UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP SAKSI YANG DIAJUKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM KASUS PERKARA ANTARA PT. SINAR MULYA PERKASA MELAWAN EARLY SOBARLY – YUDHA SARI PARDIKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PN. BANDUNG DENGAN NOMOR PERKARA 41/G/20011/PHI/PN.BDG
SKRIPSI
SANDRA MARISHA 0706202332
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
i
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP SAKSI YANG DIAJUKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM KASUS PERKARA ANTARA PT. SINAR MULYA PERKASA MELAWAN EARLY SOBARLY – YUDHA SARI PARDIKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PN. BANDUNG DENGAN NOMOR PERKARA 41/G/20011/PHI/PN.BDG
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
SANDRA MARISHA 0706202332
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP SAKSI YANG DIAJUKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM KASUS PERKARA ANTARA PT. SINAR MULYA PERKASA MELAWAN EARLY SOBARLY – YUDHA SARI PARDIKAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PN. BANDUNG DENGAN NOMOR PERKARA 41/G/20011/PHI/PN.BDG ” adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Sandra Marisha
NPM
:
0706202332
Tanda tangan
:
Tanggal
:
Juli 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Saksi Yang Diajukan Pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam Kasus Perkara Antara PT. Sinar Mulya Perkasa Melawan Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan di PHI pada PN Bandung No.41/G/2011/PHI/PN. BDG”. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulisan skripsi ini juga dilakukan untuk menambah pengetahuan dan semakin memperluas wawasan pemikiran mengenai sistem pembuktian di dalam Pengadilan Hubungan Industrial. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pihak-pihak yang telah membantu keberhasilan dari penulisan skripsi ini, sebagai berikut: 1. Kepada suami tercinta Kenny Wiston yang telah menjadi guru, sahabat, dan pembimbing penulis yang selalu siap menjadi sandaran penulis ketika penulis galau menyelesaikan skripsi ini. My best one,please stay cool always. Tak lupa juga kepada Mama dan adik adik tercinta yang telah mendukung penulis secara moril . Bersedia menjadi pengasuh untuk anakanak penulis ketika penulis harus meninggalkan mereka menuju kampus. Mama, Nova,Ade,Holin dan adek-adek penulis yang tak lelah mendukung penulis, I love you all. 2. Kepada
Bapak
DR.Drs.Widodo
Suryandono,S.H,
M.H,
selaku
pembimbing materi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran membimbing penulis walau penulis sering terlambat setiap janji untuk bertemu beliau, namun beliau selalu meluangkan waktunya demi keberhasilan dan selesainya skripsi ini. Pak, many thanks to you. Mohon jangan pernah bosan untuk selalu menjadi dosen yang bersahaja dan baik hati. 3. Kepada Bapak Chudry Sitompul S.H, M.H., selaku ketua jurusan program kekhususan Hukum Acara yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memeriksa skripsi penulis, memberikan arahan, saran dan kritik. UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
v
Serta telah sabar membimbing dan terus mendukung, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Kepada dosen penguji Ibu Sri Laksmi Anindita S.H,M.H, Ibu Sonyendah Retnaningsih S.H.,M.H., dan Ibu Hening Hapsari Setyorini S.H.M.H., yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan skripsi penulis. 5. Kepada Bapak Purnawidhi Purbacaraka S.H. M.H., selaku ketua program studi jurusan ekstensi FHUI yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan memperjuangkan penulis untuk maju sidang semester ini. 6. Seluruh Dosen FHUI yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hukum kepada saya. 7. Seluruh staff pegawai FHUI, khususnya kepada Pak Surono yang selalu bersedia membantu dan memberikan informasi mengenai perkuliahan dan Pak Meidi yang memberikan informasi dan bantuan selama menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh pegawai perpustakaan UI, yang telah membantu dalam mencari buku-buku dan jurnal yang dipergunakan dalam penulisan skripsi. 9. Kepada Asep Jumarsa dan rekan-rekan PK III, Arifia Fajra, Ade Risnawati, Krisantiwi Meira, Oet Eno, Sampurna Ginting, Samuel Bonaparte dan teman teman sesame PK III, aku tidak dapat melupakan bantuan kalian. Specially to Asep Jumarsa,,yang sudah seperti adik bagi penulis yang siap memberikan bantuan kapan saja bagi penulis, always stay cool brooo..! 10. The Tree Musgetir, Kush dan Nita, terutama Nike Marpaung yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. I love you beibeeehh. 11. Teman-teman di kampus tercinta FHUI: Dini yang baik hati, Uno yang perhatian,, Denny, Rini, Tasya, Benni, Anggie, Teh Eva yang selalu memberi dukungan, Zensy, Ilham, Yuni, Carla, Jihan, Endruw, Said, Lia yang memberi semangat penulis karena kebersamaan keadaan sebagai UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
vi
seorang ibu yang sama memiliki bayi mungil, Fritz, serta teman-teman lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 12. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, doa, dan semangat untuk penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak dan mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Penulisan ini tentunya tidak terlepas dari segala kekurangan baik dari segi teknis maupun materi penulisan. Semoga dapat berguna bagi semua orang yang membacanya.
Depok, Juli 2012 Penulis
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Sandra Marisha
NPM
: 0706202332
Program Kekhususan : Hukum Acara Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif ( Non-exclusive Royaty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “ Analisis Yuridis Terhadap Saksi Yang Diajukan Pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam Kasus Perkara Antara PT. Sinar Mulya Perkasa Melawan Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan di PHI pada PN Bandung No.41/G/2011/PHI/PN. BDG “ Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini. Uninversitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis, penciptam dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Tanggal
: Juli 2012
Yang Membuat Pernyataan
(Sandra Marisha) UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
viii
ABSTRAK
Nama : Sandra Marisha Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Analisis Yuridis Terhadap Saksi Yang Diajukan Pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam Kasus Perkara Antara PT. Sinar Mulya Perkasa Melawan Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan di PHI pada PN Bandung No.41/G/2011/PHI/PN. BDG Skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana sistem pembuktian dalam pemerikasaan di Pengadilan Hubungan Industrial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Serta membahas mengenai kekuatan yuridis kekuatan keterangan saksi de auditu dalam perkara antara PT. Sinar Mulya Perkasa melawan Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan, dengan nomor perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembuktian dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Akan tetapi dalam menangani kasus perkara tersebut Majelis Hakim cenderung menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Terkait dengan kekuatan keterangan saksi de auditu dalam perkara antara PT.Sinar Mulya Perkasa melawan Early Sobari-Yudha Sari Pardikan, Majelis Hakim sangat dominan menjadikan keterangan saksi de auditu sebagai dasar pertimbangan dalam menangani perkara tersebut. Sedangkan keterangan saksi de auditu menurut sistem pembuktian tidak dapat menjadi alat bukti langsung, karena keterangan tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah dan hanya berperan sebagai keterangan pendukung. Hasil penelitian ini menyarankan agar Majelis Hakim sebaiknya tidak mengambil keterangan saksi de auditu sebagai dasar pertimbangan hakim, apabila keterangan saksi de auditu tersebut tidak didukung dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Kata kunci : Pembuktian, Alat Bukti, Keterangan Saksi De Auditu, Perselisihan PHK.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
ix
ABSTRACT
Name Study Program Thesis
: Sandra Marisha : Law : Legal Analysis of Witnesses Presented be for The Industrial Court of Bandung in PT Sinar Mulya Perkasa Versus Early Sobarly – Yudhasari Pardikan Under Case Number 41/G/2011/PHI/PN.BDG
This thesis is discussing how evidence can be verified in Industrial Courts pursuant to the prevailing laws in Indonesia as well as discussing legal power of evidence which testified by de auditu witnesses, in particular, in PT. Sinar Mulya Perkasa vs Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan in case number 41/G/2011/PHI/PN.BDG. Methods used in this research is by using normative legal approach. The result of this research showed that system of evidence verification of a case within the Industrial Courts is using a positive legal approach of evidence verification, but in case, Council of Judges used a negative legal approach or system because they merely heard testimony of de auditu witnesses and ignored written as well as papers evidence presented before them. With reference to de auditu witnesses of this particular case in PT.Sinar Mulya Perkasa versus Early Sobari-Yudha Sari Pardikan, the judges dominantly used the testimony of de auditu witnesses as their basis of judgment regardless of the fact that the testimony of de auditu witnesses according to the legal system of evidence in Indonesia cannot be treated like or taken as direct evidence, because they have no meaning or price and can only be used as a hint or support. This thesis recommends judges not to use the testimony of de auditu witnesses as basis of their judgment without being supported by other valid evidence by the law. Key words : Evidence, Testimony of De Auditu Witnesses, Employment Termination Dispute
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
ii
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR
....................................................................
................................................................................................. iii
........................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
.......................................................................
iv vii
ABSTRAK
.......................................................................................................................
viii
ABSTRACT
........................................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................................
x
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………………...
1
1.2. Pokok Permasalahan ………………………………………………………..
8
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………………… 8 1.4. Definisi Operasional ………………………………………………………..
9
1.5. Metode Penelitian …………………………………………………………..
11
1.6. Sistematika Penulisan ………………………………………………………. 13
BAB 2
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
BURUH
DAN
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA 2.1. Pengertian Perselisihan Perburuhan …..……………………………………
15
2.2. Lembaga Penyelesaian Perselisihan ……...…………………………………
18
2.3. Hubungan Kerja ………….…………………………………………………
19
2.4. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ……………………………
20
2.5. Alasan Pemutusan Hubungan Kerja ……………………………………….
23
2.6. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja ………………………………………….
27
2.6.1. Pemutusan Hubungan Kerja karena Hukum ………………………
27
2.6.2. Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan Jumlah Uang ………….
29
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
xi
BAB 3
2.7. Pemutusan Hubungan Kerja Inisiatif dari Pengusaha ……………………..
32
2.8. Pemutusan Hubungan Kerja Massal ……………………………………….
32
2.9. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan ………………………………
34
ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 3.1. Pembuktian ………………………………………………………………..
35
3.2. Tujuan Pembuktian
………………………………………………………
37
……………………………………………………………….
40
3.3.1. Alat Bukti Surat ……………………………………………………
41
3.3.2. Alat Bukti Keterangan Saksi……………….………………………
42
3.3. Alat Bukti
BAB 4
3.3.2.1
Jangkauan Kebolehan Pembuktian dengan Saksi……….
43
3.3.2.2
Syarat Alat Bukti Keterangan Saksi ……………………
47
3.3.2.3
Testimonium De Auditu ………………………………...
48
3.3.3. Alat Bukti Persangkaan …………………………………………….
49
3.3.4. Alat Bukti Pengakuan ……………………………………………..
51
3.3.5. Alat Bukti Sumpah di Muka Hakim ……………………………….
52
ANALISIS PUTUSAN PHI No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG ANTARA PT. SINAR MULIA PERKASA DENGAN EARLY SOBARLI-YUDHASARI PARDIKAN 4.1.
Kasus Posisi ………………………………………………………………
54
4.2.
Petitum ……………………………………………………………………
56
4.3.
Putusan ……………………………………………………………………... 57
4.4.
Bukti-Bukti Dipersidangan ………………………………………………… 57
4.5.
Keterangan Saksi Yang Didengarkan Dipersidangan ……………………..
4.6
Analisis Kasus 4.6.1
Analisis Fakta ………………………………………………………
59
77
4.6.2 Analisis Pertimbangan Hakim Mengenai Kekuatan Yuridis Keterangan Saksi De Auditu Dalam Perkara Antara PT Sinar Mulia Perkasa Dengan Early Sobarly-Yudhasari Pardikan di PHI Pada PN Bandung, dengan No Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BANDUNG …………………………….……... 80
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
xii
BAB 5
PENUTUP 5.1. Kesimpuan ………………………………………………………………….. 90 5.2. Saran ………………………………………………………………………...
91
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….
93
LAMPIRAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu prinsip dasar hubungan kerja adalah menciptakan hubungan yang harmonis dan berkeadilan disertai dengan proteksi jaminan sosial yang memadai yang dapat menjamin kelangsungan bekerja dan berusaha. Harmonisasi hubungan kerja merupakan modal dasar untuk menciptakan produktifitas yang baik secara berkesinambungan.1 Relasi hukum dan sosial berpeluang menimbulkan konflik. Sebagai hubungan hukum, hubungan kerja memiliki potensi konflik. Banyak faktor terjadinya konflik. Perbedaan kepentingan dan tujuan salah satu faktor klasik pemicu timbulnya konflik.2 Keberhasilan meredam konflik kerja akan menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan dinamis. Disharmonisasi hubungan kerja merupakan penyakit yang sering muncul dalam hubungan kerja. Mudah mengatakan hubungan tidak harmonis, perdebatan antara bawahan dan atasan secara subjektif dan prematur terkadang dikategorikan sebagai hubungan tidak harmonis hanya karena atasan tidak dapat menerima arus perbedaan.3 Disharmonisasi kerja alasan lunak dari kebencian atau ketidaksukaan yang berujung pada mutasi, demosi, dan pemutusan hubungan kerja.4Sikap kritis seorang bawahan terkadang dijadikan sumber 1
Juanda Pangaribuan, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, cet.1, (Jakarta: PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010), hal.1. 2
Ibid.
3
Ibid., hal.3.
4
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
2
konflik, dan jika pimpinan tidak suka dikoreksi, bawahan akan menjadi tumbal disharmonisasi.5 Hubungan
industrial
memerlukan
ketenangan
kerja.
Perselisihan
memberikan dampak kurang baik bagi produktifitas, secara normal tidak ada orang yang menginginkan masalah.6Namun menyelesaikan perselisihan bukanlah hal yang mudah dan bukan pula hal yang sulit. Kalau para pihak memiliki perspektif yang sama, perselisihan akan mudah diselesaikan dan tahap-tahap perundingan mudah untuk dijalani.7 Sejalan dengan semakin meningkatnya dan kompleksitasnya permasalahan perselisihan hubungan industrial di era industrialisasi, maka cita-cita UndangUndang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara normatif amatlah luhur dimana mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan secara optimal berdasarkan nilai-nilai Pancasila, serta perlunya penyediaan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan asas cepat, tepat, adil dan murah.8 Guna mewujudkan filosofi mulia yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 ke dalam praktek kehidupan sehari-hari antara pelaku proses produksi (pengusaha, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah) tentu perlu adanya dukungan kondisi atau suasana yang kondusif agar tumbuh dan berkembang sikap mental dan sosial, yang menjadi perilaku semua pihak secara nyata dalam pergaulan sehari-hari.9 Kunci utama keberhasilan menciptakan hubungan industrial yang aman dan dinamis adalah komunikasi.10 Dari beberapa literatur, bahwa pelaksanaan hubungan industrial yang harmonis perlu didukung adanya :
5
Ibid., hal.3.
6
Ibid.,hal.12.
7
Ibid.
8
Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( Antara Peraturan dan Pelaksanaan), cet.1, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2010), hal.4. 9
Ibid., hal.16.
10
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
3
1. Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan pekerja/buruh 2. Kejelasan antara hak dan kewajiban yang di tuangkan ke dalam KKB 3. Saran dan fasilitas yang mendukug, seperti sarana ibadah, koperasi karyawan, serta sarana olah raga dan rekreaasi 4. Lembaga penyelesaian masalah 5. Peningkatan keterampilan dan keahlian.11 Berakhirnya hubungan kerja antara majikan dan pekerja merupakan salah satu segi dari terjadinya perselisihan perburuhan.12Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui lembaga penyelesaian hubungan industrial (LPPHI). Termasuk LPPHI adalah : 1. Bipartit 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrase 5. Pengadilan Hubungan Industrial.13 Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004. Sebagai hukum positif UU PPHI mencabut Undang-Undang nomor 12 tahun 1964 dan Undang-Undang nomor 22 tahun 1957. Sejatinya UU PPHI berlaku satu tahun terhitung sejak diundangkan. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2005 UU PPHI dinyatakan tertunda. Kemudian UU PPHI dinyatakan berlaku sejak tahun 2006 dan dilanjutkan dengan peresmian berdirinya Pengadilan hubungan Industrial oleh Ketua Mahkamah Agung – Bagir Manan di Palembangg pada tanggal 14 Januari 2006.14 Dalam Undang-Undang PPHI terdapat empat jenis perselisihan, yakni : 11
Ibid., hal. 17.
12
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, cet.3, (Jakarta: PT. Rineke Cipta, 1991),
hal.17. 13
Juanda Pangaribuan, op. cit., hal 16.
14
Ibid., hal 19.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
4
1. Perselisihan hak 2. Perselisihan kepentingan 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja 4. Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.15 Hal ini berbeda dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1957 yang tidak membuat perbedaan yang tegas tetapi mengartikan perselisihan perburuhan sebagai pertentangan antara majikan dengan serikat buruh karena tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.16 Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam UndangUndang PPHI menjelaskan 2 bentuk : 1. Penyelesaian secara sukarela (voluntary) 2. Penyelesaian wajib (compulsory) Penyelesaian secara suka rela dapat dilakukan melalui mekanisme Konsiliasi dan Arbitrase. Penyelesaian wajib dilakukan melalui perundingan bipartite, mediasi dan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PHI) yang dibentuk pada Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA). Sementara itu komposisi hakim bersifat tripartite, yaitu: (1) satu hakim dari Pengadilan Negeri dan masing-masing (1) satu hakim ad-hoc yang diusulkan oleh organisasi buruh dan oleh organisasi pengusaha.17 Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, sesuai dengan yang diatur dalam pasal 57 UUPHI tersebut yaitu : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”18 15
Marsen Sinaga, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia , cet.1 (Yogyakarta: Perhimpunan Solidaritas Buruh, 2006), hal.84. 16
Ibid.
17
Ibid.
18
Indonesia (a), Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 2 Tahun 2004 LN. No. 42 Tahun 1957, TLN. No. 4356, ps.57.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
5
Salah satu proses penting dalam gugat menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial adalah pembuktian. Penggugat dan tergugat harus membuat dalil-dalil secara sempurna agar dapat dibuktikan secara hukum. Dalil yang tidak dibenarkan oleh lawan namun tidak dibuktikan oleh pendalil maka dalil tersebut dianggap tidak pernah dibuktikan dan dikualisir sebagai dalil yang tidak dibenarkan.19 Membuktikan adalah kewajiban pihak-pihak melalui alat-alat bukti untuk menimbulkan suatu tingkat kepercayaan atau keyakinan dalam pikiran Hakim tentang kebenaran suatu dalil mengenai fakta, kejadian, hak atau hukum. Pembuktian secara hukum menyangkut tidak hanya benda-benda mati sebagai alat bukti tetapi juga menyangkut tingkah laku manusia yang harus dinilai termasuk proses20. Pembuktian pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang.21 Hukum pembuktian merupakan aturan-aturan tentang pembuktian yang harus diindahkan oleh hakim dalam memeriksa suatu perkara dimuka sidang pengadilan.22Kedudukannya
memegang
peranan
sangat
penting
karena
pembuktian merupakan titik sentral dalam setiap pemeriksaan perkara. Pada hakikatnya, membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.23Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkwalisirnya,dan kemudian mengkonstituirnya, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.24
19
Juanda Pangaribuan, op.cit., hal 146
20
Ibid, hal. 119.
