaca tanggal redaksi terkini dan masih banyak cara lain. Prinsip berikutnya ialah tempatkan terapis/perawat sebagai pemicu dan biarkan klien menggali serta mencurahkan apa yang di pikirkan. Cara mengenang/reminiscene merupakan strategi yang tepat untuk menerapkan prinsip tersebut. Prinsip yang tidak kalah penting ialah keberlanjutan dan konsistensi antar sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyepkati jadwal terapi sejak awal pertemuan.Walaupun CST merupakan program stimulasi kognitif/belajar, namun sebaiknya sesi terapi dirancang dalam bentuk kegiatan yang menyenangkan seperti dengan permainan ataupun kuis. 2.8 Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia Lansia merupakan merupakan bagian dari komunitas yang memiliki karakteristik khusus. Telah dibahas sebelumnya bahwa perubahan-perubahan baik secara fisik, psikologis, sosial maupun spiritual menempatkan lansia menjadi kelompok yang rentan, terutama dalam masalah kesehatan. Perubahan secara biologis baik bersifat fisiologis yang dialami lansia hingga perubahan patologis yang disebabkan oleh penyakit degeratif sering kali terjadi pada lansia. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya unit-unit pelayanan kesehatan yang berfokus pada pelayanan kesehatan untuk lansia. Pelayanan kesehatan pada lansia dilakukan melalui berbagai unit pelayanan kesehatan (yankes). Di Indonesia sendiri pelayanan tersebut diberikan melalui berbagai jenis baik didirikan melalui kebijkan pemerintah maupun mandiri Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
33
(swasta). Beberapa jenis pelayanan kesehatan community care and support service misalnya elderly centers, adult care, day care dan home care (Miller, 2012).Selain itu ada pula pelayanan dengan konsep residential care services ataupun institutional based meliputi nursing home, ederly villages, hostels dan social residence. Home care service, sesuai dengan namanya pelayanan ini berbasis pendekatan keluarga (Stanley & Beare, 2007). Perawatan kesehatan melalui home care dilakukan di rumah pasien oleh praktisi kesehatan yang sudah mempunyai lisensi. Pada umumnya home care meruju pada pelayanan kesehatan sehingga layanan yang diberikan meliputi medical care oleh dokter maupun perawatan oleh perawat home care. Home care bagi lansia merupakan unsur pelayanan kesehatan dan diberikan secara komprehensif mencakup aspek bio-psiko-sosial dilakukan di tempat tinggal untuk tujuan preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Day care, adult day care maupun ederly day care merupakan konsep pelayanan kesehatan dan sosial yang ada di masyarakat untuk lansia. Hal yang didapatkan dari pelayanan tersebut ialah perawatan, bantuan pada ADL, rekreasi dan olahraga bersama, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, konsultasi gizi, rehabilitas fisik, orientasi realita dan senam otak biasanya menjadi pelayanan utama yang diberikan di day care centre (Maryam, dkk, 2008).Selain itu, kegiatan agama juga diagendakan pada pelayanan ini.Pelayanan ini dapat dilakukan di masyarakat, perawatan lansia (panti) maupun di rumah sakit yang biasa disebut geriatric day hospital atau day care yang berlokasi di rumah sakit. Pelayanan dalam konsep yang berbeda yaitu penginapan/asrama. Pelayanan berbasis penginapan antara lain hostel, nursing home, ederly villages. Pelayanan yang diberikan meliputi personal care, health care, pemberian makanan, mencuci, aktivitas sosial, rekreasi, dukungan sosial, kunjungan teratur dan kebutuhan perawatan diri (Maryam, dkk, 2008). Selain tiga layanan telah disebutkan ada pula pelayanan dengan konsep penginapan untuk lansia yaitu sosial residence. Keempatnya memiliki konsep yang sama yaitu lansia menginap ataupun tinggal dalam waktu yang cukup lama. Perbedaan dari masing-masing layanan ialah sebagai berikut. Nursing home lebih fokus pada penanganan permasalahan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
34
kesehatan dan keperawatan, sedangkan social residence fokus pada masalah dan penanganan masalah sosial pada lansia yang tinggal di tempat tersebut. Berbeda dengan home care, salah satu layanan kesehatan yang juga diperuntukkan untuk lansia ialah dengan konsep hospice. Perbedaan antara home care dan hospice ialah pada tujuan. Jika home care merupakan layanan kesehatan yang bertujuan preventif, kuratif ataupun rehabilitative, maka layanan hospice tidak memberikan pelayanan tersebut. Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-spiritual. Sama halnya dengan home care, hospice juga dilakukan di tempat tinggal pasien. Tujuan dari layanan ini ialah meringankan penderitaan pasien baik secara fisik (misalnya rasa nyeri, mual muntah), maupun psikis (sedih, marah, khawatir) yang berhubungan dengan penyakitnya. Selain itu layanan hospice bertujuan untuk memberikan dukungan moril, spiritual maupun pelatihan praktid dalam hal perawatan pasien bagi keluarga. Konsep hospice juga bertujuan untuk memberikan dukungan moril bagi keluarga selama masa duka. Prinsip hospice pada dasarnyatimbul atas pemikiran bahwa rumah merupakan tempat yang paling nyaman bagi pasien ketika pasien menghadapi kematian. Kawasan perkotaan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat, tidak terkecuali masyarakat pedesaan. Begitu pula di Jakarta, berbagai jenis lapangan kerja menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang ke Ibu Kota. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk Jakarta meningkat setiap tahunnya. Peningkatan yang cukup signifikan berasal dari adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan istilah urbanisasi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pemprov DKI Jakarta tahun 2010 menyebutkan jumlah penduduk Jakarta mencapai 8,6 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sebesar 11,9% dari tahun 2009 yaitu 7,6 juta jiwa. Salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta ialah arus urbanisasi. Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi per November 2011 tercatat jumlah kedatangan penduduk ke Jakarta sebesar 16.018 Jiwa. Jumlah ini Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
35
terus meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya bertambahnya kepadatan penduduk yang terjadi di Jakarta. Banyaknya masyarakat pendatang menjadi problematika tersendiri di kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan karena banyak diantara masyarakat pendatang yang tidak memiliki keterampilan khusus ataupun kemampuan untuk melanjutkan hidup yang layak di kawasan perkotaan. Akibatnya tidak sedikit dari mayarakat pendatang yang menjadi pengangguran bahkan hidup terlantar di kota. Tidak hanya itu, masalah yang juga ditemukan di perkotaan khususnya DKI Jakarta ialah sering kali penduduk desa datang ke Jakarta untuk menjadi pengemis Penuaan secara fisik dan didukung dengan tidak adanya keterampilan membuat tingkat produktifitas lansia semakin menurun. Hal ini yang sering kali menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah lansia terlantar di kawasan perkotaan seperti Jakarta. Penyebab terjadinya peningkatan jumlah lansia terlantar tidak hanya itu. Ketidakmampuan ekonomi baik yang dialami oleh masyarakat pendatang maupun penduduk setempat (Jakarta) sering kali menyebabkan lansia menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami pengabaian bahkan kekerasan dari keluarga. Diperkirakan sejumlah 3,7 juta lansia memerlukan pelayanan sosial, sebagian besar diantaranya terlantar dan memerlukan upaya perlindungan khusus (Kemensos, 2003). Salah satu upaya yang dilakukan untuk memberikan pelayanan sosial dan upaya perlindungan terhadap lansia dirancanglah kebijakan tentang kesejahteraan lanjut usia yaitu UU No. 13 tahun 1998. Pada mulanya kebijakan ini lebih menekankan pada pemberian santunan kepada lansia terlantar. Namun seiring perkembangan dan masalah yang terjadi pada lansia terlantar maka saat ini kebijakan tersebut memiliki sasaran yang lebih luas. Sasaran dari UU No. 13 tahun 1998 hingga saat ini ialah memberikan dorongan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan lansia kepada keluarga dan masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya lanjut usia yang berguna, berkualitas dan mandiri. Berdasarkan tujuan tersebut maka pemerintah melalui Kementrian Sosial merancang sejumlah program untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Salah satu programnya ialah dalam bentuk pelayanan sosial. Pelayanan sosial bagi lanjut usia Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
36
dilaksanakan departemen sosial melalui dua sistem yaitu community based/ family based dan Institutional based (Depsos, 2003). Community based/family based merupakan pelayanan melalui luar Panti, pelayanan ini lebih dikenal dengan pelayanan non Panti. Sedangkan Institutional based merupakan pelayanan yang diberikan
melalui
Panti.
Kedua
program
tersebut
dicanangkan
untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup lansia. Panti Sasana Tresna Werdha (PSTW) merupakan pelayanan bagi lansia dengan konsep institutional based. Pelayanan yang diberikan bersifat jangka panjang atau long term service. Dalam layanan kesehatan yang bersifat long term services mengarah pada pelayanan nursing home. PSTW yang ada khususnya di Jakarta, berada di bawah wewenang Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sehingga layanan dasar yang diberikan juga mengarah pada social residence.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang dimulai dari menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki perawat untuk mengumpulkan data tentang klien (Potter & Perry 2005). Pengkajian dilakukan kepada klien sejak tanggal 12 Mei 2014. Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara, observasi maupun pemeriksaan/pengukuran. 3.1.1 Identitas Klien Klien kelolaan utama merupakan salah satu warga binaan sosial (WBS) Panti Sasana Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung yang tinggal di wisma Dahlia bersama 34 lansia lainnya. Klien berinisial Ibu S. berusia 75 tahun, beragama Islam. Klien merupakan seorang janda, tidak memiliki anak dan memiliki latar belakang pendidikan sekolah hingga kelas tiga SD. Hasil wawancara dengan klien diperoleh informasi bahwa pekerjaan terakhir sebelum tinggal di panti ialah seorang penyanyi keroncong. Klien berasal dari Yogyakarta dan pindah ke Jakarta untuk menemui sanak saudara dan mengatakan tujuan ke Jakarta agar dapat bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta yaitu Bapak Jokowi. Di Jakarta klien tinggal tidak menetap yaitu di kediaman beberapa keponakan maupun sanak saudara. Ketika bertemu dengan petugas sosial, klien mengatakan belum mengetahui harus tinggal dimana, karena keadaan sanak saudara yang ada di Jakarta mengalami kesulitan ekonomi sehingga khawatir akan merepotkan. Hal tersebut yang menjadi alasan klien akhirnya memilih untuk tinggal di panti werdha. Klien menyetujui tinggal dipanti, karena menurutnya dengan begitu beliau tidak akan merepotkan dan mungkin saja dengan tinggal dipanti dinas Jakarta beliau dapat bertemu dengan Bapak Jokowi. Awalnya klien ditempatkan di PSBI Bangun Daya 2, kemudian pada tanggal 1 April 2014 pindah ke PSTW Budi Mulia 1 tepatnya di wisma Dahlia.
