UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK DI RUANG RAWAT MELATI ATAS RSUP PERSAHABATAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
HESI OKTAMIATI 0906629391
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK DI RUANG RAWAT MELATI ATAS RSUP PERSAHABATAN
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan
HESI OKTAMIATI 0906629391
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS DEPOK JULI 2014
i
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ners adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Hesi Oktamiati
NPM
: 0906629391
Tanda Tangan :
Tanggal
: 8 Juli 2014
ii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
iii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ners keperawatan yang berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan”. Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Profesi Ners Keperawatan pada Program studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah akhir ners keperawatan. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan karya ilmiah akhir keperawatan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan karya ilmiah akhir keperawatan ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada: 1.
Bapak I Made Kariasa, SKp., MM., MKep., Sp. KMB, selaku dosen pembimbing saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan membantu saya dalam penyusunan karya ilmiah akhir ners keperawatan.
2.
Ibu Ns. Azraini, S. Kep selaku CI (Clinic Instruction) selama di RSUP Persahabatan yang sangat banyak membantu untuk proses pembuatan karya ilmiah ini.
3.
Ibu Ns. Fajar Tri Waluyanti M. Kep., Sp. Kep. An., IBLCL selaku ketua prodi profesi ners keperawatan FIK-UI yang selalu mengingatkan mahasiswa profesi tentang kegiatan profesi selama setahun.
4.
Bapak dan Mama tercinta yang telah banyak memberikan motivasi baik berupa materi dan moril dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan ketulusannya serta adik saya Dwiyan Hamonangan.
iv
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5.
Pihak RSUP Persahabatan, terutama Ruang Inap Melati Atas yang sangat membantu saya dalam menjalankan praktik dan penyusunan karya ilmiah akhir profesi.
6.
Keluarga besar Eyang Saliman dan Opung Saragih, yang telah memberi semangat dan memberi banyak semangat terhadap karya ilmiah akhir ners saya.
7.
Teman-Teman Bedah Kampus UI (Rinjani, Ibaddurahman, Alfianda, Eka, Ita, dan Sadar) yang telah membantu saya dalam mengusik kepenatan.
8.
Teman-teman FIK 48 yang bersemangat tinggi (Okti Sirait, Helena Winata, Agnes Fibriyanti, Ningsih Tresia, Christafenny, Tika Widowati, dan Puspa Astriana) dalam memberikan masukan dan nasehat yang dikemas secara unik dengan penuh canda dan kegembiraan.
9.
Teman-teman seperjuangan FIK UI angkatan 2009 dan adik-adik angkatan yang telah banyak membantu dan saling memberikan semangat, membantu dalam memberikan kritik dan saran selama penyusunan karya ilmiah akhir ini.
10.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Saya menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah akhir ners ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan karya ilmiah akhir ini. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat bermanfaat bagi saya dan pembaca khususnya, serta masyarakat pada umumnya.
Depok, Juli 2014
Penulis
v
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Hesi Oktamiati
NPM
: 0906629391
Program Studi : Profesi Ners Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis Karya
: Karya Ilmiah Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Rawat Inap Melati Atas RSUP Persahabatan”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengahlimedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis./ pencipta dan sebagai Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok Pada tanggal: Juli 2014 Yang menyatakan
(Hesi Oktamiati) vi
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama : Hesi Oktamiati Program Studi : Profesi Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Stroke Hemoragik di Ruang Inap Melati Atas RSUP Persahabatan Stroke merupakan kumpulan manifestasi gangguan neurologis yang diakibatkan oleh penyumbatan suplai darah ke bagian otak. Gaya hidup tidak sehat pada masyarakat perkotaan menjadi penyebab Stroke. Kerusakan mobilitas fisik merupakan dampak tertinggi yang dialami oleh penderita pasca stroke. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis intervensi kerusakan mobilitas fisik dengan latihan rentang pergerakan sendi (RPS) untuk mencegah terjadinya kontraktur pada pasien di Ruang Rawat Melati Atas, RSUP Persahabatan. Hasil dari latihan rentang gerak sendi (RPS) terbukti efektif dalam mengatasi kerusakan mobilitas fisik. Sosialisasi tentang pemberian edukasi dan mengajarkan RPS secara terprogram diperlukan perawat ruangan agar perbaikan rentang gerak sendi optimal. Kata Kunci: Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, kerusakan mobilitas fisik, rentang gerak sendi, stroke
vii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
ABSTRACT Name Study Program Title
: Hesi Oktamiati : Ners : Analysis clinical practice of urban health nursing in Hemorrhagic stroke’s patient in the Ruang Melati Atas, RSUP Persahabatan
Stroke is a collection of manifestations from neurological disorders caused by discontinuanced of blood supply to part of the brain. The unhealthy lifestyles in urban communities become the cause of stroke. The impaired physical mobility is the highest impact experienced by people with post-stroke. This article makes interventions aimed to analyze the impaired physical mobility with Range of Motion exercises (ROM) to prevent contractures in patients at Ruang Rawat Melati Atas, RSUP Persahabatan. The Results of Range of Motion exercises (ROM) shown to be effective in overcoming the impaired physical mobility. Regarding the provision of education and socialization teaching ROM regularly is needed by nurses for repairing the optimal range of motion. Keyword: Hemorrhagic stroke, impaired physical mobility, nursing in urban health, range of motion
viii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................... 5 1.2.1 Tujuan Umum .................................................................... 5 1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................... 5 1.3 Manfaat Penulisan........................................................................ 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8 2.1 Stroke ........................................................................................... 8 2.1.1 Definis Stroke .................................................................... 9 2.1.2 Klasifikasi Stroke ............................................................... 9 2.1.3 Etiologi Stroke ................................................................... 12 2.1.4 Faktor Resiko Stroke ......................................................... 14 2.1.5 Tanda dan Gejala Stroke .................................................... 15 2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 17 2.1.7 Patofisologi Stroke ............................................................. 17 2.1.8 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke ............. 20 2.2 Mekanisme Terjadi Gangguan Mobilitas Fisik............................ 26 2.2.1 Definisi Rentang Gerak Sendi (RPS) ................................. 27 2.2.2 Prosedur Latihan Rentang Gerak Sendi ............................. 29 BAB III. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ................................ 34 3.1 Pengkajian ................................................................................. 34 3.2.1 Identitas Pasien ................................................................ 34 3.2.2 Anamnesis ....................................................................... 35 3.2.3 Pemeriksaan Diagnostik .................................................. 39 3.2.4 Daftar Terapi Medikasi.................................................... 39 3.2.5 Daftar Terapi Cairan ........................................................ 39 3.2 Analisa Data .............................................................................. 40 3.3 Perencanaan Asuhan Keperawatan ............................................ 40 3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Sebelum Operasi ............ 45 3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan Setelah Operasi .............. 49 3.4 Evaluasi Keperawatan .............................................................. 56 BAB IV. ANALISIS SITUASI ..................................................................... 59 ix
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
4.1 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Kosep Kasus Terkait ................... 59 4.2 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait.................................................. 66 4.3 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ........................... 71 BAB V. PENUTUP ...................................................................................... 73 5.1 Kesimpulan ................................................................................ 73 5.2 Saran............................................................................................ 74 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
x
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Stroke Hemoragik ........................................................................ 11 Gambar 2.2 Trombus Serebral ......................................................................... 12 Gambar 2.3 Hemoragik Serebral...................................................................... 14
xi
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil Pemeriksaan Darah Lampiran 2 : Hasil Gambar Rontgen Toraks Lampiran 3 : Hasil Gambar CT Scan Kepala Tanpa Kontras Lampiran 4 : Daftar Terapi Obat Lampiran 5 : Analisis Data Lampiran 6 : Catatan Perkembangan Pasien Lampiran 7 : Lembar Pengkajian Stroke NIHSS Lampiran 8 : Lembar leflet RPS Lampiran 9 : Biodata Penulis
xii
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang mengalami masa peralihan, dari masyarakat agraris menjadi negara industri. Indonesia juga menghadapi dampak perubahan tersebut dalam bidang kesehatan. Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah transisi epidemiologi, dimana masih tingginya jumlah kejadian penyakit-penyakit menular dan diikuti oleh peningkitan jumlah kejadian penyakit tidak menular yang sebagian besar bersifat multikausal (disebabkan oleh banyak faktor) (Departemen Kesehatan, 2007). Penyakit tidak menular (PMT) merupakan penyakit kronis, PMT mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PMT utama menurut WHO adalah penyait kardiovaskular (penyakit jantung koroner), stroke (cerebrovascular disease), kanker, dan penyakit pernapasan kronik (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Cerebrovascular Disease (CVD) atau stroke adalah penyakit yang menyerang otak yaitu berupa gangguan fungsi saraf lokal dan/ atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic. Gangguan saraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lainnya. American Heart Association (AHA) (2010) mengatakan bahwa stroke menyumbangkan sekitar satu dari 18 kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006. Angka kematian tahun 2006 adalah sebanyak 137.119 orang yang terdiri dari 54.524 laki-laki dan 82.595 perempuan. Prediksi prevalensi stroke tahun 2006 adalah 6,4 juta yang terdiri dari 2,5 juta laki-laki dan 3,9 juta perempuan. Sekitar 795.000 orang mengalami stroke baru, 610.000 orang diantaranya mengalami serangan pertama dan stroke serangan berulang sekitar 185.000 orang. Berdasarkan estimasi diperkieakan 40 detik akan muncul satu kasus stroke baru di Amerika ( AHA, 2010). Konferensi Stroke Internasional 1 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
2
tahun 2008 yang di selenggarakan di Wina, Austria mengungkapkan bahwa jumlah kasus stroke di kawasan Asia akan terus meningkat yang disebabkan oleh perubahan gaya hidup masyarakat.
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan terdiagnosa tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti oleh DI Yogjakarta (10.3%), dan DKI Jakarta 9,7 per mil. Prevalensi yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5%) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan tenaga kesehatan atau gejala (12,7%) (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Hal ini dapat terjadi karena disebabkan oleh beban kerja, stres dam tekanan pekerjaan (Patel, 1995). Angka kejadian stroke sangat tinggi mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 7584 tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Stroke Indonesia (2012) mengatakan bahwa kecenderungan meningkatnya jumlah penderita stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir dan hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia.
Data epidemiologi menunjukan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung dan pada tahun 2008, stroke menyebabkan 6,2 juta orang meninggal (WHO, 2008). Berdasarkan hasil data WHO dan data Riset Kesehatan Dasar RI dapat dilihat bahwa stroke merupakan salah satu masalah utama kesehatan di negara maju ataupun negara berkembang serta penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Stroke juga menimbulkan dampak yang besar dari segi sosial ekonomi, karena biaya pengobatan yang relative mahal dan akibat kecacatan yang ditimbulkan pada pasien pasca stroke
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
3
sehingga berkurangnya kemampuan untuk bekerja seperti semula dan menjadi beban sosial di masyarakat.
Menurut Sudoyo, dkk (2009) mengatakan bahwa stroke dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Jenis stroke iskemik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklorosis ateri otak/ atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke tersering didapatkan sekitar 80% dari semua stroke dan stroke ini dapat mengakibatkan syok atau hipovelemia. Kemudian stroke hemoragik merupakan sekitar 20% dari semua stroke diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah, dibedakan pada intraserebral, subdural, dan subaraknoid. National Stroke Association (2014) dan Lewis (2007) mengatakan bahwa hampir 85% dari kasus stroke adalah iskemik, yang terjadi akibat sumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah atau yang lain.
Adapun
gejala neurologis yang timbul tergantung berat gangguan pembuluh
darah dan lokasinya. Manifestasi klinik stroke dapat menimbulkan penurunan kesadaran, afasia, nyeri kepala, penurunan fungsi motorik. Perubahan tersebut mempengatuhi struktur fisik maupun mental, sehingga dengan adanya perubahan tersebut mobilisasi penderita akan mengalami kemunduran aktivitas seperti kelemahan
menggerakkan
kaki,
kelemahan
menggerakkan
tangan,
ketidakmampuan bicara dan ketidakmampuan fungsi-fungsi motorik lainnya (Smeltzer dan Bare, 2002). Stroke juga merupakan salah satu penyebab kecacatan permanen di Amerika Serikat dan hal ini menjadikan penyebab yang menetap dari kecacatan (Lynch et al, 2005).
Penatalaksanaan stoke menurut Setyopranoto (2011) dalam Jurnal Stroke Gejala dan Penatalaksanaan menyimpulkan bahwa penatalaksanaan stroke dibagi menjadi dua, yaitu stadium hiperakut, stadium akut, dan stadium subakut. Stadium hiperakut dilakukan di IGD dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardioUniversitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
4
pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada pasien ini diberikan oksigen 2L/ menit dan cairan kristaloid, kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan, EKG, foto toraks, pemeriksaan darah perifer lengkap, glukosa, APTT, kimia darah, dan analisis gas darah. Stadium akut dilakukan penanganan faktor-faktor etilogik maupun penyulit dan dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara, dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan edukasi kepada keluarga pasien perlu menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga. Stadium subakut merupakan tindakan medis yang berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bleeder training (termasuk terapi fisik), sehingga dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami, dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
Penyakit stroke memberikan dampak pada berbagai sistem tubuh, menurut Lewis (2007) pada umumnya stroke dapat menyebabkan lima tipe kecatatan (disability), yaitu: 1) paralisis atau masalah mengontrol gerakan, 2) gangguan sensorik termasuk nyeri, 3) masalah dalam menggunakan bahasa atau mengerti bahasa, 4) masalah dalam berpikir dan memori, 5) gangguan emosional. Unsur patologis yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparise atau hemiplagia
yang dapat
mengakibatkan kondisi
imobilitas. Kondisi
ini
menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan pada otot ekstermitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan kekakuan sendi yang dapat mengekibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya pasien akan mengalami keterbatasan terutama dalam mengakibatkan Activity Daily Living (ADL).
Fase rehabilitasi pada pasien pasca stroke meliputi perbaikan mobilitas dan mencegah deformitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, kontrol kandung kemih, perbaikan proses pikir, pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 202). Hal utama yang harus dilakukan dalam tindakan keperawatan untuk pasien Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5
pasca stroke adalah memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas. Intervensi keperawatan untuk memperbaiki mobilitas dan mencegagh deformitas adalah dengan cara latihan rentang pergerakan sendi (RPS) atau Range of Motion (ROM) dan pengaturan posisi.
Rentang pergerakan sendi merupakan salah satu terapi lanjutan pada pasien stroke setelah fase akut telah terlewati atau telah memasuki fase rehabilitasi. Rentang gerak Sendi (RPS) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan
penampilan
kognitif.
Sebaliknya,
gerakan
pasif,
yaitu
menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas (Potter & Perry, 2005).
Adapun komplikasi yang akan datang jika pasien pasca stroke tidak dilakukan latihan rentang gerak sendi adalah kontraktur dan atrofi (Kozier, 2004). Hasil penelitian oleh Astrid (2008) didapatkan hasil bahwa kekuatan otot meningkat dan kemampuan fungsional meningkat secara signifikan setelah diberikan latihan. Hal ini berarti latihan RPS berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot dan kemampuan fungsional pasien stroke dengan hemiparise. Penelitian yang dilakukan oleh Yulinda (2009) mendapatkan hasil bahwa adanya peningkatan kekuatan otot dan kemampuan fungsional klien setelah melakukan ROM secara teratur selama 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang telah disampaikan diatas yang berkaitan dengan latihan RPS, hampir semua penelitian menggunakan latihan RPS unilateral, dimana hanya dilakukan pada bagian ekstermitas yang mengalami hemiparise. Latihan RPS pada pasien stroke dapat dilakukan pada semua ekstermitas yang mengalami hemiparises ataupun tidak, latihan ini disebut dengan RPS bilateral (Neurodevelopment Treatment (NDT) Approach). Adapun penelitian tentang penggunaan Neurodevelopment Treatment (NDT) Approach adalah penelitian yang dilakukan oleh Yulinda (2009) yang menyimpulkan bahwa perkembangan kemampuan kekuatan otot dan refleks yang berhubungan dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
6
perkembangan motorik dapat mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh Stoykov (2009) menyimpulkan bahwa latihan RPS bilateral dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional.
Berdasarkan rekap data RSUP. Persahabatan, khususnya Ruang Rawat Melati Atas Mei-Juni 2014 ditemukan sebanyak 16 kasus, yang hampir 90% mengalami stroke iskemik dan pasien yang terkena stroke mengalami hemiparises atau hemiparalisi pada bagian ekstrimitas. Hal ini menempatkan stroke sebagai penyakit terbanyak di Ruang Melati Atas setelah Diabetes Mellitus. Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat ruangan didapatkan hasil bahwa perawat ruangan biasanya bekerja sama dengan keluarga untuk melakukan ROM uniteral secara tidak terprogram. Berdasarkan hal tersebut pasien dengan stroke perlu dilatih untuk melakukan latihan rentang gerak sendi yang bertujuan untuk menstabilkan atau mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, kekuatan otot, dan untuk mencegah komplikasi dari imobilisasi seperti atrofi otot dan kontraktur. Karya ilmiah ini
menggunakan metode studi kasus terdahap pasien dengan
masalah keperawatan kerusakan mobilitas fisik yang mengalami rawat inap di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan. Mahasiswa melakukan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan terhadap pengaruh RPS pada perubahan mobilisasi pasien stroke.
1.2.
Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum Menggambarkan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan terhadap pengaruh RPS pada perubahan mobilisasi pasien stroke di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan.
1.2.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Melakukan analisis masalah keperawatan terkait dengan kasus mobilisasi fisik pada pasien pasca stroke dan konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
7
2.
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik dengan gangguan mobilitas fisik.
3.
Melakukan analisis intervensi latihan rentang gerak sendi dalam mengatasi gangguan mobilitas fisik pada pasien dengan stroke hemoragik.
1.3.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini antara lain: 1.
Pelayanan Keperawatan Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada para perawat untuk lebih memodifikasi lagi dalam menyusun asuhan keperawatan. Khususnya dalam memberikan intervensi keperawatan kepada penderita pasca stroke yang mengalami gangguan mobilisasi fisik. Intervensi tersebut dilakukan sesuai dengan penelitian yang telah ada dan mudah untuk dilakukan.
2.
Rumah Sakit Hasil penulisan ini dapat dijadikan bahan masukan dan informasi mengenai penanganan pasien pasca stroke dengan gangguan mobilitas di RSUP Persahabatan, khususnya di Ruang Melati Atas agar pasien tidak terkena kontraktur.
3.
Pendidikan Hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkan kualitas pembelajaran dan mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan sistem neurologi khususnya mengenai penyakit stroke dengan pasien yang mengalami gangguan mobilisasi akibat terjadinya penyumbatan di otak sehingga terputusnya sistem koordinasi tubuh, sehingga tidak ada lagi pasien stroke yang mengalami kontraktur. Hal ini sebagai dasar mengenai informasi RPS tehadap perubahan mobilisasi pada pasien pasca stroke.
4.
Penulis Selanjutnya Hasill penulisan ini diharapkan dapat menjadikan dasar untuk melakukan evidence based practice yang serupa dengan kasus yang lain sesuai dengan penelitian terbaru.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Stroke
Keperawatan masyarakat perkotaan menurut Allender dan Spradley (2011) merupakan lahan keperawatan, yang berfokus pada populasi, menekankan terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya peningkatan kesejahteraan diri, meningkatkan tanggung jawab pasien terhadap perawatan diri, menggunakan penilaian dan analisa, menggunakan teori organisasi dan melibatkan kolaborasi antar profesi. Perkotaan menurut BAPPENAS (2005) merupakan wilayah yang memiliki karakteristik kepadatan penduduk mencapai atau lebih dari 50 jiwa per Ha, dimana mayoritas penduduknya berusaha bekerja pada wilayah industri, perdagangan, dan jasa. Perkotaan menurut UU No. 22/1999 adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Sehingga dapat diartikan bahwa perkotaan adalah wilayah yang memiliki jumlah kepadatan penduduk yang besar, memiliki wilayah industri, dan pusat administratif pemerintahan. Tingginya aktivitas dan tuntutan pekerjaan yang dialami oleh masyarakat perkotaan menyebabkan sulit untuk melakukan pola hidup sehat, seperti konsumsi makanan cepat saji, waktu olahraga yang terbatas, dan stres akibat pekerjaan. Hal ini dapat memicu penyakit degeneratif, seperti stroke. Berdasarkan data dari WHO (2011), kematian akibat penyakit tidak menular sekitar 60% dari seluruh penyebab kematian di negara-negara berkembang.
Indonesia
mengalami
prevalensi
sebanyak
60%
kematian
disebabkan oleh penyakit degeneratif, yang paling banyak dialami adalah stroke.
Stroke menunjukkan adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah di otak. Patologis ini menyebabkan pendarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding pembuluh darah atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau permanen (Doenges, 2010). 8
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
9
2.1.1. Definisi Stroke Stoke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh interupsi dalam suplai darah ke salah satu bagian otak. Stroke merupakan sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif, cepat, berupa defist neurologis vocal atau global yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic (Black & Hawks, 2005; Ignatavicius & Workman, 2010). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) stroke atau cedera serebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. WHO (2006) mendefinisikan stroke adalah sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Jadi dapat disimpulkan bahwa stroke merupakan manifestasi gangguan neurologis pada bagian otak akibat adanya hambatan suplai darah ke bagian otak sehingga menimbulkan kelumpuhan hingga kematian.
