UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R (68 TAHUN) DENGAN MASALAH INSOMNIA DI WISMA ASOKA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 01 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
RIRIN SEPTIANI 0906493400
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R (68 TAHUN) DENGAN MASALAH INSOMNIA DI WISMA ASOKA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 01 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
RIRIN SEPTIANI 0906493400
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SPROFESI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah Jalla Zalalun atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi tugas Mata Ajar karya ilmiah akhir pada Program Studi Profesi Ners Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini: 1.
Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan;
2.
Ibu Yossie Susanti Eka Putri S.Kp., M.N selaku dosen pembimbing dalam penyelesaian penulisan Karya Ilmiah AKhir Ners ini;
3.
Bapak Ns. Budhi Mulyadi, M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku dewan penguji pada saat siding Karya Ilmiah Akhir Ners ini;
4.
Ayah dan ibunda tercinta, H. Busman dan Hj. Ayunibah yang telah memberikan motivasi dan semangatnya tiada henti dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini;
5.
Perawat dan petugas di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung atas bimbingannya selama kegiatan praktik di panti;
6.
Teman seperbimbingan saya, Ririn Septiani, Purwanti, Hestiani dan Meiry yang selalu saling menyemangati untuk menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini;
7.
Sivitas Akademika FIK UI yang telah memberikan dorongan secara moril kepada saya dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir Ners ini;
iv
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Akhir kata, semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini. Saya menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan pada skripsi ini, sehingga saya menerima segala bentuk saran dalam perjalanan skripsi saya selanjutnya. Depok, Juli 2014
Penulis
v
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
ABSTRAK Nama Program Studi Judul Skripsi
: Ririn Septiani : Ilmu Keperawatan : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Nenek R dengan Masalah Insomnia Di Wisma Asoka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung
Kawasan perkotaan merupakan kawasan yang padat lingkungannya. Hal tersebut tentunya berdampak pada masayarakat perkotaan yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah lansia. Masalah yang paling sering dikeluhkan lansia adalah insomnia. Insomnia adalah keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan oleh sulit memasuki tidur, sering terbangun malam kemudian mengalami kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi dan tidur yang tidak nyenyak. Penatalaksanaan insomnia dapat dilakukan melalui terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Intervensi yang ditetapkan pada karya ilmiah ini adalah terapi non farmakologi yang meliputi sleep restriction, sleep restriction, teknik relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi progressif), teknik massase dan pemberian aromaterapi. Kata kunci: insomnia, usia lanjut, terapi non farmakologi sleep restriction, sleep restriction, teknik relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi progressif), teknik massase dan pemberian aromaterapi. ABSTRACT Name Study Program Title
: Ririn Septiani : Ners : Analysis of Urban Health Nursing Clinical Practice for Mrs. R (68 Years Old) With Insomnia Problem in PSTW Budi Mulia 0 Cipayung
Region is an area of dense urban environment. It is certainly an impact on urban communities in it. One is the elderly. The most common problems are the elderly complained of insomnia. Insomnia is a complaint about the lack of quality sleep caused by difficult enter sleep, frequent night awakenings and then have difficulty returning to sleep, waking up too early and sleep soundly. The management of insomnia can be done through pharmacological therapy and non-pharmacological therapy. Interventions are defined in this paper is a non-pharmacological therapies include sleep restriction, sleep restriction, relaxation techniques (deep breathing relaxation and progressive relaxation), and the provision of technical massase aromatherapy Keyword: insomnia, elderly, non-pharmacological sleep restriction therapy, sleep restriction, relaxation techniques (deep breathing relaxation and progressive relaxation), and the provision of technical massase aromatherapy. vii
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI………………………………….. vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 7 2.1. Tidur ................................................................................................ 7 2.1.2 .Perubahan Pola Tidur Lansia ...................................................... 10 2.2. Insomnia ...........................................................................................12 2.2.1 Klasifikasi Insomnia……………………………………………..13 2.2.2 Penatalaksanaan Insomnia ........................................................... 15 2.2.2.1 Terapi Non Farmakologi……………………………………… 15 2.2.2.2 Terapi Farmakologi…………………………………………... 19 BAB 3 Laporan Kasus Keloaan Utama .......................................................... 32 3.1. Pengkajian ........................................................................................ 32 3.1.1 Identitas Residen ............................................................................ 32 3.1.2 Riwayat Kesehatan Residen ........................................................... 33 3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari Residen ...................................................... 33 3.1.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang.................................................. 34 3.2 Analisa Data ...................................................................................... 36 3.3 Diagnosa Keperawatan...................................................................... 38 3.4 Rencana Keperawatan ....................................................................... 38 3.5 Implementasi ..................................................................................... 41 3.5.1 Implementasi Insomnia .................................................................. 41 3.5.2 Implementasi Resiko Jatuh ........................................................... 45 3.5.3 Implementasi Defisit Perawatan Diri ............................................ 45 BAB 4. ANALISIS SITUASI............................................................................ 48 4.1. Analisis Profil Pelayanan Sasana Tresna Werdha .......................... 48 4.2. Analisis Asuhan Keperawatan Insomnia dengan Penatalaksanaan Insomnia ................................................................................................. 50 4.3 Analisis Intervensi Penatalaksanaan Insomnia dengan Konsep dan Penelitian Terkait………………………………………………………..54 4.4. Alternative Intervensi Lain .............................................................. 55 viii
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan …………………………………………………………. .………..57 5.2 Saran ................................................................................................................58 LAMPIRAN DAFTAR REFERENSI
ix
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
Lansia merupakan istilah bagi seseorang individu yang telah memasuki periode masa tua. Proses menua merupakan proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berkaitan satu sama lain. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup tidak hanya dimulai ada periode waktu tertentu akan tetapi dimulai sejak proses kehidupan manusi (Nugroho, 2006). Seiring dengan proses menua tersebut akan terjadi perubahan kebutuhan pada lansia. Salah satu perubahan kebutuhan yang terjadi adalah kebutuhan tidur. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Luce dan Segal dalam Nugroho (2000) yang mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor yang terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur lansia. Gangguan tidur merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada kelompok lanjut usia. Sebagian besar lansia beresiko mengalami gangguan tidur akibat berbagai faktor. Proses patologis terkait usia dapat menyebabkan ganggua pola tidur. Gangguan tidur sering menyerang sekitar 50% individu yang berusia 65 tahun atau lebih dan yang tinggal dirumah. Dan sebanyak 66% indiidu yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang (Stanley and Beare, 2006). Established Population for Epidemiologic Studies of the Elderly ((EPESE) juga mencatat dari 9000 responden sekitar 29% berusia di atas 65 tahun dengan keluhan gangguan tidur (Marcell, 2009). Selama penuaan pola tidur mengalami perubahan dibandingkan dengan kelompok usia muda. Perubahan-perubahan tersebut meliputi kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, peningkatan jumlah tidur siang dan jumlah waktu yang dihasilkan untuk tidur lebih dalam juga menurun (Stanley and Beare, 2006). Memasuki usia 60 tahun kebutuhan tidur lansia sekitar enam setengah jam sedangkan pada usia 80 tahun kebutuhan tidur pada lansia sekitar enma jam (Prayitno, 2002). Kebanyakan lansia mengalami perubahan pada kualitas tidur ,terdapat penurunan yang progresif pada
1
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
tahap tidur NREM 3 dan 4 beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang dalam (Reynolds dalam Potter and Perry 2005) Salah satu gangguan tidur yang paling sering dijumpai oleh lansia adalah insomnia. Insomnia
merupakan
salah
satu
gangguan
utama
dalam
memulai
dan
mempertahankan tidur pada lansia. Insomnia adalah suatu keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan oleh sulit memasuki tidur, sering terbangun malam kemudian mengalami kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi dan tidur yang tidak nyenyak (Stanley and Beare, 2006). Insomnia merupakan suatu keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat baik kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang hanya sebentar atau susah tidur (Hidayat 2006). Penyebab insomnia yang paling utama adalah adanya permasalahan emosional, kognitif dan fisiologis (Espie 2002). Berbeda halnya yang diungkapkan oleh Ernawati dan Agus (2009) dalam penelitiannnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan insomnia pada lansia di Kabupaten Sukaharjo pada tahun 2009 didapatkan bahwa faktor kecemasan dan gaya hidup merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian insomnia pada lansia. Riset Internasional yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2014 terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238.452 juta jiwa penduduk Indonesia sebanyak
28.35 juta jiwa (11,7%) mengalami insomnia.
