UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN ANTARA PELAKU USAHA FARMASI LOKAL DENGAN PELAKU USAHA ASING BERBENTUK HOLDING COMPANY (Studi Pada Supply Agreement antara PT Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC)
SKRIPSI
ADRYANOV HUTABALIAN 0706276652
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI REGULER KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK 2011
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERJANJIAN ANTARA PELAKU USAHA FARMASI LOKAL DENGAN PELAKU USAHA ASING BERBENTUK HOLDING COMPANY (Studi Pada Supply Agreement antara PT Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi prasyarat sebagai Sarjana Hukum
ADRYANOV HUTABALIAN 0706276652
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI REGULER KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK 2011
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera, Pertama-tama Penulis mengucapkan syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Jesus Kristus yang telah menganugrahkan penulis dengan pengetahuan yang tidak terbatas ini dan memberikan kesehatan kepada Penulis sehingga Penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semoga hasil pemikiran Penulis yang ada dalam karya tulis ilmiah ini mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum kegiatan ekonomi pada khususnya. Saat ini, hampir seluruh umat manusia melakukan kegiatan bisnis dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan perkembangan Jaman yang semakin maju, maka kebutuhan akan obat juga semakin meningkat sehingga diperlukan ketersediaan obat yang memadai mengingat penyakit-penyakit juga semakin bertambah banyak. Indonesia sebagai negara berkembang tergolong kedalam negara dengan tingkat produksi yang rendah, sehingga sangat tergantung kepada pasokan bahan baku dari negara lain melalui kerjasama bisnis. Ternyata kerjasama binis tersebut tidak hanya memberikan pengaruh positif kepada Indonesia, melainkan juga kontribusi terhadap hal-hal yang negatif yang tentu saja merugikan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Harga yang semakin tinggi, kelangkaan obat generik, dan kelangkaan obat efektif menjadi masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat kecil.
Tidak hanya pihak konsumen yang
dirugikan, pihak produsen asli Indonesia sendiri menjadi kalah bersaing dengan perusahaan-peruhaan asing yang bekerjasama dengan perusahaan Indonesia sendiri, dan bahkan bisa merugikan perekonomian negara Indonesia. Hal inilah yang menjadi motivasi bagi Penulis untuk menyusun sebuah karya tulis yang diharapkan mampu memberikan pengetahuan terhadap kegiatan bisnis itu sendiri agar setiap kerjasama dengan pelaku usaha asing tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata, tetapi juga mensejahterakan masyarakat melalui obat efektif dan pengusaha melalui persaingan yang sehat. Karena itu, perlu kiranya agar
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
kegiatan bisnis dengan pelaku usaha asing dikaji lebih dalam mengenai dampaknya kepada perekonomian Indonesia. Tidak mudah bagi Penulis untuk menyusun karya tulis ini karena ini merupakan pengalaman pertama Penulis menyusun suatu karya ilmu pengetahuan. Selama menulis karya ini, penulis beberapa kali mendapatkan masalah, namun berkat kesabaran diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya tulisan ini dapat saya selesaikan dengan baik. Berbagai macam cara telah Penulis lakukan mulai dari melakukan upaya “ronda” setiap malam, hingga menarik diri dari pergaulan masyarakat dengan pergi ke tampat alam terbuka hanya untuk mencari secercah inspirasi bagi penulisan karya tulis ini. Namun tidak sedikit pula inspirasi tersebut timbul dari bantuan yang diberikan oleh beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis hendak menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak R. Hutabalian dan Omak N. Br Gultom yang telah dengan sabar mendukung langkah Penulis untuk menempuh dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tanpa doa maupun bantuan materiil dari bapak dan ibu, tentu saja Penulis tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini. Kepada kakak, abang maupun adik Penulis, Peter Jones Hutabalian dan Johanna Enna Junita Hutabalian, Marudut Hamonangan Hutabalian, dan Irwan Devo Hutabalian terima kasih karena telah memberikan motivasi kepada Penulis. 2. Kepada Ibu Antarin Prasigit yang telah menjadi Ibu kedua saya di tanah perantauan ini. Banyak motivasi yang telah saya terima, dan saya yakin itu semua karena kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Setiap kali bertemu dengan Ibu, saya merasa tenang walaupun ada beberapa masalah yang saya hadapi selama kuliah. Dan setiap mendengar motivasi dari ibu, saya benar-benar termotivasi untuk melakukan yang terbaik. 3. Kepada seluruh dosen FHUI yang pernah mengajar Penulis dalam mata kuliah yang Penulis ikuti maupun mata kuliah yang Penulis “ambil secara ulang”, terutama kepada Bang Dita Wiradiputra yang telah dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan karya
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
ini. Walaupun saya pernah melakukan perbuatan yang “melanggar hukum”, abang selalu memaafkan saya, dan selalu setia membimbing saya. 4. Kepada semua keluarga baik keluarga dari mamak maupun keluarga dari bapak, terutama Inanguda/Amanguda Agnes Pardede terimakasih sebanyak-banyak karena selalu menjadi tempat saya mengadu selama di tanah perantauan ini, baik ketika saya sakit maupun ketika ‘susah’. Begitu juga, saudara-saudara saya yang tinggal di Sipira Dolok, terimakasih atas tamiang dan poda-nya kepada saya. Horas! 5. Kepada Lae Roni Ansari Situmorang, Lae Nisran Simamora, Lae Nardo Rafael Silalai, Laeku Sandoro Purba, Lae Erwin Bernard Pasaribu, Lae Josey Barus, Lae Johannes Sinaga, Bung Miftah Farid Hanggawan, Lae Togar Tandjung, Lae Ferdi, dan Lae Pulung (nama lengkap lupa) yang telah menjadi sahabat-sahabat seperantauan di Jawa ini. Susah senang kita hadapi rame-rame! 6. Teman-teman se Asrama UI, Adetya Nababan, Andigan, Grace Hutapea, Josey, Claudia, Winda Jayanthi Saragi, Krisminda Purba, Joan Xaveria, dan teman-teman yang lainnya yang namanya tidak tersebutkan, terimakasih karena telah menjadi teman untuk lebih mengenal Jakarta ini. 7. Teman-teman Law Student Association for Legal Practice (La SALe) yang telah memberikan pengalaman dan kesempatan bagi Penulis untuk mejelajah dunia litigasi, meskipun dari tiga pertandingan yang pernah Penulis ikuti hanya sekali mendapatkan juara satu, Penulis sangat banyak belajar untuk menjadi seorang yuris yang profesional dan memiliki kepribadian; 8. Kepada seluruh penulis buku, jurnal, dan artikel yang tanpa karyakaryanya Penulis tentu akan kesulitan untuk mendapatkan bahanbahan. Kepada petugas Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan FHUI yang telah membantu Penulis dalam menelusuri bahan-bahan untuk skripsi ini;
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
9. Kepada Wincen, terimakasih banyak telah memberikan saya bahan kajian yang dilakukan oleh para ahli sebagai bahan skripsi saya. 10. Teman-teman angkatan 2007 FHUI, yang namanya tidak tersebutkan, terimakasih telah bersama-sama kita lewati empat tahun bersama baik dalam tugas-tugas kuliah, maupun dalam kegiatan-kegiatan lain di kampus kita ini, walaupun telah ada yang sudah duluan lulus, dan yang belum lulus semester ini. 11. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis selama ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu (hal ini dikarenakan sindrom “lupa nama orang”). Penulis mengaharapkan agar karya tulis ini dijadikan bahan pembelajaran yang sangat berarti bagi seluruh umat manusia yang cinta akan ilmu pengetahuan. Ambilah hal-hal yang baik dari karya tulis ini, belajarlah dari hal-hal yang tidak baik dari karya tulis ini. Horas! Horas! Horas! Selamat membaca. Depok, Juni 2011 Penulis,
(Adryanov Hutabalian)
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
ABSTRAK
Nama : Program Studi : Judul :
Adryanov Hutabalian Ilmu Hukum Tinjauan Hukum Persaingan Usaha Terhadap Perjanjian Antara Pelaku Usaha Farmasi Lokal Dengan Pelaku Usaha Asing Berbentuk Holding Company.
Perjanjian pemasokan bahan baku farmasi antara pelaku usaha dalam negeri dengan pelaku usaha asing dilatarbelakangi oleh minimumnya industri Penelitian dan Pengembangan (R & D), di mana Indonesia membutuhkan pasokan bahan baku mencapai angka 70%. Untuk mengatasi masalah tersebut, pelaku usaha lokal harus bekerjasama dengan pelaku usaha asing. Persaingan usaha di industri farmasi sangat rentan diakibatkan banyaknya industri-industri farmasi baik industri Dalam Negeri (DN), maupun industri Penanaman Modal Asing (PMA). Tidak hanya itu, perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia juga menjadi pesaing berat kepada perusahaan lokal. Ketergantungan akan eksistensi perusahaan asing mengakibatkan hilangnya kekuatan perusahaan DN untuk bersaing. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, diperoleh kesimpulan bahwa suatu perjanjian dikatakan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan monopoli, apabila perjanjian tersebut mengandung klausula yang menyatakan adanya keterbukaan informasi perusahaaan baik yang sifatnya confidential maupun tidak yang digunakan sebagai alat untuk melakukan pengaturan produksi diantara para pihak. Akibat dari pengaturan produksi tersebut terhadap persaingan usaha adalah adanya kenaikan harga terhadap produk yang sama atau sejenis (relevant market). Perusahaan asing untuk dapat melakukan kegiatan di Indonesia pada dasarnya mengembangkan usahanya dengan membuka anak perusahaan sebagai alat untuk memasarkan produk asing tersebut. Sedangkan untuk melihat pertanggung jawaban pelaku usaha asing. Kedudukan holding company asing dalam UU Persaingan Usaha tidak diatur, sehingga diperlukan penerapan doktrin asing yang disebut dengan single economic entitiy doctrin (kesatuan entitas) yang meyatakan bahwa antara perusahaan holding, subsidiary company, dan anak perusahaan adalah satu kesatuan ekonomi sehingga kelompok usaha tersebut harus bertanggung jawab secara bersama-sama.
Kata Kunci: Perjanjian, Holding Company, Pengaturan Produksi.
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
ABSTRACT Name : Study Program: Judul :
Adryanov Hutabalian Ilmu Hukum Analysis Competition Law for Agreement Between Local Pharmaceutical Business Form Holding Company With Foreign Business.
Agreement between the suppliers of pharmaceutical raw materials business in the country with foreign businessmen is backed by the industry minimum R & D, in which Indonesia’s needs of supply of raw materials reached 70%. To overcome this problem, local businessmen should cooperate with foreign companies through raw materials supply agreement. Competition in the pharmaceutical industry is particularly vulnerable because many of the industry from both DN pharmaceutical industry, as well as PMA industry. Foreign companies who are doing business in Indonesia also has become a serious competitor to local companies. The dependency of the presence of foreign companies resulted in the loss of electrical company to compete DN. By using a normative juridical research methods, it is concluded that the agreement is said to result in unfair competition and monopoly, if it contains a clause stating whether the disclosure of company information is confidential and not used as a tool to create a production agreement between the parties. The result of setting the competition of production is the increased price on the same or similar products (relevant market). In order to be able to perform activities in Indonesia, foreign companies basically need to expand its business by opening a subsidiary as a means to market foreign products. Meanwhile, the statuses of foreign companies are not regulated Anti Competition Law. Thus, it requires the application of foreign doctrine called single economy entity which is said that between parent companies, subsidiaries, and its subsidiaries are a single economic entity that business groups must take responsibility together.
Keywords: Agreements, Holding Company, Production Arrangement.
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... KATA PENGANTAR...................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH........................ ABSTRAK........................................................................................................ DAFTAR ISI....................................................................................................
i ii iii iv vi vii ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Latar Belakang ......................................................................... Permasalahan............................................................................ Tujuan Penelitian...................................................................... Definisi Operasional................................................................. Metode Penelitian..................................................................... Sistematika Penulisan...............................................................
1 11 11 12 12 18
BAB 2 TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERSAINGAN INDUSTRI FARMASI DAN PERJANJIAN YANG DILARANG OLEH UU PERSAINGAN USAHA 2.1 Industri Farmasi Global ............................................................. 21 2.1.1 Produksi Farmasi.............................................................. 16 2.1.2 Distribusi dan Penjualan Farmasi Indonesia. ................... 19 2.1.3 Konsentrasi Pasar Farmasi ............................................... 22 2.2. Gambaran Umum Persaingan Pelaku Usaha Farmasi ............... 30 2.2.1. Pengaturan Mengenai Industri Farmasi dan Peraturan Perundang-Undangan Terkait ......................................... 31 2.2.2. Perbandingan Harga Obat Nasional dan Internasional.... 34 2.2.3. Karakteristik Pasar Farmasi............................................. 36 2.2.4 Persaingan di Pasar Farmasi ............................................. 37 2.3. Tinjauan Hukum terhadap Perjanjian dengan Pelaku Usaha Asing dalam UU Persaingan Usaha ..................................................... 40 2.3.1. Sejarah lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 .......................... 40 2.3.2 Perjanjian yang Dilarang .................................................. 49 2.3.3. Penerapan Prinsip Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam UU Persaingan Usah ....................................................... 67 2.3.4 Penerapan Alat bukti baik langsung (direct evidence) dan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) Berdasarkan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 ................................ 71
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB 3
PERTANGGUNGJAWABAN HOLDING COMPANY ASING YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA DI INDONESIA 3.1 Tinjauan Hukum Perusahaan Kelompok dalam bentuk Holding Company.................................................................................... 75 3.1.1. Pelaku Usaha dalam UU Persaigan Usaha........................ 75 3.1.2 Konsep Grup Perusahaan dan Holding Company.............. 76 3.1.3 Status Hukum dan Pertanggung-Jawaban dari anak Perusahaan dalam suatu kelompok...................................................... 83 3.2 Pengertian Unsur “Melakukan Kegiatan usaha di Wilayah Republik Indonesia” ................................................................................. 88 3.3 Penerapan Prinsip Wilayah terhadap Pelaku Usaha Asing dalam UU Persaingan Usaha....................................................................... 95
BAB 4 ANALISIS KASUS SUPPLY AGREEMENT ANTARA PT DEXA MEDICA DAN PFIZER OVERSEAS LLC YANG MELIBATKAN HOLDING COMPANY ASING.................................................... 4.1 Pengendalian Holding Company terhadap PT Pfizer Indonesia. 103 4.2 Supply Agreement antara PT Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC............................................................................................ 107 4.3 Analisis Kasus Berdasarkan Pasal 16 UU Persaingan Usaha ..... 119 4.3.1. Penerapan UU Persaingan Usaha terhadap Kelompok Usaha Pfizer................................................................................. 119 4.3.2. Analisis Dugaan Kartel dalam Supply Agreement ............ 120 4.3.3. Pembuktian Supply Agreement Berdasarkan Perkom No. 4 tahun 2010 ........................................................................ 124 4.3.4. Pertanggung-jawaban atas Pelanggaran Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 4.4. Pendapat Pengusaha terhadap Supply Agreement...................... 133 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 136 5.2 Saran .......................................................................................... 137 REFERENSI
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Secara positif, industri farmasi sangat layak dipuji karena sudah lama mengembangkan banyak obat yang baru, efektif, dan penting bagi manusia di seluruh dunia. Tetapi, di negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak terjadi kelangkaan (scarcity)1 dimana pasien masih mengalami kesulitan dalam memperoleh obat efektif dan yang sangat diperlukan. Kelangkaan tersebut disebabkan negara berkembang belum mampu memenuhi kebutuhan obat di negaranya sehingga memerlukan kerjasama dengan negara-negara maju dan hal tersebut mengakibatkan ketergantungan terhadap industri farmasi negara maju.2 Negara Indonesia untuk memenuhi kebutuhan obatnya memerlukan 90% bahan baku, artinya Indonesia hanya mampu memproduksi bahan baku sebanyak 10%.3 Tentunnya, hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara negara maju dengan negara berkembang tersebut.4 Untuk
1
Keterbatasan menyebabkan banyak hal terasa langka (scarce). Kelangkaan mencakup kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka kalau jumlah yang tersedia sesuai dengan kebutuhan, berkualitas baik, tersedia dimana saja dan kapan saja. Udara untuk pernafasan manusia, untuk daerah yang masih hijau belum langka, sebab tersedia dalam jumlah yang banyak, tersedia dimana saja dan kapan saja. Karena itulah, tidak dibutuhkan biaya sepeser pun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda halnya dengan mereka yang tinggal di daerah industri, dimana udara yang bersih tidak tersedia dalam jumlah yang banyak dan berkualitas baik, kapan saja dan dimana saja. Untuk itu, untuk menikmati udara bersih diperlukan biaya. Lihat Andi Fahmi, el.al, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks & Konteks, (Jakarta: GTZ GmbH, 2009), hlm. 22. 2
James J. Spillance, S.J, Ekonomi Farmasi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 2011), hlm. 187. 3
“Majalah Farmasi Indonesia, 18(4), 199 – 209, 2007”<,http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/6.18-4-2007 sampurno.pdf>, diunduh pada 25 Mei 2011. 4 Ada dua alasan dan konsekuensi besar dari ketidakseimbangan antara negara maju dengan negara berkembang tersebut, yiatu: 1. Kemampuan memperoleh obat (acces) di negara berkembang sangat terbatas karena: - Harga terlalu tinggi, di atas rata-rata daya beli masyarakat dan di luar kapasitas membayar pasien;
1
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
mengatasi masalah tersebut, diperlukan strategi-strategi, baik di negara yang sedang berkembang itu sendiri maupun di organisasi kesehatan multinasional. Sebenarnya negara berkembang dapat berkolaborasi atau bekerjasama dengan negara-negara maju melalui industri farmasi masing-masing yaitu dengan mengkombinasikan usaha-usaha produksi obat atau pembelian obat yang diimpor baik melalui pendirian Perusahaan Milik Asing (PMA), joint venture, maupun dengan perjanjian lisensi.5 Pada tahun 2007, terdapat 206 produsen obat-obatan di Indonesia termasuk 35 perusahaan multi-nasional. Menurut Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI)6, jumlah produsen yang banyak itu megakibatkan persaingan yang sangat tajam.7 Hal in terjadi semakin rentan lagi karena secara umum industri farmasi Indonesia tidak didukung oleh industri penelitian dasar (basic research industry). Sebenarnya, persaingan dalam dunia bisnis sendiri pada hakekatnya baik dan wajar terjadi namun, bila persaingan itu sudah mengarah pada satu keadaan dimana pelaku bisnis yang satu berusaha “menyatukan” pelaku bisnis lainnya dengan perbuatan melanggar hukum, serta melanggar norma-norma sopan santun dalam lalu lintas bisnis, maka persaingan itu menjadi persaingan yang melawan hukum atau bisa disebut sebagai persaingan curang.8 Dalam prakteknya, pelaku usaha farmasi besar -
Produsen terbesar industri farmasi belum berminat untuk menanamkan modal dan mengalokasikan sumber daya penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan obat baru yang cocok dan diperluas supaya pasien di negara berkembang dapat sembuh dari penyakit 2. Banyak pasien di negara berkembang yang membutuhkan obat efektif, tetapi tidak membelinya karena tingkat pendapatannya terlalu rendah. Ironis adalah bahwa sering obat-obat yang sebetulnya tidak cocok untuk praktik-praktik klinis efektif di negara sedang berkembang diekspor ke sana dari negara maju. Lihat James J. Spillance, Ekonomi Farmasi, hlm.188. 5
Ibid.
6
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia merupakan wadah komunikasi dan konsultasi antar pengusaha farmasi dan antar pengusaha dengan pemerintah dan juga pihak-pihak lain yang terkait mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah produksi obat, distribusi obat dan pelayanan obat. Lihat, http://gpfarmasi.wordpress.com/about-us/, diunduh pada 25 Mei 2011. 7
Ibid.
8
Kumhal Djamil, Peran Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang, Praktek Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1993), hlm. 74.
2
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
dan transnasional dapat menguasai kegiatan ekonomi domestik melalui perilaku anti persaingan, seperti kartel9, penyalahgunaan posisi dominan,10 merger/take over, dan lain sebagainya. Selain itu, kerjasama antara pelaku usaha farmasi tidak jarang menjadi penyebab terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat atau yang disebut dengan kartel. Kartel merupakan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pesaingnya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara berlebihan.11 Kartel mengakibatkan hilangnya independensi dari pelaku usaha. Independensi ideal dalam persaingan usaha adalah kondisi pelaku usaha tidak dapat memastikan apa yang akan dilakukan oleh pesaing di pasar, semakin pelaku usaha dapat memastikan apa yang akan dilakukan oleh pesaing atau bahkan mengkoordinasi tindakan maka indenpendensi pelaku usaha menjadi berkurang bahkan hilang.12 Dalam pembatasan atau pengaturan produksi ini, para pelaku usaha yang saling bersaing mengatur jumlah produksi masing-masing dari mereka sehingga 9
Kartel adalah Persekutuan antara perusahaan industri yang menghasilkan komoditas yang sama (swasta atau BUMN), untuk mengatur pembelian, produksi atau pemasaran komoditas bersangkutan. Sering disertai dengan penetapan kuota produksi dan investasi. Jika persekutuan tersebut menghasilkan kekuatan monopoli, maka ia akan berusaha menaikan harga dan membatasi pasokan untuk memperoleh laba maksimal. Dikutip dari harian KOMPAS, tanggal 23 Agustus 1997, hal 17. 10
Pengertian posisi dominan dikemukakan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan clalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barangatau jasa tertentu. secara lebih rinci, tolok ukut penentuan Posisi Dominan diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dorninan" apabila: 1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau 2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Lihat Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 84-85. 11
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition, (Litle Brown and Company: Boston), hlm. 285. 12
KPPU, Putusan KPPU Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm. 256.
3
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
secara keseluruhan hasil produksi mereka dapat mendikte dan mengatur harga yang berlaku di pasar.13 Pada dasarnya, praktek kartel akan mudah terbentuk apabila para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi di antara mereka terlebih lagi jika ditemukan pertukaran informasi harga dan data produksi secara periodik.14 Dalam industri farmasi, struktur pasar sangat penting untuk mengetahui apakah industri farmasi melakukan monopoli. Ada beberapa sifat dari industri monopoli yang khas. Pertama, ada faktor barriers to entry, berarti industri farmasi sulit masuk karena soal paten, dan regulasi-regulasi pemerintah serta jumlah modal besar sekali yang diperlukan untuk mendirikan perusahaan. Kedua, ada economic barriers, berarti diperlukan infrastruktur penelitian dan pengembangan (R & D) untuk menghasilkan produk canggih yang dapat bersaing di pasar farmasi. Selain monopoli, industri farmasi sering disebut diffrentiatied oligopoly, yaitu ada jumlah produsen dalam golongan obat spesifik tertentu sangat besar. Oleh karena itu, pada industri farmasi, praktek persaingan usaha tidak sehat dan monopoli sangatlah rentan.15 Salah satu konkretisasi lahirnya kebijakan persaingan usaha adalah dengan keberadaan regulasi yang mengatur persaingan usaha yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (“UU Persaingan Usaha”).16 Jelas, penciptaan iklim persaingan usaha sehat dan peningkatan daya saing produk ekspor yang berbasis efisiensi dan kompetitif. Efisiensi dan
13
Jurnal Hukum Bisnis, Hukum Persaingan Usaha: mendeteksi Praktik Kartel, volume 30No.2-Tahun 2011, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2011), hlm.29. 14
Ibid., hlm. 38.
15
James J. Spillance, S.J, Ekonomi Farmasi, hlm. 185.
16
Urgensi dibentuknya hukum persaingan usaha adalah untuk membantu mewujdukan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien. Knud Hansen, et.al, Undang-Undang larangan Praktek Monopoli dan Usaha Persaingan tidak Sehat (Law concerning Prohibition of monopolistic practices and unfair Bussines Competition), (Jakarta: Penerbit Katalis, 2001), hlm. 117.
4
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
kompetisi tidak akan tercapai jika masih banyak prkatik-praktik kartel ataupun oligopoli17. Tujuan lahirnya Undang-Undang Persaingan Usaha18 ditujukan untuk menjamin tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku pasar, sehingga tercipta kesempatan berusaha yang lebih kompetitif.19 Dengan adanya undangundang tersebut, diharapkan dapat tercipta efisiensi dalam melakukan kegiatan usaha, serta mendorong suatu kondisi persaingan usaha yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Terdapat dua efisiensi yang ingin dicapai oleh Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu efisiensi bagi para produsen dan bagi masyarakat atau produktif efficiency dan allocative efficiency.20 Terdapat dua manfaat dari terciptanya efisiensi yaitu, pertama efisiensi dapat mengakselerasi pengalokasian dan penggunaan semua jenis sumber daya ekonomi. Kedua, persaingan dapat menciptakan distribusi kekuatan pasar, sehingga konsentrasi kekuatan pasar pada satu atau beberapa perusahaan dapat dihindarkan. Untuk konteks yang lebih luas, kondisi persaingan dalam pasar domestik
17
Istilah Oligopoli pertama kali digunakan oleh Sir Thomas Moore dalam karyanya pada tahun 1916, yaitu “utopia”. Dikutip oleh Andi Fahmi, et.al, dari Carl Shapiro, “the theories of oligopoly behavior” (Handbook of Industrial Economics eds. R. Schmalensee, and R.D Willing, Vol.2 (North-Holland, Amsterdam, 1989), p.303. Dalam Pasar Oligopoli terdapat dua karakteristik yaitu: 1. Terdapat beberapa penjual (Few Sellers) 2. Saling Ketergantungan (Interdependence) Lihat Andi Fahmi, el.al., Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks & Konteks, hlm.35. 18
Indonesia (a), Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817 Tahun 1999, Pasal 3. 19
Munir Fuady (a), Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, cet. 2, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 2. 20
Yang dimaksud dengan productive efficiency ialah bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan jasa. Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin. Sedangkan, allocative efficiency adalah efisiensi bagi masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisien apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan itu. Lihat Jurnal Hukum Bisnis, UU Anti Monopoli; Tantangan dan Masalah di Seputarnya, Volume 19, Mei-Juni 2002, (Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), 2002), hlm.9.
5
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
merupakan hal yang sangat penting dari suatu kebijakan publik, khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik.21 Bentuk kerjasama perusahaan farmasi lokal dengan farmasi asing merupakan salah satu strategi yang dapat meningkatkan kemampuan kualitas pelayanan kesehatan di negara berkembang. Dalam UU Persaingan Usaha, hal tersebut adalah wajar sepanjang tidak mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Apabila terjadi sebaliknya, maka para pelaku usaha dapat dikenakan Pasal 16 Undang-Undang Persaingan Usaha.22 Latar belakang adanya pasal ini adalah dikhawatirkan adanya penguasaan pasar atau pemusatan kekuatan ekonomi melalui perjanjian23 dengan pelaku usaha asing yang dilakukan secara tidak jujur.24 Pengertian "pemusatan kekuatan ekonomi" dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha, sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa. Dengan demikian, dari bunyi Pasal 1 angka 3 sudah jelas bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan telah terjadi suatu peristiwa pemusatan kekuatan ekonomi adalah apabila telah terjadi "penguasaan atas suatu pasar secara nyata", sehingga harga barang diperdagangkan dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen tidak lagi didasarkan pada mekanisrne pasar,
21
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 4. 22
Pasal 16 UU Persaingan Usaha berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 23
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah: oligopoli, Penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah: Monopoli, Monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. 24
Pembahasan RUU No. 5 Tahun 1999, hlm. 507
6
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
melainkan ditentukan sendiri oleh seseorang atau beberapa pelaku usaha yang telah menguasai pasar yang bersangkutan. 25 Pada dasarnya, UU Persaingan Usaha berlaku kepada semua pelaku usaha yang melakukan tindakan persaingan usaha tidak sehat maupun monopoli baik pelaku usaha dalam negeri, maupun pelaku usaha asing.26 Terkait pelaku usaha asing berbentuk holding company,27 pada tahun 2007, terdapat perdebatan atas Putusan KPPU dalam menerapkan konsep “Pelaku Usaha” khususnya dikaitkan dengan penerapan doktrin single economic entity ke dalam Undang-Undang Persaingan Usaha yaitu dalam Kasus Temasek Holding Company.28 Komisi berpendapat bahwa Temasek memiliki pengendalian atas semua anak perusahaan karena, pertama, dalam anggara dasar, Temasek merupakan holding company yang dapat mengendalikan anak perusahaan, dan yang kedua, Temasek Holding Company memiliki saham mayoritas di setiap anak perusahaan. Oleh karena itu, komisi29 berpendapat hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak mempunyai
25 Knud Hansen, et. al., Undang-Undang larangan Praktek Monopoli dan Usaha Persaingan tidak Sehat (Law concerning Prohibition of monopolistic practices and unfair Bussines Competition), (Jakarta: Penerbit Katalis, 2001), hlm. 81. 26
Defenisi Pelaku Usaha terdapat dalam Pasal 1 angka 5 yang berbunyi: “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi” 27
Istilah Holding Company berbeda dengan Parent Company secara teoritis walaupun dalam praktiknya hal tersebut tidak lakukan. Menurut Harry Simon, Parent Company adalah suatu perusahaan yang memegang saham perusahaan lain dan mengendalikan aktivitas perusahaan tersebut. Sedangkan, perusahaan yang memegang suatu perusahaan lain dan bertujuan untuk mengendalikan aktivitasnya maka dinamakan holding company. Suatu perusahaan yang berbentuk holding company pastilah ia juga sebagai parent company akan tetapi suatu parent company belum tentu merupakan holding company apabila dilihat dari tujuan pendirian perusahaannya. Lihat Harry Simon dan We Karrenbrock, Advance Accounting, (Taipei: Mey Ya Publication Inc, 1989), hlm. 194. 28
Pande Radja Silalahi, “Kesalahan Fatal dalam Putusan KPPU…” dalam Majalah Tust,
, diunduh pada tanggal 11 Mei 2011. 29
Yang Dimaksud dengan Komisi Adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha Sebagaimana Dimaksud Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lihat Pasal 1 angka 6 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Di KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
7
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat extraterritorial.30 Saat ini, sistem pengendalian usaha lewat perusahaan holding memang telah menjadi trend dan kebutuhan bisnis yang tidak dapat/tidak perlu dihindari.31 Semakin meningkatnya volume kegiatan usaha dan semakin besarnya pertumbuhan modal perusahaan. Perusahaan berusaha untuk melakukan ekspansinya ke berbagai sektor baik dalam negeri maupun luar negeri. Proses ekspansi tersebut dilakukan dengan cara mendirikan perusahaan baru, dan perusahaan pendirinya menjadi salah satu pemegang sahamnya. Penyertaan saham dan pemecahan unit usaha dimaksudkan untuk melahirkan perusahaan-perusahaan baru yang selanjutnya disebut dengan anak perusahaan (subsidiary company). Selanjutnya, perusahaan lama akan menjadi pemegang saham dan merupakan perusahaan induk (Holding Company).32 Salah satu kasus yang baru-baru ini terjadi yang melibatkan perusahaan farmasi lokal dengan perusahaan farmasi asing yang berbentuk holding company adalah kasus Supply Agreement antara PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC yang melibatkan Pfizer Holding Company dan anak-anak perusahaanya.
