1
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI PELEPASAN ARSEN (As) DARI SEDIMEN DI TELUK JAKARTA DAN BIOAKUMULASI ARSEN DALAM BENTUK SENYAWA TUNGGAL DAN CAMPURAN PADA Cyprinus carpio
SKRIPSI
DANIEL JEFFRY PASARIBU 0806452803
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN KIMIA DEPOK JUNI 2012
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
2
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI PELEPASAN ARSEN (As) DARI SEDIMEN DI TELUK JAKARTA DAN BIOAKUMULASI ARSEN DALAM BENTUK SENYAWA TUNGGAL DAN CAMPURAN PADA Cyprinus carpio
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
DANIEL JEFFRY PASARIBU 0806452803
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DEPARTEMEN KIMIA DEPOK JUNI 2012
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
3
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Daniel Jeffry Pasaribu
NPM
: 0806452803
Tanda Tangan
: …………
Tanggal
: 21 Juni 2012
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
4
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi
: : Daniel Jeffry Pasaribu : 0806452803 : Kimia : Studi Pelepasan Arsen (As) dari Sedimen di Teluk Jakarta dan Bioakumulasi Arsen Dalam Bentuk Senyawa Tunggal dan Campuran pada Cyprinus carpio
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Dr. rer. nat. Budiawan
(
)
Penguji 1
: Dr. Endang Saepudin
(
)
Penguji 2
: Drs. Ismunaryo. M,M.Phil
(
)
Penguji 3
: Dr. Rahmat Wibowo
(
)
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 21 Juni 2012
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, anugerah, kekuatan, petunjuk, perlindungan dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik sebagai syarat menempuh tugas akhir dalam meraih gelar kesarjanaan di Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sedalamdalamnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan doa, dorongan dan motivasi yang sangat berharga. Adapun, Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1. Dr. rer. nat. Budiawan selaku pembimbing penelitian yang telah membimbing, memotivasi, mengajarkan hal-hal baru dan berharga dalam kehidupan. 2. Dr. Ridla Bakri selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA UI. 3. Dra. Tresye Utari, M. Si dan Dra. Siswati, Apt. M. Si. selaku Koordinator dan Sekretaris Penelitian Departemen Kimia Program Reguler FMIPA UI. 4. Prof. Dr. Sumi Hudiyono selaku Ketua KBI Biokimia Departemen Kimia FMIPA UI. 5. Dr. rer. nat. Widayanti Wibowo selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan, saran serta perhatian dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan sarjana. 6. Mba Neera Khaerani yang selalu membagi waktu dan ilmunya serta memberikan pengarahan kepada penulis untuk mendiskusikan segala hal. 7. Dr. Endang Saepudin, Drs. Ismunaryo. M,M.Phil , Dr. Rahmat Wibowo, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis. 8. Seluruh dosen di Departemen Kimia FMIPA UI yang telah memberikan perhatian dan ilmunya kepada penulis sehingga penulis memiliki wawasan yang luas mengenai dunia kimia. 9. Orang tua tercinta yang tak henti-hentinya mendoakan ,menasehati dan telah mencurahkan kasih sayang dan bantuan dari segi material dan non material. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
6
Kakak dan adik tercinta, Bertua Karni Riama Pasaribu, David Malindo Pasaribu dan Maria Yemima Bellen Pasaribu atas nasihat dan motivasi nya pada penulis. 10. Nina Astriasari selaku teman spesial, pacar dan kekasihku memberikan perhatian, dukungan, doa serta waktunya dalam
yang
telah
membantu
penulis menyusun skripsi ini. Kak Reni, Kak Danang, Bang Olan yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 11. Sahabat-sahabat seperjuanganku : Putri Oktaviani, Lidya Fernanda dan Intan Cahaya Dani. Terima kasih atas kegembiraan, kelelahan, kesedihan, dan semangat yang telah kalian bagi dalam hidup penulis. Semoga persahabatan kita abadi hingga akhir. 12. Sahabat-sahabat terbaikku, Bali Susilo, Anthony, Andreas Nugroho, Anggied Pramuditho Aryadi, Ahmad Baihaki, dan Rendi Arciano yang telah bersedia sebagai tempat penulis mencurahkan keluh kesah, serta yang selalu memberikan semangat kepada penulis. 13. Sahabat-sahabatku, Bimo n the geng, seluruh mahasiswa kimia angkatan, 2007 , 2008, 2009, 2010. Ka Gisha, PO Cs, Pak Hadi, Pak Mardji selaku karyawan TU Departemen Kimia UI, Pa Hedy, Babeh Tri, Pak Kiri, Pak Amin, dan Kak Bo. 14. Seluruh Sidang Jemaat & Gembala Sidang GPdI Peniel, Pdt. Manahan Hutabarat yang telah memberikan dukungan, doa serta nasehat-nasehat yang dapat menyemangati penulis dalam menjalani hari-hari. 15. Dan beberapa yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu atas keikutsertaan dalam pengembangan dan kematangan diri penulis baik semasa kuliah maupun penyusunan skripsi ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata dan perilaku yang telah diperbuat penulis. Semoga penelitian
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca umumnya serta perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis
2012
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
7
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Daniel Jeffry Pasaribu
NPM
: 0806452803
Departemen
: Kimia
Fakultas
: Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya
: Skripsi
demi
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Studi Pelepasan Arsen (As) dari Sedimen di Teluk Jakarta dan Bioakumulasi Arsen Dalam Bentuk Senyawa Tunggal dan Campuran pada Cyprinus carpio beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
mengalihmedia/format-kan, (database),
merawat,
mengelola
Indonesia dalam
berhak bentuk
menyimpan,
pangkalan
data
dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 21 Juni 2012 Yang menyatakan
( Daniel Jeffry Pasaribu )
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
8
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Daniel Jeffry Pasaribu : Kimia : Studi Pelepasan Arsen (As) dari Sedimen di Teluk Jakarta dan Bioakumulasi Arsen Dalam Bentuk Senyawa Tunggal dan Campuran pada Cyprinus carpio
Logam arsen merupakan salah satu logam berat yang berbahaya karena bersifat toksik jika terakumulasi dalam jaringan mahkluk hidup dan sulit terdegradasi dalam lingkungan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran logam arsen yang terdapat di dalam fraksi sedimen, mengetahui pengaruh pH pada proses ekstraksi sedimen serta mengetahui tingkat bioakumulasi logam arsen baik sebagai arsen (As) tunggal maupun campuran logam pada ikan mas (Cyprinus carpio L.). Proses pengambilan sampel sedimen dilakukan di tiga stasiun di perairan Teluk Jakarta. Proses pembuatan larutan ekstraksi berdasarkan prosedur TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure). Proses bioakumulasi dilakukan dengan memberikan toksikan kepada biota uji yaitu ikan mas (Cyprinus carpio L.) yang berlangsung selama 28 hari. Adapun toksikan yang diberikan adalah arsen tunggal dan arsen dalam campuran logam yang terdapat dalam sedimen. Sampel sedimen dan biota uji tersebut dianalisis dengan menggunakan AAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam arsen yang terdapat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta berkisar 1,008 -1,552 µg/g. Berdasarkan baku mutu standar internasional Dutch Quality Standards for Metals in Sediment, level terendah konsentrasi As yang masih dapat ditolerir sebesar 29 mg/kg. Kandungan logam arsen berdasarkan ekstraksi pH 3, 5, dan 7 berturut-turut adalah 0,049-0,058 µg/g, 0,077-0,091µg/g, 0,045-0,069 µg/g. Sedangkan konsentrasi logam As yang terbioakumulasi pada Cyprinus carpio L. yang diberi toksikan arsen tunggal yaitu bagian insang sebesar 0,177 µg/g dan daging sebesar 0,166 µg/g. Sementara logam arsen yang terbiokumulasi pada Cyprinus carpio L. yang diberi toksikan arsen dalam campuran logam yaitu pada bagian insang sebesar 0,166 µg/g dan daging sebesar 0,162 µg/g. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan arsen dalam sedimen di Teluk Jakarta masih tergolong aman dan pH berpengaruh dalam proses pelepasan logam arsen dalam sedimen serta logam arsen berpotensi terbioakumulasi dalam tubuh biota. Kata kunci xv + 100 halaman Daftar Pustaka
: arsen, sedimen, akumulasi, ikan mas (Cyprinus carpio L.), Teluk Jakarta : 20 gambar ; 10 tabel ; 8 lampiran : 95 (1971-2012)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
9
ABSTRACT
Name Program Study Title
: Daniel Jeffry Pasaribu : Chemistry : Study of Leaching Characteristic of Arsenic (As) from Sediments of Jakarta Bay and Bioaccumulation of Arsenic in forms of Single Subtance and Mixtures in Cyprinus carpio
Arsenic is one of dangerous heavy metal that is toxic if it accumulates in living tissue and it is difficult to degrade in the environment. This research was conducted to determine the level of arsenic contamination present in the sediment fraction, determine the effect of pH on the extraction process and determine the level of bioaccumulation of sediment arsenic well as arsenic (As) single or a mixture of metals in carp (Cyprinus carpio L.). The process of sediment sampling conducted at three stations in Jakarta Bay of waters. The process of making extraction solution based on TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) procedure. Bioaccumulation process is done by giving the test toxicant to Cyprinus carpio L. and is held for 28 days. The toxicant was given a pure arsenic and arsenic that mix with another metals in the sediments. Sediment and biota samples were analyzed by AAS. The results showed that the levels of arsenic in the sediment ranged 1,008 -1.552 µg/g. Based on Dutch Quality Standards for Metals in Sediments international the lowest concentrations of As can still be tolerated by 29 µg/g. The level of the arsenic content by extraction pH 3, 5, and 7 in a row is 0.049 to 0.058 µg/g, 0.077 to 0.091 µg/g, from 0.045 to 0.069 µg/g. While the heavy metal concentrations of As in Cyprinus carpio L. bioaccumulated who were given a pure arsenic toxicant in the gills is 0,177 µg/g and the flesh is 0,166 µg/g. While arsenic bioaccumulated in Cyprinus carpio L. that given arsenic mixed toxicant with another alloy in the gills is 0,166 µg/g and in the flesh is 0,162 µg/g. This case indicates that the level of arsenic in sediments is still relatively safe, pH influence the process of arsenic released in sediment and the arsenic is potentially bioaccumulated organism. Key Words xv + 100 pages Bibliography
: arsenic, sediment, accumulation, gold fish (Cyprinus carpio L.), Teluk Jakarta : 20 pictures ; 10 tables ; 8 attachments : 95 (1971-2012)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................................vii ABSTRAK .............................................................................................................................viii DAFTAR ISI ............................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................xiii DAFTAR TABEL .................................................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................... xv 1. PENDAHULUAN.................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5 1.4 Hipotesis ............................................................................................................. 5 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 6 2.1 Pencemaran ......................................................................................................... 6 2.2 Pencemaran Perairan oleh Logam Berat .............................................................. 7 2.3 Logam Berat dalam Sedimen ............................................................................. 10 2.4 Akumulasi Logam Berat oleh organisme.................................................... ......... 12 2.5 Logam Berat...................................................................................................... 13 2.5.1 Arsen ........................................................................................................ 15 2.5.2 Klasifikasi Arsen ...................................................................................... 17 2.5.2.1. Arsen anorganik ........................................................................... 17 2.5.2.2. Arsen organik .............................................................................. 17 2.5.3 Keberadaan Arsen di Alam ....................................................................... 17 2.5.4 Sumber Arsen ........................................................................................... 18 2.5.4.1. Alamiah ....................................................................................... 18 2.5.4.2. Bahan-Bahan Industri .................................................................. 19 2.5.5 Toksisitas Arsen ....................................................................................... 19 2.6 Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)........................................................................... 20 2.7 Kandungan Logam Berat dalam Tubuh Ikan ...................................................... 23 2.8 Mekanisme Akumulasi Logam Berat pada Ikan ................................................. 24 2.9 Spektrofotometri Serapan Atom dengan Teknik VHGA .................................... 26 2.9.1 Atomisasi ................................................................................................. 26 2.9.2 Prinsip Operasional................................................................................... 27 3. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 29 3.1 Lokasi Penelitian ............................................................................................... 29 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................. 29 3.2.1 Alat .......................................................................................................... 29 Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
11
3.2.2 Bahan ....................................................................................................... 29 3.2.2.1 Bahan Kimia ................................................................................. 29 3.2.2.2 Bahan Biologi ............................................................................... 30 3.3 Prosedur Kerja................................................................................................... 30 3.3.1 Pengambilan Sampel Sedimen .................................................................. 30 3.3.2 Persiapan dan Pengawetan Sampel Uji ...................................................... 30 3.3.3 Preparasi Reagen ...................................................................................... 31 3.3.3.1 Pembuatan Asam Nitrat p.a, HNO3 1,0 N ...................................... 31 3.3.3.2 Pembuatan Asam Nitrat HCl 8M ................................................... 31 3.3.3.3 Pembuatan Larutan Natrium Borohidrida ...................................... 31 3.3.3.4 Pembuatan Larutan Baku Logam Berat As (v) 100mg/L................ 31 3.3.3.5 Pembuatan Larutan Baku Logam Berat As (v) 10mg/L ................. 31 3.3.3.6 Pembuatan Larutan Baku Logam Berat As (v) 1mg/L ................... 31 3.3.3.7 Pembuatan Larutan Baku Logam Berat As (v) 100 μg /L............... 31 3.3.3.8 Pembuatan Larutan Kerja Logam Berat As (v) 0, 10, 20, 30, 40, 50 μg/L ................................................................................... 31 3.3.3.9 Pembuatan Larutan Fraksi Asam Asetat pH 3 ................................ 32 3.3.3.10 Pembuatan Larutan Fraksi Asam Asetat pH 5 .............................. 32 3.3.3.11 Pembuatan Larutan Aquaregia..................................................... 32 3.3.4 Verifikasi Metode Analisa ........................................................................ 32 3.3.4.1 Kurva Kalibrasi ............................................................................. 32 3.3.4.2 Deteksi (LoD) dan limit Kuantifikasi (LoQ) .................................. 32 3.3.5 Prosedur Kerja .......................................................................................... 33 3.3.5.1 Pengukuran Kadar Logam Berat As dalam Sedimen (ISO) ............ 33 3.3.5.2 Studi Pengaruh pH pada fraksionasi logam As dalam sedimen ...... 33 3.3.5.2.1 Pengukuran Kadar Logam As pada Ekstraksi Fraksi pH 3 .......... 33 3.3.5.2.2 Pengukuran Kadar Logam As pada Ekstraksi Fraksi pH 5 .......... 33 3.3.5.2.3 Pengukuran Kadar Logam As pada Ekstraksi Fraksi pH 7 .......... 34 3.4 Uji Bioakumulasi Logam Arsen pada Cyprinus carpio L. .................................. 34 3.4.1 Kondisi Uji Biota Statis (OECD 305) ....................................................... 34 3.4.2 Validitas Uji Biota .................................................................................... 34 3.4.3 Persiapan Hewan Uji ................................................................................ 35 3.4.4 Aklimatisasi Hewan Uji (Ikan Mas) .......................................................... 35 3.4.5 Preparasi Toksikan untuk Uji Bioakumulasi.............................................. 35 3.4.5.1 Pembuatan Larutan As5+ 50 μg/L .................................................. 35 3.4.5.2 Pembuatan Larutan Pb2+ 1000 μg/L............................................... 35 3.4.5.3 Pembuatan Larutan Cd2+ 100 μg/L................................................. 35 3.4.5.4 Pembuatan Larutan Ni2+ 56 μg/L ................................................... 36 3.4.5.5 Pembuatan Larutan Cr3+ 5 μg/L ..................................................... 36 3.4.6 Uji Bioakumulasi ...................................................................................... 36 3.4.6.1 Analisis Kandungan Logam Arsen pada Tubuh Ikan ..................... 36
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 38 4.1 Deskripsi Lokasi Sampling ................................................................................ 38 4.2 Proses Pengambilan Sampel Sedimen ................................................................ 39 4.3 Kualitas Perairan di Teluk Jakarta ..................................................................... 40 4.3.1 Suhu ......................................................................................................... 41 4.3.2 Salinitas atau Kadar Garam ....................................................................... 42 4.3.3 Derajat Keasaman (pH) ............................................................................. 44 4.4 Kandungan Logam Arsen pada Sedimen di Teluk Jakarta.................................. 45 4.5 Fraksionasi Logam Arsen dalam Sedimen ......................................................... 48 4.5.1 fraksionasi pada pH 3................................................................................ 49 4.5.2 fraksionasi pada pH 5................................................................................ 51 4.5.3 fraksionasi pada pH 7................................................................................ 53 4.6 Uji Bioakumulasi Arsen pada Ikan Mas ............................................................. 55 4.7 Kandungan Logam Arsen pada Ikan Mas .......................................................... 58 4.7.1 Arsen Tunggal .......................................................................................... 58 4.7.2 Arsen Campuran ....................................................................................... 60 4.7.3 Perbandingan Kandungan Logam Arsen Antara Arsem Tunggal dan Campuran .................................................................................................. 62 5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 65 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 65 5.2 Saran ................................................................................................................. 66 6. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 67 7. LAMPIRAN .......................................................................................................... 75
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
13
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari
bentuk asal pada keadaan keadaan yang lebih buruk. Pergeseran bentuk tatanan dari kondisi asal pada kondisi yang buruk ini dapat terjadi sebagai akibat masukan dari bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahan polutan tersebut pada umumnya mempunyai sifat racun (toksik) yang berbahaya bagi organisme hidup. Toksisitas atau daya racun dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pencemaran. Pencemaran perairan merupakan salah satu masalah pencemaran yang perlu mendapat kajian lebih dalam karena belum terselesaikan secara komprehensif sampai saat ini. Pencemaran perairan di Indonesia umumnya disebabkan oleh input logam berat yang jumlahnya tidak dapat dikendalikan. Logam berat adalah salah satu pencemar atau toksikan dalam lingkungan perairan yang dapat memberikan efek yang merugikan karena bersifat toksik dan bahaya bagi lingkungan dan organisme hidup disekitarnya. Beberapa logam berat yang memiliki tingkat toksisitas tinggi dan mencemari perairan Indonesia adalah arsenik (As), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd). Limbah industri merupakan salah satu sumber pencemaran logam berat yang potensial bagi perairan di Indonesia. Selain itu, sumber utama pemasukan logam pada lingkungan perairan diantaranya : kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga dan aliran air badai perkotaan (Wittmann, 1979). Beberapa contoh kasus terkait dengan pencemaran logam berat khususnya arsen diantaranya kasus keracunan yang terjadi di Bangladesh pada tahun 2000, air sumur yang telah terkontaminasi oleh arsen telah menimbulkan banyak penderitaan bagi warganya. Sumur yang digunakan bertahun-tahun telah mengkibatkan timbulnya berbagai penyakit yakni antara lain: penyakit gangguan sistem pernapasan, kelainan gastrointestinal, kanker kulit, gangguan pada saraf, penyakit paru obstruktif. Kasus ini menyerang sekitar 97 persen penduduk Bangladesh. Menurut penelitian Jones (2000), lebih dari 90 persen air tanah di Bangladesh mengandung hampir 50 ppb arsen. Hal ini berarti kandungan arsen Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
14
dalam air tanah di Bangladesh lima kali lipat di atas ambang batas amannya. Hingga akhir tahun 2000, telah terdeteksi sekitar 25 juta orang terpapar arsen di 59 distrik. Sedangkan Kasus di Indonesia yang mendapat perhatian khusus bagi rakyat Indonesia adalah kasus Teluk Buyat yang terletak di kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Teluk Buyat adalah lokasi pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Sejak tahun 1996, perusahaan asal Denver, AS tersebut membuang sebanyak 2.000 ton limbah tailing ke dasar perairan Teluk Buyat setiap harinya. Sejumlah ikan ditemui memiliki benjolan semacam tumor dan mengandung cairan kental berwarna hitam dan lendir berwarna kuning keemasan. Fenomena serupa ditemukan pula pada sejumlah penduduk Buyat, dimana mereka memiliki benjolbenjol di leher, payudara, betis, pergelangan, pantat dan kepala. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata terdapat kesamaan pola penyebaran logam-logam berat seperti Arsen (As), Antimon (Sb), dan Merkuri (Hg) dan Mangan (Mn), dimana konsentrasi tertinggi logam berbahaya tersebut ditemukan di sekitar lokasi pembuangan tailing Newmont. Dimana konsentrasi As pada sedimen yang tertinggi (663, 74 ppm), Konsentrasi Sb pada sedimen yang tertinggi (583,13 ppm), merkuri
pada sedimen tertinggi(5,80 ppm) (laporan
penelitian terbaru Pusarpedal-KLH (2004) dan Evan Edinger-Memorial University of Newfoundland (2004). Kasus ini mendapat perhatian khusus karena arsen merupakan logam berat golongan 1 menurut IARC (International Agency For Research On Cancer) yang berpotensi menyebabkan kanker pada manusia. Arsen adalah salah satu logam berat yang memiliki tingkat bioakumulasi yang cukup tinggi pada biota perairan. Arsen dalam bentuk unsur bukanlah bahan yang toksik. Arsen yang merupakan racun adalah senyawa arsen (III) karena arsen (III) terikat lama dalam tubuh dan terikat secara kuat dengan gugus S yang terdapat dalam protein. Arsen (III) merupakan bentuk yang paling dominan dan paling bersifat toksik. Berdasarkan National Institute for Occupational Safety and Health (1975), arsen anorganik dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan kronis terutama kanker. Arsen valensi 5 mudah diabsorbsi dalam saluran cerna, sementara yang bervalensi 3 bersifat lebih mudah larut dalam lemak.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
15
Salah satu perairan di Indonesia yang tergolong tinggi tingkat pencemarannya adalah perairan di Teluk Jakarta. Hal ini dapat terjadi karena perairan Teluk Jakarta banyak memberikan kontribusi dalam menunjang kehidupan penduduk Jakarta, antara lain digunakan sebagai areal tambak, kompleks nelayan, PLTU, daerah wisata dan rekreasi, pelabuhan, permukiman dan jalur transportasi. Pada Teluk Jakarta bermuara 13 sungai yang melewati wilayah Jabotabek yang disepanjang daerah aliran sungainya banyak terdapat aktivitas industri dan rumah tangga. Tingginya aktivitas di sepanjang daerah aliran sungai tersebut menyebabkan Teluk Jakarta berfungsi sebagai tempat akhir pembuangan berbagai bahan pencemar yang datang dari darat, seperti pembuangan sampah yang berasal dari rumah tangga dan dari kegiatan industri. Selain itu aktivitas di laut seperti transportasi pelayaran, penangkapan ikan, dan penambakan ikan juga turut menyumbang bahan pencemar di Teluk Jakarta. Oleh karena itu, diduga kandungan logam berat di Teluk Jakarta telah melebihi batas ambang baku mutu kualitas perairan menurut kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (1988). Sejak tahun 1972 Perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran bahan organik dan logam berat yang telah melebihi nilai ambang batas. Logam-logam berat seperti arsen yang terdapat di Teluk Jakarta kemungkinan terdapat pada bagian sedimen, di mana sedimen merupakan hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau erosi tanah lainnya. Logam berat yang sulit terdegradasi di perairan cenderung akan berikatan dengan senyawa-senyawa kimia di dalam sedimen dan mengendap di dasar perairan dalam jangka waktu yang lama. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat, hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1984). Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap didasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Pada penelitian ini digunakan sampel sedimen karena merupakan indikator secara tidak langsung untuk pencemaran air. Adanya logam berat di perairan sangat berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan biota perairan, maupun efeknya secara tidak langsung
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
16
terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang sulit didegradasi, sehingga dapat terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit dihilangkan, dapat terakumulasi dalam biota perairan termasuk kerang, ikan dan memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut serta memiliki nilai faktor konsentrasi yang besar dalam tubuh biota laut dan pada konsentrasi tertentu dapat merusak organ-organ dalam jaringan tubuh. Pada penelitian ini akan dilakukan uji bioakumulasi logam arsen pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) . Proses bioakumulasi kemungkinan dapat juga terjadi dalam tubuh ikan mas (Cyprinus carpio L.) karena ikan mas merupakan salah satu biota air yang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap logam berat. Selain itu, ikan mas merupakan salah satu ikan yang banyak dikonsumsi dan dibudidayakan di Indonesia. Fenomena ini menyebabkan ikan mas dapat menjadi representatif pencemaran yang terjadi di badan perairan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan uji bioakumulasi untuk mengetahui seberapa besar logam berat yang dapat terdistribusi ke dalam tubuh ikan serta baik dalam bentuk tunggal maupun bersama-sama dengan logam berat lainnya.