37
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
38
Keadaan emosi klien tergolong stabil, klien tampak tenang dan kooperatif baik dengan klien lain maupun dengan petugas selama di wisma Dahlia. Ketika wawancara dilakukan, klien sempat beberapa kali menceritakan hal yang sama dalam waktu yang tidak lama. Klien mengatakan lupa usia saat ini klien menambahkan yang diingat dahulu saat jepang datang menjajah beliau sedang sekolah di kelas 3 SD. Klien merasa sering lupa sehingga terkadang sering kali mengulang apa yang telah dilakukan, seperti saat bercerita, melakukan kegiatan yang sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya, karena lupa beliau kemudian melakukannya kembali. 3.1.2 Riwayat Kesehatan Klien Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit tertentu. Selama ini jarang mengalami sakit. Penyakit yang pernah dirasakan hanya penyakit seperti flu ataupun batuk. Hal ini beberapa kali terjadi jika klien mengalami kelelahan setelah di undang menyanyi ke desa-desa yang mayoritas terletak di gunung maupun lereng gunung yang jarak tempuhnya cukup jauh. Klien tidak memiliki anak karena anak dari pernikahannya dahulu meninggal saat dilahirkan. Posisi bayi sungsang dan saat itu di desanya belum ada metode melahirkan dengan sesar. Klien mengatakan bahwa anaknya tidak dapat hidup karena saat dilahirkan kepala bayi sempat terjepit, klien mengalami kelehan saat mengejan. Anak tidak dapat diselamatkan, namun klien tidak mengalami komplikasi persalinan. Masalah kesehatan yang saat ini dikeluhkan ialah gatal-gatal pada kedua paha. Keluhan seringnya klien melupakan sesuatu ataupun mengulang kegiatan maupun topik pembicaraan juga dirasakan klien. Selain itu, klien mengatakan terkadang beliau merasa pusing, tengkuk dan kepala terasa berat. Hal ini jarang terjadi namun sempat dirasakan beberapa waktu lalu. Ketika dikonfirmasi kembali terkait adanya riwayat hipertensi, klien menyangkal. Klien mengatakan memang belum pernah periksa namun sepertinya tidak mengalami darah tinggi. Riwayat penyakit menurun dari keluarga klien tidak mengetahuinya. Klien mengatakan sepertinya keluarga juga tidak memiliki penyakit tertentu. Dahulu tidak pernah periksa kesehatan, orang tua (Ibu) meninggal karena usia sudah tua, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
39
sedangkan riwayat dari keluarga Ayah, klien kurang mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena semenjak kecil klien sudah tidak tinggal dengan Ayah. 3.1.3 Kebiasaan Sehari-Hari Klien Pola makan klien selama di panti ialah makan tiga kali sehari (pagi 07.00, siang 11.00, dan sore 15.00). Menu makan sesuai dengan menu makan yang disediakan oleh panti yang meliputi nasi, lauk pauk, sayur. Pada siang hari ditambah dengan buah. Klien menyukai hampir semua jenis makanan, makanan yang tidak disukai ialah pare. Klien sering kali terlihat membeli kerupuk di koperasi karena sejak dulu beliau sangat menyukai kerupuk. Dari hasil observasi klien selalu menghabisakan makanan, terkadang klien meminta pada petugas agar takaran nasinya sedikit dikurangi. Namun setelah dimotivasi perawat ataupun mahasiswa yang sedang praktik biasanya klien menghabisakn makanan dengan takaran normal (tidak dikurangi seperti permintaan). Tidak ada pembatasan makanan, kepercayaan atau pantang makanan juga tidak tampak pada klien. Klien mengatakan untuk minum, dalam sehari tepatnya kurang tahu juga berapa gelas, kalau dihitung dari banyaknya mengisi air digelas yang beliau miliki krag lebih sehari 3-4 gelas (300 ml/gelas). Klien mengatakan selalu memakai peralatan minum miliknya. Pada sore hari terkadang klien minum teh ataupun susu jika disediakan. Pola tidur klien biasanya tidur pada malam hari sekitar jam 9 malam dan bangun pada pukul 3-4 pagi. Klien mengatakan tidurnya cukup namun terkadang rasa gatal di bagian paha dan sekitar lipatan dada cukup menganggu dan akhirnya membuat tidur kurang nyenyak. Klien mengatakan selalu merasa segar saat bangun tidur. Pada siang hari baisanya klien tidur siang sekitar pukul 13.00-14.00. Kebiasaan dan pola BAB/BAK tidak ada keluhan ataupun masalah. BAB maupun BAK kontinen. BAB 1-2 hari sekali, sedangkan BAK klien tidak menghitung secara pasti, sekitar 4-6 kali/hari. Klien terkadang bangun di malam hari untuk BAK. Selanjutnya, kebiasaan dalam kebersihan dan perawatan diri. Perawatan diri dilakukan secara mandiri. Klien biasa mandi 2-3 kali sehari, terkadang lebih karena merasa gerah, gatal maupun lupa jika ternyata beliau sudah mandi. Klien Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
40
mengatakan pakaian selalu ganti tiap kali mandi. Namun beberapa kali sempat terlihat klien memakai pakaian yang sama setelah mandi. Peralatan mandi yang digunakan milik pribadi. Klien biasa meletakkanya di bawah tempat tidur. Klien mengatakan gatal yang dirasakan hingga kepala, saat ditanyakan biasanya kepala dibersihkan dengan cara apa, klien mengatakan biasanya dibersihkan dengan sabun. Klien menambahkan bahwa beliau sudah terbiasa membersihkan kepala dengan sabun. Gosok gigi maupun menggunting kuku dilakukan secara mandiri. Keadaan psikologis klien, selama interaksi dilakukan klien tampak tenang. Klien mengatakan senang tinggal di panti dan mencoba untuk menganggap tempat tinggalnya saat ini seperti rumah. Klien bersikap ramah baik dengan petugas, lansia lain maupun mahasiswa. Penilaian kognitif dengan instrumen MMSE memperoleh skor 17 yang artinya klien mengalami penurunan fungsi kognitif berat. Penilaian CDR dilakukan untuk mendeteksi tingkat demensia yang dialami oleh klien. Hasil penilaian CDR klien termasuk dalam kategori demensia ringan. Klien mengalami kesulitan untuk menerima informasi baru, selain itu klien mengalami disorientasi terutama pada orientasi waktu dan orang. Dalam memecahkan masalah seperti masalah sehari-hari seperti pemenuhan ADL tampak masih utuh, namun masalah yang lebih kompleks seperti saat ada konflik antara lansia di wisma, klien tampak mudah cemas dan akhirnya melapor pada petugas. Pekerjaan yang dilakukan sehari-hari selain pemenuhan ADL biasanya klien membantu untuk melipat pakaian dan meletakkan di lemari. Klien senang untuk mengikuti kegiatan panti khususnya kegiatan panggung gembira. Klien mengatakan di kegiatan tersebut beliau dapat menyalurkan hobinya yaitu bernyayi. Pekerjaan seperti membersihkan alat makan, mencuci pakaian, menjemur jarang dilakukan. Hasil pemeriksaan depresi dengan intrumen GDS memperoleh nilai 4 yang artinya klien tidak mengalami depresi. Klien mengatakan selama ini selalu berusaha untuk menjalani hidup dengan senang, dan selau berfikir baik. Hal ini yang juga membuat klien cepat beradaptasi dengan lingkungan wisma saat ini.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
41
Sosialisasi klien sangat baik, interaksi dengan klien lain terjalin baik. Tidak ada hambatan yang dialami saat bersosialisasi, fungsi pendengaran maupun penglihatan masih berfungsi normal (kecuali, untuk membaca memerlukan kacamata). Hambatan yang dirasakan oleh klien saat berinteraksi ialah untuk mengingat nama. Klien sulit sekali mengingat nama, beliau mengatakan banyaknya klien lain sehingga tidak dapat mengingatnya satu per satu. Begitu pula dengan nama petugas maupun nama mahasiswa. Dukungan sosial dari keluarga hingga saat ini belum ada keluarga yang berkunjung. Keponakan yang pernah dikunjungi dahulu belum pernah datang karena klien belum menghubungi salah satu keponakannya bahwa beliau saat ini tinggal di panti. Saat ditanyakan alamat lengkap ataupun orang yang dapat dihubungi klien mengatakan lupa alamat lengkap maupun kontak yang dapat dihubungi. Klien hanya mengatakan di daerah Cijantung, namun untuk rute perjalanan beliau sulit mengingatnya karena baru sekali berkunjung semenjak datang dari Yogyakarta. Kebisaan klien dalam aspek spiritual. Klien masih mengikuti kegiatan pengajian, namun sering kali tertinggal apabila tidak ada yang mengingatkan jadwal mengaji di musola. Begitu pula dengan kegiatan ibadah sholat lima waktu. Aktivitas sehari-hari klien di panti ialah mengikuti kegiatan panti yang sedang berlangsung, bersosialisasi dan kadang klien memijit klien lain jika dimintai tolong. Klien merasa puas jika dapat menolong orang lain. Pemeriksaan tingkat kemandirian dilakukan menggunakan intrumen Indeks Barthel. Pengkajian dengan instrumen indeks Barthel
yang meliputi komponen pemenuhan ADL
menunjukan skor 100 yang artinya klien mandiri dalam pemenuhan ADL. 3.1.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan fisik dilakukan dengan prinsip head to toe agar data yang didapatkan komprehensif dan menyeluruh. Pada bagian kepala dilakukan pemeriksaan mulai dari bentuk kepala, rambut, kulit kepala, mata, hidung, telinga, mulut. Bentuk kepala normochepal, simetris, rambut kering, nampak perubahan warna/beruban pendekserta terdistribusi merata, kerapihan rambut kurang, kulit kepala kering Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
42
dan nampak ketombe. Klien mengatakan biasa membersihkan rambut dengan sabun, dan sepanjang hari menggunakan penutup kepala. Kulit kepala tidak nampak lesi, luka maupun jaringan skar, hanya nampak kulit kering mengelupas. Pada beberapa bagian nampak parasit rambut/kutu. Klien mengatakan sering kali menggaruk kepala karena gatal. Mata bersih, simetris, sclera tidak ikterik dan konjungtiva tidak anemis. Pada mata tampak perubahan warna lensa, sedikit keruh, ketika ditanyakan, klien mengatakan memang penglihatannya tidak sejernih dulu. Fungsi penglihatan menurun terutama dalam melihat objek dalam jarak dekat. Mata presbiopi menurut pemeriksaan optikal terakhir. Klien biasa menggunakan kacamata saat membaca. Area sekitar mata tidak tampak edema. Pemeriksaan bagian kepala selanjutnya ialah hidung. Letak hidung simetris, begitu pula lubang hidung. Hidung nampak bersih, adanya perubahan warna pada bulu, hidung hambatan jalan nafas tidak ada, sekresi mukus/sekret tidak ada. Telinga simetris, bersih, nampak terdapat sedikit serumen, lesi tidak ada, fungsi pendengaran baik. Kemudian pada bagian mulut, bibir sedikit kering, namun tidak mengelupas. Mulut cukup bersih, halitosis tidak tercium, gigi atas sebagian tanggal, tiga seri depan tanggal, dan 2 geraham belakang tanggal. Terdapat sedikit plakpada gigi taring atas. Lesi tidak ada, stomatitis tidak ada, lidah bersih, tonsil tidak mengalami pembengkakan, fungsi menelan baik. Pemeriksaan berlanjut ke bagian leher, leher tampak cukup lembab, tidak terdapat pembengkakkan kelenjar getah bening maupun kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan bagian dada, tampak dada simetris, terdapat lesi pada bagian lipatan dada. Lesi berupa ruam kemerahan, klien mengatak sering kali gatal pada bagian tersebut sehingga sering kali beliau menggaruknya. Perkembangan dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada. Perkusi dada normal (resonan), auskultasi paru bunyi nafas vesikuler pada kedua lapang dada, bunyi suara nafas abnormal baik whezzing maupun ronki tidak ditemukan. Bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur dan tidak ada. Frekuensi nafas 20 kali per menit sedangkan nadi 78 kali per menit. Bagian abdomen tampak bersih, simetris, sedikit menonjol/cembung. Tidak ditemukan adanya massa dari hasil palpasi abdomen. Bising usus 4 kali dalam satu menit, keluhan terkait BAB tidak ada dan nyeri tekan juga tidak ada. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
43
Pemeriksaan integument pada bagian paha terdapat lesi, berbentuk ruam merah dan mengelupas. Klien mengatakan hal tersebut disebabkan karena sering kali digaruk akibat rasa gatal. Kulit secara umum warna sawo matang, turgor kulit baik, namun tampak kering dan terdapat bagian bersisik terutama pada kaki. Pemeriksaan muskuloskletal didapatkan data, kekuatan otot pada seluruh ekstemitas dengan nilai 5 klien dapat melawan tahanan. Rentang pergerakan sendi sempurna. Hasil pengkajian jatuh dengan instrumen FMS menunjukkan skor 15 yang artinya tidak berisiko. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi, MMSE, CDR, GDS, Indeks Barthel, dan FMS. Pemeriksaan MMSE dengan nilai 17 (Penurunan kognitif berat), CDR didapatkan hasil bahwa pada pemeriksaan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial serta pekerjaan rumah atau hobi mendapatkan nilai 2 yang menunjukkan demensia ringan, sedangkan pada perawatan diri mendapatkan nilai 1, dalam perawatan diri yaitu mandi memang dilakukan mandiri, namun pelaksaanan mandi perlu dilatih kembali karena beberapa kegiatan dalam mandi masih kurang tepat (seperti cara membersihkan rambut). Selain itu dalam berhias, memerlukan dorongan dan motivasi. Terutama dalam kebiasaan menganti pakaian, menggunakan penutup kepala. 3.2 Analisa Data Data yang didapatkan dari pengkajian yang telah terkumpul dan telah dipaparkan. Berdasarkan data yang didapatkan setidaknya muncul tiga masalah keperawatan utama menurut NANDA (2012) yaitu (1) kerusakan memori; (2) kerusakan integritas kulit; dan (3) defisit perawatan diri. Definisi dari masing-masing diagnose serta data yang mendasari munculnya masalah keperawatan tersebut akan diuraikan satu per satu. Masalah keperawatan pertama yang terjadi pada klien ialah kerusakan memori. Klasifikasi NANDA 2012-2014 mendefinisikan kerusakan memori adalah ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau keterampilan perilaku. Data yang mendukung dan batasan karakteristik munculnya masalah tersebut antara Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
44
lain, klien sering kali mengatakan lupa. Klien tidak dapat mengingat tanggal lahir, tanggal, bulan, tahun maupun hari. Beberapa kegiatan seperti senam bersama, panggung gembira, maupun pengajian sering kali terlewatkan karena klien tidak lupa pada waktu kegiatan tersebut, sehingga perawat, petugas maupun mahasiswa harus mengingatkan klien untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak hanya pada waktu, klien juga sulit mengingat tempat dimana beliau tinggal sekarang. Pada saat pengkajian klien mengatakan lupa nama panti maupun wisma tempatnya saat ini.Klien memang baru saja tinggal di wisma dahlia sejak satu bulan lalu, namun klien sulit mengingat nama petugas, klien lain serta mahasiswa yang sering berinteraksi dengannya. Hasil MMSE 17 (penurunan kognitif berat), khususnya pada komporen orientasi, mengingat. Pada komponen kalkulasi dan bahasa cukup baik. Penilaian tingkat demensia dengan CDR menunjukkan nilai 1 (ringan) pada komponen memori, pengambilan keputusan, aktivitas sosial, pekerjaan rumah tangga dan perawatan diri. Namun pada komponen orientasi mendapatkan nilai 2 (sedang). Hal tersebut menunjukkan demensia yang terjadi pada klien ialah demensia ringan. Data lain yang mendukung diagnosa kerusakan memori ialah dampak yang muncul pada kehidupan sehari-hari akibat adanya kerusak memori. Data yang dimaksud ialah kurang optimalnya usaha perawatan diri terutama mandi, klien beberapa kali terlihat menggunakan baju yang sama setelah mandi (lupa mengganti/membawa baju dan penutup kepala bersih saat mandi), selain itu klien sering kali mengindari pekerjaan yang sedikit rumit seperti mencuci piring, mencuci pakaian sendiri. Klien pernah kembali ke aula dan mengatakan ingin bernyanyi di acara panggung gembira, padahal panggung gembira baru saja berakhir sekitar 1 jam lalu dan di acara tersebut klien ikut menyumbangkan lagu. Masalah keperawatan kedua yang muncul ialah kerusakan integritas kulit. Adanya luka ruam merah, dengan kulit mengelupas akibat garukan. Luka tersebut nampak pada area paha, dan lipatan bawah payudara. Berdasarkan klasifikasi NANDA 2012-2014 mendefinisikan kerusakan integritas kulit adalah terjadinya perubahan atau gangguan epidermis dan atau dermis. Banyak penyebab yang akhirnya membuat kerusakan integritas kulit pada klien. Rasa gatal yang dirasakan oleh Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
45