21
Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana dalam Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981, cet. 1, ed. 1 (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 38. 22
R. Subekti, Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983), hal. 8.
23
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, cet .2, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta: 1999), hal 109. 24
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
6
UU PPHI tidak mengatur tehnis dan mekanisme pembuktian perkara. Proses pembuktian di PHI berpedoman pada beberapa ketentuan yang terdapat di luar UU PPHI. Dalam Pasal 164 HIR25, yang disebut bukti adalah : a. Bukti surat ; b. Bukti saksi ; c. Persangkaan ; d. Pengakuan ; e. Sumpah ; Kewajiban para pihak membuktikan dalil gugatan dan sangkalan diatur dalam Pasal 163 HIR. Sistem pembuktian yang kita anut ini memberikan indikasi kepada kita bahwa mekanisme peradilan di Indonesia tidak sepenuhnya memberikan pengaturan pada hakim untuk memutuskan suatu kasus seobjektif mungkin. Namun demikian, seringkali seorang hakim memutuskan dengan sangat subjektif. Hal ini senada dengan yang diakui oleh Yahya Harahap yaitu sebagai berikut:26 “Barangkali disinilah kelemahan dari sistem ini. Sekalipun secara teoritis antara dua komponen ini tidak saling dominan, tetapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup.” Dari seorang saksi, tentu yang diharapkan adalah keterangan-keterangan yang dapat diberikan tentang fakta, peristiwa hukum maupun hak, baik yang diketahuinya maupun yang didengar atau dilihatnya sendiri. Keterangan saksi yang demikian harus juga disertai alasan bagaimana hal tersebut diketahuinya, ada saksi yang dengan sengaja diminta untuk turut serta menyaksikan suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang dilakukan. Ada juga yang secara kebetulan melihat dan mendengar peristiwa hukum tertentu.27
25
R. Tresna, Komentar HIR. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hal 141.
26
M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. 2, cet. 8, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 279. 27
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
7
Keterangan saksi sangat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan. Keterangan saksi yang hanya memuat pendapat, dugaan, analisis dan kesimpulan yang diperoleh dengan mempergunakan logika bukanlah merupakan kesaksian yang dapat digunakan dalam pembuktian.28 Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya (unus testis nullus testis). Meskipun demikian, kesaksian tunggal tetap dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa. Keterangan saksi demikian tidak dapat selalu dikesampingkan oleh karena adanya alat bukti petunjuk yang memungkinkan peristiwa atau hal-hal yang berdiri sendiri dibuktikan secara berantai. Hal demikian akan dinilai oleh hakim.29 Hakim dalam melakukan penilaian terhadap keterangan saksi harus sungguh-sungguh memperhatikan nilai persesuaian keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya, kesesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang lainnya, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan keterangan, dan cara hidup serta kepribadian dari saksi tersebut. Selain itu, hakim juga perlu memperhatikan konsistensi dari jawaban saksi.30 Seseorang yang memberikan keterangan dari hasil mendengarkan keterangan pihak lain disebut saksi de auditu. Kesaksian seperti ini tidak ada harganya sama sekali sehingga tidak memiliki nilai pembuktian. Dampaknya, keterangan -keterangan yang diberikan tidak memberi keuntungan pada pihak yang mengajukan.31 Dalam perkara kasus Early dan Yudhasari, penulis mencoba lebih mempresentasikan materi penulisan ini dengan memutuskan menggunakan judul “Analisis Yuridis Terhadap Saksi Yang Diajukan Pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam
Kasus Perkara Antara PT. Sinar Mulya
Perkasa Melawan Early Sobarly-Yudha Sari Pardikan di PHI pada PN Bandung No.41/G/2011/PHI/PN. BDG”
28
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 184. 29
Ibid.
30
Ibid., hal 186
31
Juanda Pangaribuan, op.cit., hal 149
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
8
1.2 Pokok Permasalahan Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem pembuktian dalam pemeriksaan di Pengadilan Hubungan Industrial
Indonesia menurut ketentuan Perundang-
Undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan saksi de auditu dalam Perkara no Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG antara
PT Sinar Mulia
Perkasa dengan Early Sobarly-Yudhasari Pardikan di PHI pada PN Bandung,?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan ini akan dirumuskan dalam dua hal yaitu tujuan umum dan tjuan khusus yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, yakni sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum : Menganalisa aspek hukum adanya keterangan saksi de auditu yang menjadi
pertimbangan putusan di Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia
tanpa didukung adanya alat bukti yang sah menurut hukum dalam kasus perkara Antara PT. Sinar Mulia Perkasa Melawan Early Sobarly – Yudha Sari Pardikan Di PHI Pada PN Bandung NO. Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG, yang nantinya agar dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat ditinjau secara yuridis dari segi hukum, baik dari segi teoritis maupun praktis di dalam penegakan hukum di Indonesia.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
9
1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian hukum ini terdiri dari dua tujuan yaitu sebagai berikut adalah : a. Untuk mengetahui sistem pembuktian dalam perkara di Pengadilan Hubungan Indstrial apakah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan di Indonesia b. Untuk dapat mengetahui bagaimana kekuatan yuridis keterangan saksi de audit yang disampaikan oleh para saksi-saksi tersebut dalam perkara di Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Bandung tersebut bagi hakim dalam mengambil keputusan akhir dalam pemeriksaan perkara antara PT Sinar Mulia Perkasa melawan Early Sobarly-Yudhasari Pardigan di PHI pada PN Bandung.
1.4. Definisi Operasional Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk membatasi pengertian, istilah maupun konsep. Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian dan penulisan hukum ini. Berikut ini akan diuraikan istilah-istilah khusus agar terjadi persamaan persepsi dalam memahami tulisan ini. Bebarapa istilah yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: 1. Pembuktian adalah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim; a. mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi; b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.32 Pembuktian pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang.33 32
Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana (Bandung:Angkasa,1990), hal 185. 33
Bambang Poernomo, op. cit., hal. 38.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
10
2. Saksi, a) Orang yang melihat atau mengetahi sendiri suatu peristiwa atau kejadian, b) Orang yang memberikan keterangan di muka pengadilan untuk kepentingan penggugat atau tergugat, c) Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang di dengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri. Dalam memberikan keterangan di muka pengadilan, seorang saksi harus disumpah menurut agamanya supaya apa yang diterangkannya itu mempunyai kekuatan sebagai alat bukti.34
d) Saksi de auditu adalah adalah keterangan atau pernyataan saksi hanya berdasarkan apa yang didengar dari pihak lain.35 3. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.36Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksian.37 5. Perselisihan Perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.38 Sehubungan 34
B.N Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet 1 (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2006).
35
Ibid.
36
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal 135.
37
Ibid.
hal. 280.
38
Imam Soepomo(a), Pengantar Hukum Perburuhan, cet.2., (Bandung:PT Djambatan, 1976), hal.118.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
11
dengan perumusan itu, maka mengenai perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgeschil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil).39 6. Pemutusan Hubungan Kerja adalah putusnya hubungan kerja antara buruh dan majikan dengan sendirinya tanpa diperlukan suatu tindakan atau perbuatan salah satu pihak.40 7. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, menurut cara yang diatur dalam undangundang. 41
1.5. Metode Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yuridis normatif42 yang menekankan pada penggunaan data sekunder. Penelitian yuridis normatif dilakukan terhadap norma hukum positif yang tertulis (peraturan perundang-undangan.43 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan
adalah melalui studi dokumen atau bahan pustaka yang merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sifat penelitian yang dilakukan penulis adalah Deskriptif dan teknis analisis data yang digunakan penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deksriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.44 Yang diteliti dan dipelajari adalah obyek
39
40
Imam Soepomo, op.cit., hal. 118. Ibid.,hal. 120.
41
Indonesia (b), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, LN No.76 Tahun 1981, TLN. No.3209, ps. 1 angka 11. 42
Pada penelitian hukum normatif biasanya yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. (Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet.1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 28.) 43
Ibid. hal. 9-11
44
Ibid. hal. 67.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
12
penelitian secara utuh. Dengan perkataan lain, pendekatan kualitatif adalah metode analisis mendalami makna.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi 3 (tiga) macam bahan sumber hukum yaitu: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti norma atau kaidah dasar, yakni pembukaan UndangUndang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden, peraturan daerah, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, seperti misalnya hukum adat, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari penjajah yang hingga kini masih berlaku. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, UU Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 2. Bahan hukum sekunder (secondary sources), yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer serta implementasinya. Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah artikel ilmiah dari internet, buku, hasil penelitian seperti skripsi, tesis dan disertasi, bahan seminar, laporan-laporan penelitian dari kalangan hukum. 3. Bahan hukum tersier (tertierary sources), yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang penulis gunakan adalah kamus-kamus, baik kamus Bahasa Indonesia, kamus Bahasa Inggris, maupun kamus hukum.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
13
1.6.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman dan agar tersaji secara sistematis
penulis akan membagi penulisan skripsi ini kedalam 5 (lima) Bab yaitu sebagai berikut: 1. Bab 1 : Pendahuluan, Pada awal penulisan, penulis akan memberikan gambaran umum mengenai Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan mengemukakan pokok permasalahan, tujuan dari diadakan penelitian dari penulisan ini, definisi operasional dimana penulis akan memberikan batasan konsepsional mengenai beberapa istilah yang penulis gunakan dalam penulisan ini untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi dari skripsi ini. Selanjutnya penulis akan menyampaikan metodologi yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian, yaitu penelitian secara normatif yang menekankan pada studi kepustakaan dan pada bagian akhir Bab 1 ini akan memuat sistematika penulisan.
2. Bab 2 : Tinjauan mengenai teori dan konsep Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Pemutusan Hubungan Kerja Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai definisi dari perjanjian kerja, disharmonisasi hubungan kerja,berakhirnya hubungan kerja, perselisihan perburuhan, pemutusan hubungan kerja, tentang ketenagakerjaan serta kewenangan
Pengadilan
Hubungan
Industrial
dalam
penyelesaian
perselisihan perburuhan.
3. Bab 3 : Alat Bukti di Pengadilan Hubungan Industri Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai Sistem Pembuktian, Tujuan Pembuktian, Alat-alat Bukti: 1. Surat atau tulisan 2. Keterangan saksi, 3. Persangkaan, 4. Pengakuan, 5. sumpah.
4. Bab 4 : Analisis Keterangan saksi de auditu dalam pertimbangan hakim membuat Putusan perkara antara PT. Sinar Mulia Perkasa dengan Early Sobarly – Yudhasari Pardikan Di PHI Pada PN Bandung NO. Register Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
14
Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG. Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai kasus posisi, Petitum, Putusan, bukti-bukti di persidangan, analisis tentang Putusan PN Bandung dengan no Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG apakah telah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
5. Bab 5 : Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini dibuat kesimpulan yang merupakan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian ini dan kemudian akan memberikan saransaran berupa masukan yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dalam memperbaiki hukum acara pembuktian di Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Bandung.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
15
BAB 2 PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 2.1. Pengertian Perselisihan Perburuhan Secara umum perselisihan perburuhan atau perselisihan industrial mencakup setiap pertentangan dan ketidak sesuain antara pekerja dan pengusaha dimana tidak hanya aspek hukumnya saja yang dipermasalahkan, tetapi juga tuntutan buruh dalam hal perbaikan keadaan kehidupan mereka. Dalam pasal ayat (1) huruf c Undang - Undang No 22 tahun 1957, disebutkan pengertian dari perselisihan perburuhan, yaitu; “Perselisihan Perburuhan ialah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungankerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan”.45 Rumusan perselisihan perburuhan dalam UU Nomor 22 tahun 1957 menunjukan adanya pengelompokan perselisihan perburuhan berdasarkan para pihak, yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Perselisihan Perburuhan Kolektif, yaitu perselisihan yang terjadi antara majikan dengan serikat buruh, karena tidak adanya persesuain paham mengenai
hubungan
kerja,
syarat-syarat
kerja
dan/atau
keadaan
perburuhan. 2. Perselisihan Perburuhan Perseorangan, yaitu perselisihan antara majikan dengan buruh yang tidak menjadi anggota serikat buruh, diatur dalam
45
Indonesia (c), Undang-Undang No.22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, LN No. 42 Tahun 1957, TLN. No. 1227, ps.1 ayat(1) huruf c.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
16
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta beserta peraturan pelaksananya.46 Sehubungan dengan perumusan tersebut, maka mengenai perselisihan perburuhan dibeda-bedakan antara perselisihan hak (rechtsgeshil) dan perselisihan kepentingan (belangengeschil).47 Dengan perselisihan hak dimaksutkan adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu atau peraturan majikan atau menyalahi ketentuan hukum.48 Sementara
itu
perselisihan
kepentingan
adalah
mengenai
usaha
mengadakan perubahan dalam syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh dituntutkan kepada pihak majikan atau menurut perumusan di atas pertentangan berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan.49 Dalam perumusan Undang-Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, dari berbagai tipe, bentuk dan latar belakang perselisihan yang terjadi di lingkungan kerja, pengertian perselisihan hubungan industrial dikelompokkan perselisihan tersebut dalam empat (4) jenis, yaitu : 1. Perselisihan hak adalah : Perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau
perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah kekurangan upah lembur dari kelebihan jam kerja, pembayaran upah lebih rendah dari UMP atau tentang asuransi kerja dan keselamatan kerja.50 2. Perselisihan kepentingan adalah : 46
Hartono Widodo dan Judiarto, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, cet.II, (Jakarta: Rajawali, 1992), hal. 25-26. 47
Imam Soepomo (a) , op.cit., hal 118
48
Ibid.
49
Ibid., hal 119.
50
Indonesia (a),op.cit., ps. 1 butir 2.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
17
Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syaratsyarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah perundingan PKB, tuntutan pemberian tunjangan jabatan, tunjangan cuti dan lainlainnya yang belum ada pengaturannya.51 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah : Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Contohnya adalah PHK.52 4. Perselisihan antar serikat buruh/serikat pekerja adalah : Perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan,
karena
tidak
adanya
persesuaian
paham
mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan. Contohnya adalah siapa yang berhak merundingkan PKB.53 Perselisihan perburuhan seperti halnya dengan tiap perselisihan lainnya dapat diselesaikan secara damai oleh mereka yang berselisih sendiri baik tanpa maupun dengan bantuan pihak ketiga atau secara tidak damai diserahkan kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.54 Asas pokok cara penyelesaian-penyelesaian perburuhan ialah berpegang pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat yang pada tahap pertama diharapkan penyelesaian perburuhan itu diselesaikan oleh pihak yang berselisih. Asas tersebut juga berlaku bagi lembaga-lembaga yang mengurusi penyelesaian perselisihan perburuhan dalam arti setiap keputusan yang dicapai tidak dapat diambil tanpa memberi kesempatan kepada pihak yang berselisih untuk didengar masalah yang dipersengketakan.55 2.2. Lembaga Penyelesaian Perselisihan 51
Indonesia (a),op.cit., ps. 1 butir 4.
52
Ibid.
53
Ibid., ps.1 butir 5.
54
Imam Soepomo (a), op.cit., hal. 120.
55
Wiwoho Soedjono, op.cit., hal. 31.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
18
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (LPPHI) yaitu : 1. Bipartit 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrasi 5. Pengadilan Hubungan Industrial.. Mediasi, konsiliasi dan arbitrase merupakan lembaga pilihan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Apabila salah satu dari tiga pilihan itu telah dipilih, maka 2 (dua) lembaga lain tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan perselisihan yang dimaksut, sebab ketiga lembaga tersebut bukan hirarki penyelesaian perselisihan tetapi alternatif penyelesaian sengketa.56 Penyelesaian perselisihan melalui salah satu lembaga diatas memiliki akibat hukum yang berdiri sendiri sehingga pilihan penggunaannya harus melalui pertimbangan yang realistis guna menghindari penyesalan.Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Tujuannya untuk memahami sejak awal keunggulan dan kendala yang mungkin akan dihadapi.57 Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004. Sebagai hukum positif UU PPHI mencabut Undang-Undang nomor 12 tahun 1964 dan Undang-Undang nomor 22 tahun 1957. Undang-undang
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
membentuk beberapa lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berbeda dari sebelumnya. Konsekwensinya, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dinyatakan bubar.Penyelesaian perselisihan hubungan industrial seluruhnya masuk kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial.58
2.3. Hubungan Kerja 56
Juanda Pangaribuan, op.cit., hal. 16.
57
Ibid., hal. 17.
58
Ibid., hal. 19.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
19
Hubungan kerja adalah merupakan suatu hubungan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh, dimana didalam hubungan kerja ini masing-masing pihak saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja melalui suatu perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.59 Dari pengertian hubungan kerja tersebut diatas , maka dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja (perjanjian kerja) mempunyai 3 unsur yaitu: 1. Ada Pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja. 2. Ada Upah Unsur kedua yang harus ada dalam setiap hubungan kerja adalah adanya upah.Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan , termaksud tunjangan bagiu pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian inti nyaupah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukanoelh pekerja/buruh. 3. Ada perintah Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja maksudnya bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada dibawah perintah pengusaha.
59
Indonesia (c), op.cit., ps. 1 angka 15.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
20
2.4 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pemutusan hubungan kerja adalah merupakan suatu keadaan menakutkan yang dapat membawa pengaruh serta akibat yang amat luar biasa, baik itu akibat ekonomi maupun akibat phisikologi bagi pekerja/buruh yang mengalami terutama bagi pekerja/buruh maupun keluarganya.60 Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan pasal 151 ayat (1) disebutkan bahwa “ Pengusaha , pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Pemutusan hubungan kerja adalah merupakan awal dari kesengsaraan yang harus dialami oleh pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Adapun istilah pemutusan hubungan kerja adalah suatu istilah yang menberikan gambaran tentang berakhirnya suatu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, baik pemutusan hubungan kerja yang dilakukan atas keinginan pengusaha atau keinginan pekerja/buruh maupun pemutusan hubungan kerja yang terjadi bukan karena keinginan pengusaha atau keinginan pekerja/buruh tetapi oleh karena sebab lain seperti pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena hukum.61 Mengenai istilah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh diperusahaan swasta, ada beberapa sarjana yang memberikan pengelompokan terhadap istilah pengertian mengenai pemutusan hubungan kerja ini, diantaranya adalah Manulang dan Flippo. Dalam bukunya yang berjudul “Pokok-pokok Ketenagakerjaan di Indonesia” Manulang memberikan beberapa istilah penngertian dari pemutusan hubungan kerja, yaitu : 62
60
YW Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Masalah PHK dan Pemogokan, cetakan pertama (Jakarta : Bina Aksara, 1998), hal.v. 61
Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, cetakan pertama (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), hal. 11. 62
Manulang, op.cit., hal. 20.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
21
1.
Termination Yaitu pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh.
2.
Dismissal Yaitu putusnya hubungan kerja karena pekerja/buruh melakukan tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya: karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindakan kejahatan dan merusak perlengkapan kerja milik perusahaan.
3.
Redundancy Yaitu pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena perusahaan melakukan
pengembangan
dengan
menggunakan
mesin-mesin
berteknologi baru, sperti pengunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja. 4.
Retrenchment Yaitu pemutusan hubungan kerja karena adanya msalah-masalah ekonomi,
seperti
perusahaan
resesi
tidak
ekonomi,
mampu
untuk
masalah
pemsaran,
memberikan
sehingga
upah
kepada
pekerja/buruhnya.
Sedangkan Flippo dalam bukunya yang berjudul “Personal Management” membedakan pemutusan hubungan kerja menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu : 63 1. Layoff Pemutusan
hubungan
pekerja/buruh
yang
kerja
seperti
benar-benar
ini
terjadi
memiliki
ketika kualifikasi
seorang yang
63
Flippo, E.B, Personal Management, 5th edition (Sydney : McGraw-Hill International Book Company, 1984), dikutip oleh Haryanto F Rosyid, “PHK Masihkah Mencemaskan,”Makalah disampaikan pada lokarkarya ketenagakerjaan di Universitas Gajahmada, Yogyakarta tahun 2003), hal. 4.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
22
membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasa dan keahliannya. 2. Out Placement Ialah Kegiatan pemutusan hubungan kerja yang disebabkan karena perusahaan ini mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan pemutusan hubungan kerja ini adalah untuk : - Mengurangi pekerja/buruh yang performansinya tidak memuaskan - Orang-orang yang tingkat upahnya telah melampui batas-batas yang dimungkinkan - Orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta - Orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi dimasa mendatang. 3. Discharge Discharge adalah merupakan kategori pemutusan hubungan kerja yang paling banyak menimbulkan perasaan tidask nyaman diantara dua kategori pemutusan hubungan kerja seperti tersebut diatas. Hal ini terjadi karena pemutusan hubungan kerja ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa pekerja/buruh kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Akibat dari pemutusan hubungan kerja yang seperti ini adalah pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru ditempat atau diperusahaan lain.
