UNIVERSITAS INDONESIA
UJI DIAGNOSTIK DETEKSI MORFIN DAN BENZODIAZEPIN PADA URIN PASIEN YANG MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON MENGGUNAKAN METODE BIOCHIP ARRAY TECHNOLOGY
TESIS
RETNO SAWITRI 1106025901
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL JAKARTA OKTOBER 2014
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
UJI DIAGNOSTIK DETEKSI MORFIN DAN BENZODIAZEPIN PADA URIN PASIEN YANG MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON MENGGUNAKAN METODE BIOCHIP ARRAY TECHNOLOGY
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Forensik
RETNO SAWITRI 1106025901
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL JAKARTA OKTOBER 2014
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari, bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan serta doa selama pendidikan hingga selesai menyusun tesis ini. 1. Prof. dr. Budi Sampurna, SpF, SH, dan dr. Ade Firmansyah, SpF selaku dosen pembimbing tesis yang telah menyediakan waktu, tenaga serte pikiran untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini. 2. dr. Oktavinda Safitry, SpF, MPd.Ked, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI / RSCM yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk dapat menimba ilmu, membimbing, serta berbagi pengalaman selama menjalani pendidikan spesialisasi ini. 3. Para dosen di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI / RSCM, DR. dr. Yuli Budiningsih, SpF selaku Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI / RSCM, dr. Mun’im Idries, SpF (alm), dr. Swasti Hertian, SpF, dr. Sidhi, SpF, Prof. dr. Agus Purwadianto, SpF (K), SH, MSi, Prof. dr. Herkutanto, SpF (K), SH, LLM, dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, SH, DFM, PhD, dr. Zulhasmar Syamsu, SpF, SH, dr. Tjetjep Dwidja Siswaja, SpF, SH, dr. Indra Sugiarno, SpA, dr. Iwan Djuanda, SpPA, Kobi Siswantara, SH, dr. Fitri Ambar Sari, SpF, dr. Putri Dianita Ika Meilia, SpF, dr. Norbert Tanto, SpF, dr. Valentinus Yudy, SpF, dr. Arya Yudistira, SpF. Semoga semua kebaikan para guru dibalas oleh Nya, serta ilmu yang diberikan dapat saya manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam pelayanan untuk menegakkan keadilan. iv
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
4. Prof. DR. dr. Rianto Setiabudi, SpFK, selaku Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI yang telah memberikan kesempatan kepada saya dalam melaksanakan penelitian tesis ini 5. Kepala Walikota Jakarta Pusat, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat yang telah memberikan ijin penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. 6. Kepala Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat, dr Linda, Ibu Puji dan dokter poli Metadon di Puskesmas Johar Baru, yang telah mengijinkan saya mangambil sampel penelitian serta membantu saya selama penelitian. 7. Kepala Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta, Ibu Erna, dan Mbak Yuyun yang telah membantu dan meluangkan waktunya membantu saya selama melakukan pemeriksaan sampel penelitian. 8. Bapak Rahman, Bapak Ari, Aufar, dan mbak Endah dari pihak Randox Laboratorium yang telah membantu saya selama melakukan pemeriksaan sampel penelitian. 9. Para teknisi dan petugas tata usaha di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. 10. dr. Irene Inunu, SpF, selaku dosen saya selama masa pendidikan dokter, yang selalu memberi motivasi, dukungan dan doa selama saya menjalani pendidikan spesialisasi ini. 11. Sahabat saya dr. Citra Manela, SpF, yang selama 3 tahun menjadi teman belajar, teman berdiskusi dan bertukar pikiran serta selalu menjadi pendengar
dan
memberikan
nasehat-nasehat
untukku.
Semoga
persahabatan kita akan tetap berlanjut. Sukses selalu sahabatku. 12. Teman-teman dan senior-senior saya yang telah banyak membantu selama proses pendidikan ini, dr. Henky, SpF, dr. Nurul Aida Fathya, SpF, dr. Andrew Rens Salendu, SpF, dr. Tegar Indrayana, SpF, dr. Ardhi Syaifudin, SpF, dr. Ahmad Ilman Kausar, SpF, dr. Putu Melati Suci v
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
Kusuma, SpF, dr. Harry Allan Papendang, dr. Jimmy Victor Sembay, SpF, dr. Baety Adhayati, SpF, dr. Jauhar Firdaus, dr. Leonardo, dr. Asri Megaratri Pralebda, dr. Kinanti Putri Utami, dr. Boge Priyo Nugroho, dr. Syarifah dan dr. Reyhan yang telah memberikan dukungan saat menghadapi berbagai kesulitan, masalah dan rintangan selama menjalani pendidikan spesialisasi. 13. Adik saya tersayang, Farah Anindya, yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan spesisalisasi ini. Semoga kelak adik Farah juga dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya seperti yang telah dicita-citakan. 14. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya tercinta, yang selalu memberikan doa, dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Mohon maaf kalau anakmu ini belum dapat membalas semua yang telah kalian berikan untuk anakmu ini. Semoga kelak, anakmu dapat memanfaatkan ilmu yang telah didapat dengan sebaik-baiknya dalam pelayanan kedokteran forensik dan selalu menjadi kebanggan untuk kalian.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT membalas semua kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu saya. Semoga tesis ini berguna dan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Aamiin.
Jakarta, 20 Oktober 2014 Penulis
vi
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya bertanda tangan di bawah ini: Nama
: dr. Retno Sawitri
NPM
: 1106025901
Program Studi : Dokter Spesialis 1 Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Departemen
: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas
: Fakultas Kedokteran
Jenis Karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (NonExclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Uji Diagnostik Deteksi Morfin dan Benzodiazepin pada Urin Pasien Yang Mengikuti Program Terapi Rumatan MEtadon Menggunakan Metode Biochip Array Technology Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal : 20 Oktober 2014 Yang menyatakan,
( Retno Sawitri ) vii
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
ABSTRAK Nama
: dr. Retno Sawitri
Program Studi
: Spesialis 1 Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Judul Tesis
: Uji Diagnostik Deteksi Morfin dan Benzodiazepin pada Urin Pasien Yang Mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon Menggunakan Metode Biochip Array Technology
Pemeriksaan toksikologi forensik terdiri dari pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology merupakan metode baru dengan teknologi nano digunakan untuk pemeriksaan toksikologi forensik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan morfin dan benzodiazepin menggunakan metode tersebut. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (Cross sectional), dengan sampel penelitian adalah seorang laki-laki atau perempuan berusia diatas 18 tahun sejumlah 20 orang yang diambil dengan cara Consecutive sampling pada bulan September 2014 di Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Dari sampel tersebut yang diperiksa dengan GC/MS, 4 sampel terdeteksi positif morfin, dan 3 sampel terdeteksi benzodiazepin. Pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology, 4 sampel positif morfin, dan 6 sampel terdeteksi positif benzodiazepin. Hasil analisa uji diagnostik menunjukkan bahwa pemeriksaan morfin menggunakan metode tersebut memiliki sensitivitas sebesar 100 %, spesifisitas 100 %, nilai duga positif 100 % dan nilai duga negatif 100 %. Hasil uji diagnostik pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode tersebut adalah sensitivitas 100 %, spesifisitas 82,35%, nilai duga positif 50 % dan nilai duga negatif 100 %. Dapat disimpulkan bahwa metode ini sangat baik digunakan untuk pemeriksaan morfin sedangkan untuk pemeriksaan benzodiazepine kurang baik Kata kunci : Morphine; Benzodiazepine; Urine; Biochip Array Technology; diagnostic test
viii
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
ABSTRACT Name
: dr. Retno Sawitri
Study Program
: Spesialis 1 Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Title
: Diagnostic Test to Detect Morphine and Benzodiazepine in urine of patients with Methadone Maintenance Therapy Program using a Biochip Technology Array.
Forensic toxicology examination consists of a qualitative and quantitative examination. Biochip Array Technology is a new method with nanotechnology used for Forensic toxicology examination. The aim is to know the identificcation value of Biochip Array Technology diagnostic test to forensic toxicology examination of Morphine and benzodiazepine in urine. Cross Sectional diagnostic study was applied to those who are male or female aged over 18 years old, 20 samples were taken consecutively in Agustus 2014 from primary health centres of Johar Baru, Jakarta Pusat. From these samples using the GC/MS, 4 samples are positive morphine, 3 samples are positive benzodiazepine. From Biochip Array Technology Examination, 4 samples are positive morphine, 6 samples are positive benzodiazepine. Diagnostic test analysis in morphine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 100 % specificity, 100 % positive predictive value, and 100 % negative predictive value. Diagnostic test analysis in benzodiazepine examination showed that Biochip Array Technology revealed 100 % sensitivity, 82,35 % specificity, 50 % positive predictive value and 100 % negative predictive value. It can be concluded that this method is reliable in morphine examination but only if the sample is controlled, while for benzodiazepine examination, this method is not reliable. Keywords : Morphine; Benzodiazepine; Urine; Biochip Array Technology; diagnostic test
ix
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............................... vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT............................................................................................................ix DAFTAR ISI............................................................................................................x DAFTAR TABEL................................................................................................. xii DAFTAR GRAFIK.............................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv 1. PENDAHULUAN ..............................................................................................1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian...........................................5 1.3. Tujuan Penelitian .........................................................................................5 1.3.1. Tujuan Umum....................................................................................5 1.3.2. Tujuan Khusus...................................................................................5 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................................6 1.4.1. Manfaat Akademis.............................................................................6 1.4.2. Manfaat Pelayanan ............................................................................6 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................7 2.1.Kerangka Teori ............................................................................................7 2.1.1. Narkotika dan Permasalahannya .......................................................7 2.1.1.1. Definisi dan Penggolongannya.................................................7 2.1.2. Permasalahan di Masyarakat .............................................................7 2.1.3. Jenis Narkotika dan Psikotropika ......................................................7 2.1.3.1. Heroin .......................................................................................9 2.1.3.2. Morfin.....................................................................................12 2.1.3.3. Kodein ....................................................................................13 2.1.3.4. Benzodiazepine.......................................................................14 2.1.4. Program Terapi Rumatan Metadon .................................................16 2.1.4.1. Terapi Metadon ......................................................................16 2.1.4.2. Evaluasi Keberhasilan Terapi.................................................21 2.1.5. Jenis Pemeriksaan............................................................................23 2.1.5.1. Biochip Array Technology......................................................23 2.1.5.2. Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) ..............27 2.1.6. Bagan Kerangka Teori.....................................................................29 2.2.Kerangka Konsep.......................................................................................30 3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................31 3.1. Desain Penelitian ......................................................................................31 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................31 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian................................................................31 3.3.1. Populasi Target................................................................................31
x Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
3.3.2. Populasi Terjangkau ........................................................................31 3.3.3. Sampel Penelitian ............................................................................31 3.4. Cara Pengambilan Sampel ........................................................................32 3.5. Estimasi Besar Sampel..............................................................................32 3.6. Kriteria Penerimaan dan Penolakan..........................................................32 3.6.1. Kriteria Penerimaan.........................................................................32 3.6.2. Kriteria Penolakan ...........................................................................32 3.6.3. Kriteria Drop-Out ............................................................................32 3.7. Alat dan Bahan Penelitian.........................................................................33 3.8. Cara Kerja .................................................................................................33 3.9. Definisi Operasional .................................................................................36 3.10. Rencana Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data ................................37 3.11. Etika Penelitian .......................................................................................38 4. HASIL PENELITIAN.....................................................................................39 4.1. Karakteristik Sampel.................................................................................39 4.2. Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Morfin pada Urin Pasien yang Mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon menggunakan metode Biochip Array Technology ........................................................................43 4.3. Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Benzodiazepin pada Urin Pasien yang Mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon menggunakan metode Biochip Array Technology ........................................................................44 5. PEMBAHASAN HASIL .................................................................................46 6. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................51 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 52