klien jika dikaji lebih dalam, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Kurang optimalnya perawatan diri (mandi). Terjadinya kerusakan memori yang dialami yang menyebabkan klien lupa mengganti pakaian dan penutup kepala, adanya parasit kepala yang bisa memicu gatal, kebiasaan klien tidak mengeringkan badan hingga kering sehingga kondisi kulit terlalu lembab dan menjadi tempat berkembangnya bakteri, mikro organism maupun jamur yang menyebabkan gatalgatal. Apabila ditinjau kembali, bagian tubuh klien yang sering kali mengalami gatal berlebih ialah pada bagian lipatan tubuh (lipatan di bawah dada dan paha). Pada bagian tersebut merupakan bagian yang lebih lembab. Kerusakan integritas kulit yang terjadi berupa ruam merah mengelupas dengan diameter 1-2 cm, menyebar diarea paha dan di bawah payudara. Ruam ini diperparah dengan kebiasaan klien menggaruk dengan kuku. Kuku tampak bersih namun panjang dan kurang rapi. Masalah keperawatan selanjutnya yang dialami oleh klien yaitu defisit perawatan diri: mandi. Defisit perawatan diri: mandi adalah hambatan kemampuan untuk melakukan dan menyelesaikan mandi/ aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri (NANDA, 2012). Penyebab utama dari terjadinya masalah ini pada klien ialah adanya penurunan kognitif yaitu kerusakan memori yang akhirnya mempengaruhi kemampuan pada pemenuhan kebutuhan higiene. Data yang diperoleh terkait masalah defisit perawatan diri: mandi antara lain, pola mandi klien memang cukup baik yaitu 2-3 kali, bahkan terkadang lebih karena lupa bahwa beliau sudah mandi. Kebiasaan saat mandi seperti tidak menggosok gigi, membersihkan rambut dengan sabun, terkadang lupa membawa baju dan penutup kepala bersih, beberapa kali terlihat tidak membawa handuk. Klien sering kali tidak mengeringkan badan dengan sempurna. Ketika ditanyakan apa yang menyebabkan klien tidak menggosok gigi dan membersihkan kepala dengan sabun, klien mengatakan bahwa sekarang giginya sudah banyak yang tanggal, sehingga tidak perlu digosok, hanya sesekali saja kumur dengan pasta gigi. Klien membersihkan rambut dengan sabun disebakan karena beliau sering kali tidak memiliki sampo, dan merasa sama saja sabun ataupun sampo dapat digunakan untuk membersihkan rambut karena sama-sama menghasilkan busa. Kebiasaan lainnya yaitu mengeringkan badan tidak sempurna, hal ini disebabkan karena klien sering kali lupa membawa Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
46
handuk, mengeringkan badan hanya pada bagian yang mudah dijangkau saja, bagian tubuh yang tertutup ada seperti dibawah lipatan dada, paha maupun punggung sering kali tidak terjangkau dan akhirnya tidak dikeringkan. Saat lupa membawa handuk klien biasa memngeringkan dengan baju kotornya ataupun tidak dikeringkan apabila baju bersih juga tertinggal. Pada bagian rambut, sering kali klien menggunakan penutup kepala dalam keadaan rambut yang belum kering seluruhnya. Hal ini menyebabkan area kepala lembab dan parasit/kutu semakin berkembang biak. Nampak adanya kutu baik dalam bentuk kepompong, saat dilakukan sisir dengan serit tampak ditemukan pula kutu. 3.3 Diagnosa Keperawatan Analisis data didapatkan tiga masalah keperawatan. Masalah keperawatan utama yang dialami oleh lansia dari hasil pengkajian ialah kerusakan memori, defisit perawatan diri dan kerusakan integritas kulit. Ketiganya merupakan masalah yang bersifat aktual yang muncul pada klien. Jika ditelaah kembali maka sebenarnya terdapat korelasi antar ketiganya. Penurunan kemampuan dalam merawat diri yang dialami klien salah satu penyebabnya ialah karena terjadinya kerusakan memori. Kemudian dari masalah defisit perawatan diri:mandi menjadi salah satu pemicu timbulnya masalah baru yaitu kerusakan integritas kulit berupa luka ruam merah yang tersebar di beberapa bagian tubuh klien akibat gatal. Oleh sebab itu, kerusakan memori yang bersifat aktual dan memiliki pengaruh terhadap masalah lainnya diangkat sebagai diagnose prioritas. Penulis akan memfokuskan masalah keperawatan pada satu diagnosa keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan klien yaitu kerusakan memori. 3.4 Rencana Keperawatan pada Kerusakan Memori Asuhan keperawatan pada klien demensia berfokus pada penurunan kognitif yang dialami klien. Telah digambarkan sebelumnya, penurunan kognitif yang berupa kerusakan memori pada seseorang akan mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Adapun perubahan yang terjadi akibat kerusakan memori dan adanya distrosi pikiran yang terjadi akibat demensia meliputi, kemampuan menyelesaikan masalah, pengambilan keputusan, pemenuhan kebutuhan seharihari. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup klien. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
47
Tujuan asuhan keperawatan tentunya untuk mengatasi keruskan memori yang dialami klien. Tujuan intervensi keperawatan
setelah dilakukan intervensi
keperawatan klien diharapkan dapat meningkatkan daya ingat. Tercapainya tujuan tersebut dibuktikan dengan beberapa indikator/ kriteria diantaranya klien terorientasi dengan baik (tempat, waktu, orang, adanya peningkatan skor MMSE , peningkatan ataupun dapat mempertahankan kemampuan memenuhi ADL yang di evaluasi
melaui
indeks
Barthel,
klien
tenang
dan
tidak
muncul
perubahan/penurunan mental seperti agitasi, ansietas maupun depresi. Tingkat kemandirian klien dengan penilaian Barthel ialah 100 yang menunjukkan klien dapat memenuhi ADL secara mandiri. Dengan demikian prinsip dari tindakan yaitu berfokus pada keterampilan klien untuk meningkatkan status kognitif dan kesehatannya. Intervensi untuk masalah kerusakan memori yang rancang untuk mencapai tujuan tersebut antara lain, (1) orientasi masalah dan tujuan yang dapat dicapai, (2) kontrol lingkungan yang aman dan tenang, (3) ajarkan klien cara untuk meningkatkan keterampilan memori, dan (4) ajarkan teknik relaksasi untuk meningkatkan konsentrasi. Secara garis besar intervensi kerusakan memori meliputi empat komponen tersebut. Tindakan pertama ialah mengorientasi klien terhadapa masalah yang terjadi, dampak masalah yang telah dirasakan, berikan pula informasi yang akurat terkait perubahan akaibat penuaan dengan masalah yang dialami saat ini. Selain itu, informasikan pada klien tujuan yang ingin dicapai dari tindakan keperawatan yang akan diberikan. Tindakan berikutnya ialah pengontrolan lingkungan. Klien dengan demensia dalam keadaan penurunan kognitif yaitu kerusakan memori sering kali mengalami kesulitan dalam menerima informasi, memecahkan masalah dan mudah mengalamiansietas. Pengontrolan lingkungan yang baik, tenang dan aman akan membuat klien lebih mudah berkonsentrasi serta menurunkan kecemasan ataupun distraksi dari lingkungan. Pengontrolan lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengurangi kebisingan di wisma ataupun area sekitar klien. Kebisingan dapat disebabkan misalnya oleh banyaknya mahasiswa yang praktik di wisma. Pembagian tugas yang merata anatara mahasiswa dan petugas akan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
48
menciptakan lingkungan yang kondusif dan rapi. Selain itu, memastikan dan menghindari konflik antar klien. Pastikan pencahayaan cukup ketika lingkungan mulai gelap/ malam. Pengontrolan juga dapat dilakukan dengan selalu memberikan informasi terkait tindakan yang kakan dilakukan pada klien. Tindakan ketiga dari intervensi kerusakan memori ialah mengajarkan teknik yang dapat meningkatkan kemampuan mengingat. Dalam hal ini tindakan difokuskan pada salah satu terapi kognitif yaitu individual CST (Cognitive Stimulation Therapy). Terapi ini diberikan 2 kali setiap minggunya. Pada pertemuan awal lakukan kontrak untuk menentukan waktu terapi setiap minggunya. Terapi yang dilakukan terdiri dari 14 sesi dengan tema kegiatan berbeda tiap sesinya. Tema kegiatan yang dilakukan dalam CST individu ialah (1) permainan Fisik; (2) suara; (3) kehidupanku/masa anak-anak; (4) makanan; (5) isu terkini; (6) foto wajah/pemandangan; (7) permainan kata berhubungan; (8) kreativitas; (9) mengelompokkan benda; (10) orientasi; (11) menggunakan uang; (12) permainan angka, (13) permainan kata; dan (14) kuis. Selain itu, reinforcement positif serta motivasi klien untuk melakukan pemenuhan ADL secara mandiri akan meningkatkan dan mempertahankan kemandirian. Hal ini pula yang akan mencegah penurunan keterampilan klien dalam memenuhi ADL yang sering kali di alami oleh klien lain yang mengalami demensia. Intervensi berikutnya terkait kerusakan memori ialah mengajarkan teknik relaksasi. Kesulitan konsentrasi maupun ansietas yang dialami oleh klien tidak hanya disebabkan oleh lingkungan. Adanya distorsi pikiran yang sering kali muncul pada klien dengan demensia dapat menyebabkan sulit berkonsentrasi, ansietas bahkan hingga panik. Perawat dapat mengajarkan teknik relaksasi mulai dari teknik nafas dalam, dan teknik imajinasi dapat membantu klien untuk menenangkan pikirannya. Teknik imajinasi dengan guide imagery maupun teknik hipnotis lima jari dapat dilakukan pada klien dengan kerusakan memori. 3.5 Implementasi Keperawatan untuk Masalah Kerusakan Memori Implementasi asuhan keperawatan pada klien dilakukan dalam waktu 7 minggu. Pertemuan untuk terapi kognitif yaitu CST dilakukan sejak tanggal 14 Mei-2 Juli 2014. Pada minggu pertama difokuskan pada pengkajian masalah keperawatan, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
49
dimulai dengan pengkajian identitas, riwayat, kondisi saat ini, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Pada minggu pertama dilakukan pula intervensi pada defisit perawatan diri, kemudian di minggu ke-2 mulai dilakukan implementasi kerusakan integritas kulit dan terapi kognitif. Pada minggu akhir, penulis melakukan evaluasi sumatif. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan asuhan keperawatan yang telah dilakukan serta menentukan rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh klien. 3.5.1. Implementasi Kerusakan Memori Implementasi dilakukan selama 7 minggu yang mencakup 14 pertemuan terapi kognitif. Pada awal pertemuan ditujukan pula untuk bina trust atau membina hubungan saling percaya. Teknik komunikasi dengan salam terapeutik, memanggil dengan menyebutkan nama klien (Ibu S) juga dilakukan sebagai cara menjalin hubungan saling percaya. Selain itu, pertemuan awal dilakukan untuk mendiskusikan perlunya program terapi, tujuan hingga menentukan jadwal terapi. Klien setuju untuk mengikuti terapi dan menentukan jadwal terapi akan dilakukan setiap Senin dan Rabu Selama tujuh minggu. Penentuan waktu disepakati siang ataupun sore selama 45 menit setiap kali pertemuan. Tindakan yang telah dilakukan dari intervensi yang telah dirancang sebelumnya antara lain mengontrol lingkungan yang tenang dan aman. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti memastikan adanya pembagian tugas yang merata, setiap perawat maupun mahasiswa mengelola pasien dengan jumlah yang sama dan dengan tingkat kemandirian yang merata. Dengan begitu setiap masalah keperawatan klien dapat teratasi dan tidak menimbulkan keramaian ataupun konflik antara petugas, perawat, mahasiswa maupun klien. Selain itu, klien juga pernah berada di antara konflik (klien lain). Saat itu klien menyaksikan Ibu T dan M yang awalnya sedang mengobrol kemudian terjadi silang pendapat dan akhirnya keluar kata-kata kasar. Hal ini menyebabkan klien cemas dan takut bila kedua temannya akan berkelahi. Klien panik dan memanggil perawat, konflik segera diatasi dengan memberikan penjelasan diantara keduanya. Penulis juga menjelaskan kembali masalah yang sebenarnya terjadi pada klien kemudian menunjukkan bahwa konflik sudah berakhir. Saat klien merasa cemas dilakukan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
50
teknik nafas dalam yang sebelumnya telah diajarkan. Teknik relaksasi dilatih ketika keadaan klien tenang dan menyarankan agar teknik yang telah dilatih harus dilatih secara rutin dan dapat dilakukan kembali saat klien merasa tidak tenang atau cemas. Pengontrolan lingkungan telah dilakukan yaitu menyalakan sejumlah lampu dimulai dari pukul 17.30. Lampu yang dinyalakan antara lain lampu wisma dalam dan luar, lampu menuju kamar mandi serta lampu kamar mandi. Selain penerangan, ventilasi dipastikan berfungsi agar memberikan kenyamanan pada lansia. Tindakan selanjutnya ialah terapi kognitif. Orientasi baik waktu, tempat dan orang selau distimulasi tiap pertemuan. Pada sesi pertama dilakukan kegiatan dengan tema permainan fisik. Kegiatan yang dilakukan adalah bermain bola kaki. Tempat pelaksanaan dilakukan di wisma dengan alat bola kaki plastik dan gawang yang dimodifikasi. Pada kegiatan ini dilibatkan pula klien lain dalam bentuk kelompok. Permainan ini juga melatih kekuatan otot dan konsetrasi. Klien diitempatkan pada posisi yang bertugas memasukkan bola ke gawang. Dengan jarak 5 meter klien dapat memasukkan bola tepat ke gawang. Sesi kedua yaitu kegiatan dengan tema suara. Berbagai jenis suara telah di kumpulkan penulis. Media yang digunakan ialah pemutar musik dan gambar. Awalnya klien diberikan stimulus suara berbagai jenis hewan, situasi, dan kendaraan. Stimulus suara diputar dan diperdengarkan pada klien kemudian klien menebak suara apa yang sedang didengarkan. Media gambar digunakan sebagai pelengkap saja dan membantu klien jika kesulitan mengenali suara. Berikutnya ialah sesi ketiga dengan tema kehidupanku. Sesi ini dilakukan dengan media Kartu Task (Keliat, Panjaitan, Daulima, 2004). Kartu task yang mencantumkan berbagai jenis kegiatan yang dilakukan sehari-hari membantu penulis dan klien untuk menggali masa lalu dan kehidupan klien saat ini. Klien memilih 9 task dengan kategori berbeda dari kartu. Kemudian Klien menceritakan apa yang pernah terjadi, dialami, dilakukan atau dirasakan dari 8 tema kegiatan dalam kartu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
51
Sesi keempat yaitu pertemuan dengan tema makanan, pertemuan dilakukan di dapur panti. Beberapa lansia mandiri memang biasa membantu memasak di dapur. Kegiatan seperti mengupas sayur, memotong sayur dapat dilakukan oleh klien yang mandiri dan ingin membantu. Kegiatan ini dimanfaatkan sekaligus untuk terapi dengan tema makanan. Klien di ajak kedapur untuk kembali mengenali berbagai jenis makanan, sayur, buah. Klien juga diberikan stimulasi dengan mengingat warna maupun rasa dari berbagai jenis makanan tersebut. Sesi dengan tema isu terkini (Sesi 5) dilakukan dengan media Koran dan kacamata milik klien. Terapi dilakukan di taman baca. Koran yang digunakan ialah Koran dengang terbitan saat itu. Sebelum membaca Koran, klien distimulasi mengenai berita yang saat itu sedang banyak dibicarakan orang. Saat itu klien menjawab kurang tahu karena sudah tidak pernah menonton televisi ataupun membaca Koran. Klien kemudian diberikan stimulasi terkait salah satu idolanya yaitu Jokowi. Saat itulah klien menyebutkan bahwa beliau mendengar dari banyak orang bahwa Jokowi menyalonkan diri sebagai calon klien. Setelah itu barulah, klien distimulasi dengan salah satu artikel yang bertopik Capres 2014. Klien diberikan waktu untuk membaca dengan cermat lalu menceritakan inti dari artikel tersebut. Sesi berikutnya ialah tentang foto wajah ataupun pemandangan. Sesi ini dilakukan dengan media gambar. Gambar yang ditampilkan meliputi gambar hewan, pemandangan, dan orang terkenal di Indonesia. Klien distimulasi dengan menunjukkan gambar dan menyebutkan apa ataupun siapa yang ada pada gambar yang ditunjukkan. Kemudian untuk gambar pemandangan klien diminta untuk menyebutkan dan menggambarkan apa yang ada digambar tersebut, misal pada pemandangan pantai, klien menyebutkan di pantai biasanya ada pohon kelapa, pasir, bunyi ombak, cuaca panas dan angin sepoi-sepoi. Gambar tokoh terkenal juga distimulasi dengan siapa, profesi, jika penyanyi adakah lagu yang klien ketahui, dan jika tokoh nasional/presiden keberapa. Beberapa gambar tokoh dapat disebutkan seperti gambar tokoh Soekarno, Soeharto, Habibie, Titik Puspa, Jokowi. Untuk jawaban yang belum tepat ialah Susilo Bambang Yudhoyono, Abdulrahman Wahid dan Dewi Yull. Klien mengatakan mengenali wajah namun Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
52
