UNIVERSITAS INDONESIA
PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA PEKERJA PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI SEBUAH STUDI KUALITATIF DENGAN PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
TUGAS AKHIR Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Okupasi
Stefanie Agustine 1106142513
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI JAKARTA JANUARI 2015
i Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
ii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
iii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karuniaNya, sehingga proposal tesis dengan judul “Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri dan Faktor- Faktor yang Berpengaruh pada Pekerja Konstruksi PT. NK. Sebuah Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis” ini dapat diselesaikan. Proposal tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Spesialis Okupasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada : 1. Dr.dr.Astrid Sulistomo, MPH,.Sp.OK atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen pembimbing. 2. Dr.dr.Herqutanto,MPH,MARS atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen pembimbing. 3. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD yang telah memberikan masukan dan saran pada saat perkuliahan dalam mata kuliah penelitian dan selaku Ketua Program Studi Spesialisasi Kedokteran Okupasi. 4. Seluruh Dosen program Spesiliasi Kedokteran Okupasi, Fakultas Kdokteran Universitas Indonesia 5. Ayahanda Suherman dan Ibunda Sofia Teguh atas segala dukungan dan doanya 6. Adik Steven Darmawan, S.T, M.T atas dukungan, motivasi, dan perhatiannya. 7. Rekan sesama penelitian dr. Puspita Sampekalo. 8. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Spesialis Kedokteran Okupasi 9. Pihak PT. NK atas kesempatan dan dukungan untuk memfasilitasi penelitian ini.
iv Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
10. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun
pustaka yang ditinjau, penulis
menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut sehingga bisa bermanfaat baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun untuk kemajuan suatu perusahaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih sempurna di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran okupasi di masa yang akan datang.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
v Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
vi Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
ABSTRAK Nama : dr. Stefanie Agustine Program studi : Kedokteran Okupasi Judul :Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri dan Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pekerja Perusahaan Jasa Konstruksi. Sebuah Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis
Latar belakang: Perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja sektor konstruksi di Indonesia masih kurang baik, ditandai dengan masih tingginya angka kematian dan disabilitas akibat kecelakaan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana fenomena tersebut terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan APD pada pekerja konstruksi. Metode: Studi kualitatif menggunakan Fokus Grup Diskusi (FGD) dan wawancara mendalam dengan pedoman wawancara semi-struktur pada 13 informan pekerja konstruksi, 3 orang mandor, 4 orang manajemen proyek serta 2 orang manajemen perusahaan sebuah perusahaan jasa konstruksi nasional. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis Hasil: Pekerja konstruksi mengakui bahwa tidak atau tidak selalu memakai APD, khususnya yang rutin harus digunakan. Sikap pekerja yang kurang baik dipengaruhi oleh pengetahuan terbatas, konsep diri rendah (persepsi, intensi dan pengalaman), status pekerja serta tingkat pendidikan yang rendah. Manajemen proyek hingga manajemen perusahaan berperan dalam penyediaan, inventarisasi APD yang kurang memadai, peraturan yang tidak dijalankan dengan ketat, pelatihan yang tidak diberikan kepada pekerja. Manajemen proyek dan mandor juga bertanggung jawab terhadap pengawasan, namun implementasi di lapangan masih longgar. Kesimpulan: Perilaku pekerja konstruksi dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) terutama dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah dan status kerja. Kurangnya pengawasan, pelatihan serta regulasi dari manajemen berkontribusi terhadap perilaku penggunaan APD pada pekerja Kata kunci: APD, pekerja konstruksi, perilaku, studi kualitatif
vii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
ABSTRACT
Name : dr. Stefanie Agustine Study program : Occupational Medicine Title : Personal Protective Equipments Usage Behavior and Influence Factors among Construction Workers of A Construction qualitative Phenomenological Study
Company. A
Backgrounds: Construction workers’ lack of good behavior towards Personal Protective Equipment (PPE) usage, marked by high incidence of mortality and disability caused by occupational accidents in Indonesia. This research aim is to study why and how this phenomenon occured among construction workers and factors infulencing workers’ behavior on PPE usage. Method: Qualitative study was conducted ,consisted of focus group discussions and in-depth interviews with semi-structured quidelines involving 13 construction workers, 3 supervisors, 4 project management staffs and 2 company management staffs from a national construction company . Conceptual framework used was phenomenological study Results: Construction workers admitted that PPE did not always used at work, particularly those routinely have to be used. Lack of good PPE usage behavior caused by limited knowledge of PPE functions, workers’ low self concept (perception, intention, and experience), low educational level, labor status,. Project management to company management took part in lack of PPE supply, inventory, regulations and training that did not meet the requirements. Project management and supervisors also contributed to supervision, although the implementation still loose. Conclusion: Construction workers behavior of PPE usage particularly caused by low educational level and labor status. Management’s lack of supervision, training, and regulation contributed to workers’ PPE usage behavior Key words: PPE, construction workers, behavior, qualitative study
viii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... i PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................................. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................................................... vi ABSTRAK .................................................................................................................................. vii DAFTAR ISI.............................................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. .xii 1. PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1 1.2 Permasalahan ..................................................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................................. 5 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 6 2.1 Alat Pelindung Diri (APD) ................................................................................................6 2.1.1 Definisi Alat Pelindung Diri ................................................................................... 6 2.1.2 Peraturan Perundangan tentang Alat Pelindung Diri .............................................. 6 2.1.3 Jenis Alat Pelindung Diri pada Bidang Konstruksi ................................................ 7 2.1.4 Pemilihan Alat Pelindung Diri yang tepat .............................................................. 8 2.2 Manfaat dan Keberhasilan Penggunaan Alat Pelindung Diri ............................................ 9 2.3 Faktor Predisposisi yang Mendasari Perilaku Penggunaan APD .................................... 11 2.3.1 Teori Perilaku........................................................................................................ 11 2.3.1.1 Theory of Planned Behavior ..................................................................... 12 2.3.1.2 Teori Perilaku Lawrence Green ................................................................ 14 2.3.1.3 Teori Operant Conditioning ..................................................................... 15 2.3.1.4 Teori Behavioral based Safety .................................................................. 16 2.3.2 Konsep Diri ........................................................................................................... 18 2.3.3 Teori Persepsi........................................................................................................ 20 Health Belief Model (HBM) .................................................................................22 2.3.4 Intensi .................................................................................................................... 24 2.3.5 Pengetahuan .......................................................................................................... 25 2.3.6 Sikap ..................................................................................................................... 26 2.4 Faktor Pemungkin yang Mempengaruhi Penggunaan APD ............................................ 27 2.4.1 Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Peraturan ............................................. 27 2.4.2 Pelatihan Pekerja tentang Penggunaan APD yang Benar ..................................... 29 2.4.3 Ketersediaan Alat Pelindung Diri ......................................................................... 30 2.5 Faktor Pendukung yang Mempengaruhi Penggunaan APD ............................................ 31 Pengawasan ........................................................................................................... 31 ix Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
2.6 Pendekatan Fenomenologis ............................................................................................. 33 2.7 Gambaran Umum Proyek Konstruksi .............................................................................. 34 2.7.1 Karakteristik Kegiatan Konstruksi ........................................................................ 34 2.7.2 Karakteristik Pekerja Konstruksi .......................................................................... 34 2.7.3 Jenis-jenis Pekerja Proyek Konstruksi .................................................................. 35 2.7.4 Alat Pelindung Diri Sesuai dengan Jenis Pekerjaan Konstruksi ........................... 35 2.7.5 Gambaran Umum Tempat Penelitian.................................................................... 36 2.7.5.1 Profil Perusahaan Konstruksi .................................................................... 36 2.7.5.2 Profil Proyek Konstruksi di Tanjung Priok .............................................. 37 2.8 Kerangka Teori ................................................................................................................ 40 2.9 Kerangka Konsep ............................................................................................................. 41 3.
METODE PENELITIAN .................................................................................................... 43 3.1 Desain Penelitian ............................................................................................................. 43 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................................... 43 3.3 Informan Penelitian.......................................................................................................... 43 3.4 Jumlah Informan .............................................................................................................. 43 3.5 Cara Pemilihan Informan ................................................................................................. 43 3.6 Instrumen dan Alat Penelitian.......................................................................................... 44 3.6.1 Instrumen Penelitian ............................................................................................. 44 3.6.2 Alat Penelitian ....................................................................................................... 44 3.7 Sumber Data .................................................................................................................... 44 3.7.1 Data Primer ........................................................................................................... 44 3.7.2 Data Sekunder ....................................................................................................... 44 3.8 Cara Pengambilan Data ................................................................................................... 45 3.8.1 Wawancara mendalam ( in-dept interview) ..........................................................45 3.8.2 Focus Group Discussion (FGD) ...........................................................................45 3.8.3 Dokumentasi ......................................................................................................... 45 3.9 Pengolahan Data .............................................................................................................. 45 3.10Pengujian Keabsahan Data ............................................................................................. 46 3.11Penyajian Data ................................................................................................................ 46 3.12Pertimbangan Etik........................................................................................................... 46
4.
HASIL PENELITIAN ......................................................................................................... 49 4.1 Profil Informan ................................................................................................................ 49 4.2 Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja ..................................... 50 4.3 Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai) ........................................54 4.4 Status pekerja dan tingkat pendidikan ............................................................................. 56 4.5 Sikap terhadap penggunaan APD .................................................................................... 58 4.6 Kemampuan Membeli APD............................................................................................. 61 4.7 Peraturan dan Pelatihan Mengenai APD ......................................................................... 63 4.8 Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward) ......................................................66 4.9 Perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri ....................................................................... 67
5.
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 68 5.1 Profil informan ................................................................................................................. 69 5.2 Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja ..................................... 70 x Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
5.3 Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai) ........................................71 5.4 Sikap terhadap penggunaan APD ....................................................................................72 5.5 Status pekerja dan tingkat pendidikan .............................................................................74 5.6 Kemampuan Membeli APD............................................................................................. 75 5.7 Peraturan dan Pelatihan Mengenai APD ......................................................................... 76 5.8 Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward) ......................................................79 5.9 Perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri ....................................................................... 85 6.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 92 LAMPIRAN............................................................................................................................... 100
xi Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Alat Pelindung Diri Sesuai dengan Jenis Pekerjaan Konstruksi .....35
xii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Empat Tahap Berkelanjutan dalam Behavioral based Safety...17
xiii Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan hal yang sangat penting
untuk dilaksanakan. Dibutuhkan komitmen dari pembuat keputusan dan pihakpihak yang berkepentingan didalamnya serta dari pekerja untuk melaksanakan perilaku kesehatan dan keselamatan kerja yang baik guna mengurangi risiko yang dapat terjadi di tempat kerja, mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang berdampak merugikan baik bagi negara, perusahaan maupun pekerja itu sendiri. Perusahaan atau pihak pemberi kerja memiliki kewajiban untuk menerapkan aturan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja sesuai yang telah ditetapkan oleh. Pemerintah. Pekerja memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan dalam melakukan pekerjaannya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta Undang- Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Kerja, selain itu pekerja juga memiliki kewajiban untuk memenuhi dan mentaati semua syaratsyarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan dalam bekerja guna mencegah dan meminimalisir risiko yang terdapat pada lingkungan kerja yang dapat membahayakan pekerja, salah satunya adalah kecelakaan kerja. Jaminan Sosial Tenaga Kerja ( Jamsostek) menyebutkan angka kecelakaan kerja di Indonesia termasuk yang paling tinggi di kawasan ASEAN, angka kecelakaan kerja masih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2011 terjadi 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari, angka ini meningkat dari 98.711 kasus di tahun sebelumnya dan 96.314 kasus di tahun 2009. Sedangkan di tahun 2007 angka kecelakaan kerja yang tercatat oleh Jamsostek adalah 83.714 kasus.1 Persentase penyebab kecelakaan kerja yaitu 3% dikarenakan sebab yang tidak bisa dihindarkan (seperti bencana alam) , selain itu 24% dikarenakan lingkungan atau peralatan yang tidak memenuhi syarat, dan 73% dikarenakan perilaku yang tidak aman.2
Universitas Indones Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
2
Semakin berkembangnya industri di Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjamin kesejahteraan para pekerja pada khususnya. Jumlah pekerja di Indonesia pun semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan semakin bervariasinya karakteristik pekerja yang terlibat didalamnya. Sektor industri yang mengalami perkembangan pesat diantaranya adalah sektor industri jasa konstruksi. Sektor konstruksi nasional berhasil menempati urutan ke enam dari sembilan sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.3 Jumlah perusahaan konstruksi di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 100 ribu unit, sedangkan yang berskala besar hanya ada sekitar 150 unit, selebihnya merupakan skala menengah ke bawah. Sektor konstruksi ini menyerap banyak tenaga kerja, baik tenaga kerja tetap maupun tenaga kerja lepas.4 Sektor konstruksi memiliki karakteristik tersendiri yaitu kegiatan yang memiliki intensitas kerja yang tinggi, bersifat multidisiplin dan multi-crafts , menggunakan peralatan kerja beragam, jenis teknologi, kapasitas dan kondisinya serta memerlukan mobilisasi yang tinggi (peralatan, material, dan tenaga kerja).5 Tenaga kerja yang dapat diserap di sektor konstruksi tercatat berjumlah 5,4 juta jiwa pada 2009 atau 5,3% dari tenaga kerja nasional, terus meningkat hingga 5,8 juta jiwa di 2011. Kementerian Pekerjaan Umum memprediksi, jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi setelah tahun 2012 akan mencapai lebih dari 6 juta orang.3 Pekerja konstruksi juga memiliki karakteristik yang cenderung tidak terikat dalam satu perusahaan tertentu6 , serta melibatkan banyak tenaga kerja kasar yang berpendidikan relatif rendah5 dengan persentase terbanyak, yaitu sekitar 60% dari seluruh kelompok pekerja dalam struktur jasa konstruksi selain tenaga ahli dan tenaga terampil.7 Banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam sektor konstruksi membuat pemerintah perlu memberikan perhatian kepada kesejahteraan pekerja yang terlibat didalamnya, termasuk dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja, ditambah sektor konstruksi merupakan pekerjaan yang berisiko. Risiko
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
3
kecelakaan kerja pada sektor konstruksi lebih besar dibandingkan sektor industri lainnya.4 Hampir 32% kasus kecelakaan kerja yang ada di Indonesia terjadi di sektor konstruksi yang meliputi semua jenis pekerjaan proyek gedung, jalan, jembatan, terowongan, irigasi bendungan dan sejenisnya.8 Salah satu upaya untuk melindungi pekerja dari risiko dan bahaya kecelakaan kerja yang terdapat dalam tempat kerja adalah dengan menggunakan Alat Pelindung Diri. Occupational Safety and Health Administration (OSHA) mengharuskan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mengurangi risiko terhadap bahaya ketika pengendalian teknis dan administratif sudah tidak mungkin dilakukan atau tidak efektif untuk mengurangi pajanan pada level yang dapat diterima.9 Alat Pelindung Diri harus disediakan oleh perusahaan dan digunakan oleh pekerja setiap bekerja dan dipakai dengan prosedur yang tepat dengan supervisi yang berkesinambungan. Walaupun pengendalian bahaya pajanan telah dilakukan sebagai prioritas utama, diestimasikan bahwa kelalaian manusia (human error) menjadi faktor yang berkontribusi akan terjadinya kecelakaan kerja, yaitu antara 84% sampai 94%.10 Salah satu penyebab utama kelalaian adalah kegagalan dalam penggunaan APD yang tepat. Sebagai ilustrasi, satu pertiga dari semua kejadian fatal di konstruksi adalah jatuh, dan 34% jatuh yang fatal adalah karena kegagalan penggunaan APD relevan yang tersedia di tempat kerja pada saat kejadian.11 Masih banyaknya pekerja yang tidak menggunakan APD saat bekerja didasari oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya kebijakan dan supervisi perusahaan dan aspek pekerja itu sendiri. Sebuah survey menunjukkan bahwa alasan para pekerja enggan menggunakan APD adalah karena perasaan tidak nyaman saat digunakan. Alasan kedua adalah bahwa pekerja merasa tidak membutuhkan APD tersebut saat bekerja, mereka telah bertahun-tahun bekerja tetapi tidak pernah mengalami kecelakaan kerja. Alasan ketiga adalah APD yang digunakan terlihat tidak menarik dan tidak fit saat digunakan. Alasan lainnya adalah mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk menggunakan APD atau mereka tidak mengetahui bahwa APD tersebut harus digunakan.12 Selain itu APD
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
4
juga menambah beban stress pada tubuh dan berakibat ketidaknyamanan dan kesulitan saat bekerja.13 Berdasarkan karakteristik kegiatan konstruksi serta pekerja yang terlibat didalamnya, penggunaan APD merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan dan memegang peranan penting bagi keselamatan kerja pekerja konstruksi. Perilaku penggunaan dan kepatuhan penggunaan APD yang tepat serta kebijakan pihak perusahaan merupakan hal
yang saling mendukung dalam kesuksesan
keselamatan kerja. Permasalahan
1.2
Perilaku penggunaan APD dikalangan para pekerja pada sektor konstruksi di Indonesia masih kurang baik. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Keadaan ini mendorong peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang mengapa dan bagaimana fenomena tersebut terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pekerja proyek konstruksi dalam penggunaan APD di proyek konstruksi.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum •
Menggali persepsi dan perilaku pekerja dan manajemen dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk peningkatan penggunaan APD
Tujuan Khusus •
Mengetahui
faktor-faktor
predisposisi
yang
mendasari
perilaku
penggunaan Alat Pelindung Diri •
Mengetahui
faktor-faktor
pemungkin
(enabling
factors)
yang
mempengaruhi penggunaan Alat Pelindung Diri •
Mengetahui reinforcing factors pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
5
1.4
Manfaat Penelitian
Bagi perusahaan:
Sebagai masukan bagi perusahaan dalam mengembangkan peraturan serta sistem operasional prosedur penggunaan APD
Bagi peneliti:
Peneliti memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian kualitatif secara mandiri
Belajar memahami karakteristik responden dalam persepsinya mengenai APD
Bidang Pengabdian Masyarakat
Sebagai masukan untuk melakukan tindakan pencegahan kecelakaan kerja melalui penggunaan APD
Sebagai masukan dalam mengembangkan dan menginovasi APD
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Alat Pelindung Diri (APD)
2.1.1. Definisi Alat Pelindung Diri Menurut Depnakertrans RI, Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh / sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja. OSHA menyatakan APD diciptakan untuk melindungi pekerja dari cidera dan penyakit serius di tempat kerja yang berasal dari kontak dengan bahan kimia, radiologi, fisik, elektrik, mekanis atau bahaya di tempat kerja lainnya. Selain pelindung wajah, safety glasses, hard hats, safety shoes, alat pelindung diri juga termasuk berbagai peralatan dan garmen seperti goggles, coveralls, sarung tangan, vests, earplugs, dan respirator.14 2.1.2
Peraturan Perundangan tentang Alat Pelindung Diri Sudah merupakan kewajiban perusahaan untuk memberikan penjelasan
dan pelatihan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta memfasilitasi dan memberikan pengawasan kepada para pekerjanya. Salah satu aspek yang tercantum dalam K3 adalah mengenai prosedur penggunaan Alat Pelindung Diri sebagaimana tertulis dalam peraturan perundangan: a. Undang-undang No.1 tahun 1970. 1. Pasal 3 ayat (1) butir f: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat untuk memberikan APD 2. Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD. 3. Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak
tenaga kerja untuk memakai APD.
4. Pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma - cuma.
Universitas Indones Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
7
b. Permenakertrans
No.Per.01/MEN/1981 Pasal 4 ayat (3) menyebutkan
kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja. c. Permenakertrans No.Per.03/MEN/1982 Pasal 2 butir I menyebutkan memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan
alat
pelindung
diri
yang
diperlukan
dan
gizi
serta
penyelenggaraan makanan ditempat kerja. d. Permenakertrans No.Per.03/Men/1986 Pasal 2 ayat (2) menyebutkan tenaga kerja yang mengelola pestisida harus memakai alat-alat pelindung diri yang berupa pakaian kerja, sepatu lars tinggi, sarung tangan, kacamata pelindung atau pelindung muka dan pelindung pernafasan. 2.1.3
Jenis Alat Pelindung Diri pada Bidang Konstruksi Alat Pelindung Diri yang digunakan khususnya dalam bidang konstruksi
yang dipakai sesuai dengan jenis pekerjaannya adalah sebagai berikut:15 a. Perlindungan mata dan wajah 1. Kacamata pelindung atau pelindung wajah digunakan pada setiap pekerjaan yang dapat menyebabkan benda asing masuk ke mata. Sebagai contoh pada saat welding, pemotongan, grinding, pemasangan paku ( atau ketika bekerja dengan beton dan/atau bahan kimia berbahaya atau ketika terekspos dengan partikel yang berterbangan) digunakan ketika terekspos dengan pajanan elektrikal, termasuk bekerja pada sistem elektrik. 2. Pelindung mata dan wajah dipilih berdasarkan pajanan yang diantisipasi b. Perlindungan kaki 1. Pekerja konstruksi harus memakai sepatu atau boots kerja yang slip resistan dan dengan alas yang resistan tusukan. 2. Safety-toed footwear dipakai untuk mencegah ibu jari hancur ketika bekerja disekitar alat berat atau benda yang jatuh. c. Perlindungan tangan
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
8
1. Sarung tangan yang dipakai harus pas dan nyaman ketika dipakai 2. Pekerja
harus
menggunakan
sarung
tangan
yang
tepat
bagi
pekerjaannya (contoh: sarung tangan karet heavy duty untuk pengerjaan beton, sarung tangan welding untuk welding, insulated gloves dan lengan ketika bekerja dengan pajanan elektrik. d. Perlindungan kepala 1. Menggunakan topi keras (hard hats) ketika terdapat kemungkinan potensial terjadi benda jatuh dari atas, benturan pada kepala dari objek yag tidak bergerak, atau kontak tidak disengaja dengan pajanan elektrik 2. Hard hats secara rutin diinspeksi dari penyok, retakan dan kodisi buruk lainya, ganti setelah berkontak dengan sengatan listrik atau pukulan keras, pertahankan dalam kondisi yang baik e. Perlindungan pendengaran Gunakan earplugs/earmuffs pada daerah kerja dengan pajanan bising yang tinggi dimana gergaji, atau peralatan berat lainnya digunakan, serta bersihkan dan ganti earplugs secara berkala.
2.1.4
Pemilihan Alat Pelindung Diri yang Tepat Pemilihan APD yang tepat merupakan hal yang penting untuk
memaksimalisasi efektivitas penggunaan. Ketika memilih APD terdapat hal penting yang harus diperhatikan:16 a. Tingkat proteksi yang dibutuhkan b. Standard (contoh: the Canadian Standard Association (CSA) Z94.4-02 tentang pemilihan, penggunaan dan perawatan respirator) c. Kebutuhan pelatihan (semua tipe APD memerlukan pelatihan khusus, beberapa memerlukan pelatihan eksternal ekstensif sebelum digunakan) d. Kecocokan peralatan (praktis dan nyaman). Pemikiran ini juga harus berintegrasi dengan kepastian efisiensi, kenyamanan dan juga penerimaan APD tersebut secara keseluruhan.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
9
Kriteria pemilihan a. Tipe pajanan yang perlu dikendalikan (ditentukan melalui hazard analysis) b. Literatur mengenai APD dan saran profesional c. Perhatian pekerja (berkenaan dengan kenyamanan fisik, ergonomi, kecocokan, dan praktis untuk digunakan) d. Biaya (jangka pendek dan jangka panjang) e.
