UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
TESIS PASKALIS GUNAWAN NPM 1006766895
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM JAKARTA JANUARI 2015
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam
PASKALIS GUNAWAN NPM 1006766895
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM JAKARTA JANUARI 2015 ii
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
iii
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
iv
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
v
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
vi
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis-1 dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Dr.dr. Ratna Sitompul, SpM (K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjalani proses pendidikan di fakultas yang beliau pimpin. Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD sebagai Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM sebagai Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mendapatkan pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. dr. Aida Lydia, PhD. SpPD, K-GH sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak memberi kesempatan, petunjuk dan saran selama pendidikan. Dr.dr. Aru W. Sudoyo. SpPD, K-HOM sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam terdahulu yang telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta didik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM. dr. Arya Govinda R, SpPD,K-Ger sebagai ketua divisi Geriatri yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di divisi Geriatri Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger sebagai pembimbing penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD, K-Ger, MSc sebagai pembimbing penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Siti Rizny F. Saldi Apt MSc sebagai pembimbing Metodologi Penelitian dan Statistik atas segala bimbingannya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D, SpPD, K-GH dan dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K-HOM sebagai pembimbing akademis atas segala bimbingannya.
vii
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
Seluruh guru besar dan staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM yang telah membimbing dan mendidik saya selama pendidikan Ilmu Penyakit Dalam. Para sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 di Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI / RSCM, khusunya teman-teman seangkatan dr. Arshita, dr. M. Ikhsan, dr. Hari, dr. Ika F, dr. Deka, dr. Resultanti, dr. Yusuf Aulia R, dr. Farid K, dr. Imelda Loho, dr. Ferry Valerian, dr. Dwi Rahayu, dr. Raden Fidiaji, dr.M. Adli, dr. Diah Martina, dr. Fandy Erlangga, dr. Amanda Trixie, dr. Suzy Maria, semoga kebersamaan dan persaudaraan kita terus terjalin sehingga kita semua menjadi dokter yang bermanfaat untuk masyarakat. Seluruh staf pendidikan PPDS-1 Ibu Yanti, Pak Heri dan Ibu Aminah yang telah banyak memberikan bantuan dan kerjasama selama menjalani pendidikan. Seluruh staf dan perawat di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di RSCM, RS. Persahabatan, RSPAD Gatot Subroto, RS. Fatmawati, dan RSU. Tangerang Terima kasih orang tua saya tercinta Ayahanda Hardi Gunawan dan Ibunda Lenny Winata atas curahan kasih sayang, perhatian, dukungan, bantuan dan segala pengorbanan yang telah diberikan. Kakak-kakak saya tercinta Paulina Novita dan Pricilla Yani serta adik saya tercinta Patricia Yulita atas segala kasih sayang, bantuan, dukungan, semangat dan doa yang tidak ternilai selama ini. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada saya selama ini. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan. Jakarta, 23 Januari 2014
Paskalis Andrew Gunawan
viii
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
ix
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
ABSTRAK Nama
: Paskalis Gunawan
Program studi
: Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Judul
: Perbandingan kesintasan, dan efektivitas biaya pasien geriatri di ruang rawat inap akut RSCM pada era sebelum dan selama Jaminan Kesehatan Nasional
Latar belakang : Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G) telah menjadi standar pelayanan di RSCM karena terbukti menghasilkan luaran perawatan geriatri yang lebih baik. Semenjak awal tahun 2014, di Indonesia diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional. Belum diketahui apa pengaruh penerapan JKN terhadap kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM. Tujuan : Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri pada era JKN dan non JKN yang dirawat di RSCM. Metode : Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan kesintasan dengan kurva kesintasan dan efektifitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost effectiveness ratio (ICER). Hasil : Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Tidak ada perbedaan mortalitas selama perawatan dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN dan non JKN (31,2% vs 28%, p=0,602 dan 65,2% vs 66,4%, p = 0,086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna. ICER memperlihatkan pada era JKN investasi biaya Rp. 1,4 juta,- terkait dengan penurunan kesintasan 1,2% dibandingkan kelompok non JKN, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara klinis dan statistik. Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna angka mortalitas antara pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan pada penerapan JKN, namun perlu dipertimbangkan implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang. Kata kunci : efektifitas biaya, geriatri, JKN, kesintasan, mortalitas
x
Universitas Indonesia
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
ABSTRACT Name
: Paskalis Gunawan
Study Program
: Internal medicine
Title
: The comparison of survival, and cost effectiveness of geriatric patients admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital before and during National Health Insurance Program (NHIP) implementation
Background : Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to improve the overall outcome of inpatient geriatric patients, and has been implemented in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January 2014, a new insurance system called National Health Insurance Program (NHIP) was implemented in Indonesia. It is unclear how NHI will affect survival and cost effectiveness of geriatric inpatients receiving CGA. Objectives : To compare the survival and cost effectiveness betewwn NHIP and non NHIP era in geriatric patients admitted in RSCM. Method : This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare the survival and cost effectiveness between the two group. Result : The clinical and demographics characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. No difference in inhospital mortaliy rate and 30 day survival rate between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 28%, p=0,602, 65,2% vs 66,4%, p = 0,086, respectively). No significant difference was found when comparing the survival curve between the two group. Calculation of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah and 1,2 % higher mortality rate. Conclusion: NHIP had no impact on survival in geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration. Key words : cost effectiveness, elderly, geriatric, mortality, survival
xi Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................iv UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................vi HALAMAN PUBLIKASI ....................................................................... viii ABSTRAK ..................................................................................................ix ABSTRACT.................................................................................................x DAFTAR ISI...............................................................................................xi DAFTAR TABEL.................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................xiv DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN...................................................xv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvii BAB 1. PENDAHULUAN .........................................................................1 1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................................1 1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah ..................................................4 1.3 Pertanyaan Penelitian.......................................................................4 1.4 Hipotesis ..........................................................................................4 1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................4 1.5.1 Tujuan Umum ..................................................................................4 1.5.2 Tujuan Khusus .................................................................................4 1.6 Manfaat Penelitian ...........................................................................5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................6 2.1 Konsep Geriatri ................................................................................6 2.2 Epidemiologi ...................................................................................6 2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants......................................7 2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri..............................................8 2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di Dunia..............................................10 2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups......................11 2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia.....................................13 2.8 Perbedaan Sistem JKN dengan Sistem Sebelumnya......................16 2.9 Ekonomi Kesehatan .......................................................................19 2.10 Telaah Efektivitas Biaya ................................................................23 2.11 Mortalitas Pasien Geriatri ..............................................................25 BAB 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP .............28 3.1 Kerangka Teori ..............................................................................28 3.2 Kerangka Konsep...........................................................................29 3.3 Definisi Operasional ......................................................................29 BAB 4. METODE PENELITIAN .........................................................31 4.1 Desain Penelitian ...........................................................................31 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................31 xii Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .....................................................31 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi..........................................................31 4.4.1 Kriteria Inklusi ...............................................................................31 4.4.2 Kriteria Eksklusi.............................................................................32 4.5 Estimasi Besar Sampel...................................................................32 4.6 Identifikasi Variabel Penelitian......................................................32 4.7 Instrumen dan Tatacara Pengumpulan Data ..................................33 4.8 Cara Pengambilan Sampel .............................................................33 4.9 Alur Penelitian ...............................................................................34 4.10 Analisis Data ..................................................................................34 4.11 Masalah Etika.................................................................................35 4.12 Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian ......................................36 BAB 5. HASIL..........................................................................................37 5.1 Karakteristik Subjek.......................................................................38 5.2 Karakteristik Klinis ........................................................................39 5.3 Mortalitas dan Analisis Kesintasan................................................42 5.4 Biaya Rawat ...................................................................................43 5.5 Analisis Efektivitas Biaya..............................................................45 BAB 6. PEMBAHASAN ..........................................................................47 6.1 Proses recriutment sub jek .............................................................47 6.2 Karakteristik Demografis Subjek...................................................47 6.3 Karakteristik Klinis ........................................................................49 6.4 Mortalitas dan Analisis Kesintasan................................................51 6.5 Biaya Rawat ...................................................................................55 6.6 Analisis Efektivitas Biaya..............................................................58 6.7 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ……………………………59 6.8 Generalisasi Penelitian ...................................................................60 BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN.........................................................63 7.1 Simpulan ........................................................................................63 7.2 Saran ..............................................................................................63 RINGKASAN ...........................................................................................64 SUMMARY ..............................................................................................66 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................68 LAMPIRAN .............................................................................................73
xiii Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Bermacam Tipe Analisa Efektivitas Biaya
22
Tabel 3.1
Definisi Operasional
28
Tabel 5.1
Gambaran Karakteristik Demografis pada Kelompok
Tabel 5.2
Non JKN dan Kelompok JKN
38
Gambaran Karakteristik Klinis selama Perawatan pada
41
Kelompok Non JKN dan Kelompok JKN Tabel 5.3
Biaya Perawatan Era Non JKN dan JKN
xiv Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
44
DAFTAR GAMBAR Gambar3.1
Kerangka Teori
27
Gambar 3.2
Kerangka Konsep
28
Gambar 4.1
Alur Penelitian
35
Gambar 5.1
Bagan Pengambilan Sampel
38
Gambar 5.2
Kurva Kesintasan JKN dan Non JKN
43
Gambar 5.3
Penggunaan Jaminan Kesehatan pada Perawatan
44
Gambar 5.4
Plot Nilai ICER
45
xv Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN <
Lebih Kecil Dari
>
Lebih Besar Dari
≤
Lebih Kecil Atau Sama Dengan Dari
≥
Lebih Besar Atau Sama Dengan Dari
↑
Peningkatan
↓
Penurunan
ADL
Activity Daily Living
AKN
Asuransi Kesehatan Nasional
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASKES
Asuransi Kesehatan
Askeskin
Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
BPJS
Badan Pelakasana Jaminan Sosial
BUMN
Badan Usaha Milik Negara
CGA
Comprehensive Geriatric Assesment
DALY
Daily Adjusted Life Years
DRG
Diagnosis Related Group
ICD
International Classification of Disease
ICER
Incremental Cost Effectiveness Ratio
ICF
International Classification of Functioning, disability and health
INA CBGs
Indonesia Case Based Groups
Jamkesda
Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas
Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKN
Jaminan Kesehatan Nasional
KEMHAN
Kementerian pertahanan
Maks
Maksimum
Min
Minimum
MMSE
Mini Mental State Examination
NHIP
National Health Insurance Program xvi Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
P3G
Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri
PBB
Perserikatan Bangsa Bangsa
PBI
Penerima Bantuan Iuran
PNS
Pegawai Nasional swasta
POLRI
Polisi Republik Indonesia
PT
Perseroan Terbatas
QALY
Quality Adjusted Life Years
RISKESDAS
Riset Kesehatan Dasar
RSCM
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUPNCM
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
TNI
Tentara Nasional Indonesia
UNU IIGH
United Nation University International Institiute for Global Health
WHO
World Health Organization
xvii Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Formulir Borang Penelitian
Lampiran 2
Formulir Etik Penelitian
xviii Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia. Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Diperkirakan pada tahun 2050 nanti, populasi usia lanjut di Asia akan mencapai 1,2 milyar orang. 1 Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan populasi berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025).2 Peningkatan populasi usia lanjut akan mengakibatkan dua hal, yaitu makin bertambahnya jumlah pasien geriatri dan terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Geriatri diartikan sebagai usia lanjut yang memiliki kondisi multipatologi, tanpa didukung lagi oleh cadangan faali tubuh yang adekuat. 3 Populasi usia ini merupakan populasi yang rentan, karena adanya suatu stresor akut dapat menyebabkan usia lanjut langsung jatuh dalam penyakit berat. Hal ini diperberat dengan sudah terdapatnya disabilitas lain seperti gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi dan inkontinensia. Seorang geriatri biasanya memiliki satu atau lebih penyakit kronik, yang membutuhkan tatalaksana berkepanjangan dan bisa memperberat kondisi akut saat perawatan. Perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia akibat peningkatan populasi geriatri menyebabkan transisi epidemiologi. Transisi epidemiologi adalah suatu fenomena bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi menjadi penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, penyakit jantung koroner.4 Faktor yang turut berperan pada transisi epidemiologi tersebut adalah keberhasilan secara global dalam penanggulangan dan pencegahan infeksi di
1 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
2
bawah arahan WHO. Penyakit-penyakit kronik tersebut membutuhkan tatalaksana yang berkepanjangan, karena tidak bisa sepenuhnya sembuh seperti penyakit infeksi.5 Dengan kata lain, transisi epidemiologi ini secara tak langsung akan menyebabkan peningkatan biaya kesehatan secara global. 1 Mengingat kompleksnya masalah kesehatan terkait geriatri, diperlukan pendekatan holistik dan paripurna dalam tatalaksananya. 6 Pendekatan paripurna yang dimaksud tidaklah semata-mata dari sisi biopsikososial, namun juga harus senantiasa dari sisi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pendekatan paripurna tersebut dikenal dengan pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G). Pada penerapannya, P3G terbukti memberikan luaran yang lebih baik dalam tatalaksana pasien geriatri dibandingkan sistem konvensional non P3G, dalam hal efektivitas biaya dan efisiensi.6 Salah satu parameter keberhasilan perawatan pasien geriatri di ruang rawat inap akut adalah angka mortalitas.6 Mortalitas seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi faktor host, agent dan environment.3 Salah satu faktor environment yang menjadi konteks pembahasan disini adalah kualitas pelayanan kesehatan yang diperoleh, yang sangat erat kaitannya dengan biaya. Pelayanan kesehatan yang terselenggara dengan efisien dan efektif, diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas pasien geriatri yang menjalani rawat inap. Indonesia merupakan negara berkembang dengan populasi 237 juta, 19 juta diantaranya termasuk populasi usia lanjut. 7 Seperti halnya di negara-negara berkembang lain, usia lanjut di Indonesia memiliki tingkat prevalensi penyakit yang tinggi. Tingginya prevalensi populasi usia lanjut di Indonesia, disertai dengan tingginya tingkat kesakitan dan biaya kesehatan yang dihabiskan pada populasi ini, mendorong penentu kebijakan untuk mencari solusi untuk mengupayakan suatu sistem jaminan kesehatan nasional yang memiliki cakupan luas dan memastikan tiap penduduknya memperoleh jaminan kesehatan. 8
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
3
Mulai awal tahun 2014, telah diberdayakan suatu sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Salah satu tujuan dibentuknya sistem JKN ini adalah agar kenaikan biaya kesehatan yang tak terelakkan dapat ditekan, namun disisi lain biaya dan mutu pelayanan kesehatan dapat tetap dikendalikan. 8 Implikasi sistem JKN ini adalah pada pihak peserta, pelaksana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksana JKN yang dimaksud adalah BPJS. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN), dimana belum terdapat keseragaman sistem pembayaran, dan sebagian besar menggunakan sistem Fee For Service atau Cost Based. Dalam pembayaran menggunakan sistem INA-CBG’s, penggantian biaya kesehatan oleh BPJS kepada penyedia layanan kesehatan tidak lagi berdasar pada rincian komponen pelayanan yang diberikan, melainkan hanya pada kelompok diagnosis dan kode CBG (Case Base Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara penyedia layanan kesehatan dan BPJS, serta bersifat nasional.8 Implementasi JKN terhadap layanan kesehatan diharapkan tidak hanya sebagai kendali biaya, namun juga kendali mutu. Dengan adanya sistem pembayaran cost based, diharapkan penyedia layanan kesehatan terdorong untuk mengoptimalkan layanan kesehatan yang diselenggarakan dari segi pelaksanaan dan kendali biaya, untuk memperoleh profit. Selain terjadinya kendali mutu, perubahan-perubahan pada sistem layanan kesehatan di Indonesia yang diharapkan terjadi pada era JKN adalah terjadi sistem rujukan yang baik dan tercapainya universal coverage, sehingga mampu meningkatkan tingkat kesehatan Indonesia. 8 Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pembiayaan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
4
mortalitas. Sampai dengan saat ini belum ada suatu penelitian yang melihat pengaruh penerapan sistem pembiayaan JKN di Indonesia terhadap outcome dari layanan kesehatan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana dampak sistem pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya penerapan P3G pada pasien geriatri yang menjalani perawatan di ruang rawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) bila dibandingkan dengan sistem pembiayaan kesehatan nasional sebelumnya? 1.2 Identifikasi dan Rumusan masalah Dari latar belakang masalah yang dikemukakan tadi, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Jumlah pasien geriatri yang akan terus meningkat akan membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyakit kronik degeneratif dan meningkatnya biaya kesehatan terkait permasalahan geriatri.