National Institute of Health (1990) juga menyatakan bahwa gangguan tidur menyerang 505 orang yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah da 66% orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Frost (2001) yang menyatakan bahwa prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sumedi dkk 2010) di Panti Wredha Dewanata Cilacap pada tahun 2009 diperoleh data bahwa 20 orang dari 90 orang jumlah lansia yang ada mengalami insomnia. Hal ini menunjukan bahwa 22.2% lansia di Panti Wredha Cilacap mengalami insomnia. Beberapa data diatas cukup menggambarkan kejadian insomnia pada lansia di Indonesia. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
3
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu atau terus menerus, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Anderson, 2007). Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Masyarakat urban adalah massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat urban setiap tahun meningkat adalah Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah, sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap, banyak lapangan pekerjaan di kota. Proporsi yang tidak seimbang antar lahan perkotaan dengan tingkat urban yang tinggi menyebabkan overpopulasi
yang kemudian mampu menimbulkan masalah lain seperti tingkat
pencemaran (udara, air, suara) meningkat sampai status kesehatan perkotaan yang menurun (Allender, 2010). Salah satu dampak yang paling terlihat akibat masalah perkotaan adalah status kesehatan perkotaan menurun. Lansia yang merupakan bagian didalam masyarakat perkotaan tentunya akan terkena dampak dari masalah perkotaan. Menurut data yang dilaporkan oleh Susenas tahun 2012 didapatkan bahwa angka kesakitan pada tahun 2012 adalah 26,93%. Mengingat juga bahwa persentase lansia yang tinggal diperkotaan juga cukup banyak yaiu 7,49% (Susenas, 2012) Panti werdha adalah suatu lembaga pelayanan yang didirikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri (Kemensos, 2012). Panti werdha merupakan salah satu panti yang didirikan oleh Pemerintah dalam naungan Departemen Sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan lansia dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Salah satu panti werdha yang ada di Jakarta adalah panti sosial werdha Budi Muli 01 Cipayung Jakarta Timur. Terdapat tujuh wisma dan data tahun 2014 terdapat 210 lansia pada panti tersebut. Salah satu lansia yang tinggal di panti tersebut adalah nenek R (68 tahun).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
4
Nenek R (68 tahun) sudah tinggal di panti sosial tersebut selama enam tahun. Dahulu nenek R bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Nenek R mengatakan sering terbangun di malam hari dan sulit kembali tidur jika sudah terbangun. Nenek R sering mengeluhkan gerah di malam hari karena jarak kipas angin yang jauh dari tempat tidur nenek R. Selain itu , nenek R mengatakan banyak lansia yang sudah bangun pukul 03.00 pagi sehingga setelah pukul 03.00 pagi nenek R tidak bisa tidur lagi. Ketika diobservasi terdapat kantung mata, mata cekung pada nenek R dan nenek R terlihat lemas. Pola tidur nenek R ketika malam biasa nya nenek R tidur jam 21.00 dan sering terbangun di malam hari pada pukul 01.00.
Nenek R mengeluhkan sering mengalami pusing dan sering kepikirin tentang keluarganya. Nenek R ingin sekali pulang ke tempat asalnya. Akan tetapi, nenek R sudah tidak mengetahui lagi keberaadaan keluarganya. Dalam kesehariannya nenek R jarang melakukan aktifitas diluar , hampir sebagian aktifitas nenek R dilakukan di dalam wisma. Nenek R jarang terlihat berinteraksi dengan lansia. Nenek R tidak menggunakan alat bantu dalam berjalan akan tetapi nenek R mengalami perubahan gaya berjalan. Nenek R sering menyeret kakinya ketika berjalan. Dalam mengatasi masalah insomnia yang dimiliki oleh nenek R telah dilakukan intervensi relaksasi otot progressif , tarik nafas dalam, massase kepala dan punggung, pemberian aromaterhapy, menganjurkan minum susu hangat dimalam hari.
1.1 Perumusan Masalah Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat berbagai macam faktor, salah satunya proses patologis terkait usia yang mempengaruhi perubahan pola tdur pada lansia. Salah satu gangguan tidur yang sering dialami oleh lansia adalah insomnia. Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya. Berbagai macam dampak serius dari adanya gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan antensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
5
kualitas hidup (Marcell, 2009). Angka kejadian insomnia yang terus meningkat dan dampak yang ditimbulkan serius sehingga masalah insomnia perlu ditanggulangi dengan segara. Salah satu kejadian insomnia terdapat pada kasus nenek R yang tinggal di panti wredha Budi Mulia 01 Cipayung. Perawat atau tenaga kesehatan yang berperan sebagai pemberian asuhan keperawatan pada lansia mempunyai peran dalam memberikan edukasi serta pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup lansia. Oleh karena itu, karya ilmiah in dibuat bertujuan untuk menganalisis intervensi yang digunakan dalam mengatasi insomnia khususnya pada nenek R
1.2 Tujuan a. Tujuan Umum Menganalisis Asuhan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Nenek R dengan masalah insomnia selama tujuh minggu di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung.
b. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah: 1. Menggambarkan profil pelayanan lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Mulia 1 Cipayung. 2. Menggambarkan pengaruh intervensi relaksasi otot progresif, tarik nafas dalam dan massase pada nenek R dengan masalah insomnia di wisma Asoka PSTW Budi Mulia 01 3. Menggambarkan hasil pengkajian pada Nenek R dengan masalah insomnia di wisma Asoka PSTW Budi Mulia 1 Cipayung. 4. Menggambarkan rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia dengan masalah insomnia 5. Menggambarkan implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang mengalami masalah kerusakan memori 6. Menggambarkan evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
6
1.3 Manfaat Penelitian Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengatasi masalah insomnia pada lansia, antara lain: 1. Bagi pelayanan keperawatan dan kesehatan Karya ilmiah ini hendaknya dapat dijadikan sebagai data pendahuluan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada nenek R. Data pendahuluan ini diharapkan dapat memudahkan petugas PSTW Budi Mulia 01 Cipayung dalam rangka memberikan intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah insomnia pada lanisa di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung sehingga dapat mengurangi masalah insomnia pada lansia. Selain itu dengan adanya karya ilmiah ini dapat meningkatkan peran perawat dan tenaga sosial dalam melakukan pemantauan terhadap lansia yang mengalami masalah insomnia sehingga angka kejadian insomnia tidak terulang kembali 2. Bagi keilmuan Hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi data penguat bahwa masalah insomnia merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia sehingga membutuhkan intervensi yang tepat. Selain itu, karya ilmiah ini diharapakan dapat menjadi data awal bagi karya ilmiah selanjutnya sehingga bisa melakukan penelitian yang lebih lanjut dengan objek yang berbeda dan intervensi yang berbeda dalam upaya promoti dan preentif
untuk
mengantisipasi masalah insomnia 3. Bagi penelitian keperawatan Hasil karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai data dasar selanjutnya dalam area keperawatan gerontik yang berhubungan dengan masalah insomnia. Selain itu, hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat membantu penelitian yang lain dalam mengatasi masalah insomnia
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tidur Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara alami yang bertujuan dalam proses perbaikan tubuh (Stanley and Beare , 2006). Tidur merupakan suatu proses fisiologis yang memiliki siklus bergantian dengan periode yang lama dari periode keterjagaan atau suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran yang terjadi selama periode tertentu (Potter and Perry 2005). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana terjadi persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan
menurun atau menghilang dan dapat dibangunkan kembali
dengan indra rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008). Adapun fungsi tidur diyakini dapat menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stress pada paru dan kardiovaskular (Hidayat, 2006). Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Mekanisme pengaturan tersebut terdiri dari sistem aktivasi reticular dan sistem sikronisasi bulbar. Sistem aktivasi retikular (SAR) , menyebabkan terjaga atau bangun SAR terletak pada batang otak teratas. SAR terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri dan taktil. Aktivitas korteks serebral seperti pada proses emosi juga menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan
katekolamin seperti norepinefrin. SAR
bekerjanya diatur oleh kontrol nukleus raphe dan locus coeruleus. Sel-sel dan nucleus raphe mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinefrin. Jika nukleus raphe dirusak atau sekresinya dihambat dapat menimbulkan kondisi tidak tidur/berkurangnya jam tidur. Di waktu tidur, sistem retikular mendapat hanya sedikit rangsangan dari korteks serebral serta permukaan luar tubuh. Keadaan bangun terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
8
apabila sistem retikular dirangsang dengan rangsangan-rangsangan dari korteks serebral dan dari organ-organ serta sel-sel pengindraan di kulit (Hidayat, 2006). Sistem sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region. BSR), tetap tertidur. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah atau dikenal sebagai daerah sinkronisasi bulbar (BSR). Keadaan seseorang terjaga atau tetap tidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik (emosi). Dalam memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur dibutuhkan kondisi yang cukup agar kebutuhan istirahat dan tidur tersebut dapat dipenuhi. Adapun kondisi yang cukup menurut Potter and Perry (2006) adalah kecemasan fisik, bebas dari kecemasan dan tidur yang cukup.