Dalam
kasus, PT Dexa Medica (Indonesia) yang bertindak sebagai pembeli, dan Pfizer Overseas LLC (New York), bertindak sebagai pemasok, sama-sama bergerak di 30
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (1), Putusan No. 07/KPPU-L/2007, hlm 126.
31
Munir Fuady (b), Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 117-118. 32
Lihat Penjelasan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1996 tentang PT, yang dimaksud dengan ‘anak perusahaan’ adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena: 1. Lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaan 2. Lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya;, dan atau 3. Control atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi, dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh Induk Perusahaan.
8
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
bidang farmasi yaitu bahan baku obat Amlodipine Besylate, keduanya melakukan perjanjian pemasokan yang menurut KPPU dalam putusannya menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian pemasokan antara PT Dexa Medica dan Pfizer sebenarnya dilatarbelakangi oleh sengketa paten. Dalam pelaksanaan perjanjian, Pfizer melibatkan semua anggota kelompok usaha tersebut seperti Pfizer Global Trading c/o Pfizer Service yang berfungsi mengirim bahan baku Amlodipine Besylate kepada PT Dexa Medica.33 PT Dexa Medica dan Pfizer LLC dituduh melanggar Pasal 16 karena telah membentuk perjanjian pemasokan (supply agreement) yang melibatkan PT Pfizer Indonesia yang merupakan saingan PT Dexa Medica yaitu untuk melakukan pengecekan stok inventory bahan baku sehingga terdapat pertukaran informasi berupa kewajiban laporan forecast.34 Dalam persaingan antara PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia, pertukaran informasi sensitif terjadi secara intensif. Dimana informasi diberikan oleh PT Dexa Medica ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui kelompok usaha Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia. Informasi tersebut berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan baku Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke Pfizer Global Trading. Informasi35 tentang jumlah bahan baku zat aktif yang dipesan dapat dengan mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah obat yang diproduksi. Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT Pfizer Indonesia untuk menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau pemasaran obatnya. Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang mengurangi independensi antar pesaing dalam memilih strategi. Selain itu, berdasarkan perjanjian pemasokan, kelompok usaha Pfizer memiliki hak untuk melakukan inspeksi dan penghitungan kesesuaian atas jumlah produk PT Dexa Medica yang diedarkan di pasar. Informasi tersebut dan kewenangan untuk 33
Ibid, hlm. 14.
34
KPPU, Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010
35
Bunyi lengkap Pasal 23 UU Persaingan Usaha “Pelaku Usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
9
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
melakukan inspeksi bagi kelompok usaha Pfizer mengkibatkan PT Pfizer Indonesia sebagai pesaing dengan mudah memantau sekaligus mengatur jumlah produksi obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate khususnya tensivask serta jumlah peredarannya di pasar.36 Dalam beberapa perkara persaingan usaha di uni eropa bahkan pertukaran informasi antar pesaing dapat dianggap membahayakan kondisi persaingan sehingga dinyatakan sebagai pelanggaran. Hal tersebut terjadi apabila informasi tersebut berkaitan tentang spesifik tentang individu perusahaan dan bukan data agregat industri, terjadi dalam industri yang terkonsentrasi, berkaitan dengan strategi dan rencana perusahaan (dimana informasi-informasi tersebut tidak dapat diakses oleh konsumen atau pelaku usaha potensial) atau informasi-informasi yang dapat mempengaruhi pilihan strategi pelaku usaha pesaing di pasar. 37 Pengaturan tersebut berguna bagi pelaku usaha untuk memaksimumkan tingkat profit, meningkatkan harga jual di pasar maupun untuk menyiapkan strategi menahan pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Apabila melihat pada kasus tersebut dan semakin meningkatnya ekspansi usaha, maka bukan tidak mungkin praktek-praktek persaingan usaha demikian akan semakin meningkat. Oleh karena itu, dengan adanya potensi dampak penguasaan pasar secara meluas yang mengakibatkan persaingan tidak sehat tersebut, maka menurut penulis, permasalahan pada Pasal 16 UU Persaingan Usaha ini perlu dibahas lebih jauh agar
36
KPPU, Putusan Nomor 17/KPPU-I/2010, hlm. 257.
37
Informasi yang sensitif dalam hubungan antarpesaing adalah antara lain harga jual produk, baik harga jual sekarang (actual transaction prices, i.e, including individual discounts) maupun rencana harga jual (planned future price), biaya-biaya produksi, informasi yang detail tentang jumlah produk yang dijual, rencana bisnis, utilisasi kapasitas produksi. Pertukaran informasi tersebut antar pesaing, baik pesaing aktual maupun pesaing potensial, dapat menfasilitasi terjadinya kolusi. Praktek menfasilitasi kolusi (facilitating practices) adalah praktek-praktek usaha yang dapat membuat lebih mudah bagi pesaing untuk mencapai atau mempertahankan suatu perjanjian. Lihat OECD, ‘Policy Roundtables: Prosecute Cartels without Direct Evidence of Agreement’ (2006). Lihat pula Mats Bergman, ‘Introduction’, dalam Swedish Competition Authority, ‘The Pros and Cons of Information Sharing’ (2006), diunduh pada tanggal 20 April 2011.
10
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pelaksanaannya di Indonesia tidak mencederai dan/atau menghilangkan kompetisi yang sehat secara umum serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan pada khususnya. Dengan demikian perjanjian dengan pelaku usaha asing sebagai salah satu praktek bisnis harus diupayakan sebisa mungkin tidak merugikan perekonomian, persaingan, dan masyarakat sebagai konsumen dengan dampak persaingan tidak sehat tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari uraian mengenai latar belakang analisis hukum persaingan usaha terhadap perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha asing dalam bentuk holding company, terdapat permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembuatan skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana Pelaku Usaha Asing dalam bentuk holding company yang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha domestik dapat dikenakan UU Persaingan Usaha? 2. Bagaimana perjanjian pemasokan (supply agreement) yang dilakukan oleh PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC dapat dikategorikan melanggar Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan penerapan Undang-Undang Persaingan Usaha terhadap pelaku usaha asing dalam bentuk holding company yang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha domestik. 2. Untuk menjelaskan praktek perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha asing dalam bentuk holding company melalui perjanjian pemasokan yang berdasarkan putusan KPPU melanggar Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999.
11
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
1.4 Defenisi Operasional Dalam hal memperoleh pedoman yang konkrit dalam penulisan, penulis menggunakan rumusan teori dan peraturan perundang-undangan yang terkait, sebagai berikut: 1. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.38 2. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.39 3. Supply agreement (perjanjian pemasokan) adalah perjanjian antara dua pihak, dimana salah satu pihak bertindak sebagai pemasok sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai penjual.40 4. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapapun c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.41
38
Indonesia (a), “Undang-Undang Persaingan Usaha”, Pasal 1 angka 7.
39
Ibid, Pasal 1 angka 8.
40
Putusan KPPU (3), Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm. 13.
41
Indonesia, KUH Perdata, Pasal 1338 ayat (1).
12
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
5. Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berabagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.42 6. Perusahaan Kelompok adalah gabungan atau susunan dari beberapa perusahaan seperti perusahaan terbatas yang masing-masing secara mandiri dipimpin oleh suatu perusahaan induk atau pimpinan sentral dari aspek ekonomi.43 7. Holding Company. Menurut Rochmat Soemitro, holding company44 merupakan: Sebagai suatu bentuk kombinasi antara badan-badan usaha yang terdiri dari “maskapai induk” (moeder-maatschappij) yang biasa berbentuk PT (tetapi tidak selau) adalah pemberi modal pada “maskapai anak” (ducthermaatschapij, subsidiary) yang lazimnya juga berbentuk perseroan terbatas. 8. Perusahaan Afiliasi adalah sebagai induk perusahaan dari masing-masing pihak, dan atau perusahaan lain yang saham mayoritas dimiliki atau dikendalikan langsung atau tidak langsung oleh pihak terkait atau induk perusahaan dari pihak yang bersangkutan.45
42
Indonesia (a), “Undang-Undang Persaingan Usaha”, pasal 1 angka 5.
43
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Perusahaan Kelompok dan Hukum Persaingan, Pidato Dies natalis ke-46 UGM, 19 Desember 1995, hlm. 1. 44
Rochmat Soemitro, Hukum Perseron Terbatas, Yayasan, dan Wakaf, (Bandung: Eresco, 1993), hlm. 53. 45
Putusan KPPU (3), Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm. 48.
13
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
9. Anak Perusahaan. Berdasarkan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1995, disebutkan mengenai “anak perusahaan” atau “perusahaan anak” adalah perusahaan yang sahamnya: a. Lebih dari 50% (lima Puluh Persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya; b. Lebih dari 50% (lima Puluh Persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya dan atau; c. Kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh Induk perusahaannya. 10. Single Economic Entity Doctrin adalah pendekatan yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.46 11. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.47 12. Praktek Anti Persaingan, artinya menunjuk pada praktek-praktek bisnis di ama perusahaan atau group perusahaan dapat mengupayakan pembatasan persaingan inter-firm (antar perusahaan) untuk memelihara atau meningkatkan posisi dasar dan keuntungan mereka, tanpa menyediakan barang dan jasa yang diperlukan dengan tingkat biaya rendah atau kualitas yang lebih tinggi.48
46
Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, (New York: Oxford University Press, 2004), hal. 123. 47
Indonesia (a), “Undang-Undang Persaingan Usaha”, Pasal 1 angka 2.
48
RS.Khemeni & DM. Shapiro, Glosarry of Industrial Organization Economics and Competition Law, 1996, hal.3
14
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
13. Kartel, artinya perjanjian diantara perusahaan-perusahaan dalam industri yang bersifat oligopoli49
1.5 Metode Penelitian Di dalam suatu penelitian, posisi metodologi sangatlah penting sebagai suatu pedoman. Pedoman ini nantinya akan menjelaskan mengenai apa yang seharusnya atau yang tidak seharusnya dilakukan dalam Penelitian. Agar Penelitian yang dilakukan benar-benar dapat menyentuh dan menjawab pokok permasalahan dalam Penelitian ini. Adapun fungsi dari metodologi dalam suatu Penelitian yang merupakan kegiatan ilmiah adalah untuk memberikan pedoman bagi ilmuwan tentang cara-cara mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan yang dihadapinya.50 Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yang diperoleh dari bahan pustaka. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisan dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu dalam hal ini adalah metode ilmiah sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut51: 1.
Merumuskan serta Mendefinisikan Masalah;
2.
Mengadakan Studi Kepustakaan;
3.
Memformulasikan Hipotesis;
4.
Menentukan Model untuk Menguji Hipotesis;
5.
Mengumpulkan Data;
6. Menyusun, Menganalisis, dan Memberikan Interpretasi; 7.
Membuat Generalisasi dan Kesimpulan;, dan
49
Herbert Hovenkamp, Federal Antitrust Policy: The Law of Competition and It’s Practice, 2nd ed. (1995), hlm.144. 50
Soerjono,” Pengantar Penelitian Hukum”, hlm. 6.
51
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 52-53.
15
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
8.
Membuat Laporan Ilmiah
Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Sedangkan penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan.52 1.5.1 Jenis Penelitian Dalam menyusun skripsi ini, peneliti pada dasarnya menggunakan metode yuridis normatif. Metode Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang khusus meneliti hukum sebagai norma positif di dalam sistem perundang-undangan. Dalam Penelitian yuridis normatif ini, penelitian mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing dan KUH Perdata. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa penggunaan doktrin-doktrin, perbandingan hukum antar beberapa negara dan kesepakatan internasional tetaplah digunakan untuk memperkuat hasil penelitian. Praktek persaingan usaha tidak sehat dengan cara perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha asing sangat sering terjadi. Hal ini dikuatkan dengan putusan pengadilan sehingga penelitian ini akan menggunakan pendapat-pendapat hakim, ahli, dan doktrin-doktrin terkait, serta perbandingan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 1.5.2
Jenis Data yang Digunakan Penelitian tentang analisis hukum persaingan usaha terhadap
perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha asing dalam bentuk
52
Ibid, hlm.42-43.
16
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
holding company memerlukan data yang banyak sehingga menghasilkan kesimpulan yang berkualitas. Berdasarkan jenis dan bentuk data yang dikumpulkan, data yang diperlukan pada Penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Namun demikian, jika dianggap perlu maka untuk melengkapi serta mendukung data sekunder akan dipergunakan wawancara dengan sumber-sumber yang dinilai memahami beberapa konsep atau pemikiran terkait data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam Penelitian adalah: 1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan perundang-undangan asing serta putusan-putusan pengadilan. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku, makalah, artikel koran dan internet. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia53 1.5.3 Alat Pengumpulan Data Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen atau penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan digunakan untuk mendapatkan data berupa norma-norma hukum serta pendapat para ahli mengenai perjanjian dalam konsep KUH Perdata maupun dalam Hukum Persaingan Usaha dan kaitannya dengan larangan monopoli. Selain studi kepustakaan, pengumpulan data juga dilakukan dengan penelitian ke lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 1.5.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Dalam mengolah dan menganalisis data yang akan digunakan dalam penelitian skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan kepada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
53
M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm.
25.
17
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum positif yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.54 1.5.5 Sifat dan Bentuk Laporan Penelitian ini menggunakan metode Penelitian kepustakaan dengan tipologi
Penelitian
menurut
sifatnya
adalah
Penelitian
deskriptif
(dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin demi mempertegas hipotesi), menurut bentuknya adalah Penelitian evaluatif (bertujuan untuk menilai keadaan sekitar yang terkait permasalahan), menurut tujuannya ialah Penelitian fact finding, menurut sudut penerapannya ialah Penelitian berfokus masalah (problem focused research), dan menurut ilmu yang dipergunakan ialah penelitian monodisipliner.
1.6 Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang juga terdiri dari beberapa sub-bab. Penulis menyusun skripsi dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini akan mengulas mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penulisan, definisi operasional tentang beberapa definisi yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai dan juga sistematika penulisannya.
BAB II
TINJAUAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI FARMASI DAN PERJANJIAN YANG DILARANG OLEH UU PERSAINGAN USAHA Dalam bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai pengaturan industry farmasi, baik harga, produksi, dan persaingan harga farmasi. Selain itu juga akan dibahas mengenai perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu juga akan dijelaskan mengenai
54
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Rineka Cipta: Jakarta, 2004), hal. 20.
18
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pengaturan persaingan usaha dan monopoli mulai dari pengertian, syarat dan unsur, serta pendekatan per se illegal dan rule of reason. Selain itu, juga akan dibahas mengenai KPPU dalam melaksanakan tugasnya
dalam
penanganan
perjanjian
yang
dilakukan
oleh
perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia. Untuk menentukan apakah KPPU berwenang melakukan penilaian terhadap perjanjian dengan pelaku usaha asing, maka dalam bab ini juga akan dibahas mengenai prinsip wilayah yang diakui dalam UU No. 5 Tahun 1999. BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN
PELAKU
BERBENTUK
COMPANY
HOLDING
USAHA
ASING
ASING
YANG
MELAKUKAN KEGIATAN USAHA DI INDONESIA Dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai konsep holding company, baik mengenai pengendalian, pertanggungjawaban, dan klasifikasinya. Dikarenakan holding company tidak selalu didirikan di Indonesia atau dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, maka penulis akan menjelaskan bagaimana UU Persaingan Usaha dapat diterapkan kepada pelaku usaha asing melalui UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan dan, bentuk kegiatan bisnis yang dilakukan di dalam negeri. Sebagai tambahan, juga akan dijelaskan mengenai kriteria informasi perusahaan yang dianggap rahasia. BAB IV
ANALISIS KASUS SUPPLY AGREEMENT ANTARA PT DEXA MEDICA
DENGAN
PFIZER
OVERSEAS
LLC
YANG
MELIBATKAN HOLDING COMPANY Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pengendalian Pfizer holding company terhadap PT Pfizer Indonesia baik berdasarkan kepemilikan saham mayoritas, maupun jenis kegiatan usaha yang dilakukan di Indonesia. Selain itu juga akan dipaparkan mengenai supply agreement antara Pfizer Overseas LLC dengan PT Dexa Medica dalam masa paten dan setelah masa paten. Dan kemudian akan dijelaskan
19
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
analisis kasus, mulai dari duduk perkara, pembuktian adanya pelanggaran terhadap pasal 16 UU Persaingan Usaha. Selain itu, sebagai perbandingan, Penulis memaparkan pendapat PT Pfizer Indonesia terkait Supply Agreement tersebut. Dan yang terakhir, akan dijelaskan apa dampak Putusan KPPU tersebut kepada kepastian hukum, investasi, dan industry farmasi sendiri. BAB V
PENUTUP Dalam bab ini, penulis akan menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran atas permasalahan.
20
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB II TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERSAINGAN DALAM INDUSTRI FARMASI DAN PERJANJIAN YANG DILARANG OLEH UNDANG UNDANG PERSAINGAN USAHA
2.1 Industri Farmasi Global 2.1.1. Produksi Farmasi Pada dasarnya, industri farmasi mempunyai tiga bagian, yaitu penelitian dan pengembangan (research and development = R & D), pemasaran (Marketing), serta produksi dan distribusi (manufacturing and distributing). Pada umumnya, penelitian dan pengembangan dilaksanakan di pasar yang besar dan terkonsentrasi pada negara yang dengan jumlah yang kecil. Intisari dari industri farmasi adalah kegiatan penelitian dan pengembangan. Namun, proses pengembangan obat baru penuh dengan resiko. Proses mengembangkan obat dari tahap awal sampai memasuki pasar farmasi sekarang memakan waktu rata-rata 12 tahun. Akan tetapi, hal itu sangat tergantung pada hakikat molekukl (nature of the molekul) dan penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat itu. Obat-obatan baru yang muncul pada masa kini merupakan hasil dari investasi-investasi dan ilmu pengetahuan dari 10-12 tahun yang lalu. Mencari kaya dari penelitian dan pengembangan obat-obatan sebetulnya adalah bisnis yang penuh resiko. Calon obat-obatan dapat jatuh atau gagal pada setiap tahap dari proses. Misalnya, dari setiap 10.000 calon obat baru (yaitu, molecul screened) hanya 250 calon obat yang masuk fase “clinical testing” (in vivo), dan hanya 1 calon obat itu yang akan disetujui oleh regulator.55 Semakin lama semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk memasukkan obat-obatan ke dalam pasar farmasi dan tambahan waktu yang terbesar terjadi di tahap tes-tes klinis. Menurut perusahaan farmasi, karena ada tuntutan tambahan data
55
James J. Spillance, S.J, Ekonomi Farmasi, hlm.41-43.
21
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
oleh para regulator, tes-tes klinis menjadi lebih besar dan lebih lama sehingga obat baru terlambat masuk ke dalam pasar farmasi dan pengeluaran total R & D naik. Pada tahun 2005, biaya untuk memasukkan obat baru ke pasar farmasi sudah menjadi sebesar US$802 juta. Biaya langsung muncul dalam proses hanya sebesar US$400 juta, tetapi sisanya adalah biaya alternative berdasarkan besarnya suku bunga yang berlaku di pasar (discounted opportunity cost of capital).56 Di Indonesia, program Penelitian dan Pengembangan (R & D) selama ini macet karena infrastruktur untuk menjamin keamanan lingkungan laboratorium sulit dipenuhi. Pada jenis obat generik sekalipun, industri farmasi Indonesia tidak pernah melakukan riset. Mereka hanya memanfaatkan paten-paten yang kedaluwarsa dari luar negeri.57 Untuk penelitian dan pengembangan, modal yang digunakan oleh pengusaha Indonesia masih menggunakan investasi asing. Dalam tabel berikut akan terlihat perbandingan jumlah modal antara investasi dalam negeri dengan investasi luar negeri yang digunakan untuk produksi farmasi. Tabel 1 Industri Farmasi Indonesia Year
Besarnya Pasar
Investasi DN
Investasi LN
2002
15,04
1,95
1,87
2003
17,30
3,20
3,03
2004
20,50
3,05
3,41
2005
22,90
1,69
2,88
Sumber: GP Farmasi, Bank Indonesia.
56 57
Ibid Ibid.
22
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Karena R & D adalah suatu investasi yang bersifat mahal dan spekulatif (penuh keragu-raguan), perusahaan farmasi di Indonesia lebih senang hanya memproduksi obat-obatan dari rumus yang diijinkan (licensed formulas).58 2.1.2 Distribusi dan Penjualan Farmasi Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat produksi bahan baku farmasi yang sangat rendah, bahkan paling kecil di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh banyaknya variable irasional yang terbentuk dari konstruksi budaya lokal, terutama pandangan bahwa kesehatan bukan hal orang yang tidak memiliki penghasilan layak. Sampai tahun 2008, jumlah impor bahan baku yang dilakukan oleh produsen Indonesia mencapai 90%, hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan produsen Indonesia terhadap industri asing masih sangat tinggi.59
Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, sangatlah tidak sebanding dengan jumlah produksi bahan baku oleh industri Indonesia. Sehingga
58
Ibid.
59
“Pharmacy Bussines; an overciew of Pharmacy Related and healthcare industry”, http://bisnisfarmasi.wordpress.com/2008/10/13/bahan-baku-farmasi-90-impor/, diunduh pada 25 Mei 20111.
23
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
strategi kerjasama dengan industri farmasi asing adalah tepat. Tetapi disebakan oleh variable rasional yang tumbuh dalam masyarakat, produsen farmasi yang ada di Indonesia tidak bertumbuh secara konsisten. Pangsa pasar farmasi Indonesia (2004) bila dibandingkan dengan pasar farmasi global relatif sangat kecil yaitu hanya 0, 25 %. Pangsa pasar dari 60 perusahaan farmasi di Indonesia sekitar 84 % sedangkan 139 perusahaan hanya memiliki pangsa pasar 16 % Ini berarti sebagian besar perusahaan manufaktur farmasi Indonesia beroperasi pada skala kecil. Meskipun demikian pertumbuhan pasar farmasi Indonesia relative masih cukup tinggi (sekitar 15 % tahun 2004) dan merupakan pasar farmasi yang terbesar di ASEAN. Gambar 2. Total Penjualan Industri Farmasi Indonesia (Dalam Milyar Rp).
Dalam pemasaran produk indutri farmasi, Indutri farmasi memerlukan pemasaran dan strategi pemasaran dalam melangsungkan kegiatan bisnisnya ke pada konsumen. Menurut Indonesian Health Consumer Empowerment Foundation, Pemerintah Indonesia harus membuat lebih banyak pemantauan (monitoring) terhadap penjualan dan distibusi obat-obatan karena resep sering dapat dibeli langsung oleh konsumen (over the counter drugs) di pasar-pasar lokal. Industri farmasi domestik Indonesia bergerak terutama pada produksi dan pemasaran branded generic (obat yang sudah off patent), obat generik dan obat lisensi dari perusahaan farmasi di luar negeri. Industri farmasi domestik Indonesia
24
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
adalah industry formulasi, bukan research-based company. Kegiatan R&D yang dilakukan sangat terbatas dengan dukungan pembiayaan rata-rata dibawah 2 % dari total penjualan. Riset yang dilakukan terbatas hanya pada formulasi produk, bukan pengembangan obat molekul baru. Kedepan implikasinya adalah perusahaan farmasi domestik Indonesia tidak akan pernah bersaing pada segmen pasar obat paten/obat inovatif. Area persaingan perusahaan farmasi domestik Indonesia adalah pada pasar obat branded generic dan obat generik. Perkembangan pasar obat bebas atau OTV (Over The Counter) di Indonesia juga cukup tinggi dari tahun ketahun. Pangsa pasar obat OTC ini didominasi oleh perusahaan farmasi domestik. Berikut adalah Top 10 perusahaan farmasi di Indonesia.60 Gambar 3. Impor Dan Ekspor Produk Farmasi (BPOM (2005)).
Pemasaran sangat penting untuk kesuksesan semua perusahaan. Di Industri farmasi, bentuk pemasaran dapat disebutkan sebagai berikut: 1.
Tim Penjual (Detailers)
2.
Pengiriman lewat pos (direct mail) 60
“Majalah Farmasi Indonesia, 18(4), 199 – 209, 2007”, http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/6._18-4-2007-sampurno.pdf, diunduh pada 25 Mei 2011.
25
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3.
Sampel yang diberikan kepada para dokter (samples)
4.
Iklan dalam jurnal kedokteran (advertisements)
5.
Menjadi sponsor kegiatan kependidikan lanjut para dokter (continuing education programs)
6.
Iklan dalam media massa (public media advertising).
Dalam impor farmasi, alur yang lajim digunakan menurut Knop adalah sebagai berikut: 61 Gambar 5. Indonesia Pharmaceitical Supply Chain
Prosedur pemasokan obat berdasarkan Knop adalah bahan baku diimpor ke dalam negeri oleh perusahaan-perusahaan lokal baik BUMN, perusahaan lokal, dan perusahaan joint venture. Kemudian, bahan baku tersebut, diolah oleh perusahaan lokal menjadi obat yang kemudian didistribusikan melalui distributor dan subdistributor kepada farmasi, rumah sakit, dokter, dan retail-retail lainnya. Obat tersebut kemudian di sampaikan kepada konsumen. Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa
61
Carin Isabel Knoop, Indonesia’s Pharmaceutical Industry in 1998. (Boston: HBS, 1998) dalam Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2, No. 1, Maret 2000: 19 – 32 Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra, http://puslit.petra.ac.id/journals/management/, hlm. 24.
26
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
90% bahan baku yang diimpor oleh perusahaan yang ada di Indonesia baik oleh BUMN, pelaku usaha lokal, maupun pelaku usaha joint venture. Dalam Pemasaran, struktur finansial dari kecenderungan terbaru bisnis farmasi adalah adanya komponen biaya sebesar 20% untuk kepentingan pemasaran. 2.1.3
Konsentrasi Produsen Farmasi Konsentrasi Pasar oleh para ahli ekonomi digunakan sebagai alat untuk
mengukur tingkat persaingan dalam suatu pasar. Ukuran ini berfokus pada distibusi penjualan total pada produsen yang terbesar (market share). Pada umumnya, semakin banyak produsen yang menghasilkan produk yang sama, semakin kompetitif suatu pasar. Pasar merupakan monopoli kalau hanya ada satu produsen atau jumlah produsen sedikit sekali. Dalam kasus yang lain, konsentrasi pasar jauh lebih tinggi daripada kasus pertama. Kasus-kasus yang berkaitan dengan persaingan yang dilakukan industri farmasi pada dasarnya dilaterbelakangi oleh dua alasan yang utama yaitu biaya R & D, dan pemasaran yang sangat tinggi mengakibatkan persaingan yang tajam antara perusahaan swasta dengan perusahaan negara atau usaha-usaha pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga. Alasan kedua adalah semangat nasionalisme sehingga banyak negara yang mencari “juara nasional” (national champion) dalam bidang farmasi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menghitung atau mengukur konsentrasi pasar. 1. Concentration Ratio (CR) Konsentrasi pasar berhubungan dengan kekuatan pasar (market power). Sementara kekuatan pasar memiliki peluang untuk menyalahgunakan kekuatannya yang berpotensi melakukan praktek bisnis yang tidak sehat. Namun demikian kekuatan pasar sama sekali bukan bukti telah terjadinya penyalahgunaan posisinya yang kuat di pasar (abuse of dominant position). Perusahaan secara alamiah dapat saja memiliki kekuatan di pasar tetapi tidak melakukan pelanggaran. Karena itu, konsentrasi pasar bukanlah alat bukti tentang terjadinya pelanggaran. Pengukuran
27
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
konsentrasi pasar biasanya menggunakan concentration ratio62 (CRm), yaitu persentase dari output industry yang dimiliki oleh “m” perusahaan besar dimana “m” adalah beberapa perusahaan besar. Concentration Ratio (CRm) dapat diformulasikan dalam sebuah persamaan, yaitu: m CRm = ∑ Si I=1 Dimana: Si adalah Pangsa Pasar dari perusahaan “i” Concentration ratio yang umum digunakan adalah contration ratio empat perusahaan atau biasa disebut CR4. CR4 adalah refleksi dari total pangsa pasar yang dimiliki oleh empat perusahaan terbesar dalam suatu industry CR4, dapat ditulis secara matematika berdasarkan persamaan diatas, sebagai berikut: CR4 = S1 + S2 + S3 + S4 Berdasarkan perhitungan diatas, semua perusahaan yang dimasukkan dalam indeks ini diperlakukan sama. Bobotnya sama. Besarnya angka “n” sebetulnya tidak diterapkan atau sewenang-wenang (arbitrary). Biasanya besar “n” bergantung pada informasi yang tersedia dalam sensus produksi suatu industri. Rasio konsentrasi ini hanya memberi informasi yang sangat terbatas tentang jumlah dan besarnya distribusi antarperusahaan. Misalnya, kalau empat produsen farmasi yang terbesar mencapai 15% dari penjualan total, C = 0,15. Pada umumnya, semakin kompetitif pasar, semakin kecil C. Dalam kasus oligopoly, jumlah produsen sangat terbatas, C akan dekat dengan angka 1,00. Dalam kasus monopoli, jumlah produsen hanya tunggal, C akan sama dengan 1,00. Secara umum, apabila menggunakan metode CR4, struktur pasar dalam suatu industry baru dapat dikatakan oligopoly atau monopoli jika nilai CR4, berada di atas 75%.63
62
http://quickmba.com/econ/micro/indcon.shtml, diunduh pada 27 Mei 2011.
63
Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2013, Organisasi Industri dan Pembentukan Harga di Tingkat Produsen, Bank Indonesia-Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Biro Riset Ekonomi, (2008), hlm.39.
28
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
2.
