UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21 JANUARI – 4 FEBRUARI 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
EDI KURNIAWAN, S. Farm. (1106153164)
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 21JANUARI – 4FEBRUARI 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
EDI KURNIAWAN, S. Farm. (1106153164)
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh : Nama : Edi Kurniawan, S. Farm NPM : 1106153164 Program Studi : Apoteker – Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 21 Januari – 4 Februari 2013
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Desko Irianto, SH., MM.
(
)
Pembimbing II
: Pharm, Dr. Joshita Djajadisastra, MS, PhD. (
)
Penguji I
: ..........................................
Penguji II
: ..........................................
Penguji III
: ..........................................
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : iii
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 21 Januari– 4 Februari 2013. Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Apoteker, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Dalam ruang yang terbatas ini dan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Desko Irianto, S. H., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan Pembimbing atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Pharm., Dr. Joshita Djajadisastra, Ms,PhD., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan laporan ini. 3. Dra. Maura Linda Sitanggang, PhD., Apt. selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 4. Dra. Dettie Yuliati, Apt., M. Si. selaku Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengenal direktorat ini. 5. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 6. Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 7. Dr. Zorni Fadia selaku Kepala Subdirektorat Standardisasi, Dra. Dara Amelia, MM., Apt. selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Komunitas, Drs. Bon Sirait, Apt., M. Sc. PH. selaku Kepala Subdirektorat Farmasi Klinik, Ibu Dra. Hidayati Mas’ud, Apt selaku Kepala Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional, beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis. iv
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
8. Seluruh staf dan karyawan Kementrian Kesehatan Republlik Indonesia atas segala keramahan, pengarahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan PKPA. 9. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 10. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, semangat, dorongan dan doa yang tiada henti-hentinya. 11. Teman-teman Apoteker Angkatan 76 atas semangat, dukungan dan kerjasama sselama ini. 12. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan laporan ini. Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan pihak yang telah membantu penulis selama ini. Penulis menyadari penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk laporan ini. Semoga laporan PKPA ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam dunia farmasi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
2013
v
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii KATA PENGANTAR .................................................................................. iv DAFTAR ISI ................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 .......................................................................................... Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 .......................................................................................... Tujuan ................................................................................................ 2 BAB 2. TINJAUAN UMUM ....................................................................... 2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.......................... . 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ... . 2.3 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ................................................................ . 2.4 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan…... 2.5 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ................................ . 2.6 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan ....... . 2.7 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ........... .
3 3 7
BAB 3. TINJAUAN KHUSUS ................................................................... 3.1 Tugas dan Fungsi ................................................................... . 3.2 Struktur Organisasi ................................................................. . 3.3 Kegiatan .................................................................................. .
15 15 16 20
BAB 4. PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN ...................................
23
BAB 5. PEMBAHASAN ............................................................................. 5.1 Subdirektorat Farmasi Komunitas .......................................... . 5.2 Subdirektorat Farmasi Klinik ................................................. . 5.3 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional .............................. . 5.4 Subdirektorat Standardisasi .................................................... . 5.5 Persiapan Dalam Implementasi SJSN ................................... .
26 27 28 29 31 31
9 10 11 12 13
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 33 6.1 Kesimpulan ............................................................................ . 33 6.2 Saran... .................................................................................... . 33 DAFTAR REFERENSI ...............................................................................
vi
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
35
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia …………………….………...….… Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan……………. ……….… Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ………………………………..……….…
vii
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
36 37 38
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak dasar setiap individu dan setiap individu dan salah satu unsur kesejahteraan yang dapat diwujudkan melalui upaya kesehatan. Pembangunan kesehatan nasional pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya kesehatan diselenggarakan melalui peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Presiden Republik Indonesia, 2009b). Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif akan berkaitan dengan obat-obatan. Oleh karena itu salah satu upaya dalam bidang pelayanan kesehatan adalah peningkatan mutu pelayanan obat melalui peningkatan ketepatan, rasionalisasi, efisiensi penggunaan dan informasi obat. Peran apoteker harus secara maksimal dapat dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator memiliki Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan, standarisasi teknis dan regulasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan yang mendorong peningkatan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan kefarmasian yang pada awalnya berorientasi ke obat (drug oriented) berubah menjadi orientasi kepada pasien (patient oriented) sesuai dengan tujuan dari Pharmaceutical Care, yaitu tanggung jawab profesi apoteker dalam mengoptimalkan terapi obat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Presiden Republik Indonesia, 2009a). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang komprehensif menuntut apoteker dan calon apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku viii
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
2
agar dapat berinteraksi aktif dengan pasien secara langsung. Bentuk interaksi yang dapat dilakukan antara lain melaksanakan pemberian informasi, konseling dan monitoring penggunaan obat. Tercapainya terapi obat yang optimal maka apoteker harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk menyadari dan mengawasi kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan serta mampu berkomunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lain dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Tujuan diselenggarakan PKPA ini agar para calon apoteker dapat mengetahui dan memahami peran, tugas, dan fungsi dari Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Selain itu, diharapkan mahasiswa apoteker mengetahui, mempelajari, dan memahami kebijakankebijakan, penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
1.2 Tujuan Tujuan dilaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sebagai berikut : a. Memahami ruang lingkup kerja, tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. b. Memahami program kerja yang sedang dijalankan oleh masing-masing subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, yakni : 1) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Komunitas 2) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Klinik 3) memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) c. Memahami kerjasama subdirektorat dalam Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
dalam
rangka
persiapan
implementasi
SJSN
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
2
BAB 2 TINJAUAN UMUM
2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan, dipimpin oleh Menteri Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Menteri Kesehatan RI, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk mengganti nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan. Tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.1.1 Dasar Hukum a.
Peraturan Presiden RI No. 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara
b.
Peraturan Presiden RI No. 24 tahun 2010 tentang kedudukan, tugas dan fungsi kementerian negara serta susunan organisasi, tugas dan fungsi eselon I kementerian negara
c.
Peraturan Menteri Kesehatan RI no.1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan
2.1.2 Visi dan Misi Kemenkes RI periode 2010-2014 memiliki visi “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” (Menteri Kesehatan RI, 2011a). Untuk mencapai visinya maka Kementerian Kesehatan menetapkan misi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a) :
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
4
a. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
2.1.3 Tujuan Tujuan Kementerian Kesehatan adalah Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Menteri Kesehatan RI, 2011a).
2.1.4 Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan maka nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a) : a.
Prorakyat Kementerian kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan
menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Hal tersebut dimaksudkan agar tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b.
Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak
karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat (meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat bawah) harus ikut berpartisipasi secara aktif. c.
Responsif Program kesehatan yang dirancang Kementerian Kesehatan harus sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Kementerian Kesehatan harus tanggap Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
5
dalam mengatasi permasalahan di daerah, disesuaikan dengan situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diberikan dapat berbeda pula. d.
Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target
yang telah ditetapkan, dan bersifat efisien. e.
Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel.
2.1.5 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan memiliki susunan organisasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Struktur organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
6
q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.6 Fungsi Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Kementerian
Kesehatan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan.
b.
Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan.
c.
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan.
d.
Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah.
e.
Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
2.1.7 Strategi Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun 2010-2014 dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut (Menteri Kesehatan RI, 2011a): a.
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta, dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.
b.
Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta berbasis bukti dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.
c.
Meningkatkan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
terutama
untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d.
Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
7
e.
Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
f.
Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
2.2
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan Standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a.
Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
b.
Pelaksanaan kebijakan bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
c.
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
d.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
e.
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.2 Sasaran Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil program yang tersusun dalam RENSTRA 2010-2014 Kementerian Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang
memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
8
a.
Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Luaran: Meningkatnya ketersediaan Obat Esensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. - Persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%. - Persentase instalasi farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%.
b.
Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Luaran: Meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan Peralatan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sebesar 95%. - Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 60%. - Persentase sarana distribusi alat kesehatan yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%.
c.
Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Luaran: Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasiaan sesuai standar sebesar 45%. - Persentase
Puskesmas
Perawatan
yang
melaksanakan
pelayanan
kefarmasian sesuai standar sebesar 15%. - Persentase penggunanaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah sebesar 60%. d.
Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Luaran:
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
9
- Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis. - Jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar.
2.2.3
Struktur Organisasi Ditjen Binfar dan Alkes dipimpin oleh Direktur Jenderalyang bertanggung
jawab langsung kepada Menteri Kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010). Struktur Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Sekretariat Direktorat Jenderal
b.
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
c.
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
d.
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
e.
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 2.
2.3 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2.3.1 Tugas Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tugas untuk melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.3.2 Fungsi Fungsi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri dari (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Koordinasi dan penyusunan rencana, program dan anggaran. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
10
b.
Pengelolaan data dan informasi.
c.
Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional dan hubungan masyarakat.
d.
Pengelolaan urusan keuangan.
e.
Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan gaji, rumah tangga dan perlengkapan.
f.
Evaluasi dan penyusunan laporan.
2.3.3 Struktur Organisasi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Bagian Program dan Informasi.
b.
Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat
c.
Bagian Keuangan
d.
Bagian Kepegawaian dan Umum
e.
Kelompok Jabatan Fungsional.
2.4 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 2.4.1 Tugas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.4.2 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
11
c.
Penyiapan penyusunan NSPK di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan,serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan, dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan, dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
e.
Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat
2.4.3 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat.
b.
Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
c.
Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
d.
Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
e.
Subbagian Tata Usaha.
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
2.5 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 2.5.1 Tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian (Menteri Kesehatan RI, 2010).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
12
2.5.2 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
d.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
e.
Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
2.5.3 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas (Menteri Kesehatan RI 2010): a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 3.
2.6 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan 2.6.1 Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga (Menteri Kesehatan RI, 2010). Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
13
2.6.2 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
c.
Penyusunan NSPK di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
e.
Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
2.6.3 Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan RI, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas : a.
Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan
b.
Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
c.
Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
d.
Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi
e.
Subbagian Tata Usaha
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
2.7 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 2.7.1 Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
14
NSPK, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.7.2 Fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
c.
Penyiapan penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
e.
Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
f.
Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
g.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
2.7.3 Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan RI, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri atas: a.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional.
b.
Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.
c.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus.
d.
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.
e.
Subbagian Tata Usaha.
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah direktorat baru yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini adalah gabungan dari Direktorat Farmasi Klinik dan Direktorat Penggunaan Obat Rasional. Adapun Dasar hukum perubahan struktur organisasi tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 (Menteri Kesehatan RI, 2010; Menteri Kesehatan RI, 2005). Dalam peraturan tersebut diatur fungsi dan tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
3.1 Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010
pasal
568,
Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 568, Direktorat Pelayanan Kefarmasian menyelengarakan fungsi: a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 15
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
16
e.
Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
3.2 Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas: a.
Subdirektorat Standardisasi
b.
Subdirektorat Farmasi Komunitas
c.
Subdirektorat Farmasi Klinik
d.
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional
e.
Subbagian Tata Usaha
f.
Kelompok Jabatan Fungsional
Tiap subdirektorat dan subbagian dipimpin oleh seorang kepala subdirektorat dan Kepala Subbagian untuk bagian Tata Usaha. Setiap subdirektorat memiliki dua
seksi, seperti Subdirektorat Standardisasi yang
memiliki Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Kemudian, Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas. Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki seksi Pelayanan Farmasi Klinik dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Serta yang terakhir Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional yang terdiri atas Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Selanjutnya, tiap subdirektorat tersebut membawahi empat staf untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
17
3.2.1 Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
Subdirektorat
Standardisasi
menyelenggarakan
fungsi
(Menteri
Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional.
Subdirektorat Standardisasi terdiri atas: a.
Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian.
b.
Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang penggunaan obat rasional.
3.2.2 Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Komunitas menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010) : a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
18
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi komunitas.
c.
Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas.
d.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas: a.
Seksi pelayanan Farmasi Komunitas Seksi pelayanan Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi komunitas.
b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
3.2.3 Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam
melaksanakan
tugas
tersebut
Subdirektorat
Farmasi
Klinik
menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik.
b.
Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi klinik.
c.
Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik.
d.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas: a.
Seksi Pelayanan Farmasi Klinik
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
19
Seksi pelayanan Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi klinik. b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik mempunyai tugas
melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
3.2.4 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional.
b.
Penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas: a.
Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang penggunaan obat rasional.
b.
Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
20
3.3 Kegiatan 3.3.1 Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN)
b.