Pembiayaan layanan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas layanan kesehatan. Sampai saat ini belum diketahui dampak dari penerapan sistem pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya dari penerapan P3G pada pasien geriatri yang menjalani rawat inap di ruang rawat geriatri RSCM.
1.3 Pertanyaan penelitian
Apakah terdapat perbedaan kesintasan antara pasien geriatri yang memperoleh P3G di ruang rawat pada era JKN dan sebelum JKN?
Bagaimana efektivitas biaya penerapan pembiayaan JKN pada pasien geriatri yang mendapat P3G di ruang rawat?
1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan kesintasan pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
5
Terdapat perbedaan efektifitas biaya pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.
1.5 Tujuan penelitian 1.5.1
Tujuan umum
Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektivitas biaya di ruang rawat inap RSCM pada era JKN dan era sebelum JKN 1.5.2
Tujuan khusus
Mengetahui perbandingan kesintasan di ruang rawat inap RSCM pada era JKN dan era sebelum JKN
Mengetahui efektivitas biaya pelaksanaan P3G di ruang rawat RSCM pada era JKN
1.6 Manfaat penelitian
Manfaat untuk institusi a. Memberikan kontribusi data baru perihal kesintasan pasien geriatri b. Dapat menjadi acuan penentuan kebijakan tentang sistem pembiayaan untuk perawatan pasien geriatri di rumah sakit
Manfaat untuk klinisi a. Memberikan data sebagai dasar penelitian selanjutnya b. Diharapkan dapat menjadi data tambahan untuk pertimbangan para tenaga medis bahwa keputusan klinis dokter sangat berperan dalam besar-tidaknya pembiayaan rumah sakit dan pemerintah.
Manfaat untuk pasien Terkait dengan penentuan kebijakan nasional, dapat memperoleh layanan kesehatan yang tepat dan berdaya guna.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Geriatri Kedokteran geriatri (British Geriatric Society) merupakan cabang kedokteran umum yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia lanjut.3 Perawatan pasien geriatri merupakan tantangan tersendiri dalam ranah medis, karena memiliki beberapa karakteristik yang unik. Populasi ini memiliki beberapa ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan populasi dewasa biasa. Seiring dengan proses penuaan, terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Pasien geriatri juga biasanya memiliki satu atau lebih penyakit komorbid dan kronik yang memperberat perubahan fisiologis tersebut.3 Akibatnya pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi komplikasi selama penyakit akut. Hal-hal inilah yang membuat perlunya suatu pendekatan klinis yang tepat dalam menatalaksana pasien-pasien geriatri, terutama yang menjalani perawatan. 2.2 Epidemiologi Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia. Perkembangan kelompok populasi ini merupakan yang tercepat bila dibandingkan dengan yang lain.9 Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan transisi demografis, yaitu perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Pada tahun 2025, diperkirakan populasi usia lanjut (usia lanjut) akan mencapai angka lebih dari 1,2 milyar, 840 juta diantaranya berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia.1 Proses transisi demografis juga sedang terjadi di Indonesia. Proporsi usia lanjut terus meningkat karena menurunnya laju fertilitas total dan laju kematian bayi. Jumlah populasi usia lanjut diperkirakan akan meningkat secara bermakna, mencapai 6 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
7
414% dalam 35 tahun. Pada tahun 2010, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia akan mencapai kurang lebih 19 juta.10 Transisi demografis ini akan berdampak terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Insiden dari penyakit kronik degeneratif dan keganasan akan meningkat. Meningkatnya angka kesakitan akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan usia lanjut akan layanan kesehatan. Sebanyak kurang lebih 10 persen dari populasi usia lanjut dirawat di rumah sakit tiap tahunnya.10 Kelompok populasi ini ditandai dengan adanya multi morbiditas yang diartikan sebagai terdapatnya dua atau lebih penyakit kronik penyulit, disabilitas dan kondisi-kondisi debilitatif lain seperti polifarmasi, gangguan sensorik, inkontinensia, riwayat jatuh, gangguan kognitif dan berkurangnya partisipasi dalam aktifitas-aktifitas sosial.9 Hampir semua populasi usia lanjut memiliki lebih dari satu penyakit kronik.4 Kondisi akut yang menyebabkan butuhnya perawatan inap di rumah sakit akan diperberat dengan adanya berbagai penyakit kronik tersebut. 11 2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants Berbagai penyakit kronik yang biasanya menyertai dan memperberat kondisi akut dari usia lanjut, yang secara langsung maupun tak langsung diakibatkan oleh proses degeneratif disebut pula sebagai geriatric conditions. Geriatric conditions tidak boleh dianggap remeh karena kehadirannya mencerminkan berkurangnya kapasitas fungsional tubuh dan daya cadangan faali tubuh. 12 Kombinasi dari berbagai kondisi akut dan geriatric’s conditions tersebut merupakan prediktor yang penting terhadap berkurangnya fungsi kognitif, fungsional dan mortalitas. 13 Istilah sindrom geriatri semakin marak digunakan di panduan klinisi dan literatur geriatri untuk menekankan kondisi usia lanjut yang unik, yang berbeda dengan populasi lainnya.14 Istilah ‘‘Giants of Geriatrics’’ diciptakan oleh Bernard Isaacs untuk menekankan sindrom geriatri terpenting, yaitu empat “I” yaitu Instabilitas, Imobilitas, gangguan Intelektual dan Inkontinensia. 15 Meskipun demikian, konsep sindrom geriatri sampai saat ini sulit untuk didefinisikan. Istilah tersebut lebih menekankan pada suatu kondisi multifaktorial yang terjadi akibat
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
8
akumulasi
gangguan-gangguan
fungsi
tubuh
pada
berbagai
sistem
yang
mengakibatkan seorang individu rentan terhadap tantangan medis tertentu. 16 Sindrom geriatri mempengaruhi kualitas hidup dan disabilitas, dan sangat erat kaitannya dengan kesintasan. Berbagai intervensi klinis dan model pendekatan geriatri telah didesain untuk mengatasi permasalah ini. 17 Karakteristik khas pasien geriatri ini didasari oleh konsep alami yang terjadi seiring bertambahnya usia, yaitu penuaan. Untuk menjelaskan hal ini dikenal suatu istilah homeostenosis. Homeostenosis didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan fisiologis untuk menghadapi suatu kondisi akut, disebabkan telah terpakainya cadangan tersebut untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh sehari-hari.3 Dengan penuaan, kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi homeostasis setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan akan menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada “precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya. 1 Fisiologi penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit atau kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih. Mereka juga memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang yang berbeda dengan usia yang lebih muda. Wang dkk16 dalam suatu telaah sistematis menunjukkan sindrom geriatri terutama frailty, disabilitas, dan komorbiditas multipel memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan hospitalisasi pada pasien lanjut usia. Keadaan kesehatan usia lanjut yang rumit, kompleks dan menantang ini membutuhkan suatu pendekatan diagnostik khusus, yang bersifat paripurna dan mencakup banyak disiplin. Pendekatan tersebut dikenal pula dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G).
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
9
2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri Dari tahun ke tahun, terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari peningkatan ini, yang menunjukkan laju peningkatan terbesar adalah pada kelompok usia lanjut.18 Sehubungan dengan makin besarnya tingkat rawat inap pasien usia lanjut, perhatian terhadap isu ini semakin berkembang. Peningkatan populasi usia lanjut yang cepat dan penggunaan sarana kesehatan yang tidak proporsional oleh populasi ini kian hari kian menimbulkan kecemasan terhadap resiko mortalitas, disabilitas dan efisiensi penggunaan sarana kesehatan. 19 Warren dkk mengamati bahwa masih terdapat kekurangan dalam evaluasi pasien usia lanjut yang dirawat. Kekurangan yang dimaksud adalah tidak dievaluasinya berbagai faktor non medis lain, seperti fungsi sosial dan psikologis yang sebenarnya berperan penting dalam aspek penyembuhan dan pencegahan penyakit. Inilah yang memicu adanya pendekatan modern dari evaluasi pasien geriatri, yaitu Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri yang disingkat dengan P3G (Comprehensive Geriatric Assessment/CGA). Telaah geriatri (geriatric assessment) sebenarnya telah digunakan dalam ilmu geriatri sejak era 1980.20 Telaah geriatri pada dasarnya bukanlah suatu intervensi, melainkan suatu sarana untuk mengidentifikasi komponen-komponen apa yang perlu ditatalaksana. Tujuan telaah geriatri pada populasi geriatri tradisional adalah untuk mengidentifikasi masalah kesehatan terkini yang sedang diderita dan untuk mengarahkan tatalaksana untuk mengurangi efek samping, serta mengoptimalkan status fungsional dari usia lanjut. 21 Pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G) merupakan suatu pendekatan multidimensional, interdisiplin, yang bertujuan untuk memahami kondisi medis, psikososial dan kapasitas fungsional usia lanjut, mengidentifikasi masalah yang ada dengan tujuan memformulasikan rencana diagnostik, terapi dan follow up selanjutnya.6 P3G terutama bermanfaat dalam menangani pasien dengan banyak geriatric conditions, sebab pendekatan medis biasa tidak lagi memadai untuk mengatasi begitu banyak masalah yang saling terjalin berkait dan mempersulit
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
10
pengobatan. Masalah-masalah yang saling berjalin tersebut akan lebih mudah dipahami dan diidentifikasi melalu P3G. 6 P3G tidak hanya mengevaluasi kondisi medis umum, namun juga kondisi fisik, fungsional, medis, psikokognitif dan psikososial. Hal ini terkait dengan konsep sehat oleh WHO22 dimana kesehatan diartikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial dan bukan hanya berarti tidak terdapatnya penyakit atau kelemahan (“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”). Tujuan dari pengobatan bukan lagi hanya menyembuhkan, namun juga mencegah penyakit lain atau komplikasi terkait, dan mempertahankan kondisi kesehatan pasien. Untuk mencapai hal ini, pendekatan interdisiplin menjadi sangat penting untuk diimplementasikan, dan bukan pendekatan multidisiplin.23,5 Mengingat besar dan kompleksnya masalah kesehatan usia lanjut dan dampak yang ditimbulkan terhadap biaya kesehatan, diperlukan suatu strategi yang tepat guna untuk mencapai pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik, efektif dan efisien. 6 Dalam menyusun suatu strategi intervensi terhadap suatu masalah kesehatan, metode yang sebaiknya digunakan adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti dari uji-uji klinis yang ada, disebut juga dengan literatur berbasis bukti (Evidence-based literature). Namun masalahnya hanya sedikit sekali uji klinis yang memiliki populasi usia lanjut didalamnya, dan lebih sedikit lagi yang memperhitungkan faktor biaya, sehingga metode ini sulit untuk diimplementasikan. Sedikitnya partisipasi populasi usia lanjut dalam studi-studi dikarenakan populasi usia lanjut adalah populasi yang rentan, sehingga tidak etis untuk mengikutsertakan populasi usia tersebut dalam suatu uji klinis yang berpotensi meningkatkan disabilitas dan mortalitasnya. Selain itu populasi usia lanjut sulit untuk dimasukkan dalam protokol uji klinis yang biasanya ketat dan memiliki persyaratan banyak, sehingga kalaupun diikutsertakan, sulit untuk mencapai titik akhir uji klinis. 24 Sehingga dalam memilih suatu strategi intervensi yang sesuai untuk populasi usia lanjut dalam kaitannya dengan pembiayaan sebaiknya menggunakan analisis ekonomi kesehatan.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
11
2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di dunia Perkembangan sistem kesehatan di dunia melahirkan masalah-masalah baru. Berkembangnya konsep tentang definisi sehat oleh WHO yang tidak hanya menyangkut penyembuhan penyakit saja serta meluasnya lingkup kesehatan menyebabkan peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi sehat tersebut. Sistem pembayaran kesehatan suatu negara akan berperan penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan dan tingkat kesehatan negara terkait. Saat ini hampir seluruh negara maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan asuransi kesehatan nasional yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai rumah sakit. Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas pelayanan kesehatan.26 Pada awal terbentuknya suatu sistem jaminan asuransi kesehatan nasional, digunakan konsep dasar sistem pembayaran fee for service atau cost based.26 Sistem ini membayarkan biaya kesehatan seorang individu dengan menghitung besarnya biaya tiap komponen yang terlibat dalam pelayanan kesehatan individu tersebut. Dalam perkembangannya, ternyata hal ini membawa pengaruh negatif terhadap efektivitas biaya layanan kesehatan, karena memacu fasilitas layanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit) untuk tidak lagi memikirkan perlu atau tepat tidaknya suatu prosedur atau intervensi kesehatan terhadap pasiennya, melainkan hanya melihat aspek untung ruginya intervensi tersebut. Tentu saja hal ini menyebabkan pemberi layanan kesehatan untuk berlomba memberikan intervensi yang belum tentu tepat dan berdaya guna, sehingga akhirnya dapat merugikan penerima layanan maupun penyedia dana kesehatan. Selain itu sistem ini dinilai tidak memacu berkembangnya kualitas dan efektivitas layanan kesehatan, terutama dari segi non terapeutik, yaitu segi promotif atau preventif.26 Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN/AKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
12
itu banyak negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Saat ini penetapan pembiayaan yang dipakai oleh asuransi kesehatan sosial adalah berdasarkan klasifikasi Diagnosis Related Groups (DRG) atau Case Based Group (CBG).25 2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups Diagnosis-Related Groups (DRG) merupakan suatu sistem yang mengklasifikasikan kasus-kasus kesehatan dalam berbagai grup, awalnya sejumlah 467 grup. 27 Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Robert B Fetter PhD dari Yale School of Management, dan John D. Thompson, MPH, dari Yale School of Public Health. 27 Sistem pembayaran ini dimaksudkan untuk menggantikan sistem pembayaran "cost based" yang dinilai tidak efektif. DRGs didesain berdasarkan ICD (International Classification of Diseases) diagnosis, prosedur, umur, jenis kelamin, lama rawat, dan ada tidaknya komorbid. Sistem DRGs telah digunakan di Amerika sejak tahun 1982, dalam sistem kesehatan nasionalnya yaitu Medicare.28 Setelah itu, DRG merupakan sistem pembayaran yang banyak di adopsi di berbagai negara industri termasuk Eropa. Eropa menggunakan sistem klasifikasi pembayaran DRGs agar pembiayaan kesehatan lebih transparan dan memperbaiki efisiensi. DRG dianggap transparan karena mengelompokkan pasien dalam angka-angka yang secara ekonomi dan klinis bermakna dan dapat diukur misalnya prosedur pemasangan dua stent untuk penyumbatan pembuluh darah koroner secara elektif atau stroke iskemik pasien di atas 60 tahun. Selain dinilai transparan, sistem DRG diharapkan mampu mengubah sikap para penyedia layanan kesehatan. Pembatasan sistem “reimbursement” kepada penyedia layanan kesehatan diharapkan dapat mendorong mereka untuk lebih kreatif, inovatif dan efisien dalam menjalankan pelayanan kesehatannya. Fasilitas layanan kesehatan yang dapat tepat memilih pemeriksaan diagnostik dan terapinya dapat memperoleh laba dari selisih jumlah yang dibayarkan pemerintah dengan biaya yang
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
13
sesungguhnya dikeluarkan dalam menangani pasien dengan penyakit tertentu tersebut.26 Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRGs sudah menjadi sistem kapitasi utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara berpenghasilan tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Tetapi di negara dengan penghasilan kecil-menengah, sistem berbasis DRGs ini baru saja dikembangkan. Sistem pembayaran DRGs sering disamakan dengan case-based atau case-mixed based, tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih. 29 2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, pada tanggal 28 September 2004, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menterimenteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Dalam kelanjutannya, terdapat berbagai benturan dan halangan dalam perwujudannya, dari segi administrasi, keputusan politik, kesiapan sarana prasarana dan isu sosial politik medis lain, sehingga SJSN tidak dapat segera terlaksana.25 Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan skema community based insurance pada tahun 2004. Melalui Asuransi Kesehatan Masyarakat miskin (Askeskin) yang ditargetkan untuk masyarakat tidak mampu, penduduk Indonesia mampu mendapatkan akses pelayanan yang lebih besar. Pada tahun 2008, Askeskin berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang melindungi sekitar 76,4 juta penduduk Indonesia. Saat itu mulai diimplementasikan sistem INADRG. Pada tahun 2010, terjadi perubahan nama dari sistem INA-DRG menjadi INACBG. Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United Nation University Internasional Institute for Global Health(UNU - IIGH). Universal Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
