UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 7 -18 JANUARI 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
KHAIRUL BASYAR, S. Farm 1206313274
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 i
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANANKEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 7-18 JANUARI 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
KHAIRUL BASYAR, S. Farm 1206313274
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
iii
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia, pada periode 7-18 Januari 2013. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu selama pelaksanaan kegiatan PKPA ini, khususnya kepada : 1.
Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
2.
Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
3.
Dr. Arry Yanuar M.S., Apt., selaku pembimbing penulis dalam menyusun laporan ini.
4.
Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
5.
Dra. Dettie Yuliati, Apt, M.Si, selaku Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI.
6.
Desko Irianto, S.H., M.M., selaku Kepala Subbagian Tata usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan pembimbing
penulis dalam menyusun
laporan ini. 7.
dr. Zorni Fadia, selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi; Dra. Dara Amalia, Apt., MM, selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Komunitas; Drs. Elon Sirait, Apt, Ms.Sc.PH, selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Klinik dan Drs. Hidayanti Mas’ud, MM, selaku Kepala Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional
8.
Seluruh staf Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
9.
Seluruh staf pengajar dan Tata Usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
10. Rekan-rekan apoteker UI angkatan LXXVI iv
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan PKPA ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.
Penulis
2013
v
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
Khairul Basyar, S.Farm
NPM
:
1206313274
Program Studi
:
Profesi Apoteker
Fakultas
:
Farmasi
Jenis Karya
:
Laporan Praktek Kerja
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 7-18 Januari 2013
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 29 Juli 2013 Yang menyatakan
(Khairul Basyar) vi
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................................ vi DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1 1.2. Tujuan ....................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN UMUM......................................................................... 3 2.1. Tinjauan Umum Kementerian Kesehatan ................................ 3 2.1.1. Dasar Hukum ................................................................ 3 2.1.2. Tugas dan Fungsi .......................................................... 3 2.1.3. Visi dan Misi ................................................................ 4 2.1.4. Strategi .......................................................................... 4 2.1.5. Nilai – nilai ................................................................... 5 2.1.6. Sasaran Strategis ........................................................... 6 2.1.7. Susunan Organisasi ...................................................... 6 2.1.8. Kewenangan ................................................................. 7 2.2. Tinjauan Umum Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan......................................................................... 8 2.2.1. Sejarah .......................................................................... 9 2.2.2. Tugas dan Fungsi .......................................................... 10 2.2.3. Tujuan ........................................................................... 10 2.2.4. Sasaran dan Indikator Pencapaian Sasaran................... 10 2.2.5. Kegiatan, Luaran, dan Indikator Pencapaian Luaran ... 11 2.2.6. Susunan Organisasi ...................................................... 13 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN ............................................................................. 20 vii
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
3.1. Tugas dan Fungsi ...................................................................... 20 3.2. Sasaran Kebijakan .................................................................... 21 3.3. Struktur Organisasi ................................................................... 21 3.4. Kegiatan .................................................................................... 25 3.4.1 Kegiatan Umum............................................................... 25 3.4.2 Kegiatan Subdirektorat Farmasi Komunitas .................. 26 3.4.3 Kegiatan Subdirektorat Farmasi Klinik .......................... 26 3.4.4 Kegiatan Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional ........ 27 3.4.5 Kegiatan Subdirektorat Standardisasi .............................. 27 BAB 4. PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN ..................................... 28 BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................... 31 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 37 6.1. Kesimpulan ............................................................................... 37 6.2. Saran ......................................................................................... 38 DAFTAR ACUAN .......................................................................................... 39
viii
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan ..................................40
Lampiran 2.
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan .......................................................................................41
Lampiran 3.
Struktur
Organisasi
Sekretariat
Direktorat
Jenderal
Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan ...................................................42 Lampiran 4.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan .......................................................................................43
Lampiran 5.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ........44
Lampiran 6.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan .......................................................................................45
Lampiran 7.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ....................................................................................46
ix
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai derajat kesehatan tertentu perlu dilakukan upaya kesehatan yang meliputi upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, maupun tradisional (Pemerintah Republik Indonesia, 2009). Upaya kesehatan harus selalu ditingkatkan melalui pembangunan di bidang kesehatan untuk mencapai kesejahteraan di bidang kesehatan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tersebut dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang terpadu, terintregasi, dan berkesinambungan guna mencapai derajat kesehatan manusia Indonesia yang setinggi-tingginya sebagai modal utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemerintah Republik Indonesia membentuk Kementerian Kesehatan sebagai lembaga resmi yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Pembangunan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia saat ini masih banyak menghadapi hambatan dan permasalahan. Permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan kesehatan saat ini antara lain masih rendahnya derajat kesehatan masyarakat, kurang meratanya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, jumlah tenaga kesehatan yang belum mencukupi, biaya kesehatan dan obat-obatan yang relatif mahal, serta masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan. Oleh sebab itu, upaya pembangunan kesehatan di Indonesia perlu terus ditingkatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Salah satu upaya pembangunan kesehatan yang perlu ditingkatkan adalah pembangunan di bidang pelayanan kefarmasian. Kementerian Kesehatan, melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki peran penting dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di Indonesia. Peran penting Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan tersebut adalah melalui perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kefarmasian 1 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
2
dan alat kesehatan. Peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian dewasa ini diarahkan dengan mendorong peran aktif apoteker dalam pelayanan kefarmasian dengan mengubah paradigma pelayanan kefarmasian dari beriorentasi kepada produk obat (drug oriented) menjadi berorientasi kepada pasien (patient oriented). Penerapan pelayanan kefarmasian yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia tidak cukup hanya bergantung pada pemerintah sebagai pembuat standar dan kebijakan, tetapi juga membutuhkan peran serta apoteker sebagai tenaga profesional kefarmasian. Apoteker dituntut untuk memiliki kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang baik dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Oleh karena itu, diselenggarakanlah kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan periode 7-18 Januari 2013 untuk membekali para calon apoteker dalam memahami peran apoteker dalam penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan norma, standar, prosedur, kriteria, dan kebijakan di bidang kefarmasian guna meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Indonesia.
1.2. Tujuan Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah sebagai berikut : a. Mengetahui dan memahami struktur organisasi, tugas, dan fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan secara umum. b. Mengetahui dan memahami struktur organisasi, tugas, dan fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. c. Mengetahui dan memahami peran apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. d. Mengetahui permasalahan yang terdapat di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, khususnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
BAB 2 TINJAUAN UMUM
2.1. Tinjauan Umum Kementerian Kesehatan Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
merupakan
lembaga
pemerintahan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden, serta dipimpin oleh seorang Menteri. Kementerian Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelengarakan pemerintahan negara (Kementerian Kesehatan RI, 2010b).
2.1.1. Dasar Hukum a. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 Tahun 2009 Nomor 144 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara b. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. c. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
No.1144/MENKES/PER/VII/2010 Tentang Organisasi
Indonesia
dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Kementerian Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan;
3 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
4
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah; dan e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
2.1.3 Visi dan Misi Visi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”. Untuk mencapai visi tersebut, Kementerian Kesehatan menetapkan misi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010a): a. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
2.1.4 Strategi Dalam rangka mewujudkan visi dan misi, maka Kementerian Kesehatan menyusun strategi untuk pembangunan kesehatan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) : a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta, dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya preventif. c. Meningkatkan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
terutama
untuk
mewujudkan jaminan sosial nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
5
f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
2.1.5 Nilai-nilai Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK 03.01/60/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 20102014, guna mewujudkan visi dan misi rencana strategis pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2010a): a. Pro Rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. c. Responsif Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula. d. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat efisien.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
6
e. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel.
2.1.6 Sasaran Strategis Sasaran strategis Kementerian Kesehatan dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) : a. Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular c. Menurunnya disparitas statur kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender d. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin e. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen f. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Terpencil, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DPTK). g. Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular h. Seluruh Kabupaten/Kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
2.1.7 Susunan Organisasi Berdasarkan Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/ MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, susunan organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas: a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
7
h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan u. Pusat Kesehatan Haji.
2.1.8 Kewenangan Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagaimana yang telah disebutkan, Kementerian Kesehatan RI memiliki kewenangan sebagai berikut : a.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro.
b.
Penetapan pedoman untuk menetukan standard pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota di bidang kesehatan.
c.
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan.
d.
Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan.
e.
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidang kesehatan.
f.
Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan.
g.
Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
8
h.
Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan.
i.
Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan.
j.
Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan.
k.
Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan.
l.
Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak.
m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. n.
Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
o.
Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan.
p.
Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan.
q.
Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi.
r.
Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.
s.
Surveilans
epidemiologi
serta
pengaturan
pemberantasan
dan
penanggulangan wabah, penyakit menular, dan kejadian luar biasa. t.
Penyediaan obat essensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat essensial (stok penyangga nasional). Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu, serta pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan.
2.2
Tinjauan Umum Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan
satuan pelaksana kegiatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terbentuk berdasarkan pada
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
9
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. 2.2.1
Sejarah Pada tahun 2001, sehubungan dengan perubahan organisasi pemerintahan
Republik Indonesia, dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Keputusan Presiden tersebut menjadi dasar pembentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang sebelumnya merupakan salah satu Direktorat Jenderal dalam Departemen Kesehatan. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat
dan
Makanan
dikeluarkan
dari
struktur
organisasi
Departemen/Kementerian Kesehatan, dan resmi berdiri sebagai Badan Pengawas Obat dan Makanan yang langsung berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara itu, tanggung jawab mengenai perumusan serta pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dengan membentuk Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pada tahun 2005, Kementerian Kesehatan memperbarui susunan organisasinya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005.
