UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 1 APRIL – 24 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DONNY LUKMANTO, S. Farm. 1306343523
ANGKATAN LXXVIII
PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVE RSITAS IND O NESIA DEPOK JUNI 2014
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN JL PERCETAKAN NEGARA NO. 23 JAKARTA PUSAT PERIODE 1 APRIL – 24 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
DONNY LUKMANTO, S. Farm. 1306343523 ANGKATAN LXXVIII
PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JUNI 2014 i
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 27 Juni 2014
Donny Lukmanto
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Laporan Praktek Kerja ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Donny Lukmanto
NPM
: 1306343523
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 27 Juni 2014
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktek Ke{a Profesi Apoteker ini diajukan oleh Nama : Donny Lukmanto, S. Farm.
NPM
:1306343523 : Apoteker :Laporan Praktek Ke{a Profesi Apoteker di Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan periode 1 April
Program Studi Judul Laporan
24 Aprrl2014
-
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Apoteker Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI '-j
Pembimbing
I
Pembimbing
II
Penguji i
I
Penguji tr
Dra. Deksa Presian&, M. Kes., Apt.
Sutriyo, M.Si.,Apt. Dr.
Berna Elyo,
t\t.Si., Aet .
?.{. h. Erdang ltonanr; t'l's'
.
, APt .
I
i
Penguji
III
Dro
.
trlrdiastvti /drputra, APt.
I
i
i i
Ditetapkan di Tanggal
Depok
.fi Juni
1p1t1
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
(.,.....:. ('"'''.',
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Tri Ratna karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan.. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker pada Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan
dari
berbagai pihak, penulis tidak bisa menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dra. Deksa Presiana, Apt., M.Kes, selaku Ka. Sub. Dit. Standardisasi Produk Pangan, juga selaku pembimbing dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan selama pelaksanaan PKPA; 2. Bapak Sutriyo, M,Si. ,Apt. selaku pembimbing dari Universitas Indonesia yang telah dengan sabar banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis selama melaksanakan PKPA. 3. Bapak Dr. Roy A. Sparringga M.App.Sc, selaku Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 4. Bapak Drs. Suratmono, MP, selaku Plt. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. 5. Ir. Tetty H. Sihombing., MP, Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia atas kesempatan yang diberikan selama pelaksanaan PKPA di Direktorat Standardisasi Produk Pangan 6. Dr. Mahdi Jufri, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 7 . Dr. H a y u n , M s i . , Apt., selaku ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalankan Program Kerja Profesi Apoteker (PKPA) iii
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Fakultas Farmasi UI. 8. Seluruh staf
dan karyawan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, khususnya Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, yang telah memberikan bantuan dan perhatian selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 9. Teman teman PKPA di Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia ( Mila Febrina, Mutia Sari, Bu Renny L., Rita Asepta, dan Tatu Ratna) atas bantuan, kerja sama dan kepercayaanya kepada penulis selama penulis menjalankan PKPA. 10. Keluarga penulis (Papa, Mami, Ryan Gustomo, Vincent) atas dukungan yang tidak ternilai kepada penulis selama penulis menjalankan PKPA. 11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama penulisan laporan PKPA ini. Penulis
2014
iv
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Donny Lukmanto NPM : 1306343523 Program Studi : Profesi Apoteker Fakultas : Farmasi Jenis Karya : Laporan Praktek Kerja demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat Periode 1 April - 24 April 2014
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada Tanggal : 27 Juni 2014 Yang menyatakan
(Donny Lukmanto)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
ABSTRAK
Nama : Donny Lukmanto Program Studi : Profesi Apoteker Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat Periode 1 April - 24 April 2014. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM ) bertujuan agar calon apoteker memiliki wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan makanan dalam lembaga pemerintahan, memberi kesemaptan kepada calon apoteker untuk melihat, mempelajari, dan memahami peran dan fungsi yang dilakukan oleh Direktorat Standardisasi Produk Pangan dalam rangka menjalankan tugas di pemerintahan, dan meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang Badan POM. Tugas khusus yang diberikan berjudul Penyusunan Konsep Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI 1) Keripik Apel dengan tujuan untuk mempelajari dan mengetahui proses perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI), mempelajari dan mengetahui tujuan penyusunan RSNI 1keripik apel, dan menyusun RSNI 1 keripik apel.
Kata Kunci
: Laporan PKPA, Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Pemerintahan, Badan POM, Keripik Apel Tugas umum : viii +58 halaman; 7 gambar, 4 tabel, Tugas khusus : v +54 halaman; 3 gambar, 1 tabel, 1 lampiran Bibliografi Tugas Umum : 34 (1997-2013) Bibliografi Tugas Khusus : 13 (1996-2014)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
ABSTRACT
Name : Donny Lukmanto Study Program : Apothecary Professional Program Title : Report of Apothecary Internship at Food Products Standardization Directorate National Agency Drug and Food Control Percetakan Negara No. 23 Central Jakarta 1 April - 24 April 2014 Period Apothecary Internship at Food Products Standardization Directorate National Agency Drug and Food Control aims are: pharmacist trainee to have proper knowledges, skills, and experiences to work in field of pharmacy and food at government institution; to observe, to learn, and understand role and function of Food Products Standardization Directorate; and to enhance knowledge of pharmacist trainee about National Agency Drug and Food Control (NADFC/Badan POM). Special assignment given titled Drafting of Indonesia National Standars for Apple Chips aims for pharmacist trainee to learn drafting of Indonesia National Standards; to learn aims of drafting Indonesia National Standards for Apple Chips; and draft a concept of Indonesia National Standards for Apple Chips.
Keywords : Report of Apothecary Internship, NADFC, Food Products Standardization Directorate, Apple Chips Internship Report : viii +58 pages; 7 pictures, 4 tables Special Assignment : v +54 pages; 3 pictues, 1 tables, 1 appendixes Bibliography of Internship Report : 34 (1997-2013) Bibliography of Special Report : 13 (1996-2014)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Tujuan .......................................................................................... 3 1.3 Manfaat ........................................................................................ 3 BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN ...................................................................................... 4 2.1 Visi Dan Misi ................................................................................. 4 2.2 Tugas Pokok Dan Fungsi ............................................................... 4 2.3 Budaya Organisasi ......................................................................... 5 2.4 Kewenangan ................................................................................. 5 2.5 Logo Badan POM .......................................................................... 5 2.6 Struktur Organisasi ........................................................................ 6 2.7 Sistem Pengawasan Obat Dan Makanan Badan POM (SISPOM). 9 2.8 Kebijakan dan Strategis.................................................................. 10 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN ...................................................................... 17 3.1 Visi Dan Misi ............................................................................ 17 3.2 Tugas Pokok Dan Fungsi ........................................................... 17 3.3 Dasar Hukum .............................................................................. 18 3.4 Arah Kebijakan ........................................................................... 18 3.5 Strategi ........................................................................................ 19 3.6 Program ....................................................................................... 19 3.7 Sistem Manajemen Standardisasi ............................................... 20 3.8 Struktur Organisasi ..................................................................... 21 3.9 Penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) .......................... 24
v Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
3.10 Jenis Produk Standardisasi ......................................................... 27 3.11 Jenis Standar Pelayanan Publik Direktorat Standardisasi Produk Pangan .......................................................................... 28 3.12 Kerjasama Internasional............................................................. 28 3.13 Definisi yang Digunakan di Direktorat Standardisasi Produk Pangan .......................................................................... 29 BAB 4 PELAKSANAAN PKPA .................................................................. 32 4.1 Direktorat Standardisasi Produk Pangan .................................... 33 4.2 Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan ............................... 34 4.3 Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus ............................... 35 4.4 Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku Dan Bahan Tambahan Pangan...................................................................... 36 BAB 5 TEORI DAN PEMBAHASAN ........................................................ 37 5.1 Direktorat Standardisasi Produk Pangan ..................................... 37 5.2 Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan ................................ 38 5.3 Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus ................................ 44 5.4 Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku Dan Bahan Tambahan Pangan .................................................... 47 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 51 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 51 6.2 Saran ................................................................................................ 52 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
vi Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Logo Badan POM .............................................................................. 6 Gambar 2.2. Struktur Organisasi Badan POM ........................................................ 7 Gambar 3.1. Siklus Sistem Manajemen Standardisasi Produk Pangan ................ 20 Gambar 3.2. Struktur Organisasi Direktorat Standardisasi Produk Pangan.......... 21 Gambar 3.3. Tahap Perumusan SNI...................................................................... 26 Gambar 5.1. Logo Pangan Iradiasi ........................................................................ 46 Gambar 5.2. Logo Pangan Olahan Organik .......................................................... 47
vii Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Unit Pelaksana Teknis Badan POM ...................................................... 8 Tabel 2.2 Tujuh Strategi Dalam Melaksanakan Arah Kebijakan Badan POM .... 14 Tabel 5.1. Perbedaan Pedoman Periklanan Pangan dengan Etika Priwara Indonesia ................................................................................................................. 41 Tabel 5.2 Perbedaan antara Pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan kepala Badan POM Nomor HK.00.06.1.52.4011 Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan ....................................................................... 49
viii Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Obat dan makanan merupakan komoditi vital yang diperlukan dalam kehidupan seseorang. Obat dapat menjadi kebutuhan vital seseorang ketika ia menderita suatu penyakit, sedangkan makanan (pangan) merupakan komoditi vital karena makanan adalah kebutuhan primer yang dikonsumsi masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Perkembangan teknologi telah membawa perubahan signifikan pada industri farmasi, makanan, kosmetik dan alat kesehatan yang ikut mengubah tingkat konsumsi masyarakat. Akan tetapi, pada kenyataannya pengetahuan masyarakat saat ini masih belum memadai dan merata untuk dapat memilih dan menggunakan produk tersebut secara aman, tepat, dan benar. Dengan melihat fenomena tersebut, pemerintah menetapkan suatu lembaga pemerintah untuk mengawasi obat dan makanan yang beredar di Indonesia yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 02001/SK/KBPOM tertanggal 26 Februari 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan POM, Badan POM adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk melaksanakan tugas Pemerintah tertentu dari Presiden(1). Status ini kemudian diubah menjadi Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) berdasarkan Peraturan Presiden No 03 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No 103 tahun 2001(2). Badan POM dipimpin oleh Kepala Badan POM yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala Badan POM berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan(3). Dengan adanya landasan hukum di atas, Badan POM menjalankan fungsinya di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Komoditi yang diawasi Badan POM meliputi obat, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya. Selain mengawasi produk obat dan makanan yang diproduksi dalam negeri, Badan POM juga mengawasi produk obat dan makanan yang masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia (RI).
1
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
2
Dewasa ini dengan adanya kerjasama ekonomi antara negara-negara di dunia seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), dan Word Trade Organization (WTO) telah menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas sehingga memungkinkan berbagai komoditi masuk ke wilayah Republik Indonesia (RI). Dengan banyaknya komoditi yang diawasi, maka diperlukan sumber daya manusia yang kredibel, profesional, tanggap, berintegritas, dan mampu bekerja sama serta mampu menghadapi tantangan dan mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, terutama di bidang kebijakan-kebijakan yang mengatur bidang farmasi dan pangan. Salah satu praktisi yang mampu berperan dalam bidang ini antara lain adalah Apoteker. Dalam rangka membentuk dan melatih sumber daya Apoteker handal, materi yang diberikan di bangku kuliah saja tidaklah cukup. Mahasiswa program profesi Apoteker juga memerlukan pembekalan berupa penerapan dalam bentuk praktek di lapangan tempat pekerjaan kefarmasian dan makanan dilakukan. Oleh karena itu, dilaksanakanlah program praktek kerja profesi Apoteker (PKPA) hasil kerja sama antara Program Profesi Apoteker dari beberapa Universitas dan Institut dengan Badan POM, sebagai salah satu lembaga pemerintah di mana pekerjaan kefarmasian dan makanan dilakukan. Kegiatan PKPA ini dilaksanakan di Badan POM Republik Indonesia yang terletak di Jl. Percetakan Negara No 23 Jakarta Pusat, dengan peserta PKPA dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Pancasila (UP) dan Universitas Muhammadiyah
Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) dan
pelaksanaannya di bagi dalam tiga tahap. Tahap I dilaksanakan pada tanggal 01 – 03 April 2014 berupa pembekalan berupa presentasi dari Biro Umum, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, PusatPusat, Balai Besar Badan POM di Jakarta, dan 14 Direktorat yang terdapat di Badan POM. Tahap 2 merupakan pelaksanaan PKPA di unit kerja eselon 2 yang dilaksanakan pada tanggal 07 – 21 April 2014 di Deputi Bidang Pengawasanan Pangan dan Bahan Berbahaya, khususnya di Direktorat Standardisasi Produk
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
3
Pangan. Tahap 3 diadakan pada tanggal 23 – 24 April 2014 dengan presentasi dari masing-masing peserta PKPA.
1.2. Tujuan Tujuan dari Kerja Praktek Profesi Apoteker di Badan POM bagi mahasiswa program profesi apoteker adalah: 1.
Membekali calon Apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan makanan dalam lembaga pemerintahan.
2.
Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat, mempelajari, dan memahami peran dan fungsi yang dilakukan oleh Direktoat Standardisasi Produk Pangan dalam rangka mejalankan tugas di pemerintahan.
3.
Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang Badan POM.
1.3. Manfaat Manfaat dari adanya PKPA di Badan POM RI adalah: 1.
Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker di dalam lembaga pemerintahan.
2.
Mendapat wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan makanan di dalam lembaga pemerintahan.
3.
Calon apoteker dapat memberikan informasi dan mensosialisasikan program kerja dan layanan publik yang terdapat di Badan POM kepada masyarakat.
4.
PKPA menjadi kesempatan bagi BPOM untuk melakukan talent scouting dalam rangka menjaring sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
2.1. Visi dan Misi (4) Visi Badan POM adalah menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara Internasional untuk melindungi masyarakat. Misi Badan POM adalah : 1.
Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar Internasional
2.
Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten
3.
Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini
4.
Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan
5.
Membangun organisasi pembelajar (Learning Organization).
2.2. Tugas Pokok dan Fungsi (5) Tugas pokok Badan POM adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku sedangkan fungsi Badan POM adalah sebagai berikut : 1.
Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan.
2.
Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
3.
Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM.
4.
Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.
5.
Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
2.3. Budaya Organisasi (6) Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas.
4
Universitas Indonesia
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
5
Nilai-nilai luhur yang hidup dan tumbuh kembang dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam berkarsa dan berkarya. Budaya organisasi Badan POM adalah sebagai berikut: 1.
Profesional Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas, ketekunan dan komitmen yang tinggi.
2.
Kredibel Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan Internasional.
3.
Cepat Tanggap Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.
4.
Kerjasama Tim Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang baik.
5.
Inovatif Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
2.4. Kewenangan Badan POM (1) Badan POM memiliki beberapa kewenangan, antara lain : 1.
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan.
2.
Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk mendukung pembangunan secara makro.
3.
Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan.
4.
Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan.
5.
Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi.
6.
Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat.
2.5.
Logo Badan POM (7) Logo Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat dilihat pada gambar 2.1.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
6
Gambar 2.1. Logo Badan POM Deskripsi filosofi logo Badan POM adalah sebagai berikut :
Unsur pertama dalam logo Badan POM adalah tameng yang melambangkan perlindungan terhadap masyarakat dari penggunaan obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu;
Selain sebagai tameng unsur tersebut dapat juga dilihat sebagai tanda checklist yang mempresentasikan trust atau rasa kepercayaan;
Pengambilan makna filosofis mata elang sebagai unsur kedua adalah karena elang memiliki pandangan yang tajam sesuai dengan fungsi Badan POM yang bertanggung jawab melindungi masyarakat dengan mengawasi penggunaan obat dan makanan di Indonesia;
Garis yg bergerak dari tipis menjadi semakin tebal melambangkan langkah ke depan yaitu Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) yg berubah menjadi Badan POM. Selain itu dapat juga dilihat sebagai representasi keadaan Badan POM sebagai lembaga yang memberikan perlindungan (dilambangkan dengan garis hijau) terhadap masyarakat (garis biru tebal) dari pengusaha Obat dan Makanan (garis biru tipis);
Tampak logo secara keseluruhan memadukan unsur-unsur tersebut dalam satu kesatuan yang padu dan serasi sehingga peletakan tulisan Badan POM secara tipografis menjadi lebih bebas. Sedangkan pemilihan warna biru pekat (dark blue) menggambarkan perlindungan dan warna hijau (green) menggambarkan scientific-base.
2.6. Struktur Organisasi Secara struktural komponen Badan POM terdiri atas Kepala Badan, Sekretariat Utama, Inspektorat, 3 Deputi yaitu Deputi I,II, dan III, Pusat Pengujian Obat dan Makanan, Pusat Penyidikan Obat dan Makanan, Pusat Riset Obat dan Makanan, Pusat Informasi Obat dan Makanan, dan Unit Pelaksana Teknis.(8) Deputi I bertanggung jawab dalam bidang pengawasan Produk Terapeutik dan Napza, Deputi II bertanggung jawab terhadap bidang pengawasan Obat Tradisional,
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
7
Kosmetik dan Produk Komplemen, sedangkan Deputi III bertanggung jawab terhadap bidang pengawasan keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Struktur inti Badan POM dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Badan POM Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) pada struktur organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan terdiri dari Balai Besar POM dan Balai POM. Secara umum, Balai Besar/Balai POM merupakan ujung tombak Pengawasan Obat dan Makanan, sehingga lebih dititik beratkan pada operasi pengawasan di lapangan.(9) Perbedaan antara Balai Besar POM dengan Balai POM adalah pada segi struktur organisasi, kegiatan laboratorium serta luas jangkauan kerjanya. Pembagian UPT dapat dilihat pada tabel 2.1.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
8
Tabel 2.1. Unit Pelaksana Teknis Badan POM Unit Pelaksana Teknis Badan POM Balai Besar POM
Balai POM
Tipe A
Tipe B
1. Bidang Pengujian
1. Bidang Pengujian
1. Bidang Pengujian
Produk Terapetik,
Produk Terapetik,
Produk Terapetik,
Produk Terapetik,
Narkotik, Obat
Narkotik, Obat
Narkotik, Obat
Narkotik, Obat
Tradisional,
Tradisional,
Tradisional,
Tradisional,
Kosmetik dan
Kosmetik dan
Kosmetik dan
Kosmetik dan
Produk
Produk
Produk
Produk
Komplemen.
Komplemen
Komplemen
Komplemen
2. Bidang Pengujian
2. Bidang Pengujian
Tipe A
2. Bidang Pengujian
Tipe B 1. Seksi Pengujian
2. Seksi Pengujian
Pangan dan
Pangan, Bahan
Pangan dan Bahan
Pangan, Bahan
Bahan Berbahaya
Berbahaya dan
Berbahaya
Berbahaya dan
Mikrobiologi 3. Bidang Pengujian Mikrobiologi
3. Bidang Pemeriksaan dan
Mikrobiologi 3. Bidang Pengujian Mikrobiologi
Penyidikan
3. Seksi Pemeriksaan, Penyidikan, Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen
4. Bidang
4. Bidang Sertifikasi
4. Bidang
Pemeriksaan dan
dan Layanan
Pemeriksaan dan
Penyidikan
Informasi
Penyidikan
4. Sub Bagian Tata Usaha
Konsumen 5. Bidang Sertifikasi dan Layanan
5. Sub Bagian Tata Usaha.
5. Bidang Sertifikasi dan Layanan
Informasi
Informasi
Konsumen
Konsumen
6. Sub Bagian Tata Usaha 7. Kelompok Jabatan
6. Kelompok Jabatan Fungsional
5. Kelompok Jabatan Fungsional
6. Sub Bagian Tata Usaha 7. Kelompok Jabatan Fungsional
Fungsional
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
9
2.7. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) (10) Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang komprehensif, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar ditengah masyarakat. Prinsip dasar Badan POM dalam sistem pengawasan obat dan makanan adalah sebagai berikut: 1.
Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan profesional.
2.
Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat risiko dan berbasis bukti-bukti ilmiah.
3.
Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses.
4.
Berskala nasional/lintas propinsi, dengan jaringan kerja Internasional.
5.
Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum.
6.
Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang berkolaborasi dengan jaringan global.
7.
Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk. Dalam pelaksanaan sistem pengawasan obat dan makanan, untuk menekan
sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis yakni: 1.
Sub-sistem Pengawasan Produsen Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro-justisia.
2.
Sub-sistem Pengawasan Konsumen Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
10
tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya. 3.
Sub-sistem Pengawasan Pemerintah/Badan POM Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum d2jinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.
2.8. Kebijakan dan Strategis (11) Sasaran strategis Badan POM selama lima tahun (2010-2014) adalah sebagai berikut :
Pengawasan obat dan makanan terlaksana secara efektif untuk melindungi konsumen di dalam dan di luar negeri dengan sistem yang tergolong terbaik di ASEAN.
Terwujudnya laboratorium pengawasan obat dan makanan yang modern dengan jaringan kerja di seluruh indonesia dengan kompetensi dan kapabilitas terunggul di ASEAN.
Meningkatnya kompetensi, kapabilitas dan jumlah modal insani yang unggul dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.
Diterapkannya sistem manajemen mutu di semua unit kerja Badan POM. Arah kebijakan dan strategi nasional bidang kesehatan terdiri dari 4 fokus,
yaitu:
Fokus 1 : Peningkatan Kesehatan Ibu, Bayi, Balita Dan Keluarga Berencana
Fokus 2 : Perbaikan Status Gizi Masyarakat
Fokus 3 : Pengendalian Penyakit Menular Serta Penyakit Tidak Menular
Fokus 4 : Peningkatan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, Mutu Dan Penggunaan Obat Serta Pengawasan Obat Dan Makanan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
11
Berdasarkan arah kebijakan dan strategi nasional bidang kesehatan tersebut, yang menjadi acuan pembangunan bidang Pengawasan Obat dan Makanan yaitu:
Fokus 4 : Peningkatan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, Mutu Dan Penggunaan Obat Serta Pengawasan Obat Dan Makanan Peningkatan
ketersediaan,
keterjangkauan,
pemerataan,
mutu
dan
penggunaan obat, serta pengawasan Obat dan Makanan, yang dilaksanakan melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan : a.
Pengawasan produksi produk terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)
b.
Pengawasan produk dan bahan berbahaya
c.
Pengawasan obat dan makanan di 31 Balai Besar/Balai POM
d.
Pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian keamanan, manfaat dan mutu obat dan makanan serta pembinaan laboratorium POM
e.
Standardisasi produk terapetik dan PKRT
f.
Penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran di bidang obat dan makanan
g.
Inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen
h.
Inspeksi dan sertifikasi makanan
i.
Standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen
j.
Standardisasi makanan
k.
Surveilan dan penyuluhan keamanan makanan
l.
Pengawasan distribusi produk terapetik dan PKRT
m.
Pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif
n.
Penilaian produk terapetik dan produk biologi
o.
Penilaian obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen
p.
Penilaian makanan
q.
Riset keamanan, khasiat, mutu obat dan makanan
r.
Pengembangan Obat Asli Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (PerKa. Badan POM) Nomor : HK.04.1.21.11.10.10507 Tahun 2010 tentang Rencana
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
12
Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan, ada empat arah kebijakan Badan POM. Pada tahun 2013 Arah Kebijakan Badan POM mengalami perubahan yang berdasarkan PerKa. Badan POM Nomor 29 Tahun 2013 tentang Rencana Strategis Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tahun 2010-2014 yaitu: (10) 1.
Memperkuat Sistem Regulatori Pengawasan Obat dan Makanan Nasional Sistem Pengawasan Obat dan Makanan diperkuat dengan mekanisme operasional dan infrastruktur yang andal dengan kapabilitas berkelas dunia (world class) dan menggunakan teknologi informasi yang modern Regulatori dan seluruh fungsi pengawasan, dilakukan revitalisasi yang diterapkan secara terintegrasi dan menyeluruh (comprehensive).
2.