Sedangkan pengertian pemutusan hubungan kerja menurut undangundang, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 25 adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara para pihak yaitu pekerja/buruh dan pengusaha”.64
64
Indonesia (d),Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, LN No. 39 Tahun 2003, TLN No. 4279, ps. 1 angka 25.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
23
2.5 Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Ada banyak alasanyang dapat dikemukan oleh para pihak, baik pihak pengusaha maupun pihak pekerja/buruh didalam melakukan pemutusan hubungan kerja, namun demikian pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta dapat terjadi dengan alasan-alasan sebagai berikut : a. Pekerja/buruh mengundurkan diri; b. Berakhirnya perjanjian kerja pada waktu tertentu; c. Pelanggaran pengusaha; d. Peleburan, penggabungan dan perubahan status perusahaan; e. Perusahaan pailit; f. Perusahaan melakukan efisiensi g. Pekerja/buruh tidak masuk kerja selama lima hari berturut-turut tanpa keterangan setelah sebelumnya dipanggil sebanyak dua kali berturut-turut secara patut; h. Pekerja/buruh sakit berkepanjangan melebihi 12 (dua belas) bulan secara berturut-turut; i. Pekerja/buruh meninggal dunia j. Pekerja/buruh pensiun k. Pekerja /buruh melakukan pelanggaran.
Khusus mengenai kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh ini, didalam surat Keputusan Direktur Jenderal Urusan Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Nomor 362 Tahun 1967 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta disebutkan bahwa kesalahan pekerja/buruh ini dikelompokan menjadi tiga golongan yang meliputi kesalahan kecil , kesalahan sedang dan kesalahan besar. 1. Kesalahan Kecil Merupakan kesalahan yang terjadi bukan karena adanya niat buruk pekerja/buruh tetapi karena akibat kurang pengetahuan dan kemampuan serta kurang tanggap pekerja/buruh didalam melakukan pekerjaan misalnya menempatkan alat kerja tidak pada tempatnya atau mengerjakan tugas diluar prosedur yang berlaku. Untuk jenis kesalahan kecil seperti ini Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
24
sanksi awal yang dapat diberikan adalah peringatan. Namun jika pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menghiraukan peringatan yang diberikan walaupun sudah diberikan surat sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu surat peringatan satu, surat peringatan dua, hingga surat peringatan tiga secara berturut-turut maka kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dapat diberikan sanksi pemutusan hubungan kerja65 dengan mendapatkan pesangon uang jasa dan uang ganti kerugian. 2. Kesalahan Sedang Kesalahan sedang adalah yang merupakan kesalahan yang terjadi karena kecerobahan atau itikad buruk pekerja/buruh misalnya melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya dan ceroboh didalam bekerja atau menolak perintah yang layak dan telah diperingatkan. Apabila pekerja/buruh masih melakukan kesalahan walaupun sudah diberi peringatan maka terhadap pekerja/buruh tersebut dapat dilakukan pemutusan hubunga kerja66 dengan hanya mendapatkan pesangon saja. 3. Kesalahan Besar Yang dimaksud dengan kesalahan besar atau kesalahan berat ini adalah suatu kesalahan yang menimbulkan suatu alasan mendesak bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur didalam pasal 1603 o Kitab Undang-Undang hukum Perdata.67 Mengenai kesalahan besar ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur dan merumuskan didalam pasal 158 ayat (1). Dimana pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dapt memutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat yang meliputi:
65
Surat Keputusan Direktur Jenderal Urusan Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Nomor : 362 Tahun 1967, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta, angka 12 huruf e. 66
Ibid,, huruf d.
67
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, cet.8, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1976), ps. 1603 o.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
25
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan atau uang milik perusahaan; b. Memberikan
keterangan
palsu
atau
dipalsukan
sehingga
merugikan perusahaan; c. Mabuk, meminum minum keras yang memabukan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, phiskotropika dan zat adiktif lainnya dilingkungan kerja; d. Melakukan oerbuatan asusila atau perjudian dilingkungan kerja; e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja; f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya ditempat kerja; i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara ; atau j. Melakukan oerbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dan bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini, jika tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, maka berdasarkan pasal 158 ayat (4) Undang-Undang ini , pengusaha harus membayar : 1. Uang penggantian hak yang meliputi :68 -
68
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
Indonesia (d), op.cit., ps. 158 ayat 4.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
26
-
Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
-
Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
-
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
2. Uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Namun demikian pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai kesalahan besar atau kesalahan berat yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja ini, semenjak oleh Mhkamah Konstitusi dibatalkan karena dianggap tidak konstitusional maka tidak lagi memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Pengusaha tidak lagi dapat begitu saja melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan melakukan kesalahan besar atau kesalahan berat tanpa memperhatikan asa praduga tidak bersalah. Pengusaha baru dapat melakukan
pemutusan
hubungan
kerja
terhadap
pekerja/buruh
apabila
pekerja/buruh terbukti melakukan kesalahan besar atau kesalahan berat. Begitu pula halnya dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama, semenjak dibatalkan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaanini, tidak boleh lagi memuat ketentuan kesalahan besar atau kesalahan berat sebagai alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, dan jika perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama memuat ketentuan kesalahan besar atau kesalahan berat sebagai alasan melakukan pemutusan hubungan kerja seketika terhadap pekerja/buruh, sama halnya dengan pasal 158 ayat 1, ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
27
2.6 Jenis Pemutusan Hubungan Kerja Dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja” Imam Soepomo membagi Pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta dalam 4 (empat) golongan, yaitu :69 1. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena hukum; 2. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha; 3. Pemutusan hubungna kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh; dan 4. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oelh pengadilan Dan diantara keempat golongan penyebab terjadinya pemutusan hubungna kerja diperusahaan swasta ini, pemutusan hubungna kerja yang dilakukan pengusaha adalah merupakan penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja yang sering terjadi akhir-akhir ini.
2.6.1 Pemutusan Hubungan Kerja Karena Hukum Pemutusan hubungan kerja karena hukum70 adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi bila karena satu dan lain hal hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak ada, dan oleh karena itu dianggap tidak alas hak yang cukup layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainnya guna tetap mengadakan hubungan kerja, misalnya: a. Pekerja/buruh meninggal dunia; b. Pekerja/buruh pensiun; c. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Berakhirnya hubungan kerja karena adanya pemutusan hubungan kerja demi hukum, adalah suatu keadaan dimana hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berakhir demi hukum dengan sendirinya walaupun kedua belah pihak tidak melakukan apa-apa dan hanya psaif saja. Selain diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603 e dan pasal 1603 j, ketentuan tentang berakhirnya hubungan kerja karena adanya pemutusan hubungan kerja demi hukum juga diatur didalam Undang-Undang 69
Imam Soepomo(b), Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, cet.6, (Jakarta : Djambatan, 1987), hal. 143. 70
“ Layanan Kamus Istilah Hukum.”http://kamushukum.com/berita/200809/28/09htm. di unduh tanggal 20 Mei 2012 jam 13.00 WIB.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
28
Nomor 13 Tahun 2003 Tenatang Ketenagakerjaanpasal 61 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 1603 e dan pasal 1603 j Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : -
Pasal 1603 e Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “ Hubungan kerja berakhir demi hukum dengan lewatnya waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, Undang-undang atau oleh kebiasaan”
-
Pasal 1603 j Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Hubungan kerja berakhir dengan meninggalnya pekerja/buruh” Namun demikian menurut pasal 1603 k Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata71
menyebutkan bahwa hubungan kerja tidak berakhir dengan
meninggalnya majikan, kecuali perjanjian kerja menyimpulkan sebaliknya. Sedangkan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaanpasal 61 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menyebutkan ketentuan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila72: 1. Pekerja/buruh meninggal dunia 2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja 3. Adanya suatu keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Adapun yang dimaksud dengan keadaan atau kejadian tertentu menurut penjelasan pasal 61 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan73
adalah bencana alam, kerusuhan sosial atau
gangguan keamanan.
2.6.2 Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Jumlah Orang a. Pemutusan Hubungan Kerja Perseorangan
71
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., ps. 1603 k.
72
Indonesia (d) , op.cit., ps. 61 ayat 1 huruf a.
73
Ibid., huruf d.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
29
Pemutusan hubungan kerja perseorangan adalah merupakan pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena keinginan perseorangan dari salah satu pihak. Pemutusan hubungan kerja perseorangan ini terjadi berdasarkan inisiatif dari salah satu pihak dan dibagi menjadi : b. Pemutusan Hubungan Kerja Inisiatif Dari Pekerja/Buruh Walaupun lazimnya pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh, sekarang ini tidak jarang terjadi justeru pihak pekerja/buruh sebagai pihak yang melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam pemutusan hubungan kerja seperti ini inisiatif dari terjadinya pengakhiran hubungan kerja datang dari keinginan pekerja/buruh. Pemutusan hubungan kerja inisiatif dari pekerja/buruh ini diperbolehkan karena danya asa kesimbangan dan keadilan didalam hukum perburuhan sebagaimana diatur didalam pasal
31 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa :74 “ Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri” Namun demikian didalam melakukan pemutusan hubungan kerj aada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pekerja/buruh sebagai syarat pengakhiran hubungan kerja sebagaiman diatur didalam pasal 1603 h dan pasal 1603 i Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan :75 -
Pasal 1603h Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Pemberitahuan untuk mengakhiri hubungan kerja hanyalah boleh dilakukan menjelang hari terkahir dari tiap-tiap bulan penanggalan”.
-
Pasal 1603i Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “ Kecuali dalam hal yang ditentukan dalam kedua ayat yang berikut dari pasal ini, maka dalam hal menghentikan hubungan kerja harus paling sedikit diindahkan suatu tenggang waktu yang lamanya satu bulan”.
74
Ibid, ps. 31.
75
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., ps. 1603h dan ps. 1603i.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
30
Sedangkan pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan merumuskan syarat pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pekerja sebagai beriku, yaitu :76 1. Mengajukan permohonan selambatanya 30 hari sebelumnya; 2. Tidak ada ikatan dinas; dan 3. Tetap melaksanakan kewajiban sampai dengan tanggal pengunduran diri. Pada umumnya penyebab dari terjadinya pemutusan hubungan kerja seperti ini adalah karena : - Pekerja/buruh tidak cocok dengan sistem manajemen perusahaan; - Kesehatan pekerja/buruh yang bersangkutan; - Pekerja/buruh tidak cocok dengan lingkungan kerj abaik vertikal maupun horizontal - Pekerja/buruh mendapatkan [ekerjaan yang lebih baik diperusahaan lain. Namun demikian berdasarkan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang ketenagkerjaan, pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh pekerja/buruh ini hanya dapat dilakukan oleh pekerja/buruh dengan sebelumnya mangajukan permohonanpemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, apabila pengusaha77 : a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. Membujuk dan / atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentang dengan peraturan perundang-undang; c. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepda pekerja/buruh; e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan diluar yang dijanjikan; atau f. Memberikan
pekerjaan
yang
membahayakan
jiwa,
keselamatan,
kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
76
Indonesia (d), op.cit., ps. 162.
77
Ibid, ps. 169. Ayat 1.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
31
Bagi pekerja/buruh yang melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak dengan alasan tersebut diatas, berdasarkan pasal 169 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini berhak mendapatkan :78 1. Uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; 2. Uang penghargaan masa kerja sebagaiman diatur didalam pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan; 3. Uang penggantian hak sebagaiman diatur didalam pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan pekerja terhadap pengusaha dengan menyalahgunakan alasan tersebut diatas, maka dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud didalam pasal 169 ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka berdasarkan pasal 169 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerjatanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
2.7 Pemutusan Hubungan Kerja Inisiatif dari Pengusaha Dalam Pemutusan hubungan kerja ini, inisiatif melakukan pemutusan hubungan kerja datang dari pihak pengusaha, pemutusan hubungan kerja ini dilakukan karena adanya suatu keadaan tertentu didalam perusahaan misalnya : - Perusahaan melakukan perampingan; - Perusahaan bangkrut hingga perusahaan tutup; - Terjadi
perubahan
status
perusahaan,
baik
itu
karena
adanya
penggabungan, peleburan atau karena adanya perubahan kepemilikan perusahaan; - Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam ketentuan kerja, peraturan perusahaan atau perjanjiankerja bersama dan atas perbuatannya 78
tersebut
pekerja/buruh
yang
bersangkutan
telah
Ibid, ayat 2.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
32
mendapatkan surat peringatan pertama, kedua dan surat peringatan ketiga secara berturut-turut; - Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaiman diatur didalam pasal 1603 huruf o Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun seperti disebutkan diatas, pasal 158 ayat (1) ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan pengusaha baru dapt melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh apabila pekerja/buruh terbukti melakukan kesalahan berat tersebut.
2.8. Pemutusan Hubungan Kerja Massal Pemutusan hungan kerja secara massal dapat dikatakan sebagai masa pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran diperusahaan swasta, hal ini dianggap terjadi apabila dalam satu bulan pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan sepuluh orang pekerja/buruh atau lebih, atau mengadakan tentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.79 Adapun alasan yang dapat dipakai oleh pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja massal terhadap pekerja/buruhnya ini menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah karena :80 a. Perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus menerus dan dibuktikan dengan hasil audit keuangan yang dilakukan oleh akuntan publik paling sedikit 2 (dua) tahun terakhir; b. Perusahan melakukan perampingan aatau efisiensi; c. Perusahan pailit.
Namun demikian sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja massal, berdasarkan Surat Menteri Tenaga Kerja Nomor 267/M/IV/85 Tentang Penanganan Penyelesaian maslah Pemutusan Hubungan Kerja Massal terhadap Karyawan, ada beberapa tahapan tindakan yang harus dilakukan oleh pengusaha 79
Sunindhia dan Ninik Widiyanti, op.cit., hal. 55.
80
Indonesia (d), op.cit., ps. 164 dan 165.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
33
untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja massal ini, yaitu dengan cara melakukan efisiensi dan penghematan dengan cara : 81 a. Mengurangi shift; b. Membatasi atau mengurangi jam lembur; c. Mengurangi jam kerja; d. Meliburkan karyawan secara bergilir atau merumahkan karyawan untuk sementara waktu. Apabila tindakan efisiensi dan penghematan telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja massal tetap harus dilakukan maka pengusaha harus melakukan : 82 a. Mengajukan izin prinsip pemutusan hubungan kerja dan melampirka hasil-hasil audit keuangan dua tahun terakhir yang telah dilakukan oleh akuntan publik kepada Menteri Tenga Kerja; b. Setelah adanya izin prinsip pemutusan hubungan kerja, selanjutnya diadakan musyawarah dengan serikat pekerja/buruh untuk ditawarkan pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi yang menarik.
2.9. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena keinginan atau atas permintaan dari salah datu pihak, baik pihak pengusaha maupun pihak pekerja/buruh berdasrkan alasan alsan penting.83 Yang dimaksud dengan alasan penting adalah selain alasan-alasan mendesak sebagaimana dimaksud oleh pasal 1603 o Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah juga perubahan-perubahan keadaan pribadi atau kekayaan sipemohon maupun pihak lainnya, atau perubahan-perubahan keadaan-keadaan dalam mana pekerjaan dilakukan, yang demikian sifatnya hingga sepantasnya
81
Penanganan Penyelesaian Masalah Pemutusan Hubungan Kerja Massal Terhadap Karyawan, Surat Menteri Tenaga Kerja Nomor 267/M/IV/85, angka 2 tahap 1. 82
Ibid., tahap 2.
83
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op.cit., ps. 1603 v ayat 1.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
34
hubungan kerjanya harus segera diputuskan atau dalam waktu pendek diputuskan.84
84
Ibid., ayat 2.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
35
BAB 3 ALAT BUKTI DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
3.1 Pembuktian Hukum pembuktian merupakan suatu bagian dari hukum acara, karena hukum pembuktian memberikan aturan-aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara dimuka hakim (law of procedure). Hukum pembuktian merupakan aturan-aturan tentang pembuktian yang harus diindahkan oleh hakim dalam memeriksa suatu perkara dimuka sidang pengadilan.85Kedudukannya memegang peranan sangat penting karena pembuktian merupakan titik sentral dalam setiap pemeriksaan perkara. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alatalat bukti kepada pihak lain untuk memberikan kepastian atau keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa. Meskipun demikian, kalau diperhatikan dari sifatnya, pembuktian mengandung beberapa pengertian yaitu dalam arti logis, konvensional dan yuridis.86 1. Pembuktian dalam arti logis. Dalam arti logis pembuktian berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak atau masuk akal karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian dalam arti logis karena disusun berdasarkan suatu aksioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal di dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan pembuktian yang bersifat
85
R. Subekti, Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983), hal. 8.
86
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.1, ed.5 (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 127-128.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
36
mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Misalnya dua buah garis sejajar tidak mungkin akan bertemu. 2. Pembuktian dalam arti konvensionil. Disini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relative sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut: a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasrkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut dengan conviction intime. b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal. Olehkarena itu disebut conviction raisonnee. 3. Pembuktian dalam hukum acara juga mempunyai arti yuridis. Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkannya adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, tetapi merupakan pembuktian konvisionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju pada kebenaran mutlak. Dalam ilmu hukum, pembuktian tidaklah bersifat mutlak sebagaimana dalam ilmu alam, tetapi pembuktian yang bersifat kemasyarakatan. Didalamnya meskipun sedikit, selalu mengandung unsur ketidakpastian. Oleh karena itu, didalam pembuktian hukum sifat kebenarannya relatif dan bukan untuk memperoleh kebenaran mutlak. Disamping itu, dimungkinkan pula terjadi perbedaan penilaian hasil pembuktian diantara sesama hakim. Didalam pembuktian ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.87 Pembuktian pada hakikatnya merupakan penyelidikan atas ada atau tidaknya hubungan hukum yang menjadi perkara itu. Hubungan hukum ini harus
87
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal 129
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
37
terbukti dimuka hakim dan tugas pihak yang berperkara ialah memberi bahanbahan bukti yang diperlukan hakim.88 Sedangkan Yahya Harahap menggariskan pembuktian dengan : Ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.89 Sedangkan pembuktian menurut Retnowulan Sutianti dan Iskandar Oeripkartawinata adalah Suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalildalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.90 Sedangkan definisi pembuktian menurut Indroharto adalah dengan alatalat pembuktian tertentu memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang eksistensi fakta-fakta (hukum) yang dipersengketakan.91 Definisi yang diberikan beberapa pakar tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa pembuktian tidak lain merupakan suatu usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran-kebenaran peristiwa tersebut dimana hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam setiap hukum acara.92 3.2. Tujuan Pembuktian Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, 88
Juanda Pangaribuan, op.cit., hal 146
89
Yahya Harahap (a), op. cit., hal. 252.