Dengan
dikeluarkannya
peraturan
tersebut,
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan berubah nama menjadi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Binfar dan Alkes). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Selanjutnya, pada tahun 2010, susunan organisasi Kementerian Kesehatan diperbarui dengan dikeluarkannya
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
10
2.2.2
Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menjalankan fungsi sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.3
Tujuan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tujuan
sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kefarmasian b. Terlindungnya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan c. Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional
2.2.4 Sasaran dan Indikator Pencapaian Sasaran Sasaran hasil program kefarmasian dan alat kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100% (Kementerian Kesehatan RI, 2010a).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
11
2.2.5 Kegiatan, Luaran, dan Indikator Pencapaian Luaran Kegiatan-kegiatan yang dilakukan beserta dengan luaran dan indikator pencapaian luaran pada tahun 2014 dalam mendukung pencapaian sasaran hasil Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan, yakni (Kementerian Kesehatan RI, 2010a) : 1. Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan Luaran: meningkatnya ketersediaan obat Essensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran : a. persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%, b. persentase obat yang memenuhi standar, cukup dan terjangkau sebesar 95%, c. ketersediaan obat per kapita per tahun di sarana pelayanan kesehatan dasar sebesar Rp. 18.000 per kapita, dan d. persentase Instalasi Farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%. 2. Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) Luaran: meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). Indikator pencapaian luaran : a. persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 80%, b. persentase sarana distribusi alat kesehatan yang yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%, dan c. persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi pesyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sebesar 95%. 3. Peningkatan pelayanan kefarmasian Luaran: meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran:
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
12
a. persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 50%, b. persentase
Puskesmas
Perawatan
yang
melaksanakan
pelayanan
kefarmasian sesuai standar sebesar 30%, dan c. persentase penggunaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan sebesar 70%. 4. Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian Luaran : a. meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu produksi dan distribusi kefarmasian, b. meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian, dan c. meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Indikator pencapaian luaran a. jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis, b. jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar, dan c. jumlah industri farmasi nasional memperoleh prakualifikasi WHO untuk produk obat program sebanyak 3 industri 5. Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program kefarmasian dan alat kesehatan Luaran: meningkatnya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada program kefarmasian dan alat kesehatan. Indikator pencapaian : a. persentase dokumen anggaran yang diselesaikan (sesuai usulan, pemenuhan kebutuhan sumberdaya manusia dan prasarana, pertanggung jawaban keuangan yang sesuai SAI, dan peraturan per-UU) sebesar 100%, dan b. persentase dukungan manajemen dan pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan di daerah dalam rangka dekonsentrasi sebesar 100%.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
13
2.2.6 Susunan Organisasi Susunan organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. Sekretariat Direktorat Jenderal, b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, dan e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
2.2.6.1 Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran; b. pengelolaan data dan informasi; c. penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat; d. pengelolaan urusan keuangan; e. pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan; dan f. evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jenderal terdiri atas (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): 1. Bagian Program dan Informasi: a. Subbagian Program b. Subbagian Data dan Informasi c. Subbagian Evaluasi dan Pelaporan; 2. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat: a. Subbagian Hukum b. Subbagian Organisasi c. Subbagian Hubungan Masyarakat;
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
14
3. Bagian Keuangan: a. Subbagian Anggaran b. Subbagian Perbendaharaan c. Subbagian Verifikasi dan Akuntansi; 4. Bagian Kepegawaian dan Umum: a. Subbagian Kepegawaian b. Subbagian Tata Usaha dan Gaji c. Subbagian Rumah Tangga; dan 5. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.2 Direkorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi, di antaranya (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; b. pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan; d. penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyiapan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan;
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
15
e. evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) : 1. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat: a. Seksi Analisis Harga Obat b. Seksi Standardisasi Harga Obat; 2. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan: a. Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan b. Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 3. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan: a. Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan b. Seksi
Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan; 4. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan: a. Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan b. Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b):
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
16
a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; b. pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; d. penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; e. pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; f. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) : 1. Subdirektorat Standardisasi: a. Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian b. Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional; 2. Subdirektorat Farmasi Komunitas: a. Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas; 3. Subdirektorat Farmasi Klinik: a. Seksi Pelayanan Farmasi Klinis b. Seksi Pemantaun dan Evaluasi Farmasi Klinik; 4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional: a. Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
17
2.2.6.4 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Drektorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan rumah tangga (Kementerian Kesehatan RI, 2010b). Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; b. pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; d. penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; e. evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; f. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): 1. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan: a. Seksi Alat Kesehatan Elektromedik b. Seksi Alat Kesehatan Non Elektromedik; 2. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga: a. Seksi Produk Diagnostik Invitro b. Seksi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga;
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
18
3. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga: a. Seksi Inspeksi Produk b. Seksi Inspeksi Sarana Produksi dan Distribusi; 4. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi: a. Seksi Standardisasi Produk b. Seksi Standardisasi dan Sertifikasi Produksi dan Distribusi; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.5 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian Kesehatan RI, 2010b). Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 201b): a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; b. pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; d. penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; e. pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; f. pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian; dan g. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai struktur organisasi yang terdiri atas : 1. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional:
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
19
a. Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi b. Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi; 2. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan: a. Seksi Standardisasi Produksi Kosmetika dan Makanan b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika; 3. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus: a. Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi b. Seksi Sediaan Farmasi Khusus; 4. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat: a. Seksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat b. Seksi Kerjasama; 5. Subbagian Tata Usaha; dan 6. Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
20
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang terbentuk berdasarkan Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 (Kementerian Kesehatan RI, 2010b; Kementerian Kesehatan RI, 2005).
3.1. Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010
pasal
568,
Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 568, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelengarakan fungsi: a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; b. pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; d. penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; e. pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional; dan f. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
2020vsdgdsg
20
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
21
3.2. Sasaran Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil Program Kefamasian dan Alat Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah meningkatkan pelayanan kefarmasian. Luaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator dari pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: a. Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 50%; b. Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 30%; c. Persentase penggunaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan sebesar 70%.
3.3. Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berada di bawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Struktur organinasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas : a. Subdirektorat Standardisasi; b. Subdirektorat Farmasi Komunitas; c. Subdirektorat Farmasi Klinik; d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional; e. Subbagian Tata Usaha; dan f. Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
22
Tiap subdirektorat
dan subbagian dipimpin oleh seorang kepala
subdirektorat dan kepala subbagian untuk bagian Tata Usaha. Setiap subdirektorat memiliki dua seksi yang dipimpin oleh kepala seksi dan setiap subdirektorat membawahi empat staf untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. 3.3.1. Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Standardisasi menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional, b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional, dan c. Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional Subdirektorat Standardisasi terdiri dari
Seksi Standardisasi Pelayanan
Kefarmasian dan Seksi Standadisasi Penggunaan Obat Rasional. a. Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Tugas Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelayanan kefarmasian. b. Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Tugas Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penggunaan obat rasional.
3.3.2. Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat
Farmasi
Komunitas
mempunyai
tugas
melaksanakan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di
bidang farmasi
komunitas. Dalam
melaksanakan tugasnya,
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
23
Subdirektorat Farmasi Komunitas menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas, b. Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang farmasi komunitas, c. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas, dan d. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas. a. Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas Tugas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang farmasi komunitas. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Tugas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas adalah melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
3.3.3. Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Farmasi Klinik menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik; b. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang farmasi klinik; c. penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik; dan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
24
d. penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Klinik dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. a. Seksi Pelayanan Farmasi Klinik Tugas Seksi Pelayanan Farmasi Klinik adalah melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang farmasi klinik. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Tugas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik adalah melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
3.3.4. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional memiliki tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional; b. Penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional; c. Penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. a. Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
25
Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
3.4. Kegiatan 3.4.1. Kegiatan umum Kegiatan umum yang dilakukan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian antara lain : a.
Layanan Perkantoran: Administrasi Kegiatan dan Administrasi Perkantoran
b.
Koordinasi kerja lintas sektor dalam rangka sosialisasi NSPK, program dan pendamping dalam bidang pelayanan kefarmasian tahun 2012
c.
Pencetakan buku pedoman, standar, dan peraturan pelayanan kefarmasian
d.
Advokasi implementasi kebijakan, pedoman, dan standar
e.
Pengembangan konsep joint training antara Apoteker, Dokter, Perawat, dan TTK
f.
Dokumen kinerja: Penyusunan laporan tahunan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012, Penyusunan laporan akuntabilitas kinerja pemerintahan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012, dan Penataan berkas dan penyusunan arsip Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012
g.
Dokumen perencanaan dan pengelolaan anggaran: Penyusunan program dan rencana kerja Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2013 dan Penyusunan RKAKL dan DIPA tahun 2013
h.
Laporan manajemen keuangan dan kekayaan Negara: Penyusunan laporan BMN Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012 dan Penyusunan laporan keuangan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tahun 2012
i.
Peningkatan kemampuan SDM Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
j.
Peningkatan kapasitas dan kerjasama dalam negeri
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
26
k.
Peningkatan kapasitas dan kerjasama luar negeri
l.
Koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian
m. Rapat koordinasi teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian n.
Optimalisasi sistem pelaporan menggunakan software
o.
Pengembangan kelembagaan
p.
Kajian kebutuhan biaya obat dalam sistem Jaminan Kesehatan (APBN-P).
q.
Kajian farmakoekonomi dalam sarana pelayanan kesehatan (APBN-P).
3.4.2. Kegiatan Subdirektorat Farmasi Komunitas Program kegiatan yang dilaksanakan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas antara lain : a.
Revisi peraturan Apotek
b.
Revisi Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
c.
Monitoring pelayanan kefarmasian di Komunitas
d.
Percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS Perawatan di Wilayah Barat
e.
Percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS Perawatan di Wilayah Tengah
f.
Percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS Perawatan di Wilayah Timur
3.4.3. Kegiatan Subdirektorat Farmasi Klinik Program kegiatan yang dilaksanakan oleh Subdirektorat Farmasi Klinik antara lain : a. Penyusunan Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik b. Monitoring pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit c. Bimtek pelayan kefarmasian di Rumah Sakit d. Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka Akreditasi Standar Rumah Sakit versi 2012 e. Pembekalan SDM IFRS dalam rangka pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit f. TOT pelayanan kefarmasian di ICU
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
27
g. Workshop peningkatan peran IFRS dalam SJSN (APBN-P) h. Workshop peningkatan peran IFRS dalam SJSN tahan II (APBN-P)
3.4.4. Kegiatan Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Program kegiatan yang dilaksanakan oleh Subdirektorat Pengunaan Obat Rasional antara lain : a. Integrasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian untuk menerapkan penggunaan obat rasional b. Revisi modul penggerakan POR c. Workshop penggunaan Antibiotik yang rasional d. Konsinyasi kebijakan POR e. Penyebaran informasi penggunaan obat rasional dan obat generik f. Penerapan CBIA (Cara Belajar Insan Aktif) dalam rangka pemberdayaan masyarakat (APBN-P) g. Penyebaran informasi POR dan OG (APBN-P)
3.4.5. Kegiatan Subdirektorat Standardisasi Program kegiatan yang dilaksanakan oleh Standarisasi antara lain : a. Finalisasi Formularium Jamkesmas b. Penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotik c. Studi sistem Jaminan Kesehatan terkait obat (APBN-P) d. Revisi Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
28