Mewujdukan Laboratorium Badan POM yang Modern dan Handal Kapabilitas laboratorium Badan POM ditingkatkan terunggul di ASEAN dengan jaringan kerja (networking) nasional dan Internasional. Cakupan dan parameter pengujian laboratorium, serta kompetensi personil laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan ditingkatkan dengan menerapkan Good Laboratory Practices secara konsisten serta mengembangkan sistem rujukan laboratorium nasional.
3.
Meningkatkan Daya Saing Mutu Produk Obat dan Makanan di Pasar Lokal dan Global Mekanisme pasar bebas menuntut Sistem Pengawasan Obat dan Makanan yang dapat menapis produk Obat dan Makanan yang masuk ke Indonesia. Pada saat yang sama Sistem Pengawasan Obat dan Makanan dikembangkan untuk mendukung upaya pencapaian daya saing Obat dan Makanan produksi dalam negeri di pasar lokal dan global. Upaya ini dilakukan melalui penyusunan standar
Obat
dan
Makanan
yang mempertimbangkan
kemampuan industri dalam negeri dan peningkatan pemberdayaan pelaku usaha termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pangan, kosmetik dan Obat Tradisional, untuk memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku. Pemberdayaan dilakukan antara lain melalui kerjasama dengan lintas sektor terkait.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
13
4.
Meningkatkan Kompetensi, Profesionalitas, dan Kapabilitas Modal Insani Modal Insani merupakan asset intangible yang sangat penting dalam suatu organisasi karena merupakan mesin penggerak organisasi, sehingga perlu dirancang sistem manajemen modal insani (Human Capital Management). Untuk menghasilkan modal Insani Badan POM yang andal, adaptif, dan kredibel, antara lain melalui pendidikan dan pelatihan terstruktur dan berkelanjutan (continous training and education) baik di dalam maupun di luar negeri. Bersamaan dengan itu diciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan atraktif untuk melakukan inovasi dalam pelaksanaan tugas dan mendorong serta memberikan kesempatan yang luas kepada setiap modal insani untuk meningkatkan kapabilitas diri melalui pembelajaran yang berkelanjutan.
5.
Meningkatkan Kapasitas Manajemen dan Mengembangkan Institusi Badan POM yang Kredibel dan Unggul Kapasitas manajemen Badan POM dikembangkan untuk menjamin penerapan good governance dan clean government sesuai sistem mutu yang dilaksanakan secara konsisten dan terus dikembangkan/dipelihara dalam rangka penerapan Reformasi Birokrasi. Right sizing organization dilakukan untuk menjamin efektivitas Sistem Pengawasan Obat dan Makanan baik di Pusat maupun di daerah.
6.
Memantapkan Jejaring Lintas Sektor dalam Pengawasan Obat dan Makanan Pengawasan Obat dan Makanan lebih diperkuat dengan memantapkan jejaring kerjasama lintas sektor terkait baik di dalam negeri maupun melalui kerjasama bilateral, regional, dan multilateral.
7.
Memberdayakan Masyarakat dalam Pengawasan Obat dan Makanan Melalui komunikasi, informasi dan edukasi dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat luas agar mampu mencegah dan melindungi diri sendiri dari penggunaan Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan. Bersamaan dengan itu diciptakan ruang publik yang kondusif untuk memfasilitasi komunikasi interaktif antara Badan POM dengan masyarakat luas. Badan POM melakukan tujuh strategi dalam melaksanakan arah kebijakan
Badan POM yang dapat dilihat pada tabel 2.2.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
14
Tabel 2.2. Tujuh Strategi Dalam Melaksanakan Arah Kebijakan Badan POM
No. 1.
Strategi Peningkatan intensitas pengawsan pre market Obat dan Makanan, untuk menjamin, khasiat/manfaat dan mutu produk
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.
Penguatan sistem, sarana, dan prasarana laboratorium Obat dan Makanan
a.
b.
c. d. 3.
Peningkatan pengawasan post market Obat dan Makanan
a.
b. c.
d.
Fokus Prioritas Penapisan penilaian produk Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai antisipasi globalisasi, termasuk ACFTA. Peningkatan pelayanan publik terkait pendaftaran produk Obat dan Makanan melalui online registration. Pengawasan pengembangan vaksin baru produksi dalam negeri, untuk mempercepat pencapaian target Millenium Development Goals (MDG’s). Peningkatan technical regulatory advice untuk pengembangan jamu, herbal standar dan fitofarmaka. Pengawasan pengembangan teknologi pangan (PPRG, iradiasi), untuk perlindungan konsumen dan ketersediaan pangan. Peningkatan pemenuhan GMP industri Obat dan Makanan dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing. Pemantapan penerapan Quatity Management System dan persyaratan Good Laboratory Prictices (GLP) terkini. Peningkatan sarana dan prasarana laboratorium di pusat dan daerah, sesuai dengan kemajuan IPTEK. Pemenuhan peralatan laboratorium sesuai standar GLP terkini. Peningkatan kompetensi SDM Laboratorium. Pemantapan sampling dan pengujian Obat dan Makanan, berdasarkan risk based approaches. Intensifikasi pemberantasan produk ilegal, termasuk produk palsu. Perluasan cakupan pengawasan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), melalui operasionalisasi mobil laboratorium. Pengawasan sarana post market sesuai dengan GMP dan GDP
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
15
4.
Pemantapan regulasi dan standar di bidang pengawasan Obat dan Makanan
5.
Pemantapan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang tindak pidana Obat dan Makanan
6.
Penguatan Institusi
7.
Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor dalam Rangka Pembagian Peran Badan POM dengan Lintas Sektor terkait
e. Perkuatan pengawasan post market kosmetik melalui audit kepatuhan dan evaluasi keamanan kosmetika a. Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis di bidang pengawsan Obat dan Makanan. b. Peningkatan penerapan standar Obat dan Makanan yang terharmonisasi. a. Peningkatan kualitas dan kuantitas PPNS. b. Peningkatan pelaksanaan penyidikan Obat dan Makanan. c. Peningkatan koordinasi dengan sektor terkait dalam rangkaian CJS untuk sustainable law enforcement tindak pidana Obat dan Makanan. a. Implementasi Reformasi Birokrasi Badan POM termasuk peningkatan pelayanan publik. b. Perkuatan sistem pengelolaan data serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) termasuk strategi media komunikasi. c. Perkuatan human capital management Badan POM. d. Restrukturisasi Organisasi untuk menjawab tantangan perubahan lingkungan strategis. e. Peningkatan dan penguatan peran dan fungsi Balai POM, Integrated Bottom Up Planning dan Quality System Evaluation. f. Perkuatan legislasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan. a. Pemantapan koordinasi pengawasan Obat dan Makanan. b. Pemantapan Sistem Kerjasama Operasional Pengawasan Obat dan Makanan. c. Peningkatan operasi terpadu pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Makanan d. Perkuatan jejaring komunikasi e. Pemantapan koordinasi pengembangan jamu brand Indonesia, pengeintegrasian dengan pelayanan kesehatan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
16
f. Pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE).
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN 3.1. Visi dan Misi (1) Visi
Direktorat
Standardisasi
Produk
Pangan
adalah
terwujudnya
standardisasi produk pangan dalam mendukung daya saing produk pangan nasional serta mendukung terlindungnya konsumen dari pangan yang tidak layak, tidak aman, dan dipalsukan. Misi Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah sebagai berikut : 1.
Mewujudkan jaminan mutu dan keamanan produk pangan nasional.
2.
Mendukung dihasilkannya produk pangan yang berdaya saing tinggi.
3.
Melindungi kepentingan masyarakan sesuai dengan ketentuan Internasional yang telah disepakati.
4.
Memberdayakan sumber daya dalam negeri.
3.2. Tugas Pokok dan Fungsi (1) Direktorat Standardisasi Produk Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan. Direktorat Standardisasi Produk Pangan menyelenggarakan fungsi : 1.
Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan.
2.
Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi pangan khusus.
17 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
18
3.
Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi pangan olahan.
4.
Penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan.
5.
Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi produk pangan.
6.
Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan.
7.
Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.
3.3. Dasar Hukum (12) 1.
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2.
Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3.
Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan.
4.
Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
5.
Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
6.
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
7.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK02001/SK/KBPOM tanggal 26 Februari 2001 tentang Organisasi Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pasal 249.
8.
SK
Kepala
BSN
No:07.A/KEP/BSN/1/2010
tentang
Penyusunan
Pembentukan Panitia Nasional Codex Indonesia, Kelompok Kerja Codex Indonesia, Mirror Committee dan sekretariat Contak Point Codex Indonesia. 3.4. Arah Kebijakan Arah kebijakan Direktorat Standardisasi Produk Pangan didasarkan pada arah kebijakan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya yang mengacu pada arah dan kebijakan Badan POM RI. Dari tujuh arah kebijakan Badan POM maka yang terkait dengan Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah arah kebijakan pertama, yaitu: (12) “Memperkuat Sistem Pengawasan Obat dan Makanan Nasional”
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
19
Berdasarkan arah kebijakan Badan POM, dibuatlah arah kebijakan untuk Direktorat Standardisasi Produk Pangan, antara lain:(13) 1. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap standar dan budaya mutu dan keamanan produk pangan. 2. Peningkatan perlindungan masyarakat dan lingkungan melalui penerapan standar jaminan mutu dan keamanan pangan serta penegakan hukum. 3. Peningkatan perumusan standar dan penyelarasan Standar Nasional Indonesia (SNI) produk pangan dengan Standar Internasional. 4. Peningkatan infrastruktur standardisasi produk pangan. 3.5. Strategi(12) Arah kebijakan Direktorat Standardisasi Produk Pangan dilakukan melalui strategi keempat dan strategi ketujuh dari tujuh strategi Badan POM yang telah ditetapkan. 1.
Strategi keempat: Pemantapan Regulasi dan Standar di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas : a)
Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
b)
Peningkatan pemenuhan regulasi dan standar obat dan makanan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan terkini.
2.
Strategi ketujuh : Meningkatkan Kerja Sama Lintas Sektor dalam Rangka Pembagian Peran Badan POM dengan Lintas Sektor terkait, yang diselenggarakan melalui fokus prioritas: d)
Penguatan Jejaring Komunikasi.
3.6. Program(12) Program yang dilakukan oleh Direktorat Standardisasi Produk Pangan dari tahun 2010-2014 antara lain: 1.
Pengkajian dan evaluasi standar produk pangan.
2.
Penyusunan dan revisi peraturan, standar, pedoman dan code of practice di bidang pangan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
20
3.
Perkuatan jejaring nasional, regional dan Internasional, sosialisasi dan advokasi standar pangan dalam penerapan informasi untuk tujuan review peraturan, standar, pedoman dan code of practice.
4.
Pemantauan standar pangan.
5.
Pengembangan kualitas penyusunan standar pangan.
6.
Pengembangan sistem standardisasi dan penyusunan dokumen perencanaan, penganggaran dan evaluasi program standardisasi produk pangan.
7.
Pengembangan pegawai dan peningkatan, pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana direktorat.
8.
Penyusunan NSPK dalam rangka dukungan program rencana aksi nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS).
9.
Implementasi pedoman gizi seimbang pada PJAS.
10.
Kajian kesenjangan kemampuan UMKM terhadap harmonisasi ASEAN.
11.
Tindak lanjut kegiatan peningkatan keamanan dan mutu produk pangan UMKM dalam rangka harmonisasi ASEAN.
3.7. Sistem Manajemen Standardisasi(12) Direktorat Standardisasi Produk Pangan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mengembangkan sistem manajemen standardisasi produk pangan melalui siklus:
Gambar 3.1. Siklus Sistem Manajemen Standardisasi Produk Pangan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
21
3.8. Struktur Organisasi Direktorat Standardisasi Produk Pangan terdiri atas tiga Subdirektorat yaitu Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan, Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus, Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan, yang masing-masing Subdirektorat mempunyai bagian/seksi nya yang dapat dilihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2. Struktur Organisasi Direktorat Standardisasi Produk Pangan
3.8.1. Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan olahan. Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan menyelenggarakan fungsi : a.
Penyusunan rencana dan program standardisasi pangan olahan.
b.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi produk pangan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
22
c.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta penyusunan kodex pangan.
d.
Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi pangan olahan.
e.
Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Standardisasi Produk Pangan.
Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan terdiri dari : a.
Seksi Standardisasi Produk Pangan Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi produk pangan.
b.
Seksi Kodeks Pangan Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penyusunan kodeks pangan.
c.
Seksi Tata Operasional Mempunyai tugas melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Standardisasi Produk Pangan.
3.8.2. Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus Subdirektorat Standardisas Pangan Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan khusus. Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus menyelenggarakan fungsi : a.
Penyusunan rencana dan program standardisasi pangan khusus.
b.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan hasil rekayasa genetika dan iradiasi.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
23
c.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi produk pangan fungsional.
d.
Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi pangan khusus. Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus terdiri dari :
a.
Seksi Standardisasi Pangan Hasil Rekayasa Genetika dan Iradiasi Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi pangan hasil rekayasa genetika dan iradiasi.
b.
Seksi Standardisasi Produk Pangan Fungsional Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi produk pangan fungsional.
3.8.3 Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan. Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan menyelenggarakan fungsi: a.
Penyusunan rencana dan program standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan.
b.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan sandardisasi bahan baku.
c.
Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi bahan tambahan pangan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
24
d.
Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan. Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan terdiri
atas: a.
Seksi Standardisasi Bahan Baku Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi bahan baku.
b.
Seksi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan Mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi bahan tambahan pangan.
3.9. Penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, dilaksanakan secara tertib dan kerjasama semua pihak.(14) Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(15) Sistem Standardisasi Nasional (SSN) adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi penelitian dan pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
25
dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang dibuat oleh panitia teknis yang dikoordinasikan oleh instansi teknis sesuai dengan kewenangannya, ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional. Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), adalah rancangan standar yang dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait (15). Direktorat Standardisasi Produk Pangan mempunyai dua panitia teknis untuk menyusun SNI di bidang pangan yaitu : 1.
Panitia teknis 67.01 : Pangan Olahan Tertentu Ruang Lingkup : Pangan olahan tertentu termasuk makanan untuk bayi (makanan dalam kemasan dan makanan siap saji untuk pangan bayi, pangan balita, pangan ibu hamil dan menyusui, pangan orang yang menjalankan diet khusus, pangan manula, pangan bagi penderita penyakit tertentu).
2.
Panitia teknis 67.02 : Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan Ruang Lingkup: a.
Bahan tambahan pangan
b.
Bahan dan benda yang bersentuhan dengan pangan.
3.9.1 Tahap Perumusan SNI Tahap-tahap perumusan SNI meliputi kegiatan penyusunan dan konsep RSNI baru atau revisi SNI, rapat konsensus, serta penetapan atau hasil revisi RSNI menjadi SNI. Kegiatan penyusunan konsep RSNI baru atau revisi SNI dilaksanakan oleh panitia teknis yang ditunjuk oleh BSN berdasarkan usul komisi perumusan standar dan informasi standardisasi, yang secara teknis dikoordinasikan oleh instansi teknis yang membawahinya. Tahapan penyusunan SNI dapat dilihat pada gambar 3.5.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
26
Gambar 3.3. Tahap Perumusan SNI Dalam perumusan Rancangan SNI (RSNI) atau revisi SNI, instansi teknis penanggung jawab perumusan SNI pada umumnya memerlukan keterlibatan instansi teknis lain atau wakil unsur-unsur terkait lainnya. Keterlibatan tersebut diperlukan karena untuk setiap SNI yang dibuat harus dikonsensuskan sebelum diajukan ke BSN. Untuk melaksanakan maksud tersebut, instansi teknis penanggung jawab harus membentuk panitia teknis (pantek) yang anggotanya mencakup wakil dari seluruh unsur terkait yang terdiri atas sektor pemerintahan, produsen, konsumen, dan lembaga penelitian.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
27
Panitia teknis bertugas membantu instansi teknis untuk membuat RSNI atau revisi serta melaksanakan rapat konsensus di bawah pengawasan pejabat yang berwenang di instansi terkait sehingga dihasilkan rancangan standar yang siap ditetapkan. Selain itu, pantia teknis juga bertugas untuk mengevaluasi dan mengadopsi standar nasional atau Internasional yang ada.
3.10.
Jenis Produk Standardisasi
a. Peraturan/Regulasi Peraturan/regulasi adalah sumber hukum formal berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum. Dalam hal ini peraturan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang bersifat mandatory (wajib) untuk dilaksanakan karena ada perundangundangannya dan mengikat secara hukum. Contoh : Peraturan Kepala Badan POM RI No HK 00.05.52.4040 Tentang Kategori Pangan. b. Standar Standar Nasional Indonesia, bersifat voluntary (sukarela), terutama untuk acuan syarat mutu, dikecualikan untuk SNI yang wajib dan diberlakukan dengan SK institusi terkait. Contoh: SNI 01-7152-2006 Bahan Tambahan Pangan Persyaratan Perisa dan Penggunaan dalam Produk Pangan. c. Pedoman Pedoman adalah hal (pokok) yg menjadi dasar (pegangan, petunjuk) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu. Pedoman bersifat voluntary (sukarela). Contohnya: Pedoman PJAS Untuk Pencapaian Gizi Seimbang – Pengawas dan/atau Penyuluh. d. Kode Praktis Pedoman yang lebih bersifat teknis. Contohnya: Petunjuk Memimalkan Terbentuknya Cemaran Kimia pada Pangan siap Saji dan Pangan Industri Rumah Tangga sebagai Pangan Jajanan Anak Sekolah.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
28
3.11.
Jenis Standar Pelayanan Publik Direktorat Standardisasi Produk Pangan (16) Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI No. 39 tahun 2013 tentang
Standar pelayanan publik di lingkungan badan pengawas obat dan makanan, maka dalam hal pelayanan publik Direktorat Standardisasi Produk Pangan melakukan empat standar pelayanan publik antara lain : 1. Permohonan Pengkajian Keamanan, Mutu, Gizi dan Manfaat Pangan Untuk Kategori Pangan, Label dan Iklan Pangan. 2. Permohonan Pengkajian Keamanan, Mutu, Gizi dan Manfaat Pangan Untuk Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Penolong. 3. Permohonan Pengkajian Keamanan, Mutu, Gizi dan Manfaat Pangan Untuk Klaim Gizi dan Kesehatan, Bahan Baku, Zat Gizi dan Non-gizi. 4. Permohonan Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik (PRG).
3.12.
Kerjasama Internasional(9) Dalam mengahadapi era globalisasi pasar Internasional yang memerlukan
kredibilitas dan transparansi, maka Badan POM turut berpartisipasi dalam kegiatan Standardisasi Internasional, salah satu diantarnya adalah dalam kegiatan Codex Allimentarius Commission (CAC), biasanya cukup disebut Codex. CAC merupakan suatu badan yang dibentuk oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dan Word Health Organization (FAO) dan Word Health Organization (WHO) pada tahun 1962 yang bertangungjawab untuk melaksanakan program Standar Pangan dari FAO/WHO. Sampai saat ini, CAC telah beranggotakan 186 negara termasuk Indonesia. Codex menetapkan Codex text yang terdiri dari standar, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan rekomendasi lainnya di bidang komoditi pangan. Kegiatan Codex khususnya di Direktorat Standardisasi Produk pangan, antara lain menyusun posisi delegasi RI untuk disampaikan sidang Codex, mengikuti sidang Codex (Physical Working Group/PWG), memberikan masukan terhadap materi-materi yang dibahas dalam Elektronic Working Group (EWG). Badan POM dalam hal ini Direktorat Standardisasi Produk Pangan, bertindak sebagai mirror committee di bidang: 1. Codex Committee Food Additives (CCFA)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
29
2. Codex Committee on Food Labelling (CCFL) 3. Codex Committee on Contaminant in Foods (CCCF) 4. Codex Committee on Nutrition and Food for Special Dietary Uses (CCNFSDU)
3.13.
Definisi yang Digunakan di Direktorat Standardisasi Produk Pangan Berikut ini adalah definisi yang digunakan di Direktorat Standardisasi Produk
Pangan. a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.(17) b. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.(17) c. Cemaran adalah bahan yang tidak dikehendaki ada dalam makanan yang mungkin berasal dari lingkungan atau sebagai akibat proses produksi makanan, dapat berupa cemaran biologis, kimia dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. (18) d. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan.(17) e. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.(17 f. Cara Produksi Pangan Yang Baik adalah suatu pedoman yang menjelaskan bagaimana memproduksi pangan agar bermutu, aman dan layak untuk dikonsumsi. (19)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
30
g. Pangan Olahan Tertentu adalah pangan olahan untuk konsumsi bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.(20) h. Pangan olahan organik adalah makanan atau minuman yang berasal dari pangan segar organik hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan yang diizinkan.(21) i. Pangan Siap Saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.(22) j. Pangan IRT adalah pangan olahan hasil produksi Industri Rumah Tangga (IRT) yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. (19) k. Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG) adalah pangan yang berasal dari PRG yang meliputi pangan segar, bahan tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan untuk produksi pangan dan pangan olahan.(23) l. Produk Rekayasa Genetik atau organisme hasil modifikasi yang selanjutnya disingkat PRG adalah organisme hidup, bagian-bagiannya dan/atau hasil olahan yang mempunyai susunan genetik baru dari hasil penerpan bioteknologi modern.(23) m. Pangan iradiasi adalah setiap pangan yang dengan sengaja dikenai radiasi pengion tanpa memandang sumber atau jangka waktu iradiasi ataupun besar energi yang digunakan.(24) n. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.(24) o. Kategori pangan adalah pengelompokan pangan berdasarkan jenis pangan tersebut. (8) p. Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.(25) q. Batas Maksimum adalah jumlah maksimum BTP yang d2zinkan terdapat pada pangan dalam satuan yang ditetapkan.(25) r. Bahan penolong (Processing Aids) adalah bahan, tidak termasuk peralatan,
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
31
yang lazimnya tidak dikonsumsi sebagai pangan, digunakan dalam proses pengolahan pangan untuk memenuhi tujuan teknologi tertentu dan tidak meninggalkan residu pada produk akhir, tetapi apabila tidak mungkin dihindari, residu dan ada
turunannya
dalam produk
akhir tidak
menimbulkan risiko terhadap kesehatan serta tidak mempunyai fungsi teknologi.(23) s. Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk yang lain yang dilakukan (15) . dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan.
t. Klaim adalah segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi atau faktor mutu lainnya. (26) u. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. (15) v. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.(20) w. Cara ritel pangan yang baik adalah kegiatan pada tempat penjualan pangan baik di toko modern maupun di pasar tradisional agar pangan yang dijual bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. (27) x. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan merevisi standar, yang dilakukan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.(28)
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
BAB 4 PELAKSANAAN PKPA Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) pada periode ini dimulai sejak tanggal 01-24 April 2014 diikuti oleh mahasiswa dari enam Universitas dan Institut yang membuka program studi Apoteker, antara lain: Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA), Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Universitas Pancasila (UP). Pada angkatan ini, mahasiswa peserta PKPA dibagi dalam tujuh belas kelompok dan kemudian ditempatkan di berbagai Direktorat Badan POM. Pada kesempatan ini, PKPA dibagi ke dalam tiga tahap, yakni tahap pembukaan dan pembekalan, tahap PKPA di unit kerja eselon 2 untuk masing-masing kelompok, dan tahap presentasi hasil dan penutupan PKPA. Tahap pertama berlangsung pada tanggal 01-03 April 2014 di mana peserta PKPA diberikan pembekalan berupa pemaparan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Badan POM yang dipresentasikan oleh perwakilan masing-masing Direktorat, Pusat-pusat, Biro Umum dan Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat serta Balai Besar dan Balai POM. Pembekalan ini dilakukan di lantai 6 gedung F Badan POM dan direncanakan untuk diikuti oleh seluruh peserta PKPA. Kemudian, tahap kedua berlangsung selama tanggal 07 April 2014 sampai dengan 21 April 2014, di mana peserta kelompok 12 mendapat kesempatan melakukan PKPA di Direktorat Standardisasi Pangan, Badan POM RI selaku unit kerja eselon 2 di Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Direktorat ini menangani penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan dengan pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Pada direktorat ini terdapat tiga Subdirektorat untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya, yaitu Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan (SPO), Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus (SPK), serta Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan (SBB dan BTP). Tahap akhir PKPA berlangsung pada tanggal 23 April 2014 sampai dengan
32 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
33
24 April 2014, dengan agenda kegiatan berupa presentasi hasil PKPA di direktorat masing-masing dan penutupan PKPA. Berikut ini adalah rincian kegiatan yang dilakukan penulis sebagai peserta PKPA di Direktorat Standardisasi Pangan.
