UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN DENGAN PENERAPAN LATIHAN OTOT PERNAPASAN PADA PASIEN PPOK DI RSUP FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR
BAIQ PIA JANUARTI 0906510703
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN DENGAN PENERAPAN LATIHAN OTOT PERNAPASAN PADA PASIEN PPOK DI RSUP FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar ners keperawatan
BAIQ PIA JANUARTI 0906510703
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
ii Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
iii Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya, penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah akhir Ners ini. Karya Ilmiah Profesi Ners ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas akhir program Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada Ibu Lestari Sukmarini, S.Kp., MN selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan telaten memberikan masukan, koreksi, dan saran yang sangat membangun sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menyadari bahwa selama proses penyusunan karya ilmiah ini, ada banyak pihak yang telah banyak membantu dan mendukung sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Junaiti Sahar S.Kp., M.App.Sc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikn karya ilmiah ini; 2. Ibu Kuntarti S.Kp., M.Biomed selaku Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan bimbingannya kepada penulis untuk menyusun karya ilmiah ini; 3. Ibu Ns.Tati Wahyuni, S.Kep selaku pembimbing klinik di ruang Teratai lantai V Selatan RSUP Fatmawati yang telah menyediakan waktu dan tenaganya untuk membimbing selama praktik; 4. Dosen-dosen FIK UI yang memberikan berbagai ilmunya untuk mendukung pemahaman penulis sehingga dapat menyusun karya ilmiah ini; 5. Orang tua, saudara dan teman-teman FIK angkatan 2009 yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini;
iv Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Depok, 10 Juli 2014
Penulis
v Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
vi Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul Karya Ilmiah Akhir
: Baiq Pia Januarti : Ilmu Keperawatan : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan dengan Penerapan Latihan Otot Pernapasan pada Pasien PPOK di RSUP Fatmawati
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di wilayah perkotaan. Tingginya prevalensi PPOK pada wilayah perkotaan umumnya disebabkan oleh perilaku merokok dan rendahnya kualitas lingkungan akibat paparan polusi udara. Dampak jika tidak ditangani dengan baik adalah penurunan kualitas hidup penderita akibat gejala sesak, kelemahan, dan gangguan khas yang terjadi pada saluran pernapasan. Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien PPOK dengan intervensi latihan otot pernapasan untuk mengurangi gejala-gejala yang terjadi pada pasien PPOK. Penerapan latihan otot pernapasan pada pasien yang dintervensi terbukti efektif mengurangi sesak pada pasien PPOK. Penulis merekomendasikan perawat untuk menjadikan latihan ini sebagai salah satu terapi modalitas untuk mengurangi keluhan sesak pada pasien PPOK
Kata kunci: keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, PPOK, latihan otot pernapasan
vii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Baiq Pia Januarti : Nursing Science : Analysis of Clinical Practice on Urban Health Nursing By Application of Respiratory Muscle Exercise In Patient with COPD in RSUP Fatmawati
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a common health problem in urban areas. The high prevalence of COPD in urban areas are generally caused by smoking behavior and the low quality of the environment as a result of exposure to air pollution. If this disease can not treated properly, COPD affect on quality of life for COPD patients with the presence of dyspnea syndrome, weakness and typical disturbances that occur in the respiratory tract. This article purposes to analyze clinical practice on urban health nursing in patient with COPD by application of respiratory muscle exercise in reducing the symptoms of COPD. The application of respiratory muscle exercise in this patient showed reducing shortness of breath in COPD patients. It is recommended nurses should implemented this exercise as one of the therapeutic modalities to reduce shortness of breath in COPD patients Key word: urban health nursing, COPD, respiratory muscle exercise
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... . KATA PENGANTAR ................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................... ABSTRAK...................................................................................................... ABSTRACT.................................................................................................... . DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan ..................................... 1.4.2 Bagi Pendidikan ......................................................... 1.4.3 Kajian Selanjutnya ..................................................... BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) ................................................................... 2.1.1 Definisi KKMP .......................................................... 2.1.2 Teori dan Model KKMP............................................. 2.2 Konsep Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)...................... 2.2.1 Jenis-jenis PPOK ....................................................... 2.2.2 Derajat PPOK ............................................................ 2.2.3 Faktor Resiko PPOK .................................................. 2.2.4 Manifestasi Klinis PPOK .......................................... 2.2.5 Komplikasi PPOK ...................................................... 2.2.6 Penatalaksanaan PPOK .............................................. 2.3 Latihan Otot Pernapasan Pasien dengan PPOK ......................... 2.3.1 Pursed Lip Breathing ................................................. 2.3.2 Pernapasan Diafragma ................................................ 2.3.3 Latihan Kekuatan Otot Ektremitas Atas.......................
ix
i ii iii iv vi vii viii ix xi xii xiii
1 4 4 4 4 5 5 5
6 7 9 9 11 12 13 14 15 15 18 19 20 22
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB 3 TINJAUAN KASUS KELOLAAN 3.1 Pengkajian ............................................................................... 3.1.1 Identitas Pasien ................................................ ......... 3.1.2 Anamnesis ................................................................. 3.2 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium .............................. 3.2.1 Terapi Medikasi ......................................................... 3.3 Rencana ASKEP dan Implementasi ........................................ 3.4 Evaluasi Keperawatan ............................................................. BAB 4 ANALISIS SITUASI 4.1 Profil Lahan Praktik ................................................................ 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP Dan Konsep Kasus Terkait ....................................................... 4.3 Analisis Intervensi Latihan Otot Pernapasan dengan Konsep Dan Penelitian Terkait .............................................................. 4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ............................
26 26 24 32 35 36 65
69 69 77 83
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan……………………………………………………. …. 85 5.2 Saran……………………………………………………………... 86 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
x
87
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium…………….32 Tabel 3.2 Terapi Medikasi…………………………………………35 Tabel 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi………36
xi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pursed Lip Breathing .................................................................
20
Gambar 2.1 Pernapasan Diafragma……………………………………….. ...
21
Gambar 2.3 Latihan Otot Pernapasan ............................................................
22
Gambar 3.1 Hasil Foto Rontgen ....................................................................
35
xii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Daftar Riwayat Hidup Penulis
xiii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan tingkat kepadatan penduduk keempat terbesar di dunia. Sensus penduduk 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa. Sensus penduduk tahun 2012 menunjukkan bahwa 54% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (Pdpersi, 2012). Kepadatan penduduk di wilayah perkotaan secara tidak langsung berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan. Gaya hidup masyarakat perkotaan yang identik dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji, kebiasaan merokok, meminum alkohol, kurang olah raga, dan buruknya kondisi lingkungan terutama polusi udara akibat kendaraan bermotor dan industri menyebabkan resiko munculnya penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, diabetes, dan PPOK semakin tinggi (Cahyono, 2008). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan jenis penyakit yang sering terjadi di wilayah perkotaan. Menurut Depkes RI (2008), PPOK merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang ditimbulkan akibat terjadinya transisi epidemiologi di Indonesia yang dipengaruhi oleh meningkatnya usia harapan hidup, faktor demografi, faktor sosial ekonomi, faktor perilaku, dan faktor lingkungan. Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial yang terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya yang ditandai dengan hambatan aliran udara, peningkatan produksi sputum, batuk, dan dispnu (PDPI, 2003). Seorang individu dinyatakan secara klinis menderita PPOK apabila sekurangkurangnya pada anamnesa ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik, berdahak, dan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau usia yang lebih tua (Depkes RI, 2008).
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
2
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular utama yang menyebabkan tingginya tingkat kematian dan kesakitan di seluruh dunia dan menjadi salah satu prioritas kesehatan global (Cazzola, Donner, & Hanania, 2007). Menurut WHO (2007) diperkirakan terdapat 210 juta pasien dengan PPOK dan 3 juta pasien meninggal dengan PPOK pada tahun 2005. Pada tahun 2001, PPOK menjadi penyebab kematian kelima pada negara-negara maju. Jumlah penderita PPOK diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan usia dan perilaku merokok dalam jangka waktu yang lama dan akan menjadi penyakit keempat penyebab kematian di dunia pada tahun 2030 (Oemiati, 2013). Pada tahun 2020 diperkirakaan PPOK akan menjadi penyakit ketiga penyebab kematian
terbesar di dunia (Laborin, 2009).
Menurut data tahun 2007, di
Amerika Serikat prevalensi PPOK sebesar 10,1 % pada laki-laki dan 8,5 % pada perempuan. Di Indonesia penderita PPOK diperkirakan akan terus meningkat disebabkan oleh tingginya kebiasaan merokok penduduk Indonesia mengingat 90% penderita PPOK disebabkan oleh rokok (Jurnal Respirologi Indonesia, 2007). Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM dan PL di lima rumah sakit di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan yaitu sebesar 35 % diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan penyakit lain (2%) (Depkes RI, 2008). Adapun di RS Fatmawati sebagai tempat penulis melakukan praktik PKKMP pada bulan Januari hingga Maret tahun 2014 tercatat 24 pasien dirawat karena PPOK. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit PPOK di Indonesia selain faktor usia, genetik dan jenis kelamin. Perilaku merokok dan polusi udara merupakan faktor lain yang juga menyebabkan PPOK terutama di wilayah perkotaan. Merokok menjadi salah satu faktor penting terhadap berkembangnya PPOK. Kebiasaan merokok menjadi penyebab kematian 57.000 jiwa setiap tahunnya akibat PPOK (Oemiati, 2013). Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001 terdapat 54,5 % laki-laki dan 1,2 % merupakan perokok aktif. Jumlah perokok yang beresiko menderita PPOK mencapai 20-25%. Semakin banyak rokok yang dikonsumsi semakin tinggi resiko PPOK. Selain perilaku merokok, munculnya PPOK juga berkaitan dengan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
3
tingginya pencemaran udara di negara-negara maju dan berkembang seperti Indonesia. Kemajuan ekonomi dan industri otomotif seperti kendaraan bermotor yang semakin pesat dari tahun ke tahun terutama di daerah perkotaan menyebabkan tingginya pencemaran udara. Pencemaran udara akibat kendaraan bermotor mencapai 70-80% sedangkan 20-30% pencemaran udara berasal dari industri (Depkes RI, 2008). PPOK menyebabkan menurunnya aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. Gejala klinis yang khas seperti sesak terutama ketika beraktivitas, proses inflamasi, penurunan berat badan, serta resiko penyakit kardiovaskuler menjadi penyebab tingginya beban pengobatan akibat PPOK. Untuk mengurangi gejala tersebut, terdapat beberapa manajemen perawatan pada pasien dengan PPOK seperti menghindari merokok, menggunakan obat-obatan, terapi oksigen, nutrisi adekuat dan latihan otot pernapasan (Hodgkin, Celli & Connors, 2009). Latihan otot pernapasan (respiratory muscle exercise) merupakan salah satu bentuk terapi rehabilitasi paru pada penderita PPOK. Latihan otot pernapasan bermanfaat untuk memperbaiki ventilasi, menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks, melatih ekspektorasi, memperkuat otot ektremitas, dan mengurangi sesak (PDPI, 2003). Latihan otot pernapasan dapat dilakukan secara individual oleh pasien dengan PPOK dan relatif mudah dilakukan dan memiliki efektivitas yang cukup baik bagi penderita PPOK yang telah dibuktikan oleh berbagai penelitian (evidence based) (Hodgkin, Celli & Connors, 2009). Menurut hasil penelitian Nusdwiruningtyas (2000) di RS Cipto Mangunkusumo, terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) pemberian latihan otot-otot pernapasan dengan peningkatan kualitas hidup penderita PPOK yang ditandai dengan peningkatan kekuatan otot, penurunan sesak, dan peningkatan kemampuan mobilitas pasien PPOK. Penelitian Gosselink (2004) juga menunjukkan bahwa latihan otot pernapasan mampu mengurangi sesak, mengurangi hiperinflasi tulang iga, memperbaiki pertukaran gas serta meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan. Penelitian Bhatt et al (2013) juga menyebutkan bahwa latihan pernapasan seperti pursed lip breathing juga mengurangi frekuensi sesak pada pasien PPOK. Untuk lebih mengenal lebih jauh terkait keefektifan latihan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
4
otot-otot pernapasan terhadap pasien PPOK, melalui karya ilmiah ini, penulis mencoba untuk menganalisis dan mengeksplorasi lebih mendalam terkait efektivitas latihan otot pernapasan terhadap peningkatan kualitas hidup pasien PPOK. 1.2 Perumusan Masalah PPOK merupakan penyakit paru yang bersifat progresif. Gejala PPOK seperti sesak, batuk kronik, dan kelemahan otot-otot pernapasan membuat pasien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi aktivitas sehingga berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Latihan otot pernapasan merupakan salah satu bentuk rehabilitasi paru bagi pasien dengan PPOK. Telah banyak penelitian-penelitian yang membuktikan keefektifan latihan otot pernapasan untuk mengurangi gejalagejala PPOK. Walaupun demikian, penerapan latihan ini sebagai salah satu intervensi utama pada pasien PPOK dalam proses asuhan keperawatan masih belum optimal. Perawat berperan penting melalui upaya rehabilitatif
dengan
memberikan intervensi berupa latihan otot pernapasan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan PPOK. 1.3 Tujuan Penelitian Penulisan karya ilmiah ini memiliki beberapa tujuan meliputi: 1.3.1 Tujuan umum Menggambarkan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan perkotaan pada pasien PPOK dengan penerapan latihan otot pernapasan di ruang Teratai Lantai V Selatan RSUP Fatmawati
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari dari penulisan karya ilmiah ini sebagai berikut: 1. Melakukan analisis masalah keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien kelolaan dengan PPOK 2. Melakukan analisis asuhan keperawatan pada pasien kelolaan dengan PPOK 3. Melakukan analisis intervensi mengenai efektifitas latihan otot pernapasan pada pasien kelolaan dengan PPOK.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
5
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penulisan karya ilmiah ini meliputi: 1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan Hasil penulisan ini diharapkan bisa memberikan masukan dan inspirasi bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien PPOK yaitu melalui intervensi berupa latihan otot pernapasan untuk mengurangi gejala-gejala PPOK. Perawat juga bisa menerapkan konsep KKMP ketika melakukan
intervensi
keperawatan
pada
pasien PPOK
sehingga
mengurangi komplikasi yang terjadi akibat lingkungan perkotaan yang tidak sehat terutama oleh tingginya polusi udara dan perilaku merokok.
1.4.2 Bagi Pendidikan Hasil penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan pemahaman mahasiswa keperawatan terkait asuhan keperawatan pasien dengan PPOK khususnya tentang keefektifitan latihan otot pernapasan dalam meningkatkan kualitas hidup bagi pasien PPOK.
1.4.3 Kajian selanjutnya Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam mengembangkan kajian atau penelitian yang lebih mendalam terkait latihan otot pernapasan pada pasien PPOK sehingga akan memperkaya evidence based practice mengenai efektivitas latihan otot pernapasan.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Tingginya arus urbanisasi menjadi fenomena yang sering terjadi pada dekade ini. Fenomena tersebut terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut WHO (2011), pada tahun 2009 terdapat 50% penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Lebih dari 40% pada tahun 1990 dan dipredikisi hampir 70% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050. Tingginya arus urbanisasi tersebut juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2009 tercatat lebih dari 43% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah hingga lebih dari 60% pada tahun 2016. Di Indonesia, berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) urbanisasi akan mencapai 68 % pada 2025. Tingkat urbanisasi saat ini di empat provinsi di Jawa sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Banten. Proyeksi itu mengacu kepada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (JPNN, 2010).
Tingginya arus urbanisasi atau perubahan demografi tersebut akan berdampak terhadap kondisi kesehatan dan mengancam ketahanan perkotaan. Masalahmasalah ekonomi dan lingkungan sosial yang terjadi di perkotaan juga berdampak terhadap kualitas kesehatan masyarakat perkotaan. Berkembangnya penyakit menular maupun tidak menular di lingkungan perkotaan erat kaitannya dengan masalah-masalah yang umum terjadi di perkotaan seperti lingkungan yang kotor, polusi udara, stress, pola makan cepat saji, dan sebagainya (Cahyono, 2008).
PPOK sebagai salah satu penyakit tidak menular menurut Depkes RI (2008) terjadi akibat transisi epidemiologi di Indonesia serta dipengaruhi oleh meningkatnya usia harapan hidup masyarakat, faktor demografi, faktor sosial ekonomi, faktor perilaku, dan faktor lingkungan. Hal tersebut tercermin dari kehidupan masyarakat perkotaan saat ini terutama kota-kota besar di Indonesia sehingga hal tersebut perlu mendapatkan penanganan baik melalui langkah
6 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
7
preventif, promotif, dan kuratif untuk mencegah dan meningkatkan status kesehatan masyarakat perkotaan (Maurer & Smith, 2010).
2.1.1 Definisi Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan diartikan sebagai sintesis dari teori, konsep dan prinsip mengenai masalah kesehatan daerah perkotaan melalui penerapan ilmu dan teknologi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dalam tiap rentang kehidupan. Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan juga merupakan suatu upaya pelayanan keperawatan di area perkotaan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh perawat untuk memperoleh tingkat kesehatan yang lebih tinggi dari individu, keluarga dan kelompok (Allender, 2001).
Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan kesehatan masyarakat yang optimal. Sasaran keperawatan kesehatan masyarakat adalah seluruh masyarakat termasuk individu, keluarga, kelompok beresiko tinggi termasuk kelompok/masyarakat penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik, dan daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2006). Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan ini termasuk dalam lingkup keperawatan komunitas karena masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota (Smith & Maurer, 2010).