Kenyamanan fisik meliputi eliminasi sumber-sumber yang
mengiritasi kulit, kontrol sumber nyeri, kontrol suhu ruangan, pertahankan kesejajaran anatomis yang tepat atau posisi yang sesuai, jauhkan dari distraksi lingkungan dan
ventilasi yang cukup. Bebas dari kecemasan dengan cara
berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, aktivitas yang teratur, menciptakan lingkungan yang aman. Tidur yang cukup sehingga memperoleh jumlah jam tidur yang dibutuhkan untuk merasa segar kembali dengan melakukan kebiasan hygiene sebelum tidur. Pemenuhan kebutuhan istirahat tidur setiap orang berbeda-beda. Ada yang kebutuhan akan tidurnya terpenuhi dengan baik , ada yang mengalami gangguan pada tidur. Menurut Asmadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tidur adalah status kesehatan, lingkungan, stress psikologis, diet, gaya hidup dan obat-obatan. Status kesehatan maksudnya dimana kondisi tubuh seseorang yang tidur dalam keadaan tubuh sehat akan berbeda dengan seseorang yang lagi mengalami sakit. Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan klien dapat tidur dengan nyenyak. Akan tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri maka kebutuhan istirahat dan tidurnya tidak dapat dipenuhi dengan baik sehingga klien dapat tidur dengan nyenyak. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
9
Misalnya, pada klien yang menderita gangguan pada sistem pernapasan. Dalam kondisi yang sesak nafas, maka seseorang tidak mungkin dapat istirahat dan tidur. Lingkungan dapat mempengaruhi istirahat dan tidur seseorang. Hal tersebut dikarenakan pada lingkungan yang tenang dapat membuat seseorang Sebaliknya lingkungan yang ribut, bising, dan menghambat seseorang untuk tidur. Stres psikologis mempengaruhi istitrahat dan tidur seseorang seperti pada cemas dan depresi. Cemas dan depresi dapat menyebabkan gangguan pada frekuensi istirahat dan tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas
dapat meningkatkan
norepineprin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan mengurangi tahap IV NREM dan REM. Faktor diet dimana konsumsi makanan yang banyak mengandung L-Triptofan seperti keju, susu, daging dan ikan tuna dapat menyebabkan minuman yang mengandung kafein maupun alkohol akan menganggu tidur. Gaya hidup terkait kelelahan yang dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Obat-obatan yang dikonsumsi seseorang dapat menyebabkan tidur dan ada juga yang menyebabkan kesulitan tidur. Tahapan tidur dibagi menjadi dua yaitu nonrapid eye movement (REM) dan rapid eye movement (REM). Selama masa NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan dan memerlukan kira-kira 90 menit sebelum tidur berakhir. Tahapan-tahapan tidur tersebut Tarwoto dan Wartonah (2006) adalah NREM tahap satu sampai NREM tahap 4. NREM tahap satu ditandai dengan tingkat transisi, merespon cahaya, berlangsung beberapa menit, mudah terbangun dengan rangsangan, aktivitas fisik menuru, tanda vital dan metabolism menurun bila terbangun sedang bermimpi. NREM tahap dua ditandai dengan period suara tidur, mulai terjadi relaksasi otot, berlangsung 10-20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat dan dapat dibangunkan dengan mudah. NREM tahap tiga ditandai dengan awal tahap dari keadaan tidur nyenyak, sulit dibangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15-30 menit. NREM tahap empat ditandai dengan tidur nyenyak, sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif, tonus otot menuru, sekresi lambung menurun dan gerak bola mata cepat. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
10
Tahapan tidur REM ditandai dengan mimpi yang bermacam-macam, p erbedaan antara mimpi-mimpi yang timbul sewaktu tahap tidur NREM dan tahap tidur REM adalah bahwa mimpi yang timbul pada tahap tidur REM dapat diingat kembali, sedangkan mimpi selama tahap tidur NREM biasanya tak dapat diingat. Jadi selama tidur NREM tidak terjadi konsolidasi mimpi dalam ingatan, mengigau atau bahkan mendengkur, otot-otot kendor (relaksasi total), kecepatan jantung dan pernafasan tidak teratur, sering lebih cepat , perubahan tekanan darah, gerakan otot tidak teratur , gerakan mata cepat, pembebasan steroid dan sekresi lambung meningkat Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap dan meliputi jadwal jatuh (masuk) tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur dan kepuasan tidur (Depkes dalam Wahyuni, 2007).