4.1. Direktorat Standardisasi Produk Pangan Pada tanggal 7 April 2014 penyusun diterima oleh Kepala Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan selaku pembimbing lapangan kami. Pada pagi itu, penyusun mendapatkan pengarahan tentang tugas pokok dan fungsi, kegiatankegiatan, luaran, struktur organisasi yang terdapat pada Deputi III dan Direktorat Standardisasi Pangan. Selain itu, penulis juga dijelaskan mengenai tata tertib yang berlaku selama PKPA. Setelah itu, penulis menemui Kepala Seksi Tata Operasional untuk dijelaskan mengenai tugas-tugas Seksi Tata Operasional antara lain: mengkoordinir perencanaan dan penganggaran di Direktorat Standardisasi Produk Pangan, mengelola Sumber Daya Manusia (SDM), mengelola sarana prasarana, dan menangani surat masuk untuk Standardisasi Produk Pangan dan surat keluar dari Standardisasi Produk Pangan. Selain itu, penulis juga mendapat penjelasan tentang sistem manajemen mutu Badan POM yang menjadi bussines process dan telah tersertifikasi ISO 9001:2008. Dalam hal ini, Direktorat Standardisasi Produk Pangan termasuk ke dalam POM 01 yang merupakan proses penyusunan standar dan hal setara lainnya dan terdiri dari berbagai Standard Operational Procedure (SOP). Penulis kemudian mempelajari kegiatan - kegiatan yang terdapat di Subdirektorat-Subdirektorat dalam Direktorat Standardisasi Pangan. Di sela-sela kegiatan penulis, penulis juga berkumpul dengan teman sekelompok untuk mendiskusikan laporan PKPA dan materi yang didapatkan dari masing-masing Subdirektorat yang terdapat di Direktorat Standardisasi Pangan serta mempelajari alur izin khusus seperti alur izin khusus penggunaan BTP yang belum diatur dalam regulasi yang ada.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
34
4.2. Subdirektorat Standarisasi Pangan Olahan 1.
Membaca dan mempelajari peraturan/regulasi tentang pangan, standardisasi pangan, keamanan, gizi dan mutu pangan, label dan iklan pangan.
2.
Membaca dan mempelajari Peraturan Kepala Badan POM tentang katagori pangan, pedoman periklanan pangan, label pangan, pedoman cara ritel pangan yang baik, pedoman jajanan anak sekolah (PJAS), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Rencana Strategis, dan lain sebagainya.
3.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala Seksi Standardisasi Produk Pangan mengenai tugas pokok, target, luaran dari Seksi Standardisasi Produk Pangan, pedoman periklanan pangan, penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI), Program Nasional Penyusunan Standardisasi (PNPS) dan introduksi mengenai Codex Allimentarius.
4.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Staf Seksi Kodeks Pangan mengenai Codex Alimentarius Commission, tugas pokok dan kegiatan yang dilakukan Seksi Kodeks Pangan.
5.
Mengikuti rapat yang dihadiri oleh stakeholder dalam rangka penyusunan draft Pedoman Cara Ritel Pangan pada Pasar Tradisional.
6.
Mencari referensi berupa landasan hukum tentang hal-hal yang didiskusikan dalam
rapat penyusunan draft Pedoman Cara Ritel
Pangan pada Pasar Tradisional antara lain: regulasi pangan siap saji, regulasi tentang pasar tradisional dan modern, peraturan daerah mengenai peredaran unggas potong pada pasar tradisional di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan beberapa daerah lainnya, regulasi yang mengatur penyajian pangan siap saji, regulasi yang mengatur cara ritel ikan hidup untuk dimakan, dsb. 7.
Melakukan kaji banding pedoman periklanan pangan menurut Badan POM dengan Etika Pariwara Indonesia.
8.
Memberikan masukan dan opini untuk draft “Tanya Jawab Seputar Pelabelan Pangan Olahan” dan draft “Tanya Jawab Seputar Bahan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
35
Tambahan Pangan” agar draft-draft ini mudah dipahami masyarakat atau konsumen.
4.3. Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus 1.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala SubDirektorat Standardisasi Pangan Khusus tentang struktur organisasi, tugas pokok, fungsi dan standar wajib yang dijadikan sebagai acuan pembuatan Produk Pangan Khusus.
2.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala Seksi Standardisasi Pangan Hasil Rekayasa Genetik (PHRG) dan Iradiasi mengenai tugas pokok dan fungsi yang dilakukan serta Peraturan yang mengatur semua hal yang berkaitan dengan Pangan Khusus seperti pangan fungsional, PHRG dan Iradiasi, dan Pangan Olahan Oganik.
3.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala Seksi Standardisasi Pangan Fungsional mengenai tugas pokok dan fungsi, dengan kegiatan yang dilakukan staf seksi standardisasi pangan fungsional, definisi dan penggolongan pangan fungsional beserta regulasi yang mengatur komposisi dan pelabelannya.
4.
Mempelajari peraturan peraturan Kepala Badan POM RI yang telah dikeluarkan terkait dengan SubDirektorat Pangan Khusus, seperti Peraturan tentang Pengawasan Formula Lanjutan, Pengawasan Formula Pertubuhan, Pengawasan Kliam dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik, Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetik, Pengawasan Pangan Iradiasi, Pangan Olahan Organik, serta Peraturan Menteri Kesehatan tentang pangan Hasil Iradiasi.
5.
Mempelajari bagaimana cara melakukan pengecekan klaim sesuai dengan peraturan yang telah berlaku secara nasional, regional dan Internasional, seperti Food and Drug Administration (FDA), European Food Safety Authority (EFSA), atau Codex General Guideline and Claim.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
36
6.
Membantu staf seksi Pangan Hasil Rekayasa Genetik dalam melakukan ringkasan dan kesimpulan mengenai Produk Pangan Rekayasa Genetika (PPRG) tentang serat pangan dan suplemen prebiotik untuk bayi.
4.4. Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan 1.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala SubDirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan mengenai tugas pokok dan fungsi SubDirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan, cara menghitung batas maksimum cemaran dan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP).
2.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala Seksi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan mengenai tentang tugas pokok, fungsi, dan kegiatan di Seksi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan secara umum, serta peraturan-peraturan yang mengatur semua hal yang berkaitan dengan BTP.
3.
Mempelajari Instruksi Kerja, SOP terkait dalam Penyusunan Rancangan SNI.
4.
Mendapat penjelasan dan pengarahan dari Kepala Seksi Standardisasi Bahan Baku mengenai tentang tugas pokok dan fungsi di Seksi Standardisasi Bahan Baku secara umum, kegiatannya termasuk dalam menyusun SNI (proses penyusunan rancangan SNI dan SNI) dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bahan baku.
5.
Mempelajari tentang Bahan Penolong dan BTP menurut peraturan Kepala Badan POM RI.
6.
Membandingkan peraturan Kepala Badan POM RI tahun 2009 Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan dengan Pedoman Kriteria Cemaran Pada Pangan Siap Saji dan Pangan Industri Rumah Tangga.
7.
Mempelajari secara umum mengenai dokumen “Principle and Guidelines Microbiological Criteria Related to Foods”.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada tanggal 1-24 April 2014 ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) bersama dengan beberapa Universitas dan Institut mengadakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang terbagi dalam 3 tahap, yaitu tahap pembekalan, PKPA di unit kerja eselon 2, dan presentasi hasil PKPA. Pada tahap pembekalan, peserta PKPA diberikan pemaparan materi mengenai Badan POM yang dipresentasikan oleh masing-masing Direktorat yang terdapat di Badan POM. Sebagai peserta PKPA, penyusun menyarankan sebaiknya peserta diberikan waktu istirahat antar 2-3 materi sehingga peserta PKPA di masa mendatang tidak menjadi jenuh karena mendapatkan materi pembekalan yang dipadatkan dalam rentang waktu yang sempit. Selanjutnya peserta PKPA diberikan kesempatan melaksanakan PKPA di unit eselon 2. Pada tahap ini, penyusun (kelompok 12 PKPA Angkatan April 2014) diberikan kesempatan untuk PKPA pada tanggal 7-21 April 2014 di Direktorat Standardisasi Produk Pangan yang terletak di lantai 3 gedung F Badan POM. Dalam kegiatan PKPA di Direktorat Standardisasi Produk Pangan ini, penyusun dibagibagi dalam 3 kelompok kecil untuk mempelajari kegiatan SubdirektoratSubdirektorat yang terdapat dalam Direktorat ini. Sebenarnya masih banyak yang ingin dipelajari penyusun, tetapi karena kendala waktu membuat penyusun hanya mendapatkan gambaran umum dan kurang mendalam dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan sehingga kesempatan yang diberikan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Pada tahap akhir, diadakan presentasi hasil PKPA yang dipresentasikan masing-masing kelompokdan penutupan PKPA pada tanggal 23-24 April 2014.
5.1. Direktorat Standardisasi Produk Pangan Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah direktorat yang menyiapkan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan
37 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
38
standardisasi produk pangan. Dalam melaksanakan kegiatannya, Direktorat Standardisasi Pangan mengacu pada standar dan regulasi antara lain: 1.
Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan
2.
Undang-Undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3.
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
4.
Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
5.
Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
6.
Codex Alimenatarius Commision (CAC)
7.
Standar-standar Nasional dan Internasional yang telah ada sebelumnya
8.
Hasil pertemuan tim ahli atau para pakar dibidangnya masing-masing. Adapun bentuk luaran yang dihasilkan oleh Direktorat Standarisasi Produk
Pangan, antara lain : peraturan, standar, pedoman maupun kode praktis (code of practice). Dilihat dari segi legalitasnya, terdapat luaran yang bersifat mandatory dan voluntary. Contoh luaran yang bersifat mandatory, misalnya PerKa Badan POM RI No.HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, dan contoh luaran yang bersifat voluntary, misalnya Pedoman Penggunan Bahan Tambahan Pangan pada Pangan Industri Rumah Tangga dan Pangan Siap Saji sebagai Pangan Jajanan Anak Sekolah. Luaran yang bersifat mandatory merupakan peraturan yang bersifat wajib untuk dilaksanakan dan akan diberikan sanksi jika tidak dilaksanakan, sedangkan luaran yang bersifat voluntary atau sukarela, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan diberikan sanksi. Selain melaksanakan kegiatan penyusunan standar dan peraturan, Direktorat Standardisasi Produk Pangan juga melakukan pengkajian dalam rangka pelayanan publik seperti pengkajian permohonan izin khusus Keamanan, Mutu, Gizi dan Manfaat Pangan Untuk Kategori Pangan, Label dan Iklan Pangan.
5.2. Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan. Pada pelaksanaaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan, penyusun mempelajari dan melaksanakan hal- hal yang terkait dalam standardisasi pangan olahan, termasuk di antaranya:
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
39
a.
Kategori Pangan (8) Badan POM telah mengklasifikasikan pangan dalam beberapa kategori pangan. Pengembangan kategori pangan Indonesia merupakan kerjasama antara Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Badan POM dan tenaga ahli mengacu pada codex standar 192-1995 tentang General Standard for Food Additives. Luaran yang dihasilkan berupa regulasi yang mengatur tentang kategori pangan yang dapat dilihat dalam Keputusan Kepala Badan POM RI No.HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan. Katagori pangan ini digunakan sebagai acuan dalam rangka penilaian keamanan dan mutu pangan, sekaligus sebagai acuan bagi pelaku usaha dalam rangka produksi dan peredaran pangan.
b.
Ritel Pangan pada Pasar Tradisional Pasar tradisional telah melekat pada kehidupan masyarakat di negara Indonesia. Baik di kota besar maupun kota kecil, dapat ditemui pasar tradisional. Dalam pasar tradisional, belum terlihat penataan dalam hal manajerial penggolongan, penempatan, penyusunan, penyimpanan barang yang dijual, termasuk pangan. Oleh karena itu, maka perlu dibuat peraturan berupa pedoman cara ritel pangan yang baik di pasar tradisional. Sejak tahun 2013, Direktorat Standardisasi Produk Pangan telah melakukan penyusunan draf Pedoman Cara Ritel Pangan pada pasar tradisional guna membenahi pasar tradisional yang telah ada dan sebagai acuan untuk pedagang dalam penjualan pangan di pasar tradisional. Pada PKPA ini, penyusun berkesempatan mengikuti dan mendengarkan rapat penyusunan draf Pedoman Cara Ritel Pangan yang baik di pasar tradisional di mana dalam rapat kali ini terdapat perwakilan dari pengelola pasar tradisional di Jakarta selaku perwakilan salah satu stakeholder memberi masukkan dan gambaran kondisi pasar tradisional di lapangan. Pada rapat juga dibahas dan dikaji mengenai definisi obyek pengawasan dan analisis dampak kebijakan ditinjau dari berbagai sudut pandang stakeholder dalam rangka mempertimbangkan kepentingan stakeholder sehingga dapat tercapai kesepakatan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
40
c.
Iklan Pangan(29) Iklan pangan merupakan suatu bagian dari promosi pangan yang sangat besar pengaruhnya baik secara sosial maupun ekonomi. Dalam pembuatan iklan diperlukan pedoman untuk membuat iklan tersebut mencakup apa saja yang boleh dicantumkan, hal yang dilarang, sampai ketentuan penempatan label dalam iklan. Kami diminta untuk melakukan pengkajian pedoman periklanan pangan. Kami mengkaji pedoman tersebut yang disandingkan dengan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Hasil pengkajian tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 di halaman berikutnya.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
41
Tabel 5.1. Perbedaan Pedoman Periklanan Pangan dengan Etika Pariwara Indonesia Pedoman Periklanan Pangan
Etika Pariwara Indonesia (EPI)
Iklan pangan adalah setiap keterangan Iklan
adalah
pesan
komunikasi
atau pernyataan mengenai pangan dalam pemasaran atau komunikasi publik bentuk gambar, tulisan, atau bentuk tentang yang
lain
yang
sesuatu
produk
yang
dilakukan dengan disampaikan melalui sesuatu media,
berbagai cara untuk pemasaran dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, atau perdagangan pangan
serta ditunjukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.
Hanya terkait dengan pangan
Mencakup hal umum
Pedoman Periklanan Pangan ditetapkan EPI ditetapkan oleh Dewan Periklanan oleh Kepala Badan POM berdasarkan Indonesia (DPI) peraturan Kepala Badan POM tentang pedoman periklanan pangan Pedoman ini disusun mengacu antara EPI disusun berdasarkan rujukan dari lain, pada Peraturan Pemerintah No. 69 berbagai kode etik periklanan di banyak tahun 1999 tentang Label dan Iklan negara serta pengalaman lembagaPangan dan Etika Pariwara Indonesia lembaga penegak etika periklanan, serta ketentuan Internasional seperti khususnya dari: Codex Alimentarius Commission.
a. Badan Musyawarah Etika (BME) yang merupakan lembaga struktural Dewan Periklanan Indonesia (DPI) b. Badan Pengawas Periklanan (BPP) PPPI
Tidak ada ketentuan mengenai hak cipta Pada BAB Ketentuan, terdapat bagian isi iklan.
mengenai Hak Cipta
Tidak ada ketentuan mengenai peniruan Pada BAB Ketentuan, terdapat bagian Peniruan Terdapat bab khusus mengenai hal-hal Tidak terdapat bab khusus mengenai yang dilarang
hal-hal yang dilarang
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
42
Kesimpulan dari tabel 5.1: Salah satu acuan dalam pembuatan Pedoman Periklanan Pangan adalah Etika Pariwara Indonesia (EPI). Pedoman Periklanan Pangan mencakup periklanan pangan untuk mengawasi iklan pangan yang beredar di masyarakat melalui media cetak dan elektronik sedangkan EPI mencakup periklanan semua komoditi yang ditayangkan melalui media cetak dan elektronik. d.
Codex Alimentarius Commission (CAC) Codex Alimentarius Commission (CAC) merupakan wadah tertinggi Internasional yang bertugas melaksanakan Joint FAO/WHO Food Standar Programme (program standar pangan FAO/WHO) dengan cara membuat standar mengenai keamanan, mutu, gizi, label, dan iklan. Tujuan dibentuknya Codex antara lain untuk melindungi kesehatan konsumen, menjamin praktek yang jujur dalam perdagangan pangan Internasional serta mempromosikan koordinasi pekerjaan standarisasi pangan yang dilakukan oleh organisasi Internasional lain. Dalam menyusun standar dan regulasi di bidang pangan, semua negara yang tergabung dalam CAC (termasuk Indonesia) mengacu kepada standar yang dihasilkan oleh CAC seperti Codex STAN, Guideline (GL) dan persyaratan teknis (Technical Requirement), yang dapat diadopsi sebagian atau seluruhnya tergantung situasi, kondisi, dan kebutuhan di masing-masing negara termasuk Indonesia, seperti PerKa Badan POM. Di Indonesia, hasil-hasil dari Codex dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan dan revisi, contohnya PerKa Badan POM Nomor HK.00.06.1.52.4011 Tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan yang mengacu pada dokumen “Principle and Guidelines for the Establishment and Application of Microbiological Criteria Related to Foods” yang dikeluarkan oleh CAC. Dalam dokumen tersebut memuat tentang prinsip dan panduan peraturan untuk cemaran mikroba. Peraturan mengenai cemaran mikroba sebaiknya memuat komponen sebagai berikut: Tujuan kriteria mikroba; Proses/kontrol keamanan makanan; Poin spesifik berupa kriteria mikroba yang diterapkan; Kajian keamanan mikroba;
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
43
Batas maksimum mikroba; Rencana sampling; Metode analisis dan parameternya; dan lain-lain (tipe sample, alat sampling, teknik sampling).(23) e.
Masukan terhadap Draft “Tanya Jawab Seputar Pelabelan Pangan Olahan” dan “Tanya Jawab Seputar Bahan Tambahan Pangan”. Kami diminta untuk mempelajari draft “Tanya Jawab Seputar Pelabelan Pangan Olahan” dan “Tanya Jawab Seputar Bahan Tambahan Pangan” dan memposisikan diri kami sebagai pengguna dan memberi masukan terhadap draft tersebut. Pengguna yang dimaksud adalah Industri Rumah Tangga dan Industri lainnya yang memproduksi pangan dan atau PIRT. Mengingat pengguna adalah masyarakat awam, maka perlu digunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Peran kami adalah kami memposisikan diri sebagai masyarakat awam yang memberi masukkan dan opini agar draft ini mudah dimengerti oleh pengguna dan pertanyaan yang mungkin dilengkapi untuk pengguna tersebut seperti:
Dalam draft tanya jawab seputar BTP terdapat pertanyaan “Kapan BTP ditambahkan dalam suatu pangan olahan?” yang dijawab “BTP dapat ditambahkan apabila memang bahan-bahan tersebut diperlukan secara teknologi”. Istilah teknologi disini menurut pendapat kami kurang awam, dan kami sarankan untuk diganti dengan kata “diperlukan dalam pengolahan pangan”.
Adapun contoh pertanyaan yang mungkin dapat dilengkapi terdapat pada draf tanya jawab seputar perlabelan pangan olahan yang dapat dilengkapi dengan pernyataan “apa saja contoh informasi yang dilarang pada label?”
f.
Label Pangan (29) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, serta Peraturan Pemerintah RI No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.03.1.5.12.11.09955 tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, maka pada label produk pangan harus mencantumkan keterangan: Nama produk, Daftar bahan yang digunakan, Berat bersih atau isi bersih, Nama dan alamat pihak yang
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
44
memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, Keterangan kedaluwarsa, Nomor pendaftaran pangan, dan Kode produksi
5.3.
Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus mempunyai tugas dan fungsi
yaitu penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan pengaturan standardisasi pangan khusus. Dalam hal penyusunan standar, Subdirektorat Pangan Khusus merupakan koordinator Panitia Teknis 67-01 mengenai Pangan Olahan Tertentu di Badan Standar Nasional (BSN). Subdirektorat Standarisasi Pangan Khusus membawahi dua seksi yaitu Seksi Standarisasi Produk Hasil Rekayasa Genetik (PHRG) dan Iradiasi, dan Seksi Standarisasi Produk Pangan Fungsional. Dalam pelaksanaaan PKPA di Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus, kami mempelajari peraturan-peraturan Kepala Badan POM RI maupun Instansi terkait yang menjadi landasan Subdirektorat Pangan Khusus dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya secara teknis. a.
Pangan Fungsional Dengan perkembangan zaman, setiap orang mulai menyadari kebutuhan gizi yang dibutuhkan olehnya. Hal ini terlihat dengan maraknya produsen mengedarkan produk-produk dengan klaim bahwa produknya merupakan pangan fungsional. Pangan yang dikelompokan ke dalam pangan fungsional yaitu pangan olahan yang mencantumkan klaim kesehatan, yang biasanya diajukan oleh produsen pangan. Produk dengan klaim harus memenuhi persyaratan mengandung jenis komponen pangan dalam jumlah yang sesuai dengan batasan yang ditetapkan, memiliki karakteristik sensorik seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen, dan disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman.(26) Selain itu, pangan olahan yang mencantumkan klaim harus memuat informasi seperti informasi nilai gizi, peruntukan, petunjuk cara penyiapan dan penggunaan, khusus untuk pangan olahan yang perlu petunjuk cara penyiapan dan penggunaan, serta keterangan lain yang perlu dicantumkan. Peraturan yang mengatur tentang klaim dalam label dan iklan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
45
pangan olahan ini dapat dilihat dalam Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. b.
Pangan Hasil Rekayasa Genetik Inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, telah menghasilkan produk pangan yang dibudidayakan dengan rekayasa genetik yang sering disebut Produk Rekayasa Genetik (PRG). Namun, pemanfaatan pangan PRG mengundang kekhawatiran bahwa pangan tersebut mungkin dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia. Oleh karena itu, disusunlah Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.03.12.1564 Tahun 2012 tentang Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik yang mengatur agar setiap pangan PRG (baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia) wajib dilakukan pengkajian keamanan pangan PRG sebelum diedarkan, tetapi dikecualikan untuk bahan penolong (processing aid) yang digunakan pada produk pangan PRG dan tidak teridentifikasi pada produk akhir.(30) Selain peraturan di atas, terdapat juga peraturan yang mengatur tentang tata cara pelabelan pangan PRG yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.03.1.23.03.12.1564 Tahun 2012 tentang Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik. Dalam peraturanperaturan ini dinyatakan bahwa produk pangan yang mengandung paling sedikit 5% Pangan PRG (berdasarkan persentase kandungan Asam Deoksiribonukleat (Deoxyribo Nucleic Acid/DNA) PRG terhadap kandungan Asam Deoksiribonukleat non PRG) wajib mencantumkan tulisan “PANGAN PRODUK REKAYASA GENETIKA” (29,31).
c.
Pangan Iradiasi Di bidang pangan, telah diterapkan teknologi iradiasi untuk pengawetan pangan dan mencegah pertunasan umbi-umbian. Untuk menjamin bahwa pangan iradiasi yang beredar di wilayah Indonesia memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi pangan, maka dibuatlah Peraturan Kepala Badan
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
46
POM RI No.26 tahun 2013 tentang Pengawasan Pangan Iradiasi. Selain itu, Pangan Iradiasi yang diproduksi dan diedarkan harus memiliki Sertifikat Iradiasi yang berlaku untuk batch pangan yang bersangkutan. Peraturan Kepala Badan POM ini dibuat untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi pangan.(17) Setiap pangan iradiasi yang dikemas dan diedarkan harus diberi label. Ketentuan pelabelan Pangan Iradiasi wajib mencantumkan tulisan "PANGAN IRADIASI", dan tujuan iradiasi. Bila pangan tersebut tidak boleh d2radiasi ulang, maka wajib dicantumkan tulisan “TIDAK BOLEH D2RADIASI ULANG”. Apabila iradiasi tidak dilakukan sendiri oleh pihak yang memproduksi pangan, maka harus mencantumkan nama dan alamat penyelenggara radiasi, wajib mencantumkan tanggal iradiasi dalam bulan dan tahun, nama negara tempat iradiasi dilakukan, serta wajib mencantumkan logo khusus pangan iradiasi dan tulisan “RADURA”.
d.