14
dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru. Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9 CM). Sistem ini dihitung menggunakan beberapa variabel : diagnosis utama dan diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan komplikasi dan prosedur kedokteran yang dilakukan, serta lama rawat. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan pola pengobatan dan pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi dianggap serupa. Sistem ini kemudian diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan Indoensia sampai dengan tahun 2013, dimana tercatat penggunaan sistem ini dalam klaim Jamkesmas telah terlaksana di 515 RS Swasta dan 747 RS Pemerintah.30 Pada evaluasinya, terjadi peningkatan budget
menjadi tiga kali lipat
dibandingkan awal program yang menyebabkan pengeluaran anggaran untuk kesehatan membengkak. Muncul pertanyaan yang mendasar terkait ekuitas, kemampuan bayar, dan kelanggengan program lewat sistem asuransi kesehatan ini. Pada akhirnya sistem ini menyebabkan banyak inefisiensi karena luasnya geografi Indonesia, adanya ketimpangan urban-rural, dan ketidakseimbangan antara pasien yang benar-benar tidak mampu atau pasien yang sebenarnya mampu, sampai lemahnya pengawasan terhadap kualitas pelayanan melalui sistem ini.31 Sampai dengan akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia yang telah memiliki Jaminan kesehatan sebanyak 176.844.161 juta jiwa (72%) 7 terdiri dari:31 a) JAMKESMAS : 86.400.000 (36,3 %) b) JAMKESDA : 45.595.520 (16,79 %) c) Perusahaan menjaminkan karyawannya sendiri: 16.923.644 (7,12 %) d) ASKES PNS : 16.548.283 (6,69 %) e) JPK JAMSOSTEK : 7.026.440 (2,96 %)
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
15
f) Commercial insurance : 2.937.627 (1,2 %) g) TNI/POLRI/PNS KEMHAN : 1.412.647 (0,59 %) Setelah rentang waktu kurang lebih 10 tahun sejak diputuskannya Undangundang terkait perwujudan SJSN, baru akhirnya pada awal Januari 2014, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai diterapkan di Indonesia. 31 SJSN merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sistem jaminan kesehatan ini menggantikan sistem sebelumnya, dimana tiap daerah dan atau BUMN menyelenggarakan sistem jaminan kesehatan masing-masing sesuai ruang lingkup dan anggotanya. Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan badan hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan bertanggungjawab kepada Presiden. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan penyatuan dari beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT. Asabri.7 Jaminan kesehatan yang tercakup dalam JKN ini diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan, termasuk obat dan bahan medis dengan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care). Bagi tiap peserta SJSN ini atau lebih lazim disebut dengan JKN, diwajibkan membayar iuran jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran berdasarkan persentase upah/gaji dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran, maka iurannya dibayari pemerintah. Pembiayaan BPJS diatur dalam APBN 2013. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN berupa penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas puskemas dan rumah sakit milik pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS. Mulai 2014,
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
16
Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan mereka dalam program ini.7 Masa berlaku JKN ditentukan oleh masih tidaknya peserta terkait membayar iuran. Bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka status kepesertaannya akan hilang. Iuran Jaminan Kesehatan merupakan sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan, dan diatur berdasar Perpres No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI. Besarnya iuran jaminan kesehatan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI). Prinsip pembayaran iuran tidak berlaku bagi peserta PBI, dimana jaminan Kesehatan dibayar oleh Pemerintah.7 Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui kredensialing.31 2.8 Perbedaan sistem JKN dengan sistem sebelumnya Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. 7 Program JKN digelar berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tak terkait
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
17
dengan besaran iuran yang dibayarkan. Hal inilah yang membedakan sistem JKN dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya. Sistem JKN merupakan suatu asuransi sosial yang universal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu asuransi sosial dan universal. Sistem asuransi berarti adanya sistem iuran, yang besarnya ditetapkan sebagai prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah akan membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin). Iuran tersebut bersifat wajib dan bersifat sebagai dana amanat, dalam arti penggunaannya sepenuhnya untuk pengembangan sistem JKN, dan bukan diperhitungkan sebagai laba. Sistem JKN akan diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum khusus, bukan lagi seperti BUMN yang berasaskan laba, sehingga memiliki paradigma yang sepenuhnya berbeda. Universal dalam arti kedepannya hanya akan ada satu sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia, yang mencakup seluruh rakyat Indonesia dan berlaku di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan jaminan kesehatan sebelumnya dimana terdapat berbagai jenis jaminan kesehatan dengan pelbagai cakupan dan iuran yang berbeda. Penetapan sistem JKN ini bertujuan untuk tercapainya universal coverage untuk jaminan kesehatan, sehingga tiap penduduk terpenuhi hak asasinya untuk mencapai suatu kondisi sehat. 31 Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s (Indonesia Case Based Group) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN), dimana digunakan sistem Fee For Service. Dalam pembayaran menggunakan sistem INA-CBG’s baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan
rincian
pelayanan
yang
diberikan,
melainkan
hanya
dengan
menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Jadi, pembayaran dilakukan berdasar kelompok diagnosis, dan bukan terhadap masing-masing komponen biayanya. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
18
tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan pembayaran sistem fee for service, dimana pembayaran masih dilakukan terhadap masing-masing komponen biaya. Berikut beberapa manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan JKN dibandingkan dengan sistem jaminan kesehatan Indonesia sebelumnya: 7
Kenaikan biaya kesehatan dapat ditekan, karena diharapkan penyedia layanan dan fasilitas kesehatan tidak lagi berlomba-lomba menyediakan layanan kesehatan yang membutuhkan biaya besar namun tidak efektif.
Biaya dan mutu yankes dapat dikendalikan, karena diharapkan fasilitas kesehatan akan terpacu untuk memilih pemeriksaan dan intervensi yang tepat dan berdaya guna dalam menangani kelompok penyakit.
Kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk sehingga “memaksa” tiap penduduk mendapat perlindungan kesehatan
Pembayaran dengan sistem prospektif, sehingga memastikan adanya suatu pemasukan tetap yang dapat digunakan sebagai dana amanat untuk meningkatkan kualitas sistem JKN itu sendiri dan bukan untuk laba.
Adanya kepastian pembiayaan yankes berkelanjutan
Manfaat yankes komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
Portabilitas nasional: peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan kedepannya registrasi dan penggunaan sistem JKN ini dapat bersifat elektronik dan berbasis internet, sehingga dengan membawa kartu kepesertaan JKN seseorang dapat memperoleh kepastian layanan kesehatan di manapun ia berada selama masih dalam wilayah NKRI. Berbeda dengan sistem sebelumnya, penghitungan pembiayaan asuransi
kesehatan JKN mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University International Institute for Global Health (UNU-IIGH). Sistem ini bersifat dinamis
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
19
artinya total jumlah CBG dapat berubah sesuai keadaan. Karena terdapat 14500 macam diagnosis ICD10 dengan 7500 prosedur tindakan (ICD 9 CM) dibuat suatu grouper yang disusun secara terkomputerisasi. Sistem ini juga telah dilakukan di beberapa negara Asia, TImur tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, terutama di negara-negara sedang berkembang.32 Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan sistem yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur: 33
Meliputi seluruh tipe perawatan: akut, subakut, kronik
Bersifat dinamis: jumlah diagnosis dapat disesuaikan, menilai derajat berat penyakit, klasifikasinya sangat detail
Dapat dikembangkan bila terjadi perubahan klasifikasi prosedur dan diagnosis (misalnya bila menggunakan ICD-11) Sistem ini memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak diperhitungkannya faktor
status fungsional dan disabilitas, yang sebenarnya merupakan aspek penting pada karakteristik pasien geriatri. Pada perkembangannya, WHO membuat sistem ICF (International Classification of functioning, disability, and health), yaitu suatu sistem klasifikasi diluar ICD 10 atau ICD 9, yang mengklasifikasikan kondisi kesehatan terkait fungsi dan disabilitas. ICD-10 dan ICF selayaknya bersifat komplementer dan penggunaan keduanya akan menciptakan gambaran kesehatan individu yang lebih bermakna, terutama pada populasi pasien geriatri.34 Dengan diterapkannya sistem baru ini melalui JKN, diharapkan penyedia layanan kesehatan makin berusaha mengembangkan metode diagnosis dan terapi yang tepat dan berdaya guna.32 Hal ini dikarenakan, pemilihan tatalaksana yang paling efisien menjadi kunci untuk memberi insentif pada sebuah rumah sakit. Untuk melihat efektivitas suatu layanan kesehatan diperlukan suatu pendekatan analisis khusus, yang berada dalam ranah ekonomi kesehatan.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
20
2.9 Ekonomi Kesehatan Ilmu ekonomi kesehatan dapat diartikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan, atau penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menurut WHO (1975), ilmu ekonomi kesehatan adalah ilmu ekonomi untuk perhitungan sumber daya yang digunakan bagi penyediaan pelayanan kesehatan. Alokasi dan efisiensi penggunaan sumber daya tersebut bertujuan mencapai pembangunan kesehatan, serta kuantifikasi dampak upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi meliputi health care industry; health care financing; health economics and development; utility, demand and supply; cost and cost behavior; cost analysis and pricing; cost containment; economics evaluation.35 Penerapan prinsip ekonomi dalam bidang kesehatan tak lepas dari perannya sebagai institusi penyedia layanan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga tempat dokter bekerja yang hanya dapat beroperasi jika ada sumber ekonomi. Tidak mungkin sebuah rumah sakit berjalan tanpa ada sumber keuangan yang terkelola dengan baik. Di sisi lain, rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu tetapi harus tetap memperhatikan aspek sosialnya. Sifat rumah sakit yang unik ini perlu menggunakan berbagai ilmu untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ekonomi merupakan salah satu ilmu yang dapat dipergunakan. Penggunaan ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan tidak hendak dipandang sebagai berubahnya paradigma rumah sakit menjadi sarana dagang, namun dipandang sebagai suatu metode untuk menerangkan berbagai perilaku rumah sakit dan kalangan kesehatan. Jika ilmu ekonomi di dunia kesehatan dikesampingkan, dikhawatirkan akan terjadi keadaan di kalangan dokter yang justru berlawanan dengan idealisme dalam masyarakat yang beradab. 35 Dalam kaitan ekonomi dan pengelolaan rumah sakit, dikenal dua jenis model pendekatan yakni rumah sakit yang for profit dan non profit. Yang pertama berorientasi laba, sedangkan yang kedua tidak. Pada umumnya rumah sakit
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
21
pemerintah berbasis non profit, sedangkan rumah sakit swasta berbasis for profit. Walaupun tidak berorientasi mencari keuntungan semata-mata, namun rumah sakit pemerintah tetap harus menjalankan fungsinya dan memerlukan dana untuk operasionalisasi misinya. Di sini letak pentingnya kajian-kajian cost effectiveness untuk berbagai jenis pelayanan bagi pasien rumah sakit yang mampu mendorong efisiensi dalam rangka tetap menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah tanpa harus kehilangan mutu pelayanan yang optimal.35 Teknik untuk mengevaluasi keefektifan suatu program pelayanan disebut teknik evaluasi ekonomi program kesehatan. Evaluasi ekonomi membandingkan biaya dan efek dari dua atau lebih intervensi, dalam hal ini program kesehatan. Tujuan utama dari evaluasi ekonomi kesehatan adalah untuk mengevaluasi keluaran dan biaya intervensi-intervensi yang didesain untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini ditujukan untuk memandu penentu kebijakan dengan menyajikan bukti-bukti objektif terkait efektivitas biaya. Tujuan hal ini adalah untuk meningkatkan efektivitas biaya, yaitu untuk mencapai efek sebesar
besarnya dengan sumber daya serendah
rendahnya.36 Evaluasi ekonomi kesehatan terdiri atas: Cost Minimization Analysis (analisis biaya minimal), cost utiliy analysis (analisis biaya guna), cost benefit analysis (analisis biaya manfaat), dan cost effectiveness analysis (analisis biaya efektivitas).37 Prinsip dari keempat teknik tersebut adalah melakukan analisis kuantitatif dari apa yang diharapkan/ diinginkan oleh provider (penyedia layanan kesehatan) dan pasien (pengguna jasa pelayanan kesehatan) dalam melakukan investasi pada beberapa alternatif program. Kegiatan pada keempat teknik tersebut intinya adalah membandingkan masukan (input) dengan keluaran (output) maupun hasil akhir (outcome) dengan memperhatikan masalah pilihan.37 Analisis biaya minimal adalah suatu analisis yang membandingkan dua atau lebih intervensi terhadap suatu kegiatan yang menghasilkan keluaran (output) yang sama, berdasarkan studi epidemiologi sebelumnya dalam kurun waktu tertentu. Biaya
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
22
yang dikeluarkan akan dibandingkan satu sama lain sehingga terlihatlah intervensi mana yang paling minimal biayanya dalam menghasilkan keluaran yang sama. 37 Analisis biaya guna menilai hasil akhir dari sebuah program yang dilaksanakan dengan mengukur kegunaannya (utilitas); yang dikaitkan pula dengan perubahan kualitas akibat program tersebut. Analisis biaya guna dapat dititikberatkan pada minimalisasi biaya (minimizing cost) atau memperbesar hasil (maximizing effect), yang hasilnya dinyatakan dalam cost per quality adjusted life years (cost per QALY’s) atau QALY per unit moneter.37 Analisis biaya manfaat akan menilai baik manfaat maupun biaya dari suatu program, dan menetapkan apakah program tersebut bermanfaat atau tidak. Bila rasio antara biaya dan manfaat lebih besar berarti program tersebut tidak menguntungkan. Analisis biaya manfaat ini digunakan untuk membandingkan program dengan tujuan keluaran yang berbeda, dengan masukan yang diukur dalam nilai moneter dan ukuran keluarannya, yaitu manfaat yang diharapkan, juga diukur dalam nilai moneter. Di samping itu, analisis biaya manfaat juga digunakan untuk mengetahui apakah suatu intervensi layak diteruskan atau tidak. 37 Analisis biaya efektivitas adalah suatu analisis yang mencari bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dengan ukuran masukan yang diukur dalam nilai moneter sedangkan keluarannya diukur dalam jumlah output yang dihasilkan. Dengan kata lain, teknik ini menilai/ mencari cara intervensi yang paling murah dan paling menguntungkan dalam pencapaian target/suatu tujuan yang sama, dengan cara membandingkan hasil-hasil suatu kegiatan dengan biayanya. 37 Berbagai tipe analisis efektivitas biaya dan perbedaannya disajikan dalam tabel 2.1.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
23
Tabel 2.1. Berbagai tipe analisis efektivitas biaya Metode Analisis biaya efektivitas
Biaya Unit monetari
Analisis biaya guna
Unit monetari
Analisis biaya manfaat
Unit monetari
Analisis biaya
keuntungan- Unit monetari
Efek Unit alami (lifeyears gained, luka bakar yang bisa dicegah) Utilitas dan QALY atau DALY
Pertanyaan evaluasi Perbandingan intervensi dengan tujuan yang sama
Perbandingan intervensi dengan tujuan yang berbeda Efek tidak diukur Biaya yang lebih karena dianggap sedikit diantara dua sama program dengan luaran yang sama Unit monetari Apakah keuntungannnya sebanding dengan biaya
Analisis biaya manfaat dan analisis biaya efektivitas walau mempunyai beberapa persamaan, keduanya mempunyai beberapa prinsip yang berbeda. Analisis biaya manfaat biasanya digunakan untuk menilai beberapa alternatif yang tujuannya berbeda, atau menentukan apakah suatu rencana program sebaiknya dilaksanakan atau tidak, sedangkan analisis biaya efektivitas dipergunakan untuk menilai beberapa alternatif yang tujuannya sama. Pada pasien geriatri yang pada umumnya sudah tidak produktif lagi secara ekonomis, loss of production tidak lagi menjadi perhatian utama.37 Keluaran dari evaluasi ekonomi dinyatakan sebagai rasio dari cost (biaya) dengan efek (E). Rasio ini disebut dengan incremental cost–effectiveness ratio (ICER), yaitu perbedaan biaya antara intervensi baru dan lama dibagi dengan perbedaan efek antara kedua intervensi tersebut.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