Kebutuhan perawatan
f. Kebutuhan legislatif Program tersebut harus berisi beberapa elemen:16 a. Kebijakan b. Identifikasi peran dan tanggung jawab c. Hazard assessment di tempat kerja d. Menetapkan pengukuran kontrol yang tepat e. Pemilihan APD yang tepat f. Prosedur pengetesan kecocokan g. Pelatihan dan penggunaan APD yang benar h. Prosedur pemeliharaan i. Prosedur pembersihan dan disinfeksi j. Penyimpanan APD yang tepat k. Survelians medis l. Prosedur audit 2.2
Manfaat dan Keberhasilan Penggunaan Alat Pelindung Diri Penelitian mengenai kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri yang
berjudul “Addressing the Issue of Compliance with Personal Protective Equipment on Construction Worksites: A Workers’ Perspective” dengan menggunakan kuesioner yang dikumpulkan dari 48 pekerja konstruksi dari 9 perusahaan konstruksi besar di Florida Selatan memperoleh hasil bahwa hanya 64% pekerja yang menggunakan APD dengan benar secara konstan. Penyebab kegagalan penggunaan APD adalah ketidaknyamanan penggunaan APD, APD
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
10
membatasi pergerakan pekerja, tidak cukupnya penyediaan APD bagi pekerja serta kurangnya pelatihan mengenai penggunaan APD. Selain itu ditemukan juga fakta bahwa masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran diri pekerja untuk menggunakan APD selama bekerja.17 Pada sebuah survey cross sectional yang dilakukan oleh Hong Kong Occupational Safety and Health Council yang berjudul “A Survey on Usage of Personal Protective Equipment
in Hong Kong” pada 92,933 orang pekerja
konstruksi dan 250 orang pekerja renovasi serta 471 pekerja dapur memperoleh hasil bahwa 70% dari pekerja konstruksi menyadari pentingnya penggunaan helm pengaman saat bekerja sedangkan hanya 40% pekerja konstruksi yang mengetahui perlunya penggunaan safety belts. Pada pekerja renovasi didapatkan data pekerja yang menggunakan APD saat bekerja hanya kurang dari 50% dari jumlah pekerja renovasi yang mengikuti survey. Hanya 27% dari jumlah pekerja konstruksi yang menggunakan APD secara efektif.
Alasan tidak digunakannya APD adalah
sebagian besar perusahaan tidak menyediakan APD bagi pekerjanya.18 The International Safety Equipment Association (ISEA) pada tahun 2004 melakukan survey melalui surat dan telepon kepada 4000 responden dengan 204 orang yang menyelesaikan interview. Dari survey ini didapatkan data dari 10 macam APD yang diinvestigasi, helm pengaman merupakan APD terbanyak yang digunakan oleh pekerja konstruksi yaitu 73,4 % pada pekerja publik dan 79,1 % pada pekerja sektor swasta. Pelindung wajah menempati persentase terendah penggunaan, yaitu 42,6 % pada pekerja publik dan 45% pada sektor swasta. Alasan utama kegagalan penggunaan APD adalah pekerja tersebut tidak membutuhkan APD, diikuti dengan tidak disediakannya APD oleh perusahaan serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pekerja untuk membeli APD.19 Berdasarkan studi kualitatif dengan analisis deskriptif pada perusahaan jasa konstruksi dengan judul “Kepatuhan Pekerja Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri di PT. Harpindo Bangun Sejahtera Prabumulih” didapatkan hasil bahwa kepatuhan pekerja terhadap penggunaan alat pelindung diri dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pengetahuan, sikap, penyuluhan dan dukungan
teman.20
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
11
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Benny Vitriansyah Putra yang berjudul “Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pengelasan Industri Informal dalam penggunaan Alat Pelindung Diri di Jalan Raya Bogor – Dermaga, Kota Bogor 2011” memberikan hasil bahwa faktor lingkungan merupakan hal yang paling mempengaruhi perilaku pekerja pengelasan industri informal dalam penggunaan APD seperti peraturan, pengawasan dan fasilitas APD. Sedangkan faktor individu seperti pengetahuan, persepsi dan motivasi tidak begitu mempengaruhi perilaku pekerja dalam penggunaan APD.21 2.3
Faktor Predisposisi yang Mendasari Perilaku Penggunaan APD
2.3.1
Teori Perilaku Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan atau
reaksi individu yang terwujud di gerakan (sikap); tidak saja badan atau ucapan. Perilaku didefinisikan sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi, dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio, dan budaya.22 Perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :23 a.
Perilaku tertutup / terselubung (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus masih dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons dan reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.
b.
Perilaku terbuka / nyata tampak (overt behavior)
Respons terhadap stimulus telah diaplikasikan dalam tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dapat mudah diamati dan dilihat oleh orang lain. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :24
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
12
a.
Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.
b.
Interest (ketertarikan) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c.
Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
d.
Trial (uji coba), dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e.
Adoption (adopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting), dan sebaliknya apabila perilaku ini tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.22 2.3.1.1 Theory of Planned Behavior25 Teori ini
dikembangkan dan diperluas oleh Icek Ajzen dan Martin
Fishbein. Teori ini mempelajari sikap terhadap perilaku. Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku
adalah
kombinasi
dari
sikap
untuk
menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh. Jika seseorang mempersepsi bahwa hasil dari menampilkan suatu perilaku tersebut positif, ia akan memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut. Yang sebaliknya juga dapat dinyatakan bahwa jika suatu perilaku dipikirkan negatif. Jika orang-orang lain yang relevan memandang bahwa menampilkan perilaku
tersebut sebagai sesuatu yang positif dan seseorang tersebut
termotivasi untuk memenuhi harapan orang-orang lain yang relevan, maka itulah yang disebut dengan norma subjektif yang positif. Jika orang-orang lain melihat
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
13
perilaku yang akan ditampilkan sebagai sesuatu yang negatif dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang-orang lain tersebut, itu yang disebut dengan norma subjektif negatif. Theory of Planned Behavior didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang mungkin baginya, secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Theory of Planned Behavior dimulai dengan melihat intensi berperilaku sebagai anteseden terdekat dari suatu perilaku. Dipercaya bahwa semakin kuat intensi seseorang untuk menampilkan suatu perilaku tertentu, diharapkan semakin berhasil ia melakukannya. Sikap adalah kepercayaan positif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu. Kepercayaan-kepercayaan atau
beliefs ini disebut dengan
behavioral beliefs. Seorang individu akan berniat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu ketika ia menilainya secara positif. Sikap ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs), ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation). Sikap-sikap tersebut dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap intensi berperilaku dan dihubungkan dengan norma subjektif dan perceived behavioral control. Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu fungsi dari beliefs yang secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk menampilkan suatu perilaku. Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga kepercayaan normatif (normative beliefs). Seorang individu akan berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orangorang lain yang penting berpikir bahwa ia seharusnya melakukan hal itu. Orang lain yang penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter, dsb. Hal ini diketahui dengan cara menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang dimaksud. Theory of Planned Behavior memperhitungkan bahwa semua perilaku tidaklah di bawah kendali dan bahwa perilaku-perilaku tersebut berada pada suatu
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
14
titik dalam suatu kontinum dari sepenuhnya di bawah kendali sampai sepenuhnya di luar kendali. Individu mungkin memiliki kendali sepenuhnya ketika tidak terdapat hambatan apapun untuk menampilkan suatu perilaku. Dalam keadaan ekstrim yang sebaliknya, mungkin sama sekali tidak terdapat kemungkinan untuk mengendalikan suatu perilaku karena tidak adanya kesempatan, karena tidak adanya sumber daya atau ketrampilan. Faktor-faktor pengendali tersebut terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal antara lain ketrampilan, kemampuan, informasi, emosi, stres, dan sebagainya. Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktor-faktor lingkungan. 2.3.1.2 Teori Perilaku Lawrence Green 26 Teori ini merupakan bagian dari teori Precede/ Procede, yaitu pada fase diagnosis edukasional dan organisasional yang berfokus pada meneliti faktorfaktor
yang
membentuk
suatu
perilaku
dan
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi. Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan, yakni behavioural factors (faktor perilaku) dan non-behavioural factors (faktor non-perilaku). Selanjutnya Green menganalisis bahwa faktor perilaku itu sendiri ditentukan dari 3 faktor yaitu : a.
Predisposing factors (faktor-faktor predisposisi) Adalah faktor-faktor yang mempermudah atau mendahului terjadinya perilaku serta yang menjadi motivasi atau alasan dibalik suatu perilaku, antara lain: pengetahuan, persepsi, sikap, nilai, keyakinan, kesiapan untuk berubah dan sebagainya
b.
Enabling factors (faktor pemungkin) Adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana, kebijakan yang mendukung, fasilitas, pengetahuan
c.
Reinforcing factors (faktor penguat)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
15
Adalah faktor-faktor yang mendukung atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam pengawasan. Reinforcing factors juga berperan ketika suatu perilaku telah dimulai
dengan menyediakan rewards atau insentif
ketika seseorang berhasil mempertahankan dan mengulang suatu perilaku. Yang termasuk dalam faktor penguat diantaranya adalah dukungan sosial, pujian, reassurance. 2.3.1.3 Teori Operant Conditioning 27 B.F. Skinner (1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan ”operant behavior” dan ”reinforcement”. Yang dimaksud dengan ”operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Yang dimaksud dengan ”reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Konsep utama operant conditioning Menurut Skinner, pengkondisian operan terdiri dari dua konsep utama,yaitu: a. Penguatan (reinforcement) Penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian: 1. Penguatan positif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung
(rewarding). Bentuk-bentuk
berupa hadiah,
penguatan
perilaku (senyum, menganggukkan
positif
adalah
kepala untuk
menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan. 2. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan
negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll).
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
16
Skinner menganggap bahwa reward atau reinforcement merupakan factor terpenting dalam proses belajar. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud. c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi
reinforcer atau
hadiah (reward) untuk masing-
masing komponen tersebut. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Jika perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan
komponen
ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. 2.3.1.4 Teori Behavioral based Safety ( E. Scott Geller)28 Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi suatu perilaku adalah persepsi, nilai, peralataan, sikap, keyakinan, perasaan, pemikiran dan kepribadian. Sedangkan faktor eksternal mencakup pelatihan, pengakuan, pengawasan dan kepatuhan terhadap peraturan.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
17
Menurut Geller, perilaku dapat diobservasi dan diukur secara objektif sebelum dan sesudah intervensi dilakukan. Aplikasi menggunakan metode ilmiah untuk menghasilkan umpan balik untuk perbaikan. Akronimnya adalah DO IT (define, observe, intervene, and test) yang dapat digunakan sebagai prinsip untuk mengajarkan Behavior Based Safety kepada pekerja, dimana mereka dapat turut serta berperan terhadap perilaku aman rekan sekerja dan secara kontinu dapat meningkatkan kemampuan intervensi mereka.
Gambar 1. Empat tahap berkelanjutan dalam Behavior Based Safety a. D untuk define Proses DO IT dimulai dengan mendeskripsikan target perilaku tertentu, yang dapat berupa perilaku berisiko yang perlu dihilangkan atau dikurangi atau perilaku aman yang perlu ditingkatkan. Perilaku aman ditargetkan untuk menggantikan perilaku berisiko. Definisi
perilaku aman seperti
penggunaan APD atau berjalan pada jalur pejalan kaki. Definisi perilaku ini dapat dikembangkan dalam checklist untuk memfasilitasi DO IT proses.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
18
b. O untuk observe Ketika seseorang mengamati perilaku aman dan perilaku berisiko tertentu, maka ia akan menyadari bahwa semua orang sebenarnya melakukan perilaku berisiko, bahkan kadang tanpa menyadarinya. Tahap observasi bukanlah dimaksudkan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk menemukan proses pembelajaran untuk memfasilitasi penemuan perilaku dan kondisi yang perlu untuk dirubah atau diteruskan guna mengurangi risiko okupasional. c. I untuk intervene Selama tahap ini, intervensi dibuat dan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan perilaku aman dan mengurangi frekuensi perilaku berisiko. Intervensi berarti mengubah kondisi eksternal dari sistem untuk membuat perilaku aman lebih banyak dilakukan daripada perilaku berisiko. d. T untuk test Tahap ini menyediakan kepada tim kerja informasi yang mereka butuhkan untuk memperbaiki atau mengganti sebuah intervensi perubahan perilaku. 2.3.2
Konsep Diri Konsep diri merupakan terjemahan dari self concept. Fitur penting dari
teori tersebut mengungkapkan tentang kumpulan jaringan ide-ide tentang diri (self) dan konsistensi diri (self consistency) serta perbaikan diri (self enhancement), yaitu kepercayaan untuk mempertahankan kepercayaan yang positif terhadap diri. Shavelson, Hubner dan Stanton (1976) menjelaskan mengenai multidimensioner dari konsep diri. Dalam model ini konsep diri didefinisikan sebagai: “persepsi seseorang tentang dirinya”.29 Persepsi ini dibentuk melalui pengalaman seseorang dengan dan dari interpretasi terhadap lingkungan, terutama dipengaruhi oleh penekanan, evaluasi dan hal lain yang signifikan dan atribut seseorang terhadap perilakunya.30 Konsep diri juga didefinisikan sebagai konsep dasar tentang diri sendiri, pikiran dan opini pribadi, kesadaran tentang apa dan siapa dirinya, dan bagaimana perbandingan antara dirinya
dengan
orang
lain
serta bagaimana
idealisme
yang
telah
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
19
dikembangkannya.31 Menurut Brooks, konsep diri merupakan persepsi terhadap diri individu sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi individu dengan orang lain.33 Konsep diri juga sebagai semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
individu
tentang dirinya
dan
mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain, hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Sedangkan adan yang menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan spiritual.33 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari:34 a. Teori perkembangan Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasikan potensi yang nyata. b. Sifnificant others ( orang yang terpenting atau terdekat) Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
20
orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi. c. Self perception (persepsi diri sendiri) Persepsi diri sendiri adalah persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif, sehingga konsep diri merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. 2.3.3
Teori Persepsi Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan
menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Menurut Davidoff, persepsi adalah suatu proses yang dilalui oleh suatu stimulus yang diterima panca indera yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari yang diinderanya itu. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif. Persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi.35 Terdapat banyak faktor yang akan menyebabkan stimulus masuk dalam rentang perhatian seseorang. Faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya, sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang mempersepsikan stimulus tersebut.36
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
21
a. Faktor Eksternal 1. Kontras Cara termudah dalam menarik perhatian adalah dengan membuat kontras baik warna, ukuran, bentuk atau gerakan. 2. Perubahan Intensitas Suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian seseorang. 3. Pengulangan (repetition) Dengan pengulangan, walaupun pada mulanya stimulus tersebut tidak termasuk dalam rentang perhatian kita, maka akan mendapat perhatian kita. 4. Sesuatu yang baru (novelty) Stimulus yang baru akan lebih menarik perhatian kita daripada sesuatu yang telah kita ketahui. 5. Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak Suatu stimulus yang menjadi perhatian orang banyak akan menarik perhatian seseorang. b. Faktor Internal 1. Pengalaman atau pengetahuan Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus yang kita peroleh. Pengalaman masa
lalu atau apa yang telah dipelajari akan
menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi. 2. Harapan (expectation) Harapan terhadap sesuatu akan mempengaruhi persepsi terhadap stimulus. 3. Kebutuhan Kebutuhan akan menyebabkan seseorang menginterpretasikan stimulus secara berbeda. 4. Motivasi Motivasi akan mempengaruhi persepsi seseorang. 5. Emosi
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
22
Emosi seseorang akan mempengaruhi persepsinya terhadap stimulus yang ada. 6. Budaya Seseorang
dengan
latar
belakang
budaya
yang
sama
akan
menginterpretasikan orang- orang dalam kelompoknya secara berbeda, namun akan mempersepsikan orang- orang di luar kelompoknya sebagai sama saja. Health Belief Model (HBM) Health Belief Model (HBM) adalah sebuah model psikologikal yang berusaha menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan dengan memfokuskan kepada sikap dan kepercayaan (beliefs) seseorang.37 Konsep yang mendasari adalah bahwa perilaku kesehatan ditentukan oleh personal beliefs atau persepsi tentang suatu masalah kesehatan dan strategi yang ada untuk menguranginya. Persepsi personal dipengaruhi oleh seluruh rangkaian faktor intrapersonal yang mempengaruhi perilaku kesehatan.38 HBM berdasarkan pada pemahaman seseorang mengambil tindakan yang berhubungan dengan kesehatan jika orang tersebut:37 a. Merasakan kondisi kesehatan yang negatif dapat dihindari b. Memiliki ekspektasi positif bahwa dengan mengambil tindakan yang direkomendasikan, ia akan terhindar dari kondisi kesehatan yang negatif c. Percaya bahwa ia dapat dengan sukses melakukan perilaku kesehatan yang direkomendasikan. Menurut HBM, kemungkinan seseorang
melakukan tindakan pencegahan
penyakit tergantung kepada persepsi individu:39 a. Seseorang secara personal rentan terhadap suatu kondisi b. Konsekuensi serius dari suatu kondisi c. Perilaku pencegahan secara efektif mencegah kondisi tersebut terjadi d. Keuntungan untuk mengurangi ancaman melebihi biaya jika bertindak
HBM memiliki komponen kunci yang dikonseptualisasi sebagai Perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, dan
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
23
perceived barriers. Keempat konsep tersebut dikemukakan sebagai kesiapan untuk bertindak. Cues to action ditambahkan ke dalam konsep yang mengaktivasi kesiapan dan menstimulasi perilaku overt. Self-efficacy merupakan tambahan terbaru, yang diartikan sebagai kepercayaan diri seseorang bahwa ia memiliki kemampuan untuk berhasil dalam melakukan suatu tindakan.37 a. Perceived susceptibility Adalah kemungkinan seseorang memiliki kerentanan terhadap berkembangnya suatu kondisi (penyakit). Konsep ini ditemukan sebagai faktor prediktif terhadap perilaku pencegahan masalah kesehatan. Dari perspektif HBM, kemungkinan seseorang untuk terikat pada perilaku pencegahan suatu kondisi (penyakit) adalah tergantung dari seberapa besar ia percaya bahwa ia rentan terhadap risiko penyakit tersebut. Secara umum, orang cenderung meremehkan kerentanan tubuh mereka terhadap penyakit. b. Perceived severity Mengacu kepada seberapa serius seseorang percaya terhadap konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu kondisi. Seseorang yang cenderung mengambil sikap untuk mencegah suatu penyakit percaya bahwa penyakit tersebut menimbukan dampak serius terhadap fisik, psikologis, dan atau menimbulkan efek sosial (gangguan hubungan sosial, mengurangi kebebasan, nyeri, penderitaan, bahkan kematian.) HBM seringkali mengacu pada ancaman kesehatan. Kombinasi dari perceived susceptibility dan perceived severity menghasilkan suatu ancaman. c. Perceived effectiveness Mengarah kepada keuntungan-keuntungan yang didapat ketika melakukan perilaku proteksi. Motivasi untuk bertindak untuk berubah membutuhkan kepercayaan bahwa perilaku pencegahan secara efektif mencegah suatu kondisi. Sebagai contoh, seseorang yang tidak yakin ada hubungan kausal antara merokok dan kanker cenderung
tidak berhenti merokok karena ia
percaya bahwa dengan berhenti merokok tidak akan melindunginya dari penyakit. d. Perceived cost Mengacu kepada rintangan atau kerugian yang mengganggu perubahan perilaku kesehatan. Kombinasi perceived effectiveness and perceived costs
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
24
merupakan suatu dugaan ekspektasi hasil yang akan didapatkan. Kepercayaan sendiri tidak cukup untuk memotivasi seseorang untuk bertindak. Tindakan membutuhkan
pertimbangan
kognitif
terhadap
biaya
personal
yang
berhubungan dengan perilaku dibandingkan dengan keuntungan yang diharapkan sebagai hasil dari memeluk suatu perilaku. Keuntungan harus melebihi biaya yang dikeluarkan. e. Cues to action Melibatkan stimulus yang memotivasi seseorang untuk memeluk suatu perilaku kesehatan. Stimulus yang memicu suatu tindakan dapat bersifat internal maupun eksternal. Sebagai contoh angina dapat berperan sebagai isyarat internal untuk melakukan aksi. Isyarat eksternal seperti kematian orang tua dapat memicu perubahan perilaku kesehatan yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh individu tersebut. Faktor-faktor HBM juga berinteraksi untuk memicu suatu tindakan. Sebagai contoh, ketika persepsi kerentanan dan keparahan tinggi, stimulus yang sangat kecil pun dapat menginisiasi suatu tindakan. Walaupun begitu, dibutuhkan stimuli yang lebih intens untuk menginisiasi suatu tindakan jika persepsi kerentanan dan keparahan rendah. f. Self-efficacy Self-efficacy dipengaruhi oleh variabel mediasi dan mempengaruhi ekspektasi. Mediating factors (demografi, struktural, dan variabel sosial, seperti tingkat pendidikan) dipercaya secara tidak langsung mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kerentanan, keparahan, keuntungan dan rintangan atau hambatan. Hal ini juga diinterpretasikan sebagai kesiapan untuk merubah suatu perilaku.