Penyusunan formularium nasional 2013
c.
Review data obat berdasarkan bukti ilmiah
d.
Pencetakan buku pedoman dan standar
e.
Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah barat
f.
Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah tengah
g.
Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah timur
3.3.2 Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Penyusunan konsep peraturan perizinan toko obat
b.
Koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian
c.
Updating software PIO
d.
Advokasi pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS kepada mahasiswa program profesi apoteker
e.
Revisi pedoman pelayanan informasi obat (PIO)
f.
Revisi modul TOT pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS
g.
Pembuatan audiovisual tentang pelayanan kefarmasian di komunitas
h.
Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah timur
i.
Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah tengah
j.
Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di PUSKESMAS perawatan wilayah barat
3.3.3 Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Penyusunan pedoman evaluasi penggunaan obat
b.
Pencetakan buku standar pelayanan kefarmasian di RS Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
21
c.
Penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi HIV AIDS
d.
Sosialisasi standar dan pedoman pelayanan kefarmasian
e.
Peningkatan kemampuan SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional I - Jawa Timur
f.
Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional II - Jawa Timur
g.
Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional III - Jawa Timur
h.
Peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian apoteker dalam menghadapi Universal Coverage untuk meningkatkan Patient Safety -Jakarta
i.
Peningkatan kapasitas SDM Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam rangka menghadapi akreditasi Rumah Sakit versi 2012
j.
Joint training tenaga kesehatan (dokter/apoteker/perawat)
k.
Sosialisasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian secara elektronik
l.
Health technology assesment (HTA) terkait kajian aplikasi Indonesian Case Base Groups (INA CBGs)
3.3.4 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) memiliki kegiatan sebagai berikut : a.
Penggerakan POR di provinsi Papua
b.
Evaluasi implementasi penggerakan POR di 12 provinsi
c.
Penggerakan POR di provinsi Bengkulu
d.
Peningkatan kapasitas teknik tenaga kesehatan (KAPTEK NAKES) di PUSKESMAS melalui implementasi modul pelaksanaan penggunaan obat rasional (PPOR) dan sistem pelaporan e-yanfar di Puskesmas.
e.
Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Jambi)
f.
Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Kalimantan Selatan)
g.
Evaluasi penggerakan POR di provinsi Kep. Riau
h.
Evaluasi penggerakan POR di provinsi Sulawesi Barat
i.
Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Lampung Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
22
j.
Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Bali
k.
Rapat koordinasi lintas sektor dalam rangka pemantapan program pemberdayaan masyarakat
l.
Penyebaran informasi POR dan obat generik (OG)
m. Sosialisasi modul POR dan sistem pelaporan e-yanfar di Puskesmas (Sulawesi Selatan) n.
Workshop penggunaan antibiotik yang tepat bagi tenaga kesehatan di Kalimantan
Tengah
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
23
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) UI angkatan LXXVI di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan pada tanggal 21 Januari hingga 04 Februari 2013. Hari pertama kegiatan PKPA dimulai pada pukul 10.00 WIB diawali dengan acara perkenalan antara pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan pihak program profesi apoteker UI. Acara perkenalan ini dilaksanakan di ruang 805 yaitu ruang rapat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan diwakili oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. selaku perwakilan dari sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Pada acara perkenalan ini para peserta PKPA diberikan pengantar umum dan pengarahan yang berkaitan dengan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Peserta PKPA diberikan pembekalan berupa penjelasan mengenai visi, misi, kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. Selaku Kepala Subbagian Kepegawaian. Pembekalan ini dilakukan agar para peserta PKPA dapat menjalankan tugas selama berlangsungnya kegiatan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan baik. Pada pelaksanaan PKPA ini, peserta dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing terdiri dari 6-7 orang, dan dibagi ke dalam empat direktorat di bawah koordinasi Ditjen Binfar Alkes. Kelompok peserta PKPA yang ditempatkan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dibimbing oleh Bapak Desko Irianto SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari pertama pelaksanan PKPA, peserta belum berkenalan dengan Direktur, Kepala Subdirektorat dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha karena sedang tidak ada di tempat (tugas dinas). Para peserta hanya diperkenalkan Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
24
dengan sebagian staf Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari kelima peserta PKPA mendapatkan pengarahan dari Ibu Fachriah selaku Kepala Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dari subdirektorat Farmasi Komunitas yang menjadi salah satu subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Ibu Fachriah memberikan penjelasan umum singkat mengenai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan memberikan pemaparan panjang mengenai hal-hal yang dilakukan pada bagian pekerjaannya yakni di subdirektorat Farmasi Komunitas. Kegiatan PKPA dilanjutkan dengan pemberian materi oleh subdirektorat lainnya yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Materi subdirektorat Penggunaan Obat Rasional diberikan oleh Ibu Erie Gusnellyanti, S.Si., Apt. selaku Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Materi subdirektorat Farmasi Klinik diberikan oleh Bapak Candra Lesmana, S.Farm. Selanjutnya, peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Dua orang peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Komunitas berupa analisa perbandingan good pharmacy practice (GPP) di India dan Afrika Selatan dengan GPP Indonesia. Dua orang peserta PKPA lainnya mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Klinik berupa daftar obat-obat yang diperlukan di ruang ICU (Intensive Care Unit) dan Drug Related Problems (DRP) yang terjadi di ruang ICU. Sisa peserta PKPA lainnya mendapat tugas khusus dari subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) berupa pemantauan dan evaluasi POR di fasilitas pelayanan kesehatan, pengendalian biaya obat melalui penggunaan obat rasional, dan seleksi obat yang cost-effective untuk mendukung SJSN. Kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung selama dua pekan. Dalam pekan pertama, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk menyelesaikan laporan umum kegiatan PKPA. Peserta PKPA mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di setiap subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Penyusunan laporan umum dilakukan melalui observasi dan diskusi dengan pembimbing–pembimbing beberapa subdirektorat dari pemaparan materi yang diberikan. Selain itu, penyusunan juga dilakukan dengan menelusuri beberapa literatur yang disarankan pembimbing seperti Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
25
Permenkes No.1144 Tahun 2011. Pada pekan kedua, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan pembimbing dalam penyelesaian tugas khusus yang diberikan oleh subdirektorat. Penyusunan laporan khusus dilakukan dengan mendalami literatur yang ditelusuri secara individual disertai diskusi intensif antar individu dengan pembimbing masing-masing. Pada pertemuan akhir PKPA, peserta mempresentasikan hasil dari tugas yang telah dikerjakan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
26
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB 5 PEMBAHASAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan gabungan dari Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dengan Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional yang dibentuk sesuai Permenkes No. 1144 tahun 2010. Jam kerja operasional direktorat ini pada hari senin hingga kamis dimulai pukul 08.00 - 16.00 WIB sedangkan hari jumat dimulai pada pukul 07.30 – 16.30. Direktorat ini terdiri dari 38 orang personil (14 struktural dan 24 staf). Jabatan struktural terdiri dari seorang Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, seorang Kepala Subbagian Tata Usaha, empat orang Kepala Subdirektorat dan dua kepala seksi yang masing-masing berada di bawah Kepala Subdirektorat. Staf yang berada di bawah Kepala Subbagian Tata Usaha sebanyak 5 orang ditambah 4 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Klinik sebanyak 3 orang ditambah 1 staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Standardisasi sebanyak 3 orang ditambah 2 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Komunitas sebanyak 4 orang, dan staf yang berada di bawah Subdirektorat POR sebanyak 1 orang ditambah 1 orang staf honorer. Staf-staf yang ada tersebut berasal dari latar belakang pendidikan yang beragam, yakni apoteker, ahli madya farmasi, dokter, sarjana komputer dan hukum.
5.1. Subdirektorat Farmasi Komunitas Salah satu subdirektorat yang berada di bawah Direkorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah bidang farmasi komunitas. Subdirektorat ini mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Salah satu program yang sedang di fokuskan adalah peningkatan peran dan fungsi Apoteker di puskemas. Puskesmas merupakan unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional di bidang kesehatan. Peningkatan sumber daya manusia di puskemas memiliki peran yang Universitas Indonesia 26
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
27
sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam rangka memelihara kesehatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan upaya seperti pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas. Masalah yang dihadapi oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas dalam menjalankan program ini adalah pada saat ini diketahui bahwa penyebaran apoteker di puskesmas masih belum merata, hanya sekitar 18%. Setelah dilakukan pemantauan, ternyata masalah ini timbul dikarenakan banyaknya apoteker yang tidak bekerja sesuai bidang profesi pendidikannya dan beralih bekerja di bidang lain.
Kurangnya pengaturan
penyebaran kerja apoteker di sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas serta ketidaktahuan peran apoteker di puskesmas juga berkontribusi menimbulkan terjadinya masalah ini. Hal ini memberikan dorongan untuk dilakukannya pemerataan distribusi apoteker di Indonesia agar semua puskesmas di Indonesia memiliki apoteker sehingga pelayanan kefarmasian untuk masyarakat dapat terlaksana dan lebih terjangkau khususnya di sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Subdirektorat Farmasi Komunitas pun banyak menjalankan advokasi ke perguruan tinggi mengenai peran dan fungsi apoteker di Puskesmas. Program lain yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas yaitu melakukan advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (product oriented) menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented). Advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana apotek sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat kepada masyarakat. Dalam hal ini berlaku bahwa tidak ada pelayanan bila tidak ada apoteker. Subdirektorat Farmasi Komunitas juga membuat Software PIO (Pelayanan Informasi Obat) yang diupdate setiap dua tahun sekali. Software PIO dalam bentuk compact disc dan online melalui website ini dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik menuju pelayanan kesehatan yang paripurna. Pelayanan informasi obat adalah salah satu bentuk pekerjaan kefarmasian yang diberikan kepada konsumen selaku pengguna obat Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
28
berdasarkan kepada konsep pharmaceutical care. Software PIO ini juga melengkapi buku-buku, leaflet, poster, standar dan pedoman pelayanan kefarmasian yang sudah ada.
5.2. Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Klinik serta Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Salah satu tujuan dari Subdirektorat Farmasi Klinik adalah meningkatkan peran dan fungsi apoteker di instalasi farmasi rumah sakit dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian. Subdirektorat Farmasi Klinik melakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik melalui program seperti advokasi kepada manajemen rumah sakit, training atau pelatihan untuk apoteker dan tenaga kefarmasian tentang pelayanan farmasi klinik, penyusunan NSPK, dan program lain yang dapat meningkatkan kompetensi tenaga kefarmasian. Salah satu program yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Klinik adalah penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian di ruang ICU. Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pasien yang di rawat diruang perawatan intensif rentan terhadap permasalahan yang terkait dengan terapi obat karena umumnya polifarmasi. Polifarmasi dapat meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Oleh karena itu perlu diidentifikasi terlebih dahulu frekuensi dan jenis masalah terkait obat, serta intervensi apoteker untuk menurunkan jumlah masalah terkait dengan obat yang bermanfaat meminimalkan resiko yang timbul oleh terapi obat. Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
29
untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat.
5.3. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) terdiri dari Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Salah satu program dari subdirektorat ini yaitu membuat kebijakan-kebijakan tentang penggunaan obat rasional di puskesmas dan rumah sakit. Penggunaan obat rasional penting untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya pengobatan, mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan. WHO memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Permasalahan tentang pemberian obat yang berlebihan pada pasien ISPA merupakan masalah umum di Indonesia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat yang diberikan cenderung berlebih terutama obat antibiotik dan steroid (Dwiprahasto, 2006). Dalam kenyataannya, masih banyak terdapat praktek penggunaan obat yang tidak rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh para klinisi, misalnya asam mefenamat diresepkan untuk mengatasi demam padahal tersedia parasetamol yang jelas lebih aman. Dalam rangka meningkatkan penggunaan obat rasional agar tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan penggerakan penggunaan obat rasional. Penggerakan penggunaan obat rasional merupakan kegiatan pembinaan POR yang terarah, sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dengan menyertakan wilayah atau daerah dan lembaga atau perorangan untuk melaksanakan POR bersamasama dengan mengembangkan pelaksanaannya pada pelayanan kesehatan dasar, Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
30
rujukan, maupun kepada masyarakat. Prioritas pengembangannya yaitu dengan melakukan pembinaan kepada tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Pemerintah serta dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan edukasi mengenai POR. Keberhasilan program penggerakan POR sangat bergantung kepada penerapan langkah-langkah program penggerakan POR yang didukung oleh puskesmas dan rumah sakit serta seluruh upaya berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian Kesehatan, 2012). Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan membina kader-kader disetiap puskesmas di daerah sebagai wujud usaha pendekatan pemerintah kepada masyarakat. Promosi penggunaan obat rasional dilaksanakan secara gencar sebagai antisipasi penanggulangan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penggunaan obat rasional. Penggunaan obat tidak rasional dapat berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat dan apabila tidak ditanggulangi dapat mempengaruhi generasi yang akan datang. Penggunaan obat rasional (POR) tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas karena tercapainya POR merupakan hasil dari kualitas pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas yang baik.
