UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA BAPAK S (92 TAHUN)DENGAN MASALAH RISIKO JATUH DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
BETTY SONATHA 0806333663
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA BAPAK S (92 TAHUN) DENGAN MASALAH RISIKO JATUH DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BHAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan
BETTY SONATHA 0806333663
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013
vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis selama penyusunan skripsi ini. Berkat rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini dengan judul ”Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Bapak S (92 tahun) dengan Masalah Risiko Jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur”. Karya Ilmiah Akhir Ners ini disusun segabai syarat untuk meraih gelar Ners di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Sepenuhnya penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, penyusunan skripsi ini tidak akan mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan dan bantuan dalam proses penyusunan skripsi ini, terutama kepada Ibu Ns Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN selaku Dosen pembimbing; Bapak Ns Ibnu Abas, S.Kep selaku Dosen Penguji; dan kepada Ibu Henny Permatasari
S.Kep., M.Kep Sp.Kom selaku koordinator mata ajar Praktik Klinik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan(PK KKMP) Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dewi Irawaty, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI); 2. Ibu Kuntarti S.Kp M.Biomed selaku Ketua Program Studi S1 dan Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3. Bapak Ns Ibnu Abas, S.Kep selaku Dosen Penguji dan seluruh pihak yang bertugas di STW Karya Bhati Cibubur. 4. Kedua orang tua saya Bapak Drs. M. Sihombing dan Ibu saya S. Siregar S.Pd; 5. Pihak pengelola Perpustakaan UI sebagai tempat utama dalam pencarian referensi 6. Seluruh residen dan pihak yang bertugas di STW Karya Bhati Cibubur. 7. Bapak S (92 tahun) selaku Klien yang menerima asuhan keperawatan selama silakukan praktik di Wisma Cempaka STW Karya Bkati Cibubur ix
Universitas Indonesia
8. Rekan-rekan mahasiswa FIK-UI Khususnya
Kelompok Peminatan PK
KKMP Keperawatan Gerontik yang ikut serta saling membantu selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini 9. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan oleh peneliti satu-persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Peneliti menyadari bahwa dalam Karya Ilmiah Akhir Ners ini masih terdapat kekurangan maupun kekeliruan yang dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca hasil penelitian ini sehingga Karya Ilmiah Akhie Ners ini menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk melanjutkan penelitian yang selanjutnya.
Depok, Juli 2013
Penulis
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama
: Betty Sonatha *; Dwi Nurviyandari**
Progran studi
: Profesi Keperawatan
Judul
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Bapak S (92 tahun) dengan Masalah Risiko Jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur
Karya ilmiah akhir ini membahas masalah keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan khususnya aggregat lansia yang tinggal di panti werdha. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah akhir Ners ini adalah untuk menganilisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Bapak S dengan masalah risiko jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. Intervensi inovasi yang diberikan kepada Bapak S adalah penggunaan Alat Bantu Jalan yang sesuai kondisi fisiknya. Hasil intervensi inovatif yang dilakukan adalah bahwa Bapak S diberikan alat bantu jalan berupa tongkat tetapi kurang sesuai sehingga dianjurkan untuk diberikan alternatif alat bantu jalan yang lain yaitu walker tipe front wheel.
Kata kunci: risiko jatuh, alat bantu jalan, STW Karya Bhakti, Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan.
xii
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name
: Betty Sonatha *; Dwi Nurviyandari**
Study Program
: NursingProfessional
Title
: Analysis of clinical praktice of urban health problem to Mr S (92 yearsold) with fall risk issues in Wisma Cempaka Sasana Tresna wherda Karya Bhakti Cibubur
This paper addresses the problem of public health nursing in particular aggregate urban elderly living ini nursing homes. As the purpose of this paper is to analyzing nursing care in urban health problem to Mr S (92 years old) which have risk of falling in Wisma Cempaka Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur. The inovative interventions provided by author to Mr S is the use of assistive devices according to the physical condition. The result of this inovative intervention is Mr S was given a cane tipe quardipoid cane, but this tipe is not appropriate for him because of his condition. That why author recommanded to be given an alternative assisteve advices like walker especially walker tipe front wheel.
Keyword : risk of falling ,assistive devices, residential care facilities/nursing homes,nursing practise of urban health problems
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 5 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perubahan fisiologis menua pada sistem muskuloskeletal ................................... 6 2.2 Konsep Jatuh ..................................................................................................... 7 2.2.1 Definisi Jatuh ........................................................................................ 7 2.2.2 Penyebab Jatuh ..................................................................................... 8 2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Jatuh ........................................... 8 2.2.4 Komplikasi Jatuh ................................................................................... 9 2.2.5 Pencehan Jatuh .................................................................................... 10 2.2.6 Pengkajian Risiko Jatuh ...................................................................... 11 2.3 Alat Bantu Jalan pada Lansia ........................................................................... 14 2.3.1 Walker ................................................................................................ 14 2.3.2 Kruk ................................................................................................... 15 2.3.3 Tongkat (Canes) .................................................................................. 15 2.4 Konsep Panti Werdha ...................................................................................... 16 3. LAPORAN KASUS 3.1 Pengkajian Keperawatan .................................................................................. 20 3.2 Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan ......................................................... 25 3.3 Intervensi Keperawatan .................................................................................... 26 3.4 Implementasi Keperawatan .............................................................................. 28 3.5 Evaluasi Keperawatan ...................................................................................... 32 4. ANALISIS SITUASI 4.1 Profil Lahan Praktik ......................................................................................... 36 4.2 Analisis Masalah Keperawatan Risiko Jatuh dengan Konsep Terkait ............... 38 4.3 Analisis Intervensi Penggunaan Tongkat dengan Konsep dan Penelitian Terkait 44 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 48 5.2 Saran ......................................................................................................... 50
DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Format Pengkajian Individu Keperawatan Kesehatan Lansia Lampiran 2: Format Pengkajian Morse Fall Scale Lampiran 3: Format pengkajian Berg Balance Test Lampiran 4: Rencana Asuhan Keperawatan pada Diagnosa Risiko Jatuh Lampiran 5:Rencana Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Diagnosa Risiko Kesepian Lampiran 6: Rencana Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Diagnosa Inkontinensia Urin fungsional
xv
Universitas Indonesia
vii
vii
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gangguan keseimbangan dan jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada orang berusia lanjut akibat berbagai perubahan fungsi organ ,penyakit, dan faktor lingkungan. Perubahan-perubahan fungsi organ yang mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia meliputi fungsi neurologis, sensori, dan muskuloskeletal (Miller 2004). Penurunan fungsi neurologis mengakibatkan perubahan kognitif dan penurunan waktu reaksi. Perubahan pada fungsi sensori berupa penurunan fungsi penglihatan, fungsi pendengaran, dan fungsi perabaan (sentuhan). Sedangkan perubahan pada sistem musculoskeletal berupa penurunan kekuatan genggaman tangan dan penuranan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dapat mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih gampang goyah, susah atau terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset dan tersandung (Stockslager &.Schaeffer,.2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas dan kejadian jatuh pada lansia diklasifikasikan menjadi faktor risiko intrinsik yaitu faktor risiko yang ada pada lansia dan faktor risiko ekstrinsik yaitu faktor risiko yang terdapat di lingkungan (Brocklehurst et al, 1987; Tinetti, 1994; Andayani, 1999). Faktor risiko intrinsik berupa kondisi fisik dan neuropsikiatrik, penurunan visus dan pendengaran, dan perubahan neuromuskular, perubahan gaya berjalan, penurunan range of motion (ROM), reflek postural karena menua, serta penyakit kronis yang menyertai lansia. Sedangkan faktor risiko instrinsik berupa obat-obatan yang diminum lansia, alat bantu jalan yang digunakan serta lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya) berupa lampu rungan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata dan sebagainya. Akibat yang ditimbulkan oleh jatuh pada umumnya tidak ringan seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang (Kane, 1994 dalam Darmojo & Martono, 2004).
Jatuh juga sering merupakan petanda
kerapuhan (frailty), dan merupakan faktor penyebab tidak langsung kematian
2
melalui patah tulang. Bersamaan dengan masalah jatuh, kejadian patah tulang panggul, vertebra, lengan bawah, pervis, dan persendian kaki juga meningkat (Sudoyo, 2006). Patah tulang tersebut merupakan penyebab utama kesakitan, kematian, dan pengeluaran biaya untuk pelayanan kesehatan yang tidak sedikit. Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30% orang berusia 65 tahun ke atas setiap tahunnya, dan sekitar 40% sampai 50 % dari mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Sepertiga dari mereka yang berusia 65 tahun ke atas dan tinggal di rumah (komunitas) mengalami jatuh satu kali setiap tahunnya dan sekitar 1 dri 40 orang yang jatuh tersebut memerlukan perawatan rumah sakit. Sekitar 50 % dari pasien yang dirawat akibat jatuh tersebut akan hidup setahun kemudian. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) tiga kali lebih banyak daripada di komunitas (Darmojo & Martono, 2004). Lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan rumah sakit. Di panti rawat werdha (nursing homes) sekitar 50% penghuninya mengalami jatuh satu kali setiap tahunnya, setengah dari jumlah tersebut mengalami jatuh berulang, 10 hingga 25 % mengalami komplikasi serius. Panti werdha (nursing homes) merupakan salah satu pelayanan kesehatan lansia yang menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan sosial seperti tempat tinggal, ruang rawat, dan fasilitas lainnya yang dapat meningkatkan kualitas hidup para lansia. Panti werdha merupakan tempat tinggal khusus pada lansia yang biasa kita temukan di daerah perkotaan. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi. Tingkat kesibukan yang tinggi pada masyarakat perkotaan usia produktif memiliki dampak terhadap kurangnya waktu untuk bersama dengan lansia (orangtua mereka) di rumah. Oleh sebab itu, tidak jarang kita temukan lansia di Jakarta memilih tinggal di panti werdha. Berdasarkan hasil observasi selama berpraktik di panti, masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh lansia yang tinggal di panti rawat werdha sangat beraneka ragam seperti kesepian, hambatan mobilitas fisik, kerusakan inegritas kulit, hambatan interaksi sosial, kerusakan memori, defisit perawatan diri, hingga kejadian jatuh yang tidak jarang berdampak pada kecacatan dan kematian. Kejadian jatuh juga sangat sering ditemukan di panti werdha. Hal ini dikarenakan lansia tinggal sendirian tanpa keluarga sehingga lansia melakukan pemenuhan Universitas Indonesia
3
kebutuhan sehari-hari tanpa pengawasan orang lain. Kondisi fisik lansia berupa perubahan gaya berjalan, nyeri pada sendi, penurunan range of motion, serta penurunan kekuatan otot merupakan hal-hal yang paling berperan sebagai penyebab kejadian jatuh pada lansia di panti. Selain itu, kondisi lingkungan panti werdha juga yang tidak mendukung (berbahaya) ikut mempengaruhi kejadian jatuh pada lansia. Sasana Tresna Werdha (STW) Karya Bhakti RIA Pembangunan Jakarta Timur merupakan salah satu panti werdha sebagai tempat hunian lansia yang menyediakan tempat tinggal bagi lansia serta pelayanan kesehatan rutin pada lansia tersebut. Salah satu syarat untuk tinggal di STW ini adalah umur lansia harus di atas 60 tahun meskipun kenyataannya lansia yang ditemukan mayoritas mempunyai umut 70-90 tahun. Kejadian jatuh juga sangat sering ditemukan di STW ini. Selama dilakukan praktik di Wisma Cempaka, merupakan salah satu wisma di STW Karya Bhakti RIA Pembangunan, terdapat 3 dari 19 residen mengalami jatuh dalam tujuh minggu terakhir di lingkungan STW. Bapak S merupakan salah satu resdien yang tinggal di STW Karya Bhati RIA Pembangunan yang tinggal di Wisma Cempaka. Bapak S merupakan resdien yang paling tua di Wisma Cempaka yaitu 93 tahun. Hasil wawancara dengan Bapak S yang tinggal di STW ini sejak tahun 1999 ini, mengatakan bahwa dirinya juga pernah mengalami jatuh bahkan jatuh berulang di lokasi panti. Jatuh tarakhir kalinya dialami oleh bapak S pada bulan April tahun 2013 yang lalu. Jatuh berulang merupakan hal yang sangat berbahaya pada lansia seiring bertambahnya usia dan menurunnya fungsi-fungsi organ tubuh. Usaha-usaha untuk mencegah jatuh berulang sangat penting dilakukan oleh perawat berdasarkan ilmu-ilmu maupun teori-teori yang ada khususnya intervensi keperawatan untuk lansia yang mengalami risiko jatuh. Bentuk intervensi yang tepat menurut Wilkinson & Ahern (2012) untuk mencegah kejadian jatuh adalah dengan mengidentifikasi faktor risiko jatuh serta melakukan intervensi ataupun modifikasi untuk mengurangi faktor risiko tersebut. Jenis intervensi yang dilakukan oleh penulis kepada Bapak S selama 7 minggu di panti berupa modifikasi lingkungan, edukasi terhadap efek samping obat, pemberian alat bantu jalan, serta pelaksanaan gerak range of motion (ROM). Penulisan karya Universitas Indonesia
4
ilmiah ini berisikan tentang asuhan keperawatan pada Bapak S yang memiliki masalah keperawatan utama risiko jatuh yang tinggal di Wisma Cempaka STW Karya Bhakti RIA Pembangunan.
1.2 Rumusan Masalah Kejadian jatuh pada lansia khususnya di panti werdha merupakan fenomena yang perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan khususnya perawat. Hal ini dikarenakan bahwa kejadian jatuh dapat mengakibatkan komplikasi yang sangat serius berupa kecacatan, patah tulang hingga kematian. Selain adanya penurunan fungsi tubuh lansia akibat penuaan, lansia yang memiliki status tinggal sendiri tanpa pengawasan keluarga juga berdampak pada timbulnya kejadian jatuh pada lansia. Pengawasan dan pencegahan jatuh pada lansia khususnya yang tinggal di panti rawat werdha merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh petugas kesehatan khususnya perawat. Bentuk intervensi keperawatan yang dapat mencegah kejadian jatuh sangat penting diterapkan pada lansia khususnya lansia yang tinggal di panti werdha (nursing home). Hal ini didukung oleh data bahwa kejadian jatuh pada lansia yang tinggal di panti werdha lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di rumah (Darmojo & Martono, 2004). Bapak S (93 tahun) merupakan lansia yang tinggal di Sasana Tresna Werdha (STW) Karya Bhakti RIA Pembangunan yang tinggal sendiri tanpa ada caregiver ataupun keluarga. Bapak S memiliki riwayat jatuh di STW sebanyak 3 kali. Oleh sebab itu, penulis merasa sangat penting melakukan asuhan keperawatan pada Bapak S dengan masalah risiko jatuh tersebut.
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan umum Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menganilisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Bapak S dengan masalah risiko jatuh di Wisma Cempaka Sasana Tresna Karya Bhakti Cibubur.
Universitas Indonesia
5
1.3.2 Tujuan khusus a. Memberikan gambaran mengenai pelayanan kesehatan lansia di STW Karya Bhakti RIA Pembangunan b. Memaparkan hasil pengkajian masalah kesehatan bapak S di Wisma Cempaka STW Karya Bhakti RIA Pembangunan c. Memaparkan rencana asuhan keperawatan pada Bapak S di Wisma Cempaka STW Karya Bhakti RIA Pembangunan d. Menggambarkan teknik penggunaan alat
bantu jalan dan
modifikasi lingkungan sebagai intervensi inovasi untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada Bapak S dengan risiko jatuh di Wisma Cempaka STW Karya Bhakti RIA Pembangunan e. Menjelaskan evaluasi hasil implementasi asuhan keperawatan Bapak S dengan masalah risiko jatuh. 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Bagi pendidikan Meningkatkan pengetahuan penulis terhadap pentingnya pencegahan kejadian jatuh pada lansia sehingga mamapu melakukan intervensi pencegahan jatuh pada lansia yang ada di komunitas maupun yang tinggal di institusi. 1.4.2 Bagi pelayanan keperawatan kesehatan lansia Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lansia khusunya dalam mencegah kejadian jatuh pada lansia yang ada di komunitas maupun yang tinggal di institusi. 1.4.3 Bagi Sasana Tresna Werdha Meningkatkan pengetahuan petugas terhadap usaha-usaha untuk mencegah kejadian jatuh pada lansia yang tinggal di STW dan kemudian menghasilkan
kebijakan khusus untuk mencegah dan
kejadian jatuh pada lansia di STW.
Universitas Indonesia
Lampiran 1
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Perubahan fisiologis menua pada sistem muskuloskeletal Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Aru dkk, 2009). Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi setiap sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley dan Gauntlet, 2007). Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem muskuloskeletal merupakan perubahan fisik yang mencakup organ skeletal, muskular, dan sendi. Menurut Ebersole et al (2005) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua adalah penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis yang berdampak pada postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest kolumna vertebralis. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkunganmengakibakan peningkatanakan terjadinya risiko fraktur. Perubahan yang terjadi pada muskular akibat proses menua adalah waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Hal ini berdampak pada perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degeneratif ekstrapiramidal yang akhirnya berdampak pada peningkatan fleksi. Sedangkan perubahan yang terjadi pada sendi adalah pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen yang menimbulkan nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas. Selain itu juga terjadi kekakuan ligamen dan sendi yang berdampak pada peningkatan risiko cedera. 6
Universitas Indonesia
7
Perubahan pada sistem sensoris khususnya perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak (Stanley dan Gauntlet, 2007). Semakan bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera.