1.2
Rumusan Masalah
Daerah perairan Teluk Jakarta memiliki tingkat pencemaran logam berat yang tinggi dalam sedimen. Salah satu penyebab tercemarnya Perairan Teluk Jakarta disebabkan oleh aktivitas industri dan rumah tangga. Dimana sekitar 800 buah pabrik industri yang berdomisili dan beroperasi di pesisir pantai Teluk Jakarta. Pencemaran ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kondisi perairan dan biota yang hidup di dalamnya. Salah satu pencemaran yang terjadi dan dianggap berbahaya adalah pencemaran logam berat seperti arsen (As). Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan mengendap didasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
17
dalam kandungan logam arsen dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta serta betapa pentingnya proses bioakumulasi logam arsen tersebut dalam biota air dalam hal ini ikan mas (Cyprinus carpio L.), dimana ikan mas adalah salah satu biota yang juga sering dikonsumsi oleh manusia dan merupakan salah satu ikan yang memiliki kepekaan terhadap adanya pencemaran yang menyebabkan perubahan kualitas air (sensitifitas yang tinggi).
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat pencemaran logam
arsen yang terakumulasi dalan fraksi sedimen dan mengetahui pengaruh pH pada proses pelepasan logam arsen dalam sedimen. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui tingkat bioakumulasi logam arsen dalam ikan mas (Cyprinus carpio L.) selama 28 hari baik sebagai arsen tunggal maupun arsen yang bersama dengan logam lain (campuran).
1.4
Hipotesis
Perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu perairan yang telah tercemar oleh kehadiran logam arsen yang berasal dari aktivitas masyarakat dan limbah industri. pH suatu perairan akan mempengaruhi proses pelepasan logam arsen dari sedimen ke perairan. Logam arsen cenderung terbioakumulasi pada biota uji ikan mas (Cyprinus carpio L.). Kandungan logam arsen yang terbioakumulasi sebagai arsen tunggal berbeda dengan kandungan logam arsen yang terbioakumulasi sebagai arsen campuran.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pencemaran Pencemaran adalah perubahan sifat fisika, kimia dan biologi yang tidak
dikehendaki pada udara, tanah dan air. Perubahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia atau organisme lainnya. Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang No.23 tahun 1997 adalah masuknya atau di masukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Kerusakan ekosistem akibat pencemaran logam berat sering dijumpai khususnya untuk ekosistem perairan. Hal ini terjadi karena adanya logam berat yang bersifat racun bagi organisme dalam perairan. Akibatnya organisme yang paling sensitif pertama kali mengalami akibat buruk dan juga organisme yang tidak mampu bertahan akan musnah, sehingga keseimbangan rantai makanan dan ekosistem perairan akan mengalami kerusakan (Sudarmadi, 1993). Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum, 1971). Sedangkan menurut GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), pencemaran laut adalah masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung akibat adanya kegiatan manusia yang yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Suatu lingkungan hidup dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahanperubahan dalam tatanan lingkungan itu, masuk atau dimasukkan suatu benda lain yang kemudian memberikan pengaruh buruk terhadap bagian-bagian yang menyusun tatanan lingkungan hidup itu sendiri, sehingga tidak dapat lagi hidup sesuai dengan aslinya. Pada tingkat lanjutnya bahkan dapat menghapuskan satu atau lebih dari mata rantai dalam tatanan tersebut. Sedangkan suatu pencemar atau
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
19
polutan adalah setiap benda, zat ataupun organisme hidup yang masuk ke dalam suatu tatanan alami dan kemudian mendatangkan perubahan-perubahan yang bersifat negatif terhadap tatanan yang dimasukinya (Palar, 2004). Darmono (1995) mengklasifikasikan sumber pencemaran logam berat berdasarkan lokasinya : 1.
pada perairan estuaria, pencemaran memiliki hubungan yang erat dengan penggunaan logam oleh manusia.
2.
Pada perairan laut lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya,
3.
Sedangkan perairan sekitar pantai, kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan. Suatu tatanan lingkungan hidup dapat tercemar atau menjadi rusak
disebabkan oleh banyak hal. Namun yang paling utama dari sekian banyak penyebab tercemarnya suatu tatanan lingkungan adalah limbah. Pencemaran yang dapat ditimbulkan oleh limbah ada bermacam-macam bentuk. Ada pencemaran berupa bau, warna, suara, dan bahkan pemutusan mata rantai dari suatu tatanan lingkungan hidup atau penghancuran suatu jenis organisme yang pada tingkat akhirnya akan menghancurkan tatanan ekosistemnya.
2.2
Pencemaran perairan oleh logam berat Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan
tambang, vulkanisme dan sebagainya (Clark, 1986). Umumnya logam-logam di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain, sangat jarang yang ditemukan dalam elemen tunggal. Dalam badan perairan, logam pada umumnya berada dalam bentuk ion-ion, baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk ion-ion tunggal. Sedangkan pada lapisan atmosfir, logam ditemukan dalam bentuk partikulat, dimana unsur-unsur logam tersebut ikut berterbangan dengan debu-debu yang ada di atmosfir. Berbeda dengan logam biasa, logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam berat dan metaloid yang densitasnya lebih
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
20
besar dari 5 g/cm3 (Hutagalung, 1997). Logam-logam berat dalam perairan dapat berbentuk ion logam bebas, pasangan ion anorganik, kompleks organik, dan ion logam organik. Dalam perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk komplek dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi. Kelarutan logam pada prinsipnya diatur oleh pH, jenis dan kepekatan ligan dan zat-zat pengkelat dan keadaan oksidasi komponen mineral dan lingkungan redoks sistem tersebut. Hal ini menyebabkan toksisitas setiap logam berbeda di perairan. Unsur-unsur logam berat tersebut biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan lingkungan hidup, biasanya berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya dalam arti memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Limbah industri merupakan salah satu sumber pencemaran logam berat yang potensial bagi perairan. Pembuangan limbah industri secara terus menerus tidak hanya mencemari lingkungan perairan tetapi menyebabkan terkumpulnya logam berat dalam sedimen dan biota perairan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skema proses alami yang terjadi jika polutan (logam berat) masuk ke lingkungan laut (EPA, 1973 dalam Erlangga, 2007)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
21
Dalam lingkungan perairan ada tiga media yang dapat dipakai sebagai indikator pencemaran logam berat, yaitu air, sedimen dan organisme hidup. Parameter yang mempengaruhi konsentrasi logam berat diperairan adalah suhu, salinitas, arus, pH dan padatan tersuspensi total. Dalam lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion organik, dan ion kompleks bergantung pada kompartemen logam tersebut berada. Menurut John & Leventhal (1995), mengatakan bahwa ada 4 kompartemen yang terlibat dalam siklus biogeokimia logam dalam air, yaitu: a) Kompartemen logam yang terlarut ialah ion logam bebas, kompleks, dan koloidal ikatan senyawanya. b) Kompartemen partikel abiotik, terdiri dari bahan kimia anorganik dan organik. c) Kompartemen partikel biotik, terdiri dari fitoplankton dan bakteri di dalam laut dangkal, laut dalam, daerah pantai, muara sungai, dan waduk yang menempel pada tanaman. d) Kompartemen sedimen di dasar perairan merupakan kompartemen terbesar dari logam berat pada setiap ekosistem air. Kelarutan logam dalam air dipengaruhi oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur . Erlangga (2007) menyatakan bahwa logam dalam air cenderung membentuk ikatan dengan bahan organik ataupun bahan anorganik. Hal ini disebabkan logam memiliki sifat elektronegativitas yaitu kemampuan suatu atom untuk mengangkat elektron pada lapisan terluar. Beberapa jenis interaksi terjadi antara ion logam dan senyawa lainnya dalam larutan air dapat dijelaskan sebagai berikut (Connel dan Miller, 1995): 1. Reaksi hidrolisis ion-ion logam; sebagian besar ion-ion logam yang paling mudah berpindah (seperti Th4+, Fe3+, dan Cr3+) merupakan yang paling mudah dihidrolisis dalam larutan air. 2. Pengompleksan ion-ion logam. Ion-ion logam juga bereaksi dengan zat-zat pengompleks organik dan anorganik yang ada dalam air baik dari sumber
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
22
alamiah maupun sumber pencemaran. Ligan pengompleks anorganik yang dominan meliputi meliputi Cl-, SO4-2, HCO3 -, F-, sulfida dan fosfat. Reaksi ini mirip dengan reaksi hidrolisis ion-ion logam dalam hal terbentuknya ion kompleks yang larut dan tidak larut, bergantung pada kepekatan logam dan ligan serta pH. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Sanusi ,2006) yaitu : 1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan) 2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk udang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut 3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.
2.3
Logam Berat dalam Sedimen
Sedimen adalah lapisan bawah yang melapisi sungai, danau, reservoar, teluk, muara, dan lautan yang terdiri atas bahan organik dan anorganik. Sedangkan menurut Fardiaz (2005) sedimen adalah padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan dengan ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Sedimen diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu lythogenous, biogenous, dan hydrogenous. Lythogenous adalah sedimen yang berasal dari batuan, umumnya berupa mineral silikat yang berasal dari pelapukan batuan. Biogenous adalah sedimen yang berasal dari organisme berupa sisa-sisa tulang, gigi atau cangkang
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
23
organisme. Sedangkan hydrogenous adalah sedimen yang terbentuk karena reaksi kimia yang terjadi di laut (Hutabarat dan Stewart, 1985). Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991). Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktifitas manusia. Melalui
partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar
sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan. Mengendapnya logam berat bersama-sama dengan padatan tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan perairan sekitarnya. Kekuatan ionik yang terdapat di air laut disebabkan adanya berbagai kandungan anion dan kation pada air laut, sehingga memungkinkan terjadinya proses koagulasi (penggumpalan) senyawa logam berat yang ada dan memungkinkan terjadinya proses sedimentasi (pengendapan). Jika kapasitas angkut sedimen cukup besar, maka sedimen di dasar perairan akan terangkat dan terpindahkan. Sesuai teori gravitasi, apabila partikulat memiliki massa jenis lebih besar dari massa jenis air laut maka partikulat akan mengendap di dasar laut atau terjadi proses sedimentasi (Erlangga, 2007). Menurut Greaney (2005), terdapat 3 kemungkinan mekanisme logam masuk dan terikat oleh sedimen serta bahan tersuspensi : 1. Proses adsorpsi fisika- kimia dari kolom perairan. 2. Proses uptake oleh bahan organik atau organisme 3. Akumulasi fisik dari bahan partikulat yang banyak mengandung logam oleh proses sedimentasi. Adsorpsi fisika-kimia secara langsung dari kolom perairan terjadi melalui berbagai cara. Adsorpsi secara fisik biasanya terjadi ketika bahan partikulat secara langsung mengabsorpsi logam berat dari kolom perairan. Adsorpsi secara biologi
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
24
dan kimia lebik kompleks prosesnya dari pada adsorpsi secara fisik karena dikontrol oleh banyak faktor seperti pH dan oksidasi. Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Palar, 2004). Selain itu, kenaikan suhu air laut dan penurunan pH akan mengurangi adsorpsi senyawa logam berat pada partikulat. Suhu air laut yang lebih dingin akan meningkatkan adsorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar laut. Pada saat suhu air laut naik, senyawa logam berat akan melarut di air laut karena penurunan laju adsorpsi ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air laut selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke dasar laut, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat permukaan air laut dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air laut, viskositas (kekentalan) air laut, temperatur air laut, arus serta faktor-faktor lainnya (Erlangga, 2007). Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan-bahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap. Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen (Wilson, 1988 in Erlangga 2007).
2.4
Akumulasi logam berat oleh organisme
Bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami tiga macam proses akumulasi, yaitu fisik, kimia, dan biologis. Buangan limbah industri yang mengandung bahan berbahaya dengan toksisitas yang tinggi dan kemampuan biota laut untuk menimbun logam-logam bahan pencemar mengakibatkan bahan pencemar langsung terakumulasi secara fisik dan
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
25
kimia kemudian mengendap di dasar perairan. Metabolisme bahan berbahaya terjadi melalui rantai makanan secara biologis yang disebut bioakumulasi (Hutagalung, 1984). Kadar logam berat yang terdapat dalam tubuh organisme perairan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar logam berat yang terdapat dalam lingkungan hidupnya. Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh biota menurut Simkiss dan Mason (1983) secara umum melalui tiga cara: 1. Endositas Endositas adalah pengambilan partikel dari permukaan sel dengan membentuk wahana perpindahan oleh membran plasma. Proses endositas sepertinya berperan dalam pengambilan logam berat dalam bentuk tidak terlarut. 2. Diserap dari air Kandungan logam berat dalam jaringan tubuh biota 90% berasal dari penyerapan oleh sel epitel insang. Insang diduga sebagai organ yang menyerap logam berat dalam air. 3. Diserap dari makanan dan sedimen Penyerapan logam dari makanan dan sedimen oleh biota tergantung pada strategi makanan dan life histories dari biota yang diamati. Pada jenis filter feeder penyerapan tersebut bukan dari larutan seperti yang dijelaskan di atas, tetapi makanan dan partikel yang tersaring. Logam berat bersifat toksik karena tidak bisa dihancurkan (nondegradable) oleh organisme hidup yang ada di lingkungan sehingga logam-logam tersebut terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan dan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik (Widowati, 2008). Akumulasi terjadi karena kecenderungan logam berat untuk membentuk senyawa komplek dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga logam berat terfiksasi dan tidak segera diekskresikan oleh organisme yang bersangkutan (Waldichuk, 1974).
2.5
Logam Berat
Logam adalah elemen atau campuran elemen yang mempunyai karakteristik permukaan yang mengkilap, daya hantar panas dan listrik yang tinggi
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
26
serta tidak mudah mengalami dekomposisi. Menurut Clark, Logam adalah unsur yang dapat diperoleh dari lautan, erosi batuan tambang dan vulkanisme. Unsur logam ditemukan secara luas di seluruh permukaan bumi. Mulai dari tanah dan batuan, badan air, bahkan pada lapisan atmosfir yang menyelimuti bumi. Umumnya logam-logam di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain, dan sangat jarang ditemukan dalam bentuk elemen tunggal (Palar, 2004). Berdasarkan densitasnya, golongan logam dibagi menjadi logam ringan (ligth metal) yang memiliki densitas lebih kecil dari 5 gr/cm3 dan logam berat (heavy metal) yang memiliki densitas lebih besar dari 5 gr/cm3 (Hutagalung 1991). Pada umumnya logam berat adalah bersifat toksik, logam bersifat toksik karena logam tersebut dapat terikat dengan ligan dari molekul biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan tersebut mengakibatkan tidak aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah penyebab utama dari toksisitas logam tersebut. Biasanya logam tertentu terikat dalam daerah ikatan yang spesifik untuk setiap logam dan hal ini dapat dilihat dari gejala dan tanda-tanda dari gangguan yang ditimbulkan. Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling toksik, adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Tingkat toksisitas terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn (Widowati, 2008). Logam berat berdasarkan sifat racunnya dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu: 1. Sangat beracun, dapat mengakibatkan kematian ataupun gangguan kesehatan yang pulih dalam waktu yang singkat, logam-logam tersebut antara lain: Hg, Pb, Cd, Cr, As. 2. Moderat, yaitu mengakibatkan gangguan kesehatan baik yang pulih maupun tidak dalam waktu yang relatif lama, logam-logam tersebut antara lain: Ba, Be, Cu, Au, Li, Mn, Se, Te, Co, dan Rb. 3. Kurang beracun, logam ini dalam jumlah besar menimbulkan gangguan kesehatan, logam-logam tersebut antara lain: Al, Bi, Co, Fe, Ca, Mg, Ni, K, Ag, Ti, dan Zn.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
27
4. Tidak beracun, yaitu tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Logam-logam tersebut antara lain: Na, Al, Sr, dan Ca. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi tingkat toksisitas logam berat terhadap biota di perairan antara lain suhu, salinitas, pH, dan kesadahan (Hutagalung, 1984). Penurunan pH menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar dimana semakin rendah nilai pH maka logam-logam berat yang terdapat dalam sedimen akan terlepas ke perairan sebaliknya pada pH yang tinggi maka maka logam-logam dalam perairan akan mengendap karena terjadi perubahan dari bentuk karbonat ke arah hidroksida. Peningkatan suhu menyebabkan toksisitas logam berat meningkat. Sedangkan kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. Sumber-sumber
pencemaran
dapat
berasal
dari
limbah
industri,
pertambangan, pertanian dan domestik. Namun yang paling banyak memberikan konstribusi peningkatan kandungan logam berat dalam perairan adalah limbah industri, karena logam berat sering digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun sebagai katalisator (Hutagalung, 1997). Penggunaan logam berat
dalam industri tersebut
memberikan sejumlah kemungkinan ikut
terbuangnya sisa sebagian logam berat yang masuk dalam limbah, sehingga jika limbah tersebut dibuang ke perairan tanpa melalui proses pengolahan limbah yang sesuai dengan standar yang berlaku akan mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasinya dalam air. Selain dalam badan air, logam berat juga akan terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi, bio-akumulasi, bio-konsentrasi dan bio-magnifikasi (Hutagalung, 1997).
2.5.1
Arsen Arsen (As) merupakan unsur yang melimpah secara alami dengan nomor
atom 33, berat atom 74,92 g/mol, memiliki 2 bentuk padatan, yaitu kuning kehitaman dan abu-abu, termasuk dalam golongan semi logam, dan mudah patah. Pada umumnya arsen yang terdapat di alam , ditemukan bersama-sama dengan unsur lain, yaitu oksigen (O), klor (Cl), sulfur (S), karbon (C), hidrogen (H), timbal (Pb), besi (Fe), dan emas (Au).
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
28
Arsen jarang ditemukan dalam bentuk unsur karena arsen biasanya membentuk berbagai macam senyawa kompleks, bisa berupa trivalen (As 3+) atau pentavalen (As5+), yang terdapat secara luas di alam. Pada umumnya As3+ berupa As-anorganik, yaitu senyawa As-trioksida, sodium arsenit dan arsen triklorida. Sementara As5+ anorganik antara lain asam arsanilat atau bentuk metilasi. Arsen didalam tubuh mahkluk hidup, baik hewan maupun tanaman, bergabung dengan hidrogen (H) atau karbon (C) membentuk asam organik. Arsen secara kimiawi memiliki sifat yang serupa dengan fosfor dan sering digunakan sebagai pengganti dalam berbagai reaksi biokimia dan juga beracun. Arsen memiliki titik didih 6140C dan titik lebur 8170C. Ketika dipanaskan Arsen akan cepat teroksidasi menjadi oksida arsen, yang berbau seperti bau bawang putih. Zat dasar arsen ditemukan dalam dua bentuk padat yang berwarna kuning dan metalik, dengan berat jenis 1,97 dan 5,73. Jika dilihat dari sifat kelarutannya, terdapat perbedaan diantara beberapa persenyawaan arsen. Tabel 2.1. Jenis-jenis Senyawa Arsen Nama Arsen Trioksida
Rumus Kimia As2O3 atau As4O6
Sifat fisik-kimia Larut dalam air dingin, hangat, basa dan HCl.
Arsen Pentoksida
As2O5
Sangat
mudah
larut
dalam air, basa dan asam. Arsen Trisulfida
As2S3
Sulit
larut
dalam air,
mudah larut dalam asam dan basa Galliun Arsenida
GaAs
Sedikit larut dalam air, larut dalam buffer fosfat pH 7
Arsine
atau
Hidrogen AsH3
arsenida
Gas yang tidak berwarna, tidak
flamable,
berbau
seperti bawang putih. Sumber : industrial-hygiene, 2007 & Cotton, 1989
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
29
2.5.2 Klasifikasi Arsen Arsen di alam berada dalam bentuk anorganik dan organik. Penjelasannya sebagai berikut: 2.5.2.1 Arsen Anorganik Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk senyawa dasar yang berupa substansi anorganik. Arsen anorganik dapat larut dalam air atau berbentuk gas dan dapat terpapar pada manusia. Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (1975), arsen anorganik dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan kronis, terutama kanker. Senyawa Arsen dengan oksigen, klorin atau belerang dikenal sebagai arsen anorganik. Arsen trioksida (As2O3 atau As4O6) dan arsenat/arsenit merupakan bentuk arsen anorganik berbahaya bagi kesehatan manusia. Pada suhu di atas 1.073°C senyawa arsen trioksida dapat dihasilkan dari hasil samping produksi tembaga dan pembakaran batubara. Arsen trioksida mempunyai titik didih 4650C dan akan menyublim pada suhu lebih rendah. Kelarutan arsen trioksida dalam air rendah, kira-kira 2% pada suhu 25°C dan 8,2% pada suhu 98°C. Arsen trioksida sangat cepat larut dalam asam klorida dan alkalis. 2.5.2.2 Arsen Organik Senyawa arsen yang berikatan dengan karbon dan hidrogen dikenal sebagai arsen organik. Arsen bentuk organik yang terakumulasi pada ikan dan kerang-kerangan, yaitu arsenobetaine dan arsenokolin mempunyai sifat nontoksik. Sebagaimana diketahui bahwa arsen inorganik lebih beracun dari pada arsen organik. Senyawa arsen organik sangat jarang dan mahal. Ikatan carbon-arsen sangat stabil pada kondisi pH Iingkungan dan berpotensi teroksidasi. Beberapa senyawa metil arsen sebagaimana di dan trimetil arsen terjadi secara alami, karena merupakan hasil dari aktivitas biologik. Di dalam air senyawa ini bisa teroksidasi menjadi methylarsenic acid .