2.1.2. Klasifikasi Stroke Berdasarkan atas jenisnya, stroke terbagi atas stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. 1.
Stroke Non Hemoragik (Iskemik Stroke) Gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh oklusi sebagian atau lengkap dari pembuluh darah dengan transient atau efek permanen. Jenis stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis ateri otak/ atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau seuatu emboli dari pembuluh darah di luar otak dan merupakan stroke yang paling sering terjadi (Sudoyo, 2009). Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) membagi penyebab dari stroke iskemik yaitu trombotik pembuluh darah besar dan stroke embolik, trombolik stroke pembuluh darahampir 80%h kecil, stroke kerdioembolik, dan lain-lain. Iskemia mungkin bersifat sementara dan menyelesaikan dalam waktu 24 jam, dapat diubah dengan resolusi gejala
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
10
selama periode 1 minggu (reversibel defisit neurologis iskemik, atau kemajuan infark serebral dengan variabel efek dan derajat pemulihan). Transient Ischemic Attack (TIA) Gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam juga masih belum teratasi sekitar 50% pasien sudah terdapat infark dari hasil MRI. Setelah TIA, 10% sampai 15% pasien dalam 7 hari, 30 hari, 90 hari akan terkena stroke, namun lebih banyak pasien yang terkena stroke setalah dua hari setelah TIA (Gofir, 2009; Burst, 2007). Reversible Ischemic Neurogical Deficit (RIND) Sama seperti TIA gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari 24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam (Gofir, 2009). Stroke In Evolution (Progressing Stroke) Pada keadaan ini gejala dan tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung secara bertahap dari yang ringan menjadi lebih berat (Gofir, 2009; Burst, 2007). Complate Stroke Non Hemorrahagic Kelainan neurologis sudah menetap tidak berkembang lagi bergantun daerah bagian otak mana yang mengalami infark.
2.
Stroke Hemoragik Sudoyo, dkk (2009) mengatakan bahwa stroke jenis ini terjadi hanya sekitar 20% dari semua stroke diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro eneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan antara pendarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid. Kemudian hanya 20% dari pasien mendapatkan kembali kemandirian fungsional (Nassisi, 2008 dalam Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
11 Pendarahan Intraserebral (PIS) Pendarahan ini terjadi di dalam substansi atau parenkim otak. Penyebab utamanya adalah hipertensi tidak terkontrol. Penyebab lainnya yaitu malformasi arteriovenosa (MVA), alcohol, diskrasia darah, dan angiopati (Caplan, 2007). Pendarahan jenis ini arteri yang sebagai vaskularisasi mengalami ruptur dan menyebabkan kebocoran darah kebagian otak yang lain dan terkadang membuat otak tertekan dikarenakan penambahan volume cairan. Pada orang dengan hipertensi kronis terjadi proses degeneratif pada otot dari dinding arteri sehingga dapat membentuk aneurisma. Pendarahan Subarachoid (PSA) Penyebab tersering adalah rupturnya aneurima arterial yang ada di otak dan perdarahan dari malformasi vascular yang terletak dengan piameter. Penyebab lain berupa akibat trauma, angiopati amiloid. Bila pecahnya aneurisma ini berhubungan dengan cairan serebrospinal akan terjadi peningkatan tekanan intracranial, dan bila tidak cepat ditangani akan menyebabkan kematian.
Gambar 2.1 Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
12
2.1.3. Etiologi Stroke Stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari empat kejadian, yaitu trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain), iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), dan hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak) (Smeltzer & Bare, 2002). 1.
Trombosis Serebral Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebral. Trombosis serebral merupakan penyebab tersering stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragik intrasebral atau embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplagia, atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
gambar 2.2 Trombus Serebral
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
13
2.
Embolisme Serebral Embolus dapat berupa bekuan darah, lemak, udara hingga menyebabkan sumbatan. Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal
adalah
tempat-tempat
asal
emboli.
Embolus
biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau hemiplagia tiba-tiba dengan atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral. 3.
Iskemia Serebral Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak. Manifestasi paling umum adalah SIS (Serangan Iskemik Sementara). Stroke yang terkena iskemik dapat terjadi enam bulan setelah menderita SIS atau mengalami SIS secara berulang.
4.
Hemoragik Serebral Hemoragik ini terjadi di luar dura mater (hemoragik estradural atau epidural), di bawah dura mater (hemoragik subdural), di ruang subaraknoid, atau di dalam subtansi otak (hemoragik intrasebral). Hemoragik serebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak, akibatnya terjaid penghentian suplai darah ke otak.
Hemoragik intarsebral adalah pendarahan yang paling sering terjadi pada pasien hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah. Stroke sering terjadi pada kelompok usia 40-70 tahun. pada orang yang lebih muda dari 40 tahun, hemoragk intrasebral biasanya disebabkan oleh malformasi arteri-vena, hemangioblastoma, dan trauma. Juga disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu., adanya tumor otak, dan penggunaan medikasi (antikoagulan oral, amfetamin, dan berbagai obat aditif).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
14
Peredaran darah biasanya aterial dan terjadi terutama pada basal ganglia. Gambaran klinis dan prognosis bergantung terutama pada derajat hemoragik dan kerusakan otak. Biasanya awitan tiba-tiba, dengan sakit kepala berat. Bila hemoragik membesar, makin jelas defisit neurologic yang terjadi dalam bentuk penurunan keasadaran dan abnormalitas tandatanda vital.
Gambar 2.3. Hemoragik Serebral
2.1.4. Faktor-Faktor Resiko Stroke Menurut Sudoyo (2009) dan Smeltzer (2008) secara patologis pada non hemoragik, merupakan stroke terbanyak dari seluruh stroke, apa yang terjadi di pembuluh darah di otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutama jenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor resiko terjadinya stroke serupa dengan faktor resiko penyakit jantung iskemik, yaitu: 1.
Usia, yang merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke
2.
Jenis kelamin, pada perempuan premenopause lebih rendah dibandingkan pria. Setelah menopause faktor perlindungan pada wanita menghilang, dan insidensnya hampir sama dengan pria
3.
Hipertensi, baik sistolik dmaupun diastolic merupakan faktor resiko dominan untuk terjadinya stroke lebih hemoragik atau non hemoragik
4.
Diabetes mellitus, hiperlipidemia Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
15
5.
Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama jantung (fibrilasi atrial), infark yang disertai vegetasi (endokarditis bakterialis subakut), tumor atrium
6.
Penyebab jantung dikatakan bertanggung jawab atas sekitar 30% dari penyebab stroke
7.
Koagulopati karena gangguan berbagai komponen darah
8.
Faktor keturunan/ hipovolemia dan syok terutama pada populasi usia lanjut, dimana refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.
2.1.5. Tanda dan Gejala Stroke Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah dimana yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer & Bare 2002). 1.
Kehilangan Motorik Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik, karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan pada neuro motor yang berlawanan. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplagia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh juga salah satu tanda dan gejalanya. Kemudian ataksia, yaitu berjalan tidak mantap, tidak tegap, dan tidak mampu menyatukan kaki. Menurut Lemone dan Burke (2004) gangguan motorik yang terjadi pada pasien stroke dapat berupa hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh), flaccidity (hilangnya tonus otot), spasticity (hipertonia yang disertai dengan kelemahan)
2.
Kehilangan Komunikasi Stroke merupakan penyebab afaksia yang paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut, yaitu disartria (kesulitan bicara) ditujukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot bicara. Disfasia atau afasia (bicara defektif Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
16
atau kehilangan bicara), yaitu terutama ekspresif atau reseptif. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya) 3.
Gangguan Persepsi Ketidakmampuan untuk menginteprestasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam visual-spasial dan
kehilangan
sensoris.
Disfungsi
persepsi
visual,
homonimus
hemianopsia yaitu kehilangan setengah lapangan pandang, tidak menyadari
orang atau
objek
di
tempat
kehilangan
penglihatan
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak. Kehilangan penglihatan perifer yaitu kesulitan melihat pada malam hari. Gangguan hubungan visual spasial adalah diplopia (penglihatan ganda). Kehilangan sensoris, terjadi pada sisi berlawanan dari lesi, kebas, dan kesemutan pada bagian tubuh (parastesia). 4.
Kerusakan Fungsi Kognitif dan Efek Psikologi Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapan perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi. Masalah psikologi lainnya adalah labilitas emosional, kurang kooperatif. Menurut Lemone dan Burke (2004) mengatakan bahwa perubahan tingkah laku termasuk emosi labil, kehilangan kontrol diri dan menurunnya toleransi terhadap stres disebabkan oleh kerusakan jaringan. Perubahan intelektual bisa terjadi berupa kehilangna memori, penurunan perhatian, penilaian, dan ketidakmampuan berpikir abstrak.
5.
Disfungsi Kandung Kemih Pada pasien stroke mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/ bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Pasca stroke kadang-kadang kandung kemih bersifat atonik, dengan kerusakan sensasi dalam respon pengisian kandung kemih, kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Perubahan eliminasi bowel juga sering dialami oleh pasien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
17
stroke, hal ini disebabkan oleh adanya penurunan kesadaran, imobilitas atau dehidrasi (Lemone & Burke, 2004).
2.1.6. Komplikasi Stroke Komplikasi akut bisa berupa gangguan neurologis atau nonneurologis. Gangguan neurologis misalnya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak, kejang, dan transformasi hemoragik.
Gangguan
nonneurologis,
misalnya
adalah
infeksi
(contoh:
pneumonia), gangguan jantung, gangguan keseimbangan elektrolit, edema paru, hiperglikemia reaktif. Kejang biasanya muncul dalam 24 jam pertama pasca stroke dan biasanya parsial dengan atau tanpa berkembang menjadi umum. Kejang berulang terjadi pada 20-80% kasus. Penggunaan antikonvulsan sebagai profilaksis kejang pada pasien stroke tidak terbukti bermanfaat. Terapi kejang pada pasien stroke sama dengan penanganan kejang pada umumnya (Stroke Centre, 2003).
2.1.7. Patofisiologi Stroke Stroke merupakan penyakit peredarah darah otak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga suplai darah ke otak berkurang (Smletzer & Bare, 2005). Secara umum ganguan pembuluh darah otak atau stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral. Merupakan gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada pembuluh darah serebral. Stroke bukan merupakan penyakit tunggal tetapi merupakan kumpulan tanda dan gejala dari beberapa penyakit diantaranya ; hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes mellitus, dan penyakit vaskuler perifer (Markus, 2001). Penyebab utama stroke berdasarkan urutan adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang dapat menimbulkan perdarahan intraserebral dan rupture aneurisme sakuler (Price & Wilson, 2002).
Trombosis serebral (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral merupakan penyebab Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
18
utama terjadinya thrombosis. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain), abnormalitas patologik pada jantung kiri seperti endokarditis, jantung reumatik, serta infeksi pulmonal adalah tempat berasalnya emboli. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral sehingga terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak atau area sekitar), hemoragik dapat terjadi di epidural, subdural, dan intraserebral. (Hudak & Gallo, 2005; Ranakusuma, 2002). Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm. Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan pecahnya aneurisme ini, sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembas kesekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial. Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan.
Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak disekitar bekuan darah dapat membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut terisi oleh astroglia yang mengalami proliferasi (Price & Willson, 2002). Perdarahan
subaraknoid
sering
dikaitkan
dengan
pecahnya
aneurisma.
Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan terjadinya ruptur, dan sering terdapat lebih dari satu aneurisma. Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
19
perdarahan. Pembuluh yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabang-cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit, beberapa jam, bahkan beberapa hari. Gambaran klinis yang sering terjadi antara lain; sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. Sembilan puluh prosen menunjukkan adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan besar dan atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke system ventrikel, herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau mungkin disebabkan karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Hieckey, 1997; Smletzer & Bare, 2005).
Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian hemisfer serebri masih dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata.Sedangkan adanya bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudahdapat mengakibatkan kematian. Bila perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah biasanya pasien masih muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma (Black & Hawk, 2005). Bila melihat awitan kejadian dan tanda-tanda klinis yang ditimbulkan maka dapat disimpulkan pasien Tn. S mengalami strok hemoragik, terjadinya perdarahanan dimungkinkan akibat hipertensi lama yang tidak terkontrol. Hal ini juga dibuktikan dari hasil CT-Scan kepala tanpa kontras yaitu adanya lesi hiperden di daerah pons, berarti menunjukkan adanya perdarahan di pons. Selain itu juga ditemukan adanya lakunar infark basal ganglia kiri, infrak ini dapat sebabkan karena terjadi perdarahan intrakranial sehingga akan terjadi vasospasme pembuluh darah yang menyebabkan suplai oksigen ke jaringan sekitar menurun sehingga dapat terjadi infark.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
20
2.1.8. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke 1.
Pengkajian Pengkajian keperawatan stroke meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial. Anamesis terdiri dari identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnose medis. Keluhan yang sering menjadi alasan pasien untuk meminta bantuan kesehatan adalah kelemahan pada anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan kesedaran.
Riwayat kesehatan saat ini, serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung secara mendadak pada saat pasien melakukan aktivitasnya. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dalam hal perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi, sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latargi, tidak responsive, dan koma.
Riwayat penyakit terdahulu, adanya hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat antikoagulan yang sering digunakan pasien (obat-obatan antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta). Adanya riwayat merokok dan pengunaan alkohol. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. Riwatar penyakit keluarga, biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
21
Pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010 a.
Aktivitas/Istirahat DO: Perubahan tonus otot (lembek atau kejang) kelemahan secara umum, kelumpuhan satu sisi, dan perubahan tingkat kesadaran. DS: Kesulitan dengan aktivitas karena kelemahan, hilangnya sensasi, atau paralysis (hemiplegia), mudah lelah, dan kesulitan istirahat, rasa sakit atau otot berkedut.
b.
Sirkulasi DO: Hipertensi arteri, yang umum kecuali CVD karena emboli atau malformasi vaskular, denyut nadi dapat bervariasi karena berbagai faktor, seperti yang sudah ada sebelumnya, kondisi jantung, obatobatan, efek stroke pada vasomotor pusat disritmia, perubahan elektrokardiografi (EKG), bruit di karotis, femoralis, atau arteri iliaka, atau aorta abdominal mungkin atau mungkin tidak hadir. DS: Riwayat penyakit jantung infark miokard-(MI), rematik dan penyakit jantung katup, gagal jantung (HF), endokarditis bakteri, polisitemia.
c.
Integritas ego DO: Emosional labil; tanggapan berlebihan atau tidak pantas untuk marah, sedih, kebahagiaan; kesulitan mengekspresikan diri. DS: Perasaan tidak berdaya, putus asa.
d.
Eliminasi DO: Perubahan pola berkemih-inkontinensia, anuria; perut buncit; distensi kandung kemih; mungkin memiliki absen atau hilang bising usus jika neurogenic paralitik ileus hadir.
e.
Makanan/minuman DO: Obesitas (faktor risiko); masalah mengunyah dan menelan. DS: Riwayat diabetes, peningkatan lipid serum (faktor risiko); kurangnya nafsu makan; mual atau muntah selama acara akut (peningkatan tekanan intrakranial); kehilangan sensasi di lidah, pipi, dan tenggorokan; disfagia.
f.
Neurosensori Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
22
DO: Mental Status: Coma biasanya muncul pada tahap awal gangguan perdarahan, kesadaran biasanya muncul bila etiologi adalah trombotik alami; perubahan perilaku lesu, apatis, combativeness; perubahan fungsi
kognitif-memori,
pemecahan
masalah,
pengurutan.
Ekstremitas: Kelemahan dan kelumpuhan kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak sama; berkurang tendon dalam refleks (kontralateral), kelumpuhan wajah atau paresis (ipsilateral). Afasia: Mungkin ekspresif (kesulitan menghasilkan ucapan), reseptif (kesulitan bicara), maupun global (kombinasi dari dua); Agnosia; Perubahan kesadaran citra tubuh, pengabaian atau penolakan kontralateral sisi tubuh (mengabaikan unilateral), gangguan persepsi; Apraxia. Ukuran dan reaksi pupil: Mungkin tidak setara, melebar dan pupil pada sisi ipsilateral dapat hadir dengan pendarahan atau herniasi; Nuchal kekakuan- umum dalam stroke hemoragik; Kejang - umum dalam stroke hemoragik. DS: Sejarah TIA, RIND; pusing atau sinkop sebelum stroke atau transient selama TIA; sakit kepala parah dapat menemani pendarahan intraserebral atau subarachnoid; kesemutan, mati rasa, dan kelemahan umum dilaporkan selama TIA, ditemukan dalam berbagai derajat di jenis-jenis stroke; sisi yang terlibat tampaknya "mati"; defisit penglihatan-kabur,
hilangnya
sebagian
penglihatan
(kebutaan),
penglihatan ganda (diplopia), atau gangguan lainnyadi bidang visual; hilangnya sensoris pada sisi kontralateral di kaki dan kadang-kadang di sisi ipsilateral wajah; gangguan pada indera rasa, bau. g.
Nyeri/ketidaknyamanan DO: Perilaku menjaga dan gangguan, gelisah, ketegangan otot atau wajah. DS: Sakit kepala intensitas yang berbeda-beda.
h.
Respirasi DO: Ketidakmampuan untuk menelan, batuk, atau melindungi jalan napas; pernapasan bekerja dan tidak teratur; respirasi bising, ronki (aspirasi sekresi). Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
23
DS: Merokok (faktor risiko). i.
Keamanan DO: Masalah dengan penglihatan; Perubahan persepsi tubuh orientasi spasial (CVD kanan), mengabaikan; Kesulitan melihat benda-benda di sisi kiri (CVD kanan); Menjadi menyadari sisi yang terkena; Ketidakmampuan untuk mengenali benda, warna, kata, wajah; Hilangnya respon terhadap panas dan dingin, tubuh diubah pengaturan suhu;
Kesulitan
menelan,
ketidakmampuan
untuk
memenuhi
kebutuhan gizi sendiri; Gangguan keputusan, sedikit perhatian untuk keselamatan, ketidaksabaran, kurangnya wawasan (CVA kanan). j.
Interaksi sosial DO: Masalah berbicara; Ketidakmampuan untuk berkomunikasi; Perilaku tidak sesuai.
k.
Pembelajaran/belajar DS: Riwayat keluarga hipertensi, stroke, diabetes; Penggunaan kontrasepsi oral; Merokok, penyalahgunaan alkohol (faktor risiko); Obesitas.
l.
Pertimbangan Discharge Planning Obat dan terapi; Bantuan dengan transportasi, belanja, persiapan makanan, perawatan diri, dan ibu rumah tangga atau pemeliharaan tugas; Perubahan tata letak fisik rumah; Penempatan Transisi sebelum kembali ke pengaturan rumah.
2.
Pemeriksaan Fisik Menurut Muttaqin (2008) yang temasuk pemeriksaan fisik untuk pasien stroke adalah keadaan umum (B1 (breathing), B2 (blood), B3 (Brain)) tingkat kesadaran, pemeriksaan saraf kranial, sistem motorik, gerakan involunter, dan sistem sensorik (B4 (bladder), B5 (bowel), B6 (bone)). a.
Pemeriksaan saraf kranial Saraf I, biasanya ada masalah pada penciuman. Saraf II, disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensoris primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual parsial sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
24
Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk memcocokan pakaian ke bagian tubuh. Saraf III, IV, dan IV, apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit. Saraf V, pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan eksternus Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas normal, asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat. Saraf VIII, tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf XI dan X, kemampuan menelan tidak baik, kesukaran membuka mulut. Saraf XI, tidak atrofi otot sternokleidomastideus dan trapezius. Saraf XII, lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, indra pengecapan normal. 3.
Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan stroke antara lain: a.
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah; gangguan oklusif, hemoragik; vasospasme serebral, edema serebral
b.
Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
keterlibatan
neuromuskuler; kelemahan, parestesia; flaksid/ paralisis hipotonik (awal); paralisis spastic c.
Hambatan komunikasi verbal dan/ atau (tertulis) berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral; kerusakan neuromuscular, kehilangan tonus/ kontrol otot fasial/ oral, kelemahan/ kelelahan umum
d.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi otot Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
25
e.
Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perceptual kognitif
f. 4.
Resiko kerusakan menelan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan stroke menurut Black dan Hawks (2009) adalah sebagai berikut: a.
Identifikasi stroke secara dini Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pasien stroke adalah ketepatan dalam mengidentifikasi manifestasi klinik yang bervariasi berdasarkan lokasi dan ukuran infark. Pengkajian awal dan riwayat yang lengkap dari pasien merupakan data penting yang harus didapatkan untuk memberikan intervensi yang tepat.
b.