Gambar 5.1. Logo Pangan Iradiasi Pangan Olahan Organik Badan POM selain melakukan pengawasan pada pangan iradiasi dan PHRG juga melakukan pengawasan untuk pangan organik yang di atur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.06.52.0100 tahun 2008 tentang Pengawasan Pangan Olahan Organik. Pangan olahan organik wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan serta regulasi lain yang berlaku. Persyaratan pangan olahan organik yang berlaku di Indonesia, antara lain: suatu pangan olahan organik harus mengandung bahan pangan organik sekurang-kurangnya 95% dari total berat atau volume, tidak termasuk air dan garam yang ditambahkan selama proses pengolahan pangan; Pangan olahan organik tidak boleh mendapat perlakuan radiasi dan tidak boleh berasal dari pangan hasil rekayasa
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
47
genetik; Dilarang untuk mencantumkan kelebihan pangan organik dari pangan non organik pada label dan iklan. (21) Bagi pangan olahan organik yang telah memenuhi persyaratan pangan organik dapat mencantumkan logo seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 5.2. Logo Pangan Olahan Organik 5.4.
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Pada pelaksanaaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Subdirektorat
Standarisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan (Subdit SBB & BTP), penyusun mempelajari dan melaksanakan hal- hal yang terkait dalam standardisasi pangan olahan, termasuk di antaranya: a.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) BTP merupakan bahan yang sengaja ditambahkan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk dari pangan. BTP yang boleh digunakan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan
(25)
dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 4-25 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (32). Apabila suatu industri ingin menggunakan BTP yang tidak terdapat dalam Permenkes dan PerKa tersebut, maka industri dapat mengajukan permohonan izin khusus kepada Departemen Standarisasi Produk Pangan Badan POM. Setelah permohonan izin khusus diterima, Subdit SBB & BTP akan melakukan pengkajian BTP tersebut. Dalam proses pengkajian, Subdit SBB & BTP mengacu pada Codex Stan, peraturan terkait, dan rekomendasi dari para pakar (Tim Mitra Bestari). b.
Bahan Penolong Dalam proses pembuatan produk pangan, selain bahan tambahan pangan, bahan penolong (Processing Aids) juga banyak digunakan oleh industri pangan, contoh Bahan Penolong adalah enzim. Saat ini sedang disusun
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
48
regulasi mengenai bahan penolong. Dengan adanya peraturan tersebut maka pihak Pemerintah mempunyai standar dan acuan dalam menentukan jenis dan batas maksimum residu yang aman untuk bahan penolong sehingga produk pangan tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi dan dapat diberikan izin edar. c.
Cemaran Dalam bahan baku dan produk pangan, kemungkinan terdapat cemaran. Cemaran dapat berupa cemaran mikroba, kimia, dan fisik. Subdit SBB & BTP sudah menyusun regulasi cemaran yaitu dalam PerKa Badan POM Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan(18). Dalam peraturan tersebut dimuat tentang ketentuan cemaran mikroba dan kimia, serta batas maksimum cemaran tersebut dalam makanan, dan saat ini sedang dalam proses revisi peraturan tersebut. Perbedaan antara Pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan kepala Badan POM tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan pangan dan pangan olahan dapat dilihat pada tabel 5.2 di halaman berikutnya.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
49
Tabel 5.2. Perbedaan antara Pedoman kriteria cemaran pada Pangan Siap Saji dan Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia
dalam makanan pangan dan pangan olahan Parameter
Pedoman Kriteria Cemaran
Peraturan kepala Badan
Pada Pangan Siap Saji Dan
POM Nomor
Pangan Industri Rumah
HK.00.06.1.52.4011 Tentang
Tangga (PIRT)
(33)
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan
Pengguna
Pengawas
dan
Keamanan
Penyuluh Industri Pangan Olahan
Pangan,
Industri
Pangan Siap Saji (PSS) dan PIRT sebagai Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Sifat
Sukarela
Wajib
Jenis Produk
PSS, PIRT ternasuk PJAS
Pangan Olahan yang dikemas, berlabel, dijual eceran (ritel), dan daya tahan lebih dari 7 hari
Isi
Berisi
informasi
cemaran, Peraturan kepala Badan POM
kriteria cemaran pada PSS dan Tentang
Penetapan
Batas
PIRT termasuk PJAS, kategori Maksimum Cemaran Mikroba pangan, dan referensi.
Dan Kimia Dalam Makanan Pangan Dan Pangan Olahan beserta lampiran.
Cemaran
Jenis dan batas maksimum, Cemaran mikroba dan cemaran jumlah sampel yang dianalisis, kimia antara lain: logam berat, unit
analisis
analisis
serta
cemaran
metode mikotoksin, dan cemaran kimia mikroba, lainnya.
logam, mikotoksin, dan kimia lain
pada
PSS
dan
PIRT
termasuk PJAS
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
50
Kesimpulan dari tabel 5.2: Pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) sebagai PJAS mengacu pada Peraturan kepala Badan POM tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan. Pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan PIRT lebih diperuntukkan kepada IRT dan produsen PSS dan masih bersifat sukarela, parameter uji serta jenis pangannya tertentu. Sedangkan Peraturan kepala Badan POM tentang batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan lebih diperuntukkan kepada industri pangan yang bersifat mengikat/wajib, dan parameter uji serta jenis pangan berbeda dengan pedoman kriteria cemaran pada pangan siap saji dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) sebagai PJAS.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Dari hasil kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan POM selama tanggal 1-24 April 2014, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Badan POM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) berdasarkan Peraturan Presiden No 03 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No 103 tahun 2001(14) yang menjalankan fungsi di bidang pengawasan Obat dan Makanan yang masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. Badan POM selaku salah satu lembaga pemerintahan yang menyelenggarakan kegiatan PKPA menjadi salah satu sarana calon apoteker mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis.
2.
Direktorat Standardisasi Produk Pangan termasuk dalam Deputi Bidang Pengawasan Produk Pangan dan Bahan Berbahaya dan merupakan salah satu unit eselon 2 tempat pelaksanaan kegiatan PKPA di Badan POM. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, direktorat ini dibantu oleh Subdit Standardisasi Pangan Olahan, Subdit Standardisasi Pangan Khusus serta Subdit Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan. peraturan, standar, pedoman maupun
kode praktis (code of practice). Direktorat
Standardisasi Produk Pangan mempunyai peran penting antara lain :
Mewujudkan
standardisasi
produk
pangan
dalam
rangka
meningkatkan perlindungan konsumen dari pangan yang tidak layak, tidak aman dan dipalsukan serta meningkatkan efisiensi dan daya saing produk pangan nasional
3.
Mewujudkan keamanan pangan dan perdagangan yang adil.
Calon Apoteker telah mendapat pembekalan agar memiliki wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan makanan dalam lembaga pemerintahan melalui kegiatan PKPA di Badan POM khususnya di Direktorat Standardisasi Produk Pangan.
51 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
52
6.2. Saran Mengingat beratnya beban kerja dan keterbatasan waktu, maka penyusun menyarankan agar: 1.
Praktek Kerja
Profesi
Apoteker (PKPA) dapat difokuskan pada satu
Subdirektorat yang terdapat pada unit kerja eselon 2 saja agar lebih banyak mendapatkan wawasan dan informasi dalam waktu yang terbatas. 2.
Diperlukan waktu PKPA yang lebih panjang agar mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih banyak.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Univerisitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2001. Keputusan Kepala Badan POM No.02001/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
2.
Presiden Republik
Indonesia.
2000. Keputusan
Presiden Republik
Indonesia No. 173 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jakarta: Sekretariat Negara.
3.
Presiden Republik Indonesia. 2013. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 03 Tahun 2013 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No 103 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Lembaga Pemerintahan Non Kementrian. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
4
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.04.01.21.11.10.10509 Tahun 2010 Tentang Penetapan Visi dan Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
5.
Presiden Republik Indonesia. 2001. Keputusan Presiden Republika Indonesia Nomer 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,
53
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
54
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Jakarta: Presiden.
6.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
7.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Himpunan Peraturan PerUndang-Undangan Tentang Organisasi dan Tata Kerja. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
8.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: HK.00.05.52.4040 tahun 2006 Tentang Kategori Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
9.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Panduan Kerja Codex. Jakarta: Direktorat Standarisasi Produk Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
10. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2013 Tentang Rencana Strategis Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tahun 2010-2014. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
11. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
55
Nomor: HK.04.1.21.11.10.10507 tahun 2010 tentang Rencana Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
12. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Standardisasi Produk Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
13. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Rencana Strategis 2010-2014 Direktorat Standardisasi Produk Pangan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
14. Badan Standardisasi Nasional. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2010 tentang Sistem Standardisasi Nasional. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
15. Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara.
16. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor 39 Tahun 2013 Tentang Standar Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
17. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.
18. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Kepala
Badan
Pengawas
HK.00.06.1.52.4011
tahun
Obat 20011
dan tentang
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Makanan Penetapan
Nomor: Batas
Universitas Indonesia
56
Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
19. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 Tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
20. Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.
21. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.06.52.0100 tentang Pengawasan Pangan Olahan Organik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 030 tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Jakarta: Menteri Kesehatan.
23. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor:. HK.03.1.23.03.1563 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
57
24. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2013 Tentang Pengawasan Pangan Iradiasi. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
25. Menteri Kesehatan. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Menteri Kesehatan.
26. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Nomor:
HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
27. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK. 03.1.23.12.11.10569 tahun 2011 Tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
28. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2010 Tentang Standardisasi Nasional Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara.
29. Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.
30. CAC/GL 21. 1997. Principle and Guidelines For The Establishment and Application of Microbiological Criteria Related to Foods. USA: CAC.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
58
31. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Nomor:
HK.03.1.23.03.12.1564 tahun 2012 Tentang Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
32. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 4-25 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Bahan Pengkarbonasi, Humektan, Pembawa, Perlakuan Tepung, Pengatur Keasaman, Bahan Pengeras, Bahan Antikempal, Pengembang, Pelapis, Antibuih, Propelan, Pengental, Gas Untuk Kemasan, Sekuestran, Pembentuk Gel, Pengemulsi, Peretnesi Warna, Pembuih, Penguat Rasa, Penstabil, Peningkat Volume. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
33. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Kriteria Cemaran Pada Pangan Siap Saji Dan Pangan Industri Rumah Tangga. Jakarta: Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
34. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENYUSUNAN KONSEP RANCANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 1 (RSNI 1) KERIPIK APEL
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DONNY LUKMANTO, S. Farm. 1306343523
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2014
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR………………………….…………………................... iii DAFTAR TABEL …………………………….………..……………………. iv DAFTAR LAMPIRAN.……………………..……………………………….. v BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………..…...........1 1.1 Latar Belakang……………………………………………..………… 1 1.2 Tujuan………………………………………...………………............ 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.…………………………………..…………. 3 2.1 Apel……………………………………………….…………………. 3 2.2 Keripik Apel…………………….…………....……………………… 4 2.3 Standar dan Standardisasi…………………....……………………… 5 2.4 Standardisasi di Indonesia…………………....……………………… 5 2.5 Proses Penyusunan SNI………………………………….................... 6 BAB 3 METODOLOGI TUGAS KHUSUS ..........................................
16
3.1 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Tugas Khusus…………...……
16
3.2 Metode Pelaksanaan..………..…………………………...........
16
BAB 4 PEMBAHASAN………………………………………………...
17
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………
21
5.1 Kesimpulan…….………………………………………………
21
5.2 Saran…………..……………………………………………….
21
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...
22
ii
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. (a) Apel rhome beauty ...................................................... 3 Gambar 2.2. (b) Apel manalagi ............................................................. 3 Gambar 2.2. Keripik Apel ..................................................................... 4 Gambar 2.3. Tahap Perumusan SNI ...................................................... 4
iii
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Gizi 100 gram buah Apel .............................................
iv
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
4
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Rancangan Standar Nasional 1 Keripik Apel .......................
v
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
24
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Produktivitas Apel (Malus sp.﴿ di Indonesia, khususnya di Jawa Timur
(khususnya kota Batu, kota Malang, dan Pasuruan sebagai salah satu sentra produksi apel) termasuk tinggi. Dengan produktivitas apel yang tinggi, dan untuk meningkatkan penanganan pasca panen buah apel, maka berkembang pula industri pengolahan apel di daerah sentra produksi apel, salah satunya adalah industri keripik apel. Keripik apel berkembang menjadi komoditi pangan olahan yang banyak dipasarkan karena mempunyai pasar yang cukup baik. Hal ini mengingat keripik adalah salah satu jenis makanan ringan atau dikenal dengan istilah camilan yang sangat disukai masyarakat Indonesia karena rasanya yang enak, renyah, tahan lama, praktis, mudah dibawa dan disimpan, serta dapat dinikmati kapan saja(1). Makanan ringan ini sering dikonsumsi pada waktu senggang oleh orang dewasa dan anak-anak dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan suatu standar keripik apel di Indonesia. Satu satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) (2). Adanya SNI keripik apel dapat menjadi acuan bagi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) sebagai produsen keripik apel untuk mengembangkan produknya sehingga keripik apel yang dihasilkan dapat bersaing dengan produk sejenis. Di sisi lain, bagi konsumen, SNI keripik apel dapat melindungi kesehatan konsumen dari keripik apel yang tidak memenuhi SNI kerpik apel yang berlakuk. Dalam perumusan SNI (termasuk merumuskan SNI keripik apel) terdapat berbagai tahapan proses, yang dimulai dari penyusunan konsep Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI 1) oleh konseptor bertujuan untuk
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
memperoleh konsep awal SNI keripik apel yang selanjutnya akan melalui tahap tahap perumusan SNI, yakni: rapat teknis, rapat konsensus, jajak pendapat, eballoting, hingga penetapan menjadi SNI (2). Oleh karena itu, dalam tugas khusus ini, penyusun memposisikan diri sebagai konseptor untuk menyusun RSNI 1 keripik apel.
1.2 Tujuan Penulisan tugas khusus ini bertujuan untuk: a. mempelajari dan mengetahui proses perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI). b. mempelajari dan mengetahui tujuan penyusunan Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI1) keripik apel. c. menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI1) keripik apel.
2 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Apel
Gambar 2.1 (a). Apel rhome beauty
Gambar 2.1 (b). Apel rhome manalagi
Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia Barat dengan iklim sub-tropis. Di Indonesia, apel dapat tumbuh dan berbuah baik di daerah dataran tinggi. Sentra produksi apel di Indonesia terdapat di Malang dan Pasuruan, Jawa Timur. Di daerah ini, apel telah diusahakan sejak tahun 1950 dan berkembang pesat pada tahun 1960 hingga saat ini. Selain itu daerah lain yang banyak dinanami apel adalah Jawa Timur (Kayumas-Situbondo, Banyuwangi), Jawa Tengah (Tawangmangu), Bali (Buleleng dan Tabanan), Nusa Tenggara Barat, NusaTenggara Timur dan Sulawesi Selatan(3). Menurut klasifikasi ilmiah, Apel memiliki nama latin Malus sp. dan termasuk dalam familia Rosaceae. Apel memiliki bermacam-macam varietas yang memiliki kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan, antara lain: rhome beauty, wangli, dan manalagi (apel malang)(3). Apel tidak termasuk buah musiman karena apel dapat dipanen setiap 6 bulan sekali berdasarkan siklus pemeliharaan yang telah dilakukan dengan perkiraan produksi sekitar 6-15 kg/pohon, tergantung dengan varietas yang dibudidayakan(3). Apel merupakan buah dengan kandungan gizi yang beragam, antara lain: kalori, protein, lemak, kalsium, zat besi, vitamin C. Untuk lebih jelasnya, kandungan gizi dalam 100 gram buah apel dapat dilihat dalam tabel pada tabel 2.1 di halaman berikutnya
3 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
4
Tabel 2.1. Kandungan Gizi 100 gram Buah Apel(4)
Kandungan Gizi
2.2.
Jumlah /100 g buah Apel
Kalori
58 KKal
Protein
0,3 g
Lemak
0,4 g
Karbohidrat
14,9 g
Vitamin A
90 I.U.
Vitamin B1
0, 04 mg
Vitamin C
5 mg
Kalsium
6 mg
Fosfor
10 mg
Zat Besi
0 mg
Keripik Apel
Gambar 2.2. Keripik Apel
Salah satu pengolahan buah apel adalah menjadi keripik apel yang renyah dan gurih. Pengolahan menjadi keripik apel ini dapat membantu meningkatkan nilai jual apel dan merupakan salah satu upaya untuk mengolah stok apel pasca panen. Dalam applikasi sehari-hari, keripik sangat cocok untuk dijadikan sebagai camilan di waktu senggang, dan digemari oleh banyak orang. Definisi keripik berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: HK. 00. 05.52.4040 tahun 2006 tentang Kategori Pangan adalah produk buah, ubi, sayur, atau bahan lainnya berbentuk pipih atau bentuk lainnya
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
5
dicampur tanpa dicampur dengan adonan tepung dan bumbu serta langsung digoreng(5). Oleh karena itu, keripik apel adalah makanan yang dibuat dari buah apel (Malus sp.﴿, yang melalui proses pemotongan dan penggorengan, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain serta bahan tambahan pangan yang diizinkan.
2.3.
Standar dan Standardisasi(6) Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan, standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, dilaksanakan secara tertib dan kerjasama semua pihak.
2.4.
Standardisasi di Indonesia Kegiatan standardisasi diperlukan untuk mengantisipasi era globalisasi
perdagangan dunia. Kegiatan ini meliputi penyusunan standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment) secara terpadu yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi Nasional (BSN). Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah Badan yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku(7). BSN juga berwenang untuk menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai salah satu luaran dari proses standardisasi. Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang dibuat oleh panitia teknis yang dikoordinasikan oleh instansi teknis sesuai dengan kewenangannya, ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional. SNI disusun dengan tujuan yang beragam, antara lain: untuk memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan, dan melindungi kepentingan umum(2).
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
6
2.5.
Proses Penyusunan SNI(2) Sebelum proses penyusunan SNI, dilakukan penyusunan, pengusulan, dan
pengajuan Program Nasional Perumusan Standar (PNPS) kepada BSN. PNPS adalah rencana kegiatan untuk merumuskan SNI dalam periode tertentu, yang dipublikasikan agar dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan.PNPS dapat mencakup usulan perumusan SNI baru, revisi atau amandemen SNI. PNPS paling lambat diajukan kepada BSN pada bulan Oktober setiap tahunnya. Apabila usulan tersebut setelah dikaji oleh BSN diterima, maka usulan akan dimasukkan ke dalam PNPS pada periode selanjutnya. Perumusan SNI dilaksanakan sesuai PNPS dengan mengacu pada ketentuan dalam Pedoman Standardisasi Nasional dan pedoman atau ketentuan lain yang relevan sesuai dengan kebutuhan. Proses perumumsan SNI dilaksanakan oleh Panitia Teknis (PANTEK) dari unit terkait atau kementrian terkait sesuai dengan perihal yang ingin distandardisasi, yang terdiri dari wakil Pemerintah, wakil ahli/perguruan tinggi, wakil Industri/Usaha, wakil dari konsumen (diusulkan oleh koordinator PANTEK﴿ dan ditetapkan oleh BSN. Proses perumusan SNI dilaksanakan mengikuti tahapan sesuai tabel 2.2 di halaman berikutnya.
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
7
Gambar 2.3. Tahap Perumusan SNI
2.5.1. Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) RSNI adalah rancangan SNI yang disusun oleh panitia teknis atau subpanitia teknis secara konsensus. RSNI merupakan dokumen yang dihasilkan dalam tahaptahap perumusan SNI. RSNI 1 adalah rancangan SNI yang dihasilkan oleh konseptor yang ditunjuk untuk menyusun konsep SNI terkait perihal yang ingin distandardisasi. RSNI 1 kemudian akan dibahas dalam rapat teknis untuk dibahas oleh pantek/sub panitia teknis terkait. Hasil pembahasan rapat teknis ini adalah RSNI 2. RSNI 2 ini kemudian akan dibahas hingga mencapai konsesus di antara pantek dan atau sub panitia teknis terkait untuk diajukan kepada BSN. Hasil dari rapat konsesus adalah RSNI 3 yang akan disebarluaskan oleh BSN kepada pantek/sub panitia teknit terkait dan masyarakat standardisasi (MASTAN) untuk melalui tahap jajak pendapat. Apabila seluruh anggota yang memiliki hak suara menyatakan setuju pada tahap jajak pendapat, RSNI 3 dapat diproses langsung menjadi Rancangan Akhir Standar Nasioanal Indonesia (RASNI). RASNI adalah RSNI yang siap ditetapkan menjadi SNI. Apabila hanya 2/3 anggota yang berhak memberikan suara pada tahap jajak pendapat menyatakan setuju, maka RSNI 3 ini
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
8
dapat diajukan menjadi RSNI 4 setelah melalui tahap perbaikan akhir. Perbaikan dilakukan oleh panitia teknis dengan memperhatikan semua tanggapan yang diperoleh dalam tahap jajak pendapat. RSNI 4 kemudian dapat disetujui untuk menjadi RASNI apabila disetujui oleh 2/3 anggota yang berhak memberikan suara pada tahap e-balloting. Melihat uraian di atas, perbedaan antara RSNI 1, RSNI 2, RSNI 3, dan RSNI 4 adalah adanya masukkan dan pembahasan dari berbagai pihak yang terlibat pada setiap tahapan yang dilalui dalam proses perumusan SNI.
2.5.2. Penyusunan konsep (drafting) Pertama-tama penyusunan SNI dilakukan dengan menyusun konsep Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI 1) selama 1-3 bulan oleh konseptor. Konseptor dapat berbentuk perorangan atau gugus kerja yang terdiri atas tenaga ahli yang berkaitan dengan bidang standar yang akan dirumuskan dan dapat berasal dari luar anggota panitia teknis atau subpanitia teknis. Gugus kerja ini bersifat sementara dan tugasnya selesai setelah RSNI1 disetujui menjadi RSNI2 oleh panitia teknis atau subpanitia teknis. Apabila diperlukan gugus kerja atau subpanitia teknis atau panitia teknis dapat berkonsultasi dengan berbagai pihak lain yang berkepentingan, melakukan penelitian, studi banding, dan atau pengujian untuk memastikan agar ketentuan yang dicakup dalam RSNI 1 sesuai dengan konteks tujuan penyusunan
SNI
tersebut
serta
kondisi
yang
mempengaruhinya. Apabila menetapkan metode pengujian baru yang berdiri sendiri atau merupakan bagian suatu standar dan metode tersebut tidak mengadopsi atau tidak mengacu suatu standar lain yang biasa digunakan, maka harus dilakukan validasi.
2.5.3
Rapat Teknis RSNI 1 yang disusun oleh konseptor atau gugus kerja dibahas dalam rapat
teknis yang diikuti oleh panitia teknis atau subpanitia teknis untuk mendapatkan pandangan dan masukan dari seluruh anggota. Rapat teknis harus dihadiri oleh 3/4 anggota Panitia Teknis. Apabila diperlukan dalam tahap ini dapat diundang pakar dan dilakukan konsultasi dengan berbagai pihak dan atau melakukan
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
9
penelitian/pengujian sesuai dengan kebutuhan. Hasil rapat teknis setelah diperbaiki oleh tim editor adalah RSNI 2.