24
2.10
Telaah efektivitas biaya
Telaah efektivitas biaya (Cost-effectiveness analysis), dalam konsep termudah, merupakan suatu analisis yang menghitung unit biaya yang dibutuhkan untuk mencapai unit efek tertentu. Rasio ini, bila diterapkan dalam perhitungan berbagai alternatif intervensi, dapat menampilkan efek dan biaya relatif dari alternatifalternatif tersebut dan memudahkan pemahamannya. 37 Sangat sedikit studi tentang evaluasi program kesehatan yang menampilkan variabel biaya, dan bilapun ada, biasanya ditampilkan dalam format yang bervariasi sehingga sulit untuk dibandingkan. Terlebih lagi terdapat kesulitan dalam menentukan terminologi konsep biaya dan efek, karena kedua konsep ini sangat tergantung dari sudut pandang mana analisisnya dilakukan. Apakah biaya-biaya yang dimasukkan dalam perhitungan sama dan sebanding untuk tiap-tiap pemegang saham atau hanya untuk pihak yang terlibat saja? Bila terdapat berbagai luaran yang ditimbulkan oleh biaya tersebut, bagaimana cara merangkum berbagai variabel efek tersebut menjadi satu variabel? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penting untuk memahami konsep analisis ini dengan lebih mendalam. 38 Ada dua kelebihan dari analisis cost effectiveness. Kelebihan pertama adalah kemampuannya untuk merangkum suatu program yang kompleks dalam dimensi biaya dan efektivitasnya. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan ketepatan secara teknis dalam menentukan unit biaya dan unit efek dari suatu program. Kelebihan kedua adalah kemampuannya untuk menggunakan dua parameter yang sebenarnya sederhana ini untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai program dengan konteks dan waktu yang berbeda-beda. Untuk mencapai hal ini diperlukan suatu kepatuhan pada suatu metodologi tertentu yang ditentukan sebelumnya dalam mengestimasi biaya dan efek dari berbagai studi yang ada, supaya dapat diperbandingkan. Supaya suatu analisis efektivitas biaya dapat memberikan informasi yang optimal, diperlukan suatu metode pengukuran yang bukan hanya andal dalam membandingkan berbagai program, namun juga dapat secara tepat menilai biaya dan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
25
efek dari masing-masing pogram itu sendiri. Bila dilaksanakan dengan benar, metode analisis ini dapat menjadi alat andal bagi penentu kebijakan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendanaan dan pengadaan kegiatan-kegiatan edukasi dan sosial, memungkinkan mereka untuk membandingkan berbagai program yang telah dijalankan untuk menentukan pengalokasian sumber daya dengan lebih tepat. Organisasi yang dapat mengambil manfaat dari analisis ini dapat berupa organisasiorganisasi swasta maupun pemerintah. 39 Meskipun analisis efektivitas biaya menawarkan banyak kelebihan dibanding analisis ekonomi lain dalam pengambilan kebijakan, terdapat beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan. Analisis efektivitas biaya bermanfaat dalam menentukan program atau intervensi mana yang memberikan keefektivitasan biaya yang terbaik, namun tidak dapat membandingkan keefektivitas antar intervensi dengan paradigma kesehatan atau lokasi yang berbeda. Hal ini dikarenakan untuk membandingkan suatu program dengan analisis ini, diperlukan parameter pengukuran efek/keluaran yang sama antar intervensi atau program yang diperbandingkan. Kualitas dari analisis efektivitas biaya sangat bergantung dari kualitas data yang digunakan, sehingga setiap analisis efektivitas biaya sebaiknya mencantumkan analisis sensitifitas untuk melihat seberapa besar perubahan parameter yang digunakan dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penting ditekankan disini, bahwa analisis efektivitas biaya hanya merupakan salah satu dari sekian banyak penilaian dalam menentukan apakah suatu program atau intervensi efektif atau tidak. Hal-hal yang lain yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ketersediaan sarana prasarana, kebutuhan masyarakat setempat, prioritas kesehatan lokal dan lainnya.39 Menilai efektivitas dapat ditinjau dari berbagai faktor yakni lama rawat, rehospitalisasi, ada tidaknya perbaikan status fungsional, kepuasan pasien, kepuasan perawat dan mortalitas selama dan setelah perawatan. Setiap faktor tersebut harus ditentukan bobotnya agar diketahui yang terbesar perannya dalam menentukan efektivitas. Batasan setiap faktor yang digunakan untuk menentukan efektivitas tidak
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
26
seragam karena perbedaan sistem pelayanan, diagnosis pasien geriatri yang dirawat serta berat-ringannya kondisi pasien.40 2.11
Mortalitas pasien geriatri
Mortalitas merupakan salah satu komponen penilaian efektivitas suatu layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan baik dan efektif diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas. Tentu saja angka mortalitas pasien geriatri tidak semata-mata hanya ditentukan oleh kualitas dari suatu layanan kesehatan.6 Dalam membicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas suatu populasi, penting untuk mengingat konsep dasar epidemiologi tentang terjadinya penyakit, yaitu interaksi antara host, agent dan environment. Konsep ini dapat diterapkan untuk melihat hubungan antara ketiga komponen penting yang menentukan outcome dari suatu penyakit.3 Dalam konteks pasien geriatri yang menjalani perawatan di fasilitas kesehatan, segi environment merupakan kualitas dari layanan kesehatan tersebut. Segi agent mengacu kepada poten tidaknya suatu agenorganik maupun non organik-dalam menimbulkan suatu kondisi sakit, dalam konteks ini yang terbanyak bertindak sebagai agent adalah mikroba (organik). Sedangkan host mengacu kepada kumpulan karakteristik dasar dari suatu individu yang menentukan ketahanan tubuh menanggapi suatu tantangan dari luar. Komponen host inilah yang sangat berpengaruh dalam populasi pasien geriatri, mengingat pada populasi ini terjadi banyak sekali perubahan fisiologis penuaan yang berujung pada meningkatnya kerentanan tubuh terhadap tantangan eksternal tersebut(agent).3 Dari tiga komponen ini, dapat dilihat terhadap komponen agent dan host, sedikit yang bisa kita lakukan untuk memodifikasinya. Perubahan pada komponen host sebagian besar terjadi akibat suatu proses yang fisiologis, yaitu penuaan, sehingga tidak sepenuhnya dapat kita modifikasi. Sedangkan modifikasi komponen agent biasanya dilakukan dengan mengoptimalkan program preventif dan promotif, dan kedua faktor ini meskipun sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri secara
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
27
holistik, sedikit perannya pada tatalaksana pasien geriatri yang dirawat di fasilitas kesehatan. Sehingga sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri di ruang rawat inap untuk mengoptimalkan pula komponen kualitas layanan kesehatan, untuk meningkatkan prognosis.40 Dalam konteks masyarakat luas, suatu layanan kesehatan dikatakan baik bila terdapat keseimbangan antara kualitas dan biaya operasionalnya. Suatu intervensi atau program kesehatan yang sangat baik namun sangat mahal biaya operasionalnya mungkin ideal untuk kasus orang perorangan, namun bukan merupakan pilihan tepat untuk diadopsi sebagai program kesehatan masyarakat luas yang skalanya besar. Hal itu bisa menimbulkan pemborosan sumber daya kita yang terbatas. Sebaliknya suatu program kesehatan yang hasilnya hanya cukup baik namun memiliki biaya operasional yang lebih rendah dapat menjadi pilihan yang lebih baik sebagai program kesehatan masyarakat luas pada umumnya. Disinilah peran analisis efektivitas biaya, karena analisis ini dapat memperlihatkan keseimbangan dan hubungan antara efek dan biaya dari suatu program/intervensi yang diperbandingkan.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
Rawat inap
Pasien Geriatri
Imobilisasi Instabilitas Gangguan lihat Gangguan dengar Demensia Delirium Inkontinensia uri/alvi Ulkus dekubitus Malnutrisi Depresi Gangguan kognitif
Geriatric Giants
Acute insult(Agent ) (Organik/No n organik)
Karakteristik geriatri
Gambar 3.1. Kerangka teori
28
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
Sistem asuransi kesehatan nasional
ERA JKN/INA CBG
Pembiayaan layanan kesehatan
P3G
Biaya Rawat
Lama rawat
Status fungsional
Kualitas hidup
Rehospit alisasi
Mortalitas
= Variabel yang diteliti
3.1
Multipel comorbidity Polifarmasi Frailty Immunosenescence
BAB 3.
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Kerangka Teori
29
3.2 Kerangka konsep Kesintasan Efektivitas Biaya
JKN
Gambar 3.2. Kerangka konsep 3.3 Definisi operasional Tabel 3.1. Definisi operasional Variabel
Definisi
Lama rawat
Lama
Cara pengukuran seseorang
dirawat
sejak
Melihat
data
Skala tanggal
masuk ke rumah sakit hingga
masuk dan keluar rumah
pulang atau meninggal. Diperoleh
sakit di rekam medis atau
dari
EHR.
hasil
pengurangan
tanggal
Numerik
pulang/meninggal dengan tanggal masuk rumah sakit, dalam satuan hari.
Era
Jaminan
Era di mana mulai berlaku distem
Kesehatan
JKN. JKN merupakan bagian dari
Nasional (JKN)
Sistem Jaminan Sosial Nasional,
Melihat tanggal perawatan
Kategori
Melihat tanggal perawatan
Kategori
yang diberlakukan di Indonesia sejak
1
Januari
2014.
Prinsip
Jaminan Kesehatan Nasional adalah asuransi sosial nasional dan ekuitas.
Era Non JKN
Era sebelum diberlakukan JKN (sebelum 1 Januari 2014), dimana terdapat berbagai macam jaminan kesehatan
yang
diselenggarakan
masing-masing oleh
berbagai
pihak yaitu Askes, Jamkesmas,
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
30
Jamkesda, Gakin, Kartu Jakarta Sehat dan Jamsostek.
Meninggal saat
Kematian dengan sebab apapun (all
Diperoleh
perawatan
cause mortality) yang terjadi selama
tanggal
masa rawat inap.
sakit
dari
selisih
Kategorik
masuk rumah dengan
tanggal
meninggal pasien.
Kesintasan
30
hari
Kesintasan pasien geriatri yang
Diperoleh
dirawat.
tanggal
Dinyatakan
sebagai
dari
sakit
tidak mengalami event (meninggal)
meninggal pasien
waktu
pengamatan.
tertentu Rentang
Kategorik
masuk rumah
persentase subjek yang hidup atau pada
selisih
dengan
tanggal
dari waktu
pengamatan adalah dari tanggal awal perawatan sampai dengan 30 hari setelah itu.
Biaya perawatan
Biaya total selama perawatan pasien
Melihat data Bendahara
di ruang rawat inap berdasarkan
RSCM dan HER
tagihan akhir dari rumah sakit ke pasien. Komponennya berupa biaya ruangan, biaya material, sarana dan prasarana, biaya jasa medis dan biaya penunjang.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
Kontinyu
BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian dilaksanakan dengan desain cohort with historical control (kohort dengan kontrol historis). Kohort pertama diambil saat sistem pembiayaan non JKN (Juli 2013-Desember 2013), kohort kedua diambil saat sistem pembiayaan JKN diberlakukan (Januari-Juni 2014). Kohort pertama merupakan kontrol bagi kohort kedua. 4.2 Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan terhadap pasien-pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri di RSCM yang mendapatkan P3G yang berusia di atas 60 tahun. Pengumpulan data dilakukan selama Agustus-September 2014. Data dikumpulkan dari rekam medis atau resume medis semua pasien yang dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM selama periode Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data dari rekam medis dan electronic health record. 4.3 Populasi dan sampel penelitian
Populasi target adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun di Indonesia.
Populasi terjangkau adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun yang dirawat di ruang rawat inap akut geriatri RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014.
Sampel penelitian adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi penelitian
31 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
32
4.4 Kriteria inklusi dan eksklusi 4.4.1
Kriteria inklusi
1. Orang usia lanjut (usia ≥60 tahun). 2. Dirawat di ruang rawat inap geriatri RSCM pada periode Juli 2013-Juni 2014 3. Dirawat dengan satu atau lebih diagnosis berikut : sindrom delirium, instabilitas dan/atau jatuh, gangguan kognitif ringan, depresi, inkontinensia urine dan/ atau alvi, dekubitus, imobilisasi. 4.4.2 Kriteria eksklusi 1. Pasien yang meninggal dalam 24 jam perawatan pertama di rumah sakit 2. Pasien yang pindah ke ruang rawat lain yang tidak menerapkan P3G selama perawatan. 3. Pasien yang pada saat pergantian sistem pembayaran dari non JKN ke JKN masih dalam perawatan. (waktu perawatan melintasi periode 31 Desember 2013-1 Januari 2014) 4. Pasien yang tidak ditemukan rekam medisnya. 4.5 Estimasi besar sampel Untuk analisis kesintasan, digunakan perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji hipotesis untuk survival:
2
( Z α + Z β ) [ Ǿ ( λc) + Ǿ ( λi)] 2
( λc - λi)
Dengan menggunakan alpha : 0.05, power penelitian 80%, λi (kesintasan kelompok intervensi) sebesar 90% dan λc (kesintasan kelompok kontrol) sebesar 75%,41 diperoleh besar sampel untuk masing-masing grup adalah 105. Sehingga total jumlah sampel yang diperlukan untuk kedua grup adalah 210. Untuk analisis efektivitas biaya, dilakukan total sampling dalam periode waktu yang telah ditentukan.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
33
4.6 Identifikasi Variable Penelitian 4.6.1
Variabel dependen
Kesintasan dan efektivitas biaya 4.6.2
Variabel independen
Sistem pembiayaan JKN
4.7 Instrumen dan tatacara pengumpulan data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah:
Data sosiodemografik pasien
Data antropometri dan status gizi pasien
Data komorbid dan pengobatan dari status pasien
Data medis awal berupa keluhan utama dan diagnosis masuk dan keluar
Data laboratorium
Instrumen yang digunakan adalah:
Rekam medis
Resume medis
Catatan pembiayaan pasien
Electronic Health Record RSCM
4.8 Cara pengambilan sampel Sampel diambil dari catatan rekam medis atau resume medis pasien di Unit Rekam Medis RSCM dan Unit Pusat Administrasi dan Keuangan RSCM. Status pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi dipilih. Setelah itu dilakukan pencatatan data demografis dasar, komorbiditas, data laboratorium dan status gizi pasien. Penelusuran biaya rawat pasien dilakukan melalui Unit Keuangan RSCM dan catatan tagihan pasien selama perawatan. Khusus untuk pasien-pasien yang pulang dari perawatan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
34
sebelum waktu pengamatan event (kematian) selesai, dilakukan penelusuran lewat telepon atau wawancara langsung untuk melihat apakah pasien meninggal atau tidak dan ditulis waktu dan sebab kematiannya. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode tersebut di atas sampai mencakupi semua pasien yang dirawat pada periode waktu yang telah ditentukan.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
35
4.9 Alur penelitian Pasienusia ≥60 tahun yang dirawat di ruangrawatinapakutGeriatri RSCM
Data sosiodemografik Data antropometridan status gizi Data komorbid Data pengobatan Data laboratorium Data mortalitas Data pembiayaan
Kriteria Inklusi/eksklusi
Pengumpulan data (Total sampling)
Microsoft Access 2010
Tabulasi data
Analisis data SPSS 21 Penyusunan laporan dan publikasi Gambar 4.1. Alur penelitian 4.10
Analisis data
Data medis pasien dan keuangan diambil dari unit rekam medis dan pusat administrasi dan keuangan RSCM. Tabulasi dilakukan menggunakan program pengumpulan data elektronik Microsoft Access 2010, sedangkan analisis data menggunakan
program
SPSS
21.
Data
karakteristisk
sosio-demografik,
antropometrik, diagnosis klinis dan pengobatan pasien dijabarkan dengan menggunakan metode statistik deskriptif. Data-data numerik dijabarkan dengan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
36
mean/median dan menyertakan deviasi standar. Data nominal dijabarkan dalam bentuk proporsi dengan menyertakan interval kepercayaan 95% dan nilai p. Analisis cost effectiveness menggunakan Incremental cost effectiveness ratio (ICER). Incremental cost effectiveness ratio (ICER) dihitung untuk menilai efektivitas intervensi yaitu sistem pembiayaan dengan efek yaitu kesintasan. ICER dihitung dengan membagi selisih antara mean biaya yang dikeluarkan selama masa rawat pada periode JKN dan mean biaya selama masa rawat pada periode sebelum JKN, dengan selisih proporsi kematian pasien sebelum dan saat era JKN. Untuk analisis kesintasan, dibuat kurva kesintasan untuk masing-masing kelompok menggunakan analisis kaplan meier. Selanjutnya dilakukan uji log rank untuk membandingkan kedua kurva kesintasan dari kedua kelompok tersebut dan melihat distribusinya. 4.11
Masalah etika
Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia
dengan
nomor
753/UN2.F1/ETIK/2014. Semua data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya. 4.12
Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai sebutan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
BAB 5 HASIL Penelitian ini merupakan penelitian kohort dengan kontrol historis, dilakukan pada bulan Agustus-September 2014 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri pada dua periode waktu, yaitu periode pra JKN sebagai kontrol dan periode JKN sebagai kelompok studi. Periode pra JKN diambil dari periode perawatan Juli-Desember 2013, dan periode JKN dari bulan Januari-Juni 2014. Bagan pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 5.1.