lupa dengan nama. Ketika penulis membantu dengan menambahkan kata kunci klien baru bisa menjawab. Permainan kata berhubungan yang merupakan tema sesi 7 dilakukan dengan media white board dan spidol, dilakukan di taman baca. Lansia diberikan kesempatan untuk memilih 5 kata dan menyebutkan kata apa saja yang berhubungan dengan kata kunci tersebut. Kata yang dipilih klien ialah kata rumah, lansia, ibadah, dompet, dan makan. Klien menyebutkan hal-hal yang dapat menggambarkan kata yang telah dipilih. Sesi berikutnya ialah sesi ke-8 dengan tema kegiatan kreativitas. Sebelum pertemuan ini, kontrak yang dilakukan di akhir sesi 7 ialah mendiskusikan tentang karya seni yang ingin dibuat. Klien mengatakan bingung dan tidak tahu ingin membuat apa, kemudian penulis menstimulasi dengan salah satu koleksi milik klien yang diletakkan di samping tempat tidurnya yaitu bunga pita. Akhirnya disepakati untuk membuat bunga pita seperti yang dimiliki hadiah dari salah satu TAK. Pada awal sesi ke-8 klien distimulasi untuk menyebutkan bahan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat bunga pita. Klien menyebutkan yang dibutuhkan adalah kertas warna-warni, lidi, lem dan gunting. Reinforcement diberikan atas jawaban yang sudah benar, namun beberapa alat seperti pita yang belum disebutkan kemudian disebutkan penulis. Klien diberikan kesempatan untuk membuat bunga pita dengan langkah sendiri. Klien mencoba namun mengalami kesulitan,
kemudian
penulis
mendemontrasikan
langkah-langkah
diikuti
redemontrasi oleh klien. Sesi pengelompokan benda dilakukan dengan memberikan sejumlah benda (model makanan, alat rumah tangga, alat mandi, pakaian). Model makanan ialah maina berbentuk makanan seperti buah-buahan, lauk-pauk dan minuman. Klien diberikan waktu untuk menyusun benda-benda yang ada berdasarkan fungsinya. Sesi orientasi sebenarnya sudah dimulai sejak awal pertemuan, media yang digunakan ialah kalender, kartu, jam. Stimulasi diawali dengan menanyakan tanggal saat itu. Klien mengalami kesulitan dalam mengingat tanggal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
53
Sesi 12 yaitu permainan angka dilakukan dengan kartu bertuliskan angka dan simbol operasi perhitungan. Pada sesi 13 yaitu permainan kata, klien diberikan 5 kata. Intruksi selanjutnya ialah klien diberikan kesempatan untuk menyusun kata baru dari lima kata yang telah diberikan. Sesi 14 yaitu kuis dilakukan sebagai penutup terapi. Kuis diberikan dengan cara Kuis tebak, dilakukan dengan media power poin, terdiri dari 3 sesi kuis yaitu sesi tebak, sesi cerita dan sesi hitung. Sesi tebak disajikan dengan menunjukkan berbagai jenis gambar, pemandangan, suara. Sesi cerita disajikan dengan memunculkan berbagai kata, berita, kebiasaan seharihari dan gambar kegiatan yang telah dilakukan. Sesi hitung ialah dengan angka dan menyelesaikan soal kasus cerita. 3.6 Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan implementasinya sudah berhasil dicapai. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien mencapai tujuan. Proses evaluasi dilakukan baik secara subjektifitas dari klien, maupun secara objektif. Evaluasi objektif dapat dilakukan menggunakan sejumlah intrumen terkait penilaian kognitif (MMSE), tingkat kemampuan dalam memenuhi ADL, dan juga evaluasi terkait kualitas hidup lansia. Observasi juga dilakukan untuk menilai adanya perubahan secara mental seperti kepercayaan diri, ansietas yang ditunjukkan dalam keseharian klien. Berikut ini evaluasi dari terapi stimulasi kognitif pada Ibu S. dengan masalah kerusakan kognitif. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada minggu pertama (19-24 Mei 2014) terkait kerusakan memori meliputi CST sesi pertama dan kedua yaitu sesi permainan fisik dan sesi suara. Sesi 1 dilakukan pada tanggal 19 Mei 2014, sedangkan sesi 2 dilakukan pada tanggal 21 Mei 2014. Setiap sesi diawali dengan kontrak waktu dan tempat serta pengisian buku kerja. Permainan Fisik dilakukan dengan bermain bola kaki dan melibatkan WBS lain (kelompok). Respon WBS positif setelah melakukan kegiatan tersebut. WBS mengatakan senang dapat bermain walaupun awalnya malu karena sebelumnya tidak pernah bermain bola tendang. WBS juga mengatakan puas dapat Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
54
memasukkan bola sehingga kelompoknya mendang dalam permainan bola tersebut. Selain itu, berdasarkan pengakuan WBS saat mencoba memasukan bola sebenarnya sedikit sulit karena jarak gawang yang cukup jauh dan kotak yang digunakan sebagai pembatas gawang agak kecil, namun warna kotak pembatas gawang cukup mencolok dari lemari dan tembok sehingga terlihat area gawang dan berhasil memasukkan bola sebanyak 3 kali (3 tendangan). Evaluasi secara objektif dengan cara observasi meliputi, saat pengisian buku kerja mengenai tempat dan waktu pelaksanaan permainan, WBS dapat menyebutkan tempat dan orang, yaitu wisma Dahlia, permanian dilakukan bersama perawat, petugas dan, teman 1 wisma. Namun WBS tidak dapat menyebutkan tanggal, bulan dan tahun dengan tepat. Klien tidak dapat menyebutkan nama penulis, petugas maupun perawat. Walaupun begitu, klien mampu memahami dan mengikuti aturan permainan, tidak ada pelanggaran yang dilakukan selama permainan, sempat bertanya sebelum melakukan tendangan ke gawang karena ragu apakah benar WBS harus langsung memasukkan bola ke gawang atau kembali memberikan bola ke teman. Namun hal tersebut tidak terjadi pada tedangan kedua dan ketiga. Selain itu, WBS berhasil memasukkan bola sebanyak 3 kali (bola gagal 0). Evaluasi ini juga dilakukan dengan menanyakan alat yang apa saja yang digunakan dalam permainan, WBS menjawab alat yang dibutuhkan meliputi bola, dan kardus (gawang). Evaluasi untuk sesi kedua yaitu dengan tema suara, WBS mengatakan beberapa suara diketahui ingat bentuk namun lupa nama hewan yang dimaksud. Klien mengatakan beberapa suara yaitu suara burung dan jangkrik mengingatkan saya suasana seperti di kampung halaman. Terlebih suara jangkrik, suara ini mengingatkan suasana seperti saat dahulu klien sering bernyanyi dari desa ke desa. Biasanya sara tersebut terdengar cukup keras ketika malam. Sebelum sesi dimulai dilakukan pengisian buku kegiatan. Klien tidak dapat mengingat tanggal saat itu, begitu pula dengan bulan dan tahun. Klien menyebutkan tempat terapi dengan dengan tepat yaitu ruang membaca. Hari di jawab dengan benar namun jawaban yang diberikan kurang yakin. Klien belum tepat menyebutkan nama penulis. Sesi suara dilakukan dengan menyajikan berbagai suara. Sesi stimulasi klien dapat menjawab 7 jenis suara dengan tepat dan 8 suara belum dijawab Pada Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
55
sesi ini disajikan pula gambar apabila klien tidak dapat menyebutkan jenis suara dengan tepat. dengan tepat. Sedangkan pada sesi tebak suara (setelah dilakukan stimulasi) klien dapat menjawab 12 jenis suara dengan tepat. Berdasarkan hasil tindakan keperawatan berupa CST pada minggu pertama (sesi 1-2) menunjukkan bahwa klien belum terorientasi dengan baik terhadap waktu dan orang. Sebagian besar pertanyaan mengenai waktu dan nama orang (penulis maupun petugas) masih dijawab kurang tepat. Orientasi tempat menunjukkan perubahan yang signifikan. Klien dapat menyebutkan dengan tepat tempat yang dimana klien berada saat itu. Tampak klien dapat berkonsentrasi dengan baik selama sesi dilakukan. Dari dua sesi tersebut nampak klien tampak ragu baik dalam hal melakukan suatu tindakan (menendang bola) maupun menjawab pertanyaan di awal. Akan tetapi kepercayaan diri meningkat dan tidak tampak keraguan dalam memutuskan tindakan maupun menjawab saat apa yang dilakukan sebelumnya sudah tepat. Diakhir sesi klien dapat mengingat dan menyebutkan hal yang telah dilakukan walaupun dengan bahasa yang sederhana. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa di minggu pertama adanya peningkatan kemampuan kognitif dalam hal orientasi (tempat) dan mengingat pada ibu S. Selain itu, tampak pula peningkatan kepercayaan diri yang terutama saat menjawab pertanyaan maupun membuat keputusan dalam bertindak. Berikutnya ialah sesi ketiga dan sesi keempat. Kedua sesi tersebut dilakukan pada terapi minggu kedua (26-31 Mei 2014). Sesi ketiga dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014. Sesi ini bertemakan kehidupanku. Sesi yang bertujuan untuk mengeksplorasi kenangan masa lalu hingga kegiatan klien saat ini dilakukan dengan media kartu TASK. Klien memilih kartu TASK sebanyak 7 tema. Ketujuh tema tersebut ialah (1) tampil bersih dan rapi; (2) kenangan yang tak terlupakan; (3) ceritakan perasaan; (4) tampil ceria; (5) sifat teman; (6) lawan kemalasan; (7) saya dibutuhkan; (8) berfikir positif; (9) kegiatan diluar kamar. Hasil pertemuan, klien mengungkapkan bahwa untuk tampil bersih dan rapi dapat dilakukan dengan cara mandi tiga kali sehari, menyisir rambut, menggunakan pakaian yang bersih. Sedangkan kenangan yang tak terlupakan baginya ialah masa ketika dirinya masih aktif menyanyi dari desa ke desa, bergabung dalam kelompok keroncong dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
56 nama “Keroncong Tetap Segar” serta saat klien bergabung dengan band bentukan TNI AD dengan nama “Darma Putra Kostrad”. Saat diberikan kesempatan untuk menceritakan perasaan saat ini, klien mengungkapkan perasaannya semangat, senang, namun klien juga sedang merasakan gatal-gatal walaupun rasa gatal sudah sedikit berkurang. Selanjutnya, bagi klien untuk dapat tampil ceria dengan cara selalu berfikir merdeka, merdeka dari membicarakan kekurangan orang lain maupun merdeka dari memikirkan penyakit. Pertanyaan tetang bagaimana sifat teman-teman di satu wisma, klien mengungkapkan bermacam-macam ramah, perhatian, namun menurutnya jarang yang rajin karena mungkin kemampuan teman-teman di dahlia tidak segesit saat dulu muda. Hal yang dilakukan klien untuk melawan rasa malas ialah dengan membaca Koran, dan saat ini klien mengatakan mulai rutin membantu di dapur untuk mengisi waktu luang. Pada kartu taks dengan kata “Saya Dibutuhkan”, klien merasa mungkin dibutuhkan karena selama ini klien senang membantu baik teman, petugas maupun membantu didapur. Kategori yang terakhir ialah kegiatan yang dapat dilakukan diluar kamar. Klien menyebutkan bahwa kegiatan yang dapat diikuti di luar Dahlia seperti senam, menyanyi (panggung gembira), membantu di dapur, pengajian. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa dalam sesi ini klien dapat memahami intruksi yang diberikan. Jawaban yang diungkapkan sesuai dengan pertanyaan yang diberikan melalui kartu yang dipilih, walaupun beberapa pertanyaan perlu diberikan arahan/petunjuk tambahan sebelum klien menjawab. Pada awal sesi pengisian buku kegiatan klien dapat menyebutkan hari dan bulan namun belum tepat dalam menyebutkan tanggal, dan tahun. Orientasi tempat baik ditunjukkan dengan klien meyebutkan saat itu terapi dilakukan di aula. Orientasi orang, klien dapat menyebutkan nama penulis dengan tepat walupun tampak sedikit ragu saat menyebutkan, nama teman yang biasa bersama juga disebutkan dengan tepat. Sesi keempat dilakukan pada tanggal 28 Mei 2014. Klien mengatakan sudah beberapa minggu ini membatu di dapur. Walaupun hanya sekedar memotong ataupun mengupas sayur, klien merasa senang karena dapat membantu sambil mengobrol (berinteraksi). Sesi dimulai dengan stimulasi nama bahan makanan yang saat itu sedang klien kupas. Klien menyebutkan dengan tepat beberap bahan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
57
makanan seperti kunyit, daun salam, daun jeruk, temu kunci. Namun masih tertukar antara jahe, kencur dan lengkuas karena bahan makanan tersebut telah dikupas sehingga hampir serupa. Sehingga dilakukan stimulasi dengan sensorik (penciuman) untuk membedakan ketiganya. Setelah itu klien dapat membedakan ketiganya melalui aroma dari masing-masing bumbu tersebut. Stimulasi dilanjutkan dengan menyebutkan jenis makan, rasa. Penulis juga mencoba menstimulasi dengan cara menanyakan pada klien apa saja bahan yang dibutuhkan untuk membuat salah satu hidangan (pepes tahu). Klien mampu menyebutkan jenis makanan yang saat itu dihidangkan (nasi, pepes tahu, sayur sop, pepaya). Manfaat makan menurut klien ialah agar tetap sehat dan tidak mudah sakit. Klien mampu menyebutkan beberapa bahan untuk membuat pepes tahu. Bahan yang disebutkan ialah tahu, bumbu, garam, dan pembungkus dengan daun pisang. Hasil pertemuan pada minggu kedua nampak adanya peningkatan yaitu pada komponen orientasi orang dan waktu. Orientasi terhadap orang dan waktu memang sempurna karena tampak sedikit ragu saat menyebutkan nama penulis, dan belum tepat menyebutkan tanggal dan tahu, namun untuk menyebutkan bulan dan hari dijawab dengan tepat. Pada sesi baik sesi kehidupanku maupun makanan tampak memori jangka panjang masih baik klien juga mampu menyebutkan nama Ayah, Ibu dan Almarhum suaminya serta hal-hal yang selalu terkenang hingga sekarang. Akan tetapi kekurang kelemahan dari metode ini ialah penulis tidak dapat memkonfirmasi apakah informasi yang disampaikan oleh klien benar ataupun salah. Sehingga digunakan metode kedua yaitu dengan menyebutkan nama lansia lain yang setiap harinya sering berinteraksi dengan ibu S. Klien mampu menyebutkan nama lansia yang dimaksud. Pada komponen mengingat juga tampak adanya peningkatan yang ditunjukkan dengan kemampuan klien memperkirakan bahan makanan untuk membuat pepes tahu serta mengingat beberapa kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Pada minggu kedua kerusakan memori pada ibu S teratasi sebagian dengan data yang menunjukkan adanya peningkatan pada kognitif yaitu peningkatan orientasi waktu (hari dan bulan), orang (penulis dan salah satu teman di wisma), komponen mengingat (menyebutkan bahan makanan dan kenangan). Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
58
Pada minggu ketiga (2-7 Juni) dilakukan dua sesi CST yaitu isu terkini dan sesi gambar/pemandangan. Setelah pertemuan sesi kelima klien mengatakan senang karena sudah lama tidak pernah membaca berita, dulu senang membaca berita terutama Koran terbitan “P” bagian kriminal. Ibu S. mengatakan senang membaca bagian kriminal karena dari berita tersebut dirinya dapat mengambil pesan kehidupan dan cara menghindari diri dari kasus-kasus yang ada. Pada sesi tebak gambar klien mengatakan beberapa tokoh sebenarnya ingat muka namun klien lupa dengan nama tokoh tersebut. Selama sesi kelima klien mampu membaca berita. Klien tampak sedikit kesulitan memahami isi berita namun inti besar/topik berita dapat disimpulkan dengan baik. Klien menyebutkan berita yang baru saja dibaca ialah mengenai pemilihan pklien 2014 dan salah satu calon pkliennya ialah Jokowi. Klien mengatakan lupa saat ditanya siapa calon pklien selain Jokowi, dan dapat menjawabnya setelah membaca kembali beberapa bagian berita. Pada sesi foto/pemandangan jawaban benar sebanyak 12 dan 4 masih kurang tepat. Jawaban benar meliputi 6 nama tokoh (Soekarno, Titiek Puspa, Soeharto, Jokowi, Habibi, Megawati), 3 pemandangan (gunung, pantai dan wisma dahlia), serta 3 gambar hewan (kucing, kambing dan gajah). Jawaban salah pada gambar tokoh ialah Dewi Yull, Susilo Bambang yudhoyono dan Gusdur (Abdulrahman Wahid). Klien mengatakan mengingat wajah namun lupa nama ketiga tokoh tersebut. Jawaban salah juga berasal dari gambar hewan, klien menyebutkan gambar jangkrik sebagai kecoa. Hal ini menurutnya karena warna keduanya hampir mirip sehingga sulit membedakan. Kedua sesi tersebut pada prinsipnya ialah memberikan stimulasi ingatan melaui sensorik tulisan maupun gambar. Jika dianalisa pada stimulasi dengan tulisan/artikel klien sedikit mengalami kesulitan terlihat dengan klien harus membaca ulang untuk menyimpulkan hal penting dalam berita. Pada stimulasi dengan gambar yang awalnya diberikan petunjuk melalui kalimat sederhana mengenai gambar yang akan muncul tampak klien dapat menjawab baik 75% jawaban benar. Pada sesi ini dilakukan pula orientasi waktu, tempat dan orang melalui pengisian buku kegiatan diawal sesi. Pertemuan minggu ketiga tampak klien dapat menyebutkan hari dan bulan dengan tepat, namun tidak pada tanggal dan tahun. Klien mampu menyebutkan nama penulis dan tempat terapi saat itu Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
59
(ruang
baca).