Mempertahankan oksigenasi serebral Tindakan utama yang dilakukan adalah mempertahankan kepatenan jalan napas dengan cara memiringkan kepala pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi dari air liur pasien yang keluar tanpa terkontrol. Elevasi
kepala
dilakukan,
hindari
posisi
hiperekstensi,
dan
pertahankan pemberian oksigen yang adekuat. c.
Memperbaiki aliran darah serebral Pemberian tromboembolik dilakukan untuk rekanalisa pembuluh darah dan reperfusi jaringan otak yang mengalami iskemik. Agen trombolitik yang diberikan biasanya berupa thrombus atau embolus yang menutupi aliran darah.
d.
Pencegahan komplikasi Komplikasi yang muncul dapat berupa perdarahan, edema serebral, aspirasi, dan komplikasi lainnya. Perdarahan dapat terjadi pada pasien stroke
ketika
setelah
diberikan
rt-PA
(Recombinant
Tissue
Plasminogen Activator), oleh karena itu pasien harus dimonitor ketat adanya tanda-tanda perdarahan. Edema terjadi jika pasien mengalami TIK. Pasien perlu diberikan posisi elevasi kepala sebesar 30 o untuk meningkatkan perfusi serebral dan aliran balik vena. Resiko aspirasi pneumonia merupakan resiko komplikasi yang cukup tinggi pada Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
26
pasien stroke. Aspirasi lebih sering dikaitkan dengan hilangnya kontrol faringeal, orofaringeal, dan penurunan kesadaran. Pencegahan aspirasi pneumonia adalah penundaan pemberian cairan oral selama 24-48 jam. e.
Fase Subakut/ Fase Rehabilitasi (antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, penatalaksanaan komplikasi, restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien) yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif dan terapi okupasi, prevensi sekunder, dan edukasi keluarga dan Discharge Planning Fase (Setyopranoto (2011). Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin, sasaran utama pada fase ini adalah perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, perawatan diri, kontrol kandung kemih, perbaikan bentuk komunikasi, integritas kulit, dan tidak adanya komplikasi. Salah satu intervensi yang digunakan untuk perbaikan mobilitas adalah rentang gerak sendi (RPS) (Smeltzer & Bare, 2008).
2.2. Mekanisme Terjadi Gangguan Mobilitas Fisik Penyakit stroke memberikan dampak pada berbagai sistem tubuh, menurut Lewis (2007) pada umumnya stroke dapat menyebabkan lima tipe kecatatan (disability), yaitu: 1) paralisis atau masalah mengontrol gerakan, 2) gangguan sensorik termasuk nyeri, 3) masalah dalam menggunakan bahasa atau mengerti bahasa, 4) masalah dalam berpikir dan memori, 5) gangguan emosional. Unsur patologis yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparise atau hemiplagia
yang dapat
mengakibatkan kondisi
imobilitas. Kondisi
ini
menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan pada otot ekstermitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan kekakuan sendi yang dapat mengekibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya pasien akan mengalami keterbatasan terutama dalam mengakibatkan Activity Daily Living (ADL).
Fase rehabilitasi pada pasien pasca stroke meliputi
perbaikan mobilitas dan mencegah deformitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, kontrol kandung kemih, perbaikan proses pikir, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
27
pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 202). Hal utama yang harus dilakukan dalam tindakan keperawatan untuk pasien pasca stroke adalah memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas. Intervensi keperawatan untuk memperbaiki mobilitas dan mencegah deformitas adalah dengan cara latihan rentang pergerakan sendi (RPS) atau Range of Motion (ROM). RPS yang sangat banyak dianjurkan untuk pasien pasca stroke adalah mobilisasi, sesuai dengan diagnosa pertama keperawatan bahwa hal yang pertama kali diatasi untuk pasien pasca stroke adalah mempertahankan/ menstabilkan fungsi pergerakan tubuh dan kekuatan otot. Ada salah satu jurnal, yaitu Purwanti dan Maliya (2008) dalam jurnal Berita Ilmu Keperawatan mengatakan bahwa latihan rentang gerak sendi sangat perlu ditingkatkan untuk mencegah komplikasi. Latihan fisik untuk penderita stroke dibagi kedalam mobilisasi dini dan latihan duduk. Mobilisasi dini terdiri dari pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur dan latihan rentang gerak sendi (Purwanti & Maliya, 2008).
2.2.1. Definisi Rentang Pergerakan Sendi (RPS) Ketika pasien yang terkena stroke mengalami keterbatasan mobilisasi seperti terjadinya hemiparise maka perawat harus memberikan intervensi keperawatan yang dapat mempertahankan atau meningkatkan fungsi mobilitas, sehingga harus diberikan latihan rentang gerak sendi. Rentang gerak Sendi (RPS) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas. Tujuan dari rentang gerak sendi adalah mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan, dan mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atrofi otot dan kontraktur (Potter & Perry, 2005). Terdapat dua jenis rentang gerak sendi (RPS), yaitu: Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
28
1.
RPS pasif Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Jenis sendi yang digunakan untuk jenis RPS ini adalah Seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.
2.
RPS aktif Perawat
memberikan
motivasi,
dan
membimbing
klien
dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %. Jenis sendi yang digunakan untuk jenis ROM ini adalah Seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. Latihan gerak sendi ini menggambarkan gerakan sistematik dengan rangkaian urutan selama atau atau setiap tahap, latihan sebanyak dua kali sehari (Kozier, 1995).
Latihan ROM dapat menggerakan persendian seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi (Ulliya, et, al, 2007). Konsep latihan bilateral atau Neurodevelopment Treatment Approach (NDT) adalah metode latihan yang diarahkan pada kedua sisi tubuh, baik yang sehat maupun yang sakit (Wahid, dalam Cahyati, 2011). Alasan utama dilakukannya latihan RPS bilateral dikarenakan hampir semua aktivitas menggunakan dua tangan, seperti berpakaian, makan, dan lain sebagainya (Waller & Whitall, 2008). Pada pasien yang terkena stroke dan mengalami defisit motorik akibat parase pada ekstermitas atas dan bawah, maka pasien akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. Penggunaan tangan yang sehat (salah satu tangan) pada pasien stroke secara terus menerus akan menambah buruk keadaan tangan yang mengalami parase. Selama ini terapi yang sering dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan tangan yang mengalami parase agar mampu melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. Latihan terus menerus dilakukan, namun keterbatasan ini akan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
29
menyebabkan pasien akan terus menggunakan tangan yang sehat untuk beraktivitas (Cahyati, 2011).
2.2.2. Prosedur Latihan Rentang Pergerakan Sendi (RPS) Latihan RPS dengan teknik bilateral adalah melakukan latihan terhadap kedua ekstermitas pasien yang sakit ataupun tidak. Latihan RPS dengan teknik bilateral, yaitu RPS aktif untuk bagian tubuh yang mengalami hemiparise dan RPS pasif untuk bagian tubuh yang tidak mengalami hemiparise (Stoykov, 2008). Prinsipprinsip dalam melakukan latihan RPS, yaitu 1) pilih waktu di saat pasien myaman dan bebas dari rasa nyeri untuk meningkatkan kolaborasi pasien. 2) posisikan pasien dalam posisi tubuh lurus yang normal. 3) gerakan harus dilakukan secara lembut, pelan, dan berima. 4) latihan diterapkan pada sendi yang proporsional. 5) posisi yang diberikan memungkinkan gerak sendi secara leluasa. 6) tekankan pada peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat adalah gerakan sampai dengan mengalami tahanan bukan nyeri. 7) tidak melakukan RPS pada daerah yang nyeri. 8) amati respon verbal pasien. 9) latihan harus dihentikan dan diberikan istirahat apabila terjadi spasme otot (Cahyati, 2011). Berikut anatomi pergerakan-pergerakan sendi (Potter dan Perry, 2006): 1.
Leher, spina servikal dengan tipe sendi Pivotal (putar): a.
Fleksi:
menggerakkan
dagu
menempel
ke
dada
(otot
sternocleidomastoid). b.
Ekstensi: mengembalikan kepala ke posisi tegak (otot trapezius).
c.
Hiperekstensi: menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin (otot trapezius).
d.
Fleksi lateral: memiringkan kepala sejauh mungkin kea rah setiap bahu (otot sternocleidomastoid)
e.
Rotasi: memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkular (otot sternocleidmastoid, trapezius)
2.
Bahu dengan tipe sendi ball and socket: a.
Fleksi: menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke posisi depan di atas kepala (otot koraktobrakhialis, bisep brakhli, deltoid, pektoralis mayor) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
30
b.
Ekstensi: mengembalikan lengan ke posisi samping tubuh (otot latissimus dorsi, teres mayor, trisep brakhii)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan lengan ke belakang tubuh, dengan siku tetap lurus (otot latissimus dorsi, teres mayor, deltoid)
d.
Abduksi: menaikkan lengan ke posisi samping, di atas kepala (otot deltoid, sipraspinatus)
e.
Adduksi: menurunkan lengan dari atas ke samping sampai menyilang tubuh (otot pektoralis mayor)
f.
Rotasi
dalam:
dengan
siku
fleksi,
memutar
bahu
dengan
menggerakkan lengan sampai jari-jari menghadap ke bawah dan ke belakang (otot pektoralis mayor, latissimus dorsi, teres mayor, subskapularis) g.
Rotasi luar: dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan sampai jari-jari menghadap ke atas dan berada si samping kepala (otot infraspinatus, teres mayor, deltoid)
h.
Sirkumduksi: menggerakkan lengan dengan lingkaran penuh (otot deltoid, korakobrakhialis, latissimus dorsi, teres mayor)
3.
Siku dengan tipe sendi Hinge: a.
Fleksi: menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu (otot bisep brakhii, brakhialis, brakhioradialis)
b.
Ekstensi: meluruskan siku dengan menurunkan tangan (otot trisep brakhi)
4.
Lengan bawah dengan tipe sendi Pivotal (putar): a.
Supinasi: memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas (otot supinator, bisep brakhii)
b.
Pronasi: memutar lengan ke bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah (otot pronator teres, pronator quadrates)
5.
Pergelangan tangan dengan tipe sendi kondiloid: a.
Fleksi: menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah (otot fleksor kalpi ulnaris, fleksor carpi radialis)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
31
b.
Ekstensi: menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan dan engan bawah berada dalam arah yang sama (otot ekstensor karpi ulnaris, ekstensor carpi radialis brevis, ekstensor radialis longus)
c.
Hiperekstensi: membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin (otot ekstensor karpi ulnaris, ekstensor carpi radialis brevis, ekstensor radialis longus)
d.
Abduksi (fleksi lateral): menekuk pergelangan tangan miring (medial) ke ibu jari (otot fleksor carpi radialis, ekstensor carpi radialis brevis, ekstensor radialis longus)
e.
Adduksi (fleksi ulnar): menekuk pergelangan tangan miring (lateral) kea rah lima jari (otot fleksor karpi ulnaris, ekstensor carpi ulnaris)
6.
Jari-jari tangan dengan tipe sendi Condyloid hinge: a.
Flrkdi: membuat genggaman (otot lumbrikales, interosseus volaris, interosserus dorsalis)
b.
Ekstensi: meluruskan jari-jari tangan (ekstensor digiti quinti proprius, ekstensor digitorum kommunis, ekstensor inicis proprius)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin (otot ekstensor digiti quinti proprius, ekstensor digitorum kommunis, ekstensor inicis proprius)
d.
Abduksi: merenggangkan jari-jari yang satu dengan jari-jari yang lain (otot interosserus dorsalis)
e. 7.
Adduksi: merapatkan jari-jari tangan (otot interosserus volaris)
Ibu jari dengan tipe sendi Pelana: a.
Fleksi: menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan (otot fleksor pollisis brevis)
b.
Ekstensi: menggerakkan ibu jari menjauh dari telapak tangan (otot ekstensor pollisis longus, ekstensor pollisis brevis)
c.
Abduksi: menjahkan ibu jari ke samping (otot abductor pollisis brevis)
d.
Adduksi: menggerakkan ibu jari ke depan tangan (otot adductor pollisis obliquus, adductor pollisis tranversus)
e.
Oposisi: menyentuh ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama (otot opponeus pollisis, opponeus digiti minimi) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
32
8.
Pinggul dengan tipe sendi ball and socket: a.
Fleksi: menggerakkan tungkai ke depan dan atas (otot psaos mayor, iliakus, iliopsaos, Sartorius)
b.
Ekstensi: menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain (Gluteus maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
c.
Hiperekstensi: menggerakkan tungkai ke belakang tubuh (otot gluteus maksimus, semitendonesus, semimembranisus)
d.
Abduksi: menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh (gluteus medius, gluteus minimus)
e.
Adduksi: menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan melebihi jika mungkin (otot adductor longus, adductor brevis, adductor magnus)
f.
Rotasi dalam: memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain (otot gluteus medius, gluteus minimus, tnsor fasciae latae)
g.
Rotasi luar: memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain (otot obturatorius internus, obturatorius ekternus)
h.
Sirkumduksi: menggerakkan tungkai melingkar (otot psaos mayor, gluteus maksimus, gluteus medius, adductor magnus)
9.
Lutut dengan tipe sendi Hinge: a.
Fleksi: menggerakkan tumit ke arah belakang paha (otot bisep femoris, semitendonosus, semimembranosus, Sartorius)
b.
Ekstensi: mengembalikan tungkai ke lantai (otot rektus femoris, vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius)
10.
Mata kaki dengan tipe sendi Hinge: a.
Dorsifleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas (otot tibialis enterior)
b.
Plantarfleksi: menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah (otot gastroknemus, soleus)
11.
Kaki dengan tipe sendi Gliding: a.
Inversi: memutar telapak kaki samping dalam/ medial (otot tibialis anterior, tibialis posterior)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
33
b.
Eversi: memutar telapak kaki ke samping luar/lateral (otot peroneus longus, peroneus brevis)
12.
Jari-jari kaki dengan tipe sendi Condyloid: a.
Fleksi: melengkungkan jari-jari kaki ke bawah (otot fleksor digitorum, lumbrikalis pedis, fleksor hallusis brevis)
b.
Ekstensi: meluruska jari-jari kaki (otot ekstensor digitorum longus, ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus)
c.
Abduksi: merenggangakn jari-jari kaki satu dengan lainnya (otot abductor hallusis, interusseus dorsalis)
d.
Adduksi: merapatkan kembali bersama-sama (otot adductor hallusis, interosseus plantaris)
Kekuatan otot didefinisikan sebagai kekuatan otot ekstermitas penderita stroke yang telah melewati penyakitnya, dikaji pada awal masuk sampai setelah diberikan terapi, adapun nilai untuk menggambarkan kekuatan ekstermitas yaitu nilai 0 jika tidak timbul kontraksi otot, lumpuh total. Nilai 1 jika terjadi kontraksi otot namun tidak ada gerakan. Otot cukup kuat untuk menngangkat beban. Nilai 2 jika otot dapat berkontraksi tetapi tidak bisa gerak melawan gravitasi. Nilai 3 jika otot dapat berkontraksi dan menggerakan bagian tubuh secara penuh melawan gaya gravitasi tetapi jika diberikan dorongan melawan, otot tidak mampu melawan. Nilai 4 jika otot dapat berkontraksi dan gerakan tubuh melawan tahanan minimal, mampu melawan dorongan tetapi tidak maksimal. Nilai 5 jika otot berfungsi normal (Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Pada bab ini diuraikan mengenai laporan kasus kelolaan utama, yang terdiri dari pengkajian, analisa data, rencana intervensi dan evaluasi hasil asuhan keperawatan. Pada Bab ini menggabungkan model asuhan keperawatan yang disusun secara medical dan nursing. Berdasarkan pada medical model pasien merupakan suatu bagian anatomi yang kompleks dan kesatuan sistem fisiologis, dimana menitik beratkan kepada anatomi, fisiologi, dan kerusakan biokimia sebagai penyebab penyakit dengan demikian mendorong pendekatan yang berorientasikan penyakit pasien (Aggleton & Chalmers, 2000). Sedangkan nursing model adalah suatu diagram keperawatan yang sistematis digunakan untuk mengatur tentang apa yang akan dilakukan dalam praktik, meliputi pendekatan pengkajian, perencanaan, implemantasi, dan evaluasi perawatan pasien dan berfokus pada biopsikososial spiritual (McKenna, 1994).
3.1.
Pengkajian
3.2.1. Identitas Pasien Pengkajian dilakukan pada tanggal 25 Mei 2014. Pasien bernama Tn. S dengan umur 75 tahun, tinggal bersama dengan seorang istri dan seorang anak di daerah Pisangan, beragama islam, suku bangsa jawa, pasien bekerja sebagai pensiunan PNS, dan pendidikan terakhir SMA. Pasien dirawat dengan diagnose medis stroke hemoragik, BPH dan hipertensi grade II.
Riwayat masuk ke RS pasien, pada tanggal 19 Mei 2014 dibawa ke IGD RSUP. Persahabatan, pasien mengeluhkan bahwa tangan dan kaki kanan kaku dan lemas serta tidak dapat digerakkan (hemiparesis), pasien juga tidak dapat berbicara (afasia), tetapi tidak mengalami penurunan kesadaran. Sebelumnya pasien pernah jatuh secara tiba-tiba di kamar mandi dan saat berolahraga pagi. Kemudian klien dibawa keluarga ke puskemas. Di puskesmas, pasien dirujuk ke RSUP Persahabatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
34
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
35
Saat di IGD RSUP Persahabatan, dilakukan pemeriksaan EKG, CT Scan Kepala, dan rontgen toraks. Hasil EKG menunjukkan atrial fibrilasi (dengan interval PR tidak dapat ditemukan, gelombang P banyak, dan irama irregular). Pada tanggal 21 Mei 2014, Tn. S dipindahkan ke Ruang Inap Melati Atas RSUP Persahabatan.
3.2.2. Anamnesis 1.
Keluhan utama pada saat dirawat Menurut keluarga pasien keluhan utama pada pasien adalah kaku dan tidak bisa digerakannya tangan dan kaki pasien (bagian kanan) dan pasien. menjadi tidak dapat berbicara sejak tiga hari yang lalu. Sebelumnya dibawa ke Puskesmas dan langsung mendapatkan rujukan untuk segera ke RSUP Persahabatan.
2.
Riwayat kesehatan yang lalu Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki penyakit hipertensi sejak tahun 2005 dan mengonsumsi obat hipertensi dari puskesma (catropil), pernah operasi uretroplasty pada tahun 2010 di RSUP Persahabatan. Pasien juga punya penyakit BPH (sejak tahun 2010) dan sakit jantung sejak setahun yang lalu.
3.
Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien. Tidak ada riwayat DM, hipertensi, asms, sakit ginjal, jantung, stroke dari keluarga.
4.
Aktivitas/ istirahat Pasien merupakan pensiunan PNS, aktivitasnya sehari-hari adalah berkumpul bersama keluarga sambil menonton televisi. Pasien memiliki keterbatasan karena kondisi yaitu adanya hemiparisis dextra dan spasitas. Sebelumnya keluarga pasien tidak mengetahui bahwa Tn. S terkena stroke yang mengakibatkan kelemahan bagian dextra dan tidak bisa berbicara. Menurut keluarga sejak pasien terkena kelemahan dan kesulitan bicara, Tn. S hanya berdiam diri di kamar dan kadang-kadang menangis tanpa sebab. Biasanya Tn.S tidur jam 21.00-04.00, jarang tidur siang karena pasien lebih suka untuk melakukan kegiatan, seperti kumpul bersama Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
36
teman-teman yang seusianya di warung kopi. Keluarga mengatakan sejak berada di rumah sakit, pasien sulit untuk tidur malam. Terlihat pasien mengalami kelemahan pada bagian sebelah kanan. Tingkat kesadaran pasien masih somnolen. Saat pengkajian motorik; kekuatan otot ekstermitas atas bagian atas 0000/3333, dan otot ekstermitas bagian 0000/3333 dan terasa kebas. 5.
Sirkulasi Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2005 dan terkena penyaki jantung sejak setahun yang lalu. Tanda-tanda vital; TD= 160/100 mmHg, N= 90x/ menit, RR= 23x/menit, suhu=37,1o C. Hasil NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)= 18 yang mengatakan bahwa pasien mengalami stroke berat. Capillary refill time < 3 detik. Tidak ada varises, edema pada ekestermitas dan ekstermitas terasa hangat, bunyi napas vesikuler dan tidak ada distensi vena jugularis. Mukosa sedikit kering, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik dan tidak ada diaforesisi, kondisi kulit sedikit kering. Keluarga pasien mengatakatan bahwa pasien mengeluhkan sakit kepala berat.
6.
Integritas Ego Pasien sering sekali terlihat menangis tanpa sebab, mungkin hal ini berkaitan penyakit yang diderita (merasa tidak berdaya) dan pasien juga mengalami kesulitan untuk mengekspresikan diri (afasia). Masalah financial tidak terlalu membebani keluarga karena seluruh biaya pengobatan ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan pasien. Gaya hidup pasien dan keluarga menengah ke atas dan sumber keuangan dari uang pensiunan. Budaya yang terlihat sangat mendominasi pasien adalah budaya jawa, hal ini dibuktikan seluruh anggota keluarga menggunakan bahasa jawa sebagai alat komunikasi dalam keluarga. Selama di rumah sakit pasien sering diberikan alunan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan oleh istri atau anak, dengan alasan supaya pasien merasa tenang dan sabar dengan penyakitnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
37
7.