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Universitas Indonesia angkatan LXXVI di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia diselenggarakan pada tanggal 7-18 Januari 2013. Pada hari pertama kegiatan PKPA, setiap mahasiswa diharuskan berkumpul di ruang 805, yang merupakan ruang rapat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada pukul 10.00 WIB. Kegiatan diawali dengan acara penyambutan dan perkenalan antara pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan mahasiswa program profesi apoteker Universitas Indonesia. Pihak Direktorat Jenderal Bina Kefamasian dan Alat Kesehatan diwakili oleh Bapak Kamit Waluyo, S.H. yang menjabat sebagai Kepala Subbagian Kepegawaian. Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan dari masingmasing direktorat yang ada di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pada kesempatan awal ini, semua mahasiswa peserta PKPA mendapatkan pengarahan dan pembekalan untuk dapat menjalankan tugasnya selama PKPA. Materi yang diberikan pada pembekalan ini adalah gambaran umum mengenai Kementerian Kesehatan dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Materi tersebut meliputi penjelasan mengenai visi, misi, nilai, tugas dan fungsi serta susunan organisasi. Selain penjelasan umum yang diberikan oleh Bapak Kamit Waluyo, SH., mahasiswa peserta PKPA juga diberikan pembekalan tambahan dan diskusi oleh Ibu Dra. Nur Ratih P., Apt., Msi. selaku Kepala Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Selanjutnya, mahasiswa dibagi ke dalam empat kelompok besar, sesuai dengan sejumlah Direktorat yang ada di dalam Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Masing-masing kelompok terdiri dari 8-9 orang. Kelompok mahasiswa yang ditempatkan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian melanjutkan kegiatan dengan kunjungan ke Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
Pada kesempatan ini, mahasiswa mendapatkan
pengarahan dan penjelasan awal mengenai Direktorat Bina Pelayanan
28 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
29
Kefarmasian yang disampaikan oleh Bapak Desko Irianto, S.H, M.H. selaku Kepala Subbagian Tata Usaha. Kemudian, mahasiswa diajak berkeliling dan diperkenalkan dengan para Kepala Subdirektorat dan staf/pegawai yang ada di Direkorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Kantor Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sendiri terletak di dua ruangan, yaitu ruangan 806 untuk Subdirektorat Farmasi Komunitas dan Subdirektorat Standardisasi, serta ruangan 807 untuk Subdirektorat Farmasi Klinik, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional, dan ruang Direktur. Setelah perkenalan, kegiatan PKPA dilanjutkan dengan pemberian materi oleh masing-masing subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pemberian materi dan diskusi mengenai Subdirektorat Farmasi Komunitas diberikan oleh Ibu Dra. Dara Amelia, Apt., M.M. oleh Bapak selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Komunitas. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan pemberian materi dan diskusi tentang Subdirektorat Farmasi Klinis oleh Drs. Elon Sirait, Apt, Ms.Sc.PH selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Klinis. Pemberian materi dan diskusi tentang Subdirektorat Standardisasi diberikan oleh ibu dr. Zorni Fadia selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi. Melalui pemberian materi dan diskusi ini, peserta PKPA memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang tugas, fungsi, dan program kegiatan dari masing-masing subdirektorat, serta hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Pada kegiatan selanjutnya, mahasiswa peserta PKPA diberikan tugas khusus oleh subdirektorat yang terdapat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Kelompok I mendapatkan tugas khusus yang berkaitan dengan Subdirektorat Standardisasi, yaitu berupa pengkajian usulan obat untuk revisi Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2011. Kelompok II mendapatkan tugas khusus dari Subdirektorat Farmasi Komunitas untuk membuat rancangan pedoman pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan dan perbandingan pelayanan informasi obat di Indonesia dengan negara Australia, Singapura, dan Malaysia. Kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung selama dua minggu. Pada minggu pertama, kegiatan difokuskan pada penyelesaian laporan tugas umum kegiatan PKPA. Pembuatan laporan tugas
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
30
umum berdasarkan pada kegiatan dan informasi yang didapatkan di setiap subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Sementara itu, pada minggu kedua, peserta PKPA diberi kesempatan untuk menyelesaikan laporan tugas khusus yang diberikan oleh subdirektorat Farmasi Komunitas dan subdirektorat Standardisasi. Pada minggu kedua ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi lengkap dan berdiskusi dengan pembimbing dan para staf Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Penyusunan laporan tugas umum dan tugas khusus dilakukan dengan menggunakan metode studi literatur dan diskusi. Pencarian informasi melalui penelusuran literatur untuk tugas umum dilakukan dengan merujuk pada bukubuku, peraturan, kebijakan, dan undang-undang, serta data-data kegiatan yang disediakan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Informasi juga didapatkan dari pemberian materi dan diskusi dengan pembimbing dan Kepala Subdirektorat. Sementara penyusunan laporan tugas khusus dilakukan dengan mengkaji literatur-literatur khusus yang berkaitan dengan tema yang diberikan serta melalui diskusi yang intensif dengan pembimbing dari masing-masing kelompok.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
BAB 5 PEMBAHASAN
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan lembaga resmi pemerintah yang bertugas menjalankan kegiatan pemerintahan di bidang kesehatan. Kementerian Kesehatan sebagai pelaksana pemerintahan di bidang kesehatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu melakukan perumusan, penetapan dan
pelaksanaan
kebijakan
di
bidang
kesehatan,
pengelolaan
barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah, serta pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. Fungsi tersebut dijalankan untuk memenuhi tanggungjawab pemerintah yang tertuang dalam UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan salah satu bagian dari Kementerian Kesehatan yang membantu Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya dengan cara merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari 4 direktorat, yaitu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, dan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dibentuk berdasarkan Permenkes No.1144/MENKES/PER/VIII/2010. Direktorat ini memiliki 43 pegawai yang terdiri dari 14 orang pejabat struktural dan 29 orang staf. Jabatan struktural terdiri dari Direktur, 4 Kepala Subdirektorat, Kepala Subbagian Tata Usaha dan 8 Kepala Seksi. Jam kerja operasional dimulai pukul 08.00-16.00 WIB dari Senin hingga Jumat, kecuali pada hari Jumat hingga pukul 16.30. Pegawai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan, yang 31 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
32
mayoritas merupakan apoteker. Selain apoteker, juga terdapat pegawai dengan latar belakang pendidikan dokter, S2 farmasi, D3 farmasi, S2 hukum, dan S1 ilmu komputer. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, membawahi 4 subdirektorat, yaitu Subdirektorat Farmasi Komunitas, Subdirektorat Farmasi Klinik, Subdirektorat Standardisasi, dan Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR). Setiap subdirektorat memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, namun saling berkaitan satu sama lain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian pada tahun 2012 adalah sebagai berikut : a. Koordinasi kerja lintas sektor dalam rangka sosialisasi NSPK, program dan pendamping dalam bidang pelayanan kefarmasian tahun 2012. b. Pencetakan buku pedoman, standar, dan peraturan pelayanan kefarmasian. c. Advokasi implementasi kebijakan, pedoman, dan standar. d. Pengembangan konsep joint training antara Apoteker, Dokter, Perawat, dan TTK. e. Integrasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian untuk menerapkan penggunaan obat rasional (Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional). f. Revisi modul penggerakan POR (Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional). g. Workshop penggunaan Antibiotik yang rasional (Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional). h. Finalisasi Formularium Jamkesmas (Subdirektorat Standardisasi). i. Penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotik (Subdirektorat Standardisasi). j. Workshop
Pengembangan
Formularium
Nasional
(Subdirektorat
Standardisasi). k. Revisi
Standar
Pelayanan
Kefarmasian
di
Apotek
(Subdirektorat
Standardisasi). l. Revisi Peraturan Apotek (Subdirektorat Farmasi Komunitas). Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian juga melakukan beberapa kegiatan yang bersifat internal direktorat. Kegiatan tersebut berupa pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Direktorat Bina Pelayanan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
33
Kefarmasian, koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian, dan rapat koordinasi teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Kegiatan pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM serta kerjasama dalam negeri dilakukan dengan mengikuti seminar, pelatihan, dan workshop di dalam negeri. Rapat koordinasi teknis Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dilakukan dengan rapat konsultasi teknis dengan dinas kesehatan di 33 provinsi tentang implementasi dan sosialisasi kebijakan, pedoman dan standar yang telah dibuat oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Kegiatan yang dilakukan lintas subdirektorat lainnya adalah melakukan monitoring pelayanan kefarmasian di komunitas dan rumah sakit, berupa monitoring pelayanan kefarmasian di rumah sakit, apotek, dan puskesmas yang ada di 18 provinsi. Subdirektorat Farmasi Komunitas mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Beberapa program kegiatan yang dilakukan Subdirektorat Farmasi Komunitas antara lain, melakukan revisi peraturan apotek, revisi standar pelayanan kefarmasian di apotek, monitoring pelayanan kefarmasian di komunitas, dan percepatan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskemas di wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur. Selain itu subdirektorat Pelayanan Kefarmaian juga melakukan advokasi penerapan PP No. 51 tahun 2009 dalam rangka melaksanakan Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik. Subdirektorat Farmasi Klinik melakukan kegiatan penyusunan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit dan bimbingan teknis pelayanan kefarmasian di rumah sakit, terutama di rumah sakit daerah. Upaya meningkatkan kemampuan SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dilakukan dengan melakukan pelatihan kepada SDM IFRS dalam rangka Akreditasi Standar Rumah Sakit versi 2012. Pelatihan tenaga kesehatan dalam pelayanan kefarmasian di ICU dilakukan dengan melaksanakan kegiatan Training of Trainers (TOT) Kefarmasian di ICU. Semua upaya tersebut dilakukan untuk mencapai sasaran kebijakan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit, dengan indikator
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
34
pencapaian berupa persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 50%. Subdirektorat Standardisasi bertugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Kegiatan yang
Subdirektorat Standardisasi antara lain melakukan studi
pengkaijan sistem jaminan kesehatan terkait obat, melakukan workshop pengembangan Formularium Nasional, dan melakukan advokasi obat generik kepada tenaga kesehatan. Workshop pengembangan Formularium Nasional dilakukan dengan sosialisasi dan pertemuan dalam rangka pengembangan FORNAS. Subdirektorat Standarisasi juga melakukan workshop dan pelatihan tenaga kefarmasain dalam menghadapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan melakukan revisi Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) guna persiapan menghadapi SJSN. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) bertanggungjawab dalam upaya memasyarakatkan pengunaan obat yang rasional dalam terapi kepada pasien. Subdirektorat ini melakukan promosi penggunaan obat rasional dan obat generik melalui berbagai media promosi. Sosialisasi penggunaan obat rasional dilakukan kepada tenaga kesehatan dan juga kepada masyarakat. Upaya sosialisasi kepada masyarakat dilaksanakan melalui penerapan program Cara Belajar Insan Aktif (CBIA). Program CBIA merupakan program Subdirektorat Standardisasi yang bekerja sama dengan dinas kesehatan daerah dalam melakukan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pelatihan kepada kader-kader masyarakat di daerah untuk membantu sosialiasi penggunaan obat yang rasional. Dalam menjalankan semua tugas, fungsi, dan program kegiatannya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian tidak terlepas dari berbagai kendala dan hambatan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain, masih kurang jumlah apoteker di daerah; kurangnya tenaga apoteker yang menjalankan pelayanan kefarmasian; masih rendahnya kepercayaan tenaga medis (dokter) terhadap apoteker; sulitnya sosialisasi norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang telah disusun; dan kurangnya pengawasan terhadap penerapan NSPK yang telah disusun. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian harus terus berupaya untuk
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
35
meminimalisir kendala-kendala yang ada untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Selama 2 minggu menjalani kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, peserta juga menemukan beberapa permasalahan internal yang terdapat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, antara lain kurang baiknya upaya distribusi/penyebaran buku pedoman yang telah dicetak. Sejumlah besar eksemplar buku pedoman yang telah dicetak belum terdistribusi ke daerah-daerah dan fasilitas kesehatan yang menjadi sasaran. Buku-buku pedoman tersebut masih tersimpan dan tersegel di ruang rapat dan tidak didistribusikan meskipun sudah dicetak sejak
tahun 2011. Buku-buku tersebut antara lain, buku Pedoman
Interpretasi Data Klinik dan Buku Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik. Hal ini sangat disayangkan, mengingat upaya yang telah dilakukan untuk menyusun buku pedoman tersebut cukup menghabiskan sumber daya dan melibatkan tim ahli dari beberapa kalangan, seperti praktisi kesehatan, akademisi, dan perwakilan dari dinas kesehatan daerah. Distibusi buku-buku pedoman yang kurang berjalan dengan lancar menyebabkan pedoman yang telah disusun tidak dapat diaplikasikan langsung oleh masyarakat, sehingga mutu pelayanan kefarmasian pun menjadi tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Permasalahan lain yang terdapat
di Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Dirjen Binfar Alkes) selama pelaksanaan PKPA adalah kurang baiknya pengelolaan website dan email layanan interaktif. Website resmi Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yaitu binfar.depkes.go.id kurang terkelola dengan baik dan informasi yang terdapat di dalamnya kurang up to date (terkini). Beberapa link (tautan) yang ada tidak bisa terbuka dan terhubung, termasuk tautan ke Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Di samping itu, email layanan interaktif juga tidak berfungsi dengan baik. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya komentar pengunjung website yang mengeluhkan tidak terkelolanya website dan tidak adanya tanggapan atas email yang telah mereka kirim. Permasalahan ini tentunya sangat disayangkan dan dapat menjadi titik kekurangan dari pelayanan Dirjen Binfar Alkes kepada masyarakat. Di era teknologi informasi yang semakin berkembang pesat seperti sekarang ini, penggunaan website sebagai media
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
36
informasi dan sosialiasi kepada masyarakat sangatlah penting untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi, kebijakan, dan peraturan/standar yang telah dihasilkan oleh Dirjen Binfar Alkes. Dampak dari kurang terkelolanya website dan email antara lain adalah sulit dan lambatnya upaya sosialiasi kebijakan, standar, dan pedoman yang telah disusun kepada masyarakat. Hal ini menjadi salah satu sebab rendahnya penerapan kebijakan, standar, dan pedoman di masyarakat dan fasilitas pelayanan kefarmasian. Upaya-upaya perbaikan harus dilakukan oleh Direktorat Pelayanan Kefarmasian pada khususnya dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada umumnya untuk meningkatkan kualitas kinerja dan pencapaian hasilnya. Program pendistribusian buku-buku pedoman yang telah disusun dan dicetak harus diperbaiki agar buku-buku pedoman yang telah dicetak dapat sampai ke masyarakat di daerah untuk diimplementasikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan misalnya dengan bekerja sama dengan PT Pos Indonesia dalam penyebarluasan buku-buku pedoman agar dapat terdistribusi secara merata dan menjangkau daerah-daerah. Dalam pendistribusian buku-buku pedoman ini tentunya juga harus bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memastikan buku-buku pedoman tersebut dapat sampai ke sarana-sarana pelayanan kesehatan yang membutuhkan di daerah. Upaya perbaikan pengelolaan website dan email juga harus dilakukan, sebab website merupakan pintu gerbang utama informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, sedangkan email merupakan sarana komunikasi dengan masyarakat. Website sangat berguna dalam mensosialisasikan kebijakankebijakan dan produk-produk yang telah dihasilkan oleh Direktorat Pelayanan Kefarmasian dan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sebaiknya perlu ditunjuk tim khusus atau pegawai khusus yang berkompeten di bidang teknologi informasi untuk bertugas mengelola website dan email. Website dan email yang terkelola dengan baik juga bisa dimanfaatkan untuk mendistribusikan buku-buku pedoman dalam bentuk file digital (pdf), sehingga masyarakat dapat dengan mudah memperoleh buku-buku pedoman yang telah disusun oleh Direktorat Pelayanan Kefarmasian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
37
BAB 6 PENUTUP 6.1. Kesimpulan a. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan merupakan salah satu unsur pelaksana kegiatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang bertanggung jawab dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan perbekalan kesehatan. Struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari Sekretariat Direktorat Jenderal dan empat direktorat, yaitu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, dan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. b. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan salah satu direktorat yang terdapat di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang terdiri dari Subbagian tata usaha dan empat Subdirektorat, yaitu Subdirektorat Farmasi
Komunitas,
Subdirektorat
Farmasi
Klinik,
Subdirektorat
Standardisasi, dan Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional. Direktorat ini memiliki tugas menyiapkan perumusan, melaksanakan kebijakan, dan menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK), serta memberikan bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. c. Peran apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah sebagai tenaga profesional kefarmasian yang memiliki kompetensi untuk menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria serta program untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di komunitas dan klinik berasaskan pada penggunaan obat yang rasional. d. Permasalahan yang ditemukan selama menjalani PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah upaya distribusi buku pedoman yang telah dicetak masih kurang baik dan merata, serta pengelolaan website dan email resmi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang kurang baik.