xi Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Reaksi silang amfetamin pada nilai ambang batas 1000 ng/ml .......... 26 Table 2.2 Reaksi silang benzodiazepin pada nilai ambang batas 1000 ng/ml .... 26 Tabel 2.3 Reaksi silang metadon pada nilai ambang batas 1000 ng/ml.............. 26 Tabel 2.4 Reaksi silang opiat pada nilai ambang batas 1000 ng/ml ................... 27 Tabel 2.5 Reaksi silang THC pada nilai ambang batas 1000 ng/ml ................... 27 Tabel 2.6 Reaksi silang MDMA pada nilai ambang batas 1000 ng/ml .............. 27 Tabel 4.1 Karakteristik Subjek............................................................................ 39 Tabel 4.2 Karakteristik Subjek berdasarkan jenis kelamin dan usia................... 40 Tabel 4.3 Pemeriksaan Morfin menggunakan metode Biochip Array Technology dan GC/MS ......................................................................................... 41 Tabel 4.4 Pemeriksaan Benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology dan GCMS....................................................................... 42 Tabel 4.5 Hasil Uji Diagnostik pemeriksaan morfin degan metode Biochip Array Technology pada urin pasien yang mengikuti program terapi rumatan metadon............................................................................................... 43 Tabel 4.6 Hasil Uji Diagnostik pemeriksaan Benzodiazepin dengan metode Biochip Array Technology pada urin pasien yang mengikuti ProgramTerapi Rumatan Metadon...................................................... 44
xii Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Hasil Pemeriksaan Morfin dengan Metode Biochip Array Technology ............................................................................................................. 43 Grafik 4.2 Hasil Pemeriksaan Benzodiazepin dengan Metode Biochip Array Technology .......................................................................................... 44
xiii Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Indonesia beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah yang cukup serius dan telah mencapai masalah keadaan yang memprihatinkan sehingga dapat men jadi masalah nasional. Perlu diketahui, definisi Narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah “Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, menurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UndangUndang ini.”2 Sedangkan definisi dari Psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika adalah “zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan
perilaku.”3
Dalam
Undang-Undang Psikotropika
tersebut,
psikotropika dibagi menjadi 4 golongan, namun pada perkembangannya disusun Undang-undang tentang narkotika sehingga obat-obatan yang termasuk pada golongan I dan II pada undang-undang psikotropika dimasukkan ke dalam golongan I narkotika.2,3 Berdasarkan data dari BNN, jenis narkotika dan psikotropika yang sering disalahgunakan adalah Opiat, Metamfetamin, Ganja (THC), MDMA, Benzodiazepin dan Kokain.4 Perkembangan peredaran narkotika dan psikotropika di masyarakat saat ini sangat memprihatinkan. Data yang diperoleh dari BNN hingga tahun 2011, diperkirakan pengguna narkotika mencapai 2,21 % dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 4,5 juta orang. Pengguna narkotika dan psikotropika mencakup kalangan yang cukup luas, mulai dari kalangan anak jalanan hingga kalangan menengah ke atas.4
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
2
Data Dinas Kesehatan pada tahun 2003 mengatakan bahwa narkotika yang paling umum digunakan di Jakarta adalah Heroin dengan cara pemakaian disuntikkan ke dalam pembuluh darah dan berdasarkan data dari RSKO pada tahun 2001 menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen pasien RSKO menggunakan zat-zat dari turunan opiat.3 Berdasarkan data penelitian dari BNN, angka penyalahgunaan narkotika jenis suntik sebesar 36 % dengan jenis narkotika yang paling banyak digunakan adalah Heroin.4 Penggunaan Narkotika khususnya Heroin dengan jarum suntik cukup tinggi dan menimbulkan masalah kesehatan yang sangat serius yaitu adanya peningkatan infeksi HIV. Hal tersebut ditunjukkan dari data Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) pada tahun 2004, bahwa 44 % pengguna narkotika suntik di Indonesia terinfeksi HIV. Oleh sebab itu, untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV melalui jarum suntik diperlukan sebuah program pengurangan dampak buruk dari jarum suntik atau disebut “Harm Reduction” dan salah satu programnya adalah Program Terapi Rumatan Metadon.5 Berdasarkan data yang didapat dari Puskesmas Kecamatan Johar Baru, jumlah pasien yang di terapi dengan metadon sebanyak 92 orang dan jumlah tersebut dapat bertambah setiap harinya. Penggunaan terapi metadon dibutuhkan tingkat kepatuhan yang tinggi sehingga perlu adanya monitoring kepatuhan terhadap terapi tersebut. Berdasarkan data dari Puskesmas Kecamatan Johar Baru, ditemukan sekitar 20 % dari pasien yang mengikuti PTRM masih mengkonsumsi zat Morphine dan Benzodiazepin yang diperiksa rutin setiap 3 bulan sekali menggunakan pemeriksaan uji cepat.6 Ilmu kedokteran forensik merupakan cabang ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan masalahmasalah di bidang hukum.7 Sebagai dokter forensik dalam menjalankan tugasnya untuk membuat terang suatu perkara, wajib membantu penyidik dalam menangani kasus-kasus pidana yang menyangkut tubuh manusia seperti luka, keracunan atau kasus kematian. Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 133, bahwa jika diperlukan, maka penyidik dapat meminta seorang dokter forensik untuk memeriksa korban yang mengalami tindak pidana yang mengakibatkan luka, keracunan atau mati.8
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
3
Dalam pelaksanaannya, Toksikologi Forensik bekerja untuk melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif terhadap racun dengan tujuan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi dari zat racun dan metabolitnya dalam cairan biologis yang dapat berupa urin, saliva maupun darah. Banyak kasus keracunan yang memerlukan analisis toksikologi forensik dan salah satu yang sering adalah kasus penyalahgunaan narkotika.9 Pemeriksaan laboratorium
memiliki 2 tujuan, yaitu pemeriksaan untuk
kepentingan pro justisia dan pemeriksaan non justisia. Pemeriksaan pro justisia yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk melengkapi data yang diajukan ke pengadilan. Pemeriksaan untuk kepentingan tersebut dilakukan di institusi terbatas yaitu kepolisian, BNN, dan institusi kesehatan lain. Tujuan lain dari pemeriksaan laboratorium narkotika dan psikotropika yaitu yang bersifat non justicia. Pemeriksaan tersebut antara lain dilakukan untuk tujuan seleksi karyawan, penerimaan siswa baru, dan seleksi anggota militer. Pada pemeriksaan laboratorium narkotika yang bersifat non justicia dilakukan tes skrining. Pemeriksaan narkotika dan psikotropika yang biasa dilakukan di laboratorium antara
lain
Amfetamin,
Benzodiazepine,
Kokain,
Opiat,
Ganja,
3,4-
methylenedioxy-N-methylamphetamine (MDMA), Metamfetamin, Phencyclidine (PCP) dan Barbiturat. Bahan pemeriksaan yang digunakan untuk pemeriksaan narkotika adalah urin, darah, rambut, keringat, dan cairan vitreus. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, bahan pemeriksaan yang paling mudah dan stabil untuk uji skrining adalah urin. Pemeriksaan laboratorium yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya narkotika dan psikotropika terdiri dari 2 jenis metode pemeriksaan yaitu uji skrining yang terdiri dari metode Kromatografi Lapis Tipis dan ImmunoAssay serta uji konfirmasi yang terdiri dari metode GC/MS dan HPLC. Untuk melakukan uji skrining narkotika dan psikotropika dalam urin, digunakan metode Imunoassay,
yaitu
umumnya
menggunakan
metode
ELISA.9
Dalam
perkembangannya, metode ELISA mengalami perkembangan dengan teknik Biochip Array Technology (BAT) yang dapat mendeteksi dan juga mengetahui kadar zat tersebut dalam sebuah sampel pemeriksaan.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
4
Metode Biochip Arary Technology (BAT) sudah berkembang sejak tahun 1992 di Inggris dan kemudian berkembang di 22 negara, yaitu Australia, Republik Ceko, Brazil, Hongkong, China, Perancis, Jerman, India, Italia, Polandia, Portugal, Puerto Rico, Irlandia, Slovakia, Afrika Selatan, Swiss, Vietnam, Inggris, Korea Selatan, Spanyol, Amerika Serikat dan Indonesia. Di Indonesia, metode BAT baru mulai berkembang tahun 2013. Metode BAT khususnya yang digunakan untuk pemeriksaan toksikologi memiliki prinsip kerja berdasarkan prinsip kerja ELISA Kompetitif. Dengan teknologi nano, metode Biochip Array Technology dapat melakukan pemeriksaan secara spesifik sehingga dapat meminimalisir terjadinya reaksi silang terhadap zat yang memiliki struktur kimia yang hampir sama dan dapat digunakan juga untuk pemeriksaan kuantitatif, sehingga dalam melakukan pemeriksaan toksikologi forensik dapat lebih efektif. Dari penelitian sebelumnya di Inggris, pemeriksaan narkotika dengan sampel urin ditemukan adanya reaksi silang yang minimal terhadap zat-zat yang memiliki kemiripan dari struktur kimia yaitu untuk zat Metamfetamin, amfetamin dan MDMA. Didapatkan reaksi silang yang terjadi antara metamfetamin dengan amfetamin kurang dari 0,1 %. Selain itu, pemeriksaan urin untuk mendeteksi zat THC dengan metode Biochip Array Technology, akan mendeteksi metabolit utama dari zat tersebut yaitu 11-Nor-∆9-THC-9-carboxylic acid dan dapat mengalami reaksi silang terhadap zat yang menyerupai THC seperti Cannabinol sebesar 0,5%, 11-hidroxy-∆8-THC sebesar 1,1 % dan 11-hidroxy-∆9-THC sebesar 2,2 %. Pada pemeriksaan terhadap zat Metadon, hasil yang akan dideteksi adalah metadon dalam bentuk utuh, karena metadon seutuhnya diekskresikan di urin. Kemungkinan reaksi silang yang terjadi terhadap metadon adalah dengan metabolitnya
yang
tidak
aktif
yaitu
2-ethylidene-1,5-dimethyl-3,3-
diphenylpyrrolidine (EDDP) dan 2-ethyl-5-methyl-3, 3-diphenylpyrroline (EMDP) sebesar < 0,1 %. Pemeriksaan terhadap zat dari golongan opioid akan dideteksi metabolit di dalam urin dalam bentuk morfin sebesar 100 %. Reaksi silang yang mungkin terjadi terhadap golongan opioid yaitu codein sebesar 69,5 %, 6-MAM sebesar 73 %, Morfin – 3 – glucoronide sebesar 20 %, Hidromorphone sebesar 7,5 %, Hydrocodone sebesar 3,3 % dan Dihydrocodone sebesar 5 %.10
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
5
1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Perkembangan teknologi menghasilkan suatu metode baru yaitu Biochip Array Technology yang dapat digunakan untuk pemeriksaan Narkotika. Metode tersebut memiliki prinsip kerja ELISA sehingga digunakan sebagai uji skrining. Akan tetapi dengan teknologi nano, metode tersebut dapat melakukan pemeriksaan konsentrasi dari narkotika yang diperiksa. Pemeriksaan dengan metode tersebut dapat dilakukan dengan mudah, sehingga dokter Forensik yang diberi pelatihan mengenai cara penggunaan dapat melakukannya dan dapat membaca hasil analisa data pemeriksaan. Pada penelitian di Inggris, pemeriksaan terhadap morfin memiliki sensitivitas sebesar 89,1 % dan benzodiazepin sebesar 78 %. Akan tetapi, penelitian tentang nilai diagnostik metode tersebut yang menunjukkan keakuratan dari hasil pemeriksaan di Indonesia belum pernah dilakukan. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapakah nilai diagnostik (nilai sensitivitas, spesifisitas, Nilai Duga Positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatif) dari metode Biochip Array Technology pada pemeriksaan terhadap morfin dan benzodiazepin dalam urin? 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk
mengetahui
nilai
benzodiazepin pada urin
diagnostik
pemeriksaan
morfin dan
menggunakan metode Biochip Array
Technology. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui nilai diagnostik morfin pada urin menggunakan metode Biochip Array Technology. 2. Untuk mengetahui nilai diagnostik benzodiazepin pada urin menggunakan metode Biochip Array Technology.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
6
1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat melatih peneliti dalam merancang dan melaksanakan suatu penelitian serta menjadi syarat dalam memperoleh gelar Spesialis Forensik. 1.4.2. Manfaat pelayanan Dengan penelitian ini diharapkan metode Biochip Array Technology dapat digunakan untuk pemeriksaan narkotika secara kualitatif maupun kuantitatif.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori 2.1.1.
Narkotika dan Permasalahannya
2.1.1.1. Definisi dan Penggolongan Definisi Narkotika menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.”2 Definisi Psikotropika berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika pasal 1 ayat 1 adalah “zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.”3 Berdasarkan Undang-Undang no. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang
dapat mengakibatkan ketergantungan dibagi menjadi 4 golongan,
kemudian dengan berlakunya Undang-Undang mengenai Narkotika yang baru yaitu Undang-undang no. 35 tahun 2009, maka yang termasuk kedalam golongan I dan II di dalam Undang-undang Psikotropika kemudian dimasukkan ke dalam golongan I narkotika. Penggolongan Narkotika berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2009, dibagi menjadi tiga golongan yaitu :2,3 1. Golongan I : “Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”. Contoh Narkotika golongan I yang sering disalahgunakan
adalah THC, Heroina, MDMA,
Amfetamin, Metamfetamin.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
8
2. Golongan II : “Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan kecanduan”. Contoh Narkotika golongan II adalah fentanil, oksikodona, petidina, dan lain-lain. 3. Golongan II : “Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan ketergantungan”. Contoh narkotika golongan III adalah kodeina, buprenorfina, dan lainlain. Berbagai istilah sering digunakan dalam pembahasan gangguan yang berkaitan dengan penggunaan narkotika. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menggunakan istilah NAPZA sebagai istilah pengganti drugs yang digunakan dalam buku-buku WHO (World Health Organization) atau substances yang digunakan dalam pedoman diagnostic DSM IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Revised). NAPZA merupakan akronim dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Sedangkan Narkoba adalah akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya atau dapat pula menjadi bahan berbahaya lainnya. Yang dimaksud dengan Substance adalah segala bentuk zat kimia yang memiliki efek spesifik terhadap otak dan tubuh, sedangkan Drugs adalah setiap zat kecuali makanan, minuman dan oksigen yang apabila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi fisik maupun psikologis seseorang.10 Mengenai Zat-zat yang dapat menyebabkan ketergantungan (zat adiktif) sendiri diatur di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 113 meliputi tembakau, produng yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi pengguna maupun masyarakat di sekitarnya.11
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
9
2.1.2. Permasalahan di masyarakat Permasalahan penggunaan Narkotika merupakan isu yang kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak keilmuan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika melanda hampir di seluruh Negara dan tidak satu bangsa pun yang terbebas, yang mengakibatkan terjadinya korban jutaan jiwa, menghancurkan kehidupan keluarga, mengancam keamanan dan ketahanan berbangsa dan bernegara.