Selain
itu,
75%
klien
menjawab
benar
serta
mampu
mengingat/menyimpulkan topik dalam berita yang disajikan. Pada minggu keempat dilakukan pertemuan sesi 7-8. Sesi ketujuh yaitu dengan tema permainan kata berhubungan dan sesi ke-8 dengan tema kreativitas. Respon klien setelah melakukan terapi sesi 7 adalah awalnya sedikit merasa bingung memilih dan memikirkan kata yang berhubungan. Hal ini juga terlihat pada kata pertama klien membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menuliskan 5 kata yang berhubungan. Pada kata pertama yaitu rumah, klien menuliskan kata jogya, tempat tinggal, orang tua, keluarga, panti. Kata yang menurut klien berhubungan dengan kata kedua (lansia), tua, ubanan, pikun, keriput dan ibu-kakek. Sedangkan untuk kata ketiga (ibadah), klien menuliskan agama, sholat, mengaji, senyum, menolong orang. Pada kata keempat yaitu dompet, klien menuliskan, tempat uang, kantong, kacamata. Kemudian untuk kata yang terakhir yaitu makan klien menuliskan pagi, siang, sore, dapur, nasi dan lauk-pauk. Sebagian besar kata yang dituliskan secara umum memang berhubungan. Ketika ditanyakan antara hubungan dompet dengan kacamata klien menjawab bahwa klien selalu menyimpan kacamata di dalam dompetnya. Pada sesi ini stimulasi dilakukan pada komponen bahasa diawal pengkajian didapatkan bahwa komponen bahasa pada ibu S cukup baik yaitu mendapatkan skor 5. Hal ini juga terlihat dari hasil pertemuan, pada awalnya ibu S tampak membutuhkan waktu yang panjang untuk memilih dan menuliskan kata yang menurutnya berhubungan. Namun pada kata selanjutnya waktu yang dibutuhkan lebih singkat (2-3 menit). Dari berbagai kata yang dituliskan tampak adanya hubungan antara kata kunci dengan jawaban. Klien memahami intruksi yang diberikan dalam permainan kata berhubungan. Sesi kreativitas dilakukan tanpa hambatan yang berarti. Klien mengatakan mampu membuat bunga pita sesuai dengan yang telah dilakukan. Pada stimulasi klien menyebutkan bahan yang diperluka untuk membuat bunga pita ialah plastik/pita plastik warna marni, kawat, lidi. Klien tidak menyebutkan lem ataupun isolasi, namun setelah ditanyakan bagaimana cara menempel pita pada lidi barulah klien menyebutkan lem/solasi. Penulis mendemontrasikan dikuti oleh klien membuat bunga pita. Klien mampu mengikuti instruksi dengan tepat. Hasilnya ialah dua Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
60
tangkai bunga pita yang dibuat dengan demontrasi dan satu tangkai bunga diuat tanpa demontrasi/ mandiri. Saat membuat bunga pita tanpa demontrasi klien sempat lupa bagian mana yang ditempel terlebih dahulu (pita kawat/tangkai) atau pita plastik (kelopak bunga). Kemudian setelah melihat bunga yang sudah dibuat akhirnya klien memutuskan untuk menempel kelopak bunga terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan langkah yang telah didemontrasikan. Orientasi yang dilakukan diawal sesi dengan buku kegiatan didapatkan klien dapat menyebutkan bulan, hari, nama penulis, petugas, dan tempat. Tindakan yang telah dilakukan tersebut (sesi 7-8). Kedua sesi tersebut bertujuan untuk menstimulasi kognitif terutama pada komponen bahasa (kata dan gambar). Jika dianalisis masalah kerusakan memori pada ibu S mengalami peningkatan dengan kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan. Klien mampu memilih kata-kata yang berhubungan, mengingat langkah membuat bunga pita. Jika saat pengkajian awal klien tampak menghindari beberapa pekerjaan yang sedikit rumit makan secara tidak langsung klien telah melakukan pekerjaan yang cukup rumit karena membutuhkan keterampilan tangan dan juga untuk mengingat langkah membuat pita agar menjadi bentuk bunga. Terapi yang dilakukan di minggu kelima ialah terapi sesi 9 dan 10 yaitu mengelompokkan benda serta orientasi. Setelah pertemuan di minggu kelima klien mengatakan akan melakukan coret tanggal pada kalender pada malam hari sebelum tidur. Klien juga mengatakan sudah mengelompokkan barang-barangnya sesuai dengan kegunaannya. Tampak alat mandi diletakkan pada satu wadah, alat terdiri dari sabun, sampo, sikat gigi dan pasta gigi. Hasil observasi juga menunjukkan klien meletakkan pakaian di lemari setelah klien dan lansia lain selsai melipat pakaian. Pakaian pribadi seperti sarung, kain dan souvenir yang dimiliki ditempatkan pada satu tas miliknya. Beberapa kali klien belum tampak mencoret kalender, dan mencoret setelah diingatkan. Klien mengatakan selalu lupa mencoret kalender pada malam hari. Pada metode ini penulis mencoba melibatkan lansia lain untuk mengingatkan ibu S untuk mencoret kalender, dan metode ini berhasil dilakukan. Orientasi juga dilakukan dengan kartu orientasi, klien menjawab 10 pertanyaan dengan tepat dan tiga jawaban masih kurang tepat. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
61
Pertanyaan benar meliputu nama kota, provinsi, panti, wisma, Negara, nama perawat, petugas, penulis, hari, dan musim. Sedangkan jawaban kurang tepat tanggal, bulan, dan tahun. Klien dapat menjawab setelah melihat kalender. Sesi ke-11 dan ke-12 dilakukan pada minggu ke-6. Kedua sesi ini bertujuan untuk menstimulasi kognitif terutama pada aspek perhatian dan kalkulasi. Pada sesi ke11 setelah aturan permainan dijelaskan. Klien diberikan kesempatan untuk memilih 10 kartu bertuliskan angka, serta dua simbol operasi dalam perhitungan. Kemudian klien menyusun kartu tersebut hingga susunan membentuk satu operasi matematika (kalkulasi, seperti 40 – 8 dan sebagainya). Permainan dilakukan dalam 3 sesi, sesi pertama operasi dua angka, sesi kedua tiga angka dengan simbol operasi sama (misal, 200-50-40 atau 100-25-40), dan sesi ketiga, operasi dua angka dengan simbol berbeda (misal, 50+9-10). Terdapat 15 pertanyaan, klien menjawab 11 (5 sesi 1, 4 sesi 2, dan skor 2 sesi 3). Sebagian besar jawaban salah pada sesi terakhir. Klien mengatakan bagian terakhir sulit karena harus ditambah lalu dikurang dan sebaliknya. Pada sesi ke-12 prinsipnya ialah mirip dengan sesi ke-11 yaitu konsentrasi dan kalkulasi. Perbedaannya ialah angka yang dikalkulasikan dalam mata uang. Klien dapat menjawab kasus yang diberikan sebanyak 8 dari 10 pertanyaan. Pada kedua sesi ini klien dapat memberikan jawaban benar 73% (sesi 11) dan 80% (sesi 12). Pada sesi permainan angka juga diberikan pertanyaan untuk menghitung dari angka 100 dikurangi 7 sampai 5 kali. Klien dapat menjawab kelimanya dengan tepat. Pada minggu keenam terdapat pengingkatan kemampuan kognitif yang ditunjukkan dengan klien mampu menjawab pertanyaan dengan tepat > 65%. Serta mendapatkan skor 5 dari perhitungan mundur 100 dikurangi 7 (pada pengkajian awal skor 4). Pada orientasi yang dilakukan diawal sesi dengan buku kerja, klien dapat menuliskan hari, tanggal, bulan, tahun serta tempat dan nama penulis. Sesi ke-13 dan ke 14 dilakukan pada minggu ke 7 yaitu tanggal 30 Mei dan 2 Juli 2014. Respon klien setelah melewati sesi 13 ialah sedikit sulit namun seru ternyata dapat membuat kata dari kata lainya. Kata yang muncul dari kata matahari yaitu, mata hari, tari, mentari dan ari. Kata mentari,masih kurang tepat karena kata mentari tidak dapat disusun dari huruf yang ada pada matahari. Kata Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
62
kedua yaitu pertanyaan, klien membuat kata perta, peta, tanya, rata. Kata perta masih kurang tepat karena tidak memiliki arti. Kata yang diberikan selanjutnya ialah perilaku, klien membuat kata peri, laku, aku. Sedangkan untuk kata ketiga ialah persembahan, kata yang dituliskan klien ialah sembah dan bahan. Kata yang diberikan terakhir ialah perbaikan, dari kata tersebut klien menuliskan kata baik dan ikan. Kelima kata yang diberikan berhasil di kembangkan oleh klien. Selain itu klien juga diberikan kesempatan untuk membuat kaliamat dari salah satu kata yang diberikan. Kemudian klien membuat kalimat “Matahari terbit dari barat”. Sesi 14 merupakan gabungan dari beberapa sesi yang telah diberikan dan dilakukan dengan konsep kuis. Sesi ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu pada bagian pertama kuis tebak, bagian kedua yaitu bercerita dan bagian ketiga yaitu menghitung. Klien merasa senang terutama setelah melihat beberapa foto kegiatan yang didalamnya terdapat foto klien. Klien juga mengatakan senang selama ini telah diberikan banyak latihan dan permainan. Saat kuis tebak petunjuk yang diberikan bervariasi mulai dari gambar, suara, kalimat. Klien dapat menjawab 9 dari 10 pertanyaan. Pada again bercerita klien diberikan dua gambar dimana terdapat klien sedang melakukan kegiatan (mengikuti TAK dan senam). Klien mampu menceritakan inti dari kegiatan dalam gambar (tempat dilakukan kegiatan, jenis kegiatan, dan apa yang ada didalam gambar). Namun klien tidak mengingat waktu pelaksanaan kedua kegiatan tersebut. Orientasi tempat dan orang terlah menunjukkan peningkatan yang signifikan selama tujuh minggu dilaksanakannya terpai stimulasi kognitif. Begitu pula pada perhatian, mengingat, kalkulasi, dan bahasa. Beberapa komponen dari 14 pertemuan yang dalam evaluasi belum mencapai peningkatan yang optimal ialah pada komponen orientasi waktu. Evaluasi terapi dan terminasi dilakukan pada tanggal 3 Juli 2014. Dilakukan dengan penilaian MMSE,CDR dan BADL (Basic Activity Daily Living/indeks bartel). Hasil penilaian MMSE setelah dilakukan CST memperoleh skor 23 (2 orientasi waktu, 5 orientasi tempat, 3 regitrasi, 5 kalkulasi, 1 mengingat, dan 7 pada komponen bahasa). Indeks bartel menunjukkan skor maksimal yaitu 100. Sedangkan dari observasi CDR klien mengalami demensia ringan dengan peningkatan pada komponen pekerjaan rumah tangga dan hobi serta perawatan diri. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
63
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BAB IV ANALISIS SITUASI
4.1 Analisis Profil Pelayanan Panti Sasana Tresna Werdha Pelayanan dengan dasar institusi (Institutional Based) yaitu melalui Panti merupakan salah satu solusi dari masalah lanjut usia yang terjadi di perkotaan yaitu peningkatan jumlah lansia terlantar. Upaya ini dilakukan sebagai langkah penertiban, perlindungan dan pelayanan sosial yang dicanangkan pemerintah. Upaya tersebut dibuktikan dengan berdirinya sejumlah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) khususnya di wilayah Jakarta. Salah satunya ialah Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1. PSTW yang berlokasi di Jalan Bina Marga No. 58 Cipayung, Jakarta Timur telah didirikan sejak tanggal 27 Agustus 1968. Tujuan dari didirikanya PSTW Budi Mulia 1 tentunya sesuai dengan Undang-Undang kesejahteraan lanjut usia yaitu untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan lansia kepada keluarga dan masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya lanjut usia yang berguna, berkualitas dan mandiri. Oleh sebab itu, tugas dari PSTW Budi Mulia 1 ialah memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan pembinaan fisik, spiritual, sosial dan psikologis. Fungsi dari berdiri berdirinya Panti ini ialah sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan lansia, lembaga pelayanan dan pengembangan lansia serta sebagai pusat informasi dan rujukan. PSTW Budi Mulia 1 memiliki visi yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia terlantar menuju kehidupan layak, sehat, normatif dan manusiawi. Upaya pencapaian visi tersebut tertuang dalam misi pelayanan yang telah dirancang. Misi dari Panti ini ialah (1) melenggarakan penampungan lansia terlantar dalam rangka perlindungan sosial; (2) menyelenggarakan pelayanan sosial, psikologis, perawatan medis, bimbingan fisik, mental spiritual dan bimbingan pemanfaatan waktu luang;(3) menjalin keterpaduan dan kerjasama lintas sosial; dan (4) menggalang peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha. Berdasarkan tujuan pendirian, serta visi dan misi pelayanan menunjukkan bahwa PSTW merupakan 63
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
64
pelayanan untuk lansia dengan konsep penginapan dengan basis pelayanan sosial (Social Residence). Pelayanan lain hampir sama yaitu konsep penginapan/asrama namun dengan pelayanan
kesehatan
ialah
nursing
home.