2.5.3. Keberadaan Arsen di Alam Arsen berasal dari kerak bumi yang bisa dilepaskan ke udara sebagai hasil sampingan dari aktifitas peleburan bijih batuan. Arsen dalam tanah berupa bijih, yaitu arsenoporit (FeAsS) atau orpimen (As2S3), yang pada akhirnya
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
30
mencemari air. Arsen merupakan unsur kerak bumi yang berjumlah besar, yaitu menempati urutan ke dua puluh dari unsur kerak bumi, sehingga sangat besar kemungkinan mencemari air tanah dan air minum. Menurut WHO, batas kandungan logam arsen yang terkandung dalam air minum adalah 10 μg/L. Semua batuan mengandung 1-5 ppm. Konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan pada batuan beku dan sedimen. Tanah hasil pelapukan batuan mengandung As sebesar 0,1-40 ppm dengan rata-rata 5-6 ppm. Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air tanah. Kebanyakan wilayah dengan kandungan arsen tertinggi adalah daerah aluvial yang merupakan endapan lumpur sungai dan tanah dengan kaya bahan organik. Arsenik dalam air tanah bersifat alami dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah . Arsen terlarut dalam air dalam bentuk organik dan anorganik (Braman, 1973; Crecelius, 1974). Jenis arsen bentuk organik adalah methylarsenic acid dan dimethylarsenic acid, sedang anorganik dalam bentuk arsenit dan arsenat. Arsen dapat ditemukan pada air permukaan, air sungai, air danau, air sumur dalam, air mengalir, serta pada air di lokasi di mana terdapat aktivitas panas bumi (geothermal).
2.5.4 Sumber Arsen 2.5.4.1 Alamiah
Arsen terutama terdapat di dalam tanah dalam konsentrasi yang bervariasi. Tanah yang normal mempunyai kandungan arsen tidak lebih dari 20 ppm (part per million). Arsen dalam tanah akan diserap oleh akar tumbuhan dan masuk ke dalam bagian-bagian tumbuhan sehingga tumbuhan mengandung arsen. Adanya arsen dalam tanah akan menyebabkan sebagian arsen larut di dalam air. Arsen ini kemudian akan menjadi makanan plankton yang kemudian akan dimakan ikan. Jadi secara tidak langsung manusia yang mengkonsumsi ikan akan mengkonsumsi arsen. Senyawa arsen yang paling sering dijumpai pada makanan adalah arsenobetaine dan arsenocholine, yang merupakan varian arsen organik Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
31
yang relatif non toksik. Senyawa arsen juga banyak dijumpai pada daerah pertambangan, karena senyawa arsen merupakan produk sampingan dari ekstraksi logam Pb, Cu maupun Au. Dalam pertambangan tersebut, senyawa arsen tersebut merupakan kontaminan pada air sumur keadaan normal, setiap hari tidak kurang dari 0,5 - 1 mg arsen akan masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan dan minuman yang kita konsumsi.Dengan demikian, di dalam darah orang normal pun, kita dapat menjumpai adanya arsen.
2.5.4.2 Bahan-bahan industri
Arsen telah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan diantaranya untuk bahan pestisida, herbisida, insektisida, bahan cat, keramik, bahan untuk preservasi kayu, penjernih kaca pada industri elektronik. Dalam masyarakat, arsen masih digunakan sebagai anti hama, terutama tikus. Dalam bentuk bubuk putih, yang dikenal sebagai warangan (As2O3), arsen merupakan obat pembasmi tikus yang ampuh. Racun ini tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna dan sangat beracun sehingga dapat mengecoh tikus sehingga mau memakan umpan yang telah diberi racun tersebut. Tikus yang memakan arsen akan mengalami gejala muntaber, kekurangan cairan (dehidrasi) dan mati dalam keadaan kering. Karena bahayanya racun ini, maka saat ini arsen tidak banyak digunakan lagi sebagai pembasmi hama dan perannya digantikan oleh bahan lain yang lebih aman. Meskipun demikian, sampai saat ini arsen masih banyak digunakan sebagai bahan preservasi kayu dan komponen dalam industri elektronika, karena belum ada penggantinya.
2.5.5 Toksisitas Arsen
Arsen adalah salah satu logam toksik yang sering diklasifikasikan sebagai logam, tetapi lebih bersifat nonlogam. Arsen merupakan senyawa labil, bilangan oksidasi atau bentuk senyawa kimia lainnya mudah berubah, baik melalui reaksi kimia maupun biologi yang terjadi di lingkungan. Hal ini disebabkan karena
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
32
kesetimbangan kelarutan arsen dikontrol oleh mobilitas arsen, kondisi redoks, pH, aktivitas biologi, reaksi adsorpsi dan desorpsi. Pada umumnya arsen dalam bentuk unsur bersifat tidak toksik. Toksisitas arsen dipengaruhi oleh bentuk dari senyawa arsen. Arsen yang berbentuk organik atau disebut arsen organik seperti metil-arsen, dimetil arsen, dan trimetil arsen merupakan senyawa yang lebih toksik dibandingkan dengan unsur As. Pada umumnya Arsen tampil dalam bentuk As5+ yang bersifat kurang toksik dibandingkan As lainnya. Bentuk As5+ akan tereduksi menjadi As3+ dan kemudian menjadi metil-arsenik yang bersifat toksik. Arsen dalam bentuk anorganik lebih toksik dibandingkan dengan arsen organik (Widowati, 2008)
Ion Arsenik
Enzim
Enzim tak aktif
Gambar 2.2. Model reaksi ion arsenik dengan enzim Arsen merupakan unsur bukan logam, tetapi mempunyai sifat logam. Pada perdagangan bahan beracun, arsen umumnya ditemukan sebagai ion arsenit (AsO33-) ion arsenat (AsO43-) . Ion-ion ini juga bisa berikatan dengan enzim, sehingga enzim menjadi tidak aktif.
2.6
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang berprotein tinggi, murah
dan mudah didapat. Saat ini masih sedikit jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan di masyarakat. Salah satu jenis ikan air tawar yang umum dikonsumsi dan dibudidayakan yaitu ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memenuhi 46,5% produksi ikan air tawar Indonesia ( Taukhid et al. 2007). Ikan ini menyebar Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
33
hampir di semua tempat budidaya ikan air tawar di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah tertentu seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan budidaya ikan mas telah menjadi sumber mata pencarian masyarakat setempat.
Adapun klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut : Filum
: Chodata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidea
Genus
: Cyprinus
Spesies
: Cyprinus carpio L.
Ikan mas dapat dibudi dayakan hampir pada semua jenis kolam baik kolam yang airnya mengalir deras atau kolam berair tenang. Ikan mas juga dapat tumbuh baik di sungai, danau, waduk atau kolam buatan. Kondisi optimal untuk pertumbuhan ikan mas yaitu pada ketinggian antara 150-1.000 meter di atas permukaan laut, suhu air antara 200-250C dan pH air antara 7-8 (Santoso, 1999). Ikan mas termasuk jenis ikan yang bersifat termofil karena mampu menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan yang tinggi. Ikan mas masih dapat tumbuh pada suhu 350C. Ikan mas dapat hidup dengan kandungan oksigen air kurang dari 4 mg/L, kandungan nitrit kurang dari 0,1 mg/L, kandungan nitrat kurang dari 0,25 mg/L serta kandungan amonia kurang dari 0,6 mg/L (Boyd, 1979). Tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut. Secara umum permukaan tubuh ikan mas tertutup sisik, sisik ikan mas relatif besar dan digolongkan sisik tipe sikloid. Selain itu tubuh ikan mas juga dilengkapi dengan sirip. Sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras dan sirip terakhir yaitu sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
34
berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral), sedangkan sirip anus yang terakhir bergerigi. Linea lateralis (gurat sisi) terletak di pertengahan tubuh, melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi kerongkongan terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno, 1994).
Gambar 2.3. Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) (Anonim, 2009) Ikan mas berasal dari daratan Asia dan telah lama dibudidayakan sebagai ikan konsumsi oleh bangsa Cina sejak 400 tahun SM. Penyebarannya merata di daratan Asia juga Eropa sebagian Amerika Utara dan Australia. Pembudidayaan ikan mas di Indonesia banyak ditemui di Jawa dan Sumatra dalam bentuk empang, balong maupun keramba terapung yang di letakan di danau atau waduk besar. Budidaya modern di Jawa Barat menggunakan sistem air deras untuk mempercepat pertumbuhannnya. Habitat aslinya yang di alam meliputi sungai berarus tenang sampai sedang dan di area dangkal danau. Perairan yang disukai tentunya yang banyak menyediakan pakan alaminya. Ceruk atau area kecil yang terdalam pada suatu dasar perairan adalah tempat yang sangat ideal untuknya. Bagian-bagian sungai yang terlindungi rindangmya pepohonan dan tepi sungai dimana terdapat runtuhan pohon yang tumbang dapat menjadi tempat favoritnya. Di Indonesia sendiri untuk mencari tempat memancing ikan mas bukanlah hal yang sulit. Karena selain telah dibudidayakan banyak empang yang sengaja dibuat demi memanjakan para penggemar mancing ikan mas.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
35
Ikan mas dapat digunakan sebagai Early Warning System dalam pemantauan kualitas air baku karena ikan mas memenuhi syarat yang ditetapkan American Public Health Association (APHA), antara lain : 1.
Organisme harus sensitif terhadap material racun dan perubahan lingkungan.
2.
Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak
3.
Mempunyai arti ekonomis, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional
4.
Mudah dipelihara dalam laboratorium
5.
Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit
6.
Sesuai untuk kepentingan uji biota (Mason, 1980)
2.7
Kandungan Logam Berat dalam Tubuh Ikan Jalur paparan logam berat agar dapat masuk ke dalam jaringan tubuh
makhluk hidup dapat melalui beberapa rute paparan, diantaranya: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. (Darmono, 2001). Menurut Canli dan Kalay pada1998, secara umum asupan logam berat oleh ikan dapat melalui air, pakan dan sedimen. Oleh karena itu, kontaminasi logam berat pada ikan dapat disebabkan oleh adanya pencemaran logam berat di lingkungan perairan, sedimen atau pada pakan yang menjadi sumber nutrisi bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan, baik pakan alami ataupun pakan buatan, khususnya bagi ikan budidaya. Di dalam tubuh biota, logam diabsorpsi melalui membran sel dan berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, lalu terjadi akumulasi
dalam jaringan dan pada konsentrasi
tertentu akan dapat merusak organ target dalam jaringan tubuh. Bioakumulatif merupakan penumpukan suatu senyawa di dalam jaringan makhluk hidup (Taylor, 1998). Akumulasi logam yang tertinggi biasanya terdapat dalam organ hati dan ginjal (Palar, 1994). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam lingkungan perairan, suhu, keadaan spesies dan aktifitas fisiologis (Connel dan Miller 1995). Bahan pencemar dapat masuk ke dalam tubuh ikan melalui tiga cara yaitu melalui rantai makanan, insang dan difusi permukaan kulit (Hutagalung, 1984). Untuk ikan, insang merupakan jalan masuk yang penting, sehingga dengan Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
36
masuknya logam berat ke dalam insang dapat menyebabkan keracunan, karena bereaksinya kation logam tersebut dengan enzim tertentu yang terdapat dalam lendir insang. Kondisi ini menyebabkan proses metabolisme dari insang menjadi terganggu. Hal ini akan memperlambat kerja pada insang dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Dalam ekosistem alami perairan, hampir dapat dipastikan bahwa kematian sejenis ikan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : 1. Fenomena sinergis, yaitu kombinasi dari dua zat atau lebih yang bersifat memperkuat daya racun. 2. Fenomena antagonis, yaitu kombinasi antara dua zat atau lebih yang saling menetralisir, sehingga zat-zat yang tadinya beracun berhasil dikurangi, dinetralisir daya racunnya sehingga tidak membahayakan. 3. Jenis ikan dan sifat polutan, yang tertarik dengan daya tahan ikan serta adaptasinya terhadap lingkungan, serta sifat polutan itu sendiri. 2.8
Mekanisme Akumulasi Logam Berat pada Ikan
Logam berat dapat masuk ke dalam jaringan tubuh mahkluk hidup melalui beberapa rute paparan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit (Darmono, 2001). Adsorbsi logam melalui saluran pernapasan biasanya cukup besar, baik pada hewan air yang masuk melalui insang maupun pada hewan darat yang masuk melalui debu ke saluran pernapasan. Adsorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen saja tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar walaupun persentase absorbsinya cukup kecil. Akumulasi logam tertinggi biasanya terdapat dalam organ hati yang berperan dalam proses detoksifikasi dan ginjal sebagai alat ekskresi. Logam dalam jaringan organisme akuatik menurut Simkiss & Mason (1984) dalam Darmono (2008) dibagi menjadi 2 tipe utama yaitu : 1. Logam tipe kelas A, seperti Na, K, Ca, dan Mg yang pada dasarnya bersifat elektrostatik dan pada larutan garam berbentuk ion hidrofilik. 2. Logam tipe kelas B, seperti Cu, Zn, dan Ni yang merupakan komponen kovalen dan jaringan berbentuk ion bebas.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
37
Niebor dan Richardson membagi logam berat ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Logam-logam yang dengan mudah mengalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur oksigen atau disebut juga logam kelas A. 2. Logam-logam yang dengan mudah mengalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang yang disebut juga logam kelas B. 3. Logam antara atau logam transisi yang memiliki sifat khusus sebagai logam pengganti untuk logam-logam atau ion-ion logam dari kelas A dan kelas B.
Ion-ion logam kelas B merupakan yang paling toksik dan efektif untuk berikatan dengan kelompok SH (misalnya sistein) dan kelompok yang mengandung nitrogen ( misalnya lisin dan histidin imidazol) pada enzim. Ion-ion pada kelas B dapat mengganti ion-ion essensial dalam tubuh misalnya Zn pada metaloenzim yang menyebabkan enzim tidak aktif. Selain itu, ion-ion golongan B dapat membentuk ion organometalik yang larut dalam lemak, termasuk Hg, As, Sn, dan Pb yang mampu menembus membran biologis dan berakumulasi di dalam sel dan organel (Campbell,2002).
Tabel 2.2. Penggolongan ion-ion logam berat berdasarkan toksisitas Kelas A
Kelas Antara
Kelas B
Ca 2+
Cr2+
Hg2+
Mg2+
Ni2+
Pb4+
Ba2+
As3+
Cu+
Be2+
Mn2+
Tl+
Al3+
Cd2+
Ag+
Dari hal tersebut, respon sel terhadap masuknya logam tergantung pada sel-sel sebagai berikut: a) Sel yang mengandung ligan yang berlebihan dan sesuai untuk ikatan logam yang masuk, logam dapat terikat sepenuhnya dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
38
b) Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan lagi bila diperlukan,sehingga masih dapat mengikat logam yang masuk dan tidak menimbulkan logam gangguan metabolisme. c) Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan dengan jalan mengusir logam yang telah terikat untuk keluar sel. d) Sel yang mengandung ligan terbatas tetapi dalam proses pengikatnya terjadi kompetisi Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan ialah enzim karbonik anhidrase dan transfer ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn itu diganti dengan logam lain, fungsi enzim karbonik anhidrase tersebut akan menurun antara logam itu sendiri (Darmono, 2001).
2.9
Spektrofotometri Serapan Atom dengan Teknik Vapour Hydride Generation Accessories (VHGA)
2.9.1 Atomisasi
Batas deteksi SSA untuk beberapa logam misalnya As dan Se hanya sekitar 1 μg/mL dan tidak mampu menentukan untuk tingkat yang lebih rendah. Ada beberapa zat pereduksi dan sumber atom hidrogen telah diteliti untuk mereduksi logam menjadi hidridanya. Di dalam metode ini terdapat dua reaksi. Teknik yang pertama digunakan adalah sistem logam-asam. Dimana dengan mereaksikan Zn dan HCl (p)
M adalah analit dan m bisa sama dengan n atau tidak.( sebagai contoh As 3 dan As5 keduanya direduksi menjadi AsH3 Reaksi logam-asam ini memiliki kekurangan diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan reaksi yang terjadi sulit dioptimasikan. Untuk itu Frenandes (1983), Purce dan Brown (1989) menggunakan suatu pereaksi baru dan lebih efektif untuk membentuk hidrida yaitu natrium borohidrida (NaBH 4) dan HCl(p) untik menggantikan logam Zn.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
39
Unsur As, Bi, Ge, Pb, Sb, Se, Te, dan Sn dapat direduksi membentuk hidrida menggunakan
natrium
borohidrida
sebagai
bahan
pereduksi.
Dengan
menggunakan pereaksi ini, waktu yang diperlukan cukup singkat untuk membentuk hidrida dan mudah diatomisasikan juga dan dapat digunakan dalam analisis multi elemen ( Zul Alfian, 1999). Teknik ini dapat dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, Larutan sampel direaksikan dengan zat pereduksi setelah ditambahkan asam untuk menghasilkan uap hidrida dari analit. Kedua, hidrida dikeluarkan dari bejana generasi menggunakan arus atau gas inert ( biasanya argon atau nitrogen) ke dalam tabung atomisasi atau sumber eksitasi. Ketiga, hidrida diubah menjadi gas atom logam kemudian dianalisa dengan SSA. Reaksi yang terjadi selama analisa arsen dengan metode hidrida :
Adapun keuntungan menggunakan teknik generasi hidrida adalah analit dapat dipisahkan dari matrik sampel, dimana akan mengurangi potensial interferensi. Batas deteksi yang dihasilkan dapat mencapai ng/mL atau dibawahnya karena semua analit dalam 1 hingga 50 mL sampel akan dialirkan kedalam atomizer dalam beberapa detik ( Dedina dan Tsalev, 1995) 2.9.2 Prinsip Operasional Sampel, HCl dan NaBH4
dialirkan oleh pompa ke manifold agar
bercampur dan diteruskan ke coil (lingkaran) untuk membentuk hidrida. Campuran reaksi mengandung hidrida, hidrogen, uap air dan sisa reagent dibawa oleh gas pembawa ke tempat pemisah antara gas dan cair. Didalam tempat pemisah, fase gas dipisahkan dari cairan dan dikirim ke sel absorpsi oleh gas pembawa, sementara sisa cairan dibuang. Sel dipanaskan oleh nyala udara-asetilen untuk mempirolisa hidrida. Hal tersebut dapat mengatomisasikan unsur target untuk dianalisa menggunakan SSA (Shimazu, 2008).
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
40
Gambar 2.4. Prinsip dari teknik hidrida.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Departemen Kimia FMIPA UI dan pengambilan sampel sedimen dilakukan di Perairan Teluk Jakarta, Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Proses preparasi sedimen dan uji bioakumulasi Cyprinus carpio L. dilakukan di Laboratorium Biokimia Departemen Kimia FMIPA UI. Sedangkan analisis arsen pada sedimen maupun Cyprinus carpio L. dengan SSA (Spektrofometer Serapan Atom) dilakukan di Laboratorium Instrumen Departemen Kimia FMIPA UI .
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat a) Alat Besar
: Peterson Grab sampler, tempat sampel, cooler box, refraktormeter, oven, timbangan analitik (ketelitian ±0,0001 g), hot plate, SSA (Spektrofometer Serapan Atom), VHGA (Vapor Hydride Generation Accessories ), akuarium 60 x 35 x 30
b) Alat Gelas
: Pipet volumetri 1,0 ml ; 2,0 ml ; 3,0 ml ; 4,0 ml ; 5,0 ml ; 10 ml ,gelas piala100 ml, erlenmeyer 250 ml, labu ukur 50 ml, 100 ml dan 1000 ml, pipet ukur 10 ml, gelas ukur 100 ml, desikator, tabung sentrifuge.
c) Alat kecil
: Indikator pH universal, termometer, GPS, corong, kaca arloji, batang pengaduk, spatula, mortal & alu, botol gelas atau polietilen tertutup, aerator,
saringan ikan, botol
semprot. 3.2.2 Bahan 3.2.2.1 Bahan Kimia : HNO3 p.a (Merck) 65 % HCl p.a (Merck) 37 % Larutan induk arsen (H3AsO4) p.a (Merck) 1000 ppm
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
42
Air suling yang bebas bahan analit atau mengandung logam (As) dengan kadar lebih rendah dari batas deteksi dan daya hantar listrik (DHL) < 2,00 μS/cm NaBH4 p.a (Merck) Asam asetat glasial p.a (Merck) Natrium Hidroksida (NaOH) Hidrogen Peroksida, H2O2 (30%) kertas saring kuantitatif dengan ukuran pori 8,0 μm 3.2.2.2 Bahan biologi Pada penelitian ini digunakan biota uji ikan mas ( Cyprinus carpio L.)