37 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
38
6.2. Saran a.
Kegiatan PKPA di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebaiknya dilakukan dalam periode yang lebih lama agar mahasiswa peserta PKPA mendapatkan bekal pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dan lebih mendalam.
b.
Selama menjalani PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebaiknya mahasiswa peserta PKPA diberikan kesempatan untuk lebih terlibat dalam pelaksanaan kegiatan teknis keseharian di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
c.
Upaya sosialiasi dan penyebarluasan produk dan kebijakan yang dihasilkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian harus lebih ditingkatkan, seperti melalui penerbitan buku, leaflet, poster, dan website agar dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi apoteker pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
d.
Perlu dilakukan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang berkesinambungan kepada apoteker, khususnya apoteker baru, guna meningkatkan
keterampilan
apoteker
dalam
melakukan
pelayanan
kefarmasian di masyarakat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DAFTAR ACUAN
Departemen Kesehatan. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan. (2010a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
HK.03.01/60/I/2010
tentang
Rencana
Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan. (2010b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Tupoksi. Januari 8, 2013. http://depkes.go.id/index.php/profil/tugasdanfungsi.html Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
39 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan
Sdgsdgsdgds4 40
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
SEKRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL
DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN
DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN
Sdgsdgsdgds4 41
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN
Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Sekretariat Direktorat Jenderal
Bagian Program dan Informasi
Subbagian Program Subbagian Data dan Informasi Subbagian Evaluasi dan Pelaporan
Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat
Bagian Keuangan
Bagian Kepegawaian dan Umum
Subbagian Hukum
Subbagian Anggaran
Subbagian Kepegawaian
Subbagian Organisasi
Subbagian Perbendaharaan
Subbagian Tata Usaha dan Gaji
Subbagian Hubungan Masyarakat
Subbagian Verifikasi dan Akuntansi
Subbagian Rumah Tangga
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Sdgsdgsdgds4 42
Kelompok Jabatan Fungsional
Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Subbagian Tata Usaha Subdit Analisis dan Standardisasi Harga Obat
Seksi Analisis Harga Obat Seksi Standardisasi Harga Obat
Subdit Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Subdit Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Perencanaan Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Seksi Pemantauan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Seksi Standardisasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Seksi Pemantauan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Seksi Bimbingan dan Pengendalian Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Seksi Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Sdgsdgsdgds4 43
Kelompok Jabatan Fungsional
Subdit Pemantauan dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
Subbagian Tata Usaha
Subdit Standardisasi
Subdit Farmasi Komunitas
Subdit Farmasi Klinik
Subdit Penggunaan Obat Rasional
Seksi Standardisasi Pelayanan Kerfarmasian
Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas
Seksi Pelayanan Farmasi Klinik
Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional
Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Sdgsdgsdgds4 44
Kelompok Jabatan Fungsional
Lampiran 6. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
Subbag Tata Usaha
Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan
Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Seksi Produk Diagnostik Invitro
Seksi Alat Kesehatan Non Elektromedik
Seksi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Seksi Inspeksi Produk
Seksi Inspeksi Sarana Produksi dan Distribusi
Kelompok Jabatan Fungsional
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Subdirektorat Inspeksi Alkes dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Seksi Standardisasi Produk
Seksi Standardisasi dan Sertifikasi Produksi dan Distribusi
Sdgsdgsdgds4 45
Seksi Alat Kesehatan Elektromedik
Subdirektorat Inspeksi Alkes dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
Subbag Tata Usaha
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat
Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi
Seksi Standardisasi Produksi Kosmetika dan Makanan
Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Seksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat
Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi
Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika
Seksi Sediaan Farmasi
Seksi Kerjasama
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Sdgsdgsdgds4 46
Kelompok Jabatan Fungsional
Khusus
UNIVERSITAS INDONESIA
USULAN RANCANGAN PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI OBAT DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
KHAIRUL BASYAR, S. Farm. 1206313274
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013
i Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................. 2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3 2.1 Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kefarmasian ............... 3 2.1.1 Apotek ....................................................................................... 3 2.1.2 Rumah Sakit .............................................................................. 4 2.1.3 Puskemas ................................................................................... 5 2.1.4 Klinik ......................................................................................... 5 2.2 Informasi Obat..................................................................................... 5 2.3 Pelayanan Informasi Obat .................................................................. 6 2.3.1 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat .......................................... 7 2.3.2 Sarana dan Prasarana Pelayanan Informasi Obat ...................... 8 2.3.3 Sumber Informasi ...................................................................... 8 2.3.4 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat ................................... 9 2.3.5 Evaluasi Pelayanan Informasi Obat .......................................... 10 BAB 3 METODE PENGKAJIAN ..................................................................... 11 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ...................................................... 11 3.2 Metode Pengkajian............................................................................ 11 BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 12 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 18 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 18 5.2 Saran ................................................................................................ 18 DAFTAR ACUAN .............................................................................................. 19
ii Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Usulan Rancangan Buku Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ..…………………………………
iii Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
21
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada saat ini orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditas berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi besar terhadap bentuk pelayanan kefarmasian dan kompetensi tenaga profesional kefarmasian. Seorang apoteker sebagai tenaga profesional kefarmasian dituntut untuk dapat berpraktek guna memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien. Oleh karena itu, seorang apoteker harus selalu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, konseling, monitoring dan evaluasi penggunaan obat yang terdokumentasi dengan baik. Salah satu bentuk pelayanan kefarmasian yang sangat penting adalah pelayanan informasi obat. Pelayanan informasi obat dapat membantu dokter dan tim kesehatan untuk dapat memilihkan terapi yang paling tepat bagi pasien. Pelayanan informasi obat juga sangat berguna bagi pasien untuk mengetahui penggunaan obat yang tepat dalam swamedikasi, mengetahui cara kerja obat, cara pemakaian obat, dan efek sampingnya. Pelayanan informasi obat diharapkan dapat mengoptimalkan terapi, dan mencegah terjadinya kesalahan pengunaan obat, serta mengurangi resiko terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah dan jenis produk obat yang beredar di pasaran serta semakin beragamnya jenis pustaka dan sumber informasi, maka dibutuhkan suatu upaya untuk menyajikan informasi secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan. Apoteker harus mampu memberikan informasi yang akurat, objektif, dan lengkap kepada pasien ataupun
1 Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
2
tenaga kesehatan lain terkait penggunaan obat dalam terapi kepada pasien melalui kegiatan pelayanan informasi obat yang terkelola dengan baik. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan informasi obat oleh apoteker, maka perlu disusun suatu pedoman dasar pelayanan informasi obat yang dapat dijadikan rujukan dasar dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan informasi obat yang dapat diterapkan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan/kefarmasian. Selama ini, pedoman dasar pelayanan informasi obat yang telah disusun oleh Kementerian Kesehatan masih terbatas pada pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan pelayanan informasi obat di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan pun membutuhkan upaya peningkatan kualitas. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu revisi atau perbaikan terhadap pedoman pelayanan informasi obat yang telah ada agar dapat diterapkan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan/kefarmasian.
Adanya pedoman tersebut diharapkan
dapat membantu apoteker dalam menjalankan praktek profesinya kepada pasien dan dapat menjamin kualitas pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Pada akhirnya, mutu pelayanan kefarmasian dapat meningkat dan citra profesi apoteker di masyarakat sebagai tenaga profesi kesehatan menjadi lebih baik.
1.2 Tujuan Tujuan pembuatan laporan tugas khusus ini adalah melakukan pengkajian dan penyusunan usulan rancangan pedoman pelayanan informasi obat yang dapat diterapkan di sarana pelayanan kesehatan/kefarmasian.
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kefarmasian Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan
berkesinambungan
yang
untuk
dilakukan
memelihara
dan
secara
terpadu,
meningkatkan
terintregasi derajat
dan
kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pemerintah Republik Indonesia, 2009a). Pada fasilitas pelayanan kesehatan juga dilakukan pelayanan kefarmasian. Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam pelayanan kefarmasian, dilakukan pekerjaan kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Fasilitas pelayanan kefarmasian tersebut dapat berupa apotek, rumah sakit (instalasi farmasi rumah sakit), puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama (Pemerintah Republik Indonesia, 2009c).
2.1.1 Apotek Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian
oleh
Apoteker.
3
Menurut
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Kepmenkes
RI
No.
Universitas Indonesia
4
1332/Menkes/SK/2002 tentang Perubahan Permenkes No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi, perbekalan kesehatan, dan lainnya kepada masyarakat.
2.1.2 Rumah Sakit Menurut Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di rumah sakit meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Untuk menjalankan tugasnya memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, rumah sakit mempunyai fungsi : a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatankemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus adalah rumah sakit memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya (Pemerintah Republik Indonesia, 2009b).
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
5
2.1.3 Puskemas Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Departemen Kesehatan, 2006). Ada enam jenis pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan oleh puskesmas yakni, promosi kesehatan, kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar (Departemen Kesehatan, 2004a).
2.1.4 Klinik Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Berdasarkan jenis pelayanannya, klinik dibagi menjadi Klinik Pratama dan Klinik Utama. Klinik Pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar, sedangkan Klinik Utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik. Klinik Pratama atau Klinik Utama dapat mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit tertentu (Kementerian Kesehatan, 2011a).
2.2 Informasi Obat Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi, dan penggunaan terapi obat. Informasi obat mencakup, tetapi tidak terbatasi pada pengetahuan, seperti nama kimia, struktur, dan sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, bioekivalen, toksisitas, mekanisme kerja, waktu mulai
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
6
kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, konsumsi, absorbsi, metabolisme, detoksifikasi, ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, tanda, gejala, dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lain yang berguna dalam diagnosis, dan pengobatan penderita dengan obat (Siregar, 2004). Menurut Society of Hospital Pharmacist of Australia (SHPA), informasi obat adalah informasi tertulis dan verbal atau saran tentang obat dan terapi obat sebagai tanggapan atas permintaan/pertanyaan dari tenaga kesehatan lain, organisasi, komite, pasien, atau anggota masyarakat. Informasi ini dapat berkaitan dengan pasien spesifik (tertentu) atau mengandung informasi umum untuk mempromosikan penggunaan obat yang aman dan efektif (SHPA, 1999). Kebutuhan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan bervariasi sesuai dengan pratiknya. Karakteristik informasi obat berdasarkan persyaratan klinis sebagai berikut : 1. Informasi harus spesifik bagi penderita yang sedang ditangani 2. Informasi harus disuplai segera jika hendak mengubah keputusan penulisan resep. 3. Lebih diperlukan data daripada dokumen.