5.4. Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi menyusun standar dan pedoman sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik dan komunitas sehingga mewujudkan pengobatan yang rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri dari Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Program kerja Subdirektorat Standardisasi pada tahun 2013 antara lain penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN), penyusunan formularium nasional 2013, review data obat berdasarkan bukti ilmiah, pencetakan buku pedoman dan standar serta advokasi implementasi pedoman dan standar.
5.5. Persiapan Dalam Implementasi SJSN Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Kebutuhan dasar hidup yang layak yang dimaksud oleh UU SJSN adalah Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
31
kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep dasar jamkesnas telah diatur dalam dua UU yaitu UU SJSN nomor 40/2004 dan UU BPJS nomor 24/2011. Program jamkesnas diatur oleh UU SJSN sedangkan UU BPJS mengatur tatalaksana badan penyelenggaranya. Walaupun
UU
sudah
ditetapkan
sejak
tahun
2004
namun
untuk
mengimplementasikannya tidak mudah. Pemerintah yang berfungsi sebagai regulator harus menetapkan peraturanperaturan dan standar-standar terkait SJSN. Pemerintah harus mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan. Untuk itu Dalam rangka menghadapi SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sedang bekerja keras untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang terkait dengan SJSN. Semua subdirektorat yang berada di bawah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sedang menyusun kebijakan dan program yang nantinya diharapkan dapat digunakan dalam implementasi SJSN. Fokus persiapan implementasi SJSN antara lain fasilitas kesehatan,
sistem
rujukan
dan
infrastruktur,
pembiayaan,
tranformasi
kelembagaan dan program, regulasi, kefarmasian dan alat kesehatan, SDM, sosialisasi dan advokasi. Subdirektorat farmasi komunitas misalnya sedang bekerja keras membuat peraturan dimana pada nantinya setiap puskesmas harus memiliki apoteker. Hal ini penting karena pada era SJSN nantinya setiap pasien yang sakit pertama kali akan dirujuk terlebih dahulu ke sistem pelayanan kesehatan dasar yaitu puskesmas. Sehingga kebutuhan tenaga apoteker dalam manajemen pengadaan obat dan pelayanan informasi obat kepada pasien sangat diperlukan. Saat ini tidak semua puskesmas sudah memiliki apoteker. Penyebabnya antara lain kurang meratanya penyebaran apoteker itu sendiri di Indonesia dan juga kurangnya informasi bagi para apoteker untuk bisa bekerja di puskesmas. Bila SJSN sudah diterapkan maka pengobatan segala jenis penyakit akan dijamin oleh BPJS. Akan tetapi pengobatan untuk satu jenis penyakit saja terdapat banyak pilihan. Oleh karena itu BPJS akan menjamin pengobatan yang paling cost Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
32
effective. Namun bila peserta ingin mendapatkan pengobatan yang terbaik dan lebih mahal maka peserta dapat membayar sendiri selisih biaya yang tidak dijamin oleh BPJS. Walaupun pengobatan yang dijamin oleh BPJS adalah yang paling cost effective tapi bukan berarti pengobatan tersebut dibawah standar dan tidak rasional. Untuk menjamin hal tersebut tidak terjadi maka subdirektorat standarisasi dan penggunaan obat rasional harus menjamin bahwa masyarakat memperoleh obat yang aman, bermutu, dan efektif dengan biaya yang terjangkau. Adapun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penggunaan obat rasional antara lain melalui penetapan DOEN dan formularium nasional yang memuat daftar obat yang akan digunakan dan dijamin oleh BPJS, pedoman penggunaan obat berbasis bukti ilmiah (EBM), monitoring dan evaluasi peresepan dan kepatuhan terhadap formularium nasional, advokasi, sosialisasi dan promosi penggunaan obat generik dan penggunaan antibiotik secara rasional, peningkatan mutu pelayanan kefarmasian melalui pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM (apoteker), penerapan farmasi klinik dalam pelayanan yang sesuai standar, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan obat rasional.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan a.
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Program
b.
peningkatan
peran dan fungsi apoteker di puskesmas dan apotek yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana puskesmas dan apotek sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan informasi obat kepada masyarakat. c.
Penyusunan
pedoman
pelayanan kefarmasian di ruang ICU yang merupakan salah satu program Subdirektorat Farmasi Klinik bertujuan bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. d.
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional melakukan program penggerakan penggunaan obat rasional agar tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan.
e.
Dalam rangka persiapan implementasi SJSN berbagai subdirektorat bekerjasama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang terkait SJSN yaitu mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan.
6.2 Saran a. Sebaiknya kegiatan PKPA di Kemenkes RI dilaksanakan dengan waktu yang lebih lama agar peserta mendapat bekal pengetahuan yang lebih mendalam. 33
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
34
b.
Sebaiknya penempatan peserta PKPA sesuai dengan peminatan studi yang diambil, misalnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ditempatkan peserta PKPA yang memiliki peminatan di bidang yang sama, seperti peminatan pelayanan.
c.
Sosialisasi program pemerintah mengenai pelayanan informasi obat lebih ditingkatkan agar masyarakat bisa memperoleh penjelasan yang akurat mengenai obat dan pengobatan terutama masyarakat di pedalaman.
d.
Pedoman-pedoman yang telah dibuat sebaiknya didistribusikan ke sarana pelayanan kesehatan dan institusi pendidikan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
DAFTAR REFERENSI
Menteri Kesehatan RI. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2011a). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan
Tahun
2010-2014.
Jakarta:
Kementerian
Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2011b). Profile Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2012). Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009a). Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 nomor 144 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara. Presiden Republik Indonesia. (2009b). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
35
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
35 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
35
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 1.StrukturOrganisasiKementrianKesehatanRepublik Indonesia
37
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
38
Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PELAYANAN KEFARMASIAN DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
EDI KURNIAWAN, S. Farm
1106153164
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ iv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................1 1.2 Tujuan ...............................................................................................2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Intensive Care Unit .............................................................3 2.2 Ruang Lingkup Pelayanan di ICU ....................................................3 2.3 Kriteria pasien ..................................................................................3 2.4 Alur Pelayanan ICU .........................................................................4 2.5 Indikasi Masuk dan Keluar ICU .......................................................5 2.6 Pelayanan Kefarmasian di ICU ........................................................8 2.7 Prinsip Peresepan Obat di Ruang ICU ...........................................13 2.8 Obat- Obat yang diperlukan di Ruang ICU ....................................13 BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian .......................................................15 3.2 Metode Pengkajian .........................................................................15 BAB 4 PEMBAHASAN………………………………………………………16 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .....................................................................................19 5.2 Saran ...............................................................................................19 DAFTAR ACUAN................................................................................................20
ii Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1Alur Pelayanan ICU di RS ....................................................................5
iii Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Obat-obat kardiovaskular ..................................................................23 Lampiran 2. Obat-obat saluran pernapasan ............................................................29 Lampiran 3. Sedatif, Analgetik, dan Delirum ........................................................30 Lampiran 4. Relaksan Otot ....................................................................................31 Lampiran 5. Antikoagulan .....................................................................................32 Lampiran 6. Obat-obat Endokrin ...........................................................................34 Lampiran 7. Obat-obat gastrointestinal ..................................................................36 Lampiran 8. Antibiotik ...........................................................................................37 Lampiran 9. Cairan Elektrolit ................................................................................42
iv Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Peningkatan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) di Rumah Sakit secara terus menerus ditingkatkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. Pengembangan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit juga diarahkan guna meningkatkan mutu dan keselamatan pasien serta efisiensi biaya dan kemudahan akses segenap masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2010b). Ruang Perawatan Intensif (ICU=Intensive Care Unit) adalah bagian dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi bedah dan instalasi gawat darurat. Ruang Perawatan Intensif merupakan instalasi pelayanan khusus di rumah sakit yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan selama 24 jam. Dalam rangka mewujudkan Ruang Perawatan Intensif yang memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan keselamatan perlu didukung oleh bangunan dan prasarana (utilitas) yang memenuhi persyaratan teknis (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Rumah sakit sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan yang mempunyai fungsi rujukan harus dapat memberikan pelayanan ICU yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien. Pada unit perawatan intensif (ICU), perawatan untuk pasien dilaksanakan dengan melibatkan berbagai tenaga profesional yang terdiri dari multidisiplin ilmu yang bekerja sama dalam tim. Pengembangan tim multi disiplin yang kuat sangat penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Selain itu dukungan sarana, prasarana serat peralatan juga diperlukan dalam rangka meningkatkan pelayanan ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010a). Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk
1 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
2
mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat.
1.2.
Tujuan Tujuan dari tugas khusus ini adalah: a. Mengetahui peran apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di ICU. b. Mengetahui pelayanan apa saja yang dapat diberikan apoteker di ICU. c. Mengetahui manfaat apoteker dalam memberikan pelayanan di ICU.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Intensive Care Unit Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyakit-penyakit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang berpengalaman dalam mengelola keadaan tersebut (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.2.
Ruang Lingkup Pelayanan ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010) Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari. b. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan pelaksanaan spesifik problema dasar. c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit atau iatrogenik. d. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung pada alat/mesin dan orang lain.
2.3.
Kriteria Pasien Pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan
akut yang diharapkan pulih kembali mengingat ICU adalah tempat perawatan yang memerlukan biaya tinggi dilihat dari segi peralatan dan tenaga. Pasien yang dirawat di ICU adalah (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011): a. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care.
3 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
4
b. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi. c. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekomposisi fisiologis. Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter intensivis sebagai ketua tim. Kegiatan pelayanan pasien di ICU di samping multi disiplin juga antar profesi, yaitu profesi medik, profesi perawat, dan profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM secara berkelanjutan, menyeluruh, dan mencakup semua profesi (Menteri Kesehatan RI, 2010). Kebutuhan pelayanan kesehatan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas), breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak), dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif (Menteri Kesehatan RI, 2010).
2.4.
Alur Pelayanan ICU (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011) Pasien yang memerlukan pelayanan ICU dapat berasal dari:
a. Pasien dari IGD b. Pasien dari HCU c. Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain, seperti kamar bersalin, ruang endoskopi, ruang dialisis, dan sebagainya. d. Pasien dari bangsal (ruang rawat inap)
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
5
Gambar 2.1 Alur Pelayanan ICU di RS (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011)
2.5.
Indikasi Masuk dan Keluar ICU (Menteri Kesehatan RI, 2010) Tujuan dari pelayanan adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan
berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan. Pasien sakit kritis meliputi: a. Pasien-pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, profesi lain yang terkait secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus serta terapi titrasi; b. Pasien-pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis sehingga memerlukan pemantauan ketat dan terus menerus serta dilakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan. Sebelum pasien dimasukkan ke ICU, pasien dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa pasien harus mendapatkan perawatan di ICU, serta tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU. Penjelasan tersebut diberikan oleh Kepala ICU atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien dan/atau keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
6
dirawat di ICU. Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent. Pada keadaan sarana dan prasarana ICU yang terbatas pada suatu rumah sakit diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas apabila kebutuhan atau permintaan akan pelayanan ICU lebih tinggi daripada kemampuan pelayanan yang dapat diberikan. Kepala ICU akan bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU. Bila kebutuhan masuk ICU melebihi tempat tidur yang tersedia, kepala ICU menentukan berdasarkan prioritas medik, pasien mana yang akan dirawat di ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk tiap ICU. a. Kriteria masuk ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan kebutuhan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke ICU. 1) Pasien prioritas 1 (satu) Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat bantu suportif organ sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotoksik, pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektroit yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas. 2) Pasien prioritas 2 (dua) Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
7
pasien seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung paru, gagal ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan major. Terapi pada pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah. 3) Pasien prioritas 3 (tiga) Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyakit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru. 4) Pengecualian Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien-pasien golongan demikian sewaktu waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2,3 (satu, dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain : Pasien yang memenuh kriteria masuk tetapi menolak terapi penunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang aman” saja. Ini tidak
menyingkirkan
pasien
dengan
perintah
“DNR
(Do
Not
Resuscitate)”. Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya. Pasien dalam keadan vegetatif permanen Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasien-pasien seperti itu dapat dimasukan ke ICU untuk menunjang fungsi organ hanya untuk kepentingan donor organ.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
8
b. Kriteria Keluar Prioritas pasien dipindahkan dari ICU berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala ICU dan tim yang merawat pasien.