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir,
permasalahan penggunaan narkotika menjadi marak, terbukti dengan bertambahnya jumlah penyalahguna dan pecandu narkotika secara signifikan, seiring pengungkapan kasus tindak kejahatan narkotika. Berdasarkan Laporan Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan
kejahatan
narkotika
(United
Nations
Office
on
Drugs
Crimes/UNODC) World Drugs Report 2012, diketahui bahwa upaya pengawasan Narkoba yang ketat oleh Negara-negara di dunia telah dapat mengendalikan peredaran narkotika di Eropa, Amerika dan Asia. Diperkirakan antara 153 – 300 juta jiwa atau sebesar 3,4 % - 6,6 % penyalahguna narkotika di dunia berusia 15 – 64 tahun pernah mengkonsumsi narkotika sekali dalam setahun, hampir 12 % (15,5 juta jiwa sampai 38,6 juta jiwa) dari pengguna tersebut adalah pecandu berat.4 Berdasarkan hasil penelitian dari Puslitkes Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional pada tahun 2011 menunjukkan angka 2,2 % yang setara dengan 3,8 juta orang penduduk Indonesia. Adanya keterbatasan mengenai informasi dan pengetahuan korban maupun keluarga korban serta masyarakat secara luas akan berbagai layanan yang mampu memberikan fasilitas baik dari mulai pengaduan, pencegahan, rehabilitasi maupun tindak lanjut penanganan terhadap korban pengguna narkotika mengakibatkan terbatasnya korban mendapatkan penanganan lebih lanjut.12 2.1.3.
Jenis Narkotika dan Psikotropika
2.1.3.1. Heroin Heroin pertama kali ditemukan pada tahun 1874 oleh A.C Wright dan dijual sebagai antitusif untuk pasien asma dan TBC pada tahun 1898. Heroin
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
10
(3,6-diacetylmorphine) adalah
turunan semi sintetik dari morfin dan
merupakan obat anti nyeri yang kuat. Heroin dapat digunakan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara disuntikkan melalui pembuluh darah atau otot, dihisap (snorting), dan dengan cara menghisap heroin yang dibakar diatas kertas aluminium foil yang biasa disebut sebagai “Smoked Heroin” atau “Chasing the Dragon”. Karena sifatnya yang mudah larut dalam lemak, maka heroin dapat melewati sawar otak lebih cepat dibandingkan dengan morfin. Heroin dihidrolisa menjadi 6-monoacetyl-morhine dan kemudian dihidrolisa kembali menjadi morfin. Kemudian di glukuronida di konjugasi menjadi 3glukoronide morfin dan 6-glukoronid morfin. Morfin glukoronid adalah bentuk hidrofilik yang kemudian sebagian besar akan terekskresi di urin dan dalam jumlah sedikit terekskresi di kandung empedu. Setelah penggunaan heroin secara intravena, sebannyak 70% diekskresikan di urin, dan sebanyak 55% dieksresikan dalam bentuk morfin yang terkonjugasi.14 Hidrolisis heroin dan 6-monoasetylmorfin dikatalisa oleh beberapa enzim esterase yang berbeda. Glukuronidase morfin terjadi di hati, tapi dalam jumlah sedikit juga terjadi di otak, ginjal dan saluran pencernaan. Kadar heroin di dalam darah menurun dengan cepat setelah penggunaan secara intravena dan tidak terdeteksi setelah 10 – 40 menit, dengan kadar minimal yang masih dapat terdeteksi antara 5 – 50 ng/mL. Waktu paruh antara 1,3 – 7,8 menit. Heroin tidak ditemukan dalam urin kecuali dalam satu penelitian dimana 0,13 % dosis heroin ditemukan dalam bentuk utuh di urin setelah penggunaan secara intravena jangka panjang yang berkelanjutan. Oleh karena itu, heroin secara keseluruhan bentuknya berubah menjadi metabolitnya sebelum diekskresi di ginjal.14 Setelah heroin dihidrolisa bentuknya menjadi 6-monoasetylmorfin 6MAM). Perkiraan waktu paruh dari 6-MAM dan klirens antara 5,4 hingga 52 menit dan dari 564 – 607 L/jam. Setelah injeksi heroin, 6-MAM dapat dideteksi di dalam plasma setelah 1 – 3 jam. Sekitar 1,3 % dari total dosis heroin yang diinjeksi intravena ditemukan dalam urin dalam bentuk 6-MAM. Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
11
6-MAM dapat terdeteksi di urin setelah 1,2 – 4,3 jam setelah penggunaan intravena.14 Setelah mengkonsumsi heroin akan berubah bentuknya menjadi metabolitnya morfin terjadi sangat cepat, dan mencapai konsentrasi maksimalnya 3,6 – 8 menit setelah konsumsi heroin. Waktu paru morfin sebagai metabolit heroin bervariasi antara 100 – 280 menit. Waktu paruh akhir dari metabolism heroin, morphine-glukoronida (M3G/M6G) antara 2 – 6,4 jam. Berdasarkan penelitian Smith, Shimamura dkk, pada pemakaian heroin secara intravena dosis 3 mg, 6 mg dan 12 mg memiliki waktu paruh 3,11 + 0,3 jam. Pada pemberian dosis rendah ( kurang dari 7 mg ), dilakukan pemeriksaan menggunakan GC/MS diperiksa kadar dari metabolitnya yaitu Total morfin (Tmor), Morfin Bebas (Fmor), dan 6-acetylmorfin (6-AM). Rentang (median) konsentrasi puncak urin, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak, waktu yang dibutuhkan kadarnya masih bertahan positif pada nilai potong batas bawah (300 ng/ml) dan pada nilai potong batas atas (2000 ng/ml) untuk Total morfin pada dosis rendah ( kurang dari 7 mg ) yaitu secara berurutan 1392-9250 (3620) ng/mL, 1,2-6,2 (2,3) jam, 7,4-31,9 (7,4) jam, dan 0 -10,1 (4,3) jam. Pada pemberian dosis tinggi ( lebih dari 10 mg ), ditemukan konsentrasi puncak pada urinnya 206529.030 (16.470) ng/mL, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncaknya 2,3-9,3 (4,5) jam, waktu yang dibutuhkan kadarnya masih bertahan positif pada nilai potong batas bawah (300 ng/ml) 10,7-53,5 (34,4) jam, waktu yang dibutuhkan kadarnya masih bertahan positif pada nilai potong batas atas (2000 ng/ml) 2,3-22,3 (8,3) jam. Pada pemeriksaan metabolit morfin bebas (Fmor) dengan menggunakan nilai potong 100 ng/ml, didapatkan kadar konsentrasi puncaknya pada pemberian dosis rendah yaitu 117-1160 (415) ng/ml, waktu yang dibutuhkan kadarnya masih positif 1,210,1 (4,5) jam, sedangkan pada pemberian dosis tinggi, konsentrasi puncaknya 150-2580 (1400) ng/mL dan waktu yang dibutuhkan kadarnya
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
12
masih positif 2,3-29,1 (9,3) jam. Sedangkan untuk metabolit 6-AM, mencapai konsentrasi puncaknya 6.1-568 (124) ng/mL. 15,16 2.1.3.2. Morfin Berdasarkan bukti arkeologis dan historis menunjukkan bahwa opium telah digunakan sebagai analgesik sejak abad ketiga SM. Morfin, alkaloid pentasiklik dan komponen aktif utama opium, diisolasi pada tahun 1805 oleh seorang apoteker Jerman, meskipun struktur kimia yang benar pertama kali diusulkan pada tahun 1923. Sintesis total dicapai pada tahun 1952. Selain analgesia, morfin menyebabkan efek samping seperti sembelit, lesu dan mual, dan banyak turunan besar telah disintesis dalam upaya untuk mengubah atau menentang beberapa efek farmakologis morfin.15 Morfin sulfat pada dasarnya adalah satu-satunya garam yang digunakan di klinis. Hal ini disediakan sebagai bubuk putih tidak berbau. Rumusnya adalah C34H40N2O10S, yang terdiri dari 61,06% karbon, 6,03% hidrogen, nitrogen 4,19%, 23,92% oksigen, dan 4,79% sulfur, serta memiliki berat molekul 668,77. Satu gram morfin larut dalam 15,5 mL air pada 25 ° C, tetapi tidak larut dalam kloroform atau eter. PH larutan adalah sekitar 4,8. Bahkan ketika disimpan dalam ampul kaca, larutan morfin sulfat berubah warna menjadi coklat saat terkena sinar matahari, tetapi perubahan warna tampaknya tidak berpengaruh pada kemampuan untuk memproduksi analgesia.15 Efek farmakologis maksimal morfin terjadi dalam beberapa menit setelah injeksi intravena, sesuai dengan konsentrasi maksimum yang diukur dari obat bebas dalam plasma. Ekskresi morfin dari darah terjadi cepat, sekitar 80 % dari dosis yang diberikan diekskresikan dalam urin dalam waktu 8 jam meskipun tandanya masih dapat dideteksi 72 – 100 jam setelah pemberian, terutama pada pecandu. Waktu retensi yang lama biasanya dihubungkan dengan protein yang mengikat, tetapi dapat duka dikarenakan adanya reasorbsi morfin dari mukosa usus setelah hidrolisis konjugat diangkut dari hati ke dalam empedu. Setelah injeksi intravena, waktu paruh plasma yaitu 2 – 3 jam dan waktu yang digunakan untuk ekskresi 10 – 44
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
13
jam yang telah ditentukan oleh RIA (Radio Immuno Assay), namun teknik RIA tersebut tidak membedakan antara bentuk bebas dan obat yang terkonjugasi. Morfin cepat diserap setelah injeksi intramuskular atau injeksi subkutan dengan kadar plasma puncak dicapai dalam 15 – 20 menit dan memiliki efek farmakologis maksimal 60 – 90 menit setelah pemberian17,18. Pada pemberian per oral, kadar plasma puncak dicapai dalam waktu 30 – 90 menit setelah penggunaan. Kadar puncak setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada pemberian secara parenteral, karena pada pemberian morfin per oral mengalami metabolisme lintas pertama yang panjang di dalam hati. Setelah absorbsi, morfin dengan cepat dan didistribusikan secara luas dan melintasi Blood Brain Barrier. Dengan dosis terapi morfin, protein plasma mengikat hanya 20 – 35 %, dan volume distribusi adalah 1 – 6 L/kg. Morfin utamanya dimetabolisme di hati. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama, namun metabolit utama morfin yaitu morfin – 3 – glukoronida (M3G), tidak aktif. Morfin – 6 – glukoronida ( M6G ) diproduksi dalam jumlah yang lebih kecil dari M3G, namun aktif secara farmakologi dan berkali kali lebih kuat dari Morfin. Normorphine (NM) juga aktif dan dibentuk untuk tingkat yang lebih besar setelah pemberian per oral dan biasanya ditemukan dalam plasma. Morfin dan metabolitnya diekskresikan oleh ginjal, tetapi jumlah ekskresi dalam bentuk morfin bebas kurang dari 10% dari dosis yang diberikan.18 2.1.3.3. Kodein Kodein merupakan obat dari golongan opioid yang digunakan sebagai anti nyeri. Kodein merupakan agonis yang kurang kuat terhadap reseptor mu Opioid (OPRM1) dibandingkan morfin, dan merupakan pilihan untuk pengobatan rawat jalan yang lebih aman dibandingkan morfin. Akan tetapi, pada penelitian akhir-akhir ini, Food and Drug Administration (FDA) pemakaian kodein berbahaya terutama untuk menyusui. Metabolism utama kodein terjadi di hati, namun ada sebagian yang terjadi di usus dan otak. Sekitar 50 – 70 %, oleh enzim UDP-Glucuronosyltransferase-2B7 (UGT2B7), kodein diubah menjadi Codein-6-glucoronide. Sekitar 10–15% kodein di N-demetilasi menjadi norcodeine oleh Cytochrome P450 3A4
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
14
(CYP3A4). Antara 0-15% dari kodein di O-Demetilasi menjadi morfin, yaitu metabolitnya yang paling aktif.19 Kodein dan metabolitnya dapat dideteksi secara kuantitatif di dalam darah, plasma atau urin untuk memonitor terapi, mendiagnosis kasus-kasus keracunan serta memberi petunjuk untuk kasus-kasus kematian akibat keracunan. Pada kasus penyalahgunaan kodein, bahan-bahan yang digunakan untuk dilakukan pemeriksaan skrining adalah urin, rambut, keringat atau air liur. Beberapa alat pemeriksaan skrining menunjukkan adanya reaksi silang terhadap morfin, akan tetapi pemeriksaan menggunakan metode kromatografi dapat dengan mudah membedakan antara kodein dengan morfin.19 Kodein biasa dikonsumsi secara oral, sebagai obat batuk, atau obat anti diare. Kodein dapat juga disalahgunakan dengan cara pemakaian secara intravena. Kodein diabsorbsi secara baik oleh saluran pencernaan dan mencapai kadar puncak setelah 1 jam dikonsumsi dengan bioavailabilitas sebesar 50 %. Waktu paruh kodein adalah antara 2,5 hingga 4 jam. Sekitar 86% kodein diekskresi dalam 24 jam, terutama dalam urin sebagai norkodein dan kodein dalam bentuk bebas dan terkonjugasi.19 2.1.3.4. Benzodiazepine Benzodiazepin bekerja meningkatkan efek neurotransmitter gammaaminobutyric acid (GABA) pada reseptor GABA, sehingga memberikan efek sedasi dan pada umumnya diresepkan sebagai obat anti ansietas, obat tidur, anastesi, dan anti kejang.22,23 Berdasarkan kecepatan metabolismenya, benzodiazepine dibagi menjadi 3, yaitu : a. Long acting Obat golongan ini memiliki waktu paruh yang lama yaitu lebih dari 24 jam. Contoh obat pada golongan ini adalah Nitrazepam, Clonazepam, Medazepam,
Diazepam, Prazepam,
Flurazepam, Phenazepam
dan
Nordazepam, Clorazepate.