Eliminasi Keluarga mengatakan biasanya klien BAB sebanyak 1-2 kali/ hari, terakhir BAB adalah tanggal 21 Mei 2014, pasien tidak menggunakan kateter urin. Sejak tahun 2000, pasien terkena BPH sehingga mengalami inkontinensia urin, selama di rumah sakit keluarga pasien mengatakan sehari BAK sekali karena menggunakan pempers sehingga tidak terlalu mengetahui secara detail kuantitas BAK. Karakteristik urin kurang jernih. Tidak ada penggunaan diuretic. Saat pengkajian keluarga pasien mengatakan pasien terkena kontipasi dikarenakan sudah 5 hari tidak BAB. Bising usus 5 kali/ menit di empat kuadran.
8.
Makanan Cairan Pasien mendapatkan diet lunak yaitu bubur saring sebanyak 1700kkal dengan jumlah makan sebanyak 3 kali sehari dan 3 kali minum susu. Tidak ada pembatasan cairan yang dialami pasien. Pasien menggunakan selang NGT, karena mengalami kesulitan menelan. Berat badan saat ini adalah 60 kg dengan tinggi badan 160 cm, tidak ada penurunan berat badan. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan pasien memiliki turgor kulit yang normal, membrane mukosa lembab, bising usus 5 kali/ menit di empat kuadran, dan tidak terdapat suara pernapasan tambahan.
9.
Kebersihan/ Hygiene Aktivitas sehari-hari pasien dibantu oleh keluarga, saat pengkajian ada bau dan terlihat berantakan di sekililing tempat tidur. Keluarga pasien sangat rajin untuk memandikan pasien di atas tempat tidur, jika keluarga dibantu oleh perawat.
10.
Neurosensori Saat pengkajian status kesadaran pasien adalah somnolen dengan E3M4V afasia. Pasien mengalami kelemahan pada sisi kanan. Pupil isokor, diameter pupil 3/3 mm, refleks terhadap cahaya langsung 3/3 mm. tanda rangsang meningeal tidak dikaji. Nerves cranial; paresis nerves VII dekstra, nerves IX-X, nerves XII, dan nerves XI dekstra. Motorik; kekuatan otot ekstermitas atas 0000/ 3333, ekstermitas bawah 0000/3333, dan terasa baal. Refleks babinski +/+. Fungsi saraf otonom; inkontinensia Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
38
urin +, tidak terpasang kateter. Kemampuan komunikasi dan persepsi sensori tidak dapat dilakukan karena pasien mengalami penurunan kesadaran. 11.
Nyeri/ ketidaknyamanan Keluarga pasien mengatakan pasien menderita sakit kepala berat. Untuk pengkajian PQRST nyeri tidak dapat dikaji.
12.
Pernapasan Saat pengkajian pasien menggunakan alat bantu pernapasan yaitu nasal kanul dengan oksigen 2L/ menit. Bunyi napas vesikuler, RR= 23x/ menit. Tidak ada penggunaan alat napas aksesoris, tidak ada pernapasan cuping hidung, tidak ada fremitus, tidak ada sianosis, tidak ada sputum, dan pasien merupakan orang yang tidak merokok. TB, emfisema, asma, dan pneumonia tidak ada.
13.
Keamanan Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki alergi, tidak ada riwayat kecelakaan, tidak ada riwayat penyakit menular seksual. Keluarga pasien juga mengatakan bahwa bagian kanan pasien mengalami kelemahan dan tidak dapat berbicara, dikarenakan jatuh dari kamar mandi. Aktivitas pasien juga dibantu oleh keluarga dan perawat.
14.
Interaksi Sosial Pasien merupakan seorang pensiunan PNS yang tinggal bersama isteri dan seorang anak. Menurut pengakuan keluarga pasien merupakan pengambil keputusan tertinggi di keluarga. Setiap akhir pekan keluarga (anak, cucu, menantu) berkunjung ke rumah pasien. Hubungan dengan anak-anaknya juga baik. Saat pengkajian pasien tidak dapat bebicara, pasien hanya bisa mengangguk kaku (bahasa tubuh yang terbatas), sehingga hal ini sebagai alat komunikasi sementara antara pasien dan keluarga. Terkadang keluarga juga sulit mengerti apa yang ingin dikatakan pasien.
15.
Pembelajaran Bahasa dominan pasien di rumah adalah bahasa jawa, tetapi pasien juga dapat menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pengakuan keluarga pasien dapat membaca, pasien memiliki keterbatasan kognitif dan motorik, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
39
tidak memiliki orientasi spesifik terhadap perawatan kesehatan, dan faktor resiko dari keluarga. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2005.
3.2.3. Pemeriksaan Diagnostik 1.
Pemeriksaan Laboratorium Sebagian besar hasil pemeriksaan darah pasien cukup bagus, jarang ditemukan nilai yang tidak normal. Nilai yang tidak normal selama pemantauan adalah limfosit menurun (17,6%), esinofil meningkat (4,9%), eritrosit menurun (4,2 juta/µL), Hb turun (12,2 g/dL), Ht menurun (36%), kolestrol total meningkat (218 md/dL). Pasien mengalami asidosis metabolic tidak terkompensasi dengan nilai AGD pH: 7,374, PCO2: 35,1, HCO3: 20,0 (turun), BE: -4,4 mmol/L). Hasil laboratorium yang lebih lengkap dan jelas dapat dilihat pada bagian lampiran.
2.
Hasil Rontgen Toraks Hasil Rontgen Toraks pada tanggal 20 Mei 2014, didapatkan hasil Aorta elarge, dan tampak gambaran fibroinfiltrat paru kanan.
3.
Hasil CT Scan Hasil CT Scan tanggal 20 Mei, didapatkan hasil perdarahan dipons dengan perkiraan jumlah perdarahan 1,2 cc, dan lakunar infark basal ganglia.
3.2.4. Daftar Terapi Medikasi Pasien mendapatkan terapi medikasi untuk penatalaksanaan stroke hemoragik (manitol 20%, clopidogrel, cilostazole, citicholine, transamin), hipertensi (catropil, valsartan, adalat oros, amplodipin), untuk konstipasi (lactulac), untuk menurunkan kadar kolesterol (stimvastatin), untuk antibiotic (cefixime), mualmuntah (OMZ, odansentron, ranitidine), dan penghilang rasa nyeri pasca kraniotomi (tramadol, keterolac). Dosis dan waktu pemberian terapi dapat dilihat pada lampiran.
3.2.5. Daftar Terapi Cairan IVFD TE 1000: RL= 2:1/ 24 jam
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
40
3.2.
Analisis Data
Masalah keperawatan yang muncul dalam penelitian ini adalah perubahan perfusi jaringan serebral, defisit perawatan diri, resiko kerusakan integritas kulit, kerusakan mobilitas fisik, nyeri akut, dan resiko infeksi. Masalah yang menjadi fokus utamanya adalah kerusakan mobilitas fisik pasca stroke. Kerusakan mobilitas fisik adalah hilangnya kemampuan gerak secara total atau mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya (Potter & Perry, 2002). Kerusakan mobilitas fisik dapat ditegakkan dengan data subjektif bahwa pasien masih merasakan sulit untuk bergerak, Pasien masih merasa masih mengalami kelemahan pada kaki dan tangan kanan, Pasien mengalami keterbatasan gerak pasca operasi kraniotomi, pasien terlihat lemas, dan pasien mengalami penurunan kekuatan otot. Hasil analisa data yang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran.
3.3.
Perencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang telah disusun untuk mengatasi masalah keperawatan yang dilakukan oleh mahasiswa dibagi menjadi dua yaitu rencana asuhan keperawatan sebelum operasi dan sesudah operasi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 3.3.1.
Rencana Asuhan Keperawatan Sebelum Operasi
1.
Perubahan Perfusi Jaringan Serebral berhubungan dengan Interupsi Alirah Darah; hemoragik Tujuan
:
Perfusi serebral adekuat. Dengan kriteria evaluasi: tingkat kesadaran compo mentis, tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial, tandatanda vital stabil dalam batas normal (TD= 90/60-140/90 mmHg, Nadi: 60-100x/ menit), tidak ada tanda neurologis dan perburukan. Intervensi: Mandiri a.
Tentukan faktor penyebab penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK Rasional :
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
41
Mempengaruhi
penetapan
intervensi
Kerusakan/kemunduran
tanda/gejala neurologi atau kegagalan memperbaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dan/atau klien harus dipindahkan ke ruang ICU untuk pemantauan terhadap peningkatan TIK. Penurunan perfusi serebral dapat disebabkan karena adanya gangguan dalam aliran darah ke serebral akibat emboli, trombus, iskemia, infark atau edema. b.
Posisi kepala ditinggikan 300 dengan posisi netral/elevasi 30 derajat (hanya tempat tidurnya saja yang ditinggikan ). Rasional: Menurunkan tekanan arteri dan meningkatkan drainase serta meningkatkan sirkulasi / perfusi cerebral. Selain itu untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intracranial dan mengetahui lokasi, luas, dn kemajuan/ resolusi kerusakan SPP. Dapat menunjukkan TIA yang merupakan tanda dan gejala terjadinya trombosis CVS baru.
c.
Pantau tanda-tanda vital, seperti catat: (per 2 jam) Adanya hipertensi/ hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan Rasional: Variasi mungkin terjadi oleh karena tekanan/ trauma serebral pada daerah vasomotor otak. Hipertensi atau hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi (karena edema, sumbatan darah). Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan adanya perbedaan pada kedua lengan. Frekuensi dan irama jantung, auskultrasi adanya murmur Rasional: Perubahan terutama adanya bradikardi dapat terjadi sebagai akubatnya adanya kerusakan otak. Disritmia dan murmur mungkin mencerminkan adanya penyakit jantung yang mungkin telah menjadi CSV (seperti stroke setelah IM atau penyakit katup)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
42 Catat pola dan irama dari pernapasan, seperti adanya periode apnue setelah pernapasan hiperventilasi, pernapasan Cheynes stokes Rasional: Ketidakaturan pernapasan dapat memberikan gambaran lokasi kerusakan serebral/ peningkatan TIK dan kebutuhan untuk intervensiselanjutnya termasuk kemungkinan perlunya dukungan terhadap pernapasan. d.
Monitor status neurology (seperti tingkat kesadaran, reflek patologis dan fisiologis, pupil) tiap 2 jam dan bandingkan dengan nilai normal. Rasional: Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. ukuran dan kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang mempersarafinya. Respon terhadap refleks cahaya mengkombinasikan fungsi dari saraf kranial optikus (II) dan saraf kranial okumotor (III).
e.
Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang,/ kedalaman persepsi. Rasional: Gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena, mengindikasi keamanan yang harus mendapatkan perhatian dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
f.
Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi/ derajat gangguan serebral dan mungkin mengindikasi penurunan/ peningkatan TIK
g.
Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis. Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
43
Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/ perfusi serebral h.
Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodic antara aktivitas perawatan, batasi lamanya prosedur. Rasional: Aktivitas atau stimulai kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap pendarahan dalam kasus stroke hemoragik/ pendarhan lainnya.
i.
Cegah terjadinya mengejan saat defekasi, den pernapasan yang memaksa (batuk terus menerus). Rasional: Maneuver valsavah dapat meningkatkan TIK dan mempersar resiko terjadinya pendarahan.
j.
Kaji rigiditas nukal, kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan serang kejang. Rasional: Merupakan indikasi adanya iritasi meningeal. Kejang dapat mencerminkan adanya peningkatan TIK. Trauma serebral yang memerlukan perhatian dan intervensi selanjutnya.
Kolaborasi a.
Berikan oksigen 2 l/menit atau sesuai indikasi Rasional: Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar, yang dapat menurunkan hipoksia, dapat menyebabkan vasodilatasi serebral
sehingga
kebutuhan serebral akan oksigen terpenuhi b.
Berikan obat sesuai indikasi Antikoagulan, seperti natrium warfarian (Coumadin), heparin, antitrombosit Rasional: Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
44
Dapat digunakan untuk meningkatkan/ memperbaiki aliran darah sesrebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat embolus/ thrombus merupakan faktor masalahnya. Kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi sebagai akibat dari peningkatan resiko pendarahan Antifibrolitik Rasional: Penggunaanya dengan hati-hati dalam pendarahan untuk mencegah lisis bekuan terbentuk dan pendarahan berulang serupa Antihipertensi Rasional: Hipertensi lama atau kronis, memerlukan penanganan yang hatihati , sebab penanganan berlebihan memungkinkan resiko terjadinya perluasan kerusakan jaringan. Hipertensi sementara seringkali terjadi selama fase stroke akut dan penanggulanganya seringkali tanpa intervensi terapeutik. Vasodilatasi perifer, seperti siklandelat (Cyclospasmol), papaverin (pavabid/ vasospan) Rasional: Digunakan untuk memperbaiki sirkulasi kolateral atau menurunkan vasospasme Fenitoin, fenobarbital Rasional: Digunakan untuk mengontrol kejang Penulak feses Rasional: Mencegah proses mengejan selama defekasi dan yang berhubungan dengan peningkatan TIK c.
Persiapan untuk pembedahan, endarterektomi, bypass mikrovaskuler Rasional: Bermanfaat untuk mengatasi situasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
45
d.
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, seperti masa protrombin Rasional: Memberikan informasi tentang keefektifan pengobatan/ kadar terapeutik
2.
Defisit Perawatan Diri: Pemenuhan ADL (Activity Daily Living) berhubungan dengan prnurunan tingkat kesadaran, penurunan kekuatan dan ketahanan, dan kehilangan kontrol/ koordinasi otot Tujuan
:
Kebutuhan ADL terpenuhi dan terjadi kemampuan untuk memenuhinya sampai mandiri. Dengan kriteria evaluasi: makanan dan minuman masuk (terpenuhi), badan bersih, pakaian bersih dan rapi, eliminasi terpenuhi, bengangsur-angsur mendemostrasikan perubahan tingkah laku dalam merawat diri, menampilkan aktivitas perawatan diri secara mandiri, mengidentifikasi sumber-sumber bantuan. Intervensi
:
Mandiri a.
Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 0-4) untuk melakukan tindakan sehari-hari Rasional: membantu menentukan/merencanakan intervensi sesuai kebutuhan secara individual
b.
Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat ditakutkan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan. Rasional: Pasien ini mungkin menjadi snagat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
c.
Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian, BAK, dan BAB) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
46
Rasional: Karena pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka perawat harus membantu pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah lanjut bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, seperti; gangguan nutrisi, gangguan eleminasi, gangguan integritas kulit dll. d.
Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan keputusan. Rasional: Mengidentifikasi perlunya intervensi tambahan untuk meningkatkan keamanan.
e.
Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha pasien yang telah dilakukan Rasional: Pasien membutuhkan perasaan empati, tetapi perlu mengetahui bahwa
pemberi
asuhan
bersifat
konsisten.
Intervensi
ini
menggunakan teori keperawatan dimana perawat harus bersikap memahami apa yang dirasakan pasien dan menghargai kemampuan yang dimiliki pasien, serta memperhatikan kewajiban-kewajiaban yang harus dilakukan oleh pasien jangan sampai terlupakan. f.
Kaji kemampuan pasien untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, misal; lapar, mengosongkan kandung kemih dll. Rasional: Mengetahui kebutuhan pasien yang belum terpenuhi, sehingga perawat dapat membantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
g.
Dekatkan makanan dan peralatan yang dibutuhkan pasien di sisi tempat tiduryang mudah di jangkau dan motivasi pasien untuk memenuhi kebutuan ADLnya secara bertahap. Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
47
Membantu memudahkan pasien untuk menggunakannya. pasien dalam bentuk intervensi keperawatan, memberikan arahan dan memfasilitasi kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, dan memberikan dorongan secara fisik dan psikologis agar pasien dapat mengembangkan potensinya sehingga dapat melakukan perawatan mandiri. Tujuan pada intervensi ini adalah perawat ingin melatih pasien mandiri dalam memenuhi kebutuhan ADLnya.
Kolaborasi a.
pemberian supositoria dan pelunak feses Rasional: Membantu melancarkan BAB dengan merangsang fungsi defekasi
3.
Resiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan tirah baring lama, penurunan kesadaran, dan gangguan neuromuskular. Tujuan
:
Mempertahankan keutuhan kulit, dengan kriteria evaluasi tidak ada luka (tidak lecet), kelembaban kulit baik, dan tekstur kulit halus. Intervensi
:
Mandiri a.
Kaji status nutrisi pasien dan mulai tindakan perbaikan sesuai petunjuk Rasional: Keseimbangan nitrogen positif dan peningkatan status nutrisi karena adanya atropi kelenjar sebasea dan keringat, dan mandi dapat menyebabkan masalah kekeringan pada kulit. Meskipun demikian, sewaktu epidermis menipis bersama kulit, pembersihan dan penggunaan lotion akan menjaga kulit tetap lembut dan melindungi kulit yang rentan terhadap kerusakan
b.
Ubah posisi tidur pasien tiap 2-3 jam sekali dan pertahankan posisi kepala elevasi 30 0 Rasional: Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
48
Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerakan tulang sendi sehingga dapat terhindar dari luka akibat penekanan (dekubitus), membalikkan tubuh paisen terlalu sering dikhawatirkan akan menigkatkan tekanan intracranial c.
Gunakan jadual rotasi dalam merubah posisi pasien. Berikan perhatian yang teliti pada tingkat kenyamanan pasien Rasional: Memberikan waktu lebih lama bebas dari tekanan, mencegah gerakan yang dapat menyebabkan pengelupasan dan robekan yang dapat merusak jaringan yang rapuh. Penggunaan posisi terlentang tergantung pada ketahanan pasien dan harus dipertahankan hanya dalam waktu yang singkat.
d.
Massase daerah yang mengalami penekanan dan penonjolan tulang dengan menggunakan kream atau lotion yang dapat menyerap air. Rasional: Dengan massage dapat meningkatkan kelancaran sirkulasi darah, sehingga jaringan cukup mendapatkan oksigen. Bila jaringan cukup mendapatkan oksigen maka tidak akan terjadi iskemia yang nantinya dapat menimbulkan dekubitus dan menjadi kontraindikasi bila jaringan telah berwarna merah pada waktu kerusakan seluler terjadi. Massage menggelilingi area dapat menstimulasi sirkulasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
e.
Pertahankan agar sprei dan selimut tetap kering, bersih dan bebas dari kerutan, serpihan ataupun material lain yang dapat mengiritasi. Rasional: Menghindari friksi dan abrasi kulit.
f.
Gunakan pelindung lutut, siku, pantat dengan bantal angina/air. Rasional: Mengurangi resiko abrasi kulit dan pengurangan penekanan yang dapat menyebabkan kerusakan aliran darah seluler. Tingkatkan sirkulasi udara pada permukaan kulit untuk mengurangi panas atau kelembaban.
g.
Batasi pemajanan terhadap suhu yang berlebih (panas/dingin) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
49
Rasional: Penurunan sensitivitas rasa sakit/panas/dingin akan meningkatkan resiko trauma jaringan. h.
Periksa permukaan kulit atau daerah lekukan (terutama yang menggunakan pembalut/pempers) dan daerah-daerah yang menonjol secara rutin. Tingkatkan tindakan pencegahan ketika area yang kemerahan telah teridentifikasi. Rasional: Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah-daerah yang beresiko terinfeksi dan nekrotik, daerah ini meliputi tulang dan otot. Terjadi peningkatan resiko mengalami kemerahan/iritasi pada daerah sekitar kaki karena penggunaan pembalut elastic.
i.
Lakukan perawatan pada daerah kemerahan dan bula secara terusmenerus dan cegah terjadinya luka dekubitus derajat lebih tinggi.
Kolaborasi a.
Kolaborasi pemeriksaan Hb, Ht, dan kadar glukosa darah Rasional: Anemia dan meningkatnya kadar glukosa darah merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya kerusakan kulit dan dapat mengganggu proses penyembuhan.
3.3.1.
Rencana Asuhan Keperawatan Setelah Operasi
1.
Kerusakan
Mobilitas
Fisik
berhubungan
dengan
Kelemahan
Neuromuskular Tujuan
:
Mobilitas fisik meningkat secara bertahap dengan kriteria evaluasi; mempertahankan posisi yang optimal ditandai dengan tidak adanya tanda kontraktur, footdrop (-), mempertahankan kekuatan otot, mampu melakukan ROM aktif dan pasif secara bertahap. Intervensi
:
Mandiri Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
50
a.
Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera atau pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilitas. Rasional: Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri tentang keterbatasan fisik actual, memerlukan informasi/ intervensi.
b.