2.3.4
Intensi Intensi merupakan fungsi dari determinan dasar yaitu sikap individu
terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan bersangkutan dengan yang disebut norma subjektif. Sikap mengacu pada evaluasi sejumlah konsep stimulus. Fishbein mengasumsikan intensi perilaku sebagai fungsi sikap yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku, disertai dengan adanya pertimbangan norma dan sebagai ukuran prediktor munculnya perilaku. Intensi adalah suatu fungsi dari kepercayaan dan atau informasi yang penting mengenai kecenderungan bahwa
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
25
menampilkan suatu perilaku tertentu akan mangarahkan pada suatu hasil yang spesifik. Intensi bisa berubah karena waktu. Intensi adalah suatu fungsi dari dua penentu utama, yaitu sikap terhadap perilaku dan norma subjektif dari perilaku.40 2.3.5
Pengetahuan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), pengetahuan adalah
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya. Pengetahuan merupakan proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar secara mudahnya mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan.41 Terdapat dua jenis pengetahuan, yaitu : a. Pengetahuan Empiris Pengetahuan ini lebih menekankan kepada pengamatan dan pengalaman inderawi, bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris. Pengetahuan empiris tersebut, juga dapat berkembang menjadi
pengetahuan
deskriptif
bila
seseorang
dapat
melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman manusia yang terjadi berulang kali. b. Pengetahuan Rasionalisme Pengetahuan
rasionalisme
merupakan
pengetahuan
yang
didapatkan
melalui akal budi. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori dan tidak menekankan pada pengalaman.42 Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, tetapi pengetahuan sangat penting diberikan sebelum individu melakukan suatu tindakan. Tindakan akan sesuai dengan pengetahuan apabila individu menerima isyarat yang cukup kuat untuk memotivasinya bertindak sesuai dengan pengetahuannya.43
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
26
2.3.6 Sikap Sikap merupakan keadaan mental dan neural dari kesiapan, pengaturan melalui pengalaman, menggunakan direktif atau pengaruh yang dinamis pada respons seseorang terhadap semua objek dan situasi yang berhubungan.44 Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Ciri-ciri sikap adalah : a. Sikap merupakan sesuatu yang pribadi (private) b. Sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari melalui pengalaman sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya melalui proses sosialisasi. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau kebutuhan akan istirahat. c. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek d. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang45 Allport menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu : a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
27
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu : 36 1. Menerima (Receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.4
Faktor Pemungkin yang Mempengaruhi Penggunaan Alat Pelindung
Diri 2.4.1
Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Peraturan Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan suatu rangkaian instruksi
tertulis yang mendokumentasikan kegiatan atau proses rutin yang terdapat pada suatu perusahaan. SPO digunakan sebagai patokan pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Dengan menerapkan SPO maka perusahaan dapat memastikan suatu operasi berjalan sesuai prosedur yang ada.46
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
28
Pengusaha wajib menyediakan prosedur operasi tertulis yang berisi tentang proses operasi secara aman, termasuk langkah-langkah untuk tahapan operasi, batas operasi, pertimbangan keselamatan dan sistem keselamatan.47 Suatu perusahaan harus memiliki aturan yang jelas tentang penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dan aturan tersebut harus diketahui oleh setiap perusahaan. Salah satu aturan yang ada diperusahaan adalah SPO Peraturan adalah dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan. Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku aman yang mana dapat diterima dan tidak dapat diterima.48 Salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku
yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum
tentu
akan
berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.22 Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut:49 a. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja. b. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjaannya memahami peraturan tersebut. c. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten. Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat kerja.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
29
Selain itu berkaitan secara khusus tentang Alat Pelindung Diri, OSHA menguraikan tanggung jawab perusahaan dan pekerja yang harus dipenuhi, yaitu:50 Tanggung jawab perusahaan: a. Melakukan hazard assessment di tempat kerja untuk mengidentifikasi dan mengontrol bahaya fisik ataupun kesehatan b. Mengidentifikasi dan menyediakan APD yang sesuai bagi pekerja c. Memberikan pelatihan tentang cara penggunaan dan pemeliharaan APD d. Memelihara APD, termasuk mengganti APD yang rusak e. Secara periodik meninjau, memperbaharui, dan mengevaluasi keefektifan program APD
Secara umum pekerja harus: a. Menggunakan APD secara tepat b. Menghadiri sesi pelatihan APD c. Peduli, merawat dan membersihkan APD yang digunakan d. Menginformasikan kepada supervisor jika membutuhkan perbaikan dan penggantian APD
2.4.2
Pelatihan Pekerja tentang Penggunaan Alat Pelindung Diri yang
Benar Perusahaan perlu memberikan pelatihan bagi pekerja yang harus menggunakan APD. Pekerja harus dilatih untuk mengetahui setidaknya: a. Kapan APD perlu digunakan b. APD apa yang perlu c. Bagaimana cara memakai, melepaskan, menyesuaikan APD d. Keterbatasan APD e. Perawatan, masa pakai dan pembuangan APD16 Perusahaan
harus
memastikan
bahwa
setiap
pekerja
harus
dapat
mendemonstrasikan dan mengerti tentang pelatihan APD serta mempunyai
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
30
kemampuan dalam penggunaan yang tepat dan digunakan sebelum melakukan pekerjaan yang memerlukan APD. Jika perusahaan percaya bahwa pekerja yang telah dilatih sebelumnya tidak dapat mendemonstrasikan pengertian yang cukup dan kurang kemampuannya dalam penggunaan APD, maka pekerja tersebut harus menerima pelatihan kembali. Perusahaan harus mendokumentasikan pelatihan yang telah dilakukan dan menyediakan sertifikasi berisi tiap nama yang telah dilatih, waktu pelatihan, dan identifikasi jelas subjek yang disertifikasi. Dibutuhkan program APD yang komperhensif untuk memperoleh pekerja yang mempunyai kemampuan dalam pemahaman dan penggunaan APD yang tepat. Seperti juga program kesehatan dan keselamatan, dibutuhkan komitmen yang kuat antara manajemen senior dan dukungan dari semua departemen (begitu juga dari pekerja) untuk memastikan keberhasilan program. 2.4.3 Ketersediaan Alat Pelindung Diri Mengontrol sebuah pajanan bahaya dan sumbernya merupakan cara terbaik untuk melindungi pekerja. Ketika kontrol engineering, work practice dan administratif sudah tidak feasible untuk dilakukan untuk menyediakan proteksi yang cukup, perusahaan harus menyediakan alat pelindung diri (APD) kepada pekerja dan memastikan pemakaiannya. Alat pelindung diri (APD) merupakan peralatan yang digunakan untuk meminimalisasi berbagai risiko pajanan.50 OSHA mengharuskan penggunaan Alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi risikopajanan terhadap bahaya ketika kontrol engineering dan administratif sudah tidak mungkin dilakukan atau tidak efektif untung mengurangi pajanan pada level yang dapat diterima. APD juga dapat digunakan untuk mengontrol pajanan secara sementara (jangka pendek) sebelum kontrol permanen dilakukan, seperti perawatan non rutin, pembersihan atau perbaikan seperti juga dalam keadaan darurat. 16 Pada
penggunaan
APD
harus
dipertimbangkan
berbagai
hal,
pemilihan dan penetapan jenis pelindung diri, standarisasi, pelatihan
seperti cara
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
31
pemakaian
dan
perawatan
APD,
efektivitas
pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan.
penggunaan,
pengawasan
51
Perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor, salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pemungkin perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika belum terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku tersebut.22 2.5
Faktor Pendukung yang Mempengaruhi Penggunaan APD
Pengawasan Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan
untuk menjamin bahwa
setiap pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan untuk menjamin bahwa setiap pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan. Pengawasan ini meliputi menetapkan standar hasil yang diharapkan, mengukur hasil yang sebenarnya, serta membandingkan hasil yang sebenarnya dengan standar guna melihat adanya penyimpangan Supervisor (pengawas) memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung jawabnya. Pengawas juga memonitor kinerja pekerja, yang mana hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk kesuksesan program. Ada enam petunjuk praktis bagi pengawas: 52 a. Merekognisi pentingnya peran supervisor. Sikap kepemimpinannya sangat dibutuhkan apalagi pada saat memutuskan suatu permintaan persetujuan apakah “ya” atau “tidak” dan pemberian
rekomendasi
mengenai
para
pekerjanya, supervisor juga berperan sebagai pelatih dan pengarah. b. Mengidentifikasi
gejala-gejala
atas
berkembangnya
permasalahan-
permasalahan. Gejala-gejala ini termasuk gejala perubahan perilaku,
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
32
keadaan emosional yang sulit, masalah-masalah kesehatan, dan perubahan kinerja. c. Mendokumentasikan bentuk bentuk kinerja. Para supervisor berkewajiban untuk
mencatat
fakta-fakta
mengenai
kinerja
pekerja
dan
melaksanakannya dalam lingkungan kerja. d. Mendiskusikan kinerja
kepada pekerja. Para supervisor
seharusnya
berdiskusi dengan pekerja yang perilakunya dibawah standar atau kinerja menurun. e. Belajar
mendengarkan;
mendengar
untuk
belajar.
Kuncinya
adalah
adanya keinginan seseorang untuk memahami apa gangguan sebenarnya yang ada pada seseorang. f. Mengetahui kapan mengarahkan seseorang pekerja perlu mendapatkan bimbingan.
Peran seorang pengawas sangat penting dan harus dapat memanfaatkan waktu
dengan
baik
dalam
berbicara
untuk
mmberitahukan
ataupun
memberikan teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat kerja. Kontak secara personal
harus
dilakukan
sesering
mungkin
untuk
mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan UU No. 18 tahun 1999 pasal 9
menyatakan bahwa pengawas konstruksi
orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian.53 Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya. Beberapa hal
yang harus diperiksa saat melakukan pengawasan
menurut
Grimaldi dan Simonds: a. Keadaan peralatan yang digunakan b. Letak peralatan pengaman c. Kemungkinan masih adanya kondisi bahaya d. Lorong dan jalan yang dilalui
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
33
e. Penataan material f. Apakah pekerja mengikuti peraturan yang ada. 2.6
Pendekatan Fenomenologis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia fenomena didefinisikan sebagai hal-hal yg dapat disaksikan dng pancaindra dan dapat diterangkan serta
dinilai secara ilmiah (spt fenomena alam) Seperti yang dikutip dari Creswell (1998), “ studi fenomenologi mendeskripsikan arti dari pengalaman yang hidup untuk beberapa individu tentang sebuah konsep atau fenomena. Fenomenologist menjelajahi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia”. Tujuan dari pendekatan fenomenologi adalah untuk mengiluminasi dan mengidentifikasi fenomena melalui sebagaimana ia diterima oleh aktor dari situasi tersebut. Dalam kata lain untuk menerjemahkan melalui pengumpulan informasi mendalam dan persepsi melalui metode kualitatif, induktif seperti wawancara, diskusi, observasi partisipan, dan menyajikannya dari sudut pandang partisipan penelitian. Fenomenologi menitikberatkan pada studi pengalaman dari perspektif individu. Secara epistemologi pendekatan fenomenologi didasari oleh paradigma dari pengetahuan personal dan subjektivitas, dan mengembangkan pentingnya perspektif dan interpretasi personal. Dibutuhkan pengertian yang kuat untuk mengerti sebuah pengalaman subjektif, mendapatkan insight dari motivasi dan tindakan seseorang dan memotong asumsi dan kebijaksanaan konvensional.54 Pada penelitian fenomenologis, peneliti mencari struktur esensial dari makna yang mendasari sebuah pengalaman dan mendeskripsikan intensi dari kesadaran atau “dimana pengalaman mengandung penampilan luar dan kesadaran dalam diri berdasarkan ingatan, kesan, dan arti”. Stewart dan Mickunas (dalam Creswell, 1998) melihat empat tema yang harus dimiliki oleh fenomenologist. Pertama adalah apa yang mereka sebut sebagai kembalinya filosofi, atau pencarian kebijakan sebelum ia menjadi “terpikat dengan ilmu pengetahuan empiris”. Kedua adalah konsep mengenai epoche, atau menunda semua penilaian tentang apa yang diasumsikan untuk menjadi nyata sampai basis yang lebih pasti ditemukan. Ketiga
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
34
adalah kesadaran yang diintensikan atau realisasi bahwa sebuah realita berhubungan dengan kesadaran itu sendiri. Terakhir adalah penolakan terhadap subjek-objek dikotomi atau menerima “kenyataan sebuah objek adalah hanya dirasakan dalam arti dari pengalaman seseorang”. 54 2.7
Gambaran Umum Proyek konstruksi
2.7.1
Karakteristik Kegiatan Konstruksi
Karakteristik kegiatan konstruksi adalah:5 a. Memiliki masa kerja terbatas b. Melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar c. Melibatkan banyak tenaga kerja kasar (buruh) yang berpendidikan relatif rendah d. Memiliki intensitas kerja yang tinggi e. Bersifat multidisiplin dan multi-crafts f. Menggunakan peralatan kerja beragam, jenis teknologi, kapasitas dan kondisinya g. Memerlukan mobilisasi yang tinggi (peralatan, material, dan tenaga kerja). 2.7.2
Karakteristik Pekerja Konstruksi Pekerja konstruksi sangat berbeda karakteristiknya dengan pekerja di
sektor industri atau pekerjaan formal lainnya. Salah satu karakteristik pekerja konstruksi adalah mobilitasnya yang sangat tinggi dan cenderung tidak terikat dalam satu perusahaan tertentu.6 Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi mencapai sekitar 4.5 juta orang. Dari jumlah tenaga kerja konstruksi 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
35
keterampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.60 2.7.3
Jenis-jenis Pekerja Proyek Konstruksi:17
a. Mason (tukang batu) yang bertugas membuat lantai kerja dan pengecoran. b. Carpenter (tukang kayu) bertugas menangani pekerjaan yang berhubungan dengan kayu, seperti bekesting. c. Electrician (tukang listrik) d. Welder (tukang las) e. Steel fixer f. Heavy Equipment Operator (operator alat berat) g. Plumber (pemasang pipa) h. Framer i. Laborer j. Crane Operator k. Painter (tukang cat) l. Roofer (pembuat atap) m. Cement Finisher n. Cladding Fixer o. HVAC Fixer
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
36
2.7.4 Alat Pelindung Diri Sesuai dengan Jenis Pekerjaan Konstruksi Tabel 2.3. Alat Pelindung Diri Sesuai dengan Jenis Pekerjaan Konstruksi Jenis pekerjaan Mason (tukang batu)
Jenis alat pelindung diri 61
Carpenter (tukang kayu)62
Hard hats Boots Safety glasses and face shields Hearing protection Gloves (Respiratory protection)
General Installation and demolition Safety Glasses with side shields Safety Shoes Voluntary hearing protection Sawing, spraying, scraping or sanding activities where there are flying particles + Safety Glasses with side shields Welding helmet Hand shield Goggles Respirators Fire/Flame resistant clothing and aprons Ear muffs, ear plugs Boots Gloves
Welding 63
Electrician 64
Heavy equipment operator (Operator alat berat)65
Safety helmets yang tidak mengkonduksi aliran listrik Safety glasses Insulating gloves. Sarung tangan harus diukur sesuai level voltase yang akan digunakan Safety footwear. Boots yang tidak mengkonduksi aliran listrik Insulating mats Pakaian harus: menutupi lengan dan tungkai, tertutup, terbuat dari bahan katun dan serat alami lainnya. Steel toe safety footwear (minimum 6” ankle height) Safety glasses Reflective vest or reflective marked coveralls Hard hat (disarankan berwarna kuning, bukan putih) Hearing protection Work gloves
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
37
2.7.5
Gambaran Umum Tempat Penelitian
2.7.5.1 Profil Perusahaan Konstruksi Perusahaan konstruksi yang menjadi tempat penelitian merupakan perusahaan BUMN jasa konstruksi yang berdiri pada tahun 1973, dengan wilayah operasi yang terbagi dalam enam kantor divisi yang tersebar diseluruh Indonesia. Perusahaan ini mempunyai karyawan tercatat berjumlah 609 orang dengan 309 tenaga berpendidikan SI, S2 Teknik dan non Teknik serta 94 orang Diploma Teknik dan non Teknik. Pelayanan jasa konstruksi meliputi irigasi dan bendungan, dermaga, bangunan industri, jaringan pipa, bandara, power plant, rumah sakit, apartemen dan hotel , jalan layang dan jembatan, jalan raya dan tol, bangunan pemerintah, bangunan perkantoran, sekolah, stadion. Angka kecelakaan kerja pada perusahaan konstruksi ini tercatat zero accident dengan angka near miss yang belum tercatat. Visi dan misi perusahaan ini adalah: Visi
Menjadi perusahaan jasa konstruksi lima besar di Indonesia
Misi
Mencapai pertumbuhan diatas rata-rata
Membangun SDM unggul dan tangguh
Mewujudkan kinerja ekselen
Tumbuh bersama mitra kerja
Peduli kepada lingkungan
2.7.5.2 Profil Proyek Konstruksi di Tanjung Priok Proyek konstruksi di Tanjung Priok merupakan salah satu proyek perusahaan yang sedang berjalan dan menangani pembangunan dermaga yang dimulai sejak tahun 2012. Jumlah karyawan manajemen proyek adalah 25 orang serta pekerja lapangan yang berjumlah 80-100 orang.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
38
Sistem perekrutan pekerja konstruksi di perusahaan ini adalah melalui jasa subkontraktor dengan ketentuan yang disediakan perusahaan. Pekerja konstruksi direkrut oleh mandor dan subkontraktor berdasarkan preferabilitas mandor dengan spesifikasi yang dipilih oleh mandor dan subkontraktor.
Struktur organisasi proyek pembuatan dermaga di pelabuhan Tanjung Priok:
Job Description
Project Manager Memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan produksi di proyek dan usaha lain demi kelancaran proyek
Deputy Project Manager Memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan produksi di proyek dan usaha lain demi kelancaran proyek
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
39
Site Manager Melaksanakan kegiatan Kepala Proyek di bidang pelaksanaan pekerjaan
Office Engineer Melaksanakan bagian kegiatan pelaksanaan Kepala Proyek khususnya di bidang administrasi teknik untuk kelancaran pelaksanaan dan monitoring mutu, waktu dan biaya proyek
Adm. Keuangan dan SDM Melaksanakan bagian kegiatan pelaksanaan proyek di bidang administrasi keuangan dan dokumen pembayaran serta menyiapkan laporan keuangan dan SDM proyek
Logistik dan Peralatan Melaksanakan bagian kegiatan Kepala Proyek di bidang logistik
Pelaksana HSE dan K3 Mengendalikan pelaksanaan mutu K3 dan dokumen mutu
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
Universitas Indones
2.9
Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam perilaku
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja proyek konstruksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disusunlah kerangka berpikir dalam penelitian ini dengan mengadopsi teori Green
(1980) dan Skinner (1974) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya suatu perilaku. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pekerja konstruksi dalam penggunaan APD, maka peneliti melihat dari berbagai faktor, yaitu Predisposing factor (faktor pendorong) dari faktor-faktor yang mendahului terjadinya perilaku seseorang seperti: pengetahuan, persepsi, dan sikap. Kemudian Enabling factors (faktor pemungkin) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku penggunaan APD, seperti ketersediaan APD dan peraturan dan pelatihan penggunaan APD. Dan Reinforcing factors (faktor penguat) adalah faktor-faktor yang menguatkan pekerja untuk berperilaku menggunakan APD, yang terwujud dalam bentuk pengawasan dan penguatan.
Universitas Indones Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
42
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka pikir penelitian adalah sebagai berikut: Predisposing Factors Tingkat pendidikan Konsep diri didalamnya: (Persepsi, intensi dan pengalaman risiko kecelakaan kerja dan APD) Pengetahuan tentang risiko kecelakaan kerja dan APD Sikap terhadap penggunaan APD
Enabling Factors Status pekerjaan Ketersediaan APD
Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Peraturan dan SOP tentang APD Pelatihan informasi dan penggunaan APD
Reinforcing Factors Pengawasan penggunaan APD Penguatan (sanksi dan reward)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1
Desain Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui berbagai fakta
yang mendasari perilaku pekerja dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Untuk itu peneliti memilih untuk menggunakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi guna mempelajari fenomena mengenai penggunaan APD yang terjadi pada manajemen dan pekerja proyek konstruksi . 3.2
Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data
sudah dilakukan di sebuah proyek konstruksi di
wilayah Tanjung Priok dengan waktu penelitian Juni 2013- Januari 2014 3.3
Informan Penelitian Informan diambil dari Kepala K3 perusahaan, manajemen proyek,
pengawas proyek, mandor konstruksi dan pekerja proyek konstruksi di wilayah Tanjung Priok. 3.4
Jumlah Informan Jumlah informan penelitian kualitatif yaitu pada kelompok pekerja
konstruksi berjumlah 7 orang pada diskusi pertama dan 6 orang pada diskusi kedua. Informan dari kelompok mandor sebanyak 3 orang, manajemen proyek berjumlah 3 orang dan manajemen perusahaan berjumlah 2 orang dengan total keseluruhan informan adalah 21 orang.
3.5 Cara Pemilihan Informan Informan dibagi menjadi empat kelompok dengan perincian: a. Kepala K3 perusahaan (terdahulu dan yang sedang menjabat) dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan peraturan perusahaan mengenai APD b. Kelompok manajemen proyek di Tanjung Priok yang terdiri dari manajer proyek, wakil manajer proyek, kepala proyek, HSE, OE (Office Engineering), 43
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
44
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan, peraturan, SOP, serta ketersediaan APD
yang terdapat pada proyek konstruksi di
Tanjung Priok c. Kelompok pengawas dan mandor proyek untuk mengetahui peraturan dan pengawasan yang dilakukan di proyek Tanjung Priok d. Kelompok pekerja proyek dari proyek konstruksi di Tanjung Priok secara purposive di wilayah Tanjung Priok dipilih secara acak berdasarkan kehadiran saat penelitian. 3.6
Instrumen dan Alat Penelitian
3.6.1
Instrumen Penelitian
3.6.2
3.7
Pedoman wawancara
Formulir biodata responden
Alat Penelitian
Alat tulis kantor dan buku catatan
Tape recorder
Kamera
Sumber Data
3.7.1. Data Primer Data primer didapatkan dari hasil Focus Group Discussion (FGD)serta wawancara mendalam (in-depth interview) dengan pedoman wawancara yang telah ditetapkan sebelumnya serta dokumentasi rekaman yang berhubungan dengan responden penelitian. 3.7.2
Data sekunder Untuk data sekunder, berupa data yang diperoleh dari perusahaan tempat
penelitian dilakukan, seperti profil perusahaan dan pekerja, jurnal, studi dan penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian, serta sumber bacaan (textbook) yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Peneliti menggunakan data sekunder untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan responden.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
45
3.8
Cara Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan: 3.8.1
Wawancara mendalam ( in-depth interview) Wawancara mendalam dilakukan kepada kepala K3 perusahaan dengan waktu ± 60 menit
3.8.2
Focus Group Discussion (FGD) FGD dibagi menjadi empat kelompok dengan minimal diskusi tiga kali pertemuan dengan jumlah peserta sebanyak 6 orang dan 7 orang dalam tiap
kelompok
dengan
menggunakan
interview
guide (panduan
wawancara) dengan peneliti sebagai moderator dibantu oleh satu orang asisten dengan perincian: a. Kelompok manajemen proyek di Tanjung Priok dengan waktu ±60 menit. b. Kelompok pengawas dan mandor proyek di Tanjung Priok dengan waktu ±60 menit. c. Kelompok pekerja proyek setiap kali pertemuan, dengan waktu ±60 menit. FGD dapat dilakukan lebih dari satu kali pertemuan dengan informan yang berbeda jika informasi yang didapatkan belum memuaskan. 3.8.3
Pengamatan dan dokumentasi Pengamatan dan dokumentasi proses kerja, kebiasaan dan perilaku pekerja dalam penggunaan APD serta proses FGD menggunakan kamera dan video
kamera serta tape recorder dan wawancara mendalam menggunakan tape recorder 3.9 Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Mengumpulkan semua data yang diperoleh dari seluruh informan melalui FGD,wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi b. Hasil FGD dan wawancara mendalam dicatat kembali, berdasarkan rekaman yang diperoleh pada saat diskusi grup ke dalam bentuk tulisan (transkrip).