90
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata,. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Cet. X, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 59. 91
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal. 313. 92
Martiman Prodjoamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, cet 1.,(Jakarta: Ghalian Indoensia, 1983), hal. 11.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
38
merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara dipengadilan. Didalamnya terkait erat persoalan hak-hak hukum dan bahkan hak asasi setiap orang atau pihak pihak yang dipersangkakan telah melakukan pelanggaran hukum. Lebih-lebih dalam hukum pidana, dimana seseorang dapat didakwa telah melakukan perbuatan pidana tertentu, yang apabila berdasarkan alat-alat bukti disertai keyakinan hakim menyatakan bersalah, padahal sebenarnya tidak bersalah, sehingga putusan hakim berdasarkan pembuktian yang dilakukan itu dapat menyebabkan orang yang bersalah bebas tanpa ganjaran, sedangkan orang yang sama sekali tidak bersalah menjadi terpidana dengan cara-cara yang tidak adil. Oleh sebab itu, metode pembuktian yang dikembangkan oleh hakim, haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat sungguhsungguh menghasilkan keadilan.93 Dalam hal ini, dikenal adanya beberapa prinsip teoritis mengani metode pembuktian, yaitu:94 1. Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Postif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Metode pembuktian Positive Wettelijk ini bersifat sangat formal, yaitu semata-mata mengandalkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang. Untuk sampai pada kesimpulan, para hakim cukup mengandalkan apa yang secara normatif telah ditentukan sebagai alat bukti dan tidak lagi memerlukan keyakinan hakim sebagai alat bukti. Karena itu, pembuktian yang bersifat positive disebut juga sebagai pembuktian formal (formele Bewijstheorie). Kelemahan atau kekurangan metode ini adalah terlalu mengandalkan bukti formal, tanpa sama sekai mengabaikan faktor subjektivitas hakim sendiri dalam menilai alat bukti. 2. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Vrije Bewijstheorie Rasionee) Dalam metode kedua ini, proses pembuktian sangat mengandalkan keyakinan hakim. Hakim sendiri dianggap bebas untuk menilai dan
93
Jimly Asshddiqie Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, cet.1 (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 187. 94
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
39
mempertimbangkan
alasan-alasan
dibalik
keyakinan
hakim
yang
dianutnya dalam mengambil kesimpulan (vrije bewijs). Hakim bebas menemukan sendiri kebenaran dibalik alat-alat bukti yang tersedia, dengan keyakinan sendiri mengambil kesimpulan dan menjatuhkan putusan yang dinilai adil. 3. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Rasionee) Sebagai jalan tengah dikembangkan pula metode ketiga yang tetap mempertahankan pembuktian yang bersifat positif berdasarkan undangundang, akan tetapi keyakinan-keyakinan bebas para hakim juga dianggap menentukan sampai kepada batas-batas tertentu. Alasan yang dimaksud adalah alasan yang logis sebagai kriteria pembatas atas kebebasan para hakim menerapkan keyakinan sendiri. Karena ini, metode ketiga ini biasa disebut juga sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Rasionee). 4. Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negative Wettelijk Bewijstheorie) Metode yang keempat ini ialah pembuktian negative wettelijk. Pembuktian terakhir ini, (Negative Wettelijk Bewijstheorie) dan La Conviction Rasionee
pada
pokoknya
hampir
sama,
yaitu
sama-sama
memperhitungkan adanya faktor keyakinan hakim. Artinya, terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa didasar keyakinan hakim bahwa yang bersangkutnan memang terbukti bersalah. Akan tetapi disamping persamaan, kedua metode tersebut juga mempuyai perbedaan yang sangat mendasar. Metode ketiga bertitik tolak dari keyakinan hakim sampai batas tertentu berdasarkan alasan yang logis berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Akan tetapi dalam metode yang keempat titik tolaknya adalah norma-norma undang-undang yang mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut. Namun demikian, titik tolak normatif tersebut harus diikuti dengan keyakinan hakim sendiri untuk menarik konklusi dan keputusan yang dianggap adil atas pembuktian perkara yang bersangkutan. Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
40
3.3. ALAT BUKTI Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, sesuai dengan yang diatur dalam pasal 57 UUPHI tersebut yaitu : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”95 UU PPHI tidak mengatur tehnis dan mekanisme pembuktian perkara. Proses pembuktian di PHI berpedoman pada beberapa ketentuan yang terdapat di luar UU PPHI. Dalam Pasal 164 HIR96, yang disebut bukti adalah : a. Bukti surat ; b. Bukti saksi ; c. Persangkaan ; d. Pengakuan ; e. Sumpah ; Kewajiban para pihak membuktikan dalil gugatan dan sangkalan diatur dalam Pasal 163 HIR. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.97 Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil maupun formil. Unsur-unsur materiil dari pada hukum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan tentang hak daripada yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang caranya menggunakan
95
Indonesia (a), ps. 57.
96
R. Tresna, op.cit., hal. 141.
97
Yahya Harahap (b), Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.2, (Jakarta:Sinar Grafika,2005), hal. 498.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
41
wewenang tersebut, misalnya tentang bagaimana caranya naik banding dan sebagainya.98 Hukum pembuktian pun, yang termasuk hukum acara juga, terdiri dari unsur-unsur materiil maupun formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.99 3.3.1 ALAT BUKTI SURAT Yang dimaksud dengan alat bukti surat atau tulis adalah dokumen yang bersifat tertulis, berisi huruf, angka, tanda baca, kata, anak kalimat atau kalimat, termasuk gambar, bagan atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu mengenai sesuatu hal, yang tertuang diatas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas.100 Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis: a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat seorang pejabat umum, yaitu menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalammnya b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maskud untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. c. Surat-surat lain yang bukan akta.
Akta otentik merupakan alat bukti sempura, akta dibawah tangan juga dapat menjadi alat bukti sempurna sepanjang kedua belah pihak tidak menyangkal tandatangan yang mereka bubuhkan pada akta tersebut. Perbedaan antara kata otentik dan akta dibawah tangan adalah bahwa kata akta dibawah tangan tidak 98
Mertokusumo, op.cit.,hal 110
99
Ibid.
100
Jimly Asshddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, cet.1 (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 148.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
42
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekuatan pembuktian dari suratsurat lain yang bukan akta diserahkan pada pertimbangan hakim, karena suratsurat tersebut sejak awal dibuatnya bukan sengaja untuk dijadikan alat bukti apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.101 Salah satu bentuk bukti surat tertulis itu adalah dokumen resmi seperti peraturan perundang-undangan. Sifat resminya suatu dokumen peraturan perundang-undangan sebagai alat bukti terletak pada sumber referensinya dan pada cara penyajiaanya dalam persidangan. 3.3.2 ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus melihat, mendengar serta mengetahui tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri.102Dari seorang saksi, tentu yang diharapkan adalah keterangan-keterangan yang dapat diberikan tentang fakta, peristiwa hukum maupun hak, baik yang diketahuinya maupun yang didengar atau dilihatnya sendiri. Keterangan saksi yang demikian harus juga disertai alasan bagaimana hal tersebut diketahuinya, ada saksi yang dengan sengaja diminta untuk turut serta menyaksikan suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang dilakukan. Ada juga yang secara kebetulan melihat dan mendengar peristiwa hukum tertentu.103 Keterangan saksi yang hanya memuat pendapat, dugaan, analisis dan kesimpulan yang diperoleh dengan mempergunakan logika bukanlah merupakan kesaksian yang dapat digunakan dalam pembuktian. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya (unus testis nullus testis). Meskipun demikian, kesaksian tunggal tetap dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa. Keterangan saksi demikian 101
Jimly Asshddiqi. op.cit., hal 218
102
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal 166
103
Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 139.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
43
tidak dapat selalu dikesampingkan oleh karena adanya alat bukti petunjuk yang memungkinkan peristiwa atau hal-hal yang berdiri sendiri dibuktikan secara berantai. Hal demikian akan dinilai oleh hakim.104 Hakim dalam melakukan penilaian terhadap keterangan saksi harus sungguh-sungguh memperhatikan nilai persesuaian keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya, pesesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang lainnya, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan keterangan, dan cara hidup serta kepribadian dari saksi tersebut. Selain itu, hakim juga perlu memperhatikan konsistensi dari jawaban saksi. Menjadi saksi merupakan suatu kewajiban hukum bagi semua orang cakap. Apabila diperlukan, saksi tersebut dapat dibawa dengan paksa ke pengadilan dengan meminta bantuan kepolisian menghadirakan orang yang besangkutan ke depan persidangan.105 Kesaksian itu pada pokoknya merupakan keterangan-keterangan yang dapat berisi fakta-fakta yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami sendiri oleh saksi yang memberikan keterangan. Karena itu siapa saja dapat dianggap memenuhi syarat untuk menjadi saksi, kecuali orang yang tidak sehat mental atau sakit jiwa dan untuk kasus-kasus tertentu anak kecil yang belum dewasa.106 Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi: a. Sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan, atau b. Alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan. Dalam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya, ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian
104
Ibid., hal 140.
105
Indonesia (a), op. cit., ps. 38 ayat (4).
106
Jimly Asshiddiqie, op. cit., hal. 221-222.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
44
yang diperkarakan. Apalagi jika saksi yang bersangkutan sengaja diminta hadir menyaksikan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi, sangat relevan menghadirkannya sebagai saksi. Tiap-tiap saksi yang memberikan kesaksian tersebut haruslah disertai dengan alasan-alasan tentang apa sebabnya atau bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan tersebut. Sedangkan terhadap persangkaan atau sangka istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dapat dipandang sebagai kesaksian.107
3.3.2.1.Jangkauan Kebolehan Pembuktian dengan Saksi Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang undang.108 Jadi, pada prinsipnya alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau alat bukti tulisan, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. Apakah memang ada bidang atau hubungan tertentu hanya dapat dibuktikan dengan akta? Ada, seperti pendirian Perseroan Terbatas. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1995 (UUPT), harus dibuat dengan akta resmi dalam bentuk akta notaries. Pasal itu mengatakan, perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaries yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berarti akta notaries merupakan formalitas kausa atau syarat mutlak atas keabsahan eksistensi Perseroan Terbatas. Akta pendirian itulah yang disahkan oleh Menteri Kehakiman. Bertitik tolak dari ketentuan diatas, satu-satunya alat bukti yang dibenarkan hukum untuk membuktikan eksistensi dan keabsahan perseroan, hanya dengan akta notaries. Tidak dapat dibuktikan dengan saksi atau alat bukti lain. Begitu juga Firma menurut Pasal 22 KUHD, harus didirikan dengan akta otentik, sehingga keberadaan dan keabsahannya hanya dapat dibuktikan dengan akta notaries, dan tidak bisa dibuktikan dengan saksi.109
107
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Teori. Praktik. Teknik Membuat dan Permasalahannya. (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2009), hal. 121. 108
Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic Indonesia (Jakarta:Internusa, 1992) hal. 588. 109
Subekti, op.cit., hal. 37.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
45
Larangan pembuktian dengan saksi terhadap isi suatu akta tertentu, didasarkan pada alasan: a) Pada umumnya keterangan saksi kurang dipercaya, karena sering berisi kebohongan; b) Oleh karena itu, akan sering terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi akta; c) Jika hal yang seperti itu dibiarkan, nilai kekuatan pembuktian akta otentik akan kehilangan tempat berpijak; d) Dengan demikian akan lenyap kepercayaan masyarakat atas akta otentik, padahal yang membuatnya adalah pejabat umum.110 Dampak lebih jauh, akan hilang daya kepastian hukum yang ditegaskan suatu akta, karena kalau dibenarkan keterangan saksi menilai isi kebenaran akta, maka dalam praktik hakim boleh menyingkirkan akta otentik berdasar keterangan saksi.111 Menurut
pasal 1902 KUH
Perdata, dalam hal suatu peristiwa atau
hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat dibuktikan dengan tulisan atau akta, namun alat bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan, penyempurnaan pembuktiannya dapat ditambah dengan saksi.112 Ambil contoh Pasal 258 KUHD. Menurut pasal ini, untuk membuktikan diadakannya perjanjian asuransi harus dengan surat, dalam hal ini polis. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 255 KUHD yang menggariskan, pertanggungan (asuransi), harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk surat akta, yang bernama polis. Namun, Pasal 258 KUHD memberi kemungkinan untuk membuktikan kebenaran perjanjian asuransi dengan saksi, dengan syarat apabila ada permulaan pembuktian tulisan.113 Mengenai pengertian permulaan pembuktian tulisan, dijelaskan Pasal 1902 ayat (2) KUHD Perdata, yaitu segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap
110
Yahya Harahap (b), op.cit., hal. 624.
111
Ibid.
112
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1902.
113
A.Pitlo, Pembuktian Dan Daluarsa (terj.), (Jakarta:Internusa, 1986), hal. 11.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
46
siapa tuntutan diajukan atau orang yang mewakili olehnya, dan memberi persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dilakukan orang tersebut. Seperti yang dijelaskan di atas, rasio yang terkandung melarang saksi membuktikan isi akta tertentu,agar jangan sampai timbul praktik, hakim lebih percaya kepada keterangan saksi daripada akta otentik, padahal keterangan saksi pada umumnya tidak dapat dipercaya (unreliable). Banyak penulis yang menggambarkan alat bukti keterangan saksi, tidak dapat dipercaya (unreliable). Berbagai alasan dikemukakan: a. Saksi sering cenderung berbohong, baik sengaja atau tidak; b. Suka mendramatisir, menambah atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya; c. Ingatan manusia atas sesuatu peristiwa, tidak selamanya akurat, sering dipengruhi emosi, baik pada saat menyaksikan peristiwa maupun pada saat memberi keterangan di sidang pengadilan, sehingga kemampuan untuk mengamati dan menerangkan sesuatu, tidak proposional. Berdasarkan berbagai alasan di atas, sudah tepat ketentuan Pasal 1906 KUH Perdata,yang mendudukkan kualitas dan kekuatan pembuktian saksi merupakan nilai kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht ). Pada dasarnya setiap orang yang bukan dari salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Namun ada beberapa pengecualian dati ketentuan itu yaitu: 114 “ Setiap orang yang cakap ( competent ) jadi saksi, sekaligus melekat pada dirinya sifat dapat dipaksa (compellable) menjadi saksi. Jadi secara umum, menjadi saksi dalam perkara perdata merupakan kewajiban hukum yang harus ditaati setiap orang yang cakap. Bagi yang tidak menaatinya, dapat dihadirkan dengan paksa oleh alat kekuasaan Negara.”115 Pendapat yang demikian juga dianut dalam system Common Law. Bagi yang ingkar memenuhinya, dapat dilakukan subpoena ( menghadirkan dengan paksa ). Dan bagi yang menolak panggilan menjadi saksi, dianggap melakukan tindakan contempt of court, yaitu tindakan yang merintangi jalannya proses 114
Muhammad Natsir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 160-163.
115
Yahya Harahap (b) , op.cit., hal. 662.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
47
peradilan atau dengan sengaja merongrong kewibawaan dan merendahkan martabat peradilan.116 Mengenai tata cara pelaksanaan pemaksaan saksi memenuhi kewajiban , merujuk kepada ketentuan Pasal 139-142 HIR, sebagai berikut.117 1. Syarat formil a. Saksi berdomisili di wilayah hukum PN yang memeriksa perkara tersebut b. Saksi mempunyai kedudukan yang urgen dan relevan c. Saksi tidak mau hadir secara sukarela 2. Tata cara pelaksanaan pemaksaan a. Meminta kepada PN untuk menghadirkannya b. Hakim mengeluarkan perintah pemanggilan c. Memanggil sekali lagi, bila ingkar memenuhi panggilan d. Memerintahkan membawa saksi dengan paksa dan menghukum membayar ganti rugi 2.c. Ketidakhadiran Disebabkan Alasan yang Sah Penerapan menghadirkan saksi secara paksa yang dibarengi dengan hukuman membayar biaya dan ganti rugi yang digariskan Pasal 140 dan 141 HIR, apabila keingkaran memenuhi panggilan itu berdasar alasan yang tidak sah atau tanpa alasan (without legal reason ). Akan tetapi, apabila tidak hadirnya saksi memenuhi panggilan disebabkan alasan yang sah ( legal reason ), hakim wajib menghapuskan hukuman yang dijatuhkan kepada saksi.Hal ini digariskan dalam Pasal 142 HIR. Jika tidak hadirnya saksi memenuhi panggilan berdasarkan alasan atau sebab yang sah, hakim wajib menghapuskan segala hukuman yang dijatuhkan kepada saksi.118 Sehubungan dengan itu, agar ketentuan Pasal 142 HIR dapat dimanfaatkan saksi, dia harus mampu membuktikan tentang kebenaran alasan yang menyebabkan tidak dapat hadir memenuhi panggilan. Kewajiban beban bukti
116
Ibid., hal. 611.
117
Ibid, hal. 620.
118
Ibid , hal. 630.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
48
untuk membenarkan adanya alasan yang sah, oleh Pasal 142 HIR dipikulkan kepada saksi tersebut. Berdasarkan teori dan praktik, alasan yang dianggap sah tidak memenuhi panggilan menghadiri sidang, antara lain:119 1. Panggilan tidak diterima, dalam arti panggilan: a. Tidak dilakukan di tempat kediaman orang yang dipanggil; b. Tidak disampaikan langsung kepadanya atau kepada keluarganya c. Jangka waktu pemanggilan dengan hari sidang tidak patut atau kurang dari tiga hari. 2. Karena keadaan tertentu ( particular circumstances ) Alasan lain yang dapat diajukan saksi, terdapat keadaan tertentu (particular circumstances ) yang menybabkan tidak dapat memenuhi panggilan. Agar alasan
keadaan
tertentu
dapat
memiliki
bobot
membenarkan
ketidakhadiran, harus betul-betul menempatkan saksi dalam keadaan yang bersifat imposibilitas absolute. Artinya, keadaan tertentu yang dihadapi saksi, benar-benar secara mutlak menyebabkanya tidak mungkin hadir memenuhi panggilan. Keadaan tertentu yang dianggap sah sebagai alasan yang bersifat imposibilitas, antara lain: a. Pada saat panggilan itu saksi sedang berada di luar negeri atau luar daerah. Mengenai alasan itu, dapat dibuktikan dengan paspor atau tiket kendaraan yang dipergunakan; b. Menderita sakit yang menyebabkannya berada dalam perawatan intensif yang dikuatkan dengan surat keterangan dokter; c. Musibah kematian keluarga.
3.3.2.2. Keterangan Saksi Yang Memenuhi Syarat Sebagai Alat Bukti Seperti halnya pada alat bukti pada umumnya, alat bukti keterangan saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil. Antara kedua syarat itu bersifat kumulatif,bukan alternative. Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi. Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap mengakibatkan saksi yang diajukan tidak sah sebagai alat 119
Ibid, hal. 630-640.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
49
bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil seluruhnya terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti. A. Memenuhi Syarat Formil Menurut undang-undang, terdapat beberapa syarat formil yang melekat pada alat bukti, yang terdiri dari:
1)
Orang yang Cakap Menjadi Saksi Undang-undang membedakan orang yang cakap (competence ) menjadi saksi dengan orang yang dilarang atau tidak cakap ( incompetency ) menjadi saksi. Berdasarkan prinsip umum, setiap orang dianggap cakap menjadi saksi kecuali undang-undang sendiri menentukan lain. Dan apabila undang –undang telah menentukan orang tertentu memberikan keterangan sebagai saksi, maka secara yuridis orang yang bersangkutan termasuk kategori tidak cakap sebagai saksi. Orang yang demikian oleh hukum tidak memenuhi syarat formil sebagai saksi, karena orang demikian dilarang didengar keterangannya sebagai saksi. Orang yang dilarang didengar sebagai saksi, diatur secara enumerative dalam Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG maupun Pasal 1909 KUH Perdata yang terdiri dari: a) Kelompok yang tidak cakap secara absolute b) Kelompok saksi yang tidak cakap secara relative
2)
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
B. Memenuhi Syarat Materiil Syarat materiil saksi sebagai alat bukti berdasarkan pasal 171 HIR adalah keterangan seseorang yang harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas. Dan
sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan
pengalaman, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
50
atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak.120
3.3.2.3. Testimonium De Auditu Salah satu jenis saksi adalah testimonium de auditu atau disebut juga hearsay evidence. Menurut Andi Hamzah , testimonium de auditu adalah keterangan saksi yang mendengar orang lain yang mengatakan atau menceritakan sesuatu.121 Sedangkan pengertian dari hearsay evidence menurut Black’s Law Dictionary adalah Testimony in court of a statement made out of court, the statement being offered as an assertion to show the truth of matters on asserted therein, and thus resting for its value upon the credibility of the out of court asserted.122 Yahya Harahap merumuskan pengertian testimonium de auditu sebagai kesaksian yang berisi keterangan yang bersumber dari pendengaran orang lain. Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan orang lain yang disampaikan kepadanya adalah : 1. Berada diluar kategori keterangan saksi yang dibenarkan pasal 171 HIR dan pasal 1907 KUHPerdata. 2. Keterangan saksi yang demikian hanya berkualitas sebagai testimonial de auditu, yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar orang lain. 3. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan.123
120
Yahya Harahap (b), op.cit., hal. 662.