3.3
Prosedur Kerja
3.3.1
Pengambilan Sampel Sedimen Proses pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik di perairan Teluk
Jakarta, dimana antara titik yang satu dengan titik yang lain berjarak ±1 km. Pada masing - masing titik, diambil satu sampel berdasarkan tempat, yaitu satu titik di tepi kanan, satu titik di bagian tengah dan satu titik di tepi kiri dengan kedalaman pengambilan sampel dari 1- 4 m dari dasar perairan. Sedimen yang diambil sekitar 0-15 cm dari permukaan sedimen yang paling luar. Alat yang digunakan untuk mengambil sampel sedimen adalah peterson grab sampler /dredges (EPA-Ohio, 2001). Sampel sedimen didinginkan dalam cooler box yang berisi ”dry ice” bersuhu 40C dengan kontainer sampel sedimen menggunakan plastik bening. Hal ini dilakukan untuk mengurangi oksidasi logam berat sebelum di uji. Selain itu dilakukan pengukuran terhadap temperatur , pH dan kadar garam. Hal ini dilakukan karena parameter – parameter tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi logam dalam sedimen. Pengukuran koordinat lokasi dilakukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Adapun stasiun 1 terletak pada 06o 05’51”S; 106o 45’ 34”E, stasiun 2 pada 06o 05’ 40”S; 106o 44’ 59”E, dan stasiun 3 terletak pada 06o 05’ 52”S; 106o 47’ 20”E. 3.3.2
Persiapan dan Pengawetan Sampel Uji
Sampel uji yang telah diambil sesuai metode sediment sampling USEPA600 dipisahkan dari benda – benda asing, kemudian dikering ± 1050C dan digerus Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
43
sampai homogen. Setelah homogen sampel uji disimpan dalam plastik bening dan didinginkan/disimpan dalam coolbox pada suhu 40C sampai sampel dianalisa. 3.3.3
Preparasi reagen
3.3.3.1
Pembuatan asam nitrat p.a, HNO3 1,0 N
Mengambil 142,5 mL asam nitrat, HNO3(P) 12N dan dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL yang telah berisi 250 mL air suling, lalu ditepatkan hingga 1000 mL dan dikocok sampai homogen. 3.3.3.2 Pembuatan asam nitrat, HCl 8M Sebanyak 66 mL HCl 37 % diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 100 mL hingga tanda garis. 3.3.3.3 Pembuatan Larutan Natrium Borohidrida Sebanyak 3 gram NaBH4 dan 3 gram NaOH diencerkan dalam 500 mL air suling 3.3.3.4 Pembuatan larutan baku logam berat As(v) 100 mg/L Dipipet 10 mL larutan standar logam arsen 1000 mg/L dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquadest sampai tanda tera 3.3.3.5 Pembuatan larutan baku logam berat As(v) 10 mg/L Dipipet 10 mL larutan standar logam arsen 100 mg/L dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan aquadest sampai tanda tera. 3.3.3.6 Pembuatan larutan baku logam berat As(v) 1 mg/L Dipipet 10 mL larutan standar logam arsen 10 mg/L dalam labu ukur 100 mL, kemudian menambahkan aquadest sampai tanda tera. 3.3.3.7 Pembuatan larutan baku logam berat As(v) 100 μg/L Dipipet 10 mL dari masing – masing larutan induk logam 1 mg/mL ke dalam labu ukur 100 mL, lalu menambahkan aquadest sampai tepat tanda tera. 3.3.3.8 Pembuatan larutan kerja logam berat As(v) 0, 10, 20, 30, 40, 50 μg/L Dipipet 0, 10, 20, 30, 40, 50 mL dari masing – masing larutan induk logam 100μg/mL ke dalam labu ukur 100 mL, lalu ditambahkan aquadest sampai tepat tanda tera sehingga diperoleh konsentrasi logam arsen 0 μg/mL; 10 μg/L; 20 μg/L; 30 μg/L; 40 μg/L; 50 μg/L.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
44
3.3.3.9 Pembuatan larutan Fraksi asam asetat pH 3 (USEPA TCLP Procedure) Ditambahkan 5,7 mL asam asetat glasial dengan aquadest sampai volume 1 Liter. Jika perlakuan benar, maka pH larutan berkisar 2,88 ± 0,05 3.3.3.10 Pembuatan larutan Fraksi asam asetat pH 5 ( USEPA TCLP Procedure) Ditambahkan 5,7 mL asam asetat glasial kedalam 500 mL aquadest, ditambahkan 64,3 mL NaOH 1N dan diencerkan sampai volume 1L. Jika perlakuan benar, maka pH larutan berkisar 4,93 ± 0,05 3.3.3.11 Pembuatan larutan Aquaregia Ditambahkan larutan HNO3(p) dan HCl(p) dengan perbandingan 1:3 3.3.4
Verifikasi Metode Analisa Verifikasi metode bertujuan untuk memeriksa kelayakan kondisi alat,
bahan dan metode yang dikerjakan. Verifikasi metode meliputi pembuatan kurva kalibrasi, penentuan batas deteksi alat dan zat (LOD), dan batas kuantisasi (LOQ). 3.3.4.1 Kurva Kalibrasi Kurva kalibrasi dicari dengan mengukur berbagai konsentrasi larutan standar logam – logam yang akan dianalisa yaitu 0 μg/L; 10 μg/ml; 20 μg/mL; 30 μg/mL; 40 μg/mL; dan 50 μg/mL dari masing – masing larutan standar diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang optimal sesuai dengan larutan standar yang diukur ( λmax As : 193,7) Kurva kalibrasi dibuat dengan mengalurkan antara konsentrasi dengan absorbansi yang diperoleh dan ditentukan persamaan garisnya. Linearitas kurva kalibarasi harus (r 2) > 0. 3.3.4.2 Limit Deteksi (LoD) dan Limit Kuantifikasi (LoQ) Limit deteksi dilakukan dengan mengukur berbagai konsentrasi larutan standar masing – masing logam sampai konsentrasi terkecil dimana alat tidak mampu mendeteksi serapan lagi. Perhitungan limit deteksi dan limit kuantifikai dilakukan dengan cara statistik melalui perhitungan selisih absorbansi yang terukur alat dan absorbansi yang didapat kurva kalibrasi pada konsentrasi yang sama.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
45
3.3.5
Prosedur Kerja
3.3.5.1 Pengukuran Kadar Logam berat As dalam Sedimen ( ISO 11466) Sampel
didestruksi
dengan
campuran
asam
yang
merupakan
pengoksidasi kuat yang efisien untuk mendekomposisi karbonat, fosfat dan unsur lainnya dalam sampel. Sampel sedimen yang sudah dihomogenkan ditimbang sebanyak ± 1 gr dimasukkan ke dalam labu 250 ml, kemudian ditambahkan 24 ml aqua regia dan diamkan selama 24 jam. Setelah itu dilakukan proses pemanasan selama 15 menit pada suhu 1300C, lalu didinginkan dan dilakukan penyaringan sehingga didapat filtrat, filtrat tersebut ditepatkan pada labu 50 ml. Larutan dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) yang dilengkapi dengan VHGA (Vapour Hydride Generation Accessories).
3.3.5.2 Studi pengaruh pH pada fraksionasi logam As dalam sedimen (Tessier. et al) 3.3.5.2.1Pengukuran Kadar Logam As pada Ekstraksi Fraksi pH 3 Pada proses ekstraksi ini digunakan asam lemah/ asam asetat glasial pH 3 dengan rumus (CH3COO)2O untuk mengekstraksi logam-logam dari karbonat, sulfida dan logam-logam yang ada dalam ikatan lemah terserap pada permukaan luar. Pada proses ekstraksi ini, sedimen dikeringkan terlebih dahulu di oven selama 24 jam untuk memastikan sedimen kering. Kemudian sedimen kering ditimbang sebnyak 1 g (1,000 ± 0,002 g) dan ditambahkan 5 ml asam asetat glasial pH 3 ke dalam tabung sentrifuge, kemudian didiamkan semalaman pada suhu kamar. Setelah itu, sampel dikocok dan disentrifuge selam 30 menit dengan kecepatan 3000 rpm lalu larutan didekantasi. Kemudian larutan uji siap diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) yang dilengkapi dengan VHGA ( Vapour Hydride Generation Accessories) 3.3.5.2.2Pengukuran Kadar Logam As pada Fraksi pH 5 Pertama-tama sedimen dikeringkan di oven selama 24 jam untuk memastikan sedimen kering. Kemudian sedimen kering ditimbang sebnyak 1 g (1,000 ± 0,002 g) dan ditambahkan 5 ml asam asetat glasial pH 5 yang telah dibuat sebelumnya ke dalam tabung sentrifuge, kemudian didiamkan semalaman pada suhu kamar. Setelah itu, sampel dikocok dan disentrifuge selam 30 menit
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
46
lalu larutan didekantasi. Kemudian larutan uji siap diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) yang dilengkapi dengan VHGA ( Vapour Hydride Generation Accessories) 3.3.5.2.3Pengukuran Kadar Logam As pada Fraksi pH 7 Pada tahap ini digunakan air untuk mengekstraksi logam-logam yang terikat dalam sedimen. Pertama, sedimen dikeringkan di oven selama 24 jam untuk memastikan sedimen kering. Kemudian sedimen kering ditimbang sebanyak 1 g (1,000 ± 0,002 g) dan ditambahkan 5 ml aquademin ke dalam tabung sentrifuge, kemudian didiamkan semalaman pada suhu kamar. Setelah itu, sampel dikocok dan disentrifuge selama 30 menit lalu larutan didekantasi. Kemudian larutan uji siap diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) yang dilengkapi dengan VHGA ( Vapour Hydride Generation Accessories) 3.4
Uji Bioakumulasi Logam Arsen pada Cyprinus carpio L. Metode yang digunakan adalah uji biota sistem statis (static bioassay)
dengan contoh As5+ tunggal dan pada campuran logam berat ( As5+, Pb2+, Cd2+, Ni2+, Cr3+) . Organisme yang digunakan adalah ikan mas ( Cyprinus carpio L.). Parameter yang diamati adalah pH, oksigen terlarut, dan suhu air di aquarium.
3.4.1
Kondisi Uji Biota Statis (OECD 305) Kondisi uji biota statis pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Waktu uji biota = 28 hari Jumlah ikan mas uji = 12 ekor Volume akuarium = 24 L
3.4.2
Pemberian makan ikan mas uji = selama proses aklimatisasi
Validitas Uji Biota Validitas uji biota pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Kematian ikan selama proses aklimatisasi maksimal <5 % Kematian ikan mas pada blanko minimal <10% Kapasitas berat ikan dengan volume uji (loading density) maksimal 0,1 g ikan / 500 ml air
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
47
3.4.3
Persiapan Hewan Uji Ikan mas yang digunakan memiliki panjang 5-8 cm, berat rata-rata 0,3 g
± 0,1 g dan berumur sekitar 2-3 bulan. 3.4.4
Aklimatisasi Hewan Uji ( Ikan Mas) Aklimatisasi hewan uji dilakukan selama ± 4 hari. Adapun tujuan
aklimatisasi ini sendiri adalah memberikan waktu kepada hewan uji untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Selama aklimatisasi, hewan uji diberi pakan pelet ikan, aerasi, pergantian air dan pembersihan kotoran dilakukan setiap hari. 3.4.5
Preparasi Toksikan untuk Uji bioakumulasi
Toksikan yang diberikan dalam uji bioakumulasi ini adalah ( As5+, Pb2+, Cd2+, Ni2+, Cr3+) dengan kadar yang sesuai dengan nilai NOAEC (No Observable Adverse Effect Concentration ) masing-masing logam terhadap biota ikan secara umum. Tabel 3.1 Nilai NOAEC logam toksikan (IPCS (International Programme on Chemical Safety)) Nilai NOAEC Logam (μg/L) 5+ As 50 Pb2+ 1000 2+ Cd 100 2+ Ni 56 3+ Cr 50 Sumber : WHO, EHC 234 3.4.5.1 Pembuatan larutan As5+ 50 μg/L Dipipet 12 mL larutan stok As(V) 100 ppm ke dalam akuarium, kemudian ditambahkan air sampai volume 24 L pada akuarium. 3.4.5.2 Pembuatan larutan Pb2+ 1000 μg/L Dipipet 240 mL larutan stok Pb(II) 100 ppm ke dalam akuarium, kemudian ditambahkan air sampai volume 24 L pada akuarium. 3.4.5.3 Pembuatan larutan Cd2+ 100 μg/L Dipipet 24 mL larutan stok Cd(II) 1000 ppm ke dalam akuarium, kemudian ditambahkan air sampai volume 24 L pada akuarium. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
48
3.4.5.4 Pembuatan larutan Ni2+ 56 μg/L Dipipet 13,4 mL larutan stok Ni(II) 100 ppm ke dalam akuarium, kemudian ditambahkan air sampai volume 24 L pada akuarium. 3.4.5.5 Pembuatan larutan Cr3+ 50 μg/L Dipipet 12 mL larutan stok Cr(III) 100 ppm ke dalam akuarium, kemudian ditambahkan air sampai volume 24 L pada akuarium. Keterangan
3.4.6
: Semua toksikan dicampur dalam wadah akuarium 24 L
Uji Bioakumulasi Uji
bioakumulasi
ini
dilaksanakan
berdasarkan
metode
(Organization for Economic Cooperation and Development)
OECD
305.
Uji
bioakumulasi ini dilakukan dengan cara memberikan toksikan ke dalam akuarium uji, dimana kadar toksikan yang diberika ini merupakan nilai NOAEC dari masing-masing toksikan. Akuarium yang digunakan dalam uji berjumlah 3 yaitu akuarium kontrol, akuarium untuk arsen tunggal dan akuarium untuk arsen dalam campuran logam. Adapun toksikan yang diberikan adalah arsen sebagai logam tunggal dan logam campuran ( As5+, Pb2+, Cd2+, Ni2+, Cr3+). Proses bioakumulasi ini berlangsung selama 4 minggu atau 28 hari. Selama proses bioakumulasi ini berlangsung, pengamatan dilakukan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28 dengan cara mengambil ikan secara acak kemudian mengukur kadar arsen dalam insang dan daging ikan. Pengukuran kadar arsen dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom yang dilengkapi dengan VHGA (Vapour Hydride Generation Accessories). Selain kadar arsen, pengamatan dilakukan terhadap semua perubahan yang terjadi selama proses bioakumulasi berlangsung yaitu 28 hari. 3.4.6.1 Analisis Kandungan Logam Arsen pada Tubuh Ikan (USGS Method B-9001-95) Pertama-tama sampel ikan dioven hingga berat konstan, kemudian sampel digerus untuk mendapatkan sampel yang homogen. Sampel sebanyak ± 0,1 gram sampel kering dimasukkan ke dalam beaker 50 ml dan ditambahkan 10 ml HNO3
(p).
Setelah itu, sampel diuapkan di atas hot plate dengan temperatur
105-1200C. Selanjutnya ditambahkan 2 ml H2O2 dan kemudian sampel diuapkan
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
49
kembali diatas hot plate selama ± 30 menit. Kemudian filtrat yang diperoleh didinginkan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Apabila ada endapan disaring dengan kertas saring. Sampel siap untuk dianalisis kandungan logam beratnya dengan SSA (Spektrofotometer Serapan Atom).
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Deskripsi Lokasi Sampling
Teluk Jakarta merupakan wilayah perairan dengan pantai yang membentang dari Tanjung Pasir di bagian barat hingga Tanjung Karawang di bagian timur, dengan panjang ± 89 km. Daerah ini dibatasi oleh garis bujur 106033’ hingga 107003’ BT dan garis lintang 5048’30” LS hingga 6010’30” LS ( Suyarso 1995). Teluk ini merupakan tempat bermuaranya sekitar 13 sungai yang umumnya yang umumnya sudah melalui pemukiman yang padat penduduk dan daerah industri. Di antara sungai tersebut terdapat beberapa sungai yang besar, yaitu Sungai Cisadane di bagian barat, Sungai Citarum dan Sungai Bekasi di bagian timur. Sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta ini, kondisi pencemarannya sangat mengkhawatirkan. Tingginya pencemaran pada sungaisungai tersebut terjadi karena pada umumnya sungai-sungai tersebut menjadi tempat pembuangan limbah berbagai industri dan pemukiman warga. Teluk Jakarta adalah salah satu perairan di Indonesia yang banyak menerima bahan pencemar berbahaya, hal ini terjadi karena Teluk Jakarta berada di sekitar Pusat Pemerintahan Indonesia, yang disertai dengan pertumbuhan industri, penduduk, pemukiman yang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 4.1 yang menunjukkan kondisi perairan di sekitar lokasi sampling. Berdasarkan gambar ini, terlihat bahwa di perairan tersebut banyak terdapat limbah domestik yang berasal dari masyarakat di sekitar lokasi pengambilan sampel.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
51
Gambar 4.1 Kondisi perairan di sekitar lokasi pengambilan sampel Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta ini telah banyak diteliti baik secara perorangan maupun lembaga (LIPI, Batan dan KLH) yang mengungkapkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar oleh kehadiran logam berat dengan tingkat yang mengkhawatirkan. Hutagalung mengatakan bahwa kandungan logam berat di sedimen lebih tinggi dibandingkan kandungan logam berat dalam perairan. Hal ini mendorong saya untuk memilih lokasi ini sebagai tempat pengambilan sampel sedimen karena sedimen merupakan salah satu indikator pencemaran di perairan.
4.2
Proses pengambilan sampel sedimen
Proses pengambilan sampel sedimen dilakukan pada hari sabtu, 11 Februari 2012 menggunakan perahu seorang nelayan. Proses pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan alat peterson grab sampler. Sedimen diambil pada kedalaman 4-5 km dari permukaan air. Sedimen yang diambil sekitar 0-15 cm dari permukaan sedimen. Sampel sedimen diambil dari tiga titik yang berbeda yaitu pada Muara Angke, Muara Pantai Indah Kapuk dan Muara Kamal. Selain itu, pada proses sampling dilakukan pengukuran terhadap temperatur, pH, dan salinitas untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi pengambilan sampel sedimen serta pengukuran titik koordinat lokasi pengambilan sampel. Adapun titik
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
52
koordinat serta peta lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.2.
Tabel 4.1. Titik koordinat stasiun pengambilan sampel sedimen Koordinat titik sampel S E
Stasiun 1 2 3
06o 05’51” o
06 05’ 40” o
06 05’ 52”
106o 45’ 34”
Lokasi
Muara Angke
o
Muara Pantai Indah Kapuk
o
Muara Kamal
106 44’ 59” 106 47’ 20”
Gambar 4.2 Peta Lokasi pengambilan sampel di Teluk Jakarta
4.3
Kualitas Perairan di Teluk Jakarta Kualitas perairan di Teluk Jakarta dapat dilihat dari beberapa parameter
fisika ataupun kimia. Adapun beberapa parameter fisika-kimia yang diamati dalam penelitian ini diantaranya : parameter suhu, salinitas dan derajat keasaman (pH) dari perairan tersebut dan proses pengukuran ini dilakukan di tiga stasiun yaitu stasiun 1 di Muara Angke, stasiun 2 di Muara Pantai Indah Kapuk dan stasiun 3 di Muara Kamal. Hasil yang diperoleh dari pengukuran beberapa parameter fisika-kimia selama penelitian dapat memberikan gambaran mengenai kondisi di Perairan Teluk Jakarta seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
53
Tabel 4.2 Data hasil parameter fisika dan kimia perairan Teluk Jakarta Parameter
Stasiun 1 2 3 B.Mutu
Suhu ( 0C)
Salinitas (‰)
pH
31,0 31,5 33,0 28,0-30,0
17,5 12,6 25,5 0,5-30
7,0 7,0 7,0 7,00-8,50
Keterangan : Standar ketentuan baku mutu air laut berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004 4.3.1
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penentuan
kualitas perairan. Perubahan suhu perairan akan mempengaruhi proses fisika, kimia perairan dan bagi biota di perairan. Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu akan berdampak peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi biota air dan meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dapat menurunkan kandungan oksigen di dalam perairan. Sedangkan Hutagalung (1984) mengatakan bahwa kenaikan suhu tidak hanya meningkatkan metabolisme biota perairan, tetapi dapat juga meningkatkan toksisitas logam berat di perairan. Suhu air terutama di lapisan permukaan ditentukan oleh penyinaran matahari yang intensitasnya berubah terhadap waktu. Oleh karena itu suhu
air akan sebanding dengan intensitas
penyinaran matahari. Menurut Wardoyo pada 1975, setiap kenaikan suhu air sebesar 100C akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewani akuatik dua kali lebih banyak. Setiap biota laut memiliki toleransi terhadap temperatur berbeda-beda bergantung pada jenis spesies, DO, jenis dan tingkat pencemaran dan lamanya lingkungan terkena panas. Berdasarkan hasil pengukuran suhu air permukaan yang dilakukan di tiga titik di Teluk Jakarta berkisar 30-330C (Gambar 4.3). Suhu terendah terletak pada stasiun pertama yaitu Muara angke pada suhu 300C, sedangkan suhu tertinggi berada pada stasiun ketiga yaitu Muara kamal pada suhu 33 0C. Menurut baku mutu Kepmen LH No 51 Tahun 2004 untuk biota laut berkisar 28-300C. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
54
Berdasarkan hal tersebut, kisaran suhu di perairan Teluk Jakarta masih mendekati normal dan dapat di toleransi oleh biota perairan. Diperkirakan apabila terjadi peningkatan suhu kembali, maka jumlah oksigen yang terlarut dalam air akan menurun dan berakibat hewan air akan banyak yang mati khususnya hewan yang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap suhu.
Suhu di perairan Teluk Jakarta Suhu ( 0C)
35 33
33 31
31
31,5
29 27 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.3 Rata-rata suhu di perairan Teluk Jakarta
4.3.2
Salinitas atau Kadar Garam
Salinitas merupakan salah satu parameter fisika yang menyatakan jumlah kandungan garam dalam suatau perairan. Menurut Forch (1902), menyatakan bahwa salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat telah diubah menjadi oksida, bromida dan iodida diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Pada umumnya, salinitas disebabkan oleh adanya 7 ion utama, diantaranya: natrium (Na), kalsium (Ca), kalium (K), magnesium (Mg), klorit , sulfat dan bikarbonat. Salinitas memiliki nilai yang berda-beda di setiap lokasi. Adapun beberapa hal yang mempengaruhi salinitas diantaranya sirkulasi air, penguapan curah hujan dan aliran sungai. Salinitas memiliki satuan gram/kg atau promil (‰) (Effendi, 2003). Semakin rendah nilai salinitas suatu perairan maka toksisitas logam beratnya akan semakin meningkat.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
55
Berdasarkan hasil pengukuran parameter salinitas di perairan Teluk Jakarta dimana dilakukan sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda yaitu Muara Angke, Muara Pantai Indah Kapuk dan Muara Kamal, ternyata menunjukkan salinitas yang berkisar antara 17-26 ‰. Berdasarkan nilai tersebut, maka perairan di Teluk Jakarta tergolong sebagai perairan mixohaline, yang memiliki kisaran salinitas antara 0,5-30 ‰.