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
46
c. Data yang
telah disusun
dalam bentuk transkrip data selanjutnya
dikategorisasi dalam bentuk matriks. d. Selanjutnya dilakukan analisis data dan interpretasi data secara kualitatif dan membandingkannya dengan teori yang ada. 3.10
Pengujian Keabsahan Data Pengujian keabsahan data dalam
penelitian
kualitatif
menggunakan
metode triangulasi sumber, metode, penyidik, dan teori. 3.11
Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan matriks berdasarkan
unsur-unsur yang diteliti. 3.12
Pertimbangan Etik Penelitian yang dilakukan menganut pada kaidah etika penelitian yang
berlaku pada Universitas Indonesia, yaitu: a. Menghormati Peneliti mengutamakan kesehatan dan keselamatan responden daripada kepentingan penelitian. b. Bermanfaat. Penelitian mengacu pada norma yang mengharuskan agar risiko akibat suatu penelitian harus lebih kecil dari keuntungan yang diharapkan. c. Tidak membahayakan subyek penelitian Peneliti selalu waspada dan melindungi keselamatan responden dari kemungkinan bahaya yang bisa timbul selama penelitian. d. Keadilan Semua
perlakuan
terhadap
responden
dilakukan
secara
adil
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
PENGERTIAN 1. Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang diemban informan sebelum menggeluti pekerjaan dibidang konstruksi. Didapatkan dari hasil diskusi serta pengisian biodata FGD 2. Status pekerja merupakan status informan sebagai pekerja di perusahaan konstruksi, dibagi menjadi pekerja tetap dan pekerja lepas. Status per informan didapatkan berdasarkan hasil diskusi 3. Pengetahuan termasuk didalamnya adalah pengertian informan mengenai APD, fungsinya serta risiko kecelakaan kerja pada proyek konstruksi 4. Konsep diri pekerja termasuk didalamnya persepsi, intensi, serta pengalaman informan tentang dirinya serta yang berhubungan dengan pekerjaan dalam bidang konstruksi 5. Sikap sebagai kecenderungan informan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap semua objek dan situasi yang berhubungan dengan risiko kecelakaan kerja serta penggunaan APD di bidang konstruksi. 6. Peraturan adalah dokumen mengenai K3 terutama mengenai APD yang mendokumentasikan standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan, didapatkan berdasarkan peraturan tertulis perusahaan, hasil wawancara dengan manajemen perusahaan serta dokumen terkait lainnya 7. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan
untuk menjamin bahwa
setiap pekerjaan konstruksi dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh manajemen, supervisor lapangan serta mandor
Universitas Indones Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 4 HASIL PENELITIAN Pengambilan data dilakukan dengan membagi narasumber menjadi empat kelompok, yaitu kelompok pekerja konstruksi, mandor, manajemen proyek dan manajemen perusahaan. FGD dilakukan pada tiga kelompok, yaitu kelompok pekerja konstruksi, mandor, dan manajemen proyek. Telah dilakukan dua kali FGD pada kelompok pekerja konstruksi dengan jumlah informan setiap diskusi adalah tujuh orang pada diskusi pertama dan enam orang pada diskusi kedua yang dipilih secara acak berdasarkan kehadiran saat penelitian dilakukan yang diharapkan dapat mewakili pekerja konstruksi dari dua area yang berjumlah sekitar 9 sampai 50 orang yang bekerja pada lokasi penelitian. Diskusi kelompok mandor dilakukan dengan informan sebanyak tiga orang, yaitu mandor lapangan yang sedang menjabat saat itu dengan rincian: mandor lapangan dan mandor alat berat yang kesemuanya adalah mandor yang membawahi pekerja konstruksi yang bekerja di proyek yang bersangkutan. Manajemen proyek yang mengikuti diskusi adalah Deputi Proyek Manajer (DPM) , Office Engineer (OE), dan Petugas K3 (HSE) yang cukup untuk mewakili informan dari struktur organisasi manajemen proyek sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan di proyek. Wawancara mendalam dilakukan dua kali pada manajemen perusahaan dengan narasumber Kepala K3 yang lama dan yang baru menjabat, yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kebijakan perusahaan untuk mendukung penelitian ini. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juni 2013- Januari 2014.
49
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
50
4.1
Profil Informan Profil
Pekerja
Mandor
Manajemen
Manajemen
konstruksi
(orang)
proyek
perusahaan
(orang)
(orang)
(orang) 2
-
-
-
20-25 tahun
2
-
-
-
25-30 tahun
5
1
2
-
30-35 tahun
4
1
1
-
>35 tahun
-
1
-
2
Masa Kerja
1
-
1
-
1-5 tahun
8
2
1
1
6-10 tahun
1
1
-
1
>10 tahun
2
-
1
-
Pendidikan
9
-
-
-
4
3
3
-
S1
-
-
-
1
>S1
-
-
-
1
Umur < 20 tahun
<1 tahun
≤SMP SMA dan sederjat
Penyajian data penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat sebelumnya, yaitu
Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja
Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai)
Sikap terhadap penggunaan APD
Status pekerja dan tingkat pendidikan
Kemampuan membeli APD
Peraturan dan pelatihan mengenai APD
Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
51
4.2
Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja
Secara umum pengetahuan dasar pekerja mengenai jenis dan manfaat APD sudah cukup baik ditandai dengan hampir semua pekerja konstruksi mengetahui jenis APD yang wajib digunakan di lapangan sehari-hari, seperti helm dan, sepatu boot, sisanya adalah APD yang digunakan sesuai kebutuhan pekerjaan seperti sarung tangan, body harness, sling, goggle, sarung tangan, pelampung dan masker. Kalimat dengan cetak miring adalah kutipan hasil diskusi, seperti yang dijelaskan sebagai berikut: “Buat ngelindungin diri pas kerja, kayak sepatu boot, helm, sarung tangan” (O, Pekerja lepas) “Sepatu biar gak kena benda tajam, kaki gak bengkak, sarung tangan buat ngerjain barang berat kayak kaca dan kayu, helm buat ngelindungin kepala pas jatuh” (R, Pekerja lepas)
Sedangkan pengetahuan akan manfaat APD secara lebih dalam belum cukup baik dimana pekerja menganggap bahwa APD digunakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, bukan mengurangi dampak dari kecelakaan kerja: “helm bikin gerah, berat, kalo kejatuhan barang tetep gak kuat, tetap ketimpa” (O, Pekerja lepas) “kalau pake boot jadi gak bisa berenang kalau jatuh nanti” (M, Pekerja lepas)
Keadaan ini juga ditemukan pada FGD dengan kelompok mandor dimana pada kelompok mandor didapatkan pengetahuan yang lebih baik dimana mandor sudah memiliki pengetahuan bahwa tujuan APD adalah untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan jika terjadi kecelakaan kerja, bukan mencegah. “Kalau lagi ngerjain besi pake sarung tangan, pengelasan pake kacamata” (D, Mandor) “Susah ya, kalau disini sih tidak terlalu resiko. Helm juga gak jamin karena cuma mengurangi resiko aja” (A, Mandor)
Mengenai risiko kecelakaan kerja dan dibeberkan oleh informan lebih kepada contoh sehari-hari “Pasti penting, tapi kalau diarahin buat dipakai susah, tetap kita harus terus awasin, yang paling itu kalau ada pengelasan diatas 3 meter harus makai body harness, itu risiko tinggi jadi saya tungguin kerjanya” (A, Mandor) “Perlu, untuk keselamatan diri sendiri” (R, Pekerja lepas)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
52
Mandor mendeskripsikan kemungkinan kecelakaan kerja yang dapat terjadi yang sebagian besar lebih berdasarkan pengalaman. “Kalau kecelakaan ketimpa, helmet pecah, atau faktor alam misalkan barang 10 ton kena kepala, yang patah bagian alat untuk tiang pancang lalu kena ke operatornya”( A, Mandor)
Risiko kecelakaan kerja oleh pekerja konstruksi masih dipandang sebagai hal yang biasa yang tidak menimbulkan risiko yang besar bagi kesehatan dan keselamatan. “Kemarin ini saya kecebur kelaut pas ngerjain proyek didepan. Tapi gak kenapa-kenapa, pake pelampung” (sambil tertawa). (Diiringi tertawaan peserta FGD lainnya) (O, Pekerja lepas) “Saya sering keinjak paku, gapapa cuma luka kecil aja, bisa kerja lagi”(R, Pekerja lepas) “Gak pernah. Hati-hati aja biar gak celaka. Paling parah saya cuma pernah ketusuk pancingan saat kerja malam pas lembur. Yang lain alhamdulillah belum pernah” (F, Pekerja lepas)
Beberapa pekerja tidak terlalu mempedulikan risiko kecelakaan karena pengalaman saat bekerja sebagai pekerja konstruksi tidak pernah mengalami kecelakaan kerja “Gak pernah ngalamin kecelakaan, contoh kecelakaan gak tahu (sambil bengong)” (De, Pekerja lepas)
Walaupun begitu ada beberapa pekerja yang menganggap risiko kecelakaan kerja begitu besar sehingga menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan kematian “Bisa meninggal” (M, Pekerja lepas) “Nimpa kena sobek kepalanya kalo di pemancangan, sering liat kalo di pemancangan, putus talinya ya ketimpa, sampe meninggal”(A, Pekerja lepas)
Sedangkan dari kelompok mandor sebagian besar sepakat jika besarnya risiko kecelakaan kerja tergantung dengan jenis proyek yang ditangani, semakin kompleks jenis pekerjaan konstruksi yang ditangani semakin besar risiko kecelakaan kerjanya, seperti bekerja di ketinggian. “Berisiko, kalau kerjaan ini sekarang tidak terlalu rawan, paling kesandung atau kena paku. Yang rawan itu di kerjaan flyover atau gedung, jadi tergantung lokasi kerja”(F, Mandor)
Beberapa mandor menyatakan belum pernah mengalami kejadian kecelakaan fatal, yang diartikan fatal adalah yang memakan korban jiwa ataupun kehilangan anggota tubuh sehingga tidak dapat bekerja kembali. Kecelakaan kecil yang tidak
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
53
menghilangkan hari kerja dianggap wajar terjadi sehubungan dengan risiko pekerjaan konstruksi yang besar “Saya selama ini belum pernah lihat kecelakaan besar sampai meninggal contohnya, hanya kecelakaan kecil seperti kesandung, paling kejepit. Yang fatal belum pernah”(F, Mandor)
Manajemen proyek serta Kepala K3 lebih menitikberatkan kepada keberhasilan perusahaan yang telah berhasil mewujudkan zero accident di lapangan sehingga pengetahuan akan manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja dilapangan menjadi “terkesan ditinggalkan”, asalkan kecelakaan fatal belum pernah terjadi. FGD pekerja konstruksi dilaksanakan dalam keadaan santai dimana pekerja menanggapi setiap pertanyaan dengan humor antar teman sedangkan diskusi mandor ataupun manajemen proyek dilakukan dalam keadaan formal. Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat keterbatasan pengetahuan pekerja konstruksi tehadap APD dan manfaat APD dimana pengetahuan hanya terbatas kepada pengetahuan praktis tanpa disertai dengan pengertian yang tepat mengenai manfaat APD. Sedangkan mandor memiliki pengetahuan yang cenderung lebih baik dibandingkan dengan pekerja konstruksi. Risiko kecelakaan kerja oleh pekerja konstruksi masih dipandang sebagai hal yang biasa yang tidak menimbulkan risiko yang besar bagi kesehatan dan keselamatan. Manajemen perusahaan lebih mentikberatkan kepada keberhasilan pencapaian zero accident di tempat kerja. 4.3
Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai)
Persepsi
informan
bermacam-macam,
diantaranya
adalah
pekerja
yang
menganggap pekerjaannya adalah pekerjaan yang sulit dan membutuhkan kemampuan tinggi yang tidak dimiliki semua orang “Saya dulu PNS, tapi keluar, saya sudah kerja kemana-mana makanya pengalaman dibutuhkan. Kalo gak ada kita mana bisa jadi bangunan.”(N, Pekerja lepas)
Sebagian besar informan menganggap bahwa pekerjaan konstruksi adalah keharusan karena digunakan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keluarga. Faktor ekonomi masih menjadi alasan utama mengapa mereka memilih pekerjaan di bidang konstruksi.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
54
“Berisiko, namanya kerjaan kasar ya, tapi namanya pekerjaan, ya disyukuri saja” (M, Pekerja lepas) “Ya karena sudah punya tanggung jawab, butuh finansial jadi harus betah, kalo gak disini ya dimana lagi” (R, Pekerja lepas)
Informan pekerja konstruksi dari FGD pertama sebagian besar berasal dari daerah yang sama, tetapi informan pada FGD kedua didapatkan asal yang lebih bervariasi “bukan satu kampung, kampungnya mah beda, tapi sama-sama dari Sukabumi, dibawa sama Firman (Mandor) yang ajak” (R, Pekerja lepas)
Selain sebagai keharusan dan mata pencaharian, ada yang tetap berada di pekerjaan konstruksi karena sudah terbiasa dengan pekerjaan ini “Kalo dikerjaan lain gaji lebih gede tapi bukan soal gaji juga walau risiko lebih kecil. Kita udah biasa disini, kalo kita gak mau kerja siapa lagi yang mau” (A, Pekerja lepas) “Udah biasa kerja beginian”(P, Pekerja lepas)
Adapun beberapa informan terkesan pasrah atas pekerjaannya, pekerjaan sebagai pekerja konstruksi dianggap oleh sebagian besar pekerja adalah bukan suatu pilihan, melainkan keharusan untuk memenuhi kebutuhan hidup dimana menganggap keterampilan di bidang konstruksi adalah hal yang lumrah tanpa membutuhkan keahlian khusus. “iya, siapa lagi yang mau kerja, susah sekarang kerjaan konstruksi” “ya kalo gak mau kerja apa lagi” (R, Pekerja lepas) “ iya, saya ikut temen karena diajak, ada kerjaan ya ayo aja”(De, Pekerja lepas)
Lama kerja di bidang konstruksi serta mempengaruhi persepsi pekerja mengenai risiko pekerjaannya, bagi informan yang sudah memiliki pengalaman bertahuntahun sudah mengerti mengenai bahaya pekerjaan konstruksi tetapi sebagian besar menyebutkan pengalaman sebagai hal yang penting untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja, terlebih informan sendiri belum pernah mengalami kecelakaan kerja, selain pemahaman pentingnya menggunakan APD saat bekerja “Kalau sendiri belum pernah, paling kayak barang jatuh dari atas kalo pekerjaan gedung, kadang ada kaitan barang yang copot terus jatuh nimpa, kalo diketinggian kalo ga pake body harness” (N, Pekerja lepas) “kadang kalau kurang teliti, teledor, makanya harus ada pengalaman” (N, Pekerja lepas)
Sedangkan informan yang baru menggeluti pekerjaan ini dengan masa kerja dibawah 5 tahun lamanya masih menganggap pekerjaan konstruksi sebagai pekerjaan biasa tanpa belum berpikir panjang mengenai risiko pekerjaan konstruksi dengan hanya menjawab singkat bahwa mereka belum pernah kecelakaan (disertai dengan candaan beberapa informan)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
55
“ belum pernah kecelakaan”(R, Pekerja lepas)
Hal ini berkorelasi dengan tanggapan beberapa informan dengan masa kerja yang relatif baru dibidang konstruksi dimana mereka memasuki pekerjaan ini karena mengikuti teman “saya sebelumnya servis AC, baru 2 bulan ini kerja di konstruksi, ini proyek pertama saya, ikut aja sama teman” (menunjuk teman disebelahnya) (De, Pekerja lepas)
Konsep diri juga dipengaruhi oleh significant others seperti keluarga yang tercermin dari jawaban informan atas kekhawatiran keluarga akan keselamatan informan serta bagaimana tanggapan informan tentang keluarganya sebagai berikut “tau, cuma kalau detailnya kan gak tau kita ngapain aja”(A, Pekerja lepas) “tau, ya khawatir tapi ya namanya kerjaan, makanya harus pengalaman” (N, Pekerja lepas) “tau, namanya butuh uang ya mau gimana lagi” (R, Pekerja lepas)
Terlihat bagaimana keluarga kurang berperan dalam mempengaruhi konsep diri informan dikarenakan terbatasnya informasi dan pengertian yang diberikan oleh informan kepada keluarganya mengenai pekerjaannya. Significant others seperti keluarga kurang berperan dalam membentuk suatu konsep diri yang baik akan pekerjaan ini dikarenakan kurangnya informasi yang diberikan oleh para pekerja kepada keluarganya mengenai deskripsi pekerjaan yang mereka lakukan serta risiko pekerjaan yang mungkin dapat terjadi. Dapat disimpulkan bahwa konsep diri pekerja konstruksi menganggap bahwa bekerja di bidang konstruksi bukan merupakan pilihan melainkan sebagian besar menganggapnya sebagai “keterpaksaan” akibat tuntutan ekonomi dan pekerjaan konstruksi bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus walaupun terdapat beberapa orang yang menganggap bahwa bekerja di konstruksi membutuhkan keahlian khusus. Lama kerja dan pengalaman kerja berperan kepada bagaimana pekerja memandang pekerjaan dan risiko pekerjaan konstruksi dimana pekerja yang sudah lama bekerja dibidang ini lebih mengandalkan pengalaman untuk menghindari kecelakaan kerja sedang bagi pekerja yang baru menggeluti pekerjaan ini ataupun yang belum memiliki pengalaman di bidang konstruksi
sebelumnya
lebih
terkesan
belum
tanggap
terhadap
risiko
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
56
pekerjaannya. Significant others seperti keluarga kurang berperan terhadap pekerja konstruksi dalam menjalankan pekerjaannya. 4.4
Status pekerja dan tingkat pendidikan
Dapat disimpulkan bahwa belum terdapat keseragaman dalam pemilihan pekerja konstruksi, baik dalam hal kemampuan dan keahlian ataupun pengalaman kerja semua pekerja konstruksi merupakan pekerja lepas. “lepas” (O,R,M,F, Pekerja lepas) “semua pekerja disini lepas, sesuai mandor, kita mah ikut mandor aja, kalo ada proyek lain ikut” (R, Pekerja lepas)
Tingkat pendidikan berkisar antara tidak bersekolah sampai SMA dengan yang terbanyak adalah SMP. “ sampe SMP terus kerja cari duit”(R, Pekerja lepas) “SMA aja gak lulus (sambil tertawa)”(O, Pekerja lepas)
Hanya manajemen proyek yang merupakan pekerja tetap dari perusahaan “Implementasi personal, mandornya harus menetapkan kriteria dan ada sosialisasi dari mandor ke pekerja”(D, Manajemen proyek)
Jika dilihat dari segi pekerja konstruksi, pemilihan pekerja konstruksi adalah berdasarkan kebijakan masing-masing mandor: “Siapa saja bisa asal mau kerja keras. Kebanyakan pekerja saya berasal dari daerah yang sama, Sukabumi, walaupun kampungnya beda-beda”(Fi, Mandor) “Kalau saya tetap dari kantor yang milihin, yang milihin kantor pekerjaannya karena skill yang dibutuhkan beda-beda. Sekarang kerjaan konstruksi banyak, jadi ya pekerjanya juga jadi rebutan, kalau proyek ada yang lebih besar mereka pilih di tempat lain”(A, Mandor)
Mandor yang bertanggung jawab di proyek ini memiliki tingkat pendidikan yang serupa, yaitu SLTA. Kelompok mandor ini memiliki status pekerjaan yang berbeda dimana dua orang merupakan pekerja dari subkontraktor yang dipilih untuk menangani proyek yang sedang berjalan: “Saya dari Berdikari, 10 tahun jadi operator crane kemudian setelah itu 5 tahun jadi mandor, anak buah saya sekarang 10 orang itu masing-masing dibagian riger, welder, operator” (A, Mandor) “Saya di Adamas posisi mandor tapi mandiri dari perusahaan, sudah 3 tahun di Adamas, dulunya sebelum mandor saya pedagang”(D, Mandor)
Sedangkan satu orang lain merupakan mandor mandiri: “Saya sudah 4 tahun di Nindya, sekarang anak buah saya 35 orang” (Fi, Mandor)
Sebagian besar pekerja konstruksi tidak diketahui riwayat pekerjaan sebelumnya akibat belum adanya standar yang diterapkan oleh perusahaan dalam hal Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
57
pemilihan pekerja konstruksi. Selama ini kebebasan pemilihan pekerja konstruksi diserahkan kepada mandor selaku personil yang membawahi langsung pekerja konstruksi “Untuk kebutuhan ditetapkan tetapi tidak diketahui riwayat pekerja tersebut sebelumnya.kalau di perusahaan kecil mereka belum terbiasa dengan K3. Pilihan tempat kerja juga dari pekerjaannya. Kalau mau menetapkan standar sendiri agak susah” (D, Manajemen proyek) “Banyak yang memilih pekerjaan lain seperti TKI karena ada kenaikan harga. Biaya untuk tenaga kerja di proyek tidak naik secara signifikan. Ada yang tidak mau kerja kasar” (D, Manajemen proyek)
Kepala K3 berpendapat bahwa pekerja konstruksi memiliki kesadaran diri yang rendah yang berhubungan juga dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah. “Bedanya konstruksi dengan di pabrik itu kalau di konstruksi banyak orangnya, pendidikan rendah, ekonomi rendah tidak peduli keselamatan dan tidak menghargai diri sendiri karena menganggap hal itu sudah lumrah untuk itu perlu dikontrol” (H, Kepala K3)
Pemilihan pekerja konstruksi lebih didasarkan kepada preferabilitas masingmasing mandor yang diberikan keleluasaan untuk memilih pekerja yang akan dipakai, hanya segelintir yang menjalankan pemilihan dengan spesifikasi keahlian khusus sebagai pekerja konstruksi. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan mandor juga berpengaruh terhadap sikap dan pengertian mandor kepada pekerja konstruksi dimana terdapat ketidakseragaman pengalamanan kerja mandor sebelumnya, beberapa informan tidak memiliki pengalaman kerja dibidang konstruksi sebelumnya.