Pelayanan
dengan
konsep
penginapan/asrama seperti nursing home maupun social residence memberikan berbagai jenis layanan seperti personal care, health care, pemberian makanan, mencuci, aktivitas sosial, rekreasi, dukungan sosial, kunjungan teratur dan kebutuhan perawatan diri (Maryam, dkk, 2008). Pelayanan tersebut yang juga diupayakan oleh PSTW Budi Mulia 1. Jenis pelayanan yang diberikan oleh PSTW Budi Mulia 1 antara lain pengasramaan, pemberian makanan bergizi, perawatan kesehatan, pembinaan: fisik dan olahraga, rekreasi, hiburan, rujukan/penyaluran, pembinaan lanjut waktu luang serta pelayanan informasi bagi masyarakat. Pelayanan pengasramaan ialah pelayanan rumah tinggal maupun tempat istirahat bagi lansia. PSWT Budi Mulia 1 memiliki 7 wisma dengan kapasistas 210 lansia. Ketujuh wisma tersebut ialah wisma Asoka, Bougenvile, Catlyea, Cempaka, Dahlia, Edelweis, dan Flamboyan. Penempatan lansia dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria lansia berjenis kelamin perempuan dengan tingkat kemandirian self care ditempatkan pada wisma Asoka ataupun Bougenvile, sedangkan dengan tingkat kemandirian parsial hingga total ditempatkan di wisma Dahlia. Selain itu, terdapat pula ruangan yang diperuntukkan bagi lansia (wanita) dengan masalah psikososial yaitu wisma Cempaka. Wisma Catlyea, Edelweis dan Falmboyan diperuntukkan bagi lansia dengan jenis kelamin laki-laki. Wisma Flamboyan untuk lansia laki-laki dengan tingkat kemandirian self care, sedangkan wisma Edelweis untuk lansia laki-laki dengan tingkat kemandirian parsial hingga total care. Wisma Catleya merupakan wisma VIP. Pelayanan kedua yaitu pemberian makanan bergizi dilakukan sebanyak tiga kali dalam sehari serta diberikan makanan tambahan setiap selasa dan jumat. Makanan diolah terpusat di dapur dengan menu makanan yang diawal pencanangan telah dikonsulkan ke ahli gizi. Setelah diolah didapur, makanan didistribusikan ke masing-masing wisma untuk diberikan kepada lansia. Selain itu terdapat pula perawatan kesehatan, perawatan kesehatan yang telah diupayakan meliputi, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
65
adanya perawat, ruang klinik, ruang konsul serta kunjungan baik dari dokter maupun terapis. Jumlah perawat di Panti ini ialah sebanyak 6 orang yang bertanggung jawab atas 7 panti. Ruang klinik digunakan untuk pelayanan konsul medis, terapi serta pemeriksaan kesehatan. Kegiatan terapi dijadwalkan setiap minggu. Ruang konsultasi diperuntukkan pada lansia dengan masalah psikososial. Pembinaan fisik/olahraga merupakan pelayan rutin yang diberikan oleh seluruh lansia. Olahraga dilakukan sebanyak dua kali dalam satu minggu yaitu Selasa dan Jumat. Jenis olahraga yang diberikan antara lain senam hipertensi, diabetes melitus, senam otak, senam kesehatan jasmani. Senam dilakukan di lapangan Panti dan dipimpin oleh instruktur. Lansia mengikuti senam dan didampingi oleh petugas maupun perawat. Kegiatan rekreasi dan hiburan telah disediakan di Panti ini. Rekreasi berupa mengunjungi salah satu tempat rekreasi dilakukan rutin, biasanya pada hari besar. Tempat yang dikunjungi seperti TMII, Ancol, mesjid Kubah Mas dan lain-lain. Selain itu hiburan dalam bentuk panggung gembira rutin diadakan setiap Rabu pagi. Dalam acara tersebut lansia dapat bernyanyi, menari, mendengarkan alunan lagu serta yang paling penting ialah berinteraksi dengan lansia lain maupun petugas. Saat ini sarana rekreasi dan hiburan sedang dicanangkan. Unit televisi telah disediakan pada masing-masing wisma sebagai salah satu sarana untuk hiburan, ataupun informasi bagi lansia. Pelayanan berikutnya ialah pelayanan dalam
bentuk rujukan. Pelayanan ini dimaksudkan untuk lansia yang
membutuhkan perawatan khusus baik perawatan fisik maupun psikologis. Rumah Sakit yang menjadi mitra rujukan dari PSWT Budi Mulia 1 ialah RS Budi Asih dan RS Duren Sawit. Pembinaan lanjutan dan bimbingan untuk mengisi waktu luang dilakukan dengan memberikan beberapa keterampilan pada lansia. Pembinaan keterampilan yang dilakukan meliputi membuat kreasi bunga, hiasan untuk pakaian, tempat pensil, keset, taplak meja dan bermain angklung. Berbagai hasil kreasi lansia juga diperlihatkan di lemari etalase khusus yang ditempatkan di lobi dan diatnara wisma Asoka dan Bougenvil. Dengan pembinaan dan pemberdayaan tersebut lansia dapat meningkatkan kemandirian serta kesejahteraan karena hasil dari Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
66
penjualan kreasi lansia dapat menjadi sumber mata pencaharian lansia tersebut. Pembinaan tidak hanya pada kegiatan sehari-hari. Pembinaan rohani juga rutin dilakukan pada lansia. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Senin dan Kamis. Pembinaan rohani yang telah terlaksana ialah pengajian untuk lansia muslim serta kebaktian untuk lansia kritiani. Semua pembinaan tersebut dilakukan terjadwal bahkan beberapa kegiatan dilakukan setiap hari. Kegiatan pembinaan yang telah dijadwalkan pada hari tertentu sebenarnya menggambarkan kegiatan adult day care/ederly day care. Konsep Day Care Services seperti adult day care/ederly day care merupakan konsep pelayanan kesehatan dan sosial yang dilakukan untuk lansia. Maryam, dkk (2008) menyebutkan bahwa Hal yang didapatkan dari pelayanan tersebut ialah perawatan, bantuan pada ADL, rekreasi dan olahraga bersama, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, konsultasi gizi, rehabilitas fisik, orientasi realita dan senam otak biasanya menjadi pelayanan utama yang diberikan di day care centre. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan pembinaan pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 merupakan upaya suportif dalam pelayanan kesehatan lansia yaitu day care services, adult day care maupun ederly care. Pelayanan yang terakhir ialah pelayanan informasi bagi masyarakat, khususnya informasi mengenai lansia baik dalam aspek kesehatan, kegiatan sosial dan lain sebagainya. Informasi yang dimaksud juga dalam berbagai bentuk seperti dalam hal penelitian, wawancara maupun kegiatan sosial. Berbagai jenis pelayanan yang diberikan tentunya membutuhkan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya program kegiatan di PSTW. Telah disebutkan sebelumnya PSTW Budi Mulia 1 memliki 7 wisma dengan kapasitas 210 lansia. Terdapat pula ruang konsultasi, ruang bacaan, taman, lapangan olahraga, klinik, dapur, audirotium, kolam ikan, kendaraan operasional (biasanya digunakan saat merujuk), taman refleksi, lahan berkebun, musolah hingga pemulsaran jenazah. Semua sarana dan prasarana dapat digunakan untuk berbagai kegiatan lansia.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
67
Keunggulan dari PSTW Budi Mulia 1 dari paparan sebelumnya ialah PSTW Budi Mulia 1 dengan model institutional based yang bersifat pelayanan jangka panjang (long term care) dan konsep social residence. Walaupun demikian, pelayanan yang diberikan di PSTW Budi Mulia 1 sudah mengarah pada pelayanan nursing home. Hal ini jelas terlihat dengan adanya tenaga perawat di setiap ruangan, fasilitas klinik, ruang konsultasi kesehatan dan psikologis serta adanya sistem rujukan bagi WBS yang membutuhkan perawatan intensif. Layanan long term services yang diberikan dipanti ini juga dikombinasikan dengan support service (day care/adult day care). Hal ini tentunya akan membantu lansia untuk meningkatkan kemandirian, kesehtan serta kesejahteraan dengan berbagai jenis pelayanan yang diberikan. Keunggulan lainnya ialah sistem rujukan yang jelas bagi lansia yang membutuhkan perawatan khusus. Sedangkan kekurangan yang terdapat di PSTW Budi Mulia 1 antara lain, jumlah perawat yang masih sedikit bila dibandingkan dengan kebutuhan lansia khususnya di wisma Total Care (Dahlia dan Edelweis). Adanya ruang klinik dengan fasilitas dan perlengkapan medis yang cukup lengkap hingga adanya treadmild yang dapat digunakan untuk latihan fisik lansia penggunaannya dirasa belum optimal. 4.2 Analisis Diagnosa Keperawatan Kerusakan Memori pada Demensia Kerusakan memori didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau keterampilan perilaku (NANDA, 2014). Batasan karakteristik terjadinya keruskan memori meliputi (1) lupa melakukan kegiatan pada waktu yang telah dijadwalkan; (2) ketidakmampuan mempelajari informasi maupun keterampilan baru; (3) ketidakmampuan melakukan keterampilan yang telah dipelajarinya sebelumnya (4) tidak mampu mengingat peristiwa (5) informasi faktual (6) tidak mampu mengingat kegiatan yang telah dilakukan, (7) mengeluh lupa. Sebagian besar karakteristik yang muncul pada Ibu S memenuhi batasan karakteristik yang dipaparkan dalam NANDA 2012-2014. Karakteristik pertama ialah lupa melakukan kegiatan pada waktu yang telah terjadwal. Hasil observasi yang dilakukan pada Ibu S juga menunjukkan beberapa kali tidak mengikuti senam, pengajian maupun panggung gembira karena lupa bahwa ada kegiatan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
68
tersebut. Klien juga menghadapi kesulitan dalam menerima informasi baru. Sebagai contoh saat penulis menyampaikan informasi sederhana seperti nama petugas, mahasiswa ataupun nama lansia lain klien memang mampu mengulang informasi saat itu. Namun saat ditanyakan kembali sering kali klien mengatakan lupa. Karakteristik ketiga yaitu ketidakmampuan mempelajari keterampilan baru, hal ini tidak terjadi pada klien. Sebagai buktinya ialah saat sesi kreativitas klien mampu mendemonstasikan ulang keterampilan yang baru didapatkan saat itu. Klien mengalami kesulitan mengingat peristiwa yang sudah terjadi. Hal ini terlihat saat klien selesai mengikuti panggung gembira, namun setelah makan siang klien kembali menuju aula dan mendapati aula kosong karena panggung gembira telah selesai dilaksanakan. Begitu pula dengan keluhan lupa sering kali diungkapkan oleh klien. Dari data tersebut maka tampak adanya masalah kerusakan memori pada Ibu S. Data ini didukung pula dengan hasil pengkajian MMSE dan CDR. Adanya penurunan kognitif ditunjang dengan hasil MMSE 17 (penurunan kognitif sedang), sedangkan berdasarkan penilaian CDR tabel penilaian sesuai dengan observasi menunjukkan bahwa klien termasuk dalam kategori demensia ringan. Carpenito (2007) menyebutkan bahwa intervensi keperawatan yang dilakukan pada klien dengan kerusakan memori meliputi (1) orientasi masalah dan tujuan yang dapat dicapai, (2) kontrol lingkungan yang aman dan tenang, (3) ajarkan klien cara untuk meningkatkan keterampilan memori, dan (4) ajarkan teknik relaksasi untuk meningkatkan konsentrasi. Tindakan ini dilakukan untuk mencapai tujuan intervensi yaitu adanya kepuasan terhadap daya ingat. Keempat intervensi yang telah dirancang kemudian dilakukan sebagai tindakan /implementasi keperawatan. Intervensi terkait pengontrolan lingkungan yang dilakukan penulis antara lain melakukan bina hubungan saling percaya sejak awal interaksi dengan memperkenalkan nama serta menanyakan residen lebih nyaman dipanggil apa. Kemudian penggunaan bahasa selama interaksi yaitu bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Selain itu sebelum intervensi penulis memberikan kesempatan klien untuk memilih tempat yang menurutnya nyaman, mengindari kebisingan agar klien dapat berkonsentrasi. Penyelesaian masalah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
69
yang cepat saat terjadi konflik di wisma juga merupakan salah satu bentuk dari pengontrolan lingkungan. Selain itu, intervensi terapi relaksasi yang dilatih pada lansia ialah latihan tarik nafas dalam dan terapi hipnotis lima jari. Pada awalnya terapi ini dilakukan saat klien mengalami kecemasan saat melihat lansia lain bertengkar. Namun, selanjutnya terapi ini dilakukan rutin sebagai latihan jika suatu saat lansia mengalami rasa cemas kembali. Pada laithan ini dirasa belum dapat berjalan dengan optimal karena, klien masih sulit menghapal apa saja yang harus dibayangkan ketika melakukan hipnotis secara mandiri. Sehingga, yang dapat dilakukan secara optimal untuk teknik relaksasi ialah teknik nafas dalam dan mencari tempat suasana yang lebih tenang (distraksi). Terapi selanjutnya ialah pada berfokus pada aktivitas sehari-hari. Dampak dari kerusakan memori seringkali berakibat langsung pada aktivitas dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Terapi dengan melatih klien memenuhi ADL secara optimal dapat mencegah kemunduran kualitas hidup. Kemandirian dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan latihan pemenuhan kebutuhan seharihari. Tilly dan Reed (2004) telah melakukan sebuah penelitian mengenai analisis intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita demensia. Kualitas hidup yang dimaksudkan dalam penelitian ini berfokus pada kemampuan pemenuhan ADL demensia dan kondisi psikososial serta membentuk karakteristik perilaku pada demensia (Tilly&Reed, 2004). Hasilnya ialah intervensi melatih pemenuhan ADL terbuti efektif untuk meningkatkan kualitas hidup yaitu kemapuan pemenuhan kebutuhan fisiologis lansia dengan kerusakan memori. Perawat khusunya di nursing home ataupun Panti sosial dapat mengkaji kebutuhan pemenuhan ADL yang dapat dilatih, seperti mandi, makan, berhias/berpakaian, interaksi, berbelanja, ataupun pekerjaan rumah tangga yang dapat dilakukan oleh lansia. Intervensi ini juga dilakukan oleh penulis, klien dengan tingkat kemandirian self care sebenarnya memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memenuhi ADL sendiri. Pemenuhan kebutuhan seperti mandi, makan yang sejak awal telah dilakukan mandiri, saat ini tampak lebih optimal. Klien yang sebelumnya beberapa kali terlihat menggunakan pakaian yang sama saat ini tampak selalu mengganti pakaian bersih setelah mandi. Namun observasi yang dilakukan selama intervensi dilakukan (7 minggu) hal tersebut sudah tidak Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
70
terjadi. Setelah dilakukan pendampingan untuk persiapan mandi Klien diberikan arahan untuk selalu memisahkan pakaian yg kotor dan bersih ditempat yang berbeda sehingga tidak tertukar. Handuk dan baju bersih selalu diambil dengan rute perjalanan kekamar mandi melalui pintu belakang (lemari baju klien terdapat di ruangan bagian belakang). Baju kotor diletakkan dibelakang toilet sedangkan baju bersih digantung di pintu kamar mandi. Aktivitas lainnya yang menunjukkan peningkatan kemandirian ialah pada kebersihan alat makan. Klien sebelumnya biasa menitipkan alat makan kotor untuk dicuci oleh orang lain. Penulis memberikan demontrasi, serta memotivasi dengan cara menemani dan membantu secara langsung dan sesuai kebutuhan klien pada saat membersihkan alat makan. Observasi di minggu hingga minggu terakhir didapatkan, klien rutin mencuci alat makan setelah makan. Klien bersama dengan beberapa lansia mandiri lainnya dan petugas tampak mencuci piring. Kegiatan membantu didapur (memotong sayur) dilakukan atas motivasi dari diri klien sendiri. 4.3 Analisis Dampak CST pada Lansia dengan Demensia Peningkatan jumlah penderita demensia telah menjadi fenomena yang sekin tahun semakin meningkat. Insidensi demensia pun bertambah seiiring dengan bertambahnya usia seseorang. Dalam hal ini lanjut usia menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya demensia. Permasalah yang muncul akibat demensia juga tidak sederhana. Demensia berdampak langsung pada kualitas hidup lansia. Dampak penurunan kognitif secara progresif dari masalah tersebut mengakibatkan penurunan kemapuan dalam memenuhi ADL, produktivitas hingga kualitas hidup yang semakin merosot. Hal ini tentunya akan berdampak pada kemandirian lansia. Berbagai jenis tindakan dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu intervensi yang juga menjadi intervensi unggulan yang dipilih penulis ialah Cognitive Stimulation Therapy (CST). Intervensi