Pola
tidur normal berdasarkan usia adalah bayi baru lahir
membutuhkan tidur 14 – 18 jam/ hari, pernafasan teratur dan 50 % tidur REM, infant membutuhkan tidur 12 – 14 jam/ hari dan 20 – 30% tidur REM, toodler membutuhkan tidur 11
–
12 jam/ hari dan 25% tidur REM,
preschooler
membutuhkan tidur 11 jam dan 20% tidur REM, usia sekolah tidur 10 jam/ hari dan 18,5% tidur REM, adolescent membutuhkan tidur 8,5 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia dewasa muda membutuhkan tidur 7 – 8 jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM, usia dewasa tengah membutuhkan tidur 7 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia lanjut membutuhkan tidur 6 jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM (Kozier, 2004; Hidayat, 2006). Pola tidur normal dipengaruhi oleh gaya hidup termasuk stress pekerjaan, hubungan keluarga dan aktivitas sosial yang mengarah pada insomnia dan penggunaan medikasi untuk tidur. Penggunaan jangka panjang medikasi tersebut dapat mengganggu pola tidur dan memperburuk masalah tidur (Potter & Perry, 2003). 2.1.2 Perubahan Pola Tidur pada Lansia Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan tidur akibat beberapa faktor. Selama penuaan, terjadinya perubahan fisik dan mental yang diikuti dengan perubahan pola tidur yang khas yang membedakan dengan usia yang lebih muda. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
11
Perubahan-perubahan itu mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari dan peningkatan jumlah tidur siang (Simpson, T, er al 1996). Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis. Kebutuhkan waktu tidur setiap orang berbeda-bea, pada lansia memerlukan waktu tidur enam sampai tujuh jam dalam sehari (Hidayat, 2008). Kebanyakan lansia mngeluhkan terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total, mengambil lebih lama tidur dan mengambil tidur siang lebih banyak (Kryger et al, 2004). Kecenderungan tidur siang meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan d tempat tidur menurun sejam atau lebi (Potter and Perry, 2005). Pada lansia jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia. Akan tetapi kualitas tidur kebanyakan berubah pada usia lanjut. Episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM tiga dan empat. Beberapa usia lanjut tidak memiliki tahap empat atau tidur dalam. Seorang usia lanjut yang terbangun lebih sering pada malam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Akan tetapi pada lansia yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam penuaanan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Potter and Perry, 2005). Berikut ini tabel perubahan pola tidur pada usia lanjut (Prayitno, 2002) Tabel 1. Perubahan pola tidur pada usia lanjut Pola Tidur Lamanya di
Laporan Subjektif tempat Meningkat
Pantauan Objektif Meningkat
tiur Total waktu tidur
Menurun
Ancang-ancang tidur Meningkat
Bervariasi (umumnya menurun) Bervariasi (umumnya menurun)
(sleep latency) Terjaga
setelah Meningkat
Meningkat Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
12
dimulai tidur Tidur singkat
pada Meningkat
Meningkat
siang hari (daytime naps) Efisiensi tidur
Menurun
Menurun
Tabel 2. Perubahan dalam struktur tidur pada usia lanjut Fase tidur
Hasil polisomnografik
Non Rapid eye movement (N Meningkat REM) Stadium I
Bervariasi (umumnya menurun)
Stadium II
Menurun
Stadium III
Menurun
Stadium IV
Menurun
Rapid eye movement (REM) Kualitas
Menurun
Distribusi
Onset lebih awal cenderung ke arah periode durasi ke arah yang sama (bukan perpanjangan yang proporsi)
2.2 Insomnia 2.2.1. Pengertian Insomnia adalah suatu keadaan dimana individu tersebut sulit mempertahankan tidur yang kebanyakan terjadi pada wanita dimana faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor yang paling utama dalam terjadinya masalah insomnia (Mauk 2010).
Insomnia
merupakan
peristiwa
yang
kompleks
dimana
terjadi
ketidakmampuaan untuk tidur, ketidakmampuan untuk mempertahankan tidur, sering Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
13
terbangun malam hari, bangun dini hari dan mengantuk di siang hari (Meiner & Lueckenotte, 2006). Menurut Stanley & Beare 2006 juga menyatakan bahwa insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan, sering terbangun, ketidakmampuan kembali tidur, dan terbangun dini hari. Insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur yang paling banyak terjadi di seluruh dunia. Tanda dan gejala yang paling sering muncul pada penderita insomnia adalah bangun merasa tidak segar, sering terbangun dimalam hari. Tanda dan gejala lain yang sering muncul adalah ketidakmampuan untuk memulai tidur dan terbangun dini hari (Buscemi ett all, 2005). Menurut Zorick et al, 2000 dalam Buscemi et al, 2005 yang menjadi faktor resiko terjadinya insomnia adalah perempuan dan usia tua. Sedangkan menurut Sateia MJ, et all (2000) faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya insomnia adalah pendidikan, perceraian, pengangguran dan penyakit. Penyakit medis dan psiaktrik, ketergantungan obat, perubahan ritme sirkandian juga berhubungan erat dengan masalah insomnia (Ancoli & Ayalon, 2009). Beberapa faktor resiko yang mudah terindentifikasi pada penderita insomnia adalah perempuan, usia lanjut, depresi, mendengkur, jarang beraktifitas, penyakit medis, penggunaan obat penenang, sering berkemih dimalam hari ( Mai & Buysse, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjepkema (2005) didapatkan data bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia yaitu jiwa raga, stress kehidupan, stress pekerjaan, alkohol dan obat-obatan. Masalah insomnia akan berdampak serius jika tidak segera ditanggulangi dengan tepat. Berikut ini beberapa dampak yang ditimbulkan akibat insomnia adalah peningkatkan resiko depresi, keterbatasan memori 2.2.1. Klasifikasi Insomnia Pengklasifikasian insomnia dibagi berdasarkan durasi dan etiologi Berdasarkan durasinya insomnia dibagi dalam tiga kelompok yaitu transient insomnia, short-term insomnia dan chronic insomnia (Galimi 2010). Transient Insomnia merupakan insomnia yang dapat sembuh secara spontan dan berlangsung lebih kurang 7 hari. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
14
Transient insomnia sering juga disebut dengan insomnia akut. Transient insomnia dapat terjadi karena adanya ketidaknyamanan secara fisik maupun emosional. Menurut Meiner & Lueckenotte (2006) faktor stress merupakan penyebab utama dari transient insomnia. Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Stanley & Beare (2006) bahwa pengalaman stress yang bersifat sementara misalnya kehilangan orang yang dicintai, tekanan ditempat kerja atau takut kehilangan ditempat kerja. Transient insomnia biasanya dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang tersebut beradaptasi dengan stressor. Short term insomnia merupakan insomnia yang berlangsung selama satu sampai tiga minggu. Short term insomnia sangat erat kaitannya dengan kondisi fisik dan psikologi individu misalnya paska operasi yang masih sering merasakan nyeri sehingga kesulitan untuk tidur. Insomnia kronis merupakan insomnia yang berlangsung lebih dari tiga minggu atau bisa juga terjadi seumur hidup. Insomnia kronik dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis penggunaan obat tidur berlebihan penggunaan alkohol berlebihan, gangguan jadwal tidur sampai bangun dan masalah kesehatan lainnya (Stanley & Beare 2006). Klasifikasi insomnia selanjutnya yaitu berdasarkan etiologi diantaranya insomnia primer dan insomnia sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang penyebabnya tidak diketahui dengan jelas. Pada penderita insomnia primer tidak ditemukan gangguan medis gangguan psikiatri atau dikarenakan faktor lingkungan. Insomnia sekunder merupakan insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan juga oleh obat-obatan. Beberapa faktor yang menyebabkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung dan paru, nyeri gangguan cemas dan depresi serta penggunaan obatobatan seperti beta-bloker bronkodilator, dan nikotin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
15
2.2.2 Penatalaksanaan Insomnia 2.2.2.1. Terapi Farmakologi 2.2.2.1.1. Sleep Hygiene Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari
alkohol, tidak makan daging terlalu
banyak sekitar dua jam sebelum tidur. (Petit et al, 2003). Menurut Daniel (2011) sleep hygiene merupakan salah satu komponen terapi perilaku untuk mengatasi insomnia. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia adalah mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur yang cukup, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, menghindari untuk memaksakan diri untuk tidur, menghindari kafein, alkohol, dan nikotin. 2.2.2.1.2 Terapi relaksasi Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan dapat dilakukan dimana saja (Potter and Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progressif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback and hypnosis (Miltenberger, 2004) Terapi relaksasi merupakan salah satu bentuk terapi non farmakologi dalam mengatasi insomnia. Adapun tujuan dari terapi ini adalah untuk mengatasi kebiasaan lansia yang mudah terbangun di malam hari saat tidur. Metode terapi relaksasi meliputi melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan nafas dalam dan latihan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
16
meditasi . Metode terapi relaksasi agak sulit diterapkan pada klien dengan usia lanjut dikarenakan tingkat kepatuhan yang rendah pada pasien usia lanjut (Galimi, 2010). Menurut Daniel (2011) terapi relaksasi meliputi relaksasi otot progressif, latihan nafaas dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif bertujuan untuk melatih pasien dalam mengenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan.