2.5.3 Rapat Konsensus Panitia Teknis atau Subpanitia Teknis RSNI 2 selanjutnya dikonsensuskan oleh panitia teknis atau subpanitia teknis dengan memperhatikan pandangan seluruh peserta rapat yang hadir dan pandangan tertulis dari anggota panitia teknis atau subpanitia teknis yang tidak hadir. Apabila diperlukan, dalam tahap ini dapat diundang pakar dari luar anggota panitia teknis atau subpanitia teknis sebagai narasumber yang pendapatnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota panitia teknis atau subpanitia teknis dalam mengambil keputusan, tetapi tidak memiliki hak suara. Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum, yaitu minimal 2/3 anggota panitia teknis atau subpanitia teknis hadir dan semua pihak yang berkepentingan terwakili. Pelaksanaan rapat konsensus harus dihadiri oleh Tenaga Ahli Standardisasi yang ditugaskan oleh BSN sebagai pengendali mutu (TAS-QC) perumusan SNI. Selain itu, anggota panitia teknis atau subpanitia teknis yang tidak hadir dalam rapat berhak memberikan pandangannya secara tertulis sebagai bahan pembahasan, namun yang bersangkutan tidak diperhitungkan di dalam kuorum dan pemungutan suara. RSNI2 dapat ditetapkan menjadi RSNI 3 apabila anggota panitia teknis atau subpanitia teknis peserta rapat konsensus menyepakati rancangan tersebut secara aklamasi. Jika dalam hal aklamasi tidak dicapai, dapat dilakukan voting, dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota panitia teknis atau subpanitia teknis peserta rapat konsensus menyatakan setuju. Apabila peserta rapat konsensus yang menyetujui rancangan tersebut tidak mencapai 2/3 maka RSNI 2 tersebut harus diperbaiki dengan memperhatikan alasan dari tanggapan yang menyatakan tidak setuju. Seluruh substansi pembahasan dalam rapat konsensus harus terekam secara lengkap, akurat serta mudah dibaca dan dimengerti, baik merupakan catatan pada RSNI 2 maupun rekaman terpisah. Hasil rapat konsensus harus dituangkan dalam berita acara sesuai dengan format pada Lampiran C (yang mencakup kuorum, konsensus/tidak konsensus, hasil voting, daftar hadir yang ditandatangani), masing-masing sebanyak dua rangkap. Naskah asli RSNI 2 yang memuat catatan-catatan kesepakatan rapat yang telah diparaf oleh ketua dan
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
10
sekretaris panitia teknis atau subpanitia teknis, dan rekaman rapat lainnya, naskah RSNI 3 yang telah diperbaiki oleh tim pengedit, dalam bentuk hard copy dan e-file, serta berita acara hasil konsensus, harus dikirimkan ke BSN dan salinannya disimpan oleh sekretariat panitia teknis atau subpanitia teknis sampai RSNI yang dimaksud ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia. Naskah RSNI3 yang diserahkan ke BSN sepenuhnya merupakan tanggung jawab panitia.
2.5.4 Tahap jajak pendapat (enquiry) melalui media elektronik Pada tahap ini RSNI3 yang dihasilkan oleh panitia teknis atau subpanitia teknis, diserahkan ke BSN agar dapat disebarluaskan untuk mendapatkan tanggapan dari anggota panitia teknis atau subpanitia teknis yang bersangkutan dan anggota MASTAN kelompok minat yang relevan. Sebelum disebarluaskan, BSN akan melakukan verifikasi terhadap kelengkapan administrasi (selambatlambatnya 2 bulan setelah menerima RSNI3 dari panitia teknis). Dalam hal kelengkapan administrasi tidak dipenuhi, maka BSN mengembalikan RSNI3 kepada panitia teknis atau subpanitia teknis yang bersangkutan. Dalam tahap jajak pendapat ini, anggota panitia teknis atau subpanitia teknis (sebagai anggota yang memiliki hak suara) dan anggota MASTAN kelompok minat yang relevan, baik yang memiliki atau tidak memiliki hak suara, dapat memberikan tanggapan dalam kurun waktu dua bulan untuk menyatakan: a. setuju terhadap RSNI3 tersebut yang dapat disertai dengan catatan editorial dan/atau catatan teknis yang tidak bersifat substansial, b. tidak setuju atas semua atau sebagian ketentuan substansi RSNI3 dengan memberikan alasan yang jelas mengapa dan bagian mana yang tidak disetujui, atau, c. abstain tanpa memberikan catatan/alasan, melalui SISNI dengan mengisi formulir e-balloting untuk jajak pendapat. Kuorum dihitung berdasarkan hak suara yang dimiliki oleh anggota panitia teknis atau subpanitia teknis, dan anggota MASTAN dari kelompok minat yang relevan berdasarkan status keanggotaan dalam pemberian suara. Jajak pendapat dinyatakan sah atau kuorum apabila tanggapan yang diterima dari anggota yang memiliki hak suara lebih dari 50% dari total hak suara. Apabila batas minimum
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
11
tidak tercapai, jajak pendapat dapat diperpanjang selama satu bulan dan hasil jajak pendapat dinyatakan sah. BSN akan menghitung hasil jajak pendapat yang sah dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan hasil jajak pendapat dilakukan terhadap tanggapan yang menyatakan setuju dan tidak setuju, sedangkan tanggapan yang menyatakan abstain atau tanggapan yang menyatakan tidak setuju tanpa alasan yang jelas tidak dihitung. b. Apabila 2/3 atau lebih anggota yang memiliki hak suara dan ikut memberikan suara menyatakan setuju, dan yang menyatakan tidak setuju dengan alasan yang jelas tidak lebih ¼ dari seluruh tanggapan yang diterima (dari anggota yang memiliki dan tidak memiliki hak suara), maka RSNI3 tersebut dinyatakan disetujui. Apabila kondisi ini dipenuhi dan tidak ada satupun pihak yang menyatakan tidak setuju (0%), maka RSNI3 tersebut dianggap telah disepakati oleh pihak yang berkepentingan sehingga dapat diproses langsung menjadi RASNI tanpa melalui tahap pemungutan suara. Sedangkan apabila ada pihak yang menyatakan tidak setuju, RSNI3 tersebut diproses lebih lanjut menjadi RSNI4 untuk memasuki tahap pemungutan suara. c. Apabila 2/3 dari anggota yang memiliki hak suara dan ikut memberikan suara menyatakan setuju tetapi lebih dari ¼ dari seluruh tanggapan yang diterima (anggota yang memiliki dan tidak memiliki hak suara) menyatakan tidak setuju dengan alasan yang jelas atau apabila yang menyatakan setuju tidak mencapai 2/3 dari anggota yang memiliki hak suara maka RSNI3 tersebut tidak layak untuk dilanjutkan ke tahap pemungutan suara dan dikembalikan ke panitia teknis untuk diperbaiki dengan mempertimbangkan alasan dari tanggapan yang menyatakan tidak setuju dan disepakati oleh anggota panitia teknis atau subpanitia teknis. d. RSNI3 yang telah diperbaiki dapat diajukan kembali untuk jajak pendapat. Apabila setelah dua kali pengulangan jajak pendapat tidak mendapatkan persetujuan maka RSNI3 tersebut dinyatakan gugur. Usulan RSNI ini dapat diprogramkan kembali. Pelaksanaan jajak pendapat diatur dalam PSN 04-2006 tentang Jajak Pendapat dan Pemungutan Suara dalam Rangka Perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
12
RSNI3 yang telah disetujui untuk dijadikan RSNI4 perlu diperbaiki oleh panitia teknis atau subpanitia teknis dengan atau tanpa perubahan yang bersifat substansial dengan proses sebagai berikut: a. BSN akan mengirimkan seluruh tanggapan yang diperoleh dalam tahap jajak pendapat dan hasil perhitungan jajak pendapat kepada panitia teknis atau subpanitia teknis. b. Dalam memperbaiki RSNI3, catatan editorial atau catatan teknis dari tanggapan yang menyatakan setuju atau tidak setuju harus diperhatikan dan hasilnya diperbaiki oleh panitia teknis atau subpanitia teknis untuk menjadi RSNI4. Jika terdapat perubahan yang bersifat substansial, maka hal tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Ketua dan sekretaris panitia teknis atau subpanitia teknis c. RSNI4 yang dihasilkan dikirimkan ke BSN dalam bentuk hardcopy yang telah ditandatangani oleh ketua dan sekretaris panitia teknis atau subpanitia teknis dan efile disertai dengan rekaman perubahan perubahan terhadap RSNI3 yang telah dilakukan (termasuk berita acara) untuk diproses ke tahap pemungutan suara melalui SISNI. RSNI3 yang langsung disetujui menjadi RASNI tanpa melalui tahap pemungutan suara, perlu diperbaiki oleh panitia teknis atau subpanitia teknis tanpa perubahan yang bersifat substansial dengan proses sebagai berikut: a. BSN akan mengirimkan seluruh tanggapan yang diperoleh dalam tahap jajak pendapat dan hasil perhitungan jajak pendapat kepada panitia teknis atau subpanitia teknis. b. Dalam
memperbaiki
dan
mengedit
RSNI3
menjadi
RASNI, catatan
editorial dari tanggapan yang menyatakan setuju harus diperhatikan. c. RASNI yang dihasilkan dikirimkan ke BSN untuk ditetapkan menjadi SNI. d. Ketua panitia teknis/subpanitia teknis menyerahkan RASNI ke BSN dalam bentuk efile dan hard copy yang telah ditanda tangani oleh ketua dan sekretaris panitia teknis atau subpanitia teknis, disertai dengan rekaman perubahanperubahan terhadap RSNI3 yang dilakukan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
13
2.5.5 Tahap pemungutan suara (voting) melalui media elektronik Pada tahap ini RSNI4 yang dihasilkan oleh panitia teknis atau subpanitia teknis, diserahkan ke BSN agar dapat disebarluaskan untuk mendapatkan tanggapan dari anggota panitia teknis atau subpanitia teknis yang bersangkutan dan anggota MASTAN kelompok minat yang relevan. Sebelum disebarluaskan, BSN akan melakukan verifikasi terhadap perubahan yang dilakukan. Dalam hal perubahan tidak dilaksanakan tanpa alasan yang jelas, maka BSN mengembalikan RSNI4 kepada panitia teknis atau subpanitia teknis yang bersangkutan untuk diperbaiki. BSN menyebarluaskan RSNI4 melalui SISNI untuk memperoleh tanggapan dari seluruh anggota panitia teknis atau subpanitia teknis dan anggota MASTAN kelompok minat yang relevan untuk mendapatkan persetujuan melalui pemungutan suara dalam kurun waktu dua bulan. Pada tahap ini anggota panitia teknis atau subpanitia teknis dan anggota MASTAN kelompok minat yang relevan dapat menyatakan setuju tanpa catatan, tidak setuju dengan alasan yang jelas, atau abstain, dengan mengisi formulir eballoting untuk pemungutan suara. Kuorum dihitung berdasarkan hak suara yang dimiliki oleh anggota panitia teknis atau subpanitia teknis, dan anggota MASTAN dari kelompok minat yang relevan berdasarkan status keanggotaan dalam pemberian suara. Pemungutan suara dinyatakan sah atau kuorum apabila tanggapan yang diterima dari anggota yang memiliki hak suara lebih dari 50% dari total hak suara. Apabila batas minimum tidak tercapai, maka pemungutan suara diperpanjang selama satu bulan dan hasil pemungutan suara dinyatakan sah. BSN akan menghitung hasil pemungutan suara yang sah dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perhitungan hasil pemungutan suara dilakukan terhadap tanggapan yang menyatakan setuju dan tidak setuju, sedangkan tanggapan yang menyatakan abstain atau tanggapan yang menyatakan tidak setuju tanpa alasan yang jelas tidak dihitung. b. Apabila 2/3 atau lebih anggota yang memiliki hak suara dan ikut memberikan suara menyatakan setuju, dan yang menyatakan tidak setuju dengan alasan yang jelas tidak lebih ¼ dari seluruh tanggapan yang diterima (dari anggota yang memiliki dan tidak memiliki hak suara), maka RSNI4 tersebut disetujui menjadi RASNI.
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
14
c. Apabila 2/3 dari anggota yang memiliki hak suara menyatakan setuju tetapi lebih ¼ dari seluruh tanggapan yang diterima menyatakan tidak setuju dengan alasan yang jelas atau apabila yang menyatakan setuju tidak mencapai 2/3, maka RSNI4 tersebut tidak layak untuk ditetapkan menjadi SNI dan dikembalikan ke panitia teknis atau subpanitia teknis bersama hasil perhitungan pemungutan suara dan tanggapan dari peserta pemungutan suara. Dalam keadaan tersebut panitia teknis atau subpanitia teknis dapat mengajukan RSNI4 tersebut sebagai Dokumen Teknis (DT) dengan cara sebagai berikut: 1. Mengajukan RSNI4 tersebut ke BSN untuk ditetapkan sebagai DT setelah disepakati oleh 2/3 atau lebih dari anggota panitia teknis atau subpanitia teknis. 2. DT berlaku selama maksimum 5 (lima) tahun dan dalam jangka waktu tersebut panitia teknis atau subpanitia teknis dapat meninjau kembali DT tersebut. Apabila telah dicapai konsensus PT/SPT bahwa DT akan diproses kembali, maka panitia teknis atau subpanitia teknis dapat mengusulkan DT tersebut sebagai RSNI3 kepada BSN untuk diproses menjadi SNI melalui tahap jajak pendapat dan selanjutnya diproses sesuai ketentuan yang berlaku. 3. Panitia teknis atau subpanitia teknis dapat mengajukan RSNI3 siap jajak pendapat untuk ditetapkan sebagai DT, mengingat kebutuhan yang mendesak. Sementara itu tahapan perumusan SNI selanjutnya tetap berjalan sesuai ketentuan. 4. RSNI4 yang diadopsi identik dari standar internasional mendapat
yang
tidak
persetujuan tidak dapat menjadi DT, tetapi dapat diusulkan
kembali untuk dilakukan pemungutan suara setelah PT melakukan pengkajian. 2.5.6 Penetapan SNI dan DT RSNI yang telah mencapai tahap RASNI atau DT akan dialokasikan penomorannya oleh BSN. Tata cara penomoran SNI dan DT diatur dalam PSN 06:2007 tentang Tata Cara Penomoran Standar Nasional Indonesia dan Dokumen Teknis. BSN menetapkan RASNI menjadi SNI atau amandemen SNI dan RSNI4
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
15
atau RSNI3 menjadi DT tanpa adanya perubahan atau editing dengan menerbitkan Surat Keputusan kepala BSN. BSN menyampaikan Surat Keputusan penetapan SNI atau DT kepada sekretariat panitia teknis atau subpanitia teknis, disertai e-file dari SNI/DT terkait. 2.6.7 Pemeliharaan SNI Panitia teknis atau subpanitia teknis berkewajiban memelihara SNI dengan melaksanakan kaji ulang sekurang-kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun setelah ditetapkan, untuk menjaga kesesuaian SNI terhadap kebutuhan pasar dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka memelihara dan menilai kelayakan dan kekinian SNI. Panitia teknis harus melaporkan program kaji ulang setiap akhir tahun bersamaan dengan usulan PNPS. Dalam hal suatu SNI terdapat kondisi tertentu yang memerlukan perubahan sebelum 5 tahun maka kaji ulang terhadap SNI tersebut dapat diusulkan kepada BSN atau panitia teknis untuk ditindaklanjuti. Hasil kaji ulang dapat ditindaklanjuti dengan menerbitkan ralat, amandemen, revisi, abolisi atau tetap tanpa perubahan terhadap SNI tersebut. Jika hasil kaji ulang: a) menunjukkan adanya kesalahan redaksional maka dilakukan ralat. b) menunjukkan keperluan perbaikan atau penambahan substansi yang sifatnya terbatas maka dilakukan amandemen SNI. Amandemen dapat dilakukan sebanyakbanyaknya dua kali, setelah itu terhadap SNI yang mengalami perbaikan tersebut dilakukan revisi. c) menunjukkan keperluan perubahan substansi yang cukup luas atau menyeluruh maka dilakukan revisi SNI. d) menunjukkan bahwa SNI tersebut tidak diperlukan lagi, maka dilakukan abolisi SNI. e) menunjukkan bahwa SNI tersebut tetap tanpa perubahan, maka SNI tersebut tetap berlaku.
Universitas Indonesia Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
BAB 3 METODOLOGI TUGAS KHUSUS
3.1 Waktu dan Lokasi Pelaksanaan Tugas Khusus Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilaksanakan pada periode 1 April sampai dengan 24 April 2014 di Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan yang terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat.
3.2 Metode Pelaksanaan Tugas khusus dilaksanakan dengan menyusun konsep Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI 1) menggunakan studi literatur yang mengacu pada regulasi dan pedoman pangan olahan terkait dalam dan luar negeri.
14 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN
Produktivitas Apel (Malus sp.﴿ di Indonesia, khususnya di Jawa Timur (khususnya kota Batu, sebagai salah satu sentra produksi apel) termasuk tinggi. Sentra produksi apel di Batu pada tahun 2013 mampu menghasilkan 747,1 kwintal apel(10﴿. Dengan produktivitas apel yang tinggi dan untuk meningkatkan penanganan pasca panen buah apel, maka tidak mengeherankan apabila berkembang industri pengolahan apel di sentra produksi apel. Produk olahan apel dapat dijadikan sebagai oleh-oleh khas daerah sentra produksi apel bagi para wisatawan yang berkunjung sehingga meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar. Salah satu proses pengolahan untuk memberi nilai tambah bagi buah apel, di antaranya adalah dengan mengolah buah apel menjadi keripik apel. Akan tetapi, keripik apel dapat ditemukan tidak hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga di wilayah ASEAN. Mengingat pada tahun 2015 akan diadakan Harmonisation ASEAN dimana produk dari luar negeri dapat bebas masuk dan dijual di Indonesia, maka perlu dibuatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk keripik apel agar terdapat pelindungan bagi konsumen dan produsen sehingga hanya keripik apel yang memenuhi persyaratan saja dapat masuk ke Indonesia. Selain itu, bagi produsen, adanya SNI Keripik Apel dapat mendukung perkembangan dan diversifikasi produk industri olahan buah apel, meningkatkan daya saing produk nasional, serta menjamin perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Proses perumusan SNI dilakukan oleh panitia teknis dari unit terkait perihal yang ingin distandardisasi. Oleh karena itu, proses perumusan keripik apel dilakukan oleh Panitia Teknis 67.04 tentang makanan dan minuman yang diketuai oleh Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan dari Kementrian Perindustrian, dengan konseptor, serta pakar/wakil ahli yang dapat berasal dari perguruan tinggi ataupun Badan pemerintahan lain yang memiliki keterkaitan dengan keripik apel. Dalam hal penyusunan SNI keripik apel, Direktorat Standardisasi Produk Pangan Badan POM RI merupakan salah satu wakil ahli dan
17
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
18
anggota PANTEK ini. Dalam perumusan SNI terdapat berbagai tahapan seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.2. Dari tabel tersebut, dapat dilihat proses perumusan SNI dimulai dengan menyusun konsep SNI sebagai Rancangan Standar Nasional Indonesia 1 (RSNI 1). Dalam menyusun RSNI1 keripik apel, penyusun selaku konseptor mengacu pada peraturan atau pedoman pangan yang telah berlaku di Indonesia serta mengacu pada SNI dari produk pangan olahan lain, seperti SNI keripik nangka, SNI keripik nanas, SNI puree buah, SNI dodol beras ketan, dan SNI mi instan. Selain itu, konseptor dapat juga mengacu pada standar yang dihasilkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) seperti Codex STAN, Guideline (GL) dan persyaratan teknis (Technical Requirement). Acuan-acuan tersebut dapat diadopsi sebagian atau seluruhnya tergantung kepentingan, kondisi dan keberadaan di Indonesia. Di dalam SNI produk pangan olahan umumnya diatur mengenai istilah dan definisi, komposisi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, dan cara uji, hingga cara pengemasan dan penandaan yang baik(11,12,13﴿ . Hal-hal ini diatur agar menjadi standar minimum mutu untuk produk pangan olahan yang dijual dipasaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan RSNI 1 keripik apel, diatur mengenai hal-hal di atas. Dalam penyusunan RSNI 1 keripik apel, keripik apel didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari buah apel (Malus sp.﴿, yang melalui proses pemotongan. Pemberian bumbu, dan penggorengan, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain serta bahan tambahan pangan yang diizinkan. Definisi ini perlu dituliskan dengan jelas dan tidak ambigu, agar terjadi persamaan definisi dan istilah antar semua pihak yang terkait dengan pembuatan keripik apel. Selain itu, dalam RSNI1 keripik apel, diatur mengenai komposisi keripik apel yang menggunakan bahan baku, bahan pangan, dan bahan tambahan pangan lain selama memenuhi peraturan yang berlaku. Bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan tidak dirinci secara jelas untuk memberikan kesempatan pada industri yang memproduksi keripik apel untuk berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan produk keripik apel. Sebaliknya, kriteria syarat mutu keripik apel distandardisasi secara terperinci agar menjadi standar minimum mutu yang dapat menjamin mutu keripik apel yang dijual dipasaran. Tingginya persyaratan mutu dapat menjadi
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
19
perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi keripik apel, tetapi dalam realisasinya akan menyulitkan produsen. Oleh karena itu, dalam penyusunan SNI ini nantinya diperlukan masukkan dari berbagai pihak yang berkepentingan agar dihasilkan syarat mutu yang mampu melindungi konsumen tetapi masih dapat dipenuhi oleh produsen. Masukkan ini dapat diberikan dalam tahap-tahap berikutnya dalam proses penyusunan SNI, seperti: dalam tahap rapat teknis, rapat konsensus, jajak pendapat, maupun pada tahap voting. Masukkan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan karena dalam tahap berikutnya penyusunan SNI dapat mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan seperti para pakar, perwakilan konsumen, perwakilan produsen, dsb(9﴿. Dalam RSNI1 Keripik apel, keripik apel hendaklah memiliki syarat mutu yang baik seperti pada aspek bau, warna, rasa, dan tekstur yang normal yang dibuktikan melalui uji organoleptis. Selain itu, syarat mutu keripik apel juga mengatur persentase keutuhan, kadar air, bilangan asam yang mengacu pada SNI produk pangan olahan, khusunya SNI keripik sejenis lain yang telah berlaku di masyarakat. Apabila SNI produk pangan olahan ataupun SNI keripik lain dirasa sudah tidak relevan, sebaiknya penyusun merujuk pada literatur dan pendapat ahli untuk menyusun standar yang menyangkut aspek ini. Dalam hal cemaran, RSNI 1 keripik apel mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan yakni dalam pangan olahan lainnya dan persyaratan mutu cemaran puree buah menurut SNI 7841: 2013 tentang puree buah. Dalam hal cara pengambilan contoh RSNI 1 keripik apel mengacu pada SNI 19-0428 tentang Pengambilan contoh padatan. Cara pengujian setiap parameter mutu dalam RSNI 1 keripik apel dapat dilihat dalam lampiran A. Produk keripik apel akan dinyatakan lulus uji apabila memenuhi syarat mutu sesuai tabel 1 pada RSNI 1 keripik apel. Agar setiap syarat tersebut dapat terpenuhi dan menjamin persyaratan higiene, maka
produsen
dipersyaratkan memenuhi Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. Cara Pengemasan dari produk keripik apel diatur untuk menjaga kualitas dari produk hingga mencapai masa kadaluarsa produk atau hingga produk sampai dikonsumsi konsumen . Dalam RSNI 1 keripik apel, produk sebaiknya
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
20
dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, tidak dipengaruhi dan mempengaruhi isi, serta aman selama penyimpanan dan pengangkutan. Perlu diingat bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan dikonsumsinya, khususnya yang disampaikan melalui label dan iklan dan pangan. Oleh karena itu, syarat penandaan perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada konsumen adalah benar dan tidak menyesatkan. Dalam RSNI 1 keripik apel, penandaan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang label dan iklan pangan.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1.