2.1.2 Teori dan Model Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Beberapa teori terkait model keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dari beberapa ahli antara lain: a. Teori Self-Care Orem Teori self-care Orem menyatakan bahwa setiap individu memegang tanggung jawab terhadap perilaku kesehatannya. Fokus asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap individu mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup dasar,
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
8
memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Tujuan dari tindakan keperawatan yaitu untuk membantu individu untuk mengenal kebutuhan dan keterbatasan diri serta meningkatkan kemampuan perawatan diri. Perawat menurut teori ini berperan dalam memfasilitasi pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien untuk mendapatkan kemandirian (Smith & Maurer, 2010).
b. Teori Betty Neuman Fokus dari teori ini yaitu pada sistem kesehatan manusia ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut teori ini, keperawatan didefinisikan sebagai suatu profesi
yang
unik
dengan
memperhatikan
seluruh
faktor-faktor
yang
mempengaruhi respon individu terhadap penyebab stress, tekanan intra, inter dan ekstra personal (Neuman, 1995). Asuhan keperawatan berfokus pada pencegahan serangan stress dalam melindungi pasien untuk mendapatkan atau meningkatkan derajat kesehatan yang paling baik. Menurut Newman, asuhan keperawatan dilakukan untuk mencegah atau mengurangi reaksi tubuh akibat adanya stressor. Peran tersebut merupakan pencegahan penyakit yang terdiri dari tiga level yaitu pencegahan primer, sekunder dan tertier. a) Pencegahan
primer
merupakan
tindakan
keperawatan
untuk
mengidentifikasi adanya stressor, mencegah terjadinya reaksi tubuh karena adanya stressor. b) Pencegahan sekunder merupakan tindakan keperawatan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala penyakit atau reaksi tubuh lainnya karena adanya stressor. c) Pencegahan tersier merupakan tindakan keperawatan yang meliputi pengobatan rutin dan teratur serta pencegahan kerusakan lebih lanjut atau komplikasi dari suatu penyakit (Smith & Maurer, 2010) c. Teori Lingkungan (Nightingale’s Theory of Environment) Teori lingkungan ini berfokus pada pelayanan pencegahan penyakit pada populasi. Pada teori ini, lingkungan yang lemah dan buruk merupakan hal yang buruk bagi kesehatan sedangkan lingkungan yang baik dapat menurunkan
kondisi
terkena
penyakit
(terinfeksi).
Kesehatan
dapat
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
9
ditingkatkan dengan
menyediakan
ventilasi,
air
bersih,
kehangatan,
pencahayaan serta kebersihan yang cukup (Allender, 2001).
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronik Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial yang terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya yang seringkali ditandai dengan hambatan aliran udara, produksi sputum, batuk, dan dispnu (PDPI, 2003). Adapun definisi terbaru PPOK menurut insiasi global PPOK yaitu merupakan gangguan aliran udara pernapasan yang tidak sepenuhnya bersifat reversible. Pada PPOK hambatan jalan nafas bersifat progresif (Smeltzer & Bare, 2010).
Terjadinya PPOK berkaitan dengan adanya respon inflamasi paru oleh partikel berbahaya atau gas. Respon inflamasi tersebut terjadi pada keseluruhan saluran nafas, jaringan parenkim dan vaskularisasi paru. Apabila inflamasi tersebut bersifat kronik, sistem tubuh akan mencoba untuk melakukan mekanisme perbaikan yaitu dengan menyebabkan terjadinya penyempitan aliran udara perifer yang berukuran kecil. Dalam jangka waktu yang lama, adanya cedera dan proses perbaikan yang dilakukan menyebabkan timbulnya jaringan parut
dan
penyempitan lumen saluran nafas. Proses inflamasi yang terjadi juga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara proteinase dan antiproteinase di dalam paru yang memicu terjadi keterbatasan aliran udara (Smeltzer & Bare, 2010). Pada PPOK perubahan mekanisme pernapasan terjadi karena beberapa faktor diantaranya keterbatasan ventilasi karena gangguan mekanik sistem pernapasan dan disfungsi otot pernapasan. Selain itu, kelainan proses metabolisme, gangguan pertukaran gas, disfungsi otot perifer, gangguan jantung, dan adanya sesak serta kombinasi dari faktor-faktor yang lain. Kelainan tersebut bervariasi antara pasien satu dengan yang lainnya. Adanya gangguan otot pernapasan yang dipengaruhi kontraksi otot dan kekuatan otot pernafasan serta hilangnya daya elastisitas paru pada PPOK menyebabkan hiperinflasi dan obstruksi jalan nafas kronik yang
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
10
menganggu proses ekspirasi sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang dan terdapat udara yang terjebak (O Donnell, 2001). Dalam jangka waktu yang lama, udara yang terjebak tersebut menyebabkan diagrama menjadi datar dan kontraksi menjadi lemah sehingga mengganggu fungsi dari otot diafragma. Sebagai kompensasi, otot-otat interkosta dan otot inspirasi tambahan digunakan sehingga dalam jangka waktu yang lama menyebabkan peran diafragma menurun hingga 65%. Akibatnya, volume nafas mengecil dan nafas menjadi pendek sehingga terjadi hipoventilasi alveolar yang akan meningkatkan konsumsi oksigen dan menurunkan daya cadangan penderita. Frekuensi respirasi meningkat sebagai upaya untuk mengkompensasi saluran nafas yang kecil dan menimbulkan sesak nafas yang khas pada PPOK (O Donnell, 2001). Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka. Disfungsi otot rangka pasien PPOK menyebabkan kelemahan otot rangka yang mempengaruhi toleransi latihan dan kualitas hidup pasien. Disfungsi otot rangka meliputi perubahan anatomi dan fungsi dari otot rangka. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktivitas enzim. Pada pasien PPOK juga ditemukan adanya kelemahan otot perifer sehingga membatasi kapasitas fungsional dan menurunkan kualitas hidup penderita. Perubahan metabolik jaringan otot terutama disebabkan oleh hipoksia, muscle wasting dan perubahan kapasitas glikolisis. Keseimbangan biokimia tersebut dapat diperburuk oleh malnutrisi yang sering terjadi pada pasien PPOK. Proses inflamasi yang terjadi secara sistemik pada pasien PPOK juga berperan terhadap penurunan masa otot rangka (O Donnell, 2006).
Adapun mekanisme sesak nafas pada PPOK terjadi karena kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan otot ekstremitas oleh karena efek sistemik,
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
11
deconditioning dan nutrisi yang buruk. Sesak nafas seringkali menjadi gejala utama yang membatasi toleransi aktivitas pada pasien PPOK ( O Donnell, 2006).
2.2.1 Jenis-Jenis PPOK PPOK terbagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema (Smeltzer & Bare, 2010). a. Bronkitis Kronik Bronkitis kronik didefinisikan sebagai suatu kelainan saluran nafas yang ditandai dengan batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan penyakit lainnya (PDPI, 2003). Pada banyak kasus, kebiasaan merokok dan terpapar polusi menyebabkan iritasi saluran nafas sehingga menyebabkan hipersekresi mukus, metaplasia sel goblet, hipertropi otot polos pernapasan dan inflamasi. Iritasi yang menetap menyebabkan kelenjar yang memproduksi mukus dan sel goblet semakin membesar sementara fungsi silia semakin menurun sehingga lebih banyak mukus yang diproduksi. Dinding bronkial juga semakin menebal dan lumen menyempit sehingga mukus menyumbat aliran udara. Alveoli yang berdekatan menjadi rusak dan menimbulkan fibrosis sehingga menyebabkan perubahan fungsi dari makrofag alveolar yang berperan penting untuk menghancurkan partikel asing dan bakteri. Ketika fungsi makrofag semakin berkurang, maka akan lebih mudah terkena infeksi pernapasan yang disebabkan oleh bakteri, parasit, mikoplasma yang memicu terjadinya bronkitis akut atau eksaserbasi bronkitis (Smeltzer & Bare, 2010).
b. Emfisema Emfisema adalah suatu keadaan paru-paru yang abnormal yaitu adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran tersebut disebabkan oleh adanya kerusakan pada dinding asinus. Emfisema juga didefinisikan sebagai suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal, bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003). Ketika dinding alveoli rusak, area permukaan alveolus yang kontak langsung dengan kapiler pulmonal secara terus menerus menjadi berkurang sehingga menyebabkan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
12
meningkatnya ruang rugi (dead space) dan merusak/mengganggu difusi oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Pada tahap penyakit lanjut, pengeluaran karbondioksida juga akan terganggu sehingga menyebabkan hiperkapnia dan menyebabkan asidosis. Hipoksemia akan memicu tingginya tekanan arteri pulmonal sehingga bisa berakibat pada gagal jantung kanan (Smeltzer & Bare, 2010). Secara anatomik, emfisema dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: a. Emfisema Panisinar (panlobular): terdapat kerusakan pada bronkiolus pernapasan, duktus alveolus, dan alveoli secara merata. Semua ruang udara di dalam lobulus membesar. Pasien yang mengalami emfisema jenis ini mengalami hiperinflasi, terdapat barrel chest pada pemeriksaan fisik , dispnu saat aktivitas dan penurunan berat badan. Emfisema panlobular umumnya terjadi pada paru bagian bawah. b. Emfisema sentriasinar dimulai dari bronkus respiratori dan meluas ke perifer dan umumnya mengenai bagian atas paru dan sering disebabkan oleh kebiasaan merokok yang lama. c. Emfisema paraseptal, lebih banyak mengenai saluran nafas distal, duktus dan sakus alveolar (PDPI, 2003; Smeltzer & Bare, 2010).
2.2.2. Derajat PPOK Menurut Depkes RI (2008), diagnosa PPOK ditegakkan apabila sekurangkurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2005 dalam Depkes RI (2008) PPOK dibagi atas 4 derajat: a. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70% , dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum, sesak nafas derajat 0 (tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat) atau sesak deraja 1 (sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga satu langkah)
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
13
b. PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi, dengan atau tanpa batu dan sputum dan sesak derajat 2 (sesak timbul pada saat beraktivitas. c. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%=
2.2.3 Faktor Resiko PPOK Faktor resiko PPOK merupakan hal-hal yang berhubungan dengan meningkatnya resiko PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Secara umum, faktor resiko PPOK terbagi menjadi 3 kelompok yaitu faktor pejamu (host), faktor perilaku, dan faktor lingkungan.
a. Faktor pejamu (host) Faktor pejamu perhubungan dengan genetik yaitu defisiensi alpha 1 antitripsin yaitu suatu sejenis protease inhibitor yang melindungi paru dari cedera. Kekurangan alpha 1 antitripsin diperkirakan menyebabkan terjadinya PPOK sebanyak 1-3%. Faktor pejamu yang lain yaitu adanya hiperresponsif jalan napas yang terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi dan gangguan pertumbuhan paru yang dikaitkan dengan kehamilan, berat lahir, dan pajanan semasa anak-anak (Depkes RI, 2008).
b. Faktor perilaku Faktor yang paling penting yang memicu timbulnya PPOK adalah kebiasaan merokok. Diperkirakan 95% kasus PPOK terjadi karena rokok. Kebiasaan merokok berefek pada terganggunya fungsi silia untuk membersihkan jalan nafas dari iritan, bakteri, dan benda-benda asing sehingga bisa memicu terjadinya obstruksi dan udara terperangkap didalamnya (Smeltzer & Bare, 2010). Merokok juga dapat menyebabkan alveolus menjadi distensi, kapasitas paru juga berkurang, dan menyebabkan kerusakan sel goblet dan kelenjar mukus sehingga memicu
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
14
hipersekresi mukus. Berdasarkan hasil penelitian di China menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara penurunan ekspirasi volume paksa detik pertama dengan lamanya merokok (Oemati, 2013).
c. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko PPOK berupa polusi udara, terpapar zat iritan dalam jangka waktu yang lama, asap kayu bakar, asap kompor dan sebagainya. Pajanan yang terus menerus oleh gas dan bahan kimia hasil industri juga merupakan fakto resiko PPOK (Depkes RI, 2008). Selain itu, menurut penelitian di China, faktor gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap penyakit PPOK (Oemati, 2013) 2.2.4 Manifestasi Klinis PPOK PPOK memiliki tiga ciri primer yaitu batuk, produksi sputum dan dispnu saat beraktivitas. Gejala-gejala tersebut bisa memburuk dalam jangka waktu yang lama. Batuk yang kronik dan produksi sputum seringkali berkembang menjadi gangguan atau hambatan jalan nafas dalam waktu bertahun-tahun. Penurunan berat badan juga menjadi salah satu tanda dari PPOK dan berhubungan dengan gangguan makan akibat dispnu dan peningkatan energi saat bernafas (Smeltzer & Bare, 2010). Secara lebih jelas, perbedaan gambaran klinis antara emfisema dan bronkitis dapat dilihat pada tabel 2.1
GAMBARAN Mulai timbul Sputum Dispne Rasio V/Q Bnetuk Tubuh Diameter AP dada Gambaran respirasi Volume Paru Pa O2 Sa O 2 Polisitemia
EMPHYSEMA Usia 60 tahun Minimal Dispnea relatif dini Ketidakseimbangan minimal Kurus dan ramping Dada seperti tong Hyperventilasi FEV 1 rendah Norml/rendah normal normal
Sianosis
Jarang
BRONKHITIS Usia 50 tahun Banyak sekali Lambat Ketidakseimbangan nyata Gizi cukup Tidak membesar Hypoventilasi FEV 1 rendah Meningkat Desaturasi Hb dan Hematokrit meningkat sering
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
15
2.2.5 Komplikasi PPOK Komplikasi
PPOK
dapat
berupa
gagal
nafas,
atalektasis,
pneumonia,
pneumotoraks, hipertensi pulmonal dan gagal jantung. Gagal nafas atau insufisiensi pernapasan yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik. Kerusakan irreversible pada struktur paru menyebabkan peningkatan resiko gagal nafas pada pasien PPOK. Gagal nafas terjadi apabila terjadi penurunan oksigen terhadap karbondioksida
di dalam paru sehingga
menyebabkan ketidakmampuan
memelihara laju oksigen yang kemudian berakibat pada terjadinya hipoksia dan hiperkapnia (Smeltzer & Bare, 2008). Atelektasis paru terjadi apabila obstruksi bronkial oleh sekresi menyebabkan kolaps pada alveolus, lobus, dan unit paru yang lebih besar. Sumbatan kemudian akan mengganggu fungsi alveolus yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara yang terperangkap kemudian bisa terserap ke dalam pembuluh darah dan udara luar tidak bisa menggantikan udara yang terperangkap karena obstruksi akibatnya ukuran paru semakin mengecil (Smeltzer & Bare, 2008). Penderita PPOK juga sangat rentan terkena pneumonia akibat menurunnya daya tahan penderita (Smeltzer & Bare, 2008). Inflamasi sistemik yang sering disertai dengan penurunan berat badan, dispnu, dan cemas
juga menjadi hal yang
seringkali menjadi manifestasi sistemik pada pasien dengan PPOK (Oemiati, 2013).
2.2.6 Penatalaksanaan PPOK Hal yang paling penting dalam manajemen PPOK yaitu untuk mencegah pasien agar tidak merokok. Perawat atau dokter bisa memberikan motivasi dan dukungan pada pasien agar memodifikasi perilaku dan memberikan medikasi sesuai indikasi (Celli, 1998). Menurut Barnet (2006), pengobatan PPOK berfokus pada pengurangan atau penurunan gejala, mengurangi eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah progresifitas penyakit. Penatalaksanaan PPOK secara umum menurut PDPI (2003) meliputi edukasi, obat-obatan, terapi oksigen
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
16
ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi. Tiga diantaranya akan dijelaskan sebagai berikut: a. Edukasi Edukasi merupakan komponen penting yang harus dilakukan ketika pasien didiagnosa PPOK. Edukasi bertujuan untuk menyesuaikan keterbatasan aktivitas, mencegah progresifitas PPOK, mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan pengobatan yang maksimal, dan meningkatkan kualitas hidup (PDPI, 2003). Adapun materi edukasi yang diberikan pada pasien PPOK berdasarkan skala prioritas meliputi anjuran untuk berhenti merokok, penggunaan obat-obatan, terapi oksigen, mengenal efek samping obat, pengenalan tanda-tanda eksaserbasi, pengetahuan terhadap hal-hal yang mencetus ekseserbasi, dan penyesuaian pola hidup dengan keterbatasan aktivitas.
b. Obat-obatan Pengetahuan pasien terkait obat-obatan juga perlu dijelaskan oleh perawat atau dokter. Obat-obatan yang sering digunakan pada pasien PPOK diantaranya obat bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, dan antitusif. Sebagai contoh, pemberian bronkodilator pada pasien PPOK dapat menghilangkan gejala yang timbul dan mengurangi eksaserbasi penyakit dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Obat jenis ini memperbaiki aliran udara pernapasan dan mencegah hiperinflasi sehingga mengurangi usaha untuk bernafas dan memperbaiki toleransi latihan (Sutherland & Cherniack, 2004). Bronkodilator digolongkan menjadi beta agonis-2, antikolenergik, golongan xantin dan kombinasi antikolenergik dengan agonis beta-2 (PDPI, 2003).
c.
Terapi Oksigen
Pemberian oksigen pada PPOK bisa membantu mempertahankan oksigenisasi dan mencegah kerusakan sel. Terapi oksigen pada PPOK hanya diberikan apabila kadar oksigen dalam darah rendah (hipoksemia). Pemberian oksigen mampu mengurangi resiko hipertensi pulmonal, mengurangi ventilasi, dan mencegah hiperinflasi dinamis dan sesak saat beraktivitas (Van Helvoort et al, 2006). Kebutuhan oksigen pada PPOK diketahui melalui pemeriksaan AGD. Jika saturasi
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
17
oksigen dengan pemeriksaan AGD pada pasien PPOK tidak rendah maka tidak perlu diberikan oksigen. Berikut indikasi pemberian oksigen pada pasien dengan PPOK meliputi: a. PaO2 kurang dari atau sama dengan 60 mmHg b. Saturasi oksigen kurang dari atau sama dengan 90% c. PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% dan pasien memiliki gagal jantung kanan dan masalah pernapasan (kor pulmonal) dan terdapat peningkatan jumlah sel darah merah (eritrositosis) d. Saturasi oksigen lebih besar dari 88% ketika istirahat dan menu ketika beraktivitas atau sedang tidur (PDPI, 2003).