Berbeda halnya dengan latihan pernapasan dalam, klien diminta untuk
menghirup dan menghembuskan nafas dalam secara perlahan-lahan. Terapi musik juga bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia. Terapi music bertujuan untuk relaksasi, mengurangi kecemasan dan rasa nyeri, meningkatkan kualitas tidur, dan menurunkan denyut jantung dan tekanan sistolik (Fontaine et al, 2001 dalam Mauk, 2010). Terapi music merupakan intervensi keperawatan mandiri yang merupakan metode pilihan sebagai terapi relaksasi. Adapun tujuan dari terapi relaksasi yaitu menurunkan kerja sistem saraf pusat, merangsang gelombang alpha dan memicu pelepasan endhorphin (Gagner, Tjellesen et al., 2001). 2.2.2.1.3 Sleep Restriction Sleep restriction merupakan salah satu bentuk terapi pembatasan tidur. Terapi ini bertujuan untuk membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang. Sleep restriction dapat dicapai dengan ratarata waktu yang dibutuhkan di tempat tidur hanya dihabiskan untuk tidur. Pada proses ini pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa ngantuk. Terapi pembatasan tidur (sleep restriction) . Sleep restriction therapy adalah terapi yang bertujuan membatasi wkatu untuk tidur dalam rangka meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini berfokus untuk mengurangi jumlah jam tidur untuk mengoreksi berapa banyak jumlah tidur yang digunakan oleh seseorang dan membuat seseorang lebih mudah untuk tertidur dan tetap tidur. Misalnya, ketika seorang individu yang biasa menghabiskan waktu di tempat tidur selama sembilan jam padahal efektifitas waktu tidur hanya enam jam, terapi pembatasan tidur tersebut Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
17
bertujuan agar individu bisa memaksimalkan waktu untuk tidur (Susan, Logsdon, Teri and Vitie, 2007) Pernyataan yang sama dikeluarkan oleh Petit, et all (2003) yang menyatakan bahwa tujuan dari terapi sleep restriction adalah mengurangi frekuensi dan meningkatkan sleef efficiency. Pasien diedukasi agar tdak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada ditempat tidur. Hal tersebut dikarenakan tidur terlalu lama akan membuat poal tidur jadi terpecah-pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas lebih senang menghabiskan waktu di tempat tidur namun hal tersebut berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui sleep restriction diharapkan dapat menentukan waktu dan lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan (Petit, et all, 2003). 2.2.2.1.4 Aromatherapy Aromaterapi merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia. Berbagai macam contoh aromaterapi yang dijual dipasaran contohnya minyak laender chamomilelemon, peppermint, geranium dan eukaliptus dipercaya meningkatkan imunitas dan relaksasi. Aromaterapi lavender dipercaya memiliki efek menenangkan dan dapat mengurangi insomnia. Hal tersebut dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Oliff (2014) pada lansia yang mempunyai gangguan tidur dan menyatakan bahwa aromaterapi lavender memiliki efek penenang yang sangat baik dalam mengatasi insomnia. Hal tersebut dikarenakan aromaterapi lavender yang berasal dari Lavandula Angustifolia menghasilkan efek sedatie yang hampir sama dengan benzodiazepine. Lavender juga aman untuk digunakan dan tidak menyebabkan efek iritasi dan racun. Ketika lavender dihirup, molekul-molekul tersebut akan berjalan menuju olfactory bulb dan masuk ke sistem limbic dimana bertujuan meningkatkan GABA seperti halnya cara kerja diazepam (Buckle, 2001)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
18
2.2.2.1.5. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi kombinasi yang terdiri dari stimulus control, sleep restriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi (Galimi, 2010). Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi adaftive sleep belief. Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang delapan jam maka pasien merasa kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur (Petit, 2003). Sebagai contoh, pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama delapan jam setiap malam, jika pasien tidur kurang dari delapan jam maka pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini harus dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur. (Petit, 2003). 2.2.2.2 Terapi Farmakologi Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut (Galimi, 2010). Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (tiga sampai kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (tiga sampai empat minggu) penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejalan insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Kamel and Gammack, 2006). Selain kelima prinsip diatas, dalam memberikan obat harus memperhatikan perubahan farmakokinetik dan farmokodinamik pada usia lanjut. Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam distribusi, metabolism dan eliminasi obat yang berkaitan erat dengan timbulnya efek samping obat (Kamel and Gammack, 2006). Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau non Benzodiazepine (Galimi, 2010). Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin dan antipsikotik (Galimi, 2010). Menurut The NIH Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
19
state-of-the-Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut (Galimi, 2010). Beberapa obat hipnotik yang aman untuk usia lanjut yaitu Benzodiazepine dan Non Benzodiazepine Benzodiazepine adalah obat yang paling digunakan untuk mengobati pada usia lanjut. BZDs menimbulkan efek sedasi karena langsung pada resptor benzodiazepine (Woodward, 2007). Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency dan mencegah pasien terjaga di malam hari (Kammal and Gammack, 2006).
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang (Gamil, 2010). Penggunaan lebih dari empat minggu dapat menyebabkan tolerance dan ketergantungan Non Benzodiazepine memiliki efek resptor pada GABA dan berkaitan secara selektif pada reseptor benzodiazepine subtife satu di otak (Gamil, 2010). Obat ini efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan dalam dosis yang rendah. Obat golongan ini juga mengurangi efek hipotono otot, gangguan perilaku, kekambuhan , jika dibandingkan dengan obat golongan BZDs. Zaleplon, zolpidem dan eszopiclone untuk mengurangi sleep latency sedangkan ramelteon (melatonin receptor agonist) digunakan pada pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur. Obat golongan non benzodiazepine yang aman pada usia lanjut yaitu zaleplon, zolpidem eszopiclone, melatonin reseptor agonist, sedating antidepressant 2.3. Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu atau terus menerus, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Anderson, 2007). Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
20
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Jadi Masyarakat urban adalah massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik. Beberapa faktor yang menyebabkan tingkat urban setiap tahun meningkat adalah kehidupan kota yang lebih modern dan mewah, sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap, banyak lapangan pekerjaan di kota. Proporsi yang tidak seimbang antar lahan perkotaan dengan tingkat urban yang tinggi menyebabkan overpopulasi yang kemudian mampu menimbulkan masalah lain seperti tingkat pencemaran (udara, air, suara) meningkat sampai status kesehatan perkotaan yang menurun. Menilai kesehatan lingkungan berarti lebih dari meninjau yang disebabkan oleh agen, tetapi
juga berarti memeriksa kualitas lingkungan. Apakah lingkungan