Kejadian
ini
disebut
arkus
sinilis,
biasanya
ditemukan
pada
lansia.Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingter pupil mengalami sklerosis.Hal ini menimbulkan penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Hal ini akan berdampak pada penglihatan menjadi kabur, peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian) serta perubahan dalam persepsi warna. Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis yang berperan untuk menimbulkan gerak adalah konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah refleks tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi. Selain itu refleks stabilitas badan juga mengalami penurunan seiring dengan proses penuaan.
2.2 Konsep Jatuh 2.2.1 Definisi jatuh Jatuh adalah sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada di bawah atau lantai tanpa sengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et all.2009). Jatuh juga diartikan sebagai kondisi yang tidak disengaja dimana seseorang berada posisi yang lebih rendah (Vu, et al.2004). Menurut Nurviyandari (2011) secara umum jatuh dapat diidentifikasi pada kondisi yang tidak disengaja; tidak diketahui kapan dan dimana akan terjadi; posisi tubuh berada seluruhnya atau sebagian di lantai, dengan atau tanpa saksi kejadian; serta menimbulkan atau tidak menimbulkan cidera.
Universitas Indonesia
8
2.2.2 Penyebab jatuh Suyono, dkk (2006) mengemukakan beberapa penyebab jatuh pada lansia antara lain 1) Kecelakaan yang merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus jatuh lansia) yaitu berupa kecelakaan murni (terantuk, terpeleset, dll) yang disebabkan oleh gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelaiann akibat proses menua misalnya karena kurang awas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh; 2) Sinkop merupakan hilangnya kesadaran mendadak yang disebabkan oleh gangguan kardiovasikular (bradikardia dan takikardia), gangguan neurologis akut (TIK, stroke, atau kejang), emboli paru, dan gangguan metabolic; 3) Drop attacks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran; 4)Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan rasa ringan di kepala yang disebabkan oleh hipotensi postural atau deplesi volume intravasikular; 5) Vertigo merupakan nyeri yang sangat hebat pada kepala yang diakibatkan oleh kelainan pada siistem sarap pusat dan mengakibatkan kelainan pada pendengaran; 6) Hipotensi ortostatik penurunan tekanan darah 20 mmHg atau lebih yang diakibatkan oleh tirah baring yang lama, gangguan aliran darah balik, ataupu penurunan curah jantung; 7) Obat-obatan seperti diuretika, antihipertensi, sedative, anti depresi golongan trisiklik, dan obatobatan hipoglikemia, alcohol; serta 8) Proses penyakit yang yang menyertai seperti penyakit kardiovasikular (aritmia, stenosis aorta), penyakit neurologis ( TIA, atroke akut, kejang, Parkinson, spondilosis lumbal atau servikal.
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi kejadian jatuh Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kejadian
jatuh
pada
lansia
diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Brocklehurst et al, 1987; Tinetti, 1994; Andayani, 1999). Faktor instrinsik ini berupa faktor yang berasal dari dalam diri lansia berupa kondisi fisik dan neuropsikiatrik, penurunan visus dan pendengaran serta perubahan neuromuskuler, gaya berjalan, dan reflex postural karena proses menua. Sedangkan faktor ekstrinsik berupa obat-obatan yang dikonsumsi lansia, alat-alat bantu jalan, dan lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya). Universitas Indonesia
9
Faktor-faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kecelakaan pada lansia berupa alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau tergeletak dibawah; tempat tidur atau WC yang rendah/jongkok; dan tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang (Miller, 2004). Selain itu, lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser juga mengakibatkan kejadian jatuh pada lansia. Lantai yang licin, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan) serta penggunaan alat bantu yang kurang tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya sangat berperan penting mengakibatkan kejadian jatuh pada lansia. Selain faktor-faktor lingkungan di atas, terdapat faktor-faktor situasional yang dianggap menjadi pencetus (presipitasi) kejadian jatuh yaitu antara lain aktivitaslansia .Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi.Hanya sedikit sekali (5%) jatuh terjadi pada lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak.Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika tiba-tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan. 2.2.4 Komplikasi jatuh Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi-komplikasi seperti tersebut di bawah ini (Kane, 1994 dalam Darmojo & Martono, 2004) yaitu perlukaan (injury); yaitu rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri atau vena. Komplikasi injury yang lainnya berupa patah tulang (fraktur) pada pervis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai bawah serta hematoma subdural. Tidak jarang juga mengakibatkan lansia memerlukan perawatan rumah sakit karena lansia tidak dapat bergerak (immobilisasi) dan berisiko terkena penyakit-penyakit iatrogenik. Komplikasi yang lain berupa disabilitas yaitu penurunan mobilitas yang berhubungan dengan Universitas Indonesia
10
perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan percaya diri, dan pembatasan gerak, serta kematian 2.2.5 Pencegahan jatuh Menurut Morse (2009) usaha untuk mencegah jatuh pada lansia dilakukan dengan mengantisipasi faktor penyebab jatuh sesuai dengan jenis/tipe jatuh. Tipe jatuh menurut Morse (2009) adalah jatuh kecelakaan (accident fall), jatuh fisiologis antisipasi (anticipated physiological falls), dan jatuh fisiologis tidak terantisipasi (Un-anticipated physiological fall). Jatuh kecelakaan merupakan jatuh yang dialami lansia karena lingkungan yang tidak aman (berbahaya). Oleh sebab itu, usaha untuk mencegah jenis jatuh kecelakaan ini dilakukan dengan menciptakan lingkungan yang aman bagi lansia. Kriteria lingkungan yang aman menurut Morse (2009) meliputi lantai yang datar, tidak licin, tidak menyilaukan, serta menggunakan tanda-tanda peringatan bila lantai sedang dibersihkan atau dipel; kamar mandi yang aman sebaiknya tidak licin, terdapat hand rail mengitari dinding kamar mandi sebagai pegangan bagi lansia, toilet duduk, pintu yang mudah dibuka, saklar lampu kamar mandi yang terletak diluar kamar mandi, serta alarm untuk kondisi darurat. Tempat tidur lansia sebaiknya tidak terlalu tinggi yaitu tidak lebih dari 20 cm dari lantai dan harus terdapat side rail disisi tempat tidur. Perlengkapan pribadi lansia seperti sandal anti selip, baju, celana sebaiknya sesuai ukuran, alat bantu jalan yang sesui ukuran dan benar cara penggunaannya, serta furniture seperti kursi yang kokoh tidak mudah bergeser, memiliki sandaran punggung dan tangan. Tipe
jatuh
yang kedua adalah
fisiologis
antisipasi (anticipated
physiological falls) yaitu tipe jatuh yang dapat diprediksi berdasarkan pengkajian jatuh yang dikemukakan oleh Morse (Morse fall Scale). Usaha yang dilakukan untuk mencegah jatuh tipe kedua ini adalah dengan memperbaiki gaya berjalan lansia bagi lansia yang mengalami perubahan gaya berjalan, memberikan alat bantu jalan bagi lansia yang membutuhkan alat bantu jalan, meningkatkan status kesehatan lansia jika lansia mengalami diagnosa lebih dari sau yang dapat berisiko meningkatkan
kejadian
jatuh,
serta
meningkatkan
kekuatan
otot
dan
keseimbangan lansia dengan melakukan senam khusus lansia seperti senan keseimbnagan, senam lansia, senam orteoporosis, senam arthritis, dan lain-lain. Universitas Indonesia
11
Sedangkan jenis jatuh yang ketiga yaitu jatuh fisiologis tidak terantisipasi (unanticipated physiological fall) merupakan jenis jatuh yang diakibatkan oleh proses penyakit yang tidak dapat diprediksi terjadinya sehingga sulit untuk dilakukan pencegahan.
2.2.6 Pengkajian risiko jatuh Pengkajia risiko jatuh pada lansia meliputi pengkajian riwayat penyakit (jatuh), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan fungsional. a. Pengkajian riwayat penyakit (jatuh) Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau keluarganya. Anamnesis meliputi pertanyaan seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung, berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang menoleh tiba-tiba atau aktivitas lain. Perawat juga menayakan gejala yang menyertai seperti nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinensia, sesak nafas atau penyakit yang relevan terhadap kejadian jatuh seperti pernah stroke, parkinson, osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik. Selain itu, harus dilakukan review obat-obatan yang diminum misalnya antihipertensi, diuretik, antidepresan, hipnotik, analgesic, psikotropik, serta mereview keadaan lingkungantempat kejadian jatuh. b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu badan; kepala danleher meliputi penurunan visus, penurunan pendengaran, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan; jantung (aritmia, kelainan katup), neurologi(perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer, kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor), dan muskuloskeletal(perubahan sendi, pembatasan gerak sendi, deformitas)
Universitas Indonesia
12
c. Pengkajian risiko jatuh berdasarkan format Morse Fall Scale (MFS) Format Morse Fall Scale (MFS) merupakan skala yang cepat dan sederhana untuk mengkaji risiko jatuh pada pasien (Morse, 1997). Dengan adanya skala ini akan mempermudah perawat untuk melakukan pengkajian risiko jatuh pada lansia yang mengalami penurunan muskuloskeletal. Penurunan sistem muskuloskeletal pada lansia mengakibatkan lansia mudah mengalami jatuh yang dapat menimbulkan komplikasi seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang/fraktur. MFS ini terdiri dari dari enam variabel yang mudah untuk dinilai dan dapat menunjukkan prediksi kesesuaian dan tepat. Pengkajian skala jatuh Morse ini disajikan dalam tabel berikut ini: Pengkajian skala Jatuh dari Morse No 1 2 3
4 5
6
Variabel Riwayat jatuh: Apakah lansia pernah jatuh dalan 3 bulan terakhir? Diagnosis sekunder: apakah lansia mempunyai lebih dari satu penyakit? Bantuan Berjalan (alat bantu jalan) Bedrest/dibantu perawat Kruk/tongkat/walker Berpegangan pada benda-benda disekitar (kursi, lemari, meja) Terapi intravena/heparin lock: apakah saat ini terpasang infus atau heparin? Gaya berjalan/cara berpindah Normal/bedrest/ tidak dapat bergerak sendiri) Lemah (tidak bertenaga) Gangguan/tidak normal (pincang, diseret) Status mental Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri Lansia mengalami keterbatasan daya ingat
Skala Tidak : 0 Ya : 25 Tidak : 0 Ya : 15
Nilai
0 15 30 Tidak : 0 Ya : 20 0 10 20 0 15
TOTAL Keterangan: 1. Riwayat jatuh: Pasien diberi skor 25 jika pasien jatuh sewaktu memasuki rumah sakit atau jika terdapat riwayat jatuh karena kelainan fisiologis seperti kejang atau memiliki gangguan gaya berjalan sebelum masuk. Jika Universitas Indonesia
13
pasien tidak jatuh , diberi skor 0. Catatan: jika pasien jatuh untuk pertama kalinya maka pasien diberi skor 25. 2. Diagnosis sekunder: Diberi skor 15 jika pasien memiliki lebih dari satu diagnose medis, jika tidak maka diberi skor 0. 3. Bantuan ambulansi: Diberi skor 0 jika pasien berjalan tanpa menggunakan alat bantu jalan meskipun dibantu oleh perawat, menggunakan kursi roda, atau dalam keadaan tirah baring. Jika pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker, maka kita beri skor 15. Sedangkan jika pasien menggunakan meja, kursi, ataupun berupa perkakas rumah untuk berpindah maka kita memberi skor 30. 4. Terapi intravena : skor 20 diberikan jika pasien sedang menggunakan terapi intravena atau heparin. Sedangkan jika tidak menggunakan terapi intravena diberi skor 0. 5. Cara berjalan (gait):cara berjalan dikatakan normal jika pasien berjalan dengan kepala tegak, lengan dapat diayunkan dengan bebas ke samping, dan melangkah tanpa ragu-ragu sehingga diberi skala 0.Cara berjalan dikatakan lemah (skor 10) jika pasien berjalan membungkuk tetapi masih mampu mengangkat kepala ketika berjalan tanpa mengalami kehilangan keseimbangan; jika berjalan membutuhkan perkakas rumah berupa meja atau kursi dan memegang sesuatu untuk meraih sesuatu yang tinggi;dan jika pasien melangkah dengan langkah-langkah yang pendek. Cara berjalan dikatakan terganggu (skor 20) jika pasien mengalami kesulitan untuk bangun dari kursi; mencoba bangun dengan mendorongkan pegangan kursi ataupun menggunakan cara lain untuk bangun dari kursi; Pasien yang kepalanya menghadap ke bawah/ke tanah. Selain itu skor 20 juga diberikan kepada pasien yang memiliki gangguan keseimbangan yang ditunjukkan oleh gaya berjalan yang menggenggam perkakas rumah, atau dengan dukungan orang lain, atau menggunakan alat bantu jalan, dan yang tidak dapat berjalan tanpa ada asisten. Catatan: pasien yang menggunakan kursi roda diberika skor berdasarkan cara berjalannya ketika dipindahkan dari kursi roda ke tempat tidur. Universitas Indonesia
14
6. Status mental: status mental diukur dengan memeriksa kemampuan pasien itu sendiri untuk berpindah. Tanyakan pada pasien ‘apakah kamu mampu ke kamar mandi sendiri ata membutuhkan asisten? Jika pasien mengjawabnya dengan jawaban yang konsisten dengan aktivitas yang diperintah maka pasien dikatakan normal dan diberi skor 0. Sedangkan jika respon/jawaban pasien tidak konsisten dengan perintah yang diberikan atau respon pasien tidak realistic, selain itu jika pasien dipertimbangkan melakukan lebih dari perkiraan kemampuannya sendiri dan lupa akan keterbatasan yang dimiliki maka pasien diberi skor 15. Berdasarkan skor tersebut Morse Fall Score mengklasifikasikan risiko jatuh kedalam tiga bagian yaitu memiliki risiko rendah, sedang dan risiko tinggi. Dikatakan tidak memiliki risiko jika skor yang diperoleh antara 0-24, risiko jatuh rendah jika nilai yang diperoleh antara 25-50, sedangkan yang memiliki skor ≥51 dikatakan memiliki risiko tinggi untuk mengalami jatuh. Pasien yang tidak memiliki risiko jatuh diberi intervensi berupa perawatan dasar. Pasien yang memiliki risiko sedang mendapatkan intervensi pencegahan jatuh standar ,sedangkan untuk pasien yang memiliki risiko tinggi diberi intervensi pencegahan jatuh risiko tinggi.
2.3 Alat bantu jalan pada lansia 2.3.1 Walker Walker merupakan sebuah alat untuk berjalan yang kerangkanya terbuat dari bahan logam. Alat ini dilengkapi dengan dua gagang yang berfungsi sebagai tempat yang digunakan penggunanya untuk berpegangan serta dilengkapi dengan empat kaki sebagai penumpunya. Secara umum walker terbagi menjadi dua jenis (Arenson, 2009), yaitu: a. Walker standar :walker ini biasanya digunakan untuk orang tua yang masih kuat mengangkat alat ini untuk berjalan, biasanya orang yang menggunakan alat ini didampingi oleh orang lain. b. Rolling: Walker ini
menggunakan roda yang berfungsi untuk
mempermudah pengguna tanpa harus mengangkat-angkat alat ini. Alat ini hanya digerakan dengan cara didorong ke depan maupun ke belakang. Universitas Indonesia
15
Walker ini dibagi menjadi dua tipe:front wheelsyaitu walker terdapat dua karet dibelakang yang berfungsi sebagai tumpuan agar walker menjadi stabil, sedangkan bagian depannya terdapat dua roda yang berfungsi untuk mempermudah pengguna dalam bergerak dan front and back wheels yaitu walker yangterdapat empat roda pada keempat bagian penopangnya, sehingga walker ini mudah bergerak dan kurang stabil, sehingga dipasang rem yang akan membuat walker tersebut
stabil saat digunakan untuk
berjalan.
2.3.2 Kruk Kruk merupakan tongkat penopang yang terbuat dari kayu atau logam sepanjang ujung mencapai aksila untuk meningkatkan mobilitas klien (DeLaune & Ladner, 2002; Novieastari et al, 2005). Kruk kurang stabil dibandingkan tongkat dan walker, sehingga membutuhkan kemampuan klien untuk menjaga keseimbangan dengan baik dan kekuatan tubuh bagian atas. Beberapa orang membutuhkan kruk untuk digunakan sementara waktu dan ada juga yang membutuhkan kruk untuk digunakan permanen, misalnya penggunaan kruk temporer pada klien dengan kerusakan ligamen di lutut dan penggunaan kruk permanen pada klien paralisis ekstremitas bawah (Potter & Perry, 2005). 2.3.3 Tongkat Tongkat (canes) merupakan alat ringan, membantu pergerakkan dengan mudah, terbuat dari kayu atau besi. Tongkat dapat membantu menjaga keseimbangan badan, diberikan bagi klien dengan hemiparesi dan digunakan untuk menurunkan ketegangan karena kumpulan beban yang berat (Potter & Perry, 2005). Tongkat tidak direkomendasikan untuk klien dengan kelemahan kaki bilateral (dalam Buku Panduan Praktikum Keperawatan Dasar I). Terdapat 3 tipe tongkat yang umum digunakan yaitu: 1) Tongkat standar, memberi dukungan minimal dan digunakan oleh klien yang membutuhkan sedikit bantuan untuk berjalan; 2) Tongkat bertangkai terdapat gagang untuk dipegang sehingga memudahkan untuk memberikan stabilitas lebih besar dari tongkat standar, khususnya berguna bagi klien dengan kelemahan tangan; dan 3) Tongkat segi empat mempunyai 3 atau 4 kaki yang memberikan dukungan keseimbangan lebih Universitas Indonesia
16
besar. Alat ini berguna bagi klien dengan parsial unilateral atau paralisis penuh pada kaki.