2.6.
Pelayanan Kefarmasian di Ruang ICU Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi
obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001). Pelayanan primer (essensial) di ruang ICU terdiri dari: a.
Distribusi obat dan pengawasan inventori
b.
Monitoring terapi obat
c.
Manajemen terapi obat
d.
Evaluasi penggunaan obat
e.
Monitoring dan pelaporan reaksi obat yang merugikan
f.
Pelayanan nutrisi penunjang
g.
Informasi obat
h.
Konsultasi farmakokinetik
Pelayanan optimal harus dilakukan dan tergantung dari sumber daya dan besarnya institusi tersebut. Adapun hal-hal yang sebaiknya ada: a.
Spesialis farmasi yang praktik full time di ICU
b.
Pendidikan
c.
Penelitian obat
d.
Dokumentasi aktivitas klinik
2.6.1. Distribusi obat dan pengawasan inventori (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001) Kesesuaian, akurasi, dan penyaluran obat-obatan kepada pasien tepat waktu harus menjadi tanggung jawab farmasis. Preparasi dan distribusi obat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Metode yang dipilih tergantung dari adanya
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
9
pilihan dan kebutuhan dari dokter, farmasis dan staf perawat, dan ketersediaan sumber daya. Hal yang sudah umum dilakukan pada semua metode adalah mengurangi waktu yang dibutuhkan oleh perawat dan staf medis dalam mengumpulkan dan mempersiapkan medikasi dan memaksimalkan keselamatan pasien melalui pembatasan pemilihan obat, jumlah, dan jenis sediaan. Preparasi dan distribusi obat tidak harus selalu dilakukan oleh apoteker. Petugas teknis pun dapat melakukan preparasi dan distribusi obat namun harus berada dibawah pengawasan seorang apoteker. Farmasis,
bersama-sama
dengan
profesi
kesehatan
lainnya
mengembangkan kriteria dalam menentukan produk obat dan jumlah yang akan disimpan dan perbedaan akses terhadap obat tersebut ketika dibutuhkan. Sehingga inventori dapat dikurangi dalam jumlah yang seminimal mungkin dengan mempertimbangkan profil penggunaan obat dan tren terapi. Farmasis harus menetapkan kriteria eksklusi berdasarkan kondisi penyimpanan khusus atau preparasi khusus yang diperlukan, waktu kadaluarsa, atau resiko terhadap pasien dan profesi kesehatan. Obat-obatan dikemas dan diadministrasikan dalam kemasan single unit atau unit dose, obat-obatan harus diserahkan dalam bentuk yang siap untuk digunakan. Pengecekan terhadap keamanan harus dilakukan setiap hari oleh teknisi farmasis untuk memastikan penyimpanan, distribusi, akses, identifikasi, dan integritas produk yang benar. Sistem yang digunakan harus mendukung apoteker dalam menyediakan informasi tentang rute dan metode administrasi yang direkomendasikan, pemilihan cairan, konsentrasi maksimum, dan lain sebagainya. Profil pengobatan pasien harus menjadi perhatian apoteker untuk tiap masing-masing pasien. Apoteker juga harus dapat mengindentifikasi, mencegah, dan mengatasi masalah terkait pengobatan.
2.6.2. Monitoring Terapi Obat Monitoring terapi obat mencakup pengkajian kesesuaian regimen pengobatan dengan kondisi klinis pasien. Hal ini terdiri dari pemilihan obat, ketepatan dosis, rute pemberian obat, pemilihan waktu pengulangan pemberian obat untuk mendapatkan hasil yang tepat dalam menentukan kadar obat dalam
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
10
serum, pemilihan pengencer dan jumlah volume infus yang dibutuhkan oleh pasien, interaksi obat dengan obat, obat dengan penyakit dan obat dengan nutrisi, efek samping obat yang potensial, pemilihan terapi dengan biaya yang efisien, tingkat kepatuhan pasien dengan regimen pengobatan serta mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan obat (drug related problems) (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001).
2.6.3. Manajemen Terapi Obat Menurut keputusan MenKes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit bahwa manajemen obat rumah sakit harus dievaluasi secara periodik agar tujuan dapat tercapai yaitu tersedianya obat pada saat dibutuhkan. Evaluasi dalam manajemen obat digunakan untuk melihat gambaran keefisienan suatu sistem manajemen dengan memanfaatkan indikatorindikator yang khas untuk sistem tersebut sehingga dapat dilihat apakah tiap tahap manajemen obat berlangsung dengan selaras, serasi dan seimbang atau tidak (Menteri Kesehatan RI, 2004). Untuk mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan terapi obat, farmasis harus memastikan bahwa hal-hal berikut telah dipenuhi (Jones, R. M. and Raylene M. R. 2008): a. Pasien memiliki indikasi yang tepat untuk setiap obat yang mereka minum. b. Terapi obat pasien efektif c. Terapi obat pasien aman d. Pasien dapat patuh pada terapi obat dan aspek lain dalam rencana asuhan mereka. e. Pasien memiliki seluruh terapi obat yang diperlukan untuk mengatasi berbagai indikasi yang tidak ditangani Untuk memenuhi berbagai tanggung jawab dan mencapai tujuan-tujuan terapi (yaitu: terapi obat yang tepat, efektif, aman, nyaman, dan ekonomis), farmasis harus menggunakan suatu proses yang konsisten, sistematis, dan menyeluruh. Proses dimulai dari memprakarsai hubungan dengan pasien. Pada tahap selanjutnya, farmasis mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan untuk mengevaluasi permasalahan kesehatan pasien dan terapi obat secara tepat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
11
Informasi yang diperoleh dapat bersifat subjektif maupun objektif. Informasi subjektif adalah gejala-gejala yang dialami atau keluhan utama pasien, kondisi kesehatan umum dan tingkat aktivitas, riwayat atau penyakit yang sedang dialami, riwayat medis masa lampau, dan riwayat sosial. Sedangkan data objektif seperti tanda-tanda vital dan hasil uji laboratorium (Jones, R. M. and Raylene M. R. 2008).
2.6.4. Evaluasi Penggunaan Obat Kegiatan evaluasi penggunaan obat di ruang ICU terdiri dari mengumpulkan data, menganalisis data, membuat rekomendasi dan melakukan tindak lanjut. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001).
2.6.5. Monitoring dan Pelaporan Reaksi Obat yang Merugikan (Menteri Kesehatan RI, 2004) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi. Tujuan monitoring dan pelaporan efek samping obat yaitu: a. Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang. b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yanng sudah dikenal sekali yang baru saja ditemukan. c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya ESO atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO. 2.6.6. Pelayanan Nutrisi Penunjang Pelayanan gizi klinik dan asuhan gizi merupakan bagian dari pelayanan medis untuk penyembuhan pasien yang diselenggarakan secara terpadu dengan upaya pelayanan gizi promotif, preventif dan rehabilitatif. Tujuannya yaitu tercapainya pelayanan gizi yang optimal sebagai bagian terapi dalam pelayanan holistik kepada pasien sehingga dapat mengurangi morbiditas, mortalitas dan lama rawat yang panjang (Depkes RI,2009).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
12
2.6.7. Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuannya yaitu menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit serat menunjang terapi obat yanng rasional (Menteri Kesehatan RI, 2004).
2.6.8. Manajemen Farmakokinetik dan konsultasi Menentukan dosis obat menggunakan prinsip farmakokinetik merupakan fungsi penting dari apoteker ICU. Apoteker mampu menyediakan pelayanan farmakokinetik yang komprehensif. Hal ini berarti sebelum mengambil sampel serum, apoteker dapat berdiskusi mengenai saran yang akan diberikan dengan dokter. Melalui review kondisi pasien sebelumnya (bila ada) dan memperkirakan waktu paruh obat, memperhatikan apakah kondisi pasien dapat mempengaruhi distribusi obat didalam tubuh, dan pada akhirnya memberikan rekomendasi regimen dosis kepada pasien (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001).
2.6.9. Ronde Apoteker dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ronde dengan tim kesehatan ICU setiap hari. Selama kegiatan ronde apoteker dapat memberikan saran dan rekomendasi kepada dokter mengenai terapi obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001).
2.6.10. Dokumentasi aktivitas klinik Apoteker harus mendokumentsikan akitvitas klinik dan mengidentifikasi aktivitas yang mengarah kepada peningkatan kondisi pasien dan meminimalkan biaya. Informasi diperlukan oleh apoteker untuk membuktikan peranannya dan kebutuhan akan apoteker dalam pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan satusatunya cara yang dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh apoteker
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
13
terhadap kondisi pasien dan dapat memberikan informasi kepada dokter dan perawat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001).
2.7.
Prinsip peresepan obat di ruang ICU Prinsip dalam peresepan obat di ruang ICU antara lain (Royal Adelaide
Hospital, 2012) : a. Obat-obatan harus diresepkan berdasarkan protokol dan pedoman yang berlaku. b. Kondisi
kritis
pasien
dihubungkan
dengan
farmakokinetik
dan
farmakodinamik, dengan potensial toksisitas dan interaksi obat. c. Pertimbangan pemilihan: 1) Gunakan obat yang dapat dengan mudah untuk diresepkan 2) Gunakan obat yang dapat dimonitor efek terapi nya 3) Hindari obat dengan efek terapi sempit, terutama pada pasien dengan disfungsi renal dan hati 4) Berhenti menggunakan obat yang efek nya tidak jelas 5) Jika dua obat mempunya efek terapi yang sama, pilih obat dengan harga yang murah d. Peresepan sebaiknya menggunakan obat generic e. Jika ada perubahan pengobatan (e.g. mengganti antibiotik dengan yang lain, alterasi dosis obat, penghentian obat) kemudian beberapa indikasi berubah juga harus dicatat dalam medical records atau catatan penggunaan obat. f. Apoteker harus mereview setiap hari data penggunaan obat di ICU, lakukan ronde ke ruangan dan bersedia bila ada konsultasi.
2.8.
Obat-Obat yang Diperlukan di Ruang ICU(Royal Adelaide Hospital. 2012) Obat-obat yang diperlukan di ruang ICU antara lain:
a. Obat-obat kardiovaskuler (lampiran 1) 1) Inotrop 2) Agen vasopressor 3) Antihipertensi dan vasodilator
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
14
4) Trombolitik 5) Antiplatelet b. Obat-obat Respiratory (Bronkodilator) (lampiran 2) c. Sedativ, Analgetik dan Delirium (lampiran 3) d. Relaksan otot (lampiran 4) e. Antikoagulan (lampiran 5) f. Obat-obat endokrin (lampiran 6) 1) Manajemen glukosa darah di ICU 2) Diuretik g. Obat Gastrointestinal (lampiran 7) h. Antibiotik (lampiran 8) 1) Jadwal pemberian vankomisin 2) Jadwal pemberian infus antibiotik 3) Perioperatif profilaksis antibiotik 4) Antibiotik empiris 5) Antibiotik untuk organisme spesifik i. Cairan elektrolit (lampiran 9)
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 21 Januari 2013 – 4 Februari 2013
yang bertempat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3.2.
Metode Pengkajian Metode yang digunakan dalam pengkajian mengenai peran apoteker dalam
memberikan pelayanan kefarmasian di ruang ICU dengan melakukan studi literatur (studi pustaka). Pustaka yang digunakan dalam penyusunan kajian ini bersumber dari peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta artikel dan jurnal yang berasal dari internet.