kombinasi buatan manusia dan lingkungan alam menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan? Apakah orang-orang di sekitarnya aman dan bertahan? Apakah mereka bersih dan memperkaya estetika? Apakah lingkungan meningkatkan kesehatan tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis? (Allender, 2001). Terdapat beberapa pendekatan terkait dengan bagaimana kita menilai kesehatan lingkungan (Allender, 2001): a. Pendekatan Pencegahan Studi tentang kesehatan lingkungan telah menjadi semakin kompleks karena pengaruh masyarakat terhadap lingkungan meningkat. Dengan kemajuan belum pernah terjadi sebelumnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini, kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi lingkungan telah diperluas dan aplikasi belum sepenuhnya dipahami. bentuk baru dari energi, bahan kimia sintetik baru dan penelitian rekayasa genetika merubah kita dengan kecepatan yang sedemikian rupa sehingga hampir mustahil untuk mengantisipasi semua efek samping potensial pada lingkungan dan pada gilirannya terhadap kesehatan masyarakat. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
21
b. . Perspektif Ekologi
Penting untuk mempertimbangkan isu-isu kesehatan lingkungan dari perspektif ekologis, mengingat total hubungan atau pola hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bahkan ketika fokus upaya kesehatan lingkungan pada bahaya kesehatan tertentu atau faktor lingkungan tunggal yang merupakan ancaman kesehatan. Pandangan dewan manusia / hubungan lingkungan harus dijaga. Seseorang tidak dapat mengisolasi faktor penyebab tunggal yang dalam banyak kasus, karena mungkin ada hubungan kausal banyak. Ekosistem adalah suatu komunitas organisme hidup dan lingkungan yang saling berhubungan fisik dan kimia, ada faktor satu, apakah organisme atau substansi dapat dilihat secara terpisah dari sisa lingkungan daftar. Dalam ekosistem, adanya manipulasi dari satu elemen atau organisme akan ada efek berbahaya pada sisa sistem. Dengan demikian, salah satu faktor, apakah organisme atau substansi dapat dilihat secara terpisah. Periode 1990-1996, berbagai patogen dikaitkan dengan kasus penyakit yang bertalian dengan makanan dari menghasilkan tumbuh di Amerika Serikat dan Amerika Tengah. Patogen mungkin telah di pupuk air irigasi atau dari kurangnya sanitasi lapangan selama produksi dan panen: dari terkontaminasi air mencuci dan menyerahkan pada proses pengolahan awal, dari es terkontaminasi dan truk kotor selama distribusi, atau pemrosesan akhir dari air cuci kotor, penanganan yang tidak tepat atau kontaminasi silang. Dengan mengambil pendekatan ekologis dalam mempelajari kesehatan lingkungan, perawat kesehatan masyarakat mengakui bahwa orang dapat mempengaruhi lingkungan mereka dan lingkungan dapat mempengaruhi mereka. Pencegahan dan mengukur kesehatan promotif dapat diterapkan untuk semua aspek lingkungan serta orang-orang di dalamnya. Manusia berbagi planet dengan jutaan makhluk hidup lainnya dan harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan mengantisipasi konsekuensi jauh tindakan mereka sebelum memperkenalkan perubahan lingkungan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
22
dengan agen kontaminan atau beracun. Acontaminant adalah materi organik atau anorganik yang memasukkan, menengah seperti kita air atau makanan dan menjadikan itu tidak murni. Agen beracun merupakan zat beracun di lingkungan yang menghasilkan efek yang merugikan pada kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan. Menggunakan model mirip dengan epidemiologi tiga serangkai menyajikan sebuah segitiga ekologi penyakit manusia. Model ini menekankan hubungan antara habitat, populasi dan perilaku. Habitat termasuk aspek lingkungan di mana orang tinggal, termasuk perumahan, tempat kerja, sistem komunikasi, flora, fauna, iklim, topografi, layanan dan struktur ekonomi dan politik masyarakat dan komunitas lokal. Penduduk faktor termasuk karakteristik penduduk (usia, jenis kelamin, dan predisposisi genetik) yang membantu untuk menentukan status kesehatan dan kerentanan penyakit. faktor perilaku termasuk kepercayaan kesehatan terkait dan perilaku yang dibentuk oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Hubungan segitiga antara faktor ini menunjukkan bahwa tidak ada batas yang nyata antara mereka dan bahwa kesehatan penduduk merupakan hasil dari interaksi faktor semua. Hal ini juga yang termasuk bahwa tindakan di salah satu bagian dari sistem di isolasi tidak mungkin efektif tanpa tindakan komplomenter pada faktor lain yang relevan. Habitat
Faktor Populasi
Faktor Perilaku
c. Dampak Lingkungan Jangka Panjang Dampak lingkungan harus dilihat tidak hanya dalam hal konsekuensi bagi orang yang hidup sekarang tapi juga dalam jangka waktu dampak jangka panjang pada spesies manusia. Seseorang harus mempertimbangkan kesehatan di generasi masa depan maupun yang hadir. Pertimbangan harus mencakup makanan dan keterbatasan bahan bakar lingkungan alam, pertemuan konservatif dengan menyeimbangkan kebutuhan sekarang dan masa depan, dan mencegah konsekuensi dari penyalahgunaan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
23
lingkungan (Mary, 2007). Poin terakhir ini memperluas fokus bahkan lebih tentu saja, orang harus menentukan bagaimana saat latihan dan toksin yang menyakiti manusia, tetapi juga penting untuk menemukan apa ancaman mereka berpose untuk biosfer dan dengan demikian untuk generasi masa depan jangka jangkauan mereka dampak lingkungan. Keamanan Perkotaan juga menjadi perhatian yang penting di samping kualitas kesehatan. Keamanan merefleksikan tingkat kenyamanan warga untuk tinggal atau hidup di suatu komunitas. Rasa aman merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Komunitas perkotaan cenderung mengalami penurunan keamanan karena beberapa hal seperti faktor ekonomi, persaingan lapangan pekerjaan. Sekelompok orang yang tidak mampu bersaing memperoleh pekerjaan yang sesuai, cenderung akan melakukan hal yang mampu menghasilkan uang dengan cara mudah, salah satunya adalah penjambretan, perampokan (yang disertai dengan pembunuhan). Fenomena tersebut merupakan sisi lain dari lingkungan perkotaan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah perkotaan adalah sebagai berikut: a. Overpopulasi Perkotaan merupakan lahan yang menarik bagi masyarakat desa untuk melakukan urban. Selain fasilitas yang lengkap, kota juga menawarkan suasana yang ramai yang mungkin jarang ditemukan di area pedesaan atau mungkin juga karena faktor ekonomi. Urban bukan tanpa resiko atau dampak bagi lingkungan perkotaan. Akibat terjadinya urban yang setiap tahun terus meingkat adalah terjadi pemusatan atau pertambahan populasi di area perkotaan. Keadaan tersebut menyebabkan area perkotaan terkesan semakin sempit karena penuh dengan populasi di dalamnya. Selain itu, pembangunan yang terus dilaksanakan di area perkotaan menambah semakin berkurangnya lahan kosong di area perkotaan sehingga akan jarang kita temukan hutan kota yang berfungsi untuk menyaring udara kotot perkotaan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
24
Ledakan populasi secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas kesehatan perkotaan. Jumlah populasi yang tidak sebanding dengan lahan akan menyebabkan resiko terjadinya persaingan lapangan pekerjaan, persaingan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, timbul masalah kriminalitas, hingga peningkatan faktor resiko global warming baik dari hasil perilaku/aktivitas manusia (seperti industry) dan akumulasi CO2 sebagai hasil dari metabolisme tubuh yang meingkat. b. Polusi Udara Polusi mengacu pada tindakan tercemar atau mencemarkan lingkungan apabila secara negatif mempengaruhi kesehatan masyarakat. Polusi udara tidak diakui sebagai salah satu sumber yang paling berbahaya dari kontaminasi kimia. Hal ini terutama terjadi di daerah yang sangat industri dan perkotaan dimana konsentrasi kendaraan bermotor dan industri menghasilkan volume besar polutan gas. Polusi udara merupakan masalah global. Dekade lingkungan pembangunan industri tidak sensitif di Eropa Timur dan Uni Soviet, seperti yang dikenal saat itu, telah menyebabkan hidup serius dan mengancam kesehatan polusi udara dalam beberapa tahun terakhir. polutan udara ditanggung memiliki efek buruk pada banyak bidang kehidupan manusia; biaya untuk properti, produktivitas, kualitas hidup dan kesehatan terutama manusia sangat besar. Daftar penyakit dan gejala penyakit yang terkait dengan polutan udara yang masuk ke saluran nafas bermula dari hidung kecil dan mengiritasi tenggorokan, infeksi saluran pernapasan, asma bronkhial, emphysema, penyakit jantung, kanker paru-paru dan mutasi genetik. Daerah geografis tertentu lebih rentan terhadap efek buruk dari polusi udara karena kondisi cuaca atau medan fisik. Episode di London terjadi ketika kurangnya angin dikombinasikan dengan suhu rendah untuk membuat inversi suhu, fenomena di mana udara yang biasanya naik terjebak di bawah lapisan udara hangat, yang memungkinkan kontaminan udara untuk membangun tingkat tertahankan. Kondisi lebih lanjut terjadi di daerah perkotaan di mana bangunan kota menciptakan "efek panas pulau" di mana polusi udara perangkap suasana hangat di sekitar kota. Dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