121
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi Revisi ( Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 120. 122
Henry Campbell Black, Black Law’s Dictionary, (St. Paul: West Publising Co., 1990),
p.722 123
Yahya Harahap (b), op.cit., hal. 662.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
51
Pada dasarnya, testimonium de auditu atau hearsay evidence merupakan kesaksian yang diperoleh dari pendengaran orang lain. Saksi yang memperoleh cerita dari orang lain kemudian memberikan keterangan tentang kejadian yang ia dengar tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa saksi itu tidak melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana. Sebagaimana S.M. Amin menjelaskan bahwa kesaksiaan de auditu merupakan keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar,dilihat , atau dialami bukan oleh saksi sendiri. Namun mengenai keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya tentang kenyataan - kenyataan dan halhal yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut.124 Prinsip umum testimonium de auditu atau hearsay evidence adalah:125 1. Oleh karena bukan keterangan tentang apa yang diketahuinya secara personal (not what he knows personally), tapi mengenai apa yang “diceritakan” orang lain kepadanya (but what others have told him) atau apa yang didengarnya dari orang lain (he has heard said by others), maka: a. Lebih besar kemungkinan tidak benarnya (untrue) b. Karena keterangan yang diberikan tidak berasal dari orang pertama 2. Hearsay evidence berada diluar alat bukti, dan dinyatakan sebagai an out of court statement, karena isi keterangannya hanya merupakan “repetisi” atau pengulangan (repetition) dari apa yang didengar dari orang lain. 3. Testimonium de auditu atau hearsay evidence termasuk juga keterangan yang diberikan di luar proses persidangan (outside the present proceeding).
Berdasarkan dari beberapa pengertian testimonium de auditu tersebut diatas, dapat dilihat bahwa testimonium de auditu tidak memenuhi syarat materiil
124
S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradya Paramita, 1976),
hal.110. 125
Yahya Harahap (a), op..cit.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
52
keterangan saksi yaitu mendengar, melihat, dan mengalami sendiri seperti ketentuan pada pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar sebagaiman diatur dalam pasal 171 HIR126 Keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan, berisi keterangan yang disampaikan tangan pertama (first-hand hearsay) kepada saksi. Dalam Common Law, terdapat berbagai aturan atau ketentuan yang bersifat eksepsional yang membolehkan dan menerima hearsay sebagai alat bukti saksi (testimonial evidence). Akan tetapi jika tidak ada hal yang eksepsional, hearsay evidence dilarang secara absolut (absolutely prohibited), meskipun keterangan yang diberikan benar-benar dipercaya (reliable).127
3.3.3 ALAT BUKTI PERSANGKAAN Pengertian alat bukti persangkaan lebih jelas dirumuskan dalam pasal 1915 KUHPerdata yang berbunyi: Persangkaan adalah kesimpulan yang yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui oleh umum kearah yang tidak diketahui oleh umum128 Dalam kamus hukum alat bukti ini disebut vermoedem yang berarti dugaan atau presumptie , berupa kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum diketahui.129 Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, namun fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa
mempergunakan
persangkaan
sebagai
perantara
(intermediary),
126
Reglement Indonesia Yang Diperbaharui S. 1941 No 44 RIB (HIR) , ps. 171.
127
Yahya Harahap (b), op.cit., hal. 666.
128
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps. 1915.
129
Yahya Harahap (b), op.cit., hal. 669.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
53
pelaksanaan imposibilitas.
pembuktian
berada dalam
keadaan
ketidakmungkinan
atau
130
Sekiranya dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bias langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksikan kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut. Baik pasal 173 HIR atau pasal 310 RBG, tidak mengklasifikasi alat bukti persangkaan. Akan tetapi, KUH Perdata mengatur klasifikasi bentuk dan jenis persangkaan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 1915 KUH Perdata. 1) Persangkaan menurut Undang-Undang Disebut juga persangkaan hukum (rehtsvermoeden) atau persangkaan undangundang (wettelijke vermoeden). Bentuk persangkaan undang-undang terbagi dua, yaitu: o persangkaan menurut undang-undang yang tidak dapat dibantah atau irrebuttable presumption of law; o persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah atau rebuttable presumption of law. 2) Persangkaan Hakim Bentuk persangkaan ini diatur dalam pasal 1922 KUH Perdata, berupa persangkaan berdasarkan kenyataan yang biasa disebut fetelijke vermoeden atau presumptions of fact. Bentuk persangkaan ini tidak berdasarkan undangundang tetapi diserahkan kepada pertimbangan hakim, dengan syarat asal bersumber dari fakta-fakta yang penting.
Dalam Pasal 173 HIR, Pasal 1922 KUH Perdata, undang-undang menyerahkan
kepada
pendapat
dan
pertimbangan
hakim
untuk
mengkonstruksikan alat bukti persangkaan yang bertitik tolak atau bersumber dari alat bukti yang telah ada dalam persidangan.
130
Ibid, hal. 670.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
54
3.3.4 ALAT BUKTI PENGAKUAN Pengertian pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1923 KUHPerdata, pasal 174 HIR adalah : a) Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara . b) Pernyaan atau keterangan tersebut dilakukan dimuka hakim atau dalam sidang pengadilan c) Keterangan itu merupakan pengakuan (bekentenis,confession) bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.
Pengakuan yang diberikan dengan sukarela (voluntary), bukan dengan paksaan baik secara fisik dan psikis harus dianggap selamanya benar. Tidak menjadi masalah apakah pengakuan tersebut mengandung kebohongan, hakim mesti menerima dan menilainya sebagai pengakuan yang berisi kebenaran. Yang berhak memberikan pengakuan, diatur dalam Pasal 1925 KUH Perdata sebagai berikut:
a. Dilakukan principal sendiri Yang paling berwenang member atau melakukan pengakuan adalah principal atau pihak materiil sendiri, yaitu yang langsung bertindak sebagai penggugat atau tergugat. Dalam pasal 1925 KUH Perdata, disebut :dilakukan sendiri” atau menurut versi Pasal 174 HIR “diucapkan sendiri oleh principal. Cara ini yang terbaik karena dilakukan sendiri oleh pihak yang paling berkepentingan atas pengakuan, dan pada dasarnya dia yang paling mengetahui batas-batas yang dapat atau tidak dapat diakui.
b. Dengan Perantara Kuasa Pasal 1925 KUH Perdata, Pasal 174 HIR member wewenang juga kepada kuasa untuk melakukan atau mengucapkan pengakuan. Dasar landasan kewenangan kuasa melakukan atau mengucapkanpengakuan, dapat dijelaskan sebagai berikut: Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
55
1) dengan surat kuasa Istimewa 2) dengan surat kuasa khusus Berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, pengakuan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) dilakukan dengan tegas; 2) dilakukan dengan diam-diam, dalam arti tidak mengajukan bantahan atau sangkalan; 3) mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas.
3.1.5. ALAT BUKTI SUMPAH DI MUKA HAKIM Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan: -
Agar orang
yang bersumpah dalam memberikan keterangan atau
pernyataan itu, takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong. -
Takut akan murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya. Agar sumpah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka harus
memenuhi syarat formal sebagai berikut: c. Ikrar diucapkan dengan lisan Sumpah sebagai alat bukti dalam acara perdata adalah ikrar yang diucapkan oleh orang yang bersumpah. Ikrar tidak mungkin dilakukan selain diucapkan secara lisan. d. Diucapkan di muka Hakim dalam Persidangan Sumpah harus dilakukan dihadapan Hakim dalam sidang Pengadilan. Menurut Pasal 1944 KUH Perdata, sumpah harus diangkat atau diucapkan dihadapan Hakim yang memeriksa perkaranya. Namun demikian, Pasal 1944 KUH Perdata maupun Pasal 158 ayat (1) HIR, memberi kemungkinan melaksanakan pengucapan sumpah di rumah yang bersumpah berdasarkan alasan tertentu. Alasan yang dianggap sah, apabila adanya halangan yang sedemikian rupa, sehingga secara absolut orang itu berada dalam kondisi tidak mungkin
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
56
datang (impossibilitas) datang menghadiri persidangan.Halangan yang paling objektif dan rasional apabila orang itu sakit. e. Dilakukan di hadapan pihak lawan Berdasarkan Pasal 1945 ayat (4) KUH Perdata, Pasal 158 ayat (2) HIR, sumpah hanya boleh diambil di hadapan pihak lain. Namun demikian ada pengecualian dimana pengucapan sumpah boleh dan sah meskipun tidak dihadiri pihak lawan, apabila dia ingkar menghadiri sidang walaupun telah dipanggil secara patut. f. Tidak Ada Alat Bukti Lain Penerapan alat bukti sumpah yang menentukan (decisoireed) baru memenuhi syarat formil, apabila sama sekali tidak ada bukti lainatau tidak ada upaya lain. Secara total para pihak tidak mampu mengajukan alat bukti tulisan, saksi, maupun persangkaan dan pihak tergugat tidak mengakui dalil gugatan. Kalau para pihak memiliki alat bukti lain yang diajukan di persidangan, dilarang menerapkan alat bukti sumpah. Jika cara demikian diperbolehkan, proses peradilan bisa melanggar asas peradilan yang jujur (fair trial). Kalau alat bukti yang lain ada dan cukup untuk membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan, dilarang menerapkan alat bukti sumpah. Alat bukti sumpah baru boleh diterapkan, apabila sama sekali tidak ada bukti lain atau alat bukti yang ada tidak mampu menguatkan dalil gugatan atau dalil bantahan.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
57
BAB 4 ANALISIS PUTUSAN PHI No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG ANTARA PT. SINAR MULIA PERKASA DENGAN EARLY SOBARLI-YUDHASARI PARDIKAN
4.1. KASUS POSISI Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja ini berawal pada tanggal 16 April 2008, Early Sobarly (Tergugat I) dan Yudhasari Pardikan (Tergugat II) (Tergugat I dan Tergugat II selanjutnya disebut Para Tergugat) melayani 2 (dua) orang mysterious guest yang bukan anggota Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung (Hotel HRB) yang hendak menggunakan fasilitas fitness. Mysterious guest ke-1 tiba di Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung sekitar pukul 15.16 WIB dan melakukan pembayaran tunai sejumlah Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) kepada Tergugat II, mysterious guest ke-2 tiba di Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung sekitar pukul 16.24 WIB dan melakukan pembayaran tunai sejumlah Rp 150.000,(seratus lima puluh ribu rupiah) kepada TERGUGAT I; Pada sore hari ketika hendak closing, Income Auditor mengadakan pengecekan ke Club Olympus, Hotel HRB, Income Auditor tidak menemukan adanya guest check dan transaksi tunai terhadap kedua mysterious guest tersebut. Pada waktu Income Auditor menanyakan tentang kedua mysterious guest tersebut kepada Para Tergugat, Tergugat I mengatakan bahwa tidak ada transaksi tunai, sedangkan Tergugat II juga mengatakan bahwa Misterious Guest ke-1 tidak membayar tunai akan tetapi memakai Voucher CATH atas nama Dewi.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
58
Atas keterangan tersebut Income Auditor menuliskan laporan bahwa Para Tergugat telah melakukan penggelapan uang dari kedua mysterious guest yang dikirim oleh Perusahaan guna mengecek kredibilitas dan kejujuran setiap karyawan Hotel Hyatt Regency Bandung. Atas penemuan tersebut, Income Auditor selanjutnya melaporkan kepada Direktur Keuangan Hotel HRB dan Direktur Keuangan Hotel HRB kemudian memanggil Para Tergugat dan bertanya kepada Para Tergugat secara bergantian. Berdasarkan keterangan Para Tergugat kepada Direktur Keuangan Hotel HRB, Tergugat I akhirnya mengakui bahwa ada tamu yang membayar tunai dan uangnya disimpan di saku celana Tergugat I, dan Tergugat II juga mengakui bahwa Misterious Guest ke-1 bukan bernama Dewi dan tidak membayar dengan Voucher CATH
melainkan secara tunai sebesar
Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) serta uang tersebut tidak disimpan di cash drawer Club melainkan di laci yang hanya diketahui Tergugat II; Atas tindakan Para Tergugat yang telah melakukan penggelapan dan keterangan bohong kepada Income Auditor maka PT. Sinar Mulia Perkasa sebagai pemilik Hotel Hyatt Regency Bandung (Penggugat) mengeluarkan surat skorsing dalam Proses PHK selama 6 bulan kepada Para Tergugat pada tanggal 21 April 2008; PT. Sinar Mulia Perkasa kemudian melakukan mediasi bipartit dengan Early Sobarly dan Yudhasari Pardikan dengan didampingi oleh Serikat Pekerja Mandiri Hotel HRB, namun setelah lebih dari 30 hari belum mencapai kesepakatan, maka PT. Sinar Mulia Perkasa kemudian mendaftarkan perselisihan PHK kepada Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung untuk segera dilakukan mediasi Tripartit. Setelah dilakukan pertemuan tripartit antara pengusaha, pekerja dan mediator dari suku dinas Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung maka mediator mengeluarkan anjuran sebagai berikut: a.Memerintahkan PT. Sinar Mulia Perkasa untuk mempekerjakan kembali Early Sobarli dan Yudhasari Pardikan pada posisi semula atau yang setara dengannya. Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
59
b. Memerintahkan Pt. Sinar Mulia Perkasa untuk memanggil Early Sobarli dan Yudhasari Pardikan untuk bekerja kembali paling lambat 7 hari setelah anjuran ini dikeluarkan. Atas anjuran tersebut, PT. Sinar Mulia Perkasa menyatakan menolak anjuran tersebut dan selanjutnya mendaftarkan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada PN Bandung. 4.2. PETITUM131 Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang diajukan di dalam surat gugatan, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim PHI pada PN Bandung untuk memutus sebagai berikut: PRIMAIR: a. Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT seluruhnya; b. Menyatakan
PARA
TERGUGAT
melakukan
perbuatan
yang
melampaui batas kewenangan dan kewajibannya yang menimbulkan ketidakpastian dan hilangnya kepercayaan sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan hubungan kerja antara PENGGUGAT dengan PARA TERGUGAT; c. Menyatakan ketidakpastian serta ketidakharmonisan hubungan kerja antara PENGGUGAT dengan PARA TERGUGAT dalam keadaan mendesak; d. Menyatakan bahwa hubungan kerja antara PENGGUGAT dengan PARA TERGUGAT putus terhitung sejak 21 April 2008; e. Menetapkan biaya perkara menurut hukum;
SUBSIDER: Jika Pengadilan berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono);
131
Lihat putusan No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
60
4.3. AMAR PUTUSAN132 Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Bandung, dalam Amar Putusan judex No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG, tanggal 18 Juli 2011, menyatakan sebagai berikut : MENGADILI DALAM EKSEPSI : Menolak Eksepsi para Tergugat untuk seluruhnya. DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menghukum Penggugat untuk mempekerjakan kembali Tergugat I EARLY SOBARLY dan Tergugat II YUDHASARI PARDIKAN; 3. Menghukum Penggugat memanggil Tergugat I dan Tergugat II secara tertulis untuk bekerja kembali selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak Putusan diucapkan;
4. Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II untuk melapor bekerja kembali pada Penggugat selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak putusan diucapkan; 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp. 394.000,(tiga ratus sembilan puluh empat ribu rupiah) 4.4. Bukti-Bukti di Persidangan133 Bukti-bukti yang diajukan Penggugat untuk menguatkan dalil-dalil gugatan adalah sebagai berikut: 1. Bukti P – 1 : Foto copy sesuai dengan asli Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Hyatt Regency Bandung, Bab I,
Pasal 1, tentang Pihak-Pihak
Yang Mengadakan Kesepakatan. 2. Bukti P – 2: Foto copy sesuai dengan asli PKB Hyatt Regency Bandung, Bab I, Pasal 3 Poin 1 tentang Pengusaha. 3. Bukti P – 3: Foto copy sesuai dengan asli PKB Hyatt Regency Bandung, Bab I, Pasal 3 Poin 2 tentang Hotel.
132
Lihat amar putusan No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG
133
Lihat putusan No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
61
4.
Bukti P – 4 : Foto copy sesuai dengan asli PKB Hyatt Regency Bandung, Bab II, Pasal 5 Poin 2 tentang Pengakuan.
5. Bukti P – 5 : Foto copy sesuai dengan asli Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung No. 567/2494-Disnaker tanggal 20 Mei 2009. 6. Bukti P – 6 : Foto copy sesuai dengan asli Risalah Mediasi Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 7. Bukti P – 7 : Foto copy dari copy Surat Tanggapan Anjuran dari Hyatt Regency Bandung tertanggal 2 Juni 2009 tentang Penolakan Anjuran dari Mediator Disnaker Kota Bandung No. 567/2494-Disnaker tertanggal 20 Mei 2009. 8. Bukti P – 8 : Foto copy dari Copy Surat Perpanjangan ke-12 PKB Hyatt Regency Bandung Periode 2006-2008. 9. Bukti P – 9 : Foto copy sesuai dengan asli Surat Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bandung No. 567/2494-Disnaker tentang Keterangan Pekerja. 10. Bukti P – 10 : Foto copy dari Copy Surat Skorsing untuk TERGUGAT I, tertanggal 21 April 2008. 11. Bukti P – 11 : Foto copy dari Copy Surat Skorsing untuk TERGUGAT II, tertanggal 21 April 2008. 12. Bukti P – 12 : Foto copy dari Copy Berita Acara Penyerahan Upah dari PENGGUGAT kepada TERGUGAT I. 13. Bukti P – 13 : Foto copy dari Copy Berita Acara Penyerahan Upah dari PENGGUGAT kepada TERGUGAT II. 14. Bukti P -14 : Foto copy dari Copy Surat Pernyataan TERGUGAT I tentang Kronologis kejadian pada tanggal 16 April 2008. 15. Bukti P-15: Foto copy dari
Copy Surat Pernyataan TERGUGAT II
tentang Kronologis kejadian pada tanggal 16 April 2008. 16. Bukti P – 16 : Foto copy dari Copy Policies and Procedures Bagian Prosedur angka 4 beserta terjemahannya dari Penterjemah Tersumpah. 17. Bukti P – 17 : Foto copy dari Copy Report of Mystery Shopper Program beserta terjemahannya dari Penterjemah Tersumpah. Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
62
18. Bukti P – 18 : Foto copy dari Copy
Spot Check Club Olympus Form
tanggal 16 April 2008 19. Bukti P – 19 : Foto copy dari Copy Tribun Jabar.co.id, hari Rabu, tanggal 23 maret 2011, Penulis Kemal Setia Permana, Judul Berita “Meski Terbukti, Yudha Early divonis bebas”. 20. Bukti P –20 : Foto copy dari Copy Putusan Peninjauan kembali No. 096 PK/Pdt. Sus/2010 tanggal 24 Agustus 2010 yang telah menguatkan Putusan MA No.839 K/PDT.SUS/2008 tanggal 11 Pebruari 2009 jo Putusan PHI pada PN Samarinda No. 07/G/2008/PHI.Smda tanggal 12 Mei 2008. 21. Bukti P-21 : Foto copy sesuai dengan asli Tanda Terima Berkas Surat Gugatan Perkara No. 41/G/2011/PN.BDG tertanggal 4 April 2011 22. Bukti P-22: Foto copy dari copy Putusan Mahkamah Agung No. 743.K/Pdt.Sus/2010 4.5. Keterangan Saksi Yang Didengarkan Dipersidangan Kuasa Penggugat telah mengajukan 2 (dua) orang saksi yang dapat menguatkan dalil gugatannya. Kedua orang saksi tersenut adalah M. YUSUP dan RIAN MILANA TUMANGGOR. Keterangan kedua orang saksi tersebut di depan persidangan adalah sebagai berikut: 4.5.1. Keterangan saksi M.YUSUP134 -
Bahwa dasar gugatan Penggugat karena ketidakharmonisan dalam pekerjaan ada permasalahan pidana melakukan penggelapan dan dilaporkan ke Polisi;
-
Bahwa dasar laporan dari HRD karena saksi sebagai security saja;
-
Bahwa saksi kenal dengan Early Sobari dan Yudhasari Pardikan keduanya bekerja di Olympus, dan Early Sobari di fitness kalau Yudhasari Pardikan Instruktur;
-
Bahwa ketidakharmonisan antara Penggugat dan Tergugat I,II karena awalnya Tergugat I,II diduga melakukan penggelapan uang sejumlah Rp. 150.000,-;
-
Bahwa saksi selain yang Rp. 150.000,- saksi tidak tahu; 134
Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
63
-
Bahwa saksi pernah bertemu dengan Tergugat I,II tapi mereka baik-baik saja;
-
Bahwa saksi tidak melihat kejadiannya karena saksi bertugas diluar saja;
-
Bahwa saksi tidak tahu tindakan Tergugat I,II yang meresahkab, yang saksi tahu tidak harmonis saja karena ada penggelapan selanjutnya manager HRD menyuruh lapor ke Polisi.