Lakukan terapi fisik yang di fokuskan pada latihan gerak pasif dan aktif (jika pasien sadar) minimal 4 kali dalam sehari. Rasional: Latihan gerak aktif meningkatkan massa otot, tonus otot dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung akibat tirah baring. Bila otot-otot volunter tidak digunakan makan akan kehilangan kekuatannya sehingga perlu dilakukan latihan gerak pasif. Hal ini dapat mengimbangi paralisis melalui penggunaan otot yang masih mempunyai fungsi normal, membantu mempertahankan dan membentuk adanya kekuatan dan mengontrol otot-otot yang mengalami gangguan serta mempertahankan kemampuan ROM sehingga tercegah dari kontraktur dan atropi.
c.
Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam jika pasien dapat mentoleransi. Rasional: Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional, tetapi penting kita kaji kemampuan pasien akan bernapas.
d.
Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakanpapan kaki (foot board), selama periode paralisis flaksid. Rasional: Mencegah kontraktur/foot drop dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuan untuk menyangga kepala, dilain pihak paralysis spastic dapat mengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi.
e.
Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan posisi kelurusan postur tubuh seperti ; hindari duduk/berbaring Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
51
dalam waktu lama pada posisi yang sama, ubah posisi send bahu tiap 2-4 jam, gunakan bantal kecil atau tanpa bantal dalam posisi fowler, sangga tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah, gunakan bebat pergelangan tangan. Rasional: Imobilisasi dan kerusakan fungsi neurosensori yang berkepanjangan dapat
menyebabkan
duduk/berbaring
yang
kontraktur lama
permanent,
dimaksudkan
hindari untuk
posisi
mencegah
kontraktur fleksi panggul, ubah posisi bahu mencegah kontraktur bahu, snagga tangan mencegah edema dependen dan kontraktur fleksi pada pergelangan, dan bebat tangan mencegah kontraktur. f.
Siapkan pasien untuk mobilisasi progresif. Pertahankan bagian kepala tempat tidur sedikitnya 30 derajat kecuali ada indikasi, Bantu pasien secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk dan biarkan paisen menjuntaikan kaki disamping tempat tidur untuk beberapa saat sebelum berdiri. Saat latihan awal batasi latihan turun dari tempat tidur tidak lebih dari 15 menit 3 kali sehari, motivasi pasien untuk berjalan singkat tapi sering dengan bantuan bila belum stabil, tingkatkan jarak berjalan tiap hari. Rasional: Tirah baring lama menyebabkan penurunan volume darah yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba. Peningkatan
aktivitas
secara
bertahap
akan
menurunkan
keletihandan meningkatkan ketahanan. g.
Secara bertahap Bantu pasien maju dari ROM aktif ke aktifitas fungsional, sesuai indikasi dan anjurkan orang terdekat untuk berpartisipasi atau kita sebut sebagai terapi kerja. Dengan latihan ini pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisinya Rasional: Mendorong pasien untuk melakukan aktivitas secara teratur. Terapi kerja berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, dll. Terapi kerja mengembangkan alat dan tehnik khusus Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
52
yang mengijinkan perawatan sendiri yang dapat memberikan motivasi bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup normal.
Kolaborasi a.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi Rasional: Jelaskan pada pasien dan keluarga adanya terapi khusus bagi pasien pasca stroke seperti constrainit induced treatment program yaitu cara penatalaksanaan pada paralysis yang terjadi setelah terkena stroke dan injury otak. Cara ini menjanjikan dapat meningkatkan fungsi tubuh pada seseorang rata-rata setahun setelah stroke.
2.
Nyeri Akut berhubungan dengan luka insisi Tujuan
:
Nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil skala nyeri berkurang, mengungkapkan metode yang diberikan penghilang, dan mendemostrasikan penggunaan keterampilan relaksasi atau aktivitas penghibur. Intervensi
:
Mandiri a.
Catat umur berat badan pasien, masalah medis/ psikologis yang muncul kembali, sensitivitas idiosinkratik analgesic dan proses intraoperasi (mis. ukuran,/ lokasi insisi, xat-zat anestesi) yang digunakan. Rasional: Pendekatan pada manajemen rasa sakit pasca operasi berdasarkan pada faktor-faktor variasi multipel.
b.
Ulangi rekaman intraoperasi/ ruang penyembuhan untuk tipe anestesi dan medikasi yang diberikan sebelumnya. Rasional: Munculnya narkotik dan droperidol pada sistem dapat menyebabkan analgesik narkotik dimana pasien dibius dengan flouthane dan Ethrane yang tidak memiliki efek analgesik residual. Selain itu, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
53
intraoperasi blok regional/ lokal memiliki beberapa durasi, misalnya 1-2 jam untuk regional atau 2-6 jam untuk lokal c.
Evaluasi rasa sakit secara regular (misalnya setiap 2 jam x 12) catat karakteristik, lokasi, dan intensitas (VAS) Rasional: Sediaan informasi mengenai kebutuhan/ efektivitas intervensi.
d.
Catat munculnya rasa cemas dan hubungkan dengan lingkungan dan persiapkan untuk prosedur. Rasional: Perhatikan hal-hal yang tidak diketahui dan/ atau persiapan inadekuat dapat memperburuk persepsi pasien akan rasa sakit.
e.
Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, hipertensi, dan peningkatan pernapasan. Rasional: Dapat mengindikasi rasa sakit akut dan ketidaknyamanan.
f.
Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi. Rasional: Ketidaknyamanan mungkin disebabkan dengan penekanan kateter, selang NGT, jalur parenteral (sakit kandung kemih, akumulasi cairan dan gas gaster, infiltrasi cairan IV)
g.
Berikan
informasi
mengenai
sifat
ketidaknyamanan,
sesuai
kebutuhan Rasional: Pahami penyebab ketidaknyamanan (misalnya sakit otot dari pemberian suksinikolin dapat bertahan 48 jam pasca operasi. Parastesia bagian-bagian tubuh dapat menyebabkan cedera saraf. Gejala-gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam atau bahkan berbulan-bulan dan membutuhkan evaluasi tambahan. h.
Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalya semifowler; miring Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
54
Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi-fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan otot punggung arthritis, sedangkan miring mengurangi tekanan dorsal. i.
Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi. Rasional: Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemampuan koping.
j.
Berikan perawatan oral regular Rasional: Mengurangi ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan membrane mukosa yang kering pada zat-zat anestesi, retriksi oral.
k.
Observasi efek analgesic Rasional: Respirasi mungkin menurunkan pada pemberian narkotik, dan mungkin menimbulkan efek-efek sinergistik dengan zat-zat anestesi.
Kolaborasi a.
Berikan obat sesuai petunjuk Analgesik IV Rasional: Analgesic IV akan dengan segera mencapai pusat rasa sakit, menimbulkan penghilang yang lebih efektif dengan obat dosis kecil.
Pemberian
IM
memakan
waktu
lebih
lama
dan
keefektifannya bergantung pada tingkat absorsi.
3.
Resiko Penyebaran Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive Tujuan
:
Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penyebaran infeksi pada luka insisi bedah dengan kriteria; luka insisi utuh, tidak ada bengkak, nyeri berkurang, mencapai penyembuhan tepat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
55 waktu, suhu tubuh normal (36-37,5oC), hasil lab leukosit dalam batas normal (5000-10.000µL) Intervensi
:
Mandiri a.
Tetap pada fasilitas kontrol infeksi, streilisasi dan prosedur/ kebijakan aseptic Rasional: Tetapkan mekanisme yang dirancang untuk mencegah infeksi
b.
Uji kestrerilan semua alat Rasional: Benda-benda yang dipaket mungkin tampak steril, meskipun demikian, setiap benda harus secara teliti diperiksa kesterilannya. Sterilisasi tanggal kadaluarsa, nomor lot, dan dokumentasikan.
c.
Ulangi studi laboratorium untuk kemungkinan infeksi sistemik Rasional: Peningkatan SDP akan mengindikasi adanya infeksi dimana prosedur operasi akan mengurangi atau munculnya infeksi sistemik, dapat menyebabkan kontraindikasi dari prosedur pembedahan.
d.
Pertahankan gravitasi drain dependen dari kateter, selang, dan/atau tekanan positif dari parenteral atau jalur irigasi. Rasional: Mencegah stasis dan refluks cairan
e.
Periksa kulit untuk memeriksa adanya infeksi yang terjadi. Rasional: Gangguan pada integritas kulit atau dekat dengan lokasi operasi adalah sumber kontaminasi luka. menggunting/ bercukur secara berhati-hati adalah imperative untuk mencegah abrasi dan penorehan pada kulit.
f.
Identifikasi gangguan pada antiseptic dan atasi dengan segera. Rasional:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
56
Kontaminasi
dengan
lingkungan/
kontak
personal
akan
menyebabkan daerah yang steril menjadi tidak steril sehingga dapat meningkatkan resiko infeksi. g.
Sediakan pembalut steril Rasional: Mencegah kontaminasi lingkungan pada luka yang baru
Kolaborasi a.
Lakukan irigasi luka yang banyak, misalnya salin, air, antibiotik atau antiseptic. Rasional: Dapat digunakan pada intraoperasi untuk mengurangi jumlah bakteri pada lokasi dan pembersihan luka.
b.
Dapatkan spesimen kultur. Rasional: Indentifikasi segera tipe-tipe organism infeksi dengan perwarnaan gram, yang memungkinkan diperlukannya pengobatan yang sesuai
c.
Berikan antibiotik yang sesuai. Rasional: Dapat diberikan secara profilaksis bila dicurigai terjadinya infeksi atau kontaminasi.
3.4.
Evaluasi Keperawatan
Hasil dari tindakan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai dengan masaah keperawatan adalah sebagai berikut: Dari enam diagnosa keperawatan yang ditemukan, semua diagnose keperawatan dapat teratasi dengan baik sesuai dengan tujuan, dan diagnosa defisit perawatan diri teratasi sebagian saat pasien pulang pada tanggal 7 Juni 2014. Evaluasi terakhir dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014. a.
Gangguan Perfusi Jaringan Serebral Hari pertama melakukan pengkajian, terlihat awalnya pasien terkena stroke iskemik karena pasien dalam kondisi yang sadar dan hanya tidak Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
57
dapat menggerakan bagian tubuh sebelah kanan serta mengalami afasia. Ketika melihat hasil CT Scan, baru diketahui bahwa pasien menderita stroke hemoragik. Sehingga perlu pemantauan TTV, pupil mata, penglihatan, dan fungsi bicara secara sering. Kemudian memotivasi keluarga agar mempertahankan posisi tirah baring dan meninggikan kepala dalam posisi anatomis. Hal ini dilakukan sampai tanggal 28 Mei 2014, karena tanggal 28 Mei 2014, pasien menjalani operasi kraniotomi. Selama masa perawatan, tidak terjadi komplikasi. Hanya tekanan darah pasien yang tinggi terakhir (28 Mei 2014) tekanan darahnya adalah 170/100 mmHg, sehingga perlu diberikan obat antihipertensi karena pada saat itu pasien ingin melakukan operasi kraniotomi. b.
Defisit Perawatan Diri Pasien merupakan penderita stroke hemoragik, sehingga sudah dapat dipastikan sebagian tubuhnya mengalami kelemahan. Hal ini terbukti ketika melakukan pengkajian didapatkan bahwa sebelah kanan pasien tidak dapat digerakan, sehingga untuk pemenuhan aktivitas dibantu oleh keluarga atau perawat. Tindakan untuk mengatasi diagnosa ini adalah memandikan pasien, memberi makan, memberikan obat, memakaikan baju, mengajari bagaimana memegang sendok makan, dan mengajari makan serta minum sendiri. Walaupun hasilnya tidak sebaik sedia kala atau seperti normalnya terdahulu, tetapi ada peningkatan dari pasien.
c.
Resiko Integritas Kulit Pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, sehingga sangat besar resiko untuk terjadinya luka dekubitus, ditambah dengan kondisi kulit pasien yang sedikit kering. Tindakan yang dilakukan adalah setiap selesai memandikan pasien, diberikan minyak kelapa pada bagian yang kering termasuk bagian belakang tubuh, kemudian memiringkan pasien per 2 jam. Hasilnya tidak terjadi luka dekubitus pada pasien.
d.
Kerusakan Mobilitas Fisik Setelah menjalani operasi kraniotomi, pasien mengalami imobilitas yang cukup lama. Mahasiswa dan perawat menganjurkan untuk istirahat selama 12 jam setelah itu diperbolehkan untuk bergerak. Hal pertama yang Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
58
dilakukan
adalah
memiringkan
badan
per
dua
jam,
kemudian
mengajarinyanya untuk duduk secara bertahap. Setelah itu melakukan RPS. Pada tanggal 5 Mei, pasien sudah dapat duduk high fowler, dengan sanggahan dibagian punggungnya dan sambil memegang gelas. e.
Nyeri Akut Pada tanggal 2 Juni, melakukan tindakan membersihkan luka insisi pasien. Ketika dikaji oleh perawat, pasien mengatakan luka insisi masih nyeri dengan skala 2. Kemudian melakukan tindakan tarik napas dalam, setelah diajari pasien mengatakan sudah tidak begitu nyeri lagi (setelah 3 hari). Kondisi luka pasien sangat bersih dan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
f.
Resiko Infeksi Pasien merintih kesakitan ketika luka insisi dibersihkan, hal inilah yang ditakutkan untuk terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah melakukan tindakan steril ketika melakukan ganti balutan pasien. Selama dirawat pasien tidak ada tanda-tanda inflamasi dan hasil leukosit juga dalam rentang yang normal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 4 ANALISIS SITUASI
4.1.
Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait
Pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat melibatkan berbagai program atau sektor lain, oleh kerena itu perawatan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh semua tenaga kesehatan secara koordinatif (Depkes RI, 1997). Metodelogi yang digunakan dalam melaksanakan keperawatan kesehatan masyarakat melalui beberapa tahapan kegiatan yang disebut dengan proses keperawatan sebagai suatu pendekatan ilmiah dalam bidang keperawatan, dimana sejak dulu keperawatan telah dilaksanakan oleh perawat. Proses keperawatan keesehatan masyarakat di daerah perkotaan bertujuan untuk mencegah masalah keperawatan masyarakat di daerah perkotaan.
Cerebrovaskular Disease (CVD) atau yang sering dikatakan masyarakat perkotaan dengan stroke, ternyata adalah masalah kematian kedua setelah penyakit jantung. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan penderita sroke terbesar di Asia (Yastroki, 2007). Menurut data Riset Kesehatan (2013) mengatakan prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan tenaga kesehatan atau gejala (12,7%). Kasus stroke di RSCM sekitar 1.000 per tahun. Penanganan di RSCM mampu menekan angka kematian akibat stroke dari 40% menjadi 25%, bahkan di Unit Pelayanan Khusus Stroke Soepardjo Roestam yang merupakan unit swadana bisa ditekan menjadi 13% (Siswono, 2003). Program rehabilitasi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pedekatan medic, psikososial, educational-vocational yang bertujuan mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin dan mencegah serangan berulang, dalam pelayanan rehabilitasi ini merupakan pelayanan dengan pendekatan multidisiplin yang terdiri dari dokter neurologi, dokter rehabilitasi medik, perawat, fisioterapi, terapi occupational, pekerja sosial medik, psikolog serta klien dan keluarga turut berperan. Mobilisasi merupakan salah satu bentuk rehabilitasi awal dari kondisi 59
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
60
penyakit tertentu, dalam hal ini pada klien yang mengalami serangan stroke sehingga terhindar dari komplikasi (Purwanti & Maliya, 2008).
Insidensi kasus stroke di Ruang Rawat Inap Melati Atas RSUP Persahabatan periode Mei-Juni 2014 tercatat sebanyak 12 kasus dan hampir 95% adalah stroke iskemik dan sisanya stroke hemoragik. Stroke merupakan kasus nomor dua terbanyak yang ada di Ruang Melati Atas setelah diabetes mellitus tipe II.
Ada banyak faktor yang membuat seseorang mengalami cerebrovascular disease, khususnya stroke, berikut ini hasil analisis kasus stroke hemoragik yang ada di ruang rawat inap Melati Atas dengan teori yang ada. Pasien dengan cerebrovascular disease (CVD) atau stroke sering dialami oleh masyarakat perkotaan. Terjadinya penyakit stroke tentunya disertai dengan adanya multifaktor baik dari segi host, agent, maupun lingkungannya. Dari hasil analisis didapatkan riwayat hipertensi sejak tahun 2000 dan sejak setahun yang lalu terkena penyakit jantung, datang ke RSUP Persahabatan sudah mengalami hemiparesis sebelah kanan dan afasia. Pasien merupakan pensiunan PNS yang tidak punya riwayat merokok.
Usia pasien adalah 75 tahun, dapat dikatakan bahwa pasien sudah memasuki lanjut usia. Secara konsep angka kejadian stroke meningkat seriring dengan pertambahan usia. Insiden kasus tertinggi terjadi pada usia diatas 65 tahun, namun ada 28% kasus stroke terjadi pada usia kurang dari 65 tahun dan stroke hampir terjadi di setiap kelompok (Lemon & Burke, 2004). Menurut Depkes RI (2013) kelompok lanjut usia dibagi menjadi 3, yaitu kelompok usia dalam masa virilitas (berada dalam keluarga dan masyarakat luas) (45-54 tahun), kelompok usia dalam masa presenium (berada pada keluarga, masyarakat, dan organisasi lanjut usia) (55-64 tahun), dan kelompok masa senecrus (hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti, dan penderita penyakit berat) (>65 tahun). Hal ini juga membuktikan bahwa kelompok lanjut usia diatas 65 tahun sudah memasuki masa dengan berbagai macam penyakit. Proses penuaan tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Proses penuaan mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis, dan sosial Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
61
(Watson, 2003). Perubahan-perubahan fisik yang terjadi salah satunya terlihat dari sel, dimana sel adalah penyusun organ-organ penting untuk tubuh. Sel didalam tubuh menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, terganggunya mekanisme perbaikan sel, dan jumlah sel di otak akan menurun sehingga mengakibatkan otak menjadi atrofis dan beratnya berkurang 5-10% (Ismayadi, 2004). Usia diatas 65 tahun diprediksi menderita stroke berkaitan dengan masalah-masalah aterosklorosis.
Proses penuaan menyebabkan pembuluh darah mengeras dan menyempit. Pada saat pertumbuhan, proses pembangunan lebih banyak daripada proses perusakan. Setelah tubuh secara faali mencapai tingkat kedewasaan, maka proses perusakan secara berangsur akan melebihi proses pembangunan pada saat inilah terjadi proses menua. Proses ini ditandai dengan peningkatan kehilangan otot tubuh, perubahan fungsi dan organ tubuh seperti jantung, otak, ginjal, dan hati sehingga proses penuaan dikatakan dapat mengakibatkan timbulnya penyakit stroke . lanjut usia mengalami banyak kerusakan struktural dan fungsional pada tubuh (Anwar, 2006 dan Temu Ilmiah Geriarti, 2008). Usia juga termasuk kedalam faktor resiko untuk terkena stroke (Sudoyo, 2009).
Menurut Anwar (2006), ketika usia menjadi tua sistem kekebalan tubuh mengalami penurunan, sehingga lanjut usia rentan terkena penyakit. Proses menua juga menyebabkan proporsi lemak di dalam tumbuh meninggi dan otot berkurang, hal inilah yang menyebabkan lanjut usia mudah terkena obesitas atau kegemukan. Kegemukan dapat meningkatkan resiko terkena stroke dan lemak dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah. Hasil pengkajian terhadap empat pasien yang terkena stroke memiliki umur diatas 60 tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa usia lansia lebih rentan terkena stroke.
Riwayat hipertensi yang sejak lama dialami pasien juga dapat mengakibatkan stroke. Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolic dan sistolik yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah serial 150/95 mmHg atau lebih pada orang yang berusia diatas 50 tahun memastikan hipertensi. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
62
Insiden hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia (Stockslager, 2008). Hipertensi menjadi masalah yang sering terjadi pada lanjut usia karena sering ditemukan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner, lebih dari separuh kematian diatas 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskular. Menurut Sitorus, dkk (2009) mengatakan bahwa hipertensi menjadi salah satu faktor resiko yang mengakibatkan stroke karena tekanan darah yang definit, dengan tekanan darah sistolik > 140 dan diastolic > 90 mmHg akan mendorong terjadinya stroke lewat diperberatnya atherosklerosis pada arkus aorta maupun arteri servikoserebral. Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis firinoid yang memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan rupture intima dan menimbulkan aneurisma. Hipertensi yang dapat menimbulkan pendarahan intraserebral dan rupture aneurisme sakuler (Price & Wilson, 2002).