Herfindhal-Hirschman Indeks (HHI) HHI adalah indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi pada
suatu pasar.64 Dalam hukum anti monopoli HHI digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat persaingan dalam suatu pasar. HHI didapat dari menghitung kuadrat pangsa pasar dari tiap-tiap pelaku usaha di pasar bersangkutan yang sama lalu menjumlahkannya. Nilai HHI dapat mendekati nol hingga 10.000 (100). Cara yang kedua adalah indeks Herfindal yaitu indeks yang berusaha memperhatikan semua perusahaan dalam suatu industry. Rumusnya adalah sebagai berikut: n HHI = ∑ Si2 I=1 H = jumlah (Si) kuadrat dari n Perusahaan n = jumlah total dari perusahaan dalam suatu industri I = 1,2,3,4…n = pangsa pasar masing-masing pelaku usaha. Dalam rumus matematika dapat diformulasikan sebagai berikut: HHI = S12+S22+S32+…+Sn2 Si = Proporsi penjualan total dari perusahaan ke-i. Nilai maksimal untuk indeks herfindal adalah 1,00 dan terjadi hanya pada kasus monopoli. Pada umumnya semakin banyak jumlah perusahaan, semakin kecil H karena pasar menjadi lebih kompetitif atau tingkat persaingan menjadi lebih tinggi. Kalau n = 100, nilai H = 0,01 kalau tiap perusahaan menjual proporsi yang sama, yaitu, 0,01 atau 1% dari pasar. Karena tiap proporsi dikuadratkan, sumbangan perusahaan besar. Sebaliknya, semakin tidak sama proporsi penjualan antarprodusen,
64
Pengukuran konsentrasi pasar menggunakan HHI memilki beberapa keunggulan dibandingkan dengan CR4 dengan, yaitu: 1. HHI mereflesikan distribusi dari pangsa pasar dari keempat perusahaan teratas dan komposisi dari pasar di luar keempat perusahaan tersebut; 2. HHI memberikan bobot yang lebih besar secara proporsional kepada pangsa pasar untuk perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Hal ini mencerminkan peran yang lebih dominan bagi perusahaan yang lebih besar di dalam interaksi kompetisi. Lihat Prciding, Kajian Akademis atas Putusan Perkara No. 17/KPPU-I/2010…, hlm.177-179.
29
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
semakin besar H. Dalam kasus ini, hanya beberapa perusahaan tertentu, cenderung mendominasi atau sangat mempengaruhi pasar. Secara umum batasan-batasan konsentrasi industri berdasarkan perhitungan HHI dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu: a. Pasar dikatakan tidak terkonsentrasi jika nilai HHI berada di bawah 1000 b. Pasar dikatakan terkonsentrasi secara moderat (moderately concerted) jika nilai HHI diantara 1000-1800; c. Pasar dikatakan terkonsentrasi tinggi jika nilai HHI lebih tinggi dari 1800. Dalam pasar farmasi, derajat atau tingkat konsentrasi berubah kalau defenisi produk obat menjadi lebih spesifik. Semakin spesifik produk obat itu menurut akibat terapi (therapeutic), semakin berubah tingkat konsentrasi pasar farmasi. Karena pada dasarnya produsen obat sangat banyak, kelihatannya pasar farmasi sangat kompetitif. Namun, kalau hanya satu kelas produk terapi yang dipertimbangkan, jumlah perusahaan yang menghasilkan cenderung akan menjadi kecil. Konsentrasi pasar lebih tinggi karena jumlah produsen hanya sedikit. Obat-obat yang bersifat lebih kurang sama digabungkan dalam kelompok tertentu. adapun pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Struktur Kimia (chemical structure), contoh: barbiturates
2.
Mekanisme aksi obat (mode of action), contoh: anti-acid
3.
Kegiatan fisiologis (Physiologic action), contoh: diuretic
4.
Efek terapi (therapeutic effect), contoh: anti-convulsant, analgesic.
Tiap pasar dibagi lagi menurut dibagi lagi menurut bidang terapi atau golongan obat. Oleh karena itu, tingkat persaingan dalam pasar farmasi bergantung pada defenisi pasar, klasifikasi keluarga, dan bidang terapi. Tingkat konsentrasi pasar akan bervariasi menurut keluarga obat yang berbeda dan bidang terapi yang berbeda.
2.2 Gambaran Umum dan Perkembangan Industri Farmasi di Indonesia. Industri farmasi Indonesia relatif masih muda dibandingkan dengan industri farmasi di negara-negara maju. Pengertian Industri farmasi berdasarkan SK MENKES RI No. 245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan Tata Cara 30
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Pelaksanaan Pemberian Ijin Usaha Industri Farmasi adalah industri obat jadi dan indutri bahan baku. Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan konsentrasi. Dan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan-bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengelolaan obat dengan standar. Kelahiran industri farmasi di Indonesia dimulai dengan berdirinya perusahaan perdagangan dan impor obat jadi serta menjadi distributor bagi produk obat perusahaan farmasi luar negeri di tahun 1950-an. Dengan berlakunya UndangUndang Penanaman Modal Asing tahun 1986, kesempatan bagi perusahaan farmasi di Indonesia untuk bekerjasama dengan pihak asing untuk mendirikan industri farmasi semakin terbuka lebar. Pemerintah Indonesia mendorong tumbuhnya industri farmasi dan jalur distribusinya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 yang merupakan paket deregulasi Pedagang Besar Farmasi (PBF), dengan diperbolehkannya perusahaan farmasi PMA membuka PBF sepanjang bekerjasama dengan perusahaan lokal. Sampai saat ini jumlah industri farmasi yang ada di Indonesia baik dalam bentuk industri PMA atau pun industri domestik telah mencapai 261 produsen. hal ini menunjukkan perkembangan industri farmasi di Indonesia. Perkembangan yang sangat pesat ini pun menyebabkan persaingan sesama perusahaan farmasi menjadi sangat ketat. 2.2.1 Pengaturan dan Pengendalian Industri Farmasi dan Peraturan PerundangUndangan Terkait di Indonesia. Industri farmasi merupakan industri yang tergolong penting bagi bangsa Indonesia sehingga diperlukan adanya perlakuan khusus dalam rangka menjamin terselenggaranya pelaksanaan kegiatan perusahaan farmasi. Dalam hal pelaksanaan kegiatan usahanya, pemerintah melakukan pengawasan baik pengawasan langsung, maupun pengawasan melalui peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai
31
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
industri farmasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu, terdapat peraturan-peraturan lain yang terkait yang berfungsi umtuk mengawasi proses produksi, distribusi, penetapan harga, promosi, dan obat generik. Pengaturan dan pengendalian harga obat di berbagai negara memberikan dampak yang kompleks. Sama kompleksnya dengan metode yang digunakan untuk itu. Pemerintah suatu negara pasti bermaksud baik ketika menerapkan kebijakan pengaturan dan pengendalian harga. Tidak ada yang membantah kalau upaya tersebut merupakan salah satu wujud peran dan tanggung jawabnya sebagai regulator. Apalagi jika dilakukan secara komprehensif (melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembentukan harga), adil dan transparan. Yang menjadi masalah adalah jika pengaturan dan pengendalian harga dilakukan secara elementer, tidak terstruktur dan hanya menekankan aspek pembatasan harga (price limitation). Dalam kegiatan produksi farmasi, pengaturan sangatlah penting yaitu untuk mendapatkan ijin untuk memproduksi obat dan mengedarkannya. Sebelum melakukan produksi, dikenal istilah registrasi obat jadi yaitu suatu persyaratan administrative yang harus dipenuhi sebelum dilakukan uji klinis terhadap persediaan farmasi dan alat-alat farmasi yang berupa obat-obatan dalam proses produksi dan distribusi.65 Pendaftaran izin produksi industri farmasi dilakukan dengan cara: 1.
Dalam produksi obat, perusahaan farmasi harus mendaftarkan untuk mendapatkan izin dalam mengedarkan obat sesuai peraturan registrasi obat. Peraturan registrasi obat adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Pendaftaran dilakukan kepada Badan POM, dengan tembusan kepada menteri kesehatan. Kemudian, Badan POM akan melakukan penilaian dan evaluasi apakah obat tersebut telah memenuhi syarat registrasi dengan memberikan nomor registrasi, dan menteri kesehatan mengeluarkan
65
Muh Fahrudi Zuhri, Tinjauan Hukum Pidana terhadap perilaku Pengusaha Dalam Pengadaan, Penyimpanan dan Penjualan obat-obatan tanpa keahlian dan Kewenangan, Universitas Muhammadiah Surakarta, 2008, hlm.2.
32
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
ijin edar yang dalam pelaksanaannya diberikan kepada Badan POM. Ijin edar tersebut berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi
Obat
serta
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
949/MENKES/PER/VI/2000 tentang registrasi obat jadi. 2.
Tiap perusahaan farmasi di Indonesia diwajibkan untuk menerapkan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia No. 05410/A/-SK/XII/89 tentang penerapan cara pembuatan obat yang baik pada industri farmasi. Pengaturan mengenai distribusi diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No. 93/MENKES/SK/III/80 tentang pemisahan Badan Usaha Distribusi dengan Badan Usaha produksi Farmasi yang menjelaskan bahwa kegiatan produksi dan kegiatan distribusi merupakan badan usaha yang terpisah. Selain itu, dalam hal mengenai kegiatan obat keras atau obat resep dokter, hal tersebut diatur tersendiri dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 918/MENKES/PER/X/1993 tentang pedagang besar farmasi. Dalam bidang harga, terdapat beberapa peraturan yang detail mengingat harga tersebut menyangkut kemampuan konsumen dalam membeli. Apabila terjadi perubahan harga jual dari obat yang diproduksi, maka harus menyampaikan laporan kepada Badan POM sesuai dengan yang tercantum dalam surat edaran dirjen POM Departemen Kesehatan Nomor 1386/A/SE/80 tentang penyusunan daftar harga obat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 679/MENKES/SK/V/2005 tentang pedoman umum pengadaaan obat pelayanan kesehatan Dasar Tahun 2005, disebutkan bahwa kebijakan pabrik untuk mencantumkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada label obat. HET ini dihitung berdasarkan Harga Netto Apotik (HNA) ditambah PPN 10% dan margin apotik terbesar 25%. HET dicantumkan pada label obat sampai pada satuan kemasan terkecil dan berlaku pada obat bebas dan obat ethical (obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter), dan dilakukan dengan ukuran yang cukup sehingga mudah dibaca oleh konsumen.
33
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Mengenai obat generik, pengaturan mengenai harga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279/MENKES/SK/II/2005 tentang perubahan atas keputusan menteri kesehatan Nomor 12/MENKES/SK/I/2005 tentang harga jual obat generik. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 085/MENKES/SK/I/1989 diatur bahwa dalam rangka memasyarakatkan penggunaan obat generic, instansi kesehatan diwajibkan memanfaatkan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Sedangkan terhadap produsen diwajibkan mencantumkan nama generik (nama bahan aktif obat) pada label obat sesuai ketentuan seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencantuman Nama Generik pada Label Obat. Dalam kegiatan impor bahan baku obat, BPOM telah menerbitkan Peraturan BPOM No: HK.00.05.1.3460 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pemasukan bahan baku obat ke dalam wilayah industry farmasi atau Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi selain harus menaati peraturan segala peraturan yang berlaku di bidang impor, juga harus mendapatkan persetujuan pemasukan bahan baku obat dari Kepala BPOM. Yang dimaksud dengan Pemasukan Bahan Baku obat adalah importasi bahan baku obat ke dalam wilayah Indonesia baik melalui pelabuhan laut maupun Bandar udaha. 2.2.2. Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia 1. Perbandingan Harga Obat dalam Negeri dengan Internasional Ada perbedaan harga pokok produk industri farmasi pada tingkat internasional. Semakin lama perbandingan harga semakin penting pada tingkat internasional khususnya dalam penentuan kebijakan pemerintah dalam sektor kesehatan. Pendapat bahwa harga obat di Indonesia sangat mahal mengacu kepada kajian yang dilakukan Health Action Internasional (HAI) yaitu suatu lembaga di bawah WHO pada tahun 2004. Kajian itu membandingkan harga obat di suatu negara (termasuk Indonesia) dengan harga referensi internasional. Harga pembelian besar (bulk Purchase) oleh suatu negara atau lembaga internasional. Dari penelitian itu
34
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
diketahui bahwa harga obat di Indonesia (terutama originator bran) jauh lebih tinggi dari harga referensi. Harga referensi tersebut dimaksudkan sebagai padanan bagi suatu negara atau lembaga dalam melakukan pembelian obat di pasar internasional. Harga eceran (retail price) di dalam negeri lebih tinggi dari harga referensi tersebut karena berbagai sebab diantaranya adalah PPN, biaya distribusi, promosi, dan, keuntungan pedagang. Perbandingan harga biasanya digunakan untuk melakukan analisis komponen biaya-biaya tersebut, mengukur brand premium (perbedaan harga obat originator brand dengan obat copy atau generic), dan efisiensi tender pengadaan obat sektor publik. Sementara itu, harga yang tercatat pada internastional drug price indicator guide sangat bervariasi. Ratio harga tertinggi dengan terendah dapat mencapai lebih dari 50 kali. Harga referensi yang digunakan oleh HAI adalah median dari harga yang bervariasi tersebut. Selain itu, median harga internasional mengalami fluktuasi cukup besar. Perbandingan harga eceran di dalam negeri dengan harga referensi tersebut dapat menimbulkan persepsi buruk secara berlebihan terhadap harga obat di dalam negeri. Harga obat di dalam negeri sangat bervariasi, ada yang sangat mahal (umumnya merek originator), ada lebih murah (branded generic), dan ada yang sangat murah (obat generic tidak bermerek-OGB). Perbedaan antara harga tertinggi dan termurah berbeda-beda antar obat yang masih dalam masa paten.
35
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Tabel 2. Perbandingan Harga Obat Tahun 2008.66
Kelas terapi
Nama generik
Harga Rupiah per satuan Dalamnegeri²
Antibiotik Analgesik Gagal jantung Anticida Antiasma Diabetes Kolesterol
Amoxilin-kaplet 500mg Rifampisin-kapsul 300 mg Ibuprofen-tablet 200 mg Paracetamol- tab 500 mg Kaptropil - tab 50 mg Randitine - tab 150 mg Salbutamol - tab 4 mg Metformin - tab 850 mg Simvastatin - tab 20 mg
Rasio harga ¹
Internasional
462.5 437.5 91.7 87.9 295.2 250 125.6 251.4 1350
391.1 379.2 50.3 46.9 196.5 204.7 43.6 230.4 522.7
1.2 0.6 1.8 1.9 1.5 1.2 2.9 1.1 2.6
2. Karakteristik Pasar Farmasi Pasar obat dikatakan memiliki karakteristik yang ganjil. Dokter yang merupakan bagian dari pemasok jasa kesehatan berperan sangat penting dan sangat menentukan dalam memilih obat yang akan dibeli dari pada konsumen (pasien) sendiri.67 Kualitas, khasiat, keamanan dan kecocokan obat tidak diketahui oleh pasien (konsumen obat) secara pasti. Perbedaan informasi (asymmetric Information) menyebabkan obat tidak dapat dinilai (dalam satuan harga) secara tepat oleh konsumen (pasien). Secara etis, keputusan dokter seyogyanya bersifat otonom dan dibatasi oleh kriteria yang ada dalam sistem kesehatan. Namun adakalanya kepentingan dokter
66
Tim Panitia Kajian Akademis, (ed), Prociding: Kajian Akademis atas Putusan KPPU No. 17/KPPU-I/2010 (dugaan pelanggaran Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No. 5 Tahun 1999 dalam Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine, (Jakarta: Magister FE-UI, 2010), hlm. 189. 67
Alvaro Zerda, et.al. Health Insurance System And Acces To Medicines-Case Study From: Argentina,Chile, Colombia,Costa Rica, Guatelama And United States Of America. Washington,D.C. June 2002, dalam Sutrisno Iwanto,”Beberapa Isu Yang Sering Dipertanyakan Dalam Kasus Kartel di Indonesia”, dalam Ibid, hlm. 191.
36
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
bertolak belakang dengan kepentingan pasien. Dokter memperoleh manfaat lebih tinggi apabila pasien menggunakan obat mahal. Harga yang terbentuk tidak selalu mencerminkan kekuatan penawaran dan permintaan. Selain sifatnya yang khas, obat adalah produk berbasis riset berbiaya besar. Selama jangka waktu tertentu produsen innovator memperoleh hak eksklusif atas produk tersebut. Selama periode paten tersebut pasar bersifat monopolistik.68 Karena sifat-sifat yang disebutkan di atas, kompetisi di pasar obat umumnya lebih pada sisi kualitas, inovasi, dan loyalitas pada merek tertentu (brand awareness). Format persaingan di pasar farmasi berbeda dengan di pasar barang dan jasa pada umumnya. Persaingan di pasar obat tidak serta merta mendorong satu produsen (pemasok) melakukan penurunan harga. Loyalitas konsumen dan perbedaan kualitas69 memungkinkan satu produsen dapat menerapkan harga tinggi dari pada pesaingnya (brand premium). Harga tinggi tidak selalu disebabkan oleh absennya persaingan.70 3. Persaingan di Pasar Farmasi71 Untuk mengetahui persaingan di pasar farmasi maka yang wajib harus diketahui adalah struktur farmasi itu sendiri. Pasar farmasi merupakan salah satu bentuk pasar oligopolis dimana terdapat beberapa penjual dan terdapa saing ketergantungan. Karakteristik Pasar Oligopoli72 adalah sebagai berikut: 1. Terdapat Beberapa Penjual (Few Sellers) Hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar masing-masing perusahaan di pasar cukup signifikan. Jumlah perusahaan yang lebih sedikit dibanding pasar persaingan sempurna ataupun
68
Ibid
69
Kualitas obat salah satunya ditentukan oleh tingkat CPOB yang diterapkan dalam produksi. Sumber bahan baku dan jenis sediaan dapat pula mempengaruhi biaya produksi. 70
Ibid.
71
Ibid, hlm.190.
72
Andi Fahmi, et.al., Hukum Persaingan Usaha: antara Teks & Konteks, hlm.37.
37
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
persaingan monopolistik disebabkan oleh terdapatnya hambatan masuk ke dalam pasar. 2. Saling Ketergantungan (Interdependence) Pada struktur pasar persaingan sempurna maupun persaingan monopolistis, keputusan perusahaan atas harga dan kuantitas hanya mempertimbangkan tingkat permintaan di pasar dan biaya produksi yang dikeluarkan. Sementara di pasar oligopoli, keputusan strategis perusahaan sangat ditentukan oleh perilaku strategis perusahaan lain yang ada di pasar. Pada kompetisi pasar, harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Biaya marginal, khususnya karakteristik produk, mempunyai pengaruh besar dalam penentuan harga obat. Kalau pasar diklasifikasikan sebagai pasar dengan persaingan tidak sempurna atau murni oligopoli, perusahaan harus mempertimbangkan harga yang dikenakan oleh perusahaan yang bersaing dengan mereka walaupun produk kurang lebih sama. Dalam industry farmasi, kalau paten sudah habis dan obat generic masuk pasar, perusahaan farmasi harus mengubah harga obat tersebut. Berdasarkan audit IMS atas penjualan obat di Rumah sakit, apotik, dan toko obat, terdapat 261 produsen menjual hasil produksinya pada segmen pasar tersebut. Persaingan di pasar farmasi, khususnya pada segmen pasar rumah sakit, apotik dan took obat, terjadi cukup kompetitif. Konsentrasi pasar sangat rendah dan persaingan makin terancam pada herfindahl-Hirschman Index (HHI) sebesar 0,03 dan CR4 cenderung turun. Produsen terbesar (CR4) mengindikasikan konsentrasi pasar sekitar 24,5% (dua puluh empat koma lima persen). Di atas hanya gambaran kasar struktur pasar farmasi di Indonesia. Tingkat persaingan tergantung pada defenisi mengenai “pasar bersangkutan” (relevan market). Menentukan defenisi pasar bersangkutan bagi suatu produk farmasi bukan persoalan yang sederhana. ada penyakit yang hanya dapat diobati dengan berbagai jenis obat. Suatu jenis obat dapat digantikan oleh obat lain yang memiliki kandungan molekul sama atau oleh obat dengan berbagai jenis obat. Satu jenis obat dapat digantikan oleh obat lain yang memiliki kandungan molekul berbeda tetapi memiliki kesamaan khasiat.
38
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Tabel 3. Pangsa Penjualan obat di apotik dan rumah sakit73 Urutan
2005
2006
Total
2007
2008
2009
7,84
8,33
8,36
100
6,98
6,37
6,35
6,47
6,75
6,56
6,13
6,08
5,55
5,59
4,84
4,52
4,20
4,03
3,84
4,01
4,01
3,91
3,55
3,23
2,62
2,45
2,53
2,72
2,70
2,58
2,43
2,40
2,69
2,66
8.
2,38
2,36
2,40
2,35
2,48
9.
2,25
2,27
2,35
2,21
2,30
10.
2,22
2,26
2,18
2,18
2,27
11.
2.10
2,17
2,17
2,17
2,27
12.
2,08
2,13
2,00
2,10
2,11
13.
2,03
2,03
1,99
2,01
2,08
14.
1,90
1,92
1,97
2,01
2,04
15.
1,83
1,85
1,94
1,99
2,03
16.
1,75
1,85
1,89
1,97
1,93
17.
1,74
1,72
1,85
1,83
1,82
18.
1,64
1,71
1,81
1,76
1,70
19.
1,58
1,68
1,80
1,74
1,70
20.
1,55
1,65
1,70
1,72
1,66
73
Ibid.
39
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
CR4
26,20
24,71
24,47
24,38
24,54
HHI
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
Perjanjian
Dalam
Sumber: IMS Health, diolah.
2.3
Tinjauan
Hukum
Terhadap
Undang-Undang
Persaingan Usaha 2.3.1. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Persaingan Usaha Kemajuan teknologi dan komunikasi dewasa ini mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak lagi terkekang dengan batas-batas negara. Begitu banyak fenomena regioanalisme yang terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya saja ASEAN ataupun Uni Eropa. Batas-batas Negara pada tingkat tertentu akhirnya menjadi tidak terlalu signifikan. Dampak
konkret yang
dirasakan kemudian
adalah
terciptanya
interindependensi ekonomi di dunia. Interindependensi bisa terjadi karena dua hal, yaitu, pertama, karena adanya persamaan baik dari variasi sumber-sumber daya alam, sistem perekonomian, dan faktor-faktor dominan lain dalam masing-masing Negara. Kedua, karena adanya perbedaan dan beragamnya faktor-faktor dominan yang dimiliki suatu negara tadi, bukan saja sumber alam dan perekonomian, melainkan juga faktor lain seperti jumlah penduduk, iklim, dan tentunya teknologi.74 Bentuk kerja sama ini juga sama menguntungkannya karena bisa saling mengisi kebutuhan masing-masing negara. Persinggungan-persinggungan ini melahirkan kebutuhan akan adanya transaksi-transaksi yang sifatnya internasional di samping transaksi komersial domestik. Terlebih lagi, transaksi yang sifatnya internasional ini akan meningkatkan daya saing dari masing-masing negara dan
74
Wolfgang Friedman, The Changing Structure of International Law, (London: Stevans and Sons, 1964), hlm. 21; Jhon H. Jakson, “International Economic Law”, dalam R. bernhardt, (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 8, (1985), hlm. 149. Dalam Huala Adolf (a), Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 2.
40
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
terciptalah persaingan untuk berlomba-berlomba mengambil keuntungan dan menciptakan efisiensi.75 Persaingan merupakan satu karakteristik yang legal dengan kehidupan manusia yang cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Pada dasarnya persaingan dalam dunia usaha merupakan suatu syarat mutlak (condition sine qua non) bagi terselenggaranya suatu perekonomian yang berorientasi pasar (market economy). Peranan hukum dalam persaingan usaha adalah dari terselenggaranya suatu persaingan yang sehat dan adil (fair competition) sekaligus mencegah timbulnya persaingan tidak sehat (unfair competition) karena persaingan yang tidak sehat hanya akan bermuara pada matinya persaingan usaha yang pada gilirannya akan melahirkan monopoli.76 Persaingan adalah suatu elemen yang esensial dalam perekonomian modern. Pelaku usaha menyadari dalam dunia bisnis adalah wajar untuk mencari keuntungan usaha yang jujur. Sehingga kebutuhan akan hukum persaingan merupakan kebetuhan esensial mengenai code of conduct yang dapat mengarahkan pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dan jujur.77 Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha yang secara sederhana dapat didefenisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam “merebut” pembeli dan pangsa pasar. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selalu bersaing. Persaingan ada yang dilakukan secara negatif atau persaingan tidak sehat, akan berakibat pada matinya atau
75 Konsep efisiensi adalah cara untuk mencapai kesejahteraan secara maksimal. Kesejahteraan dikatakan sudah mencapai tingkat maksimal apabila barang dan jasa yang didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (yang diukir dengan kemampuan individu untuk membayar barang dan jasa), tidak dapat ditingkatkan lagi. Menurut Prof. Chatamarrasjid Ais, konsep efisiensi dalam ilmu ekonomi itu berkaitan dengan cost and benefit dari suatu kegiatan, aturan, lembaga, atau masyarakat secara keseluruhan bukan terhadap individu yang spesifik. Selanjutnya, cost and benefit dari masing-masing individu. Lihat Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, ed. Ke-1, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.8. 76
Johnny Ibrahim, Hukum persaingan usaha: filosofi, teori, dan implikasi penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), hal 40. 77
Hikmahanto Juwana, “Sekaligus Tentang Hukum Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999”, (Depok: Jurnal Magister Hukum 1, 1999), hlm. 27.
41
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
berkurangnya persaingan antar pelaku usaha; Timbulnya praktek monopoli di mana pasar dikuasai hanya oleh pelaku usaha tersebut; dan bahkan kecenderungan pelaku usaha untuk mengeksploitasi konsumen dengan cara menjual barang yang mahal tanpa kualitas yang memadai.78 Dalam kondisi penjual maupun pemebeli terstruktur secara otomatis (masingmasing berdiri sendiri sebagai unit-unit terkecil dan independen) yang ada dalam persaingan, kekuasaan ekonomi atau yang didukung faktor ekonomi menjadi tersebar dan terdesentralisasikan. Ekonomi pasar dan persaingan itu selalu harus ada bersamasama dan pengalaman menunjukkan bahwa ekonomi pasar memiliki kinerja terbaik di antara semua sistem ekonomi yang ada. Ekonomi pasar dan persaingan menjamin: a. Terjadinya pemasokan yang paling baik bagi konsumen; b. Kemampuan masyarakat akan meningkat; c. Bahwa persaingan akan membawa kepada keadaan dimana sumber daya yang terbatas terutama modal akan digunakan di tempat-tempat yang paling bermanfaat bagi pemanfaatan sumber daya tersebut; d. Persaingan selalu akan memaksa produsen untuk mencoba tehnologi produksi baru dan meningkatkan kualitas dari produk-produk mereka.79 Dari sudut ekonomi, persaingan mendukung masalah efisiensi, sumber daya ekonomi akan bisa dialokasikan dan didistribusikan secara baik, apabila para pelaku ekonomi dibebaskan untuk melakukan aktivitas mereka dalam kondisi bersaing dan bebas menentukan pilihan-pilihan mereka sendiri. 2.3.2. Sejarah Singkat Undang-Undang Persaingan Usaha Dibandingkan dengan banyak negara lain, Indonesia sudah sangat ketinggalan start. Di Amerika Serikat, sudah lama sekali berlaku undang-undang yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan sebelum berlakunya
78
Ibid, hlm. 32.
79
Wolfgang Kartte, Persaingan usaha untuk memajukan kesejahteraan rakyat, dalam seminar sehari “Persaingan Sehat Untuk Memajukan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta, desember 1999.
42
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
undang-undang itu, yaitu sebelum berlakunya Sherman Act pada tahun 1890, putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat telah memberikan putusan-putusan mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan common law. Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur dalam berbagai undang-undang yang disebut Antitrust Law. Undang-undang tersebut terdiri atas 4 (empat) undang-undang utama, yaitu Sherman Act, Clayton Act, Robinson-Patman Act, dan Federal Trade Commission Act.80 Undang-Undang Persaingan Usaha sangat dipengaruhi oleh Antitrust Law Amerika Serikat dalam pembuatannya. Bukan saja banyak terminologi yang digunakan oleh undang-undang tersebut mengambil alih dan merupakan terjemahan dari Antitrust Law, tetapi juga isi UU No. 5 Tahun 1999 tersebut telah belajar dari Antitrust Law itu. Di Indonesia sendiri, Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasanbatasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut.81 Bila melihat kepada latar belakangnya, pada orde baru, upaya berbagai pihak dalam masyarakat untuk segera memiliki Undang-Undang Persaingan Usaha tidak 80
Jurnal Hukum Bisnis, “UU Anti Monopoli; Tantangan dan Masalah di Seputarnya”,
hlm.5. 81
Muladi, "Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. (Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998), hlm. 35.
43
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pernah berhasil karena berbagai alasan. Ada beberapa alasan mengapa sulit sekali suatu undang-undang antimonopoli disetujui oleh pemerintah orde baru. Alasan yang pertama adalah karena pemerintah telah menganut konsep bahwa perusahaanperusahaan
besar
perlu
ditumbukan
untuk
berfungsi
menjadi
lokomotif
pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian
menjalankan
fungsinya
sebagai lokomotif
pembangunan
apabila
perusahaan-perusahaan itu diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu adalah dalam bentuk pemberian proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, bahwa pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dam proteksi, sulit bagi pemerintah untuk dapat memperoleh kesediaan investor menanamkan modalnya di sektor tersebut. Ketiga adalah untuk menjaga berlangsungnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).82 Berbagai alasan dan pertimbangan formal, baik alasan politis, ekonomis, sosial, maupun yuridis, dapat saja dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru. Dambaan masyarkat agar di Indonesia segera diberlakukan Undang-Undang Persaingan Usaha didorong oleh makin ganasnya praktik-praktik usaha tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki posisi dominan karena pangsa pasar yang dikuasainya. Oleh masyarakat perusahaan-perusahaan tersebut sering disebut dengan perusahaan konglomerat. Praktik-praktik mereka itu telah dirasakan sangat merugikan kehidupan berusaha perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di samping sangat merugikan para konsumen. Sebelum adanya undang-undang yang secara formal serta komprehensif mengatur mengenai persaingan usaha, di Indonesia telah terdapat beberapa upaya konkret untuk membuat konsep persaingan usaha, tetapi sifatnya masih tersebur di beberapa peraturan hukum.
82
Ibid, hlm. 8.
44
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Bagan 183 Peraturan Hukum Sebelum UU No. 5 Tahun 1999 No. Aturan Perundang-
Pasal
Isi
undangan 1.
KUH Pidana
Pasal 382
Larangan dan ancaman pidana bagi
(W.v.s)
pihak yang melakukan perdagangan curang
2.
KUH
Perdata Pasal 1365
Setiap perbuatan yang melanggar
(B.W)
hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut untuk member ganti rugi.
3. 4.
UU No. 5 Tahun Pasal 13
Monopoli di bidang pertanahan harus
1906
dicegah.
UU No. 19 Tahun Pasal
81
dan Ancaman
1992/UU No. 14 Pasal 82
pidana
bagi
perbuatan
curang dalam pemakaian merek
Tahun 1997 tentang merek 5.
UU No. 5 Tahun Pasal 7 ayat (3)
Mencegah
1984
penguasaan industry oleh salah satu
Tentang
Perindustrian
pemusatan
atau
kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
6.