lain
yang
secara
langsung
mengatasi
masalah
penurunan
kognitif/kerusakan memori yaitu terapi stimulasi kognitif merupakan salah satu terapi non mendikasi yang terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan kognitif lansia. Terdapat beberapa metode stimulasi misalnya seperti orientasi realitas, reminiscene, terapi fisik (seperti permainan fisik ataupun brain gym). Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
71
Dalam hal ini penulis melakukan terapi kombinasi antara ketiga metode tersebut atau yang lebih dikenal dengan Cognitive Stimulation Therapy (CST). Terpai ini diterapkan secara individu kepada klien. CST pada dasarnya merupakan intervensi yang dilakukan secara kelompok. Kemudian penelitian dikembangkan oleh Orell, et al (2012) dengan sesi yang sama namun dilakukan secara individu. Terapi yang kemudian diberikan nama Individual Cognitive Stimulation Therapy (iCST) terbukti secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Terapi ini dapat dilakukan oleh terapis, perawat, ataupun care workers sebagai terapi untuk klien dengan demensia. Intervensi ditentukan setelah ditemukan hasil pengkajian berupa penurunan kognitif dengan instrumen MMSE. Hasil yang didapatkan di awal pengkajian ialah skor 17 dengan arti penurunan kognitif sedang. Pemilihan instrumen ini dirasa tepat untuk menggali tingkat kognitif klien karena latar belakang pendidikan lansia serta klien tidak memiliki hambatan berhitung ataupun membaca. Rendahnya perolehan skor disebabkan karena perolehan pada komponen orientasi dan komponen mengingat. Komponen orientasi waktu dengan skor maksimal 5, klien hanya memperoleh 1 (jawaban benar hanya pada musim, sedangkan tanggal, bulan, tahun dan hari tidak dapat di jawab karena lupa). Komponen orientasi tempat memperoleh skor 2 (maksimal 5), jawaban benar pada pertanyaan negara dan kota, pertanyaan lain tidak dapat dijawab dengan tepat. Selain itu Komponen yang mendapat nilai rendah ialah pada komponen mengingat skor 0 karena klien tidak dapat mengingat benda-benda yang disebutkan sebelumnya. Pada komponen registrasi skor 3 (maksimal) dan kalkulasi nilai 4 (maksimal 5), sedangkan pada komponen bahasa nilai 7 (maksimal 9). Penilaian CDR dilakukan dengan observasi selama beberapa hari dan didapatkan klien termasuk dalam kategori demensia ringan. Kedua penilian tersebit menggambarkan kejadian demensia (CDR) dan penurunan kognitif yang dialami oleh lansia dengan demensia (MMSE). Penilaian akan lebih objektif jika dilakukan dengan kedua intrumen tersebut. Kelemahan MMSE dapat terjadi bias data apabila klien tidak mengalami buta aksara ataupun tidak memiliki latar Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
72
pendidikan. Lingkungan saat pengkajian juga dapat mempengaruhi hasil pengkajian. Klien demensia mudah terpecah konsentrasi termasuk dalam menjawab pertanyaan, lingkungan yang kondusif diperlukan untuk mengurangi keakuratan data. Instrumen CDR dilakukan secara observasi sesuai dengan data yang dilihat validator. Hal ini dapat menggambarkan kondisi sebenarnya yang dialami klien. Namun kelemahan dari intrumen ini tentunya tidak dapat digunakan secara objektif pada penelitian dengan metode cross sectional. Hal ini disebabkan karena CDR memerlukan waktu yang lebih intensif untuk mengobservasi kegiatan klien agar didapatkan data yang lebih akurat. Penulis melakukan pengkajian terkait kerusakan memori dengan dua intrumen tersebut. Dari hasil pengkajian maka ditetapkanlah stimulasi kognitif dengan CST dan komponen orientasi dan stimulasi untuk mengingat dengan reminiscene menjadi fokus utama yang dilakukan dalam sesi dan dilakukan implisit pada setiap sesi. Terapi stimulasi kognitif (CST) bertujuan untuk menerapkan strategi dalam meningkatkan fungsi kognitif bagi penderita demensia. CST terdiri dari metode orientasi realitas, reminiscene (kenangan), serta terdapat pula latihan fisik. Penulis menerapkan metode ini disesuaikan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Spector, et al yaitu sebanyak 14 sesi yang dilakukan selama 7 minggu. Sesi terdiri (1) permainan Fisik; (2) suara; (3) kehidupanku/masa anak-anak; (4) makanan; (5) isu terkini; (6) foto wajah/pemandangan; (7) permainan kata berhubungan; (8) kreativitas; (9) mengelompokkan benda; (10) orientasi; (11) menggunakan uang; (12) permainan angka, (13) permainan kata; dan (14) kuis.Kegiatan dibuat terjadwal dengan metode permainan sehingga lebih menyenangkan. Hal ini ditujukan dapat mempengaruhi sistem limbik yang merupakan pusat emosi seseorang. Rendahnya pencapaian MMSE pada komponen orientasi dan mengingat mendasari penulis untuk melakukan strategi orientasi dan stimulasi menginat pada setiap sesi terapi. Setiap sesi diawali dengan pengisian tanggal, hari, waktu dan temapt dilakukannya terapi pada workbook. Hal ini dilakukan agar klien memiliki orientasi yang baik terhadap waktu dan tempat. Selain itu diawal pertemuan juga Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
73
dilakukan orientasi waktu dengan penggunaan kalender, tindak lanjut dari pemberian kalender ialah penugasan untuk klien untuk mencoret tanggal yang telah dilewati. Orientasi tempat dilakukan secara langsung dengan mengenali area Panti yang sering dikunjungi klien meliputi wisma dahlia, auditorium, dapur, lapangan, musola, dan taman baca. Klien juga diorientasikan pada beberapa wisma yang ada di Panti. Hasil yang didapatkan setelah CST selama 7 minggu (14 sesi) didapatkan adanya peningkatan pada skor MMSE yaitu 23. Komponen orientasi waktu mendapatkan skor 2 (jawaban betul pada pertanyaan musim, bulan), pada pertanyaan hari, dan tanggal dan tahun klien masih memerlukan waktu berfikir dan pada jawaban yang diberikan belum tepat. Orientasi tempat mendapat hasil maksimal yaitu 5, skor 3 untuk registrasi, skor 5 pada kalkulasi, 1 pada mengingat (klien hanya dapat mmenginat satu benda yaitu kasur dua benda lainnya salah), dan skor 7 pada bahasa. Perolehan skor 23 (penurunan kognitif ringan) menunjukkan adanya peningkatan kognitif sebanyak 5 poin yang awalnya 17 (penurunan kognitif sedang). Sedangkan dari observasi CDR klien mengalami demensia ringan dengan peningkatan pada komponen pekerjaan rumah tangga dan hobi serta perawatan diri. Hasil tersebut menunjukkan CST secara efektif dapat meningkatkan kognitif lansia dengan demensia. Orientasi waktu meliputi tanggal bulan dan tahun. Orientasi ini merupakan bagian yang cukup sulit ditingkatkan pada nenek S. sejak awal pengkajian klien memang tidak dapat menyebutkan tanggal kelahiranya. Namun pada pengkajian komponen kalkulasi yang pada dasarnya menggunakan angka klien mendapatkan nilai yang baik (skor 4 dari 5). Hal ini menjadi perhatian khusus bagi penulis, apakah yang menyebabkan orientasi waktu terutama pada tanggal bulan dan tahun sulit ditingkatkan. Klien biasanya menyebutkan tanggal yang salah pada jawaban pertama (seperti menebak) namun setelah melihat pada kalender miliknya baru lah klien dapat menjawab dengan benar. Akan tetapi jika pertanyaan yang sama diberikan dengan jea waktu yang cukup lama namun masih dalam hari yang sama klien juga akan menyebutkan jawaban yang kurang tepat. Sejak awal terapi penulis memang mendiskusikan dan memberiinformasi pentingnya mengetahui Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
74
waktu yang sedang dijalani. Hal ini akan membantu lansia untuk mengingat kegiatan yang dapat dilakukan di setiap harinya, lansia juga dapat mengetahui hari perayaan dan hari besar karena biasanya di panti akan mengadakan acara untuk peringatan hari besar, sehingga klien tidak akan melewati acara-acara tersebut. Akan tetapi klien mengatakan jika ada acara biasanya klien akan diberikan informasi ataupun klien dapat melihat dari lansia lain yang sedang bersiap-siap mengikuti acara. Sehingga klien tidak akan melewatinya. Klien mengatakan dahulu ingat kalender karena terbiasa harus mengikuti jadwal dari panggilan menyanyi. Semenjak tidak bernyanyi lagi klien sangat jarang memperhatikan kalender. Klien juga mengatakan sering kali melupakan tanggal karena sudah tidak sekolah seperti dahulu, mengingat tanggal karena menunggu hari libur/hari besar ataupun hari minggu. Saat di Panti menurut klien setiap hari seperti hari libur dan kegiatan dapat dilakukan setiap hari. Kegiatan rutin, kegiatan pada hari besar maupun kejadiaan penting akan dapat diingat apabila seseorang memiliki orientasi yang baik dalam waktu. Individu juga dapat memberikan informasi penting terkait riwayat kesehatan yang pernah dirasakan berdasarkan kronologi (waktu). Pada kerusakan memori sering kali klien merasakan lupa pada waktu yang sedang dijalani. Bahkan individu dapat melupakan kegiatan penting seperti latihan fisik, kegiatan rekreasi, aktivitas, jadwal konsul kesehatan dan sebagainya jika orientasi terhadap waktu kurang optimal. Pada kasus ini orientasi yang dilakukan terkait waktu memang cukup sulit. Namun adanya peningkatan meliputi klien mengingat hari bulan dan musim saja dirasa cukup baik walaupun belum optimal. Penulis menekankan orientasi pada hari. Klien dapat terorientasi minimal pada hari, hal ini disesuaikan agar klien dapat mengingat kegiatan apa saja yang dapat dilakukan setiap harinya. Tentunya kegiatan tersebut telah dirancang berdasarkan kebijakan Panti dan bermanfaat bagi lansia. Orientasi hari pada klien sekaligus sebagai pengingat kegiatan yang terjadwal di Panti setiap harinya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
75
4.4 Analisis Intervensi Stimulasi Kognitif (CST) dengan Konsep dan Penelitian Terkait Intervensi stimulasi kognitif dengan CST yang telah dilakukan oleh penulis merupakan aplikasi dari penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Spector, et al 2003 dan Orell, et al (2012). CST yang merupakan intervensi yang berfokus pada stimulasi kognitif awalanya dilakukan secara berkelompok pada kelompok lansia dengan demensia. Penelitian ini dilakukan oleh Spector (2001) dan dilakukan kembali pada klien yang lebih banyak di tahun 2003. Penelitian tersebut membuktikan bahwa CST secara efektif dapat meningkatkan kognitif dan hasil penelitian tersebut juga menyebutkan hasil ini lebih efektif daripada terapi medikasi saja (salah satu kelompok merupakan kelompok lansia dengan medikasi Cholineterase Inhibitor). Pada 2012, Orell mengembangkan terapi ini dan dilakukan secara individual, dengan metode yang sama RO dan RT dan berhasil membuktikan keefektifan CST pada demensia. Penulis mengaplikasikan CST dan dilakukan secara individu dengan dasar penelitian Orell (2012). Intervensi yang dilakukan penulis sesuai dengan pecoman CST yaitu meliputi 14 sesi dan 14 tema kegiatan dalam tujuh minggu, Hal ini sesuai dengan penelitian Spector (2001) yang menerapkan CST dalam sesi dan waktu yang sama. Namun, pada iCST (Individula Cognitive Stimulation Therapy) Orell (2012) melakukan sesi yang lebih panjang untuk individu karena menggabungkan konsep CST dan MCST (Maintenance Cognitive Stimulation Therapy) yaitu selama 25 minggu dan 2 sesi tiap minggunya dengan 21 tema kegiatan. Pada dasarnya iCST merupakan pengembangan
dari
CST
namun
pengembangnya
dilakukan
dengan
mengkombinasikan MCST. Sesi sesuai dengan CST namun belum sesuai dengan iCST . Belum sesuainya sesi yang diterapkan penulis dengan iCST yang diteapkan Orel (2012) disebabkan karena keterbatasan waktu yang tersedia. HHal ini yang membuat penulis untuk menetapkan CST dengan 14 sesi yang diterapkan pada klien. Metode dan tema kegiatan yang telah dilakukan juga telah disesuaikan dengan pedoman CST yang dibuat Spector (2001) yaitu, dengan metode Reality orientation dan reminiscene Therapy yang dilakukan dalam 14 tema kegiatan. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
76
Tema kegiatan yaitu 14 tema juga dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang meliputi 1) permainan Fisik; (2) suara; (3) kehidupanku/masa anak-anak; (4) makanan; (5) isu terkini; (6) foto wajah/pemandangan; (7) permainan kata berhubungan; (8) kreativitas; (9) mengelompokkan benda; (10) orientasi; (11) menggunakan uang; (12) permainan angka, (13) permainan kata; dan (14) kuis. Setiap pertemuan telah terjadwal dan jadwal ditentukan sejak awal pertemuan dengan hari yang sama tiap minggunya. Perbedaan intervensi yang dilakukan penulis dengan penelitian CST sebelumnya ialah pada penerapan orientasi waktu dan tempat sebelum memulai sesi terapi. Orientasi waktu dan tempat dilakukan dengan menstimulasi waktu dan tempat terapi kemudian dituliskan dalam Workbook. Selain itu, berapa permainan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan klien. Hasil penerapan intervensi yang sedemikian rupa dan telah disesuaikan dengan dasar penelitian yang telah ada sebelumnya juga menunjukkan hasil yang sama yaitu CST secara efektif meningkatkan tingkat kognitif seseorang dengan demensia/kerusakan memori. Hasil ini juga sejalan dengan temuan yang dikemukaan oleh beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Breuil (1994) Chapman (2004) Coen (2011), Orell, et al(2012), Spector, et al(2001), Spector, et al (2003). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CST merupakan intervensi yang berfokus pada stimulasi kognitif yang bertujuan meningkatkan kemampuan kognitif pada penderita demensia/kerusakan memori. Terapi ini terbukti efektif meningkatkan kemampuan kognitif pada klien dengan kerusakan memori. 4.5 Alternatif Intervensi Lain Alternatif intervensi lain yang dapat dilakukan untuk menstimulasi kognitif pada klien dengan kerusakan memori dapat dilakukan dengan berbagai cara. Intervensi dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahanmaupun penanganan. Alternatif tindakan lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan terjadinya demensia ialah terapi otak ataupun brain gym. Latihan ini dilakukan dengan beberapa metode gerakan yang berfungsi untuk melatih serta konsentasi otak. Selain untuk pencegahan, latihan ini dapat dilakukan sebagai latihan stimulasi otak pada lansia dengan demensia atau kerusakan memori. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
77
Penggunaan kalender sobek di wisma serta optimalisasi papan jadwal kegiatan juga dapat dilakukan untuk mengorientasi lansia khususnya dnegan kerusan memori agar dapat mengingat waktu, dan kegiatan sebagai terapi harian. Selain itu Intervensi lainnya ialah dengan penulisan nama taupun petunjuka arah temapat ataupun wisma dengan ukuran yang cukup besar yang ditempatkan dilorong ataupun pada depan wisma. Selain itu, adanya fasilitas televisi pada tiap wisma juga dapat membantu klien untuk mengenali hal-hal apa yang sedang terjadi saat ini. Intervensi lainnya seperti penggunaan pengharum aroma terapi dan beberapa music terapi dapat dilakukan untuk meningkatkan kemyamanan terutama kenyamanan di wisma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan penulisan dan saran dari penulis terkait intervensi pada klien dengan masalah keperawatan kerusakan memori. Penulis membuat simpulan dari hasil aplikasi intervensi keperawatan pada klien dengan kerusakan memori dan pembahasan secara keseluruhan.