Macam-macam terapi oksigen pada PPOK meliputi oksigen jangka panjang, oksigen pada saat beraktivitas, oksigen pada saat sesak mendadak, dan pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal nafas dan bisa diberikan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen yang diberikan di rumah dalam keadaan stabil yaitu terutama ketika tidur untuk mencegah hipoksemia dan beraktivitas untuk mencegah sesak dan diberikan selama 15 jam perhari melalui nasal kanul 12L/menit. Pemberian konsentrasi oksigen juga tidak boleh lebih 28% melalui masker oksigen untuk mencegah hiperoksia. Hiperoksia menyebabkan penebalan pada membran alveolar dan menghambat ekspansi paru.
Pada kondisi hiperbarik, kelebihan oksigen ini bisa memicu terjadinya kejang. Hiperoksi juga menyebabkan kerusakan radikal bebas. Radikal bebas merupakan bentuk atom-atom aksigen yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara proton dan electron. Radikal bebas ini bisa memicu kerusakan intraseluler dan kerusakan sel. Hiperoksia juga memicu terjadinya vasokontriksi saluran nafas sehingga pemakian oksigen pada dasarnya harus diberikan secara hati-hati. Pasien dengan PPOK seringkali telah terbiasa menggunakan oksigen yang rendah sehingga SpO2 yang diberikan lebih rendah (Kim V, et al. 2008).
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
18
2.3 Latihan Otot Pernapasan pada Pasien dengan PPOK Latihan Pernapasan merupakan salah satu bentuk program rehabilitasi pada pasien dengan PPOK. Latihan ini mampu mengurangi gejala PPOK seperti sesak nafas, dan gangguan psikologis akibat PPOK yaitu dengan meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot-otot pernapasan, mengoptimalisasi pola pergerakan dinding toraks, mengurangi sesak, mengurangi hiperinflasi dinamis dari tulang iga dan memperbaiki pertukaran gas. Latihan pernapasan terkontrol pada PPOK pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis latihan pernapasan yang meliputi ekspirasi aktif, nafas yang lambat dan dalam, terapi relaksasi, perubahan posisi, latihan otot-otot inspirasi, pernapasan diagragma, dan latihan pursed lip breathing. Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasan sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi sesak napas (PDPI, 2003). Jenisjenis latihan pernapasan pada PPOK diantaranya yaitu latihan relaksasi, pursed lip breathing, latihan ektremitas atas, dan latihan otot diafragma (Gosselink, 2004).
Menurut University of Texas Medical Branch (UTMB) tahun 2005, tujuan dari latihan otot pernapasan diantaranya yaitu untuk meningkatkan kekuatan otot-otot perut dan diafragma, mengurangi penggunaan otot-otot bantu pernapasan, mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan keefektifan pernapasan, membantu mengurangi kelebihan mukus, dan meningkatkan kompliens dinding dada. Latihan otot pernapasan dikatakan efektif jika fungsi paru pasien dapat diperbaiki dengan kriteria subjektif yaitu klien mengungkapkan penurunan derajat sesak atau hilangnya sesak setelah latihan. Adapun kriteria objektif berupa perbaikan nilai AGD, perbaikan gambran X-ray, perbaikan volum tidal dan kapasitas vital paksa, eksursi dada simetris, penurunan usaha bernafas, penurunan frekuensi pernapasan, refleks batuk membaik (UTMB, 2005).
Latihan otot pernapasan diindikasikan pada klien dengan kondisi patologis yang mana menyebabkan ketidakefisienan otot-otot pernapasan oleh adanya gangguan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
19
paru seperti pada PPOK terutama PPOK berat. Secara umum, latihan otot pernapasan diindikasikan pada pasien yang memilik gangguan pola napas dan peningkatan usaha bernafas. Kontraindikasi dari latihan otot pernapasan yaitu kondisi medis akut atau klien dengan indikasi pembedahan, penurunan kesadaran sehingga tidak mampu kooperatif saat melakukan latihan, adanya nyeri atau ketidaknyamanan, masalah kardiovaskuler yang tidak stabil, penyakit terminal, dank pasien dengan gangguan kognitif dan psikiatrik. Durasi latihan 10-15 menit setiap hari dan lebih efektif jika dilakukan selama 6 minggu-12 minggu (Hill, 2006; Smeltzer & Bare, 2010; Bolton et al, 2013).
Adapun sebelum melakukan latihan otot pernapasan ini hal-hal yang perlu dikaji terkait aspek keamanan saat latihan (patient safety) diantaranya yaitu tingkat toleransi aktivitas klien sebelum melakukan latihan. Perawat melakukan pengkajian pada pasien terkait TTV, kesadaran dan kekuatan dan memastikan klien tidak mengalami nyeri, tidak ada gangguan neurosensori, spinal injury, tidak ada hipertensi pulmonal, dan tidak ada gangguan muskoloskeletal. Jika selama latihan terdapat perubahan pada TTV dan peningkatan derajat sesak, perawat harus menghentikan latihan dan melaporkan pada dokter (UTMB, 2005; Hill, 2006).
2.3.1 Pursed Lip Breathing Pursed lip Breathing merupakan salah satu bentuk latihan otot pernapasan yang menekankan pada proses ekspirasi dengan tujuan untuk mempermudah proses pengeluaran udara yang terjebak oleh saluran napas. Melalui teknik ini, maka udara yang keluar akan dihambat oleh kedua bibir, dan akan menyebabkan tekanan dalam rongga mulut lebih positif yaitu sebesar 5 cm H2O. Latihan pursed lip breathing mampu mengurangi denyut jantung, sesak, memperbaiki volume tidal dan saturasi oksigen pada kondisi istirahat (Gosselink, 2004). Pada pursed lip breathing pasien diminta untuk mengambil nafas melalui hidung selama 2 detik, kemudian diminta untuk mengeluarkan nafas secara perlahan-lahan dengan mengerutkan kedua bibir seperti meniup balon seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
20
http://www.copdfoundation.org/What-is-COPD/Living-withCOPD/Breathing-Techniques.aspx
Prosedur latihan nafas dalam sebagai berikut: 1. Bernafaslah melalui hidung dan rasakan paru-paru dimasuka udara 2. Kerutkan dan rapatkan kedua bibir seperti sedang meniup balon 3. Hembuskan nafas secara pelan-pelan dengan kedua bibir dirapatkan. Tindakan ini membutuhkan waktu dua sampai tiga kali lebih lama dibandingkan saat mengambil nafas 4. Aturlah kecepatan dan frekuensi nafas sesuai dengan tingkat kenyamanan
2.3.2 Pernapasan Diafragma Otot diafragma merupakan otot pernapasan utama. Pada pasien dengan PPOK, otot-otot diafragma tidak berfungsi dengan baik sehingga otot-otot bagian leher, bahu dan punggung digunakan untuk membantu pernapasan. Namun, otot-otot tersebut tidak bisa sepenuhnya membantu dalam mengeluarkan udara. Oleh sebab itu, diperlukan latihan pada otot-otot diafragma untuk dapat melakukan fungsinya secara optimal. Pernapasan diafragma dapat memperkuat kerja diafragma selama pernapasan sehingga meningkatkan asupan oksigen (Gosselink, 2004).
Selama pernapasan diafragma, pasien diminta untuk memindahkan dinding perut terutama pada saat inspirasi untuk mengurangi gerakan tulang rusuk bagian atas. Sebelumnya memulai pernapasan diagragma, pasien terlebih dahulu melemaskan otot bahu dengan satu tangan didada dan satu tangan lainnya diperut. Pasien kemudian diinstruksikan untuk menarik nafas melalui hidung selama sekitar dua detik. Ketika menarik nafas perut harus bergerak ke luar dan bergerak lebih dari
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
21
dada. Selanjutnya pasien diminta untuk mengeluarkan nafas dengan mengerutkan bibir perlahan-lahan seperti pada pernapasan pursed lip breathing. Pernapasan diafragma bertujuan untuk memperbaiki pergerakan dinding dada dan meningkatkan fungsi diafragma selama ventilasi (Gosselink, 2004).
Langkah-langkah melakukan pernapasan diaphragm sebagai berikut: 1. Atur posisi yang nyaman dan rilekskan otot-otot leher dan bahu 2. Taruh satu tangan di atas dada dan satu tangan yang lain di atas tulang iga Gunakan tangan untuk merasakan pergerakan dinding dada 3. Nafaslah dengan lambat dan dalam melalui hidung hingga abdomen terangkat. Jangan biarkan bahu terangkat dan dada mengembang. 4. Hembuskan nafas secara perlahan-lahan dengan mulut dirapatkan seperti sedang meniup lilin. Tekan dengan kuat kea rah dalam dan ke atas pada abdomen sambil mengehembuskan nafas selama 2 kali lebih lama dibandingkan saat menarik nafas.
Gambar 2.2
http://baselinehealth.ca/diaphragmatic-breathing-part-1
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
22
2.3.3 Latihan kekuatan ektremitas atas (arm training program) Latihan kekuatan ektremitas atas (arm training program) dapat dilakukan pasien PPOK untuk membantu menurunkan kebutuhan ventilasi pada lengan saat elevasi dan membantu mampu meningkatkan kekuatan pada saat aktivitas. Latihan kekuatan ektremitas atas bisa mengurangi dispnu dan kelelahan karena penurunan kebutuhan ventilasi dan mengurangi hiperinflasi dinamik (Gigliotti et al, 2005)
Dalam melaksanakan implementasi ke pasien kelolaan dengan PPOK, perawat menggunakan kombinasi antara ketiga jenis latihan pernapasan di atas dan mengacu pada video dari Adult Lung diseases Site Group (2011) yang diperagakan oleh Lorainne Martelli Reid, MN, RN seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3 Gambar 2.3
1. Ambil posisi senyaman dan serileks mungkin. Bisa duduk atau berdiri
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
23
2. Angkat tangan keatas dengan menarik nafas lewat hidung selama tiga detika, kemudia keluarkan melalui mulut sambil bibir seperti bersiul ulangi 5-10 kali tahan
3. Gerakan ke dua yaitu dengan membuka lengan selebar-lebarnya untuk membuka dinding dada sambil menarik nafas melalui hidung kemudian keluarkan nafas melalui mulut dengan posisi mulut bersiul dan tangan dijulurkan ke depan ulangi 5-10 kali
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
24
4. Letakkan tangan di atas bahu kemudian putar kea rah depan sambil menarik nafas melalui hidung dan turunkan kembali ke belakang sambil mengeluarkan nafas dengan mulut bersiul ulangi masing-masing 5-10 kali
5. Angkat bahu ke atas sambil menarik nafas dan turunkan kebawah sambil mengeluarkan nafas masing-masing 5-10 kali
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
25
6. Satukan kedua tangan dibelakang kepala dan pertemukan siku ke depan sambil menarik nafas melalui hidung kemdian buka kembali sambil mengeluarkan nafas
http://www.youtube.com/watch?v=Kp8WK4hFsTs
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB 3 TINJAUAN KASUS KELOLAAN
3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Pasien Pasien bernama Tn.A (59 tahun) datang ke RS Fatmawati pada tanggal 26-052014. Tn.A sehari-sehari bekerja sebagai tukang bengkel dan tinggal di daerah Yogyakarta tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien beragama Islam dan pendidikan terakhir pasien SLTA.
3.1.2 Anamnesis a. Keluhan utama Pasien mengeluh sesak yang semakin memberat sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit dan telah mengeluh sering sesak selama 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dialami pasien dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien juga sering terbangun pada malam hari karena panas dan sesak. Selain gejala sesak, pasien juga mengeluh batuk berdahak dengan dahak berwarna kental berwarna putih selama 4 bulan, suara serak, mual, kadang-kadang muntah, dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dari 55 kg menjadi 43,5 kg selama kurang lebih setahun terakhir (malnutrisi berat).
b. Riwayat kesehatan yang lalu Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil. dan sering kontrol ke dokter untuk pengobatan asma. Pada saat di Jakarta selama kurang lebih 2 bulan, pasien telah beberapa kali pergi ke dokter terutama dokter THT karena keluhan suara serak yang dialaminya. Dokter mengatakan tidak ada masalah dengan THT pasien sehingga pasien dirujuk ke RS Fatmawati untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut. Saat di RS Fatmawati pasien kemudian di diagnosa PPOK dengan efusi pleura dan CHF grade 2 oleh dokter. Menurut pasien, ketika sebelum sakit, ia memiliki riwayat merokok 5-6 batang sampai 1 bungkus perhari selama lebih dari 20 tahun dan baru berhenti semenjak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga memiliki riwayat meminum alkohol selama kurang lebih 10 tahun.
26
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
27
c. Riwayat kesehatan keluarga Ayah Tn.A memiliki riwayat penyakit asma, darah tinggi, jantung, dan DM. Adik kandung pasien meninggal karena menderita penyakit gagal ginjal. Anak perempuan pasien juga memiliki penyakit asma sejak kecil.
d. Aktivitas/istirahat Pekerjaan sehari-hari Tn.A adalah tukang bengkel di Yogyakarta. Semenjak sakit, pasien sudah tidak bekerja dan lebih banyak berdiam di rumah. Pasien juga memiliki kebiasaan naik sepeda setiap minggu. Pasien mengalami masalah dengan pola tidur. Hampir setiap malam semenjak sakit-sakitan pasien sering terbangun pada malam hari karena kepanasan dan sesak dan hanya tidur 2-3 jam pada malam hari. Pada saat pengkajian di RS Fatmawati, pasien sering tidur siang selama kurang lebih satu jam dalam sehari. Pada pengkajian fisik didapatkan TD: 100/80, RR=28 kali, N=96x, S:36,5 oC. Ektremitas dan kekuatan otot dalam kondisi baik, postur tegak, tidak ada fraktur dan deformitas. Kekuatan otot baik. 5555 5555 5555 5555
e. Sirkulasi Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, namun saat ini pasien memiliki penyakit CHF dan PPOK dan terdapat sesak derajat 2 yaitu pasien sesak saat beraktivitas. Pasien tidak mengalami edema dan flebitis. JVP: 5+2 cm H20, CRT <3 detik, tidak ada sianosis. Dari hasil auskultasi jantung didapatkan S1 dan S2 reguler dan lemah, terdapat ronki basah, suara vesikuler kiri menurun. Pengkajian TTV didapatkan TD: 100/80 mmHg, N: 96x, kuat dan dalam, nadi perifer dapat diraba, RR: 28x, cepat dan dangkal S: 36,5oC, tidak ada keluhan kesemutan, baal, varises, dan abnormalitas kuku. Pasien mengeluh batuk dengan dahak kental, hemoptisis tidak ada, klaudikasi tidak ada, tidak ada tanda homan sign, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik, dan terdapat diaforesis pada malam hari.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
28
f. Integritas Ego Pasien mengatakan saat stress lebih banyak dirumah dan mengobati stress dengan memperbaiki peralatan-peralatan rumah yang rusak. Pasien beragama Islam dan mampu menjalankan agama dengan baik. Status mental pasien saat ini tenang dan kooperatif. Selama di rumah sakit, pasien selalu ditunggu oleh istri dan anakanaknya. Komunikasi dan hubungan dengan keluarga pasien cukup baik dan keluarga selalu memotivasi dan merawat pasien dengan baik. Pasien juga tidak ada masalah dengan jaminan pengobatan di RS karena biaya pengobatan ditanggung BPJS.
g. Eliminasi Pasien BAK 3-4 kali sehari, warna urin kuning kecoklatan, dan tidak nyeri saat BAK. Pasien saat ini mendapat terapi lasix oral 1 tablet 3x1 dan melalui intravena 40 mg 2 x1 dalam sehari. Hasil urin tampung pasien per 24 jam berjumlah 1000 ml pada saat perawat melakukan pengukuran. Pasien mampu BAK di kamar mandi dengan bantuan dari keluarga. Kebiasaan BAB pasien satu kali sehari, warna kuning dan konsisitensi lunak. Semenjak masuk RS pasien mengatakan tidak pernah BAB selama 5 hari dan saat ini menggunakan obat laxadin dengan dosis 15 ml sebanyak 3 kali sehari. Hasil pengkajian abdomen teraba lunak, tidak teraba massa, bising usus positif dan tidak ada hemoroid.
h. Makanan dan Cairan Pasien mendapatkan diet jantung 1900 kkal 3 x 1. Pasien mengatakan sering tidak menghabiskan makanan yang diberikan karena merasa mual, terkadang muntah dan tidak ada nafsu makan. Ketika dipalpasi abdomen, pasien mengatakan nyeri di ulu hati skala 5. Selama setahun terakhir, pasien mengalami penurunan berat badan dari 55 kg menjadi 43,5 kg atau penururnan 20,9 % berat badan (kategori malnutrisi berat) dengan tinggi 160 cm. Dari hasil pengkajian head to toe, pasien tampak pucat, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, lidah tampak kuning dan kotor, tidak ada pembesaran tiroid. Berdasarkan pengkajian status cairan didapatkan mukosa oral kering, turgor kulit kering, CRT < 3 detik, tidak ada edema, nadi perifer teraba kuat dan dalam, mata tidak cekung. Pengukuran intake
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
29
cairan tanggal 30-05-14 yaitu 700 cc/24 jam dan output 1100 cc/24 jam sehingga balance cairan sebesar 400 cc (balance negative)
Hasil perhitungan BBI didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:
BBI= 90% x (TB-100) x 1 Kg
BB normal= BBI -+ 10%
= 90% x (160-100) x 1 Kg
= 54 -+ 0,1
= 0,9 x 60 x 1 Kg
= 53,9 Kg-54,1 Kg
= 54 kg IMT= BB/TB2=43,5/160=16,9 (kategori kurang)
Kebutuhan energi Energi basal: 25 x 54 kg = 1350 kkal Koreksi usia: 5% x 1350 kkal= 67,5 kkal Aktivitas: 20% x 1350 kkal= 270 kkal Koreksi BB: 30% x 1350 kkal= 405 kkal Komplikasi: 13% x 1350 kkal= 175,5 kkal Total kebutuhan kalori pasien= Kalori basal - koreksi usia + aktivitas + koreksi BB+Komplikasi Total kebutuhan kalori pasien= 1350-67,5+270+405+175,5= 2133 kkal
Pengkajian Cairan dan Perhitungan Kebutuhan Cairan Kebutuhan cairan berdasarkan BB = BB x 50 cc/24 jam = 43,5 x 50 cc= 2175 cc, namun karena pasien mengalami CHF dan efusi pleura pasien dilakukan pembatasan cairan sesuai IWL IWL Tn.A=15 x BB: 15 x 43,5 cc= 652, 5 cc/24 jam
i. Higiene Aktivitas harian pasien makan, berpakaian, dan toileting bisa dilakukan secara mandiri. Penampilan umum pasien bersih, rapi dan tidak tercium bau tidak sedap.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
30
j. Neurosensori Pasien terkadang mengeluh pusing namun tidak mengganggu aktivitas pasien. Pandangan mata baik, dengan menggunakan alat bantu penglihatan, pendengaran dalam kondisi baik, tidak baal ataupun kesemutan. Kondisi umum baik, tenang, kooperatif, dan refleks masih baik.