2.3 Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan di rumah sakit. Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengolahan, penyajian, dan pengawasan mutu data/informasi obat dan keputusan profesional. Penyediaan informasi obat meliputi tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan pengawasan mutu data/informasi obat. Sasaran pelayanan informasi obat adalah pasien dan keluarganya, tenaga kesehatan (seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, dan bidan), serta pihak lain (seperti pihak manajemen, tim kepanitiaan klinik, dan lain-lain). Tujuan dari pelayanan informasi obat antara lain adalah (Departemen Kesehatan, 2004b):
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
7
1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain. 2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain. 3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama bagi Panitia Farmasi dan Terapi/Komite Farmasi dan Terapi.
2.3.1 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat Kegiatan pelayanan informasi obat yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan antara lain meliputi : a.
Menjawab pertanyaan
b.
Mengkaji dan menyampaikan informasi bagi yang memerlukan
c.
Menyiapkan materi dan membuat buletin, brosur, leaflet
d.
Menbantu unit lain dalam mendapatkan informasi obat
e.
Mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dalam menyusun dan formularium di rumah sakit atau puskesmas
f.
Mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang praktek kerja
g.
Mengkoordinasikan program pendidikan berkelanjutan di bidang informasi obat
h.
Melakukan penelitian evaluasi penggunaan obat Pelayanan informasi obat yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan.
Informasi obat yang biasanya diperlukan pasien adalah : a. Waktu penggunaan obat; misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah di waktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan. b. Lama penggunaan obat; apakah selama keluhan masih ada atau harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh. Contoh : antibiotika harus dihabiskan untuk mencegah timbulnya resistensi. c. Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
8
yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep rektal dan tablet vagina. d. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang waspada, tinja berubah warna, air kencing berubah warna, dan sebagainya. e. Hal-hal lain yang mungkin timbul, misalnya interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui serta kemungkinan terjadinya efek obat yang tidak dikehendaki.
2.3.2 Sarana dan Prasarana Pelayanan Informasi Obat Sarana dan prasarana pelayanan informasi obat disesuaikan dengan kondisi sarana pelayanan kesehatan. Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi tergantung ketersediaan dan perkiraan kebutuhan dalam pelaksanaan pelayanan informasi obat. Sarana ideal untuk pelayanan informasi obat yang sebaiknya disediakan, antara lain : 1. Ruang pelayanan 2. Kepustakaan 3. Komputer 4. Telepon dan faksimili 5. Jaringan internet
2.3.3 Sumber Informasi Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien dan tenaga kesehatan. Semua sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan tingkat dan tipe pelayanan. Pustaka digolongkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu : a. Pustaka primer Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Contoh
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
9
pustaka primer, antara lain : laporan hasil penelitian, laporan kasus, studi evaluatif, dan laporan deskriptif. b. Pustaka sekunder Berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak dari berbagai macam artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat membantu dalam proses pencarian informasi yang terdapat dalam sumber informasi primer. Sumber informasi ini dibuat dalam berbagai data base, contoh: medline yang berisi abstrak-abstrak tentang terapi obat, International Pharmaceutical Abstract yang berisi abstrak penelitian kefarmasian c. Pustaka tersier Pustaka tersier berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami, seperti IONI, ISO, DOEN, DOI, MIMS, Buku Saku Pelayanan Kefarmasian, dan lain-lain. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat yang berisi nama dagang obat jadi, komposisi, bobot, isi atau jumlah tiap wadah, dosis pemakaian, cara pemakaian, indikasi atau khasiat atau kegunaan, kontraindikasi, tanggal kadaluarsa, nomor ijin edar/nomor registrasi, nomor kode produksi, serta nama dan alamat industri (Departemen Kesehatan, 2006).
2.3.4 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat Semua
kegiatan
pelayanan
informasi
obat
harus
didokumentasikan.
Dokumentasi pelayanan informasi obat memuat tanggal dan waktu pertanyaan dimasukkan, tanggal dan waktu jawaban diberikan, metode penyampaian jawaban, pertanyaan yang diajukan, orang yang meminta jawaban, orang yang menjawab, kontak
personal
untuk
tambahan
informasi,
lama
penelusuran
informasi,
referensi/sumber informasi yang digunakan, dan jawaban terhadap pertanyaan atau permasalahan yang diajukan. Manfaat dokumentasi adalah : 1. Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat.
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
10
2. Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa. 3. Memprioritaskan penyediaan sumber informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan. 4. Media pelatihan tenaga farmasi. 5. Basis data pencapaian kinerja, penelitian, analisis, evaluasi dan perencanaan layanan.
2.3.5 Evaluasi Pelayanan Informasi Obat Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan informasi obat, harus dilakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan secara berkala. Evaluasi ini digunakan untuk menilai/mengukur keberhasilan pelayanan informasi obat itu sendiri dengan cara membandingkan tingkat keberhasilan sebelum dan sesudah dilaksanakan pelayanan informasi obat. Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari awal dan mendokumentasikan pertanyaan–pertanyaan yang diajukan, serta jawaban dan pelayanan yang diberikan kemudian dibuat laporan tahunan. Laporan ini dievaluasi dan berguna untuk memberikan masukan kepada pimpinan dalam membuat kebijakan di waktu mendatang. Untuk mengukur tingkat keberhasilan tersebut harus ada indikator yang digunakan. Indikator tersebut bersifat dapat diukur dan valid (tidak cacat). Indikator keberhasilan pelayanan informasi obat mengarah kepada pencapaian penggunaan obat secara rasional. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi obat antara lain : Meningkatnya jumlah pertanyaan yang diajukan. Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan. Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leaflet, buletin, ceramah). Meningkatnya pertanyaan berdasar jenis pertanyaan dan tingkat kesulitan. Menurunnya keluhan atas pelayanan
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
11
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1
Waktu dan Tempat Pengkajian Kajian tentang pedoman pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan
kesehatan dilakukan pada tanggal 10-18 Januari 2013, bertempat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3.2 Metode Pengumpulan data Metode yang digunakan dalam penyusunan tugas khusus ini adalah metode studi pustaka. Sumber informasi yang digunakan dalam penyusunan tugas khusus ini berasal dari buku-buku pedoman dari Kementerian Kesehatan, buku teks, jurnal, dan literatur lainnya.
11
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
12
BAB 4 PEMBAHASAN
Pelayanan kefarmasian yang telah mengalami pergeseran paradigma dari drug oriented menjadi patient oriented menuntut apoteker sebagai tenaga profesional kefarmasian untuk menjalankan kegiatan praktek kefarmasian yang bermutu. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Praktek kefarmasian yang bermutu tersebut didasarkan pada penggunaan terapi obat yang rasional yang terjamin kualitas, keamanan, dan khasiatnya. Salah satu bentuk upaya untuk menunjang terapi obat yang rasional adalah dengan pelayanan informasi obat yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kefarmasian. Pada fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan informasi yang akurat, objektif, dan lengkap melalui pelayanan informasi obat sangat penting untuk mendukung pelayanan kesehatan tersebut. Hal ini dikarenakan obat merupakan salah satu komponen yang paling penting dalam pelayanan kesehatan karena diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan untuk menghilangkan gejala dari suatu penyakit, mencegah penyakit, serta dapat menyembuhkan penyakit. Namun, di lain pihak obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat. Oleh sebab itu, ketersediaan informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat
mendukung
dalam
pemberian
pelayanan
kesehatan
yang
terbaik
kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat. Kebutuhan akan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan yang semakin meningkat mendorong perlunya dibuat suatu standar atau pedoman baku untuk penerapan pelaksanaan informasi obat yang baik. Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebenarnya telah menyusun suatu pedoman pelayanan informasi obat. Namun, pedoman informasi obat yang telah disusun masih terbatas pada pelayanan informasi obat di rumah sakit,
12
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
13
sedangkan pedoman pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan lain belum tersedia. Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan atau perbedaan kualitas pelayanan kefarmasian, khususnya pelayanan informasi obat, antara sektor pelayanan farmasi klinik di rumah sakit dengan pelayanan farmasi komunitas seperti di apotek, puskesmas, dan klinik. Selama ini, pelayanan informasi obat yang berlangsung di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama pelayanan farmasi di komunitas (apotek) terlihat masih kurang terasa kebermanfaatannya bagi pasien. Padahal pasien sebagai pengunjung apotek sangat mengharapkan adanya pelayanan informasi obat untuk mengetahui lebih jauh tentang
pengobatannya.
Menurut
hasil
penelitian
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) pada tahun 2006, kebutuhan pelayanan informasi obat yang tinggi di apotek-apotek kota besar belum dapat diimbangi dengan kesiapan apoteker dalam memberikan pelayanan informasi obat sesuai dengan kebutuhan pengunjung apotek. Pengunjung sebagian besar hanya mendapatkan informasi berupa nama obat dan indikasinya saja (Handayani et al, 2006). Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya suatu pedoman standar pelayanan informasi obat yang dapat diterapkan pada fasilitas pelayanan kesehatan lain selain rumah sakit, seperti apotek, puskesmas, dan klinik. Pelayanan informasi obat yang dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, apotek, dan klinik dapat disesuaikan dengan kondisi sumber daya, sarana, dan prasarana yang tersedia pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Pelayanan informasi obat di rumah sakit sebaiknya memiliki unit pelayanan informasi obat khusus (unit PIO) mengingat tingkat permasalahan dan kebutuhan akan informasi obat dan kesehatan yang sangat tinggi. Permintaan akan informasi pun bisa sangat beragam dan berasal dari berbagai kalangan tenaga kesehatan, seperti dokter spesialis, dokter gigi, perawat, ataupun dari panitia farmasi dan terapi (PFT) sehingga sangat dibutuhkan apoteker sebagai petugas khusus pelayanan informasi obat. Kegiatan unit PIO di rumah sakit juga hendaknya dibuat lebih bervariasi, tidak terbatas pada menjawab pertanyaan saja, melainkan secara aktif melakukan penyebaran informasi melalui penerbitan berbagai media seperti leaflet, poster, dan
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
14
buletin. Selain itu, unit PIO di rumah sakit juga dapat terlibat dalam kegiatan dan penelitian di rumah sakit tersebut. Unit PIO yang berada di rumah sakit ini masih merupakan bagian dan kesatuan integral dengan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Sementara itu, pelayanan informasi obat yang dilakukan di puskesmas, apotek, dan klinik amat bergantung dengan ketersediaan sarana dan prasana yang terdapat di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Pada umumnya, kegiatan pelayanan kefarmasian di puskesmas, apotek, dan klinik memiliki sumber daya manusia yang lebih sedikit, yaitu berupa apoteker kepala/pengelola dengan beberapa tenaga teknis kefarmasian yang membantu apoteker dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, umumnya pelayanan informasi obat yang ada di puskemas, apotek, dan klinik pun secara umum lebih sederhana dibandingkan dengan pelayanan informasi obat di rumah sakit. Permasalahan dan pertanyaan yang muncul sebagian besar berasal dari pasien atau masyarakat. Namun demikian, pelayanan informasi obat di klinik, puskesmas, dan apotek tetap harus memiliki suatu pedoman dasar agar dapat berjalan dan terkoordinasi dengan baik. Kegiatan pelayanan informasi obat di puskemas, apotek, dan klinik umumnya tidak dilaksanakan oleh suatu unit khusus PIO seperti di rumah sakit karena keterbatasan sumber daya manusia serta sarana. Kegiatan pelayanan informasi obat di puskesmas, apotek, dan klinik berada di bawah fungsi/tugas pelayanan kefarmasian. Namun, untuk puskemas yang besar, seperti puskesmas tingkat kecamatan, sebaiknya memiliki unit pelayanan informasi obat khusus yang berada di bawah unit kefarmasian di puskesmas tersebut. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan informasi obat yang akurat, objektif, dan terkini di puskesmas tingkat kecamatan umumnya cukup tinggi karena memiliki tenaga kesehatan yang lebih banyak dengan pelayanan kesehatan yang lebih beragam. Begitu juga dengan apotek besar yang memiliki sumber daya manusia dan sarana yang memadai. Apotek besar seperti ini, terutama apotek yang bekerja sama dengan klinik atau praktek dokter, sebaiknya memiliki unit khusus PIO untuk melayani kebutuhan informasi obat, baik dari pasien maupun dari tenaga kesehatan lain.