4.5
Sikap terhadap penggunaan APD
Penggunaan APD saat bekerja disikapi oleh pekerja sebagai suatu yang diperlukan tetapi kurang dianggap penting dan bukan keharusan dalam bekerja, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor
yaitu ketidaknyamanan saat bekerja
menggunakan APD dengan keluhan sakit kepala, panas dan berat serta tidak leluasa saat bergerak diruangan yang sempit saat menggunakan helmet, panas, menyebabkan luka lecet “Kalo di NK ini helmnya berat, yang lain itu ada tipe helm yang ringan”(R, Pekerja lepas) “Sepatunya gak nyaman, suka lecet, panas” (De, Pekerja lepas) “Kaya misal dipemancangan, mengarahkan untuk meneliti dulu sebelum kerja, mesin dicek, kalo ada yang gak bener dibenerin dulu, kalo sling gak bagus ya harus diganti, diorder lagi. Kalau
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
58
saya pake helm ya pasti karena di crane kan, jadi itu pasti, sama google. Tapi kendalanya operator kalo pake helm itu kan udah ada pelindung dari atap mobil, makanya kadang suka gak pake karena pusing kalo pake, rasanya aneh, ukuran sih cocok tapi tetep aja pusing kalo dipake”(A, Pekerja lepas)
Yang diikuti persetujuan dari mandor: “Sakit kepala kalau pake helm, gak biasa, berat, kaku, gak pas atau longgar helmnya. Tapi kalo sepatu boot biasanya mereka cari sendiri kalo di daerahnya banyak paku” (Fi, Mandor)
Selain itu permasalahan yang timbul juga akibat ukuran yang tidak pas dengan masing-masing individu saat menggunakan sepatu safety “Kendalanya boot itu kakinya kegedean, ukuran bootnya kekecilan. Jadi kalo dikasih boot dibawa ke rumah, bawa lagi sendal dari rumah, soalnya kaki saya ukurannya 42-43. Jadi saya kerja pakai sendal, lebih ringan. Kalo pake boot kaki bisa lecet, bengkak, itu saja bu.” (F, Pekerja lepas) “Ukuran untuk sepatu sama helm masih banyak yang kurang pas. Sepatu boot yang pendek biasanya ukurannya 27/28” “27/28 itu kira-kira ukuran 39/40”(M, Pekerja lepas)
Beberapa informan pekerja konstruksi memilih orang lain (manajemen proyek) sebagai contoh untuk mendapatkan APD yang diinginkannya dikarenakan adanya perbedaan penyediaan APD yang digunakan oleh pekerja konstruksi dengan manajemen proyek. Tetapi hal ini lebih beralasan karena APD yang digunakan oleh manajemen proyek dianggap lebih bagus kualitasnya dan dipandang lebih enak dilihat dari segi penampilan, bukan kepada manfaat APD itu sendiri. “Saya pengennya sepatu boot yang panjang, agak longgar. Kalau helm yang bagus itu yang warna putih, jangan kuning, kalau putih keliatan lebih keren, kayak anak kantor” (R, Pekerja lepas) “Kalau pekerja disini diberikannya helm warna kuning. Kalau staff warna putih. Kalau soal kualitas sebenarnya hampir sama, cuma ada yang tidak ada kain dibagian dalamnya, jadi bisa gak pas saat dipakai dan kadang tidak ada cantelannya” (F, Pekerja lepas)
Pekerja melakukan inisiatif sendiri dengan memodifikasi beberapa APD terutama sepatu untuk disesuaikan dengan kenyamanan mereka yang pada akhirnya menghilangkan tujuan APD itu sendiri, yaitu untuk melindungi, seperti memotong sepatu safety sehingga memiliki lubang pada bagian depan sepatu untuk mengatasi rasa panas dan ketidaknyamanan ataupun ketidak sesuaian ukuran yang ditimbulkan ketika digunakan, sehingga sepatu tersebut kehilangan nilai proteksinya. Selain itu sepatu juga digantikan dengan sendal ataupun bertelanjang kaki ketika bekerja.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
59
“Ada sepatu boot yang dipotong-potong, kalo yang pendek yang dipake sekarang ini cepet panas, kaki cepet lecet, tapi kalo panjang yang selutut lebih tahan dan enak dipakenya, gak tembus panas. Kalo yang pendek mah kena beling aja langsung jebol” (M, Pekerja lepas) “Kalau kekecilan kalau ada ya ditukar, paling kalau sudah begitu sepatunya suka dipotong depannya atau dilubangi jadi sendal. (diiringi tertawaan teman lainnya)” (R, Pekerja lepas)
Sedangkan informan dari mandor menjelaskan keterkaitan kepatuhan penggunaan APD dengan sistem aturan yang diterapkan oleh perusahaan dan hal tersebut masih belum terdapat keseragaman dalam pelaksanaan. Perusahaan dalam hal ini kontraktor dinilai berperan penting dalam perwujudan sikap penggunaan APD. Informan banyak yang membandingkan sikap kepatuhan pekerja konstruksi dengan perusahaan lain yang lebih baik dalam pelaksanaan K3 termasuk dalam penggunaan APD berdasarkan pengalaman yang pernah mereka jalani, dimana yang paling banyak dibandingkan adalah perusahaan luar negeri dan oil and gas. “Digalakin percuma kecuali di migas, ada warning peringatannya kalo turun disini APD harus lengkap, 1 bulan kendor hilang” (N, Pekerja lepas)
Diungkapkan bahwa penggunaan APD tergantung dari jenis proyek dan kontraktor yang terlibat didalamnya “Tergantung kontraktornya,kalau disini tidak 100 persen ketat dibanding kontraktor lain, kalo dari Kobayashi itu taat, disediakan semuanya” “Tergantung proyek juga, kalau ketat mereka juga nurut” “Kalau subkon itu ikutin owner, beda kalau migas semua diperketat” (N, Pekerja lepas)
Manajemen proyek serta Kepala K3 lebih menitikberatkan sikap penggunaan APD kepada masing-masing individu pekerja konstruksi dimana latar belakang pekerja memegang peranan penting terhadap perwujudan sikap mereka dilapangan. Terlihat bahwa informan sudah berusaha untuk melakukan tindakan untuk memperbaiki kepatuhan pekerja konstruksi tetapi belum mencapai optimalisasi dimana usaha yang dilakukan hanya sebatas teguran tanpa belum adanya tindak lanjut konkret untuk mengatasi permasalahan perilaku pekerja konstruksi. “Helm kalau gerah dicopot. APD wajib mengingatkan terus menerus, orang yang dengar juga mungkin sudah bosan. Penerapan di lapangan masih kondisionil. APD asal taruh, dipakai orang lain, jadi orang tersebut tidak pakai lagi” (D, Manajemen proyek) “Dilapangan ada ditegur, pekerja saya suruh pergi ambil dan disuruh pakai. Kadang helm dikasih malah dijadiin tempat air. tapi pake sarung tangan untuk besi itu bisa 2 hari sekali diganti. Kalau sepatu saya ingetin juga mereka tetep nyeker” (A, Manajemen proyek)
Dapat disimpulkan bahwa sikap pekerja konstruksi terhadap penggunaan APD masih belum baik dan masih kurang dianggap penting dan digunakan bukan untuk suatu keharusan dalam bekerja dikarenakan berbagai alasan, diantaranya adalah Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
60
ketidaknyamanan saat bekerja menggunakan APD, tidak cocoknya APD dengan masing-masing individu dalam hal ukuran APD, kurangnya perhatian manajemen dan perusahaan kepada pekerja, perbedaan pemberian APD antara pekerja dengan manajemen yang mengakibatkan ketidakpatuhan penggunaan APD serta modifikasi APD sesuai kemauan pekerja yang pada akhirnya menghilangkan tujuan dan maksud penggunaan APD itu sendiri.
4.6
Kemampuan membeli APD
Hampir semua pekerja setuju bahwa APD disediakan oleh perusahaan dan dapat diminta untuk disediakan kembali apabila APD tersebut sudah rusak dengan permintaan dan persetujuan kepada pengawas terlebih dahulu, seperti kutipan diskusi berikut: “Dikasih, gak ada yang beli sendiri” (F, Pekerja lepas) “Kalo dari PT sendiri dikasih rompi, boot, helm, yang saya tambahin sendiri itu kacamata tapi banyak yang baru juga yang dibelikan PT. Kalo beli sendiri mandor yang beliin. Sebenarnya di PT ini APDnya cukup lengkap Cuma kadang kesadarannya kurang”(A, Pekerja lepas)
Walaupun ada seorang informan yang mempertanyakan ketersediaan APD: “iya katanya disediain, tapi pas diminta gak ada” (M, Pekerja lepas)
Hal ini juga disepakati oleh mandor dan diperjelas oleh manajemen proyek dimana penyediaan APD difasilitasi oleh perusahaan dan pekerja konstruksi tidak harus menyediakan sendiri APD yang akan dipakainya. “Kalau ada proyek baru ya anggaran juga baru lagi. Tidak dipakai lagi APD dari proyek sebelumnya karena APD lama biasanya tidak utuh lagi. Jadi tidak pakai yang lama” (D, Manajemen proyek)
Mengenai inventaris APD di lapangan: “Ada, saat pulang ditaroh di bedeng terus dibawa ke gudang. Tiap mereka pulang saja” (Fi, Mandor)
Penyediaan APD difasilitasi oleh perusahaan dan pekerja konstruki tidak harus menyediakan sendiri APD yang akan dipakainya. Yang menjadi kendala adalah pengawasan serta inventaris APD yang kurang baik dimana tidak adanya aturan yang konkret dalam pemeliharaan dan inventarisasi APD di lapangan seperti yang diutarakan mandor:
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
61
“Sebelum proyek dimulai, kalau ada penambahan orang ya didata lagi”(A, Mandor) “Iya, sebelum proyek mulai” (D, Mandor) “Jarang didata selain itu, paling 1 bulan sekali aja diawasi. Untuk inventaris kalau minta lagi baru. Kalau pulang ditaruh”(Fi, Mandor)
Permasalahan lainnya adalah beberapa APD yang sudah tidak layak pakai sehingga dalam pelaksanaannya ketersediaan APD bagi semua pekerja dapat mengalami kendala “Sepatu dikasih sesuai dengan yang rusak, gak beli sendiri, kalau sarung tangan itu kan cepet sobek, bahan dari kaos, 1 jam aja udah bolong, ya kalau minta dikasih. Kayak sepatu ya ukurannya sama, kadang kegedean, kekecilan makanya banyak yang gak pake” “PT ini besar, tapi jauh dari PT yang lain. Baju gak dikasih, kalo PT lain dikasih baju (kaos lengan panjang sambil menunjuk baju yang dipakainya), APD lain tiap hari dikasih kalo disini jarang”
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh kepala K3 dimana penyediaan APD sebenarnya sudah diatur oleh perusahaan dan disediakan sesuai dengan standar minimal proyek, masing-masing proyek konstruksi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan besar dan jenis proyek. Pembelian APD dapat dilakukan melalui koperasi perusahaan dan dibebankan kepada masing-masing proyek yang kemudian mendelegasikan petugas K3 lapangan untuk melengkapi kebutuhan di proyek walau terdapat beberapa keadaan dimana penyediaan APD dibebankan kepada subkontraktor sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Perusahaan juga mengikuti program Jamsostek dimana Jamsostek juga menyediakan APD bagi pekerja dengan jumlah tertentu. “Oleh NK APD disediakan sesuai jatah schedule yang ada dilapangan. Tapi ada juga yang dibebankan ke sub maka sub beli sendiri. sekarang ada jatah dari Jamsostek yang sedang ditunggu. Kalo NK bayar premi maka Jamsostek kasih 50-100 pasang helm, glove, safety shoes” (H, Manajemen perusahaan)
Dapat disimpulkan bahwa APD disediakan oleh perusahaan dimana sudah terdapat ketentuan mengenai ketersediaan sehingga pekerja tidak harus menyediakan sendiri APD yang akan dipakainya, yang menjadi masalah adalah masih adanya APD yang sudah tidak layak pakai, serta masih kurangnya penerapan pemeliharaan dan inventaris APD.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
62
4.7
Peraturan dan pelatihan mengenai APD
Berdasarkan hasil FGD mengenai peraturan dan pelatihan mengenai APD didapatkan bahwa sebagian besar pekerja setuju bahwa peraturan diberikan melalui adanya poster atau tanda yang dipasang pada lingkungan proyek sedangkan pemberian peraturan tertulis hampir tidak pernah dilakukan, dan hanya sekedar pemberitahuan secara verbal kepada individu. “Ada bu, disini diberitahu tentang aturan K3 yang ada disini, diliatin terus disampaikan ke orang kerja. Tiap PT memang beda-beda, ada yang ketat ada yang enggak, kalo yang ketat itu contohnya proyek PT. Kobayashi sampe tidak boleh rokok di area dan waktu tertentu. Kalo disini ada aturannya tapi ada area yang masih bebas” (F, Pekerja lepas) “Paling Agam yang ingetin pake APD pas kerja” (R, Pekerja lepas)
Yang lain menyatakan kurang mengetahui peraturan di lapangan “ Kalo tertulisnya saya gak tau, palingan ada poster aja ditempel, yang gambar APD itu” (R, Pekerja lepas)
Hal ini juga diperjelas dari informasi yang didapatkan dari kelompok mandor dimana peraturan mengenai K3 termasuk tentang penggunaan APD dinilai belum seragam dan konsisten dimana masih terdapat kesenjangan antara perusahaan yang menerapkan aturan yang ketat dengan yang penerapannya kurang baik. “Ikutin prosedur K3nya. Kalau K3 ketat, aturan jadi maka pekerjanya juga ngikutin” “Seharihari begitu. Harus ikut aturan main, kalau gak nurut tinggal blokir ganti orang” “50 persen yang ketat, pekerja ada yang gak pake helm langsung kena denda” (H, Manajemen perusahaan)
Walaupun begitu menurut pendapat informan aturan yang terlalu ketat juga dapat menjadi bumerang bagi perusahaan dimana pekerja konstruksi akan merasakan ketidaknyamanan dalam bekerja akibat ruang gerak yang terlalu dibatasi. Hal ini dapat menjadi pertimbangan akan dilema yang dapat terjadi diantaranya risiko kehilangan tenaga kerja ataupun pertengkaran pekerja dengan manajemen yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran pekerjaan proyek yang sedang berlangsung. “K3 terlalu ketat juga bisa dikejar-kejar orang pekerjanya” (Fi, Mandor)
Jika ditinjau lebih jauh kepada kebijakan mengenai pelaksanaan K3 di sektor konstruksi, didapatkan informasi dari Kepala K3 dimana tercermin bahwa tidak terdapat anggaran khusus untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada anggaran perusahaan, anggaran K3 hanya dimasukkan ke dalam anggaran lain-
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
63
lain. Alasannya adalah tidak terdapatnya keharusan atau peraturan yang mengikat bagi perusahaan untuk mengkhususkan anggaran K3 kedalam anggaran tersendiri. Permasalahan lainnya adalah dengan adanya penambahan anggaran K3 dalam anggaran tender membuat pengeluaran perusahaan untuk proyek menjadi lebih besar, hal ini akan berefek buruk dalam persaingan tender proyek dengan perusahaan lain. “Untuk yang 3% itu saya sempat menanyakan kepada pak Hari ya beliau yang menentukan walaupun standar memang tidak ada dan tiap proyek bisa berbeda tergantung besar proyeknya. Untuk ukuran K3 idealnya 3% kata pak Hari tetapi tidak dapat disamaratakan dan itu tidak merata di perusahaan semua balik ke perusahaan lagi.” (S, Manajemen perusahaan) “Dalam RAT kalau K3 3% maka itu akan dicoret supaya bisa menang tender, tapi kepala proyek yang kembali nego dengan pusat, tergantung tinjau lapangannya. Ada khusus peninjauan lokasi pekerjaan sehingga bisa dilihat kebutuhan dan kendala untuk pertimbangan tawar menawar anggaran. Dari owner juga ada pengawas K3nya. Pengalaman dalam membuat anggaran setelah menang tender akan disesuaikan lagi.” (H, Manajemen perusahaan) “Misalnya dikontrak ada biaya K3 dan sudah diaudit BPK dan karena tidak ada ketentuannya jadi dicoret. Jadi antara pemerintah atau BPK dan PU belum sinkron. Kalau di anggaran biaya K3 dimasukkan ke dalam biaya lain-lain jadi belum ada anggaran khusus untuk K3. Biaya pekerjaan dimasukkan juga jatah K3 sehingga yang tidak terlalu peduli K3 mengecilkan biaya K3 sehingga terjadi persaingan tidak sehat. Di NK sudah ada perhitungan K3, bila dimasukkan didaerah itu sering kalah tender,bila tidak dihitung rugi sehingga tidak terjadi efisiensi” (H, Manajemen perusahaan)
Anggaran K3, yang termasuk di dalamnya anggaran penyediaan APD dibuat oleh kepala proyek dengan setelahnya melakukan perhitungan dan perincian yang jelas bagi masing-masing proyek yang akan dijalankan. “RAT dibuat saat tender, RAP pelaksanaan, ada RAPA itu rencana anggaran akuntansi, rincian tiap bulan ada dilaporkan diajukan ke pusat kemudian nanti ada presentasi, dievaluasi dan baru dilaksanakan di lapangan. Untuk dilapangan HSE yang monitor termasuk laporan dari Pak Agam akan dikoreksi oleh pimpinan poyek baru kemudian dilaporkan ke pusat. Yang termasuk dalam anggaran HSE itu APD, obat (P3K), rambu, APAR, spanduk” (D, Manajemen proyek)
Akibat tidak adanya anggaran K3 khusus seringkali terjadi pembebanan biaya kepada kepala proyek dimana penyelenggaraan K3 dilapangan tetap harus dilakukan sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap kelengkapan dan keefektivitasan penyediaan sarana dan prasarana, termasuk APD di lapangan. Berkenaan dengan briefing sebelum bekerja didapatkan informasi bahwa terdapat ketidak seragaman dan kurangnya intensitas dan frekuensi dalam pemberian briefing sebelum kerja pada masing-masing area proyek, pekerja dari proyek 101105 mengungkapkan bahwa briefing sebelum bekerja dilakukan satu kali dalam seminggu sedang pekerja dari proyek 106-110 menyatakan belum pernah
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
64
diberikan briefing sebelum kerja. Pelatihan mengenai APD tidak pernah dilakukan. Terdapat ketidakseragaman pendapat mengenai briefing yang dilakukan kepada pekerja konstruksi dimana masing-masing informan mandor memiliki jawaban yang berbeda, hal ini dapat menandakan belum adanya keseragaman aturan yang diterapkan kepada pekerja konstruksi melalui mandor lapangan. “Awal harus, tiap mau kerja diarahin, ya tiap pagi sebelum proyek dimulai” (A, Mandor) “Satu kali seminggu ada briefing, kalo dibilangin terus mau pulang tapi ada juga yang dengerin”(Fi, Mandor) “Gak pernah” (D, Mandor)
Mengenai pelatihan, pihak manajemen proyek menjelaskan bahwa pelatihan hanya diberikan kepada pelaksana yaitu pekerja tetap manajemen proyek dan perusahaan dimana untuk pekerja hanya dilakukan sistem transfer ilmu dari manajemen kepada pekerja yang dapat diartikan bahwa pelaksanaan pelatihan diserahkan kepada penanggung jawab lapangan dari perusahaan, yaitu bagian K3. Hal ini juga disepakati oleh kepala K3 dimana pekerja konstruksi yang merupakan pekerja lepas tidak mendapatkan pelatihan K3 termasuk dalam penggunaan APD “Untuk pelaksana ada dari Depnaker kalau untuk pekerja instruksi saja. Pelaksana yang ikut pelatihan ke sana dan diajarin ke pekerja” (D, Manajemen proyek)
Dapat disimpulkan bahwa peraturan mengenai APD hanya diberikan melalui adanya poster atau tanda yang dipasang pada lingkungan proyek sedangkan pemberian peraturan tertulis hampir tidak pernah dilakukan, dan hanya sekedar pemberitahuan secara verbal kepada individu yang ditanggapi juga oleh mandor dengan belum adanya keseragaman mengenai penerapan K3 di lapangan. Sedangkan mengenai pelatihan K3 khususnya APD kepada pekerja konstruksi tidak pernah dilakukan secara khusus di lapangan dan hanya dilakukan kepada manajemen atau pengawas lapangan yang nantinya akan menyalurkannya kepada pekerja konstruksi melalui sistem transfer ilmu yang penerapannya juga belum terdapat keseragamanan dan kepastian. Briefing atau pengarahan sebelum bekerja juga belum dilakukan secara teratur dan belum terdapat keseragaman dalam hal waktu pelaksanaan.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
65
4.8
Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward)
Pengawasan
oleh petugas K3 perusahaan tidak secara rutin dilakukan dan
dilakukan ketika sedang berada di proyek dan sesekali oleh mandor pekerja yang tidak setiap waktu ada di tempat untuk melakukan pengawasan. “Kadang ada peringatan, ditegor kalo lupa” “Kalo lagi kerja dinasehatin hati-hati gitu. Ada posternya” “Ada poster di area proyek yang tentang kelengkapan APD. Biasanya kalo ada musibah, semua dikumpulin, ditegur dan difoto ditunjukin yang tidak pake dan dibina lagi” (F, Pekerja lepas)
Pengawasan di lapangan oleh mandor seperti yang tercermin dalam jawaban salah seorang informan menandakan kurangnya perhatian dan tanggung jawab mandor sebagai pengawas pekerja konstruksi dimana seringkali pengawasan tidak dilakukan dengan rutin dan seharusnya karena berbagai alasan. “Saya gak monitor langsung karena saya gak selalu disini setiap waktu” (A, Mandor)
Sebagian besar informan menyerahkan tugas pengawasan kepada pengawas lapangan dari perusahaan. “Biasanya mas Agam yang negur”(petugas K3 perusahaan) (D, Mandor)
Sedangkan mengenai pengawasan K3 menurut Kepala K3 termasuk penggunaan APD dilapangan dilakukan secara mandiri untuk masing-masing proyek dimana sudah terdapat susunan staff pengawas untuk masing-masing wilayah kerja. “Biasanya dikumpulkan dulu. Kalau tidak pakai baru tegur ke mandor” “Kalau membahayakan akan ditegur, kalau subkon tidak ada pengawas K3 nya, tetap ke pelaksananya ditegur. Kalau masalah penerapannya di lapangan mandor untuk pekerja lepas akan memberikan induction tentang bahaya apa saja dan APD yang diterima contohnya sepatu, helm, sarung tangan. Kalau sepatu, helm langsung pakai. Sarung tangan biasanya 2 hari ganti. Sepatu juga sering ganti”(S, Manajemen perusahaan)
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Kepala K3 “Mandiri, sesuai lokasi proyek. Kalau dari pusat satu kali dalam setahun sesuai surat keputusan. Dan tiap 6 bulan sekali ada RTM (Rapat Tim Manajemen) untuk tindak lanjut. Kalau di proyek safety officer dan safety man yang monitor. Di pelindo priok safety officer 1 orang, 1 orang safety man memitor 100 orang pekerja, sebagai contoh 500 pekerja dimonitor oleh 3 orang safety man dan 1 orang safety officer” (H, Manajemen perusahaan)
Reinforcement yang diberikan adalah hanya berkisar teguran ringan yang diberikan oleh petugas K3 ataupun mandor saat melihat adanya ketidakpatuhan pekerja, tidak didapatkan sanksi lainnya dan belum terdapat reward atau penghargaan yang diberikan atas kepatuhan pekerja.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
66
“Kalo tempat lain ada kalo patuh, ada yang dikasih jempol. Kalo disini gak ada” (A, Pekerja lepas) “Di tempat lain dikasih bonus” (R, Pekerja lepas) “Kalo hukuman paling ditegur suruh pake, itu juga kalo pas kepergok” (I, Pekerja lepas)
Pernyataan pekerja juga disetujui oleh mandor: “Hadiah belum pernah ada” “Gak sampe dihukum, paling diperingati saja” (Fi, Mandor)
Pemberian hadiah dan hukuman belum dilaksanakan di lapangan dimana hukuman yang biasa diberikan hanyalah sebatas teguran verbal secara baik-baik. “Ada juga pekerja yang tidak mau ditegur, ya cara penyampaiannya lebih baik-baik, sambil becanda aja, kadang jewer perut sambil becanda, jangan dikerasin, misalnya “bang pake dong helmnya. Nanti dibeliin es teh” biasanya mereka mau” (A, Manajemen proyek)
Tercermin juga bahwa sanksi atau hukuman jikapun dijalankan kurang berpengaruh terhadap perilaku patuh pekerja konstruksi, hal ini dijelaskan oleh manajemen proyek: “Rumit, ada yang bilang minta keluar saja kalau terlalu ribet” (B, Manajemen proyek)
Semua setuju bahwa pendekatan dengan cara pemberian hadiah akan lebih dapat menunjukkan hasil yang lebih baik dari pekerja konstruksi. Pandangan Kepala K3 mengenai pemberian reinforcement bahwa sanksi di lapangan terhadap ketidak patuhan penggunaan APD masih belum diterapkan, walaupun sudah terdapat bentuk pelaporan tetapi belum berfungsi secara efektif. “Harusnya diterapkan, tapi komitmen manajemen belum sempurna. Tapi kebijakan sudah ada. Punishment misalnya jika ada ketidaksesuaian dilaporkan melalui foto ke HSE dan akan dilaporkan ke manajemen saat rapat. Bentuk pelaporan ada tapi belum ada yang mengundang pelaku tersebut. Ada denda juga perlu, di kantor juga belum ada, di proyek juga harusnya ada. Reward saat setting dibuat kuis dan dikasih hadiah barang, uang atau cinderamata. Karena buruh berganti-ganti maka diberikan ke mandor rewardnya itu mandor saja yang memberikan langsung” ( H, Manajemen perusahaan)
Implementasi lapangan mengenai pengawasan mengalami ketidakkompakkan dimana manajemen proyek menyerahkan kebijakan pengawasan kepada mandor sedangkan mandor menyerahkan kebijakan kepada perusahaan melalui pengawas K3 perusahaan di lapangan. Pengawas K3 perusahaan mengalami kendala dilapangan akibat ketidakpatuhan pekerja konstruksi serta pendekatan yang harus dilakukan dimana mereka lebih memilih mendapatkan hadiah (reward) daripada sanksi (punishment).