2.4 Konsep Panti werdha Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah dalam penyebutan panti jompo adalah panti werdha/wreda; yang terdiri dari dua kata yaitu panti dan kata werdha/wreda.Arti dari kata panti adalah rumah, tempat (kediaman) dan kata werdha/wreda artinya 1. Lanjut usia, tua; 2. Sudah banyak pengalaman tugas, dsb; senior. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian panti werdha adalah rumah tempat tinggal untuk orang yang sudah lanjut usia. Sistem panti itu sendiri, menurut brosur Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia yang diterbitkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, dan Departemen Sosial RI Jakarta tahun 2002, adalah bentukpelayanan yang menempatkan penerima pelayanan kedalam suatu lembaga tertentu (panti). Tujuan dari didirikannya panti adalah untuk menangani permasalahan kesejahteraan sosial yang ditimbulkan dari meningkatnya jumlah lanjut usia serta masalah
pergeseran
nilai
sosial
budaya
masyarakat
yang
cenderung
mengakibatkan lanjut usia merasa kurang dihargai, dihormati serta tersisih dari lingkungan sosialnya, membantu para lanjut usia untuk mempertahankan kepribadiannya, memberi jaminan kehidupan secara wajar, baik jaminan fisik, kesehatan maupun social psikologis serta ikut menikmati hasil pembangunan, sehingga tidak merasa mendapat tekanan, hinaan serta merasa mendapat perhatian dari seluruh masyarakat (Menkokesra, 2005). Sistem keluarga pada masyarakat perkotaan mulai bergeser dari sistem keluarga yang semula extended family telah bergeser menjadi nuclear family. Pola keluarga inti (nuclear family) mengakibatkan anak-anak secara tidak langsung kurang mempedulikan keberadan lanjut usia dan jalinan komunikasi antara orang tua dengan anak-anak juga semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan orang lanjut usia merasa tersisih dan tidak lagi dibutuhkan peranannya sebagai anggota keluarga walaupun masih berada di lingkungan keluarga. Bahkan belakangan ini, di tengah masyarakat perkotaan, khususnya golongan menengah ke atas, Universitas Indonesia
17
menganggap keberadaan lanjut usia menjadi beban keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, para lansia tidak jarang untuk memilih tinggal di panti werdha daripada bersama keluarganya. Seiring dengan berkembangnya zaman, di Indonesia sendiri, panti-panti werdha yang ada terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kualitas dari panti-panti werdha dan fasilitas-fasilitas perawatan lainnya yang luas untuk orang-orang lanjut usia, sangat besar variasinya dan terus menerus menjadi pusat perhatian baik dari pihak pemerintah maupun lembaga swasta. Mereka berusaha untukmeningkatkan pelayanan panti sehingga para lanjut usia tidak lagi merasa disingkirkan oleh keluarganya. Panti werdha dibuat senyaman mungkin dan tidak lagi tampak seperti tempat pembuangan kaum lanjut usia. Dalam perkembangannya, pemerintahan
maupun
swasta
panti werdha semakin
yang didirikan memajukan
lembaga
kualitasnya
denganmemberikan pelayanan kesehatan rutin bagi para lanjut usia. Selain itu, ada sebagian panti werdha yang memiliki kegiatan rutin setiap minggunya seperti membuat kerajinan tangan atau kesenian dan kegiatan-kegiatan rohani.Kondisi panti werdha semakin disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan lanjut usia saat ini. Keterbatasan biaya bagi lanjut usia yang ingin tinggal di panti werdha juga tidak lagi menjadi masalah utama. Lanjut usiayang tidak mampu membayar biaya tinggal di panti werdha tetap mendapatkan pelayanan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan fisik. Terdapat berbagai jenis pelayanan panti werdha berdasarkan fasilitas pelayanan yang disediakan (http://www.caregiverslibrary.org) yaitu: a. Tempat tinggal untuk lansia yang mandiri (Independent Living Communities) Tempat tinggal ini merupakan tempat tinggal untuk lansia yang masih mandiri. Artinya lansia masih bisa melakukan aktivitas sehati-hati seperti mandi, berpakaian, berjalan, BAB dan BAK secara mandiri. Tempat tinggal ini sangat bervariasi sesuai dengan peminatan lansia, ada yang berupa rumah tinggal yang dikhususkan untuk lansia seorang diri atau untuk berdua. Tipe rumah ini beraneka ragam, ada seperti rumah biasa, ada rumah yang bertingkat serta apartemen yang bisa dibeli ataupun Universitas Indonesia
18
disewa oleh lansia itu sendiri. Biasanya lansia tersebut menyediakan polisi atau penjaga keamanan untuk menjaga rumahnya tersebut. b. Tempat tinggal lansia yang menyediakan bantuan minimal (Assisted Living Facilities) Tempat tinggal khusus untuk lansia dimana lansia tinggal bersama dengan lansia lainnya dan biasanya cocok untuk lansia yang membutuhkan bantuan minimal ataupun tidak sama sekali. Masing-masing lansia tinggal di kamar maupun di apartemen masing-masing yang sudah disediakan alat untuk memberi isyarat jika lansia membutuhkan bantuan atau mengalami keadaan darurat (emergency). Jenis tempat tinggal ini biasanya memfasilitasi ruang tamu, ruang makan, dan tempat laundry, transportasi, rekreasi bersama, housekeeping, serta pelayanan keamanan. c. Kediaman lansia yang membutuhkan perawatan (Residential care facilities) Jenin kediaman lansia ini merupakan tempat lansia yang membutuhkan perawatan khusus. Selain difasilitasi tempat tinggal, lansia juga difasilitasi caregiver pribadi maupun tenaga medis pribadi. Tempat tinggal lansia ini berupa asrama tempat tinggal dan dijaga oleh petugas selama 24 jam. Syarat lansia untuk bisa tinggal di hunian seperti ini adalah lansia yang sehat secara mental, masih mampu berpakaian, makan, dan toileting. Lansia juga masih berpindah untuk makan di ruang tamu, dan hanya membutuhkan bantuan dari caregiver pribadinya. Lansia yang menggunakan kursi roda atau walker biasanya masih diperbolehkan. Di tempat ini juga menyediakan makanan untuk residen, kegiatan aktivitas sosial, tempat menyuci pakaian, dan pelayanan peralatan rumah tangga. d. Kediaman lansia yang membutuhkan perawatan lanjutan (continuing care communities) Jenis kediaman lansia ini menyediakan beberapa fasilitas asuhan keperawatan sesuai dengan tingkat ketergantungan lansia. Jenis kediaman lansia ini menyediakan pelayanan asuhan keperawatan bagi lansia uyang membutuhkan suhan keperawatan secara kontinu, pelayanan lansia yang membutuhkan bantuan untuk memenuhi ADL (activity Daily Living), Universitas Indonesia
19
lansia yang mandiri, serta lansia yang mengalami pensiunan. Untuk lansia yang masih mandiri juga disediakan perawat yang bisa membantunya jika suatu saat membutuhkan bantuan. Tipe/jenis pelayanan lansia ini biasanya cocok
untuk
lansia
pasangan
suami
istri
yang
sewaktu-waktu
membutuhkan bantuan dari perawat uuntuk membantu kelangsungan hidup mereka yang memiliki tingkat ketergantungan yang berbeda. Fasilitas pelayanan seperti ini menyediakan tenaga profesi lain yang dibutuhkan oleh lansia seperti petugas bank, saloon, petugas perpustakaan, organisasi sosial lainnya.Lansia juga dapat melakukan aktivitas yang disukai berupa berkebun, berekreasi, olahraga, belajar, dan memeriksa kesehatannya serta menyediakan pelayanan transportasi. Pada umumnya seluruh kegiatan ini dikenai biaya yang biasanya dibayar lansia setiap bulannya. e. Rumah perawatan lansia (nursing homes) Jenis pelayanan lansia ini dikhususkan untuk lansia yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus dari tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat selama 24 jam. Tempat Pelayanan ini menyediakan asuhan keperawatan bagi lansia, program rehabilitasi, dan aktivitas social lainnya. Tenaga kesehatan yang disediakan adalah tenaga kesehatan yang professional dan dapat menjamin memberikan pelayanan kesehatan bagi lansia. Lansia biasanya dirawat oleh perawat selama 24 jam dengan penuh pengawasan dari tenaga medis, perawat, fissioterapi, dan ahli kesehatan lainnya. Lansia yang sudah dimensia ataupun menderita alzheimer sangat cocok untuk dirawat di nursing home ini.
Universitas Indonesia
Lampiran 1
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Pengkajian Keperawatan Bapak (92tahun) merupakan salah satu residen di Wisma Cempaka masuk ke Sasana Tresna Werdha (STW) Karya Bhakti Ria Pembangunan sejak 17 Desember 1999. Residen saat ini tinggal di Wisma Cempaka, salah satu wisma yang terdapat di STW Karya Bhakti Ria Pembangunan. Residen sebelumnya bekerja sebagai refleksiologi setelah mengalami pensiun dari perawat angkatan laut. Residen memilih untuk tinggal di STW karena tidak ingin mengganggu rumah tangga anak-anaknya dan juga untuk meningkatkan rasa nyaman serta terjaga privasinya. Residen memiliki anak enam orang dan semuanya sudah menikah serta satu orang istri yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Residen mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai keluarga yang tinggal di Jakarta. Biaya hidup residen di panti dibiayai oleh Tn P (anak ke-3) sedangkan biaya kehidupan sehari-hari diperoleh dari pensiunan almarhumah istri Residen yang dahulunya bekerja sebagai perawat di Angkatan Laut. Residen mengatakan bahwa anaknya pernah mengunjunginya tetapi tidak memiliki jadwal kunjungan yang tetap. Residen juga mengatakan bahwa dia jarang menerima telepon dari anak-anaknya. Residen mengeluh karena beberapa anak residen memiliki agama yang berbeda dengan dirinya karena alasan mengikut istri ataupun mengikut suami masing-masing. Oleh sebab itu, residen lebih memilih untuk tinggal di panti supaya bisa melakukan ritual agamanya dengan tenang. Masalah kesehatan yang dialami Residen saat ini adalah penyakit hipertensi sejak berusia 65 tahun dan penyakit diabetes melitus yang terkontrol. Selain itu Residen pernah mengalami operasi katarak tahun 2005 dan tahun 2007 serta dilakukan irigasi telinga tahun 2008 yang lalu. Saat ini Residen masih mengkonsumsi obat amlodipine 1 x 5 mg dan glukophage 1 x 500 mg. Saat dilakukan pemeriksaan gula darah tanggal 14 Mei 2013 diperoleh gula darah sewaktu 138 gr/dl dan asam urat 5,6 gr/dl. Hasil pemeriksaan fisik diperoleh tinggi badan 168 cm, berat badan 62 kg, indeks massa tubuh (IMT) 21,9 seta lingkar lengan atas (LILA) 28 cm. 20
Universitas Indonesia
21
Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah diperoleh 150/90 mmHg, Nadi 82 kali/menit, suhu 36,8
0
C, pernafasan 16 kali/menit. Pemeriksaan
sistematik yang dilakukan perawat diperoleh bahwa secara umum kebersihan diri residen meliputi rambut, kulit kepala, hidung, telinga, kulit, dan kuku tampak bersih. Terdapat arcus senilis pada mata residen. Pemeriksaan di leher tidak terdapat distensi vena jugular. Inspeksi pada thoraks tidak terdapat lesi, pengembangan paru simetris, auskultasi paru terdengar bunyi ronkhi basah, sedangkan bunyi jantung terdengar S1, S2 normal, murmur (+), gallop (-). Inspeksi pada daerah abdomen tidak ditemukan lesi, permukaan abdomen datar, tidak ditemukan massa pada keempat kuadran abdomen, serta auskultasi bising usus (+). Hasil pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal didapatkan berbagai perubahan-perubahan seperti penurunan range of motion pada sendi ekstremitas khususnya kedua estremitas bawah, perubahan gaya berjalan dengan di seret dan langkah yang pendek dan lambat serta mengalami kelemahan pada otot ekstremitas. Residen berjalan dengan berpegangan pada dinding, furniture maupun hand rail yang ada di wisma cempaka tanpa menggunakan alat bantu. Residen juga tampak mengalami penurunan keseimbangan diperoleh dari pemeriksaan Berg balance test (BBT) skor 38 yaitu kategori memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan. Selama tinggal di wisma Cempaka residen mengatakan sudah pernah jatuh sebanyak tiga kali. Jatuh terakhir kalinya adalah bulan April 2013 dengan jatuh terduduk di lantai. Residen mengalami jatuh ketika pergi ke luar panti untuk membeli peralatan mandi. Saat itu residen mengatakan jalan yang berbatu (tidak rata) yang membuat residen terpeleset, serta tidak mampu menahan beban tubuh karena tidak
memiliki benda lain sebagai penyanggah. Selain itu, residen
mengatakan bahwa dirinya mengalami kelemahan pada kaki yang membuat dirinya tidak mampu mempertahankan kestabilan tubuhnya dan akhirnya terjatuh dengan kondisi terduduk di tanah. Residen juga mengalami luka dan nyeri pada tangan kanan sebagai bagian tubuh yang menopang badan residen saat terjatuh. Saat penulis melakukan observasi pada tempat tinggal residen, tampak bahwa kamar residen memiliki lantai yang basah akibat sisa makan yang berkuah Universitas Indonesia
22
dan minuman residen yang tumpah, dan licin karena tidak pernah di pel serta ditemukan berbagai jenis barang yang tergeletak di lantai berupa kertas-kerta, buku-buku, sepatu, serta peralatan mandi. Selain itu, terdapat kursi residen yang sudah rapuh dan kursi yang terbuat dari bahan plastik yang mudah bergerak saat digunakan. Jenis tempat tidur residen berupa kasur yang memiliki tinggi sekitar 20 cm dari permukaan lantai akan tetapi, tidak memiliki side rail. Sedangkan alatalat pribadi residen seperti kacamata, jam tangan, buku TTV, remot TV, radio, dan handphone diletakkan di atas tempat tidur untuk memudahkan residen menjangkau saat ingin menggunakannya. Namun, jika residen ini minum atau membaca buku-buku rohani yang menjadi kebiasaannya mengharuskannya untuk bangun dan berpindah dari tempat tidur karena tidak mampu dijangkau. Residen biasanya menghabiskan waktu di kamar dengan duduk dan berbaring di atas tempat tidur atau berpindah di kursi. Hasil observasi yang dilakukan penulis pada kamar mandi residen bahwa terdapat toilet duduk dan dilengkapi hand rail di samping toilet serta digunakan lansia sebagai jemuran handuk kecil. Lantai kamar mandi residen tampak kotor dengan sisa-sisa makanan yang terletak di lantai, lantai juga licin dengan ditemukannya lumut, serta permukaan bak air, wastafel yang sangat kotor dan licin. Di kamar mandi residen terdapat barang-barang residen berupa kain pel, ember, peralatan makan yang tidak tertata rapi. Pencahayaan pada kamar mandi juga dirasakan residen sangat kurang. Pintu kamar mandi tampak sudah rusak dan sulit di tutup. Residen tidak memiliki tempat duduk di kamar mandi, sehingga saat mandi residen harus dengan kondisi berdiri sampai mandi selesai serta tidak terdapat hand rail yang mengitari dinding kamar mandi residen serta tidak ditemukan materi yang antiselip di kamar mandi. Pada pemeriksaan Morse fall scale (FMS) diperoleh skor 80 yaitu kategori memiliki risiko jatuh tinggi. Gaya berjalan residen tampak lambat, langkah yang pendek sehingga dikategorikan lemah (tidak bertenaga) dan berjalan dengan berpegangan pada benda-benda yang ada disekitar berupa meja, kursi, hand rail yang ada di dinding, dan lemari. Residen juga memiliki beberapa keset yang tergeletak di lantai. Namun, keset tersebut terlibat basah dan bertindih di lantai dan tidak pernah dibersihkan atau dijemur dibawah sinar matahari. Residen Universitas Indonesia
23
memiliki sandal jepit yang sudah lama dan tidak memiliki anti selip yang biasa dipakai saat mandi dan berjalan dikamar. Residen saat ini tinggal sendirian tanpa memiliki caregiver. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti mandi, makan, toileting, dan berpakaian dilakukan oleh residen sendiri. Hasil pengkajian tingkat kemandirian menurut Indeks Katz diperoleh skor 5 yaitu dengan gangguan fungsional sebagian (kemandirian sebagian). Pola makan residen cukup baik yaitu makan tiga kali sehari dengan memakan makanan yang disediakan di wisma. Tidak ada jenis makanan yang menjadi pantangan residen kecuali daging yang merupakan pantangan bagi pemeluk agama Advent. Residen mengatakan jarang menghabiskan makanan dari wisma dengan alsan kurang selera dengan menu makanan. Residen terkadang membeli sarapan pagi berupa bubur ayam msupun bubur kacang hijau di luar untuk sarapan. Jadwal makan siang residen biasanya pukul 12:30 sedangkan jadwl makan malam pukul 17.00.