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
15
Kegiatan pelayanan informasi obat yang dilaksanakan di klinik selain tergantung pada ketersediaan sumber daya manusia dan sarana prasarana juga bergantung pada jenis klinik tersebut. Pada klinik pratama, yang menjalankan kegiatan pelayanan medik dasar, kegiatan pelayanan informasi obat umumnya lebih sederhana karena pelayanan kesehatan yang diberikan hanya berupa pelayanan medik dasar. Untuk klinik pratama, yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, kegiatan pelayanan informasi obat sebaiknya dikoordinasi oleh suatu unit khusus PIO, sehingga mampu melayani kebutuhan akan informasi obat dari pasien maupun tenaga kesehatan lainnya dengan kegiatan yang lebih bervariasi. Pelayanan informasi obat minimal yang harus dijalankan di puskesmas, apotek, dan klinik adalah pemberian informasi obat yang dibutuhkan oleh pasien dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang informasi obat. Informasi obat yang umumnya diperlukan oleh pasien meliputi (Departemen Kesehatan, 2006): a. Waktu penggunaan obat; misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah di waktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan. b. Lama penggunaan obat; apakah selama keluhan masih ada atau harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh. Contoh : antibiotika harus dihabiskan untuk mencegah timbulnya resistensi. c. Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep rektal dan tablet vagina. d. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang waspada, tinja berubah warna, air kencing berubah warna, dan sebagainya. e. Hal-hal lain yang mungkin timbul, misalnya interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui serta kemungkinan terjadinya efek obat yang tidak dikehendaki
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
16
f. Cara penyimpanan obat Dengan dilaksanakannya pelayanan informasi obat yang minimal tersebut, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi obat dari pasien di puskesmas apotek, dan klinik sehingga pemberian informasi yang diterima pasien tidak hanya sebatas nama obat dan indikasinya saja. Pada setiap fasilitas pelayanan kesehatan, baik rumah sakit, puskesmas, apotek, atau pun klinik sebaiknya disusun suatu prosedur tetap (Protap) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan informasi obat. Adanya Protap dan SPO pelayanan informasi obat akan membuat pelaksanaan pelayanan informasi obat berlangsung dengan lebih jelas dan terkoordinasi dengan baik. Selain itu, juga harus dibuat suatu pembagian tugas (job description) yang jelas di antara apoteker atau tenaga kefarmasian yang ada dalam pelayanan informasi obat. Dengan demikian diharapkan pelayanan informasi obat yang terlaksana di fasilitas pelayanan kesehatan dapat menjadi lebih baik. Pemanfaaan teknologi internet juga sangat berguna dalam pelayanan informasi obat untuk mencari sumber informasi maupun sebagai sarana komunikasi untuk penyebaran informasi. Unit pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit, puskesmas, apotek, atau klinik sebaiknya memiliki website atau blog tersendiri sebagai sarana penyampaian informasi obat kepada pasien dan masyarakat luas. Selain itu, unit pelayanan informasi obat juga sebaiknya memiliki email ataupun call center sehingga dapat lebih mudah diakses oleh masyarakat dengan memanfaatkan media email, surat, telepon, atau pun pesan singkat (sms). Pada pelaksanaannya di lapangan, pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan tentunya memiliki hambatan-hambatan. Untuk itu, tidak cukup hanya mengandalkan adanya buku pedoman pelayanan informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi juga dibutuhkan adanya pelatihan dan workshop mengenai pelayanan informasi obat dari pemerintah. Dengan adanya pelatihan dan workshop yang berkesinambungan akan dapat meningkatkan keahlian dan keterampilan apoteker dan tenaga teknis kefarmasian dalam melaksanakan pelayanan informasi obat. Pelatihan dan workshop tersebut dapat berupa pelatihan penelusuran
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
17
dan evaluasi literatur, pelatihan memberi informasi dan menjawab pertanyaan secara langsung ataupun tertulis, pelatihan membuat buletin, poster, dan leaflet, serta pelatihan lainnya yang dapat menunjang kegiatan pelayanan informasi obat.
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
18
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Pelaksanaan pelayanan informasi obat pada fasilitas pelayanan kesehatan membutuhkan adanya suatu pedoman agar dapat berjalan dengan baik. Pedoman tersebut dapat memberikan gambaran bentuk pelayanan informasi obat yang diharapkan dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pedoman pelayanan informasi obat yang dibuat harus menyesuaikan dengan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya rumah sakit, puskesmas, klinik, dan apotek. Penyesuaian tersebut perlu memperhatikan aspek ketersediaan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan.
5.2 Saran a. Perlu adanya sosialisasi untuk menyebarkan pedoman pelayanan informasi obat yang telah disusun agar dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan. b. Perlu adanya pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kefarmasian, khususnya apoteker, dalam pelayanan informasi obat. c. Sebaiknya pemerintah membuat unit suatu pusat pelayanan informasi obat yang bersifat sentral (pusat) sehingga bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. d. Sebaiknya setiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki website atau blog sebagai media untuk membantu penyebaran informasi obat dan sarana berkomunikasi dengan pasien dan masyarakat.
18
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
19
DAFTAR ACUAN
Charles, J.P. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Hal 202-221. Departemen Kesehatan RI. (2004a). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan RI. (2004b). Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2008). Modul TOT Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Handayani, R.S., Gitawati, R., Muktiningsih, S.R., dan Raharni. (2006). “Eksplorasi Pelayanan Informasi yang Dibutuhkan Konsumen Apotek dan Kesiapan Apoteker Memberi Informasi Terutama untuk Penyakit Kronik dan Degeneratif.”. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.1, April 2006, 38 – 46. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI (2011a). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. (2011b). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. (2011). Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia .(2009a). Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. (2009b). Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
19
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
20
Pemerintah Republik Indonesia .(2009c). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. The Society of Hospital Pharmacists of Australia. (1999). “SHPA Standards of Practice for Drug Information Services”. Aust. J. Hosp. Pharm. 1999; 29 (3): 171-176
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
Universitas Indonesia
21
LAMPIRAN 1 : Usulan Rancangan Buku Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI OBAT DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2013
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
22
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian saat ini telah mengalami perubahan paradigma dari drug oriented menjadi patient oriented sehingga dikenal konsep Pharmaceutical Care. Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian) adalah suatu tanggung jawab profesi dari apoteker dalam mengoptimalkan terapi dengan cara mencegah dan memecahkan masalah terkait obat (Drug Related Problem). Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan kefarmasian ini merupakan wujud dari pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yang berdasarkan pada undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian tersebut adalah (1) pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, (2) pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, (3) pengelolaan obat, (4) pelayanan obat atas resep dokter, (5) pelayanan informasi obat, (6) serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pelayanan kefarmasian yang baik akan menunjang peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang akan berujung pada peningkatan kualitas kesehatan pasien. Pelayanan kefarmasian tersebut harus dapat menjamin ketersediaan obat yang bermutu dan penggunaan obat yang rasional yang berorientasi kepada pasien. Penggunaan obat yang rasional dalam terapi obat pada pasien memerlukan sumber informasi obat yang memadai, lengkap, objektif, dan terkini. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah dan jenis sediaan obat yang beredar di pasaran serta semakin beragamnya jenis pustaka dan sumber informasi, maka dibutuhkan suatu upaya penyediaan informasi secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan. Apoteker sebagai tenaga profesional kefarmasian harus mampu menyediakan pelayanan informasi obat yang mudah diakses oleh masyarakat, pasien, dan tenaga kesehatan.
1
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
23
BAB I PENDAHULUAN Oleh karena itu, disusunnya buku pedoman ini merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kompetensi apoteker dalam pelayanan
1.1 Latarinformasi Belakang obat dan kualitas pelayanan kefarmasian pada fasilitas pelayanan Pelayanan kesehatan. kefarmasian saat ini telah mengalami perubahan paradigma dari
1
drug oriented menjadi patient oriented sehingga dikenal konsep Pharmaceutical I.2 TUJUAN Care. Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian) adalah suatu tanggung jawab 1.2.1 Tujuan Umum
profesi dari apoteker dalam mengoptimalkan terapi dengan cara mencegah dan Tersedianya pedoman dalam rangka pelaksanaan pelayanan informasi
memecahkanobat masalah terkaitdanobat (Drug Related Problem). Pelayanan kefarmasian yang bermutu berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya merupakan penggunaan bagian integral dari pelayanan Pelayanan kefarmasian ini obat yang rasional di fasilitaskesehatan. pelayanan kesehatan. merupakan wujud dari pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yang berdasarkan pada 1.2.2 Tujuan Khusus
undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan peraturan Tersedianya acuan dalam rangka pelayanan informasi obat di fasilitas
pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan pelayanan kesehatan.
kefarmasian tersebut adalah (1) pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan Tersedianya landasan hukum dan operasional penyediaan dan pelayanan farmasi, (2) pengamanan, pengadaan, penyimpanan, informasi obat di fasilitas pelayanan kesehatan. dan pendistribusian obat, (3) Terlaksananya penyediaan dan resep pelayanan informasi obat di fasilitas pengelolaanobat, (4) pelayanan obat atas dokter, (5) pelayanan informasi obat, pelayanan kesehatan. (6) serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Terlaksananya pemenuhan kompetensi apoteker Indonesia dalam hal
Pelayanan kefarmasian yang baik akan menunjang peningkatan kualitas pelayanan pelayanan kefarmasian.
kesehatan yang akan berujung pada peningkatan kualitas kesehatan pasien. Pelayanan kefarmasian tersebut harus dapat menjamin ketersediaan obat yang bermutu dan I.3 SASARAN Pedoman dimaksudkan dapat dimanfaatkan oleh apoteker Penggunaan dan obat penggunaan obat yanginirasional yanguntuk berorientasi kepada pasien. tenagadalam kefarmasian yang bekerja di rumah sakit, apotek, puskesmas dan obat yang yang rasional terapilain obat pada pasien memerlukan sumber informasi klinik.
memadai, lengkap, objektif, dan terkini. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah dan jenis sediaan obat yang beredar di pasaran serta semakin beragamnya jenis I.4 LANDASAN HUKUM
pustaka a.danUndang-undang sumber informasi, maka dibutuhkan suatu upaya penyediaan informasi Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan. Apoteker sebagai tenaga profesional b. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit c. Peraturan Nomor 51 pelayanan Tahun 2009 tentangobat Pekerjaan kefarmasian harus Pemerintah mampu menyediakan informasi yang mudah Kefarmasian.
diakses oleh masyarakat, pasien, dan tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 2
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
24
d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK. 03.01/60/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. f. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik
I.5 PENGERTIAN
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker, yang berdasarkan undang-undang yang berlaku, berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Brosur obat adalah informasi mengenai obat yang berasal dari produsen meliputi kandungan zat aktif, indikasi, kontraindikasi, aturan pakai, efek samping, perhatian, nomor batch, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
Data adalah bukti yang ditemukan dari hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar kajian atau pendapat.
Dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi di bidang ilmu pengetahuan.
Evaluasi adalah upaya memberikan penilaian terhadap sesuatu.
Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
GPP (Good Pharmacy Practice) adalah pedoman pelayanan kefarmasian yang baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien.
Interaksi obat adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kerja obat.
Konseling obat adalah kegiatan aktif apoteker dalam memberikan penjelasan kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan proses pengobatan.
3
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
25
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia
Over
dosis
adalah
dosis
yang
diberikan
melebihi
dosis
maksimum/memberikan dosis yang berlebihan.
Pasien/Penderita adalah orang sakit/orang yang menjalani pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya.
Pelayanan adalah hal, cara, atau hasil pekerjaan melayani.
Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan.