Jumlah pasien geriatri yang menerima P3G pada periode penelitian : 319 subjek Eksklusi : 94 subjek (Pindah ruangan : 8 subjek, Melintasi dua periode pembiayaan : 13 subjek, rekam medis tidak ditemukan : 73 subjek)
Sampel aktual: 225 subjek
non JKN : 100 subjek
JKN : 125 subjek
Gambar 5.1. Bagan pengambilan sampel Terdapat 319 pasien yang menerima P3G pada periode perawatan Juli 2014-Juni 2014. Sebanyak total 94 subjek dieksklusi, dengan rincian : 8 subjek dieksklusi karena pindah ruangan, 13 subjek karena periode perawatan melewati saat pergantian ke sistem pembiayaan JKN yaitu 31 Desember 2013 dan 73 subjek yang tidak ditemukan catatan rekam medisnya. Jumlah sampel akhir yang dianalisis sebanyak 225 subjek, 100 di kelompok non JKN dan 125 di kelompok JKN.
37 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
38
Pada subjek yang dieksklusi dilakukan analisis sensitifitas, dan tidak ditemukan perbedaan pada karakteristik kedua kelompok. Hanya terdapat satu perbedaan yang bermakna, yaitu perbedaan proporsi subjek yang memiliki diagnosis rawat sindrom delirium akut. 5.1 Karakteristik Subjek Jenis kelamin pada kelompok JKN sebagian besar adalah perempuan (53,6%), setara dengan kelompok kontrol (59%). Median usia 68 tahun (rentang 60-85 tahun) pada kelompok JKN dan 70 (rentang 60-86 tahun) pada kelompok non JKN. Sebagian besar subjek penelitian berstatus menikah (JKN vs non JKN = 56% vs. 55%) dengan pendidikan terbanyak hanya mencapai SD. Sebagian besar sudah pensiun dan tidak bekerja saat ini. Suku yang terbanyak adalah suku Jawa dan Betawi. Hampir semua subjek di kedua kelompok memiliki gizi yang baik atau lebih, dan hanya sebagian kecil (15,2% vs 14%) yang memiliki gizi kurang. Karakteristik demografis dapat dilihat di tabel 5.1. Tabel 5.1. Gambaran karakteristik demografis pada kelompok Non JKN dan kelompok JKN Karakteristik Subjek Jenis kelamin, n(%) Laki-laki Perempuan Usia, n(%) 60-69 tahun 70-79 tahun 80-89 tahun Usia, median(min-max) Status pernikahan, n(%) Menikah Janda/Duda Tidak Menikah Tidak ada data Pendidikan, n(%) Tidak sekolah-SD SMP-SMA
Kelompok non JKN n = 100
Kelompok JKN n = 125
41 (41) 59 (59)
58 (46,4) 67 (53,6)
48 (48) 44 (44) 8 (8) 70 (60-86)
72 (57,6) 42 (33,6) 11 (8,8) 68 (60-85)
55 (55) 21 (21) 1 (1) 23 (23)
70 (56) 26 (20,8) 0 29 (23,2)
28 (28) 24 (24)
37 (29,8) 29 (23,4)
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
39
Diploma-Sarjana Tidak ada data Suku, n(%) Jawa Betawi Sunda Lain-lain Tidak ada data Agama, n(%) Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Buddha Tidak ada data Pekerjaan, n(%) Pegawai Negeri Pegawai swasta Pensiun Tidak bekerja Tidak ada data
14 (14) 34 (34)
13 (10,5) 45 (36,3)
21 (21) 21 (21) 10 (10) 19 (19) 29 (29)
31 (24,8) 20 (16) 13 (10,4) 36 (28,8) 25(20)
65 (65) 9 (9) 2 (2) 1(1) 23 (23)
77 (61,6) 15 (12) 5 (4) 3 (2,4) 25(20)
3 (3) 8 (8) 26 (26) 37 (37) 26 (26)
4 (3,2) 16 (12,8) 13 (10,4) 55 (44) 37 (29,6)
5.2 Karakteristik klinis Selama perawatan, beberapa pasien menjalani prosedur atau tindakan medis sebagai bagian dari tatalaksana penyakitnya. Prosedur atau tindakan medis tersebut akan mempengaruhi lama rawat dan biaya perawatan, dan terkait erat dengan diagnosis pasien. Tindakan dibagi menjadi bedah dan non bedah. Intervensi non bedah antara lain tindakan endoskopi, kolonoskopi, ligasi varises esofagus, pemasangan catheter double lumen dan akses vena sentral, kateterisasi jantung, dialisis, pemasangan mini drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, biopsi sumsusm tulang, bronkoskopi, dan biopsi. Sedangkan intervensi bedah mencakup debridemant, nefrostomi, pembuatan pintas arteriovena, STSG (split thickness skin graft), dan pemasangan double J stent. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama perawatan (56% pada non JKN dan 60% pada JKN). Dari keluhan utama, 15% dan 22,4% subjek pada era non JKN dan JKN datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini berbeda dengan diagnosis awal di ruang
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
40
rawat, karena terdapat sebanyak 34% dan 39,2% (Non JKN dan JKN) subjek yang didiagnosis dengan sindrom delirium akut. Untuk diagnosis selama perawatan, kedua kelompok memiliki distribusi penyakit dengan persentase yang kurang lebih sama. Tiga penyakit terbanyak pada kedua kelompok secara berurutan dari yang terbesar adalah pneumonia, sindrom delirium akut dan sepsis. Infeksi merupakan masalah utama pada kedua kelompok, dengan infeksi terbanyak adalah pneumonia, baik pada kelompok Non JKN dan JKN (67% dan 68,8%). Infeksi yang disertai sepsis terjadi pada 29% dan 30,4% subjek, secara berturutan pada kelompok non JKN dan JKN. Skor APACHE II dihitung sebagai parameter berat ringannya kondisi morbiditas, sebagai prediktor mortalitas pasien yang dirawat. APACHE II menggabungkan parameter klinis, laboratorium dan komobiditas untuk mendapatkan suatu skor yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas. Didapatkan nilai tengah skor APACHE II antara kelompok JKN dan non JKN tidak berbeda (12 dan 13). Kadar albumin serum merupakan salah satu parameter laboratorium penting yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dan terkait berat ringannya kondisi morbiditas pasien. Dapat dilihat pada tabel tidak terdapat perbedaan antara rerata kadar albumin kelompok JKN dan non JKN (2,96 [SD=0,67]; 3,08 [SD=0,71]). Karakteristik klinis lain dapat dilihat pada tabel 5.2.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
41
Tabel 5.2. Gambaran karakteristik klinis selama perawatan pada kelompok Non JKN dan kelompok JKN Karakterikstik Subjek Keluhan utama, n (%) Penurunan kesadaran Bukan penurunan kesadaran Diagnosis selama rawata, n (%) Pneumonia ACS Hipertensi Sepsis Infeksi bukan pneumonia Diabetes dan komplikasi Perdarahan saluran cerna Malignansi Gagal jantung Aritmia Stroke Sindrom koroner akut Fraktur Geriatric giantsb, n (%) Imobilisasi Sindrom delirium akut Instabilitas/jatuh Gangguan lihat Gangguan dengar Ulkus dekubitus Malnutrisi Inkontinensia uri Demensia Depresi Inkontinensia alvi Mild cognitive impairment Tindakan selama rawat, n(%) Tidak ada tindakan Bedah Non Bedah Skor APACHE II, median (min-max) Kadar Albuminc, mean (SD) IMTd, n(%) <18,5 18,5-22,9 >23
Non JKN n= 100
JKN n= 125
15 (15,5) 84 (84,5)
28 (25,2) 90 (74,8)
67 (67) 34 (34) 38 (38) 29 (29) 26 (26) 22 (22) 22 (22) 22 (22) 18 (18) 12 (12) 9 (9) 7 (7) 7(7)
86 (68,8) 49 (39,2) 36 (28,8) 38 (30,4) 39 (31,2) 24 (19,2) 17 (13,6) 20 (16) 18 (14,4) 12 (9,6) 13 (10,4) 5 (5,6) 3(2,4)
54 (54) 38 (38) 32 (32) 33 (33) 22 (22) 18 (18) 11 (11) 11 (11) 4 (4) 8 (8) 6 (3) 4 (4)
62 (49,6) 46 (36,8) 42 (33,6) 29 (23,2) 20 (16) 19 (15,2) 10 (8) 9 (7,2) 11 (8,8) 6 (4,8) 3 (2,4) 6 (4,8)
56 (56) 9 (9) 35 (35) 13 (5-27) 3,08 (0,71)
75 (60) 17 (13,6) 33 (26,4) 12 (5-27) 2,96 (0,67)
14 (14) 21 (21) 35 (35)
19(15,2) 23(18,4) 29 (23,2)
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
42
a
Tidak ada data
Terdapat 10 sampel yang missing = 2 pada Non JKN, 8 pada JKN
b
30 (30)
54 (43,2)
Terdapat 14 subjek yang missing = 2 pada non JKN, 12 pada JKN
c
Terdapat 25 subjek yang missing = 11 pada non JKN, 14 pada JKN
d
Terdapat 84 subjek yang missing = 30 pada non JKN, 54 pada JKN
5.3 Mortalitas dan Kesintasan Salah satu parameter keberhasilan suatu layanan kesehatan dapat dilihat dari angka mortalitas dan kesintasan. Suatu program atau intervensi yang berhasil menurunkan angka mortalitas dinilai baik secara klinis. Pada penelitian ini dibandingkan mortalitas antara kelompok JKN dan non JKN. Luaran perawatan dari kedua grup memiliki distribusi yang kurang lebih sama, dimana pasien meninggal saat perawatan sebanyak 28% pada kelompok JKN dan 31,2% pada kelompok JKN (p=0,602). Besar kesintasan kumulatif pada kelompok JKN dan non JKN sebesar 65,2% dan 66,4% (p = 0,086). Sebanyak 14% pasien pulang atas permintaan sendiri pada kelompok non JKN, dan 9,6% pada kelompok JKN. Untuk melihat hubungan antara mortalitas dengan waktu, dilakukan analisis kesintasan menggunakan Kaplan Meier. Waktu pengamatan terjadinya event (kematian) adalah 30 hari. Sampel yang tidak dapat menyelesaikan waktu pengamatan tersebut akan disensor. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kurva kesintasan JKN dan non JKN (p=0.831). Kurva kesintasan kedua kelompok dapat dilihat pada gambar 5.2.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
43
Gambar 5.2. Kurva Kesintasan JKN dan non JKN 5.4 Biaya rawat Biaya perawatan merupakan komponen penting dalam analisis ekonomi kesehatan, untuk melihat suatu program bukan dari segi medis klinis namun dari segi efektivitas biayanya. Dalam penelitian ini, biaya yang diukur adalah biaya langsung, bukan biaya tidak langsung. Biaya langsung dibagi menjadi biaya ruang rawat, biaya material, biaya sarana, dan biaya penunjang. Biaya total untuk pembiayaan satu kali rawat pada era non JKN memiliki median 19 juta (min 2 juta, maks 141 juta) dan pada era JKN yaitu 20,8 juta (min 3 juta, maks 104 juta). Biaya terbesar berasal dari biaya material dan biaya sarana. Rincian biaya selama perawatan dapat dilihat di tabel 5.3. Tidak terdapat perbedaan antara kelompok JKN dan non JKN dari masing-masing kategori biaya tersebut dan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
44
biaya total. Pada gambar 5.2 dapat dilihat penggunaan jaminan kesehatan pada kedua era sistem pembiayaan. Pada era JKN, semua subjek menggunakan JKN, tidak ada yang menggunaan pembiayaan sendiri. Pada era Non JKN ada 8,4% subjek yang menggunakan biaya sendiri. Tabel 5.3. Biaya perawatan era non JKN dan JKN Non JKN (x106 Rupiah)
JKN (x106 Rupiah)
Biaya ruang rawat
2,7 (0,5 – 18,6)
2,9 (0,1 – 39,5)
Biaya Material
5,6 (0,01 – 69,2)
6,4 (0,1 – 58,6)
Biaya sarana dan prasarana
5,1 (0,3 – 39,2)
5,1 (0,2 – 29,4)
Biaya penunjang
3,6 (0,05 – 29,6)
2,8 (0,2 – 28,8)
19,1 (2,5 – 141,5)
20,8 (3,1 – 104)
Biaya Perawatan [median(min-maks)]
Biaya Total 120
100
100 80 60 42.1
41.1
40 20 2.1
8.4
6.3
0 Era pra JKN Askes
Jamkesmas
Era JKN Jamkesda
KJS
Umum
JKN
Gambar 5.3 Penggunaan Jaminan kesehatan pada perawatan 5.5 Analisis efektivitas biaya
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
45
Analisis efektivitas biaya adalah suatu analisis untuk membandingkan luaran suatu program atau intervensi dengan mempertimbangkan komponen biaya. Dengan menggunakan rumus ICER, dapat dilihat deskripsi biaya dan kesintasan pada era JKN dibandingkan dengan era non JKN. rerata biaya total era JKN – rerata biaya total era non JKN ICER =
Kesintasan 30 hari era JKN – Kesintasan 30 hari era non JKN
(+)1.462.880 Didapatkan hasil ICER =
(-) 0,012
Selanjutnya bila kita plot ke dalam koordinat :
ICER Biaya-mortalitas 10
Biaya (x105 Rupiah)
8 6 4 2 0 -20
-15
-10
-5
-2
0
5
10
15
20
-4 -6 -8
Kesintasan (%)
-10
Gambar 5.4. Plot nilai ICER
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
46
Dari gambar 5.4 dapat dilihat letak titik ICER di kuadran kiri atas. Ini menunjukkan dengan menginvestasi biaya sebesar 1,46 juta rupiah terjadi kehilangan kesintasan 30 hari sebesar 1,2%.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Proses Recruitment Subjek Pada penelitian ini terkumpul sebanyak 225 subjek, dengan distribusi 100 subjek pada era non JKN dan 125 subjek pada era JKN. Jumlah subjek yang terkumpul telah memenuhi perhitungan besar sampel, namun jumlah subjek pada kelompok yang diteliti (JKN) lebih besar dibanding kelompok kontrol. Dalam melakukan analisis membandingkan dua kelompok, secara statistik idealnya perbandingan jumlah kelompok kontrol dan yang diteliti adalah 1:1, lebih baik bila kelompok kontrol lebih banyak, mencapai perbandingan 2:1. Pada penelitian ini jumlah sampel kontrol lebih sedikit dari yang diteliti, dengan perbandingan 0,8:1. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil penelitian. Pada pengumpulan sampel penelitian ini, dilakukan eksklusi pada subjek yang tidak memenuhi kriteria eksklusi. Terdapat 94 subjek yang dieksklusi, 45 pada era JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup banyak, dan menyebabkan missing data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total subjek. Hal ini dapat mempengaruhi validitas penelitian ini. Hal ini akan dibahas di subbab selanjutnya. 6.2 Karakteristik demografis Karakteristik demografis subjek pada penelitian ini relatif sama antara kelompok JKN dan non JKN. Lebih dari 50 persen subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin perempuan, dengan rasio jenis kelamin (RJK) antara laki-laki dan perempuan adalah 0,85. Hal ini sesuai dengan data demografis dari Bappenas Indonesia tahun 2013, 6 dimana perempuan sedikit mendominasi populasi usia lanjut (RJK berkisar antara 0,68-0,96 pada kelompok umur 60-75+). Hal ini juga sesuai dengan karakteristik demografis di Cina, dimana Chan dkk 42 mendapatkan populasi geriatri didominasi oleh perempuan (60 %) baik di dalam komunitas atau pada ruang rawat. Kelompok usia terbanyak pada sampel yang didapat adalah pada kelompok usia 60-69 tahun (tabel 5.1). Median usia antara kedua kelompok JKN dan non JKN 47 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
48