Analisis ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Petrovitch, Marcuc (1995), bahwa hipertensi terbukti mempuyai pengaruh terhadap kejadian stroke. Besarnya pengaruh tekanan darah, kemungkinan karena adanya perubahan terjadi pada pembuluh darah serebral didalam jaringan otak. Perubahan ini menunjukkan faktor predisposisi stroke secara langsung, dan peningkatan proses atherogenesis merupakan faktor predisposisi perdarahan atau infark otak. Selain itu, hipertensi menyebabkan gangguan kemampuan autoregulasi pembuluh darah otak sehingga pada tekanan darah yang sama aliran darah ke otak pada penderita hipertensi sudah berkurang dibandingkan penderita normotensi. Makin lama hipertensi tidak diobati makin tinggi angka kejadian untuk stroke. Smeltzer dan Bare (2002) mengatakan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol dapat mencetuskan hemoragik serebral, edema, hemoragik pada luka operatif, atau terputusnya rekontruksi arterial. Nitropusid natrium umum digunakan untuk menurunkan tekanan darah sebelumnya. Pemantauan jantung harus dilakukan karena pasien ini mempunyai insiden tinggi terhadap penyakit arteri koroner. Trombosis serebral (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral merupakan penyebab utama terjadinya thrombosis. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
63
yang lain), abnormalitas patologik pada jantung kiri seperti endokarditis, jantung reumatik, serta infeksi pulmonal adalah tempat berasalnya emboli. Hal ini juga terjadi pada semua pasien yang terkena stroke (hemoragik atau iskemik) yang berjumlah empat orang di Ruang Melati Atas didapatkan bahwa mereka memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 3 sampai 10 tahun yang lalu.
Hasil pengkajian juga menyebutkan bahwa pasien memiliki riwayat penyakit jantung sejak setahun yang lalu. Stroke dapat terjadi sekunder akibat adanya kelainan jantung dan sirkulasi demikian pula sebaliknya stroke dapat menyebabkan kelainan jantung dan sirkulasi (Perloff, dalam Anwar, 2004). Ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa penyakit jantung berkaitan dengan stroke seperti penelitian tahun 2004 di RSCM dari 552 penderita stroke, presentase dengan riwayat penyakit jantung sebanyak 126 orang, kemudian penelitian di RSSN Bukittinggi tahun 2010 sebanyak 652 penderita stroke, hanya 62 orang yang tercatat memiliki riwayat penyakit jantung. Penyakit jantung merupakan faktor risiko terkena stroke, banyak penelitian di rumah sakit yang menunjukkan proporsi pasien stroke dengan penyakit jantung lebih kecil dibandingkan dengan pasien stroke tanpa penyakit jantung. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi orang yang menderita stroke akibat penyakit jantung tidak banyak, artinya sebagian besar pasien mendapatkan serangan stroke pertama kali bukan karena memiliki penyakit jantung (Soeharto, 2004). Hal ini sejalan dengan analisis yang telah dilakukan, dari empat pasien yang terkena stroke hanya satu yang memiliki riwayat sakit jantung.
Hubungan erat antara stroke dan kelainan jantung sudah lama diketahui dan dilaporkan dan tidak dapat disangkal lagi. Data-data yang diperoleh oleh para peneliti menunjukkan bahwa kelainan jantung merupakan kemungkinan sumber emboli pada 20-25 kasus infark serebri (Anwar, 2009). Pada kelompok lanjut usia ternyata didapatkan prevalensi kelainan jantung yang tinggi pada penderita stroke. Atrial fibrilasi merupakan kelainan jantung yang paling sering didapatkan bersamaan dengan emboli serebri yaitu hampir separuh dari kelainan stroke akibat emboli yang berasal dari jantung. Atrial fibrilasi sebagai penyebab sumber emboli Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
64
mempunyai variansi yang luas yaitu mulai dari lone atrial fibrillation sampai ventrikel dengan gagal jantung kongestif (Anwar, 2004). Menurut Khalilullah (2011) mengatakan hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai macam perubahan dalam struktur jantung, pembuluh darah koroner, dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini dapat menyebabkan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), berbagai penyakit sistem konduksi, serta disfungsi sistolik dan diastolic dari miokardium, yang bermanifestasi klinis sebagai angina atau infark miokard, aritmia jantung (terutama atrial fibrilasi), dan gagal jantung kongestf (CHF).
Hipertensi menjadi penyebab utama stroke (Khaliullah, 2011), meningkatnya tekanan darah di dalam arteri dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan banyak cairan pada setiap detiknya, arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah, inilah yang terjadi pada lanjut usia dimana dinding arteri telah menebal dan kaku karena atherosclerosis.
Berdasarkan dari analisis penyebab yang terjadi pada kasus kemudian timbul beberapa masalah keperawatan yang terkait dengan penyakit tersebut. penegakan masalah keperawatan pada pasien ini berdasarkan asuhan keperawatan, yaitu pengkajian, pemeriksaan fisik, dan data penunjang. Hasil pengkajian diadaptkan data bahwa Tn.S (75 tahun) adalah seorang pensiunan PNS datang pertama kali ke RSUP Persahabatan karena mengalami kelamahan pada bagian kanan tubuhnya dan tidak dapat berbicara, tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien jatuh di kamar mandi. Dua minggu sebelumnya pasien juga jatuh secara tiba-tiba saat berolahraga. Status kesadaran pasien adalah somnolent, dengan E3M4V afasia, tekanan darah 160/100 mmHg, , N= 90x/ menit, RR= 23x/menit, suhu=37,1 o C, pupil isokor dengan diameter 3mm/ 3mm, refleks babinski +/+, hasil CT Scan adalah adanya pendarahan di pons dan lakunar infark basal ganglia kiri. Hasil dari Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
65
data-data diatas dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan yang terjadi yaitu perubahan perfusi jaringan serebral. Hal ini adalah masalah utama yang terjadi pada pasien, jika tidak segera diatasi akan menimbulkan peningkatan TIK dan kematian. Semua tanda-tanda vital harus dipantau sesering mungkin, karena jika ada perubahan harus segera dilaporkan karena untuk menentukan tindakan berikutnya (Doenges, dkk (2010)). Posisi kepala juga harus ditinggikan hingga posisi 30o dengan posisi netral (Aini, 2009).
Masalah kedua yang muncul dari kasus yang ada adalah defisit perawatan diri dalam hal pemenuhan ADL (Activity Daily Living) berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, menurunnya kekuatan otot, dan kehilangan kontrol otot akibat terganggunya neuromuskuler. Hal ini didapatkan dari data kesadaran pasien somnolen, kekuatan otot ekstermitas kanan dan kiri adalah 0000/3333, tonus otot menurun, kemudian pemenuhan ADL (makan, minum, mandi, berpakaian, BAB, BAK) dibantu oleh keluarga dan perawat (Doenges, dkk, 2010). Penyakit stroke tidak hanya mengakibatkan penurunan kesadaran tetapi juga mengakibatkan kelemahan atau tidak bergeraknya salah satu anggota tubuh (Smeltzer & Bare, 2002). Defisit perawatan diri untuk pemenuhan ADL, juga dapat meningkatkan rasa percaya diri pasien, karena biasanya pasien yang terkena stroke pemenuhan ADL selalu dibantu oleh keluarga atau perawat. Pemenuhan ADL sangat penting dilakukan karena hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah lanjut bila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, seperti gangguan nutrisi, gangguan eliminasi, gangguan integritas kulit, dan lain-lainnya.
Stroke dapat mengakibatkan tubuh mengalami kelemahan dan mengakibatkan penderita mengalami tirah baring yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan resiko untuk terjadinya dekubitus. Potter dan Perry (2008) mengatakan bahwa luka dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu yang lama. Terjadinya gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang mengganggu Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
66
proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemia jaringan.
Masalah keperawatan yang muncul berikutnya adalah kerusakan mobilitas fisik, karena penyakit stroke menyerang anggota gerak tubuh. Pada tanggal 28 Mei 2014. Pasien menjalani bedah kraniotomi untuk mengatasi pendarahan yang ada di dalam otak, hal ini juga yang menjadi data bahwa seseorang yang telah menjalani bedah pasti akan menimbulkan nyeri dan kesulitan untuk bergerak (mobilisasi), karena pengaruh dari efek anestesi yang digunakan (anestesi total). Jika masalah ini tidak segera diatasi nantinya dapat menyebabkan kontraktur dimana semua bagian amggota gerak tubuh menjadi tidak dapat digerakan.
Pada tanggal 28 Mei 2014, pasien mengalami operasi kraniotomi. Operasi kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan pembekuan atau menghentikan perdarahan (Hinchliff & Sue, 1999). Kraniotomi menyangkut pembekuan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intracranial (Smeltzer & Bare, 2002). Awal pengkajian setelah operasi kraniotomi, pasien sudah dapat berbicara walaupun hanya beberapa kata saja. Pasien mengatakan masih terasa nyeri pada bagian luka insisi, besaran skala nyeri 2. Sehingga masalah yang muncul ketika pasien sudah melakukan operasi kraniotomi adalah nyeri akut. Luka setelah operasi pasti memiliki resiko untuk terjadi penyebaran infeksi, sehingga pasien ini sangat mempunyai peluang besar untuk terkena infeksi. Hal ini juga didukung oleh data bahwa adanya nyeri pada bekas luka insisi dan sedikit berwarna kemerahan disekitar luka insisi. Nyeri ini dapat terjadi dikarenakan kerusakan jaringan akibat pembukaan tulang tengkorak dan nyeri juga salah satu tanda-tanda inflamasi, sama halnya dengan kemerahan.
4.2.
Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
Pasien telah melakukan operasi kraniotomi untuk mengatasi perdarahan yang terjadi pada otak, setelah dilakukan pembedahan banyak hal yang harus dilakukan pemeriksaan ulang dan berlanjut dikarenakan jenis operasi kraniotomi adalah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
67
operasi besar (Surgery Encyclopedia, 2009). Menurut Sastrodiningrat (2006) mengatakan bahwa monitoring kondisi umum dan neurologis harus sering dilakukan. Bekuan darah yang terjadi akibat stroke, terutama yang volumenya besar dan menimbulkan pedesakan hebat terhadap otak, perlu dioperasi sebagai upaya penyelamatan nyawa. Ketika ada keluhan di kepala, kemudian akan dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto CT Scan untuk mencari tahu penyebab gangguan yang terjadi pada otak, lokasi, dan perluasan penyakit tersebut secara terperinci. Operasi yang mempuni adalah operasi kraniotomi, tujuan pembedahan kraniotomi adalah membuat lubang pada tulang tengkorak atau wadah untuk mengurangi tekanan atau desakan terhadap otak di dalamnya, juga untuk mengambil penyakit atau memperbaiki struktur otak yang mengalami gangguan. Tindakan operasi kraniotomi dilakukan untuk membuat akses guna mencapai bagian-bagian otak yang berlu diperbaiki . Operasi ini berlangsung selama 3-5 jam bahkan lebih. Operasi kraniotomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan pada kasus stroke pendarahan atau intraserebral hemoragik (Listiono, 2009). Kraniotomi juga merupakan prosedur pembedahan otak standar yang masih merupakan terapi utama dalam penanganan stroke hemoragik, keberhasilan tindakan ini tergantung dari luas dan lesi di otak dan komplikasi yang terjadi sebelum, selama, dan pasca pembedahan (Cahyo, dkk (2012).
Pasien datang ke RSUP Persahabatan mengalami kelemahan pada bagian kanan tubuh dan mengalami afasia, kemudian pasien menjalani operasi kraniotomi. Setelah menjalani kraniotomi, pasien sempat dirawat di ICU sebelum dipindahkan lagi ke Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan. Kondisi pasien saat pertama kali setelah operasi kraniotomi (2 Juni 2014) datang ke Ruang Melati Atas adalah compo mentis, dengan nilai E3M6V5. Verbal pasien memang belumlah sempurna seperti dahulu tetapi saat melakukan pengkajian pasien mampu berbicara dengan baik walaupun pelan dan lambat, karena sebelumnya pasien afasia.
Berbaring lama dan inaktiviti adalah dampak dari pasca pembedahan kraniotomi. Berbaring lama dan inaktiviti dapat menimbulkan komplikasi gerakan seperti Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
68
kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trompoblepitis, dan ingeksi saluran kencing. Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi dengan terapi fisik pengaturan posisi, melakukan gerakan rentang gerak sendi (RPS) dan mobilisasi dini. Program rehabilitasi menurut Ibrahim ((2001), dalam Purwanti & Maliya, 2008) tidak hanya terbatas pada pemulihan kondisi semata, tetapi juga mencakup rehabilitasi yang bersifat psikososial, penuh dengan kasih sayang serta empati yang luas, guna mempertimbangkan penderita. Rehabilitasi medic meliputi tiga hal, yaitu rehabilitasi medikal, sosial, dan vokasional. Mobilisasi adalah hal yang menyebabkan bergeraknya sesuatu ( Ramali, Pamoentjak, 1996). Latihan RPS memiliki beberapa keuntungan antara lain lebih mudah dipelajari dan mudah diterapkan, serta tidak memakan biaya yang mahal (Tseng, et al., 2009). Pasien dengan stroke harus dimobilisasi dan dilakukan fisioterapi sedini mungkin, bila kondisi klinis neurologis dan hemodinamik stabil, untuk fisoterapi pasif pada pasien yang belum boleh. Perubahan posisi badan dan ekstermitas setiap dua jam untuk mencegah dekubitus. Latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif dua kali sehari untuk mencegah kontraktur (Mansjoer, dkk, 2000).
Latihan fisik pada pasien stroke terdiri dari mobilisasi dini dan latihan duduk. Mobilisasi dini terdiri dari mobilisasi duduk dan rentang pergerakan sendi (Maliya & Purwanti, 2008). Pelaksanaan mobilisasi dini posisi tidur terdiri dari posisi tidur, yaitu: 1) Berbaring terlentang, dimana posisi kepala, leher, dan punggung harus lurus kemudian letakan bantal dibawah lengan yang lumpuh secara berhatihati, sehingga bahu terangkat ke atas dengan lengan yang agak ditinggikan dan memutar kea rah luar, siku dan pergelangan tangan agak ditinggikan, kemudian letakan juga bantal dibawah bantal yang lumpuh dengan posisi agak memutar kearah dalam dan lutut agak ditekuk. 2) Miring ke sisi yag sehat, bahu yang lumpuh harus mengadap ke depan, lengan yang lumpuh memeluk bantal dengan siku diluruskan, kemudian kaki yang lumpuh diletakkan di depan bawah paha dan tungkai diganjal bantal, lutut ditekuk. 3) Miring ke sisi yang lumpuh, lengan yang lumpuh menghadap ke depan, pastikan bahwa bahu penderita tidak memutar
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
69
secara berlebihan, tungkai agak ditekuk, tungkai yang sehat menyilang di atas tungkai yang lumpuh dengan diganjal bantal.
Latihan duduk bertahap, menurut Harsono (1996) dimulai dengan meninggikan letak kepala secara bertahap untuk kemudian dicapai posisi setengah duduk dan pada akhirnya posisi duduk, latihan duduk secara aktif sering kali memerlukan alat bantu, misalnya trapeze untuk pegangan pasien. Bangun duduk dilakukan dengan bantuan perawat yang memegang kuat siku sisi yang lumpuh pada tempat tidur, dengan tangan yang lain berjabatan tangan dengan tangan penderita yang sehat. Siku penderita yang sakit harus berada langsung di bawah bahu, bukan dibelakang bahu. Latihan ini diulang-ulang sampai si penderita merasakan gerakannya (Kandel, dkk, 1995).
Menurut Canadian Best Practice Recommendations for Stroke Care (2013) mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan untuk rehabilitasi stroke adalah Range of Motion (ROM) atau Rentang Gerak Sendi (RPS), karena pasien yang terkena stroke memiliki kelumpuhan motorik dan sensorik. Motorik dan sensorik adalah bagian penting dalam menggerakan anggota badan untuk melakukan aktivitas. Biasanya harus melibatkan pasien selama tugas fungsional dan dirancang untuk menstimulasikan keterampilan dalam pemenuhan aktivitas, sehingga kedua komponen ini harus didahulukan untuk rehabilitasinya. RPS bertujuan agar meningkatkan kontrol motorik dan mengembalikan fungsi sensorimotor. Proses rehabilitasi pasien stroke merupakan proses motor learning yang merupakan satu set proses latihan motorik yang mempengaruhi keadaan internal sistem saraf pusat. Latihan ini dilakukan dengan melibatkan memori jangka panjang tentang kemampuan motorik dan dipelajari kembali sehingga memudahkan pasien untuk memiliki kemampuan motorik yang telah dipelajarinya dulu (Mudie & Matyas, 2000).
Rentang gerak Sendi (RPS) adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masingmasing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
70
Latihan aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan sendi seseorang melalui rentang geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas (Potter & Perry, 2006). Latihan RPS sebenarnya mudah untuk dilakukan oleh keluarga, pertama kali melakukan RPS pasien sudah dapat diajak berkomunikasi, kemudian melakukan RPS aktif dikarenakan pasien belum terlalu kuat untuk mengangkat bagian ekstermitasnya. Melakukan RPS dimulai dari kepala hingga kaki. Latihan ini dilakukan sebanyak dua kali sehari dengan posisi terlentang. RPS dapat dilakukan dengan posisi terlentang, semi fowler, atau high fowler (Kozier, 1995).
Latihan rentang gerak sendi (RPS) sangat efektif dalam meningkatkan kekuatan otot yang melemah yang diakibatkan oleh stroke. Hal ini diperkuat oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan, seperti penelitian Fitria dan Maimurahman (2010) yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi mendapatkan hasil bahwa terapi RPS dinyatakan efektif dalam meningkatkan kekuatan otot ekstermitas penderita stroke dengan nilai = 0,003 ( < 0,05). Penelitian Murtaqib (2013) menyatakan bahwa latihan RPS selama 1-2 minggu dapat meningkatkan rentang gerak sendi siku dengan nilai
= 0,001 ( < 0,05). Cahyati (2011) dalam tesisnya mengatakan
bahwa latihan RPS uniteral (melakukan RPS pada sisi yang terkena hemiparase) dan RPS bilateral (melakukan RPS pada kedua sisi yang terkena hemiparase dan yang tidak) dapat meningkatkan kekuatan otot. Penelitian Tseng, et al. (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa responden penelitian yang melakukan RPS mengalami perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri, rentang gerak, dan gejala depresi. Terdapat banyak lagi artikel yang membahas tentang efek RPS dengan outcome yang bervariasi dan populasi yang beragam pula.
Latihan RPS dapat menggerakan persendian seoptimal mungkin dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling bergesekan. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
71
Kertilago banyak mengandung proteoglikans yang menempel pada asam hialuronat yang bersifat hidrophilik. Adanya penekanan pada kartilago akan mendesak air keluar dari matrik kartilago ke cairan synovial. Bila tekanan berhenti maka air yang keluar ke cairan synovial akan ditarik kembali dengan membawa nutrisi dari cairan (Ulliya, et al., 2007).
4.3.
Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien memiliki beberapa kendala. Langkah yang diambil mahasiswa adalah mencari alternative solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah keperawatan yang dilakukan. Solusi yang dimaksud dapat bersumber dari perawat dengan peran utamanya sebagai pemberi asuhan keperawatan, fasilitas layanan kesehatan, peran kolaborasi dengan profesional kesehatan lain, ataupun dapat melibatkan keluarga pasien dan pasien dalam proses pemberian asuhan keperawatan, dengan adanya alternative penyelesaian masalah diharapkan intervensi keperawatan yang diperlukan dapat menyelesaikan masalah pasien dengan efektif dan signifikan. Masalah keperawatan yang masih harus memerlukan perawatan sesuai dengan analisis diatas adalah mengenai adanya latihan lanjut untuk melakukan mobilisasi setelah pasien dinyatakan pulang. Terapi yang telah dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut hanya rentang pergerakan sendi, latihan duduk bertahap, latihan mobilisasi dini diatas kasur (merubah posisi per dua jam), sedangkan ada beberapa terapi lagi yang harus dilakukan untuk pasien stroke yang memasuki tahap rehabilitasi. National Stroke Association (2010) mengatakan bahwa ada berbagai macam jenis latihan fisik untuk fase rehabilitasi, yaitu latihan program I, untuk pasien yang sudah dapat mengontrol fungsi motorik (terdiri dari RPS/ ROM pasif, latihan menstimulasi untuk berjalan) dan latihan program II, untuk yang masih beraktivitas diatas tempat tidur (terdiri dari RPS/ ROM aktif, latihan duduk bertahap). Pada kasus Tn. S (75 tahun) jika melihat rangkaian program rehabilitasi stroke dapat diartikan bahwa pasien harus belajar latihan stimulasi untuk berjalan.
Terdapat banyak kekurangan dalam melakukan latihan ini yaitu penulis merasa bahwa belum ada yang menjamin kontinuitas latihan RPS ini tetap dilakukan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
72
pasien di rumah, walaupun sudah diberikan edukasi. Sehingga pasien dan keluarga perlu dibekali jadwal sebelum pulang seperti jadwal melakukan RPS setiap pagi setelah mandi dan setelah mandi sore atau jam 16.00 WIB sebanyak dua kali dalam sehari. Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis dan intensitas latihan RPS. Menurut Potter dan Perry (2006), latihan RPS minimal dilakukan dua kali dalam sehari sedangkan Smeltzer dan Bare (2008) mengatakan bahwa latihan RPS dapat dilakukan sebanyak 4-5 kali dalam sehari. Selain referensi yang telah disebutkan, beberapa penelitian menunjukkan frekuensi yang bervariasi dalam melakukan RPS. Tseng, et al (2007) dalam penelitiannya tentang penerapan latihan RPS pada pasien stroke menyebutkan bahwa dosis latihan yang dipergunakan sebanyak dua kali dalam sehari, enam hari dalam seminggu selama empat minggu dengan intensitas masing-masing lima gerakan untuk setiap sendi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang melakukan latihan tersebut mengalami perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri, dan gejala depresi. Sementara Astrid (2008) menerapkan latihan RPS pada pasien stroke frekuensi empat kali dalam sehari selama tujuh hari, latihan ini memberikan kemajuan yang signifikan bagi kekuatan otot pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
BAB 5 PENUTUP 5.1.