Penggunaan Obat Rasional adalah penggunaan obat yang menganut pada tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien, tepat waktu dan waspada terhadap efek samping.
Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
PFT/KFT (Panitia Farmasi dan Terapi/Komite Farmasi dan Terapi) adalah suatu panitia/komite di rumah sakit yang merupakan badan
1.5 PENGERTIAN
penasehat dan pelayanan melalui garis organisatoris yang berfungsi sebagai
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah penghubung antar staf medis dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
mengucapkan sumpah yang digunakan berdasarkan undang-undang yang Pustaka adalah jabatan sumber Apoteker, informasi yang untuk melayani berlaku, berhak melakukan pekerjaanbuku kefarmasian diilmiah, Indonesia sebagai persyaratan informasi mencakup teks, majalah monografi, danapoteker.
lain lain. Brosur obat adalah informasi mengenai obat yang berasal dari produsen meliputi
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker
kandungan zat aktif, indikasi, kontraindikasi, aturan pakai, efek samping, perhatian, nomor batch, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi,
yangFarmasi, ditemukan dari hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar Data adalah Ahli bukti Madya Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah kajian atau pendapat. Apoteker. Farmasi/Asisten 4
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
26
BAB II PELAYANAN INFORMASI OBAT
II.1 DEFINISI Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi,
rekomendasi
obat
yang
independen,
akurat,
komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan. Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengolahan, penyajian, dan pengawasan mutu data/informasi obat dan keputusan profesional. Penyediaan informasi obat meliputi tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan pengawasan mutu data/informasi obat.
II.2 TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan kegiatan pelayanan informasi obat adalah :
a.
Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
b.
Menyediakan dan pemberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
c.
Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT.
Manfaat kegiatan pelayanan informasi obat adalah : a.
Meningkatkan citra dan profesionalisme apoteker
b.
Meningkatkan penggunaan obat yang rasional
c.
Mewujudkan bentuk pelayanan/asuhan kefarmasian sebagai tanggung jawab profesi apoteker
III. 3 SASARAN Sasaran kegiatan pelayanan informasi obat adalah a.
Pasien dan atau keluarga pasien
b.
Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, tenaga teknis kefarmasian, dan lain lain.
c.
Pihak lain: manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain. 5
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
27
II. 4 RUANG LINGKUP Ruang lingkup kegiatan pelayanan informasi obat meliputi : II.4.1 Pelayanan Bentuk pelayanan informasi obat yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua : a. Kegiatan pelayanan informasi obat yang bersifat aktif Pelayanan informasi obat yang diberikan tanpa menunggu adanya pertanyaan. Contoh : membuat leaflet, bulletin, poster; melakukan penyuluhan; membantu unit lain dalam mendapatkan informasi obat; mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dalam menyusun dan merevisi formularium; dan lain-lain. b. Kegiatan pelayanan informasi obat yang bersifat pasif Pelayanan informasi obat yang diberikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima baik secara lisan maupun tertulis. Contoh : menjawab pertanyaan pasien dan tenaga kesehatan lain. II.4.2 Pendidikan Pelayanan informasi obat melaksanakan fungsi pendidikan terutama pada rumah sakit yang berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan. Kegiatan pendidikan yang dilakukan antara lain : Mengajar dan membimbing mahasiswa. Memberi pendidikan pada tenaga kesehatan dalam hal informasi obat. Mengkoordinasikan program pendidikan berkelanjutan di bidang informasi obat. Membuat/menyampaikan makalah seminar/simposium II.4.3 Penelitian Kegiatan informasi obat berupa penelitian antara lain : Melakukan penelitian evaluasi penggunaan obat. Melakukan penelitian penggunaan obat baru Melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan penggunaan obat, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pihak lain. Melakukan kegiatan program jaminan mutu. 6
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
28
Dengan adanya keterbatasan waktu, sarana, dana dan sumber-sumber informasi, maka jenis pelayanan yang dilaksanakan Pelayanan Informasi Obat di fasilitas pelayanan kesehatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
II.5 STRUKTUR ORGANISASI DAN SUMBER DAYA MANUSIA Pelayanan informasi obat merupakan bagian integral dari unit pelayanan kefarmasian yang tata organisasinya disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing fasilitas pelayanan kesehatan, baik rumah sakit, puskesmas, apotek, atau klinik. Unit pelayanan informasi obat di rumah sakit dapat berada di bawah stuktur organisasi instalasi farmasi rumah sakit. Pelayanan informasi obat di puskesmas dan klinik dapat berada di bawah struktur/fungsi unit kefarmasian di puskesmas, khususnya fungsi pelayanan kefarmasian. Pelayanan informasi obat di apotek berada di dalam stuktur organisasi apotek di
bawah
fungsi
pelayanan
kefarmasian.
Petugas
penanggungjawab
pengelolaan pelayanan informasi obat harus seorang apoteker. Contoh stuktur keberadaan pelayanan informasi obat dalam stuktur organisasi IFRS, dapat dilihat pada lampiran 1.
II.5.1 Persyaratan Sumber Daya Manusia 1. Mempunyai keterampilan
kemampuan dengan
mengembangkan
mengikuti
pendidikan
pengetahuan
dan
pelatihan
yang
berkelanjutan. 2. Menunjukkan kompetensi profesional dalam penelusuran, penyeleksian dan evaluasi sumber informasi. 3. Mengetahui tentang fasilitas perpustakaan di dalam dan di luar rumah sakit, metodologi penggunaan data elektronik. 4. Memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi obat. 5. Memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
7
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
29
II.5.2 Metode untuk Menentukan Pelayanan Informasi Obat A. Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit 1. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau melalui telepon disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. 2.
Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedangkan di luar jam kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang bertugas jaga.
3. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker dan pada jam kerja, dan tidak ada pelayanan informasi obat di luar jam kerja. 4. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja. 5. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi pada jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat di luar jam kerja. B. Pelayanan Informasi Obat di Puskesmas 1. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker atau tenaga kefarmasian lain secara langsung pada saat jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat di luar jam kerja. 2. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker atau tenaga kefarmasian lain secara langsung pada saat jam kerja, sedangkan pelayanan informasi obat di luar jam kerja dilayani oleh tenaga kefarmasian yang bertugas jaga. C. Pelayanan Informasi Obat di Apotek Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker atau tenaga kefarmasian lain secara langsung pada saat jam kerja atau jam buka apotek dan tidak ada pelayanan informasi obat di luar jam kerja atau jam buka apotek. D. Pelayanan Informasi Obat di Klinik Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker atau tenaga kefarmasian lain secara langsung pada saat jam kerja atau jam buka klinik dan tidak ada pelayanan informasi obat di luar jam kerja atau jam buka klinik.
8
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
30
II.6 SARANA DAN PRASARANA Sarana dan prasarana pelayanan informasi obat disesuaikan dengan kondisi fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelayanan informasi obat meliputi ruangan dan perlengkapan. Kebutuhan akan ruangan dan perlengkapan sangat bergantung dengan jenis penyediaan layanan informasi obat dan sumber daya yang dimiliki oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk pelayanan informasi obat di rumah sakit, dimana pelayanan informasi obat dilayani oleh suatu unit khusus pelayanan informasi obat (Unit PIO), sebaiknya disediakan ruangan khusus yang memadai untuk mempermudah pelayanan informasi obat. Ruangan khusus untuk pelayanan informasi obat sebaiknya memenuhi kriteria berikut : 1. memiliki luas yang cukup 2. memiliki penerangan dan sirkulasi udara yang baik 3. letaknya berdekatan dengan tempat pengambilan obat (apotek) agar mudah diakses oleh pasien dan tenaga kesehatan. 4. memiliki perlengkapan yang memadai, seperti kepustakaan, komputer, meja, dan kursi. Secara ideal, ruangan yang dibutuhkan untuk pusat pelayanan informasi obat di rumah sakit sesuai dengan Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik adalah : 200 tempat tidur
: 20 m2
400-600 tempat tidur
: 40 m2
Lebih dari 1.000 tempat tidur
: 70 m2
Apabila tidak terdapat sarana khusus, pelaksanaan pelayanan informasi obat dapat menggunakan ruangan instalasi farmasi rumah sakit beserta perangkat pendukungnya. Untuk pelayanan informasi obat di puskesmas, khususnya puskesmas kecamatan, sebaiknya disediakan ruangan khusus untuk pelayanan informasi obat yang terletak dekat atau bersebelahan dengan apotek. Apabila puskesmas memiliki keterbatasan ruang, maka pelayanan informasi obat dapat dilaksanakan oleh apotek dengan memanfaatkan ruangan yang ada.
9
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
31
Pelayanan informasi obat di apotek yang memiliki keterbatasan sarana dapat dilaksanakan di ruangan yang ada. Selain itu, pelayanan informasi obat di apotek juga dapat dilakukan di konter penyerahan obat. Pelayanan informasi obat di klinik sebaiknya dilakukan di ruangan khusus yang berdekatan dengan tempat penyerahan obat. Apabila tidak tersedia sarana khusus, maka pelayanan informasi obat dapat dilakukan di ruang yang tersedia. Perlengkapan dan peralatan yang memadai juga harus tersedia untuk mendukung
kegiatan
pelayanan
informasi
obat.
Jenis
dan
jumlah
perlengkapan bervariasi tergantung ketersediaan dan perkiraan kebutuhan akan
perlengkapan
dalam
pelaksanaan
pelayanan
informasi
obat
Perlengkapan dan peralatan yang ideal untuk mendukung pelayanan informasi obat antara lain : a.
Perpustakaan/kepustakaan berisi buku-buku penting yang diperlukan
b.
Peralatan meja dan kursi
c.
Lemari dan rak buku
d.
Komputer dan printer
e.
Telepon dan faksimili
f.
Jaringan internet
g.
Kotak penyimpanan dokumen/arsip
10
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
32
BAB III KEGIATAN PELAYANAN INFORMASI OBAT
III.1 PELAYANAN Bentuk pelayanan informasi obat yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua : a. Kegiatan pelayanan informasi obat yang bersifat aktif Pelayanan informasi obat yang diberikan tanpa menunggu adanya pertanyaan. Contoh : membuat leaflet, buletin, poster; melakukan penyuluhan; membantu unit lain dalam mendapatkan informasi obat; mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dalam menyusun dan merevisi formularium; dan lain-lain. b. Kegiatan pelayanan informasi obat yang bersifat pasif Pelayanan informasi obat yang diberikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima baik secara lisan maupun tertulis. Contoh : menjawab pertanyaan pasien dan tenaga kesehatan lain.
III.2 PENDIDIKAN Kegiatan
pelayanan
informasi
obat
berupa
pendidikan dapat
dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan melaksanakan kegiatan praktek kerja atau magang bagi mahasiswa apoteker atau mahasiswa farmasi. Kegiatan tersebut dapat terselenggara di rumah sakit pendidikan, puskesmas, apotek, atau klinik yang menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi ataupun akademi farmasi. Beberapa kegiatan pendidikan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Memberikan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker, asisten apoteker, perawat, mahasiswa, atau profesi kesehatan lainnya. 2. Menyajikan informasi terbaru mengenai obat dan atau penggunaan obat dalam bentuk seminar, simposium, dan lain-lain. 3. Membimbing apoteker magang/mahasiswa yang sedang praktek kerja lapangan mengenai keterampilan dalam pelayanan informasi obat
11
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
33
III.3 PENELITIAN Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penelitian yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan antara lain penelitian untuk evaluasi penggunaan obat dan studi penggunaan obat. Penelitian ini dilakukan untuk menjamin peresepan dan penggunaan obat yang rasional, aman, dan terjangkau.
III.4 MENJAWAB PERTANYAAN Menjawab pertanyaan mengenai obat dan penggunaannya merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat disampaikan secara verbal (melalui tatap muka langsung, telepon) atau tertulis (surat melalui pos, faksimili atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang sederhana sampai dengan yang bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan penelusuran literatur serta evaluasi secara seksama. Oleh sebab itu, setiap pertanyaan yang masuk hendaknya dilakukan penilaian dan penentuan prioritas untuk memberikan jawaban. Apoteker sebagai petugas pelayanan informasi obat dalam menjawab pertanyaan harus mengikuti langkahlangkah baku. Langkah-langkah dalam menjawab pertanyaan untuk pelayanan informasi obat : 1.