relatif sama, yaitu 68 -70 tahun dengan rentang usia 60-86 tahun. Kelompok umur yang mendominasi adalah pada kelompok usia 60-79 tahun, sebesar 92% dari sampel. Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Soejono 5, yang mendapatkan kelompok usia terbanyak pada populasi geriatri yang menerima P3G di ruang rawat geriatri adalah pada kelompok 60-79 tahun, mencapai kurang lebih 88%. Buurman dkk43, lewat suatu penelitian yang dilakukan terhadap 639 subjek berusia diatas 65 tahun yang menjalani perawatan di Belanda, mendapatkan rerata usia pasien 78 tahun. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan selain dari perbedaan angka harapan hidup negara-negara Eropa dengan Asia, juga dikarenakan perbedaan kriteria usia subjek yang dikategorikan sebagai populasi geriatri (>65 tahun) sehingga lebih banyak terkumpul subjek dengan sebaran usia yang lebih lanjut. Studi yang dilakukan oleh Chan dkk 42 di Cina mendapatkan rerata usia populasi geriatri yang diteliti berkisar antara 80-82 tahun. Perbedaan ini selain dikarenakan oleh kriteria usia geriatri yang digunakan berbeda (>65 tahun), juga bisa diakibatkan
perbedaan
lokasi
pengambilan
sampel,
dimana
Chan
dkk 42
mengumpulkan sampel dari komunitas dan panti jompo. Perbedaan lokasi ini menjadi penting mengingat populasi lansia yang menempati panti jompo biasanya adalah populasi dengan usia yang lebih lanjut yang memiliki tingkat kemandirian yang lebih rendah. Soejono5 dan Buurman43 mengumpulkan sampel dari ruang perawatan di rumah sakit, serupa dengan lokasi pengumpulan sampel penelitian ini. Kedua kelompok, JKN dan non JKN, memiliki dominasi sebaran subjek dengan status gizi yang baik atau lebih. Hanya sebagian kecil pada kelompok JKN dan non JKN (15,2% dan 14%) yang memiliki gizi kurang. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Soejono 5, dimana mayoritas subjek memiliki gizi yang baik dengan rerata IMT 18,24. Chan dkk42 juga memperoleh nilai rerata IMT yang dikategorikan sebagai gizi baik pada dua kelompok populasi geriatri yang diteliti, yaitu berkisar 21,9-22,5. Data demografis lainnya pada penelitian ini adalah suku, agama dan pendidikan. Proporsi data demografis tersebut tidak berbeda diantara kedua kelompok
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
49
pada penelitian ini. Proporsi demografis ini sebanding dengan data demografis populasi usia lanjut di Indonesia terutama yang berdomisili di pulau Jawa yang didapat dari BAPPENAS 2013.6 Dari tabel 5.1 dapat dilihat sebaran karakterisitk demografis antara kelompok JKN dan non JKN relatif sama, sehingga secara demografis dapat disimpulkan kedua kelompok yang diteliti memiliki distribusi subjek yang serupa. 6.3 Karakteristik klinis Karakteristik klinis yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah karakteristik medis pasien yang terkait dengan mortalitas, yaitu keluhan utama saat masuk, diagnosis, jumlah tindakan medis saat perawatan, skor APACHE dan kadar albumin serum. Gambaran penyakit yang mendominasi pada subjek penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya oleh Soejono5, yaitu pneumonia dan sindrom delirium akut. Pada penelitian ini, pneumonia dan sindrom delirium akut merupakan diagnosis pada 68% dan 37% subjek, dengan distribusi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok JKN. Penting diperhatikan di sini bahwa pada analisis data yang hilang, menunjukkan subjek dengan diagnosis sindrom delirium akut lebih banyak dieksklusi pada kelompok non JKN dibanding JKN sehingga dapat mempengaruhi hasil sebaran diagnosis pada subjek yang diteliti ini. Soejono dkk,5 pada tahun 2007, menemukan kondisi pneumonia dan sindrom delirium akut sebanyak 42,06% dan 38,79%, sebagai dua penyakit terbanyak. Perbedaan proporsi subjek yang memiliki pneumonia dengan studi ini menunjukkan betapa pentingnya pneumonia sebagai penyakit utama yang menyebabkan pasien membutuhkan perawatan, dengan prevalensi yang makin meningkat. Pada populasi geriatri di komunitas, laporan Riskesdas tahun 2013 43 menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, mencapai 7,8% pada populasi usia lanjut diatas 75 tahun. Penelitian oleh Buurman dkk 43 di Belanda mendapatkan pula penyakit terbanyak adalah pneumonia, menunjukkan masalah pneumonia merupakan masalah global yang terdapat pula di negara berkembang, dan bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, yang oleh PBB diklasifikasikan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
50
sebagai less developed country.2 Adanya variasi lingkungan sosial dan ekonomi dari kedua profil negara tersebut, dimana pneumonia tetap menjadi penyebab utama perawatan pasien geriatri semakin menekankan peran penting faktor host dalam patogenesis terjadinya suatu penyakit. Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan fisiologis pada seperti imunosenescence dan homeostenosis yang membuatnya rentan terkena infeksi.5 Ciri khas geriatri ini membuatnya rentan mengalami penurunan fungsi selama perawatan dan mempengaruhi morbiditaas dan mortalitas selama perawatan.45 Dari tabel 5.2 dapat dilihat beberapa geriatric giants yang teridentifikasi saat subjek masuk perawatan. Geriatric giants yang terbanyak ditemukan adalah imobilisasi, sindrom delirium akut dan instabilitas dengan riwayat jatuh, dengan proporsi yang relatif sama pada era non JKN dan JKN. Imobilisasi ditemukan pada 54% dan 49,6% subjek pada era non JKN dan JKN. Temuan ini serupa dengan yang studi oleh Burmann43, dimana imobilisasi merupakan geriatric giants yang terbanyak ditemukan, sebesar 58,5%. Hal ini dapat dimengerti karena geriatric giants sendiri merupakan morbiditas yang timbul terkait proses penuaan, sehingga tidak berbeda walaupun berada di lingkungan yang berbeda. Kesetaraan beratnya penyakit saat masuk perawatan antara kedua kelompok pembiayaan ini ditentukan dengan membandingkan skor APACHE II. APACHE II merupakan sistem klasifikasi beratnya penyakit, awalnya banyak digunakan di setting perawatan intensif, namun seiring perkembangan waktu, penerapannya mulai diperluas. Sistem skoring APACHE pertama kali dikembangkan oleh Knaus et al di tahun 1981. Dalam perkembangannya, APACHE dikembangkan menjadi APACHE II dan APACHE III, namun skor APACHE II merupakan skoring yang paling sering digunakan. Skor APACHE II dinilai cukup akurat dalam menilai beratnya penyakit dan resiko kematian, terdiri dari komorbiditas, kondisi hemodinamik dan beberapa parameter laboratorium. Skor APACHE II pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan antara kedua kelompok, dengan median pada era JKN adalah 12 dan pada era non JKN 13,
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
51
dengan nilai minimum dan maximum yang sama pada kedua kelompok. Nilai ini lebih tinggi dari nilai yang diperoleh Soejono 5, yaitu 8,25. Perbedaan dari skor APACHE II sangat mungkin terkait lebih tingginya prevalensi pneumonia yang ditemukan pada penelitian ini, mengingat beberapa parameter klinis dan laboratorium di dalam skor APACHE II sangat terkait dengan ada tidaknya infeksi. 6.4 Mortalitas dan Analisis kesintasan Salah satu parameter klinis keberhasilan suatu layanan kesehatan di rumah sakit adalah rendahnya angka mortalitas atau tingginya kesintasan pasien, selain rendahnya lama rawat, bertambahnya kualitas hidup, rendahnya angka rehospitalisasi dan status fungsional. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kematian saat perawatan ( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari ( 66,4% vs 65,2 %, p = 0.086) pada kelompok JKN dan non JKN. Penelitian sebelumnya oleh Soejono5 dilakukan terhadap pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri pada tahun 2007, menunjukkan angka kesintasan pasien yang menerima P3G sebesar 80,4% atau angka mortalitas sebesar 19,6%. Perbedaan angka mortalitas penelitian ini dengan penelitian Soejono5 dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, subjek pada penelitian ini memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Soejono 5. Rerata skor APACHE pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan pada penelitian Soejono5, yang menandakan lebih beratnya beban penyakit yang diderita dan lebih buruknya prediktor mortalitas. Jumlah subjek yang dirawat dengan masalah utama pneumonia juga lebih banyak ditemukan pada studi ini (68%) dengan kurang lebih 14% subjek pada kedua kelompok memiliki gizi buruk. Karakteristik ini menunjukkan lebih beratnya kondisi penyakit subjek pada penelitian ini dengan faktor resiko mortalitas yang lebih tinggi. Penelitian oleh Calle dkk46 pada pasien geriatri dengan pneumonia komunitas mendapatkan angka mortalitas sebesar 24,2%, suatu nilai yang tidak terlalu berbeda dengan angka mortalitas pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan besarnya peran pneumonia sebagai prediktor mortalitas pasien geriatri yang dirawat inap.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
52
Alasan kedua adalah adanya kemungkinan terdapat perubahan kualitas pelaksanaan P3G. Angka mortalitas era non JKN pada penelitian ini adalah 28%, sedangkan pada penelitian Seojono 5 adalah 19,6%. Kedua angka tersebut diperoleh dari populasi geriatri yang sama-sama berada pada era non JKN, meskipun terdapat perbedaan waktu penelitian dan karakteristik klinis penyakit. Namun bila P3G dilaksanakan dengan prosedur dan pengendalian yang semestinya dan tidak mengalami perubahan kualitas seiring berjalannya waktu, angka mortalitas antara dua masa ini seharusnya tidak akan berbeda jauh. Nyatanya terdapat perbedaan angka mortalitas 8,4%. Hal ini menunjukkan ada kemungkinan pelaksanaan P3G pada saat penelitian ini dilaksanakan telah mengalami perubahan dibandingkan saat pertama kali diimplementasikan di RSCM pada tahun 2008. Pelaksanaan P3G di ruang rawat akut geriatri memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk melihat apakah telah sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, apakah benar-benar sudah memenuhi syaratsyarat seperti koordinasi interdisiplin, identifikasi dan inventarisasi menyeluruh masalah medis, fisik, sosial, psikologi, pengambilan keputusan klinis termasuk rehabilitasi, dan implementasi tatalaksana yang direkomendasikan, termasuk evaluasinya.50 Pada analisis menggunakan metode Kaplan Meier untuk melihat hubungan kesintasan dengan waktu, didapatkan tidak adanya perbedaan antara kurva kesintasan kelompok JKN dan non JKN. (p = 0.831). Ini dapat dijelaskan karena terdapatnya kesetaraaan relatif antara karakteristik demografis dan karakteristik klinis antara kedua kelompok (Tabel 5.1 dan 5.2) termasuk beberapa karakteristik prognostik untuk mortalitas. Studi oleh Zekry dkk47 dan Dias48 menunjukkan keterkaitan erat antara mortalitas pasien geriatri yang dirawat dengan banyaknya komorbiditas yang dimiliki. Lebih dari setengah subjek pada kedua kelompok yang diteliti memiliki jumlah diagnosis saat masuk pada kelompok 5-10 buah (non JKN vs JKN = 69,7% vs 75,7%). Studi oleh Burrmann dkk43 mendapatkan bahwa jenis kelamin laki2, besarnya umur, ada tidaknya komorbid seperti malnutrisi, riwayat jatuh, ulkus dekubitus, terpasangnya kateter urine, sindrom delirium akut, rendahnya tingkat kemandirian pasien geriatri (yang diukur dengan instrumen ADL dan IADL)
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
53
berhubungan dengan tingginya angka mortalitas saat perawatan. Karakteristik tersebut setara antara kelompok JKN dan non JKN. Chan 49 mendapatkan bahwa IMT yang baik (antara 24-28) merupakan faktor yang protektif terhadap mortalitas yang disebabkan oleh infeksi, kardiovaskular dan rehospitalisasi. Pada studi ini didapatkan nilai IMT dan kadar albumin tidak berbeda antara kelompok JKN dan non JKN. Bila dibandingkan angka mortalitas dan kesintasan antara kelompok JKN dan non JKN pada saat perawatan, angka mortalitas kelompok JKN (31,2%) sedikit lebih tinggi dibandingkan non JKN (28%), sedangkan kesintasan 30 hari kelompok JKN lebih rendah 1,2% dibanding kelompok non JKN, meskipun secara statistik tidak bermakna. Perbedaan tersebut relatif kecil dan menurut peneliti tidaklah bermakna secara klinis. Namun, perbedaan angka mortalitas dan kesintasan antara kedua kelompok pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan pada beberapa karakteristik klinis kedua kelompok yang merupakan faktor prognostik mortalitas. Karakteristik klinis tersebut diantaranya
43,47,48
seperti status gizi, albumin, ada tidaknya pneumonia, sindrom
delirium akut dan sepsis. Faktor-faktor prognostik mortalitas tersebut ditemukan dengan proporsi yang lebih besar pada kelompok JKN, meskipun tidak bermakna secara statistik. Analisis menggunakan chi square pada beberapa karakteristik klinis dan demografis dengan mortalitas menunjukkan pneumonia, sepsis, malignansi, penyakit koroner dan sindrom delirium akut terkait dengan angka mortalitas yang lebih tinggi pada kedua kelompok. Analisis dengan Cox Regression menunjukkan hazard kematian yang tidak bermakna pada penerapan JKN (hazard ratio[HR] 1,05; IK 95%, 0,65 sampai 1,7). Dengan mempertimbangkan beberapa faktor prognostik mortalitas yang tidak seluruhnya setara pada kedua kelompok, maka dilakukan analisis multivariat dengan mengikutsertakan variabel diagnosis penyakit koroner, pneumonia, sindrom delirium akut, sepsis dan keganasan. Analisis ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat kecenderungan peningkatan hazard kematian pada kelompok JKN, tetap tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik. (HR 1,08; IK 95%, 0,66 sampai 1,79).