-
Bahwa saksi suka ketemu dengan Tergugat dan hanya melihat dari luar Tergugat tidak meresahkan karyawan;
-
Bahwa kalau kejadia tahun 2008 dan bulannya saksi lupa lagi;
-
Bahwa kalau tugas Tergugat I di Fitness melatih dan Tergugat II instructor aerobic;
-
Bahwa saksi tidak tahu prosedur anggota Fitness karena bukan bidang sakksi;
-
Bahwa saksi tidak tahu uang Rp. 150.000,- yang diterima Tergugat I, II dab HRD bilang Tergugat I,II diduga melakukan penggelapan terus saksi lapor ke Polisi;
-
Bahwa saksi bekerja di Penggugat kurang lebih 9 tahun;
-
Bahwa di PT. SINAR MULIA PERKASA ada PKB;
-
Bahwa berdasarkan PKB kalau ada tindak pidana merupakan pelanggaran berat;
-
Bahwa berdasarkan PKB Lampiran 4 nomernya lupa disitu menyatakan bila melakukan penggelapan merupakan pelanggaran berat, tapi tidak dicantumkan kalau ada Putusan Pengadilan;
-
Bahwa perusahaan namanya PT. SINAR MULIA PERKASA dan Hyatt pengelolanya;
-
Bahwa perusahaan dirugikan dalam hal ini juga namanya;
-
Bahwa Saksi tidak mengetahui ada surat peringatan kesatu atau kedua;
-
Bahwa Tergugat I,II dilaporkan ke Polres Bandung Tengah;
-
Bahwa waktu saksi lapot Tergugat I,II masih bekerja keesokan harinya;
-
Bahwa system pembayaran upah karyawan melalui Rekening;
-
Bahwa saksi tahu ada putusan pengadilan tapi tidak begitu jelas;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
64
-
Bahwa Tergugat I,II sekarang sudah tidak bekerja lagi dan mengenai upah sudah dibayar atau belum saksi tidak yahu;
-
Bahwa masalah audit oleh direktur accounting saksi tidak tahu
uang
diserahkan atau tidak; -
Bahwa anggota saksi ada 30 orang dibagi 3 shift pagi siang malam;
-
Bahwa saksi tidak tahu tamu yang dating ke tempat Fitness;
-
Bahwa saksi tahu ada uang yang digelapkan dari HRD;
-
Bahwa saksi tidak sempat mengintrogasi Tergugat I,II karena perintah HRD segera lapor jadi saksi lapor;
-
Bahwa saksi tidak tahu pastinya Tergugat I,II menggelapkan karena saksi tahunya menurut informasi;
-
Bahwa saksi tidak tahu asal mula uang Rp. 150.000,- dari siapa
-
Bahwa saksi tidak tahu kalau Tergigat I,II menerima Rp. 150.000,- dari orang;
-
Bahwa di PKB skorsing 6 bulan dan PKB masih berlaku;
-
Bahwa saksi belum pernah baca putusan Pengadilan perkara pidana Tergugat I,II;
-
Bahwa PT. SINAR MULIA PERKASA nama perusahaan tapi pengelola Hyatt dan Tergugat I,II karyawan PT. SINAR MULIA PERKASA;
-
Bahwa di Olympus tidak ada anggota yang jaga;
-
Bahwa Olympus adalah milik PT. SINAR MULIA PERKASA;
-
Bahwa Tergugat II sebagai instruktur saja tugasnya melatih dan detailnya saksi tidak tahu;
-
Bahwa saksi lupa lagi apa Hyatt berbadan hukum atau tidak, yang saksi tahu Hyatt adalah Pengelolanya;
-
Bahwa manajemen PT. SINAR MULIA PERKASA dipimpin oleh Hyatt, yang bertanggug jawab ke PT. SINAR MULIA PERKASA termasuk gaji karyawan;
-
Bahwa yang mengambil keputusan Pak Arifin;
-
Bahwa Olympus sekarang sudah tidak ada lagi sejak tahun 2010 diganti oleh Audisius dan operasionalnya baru 1 bulan;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
65
-
Bahwa Pegawai Olympus ditransfer ke Dewpartemen lain, ada yang ke bagian Engineer, ada juga ke front office;
-
Bahwa saksi belum pernah menerima laporan bahwa Tergugat I,II tersangkut penggelapan lainnya;
-
Bahwa saksi tidak tahu kalau Tergugat I,II diberi surat peringatan;
-
Bahwa berdasarkan laporan dari HRD yang digelapkan Tergugat I Rp. 150.000,- dan Tergugat II Rp. 150.000,-;
4.5.2. Keterangan saksi RIAN MILANA TUMANGGOR135 -
Bahwa saksi bekerja sebagai asisten accounting Hyatt;
-
Bahwa saksi kenal dengan Tergugat I,II dan ke saksi baik;
-
Bahwa Tergugat I,II beerja di Olympus;
-
Bahwa persoalan antara Penggugat dengan Tergugat I,II tidak ada keharmonisan lagi dalam hubungan kerja;
-
Bahwa ketidakharmonisan dalam hubungan kerja karena Tergugat I,II melakukan kesalahan prosedur yang sudah ditetapkan;
-
Bahwa Tergugat I,II menyalahi prosedur karena menerima uang cah/tunai tidak disetorkan ke dalam Micros atau mesin untuk mendata pemasukan uang dari tamu;
-
Bahwa jumlah uang yang tidak dimasukkan ke dalam Micros oleh Tergugat I,II ialah Rp. 300.000,-
-
Bahwa kalau sifat Tergugat I,II sehari-hari, saksi tidak tahu karena beda bagian;
-
Bahwa kalau ada karyawan yang salah, karyawan tersebut dipanggil dulu, kalau kesalahan berat langsung dipecat;
-
Bahwa Tergugat I,II diskorsing 6 bulan, dan gaji dibayar sampai Juli 2010;
-
Bahwa hal lainyya karena ada bayar cash tidak disetor sehingga perusahaan tidak percaya lagi kepada Tergugat I,II
-
Bahwa sebelumnya karyawan sudah diberi tahu kalau ada pembayaran harus dimasukkan ke dalam mesin Micros;
-
Bahwa untuk kejadian ini diaudit yang bayar cash; 135
Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
66
-
Bahwa pada saat dicek pendapatan yang seharusnya didapat Hyatt ternyata tidak ada;
-
Bahwa uang pemasukan dimasukkan ke mesin Micros dulu dan dicek sehingga kelihatan cash flownya, pada saat dicek ada 2(dua) tamu yang bayar cash tapi oleh Tergugat I,II uang tidak disetorkan;
-
Bahwa uang yang tidak disetorkan dari daftar 2 (dua) orang tamu, saksi tahu karena keua tamu misterius tersebut sengaja didatangkan oleh Perusahaan;
-
Bahwa kedua tamu tersebut sengaja didatangkan untuk mengecek integritas ssetiap karyawan;
-
Bahwa uang kedua orang tamu tersebut diberikan dari Perusahaan dan semua bagian juga dicek apa prosedur telah dilakukan dengan benar atau tidak;
-
Bahwa cara mengecek uang yang dimasukkan ke dalam mesin Micros dan dicek berdasarkan report dari mesin tadi;
-
Bahwa alasan Early uang tidak dimasukkan ke dalam mesin katanya sibuk jadi dimasukkan saku dan kalau Yudhasari karena tidak bias memasukkan uang ke mesi, tidak bias memposting;
-
Bahwa Olympus sekarang sudah tidak ada dan dikelola pihak ketiga yang namanya Audisius;
-
Bahwa bekas karyawan Olympus ada yang di Audisius dan ada yang ditransfer ke bagian lain dan ada juga yang ke front office
-
Bahwa ketidakharmonisan antara Penggugat dengan Tergugat I,II karena Penggugat tidak percaya lagi ke Tergugat I,II;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui jeda waktu skorsing;
-
Bahwa di Perusahaan ada PKB;
-
Bahwa perbuatan Tergugat berdampak luas berpengaruh ke yang lainyya;
-
Bahwa Tergugat I,II merugikan secara Financial;
-
Bahwa Hyatt setiap bulan melakukan investigasi dengan tujuan untuk integritas masing-masing karyawan;
-
Bahwa Tergugat I,II ditanya ada tamu bayar tidak, Tergugat bilang tidak ada tamu yang bayar; Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
67
-
Bahwa kedua tamu tersebut dipersiapkan oleh manajemen;
-
Bahwa Tergugat I,II waktu pertama kali tidak mengaku akan tetapi setelah dipaksa akhirnya Early mengkui bahwa uang dimasukkan ke sakunya karena dia sedang sibuk dan Yudhasari bilang dia tidak bias memasukkan uang ke dalam mesin Micros;
-
Bahwa ukurang sibuk apabila tamu lebih dari 10 orang;
-
Bahwa waktu membuat Berita Acara tidak ada tekanan karena saksi ada disitu waktu itu;
-
Bahwa kalau ada tamu yang dating dan tidak mau menulis daftar tamu atau tidak ditanya identitas tidak apa-apa;
-
Bahwa waktu itu diaudit jam 4-5 dan Tergugat waktu dipanggil jam 5 sore;
-
Bahwa saksi tidak tahu apakah ada uang yang diambil Tergugat I,II atau tidak, ada uang yang hilang dari Perusahaan;
-
Bahwa saksi tidak tahu apakah Yudhasari bias melakukan posting atau tidak;
-
Bahwa Drower untuk menyimpan uang perusahaan dan Yudhasari tidak mempunyai kartu Micros;
-
Bahwa tetang prosedur posting harus mempunyai kusci dan tidak semua karyawan tahu kuncinya, hanya orang-orang tertentu saja;
-
Bahwa Accounting tidak selalu tahu apa yang terjadi di posting.
Sedangkan Kuasa Hukum Para Tergugat telah mengajukan 5 (lima) orang saksi yang dapat menguatkan dalil gugatannya. Kelima orang saksi tersenut adalah SUDARTA, JUM FRIZAL, KAMSU SUGANDI, R. INDARTRIANNI,S.H., MARSANA,SH.M.Hum (saksi Ahli).
Keterangan kelima orang saksi tersebut di depan persidangan adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
68
4.5.3. Keterangan Saksi SUDARTA136 -
Bahwa permasalahan Penggugat dan Tergugat I,II tidak mengetahui tapi kebetulan saksi satu shift dengan Early;
-
Bahwa saksi tahu ada mysterious guest setelah kejadian;
-
Bahwa ada mysterious guest masuk Hotel mau fitness, kalau mengenai pembayarannya saksi tidak tahu karena saksi di bagian atas menjaga kolam renang;
-
Bahwa tugas saksi adalah mengawasi tamu yang sedang berenang dan bantu-batu;
-
Bahwa cara bekerja di perusahaan double job kadang instruktur merangkap bartender, dan kalau ada temen yang mau makan, saksi gantikan, suka menghandle pekerjaan lain;
-
Bahwa saksi tahu ada uang yang tidak disetorkan oleh para Tergugat begitu kejadian;
-
Bahwa waktu itu Perusahaan memang sedang menilai sampai dimana cara kerja kita;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui cara penilaian karena saksi tidak dikasih tahu;
-
Bahwa Early tugas di Fitness tapi biasa pegang kebersihan di area fitness;
-
Bahwa kalau tamu luar masuk ke Fitness bukan anggota dikenakan biaya Rp. 150 ribu;
-
Bahwa mekanisme pembayaran tamu luar yang fitness kalau Yudhasari ada disitu, Yudhasari yang bawa uangnya terus diposting;
-
Bahwa selanjutnya setelah tamu bayar uang dimasukkan dijepret terus closing jam 9 malam;
-
Bahwa saksi tidak tahu mengenai uang dari tamu, saksi tahunya ada tamu dari luar, dan saksi tahu masalah Tergugat I,II hanya mendengar masalah keuangan saja dan selanjutnya saksi tidak tahu;
136
Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
69
-
Bahwa uang dari tamu misterius tersebut disetorkan hari itu juga jam 9 malam sebelum closing dan dimasukkan dalam amplop terus dimasukkan ke dalam box;
-
Bahwa tidak ada bukti perusahaan dirugikan karena uang mysterious guest sudah disimpan didrower dan biasa dilakukan oleh siapapun setiap pembayaran tunai disimpan didrower;
-
Bahwa saksi lupa lagi apakah setelah dilaporkan ke Polisi esoknya Tergugat I,II kerja lagi atau tidak;
-
Bahwa kalau mengenai voucher tamu dating voucher dikumpulkan;
-
Bahwa Tergugat I, II dipanggil Accounting
-
Bahwa uang diserahkan sebelum closing;
-
Bahwaaccounting menanyakan tentang Mysterious guest;
-
Bahwa di Perusahaan ada PKB;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui kalau Tergugat I,II menerima uang dari Mysterious guest;
-
Bahwa saksi tahu Tergugat I,II menerima uang tunai setelah dipanggil;
-
Bahwa saksi tahu uang telah disetor dari Tergugat I,II yang bilang kepada saksi;
-
Bahwa saksi tahu ada investigasi setelah kejadian;
-
Bahwa orang yang dating ke Fitness bias pakai voucher dengan cara membeli, dan kalau langsung dating, voucher disimpan;
-
Bahwa Tergugat I,II telah melakukan kesalahan disiplin kerja;
-
Bahwa saksi baca PKB namun tidak tahu semua isi PKB tersebut;
-
Bahwa tuduhan terhadap Tergugat I,II tidak terbukti di Pengadilan Negeri;
-
Bahwa prosedur kalau menerima uang dari tam uterus tidak ada kasir maka menyimpan uang didrower biasa dilakukan oleh karyawan;
-
Bahwa yang tahu membuka Micros hanya orang tertentu;
-
Bahwa kalau saksi menerima uang dan tidak ada kasir maka saksi akan menjepret uang tersebut dan memasukkannya ke dalam drower;
-
Bahwa Early memiliki kartu Micros ia bias langsung posting, tapi bias disimpan dulu karena waktu closing jam 9 malam; Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
70
-
Bahwa seharusnya mengecek uang sudah dimasukkan ke Micros atau belum harus jam 9, kalau jam 10malam sudah tidak bias;
-
Bahwa kalau jam 9 ke bawah masih kewenangan Tergugat sebelum closing untuk diposting;
-
Bahwa tamu yang bayar tidak dicatat seperti dalam Bukti P-18 saksi baru tahu sekarang, karena Bukti P-18 itu punya Accounting;
-
Bahwa kalau menerima uang pembayaran tunai terus ke kasir dan kalau kasir tidak ada terus uang dijepret dimasukkan ked rower;
-
Bahwa semua pembayaran bias dimasukkan ke dalam drower kalau drower lain saksi tidak tahu;
-
Bhawa audit biasanya hanya ngecek mesin ada uang masuk atau tidak;
-
Bahwa prioritas di Perusahaan adalah melayani tamu dulu;
-
Bahwa Tergugat I,II sudah bekerja kurang lebih 13 tahun;
-
Bahwa Tergugat I,II orangnya rajin, dan tidak suka melawan atasan;
-
Bahwa tidak ada orang yang mengatakan Tergugat I,II adalah orang tidak baik;
-
Bahwa Yudhasari karyawan teladan jadi pegawai terbaik, dan Early suka bikin acara di Hotel, prestasinya bagus;
-
Bahwa yang menentukan baik tidaknya adalah atasan;
-
Bahwa sekarang namanya Grand Audisius bukan Olynpus dan karyawan bekas Olympus ditransfer ke departemen lain;
-
Bahwa saksi tidak tahu di PKB orang yang baik mempunyai kondite bagus tapi punya kesalahan;
-
Bahwa Tergugat II membuat keterangan yang ada dalam Bukti P-15 dalam tekanan;
4.5.4. Keterangan Saksi JUM FRIZAL137 -
Bahwa kasus Tergugat I,II waktu saksi menjabat sebagai Ketua SPM, ada kejadian pelanggaran prosedur kerja dari Manajemen, karena saksi pernah jasi asisten manager House keeping;
137
Bahwa saksi menjabat ketua SPM sejak tahun 2008 s/d 2009; Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
71
-
Bahwa waktu Tergugat I,II dipanggil oleh manager tidak didampingi saksi;
-
Bahwa yang dipersoalkan adanya uang yang tidak disetorkan ke kasir oleh Tergugat I,II;
-
Bahwa skorsing sudah dilakukan 6 bulan;
-
Bahwa skorsing belum terjadi PHK gajinya dibayar penuh sesuai bukti skorsing P-10;
-
Bahwa selama bekerja hubungan antara Tergugat dengan Manajemen harmonis;
-
Bahwa gaji Tergugat I,II pernah diberhentikan dan saksi pernah lapor ke Disnaker tapi tidak dibayar;
-
Bahwa karena tidak dibayar terus, saksi ke Disnaker lagi dan gaji dibayar dari bulan Januari 2009 sampai dengan Juli 2010;
-
Bahwa sampai sekarang gaji tidak dibayar padahal masih skorsing;
-
Bahwa saksi sudah melakukan Bipartit ke Manajer katanya kasus sudah di Pengadilan;
-
Bahwa Manajemen tidak berjanji kalau kasus ini selesai di Pengadilan akan dipekerjakan kembali;
-
Bahwa aturan skorsing PKB 6 bulan dari April gaji dibayar penuh;
-
Bahwa Juli 2010 Tergugat I,II tidak bekerja tapi dibayar penuh;
-
Tergugat I,II mulai tidak bekerja bulan April 2008;
-
Bahwa surat tanggal 21 April 2008 yang menyatakan kalau tidak terbukti uang servis akan dikembalikan sampai sekarang uang servis masih di Manager;
-
Bahwa setelah 6 bulan, saksi mendatangi Manager dan kata Manager nunggu Putusan Pengadilan, tapi tidak memperpanjang skorsing;
-
Bahwa kalau orangnya sakit, uang servis dikasih, kalau skrorsing tidak dikasih uang servis.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
72
4.5.5. Keterangan saksi KAMSU SUGANDHI138 -
Bahwa yang saksi ketahui Tergugat digugat Penggugat karena hubungan disharmonis antara Penggugat dan para Tergugat I,II;
-
Bahwa hubungan kurang harmonis dasarnya kasus yang sudah diputus di Pengadilan Negeri Bandung;
-
Bahwa mekanisme pembayaran setiap ada pembayaran biasanya dilakukan posting atau dimasukkan ke dalam mesin Micros itu kalau tidak ada halangan;
-
Bahwa kalau kerja setiap hari sampai jam 9 malam kalau di bawah jam 9 malam belum pulang, belum diposting bukanlah pelanggaran karena system posting dilakukan dua kali;
-
Bahwa Tergugat I, Early sebagai Bak tender bersih-bersih merangkap kasir;
-
Bahwa Tergugat II, Yudhasari bagian instruktur senam;
-
Bahwa sewaktu diposting, uang sudah masuk karena system online dipembukuan sudah dicatat dan faktanya uang itu ada;
-
Bahwa kalau ada orang luar yang masuk bukan member, tamu harus bayar Rp. 150 ribu;
-
Bahwa saksi dengar setelah kejadian, saksi diberi tahu dan dipanggil dengan pengurus lainnya katanya ada penggelapan;
-
Waktu saksi dipanggil bulan April 2008 disitu ada saksi, manager personalia, Jum Frizal, Manager, Security;
-
Bahwa waktu itu serikat pekerja dan pengurus bipartite akan tetapi tidak ada kata sepakat karena Tergugat I,II tidak mau mundur;
-
Bahwa kalau bukan member harus bayar Rp. 150 ribu ditunjukkan voucher dan voucher dikembalikan ke kasir;
-
Bahwa yang saksi dengar uang oleh Tergugat I,II disetorkan sebelum jam 9 malam, sudah disetorkan ke bagian Accounting;
-
Bahwa kalau di PKB skorsing 6 bulan gaji dipenuhi dan servis ditangguhkan, karena tidak salah maka servis dibayarkan;
138
Bahwa PKB tidak merumuskan dengan jelas tentang uang servis; Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
73
-
Bahwa kalau skorsing, uangs ervis dibayar kalau tidak bersalah;
-
Bahwa di PKB tidak ada aturan khusus uang servis;
-
Bahwa saksi tidak mengetahui Tergugat I,II menerima langsung uang dari tamu karena saksi hanya dengar saja Tergugat I,II menerima langsung dari tamui;
-
Bahwa uang oleh Tergugat I,II diserahkan kepada Accounting pada hari itu juga;
-
Bahwa uang di pembukuan Hyatt ada masuk pada hari itu juga;
-
Bahwa Tergugat I,II menolak tuduhan penggelapan karena sebelum tutup
buku
sudah
diposting,
otomatis
di
Accounting
ada
pembukuannya; -
Bahwa yang saksi tahu sudah diposting oleh Tergugat I,II;
-
Bahwa kalau ada uang disimpan did rower sudah biasa kalau menerima uang dari tamu;
-
Bahwa jam 9 malam closing dan Tergugat I,II closing sebelum jam 9 malam;
-
Bahwa Tergugat I,II dipanggil Accounting jam 5 sore;
-
Bahwa Tergugat I,II dipanggil sudah diposting atau belum;
-
Bahwa masalah uang disimpan di saku Early dulu saksi tidak tahu;
-
Bahwa kalau Tergugat II Yudhasari menyimpan uang did rower;
-
Bahwa Tergugat II Yudhasari dipostingnya pada saat kejadian ada laporannya ada buktinya di Accounting;
-
Bahwa orang yang dipercaya sebagai kasir punya kartu Micros dan Early yang dipercaya dan Early bias posting;
-
Bahwa kalau prosedur, saksi lupa lagi tapi posting bias kemudian, menunda posting dibenarkan untuk menerima tamu;
-
Bahwa mengenai Bukti P-16 karena saksi tidak lihat kejadian jadi tidak tahu;
-
Bahwa kalau menunda posting adalah kebiasaan;
-
Bahwa kalau tidak bisa posting jalan keluarnya uang disimpan dulu di drower yang satu karena drower tidak bisa dibuka;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
74
-
Bahwa drower pakai mesin dan ada disebelah, kalau drower yang lain saksi tidak tahu;
-
Bahwa pada waktu bipartit dibicarakan tidak ada transaksi tunai dan tidak ada tamu saksi tidak begitu tahu;
-
Bahwa bukti P-17 temuan saksi tidak tahu;
-
Bahwa menunda posting biasanya dengan alasan tertentu;
-
Bahwa Tergugat I,II tidak pernah diberi peringatan I,II,III;
-
Bahwa teman-teman yang di Olympus ditransfer ke bagian lain ada ke bagian cuci piring dan lain-lain;
-
Bahwa ada kemungkinan Tergugat I,II bisa ditempatkan di tempat lain;
-
Bahwa Tergugat I,II menginginkan tetap bekerja;
-
Bahwa bila Tergugat I,II ditempatkan di bagian cuci piring, saksi tidak tahu;
-
Bahwa pelanggaran keterlambatan posting merupakan kesalahan prosedur;
-
Bahwa pelanggaran prosedur diketahui Managernya Dominggus Pota;
-
Bahwa kalau ada kesalahan-kesalahan yang tanggung jawab adalah Manager.