Benzodizepin dengan long acting digunakan untuk obat anti ansietas. Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
15
b. Intermediate Acting Obat golongan ini memiliki waktu paruh antara 12 – 24 jam. Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah lorazepam, Temazepam,
Estazolam,
Bromazepam,
Chlordiazepoxide,
Clobazam, Nimetazepam dan Flunitrazepam. c. Short acting Obat golongan ini memiliki waktu paruh kurang dari 12 jam. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah Triazolam, Midazolam,
Brotizolam,
Oxazepam,
Loprazolam,
Lormetazepam, dan Alprazolam. Obat-obat golongan ini digunakan untuk hipnotik namun tinggi kemungkinannya untuk disalahgunakan. Benzodiazepin digunakan secara oral, namun dapat juga digunakan dengan cara injeksi. Pada pemberian oral, benzodiazepine diabsorbsi lengkap kecuali klorazepat. Obat golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah diazepam dan alprazolam. Diazepam secara cepat diabsorbsi, dengan bioavailabilitas oralnya dapat mencapai 100%, dan hampir 90 % terikat dalam plasma. Waktu paruhnya adalah 43 + 13 jam. Diazepam dimetabolisme menjadi metabolit aktifnya yaitu nordiazepam yang memiliki waktu paruh 40 – 99 jam, termazepam dan oxazepam.21,22 Konsentrasi metabolit aktif diazepam terdeteksi dalam jangka waktu beberapa hari hingga beberapa minggu setelah penggunaan terakhir. Sebagai produk akhir metabolisme diazepam, oxazepam sering hadir pada konsentrasi yang sedikit lebih tinggi dalam urin dari nordiazepam dan temazepam. Dengan demikian, oxazepam sering tetap terdeteksi dalam urin untuk satu atau dua hari setelah metabolit lainnya telah dieliminasi sepenuhnya.22 Obat dalam bentuk utuh (yang tidak termetabolisme) diekskresikan dalam urin sejumlah kurang dari 1 %.23
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
16
2.1.4. Program Terapi Rumatan Metadon 2.1.4.1. Terapi Metadon Terapi metadon diindikasikan kepada para pemakai opioid yang mengalami ketergantungan dan menggunakan opioid secara teratur dalam jangka waktu yang lama.25 Terapi metadon tidak untuk mengobati ketergantungan heroin namun untuk membuat pola kebiasaan baru, bekerja, tanpa rasa khawatir akan terjadinya gejala putus heroin dan membantu agar dapat terlepas dari lingkaran penggunaan heroin.25 Metadon digunakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1960, di Indonesia sendiri pada tahun 2003. Pengembangan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) mulai dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2006. Dasar kebijakan dari program ini adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan No. 494/Menkes/SK/VII/2006 tentang Penetapan RS dan Satelit Uji Coba serta Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon. Berdasarkan data hingga Bulan Desember 2011, terdapat 74 Layanan PTRM di 15 propinsi dengan 37 layanan berbasis Puskesmas, 22 layanan berbasis Rumah Sakit Umum, 6 layanan berbasis Rumah Sakit Jiwa/RSKO, 5 layanan di Lembaga Permasyarakatan, dan 4 layanan di Rumah Tahanan.26 Di Jakarta, terdapat 12 Puskesmas dan 4 Rumah Sakit yang memililki Program Terapi Rumatan Metadon. Puskesmas yang memiliki pelayanan PTRM adalah Puskesmas Gambir, Puskesmas Johar Baru, Puskesmas Kemayoran, Puskesmas Senen, Puskesmas Koja, Puskesmas Tanjung Priok, Puskesmas Tambora, Puskesmas Gropet, Puskesmas Cengkareng, Puskesmas Tebet, Puskesmas Jatinegara, dan Puskesmas Kramat Jati. Rumah Sakit yang memiliki ketersediaan pelayanan PTRM adalah RS. Fatmawati, RSKO Cibubur, RSUD Koja dan RSUD Duren Sawit.26 Terapi Rumatan Metadon memiliki beberapa keuntungan bagi pengguna Opioid yang memiliki ketergantungan. Keuntungan – keuntungan tersebut adalah :26,27
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
17
• Dengan pemberian dosis tepat dapat menghentikan penggunaan opioid (heroin) • Dapat mengurangi atau menghentikan penggunaan narkotika dengan jarum suntik • Mengurangi resiko terjadinya overdosis dan penularan penyakit seperti HIV, Hepatitis C, Hepatitis B, infeksi bakteri, dan penyakit menular seksual • Mengurangi angka kematian • Dapat mengurangi perilaku kriminal • Penggunaan metadon lebih murah daripada penggunaan heroin • Metadon dapat mendorong supaya hidup lebih sehat. • Masalah putus obat kemungkinan dapat diatasi dengan sedikit lebih nyaman Metadon (4,4 – diphenyl – 6 dimethylamino,3-hepaton) merupakan bentuk sintetik dan agonis dari opioid, diserap baik pada pemberian per oral dengan waktu paruh yang panjang. Metadon bekerja menekan fungsi susunan saraf pusat, dan memiliki efek analgetik yang kuat. Pada pemberian per oral dengan sediaan cair maupun tablet mengalami absorbsi yang cepat dan dapat terdeteksi di plasma serta memberikan efek terjadi sekitar 30 menit setelah konsumsi. Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk mencapai kadar maksimal pada pemberian Metadon dalam bentuk cair adalah 2,5 jam dan 3 jam pada pemberian tablet Metadon. Waktu paruh yang dibutuhkan pada fase I (distribusi) dimana kadar metadon menghilang dari plasma tiap individunya berbeda-beda, dengan rata-rata 2,95 + 0,92 jam. Waktu paruh fase II (eliminasi), kadar metadon di dalam plasma menjadi tidak ada juga bervariasi yaitu antara 8,5 – 47 jam. Selama terapi pemeliharaan, waktu paruh pada fase II eliminasi dapat bervariasi, walaupun pada pemberian dosis tinggi maupun rendah, yaitu antara 22 – 25 jam sehingga dapat diberikan kepada pasien sekali dalam sehari. Metadon di metabolisme di dalam hati dan diekskresikan melalui ginjal.25,27 Metabolisme Metadon di dalam tubuh bervariasi tergantung dari individu masing-masing. Pada individu dengan metabolisme lambt, dosis Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
18
ditingkatkan secara bertahap dengan dosis stabil dapat dicapai dalam 5 hari. Individu dengan metabolisme cepat, kadar dalam darah turun cepat. Eliminasi metadon dan metabolitnya terutama terjadi di ginjal yaitu sebanyak 15 – 60 % selama 24 jam pertama ( 20 % dalam bentuk utuh, dan 13 % sebagai 2-ethyidene1,5-dimethyl-3,3-diphenylpyrrolidine).25 Dalam mengikuti program terapi metadon, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu :26 1. Penderita harus memenuhi kriteria ICD – X untuk ketergantungan opioid 2. Penderita harus berusia diatas 18 tahun. Jika usia dibawah 18 tahun, maka harus meminta pendapat kedua dari profesional medis lain 3. Dalam 12 bulan terakhir mengalami ketergantungan Opioid 4. Sudah pernah berusaha untuk berhenti menggunakan Opioid minimal satu kali Beberapa dari para pemakai opioid yang ingin di terapi karena adanya kondisi tertentu tidak dapat mengikuti program terapi rumatan metadon. Kriteria-kriteria tersebut dimasukkan menjadi kriteria eksklusi dari Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yaitu :26 1. Penderita yang memiliki penyakit fisik berat, disarankan untuk meminta pendapat atau pertimbangan kepada profesional medis yang terkait. 2. Penderita dengan psikosis maka dibutuhkan pertimbangan dari psikiater. 3. Penderita dengan Retardasi mental juga membutuhkan pertimbangan dari psikiater. Penilaian awal perlu dilakukan sebelum pasien memulai suatu terapi. Pasien sebelumnya di tanyakan alasan untuk mengikuti program terapi metadon, wawancara agar mengetahui motivasi untuk berhenti mengkonsumsi zat opioid, riwayat penggunaan narkotika, riwayat penggunaan zat, riwayat medik dan psikiatrik serta psikososial. Setelah pasien diwawancara oleh petugas, dilakukan pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda tempat bekas suntik, adanya intoksikasi
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
19
atau putus zat, status gizi, pemeriksaan status mental. Untuk mengetahui riwayat penggunaan zat perlu dilakukan pemeriksaan urin untuk membantu diagnosis. Dalam program terapi metadon, dosis terapinya diberikan secara bertahap. Dosis awal yang dianjurkan adalah sebesar 15 – 30 mg untuk tiga hari pertama. Setelah pemberian dosis awal, pasien harus diobservasi selama 45 menit untuk memantau tanda-tanda intoksikasi atau gejala putus obat. Pemberian metadon harus dalam bentuk cair dan diencerkan sebanyak 100 cc. Pasien diharuskan meminum metadon di depan petugas kesehatan di klinik metadon di Instansi Kesehatan Pemerintah. 26 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi terhadap pasien dengan ketergantungan obat-obatan tergantung dari lamanya terapi yang adekuat. Penelitian tentang prinsip-prinsip pengobatan penyalahgunaan obat pada tahun 1999, dirilis oleh National Institut of Drug Abuse (NIDA) mengatakan bahwa waktu minimal yang dibutuhkan untuk terapi pemeliharaan metadon selama 12 bulan, dan beberapa pecandu opiat akan terus mendapatkan manfaat dari terapi pemeliharaan metadon selama bertahun-tahun.25 Setelah pemberian dosis awal, maka dilanjutkan dengan dosis stabilisasi yang bertujuan untuk menaikkan dosis secara perlahan dari dosis awalnya sehingga masuk ke dalam fase rumatan. Pada fase stabilisasi, risiko terjadinya intoksikasi dan overdosis terjadi pada 10 – 14 hari pertama. Dosis terapi pada fase stabilisasi yang direkomendasikan adalah dosis awal terapi dinaikkan 5 – 10 mg tiap 3 – 5 hari, dengan total kenaikan dosisnya tidak boleh lebih dari 30 mg tiap minggu. Hal yang penting untuk diingat adalah tidak ada hubungan antara besarnya jumlah opiat yang dikonsumsi dengan dosis metadon yang dibutuhkan pada PTRM. Dosis rumatan yang diberikan rata-rata per harinya adalah 60 – 120 mg. Pemberian dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap harinya tergantung dari kondisi pasien. Fase rumatan dapat terjadi bertahun tahun hingga kondisi pasien stabil dilihat dari perilaku, baik dalam hal pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial. Dalam bulan pertama terapi, pasien harus di evaluasi oleh dokter minimal setiap bulan. Setelah dilakukan evaluasi maka dosis terapi pasien dapat ditingkatkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi pasien adalah :26
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
20
a. Derajat keparahan gejala putus obat b. Intoksikasi c. Penggunaan obat lain d. Efek samping penggunaan metadon e. Persepsi pasien terhadap kecukupan dosis f. Kepatuhan terhadap regimen yang diberikan g. Kualitas tidur, nafsu makan, dll. Terhadap pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), dilakukan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan sekali menggunakan pemeriksaan uji cepat dengan bahan urin. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan sekitar 20 % dari jumlah pasien yang mengikuti PTRM masih menggunakan narkotika lain selain Metadon yaitu yang terbanyak adalah morfin dan benzodiazepin. (data dari Puskesmas Johar Baru). Bagi pasien dengan beberapa kriteria, dapat menjalani PTRM dengan dosis bawa pulang atau sering disebut Take Home Dose (THD). Dosis bawa pulang hanya dapat diberikan paling lama 3 hari. Beberapa kriteria dalam pemberian dosis bawa pulang adalah sebagai berikut :26 1. Pasien secara klinis stabil yaitu dosis pemberian sudah dalam tahap stabil, yaitu sudah tidak lagi menunjukkan gjala putus zat, dan dosis menetap selama 2 – 3 bulan tanpa mengalami penurunan dosis yang diakibatkan oleh ketidakhadiran pasien dalam program. 2. Pasien tampak stabil dalam sosial, kognitif maupun emosionalnya. Secara sosial pasien hadir minimal 90 % setiap bulannya dalam 3 bulan pertama atau memiiki aktifitas rutin yang harus dibuktikan menggunakan surat keterangan dari tempat kerja maupun sekolah. Pasien stabil secara kognitif apabila dinilai dapat bertanggung jawab atas dosis yang dibawa pulang, dan stabil secara emosional yaitu tidak melakukan kekerasan fisik, psikologis maupun verbal.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
21
3. Dosis bawa pulang tidak dapat diberikan pada 2 bulan awal terapi. Pemberian terapi dengan dosis bawa pulang pada 2 bulan di awal terapi dapat dipertimbangkan dengan syarat orang tua/keluarga dari pasien harus bertanggung jawab terhadap penyimpanan dan penggunaan dosis bawa pulang tersebut dengan membuat pernyataan yang ditanda tangani di atas materai. 4. Pasien dapat menunjukkan perilaku atau sikap yang kooperatif 5. Alasan membawa pulang dosis terapi metadon harus diperkuat dengan adanya informasi dari pihak keluarga 6. Dosis bawa pulang harus benar-benar dalam keadaan yang mendesak karena tidak dapat datang setiap hari ke klinik untuk minum obat metadon. Sebelum pasien memutuskan untuk menghentikan program terapi rumatan metadon, penting supaya menilai kesiapan dari pasien berhenti dari program terapi metadon. Secara ideal, penghentian terapi rumatan metadon dilakukan secara bertahap, tetapi penghentian dengan tiba-tiba juga tidak dapat dihindari, seperti pada kasus pasien yang harus dipenjara, dikeluarkan dari program karena perilaku yang tidak menyenangkan maupun dipindah tempat pelayanannya. Penurunan dosis maksimal sebanyak 10 % dari dosis sebelumnya.25 2.1.4.2. Evaluasi keberhasilan terapi Pasien dinyatakan telah berhasil apabila pasien dinyatakan siap untuk berhenti dari program terapi metadon. Faktor – faktor yang mempengaruhi kesiapan pasien agar dapat berhenti dari program adalah :25 a. Faktor Prognosis Pasien tersebut yang meliputi : 1. Abstinensia heroin selama program (minimal 6 bulan). Selama 6 bulan, terhadap pasien dilakukan monitoring pemeriksaan berkala setiap tiga bulan sekali, dengan menggunakan uji cepat yang dilakukan oleh pihak puskesmas. Jika terbukti bahwa selama 6 bulan pasien tidak menggunakan heroin maka dapat dikatakan abstinensia heroin.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