15 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
BAB IV PEMBAHASAN Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi telah berkembang orientasinya pada pelayanan kepada pasien (pharmaceutical care). Apoteker di rumah sakit diharapkan memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien, yang memastikan bahwa pengobatan yang diberikan pada setiap individu pasien adalah pengobatan yang rasional. Selain mampu menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat agar mampu memberikan manfaat bagi kesehatan dan berbasis bukti (evidence based medicines), pelayanan kefarmasian juga diharapkan mampu mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah masalah terkait pengunaan obat yang aktual dan potensial (Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, 2011). Pasien yang berada di ruang ICU adalah pasien yang menderita penyakit serius. Pasien tersebut menerima obat dalam jumlah banyak dari berbagai macam kelas farmakologi. Oleh karena itu terapi obat di ruang ICU menjadi lebih rumit. Penggunaan obat yang tepat dapat menyelamatkan hidup pasien. Namun penggunaan regimen dosis obat yang sudah umum seringkali dapat menjadi masalah terkait obat seperti kegagalan terapi, interaksi obat, dan resiko tinggi terhadap reaksi obat yang tidak diinginkan. Penentuan regimen dosis harus dilakukan secara hati-hati untuk mendapatkan hasil terapi yang ideal (John, J. Lisha, Padmini Devi, Jenny John, Shoba Guido, 2011) . Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep dan terapi obat yang optimal harus dibentuk untuk mengurangi morbiditas terkait obat (Marti, M. C., and N. V. J Torres, 2001). Salah satu masalah yang sering ditemui di ICU adalah interaksi obat. Terjadinya interaksi obat yang potensial di ICU dipengaruhi oleh faktor seperti banyaknya jumlah obat yang diterima oleh pasien, kondisi klinis pasien yang
16 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
17
serius, banyaknya jumlah dokter yang menulis resep, dan rute intravena untuk obat injeksi (Rafiei, H., 2012). Selain itu kejadian obat yang merugikan (adverse drug events) sering terjadi di ICU. Penelitian menunjukkan dokter terkadang melakukan kesalahan dalam menulis resep obat. Walaupun ada kesalahan yang tidak beresiko tinggi namun ada juga beberapa kesalahan yang dapat menjadi kejadian obat yang merugikan. Pasien yang berada di ruang ICU lebih rentan terhadap kejadian obat yang merugikan. Penting untuk diingat pasien-pasien dengan kondisi kritis di ICU memiliki pertahanan yang lebih lemah untuk melawan efek obat yang merugikan dibandingkan dengan pasien lain. Pada umumnya pasien di ruang ICU memiliki kemampuan yang terbatas dalam berpartisipasi pada perawatan medis dan secara psikologis tidak mampu mentoleransi mengatasi cidera tambahan (Nirmeen A. Sabry et al. 2009) Identifikasi masalah terkait obat pada pasien penting tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pelayanan tetapi juga mencegah kemungkinan munculnya penyakit baru pada pasien, mencegah penggunaan obat yang tidak tepat, dan memberikan pelayanan yang lebih murah (Cretikos, M. A., Parr M. J. A. 2003). Lebih baik mencegah terjadinya kemungkinan kejadian yang merugikan karena obat daripada mengatasi komplikasi yang fatal yang timbul akibat kesalahan penggunaan obat. Penelitian menunjukkan peran apoteker di ICU dengan tim multidisiplin tenaga kesehatan lain menurunkan kejadian obat yang merugikan akibat kesalahan peresepan. Penelitian ini menunjukkan intervensi apoteker dalam peresepan menurunkan kejadian obat merugikan sebanyak 66%. Peran apoteker disini meliputi klarifikasi peresepan, informasi obat yang tepat, dan rekomendasi untuk terapi alternatif (ACCP, 2000). Apoteker dapat menurunkan prescribing errors dan memonitor proses penggunaan obat. Apoteker dapat mengidentifikasi penggunaan obat dengan indikasi yang sama dalam satu resep, kemungkinan timbulnya alergi, interaksi obat, dan ketepatan dosis (Sharma, B, et al. 2008). Meskipun banyak bukti sudah menunjukkan pentingnya peran apoteker terhadap pasien di ruang ICU namun kebanyakan rumah sakit belum memaksimalkan peranan apoteker di ruang ICU (ACCP, 2000). Praktek
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
18
kefarmasian di ruang ICU sangat kompleks karena kondisi pasien dan polifarmasi. Oleh karena itu banyak apoteker, terutama yang belum familiar dengan pelayanan di ruang ICU mungkin merasakan kesulitan karena belum adanya SOP dan panduan terstruktur yang dapat membantu apoteker tersebut untuk melakukan pelayanan kefarmasian di ICU. Untuk itu tugas rutin seperti mengidentifikasi masalah terkait obat lebih sulit dilakukan dan terapi obat tidak selalu optimal (Mabasa, H. Vencent, et al., 2011). Apoteker tunggal tidak mungkin dapat mengatasi semua pasien setiap hari. Untuk itu aktifitas pelayanan farmasi memerlukan level yang bervariasi yang melibatkan multipel farmasis dan teknisi terlatih sebagai tim didukung oleh kebijakan
rumah sakit
dan tenaga kesehatan lainnya
(ACCP, 2000).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan a. Pelayanan Kefarmasian di ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. b. Pelayanan kefarmasian yang dapat dilakukan di ICU antara lain distribusi obat dan pengawasan inventori, monitoring terapi obat, manajemen terapi obat, evaluasi penggunaan obat, monitoring dan pelaporan reaksi obat yang merugikan, pelayanan nutrisi penunjang, informasi obat, konsultasi farmakokinetik c. Intervensi Apoteker pada pelayanan di ICU dapat menurunkan kejadian merugikan akibat penggunaan obat dan meningkatkan pengobatan yang rasional pada pasien. 5.2 Saran Perlunya dilakukan pelayanan kefarmasian di ICU pada seluruh Rumah Sakit oleh apoteker agar meningkatkan pengobatan rasional pada pasien. Agar apoteker mau melakukan pelayanan kefarmasian dan meningkatkan pelayanannya maka dapat dilakukan pelatihan-pelatihan dan pembuatan pedoman-pedoman terkait pelayanan kefarmasian di ICU.
19 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
19 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
ACCP. 2000. Position Paper on Critical Care Pharmacy Services. USA: Society of Critical Care medicine and the American College of Clinical Pharmacy.
Cretikos, M. A., Parr M. J. A. 2003. Drug Related Admissions to ICU: The Role of Illicit Drugs and Self Poisoning. Critical Care and Resuscitation 2003; 5: 253-257.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Tim Terapi Gizi Di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan. 2011. Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.02.04/I/1966/11 Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensiva Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
John, J. Lisha, Padmini Devi, Jenny John, Shoba Guido, 2011. Drug Utilization Study of Antimicrobial Agents in Medical Intensive Care Unit of A Tertiary Care Hospital. Vol. 4, Issue 2. India.
Jones, R. M. and Raylene M. R. 2008. Patient Assestment In Pharmacy Parctice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Menteri Kesehatan RI. 2004.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2010a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
20 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
Universitas Indonesia
Menteri Kesehatan RI, 2010b. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 834/MENKES/SK/VII/2010. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Teknis Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit. Jakarta.
Mabasa, H. Vencent, et al., 2011. A Standardized, Structure Approach to Identifying Drug-rRelated Problems in the ICU: FASTHUG-MAIDENS. Pharmacy Practice. CJHP – Vol. 64, No. 5. USA.
Marti, M. C., and N. V. J. Torres. 2001. Pharmaceutical Services In The Intensive Care Unit. EHP-June 2001 Volume 7 No. 2.
Nirmeen A. Sabry et al. 2009. Role of the Pharmacist in Identification of Medication related Problems in the ICU: A Preliminary Screening Study in an Egyptian teaching Hospital. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 3(2): 995-1003, 2009 ISSN 1991-8178
Rafiei, H., 2012. The prevalence of potential drug interactions in Intensive Care Units. Iranian Journal of Critical Care Nursing, Volume 4, Issue 4, Pages: 191 – 196. Iran
Royal Adelaide Hospital. 2012. Royal Adelaide Hospital Intensive Care Unit Medical
Manual
2012
Edition.
21 Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
http://icuadelaide.com.au/.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
23
Lampiran 1. Obat-Obat Kardiovaskuler
Inotrop
Obat Noradrenalin Adrenalin
Dobutamin
Standar Infus 6 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam=µg/menit) 6 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam=µg/menit)
500 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam atau µg/kg/menit)
Dopamin
400 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam atau µg/kg/menit)
Kegunaan Obat lini pertama untuk syok septik Menjaga tekanan darah Resusitasi jantung paru-paru Asma akut Anafilaksis Syok kardiogenik Menjaga tekanan darah Medical pacing Terutama digunakan sebagai vasodilator, dengan efek inotrop yang lemah Biasa digunakan pada shock kardiogenik Sering dikombinasikan dengan noradrenalin Menjaga tekanan darah Tidak lebih baik dibandingkan adrenalin/noradrenalin Dosis untuk pasien pada gagal ginjal tidak digunakan Memiliki efek samping pada kelenjar endokrin Vasodilator, kronotropik (jarang digunakan) Gejala bradikardi Calcium sensitizer Meningkatkan kontraktilitas miokard dan dilatasi pembuluh darah koroner dan sistemik Peran dalam intensive care belum ditentukan