UU No. 1 Tahun Pasal 104 ayat Mencegah kemungkinan terjadinya 1995
Tentang (1)
Perseroan Terbatas
monopoli masyrakat
atau
yang
akibat
merugikan
penggabungan,
83
Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, hlm. 15-17.
45
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
peleburan,
atau
pengambilalihan
perusahaan. 7.
8.
UU No. 8 Tahun Pasal 10
Melarang adanya ketentuan yang
1995 tentang Pasar
menghambat adanya persaingan sehat
Modal.
dalam pasar modal.
UU No. 9 Tahun Pasal 8 huruf b
Mencegah pembentukan stuktur pasar
1995 tentang Usaha
yang dapat melahirkan persaingan
Kecil
yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligolpoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
9.
PP No. 27 Tahun Pasal 4 ayat (1b)
Penggabungan,
1998
pengambil alihan perusahaan hanya
tentang
dapat
Penggabungan, Peleburan,
dan
Pengambilalihan
peleburan,
dilakukan
memerhatikan
dan dengan
kepentingan
masyarakat dan persaingan sehat.
Perseroan Terbatas. 10.
PP No. 70 Tahun Pasal 15 ayat (1)
Merger dan konsolidasi hanya dapat
1992 tentang Bank
dilakukan setelah ijin dan menkeu.
Umum Akhirnya, atas adanya tekanan IMF kepada pemerintah Indonesia agar pemerintah segera memberantas praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di Indonesia dengan cara segera memberlakukan undang-undang yang mengatur hal itu. Pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund (IMF). IMF
menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu.
46
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan pemerintah pada waktu itu, beberapa diantaranya yang bersinggungan dengan persaingan usaha adalah:84 1. Butir (31) bulan November, Pemerintah menyusun strategi ambisius untuk
reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali ke arah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi berbiaya tinggi ke ekonomi yang lebih terbuka, efisien dan kompetitif. Untuk itu strategi yang ditujukan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing, deregulasi kegiatan domestic dan mempercepat program swastanisasi sekaligus mempertimbangkan langkah menghadapi kemiskinan. 2. Butir (32), Pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih terbuka
dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog untuk program gandum, kedelai, bawang putih. Importer diperkenankan menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali gandum. 3. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta penurunan
harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tariff produk kimia akan diturunkan menjadi 5% mulai 1 Januari 1999. Dengan demikian tariff maksimum produk-produk ini ditargetkan mencapai 10% pada tahun 2003. 4. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk pertanian
seperti cengkeh, jeruk dan vanilla akan memiliki kebebasan menjual dan membeli komoditinya tanpa ada batasan wilayah. BPPC akan dibubarkan pada bulan Juni 1998. 5. Butir (43) monopoli Bulog akan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1 Februari
1998, semua pedaganag akan diizinkan untuk mengimpor gula dan memasarkannya pada pasar domestik, dan petani akan dibebaskan dari ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.
84
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, hlm.7-9.
47
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Salah satu yang diatur dalam Letter of Intent tersebut adalah untuk menjamin adanya iklim persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.85 Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut.86 Melihat momentum yang tepat untuk mengeluarkan aturan hukum persaingan yang bertolak belakang dengan praktik perdagangan era orde baru tersebut, DPR-RI bersama pemerintah mengusulkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun istilah monopoli dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang menguasai atau memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di beberapa negara seperti Amerika Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan (trust) dari beberapa perusahaan besar yang mengakibatkan persaingan terganggu. Akhirnya, setelah ditunggu bertahun-tahun, suatu undang-undang yang mengatur mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, atau lebih dikenal sebagai undang-undang antimonopoli, diundangkan di Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999.87 Dan berdasarkan Pasal 53, Undang-Undang ini berlaku terhitung satu tahun sejak tanggal diundangkan.
85
Ibid, hlm. 9-10.
86
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks & Konteks, hlm. 13.
87
Jurnal Hukum Bisnis, “UU Anti Monopoli; Tantangan dan Masalah di Seputarnya”, hlm. 5
48
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
2.3.3. Perjanjian Yang Dilarang dalam Undang-Undang Persaingan Usaha 2.3.3.1.
Pengertian Perjanjian yang Dilarang.
Pada dasarnya, pengertian dan asas perjanjian dalam UU Persaingan Usaha tetap menggunakan dasar-dasar perjanjian dalam KUH Perdata.
88
Namun, secara
rinci, Perjanjian dalam UU Persaingan Usaha memiliki kekhususan tersendiri. Konsep perjanjian adalah hubungan antara para pihak yang terlibat dalam masingmasing aktivitas secara komersial secara hukum, diwujudkan dalam suatu perikatan hak dan kewajiban yang memberikan konsekuensi adanya pihak yang berkewajiban melaksanakan kewajiban yang bagi pihak lain menjadi haknya. Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti perikatan, persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.89 Dari pengertian tersebut, dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri.” Sejalan dengan pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan dan juga karena undang-undang.90 Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.91
88
Sistematika hukum perdata menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: Buku I tentang orang/van personen. Di dalamnya diatur hukum tentang diri sendiri seseorang dan hukum kekeluargaan 2. Buku II tentang benda/van zaken. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris. 3. Buku III tentang perikatan/van verbintenisen. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbale balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu. 4. Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa/van bewijs en verjaring. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa. 1.
89
Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim, op.cit,hlm. 42; kontrak adalah dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. dalam buku Abdul R.Saliman,et.al, Hukum BisnisUntuk Perusahaan,Teori dan Contoh Kasus,(Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 41.
49
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya Harahap mengartikan Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi.92 Perjanjian menurut Subekti adalah “berupa perikatan terlebih dahulu yang muncul, dimana kata-kata perikatan mempunyai arti yang luas dari perjanjian”.93 Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa 3 macam. Pertama, kewajiban untuk memberikan sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga, kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu. Terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.94 Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 meliputi:95 •
Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
•
Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;
•
Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis ; dan,
•
Tidak menyebutkan tujuan perjanjian. Pengertian tersebut sejalan dengan teori persaingan usaha yang mengatakan
bahwa perjanjian adalah strategi pasar bersama oleh beberapa pelaku usaha. esensi perjanjian adalah bahwa pesaing saling bersepakat mengenai data pasar, atau tidak 90
Subekti (a), Hukum Perjanjian , (Jakarta: PT. Intermasa, 1984), hlm. 1.
92
M. Yahya harahap, Segi-Segi HukumPerjanjian,(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6
93
Buku III B.W perkataan “perikatan” (verbintenis), mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Lihat Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 122. 94
Indonesia, “Undang-Undang Persaingan Usaha”, Pasal 1 angka 7.
95
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, hlm. 37.
50
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
lagi masuk pasar sendiri-sendiri.96 Pada umumnya tidak dipersoalkan jenis dari kesepakatan yang dibuat atau dijalin dan bukan hanya perjanjian tertulis yang dikenakan ketentuan umum persaingan usaha, tetapi termasuk juga kesepakatan lisan maupun apa yang dikenal sebagai perilaku yang diselaraskan, maksudnya perilaku parallel secara sadar dan disengaja diantara sejumlah perusahaan dengan tujuan menghindari atau menghambat persaingan di pasar tertentu. Jiwa dari suatu perjanjian menurut menurut hukum monopoli adalah ikatan. Ikatan tersebut tidak harus melibatkan semua pihak yang berpartisipasi dalam perjanjian bersangkutan, hal ini termuat dalam UU Persaingan Usaha, yang mengatakan bahwa ikatan terhadap satu pihak sudah memenuhi persyaratan. Untuk penerapan hukum, penting menentukan kapan sesuatu merupakan ikatan. Di beberapa negara lain, pengertian perjanjian hampir sama. Seperti di Australia, istilah perjanjian (contract) dalam hukum persaingan pada prinsipnya diartikan
sebagaimana
istilah
contract
biasa,
yang
mensyaratkan
adanya
consideration yang berarti masing-masing pihak saling memberikan sesuatu. Karenanya perjanjian sepihak tidak bisa dilaksanakan. Bahkan istilah "arrangement" dan "understanding" yang dipakai di dalam hukum persaingannya rnengharuskan adanya meeting of the minds antara para pihak yang berarti bukan bersifat sepihak, walaupun artinya menunjukkan sesuatu yang lebih ringan dari perjanjian biasa. Sedangkan di Amerika Serikat istilah "agreement" yang mencakup "contract", "combination", atau "conspiracy" menurut Section 1 dari The Sherman Act mengharuskan adanya tindakan bersama-sarna dari dua orang atau lebih untuk membemuknya, sedangkan tindakan bersama (concerted action) hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai unity of purpose, atau understanding, atau telah terjadi meeting of minds di antara mereka.97
96
Saecker, Law Concerining Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Bussiness Competition, (Depok: lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI, 2000), hlm. 63. 97
Ayudha D. Prayoga, et aI., (Ed.), Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. (Jakarta: Proyek ELIPS, 2000), hlm. 76-77.
51
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Dilihat dari kekhususan Perjanjian dalam UU Persaingan Usaha, jiwa dari suatu perjanjian adalah “ikatan”. Ikatan tersebut tidak harus melibatkan semua pihak yang berpartisipasi dalam perjanjian bersangkutan. Sudah cukup kalau hanya satu pihak. Seperti dalam UU yang mengatakan bahwa ikatan terhadap satu pihak sudah cukup memenuhi persyaratan. Untuk penerapan hukum penting menentukan kapan sesuatu merupakan ikatan atau tidak ada ikatan. Dalam menentukan ikatan harus dibedakan, yaitu:98 1. Ikatan Hukum. Suatu pihak terikat menurut hukum, apabila perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Kewajiban tersebut adalah ikatan perjanjian yang mengharuskan pihak bersangkutan melakukan perilaku tertentu. Ikatan hukum juga diakibatkan oleh kewajiban ganti rugi satu pihak terhadap pihak lain, apabila melanggar ketentuan perjanjian.99 2. Ikatan Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Ikatan ekonomi dihasilkan suatu perjanjian apabila ada standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum, tetapi hanya untuk mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah perjanjian penetapan harga dibawah harga pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Persaingan Usaha. Pihak yang diikut sertakan dalam perjanjian tersebut biasanya menuntut harga yang lebih rendah agar tidak mengalami kerugian persaingan usaha. jadi pada ikatan ekonomi pihak yang terikat perjanjian beruntung apabila mengikuti strategi yang disepakati, sedang kalau menyimpang dari strategi tersebut mengalami kerugian. Ikatan lainnya, yaitu ikatan moral dan sosial, dari segi hukum sulit ditentukan secara tegas. Ikatan tersebut hanya diidentifikasi apabila dalam kenyataannya bersifat wajib
98
Knud Hansen, “Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat…”, hlm. 82-83. 99
Ibid.
52
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
bagi pihak terikat. Alasannya dapat bermacam-macam, misalnya kehilangan wibawa apabila pihak yang terikat melanggar ketentuan perjanjian.100 2.3.3.2.
Subjek Perjanjian yaitu “Pelaku Usaha” dalam Undang-Undang Persaingan Usaha.
Yang dimaksudkan dengan pihak-pihak dalam perjanjian di sini adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata, disebutkan : “pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.” Asas tersebut dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri, ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan minta ditetapkannya suatu janji, ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu. Memang sudah semestinya, perikatan hukum yang dilakukan oleh suatu perjanjian, hanya mengikat orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan perjanjian tersebut. Kalau seseorang ingin mengikatkan diri dengan orang lain, harus ada kuasa yang diberikan oleh orang tersebut. Namun, kalau akan dikuasakan kepada orang lain, yang selanjutnya mengikatkan orang itu pada seorang lain lagi, maka orang tersebut tidak bertindak atas nama diri sendiri, tetapi atas nama orang lain, yaitu si pemberi kuasa. Yang menjadi pihak dalam perjanjian yang dibuat atas nama orang lain, adalah orang tersebut dan bukan orang itu sendiri. Dikaitkan dengan UU Persaingan Usaha, subjek hukum di dalam perjanjian tersebut adalah "pelaku usaha", Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha menyatakan, yang dimaksudkan dengan "pelaku usaha" adalah
100
ibid
53
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”101 Defenisi pelaku usaha tersebut tidak membedakan antara perusahaan terbuka dan perusahaan tertutup. Sepanjang pelaku usaha itu melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Republik Indonesia, UU Persaingan Usaha dapat diterapkan jika pelaku usaha melanggar ketentuannya.102 Selain itu, pelaku usaha ini melakukan kegiatannya dalam pasar yang pada terminologi ekonominya dapat disamakan dengan pelaku dalam pasar. Produsen (perusahaan) adalah pemegang peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual di pasar untuk para konsumen. Di mana pelaku dalam pasar atau ekonomi ini akan berupaya mencapai keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya dengan mempertimbangkan variable biaya atau cost yang harus dikeluarkan.103 Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara. Badan usaha dimaksud adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiaran usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasalnya, hanya badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum Negara
101
Indonesia (a), “Undang-Undang Persaingan Usaha”, Pasal 1 angka 5.
102
M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, (Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007), hlm. 280. 103
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, hlm. 50-51.
54
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Republik Indonesia yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1999.104 2.3.3.3.
Bentuk-Bentuk Umum Perjanjian dalam Undang-Undang Persaingan Usaha.
Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Persaingan usaha tidak mempersoalkan bentuknya tertulis atau tidak tertulis. Perlakuan terhadap kedua bentuk perjanjian tersebut adalah sama. Menjadi masalah adalah kesulitan dalam hal pembuktian perjanjian tidak tertulis. Ketentuan mengenai perjanjian yang dilarang dalam UU ini tetap merujuk kepada pengertian penjelasan perjanjian seperti yang sudah dipaparkan penulis di atas. Pada bagian ini penulis, secara khusus akan membahas mengenai pengaturan perjanjian yang dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) UU Persaingan Usaha, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh UU Persaingan Usaha, dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulis pun dapat diakui atau digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara tertulis saja. Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Undang-Undang Persaingan Usaha dapat dikatakan sebagai undang-undang pertama yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci tentang pembatasan bagi perjanjian-perjanjian yang
104
Rachmadi Usman. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. hlm. 4-5.
55
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
dilakukan oleh para pelaku usaha. berikut ini adalah jenis-jenis perjanjian yang dilarang yang termuat dalam Undang-Undang Persaingan Usaha. Perjanjian-perjanjian yang dilarang dan termasuk "praktik monopoli" di antara Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Pasalpasal 4, 9, 13, dan 16; selebihnya adalah perjanjian-perjanjian yang dikategorikan melanggar "persaingan usaha tidak sehat". Meskipun keempat pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16 termasuk perjanjian yang dianggap mengakibatkan praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu pun menurut UU Persaingan Usaha dapat menimbulkan "persaingan usaha tidak sehat". Tidak peduli apakah akibat yang ditimbulkan itu bersifat kumulatif atau bersama-sama (terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), maupun alternatif atau salah satu dari praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat saja.105 Dalam UU Persaingan Usaha terdapat beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu: 1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999); 2) Penetapan harga 1.6 Penetapan harga (price fixing) (Pasal 5 UU No.5/1999); 1.7 Diskriminasi harga / price discrimination (Pasal 6 UU No.5/1999); 1.8 Jual Rugi (Predatory Pricing) (Pasal 7 UU No.5/1999) 1.9 Pengaturan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) (Pasal 8 UU No.5/1999); 3) Pembagian wilayah / market division (Pasal 9 UU No.5/1999); 4) Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999); 5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999); 6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999); 7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ; 8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
105
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: PT -Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 18
56
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
9) Perjanjian Tertutup; a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999); b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999); c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999); 10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri. Seperti yang telah dikemukakan dalam bab pendahuluan maka yang dibahas hanya perjanjian dalam bentuk, kartel, perjanjian penetapan harga, dan perjanjian pengaturan produksi. A. Perjanjian Kartel Kartel merupakan sekelompok pelaku usaha dalam satu industry yang sama yang seharusnya saling bersaing namun justru saling berkolaborasi menentukan harga.106 Aliansi ini membuat perjanjian kerjasama yang sifatnya anti persaingan usaha. Perjanjian yang dilarang ini pada dasarnya merupakan perbuatan mengikatkan diri atau kolusi, yang dilakukan baik tertulis maupun tidak tertulis di antara para pelaku usaha yang seharusnya saling bersaing justru menciptakan koordinasi.107 Umumnya, kartel digunakan oleh asosiasi dagang bersama dengan anggotanya.108 Sebagaimana diasebutkan dalam Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010, pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoodinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan/jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan wajar. Kartel akan memaksa konsumen untuk membayar lebih mahal
106
Eleanor M.Fox, “End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World, (Chikago: University Of Chicago Legal Forum 221, 1992), hlm. 228. 107
Kieran A.Lasater, “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by the Opec Member Nations: Do they practice what they preach?”, (23 Penn State International Law Review 413, 2004), hlm. 414. 108
Hukum Online, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21688/industri-minyakgoreng-terindikasi-kartel, diakses tanggal 20 Mei 2011.
57
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
suatu produk.109 Kartel menggunakan sejumlah mekanisme untuk mengkoordinasikan kegiatan para pelaku usaha tersebut,110 termasuk dengan cara penetapan harga,111 pembagian wilayah,112 pembagian pelanggan,113 dan perjanjian wilayah pasar.114 Berbeda dengan Amerika yang merupakan negara maju, tidak terdapat penyebutan tentang kartel dalam aturan persaingan usaha Amerika Serikat. Kartel di Amerika Serikat dilarang berdasarkan pada Sherman Act. Dalam Ketentuan Section 1 Sherman Act disebutkan bahwa:
Every contract, combination in the form of Trust or otherwise, or conspiracy, in restrain of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal. Every Person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy declared by section 1 to 7 of this title to be illegal shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding there years, or both said punishment in the discretion of the court. Penjabaran dan pelaksanaan penanganan kartel di Amerika Serikat dapat dilihat dalam Anti Trust Guidelines for Collaborations among Competitors.115 Di
109 Lihat bagian Bab I Latar Belakang Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010. 110
Jonathan T.Schmidt, “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs: A hybrid Aproach to the Effective Deterrence Of Internasional Cartels, (31 Yale Journal of Internasional Law, 2006), hlm. 218. 111
Indonesia, UU Persaingan Usaha, Pasal 13.
112
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lihat juga Mustafa Kamal Rokan, “Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia)”, (RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2010), hlm.106. 113
Jonathan T.Schimidt, “Keeping U.S. Courts Open to Foreign..”, hlm.218.
114
Knud Hansen, et.al., “Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat..”, hlm. 220. 115
Federal Trade Commision and The U.S. Department of Justice, Anti Trust Guidelines for Collaborations Among Competitors, hlm. 2-3.
58
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Eropa, ketentuan mengenai kartel diatur dalam Article 81 (1) European Community Treaty yang intinya bahwa yang dilarang adalah segala bentuk perjanjian yang menentukan harga atau produksi, pasar, dan segala sesuatu yang bermuara pada ketiga hal tersebut. Dalam UU Persaingan Usaha, Kartel diatur dalam Pasal 11 dan telah dijabarkan lebih lanjut dalam Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 kartel. Perumusan kartel secara rule of reason oleh pembentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dari pengertian tersebut di atas, dapat diketahui adanya beberapa jenis kartel yang dikenal saat ini, yaitu: a. Perjanjian penetapan harga b. Bid rigging c. Alokasi Pelanggan d. Alokasi Wilayah e. Pembatasan atau Pengaturan Produksi. Dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010 tersebut, diberikan indikator awal indentifikasi kartel, yaitu: 1. Faktor Struktural a. Tingkat Konsentrasi dan Jumlah Perusahaan Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya CR4 (jumlah pangsa pasar empat perusahaan terbesar) dan HHI (HerfindhalHirshman Index) merupakan indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur pasat tertentu mendorong eksistensi kartel. b. Ukuran Perusahaan Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan demikian,
59
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat tercapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tersebut tidak berbeda jauh. c. Homogenitas Produk Produk yang homogeny, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal in menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variable persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pengusaha untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka. KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk tertentu untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut. d. Kontak Multi-Pasar Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar dengan pesaingnya yang juga mempunyai sasaran pasar yang luas. Multi-Pasar dapat diartikan persaingan di beberapa area pasar atau dibeberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang seharusnya bersaing untuk melakukan kolaborasi, misalnya dengan alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada insentif bagi para pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel karena adanya kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh area atau segmen pasar sasaran. e. Persediaan dan Kapasitas Produksi Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu, kelebihan
60
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpan mengingat pasokan yang tersedia cukup banyak untuk “menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengidentifikasi kartel. f. Keterkaitan Kepemilikan Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayotiras mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya kepemilikan silang. g. Kemudahan Masuk Pasar Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian, kartel akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru. h. Karakteristik Permintaan: Keteraturan, Elastisitas, dan Perubahan Permintaan yang teratur dan inelastisitas dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan sangat fluktuatif, elastisitas dan tidak teratur akan menyulitkan terbentuknya kartel. i. Kekuatan Tawar Pembeli (Buyer Power) Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel.
61
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
2. Faktor Perilaku a. Transparansi dan Pertukaran Informasi Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan tranparansi di antara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirim ke asosiasi secara periodic dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang menaakan terlihat janggal jika sesame pelaku usaha saling memberikan harga dan data produksi di antara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat. b. Pertukaran Harga dan Kontrak Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industry. Misalnya, kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antara anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel. B. Perjanjian Penetapan harga Perjanjian untuk penetapan harga juga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:116 1.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama, kecuali untuk suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
2.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
62
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga dibawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
4.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat dipahami melalui penjelasan UU
Persaingan Usaha sebagai berikut:117 1. Penetapan harga antar pelaku usaha. Penetapan harga (price fixing) antar pelaku usaha secara bersamasama dikalangan pelaku usaha akan meyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. Undang-Undang Anti Monopoli memberikan perkecualian terhadap larangan membuat perjanjian tentang penetapan harga antar pelaku usaha ini, yaitu jika perjanjian penetapan harga tersebut di buat dalam hal: a) Dalam suatu usaha patungan, atau b) Didasarkan pada undang-undang yang berlaku. 2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama. Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang satu dengan konsumen lainnya, dengan jalan memberikan harga yang berbedabeda terhadap barang/jasa yang sama. Dalam teori ilmu hukum anti monopoli dikenal beberapa macam dikriminasi harga yang dilarang, yaitu sebagai berikut: a) Diskriminasi harga primer (primery line) adalah suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pelaku usaha pesaingnya.
117
Ibid, hlm. 56-60
63
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
b) Diskriminasi harga sekunder (secondary line) adalah suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang dapat mempunyai akibat negative dari pelaku usaha pesaingnya. c) Diskriminasi harga umum adalah suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha tanpa melihat kepada letak geografisnya. d) Diskriminasi harga geografis adalah suatu diskriminasi harga dimana harga dibeda-bedakan menurut letak geografisnya. e) Dikriminasi
harga
tingkat
pertama
(first
degree
price
discrimination) sering disebut juga dengan diskrimiasi harga sempurna (perfect price discrimination). Dalam hal ini perbedaan harga dari satu pembeli dengan pembeli lainnya sangat jauh. Pihak pembeli yang membayar harga lebih mahal oleh penjual diberikan harga yang paling mahal oleh penjual diberikan harga yang paling mahal yang bisa diberikan kepadanya. f) Diskriminasi harga tingkat kedua (secondary price discrimination) sering disebut juga dengan diskriminasi harga tidak sempurna (imperfect price discrimination) yaitu diskriminasi harga dimana pembeli pada tingkat harga yang lebih mahal memang membeli dengan harga yang lebih mahal, tetapi bukan pada tingkat harga yang termahal yang mungkin diberikan, atau bukan kelompok pembeli yang mau membeli barang tersebut pada tingkat haarga termahal. Jadi dalam hal ini, pihak penjual dalam menjual kepada pembeli tadi tidak mungkin melakukan segresi pasar secara sempurna. g) Diskriminasi harga secara langsung, maksudnya suatu diskriminasi harga yang diberikan oleh seorang penjual kepada para pembeli dimana kelihatan dari harganya secara nominal memang berbeda terhadap satu pembeli dengan pembeli lainnya. Misalnya, kepada
64
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pembeli A diberikan harga Rp. 1.000.000,-per kilogram, sementara kepada pembeli B dengan harga Rp. 1.500.000,- per kilogram. h) Diskriminasi
harga
secara
tidak
langsung,
adalah
suatu
diskriminasi harga kepada para pembeli dimana harga nominalnya tetap sama. Misalnya pembeli yang satu dengan pembeli yang lain tetap membeli pada harga Rp. 1.000.000,-perkilogram, tetapi ada kemudahan tertentu atau tambahan servis tertentu yang diberikan hanya kepada pembeli tertentu secara diskriminatif. Akhirnya jika dihitung harga akhir yang harus dibayar oleh masing-masing pembeli, satu sama lain akan berbeda. 3. Penetapan Harga di bawah harga pasar Larangan tersebut berlaku apabila penetapan harga dibawah harga pasar tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. larangan pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan harga barang atau jasa di bawah harga pasar atau yang dikenal dengan istilah “anti dumping” ini dimaksudkan agar pihak pesaingnya tidak dirugikan karena barang atau jasanya tidak laku, padahal harga barang/jasanya sesuai dengan harga pasar. Disamping itu, apabila perjanjian yang menetapkan harga di bawah harga pasar ini tidak dilarang, maka pihak yang kurang kuat modalnya tentu tidak sanggup menyainginya, karena harga tidak mungkin dilakukan. Biasanya pada gilirannya nanti, apabila pihak pesaing satu demi satu berguguran karena barangnya tidak laku, pihak yang membuat perjanjian tadi kembali menaikkan harga dengan sangat tinggi karena merasa tidak ada lagi persaingan. Dan hal ini akan merugikan konsumen. 4. Penetapan harga jual kembali Yang dimaksud dengan penetapan ini adalah bahwa seorang pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya bahwa pihak pembeli barang/jasa tersebut tidak akan menjual atau memasok barang/jasa tersebut dibawah harga yang telah ditetapkan bersama. Sebab mestinya, pihak pembeli bebas untuk menetapkan harga dari barang/jasa yang sudah dibelinya
65
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada di pasar. Secara universal, telah terjadi perdebatan dikalangan praktisi maupun dikalangan akademisi tentang apakah akan diterapkan teori per se illegal atau rule of reason terhadap perjanjian penetapan harga ini. C. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri Pasal 16 UU Persaingan Usaha menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha tidak menjangkau pelaku usaha yang berkantor pusat diluar negeri dan tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya menimbulkan dampak di pasar Indonesia. Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU Persaingan Usaha, keharusan adanya suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri dengan pelaku usaha yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini. Dalam Pasal 16 ini terdapat beberapa pasal yang terkait yaitu: Pasal 1 angka 7 UU Persaingan Usaha mengartikan "perjanjian" adalah: Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelakuusaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Selain itu juga, Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha menyatakan, yang dimaksudkan dengan "pelaku usaha" adalah: Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pasal 1 angka 6 mengenai ‘Persaingan Usaha Tidak Sehat’ menerangkan bahwa:
66
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Pasal 1 angka 7 mengenai ‘Perjanjian’ menerangkan bahwa: Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 50 huruf g mengenai pengecualian UU Persaingan Usaha menerangkan bahwa: Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri. 2.4. Penerapan Pendekatan Rule Of Reason Dan Per Se Illegal dalam UU Persaingan Usaha Perilaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dalam UU Persaingan Usaha. Persaingan hanya akan tercipta melalui pendekatan ekonomi pasar dimana intervensi pemerintah di dalam usaha sangat dibatasi, ini bukan berarti bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar sama sekali ditiadakan. Bagaimanapun juga, sebagai bahan dari kerangka kebijakan ekonomi untuk memperkuat pembangunan ekonomi, Negara-negara perlu memiliki kebijakan persaingan yang juga mencakup persaingan usaha.118 UU Persaingan Usaha memberikan pengaturan mengenai “perjanjian yang dilarang” dan “kegiatan yang dilarang” yang dianggap dapat merugikan masyarakat. Untuk mengetahui suatu tindakan pelaku usaha merupakan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha, maka dibuat suatu pendekatan yang menjadi acuan yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal dan rule of reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku bisnis melanggar Undang-Undang Antimonopoli.119 Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan
118
Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia & STIE IBII, 1995), hlm 10.
67
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. kegiatan usaha yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga jual kembali.120 Pada prinsipnya terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama, harus ditunjukkan lebih kepada “perilaku bisnis” dari pada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan
lebih
lanjut,
misalnya,
mengenai
akibat
dari
hal-hal
yang
melingkupinya. Metode seperti ini, dianggap fair, jika perbuatan illegal tersebut merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindarinya. Kedua, adanya identifikasi secara tepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Keunggulan dari pendekatan ini adalah administrasi yang cepat.121 Pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam ketentuan atau pasal-pasal yang menggunakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “patut diduga…” atau
119
Pada tahun 1914, The Sherman Act 1890 disempurnakan dengan dikeluarkannya Act to Supplement Existing Laws Against Unlawful Restrain and Monopolies yang dikenal dengan sebutan the clayton Act. Pada tahun yang sama diterbitkan Act to Create a Federal Trade Commision, to define its Powers and Duties, and for Other Purpose yang lebih dikenal dengan the Federal Trade Commision Act. Kemudian pada tahun 1936, The Clayton Act disempurnakan dengan The RobinsonPatman Act, dimana penyempurnaannya terbatas pada pasal 2 The Clayton Act yang mengatur tentang diskriminasi harga. Lihat Stephan F.Ross, Principles of Antitrust law, (Westbury New York: The foundation Press), hlm. 359-399. 120
R. Sheyam Khemani dan D.M. Shapiro, Glosarry of Industrial Organisation Economics and Competition Law, (Paris: OECD, 1996), hlm. 51. 121
Andi fahmi, et.al “Hukum Persaingan Usaha…”, hlm. 81.
68
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
“yang dapat mengakibatkan…”. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pemeriksaan mengenai perjanjian antar pelaku usaha menggunakan per se illegal.122 Pembenaran substantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi, bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus dilakukan oleh pengadilan, pertama, adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku tersebut, dan kedua, kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang.123 Pendekatan rule of reason lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi, yakni dengan memperhitungkan akibat negatif (kerugian) dan positif (keuntungan ekonomi) dari tindakan tertentu terhadap proses persaingan. Penerapan rule of reason antara lain dilihat dari bunyi ketentuan dalam UU Persaingan Usaha yang mencantumkan kata “dapat mengakibatkan”.124 Dalam rule of reason, pengadilan dimungkinkan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang. Keunggulan pendekatan sistem ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan atau tidak. Sedangkan kelemahannya adalah pertama, rule of reasoning yang digunakan oleh para hakim atau juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, dimana mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami, guna dapat menghasilkan keputusan yang rasional.
122
Contoh: Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan: “… pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan..” 123
Carl Kaysen dan Donald F. Turner, Anti-Trust Policy and Economic and Legal Analysis, (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 142. 124
Contoh: pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan: “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”.