k. Nyeri/ketidaknyamanan Pasien mengeluh nyeri ulu hati skala 5. Nyeri terutama muncul pada saat setelah makan. Nyeri bersifat hilang timbul dan lebih terasa saat perut ditekan. Pasien juga sering mengeluh sesak karena terdapat cairan dalam paru (efusi pleura).
i. Pernapasan Pasien sering mengalami sesak terutama waktu sore hari. Pernapasan takipnu yaitu 28 kali, cepat dan dangkal. Pasien mengatakan bahwa ia terkadang mengalami batuk dengan dahak berwarna putih selama 4 bulan. Dada simetris, dari hasil rontgen terdapat efusi pleura pada bagian paru kiri. Dari hasil auskultasi terdapat ronki basah, vesikuler paru menurun, dan bunyi perkusi terdengar suara dullness pada bagian lateral kiri paru, fremutus dada menurun dan tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Pasien menggunakan oksigen melalui nasal kanul 2L/menit. Hasil AGD pada tanggal 28-05-14 menunjukkan pasien mengalami hipoksemia (PO2: 71,3 mmHg, saturasi O2: 93,5%)
j. Keamanan Pasien tidak ada alergi obat namun terdapat alergi seafood. Kekuatan otot baik, tidak ada fraktur ataupun deformitas. Pendengaran dan penglihatan dalam kondisi baik. Integritas kulit kering, tidak ada flebitis dan kemerahan.
k. Interaksi sosial Status perkawinan yaitu pasien telah menikah sejak tahun 1984 dan telah memiliki tiga orang anak. Pasien tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Hubungan pasien dan keluarga cukup baik dan selama ini tidak ada masalah komunikasi. Pasien
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
31
sehari-hari juga aktif berinteraksi dengan masyarakat seperti kegiatan ronda malam bersama warga dan kumpul-kumpul dengan masyarakat sekitar.
l. Kebutuhan penyuluhan Tingkat pendidikan pasien SLTA dan tidak buta huruf. Pasien dan keluarga sudah mengetahui tentang pembatasan cairan pada pasien. Namun belum mengetahui ukuran cairan yang harus dikonsumsi. Pasien juga belum mengetahui diet CHF dan PPOK yang dianjurkan sehingga perlu dilakukan pendidikan kesehatan terkait CHF dan perawatannya.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
32
3.2 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium
Tabel 3.1 Tanggal 28-05-2014
29-05-2014
Jenis Pemeriksaan Analisa Gas Darah PH PCO2 PO2 BP HCO3 Saturasi O2 BE Total CO2 Hematologi Hb Ht Leukosit Trombosit Eritrosit VER/HER/KHER VER HER KHER RDW Basofil Monosit Fungsi Hati SGOT SGPT Albumin Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin GDS Hemostasis APT Kontrol APTT PT Kontrol PT INR
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
7,343 42,1 71,3 750 22,4 93,5 -3,2 23,6
mmHg mmHg mmHg mmHg mmol/l % mmol/l mmol/l
7,370-7,440 35-45 83-108 21-28 95-99 -2,5-2,5 19-24
12,3 30 12,2 786 4,20
g/dl % ribu/ul ribu/ul juta/ul
13,2-17.33 33-45 5-10 150-440 4,40-5,90
92,2 29,3 31,8 13,2 0 7
fl pg g/dl % % %
80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 0-1 2-8
151 146 3,8
u/l u/l g/dl
0-34 0-40 3,40-4,80
77 1,1 110
mg/l mg/l mg/dl
20-40 0,6-1,5 70-140
31,3 31,5 14,9 13,5 1,13
sekon sekon sekon sekon sekon
27,4-39,3 11,3-14,3 -
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
33
Tanggal 02-06-2014
Jenis Pemeriksaan Hematologi Hb Ht Leukosit Trombosit Eritrosit VER/HER/KHER VER HER KHER RDW Hitung Jenis Basofil Eosinofil Netrofil limfosit Monosit Luc Fungsi Hati SGOT SGPT Albumin Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin Eletrolit darah Natrium Kalium Klorida
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
13,1 41 12,5 841 4,42
g/dl % ribu/ul ribu/ul juta/ul
13,2-17.33 33-45 5-10 150-440 4,40-5,90
93,6 29,5 31,6 14,6
fl pg g/dl %
80-100 26-34 32-36 11,5-14,5
0 1 82 5 7 1
% % % % % %
0-1 1-3 50-70 20-40 2-8 <4,5
77 112 110
u/l u/l g/dl
0-34 0-40
111 1,2
mg/l mg/l
20-40 0,6-1,5
137 5,25 94
mmol/l mmol/l mmol/l
135-147 3,10-5,10 95-108
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
34
Tanggal 30-05-2014
30-05-2014
30-05-2014
Jenis Pemeriksaan Kimia Klinik Protein total Albumin Globulin Jantung LDH Elektrolit Natrium Kalium Klorida Kalsium Magnesium Pemeriksaan TBC Adenosine Deaminase (ADA) Cairan pleura Makroskapi Warna Kejernihan Tes revalta Mikroskopi Jumlah sel PMN MN Kimia Protein total (cairan) Protein total (serum) LDH (cairan) LDH (serum) Glukosa (cairan) Rasio protein cairan/serum Rasio LDH cairan/serum Pewarnaan BTA Pewarnaan gram
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
6,4 4,10 2,30
g/dl g/dl g/dl
6-8 3,40-4,8 2,50-3
1119
g/dl
140-300
133 5,05 95 9,70 2,40
mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl
135-147 3,10-5,10 95-108 8,80-10,30 1,30-2,70
14,3
u/l
≤ 30
Biakan negatif
-
-
Kuning Agak keruh Positif
-
Kuning Jernih Negatif
2800 40 60
/ul % %
4,30
g/dl
6,2
g/dl
1205 1180 89 0,69
u/l u/l mg/dl -
1,02 Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Kesean: suspek cairan eksudat
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
35
Hasil pemeriksaan radiologi (26-05-14) Gambar 3.1
Hasil Rontgen dada: cor batas sulit dinilai, kesan membesar, aorta elongasi, hilus suram paru, perselubungan homogen di hemithorax kiri dengan batas garis elips diafragma dan SMRS baik.
Kesan: efusi pleura kiri dengan limfadenopati hilus kiri, supek massa, suspek kardiomegali
Hasil pemeriksaan EKG: Sinus ritme, RBBB (right bundle branch block)
3.2.1 Terapi Medikasi
Tabel 3.2 Nama obat
Dosis
Waktu
Rute
Ambroxol KSR Simvastatin Omeprazole Combivent Pulmicotz Curcuma Hp pro Dulcolax Laxadin Metoclopramide Lasix Cefixime Lasix Ceptriaxone metoclopramide
1 cup 600 mg 20 mg 20 mg 1 respirasi 1 respirasi 200 mg 1 sendok 1 sendok 15 ml 10 mg 1 tablet 100 mg 40 mg 2 gram 1 ampul
3x1 2x 1 1x1 2x1 /8 jam /12 jam 3x1 3x1 3x1 3x1 3x1 1x1 2x1 1x1 2 x1 3 x1
Oral Oral Oral Oral Inhalasi Inhalasi Oral Oral Oral Oral Oral Oral Oral IV IV IV
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
36
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan dan Implementasi PPOK Beberapa rencana asuhan keperawatan pada Tn.A dengan PPOK berdasarkan Doengoes, Moorhouse, & Murr (2011) dijelaskan pada tabel 3.3 Tabel 3.3 No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan/Kriteria Evaluasi
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan bronkonspasme
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan:
-
-
Data subjektif: Pasien mengatakan batuk dengan dahak berwarna putih kental dan berat ketika bernafas
-
Data objektif: - Terdapat ronki basah pada kedua lapang paru, vesikuler paru menurun - RR=28x, cepat dan dangkal
Pasien mampu mempertahankan jalan nafas paten, Bunyi nafas bersih (vesikuler), Menunjukkan perilaku memperbaiki jalan nafas dengan batuk efektif, Tidak ada ronki dan pernapasan dalam dalam batas normal (16-20 x/menit).
Intervensi -
Mandiri Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas, mis., mengi, krekels, ronki.
Rasional -
-
Kaji/pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
-
-
Catat adanya/derajat dispnea, mis., keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan
-
Beberapa derajat bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tak dimanifestasikan adanya bunyi nafas adeventisius, mis., penyebaran, krekels basah (bronkitis); bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); atau tak adanya bunyi nafas (asma berat). Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi. Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, mis.,
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
37
-
-
Pasien mengeluarkan suara serak Batuk (+) Hasil rontgen: terdapat perselubungan homogen di hemithoraks kiri
otot bantu.
infeksi, reaksi alergi.
-
Bantu pasien untuk mengatur posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
-
-
Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
-
-
Dorong/bantu latihan nafas abdomen/diafragma dan dengan pursed lip breatihing Observasi karakteristik batuk, mis., menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
-
Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
-
Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif
-
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distres berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernafas. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada. Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode akut.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
38
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
-
-
2.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
-
Data subjektif: Pasien mengatakan sesak saat beraktivitas, mudah lelah dan terkadang pusing
Data objektif: - Hasil auskultasi terdapat ronki basah - RR= 28 kali, cepat dan dangkal - Suara vesikuler paru
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien menunjukkan - Perbaikan oksigenisasi yang ditandai dengan pernapasan dalam batas normal yaitu 16-20x/menit, - AGD normal (tidak hipoksemia, hiperkapnia, asidosis), - Tidak ada penggunaan otot bantu nafas,
-
-
Kolaborasi Kolaborasi pemberian obat bronkodilator dan mukolitik seperti ambroxol , combivent dan pulmicotz sesuai indikasi Awasi/buat grafik seri AGD, nadi oksimetri, foto dada. Mandiri Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan/toleransi individu.
pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada. -
Merilekskan otot-otot pernapasan, menurunkan kongesti lokal dan menurunkan spasme jalan nafas
-
Membuat dasar untuk pengawasan kemajuan/kemunduran proses penyakit dan komplikasi.
-
Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
-
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea, dan kerja nafas.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
39
-
-
menurun Hasil rontgen: Efusi pleura Hasil AGD: pH: 7,343, PCO2: 42,1 mmHg, PO2: 71,3 mmHg, HCO3: 22,4 mmol/l, saturasi O2: 93,5 % (hipoksemia) Terdapat orthopnea
Melaporkan penurunan sesak, tidak ada sianosis, tidak ada suara ronki. TTV dalam batas normal (TD: 100140/70-90, N:60100x).
-
Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
-
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia. Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan diperlukan jika batuk tidak efektif.
-
Dorong mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan.
-
-
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan.
-
Bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/tertahannya sekret.
-
Palpasi fremitus.
-
-
Awasi tingkat kesadaran/status mental. Selidiki adanya perubahan.
-
Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia. AGD memburuk disertai bingung/somnolen menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan dengan hipoksemia.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
40
-
Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur/istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
-
-
Awasi tanda vital dan irama jantung.
-
-
Kolaborasi Awasi/gambarkan seri AGD dan nadi oksimetri.
-
-
Berikan oksigen tambahan yang sesuai
Selama distres pernafasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea. Istirahat diselingi aktivitas perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat. Takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. PaCO2 biasanya meningkat (bronkitis, emfisema) dan PaO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: PaCO2 “normal” atau meningkat menandakan kegagalan pernafasan yang akan datang selama asmatik. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia. Catatan: Emfisema
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
41
dengan indikasi hasil AGD dan toleransi pasien.
3.
-
Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan berhubungan dengan tindakan keperawatan penurunan ekspansi paru, selama 3 x 24 jam, dan akumulasi cairan pasien menujukkan: (efusi pleura) - Keefektifan pola napas yang ditandai Data subjektif: Pasien mengatakan sesak dengan: dan berat ketika bernafas - Frekuensi nafas dan kedalaman pernapasan dalam Data objektif: - Hasil auskultasi batas normal (RR: 16terdapat ronki basah 20x), - Pernapasan takipnu - Tidak ada (RR= 28 kali) cepat penggunaan otot dan dangkal bantu nafas, tidak ada - Suara vesikuler paru sianosis, menurun, fremitus - Pasien melaporkan dada menurun penurunan sesak. - Hasil rontgen: Efusi - Bunyi nafas bersih pleura (normal) - Terdapat orthopnea - Perkusi paru dullness - Tidak ada retrasi dinding dada, tidak ada penggunaan alat
-
Mandiri Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan serak, dispnea, perubahan tanda vital.
kronis, mengatur pernafasan pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan mungkin dikeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan. -
Distress pernafasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan pendarahan.
-
Auskultasi bunyi napas dan catat bunyi napas tambahan
-
Bunyi napas menurun / tak ada bila jalan napas abstruksi sekunder terhadap perdarahan, bekuan, atau kolaps jalan napas kecil.
-
Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi semi fowler Bantu pasien untuk melakukan batuk efektif dan napas dalam Catat adanya/derajat dispnea, gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan otot bantu, adanya
-
Merangsang fungsi pernapasan atau meningkatkan ekspansi paru Meningkatkan gerakan secret ke jalan nafas, sehingga mudah untuk dikeluarkan Mengetahui tanda awal distress pernapasan dan ekserbasi penyakit
-
-
-
-
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
42
bantu nafas
sianosis
-
-
4.
-
-
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral. Data subjektif: Pasien mengatakan mual, terkadang muntah dan tidak nafsu makan Pasien mengatakan terdapat nyeri ulu hati skala 5 terutama ketika perut ditekan
Data objektif: - BB: 43,5 kg,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien dapat meningkatkan asupan nutrisi adekuat yang dibuktikan dengan: - Pasien mentoleransi diet yang dianjurkan, tidak ada anoreksia, mual, muntah, berat badan dalam batas normal, - Mukosa oral lembab, konjungtiva tidak anemis dan turgor kulit baik.
-
-
Kolaborasi Berikan oksigen tambahan 2L/menit melalui nasal kanul sesuai indikasi
-
Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
-
Membuat dasar untuk pengawasan kemajuan/kemunduran proses penyakit dan komplikasi.
-
Pasien distres pernafasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat. Selain itu, banyak pasien PPOK mempunyai kebiasaan makan buruk, meskipun kegagalan pernafasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori. Sebagai akibat, pasien sering masuk RS dengan beberapa derajat malnutrisi. Orang yang mengalami emfisema sering kurus dengan perototan kurang.
-
Penurunan/hipoaktif bising usus
Monitor hasil AGD
Mandiri Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
Auskultasi bunyi usus.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
43
-
-
-
TB:160 cm, IMT: 16,9 (kurang, LILA: 20 cm Nilai albumin: 3,80 g/dl, globulin: 2,30 g/dl, Hb: 12,3 g/dl Tonus otot baik, mukosa oral kering, kulit kering Mual (+), muntah (-)
menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia. Rasa tak enak, bau, dan penampilan adalah pencegah utama terhadap nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan nafas. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
-
Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
-
-
Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
-
-
Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
-
Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan gerakan diafragma, dan dapat meningkatkan dispnea.
-
Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin. Timbang berat badan
-
Suhu ekstrim dapat memcetuskan/meningkatkan spasme batuk. Berguna untuk menentukan
-
-
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
44
sesuai indikasi.
Kolaborasi Konsul ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah cerna, secara nutrisi seimbang, mis., nutrisi tambahan oral/selang, nutrisi parenteral. Kaji pemeriksaan laboratorium, mis., albumin serum,
-
Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.
-
Mengevaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
-
Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
-
Menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.
-
Kaji tingkat aktivitas yang dapat dilakukaan pasien
-
Pedoman untuk melakukan intervensi dan mengetahui sejauh mana aktivitas yang dapat dilakukan pasien
-
-
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, dispnu saat beraktivitas dan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien akan mencapai peningkatan toleransi
kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi. Catatan: Penurunan berat badan dapat berlanjut, meskipun masukan adekuat sesuai teratasinya edema.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
45
-
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan. Data subjektif: Pasien mengatakan badan terasa lemas, gampang kelelahan dan sesak saat beraktivitas Data objektif: - TD: 100/80, RR:28x, N:96x - Hasil EKG abnormal: RBBB incomplete - Pasien memiliki riwayat dispnue terutama pada malam hari - ADL sebagian dibantu oleh keluarga - Hasil Rontgen: Kardiomegali, efusi pleura - Hb: 12,3 g/dl , AGD: hipoksemia (PO2: 71,3 mmHg, saturasi O2: 93,5%
aktivitas yang dibuktikan dengan: - Menurunnya kelemahan dan kelelalahan saat beraktivitas, - TTV dalam batas normal (TD: 100140/70-90; RR:1620x, N:60-100), - Melaporkan penurunan dispnu atau tidak ada dispnu saat beraktivitas)
-
-
-
-
-
Ajarkan kepada pasien cara menghemat energi ketika melakukan aktivitas hidup seharihari Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi. Selingi periode dengan periode istirahat Beri dukungan dan dorongan pada tingkat aktivitas pasien yang dapat ditoleransi Pantau respon fisiologi termasuk RR, Nadi, dan Tekanan Darah sebelum dan setelah adanya peningkatan aktivitas
-
Tindakan tersebut dapat menurunkan metabolisme selular dan kebutuhan oksigen
-
Untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan mencegah keletihan
-
Untuk membantu pasien membangun kemandirian
-
Untuk meyakinkan bahwa frekuensinya kembali normal beberapa menit setelah melakukan latihan
Sebelum pemulangan, susun suatu rencana dengan pasien dan pemberi asuhan yang memungkinkan pasien melanjutkan berfungsi pada tingkat toleransi maksimum atau untuk secara bertahap meningkatkan toleransi
-
Pertisipasi dalam perencaan dapat mendorong kepuasan dan kepatuhan pasien
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
46
6.
Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer dan malnutrisi Data subjektif: Data objektif: - Pasien post punksi pleura dengan jumlah cairan 500 cc - Leukosit: 12.200/ul, Netrofil: 82%, limfosit: 5%. S: 36,5 O C, kulit kering, pasien memiliki IMT 16,9 (kurang), tes rivalta positif, cairan pleura berwarna keruh - Tidak ada tandatanda bengkak, kemerahan, panas
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, tidak terjadi infeksi yang dibuktikan dengan: - Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi seperti demam, panas, kemerahan, radang dan Nilai leukosit dalam batas normal (500010.000 µl/dL), - Sekret dapat dikelurakan dengan adekuat
-
-
-
-
-
-
-
aktivitas Lakukan cuci tangan dan pertahankan teknik aseptik dalam setiap tindakan Kaji tanda-tanda infeksi seperti demam, peradangan, kemerahan Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan adekuat Observasi warna, karakter dan bau sputum. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang benar ( perawata dank lien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu, wadah sputum Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi Dorong keseimbangan
-
Mengurangi kemungkinan transmisi mikroorganisme
-
Sebagai pedoman awal untuk menentukan terapi Aktifitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran secret untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru
-
-
-
Sekret berbau, kuning dan kehijauan menunjukkan adanya ineksi paru Mencegah penyebaran pathogen melalui cairan
-
Menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius
-
Menurunkan konsumsi
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
47
antara aktifitas dan istirahat
-
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi yang adekuat
-
-
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
-
-
Dapatkan specimen sputum untuk kultur / sensitivitas
-
kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi Dapat diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi. Dilakukan untuk mengidentifikasi organism penyebab dan kerentananterhadapanti microbial.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
48
Implementasi Keperawatan pada Tn.A Tanggal
Diagnosa
30-05-2014
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan bronkonspasme
Implementasi
-
Mengauskultasi bunyi nafas,dan mencatat adanya bunyi nafas tambahan dan frekuensi nafas Mengobservasi adanya cemas, dispnue, distress pernapasan Mengobservasi adanya batuk persisten Mengajarkan klien teknik latihan otot pernapasan dengan pernapasan diagragma dan pursed lip breathing Memperahankan posisi semifowler dan posisi postural drainage
Data subjektif: -
-
Pasien mengatakan batuk dengan dahak berwarna putih kental dan berat ketika bernafas Data objektif: - Terdapat ronki basah pada kedua lapang paru, vesikuler paru menurun - RR=28x, cepat
Evaluasi S: klien mengatakan sering batuk terutama pada sore dan malam hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih kental O: -
Bunyi nafas ronki basah pada kedua lapang paru, klien takipnu RR: 28x.menit, cepat dan dangkal - Klien tampak tenang, tidak ada penggunaan otot-otot bantu nafas, pada saat pengkajian klien tidak mengalami batuk, - Klien mampu melakukan latihan otot pernapsan namun masih belum optimal A: Masalah bersihan jalan nafas tidak efektif belum teratasi P: Lakukan pengaturan posisi postural drainage dengan leaning forward position, Evaluasi status pernapasan, ajarkan batuk efektif
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
49
dan dangkal Pasien mengeluarkan suara serak - Batuk (+) - Hasil rontgen: terdapat perselubungan homogen di hemithoraks kiri Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar -
30-05-2014
-
Data subjektif: Pasien mengatakan sesak saat beraktivitas, mudah lelah dan terkadang pusing
Data objektif: - Hasil
-
Melakukan auskultasi bunyi nafas, kedalaman dan S: klien mengatakan sering sesak frekuensi nafas terutama saat beraktivitas Mengkaji penggunaan otot-otot bantu nafas Memberikan posisi semifowler O: Menganjurkan klien untuk melakukan nafas dalam - Tidak ada penggunaan otot-otot dan pursed lip breathing bantu nafas Mengukut TTV - Bunyi nafas ronki basah pada Mengkaji warna kulit dan membrane mukosa kedua lapang paru, suara Melihat klien dilakukan fungsi pleura versikuler paru menurun Mengukur CRT - TD: 100/80, RR:28x/menit, N:96x, turgor kulit kering, tidak ada sianosis, mukosa kering, caiaran pleura kuning jernih sebanyak 500 cc - Klien mampu melakukan latihan otot pernapasan namun belum
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
50
30-05-2014
auskultasi terdapat ronki basah - RR= 28 kali, cepat dan dangkal - Suara vesikuler paru menurun - Hasil rontgen: Efusi pleura - Hasil AGD: pH: 7,343, PCO2: 42,1 mmHg, PO2: 71,3 mmHg, HCO3: 22,4 mmol/l, saturasi O2: 93,5 % (hipoksemia) - Terdapat orthopnea Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, dan akumulasi
optimal dalam posisi semifowler A: masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi P: pantau hasil AGD, lakukan latihan otot pernapsan, evaluasi dispnu
-
-
Mengauskultasi bunyi nafas, dan mengobservasi pergerakan dinding dada, frekuensi dan kedalaman pernapasan Mengajarkan teknik nafas dalam Menganjurkan klien menggunakan oksigen melalui nasal kanul 2 L/menit Mempertahankan klien dalam posisi semifowler
S: -
Klien mengatakan sering sesak terutama saat beraktivitas Klien mengatakan lebih enak setelah nafas dalam O:
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
51
cairan (efusi pleura)
-
Mengobservasi adanya takipnue, sianosis
-
Bunyi nafas ronki di kedua lapang paru, tidak pergerakan dinding dada, nafas cepat dan dangkal, klien mengalami takipnu dengan RR:28 kali permenit - Klien mampu melakukan nafas dalam, tidak ada sianosis, CRT < 3 detik A: Masalah pola nafas tidak efektif belum teratasi P:Evalusi status pernapasan, ajarkan kembali latihan otot-otot pernapasan, evaluasi kesadaran
30-05-2014
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral, dan dispnu.
-
-
Mengkaji BB, TB, LILA dan resiko malnutrisi pada klien Mencatat dan mengevaluasi pemasukan makanan Mengkaji adanya mual, muntah, dan ketidaknyamanan Menganjurkan klien untuk makan sedikit namun sering dan memotivasi klien agar makan sedikit tapi sering Mengauskultasi bising usus
S: -
-
-
Klien mengatakan mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang Klien mengatakan hanya makan 3 sendok bubur yang disediakan di RS dan tidak mampu mengkonsumsi makanan keras karena batuk Klien mengatakan terdapat nyeri di ulu hati skala 5 O: Klien tampak meringis pada saat
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
52
-
abdomen di palpasi BB: 43,5 Kg, TB:160 cm, IMT:16,9 (kurang), LILA: 20 cm, bising usus: 5x/menit, klien belum BAB selama 4 hari
A: masalah ketidakseimbangan nutris kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi P: Kaji intake makanan harian, evaluasi kondisi mual, muntah, dan ketidaknyamanan, motivasi klien untuk meningkatkan intake makanan Monitor nilai lab terkait nutrisi 30-05-2014
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, dispnu saatberaktivitas dan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
-
Mengkaji tingkat aktivitas yang bisa dilakukan Mengukut TTV Mengevaluasi respon klien saat beraktivitas Menganjurkan klien untuk beraktivitas Menganjurkan klien untuk membantu klien dalam melakukan ADL
S: klien mengatakan sering sesak pada saa beraktivitas O: -
TD: 100/80, RR:28x, N: 96x, S:36 oC Klien masih mampu duduk dan berdiri tanpa bantuan, aktivitas toileting masih dibantu keluarga
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
53
kebutuhan. A: masalah intoleransi aktivitas belum teratasi P: pantau TTV, anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisi adekuat untuk meningkatkan kebutuhan energy 30-05-2014
Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer, prosedur invasif (fungsi pleura) dan malnutrisi
31-05-14
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan
-
-
-
Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan atau pada 5 momen cuci tangan Mempertahankan teknik aseptik pada setiap tindakan Mengkaji tanda-tanda infeksi Menganjurkan klien untuk banyak istirahat Berkolaborasi memberikan antibiotic ceptriaxone 2 gram Mengevaluasi bekas tusukan fungsi pleura terhadap adanya flebitis, pembengkakan
S: -
Memberikan posisi postural drainage dengan leaning forward position (posisi duduk ke depan dengan memegang bantal) Mengevaluasi batuk dan adanya distress pernapasan Mengajarkan klien batuk efektif Melihat hasil rontgen dada Mengevaluasi dispnu
S:
O: Klien tidak mengalami demam (S: 36 oC), tidak ada flebitis A: Infeksi tidak terjadi P: pantau tanda-tanda infeksi, kolaborasikan pemberian antibiotic, evaluasi hasil laboratorium leukosit
Klien mengatakan masih ada batuk namun tidak terlalu sering Klien mengatakan lebih nyaman setelah nafas dalam dan posisi duduk
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
54
bronkonspasme
-
Kolaborasi pemberian mukolitik ambroxol 1 tablet O: -
Data subjektif: -
-
Pasien mengatakan batuk dengan dahak berwarna putih kental dan berat ketika bernafas
-
-
Data objektif: - Terdapat ronki basah pada kedua lapang paru, vesikuler paru menurun - RR=28x, cepat dan dangkal - Pasien mengeluarkan suara serak - Batuk (+) - Hasil rontgen: terdapat perselubungan homogen di hemithoraks
Frekuensi nafas: 24 x, cepat dan dangkal, tidak tarikan dinding dada dan penggunaan otot-otot bantu nafas Klien mampu melakukan batuk efektif sesuai dengan yang diajarkan namun tidak ada dahak Hasil rontgen dada: efusi pleura, hilus suram dan terdapat perselubungan homogeny di hemithorax kiri
A: masalah bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi sebagian P: Anjurkan klien minum air hangat, anjurkan klien melakukan latihan pernapasan yang telah diajarkan, anjurkan klien tetap dalam posisi postural drainage untuk memfasilitasi pengeluaran sekret
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
55
kiri Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
31-05014
-
S: -
Memantau hasil AGD, Mengevaluasi latihan otot pernapsan Mengevaluasi dispnu, ststus pernapasan Mempertahankan klien pada pada posisi semifowler Menganjurkan klien untuk menggunakan O2 untuk mengurangi sesak
Data subjektif: Pasien mengatakan sesak saat beraktivitas, mudah lelah dan terkadang pusing
-
-
-
-
-
Klien mengatakan sesak masih ada terutama kalau jalan jauh namun kalau ke kamar mandi tidak sesak dan saat ini klien tidak sesak Klien mengatakan sudah lebih enak setelah nafas dalam dan latihan nafas Klien mengatakan lebih nyaman dengan posisi kepala ditinggikan Klien mengatakan akan menggunakan selang oksigen jika sesak
O: Data objektif: - Hasil auskultasi terdapat ronki basah - RR= 28 kali, cepat dan dangkal - Suara vesikuler paru menurun - Hasil rontgen:
-
-
RR: 24x, pernapsan dangkal, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Hasil AGD hipoksemia (Ph:7,343; PCO2: 42,1 mmHg; PO2: 71,3 mmHg; HCO3:22,4 mmol/l)
A: masalah gangguan pertukaran gas
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
56
Efusi pleura Hasil AGD: pH: 7,343, PCO2: 42,1 mmHg, PO2: 71,3 mmHg, HCO3: 22,4 mmol/l, saturasi O2: 93,5 % (hipoksemia) - Terdapat orthopnea Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
belum teratasi
-
02-05-14
dan akumulasi cairan (efusi pleura)
P: Pantau TTV, evaluasi status pernapsan dan dispnu, kaji fremitus dada, anjurkan klien banyak beristirahat, lakukan latihan otot pernapsan
-
Evalusi status pernapasan dan adanya dispnu Mengajarkan kembali latihan otot-otot pernapasan, mengevaluasi tingkat kesadaran dan status mental Memberikan posisi semi fowler Melakukan perkusi paru dan pengkajian fremitus Melihat hasi laboratorium pemeriksaan cairan efusi pleura Kolaborasi pemberian combivent melalui sungkup sederhana/8 jam dan pulmicotz/12 jam
S: -
Klien mengatakan saat ini sesak sudah berkurang, terasa enak setelah latihan pernapasan - O: - Dari observasi perawat tidak tampak dispnu, RR:24 kali, cepat dan teratur, perkusi paru masih terdapat dullness, fremitus menurun, iga sedikit melebar - Hasil lab cairan pleura: biakan negative, tes rivalta positif (transudat) A: masalah pola nafas tidak efektif
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
57
teratasi sebagian
P: evaluasi status pernapasan, pertahankan kepatenan selang oksigen, pertahankan posisi semifowler, kolaborasi pemberian combivent dan pulmicotx sesuai indikasi 31-05-14
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral, dan dispnu.
-
Mengkaji intake makanan harian Mengevaluasi kondisi mual, muntah, dan ketidaknyamanan Me motivasi klien untuk meningkatkan intake makanan Melihat nilai lab terkait nutrisi
S: Klien mengatakan masih mual, muntah sudah tidak ada, dan makan sudah lebih banyak dari hari sebelumnya O: - Klien sudah mampu menghabiskan hampir setengah porsi makanan - Nilai lab terkait nutrisi (protein total: 6,4 g/dl, albumin: 4,10 g/dl, globulin:2, 30 g/dl, Hb: 13,1 g/dl) (30-05-14) A: masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
58
P: pantau intake harian, evaluasi kembali status nutrisi, anjurkan klien untuk makan sedikit tapi sering 02-05014
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, dispnu saat -
Memantau TTV Menganjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai toleransi, Menganjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisi adekuat untuk meningkatkan kebutuhan energi Anjurkan klien untuk banyak beristirahat Kaji adanya sesak saat beraktivitas seperti berjalan ke kamar mandi
beraktivitas dan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
S: Klien mengatakan sesak sudah berkurang dan tidak ada sesak ketika berjalan ke kamar mandi O: TD: 100/80, RR:24x, N:80x, S: 36,6 oC, klien tampak tenang dan lebih banyak istirahat dikasur namun sesekali klien duduk di kursi A: Masalah intoleransi aktivitas teratasi sebagian P: pantau TTV, anjurkan meningkatkan asupan nutrisi adekuat, anjurkan klien untuk banyak beristirahat
02-05-14
Resiko infeksi berhubungan dengan
-
Memantau tanda-tanda infeksi, Berkolaborasikan memberikan antibiotik, Mengevaluasi hasil laboratorium leukosit
S: O:
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
59
ketidakadekuatan pertahanan primer,
-
Melakukan cuci tangan dan mempertahankan teknik aseptic sebelum dan sesudah tindakan
prosedur invasif (fungsi pleura) dan malnutrisi
03-06-14
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler alveolar
Tidak ada kemerehan, tidak ada demam, flebitis (-), Hasil leukosit 02-06-14 yaitu 12.000/ul A: Infeksi tidak terjadi P: pantau TTV, pertahankan cuci tangan dan teknik aseptic, kolaborasi pemberian antibiotic sesuai indikasi
-
Menganjurkan klien untuk latihan nafas dalam Mengevalusi keluhan dispnu Memantau TTV Memberikan obat inhalasi combivent dan pulmicotz melalui sungkup muka sederhana evaluasi status pernapsan dan dispnu, Mengkaji fremitus dada anjurkan klien banyak beristirahat dengan posisi semifowler
S: Klien mengatakan sesak berkurang dan enakan setelah nafas dalam. O: TD: 120/90, N: 90x, RR: 22x Klien tampak tenang, nafas biasa, fremitus menurun, klien diinhalasi dengan combivent dan pulmicotz menggunakan sungkup sederhana
A: gangguan pertukaran gas teratasi sebagian
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
60
P: pantau TTV, evaluasi status pernapasan secara berkala, pertahankan kepatenan selang oksigen. Bimbing klien melakukan latihan otot pernapasan 03-06-14
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
-
Mengevaluasi adanya batuk Menganjurkan klien untuk batuk efektif Melakukan auskultasi suara paru Menganjurkan klien untuk melakukan nafas dalam Memotivasi klien untuk teratur minum obat ambroxol yang diberikan
produksi sputum
S: Klien mengatakan batuk sudah tidak ada saat ini, namun batuk muncul pada malam hari, dahak sudah jarang O: Hasil auskultasi paru masih ronki basah, vesikuler paru menurun, klien mampu melakukan nafas dalam dengan baik A: bersihan jalan nafas teratasi sebagian
P: Bantu klien melakukan posisi postural drainage dengan leaning
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
61
forward position, kaji perubahan status pernapasan, batuk dan adanya tanda-tanda distress pernapasan 04-6-14
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
-
-
Mengkaji kembali retraksi dinding dada dan adanya pelebaran ICS dan adanya penggunaan otot-otot bantu nafas Melakukan perkusi paru Menganjurkan klien untuk teteap mempertahankan posisi semifowler
dan akumulasi cairan (efusi pleura)
S: O: Tidak ada retraksi dinding dada, ICS 4-5 melebar, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, nafas cepat dan dangkal A: pola napas tidak efektif teratasi sebagian P: lakukan latihan otot pernapasan, bantu klien memilih posisi yang nyaman dengan semifowler, kaji status pernapasan secara berkala
03-06-14
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral, dan
-
Memantau intake harian Mengevaluasi kembali status nutrisi, Menganjurkan klien untuk makan sedikit tapi sering Kolaborasi pemberian curcuma 300 mg dengan digerus Menimbang BB klien kembali Mengevalusi mual dan muntah
S: Klien mengatakan makan sudah lebih banyak lebih dari setengah porsi dan lebih senang makan yang lunak Klien mengatakan sudah tidak ada
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
62
dispnu.
mual dan muntah O: mukosa oral masih kering, integritas kuli baik, konjungtiva pucat, BB: 43,5 Kg A: Masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi sebagian P: motivasi klien mengkonsumsi makanan adekuat dengan porsi sedikit tapi sering, pantau intake harian, kolaborasi pemberian suplemen vitamin sesuai indikasi
03-06-14
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, dispnu saat
-
beraktivitas dan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.