22
2. Adanya stabilitas/dukungan pekerjaan/sosial. Adanya stabilias dukungan pekerjaan/sosial adalah apabila pasien sudah dapat bekerja dan melakukan peran sosialnya dengan baik. 3. Tidak terlibat kriminalitas yang dapat dinilai dari pengendalian emosi. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan pada klinik terapi metadon, untuk menilai perilaku kriminalitas tidak ada indikator khusus. Penilaian terhadap tindak kriminilatas memiliki sedikit kesulitan apabila perilaku kriminalitasnya tidak tampak atau tidak dapat diketahui. Akan tetapi, perilaku tersebut dapat dinilai jika tempat kejadian masih berada pada lingkungan pengobatan (klinik metadon). Sebagai contoh, pasien yang sedang menjalani PTRM berantem dengan sesama pasien b. Faktor terkait terapi 1. Penggunaan dosis sudah stabil. Pasien dikatakan menggunakan dosis stabil (rumatan) apabila dosis pada terapinya tidak mengalami kenaikan maupun penurunan, dan sudah memberikan efek nyaman terhadap pasien. 2. Tidak ada dosis yang terlewat. Pada pelaksanaan program terapi rumatan metadon, pasien dikatakan berhasil menjalani program apabila dalam menjalaninya tidak ada dosis yang terlewat satu hari pun. Untuk mencapai penghentian terapi, pemberian dosis harus mengalami penurunan secara bertahap. Penurunan dosis yang direkomendasikan adalah setiap dua minggu. Jika dosis rumatan lebih dari 50 mg, maka setiap dua minggu dosis diturunkan sebanyak 5 mg. Apabila dosis rumatan 30 – 50 mg, dosis diturunkan 2,5 mg setiap dua minggu, dan dosis rumatan kurang dari 30 mg maka selanjutnya reduksi diperlambat lebih efektif dengan penurunan dosis 1 mg tiap 2 minggu.28 Pada pasien yang mengikuti program PTRM, yang diketahui masih menggunakan morfin dan atau benzodiazepine, maka akan dirujuk ke RS. Fatmawati atau dikeluarkan dari program.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
23
2.1.5. Jenis Pemeriksaan 2.1.5.1. Biochip Array Technology Biochip Array Technology merupakan metode pemeriksaan dengan teknologi nano yang prinsip kerjanya berdasarkan ELISA. Metode yang digunakan
untuk
pemeriksaan
toksikologi
memiliki
prinsip
kerjanya
berdasarkan ELISA Kompetitif. Pada biochip tersebut sudah tertanam antibodi spesifik yang dapat berinteraksi dengan antigen yang diinginkan maupun antigen spesifik yang tertaut enzim sinyal, sehingga antibodi spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding biochip. Kemudian larutan yang mengandung antigen spesifik yang telah ditautkan dengan enzim sinyal dan larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke dalam biochip tersebut sehingga terjadi kompetisi antara antigen spesifik bertaut enzim sinyal dengan antigen yang diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antibodi antibodi spesifik yang kemudian dilanjutkan dengan membilas biochip tersebut untuk membuang antigen spesifik tertaut enzim sinyal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antibodi spesifik. Ke dalam biochip tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim sinyal yang tertaut pada antigen spesifik, sehinga enzim yang tertaut dengan antigen yang berinteraksi dengan antibodi spesifik akan bereaksi dengan substrat sehingga menimbulkan suatu sinyal yang dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, didapatkan hasil deteksi positif jika ditandai oleh tidak adanya sinyal yang ditimbulkan, yang berarti bahwa antigen yang diinginkan telah menang berkompetisi dengan antigen spesifik tertaut enzim sinyal dan berinteraksi dengan antibodi spesifik. Pada metode Biochip Array Technology, terjadi kompetisi antara analit dengan konjugat yang berikatan dengan enzim Horseradish Peroksidase. Semakin tinggi kadar obat di dalam sampel yang akan diperiksa, makan konjugat yang berikatan dengan enzim Horseradish Peroksidase akan berkurang, sehingga akan saling berkompetisi untuk berikatan dengan antibodi spesifik yang terdapat pada biochip dengan demikian pengurangan sinyal chemiluminescent akan dipancarkan Sinyal tersebut akan ditangkap oleh sensor kamera CCD yang kemudian jumlah ikatan tersebut akan dihitung berdasarkan jumlah dari fotonfoton yang kemudian diubah menjadi elektron sehingga akan memancarkan
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
24
cahaya yang kemudian akan mendapatkan hasil kuantitatif dari zat yang terdeteksi.10,28 Kelemahan dari pemeriksaan skrining menggunakan metode ELISA adalah adanya reaksi silang terhadap zat yang diperiksa yang memiliki kemiripan struktur kimia. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology meminimalisir terjadinya Reaksi Silang tersebut. Data yang didapat dari penelitian yang sudah dilakukan di Inggris, Reaksi silang yang terjadi terhadap zat yang memiliki kemiripan struktur kimia adalah sebagai berikut :29 Tabel 2.1. Reaksi Silang Amfetamin pada nilai ambang batas 1000 ng/ml Bahan
AMPH Assay
MAMP Assay
(%CR)
(%CR)
d-Amfetamin
100
0,7
Metamfetamin
< 0,1
100
MDMA
1,3
30,1
Tabel 2.2. Reaksi Silang Benzodiazepin pada nilai ambang batas 200 ng/ml Bahan
BENZ 1
BENZ 2 Assay
Assay (%CR)
(%CR)
Oxazepam
100
< 0,1
Lorazepam
7,7
100
Diazepam
1059
< 0,1
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
25
Tabel 2.3 Reaksi Silang Metadon pada nilai ambang batas 300 ng/ml Bahan
% Cross Reactivity
Metadon HCl
100
EDPP
< 0,1
EMDP
< 0,1
Tabel 2.4 Reaksi Silang Opiat pada nilai ambang batas 300 ng/ml Bahan
% Cross Reactivity
Morfin
100
6 – MAM
730
Kodein
69,5
Morfin – 3 – Glukoronide
20
Tabel 2.5 Reaksi Silang THC pada nilai ambang batas 50 ng/ml Bahan
% Cross Reactivity
11-nor-∆9-THC-9-carboxylic acid
100
11-hydroxy-Δ 9-THC
22
Cannabinol
0,5
11-hydroxy-Δ 8-THC
1,1
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
26
Tabel 2.6 Reaksi Silang MDMA pada nilai ambang batas 500 ng/ml Bahan
% Cross Reactivity
MDMA
100
MDA
8,4
MDEA
402
Dalam metode Biochip Array Technology ini memiliki beberapa keuntungan yaitu :10,28 1. Dapat mendeteksi berbagai macam obat dan metabolitnya dalam satu pemeriksaan (bersamaan) 2. Merupakan uji laboratorium yang efektif dan efisien. Pemeriksaan narkotika menggunakan metode Biochip Array Technology melakukan pendeteksian multianalit secara bersamaan. Dengan metode tersebut, pemeriksaan yang akan dilakukan tidak memerlukan preparasi terhadap sampel terlebih dahulu, sehingga dapat lebih efektif dalam pemeriksaannya. Selain itu, pemeriksaan dengan menggunakan metode Biochip Array Technology dengan teknologi chemiluminescence yang dapat menunjukkan kadar zat yang diperiksa. 3. Dapat memberikan hasil dengan kualitas terjamin. Berdasarkan penelitian mengenai dengan metode BAT menggunakan bahan urine, didapatkan angka ketepatan 90,6 % dibandingkan dengan pemeriksaan GC/MS. 4. Memiliki deteksi dengan sensitifitas tinggi.
Dengan pemeriksaan
menggunakan metode BAT, deteksi terhadap zat opiat memiliki angka sensitivitas 89,1 % dan benzodiazepin 78 %. Sensitivitas yang baik adalah yang mendekati angka 100 %. 5. Dapat mendeteksi kadar obat secara kuantitatif. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, dari 1102 sampel yang diperiksa dengan bahan
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
27
urine menggunakan metode BAT didapatkan angka ketepatan 94,2 % dibandingkan dengan GC/MS. Cara kerja dari metode Biochip Array Technology ini adalah sebagai berikut : 10,33 1. Memasukkan sampel dan reagen ke dalam lempengan yang sudah ada biochipnya 2. Biochip dimasukkan ke dalam thermoshaker agar didapatkan suhu optimal sampel pemeriksaan sesuai kondisi standar inkubasi sehingga terjadi ikatan antara antigen – antibody antara sampel dengan biochip. 3. Lempengan biochip tersebut kemudian dicuci agar metabolit-metabolit yang tidak terikat pada biochip tidak terikut dalam pemeriksaan analisa 4. Lempengan dimasukkan ke dalam sebuah analyzer, dan dengan adanya teknologi CCD, maka akan didapatkan hasil kuantitatif.
2.1.5.2. Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC/MS) GC/MS merupakan salah satu metode analisis yang mengkombinasi teknik Gas-Liquid Chromatography dan Mass Spectrometry untuk mengidentifikasi zat tertentu dalam suatu uji laboratorium. Kombinasi teknik pemeriksaan Gas Kromatografi dan Mass Spectrometry (GC/MS) mulai dikenal sejak tahun 1960 sebagai alat yang paling sensitif an serbaguna untuk mengidentifikasi senyawa organik yang mudah menguap. Saat ini, penggunaan GC/MS untuk penghitungan kuantitatif senyawa-senyawa organik yang spesifik menjadi aplikasi utamanya. Hal tersebut dikarenakan alat GC/MS memiliki sensitivitas, akurasi dan fleksibilitas yang tidak tertandingi dibandingkan dengan teknik lainnya, termasuk jenis pemeriksaan menggunakan teknik immunoassay.15 Teknik GC/MS juga memiliki keterbatasan yang utamanya adalah untuk suatu senyawa yang akan dianalisis oleh GC/MS harus memiliki daya penguapan yang cukup dan termostabilitas untuk dapat melewati kolom gas kromatografi dalam bentuk utuh, atau mampu mengubah bentuknya menjadi turunan senyawanya yang dapat melewati kolom gas kromatografi. Akan Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
28
tetapi, hal tersebut bukan merupakan masalah pada pemeriksaan toksikologi, karena sebagian besar obat-obatan dan metabolitnya merupakan salah satu struktur yang dapat dianalisa oleh GC/MS. Hambatan lain dalam mengembangkan penggunaan GC/MS adalah tingginya biaya dari alat GC/MS
dan
dibutuhkan
ketrampilan
yang
cukup
tinggi
dalam
penggunaannya.15 Gas kromatografi memisahkan senyawa berdasarkan ukuran, bentuk dan reaksinya terhadap lapisan kimia dari kolom GC. Senyawa-senyawa yang kecil lewat melalui kolom kromatografi lebih cepat dibanding dengan senyawa yang besar. Bentuk dan reaktivitas dari senyawa dengan lapisan kolum memisahkan molekul yang ukurannya sama.30 Kromatogram dari GC, digunakan untuk mengidentifikasi senyawa yang tidak dikenal berdsarkan waktu reaksi atau waktu retensi relatif. Waktu relatif (Rt) adalah waktu yang dibutuhkan senyawa untuk pindah dari port injeksi GC ke detektor. Waktu Relatif Retensi (RRt) adalah rasio dari waktu retensi zat dengan waktu retensi standar internal yang ditempatkan dalam sampel.15 GC juga dapat digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif. Hal tersebut dapat dicapai dengan menganalisis serangkaian sampel yang diencerkan dengan menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan dalam analisis UV. Sebagai alat pemeriksaan kuantitatif, GC memiliki keuntungan lebih dibandingkan UV, yaitu memiliki efek dar beberapa komponen dalam sampel dikurangi atau dihilangkan karena GC memisahkan komponenkomponen sampel selama proses analisa.30 Detektor untuk Gas Kromatografi adalah detektor dari Massa Spektrometer. Massa Spektrometer menggunakan pola dari ion yang diproduksi saat pemecahan molekul setelah terpapar sinar elektron untuk proses identifikasi. Sebagai obat yang keluar di akhir kolum GC, terbagi-bagi oleh ionisasi dan bagian-bagiannya diurutkan oleh massa untuk membentuk pola fragmentasi. MS memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat membedakan jenis isomer-isomer tertentu. Stereoisomer dan Geometrik isomer dapat memproduksi spektrum massa yang sama.30
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
29
2.1.6 Bagan Kerangka Teori NARKOTI KA • Amfetamin • Metamfetamin • MDMA • Opiate (morfin,heroin) • Metadon • THC PSI KOTROPI KA • Benzodiazepin
ABSORBSI METABOLISME EKSKRESI URIN BAT
GC/MS
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
30
2.2
Kerangka Konsep
VariabelBebas • Hasil pemeriksaan kandungan dan kadar Morfin dan Benzodiazepin pada urin menggunakan metode Biochip Array Technology
Variable terikat • Hasil pemeriksaan kandungan dan kadar Morfin dan Benzodiazepin pada urin menggunakan metode GC/MS
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
31
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostic dengan desain penelitian potong lintang (Cross Sectional) untuk mengetahui nilai diagnostik dari alat yang menggunakan metode Biochip Array Technology 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Johar Baru dan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Pemeriksaan Biochip Array Technology dilakukan di Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia selama bulan Agustus 2014. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Target Populasi target dari penelitian adalah semua orang yang mengkonsumsi narkotika di Jakarta dan Sekitarnya. 3.3.2 Populasi Terjangkau Populasi terjangkau dari penelitian adalah pasien yang menjalani Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Johar Baru selama periode Agustus 2014. 3.3.3 Sampel Penelitian Subyek sampel penelitian adalah sampel urin dari pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat yang sebelumnya telah mengisi lembar persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan (informed consent).