Salinitas di perairan Teluk Jakarta 30
25,5
Salinitas (‰)
25 20
17,5 12,6
15 10 5
0 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.4 Rata-rata Salinitas di Perairan Teluk Jakarta
Stasiun 1 dan 2 memiliki nilai salinitas rendah, hal ini disebabkan karena stasiun ini berada dekat muara yang cenderung memiliki nilai salinitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai salinitas pada stasiun yang menuju laut lepas. Sedangkan padan stasiun 3 menunjukkan nilai salinitas tertinggi diantara ketiganya. Hal ini disebabkan karena stasiun ini merupakan daerah muara, dimana pada daerah tersebut terjadi pertemuan antara air tawar (sungai) dengan air laut (laut lepas) yang akan mempengaruhi nilai salinitas di perairan tersebut. Dimana nilai salinitas yang tinggi, terjadi ketika pengaruh air laut lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh dari daratan. Sebaliknya jika nilai salinitasnya rendah maka pengaruh daratan lebih dominan, yaitu ketika air tawar masuk ke perairan melalui aliran sungai. Hal inilah yang menjadi alasan ketika stasiun 3 memiliki nilai salinitas yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
56
4.3.3
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman merupakan suatu parameter yang menggambarkan keseimbangan antara asam dan basa dalam air serta konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. pH merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena dapat mengontrol tipe dan laju reaksi beberapa bahan dalam perairan. Nilai pH di suatu perairan itu berbeda-beda tergantung pada kondisi perairan saat itu karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai pH di perairan tersebut. Adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat akan cenderung menaikkan nilai pH, sedangkan adanya karbonat, hidoksida dan bikarbonat akan menaikkan kebasaan air (Alaert, 1984). Nilai pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO 2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air mengambil CO2 selama berlangsung fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat pada siang hari dan kembali turun pada malam hari (Boyd, 1991). Nilai pH suatu perairan berkaitan dengan sifat kelarutan logam berat. Pada pH yang rendah, ion logam berat akan dilepaskan ke dalam kolom air. Selain itu pH juga dapat mempengaruhi toksisitas senyawa kimia seperti amonia, sianida dan logam berat ( Beveridge, 1987). Semakin rendah nilai pH maka toksisitas logam berat akan semakin meningkat, sebaliknya semakin tinggi nilai pH maka logam berat akan mengalami pengendapan .
pH
pH di perairan Teluk Jakarta 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7
1
7
7
2
3
Stasiun
Gambar 4.5 Rata-rata pH di Perairan Teluk Jakarta
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
57
Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH sebanyak 3 kali pada tempat yang berbeda di perairan Teluk Jakarta menunjukkan nilai pH sekitar 7 (Gambar 4.5). Pada pH ini merupakan kondisi optimum bagi kehidupan biota air. Berdasarkan kisaran nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondi perairan di Muara Angke, Muara Pantai Indah Kapuk dan Muara Kamal masih tergolong baik dan sesuai dengan baku mutu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang berkisar pada pH 7,0-8,5. 4.4
Kandungan Logam Arsen pada Sedimen di Teluk Jakarta
Teluk Jakarta merupakan kawasan perairan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, Teluk Jakarta sebagai habitat biota di perairan dan secara ekonomis perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia yang menggantungkan hidupnya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan di Teluk Jakarta. Namun di sisi lain kawasan tersebut mengalami tekanan yang berupa pencemaran salah satunya adalah kehadiran logam berat yang seiring berjalannya waktu semakin meningkat. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran untuk menjaga agar kualitas perairan tersebut tetap normal. Logam berat secara alami memiliki konsentrasi yang rendah pada perairan (Hutagalung, 1984). Tinggi-rendahnya konsentrasi logam berat bergantung pada jumlah masukan limbah logam yang masuk kedalam perairan. Logam berat yang masuk ke dalam perairan akan mengalami pengendapan, adsorpsi (berikatan dengan unsur-unsur lain), absorpsi (penyerapan) oleh organisme-organisme perairan. Pengendapan logam berat terjadi karena konsentrasi logam lebih besar daripada daya larut terendah komponen yang terbentuk antara logam dan adanya anion karbonat, hidroksil dan klorida (Hutagalung, 1984). Apabila logam-logam yang terdapat di sedimen terlarut di perairan pada konsentrasi tertentu akan bersifat racun bagi organisme perairan. Logam arsen (As) merupakan salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia maupun biota di perairan karena logam ini cenderung terbiakumulasi dalan jaringan organ tubuh. Logam ini banyak digunakan dalam kegiatan industri baik sebagai bahan baku, katalisator maupun bahan tambahan.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
58
Logam ini diduga terdapat pada sedimen di perairan Teluk Jakarta oleh karena itu dilakukan penentuan kandungan logam arsen dalam sampel sedimen. Proses penentuan kandungan logam arsen dalam sedimen dilakukan dengan metode destruksi akuaregia (ISO 11466). Pelarut yang digunakan merupakan campuran asam kuat antara HNO3 dan HCl dengan perbandingan 1:3. Pertama-tama sampel sedimen di oven hingga sedimen kering, kemudian sampel sedimen dihomogenisasi supaya didapat ukuran butiran sedimen yang sama, lalu proses destruksi dapat dilakukan dengan cara memberikan beberapa mL akuaregia.
Gambar 4.6 Proses destruksi sedimen Adapun kandungan logam arsen yang terdapat dalam sedimen setelah didestruksi dengan akuaregia, dapat dilihat dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.7
Tabel 4.3 Konsentrasi logam arsen dalam sedimen Stasiun
Kandungan Logam Arsen pada Sedimen (μg/g)
1 2 3
1,008 1,426 1,552
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
59
1,800 1,552
Konsentrasi (μg/g)
1,600
1,426
1,400 1,200
1,008
1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.7 Kandungan Arsen pada sedimen Metode yang digunakan untuk memperoleh kandungan logam arsen yang terdapat pada sedimen tersebut adalah metode destruksi. Metode destruksi ini digunakan untuk melepaskan logam-logam mulai dari yang terikat lemah sampai yang terikat kuat dalam bentuk oksida pada sedimen. Menurut Brumer dalam Verloo pada 1993 menyatakan bahwa keberadaan logam dalam sedimen dapat dipilah menjadi berbagai bentuk, seperti : 1. Tertukarkan, yaitu yang terikat pada tapak-tapak jerapan (adsorption sites) pada sedimen dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion. 2. Terikat dengan senyawa-senyawa tertentu, seperti karbonat, fosfat dan sulfida. 3. Tersekap (occluded) di dalam oksida besi dan mangan 4. Terikat secara organik, yaitu berasosiasi dengan senyawa humus tak terlarutkan. 5. Terikat secara struktural di dalam mineral silika atau mineral primer. Dalam metode destruksi ini digunakan pelarut aqua regia yang berfungsi untuk mereduksi semua jejak logam yang terdapat dalam sedimen, kecuali yang terikat dengan lapisan silika. Berdasarkan hasil penelitian ternyata kandungan logam arsen terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 1,552 μg/g, sedangkan yang terkecil terdapat di stasiun 1 yaitu sebesar 1,008 μg/g (Gambar 4.7). Kandungan logam arsen pada Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
60
stasiun 2 tidak jauh berbeda dengan stasiun 3 yaitu sebesar 1,426 μg/g. Besar konsentrasi logam arsen pada sedimen masih berada di bawah tingkat aman standar internasional baku mutu menurut Dutch Quality Standards for Metals in Sediments (IADC/CEDA 1997). Mengacu pada baku mutu yang ada, dijelaskan bahwa pada level target, konsentrasi maksimum logam arsen adalah 29 mg/kg. Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada Dutch Quality Standards for Metals in Sediments menyatakan bahwa jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil atau dibawah dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan (IADC/CEDA 1997). Sementara konsentrasi logam arsen selama penelitian berkisar 1,008– 1,552 μg/g, hal ini menandakan bahwa beberapa perairan di Teluk Jakarta masih tergolong aman.
4.5
Fraksionasi Logam Arsen dalam sedimen
Proses fraksionasi logam arsen pada sedimen dilakukan dengan menggunakan metode Tessier. Adapun larutan ekstrak yang digunakan dalam proses fraksionasi ini ada larutan fraksi pH 3, pH 5 dan pH 7. Sebelum dilakukan proses ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan ekstrak pH 3, pH 5 dan pH 7 dengan menggunakan metode USEPA Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) . Pelarut yang digunakan dalam proses fraksionasi ini adalah asam asetat glasial. Menurut Tessier 1979, dengan pelarut asam asetat glasial dapat melepaskan logam-logam berat yang terikat pada asam karbonat yang terdapat dalam sedimen. Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar logam arsen yang terekstrak atau terlepas ketika terjadi perubahan pH di perairan. Adapun kandungan logam arsen yang terekstrak dengan menggunakan larutan fraksi asam asetat glasial dengan variasi pH yaitu pH 3, pH 5 dan pH 7, dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.8.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
61
Tabel 4.4 Kandungan logam arsen dengan ekstraksi pada pH 3 ,5 & 7
Stasiun
Konsentrasi Arsen (μg/g)
1 2 3 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000
Konsentrasi Logam Arsen pada Sedimen (μg/g) pH 3 pH 5 pH 7 0,049 0,077 0,045 0,058 0,091 0,069 0,049 0,085 0,057
Ekstraksi pH 3
Ekstraksi pH 5
Ekstraksi pH 7
Stasiun 1
0,049
0,077
0,045
Stasiun 2
0,058
0,091
0,069
Stasiun 3
0,049
0,085
0,057
Gambar 4.8 Kandungan logam arsen dengan ekstraksi pada pH 3 ,5 & 7 Berdasarkan Tabel 4.4 dan Gambar 4.8 terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil yang diperoleh dengan adanya variasi pH yang dilakukan , baik dengan pH 3, pH 5 dan pH 7. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ternyata pH berperanan penting alam proses pelepasan logam arsen ke perairan. Pada pH rendah, ion logam berat dilepaskan ke dalam kolom air. Secara umum, semakin rendah nilai pH, maka akan meningkatkan toksisitas logam berat, sebaliknya pada pH tinggi logam berat akan mengendap ke dasar perairan (Novonty dan Olem, 1994).
4.5.1
Fraksionasi pada pH 3
Pada fraksionasi pH 3, digunakan pelarut asam asetat glasial pH 3. Pelarut ini dibuat berdasarkan metode USEPA TCLP dengan menambahkan 5,7 ml asam asetat glasial ke dalam labu ukur 1 L kemudian ditepatkan hingga tanda batas. Dalam proses ekstraksi ini, sampel sedimen diekstrak dengan 5 ml larutan ekstrak dan didiamkan semalaman supaya proses ekstraksi dapat berjalan Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
62
sempurna, kemudian disentrifuge dan filtrat yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan AAS. Penggunaan asam asetat glasial ini diharapkan agar logam As yang terikat dalam bentuk karbonat yang terdapat dalam sedimen itu dapat putus atau terlepas. Adapun reaksi yang terjadi dalam proses ekstraksi ini adalah : 6 CH3COOH + M(CO3)3
2 L(CH3COO)3 + 3 CO2 + 3 H2O
Keterangan : M3+ adalah logam berat yang dimaksud Kandungan logam arsen yang terekstrak dapat dilihat pada Gambar 4.9 0,060
0,058
Konsentrasi (μg/g)
0,058 0,056 0,054 0,052 0,050
0,049
0,049
0,048
0,046 0,044 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.9 Kandungan logam Arsen dengan ekstraksi pH 3
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan larutan ekstraksi pH 3, diperoleh data bahwa kandungan logam arsen tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 0.058 μg/g. Sedangkan kandungan logam arsen pada stasiun pertama dan ketiga memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0,049 μg/g. Hal ini akan sangat membahayakan apabila di dalam perairan tersebut terjadi perubahan pH ke arah pH 3 yang disebabkan oleh masuknya limbah kimia asam yang dapat menurunkan pH di perairan menjadi asam karena apabila terjadi hal seperti itu maka kandungan logam arsen yang terdapat dalam sedimen akan terlepas atau mengalami leached ke perairan sebesar 0,049 μg/g pada stasiun pertama, 0,058 μg/g pada stasiun kedua dan 0,049 μg/g pada stasiun yang ketiga. Sedangkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kep-02/MENKLH/1988 mengatakan bahwa untuk menjaga ekosistem akuatik, kadar arsen sebaiknya tidak Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
63
melebihi 0,05 ppm, sementara pada stasiun 2 apabila terjadi pelepasan logam arsen maka kandungannya telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun logam berat yang terlepas ke perairan akan mengalami pengenceran, hal ini tetap sangat memprihatinkan karena kemungkinan kandungan logam berat akan semakin meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan industri dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat serta kurangnya kesadaran akan pentingnya lingkungan sekitar memungkinkan terjadiny pencemaran logam berat.
4.5.2
Fraksionasi pada pH 5
Pada fraksionasi pH 5, digunakan pelarut asam asetat glasial pH 5. Pelarut ini juga dibuat berdasarkan metode USEPA TCLP dengan cara menambahkan 5,7 ml asam asetat glasial ke dalam 500 ml aquadest, lalu ditambahkan 64,3 ml NaOH 1N dan diencerkan sampai volume 1 L. Adapun hasil kandungan logam arsen yang diperoleh dengan larutan ekstraksi pH 5 dapat dilihat pada gambar dibawah ini : 0,095 0,091 Konsntrasi (μg/g)
0,090 0,085
0,085 0,080
0,077
0,075 0,070 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.10 Kandungan logam Arsen dengan Ekstraksi pH 5
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode ekstraksi pH 5 diperoleh data bahwa kandungan logam arsen tertinggi yang terdapat dalam sedimen terletak pada stasiun 2 yaitu sebesar 0,091 μg/g, sedangkan kandungan Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
64
logam arsen terendah terletak pada stasiun 1 yaitu sebesar 0,077 μg/g. Kandungan logam arsen pada stasiun 3 tidak jauh berbeda dengan stasiun 1 dan 2 yaitu sebesar 0,085 μg/g (Gambar 4.10 ). Berdasarkan
Badan
Kesehatan
Dunia
(WHO)
dan
Kep-
02/MENKLH/1988 bahwa untuk menjaga ekosistem akuatik, kadar arsen sebaiknya tidak melebihi 0,05 ppm. Sedangkan apabila terjadi perubahan kondisi pH di perairan tersebut ke arah pH 5 yang disebabkan oleh masuknya limbah industri berupa zat kimia yang bersifat asam, maka kandungan logam arsen yang terlepas atau mengalami leached ke perairan sebesar 0,077 μg/g pada stasiun 1, 0,091 μg/g pada stasiun 2 dan 0,085 pada stasiun 3. Kandungan logam arsen di perairan tersebut telah melebihi nilai ambang batas perairan ketika terjadi leached. Meskipun kandungan logam arsen yang terlepas ke perairan akan mengalami proses pengenceran oleh air laut, tetapi perlu diwaspadai juga keberadaanya pada biota laut seperti ikan-ikan demersal yang hidup didasar perairan karena ketika terjadi perbahan pH di perairan maka hal ini akan berdampak langsung pada biota tersebut. Hal ini terkait dengan sistem rantai makanan yang ada, tidak menutup kemungkinan konsentrasi logam arsen yang kecil menjadi besar pada biota dengan trofik level yang tinggi. Sama halnya dengan ekstraksi pH 3, pelarut yang digunakan untuk ekstraksi pH 5 adalah asam asetat glasial dimana pH-nya diatur sampai pH 5. Kandungan logam arsen yang terlepas pada pH 5 lebih besar dibandingkan dengan pH 3 hal ini terjadi karena di dalam sedimen terdapat senyawa humat yang dapat berikatan dengan logam arsen, senyawa humat ini sedikit larut dalam asam. Selain itu dengan larutan ekstraksi pH 5 dapat memutus logam arsen yang terikat dengan asam karbonat. Adapun reaksi pengendapan yang terjadi antara logam berat dengan karbonat.
Mn+ merupakan logam yang dimaksud Hal ini dapat dilihat bahwa dengan pelarut yang sama tetapi berbeda pH ternyata memberikan hasil yang berbeda pula. Secara alamiah reaksi pada pH ini dapat
berlangsung
yang
disebabkan
oleh
adanya
perubahan
kondisi
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
65
lingkungannya seperti, pH, gelombang laut, dan lain-lain. Sehingga fraksi ini tergolong mudah terlepas ke badan air (available).
4.5.3
Fraksionasi pada pH 7
Pada fraksionasi pH 7, digunakan pelarut air. Fraksionasi pada pH 7 ini dilakukan karena kondisi pH di lokasi pangambilan sampel berada pada sekitar pH 7 sehingga kita dapat mengetahui apakah dengan pH 7 terdapat logam arsen yang terlepas ke perairan. Adapun hasil kandungan logam arsen yang diperoleh dengan larutan pH 7 dapat dilihat pada gambar dibawah ini : 0,080 0,069
Konsentrasi (μg/g)
0,070
0,057
0,060 0,050
0,045
0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 1
2
3
Stasiun
Gambar 4.11 Kandungan logam Arsen dengan ekstraksi pH 7
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan metode ekstraksi pH 7 diperoleh data bahwa kandungan logam arsen tertinggi yang terdapat dalam sedimen terletak pada stasiun 2 yaitu sebesar 0,069 μg/g , sedangkan kandungan logam arsen terendah terletak pada stasiun 1 yaitu sebesar 0,045 μg/g. Kandungan logam arsen pada stasiun 3 tidak berbeda jauh dengan stasiun 1 dan 2 yaitu sebesar 0,057 μg/g (Gambar 4.11). Pada kondisi perairan yang seperti ini ternyata terdapat logam arsen yang terlepas atau mengalami leached ke perairan. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena pada stasiun 2 dan 3 telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditetapkan, apabila terjadi peningkatan kandungan logam arsen pada sedimen Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
66
maka logam tersebut akan langsung mengalami leached ke perairan meskipun masih terjadi pengenceran tetapi hal ini akan berdampak langsung kepada biota yang hidup didasar perairan seperti benthos. Benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan dan tinggal didalam atau pada sedimen dasar perairan (Odum, 1994). Berdasarkan data yang diperoleh, logam arsen yang ter-leached pada ekstraksi pH 7 lebih besar dibandingkan dengan pH 3. Hal ini terjadi karena di dalam sedimen tersebut terdapat senyawa humat yang dapat berikatan dengan ion logam. Senyawa humat merupakan senyawa organik terbesar yang terdapat didalam sedimen, berbentuk amorf, berwarna coklat sampai hitam, bersifat asam dan hidrofilik (Schnitzer dan Khan, 1972). Senyawa humat ini dapat larut dengan basa kuat, garam netral dan tidak larut dalam asam. Asam humat merupakan bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH, –OH fenolat maupun –OH alokoholat sehingga asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonasi pada pH yang relatif tinggi. Asam humat ini merupakan koloid hidrofilik sehingga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap air, mempunyai muatan negatif karena adanya disosiasi gugus fungsional karboksil dan phenolic. Berdasarkan data diatas, bahwa pada sedimen di perairan Teluk Jakarta terkandung logam arsen yang merupakan salah satu logam toksik apabila terserap oleh biota perairan. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena kandungan logam arsen pada beberapa stasiun telah melebihi nilai ambang batas dan tidak menutup kemungkinan logam arsen akan terus meningkat karena adanya aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Masuknya logam arsen ke dalam perairan tersebut bersumber dari adanya pembuangan limbah industri ke perairan, adanya pemukiman penduduk yang banyak memanfaatkan laut sebagai tempat pembuangan limbah domestik baik limbah organik maupun anorganik. Pada umumnya arsen banyak dimanfaatkan dalam pembangkit tenaga listrik, pestisida, peleburan logam, dalam produksi bahan warna. Kandungan logam berat ini juga akan semakin meningkat apabila kurangnya kesadaran dari berbagai pihak akan pentingnya menjaga ekosistem yang ada dilingkungan.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
67
4.6
Uji Bioakumulasi As pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
Uji bioakumulasi logam arsen pada ikan mas dilakukan berdasarkan metode OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) 305. Uji bioakumulasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah logam arsen berpotensi terbioakumulasi pada uji biota yang digunakan . Dalam hal ini, biota uji yang digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio L.) karena ikan mas merupakan salah satu biota
perairan yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap masuknya zat pencemar ke dalam perairan yang menyebabkan kualitas perairan menjadi menurun (sensitifitas yang tinggi) . Sebelum dilakukan uji bioakumulasi, biota uji terlebih dahulu harus melalui proses aklimatisasi terlebih dahulu. Tujuan dari aklimatisasi ini adalah memberikan waktu kepada biota uji untuk beradaptasi terhadap lingkungannya yang baru sebelum dilakukan uji bioakumulasi. Selama aklimatisasi, biota uji diberi pakan pelet ikan, aerasi, pembersihan kotoran dilakukan setiap hari. Selama proses aklimatisasi, kondisi air diakuarium harus dilakukan pengontrolan terhadap suhu, oksigen terlarut (DO) dan pH. Selain itu, dipersiapkan akuarium uji yang akan digunakan dalam uji bioakumulasi. Adapun jumlah akuarium yang digunakan adalah 3 buah yaitu akuarium kontrol, akuarium uji arsen tunggal dan akuarium uji untuk arsen dalam campuran logam. Masingmasing akuarium akan diisi 12 ekor ikan dengan volume air dalam akuarium 24 L. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan bahwa untuk 0,1 gram berat ikan diperlukan air sekitar 0,5 L ( 0,1 gr ikan / 0,5 L) (Hutagalung, 1997)
Gambar 4.12 Proses aklimatisasi
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
68
Adapun kondisi air selama proses aklimatisasi : Tabel 4.5 Kondisi air selama aklimatisasi Akuarium Kontrol Arsen tunggal Arsen dalam campuran logam
Parameter pH DO 6,8 8,3 mg/L 6,8 8,0 mg/L 7,0 8,0 mg/L
Suhu 290C 290C 280C
Uji bioakumulasi ini berlangsung selama 28 hari. Pemberian toksikan diberikan sesuai dengan nilai NOAEC (No Observable Adverse Effect Concentration) masing-masing logam berat. Adapun nilai NOAEC dari masingmasing logam dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.6 Nilai NOAEC logam berat (IPCS) Logam As5+ Pb2+ Cd2+ Ni2+ Cr3+
Nilai NOAEC (μg/L) 50 1000 100 56 50
Selama proses bioakumulasi berlangsung, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan agar kelangsungan hidup biota atau ikan dapat berjalan dengan baik diantaranya adalah suhu, pH, dan oksigen terlarut (dissolved oxygen). Adapun kondisi perairan selama proses bioakumulasi berlangsung diataranya :
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting dalam
lingkungan perairan. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi biota air serta meningkatkan konsumsi oksigen (Effendi, 2003). Suhu dapat mempengaruhi aktifitas ikan, seperti pernapasan, pertumbuhan dan reproduksi (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986). Suhu perairan yang tidak sesuai dengan tingkat toleransi biota, misal terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan pada biota tersebut. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
69
Berdasarkan hasil penelitian, suhu yang diperoleh selama proses bioakumulasi berlangsung adalah sekitar 27-290C. Selama proses akumulasi ini, terjadi perubahan suhu atau bersifat fluktuatif pada kisaran 27-290C. Pada suhu ini, aktifitas ikan berjalan normal yang ditandai dengan pergerakan yang masih aktif.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen
dan menunjukkan kondisi air. Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat keasaman suatu media. Nilai pH ini penting untuk menentukan nilai guna suatu perairan. Batas toleransi organisme air terhadap pH adalah bervariasi tergantung pada suhu, kadar oksigen terlarut, adanya ion dan kation, serta siklus hidup organisme tersebut. Sedangkan titik batas kematian organisme air terhadap pH adalah pH 4 dan pH 11 (Boyd, 1988). Tabel 4.7 Pengaruh kisaran pH terhadap ikan Kisaran pH
Pengaruh Terhadap Ikan
<4
Titik Kematian pada Kondisi asam
4.0-5.0
Tidak bereproduksi
5-6,5
Pertumbuhan lambat
6,5-9
Sesuai untuk reproduksi
> 11
Titik kematian pada Kondisi basa
Sumber : Boyd (1988) Berdasarkan hasil pengukuran pH selama proses bioakumulasi berlangsung diperoleh data pada kisaran pH 6,4-7,2. Pada kisaran pH ini, ikan terlihat normal dengan pergerakan yang masih aktif. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003).