-
Mengkaji kembali tingkat toleransi aktivitas Mengevaluasi dispnu klien Menganjurkan klien banyak beristirahat Menganjurkan keluarga untuk tetap membantu dan menemani klien Memberikan lingkungan yang nyaman
S: Klien mengatakan saat ini tidak keluhan sesak namun hanya lemas dan tak bertenaga O: Klien makan, minum dan toileting secara mandiri namun tetap dipantau oleh keluarga, dispnu tidak ada A: toleransi aktivitas teratasi
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
63
P: Anjurkan klien untuk lebih banyak beristirahat, pantau TTV, pantau ADL klien 04-05-14
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
-
Memantau TTV, Mengevaluasi status pernapasan secara berkala, Mempertahankan kepatenan selang oksigen Membimbing klien melakukan latihan otot pernapasan Mengevalusi keluhan dispnu
kapiler alveolar
S: Klien mengatakan sudah tidak sesak saat ini, jika sesak teruatama malam hari sehingga klien menggunakan oksigen O: TD: 110/80, N: 92x, RR: 24x S:36 oC, nafas cepat dangkal, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, tidak ada retraksi dinding dada A: masalah gangguan pertukaran gas teratasi sebagian P: pantau TTV, pantau status pernapsan, kolaborasi pemberian terapi inhalasi sesuai indikasi
04-05-14
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
-
-
Membantu klien melakukan posisi postural drainage dengan leaning forward position sambil melakukan latihan otot pernapasan Kaji perubahan status pernapasan, Kaji adanya batuk dan adanya tanda-tanda distress pernapasan
S: Klien mengatakan sudah tidak batuk dan sesak menurun Klien mengatakan lebih nyaman
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
64
produksi sputum
-
Mengevaluasi kondisi paru melalui auskultasi dan perkusi paru
setelah latihan pernapasan O:
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral, dan dispnu.
-
Klien tenang dan kooperatif saat latihan berlangsing - Klien mampu mengikuti latihan otot pernapasan dengan bimbingan perawat - Klien mampu melakukan leaning forward position sambil melakukan latihan nafas kemudian duduk dengan posisi memegang bantal - Suara paru masih ronki (+), vesikuler menurun A: Masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian P: Ajurkan klien untuk sering melakukan posisi postural drainage sesuai toleransi, pantau status pernapasan, anjurkan untuk latihan otot pernapasan secara teratur
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
65
3.4 Evaluasi Keperawatan Hasil eveluasi dari tindakan keperawatan penulis dari masalah keperawatan yang ada pada kasus Tn.A adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus dan bronkonspasme Pada hari pertama perawatan, perawat melakukan auskultasi paru dan terdengar bunyi ronki basah pada kedua paru pasien, frekuensi nafas 28x permenit. Setelah 4 hari perawatan, frekuensi pernapasan pasien menurun menjadi 24x permenit. Perawat sudah memberikan posisi semifowler dan menganjurkan pasien melakukan posisi postural drainage untuk mengeluarkan sekret. Perawat juga sudah berkolaborasi memberikan obat mukolitik berupa Ambroxol 3 x 1. Namun, pada akhir implementasi, bunyi ronki basah pada kedua lapang paru pasien masih terdengar. Walaupun demikian, menurut pasien frekuensi batuk yang sering dikeluhkan sudah menurun. Pasien juga mengungkapkan merasa nyaman setelah nafas dalam dan latihan otot pernapasan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar Pada hari pertama perawatan oleh mahasiswa yaitu tanggal 30-05-14, pasien tampak sesak sehingga menggunakan selang oksigen 2L/menit. Pasien juga mengalami takipnu dengan RR sebanyak 28 kali permenit cepat dan dangkal. Selama sekitar 4 hari perawatan, tindakan yang dilakukan perawat berupa perubahan posisi, mengajarkan batuk efektif, serta kolaborasi pemberian inhalasi dengan combivent 3 x1 hari, pulmicotz 2 x 1 hari serta inhalasi melalui nasal kanul O2 2L/menit, dan terakhir melakukan latihan pernapasan berupa latihan otot pernapasan. Latihan otot pernapasan dilakukan sebanyak 3x latihan sesuai dengan toleransi pasien.
Pada awal latihan, hal yang pertama dilakukan perawat adalah terlebih dahulu melakukan demonstrasi pada pasien dan melakukan pengukuran TTV dengan hasil TD 100/80 mmHg , RR 28 kali/menit, nadi 96 kali/menit. Selanjutnya
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
66
perawat mengajarkan pasien untuk latihan otot pernapasan sesuai dengan teori yang didapatkan oleh perawat diberbagai jurnal. Perawat kemudian mengevaluasi tindakan latihan pernapasan yang telah diajarkan dan hasilnya pasien mampu melakukan latihan otot pernapasan yang diajarkan dengan dilakukan pada posisi semifowler.
Perawat kemudian membuat jadwal rutin untuk latihan otot pernapasan melalui kerjasama dengan keluarga pasien agar memantau pasien dalam melaksanakan latihan otot pernapasan sesuai toleransi. Setelah dilakukan tindakan pernapasan selama 2 hari pasien menunjukkan perbaikan yaitu RR menjadi 24 kali permenit, TD 100/80, N: 80x dan sesak sudah berkurang dan pada tanggal 4 juni 2014 pernapasan pasien masih dalam rentang 24 kali permenit, TD 110/80, N: 92x, tidak ada sianosis dan tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Pasien juga hanya menggunakan selang oksigen tidak sesering sebelumnya dan hanya menggunakan selang tersebut pada saat merasa sesak. Namun demikian, evaluasi AGD yang terakhir belum dilakukan sehingga penulis tidak bisa memberikan eveluasi yang pasti terkait perkembangan pasien. Selain itu tidak menggunakan spirometri sehingga penulis tidak bisa mengukur keefektifan terapi yang diberikan melainkan hanya menilai melalui evaluasi langsung pada pasien.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, dan akumulasi cairan (efusi pleura) Tn.A didiagnosa mengalami efusi pleura. Pada saat pertama mengkaji, perawat melakukan auskultasi dan perkusi bagian paru dan terdengar suara dullness pada lapang paru terutama paru kiri. Perawat juga mengobservasi adanya penumpukan cairan pada paru kiri. Tindakan yang dilakukan perawat hampir sama dengan yang dilakukan pada masalah gangguan pertukaran gas dan bersihan jalan nafas tidak efektif. Pasien akhirnya dilakukan fungsi paru pada tanggal 30-5-14 dan menghasilkan cairan pleura sebanyak 500 cc. Setelah dilakukan fungsi pleura, pasien mengatakan sesak sudah berkurang dan tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
67
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual, penurunan intake oral, dan dispnu. Pada hari pertama perawat mengkaji pasien yaitu tanggal 30-5-20114, pasien mengatakan nafsu makan berkurang, hanya makan 3-4 sendok makanan yang disediakan RS. Pasien juga mengatakan bahwa ia merasa mual dan terkadang muntah sehingga membuat pasien tidak nafsu makan. Berat badan pasien juga mengalami penurunan sejak setahun terakhir yaitu dari 55 kg menjadi 43,5 kg ketika ditimbang pertama kali oleh perawat. Hal yang dilakukan perawat kemudian adalah menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering. Perawat
juga berkolaborasi memberikan
curcuma sebagai 200 mg 3 x 1 pada pasien dengan digerus untuk menghilangkan keluhan anoreksi pasien dan terus memotivasi pasien untuk banyak makan.
Pada hari ke-3 parawatan, keluarga pasien mengatakan sudah makan lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya yaitu hampir setengah porsi dari yang disediakan RS. Pasien juga mengatakan mual sudah berkurang dan akan mencoba untuk mengikuti saran perawat untuk banyak makan dengan porsi sedikit tapi sering. Pada tanggal 3 Juni 2014 perawat menimbang BB pasien kembali dan BB masih 43,5 kg. Mukosa oral pasien juga masih kering, kongtiva pucat.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, dispnu saat beraktivitas dan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan. Intoleransi aktivitas yang dialami pasien selama mahasiswa melaksanakan perawatan selama 6 hari praktik masih belum terselesaikan dengan baik. Pasien hanya bisa melakukan aktivitas yang ringan seperti makan, dan toileting dengan dibantu sebagian oleh keluarga. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh kelemahan dan malnutrisi yang dialami pasien. Hasil EKG terakhir masih abnormal yaitu terdapat RBBB incomplete.
5. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer dan malnutrisi Dari hasil pengkajian perawat, pasien Tn.A memiliki resiko infeksi disebabkan oleh kondisi PPOK yang dialami pasien, malnutrisi, dan adanya sputum kental
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
68
ketika batuk. Tanda-tanda infeksi seperti demam, peradangan, kemerahan tidak ditemukan. Perawat sudah menerapakn 6 cuci tangan, menerapkan teknik aseptik pada setiap tindakan dan berkolaborasi memberikan antibiotik cefixime tablet 2 x 1 oral dan Ceptriaxone 2 gram 2 x 1 melalui IV. Hasil leukosit dan pada tanggal 02-05-15 yaitu 12.500/ul lebih tinggi dibandingkan hasil leukosit pada tanggal 2805-14 yaitu 12.200/ul Walaupun demikian, tanda-tanda infeksi yang lain seperti demam (suhu 36,5 oC), kemerahan, rasa panas, nyeri terutama pada luka post fungsi pleura, pada akhir perawatan oleh penulis tidak ditemukan.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB IV ANALISIS SITUASI
4.1 Profil Lahan Praktik Rumah Sakit Fatmawati merupakan rumah sakit tipe A di Jakarta Selatan. Rumah sakit ini memiliki beberapa ruang perawatan salah satunya yaitu ruang Teratai lantai V Selatan. Ruang lantai V Selatan merupakan ruang khusus penyakit dalam kelas III yang sering digunakan sebagai wahana praktik baik bagi mahasiswa keperawatan maupun mahasiswa kesehatan lainnya. Lantai V selatan terdiri dari 46 tempat tidur dengan dua kamar khusus untuk isolasi pasien laki-laki dan perempuan dan satu ruangan HCU. Perawat berjumlah 31 orang termasuk kepala ruangan dan ketua tim
serta wakil kepala ruangan. Jumlah perawat yang
berpendidikan S1 pada tahun 2014 sebanyak 11 orang dan DIII sebanyak 18 orang. 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan merupakan suatu bagian integral dari pelayanan asuhan keperawatan khususnya keperawatan komunitas yang berfokus pada masalah kesehatan perkotaan untuk mencapai status kesehatan yang optimal mulai dari individu, keluarga dan kelompok (Depkes RI, 2006). Urban health (kesehatan masyarakat perkotaan) sebagai salah satu aspek kajian ilmu keperawatan komunitas menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji. Urban health ini dikarakteristikkan dengan adanya hubungan antara lingkungan dengan kesehatan populasi masyarakat perkotaan (Allender, 2001). Penerapan konsep KKMP ini bisa diterapkan diberbagai area salah satunya yaitu area klinik yaitu rumah sakit dengan tujuan mencegah munculnya penyakit dan meningkatkan status kesehatan masyarakat perkotaan.
Penyakit PPOK erat kaitannya dengan masalah perkotaan. Kejadian PPOK disebabkan oleh berbagai faktor yang dikelompokkan menjadi faktor lingkungan, pejamu, dan perilaku (Depkes RI, 2008). Adapun kejadian PPOK diperkotaan menurut Halvorsen dan Martinussen (2014) selain karena kebiasaan merokok 69
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
70
disebabkan polusi baik indoor ataupun outdoor seperti gas buangan kendaran bermotor, limbah industri, terpapar debu dan asap di tempat kerja, gizi buruk, dan kesenjangan ekonomi di wilayah perkotaan. Munculnya penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di wilayah perkotaan juga merupakan salah satu indikator terhadap kesehatan lingkungan di wilayah perkotaan (Monteiro et al, 2012).
Faktor resiko PPOK pada kasus pasien Tn.A jika dilihat dari aspek perkotaan yaitu salah satunya disebabkan oleh paparan polusi udara di lingkungan tempat tinggal Tn.A yang berada di pusat kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta menurut hasil penelitian Suparwoko dan Firdaus (2007) termasuk kota dengan tingkat pencemaran udara yang cukup tinggi dan telah melewati ambang batas. Pasien Tn.A tinggal di Kota Yogyakarta selama kurang lebih 30 tahun sehingga kemungkinan Tn.A terpapar oleh polusi gas buangan dari kendaraan bermotor di kota besar cukup tinggi.
Menurut Tugaswati (2000) sejumlah senyawa spesifik yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor seperti oksida sulfur dan nitrogen, partikulat dan senyawasenyawa oksidan, dapat menyebabkan iritasi dan radang pada saluran pernafasan. PPOK yang dialami pasien Tn.A juga semakin diperparah dengan paparan polusi udara di Kota Jakarta sebagai kota tempat tinggal Tn.A selama kurang lebih 2 bulan. Walaupun dalam jangka waktu yang singkat, menurut penelitian Sin et al (2008) paparan singkat terhadap polusi udara meningkatkan resiko eksaserbasi pada PPOK. Selama kurang lebih 2 bulan tinggal di DKI Jakarta, PPOK pasien Tn.A juga bisa diperparah dengan paparan polusi di DKI Jakarta sebagai kota dengan pencemaran udara terburuk ketiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) DKI Jakarta kadar polutan di DKI Jakarta sudah melampau ambang batas. Begitupun dengan dua kota besar lainnya yaitu Semarang dan Yogyakarta (Suryanto, 2012).
Lingkungan tempat kerja juga mempengaruhi percepatan kejadian PPOK pada Tn.A. Pekerjaan Tn.A sebagai seorang tukang bengkel menyebabkan Tn.A sering
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
71
terkena paparan debu atau polusi asap dari kendaraan bermotor. Telah banyak penelitian menyebutkan bahwa lingkungan pekerjaan yang mengandung paparan debu, gas atau polusi memiliki hubungan yang kuat terhadi berkembangnya PPOK (Monteiro et al, 2014). Anderson et al (2010) juga menyebutkan bahwa polusi udara seperti asap kendaraan bermotor, gas biomasa, dan asap rokok merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian PPOK namun masih belum banyak bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara keduanya. Hasil penelitian Long (2002) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara paparan polusi udara dengan kejadian PPOK dengan keofesien korelasi p<0,001.
Kondisi sosial ekonomi keluarga Tn.A juga mempengaruhi pilihan gaya hidup Tn.A. Pasien Tn.A di Yogyakarta hanya bekerja sebagai tukang bengkel dan terkadang tidak menetap. Kondisi ekonomi keluarga yang tergolong menengah kebawah secara tidak langsung mempengaruhi kondisi kesehatan seperti kondisi rumah, kecukupan ventilasi, status nutrisi, dan kebiasaan merokok yang cenderung lebih tinggi pada individu dengan golongan ekonomi menengah ke bawah (Monteiro et al, 2014). Lingkungan rumah Tn.A pada kasus masih belum terkaji sehingga gambaran umum terkait sanitasi lingkungan tidak bisa dijelaskan. Namun menurut keluarga, Tn.A sering membawa perabotan-perabotan rusak untuk diperbaiki di rumah sebagai tambahan penghasilan keluarga. Menurut istri pasien, Tn.A juga jarang menggunakan masker ketika bekerja. Debu dan partikel-partikel yang terdapat diperabotan tersebut bisa
kemungkinan sering
terhirup oleh pasien sehingga mengganggu fungsi pernapasan (Oemiati, 2013). Selain itu, telah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara kepadatan perabotan rumah tangga dengan meningkatkan kejadian PPOK (Monteiro et al, 2012).
Faktor yang menjadi penyebab utama PPOK pada Tn.A yaitu karena kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok berkaitan dengan gaya hidup perkotaan. Tn.A memiliki riwayat merokok lebih dari 20 tahun sebanyak hampir satu bungkus perhari. Kebiasaan merokok yang sudah lama dilakukan oleh Tn.A menyebabkan Tn.A memiliki faktor resiko yang besar untuk mengalami PPOK. Menurut Clerk
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
72
(1999) untuk mengidentifikasi adanya kesenjangan keadaan kesehatan pasien terutama didaerah perkotaan dapat dilihat dari pengaruh dimensi perilaku seperti kebiasaan merokok atau perilaku lainnya yang berdampak pada masalah kesehatan. Dalam kasus Tn.A, kesenjangan yang terjadi lebih cenderung pada dimensi perilaku yaitu kebiasaan merokok yang mungkin disebabkan oleh faktor stress, pengaruh lingkungan sekitar atau kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan psikologis dengan merokok.
Menurut WHO (2007) kebiasaan merokok merupakan faktor utama terjadinya 90% kasus PPOK di dunia. Tingginya kadar oksidan pada rokok menyebabkan terjadinya proses inflamasi pada parenkim paru dan saluran udara. Penelitian menunjukkan pada perokok ditemukan adanya inflamasi kronik dan adanya perbedaan sel-sel inflamasi pada paru yang meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera dan proses perbaikan yang berulang sehingga merusak struktur paru (Laborin, 2009). Telah banyak yang meneliti hubungan kuat antara kebiasaan merokok dengan berkembangnya PPOK seperti pada penelitian Widodo (2009) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasan merokok dengan kejadian PPOK (p<0,05).
Selain karena faktor lingkungan dan faktor perilaku, PPOK pada Tn.A juga bisa karena faktor pejamu seperti jenis kelamin, usia, genetik dan riwayat penyakit pernapasan yang juga berpengaruh terhadap kejadian PPOK (Oemiati, 2012). Kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol seperti yang dilakukan oleh Tn. A identik dengan jenis kelamin. Laki-laki memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi rokok atau alkohol lebih tinggi dibandingkan perempuan (Maurer & Smith, 2010) sehingga kejadian PPOK cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini sesuai dengan data Riskesdas (2013) bahwa laki-laki yang menderita PPOK lebih sebesar yaitu 4,2% dibandingkan perempuan sebesar 3,3%.