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
32
3.4 Cara pengambilan Sampel Sampel diambil dengan cara Consecutive Sampling yaitu semua subyek dalam populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan diambil sebagai sampel penelitian sampai memenuhi besar sampel. 3.5 Estimasi Besar Sampel Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah sampel yang diperlukan untuk uji diagnostik dengan keluaran sensitivitas adalah sebagai berikut :30
N=
( Z α )2 x Sen x ( 1 – Sen ) d2
N =
(1,96 )2 x 0.78 x ( 1 – 0,78) (0,2)2
N = 16 Karena adanya kemungkinan drop out sekitar 25 % maka jumlah sampel yang akan diteliti N + 4 yaitu sebanyak 20 sampel. 3.6 Kriteria Penerimaan dan Penolakan 3.6.1 Kriteria Penerimaan 1. Laki-laki atau perempuan berusia diatas 18 tahun yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon 2. Bersedia ikut dalam penelitian 3.6.2 Kriteria Penolakan 1. Subyek menolak mengikuti penelitian 2. Hasil pemeriksaan penyaring menggunakan uji cepat, didapatkan hasil positif selain Morfin dan Benzodiazepin 3.6.3 Kriteria Drop-Out 1. Hasil pemeriksaan sampel dengan
Biochip Array Technology
menunjukkan hasil error
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
33
2. Subyek memutuskan untuk berhenti ditengah penelitian 3.7 Alat dan Bahan Penelitian 1. Pot urin 2. Alat tulis 3. Alat Uji Immunoassay merk Randox Evidence (Randox Laboratories, UK) 4. Kontainer Plastik 3.8 Cara kerja A. Persiapan 1. Siapkan pot urin 2. Siapkan container plastik B. Pelaksanaannya 1. Peneliti member tahu tentang peneitian dan subyek menandatangani informed consent 2. Data dari subjek dicatat dalam lembar data dasar subyek. Setiap subyek diberi nomor urut 3. Diambil sampel urin kemudian dilakukan pemeriksaan test urin terhadap morfin dan benzodiazepine dengan alat rapid test merk ABON. 4. Hasil positif maupun negatif akan dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology dengan alat merk Randox Evidence. C. Persiapan pemeriksaan urin dengan metode Biochip Array Technology 1. Sampel urin di masukkan ke dalam biochip dan masukkan kontrol/kalibrator ke dalam salah satu biochipnya. 2. Kemudian sampel yang sudah dimasukkan ke dalam biochip diinkubasikan di dalam thermoshaker selama 30 menit 3. Selanjutnya masukkan larutan konjugat ke dalam biochip, kemudian diinkubasi kembali selama 60 menit
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
34
4. Setelah itu, biochip dicuci untuk menghilangkan sampel yang tidak berikatan serta konjugat dari biochip 5. Kemudian tambahkan substrat chemiluminescence, lalu sampel didalam biochip siap untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan Randox Evidence Investigator. D. Preparasi urin sebelum diinjeksikan ke Gas ChromatographyMass Spectrometry (GC/MS), standar Labkesda 1. Sampel ditambahkan internal standar Nalorfin, kemudian diekstraksi lalu di cuci dengan aquabidest dan dilakukan elusi dengan methanol. 2. Lalu keringkan, dan dilakukan penambahan buffer phospat, enzim dan E. Coli, selanjutnya di inkubasi selama 90 menit. 3. Sampel kemudian ditambahkan buffer Carbonat (Ph 9) dan TerButylMethyl Eter, dilakukan ekstraksi selama 30 menit. 4. Pisahkan fase organic, kemudian dikeringkan. Setelah itu ditambahkan Methyl Silil Trifloro Acid (MSTFA), diinkubasi hingga kering selama 15 menit. 5. Sampel tersebut dimasukkan ke insert vial dan siap di injeksikan di GC/MS. Total preparasi sampel urin adalah 6 jam hingga 8 jam
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
35
Alur kerja penelitian dapat diringkas sebagai berikut : Pemilihan subyek berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan
Subyek menandatangani informed consent, data pribadi dicatat
Pengambilan Sampel Urin
Pemeriksaan dengan alat uji cepat merk ABON untuk zat morfin dan benzodiazepin
Negatif
Positif
Pemeriksaan dengan metode Biochip Array Technology
Negatif
Positif GC/MS
Positif
Negatif
Pemeriksaan kuantitatif kadar morfin dan benzodiazepin
/
Pengisian data pada formulir penelitian
Pengolahan data dengan analisis tabel 2 x 2
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
36
3.9 Definisi Operasional Sampel urin
urin yang diambil dari pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon sebanyak minimal 20 ml
Randox Evidence
alat pemeriksaan yang menggunakan metode Biochip Array Technology untuk dapat mendeteksi adanya kandungan narkotika dalam urin dengan menggunakan prinsip kerja ELISA Kompetitif
ELISA Kompetitif
prinsip kerja dengan menambahkan suatu kompetitor ke dalam lubang mikrotiter. Pada pendeteksian antigen, mikrotiter diisi oleh antibodi spesifik yang berikatan dengan enzim signal, sehingga antibodi spesifik tersebut dapat menempel pada bagian lubang-lubang mikrotiter. Lalu larutan yang mengandung antigen spesifik yang telah ditautkan dengan enzim signal dan larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan dimasukkan ke dalam lubang-lubang mikrotiter sehingga terjadi kompetisi antara antigen spesifik yang berikatan enzim signal dengan antigen yang diinginkan untuk dapat berinteraksi dengan antibody spesifik terikat dengan enzim signal atau antigen yang tidak berinteraksi dengan antibody spesifik. Kemudian kedalam lubang-lubang mikrotiter tersebut ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal yang terikat pada antigen spesifik, sehingga enzim yang tertaut dengan antigen yang telah berinteraksi dengan antibodi spesifik akan bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi. Pada proses pendeteksian ini, pendeteksian positif ditandai oleh tidak adanya signal yang ditimbulkan, yang berarti bahwa antigen yang diinginkan telah menang berkompetisi dengan antigen spesifik tertaut enzim signal dan berinteraksi dengan antibody spesifik
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
37
Gas Chromatography / merupakan pemeriksaan konfirmasi yang Mass Spectrometry memiliki prinsip dasar memisahkan analit dengan dua metode yaitu kromatografi gas untuk mengaliasis jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa untuk menganalisis struktru molekul senyawa dari analit. Pada penelitian ini digunakan alat tipe GC 5975C MSD 7890A agilent technologies. Program Terapi kegiatan memberikan metadon cair dalam Rumatan Metadon bentuk sediaan oral kepada pasien sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang biasa mereka gunakan. Sensitivitas
ukuran keakuratan tes yaitu seberapa besar kemungkinan tes untuk mendeteksi positif orang-orang yang memiliki penyakit atau kondis
Spesifisitas
seberapa baik tes mengidentifikasi negatif orang-orang yang tidak memiliki penyakit atau kondisi.
Pemeriksaan kuantitatif Pemeriksaan kadar morfin dan benzodiazepin didalam urin Nilai duga positif
Kemampuan mendeteksi urin yang benarbenar mengandung morfin dan atau benzodiazepine dari semua hasil uji skrining positif
Nilai duga negatif
Kemampuan untuk mendeteksi yang benarbenar tidak mengandung morfin dan atau benzodiazepine dari semua hasil skrining yang negative
3.10 Rencana pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data Data peneliatian akan dinalisis dengan analisis tabel 2 x 2, sehingga dapat dihitung nilai diagnostik berupa sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negative, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatf.30 Nilai sensitivitas akan diperoleh sehingga dapat menilai seberapa besar kemampuan pemeriksaan dengan metoda Biochip Array Technology dapat
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
38
mendeteksi narkotika yang akan diperiksa, nilai spesifisitas akan menentukan seberapa besar pemeriksaan dengan metode tersebut dapat menyingkirkan yang narkotika yang tidak diperiksa. Nilai duga positif akan menjelaskan seberapa besar kemungkinan
subyek mengkonsumsi narkotika ada hasil
pemeriksaan dengan metode tersebut positif, sedangkan nilai duga negatif menunjukkan seberapa besar kemungkinan subyek yang tidak mengkonsumsi narkotika yang akan diperiksa pada hasil pemeriksaan dengan metode tersebut negatif.31 Kemudian data diolah menggunakan program SPSS versi 11.5. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. 3.11 Etika Penelitian Aspek etika yang pada penelitian ini adalah : 1. Proposal penelitian diajukan ke Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) untuk mendapat pengesahan sebelum pengambilan data dimulai. 2. Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat acak dari pasien Puskesmas
Kecamatan Johar Baru yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon. Tiap subjek telah dijelaskan tentang tata cara penelitian dalam bentuk lisan dan tertulis. Bila subjek setuju, maka subjek menandatangani lembar Informed Consent (lampiran 1) sebelum penelitian. Semua data tentang subjek akan dijaga kerahasiannya oleh peneliti. Pemeriksaan sampel urin yang dilakukan di Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tidak menggunakan nama subjek melainkan nomor sampel yang telah ditentukan oleh peneliti. Barang biologis berupa sampel urin yang sudah selesai diproses akan dimusnahkan sesuai dengan SOP tentang penanganan barang sisa biologis di RSCM, dan Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
39
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2014. Pengambilan sampel dilakukan terhadap pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon, Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Pada penelitian ini didapatkan 20 yang memenuhi kriteria penerimaan. Setelah karakteristik tiap subyek penelitian dicatat, maka dilakukan pengambilan sampel urin pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon.
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Hasil pemeriksaan benzodiazepin dengan rapid test
Tidak ada
Hasil pemeriksaan morfin dengan rapid test Negatif
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
26 tahun
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
4
35 tahun
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
5
28 tahun
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
6
31 tahun
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
7
40 tahun
Laki-laki
Tidak ada
Negatif
Negatif
8
33 tahun
Laki-laki
Benzodiazepin
Negatif
Positif
9
28 tahun
Laki-laki
Positif
Positif
10
28 tahun
Laki-laki
Morfin (malam hari) Tidak ada
Negatif
Negatif
11
38 tahun
Laki-laki
Negatif
Negatif
12 13
30 tahun 29 tahun
Laki-laki Laki-laki
Negatif Negatif
Negatif Negatif
14
29 tahun
Laki-laki
Negatif
Negatif
15
33 tahun
Laki-laki
Positif
Negatif
No
Usia
Jenis kelamin
Riwayat penggunaan obat/narkotika
1
36 tahun
Laki-laki
2
46 tahun
3
Benzodiazepin (pagi hari) Tidak ada Morfin (pagi, jam 9) Morfin (pagi hari) Morfin (pagi hari)
Negatif
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
40
No
Usia
Jenis kelamin
16
32 tahun
17
47 tahun
Perempu an Laki-laki
18
25 tahun
Laki-laki
19
35 tahun
Laki-laki
20
19 tahun
Laki-laki
Riwayat Hasil penggunaan pemeriksaan terakhir morfin obat/narkotika dengan rapid test Morfin (pagi, Positif jam 10) Morfin (pagi, Positif jam 10.30) Morfin (2 hari Negatif yang lalu) dengan cara dihisap, benzodiazepine (malam) Morfin (2 tahun Negatif yang lalu) MDMA (tadi Negatif malam), benzodiazepine (tadi malam)
Hasil pemeriksaan benzodiazepin dengan rapid test
Negatif Negatif Negatif
Positif Positif
Dari tabel tersebut didapatkan data bahwa 8 subjek mengaku sebelumnya mengkonsumsi morfin dan 4 subjek mengaku sebelumnya mengkonsumsi benzodiazepin. Pemeriksaan morfin menggunakan uji cepat yang menunjukkan hasil positif sebanyak 4 sampel (20 % ), dan pemeriksaan benzodiazepin yang menunjukkan hasil positif sebanyak 6 sampel ( 30 % ).