Proses perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) terdiri atas beberapa tahap, yakni: a. Penyusunan Konsep yang dilakukan oleh gugus kerja. b. Rapat Teknis yang dilakukan oleh Panitia Teknis / Sub Panitia Teknis. c. Rapat Konsensus yang dilakukan oleh Panitia Teknis / Sub Panitia Teknis dan BSN. d. Jajak Pendapat oleh Masyarakat Standar dan Panitia Teknis/Sub Panitia Teknis. e. Perbaikan Akhir oleh Panitia Teknis / Sub Panitia Teknis. f. E-balloting oleh Masyarakat Standar dan Panitia Teknis/Sub Panitia Teknis g. Penetapan Rancangan Akhir SNI menjadi SNI oleh Badan Standardisasi Nasional.
2.
Rancangan Standar Nasional Indonesia1 (RSNI1) keripik apel disusun untuk memperoleh konsep awal yang dibuat mengacu pada regulasi, pedoman, dan standar dalam dan luar negeri dan diharapkan RSNI 1 dapat sesuai dengan konteks tujuan penyusunan SNI tersebut.
3.
RSNI 1 keripik apel yang telah disusun dapat dilihat dalam lampiran 1.
5.2.
Saran RSNI 1 keripik apel yang telah disusun disarankan agar dapat digunakan sebagai masukkan dalam rapat teknis penyusunan SNI keripik apel.
21
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA 1. Bellinda, Bhata. 2014. Kajian Penyusunan rancangan Standar Nasional
Indonesia 1 (RSNI1) Keripik Bayam. Tugas Khusus Praktek Kerja Profesi Apoteker, Universitas Indonesia, Depok. 2. Badan Standardisasi Nasional. 2007. Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) 01:2007
tentang
Pengembangan
Standar
Nasional
Indonesia.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 3. Anonim.
(tidak
ada
tahun).
Dipetik
27
April
2014,
dari
www.wanrintek.ristek.go.id/pertanian/apel.pdf. 4. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 5. Direktorat Standardisasi Produk Pangan. 2006. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.52.4040 tahun 2006 Tentang Kategori Pangan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 6. Badan Standardisasi Nasional. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2010 tentang Sistem Standardisasi Nasional. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 7. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
102 Tahun 2010 Tentang Standardisasi Nasional Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara. 8. Badan Pusat Statistik Kota Batu. 2013. Batu dalam Angka Tahun 2013. Batu: Badan Pusat Statistik Kota Batu. 9. Badan Standardisasi Nasional. 2012. Standar Nasional Indonesia (SNI) 3551:2012 tentang Mi Instan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 10.
Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia (SNI)
2896:2013 tentang Dodol Beras Ketan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 11.
Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-4304-1996 tentang Keripik Nanas. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 12.
Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar Nasional Indonesia (SNI)
22
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
24
7841:2013 tentang Puree Buah. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. 13.
Direktorat Standardisasi Produk Pangan. 2009. Peraturan Kepala BPOM
RI No.HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
RSNI1 Rancangan Standar Nasional Indonesia 1
Keripik Apel
ICS 67.04
Badan Standardisasi Nasional Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 Daftar isi
Daftar isi.....................................................................................................................................i Prakata ..................................................................................................................................... ii 1 Ruang lingkup ................................................................................................................. 1 2 Acuan normatif................................................................................................................ 1 3 Istilah dan definisi ........................................................................................................... 1 4 Komposisi ....................................................................................................................... 1 5 Syarat mutu..................................................................................................................... 1 6 Pengambilan contoh ........................................................................................................2 7 Cara uji ........................................................................................................................... 2 8 Syarat lulus uji................................................................................................................. 3 9 Higiene............................................................................................................................ 3 10 Pengemasan................................................................................................................... 3 11 Syarat penandaan .......................................................................................................... 3 Lampiran A (normatif) Cara uji keripik apel ............................................................................. 4 Bibliografi ............................................................................................................................... 37
i Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
Prakata
Standar Nasional Indonesia (SNI) Keripik Apel ini merupakan SNI baru. Standar ini dirumuskan dengan tujuan sebagai berikut: Melindungi kesehatan konsumen; Menjamin perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; Mendukung perkembangan dan diversifikasi produk industri olahan buah. Standar ini dirumuskan dengan memperhatikan ketentuan pada: 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012, tentang Bahan Tambahan Pangan atau revisinya. 8. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 24/M-IND/PER/2/2010 tentang Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan dari Pabrik 9. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 75/M-IND/7/2010 tentang Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). 10. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang Kategori Pangan. 11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 00.06.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. 12. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan. Standar ini dirumuskan oleh Subpanitia Teknis 67-04, Makanan dan Minuman Kementerian Perindustrian, yang telah dibahas melalui rapat teknis, dan disepakati dalam rapat konsensus pada tanggal …, bulan …., tahun ….. di ….. Hadir dalam rapat tersebut wakil dari konsumen, produsen, lembaga pengujian, lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan instansi terkait lainnya. Standar ini telah melalui proses jajak pendapat pada tanggal ….. sampai dengan tanggal ……. dengan hasil akhir …...
ii
Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 Keripik Apel
1 Ruang lingkup Standar ini menetapkan istilah dan definisi, syarat mutu, pengambilan contoh, dan cara uji keripik apel. 2 Acuan normatif Untuk acuan normatif tidak bertanggal, edisi terakhir yang digunakan (termasuk revisi dan amandemennya). SNI 0428, Petunjuk pengambilan contoh padatan.
3 Istilah dan definisi 3.1 Keripik apel Keripik apel adalah makanan yang dibuat dari buah apel (Malus sp.), yang melalui proses pemotongan dan penggorengan, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain serta bahan tambahan pangan yang diizinkan. 4 Komposisi 4.1
Bahan baku
buah apel 4.2
Bahan pangan lain
bahan pangan yang diizinkan untuk keripik sesuai dengan ketentuan yang berlaku 4.3
Bahan tambahan pangan
bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk keripik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5 Syarat mutu Syarat mutu keripik apel sesuai Tabel 1 di halaman berikutnya.
1 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
Tabel 1 – Syarat mutu keripik apel No.
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bau
-
khas, normal
1.2
Rasa
-
khas, normal
1.3
Warna
-
khas, normal
2
Benda asing
-
tidak boleh ada
3
Keutuhan
% (b/b)
min. 90
4
Kadar air
% (b/b)
maks. 5,0
5.
Bilangan asam
6
Cemaran logam
6.1
mg KOH / g minyak
maks. 25,0
Timbal (Pb)
mg/kg
maks. 0, 05
6.2
Kadmium (Cd)
mg/kg
maks. 0,2
6.3
Timah (Sn)
mg/kg
6.4
Merkuri (Hg)
mg/kg
maks. 0,03
7
Cemaran arsen (As)
mg/kg
maks. 0,25
8
Cemaran mikroba
8.1
Angka lempeng total
koloni/g
maks. 1 x 104
8.2
APM Escherichia coli
APM/g
<3
8.3
Staphylococcus aureus
koloni/g
maks.1 x 102
8.4
Kapang
koloni/g
maks.5 x 101
1) 2)
maks. 40,01) / maks. 250,02)
Berlaku untuk produk keripik apel yang tidak dikemas dalam kaleng. Berlaku untuk produk keripik apel yang dikemas dalam kaleng.
6 Pengambilan contoh Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 0428. 7 Cara uji Cara uji untuk keripik apel seperti di bawah ini: a) Persiapan contoh sesuai Lampiran A.1 b) Cara uji keadaan sesuai Lampiran A.2 - Cara uji bau sesuai Lampiran A.2.1 - Cara uji rasa sesuai Lampiran A.2.2 - Cara uji warna sesuai Lampiran A.2.3 - Cara uji tekstur sesuai Lampiran A.2.4 c) Cara uji benda asing sesuai Lampiran A.3 2 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
d) e) f) g)
Cara uji keutuhan sesuai Lampiran A.4 Cara uji kadar air sesuai lampiran A.5 Cara uji bilangan asam sesuai Lampiran A.6 Cemaran logam sesuai Lampiran A.7 - Cara uji timbal (Pb) dan kadmium (Cd) sesuai Lampiran A.7.1 - Cara uji timah (Sn) sesuai Lampiran A.7.2 - Cara uji merkuri (Hg) sesuai Lampiran A.7.3 h) Cara uji cemaran arsen (As) sesuai Lampiran A.8 i) Cara uji cemaran mikroba sesuai Lampiran A.9 - Persiapan dan homogenisasi contoh sesuai Lampiran A.9.1 - Cara uji Angka Lempeng Total sesuai Lampiran A.9.2 - Cara uji APM Escherichia coli sesuai Lampiran A.9.3 - Cara uji Staphylococcus aureus sesuai Lampiran A.9.4 - Cara uji Kapang sesuai Lampiran A.9.5 8
RSNI1 …:2014
Syarat lulus uji
Produk dinyatakan lulus uji apabila memenuhi syarat mutu sesuai Tabel 1. 9
Higiene
Cara memproduksi produk yang higienis termasuk cara penyiapan dan penanganannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. 10 Pengemasan Produk dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman selama penyimpanan dan pengangkutan. 11 Syarat penandaan Syarat penandaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang label dan iklan pangan.
3 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 Lampiran A (normatif) Cara uji keripik apel
A.1
Persiapan contoh
Persiapan contoh terdiri atas persiapan contoh untuk uji mikrobiologi, uji organoleptik, dan uji kimia. Pengambilan contoh untuk uji mikrobiologi dilakukan pertama, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan contoh untuk uji organoleptik dan uji kimia. A.1.1
Persiapan contoh untuk uji mikrobiologi
Buka kemasan contoh keripik apel dan ambil contoh secara aseptik sebanyak 100 g, kemudian tempatkan dalam botol contoh steril. A.1.2
Persiapan contoh untuk uji organoleptik
Buka kemasan contoh keripik apel dan ambil contoh secukupnya, kemudian tempatkan dalam botol contoh yang bersih dan kering. A.1.3
Persiapan contoh untuk uji kimia
Buka kemasan contoh keripik apel dan ambil contoh sebanyak 100 g, kemudian tempatkan dalam botol contoh yang bersih dan kering. A.2 Keadaan A.2.1 Bau A.2.1.1 Prinsip Pengamatan contoh uji dengan indera penciuman yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten untuk pengujian organoleptik. A.2.1.2
Cara kerja
a) Ambil contoh uji secukupnya dan letakkan di atas gelas arloji yang bersih dan kering; b) cium contoh uji untuk mengetahui baunya; dan c) lakukan pengerjaan minimal oleh 3 orang panelis yang terlatih atau 1 orang tenaga ahli. A.2.1.3
Cara menyatakan hasil
a) Jika tidak tercium bau khas buah apel, maka hasil dinyatakan “khas, normal”; dan b) jika tercium selain bau khas buah apel, maka hasil dinyatakan “tidak normal”. A.2.2 A.2.2.1
Rasa Prinsip
Pengamatan contoh uji dengan indera pengecap (lidah) yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten untuk pengujian organoleptik. 4 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.2.2.2
Cara kerja
a) Ambil contoh uji secukupnya dan rasakan dengan indera pengecap (lidah); dan b) lakukan pengerjaan minimal oleh 3 orang panelis yang terlatih atau 1 orang tenaga ahli. A.2.2.3
Cara menyatakan hasil
a) Jika tidak terasa khas buah apel, maka hasil dinyatakan “khas, normal”; dan b) jika tidak terasa khas buah apel, maka hasil dinyatakan “tidak normal”. A.2.3
Warna
A.2.3.1
Prinsip
Pengamatan contoh uji dengan indera penglihatan yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten untuk pengujian organoleptik. A.2.3.2
Cara kerja
a) Ambil contoh uji secukupnya dan letakkan di atas gelas arloji yang bersih dan kering; b) amati warna contoh uji; dan c) lakukan pengerjaan minimal oleh 3 orang panelis yang terlatih atau 1 orang tenaga ahli. A.2.3.3
Cara menyatakan hasil
a) Jika terlihat warna kuning hingga kuning keemasan atau warna lain sesuai dengan yang tercantum dalam label, maka hasil dinyatakan “normal”; dan b) Jika terlihat selain warna kuning hingga kuning keemasan atau warna lain sesuai dengan yang tercantum dalam label, maka hasil dinyatakan ”tidak normal”. A.2.4
Tekstur
A.2.4.1
Prinsip
Pengamatan contoh uji dengan indera peraba yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten untuk pengujian organoleptik. A.2.4.2
Cara kerja
a) Ambil contoh uji secukupnya dan letakkan di atas gelas arloji yang bersih dan kering; b) amati contoh uji untuk mengetahui teksturnya; dan c) lakukan pengerjaan minimal oleh 3 orang panelis yang terlatih atau 1 orang tenaga ahli. A.2.4.3
Cara menyatakan hasil
a) Jika tekstur terasa normal, maka hasil dinyatakan “normal”; dan b) Jika tekstur tidak normal, maka disebutkan tekstur yang diamati. A.3 A.3.1
Benda asing Prinsip
Contoh uji diamati secara organoleptik dengan indera penglihatan. 5 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.3.2
Cara kerja
a) Periksa isi contoh secara organoleptik apakah mengandung benda lain selain keripik apel misalnya: tanah, pasir dan batu-batuan. b) Lakukan pengamatan terhadap contoh uji tersebut untuk mengetahui adanya benda asing tersebut. A.3.3
Cara menyatakan hasil
a) Apabila tidak terlihat benda asing, maka hasil dinyatakan ”tidak ada." b) Apabila terlihat benda asing, maka hasil analisis dinyatakan sesuai dengan pengamatan A.4 A.4.1
Keutuhan Prinsip
Pengamatan contoh uji dengan indera visual dan diukur secara gravimetri yang dilakukan oleh panelis yang terlatih atau kompeten untuk pengujian. A.4.2
Cara kerja
Buka bungkus dan timbang bobot mi keseluruhan (w), kemudian pisahkan mi yang hancur dan timbang (W 1) A.4.3
Perhitungan W - W1 Keutuhan (%) = --------- x 100% W
Keterangan: W adalah bobot keripik apel keseluruhan, dinyatakan dalam gram (g); W1 adalah bobot keripik apel yang hancur, dinyatakan dalam gram (g);
A.4.4
Ketelitian
Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 2% dari nilai rata-rata hasil keutuhan. Jika kisaran lebih besar dari 2 %, maka uji harus diulang kembali.
A.5
Kadar air
A.5.1 Prinsip Kadar air dihitung berdasarkan bobot yang hilang selama pemanasan dalam oven pada suhu (130 ± 3) °C. A.5.2 Peralatan a) b) c) d)
Oven terkalibrasi dengan ketelitian 1 °C; Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; Desikator yang berisi desikan; dan Pinggan alumunium bertutup dengan diameter 40 mm sampai dengan 50 mm.
A.5.3 Cara kerja a) Panaskan pinggan beserta tutupnya dalam oven pada suhu (130 ± 3) °C selama kurang 6 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
lebih satu jam dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit sampai dengan 30 menit, kemudian timbang dengan neraca analitik (pinggan dan tutupnya) (W0); b) masukkan 2 g sampai dengan 5 g contoh ke dalam pinggan, tutup, dan timbang (W1); c) panaskan pinggan yang berisi contoh tersebut dalam keadaan terbuka dengan meletakkan tutup pinggan disamping pinggan di dalam oven pada suhu (130 ± 3) °C selama 1 (satu) jam setelah suhu oven (130 ± 3) °C; d) tutup pinggan ketika masih di dalam oven, pindahkan segera ke dalam desikator dan dinginkan selama 20 menit sampai dengan 30 menit sehingga suhunya sama dengan suhu ruang kemudian timbang (W2); e) lakukan sampai bobot konstan; f) lakukan pekerjaan duplo; dan g) hitung kadar air dalam contoh.
A.5.4 Perhitungan
Keterangan:
W0 adalah bobot pinggan kosong dan tutupnya, dinyatakan dalam gram (g); W1 adalah bobot pinggan, tutupnya dan contoh sebelum dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g); W2 adalah bobot pinggan, tutupnya dan contoh setelah dikeringkan, dinyatakan dalam gram (g).
A.5.5 Ketelitian Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 2% dari nilai rata-rata hasil kadar air. Jika kisaran lebih besar dari 2 %, maka uji harus diulang kembali. A.6
Bilangan Asam
A.6.1
Prinsip
Pelarutan contoh dalam pelarut organik dan dinetralkan dengan larutan basa (kalium hidroksida atau natrium hidroksida). A.6.2 a) b) c) d) e) f)
Peralatan
Rotary evaporator atau pendingin tegak; Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; Penangas air; Gelas piala 500 mL, Buret 10 mL atau 50 mL, terkalibrasi; dan Labu Erlenmeyer 250 mL, yang dilengkapi dengan pendingin refluks.
A.6.3
Pereaksi
a) Petroleum eter; b) Etanol netral; etanol 95 % ditambah dengan beberapa tetes indikator pp dan di titar dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda. c) Indikator fenolftalein (pp) 1 %; dan larutkan 1 g fenolftalein dengan etanol 95 % ke dalam labu ukur 100 mL kemudian 7 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
tepatkan sampai tanda garis. d) Larutan Kalium Hidroksida, KOH 0,1 N atau Larutan Natrium Hidroksida, NaOH 0,1 N yang telah distandardisasi. A.6.4
Cara kerja
a) Timbang 50 g mi yang telah dihaluskan dan tuang ke dalam gelas piala 500 mL, tambahkan 200 mL petroleum eter (45 oC -55 oC b.p), aduk rata dan sisihkan selama 10 menit. b) pisahkan filtrat dengan penyaringan dan uapkan pelarut menggunakan rotary evaporator atau pendingin tegak pada suhu 50 oC – 55 oC sampai menguap sempurna. Untuk menghilangkan sisa atau residu pelarut dapat diuapkan dengan oven vakum. c) timbang ekstrak (W) dan larutkan dengan 50mL etanol panas yang telah dinetralisasikan; d) tambahkan 2 mL larutan fenolftalein sebagai indikator; dan e) titrasi larutan tersebut dengan KOH 0,1 N atau NaOH 0,1 N (N) sampai terbentuk warna merah muda (V1). f) lakukan juga titrasi larutan blanko dengan KOH 0,1 N atau NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda (V0). A.6.5
Perhitungan
Keterangan: V0 adalah volume KOH atau NaOH yang diperlukan dalam penitaran blanko, dinyatakan dalam mililiter (mL); V1 adalah volume KOH atau NaOH yang diperlukan dalam penitaran contoh, dinyatakan dalam mililiter (mL); N adalah normalitas larutan KOH atau NaOH, dinyatakan dalam normal (N); W adalah bobot contoh yang diuji, dinyatakan dalam gram (g); 56,1 adalah bobot setara KOH
A.7
Cemaran logam
A.7.1 Kadmium (Cd) dan timbal (Pb) A.7.1.1Prinsip Destruksi contoh dengan cara pengabuan kering pada 450 °C yang dilanjutkan dengan pelarutan dalam larutan asam. Logam yang terlarut dihitung menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan panjang gelombang maksimal 228,8 nm untuk Cd dan 283,3 nm untuk Pb. A.7.1.2 Peralatan a) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) beserta kelengkapannya (lampu katoda Cd dan Pb) terkalibrasi (sebaiknya menggunakan SSA tungku grafit); b) Tanur terkalibrasi dengan ketelitian 1 °C; c) Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; d) Pemanas listrik; e) Penangas air; f) Pipet ukur berskala 0,05 mL atau mikro buret terkalibrasi; g) Labu ukur 1000 mL, 100 mL, dan 50 mL, terkalibrasi; h) Gelas ukur 10 mL; i) Gelas piala 250 mL; j) Botol polipropilen; k) Cawan porselen/platina/kuarsa 50 mL sampai dengan 100 mL; dan l) Kertas saring tidak berabu dengan spesifikasi retensi partikel 20 µm - 25 µm. 8 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.7.1.3 Pereaksi a) Asam nitrat, HNO3 pekat; b) Asam klorida, HCl pekat; c) Larutan asam nitrat, HNO3 0,1 N; encerkan 7 mL HNO3 pekat dengan aquabides dalam labu ukur 1 000 mL sampai tanda garis. d) Larutan asam klorida, HCl 6 N; encerkan 500 mL HCl pekat dengan aquabides dalam labu ukur 1 000 mL sampai tanda garis. e) Larutan baku 1 000 µg/mL Cd; larutkan 1,000 g Cd dengan 7 mL HNO3 pekat dalam gelas piala 250 mL dan masukkan ke dalam labu ukur 1000 mL kemudian encerkan dengan aquabides sampai tanda garis, atau bisa digunakan larutan baku Cd 1 000 µg/mL siap pakai. f) Larutan baku 200 µg/mL Cd; pipet 10 mL larutan baku 1 000 µg/mL Cd ke dalam labu ukur 50 mL kemudian encerkan dengan aquabides sampai tanda garis kemudian dikocok. Larutan baku kedua ini memiliki konsentrasi 200 µg/mL Cd. g) Larutan baku 20 µg/mL Cd; pipet 10 mL larutan baku 200 µg/mL Cd ke dalam labu ukur 100 mL kemudian encerkan dengan aquabides sampai tanda garis kemudian dikocok. Larutan baku ketiga ini memiliki konsentrasi 20 µg/mL Cd. h) Larutan baku kerja Cd; pipet ke dalam labu ukur 100 mL masing-masing sebanyak 0 mL, 0,5 mL, 1 mL; 2 mL; 4 mL; 7 mL dan 9 mL larutan baku 20 µg/mL kemudian tambahkan 5 mL larutan HNO3 1 N atau HCl 6 N, dan encerkan dengan aquabides sampai tanda garis kemudian kocok. Larutan baku kerja ini memiliki konsentrasi 0 µg/mL; 0,1 µg/mL; 0,2 µg/mL; 0,4 µg/mL; 0,8 µg/mL; 1,4 µg/mL dan 1,8 µg/mL Cd. i) Larutan baku 1000 µg/mL Pb; larutkan 1,000 g Pb dengan 7 mL HNO3 pekat dalam gelas piala 250 mL dan masukkan ke dalam labu ukur 1 000 mL kemudian encerkan dengan aquabides sampai tanda garis, atau bisa digunakan larutan baku Pb 1 000 µg/mL siap pakai. j) Larutan baku 50 µg/mL Pb; dan pipet 5,0 mL larutan baku 1 000 µg/mL Pb ke dalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan aquabides sampai tanda garis kemudian kocok. Larutan baku kedua ini memiliki konsentrasi Pb 50 µg/mL. k) Larutan baku kerja Pb; pipet ke dalam labu ukur 100 mL masing-masing sebanyak 0 mL, 0,2 mL; 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 3 mL dan 4 mL larutan baku 50 µg/mL kemudian tambahkan 5 mL larutan HNO3 1 N atau HCl 6 N, dan encerkan dengan aquabides sampai tanda garis kemudian kocok. Larutan baku kerja ini memiliki konsentrasi 0 µg/mL; 0,1 µg/mL; 0,25 µg/mL; 0,5 µg/mL;1,0 µg/mL; 1,5 µg/mL dan 2,0 µg/mL Pb. A.7.1.4
Cara kerja
a. Timbang 10 g sampai dengan 20 g contoh uji (W) dengan teliti dalam cawan porselen/platina/kuarsa; b. tempatkan cawan berisi contoh di atas pemanas listrik dan panaskan secara bertahap sampai contoh tidak berasap lagi; c. lanjutkan pengabuan dalam tanur (450 ± 5) °C sampai abu berwarna putih, bebas dari karbon; d. apabila abu belum bebas dari karbon yang ditandai dengan warna keabu-abuan, e. basahkan dengan beberapa tetes air dan tambahkan tetes demi tetes HNO3 pekat kira- kira 0,5 mL sampai dengan 3 mL; f. keringkan cawan di atas pemanas listrik dan masukkan kembali ke dalam tanur pada suhu (450 ± 5) °C kemudian lanjutkan pemanasan sampai abu menjadi putih. Penambahan HNO3 pekat dapat diulangi apabila abu masih berwarna keabu-abuan; 9 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
g. larutkan abu berwarna putih dalam 5 mL HCl 6 N, kemudian larutkan dengan 10 mL HNO3 0,1 N dan masukkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian tepatkan hingga tanda garis dengan aquabides (V), jika perlu, saring larutan menggunakan kertas saring, ke h. dalam botol polipropilen; i. siapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi dan perlakuan yang sama seperti contoh; j. baca absorbans larutan baku kerja dan larutan contoh terhadap blanko menggunakan SSA pada panjang gelombang maksimal sekitar 228,8 nm untuk Cd dan 283 nm untuk Pb; k. buat kurva kalibrasi antara konsentrasi logam (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; l. plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); dan k) hitung kandungan logam dalam contoh. A.7.1.5
Perhitungan
Keterangan: C adalah konsentrasi logam dari kurva kalibrasi, dinyatakan dalam mikrogram per mililiter (µg/mL); V adalah volume larutan akhir, dinyatakan dalam mililiter (mL); W adalah bobot contoh, dinyatakan dalam gram (g).