69
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Disamping itu, tidak mudah untuk membuktikan kekuatan pasar tergugat, mengingat penggugat harus menyediakan saksi ahli di bidang ekonomi, dan bukti dokumenter yang ekstensif dari para pesaing lainnya.125 Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep mana yang harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara lainnya126 : 1. Bright line test (per se rules); dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan. 2. Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang dilakukan dengan batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan hasilnya dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. 3. Truncated analysis of rule of reason (quick look theory); pendekatan ini lebih melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti persaingan. Dalam hal ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian akan dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of reason. 4. Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan untuk melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boikot. 5. Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan konsekuensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan
125
Andi Fahmi, et.al, “Hukum Persaingan Usaha…”, hlm. 86-87.
126
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 104-111
70
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah tindakan yang telah dilakukan. 6. Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar bahwa bila hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan, maka dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak langsung karena dilakukan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat tambahan (ancillary). 7. Rule of reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini mempertanyakan apakah semua hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft menggunakan pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal atau horizontal. 8. Presumptive (Kemungkinan); analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang sifatnya internal atau eksternal, kedudukan para pihak yang relative independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan bila memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan undangundang.
2.5. Tinjauan Hukum Terhadap Alat Bukti Langsung (Direct Evidence) dan Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect evidence) Sebagai cabang dari ilmu hukum, pembuktian dalam hukum persaingan usaha juga menganut asas yang berlaku secara umum, yaitu asas minimal dua alat bukti. Suatu tindakan dapat dikatakan terbukti jika didukung oleh dua alat bukti yang memiliki kesesuaian satu sama lain. Dalam Pasal 42, alat-alat bukti yang dipergunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara di KPPU berupa:127
127
Ibid, Pasal 42.
71
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat dan atau dokumen; 4. petunjuk; 5. keterangan pelaku usaha Selain alat bukti di atas, alat bukti yang digunakan dalam pembuktian pelanggaran UU Persaingan Usaha terdiri dari bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence). Hal yang paling penting dalam sebuah kasus yang berkaitan dengan perjanjian adalah mengenai pembuktian terhadap adanya pelanggaran. Dalam teori persaingan usaha, alat bukti tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:128 1. Bukti Langsung (direct evidence) Bukti langsung adalah bukti yang dapat menjelaskan adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan, contohnya adalah: 1) Adanya perjanjian tertulis atau tidak tertulis, misalnya untuk menyepakati harga, mengatur produksi, mengatur pasar, membagi wilayah pemasaran, menyepakati tingkat keuntungan masing-masing; 2) Rekaman komunikasi (baik tertulis atau dalam bentuk elektronik) antara
pelaku
usaha
yang
menyepakati
adanya
kesepakatan
persekongkolan; 3) Pernyataan baik lisan dan atau tulisan yang dilakukan oleh pelaku kartel yang menyepakati kartel, yang dibuktikan dengan rekaman, catatan atau kesaksian yang memenuhi syarat; 2. Bukti tidak Langsung (indirect evidence)
128
Sutrisno Iwanto,”Beberapa Isu Yang Sering Dipertanyakan Dalam Kasus Kartel di Indonesia”, dalam Tim Panitia Kajian Akademis, (ed), Prociding: Kajian Akademis atas Putusan KPPU No. 17/KPPU-I/2010 (dugaan pelanggaran Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No. 5 Tahun 1999 dalam Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine, (Jakarta: Magister FE-UI, 2010), hlm. 183-184.
72
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Bukti tidak langsung atau indirect evidence/circumstantial evidence adalah bukti yang tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara para pelaku usaha, terdiri dari; 1) Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan atau pertemuan antar pelaku usaha, namun tidak menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan, contohnya adalah: c. Rekaman komunikasi antar pesaing, bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama dan dalam waktu yang bersamaan antar pesaing (rapat asosiasi), namun tidak menjelaskan topic yang dibicarakan; d. Notulen rapat yang menunjukkan pembicaraan mengenai harga, permintaan, atau kapasitas terpasang. e. Dokumen internal yang menjelaskan mengenai strategi harga kompetitor; 2) Bukti ekonomi, contohnya adalah: a. Perilaku pelaku usaha di dalam pasar atau industry secara keseluruhan, antara lain; 1. Harga yang pararel; 2. Keuntungan yang tinggi; 3. Pangsa pasar yang stabil; 4. Catatan pelanggaran hukum persaingan usaha yang pernah dilakukan oleh pelaku usaha. b. Bukti perilaku yang memfasilitasi kartel, antara lain: 1. Pertukaran informasi; 2. Adanya signal harga; 3. Ongkos angkut yang sama; 4. Perlindungan harga. c. Bukti ekonomi struktural, antara lain: 1. Tingkat konsentrasi yang tinggi; 2. Konsentrasi yang rendah pada industry lawannya; 3. Tingginya hambatan masuk pasar;
73
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
4. Banyaknya integrasi vertical; 5. Produk yang homogeni. Untuk membuktikan pelanggaran kartel, otoritas persaingan usaha harus dapat menunjukkan adanya bukti komunikasi atau perjanjian antara pelaku usaha yang secara jelas menerangkan mengenai kesepakatan kartel tersebut. Penggunaan bukti tidak langsung dalam pembuktian suatu pelanggaran kartel tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan dalam hal bukti-bukti tidak langsung yang diungkapkan hanya sedikit dan tanpa disertai uji ataupun analisis yang tepat, maka tentu saja bukti tersebut tidak dapat digunakan.129
129
Ibid, hlm. 185
74
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB III TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA BERBENTUK HOLDING COMPANY ASING YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI INDONESIA
1.1
Pelaku Usaha dalam UU Persaingan Usaha Ketentuan Pasal 1 angka 5 Persaingan Usaha mengatur tentang pengertian
pelaku usaha. Hukum Indonesia, secara faktul, mengatur semua pelaku usaha, jadi UU ini hanya berlaku untuk pelaku usaha. Pasal 1 angka 5 berbunyi bahwa “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Undang-undang model UNCTAD memuat defenisi istilah “pelaku usaha” secara lebih luas yang dimuat dalam Pasal 2 huruf a yaitu “yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah badan usaha, kongsi, badan hukum, firma, asosiasi dan badan hukum lain, tanpa memperhatikan apakan badan usaha tersebut didirikan atau dikuasai oleh perorangan swasta atau Negara. Badan usaha tersebut melakukan kegiatan usaha termasuk cabang, anak perusahaan, afiliasi atau badan lain yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai badan usaha tersebut.”130 Defenisi
tersebut,
merupakan
standar
internasional
Undang-Undang
Persaingan Usaha dan dapat diterapkan sebagai pedoman interpretasi terhadap Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha, meskipun UU tersebut menggunakan istilah “pelaku usaha” yang menyimpang dari istilah “perusahaan”, namun tidak ada perbedaan besar. Dengan demikian, maka defenisi “pelaku usaha” dan “perusahaan” adalah
130
Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm. 53.
75
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
sama. Ketentuan Pasal 1 angka 5 juga berlaku terhadap pelaku usaha yang disebutkan dalam Pasal 16 UU Persaingan Usaha.131 Undang-Undang Persaingan Usaha juga diterapkan dalam kelompok usaha. apabila sekelompok usaha melakukan perjanjian, misalnya perjanjian penguasaan, maka hal ini sudah sesuai dengan ketentuan, karena beberapa pelaku usaha juga dikenakan, yang bekerja berdasarkan perjanjian. Dalam arti yang paling luas, kelompok usaha adalah terdiri dari beberapa badan usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri usaha tersebut berada di bawah satu pimpinan yang sama, yang memperhatikan keluar, bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya. Perencanaan tersebut harus meliputi kegiatan ekonomi perusahaan yang pokok seperti misalnya keuangan, pembelian, organisasi, penjualan atau sumber daya manusia.132 Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha menjelaskan bahwa bagi kelompok usaha, yang dimaksud sebagai “pelaku usaha” adalah bahwa masingmasing anggota kelompok usaha melakukan kegiatan usaha sebagai pelaku usaha, tanpa perlu memperhatikan, apakah aktivitas mereka untuk induk perusahaan atau atas perintah induk perusahaan.133
1.2
Konsep Grup Perusahaan dan Holding Company. Saat ini, perusahaan-perusahaan berskala besat tidak lagi dijalankan melalui
bentuk perusahaan tunggal, tetapi menggunakan konstruksi perusahaan group.134 Bahkan perusahaan tidak lagi menjadi monopoli perusahaan besar saja, tetapi juga
131 132 133
Ibid Ibid Ibid
134
Michael Gilloly (Ed.), The Law Relating to Corporate Groups, (Sydney: The Federation Press, 1991).
76
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
digunakan oleh perusahaan dengan skala yang lebih kecil.135 Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dan kompleksitas konstruksi perusahaan tidak dapat menjadi penanda keberadaan perusahaan group.136 Perusahaan group di Indonesia lebih dikenal dengan istilah group.137 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menggunakan terminologi grup mengacu kepada suatu perusahaan grup, sebagaimana yang terdapat pada pasal 56 huruf b UU No. 1 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa neraca gabungan dari perseroan yang tergabung dalam “satu grup”.138 Sebagian yang lain menggunakan istilah kelompok usaha karena mengacu kepada PSAK Nomor 4 tentang Laporan Keuangan Konsolidasi untuk perusahaan grup yang menyatakan bahwa “… suatu kelompok perusahaan secara ekonomis dianggap merupakan satu kesatuan usaha”.139 Bahkan perusahaan grup perusahaan sering kali diaggap sama dengan konglomerasi140 karena sebagian besar perusahaan grup di Indonesia merupakan kelompok terdiversifikasi141 yang bergerak dalam bidang usaha yang berbeda.
135
Eddy Wymeersch, Groups of Companies in EEC, (Berlin: Walter de Gruyter, 1991).
136
CASSAC, Corporate Groups Final Report, Companies & Securitas Advisory Committee, (Sydney: The Committee, 2000). 137 Rudi Prasetyo, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1996), hlm.64. 138
UU Perseroan No. 40 Tahun 2007 tidak lagi mengatur atau memuat materi pengaturan sebagaimana terdapat dalam Pasal 56 huruf (b) UU No. 1 Tahun 1995. 139
Penyajian Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK No. 4 tentang Laporan Keuangan Konsolidasi untuk perusahaan grup, mengatur mengenai prosedur penyajian laporan keuangan konsolidasi kelompok perusahaan yang berada di bawah pengendalian suatu induk perusahaan. Laporan keuangan konsolidasi disajikan untuk memenuhi kebutuhan informasi keuangan yang meliputi posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas suatu kelompok perusahaan, yang secara ekonomis dianggap merupakan satu kesatuan usaha. 140
Cristianto Wibisono menyatakan bahwa konglomerasi merupakan bentuk usaha yang terbentuk dari penggabungan atau pengelompokan atas dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam berbagai kegiatan, baik vertical maupun horizontal. Lihat Marcel Go. Manejemen Grup Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm.5. 141
Pengertian diversifikasi mengacu kepada suatu perusahaan untuk memperluas bidang usaha dengan berpindah ke industry yang berbeda atau mengerjakan produk yang berbeda dengan
77
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Keberadaan perusahaan grup dalam kegiatan usaha di Indonesia ternyata belum menjadi justifikasi bagi perlunya pengakuan yuridis terhadap status perusahaan grup vis-à-vis badan hukum lainnya.142 Peraturan perundang-undangan hanya mengatur mengenai keterkaitan antara induk dan anak perusahaan dan tidak mengatur mengenai perusahaan grup. Oleh karena itu, perusahaan grup mengacu kepada realitas bisnis tergabungnya perusahaan-perusahaan untuk membentuk perusahaan sebagai suatu kesatuan ekonomi. Perusahaan grup merupakan gabungan atau susunan perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang satu sama lain terkait begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk kepada suatu pimpinan perusahaan induk sebagai pimpinan sentral.143 Bartman menyatakan bahwa perusahaan grup adalah een semenstel van juridisch zelfstandige ondernemigen onder cenrale leiding.144 Dari pengetian tersebut, dapat diketahui perusahaan grup dikonstruksikan oleh keterkaitan antara induk dan anak perusahaan yang berbadan hukum mandiri. Induk perusahaan betindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan dalam suatu kesatuan menejemen bagi terciptanya tujuan kolektif perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomis.145
pasar. Lihat, Mudrajad Kuncoro, Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). 142
KUHD maupun UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sama sekali tidak mengatur atau menyinggung mengenai concern. Terhadap upaya mengatur perusahaan grup, lebih tepat diatur dalam undang-undang tersendiri. Lihat, Rudi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, hlm. 66. 143
Emmy Pangaribuan, Perusahaan Kelompok, (Yogyakarta: Seri Hukum Dagang FH UGM, 1994, hlm.5. 144
S.M. Bartman, inleiding Concernrecht, (Alphen aan den Rijn: Samson H.D, Tjenk Willing, 1986), hlm.20. 145
Induk Perusahaan merupakan perusahaan yang melaksanakan pimpinan sentral, sedangkan anak perusahaan merupakan perusahaan yang menjalankan kebijakan/instruksi pimpinan sentral. Lihat Emmy Pangaribuan, Perusahaan Kelompok, hlm. 4.
78
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Sebagai kesimpulan dari perbedaan pengertian di atas, perusahaan grup menunjukkan bahwa keterkaitan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perushaan grup memiliki tiga karakteristik, yaitu:146 1. Perusahaan grup merupakan susunan induk dan anak perusahaan yang merupakan badan hukum yang mandiri yang saling terkait erat. 2. Fakta pengendalian induk terhadap anak perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup. 3. Perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi. Berdasarkan karakteristik perusahaan grup di atas, pengertian perusahaan grup merupakan susunan induk dan anak perusahaan yang berbadan hukum mandiri yang saling terkait erat sehingga induk perusahaan memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-anak perusahaan bagi terciptanya tujuan kolektif perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomis. Sebagaimana penjabaran di atas, induk perusahaan memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anakanak perusahaan dalam suatu kesatuan ekonomi. Pelaksanaan pengaruh dalam perusahaan grup dapat bersifat mengurangi hak atau mendominasi hak perusahaan lain.147 Atas kewenangan di atas, induk perusahaan dikenal sebagai holding company. Apabila mengacu kepada terminologi yang digunakan pada Public Utility Holding Company Act di Amerika Serikat, maka holding company didefinisikan sebagai:
A corporation formed for the express purpose of controlling other corporation by the ownership of a majority of their voting capital stock. In common usage, the term is applied to any corporation which does in fact conrol other corporations commonly referred to as subsidiaries.148
146
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis: Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hlm.23. 147
Emmy Pangaribuan, Perusahaan Kelompok.
148
William E. Mosher & Finla G. Crawford, Public Utility Regulation, (New York: Harper and Brothers, 1993), hlm.322.
79
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Pada dasarnya untuk melakukan perluasan dilakukan dengan cara ekspassi usaha. Proses ekspansi tersebut dilakukan dengan cara mendirikan perusahaan baru, dan perusahaan pendirinya menjadi salah satu pemegang sahamnya. Penyertaan saham dan pemecahan unit usaha dimaksudkan untuk melahirkan perusahaanperusahaan baru yang selanjutnya disebut dengan anak perusahaan (subsidiary company).149 Selanjutnya, perusahaan lama akan menjadi pemegang saham dan merupakan perusahaan induk (holding company), dengan demikian terbentuklah apa yang disebut dengan group perusahaan atau dalam bahasa belanda disebut dengan concern.150 Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, pengertian holding company diatur dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 mengenai nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan N.V. Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer di Semarang.151 Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa S.S.P.V. dipecah pecah menjadi beberapa perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri sendiri untuk memudahkan pengoperasiannya kepada perusahaan-perusahaan nasional. Sebagai holding company memegang seluruh saham N.V-N.V. baru itu, yang terdiri dari N.V Semarang Veer dan N.V. Semarang Dock Works.152
149
Penjelasan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1996 tentang PT, yang dimaksud dengan ‘anak perusahaan’ adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena: 4. Lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaan; 5. Lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya;, dan atau 6. Control atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi, dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh Induk Perusahaan. 150
Hasim Purba, Tinjauan Terhadap Holding Company, Trust, Cartel, dan Concern, , diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. 151 152
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis: Perusahaan Grup di Indonesia, hlm. 25. Ibid.
80
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat dua model pengendalian perusahaan grup ditinjau dari kegiatan usaha induk perusahaan, yaitu sebagai berikut:153 1. Investment holding Company Pada Investment holding company, induk perusahaan hanya melakukan penyertaan saham pada anak perusahaan, tanpa melakukan kegiatan pendukung ataupun kegiatan operasional. Induk perusahaan memperoleh pendapatan hanya dari dividen yang diberikan oleh anak perusahaan. 2. Operating Holding Company Pada operating holding company, induk perusahaan menjalankan kegiatan usaha atau mengendalikan anak perusahaan. Kegiatan usaha induk perusahaan biasanya akan menentukan jenis usaha yang harus dipenuhi oleh induk perusahaan tersebut. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yakni dalam Pasal 2 disebutkan bahwa perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan, ketertiban umum, dan/atau kesusuliaan. Adanya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha pada ketentuan tersebut menjadi syarat wajib bagi suatu perseroan sehingga investment holding company tidak dapat dianggap sebagai kegian usaha. Dalam struktur pelaksanaan kegiatan holding company, induk perusahaan dapat menunjuk anggota perusahaan lainnya untuk bertindak sebagai holding sehingga suatu konstruksi perusahaan terdapat lebih dari satu holding company. Dari sudut pandang induk perusahaan, anggota perusahaan grup yang ditunjuk untuk menjadi holding disebut sebagai subholding company atau holding antara. Sesuai dengan arahan induk perusahaan, subholding company atau holding menjalankan pengendalian dan koordinasi terhadap anak-anak perusahaan. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman, terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan konsep perusahaan grup. Di Amerika Serikat, pendekatan yang digunakan dalam melihat suatu bentuk kelompok perusahaan
153
Bapepam, Demutualisasi Bursa.
81
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
dengan pendekatan entity law.154 Konsep dasar hukum perseroan adalah the judicial personality of the corporation. Pendekatan entity law menempatkan tatanan hukum untuk menentukan intragroup liability berdasarkan pada prinsip dasar corporate personality, yaitu setiap perseroan merupakan badan hukum mandiri sehingga induk perusahaan ataupun angota perusahaan kelompok tidak bertanggung-jawab atas utang ataupun perbuatan hukum anggota perusahaan kelompok yang lain. Berdasarkan pendekatan ini, induk perusahaan tidak dapat dituntut atas utang perusahaan terafiliasi. Kemudian pada abad ke 19 terdapat perubahan yaitu adanya dukungan keputusan politik untuk dibentuknya jurisprudensi mandiri dengan diberikannya limited liability kepada pemegang saham. Sesuai dengan prinsip entity law, pemegang saham pada perusahaan tunggal memiliki limited liability atas pinjaman dari perseroan. Selanjutnya, prinsip hukum limited liability juga berlaku pada induk perusahaan dari perusahaan kelompok. Pendirian anak perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh induk perusahaan, tidak mengubah sifat alamiah relasi investasi dengan perseroan.155 Hukum perseroan Belanda dibangun atas konsepsi perusahaan tunggal156 berdasarkan pada teori legal entity, yaitu NV dan BV memiliki kepentingan ekonomi yang mandiri untuk memenuhi tujuan perseroan yang dijalankan oleh board of management. Penerapan ketentuan ini pada perusahaan dijalankan tidak hanya sebagai entitas bisnis mandiri, tetapi juga untuk mengoperasikan perusahaanperusahaan dan holding companies yang membentuk bagian dari perusahaan
154
Konsep tradisional mengenai entity law tidak dapat lagi digunakan untuk menjelaskan mengenai korporasi. Pada konteks ini, entity theory telah mengalami penurunan makna atas digunakannya label tradisional yang menekankan bahwa doktrin ini memiliki predikat bagi keberadaan bentuk ekonomi yang lebih sederhana yang sudah tidak lagi eksis, dan entity theory tidak dapat diterapkan pada sistem hukum modern. Entity theory tetap eksis karena pengendalian masih disilaukan oleh warisan masa lalu dan hakim tetap melanjutkan untuk menggunakan doktrin ini tanpa mengenali bahwa konsep ini telah ketinggalan jaman. Lihat, Philip I. Blumberg, The American Law of Corporate Groups, (Gloucestershire: Clarendon Press, 1993), hlm. 308. 155
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis: Perusahaan Grup di Indonesia, hlm.44.
156
M.C.G.C. Raijmakes, Joint Venture, (Deventer: Kluwer, 1976).
82
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
kelompok yang lebih besar.157 Kepentingan anak perusahaan tidak selalu sejalan dengan kepentingan perusahaan kelompok secara keseluruhan. Hubungan-hubungan konsern/perusahaan kelompok sama dengan hubungan antar badan hukum, khususnya antarbadan hukum yang berbentuk perseroan (N.V. dan B.V). Hubungan ini muncul ketika pengurus kegiatan ekonomi dari dua atau lebih perseroan dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga antara perseroan ini saling terkait, banyak atau sedikit, terdapat susunan yang erat secara ekonomis, finansial, dan organisatoris. Perseroan-perseroan yang berada di bawah pimpinan sentral atau kepengurusan bersama juga dapat dikatakan bahwa mereka dipimpin secara uniform.158 Berbeda halnya dengan Jerman, Hukum Perusahaan kelompok melalui Aktiengesetz yang diundagkan tahun 1965 menjadi standar tanggung jawab induk perusahaan dalam kerangka perusahaan kelompok, yang secara khusus dan menyeluruh mengatur perusahaan kelompok dan dan terafiliasi yang konstekstual dengan tanggung jawab dalam keterkaitan induk dan anak perusahaan.159 Di Indonesia sendiri, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perusahaan grup. Kerangka pengaturan terhadap perusahaan grup masih menggunakan pendekatan perseroan tunggal. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan hanya mengatur keterkaitan antara induk dan anak perusahaan sehingga tidak mengatur mengenai perusahaan grup.
157
S.M Bartman, “From Autonomy of Interest to Concurrence of Interest in Dutch Group Company Law”, European Company Law, volume 4, Issues 5, oktober 2007, dalam Sulistiowati, Ibid, hlm. 46. 158
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis: Perusahaan Grup di Indonesia, hlm.45
.
159
Herbert Wiedemann, “The German Experience with the law of Affiliated Enterprise”, dalam K.J. Hopt (Ed), Groups of Companies in European Laws, (berlin/New York, 1982), hlm 21. Lihat Sulistiowati, ibid, hlm.49.
83
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3.1.1. Status Hukum dan Tanggung Jawab Dari Anak Perusahaan Dalam Suatu Kelompok Perusahaan 3.1.1.1. Tanggung jawab hukum induk dengan anak perusahaan.160 Jika misalnya ada klaim dari pihak luar karena aktivitas bisnis dari anak perusahaan, siapakah yang akan bertanggung-jawab secara hukum. Apakah anak perusahaan, atau perusahaan holding, ataupun kedua-duanya. Dalam ilmu hukum dikenal doktrin “keterbatasan tanggung jawab” dari suatu badan hukum, maka hanya badan hukum sendiri yang bertanggung-jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya. Pasal 40 ayat 2 (dua) KUHD menyebutkan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari pada jumlah penuh dari saham-saham itu. Prinsip yang sama juga diberlakukan oleh undang-undang perseroan terbatas yang menyatakan secara tegas bahwa perseroan terbatas adalah merupakan suatu badan hukum161, dan tanggung jawabnya sebatas atas saham-saham yang telah diambil oleh pemegang saham.162 Hanya saja, undang-undang perseroan terbatas menegaskan tentang adanya beberapa kekecualian atas prinsip keterbatasan tanggung jawab badan hukum yang bersangkutan, termasuk untuk menarik pihak perusahaan holding sebagai pemegang saham untuk ikut mempertanggung jawabkan terhadap perbuatan anak perusahaan. Undang-Undang Perseroan Terbatas mengizinkan suatu perseroan untuk memiliki atau memperoleh saham pada perseroan lain. Legitimasi UU PT ini terdapat antara lain pada Pasal 7 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa perseroan didirikan oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia, sedangkan yang dimaksud dengan “orang” dalam memori penjelasan Pasal 7 Ayat (1) adalah perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau
160
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis,. hlm. 125.
161
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 ayat 1.
162
Ibid, Pasal 3 ayat 1.
84
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
badan hukum Indonesia atau asing. Dengan demikian, badan hukum dapat mendirikan perseroan terbatas. Kepemilikan suatu perseroan atas saham pada perseroan lain melahirkan keterkaitan induk dan anak perusahaan sehingga induk perusahaan dapat menggunakan hak suara dalam RUPS anak perusahaan, mengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan, ataupun melakukan mengalihkan pengendalian terhadap anak perusahaan kepada perseroan lain melalui kontrak pengendalian. 1. Perluasan Tanggung Jawab Pemegang Saham163 Walaupun tanggung jawab hukum perusahaan holding sebagai pemegang saham hanya terbatas pada nilai saham yang disetornya, namun dalam hal-hal tertentu hukum memperkenankan tanggung jawab hukum pemegang saham melebihi dari tanggung jawab sebatas saham yang disetornya, yang dalam hal ini dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu: a. Berdasarkan peraturan perundang-undangan Perluasan tanggung jawab pemegang saham/perusahaan holding berdasarkan peraturan perundang-undangan ini terjadi dalam proses pendirian perseroan terbatas, dan tanggung jawab perusahaan holding karena doktrin piercing corporate veil. Doktrin ini tidak terdapat dalam KUHD, tetapi secara sangat simpel diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan bahwa sesungguhnya suatu badan hukum hanya bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggungjawab tersebut dapat ditembus (piercing). b. Berdasarkan ikatan kontraktual Dalam hal ikatan kontraktual karena adanya kontrak yang bersifat kebendaan, maka perusahaan holding dapat melakukan kontrak-kontrak yang bersifat kebendaan dalam hubungan dengan kegiatan anak perusahaan. Sehingga, tanggung-jawab yuridis dari perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan sampai pada batas-batas
163
Munir, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, hlm. 128-129.
85
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
tertentu dapat dibebankan kepada perusahaan holding. Hal ini dapat terjadi misalnya dalam hal aset-aset dari perusahaan holding ikut menjadi collateral terhadap hutanghutang yang dibuat oleh anak perusahaan. Berbeda halnya apabila kontrak tersebut bersifat personal. Untuk menembus tanggung jawab mandiri dari suatu badan hukum, in casu tanggung jawab dari anak perusahaan, sehingga perusahaan holding dapat juga dimintakan tanggung jawabnya atas bisnis anak perusahaan, dalam hal ini dapat juga dibentuk kontrak-kontrak yang bersifat personal. Misalanya dengan membuat corporate guarantee, personal guarantee, atau garansi terbatas. 3.1.1.2. Kemandirian Anak Perusahaan Sebagai Badan Hukum164 Dalam menelaah kedudukan dan fungsi perusahaan holding, penting juga ditinjau hal tersebut dari segi kemandirian anak perusahaannya. Dalam arti sejauh mana anak perusahaan dapat mempertanggung-jawabkan kemandiriannya dari ikut campurnya pihak perusahaan holding, baik dalam posisinya sebagai induk perusahaan, maupun dalam kedudukannya sebagai pemegang saham pada anak perusahaan. a. Kedudukan Anak Perusahaan sebagai Badan Hukum Seperti halnya juga perusahaan holding yang merupakan suatu badan hukum (legal entity) yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum lainnya, maka anak perusahaan juga pada umunya berbentuk Perseroan Terbatas, yang tentu juga mempunyai kedudukan mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri. Dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta kekayaan pemegang sahamnya. Tidak kecuali apakah pemegang sahamnya itu merupakan perusahaan holding ataupun tidak. Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum (yang konvensional), maka perusahaan holding dalam
164
Ibid, hlm. 133.
86
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
kedudukannya sebagai induk perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencampuri manejemen dan policy anak perusahaan. b. Group Perusahaan Sebagai Kesatuan Ekonomi Merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa melalui approach dari segi ekonomi, maka group perusahaan secara keseluruhan, di mana di dalamnya terdapat induk dan anak perusahaan, dianggap merupakan suatu kesatuan. Hal demikian berlaku baik dalam grup investasi maupun grup manejemen. Karena merupakan satu kesatuan ekonomi, maka grup perusahaan mestinya dikomandankan pula oleh perusahaan holding. Hanya saja erat longgarnya sentralisasi manejemen oleh perusahaan holding pada kenyataannya bervariasi, mengikuti bentuk grup yang bagaimana yang dipilih oleh perusahaan holding. Jika melalui pendekatan ekonomi suatu kelompok perusahaan dianggap merupakan suatu kesatuan, maka lain halnya apabila dilakukan pendekatan dari segi hukum. Ilmu hukum (yang konvensional) mengajarkan bahwa sebagai badan hukum, maka masing-masing anak perusahaan maupun perusahaan holdingnya berkedudukan terpisah atau sama lain. Dalam grup perusahaan manejemen, sentralisasi pengaturannya cukup ketat, sementara dalam grup investasi, pengaturan oleh perusahaan holding cukup longgar. Demikian pula, wewenang dan peran yang dimainkan oleh perusahaan holding dalam grup perusahaan tersentralisasi jauh lebih ketat dibandingkan dengan yang terdapat dalam grup perusahaan yang menganut prinsip desentralisasi.165 Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka bentuk badan hukum tidak material dalam menentukan suatu pelaku usaha. Pendekatan ini diterapkan dalam teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.166 Derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk
165
Ibid
166
Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, (Oxford University, Press, New York, 2004), hal. 123
87
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi.167
3.2.
Pengertian Unsur Pelaku Usaha Asing “Melakukan Kegiatan Usaha di Wilayah Republik Indonesia”
3.3.1
Berdasarkan UU tentang Penanaman Modal Asing Melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia
merupakan perluasan makna dari pelaku usaha dalam pasal 1 angka (5) UU Persaingan Usaha. untuk mencari pengertian tentang unsur “melakukan kegiatan di wilayah Republik Indonesia’, penulis menggunakan pengaturan dalam hukum penanaman modal atau investasi langsung, dan pasar modal. Terminologi “yang melakukan kegiatan“ ataupun “yang berusaha di Indonesia“ tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut harus berada dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha di negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang telah ada di negara tersebut tanpa secara langsung melakukan kegiatan usaha di dalam pasar bersangkutan negara tersebut. Dengan kata lain, suatu pelaku usaha dapat mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa dia sendiri beroperasi di pasar bersangkutan tersebut.168 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,169 definisi penanaman modal adalah: segala bentuk kegiatan
167
Ibid, hlm. 135.
168
Putusan KPPU No. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007, hlm. 63.