Residen biasanya
minum susu satu gela per hari sebagai selingan antara makan siang dan makan malam. Sedangkan jumlah asupan air putih setiap harinya sekitar 5-8 gelas. Hasil wawancara penulis dengan residen terkait pola tidur diperoleh data bahwa residen satu minggu belakangan ini (tanggal pengkajian 14 Mei 2014) mengalami kesulitan untuk tidur. Residen mengatakan sering memikirkan anaknya yang baru saja meninggal satu minggu yang lalu (7 Mei 2013). Residen mengatakan sangat berduka karena tidak bisa melihat anaknya yang meninggal. Residen mengatakan mengalami kesulitan untuk memulai tidur, dan sering terbangun pada malam hari. Saat dilakukan kunjungan pada siang hari, residen tampak mengantuk tetapi mengalami kesulitan untuk tidur. Residen memiliki kebiasaan untuk berbaring di tempat tidur setiap harinya meskipun tidak sedang tidur dan jarang mengikuti kegiatan panti. Namun, residen juga memiliki kebiasaan untuk minum kopi saat malam hari. Pengkajian terkait pola eliminasi diperoleh data bahwa residen mengalami BAB teratur satu kali sehari setiap pagi hari dengan konsistensi lunak. Pola BAK saat ini residen sedang mengikuti terapi toilet training karena mengalami inkontinensia sejak enam bulan yang lalu. Residen sudah diajarkan latihan kegel oleh penulis keperawatan yang melakukan praktik di Wisam tersebut sebelumnya. Universitas Indonesia
24
Hasil observasi penulis bahwa residen masih terkadang mengalami inkontinensia urin dilihat dari tempat tidur yang suka basah dan celana yang basah karena residen tidak mampu menahan dorongan untuk berkemih sebelum sampai ke toilet. Aktivitas sehari-hari residen lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar dengan menonton televisi, mendengarkan radio, membaca buku-buku kerohanian, bernyanyi lagu rohani, serta tidur-tiduran. Residen tampak jarang berbicara dengan residen lainnya yang ada di wisma. Residen tidak memiliki residen lain yang dianggap dekat. Selama dilakukan praktik tujuh minggu tidak wisma, penulis tidak pernah melihat adanya kunjungan dari saudara maupun anakanak residen. Residen mengatakan jarang dikunjungi oleh anak-anaknya karena berada jauh dari Jakarta. Namun, residen biasanya ditelepon oleh anaknya (Bapak P) yang berada di Yokyakarta untuk menanyakan kabar maupun keluhan Residen. Keadaan emosi residen cukup stabil meskipun jarang melakukan interaksi dengan residen lain. Residen mengatakan sangat puas akan kehidupannya di masa lalu meskipun saat ini berada jauh dari anak-anaknya. Hasil pemeriksaan Geriatric depression scale (GDS) diperoleh nilai normal yaitu 5. Residen yang berada jauh dari anak-anaknya memutuskan untuk dilakukan kremasi oleh salah satu pimpinan agamanya jika suatu saat dia meninggal. Persiapan untul meninggal ini dilakukan residen karena residen tidak mau perepotkan anak-anaknya. Residen mempercayai bahwa dengan dilakukan kremasi merupakan jenis upacara kematian yang paling sempurna. Residen merupakan jemaat yang patuh akan ibadahnya. Residen mengatakan bahwa Tuhan sangat sayang kepadanya sehingga dia diberi umur yang panjang hingga 92 tahun. Residen selalu melakukan ibadah dengan berdoa, membaca kitab suci, bernyanyi, dan berterima kasih kepada Tuhan atas penyertaanNya. Residen percaya bahwa kesehatan yang dialaminya merupakan anugrah Tuhan. Namun, residen juga tetap mempercayai ilmu kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini ditandai dengan kemauan residen memeriksakan dirinya kepada petugas kesehatan jika residen mengalami sakit serta mau mengkonsumsi obat yang diberikan kepadanya. Universitas Indonesia
25
Hasil pemeriksaan kognitif yang dilakukan penulis bahwa residen masih mampu melakukan komunikasi yang efektif, koheren, dan mampu menjawab dengan baik. Residen mampu menceritakan pengalaman masa lalu dengan baik serta mampu menceritakan kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu dengan baik. Namun, residen terkadang melakukan pengulangan terhadap isi pembicaraan yang dilakukan. Residen mampu berbicara dengan jelas meskipun dengan nada yang agak rendah. Hasil pemeriksaan Mini mental state examination (MMSE) diperoleh skor 25 yaitu memiliki kemampuan kognitif yang normal.
3.2 Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan Berdasarkan data-data tersebut di atas maka selanjutnya dilakukan pengelompokan data tersebut kemudian dilakukan analisis data sesuai dengan kriteria dan klasifikasi diagnosa keperawatan menurut NANDA (2012). Muncul beberapa masalah keperawatan yang selanjutnya menjadi diagnosa keperawatan yang terjadi pada residen berupa risiko jatuh, insomnia, risiko kesepian (loneliness), berduka, inkontinensia urin fungsional, serta kesiapan meningkatkan religiositas. Penulis menetapkan tiga masalah keperawatan yang prioritas yaitu risiko jatuh, risiko kesepian, dan inkontinensia urin fungsional. Penulis mengangkat diagnosa keperawatan risiko jatuh pada residen ini karena didukung oleh data-data sesuai dengan kriteria menurut NANDA (2012) berupa residen memiliki usia lebih dari 65 tahun, memiliki riwayat jatuh (satu bulan yang lalu), tinggal sendiri, mengalami prostesis atau kelemahan pada sktremitas bawah, mengalami perubahan gaya berjalan dengan diseret, langkah pendek dan berpegangan pada furniture, tinggal di lingkungan yang tidak tertata rapi, memiliki lantai kamar mandi yang kotor dan licin, banyak ditemukan bendabenda yang tidak dipakai sergeletak di lantai, dan menggunakan perobat yang mudah bergeser dan perabotan yang sudah tua. Selain itu residen juga mengalami terapi medikati anti hipertensi dan obat hipoglikemia karena memiliki diagnosa sekunder yaitu memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Sedangkan perubahan fisiologis yang dialami residen yang dapat mendukung tegaknya diagnosa risiko jatuh ini adalah penurunan kekuatan otot ekstremitas, kekakuan sendi, penurunan range of motion, kesulitan gaya berjalan, gangguan Universitas Indonesia
26
keseimbangan ( skor BBT 38) , inkontinensia urine fungsional, serta skor MFS 80. Diagnosa keperawatan kedua pada Residen adalah risiko kesepian. Diagnosa ini dapat ditegakkan dengan adanya data-data pendukung sesuai klasifikasi NANDA (2012) yaitu residen yang mengalami kehilangan orang yang disayangi yaitu istri yang meninggal dua tahun yang lalu serta kematian anaknya satu minggu yang lalu , residen yang mengungkapkan sangat jarang dikunjungi oleh anak-anaknya. Residen juga tampak mengalami isolasi sosial karena setiap harinya berada di dalam kamar dan tidak pernah melakukan interaksi dengan residen lainnya. Residen jarang mengikuti kegiatan di panti dan setiap harinya mneghabiskan waktu di kamar dengan melakukan aktivitas menonton televisi, tiduran, membaca, bernyanyi, dan mendengarkan radio. Adanya perbedaan agama antara residen dengan anak-anaknya mengakibatkan timbulnya suatu kesenjangan untuk berkomunikasi ataupun menjalin hubungan dengan anggota keluarga. Tempat tinggal anak-anaknya yang jauh dari Jakarta juga menyebabkan residen mengalami kesepian. Selain itu, residen mengatakan anak-anaknya pada umumnya sibuk menjalani kehidupan rumah tangga masing-masing sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengunjunginya. Residen mengatakan menjalani hidup di wisma Cempaka sejak Desember tahun 1999. Masalah terakhir yang diangkat oleh penulis yaitu masalah inkontinensia urin fungsional. Diagnosa inkontinensia urin fungsional ditegakkan didukung oleh data-data sesuai klasifikasi dan definisi diagnosa keperawatan menurut buku NANDA tahun 2012 yaitu residen yang sering mengalami BAK tidak pada tempatnya yaitu pada tempat tidur atau saat berjalan menuju toilet. Residen mengatakan tidak mampu menahan dorongan untuk berkemih. Namum, ketika dilakukan pengkajian residen mengatakan mampu mengosongkan urine secara komplit
saat
berkemih.
Selain
itu,
keterbatasan sistem
neuromuskular
mempengaruhi kecepatan residen untuk mencapai toilet.
3.3 Intervensi Keperawatan Bentuk-bentuk intervensi yang direncanakan untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada residen didasarkan pada intervensi keperawatan menurut Universitas Indonesia
27
Wilkinson & Ahern (2012). Secara umum intervensi yang dibuat bertujuan untuk menurunkan risiko jatuh ditandai dengan adanya perubahan pengetahuan tentang pencegahan jatuh, adanya perilaku untuk mencegah jatuh, serta tidak ditemukan kejadian jatuh baik pada saat berdiri, berjalan, berpindah, saat tidur, maupun pada saat naik atau turun tangga. Intervensi yang disusun untuk mengatasi masalah risiko jatuh ini sesuai dengan intervensi menurut Wilkinson & Ahern (2012) yaitu a) fasilitasi penggunaan postur dan pergerakan dalam aktivitas sehari-hari untuk mecegah keletihan dan cidera muskuloskeletal dan untuk meningkatkan mekanika tubuh; b) Lakukan manajemen lingkungan khususnya keamanan dengan memantau dan memanipulasi lingkungan fisik untuk memfasilitasi keamanan; c) lakukan terapi latihan fisik untuk meningkatkan keseimbangan dan pengendalian otot; d) lakukan pencegahan jatuh dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap area yang berbahaya dan e) identifikasi faktor risiko yang aktual maupuan potensial mengakibatkan jatuh. Intervensi keperawatan yang disusun penulis untuk mengatasi diagnosa keperawatan risiko kesepian pada residen ini berdasarkan Wilkinson & Ahern (2012) dan memiliki kriteria hasil seperti memperlihatkan pencegahan kesepian yang dibuktikan dengan keterlibatan dalan aktivitas sosial. Jenis aktivitas sosial ini dapat berupa berinteraksi dengan tetangga, kelompok, mau meluangkan waktu untuk orang lain, dan berpastisipasi dalam aktivitas organisasi atau perkumpulan sosial yang ada. Adapun intervensi keperawtan menurut Wilkinson & Ahern (2012) adalah a) promosi integritas keluarga dengan meningkatkan persatuan dan kesatuan keluarga; b) berikan dukungan spiritual; dan c) fasilitasi kunjungan keluarga ataupun teman. Diagnosa keperawatan yang menjadi masalah ketiga yang dialami residen ini adalah inkontinensia urin fungsional. Intervensi yang disusun untuk megatasi masalah ini adalah: a) ingatkan secara verbal residen berkemih tepat waktunya bertujuan untuk meningkatkan kontinensia urine ; b) Bantu melakukan perawatan diri :eliminasi; c) motivasi melakukan manajemen eliminasi urin; dan d) lakukan pelatihan kebiasaan berkemih dan latihan otot panggul dengan latihan kegel. Adapun kriteria hasil dari intervensi ini adalah residen mampu melakukan eliminai secara mandiri, menunjukkan kontinensia urine ynag ditandai dengan Universitas Indonesia
28
kemampuan residen mengidentifikasi keinginan berkemih, berespon tepat pada waktu terhadap dorongan berkemih, mancapai toilet antara waktu dorongan berkemih dan pengeluaran urine, dan mempertahankan pola elimiasi yang dapat diduga.
3.4 Implementasi Keperawatan Bentuk-bentuk implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah utama yaitu risiko jatuh pada residen adalah dengan melakukan edukasi keperawatan terkait topik risiko dan kejadian jatuh dengan metode diskusi. Adapun topik yang diskusikan adalah menganai penyebab jatuh, faktor-faktor yang dapat mencetus kejadian jatuh, serta bahaya yang mungkin terjadi jika lansia mengalami jatuh khususnya lansia yang tinggal di panti seorang diri. Hal ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan residen tentang risiko jatuh dan kejadian jatuh sehingga dengan diharapkan muncul sikap yang positif untuk ikut serta mencegah kejadian jatuh pada residen tersebut. Diskusi ini dilakukan dua kali pertemuan sekaligus meningkatkan hubungan saling percaya antara penulis dengan residen. Penulis dan residen bersama-sama mengidentifikasi faktor-faktor yang menimbulkan kejadian jatuh khususnya yang sesuai dengan kondisi residen. Penulis menjelaskan kepada residen bahwa efek samping penggunaan obat anti hipertensi (amlodipine) dan obat golongan hipoglikemik yang dapat berperan menimbulkan sinkop maupun dizziness sebagai pencetus kejadian jatuh pada lansia maupun akibat hipotensi ortostatik. Oleh sebab itu, residen dianjurkan untuk tidak banyak bergerak ataupun berpindah dari tempat tidur setelah minum obat. Selanjutnya penulis melakukan latihan range of motion (ROM) untuk meningkatkan fungsi sendi dan kekakuan otot yang telah mengalami penurunan sebagai implikasi dari proses penuaan yang dialami lansia. Latihan ROM yang dilakukan adalah jenis ROM aktif. Namun, latihan ini disesuaikan dengan kemampuan residen serta pengawasan penuh dari penulis. Latihan ROM dilakukan sebanyak lima kali dengan dengan penuh pengawasan latihan ROM ini dilakukan secara sistematis sesuai konsep head to toe dan proksimal ke distal. Kemudian residen dan penulis membuat kesepakatan untuk memasukkan kegiatan Universitas Indonesia
29
latihan ROM untuk jadwal kegiatan sehari-hari. Residen juga dimotivasi oleh penulis untuk ikut serta berperan mengikuti kegiatan senam lansia yang dilakukan di STW setiap hari Senin hingga hari Kamis serta diberikan penjelasan mengenai jenis-jenis senam lansia yang dilaksanakan di STW serta manfaat dari masingmasing jenis senam lansia tersebut. Sedangkan untuk meingkatkan sistem keseimbangan residen adalah dengan melakukan balance exercise sesuai kemampuan residen. Latihan ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan berkolaborasi dengan penulis dari Yarsi. Jenis implementasi yang dilakukan untuk manajemen lingkungan yang aman untuk residen adalah dengan merapikan kamar dan lingkungan sekitar wisma dari benda-benda yang memungkinkan mengakibatkan jatuh. Kamar residen setiap hari dipastikan tidak licin dan tidak basah. Barang-barang yang tidak digunakan dibuang ke tempat sampah, sedangkan barang yang tergeletak di lantai dirapikan dengan meletakkan di tempat yang sesuai. Penulis juga melakukan kolaborasi dengan cleaning service untuk membuat
jadwal
membersihkan kamar residen. Penggunaan sandal jepit yang tepat juga diajarkan kepada residen yaitu sandal yang menggunakan anti selip dan dipastikan aman pada lansia. Keset yang ada ada di lantai dipastikan tidak terlipat dan tidak basah. Penulis juga menganjurkan residen untuk mengganti sandal yang sudah lama dan licin tersebut karena dapat mengakibatkan jatuh pada residen. Residen juga diingatkan untuk tidak duduk pada kursi yang terbuat dari plastik yang dapat mengakibatkan kursi bergerak jika sat diduduki residen. Residen sebaiknya duduk pada kursi yang kokoh atau yang terbuat dari kayu untuk menjaga keamanan residen. Sedangkan kamar mandi residen dipastikan untuk tidak licin dan dengan pencahayaan yang cukup. Residen juga dianjurkan untuk tidak menyalahgunakan hand rail yang ada di kamar mandi menjadi jemuran kain akan tetapi untuk pegangan saat menggunakan toilet di kamar mandi.