Kesimpulan
Pada bab ini merupakan hasil dari analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien yang terkena stroke di Ruang Rawat Melati Atas di RSUP Persahabatan, adalah sebegai berikut: 1.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyaraat perkotaan. Penyakit stroke adalah salah satu penyakit dalam bidang neurologi yang dapat menyebabkan kematian dan kesehatan di negara maju ataupun negara berkembang serta penyebab utama kecacatan pada orang dewasa.
2.
Penyakit stroke yang sering diderita adalah stroke iskemik (hampir 80%) dan sisanya (20%) terkena stroke hemoragik.
3.
Penyakit stroke disebabkan oleh beberapa hal yang banyak terjadi di masyarakat perkotaan seperti hipertensi, faktor usia, dan adanya penyakit jantung atau gaya hidup. Faktor ini memicu akan terjadi trombosis, embolisme, iskemia, dan hemoragik serebral. Penyebab tersering stroke adalah trombosis.
4.
Tindakan pembedahan untuk mengatasi perdarahan yang terjadi di otak adalah dengan operasi kraniotomi. Operasi kraniotomi adalah Kraniotomi menyangkut
pembekuan
tengkorak
melalui
pembedahan
untuk
meningkatkan akses pada struktur intracranial, tujuan dari operasi tersebut adalah membuat akses guna mencapai bagian-bagian otak yang berlu diperbaiki. 5.
Masalah-masalah yang sering muncul pada pasien stroke yang sedang ada pada fase rehabilitasi adalah mengenai kerusakan mobilisasi fisik.
6.
Perawat dapat melakukan terapi rentang pergerakan sendi untuk mengatasi masalah mobilitas yang dialami oleh pasien stroke fase rehabilitasi. Tujuan dari pemberian terapi ini adalah mempertahankan fungsi mobilisasi sendi, memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot yang berkurang karena proses penyakit, kecelakaan, atau
73
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
74
tidak digunakan, dan mencegah komplikasi dari immobilisasi seperti atrofi otot dan kontraktur.
5.2.
Saran
Berdasarkan keterbatasan dan pembahasan hasil penulisan ini, maka penulis memerlukan beberapa rekomendasi kepada penulis selanjutnya dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien stroke fase rehabilitasi untuk mengatasi imobilitas. 1.
Penulis selanjutnya dapat melakukan RPS secara terprogram di setiap institusi pelayanan keperawatan baik oleh perawat maupun bekerja sama dengan keluarga setelah terlebih dahulu diajarkan tentang latihan RPS (edukasi). Selain itu perlu dibuat prosedur tetap dan jadwal latihan RPS secara jelas misalnya dengan frekuensi dua kali dalam sehari.
2.
Bidang perawatan adalah meneliti lebih lanjut tentang hubungan antara mobilisasi dini terhadap peningkatan kekuatan otot, dan kemampuan aktivitas pasien, perawat sebaiknya dapat meneruskan terapi rentang gerak sendi untuk merawat pasien stroke fase rehabilitasi.
3.
Hasil analisis ini juga dapat dijadikan sebagai awal sekaligus motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut di lingkup keperawatan medical bedah, baik di institusi pelayanan maupun pendidikan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Aggleton, P.,& Chalmers, H. (2000). Nursing models and Nursing practices. (2nd Ed). Basingstoke: Macmillan Publisher
Allender, J. A., Rector, C., Warner, K. D. (2011). Community health nursing: Promoting and protecting the public’s health. (7th ed). Philadelphia Lippincott: Williams & Wilkins
American Heart Association. (2010). Heart deases and stroke statistic: our guide to current statistics and the supplement to our heart and stroke fact-2010 update. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2014 dari http://americanheartassociation.org
American Heart Association. (2014). Heart deases and stroke statistic: our guide to current statistics and the supplement to our heart and stroke fact-2014 update. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2014 dari http://circ.ahajournals.org/content/129/3/e28.full.pdf
Anomyous. (2008). Surgery encyclopedia craniotomy. Diunduh pada tanggal 26 Juni 2013 dari http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-Fi/craniotomy.html
Achmadi, U. F. (2010) Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: FE-UI
Astrid. (2008). Tesis: Pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap kekuatan otot, luas gerak sendi dan kemampuan fungsional pasien stroke di RS Saint Carolus Jakarta. Depok: Program Studi Pasca Sarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2014 dari
75
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
76
http://www.depkes.go.id/download/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%2020 13.pdf
BAPPENAS. (2005). Urbanisasi. Diunduh pada tanggal 28 Juni 2014 dari http://www.bps.go.id
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005). Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes, 8th Edition. St Louis Missouri: Elsevier Saunder
Cahyati, Y. (2011). Tesis: Perbandingan latihan rom unilateral dan latihan rom bilateral terhadap kekuatan otot pasien hemiparese akibat stroke iskemik di rsud kota tasikmalaya dan rsud kab ciamis. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2014 dari http://www.lib.ac.id . tidak dipublikasikan
Canadian Best Practice Recommendation for Stroke Care. (2013). Diunduh pada tanggal 24 Juni 2014 dari http://www.strokebestpractice.ca/
Depkes RI. (1997). Pola pembinaan kesehatan usia lanjut di panti werdha. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga
--------------. (2013). Pola pembinaan kesehatan usia lanjut di panti werdha. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga
Doenges, M.E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans: guidelines for individualizing client care across the life span. Philadelphia: F. A. Davis Company
Gofir, A. (2007). Pengantar manajemen stroke komprehensif. Jogjakarta: Pustaka Cendikia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
77
Ignatavicius, D.D and M.L Workman.(2010). Medical Surgical Nursing: Critical Thinking for Collaborative Care. Missouri: Elsevier Saunders
Kementrian Republik Indonesia. (2012). Case report form penyakit: stroke. Diunduh pada tanggal 25 Mei 2014 dari http://www.sharepdf.com/b4b1ac4c23ac4ee7934e768cefb9b215/CRF%20Stroke%20registry_ 2012_with%20score%20Ina.pdf Kozier, B. et al. (2004). Techniques in clinical nursing. 5th Edition. Canada: Cummings Publishing Company
Lemone, P., & Burke, K. (2004). Medical surgical nursing critical thinking in client care. 3rd Edition. New Jersey: Pearson Education
Lewis. (2007). Medical surgical nursing: assessment & management of clinical problem. 7th Edition. St. Louis: Missouri. Mosby-Year Book, Inc
Lynch, D., Ferraro, M., Krol, J., Trudell, C. M., Christos, P., & Volpe, B. T. (2005). Continuous passive motion improves shoulder joint integrity following stroke. Clinical Rehabilitation, 19(6), 594-599.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta: EGC
McEwen, M., & Nies, M. A. (2007). Community/ public health nursing: promoting the health of populations. St Louis Missouri: Saunders Elsevier
McKenna, G. (1994). Learning theories made easy: humanism. Nursing Standard. Vol. 9 (31): 29-31
Mudie, M. H., & Matyas, T. A. (2000). Can simultaneous bilateral movement involve the undamaged hemisphere in reconstruction of neural networks damaged by stroke?. Disability & Rehabilitation, 22(1/2), 23-37 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
78
Murtaqib. (2013). Perbedaan latian range of motion (rom) pasif dan aktif selama 1-2 minggu terhadap peningkatan rentang gerak sendi pada penderita stroke di kecamatan tanggul kabupaten jember. Jurnal keperawatan soedirman, vol. 8. Maret 2013. Diunduh pada tanggal 20 Juni 2014 dari http://www.unsoed.ac.id
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Petrovitch H, Curb D, Bloom Marcus E. (1995). Isolated systolic hypertension and risk of stroke in japanese – America Men Stroke 1995 : 26 : 25-29 Potter, A. P., & Perry, A. (2006). Fundamental of nursing. 4th Edition. St. Louis Missouri; Mosby-Year Book, Inc ------------------------------. (2005). Fundamental of nursing. 4th Edition. St. Louis Missouri; Mosby-Year Book, Inc
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2002). Patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC
Purwanti, S., & Maliya, O. (2007). Rehabilitasi klien pasca stroke. Jurnal FIK UMS. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/741/1h.pd f?sequence=1
Setyopranoto, I. (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Artikel Cermin dunia: Kedokteran 185, vol (38/4): Mei-Juni p 247-250. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2014 dari http//www.kalbe.co.id/foles/cdk/files/05_185strokegejalapenatalaksanaan.pdf
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
79
Siswono, Y. (2003). Skripsi: Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian stroke berulang. Diunduh pada tanggal 25 Juni 2014 dari http://www.eprints.undip.ac.id/38230.pdf
Sitorus, R. J. (2008). Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kejadian stroke pada usia muda kurang dari 40 tahun (studi kasus di semarang). Jurnal Epidemiologi. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.eprints.undip.ac.id/6482.pdf Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins ------------------------------------. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
Stockslager, J., & Schaeffer, L. (2008). Buku saku: Asuhan keperawatan geriatric. Edisi 2. Alih Bahasa: Nike BS. Jakarta: EGC
Stoykov, M. E. (2009). Bilateral training of upper extremity hemiparesis in stroke. Unpublished 3316563, University of Illinois at Chicago, Health Sciences Centre, United States.
Sudoyo. A. W., dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI Tseng, C-N., Chen, C. C. –H., Wu, S-C., & Lin, L. –C. (2007). Effect of a range of motion exercise program. Journal of Advanced Nursing, 57(2), 181-191
Ulliya, S., Soempeno, B., & Kushartanti, B. W. (2007). Pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap fleksibilitas sendi lutut pada lansia di Panti Werdha Wening Wardoyo Ungaran. Media Ners Vol (1/2). Oktober hal. 440.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
80
Watson, R. (2003). Perawatan pada lansia. Ahli Bahasa: Musri. Jakarta: EGC
World Health Organization (WHO). (2008). Environmental health. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.who.int
--------------------------------------------. (2006). Environmental health. Diunduh pada tanggal 23 Juni 2014 dari http://www.who.int
Yastroki, N., Koyuncu, B., Coban, O., Tuncay, R., & Bahar, S. (2011). Gender difference in acute stroke: Istanbul medical school stroke registry. Neurology India, 59 (2), 174
Yulinda, W. (2009). Pengaruh empat minggu terapi latihan pada kemampuan penderita stroke iskemik di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 1
HASIL PEMERIKSAAN DARAH Tanggal
Komponen
Nilai
Satuan
Nilai Normal
20/5/2014
HEMATOLOGI Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV Trombosit GDS Sewaktu
6,62
ribu/ mm3
5-10
68,0 17,6 6,1 6,8 1,5 5,00 13,3 44 87,5 26,38 30,3 12,69 264 132
% % % % % juta/ µL g/dL % fl Pg % % ribu/mm3 mg/dL
50-70 25-40 2-6 2-4 0-1 4,5-8,5 13,0-18,9 40-52 80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 150-440 <180
147,0 3,5 108 38 1,3
mmol/L mmol/L mmol/L mg/dL mg/dL
135-145 3,5-8,5 98-109 20-40 0,8-1,5
HEMOSTASIS Fibrinogen
mg/dL
200-400
PT-INR PT INR APTT D-Dimer Albumin SGOT SGPT Asam Urat Trigliserida Kolesterol Total
detik detik detik mg/dL g/dL u/L u/L mg/dL mg/dL mg/dL
10-14 0,83-1,16 28-40 Neg < 500 3,4-5 0-37 0-40 2,4-7,0 < 150 < 200- > (tinggi)
8,22
ribu/ mm3
5-10
80,2 6,9 5,5 4,9
% % % %
50-70 25-40 2-6 2-4
KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium Klorida Ureum Kreatinin
28/5/2014
HEMATOLOGI Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV Trombosit GDS Sewaktu KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium Klorida Ureum Kreatinin
% juta/ µL g/dL % fl Pg % % ribu/mm3 mg/dL
0-1 4,5-8,5 13,0-18,9 40-52 80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 150-440 <180
145,0 3,60 109,0
mmol/L mmol/L mmol/L mg/dL mg/dL
135-145 3,5-8,5 98-109 20-40 0,8-1,5
Analisa Gas Darah pH PCO2 PO2 HCO3 TCO2 BE Saturasi O2
7,319 43,3 106,1 21,8 23,1 -4,3 97,5
HEMOSTASIS Fibrinogen
38,6
PT-INR PT INR APTT D-Dimer Albumin SGOT SGPT Asam Urat Trigliserida Kolesterol Total
29/5/2014
0,2 4,25 12,2 36 85,3 29,4 34,6 13,2 209
HEMATOLOGI Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV
%
7,34-7,44 35-45 85-95 22-26 23-27 -25-25 96-97
mg/dL
200-400
detik detik detik mg/dL g/dL u/L u/L mg/dL mg/dL mg/dL
10-14 0,83-1,16 28-40 Neg < 500 3,4-5 0-37 0-40 2,4-7,0 < 150 < 200- > (tinggi)
7,82
ribu/ mm3
5-10
89,1 7,3 3,5 0,0 0,1 3,98 11,7 34 85,7
% % % % % juta/ µL g/dL % fl
50-70 25-40 2-6 2-4 0-1 4,5-8,5 13,0-18,9 40-52 80-100
2,7 6 23
mmHg mmHg mmol/L mmol/L
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
MCH MCHC RDW-CV Trombosit GDS Sewaktu KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium Klorida Ureum Kreatinin Analisa Gas Darah pH PCO2 PO2 HCO3 TCO2 BE Saturasi O2
30/5/2014
29,4 34,3 13,2 174
Pg % % ribu/mm3 mg/dL
26-34 32-36 11,5-14,5 150-440 <180
144,0 4,00 108,0
mmol/L mmol/L mmol/L mg/dL mg/dL
135-145 3,5-8,5 98-109 20-40 0,8-1,5
%
7,34-7,44 35-45 85-95 22-26 23-27 -25-25 96-97
HEMOSTASIS Fibrinogen
mg/dL
200-400
PT-INR PT INR APTT D-Dimer Albumin SGOT SGPT Asam Urat Trigliserida Kolesterol Total
detik detik detik mg/dL g/dL u/L u/L mg/dL mg/dL mg/dL
10-14 0,83-1,16 28-40 Neg < 500 3,4-5 0-37 0-40 2,4-7,0 < 150 < 200- > (tinggi)
8,22
ribu/ mm3
5-10
80,2 8,9 5,6 4,9 0,4 4,15 12,2 35 85,1 29,4 34,6 13,2 209
% % % % % juta/ µL g/dL % fl Pg % % ribu/mm3 mg/dL
50-70 25-40 2-6 2-4 0-1 4,5-8,5 13,0-18,9 40-52 80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 150-440 <180
HEMATOLOGI Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV Trombosit GDS Sewaktu
7,374 35,1 121,5 20,0 21,1 -4,4 98,3
mmHg mmHg mmol/L mmol/L
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium Klorida Protein total Globulin Analisa Gas Darah pH PCO2 PO2 HCO3 TCO2 BE Saturasi O2
143,0 3,40 105.0 4,8 2,2
7,425 38,5 77,3 24,8 26,0 0,9
2/6/2014
HEMATOLOGI Darah Rutin Leukosit Hitung Jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW-CV Trombosit GDS Sewaktu KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium
mmHg mmHg mmol/L mmol/L %
135-145 3,5-8,5 98-109 20-40 0,8-1,5
7,34-7,44 35-45 85-95 22-26 23-27 -25-25 96-97
mg/dL
HEMOSTASIS Fibrinogen PT-INR PT INR APTT D-Dimer Albumin SGOT SGPT Asam Urat Trigliserida Kolesterol Total
mmol/L mmol/L mmol/L mg/dL mg/dL
200-400
detik detik detik mg/dL g/dL u/L u/L mg/dL mg/dL mg/dL
10-14 0,83-1,16 28-40 Neg < 500 3,4-5 0-37 0-40 2,4-7,0 < 150 < 200- > (tinggi)
8,35
ribu/ mm3
5-10
60,4 25,1 5,0 8,5 1,0 4,74 13,8 42 88,8 29,1 32,8 13,8 132
% % % % % juta/ µL g/dL % fl Pg % % ribu/mm3 mg/dL
50-70 25-40 2-6 2-4 0-1 4,5-8,5 13,0-18,9 40-52 80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 150-440 <180
145,0 3,70
mmol/L mmol/L
135-145 3,5-8,5
2,6
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Klorida Ureum Kreatinin
102,0 24 1,0
Analisa Gas Darah pH PCO2 PO2 HCO3 TCO2 BE Saturasi O2
mmol/L mg/dL mg/dL
98-109 20-40 0,8-1,5
%
7,34-7,44 35-45 85-95 22-26 23-27 -25-25 96-97
mg/dL
200-400
194 218
detik detik detik mg/dL g/dL u/L u/L mg/dL mg/dL mg/dL
36 134
mg/dL mg/dL
10-14 0,83-1,16 28-40 Neg < 500 3,4-5 0-37 0-40 2,4-7,0 < 150 < 200- > (tinggi) < 40- >60 < 100- >190
mmHg mmHg mmol/L mmol/L
HEMOSTASIS Fibrinogen PT-INR PT INR APTT D-Dimer Albumin SGOT SGPT Asam Urat Trigliserida Kolesterol Total Kolestrol HDL Kolestrol LDL
3,4
240
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 2
HASIL RONTGEN TORAKS
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 3
HASIL CT SCAN TANPA KONTRAS
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 4
DAFTAR TERAPI OBAT Nama Obat
Dosis
Waktu
Rute
Tujuan
Clopidogrel
1x 75 mg
07.00
Oral
Mengurangi
terjadinya
aterosklorosis dan untuk stroke yang baru terjadi
Cilostazole
2x 50 mg
07.00 dan 18.00
Oral
Untuk mengurangi gejalagejala iskemia, antiplatelet (mencegah
terbentuknya
thrombus)
Stimvastatin
1x 20 mg
07.00
Oral
Untuk hiperkolestrolemia (menurunkan kadar LDL)
Citicholine
3x 50 mg
07.00, 12.00, 18.00
IV
Aktivasi
serebral,
memperbaiki sirkulasi
Manitol 20%
4x 25 mg
IV
Diuretik,
menurunkan
edema pada serebri
Transamin
3x 500 mg
07.00, 12.00, 18.00
Antifibrinolitik, membantu dalam pembekuan darah
Lactulac
3x
1
sendok
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Melunakan feses
makan OMZ
2x 1 ampul
07.00 dan 18.00
IV
Tukak lambung
KSR
3x1 mg
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Hipokalemia
Valsatan
1x 80 mg
07.00
Oral
Antihipertensi
Adalat Oros
1x 60 mg
07.00
Oral
Antihipertensi
Catropil
3x 25 mg
07.00, 12.00, 18.00
Oral
Antihipertensi
Amlodipin
1x 10 mg
07.00
Oral
Antihipertensi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Cefixime
2x 200 mg
07.00 dan 18.00
Oral
Antibiotic
Ranitidine
2x 1 tablet
07.00 dan 18.00
Oral
Mual. muntah
Tramadol
2x 1 tablet
07.00 dan 18.00
Oral
Anti nyeri akut
akibat
pembedahan Gentamycin
2x 80 mg
07.00 dan 18.00
IV
Pengobatan infeksi kulit
Keterolac
3x 30 mg
07.00, 12.00, 18.00
IV
Anti nyeri
Ondansentron
2x 4 mg
07.00 dan 18.00
IV
Mual,
mual,
sekresi
lambung
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 5
ANALISA DATA No 1
Data-Data DS: Tidak dapat dikaji
Masalah Keperawatan Perubahan Perfusi Jaringan Serebral
DO: Pasien tampak sedikit gelisah (terkadang menangis) Pasien mengalami kelemahan dan kekakuan pada bagian kanan tubuh (perubahan respon motorik) Pasien mengalami afasia (defisit bahasa) Status kesadaran pasien somnolen E3M4V afasia TTV; TD= 160/100 mmHg, N=90x/ menit, RR=23x/ menit. Nilai NIHSS= 18 Hasil CT Scan: pendarahan di pons dan lakunar infark basar ganglia kiri Capillary refill time < 3 detik Pupil isokor, diameter pupil 3/3 mm, refleks terhadap cahaya langsung 3/3 mm 2
DS: Tidak dapat dikaji
Defisit Perawatan Diri
DO: Pasien tidak mampu untuk melakukan toileting, berdandan/ memakai baju Pasien terlihat kotor dan sedikit berbau Tampak diseliling tempat tidur pasien berantakan Pasien terlihat masih lemas 3
DS: Tidak dapat dikaji
Resiko Kerusakan Integritas Kulit
DO: Pasien mengalami penurunan kesadaran Pasien mengalami gangguan neuromuscular Kondisi kulit yang sedikit kering Pasien melakukan tirah baring yang lama 4
DS: Pasien mengatakan bahwa dirinya masih sulit untuk bergerak Pasien masih merasa masih mengalami kelemahan pada kaki dan tangan kanan Pasien mengatakan tidak pusing
Kerusakan Mobilitas Fisik operasi)
(pasca
DO: Pasien mengalami keterbatasan gerak pasca operasi kraniotomi Pasien terlihat lemas Pasien mengalami penurunan kekuatan otot Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Pasien masih mengalami kelemahan pada bagian kanan tubuh Kesadaran compo mentis, pasien mengalami kesulitan berbicara walaupun sudah dapat berbicara. 5
DS: Pasien mengatakan bagian operasi masih sakit (bagian kepala) Skala nyeri 2, terasa ketika dipegang atau memiringkan kepala
Nyeri Akut (pasca operasi)
DO: Wajah pasien terlihat meringis saat disentuh luka pasca-operasi TTV: TD= 160/90 mmHg, N= 76x/ menit, RR=20x/ menit, suhu=36,7oc Pengkajian nyeri: P : penyebab berasal dari luka pasca operasi Q : tidak dapat dijelaskan karena pasien kesulitan berbicara (pasien hanya berbicara 12 kata) R : kepala bagian kiri S : skala 1-2 (ringan) T : ketika dipegang atau memiringkan kepala 6
DS: Pasien mengatakan masih nyeri luka pasca operasi
Resiko Penyebaran Infeksi (pasca operasi)
DO: Luka terlihat bersih Tidak ada bengkak, nanah, dan tidak demam Terlihat merah pada sekeliling luka Leukosit dalam batas normal (8,35 ribu/mm3)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 6
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Nama Pasien
: Tn S (75 tahun)
Diagnosa Medis
:
Stroke Hemoragik Hipertensi grade II Ruang Rawat
Tanggal
: Melati Atas, RSUP Persahabatan
Diagnosa Keperawatan
26/5/14
Perubahan
10.00
serebral.