Usia Tn.A 59 tahun 8 bulan termasuk dalam kategori usia dewasa akhir. Semakin tinggi usia seseorang, resiko untuk terkena PPOK semakin meningkat. Hal
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
73
tersebut berkaitan dengan semakin menurunnya fungsi paru pada usia yang lebih tua (Stav & Raz 2007). Depkes RI (2008) juga menyebutkan bahwa seorang individu yang berusia diatas 45 tahun cenderung lebih banyak menderita PPOK. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian Lestari (2000) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kelainan faal paru tenaga kerja. Data Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa PPOK paling banyak diderita oleh individu usia diatas 15 tahun dan persentasenya terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Selain PPOK, penyakit penyerta lain yang menyebabkan menurunnya toleransi aktivitas dan kualitas hidup Tn.A yaitu adanya penyakit asma yang sudah diderita pasien sejak kecil. Tn.A sendiri memiliki keluarga yaitu ayah Tn.A dengan penyakit asma. Diperkirakan lebih dari 40% pasien dengan PPOK menderita riwayat asma. Asma juga diperkirakan merupakan faktor resiko terhadap berkembangnya PPOK. Selain itu, pasien yang memiliki penyakit PPOK dan asma sekaligus memiliki faktor resiko terhadap perburukan penyakit (eksaserbasi) dibandingkan dengan hanya menderita PPOK atau asma saja (Marco et al, 2013).
Berdasarkan hasil anamnesa penulis, didapatkan beberapa gejala PPOK yang dialami Tn.A yaitu pasien sering mengeluh sesak terutama setelah beraktivitas sehingga pasien Tn.A terkadang menggunakan selang O2 untuk mengurangi sesak. Dari hasil pemeriksaan fisik, penulis juga mendapatkan Tn.A mengalami takipnu dengan frekuensi nafas sebanyak 28 kali permenit dengan pernapasan cepat dan dangkal dan auskultasi paru terdengar ronki basah dan suara vesikuler paru menurun pada kedua palang paru (bilateral). Masalah utama yang menjadi fokus penulis adalah bersihan jalan nafas yang tidak efektif pada Tn.A. Hal tersebut terjadi karena bronkospasme pada saluran nafas disertai adanya inflamasi sistemik dan perubahan pada saluran udara proksimal dimana sel yang memproduksi mukus (sel epitel goblet dan kelenjar mukus) ukurannya semakin membesar). Akumulasi mukus ini juga sering ditemukan pada lumen-lumen saluran udara yang berukuran kecil sehingga memperparah sumbatan aliran udara. Produksi mukus yang berlebihan sering disertai dengan batuk kronik seperti yang
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
74
dialami oleh Tn.A pada kasus yang sudah mengalami batuk selama 4 bulan. Batuk pada dasarnya merupakan mekanisme untuk membersihkan saluran udara (Smith & Woodcoks, 2006). Hipersekresi mukus pada Tn.A juga ditandai dengan adanya bunyi ronki yang terdengar pada saat auskultasi. Oleh sebab itu, Tn.A pada kasus diberikan agen mukolitik berupa Ambroxol. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi sputum yaitu latihan batuk efektif sehingga mengurangi mukus dan menfasilitasi pembersihan saluran nafas. Postural drainage dengan posisi pasien menunduk ke arah depan sambil memegang bantal (forward leaning position) juga dilakukan untuk mempermudah pengeluaran sekret.
Masalah selanjutnya yaitu adanya gangguan pertukaran gas pada Tn.A. Mekanisme gangguan pertukaran gas yang dialami Tn.A terjadi karena keadaan ventilasi dan perfusi yang abnormal/tidak seimbang yang disebabkan oleh perubahan pada alveolus paru. Disisi lain, penyempitan bronkus menyebabkan ketidakadekuatan ventilasi paru sehingga tidak dapat menjangkau area paru yang harusnya mendapatkan perfusi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi inilah yang menyebabkan pasien mengalami hipoksemia. Sebagai akibat dari peningkatan kebutuhan ventilasi, kerja pernapasan juga akan semakin meningkat untuk meningkatkan ventilasi dalam rangka mempertahankan kebutuhan oksigen (Hodgkin, Celli, & Connors, 2009). Keadaan ini dibuktikan dengan Hasil AGD Tn.A pada tanggal 28-05-14 juga menujukkan adanya hipoksemia yaitu PO2 73,1 mmHg dan Saturasi O2 93.5%. Selain itu, adanya produksi sputum yang berlebihan, penyempitan saluran nafas, dan adanya iritasi pada jalan nafas menyebabkan adanya masalah pada gangguan pola nafas Tn.A Mekanisme terjadinya dispnea pada Tn.A disebabkan oleh beberapa faktor seperti peningkatan beban mekanik otot-otot inspirasi intriensik akibat adanya hiperinlasi dinamis, peningkatan restriksi mekanik dinding dada misalnya karena penurunan komplien paru oleh adanya efusi pleura pada Tn.A, kelemahan otot-otot fungsional inspirasi, peningkatan kebutuhan ventilasi, gangguan pertukaran gas dan adanya gangguan kardiovaskuler seperti CHF yang dialami Tn.A saat ini.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
75
Kondisi dispnu disertai dengan kelemahan secara umum menjadi pemicu penurunan intoleransi aktivitas pada Tn.A (Gosselink, 2004). Kelemahan dan penurunan berat badan yang terjadi pada Tn. A seringkali menjadi dampak sistemik dari PPOK. Perubahan pada pemasukan oral, peningkatan laju metabolisme basal dan penurunan komposisi tubuh seringkali diobservasi secara klinis melalui penurunan berat badan. Banyak para ahli menyebutkan bahwa pasien-pasien yang mengalami PPOK mengalami penurunan berat badan dari 10%-15% pada PPOK ringan hingga sedang dan mencapai 50% pada PPOK berat. Selain itu, penurunan masa otot dan kehilangan lemak juga menjadi faktor utama yang menyebabkan penurunan berat badan pada pasien PPOK ditambah dengan adanya inflamasi sistemik dan peningkatan laju metabolisme pada PPOK (Hodgkin, Celli, & Connors, 2009).
Resiko penyebaran Infeksi pada Tn.A juga semakin tinggi disebabkan adanya faktor-faktor seperti peningkatan produksi sputum, kondisi malnutrisi serta inflamasi sistemik yang umum terjadi pada pasien PPOK. Pada pasien dengan PPOK mediator inflamasi seperti neutrofil, limfosit dan makrofag pada dinding bronkus cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya respon inflamasi yang meluas
(sistemik)
sehingga
menyebabkan
edema
pada
saluran
nafas,
bronkospasme, peningkatan produksi sputum, merusak epitel, menurunkan fungsi silia dan penurunan kemampuan fagosit menyebabkan infeksi lebih mudah terjadi. Kolonisasi dan infeksi kronik pada saluran nafas disertai dengan hipoksia pada jaringan paru memicu kerusakan paru secara progresif sehingga faal paru semakin memburuk. Kondisi malnutrisi akibat peningkatan kebutuhan metabolisme juga berdampak negatif terhadap sistem imun. Hal ini menyebabkan resiko eksaserbasi oleh infeksi yang baru semakin meningkat (Toraldo, Nuccio, & Scoditti, 2013). Tanda-tanda infeksi pada Tn.A dapat dilihat dari nilai leukosit yaitu 12.500 µL. Adapun tanda-tanda infeksi yang lain seperti demam tidak ditemukan pada Tn.A. Walaupun demikian, perawat perlu untuk terus memantau tanda-tanda infeksi serta berkolaborasi memberikan antibiotik untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi pada Tn.A.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
76
Efusi pleura yang dialami Tn.A juga menyebabkan meningkatnya sesak dan batuk pada Tn.A akibat penumpukan cairan di rongga pleura. Oleh sebab itu, Tn.A menjalani punksi pleura untuk mengeluarkan cairan pleura yang berlebihan. Tes rivalta pada Tn.A menunjukkan nilai positif yang menandakan bahwa cairan tersebut merupakan jenis eksudat yaitu ektravasasi cairan ke dalam jaringan atau kavitas yang biasanya disebabkan oleh inflamasi bakteri atau tumor yang mengenai permukaan pleura (Smeltzer & Bare, 2010). Hal tersebut terjadi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik (Smeltzer & Bare, 2010).
Mekanisme terjadinya efusi pleura pada Tn.A kemungkinan disebabkan oleh PPOK yang sudah lama di derita pasien, CHF atau dari kegananasan yang lain. Peradangan pada PPOK bisa terjadi akibat rusaknya alveolus dekat pleura parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Efusi pleura pada Tn.A disebabkan oleh peradangan yang menyebabkan permaebelitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Dari hasil analisis cairan pleura dan pemeriksaan rontgen dada didapatkan efusi pleura Tn.A yaitu efusi pleura kiri, dan merupakan jenis cairan eksudat. Hasil pembiakan bakteri pada analisis cairan pleura pada Tn.A menunjukkan nilai negatif. Menurut Adam (2009) efusi pleura kiri dengan jenis cairan eksudat umumnya terjadi pada efusi pleura oleh adanya keganasan (neoplasma). Adapun efusi pleura yang disebabkan oleh bakteri umumnya ditemukan adanya bakteri baik aerob dan anaerob. Sedangkan efusi pleura karena CHF umumnya terjadi pada efusi pleura bilateral dan umumnya terjadi pada sisi kanan.
Dalam kaitannya dengan masyarakat perkotaan, sesuai dengan teori self care Orem, perawat berperan dalam memfasilitasi Tn.A dan keluarganya agar mampu memenuhi kebutuhan Tn.A secara mandiri sesuai dengan kemampuan pasien. Dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri Tn.A perawat bisa bekerjasama dengan keluarga pasien sebagai sistem pendukung pasien dalam proses perawatan.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
77
Sebagai contoh kebutuhan penyediaan makanan yang sehat, keamanan lingkungan, kebersihan udara dan sebagainya (Maurer & Smith, 2010).
Perawat juga berperan untuk mencegah atau mengurangi perburukan penyakit PPOK melalui pencegahan primer, sekunder dan tertier sesuai dengan teori Betty Neuwman. Pada tahap pencegahan primer, perawat berfokus pada peningkatan pertahanan tubuh melalui identifikasi faktor-faktor resiko yang potensial dan aktual terjadi akibat stresor tertentu. Pencegahan sekunder berfokus pada penguatan pertahanan dan sumber internal melalui penetapan prioritas dan rencana pengobatan pada gejala-gejala yang tampak sedangkan pencegahan tersier berfokus pada adaptasi kembali dan memberikan penguatan pertahanan tubuh terhadap stresor melalui pendidikan kesehatan (Potter & Perry, 2009).
Pada kasus Tn.A, berdasarkan identifikasi penulis, masalah PPOK yang dialami Tn.A, perlu mendapatkan intervensi pencegahan tersier melalui pendidikan kesehatan. Bentuk edukasi yang diberikan bisa berupa edukasi terkait perawatan PPOK penggunaan obat-obatan, penggunaan oksigen, penjelasan tanda dan gejala eksaserbasi,
diet
PPOK,
menghindari
pencetus
eksaserbasi,
dan
cara
menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas salah satunya dalam bentuk program rehabilitasi paru berupa latihan otot pernapasan (PDPI, 2003). Topik-topik edukasi tersebut perlu dijelaskan pada Tn.A mengingat dari hasil pengkajian perawat, pasien masih belum mengetahui cara perawatan PPOK seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
4.3 Analisis Intervensi Latihan Otot Pernapasan dengan Konsep dan Penelitian Terkait Rehabilitasi paru merupakan salah satu program yang sering digunakan pada pasien dengan PPOK yang terdiri dari berbagai bentuk perawatan untuk meningkatkan status fisik dan kemandirian pasien. Setiap pasien yang mengalami kesulitan bernafas yang disebabkan oleh PPOK seringkali mengalami keterbasan fungsional sehingga mengganggu aktivitas harian. Program rehabilitasi paru diindikasikan pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan kronik yang
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
78
ditandai dengan gejala-gejala yang persisten, penurunan kemampuan latihan, dispnu, nutrisi kurang, dan penurunan toleransi aktivitas. Tidak ada kriteria khusus dari pelaksnaan program rehabilitasi paru baik pada kasus PPOK ringan maupun berat namun sangat bergantung pada tingkat toleransi masing-masing individu (Hodgkin, Celli, & Connors, 2009).
Salah satu bentuk program rehabilitasi paru yaitu dengan melakukan latihan otototot pernapasan. Latihan otot pernapasan ini diindikasikan pada pada pasienpasien yang mengalami PPOK yang disertai dengan gejala dispnu dan berguna untuk meningkatkan ventilasi alveolar secara maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, mengurangi penggunaan otot pernapasan, dan mengurangi kerja pernapasan (Smeltzer & Bare, 2010). Berdasarkan hasil pengkajian Tn.A pada kasus didapatkan bahwa pasien sering mengeluh sesak terutama saat beraktivitas, terdapat peningkatan frekuensi pernapasan dan mengalami kelemahan sehingga pasien diindikasikan untuk melakukan latihan otot pernapasan.
latihan otot pernapasan tidak diindikasikan pada pasien-pasien dengan kondisi medis akut, pasien yang menjalani pembedahan, pasien yang tidak kooperatif, penurunan kesadaran, nyeri atau ketidaknyamanan, masalah kardiovaskuler yang tidak stabil, penyakit terminal, dan pasien dengan gangguan kognitif dan psikiatrik (Hill, 2006; Smeltzer & Bare, 2010). Berdasarkan hasil pengkajian penulis, Tn.A tidak memiliki kontraindikasi untuk tidak dilakukannya tindakan. Tn.A kooperatif, tidak mengalami nyeri, TTV dalam batas stabil, tonus otot dalam keadaan baik, tidak ada gangguan neurosensori. Walaupun klien didiagnosa menderita CHF, namun tidak mengganggu toleransi klien sehingga klien mampu melakukan latihan otot pernapasan sesuai instruksi penulis.
Pengkajian yang perlu dilakukan perawat sebelum melakukan latihan berupa penilaian
tingkat
toleransi
pasien
misalnya
dengan
mengukur
TTV,
mengobservasi tingkat kesadaran dan kekuatan, memastikan tidak ada nyeri,
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
79
gangguan neurosensori, spinal injury, hipertensi pulmonal, dan tidak ada gangguan muskoloskeletal (UTMB, 2005; Hill, 2006).
Latihan otot pernapasan ini terdiri dari beberapa teknik yaitu ekspirasi aktif, pernapasan dalam dan lambat (slow and deep breathing), pursed lip breathing, terapi relaksasi, perubahan posisi seperti posisi condong kedepan (forward leaning), latihan otot-otot inspirasi-ekspirasi, dan pernapasan diafragma. Tujuan dari latihan ini yaitu untuk memperbaiki ventilasi dan pertukaran gas, mengurangi hiperinflasi dinamik, memperbaiki fungsi otot pernapasan, mengurangi dispnu dan memperbaiki toleransi latihan (Gosselink, 2004).
Pada latihan pertama dan kedua yaitu tanggal 31-05-2014 dan 2-05-24 perawat hanya menggunakan kombinasi pursed lip breathing dengan pernapasan diafragma tanpa disertai gerakan otot-otot lengan atas. Namun, pada latihan otot pernapasan yang ketiga perawat melakukan ketiga kombinasi antara pursed lip breathing dengan pernapasan diafragma disertai dengan gerakan otot-otot lengan atas dan elevasi otot-otot bahu. Efektivitas latihan otot pernapasan yang dilakukan menurut UMTB (2005) dapat dilihat melalui evaluasi subjektif dan objektif. Evaluasi subjektif Tn.A yaitu Tn.A mengungkapkan penurunan derajat sesak setelah tindakan dilakukan sementa evaluasi objektif seperti hasil AGD, X-ray dan data-data penunjang lainnya tidak dilakukan pemeriksaan sehingga penulis belum mampu menilai efektivitas latihan sepenuhnya.
Tindakan pursed lip breathing pada pasien Tn.A dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan posisi pasien duduk ditempat tidur dan duduk dikursi yang dikombinasikan dengan pernapasan diafragma.
Perawat terlebih dahulu
mendemonstrasikan tindakan yang akan dilakukan pada pasien kemudian meminta pasien melakukan latihan pernapasan yang telah diajarkan oleh perawat. Selama proses tindakan berlangsung, pasien mampu melakukan pursed lip breathing namun untuk pernapasan diafragma masih belum optimal dilakukan. Setelah melakukan pursed lip breathing yang dikombinasikan dengan latihan
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
80
nafas dalam dan pernapasan diafragma pasien Tn.A tampak lebih rileks dan mengatakan bahwa lebih nyaman dan sesak berkurang. Keefektifan melakukan pursed lip breathing ini telah diteliti oleh Widowati (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kualitas hidup pasien PPOK pada kelompok yang melakukan pursed lip breathing dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukan pursed lip breathing dalam periode satu tahun khususnya pada penurunan gejala sesak (dispnu) yang dialami pasien. Penelitian tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Faager, Stâhle, & Larsen (2008) yang menunjukkan bahwa latihan pursed lip breathing mampu meningkatkan toleransi aktivitas pasien dan mengurangi desaturasi oksigen selama berjalan pada pasien PPOK sedang hingga berat. Latihan diafragma juga dilakukan penulis pada Tn.A selama kurang lebih 2 menit sama seperti pursep lip breathing karena dilakukan secara bersamaan. Latihan diafragma merupakan salah satu bentuk latihan otot pernapasan spesifik dengan tujuan untuk menggunakan dan menguatkan diafragma selama pernapasan (Smeltzer & Bare, 2010). Keefektifan latihan diafragma ini telah diteliti oleh Fernandes, Cukier, & Feltrim, (2011) dengan menggunakan AGD, radiograpi dada,
plethysmography dan
visual
analogue scale.