6 mg/100 ml 5% dektrosa (ml/jam = µg/menit) Levosimendan 12,5 mg/250 ml 5% dektrosa Loading dose: 6-12 µg/kg/10 menit Infus: 0,05-0,2 µg/kg/ menit NB: Loading dose dapat menyebabkan hipotensi, dosis dapat dihilangkan/dikurangi Milrinon 10 mg/100 ml 5% dektrosa Syok kardiogenik karena disfungsi Loading dose: 50 µg/kg/20 diastolik menit Hipertensi pulmonary setelah Infus: 0,5 µg/kg/menit* penggantian katup Induksi katekolamin diluar aturan *Dosis standar milrinone pada pasien dengan berat badan 70 kg: Loading dose: 3500 µg = 35 ml lebih dari 20 menit Dosis pemeliharaan: 2100 µg/jam = 20 ml/jam Isoprenalin
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
24
Agen Vasopressor
Obat Metaraminol Efedrin
Standar Infus/Dosis 10 mg/10 ml 5% dektrosa 30 mg/10 ml 5% dektrosa
Vasopresin
20 unit/20 ml 5% dektrosa: 1,8 ml/jam (0,03 u/menit)
Kegunaan Vasokonstriktor short acting Synthetic indirect sympathomimetic Biasa digunakan sebagai anestesi dengan sedikit keuntungan dibandingkan adrenalin Noradrenaline resistant hypotension Bermanfaat digunakan pada kondisi syok septik dan post cardiac bypass pada keadaan catecholamine resistant hypotension
Antihipertensi dan Vasodilator
Obat Gliseril trinitrat
Infus dan dosis 300 mg/100 ml 5% dekstrosa (tidak dalam wadah PVC) 225ml/jam
Natrium Nitroprusid (SNP)
50 mg/250 ml 5% dekstrosa 3-40 ml/jam
ReoPro (abciximab)
Bolus : 0.25 mg/kg IV lebih dari 1 menit, 10 menit sebelum PTCA Infus : 0.125µg/kg /min IV selama 12 jam. (max rate = 10 µg/min)
Phentozolamin
10mg/10 ml 5% dekstrosa
Hidralazin
5-10 mg sebagai bolus 20-40 mg 6-8 per jam
Kegunaan Berguna dalam iskemia jantung Kurang dapat diprediksi kontrol BP dari SNP Tachyphylaxis berkembang dalam waktu 24-48hr akan membutuhkan agen tambahan untuk BP persisten Kontrol cepat krisis hipertensi. Tachyphylaxis dan asidosis metabolik mungkin menyiratkan toksisitas sianida (dosis total>1.5mg/kg/24jam) Hanya digunakan oleh kardiologi Berikatan dengan reseptor platelet glikoprotein iib/iiia, menginhibisi agregasi platelet dan formasi trombus Pada umumnya digunakan dengan PTCA Digunakan bersama aspirin dan heparin Meningkatkan resiko pendarahan dan trombositopenia Blokade α, antihipertensi kerja pendek. Agen jangka pendek hingga menengah IV. Sering digunakan dengan -blocker untuk mengontrolrefleks takikardia Berguna dalam hipertensi renovascular Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
25
Amilodipin
5-10 mg per oral
Captopril
Dimulai dengan dosis rendah 5-6,25 mg naikan hingga 50 mg per oral per 8 jam Sirup: 5 mg/ml Hipertensi akut 5-25 mg sub lingual Dimulai 2,5 mg per hari hingga 10 mg per hari per oral Oral : 10 mg/hari dan meningkat hingga postural hipertensi IV : 1mg./kg./hari
Perindopril
Phenoxybenzamin
Prazosin Metorpolol
Mulai dengan 0,5 mg dan naikkan hingga 5 mg per oral Oral 25-100 mg 2 kali sehari IV : 1-2 mg bolus tiap 2-3 menit hingga 10 mg
Esmolol
Loading dose 0,5 mg/kg Infus : 100 mg/10ml
Clonidin
25 µg bolus dari hingga 150 µg/24jam Oral : 75µg dua kali sehari Naikkan hingga 150-300 µg tiga kali sehari
Dexmedetomidin
400 µg dalam 40 ml Dosis awal 1 µg/kg lebih dari 20 menit Infus 1-5 ml/jam
Ca antagonist kerja lama Perhatian pada pasien gangguan ginjal Pengobatan hipertensi Disfungsi ventrikel kiri Kegagalan ventrikel kiri Diabetes nefropati Perhatian pada penyakit renovascular dan gagal ginjal
Kerja lama, non-kompetitif blocker Preoperative persiapan phaeochromcytoma Hipotensi I diosyncratic dapat terjadi -blocker Agen antihipertensi Potensi Simpatik tinggi Drive: neurogenicBP Semua tingkat hipertensi. Iskemia Jantung Pengendalian refleks takikardia dengan vasodilator Krisis Tiroid Perhatian pada asma Terutama dihilangkan oleh metabolisme hati Ultra-short acting-blocker Berguna sebagai percobaan untuk pasiendengan fungsi LV buruk. tambahan untuk vasodilator setelah operasi jantung Berguna pascaoperasi jantung Perawatan dengan disfungsi hati atau ginjal Rebound hipertensi dengan penggunaan kronis Sedasi, terutama dosis pertama Alpha-2-agonis Selektif Hipertensi akut Bukan oba lini pertama. Dipilihhanya oleh stafmedis senior Sedasi
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
26
Magnesium sulfat
5-10 mmol dosis awal Infus 4-12 mmol/jam Target plasma 1,5-2 mmol/L
Portal hipertensi
Propanolol
Pre eklampsia/eklampsia Phaechromocytoma
Antiaritmia
Obat Amiodaron
Standar Infus/Dosis Akut: 900 mg/250 ml 5%D: Load 100 ml/1 jam (5 mg/kg) Infus 10 ml/jam selama 2448 jam (15 mg/kg/hari IV : 150-300 mg Kronik: 200-400 mg iv/oral/hari
Magnesium
Verapamil Digoxin
5-10 mmol IV bolus disuntikkan secara perlahanlahan Infus 2-5 mmol/jam. 2,4 g MgSo4=10 mmol Mg++ 5-10 mmol IV bolus disuntikkan perlahan-lahan Loading dose: 0,5-1 mg iv Dosis Pemeliharaan: 62,5250 µg iv/hari Setara: 0,6-1 mmol/L
Metoprolol
1-2 mg IV bolus(sampai 10 mg)
Kegunaan AF/flutter atau MAT Monomorfik ventrikel takikardia Umumnya tidak menekan kontraktilitas Kurang proaritmik dibandingkan dengan obat yang lain Menyebabkan ↑QTc tetapi jarang menyebabkan Torsade de pointes Ekskresi pada ginjal minimal, tidak perla melakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gagal ginjal Efek samping jang panjang pada penggunaan jangka pendek Mengganggu penetapan kinetik digoxin Mengganggu tes fungsi tiroid Berfungsi terutama sebagai calcium blocker Untuk kondisi SVT dan Torsade de pointes Konversi AF → SR SVT Mengontrol laju ventrikular pada kondisi AF (merupakan obat lini kedua setelah amiodaron pada kondisi kritis) Obat dengan index terapi sempit terutama pada gagal ginjal dan kelainan metabolik (↓K+, Mg, PO4, alkalosis) Merupakan proaritmik potensial pada kondisi kritis Memiliki efek inotrop yang minimal pada kondisi kritis Berpotensi menyebabkan efek hipokalemia Digunakan pada kondisi high sympathetic drive: neurogenik, Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
27
Oral 25-100 mg 2xsehari
Sotolol
10-80 mg iv bolus disuntikkan secara perlahanlahan (10-15 menit)
Adenosin Lignocain
6-12 mg IV push Larutan 0,4% = 4 mg /ml: 60 ml/jam (4 mg/menit) selama 1-2 jam 45 ml/jam selama 2-4 jam 30 ml/jam selama 2-4 jam
Fiecanaide
1 mg/kg iv disuntikkan secara perlahan-lahan Oral 100 mg 2xsehari (maks 300 mg/hari) 15 mg/kg loading /1 jam 300 mg/hari (setara 40-80 mmol/l)
Fenitoin
hipertensi, hipertiroid Mengontrol refleks takikardia dengan vasoldilator Dimetabolisme di hati Golongan kelas III dan bekerja menghambat reseptor β Supraventrikular Takiaritmia konversi AF/flutter → SR Proaritmik berpotensi rendah Diagnosis / konversi dari SVT Obat lini kedua setelah amiodaron VT yang berulang Tidak lagi digunakan secara rutin untuk mencegah terjadinya VT Resisten VF terhadap defibrilasi Inotrop negatif yang potensial, prokonvulsan SVT takikardia WPW Venrikular disritmia Toksisitas digoxin Trycyclic induced malignant arrythmias
Trombolitik Obat Tenecteplase (TNK)
Alteplase
Alteplase untuk pulmonary
Dosis Dosis tunggal: 1. 0.5 mg/kg lebih dari 10 detik 2. Non glukosa containing line 3. Bersihkan dengan normal salin sebelum dan sesudah Dosis maksimum =50 mg (10,000U) Dosis bolus = 15 mg Infus (1)= 0.75 mg/kg > 30 menit (maks. 50 mg) Infus (2) = 0.5 mg/kg > 60 min (max 35 mg) Infusi terapi heparin 0.9 mg/kg intravena (max 90 mg) 10% sebagai bolus. Selanjutnya diingatkan >60
Protokol Aspirin 150 mg diawal, kemudian tiap hari Enoxaparine 30 mg IV untuk TNK Enoxaparin 1 mg/kg sc (jika fungsi renal normal)
Amat tanda vital dan neurological tiap 30 menit untuk 6 jam pertama setelah infus kemudian per jam untuk tiap 16 jam selanjutnya Jaga TD <180/105 Heparin 5000 U IV pre TNK Infus Heparin : APTT >50-80 detik Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
28
embolus Protokol perdarahan
menit Monitor: APTT PT/INR Fibrinogen level
Berikan tekanan lokal jika memungkinkan Reverse heparin dengan protamine Cryoprecipitate 10 unit + FFP 2 unit Defebrinasi atau pendarahan intrakranial: Asam traneksamat 10 mg/kg selama 20 menit kemudian infus 1 mg/kg/jam
Antiplatelet
Obat Aspirin
Dosis Lazim 75-150 mg
Indikasi/Keterangan Sindrom post akut koroner Kejadian kardiak trombotik lain Post TIA/Stroke
Clopidogrel
75 mg per oral/hari 300 mg oral loading dose pre PTCA (selanjutnya 75 mg/hari) Bolus : 0.25 mg/kg IV lebih dari 1 menit, 10 menit sebelum PTCA Infus : 0.125µg/kg /min IV selama 12 jam. (max rate = 10 µg/min)
Irreversibel modifies platelet ADP reseptor, inhibisi agregasi Pencegahan kejadian vaskular iskemia Hanya digunakan oleh kardiologi Berikatan dengan reseptor platelet glikoprotein iib/iiia, menginhibisi agregasi platelet dan formasi trombus Pada umumnya digunakan dengan PTCA Digunakan bersama aspirin dan heparin Meningkatkan resiko pendarahan dan trombositopenia Hanya digunakan oleh kardiologi Memblock resptor glikoprotein Iib/IIIa reseptor Waktu paruh pendek (1.4-1.8 jam) Untuk angina tidak stabil, non Q wave MI Digunakan bersama heparin dan aspirin Cek jumlah platelet 6 jam setelah bolus, kemudian lakukan tiap hari. Jika <90.000 hubungi kardiologi Pendarahan (1.4%), trombositopenia, demam.