5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari proses keperawatan yang telah dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa PSTW Budi Mulia 1 merupakan salah satu pelayanan dengan konsep social residence bagi lansia, dengan model pembinaan berupa residential /long term care yang dipadukan dengan (support service) adult day care. Long term care tampak pada disediakannya layanan rumah tinggal atau rumah istirahat bagi lansia maupun lansia terlantar. Pelayanan berupa pembinaan lansia yang dilakukan setiap hari merupakan layanan adult day care. Ibu S (75 tahun) merupakan lansia yang tinggal di salah satu wisma yaitu Wisma Dahlia. Tingkat kemandirian klien tergolong dalam self care, namun sering kali melupakan hal yang baru saja dilakukan. Ibu S merupakan lansia dengan kerusakan memori. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengkajian dengan metode wawancara, observasi serta pemeriksaan fisik. Pengkajian dengan intrumen MMSE dan CDR juga didaptkan adanya penurunan kognitif berat serta demensia dalam tahap ringan pada nenek S. Masalah keperawatan yang dialami oleh klien ialah keruskan memori, sehingga dirancanglah beberapa intervensi keperawatan dengan intervensi unggulan berupa terapi stimulasi kognitif CST. Implementasi dilakukan selama 7 minggu dengan total pertemuan terapi sebanyak 14 sesi dengan tema meliputi 1) permainan Fisik; (2) suara; (3) kehidupanku/masa anak-anak; (4) makanan; (5) isu terkini; (6) foto wajah/pemandangan; (7) permainan kata berhubungan; (8) kreativitas; (9) mengelompokkan benda; (10) orientasi; (11) menggunakan uang; (12) permainan
78
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
79
angka, (13) permainan kata; dan (14) kuis. Setiap sesi dijadwalkan 2 sesi per minggu (Senin dan Rabu) dan selam 45 menit stiap sesi. Perolehan skor MMSE post CST memperoleh skor 23 (penurunan kognitif ringan) menunjukkan adanya peningkatan kognitif sebanyak 6 poin yang awalnya 17 (penurunan kognitif berat). Sedangkan dari observasi CDR klien mengalami demensia ringan dengan peningkatan pada komponen pekerjaan rumah tangga dan hobi serta perawatan diri. Hasil tersebut menunjukkan CST secara efektif dapat meningkatkan kognitif lansia dengan demensia. 5.2 Saran 5.2.1 Bagi Keperawatan Kerusakan memori tentunya akan berdampak pada kemampuan pemenuhan ADL. Tindakan pencegahan demensia dapat menjadi salah satu solusi untuk menekan angka kejadian demensia. Tindakan seperti terapi stimulasi kognitif maupun terapi lainnya seperti senam otak dapat dilakukan oleh perawat untuk membantu klien baik sebagai pencegahan maupun penanganan kerusakan memori. Efektifitas CST pada beberapa penelitian sebelumnya termasuk pada aplikasi asuhan keperawatan kali ini menunjukkan pentingnya program CST sehingga dirasa perlunya keterampilan bagi perawat untuk melaksanakan program tersebut. Selain itu deteksi dini demensia dengan MMSE ataupun CDR sebaiknya dilakukan pada setiap lansia di PSTW sehingga program terapi yang tepat dapat dilakukan untuk menangani masalah demensia.
5.2.2 Bagi Aplikasi di Institusi (PSTW) Hasil dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan keruskan memori menunjukkan bahwa CST efektif meningkatkan kognitif. Bagi intitusi khususnya PSTW telah dilakukannya senam otak, penempatan kalender, jam dan nama wisma merupakan cara yang dapat digunakan untuk mentimulasi kognitif lansia. Saran dari penulis ialah penggunaan kalender sobek di wisma serta optimalisasi papan jadwal kegiatan juga dapat dilakukan untuk mengorientasi lansia khususnya dengan kerusaka memori agar dapat mengingat waktu, dan kegiatan sebagai terapi harian. Selain itu Intervensi lainnya ialah dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
80
penulisan nama taupun petunjuka arah temapat ataupun wisma dengan ukuran yang cukup besar yang ditempatkan dilorong ataupun pada depan wisma. Selain itu, adanya fasilitas televisi pada tiap wisma juga dapat membantu klien untuk mengenali hal-hal apa yang sedang terjadi saat ini. Intervensi lainnya seperti penggunaan pengharum aromatherapy dan beberapa musik terapi dapat dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan terutama kenyamanan di wisma. 5.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya penulis menyarankan untuk melakukan terapi kognitif dengan CST dan Maintenance CST atau dengan konsep iCST secara sempurna karena konsep tersebut merupakan CST yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga efek dari peningkatan kognitif akan lebih terjaga (keberlanjutan). Penelitian selanjutnya dengan konsep CST juga disarankan untuk tetap menggunakan konsep permainan serta melibatkan kelompok pada beberapa kegiatan seperti kuis, sehingga situasi kompetisi akan memicu motivasi klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Allen-Burge R., Stevens A.B., Burgio L.D. (1999). Effective behavioral interventions for decreasing dementia-related challenging behavior in nursing homes. International Journal of Geriatric Psychiatry, March; 14(3). Alzheimer’s Disease Research Center. (2011). CDR overview and abstract: the Charles F and Joane knight ADRC. Washington: University st Louis. Diakses melalui http://knightadrc.wustl.edu/cdr/aboutcdr.htm pada tanggal 12 Juli 2014. Ballard Clive, et. al. (2002). Can psychiatric liaison reduce neuroleptic use and reduce health service utilization for dementia patients residing in care facilities. International Journal of Geriatric Psychiatry, February; 17: 140-45. Badan Pusat Statistik Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. (2010). Peta sebaran penduduk di propinsi dki jakarta hasil sensus penduduk 2000 dan 2010. Jakarta diakses melalui Jakata.bps.go.id, pada tanggal 6 Juli 20014. Balqis, U., M. (2014). Hubungan tingkat kognitif dengan tingkat kemandririan lansia dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari (aks) di pstw budi mulia 02 dan 04 dki jakarta. FIK UI: Depok. Bellelli G., et. Al. Special care units for demented patients: a multicenter study. The Gerontologist, 38 (4): 456-62. Baldelli MV, Boiardi R, Fabbo A, Pradelli JM, Neri M. (2002). The role of reality orientation therapy in restorative care of elderly patients with dementia plus stroke in the subacute nursing home setting. Archives of Gerontology and Geriatrics 35 Suppl 8:15–22. Bottino CMC, Carvalho IAM, Alvarez AM, Avila R, Zukauskas PR, Bustamante SEZ, et al. (2005). Cognitive rehabilitation combined with drug treatment in Alzheimer’s disease patients: a pilot study.
Clinical Rehabilitation;
19:861–9. 81 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
82
Breuil V, De Rotrou J, Forette F, Tortrat D, Ganansia Ganem A, Frambourt A, et al.(1994) Cognitive stimulation of patients with dementia: Preliminary results. International Journal of Geriatric Psychiatry 9(3):211–7 Bottino CMC, Carvalho IAM, Alvarez AM, Avila R, Zukauskas PR, Bustamante SEZ, et al.(2005). Cognitive rehabilitation combined with drug treatment in Alzheimer’s disease patients: a pilot study. Clinical Rehabilitation;19:861–9. Chapman SB, Weiner MF, Rackley A, Hynan LS, Zientz J.(2004). Effects of cognitive-communication stimulation for Alzheimer’s disease patients treated with donepezil. Journal of Speech, Language, and Hearing Research 47(5): 1149–63. CE-SCIE 2006 NICE-SCIE. Dementia: supporting people with dementia and their carers in health and social care: clinical guideline 42. London: NICESCIE, 2006. Clark M.E., Lipe A.W., Bilbrey M. (1998). Use of music to decrease aggressive behaviors in people with dementia. Journal of Gerontological Nursing, July; 24(7): 10-7. Coen RF, Flynn B, Rigney, E, O’Connor E, Fitzgerald L, Murray C, et l. (2011). Efficacy of a cognitive stimulation therapy programme for people with dementia. Irish Journal of Psychological Medicine 28 (3):145–7. Cohen-Mansfield J. (2001). Nonpharmacologic interventions for inappropriate behaviors in dementia: a review, summary, and critique, American Journal of Geriatric Psychiatry, Fall; 9(4): 361-81. Cully, J.A., & Teten, A.L. (2008). A therapist’s guide to brief cognitive behavioral therapy. Department of Veterans Affairs South Central MIRECC, Houston.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
83
Day K., Carreon D., Stump C. The Therapeutic Design of Environments for People with Dementia: A Review of the Empirical Research, The Gerontologist, 40(4): 397-416. Ferrario E, Cappa G, Molaschi M, Rocco M, Fabris F. (1991). Reality orientation therapy in institutionalized elderlypatients: Preliminary results. Archives of Gerontology and Geriatrics 2:139–42. Forbes D., Morgan D., Bangma J., Peacock S., Pelletier N., Adamson J. (2004) Light therapy for managing sleep, behaviour, and mood disturbances in dementia, cochrane database system review; 2CD003946. Gerdner L. A. (2000). Effects of Individualized Versus Classical Relaxation Music on the Frequency of Agitation in Elderly Persons with Alzheimer’s Disease and Related Disorders, International Psychogeriatrics, March; 12(1):49-65. Goddaer J., Abraham I.L. (1994). Effects of Relaxing Music on Agitation During Meals Among Nursing Home Residents with Severe Cognitive Impairment. Archives of Psychiatric Nursing, June; 8(3): 150-158. Holmberg, S.K. (1997). Evaluation of a Clinical Intervention for Wanderers on a Geriatric Nursing Unit. Archives of Psychiatric Nursing, February; 11(1): 2128. Kim E.J., Buschman M.T. (1999). The Effect of Expressive Physical Touch on Patients with Dementi. International Journal of Nursing Studies, June; 36(3): 235-43. Maryam, S., Ekasari.M., Rosidawati, Jubaedi, A., Batubara, I. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika. Miller, C. (2012). Nursing for wellness in older adults, 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins: Ohio Olazaran, J., et al. (2004) Benefit of cognitive-motor intervention in MCI and mild to moderate Alzheimer's Disease. Journal of Neurology:63- 2348-2353 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
84
Onder, G. (2005). Reality orientation
therapy combaine with cholineterase
inhibitors in Alzheimer's disease
randomised controlled trial. British
Journal of Psychiatry. Primadi, O. dkk. (2013). Gambaran kesehatan lanjut usia di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI: Jakarta. Di akses melalui http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf tanggal 20 Mei 2014. Ress, G., Chye, A.P., & Lee, S.H. (2005). Dementia in the asia pacific regionindonesia. Di akses melalui https://www.fightdementia.org.au/common/files/ NAT/20060921_Nat_AE_IndoDemAsiaPacReg.pdf pada tanggal 20 Mei 2014. Sainbury, A., Seebass, G., Bansal, A., Young, J.B. (2005). Reliability of the barthel index when used with older people. National Center for Biotechnology Information: 28-32. Diakses melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /15863408 pada 12 Juli 2014. Shah, S., Vanclay F., Cooper, B. (1998). Improving the sensitivity of the barthel index
for
stroke
rehabilitation.
Medline:
www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/2760661. diakses pada 12 Juli 2014. Setyopranoto, I. (2002). Reliabilitas dan validitas Mini Mental State Examination untuk penampisan demensia. Jakarta: LOGIKA vol 8, No 9: 3-10. Spector A, Davies S,Woods B, Orrell M. Reality orientation for dementia: a systematic review of the evidence for its effectiveness. Gerontologist 2000;40 (2):206–212. .(2001). Can reality orientation be rehabilitated? Development and piloting of an evidence-based programme of cognition-based therapies for people with dementia. Neuropsychological Rehabilitation 2001;11(34):377–97. .
(2010). Cognitive Stimulation Therapy (CST): effects on
different areas of cognitive function for people with dementia. International Journal of Geriatric Psychiatry 2010;25:1253–8. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
85
Spector A, Thorgrimsen L, Woods B, Royan L, Davies S, Butterworth M, et al.Efficacy of an evidence-based cognitive stimulation therapy programme for people with dementia: randomised controlled trial. British Journal of Psychiatry 2003;183:248–54. Stanley, M. & Beare, P.G. (2002). Gerontological nursing: a health promotion/ protection approach, ed 2nd. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Tatemichi, T.K., Paik, M., Desmond, D.W., Stern, Y., & Sano, M. (1994). Cognitive imparment after stoke: frequency, patterns, and relationship to fuctional abilities. Journal NeurolNeurosurg and Psychiatry 57: 202-207. Whall A.L., Black M.E., Groh C.J., Yankou D.J., Kupferschmid B.J., Foster N.L. (1997). The Effect of Natural Environments upon Agitation and Aggression in Late Stage Dementia Patients, American Journal of Alzheimer’s Disease, September/October: 216-220.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 1. Pemeriksaan Fisik
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 1. Pemeriksaan Fisik
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawata
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Pemeriksaan Neuropsikologi Pre-Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Pemeriksaan Neuropsikologi Pre-Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Pemeriksaan Neuropsikologi Pre-Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Geriatric Depression Scale Pre-Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Pemeriksaan Aktivitas Sehari-hari
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Pemeriksaan Aktivitas Sehari-hari
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 3. Penilaian Risiko Jatuh
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 4. Penilaian Aktivitas Sehari-hari Pasca Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 4. Penilaian Aktivitas Sehari-hari Pasca Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 4. CDR Pasca Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
Lampiran 4. MMSE Pasca Terapi
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014
BIODATA PENULIS
1. Nama lengkap
: Puput Wulandari
2. Agama
: Islam
3. Tempat/tanggal lahir
: Jakarta/21 Agustus 1991
4. Suku
: Sunda
5. Alamat
: Jalan Cibubur 2, RT 008/ RW 02 No. 107, Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur – 13720
6. Email
:
[email protected]
7. Riwayat Pendidikan
:
a. SDN Cibubur 06 (1997-2003) b. SMPN 258 Jakarta (2003-2006) c. SMAN 39 Jakarta (2006-2009) d. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (2009-2013) e. Profesi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (2013-2014)
Analisis praktik ..., Puput Wulandari, FIK UI, 2014