Menerima pertanyaan
2.
Mengidentifikasi penanya
3.
Menggali informasi latar belakang pertanyaan
4.
Mengkualifikasikan pertanyaan
5.
Menelusuri sumber informasi
6.
Mengevaluasi hasil penelusuran
7.
Merumuskan jawaban
8.
Menjawab pertanyaan
9.
Medokumentasikan jawaban
10. Melakukan tindak lanjut
12
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
34
III.5 PROSEDUR TETAP DAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL Setiap fasilitas pelayanan kesehatan hendaknya menyusun suatu prosedur tetap atau standar prosedur operasional dalam kegiatan pelayanan informasi obat. Prosedur tetap akan membuat kegiatan pelayanan informasi obat berjalan lebih baik dan jelas. Prosedur tetap pelayanan informasi obat minimal yang dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain sebagai berikut : 1.
Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang berisi informasi obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien
2.
Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung, dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui penelusuran literatur secara sistematis untuk memberikan informasi yang dibutuhkan.
3.
Memberikan informasi obat yang diperlukan pasien pada saat penyerahan obat.
4.
Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis. Standar prosedur operasional perlu disusun sebagai standar dalam
kegiatan pelayanan kefarmasian yang baik. Standar prosedur operasional pelayanan informasi obat disusun oleh apoteker sebagai petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan pelayanan informasi obat yang dikerjakan oleh apoteker sendiri atau oleh tenaga teknis kefarmasian. Standar prosedur operasional pelayanan informasi obat perlu ditinjau secara berkala untuk dapat disesuaikan dan disempurnakan. Contoh standar prosedur operasional pelayanan informasi obat dapat dilihat pada lampiran 2.
13
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
35
BAB IV SUMBER INFORMASI
IV.1 MACAM DAN JENIS SUMBER INFORMASI Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien dan tenaga kesehatan. Untuk dapat memberikan pelayanan informasi obat, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, apotek, atau klinik perlu mengakses lingkungan di sekitarnya termasuk ketersediaan berbagai sumber daya. Sumber daya tersebut antara lain : a. Tenaga kesehatan (Dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain di rumah sakit) b. Pustaka (majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan Farmakope) c. Sarana (Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet dan perpustakaan) d. Prasarana (Industri farmasi, Badan POM, Pusat Informasi Obat, Pendidikan tinggi farmasi, Organisasi profesi) Semua sumber informasi yang digunakan diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan tingkat danSTANDAR tipe pelayanan. Pustaka digolongkan dalam 3 III.5 PROSEDUR TETAP DAN PROSEDUR OPERASIONAL (tiga)fasilitas kategori, pelayanan yaitu : Setiap kesehatan hendaknya menyusun suatu prosedur tetap a. Pustaka primer
atau standar prosedur operasional dalam kegiatan pelayanan informasi obat. Prosedur Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang
tetap akan membuat kegiatan pelayanan informasi obat berjalan lebih baik dan jelas. terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal
Prosedur tetap pelayanan informasi obatantara minimal dapathasil dilakukan pada fasilitas ilmiah. Contoh pustaka primer, lain yang : laporan penelitian, pelayanan kesehatan, laporan kasus, antara studi lain evaluatif, sebagai dan laporan berikutdeskriptif. : b. Pustaka sekunder 1. Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang berisi Berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak dari
informasi obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien
berbagai macam artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat
2. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung, membantu dalam proses pencarian informasi yang terdapat dalam sumber
dengan informasi jelas dan mudah dimengerti, dandata bijaksana melalui primer. Sumber informasi initidak dibuat bias, dalam etis berbagai base, penelusuran sistematis untuk memberikan yang contoh:literatur medline secara yang berisi abstrak-abstrak tentang terapi informasi obat, International Pharmaceutical Abstract yang berisi abstrak penelitian dibutuhkan. kefarmasian.
3. Memberikan informasi obat yang diperlukan pasien pada saat penyerahan obat. 4. Mendokumentasikan setiap kegiatan 14 pelayanan informasi obat secara sistematis. c.
Pustaka tersier
Pustaka tersier berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami, seperti IONI, ISO, DOEN, DOI, MIMS, Buku Saku Pelayanan Kefarmasian, dan lain-lain.
36
c. Pustaka tersier Pustaka tersier berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami, seperti IONI, ISO, DOEN, DOI, MIMS, Buku Saku Pelayanan Kefarmasian, dan lain-lain. Informasi obat juga dapat diperoleh dari setiap kemasan atau brosur obat yang berisi nama dagang obat jadi, komposisi, bobot, isi atau jumlah tiap wadah, dosis pemakaian, cara pemakaian, indikasi atau khasiat atau kegunaan, kontra indikasi, tanggal kadaluarsa, nomor ijin edar/nomor registrasi, nomor kode produksi, serta nama dan alamat industri.
IV.2 PENELUSURAN INFORMASI DAN PUSTAKA Informasi yang dibutuhkan dalam pelayanan informasi obat dapat diperoleh melalui penelusuran literatur dan pustaka yang ada. Penelusuran literatur tersebut adalah untuk mengarahkan pencarian informasi/data agar lebih akurat, komplit dan terpadu. Pencarian yang ideal harus dimulai dari sumber-sumber yang umum untuk mendapatkan konteks yang cukup sebelum strategi yang lebih khusus digunakan untuk mencari data yang lebih detail. Strategi pencarian umum ke khusus berarti berpindah dari pustaka tersier ke pustaka sekunder kemudian ke pustaka primer.
IV.3 EVALUASI SUMBER INFORMASI IV.3.1 Evaluasi Pustaka Primer Untuk mengevaluasi pustaka primer tidak mudah meskipun hasil suatu studi atau makalah penelitian sudah absah dan telah dipublikasikan. Hal hal yang harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi terhadap pustaka primer adalah sebagai berikut: 1.
Bagian bahan dan metode adalah bagian paling penting dari suatu artikel yang menguraikan cara peneliti melakukan studi tersebut.
2. Sampel mewakili populasi yang hasilnya akan dapat diterapkan. 15
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
37
3. Desain studi adalah bagian berikut setelah seleksi bahan dan metode yang memerlukan penelitian yang seksama. Ada tiga unsur indikator untuk desain studi yang baik: Kendali memberi suatu dasar untuk pembanding, yang paling umum adalah kelompok subyek yang menerima placebo atau pengobatan standar yang lain (kendali aktif). Subyek juga dapat berlaku sebagai kendali mereka sendiri, jika mereka menerima lebih dari satu regimen dosis dibawah kondisi studi. Cara buta dan penetapan secara acak adalah dua teknik yang digunakan mengurangi bias pada peneliti dan subyek.
IV.3.2 Evaluasi Pustaka Sekunder Pustaka sekunder terdiri atas dua jenis, yaitu pustaka sekunder berisi pengindeksan (kepustakaan) dan pustaka sekunder berisi abstrak yang berguna sebagai pemandu ke pustaka primer. Sebagai pertimbangan dalam memilih sumber pustaka sekunder, antara lain: 1. Waktu: adalah jarak waktu artikel itu diterbitkan dalam majalah ilmiah dan dibuat abstrak atau indeks. 2. Jurnal pustaka cakupan: jumlah pustaka ilmiah yang mendukung tiap pustaka sekunder merupakan pertimbangan lain dalam pemilihan pustaka tersebut. 3. Selektivitas pengindeksan/pengabstrakan: bentuk dari sistem (cetak standar, mikrofis atau terkomputerisasi) harus dipertimbangkan, dikaitkan dengan keperluan dan kebutuhan pengguna
IV.3.3 Evaluasi Pustaka Tersier Pustaka tersier banyak tersedia sebagai sumber informasi medik dan obat. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sumber pustaka tersier : 1. Penulis dan atau editor: editor dan penulis harus mempunyai keahlian dan kualifikasi menulis tentang suatu judul atau bab tertentu dari suatu buku.
16
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
38
2.
Tanggal publikasi juga harus diperhatikanbersama sama dengan edisi: tanggal publikasi dari pustaka tersier terutama buku teks harus merupakan tahun terbaru.
3. Penerbit: penerbit yang mempunyai reputasi tinggi. 4. Daftar pustaka: harus mengandung daftar rujukan pendukung sesuai judul buku. 5. Format pustaka tersier harus didesain untuk mempermudah penggunaan
17
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
39
BAB V DOKUMENTASI
Semua kegiatan pelayanan informasi obat harus didokumentasikan. Pendokumentasian sangat penting karena dapat membantu menelusuri kembali data informasi yang dibutuhkan dalam waktu relatif lebih singkat. Manfaat dokumentasi adalah : 1. Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat. 2. Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa. 3. Memprioritaskan penyediaan sumber informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan. 4. Media pelatihan tenaga farmasi. 5. Basis data pencapaian kinerja, penelitian, analisis, evaluasi dan perencanaan layanan. Dokumentasi pelayanan informasi obat harus memuat : 1. tanggal dan waktu pertanyaan dimasukkan, 2. tanggal dan waktu jawaban diberikan, 3. metode penyampaian jawaban, 4. pertanyaan yang diajukan, 5. orang yang meminta jawaban, 6. orang yang menjawab, 7. kontak personal untuk tambahan informasi, 8. lama penelusuran informasi, 9. referensi/sumber informasi yang digunakan, dan 10. jawaban terhadap pertanyaan atau permasalahan yang diajukan Contoh lembar dokumentasi pelayanan informasi obat dapat dilihat pada lampiran 3.
18
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
40
BAB VI EVALUASI
Evaluasi kegiatan harus dilakukan secara berkala, sebagai bentuk pemantauan dan tindak lanjut dari pelayanan informasi obat yang telah dilakukan. Hasil evaluasi dapat dijadikan alat untuk menilai/mengukur keberhasilan pelayanan informasi obat dengan cara membandingkan tingkat keberhasilan
terapi/pengobatan
sebelum
dan
sesudah
dilaksanakan
pelayanan informasi obat. Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari awal dan mendokumentasikan pertanyaan– pertanyaan yang diajukan, serta jawaban dan pelayanan yang diberikan kemudian dibuat laporan tahunan. Laporan ini dievaluasi dan berguna untuk memberikan masukan kepada pimpinan dalam membuat kebijakan di waktu mendatang. Evaluasi kegiatan pelayanan informasi obat juga dapat dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner atau bertanya langsung untuk mengetahui tingkat kepuasan penerima jasa pelayanan informasi obat, yaitu pihak yang bertanya dan membutuhkan informasi seperti dokter, perawat, dokter gigi, pasien, panitia terapi, atau pihak manajemen, terhadap pelayanan informasi obat yang telah diberikan. Untuk mengukur tingkat keberhasilan tersebut harus ada indikator yang digunakan. Indikator tersebut bersifat dapat diukur dan valid (tidak cacat). Indikator keberhasilan pelayanan informasi obat mengarah kepada pencapaian penggunaan obat secara rasional di rumah sakit, puskemas, apotek, atau klinik yang bersangkutan. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi obat antara lain : a.
Meningkatnya jumlah pertanyaan yang diajukan.
b.
Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
c.
Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan (seperti kecepatan pemberian jawaban/informasi dan kualitas informasi yang diberikan).
d.
Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leaflet, buletin, ceramah).
e.
Meningkatnya pertanyaan berdasar jenis pertanyaan dan tingkat 19 kesulitan.
f.
Menurunnya keluhan atas pelayanan. Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
41
Lampiran 1. Contoh keberadaan pelayanan informasi obat dalam struktur organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit .
20
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
42
Lampiran 2. Contoh standar prosedur operasional pelayanan informasi obat (berdasarkan Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik)
21
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013
43
Lampiran 3. Lembar dokumentasi pelayanan informasi obat
Lampiran 5. Lembar dokumentasi pelayanan informasi obat
22
Laporan praktek…., Khairul Basyar, FF, 2013