Berdasarkan pengkajian indeks katz diperoleh bahwa saat ini residen
mengalami masalah inkontinensia urin fungsional dan sedang dalam proses tarapi latihan kegel. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan jatuh jika residen ketika residen ingin berusaha untu ke toilet. Oleh sebab itu, residen dianjurkan untuk Universitas Indonesia
30
menggunakan pempers saat malam hari untuk menghindari residen bolak balik ke toilet saat malam hari. Usaha lain yang untuk meningkatkan kenyamanan residen sebagai intervensi inovatif adalah pemberian alat bantu jalan pada residen. Alat bantu yang diberikan berupa tongkat kaki empat yang bertujuan untuk meningkatkan kestabilan residen khususnya saat berjalan di lingkungan panti maupun ke luar panti. Penulis berkolaborasi dengan berkolaborasi dengan penanggung jawab wisma Cempaka untuk memberikan alat bantu jalan yang sesuai dengan kondisi residen. Residen mengalami kelemahan pada kedua ekstremitas sehingga dianjurkan untuk menggunakan walker khususnya tipe front wheel yang dapat digunakan residen secara intermitten untuk berjalan keluar panti (Bateni & Maki 2005). Namun, karena pihak panti maupun residen tidak memiliki tipe walker front wheel sehingga residen dianjurkan untuk menggunakan tongkat. Residen diberikan tongkat sekaligus diajarkan cara penggunaan tongkat tersebut. Penulis sebelumnya menjelaskan kepada residen kegunaan tongkat dan cara penggunaannya. Setelah dilakukan intervensi sebanyak dua kali 45 menit residen kemudian mau menerima tongkat tersebut dan bersedia untuk mau menggunakannya. Penulis kemudian melakukan intervensi sebanyakempat kali 45 menit untuk melakukan latihan penggunaan alat bantu jalan tersebut dengan benar. Residen mengatakan sangat sulit untuk membiasakan meelangkah dengan menggunakan tongkat, karena penggunaan tongkat tersebut merupakan hal baru bagi residen sehingga sulit untuk beradaptasi. Jenis tongkat yang diberikan adalah tongkat dengan empat kaki yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas residen. Tongkat tersebut diatur sesuai kondisi dan tinggi badan residen dan dipastikan ukuran, berat, dan cara pemakaian yang tepat dengan tujuan meningkatkan rasa nyaman residen saat menggunakan alat bantu jalan tersebut. Cara pengukuran tongka tersebut adalah dengan mengukur sudut pada siku tangan residen saat memegang tongkat dipastikan membentuk sudut 150 derajat. Penulis melakukan monitoring dan latihan menggunakan alat bantu jalan tersebut hingga residen mampu menggunakan secara mandiri. Residen selalu diingatkan untuk menggunakan alat bantu jalan setiap melakukan mobilisasi di sekitar lingkungan panti maupun ke luar panti. Universitas Indonesia
31
Dengan penggunaan alat bantu dengan benar diharapkan residen mampu meningkatkan rasa percaya diri untuk melakukan mobilisasi namun terhindar dari kejadian jatuh yang artinya residen berjalan dengan kondisi yang nyaman dan aman. Bentuk implementasi yang bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan residen terhadap kejadian jatuh adalah dengan memberi tanda dengan warna yang cerah (warna merah) pada ambang pintu kamar residen, dan pintu kamar mandi, serta lantai yang tidak rata, undakan dan area tangga di sekitar wisma. Residen kemudian diberitahukan maksud dari pemberian tanda tersebut yaitu untuk memberikan informasi kepada residen bahwa area tersebut merupakan area yang harus berhati-hati saat berjalan. Daerah-daerah yang licin, basah saat hujan, ataupun basah saat dipel juga diberikan tanda yang dapat meningkatkan kewaspadaan residen untuk menghindari kejadian jatuh akibat tergelincir. Penulis melakukan implementasi keperawatan untuk mengatasi diagnosa keperawatan kedua yang dialami oleh residen yaitu risiko kesepian. Untuk mengatasi masalah kesepian residen, penulis melakukan pengkajian terkait faktor yang menyebabkan residen mengalami kesepian. Penulis mendengarkan secara aktif pengalaman residen yang menceritakan kematian orang yang disayangi yaitu istri dan anaknya. Residen juga mengatakan bahwa dirinya jarang dihubungi ataupun dikunjungi oleh anak-anaknya sehingga penulis membantu residen untuk mencari tahu alamat anak-anaknya dengan menelepon anak-anak residen namun tidak mendapatkan hasil. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan integritas keluarga residen. Menurut Wilkinson & Ahern (2012) salah satu intervensi untuk mencegah kesepian yang dialami residen adalah dengan membantu residen untuk meningkatkan hubungan pribadinya dengan Yang Maha Kuasa dengan melakukan kegiatan kerohanian seperti membaca alkitab, bernyanyi, dan sharing pengalaman. Selain itu, residen juga diajak untuk mau meluangkan waktu untuk berbincangbincang dengan residen lainnya serta untuk mau terlibat dalam mengikuti kegiatan yang ada di panti seperti menonton film, mendengarkan musik di ruang rekreasi, senam lansia, maupun pelaksanaan ibadah. Universitas Indonesia
32
Bentuk inkontinensia
implementasi urine
yang
fungsional
dilakukan
untuk
mengatasi
masalah
yang dialami residen sebagai diagnosa
keperawatan yang terakhir adalah dengan terlebih dahulu membantu residen mengatasi masalah defisit perawatan diri: eliminasi. Penulis membantu residen untuk mengotrol berkemih dengan mengingatkan residen untuk berkemih pada jadwal yang sudah disesuaikan sebelumnya. Residen dianjurkan untuk mengosongkan kandung kemih hingga benar-benar kosong saat berkemih. Residen juga diajarkan untuk mengenal atau mengidentifikasi tanda-tanda jika mengalami dorongan untuk berkemih sehingga residen mampu mempersiapkan diri dan menahan urin hingga mencapai toilet. Residen diberikan reinforcement positif atas keberhasilan residen mencapai toilet dan mampu melakukan BAK dengan tepat dan mandiri. penulis juga memantau asupan dan haluaran cairan residen khususnya pada saat malam hari dianjurkan untuk mengurangi intake cairan untuk mencegah nokturia yang biasa dialami lansia. Residen juga dianjurkan untuk menggunakan untuk menggunakan pempers saat malam hari untuk mengurangi mobilisasi residen ke toilet saat tidur.
3.5 Evaluasi Keperawatan Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi keperawatan. Setiap implementasi yang telah dilakukan untuk mengatasi masing-masing diagnosa
keperawatan yang dialami residen, kemudian dilakukan evaluasi
terhadap tindakan tersebut. Setelah dilakukan beberapa implementasi untuk mengatasi masalah risiko jatuh residen mampu menyebutkan bahaya jatuh, kondisi yang dapat menyebabkan jatuh serta mampu menyadari bahwa kejadian jatuh pada lansia sangat berbahaya dan harus dicegah. Residen tampak menerima kedatangan penulis dan sangat kooperatif ketika dilakukan interaksi berupa edukasi ditandai dengan aktif bertanya jika ada hal-hal yang kurang dimengerti. Sebaliknya residen juga mampu menjawab pertanyaan evaluasi yang diberikan oleh penulis . Terkait penggunaan obat, residen mengatakan akan lebih berhatihati akan efek obat yang diminum yang dapat menimbulkan dizziness sebagai salah satu pencetus jatuh. Residen kemudian mengubah kebiasaan sehari-hari Universitas Indonesia
33
dengan mengurangi mobilitas setelah minum obat anti hipertensi dan obat hipoglikemik. Pelaksanaan latihan range of motion (ROM) diterima baik oleh residen. Residen mampu melakukan latihan ROM tersebut dengan baik sesuai kemampuan residen. Residen mengatakan senang dilakukan latihan tersebut karena dapat meningkatkan kemampuan pergerakan sendi yang sudah mulai kaku serta dapat meningkatkan aliran darah pada daerah sendi tersebut. Setelah dilakukan latihan ROM sebanyak lima kali tampak perubahan pada kemampuan ektensi sendi pada ekstremitas dan lebih mudah untuk digerakkan. Awalnya residen sangat berhatihati saat menggerakkan persendian ekstremitas bawah namum saai ini lebih kelihatan leluasa. Latihan keseimbangan yang diaajarkan untuk residen tidak dapat dilakukan residen secara sempurna dan keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan residen untuk berdiri dengan stabil serta sambil melakukan gerakan dengan stabil serta tidak residen menolak untuk melakukan latihan di luar kamar. Kemudian latihan keseimbangan ini dilakukan dengan memodifikasi kamar reisiden sangat sulit dilakukan residen sehingga masih diharapkan rencana tidak lanjut untuk melatih latihan keseimbangan tersebut dengan lebih rutin dan bertahap. Sedangkan motivasi yang dilakukan penulis untuk mengikuti kegiatan senam lansia yang dilakukan di STW tidak diterima oleh residen. Residen menolak dan mengatakan bahwa dirinya telah melakukan senam pagi secara mandiri di kamar setelah bangun pagi. Setelah dilakukan implementasi terkait modifikasi lingkungan, kemudian dilakukan evaluasi terhadap residen dan
mengatakan sangat setuju dengan
tindakan yang dilakukan penulis . Residen mengatakan setuju bahwa kamar yang berantakan, lantai yang basah dan licin dapat meningkatkan kejadian jatuh. Residen juga mengatakan akan lebih berhati-hati ketika berjalan di kamar dan menggunakan sandal anti selip dengan benar. Secara umum, selama praktik tujuh minggu tidak ditemukan residen mengalami jatuh seperti yang dialaminya satu bulan yang lalu sebelum praktik dimulai. Residen juga mengatakan mau bekerja sama dengan clening service untuk membersihkan kamar residen sebanyak 2 kali seminggu. Terkait penggunaan hand rail di kamar mandi sudah diingatkan selalu Universitas Indonesia
34
dan dilakukan residen dengan baik. Namun setelah beberapa minggu kemudia residen terkadang lupa dan menggunkan kembali untuk menjemur kain. Alat bantu jalan berupa tongkat yang diberikan sangat diterima baik oleh residen. Namun residen mengatakan bahwa penggunaan tongkat merupakan hal baru bagi dirinya sehingga residen tampaknya belum terbiasa dengan penggunaan tongkat tersebut. Residen mengatakan setelah menggunakan tongkat dia mapu berjalan lebih stabil dan tidak perlu lagi berpegangan pada hand rail ataupun futniture yang ada di lingkungannya. Residen mengatakan lebih nyaman saat menggunakan tongkat. Residen selalu diingatkan untuk menggunakan tongkat kaki empat saat melakukan mobilisasi di lingkungan panti serta penulis selalu memantau ukuran dan cara penggunaan tongkat tersebut. Tindakan untuk membuat tanda-tanda berbahaya di lingkungan sekitar residen diterima baik oleh residen. Residen mampu mengulangi kembali tujuan dilakukan kegiatan tersebut. Residen juga menujukkan sikap antusias dengan aktif bertanya terkait tanda-tanda bahaya tersebut. Pada umumnya residen akhirnya memahami masalah risiko jatuh yang dialaminya. Oleh sebab itu, residen sangat aktif dan mau mengukuti implementasi keperawatan khususnya mengatasi masalah risiko jatuh pada residen. Hasil observasi penulis didapatkan bahwa residen tampak menjadi lebih berhati-hati saat melakukan mobilisasi di kamar dan lingkungan panti. Rencana tindak lanjut untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada Residen ini adalah dengan bekerja sama dengan penanggung jawab panti untuk mengawasi kegiatan sehari-hari residen dan mengingatkan kembali melakukan latihan ROM dan penggunaan alat bantu jalan tersebut. Secara umum evaluasi terhadap beberapa implementasi yang dilakukan penulis untuk mengatasi diagnosa keperawatan risiko jatuh pada lansia ini berhasil dengan baik. Selama dilakukan praktik tidak terjadi jatuh pada residen. Selain itu residen juga tampak lebih berhati-hati saat berpindah dan berjalan di lingkungan panti. Residen mampu menggunakan alat bantu jalan yaitu tongkat dengan baik. Residen mengatakan setelah menggunakan tongkat, maka beban residen saat berjalan menjadi lebih ringan dan merasa lenih stabil, serta merasa lebih nyaman daripada tidak menggunakan alat bantu jalan sama sekali. Residen tampak lebih Universitas Indonesia
35
berhati-hati saat berjalan berjalan di kamar mandi dan membiasakan diri menggunakan sandal yang lebih nyaman dan tidak licin. Setelah dilakukan implementasi untuk mengatasi masalah risiko kesepian yang dialami residen, residen mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan dirinya mengalami kesepian adalah anak-anaknya jarang mengunjungi serta menanyakan kabarnya baik melalui telepon. Residen juga menganggap bahwa tidak ada residen lain yang dianggap cocok untuk berbincang-bincang karena memiliki hobbi dan pengalaman hidup yang berbeda. Akan tetapi, dengan keberadaan penulis yang ada di tempat praktek dapat menghibur residen yang mengalami kesepian. Residen juga menolak untuk mengikuti kegiatan menonton film, mendengarkan musik, dan jenis kegiatan lain yang difasilitasi panti. Namun, residen tetap mengikuti kegiatan ibadah khusus agama Advent yang dilaksanakan di panti yaitu Wisma Bungur setiap hari Sabtu pukul 14:30. Residen mengatakan bahwa setelah mengikuti ibadah residen merasa nyaman dan memiliki jiwa yang tenang. Oleh sebab itu, rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kesepian residen adalah dengan mencari tahu keluarga maupun anak-anak residen untuk meningkatkan integritas keluarga. Diagnosa terakhir adalah masalah inkontinensia urine fungsional. Residen mengatakan bahwa sangat sulit untuk menahan berkemih untuk mencapai toilet. Hal ini juga tampak dilihat penulis bahwa terkadang ditemukan residen masih berkemih di celana atau saat menuju toilet. Residen tampak koperatif dan mau berusaha untuk melakukan manajemen berkemih (bladder training) yang diajarkan oleh penulis. Bladder training ini berhasil dilakukan residen setelah dilakukan
selama
tiga
minggu
dan
diingatkan
oleh
penulis
setiap
harinya.nResiden kemudian menyesuaikan asupan cairan pada saat siang dan malam hari. Latihan kegel untuk mengatasi inkontinensia masih jarang dilakukan residen dengan alasan lupa. Oleh sebab itu, rencan atindak lanjut untuk mengatasi masalah inkontinensia yang dialami residen adalah dengan melakukan latihan kegel secara teratur sebnayak tiga kali sehari dilakukan sebanyak 15 kali kontraksi dan
relaksasi.
Universitas Indonesia
Lampiran 1
BAB IV ANALISIS SITUASI
4.1 Profil Lahan Praktik Sasana Tresna Werdha (STW) Karya Bhakti Ria Pembangunan dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Ria Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. STW Karya Bhakti Cibubur ini dilengkapi oleh sarana dan prasarana, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha, fasilitas penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas hunian meliputi wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25 kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas delapan kamar. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas tiga kamar VIP, bangsal rawat inap 15 tempat tidur, pelayanan 24 jam. Fasilitas penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia antara lain dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, ruang pemeriksaan kesehatan, dan ruang rekreasi. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Ria Pembangunan merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan khusus kepada generasi lanjut usia dan dikategorikan menjadi panti wherda untuk perawatan jangka panjang dan sekaligus menjadi tempat hunian para lansia. STW ini memiliki berbagai jenis pelayanan bagi para lansia yang bertujuan untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan berupa konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan. Adapun persyaratan bagi lansia yang ingin menetap di STW ini antara lain: berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani, mandiri, ingin tinggal di STW atas keinginan sendiri dan tidak ada unsur paksaan, memiliki keluarga sebagai penanggung jawab, serta mampu membayar biaya hunian dan biaya perawatan. Selain pelayanan kesehatan, STW ini juga menyediakan pelayanan sosial berupa pembinaan mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional (angklung), bernyanyi, kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam, 36
Universitas Indonesia
37
berkebun, dan kegitan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi. Selain itu, di sasana tresna werdha ini lansia dapat memanfaatkan hobi yang dapat dilakukan dan ada rekreasi bersama. Bentuk pelayanan harian lanjut usia melalui pemeriksaan kesehatan harian berupa pemeriksaan tanda-tanda vital, pelayanan individu dan pelayanan kelompok sesuai kebutuhan lansia.Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan lansia di STW ini disesuaikan dengan permintaan para lansia khususnya masyarakat perkotaan yang menuntut pelayanan yang lebih baik hingga menyerupai tempat tinggal di rumah masing-masing. Berdasarkan jenis pelayanannya, STW Karya Bhakti Ria Pembangunan ini merupakan gabungan dari tempat tinggal lansia tipe rumah perawatan lansia (nursing home) dengan residential caréfasilities (yaitu sebagai tempat tinggal dan memfasilitasi pelayanan kesehatan). STW ini dikatakan menyerupai nursing home karena memiliki pelayanan kesehatan 24 jam dan sekaligus tempat tinggal lansia yaitu Wisma Wijaya Kusuma. Di dalam wisma ini terdapat beberapa lansia yang membutuhkan perawatan dan pengawasan dari tenaga kesehatan baik dokter, maupun perawat. Selain jasa pengobatan, residen juga biasanya diberikan pelayanan fisioterapi, rehabilitasi, aktivitassosial, dan menyediakan makanan dan laundry untuk mencuci pakaian lansia. Jika lansia mengalami kondisi kegawatdaruratan, lansia biasanya di rujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan STW menggunakan transportasi berupa ambulance yang disediakan oleh STW. Lansia yang ada di wisma ini biasanya memiliki caregiver yang membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti makan, mandi, toileting, berpakaian, dan berdandan. Sasana Tresna wherda ini menyerupai tempat tinggal lansia tipe residential care facilities karena mempunyai wisma yang menyediakan tempat tinggal bagi lansia dan sekaligus menyediakan pelayanan kesehatan untuk lainsia jika suatu saat membutuhkannya. Jenis wisma yang menyerupai residential caréfasilities adalah Wisma Bungur dan wisma Cempaka. Penulis melakukan praktik di wisma Cempaka yang memiliki ruangan sebanyak 26 kamar dan ditempati lansia sebanyak 19 orang. Tingkat kemandirian lansia yang tinggal di Wisma ini sangat beraneka ragam. Ada lansia yang sangat mandiri serta mampu memasak makanan sendiri namum sebagian besar makanan lansia disediakan oleh STW. Universitas Indonesia
38
Terdapat empat dari 19 lansia yang mempunyai caregiver untuk membantu melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti mandi, berpakaian, dan berpindah (mobilisasi) dan salah satu diantaranya memiliki caregiver sebanyak dua orang yang menjaga lansia selama 24 jam. Beberapa lansia ini menggunakan alat bantu jalan berupa walker, kursiroda, tongkat dan tanpa alat bantu jalan. Wisma cempaka ini memiliki satu orang penanggung jawab yang bertanggung jawab mengurus seluruh kegiatan yang ada di wisma, dan satu orang cleaning service yang bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar residen dan kebersihan lingkungan wisma. Wisma Cempaka ini difasilitasi ruang tamu, ruang rekreasi, ruang makan, dapur, dan taman yang disediakan untuk lansia yang gemar berkebun. Namun, wisma ini kurang sesuai dengan kriteria residential care facilities dikarenakan terdapat residen yang membutuhkan perawatan total dan pengawasan caregiver selama 24 jam serta residen yang mengalami dimensia. Selain itu wisma cempaka ini juga tidak memiliki petugas yang menjaga residen selama 24 jam sesuai kriteria tempat tinggal lansia tipe residential care facilities.