169
Indonesia (c), Undang-Undang tentang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724, Pasal 1 angka (1).
88
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3)170 penanaman modal asing diartikan sebagai: kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Sesuai dengan Pasal 1 angka (6) UU Penanaman Modal, maka yang dimaksud dengan penanam modal asing adalah perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Melihat defenisi yang diberikan undang-undang terkait dengan penanaman modal asing, maka penanaman modal asing ini bisa masuk ke Indonesia sebagai perusahaan Modal Asing (PMA) atau melalui mekanisme joint venture dengan penanaman modal dalam negeri. Bentuk usaha yang diperbolehkan bagi penanam modal asing adalah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 5 ayat (2),171 yaitu dalam bentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dengan demikian, dalam menjalankan kegiatan usahanya perusahaan baik PMA maupun joint venture harus merupakan PT sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia. Sehingga, dalam UU PMA ditentukan bahwa perusahaan-perusahaan yang hendak terhitung dalam kategori perusahaan-perusahaan di bawah Undang-Undang tersebut haruslah suatu perusahaan yang seluruhnya atau sebagian terbesar beroperasi di Indonesia sebagai suatu ‘independent bussines unit’ yang harus merupakan suatu badan hukum menurut hukum Indonesia dan mempunyai domisili, kedudukannya di
170
Ibid, Pasal 1 angka (3).
171
Ibid, Pasal 5 ayat (2).
89
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Indonesia. Jadi, juga di sini dipentingkan tempat berusaha dan tempat kediaman di samping hukum pendirian badan-badan hukum bersangkutan.172 3.3.2
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU Pajak Penghasilan) Dalam ketentuan perpajakan, dikenal adanya wajib pajak yang disebut
dengan bentuk usaha tetap. Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab di atas bahwa Investasi yang berlangsung dapat dilakukan dalam bentuk investasi langsung. Investor asing dalam hal ini biasanya melakukan kegiatan investasi melalui mekanisme joint venture (usaha patungan) dengan perusahaan asing lainnya dan perusahaan lokal. Pada umumnya, perusahaan berbentuk perusahaan PMA dan berbadan hukum Indonesia sehingga merekan juga tunduk pada kewajiban membayar pajak dalam negeri (resident tax payer). Namun, terdapat pula perusahaan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia melalui bentuk usaha. Prosedur inilah yang disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Berbeda dengan perusahaan PMA, investor asing yang menjalankan bisnisnya di Indonesia melalui BUT (a permanent establishiment) berarti perusahaan tersebut bukanlah badan hukum Indonesia sehingga BUT adalah bukan wajib pajak dalam negeri. Sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat diidentifikasi kedalam beberapa kelompok yaitu: i) BUT fasilitas fisik (assets type), (ii) BUT
172
Sudargo Gautama, Op.cit, hlm. 357-358.
90
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
aktivitas (activity type), (iii) BUT keagenan (agency type), dan (iv) BUT asuransi (insurance type).173 1. BUT Fasilitas Fisik Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah: •
Tempat kedudukan manajemen (a place of management);
•
Suatu cabang (a branch);
•
Suatu kantor (an office);
•
Suatu pabrik (a factory);
•
Suatu bengkel (a workshop);
•
Suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or promises used as sales outlet);
•
Suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau ekplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk eksplorasi atau ekploitasi sumber daya alam (a mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction or exploration or exploitation of natural resources, drilling rig or worker ship used for exploration or exploitation of natural resources).
2. BUT Aktivitas Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu (time treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk BUT Aktivitas adalah:
173
“Pemahaman Dasar Tentang Bentuk Usaha Tetap”, (A permanent Establishment), http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=1184, diunduh pada tanggal 20 Mei 2011.
91
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
•
proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, dan
•
pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut, kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
3. BUT Keagenan Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengan dependent agent adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri. 4. BUT Asuransi Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk joint venture. BUT merupakan entitas asing yang melakukan kegiatan usahanya di negara republic Indonesia. BUT ini bukanlah badan hukum Indonesia, tetapi tetap tunduk pada ketentuan perpajakan Indonesia. 3.3.3
Berdasarkan Bentuk Kegiatan Bisnis/Kegiataan Usaha Selain berdasarkan UU PMA, untuk menilai suatu kegiatan pelaku usaha
asing di suatu Negara dapat dilakukan berdasarkan pendekatan bentuk aktivitas bisnis di Negara Indonesia. Metode bisnis internasional yang digunakan oleh suatu perusahaan tentunya dapat menjadi salah satu tolok ukur apakah suatu perusahaan menjalankan bisnisnya di indonesia. metode yang digunakan adalah:174
174
Jeff Madura, Internasional corporate Finance: Keuangan Perusahaan Internasional buku 1, ed. Ke-8, Yavini Bachtiar (penerjemah), (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hlm. 12.
92
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
1. Perdagangan Internasional; Perdagangan internasional merupakan pendekatan yang relatif konservatif yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menembus pasar (melalui perjanjian ekspor) atau untuk memperoleh barang dengan biaya rendah (melalui impor). Pendekatan ini memiliki resiko minimal karena perusahaan tidak membahayakan modalnya. Jika perusahaan mengalami penurunan pada kegiatan ekspor dan impornya, perusahaan
tersebut pada umumnya akan
mengurangi
atau
menghentikan aktivitas tersebut dengan biaya rendah.175 Sumber hukum perdagangan internasional mencakup perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum, maupun putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin), dan yang terakhir adalah hukum nasional.176 Hukum nasional berwenang terhadap segala transaksi dagang internasional atau transaksi jual beli internasional yang dilakukan di wilayah hukum Negara tersebut. Hukum nasional yang dibuat oleh suatu Negara Indonesia
mencakup
hukum
perpajakan,
hukum
kepabeanan,
hukum
ketenagakerjaan, hukum perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual hingga perizinan ekspor-impor produk.177 Dalam hal suatu kontrak transaksi dagang internasional melanggar ketentuan dalam UU Persaingan Usaha di Indonesia, maka hukum nasional Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap para pelaku dagang internasional tersebut. 2. Lisensi;178 Lisensi (licensing) mengharuskan suatu perusahaan untuk memberikan teknologinya (bisa berupa hak cipta, paten, merk dagang, atau nama dagang) dengan biaya tertentu atau manfaat khusus lainnya. Dalam hal ini, penulis
175
Ibid, hlm. 13.
176
Huala Adolf (b), Hukum Perdagangan Internasional, Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar, cet. Ke-1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm.71 177
Ibid, hlm. 89.
178
Jelf Madura (b),”… Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar…”, hlm. 89.
93
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
menggunakan lisensi dalam merek. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek disebutkan salah satu cara beralihnya merek adalah dengan perjanjian, yaitu perjanjian lisensi. Lisensi adalab izin yang diberikan Pemilik Merek terdaftar kepada pibaklain melalui suatu perjanjian berdasarkan padapemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang danlatau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.179 Pelaksanaan
kegiatan
usaha
dengan
menggunakan
merek
harus
mempertimbangkan hak dan kewajiban pemberi lisensi dan penerima lisensi. Melalui pemberian lisensi inilah, suatu perusahaan telah melebarkan izin komersial berusahanya hingga ke negara-negara penerima lisensi. Dengan demikian, pasar dari pemberi lisensi tersebut meluas ke negara-negara penerima lisensi. Dalam konteks internasional, pengaturan mengenai lisensi hak kekayaan intelektual dimuat dalam TRIPs Agreement yang berfungsi sebagai standar pembuatan peraturan nasional menyangkut HaKI. Namun, setiap lisensi terhadap HaKI di Indonesia harus tunduk pada segala peraturan perundang-undangan HaKI Indonesia. 3. Waralaba/franchise;180 Waralaba (franchising) mengaharuskan suatu perusahaan untuk menyediakan strategi penjualan atau penyediaan jasa tertentu, memberikan bantuan, dan mungkin juga menyediakan investasi awal franchise dengan imbalan berkala. Seperti; lisensi, waralaba memungkinkan perusahaan untuk menembus pasar asing tanpa memerlukan investasi besar. Suatu franchise juga bisa merupakan suatu bentuk joint venture, walaupun bukan bentuk joint venture modal. Para pengusaha local atau disebut franshise dalam hal ini, seringkali mengelola secara
179
Indonesia, UU No. 15 Tahun 2001, Undang-Undang Tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 1 angka 13. 180
Ibid, hlm. 14.
94
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
seratus persen entities local tersebut, sehingga franchise mengurus sendiri manejemen operasionalnya.181 4. Kerjasama operasi/joint venture;182 Suatu kerjasama operasional merupakan entitas yang dimiliki dan dioperasikan bersama oleh dua atau lebih perusahaan. Beberapa perusahaan menembus pasar asing melalui kerjasama dengan perusahaan pada Negara lain. Kerjasama operasi ini lebih dikenal dengan usaha patungan atau joint venture. Tujuan joint venture tentunya agar para pihak yang saling berkontribusi dapat menciptakan sinergi yang menguntungkan. 5. Akuisisi perusahaan yang telah berjalan, dan; Perusahaan seringkali mengakuisisi perusahaan di Negara lain sebagai sarana untuk menembus pasar asing. Akuisisi memungkinkan perusahaan untuk memiliki pengendalian penuh atas bisnis internasionalnya dan secara cepat memperoleh sejumlah besar pangsa pasar asing. Bagaimanapun, ada juga perusahaan yang melibatkan akuisisi internasional hanya sebagian. Tujuan utamanya adalah memperoleh kepemilikan pada operasi asing. Konsekuensi dari akuisisi perusahaan yang seperti ini adalah perusahaan tidak memiliki pengendalian penuh atas perusahaan asing yang hanya dimiliki sebagian, namun bisa mengambil posisi menjadi suara mayoritas sehingga tetap dimungkinkan adanya pengendalian berdasarkan struktur yang demikian. 6. Mendirikan anak perusahaan asing yang baru. Perusahaan juga dapat menembus pasar asing dengan mendirikan perusahaan baru di negara lain untuk memproduksi dan menjual produknya. Mendirikan anak perusahaan baru lebih disukai dibandingkan dengan akuisisi perusahaan asing karena perusahaan asing karena perusahaan baru dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan induk perusahaan.
181 182
Ibid Ibid
95
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3.3. Penerapan Prinsip Wilayah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha memuat jangkauan penerapan wilayah berlakunya Undang-Undang Anti Monopoli, di mana undang-undang ini hanya berlaku untuk pelaku usaha yang berkedudukan atau yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia.183 ketentuan ini membatasi jangkauan hukum antimonopoli Indonesia kepada badan usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan di Negara Indonesia. Dengan demikian, jangkauan undangundang ini berakhir di perbatasan Indonesia. UU Persaingan Usaha membedakan dua kategori prinsip wilayah. Perkataan “…yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia…” menunjukkan kepada prinsip wilayah yang subjektif. Secara alternatif undang-undang tersebut juga diterapkan apabila dilakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang dinamakan prinsip wilayah yang objektif.184 Penerapan prinsip wilayah tersebut diterapkan dalam perjanjian yang dianggap menghambat persaingan. Prinsip tersebut diterapkan terhadap perjanjian seperti itu apabila usaha dari pihak yang terlibat tidak didirikan di Indonesia, namun berkedudukan administratif di Indonesia. Prinsip ini juga berlaku terhadap apabila salah satu pihak dalam perjanjian merupakan pihak dari luar negeri. Selain itu juga 183
Dalam Hukum Perdata Internasional (HPI), penentuan hukum untuk badan hukum Internasional ditentukan dengan tiga teori, yaitu: 1. Teori Inkorporasi (inkorporations theory Grundungs-oder Ursprungstheory, incorporation principle). Menurut teori prinsip ini badan hukum takluk kepada hukum tempat ia telah diciptakan, didirikan, dibentuk (“inkorporiertr, state of incorporation”, yakni Negara yang hukumnya telah diikuti pada waktu mengadakan pembentukan daripadanya (droit de la constitution, droit del’Etat ou les formalites constitutive sont remplies). 2. Teori tentang tempat kedudukan secara statutair (theorie vom statutarischen Sitz, droit du siege statutaire, droit du siege social indique dans l’acte de la societe). Yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana menurut statute badan hukum bersangkutan mempunyai kedudukannya (zatel, Sitz). 3. Teori tentang tempat kedudukan management yang efektif (theorie vom effektieven verwaltungssitz, droit du siege reel, law of the place of central control). Lihat, Sudargo Gautama, “Hukum Perdata Intenasional Indonesia”, Cet. Ke-2, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm.336. 184
Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Usaha, hlm. 58-59.
96
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
bisa diterapkan dalam perjanjian yang dilakukan di luar negeri yang berdampak terhadap pasar Indonesia.185 3.4.1
Prinsip wilayah yang subjektif (Subjective Territoriality). Penggunaan prinsip ini hanya ditujukan kepada badan usaha bukan
perorangan karena tidak mungkin perorangan “didirikan”. Di berbagai Negara-negara tidak ditemukan jawaban atas pertanyaan hukum dari Negara mana yang akan diterapkan terhadap badan usaha yang kegiatannya internsional. Dalam tradisi continental eropa digunakan teori tempat kedudukan, yang menentukan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum Negara tempat kedudukan administratif badan usaha bersangkutan. Sedangkan, di Negara yang menggunakan sistem hukum anglo saxon serta di belanda menggunakan apa yang dinamakan teori tempat pendirian, yang menentukan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum Negara dimana badan usaha tersebut didirikan. 186 Secara akumulatif Undang-Undang Persaingan Usaha mensyaratkan pelaku usaha mendirikan usahanya menurut hukum Indonesia dan tempat kedudukan administrasi (“berkedudukan”) di Indonesia juga. Badan usaha dianggap didirikan di Indonesia apabila nama pelaku usaha tercatat dalam daftar perusahaan nasional, yang terjadi setelah diperiksa apakah hukum Indonesia mengijinkan pendirian badan usaha bersangkutan. Tempat pendirian harus di Indonesia. pelaku usaha dianggap berkedudukan di Indonesia apabila tempat kedudukan admininistrasinya secara lokasi berada di wilayah Negara Republik Indonesia. Soal kapan suatu badan usaha dianggap berkedudukan di Indonesia memerlukan spesifikasi lebih lanjut: Kegiatan ekonomi badan usaha ditentukan oleh pimpinan, karena itu wilayah tempat kedudukan pimpinanlah yang menentukan. Dalam hal ini, untuk masing-masing kasus perlu diketahui siapa sesungguhnya yang menentukan kebijakan yang mengendalikan badan usaha tertentu.
185 186
Ibid. Ibid.
97
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Karena itu, UU Persaingan Usaha dapat diterapkan terhadap kegiatan badan usaha yang beroperasi internasional, kalau pimpinan kelompok usaha berkedudukan di Indonesia, sedangkan anak-anak perusahaan berkedudukan di luar negeri. Teori ini mengakibatkan bahwa hukum antimonopoli Indonesia tidak berlaku terhadap badan usaha yang didirikan di Indonesia, namun berkedudukan di luar negeri. 3.4.2
Prinsip Wilayah yang Objektif (objective Territoriality) Prinsip keterkaitan objektif pada dasarnya digunakan untuk menentukan
factor-faktor mana yang berperan dalam memutuskan kapan kegiatan usaha dilakukan di wilayah Negara Indonesia. keterkaitan ini hanya dapat dipertimbangkan apabila pelaku usaha merupakan perorangan atau badan usaha yang berkedudukan atau didirikan di luar negeri, karena kalau tidak maka dapat dikenakan prinsip wilayah subjektif. Prinsip ini secara berdiri sendiri terlalu kabur untuk menjawab pertanyaan tersebut menggunakan hukum yang berlaku. Karena itu prinsip ini harus dilengkapi dengan keterkaitan tempat yang konkrit. Dalam kaitan ini diusulkan acuan sebagai berikut: kegiatan ekonomi pelaku usaha bertujuan menghasilkan pendapatan, dan berbentuk penawaran yang diminati pembeli (konsumen). Tanpa adanya pasar kegiatan ekonomi tidak mungkin terlaksana. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Persaingan Usaha,187 dinamakan dengan terkait kepada lokasi pasar, sehingga hukum yang relevan adalah hukum yang berlaku di lokasi pasar tersebut. Di pasar inilah, kepentingan pemasok berbenturan dengan kepentingan peminat, sehingga yang penting adalah di tempat manakah terjadi hambatan persaingan.188 3.4.2.1 Prinsip Teritorialitas Objektif dengan faktor perjanjian Salah satu wujud hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat adalah adanya praktik perjanjian yang dilarang oleh UU Persaingan Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4-15 UU Persaingan usaha, dan Pasal 22-24 UU Persaingan Usaha. UU Persainga Usaha berlaku kepada seluruh peserta dalam perjanjian tertentu
187 188
Indonesia (a), Undang-Undang Persaingan Usaha, Pasal 1 angka 4. Ibid.
98
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
dimana para peserta didirikan dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika salah satu peserta didirikan dan berkedudukan di luar negeri? Adanya koneksitas atau link dari territorialitas objektif ini bergantung pada apakah salah satu pihak dalam kontrak secara aktif melakuka kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya saja Indonesia, maka pelaku usaha tersebut memiliki koneksitas territorialitas secara objektif. Dalam kasus seperti inilah, keberlakuan hukum persaingan usaha Indonesia bergantung pada apakah pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian itu kemudian melakukan kegiatan di Indonesia. UU Persaingan Usaha dapat berlaku terhadap perjanjian yang dilarang, apabila usaha dari peserta perjanjian tidak didirikan di Indonesia tetapi berkedudukan administrasi di Indonesia. Untuk itu, prinsip territorialitas objektif perlu dibantu dengan factor perjanjian. Sebab apabila tidak ada satupun peserta perjanjian yang didirikan ataupun berkedudukan di Indonesia, maka UU Persaingan Usaha tidak dapat diterapkan meskipun akibat perjanjian tersebut berdampak terhadap pasar Indonesia. Ketentuan mengenai perjanjian yang melibatkan pelaku usaha asing ini diakomodasi dalam ketentuan Pasal 16 UU Persaingan Usaha, yaitu ketentuan melarang perjanjian antara pelaku usaha Indonesia dan pelaku usaha lainnya yang melakukan kegiatan usaha di luar negeri, apabila perjanjian tersebut menghambat persaingan di Indonesia.189 3.4.2.2 Prinsip Teritorialitas Objektif dengan Faktor Tindakan Sepihak yang Dilarang Bentuk hambatan persaingan lainnya, adalah adanya tindakan sepihak yaitu kegiatan-kegiatan yang dilarang dan buka diakibatkan dari adanya perjanjian. Pengaturan itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 17-21 dan Pasal 25-27 UU Persaingan Usaha. UU Persaingan Usaha tetap dapat berlaku pada pelaku usaha yang tidak didirikan ataupun tidak berkedudukan di Indonesia asalkan kegiatan usaha yang dilakukan pelaku usaha asing tersebut berada di wilayah negara Republik Indonesia.
189
Ibid.
99
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Misalnya saja bentuk perang strategi pasar atau perilaku diskriminatif berlangsung dalam pasar Indonesia. Dengan demikian, prinsip teritorialitas objektif ini dibantu dengan adanya faktor kegiatan yang dilarang. UU Persaingan Usaha tidak dapat berlaku bilamana telah terjadi penyalahgunaan di luar negeri namun efeknya atau dampaknya berpengaruh sampai ke pasar Indonesia.190 3.4.2.3 Prinsip Teritorialitas Objektif dengan Faktor Penggabungan atau Merger Suatu penggabungan badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dapat dikenakan UU Persaingan Usaha bilamana penggabungan atau merger tersebut mengakibatkan praktek monopoli. Pertanyaan selanjutnya adalah bilamana salah satu pihak dalam merger bukanlah pelaku usaha yang didirikan ataupun berkedudukan di Indonesia. Dalam hal ini, UNCTAD Model Law memberikan petunjuk dalam Pasal 4 II huruf f (i) UNCTAD Model Law tersebut, bahwa penggabungan pelaku usaha dianggap penyalahgunaan apabila paling sedikit satu dari badan usaha bersangkutan didirikan di dalam negeri. Dengan demikian, ketika suatu merger internasional memiliki unsur teritorialitas objektif tadi, berlakulah UU Persaingan Usaha terhadapnya.191 3.4.3
Prinsip Ekstrateritoriality Pada dasarnya keberlakuan hukum persaingan usaha secara ekstrateritorial
sebenarnya tidak terdapat dalam UU Persaingan Usaha sehingga masih dipertanyakan keberadaannya. Namun, di negara-negara Eropa dan Amerika, dasar ekstrateritorial ini telah banyak diterapkan seperti Inggris, Amerika, dan beberapa Negara Unieropa lainnya. Di Amerika, praktik bisnis yang menghambat persaingan dapat menimbulkan dampak tertentu di wilayah suatu negara, namun akibat perilaku menghambat persaingan itu bisa juga berimbas kepada negara-negara lainnya. Dengan pemikiran
190 191
Ibid. Ibid.
100
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
itulah, Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mengembangkan permasalahan yurisdiksional berdasarkan “effect test” (tes dampak). Hakim Learned Hand yang menangani kasus Alcoa, yaitu antara United States v. Aluminium Co.of Am,192 disebutkan bahwa negara manapun dapat meminta pertanggung-jawaban, bahkan terhadap orang yang tidak termasuk ke dalam subjek hukum negara tersebut, untuk tindakan yang dilakukan di luar batas negaranya tetapi menimbulkan konsekuensi di negara tersebut. Jadi, yang menjadi fokus adalah lokasi korban berbeda, bukan terletak di pelaku usaha sehingga tes dampak oleh Amerika serikat ini mengecualikan bentuk perilaku yang hanya membahayakan persaingan negara lain, dengan kata lain, mengecualikan hampir seluruh kasus kartel ekspor. Di
Uni
Eropa,
kasus
yang
pertama
kali
menggunakan 193
ektraterritorialiatas adalah kasus Dyestuff, yaitu ICI v. Commision,
prinsip
pada kasus ini
ICI yang didirikan dan berkantor pusat di Inggris (pada saat itu belum menjadi anggota Uni Eropa) dituduh melakukan concerted practice atau yang disebut dengan kartel dan melanggar Pasal 81 EC Treaty melalui pemberian intruksi kepada anak perusahaannya di belgia. Dalam persidangan di European Court of Juctice (ECJ), General Counsel menggunakan effect doctrine. Hakim berpendapat dalam pertimbangannya mengatakan:
“… the condition necessary for taking ektrateritorial jurisdiction of competitiom were that the agreement or concerted practice must create a direct and immediate restriction of competition that the effect of the conduct must be reasonable foreseeable, and that the effect produced on the territory must be substantial”194
192
148 F.2d 416 (2d Cir. 1945). Lihat dalam Irwin M. Stelzer dan Howard P. Kitt, Selected Antitrust Cases: Landmark Decision, ed.ke-7, (Homewood, Illinois: 1986), hlm.17-27. 193
Case 48/69, ICI v. Commision (Dyestuf) (1072), ECR 619, (1972) CMLR 557.
194
Alison Jones dan Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, 2nd ed., (New York: Oxford Universitty Press, 2006), hlm.1249.
101
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Dalam putusannya, ECJ tidak mengadopsi effect doctrine yang dikemukakan oleh general counsel, ECJ mendasarkan yurisdiksinya kepada argument-argumen yang kemudian dikenal sebagai “single economic entity doctrine”. Dalam argument tersebut, ECJ menyatakan bahwa hukum Uni Eropa telah mengembangkan doktrin yang menganggap induk dan anak perusahaan sebagai satu pelaku usaha dalam penerapan hukum persaingan usaha, dengan demikian European Commision memiliki jurisdiksi terhadap perusahaan inggris tersebut.195 Di Indonesia, pada tahun 2007 penerapan UU Persaingan Usaha telah diterapkan terhadap pelaku usaha asing yaitu atas kasus Temasek, yaitu Temasek melawan KPPU, dalam kasus tersebut, Temasek, STT, STTC, AMHC, AMH, ICL, ICPL, SingTel dan SingTel Mobile, merupakan kelompok usaha berbentuk holding company yang didirikan berdasarkan hukum singapura. Komisi berpendapat bahwa kelompok usaha temasek telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan yaitu pasal 27 huruf a dan Pasal 25 ayat 1 UU Persaingan Usaha. Pada putusannya, komisi mengadopsi “single economic entitiy” karena berpendapat bahwa temasek holding company dan anak-anak perusahaannya adalah satu kesatuan ekonomi. Dalam Pasal 1 angka 5 dikenal istilah pelaku usaha, Kelompok Usaha Temasek dianggap sebagai pelaku usaha yang melakukan kegiatan di Indonesia. Dimana doktrin entitas ekonomi tunggal adalah doktrin yang memandang induk dan anak perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi. 196 Dalam pertimbangan majelis disebutkan bahwa:
” ... namun secara de facto dua perusahaan tersebut adalah satu entitas ekonomi apabila dalam kenyataannya memenuhi tiga kriteria: (i) apakah induk perusahaan memiliki representasi manajemen pada anak perusahaan, (ii) apakah induk perusahaan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi arah kebijakan anak perusahaan, (iii) apakah induk perusahaan memiliki akses informasi yang bersifat rahasia atau sensitif mengenai anak perusahaan.”197
195
Ibid, hlm.1240.
196
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Nomor 07/KPPU-L/2007.
102
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Akhirnya, tahun 2010, putusan komisi tersebut, diperkuat oleh Mahkamah Agung dengan Putusan No. 496 K/Pdt.Sus/2008 dan berlaku di Indonesia.
197
Ibid, hlm.608.
103
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB IV ANALISIS KASUS SUPPLY AGREEMENT ANTARA PT DEXA MEDICA DAN PFIZER OVERSEAS LLC YANG MELIBATKAN HOLDING COMPANY ASING
4.1 Gambaran Umum Pengendalian Pfizer Inc Holding Company Terhadap PT Pfizer Indonesia 4.1.1
Faktor Kepemilikan Saham Mayoritas Perusahaan holding adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki
saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu perusahaan lain tersebut. Tujuan dari suatu Holding Company adalah untuk mengkonsentrasikan kepemilikan saham-saham dengan tujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu
atau
cabang 198
mengendalikannya.
perusahaan
tertentu
atau
dengan
maksud
untuk
Dalam Pasal 54 ayat (1) dan Penjelasan dari Undang-Undang
Perseroan Terbatas199 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan saham adalah suatu benda
bergerak
dan
memberikan
hak
kepemilikan
kepada
pemegangnya.
Kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemegangnya, hak mana dapat dipertahankan terhadap setiap orang.200 PT. Pfizer Indonesia memiliki keterkaitan kepemilikan saham dengan Pfizer Inc melalui anak perusahaan yaitu Pfizer Corporation (Panama). Beberapa pemilik saham terbesar dari PT. Pfizer Indonesia adalah: 1. Pfizer Corporation (Panama) sejumlah 42,86 % saham terdiri dari 587.600 saham seri A dan 2.400.000 saham seri B, dengan nominal Rp.2.987.600.000,2. Warner Lambert Company A.G., sejumlah 28.08 % saham terdiri dari 1.957.535 saham seri B dengan nominal Rp.1.957.535.000,198
Lihat Hasim Purba, Tinjauan terhadap Holding Company, Trust, Cartel dan Concern, http://www. www.library.usu.ac.id. 199
Indonesia (b), Undang-Undang Perseroan Terbatas, Pasal 54 ayat (1).
200
Munir, “Hukum Perusahaan”, hlm. 98.
104
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3. Pharmacia & Upjohn Company LLC. sejumlah 21.61% saham terdiri dari 1.506.107 saham seri B dengan nominal Rp 1.506.107 saham seri B dengan nominal Rp 1.506.107.000,4. Parke, Davis & Company LLC, sejumlah 3.54% saham terdiri dari 247.015 saham seri B dengan nominal Rp 247.015.000,Keempat perusahaan tersebut dicatat sebagai anak perusahaan Pfizer Inc dan secara bersama-sama menguasai 96,09% saham PT Pfizer Indonesia. Hal tersebut menunjukkan Pfizer Inc bukanlah investor pasif atas anak-anak perusahaannya dan juga merupakan pemegang saham mayoritas atas PT Pfizer Indonesia melalui anakanak perusahaan. struktur kepemilikan PT Pfizer Indonesia dikuasai secara mayoritas oleh anak perusahaan Pfizer Inc. Terkait dengan pemilikan saham tersebut, PT Pfizer Indonesia yang merupakan anak perusahaan Pfizer Inc mempunyai kewenangan terhadap operasional PT Pfizer di Indonesia termasuk dalam pemasaran, penjualan dan produksi secara terbatas, sedangkan keputusan bisnis terkait raw material merupakan kewenangan Pfizer Inc sendiri. Hubungan kepemilikan saham Pfizer Inc dalam PT Pfizer Indonesia dapat digambarkan dengan struktur sebagai berikut: Gambar 2. Hubungan kepemilikan Pfizer Inc terhadap PT Pfizer Indonesia.
Sumber: Pengolahan Data Oleh KPPU 105
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
4.1.2
Kegiatan Usaha Pfizer Inc yang Dilakukan di Indonesia Melalui PT Pfizer Indonesia Dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya di Indonesia, Pfizer Inc dan PT
Pfizer Indonesia membuat perjanjian lisensi terhadap zat aktif Amlodipine Besylate yang memberikan lisensi kepada PT Pfizer Indonesia untuk menjalankan hak paten Pfizer Inc terhadap zat aktif Amlodipine Besylate. Bidang usaha Pfizer Inc adalah Manufaktur Persiapan Farmasi; Manufaktur Obat dan Botanical; Pestisida dan Manufaktur Kimia Pertanian Lainnya, Pengembangan di bidang Rekayasa, fisik, dan Kehidupan ilmu. PT Pfizer Indonesia mendistribusikan Norvask melalui PT Anugrah Argon Medica, berdasarkan perjanjian distribusi baik di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. PT Pfizer Indonesia yang merupakan anak perusahaan Pfizer Inc mempunyai kewenangan terhadap operasional PT Pfizer di Indonesia termasuk dalam pemasaran, penjualan dan produksi secara terbatas, sedangkan keputusan bisnis terkait raw material merupakan kewenangan Pfizer Inc sendiri. Pfizer Inc Telah memberikan dan memperpanjang lisensi yang diberikan kepada PT Pfizer Indonesia untuk menggunakan, mengimpor, memproduksi, menjual, memasarkan dan mendistribusikan paten dan merek dagang yang dimiliki oleh Pfizer Inc di wilayah Republik Indonesia. Pfizer Inc juga tidak berkeberatan kepada
Pfizer
Indonesia
untuk
menggunakan,
mengimpor,
memproduksi,
memasarkan, menjual dan mendistribusikan paten dan merek dagang yang dimiliki oleh Pfizer Inc sejak 1990 sampai saat ini. Selain itu, Pfizer Holding Company membuka anak perusahaan melalui kepemilikan saham pada Pfizer Overseas LLC. Sehingga, saham yang terdapat dalam PT Pfizer Indonesia merupakan saham holding company. Adapun proses pelaksanaan kegiatan usaha Kelompok Usaha Pfizer di Indonesia melalui PT Pfizer Indonesia adalaha sebagai berikut:
106
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Gambar 4 Pemasaran Bahan Baku Zat Aktif Amlodipine Besylate Oleh Kelompok Usaha Pfizer di Indonesia
Sumber: Pengolahan Data KPPU Keterangan Gambar: 1. Pfizer Inc adalah pemegang hak atas paten atas penemuan zat aktif Amlodipine Besylate dan parent company dari Pfizer Overseas Inc sebagaimana disebut dalam Supply Agreement, dan parent Company dari Pfizer Corporation Panama sebagai pemegang saham ± 42,86% di PT Pfizer Indonesia. 2. Bahwa Pfizer Overseas Inc adalah pemasok bahan baku untuk PT Pfizer Indonesia. 3. Kegiatan pemasokan bahan baku pada prakteknya bukan dilakukan oleh Pfizer Overseas selaku pihak yang pemasok bahan baku namun dilakukan antara Pfizer Global Trading c/o Pfizer Service Company selaku afiliasi dari Pfizer Overseas Inc. 4. PT Pfizer Indonesia dimiliki secara tidak langsung oleh Pfizer Inc melalui afiliasinya Pfizer Corporation Panama dan Warner Lambert melalui mekanisme kepemilikan saham.