25
demikian, dalam memeriksa dampak dari polusi udara, perlu untuk memperhitungkan kondisi iklim dan topografi suatu daerah. c. Debu, gas dan unsur alami
Debu dapat berisi berbagai jenis iritan kimia dan berbahaya. Banyak asosiasi dengan tempat kerja, misalnya: penambang batubara telah mengembangkan penyakit paruparu hitam dari menghirup debu batu bara, dan penyakit pernapasan yang disebut silikosis disebabkan oleh paparan debu silika. Debu juga terkait dengan pekerjaan lift pertanian dan biji-bijian, serta pembangunan jalan raya. Serat asbes yang ditemukan dalam bahan isolasi dan fireproofing, tekstil dan produk lainnya, telah dihubungkan dengan kanker paru-paru. Meskipun orang yang merokok, berada pada 30 kali lebih berisiko terkena kanker paru-paru dibandingkan mereka yang tidak merokok, merokok pasif diperkirakan menyebabkan sekitar 3000 kematian kanker paru-paru bukan perokok setiap tahun. Meskipun banyak polusi udara hasil dari beberapa jenis aktivitas manusia, unsur alami, seperti serbuk sari dari tanaman dan bunga, abu dari letusan gunung berapi, atau mikroorganisme udara ditanggung juga dapat memiliki efek buruk pada kesehatan. Sebuah daftar panjang polutan gas, termasuk oksida sulfur dan oksida nitrogen dihasilkan oleh emisi industri, menimbulkan masalah tambahan bagi kesehatan masyarakat. Gas tersebut menyebabkan penyakit pernapasan, sesak napas dan masalah lain di manusia dan dapat membahayakan kehidupan tumbuhan dan hewan juga. Gas lain, termasuk klorin, ozon, sulfur dioksida dan karbon monoksida semua berbahaya bagi kesehatan individu serta lingkungan yang lebih luas dan ekosistem d. Polusi Air
Minum air berasal dari dua sumber utama: air permukaan (danau dan sungai) dan sumber bawah tanah (air tanah disebut). Di sumber bawah tanah umumnya dianggap kurang tunduk pada kontaminasi daripada permukaan sumber, yang terbuka untuk Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
26
melarikan diri dari pestisida pertanian atau limbah industri. Namun, terlalu banyak air tanah yang terkontaminasi ketika rembesan terjadi. Pada abad pertengahan, penyakit epidemi menyebar sebagai orang minum air yang tercemar oleh limbah manusia, ini masih merupakan masalah di negara berkembang saat ini. Di negara-negara industri besar, kekurangan air yang cukup untuk minum belum menjadi masalah serius. Wilayah dengan pasokan air yang terbatas telah merancang fasilitas untuk menyimpan air selama periode aliran tinggi sehingga akan tersedia untuk memenuhi kebutuhan sepanjang tahun dari suatu masyarakat. pasokan air yang memadai untuk memenuhi permintaan pertanian masih belum tercapai. Perhatian utama berkaitan dengan air adalah kemurniannya.Air dapat terkontaminasi dan tidak aman untuk diminum karena beberapa kemungkinan air mungkin terinfeksi dengan bakteri atau parasit yang menyebabkan penyakit, zat beracun seperti pestisida diperkenalkan oleh manusia ke dalam sistem air lain adalah sumber polusi air , banyak polutan marah ekosistem, mempengaruhi organisme alami yang membantu sistem kemurnian air Perbedaan kesenjangan di daerah perkotaan dapat dilihat dari pemukiman di area pinggiran dan di kota besar. Income gap diantara keduanya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesenjangan keadaan kesehatan dan keamanan yang dialami oleh masyarakat di daerah perkotaan. Kemiskinan dua kali lipat lebih besar di kota besar dibandingkan dengan di daerah suburban (pinggiran), begitu juga dengan jumlah pengangguran yang lebih besar. Alasan utama terjadinya kesenjangan keadaan kesehatan (health disparity) ialah karena adanya beban yang tidak proporsional dari masalah kesehatan tertentu dan masalah sosial di dalam populasi yang berbeda, seperti yang terjadi di urban area (perkotaan). Selain itu, health disparity juga dipengaruhi oleh stress, ketidakadilan ekonomi (economic inequity), persepsi terhadap kesengsaraan (perception of deprivation), rasisme, dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas di beberapa daerah pemukiman. Overcrowding (kondisi yang terlalu padat) dan poor-quality housing memiliki hubungan langsung dengan kesehatan mental yang buruk (poor mental health), Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
27
perkembangan yang terlambat (developmental health), dan bahkan penurunan tinggi badan (shorter stature). Masyarakat yang tinggal di daerah dengan kondisi pembangunan lingkungan yang buruk memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di daerah dengan pembangunan lingkungan yang lebih baik. Selain itu, karakteristik tertentu dari pembangunan lingkungan dan status sosial ekonomi berhubungan dengan prevalensi dari penularan penyakit/infeksi seksual dan angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Tempat pembuangan sampah-sampah berbahaya sering terdapat di dekat daerah urban. Polusi udara dan kebisingan sangat erat dengan situasi di dalam kota besar. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kasus asma, kematian akibat penyakit kardiovaskuler, hipertensi, Ischemic Heart Disease, dan kerusakan pendengaran. Kekerasan (violence) sering dihubungkan dengan kota metropolitan, dimana anak muda di kota besar lebih sering berhubungan dengan kekerasan dibandingkan dengan anak muda yang hidup di pedesaan (rural area). Penelitian juga menunjukkan bahwa pemukiman daerah urban memiliki jumlah korban perilaku kekerasan yang paling tinggi dibandingkan di daerah suburban dan rural area. Kriminalitas yang paling rawan terjadi diantaranya ialah property crime, pencurian kendaraan bermotor, perampokan, dan jenis pencurian lainnya.
Kota juga sering dikenal sebagai tempat bagi pengangguran, pekerja full time dengan gaji rendah, single parents, orang sakit, dan orang tidak berdaya, yang hidup dengan kondisi rumah yang sangat buruk. Keadaan ini tentu saja disebabkan oleh akses yang terbatas terhadap penyewaan properti dan tentu saja juga dikarenakan biaya sewa properti lebih besar di kota besar sehingga sulit bagi masyarakat dengan penghasilan rendah untuk memperoleh pemukiman yang memadai. Mereka kebanyakan memilih tinggal di pemukiman yang tidak memiliki fasilitas untuk aktivitas outdoor ataupun pasar yang menyediakan makanan yang sehat. Pemukiman masyarakat low income biasanya
memiliki
masalah
dalam
hal
konstruksi
dan
perawatan
yang
dikarakteristikan sebagai pemukiman yang crowding (padat), poor quality (kumuh), Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
28
high population density (kepadatan penduduknya tinggi), dan memiliki masalah kesehatan. Kondisi lingkungan yang semakin memburuk juga sangat berhubungan dengan tingginya angka kriminalitas dan peningkatan isolasi sosial.
Kepadatan penduduk, kompleksitas, dan perbedaan rasial/etnis sangat erat di daerah urban. Pusat kota sering menjadi tempat bagi orang-orang miskin dalam jumlah yang besar yang datang dari ras dan etnis yang berbeda. Masalah-masalah seperti infeksi HIV, asma, sirosis, diabetes, kekerasan (termasuk pembunuhan), kecelakaan, kecanduan heroin, kematian bayi, penyakit jantung, kanker, dan stroke semakin banyak terjadi.