4.2 Analisis Masalah Keperawatan Risiko Jatuh dengan Konsep Terkait Asuhan keperawatan merupakan kerangka kerja proses keperawatan yang menjakup lima hal yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi (perencanaan), implementasi, dan evaluasi (Potter & Perry, 2005). Langkah pertama yang dilakukan penulis pada residen adalah melakukan pengkajian. Pengkajian keperawatan dilakukan secara holistik yaitu biologis, psikologis, sosial, ekonomui, kultural dan spiritual. Pengkajian yang dilakukan residen dilakukan sesuai standar yang ada yaitu metode anamnesis, pemeriksaan fisik, wawancara, observasi, dan menggunakan data sekunder yang ada di status residen. Setelah semua data terkumpul, penulis melakukan pengelompokan data dan merumuskan diagnosa yang sesuai dengan masalah yang dialami residen. Perubahan pada sistem muskuloskeletal yang terjadi secara fisiologis terjadi pada lansia menurut Nurviyandari (2011) adalah adanya kekakuan ligamen dan sendi, penurunan kekuatan otot, berkurangnya massa otot, kelemahan pada ekstremitas, perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif yang diakibatkan oleh waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang, Universitas Indonesia
39
penurunan range of motion serta meningkatkan postural sway (goyangan berjalan). Secara keseluruhan dengan adanya perubahan-perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan stabilitas residen, mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, kaki yang tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyang sehingga residen memiliki risiko tinggi untuk mengalami jatuh. Saat dilakukan pengkajian terhadap residen diperoleh data-data abnormal khususnya pada sistem muskuloskeletal seperti kekakuan pada sendi, penurunan kekuatan otot, kelemahan pada ekstremitas, perubahan gaya berjalan residen dengan langkah yang pendek, kaki diseret, serta berpegangan pada dinding atau furniture yang ada. Saat berjalan juga ditemukan goyangan badan (postural sway) yang berlebihan dan penurunan kestabilan badan residen serta langkah yang lambat. Perubahan yang dialami residen pada sistem neurologi meliputi penurunan refleks stabilitas yang mengakibatkan penurunan stabilitas pada residen dan konduksi saraf perifer yang lebih lambat yang mengakibatkan meningkatnya waktu reaksi sehingga gerakan timbul lebih lambat. Hal ini akan berdampak pada perlambatan reaksi residen untuk mengantisipasi gangguan terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba, dan memudahkan untuk jatuh. Perubahan-perubahan ini sesuai dengan pendapat Ebersole et al (2005) yang mengatakan bahwa lansia mengalami penurunan fungsi sistem tubuh (perubahan fisiologis) sesuai dengan proses menua serta pengaruh penyakit yang menyertai. Perubahan pada sistem sensori yang dialami Residen yaitu penurunan ukuran pupil, ditemukannnya arcus senilis, serta karena sfingter pupil mengalami sklerosis secara fisiologis sehingga mengakibatkan penyempitan lapang pandang dan memengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmojo & Martono (2004) yang mengatakan bahwa perubahan penurunan fungsi pada degenerasi retina sinilis yang meliputi hilangnya sel reseptor dalam sel saraf kira-kira 2,5 % per dekade mengakibatkan visus kurang tajam, penurunan sensitifitas lapangan pandang, penurunan sensitifitas kontras warna, dan kenaikan ambang adaptasi gelap. Selain itu residen juga mengalami perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Namun, katarak tersebut sudah dioperasi pada kedua mata residen tahun 2005 dan tahun 2007. Berdasarkan data-data yang ada pada Universitas Indonesia
40
residen tersebut maka penulis menegakkan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2012) berdasarkan kriteria yang ada yaitu risiko jatuh. Intervensi keperawatan yang disusun penulis untuk mengatasi masalah risiko jatuh berdasarkan Wilkinson & Ahern (2012). Adapun jenis intervensi yang disusun adalah meningkatkan mekanika tubuh dengan melakukan pergerakan tanpa mengakibatkan cidera muskuloskeletal, manajemen lingkungan, terapi latihan keseimbangan, dan latihan fisik meningkatkan kekuatan otot, penceghaan jatuh dan identifikasi faktor risiko jatuh yang ada pada residen. Hal yang pertama yang dilakukan penulis untuk mengatasi masalah risiko jatuh pada residen ini adalah melakukan identifikasi faktot-faktor risiko yang mengakibatkan jatuh. Faktor-faktor risiko jatuh pada lansia diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Brocklehurst et al, 1987; Tinetti, 1994; Andayani, 1999). Faktor intrinsik yang dialami residen yaitu perubahan fisiologis sistem muskuloskeletal seperti penurunan kekuatan otot, penurunan keseimbangan, perubahan pada sistem sensoris : penglihatan mengakibatkan penurunan lapang pandang, masalah inkontinensia, usia residen lebih dari 65 tahun, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti mandi, makan, tioleting, berpakaian, dan berbelanja yang dilakukan residen dengan sendiri tanpa pengawasan. Perubahan gaya berjalan yang dialami residen juga termasuk menjadi faktor intrinsik yang mempengaruhi kejadian jatuh. Sedangkan faktor ekstrinsik yang terdapat pada residen adalah lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya), medikasi, dan adanya diagnosa sekunder. Berdasarkan tipe jatuh yang ada menurut Morse (2009), tipe jatuh yang memungkinkan terjadi pada residen adalah jatuh kecelakaan (accidental fall) dan anticipated physiological falls). Tipe Jatuh kecelakaan merupakan jatuh yang dialami lansia karena lingkungan yang tidak aman (berbahaya). Berdasarkan hasil pengkajian disimpulkan bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal residen tidak mendukung (berbahaya) bagi residen khususnya yang tinggal sendiri tanpa caregiver atau keluarga. Menurut Morse (2009) kondisi lingkungan yang nyamam bagi lansia harus memenuhi kriteria lantai yang datar, tidak licin, tidak menyilaukan, serta menggunakan tanda-tanda peringatan bila lantai sedang dibersihkan atau dipel. Namun, yang ditemukan pada tempat tinggal residen Universitas Indonesia
41
adalah lantai yang basah akibat sisa makan yang berkuah dan minuman residen yang tumpah, dan licin karena tidak pernah di pel serta ditemukan berbagai jenis barang yang tergeletak di lantai berupa kertas-kerta, buku-buku, sepatu, serta peralatan mandi. Kondisi kamar mandi yang aman sebaiknya tidak licin, terdapat hand rail mengitari dinding kamar mandi sebagai pegangan bagi lansia, toilet duduk, pintu yang mudah dibuka, saklar lampu kamar mandi yang terletak diluar kamar mandi, serta alarm untuk kondisi darurat (Morse 2009). Kodisi kamar mandi residen yang berdasarkan hasil observasi penulis bahwa terdapat toilet duduk dan dilengkapi hand rail di samping toilet serta digunakan lansia sebagai jemuran handuk kecil. Lantai kamar mandi residen tampak kotor dengan sisa-sisa makanan yang terletak di lantai, lantai juga licin dengan ditemukannya lumut, serta permukaan bak air, wastafel yang sangat kotor dan licin. Di kamar mandi residen terdapat barangbarang residen berupa kain pel, ember, peralatan makan yang tidak tertata rapi. Pencahayaan pada kamar mandi juga dirasakan residen sangat kurang. Pintu kamar mandi tampak sudah rusak dan sulit di tutup. Residen tidak memiliki tempat duduk di kamar mandi, sehingga saat mandi residen harus dengan kondisi berdiri sampai mandi selesai serta tidak terdapat hand rail yang mengitari dinding kamar mandi residen serta tidak ditemukan materi yang antiselip di kamar mandi. Tempat tidur lansia sebaiknya tidak terlalu tinggi yaitu tidak lebih dari 20 cm dari lantai dan harus terdapat side rail disisi tempat tidur. Jenis tempat tidur residen sudah memenuhi standar memiliki tinggi sekitar 20 cm dari permukaan lantai akan tetapi, tidak memiliki side rail. Perlengkapan pribadi lansia sebaiknya diletakkan tidak jauh dari jangkauan lansia tersebut. Namun, pada residen ini, pelatan pribadi seperti kacamata, jam tangan, buku TTV, remot TV, radio, dan handphone diletakkan di atas tempat tidur untuk memudahkan residen menjangkau saat ingin menggunakannya. Sehingga tempat tidur residen tampak berantakan dan dipenuhi barang-barang pribadi tersebut. Perlengkapan pribadi lansia seperti sandal anti selip, baju, celana sebaiknya sesuai ukuran, alat bantu jalan yang sesui ukuran dan benar cara penggunaannya, serta furniture seperti kursi yang kokoh tidak mudah bergeser, memiliki sandaran punggung dan tangan. Namun, kondisi yang ditemukan pada residen sangat bertentangan yaitu terdapat Universitas Indonesia
42
perabotan yang sudah tua dan kursi yang terbuat dari bahan plastik sehingga mudah bergedar saat digerakkan serta menggunakan sandal jepit yang sudah mengalami kehilangan anti selipnya. Berdasarkan
fenomena
tersebut
penulis
melakukan
implementasi
keperawatan untuk mengatasi masalah risiko jatuh sesuai dengan standar intervensi jatuh menurut Wilkinson & Ahern (2012) yaitu melakukan manajemen lingkungan
khususnya
keamanan
dengan
memantau
dan
memanipulasi
lingkungan fisik untuk memfasilitasi keamanan. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang dapat mengakibatkan jatuh. Oleh sebab itu, bentuk implemetasi yang dilakukan penulis adalah dengan merapikan kamar dan lingkungan sekitar wisma dari benda-benda yang memungkinkan mengakibatkan jatuh. Kamar residen setiap hari dipastikan tidak licin dan tidak basah. Barangbarang yang tidak digunakan dibuang ke tempat sampah, sedangkan barang yang tergeletak di lantai dirapikan dengan meletakkan di tempat yang sesuai. Penulis juga melakukan kolaborasi dengan cleaning service untuk membuat jadwal membersihkan kamar residen. Penggunaan sandal jepit yang tepat juga diajarkan kepada residen yaitu sandal yang menggunakan anti selip dan dipastikan aman pada lansia. Keset yang ada ada di lantai dipastikan tidak terlipat dan tidak basah. Penulis juga menganjurkan residen untuk mengganti sandal yang sudah lama dan licin tersebut karena dapat mengakibatkan jatuh pada residen. Residen juga diingatkan untuk tidak duduk pada kursi yang terbuat dari plastik yang dapat mengakibatkan kursi bergerak jika sat diduduki residen. Residen sebaiknya duduk pada kursi yang kokoh atau yang terbuat dari kayu untuk menjaga keamanan residen. Sedangkan kamar mandi residen dipastikan untuk tidak licin dan dengan pencahayaan yang cukup. Residen juga dianjurkan untuk tidak menyalahgunakan hand rail yang ada di kamar mandi menjadi jemuran kain akan tetapi untuk pegangan saat menggunakan toilet di kamar mandi. Tipe jatuh yang lain yang mungkin terjadi pada residen adalah tipe fisiologis antisipasi (anticipated physiological falls). Tipe jatuh ini didukung oleh data pemeriksaan pengkajian jatuh Morse fall scale (MFS) diperoleh score 80 yaitu kategori memiliki risiko tinggi jatuh. Faktor intrinsik yang terdapat pada residen dan mempengaruhi skore pada MFS ini adalah adanya riwayat jatuh dalan Universitas Indonesia
43
tiga bulan terakhir sehingga mendapat skor 25, memiliki diagnosa sekunder lenih dari satu penyakit (hipertensi dan diabetes melitus) sehingga mendapat skor 15, berjalan dengan berpegangan pada benda-benda disekitar mendapat skor 30, dan memiliki gaya berjalan yang lemah, diseret, dan langkah yang lambat sehingga mendapat skor 10. Bentuk implementasi yang dilakukan untuk mencegah risiko jatuh tipe fisiologis antisipasi (anticipated physiological falls) ini adalah dengan memfasilitasi penggunaan postur dan pergerakan dalam aktivitas sehari-hari untuk mencegah keletihan dan cidera muskuloskeletal dan untuk meningkatkan mekanika
tubuh,
melakukan
terapi
latihan
fisik
untuk
meningkatkan
keseimbangan dan pengendalian otot, memberikan alat bantu jalan sesuai kondisi fisik residen, melakukan pencegahan jatuh dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap area yang berbahaya Wilkinson & Ahern (2012). Perubahan gaya berjalan yang dialami residen berupa langkah yang lambat, diseret, dan mengalami kelemahan akibat penurunan kekuatan otot pada estremitas, penurunan stabilitas, serta kekakuan pada sendi mengakibatkan residen dianjurkan untuk menggunakan alat bantu jalan. Menurut Arenson (2009) penggunaan alat bantu jalan (assistive devices) pada lansia sangat baik untuk mencegah kajadian jatuh apabila digunakan dengan tepat ukuran, tepat berat alat, dan tepat jenis alat sesuai dengan kondisi kesehatan yang dialami lansia. Alat bantu jalan yang biasa digunakan pada lansia adalah kruk, tongkat, dan walker.. Jenis alat bantu jalan yang diberikan pada residen adalah tongkat tipe kaki empat (quadripod canes) yang bertujuan untuk meningkatkan kestabilan tubuh residen, membantu memperbaiki mekanika tubuh residen saat melakukan aktivitas seharihari serta meningkatkan rasa percaya diri untuk melakukan mobilisasi namun terhindar dari kejadian jatuh yang artinya residen berjalan dengan kondisi yang nyaman dan aman (Potter & Perry, 2005). Hasil evaluasi keperawatan yang diperoleh setelah melakukan proses keperawatan tersebut bahwa kejadian jatuh tidak terjadi pada residen selama dilakukan praktik tujuh minggu. Kondisi lingkungan residen tampak lebih bersih ditandai dengan lantai yang kering, tidak licin, dan peralatan pribadi yang tersusun rapi. Namun, kondisi kamar mandi dan tempat tidur residen masih perlu dilakukan Universitas Indonesia
44
pembenahan oleh pihak panti untuk meningkatkan kondisi yang nyaman dan aman untuk residen. Residen juga menunjukkan cara penggunaan alat bantu yang tepat saat melakukan mobilisasi di kamar maupun di lingkungan panti.
4.3 Analisis Intervensi Penggunaan Alat Bantu Jalan dengan Konsep dan Penelitian Terkait Bertambahnya usia akan mengakibatkan meningkatnya kecacatan maupun hambatan mobilitas pada lanjut usia. Hal ini berhubungan dengan penurunan fungsi
sistem muskuloskeletal pada lansia seperti
kekakuan pada sendi,
penurunan kekuatan otot, kelemahan pada ekstremitas, perubahan gaya berjalan. Penggunaan alat bantu jalan biasanya menjadi pilihan utama yang diberikan kepada lansia untuk meningkatkan kemampuan mobilitas lansia serta terbukti dapat mencegah jatuh pada lansia (Potter & Perry, 2005). Jenis alat bantu jalan yang biasa digunakan lansia adalah tongkat, kruk, dan walker. Penggunaan alat bantu jalan dapat memberikan sokongan sehingga membantu ekstremitas dalam menyanggah berat badan, meningkatkan keseimbangan, serta meningkatkan aktivitas dan kemandirian lansia. Namun, kebanyakan lansia tidak diinstruksikan cara penggunaan alat bantu jalan dengan benar, sehingga tidak jarang ditemukan cidera atau kecelakaan yang dialami lansia akibat alat bantu jalan yang tidak sesuai, rusak, atau bahkan tidak sesuai dengan tinggi badan dan postur tubuh lansia (Morse 2009). Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh data bahwa residen mengalami perubahan gaya berjalan akibat proses menua yang terjadi. Berdasarkan pemeriksaan Berg balance test (BBT) skor 38 yaitu kategori memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan. Oleh sebab itu, penulis menentukan bahwa pemberian alat batu jalan yang tepat merupakan implementasi yang paling sesuai untuk residen dan bersifat inovatif. Pada saat memilih alat bantu yang sesuai pada lansia harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu kekuatan lansia, daya tahan, keseimbangan, fungsi kognitif, dan tuntutan lingkungan. Residen mengalami kelemahan pada kedua ekstremitas sehingga dianjurkan untuk menggunakan walker khususnya tipe front wheel yang dapat Universitas Indonesia
45
digunakan residen secara intermitten untuk berjalan keluar panti (Bateni & Maki 2005). Namun, karena pihak panti maupun residen tidak memiliki tipe walker front wheel sehingga residen dianjurkan untuk menggunakan tongkat. Penggunaan alat bantu jalan (tongkat empat kaki) pada residen berfungsi untuk membantu menyokong berat badan residen sehingga berat badan tersebut terbagi menjadi beban tongkat dan ekstremitas yang mengalami kelemahan. Tujuan pemberian alat bantu jalan (tongkat tipe kaki empat) ini adalah untuk membantu menjaga keseimbangan badan dan stabilitas residen saat berjalan yang sudha mengalami penurunan akibat penuaan. Penggunaan tongkat juga dapat meningkatkan
stabilitas
dengan
menambah
sokongan,
dan
membantu
menginformasikan tekstur tanah yang akan dilalui lansia. Hal ini sesuai untuk kondisi residen yang mengalami kelemahan pada ekstremitas bawah. Oleh sebab itu, residen dianjurkan untuk menggunakan alat bantu jalan tongkat jenis tongkat empat kaki. Dengan adanya alat bantu jalan ini maka akan membantu residen untuk bergerak, berpindah, dan saat berjalan. Sebelum menggunakan alat bantu jalan sebaiknya dilakukan pengukuran alat bantu tersebut dengan postur tubuh lansia. Penggunaan alat bantu jalan yang sesuai pada lansia (sesuai ukuran, sesuai cara pemakaian, sesuai berat alat) dapat mengurangi risiko kejadian jatuh (Potter & Perry, 2005). Pengukuran tongkat yang tepat adalah batas atas tongkat harus sama tingginya dengan lipatan pergelangan tangan diukur pada saat lansia berdiri tegak dan tangan berada disamping badan dengan kondisi rileks. Cara lain yang dilakukan untuk pengukuran tongkat tersebut adalah dengan mengukur sudut pada siku tangan residen saat memegang tongkat dipastikan membentuk sudut 150 derajat. Kemudian tongkat tersebut harus diletakkan pada sisi tubuh yang kuat atau kontralateral sisi tubuh yang lemah dan berjalan bersamaan dengan ekstremitas yang mengalami kelemahan. Hal ini bertujuan untuk membantu ekstremitas yang lemah menopang berat badan saat ekstremitas yang kuat melangkah. Setelah residen diajarkan menggunakan alat bantu tersebut, kemudian penulis melakukan evaluasi terhadap penggunaan tongkat yang oleh residen dan selalu memastikan alat bantu jalan dalam ketinggian yang tepat, dan digunakan dengan benar. Universitas Indonesia
46
Keempat kaki tongkat dipastikan mencapai tanah bersamaan saat digunakan residen.