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
70
Oksigen Terlarut (DO) Konsentrasi oksigen terlarut (DO) menyatakan besarnya kandungan
oksigen yang terlarut dalam suatu perairan. DO merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50 % konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela yang menyebabkan ikan akan mati lemas (Ahmad, 1998). Kandungan DO bergantung pada suhu, banyaknya bahan organik, dan banyaknya vegetasi akuatik (Huet, 1970 dalam Lelono, 1986). Berdasarkan hasil pengukuran DO yang dilakukan selama proses bioakumulasi, diperoleh data kandungan oksigen terlarut berkisar 7,6-8 mg/L. Pada kisaran nilai ini, ikan yang digunakan sebagai biota uji terlihat segar dengan pergerakan yang aktif , hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air cukup bagi biota uji. 4.7
Kandungan Logam Arsen pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
4.7.1
Arsen Tunggal Selama proses bioakumulasi berlangsung, pengamatan harus terus
dilakukan terhadap segala perubahan yang terjadi baik pada biota maupun kondisi air didalam akuarium. Dan selama proses bioakumulasi selama 28 hari, ditemukan hanya 1 ekor ikan mati pada hari ke-5, hal ini mengindikasikan bahwa pada kondisi air dalam akuarium sesuai dengan batas toleransi biota. Khusus pada hari ke-7, 14, 21 dan 28, dilakukan pengambilan ikan secara acak dan kemudian didestruksi pada bagian daging dan insang ikan mas (Cyprinus carpio L.). Dalam proses destruksi ikan, pertama-tama sampel insang dan daging dioven terlebih dahulu kemudian dihomogenkan. Lalu sampel ikan didestruksi dengan menggunakan larutan HNO3(p) dan H2O2(p). Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan AAS diperoleh data. Adapun data yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.13
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
71
Kandungan Arsen (μg/g)
As (V) dalam tubuh ikan 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Insang
0,165
0,177
0,124
0,157
Daging
0,162
0,166
0,115
0,128
Gambar 4.13 Kandungan Logam Arsen pada Insang dan Daging (As tunggal) Berdasarkan data kandungan logam arsen pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) (Gambar 4.13), menunjukan bahwa selama proses bioakumulasi yang berlangsung sekitar 28 hari dengan toksikan berupa arsen tunggal , terdapat kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang dan daging. Kandungan logam arsen terdapat pada bagian insang terjadi peningkatan mulai dari hari ke-7 sampai hari ke-14 sementara pada hari ke-21 terjadi penurunan, dan kembali meningkat pada hari ke-28, begitu pun yang terdapat pada daging terjadi peningkatan mulai hari ke-7 hingga hari ke-14 dan mengalami penurunan pada hari ke-21 dan kembali meningkat pada hari ke-28. Penurunan kandungan logam arsen yang terjadi pada insang maupun daging terjadi karena sebagian logam arsen yang terbioakumulasi mengalami metabolisme dalam tubuh ikan dan kemudian diekskresikan ke luar tubuh. Adapun kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang berturut-turut mulai hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28 adalah 0,165 μg/g ; 0,177 μg/g ; 0,124 μg/g dan 0,157 μg/g. Sedangkan kandungan logam arsen pada bagian daging berturut-turut mulai hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28 adalah 0,162 μg/g ; 0,166 μg/g ; 0,115 μg/g dan 0,128 μg/g. Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa kandungan logam arsen pada bagian insang lebih besar dibandingkan pada bagian daging. Hal ini disebabkan karena fungsi insang yang bertindak sebagai osmoregulator, respirator, dan ekskretor memungkinkan untuk logam arsen berikatan secara kovalen dengan enzim yang terdapat dalam insang misalnya enzim karbonik anhidrase dan transpor ATP ase. Karbonik anhidrase merupakan Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
72
enzim yang mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO 2 menjadi asam karbonat. Enzim-enzim yang memiliki ion logam sebagai pusat aktifnya cenderung bersifat labil, sehingga ion logam dalam gugus enzim tersebut seringkali digantikan oleh ion-ion logam yang lain yang masuk ke dalam tubuh, oleh karena itu insang merupakan organ yang peka terhadap kehadiran logam berat. Sedangkan proses akumulasi pada daging, ikan memerlukan mekanisme yang cukup panjang dan harus melalui beberapa filter dalam sistem pencernaan, sehingga konsentrasi di dalam daging relatif lebih rendah dibandingkan dengan di insang. Hal inilah yang menyebabkan logam arsen bersifat toksik karena sifatnya yang dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme hidup.
4.7.2
Arsen Campuran Pada proses bioakumulasi logam arsen dalam campuran logam berat,
toksikan yang diberikan merupakan simulasi dari logam berat yang terdapat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta. Adapun logam berat yang diberikan dalam uji bioakumulasi ini adalah As5+, Pb2+, Ni2+, Cd2+ dan Cr3+. Pada pengamatan selama 28 hari, terdapat 1 ekor ikan yang mati pada hari ke-6. Hal ini menandakan bahwa, proses bioakumulasi berjalan dengan baik dengan kondisi air yang dapat ditoleransi oleh organisme uji. Pada hari ke-7, 14, 21 dan 28, dilakukan pengambilan ikan secara acak untuk mengetahui kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang maupun daging ikan.
Kandungan Arsen (μg/g)
As (v) dalam tubuh ikan 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Insang
0,159
0,166
0,134
0,148
Daging
0,155
0,162
0,122
0,126
Gambar 4.14 Kandungan Logam Arsen pada Insang dan Daging (As campuran)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
73
Berdasarkan data kandungan logam arsen pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) (Gambar 4.14) yang diperoleh, menunjukkan bahwa selama uji bioakumulasi yang berlangsung sekitar 28 hari dengan pemberian
toksikan
berupa arsen yang bercampur dengan logam lain sebagai simulasi logam-logam yang terdapat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta, terdapat kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang dan daging ikan mas. Adapun kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang berturut-turut mulai hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28 adalah 0,159 μg/g, 0,166 μg/g, 0,134 μg/g dan 0,148 μg/g. Penurunan kandungan logam arsen pada insang terjadi pada hari ke-21, hal ini terjadi karena sebagian logam arsen mengalami proses ekskresi ke luar tubuh dan terjadi uptake kembali pada hari ke28 sehingga kandungan arsen meningkat. Sedangkan kandungan logam arsen pada bagian daging berturut-turut mulai hari ke-7, ke-14, ke-21 dan ke-28 adalah 0,155 μg/g , 0,162 μg/g , 0,122 μg/g dan 0,126 μg/g. Fenomena yang sama terjadi pada daging dimana pada hari ke-21 sebagian logam arsen yang terbioakumulasi mengalami proses ekskresi dimana sebagian logam arsen yang terbioakumulasi dibuang ke luar tubuh. Pada umumnya baik di insang maupun di daging, terjadi peningkatan kandungan logam arsen selama proses bioakumulasi, walaupun pada hari ke-21 baik di insang maupun di daging terjadi penurunan. Pada kondisi ini, dimana toksikan yang diberikan merupakan campuran beberapa logam berat seperti As, Pb, Cd, Ni maupun Cr, terjadi persaingan antara beberapa logam berat yang diberikan untuk dapat berikatan dengan ligan protein yang terdapat didalam tubuh ikan. Setiap logam berat memiliki tingkat atau daya racun yang berbedabeda bergantung pada jenis, sifat kimia dan fisik logam berat. Oleh karena itu, setiap logam memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk dapat berikatan dengan ligan protein dalam tubuh organisme. Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As3+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
74
4.7.3 Perbandingan Kandungan Logam Arsen antara Arsen Tunggal dan Campuran Pada penelitian ini, uji bioakumulasi dilakukan pada dua kondisi yang berbeda dimana perbedaan tersebut terletak pada toksikan yang diberikan. Adapun toksikan yang diberikan adalah arsen (As5+) tunggal dan arsen yang bercampur dengan logam lain ( As5+, Pb2+, Cd2+, Ni2+, Cr3+). Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk mengetahui tingkat bioakumulasi logam arsen yang terjadi baik pada insang maupun daging ikan ketika toksikan yang diberikan hadir sebagai arsen tunggal maupun arsen yang bercampur dengan logam berat lainnya.
Insang
Kandungan Arsen (μg/g)
Insang 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000 As Tunggal As campuran
Hari ke7 0,165
Hari ke14 0,177
Hari ke21 0,124
Hari ke28 0,157
0,159
0,166
0,134
0,148
Gambar 4.15 Kandungan Arsen pada Insang Berdasarkan data diatas,
bahwa kandungan logam arsen yang
terbioakumulasi pada insang dengan toksikan arsen tunggal berturut-turut adalah pada hari ke-7 sebesar 0,165 μg/g, pada hari ke-14 sebesar 0,177 μg/g, pada hari ke-21 sebesar 0,124 μg/g dan pada hari ke-28 sebesar 0,157 μg/g. Sedangkan pada arsen campuran, kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada insang mulai terjadi pada hari ke-7 yaitu sebesar 0,159 μg/g, pada hari ke-14 sebesar 0,166 μg/g, pada hari ke-21 sebesar 0,134 μg/g dan pada hari ke-28 sebesar 0,148 μg/g. Kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada bagian insang baik dengan toksikan arsen tunggal maupun arsen campuran tidak berbeda secara signifikan. Fenomena yang terjadi pada akuarium yang diberikan toksikan berupa
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
75
arsen campuran terjadi kompetisi antar logam yaitu logam As5+, Pb2+, Cd2+, Ni2+, dan Cr3+ untuk dapat terikat secara kovalen
membentuk senyawa kompleks
dengan enzim yang terdapat dalam insang. Kompetisi yang terjadi antar logam ini terjadi karena logam berat lebih bersifat reaktif terhadap ikatan ligan yang terdapat dalam jaringan tubuh biota dibandingkan dengan logam lainnya sehingga setiap logam berat akan bersaing untuk dapat berikatan dengan ligan protein. Selain itu sifat fisik dan kimia masing-masing logam pun mempengaruhi kemampuan logam untuk dapat berikatan dengan ligan protein yang terdapat dalam tubuh organisme. Daging
Kandungan Arsen (μg/g)
Daging 0,180 0,160 0,140 0,120 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000
Hari ke-7
As Tunggal
0,162
Hari ke14 0,166
As campuran
0,155
0,162
Hari ke21 0,115
Hari ke28 0,128
0,122
0,126
Gambar 4.16 Kandungan Arsen pada Daging Berdasarkan data diatas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada daging ikan antara toksikan yang berupa arsen tunggal maupun arsen dalam campuran logam. Pada data tertera bahwa kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada daging dengan toksikan arsen tunggal berturut-turut adalah pada hari ke-7 sebesar 0,162 μg/g, pada hari ke-14 sebesar 0,166 μg/g, pada hari ke-21 sebesar 0,115 μg/g dan pada hari ke-28 sebesar 0,128 μg/g. Sedangkan pada arsen campuran, kandungan logam arsen yang terbioakumulasi pada daging
mulai terjadi pada hari ke-7 yaitu
sebesar 0,155 μg/g, pada hari ke-14 sebesar 0,162 μg/g, pada hari ke-21 sebesar 0,122 dan pada hari ke-28 sebesar 0,126 μg/g.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
76
Proses bioakumulasi logam arsen pada insang
maupun daging dapat
terjadi karena logam arsen terikat dengan enzim yang terdapat dalam tubuh ikan mas (Cyprinus carpio L.). Pada umumnya, logam-logam berat khususnya arsen memiliki afinitas yang tinggi terhadap gugus –SH sehingga dapat terjadi ikatan kompleks dengan protein sehingga mempengaruhi pusat katalitik pada enzim. Selain gugus –SH, protein (-CO2H), asam karboksilat dan gugus amino (-NH2) mudah membentuk ikatan dengan logam berat. Sulfur, protein dan gugus amino mempunyai atom S, N dan O yang memiliki pasangan elektron bebas yang sangat disukai oleh logam berat yang bermuatan positif sehingga terbentuk ikatan kovalen koordinasi.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
Berdasarkan data analisa, kandungan logam arsen pada sedimen sebesar 1,008-1,552 μg/g. Berdasarkan standar internasional baku mutu menurut Dutch Quality Standards for Metals in Sediments (IADC/CEDA 1997). kandungan logam arsen dalam sedimen di Teluk Jakarta masih tergolong aman.
Proses pelepasan logam arsen pada sedimen dipengaruhi oleh pH suatu perairan. Berdasarkan hasil data analisa, kandungan logam arsen pada sedimen dengan ekstraksi pH 3, 5 dan 7 berkisar 0,045-0,091 μg/g.
Berdasarkan uji bioakumulasi logam arsen pada Cyprinus carpio L., logam arsen berpotensi untuk dapat terakumulasi dalam biota perairan.
Berdasarkan data analisa, kandungan logam arsen tertinggi yang terbioakumulasi selama 28 hari dengan toksikan berupa arsen tunggal adalah pada insang sebesar 0,177 μg/g dan daging 0,166 μg/g.
Kandungan logam arsen tertinggi yang terbioakumulasi selama 28 hari dengan toksikan berupa arsen campuran adalah insang sebesar 0,166 μg/g dan daging 0,162 μg/g.
Berdasarkan data analisa logam arsen pada Cyprinus carpio L., logam arsen lebih bersifat bioakumulatif pada jaringan insang dibandingkan pada jaringan otot atau daging.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
78
5.2
Saran
1.
Diperlukan studi lebih lanjut mengenai uji bioakumulasi logam arsen pada Cyprinus carpio L. dengan periode waktu yang berbeda hingga mencapai tahap depurasi.
2.
Diperlukan studi lebih lanjut mempertimbangkan
adanya
mengenai uji bioakumulasi faktor-faktor
eksternal
dengan
yang
ikut
menyumbangkan logam kedalam tubuh organisme. 3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sedimen yang mengandung logam berat pada lokasi lain dengan metode ekstraksi yang lebih variatif.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
79
DAFTAR PUSTAKA
(APHA) American Public Health Association. 1998. Standard Method for Examination of Water and Wastewater. Ed ke-17. Washington DC: American Water Works Association, dan Water Pollution Control Federation. [MENKLH] Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1988. Keputusan Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: 02/MENKLH/I/1988, tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Sekretariat MENKLH. Jakarta. Achudume, A., and Odoh, S. (2012). Determination of Toxic and Trace Elements in Water Sediment and Vegetation in Topcamp Stream. Canadian Center of Science and Education, Canada .Journal of Environment and Pollution Vol 1.No.1 Ahmad, T.,E. Ratnawati dan M.J.R. Yakob, 1998. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penerbit PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Alaerts, G. dan Santika, S.S. (1984). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional: Surabaya. Alfian, Zul. 1999. Analisis Unsur Bismut dengan Metode Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dan Metode Vapour Hydride Generation Accessories (VHGA). Majalah Akademia. Vol V/No.4.Medan Alloway, B.J. dan D.C. Ayres. 1993. Chemical principles of environmental pollution. Chapman & Hall, London. Anonim. 2009. Atlas Of Fathead Minnow Normal Histology. Diakses dari http://aquaticpath.umd.edu/fhm/res p.html. Pada tanggal 28 Mei 2012. Pukul 21:11 WIB APHA. (2005). Standard methods for examination of water and waste water. 21st Ed. ALPHA, AWWA, WFF, Washington D.C. APHA. 1979. Standard Methods For The Examination of Water and Wastewater. Amerika : American Water Works and Water Pollution Control Federation.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
80
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2006). Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. SNI 01 3554, 2006 . Barber, B., & Keefe, Steffanie. H. (2006) . Accumulation of Contaminants in Fish from Wastewater Treatment Wetlands. Journal of Environmental Science And Technolgy.2006, 40, 603-611. Barreiro, R & Aston S.R, 1983. Observation on Heavy Metal Geochemical Association in Polluted and Non-polluted Estuarine Sediments. Environ. Poll. Series B 183-193 Boyd CE. 1988. Water quality in warmwater fish ponds. Auburn University Agricultural Experiments Station. Alabama, USA. 359 p. Boyd CE. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Braman, R.S. & Foreback, C.C., 1973, Methylated form of arsenic in the enviroment. Science, 182: 1247-1249. Bryan GW. 1976. Heavy metal contamination in the sea. Di dalam: Johnston R, editor. Marine Polution. New York: Academic Press Buckley, E., Smith, J.N., Winters, G.V., (1995). Accumulation of Contaminant Metals In Marine Sediments of Halifax Harbour. Nova Scotia : Environmental Factors and historical trends. Applied Geochemistry. Vol. 10, pp. 175-195. Campbell, P.G.C., A.G. Lewis, P.M. Chapman, A.A. Crowder, W.K. Fletcher, B. Imber, S.N. Luoma, P.M. Stokes, dan M.Winfrey. 1988. Biologically Available Metals in Sediments. NRCC/CNRC. Ottawa, Canada. Campbell, Petter. (2002). Predicting Metal Bioavability-Aplicability of the Biotic Ligand Model. INRS-Eau. Journal of Metal and Radionuclides Bioaccumulation in Marine Organism-Ancona.Terre et Environment, Sainte-Foy, Canada. Canli, M. and G. Atli, 2002. The relationships between heavy metal (Cd, Cr, Cu, Fe, Pb, Zn) levels and the size of six Mediterranean fish species. Environ. Pollut., 121: 29–136
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
81
Čelechovská O., Z. Svobodová, V. Žlábek, &
Macharáčková.,B. (2007).
Distribution of Metals in Tissues of the common Carp (Cyprinus carpio L.). ACTA VET. BRNO 2007, 76: S93–S100. Chapman GA, Ota S, Recht F. 1980. Effects of Water Hardness On The Toxicity Of Metals to Daphnia Magna. U.S. Environmental Protection Agency, Corvallis, OR. Chen, Celia & Folt, Carol. (2000). Bioaccumulation and Diminution of Arsenic and Lead in a Freshwater Food Web. Journal of Environmenta Science And Technolgy.2000, 34, 3878-3884. Ciardullo, S,. (2008). Bioaccumulation Potential of Dietary Arsenic, Cadmium, Lead, Mercury, and Selenium in Organs and Tissues of Rainbow Trout (Oncorhyncus mykiss) as a Function of Fish Growth. Journal of Agricultural And Food Chemistry, 56, 2442-2451 Clark, R. B. 1986. Marine Pollution. Clarendon Press. Oxford. 215h Connell DW, GJ. Miller. 1995. Chemistry and ecotoxicology of pollution, diterjemahkan oleh Yanti Koestoer dalam Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia press. 520 Hlm. Cotton FA, G Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta : UI-Press Crecelius, E.A, 1974, The geochemistry of arsenic and antimony in puget sound and lake Washington, Thesis. Seatle, Washington, University of Washington. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Makhluk. Hidup. Jakarta: UI Press Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemarannya, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta : UI Press Dedina, J., Tsalev, D,. 1995. Hydride Generation Atomic Absorption Spectrometry. John Wiley & Sons, New York. E.Santos, MY.Ramirez,IG.Garcia., et al. Analysis of Arsenic, Lead and Mercury in Farming Areas with Mining Contaminated Souls at Zacatecas,Mexico. J.Mex.Chem.Soc.2006,50(2). Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 258 Hlm.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
82
Eisler, Ronald.(1988). Arsenic Hazards To Fish, Wildlife, And Invertebrates. Biological Report 85(1.12) Environmental aspects of dredging 2a. Hlm 71. Environmental Science Programme School of Science and Technology, University of Malaysia. EPA METHOD 3050B, Acid Digestion of Sediments, Sludges, and Soils, 1996. EPA Victoria. Sampling and Analysis of Waters, Wastewaters, Suoils and Wastes. Industrial Waste Resources Guidelines (2009). Erlangga. 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar di Propinsi Riau Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Thesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Penerbit kanisius. Yogyakarta GESAMP. 1985. Review of potentially harmful substances : Cadmium, Lead and Tin. IMO/FAO/UNESCO/WMO/IAEA/UNEP/Un join group of experts. Goessler, W,. (2005). Arsenic Speciation in Farmed Hungarian Freshwater Fish. Journal of Agricultural and Food Chemistry.2005, 53, 9238-9243. Greaney, K.M. 2005. An Assesment of heavy metal contamination in the marine sediments of las perlas archipelago. Master of Science in Marine Resource Development and Protection. School of Life Sciences. HeriotWatt University, Edinburgh Han, Zhaoxiang., Li Jiaying., & Zhang Meng. (2012). Effect of Montmorillonite on Arsenic Accumulation in Common carp. African Journal of Biotechnology Vol. 11(22), pp. 6160-6168.2012. Harrington,M James, Fendorf,E Scott et al., Biotic Generation of Arsenic(III) in Metal(loid)-Contaminated Freshwater Lake Sediments, Environ. Sci. Technol. 1998, 32, 2425-2430 Harun NH, Tuah PM, Markom MZ, Yusof MY. 2008. Distribution of heavy metals in Monochoria hastata and Eichornia crassipes in natural habitats. Heath AG. 1987. Water Polution and Fish Physiology. Florida : CRC Press Inc. Boca Rotan.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
83
Hutabarat, S. dan S. Evans. 1985. Pengantar oseanografi. Universitas Indonesia, Jakarta. Hutagalung HP, D. Setiapermana, SH. Riyono. 1997. Metode analisa air laut, sedimen dan biota. Buku kedua. Jakarta: P3O-LIPI. 182: 59-77. Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Pewarta Oceana IX No.1. Hlm : 45-59. Hutagalung HP. 1991. Pencemaran laut oleh logam berat. Dalam status pencemaran laut di Indonesia dan teknik pemantauannya. Jakarta: P30LIPI. Hlm 45-58. Hutagalung HP. 1994. Kandungan logam berat dalam sedimen di kolam pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Prosiding makalah penunjang seminar pemantauan pencemaran laut. Jakarta: P3O-LIPI. IADC/CEDA. 1997. Conventions, codes, and conditions: Marine disposal. Industrial
Hygiene
Indonesia.