ReoPro (abciximab)
Tirofiban (aggrastat)
Bolus : 0.4 µg/kg/min selama 30 menit Maintenance : 0.1 µg/kg/min selama paling tidak 48 jam NB: dosis diturunkan hingga 50% dengan penyakit insufisiensi ginjal
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
29
Lampiran 2. Obat-Obat saluran pernapasan
Bronkodilator
Obat Salbutamol (MDI) Salbutamol (nebulised)
Ipratropium (MDI)
Infus dan Dosis Dosis lazim 2 hisap per 4 jam Maksimum dosis 10 hisap tiap 15 menit Dosis lazim 5 mg tiap 1-4 jam Maksimum dosis 20 mg tiap jam
Dosis lazim 2 hisap per 6 jam Dosis maksimum 4 hisap per jam sesua dengan kebutuhan Ipratorium Dosis lazim 500 µg per 8 jam nebulised Dosis maksimum 500 µg per jam sesuai kebutuhan Adrenalin Maksimum dosis 1 mg tiap (nebulised) 15 menit Salbutamol 6 mg/100 ml 5% dekstrosa (IV) (ml/jam=µg/min) Infusion = 5-20 µg/min Adrenalin (IV) 6 mg/100 ml 5% dekstrosa (ml/jam=µg/min) Infus 1-20 ug/min Aminofilin 100 mg/100 ml 5 % dekstrosa Infus 2-4 ml/jam (1gm/hari)
Kegunaan Bronkodilator lini pertama Bronkospasm Hiperkalemia
Asma akut Kronik obstruktif pulmonary desease
Penderita bronkospams non responsif. Asma akut Asma akut Belum terbukti dalam terapi untuk asma akut Indeks terapi sempit
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
30
Lampiran 3. Sedativ, Analgetik dan Delirium Obat Propofol
Infus/Dosis 10 mg/ml (neat solution) Pemberian awal 3-5 ml/jam Maksimun 4 mg/kg*/jam (*dihitung berdasarkan berat badan)
Fentanil
100-200 µg IV bolus Infus: 20-200 µg/jam (neat solution)
Morfin dan Midazolam
Morfin 60 mg + midazolam 30 mg per 50 ml 5% dextrosa Laju: 1-10 ml/jam
Morfin
1-5 mg iv, sc bila perlu atau PCA per protokol IV: 2-10 mg bila perlu Oral: 5-20 mg 2-4 kali sehari
Diazepam
Epidural cocktail (APS protokol)
Fentanil 5 µg/ml dan Bupivakain 0,1% atau Ropivakain
Dexmedetomi din
400 µg dalam 40 ml Permulaan 1 µg/kg lebih dari 20 menit Infus 0,2-0,7 µg/kg/jam
Kegunaan Obat sedativ lini pertama yang dikombinasi dengan fentanil Anestesi prosedur minor dimana pengembalian kesadaran yang cepat diperlukan (seperti trakeostomi, CVC) Miokardial depresan / vasodilator Tidak memiliki efek analgetik Analgesik lini pertama Analgesik narkotik medium acting dengan stabilitas hemodinamik relatif Biasa digunakan pada prosedur ICU Obat sedativ lini kedua – pertimbangkan jika dikontraindikasikan dengan propofol atau menyebabkan efek yang merugikan (seperti hipertensi) Memiliki efek yang panjang pada pasein gagal ginjal Analgesik alternatif untuk fentanil Hati-hati pada penderita gagal ginjal Obat lini pertama untuk penderita alkohol akut atau benzodiazepin withdrawal Dosis yang lebih besar mungkin diperlukan pada kondisi delirium tremens Pencegahan kodisi delirium tidak berhubungan dengan kondisi alkoholism atau benzodiazepin withdrawal Standard epidural analgesik regimen Bupivakain dapat digunakan 0,25% Durasi maksimal 4 hari kecuali ada indikasi Dosis tergantung pada usia (APS) Selektif sentral α2-agonis Sedativ short acting/delirium/kondisi withdrawal Hanya digunakan oleh staff medis senior
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
31
Obat yang umumnya digunakan pada kondisi Agitasi/Delirium Haloperidol 0,5-2,5 mg IV bila perlu Mayor tranquilizer lini pertama Dosis maks 10 mg Delirium, agitasi Khususnya pada opioid/ benzodiazepin withdrawal α blocker: dapat menyebabkan hipotensi ↑QTc, ↑kejang, ekstrapiramidal efek Klorpromazin 2,5-5 mg IV bila perlu Obat lini kedua/ketiga untuk delirium Memiliki efek sedativ dan long acting Vasodilator Olanzapin 5-10 mg SL atau oral (2,5-5 Meningkatkan delirium (efek sentral (off-label) mg pada orang tua) kolinergik) Dosis maks 10 mg 2x sehari Memperpanjang QTc Mengurangi kejang Efek ekstrapiramidal Ciprofloksasin dapat mengurangi metabolisme (CYP-1A2) Quetiapin 50-100 mg 2xsehari Memperpanjang QTc (off-label) Mengurangi kejang Flukonazol, eritromisin dapat mengurangi metabolisme (CYP3A4)
Lampiran 4. Relaksan Otot Obat Dosis Suksametonium 100-200 mg atau 1-2 mg/kg
Rokuronium
0,6 mg/kg 1 mg/kg pada RSI
Keterangan Obat lini pertama untuk Rapid Sequence Induction (RSI) Pertimbangkan pra-pengobatan dengan atropin (0,6-1,2 mg) jika bradikardia potensial Dikontraindikasikan pada luka bakar (>3 hari), chronic spinal, penyakit neuromuskular, hiperkalemia, (K+> 5,5) Hati-hati pada penderita kelemahan otot pusat atau perifer Agen non-depolarisasi lini pertama di ICU Onset cepat (60 detik) Obat lini kedua pada RSI = alternatif dari suksamethonium Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
32
Vekuronium
4-10 mg IV bila perlu
Durasi kerja 30-40 menit Agen non-depolarisasi lini kedua di ICU Durasi sama dengan rokuronium Cardiostable, insiden alergi rendah
Lampiran 5. Antikoagulan Obat Warfarin
Heparin (infus) Heparin (subkutan) Enoxaparin
Prostasiklin
Natrium Danaparoid infus
Danaparoid sub kutan Lepirudin
Infus/dosis Variable dose setara dengan INR harian NB. Ini hanya digunakan sebagai panduan, dan dikembangkan bukan untuk pasien kritis, yang farmakodinamik kemungkinan berbeda secara signifikan dari populasi pasien di ruang ICU 25000 u/50 ml=500u/ml 5000 u subkutan dua kali sehari <70 kg 5000 u sub kutan tiap 8 jam >70 kg resiko tinggi DVT Propilaksis: 40 mg subkutan perhari 20 mg subkutan perhari jika kreatinin klirens < 30 ml/min Perawatan 1 mg/kg subkutan 2x sehari 1 mg/kg subkutan 1x sehari jika kreatinin klirens < 30ml/min Dosis: 0.2-0.6 µg/kg/jam 500 µg (+ pelarut 10 ml): tambahkan hingga 40 ml normal salin=10µg/ml larutan Mulai pada 2 ml/jam dan monitor jumlah platelet Mungkin dapat enyebabka hipotensi IV loading dose <60 kg 1500 U 60-75 kg 2250 U 75-90 kg 3000 U >90 kg 3750 U Infus : 2250 U dari danaparoid dalam 250 ml 5% dekstrosa : 44 ml/jam (400 U/jam) x 4 jam 33 ml/jam (300 U/jam) x 4 jam 22 ml/jam (200 U/jam) 750 U 8-12 per jam Keterangan di bawah
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
33
Tabel 5.1 Protokol infus heparin Berat (kg) 45-55 56-65 66-75 Bolus (U) 3,500 4,200 4,900 Infus (U/jam) 900 1,100 1,250 Pengaturan Infus APTT IV bolus Hentikan infus < 37 5,000 unit 38-64 111-130 131-140 141-150 >150
76-85 5,600 1,400
86-95 6,300 1,600
Rate change ↑ ↑ Tidak ada perubahan ↓ 50 U/jam ↓ 100 U/jam ↓ 150 U/jam ↓ 200 U/jam
>95 7,000 1,800 Ulangi APTT 6 jam 6jam Perhari 6 jam 6 jam 6 jam 2 jam
30 menit 60 menit 120min/ APTT<150 Ket : APTT = activated partial tromboplastin time
Infusion 25,000 unit dalam 50 ml syringe = 500 U/ml Periksa dahulu APTT 6 jam setelah dosis bolus
Tabel 5.2 Lepirudin Infusion protocol Kreatinin klirens (ml/min)
Dosis bolus
> 60
0.4 mg/kg (max.44mg) 0.2 mg/kg
45-60 30-44 15-29 < 15 CVVHDF
None
Maintanance infus ml/kg/jam 0.1 (max 11 mg/jam 0.05 0.025 0.01 0.005 0.01
% dosis asli 100% 50 % 25 % 10 % 5% 10
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
34
Lampiran 6. Obat-Obat Endokrin
Flowchart : manajemen glukosa darah di ICU
Tabel protokol infus insulin BGL mmol/L > 15 10.1-14.9 8-10
Bolus Unit IV 2 1 0
5-7.9
0
3.5-49 < 3.5
0 Call MO
Infus awal Infus berikutnya Unit/jam Unit/jam 2 Naikan 1 1 Naikan 1 0 Jika BGL menurun lanjutkan tetesan. Jika tetap atau meningkat 0.5 0 Lanjutkan tetesan jika BGL menurun selama 2 jam turunkan hingga 0.5 0 Hentikan 0 Hentikan
Ulangi BGL Jam 1 1 1
1 (2/jam jika BGL stabil selama 6 jam) 1 1
Tabel : Dosis Steroid / Potensi Relatif Obat Hidrokortison Prednison Metilprednisolon Deksametason Kortison asetat Fluokortison
Dosis ekivalen (mg) 100 25 20 4 125 1
Aktifitas glukokortikoid 1 4 4 30 0.8 10
Aktifitas mineralokortikoid 1 0.3 0 0 0.8 250
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
35
Diuretik
Obat Furosemid
Infus/dosis 40-250 mg/hari IV/oral
Asetazolamid
250-500 mg IV tiga kali sehari
Spironolakton
25-100 mg oral dua kali sehari
Mannitol
20 % larutan/200 mg/ml Dosis 100 ml bila perlu (20 g) 0.5 g/kg terlalu banyak
Penggunaan Lini pertama, diuretik kuat Dosis mungkin meningkat pada diuretik dependence ↓ K+, Mg, PO4,dapat terjadi alkalosis metabolik Inhibitor karbonik anhidrat Diuresis alkali dengan eskresi HCO3Digunakan pada alkalosis metabolik setelah koreksi dari hypovolemia: ↓ K+, Mg2+, PO42Alkolis pasca hipercapnic Diuretik hemat kalium Sering diberikan diuretik tiazid Diindikasikan sebagai bagian dari perawatan kronik untuk kegagalan ventrikel kiri Digunakan pada LVF akut Mungkin digunakan pada pasien dengan asites, Pemberian secara hati-hati pada pasien dengan kegagalan fungsi ginjal Diuretik osmotik kuat Dapat menyebabkan – hipervolemia - hipovolemia - hiperosmolal - osmolal gap Pertahankan nilai osmolaritas < 300 mosmol/L Sedikit berperan dalam penyebab hipertension intrakarnial yang mengancam jiwa Sedikit berperan dalam rabdomiolisis, reaksi transfusi, mioglobinuria untuk proteksi ginjal
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
36
Lampiran 7. Obat Gastrointestinal Obat Dosis Metoklopramid 10 mg IV 6 jam, bila perlu
Eritromisin
100-200 mg IV 2x sehari
Droperidol
0,625 mg IV bila perlu
Tropisetron
2 mg IV/oral per hari
Ondansetron Ranitidin
4 mg IV bila perlu/12 jam 50 mg 8 jam IV 150-300 mg /hari per oral
Pantoprazol
Akut: 40 mg IV 2x atau 3x sehari Pemeliharaan: 40 mg/hari
Octreotide
Bolus: 50 µg Varises: 50 µg/jam Fistula: 100-200 µg sc 8 jam
Kegunaan Muntah terus menerus, mual Large gastric aspirates (kombinasi dengan eritromisin) Large gastric aspirates (kombinasi dengan metoklopramid) Antiemetik yang efektif dan potensial Efek samping minimal Digunakan bila efek samping antikolinergik dihindari Antiemetik lini kedua Profilaksis ulkus Ulkus peptikum Tidak dapat mencegah pendarahan akut berulang Dosis dikurangi pada pasien gagal ginjal Obat lini pertama untuk ulkus peptikum Ulkus peptikum refraktori, ulkus esofagus Sindrom zollinger-ellison Pendarahan saluran cerna atas Pendarahan varises (seefektif skleroterapi) Enteric, pancreatic fistula Overdosis sulfonilurea Diare sekretorik berat seperti setelah kemoterapi
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
37
Lampiran 8. Antibiotik
Jadwal Pemberian Vankomisin
Fungsi Ginjal
Jadwal Pemberian Dosis Vankomisin CrCl CrCl > 60 ml/menit > 20-60 ml/menit
Dosis Awal
Loading dose IV Laju infus
Vancomisin Level <15 mg/L*
Level harian hingga stabil
↑ Dosis 0,5 g/hari 15-20 mg/L ↑ Dosis 500 ↑ Dosis 250 mg/hari mg/hari Target Level = 20-25 mg/L → Dilanjutkan dengan laju infus terakhir >30 mg/L Pertahankan Pertahankan hingga 12 jam hingga 12 jam Cek kembali Cek kembali level level *Pada pasien dengan kondisi kritis dengan level rendah, pertimbangkan untuk pemberian bolus lanjut dengan dosis 0,5-1 g untuk meningkatkan laju
Dosis Infus Penyesuaian
CrCl < 20 ml/menit CRRT 25 mg/kg (maks 2 g) | infus lambat (1/24) Pada semua pasien 2-4 g/24 jam 1 g/24 jam Tidak diindikasikan
↑ Dosis 1 g/hari*
Tidak diindikasikan
Jadwal Infus Antibiotik
Antibiotik
IV Loading pada semua pasien
Vankomisin2 Penisilin G Amoksisilin Flukloksasilin Piperasilin Tazosin Seftriakson Seftazidim Meropenem
1-2 g 1,2-1,8 g 1-2 g 1-2 g 4g 4,5 g 1g 1-2 g 1-2 g
Waktu Maks. untuk mencapai stabilitas (jam) 24 12 6 24 24 24 24 24 8
1
Dosis infus standar ∞ Fungsi Ginjal CrCl >60 CrCl ~ CrCl CRRT ml/menit 20-60 <20 ml/menit ml/meni t 1-4 g/hari ~ per level Tidak Diindikasikan 4,8-14,4 g 4,8-9,6 g 2,4 g 4,8-9,6 g 4-12 g 4-6 g 2g 4-12 g 4-12 g 4g 4-12 g 12-16 g 8g 12-16 g 13,5 g 9g 13,5 g 1-4 g 3-6 g 2-4 g 1-2 g 2-4 g 3-6 g 1-2 g 0,5 g 2g
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
38
1
Pemberian infus 24 jam Dosis dalam 100 ml (N.Saline | 5% Dext.) @4 ml/jam standar 12 jam (Dosis/2) dalam 100 ml (N.Saline | 5% Dext.) @8 ml/jam (per waktu maks 8 jam (Dosis/3) dalam 100 ml (N.Saline | 5% Dext.) @12 ml/jam untuk mencapai 6 jam (Dosis/4) dalam 100 ml (N.Saline | 5% Dext.) @16 ml/jam stabilitas) 2 Vankomisin harus diencerkan bila diberikan melalui perifer. Loading dose selama 60 menit atau 10 mg/menit *NB: Tambahkan larutan konstitusi ke dalam kantung 100 ml, setelah sebelumnya mengurangi sejumlah volume larutan sehingga jumlah larutan dalam kantung adalah 100 ml, kemudian berikan sebanyak yang dibutuhkan.