4.4 Alternatif Pemecahan Masalah yang Bisa Dilakukan Bapak S (92 tahun) tinggal di STW sejak tahun 1999 atas kemauan sendiri. Proses-proses penuaaan terjadi pada bapak S khususnya perubahan pada sistem muskuloskeletal, sensori, dan neurologi (Ebersole et al 2005). Perubahan pada sistem sensori yang dialami Bapak S yaitu
penurunan ukuran pupil,
ditemukannnya arcus senilis, serta karena sfingter pupil mengalami sklerosis secara fisiologis sehingga mengakibatkan penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmojo & Martono (2004) yang mengatakan bahwa perubahan penurunan fungsi pada degenerasi retina sinilis yang meliputi hilangnya sel reseptor dalam sel saraf kira-kira 2,5 % per dekade mengakibatkan visus kurang tajam, penurunan sensitifitas lapangan pandang,, penurunan sensitifitas kontras warna, dan kenaikan ambang adaptasi gelap. Selain itu bapak S juga mengalami perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Berdasarkan pengkajian Morse fall scale diperoleh skor 65 yaitu kategori memiliki risiko jatuh tinggi. Hal ini memiliki arti bahwa residen harus diberi intervensi pencegahan jatuh risiko tinggi. Bentuk-bentuk intervensi jatuh risiko tinggi yang dapat dilakukan sesuai dengan intervensi menurut morse fall scale mencakup lima variabel yaitu communication, toileting, medicating, environment, dan
safety
(Morse,
1997).
Jenis
intervensi
yang
mencakup
variabel
communication adalah dengan mengorientasikan residen terhadap lingkungan kamar dan lingkungan di sekitar panti yang dapat berpotensi mengakibatkan jatuh serta membuat tanda-tanda bahaya untuk meningkatkan kewaspadaan residen terhadp area yang berbahaya tersebut. Implementasi terkait toileting dengan melakukan latihan kegel dan untuk menggunakan pempers di malam hari guna mengurangi pergerakan residen menuju toilet saat malam hari yang dapat menimbulkan
kejadian
jatuh.
Variabel
medicating
dilakukan
dengan
memberitahukan residen efek samping dari obat-obat yang dikonsumsi. Untuk Universitas Indonesia
47
variabel environment dengan menciptakan lingkungan yang nyaman, sedangkan variabel terakhir adalah safety yaitu dengan menganjurkan residen menggunakan sandal anti selip, memastikan keset tidak terlipat. Kelima variabel ini yang mencakup communication, toileting, medicating, environment, dan safety sebaiknya dilakukan sesering mungkin dalam jangka waktu yang panjang dan diperhatikan setiap hari oleh petugas panti. Untuk mengatasi masalah yang dialami residen terkait proses penuaan dan mempunyai masalah risiko jatuh tinggi dilakukan implementasi inovatif dengan memberikan alat bantu jalan berupa tongkat. Namun, alat bantu yang lebih tepat adalah walker khususnya walker dengan tipe front wheels. Jenis walker ini memiliki dua karet dibelakang yang berfungsi sebagai tumpuan agar walker menjadi stabil, sedangkan bagian depannya terdapat dua roda yang berfungsi untuk mempermudah pengguna dalam bergerak (Arenson,2009; Bateni & Maki 2005). Pemberian walker ini tidak dilakukan kepada residen karena keterbatasan dana dan pihak STW yang tidak memiliki persediaan alat tersebut. Alternatif lain untuk mengatasi menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan residen adalah dengan mendiskusikan dengan residen untuk direkomendasikan caregiver yang dapat membantu residen. Sedangkan untuk mengetahui kondisi residen ataupun untuk memberikan isyarat jika membutuhkan bantuan atau dalam bahaya dan darurat sebaiknya kamar residen difasilitasi bel yang dapat sewaktu-waktu digunakan residen untuk memanggil petugas panti.
Universitas Indonesia
Lampiran 1
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Sasana Tresna Wherda (STW) Karya Bhakti Ria Pembangunan Jakarta Timur merupakan salah satu panti wherda sebagai tempat hunian lansia yang menyediakan tempat tinggal bagi lansia serta pelayanan kesehatan rutin pada lansia tersebut. STW ini memiliki berbagai jenis pelayanan bagi para lansia yang bertujuan untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan berupa konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan. STW ini dikatakan menyerupai nursing home karena memiliki pelayanan kesehatan 24 jam dan sekaligus tempat tinggal lansia yaitu Wisma Wijaya Kusuma. Namun, dilain sisi STW ini menyerupai tipe residential care facilities karena mempunyai wisma yang menyediakan tempat tinggal bagi lansia dan sekaligus menyediakan pelayanan kesehatan untuk lainsia jika suatu saat membutuhkannya seperti Wisma Bungur dan Wisma Cempaka sebagai tempat praktik yang digunakan penulis. Hasil pengkajian residen (Bapak S) yang merupakan salah satu dari residen yang tinggal di Wisma Cempaka memiliki usia 92 tahun dan tinggal sendiri tanpa ada keluarga maupun caregiver. Hasil wawancara dengan residen diperoleh data bahwa residen mengalami riwayat jatuh sebanyak tiga kali selama tinggal di STW sejal tahun 1999. Residen memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus sejak berusia 65 tahun dan mengkonsumsi obat anti hipertensi dan obat hipoglikemik hingga saat ini. Berdasarkan hasil observasi penulis bahwa residen mengalami perubahan gaya berjalan dengan langkah yang pendek, lambat, diseret, berpegangan pada perabotan di sekitar, serta memiliki tempat tinggal yang dapat memicu terjadinya jatuh seperti lantai yang licin, peralatan yang tidak tertata rapi dan bergeletak di lantai, dan kamar mandi yang licin serta tanpa hand rail. Hasil pemeriksaan MFS diperoleh skor 80, BBT skor 38. Diagnosa keperawatan utama yang diangkat pada residen adalah risiko jatuh. Penegakan diagnosa ini dilakukan berdasarkan pengelompokan data-data 48
Universitas Indonesia
49
hasil pengkajajian dengan kriteria diagnosa risiko jatuh menurut NANDA (2012). Penegakan diagnosa ini didukung oleh data-data yang terdapat pada residen seperti memiliki usia lebih dari 65 yahun, memiliki riwayat jatuh (satu bulan yang lalu), tinggal sendiri, mengalami perubahan gaya berjalan dengan diseret, langkah pendek dan berpegangan pada furniture,
tinggal di lingkungan yang tidak
mendukung (berbahaya), memiliki diagnosa sekunder yaitu memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Sedangkan perubahan fisiologis yang dialami residen yang dapat mendukung tegaknya diagnosa risiko jatuh ini adalah penurunan kekuatan otot ekstremitas, kekakuan sendi, penurunan range of motion, kesulitan gaya berjalan, gangguan keseimbangan ( skor BBT 38). Residen juga mengalami inkontinensia urine fungsional. Hasil pemeriksaan MFS didapatkan skor 80. Intervensi yang disusun untuk mengatasi masalah risiko jatuh ini sesuai dengan intervensi menurut Wilkinson & Ahern (2012) yaitu a) fasilitasi penggunaan postur dan pergerakan dalam aktivitas sehari-hari untuk mecegah keletihan dan cidera muskuloskeletal dan untuk meningkatkan mekanika tubuh; b) Lakukan manajemen lingkungan khususnya keamanan dengan memantau dan memanipulasi lingkungan fisik untuk memfasilitasi keamanan; c) lakukan terapi latihan fisik untuk meningkatkan keseimbangan dan pengendalian otot; d) lakukan pencegahan jatuh dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap area yang berbahaya dan e) identifikasi faktor risiko yang aktual maupuan potensial mengakibatkan jatuh. Bentuk-bentuk implementasi yang pertama sekali dilakukan penulis untuk mengatasi masalah utama yaitu risiko jatuh pada residen adalah dengan melakukan edukasi keperawatan terkait topik risiko dan kejadian jatuh dengan metode diskusi. Penulis dan residen bersama-sama mengidentifikasi faktor-faktor yang menimbulkan kejadian jatuh khususnya yang sesuai dengan kondisi residen. Selanjutnya penulis melakukan latihan range of motion (ROM) untuk meningkatkan fungsi sendi dan kekakuan otot sedangkan untuk meingkatkan sistem keseimbangan residen adalah dengan melakukan balance exercise sesuai kemampuan residen. Manajemen lingkungan yang aman dan nyaman juga dilakukan penulis untuk menghindari kejadian jatuh pada residen. Implemetansi Universitas Indonesia
50
lain yang dilakukan penulis untuk meningkatkan kenyamanan residen adalah dengan berkolaborasi dengan penanggung jawab wisma Cempaka untuk memberikan alat bantu jalan yang sesuai dengan kondisi residen. Setelah dilakukan beberapa implementasi untuk mengatasi masalah risiko jatuh residen mampu menyebutkan bahaya jatuh, kondisi yang dapat menyebabkan jatuh serta mampu menyadari bahwa kejadian jatuh pada lansia sangat berbahaya dan harus dicegah. Pelaksanaan latihan range of motion (ROM) diterima baik oleh residen. Residen mampu melakukan latihan ROM tersebut dengan baik sesuai kemampuan residen. Latihan keseimbangan yang diaajarkan untuk residen tidak dapat dilakukan residen secara sempurna dan keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan residen untuk berdiri dengan stabil. Terkait modifikasi lingkungan yang dilakukan penulis, residen mengatakan sangat setuju dengan tindakan tersebut dan mau bekerja sama dengan cleaning service untuk merapikan lingkungan residen setiap harinya. Alat bantu jalan berupa tongkat yang diberikan sangat diterima baik oleh residen. Namun, residen mengatakan bahwa penggunaan tongkat merupakan hal baru bagi dirinya sehingga residen tampaknya belum terbiasa dengan penggunaan tongkat tersebut.
5.2 Saran Tetap sehat hingga usia lanjut merupakan idaman setiap orang. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara normal mengalami penurunan fungsi yang berdampak pada kerentanan penyakit dan cidera. Kejadian jatuh merupakan masalah yang sangat sering kita temukan pada usai lanjut. Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian jatuh adalah faktor lingkungan dan penurunan kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas dan ketidakstabilan. Oleh sebab itu, perawat khususnya perawat gerontik harus mampu menilai faktor risiko yang terdapat pada setiap lansia sehingga mampu melakukan intervensi yang tepat. Pada saat melakukan asuhan keperawatan pada residen ini penulis mengalami kendala terkait dukungan keluarga untuk dilakukan kolaborasi terkait penyediaan alat bantu jalan yang lebih tepat pada residen sekaligus untuk menyediakan caregiver untuk membantu serta mengawasi
aktivitas
residen
sehari-hari. Universitas Indonesia
Lampiran 1
DAFTAR PUSTAKA
Andayani.(1999).Buku ajar geriatri. Jakarta: Balai penerbit FK UI. Arenson, C. et al .(2009). Reichel’s care of the elderlyclinical aspects of aging sixth edition.New york: Cambridge University Press. Bateni H., Maki, B.E,.(2005) Assistive devices for balance and mobility: benefits, demands, and adverse consequences. Arch Phys Med Rehabil. Brocklehurst, V.C., Allen,. S.C. (1987). Falls in: geriatric medicine for student (third ed). London: Churchill living stone. Darmojo,R.B.,Martono,H.H.(2004).Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut).Jakarta:FKUI. Ebersole, et al .(2005). Gerontological nursing & healthy aging second edition. Philadelphia:Mosby,Inc. Handiyani, H. (2006). Panduan Praktikum Keperawatan Dasar 1. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Herdman, T.H.(2012).NANDA international nursing diagnoses:definitions & classification,2012-
2014.Oxford: Wiley-Blackwell.
Karani, Reena. Assistive advices in elderly.http://www.aafp.org/afp/2011/0815/p405.html diunduh tanggal 5 juli 2013. Kobayashi, N., et all. (2009). Severity of dementia as a risk factor for repeat falls among the institusionalized elderly in Japan. Journal of nursing and health sciences. Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S.J. (2004). Fundamentals of nursing: concepts,process, and practice. New Jersey: Pearson Education, Inc. Miller, Carol A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory & Practice. Philadepia: Lippincott. Morse. J.M,.(1997). Preventing patient falls. California: SAGE Publiucations Inc. 51
Universitas Indonesia
52
Morse, J.M,.(2009). Preventing patient falls:establishing a fall intervention program second edition. New York. Springer Publishing Company, LLC. Muliyani,D.L,.(2009).Penuaan
Pada
Sistem
Neurologis.
http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/01/erfanfandyyahoo-com/ Novieastari, E, et al. (2006). Panduan praktikum keperawatan dasar 1. Jakarta: FE UI. Nurviyandari, D.(2011).Modul: program pencegahan jatuh pada lanjut usia.Depok:FIK UI. Potter, P.A., Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik, vol. 2 edisi 4.Jakarta: EGC. Stanley Mickey & Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (Edisi 2). Jakarta: EGC. Stocklager, Jaime & Schaeffer, Liz. (2008). Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Alih Bahasa: Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC. Sudoyo, A.W., dkk.(2006).Buku ajar ilmu penyakit dalam vol.3.Jakarta:FKUI. Wilkinson, J.M.,Ahern, N.R.(2012).Buku saku diagnosis keperawatan Edisi2. Jakarta:EGC. http://www.caregiverslibrary.org/caregivers-resources/grp-care-facilities/typesofcare-facilities-article.aspx
Universitas Indonesia
Lampiran 1
FORMAT PENGKAJIAN INDIVIDU KEPERAWATAN KESEHATAN LANSIA
Nama Panti
: Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur
Alamat Panti
: Jalan Karya Bhakti No 2 Cibubur, Jakarta Timur
Tanggal Masuk
: 14 Juli 1999
I.
IDENTITAS A. Nama
: Tn S
B. Jenis Kelamin
: Laki-laki
C. Umur
: 92 tahun
D. Agama
: Kristen Advent
E. Status perkawinan : Menikah F. Pendidikan Terakhir : Guru Perawat G. Pekerjaan
: reflexiology
H. Alamat Rumah
: jalan swadaya I/26 Duren Sawit, Jakarta
Timur
I.
ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI/PUSKESMAS Atas kemauan residen sendiri karena tidak ingin mengganggu rumah tangga anak-anaknya dan juga untuk meningkatkan rasa nyaman residen dan terjaga privasinya.
II.
RIWAYAT KESEHATAN A. Maslah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini Klien mengalami riwayat operasi katarak tahun 2005 dan tahun 2007. Klien juga pernah dilakukan irigasi telinga tahun 2008. Klien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes mellitusb yang terkontrol B. Masalah kesehatan keluarga/keturunan Klien tidak memiliki riwayat penyakit keturunan dan riwayat penyakit menular
III.
KEBIASAAN SEHARI-HARI A. Biologis Universitas Indonesia
Lampiran 1
1. Pola Makan Klien mengatakan tidak memiliki jenis pantangan makanan, kecuali daging yang merupakan pantangan bagi pemeluk agama Advent. Klien mengatakan sesalalumenghabiskan makanannya. Akan tetapi jika amakan klien ada yang dida, maka residen akan memakannya kembali jika rasa lapar muncul. Residen mengatakan sangat bertentangan dengan agamanya jika menyisakan makanan. Klien makan 3 kali sehari dengan menu makanan yang disediakan di sasana. Akan tetapi residen juga sering menggantikan nasi dengan roti jika sarapan pagi. Di kamar residen juga tambah beberapa jenis buah yang dibeli oleh residen sendiri. 2. Pola minum Residen mengatakan munim air putih 5-8 gelas per hari., residen juga mengatakan bahwa dirinya selalu minum susu 1 gelas per hari. Residen mengatakan jarang minum kopi. 3. Pola tidur Residen mengatakan bahwa saat ini pola tidurnya sangat terganggu karena sulit untuk memulai tidur. Selain itu residen juga sering mengalami terbangun di malam hari dan sangat sulit untuk memulai tidur kembali. Residen mengatakan bahwa dirinya selalu memikirkan anaknya yang baru saja meninggal 1 minggu yang lalu ( 07 Mei 2013). Sedangkan Tn S tidak bisa untuk ikut melihat anaknya yang meninggal karena berada jauh dari Jakarta. 4. Pola eliminasi Residen mengatakan biasasanya BAB 1 kali sehari dan terkadang 1 kali dalam dua hari. Sedangkan BAK 5 kali sehari. Residen mengatakan bahwa dirinya riwayat diare berulang. Resdien memiliki riwayat inkontinensia dan saat ini sedang dalam latihan kegel. 5. Aktivitas sehari-hari Universitas Indonesia
Lampiran 1
Residen lebih sering melakukan aktivitasnya di dalam kamar. Resdien bangun pagi hari sekitar pukul 02.00 dan kemudian membaca alkitab. Kemudian resdien melakukan olahraga sendiri di kamarnya sendiri dan kemudian mendi. Resdien menghabiskan waktunya di kamar dengan duduk, berbaring maupun mendengarkan radio. Kegiatan seperti senam pagi, main angklung, terapi musik, dan yang lainnya jarang diikuti oleh resdien. Resien hanya mengikuti kegiatan ibadah setiap hari kamis pukul 13.00 WIB. Resdien melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar dengan mandiri seperti mandi, berpakaian, makan, dan toileting. Residen tidak mempunyai caregiver. 6. Rekreasi Residen mengatakan biasanya mendengarkan radio dan menonton TV jika memiliki waktu luang. Akan tetapi saat ini TV resdien sedang rusak sehingga residen tidak bisa menonton lagi. B. Psikologis Keadaan emosi residen tampak stabil. Residen mampu memingat mahasiswa yang sudah berkenalan dengan dirinya. Sosial 1. Dukungan Keluarga Resdien mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai keluarga yang tinggal di Jakarta. Biaya hidup residen dip anti dibiayai oleh Tn P (anak ke-3 resdien) sedangkan biaya kehidupan sehari-hari diperoleh dari pensiunan almarhumah istri Tn. S yang dahulunya bekerja sebagai perawat di Angkatan Laut. Resdien mengatakan keluarga pernah mengunjungi residen tetapi tidak memiliki jadwal kunjungan yang tetap. Resdien juga mengatakan bahwa dia jarang menerima telepon dari anak-anaknya. 2. Hubungan antar keluarga Universitas Indonesia
Lampiran 1
Resdien mempunyai 6 orang anak yang tinggal di luar Jakarta. Resdien mengatakan 3 orang anak laki-laki dan 3orang anak perempuan . anak residen seluruhnya sudah menikah. Akan tetapi residen mengeluh karena beberapa anak residen memiliki agama yang berbeda dengan dirinya karena alasan mengikut istrio ataupun mengikut suami. Hanya ada satu orang anak resdien yang memiliki agama yang sama dengan residen yaitu anak ke-3. Akan tetapi anak residen (Tn P. 64 tahun) ini tinggal di Yogyakarta. 3. Hubungan dengan orang lain Residen tampak tidak pernah bertegur sapa dengan para residen yang lainnya.