(Preoperasi)
perfusi
jaringan
Implementasi Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan umum Monitoring pupil mata dan tingkat kesadaran Memberikan posisi 30o dan meninggikan kepala Monitoring adanya perubahan penglihatan Mengedukasi keluarga untuk mengingatkan tidak mengejan saat BAB Monitoring oksigen Memberikan medikasi clopidogel (1x 75 mg via NGT)
Evaluasi
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit Pupil isokor 3mm/3mm, refleks babinski +/+ Tidak ada gallops/murmur, pernapasan vesikuler Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Tidak ada perubahan dalam pengelihatan Pasien terpasang NGT Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah: Masalah belum teratasi Planning (Rencana):
10.45
Defisit perawatan diri
Mengkaji kemampuan kemandirian pasien Mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya Monitoring TTV, KU, dan kesadaran Membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan (makan, minum, dan mandi)
Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status neurologis, edukasi/ motivasi keluarga) Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Tidak ada perubahan dalam pengelihatan Pasien terpasang NGT Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis Pasien sudah tidak baud an terlihat berantakan Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (total care) Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah 0000/3333
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum) Mengajarkan untuk miring ka-miring ki per 2 jam 09.00
Resiko Kulit
Kerusakan
Integritas
Mengkaji status kebutuhan nutrisi pasien Monitoring tanda-tanda inflamasi pada kulit Memberikan lotion pada daerah punggung dan memberikan massage Monitoring posisi kepala pasien (30o)
Subjektif: Tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 160/90 mmHg, N=88x/mnt, RR= 23x/mnit Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Pasien terpasang NGT Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada bagian punggung dan pinggang
Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
neurologis, monitoring tanda-tanda inflamasi)
27/5/2014
Perubahan
20.00
serebral.
(Preoperasi)
perfusi
jaringan
Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan umum per 2 jam Monitoring pupil mata dan tingkat kesadaran Memberikan posisi 30o dan meninggikan kepala Monitoring adanya perubahan penglihatan Memotivasi keluarga untuk mengingatkan tidak mengejan saat BAB Monitoring oksigen Kolaborasi pemberian manitol (125 cc/ tetesan cepat)
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit Pupil isokor 3mm/3mm, refleks babinski +/+ Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Tidak ada perubahan dalam penglihatan Pasien terpasang NGT Pasien terlihatmasih lemah Pernapasan vesikuler, tidak ada gallops/ murmur
Analisa masalah: Masalah belum teratasi Planning (Rencana):
Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status neurologis, edukasi/ motivasi keluarga) Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
20.15
Diagnosa Keperawatan
Implementasi Monitoring kemampuan kemandirian pasien Monitoring tingkat kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya Monitoring TTV, KU, dan kesadaran Melakukan mika-miki per 2 jam Pemenuhan ADL (minum)
Defisit perawatan diri
Evaluasi
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Tidak ada perubahan dalam pengelihatan Pasien terpasang NGT Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (total care) Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah 0000/3333 Pasien mampu untuk melakukan mika-miki dengan bantuan keluarga atau perawat dan menggunakan sanggahan bantal. Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum) Motivasi keluarga untuk melakukan miring ka-miring ki per 2 jam
20.45
Resiko
Kerusakan
Integritas
Monitoring status kebutuhan nutrisi pasien Monitoring tanda-tanda inflamasi pada
Subjektif:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Kulit
kulit Monitoring posisi kepala pasien (30o) Melakukan mika-miki per 2 jam
Evaluasi Tidak dapat dikaji Objektif:
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 150/100 mmHg, N=84x/mnt, RR= 21x/mnit Kesadaran somnolen, E3M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Pasien terpasang NGT Pasien dapat melakukan mika-miki dengan bantuan keluarga atau perawat dan menggunakan bantal sebagai penyanggah
Pasien terlihat lemah Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada bagian punggung dan pinggang BB=60 kg/ TB=160, IMT= 23,4 (normal) Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status neurologis, monitoring tanda-tanda inflamasi) 28/5/2014
Perubahan
07.00
serebral.
(pre-
perfusi
jaringan
Monitoring tanda-tanda vital, dan keadaan umum Monitoring pupil mata dan tingkat kesadaran Memberikan posisi 30o dan meninggikan
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
operasi)
Implementasi
kepala Monitoring adanya perubahan penglihatan Memotivasi keluarga untuk mengingatkan tidak mengejan saat BAB Monitoring oksigen Pemberian obat valsatan via oral (1x 80 mg)
Evaluasi
Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 170/100 mmHg, N=78x/mnt, RR= 20x/mnit Kesadaran somnolen, E2M4V afasia Pupil isokor 3mm/3mm, Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Tidak ada perubahan dalam pengelihatan Pasien terpasang NGT Pasien terlihat masih lemas Pernapasan vesikuler, tidak ada ronchi Tidak ada murmur/ gallops
Analisa masalah: Masalah belum teratasi Planning (Rencana):
07.30
Defisit perawatan diri
Monitoring kemampuan kemandirian pasien Monitoring tingkat kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya Monitoring TTV, KU, dan kesadaran Membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan (makan (200 cc), minum (200
Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, KU, Kesadaran, status neurologis, edukasi/ motivasi keluarga) Rencana operasi kraniotomi dan pindah ICU
Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji Objektif: Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 170/100 mmHg, N=78x/mnt, RR= 20x/mnit
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
cc), dan mandi) Melakukan mika-miki
Evaluasi
Kesadaran somnolen, E2M4V afasia Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Pasien terpasang NGT Pasien terlihat lemah dan tiba-tiba menangis Pasien sudah tidak baud an terlihat berantakan Pasien belum mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (total care) Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah 0000/3333 Pasien dapat melakukan mika-miki dengan bantuan keluarga atau perawat dan menggunakan bantal sebagai penyanggah Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (memandikan, memberi makan, minum) Memotivasi keluarga untuk mika-miki Mengajarkan untuk miring ka-miring ki per 2 jam
08.00
Resiko kulit
kerusakan
integritas
Monitoring status kebutuhan nutrisi pasien Monitoring tanda-tanda inflamasi pada kulit Memberikan lotion pada daerah punggung dan memberikan massage Monitoring posisi kepala pasien (30o)
Subjektif: Tidak dapat dikaji Objektif: Pasien menggunakan nasal kanul O2 2L/ menit TTV= TD= 170/100 mmHg, N78x/mnt, RR= 20x/mnit Kesadaran somnolen, E2M4V afasia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Terpasang RL (per 8 jam) dan Manitol (4 kali 125ml) Pasien terpasang NGT Pasien terlihat lemah Tidak terjadi tanda-tanda inflamasi pada bagian punggung dan pinggang
Analisa masalah: Masalah teratasi Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring TTV, kesadaran, KU, status neurologis, mika-miki per 2 jam, monitoring tanda-tanda inflamasi) 2/6/2014 10.00 (pascaoperasi)
Kerusakan mobilitas fisik
Mengkaji derajat imobilitas pasien Melakukan gerakan RPS (pasif) Memberikan posisi semi fowler (selama 15-20 menit), sesuai dengan kemampuan pasien Monitoring TTV, KU, dan kesadaran umum
Subjektif: Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik Objektif: TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR= 18x/menit, suhu= 36o C Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops, pernapasan vesikuler Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk semifowler tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat Kekuatan otot ekstermitas atas 0000/3333 dan ekstermitas bawah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
0000/3333 Tidak ada kontraktur Analisa masalah: Masalah teratasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai kemampuan pasien) Mengedukasi keluarga tentang RPS Recana fisioterapi 11.00
Nyeri akut
Mengkaji BB dan TB Mengkaji luka insisi (ukuran/ lokasi insisi) Mengkaji nyeri yang dialami pasien Mengkaji tanda-tanda vital Memberikan posisi semi fowler atau posisi yang nyaman
Memberikan medikasi keterolac (3x 30 mg)
Subjektif: Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala Objektif:
TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR=18x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk semi fowler tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
(normal/ baik) Nilai lab trombosit 132 ribu/mm3 (turun) Analisa masalah: Masalah belum teratasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring luka operasi) Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi anti nyeri 11.30
Resiko penyebaran infeksi
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada luka insisi Monitoring hasil lab (leukosit) Membersikan luka operasi (set steril) Monitoring TTV Memberikan medikasi antibiotic cefixime (2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ (2x 1 ampul)
Subjektif: Pasien mengatakan masih sedikit ada rasa nyeri Objektif:
TTV= TD= 140/90 mmHg, N= 76x/menit, RR=18x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Tidak ada tanda-tanda inflamasi Nilai lab leukosit dalam batas normal Analisa masalah:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Masalah teratas
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka, monitoring nilai lab, monitoring TTV) Beri antibiotic sesuai indikasi Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien 3/6/2014 10.00
Kerusakan mobilitas fisik
Monitoring derajat imobilitas pasien Melakukan gerakan RPS (pasif) Memberikan posisi high fowler (selama 15-20 menit), sesuai dengan kemampuan pasien Memberikan edukasi tentang RPS Membantu dalam pemenuhan aktivitas (ADL); makan, minum Monitoring TTV, KU, dan kesadaean Memberikan KSR via oral (3x 1 mg), amplodipin via oral (1x 10 mg)
Subjektif: Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik Keluarga mengatakan akan melakukan RPS setiap pagi setelah mandi Objektif: TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR= 20x/menit, suhu= 36o C Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops, pernapasan vesikuler Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk high fowler tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat Pasien sudah dapat memegang bola pada tangan kanannya Kekuatan otot ekstermitas atas 1111/3333 dan ekstermitas bawah 1111/3333 Tidak ada kontraktur
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah: Masalah teratasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai kemampuan pasien) Motivasi keluarga untuk terlibat dalam RPS Recana fisioterapi 10.15
Nyeri akut
Monitoring luka insisi (ukuran/ lokasi insisi) Monitoring nyeri yang dialami pasien monitoring tanda-tanda vital Mengajarkan teknik napas dalam Memberikan medikasi keterolac (3x 30 mg)
Subjektif: Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala Objektif:
TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=20x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Pasien dapat melakukan tarik napas dalam tetapi dengan bantuan perawat BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34 (normal/ baik)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Analisa masalah: Masalah teratasi sebagian
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring luka operasi) Mengevaluasi teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi anti nyeri 08.30
Resiko penyebaran infeksi
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada luka insisi Monitoring hasil lab (leukosit) Membersikan luka operasi (set steril) Monitoring TTV Memberikan medikasi antibiotic cefixime (2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ (2x 1 ampul)
Subjektif: Pasien mengatakan nyeri berkurang Objektif:
TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=30x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Tidak ada tanda-tanda inflamasi, luka kering Nilai lab leukosit dalam batas normal
Analisa masalah: Masalah teratasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka, monitoring nilai lab, monitoring TTV) Beri antibiotic sesuai indikasi Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien 6/6/2014 07.00
Kerusakan mobilitas fisik
Monitoring derajat imobilitas pasien Melakukan gerakan RPS (pasif) Memberikan posisi high fowler (selama 15-20 menit), sesuai dengan kemampuan pasien Memotivasi keluarga untuk melakukan RPS Membantu dalam pemenuhan aktivitas (ADL); makan, minum Monitoring TTV, KU, dan kesadaran Membuat jadwal untuk latihan RPS di rumah (2 kali sehari setiap habis mandi pagi dan sore) Memberikan KSR via oral (3x 1 mg) dan amplodipin (1x 75 mg)
Subjektif: Pasien mengatakan tidak sakit selama melakukan mobilitas fisik Keluarga mengatakan akan melakukan RPS setiap pagi setelah mandi Objektif: TTV= TD= 170/100 mmHg, N= 92x/menit, RR= 22x/menit, suhu= 36o C Tidak ada edema, BU +, tidak ada murmur atau gallops, pernapasan vesikuler Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Pasien mampu untuk melakukan RPS dan duduk high fowler tetapi harus dengan bantuan keluarga atau perawat Pasien sudah dapat memegang bola pada tangan kanannya Kekuatan otot ekstermitas atas 1111/3333 dan ekstermitas bawah 1111/3333 Tidak ada kontraktur Analisa masalah:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Masalah teratasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (RPS aktif, latihan duduk bertahap sesuai kemampuan pasien) Motivasi keluarga untuk melakukan RPS ketika pasien sudah pulang ke rumah Rencana pulang 07.45
Nyeri akut
Monitoring luka insisi (ukuran/ lokasi insisi) Monitoring nyeri yang dialami pasien monitoring tanda-tanda vital Mengajarkan teknik napas dalam Memberikan medikasi keterolac (3x 30 mg)
Subjektif: Pasien mengatakan nyeri masih dirasakan skala 2 di daerah kepala, nyeri timbul jika dimiringkan kepala Objektif:
TTV= TD= 170/100 mmHg, N= 92x/menit, RR=22x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm, luka kering Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 BB= 60 kg (tidak ada penurunan), TB= 160cm, IMT 21,34 (normal/ baik)
Analisa masalah: Masalah belum teratasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (monitoring nyeri (PQRST), monitoring luka operasi) Mengevaluasi teknik relaksasi napas dalam Memberikan medikasi anti nyeri 08.00
Resiko penyebaran infeksi
Monitoring tanda-tanda inflamasi pada luka insisi Monitoring hasil lab (leukosit) Monitoring TTV Memberikan medikasi antibiotic cefixime (2x 200 mg), keterolac (3x30 mg), OMZ (2x 1 ampul)
Subjektif: Pasien mengatakan nyeri berkurang Objektif:
TTV= TD= 160/90 mmHg, N= 88x/menit, RR=30x/menit, suhu= 36o C Tidak ada kemerahan pada luka, ukurannya 3-4 cm Terpasang RL dan TE 2:1 per 24 jam Kesadaran CM, GCS E4M6V5 Tidak ada tanda-tanda inflamasi, luka kering Nilai lab leukosit dalam batas normal
Analisa masalah: Masalah teratasi
Planning (Rencana): Lanjutkan intervensi (menjadi kesterilan alat untuk balutan luka, monitoring nilai lab, monitoring TTV)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
Beri antibiotic sesuai indikasi Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan Menjaga personal hygiene dan lingkungan pasien Rencana untuk pulang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 7
LEMBAR PENGKAJIAN THE NATIONAL INSTITUTE OF HEALTH STROKE SCALE
Nama Pasien No Rekam Medis Tanggal Pemeriksaan Umur Diagnosa Medis Tanggal Masuk RS Nama Pemeriksa NO
: : : : : : :
PARAMETER YANG DINILAI
SKALA
SKOR
1a
Tingkat kesadaran
0 = Sadar Penuh 1 = Somnolen 2 = Stupor 3 = Koma
1b
Menjawab pertanyaan. Tanyakan bulan dan usia pasien. Yang dinilai adalah jawaban pertama, pemeriksa tidak diperkenankan membantu pasien dengan verbal atau non verbal.
0 = Benar semua 1 = 1 Benar/ETT/disatria 2 = Salah semua/afasia/stupor/ koma
1c
Mengikuti perintah. Berikan 2 perintah sederhana; membuka & menutup mata, menggenggam tangan & melepaskannya, atau 2 perintah lain.
0 = Mampu melakukan 2 perintah. 1 = Mampu melakukan 1 perintah. 2 = Tidak mampu melakukan perintah.
2
Gaze: Gerakan mata konyugat horisontal
0 = Normal 1 = Abnormal pada 1 mata 2 = Deviasi konyugat kuat atau paresis konyugat pada 2 mata
3
Visual: lapang pandang pada tes konfrontasi
0 = Tidak ada gangguan 1 = Kuadrianopsia 2 = Hemianopia total 3 = Hemianopia bilateral/ buta kortikal
4
Paresis wajah. Anjurkan pasien menyeringai atau mengangkat alis dan menutup mata.
0 = Normal 1 = Paresis wajah ringan (lipatan nasolabial datar, senyum asimetris). 2 = Paresis wajah partial (paresis wajah bawah total atau hampir total) 3 = Paresis wajah total (paresis wajah sesisi atau 2 sisi) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
5
Motorik lengan. Anjurkan pasien mengangkat lengan hingga 45 derajat bila tidur berbaring atau 90 derajat bila posisi duduk. Bila pasien afasia berikan perintah menggunakan pantomim atau peragaan.
0 = Mampu mengangkat lengan minimal 10 detik 1 = Lengan terjatuh sebelum 10 detik 2 = Tidak mampu mengangkat secara penuh 90 derajat atau 45 derajat 3 = Tidak mampu mengangkat hanya bergeser 4 = Tidak ada gerakan 5a. Nilai lengan kiri 5b. Nilai lengan kanan
6
Motorik tungkai. Anjurkan pasien tidur posisi terlentang dan mengangkat tungkai 30 derajat.
0 = Mampu mengangkat tungkai 30 derajat minimal 5 detik. 1 = Tungkai jatuh ke tempat tidur pada akhir detik ke-5 secara perlahan 2 = Tungkai jatuh sebelum 5 detik tetapi ada usaha melawan gravitasi 3 = Tidak mampu melawan gravitasi 4 = Tidak ada gerakan 6a. Nilai tungkai kiri 6b. Nilai tungkai kanan
7
Ataksia anggota badan. Menggunakan tes tunjuk jari - hidung.
0 = Tidak ada ataksia 1 = Ataksia pada satu ekstremitas 2 = Ataksia pada 2 atau lebih ekstremitas
8
Sensorik. Lakukan tes pada seluruh tubuh; tungkai, lengan, badan, dan wajah. Pasien afasia diberi nilai 1. Pasien stupor atau koma diberi nilai 2.
0 = Normal 1 = Gangguan sensori ringan hingga sedang. Ada gangguan sensori terhadap nyeri tetapi masih merasa bila disentuh. 2 = Gangguan sensori berat atau total.
9
Bahasa terbaik. Anjurkan pasien untuk menjelaskan suatu gambar atau membaca suatu tulisan. Bila pasien mengalami kebutaan, letakkan suatu benda di tangan pasien dan anjurkan untuk menjelaskan benda termaksud. Pasien dengan intubasi anjurkan untuk menulis.
0 = Normal. 1 = Afasia ringan hingga sedang; bicara kurang lancar 2 = Afasia berat 3 = Mute, afasia global, koma
10
Disartria
0 = Normal 1 = Disartria ringan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
2 = Disartria berat 11
Neglect atau inatensi
0 = tidak ada neglect 1 = tidak ada atensi pada salah satu modalitas berikut; Visual, tactile, auditory, spatial, or personal inattention. 2 = tidak ada atensi pada lebih dari satu modalitas.
TOTAL NILAI
Keterangan Skor < 5
: Defisit neurologis ringan
Skor 6-14
: Defisit neurologis sedang/ cukup berat
Skor 15-24
: Defisit neurologis berat
Skor > 25
: Defisit neurologis sangat berat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 8
LEFLET RENTANG GERAK SENDI
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014
Lampiran 9
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap
: Hesi Oktamiati
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 26 Oktober 1991
No. Telpon
: 089675086763
E-Mail
:
[email protected]/
[email protected]
Riwayat Pendidikan Formal : 1996 - 1997
TK Melati Indonesia
1997 - 2003
SDN VI Jatiasih
2003 - 2006
SMPN 9 Bekasi
2006 - 2009
SMAN 3 Bekasi
2009 - 2013
S1 Reguler Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
2013-2014
Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2014