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
54
Kedua, implementasi JKN masih dalam tahap awal dan sampai penelitian ini selesai dilaksanakan, belum mencapai 1 tahun pelaksanaan. JKN baru mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2014 dengan tujuan tercapainya program yang diharapkan pada tahun 2019. Saat awal diimplementasikan terdapat banyak perubahan yang terjadi pada layanan kesehatan di Indonesia pada umumnya, yang secara khusus dibahas saat ini adalah perubahan pada RSCM. Perubahan-perubahan akibat JKN tersebut terutama dirasakan dari segi non medis, bukan pada segi medis. Hal ini karena tidak ada perubahan pada standar operasional (Standard of Procedure) berbagai tindakan medis, clinical pathway yang digunakan serta assesment medis yang dilakukan antara era JKN dan pra JKN. Beberapa perubahan yang terjadi pada era JKN tidak bisa dielaborasi seluruhnya pada tulisan ini, namun akan dipaparkan perubahan-perubahan yang dinilai penting dan mempengaruhi kesintasan. Identifikasi perubahan-perubahan ini didapat dari data kualitatif di lapangan. Belum ada penelitian kuantitatif mengenai hal ini, karena penelitian ini adalah penelitian pertama yang secara kuantitatif melihat efek dari penerapan JKN. Perubahan yang nyata terlihat adalah mengenai ketersediaan obat, alat atau bahan medis. Tidak tersedianya obat dan peralatan medis dapat mengakibatkan keterlambatan diagnostik dan tatalaksana , yang pada akhirnya bisa mempengaruhi mortalitas. Ketidaktersediaan obat, alat dan bahan medis ini terkait dengan dikeluarkannya formularium nasional. Penyedia obat dan alat medis yang terdaftar di dalam formularium nasional diharuskan untuk memasok seluruh rumah sakit di Indonesia yang terdaftar dalam program JKN. Perubahan supply dan demand ini dapat menjadi penyebab sering tidak tersedianya persediaan obat dari pemasok. Pada analisis sensitifitas, dilakukan analisis sub grup setelah subjek-subjek yang menjadi outlier (biaya rawat dan lama rawat) dieksklusi. Lima sampel dari masing-masing kelompok dieksklusi dan dilakukan analisis mortalitas. Didapatkan hasil yang tidak berbeda, dengan mortalitas saat perawatan dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN dan non JKN adalah 30,8% vs 28,4%(p = 0,701) dan 63,5% vs
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
55
65,8% (p=0,769). Kelompok JKN tetap memiliki angka mortalitas absolut yang lebih besar dibanding non JKN sebesar 2,4% dan kesintasan lebih rendah 2,3% namun tidak bermakna secara statistik. 6.5 Biaya rawat Biaya total perawatan antara kelompok JKN dan non JKN tidak berbeda bermakna, dengan kelompok JKN memiliki rerata yang sedikit lebih besar dibanding non JKN.(2,43 juta vs 2,23 juta). Biaya material yaitu obat dan alat medis menyumbang biaya rawat terbesar. Hal ini serupa dengan penelitian analisis efektivitas biaya oleh Soejono5 yang mendapatkan biaya rawat terbesar diperoleh dari biaya material. Selain biaya material, komponen biaya yang juga perlu untuk diperhatikan adalah biaya sarana. Contoh biaya sarana yang dimaksud adalah tindakan bedah, intervensi non bedah, hemodialisis, dan transfusi. Dari biaya total perawatan terdapat tiga pasien yang masuk dalam outliers, karena memiliki biaya total rawat >100 juta. Pada pengamatan lebih lanjut untuk menelaah penyebabnya, subjek dengan biaya tertinggi (mencapai 140 juta) merupakan subjek dengan lama rawat terlama dan selama perawatan menjalani dua kali tindakan bedah. Subjek kedua merupakan pasien yang menjalani hemodialisa dan transfusi produk darah berulang, yang menjelaskan biaya rawat yang besar. Subjek yang ketiga merupakan pasien dengan comorbiditas yang banyak, yang selama perawatan menjalani prosedur non bedah berulang dengan antibiotik jangka panjang. Prosedur atau tindakan medis, baik bedah maupun non bedah merupakan salah satu faktor penting yang menentukan besarnya biaya rawat. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama perawatan (56% pada non JKN dan 60% pada JKN). Pada kelompok non JKN terdapat 8 persen subjek yang dirawat tanpa menggunakan jaminan kesehatan (biaya umum). Ini merupakan salah satu alasan utama diterapkannya JKN, untuk mencapai universal coverage yaitu tiap penduduk tanpa terkecuali memiliki jaminan kesehatan. Pada penelitian ini, dapat dilihat 100 persen subjek pada era JKN yang menjalani perawatan menggunakan JKN, tidak ada
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
56
yang menggunakan biaya sendiri. Meskipun penerapan JKN belum lama terlaksana, namun sudah terlihat keberhasilan dari segi tujuan universal coverage tersebut. Perlu diingat bahwa biaya perawatan antara kedua kelompok tersebut dipengaruhi oleh tingkat inflasi dan situasi perekonomian di Indonesia. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi yang sering digunakan untuk mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di tingkat konsumen, khususnya di daerah perkotaan. Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dari persentase perubahan IHK dan diumumkan ke publik setiap awal bulan (hari kerja pertama) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).51 Pada Januari 2014 terjadi inflasi sebesar 1,07 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 110,99. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks beberapa kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok bahan makanan 2,77 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,72 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 1,01 persen; kelompok sandang 0,55 persen; kelompok kesehatan 0,72 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,28 persen; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,20 persen. Pada kelompok kesehatan hanya terjadi peningkatan harga sebesar 0,72 persen dan hanya memberikan andil sebesar 0,03% dari inflasi nasional bulan Januari 2014 (1,07 %). Sampai dengan bulan Juni 2014 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 1,98%, angka yang tergolong inflasi ringan (<10%) dengan nilai IHK 112,01. Untuk membandingkan tingkat inflasi antar kedua kelompok menjadi sulit karena perhitungan IHK pada tahun 2014 menggunakan metode baru, dan bukan merupakan kelanjutan tahun 2013. IHK 2013 menggunakan titik acuan 100 pada tahun 2007, sedangkan IHK 2014 menggunakan titik acuan yang baru yaitu pada tahun 2012. Namun bila kita melihat tingkat inflasi yang ringan pada periode tersebut, dengan peran kelompok kesehatan yang kecil pada inflasi tersebut, nilai inflasi dapat diabaiakan pada perhitungan biaya.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
57
Terdapat perbedaan biaya rawat antara kedua kelompok, dengan kelompok JKN menunjukkan biaya rawat yang lebih besar dibanding kelompok non JKN. Hal ini dapat diakibatkan karena terdapat perbedaan tarif obat-obatan dan peralatan medis pada kedua era. Tarif beberapa obat, alat dan bahan medis habis pakai pada era JKN berbeda dengan era pra JKN, beberapa mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Ketika dibandingkan beberapa tarif obat, alat dan prosedur medis yang umum penggunaannya diantara kedua era, ditemukan tarif pada era JKN relatif lebih mahal dibanding era pra JKN. Peningkatan tarif tersebut bervariasi dari hanya 6% sampai mencapai 200%. Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, salah satu dampak penerapan JKN adalah penyedia obat dan alat medis yang terdaftar dalam formularium nasional diberi kepercayaan memasok obat dan alat medis ke seluruh rumah sakit di Indonesia yang tergabung dalam program JKN. Hal ini dapat menyebabkan beberapa perubahan dalam perusahaan-perusahaan terkait, dan salah satu perubahan yang terjadi adalah penyesuaian harga obat. Namun mengingat era JKN terletak di masa yang berbeda dengan era non JKN, perubahan tarif ini juga dapat disebabkan akibat perubahan pada situasi perekonomian Indonesia, dan bukan akibat penerapan JKN itu sendiri. Sulit untuk mengidentifikasi faktor mana yang menyebabkan peningkatan tarif ini, karena penentuan tarif ditentukan dari berbagai macam faktor yang berada di luar cakupan penelitian ini. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil penelitian ini yang menunjukkan biaya rawat pada era JKN lebih besar dibanding pada era pra JKN. Infeksi dan pneumonia pada geriatri merupakan penyebab utama perawatan di berbagai negara di Asia5,42,49 dan Eropa43, dan dapat menyebabkan peningkatan biaya akibat tatalaksananya. Tatalaksana pneumonia dan sepsis biasanya meliputi pemberian antibiotika empirik broad spectrum, pemasangan central venous catheter untuk pemantauan cairan, transfusi darah untuk mencukupi oksigenasi perifer dan panel-panel laboratorium dan mikrobiologi yang ketat; kesemuanya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Lama rawat yang panjang akan menyebabkan peningkatan
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
58
biaya perawatan secara langsung lewat peningkatan biaya ruangan, biaya material dan sarana. Pada studi ini, terdapat 10 subjek yang memiliki biaya rawat besar, yang menjadikan mereka outlier dalam variabel biaya. Dari 10 subjek tersebut, yang memiliki biaya terbesar adalah subjek pada kelompok JKN, yaitu sebesar 140 juta. Rentang biaya pada 10 subjek tersebut berkisar dari 70 juta-140 juta, sedangkan subjek lainnya biaya perawatannya seluruhnya dibawah 65 juta. Saat dilakukan sub group analysis pada ke 10 subjek tersebut, didapatkan bahwa semuanya memiliki diagnosis sepsis atau pneumonia, dengan lama rawat >30 hari. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari infeksi dan lama rawat terhadap biaya perawatan. Dari 10 subjek tersebut, hanya ada satu subjek dengan karakteristik yang berbeda dengan lainnya. Subjek tersebut menjalani perawatan <30 hari dan tidak mengalami infeksi. Namun subjek tersebut dirawat dengan penyakit dasar pansitopeni, yang menyebabkan selama perawatan dilakukan transfusi produk darah berulang. Transfusi produk darah, termasuk albumin, merupakan komponen penting yang mempengaruhi pembiayaan, karena besarnya biaya penyediaan produk darah tersebut. Analisis terhadap biaya dengan menyingkirkan 10 outlier tersebut tidak menunjukkan perbedaan hasil yang bermakna. 6.6 Analisis efektivitas biaya Analisis efektivitas biaya merupakan salah satu analisis ekonomi kesehatan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh hubungan antara variabel luaran suatu intervensi atau program baru dengan biaya terkait. Hasil dinyatakan sebagai satuan biaya per satuan efek yang terjadi. Analisis efektivitas biaya makin sering digunakan saat ini pada studi intervensi kesehatan. 37 Pada penelitian ini dihitung hubungan antara variabel biaya rawat dan kesintasan 30 hari antara kedua kelompok. Pada perhitungan ICER, dapat dilihat
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
59
posisi JKN berada di kuadran kiri atas. Hal ini berarti investor perlu menginvestasi biaya sebesar 1,4 juta untuk memperoleh penurunan kesintasan sebesar 1,2%. Penting diperhatikan di sini implementasi JKN yang belum lama di Indonesia. Konsep JKN yaitu ekuitas dan asuransi sosial merupakan konsep yang baik dan jika terselenggara dengan baik diharapkan mampu meningkatkan efektifitas biaya. Pada JKN, pembayaran ke layanan kesehatan dilakukan secara prosepektif berdasarkan INA-CBG. Dengan ini diharapkan penyedia layanan kesehatan melakukan perubahan-perubahan pada sistem pelayanan sehingga meningkatkan efisiensi layanannya. Perubahan yang dimaksudkan bukanlah dengan melakukan fraud, yaitu dengan memulangkan pasien yang masih memiliki indikasi rawat, pemilihan metode diagnostik dan terapi yang bukan tepat guna namun lebih hemat biaya atau metodemetode lain yang tidak mementingkan kesehatan pasien. Perubahan yang diharapkan adalah dengan membuat clinical pathway, terbentuknya sistem rujukan yang baik, meningkatkan kesediaan tenaga layanan kesehatan, pemilihan metode terapi dan diagnostik yang tepat dan berdaya guna. Perubahan lain yang diharapkan adalah dibentuknya suatu formularium nasional, yaitu daftar obat-obatan dan alat medis yang teruji efektivitasnya namun dapat diperoleh dengan biaya yang sesuai. Perubahan-perubahan tersebut sampai saat ini belum tercapai dengan baik, yang menandakan JKN belum terimplementasi sesuai konsep yang dicanangkan. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam melakukan interpretasi terhadap hasil penelitian ini. Seperti telah dibahas sebelumnya, terdapat 10 subjek yang memiliki karakteristik biaya berbeda dengan subjek lainnya (outliers). Untuk menyingkirkan kemungkinan 10 subjek tersebut mempengaruhi hasil analisis, dilakukan analisis sensitifitas tanpa memasukkan 10 subjek tersebut. Hasilnya tetap serupa dimana perhitungan ICER terhadap kesintasan dan biaya menduduki kuadran kiri atas. Tidak ditemukan pula perbedaan bermakna antara mortalitas pada kedua kelompok. Dapat disimpulkan walaupun 10 subjek tersebut memiliki karakteristik yang relatif berbeda dengan subjek lainnya, keikutsertaan mereka dalam analisis tidak mempengaruhi hasil analisisnya.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
60
6.7 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Kelebihan penelitian ini adalah bahwa ini merupakan penelitian pertama yang membandingkan pengaruh penerapan sistem pembiayaan JKN terhadap luaran tertentu. Penelitian ini merupakan suatu bentuk evaluasi awal terhadap program pembiayaan nasional yang diimplementasikan pemerintah Indonesia, sehingga datadata yang diperoleh dapat membantu dalam penentuan kebijakan selanjutnya. Meskipun demikian, penelitian ini belum dapat dinilai sebagai suatu bentuk evaluasi program yang sudah komplit. Sistem INA CBGs terakhir yang diadopsi sebagai dasar klasifikasi dan pembiayaan program JKN merupakan suatu sistem yang disusun berdasar penelitian observasi selama setahun (2013-2014) terhadap bermacam-macam pembiayaan dan kriteria diagnosis di Indonesia. Seyogyanya evaluasi terhadap program ini dilakukan juga dengan interval satu tahun semenjak program ini dilaksanakan. Hasil yang diperoleh tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai evaluasi akhir dari efek JKN terhadap mortalitas pasien geriatri. Perlu dipertimbangkan adanya waktu transisi dari era non JKN ke era JKN, dimana sangat rentan terjadi analisis terhadap era transisi, dan bukan era murni dimana telah terimplementasi sistem JKN sesuai dengan yang diharapkan. Dalam peta jalan jaminan kesehatan nasional disebutkan bahwa implementasi JKN sendiri dimulai tanggal 1 Januari 2014, dan akan terus dikembangkan sampai tahun 2019, dimana diharapkan telah terimplementasi dalam jangka waktu lebih panjang. Meskipun demikian, penelitian ini dapat dipandang sebagai suatu penelitian pendahuluan sebagai dasar dalam mengembangkan penelitian evaluasi program ke depannya. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dilakukan klasifikasi lanjut dari diagnosis. Sebagai contoh diagnosis pneumonia, dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi pneumonia komunitas, atau yang hospital associated pneumonia, atau klasifikasi lanjut dari sepsis seperti sepsis berat atau syok sepsis. Diagnosis seperti
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
61
pneumonia dan sepsis memiliki implikasi besar terhadap lama rawat, mortalitas dan biaya. Klasifikasi yang lebih tajam dapat membantu melihat sebaran karakteristik klinis yang lebih mendetail, sehingga membantu interpretasi data penelitian. Kelemahan ini sebenarnya tidak lepas dari desain penelitian ini, yaitu kohort retrospektif, dimana peneliti tidak dapat mengontrol data yang dikumpulkan seperti pada penelitian prospektif. Data yang didapat adalah dari rekam medis dan catatan elektronik rumah sakit (electronic health record), sehingga bila ada data yang tidak ada, tidak tepat atau tidak sesuai dengan keperluan penelitian maka tidak dapat digunakan. Pada penelitian ini terdapat kurang lebih 25% dari populasi terjangkau yang tidak diikutsertakan dalam penelitian karena rekam medis tidak ditemukan. Terdapat kemungkinan hasil penelitian ini tidak dapat sepenuhnya mewakili populasi yang dituju, dan perlu menjadi perhatian sebelum menginterpolasikan data yang diperoleh ini. 6.8. Generalisasi Hasil Penelitian Penelitian terhadap validitas interna dilakukan dengan memperhatikan apakah subjek yang menyelesaikan penelitian dapat mempresentasikan sampel yang memenuhi kriteria pemilihan subjek. Pada penelitian ini, semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan menyelesaikan penelitian. Namun, terdapat 65 (28,9%) subjek yang tidak dapat dilakukan penelusuran lanjut lewat telepon untuk melihat apakah terjadi event (kematian) atau tidak. Dari 65 subjek tersebut, 33 subjek berada pada kelompok non JKN dan 32 subjek pada kelompok JKN. Pada analisis sensitifitas didapatkan tidak terdapat perbedaan karakteristik klinis, demografis dan faktor-faktor prediktor mortalitas dari kedua kelompok subjek tersebut. Berdasarkan hasil analisis sensitifitas tersebut, disimpulkan data yang hilang tersebut terjadi secara acak (missing at random), dan tidak mempengaruhi validitas interna. Validitias interna dari penelitian ini dapat dikatakan baik. Untuk validitas eksterna I, dilihat apakah subjek yang direkrut sesuai dengan kriteria pemilihan (intended sample) pada penelitian ini dapat mewakili populasi
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
62
terjangkau (accesible population). Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun yang dirawat di ruang rawat inap akut geriatri RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014. Dilakukan total sampling pada seluruh subjek yang memenuhi kriteria pemilihan pada periode tersebut. Dari 319 subjek yang berada pada periode waktu tertentu, terdapat 94 subjek yang dieksklusi; 45 pada era JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup banyak, dan menyebabkan missing data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total subjek. Dilakukan analisis sensitifitas terhadap karakteristik subjek yang dieksklusi, untuk melihat apakah data yang hilang terjadi secara acak. Pada analisis terhadap karakteristik demografis dan klinis, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara data yang hilang pada kelompok JKN dan non JKN. Terdapat satu diagnosis yang tersebar tidak merata pada kedua kelompok data yang hilang, yaitu sindrom delirium akut. (20% pada kelompok non JKN dan 5% pada kelompok JKN). Namun, perbedaan pada proporsi sindrom delirium akut ini tidaklah menyebabkan terjadinya missing data. Berdasarkan hal tersebut, validitas eksterna I penelitian ini masih diragukan. Untuk validitas eksterna II, dilihat apakah populasi terjangkau pada penelitian ini dapat mewakili populasi target penelitian ini. Populasi target penelitian ini adalah pasien geriatri berusia lebih atau sama dengan 60 tahun di Indonesia. RSCM merupakan rumah sakit rujukan nasional, sehingga pasien-pasien yang datang berobat ke RSCM merupakan rujukan dari berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menyebabkan populasi geriatri yang ada di RSCM memiliki karakteristik penyakit yang lebih kompleks dibandingkan dengan populasi geriatri di luar RSCM. Pengambilan sampel pada penelitian ini juga dilakukan pada pasien geriatri di ruang rawat, sehingga tidak mewakili populasi geriatri di komunitas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, validitas eksterna II dari penelitian ini dianggap kurang baik.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Tidak ada perbedaan antara kesintasan pasien yang dirawat dengan metode P3G di ruang rawat geriatri akut RSCM pada era non JKN dengan era JKN. 2. Berdasarkan perhitungan incremental cost effectiveness ratio, dibutuhkan investasi biaya tertentu untuk mencapai penurunan kesintasan pada penerapan JKN. Analisis terhadap masing-masing komponen dari ICER (kesintasan dan biaya) antara kedua kelompok tidak menberikan perbedaan yang bermakna secara statistik dan dinilai tidak bermakna secara klinis. 7.2 Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan yang mengevaluasi program JKN saat telah terimplentasi dalam jangka waktu yang lebih panjang, untuk menyingkirkan kemungkinan adanya era transisi non JKN ke JKN yang dapat merancukan hasil penelitian. 2. Ada keterkaitan erat antara biaya dan kualitas layanan kesehatan sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya yang berbasis kesehatan baik segi etiologi, diagnostik, terapi dan prognostik sebaiknya menyertakan analisis ekonomi kesehatan. 3. Diperlukan suatu evaluasi berkala terhadap pelaksanaan P3G, untuk memastikan terpeliharanya kualitas layanan sesuai yang dimaksudkan, yang tidak terpengaruh oleh sistem pembiayaan dan faktor eksternal lain.