A.7.1.6 Ketelitian Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 16% dari nilai rata-rata hasil kandungan logam. Jika kisaran lebih besar dari 16%, maka uji harus diulang kembali. A.7.2 Timah (Sn) A.7.2.1 Prinsip Contoh didestruksi dengan HNO3 dan HCl kemudian tambahkan KCl untuk mengurangi gangguan. Sn dibaca menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang maksimal 235,5 nm dengan nyala oksidasi N2O-C2H2. A.7.2.2 Peralatan a) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) beserta kelengkapannya (lampu katoda Sn) terkalibrasi; b) Tanur terkalibrasi dengan ketelitian 1 °C; c) Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; d) Pemanas listrik; e) Penangas air; f) Labu ukur 1 000 mL, 100 mL, dan 50 mL, terkalibrasi; g) Pipet ukur 10 mL dan 5 mL, berskala 0,1 mL, terkalibrasi; h) Erlenmeyer 250 mL; i) Gelas ukur 50 mL; dan j) Gelas piala 250 mL. A.7.2.3 Pereaksi a) Larutan kalium klorida, KCl 10 mg/mL K; larutkan 1 g KCl dengan air menjadi 100 mL. b) Asam nitrat, HNO3 pekat; c) Asam klorida, HCl pekat; d) Larutan baku 1 000 µg/mL Sn; dan larutkan 1,000 g Sn dengan 200 mL HCl pekat dalam labu ukur 1 000 mL, tambahkan 10 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
200 mL air suling, dinginkan pada suhu ruang dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. e) Larutan baku kerja Sn. pipet 10 mL HCl pekat dan 1,0 mL larutan KCl ke dalam masing-masing labu ukur 100 mL. Tambahkan masing-masing 0 mL; 0,5 mL; 1,0 mL; 1,5 mL; 2,0 mL dan 2,5 mL larutan baku 1 000 µg/mL Sn dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. Larutan baku kerja ini memiliki konsentrasi 0 µg/mL; 5 µg/mL; 10 µg/mL; 15 µg/mL; 20 µg/mL dan 25 µg/mL Sn. A.7.2.4 Cara kerja a) Timbang 10 g sampai dengan 20 g (m) dengan teliti ke dalam Erlenmeyer 250 mL, tambahkan 30 mL HNO3 pekat dan biarkan 15 menit; b) panaskan perlahan selama 15 menit di dalam lemari asam, hindari terjadinya percikan yang berlebihan; c) lanjutkan pemanasan sehingga sisa volume 3 mL sampai dengan 6 mL atau sampai contoh mulai kering pada bagian bawahnya, hindari terbentuknya arang; d) angkat Erlenmeyer dari pemanas listrik, tambahkan 25 mL HCl pekat, dan panaskan selama 15 menit sampai letupan dari uap Cl2 berhenti; e) tingkatkan pemanasan dan didihkan sehingga sisa volume 10 mL sampai dengan 15 mL; f) tambahkan 40 mL air suling, aduk, dan tuangkan ke dalam labu ukur 100 mL, bilas Erlenmeyer tersebut dengan 10 mL air suling (V); g) tambahkan 1,0 mL KCl, dinginkan pada suhu ruang, tepatkan dengan air suling sampai tanda garis dan saring; h) siapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi dan perlakuan yang sama seperti contoh; i) baca absorbans larutan baku kerja dan larutan contoh terhadap blanko menggunakan SSA pada panjang gelombang maksimal 235,5 nm dengan nyala oksidasi N2O-C2H2; j) buat kurva kalibrasi antara konsentrasi logam (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; k) plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); l) lakukan pengerjaan duplo; dan m) hitung kandungan Sn dalam contoh; A.7.2.5 Perhitungan
Keterangan: C adalah konsentrasi timah (Sn) dari kurva kalibrasi, dinyatakan dalam mikrogram per mililiter (µg/mL) V adalah volume larutan akhir, dinyatakan dalam mililiter (mL); dan W adalah bobot contoh, dinyatakan dalam gram (g).
A.7.2.6 Ketelitian Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 16 % dari nilai rata-rata hasil kandungan timah (Sn). Jika kisaran lebih besar dari 16 %, maka uji harus diulang kembali. A.7.3 Merkuri (Hg) A.7.3.1 Prinsip Reaksi antara senyawa merkuri dengan NaBH4 atau SnCl2 dalam keadaan asam akan membentuk gas atomik Hg. Jumlah Hg yang terbentuk sebanding dengan absorbans Hg yang dibaca menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) tanpa nyala pada panjang gelombang maksimal 253,7 nm. 11 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.7.3.2 Peralatan a) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) yang dilengkapi lampu katoda Hg dan generator uap hidrida (HVG) terkalibrasi; b) Microwave digester; c) Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; d) Pemanas listrik; e) Pendingin terbuat dari borosilikat, diameter 12 mm sampai dengan 18 mm, tinggi 400 mm diisi dengan cincin Raschig setinggi 100 mm, dan dilapisi dengan batu didih berdiameter 4 mm di atas cincin setinggi 20 mm; f) Tabung destruksi; g) Labu destruksi 250 mL berdasar bulat; h) Labu ukur 1 000 mL, 500 mL, 100 mL, dan 50 mL terkalibrasi; i) Gelas ukur 25 mL; j) Pipet ukur berskala 0,05 mL atau mikro buret terkalibrasi; dan k) Gelas piala 500 ml. A.7.3.3 Bahan dan Pereaksi a) Larutan asam sulfat, H2SO4 9 M; b) Larutan asam nitrat, HNO3 7 M; c) Campuran asam nitrat : asam hidroksi perklorat (HNO3 : HClO4 = 1:1); d) Hidrogen peroksida, H2O2 pekat; e) Larutan natrium molibdat, NaMoO4.7H2O 2 %; f) Larutan pereduksi; campurkan 50 mL H2SO4 dengan 300 mL air suling dalam gelas piala 500 mL dan dinginkan sampai suhu ruang kemudian tambahkan 15 g NaCl, 15 g hidroksilamin sulfat, dan 25 g SnCl2. Pindahkan ke dalam labu ukur 500 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. g) Larutan natrium borohidrida, NaBH4; larutkan 3 g serbuk NaBH4 dan 3 g NaOH dengan air suling dalam labu ukur 500 mL. h) Larutan pengencer; masukkan 300 mL sampai dengan 500 mL air suling ke dalam labu ukur 1 000 mL dan tambahkan 58 mL HNO3 kemudian tambahkan 67 mL H2SO4. Encerkan dengan air suling sampai tanda garis dan kocok. i) Larutan baku 1 000 µg/mL Hg; larutkan 0,1354 g HgCl2 dengan kira-kira 25 mL air suling dalam gelas piala 250 mL dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian encerkan dengan air suling sampai tanda garis. j) Larutan baku 1 µg/mL Hg; dan pipet 1 mL larutan baku 1 000 µg/mL Hg ke dalam labu ukur 1 000 mL dan encerkan dengan larutan pengencer sampai tanda garis, kemudian kocok. Larutan baku kedua ini memiliki konsentrasi 1 µg/mL. k) Larutan baku kerja Hg; dan pipet masing-masing 0,25 mL; 0,5 mL; 1 mL; dan 2 mL larutan baku 1 µg/mL ke dalam labu ukur 100 mL terpisah dan encerkan dengan larutan pengencer sampai tanda garis. Larutan baku kerja ini memiliki konsentrasi 0,0 025 µg/mL; 0,005 µg/mL; 0,01 µg/mL; 0,02 µg/mL Hg. l) Batu didih. A.7.3.4
Cara kerja
A.7.3.4.1 Pengabuan basah a) Timbang 5 g contoh (W) dengan teliti ke dalam labu destruksi dan tambahkan 25 mL H2SO4 9 M, 20 mL HNO3 7 M, 1 mL larutan natrium molibdat 2 %, dan 5 butir sampai 12 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m) n) o) p)
dengan 6 butir batu didih; hubungkan labu destruksi dengan pendingin dan panaskan di atas pemanas listrik selama 1 jam. Hentikan pemanasan dan biarkan selama 15 menit; tambahkan 20 mL campuran HNO3 : HClO4 (1:1) melalui pendingin; hentikan aliran air pada pendingin dan panaskan dengan panas tinggi hingga timbul uap putih. Lanjutkan pemanasan selama 10 menit dan dinginkan; tambahkan 10 mL air suling melalui pendingin dengan hati-hati sambil labu digoyanggoyangkan; didihkan lagi selama 10 menit; matikan pemanas listrik dan cuci pendingin dengan 15 mL air suling sebanyak 3 kali kemudian dinginkan sampai suhu ruang; pindahkan larutan destruksi contoh ke dalam labu ukur 100 mL secara kuantitatif dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis (V); pipet 25 mL larutan di atas ke dalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan larutan pengencer sampai tanda garis; siapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi dan perlakuan yang sama seperti contoh; tambahkan larutan pereduksi ke dalam larutan baku kerja Hg, larutan contoh, dan larutan blanko pada alat HVG; baca absorbans larutan baku kerja, larutan contoh, dan larutan blanko menggunakan SSA tanpa nyala pada panjang gelombang 253,7 nm; buat kurva kalibrasi antara konsentrasi logam (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); lakukan pengerjaan duplo; dan hitung kandungan Hg dalam contoh.
A.7.3.4.2 Destruksi menggunakan microwave digester atau destruksi sistem tertutup a) Timbang 1 g contoh (W) ke dalam tabung destruksi dan tambahkan 10 mL HNO3, 1 mL H2O2 kemudian tutup rapat; b) masukkan ke dalam microwave digester dan kerjakan sesuai dengan petunjuk pemakaian alat; c) pindahkan larutan destruksi contoh ke dalam labu ukur 50 mL secara kuantitatif dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis (V); d) siapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi dan perlakuan yang sama seperti contoh; e) tambahkan larutan pereduksi ke dalam larutan baku kerja, larutan contoh, dan larutan blanko pada alat HVG; f) baca absorbans larutan baku kerja, larutan contoh, dan larutan blanko menggunakan SSA tanpa nyala pada panjang gelombang 253,7 nm; g) buat kurva kalibrasi antara konsentrasi logam (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; h) plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); i) lakukan pengerjaan duplo; dan j) hitung kandungan Hg dalam contoh. A.7.3.5 Perhitungan
Keterangan: C adalah konsentrasi merkuri (Hg) dari kurva kalibrasi, dinyatakan dalam mikrogram per mililiter (µg/mL); V adalah volume larutan akhir, dinyatakan dalam mililiter (mL); W adalah bobot contoh, dinyatakan dalam gram (g); fp adalah faktor pengenceran.
13 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.7.3.6 Ketelitian Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 16 % dari nilai rata-rata hasil kandungan merkuri (Hg). Jika kisaran lebih besar dari 16 %, maka uji harus diulang kembali. A.8
Cemaran arsen (As)
A.8.1 Prinsip Contoh didestruksi dengan asam menjadi larutan arsen. Larutan As5+ direduksi dengan KI menjadi As3+ dan direaksikan dengan NaBH4 atau SnCl2 sehingga terbentuk AsH3 yang kemudian dibaca dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada panjang gelombang maksimal 193,7 nm. A.8.2 Peralatan a) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) yang dilengkapi dengan lampu katoda As dan generator uap hidrida (HVG) terkalibrasi; b) Tanur terkalibrasi dengan ketelitian 1°C; c) Microwave digester; d) Neraca analitik terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 mg; e) Pemanas listrik; f) Bunsen Burner; g) Labu Kjeldahl 250 mL; h) Labu berbahan borosilikat berdasar bulat 50 mL; i) Labu ukur 1 000 mL, 500 mL, 100 mL, dan 50 mL terkalibrasi; j) Gelas piala 200 mL; k) Pipet volumetrik 25 mL terkalibrasi; l) Pipet ukur berskala 0,05 mL atau mikro buret terkalibrasi; m) Cawan porselen 50 mL; dan n) Gelas ukur 25 mL. A.8.3 Pereaksi a) b) c) d) e) f)
Asam nitrat, HNO3 pekat; Asam sulfat, H2SO4 pekat; Asam perklorat, HClO4 pekat; Ammonium oksalat, (NH4)2C2O4 jenuh; Hidrogen peroksida, H2O2 pekat; Larutan natrium borohidrida, NaBH4 4 %; larutkan 3 g NaBH4 dan 3 g NaOH dengan air suling sampai tanda garis dalam labu ukur 500 mL. g) Larutan asam klorida, HCl 8 M; larutkan 66 mL HCl pekat kedalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. h) Larutan timah (II) klorida, SnCl2.2H2O 10 %; timbang 50 g SnCl2.2H2O ke dalam gelas piala 200 mL dan tambahkan 100 mL HCl pekat. Panaskan hingga larutan jernih dan dinginkan kemudian tuangkan ke dalam labu ukur 500 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. i) Larutan kalium iodida, KI 20 %; timbang 20 g KI ke dalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis (larutan harus dibuat langsung sebelum digunakan). j) Larutan Mg(NO3)2 75 mg/mL; larutkan 3,75 g MgO dengan 30 mL H2O secara hati-hati, tambahkan 10 mL HNO3, dinginkan dan encerkan hingga 50 mL dengan air suling; 14 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
k) Larutan baku 1 000 µg/mL As; larutkan 1,3203 g As2O3 kering dengan sedikit NaOH 20% dan netralkan dengan HCl atau HNO3 1:1 (1 bagian asam : 1 bagian air). Masukkan ke dalam labu ukur 1 000 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. l) Larutan baku 100 µg/mL As; pipet 10 mL larutan baku As 1000 µg/mL ke dalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. Larutan baku kedua ini memiliki konsentrasi 100 µg/mL As. m) Larutan baku 1 µg/mL As; dan pipet 1 mL larutan baku As 100 µg/mL ke dalam labu ukur 100 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis. Larutan baku ketiga ini memiliki konsentrasi 1 µg/mL As. n) Larutan baku kerja As. pipet masing-masing 1,0 mL; 2,0 mL; 3,0 mL; 4,0 mL dan 5,0 mL larutan baku 1 µg/mL As ke dalam labu ukur 100 mL terpisah dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis kemudian kocok Larutan baku kerja ini memiliki konsentrasi 0,01 µg/mL; 0,02 µg/mL; 0,03 µg/mL; 0,04 µg/mL dan 0,05 µg/mL As. A.8.4 Cara kerja A.8.4.1 Pengabuan basah a) Timbang 5 g sampai dengan 10 g contoh (W) ke dalam labu Kjeldahl 250 mL, tambahkan 5 mL sampai dengan 10 mL HNO3 pekat dan 4 mL sampai dengan 8 mL H2SO4 pekat dengan hati-hati; b) setelah reaksi selesai, panaskan dan tambahkan HNO3 pekat sedikit demi sedikit sehingga contoh berwarna coklat atau kehitaman; c) tambahkan 2 mL HClO4 70% sedikit demi sedikit dan panaskan lagi sehingga larutan menjadi jernih atau berwarna kuning (jika terjadi pengarangan setelah penambahan HClO4, tambahkan lagi sedikit HNO3 pekat); d) dinginkan, tambahkan 15 mL H2O dan 5 mL (NH4)2C2O4 jenuh; e) panaskan sehingga timbul uap SO3 di leher labu; f) dinginkan, pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50 mL dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis (V); g) pipet 25 mL larutan diatas dan tambahkan 2 mL HCl 8 M, 0,1 mL KI 20% kemudian kocok dan biarkan minimal 2 menit; h) siapkan larutan blanko dengan penambahan pereaksi dan perlakuan yang sama seperti contoh; i) tambahkan larutan pereduksi (NaBH4) ke dalam larutan baku kerja As, larutan contoh, dan larutan blanko pada alat HVG; j) baca absorbans larutan baku kerja, larutan contoh, dan larutan blanko menggunakan SSA tanpa nyala pada panjang gelombang 193,7 nm; k) buat kurva kalibrasi antara konsentrasi logam (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; l) plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); m) lakukan pengerjaan duplo; dan n) hitung kandungan As dalam contoh. A.8.4.2 Destruksi menggunakan microwave digester atau destruksi sistem tertutup a) Timbang 1 g contoh (W) ke dalam tabung destruksi dan tambahkan 5 mL HNO3, 1 mL H2O2 kemudian tutup rapat. b) masukkan ke dalam microwave digester dan kerjakan sesuai dengan petunjuk pemakaian alat; c) setelah dingin, pindahkan larutan destruksi ke dalam labu ukur 25 mL secara kuantitatif dan encerkan dengan air suling sampai tanda garis (V); d) pipet 10 mL larutan destruksi ke dalam labu borosilikat berdasar bulat 50 mL, tambahkan 15 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
e) f) g) h) i) j) k) l)
1 mL larutan Mg(NO3)2, Uapkan di atas pemanas listrik hingga kering dan arangkan. Abukan dalam tanur dengan suhu (450 C) (± 1 jam); dinginkan, larutkan dengan 2,0 mL HCl 8 M, 0.1 mL KI 20% dan biarkan minimal 2 menit. Tuangkan larutan tersebut ke dalam tabung contoh pada alat; siapkan NaBH4 dan HCl dalam tempat yang sesuai dengan yang ditentukan oleh alat; tuangkan larutan baku kerja As 0,01 µg/mL; 0,02 µg/mL; 0,03 µg/mL; 0,04 µg/mL; 0,05 µg/mL serta blanko ke dalam 6 tabung contoh lainnya. Nyalakan Bunsen burner serta tombol pengatur aliran pereaksi dan aliran contoh; baca nilai absorbans tertinggi larutan baku kerja As dan contoh dengan blanko sebagai koreksi; buat kurva kalibrasi antara konsentrasi As (µg/mL) sebagai sumbu X dan absorbans sebagai sumbu Y; plot hasil pembacaan larutan contoh terhadap kurva kalibrasi (C); lakukan pengerjaan duplo; dan hitung kandungan As dalam contoh.
A.8.5 Perhitungan
Keterangan: C adalah konsentrasi arsen (As) dari kurva kalibrasi, dinyatakan dalam mikrogram per miliiliter (µg/mL) V adalah volume larutan akhir, dinyatakan dalam mililiter (mL); W adalah bobot contoh, dinyatakan dalam gram (g); fp adalah faktor pengenceran.
A8.6 Ketelitian Kisaran hasil dua kali ulangan maksimal 16 % dari nilai rata-rata hasil kandungan arsen (As). Jika kisaran lebih besar dari 16 %, maka uji harus diulang kembali. A.9 Cemaran mikroba A.9.1 Persiapan dan homogenisasi contoh untuk uji Angka Lempeng Total, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Kapang dan Khamir A.9.1.1
Prinsip
Pembebasan sel-sel bakteri yang mungkin terlindung oleh partikel makanan dan untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabilitasnya berkurang karena kondisi yang kurang menguntungkan dalam makanan. Persiapan dan homogenisasi contoh bertujuan agar bakteri terdistribusi dengan baik di dalam contoh makanan yang ditetapkan. A.9.1.2
Peralatan
a) Alat homogenisasi (blender) dengan kecepatan putaran 10 000 rpm sampai dengan 12 000 rpm; b) Otoklaf; c) Neraca analitik kapasitas 2 000 g terkalibrasi dengan ketelitian 0,1 g; d) Pemanas listrik; e) Labu ukur 1 000 mL, 500 mL, 100 mL, dan 50 mL terkalibrasi; f) Gelas piala steril; g) Erlenmeyer steril; h) Botol pengencer steril; 16 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
i)
Pipet volumetrik steril 10,0 mL dan 1,0 mL terkalibrasi, dilengkapi dengan bulb dan pipettor; j) Tabung reaksi; dan k) Sendok, gunting, dan spatula steril.
A.9.1.3
Larutan pengencer untuk Uji E. coli dan S. Aureus
Butterfield’s Phosphate-Buffered Dilution Water (BPB); - KH2PO4 34 g - Air suling 500 mL Larutkan bahan-bahan di atas dan atur pH dengan NaOH sehingga mencapai pH 7,2, tepatkan volume sampai 1000 mL dengan air suling. Sterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit, simpan pada refrigerator. Untuk membuat larutan pengencer 1,25 mL larutan stok diencerkan dengan air suling sampai volume 1 000 mL. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam botol pengencer sebanyak 450 mL dan tabung reaksi sebanyak 9 mL, kemudian disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit. A.9.1.4
Larutan pengencer untuk Angka Lempeng Total
Buffered peptone water (BPW) - Peptone - Natrium klorida - Disodium hidrogen fosfat - Kalium dihidrogen fosfat - Air suling
10 g 5g 3,5 g 1,5 g 1 L
Larutkan bahan-bahan di atas menjadi 1 L dengan air suling dan atur pH menjadi 7,0. Masukkan ke dalam botol pengencer. Sterilkan menggunakan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. A.9.1.5
Larutan pengencer untuk Kapang dan Khamir
Peptone 0,1% - Peptone - Air suling
1g 1L
Larutkan bahan-bahan dalam 1 L air suling, atur pH 7,0, masukkan 225 mL atau 450 mL ke dalam botol (labu) 500 mL dan 9 mL ke dalam tabung reaksi. Sterilkan pada suhu 121 °C selama 20 menit. A.9.1.6
Homogenisasi contoh untuk E.coli dan S.aureus
a) Timbang 50 g contoh secara aseptik ke dalam botol pengencer yang telah berisi 450 mL larutan pengencer steril sehingga diperoleh pengenceran 1:10; dan b) kocok campuran beberapa kali sehingga homogen. A.9.1.7
Homogenisasi contoh untuk ALT
a) Timbang 25 g contoh secara aseptik ke dalam botol pengencer yang telah berisi 225 mL larutan pengencer steril sehingga diperoleh pengenceran 1:10; dan b) kocok campuran beberapa kali sehingga homogen.
17 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.9.1.8 a) b)
Homogenisasi contoh untuk Kapang dan Khamir
Timbang 50 g contoh secara aseptik ke dalam botol pengencer yang telah berisi 450 mL larutan pengencer steril sehingga diperoleh pengenceran 1:10; dan kocok campuran beberapa kali sehingga homogen.
A.9.2 Angka lempeng total A.9.2.1
Prinsip
Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam pembenihan yang sesuai selama 72 jam pada suhu (30 1) °C. A.9.2.2
Peralatan
a) b) c) d) e) f) g)
Inkubator (30 ± 1) °C, terkalibrasi; Oven/alat sterilisasi kering terkalibrasi; Otoklaf; Penangas air bersirkulasi (45 ± 1) °C; Alat penghitung koloni; Tally register; Botol pengencer 160 ml terbuat dari gelas borosilikat, dengan sumbat karet atau tutup ulir plastik; h) Pipet ukur 1 mL steril dengan skala 0,1 ml dilengkapi bulb dan pipettor; dan i) Cawan Petri gelas/plastik (berukuran minimal 15 mm x 90 mm), steril. A.9.2.3
Pembenihan dan pengencer
a) Buffered peptone water (BPW) − − − − -
Peptone Natrium klorida Disodium hidrogen fosfat Kalium dihidrogen fosfat Air suling
10 g 5 g 3,5 g 1,5 g 1 L
Larutkan bahan-bahan diatas menjadi 1 000 mL dengan air suling dan atur pH menjadi 7,0. Masukkan ke dalam botol pengencer. Sterilkan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. b) Plate count agar (PCA) − Yeast extract 2,5 g − Pancreatic digest of caseine 5g 1g − Glukosa 15 s ampai dengan 20 g − Agar − Air suling 1L Larutkan semua bahan-bahan, atur pH 7,0. Masukkan dalam labu, sterilkan pada 121 °C selama 15 menit. A.9.2.4
Cara kerja
a) Timbang 25 g contoh, masukkan ke dalam Erlenmeyer yang telah berisi 225 mLlarutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1:10. Kocok campuran beberapa kali hingga homogen. Pengenceran dilakukan sampai tingkat pengenceran tertentu sesuai keperluan seperti pada Gambar A.1.