2007.
Arsen.
http://industrialhygiene.com/2007/05/arsen.html. Diakses tanggal 4 Mei 2012. International Agency for Research on Cancer ( IARC)-Summaries and Evaluations Arsenic and Arsenic Compound Vol: 100 C ( 2004 ) John, D.A dan J.S. Leventhal. 1995. Bioavailability of Metals. In Edward A. du Khan, Bushra., Khan Hizbullah., & Khan Triq. (2012). Heavy Metals Concentration In Three Fish Species From Shah Alam River ( Khyber Pakhtunkhwa Province, Pakistan). Journal of Natural & Environmental Scinces., 3(1), 1-8.2012 Laurence, C.J.,Calendini.S., Mori. C., & Orsini.,A. (2009). Arsenic accumulation in a freshwater fish living in a contaminated river of Corsica, France. Journal of Ecotoxicology and Environmental Safety. 72 (2009) 1440– 1445 Lelono, N.P. 1986. Pengaruh Kronis Diterjen Rinso Terhadap Produksi dan Reproduksi Ikan Nila di kolam. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Lu, Frank. (1995). Toksikologi Dasar. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
84
M. Nair,T. Joseph., et al. Arsenic Enrichment in Estuarine Sediments- Impact of Iron and Manganase Mining, Envirosolution, 37/1387 Mance, G. 1987. Pollutan threat of heavy metals in aquatic environmentals. Elsevier applied science. New York. Mason, C.F. 1980. Biological of FreshWater Pollution. London. New York.
MENLH, 2004. Surat Keputusan MENLH No. Kep. 51/MEN-LH/I/2004, Tentang Baku Mutu Air Laut, Sekretariat Menteri Negara dan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. Ngam, C., Mayer, M,.(2008). Arsenic Adsorption and Desorption in Storrie Lake Sediments, Research Funded by Water Resources Research Institute (WRRI Grant 2008) Novotny, V. and Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nostrans Reinhold. Nybakken JW. 1988. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine biology: An ecological approach]. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. 579 hlm. Odum, E. P. 1971. Fundamental of ecology. W.B. Sounders Co. Philadelphia. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). (1996). OECD Guideline for Testing of Chemical Bioconcentration : Flowthrough Fish Test. Method Testing Palar H. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Hlm 152. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Razak, H. 1990. Kandungan Logam Berat dalam Air Laut di Perairan Sekitar Batu Ampar dan Sekupang. Perairan Pulau Batam. P2O-LIPI. Jakarta. S.Tjutju, Suyarso. (2010). Preliminary Study On Evolution Of Metals Contaminant Recorded in the Coastal Sediments of Semarang Waters. Journal of Coastal Development, Vol 13 : 185-194, 2010. Santoso B. 1999. Ikan Mas: Mengungkap Teknik Pemeliharaan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
85
Sanusi, H.S. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 188h Sarifuzzaman,M., Siddique,M.N.A et al., Studies of Arcenic Mobilization with Iron,
Manganese and Copper in Borehole Sediments of the River
Padma, Pak.J.Anal.Environ.Chem. Vol. 8, No.1 & 2 (2007) 91-95. Schnitzer, M., and S.U.Khan.(1972).Humic Subtances in the Environtment. Marcel Dekker. New York. Shimazu. 2008. Instruction Manual Hydride Vapor Generator. Shimazu Corp.,Japan. Simkiss, K dan A.Z. Mason. 1983. Metal Ions : Metabolic and Toxic Effect. In The Mollusca : Environmental Biochemistry and Physiology. Academic Press. Toronto. Škvarla, J. 1998. A Study on the Trace Metal Speciation in the Ružín reservoir sediment.Acta Montanistica Slovaca.Rocník 3 (1998), 2, 177-182 Sudarmadi, Sigit. 1993. toksiologi Limbah pabrik kulit terhadap Cyprinus carpio L. dan Kerusakan insang. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 13;4 : hal. 2 – 260. Jakarta. Sukar. Sumber dan Terjadinya Arsen di Lingkungan. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 2, Agustus 2003, 232-238 Suseno D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan ikan Mas. Penebar Swadaya, Depok. Sutamihardja. 1982. Perairan Teluk Jakarta Ditinjau dari Tingkat Pencemarannya (Tesis). Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suyarso. 1995. Atlas oseanologi Teluk Jakarta. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Hlm 1-35. Taukhid, Nugraha E dan Subagyo. 2007. Efektifitas Daun Sambiloto (Andrographis peniculata) bagi pengendalian Penyakit Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Riset Akuakultur, Jakarta. Vol. 2 No. 3 Tahun 2007. 433 hal.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
86
Tessier, A., P.G.C. Campbell, dan M.Bisson. 1979. Sequential extraction procedure for the speciation.of particulate trace metals.. Anal. Chem.51: 844-851. Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP).1992. Metode 1331 Universitas Indonesia. USEPA. (1999). Analytical Methods Support Document For Arsenic In Drinking Water. Office of Ground Water and Drinking Water, US Environmental Protection Agency, Washington, DC. USEPA. (2003). Technical Standard Operating Procedure Sediment Sampling. ERT/REAC SOP #2016 Rev 0.0 Verloo, M. 1993. “Chemical Aspects of soil pollution” in ITC-Gen Publications Series 4 : 17-46. Vinodhini, R., & Narayanan. (2008). Bioaccumulation of Heavy Metals in Organs of Fresh Water Fish Cyprinus carpio (Common carp). Int. J. Environ. Sci. Tech., 5 (2), 179-182, Spring 2008 W.D. Connel, J.M. Gregory, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. Waldichuck, M. 1974. Some biological concern in heavy metals pollution. In Venberg, F. J. and W. B. Venberg (ed). Pollution and physiology of marine organism. Academic Press, Inc. New York. Wardoyo STH. 1987. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Bandung : Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. WHO.2006. Elemental Speciation In Human Health Risk Assessment. EHC 234 Widowati, W., Sastiona, A., Jusuf, R, 2008, Efek Toksik Logam, Andi, Yogyakarta Wittmann, G.T.W. (1979). "Toxic Metals." Dalam U. Forster and G.T.W. Wittmann, (Eds.), Metal Pollution in the Aquatic Environment. SpringerVerlag, Berlin.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
87
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bagan kerja penelitian
Lampiran 2. Bagan kerja Uji Bioakumulasi
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
88
0,6
Lampiran 3 Hasil perhitungan arsen pada sedimen 0,5 kandungan logam y = 0,0116x - 0,0152 R² = 0,9985
0,4
ppb 10 20 30 40 50
abs 0,1059 0,2046 0,3374 0,4504 0,5617
0,3 0,2 0,1 0 0
10
20
30
40
50
60
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
89
Sampel 1a b 2a b 3a b
Destruksi Logam Berat Pada Sedimen kadar konsentrasi berat sedimen Logam Kadar rata-rata Absorbansi (μg/L) (g) (μg/g) (μg/g) 0,2186 20,1552 1,0003 1,0075 1,008 0,2191 20,1983 1,0004 1,0095 0,3094 27,9828 1,0002 1,3989 1,426 0,3221 29,0776 1,0004 1,4533 0,3449 31,0431 1,0004 1,5515 1,552 0,3452 31,0690 1,0006 1,5525
Ekstraksi Logam Berat Pada Sedimen menggunakan Fraksi pH 3
Sampel 1a b 2a b 3a b
Sampel
1a b 2a b 3a b
Absorbansi 0,0077 0,0080 0,0116 0,0119 0,0089 0,0070
konsentrasi berat sedimen (μg/L) (g) 1,9741 1,0007 2,0000 1,0008 2,3103 1,0004 2,3362 1,0007 2,0776 1,0008 1,9138 1,0006
kadar Logam (μg/g) 0,0493 0,0500 0,0577 0,0584 0,0519 0,0478
Kadar rata-rata (μg/g) 0,049 0,058 0,049
Ekstraksi Logam Berat Pada Sedimen menggunakan Fraksi pH 5 kadar konsentrasi berat sedimen Logam Kadar rata-rata Absorbansi (μg/L) (g) (μg/g) (μg/g) 0,0193 2,9750 1,0009 0,0743 0,077 0,0217 3,1836 1,0007 0,0795 0,0250 3,4681 1,0003 0,0867 0,091 0,0290 3,8112 1,0006 0,0952 0,0253 3,4922 1,0008 0,0872 0,085 0,0236 3,3405 1,0008 0,0834 Ekstraksi Logam Berat Pada Sedimen menggunakan Fraksi pH 7 Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
90
Sampel 1a b 2a b 3a b
Absorbansi 0,0051 0,0064 0,0156 0,0187 0,0097 0,0133
konsentrasi (μg/L) 1,7491 1,8638 2,6560 2,9224 2,1428 2,4530
berat sedimen (g) 1,0006 1,0007 1,0003 1,0006 1,0003 1,0005
kadar Logam Kadar rata-rata (μg/g) (μg/g) 0,0437 0,045 0,0466 0,0664 0,069 0,0730 0,0536 0,057 0,0613
Keterangan: 1a = Sampel sedimen di Muara Angke 2a = Sampel sedimen di Muara Pantai Indah Kapuk 3a = Sampel sedimen di Muara Kamal
Contoh perhitungan : 1. Sampel 1a ( Destruksi) Bobot sampel
= 1,0003
gr
Volume dilusi = 50 ml Absorban = 0,2186 Persamaan regresi linear : y = 0,0116x – 0,0152 Konsentrasi hasil pengukuran : 0,2186 = 0,0116 x - 0,0152 x = 20,1552 μg/L Konsentrasi akhir (μg/g) :
2. Sampel 1a (Ekstraksi pH 3) Bobot sampel = 1,0007 gr Volume dilusi = 25 ml Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
91
Absorbansi = 0,0077 Persamaan regresi linear : y = 0,0116x – 0,0152 Konsentrasi hasil pengukuran : 0,0077 = 0,0116 x - 0,0152 x = 1,9741 μg/L Konsentrasi akhir (μg/g) :
Lampiran 4. Hasil perhitungan kandungan logam arsen pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) Kandungan logam arsen dalam tubuh ikan mas (Cyprinus carpio L)
Sampel Insang 1a (as) 1b (as) Daging 1a (as) 1b (as) Insang 2a (as) 2b (as) Daging 2a (as) 2b (as) Insang 3a (as) 3b (as) Daging 3a (as) 3b (as) Insang 4a (as) 4b (as) Daging 4a
konsentrasi Absorbansi (μg/L)
Berat sampel (gr)
kadar Logam (μg/g)
Kadar rata-rata (μg/g)
0,0069 0,0079
1,9052 1,9914
0,1184 0,1184
0,1609 0,1682
0,165
0,0063 0,0083
1,8534 2,0259
0,1198 0,1198
0,1547 0,1691
0,162
0,0074 0,0079
1,9483 1,9914
0,1112 0,1112
0,1752 0,1791
0,177
0,0065 0,0084
1,8707 2,0345
0,1176 0,1176
0,1591 0,1730
0,166
0,0021 0,0008
1,4914 1,3793
0,1160 0,1160
0,1286 0,1189
0,124
0,0011 0,0016
1,4052 1,4483
0,1231 0,1231
0,1141 0,1177
0,115
0,0035 0,0009 0,0031
1,6121 1,3879 1,5776
0,0955 0,0955 0,1157
0,1688 0,1453 0,1364
0,157 0,128 Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
92
(as) 4b (as)
0,0008
1,3793
0,1157
0,1192
Kandungan logam arsen dalam tubuh ikan mas (Cyprinus carpio L) kadar konsentrasi Berat sampel Logam Kadar rata-rata Sampel Absorbansi (μg/L) (gr) (μg/g) (μg/g) insang 1a (cam) 0,0071 1,9224 0,1166 0,1649 0,159 1b (cam) 0,0055 1,7845 0,1166 0,1530 Daging 1a (cam) 0,0051 1,7500 0,1141 0,1534 0,155 1b (cam) 0,0055 1,7845 0,1141 0,1564 Insang 2a (cam) 0,0074 1,9483 0,1169 0,1667 0,166 2b (cam) 0,0073 1,9397 0,1169 0,1659 daging 2a (cam) 0,0074 1,9483 0,1156 0,1685 0,162 2b (cam) 0,0057 1,8017 0,1156 0,1559 insang 3a (cam) 0,0025 1,5259 0,1062 0,1437 0,134 3b (cam) 0,0001 1,3190 0,1062 0,1242 Daging 3a (cam) 0,0025 1,5259 0,1163 0,1312 0,122 3b (cam) 0,0001 1,3190 0,1163 0,1134 Insang 4a (cam) 0,0022 1,5000 0,0962 0,1559 0,148 4b (cam) 0,0005 1,3534 0,0962 0,1407 daging 4a (cam) 0,0018 1,4655 0,1167 0,1256 0,126 4b (cam) tt tt 0,1167 tt Keterangan : tt = Tak terdeteksi (dibawah limit deteksi alat)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
93
Contoh perhitungan : 1. Sampel Insang 1b ( Arsen Tunggal) Bobot sampel
= 0,1184
gr
Volume dilusi = 10 ml Absorban = 0,0079 Persamaan regresi linear : y = 0,0116x - 0,0152 Konsentrasi hasil pengukuran : 0,0079 = 0,0116 x - 0,0152 x = 1,9914 μg/L Konsentrasi akhir (μg/g) :
Lampiran 5. Kondisi Air dalam Aquarium selama proses Bioakumulasi pH
Hari ke 1
Kontrol 6,8
Arsen 6,8
Campuran Logam 7,2
2
6,8
6,8
7,1
DO(Dissolve Oxygen)(ppm) Campuran Kontrol Arsen Logam 8,3 7,9 8 7,8
7,8
Suhu (0C) Campuran Kontrol Arsen Logam 29 29 28
7,8
28
28
28
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
94
3
6,8
6,8
7,1
7,8
7,8
7,8
28
28
28
4
6,8
6,8
7,2
7,9
7,8
7,7
28
28
28
5
6,3
6,5
7,2
7,9
7,8
7,8
28
28
28
6
6,3
6,5
7,2
7,5
7,6
7,5
29
28
29
7
6,3
6,5
7,2
7,5
7,6
7,5
29
28
29
8
6,4
6,5
7,2
7,5
7,6
7,5
29
28
29
9
6,4
6,5
7
7,5
7,6
7,5
29
28
29
10
6,4
6,5
7
7,6
7,7
7,5
28
28
28
11
6,4
6,5
7
7,6
7,7
7,5
28
28
28
12
6,4
6,5
7
7,9
7,9
7,8
28
28
28
13
6,4
6,5
7
7,9
7,9
7,8
28
28
28
14
6,4
6,4
6,9
7,9
7,9
7,8
28
27
28
15
6,4
6,4
6,9
8
8
7,8
27
27
27
16
6,5
6,4
6,9
7,9
8
7,9
27
27
27
17
6,5
6,4
6,9
7,9
8
7,9
27
27
27
18
6,5
6,4
6,9
7,9
7,9
7,9
27
27
27
19
6,5
6,4
7
7,9
7,9
7,9
27
27
27
20
6,5
6,6
7
7,8
7,9
7,8
27
27
28
21
6,5
6,6
7
7,8
7,9
7,8
27
27
28
22
6,5
6,6
7
7,8
7,8
7,8
28
27
28
23
6,6
6,6
7
7,8
7,8
7,8
28
28
28
24
6,6
6,6
6,8
7,8
7,8
7,8
28
28
28
25
6,6
6,6
6,8
7,9
7,8
7,9
28
28
27
26
6,6
6,5
6,8
7,9
7,7
7,9
28
28
27
27
6,5
6,5
6,8
7,9
7,7
7,9
28
28
27
28
6,5
6,5
6,8
7,9
7,7
7,9
28
28
27
Lampiran 6 . Limit deteksi (LoD) dan limit kuantisasi (LoQ) Arsen No. 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppb)(X)
Absorbansi (Y)
Yi
Y-Yi
( Y-Yi)2
0 10 20 30 40 50
0 0,1059 0,1965 0,3374 0,4647 0,5617
-0,01113 0,10467 0,22047 0,33627 0,45207 0,56787
0,01113 0,00123 -0,02397 0,00113 0,01263 -0,00617
0,000123877 1,5129E-06 0,000574561 1,2769E-06 0,000159517 3,80689E-05 Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
95
7 Jumlah
Metal
60 210
0,6874 2,3536
Level Target
0,68367 2,35389 Level Limit
0,00373 -0,00029
Level Tes
1,39129E-05 0,000912726 Level Intervensi
Level Bahaya
Arsen
29
55
55
55
150
Kadmium
0,8
2
7,5
12
30
Kromium
100
380
380
380
1000
Tembaga
35
35
90
190
400
Merkuri
0,3
0,5
1,6
10
15
Timbal
85
530
530
530
1000
0,013510928
Standar Deviasi (SD) = LoD = LoQ =
3,500 ppb
= 11,667 ppb
Lampiran 7. Baku Mutu Logam Berat yang terdapat pada sedimen (ppm) berdasarkan IADC/CEDA (1997)
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
96
Nikel
35
35
45
210
200
Seng
140
480
720
720
2500
Keterangan : a) Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. b) Level Limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c) Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan test level, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d) Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e) Level bahaya.
Jika konsentrasi kontaminan (hanya untuk logam berat) berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
Lampiran 8. OECD 305
OECD GUIDELINES FOR TESTING OF CHEMICALS PROPOSAL FOR UPDATING GUIDELINE 305 Bioconcentration: Flow-through Fish Test INTRODUCTION
1.
In the Detailed Review Paper on Bioaccumulation prepared by Japan (February 1990), it was recommended that the existing five Guidelines for bioaccumulation,
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
97
305A to E, be consolidated into a single method. At the same time, work was proceeding on the updating of Guideline 305 E, Flow-through Fish Test (1), modified as a result of an EEC "ring-test" (2), and it was agreed that this modified version of 305 E should form the basis of the consolidated Guideline. 2.
This present Guideline 305 consolidates and replaces the previous Guidelines 305 A to E. It describes a procedure for characterising the bioconcentration(1) potential of substances in fish under flow-through conditions. Although flow-through test regimes are much to be preferred, semi-static regimes are permissible, provided that the validity criteria (see paragraph 12) are satisfied.
3.
Before carrying out a test for bioconcentration, the following information about the test substance should be known : (a) solubility in water [Guideline 105]; (b) octanol-water partition coefficient, Pow(2) [Guidelines 107, 117]; (c) hydrolysis [Guideline 111]; (d) phototransformation in water determined under solar or simulated solar irradiation and under the irridiation conditions of the test for bioconcentration [Guidance Document on Direct Phototransformation of Chemicals in Water](3); (e) surface tension (i.e. for substances where the log P ow cannot be determined) [Guideline115]; (f) vapour pressure [Guideline 104]; (g) ready biodegradability (where appropriate) [Guidelines 301 A to F].
4.
The method gives sufficient details for performing the test while allowing adequate freedom for adapting the experimental design to the conditions in particular laboratories and for varying characteristics of test substances. It is most validly applied to stable organic chemicals with log P ow values between 1.5 and 6.0 (4), but may still be applied to superlipophilic substances (having log Pow > 6.0). The pre-estimate of the bioconcentration factor (BCF), sometimes denoted as KB, for such superlipophilic substances will presumably be higher than the steadystate bioconcentration factor (BCFss) value expected to be obtained from laboratory experiments. Preestimates of the biocencentration factor for organic chemicals with log Pow values up to about 9.0 can be obtained by using the equation of Bintein et al. (5). The parameters
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
98
which characterise the bioconcentration potential include the uptake rate constant (k1), the depuration rate constant (k2) and the BCFss.
OCDE/OECD 5.
Radiolabelled test substances can facilitate the analysis of water and fish samples, and may be used to determine whether degradate identification and quantification should be made. If total radioactive residues are measured (e.g. by combustion or tissue solubilisation), the BCF is based on the parent compound, any retained metabolites and also assimilated carbon. BCFs based on total radioactive residues may not, therefore, be directly comparable to a BCF derived by specific chemical analysis of the parent compound only. Clean-up procedures may be employed in radiolabelled studies in order to determine BCF based on the parent compound, and the major metabolites may be characterised if deemed necessary. BCF determination for parent compound should be based upon the concentration of the parent compound in fish and not upon total radiolabelled residues. BCFs based on total radiolabelled residues can serve as one of the criteria for determining if degradates identification and quantification is necessary. It is also possible to combine a fish metabolism study with a bioconcentration study by analysis and identification of the residues in tissues.
PRINCIPLE OF THE TEST 6.
The test consists of two phases: the exposure (uptake) and post-exposure (depuration) phases. During the uptake phase, separate groups of fish of one species are exposed to at least two concentrations of the test substance. They are then transferred to a medium free of the test substance for the depuration phase. A depuration phase is always necessary unless uptake of the substance during the uptake phase has been insignificant (e.g. the BCF is less than 10). The concentration of the test substance in/on the fish (or specified tissue thereof) is followed through both phases of the test. In addition to the two test concentrations, a control group of fish is held under identical conditions except for the absence of the test substance, to relate possible adverse effects observed in the bioconcentration test to a matching control group and to obtain background concentrations of test substance. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
99
7.
The uptake phase is run for 28 days unless it is demonstrated that equilibrium has been reached earlier (see Annex 1.4). A prediction of the length of the uptake phase and the time to steady-state can be made from equations in Annex 4. The depuration period is then begun by transferring the fish to the same medium but without the test substance in another clean vessel. Where possible the bioconcentration factor is calculated preferably both as the ratio (BCFss) of concentration in the fish (Cf) and in the water (Cw) at apparent steady-state and as a kinetic bioconcentration factor, BCF K (Annex 1.5) as the ratio of the rate constants of uptake (k1) and depuration (k2) assuming first-order kinetics(3).
8.
If a steady-state is not achieved within 28 days, the uptake phase should be extended until steady-state is reached, or 60 days, whichever comes first; the depuration phase is then begun.
9.
The uptake rate constant, the depuration (loss) rate constant (or constants, where more complex models are involved), the bioconcentration factor, and where possible, the confidence limits of each of these parameters are calculated from the model that best describes the measured concentrations of test substance in fish and water.