107
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Berdasarkan struktur kepemilikan saham, maka PT Pfizer Indonesia merupakan Perseroan dalam bentuk PMA. Maka menurut penulis, pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 5 UU Persaingan usaha dapat diterapkan. Pfizer Inc selaku holding
4.2 Supply Agreement Baku Zat Aktif Amlodipine Besylate oleh Kelompok Usaha Pfizer Dan Dexa Medica Pada dasarnya konsep perjanjian pemasokan sama dengan perjanjian jual beli dalam KUH Perdata. Namun, dalam perjanjian pemasokan, terdapat kekhususan dari perjanjian jual beli seperti biasa. Bila dilihat dari pengertiannya, maka yang dimaksud dengan perjanjian pemasokan (Supply agreement) adalah: “A supply agreement is used between a business and a vendor, stating an arrangement made about receiving an ongoing supply of goods or materials. A supply agreement states all details of the future sales”201 Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya adalah sebuah perjanjian pasokan yang digunakan antara perusahaan dengan pemasok, yang menunjukkan kelangsungan kesepakatan tentang bagaimana menerima pasokan produk atau bahan yang diperjanjikan. Sebuah perjanjian pemasokan harus memuat semua rincian penjualan yang akan datang. Sebuah perjanjian pasokan produk merupakan kesepakatan antara pemasok dan pembeli untuk penyediaan dan pembelian produk. Perjanjian ini menetapkan ketentuan-ketentuan di mana pihak sepakat untuk menyediakan dan membeli lagi. Perjanjian tersebut menyediakan untuk pembeli dan penjual untuk memahami tanggung jawab dan kewajiban mereka di bawah perjanjian. Perjanjian ini digunakan untuk membeli barang dari penjual. Penjual berkomitmen untuk terus menyediakan produk khusus untuk pembeli di bawah kondisi yang ditentukan dalam perjanjian. Hal ini memungkinkan pembeli untuk menerima barang yang diperlukan atau bahan tanpa reorganisasi setiap minggu atau
201
http://definitions.uslegal.com/p/product-supply-agreement/, diunduh pada tanggal 25 Mei
2011.
108
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
bulan. Pemasok menyediakan produk dan pembelian pelanggan produk-produk ini untuk tujuan komersial di bawah perjanjian dalam produk yang kami tawarkan. Perjanjian tersebut juga memberikan konsekuensi yang mungkin dihadapi oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran. Kedua belah pihak harus memastikan bahwa kebutuhan mereka dan persyaratan secara jelas dinyatakan dalam perjanjian hati-hati meninjau perjanjian pasokan produk. Supply Agreement dilakukan dalam rangka penyelesaian sengketa paten akibat penggunaaan zat aktif Amlodipine Besylate non Pfizer selama masa paten yang digunakan oleh PT Dexa Medica yang berasal dari Eropa yang merupakan bentuk pelanggaran paten. 4.2.1
Para Pihak dalam Supply Agreement Dalam supply agreement, disebutkan pihak-pihak yang menandatangani dan
pihak-pihak terkait, yaitu sebagai berikut: •
Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) selaku pemasok, merupakan anak perusahaan Pfizer Inc.
•
PT Dexa Medica selaku pembeli bahan baku, Perusahaan PMA yang bergerak dibidang usaha Farmasi berkedudukan di wilayah hukum RI
•
Dalam perjanjian dilibatkan Pihak lain yaitu afiliasi yang merupakan induk masing-masing pihak, dan atau perusahaan lain yang saham mayoritas dimiliki atau dikendalikan langsung atau tidak langsung oleh pihak terkait atau induk perusahaan dari pihak yang bersangkutan.
•
Pfizer Inc disebutkan dalam perjanjian adalah induk perusahaan dari Pfizer Overseas di USA dan pemilik Paten atas zat aktif Amlodipine Besylate di Indonesia.
4.2.2
Implementasi Supply Agreement Supply Agreement dibedakan menjadi Suppy Agreement selama masa Paten dan setelah masa Paten. Bahwa terdapat perbedaan substansi mengenai pengaturan dalam kaitannya dengan jual beli zat aktif Amlodipine Besylate selama masa paten dan setelah masa paten.
109
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Gambar 3. Implementasi Supply Agreement
Sumber: Pengolahan Data KPPU
Keterangan Pfizer Inc adalah pemegang hak atas paten atas penemuan zat aktif Amlodipine Besylate dan parent company dari Pfizer Overseas LLC(d/h Pfizer Overseas Inc) sebagaimana disebut dalam Supply Agreement, dan parent Company dari Pfizer Corporation Panama sebagai pemegang saham 42.86 % di PT Pfizer Indonesia. Antara Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) dan PT Dexa Medica terjadi hubungan hukum dalam rangka pemasokan bahan baku sebagaimana perjanjian pemasokan bahan baku (Supply Agreement) yang ditandatangani kedua belah pihak, PT Pfizer Indonesia juga mendapatkan bahan baku dari pemasok yang sama. Dalam implementasinya, Pfizer Global Trading (c/o Pfizer Service Company) bertindak sebagai pemasok bahan baku zat aktif Amlodipine Besylate kepada PT
110
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Kegiatan pemasokan bahan baku pada prakteknya bukan dilakukan oleh Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) selaku pihak yang menandatangani Supply Agreement namun dilakukan Pfizer Global Trading (c/o Pfizer Service Company) selaku afiliasi dari Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) kepada PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia. Berdasarkan Supply Agreement, semua bentuk komunikasi dari PT. Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC disampaikan tembusan atau copy nya ke PT. Pfizer Indonesia yaitu Presiden Direktur. Berkaitan dengan pemesanan bahan baku, PT Dexa Medica berdasarkan ketentuan dalam Supply Agreement memberitahukan kepada Pfizer Overseas LLC dengan copy atau tembusan e-mail ke PT Pfizer Indonesia, yang dalam hal ini disampaikan kepada personil PT. Pfizer Indonesia. Pada tanggal 23 Maret 2007 antara Pfizer Inc dan PT Pfizer Indonesia membuat perjanjian lisensi atas hak Paten atas Amlodipine Besylate yang dimiliki oleh Pfizer Inc yang berlaku surut sejak 1 januari 2007. PT Pfizer Indonesia dimiliki secara tidak langsung oleh Pfizer Inc melalui afiliasinya Pfizer Corporation Panama dan Warner Lambert melalui mekanisme kepemilikan saham. PT Dexa Medica berhak membeli zat aktif Amlodipine Besylate dari Supplier manapun, namun PT Dexa Medica tetap membeli Zat Aktif Amlodipine Besylate dari Pfizer Overseas Inc dengan pertimbangan bahwa PT Dexa Medica ingin memastikan mempertahankan efek klinis/khasiat Tensivask yang sama pada saat sebelum dan sesudah paten. Proses pemesanan Amlodipine Besylate dari PT Dexa Medica kepada Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc) yang di supply melalui Afiliasinya yaitu Pfizer Global Trading c/o Pfizer Service Company adalah sebagai berikut
111
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Sumber: Pengolahan Data KPPU
4.2.3
Isi Supply Agreement antara PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC Tabel 6. Isi Supply Agreement Selama Masa Paten-Setelah Off-Paten.202
KETERANGAN Tanggal penandatanganan
SUPPLY AGREEMENT TAHUN
SUPPLY AGREEMENT
1997
TAHUN 2007
27 February 1997
13 Juni 2007 dan berlaku surut sejak tanggal 1 April 2007.
Jangka waktu kontrak
202
3 Tahun Perpanjangan tiap tahun
Diperpanjang tiap tahun sampai
sdampai berakhirnya masa paten.
saat ini
Putusan KPPU, Nomor: 17/KPPU-I/2010, hlm. 14-21.
112
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Obyek Perjanjian
Kerjasama pemasokan bahan baku
Perpanjangan
kerjasama
yang dilindungi oleh paten.
pemasokan bahan baku dengan perubahan syarat dan ketentuan setelah habisnya masa paten dari bahan baku.
Pihak Yang
Pfizer Overseas Inc: Vice
Pfizer Overseas LLC: Vice
menandatangani
President M. Sidi Said
Presiden Jakes Hilboldt
PT Dexa Medica: Presiden
PT. Dexa Medica
Director Drs. Rudy Soetikno.
Direktur: Ferry Sutikno.
Para Pihak
Pihak
I:
Pfizer
Overseas
Inc,
Pihak I: Pfizer Overseas LLC
kedudukan hukum: 235 East 42nd
(semula Pfizer overseas Inc),
street, new York N.Y. 10017, U.S.A
kedudukan hukum: 235 East
Sebagai Pemasok
42nd street, new York N.Y. 10017,
Keterangan mengenai
U.S.A
Pfizer Inc
Sebagai Pemasok
Sebagai Perusahaan Induk Dari Pemasok Di Usa dan pemilik Paten
Pihak II: PT. Dexa Medica
atas Amlodipine Besylate.
Jl. Letjen Bambang Utoyo 138 palembang 30114
Pihak II: PT. Dexa Medica
Indonesia.
Jl. R.S fatmawati Persil 33
Sebagai Pembeli
jakarta 12430 Sebagai Pembeli Laporan Forecast
Pasal 4 huruf a. i.
Pasal 3 huruf a.
Pembeli akan melaporkan 1
tahun
pemasok
sekali
i.
kepada
forecast
dari
Pembeli
akan
melaporkan
2
kali
setahun
kepada
kebutuhan bahan baku,
pemasok
selama periode 12 bulan
kebutuhan
mulai dari 1 Desember,
baku selama periode 6
forecast tahunan meliputi
bulan dimulai 1 april.
periode
forecast
desember
dari
tahun pertama dan mei
disampaikan
dari bahan
akan oleh
113
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
tahun
ketiga
perjanjian akan
pembeli
Forecast
disampaikan
sebelum
pembeli kepada pemasok
forecast.
1
oktober
tahun
ii.
1
bulan periode
Perubahan
Forecast
pertama perjanjian ini.
meliputi
Perubahan
periode
6
yang
disampaikan
meliputi
forecast pergantian
pergantian bulanan
periode 18 bulan yang
persemester
disampaikan persemester
pembeli
dari
pemasok. Perubahan
pemasok
pembeli.
kepada
Perubahan
dari kepada
forecast
akan
forecast akan disampaikan
disampaikan
pembeli kepada pemasokn
pemasok
paling lambat 2 bulan
lambat
1
sebelum permulaan dari
sebelum
permulaan
masing
dari
masing
periode
semester. Pembelian minimum
kepada
pemasok
oleh
pada ii.
ini.
dari
ketentuan
paling bulan
masingmasing
periode semester. -
Pada Pasal 1 huruf B Terdapat
kepada
mengenai
pembelian minimum selama 12 bulan sebagaimana
ketentuan
kualitas
minimum dalam lampiran perjanjian ini. Dalam waktu 15 hari setelah pembertahuan dari pemasok, maka pemasok berdasarkan pemberitahuan tertulis, dapat memutuskan perjanjian secara sepihak. Renegosiasi harga bahan baku
-
Pasal 12 Ketika
pemerintah
mengeluarkan
Indonesia pernyataan
mengenai penurunan harga atas produk
yang
menggunakan
bahan baku amlodipe besylate
114
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
untuk
diturunkan
harganyasebesar 25 % dari harga saat ini, maka para pihak setuju untuk menegosiasikan kembali harga bahan baku. Tambahan dari peraturan ini Syarat dan ketentuan ini berlaku selama periode perjanjian. Pengaturan
jumlah
Pasal 4 huruf a angka 4.
Pasal 3 angak (i)
Enam bulan pertama dari forecast
Pembeli
akan
berdasarkan forecast dari
yang
dapat
kepada
pemasok
pembeli
menggambarkan kebutuhan yang
setahun
forecast
pasti dari perusahaan. dengan
kebutuhan dari bahan baku
kepastian pembelian selanjutnya
untuk waktu 6 bulan mulai 1
oleh pembeli meliputi enam bulan
april.
periode yang variasinya tidak lebih
disampaikan
dari 25% dari forecast.
sebelumnya
Pengakuan Terhadap
Pasal 8
-
Paten
Selama perjanjian ini Pembeli akan
pasokan
bahan
baku
dikirimkan
melakukan
berupaya
memberikan
Forecast 1
2
kali
terhadap
akan bulan
mengakui,
menjaga hak paten, dan validitas dari paten Pfizer Inc. pembeli mengakui dan mengetahui bahwa pembelian dan
penggunaan
nya
amlodipe
besylate non Pfizer dan produksinya diwilayah
Indonesia
adalah
merupakaan pelangaran paten Pfizer Inc
dan
tidak
akan
melakukan
kegiatan sebagaimana tersebut diatas. Pengawasan paten
-
Pasal 9 Pembeli akan memberitahukan secara tertulis kepada Pemasok bahwa telah terjadi
pelanggaran
paten
atau
ancaman pelanggaran yang dilakukan pihak
lain
baik
penjualan
atau
115
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
penggunaan
Amlodipine
pembeli
akan
Besylate.
memberikan
pendampingan yang wajar kepada Pemasok dan Pfizer Inc dalam rangka menjaga paten . semua proses harus dalam pengawasan pemasok, dan afiliasi dari pemasok yangmana penunjukan dan biaya yang ditimbulkan akan dibebankan oleh supplier. Pemutusan
perjanjian
Pasal 16 huruf c angka (vi)
Pasal 13 huruf c angka(iv)
akibat tindakan kelebihan
Jika
bahwa
Jika pemasok melihat bahwa
produksi
Pembeli
jumlah kuantitas dari produk yang
jumlah kuantitas dari produk
yang tidak sesuai dengan
dijual diwilayah Indonesia berlebih
yang
bahan baku
dan tidak sesuai dengan kuantitas
Indonesia berlebih dan tidak
dari produk yang dapat diproduksi
sesuai dengan kuantitas dari
oleh pembeli dari bahan baku yang
produk yang dapat diproduksi
dibeli dari pemasok.
oleh pembeli dari bahan baku
oleh
pemasok
melihat
dijual
diwilayah
yang dibeli dari pemasok. Pencantuman
kalimat
dalam kemasan produk
Pasal 6
Pasal 5
Pembeli selama perjanjian ini berlaku
Pembeli selama perjanjian ini
akan mencantumkan pada kemasan
berlaku
produk
pada
dipasarkan
yang
diproduksi
di
wilayah
dan
Indonesia
kalimat:
melakukan kepada pembeli
Pemasok inspeksi
kemasan
mencantumkan produk
yang
diproduksi dan dipasarkan di wilayah Indonesia kalimat:
“Manufactured
Hak
akan
Utilizing
active
“Manufactured Utilizing active
Material of Pfizer”
Material of Pfizer”
Pasal 10
-
Pemasok dan pihak yang ditunjuk berhak
setiap
waktu
selama
perjanjian ini berlangsung melakukan inspeksi terhadap stok bahan baku yang telah dijual kepada pemasok tersedia
dan
stok dalam
yang
masih gudang
116
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
(penyimpanan) pemasok. Pemasok dan pihak yang ditunjuk dapat setiap waktu
selama
perjanjian
ini
berlangsung berhak unruk memeriksa buku dan pencatatan yang dilakukan oleh pembeli terlkait dengan bahan baku yang masih tersedia dalam penyimpanana Kegunaan
(gudang)
bahan
pembeli.
baku
untuk
memproduksi produk. Produk yang masih
tersimpan
(stok)
dalam
penyimpanan (gudang) pembeli dan penjualan produk oleh pembeli dalam wilayah territorial. Pengaturan perilaku bisnis
Pasal 16 huruf c angka 4
dan penjualan pembeli
Ketika pembeli melakukan perilaku
-
bisnis dan praktek penjualan yang menyimpang dari peraturan standar dari ketentuan perilaku bisnis Pfizer atau praktek penjualan sebagaimana yang dijelaskan dalam buklet Pfizer tentang ringkasan kebijakan Pfizer dalam perilaku bisnis. Pada januari 1996 copy sudah dilengkapi oleh pemasok kepada pembeli. Maka para pihak
dapat
secara
sepoihak
memutuskan perjanjian. Pemutusan
perjanjian
berdasarkan
pengaturan
jumlah
produksi
bahan baku.
dari
Pasal 16 Huruf c Angka (vi)
Pasal 13 huruf c angka (iv)
Jika penjual melihat bahwa kuantitas
Jika penjual melihat bahwa
dari produk yang dijual berlebih dan
kuantitas dari produk yang
tidak sesuai dengan jumlah produk
dijual
yang
dari
sesuai dengan jumlah produk
penggunaan bahan baku yang dibeli
yang dapat diproduksi dari
dari penjual. dalam wilayah territorial
penggunaan bahan baku yang
dapat
diproduksi
berlebih
dan
tidak
117
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
yang diperjanjikan, maka para pihak
dibeli dari penjual. dalam
dapat memutuskan perjanjian secara
wilayah
sepihak.
diperjanjikan,
maka
pihak
memutuskan
territorial
dapat
yang para
perjanjian secara sepihak. Kewajiban pembeli untuk
Pasal 24
membuat press realese
Pembeli setuju utk mengumumkan
-
sejak 7 hari setelah penandatanganan perjanjian untuk mengeluarkan press realese yang isinya menyebutkan bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan
terkait
dengan
pelanggaran paten. Kewajiban
memberikan
Pasal 21
Pasal 18
informasi kepada pihak
semua pemberitahuan, persetujuan
semua
ketiga
dan komunikasi yang terkait dengan
persetujuan dan komunikasi
perjanjiian ini harus dalam bentuk
yang
tertulis dan harus dikirimkan melalui
perjanjiian ini harus dalam
facsimile, pengiriman langsung atau
bentuk tertulis dan harus
lewat suirat sesuai dengan alamat
dikirimkan melalui facsimile,
para pihak dalam perjanjian ini dan
pengiriman
copynya kepada Pfizer Indonesia
lewat suirat sesuai dengan
dengan
alamat
yaitu
Pfizer
Indonesia
ketentuan
bahwa
semua
pemberitahuan,
terkait
dengan
langsung
para
pihak
atau
dalam
informasi atau komunikasi harus
perjanjian ini dan copynya
sampai ke pihak pfizer dalam jangka
kepada
Pfizer
waktu
dengan
ketentuan
bahwa
semua
informasi
atau
yang
ditentukan
perjanjian;
dalam
Indonesia
komunikasi harus sampai ke pihak pfizer dalam jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian; Harga Bahan Baku
US$ 40.000 per KgA
US$ 26.000 per KgA
Sumber: Pengolahan Data oleh KPPU
118
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
4.3
Analisis Kasus Dikaitkan dengan Pasal 16 UU Persaingan Usaha
4.3.1
Penerapan UU Persaingan Usaha terhadap Kelompok Usaha Pfizer (Holding Company) Penerapan UU Persaingan Usaha terhadap pelaku usaha asing dilakukan
berdasarkan pada prinsip pengendalian dan prinsip wilayah hukum dari sebuah pelaku usaha. Pfizer Inc selaku holding company memliki saham mayoritas yaitu 9Pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan di Indonesia dibuktikan dengan kepemilikan saham dan jenis kegiatan. Terkait kepemilikan saham dalam holding company, maka terdapat beberapa jenis yaitu manejemen holding company dan investment holding company. Berdasarkan struktur kepemilikan saham Pfizer holding company di dalam PT Pfizer, maka dapat disimpulkan bahwa pemilik saham mayoritas saham adalah Pfizer Inc sehingga Pfizer inc memiliki pengendalian aktif dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan oleh anak perusahaan PT Pfizer Indonesia. Pengendalian oleh Pfizer Inc kepada PT Pfizer Indonesia terjadi karena kepemilikan saham mayoritas dan Pfizer Inc berfungsi sebagai Holding Company dari keseluruhan anak-anak perusahaannya. Tujuan dari suatu Holding Company adalah untuk mengkonsentrasikan kepemilikan saham-saham dengan tujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu atau cabang perusahaan tertentu atau dengan maksud untuk mengendalikannya.203 Dari sisi penanaman modal, Kelompok Usaha Pfizer dapat dilihat sebagai penanam modal asing di PT. Pfizer Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, definisi penanaman modal adalah: segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) penanaman modal asing diartikan sebagai: kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 203
Putusan KPPU, Perkara No.7/KPPU-L/2007
119
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Mengacu pada ketentuan tersebut, penanaman modal yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Pfizer adalah bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. Selain itu sebagai Kelompok Usaha, Pfizer melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia secara bersama-sama dengan pihak lain melalui perjanjian. Kelompok Usaha Pfizer mengendalikan PT. Pfizer Indonesia bersama-sama dengan pemegang saham lainnya yang masing-masing hak dan kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar PT. Pfizer Indonesia. Selain itu, dalam menerapkan UU Persaingan Usaha, juga harus melihat kepada Prinsip keterkaitan objektif dimana prinsip ini digunakan untuk menentukan faktor-faktor mana yang berperan dalam memutuskan kapan kegiatan usaha dilakukan di wilayah Negara Indonesia. Menurut prinsip ini, untuk menerapkan UU Persaingan Usaha maka yang harus dilihat adalah tempat (wilayah) kegiatan suatu pelaku usaha. Dikaitkan dengan kasus, Pfizer Inc merupakan induk perusahaan, dimana berdasarkan perjanjian lisensi, PT Pfizer Indonesia melakukan kegiatan produksi, pemasaran, dan lain sebagainya di wilayah Indonesia. 4.3.2
Analisis Dugaan Kartel dalam Supply Agreement Dalam menilai suatu perjanjian melanggar persaingan usaha dan monopoli
atau tidak, maka perlu diperhatikan metode dan alat bukti yang digunakan. Dalam Pasal 16 UU Persaingan Usaha, disebutkan “… dapat mengakibatkan Persaingan Usaha dan Monopoli” dengan demikian maka yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason, yaitu bahwa suatu perjanjian harus dibuktikan terlebih dahulu dampaknya terhadap persaingan usaha. Dalam pembuktian perjanjian, KPPU telah memiliki Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Kartel. Praktek Kartel terdiri dari beberapa jenis salah satunya adalah pengaturan produksi. Pengaturan Produksi adalah suatu perjanjian dimana para pelaku usaha yang saling bersaing mengatur jumlah produksi masing-masing dari mereka sehingga secara keseluruhan hasil produksi mereka dapat mendikte dan mengatur harga yang berlaku di pasar. Dalam supply agreement disebutkan tentang keterbukaan informasi melalui PT Pfizer Indonesia
120
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
kepada Pfizer Overseas LLC padahal PT Pfizer Indonesia merupakan pesaing PT Dexa Medica. Keterbukaan informasi merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk praktek kartel atau yang disebut dengan faktor perilaku. Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka. Transparansi informasi ini semakin memudahkan kartel apabila hal tersebut termasuk informasi terkait harga, produksi dan tingkat penjualan pesaing. Pelaku usaha akan mudah membentuk kartel apabila tersedia informasi tentang respon dan reaksi pesaing di pasar terhadap strategi penetapan harga, produksi dan pemasaran pelaku usaha. Ketiadaan transparansi informasi akan menyulitkan pelaku usaha dalam mengkoordinasikan kartel menjadi efektif. Dalam beberapa perkara persaingan usaha di uni eropa bahkan pertukaran informasi antar pesaing dapat dianggap membahayakan kondisi persaingan sehingga dinyatakan sebagai pelanggaran. Hal tersebut terjadi apabila informasi tersebut berkaitan tentang spesifik tentang individu perusahaan dan bukan data agregat industri, terjadi dalam industri yang terkonsentrasi, berkaitan dengan strategi dan rencana perusahaan (dimana informasi-informasi tersebut tidak dapat diakses oleh konsumen atau pelaku usaha potensial) atau informasi-informasi yang dapat mempengaruhi pilihan strategi pelaku usaha pesaing di pasar.204 PT Dexa merupakan saingan PT Pfizer dalam pangsa pasar Amplodine Besylate. Perjanjian antara sesama pesaing memang tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai kartel, namun apabila perjanjian tersebut mengindikasikan adanya pengaturan produksi maka dapat diduga telah terjadi kartel. Dalam perjanjian antara Pfizer Overseas LLC dan PT Dexa, terdapat penyalahgunaan anak perusahaan dari suatu kelompok usaha. Peran PT Pfizer Indonesia dalam supply Agreement secara jelas disebutkan dan terlibat dalam perjanjian, sehingga dengan keterlibatan tersebut, telah terjadi perjanjian antara sesama pesaing. Bila dilihat dari defenisi, Kartel didefinisikan sebagai perjanjian diantara pesaing untuk membatasi persaingan yang dapat berupa penetapan harga, restriksi
204
BAGCI, et.al, CEG, Evaluating the Competitive Harm of Information Exchange
121
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
output, alokasi pasar serta persekongkolan tender. Pada dasarnya, persaingan sehat terjadi apabila pelaku usaha di pasar dapat bertindak secara independen dalam menentukan harga jual, jumlah output, strategi pemasaran dan lain-lain. Independensi ideal dalam persaingan usaha adalah kondisi pelaku usaha tidak dapat memastikan apa yang akan dilakukan oleh pesaing di pasar, semakin pelaku usaha dapat memastikan apa yang dilakukan pesaing atau bahkan mengkoordinasikan tindakan maka independensi pelaku usaha menjadi berkurang bahkan hilang. Terjaminya independensi ini memberikan potensi bahwa konsumen tetap memiliki variasi harga dan pilihan dari barang-barang yang ditawarkan di pasar. Dengan demikian, hilangnya independensi antar pelaku usaha maka akan hilangnya kesempatan konsumen untuk menikmati pilihan harga dan barang-barang akan menghilangkan manfaat persaingan bagi konsumen. Independensi ini hanya akan terjadi apabila pelaku usaha menjaga informasi sensitif yang dimiliki dengan tidak menyebabkan pesaing mengetahuinya. Informasi tersebut menyangkut tentang pilihan strategi yang akan dipilih pelaku usaha di pasar yang dapat berupa harga jual, jumlah yang diproduksi, nilai penjualan, rencana produksi, rencana penetapan harga. Strategi yang diinformasikan ke pesaing akan memudahkan pesaing untuk menyesuaikan strateginya di pasar atau bahkan mengkoordinasikan tindakannya secara bersama. Adapun isi perjanjian dengan pelaku usaha asing yang dianggap oleh Komisi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, adalah sebagai berikut:205 1. Berdasarkan perjanjian kerjasama pasokan yang tercantum dalam pasal 4.a dari poin i sampai iv, selama masa paten Amlodipine Besylate, PT Dexa Medica harus menyampaikan forecast pemakaian bahan baku selama 1 tahun ke depan kepada Pfizer Overseas LLC (d/h Pfizer Overseas Inc). Dari angka forecast tersebut, rencana pemakaian bahan baku untuk 6 bulan pertama akan direalisasikan dengan kemungkinan variasi maksimal 25%. 2. Dalam Supply Agreement yang berlaku sebelum tahun 2007 (sebelum masa paten Amlodipine Besylate habis), juga terdapat pengaturan mengenai inspeksi stok bahan baku yang dibeli PT. Dexa Medica oleh PT. Pfizer Inc afiliasinya. Hal tersebut diatur dalam pasal 10 perjanjian kerjasama pasokan. Berdasarkan
205
Putusan KPPU.
122
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
pasal tersebut, obyek inspeksi juga menjangkau pemakaian bahan baku, intentory dari produk Dexa Medica terkait (Tensivask) dan juga penjualan produk (Tensivask) dalam wilayah tertentu. Untuk addendum Supply Agreement pasca paten Norvask habis (Bukti addendum perjanjian tahun 2007), ketentuan inspeksi tersebut sudah tidak tercantum lagi. 3. Dalam perjanjian terdapat pasal yang mengatur pembatalan perjanjian yang dapat dilakukan apabila Pfizer Inc menemukan kelebihan (excess) stock produk Dexa Medica yaitu Tensivask, yang tidak sesuai dengan proyeksi/pemakaian Amlodipine Besylate yang dipasok oleh Pfizer Inc/afiliasinya. Hal ini dicantumkan dalam pasal 16.c. vi. Perjanjian Kerjasama Pasokan (Supply Agreement). Ketentuan tersebut masih terdapat dalam addendum terakhir pada tahun 2007 yaitu dalam pasal 13.c.iv. 4. Berdasarkan addendum perjanjian Supply Agreement pasca patent Norvask habis (tahun 2007) dalam pasal 12, mengatur penyesuaian harga bahan baku akibat adanya pengaturan harga/margin 25%. Apabila Pemerintah Indonesia memerintahkan kepada produsen untuk menurunkan harga Amlodipine Besylate + 25% dari harga saat itu, maka para pihak setuju untuk mengosiasikan ulang harga bahan baku. 5. Pembeli selama perjanjian ini berlaku akan mencantumkan pada kemasan produk yang diproduksi dan dipasarkan di wilayah Indonesia kalimat: “Manufactured Utilizing active Material of Pfizer. Dalam perjanjian tersebut di atas terdapat beberapa klausula yang tidak dihapuskan setelah masa paten dan tetap berlaku. Klausula tersebut memang merupakan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUH Perdata. Tetapi, klausula-klausula yang dianggap melawan hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Dari isi perjanjian di atas dapat diketahui bahwa dalam persaingan antara PT Dexa Medica dan PT Pfizer Indonesia, pertukaran informasi sensitif terjadi secara intensif. Pengertian informasi sensitif dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang yang menyebutkan bahwa lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau infomasi lain dalam bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Informasi diberikan oleh PT Dexa Medica ke PT Pfizer Indonesia baik secara tidak langsung melalui kelompok usaha Pfizer maupun secara langsung ke PT Pfizer Indonesia. Informasi tersebut berkenaan dengan informasi jumlah pemesanan bahan baku Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica ke
123
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Pfizer Global Trading. Informasi tentang jumlah bahan baku zat aktif yang dipesan dapat dengan mudah diubah menjadi informasi rencana jumlah obat yang diproduksi. Suatu informasi yang dapat dipergunakan oleh PT Pfizer Indonesia untuk menyesuaikan strategi jumlah produksi dan/atau pemasaran obatnya. Dengan demikian informasi ini menjadi faktor yang mengurangi independensi antar pesaing dalam memilih strategi. 4.3.3
Pembuktian Supply Agreement Berdasarkan Perkom No. 4 Tahun 2010 Pendekatan Rule of Reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh
lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Pasal 16 Undang-Undang Persaingan Usaha termasuk dalam Perjanjian yang harus dibuktikan secara Rule of Reason. Untuk menilai adanya kartel atau tidak, maka penulis menggunakan pembuktian adanya kolusi atau tidak (evidence of collusion) dan pembuktian ekonomi (economic evidence). 1. Komunikasi Antar Pesaing Salah satu alat bukti yang digunakan adalah adanya komunikasi antar pesaing. Dalam Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010, disebutkan bahwa kartel akan mudah terbentuk jika diantara pelaku usaha sering terjadi pertukaran informasi dan transparansi. Informasi yang dimaksud adalah informasi seperti data produksi dan harga jual. Berdasarkan kasus, PT Dexa Medica adalah pesaing dari PT Pfizer Indonesia, tetapi dalam implementasi Perjanjian, PT Dexa Medica selalu melakukan pembagian informasi yaitu adanya wajib lapor forecast, dan PT Pfizer Indonesia bisa melakukan stock inventory terhadap PT Dexa Medica. Bila dilihat pengertian forcasting. Forecasting memiliki hubungan dengan rencana. Forecasting merupakan peramalan apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang, sedangkan rencana merupakan penentuan apa yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Untuk membuat rencana jangka panjang, suatu perusahaan harus mempertimbangkan kapasitas, fasilitas, elastisitas harga, forecast permintaan konsumen dan sebagainya.