18 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
Gambar A.1 – Tingkat pengenceran menggunakan larutan pengencer Buffered Peptone Water (BPW). a) Pipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 101- 105 ke dalam cawan Petri steril secara duplo. b) Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 mL sampai dengan 15 mL media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu (45 ± 1) °C dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. c) Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati (putar dan goyangkan ke depan dan ke belakang serta ke kanan dan ke kiri) hingga contoh tercampur rata dengan pembenihan. d) Kerjakan pemeriksaan blanko dengan mencampur air pengencer dengan pembenihan untuk setiap contoh yang diperiksa. e) Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku. f) Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam lemari pengeram dan inkubasikan pada suhu 30 °C selama 72 jam. g) Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan Petri yang mengandung (25 - 250) koloni setelah 48 jam. h) Hitung angka lempeng total dalam 1 g contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan Petri dengan faktor pengenceran yang digunakan. A.9.2.5
Perhitungan
Angka lempeng total ( koloni/g) = n x F Keterangan: n adalah rata – rata koloni dari dua cawan Petri dari satu pengenceran, dinyatakan dalam koloni per gram (koloni/g); F adalah faktor pengenceran dari rata-rata koloni yang dipakai
A.9.2.6 A.9.2.6.1
Pernyataan hasil Cara menghitung
a) Pilih cawan Petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 25 koloni sampai dengan 250 koloni setiap cawan Petri. Hitung semua koloni dalam 19 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
cawan Petri menggunakan alat penghitung koloni. Hitung rata-rata jumlah koloni dan kalikan dengan faktor pengenceran. Nyatakan hasilnya sebagai jumlah bakteri per gram; b) jika salah satu dari dua cawan Petri terdapat jumlah koloni lebih kecil dari 25 koloni atau lebih besar dari 250 koloni, hitung jumlah koloni yang terletak antara 25 koloni sampai dengan 250 koloni dan kalikan dengan faktor pengenceran. Nyatakan hasilnya sebagai jumlah bakteri per gram; Contoh :
10-2 120 105
10-3 25 20
ALT
120 105 25
1 x 2 0,1 x 1 x 10 124,9375 2
c) jika hasil dari dua pengenceran jumlahnya berturut-turut terletak antara 25 koloni sampai dengan 250 koloni, hitung jumlah koloni dari masing-masing pengenceran koloni per g dengan rumus : ALT
C
1 x n1 0,1 x n2 x d
Keterangan: C adalah jumlah koloni dari tiap-tiap cawan Petri; n1 adalah jumlah cawan Petri dari pengenceran pertama yang dihitung; n2 adalah jumlah cawan Petri dari pengenceran kedua; d adalah pengenceran pertama yang dihitung;
Contoh :
10-2 131 143
ALT
10-3 30 25 131 143 30 25
1 x 2 0,1 x 2 x 10 2
164,3357
20 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
d) jika jumlah koloni dari masing-masing cawan Petri lebih dari 25 koloni nyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan; jika jumlah koloni per cm2 kurang dari 100 koloni, maka nyatakan hasilnya sebagai jumlah perkiraan : jumlah bakteri dikalikan faktor pengenceran. Contoh : jika jumlah koloni per cm2 lebih dari 100 koloni, maka nyatakan hasilnya: area x faktor pengenceran x 100 contoh rata-rata jumlah koloni 110 per cm2 Contoh :
e) jika jumlah koloni dari masing-masing koloni yang tumbuh pada cawan Petri kurang dari 25, maka nyatakan jumlah bakteri perkiraan lebih kecil dari 25 koloni dikalikan pengenceran yang terendah; dan f) menghitung koloni yang merambat. Perambatan pada koloni ada 3 macam, yaitu : perambatan berupa rantai yang tidak terpisah; perambatan yang terjadi diantara dasar cawan Petri dan pembenihan; dan perambatan yang terjadi pada pinggir atau permukaan pembenihan. Jika terjadi hanya satu perambatan (seperti rantai) maka koloni dianggap satu. Jika terbentuk lebih dari satu perambatan dan berasal dari sumber yang terpisah-pisah, maka tiap sumber dihitung sebagai satu koloni. A.9.2.6.2 Cara membulatkan angka Dalam melaporkan jumlah koloni atau jumlah koloni perkiraan hanya 2 angka penting yang digunakan, yaitu angka pertama dan kedua (dimulai dari kiri): a) Jika angka ketiga lebih besar dari 5, maka bulatkan ke atas; contohnya : 528 dilaporkan sebagai 530 penulisannya 5,3 x 102 b) jika angka ketiga kurang dari 5, maka bulatkan kebawah; dan contohnya : 523 dilaporkan sebagai 520 penulisannya 5,2 x 102 c) jika angka ketiga sama dengan 5, maka bulatkan sebagai berikut: bulatkan ke atas jika angka kedua merupakan angka ganjil; dan contohnya : 575 dilaporkan sebagai 580 penulisannya 5,8 x 102 bulatkan ke bawah jika angka kedua merupakan angka genap. contohnya : 565 dilaporkan sebagai 560 penulisannya 5,6 x 102 A.9.3 APM Escherichia coli A.9.3.1
Prinsip
Pertumbuhan Escherichia coli ditandai dengan terbentuknya gas pada tabung Durham, yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada Tabel APM (Angka Paling Mungkin). A.9.3.2
Peralatan
a) Inkubator, (35 ± 1) °C, terkalibrasi; a) Penangas air tertutup dengan sistem sirkulasi, (45,5 ± 0,2) °C; b) Rak untuk tabung reaksi; 21 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
c) Pipet ukur 10 mL dan 1 mL steril, berskala; d) Botol pengencer, terbuat dari gelas borosilikat, dengan tutup ulir plastik; e) Tabung reaksi dan Tabung Durham; f) Cawan Petri gelas/plastik (berukuran minimal 15 mm x 90 mm), steril; dan g) Jarum Ose dengan diameter dalam kira-kira 3 mm. A.9.3.3
RSNI1 …:2014
Pembenihan pengencer dan pereaksi
a) Lauryl sulfate tryptose (LST) broth / lauryl tryptose (LT) broth; b) Brilliant green lactose bile (BGLB) broth 2%; c) Escherichia coli (EC) broth; d) Agar Levine's eosin methylene blue (L-EMB); e) Plate count agar (PCA); f) Gram stain; g) Tryptone (tryptophane) broth; h) Pereaksi Kovacs’; i) Methyl red – Voges Proskauer (MR – VP) broth; j) Pereaksi Voges Proskauer; k) Larutan merah metil; l) Koser's citrate broth; m) Peptone diluents 0,1%; n) Pereaksi indol; o) Larutan kalium hidroksida, KOH 40%; p) Butterfield’s Phosfat Buffered Dilution Water (BPB); q) Larutan alfa naftol 5%; dan r) Kristal kreatin. A.9.3.4
Cara kerja
A.9.3.4.1 APM - Uji pendugaan untuk E.coli a) Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai dengan A.9.1; b) inokulasikan masing-masing 1 mL larutan dari setiap tingkat pengenceran (larutan 10-1, 10-2 dan 10-3) ke dalam tiga tabung laurryl sulfate tryptose (LST) broth yang didalamnya terdapat tabung Durham terbalik. Pegang pipet sedemikian sehingga ujung bawah pipet menempel pada tabung. Biarkan isi pipet mengalir 2 detik sampai dengan 3 detik. Pipet jangan ditiup untuk mengeluarkan isinya; c) masukkan tabung-tabung tersebut ke dalam inkubator pada suhu 35 °C selama (48 ± 2) jam; d) amati tabung-tabung tersebut pada pada jam ke-(24 ± 2). Jika ada tabung yang telah mengandung gas, maka tabung tersebut dinyatakan ”positif”, e) tabung-tabung yang belum mengandung gas dinyatakan “negatif”, lanjutkan inkubasi selama 24 jam; f) catat adanya pembentukan gas dalam jumlah berapapun setelah inkubasi (48 ± 2) jam, dan nyatakan tabung tersebut “positif”; dan g) lakukan uji penegasan terhadap semua tabung yang positif dalam uji pendugaan. A.9.3.4.2 APM - Uji penegasan untuk Escherichia coli a) Pindahkan satu mata Ose dari setiap tabung LST broth yang positif ke dalam tabung EC broth yang berlainan; b) inkubasikan tabung-tabung EC broth tersebut ke dalam penangas air yang bersirkulasi, selama (24 ± 2) jam pada suhu (45,5 ± 0,2) °C, tabung yang telah terbentuk gas dinyatakan “positif”; c) apabila negatif, inkubasikan dan periksa kembali pada jam ke- (48 ± 2). Jika telah terbentuk gas maka tabung tersebut dinyatakan "positif”; dan 22 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
d) lakukan uji lengkap terhadap semua tabung yang positif untuk uji penegasan. A.9.3.4.3 Uji lengkap untuk Escherichia coli
a) Kocok tabung-tabung EC broth yang positif secara hati-hati; b) goreskan/tanamkan pada satu cawan agar L-EMB, sedemikian rupa hingga dihasilkan koloni yang terpisah-pisah dengan jarak minimum 0,5 cm; c) inkubasikan pinggan L-EMB tersebut selama 18 jam sampai dengan 24 jam pada suhu (35 ± 1) ºC; d) periksa cawan-cawan terhadap adanya koloni yang berwarna gelap dengan atau tanpa kilat logam; e) dari tiap cawan L-EMB, pindahkan maksimal 5 koloni yang diduga E. coli pada tabung agar miring PCA; f) inkubasikan tabung-tabung agar miring tersebut selama 18 jam sampai dengan 24 jam pada suhu 35 °C dan gunakan untuk uji selanjutnya; dan g) buatlah pewarnaan Gram dari tiap biakan. E. coli adalah Gram negatif dan berbentuk batang tak berspora yang harus diuji menggunakan reaksi-reaksi IMVIC seperti di bawah ini, serta harus diinokulasikan kembali ke tabung LST broth untuk menegaskan adanya produksi gas: - uji indol - Inokulasi tabung tryptone (tryptophane) broth; - inkubasi selama (24 ± 2) jam pada suhu 35 °C; - uji terbentuknya indol dilakukan dengan menambahkan 0,2 mL sampai dengan 0,3 mL pereaksi Kovacs’; dan - uji indol adalah positif bila terbentuk warna merah pada lapisan atas. uji Voges Proskauer - Inokulasi tabung medium MR-VP broth dari setiap tabung PCA dan inkubasikan selama (48 ± 2) jam pada suhu 35 °C; - pindahkan 1 mL biakan secara aseptis ke dalam tabung reaksi steril; - tambahkan 0,6 mL larutan alfa naftol 5% dalam alkohol dan 0,2 ml larutan KOH 40% serta beberapa butir kristal kreatin; dan - uji Voges Proskauer adalah positif bila terbentuk warna eosin merah muda dalam waktu 2 jam. - uji merah metil - Setelah uji Voges Proskauer, inkubasikan kembali tabung MR-VP broth selama (48 ± 2) jam pada suhu 35 °C; - tambahkan 5 tetes indikator merah metil pada setiap tabung; dan - uji merah metil adalah positif bila terbentuk warna merah dan negatif bila terbentuk warna kuning. -
uji sitrat - Inokulasi tabung Koser's citrate broth dengan hati-hati menggunakan jarum lurus sedemikian rupa sehingga hanya mengenai permukaan media. Terlalu banyak inokulasi dapat menyebabkan terbawanya zat-zat lain; - inkubasikan selama 96 jam pada suhu suhu 35 °C; dan - uji sitrat adalah positif bila terbentuk kekeruhan yang memunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dalam tabung. - uji pembentukan gas dari laktosa - Inokulasi tabung LST dari setiap agar miring PCA. Inkubasikan selama (48 ± 2) jam pada suhu 35 °C; dan - amati tabung - tabung itu terhadap adanya pembentukan gas.
23 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.9.3.4.4 Klasifikasi dan laporan Tabel A.1 – Reaksi biokimia Escherichia coli pada uji IMVIC Indol
Escherichia coli
Merah metil
Voges Proskaeur
Sitrat
Varietas I
+
+
-
-
Varietas II
-
+
-
-
a) Klasifikasikan sebagai E. coli apabila: Uji IMVIC mengikuti pola + + - - atau - + - - sesuai dengan Tabel A.2.; pewarnaan gram menunjukkan gram negative bentuk batang tidak berspora; dan terbentuknya gas dalam LST broth dengan waktu inkubasi (48 ± 2) jam pada suhu 35 °C. b) Hitunglah APM E. coli dengan menggunakan Tabel A.2 APM berdasarkan jumlah tabung - tabung dari 3 seri pengenceran yang telah dipastikan mengandung E. coli. Tabel A.2 – APM/g contoh bila menggunakan 3 tabung untuk setiap tingkat pengenceran 0,1 g/mL; 0,01 g/mL; dan 0,001 g/mL contoh Tabung yang positif 0,1
0,01
0,001
0
0
0
0
0
0
Tabung yang positif
APM
APM
0,1
0,01
0,001
<3
2
2
0
21
1
3
2
2
1
28
1
0
3
2
2
2
35
0
1
1
6
2
3
0
29
0
2
0
6
2
3
1
36
0
3
0
9
3
0
0
23
1
0
0
4
3
0
1
39
1
0
1
7
3
0
2
64
1
0
2
11
3
1
0
43
1
1
0
7
3
1
1
75
1
1
1
11
3
1
2
120
1
2
0
11
3
1
3
160
1
2
1
15
3
2
0
93
1
3
0
16
3
2
1
150
2
0
0
10
3
2
2
216
2
0
1
14
3
2
3
290
2
0
2
20
3
3
0
240
2
1
0
15
3
3
1
460
2
1
1
20
3
3
2
1 100
2
1
2
27
3
3
3
> 1100
24 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.9.4 Staphylococcus aureus A.9.4.1 Prinsip Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada pembenihan khusus setelah diinkubasi pada suhu 35 °C selama 45 jam sampai dengan 48 jam dan dilanjutkan dengan uji koagulasi. A.9.4.2 Peralatan a) b) c) d) e) f) g)
Inkubator (35 ± 1) °C, terkalibrasi; Oven/alat sterilisasi kering, terkalibrasi; Spreader steril dari gelas; Botol pengencer 500 mL; Pipet ukur 10 mL dan 1 mL; Tabung reaksi; Cawan Petri gelas/plastik (berukuran minimal 15 mm x 90 mm), steril; dan h) Jarum Ose.
A.9.4.3 Pembenihan dan pereaksi a) Baird-parker agar (BPA); b) Brain heart infusion broth (BHIB); dan c) Plasma koagulase (dari kelinci). A.9.4.4 Cara kerja a) Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai dengan A.9.1; b) pipet 1 ml larutan contoh ke dalam 3 cawan Petri berisi media BPA (misalkan 1 mL dibagi menjadi 0,3 mL; 0,3 mL; dan 0,4 mL larutan contoh); c) sebarkan contoh secara merata dengan menggunakan spreader steril. Tahan cawan dalam posisi tegak lurus sampai contoh diserap oleh media (± 10 menit). Jika contoh tidak mudah terserap oleh media, tempatkan cawan Petri pada posisi tegak lurus di dalam inkubator selama 1 jam sebelum cawan Petri dibalik; d) inkubasikan pada suhu 35 °C selama 45 jam sampai dengan 48 jam; dan e) pilih cawan Petri yang mengandung 20 koloni sampai dengan 200 koloni dan hitung koloni yang diduga sebagai Staphylococcus aureus, yaitu koloni berwarna abu-abu sampai hitam mengkilat dengan lingkaran cerah disekelilingnya dan seringkali lingkaran jernih, koloni mempunyai getah kental ketika disentuh dengan jarum Ose. A.9.4.5
Uji koagulasi
a) Pindahkan 5 koloni sampai dengan 10 koloni yang diduga sebagai Staphylococcus aureus ke dalam tabung berisi 0,2 mL sampai dengan 0,3 mL BHIB; b) inkubasikan pada suhu 35 °C selama 18 jam sampai dengan 24 jam; c) tambahkan plasma koagulase kelinci sebanyak 0,5 mL ke dalam biakan BHIB dan campur; d) inkubasikan campuran plasma koagulase kelinci dengan biakan BHIB pada 35 °C selama 18 jam sampai dengan 24 jam, kemudian amati terbentuknya penggumpalan setiap 6 jam. Staphylococcus aureus positif apabila terbentuk gumpalan yang kokoh dan utuh serta dapat bertahan dalam tabung ketika dibalikkan; e) amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi, lanjutkan inkubasi pada suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi; f) ratakan koloni (n) dari ketiga cawan Petri yang diwakili oleh koloni yang memberikan reaksi penggumpalan dan dikalikan dengan faktor pengencernya (F); dan g) hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 g contoh.
25 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014 A.9.4.6
Perhitungan
Staphylococcus aureus (koloni/g) = n x F Keterangan: n adalah jumlah koloni, dinyatakan dalam koloni per gram (koloni/g); dan F adalah faktor pengenceran dari rata-rata koloni yang dipakai.
A.9.5 Kapang A.9.5.1
Prinsip
Pertumbuhan kapang dalam media yang sesuai, setelah diinkubasikan pada suhu (25 1) °C selama 5 hari. A.9.5.2 a) b) c) d) e) f) g) h) i)
Peralatan
Inkubator (25 1) °C, terkalibrasi; Otoklaf; Penangas air (45 ± 1) °C; pH meter Alat penghitung koloni; Tally register: Pipet ukur 10 mL dan 1 mL; Cawan Petri gelas/plastik (berukuran minimal 15 mm x 100 mm), steril; dan Bent glass rod.
A.9.5.3
Pembenihan, pengencer, dan pereaksi
a) Agar Dichloran rose bengal chloramphenicol (DRBC); b)Agar Dichloran 18% glycerol (DG 18); c) Larutan pepton 0,1 %; dan Pepton 1g Air suling 1 000 mL Larutkan pepton dalam air suling, kemudian sterilkan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit, dan atur pH sehingga mencapai pH akhir (7,0 ± 0,2). d) Larutan antibiotik. Antibiotik ditambahkan dalam media kapang dan khamir untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Chloramphenicol adalah salah satu pilihan antibiotik, karena stabil selama proses dalam otoklaf. Konsentrasi antibiotik yang dianjurkan adalah 100 mg/L media. Jika terlihat pertumbuhan bakteri yang berlebihan, siapkan media dengan penambahan chloramphenicol 50 mg/L sebelum otoklaf dan chlortetracycline 50 mg/L steril saat media mulai dikondisikan, tepat sebelum menuang media dalam cawan. A.9.5.4
Cara kerja
a) Buat tingkat pengenceran dari 10-1 sampai dengan 10-3, dengan menggunakan larutan pepton 0,1 %; c) Persiapan media dalam cawan dapat dilakukan dengan salah satu metode di bawah ini, yaitu: - metode sebar (media DRBC atau DG 18), penggunaan media DG 18 lebih sesuai untuk contoh uji yang mempunyai aw kurang dari 0,95 : pipet 0,1 mL masing-masing pengenceran secara aseptik ke dalam media dan 26 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
sebarkan merata dengan menggunakan bent glass rod.
RSNI1 …:2014
- metode tuang (media DG 18): - Pipet 1,0 mL masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri dan sesegera mungkin tuangkan 20 mL sampai dengan 25 mL media; - campurkan dengan menggoyang cawan secara perlahan searah jarum jam, kemudian berlawanan arah jarum jam selama 1 menit sampai dengan 2 menit; dan - biarkan hingga campuran dalam cawan Petri memadat. d) masukkan semua cawan Petri dengan posisi tidak terbalik ke dalam inkubator pada ruang gelap bersuhu 25 °C selama 5 hari. Jangan menumpuk cawan lebih dari 3 tumpukan. Biarkan cawan dan jangan merubah posisinya; e) hitung koloni pada cawan setelah 5 hari inkubasi. Jika setelah 5 hari tidak ada yang tumbuh, tambahkan waktu inkubasi selama 48 jam. Jangan menghitung koloni dalam cawan sampai batas waktu inkubasi berakhir, karena merubah posisi cawan dapat mengakibatkan pertumbuhan sekunder dari spora; dan f) nyatakan hasil perhitungan sebagai koloni per gram contoh. A.9.5.5
Pernyataan hasil
Pilih cawan Petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 10 koloni 150 koloni setiap cawan Petri. Hitung semua koloni dalam cawan Petri dengan menggunakan alat penghitung koloni.Hitung rata-rata jumlah koloni dan kalikan dengan faktor pengenceran. Nyatakan hasilnya sebagai jumlah kapang per g. Keterangan: (1) Koloni kapang biasanya buram dan berbulu. (2) Koloni khamir berwarna putih dan licin (berbau asam). (3) Tegaskan koloni dengan pemeriksaan di bawah mikroskop sehingga yakin bahwa koloni tersebut adalah kapang
27 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014
RSNI1 …:2014
Bibliografi
Association of Official Analytical Chemistry. 2005. AOAC Official Method 942.15, Acidity (Titratable) of Fruit Products, 18th Edition, Chapter 37.1.37. Association of Official Analytical Chemistry. 2005. AOAC Official Method 971.21, Mercury in Foods, Atomic Absorption Spectrophotometric Method, 18th Edition, Chapter 9.2.22. Association of Official Analytical Chemistry. 2005. AOAC Official Method 985.61, Tin in Canned Food, Atomic Absorption Spectrophotometric Method, 18th Edition, Chapter 9.2.35. Association of Official Analytical Chemistry. 2005. AOAC Official Method 986.15, Arsenic, Cadmium, Lead, Selenium, and Zinc in Human and Pet Foods, Multielement Method, 18th Edition, Chapter 9.1.01. Association of Official Analytical Chemistry. 2005. AOAC Official Method 999.11, Lead, Cadmium, Copper, Iron, and Zinc in foods: Absorption Spectrophotometry after Dry Ashing, 18th Edition, Chapter 9.1.09. Food and Drug Administration. Bacteriological Analytical Manual. 1998. Mold, Yeast, and Mycotoxin. 8th edition. Chapter 18. Food and Drug Administration. Bacteriological Analytical Manual. 2001. Staphylococcus aureus. Chapter 12. Food and Drug Administration. Bacteriological Analytical Manual. 2002. Enumeration of Escherichia coli and the Coliform Bacteria. Chapter 4. Food and Drug Administration. Bacteriological Analytical Manual. 2003. Food Sampling and Preparation of Sample Homogenate. Chapter 1. International Standards ISO 4833:2003 (E). Microbial of Food and Animal Feeding StuffsHorizontal Method for The Enumeration of Microorganism – Colony Count Tehnique at 30 oC. SNI 7387 : 2009. Batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. SNI 7388 : 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI ISO 7218: 2012. Mikrobiologi bahan pangan dan pakan-Persyaratan umum dan pedoman untuk pengujian mikrobiologi. SNI ISO 7251: 2012. Mikrobiologi bahan pangan dan pakan-Metode horizontal untuk deteksi dan enumerasi Eschericia coli terduga-Teknik Angka Paling Mungkin (APM).
28 dari 28 Laporan praktek…, Donny Lukmanto, FFar UI, 2014