C. Spiritual/Kultural 1. Pelaksanaan Ibadah : Klien sangat patuh terhadap ibadahnya karena residen mengganggap bahwa dia memiliki umur yang panjang merupakan berkat dari Tuhan Sang Pencipta yang sangat menyayanginya. Sehingga residen menganggap sudah patut melakukan ibadah sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Residen selalu mengikuti kebaktian setiap hari sabtu di Wisma Bungur. Kebaktian ini merupakan kebaktian khusus beragama Kristen advent. Residen juga sudah merancanakan upacara Kremasi yang akan dilakukan oleh penanggung jawab jemaat di gerejanya jika suatu saat residen meninggal. Residen percaya bahwa upacara kremasi sangat baik dilakukan untuk penyempurnaan imannya. 2. Keyakinan tentang Kesehatan Residen mengatakan bahwa kesehatan itu merupakan anugrah Tuhan. Namun, residen juga percaya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan ahli terapi. Oleh sebab itu, residen juga tetap mau Universitas Indonesia
Lampiran 1
memeriksakan kesehatannya kepada petugas kesehatan serta mau mengkonsumsi obat yang diberikan kepadanya. D. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda Vital a. Keadaan umum
: baik
b. Kesadaran
: compos mentis
c. Suhu
:36,9oC
d. Nadi
: 82 x/menit
e. Tekanan darah
: 150/90 mmHg
f. Pernapasan
: 16 x/menit
g. Tinggi badan
:168 cm
h. Berat badan
: 62 Kg
i.
IMT
: 21,9
j.
LILA
: 28 cm
2. Pemeriksaan sistematik dan kebersihan perorangan a. Kepala: bentuk muka bulat sedikit oval, simetris, rambut beruban, tidak rontok, tidak ada lesi. Mata simetris, gerakan bola mata baik, sklera tidak ikterik, pupil +/+, hidung tidak ada secret, simetris, sinus (-), epistaksis (-), tersumbat (-). Telinga bentuknya simetris, bersih, secret (-), gangguan pendengaran (-). Mulut bersih, lembab, simetris, lesi (-), kemampuan mengunyah dan menggigit baik, lidah bersih, warna merah pink, tonsil (-), lendir (-), gigi palsu (-). b. Leher: Pembesaran kalenjar getah bening dan limfe (-), nyeri tekan (-), kaku leher (-), peningkatan JVP (-) c. Dada//thorak : simetris, pengembangan dada kanan dan kiri sama, lesi (-),iktus kordis (-), resonan (+),nyeri tekan (-),ronki (-/-), wheezing (-/-), vesikuler (+/+), BJ I & BJ II (+), gallop (-), murmur (+). d. Abdomen : simetris, lesi (-), asites (-), warna kulit putih, penonjolan (-), distensi (-), nyeri tekan (-), BU 9x/menit. e. Musculoskeletal: Perubahan gaya berjalan (+), nyeri (-), atrofi/hipertrofi (+), kekuatan otot 4 4 4 4 4 4 4 4 Universitas Indonesia
Lampiran 1
3344 3344 Hasil FMS 80 menunjukkan bahwa residen memiliki risiko tinggi jatuh dan berdasarkan BBT skor 38 residen memiliki risiko jatuh sedang dan memerlukan alat bantu f. Keadaan lingkungan : tempat tidur residen tampak sangat kotor,. Linen tampak kotor, barang-barang terlihat berantakan di atas tempat tidur. Kamar residen terdapat barang-barang yang sudah lapuk dan tidak pernah digunakan residen. Lantai tampak sangat kotor dan basah. Kamar mandi residen tampak licin, dan kotor. Penerangan yang terdapat di dalam kammar tampak cukup, dan mengunakan toilet duduk disertai pegangan (hand rail). Meja tempat makan residen tampak berserakan dengan makanan yang jatuh dan makanan sisa sehingga banyak ditemukan semut pada makanan residen. V. INFORMASI PENUNJANG A. Diagnosa Medis
: Hipertensi, Diabetes melitus terkontrol
B. Laboratorium
: GDS tanggal 14 Mei 2014 138 gr/dl; Asam urat tanggal
14 Mei 2013 C. Terapi Medis
5,6 gr/dl : Curcuma 1 tablet/hari Glukophage 500 mg/hari Amlodiphine 5 mg/hari
Universitas Indonesia
Lampiran 2
Format Pengkajian Morse Fall Scale pada Bapak S (92 Tahun) di Wisma Cempaka STW Karya Bhakti Cibubur
Item No 1 Riwayat jatuh 2
Diagnosis sekunder
3
Bantuan Berjalan Bedrest/bantuan perawat Kruk/tongkat/walker Furnitur Terapi intravena/heparin lock
4 5
6
Gaya berjalan Normal/bedrest/immobile Lemah Dengan bantuan Status mental Orientasi terhadap kemampuan diri sendiri Melebihlebihkan/melupakan keterbatasan TOTAL
Skala Tidak : 0 Ya : 25 Tidak : 0 Ya : 15 0 15 30 Tidak : 0 Ya : 20 0 10 20
Skor 25 15
30
0
10
0 15
0
80
Keterangan Skor 0-24 : risiko jatuh rendah Skor 25-50 : risiko jatuh sedang Skor ≥51 risiko jatuh tinggi
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Perintah Berg Balance TestPada Bapak S (92tahun) di WismaCempakaSTW Karya Bhakti Cibubur
1. Duduk ke berdiri Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan (
) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( √ ) 3mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan (
) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali
mencoba (
) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
(
) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan ( √ ) 4mampu berdiri selama dua menit (
) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
(
) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
(
) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
(
) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit ( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit (
) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
(
) 2 mampu duduk selama 30 detik
(
) 1 mampu duduk selama 10 detik
(
) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk Instruksi: silahkan duduk ( √ ) 4 duduk dengan aman dengan pengguanaan minimal tangan (
) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
(
) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun Universitas Indonesia
Lampiran 3
(
) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk
(
) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
5. Berpindah Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga tangan (
) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( √ ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan (
) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
(
) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
(
) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik ( √ ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman (
) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
(
) 2 mampu berdiri selama 3 detik
(
) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan aman
(
) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan ( √ ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit (
) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
(
) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30
detik (
) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi mampu berdiri selama 15 detik
(
) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama 15 detik
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri Universitas Indonesia
Lampiran 3
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh) (
) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
(
) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
(
) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
( √ ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan (
) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda (
) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( √ ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan (
) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga keseimbangan
(
) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika
mencoba (
) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya keseimbangan atau terjatuh
10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan (
) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
(
) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan (
) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
(
) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau
terjatuh 11. Berputar 360 derajat Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang berlawanan Universitas Indonesia
Lampiran 3
(
) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau
kurang (
) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang
( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat (
) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
(
) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa bantuan Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali. (
) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
(
) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
(
) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
(
) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( √ ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan 13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa, cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa ( √ ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik (
) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
(
) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
(
) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik
(
) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
14. Berdiri dengan satu kaki Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan (
) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
(
) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
(
) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik Universitas Indonesia
Lampiran 3
(
) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi dapat berdiri mandiri
( √ ) 0 tidak mampu mencoba
SKOR AKHIR : 38 Rentang nilai BBT : 0 – 20 : klien memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat bantu jalan berupa kursi roda. 21 – 40: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker. 41 – 56: klien memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu.
Universitas Indonesia
Lampiran 4
RENCANA KEPERAWATAN PADA OPA S DI WISMA CEMPAKA Diagnosa keperawatan Resiko jatuh
Tujuan Umum Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 minggu resiko jatuh tidak terjadi.
Rencana tindakan
Rasional
Khusus Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 14 x 45 menit diharapkan: 1. Meningkatnya pengetahuan residen tentang risiko jatuh.
1.1 Berikan penjelasan pada residen tentang resiko jatuh dan kondisi ruangan yang menyebabkan resiko jatuh.
1.1 Meningkatkan pengetahuan tentang resiko jatuh sehingga meningkatkan kerjasama klien dalam mencegah jatuh.
1.2 Identifikasi bersama residen lingkungan yang dapat meningkatkan kemungkinan jatuh
1.2 Untuk menentukan meningkatkan kewaspadaan residen terhadap resiko jatuh
1.3 Diskusikan dengan residen pemilihan alas kaki yang tidak menyebabkan resiko jatuh.
1.3 Melibatkan klien dalam memutuskan suatu pilihan meningkatkan hubungan saling percaya.
1.4 Lakukan permainan memilih gambar
1.4 Permainan dapat meningkatkan pengetahuan tanpa klien merasa digurui.
alat- alat bantu untuk mencegah jatuh.
1.5 Demonstrasikan cara penggunaan alat Universitas Indonesia
Lampiran 4
Diagnosa keperawatan
Tujuan Umum
Rencana tindakan
Rasional
Khusus bantu jalan dan cara berpegangan pada handrail dan furniture yang kuat dan stabil untuk mencegah jatuh.
2. Meningkatnya kekuatan otot dan keseimbangan pada residen.
3. Meningkatnya kebersihan dan kerapihan kamar.
1.5 Meningkatkan keterampilan lansia dalam menggunakan alat bantu jalan.
2.1 Motivasi residen mengikuti senam lansia di STW Karya Bhakti untuk meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan.
2.1 Otot yang kuat meningkatkan kemampuan untuk menopang tubuh sehingga menurunkan resiko jatuh.
2.2 Motivasi residen untuk melakukan latihan ROM di kamar baik dalam keadaan berbaring atau duduk.
2.2 Latihan mandiri meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan rasa percaya diri pada klien.
3.1 Bekerjasama dengan caregiver/ clening service dalam memberikan 3.1 Lingkungan yang aman lingkungan yang aman pada kamar menurunkan resiko jatuh residen dan lingkungan wisma Cempaka (pencahayaan yang cukup pada gang dan kamar mandi, lantai tidak licin, keset tidak tertekuk dan tersedianya handraill di kamar dan kamar mandi) Universitas Indonesia
Lampiran 4
Diagnosa keperawatan
Tujuan Umum
Rencana tindakan
Rasional
Khusus 3.2 Bekerjasama dengan residen untuk merapikan kamar. 3.2 Kamar yang rapi memudahkan residen berjalan dan mengurangi resiko tersandung. 3.3 Diskusikan dengan residen tempat yang tepat untuk barang- barang 3.3 Keterlibatan residen dapat yang berserakan agar mudah meningkatkan harga diri dan dijangkau. motivasi dalam menyelesaikan masalah 3.4 Motivasi cleaning service untuk menyikat lantai kamar mandi 3.4 Lantai kamar mandi yang bersih setiap hari tanpa menggunakan dan tidak licin mencegah jatuh. detergen, namun diganti dengan larutan desinfektan. 3.5 Sarankan pada residen agar mengganti keset kaki lama yang telah aus dengan keset kaki yang memiliki alas karet dibawahnya. 4. Meningkatnya kekuatan otot dan keseimbangan pada residen.
4.1 Motivasi residen mengikuti senam lansia di STW Karya Bhakti. 4.2 Motivasi residen untuk melakukan senam ringan sendiri di kamar baik dalam keadaan berbaring atau
3.5 Keset kaki yang telah aus bagian karetnya cenderung mudah bergeser dan tertekuk sehingga meningkatkan resiko jatuh. 4.1 Meningkatkan kekuatan otot dan keseimbangan. 4.2 Meningkatkan kekuatan otot dan Universitas Indonesia
Lampiran 4
Diagnosa keperawatan
Tujuan Umum
Rencana tindakan
Rasional
Khusus duduk. 5.1 Beri tanda pada ambang pintu, 5. Meningkatnya kewaspadaan pintu kamar mandi klien, lantai terhadap resiko yang tidak rata dan area tangga jatuh pada residen. disekitar wisma dengan warna yang cerah, yang menandakan harus hati- hati berjalan pada area tersebut.
keseimbangan
5.1 Meningkatkan kewaspadaan pada area yang beresiko menimbulkan jatuh pada lansia.
5.2 Menghindari jatuh akibat 5.2 Beri tanda “area licin dan basah” dengan warna terang dan ukuran tergelincir yang besar pada lantai yang sedang di pel atau pada lantai yang tergenang air akibat hujan.
Universitas Indonesia
Lampiran 5
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA DIAGNOSA KEPERAWATAN RISIKO KESEPIAN
Diagnosa Keperawatan Resiko Kesepian
Tujuan
Tujuan Umum: Setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu klien tidak mengalami kesepian Kriteria Hasil: Setelah dilakukan 4 kali kunjungan klien dapat: 1. Menggambarkan kesepian 2. Menjelaskan secara rasional untuk intervensi 3. Menyebutkan upaya mengatasi kesepian
Intervensi
Rasional
1. Kaji persepsi klien tentang kesepian dan faktor-faktor penyebab 2. Temani klien dan terima apa adanya 3. Motivasi klien untuk mengungkapkan perasaan kepada orang lain 4. Dengarkan cerita-cerita klien dan bersikap empati
1. Memudahkan untuk penanganan pada klien sesuai dengan penyebab yang dialami 2. Memberikan rasa tenang dan adanya rasa penerimaan untuk klien 3. Meningkatkan rasa kepercayaan diri pada klien untuk terbuka dengan orang lain 4. Meyakinkan pada klien bahwa masih ada orang yang peduli pada klien 5. Meningkatkan harga diri pada diri klien
5. Tunjukkan sikap tertarik terhadap perbincangan dengan klien 6. Berikan umpan balik setiap tindakan yang dilakukan klien 7. Beri reinforcement untuk upaya perawatan diri yang positif 8. Motivasi kesadaran klien untuk berhubungan dengan orang lain 9. Fasilitasi klien untuk keinginan/ aktivitas yang positif
6. Memberikan keyakinan pada klien bahwa hal – hal yang dilakukan klien memiliki manfaat bagi dirinya maupun orang lain 7. Meningkatkan martabat pada diri klien 8. Membantu meningkatkan interaksi antara klien dengan orang lain 9. Mendorong klien untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan aktivitas yang disenangi Universitas Indonesia
Lampiran 6
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA DIAGNOSA KEPERAWATAN INKONTINENSIA URIN FUNGSIONAL Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Keperawatan Inkontinensia 1. meningkatkan kemmapuan residen 1. Diskusikan bersama residen urin fungsional Tujuan Umum: terkait pola berkemih tanda-tanda keinginan untuk Setelah dilakukan perawatan berkemih selama 1 minggu klien mampu 2. Untuk meningkatkan kontinensia urine 2. Ingatkan secara verbal menunjukkan kontinensia urine residen dan meningkatkan rasa percaya residen berkemih tepat diri klien demi keberhasilan eliminasi. waktunya dan berikan umpan Kriteria Hasil: Setelah dilakukan 4 kali balik sosial yang positif 3. Bantu melakukan perawatan kunjungan klien mampu: 3. Memberikan rasa nyaman dan diri :eliminasi 1. Mengidentifikasi keinginan memenuhi kebutuhan dasar residen untuk berkemih 4. motivasi melakukan manajemen eliminasi urin 4. Memelihara pola eliminasi urin yang 2. Berespon tepat waktu optimum 5. lakukan pelatihan kebiasaan terhadap dorongan 5. Meningkatkan kekuatan otot panggul berkemih dan latihan otot berkemih panggul dengan latihan kegel untuk mampu menahan keinginan untuk 3. Mencapai toilet sebelum berkemih pengeluaran urin dan 6. latih kebiasaan untuk berkemih dengan setelah adanya dorongan 6. Mencegah inkontinensia pada individu menetapkan pola untuk berkemih yang mengalami keterbatasan 4. Melakukan eliminasi secara pengosongan kandung kemih kemampuan kognitif dan inkontinensia yang dapat diperkirakan mandiri. fungsional
Universitas Indonesia