Tabel peri-operatif Profilaksis Antibiotik
Spesialis Ortopedik
Prosedur Kasus elektif Luka traumatik Fraktur tulang + kerusakan jaringan + myonekrosis + cedera vaskular
Bedah abdominal
kolorektal
Bedah empedu
Bedah vaskular
Kasus elektif + cedera usus + myonekrosis atau cedera vaskular Amputasi
Antibiotik Sefazolin 1 g IV 8 jam x 3 dosis Sefazolin 1 g IV 8 jam x 2 hari Sefazolin 1 g 8jam x 2 hari + gentamisin 5 mg/kg IV perhari x 2 hari + benzyl penisilin 3 g IV, 1.2 g/IV 6 jam x 2 hari sefazolin 1 gm ± gentamisin 3 mg/kg + metronidazol 500 mg IV dosis tunggal Gentamisin 3 mg/kg x i dosis, atau sefazolin 1 g x 1 dosis Sefazolin 1 g IV 8 jam x 3 dosis + gentamisin 5 mg/kg LBW IV perhari x 2 hari + mentronidazol 500 mg IV per 2 hari x 2 hari Sefazolin 1 g IV 8 jam x 3 dosis + metronidazol 500 mg IV sehari dua kali x 2 hari + benzil penisilin 3 g IV, 1.2 g IV 6 jam x 2
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
39
hari Sefazolin 1 g IV 8 jam x 3 dosis + metronidazol 500 mg IV dua hari sekali x 2 dosis Hanya jika ada tanda meningitis sefazolin 1 g IV pada induksi Sefazolin 1 g IV 8 jam x 3 dosis + metronidazol 500 mg IV dua kali sehari 2 dosis
Kebocoran CSF
Bedah saraf
kraniotomi Kraniofasialdenganpemutusannasalatau oralmukosa
Kepala, leher, dada
Antibiotik Empiris
Infeksi Pneumonia
Aspiration
Exacerbation of COPD Epiglottitis Meningitis/ encephalitis Infeksi Saluran Kemih
Tipe/Keterangan Diperoleh dari komunitas Imunokompeten Dalam ICU/HDU (contohnya kegagalan pernapasan) Diperlukan ventilator Diperoleh dari rumah sakit
Antibiotik Azitromicin 500 mg IV per hari, plus *Ceftiakson 1 IV per hari Bila terapi gagal dapat dipertimbangkan Moksifloksasin 400 mg IV per hari ± Flukloksasilin 1 g 6 jam (jika dicurigai ada infeksi S. aureus Tazocin 4,5 g IV 8 jam atau 13,5 g/hari + Gentamisin 5 mg/kg IV perhari Vankomisin 1 g 2x sehari IV Lihat tabel vankomisin Tidak diperlukan antibiotik bila tidak terbukti ada infeksi Benzilpenisilin 1,2 g IV 6 jam, plus Terbukti ada infeksi metronidazol 500 mg IV 12 jam Tidak ada tanda-tanda Diterapi seperti terapi pneumonia yang klinis pneumonia diperoleh dari komunitas Biasanya H. influenza Seftriakson 1 g IV per hari Diduga bakteri Seftriakson 2 g IV tiap 12 jam + Penisilin 1,8 g- 2,4 g IV 4 jam Biasanya meningococcus, Deksametason 10 mg IV sebelum atau pneumococcus atau pada pemberian dosis pertama H. influenzae antibiotik kemudian tiap 6 jam selama 4 hari Bukan infeksi bakteri Asiklovir 10 mg/kg IV 8 jam Tanpa sepsis sistemik Tidak ada terapi pengobatan pada pasien dengan Cabut/ganti kateter kateter Dengan sepsis sistemik Amoksisilin 2 g IV 6 jam + gentamisin
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
40
Faecal peritonitis Perforated viscus Intra-abdominal sepsis
Pankreatitis
Biliary sepsis
Intra-abdominal sepsis berulang atau gagal dengan resep di atas Tidak bukti nekrosis dengan CT Ada nekrosis berdasarkan CT Kolesistitis akut Ascending cholangitis Operasi saluran empedu sebelumnnya atau obstruksi empedu Septicaemia sekunder hingga PID
Gynae sepsis Dicurigai ada infeksi S.aureus Diperoleh dari komunitas Suspected Bacterial Endocarditis
Fungal Septicaemia
5 mg/kg IV per hari atau Seftriakson 1 gm IV tiap hari jika tidak dapat mentoleransi gentamisin Amoksisilin 2 gm IV 6 jam + gentamisin 5 mg/kg IV setiap hari + Metronidazol 500 mg IV 2xsehari x 7 hari Konsultasikan dengan ahli mikrobiologi klinis Tidak diterapi dengan antibiotik Tazosin 4,5 g IV 8 jam Amoksisilin 1 g IV 6 jam + Gentamisin 5 mg/kg/hari IV x 7 hari Amoksisilin 2 gm IV 6 jam +Gentamisin 5 mg/kg/hari IV Ditambah metronidazol 500 mg 2x sehari x 7 hari Amoksisilin 2 g IV 6 jam + Gentamisin 5 mg/kg IV per hari + Metronidazol 500 mg IV 2x sehari x 5 hari Linkomisin 1,2 g IV 2x sehari +Gentamisin 1 mg/kg IV tiap hari x 7 hari Benzilpenisilin 1,8 g IV 4 jam + Gentamisin 1 mg/kg IV 3x sehari ± Flukloksasilin 2 g IV 4x sehari Vankomisin 1 g IV 2x sehari + Gentamisin 1 mg/kg IV 3x sehari
Diperoleh dari rumah sakit Prosthetic valve, atau Alergi penisilin 3 set kultur darah dan diperiksa setelah 48 jam Atur pre-dosis gentamisin <1 mg/L untuk mencegah toksisitas Diduga kandidiasis Amfoterasin 0,5-1 mg/kg/hari atau Flukonazol 400 mg IV tiap hari (pada pasien non-neutropaenic) Diduga Aspergilosis Vorikonazol IV/oral 6 mg/kg 2xsehari selama 24 jam, kemudian 4 mg/kg 2x sehari atau Caspofungin 70 mg IV per hari selama 24 jam, selanjutnya 50 mg tiaphari 1. Konsultasikan bila terbukti ada infeksi fungi
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
41
2. Hilangkan semua sumber infeksi yang potensial 3. Monitor fungsi ginjal/hati selama terapi menggunakan antifungi 4. Sesuaikan dosis amfoterasin pada pasien insufisiensi ginjal atau dapat diganti dengan flukonazol 5. Monitor respon klinis dan toksisitas pada pemberian vorikonazol 6. Vorikonazol melalui IV dikontraindikasikan pada pasien dengan CrCl <30 ml/menit karena dapat terakumulasi. Luka bakar Tidak diberikan antibiotik sebelum dibuktikan ada infeksi bakteri Luka infeksi + tanda-tanda Benzilpenisilin 1,8 g IV 44 jam sepsis sistemik + Flukloksasilin 1-2 g IV 6 jam atau Cefazolin 1 g IV 8 jam Sinergistic gangrene Meropenem plus Necrotising fascitis Linkomisin 600 mg IV tiap 8 Infeksi kutaneus Operasi ± oksigen hiperbarik jam atau Klindamisin 600 mg IV tiap 8 jam Perhatikan pemberian IV-lg total dosis 2 g/kg (3 hari) Infeksi oral berat Penisilin 1,2 g IV tiap 4-6 + Metronidazol 500 mg IV 2xsehari Pasien yang diduga sepsis Lakukan kultur darah Tidak diperlukan antibiotik Line sepsis Pasien dengan indikasi sepsis Vankomisin 1 g IV 2xsehari sampai hasil kultur darah Prosthetic valve/arterial graft tersedia Pasien beresiko tinggi
Antibiotik Untuk Organisme Spesifik
Organisme Pneumococcus Staphylococcus aureus Meningokokus Meningokokus kontak MRSA enterokokus Gp. A streptokokus dengan syok
Pilihan pertama Pilihan kedua Benzil penisilin 1.2 g IV 4-6 jam Seftriakson 1 IV perhari Fluklosaksilin 2 gm IV 6 jam Vankomisin 1 gm IV 2x sehari atau sefazolin 1-2 g IV 8 jam Benzil penisilin 1.2 g IV 4-6 jam Seftriakson 1 g IV perhari Siprofloksasin 500 mg po x 1 Rifampisin 600 mg per oral dua dosis kali sehari x 2 hari Vankomisin1g IV dua kali sehari Amoksisilin 1-2 g IV 6 jam Vankomisin 1 g IV per hari Benzilpenisilin 1.8 g tiap 4 jam IV + linkomisin 1.2 g IV 2x sehari + intragam 2.0 g/kg total dosis (3 hari) Seftriakson 1 g IV per hari Amoksisilin 1-2 g IV 6 jam
Haemofilus influenza Haemofilus Rifampisin 600 mg oral 2x influenza kontak sehari x 4 hari
Seftriakson 1 g IM per hari x 2 dosis
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
42
E. Coli Enterobacter Klebsiella Pseudomonas aeruginosa
Gentamisin 5 mg/kg IV perhari Gentamisin 5 mg/kg IV perhari Gentamisin 5 mg/kg IV perhari Piperasilin 4 g IV per 8 jam + gentamisin 5-7 mg/kg IV per hari
Legionella spp.
Moksifloksasin 400 mg IV perhari Eritromisin 1 g IV 6 jam
Mikoplasma pneumoniae Pneumositis jurovecii
Clostridium diffisil 1. Mild/moderate 2. Severe/relapse post Rx Infeksi Klostridial ( infeksi polimikrobial )
Kotrimoksazol 15-20 ml IV 6 jam + metilprednisolon 40 mg dua kali sehari x 6 jam Metilprednisolon 40 mg sehari x 5 hari Metilprednisolon 40 mg sehari x 5 hari Metilprednisolon 20 mg sehari x 1 kali sehari 1. Metronidazol 400 mg oral tiga kali sehari atau 500 mg IV jika 2. Sama dengan no 1 Benzil penisilin 1.8 IV tiap 4 jam + gentamisin 5 mg /kg IV tiap hari + metronidazol 500 mg IV dua kali sehari
Seftriakson 1 g IV perhari Meropenem 500 mg IV 8 jam Seftriakson 1 g IV per hari Pilih berdasarkan hasil sensitivitas: Septazidim 2 g IV 8 jam atau tazocin 4.5 g IV tiap 8 jam Plus Gentamisin 5-7 mg/kg IV perhari atau siprofloksasin 400 mg IV per hari Azitromisin 500 mg IV perhari
Pentamidin isethionat 4 mg /kg/hari IV + metil prednisolon 40 mg tiap 6 jam x 7 hari
Pilihan terapi: Basitrasin 25,000 U per 6 jam 710 hari Atau vankomisin 125 mg per oral tiap 6 jam 7-10 hari Linkomisin 600 mg IV tiap 8 jam + gentamisin 5 mgkg IV per hari
Lampiran 9. Cairan Elektrolit Tabel Kebutuhan Cairan Elektrolit Air Kalori
30-40 ml/kg/hari 25-30 kcal/kg/hari
protein
0.5-2.0 g/kg/hari
1. Glukosa : 2g/kg/hari @ 4.1 kcal/g 2. Lemak : 2g/kg/hari @ 9 kcal/g 1. 2-5 esensial : total asam amino 2. 150:1kcal:g N2 (non nitrogen
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013
43
kcal) Natrium Potasium Fosfat Vitamin
Cairan pengganti
1.0 mmol/kg/hari 1.0 mmol/kg/hari 0.2 mmol/kg/hari Vitamin B perhari B12, folat, A, D,E,K, perminggu 1. Urin 2. Nasogastrik 3. pankreatik
Tergantung fungsi ginjal Tergantung fungsi ginjal Sebagaimana dibutuhkan
1. ½ normal salin ± KCL 10 ml/L 2. ½ normal salin ± KCL 10 ml/L 3. Larutan Hartmann’s
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Edi Kurniawan, FF, 2013