10.
The BCF is expressed as a function of the total wet weight of the fish. However, for specialpurposes, specified tissues or organs (e.g. muscle, liver), may be used if the fish are sufficiently large or the fish may be divided into edible (fillet) and non-edible (viscera) fractions. Since, for many organic substances, there is a clear relationship between the potential for bioconcentration and lipophilicity, there is also a corresponding relationship between the lipid content of the test fish and the observedbioconcentration of such substances. Thus, to reduce this source of variability in test results for those substances with high lipophilicity (i.e. with log Pow>3), bioconcentration should be expressed in relation to lipid content in addition to whole body weight. The lipid content should be determined on the same biological material as is used to determine the concentration of the test substance, when feasible.
INFORMATION ON THE TEST SUBSTANCE
11.
In addition to the properties of the test substance given in the Introduction (paragraph 3) other
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
100
information required is the toxicity to the fish species to be used in the test, preferably the asymptotic LC50 (i.e. time-independent). An appropriate analytical method, of known accuracy, precision, and sensitivity, for the quantification of the substance in the test solutions and in biological material must be available, together with details of sample preparation and storage. Analytical detection limit of test substance in both water and fish tissues should also be known. When 14C labelled test substance is used, the percentage of radioactivity associated with impurities should be known.
VALIDITY OF THE TEST
12.
For a test to be valid the following conditions apply: - the temperature variation is less than ± 2C; - the concentration of dissolved oxygen does not fall below 60% saturation; - the concentration of the test substance in the chambers is maintained within ± 20% of the mean of the measured values during the uptake phase; - the mortality or other adverse effects/disease in both control and treated fish is less than 10% at the end of the test; where the test is extended over several weeks or months, death or other adverse effects in both sets of fish should be less than 5% per month and not exceed 30% in all.
REFERENCE COMPOUNDS
13.
The use of reference compounds of known bioconcentration potential would be useful in checking the experimental procedure, when required. However, specific substances cannot yet be recommended.
DESCRIPTION OF THE METHOD
Apparatus
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
101
14.
Care should be taken to avoid the use of materials, for all parts of the equipment, that can dissolve, sorb or leach and have an adverse effect on the fish. Standard rectangular or cylindrical tanks, made of chemically inert material and of a suitable capacity in compliance with loading rate (see paragraph 31), can be used. The use of soft plastic tubing should be minimised. Use teflon (R), stainless steel and/or glass tubing. Experience has shown that for substances with high adsorption coefficient, such as the synthetic pyrethroids, silanized glass may be required. In these situations the equipment will have to be discarded after use.
Water 15.
Natural water is generally used in the test and should be obtained from uncontaminated and uniform quality source. The dilution water must be of a quality that will allow the survival of the chosen fish species for the duration of the acclimation and test periods without them showing any abnormal appearance or behaviour. Ideally, it should be demonstrated that the test species can survive, grow and reproduce in the dilution water (e.g. in laboratory culture or a life-cycle toxicity test). The water should be characterised at least by pH, hardness, total solids, total organic carbon and, preferably also ammonium, nitrite and alkalinity and, for marine species, salinity. The parameters which are important for optimal fish well-being are not fully known, but Annex 2 gives recommended maximum concentrations of a number of parameters for fresh and marine test waters.
16.
The water should be of constant quality during the period of a test. The pH value should be within the range 6.0 to 8.5, but during a given test it should be within a range of ± 0.5 pH units. In order to ensure that the dilution water will not unduly influence the test result (for example, by complexation of the test substance) or adversely affect the performance of the stock of fish, samples should be taken at intervals for analysis. Determination of heavy metals (e.g. Cu, Pb, Zn, Hg, Cd, Ni), major anions and cations (e.g. Ca, Mg, Na, K, C1, SO4), pesticides (e.g. total organophosphorous and total organochlorine pesticides), total organic carbon and suspended solids should be made, for example, every three months where a dilution water is known to be relatively constant in quality. If water quality has been demonstrated to be constant over at least one year, determinations can be less frequent and intervals extended (e.g. every six months).
17.
The natural particle content as well as the total organic carbon (TOC) of the dilution water should be as low as possible to avoid adsorption of the test
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
102
substance to organic matter which may reduce its bioavailability. The maximum acceptable value is 5 mg/l for particulate matter (dry matter, not passing a 0.45 m filter) and 2 mg/l for total organic carbon (see Annex 2). If necessary, the water should be filtered before use. The contribution to the organic carbon content in water from the test fish (excreta) and from the food residues should be as low as possible. Throughout the test, the concentration of organic carbon in the test vessels should not exceed the concentration of organic carbon originating from the test substance and, if used, the solubilising agent by more than 10 mg/l (±20%).
Test Solutions 18.
Prepare a stock solution of the test substance at a suitable concentration. The stock solution should preferably be prepared by simply mixing or agitating the test substance in the dilution water. The use of solvents or dispersants (solubilising agents) is not recommended (see paragraphs 38 and 39); however this may occur in some cases in order to produce a suitably concentrated stock solution. Solvents which may be used are, ethanol, methanol, ethylene glycol monomethyl ether, ethylene glycol dimethyl ether, dimethylformamide and triethylene glycol. Dispersants which may be used are Cremophor RH40, Tween 80, methylcellulose 0.01% and HCO-40. Care should be taken when using readily biodegradable agents as these can cause problems with bacterial growth in flow-through tests. The test substance may be radiolabelled and should be of the highest purity (e.g. preferably >98%).
19.
For flow-through tests, a system which continuously dispenses and dilutes a stock solution of the test substance (e.g. metering pump, proportional diluter, saturator system) is required to deliver the test concentrations to the test chambers. Preferably allow at least five volume replacements through each test chamber per day. The flow-through mode is to be preferred, but where this is not possible (e.g. when the test organisms are adversely affected) a semi-static technique may be used provided that the validity criteria are satisfied (see paragraph 12). The flow rates of stock solutions and dilution water should be checked both 48 hours before and then at least daily during the test. Include in this check the determination of the flow-rate through each test chamber and ensure that it does not vary by more than 20% either within or between chambers.
Selection of species
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
103
20.
Important criteria in the selection of species are that they are readily available, can be obtained in convenient sizes and can be satisfactorily maintained in the laboratory. Other criteria for selecting fish species include recreational, commercial, ecological importance as well as comparable sensitivity, past successful use etc. Recommended test species are given in Annex 3. Other species may be used but the test procedure may have to be adapted to provide suitable test conditions. The rationale for the selection of the species and the experimental method should be reported in this case.
Holding of fish 21.
Acclimate the stock population of fish for at least two weeks in water (see paragraph 16) at the test temperature and feed throughout on a sufficient diet (see paragraph 33) and of the same type to be used during the test.
22.
Following a 48-hour settling-in period, mortalities are recorded and the following criteria applied: - mortalities of greater than 10% of population in seven days: reject the entire batch; - mortalities of between 5 and 10% of population in seven days: acclimate for seven additional days; - mortalities of less than 5% of population in seven days: accept the batch - if more than 5% mortality during second seven days reject the entire batch.
23.
Ensure that fish used in tests are free from observable diseases and abnormalities. Discard any diseased fish. Fish should not receive treatment for disease in the two weeks preceding the test, or during the test.
PERFORMANCE OF THE TEST
Preliminary Test 24.
It may be useful to conduct a preliminary experiment in order to optimise the test conditions of the definitive test, e.g. selection of test substance concentration(s), duration of the uptake and depuration phases.
Conditions of Exposure Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
104
Duration of uptake phase 25.
A prediction of the duration of the uptake phase can be obtained from practical experience (e.g. from a previous study or an accumulation study on a structurally related chemical) or from certain empirical relationships utilising knowledge of either the aqueous solubility or the octanol/water partition coefficient of the test substance (see Annex 4).
26.
The uptake phase should be run for 28 days unless it can be demonstrated that equilibrium has been reached earlier (see Annex 1.4). If the steady-state has not been reached by 28 days, the uptake phase should be extended, taking further measurements, until steady-state is reached or 60 days, whichever is shorter.
Duration of the depuration phase 27.
A period of half the duration of the uptake phase is usually sufficient for an appropriate (e.g. 95%) reduction in the body burden of the substance to occur (see Annex 4 for explanation of the estimation). If the time required to reach 95% loss is impractically long, exceeding for example twice the normal duration of the uptake phase (i.e. more than 56 days) a shorter period may be used (e.g. until the concentration of test substance is less than 10% of steady-state concentration). However, for substances having more complex patterns of uptake and depuration than are represented by a one-compartment fish model, yielding first order kinetics, allow longer depuration phases for determination of loss rate constants. The period may, however, be governed by the period over which the concentration of test substance in the fish remains above the analytical detection limit.
Numbers of test fish 28.
Select the numbers of fish per test concentration such that a minimum of four fish per sample are available at each sampling. If greater statistical power is required, more fish per sample will be necessary.
29.
If adult fish are used, report whether male or female, or both are used in the experiment. If both sexes are used, differences in lipid content between sexes should be documented to be non-significant before the start of the exposure; pooling all male and all female fish may be necessary.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
105
30.
In any one test, select fish of similar weight such that the smallest are no smaller than two-thirds of the weight of the largest. All should be of the same year-class and come from the same source. Since weight and age of a fish appear sometimes to have a significant effect on BCF values (4) record these details accurately. It is recommended that a sub-sample of the stock of fish is weighed before the test in order to estimate the mean weight (paragraph 46).
Loading 31.
Use high water-to-fish ratios in order to minimise the reduction in C w caused by the addition of the fish at the start of the test and also to avoid decreases in dissolved oxygen concentration. It is important that the loading rate is appropriate for the test species used. In any case, a loading rate of 0.1-1.0 g of fish (wet weight) per litre of water per day is normally recommended. High loading rates can be used if it is shown that the required concentration of test substance can be maintained within ± 20% limits, and that the concentration of dissolved oxygen does not fall below 60% saturation.
32.
In choosing appropriate loading regimes, take account of the normal habitat of the fish species. For example, bottom-living fish may demand a larger bottom area of the aquarium for the same volume of water than pelagic fish species.
Feeding 33.
During the acclimation and test periods, feed an appropriate diet of known lipid and total protein content to the fish in an amount sufficient to keep them in a healthy condition and to maintain body weight. Feed daily throughout the acclimation and test periods at a level of approximately 1 to 2% of body weight per day; this keeps the lipid concentration in most species of fish at a relatively constant level during the test. The amount of feed should be re-calculated, for example, once per week, in order to maintain consistent body weight and lipid content. For this calculation, the weight of the fish in each test chamber can be estimated from the weight of the fish sampled most recently in that chamber. Do not weigh the fish remaining in the chamber.
34.
Siphon uneaten food and faeces daily from the test chambers shortly after feeding (30 minutes to 1 hour). Keep the chambers as clean as possible throughout the test so that the concentration of organic matter is kept as low as possible (see
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
106
paragraph 17), since the presence of organic carbon may limit the bioavailability of the test substance (4). 35.
Since many feeds are derived from fishmeal, the feed should be analysed for the test substance. It is also desirable to analyse the feed for pesticides and heavy metals.
Light and temperature 36.
The photoperiod is usually 12 to 16 hours and the temperature (± 2C) should be appropriate for the test species (see Annex 3). The type and characteristics of illumination should be known. Caution should be given to the possible phototransformation of the test substance under the irradiation conditions of the study. Appropriate illumination should be used avoiding exposure of fish to unnatural photoproducts. In some cases it may be appropriate to use a filter to screen out UV irradiation below 290 nm.
Test concentrations 37.
Expose fish under flow-through conditions to at least two concentrations of the test substance in water. Normally, select the higher (or highest) concentration of the test substance to be about 1% of its acute asymptotic LC50, and to be at least ten-fold higher than its detection limit in water by the analytical method used. The highest test concentration can also be determined by dividing the acute 96h LC50 by an appropriate acute/chronic ratio (e.g. appropriate ratios for some chemicals are about 3, but a few are above 100). If possible, choose the other concentration(s) such that it differs from the one above by a factor of ten. If this is not possible because of the 1% of LC50 criterion and the analytical limit, a lower factor than ten can be used or the use of 14C labelled test substance should be considered. No concentration used should be above the solubility of the test substance.
38.
Where a solubilising agent is used its concentration should not be greater than 0.1 ml/l and should be the same in all test vessels (paragraph 18). Its contribution (together with the test substance) to the overall content of organic carbon in the test water should be known. However, every effort should be made to avoid the use of such materials.
Controls
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
107
39.
One dilution water control or if relevant, one control containing the solubilising agent should be run in addition to the test series, provided that it has been established that the agent has no effects on the fish. If not, both controls should be set up.
Frequency of Water Quality Measurements 40.
During the test, dissolved oxygen, TOC, pH and temperature should be measured in all vessels. Total hardness and salinity (if relevant) should be measured in the control(s) and one vessel at the higher (or highest) concentration. As a minimum, dissolved oxygen and salinity (if relevant) should be measured three times - at the beginning, around the middle and end of the uptake period - and once a week in the depuration period. TOC should be measured at the beginning of the test (24h and 48h prior to test inititiation of uptake phase) before addition of the fish and, at least once a week, during both uptake and depuration phases. Temperature should be measured daily, pH at the beginning and end of each period and hardness once each test. Temperature should preferably be monitored continuously in at least one vessel.
Sampling and Analysis of Fish and Water
Fish and water sampling schedule 41.
Sample water from the test chambers for the determination of test substance concentration before addition of the fish and during both uptake and depuration phases. As a minimum, sample the water at the same time as the fish and before feeding. During the uptake phase, the concentrations of test substance are determined in order to check compliance with the validity criteria (paragraph 12).
42.
Sample fish on at least five occasions during the uptake phase and at least on four occasions during the depuration phase. Since on some occasions it will be difficult to calculate a reasonably precise estimate of the BCF value based on this number of samples (especially when other than simple first-order depuration kinetics are indicated), it may be advisable to take samples at a higher frequency in both periods (see Annex 5). Store the extra samples as described in paragraph 48 and analyse them only if the results of the first round of analyses prove inadequate for the calculation of the BCF with the desired precision.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
108
43.
An example of an acceptable sampling schedule is given in Annex 5. Other schedules can readily be calculated using other assumed values of P ow to calculate the exposure time for 95% uptake.
44.
Continue sampling during the uptake phase until a steady-state has been established (see Annex 1.4) or for 28 days, whichever is the shorter. If the steadystate has not been reached within 28 days continue until a steady-state has been attained or 60 days, whichever is shorter (see paragraphs 25 and 26). Before beginning the depuration phase transfer the fish to clean tanks.
Sampling and sample preparation 45.
Obtain water samples for analysis e.g. by siphoning through inert tubing from a central point in the test chamber. Since neither filtration nor centrifuging appears always to separate the non-bioavailable fraction of the test substance from that which is bioavailable (especially for super-lipophilic chemicals i.e. those chemicals with a log Pow>5) (4) (7), samples may not be subjected to those treatments. Instead, measures should be taken to keep the tanks as clean as possible (see paragraph 34) and the content of total organic carbon should be monitored during both the uptake and depuration phases (see paragraph 40).
46.
Remove an appropriate number of fish (normally a minimum of four) from the test chambers at each sampling time. Rinse the sampled fish quickly with water (paragraph 16), blot "dry", kill instantly, using the most appropriate and humane method, and then weigh.
47.
It is preferable to analyse fish and water immediately after sampling in order to prevent degradation or other losses and to calculate approximate uptake and depuration rates as the test proceeds. Immediate analysis also avoids delay in determining when a plateau has been reached.
48.
Failing immediate analysis, store the samples by an appropriate method. Obtain, before the beginning of the study, information on the proper method of storage for the particular test substance -for example, deep-freezing, holding at 4C, duration of storage, extraction, etc.
Quality of analytical method 49.
Since the whole procedure is governed essentially by the accuracy, precision and sensitivity of the analytical method used for the test substance, check experimentally that the precision and reproducibility of the chemical analysis, as well as recovery of the test substance from both water and fish are satisfactory for Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
109
the particular method. Also, check that the test substance is not detectable in the dilution water used. If necessary, correct the values of Cw and Cf obtained from the test for the recoveries and background values of controls. Handle the fish and water samples throughout in such a manner as to minimise contamination and loss (e.g. resulting from adsorption by the sampling device).
Analysis of fish samples 50.
If radiolabelled materials are used in the test, it is possible to analyse for total radio label (i.e. parent and metabolites) or, the samples may be cleaned up so that parent compound can be analysed separately. Also, the major metabolites may be characterised at steady-state or at the end of the uptake phase, whichever is the sooner (see paragraph 5). If the BCF in terms of total radiolabelled residues is >1000, it may be advisable, and for certain categories of chemicals such as pesticides strongly recommended, to identify and quantify degradates representing >10% of total residues in fish tissues at steady state. If degradates representing >10% of total radiolabelled residues in the fish tissue are identified and quantified, then it is also recommended to identify and quantify degradates in the test water.
51.
The concentration of the test substance should usually be determined for each weighed individual fish. If this is not possible, pooling of the samples on each sampling occasion may be done but pooling does restrict the statistical procedures which can be applied to the data. If a specific statistical procedure and power are important considerations, then an adequate number of fish to accomodate the desired pooling, procedure and power, should be included in the test. See references (8) and (9) for an introduction to relevant pooling procedures.
52.
BCF should be expressed both as a function of total wet weight and, for high lipophilic substances, as a function of the lipid content (see paragraph 10). Determine the lipid content of the fish on each sampling occasion if possible. Suitable methods should be used for determination of lipid content (see reference 10 and Annex II : reference 2). Chloroform/methanol extraction technique may be recommended as standard method (11). The various methods do not give identical values (12), so it is important to give details of the method used. When possible, the analysis for lipid should be made on the same extract as that produced for analysis for the test substance, since the lipids often have to be removed from the extract before it can be analysed chromatographically. The
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
110
lipid content of the fish (as mg/kg wet weight) at the end of the experiment should not differ from that at the start by more ± 25%. The tissue percent solids should also be reported to allow conversion of lipid concentration from a wet to a dry basis.
DATA AND REPORTING
Treatment of results 53.
Obtain the uptake curve of the test substance by plotting its concentration in/on fish (or specified tissues) in the uptake phase against time on arithmetic scales. If the curve has reached a plateau, that is, become approximately asymptotic to the time axis, calculate the steady state BCF ss from:
54.
When no steady state is reached, it may be possible to calculate a BCF ss of sufficient precision for
C f at steady - state (mean) C w at steady - state (mean) hazard assessment from a "steady-state" at 80% (1.6/k2) or 95% (3.0/k2) of equilibrium.
55.
Also, determine the concentration factor (BCFK) as the ratio k1/k2, the two firstorder kinetic constants. The depuration rate constant (k2) is usually determined from the depuration curve (i.e. a plot of the decrease in test substance concentration in the fish with time). The uptake rate constant (k1) is then calculated given k2 and a value of Cf which is derived from the uptake curve. See Annex 6 for a description of these methods. The preferred method for obtaining BCFK and the rate constants, k1 and k2, is to use non-linear parameter estimation methods on a computer (2). Otherwise, graphical methods may be used to calculate k1 and k2. If the depuration curve is obviously not first-order, then more complex models should be employed (see references in Annex 4) and advice from a biostatistician sought. Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
111
Interpretation of results 56.
The results should be interpreted with caution where measured concentrations of test solutions occur at levels near the detection limit of the analytical method.
57.
Clearly defined uptake and loss curves are an indication of good quality bioconcentration data. The variation in uptake/depuration constants between the two test concentrations should be less than 20%. Observed significant differences in uptake/depuration rates between the two applied test concentrations should be recorded and possible explanations given. Generally the confidence limit of BCFs from well-designed studies approach ± 20%.
Test Report 58.
The test report must include the following information:
Test substance: - physical nature and, where relevant, physicochemical properties; - chemical identification data (including the organic carbon content, if appropriate); - if radiolabelled, the precise position of the labelled atom(s) and the percentage of radioactivity associated with impurities.
Test species: - scientific name, strain, source, any pretreatment, acclimation, age, size-range, etc.
Test conditions: -
test procedure used (e.g. flow-through or semi-static);
-
type and characteristics of illumination used and photoperiod(s);
-
test design (e.g. number and size of test chambers, water volume replacement rate, number of replicates, number of fish per replicate, number of test concentrations, length of uptake and depuration phases, sampling frequency for fish and water samples);
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
112
-
method of preparation of stock solutions and frequency of renewal (the solubilising agent, its concentration and its contribution to the organic carbon content of test water must be given, when used);
-
the nominal test concentrations, the means of the measured values and their standard deviations in the test vessels and the method by which these were attained;
-
source of the dilution water, description of any pretreatment, results of any demonstration of the ability of test fish to live in the water, and water characteristics: pH, hardness, temperature, dissolved oxygen concentration, residual chlorine levels (if measured), total organic carbon, suspended solids, salinity of the test medium (if appropriate) and any other measurements made;
-
water quality within test vessels, pH, hardness, TOC, temperature and dissolved oxygen concentration;
-
detailed information on feeding (e.g. type of food(s), source, composition - at least lipid and protein content if possible, amount given and frequency);
-
information on the treatment of fish and water samples, including details of preparation, storage, extraction and analytical procedures (and precision) for the test substance and lipid content (if measured).
Results: -
results from any preliminary study performed;
-
mortality of the control fish and the fish in each exposure chamber and any observed abnormal behaviour;
-
the lipid content of the fish (if determination on testing occasion);
-
curves, (including all measured data,) showing the uptake and depuration of the test chemical in the fish, the time to steady-state;
-
Cf and Cw (with standard deviation and range, if appropriate) for all sampling times (Cf expressed in mg/g wet weight (ppm) of whole body or specified tissues thereof e.g. lipid, and Cw in mg/ml (ppm). Cw values for the control series (background should also be reported);
-
the steady-state bioconcentration factor, (BCFss), and/or kinetic concentration factor (BCFK) and if applicable, 95% confidence limits for the uptake and depuration (loss) rate constants (all expressed in relation to the whole body and the total lipid content, if measured, of the animal or specified tissues
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
113
thereof), confidence limits and standard deviation (as available) and methods of computation/data analysis for each concentration of test substance used; -
where radiolabelled substances are used, and if it is required, the accumulation of any detected metabolites may be presented;
-
anything unusual about the test, any deviation from these procedures, and any other relevant information.
59.
Minimise results reported as "not detected at the limit of detection" by pre-test method development and experimental design, since such results cannot be used for rate constant calculations.
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
114
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
115
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.
116
Universitas Indonesia
Studi pelepasan..., Daniel Jeffry Pasaribu, FT UI, 2012.