4.5.6. Keterangan saksi R.INDARTRIANNI,S.H.139 (mediator perkara aquo di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bandung) -
Bahwa yang saksi tahu ialah saksi waktu itu yang buat risalah dan anjuran;
-
Bahwa waktu itu usulan perusahaan, Tergugat I,II melakukan pelanggaran berat dan dimediasi tidak sepakat;
-
Bahwa berdasarkan mediasi pelanggaran berat, karena pada waktu itu putusan pidananya belum keluar jadi belum teruji;
-
Bahwa pelanggaran berat tersebut sudah dilaporkan ke Polisi, dan saksi waktu itu menolak pelanggaran berat;
-
139
Bahwa waktu mediasi ada alasan pada PKB itu pelanggaran berat;
Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
75
-
Bahwa waktu mediasi masalahnya perselisihan pemutusan hubungan kerja alasannya pelanggaran berat;
-
Bahwa waktu diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial dimintakan PHK;
-
Bahwa waktu diajukan kepada saksi tentang perselisihan PHK karena kesalahan berat, pada saat itu belum terjadi PHK karena belum ada putusan dari pengadilan;
-
Bahwa PHK karena kesalahan berat berdasarkan surat edaran Menteri harus ada putusan dari pengadilan dan kalau dalam putusan pengadilan tidak terbukti pekerja seharusnya dipekerjakan kembali;
-
Bahwa setelah ada putusan dari Pengadilan Negeri Bandung tidak ada permohonan mediasi lagi, karena tidak ada mediasi dua kali untuk kasus yang sama tentang PHK;
-
Bhawa salah satu syarat mengajukan gugatan sudah ada mediasinya, mau terbukti atau tidaknya terserah pengadilan.
4.5.7. Keterangan saksi ahli MARSANA,S.H.,M.Hum140 -
Bahwa saksi tidak tahu persoalan persisnya atara Penggugat dengan Tergugat, yang saksi tahu garis besarnya saja;
-
Bahwa yang saksi ketahui awal PHK kesalahan berat itu informasi dari mediasi;
-
Bahwa yang mengajukan PHK perusahaan;
-
Bahwa kalau kesalahan karena tindak pidana maka harus dibuktikan tindak pidananya dan kalau tidak bersalah tidak bisa di PHK;
-
Bahwa kalau alasan kesalahan berat karena tindak pidana, jadi harus tindak pidananya terbukti kalau pidananya tidak terbukti tidak bisa di PHK, karena menurut pasal 160 kalau tidak terbukti harus dipekerjakan kembali;
-
Bahwa mekanisme PHK diatur dalam pasal 151;
-
Bahwa pasal 161 Perusahaan bisa mem PHK pekerja yang melanggar PKB, tapi dengan surat peringatan;
140
Ibid
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
76
-
Bahwa kalau pekerja melakukan pelanggaran yang ditetapkan dalam PKB dapat di PHK setelah peringatan 1,2;
-
Bahwa pengertian disharmonisasi akibat adanya
terjadi PHK
mengakibatka hubungan kerja tidak harmonis; -
Bahwa
disharmonisasi
kesalahan
berat,
karena
pasal
161
disharmonisasi bisa tidak alasan PHK tergantung; -
Bahwa kalau pekerja melakukan pelanggaran harus ada surat peringatan I,2;
-
Bahwa saksi tahu perkara ini sudah dimediasi;
-
Bahwa waktu PKB didaftarkan sebelumnya dibaca dulu;
-
Bahwa boleh saja kesalahan berat di PHK asal bisa dibuktikan;
-
Bahwa bisa saja kesalahan berat mengakibatkan disharmonisasi;
-
Bahwa kalau Penggugat ingin PHK dan Tergugat I,II ingin kerja jadi tidak harmonis lagi, tapi alasan PHK apa sebenarnya;
-
Bahwa kalau tidak salah alasan PHK permohonan perusahaan adalah kesalahan berat;
-
Bahwa kedudukan PKB dengan Undang-Undang yaitu PKB mengikat sebagai Undang-Undang;
-
Bahwa tidak mungkin ada 2 mediasi dalam kasus yang sama;
-
Bahwa mengenai Disnaker menyurati Penggugat untuk membayar kepada pekerja, itu bukan kapasitas saksi;
-
Bahwa saksi tahu ada PKB di Hyatt namun lupa tanggal berlakunya;
-
Bahwa kalau masa berlakunya PKB telah habis maka bisa diperpanjang 1 tahun;
-
Bahwa kalau ada perselisihan akan tetapi masa berlakunya PKB telah habis bisa mengacu ke PKB lama;
-
Bahwa kalau dulu pernah melakukan mediasi ternyata tindakan tidak terbukti bisa mengajukan lagi, tapi dilihat lagi dengan alasan mediasi yang lama, apakah ada relevansinya;
-
Bahwa masa pedoman skorsing mengacu pada PKB.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
77
4.6.
Analisis Kasus
4.6.1. Analisis Fakta Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja ini berawal pada tanggal 16 April 2008, Early Sobarly (Tergugat I) dan Yudhasari Pardikan (Tergugat II) (Tergugat I dan Tergugat II selanjutnya disebut Para Tergugat) melayani 2 (dua) orang mysterious guest yang bukan anggota Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung (Hotel HRB) yang hendak menggunakan fasilitas fitness. Mysterious guest ke-1 tiba di Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung sekitar pukul 15.16 WIB dan melakukan pembayaran tunai sejumlah Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) kepada Tergugat II, mysterious guest ke-2 tiba di Club Olympus, Hotel Hyatt Regency Bandung sekitar pukul 16.24 WIB dan melakukan pembayaran tunai sejumlah Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) kepada TERGUGAT I; Pada sore hari ketika hendak closing, Income Auditor mengadakan pengecekan ke Club Olympus, Hotel HRB, Income Auditor tidak menemukan adanya guest check dan transaksi tunai terhadap kedua mysterious guest tersebut. Pada waktu Income Auditor menanyakan tentang kedua mysterious guest tersebut kepada Para Tergugat, Tergugat I mengatakan bahwa tidak ada transaksi tunai, sedangkan Tergugat II juga mengatakan bahwa Misterious Guest ke-1 tidak membayar tunai akan tetapi memakai Voucher CATH atas nama Dewi. Atas keterangan tersebut Income Auditor menuliskan laporan bahwa Para Tergugat telah melakukan penggelapan uang dari kedua mysterious guest yang dikirim oleh Perusahaan guna mengecek kredibilitas dan kejujuran setiap karyawan Hotel Hyatt Regency Bandung. Atas penemuan tersebut, Income Auditor
selanjutnya melaporkan kepada Direktur Keuangan Hotel HRB dan
Direktur Keuangan Hotel HRB kemudian memanggil Para Tergugat dan bertanya kepada Para Tergugat secara bergantian. Berdasarkan keterangan Para Tergugat kepada Direktur Keuangan Hotel HRB, Tergugat I akhirnya mengakui bahwa ada tamu yang membayar tunai dan Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
78
uangnya disimpan di saku celana Tergugat I, dan Tergugat II juga mengakui bahwa Misterious Guest ke-1 bukan bernama Dewi dan tidak membayar dengan Voucher CATH melainkan secara tunai sebesar Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) serta uang tersebut tidak disimpan di cash drawer Club melainkan di laci yang hanya diketahui Tergugat II; Atas tindakan Para Tergugat yang telah memberikan keterangan bohong kepada Income Auditor maka PT. Sinar Mulia Perkasa sebagai pemilik Hotel Hyatt Regency Bandung (Penggugat) mengeluarkan surat skorsing dalam Proses PHK selama 6 bulan kepada Para Tergugat pada tanggal 21 April 2008. Tindakan Penggugat pada kasus ini benar, Penggugat melakukan skorsing terlebih dahulu selama 6 bulan kepada Para Tergugat dan tidak langsung mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja. Karena berdasarkan Pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dinyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja hanya sah setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Alasan PHK yang dilakukan Penggugat karena Para Tergugat tidak lolos dalam uji kejujuran yang dilakukan Penggugat selaku pengusaha merupakan hal yang wajar, karena setelah diuji melalui 2 (dua) orang mysterious guest tersebut Para Tergugat jelas terbukti tidak jujur/berbohong, dimana Para Tergugat telah berbohong kepada Income Auditor yang diperintahkan Penggugat untuk menguji tingkat kejujuran di divisi tempat Para Tergugat bekerja. Pada waktu Income Auditor menanyakan tentang kedua mysterious guest tersebut kepada Para Tergugat, Tergugat I mengatakan bahwa tidak ada transaksi tunai, sedangkan Tergugat II juga mengatakan bahwa Misterious Guest ke-1 tidak membayar tunai akan tetapi memakai Voucher CATH atas nama Dewi. Setelah kejadian di atas, Penggugat telah hilang kepercayaan kepada Para Tergugat, sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara Penggugat dengan Para Tergugat, sehingga apabila dibiarkan kondisi di atas, akan menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif baik antara Penggugat dengan Para Tergugat, maupun antara Para Tergugat dengan pekerja lainnya. Dengan demikian sangat beralasan hukum apabila Penggugat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan hubungan kerja yang tidak harmonis. Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
79
Berdasarkan Alinea III Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial menyebutkan : “hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis.” Berdasarkan ketentuan di atas, disharmonisasi terjadi apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk melanjutkan hubungan kerja. Pada kasus ini Salah satu pihak yaitu Penggugat nyata-nyata sudah tidak menghendaki lagi untuk melanjutkan hubungan kerja atau mempekerjakan Para Tergugat karena sudah tidak mempercayai kejujuran Para Tergugat, dengan demikian sesuai Amanat Alinea III Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2004 sudah sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan kerja yang harmonis. Ada beberapa Putusan Mahkamah Agung yang bisa dijadikan rujukan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan disharmonisasi adalah sah dan dapat dibenarkan oleh hukum, diantaranya: 1. Putusan MA-RI No. 502 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 15 Juni 2010, patut dijadikan rujukan apabila ada salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk melanjutkan hubungan kerja, yang dalam pertimbangannya Halaman 22 menyatakan: “…..berdasarkan alinea III Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2004, Judex factie seharusnya menyatakan hubungan kerja putus ……..dan seterusnya”. 2. Putusan MA-RI No. 225 K/Pdt.Sus/2011, dalam pertimbangannya Halaman 24, telah menyatakan : - Bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis dengan adanya PHK oleh Tergugat dan di tindak lanjuti dengan Surat Skorsing - Bahwa sesuai penjelasan UU No. 2 Tahun 2004, yaitu apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat hubungan kerja , maka sulit bagi para pihak untuk memper tahankan hubungan kerja yang harmonis; - Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, untuk kemanfaatan kedua belah pihak , maka adil hubungan ker ja putus dengan alasan disharmonis Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
80
3. Putusan MA-RI No. 743.K/Pdt.Sus/2010 telah membatalkan Putusan PHI pada PN Tanjung Pinang No. 42/G/2009/PHI.PN.TPI. tanggal 3 Maret 2010, dalam pertimbangannya pada halaman 17, Majelis Hakim menyatakan: “Pekerja telah diputuskan oleh Judex Facti untuk bekerja kembali, demi sosial jika dilanjutkan hubungan kerja akan bisa menimbulkan disharmonisasi,......“.; Dengan demikian alasan Penggugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan disharmonisasi yang disebabkan Para Tergugat berbohong ketika diuji kejujuran oleh Penggugat melalui 2 (dua) orang Misterious Guest sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan Penggugat kepada Para Tergugat adalah sesuai dengan hukum yang berlaku. 4.6.2. Analisis Yuridis tentang Pertimbangan Hakim Mengenai Kekuatan Yuridis Keterangan Saksi De Auditu Dalam Perkara Antara PT Sinar Mulia Perkasa Dengan Early Sobarly-Yudhasari Pardikan di PHI Pada PN Bandung, dengan No Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG Pembuktian pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang.141 UU PPHI tidak mengatur tehnis dan mekanisme pembuktian perkara. Proses pembuktian di PHI berpedoman pada beberapa ketentuan yang terdapat di luar UU PPHI. Dalam Pasal 164 HIR142, yang disebut bukti adalah : a. Bukti surat ; b. Bukti saksi ; c. Sangkaan ; d. Pengakuan ; e. Sumpah ;
141
Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana dalam Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981, cet. 1, ed. 1 (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 38. 142
R. Tresna, Komentar HIR. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hal 141
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
81
Di dalam kasus ini, Penggugat mengajukan alat bukti di persidangan berupa alat bukti surat sebanyak 22 surat (P1 sampai P22), dan alat bukti keterangan Saksi. Penggugat mengajukan 2 (dua) orang Saksi yaitu M. YUSUP dan RIAN MILANA TUMANGGOR. Sementara itu Para Tergugat mengajukan Alat bukti surat sebanyak 5 surat (T1-T5) dan keterangan Saksi . Para Tergugat mengajukan 5 (lima) orang Saksi yaitu SUDARTA, JUM FRIZAL, KAMSU SUGANDI, R. INDARTRIANNI,S.H., MARSANA,SH.M.Hum. Dalam pembuktian perkara perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan Industrial, baik Penggugat maupun Para Tergugat dapat mengajukan alat bukti yang diperlukan dalam hal mencari kebenaran formil yang diperlukan. Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan.143 Termasuk di Pengadilan Hubungan Industrial. Pembuktian dalam perkara perselisihan
Pemutusan
menemukan kebenaran
Hubungan
Kerja
haruslah
diorientasikan
untuk
yang hakiki dari pokok perkara yang sedang
diperselisihkan. Di dalam pemeriksaan perkara perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja ini, yang sering dipakai dan juga paling menentukan adalah: (i)
Alat Bukti Surat
(ii)
Keterangan Saksi yang diajukan, baik oleh Penggugat maupun Para Tergugat.
Di dalam kasus ini, alat bukti yang diajukan baik oleh Penggugat maupun Para Tergugat adalah alat bukti surat dan keterangan saksi. Dari alat bukti yang diajukan di persidangan, keterangan saksi sangat dominan diambil oleh Majelis Hakim untuk dijadikan dasar dalam pertimbangannya. Dari keterangan saksi, tentu yang diharapkan adalah keteranganketerangan yang dapat diberikan tentang fakta, peristiwa hukum maupun hak, baik yang diketahuinya maupun yang didengar atau dilihatnya sendiri. Keterangan saksi yang demikian harus juga disertai alasan bagaimana hal tersebut diketahuinya, ada saksi yang dengan sengaja diminta untuk turut serta 143
Jimly Asshiddiqie (b), op. cit., hal. 201.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
82
menyaksikan suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang dilakukan. Ada juga yang secara kebetulan melihat dan mendengar peristiwa hukum tertentu.144 Keterangan alat bukti keterangan Saksi dianggap sah sebagai alat bukti apabila memenuhi syarat baik syarat formil maupun syarat meteriil.Menurut undang-undang, terdapat beberapa syarat formil yang melekat pada alat bukti, yang terdiri dari: 1) Orang yang Cakap Menjadi Saksi Undang-undang membedakan orang yang cakap (competence ) menjadi saksi dengan orang yang dilarang atau tidak cakap ( incompetency ) menjadi saksi. Berdasarkan prinsip umum, setiap orang dianggap cakap menjadi saksi kecuali undang-undang sendiri menentukan lain. Dan apabila undang –undang telah menentukan orang tertentu memberikan keterangan sebagai saksi, maka secara yuridis orang yang bersangkutan termasuk kategori tidak cakap sebagai saksi. Orang yang demikian oleh hukum tidak memenuhi syarat formil sebagai saksi, karena orang demikian dilarang didengar keterangannya sebagai saksi. Orang yang dilarang didengar sebagai saksi, diatur secara enumerative dalam Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG maupun Pasal 1909 KUH Perdata yang terdiri dari: a. Kelompok yang tidak cakap secara absolute b. Kelompok saksi yang tidak cakap secara relative Di dalam kasus ini semua Saksi baik yang diajukan oleh Penggugat yaitu Saksi M. YUSUP dan RIAN MILANA TUMANGGOR maupun yang diajukan oleh Para Tergugat yaitu Saksi SUDARTA, JUM FRIZAL, KAMSU
SUGANDI,
R.