63 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
RINGKASAN Populasi geriatri makin berkembang seiring waktu. Geriatri memiliki karakteristik yang khas sehingga memerlukan pendekatan khusus dalam penatalaksanaan masalah kesehatannya, yang dikenal dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). P3G telah menjadi standar pelayanan di RSCM dan terbukti menghasilkan luaran perawatan yang lebih baik, dari segi mortalitas, rehospitalisasi, lama masa rawat, perbauikan kualitas hidup dan lebih efektif biaya. Semenjak awal tahun 2014, di Indonesia mulai diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional, menggantikan sistem jaminan kesehatan sebelumnya yang masih sangat bervariasi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah terdapat perbedaan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada era JKN dibanding era non JKN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM antara era JKN dan non JKN. Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan angka mortalitas, kurva kesintasan dan efektivitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost effectivitveness ratio (ICER). Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Sebagian besar subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin perempuan, berada pada kelompok usia 60-79 tahun, bersuku Jawa, dan tidak bersekolah. Terdapat kesetaraan karakteristik demografis pada kedua kelompok. Subjek pada kelompok JKN memiliki proporsi penyakit pneumonia, sepsis dan sindrom delirium akut yang lebih tinggi, serta nilai albumin dan status gizi yang lebih rendah dibandingkan kelompok non JKN, namun tidak bermakna secara statistik. Tidak ada perbedaan mortalitas selama perawatan( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN 64 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
65
dan non JKN ( 66,4% vs 65,2 %, p = 0.086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (log rank = 0,831). Hasil perhitungan ICER menunjukkan dengan investasi biaya sebesar 1,4 juta diperoleh penurunan kesintasan sebesar 1,2%. Dari penelitian ini disimpulkan tidak ada perbedaan kesintasan antara pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan pada penerapan JKN, namun interpretasi hasil ini perlu mempertimbangkan implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
SUMMARY Geriatrics is a growing population with special characteristics and medical problems. Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to improve the
overall
outcome
of
inpatient
geriatric
patients,
including
mortality,
rehospitalization, quality of life, length of stay dan more cost effective. CGA has been implemented in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January 2014, a new insurance system called National Health Insurance Program (NHIP) was implemented in Indonesia. It is unclear how NHI will affect the mortality rate and cost effectiveness of geriatric inpatients receiving CGA. The objectives of this study is to determine the difference between cost effectiveness and survival of geriatric patients between NHIP and non NHIP era in RSCM acute geriatric ward inpatients. This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare the survival and cost effectiveness between the two group. The result are as follows. A total of 225 subject was recruited, 100 in NHIP era dan 125 in non NHIP era. Most of the subjects in both groups are women, in the 61-80 group of age, and didn’t attend school. The clinical and demographics characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. The subject in NHIP group had higher proportion of pneumonia, sepsis, acute confusional state and lower albumin and nutritional level compared with non NHIP group, though not statistically significant. No difference in 30 day mortaliy rate and inhospital mortality were found between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 29%, p = 0,721 and 31,2% vs 28%, p=0,602, respectively). No significant difference was found when comparing the survival curve between the two group (log rank = 0,831). Calculation of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah and 1,2 % survival lost. 66 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
67
Based on this study, we can conclude that NHIP had no impact on survival in geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization, Tufts University School of Nutrition and Policy, editors. Keepfit for life: Meeting the nutritional needs of older persons [Internet]. Geneva: WHO publications; 2002. Diunduh pada 24 April 2014 di http://whqlibdoc.who.int/publications/9241562102.pdf 2. United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division 2013. World Population Prospects: The 2012 Revision, Highlights and Advance Tables. Working Paper No. ESA/P/WP.228. 3. Mulley G. Geriatric Medicine Defined [Internet]. United Kingdom British Geriatrics
Society.
2010.
Diunduh
pada
9
Juli
2014
di
http://www.bgs.org.uk/index.php?option=com_content&view=article&id=87&Ite mid=72 4. Freedman VA, Martin LG. Contribution of chronic conditions to aggregate changes in old-age functioning. Am J Public Health. 2000;90:1755-60. 5. Vogeli C, Shields AE, Lee TA, Gibson TB, Marder WD, Weiss KB, et al. Multiple chronic conditions: prevalence, health consequences, and implications for quality, care management and costs. JGIM. 2007; 22:391-5. 6. Soejono CH. The Impact of ‘Comprehensive Geriatric Assessment (CGA)’ Implementation on The Effectiveness and Cost (CEA) of Healthcare in an Acute Geriatric Ward. Indonesia J Intern Med. 2008;40(1) :3-10. 7. BAPPENAS, BPS, UNFPA. Proyeksi penduduk Indonesia (Indonesia population projection) 2010-2035. Jakarta: Bappenas; Juli 2013. 8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Tim penyusun bahan sosialisasi dan advokasi JKN. Buku pegangan sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Indonesia: 2014. 9. Freedman VA, Martin LG. Contribution of chronic conditions to aggregate changes in old-age functioning. Am J Public Health. 2000;90:1755-60. 10. Cavalli A, Del Vecchio L, Locatelli F. Geriatric nephrology. J Nephrol 2010;23:11-5. 68 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
69
11. DeFrances CJ, Lucas CA, Buie VC, Golosinskiy A. National Hospital Discharge Survey. Natl Health Stat Report. 2008 Jul 30;(5):1-20. 12. Inouye SK, Zhang Y, Han L, Leo-Summers L, Jones R. Recoverable cognitive dysfunction at hospital admission in older persons during acute illness. J Gen Intern Med. 2006;21:1276–81. 13. Boyd CM, Landefeld CS, Counsell SR, Palmer RM, Fortinsky RH. Recovery of activities of daily living in older adults after hospitalization for acute medical illness. J Am Geriatr Soc. 2008;56:2171-9. 14. Lee SJ, Lindquist K, Segal MR, Covinsky KE. Development and validation of a prognostic index for 4-year mortality in older adults. JAMA. 2006;295:801-8. 15. Rikkert O, Rigaud, Hoeyweghen, de Graaf. Geriatric syndromes: medical misnomer or progress in geriatrics. Neth J Med. 2003;61(3):83-7. 16. Wang SY, Shamliyan TA, Talley KM, Ramakrishnan R, Kane RL. Not just specific diseases: systematic review of the association of geriatric syndromes with hospitalization ornursing home admission. Arch Gerontol Geriatr. 2013;57(1):1626. 17. Inouye SK, Tinneti ME, Gill TM, Doucette J. Shared risk factor for falls, incontinence, and functional dependence. Unifying the approach to geriatric syndromes. JAMA 1995;3(273(17)):1348-53. 18. Kane RL, Shamliyan, T., Talley, K. and Pacala, J. The Association Between Geriatric Syndromes and Survival. J Am Geriatr Soc. 2012;60:896–904. 19. Wood R, Bain S. The Health and Well-being of Older People in Scotland: Insights from National Data. Edinburgh: Information and Statistics Division; 2001. 20. Harris T, Kovar MG, Suzman R, Kleinman JC, Feldman JJ. Longitudinal study of physical ability in the oldest-old. Am J Public Health. 1989;79(6):698–702. 21. Rubenstein LZ, Josephson KR, Wieland GD. Effectiveness of a geriatric evaluation unit : A randomized clinical trial. N Engl J Med. 1984;311(26):1664– 70.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
70
22. Wieland D, Ferrucci L. Multidimensional geriatric assessment: back to the future. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2008;63(3):272-4. 23. Preamble to the Constitution of the World Health Organization International Health Conference; 19-22 June; New York: WHO; 1946. p. 100. 24. Supartondo. Pendekatan klinik pasien geriatri di rawat jalan dan rawat inap. Prosiding simposium “Temu Ilmiah Geriatri 2002”: Penatalaksanaan pasien geriatri/usia lanjut secara terpadu dan paripurna. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2002. p. 18-21. 25. Cameron HJ. Clinical trials in the elderly: Should we do more. Drugs Aging. 1996;9(9):307-10. 26. Thabrany H. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional: sebuah policy paper dalam analisis kesesuaian tujuan dan struktur BPJS. Jakarta 2009. 27. Busse R, Geissler A, Aaviksoo A, Cots F, Hakkinen U, Kobel C. Diagnosis related groups in Europe: moving towards transparency, efficiency, and quality in hospitals. BMJ. 2013;346:f3197. 28. Fetter RB SY, Freeman JL, Averill RF, Thompson JD. Case mix definition by diagnosis related groups. Medical Care. 1980;18(2):1-53. 29. Fetter RB, Freeman JL. Diagnosis related groups: product linemanagement within hospitals. Academy of Management Review. 1986;11(1):41-54. 30. O'Reilly J, Lowson K, Young J, Forster A, Green J, Small N. A cost effectiveness analysis within a randomised controlled trial of post-acute care of older people in a community hospital. BMJ. 2006;333(7561):228. 31. Bambang W. Tarif INA-CBG untuk JKN 2014. Case-mix Indonesia: PERSIJakarta; 2013. 32. Rokx C, Schieber G, Harimurti P, Tandon A, Somanathan A. Health financing in Indonesia: a reform road map. 2009. Indonesia: The World Bank. 33. Aljunid SM. Introduction to Casemix/DRG system: The need for a computerized processing environment. International Institute for Global Health (UNU-IIGH), Information technology for universal health coverage (ITUHC); 25-27 September; Manila, Filipina 2013.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
71
34. Madden R, Marshall R, Race S. ICGF and casemix models for healthcare funding: use of the WHO family of classifications to improve casemix. Disability & Rehabilitation. 2013;2013(13):1074-7. 35. Drummond MF. Methods for the evaluation of health care programmes. 3rd ed. Oxford: Oxford Medical Publications; 2005. 36. Polinder S, Toet, H, Panneman M, Van beeck, editors. Methodological approach for cost effectiveness and cost-utility analysis of injury prevention measure. 2011. World Health Organization Regional Office For Europe. 37. Edejer TT. Making choices in health: the WHO guide to cost–effectiveness analysis.
2003.
Diunduh
1
April
2014
dari
www.who.int/choice/publications/p_2003_generalised_cea.pdf 38. Gold MR. Cost–effectiveness in health and medicine. New York: Oxford University Press; 1996. 39. National Institute for Health and Clinical Excellence. Guide to the methods of technology appraisal [Internet]. Diunduh dari www.nice.org.uk/ media/ B52/ A7/ TAMethodsGuideUpdatedJune2008.pdf pada 11 Mei 2014 40. Drummond MF, Jefferson TO. Guidelines for authorsand peer reviewers of economic submissions to the BMJ. BMJ 1996;313: 275–283. 41. Ferrucci L, Weilan D. Multidimensional Geriatric Assessment: back to the future. J Gerontol A BiolSci Med Sci. 2008;63:272-4. 42. Epriliawati M. Uji validasi Pneumonia severity index (PSI) dan curb-65 dalam memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan Pneumonia komunitas. Perpustakaan FKUI; 2011. 43. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Validation study of Charlson Comorbidity Index in predicting mortality in Chinese older adults. Geriatr Gerontol Int 2014; 14: 452–457. 44. Buurman B, Hoogerduijn JG, de Haan R, Abu-Hanna A, Lagaay AM, Verhaar HJ, et al. Geriatric Conditions in Acutely Hospitalized Older Patients: Prevalence and One-Year Survival and Functional Decline. PLoS ONE 6(11): e26951. doi:10.1371/journal.pone.0026951.
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
72
45. Riset kesehatan dasar: RISKESDAS 2013. In: Kesehatan BPdP, editor: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. 46. Taffet GE, editor. Physiology of Aging. 4 ed. New York: Springer, 2003;2:20-38. 47. Calle A, Márquez MA, Arellano M, Pérez LM, Pi-Figueras M, Miralles R. Geriatric Assessment and Prognostic Factors of Mortality in Very Elderly Patients With Community-Acquired Pneumonia . Arch Bronconeumol. 2014;50(10):429– 434. 48. Zekry D, Valle BH, Graf G, Michel JP, Gold G, Krause KH et al. Prospective Comparison of Comorbidity Indices as Predictors of 1-Year Post-Hospital Discharge Institutionalization, Readmission, and Mortality in Elderly Individuals. J Biomed Inform. Jun 2013; 46(3):410-424 49. Dias A, Teixeira-Lopes F, Miranda A, Alves M, Narciso M, Mieiro L, et al.. Comorbidity burden assessment in older people admitted to a Portuguese University Hospital. Aging Clin Exp Res DOI 10.1007/s40520-014-0280-5 50. Chan TC, Luk JH, Chu LW, Chan FH. Association between body mass index and cause-specific mortality as well as hospitalization in frail Chinese older adults. Geriatr Gerontol Int. 2014 Jan 12. doi: 10.1111/ggi.12230. [Epub ahead of print] 51. Ellis G, Whitehead MA, Robinson D, O'Neill D, Langhorne P. Comprehensive geriatric assessment for older adults admitted to hospital: meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ 2011;343:d6553. 52. Badan Pusat Statistik. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No. 10/02/Th. XVII, 3 Februari 2014. Diunduh pada 3 Januari 2015
Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
LAMPIRAN Cost-effectiveness Analysis of National Health Insurance for Geriatric Patients Receiving CGA dr. Hari Sutanto/ dr. Ika Fitriana/ dr. Paskalis
LAMPIRAN LAMPIRAN 12
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
NO.
FORMULIR PENELITIAN Identitas Pasien 1. Nama
: Tn/ Ny. ______________
No RM :______________________
2. Tanggal lahir
: _____________________
Usia
3. Alamat
: _______________________________________________________
4. Suku
: _____________________
No telp : ______________________
5. Agama
: _____________________
Status : ______________________
6. Pekerjaan
: PNS/ Swasta/ Pensiun/ Tidak bekerja
7. Pendidikan
: Tidak Sekolah / SD / SMP / SMU / S1 / S2 / S3
: ______________________
8. Tanggal masuk : _______________________________________________________ 9. Penghasilan
: < 1juta / 1-3 juta / 3-5 juta / > 5 juta
Pembiayaan □
Era non JKN
□
Era JKN
□
Askes
□
Jamkesda
□
Umum
□
Jamkesmas
□
KJS
□
Lain2: ____________
===========================================================================================================
Keluhan Utama Masuk_________________________________________________________ Pemeriksaan Fisik Awal 1. GCS
: ___________________
5. Laju napas
: ___________________
2. TD sistole
: ___________________
6. Suhu
: ___________________
3. TD diastole
: ___________________
7. BB
: ___________________
4. Nadi
: ___________________
8. TB
: ___________________
Laboratorium Hb
SGOT
pH
Ht
SGPT
pCO2
Leuko
GDS
PO2
Trombo
Albumin
HCO3
Ur
Na
FiO2
Cr
K
73 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015
74 Perbandingan kesintasan..., Paskalis Andrew Gunawan, FK UI, 2015