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
67
4.9
Perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri
Sebagian besar informan pekerja konstruksi menyatakan bahwa mereka tidak secara rutin dan lengkap memakai APD saat bekerja; “pake helm sama sepatu, kadang ditegur pak safety kalo gak pake” ( sambil nyengir, diikuti tertawaan teman lainnya) (M, Pekerja lepas) “dibuka pas diruang istirahat” (De, Pekerja lepas) “ada yang aktif selalu pakai ada yang tidak, maksudnya kadang pakai kadang tidak. Kebanyakan memang gak selalu pake APD. Karena banyak keluhan tidak nyaman, kalo gak biasa pake helm bisa sakit kepala” (F, Pekerja lepas)
Tetapi ada beberapa jenis APD yang menurut beberapa informan digunakan setiap hari: “sepatu, sarung tangan sama helm” (R, Pekerja lepas) “helm” (De, F, Pekerja lepas)
APD tertentu digunakan informan pada jenis pekerjaan konstruksi yang memiliki risiko kecelakaan kerja lebih tinggi seperti saat menggunakan alat tertentu: “saya selalu pake sarung tangan, sepatu sama kedok penutup buat welder, itu selalu harus dipake kalo gak bisa kena” (N, pekerja lepas)
Adapun ketaatan penggunaannya sendiri masih belum baik; “Kalau saya pake helm ya pasti karena di crane kan, jadi itu pasti, sama google. Tapi kendalanya operator kalo pake helm itu kan udah ada pelindung dari atap mobil, makanya kadang suka gak pake karena pusing kalo pake, rasanya aneh, ukuran sih cocok tapi tetep aja pusing kalo dipake”(A, Pekerja lepas)
Hal serupa juga disetujui oleh mandor dan manajemen proyek dimana kepatuhan penggunaan APD masih kurang baik, ditandai ketidakkonsistenan penggunaan APD; “pake tapi ya gak rutin, kalau udah 2 minggu kerja aja pasti dilepasin” (Fi, mandor) “ helm kalau gerah dicopot. APD wajib mengingatkan terus menerus, orang yang dengar juga mungkin sudah bosan. Penerapan di lapangan masih kondisionil. APD asal taruh, dipakai orang lain, jadi orang tersebut tidak pakai lagi” ( D, Manajemen proyek)
Berdasarkan FGD serta wawancara mendalam yang sudah dilakukan pada kelompok pekerja konstruksi, mandor, manajemen proyek serta kepala K3 perusahaan didapatkan bahwa perilaku penggunaan APD masih kurang baik ditandai dengan sebagian besar pekerja tidak menggunakan APD secara rutin setiap harinya saat bekerja.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis dimana studi fenomenologi mendeskripsikan arti dari pengalaman yang hidup untuk beberapa individu tentang sebuah konsep atau fenomena, dalam hal ini mengenai perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja konstruksi dimana sektor industri konstruksi merupakan salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi akan kecelakaan kerja. Secara umum penelitian yang bersifat kuantitatif menutup kemungkinan untuk menemukan apa dan mengapa suatu fenomena dapat terjadi dilihat dari sudut pandang pelaku atau partisipan penelitian. Dilain pihak, penelitian kualitatif membuka kemungkinan untuk menemukan apa dan mengapa suatu fenomena dapat terjadi diharapkan dapat merepresentasi fenomena perilaku penggunaan APD di kalangan pekerja konstruksi yang kepatuhannya masih perlu ditingkatkan. Fenomenologi menitikberatkan pada studi pengalaman dari perspektif individu. Secara epistemologi pendekatan fenomenologi didasari oleh paradigma dari pengetahuan personal dan subjektivitas, dan mengembangkan pentingnya perspektif dan interpretasi personal.54 Pendekatan fenomenologis menerjemahkan suatu fenomena melalui pengumpulan informasi mendalam dan persepsi melalui metode kualitatif, induktif seperti wawancara, diskusi, serta menyajikan dari sudut pandang partisipan penelitian. Pengumpulan data pada peneilitan ini menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion) dimana diharapkan informan pekerja konstruksi dapat dengan bebas berdiskusi antar sesama informan maupun dengan moderator sehingga informasi yang didapatkan merupakan murni pendapat personal tanpa tekanan dari pihak lain. Penulis mengusahakan agar setiap FGD yang dilakukan dalam keadaan santai sehingga informan merasa nyaman saat FGD berlangsung.
68
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
69
Penggunaan wawancara mendalam guna menggali lebih jauh perseptif kepala K3 perusahaan dilakukan pada tempat yang berbeda dimana pendekatan personal diperlukan untuk memahami informasi yang didapatkan dari informan. Diharapkan penelitian yang berseting di sebuah perusahaan konstruksi besar di Indonesia ini dapat merepresentasi fenomena pekerja konstruksi di Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya. Penyajian data penelitian ini berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat sebelumnya, yaitu
5.1
Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja
Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai)
Sikap terhadap penggunaan APD
Status pekerja dan tingkat pendidikan
Kemampuan membeli APD
Peraturan dan pelatihan mengenai APD
Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward) Profil informan
Pada penelitian ini didapatkan pada sebagian besar informan pekerja konstruksi memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama dengan tingkat pendidikan tertinggi Sekolah Menengah Atas. Pendidikan lebih tinggi didapatkan pada manajemen proyek dan manajemen perusahaan. Hal ini serupa dengan gambaran jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal khusus apapun66 Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor konstruksi tahun 2011 adalah 6,34 juta orang. Data menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah SDM yang bekerja di sektor konstruksi semakin bertambah banyak. Tahun 2006, SDM dengan usia di atas 15 tahun yang bekerja di industri konstruksi sebanyak 4,7 juta orang,
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
70
kemudian meningkat menjadi sekitar 5,2 juta (2007), 5,4 juta (2008), 5,5 juta (2009), 5,6 juta (2010) dan 6,34 juta (2011) Dalam sebuah artikel mengenai Kinerja SDM Konstruksi, komposisi tenaga kerja konstruksi dilihat dari tingkat pendidikan dilihat masih rendah. Indikasi tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, dimana persentase tenaga kerja konstruksi dengan tingkat pendidikan SD kebawah mencapai 52 %, sedangkan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) sebesar 44 %, sementara sisanya sebesar 4 % dengan tingkat pendidikan Diploma/ Universitas 67 Profil informan penelitian ini serupa dengan gambaran pekerja konstruksi di Indonesia dimana pendidikan pekerja konstruksi lebih rendah dibandingkan dengan manajemen proyek ataupun perusahaan. 5.2
Pengetahuan tentang manfaat APD dan risiko kecelakaan kerja
Pengetahuan informan pekerja konstruksi mengenai risiko kecelakaan kerja dan manfaat APD sebenarnya pada porsi tertentu cukup mengena, secara permukaan informan sudah mengetahui risiko kecelakaan kerja dari pekerjaan konstruksi dan penggunaan APD dalam pekerjaan sehari-hari, yang menjadi suatu fenomena adalah dimana APD dianggap oleh informan pekerja konstruksi sebagai suatu alat untuk mencegah kecelakaan kerja, sebagaimana yang seharusnya APD digunakan untuk meminimalisir dampak kesehatan atau kecelakaan kerja yang dapat terjadi jika tidak menggunakan APD, walaupun pada poin tertentu pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, tergantung dari jenis APD yang digunakan, sebagai contoh penggunaan sling pada pekerjaan diketinggian dapat mencegah kecelakaan kerja seperti terjatuh dari ketinggian, tetapi tidak demikian dengan pelampung atau helm dimana penggunaannya adalah bukan untuk mencegah suatu kecelakaan untuk tidak terjadi. Fenomena ini muncul pada hasil diskusi dengan kelompok informan pekerja konstruksi. APD digunakan agar tercipta keadaan lingkungan kerja yang aman, karena walaupun kontrol engineering sudah dilakukan dan sudah terdapat sistem kerja yang aman beberapa bahaya potensial masih tersisa. Hal ini termasuk cidera pada
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
71
pernapasan akibat menghirup udara yang terkontaminasi, kepala dan kaki dari benda hjatuh, mata serta kulit dari material berbahaya dan tubuh dari suhu ekstrim. Dalam kasus-kasus tersebut APD digunakan untuk mengurangi risiko yang dapat terjadi akibat bahaya potensial tersebut.68 5.3 Konsep diri (persepsi, intensi, keyakinan, pengalaman, nilai) Pekerja konstruksi menganggap bahwa bekerja di bidang konstruksi bukan merupakan
pilihan
melainkan
sebagian
besar
menganggapnya
sebagai
“keterpaksaan” akibat tuntutan ekonomi dan pekerjaan konstruksi bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus walaupun terdapat beberapa orang yang menganggap bahwa bekerja di konstruksi membutuhkan keahlian khusus. Selain “keterpaksaan”, beberapa informan juga memilih pekerjaan konstruksi karena mengikuti langkah teman sekampung dimana perekrutan pekerja konstruksi dilakukan pada diskusi grup pertama terdapat kesamaan asal daerah antara mandor dan pekerja. Pertemanan dan relasi antar individu, kesamaan asal wilayah dianggap sebagai suatu faktor yang membuat nyaman pekerja konstruksi. Hal ini dapat dilihat dari kenyamanan saat diskusi kelompok dilakukan dimana pada kelompok informan pekerja yang berasal dari daerah yang sama diskusi dilakukan dengan lebih santai dan masing-masing informan dapat lebih berinteraksi. Lama kerja dan pengalaman kerja berperan kepada bagaimana pekerja memandang pekerjaan dan risiko pekerjaan konstruksi dimana pekerja yang sudah lama bekerja dibidang ini lebih mengandalkan pengalaman untuk menghindari kecelakaan kerja sedang bagi pekerja yang baru menggeluti pekerjaan ini ataupun yang belum memiliki pengalaman di bidang konstruksi sebelumnya lebih terkesan belum tanggap terhadap risiko pekerjaannya. Terdapat persepsi bahwa semakin pekerja melakukan pekerjaan yang keras semakin menunjukkan bahwa mereka adalah pribadi yang tangguh, hal ini sempat dijelaskan oleh kepala K3 dimana pada beberapa daerah, khususnya daerah Timur terdapat persepsi tersebut, tetapi pernyataan ini tidak terlalu dapat diaplikasikan pada informan penelitian ini. Significant others seperti keluarga kurang berperan terhadap pekerja konstruksi
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
72
dalam menjalankan pekerjaannya dimana sebagian besar informan tidak menjelaskan
risiko
ataupun rincian
pekerjaan
yang dijalankan
kepada
keluarganya, asalkan kebutuhan ekonomi terpenuhi hal tersebut bukanlah suatu masalah berarti. Hasil diskusi dengan manajemen proyek menyatakan bahwa keberadaan dan kesediaan tenaga lepas konstruksi di Indonesia mengalami pasang surut dan berkurang jumlahnya dikarenakan adanya fenomena masyarakat Indonesia lebih memilih bekerja di negara lain sebagai TKI karena pendapatan yang lebih tinggi serta masih banyak yang tidak ingin bekerja kasar. Fenomena ini didukung oleh sebuah artikel menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) bidang konstruksi di Malaysia saat ini tercatat 245.000 orang atau sekitar 58 persen dari seluruh tenaga kerja konstruksi asing di negara tersebut.69 Belum lagi ditambah sektor pekerjaan lain yang dirambah oleh tenaga kerja Indonesia di negara lain. Alasan ekonomi masih memegang peranan penting dalam pemilihan pekerjaan.
5.4 Sikap terhadap penggunaan APD Akibat adanya kesalahan persepsi bahwa APD digunakan untuk mencegah kecelakaan kerja membuat perilaku penggunaan APD informan pekerja konstruksi menjadi belum optimal, dimana sebenarnya mereka menyadari bahwa dengan persepsi seperti itu membuat kegunaan dan fungsi APD menjadi dipertanyakan keefektivitasannya yang berdampak kepada absennya kepatuhan penggunaan APD karena dianggap kurang perlu karena tidak dapat mencegah kecelakaan kerja. Mengenai penggunaan APD ada banyak alasan mengapa APD tidak digunakan secara patuh saat bekerja diantaranya adalah ketidaknyamanan, ketidaklayakan kondisi APD, ketersediaan APD oleh perusahaan. Sebuah penelitian kuantitatif pada pekerja konstruksi menggunakan kuisioner yang dilakukan disebuah perusahaan konstruksi di Medan menyebutkan beberapa alasan mengapa APD tidak digunakan secara rutin adalah pekerja menjadi tidak
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
73
leluasa saat bekerja, memberatkan, pengeluaran tambahan, status pekerja yang merupakan pekerja lepas serta lokasi kerja yang menurut informan kurang sesuai jika APD digunakan, hal ini juga berkaitan dengan penggunaan APD menjadikan pekerja tidak leluasa saat bekerja. Ketidakleluasaan pekerja dalam bekerja jika menggunakan APD membuat kinerja mereka menurun70 Selain itu alasan lainnya adalah hal yang berkaitan dengan ketidaknyamanan saat bekerja seperti panas, berat, sesak, serta masalah estetika seperti tidak enak dipandang. Keluhan serupa juga didapatkan pada hasil diskusi informan pada penelitian ini. Ketidaknyamanan yang dialami pekerja lebih kepada pembatasan ruang gerak dalam bekerja saat menggunakan APD, penggunaan sepatu boot yang dirasakan panas serta tidak memproteksi secara penuh karena hanya sebatas pada mata kaki sedangkan tungkai bawah tidak terlindungi, ukuran yang kurang pas dengan ukuran kaki pekerja sehingga modifikasi kreatif yang menghilangkan nilai kegunaan APD itu sendiri dilakukan oleh pekerja, Masalah estetika didapatkan pada informan usia muda dimana mereka masih mementingkan penampilan sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan, selain itu perbedaan pemberian tipe APD antara pekerja konstruksi dengan manajemen proyek dan perusahaan menimbulkan suatu kesenjangan tersendiri dimana pekerja konstruksi merasakan adanya perbedaan perlakuan dengan manajemen. Sebagai contoh helm berwarna kuning dan putih dianggap memiliki kualitas dan tingkat penampilan yang berbeda, begitu pula dengan sepatu boot semata kaki dengan sepatu boot berleher tinggi, selain alasan proteksi yang berbeda. Dilain sisi manajemen proyek berpendapat berbeda, mereka berpendapat bahwa sikap dan perilaku penggunaan APD tidak selalu terkait dengan ketersediaan APD, sebagai contoh walaupun APD sudah disediakan, terkadang oleh pekerja konstruksi tetap tidak digunakan dengan baik melainkan disalahgunakan fungsinya seperti helm menjadi tempat air. Mereka berpendapat bahwa sikap penggunaan APD erat kaitannya dengan pola berpikir pekerja konstruksi akan kesadaran akan keselamatan kerja yang masih kurang baik.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
74
5.5 Status pekerja dan tingkat pendidikan Sebagai besar pekerja konstruksi berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan dan mendapat pekerjaan dari hasil perekrutan mandor yang juga merupakan subkontraktor, hanya manajemen proyek dan perusahaan yang memiliki status pekerja tetap. Hal ini mempengaruhi pola berpikir serta perilaku pekerja konstruksi. Suatu pekerjaan dipilih bukan hanya berdasarkan kemampuan khusus yang dimiliki tetapi sematamata hanya berdasarkan tuntutan ekonomi sehingga menghalalkan semua risiko yang terdapat pada pekerjaan yang diambil, dalam hal ini bidang konstruksi. Ketidakterikatan status ini juga mempengaruhi perilaku bekerja tidak aman yang termasuk di dalamnya penggunaan APD. Sebagai gambaran bahwa pada tahun 2009 jumlah tenaga tetap berpendidikan akademi dan universitas sebesar 171,3 orang pada tahun 2010 menjadi sekitar 176,1 orang Sedangkan jumah pekerja tetap lulusan universitas tahun 2010 adalah 116.544 orang menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah hari- orang pekerja konstruksi harian lepas untuk konstruksi bangunan sipil untuk Jakarta sendiri tahun 2010 adalah 23.256.741 dengan total seluruh propinsi adalah 198.322.043. hal ini menandakan besarnya kebutuhan industri konstruksi terhadap keberadaan pekerja lepas.71 Sebagian besar informan pekerja konstruksi pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Pertama dengan tingkat pendidikan tertinggi adalah Sekolah Menengah Atas. Tingkat pendidikan serupa juga didapatkan pada pekerja Hispanik dimana perbandingan tigkat pendidikan antara pekerja Hispanik dan pekerja kulit putih adalah pekerja Hispanik memiliki tingkat pendidikan terbanyak sampai dengan sekolah menengah pertama (30,4%) dimana pekerja kulit putih memilki tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah menengah atas (46,5%) berdasarkan survey tahun 2000. Tingkat pendidikan ini menurut Bureau of Labor Statistics berpengaruh terhadap risiko relative terjadinya kecelakaan kerja dimana memiliki kencenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
75
Kecelakaan fatal yang terjadi jika dibandingkan antara pekerja Hispanik dan kulit putih pada pekerja konstruksi pada tahun 2000 adalah 37,7% pada pekerja Hispanik dan 25,5 % pada pekerja kulit putih.70 Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku aman pekerja konstruksi. 5.6
Kemampuan membeli APD
Sikap dan perilaku penggunaan APD juga berhubungan dengan ketersediaan APD oleh perusahaan, walaupun sudah terdapat anggaran sendiri serta penyediaan APD melalui koperasi tetapi dalam pengawasan serta inventarisnya mengalami kesenjangan. Penggunaan APD yang pada implementasi lapangan didaur ulang dari satu proyek ke proyek lainnya membuat ketersediaan APD juga terganggu. Kendala dalam ketersediaan APD, juga dialami oleh pekerja di negara lain dimana seperti yang diutarakan oleh sebuah studi kualitatif mengenai perspektif pekerja konstruksi Hispanik tentang K3 dengan 2 kali fokus grup diskusi menyatakan bahwa pekerja menyebutkan contoh dimana mereka tidak disediakan alat pelindung diri yang memadai seperti masker debu yang diberikan dimana seharusnya yang digunakan adalah respirator setengah wajah. Dilain pihak supervisor menyatakan bahwa mereka sangat memperhatikan penggunaan APD dan bahkan akan memberhentikan pekerja yang tidak menggunakan APD yang tepat. Beberapa pekerja juga mengatakan bahwa mereka harus menyediakan APD sendiri.72 Berdasarkan hasil diskusi dengan informan didapatkan bahwa pekerja konstruksi tidak harus menyediakan APD sendiri karena perusahaan sudah menyediakan APD bag pekerjanya sesuai dengan Undang-undang No 1 tahun 1970 pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma - cuma. Permenakertrans
No.Per.01/MEN/1981 Pasal 4 ayat (3) juga menyebutkan
kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja. Hal ini juga tercermin dalam hasil diskusi informan dalam penelitian ini dimana manajemen
perusahaan
menyatakan
ketersediaan
APD
disediakan
oleh
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
76
perusahaan tetapi hal tersebut walaupun tidak disangkal oleh pekerja konstruksi tetapi dalam pendistribusian APD masih mengalami kendala di lapangan, hal ini termasuk dalam jumlah, kesesuaian ukuran serta kualitas APD yang diberikan. Manajemen proyek mengatakan bahwa setiap proyek baru dimulai, APD yang baru juga disediakan karena sudah dianggarkan sebelumnya, tetapi pada implementasi di lapangan penggunaan APD daur ulang dari proyek sebelumnya masih sering ditemukan. Hal ini berpengaruh terhadap kelayakan serta kualitas APD. APD yang kurang layak, sebagai contoh helm tanpa kaitan atau retak membuat pekerja konstruksi enggan menggunakannya dan tidaklah tidak mungkin menimbulkan suatu inisiatif untuk mengalihfungsikan APD untuk keperluan lain yang tidak berhubungan dengan fungsi APD itu sendiri. 5.7
Peraturan dan pelatihan mengenai APD
Diluar ketersediaan APD hal lain yang menjadi kendala adalah minimnya pemberian informasi, pengawasan serta pelatihan menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dimana kesemua faktor tersebut memperparah persepsi hingga terwujud dalam perilaku pekerja. Pelatihan hanya diberikan kepada manajemen perusahaan dan proyek yang nantinya akan didistribusikan melalui transfer ilmu kepada pengawas ataupun mandor dilapangan yang kemudian akan diinformasikan kepada pekerja. Pada pelaksanaannya hanya sedikit kegiatan ini dapat dilakukan dilapangan mengingat kegiatan proyek pembangunan, target, kehadiran mandor di lapangan, serta pekerja konstruksi yang dinamis berubah jumlah serta personil dari waktu ke waktu akibat ketiadaan keterikatan antara pekerja dengan perusahaan karena pekerja konstruksi adalah pekerja lepas. Terlebih lagi sistem transfer ilmu akan membuat informasi asli yang didapatkan dari pelatihan memiliki kemungkinan untuk bias. Jika ditelaah lebih jauh, pelatihan K3 memegang peranan penting dalam pembentukan suatu perilaku aman saat bekerja. Sebuah penelitian kualitatif menyebutkan bahwa dari total 100 sampel yang terlibat, 38 orang sudah menjalani
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
77
pelatihan K3 sedangkan sisanya belum menerima pelatihan didapatkan hasil bahwa pelatihan K3 berpengaruh terhadap terjadi atau tidaknya kecelakaan kerja70 Peraturan penggunaan APD dilapangan didapatkan adanya rambu pengunaan APD, jenis-jenis APD yang diilustrasikan dengan gambar yang tertempel pada bedeng wilayah konstruksi. Manajemen memiliki panduan peraturan K3 termasuk didalamnya mengenai APD. Undang- undang No.1 tahun 1970 Pasal 9 ayat (1) butir c menyatakan bahwa Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD Tanggung jawab terhadap keselamatan kerja termasuk didalamnya penggunaan APD mulai dari manajemen perusahaan, manajemen proyek, pengawas, hingga mandor masih mengalami kendala dimana keadaan dependensi satu pihak dengan pihak lainnya membuat pelaksanaan di lapangan menjadi terganggu. Keharusan perusahaan untuk menyelesaikan suatu proyek konstruksi dengan seefisien mungkin sehingga mengejar suatu target kerja dan mengabaikan hal lain yang kurang dianggap penting juga merupakan suatu masalah yang tidak dapat dielakkan. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang seharusnya dapat menengahkan sekaligus memproteksi hak pekerja untuk mendapatkan perlakuan yang implementatif dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja, masih memerlukan kejelasan sehingga perusahaan selaku pihak pemberi kerja merasakan keterikatan dalam menjalani apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan kepada pekerjanya. Sebagai contoh yang diutarakan oleh manajemen perusahaan bahwa belum terdapatnya anggaran khusus untuk K3 termasuk didalamnya penyediaan APD serta pelatihan juga berkontribusi terhadap pembentukan perilaku pekerja. Pemerintah
sebenarnya
telah
sejak
perlindungan tenaga kerja, yaitu pada
lama
mempertimbangkan
masalah
UU No. 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja, kemudian pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
78
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai
tindak
lanjut
dikeluarkannya
Peraturan
Menakertrans
tersebut,
pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri
Tenaga
Kerja
No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986:
Pedoman
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif,
namun terkadang sulit
dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta
dapat
menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas konstruksi. Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
79
Anggaran biaya konstruksi tidak memasukan anggaran K3 ke dalam suatu poin tersendiri. Penyediaan APD termasuk didalam anggaran K3. Keadaan ini membuat anggaran APD dimasukkan dalam anggaran lain-lain serta manajemen perusahaan dalam hal ini kepala K3 perusahaan menetapkan anggaran sendiri yaitu sekitar 3 % dari total anggaran, yang pada implementasinya banyak mengalami pemotongan dikarenakan kendala penghematan biaya agar proyek dapat disetujui untuk dijalankan. Hal ini terjadi karena anggaran K3 dianggap kurang memberikan kontribusi langsung terhadap keberhasilan proyek. Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan, mempersulit perolehan tender pekerjaan akibat beban biaya yang bertambah. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana
kompensasi/santunan
untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan66 5.8
Pengawasan dan reinforcement (sanksi dan reward)
Peran supervisor atau pengawas lapangan dalam hal ini pengawas K3 sangatlah penting sebagai penghubung antara manajemen proyek dengan mandor dan juga pekerja
di
lapangan.