Penelitian tersebut
menggunakan 25 pasien dengan PPOK sedang dan berat yang dimonitor setelah melaksanakan latihan diafragma selama 2 menit dari 4 menit yang dianjurkan. Penelitian tersebut menunjukkan terjadi penurunan derajat sesak, peningkatan volume tidal paru, dan penurunan frekuensi pernapasan serta meningkatkan ventilasi dan saturasi oksigen. Hal ini juga didukung dengan penelitian Nusdwinuringtyas (2000) di RSCM dimana terjadi peningkatan kekuatan otot ekspirasi, penurunan derajat sesak dan peningkatan kemampuan berjalan pada kelompok yang diberi latihan otot-otot pernapasan dengan pursep lip breathing dan pernapasan diafragma. Dalam pelaksanaan latihan diafragma pada pasien Tn.A, perawat menemui kendala yaitu perawat masih sulit dalam melakukan inspeksi terkait pergerakan dinding abdomen pasien ketika melakukan pernafasan diafragma. Hal tersebut terjadi karena pengalaman penulis masih sangat kurang dan masih belum
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
81
mengetahui teknik yang tepat dalam menilai efektifitas pernapasan diafragma selain dengan inspeksi langsung. Selain itu, karena pursed lip breathing dan pernafasan diafragma dilakukan secara bersamaan dengan diikuti pergerakan pada lengan atas sehingga penulis tidak terlalu fokus memperhatikan pergerakan dinding abdomen pasien. Kekurangan penulis yaitu penulis tidak memberikan leaflet terkait edukasi latihan otot pernapasan yang telah diberikan. Media edukasi penting diberikan perawat kepada pasien sehingga materi edukasi yang sudah diberikan bisa diteruskan pasien ketika di rumah. Menurut Potter dan Perry (2009), perawat berperan untuk meningkatkan pemahaman pasien. Media kesehatan seperti leaflet perlu diberikan kepada pasien untuk meningkatkan perilaku kesehatan dan memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanggung jawab terhadap masalah kesehatannya. Sejauh observasi penulis, pasien Tn.A sudah mampu melaksanakan teknik latihan diafragma dan pursed lip breathing dengan baik walaupun belum maksimal dan waktu pelaksanaan program latihan pernapasan terlalu singkat untuk mencapai hasil yang optimal. Namun, walaupun waktu yang digunakan untuk intervensi cukup singkat, pasien dapat merasakan dampak dari latihan otot pernapasan misalnya dengan berkurangnya keluhan sesak pada pasien. Selain memberikan latihan otot-otot pernapasan, perawat juga selalu memberikan anjuran pada pasien untuk mempertahankan posisi semifowler untuk mengurangi sesak. Perawat juga mengajarkan dan menjelaskan pada pasien terkait leaning forward position yaitu posisi duduk dengan kepala dan punggung condong kedepan dengan dinding dada posisi kepala bersandar pada kedua lengan sambil memegang bantal. Menurut pasien, ia lebih nyaman dengan posisi tersebut. Menurut Gosselink (2004), leaning forward position ini mampu memperbaiki fungsi diafragma dan memperbaiki pergerakan dinding dada, mengurangi penggunaan otot-otot bantu nafas serta mampu mengurangi sasak.
Berikut prosedur latihan otot pernapasan yang dapat dilakukan pada pasien PPOK menurut Smaltzer dan Bare (2010) a. Latihan Pursed Lip Breathing
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
82
Tujuan: Untuk memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan nafas selama ekspirasi dengan demikian mengurangi jumlah udara yang terjebak dan jumlah tahanan jalan nafas 1. Hirup napas melalui hidung sambil menghitung sampai 3 2. Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen (merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal, menghembuskan melalui mulut memberikan tahanan lebih sedikit pada udara yang dihembuskan 3. Hitung hingga tujuh sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang dirapatkan
b. Pernapasan Diafragma Tujuan: Untuk menggunakan dan menguatkan diafragma selama pernapasan 1. Letakkan satu tangan diatas abdomen (tepat dibawah iga) dan tangan lainnya pada tengah-tengah dada untuk meningkatkan kestabilan diafragma dan fungsinya dalam pernapasan 2. Nafaslah dengan dalam dan lambat melalui hidung, biarkan abdomen terangkat ke atas 3. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot abdomen 4. Tekan dengan kuat kearah dalam dan ke atas pada abdomen sambil menghembuskan nafas 5. Ulangi selama 1 menit dan ulangi dengan periode istirahat selama 2 menit 6. Lakukan selama 5 menit beberapa kali sehari sebelum makan dan sebelum tidur.
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat di Lakukan Dalam melaksanakan intervensi keperawatan khususnya terkait penerapan latihan otot-otot pernapasan Tn.A dengan PPOK, perawat memiliki beberapa kendala. Kendala tersebut harus dapat dicarikan solusi pemecahannya guna mencapai hasil yang optimal sehingga sesuai dengan tujuan perawatan. Kendala-kendala yang ditemui perawat ketika melaksanakan intervensi latihan otot-otot pernapasan yaitu
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
83
perawat melakukan latihan pernapasan diafragma dan pursed lip breathing tidak dilakukan secara berlanjut melainkan hanya dilakukan 3 kali saja selama penulis melakukan intervensi pada Tn.A. Hal ini karena keterbatasan waktu penulis dalam melakukan intervensi dan penulis juga masih belum percaya diri untuk melakukan intervensi karena kurangnya pengalaman penulis. Padahal menurut beberapa teori, keefektifan latihan otot pernapasan akan lebih baik jika dilakukan secara teratur paling sedikit 30 menit dalam sehari sebanyak 2 sampai 3 kali sehari (Nusdwinuringtyas, 2000).
Kendala yang lain adalah perawat tidak menggunakan penilaian yang akurat dalam mengevaluasi efektivitas latihan yang diberikan misalnya dengan menggunakan kuesioner skala sesak, penggunaan spirometri atau melihat hasil AGD. Penulis menilai efektifitas latihan otot pernapasan berdasarkan evaluasi subjektif penulis dan respon pasien seperti penurunan sesak dan peningkatan rasa nyaman setelah tindakan dilakukan.
Untuk kedepannya, alternatif yang dapat dilakukan yaitu sebaiknya sebelum melakukan latihan pernapasan perawat harus lebih mempersiapkan diri terutama keterampilan dalam melakukan prosedur dan mampu menggunakan penilaian yang akurat dalam menilai efektivitas latihan pernapasan seperti penggunaan spirometri, penggunakan skala sesak, dan evaluasi melalui hasil AGD yang berkala. Untuk meningkatkan efektifitas terapi, sebaiknya penulis atau peneliti selanjutnya bisa memberikan latihan otot pernapasan secara teratur yaitu 2-3 kali sehari selama masing-masing 5 menit dengan tetap memperhatikan tingkat toleransi
pasien
selama
aktivitas.
Penulis
selanjutnya
juga
bisa
mengkombinasikan latihan otot pernapasan dengan latihan otot-otot ektremitas dan teknik relaksasi untuk meningkatkan kekuatan pada pasien dengan PPOK (Gosselink, 2004). Untuk meningkatkan pemahaman pasien terkait latihan otot pernapasan yang telah diajarkan, penulis selanjutnya sebaiknya memberikan materi pembelajaran yang sudah diajarkan melalui leaflet atau media yang mudah dipahami
sehingga
pasien
memiliki
panduan
atau
acuan
dalam
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
84
mengimplementasikan pendidikan kesehatan yang telah diajarkan ketika di rumah.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien PPOK di ruang rawat inap Lantai V Selatan RSUP Fatmawati didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang sering ditemui pada masyarakat perkotaan. Tingginya prevalensi PPOK dikaitkan dengan rendahnya kualitas lingkungan akibat polusi udara oleh gas buangan kendaraan bermotor dan polusi industri yang umum terjadi di kota-kota besar. Keadaan tersebut diperparah oleh tingginya perilaku merokok pada masyarakat perkotaan sehingga resiko berkembangnya PPOK semakin tinggi. b. Masalah utama yang sering dialami pada klien PPOK diantaranya sesak nafas, kelemahan, penurunan berat badan dan dampak sistemik lainnya. Klien dengan PPOK perlu mendapatkan perawatan untuk meningkatkan toleransi aktivitas dan mengurangi gejala-gejala yang umum terjadi pada pasien PPOK sehingga mampu memperbaiki kualitas hidup. c. Latihan otot-otot pernapasan merupakan latihan yang dilakukan untuk mengurangi gejala PPOK seperti sesak nafas, meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot-otot pernapasan, mengoptimalisasi pola pergerakan dinding toraks, mengurangi hiperinflasi, dan memperbaiki pertukaran gas. Dari hasil intervensi yang telah dilakukan penulis, latihan otot pernapasan telah terbukti efektif mengurangi derajat sesak pada pasien PPOK. d. Pursed lip Breathing
merupakan latihan
otot
pernapasan yang
menekankan pada proses ekspirasi dengan tujuan untuk mempermudah proses pengeluaran udara yang terjebak oleh saluran napas. Sedangkan pernapasan diafragma merupakan Latihan diafragma merupakan salah bentuk latihan otot pernapasan spesifik dengan tujuan untuk menggunakan dan menguatkan diafragma selama pernapasan. Gabungan antara pernapasan pursed lip breathing dan pernapasan diafragma mampu
85
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
86
mengurangi sesak, membantu mengindukasi nafas yang lambat dan dalam, dan membantu pasien untuk mengontrol pernapasan, melatih otot-otot ekspirasi,
meningkatkan
penurunan
frekuensi
pernapasan
serta
meningkatkan ventilasi dan saturasi oksigen.
5.2 Saran Saran penulis untuk penulisan selanjutnya berdasarkan pengalaman penulis dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan terkait pasien PPOK meliputi: a. Bagi
pelayanan
keperawatan,
perawat
bisa
memberikan
asuhan
keperawatan pada klien dengan PPOK dengan berlandaskan prinsip keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan yaitu berfokus pada kegiatan preventif dan promatif. Perawat juga perlu mengembangkan latihan otot pernapasan dalam memberikan intervensi keperawatan pada pasien PPOK sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. b. Bagi institusi pendidikan, latihan otot pernapasan sebaiknya perlu diajarkan kepada mahasiswa keperawatan secara lebih mendalam karena terapi ini merupakan salah satu contoh terapi modalitas untuk mendukung asuhan keperawatan sesuai dengan evidence based nursing. c. Bagi kajian selanjutnya, intervensi latihan otot pernapasan pada pasien PPOK sebaiknya dikembangkan dan dianalisis secara mendalam dengan menggunakan beberapa penelitian terbaru untuk melihat afektivitas latihan otot pernapasan terutama pada pasien-pasien PPOK dengan serajat ringan, sedang dan berat.
Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Adam, J. M. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi V. Balai Penerbit FKUI: Jakarta Adult Lung diseases Site Group. (2011). http://www.youtube.com/watch?v=Kp8WK4hFsTs diunduh 5 Juni 2014 Allender & Spradley. (2001). Community health nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Andersen, et al. (2010). Chronic obstructive pulmonary disease and long-term exposure to traffic-related air pollution: a cohort study. American Journal Respiratory and Critical Care Medicine http://dx.doi.org/10.1164/rccm.201006-0937OC Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Depkes Barnett, M. (2006). Management of end-stage chronic obstructive pulmonary disease. British Journal of Nursing. 22, 1390-1394 Bhatt et al. (2013). Volitional pursed lips breathing in patients with stable chronic obstructive pulmonary disease improves exercise capacity. Chronic Respiratory Disease, 10(1), 5-10 Bolton, et al. (2013). British Thoracic Society guideline on pulmonary rehabilitation in adults: accredited by NICE. Thorax, 68, 2 Cahyono, S.B. (2008). Gaya hidup dan penyakit modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Cazzola, M; Donner, C.F; & Hanania, N.A. (2007).One undred years of COPD. Respiratory Medicine, 101, 1049-1065 Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2008). Pedoman pengendalian penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Depkes Departemen Kesehatan Respublik Indonesia (Depkes RI). (2006). Pedoman penyelenggaraan upaya keperawatan kesehatan masyarakat di Puskesmas. Jakarta: Depkes Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr. (2010). Nursing care plans. USA: Davis Company
87
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
88
Faager, G., Stâhle, A., & Larsen, F. F. (2008). Influence of spontaneous pursed lips breathing on walking endurance and oxygen saturation in patients with moderate to severe chronic obstructive pulmonary disease. Clinical Rehabilitation, 22(8), 675-83. Fernandes, M., Cukier, A., & Feltrim, M. I. Z. (2011). Efficacy of diaphragmatic breathing in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Chronic Respiratory Disease, 8(4), 237-44. Gosselink, R. (2004). Breathing techniques in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Chronic Respiratory Disease, 1(3), 163-172. Halvorsen, T., & Martinussen, P. E. (2014). The geography of chronic obstructive pulmonary disease: A population-based study of Norway. Social Science & Medicine, 111, 25-34 Hodgkin, J.E., Celli, B.R., & Connors, G.L. (2009). Pulmonary rehabilitation: guidelines to success. USA: Mosby Elsevier Jurnal Respirologi Indonesia, 2007. Penyakit paru obstruktif kronik sebagai penyakit sistemik di http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri -01-07/jurnal diakses 29 Juni 2014 Jawa`Pos Nasional Network (JPNN). (2010). “Pemerintah antisipasi lonjakan urbanisasi”. http://www.jpnn.com/read/2010/09/07/71848/PemerintahAntisipasi-Lonjakan-Urbanisasi diunduh 29 Juni 2014 Kim V, et al. (2008). Oxygen therapy in chronic obstructive pulmonary disease. Proceedings of the American Thoracic Society, 5(4): 513–51 Laborín, L.R. (2009). Smoking and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Parallel epidemics of the 21st century. International Journal of Environmental Research and Public Health, 6(1), 209-224. Lestari, K. 2000. Pengaruh Paparan Debu terhadap Fungsi Ventilasi Paru Tenaga Kerja Plywood. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja. No.33:2. Long, B. E. (2002). Spatial analysis and correlation of air pollution and COPD mortality in texas. ProQuest Dissertations and Theses, 25-25 Marco, R et al. (2013). The coexistence of asthma and chronic obstructive pulmonary disease (COPD): prevalence and risk factors in young, middleaged and elderly people from the general population. PloS one, 8(5), e62985.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
89
Maurer, F.A., & Smith, C.M. (2010). Community public health nursing practice: Health for families and populations. Third edition. USA: Elsevier Saunders Monteiro et al. (2012). Assessing and monitoring urban resilience using COPD in Porto. Science of the Total Environment 414, 113–119 Hill, N. (2006). Pulmonary Rehabilitation Proceedings of the American Thoracic Society. American Thoracic Society, 3, 66-74 Nusdwinuringtyas, N. (2000). Efek latihan otot-otot pernapasan pada penyakit paru obstruksi kronik di instalasi rehabilitasi medic RSCM. 25 Mei 2014. Universitas Indonesia. Tesis O'Donnell, D. E. (2006). Hyperinflation, dyspnea, and exercise intolerance in chronic obstructive pulmonary disease. Proceedings of the American Thoracic Society, 3(2), 180-184. O Donnell, D. E. (2001). Ventilatory limitations in chronic obstructive pulmonary disease. Medicine and Science in Sports and Exercise, 33(7; SUPP), S647S655. Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 23, 82-88. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2003). PPOK: Pedoman diagnosis dan tata laksana di Indonesia. Jakarta: PDPI Potter, P.A., & Perry, A.G. ( 2009). Buku ajar fundamental keperawatan. Jakarta: EGC Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERSI). (2012). “ Gaya hidup masyarakat kota beresiko stroke dan jantung”. http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=8&mid=5&nid=684 diunduh tanggal 30 Juni 2014 Smeltzer, S & Bare, B. (2010). Medical surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Smith, J., & Woodcock, A. (2006). Cough and its importance in COPD. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, 1(3), 305 Stav, D., & Raz, M. (2007). Prevalence of chronic obstructive pulmonary disease among smokers aged 45 and up in Israel. IMAJ-RAMAT GAN-, 9(11), 800. Suparwoko & Firdaus. (2007). Profil pencemaran udara kawasan perkotaan Yogyakarta: studi kasus di kawasan Malioboro, Kridosono, dan UGM Yogyakarta. Jurnal LOGIKA, 4 (2): 54-63.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
90
Suryanto, D.A. (2012). Analisis tingkat polusi udara terhadap pengaruh pertumbuhan kendaraan studi kasus di DKI Jakarta. UG jurnal, 6, 2 Sutherland, E. R., & Cherniack, R. M. (2004). Management of chronic obstructive pulmonary disease. New England Journal of Medicine, 350 (26), 26892697. Toraldo, D. M., Nuccio, F. D., & Scoditti, E. (2013). Systemic Inflammation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease: May Diet Play a Therapeutic Role. J Aller Ther S, 2, 2. Tugaswati, A. T. (2000). Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Artikel, Jakarta. University Texas Medical Branch (2005).” Breathing exercises”. http://www.utmb.edu/policies_and_procedures/NonIHOP/Respiratory/07.03.05%20Breathing%20Exercises.pdf di unduh 13 Juli 2014 Van Helvoort, et al. (2006). Supplemental oxygen prevents exercise-induced oxidative stress in muscle-wasted patients with chronic obstructive pulmonary disease. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 173(10), 1122-1129. Widodo, Y. (2009). Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK di Rumah Sakit Paru Batu. Universitas Muhammadiyah Malang. Disertasi. Widowati, R. (2010). Efektivitas pursed lip breathing terhadap frekuensi serangan pasien PPOK. Digital library: UNS
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014
Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Biodata Nama
: Baiq Pia Januarti
Tempat/Tanggal Lahir
: Resmbitan/ 27 Januari 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Golongan Darah
:O
Alamat
: Jl.Pariwisata Kuta Desa Rembitan Kecamatan Pujut Lombok Tengah, NTB
Telepon/HP
: 087887970863
Email
:
[email protected]
II. Riwayat Pendidikan 1. TKRembitan
: 1996-1997
2. SDN 2 Rembitan
: 1997-2003
3. SMPN 1 Pujut
: 2003-2006
4. SMAN 1 Praya
: 2006-2009
5. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
: 2009-2013
6. Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : 2013-sekarang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Baiq Pia Januarti, FIK UI, 2014