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
10 – 20 21 – 30 Usia (Tahun) 31 – 40 41 – 50 Total
Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan 1 0 8 0 8 1 2 0 19 1
Sampel urin tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Forensik FKUI dan dilakukan pemeriksaan morfin dengan menggunakan metode Biochip Array Technology. Setelah itu, urin dikirim ke Laboratorium Kesehatan
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
41
Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan GC/MS, sebagai baku emas pemeriksaan morfin pada penelitian ini. Tabel 4.3 Pemeriksaan Morfin menggunakan metode Biochip Array Technology dan GC/MS No sampel
Hasil pemeriksaan dengan Biochip Array Technology
Hasil Konsentrasi Konsentrasi pemeriksaan morfin morfin dengan menggunakan menggunakan GC/MS metode GC/MS Biochip Array (ng/ml) Technology (ng/ml)
1
Negatif
Negatif
-
-
2
Negatif
Negatif
-
-
3
Negatif
Negatif
-
-
4
Negatif
Negatif
-
-
5
Negatif
Negatif
-
-
6
Negatif
Negatif
-
-
7
Negatif
Negatif
-
-
8
Negatif
Negatif
-
-
9
Positif
Positif
> 2804
2830
10
Negatif
Negatif
-
-
11
Negatif
Negatif
-
-
12
Negatif
Negatif
-
-
13
Negatif
Negatif
-
-
14
Negatif
Negatif
-
-
15
Positif
Positif
> 2804
42690
16
Positif
Positif
> 2804
38000
17
Positif
Positif
> 2804
28760
18
Negatif
Negatif
-
-
19
Negatif
Negatif
-
-
20
Negatif
Negatif
-
-
Pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology yang dideteksi menunjukkan hasil positif sebanyak 4 sampel ( 20 % ). Subjek penelitian
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
42
yang telah diperiksa menggunakan metode Biochip Array Technology kemudian dikonfirmasi menggunakan GC/MS dan ditemukan sebanyak 4 sampel yang dideteksi menunjukkan hasil positif. Tabel 4.4 Pemeriksaan Benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology dan GC/MS No sampel
Hasil pemeriksaan dengan Biochip Array Technology
Hasil Konsentrasi Konsentrasi pemeriksaan Benzodiazepin Benzodiazepin dengan menggunakan menggunakan GC/MS metode GC/MS Biochip Array (ng/ml) Technology (ng/ml)
1
Negatif
Negatif
-
-
2
Negatif
Negatif
-
-
3
Negatif
Negatif
-
-
4
Negatif
Negatif
-
-
5
Negatif
Negatif
-
-
6
Negatif
Negatif
-
-
7
Negatif
Negatif
-
-
8
Positif
Negatif
> 557
0
9
Positif
Negatif
252,02
0
10
Negatif
Negatif
-
-
11
Positif
Positif
> 557
210
12
Negatif
Negatif
-
-
13
Positif
Positif
> 557
790
14
Negatif
Negatif
-
-
15
Negatif
Negatif
-
-
16
Negatif
Negatif
-
-
17
Negatif
Negatif
-
-
18
Negatif
Negatif
-
-
19
Postif
Negatif
266,5
0
20
Positif
Positif
> 557
420
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
43
Pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology yang dideteksi menunjukkan hasil positif sebanyak 6 sampel ( 30 % ). Subjek penelitian yang telah diperiksa menggunakan metode Biochip Array Technology kemudian dikonfirmasi menggunakan GC/MS dan ditemukan sebanyak 3 sampel yang dideteksi menunjukkan hasil positif ( 15 % ). Perbandingan hasil pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology dengan GC/MS disajikan dalam tabel 2 x 2. 4.2. Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Morfin dengan Metode Biochip Array Technology pada Urin Pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon Dari keseluruhan sampel didapatkan 4 sampel yang positif Morfin dan 16 sampel yang negatif. (Grafik 4.2.1). Grafik 4.1 Hasil Pemeriksaan Morfin dengan Metode Biochip Array Technology 20 15 10
Positif MOP Negatif MOP
5 0
Negatif MOP
positif MOP
Tabel 4.5 Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Morfin dengan Metode Biochip Array Technology pada Urin Pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon GCMS Morfin
BAT Morfin
Positif
Negatif
Total
Positf
4
0
4
Negatif
0
16
16
4
16
20
df = 1 ; p = 0,000 (Uji Fisher)
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
44
Berdasarkan tabel diatas didapatkan sensitifitas alat ini dengan menggunakan sampel urin sebesar 100 %, spesifisitas sebesar 100 %, nilai duga positif 100%, nilai duga negatif 100 %, rasio kemungkinan positif tak terhingga, rasio kemungkinan negatif 0, serta akurasi sebesar 100 %. Area dibawah kurva ROC untuk pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology adalah sebesar 1 (95 % KI ; 1 – 1 ). 4.3. Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Benzodiazepin dengan Metode Biochip Array Technology pada Urin Pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon Dari keseluruhan sampel didapatkan 6 sampel yang positif Benzodiazepin dan 14 sampel yang negatif. (Grafik 4.3.1). Grafik 4.2 Hasil Pemeriksaan Benzodiazepin dengan Metode Biochip Array Technology 15 10 Positif BZO
5 0
Negatif BZO
Positif BZO
Negatif BZO
Tabel 4.6 Hasil Uji Diagnostik Pemeriksaan Benzodiazepin dengan Metode Biochip Array Technology pada Urin Pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon
GCMS Benzodiazepin Positif Negatif Total BAT Benzodiazepin
Positf
3
3
6
Negatif
0 3
14 17
14 20
df = 1 ; p = 0,018 (uji Fisher)
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
45
Berdasarkan tabel diatas didapatkan sensitifitas alat ini dengan menggunakan sampel urin sebesar 100 %, spesifisitas sebesar 82,35 %, nilai duga positif 50 %, nilai duga negatif 100 %, rasio kemungkinan positif 5,67, rasio kemungkinan negatif 0, serta akurasi sebesar 85 %. Area dibawah kurva ROC pada pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology sebesar 0,912 (95% KI : 0,782 – 1).
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
46
BAB 5 PEMBAHASAN HASIL Pemeriksaan narkotika dengan menggunakan metode Biochip Array Technology merupakan suatu metode pemeriksaan dengan teknologi biochip yang dapat melakukan pemeriksaan multianalit dengan menggunakan prinsip ELISA Kompetitif. Metode tersebut telah berkembang di 22 negara, salah satunya di Indonesia. Akan tetapi, dalam hal penggunaannya untuk pemeriksaan toksikologi, di Indonesia masih sangat jarang digunakan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah metoda Biochip Array Technology dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan narkotika secara sensitif maupun spesifik. Responden yang mengikuti penelitian merupakan pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat yang memiliki kisaran usia antara 19 – 47 tahun. Di dalam studi ini dilakukan pemeriksaan keberadaan zat morfin dan benzodiazepin pada urin pasien yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon menggunakan metode Biochip Array Technology, didapatkan sebanyak 4 sampel positif mengandung Morfin, dan 6 sampel positif mengandung Benzodiazepin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Laboratorium Randox di Inggris, didapatkan sensitivitas terhadap morfin sebesar 89,1 %. Penelitian ini menunjukkan bahwa alat pemeriksaan deteksi morfin dengan metode Biochip Array Technology menggunakan sampel urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100%. Nilai duga positif pemeriksaan morfin sebesar 100%, nilai duga negatif 100 %, rasio kemungkinan positif tak terhingga, rasio kemungkinan negatif 0, serta akurasi sebesar 100 %. Dengan kemungkinan positif pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology tak terhingga, maka semakin tinggi keyakinan terhadap hasil yang didapat dari pemeriksaan dengan metode tersebut. Dengan nilai duga positif dan nilai duga negatif sebesar 100 %, maka metode pemeriksaan Biochip Array Technology memiliki kemampuan untuk benar-benar mendeteksi hasil yang positif maupun negatif sangat baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Randox, didapatkan sensitivitas terhadap Benzodiazepin 78 %. Pada penelitian ini Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
47
menunjukkan untuk mendeteksi zat benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology menggunakan sampel urin memiliki sensitivitas sebesar 100 % dan spesifisitas sebesar 82,35 %. Nilai duga positif (PPV) sebesar 0,5 (50 %), nilai duga negatif (NPV) sebesar 1 (100 %), Rasio Kemungkinan positif (LR +) sebesar 5,67, Rasio kemungkinan negatif (LR -) sebesar 0. Nilai duga positif yang didapat pada pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology menunjukkan kemampuannya untuk memberikan hasil yang benar-benar positif sebesar 50 %, sedangkan kemampuannya untuk menunjukkan bahwa hasilnya benar negatif sebesar 100 %. Dengan demikian, metode ini kurang baik digunakan untuk peemriksaan benzodiazepin. Angka positif palsu pada penelitian ini didapatkan pada tiga buah sampel, yaitu pada sampel 8,9 dan 19. Hal tersebut ditemukan setelah ketiga sampel dikonfirmasi menggunakan alat GCMS menunjukkan hasil negatif yaitu tidak mengandung benzodiazepin. Hasil positif palsu benzodiazepin dapat diakibatkan oleh adanya pemakaian obat oxaprozin dan sertraline.38 Berdasarkan penelitian Blank Antje, dkk, menyebutkan bahwa penggunaan terapi Anti Retro Viral juga dapat mengakibatkan hasil positif palsu pada uji skrining. Pada penelitian tersebut, terhadap 50 sampel yang mengkonsumsi efavirenz dilakukan pemeriksaan terhadap benzodiazepin, didapatkan pada 49 sampel terdeteksi positif. Pada penelitian ini, seluruh sampel dikonfirmasi dengan GCMS, tiga dari enam sampel yang terdeteksi positif menggunakan metode Biochip Array Technology, didapatkan hasil negatif pada GCMS. Ketiga sampel tersebut memiliki riwayat pemakaian obat anti retroviral. Data tersebut didapatkan dari rekam medis sampel di Puskesmas Johar Baru. Obat Anti Retro Viral yang dapat menimbulkan hasil positif palsu pada pemeriksaan Immunoassay adalah Efavirenz. Hal tersebut disebabkan selain karena adanya kesamaan struktur kimia antara efavirenz dengan benzodiazepin, juga karena metabolit utamanya setelah mengalami hidrolisis yaitu 8-hydroxyefavirenz.38 Rasio kemungkinan merupakan salah satu cara untuk menunjukkan keakurasian diagnostik dari suatu temuan klinis ataupun tes tanpa dipengaruhi oleh prevalensi. Apabila nilai rasio kemungkinan lebih besar dari 1 meningkatkan kemungkinan tepatnya suatu diagnosis atau tes. Semakin tinggi angka rasio
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
48
kemungkinan, maka semakin tinggi pula kemungkinan terhadap hasil diagnosis atau tes tersebut. Apabila nilai rasio kemungkinan kurang dari 1, menurunkan kemungkinan tegaknya suatu diagnosis atau benarnya suatu tes. Semakin rendah angkanya maka semakin kecil juga kemungkinan penyakit tersebut. Nilai rasio kemungkinan positif yang dianggap penting adalah 10 atau lebih dan nilai rasio kemungkinan negatif yang dianggap kuat adalah dibawah 0,1.36,37,39 Pada penelitian ini, nilai rasio kemungkinan positif yang didapat untuk pemeriksaan morfin adalah tak terhingga sedangkan nilai rasio kemungkinan negatifnya adalah 0. Peneliti sebelumnya telah menetapkan nilai pre-test probability pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology adalah sebesar 80%. Dengan rasio kemungkinan positif tak terhingga maka posttest probability nilainya menjadi meningkat sehingga dapat meyakinkan bahwa hasil yang didapat pada pemeriksaan morfin menggunakan metode Bicohip Array Technology adalah benar. Selain itu, area dibawa kurva pada penelitian ini sebesar 100 %, sehingga dapat dipastikan bahwa untuk melakukan pemeriksaan morfin menggunakan metode ini adalah akurat. Pada pemeriksaan benzodiazepin, rasio kemungkinan positif yang didapat adalah sebesar 5,67, dan rasio kemungkinan negatif adalah sebesar 0. Peneliti telah menetapkan bahwa nilai Pre-test probability sebesar 80%. Dengan nilai rasio kemungkinan positif sebesar 5,67 maka nilai Post-test probability meningkat menjadi 95,78 %. Nilai post-test probability tersebut meningkatkan keyakinan peneliti terhadap hasil dari pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology. Luas area dibawah kurva ROC pada pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode ini adalah sebesar 91,2 %, maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan menggunakan metode Biochip Array Technology ini dapat mendeteksi benzodiazepin dengan probabilitas sebesar 91,2 %. Pada pemeriksaan morfin, ditemukan 4 sampel yang dideteksi positif kemudian dilakukan pemeriksaan konsentrasi terhadap keempat sampel tersebut menggunakan metode Biochip Array Technology didapatkan kadar pada keempat sampel tersebut sebesar lebih dari 2804 ng/ml. Pemeriksaan terhadap keempat sampel tersebut dikonfirmasi menggunakan GC/MS didapatkan kadar sebesar 2,83
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
49
ng/ml, 42,69 ng/ml, 38 ng/ml, dan 28,76 ng/ml. Ditemukan adanya perbedaan kadar pada pemeriksaan morfin menggunakan metode Biochip Array Technology dengan GCMS yang besar. Dosis morfin yang biasa dikonsumsi (dosis terapeutik/non toksik) adalah sebesar 5 – 30 mg setiap 4 – 8 jam. Konsentrasi untuk dosis terapi (non toksik) yang ditemukan pada pemeriksaan morfin dengan sampel urin sebesar 0,5 – 20 mg/L (500 – 20.000 ng/ml) sedangkan konsentrasi dosis letal morfin yang ditemukan pada urin sebesar 11 – 323 mg/L ( 11.000 – 323.000 ng/ml).39 Hasil pemeriksaan yang didapat menggunakan metode Biochip Array Technology cukup tinggi akan tetapi masih didalam batasan konsentrasi dosis terapi, sedangkan hasil yang didapat setelah dikonfirmasi menggunakan GCMS, ditemukan konsentrasi morfin pada urin di bawah konsentrasi dosis terapi. Pada pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology didapatkan 6 sampel yang menunjukkan hasil positif dengan kadar konsentrasinya di dalam urin sebesar 557 ng/ml (sampel 8,11,13 dan 20), 252 ng/ml (sampel 9), dan 266,5 ng/ml (sampel 19), sedangkan setelah dikonfirmasi menggunakan GCMS yang terdeteksi hasilnya positif hanya 3 sampel. Ketiga sampel yang terdeteksi positif pada pemeriksaan menggunakan GCMS memiliki kadar konsentrasi di dalam urin sebesar 210 ng/ml (sampel 11), 790 ng/ml (sampel 13), 420 ng/ml (sampel 20). Konsentrasi dosis letal benzodiazepine khususnya Alprazolam yang ditemukan pada urin adalah sebesar 1 mg/L (1000 ng/ml).39 Pada ketiga sampel yang terdeteksi positif, kadarnya masih dibawah dosis letal benzodiazepin. Penelitian ini masih memiliki banyak keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Karena keterbatasan dana penelitian, maka jumlah sampel yang diperoleh sangat kurang memadai dari perhitungan jumlah sampel yang seharusnya. Selain itu, kemungkinan terjadinya Cross Reactivity antara benzodiazepin dengan obat Anti Retro Viral juga tidak dapat dipastikan menggunakan baku standar karena tidak adanya standar terhadap obat tersebut (Efavirenz). Hasil positif palsu yang dihasilkan terhadap benzodiazepin yang kemungkinan karena adanya Cross Reactivity terhadap obat Anti Retro Viral adalah hanya berdasarkan data rekam medis terhadap sampel penelitian.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
50
Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di laboratorium Randox di Inggris, diketahui bahwa kemungkinan terjadinya reaksi silang pemeriksaan kodein terhadap morfin sebesar 69,5%. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan berasal dari populasi terkontrol yaitu para pengguna heroin/morfin yang sedang mengikuti program terapi rumatan metadon yang sudah diketahui riwayat penggunaan terhadap morfin maupun heroin sehingga setelah dikonfirmasi pemeriksaan tidak ditemukan adanya Kodein. Selain itu, saat ini penggunaan kodein terutama untuk pengobatan sudah tidak boleh sehingga sulit untuk dilakukan pembuktian adanya reaksi silang antara penggunaan morfin dengan kodein.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
51
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Pemeriksaan
morfin
menggunakan
metode
Biochip
Array
Technology memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik yaitu sebesar 100 %. Metode tersebut memiliki kemampuan sangat baik untuk mendeteksi bahwa hasil yang ditunjukkan adalah benarbenar positif dan negatif yaitu sebesar 100 %. 2.