124
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Forecasting adalah suatu usaha untuk meramalkan keadaan di masa mendatang melalui pengujian keadaan masa lalu. Definisi lain forecasting yaitu; merupakan suatu cara untuk mengukur atau menaksir kondisi bisnis di masa mendatang secara kuantitatif dan kualitatif. 206 Dalam dunia usaha sangat penting diperkirakan hal-hal yang terjadi di masa depan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan, terutama dunia usaha itu merupakan bagian dari kehidupan sosial; dimana segala sesuatu yang terjadi serba tidak pasti, sukar diprediksi dengan tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah forecast / rencana. Forecasting yang dibuat selalu diupayakan agar dapat: a. Meminimumkan pengaruh ketidakpastian terhadap perusahaan, b. Forecasting bertujuan mendapatkan forecast yang bisa meminimumkan kesalahan meramal (forecast error) yang biasanya diukur dengan mean squared error(MSE), mean absolute error (MAE), dan sebagainya.207 Dalam kasus, kewajiban adanya laporan forecast dalam Supply Agreement termasuk ke dalam informasi yang dianggap informasi rahasia perusahaan sesuai dengan UU tentang Rahasia Dagang. Selain itu, berdasarkan perjanjian pemasokan, kelompok usaha Pfizer memiliki hak untuk melakukan inspeksi dan penghitungan kesesuaian atas jumlah produk PT Dexa Medica yang diedarkan di pasar. Informasi tersebut dan kewenangan untuk melakukan inspeksi bagi kelompok usaha Pfizer mengkibatkan PT Pfizer Indonesia sebagai pesaing dengan mudah memantau sekaligus mengatur jumlah produksi obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate khususnya tensivask serta jumlah peredarannya di pasar. Pengaturan tersebut berguna bagi pelaku usaha untuk memaksimumkan tingkat profit, meningkatkan harga jual di pasar maupun untuk menyiapkan strategi menahan pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Karena adanya pertukaran informasi yang rutin, KPPU berpendapat bahwa pembagian informasi tersebut, telah mengakibatkan praktek kartel
206
Pangestu Subagyo, Forecasting Konsep dan Aplikasi. (Yogyakarta BPFE, 1986), hlm.3.
207
Ibid, hlm.4.
125
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
karena secara tidak langsung, PT Dexa Medica tidak memiliki independensi dalam melakukan kegiatan usahanya. 2. Tingkat Kerusakan Selain itu, dalam menilai akibat dari perjanjian pemasokan terhadap persaingan, maka perlu dilihat dampak kerusakan yang terjadi dalam persaingan usaha itu sendiri (estimating private antitrust damages). Perhitungan kerusakan persaingan harus melihat kepada pasar yang relevan (relevant market). Pasar relevan dari suatu obat harus melihat kepada kelompok obat yang disebutkan dalam bab II tulisan ini. Secara logika, perbedaan harga yang sangat tinggi antar produk akan mencegah satu kelompok konsumen untuk pindah ke produk tersebut (harga tinggi). Dalam menilai pasar relevan, selain melihat kepda pasar geografis, preferensi konsumen juga harus dipertimbangkan karena batasan kompetitif yang dihadapi oleh pelaku usaha adalah berasal dari periaku konsumen atau perilaku perusahaan lain. Dengan menggunakan perhitungan kemiripan harga dengan uji homogeneity of varians atau uji kemiripan harga. Pengujian hipotesis dua varians dilakukan untuk mengetahui varians dua populasi sama (homogen) atau tidak (heterogen).208 Kemiripan harga berdasarkan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010 dapat dijadikan sebagai salah satu indikasi/bukti terjadinya pengaturan produksi. Salah satu alat bukti yang digunakan adalah alat bukti ekonomi yaitu dengan perhitungan harga yang disebabkan oleh perjanjian pengaturan harga. Dalam pertimbangan Komisi, disebutkan bahwa kenaikan harga menjadi salah satu indikator dari suatu perjanjian yang dilarang.
208
“Uji Homogenitas Varians”, http://muhammadwinafgani.files.wordpress.com/2009/10/uji homogenitas.pdf, diunduh pada 25 Mei 2011.
126
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Berdasarkan data pergerakan tersebut, baik Norvask kemasan 5 mg maupun kemasan 10 mg, hrganya terus mengalami kenaikan secara sistematis sejak tahun 2000 sampai awal 2010. Kenaikan juga terjadi di periode 2007-2008, dimana pada saat itu, terjadi penurunan harga bahan baku dari Pfizer Overseas yaitu pada awalnya $40.000 perKgA menjadi $26.000 perKgA atau turun sekitar 35%. Pergerakan harga untuk produk tensivask, baik 5 mg dan 10 mg: Grafik Harga Tensivak Per Unit
127
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Menurut pendapat peneliti, bila melihat kepada pergerakan harga di atas, tidak mutlak membuktikan adanya kerusakan terhadap persaingan usaha. Seharusnya, selain melihat kepada masa berlakunya paten juga harus melihat kepada ketersediaan barang substitusi pembeli. Dari grafik tersebut, terlihat kemiripan harga antara novarsk dan tensivask adalah sama sehingga persaingan harga tidak ada dan hal ini menunjukkan adanya pengaturan harga antara PT Dexa Medica dan Pfzer Overseas LLC. 4.3.4
Pertanggungjawaban
Pfizer
Holding
Company
dan
Anak
Perusahaannya/Subsidiary Company 1. Anak perusahaan sebagai badan hukum Sebagai badan hukum, maka anak perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri. Dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta kekayaan pemegang sahamnya. Tidak kecuali apakah pemegang sahamnya itu merupakan perusahaan holding ataupun tidak. Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum (yang konvensional), maka perusahaan holding dalam kedudukannya sebagai induk perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencampuri manejemen dan policy anak perusahaan. PT Pfizer yang merupakan anak perusahaan dari Pfizer Overseas LLC merupakan badan hukum yang memiliki independensi dari Pfizer Inc selaku holding company. Sehingga dalam hal pertanggung jawaban, PT Pfizer Indonesia tetap bertanggung jawab secara terpisah dari Pfizer Inc selaku holding company. Hal demikian juga berlaku terhadap PT Dexa Medica yang merupakan Perusahaan Penanaman Modal Asing. 2. Holding company sebagai satu kesatuan entitas (single economic entitiy) Perusahaan kelopok adalah satuan ekonomi dalam mana badan-badan hukum atau perseroan-perseroan secara organisatoris terikat sedemikan rupa sehingga mereka berada di bawah satu pimpinan. Penjelasan pengetian tersebut sangat penting untuk
mengetahui
pengontrolan
atau
pengendalian
terhadap
anak
perusahaan/subsidiary. Bila kelompok pelaku usaha dikendalikan hanya ikatan
128
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
organisatoris semata, maka seluruh perbuatan hukum atau tindakan yang dilakukan anak perusahaana/anggota kelompok adalah independen. Keberadaan induk perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas anak perusahaan memberikan keuntungan hak bersuara dalam RUPS yang memberikan kekuasaan untuk menjalankan pengendalian atas jalannya anak perusahaan. Selain itu, induk perusahaan memiliki insentif dan kekuasaan untuk membuat keputusan stratejik dan melakukan perubahan manejemen dalam mendukung kepentingan perusahaan kelompok. Dalam hal pertanggunjawaban, induk perusahaan akan bertanggung jawab terhadap permasalahan hukum anak perusahaan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:209 a. Induk perusahaan turut menandatangani perjanjian yang dilakukan anak perusahaan dengan pihak ketiga anak perusahaan; b. Induk perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas perjanjian anak perusahaan dengan kreditor; c. Induk
perusahaan
melakukan
perbuatan
melawan
hukum
yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga dari anak perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk melihat pertanggung jawaban induk perusahaan dan anak perusahaan, telah ada doktrin entitas ekonomi tunggal (single economic entity doctrine) yang telah diterapkan dalam putusan atas kasus Kelompok Usaha Temasek. Kelompok Usaha Pfizer didirikan dan berkedudukan di USA, namun sebagai suatu Kelompok Pelaku Usaha melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, melalui PT. Pfizer Indonesia. Terkait dengan pelaku usaha yang berkedudukan hukum di luar negeri dan memiliki anak perusahaan yang beroperasi di Indonesia, maka perusahaan tersebut dapat dianggap memiliki pengaruh yang nyata terhadap pasar di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh KPPU dalam Putusan Perkara No.7/KPPU-L/2007 terkait dengan dugaan pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek,
209
Sulistiowati,” … Perusahaan Grup di Indonesia”, hlm.158.
129
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
dimana Perkara tersebut telah dikuatkan melalui putusan MA nomor 496 K/PDT.SUS/2008,
maupun
Putusan
MA
atas
PK
perkara
nomor
128
PK/PDT.SUS/2009.210 Adapun penjelasannya adalah sebagaimana dikutipkan sebagai berikut Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No 5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan fungsional yang menekankan pada kegiatan ekonominya daripada pendekatan subjek hukum.211 Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka bentuk badan hukum tidak material dalam menentukan suatu pelaku usaha. Pendekatan ini diterapkan dalam teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.212 Derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi.213 Konsekuensi dari penerapan Single Economic Entity Doctrine ini adalah pelaku usaha dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial.214 Konsideran huruf c UU No
210
Putusan KPPU, Perkara No.7/KPPU-L/2007, hlm. 61
211
Knud Hansen, et al., Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal. 50. 212
Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, Oxford University, Press, New York, 2004 hal. 123. 213
Ibid., hal 135
130
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
5 Tahun 1999 menegaskan perspektif tersebut dengan menyatakan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar. Oleh karena itu sebagai suatu prinsip umum dalam hukum persaingan, UU No 5 Tahun 1999 memiliki yurisdiksi atas kondisi persaingan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, tanpa memandang siapa pun dan di mana pun pelaku usaha yang menyebabkan dampak terhadap kondisi persaingan tersebut. Terminologi “yang melakukan kegiatan“ ataupun “yang berusaha di Indonesia“ tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut harus berada dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha di negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang telah ada di negara tersebut tanpa secara langsung melakukan kegiatan usaha di dalam pasar bersangkutan Negara tersebut. Dengan kata lain, suatu pelaku usaha dapat mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa dia sendiri beroperasi di pasar bersangkutan tersebut. Perspektif ini terlihat pada batang tubuh UU No 5 Tahun 1999 yang banyak menggunakan terminologi ”pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha” dalam pasalpasalnya. Kelompok pelaku usaha menurut Knud Hansen, dkk adalah Beberapa badan usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badanbadan usaha mandiri tersebut berada di bawah satu pimpinan yang sama yang memperlihatkan keluar bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya.215 Teori Single Economic Entity Doctrine, yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.
214
Single Economic Entity Doctrine menjadi dasar bagi European Community untuk menerapkan hukum persaingan usaha terhadap pelaku usaha yang beroperasi di luar wilayah EC, lihat Lihat Alison Jones and Brenda Sufrin, op.cit hal. 126. 215
Knud Hansen, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999…, hlm. 55.
131
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi. Pfizer Inc. memiliki kebijakan untuk menunjuk anak perusahaannya PT Pfizer Indonesia dalam memproduksi dan memasarkan obat anti hipetensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate atas nama Pfizer Inc dengan merek dagang Norvask di Indonesia. Dalam melakukan produksi-pemasaran zat aktif Amlodipine Besylate serta obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate di Indonesia, Pfizer Inc menggunakan jalur distribusi Kelompok Usaha Pfizer, yakni: Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading (c/o. Pfizer Service Company), dan PT. Pfizer Indonesia. Dari sisi penggunaan merek, PT Pfizer Indonesia mendapatkan hak dari Pfizer Inc sehubungan dengan pemegang saham mayoritas PT Pfizer Indonesia adalah Pfizer Corporation Panama yang merupakan anak perusahaan Pfizer Inc. Oleh karena itu, dengan adanya kesatuan entitas Pfizer yang mencakup PT Pfizer Indonesia, maka perjanjian supply agreement Amlodipine Besylate yang dilakukan oleh PT Dexa Medica adalah perjanjian yang dilakukan sesama pesaing di pasar Bersangkutan., PT Pfizer Indonesia adalah afiliasi dari Pfizer Inc dan Pfizer Overseas, sekaligus merupakan pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama dengan PT Dexa Medica. Hubungan antar pihak yang terjalin melalui Supply Agreement mengarah kepada koordinasi serta pengaturan produksi dan penjualan antara Dexa Medica dengan kelompok usaha Pfizer dalam hal ini yaitu Pfizer overseas-Pfizer Indonesia. Kondisi ini dilandasi fakta bahwa walaupun Pfizer Overseas Inc bertindak sebagai pemasok dan PT Dexa Medica sebagai pembeli bahan baku, namun karena dalam butir butir perjanjian selalu disebutkan dalam mekanisme implementasi dan pengawasan selalu melibatkan Pfizer overseas dan pihak yang ditunjuk (designee) yaitu PT Pfizer Indonesia.
132
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
4.4 Pendapat Pengusaha Terhadap Supply Agreement yang Berakibat Persaingan Usaha Tidak Sehat (PT Pfizer Indonesia) Pengusaha berpendapat bahwa Supply Agreement antara PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC adalah dalam rangka penyelesaian sengketa paten tahun 1996. Dimana pada waktu itu, PT Dexa Medica mempunyai ijin edar obat yang mengandung zat aktif Amlodipine Besylate dengan Merek Tensivask sediaan 5 mg, padahal hak atas paten telah diberikan kepada Pfizer Inc yang diberikan pada tanggal 10 Nopember 1995 di Indonesia, dan berlaku 20 tahun sejak diajukan pada tanggal 3April 1987 dan berakhir pada tanggal 2 April 2007. Atas sengketa tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan 2 (dua) opsi solusi, yaitu: 1. Menarik produk dari pasar dan berhenti memproduksi Tensivask atau; 2. Menemui pihak Pfizer Inc. serta menawarkan kerjasama dan menanyakan kemungkinan membeli bahan baku Pfizer. Kerjasama pemasokan tersebut seharusnya dikecualikan sesuai dengan Pasal 50 huruf b UU Persaingan usaha dimana setiap perjanjian yang dilakukan dalam masa paten meruapakan hak monopoli dari pemegang paten tersebut.216 Sebagai langkah tengah dan supaya tidak mematikan perusahaan domestik maka PT Dexa Medica memilih untuk melakukan kerjasama pemasokan dengan Pfizer Overseas LLC. Dalam hal ketentuan pengaturan produksi dalam Supply Agreement, PT Pfizer Indonesia berpendapat bahwa Ketentuan mengenai prediksi bahan baku (forecase) merupakan ketentuan yang lazim, wajar dan diperlukan dalam suatu perjanjian pasokan. Tujuan adanya ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Agar Pemasok dapat memperkirakan berapa banyak bahan baku yang perlu diproduksi untuk memenuhi pesanan Pembeli. 2. Untuk menjamin supaya Pembeli mendapatkan bahan baku sesuai jumlah yang diinginkan karena Pembeli terlebih dahulu sudah menyampaikan perkiraannya. Adanya prediksi ini untuk menghindari habisnya persediaan bahan baku yang diperlukan oleh Pembeli; dan
216
Indonesia, UU Persaingan Usaha, Pasal 50 huruf b.
133
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3. Pemasok dapat memproduksi bahan baku sesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga akan tercipta “cost efficiency” Pemasok dalam memproduksi bahan baku. 4. Ketentuan di dalam Supply Agreement menjadi lebih penting lagi mengingat Pfizer Overseas Inc memasok bahan baku Amlodipine Besylate ke berbagai negara dengan kuantitas yang besar. Oleh karena itu, Pfizer Overseas Inc selaku pemasok mempunyai kepentingan untuk benar-benar mengetahui perkiraan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan oleh masing-masing pembeli. Dengan demikian, ketentuan di atas sama sekali tidak mempunyai kaitan apapun dengan dugaan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha. Terkait dengan Pelaku Usaha Asing yang melakukan Kegiatan Usaha di Indonesia, Pengusaha berpendapat bahwa PT Pfizer Indonesia tidak terikat dan tidak terkait dengan Supply Agreement antara PT Pfizer Overseas LLC dan PT Dexa Medica sehingga PT Pfizer Indonesia tidak bisa dikenakan pasal tentang pengaturan produksi. Mereka berpendapat bahwa struktur kepemilikan saham harus dipisahkan dari perjanjian dengan Pfizer Overseas LLC. Gambar 2. Perbandingan Struktur Kepemilikan Saham dengan Struktur Supply Agreement.
Sumber: PT Pfizer Indonesia.
134
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Secara substantif, Supply Agreement tersebut juga tidak mempunyai kaitan apapun dengan Pfizer Indonesia karena perjanjian tersebut adalah mengenai jual beli bahan baku Amlodipine Besylate antara Pfizer Overseas LLC dengan Dexa Medica. Perjanjian tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan produksi, pemasaran dan penjualan Norvask yang diproduksi oleh Pfizer Indonesia. Dalam hal kesatuan entitas (single economic entity), Pengusaha berpendapat bahwa Adanya hubungan kepemilikan saham secara tidak langsung bukan bukti sebagai satu kesatuan ekonomi karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-masing sehingga, PT Pfizer Indonesia sama sekali tidak mempunyai hak dan kewajiban apapun dalam Supply Agreement sebab Pfizer Indonesia bukan pihak dalam perjanjian tersebut. Supply Agreement sepenuhnya merupakan persoalan antara Pfizer Overseas LLC dengan Dexa Medica.
135
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Penulis mempunyai beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut terkait dengan pokok-pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab I Skripsi ini. Kesimpulan tersebut sebagai berikut: 1. Pelaku Usaha asing dalam bentuk holding company yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia, berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha dapat dikenakan UU Persaingan Usaha apabila holding company memiliki saham mayoritas terhadap anak perusahaan yang memiliki kegiatan di Indonesia sesuai UU Penanaman Modal Asing dan memiliki kendali manejemen terhadap anak perusahaan tersebut. Dalam hal pertanggung-jawaban, penggunaaan doktrin single economic entitiy yang berasal dari Eropa ternyata membawa dampak yang sangat baik, dimana dengan adanya prinsip ini, holding company sebagai satu kesatuan ekonomi harus ikut bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh anak perusahaannya/subsidiary yang melakukan aktivitas di negara Indonesia. Sehingga, Pfizer Holding Company sebagai induk perusahaan harus ikut bertanggung jawab terhadap dampak persaingan usaha yang dilakukan oleh anak-anak perusahaannya. 2. Dalam perjanjian pemasokan antara PT Dexa Medica dan Pfizer Overseas LLC terdapat praktek kartel yang dilakukan dengan pengaturan produksi. Dalam Perkom No. 4 Tahun 2010, kartel dapat terbentuk karena adanya faktor perilaku dan faktor struktural. Faktor perilaku yang dilakukan antara perusahaan yang bersaing tersebut adalah transparansi dan pertukaran infomasi. Dimana, informasi tersebut digunakan untuk mengatur produksi. Dalam praktek kartel tersebut, berkurangnya persaingan dapat terlihat dari hilangnya independensi suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Supply agreement (perjanjian Pemasokan) antara PT Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC berdampak
136
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
terhadap persaingan usaha. PT Dexa Medica merupakan pesaing dari PT Pfizer Indonesia yang merupakan anak perusahaan Pfizer Inc. Implementasi dari perjanjian tersebut adalah bahwa PT Dexa Medica wajib memberikan laporan forecase atau ramalan kepada Pfizer Overseas LLC melalui PT Pfizer Indonesia, selain itu, PT Pfizer Indonesia berhak melakukan stock inventory kepada PT Dexa Medica. Implementasi perjanjian tersebut diikuti pula dengan komunikasi antara PT Pfizer Indonesia dengan PT Dexa Medica. Dengan adanya keterbukaan informasi yang diikuti oleh komunikasi yang intens tersebut, maka telah terjadi Pengaturan produksi yang akhirnya mempengaruhi harga. Dampak dari adanya perjanjian tersebut adalah naiknya harga obat yang mengandung bahan baku amplodin basyelate.
5.2 Saran Melalui skripsi ini, Penulis mempunyai beberapa saran. Saran yang akan Penulis kemukakan sebagai berikut: 1. Mengingat ketentuan Pasal 16 UU Persaingan Usaha selain menyangkut Hukum Nasional juga menyangkut lingkup Internasional, dimana negara berkembang seperti Indonesia, tidak bisa lepas dari eksistensi investor dalam menunjang perekonomian Indonesia, maka menurut Penulis, hendaknya ketentuan hukum persaingan asing yang diadopsi dan diterapkan oleh Indonesia seperti single economi entitiy doctrin, indirect evidence, teori efek, price pararelism, excessive price, dan lain sebagainya harus segera diinstitusikan di dalam Undang-Undang Persaingan
Usaha,
sehingga
tidak
menimbulkan
perdebatan
disetiap
penggunaannya. 2. Untuk Kepentingan yang lebih luas, Perjanjian dalam Undang-Undang Persaingan Usaha memiliki krakteristik tersendiri dan tidak bisa hanya merujuk kepada Buku Ke-3 KUH Perdata sehingga ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Persaingan Usaha harus dapat memberikan batasan, bentuk yang jelas dan rinci, kapan suatu perjanjian dapat dikategorikan melanggar persaingan usaha.
137
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
3. Ketentuan mengenai indusri farmasi baik produksi, distribusi, harga, dan promosi harus lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Khususnya, Peraturan-peraturan mengenai harga obat harus dibuat lebih ketat supaya harga obat tersebut tetap dapat terjangkau oleh masyarakat dan produsen dalam negeri tidak kalah dalam persaingan, oleh karena itu, kegiatan-kegiatan bisnis oleh pelaku usaha farmasi harus diawasi baik kegiatan usaha antar pelaku usaha lokal maupun dengan pelaku usaha asing.
138
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Adolf, Huala (a). Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafind Persada, 2005. ______.(b). Hukum Perdagangan Internasional. Prinsip-Prinsip dan Konsepsi Dasar. Cet. ke-1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Black, Henry Campbell. Black’s law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., 1979. Cox, James D. Thomas Lee Hazen. F. Hodge O’neil. Corporations. Aspen Law & Bussiness, 1997. Djamil, Kumhal. Peran Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang. Praktek Bisnis Curang. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1993. Fahmi, Andi. el.al. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks & Konteks. Jakarta: GTZ GmbH, 2009. Fox, Eleanor M. End of Antitrust Isolationism: The Vision of One World. Chicago: University Of Chicago Legal Forum 221, 1992. Fuady, Munir (a). Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. cet. 2. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. ______.(b). Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. Friedman, Wolfgang. The Changing Structure of International Law. London: Stevans and Sons, 1964. Gautama, Sudargo. “Hukum Perdata Intenasional Indonesia”. Cet. Ke-2. Bandung: PT. Alumni, 2004.
139
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Gie, Kwik Kian. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia & STIE IBII, 1995. Hansen, Knud. et.al. Undang-Undang larangan Praktek Monopoli dan Usaha Persaingan tidak Sehat (Law Concerning Prohibition Of Monopolistic Practices And Unfair Bussines Competition). Jakarta: Penerbit Katalis, 2001. Harahap, M. Yahya. Segi-Segi HukumPerjanjian. Bandung: Alumni, 1986. Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. ed. ke-1. cet. ke1. Jakarta: Kencana, 2008. Hovenkamp, Herbert. Federal Antitrust Policy: The Law of Competition and It’s Practice. 2nd ed.,1995. Iwanto, Sutrisno.”Beberapa Isu Yang Sering Dipertanyakan Dalam Kasus Kartel di Indonesia”. dalam Tim Panitia Kajian Akademis. (ed). Prociding: Kajian Akademis atas Putusan KPPU No. 17/KPPU-I/2010 (dugaan pelanggaran Pasal 5. Pasal 11. Pasal 16. dan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No. 5 Tahun 1999 dalam Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine. Jakarta: Magister FEUI, 2010. Ibrahim,Johnny. Hukum persaingan usaha: filosofi. teori. dan implikasi penerapannya di Indonesia. Malang :Bayu Media Publishing, 2007. Jakson, Jhon H. “International Economic Law”. dalam R. bernhardt. (ed).. Encyclopedia of Public International Law. Instalment 8, 1985. Jones, Alison and Brenda Sufrin. EC Competition Law. Text. Cases. and Materials. Oxford University. Press. New York, 2004. Juwana, Hikmahanto. “Sekaligus Tentang Hukum Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999”. Depok: Jurnal Magister Hukum 1, 1999. Jones, Alison dan Brenda Sufrin. EC Competition Law. Text. Cases. and Materials. New York: Oxford University Press, 2004. Kartte, Wolfgang.. “Persaingan usaha untuk memajukan kesejahteraan rakyat”. dalam seminar sehari “Persaingan Sehat Untuk Memajukan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta. Desember 1999. 140
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Kaysen, Carl dan Donald F. Turner. Anti-Trust Policy and Economic and Legal Analysis. Cambridge: Harvard University Press, 1971. Khemeni, RS. & DM. Shapiro. Glosarry of Industrial Organization Economics and Competition Law, Washington, D.C: World Bank, 1996. Knoop, Carin Isabel. Indonesia’s Pharmaceutical Industry in 1998. Boston: HBS. 1998 dalam Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2. No. 1, 2000. Lasater, Kieran A. “A Survey of the Domestic Approaches to Antitrust Taken by the Opec Member Nations: Do they practice what they preach?”. 23 Penn State International Law Review 413, 2004. Maulana, Insan Budi. Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000. Muladi. "Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia". dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998. Madura, Jeff. International corporate Finance: Keuangan Perusahaan Internasional buku 1. ed. Ke-8. Yavini Bachtiar (Penerjemah). Jakarta: Salemba Empat, 2006. Muhamad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Posner, Richard A.. Economic Analysis of Law. Fourth Edition Litle Brown and Company: Boston, 1998. Prayoga, Ayudha D. et al. (Ed.). Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS, 2000. Redjeki, Sri. Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Penerbit Mandar Maju. Bandung, 2000.
141
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Ross, Stephan F. Principles of Antitrust law. Westbury New York: The foundation Press, 1992. Rokan, Mustafa Kamal. “Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia)”. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2010. Saecker. Law Concerining Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Bussiness Competition. Depok: lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI, 2000. Saliman, Abdul R. et.al. Hukum BisnisUntuk Perusahaan.Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Prenada Media, 2005. Schmidt, Jonathan T. “Keeping U.S. Courts Open to Foreign Antitrust Plaintiffs: A hybrid Aproach to the Effective Deterrence Of Internasional Cartels. 31 Yale Journal of Internasional Law, 2006. Spillance, James J. Ekonomi Farmasi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 2011. Shapiro,Carl. “The Theories Of Oligopoly Behavior” (Handbook of Industrial Economics eds. R. Schmalensee. and R.D Willing. Vol.2. North-Holland. Amsterdam, 1989. Simon, Harry dan We Karrenbrock. Advance Accounting. Taipei: Mey Ya Publication Inc, 1989. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2005. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Perusahaan Kelompok dan Hukum Persaingan. Pidato Dies natalis ke-46 UGM. 19 Desember 1995. Soemitro, Rochmat. Hukum Perseron Terbatas. Yayasan. dan Wakaf. Bandung: Eresco, 1993. Silalahi, M. Udin. Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol. Bagaimana Cara Memenangkan. Jakarta: Kelompok Gramedia, 2007.
142
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
Sirait, Ningrum Natasya. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003. Subagyo, Pangestu. Forecasting Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta :BPFE, 1986. Subekti. Hukum Perjanjian . Jakarta: PT. Intermasa, 1984. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta :PT.RajaGrafindo Persada. 2007. Syamsudin. Operasional Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007. Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Zuhri, Muh Fahrudi. Tinjauan Hukum Pidana terhadap perilaku Pengusaha Dalam Pengadaan. Penyimpanan dan Penjualan obat-obatan tanpa keahlian dan Kewenangan. Surakarta :Universitas Muhammadiah Surakarta, 2008. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817 Tahun 1999. ______. Undang-Undang tentang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No. 67 Tahun 2007, TLN No. 4724. ______. UU No. 15 Tahun 2001, Undang-Undang Tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131. ______. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, UU No. 17 Tahun 2000, LN KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 kartel, Perkom No. 4 Tahun 2010.
143
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011
C. JURNAL Jurnal Hukum Bisnis. UU Anti Monopoli; Tantangan dan Masalah di Seputarnya. Volume 19. Mei-Juni 2002. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), 2002. Jurnal Hukum Bisnis. Hukum Persaingan Usaha: Mendeteksi Praktik Kartel. volume 30-No.2-Tahun 2011. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2011.
144
Tinjauan hukum ..., Adryanov Hutabalian, FH UI, 2011