INDARTRIANNI,S.H.,
MARSANA,SH.M.Hum adalah orang yang cakap dan tidak termasuk katagori orang yang dilarang didengar sebagai saksi sebagaimana di atur dalam Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG maupun Pasal 1909 KUH Perdata. Dengan demikian syarat formil bahwa seorang saksi harus cakap dan tidak termasuk
144
katagori
orang
yang
dilarang
didengar
sebagai
saksi
Maruarar Siahaan, op. cit., hal. 139.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
83
sebagaimana di atur dalam Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG maupun Pasal 1909 KUH Perdata, terpenuhi. 2) Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan Keterangan saksi harus diberikan atau disamaikan di depan sidang pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 141 HIR, Pasal 171 RBG maupun dalam Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan di atas, keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah yang diberikan di depan persidangan.145 Berdasarkan pengamatan penulis selama persidangan berlangsung, semua saksi dalam kasus ini memberikan atau menyampaikan keterangan di depan persidangan. Dengan demikian syarat formil bahwa seorang saksi harus memberikan atau menyampaikan keterangannya di depan persidangan terpenuhi. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, maka semua saksi yang diajukan di Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Bandung dalam kasus ini telah memenuhi syarat formil keterangan alat bukti saksi. Selain syarat formil yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti saksi yang sah, maka harus memenuhi syarat materiil. Syarat materiil ini bersifat kumulatif, bukan alternatif. Apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi, mengakibatkan keterangan yang diberikan saksi mengandung cacat materiil, oleh karena itu keterangann tersebut tidak sah sebagai alat bukti. Syarat materiil yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah adalah: 1. Keterangan satu orang saksi tidak sah sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata dinyatakan bahwa keterangan satu orang saksi saja, tidak dapat dipercaya, agar sah sebagai alat bukti, harus ditambah dengan suatu alat bukti yang lain. Dalam putusan ini, Majelis Hakim dalam pertimbangannya banyak menggunakan keterangan satu orang saksi saja tanpa didukung dengan alat bukti yang lain sehingga bertentangan dengan Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata.
145
R. Subekti, R.Tjitrosudibio, op. cit.,425
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
84
Pasal 169 HIR disebutkan bahwa: “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain, di dalam hukum tidak dapat dipercaya.” Pasal 1905 KUH Perdata, disebutkan bahwa: Keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam Pengadilan tidak boleh dipercaya. Di dalam hukum acara perdata dikenal istilah “Unus testis nullus testis” bahwa satu orang saksi bukanlah saksi, sehingga keterangan satu orang saksi tanpa didukung dengan alat bukti lain tidak bisa dikatagorikan sebagai satu alat bukti karena tidak memenuhi syarat materiil alat bukti saksi. Pada halaman 44 paragraf 3 Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Para Tergugat orangnya rajin dan tidak suka melawan atasan, hanya didasarkan penilaian saksi SUDARTA dan mengabaikan alat bukti surat yang diajukan Penggugat (bukti P-14 dan P-15) yaitu tentang pengakuan bahwa Para Tergugat telah berbohong dan berkata tidak jujur pada saat dilakukan pengetesan tingkat kejujuran Para Tergugat oleh Penggugat. Pada bagian lain yaitu pada halaman 46 paragraf 3, Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwa menunda posting telah menjadi kebiasaan hanya didasarkan keterangan satu orang saksi saja yaitu berdasarkan keterangan KAMSU SUGANDI dan mengabaikan alat bukti surat yang diajukan Penggugat (Vide bukti P-16) yaitu policies and procedures yang mensyaratkan posting harus dilakukan segera; Selain itu pada halaman 49 paragraf 2, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pemutusan hubungan kerja dengan alasan Disharmonisasi tidak dapat diterima karena tidak ada aturan atau pasal di dalam UU No.13 tahun 2003 yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dengan alasan Disharmonisasi. Kesimpulan ini hanya didasarkan keterangan satu orang saksi saja yaitu MARSANA; Dari uraian di atas, diketahui bahwa pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim hanya berdasarkan keterangan satu orang saksi saja dan keterangan antara satu orang saksi dengan yang lain tidak saling berhubungan satu sama lain sehingga masing-masing keterangan saksi berdiri sendiri. Lagi pula keterangan saksi yang berdiri sendiri tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang lain; Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
85
Berdasarkan Putusan MA-RI No. 891 K/Sip/1983 dinyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum pembuktian karena putusan yang dijatuhkan hanya berdasarkan keterangan seorang saksi saja tanpa didukung oleh alat bukti lain yang sah menurut hukum. Dengan demikian Pertimbangan
Hakim tidak boleh berdasarkan
keterangan satu orang saksi saja karena pertimbangan tersebut dapat dikatagorikan sebagai suatu pertimbangan yang menyalahi hukum pembuktian karena bertentangan dengan pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata dan Yurisprudensi MA-RI No. 891 K/Sip/1983. 2. Keterangan berdasarkan Alasan dan sumber pengetahuan Berdasarkan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan . Landasan pengetahuan ini merupakan sebab atau alasan pengetahuan yang diterangkannya. Keterangan yang tidak memiliki sebab alasan yang jelas, tidak memenuhi syarat materiil sebagai alat bukti saksi. Syarat materiil saksi sebagai alat bukti berdasarkan pasal 171 HIR adalah keterangan seseorang yang harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas. Dan
sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan
pengalaman, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Landasan sumber pengetahuan yang dianggap sah dan memenuhi syarat, harus memenuhi salah satu unsur di bawah ini: a) Berdasarkan pengalaman saksi sendiri Saksi mengalami sendiri hal-hal yang diterangkannya di persidangan, dan apa yang dialaminya itu benar-benar berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan.
b) Berdasarkan penglihatan saksi sendiri Saksi dengan mata kepala sendiri melihat hal itu terjadi. Tidak dibenarkan penglihatan berdasarkan ramalan, tetapi melihat fisik apa yang
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
86
diterangkannya sehubungan dengan kasus perkara yang disengketakan para pihak. c) Berdasarkan pendengaran saksi sendiri Agar keterangan saksi yang bersumber dari pendengaran itu sah diajukan sebagai alat bukti, pendengaran itu harus bersifat spesifik. Saksi dapat menjelaskan kapan waktu, tempat, dan pihak yang ada pada saat Ketrerangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan orang lain yang disampaikan kepadanya adalah : 1. Berada diluar kategori keterangan saksi yang dibenarkan pasal 171 HIR dan pasal 1907 KUHPerdata. 2. Keterangan saksi yang demikian hanya berkualitas sebagai testimonial de auditu, yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar orang lain. 3. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan. Bentuk keterangan yang demikian dalam Common Law disebut hearsay evidence. Keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan, berisi keterangan yang disampaikan tangan pertama (first-hand hearsay) kepada saksi. Dalam Common Law, terdapat berbagai aturan atau ketentuan yang bersifat eksepsional yang membolehkan dan menerima hearsay sebagai alat bukti saksi (testimonial evidence). Akan tetapi jika tidak ada hal yang eksepsional, hearsay evidence dilarang secara absolut (absolutely prohibited), meskipun keterangan yang diberikan benar-benar dipercaya (reliable). Dari putusan ini dapat dilihat, meskipun saksi yang diajukan jumlahnya banyak, tetapi oleh karena keterangan yang diberikan tidak memiliki sumber pengetahuan yang jelas, semua pernyataan saksi de auditu dinyatakan tidak sah sebagai alat bukti, karena tidak memenuhi syarat materiil yang digariskan Pasal 171 ayat (1) HIR, Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata dan pasal 308 RBG. Di dalam putusan ini, Majelis Hakim dalam pertimbangannya banyak menggunakan keterangan saksi de auditu tanpa didukung oleh satupun alat bukti yang sah menurut hukum. Dalam pertimbangannya, halaman 45 paragraph 2 menyebutkan sebagai berikut: Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
87
“Bahwa berdasarkan keterangan KAMSU SUGANDHI menerangkan bahwa Tergugat I dan Tergugat II sudah menyetorkan uang sebelum jam 9.00 yang hari itu juga dilakukan pembukuan…….” Keterangan saksi KAMSU SUGANDHI seharusnya tidak diambil sebagai pertimbangan Majelis Hakim, karena pada halaman 35 dan 36 dinyatakan bahwa saksi dengar setelah kejadian dan saksi tidak lihat kejadian jadi saksi tidak tahu. Di bagian lain putusan ini, Majelis Hakim dalam pertimbangannya, halaman 44 paragraf 3 disebutkan sebagai berikut: “Bahwa berdasarkan keterangan saksi SUDARTA…..para Tergugat dipanggil oleh Accounting sebelum closing yang menanyakan Mysterious Guest” Bahwa keterangan saksi KAMSU SUGANDHI seharusnya tidak diambil sebagai pertimbangan, karena pada halaman 31 disebutkan bahwa Saksi tidak mengetahui permasalahan Penggugat dan Tergugat I,II tapi kebetulan saksi satu ship dengan Early (Tergugat I) dan Saksi tidak melihat kejadian karena karena saksi di bagian atas menjaga kolam renang” Berdasarkan ketentuan Pasal 171 HIR disebutkan bahwa: 1. Tiap-Tiap kesaksian harus berdasarkan pengetahuan 2. Pendapat-pendapat atau persangkaan yang istimewa , yang disusun dengan kata akal, bukan kesaksian. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, seorang saksi haruslah memberi kesaksian tentang suatu peristiwa yang dia lihat, dia dengar atau dia saksikan sendiri dan saksi tidak boleh memberikan kesaksian berdasarkan pendapatnya. Berdasarkan keterangan saksi KAMSU SUGANDI yaitu saksi mendengar dari orang lain keesokan harinya dan Saksi tidak melihat dan menyaksikan sendiri kejadian tersebut sehingga saksi tidak tahu kejadiannya, maka jelas dan terang bahwa saksi KAMSU SUGANDI tidak memenuhi syarat materiil sebagai seorang saksi. Sementara itu, berdasarkan keterangan saksi SUDARTA bahwa dia tidak mengetahui Persoalan antara Penggugat dan Para Tergugat dan dia berada jauh di tempat kejadian yaitu di Kolam renang Hotel yang letaknya berjauhan dengan tempat kejadian sehingga tidak mengetahui kejadiannya, maka jelas dan terang bahwa saksi SUDARTA tidak memenuhi syarat materiil sebagai seorang saksi. Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
88
Oleh karena KAMSU SUGANDI dan SUDARTA tidak melihat, mendengar atau menyaksikan sendiri karena pada saat kejadian KAMSU SUGANDHI sedang libur dan saksi SUDARTA tidak ada di tempat kejadian, dengan demikian keterangan saksi KAMSU SUGANDHI dan saksi SUDARTA tidak boleh diambil dalam pertimbangan Majelis Hakim karena tergolong sebagai Saksi de auditu; Saksi De Auditu bukanlah termasuk alat bukti saksi karena tidak memenuhi persyaratan seorang saksi, sehingga keterangan seorang saksi De Auditu haruslah ditolak apalagi keterangan yang diberikan tidak didukung dengan alat bukti yang lainnya. Dari uraian tersebut di atas, telah nyata bahwa Majelis Hakim di dalam pertimbangannya telah mengambil keterangan saksi de auditu sehingga bertentangan dengan Pasal 171 HIR.
4.7. Kesimpulan Berdasarkan analisis fakta dan Analisis Yuridis tentang Pertimbangan Hakim Mengenai Kekuatan Yuridis Keterangan Saksi De Auditu Dalam Perkara Antara PT Sinar Mulia Perkasa Dengan Early Sobarly-Yudhasari Pardikan di PHI Pada PN Bandung, dengan No Register Perkara 41/G/2011/PHI/PN.BDG, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Alasan Penggugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan disharmonisasi yang disebabkan Para Tergugat berbohong ketika diuji kejujuran oleh Penggugat melalui 2 (dua) orang Misterious Guest sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan Penggugat kepada Para Tergugat adalah sesuai dengan hukum yang berlaku 2. Sistem pembuktian dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan putusan apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan dalam undang-undang. Namun demikian, dalam kasus ini, Majelis Hakim cenderung menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dimana terjadi peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasarkan persangkaan hakim. Karakteristik sistem pembuktian menurut Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
89
undang-undang secara negatif sangat terlihat jelas, dimana keterangan saksi de auditu sangat dominan dalam mempengaruhi persangkaan hakim dalam memutuskan perkara ini sehingga banyak sekali keterangan saksi de auditu yang diambil sebagai dasar pertimbangannya bahkan keterangan saksi de auditu dapat mengenyampingkan alat bukti surat. Sebagai contoh di halaman 46 paragraf 3 di Putusan No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG ini, Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwa menunda posting telah menjadi kebiasaan hanya didasarkan keterangan satu orang saksi de auditu saja yaitu berdasarkan keterangan KAMSU SUGANDI dan mengabaikan alat bukti surat yang diajukan Penggugat (bukti P-16) yaitu policies and procedures yang mensyaratkan posting harus dilakukan segera. 3. Keterangan saksi de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi harus di dukung dengan alat bukti lain. Namun demikian apabila keterangan dari beberapa saksi de auditu tersebut saling menguatkan satu sama lainnya sehingga dapat ditarik benang merahnya tentang suatu peristiwa, maka keterangan dari beberapa saksi de auditu tersebut dapat diambil menjadi persangkaan hakim dan hakim diperbolehkan menjadikannya sebagai dasar dalam pertimbangan untuk memutus suatu perkara. Peranan keterangan saksi de auditu dalam perkara ini dapat dikatakan yang paling dominan. Hal ini dapat terlihat dalam pertimbangan Majelis Hakim tersebut, dimana keterangan saksi de auditu yang diajukan oleh Para Tergugat sangat mempengaruhi persangkaan hakim dalam menjatuhkan putusan akhir.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
90
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Dari uraian yang terkait dengan bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan saksi de auditu dalam Pembuktian di Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sistem pembuktian dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Hubungan Industrial adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan putusan apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan dalam undang-undang. Namun demikian, dalam kasus ini, Majelis Hakim cenderung menggunakan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dimana terjadi peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasarkan persangkaan hakim. Karakteristik sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif sangat terlihat jelas, dimana keterangan saksi de auditu sangat dominan dalam mempengaruhi persangkaan hakim dalam memutuskan perkara ini sehingga banyak sekali keterangan saksi de auditu yang diambil sebagai dasar pertimbangannya bahkan keterangan saksi de auditu dapat mengenyampingkan alat bukti surat. Sebagai contoh di halaman 46 paragraf 3 di Putusan No. 41/G/2011/PHI/PN.BDG ini, Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwa menunda posting telah menjadi kebiasaan hanya didasarkan keterangan satu orang saksi de auditu saja yaitu berdasarkan keterangan KAMSU SUGANDI dan mengabaikan alat bukti surat yang Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
91
diajukan Penggugat (bukti P-16) yaitu policies and procedures yang mensyaratkan posting harus dilakukan segera.
2. Keterangan saksi de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi harus di dukung dengan alat bukti lain. Namun demikian apabila keterangan dari beberapa saksi de auditu tersebut saling menguatkan satu sama lainnya sehingga dapat ditarik benang merahnya tentang suatu peristiwa, maka keterangan dari beberapa saksi de auditu tersebut dapat diambil menjadi persangkaan hakim dan hakim diperbolehkan menjadikannya sebagai dasar dalam pertimbangan untuk memutus suatu perkara. Peranan keterangan saksi de auditu dalam perkara ini dapat dikatakan yang paling dominan. Hal ini dapat terlihat dalam pertimbangan Majelis Hakim tersebut, dimana keterangan saksi de auditu yang diajukan oleh Para Tergugat sangat mempengaruhi persangkaan hakim dalam menjatuhkan putusan akhir.
5.2. Saran Sehubungan dengan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang kiranya akan bermanfaat sebagai upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam penanganan dan menyelesaikan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja . Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hakim sebaiknya menjadikan fakta di persidangan sebagai persangkaan hakim, apabila fakta itu didasarkan kepada alat bukti yang sah atau setidaktidaknya didukung dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Keterangan yang berasal dari beberapa orang saksi de auditu dapat diambil menjadi persangkaan hakim dan hakim diperbolehkan menjadikannya sebagai dasar dalam pertimbangan untuk memutus suatu perkara, dengan syarat keterangan beberapa saksi de auditu tersebut saling menguatkan satu sama lainnya sehingga dapat ditarik benang merahnya tentang suatu peristiwa. 2. Hakim sebaiknya tidak mengambil keterangan yang hanya diberikan satu orang saksi de auditu sebagai dasar pertimbangan Hakim apabila keterangan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
92
seorang saksi de auditu tersebut tidak didukung dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. 3. Perlu dibuatnya aturan yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur dan mengikat hakim dalam menyusun persangkaannya agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam menjatuhkan suatu putusan, sehingga dapat meminimalisir subjektifitas hakim dalam memutus suatu perkara.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
93
DAFTAR REFERENSI
BUKU Amin, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradya Paramita: 1976. Asshddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Cet.1. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Black, Henry Campbell. Black Law’s Dictionary. St. Paul: West Publising Co., 1990. B.N. Marbun. Kamus Hukum Indonesia. Cet 1. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2006. E.B., Flippo. Personal Management. 5th edition. Sydney : McGraw-Hill International Book Company, 1984. dikutip oleh Haryanto F Rosyid. “PHK Masihkah Mencemaskan”. Engelbrecht. Himpunan Peraturan Indonesia.Jakarta:Internusa:1992.
Perundang-Undangan
Republic
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed. 2. cet. 8. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. ___________ Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet.2.Jakarta:Sinar Grafika:2005. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991. Khakim, Abdul. Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ( Antara Peraturan dan Pelaksanaan). Cet.1. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010. Leihitu, Izaac S. dan Fatimah Achmad. Intisari Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
94
Mamuji,Sri et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet.1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, cetakan pertama. Jakarta : Rineka Cipta, 1998. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Cet .2. Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1999. __________Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet.1. Ed.5.Yogyakarta: Liberty, 1998. Muhammad, Abdulkadir.Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet. 4. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti. 1990. Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Teori. Praktik. Teknik Membuat dan Permasalahannya. Bandung:Citra Aditya Bakti,2009. Munir, Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Cet. 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2009. Natsir, Muhammad. Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan: 2005) hal 160163 Pangaribuan, Juanda. Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Cet.1. Jakarta: PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010. Pitlo,A.. Pembuktian Dan Daluarsa (terj.). Jakarta:Internusa, 1986. Prodjoamidjojo, Martiman. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Cet 1. Jakarta: Ghalian Indoensia, 1983. Poernomo, Bambang. Hukum Acara Pidana. Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana dalam Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981. Cet. 1. Ed. 1. Yogyakarta: Liberty, 1986. R. Tresna. Komentar HIR. Jakarta : Pradnya Paramita, 1978. Rubini, I. dan Chidir Ali. Pengantar Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni. 1974. Sabuan, Ansorie, Syarifuddin Pettanasse, Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana. Bandung:Angkasa,1990. Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012
95
Sinaga, Marsen. Pengadilan Perburuhan Di Indonesia. Cet.1. Yogyakarta: Perhimpunan Solidaritas Buruh, 2006. Soedjono, Wiwoho. Hukum Perjanjian Kerja. Cet.3. Jakarta: PT. Rineke Cipta, 1991. Soekanto, Sorjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1986. Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan. Cet.2. Bandung:PT Djambatan: 1976. __________. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Cet.6. Djambatan, 1987
Jakarta :
Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983. Sunindhia, YW dan Ninik Widiyanti. Masalah PHK dan Pemogokan. cetakan pertama.Jakarta : Bina Aksara, 1998. Sutanto, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Cet. 10. Bandung: Mandar Maju, 2005. Widodo, Hartono dan Judiarto. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Cet.II. Jakarta: Rajawali, 1992.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo. Cet.8.Jakarta : Pradnya Paramita, 1976. Indonesia . Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 2 Tahun 2004 LN. No. 42 Tahun 1957, TLN. No. 4356. __________Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. LN No.76 Tahun 1981. TLN. No.3209. __________Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. LN No. 39 Tahun 2003. TLN No. 4279. Surat Keputusan Direktur Jenderal Urusan Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja Nomor : 362 Tahun 1967, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta. Reglement Indonesia Yang Diperbaharui S. 1941 No 44 RIB (HIR).
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Sandra Marisha, FH UI, 2012