Pemeriksaan benzodiazepin menggunakan metode Biochip Array Technology memiliki sensitivitas yang sangat baik yaitu sebesar 100 %, dan spesifisitas yang baik yaitu sebesar 82,35 %. Metode tersebut memiliki kemampuan untuk mendeteksi hasil yang benar-benar positif dari hasil yang positif kurang baik, karena hanya memiliki nilai duga positifnya sebesar 50%, sedangkan untuk mendeteksi benzodiazepine dengan hasilnya benar-benar negatif, metode ini memiliki kemampuan yang sangat baik yaitu sebesar 100 %.
6.2. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti antara lain : 1.
Metode Biochip Array Technology tidak digunakan untuk pemeriksaan konfirmatif Benzodiazepin.
2.
Dengan memperhatikan kemungkinan reaksi silang, metode Biochip Array Technology tidak digunakan untuk pemeriksaan konfirmatif morfin pada populasi luas..
3.
Pemeriksaan benzodiazepine menggunakan metode Biochip Array Technology mengalami reaksi silang dengan obat anti retroviral, sehingga saat pemeriksaan perlu ditanyakan mengenai riwayat penggunaan obat anti retro viral khususnya Efavirenz.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
52
DAFTAR PUSTAKA 1. World Drug Report 2013. New York : United Nations Office on Drugs and Crime ; May 2013. No. E.13.XI.6 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika 3. Anak-anak dalam Perdagangan dan Produksi Obat-obatan Terlarang di Jakarta. Sebuah Kajian Cepat. Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak. Februari 2004. 4. Butar Butar Darwin, Drs. Kondisi Narkoba di Indonesia Pada Akhir Tahun 2011. Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2011 (cited 2013 Dec 20). Available from : www.bnn.go.id 5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 494 tahun 2006 tentang Penetapan Rumah Sakit dan Satelit Uji Coba Pelayanan Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon. 6. Data Puskesmas Kecamatan Johar Baru 7. Sampurna Budi, Samsu Zulhasmar, Siswaja Tjetjep Dwija. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum. Februari 2008 8. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Acara Hukum Pidana 9. Wirasuta Made Agus Gelgel. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis. Indonesia Journal of Legal and Forensic Science. 2008; 1(1) : 47 – 55 10. Anonym. Drugs of Abuse Array I Urin Plus. Randox Laboratories Limited. 27 Februari 2013. 11. Keputusan
Menteri
Kesehatan
442/MENKES/SK/III/2010
tentang
Republik Pedoman
Indonesia
No.
Penatalaksanaan
Medik
Gangguan Penggunaan NAPZA. 12. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 13. Kusumawardana Heri. Bersama Menangani Korban Penyalahgunaan NAPZA. 9
Juli
2013.
Disitasi
dari
:
www.rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1704
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
53
14. Rook Elisabeth J, Huitema Alwin D.R., van den Brink Wim, van Ree Jan M. Pharmacokinetics and Pharmacokinetic Variability of heroin and its Metabolites : Review of the Literature. Current Clinical Pharmacology. 2006 ; 1 : 109 – 118 15. Foltz Rodger L Phd, Fentiman Allison F, Foltz Ruth B. GC/MS Assays for Abused Drugs in Body Fluids. NIDA Research Monograph 32. Maryland ; August 1980 16. Karch Steven B. Karch’s Pathology of Drug Abuse. 3rd ed. Florida : CRC Press ; 2002 17. Smith Michael L., Shimomura Eric T., Summers Jacquelyn, and Paul Buddha D. Urinary Excretion Profiles for Total Morphine, Free Morphine, and 6acetylmorphine Following Smoked and Intravenous Heroin. Journal of Analytical Toxicology. 2001 October ; 25 : 504-14 18. PA Glare, TD Walsh. Clinical Pharmacokinetics of Morphine. Ther Drug Monit. Jan 1991 ; 13 (1) : 1 – 23 19. Thorn Caroline F, Klein Teri E, Altman Russ B. "Codeine and morphine pathway"
Pharmacogenetics
and
genomics.
2009.
Disitasi
dari
:
http://www.pharmgkb.org/pathway/PA146123006 20. A. Dasgupta. Beating Drug Tests and Defending Positive Results. LLC. 2010 21. Yngvild Olsen, MD, MPH. Clinical Guidelines For The Use of Benzodiazepine Among Patients Receiving Medication-Assisted Treatment for Opioid Treatment. Baltimore Substance Abuse System Inc. 2013 22. Katzung Bertram J. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Lange : San Fransisco ; September 2006 23. National Highway Traffic Safety Administration : Drugs and Human Performance Fact Sheets. US Department of Transportation. Disitasi dari : http://www.nhtsa.gov/people/injury/research/job185drugs/diazepam.htm 24. Gunn Joshua PhD. Understanding the Toxicology of Diazepam [internet]. 2014 [disitasi
9
Juni
2014].
Disitasi
dari
:
http://www.practicalpainmanagement.com/treatments/pharmacological/unders tanding-toxicology-diazepam
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
54
25. Ferrari Anna, Coccia Ciro Pio Rosario, Bertolini Alfio, Sternieri Emilio. Methadone – Metabolism, Pharmacokinetics and Interactions. Pharmacological Research. 2004 ; 50 : 551 – 559 26. Modul Pelatihan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Kementerian Kesehatan RI tahun 2012 27. CDC. WHO. Methadone Maintenance Treatment. IDU HIV Prevention ; February 2002 28. Fitzgerald Stephen P, Lamont John V, McConnel Robert I, Benchikh El O. Development of a High-Throughput Automated Analyzer Using Biochip Array Technology. Clinical Chemistry. 2005 ; 51 (7) : 1165 – 1176 29. Randox Toxicology. Forensic Toxicology Solution [brochure]. United Kingdom : Randox Toxicology Limited 30. Christian Donnell R. Forensic Investigation of Clandestine Laboratories. Florida : CRC Press; 2004 31. Dahlan Sopiyudin M. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian. Sagung Seto. 2008 32. Sastroasmoro S, Ismael Sofyan. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto. 2011. P : 219 – 243 33. Moeller Karen E, BCPP, Lee Kelly C PharmD BCPP, Kissack Julie C. Urine Drug Screening : Practical Guide for Clinicians. Mayo Clin Proc. January 2008 ; 83 (1) : 66 – 76. 34. Molina DK, MD. Handbook of Forensic Toxicology for Medical Examiners. CRC Press; 2010
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
55
Lampiran 1: Lembar Informed Consent LEMBAR INFORMASI PENELITIAN Yth. Ibu / Bapak / Saudari / Saudara Jumlah kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia khususnya di Indonesia masih tergolong tinggi. Dalam menentukan dan memastikan seseorang menggunakan narkotika dilakukan sebuah pemeriksaan narkotika. Pemeriksaan yang selama ini telah dilakukan adalah dengan menggunakan pemeriksaan skrining uji cepat yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan lanjutan menggunakan GCMS. Berkembangnya teknologi maka ada sebuah metode pemeriksaan baru yaitu dengan menggunakan metode Biochip Array Technology. Pemeriksaan menggunakan metode tersebut dapat melakukan pemeriksaan berbagai zat secara bersamaan yang kemudian dapat diketahui kuantitasnya. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah dengan metode tersebut dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan skrining sekaligus konfirmasi. Pengambilan bahan penelitian dilakukan dengan mngambil urin peserta penelitian sebanyak minimal 25 ml yang akan ditampung ke dalam sebuah pot urin steril. Sampel tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk dilakukan pemeriksaan dengan metoda Biochip Array Technology. Semua data yang diperoleh akan dijaga kerahasiaanya pemeriksaan sampel urin tidak menggunakan nama peserta peneliti melainkan nomor sampel yang telah ditentukan oleh peneliti. Anda dapat menolak mengikuti penelitian ini sejak awal dan dapat berhenti pada saat penelitian sedang berlangsung tanpa alasan apapun. Apabila ada pertanyaan selama mengikuti penelitian ini, maka anda dapat menghubungi penanggung jawab penelitian, yaitu dr. Retno Sawitri di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSCM, Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta, Nomor Telepon 081310857310.
Jakarta, ………………………………. Yang memberi Penjelasan,
(dr. Retno Sawitri)
Yang menerima penjelasan,
(........................................................ )
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
56
Lampiran 1 : Lembar Informed Consent (lanjutan)
LEMBAR PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN
Nomor Sampel
:
____________________
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
No. KTP/SIM
:
Umur
:
Alamat
:
No. Telp
:
Setelah mendengar penjelasan dari peneliti, saya menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian ini secara sukarela.
Jakarta, …………………………..
(.............................................................. )
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
57
Lampiran 2 : Data Subyek
DATA SUBYEK NO
Informasi Data
1.
Inisial
2.
Jenis kelamin
3.
Umur
4.
Terakhir mengkonsumsi
5.
Waktu pengambilan Sampel
6.
Hasil pemeriksaan Alat dengan metode Biochip Array Techology
7.
Hasil pemeriksaan GC/MS
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
58
Lampiran 3 : Lembar Hasil Pemeriksaan LEMBAR HASIL PENELITIAN
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
59
Lampiran 4 : Lembar keterangan lolos Kaji Etik
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
60
Lampiran 5 : Surat Ijin Penelitian Dinas Kesehatan Jakarta Pusat
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
61
Lampiran 6 : Surat Ijin Penelitian Walikota Administrasi Jakarta Pusat
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
62
Lampiran 6 : Surat Ijin Penelitian Walikota Administrasi Jakarta Pusat (lanjutan)
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014
63
Lampiran 7 : Surat Ijin Penelitian Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat
Universitas Indonesia
Uji diagnostik..., Retno Sawitri, FK UI, 2014