Keberadaan
supervisor
seharusnya
mempermudah
pengawasan, pemberian informasi serta penyambung lidah mandor dan pekerja mengenai kendala yang di alami di lapangan, dalam hal ini keselamatan kerja khususnya mengenai penggunaan APD. Secara umum peran supervisor adalah untuk mengidentifikasi bahaya potensial di lapangan serta memastikan penggunaan APD yang sesuai dan tepat guna dan melatih penggunaan APD yang tepat kepada pekerja. Hal ini jarang didapatkan di lapangan dimana permasalahan pengawasan dan pelatihan masih terbentur dengan pelaksanaan komitmen dan tanggung jawab perusahaan selaku pemilik usaha,
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
80
subkontraktor selaku pihak ketiga ditambah dengan ketiadaan peraturan mengikat yang jelas untuk menerapkan penggunaan APD di lapangan. Manajemen berperan penting dalam mewujudkan suatu perilaku aman ataupun sebaliknya, diluar faktor internal pekerja dimana sudah banyak studi yang menyebutkan bahwa pada akhirnya manajemen yang dapat mempengaruhi perilaku aman pekerja konstruksi, seperti sebuah studi kualitatif di Hongkong tentang perilaku tidak aman pekerja konstruksi yang menggunakan pendekatan grounded theory dengan wawancara mendalam semi-structured menemukan bahwa pekerja konstruksi melakukan banyak perilaku tidak aman ketika bekerja adlaah karena kurangnya kesadaran akan keselamatan kerja, agar dianggap sebagai orang yang tangguh, tekanan pekerjaan, perilaku rekan sekerja dan faktor organisasi, ekonomi serta psikologis. Dibutuhkan peran penting dari manajemen, prosedur keselamatan kerja, pengalaman, keamanan kerja serta edukasi seperti pelatihan dan safety orientation.73 Studi lainnya yang mengidentifikasi persepsi mengenai praktek keselamatan kerja manajemen dari sudut pandang pekerja lepas dan tetap beserta sudut pandang manager konstruksi menggunakan panduan wawancara semi struktur pada 64 pekerja (95% laki-laki) dalam 10 fokus grup diskusi dengan pertayaan mengenai kondisi kerja yang aman, termasuk cara berkomunikasi, sikap, ekspektasi menunjukkan bahwa komitmen manajemen terhadap keselamatan kerja, pekerja profesionalisme dan kemampuan berkomunikasi yang baik berperan penting terhadap keselamatan kerja.74 Sebuah studi pada pekerja pembuatan atap rumah Latin mengenai kepercayaan keselamatan kerja menunjukkan bahwa besar perusahaan, tuntutan pekerjaan, kurangnya pelatihan mempengaruhi kepercayaan pekerja untuk menggunakan APD walaupun mereka mengerti bahwa pekerjaan mereka berbahaya dan rentan terhadap kecelakaan kerja. Pada akhirnya peraturan keselamatan dan penegakan peraturan memegang peranan penting dalam pelaksanaan kepatuhan penggunaan APD pada pekerja.75
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
81
Model dasar perubahan perilaku dalam Classical Conditioning dalam Behavioral Based Safety (BBS) dimana merubah perilaku dengan memberikan conditioned stimulus,
yang
menghasilkan
conditioned
response
dapat
diterapkan.
Penerapannya dalam perubahan perilaku adalah perilaku seseorang dapat berubah bila diberikan stimulus secara terus-menerus. Bila stimulus tersebut diberikan tidak terus-menerus, maka perubahan perilaku (conditioned response) tidak akan terjadi. Mandor, supervisor serta petugas K3 berperan dalam pelaksanaan conditioned stimulus kepada pekerja dimana dibutuhkan adanya stimulus yang berkelanjutan untuk mewujudkan suatu perubahan perilaku kerja aman dalam hal ini penggunaan APD. Mengutip Skinner dalam Operant Conditioning
bahwa kecenderungan untuk
mengulangi perilaku tertentu dipengaruhi oleh lemah-kuatnya reinforcement terhadap akibat yang didapatkan dari perilaku tertentu tersebut, oleh sebab itu, dikatakan reinforcement memperkuat
perilaku
dan
akan
menambah
kecenderungan perilaku tertentu itu diulangi lagi. Penerapannya dalam Behavioral Based Safety adalah bila dalam melakukan observasi perilaku kerja didapatkan pekerja telah melakukan pekerjaannya dengan benar dan aman, maka pekerja tersebut harus diberi reinforcement agar pekerja tersebut mengerti bahwa yang ia lakukan sudah benar dan aman sehingga perilaku kerja aman (safe behavior) akan diulangi terus. Bila perilaku kerja aman (safe behavior) ini terus diulang, maka kecelakaan kerja dan lingkungan dapat dicegah, sebaliknya jika reinforcement tidak dijalankan maka perilaku pekerja yang sudah baik tidak akan bertahan lama dalam pelaksanaannya. Berikut yang dapat dilakukan oleh manajemen kepada pekerja konstruksi untuk membetuk suatu perilaku kerja yang aman, dalam hal ini kepatuhan penggunaan APD; Dalam
Developing Job Pride Through
Behavior
Reinforcement,
yang
menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh efek yang didapatkannya. Efek yang negatif mengarah kepada kecilnya kemungkinan pengulangan perilaku. Sedangkan efek positif akan mengarah kepada pengulangan perilaku bertambah
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
82
besar. Dalam prakteknya bila perilaku tertentu menghasilkan pengalaman yang negatif, misal mendapatkan hukuman, denda, perasaan tidak menyenangkan, maka perilaku tertentu itu cenderung untuk tidak diulangi lagi. Bila perilaku itu mendatangkan pengalaman yang positif seperti penghargaan, kesenangan, hadiah, kepuasan, dan lainnya yang positif, maka perilaku tersebut cenderung untuk diulangi. Behavior reinforcement berbeda dengan penghargaan kepada pribadi pada umumnya. Behavior reinforcement secara jelas berhubungan dengan sesuatu yang spesifik yang telah dilakukan oleh orang itu52. Penghargaaan atau perhatian positif lainnya perlu diberikan terhadap orang yang melakukan perilaku kerja yang aman (safe behavior). Penghargaan ataupun perhatian positif tersebut diberikan kepada pekerja jika melakukan sesuatu hal dalam pekerjaannyadengan aman. Pemberian hukuman akibat dari perilakunya tidak akan merubah perilaku secara permanen sebab perilaku tersebut berubah karena takut mendapat hukuman. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan informan pekerja konstruksi, mandor, pengawas K3 dalam penelitian ini dimana sanksi teguran atau hukuman tidak akan membuat mereka menjadi lebih patuh tetapi malah akan berpotensi menghasilkan sikap pasif agresif tetapi reinforcement berupa reward yang positif akan lebih menghasilkan tanggapan yang lebih baik dari pekerja.
Proses perubahan perilaku juga memerlukan umpan balik ( feedback) sebagai mekanisme untuk meningkatkan kepekaan terhadap error generating work habits, terutama kekeliruan yang potensial menimbulkan kecelakaan. Ada lima karakteristik feedback, yaitu:48 1. Speed, lebih cepat feedback diberikan setelah terjadinya kekeliruan, lebih cepat pula tindakan perbaikan yang akan dilakukan. Selain itu, pekerja juga dapat belajar langsung dari kekeliruan tersebut. 2. Specificity, lebih tajam feedback difokuskan pada kekeliruan secara spesifik, maka akan lebih efektif hasilnya. 3. Accuracy, feedback yang diberikan harus teliti, kekeliruan pada feedback menimbulkan tindakan yang keliru.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
83
4. Content, isi dari informasi yang akan disampaikan harus sesuai dengan perilaku yang diinginkan. Perilaku yang kompleks memerlukan elaborasi informasi lebih rinci. 5. Amplitude, feedback harus cukup menimbulkan perhatian terhadap pekerja,
namun
demikian
feedback
yang
berlebihan
dapat
mengacaukan performance yang diinginkan. Dalam penerapan di lapangan penerapan feedback membutuhkan kerjasama dari pihak pekerja, mandor serta supervisor. Oleh karena itu peran mandor dan supervisor lapangan sangat penting untuk mendapatkan feedback dari pekerja konstruksi. Teori Heinrich tentang keselamatan kerja menyatakan bahwa perilaku tidak aman (unsafe behavior) merupakan penyebab dasar pada sebagian besar kejadian hampir celaka dan kecelakaan di tempat kerja.48 Oleh karena itu, dilakukan observasi mendalam terhadap kalangan pekerja mengenai perilaku kerja tidak aman, yang lebih spesifik kepatuhan penggunaan APD. Umpan balik mengenai observasi terhadap perilaku telah terbukti sukses dalam mengurangi perilaku tidak aman para pekerja. Umpan balik yang diberikan dapat berupa lisan, grafik, tabel dan bagan, atau melalui tindakan perbaikan. Tujuh kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan Behavior Based Safety: 1.
Melibatkan BBS
partisipasi
menerapkan
pekerja
yang
sistem bottom-up,
sehingga
bersangkutan individu
yang
berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi perilaku kerja tidak aman (unsafe behavior). Dengan keterlibatan pekerja secara menyeluruh dan adanya komitmen, kepedulian seluruh pekerja terhadap program keselamatan maka proses perbaikan akan berjalan dengan baik. 2.
Memusatkan Perhatian pada
unsafe behavior
yang spesifik
Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang memicu terjadinya perilaku tidak selamat para praktisi menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi hadiah (reward) tertentu pada individu yang mengidentifikasi perilaku tidak selamat.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
84
3.
Didasarkan
pada
data
hasil
observasi
observer memonitor perilaku selamat pada kelompok mereka dalam waktu tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safe behavior akan meningkat. 4.
Proses
pembuatan
keputusan
berdasarkan
data
hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data persentase jumlah safe behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang telah berperilaku kerja
aman,
selain
itu
bisa
juga
menjadi
dasar
untuk
mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan. 5.
Melibatkan
intervensi
secara
sistematis
dan
observasional
Keunikan sistem BBS adalah adanya jadwal intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer diberikan pelatihan agar dapat menjalankan tugas mereka dan kemudian mengidentifikasi perilaku tidak aman yang diletakkan dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer melakukan observasi pada periode waktu tertentu (misal 4 minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan feedback bagi para karyawan. Team project juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan. 6.
Menitikberatkan pada umpan balik (feedback) terhadap perilaku kerja dalam, umpan balik dapat berbentuk umpan balik verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi, umpan balik dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
85
yang
strategis
dalam
lingkungan
kerja,
dan
umpan
balik
berupabriefing dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang perilaku yang spesifik. 7.
Membutuhkan dukungan dari manager dimana komitmen manajemen terhadap proses behavior based safety biasanya ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan
penghargaan
yang
melakukan
perilaku
selamat,
menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif untuk bertindak selamat dalam setiap kesempatan. Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan BBS biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan
5.9
dan
komitmen
dari
manajemen.
Perilaku penggunaan APD
Perilaku merupakan hal yang kompleks dan dalam pembentukannya melalui proses berkesinambungan tidak terputus yang didapat dari stimulus internal yang berasal dari dalam diri sendiri yang teramu dari konsep diri, persepsi,pengalaman tetapi juga faktor eksternal yang menjadi faktor pendukung ataupun pelemah suatu perilaku. Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor penentu perilaku terbagi atas 2 bagian, yaitu faktor internal dan eksternal.22 Faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan dan berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar, misalnya tingkat pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, jenis kelamin, dan sebagainya. Pekerja konstruksi dengan tingkat pendidikan rendah yang serupa
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
86
dengan cerminan karakteristik pekerja konstruksi di Indonesia, faktor internal ini mempengaruhi persepsi serta perilaku penggunaan APD. Sedangkan faktor eksternal, yang meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik, seperti iklim, manusia, sosial, budaya, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang, yang dalam penelitian ini yang paling berperan adalah atasan, manajemen proyek dan perusahaan. Teori Perubahan Perilaku menyatakan bahwa untuk merubah perilaku-perilaku kritikal, maka fokus yang diperlukan adalah pada perilaku terbuka (overt behavior). Perubahan perilaku terjadi melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran tersebut terjadi dengan baik bila proses pembelajaran tersebut menghasilkan
perubahan
perilaku
yang
relatif
permanen.
Pembelajaran tersebut mencakup tiga komponen, yaitu:48 1. Pembelajaran melibatkan perubahan 2. Perubahan harus relatif permanen 3. Perubahan menyangkut perilaku Proses pembelajaran inilah yang dalam implementasinya akan memberikan hasil yang berbeda pada setiap individu, dalam hal ini pekerja konstruksi. Penelitian ini menggunakan kombinasi teori perilaku Lawrence Green dan Skinner sebagai referensi perilaku pekerja konstruksi. Selain itu Behavior Based Safety juga dapat diterapkan dalam penelitian ini dimana dalam teori ini mengkhususkan hubungan dengan perilaku manusia dalam hal bekerja di area kerja yang sangat banyak bersinggungan dengan alat-alat kerja, benda kerja, kendaraan kerja, langkah kerja, dan lainnya. Behavior Based Safety (BBS) merupakan aplikasi sistematis dari riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja yang memasukkan proses umpan balik secara langsung dan tidak langsung. BBS lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Menurut Geller BBS adalah proses pendekatan untuk meningkatkan keselamatan kesehatan kerja dan lingkungan dengan jalan menolong sekelompok pekerja untuk:
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
87
1. Mengidentifikasi perilaku yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). 2. Mengumpulkan data kelompok pekerja. 3. Memberikan feedback dua arah mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja (K3). 4. Mengurangi atau meniadakan hambatan sistem untuk perkembangan lebih lanjut. Berdasarkan Behavior Based Safety (BBS), stimulus yang diberikan terusmenerus adalah melakukan observasi perilaku secara terus-menerus dan memberikan stimulus positif, pada akhirnya akan menghasilkan perubahan perilaku kerja aman (conditioned response of safe behavior). Perilaku penggunaan APD di kalangan pekerja konstruksi mencangkup aspekaspek kompleks dimana kendala yang terjadi merupakan kontribusi dari faktor pekerja itu sendiri, peraturan dan ketersediaan APD oleh perusahaan, pengawasan serta masalah manajerial dalam hal ini peraturan pemerintah mengenai Sistem Manajemen K3. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa perilaku penggunaan APD masih kurang baik ditandai dengan sebagian besar pekerja tidak menggunakan APD secara rutin setiap harinya saat bekerja dimana terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan diantaranya adalah pengetahuan yang kurang akan manfaat APD,kurangnya kepedulian pekerja konstruksi akan risiko kecelakaan kerja konstruksi, rendahnya kesadaran masing-masing individu mengenai bahaya dan risiko pekerjaan konstruksi, tingkat pendidikan yang rendah, lemahnya pengaruh significant others seperti keluarga, mandor maupun atasan dalam pembentukan kesadaran akan bahaya pekerjaan kostruksi, status pekerja konstruksi yang merupakan pekerja lepas, konsep diri pekerja yang lemah ditambah dengan kurangnya pengawasan lapangan rutin saat bekerja dan tidak adanya peraturan yang dikomunikasikan secara jelas kepada pekerja akan keselamatan kerja, belum adanya pelatihan K3 khususnya penggunaan APD kepada pekerja konstruksi, dan faktor reinforcement yang lemah, diantaranya kesalahan atau ketidak patuhan hanya ditanggapi dengan teguran ringan tanpa
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
88
adanya sanksi (punishment) serta belum adanya penghargaan (reward) yang diberikan kepada pekerja atas kepatuhannya. Status pekerja konstruksi juga berpengaruh terhadap konsep diri, sikap serta perilaku keselamatan kerja serta penggunan APD. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan dan mendapat pekerjaan dari hasil perekrutan mandor yang juga merupakan subkontraktor. Hal ini mempengaruhi pola berpikir serta perilaku pekerja konstruksi. Suatu pekerjaan dipilih bukan hanya berdasarkan kemampuan khusus yang dimiliki tetapi semata-mata hanya berdasarkan tuntutan ekonomi sehingga menghalalkan semua risiko yang terdapat pada pekerjaan yang diambil, dalam hal ini bidang konstruksi. Ketidakterikatan status ini juga mempengaruhi perilaku bekerja tidak aman yang termasuk di dalamnya penggunaan APD. Permasalahan yang dihadapi oleh pekerja konstruksi dalam penelitian ini juga tercermin pada sebuah penelitian mengenai kepatuhuan penggunaan Alat Pelindung Diri yang dilakukan oleh Salman Azhar dkk, yang berjudul “Addressing the Issue of Compliance with Personal Protective Equipment on Construction Worksites: A Workers’ Perspective” dengan menggunakan kuesioner yang dikumpulkan dari 48 pekerja konstruksi dari 9 perusahaan konstruksi besar di Florida Selatan memperoleh hasil bahwa hanya 64% pekerja yang menggunakan APD dengan benar secara konstan. Penyebab kegagalan penggunaan APD adalah ketidaknyamanan penggunaan APD, APD membatasi pergerakan pekerja, tidak cukupnya penyediaan APD bagi pekerja serta kurangnya pelatihan mengenai penggunaan APD. Selain itu ditemukan juga fakta bahwa masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran diri pekerja untuk menggunakan APD selama bekerja.17
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
89
Dapat dilihat bahwa sikap pekerja konstruksi terhadap penggunaan APD yang kurang baik dipengaruhi langsung selain dari pengetahuan yang terbatas dan konsep diri yang lemah (persepsi, intensi dan pengalaman) juga oleh status pekerja yang merupakan pekerja lepas serta tingkat pendidikan yang rendah. Semua faktor ini didapatkan dalam diri pekerja. Kedua faktor terakhir berperan penting dalam perwujudan sikap penggunaan APD yang baik. Sedangkan manajemen, mulai dari manajemen proyek hingga manajemen perusahaan berperan dalam penyediaan dan inventarisasi APD yang masih buruk, peraturan yang tidak ketat dijalankan, pelatihan yang tidak pernah diberikan kepada pekerja konstruksi. Manajemen proyek beserta mandor juga bertanggung jawab mengenai pengawasan yang implementasi di lapangan masih longgar sehingga membuat perilaku pekerja konstruksi tidak atau tidak selalu memakai APD. Dapat disimpulkan perilaku kepatuhan penggunaan APD di kalangan pekerja konstruksi masih kurang baik.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 •
Kesimpulan Perilaku pekerja konstruksi dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) masih perlu ditingkatkan lagi, ditandai dengan kurangnya kesadaran akan risiko kecelakaan kerja serta manfaat penggunan APD sehingga sebagian besar belum menggunakan APD secara rutin dalam pekerjaan
•
Faktor-faktor predisposisi yang mendasari perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri yang kurang baik adalah tingkat pendidikan yang rendah, Persepsi serta pengetahuan manfaat APD yang masih terbatas pada permukaan serta adanya kesalahpahaman mengenai fungsi APD, walaupun hampir semua pekerja mengetahui risiko kecelakaan kerja yang tinggi di sektor konstruksi. Sikap terhadap penggunaan APD yang masih kurang baik.
•
Faktor-faktor
pemungkin
(enabling
factors)
yang
mempengaruhi
penggunaan Alat Pelindung Diri adalah struktur perusahaan yang jelas dimana terdapat manajemen perusahaan, manajemen proyek selaku pelaksana kegiatan di lapangan serta mandor atau supervisor yang membawahi
pekerja
konstruksi.
Tidak
ditemukan
adanya
faktor
pemungkin lain, status pekerja konstruksi yang semuanya adalah pekerja lepas. Ketersediaan APD, inventarisasi dan kelayakan mengalami hambatan, kurangnya sosialisasi peraturan serta informasi mengenai APD dilapangan oleh manajemen proyek dan perusahaan. Serta pelatihan penggunaan APD juga menurut sebagian besar informan pekerja konstruksi tidak pernah dilakukan menjadi hambatan bagi terbentuknya perilaku penggunaan APD yang baik •
Faktor reinforcing yaitu pengawasan di lapangan mengenai penggunaan APD yang masih longgar serta belum adanya reinforcement konkret baik reward ataupun punishment yang diterapkan bagi pekerja konstruksi yang
90
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
91
taat maupun yang lalai dalam penggunaan APD. Pada akhirnya manajemen (proyek dan perusahaan) memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku aman penggunaan APD di lingkungan kerja 6.2
Saran Kepada perusahaan:
Diperlukan kerjasama antara manajemen khususnya manajemen proyek dengan mandor selaku perpanjangan tangan pekerja dalam pelaksanaan perilaku aman yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang berkensinambungan kepada pekerja konstruksi
Pemberian briefing sebelum bekerja yang terjadwal serta pelatihan mengenai APD diperlukan sebagai bagian dari perwujudan perilaku aman pekerja konstruksi
Diperlukan kejelasan akan tanggung jawab mandor atau supervisor selaku pihak yang membawahi pekerja konstruksi di lapangan
Dibutuhkan adanya sistem inventarisasi yang jelas bagi semua penyediaan sarana dan prasarana proyek konstruksi termasuk didalamnya mengenai penyediaan APD
Pemberian reinforcement positif berupa reward atau penghargaan yang berfokus
kepada
pekerja
konstruksi
diperlukan
untuk
memacu
pembentukan perilaku aman, dibandingkan dengan pemberian hukuman atau sanksi sebagai reinforcement negatif.
Kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan:
Perlunya dilakukan pengaturan yang jelas kepada perusahaan terhadap recruitment pekerja konstruksi.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
DAFTAR PUSTAKA
1. PT Jamsostek : Tingkat Kecelakaan Kerja Masih Tinggi. Jakarta, Kominfo Newsroom http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=1031 2. http://www.safetydo.com/2011/02/keselamatan-kerja-umum.html#more 3. http://mediadata.co.id/REGIND-2012/Penawaran-Daftar-Peraturan-JasaKonstruksi-di-Indonesia-2012.pdf 4. Zaini Z. Iksan. Perlindungan Pekerja Konstruksi Indonesia Dinilai Masih Minim. http://www.antaranews.com/berita/262528/perlindungan-pekerjakonstruksi-indonesia-dinilai-masih-minim 5. Ramli, Soehatman. (2003). Keselamatan Konstruksi. Available from: http://www.migasindonesia.com/files/article//%5BHSE%5DKeselamatan _Konstruksi.pdf 6. Ferdy, Ardinold, Ariyanto Yudi. (2008). Macam-macam dan Penyebab Kecelakaan Struck-by pada Proyek Konstruksi di Surabaya. Skripsi. Surabaya: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra. http://digilabpetra.com 7. Doedoeng Z. Arifin . Analisis 10 Tahun Kebijakan Sertifikasi Tenaga Kerja Jasa Konstruksi. http://110.139.57.19/awal/view.php?idArtikel=89. 8. Kecelakaan Kerja terbanyak di Sektor Konstruksi. Sinar Harapan, Kamis 14 Januari 2010. http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=828 9. Personal Protective Equipment (PPE). http://www.osha.gov/SLTC/personalprotectiveequipment/index.html 10. Salminen, S., & Tallberg, T. (1996). Human errors in fatal and serious occupational accidents in Finland. Ergonomics, 39, 980−988. 11. (National Institute for Occupational Safety and Health). (2000). Worker deaths by falls: A summary of surveillance findings and investigative case reports. Cincinatti, OH: NIOSH ) 12. Personal protective equipment should fit the workplace. http://www.nsc.org/safetyhealth/Pages/personal_protective_equipment_sh ould_fit_the_workplace.aspx
92
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
93
13. Roughton. (2002) Developing an Effective Safety Culture : a Leadership Approach 14. OSHA Fact Sheet. Personal Protective Equipment. http://www.osha.gov/OshDoc/data_General_Facts/ppe-factsheet.pdf 15. Construction personal protective equipment http://www.osha.gov/Publications/construction_ppe.html 16. Heinrich Beukes.(2004). Personal Protective Equipment.The “What, When, Where and How” of PPE. Feature article. The Safe Angle. Volume 6 No.1, Spring 17. Salman Azhar. Addressing the Issue of Compliance with Personal Protective Equipment on Construction Worksites: A Workers’Perspective. Florida International University. http://ascpro0.ascweb.org/archives/cd/2009/paper/CPRT176002009.pdf 18. A Survey on Usage of Personal Protective Equipment in Hong Kong. Hong Kong Occupational Safety and Health Council. (2000). http://www.bre.polyu.edu.hk/research/ConstrSafetyAtHeight/archive/Fall _from_Height_Sol_%20HK/HKReport/OSHC_SurveyUsageProtectiveEq uip.pdf 19. Heavy Construction Worker Safety Investigation 3rd Generation Tracking Study. Mail/Telephone Survey With Construction Safety Influencers.August, 2004. Ohio. http://www.safetyequipment.org/userfiles/File/U_ASurveyReport2004.pdf 20. http://www.docstoc.com/docs/74168216/Kepatuhan-Pekerja-TerhadapPenggunaaan-Alat-Pelindung-Diri-Di-Pt-Harpindo-Bangun-SejahteraPrabumulih. 21. Benny Vitriansyah Purta.(2012).Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pengelasan Industri Informal dalam penggunaan Alat Pelindung Diri di Jalan Raya Bogor – Dermaga, Kota Bogor 2011. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
94
22. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 23. Emmanuel Zagury Tourinho.(2006). Private Stimuli, Covert Responses, and Private Events: Conceptual Remarks. Behav Anal. Spring; 29(1): 13– 31. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2223175/ 24. Everett M. Rogers. Diffusion of Innovations. A chapter in Don Stacks and Michael Salwen (Eds) (in press). An integrated approach to communication theory and research. University of New Mexico. New York: Routledge. http://utminers.utep.edu/asinghal/reports/emr-singhalquinlan-june19-07-doi-word-file-stack-salwen[1].pdf 25. Achmat Zakarija. Theory of Planned Behavior, Masihkah Relevan? Diunduh dari: http://zakarija.staff.umm.ac.id/files/2010/12/Theory-ofPlanned-Behavior-masihkah-relevan1.pdf 26. Theory at A Glance. A Guide for Health Promotion Practice. National Institute of Health.(1998).http://www.orau.gov/cdcynergy/soc2web/Content/activeinf ormation/resources/Theory_at_Glance.pdf 27. Citation: Huitt, W., & Hummel, J. (1997). An introduction to operant (instrumental) conditioning. Educational Psychology Interactive. Valdosta, GA: Valdosta State University. http://www.edpsycinteractive.org/topics/behavior/operant.htm l 28. E. Scott Geller. (2005). Behavior-Based Safety and Occupational Risk Management. Behavior Modification, Vol. 29 No. 3, Sage Publication. http://www-iwse.eng.ohiostate.edu/ISEFaculty/sommerich/ise671/Geller-behaviourbased%20safety%20-review.pdf 29. Wondimu Ahmed and Marjon Bruinsma. (2006).A Structural Model of Self Concept, Autonomous Motivation and Academic Performance in Cross Cultural Perspective. Electronic Journal in Research and Educational Psychology, No.10 Vol 4 (3)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
95
30. Richard. J Shavelson and Roger Bolus.(1981). Self concept: the Interplay of Theory and Methods. http://www.rand.org/pubs/papers/2009/P6607.pdf 31. Fuhrmann, BS.(1990). Adolescence, Adolescents. Illinois:Scott, Foresman/Little Higher Education. 32. Rakhmat, Jalaluddin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 33. Widodo, Prasetyo Budi. Reliabilitas dan Validitas Konstruk Skala Konsep Diri untuk Mahasiswa Indonesia.. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006 34. Stuart GW, Sundeen SJ. (1995). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St.louis Missouri. Mosby Year Book Inc. 35. Atkinson, Rita L., Atkinson, Richard C., & Hilgard, Ernest R. (1999). Pengantar Psikologi (Ed. 8), Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga 36. Notoatmodjo. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta 37. Health Belief Model. University of Twente. http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory%20Clusters/Health %20Communication/Health_Belief_Model.doc/ 38. Health Belief Model. Jones and Bartlett publishers. http://www.jblearning.com/samples/0763743836/chapter%204.pdf 39. Redding Colleen A. (2000). Health Behavior Models. The International Electronic Journal of Health Education, 3 (Special Issue): 180193.http://drzaius.ics.uci.edu/meta/classes/informatics161_fall06/papers/1 0a-Redding_HealthBehaviorModels.pdf 40. Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading, MA: Addison-Wesley Formation of intentions. Chapter 7. http://home.comcast.net/~icek.aizen/book/ch7.pdf 41. Steven Nadler. Spinoza’s Ethics. An Introduction. (2006). University of Wisconsin-Madison.Cambridge University Press.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
96
http://preterhuman.net/texts/thought_and_writing/philosophy/Nadler_Spi noza's%20Ethics-An%20Introduction_0521544793.pdf 42. Meliono, Irmayanti. (2007). MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI 43. Lawrence. L. Green. (1984). Modifying and Developing Health Behavior. Rev. Public Health.5:215-36. http://www.annualreviews.org/doi/pdf/10.1146/annurev.pu.05.050184.00 1243 44. Norbert Schwarz. The Construction of Attitudes. Manuscript of a chapter in A. Tesser & N. Schwarz (Eds.) (2001),Intrapersonal Processes (Blackwell Handbook of Social Psychology), Oxford, UK: Blackwell, pp. 436-457. http://sitemaker.umich.edu/norbert.schwarz/files/schwarzz___bohner_attit ude-construction-ms.pdf 45. Allport’s, Defining an Attitude. http://users.ipfw.edu/bordens/social/attit.htm 46. Richard Stup. (2001). Standard Operating Procedures: Managing the Human Variables. Pennsylvania State University. http://www.nmconline.org/articles/SOP.pdf 47. Utommi. (2007). Gambaran Tingkat Kepatuhan Pekerja Dalam Mengikuti Prosedur Operasi pada Pekerja Operator Dump Truck di PT. Kaltim Primacoal. Skripsi. 48. E. Scott Geller. Based Safety and Occupational Risk Management. Behavior Modification, Vol. 29 No. 3, May 2005 539-561. http://wwwiwse.eng.ohio-state.edu/ISEFaculty/sommerich/ise671/Geller-behaviourbased%20safety%20-review.pdf 49. Geotsch, et. Al. (1996). Safety and Health Management. Amsterdam Hall : Mac Gill Inc 50. Personal Protective Equipment. http://www.osha.gov/Publications/osha3151.html 51. Suma’mur.(1995). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta. PT. Toko Gunung Agung
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
97
52. Bird, E, F and Germain, G, L. (1990). Practical Loss Control Leadership. Edisi Revisi. USA : Division Of International Loss Control Institute. 53. http://www.pu.go.id/satminkal/itjen/peraturan/uu_18_1999.pdf 54. Lester,S (1999). An introduction to phenomenological research. Taunton UK, Stan Lester Developments. http://www.sld.demon.co.uk/resmethy.pdf 55. Janesick, V. (2000). The Choreography of Qualitative Research Design: Minuets, Improvisations, and Crystallization. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Handbook of Qualitative Research (pp. 379-400). Thousand Oaks, California, Sage Pub 56. Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Thousand Oaks, CA:Sage Pub. 57. E.Kristi Poerwandari. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia.42-65. Perfecta. Jakarta. 58. Creswell. Five Qualitative Approaches to Inquiry. 2006. Chapter 4. Ebook. http://www.sagepub.com/upm-data/13421_Chapter4.pdf 59. Moeloeng, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Rosda. 60. Karim, Arif Mafatia. (2009). Studi Kasus Kecelakaan Kerja Konstruksi. Makalah. Malang: Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang. http://patuholic.blogspot.com/2010/03/tugas-k3-studi-kasus.htm. 61. Masonry and concrete saws. http://www.statefundca.com/safety/safetymeeting/SafetyMeetingArticle.a spx?ArticleID=351 62. Survey of Hazard Assessment for Personal Protective Equipments. Architectural Maintenance.http://www.calvin.edu/admin/physicalplant/departments/ehs /policies/ppe/ppe-architectural.pdf 63. What type of PPE is available when welding?. http://www.ccohs.ca/oshanswers/safety_haz/welding/ppe.html
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
98
64. Electrical-PPE and clothing. http://www.worksafe.wa.gov.au/smartmove/industryModules/electrical/el ectricityD9E.htm 65. Heavy equipment operator certificate. Olds College. Canada http://www.oldscollege.ca/programs/pdfs/factsheets/HeavyEquipOperator Cert.pdf 66. Wirahadikusumah. Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia . Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. 2007. Makalah. http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/manajemen_dan_rekayasa_konstruksi/wpcontent/uploads/2007/05/makalah-reini-d-wirahadikusumah.pdf 67. Panani Kesai. Kinerja SDM Konstruksi. Artikel. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://konstruksii ndonesia.net/file/KI2012.pdf. 68. Personal Protective Equipment (PPE). Article. http://www.hse.gov.uk/toolbox/ppe.htm 69. Pekerja konstruksi asing di Malaysia 58 persen TKI. Maret 2014. Artikel. http://www.antaranews.com/berita/427036/pekerja-konstruksi-asing-dimalaysia-58-persen-tki 70. Sahrial Angkat. Analisis Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja pada Pekerja Banguna Perusahaan X. Universitas Sumatra Utara. 2008. Tesis. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6653/1/09E00804.pdf 71. http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/6301003/index11.php?pu b=Statistik%20Konstruksi%202010 72. Characteristics and Relative Risk of Occupational Fatalities of Hispanic Construction Workers. NIEHS http://www.niehs.nih.gov/about/visiting/events/pastmtg/assets/docs_c_e/c haracteristics_and_relative_risk_of_occupational_fatalities_of_hispanic_c onstruction_workers2_508.pdf 73. Cora Roelofs, Linda Sprague-Martinez, Maria Brunette and Lenore Azaroff. A qualitative investigation of Hispanic construction worker perspectives on factors impacting worksite safety and risk. Roelofs et al.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
99
Environmental Health 2011, 10:84. http://www.ehjournal.net/content/10/1/84. http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1476-069X-10-84.pdf 74. Rafiq M. Choudhry, , Dongping Fang. Why operatives engage in unsafe work behavior: Investigating factors on construction sites. Safety Science Volume 46, Issue 4, April 2008, Pages 566–584. Construction Safety. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0925753507001087 75. Marion Gillen, Susan Kools, Juliann Sum, Cade McCall, Kelli Moulden. Construction workers' perceptions of management safety practices: A qualitative investigation Work: A Journal of Prevention, Assessment and Rehabilitation. Volume 23, Number 3/2004. http://iospress.metapress.com/content/u0wcdm2lq0953f1k/ 76. Arcury TA, Summers P, Carrillo L, Grzywacz JG, Quandt SA, Mills TH 3rd.Occupational safety beliefs among Latino residential roofing workers.Am J Ind Med. 2014 Jun;57(6):718-25. doi: 10.1002/ajim.22248. Epub 2013 Sep 4.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
100
DAFTAR SINGKATAN
APD
Alat Pelindung Diri
BPS
Badan Pusat Statistik
FGD
Focus Group Discussion
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
K3
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OSHA
Occupational Safety and Health Administration
RAT
Rapat Anggaran Tahunan
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
Pedoman FGD Untuk Pekerja Konstruksi
Pengantar: Memberi salam dan perkenalan diri tim peneliti dan menjelaskan tujuan dari FGD: Selamat siang bapak-bapak sekalian. Kami dari Kedokteran Okupasi Universitas Indonesia. Perkenalkan saya, dr. Stefanie sebagai...., rekan saya dr. Puspita, dan.......(anggota tim lainnya) ingin berdiskusi dengan bapak-bapak sekalian tentang pengalaman menggunakan APD selama bekerja. Selama diskusi bapak-bapak bebas mengemukakan pendapat karena tidak ada penilaian baik atau buruk dan apa yang didiskusikan disini tidak akan mempengaruhi atau merugikan posisi bapak-bapak sekalian di lingkungan kerja karena tujuannya adalah hanya ingin mengetahui dan berbagi pengalaman bapak-bapak selama ini. Hasil diskusi ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi perusahaan untuk upaya perbaikan dikemudian hari. Diharapkan bapak-bapak semua berperan aktif selama diskusi berlangsung. Perbolehkan kami juga mendokumentasikan proses diskusi ini dengan video kamera.
Universitas Indones Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
102
Pedoman FGD Untuk Pekerja Konstruksi Tanggal
:
Nama Pewawancara Nama Notulen
: :
Karakteristik Informan No Nama
Usia
Jenis
Status
Pendidikan
Masa
pekerjaan
pekerja
terakhir
kerja
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
Mandor
103
Pengetahuan tentang risiko kecelakaan kerja dan APD 1. Bapak-bapak semua saat ini bekerja di proyek konstruksi, bukankah sektor ini berisiko tinggi ? Jelaskan risiko apa saja! 2. Bagaimana bapak-bapak bisa mencegah terjadinya kecelakaan kerja? 3. Menurut anda sekalian apakah Alat Pelindung Diri itu? Jelaskan jenis dan fungsinya? Persepsi tentang risiko kecelakaan kerja dan APD 1. Apakah selama bekerja di bidang ini bapak atau rekan bapak pernah mengalami kecelakaan kerja? Ceritakan! Bagaimana akibatnya? 2. Menurut bapak- bapak apa sebabnya kecelakaan tersebut terjadi? 3. Dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sekarang, apakah bapak-bapak juga berisiko untuk mengelami kecelakaan kerja? Sikap terhadap penggunaan APD 1. Apakah menurut bapak-bapak, selalu menggunakan APD yang sesuai itu penting? Mengapa?
Ketersediaan APD 1. Apakah APD di perusahaan ini cukup tersedia? Bagaimana bisa mendapatkannya dan untuk siapa saja APD tersebut disiapkan? Apakah tersedia ukuran-ukuran yang sesuai untuk bapak-bapak? Peraturan dan SPO tentang APD 1. Sepengetahuan Anda, apakah terdapat peraturan tentang APD di proyek ini? Jelaskan Pelatihan informasi dan penggunaan APD 1. Apakah selama ini pekerja telah dan pernah diberikan informasi, briefing atau pelatihan mengenai APD? Dan kapan saja hal tersebut dilakukan?
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
104
Pengawasan penggunaan APD 1. Seperti apa bentuk pengawasan yang diberikan ketika Anda bekerja? Jelaskan Penguatan (sanksi) 1. Apakah menurut bapak, anda diawasi mengenai penggunaan APD dan apakah ada teguran atau sanksi bila tidak menggunakan APD? Perilaku Penggunaan APD 1. Apakah bapak-bapak selalu menggunakan APD yang sesuai, jelaskan mengapa atau mengapa tidak selalu menggunakan?
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
105
Pedoman FGD Manajemen Proyek dan Pengawas Proyek dan Mandor Konstruksi
Pengantar: Memberi salam dan perkenalan diri tim peneliti dan menjelaskan tujuan dari FGD: Selamat siang bapak-bapak sekalian. Kami dari Kedokteran Okupasi Universitas Indonesia. Perkenalkan saya, dr. Stefanie sebagai...., rekan saya dr. Puspita, dan.......(anggota tim lainnya) ingin berdiskusi dengan bapak-bapak sekalian tentang pengalaman selama bekerja menjadi pengawas dan mandor konstruksi mengenai penggunaan APD oleh pekerja selama bekerja. Selama diskusi bapak-bapak bebas mengemukakan pendapat karena tidak ada penilaian baik atau buruk dan apa yang didiskusikan disini tidak akan mempengaruhi atau merugikan posisi bapak-bapak sekalian di lingkungan kerja karena tujuannya adalah hanya ingin mengetahui dan berbagi pengalaman bapak-bapak selama ini. Hasil diskusi ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi perusahaan untuk upaya perbaikan dikemudian hari. Diharapkan bapak-bapak semua berperan aktif selama diskusi berlangsung. Perbolehkan kami juga mendokumentasikan proses diskusi ini dengan tape recorder.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
106
Pedoman FGD Manajemen Proyek dan Pengawas Proyek dan Mandor Konstruksi
Tanggal
:
Nama Pewawancara Nama Notulen :
: :
Karakteristik Informan
No
Nama
Usia
Jabatan
Status
Pendidikan
pekerja
terakhir
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
Masa kerja
107
Persepsi tentang risiko kecelakaan kerja dan APD 1. Dari pengalaman Anda apakah sering terjadi kecelakaan kerja di proyek konstruksi yang anda pimpin? Apakah kecelakaan cukup serius? 2. Pada umumnya apa penyebab kecelakaan kerja tersebut ? Jelaskan 3. Apa peran perusahaan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja? Sikap terhadap penggunaan APD 1. Menurut Anda apakah pekerja telah menggunakan APD dengan benar? Jelaskan Ketersediaan APD 1. Apa saja APD yang disediakan di proyek ini? Bagi siapa saja APD tersebut diperuntukkan? 2. Bagaimana pekerja bisa mendapatkan APD tersebut? Apakah ada APD yang harus dibawa sendiri? Peraturan dan SPO tentang APD 1. Apakah terdapat Standar
Prosedur Operasional
(SPO) dan peraturan
mengenai APD yang berlaku di proyek ini? Jelaskan! Pelatihan informasi dan penggunaan APD 1. Apakah selama ini pekerja telah dan pernah diberikan informasi, briefing atau pelatihan mengenai APD? Jelaskan Pengawasan penggunaan APD 1. Bentuk pengawasan seperti apa yang Anda berikan kepada pekerja terhadap penggunaan APD saat bekerja? Jelaskan Penguatan (sanksi dan reward) 1. Apa saja yang Anda berikan atau lakukan sebagai pengawas ketika pekerja taat atau ketika pekerja lalai dalam mematuhi peraturan? Jelaskan
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
108
Perilaku pengunaan APD 1. Menurut bapak-bapak bagaimana perilaku pekerja perusahaan mengenai penggunaan APD ? Apakah semua menggunakan dengan sesuai? Bila tidak, pada umumnya apa alasannya
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
109
Pedoman Wawancara Mendalam Manajemen Perusahaan
Pengantar: Memberi salam dan perkenalan diri tim peneliti dan menjelaskan tujuan dari FGD: Selamat siang bapak-bapak sekalian. Kami dari Kedokteran Okupasi Universitas Indonesia. Perkenalkan saya, dr. Stefanie sebagai peneliti, ingin berdiskusi dengan bapak tentang kebijakan dan peraturan yang tersedia tentang prosedur penggunaan APD di proyek konstruksi. Selama diskusi bapak bebas mengemukakan pendapat karena tidak ada penilaian baik atau buruk dan apa yang didiskusikan disini tidak akan mempengaruhi atau merugikan posisi bapak-bapak sekalian di lingkungan kerja. Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kebijakan atau peraturan yang ada tetapi diharapkan dapat menjadi masukan yang baik bagi perusahaan untuk menyempurnakan kebijakan atau peraturan yang telah ada sebagai upaya perbaikan dikemudian hari. Perbolehkan saya juga mendokumentasikan proses diskusi ini dengan tape recorder.
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
110
Pedoman Wawancara Mendalam Manajemen Perusahaan
Tanggal
:
Nama Pewawancara
:
Karakteristik Informan Nama: Usia: Jabatan: Pendidikan terakhir: Masa Kerja:
Persepsi tentang risiko kecelakaan kerja dan APD 1. Dari pengalaman
Anda apakah sering terjadi kecelakaan kerja di
proyek konstruksi yang anda pimpin? Apakah kecelakaan cukup serius? 2. Pada umumnya apa penyebab kecelakaan kerja tersebut ? Jelaskan 3. Apa peran perusahaan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja? Sikap terhadap penggunaan APD 1. Menurut Anda apakah pekerja telah menggunakan APD dengan benar? Jelaskan Ketersediaan APD 1. Apa saja APD yang disediakan di proyek ini? Bagi siapa saja APD tersebut diperuntukkan?
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
111
Peraturan dan SPO tentang APD 1. Apakah terdapat Standar Prosedur Operasional (SPO) dan peraturan mengenai APD yang berlaku di proyek konstruksi? Jelaskan! Pelatihan informasi dan penggunaan APD 1. Apakah selama ini pekerja telah dan pernah diberikan informasi, briefing atau pelatihan mengenai APD? Jelaskan Pengawasan penggunaan APD 1. Bentuk pengawasan seperti apa yang Anda berikan kepada pekerja terhadap penggunaan APD saat bekerja? Jelaskan Penguatan (sanksi dan reward) 1. Apakah ada penghargaan atau sanksi yang perusahaan berikan
ketika
pekerja taat atau ketika pekerja lalai dalam mematuhi peraturan? Jelaskan Perilaku pengunaan APD 1. Menurut sepengetahuan Anda bagaimana perilaku pekerja proyek mengenai penggunaan APD ? Apakah semua menggunakan dengan sesuai? Bila tidak, pada umumnya apa alasannya?
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
112
Penjelasan mengenai penelitian perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri pada pekerja konstruksi
Peneliti dari Program Studi Kedokteran Okupasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia akan melakukan penelitian mengenai masalah penggunaan Alat Pelindung Diri. Sekitar dua puluh lima orang informan dibutuhkan untuk ikut serta dalam proses diskusi kelompok untuk membahas mengenai penggunaan Alat Pelindung Diri. Dibutuhkan 6-8 orang pekerja dalam satu kali proses diskusi. Anda merupakan salah satu pekerja konstruksi, oleh karena itu Anda diminta ikut serta dalam penelitian ini. Bila bersedia ikut serta, maka Anda akan mengikuti diskusi dalam kelompok antar sesama pekerja dengan peneliti sebagai pewawancara dan diskusi dilangsungkan pada saat jam istirahat pada waktu yang akan ditentukan dan diharapkan dapat selesai dalam satu kali pertemuan. Waktu yang digunakan adalah sekitar 30-60 menit. Tidak dilakukan penilaian dalam diskusi ini sehingga Anda diharapkan berperan aktif dan bebas dalam mengutarakan pendapat selama proses diskusi berlangsung. Semua informasi akan dijamin kerahasiaannya. Bila Anda memutuskan untuk ikut dalam penelitian ini, maka Anda harus mengikuti instruksi yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu mengikuti diskusi kelompok, menaati peraturan yang berlaku selama proses diskusi, bersedia didokumentasi oleh peneliti pendapat, pengalaman dan perkataan Anda selama proses diskusi. Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu membutuhkan penjelasan, Anda dapat menghubungi dr. Stefanie Agustine dibagian Ilmu Kedokteran Okupasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jalan Pegangsaan Timur No. 16. Telepon : 0812-1851-333 _______________
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015
113
Formulir Persetujuan Semua penjelasan di atas telah disampaikan kepada saya dan semua pertanyaan saya telah dijawab oleh dokter. Saya mengerti bahwa bila masih memerlukan penjelasan,saya akan mendapat jawaban dari dr. Stefanie Agustine. Tandatangan pasien/subyek :
Tanggal :
( Nama jelas : ....................)
Tandatangan saksi :
( Nama jelas : ....................)
Universitas Indonesia
Perilaku penggunaan..., Stefanie Agustine, FK UI, 2015