Masalah psikosoial merupakan masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai timbal balik sebagai akibat terjadinya perubaha sosial dan gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes RI). Ada beberapa masalah psikososial antara lain: a. Psikotik gelandangan Psikotik gelandangan adalah penderita jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum yang dapat mengganggu
ketertiban umum dan merusak keindahan
lingkungan. Penyebab banyaknya
gelandangan akibat dari keluarga yang tidak
peduli, keluarga malu, tersesat ataupun karena urbanisasi yang gagal. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya informasi dan edukasi serta penciptaan lapangan pekerjaan didesa. b. Masalah anak remaja (Tawuran) Tawuran adalah kegiatan “sampingan” pelajar yang beraninya hanya kalau bergerombol/berkelompok dan sama sekali tidak ada gunanya, bahkan dapat dibilang tindakan pengecut. Penyebabnya antara lain: -
Iseng, bosan jenuh, tekanan kelompok dalam bentuk solidaritas
-
Kaderisasi mantan siswa yang drop out (putus sekolah)
-
Kurang komunikasi orang tua, anak dan sekolah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
29
-
Kesenjangan sosial ekonomi, tidak adanya sarana dan prasarana penyaluran agreifitas
-
Lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan kepribadian seha
-
Penggunaan NAPZA
c. Penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika Psikotropika dan zat Adiktif) Penyalahgunaan NAPZA yang bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan atau pengawasan dokter, digunakan secara berkali-kali, kadangkadang atau terus-menerus, seringkali menyebabkan ketagihan atau ketergantungan baik secara fisik/jasmani maupun mental emosional sehingga menimbulkan gangguan fisik dan fungsi sosial. Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Penyalahgunaan NAPZA dipengaruhi oleh: -
Faktor individu Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan
-
Faktor lingkungan Faktor lingkungan meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.
-
Faktor NAPZA Mudahnya NAPZA didapatkan dengan harga “terjangkau”, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba, khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, dll.
Perubahan fisik dan perilaku akibat NAPZA: Tergantung jenis yang digunakan, tetapi secara umum perubahan fisik sebagai berikut: -
Pada saat menggunakan: semponyongan, pelo, apatis, mengantuk, agresif, curiga Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
30
-
Bila kelebihan dosis (over dosis): napas sesak , denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, dapat sampai meninggal
-
Bila sedang ketagihank (putus zat/sakau):mata dan hidung berair menguap terus, diare, sakit seluruh tubuh, takut air, kejang, kesadaran menurun.
-
Pengaruh jangka panjang:
tidak
sehat,
tidak peduli
terhadap
kesehatan/kebersihan, gigi tidak terawat, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain -
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar, sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia
-
Pola
tidur
berubah,
begadang,
sulit
dibangunkan,
mengantuk
dikelas/tempat kerja -
Sering berpergian sampai larut malam, bahkan tidak pulang.
Penanganannya: terapi dan rehabilitasi d. Stress dan depresi Stres adalah reaksi normal dari individu terhadap kejadian yang luar biasa (Parkinson, 1993) akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa yang dialami banyak orang. Penyebab stres ini bervariasi yaitu adanya stresor, misalnya: -
Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan
-
Pengalaman berada pada situasi yang terancam keselamatannya
-
Mengalami tindakan kekerasan dalam keluarga
-
Dipaksa atau terpaksa melakukan tindakan kekerasan
-
Mendadak berada dalam keadaan asing dan serba kekurangan pangan, tempat tinggal dan kesehatan.
Gambaran klinis stres: -
Terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang bermakna pada hampir setiap orang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
31
-
Lazimnya
ada
ketakutan
dan
menghindari
hal-hal
yang
mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami -
Kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik dan agresif
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
32
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Residen Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung khusunya wisma asoka terdiri dari 33 wbs yang salah satunya yaitu klien kelolaan. Klien kelolaan utama yaitu Klien. Klien sudah 8 tahun tinggal di wisma asoka dengan latar pendidikan sekolah rakyat. Sebelum klien masuk ke PSTW, klien merupakan seorang tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Klien mengatakan dahulu klien bekerja sebagai baby sister di Arab. Klien ditampung oleh pihak KBRI dan dirujuk ke panti untuk mendapatkan tempat tinggal. Klien memeluk agama islama akan tetapi jarang terlihat untuk melakukan kegiatan sholat dan mengaji di mushola. Aktifitas keagamaan klien lebih banyak dilakukan di wisma. Klien berasal dari Medan, klien kerap dipanggil opung oleh warga wisma yang lain. Menurut pengakuan klien, klien tidak punya keluarga di Jakarta. Semua keluarga klien berada di Medan. Akan tetapi klien sudah tidak mengetahui apakah sanak saudara klien masih hidup atau tidak. Selama berada di PSTW klien tidak pernah mendapat kunjungan keluarga. Klien terkenal cenderung pendiam dan jarang terlihat bergaul dengan teman-teman wisma yang lain. Kondisi emosi klien di PSTW labil, klien sering mudah tersinggung dan mudah curiga kepada teman wbs yang lain. Salah paham pernah terjadi antara klien dengan wbs yang lain dikarenakan klien pernah menuduh teman-teman wbs menghilangkan kunci lemarinya. Padahal menurut pengakuan petugas panti dan temanteman wbsnya, klien hanya lupa menaruh kunci lemarinya saja.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
33
3.1.2. Riwayat kesehatan klien Klien memiliki diagnosa medis yaitu hipertensi. Klien memiliki hipertensi dikarenakan pola makan klien yang tidak teratur dan suka mengkonsumsi makanmakanan yang asin-asin. Klien juga mengalami gangguan pendengaran dan hambatan berjalan. Hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa klien pernah mengalami jatuh sebanyak 1 kali selama berada di PSTW. Klien mengalami hambatan berjalan, klien sering memegang benda-benda disekitarnya ketika berjalan dan berjalan agak lambat. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa klien sering merasa curiga dengan teman-teman panti yang lain. Klien sering merasa takut, teman wbs lain mengambil barang-barang yang klien miliki. Hasil wawancara dengan klien didapatkan data bahwa klien semenjak masuk panti mengalami kesulitan untuk tidur. Klien sering terbangun di malam hari. Apabila klien sudah terbangun di malam hari, klien tidak dapat tidur kembali. Menurut pengakuan klien, tempat tidur yang jauh dari kipas angin membuat klien selalu gerah di malam hari. Klien juga mengeluhkan sering kencing di malam hari, sekitar tiga kali dalam semalam. Klien juga mengatakan bahwa jarang sekali tidur siang dikarenakan banyak orang yang berkeliaran di malam hari. Hasil observasi di dapatkan bahwa klien terlihat sering menguap, mengantuk dan terdapat kantung mata. 3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari klien Berdasarkan hasil observasi yang didapat mengenai pola makan klien yaitu klien makan 3x/hari, makan pagi pukul 06.00, makan siang pukul 11.00 dan makan sore pukul 16.00. Menu makanan yang di hidangkan oleh PSTW mencakup menu empat sehat lima sempurna dalam seharinya. Hampir setiap makan, klien terlihat menghabiskan makanannya walaupun klien sering mengeluhkan tidak menyukai menu makanan yang ada dipanti. Klien sangat suka minum kopi, hampir tiap pagi klien selalu membuat kopi. Konsumsi air putih klien dalam satu hari sekitar 750 cc.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
34
Aktifitas sehari-hari klien banyak dilakukan di wisma asoka. Aktifitas keagamaan pun dilakukan di wisma, klien sholat didekat tempat tidur. Klien jarang terlihat melakukan aktifitas keagamaan di mushola panti seperti sholat berjamaah dan pengajian. Klien juga jarang terlihat mengikuti kegiatan panti seperti panggung gembira, kegiatan angklung bersama dan kegiatan rebanahan. Akan tetapi jika ada tamu dari luar panti, klien kerap kali datang ke aula untuk menyambut tamu bersama teman-teman wbs yang lain. Klien mampu melakukan aktifitas sendiri seperti mencuci pakaian merapikan tempat tidur dan mencuci piring. Sesekali terlihat klien duduk di teras depan wisma dan terlihat jarang mengobrol dengan wbs yang lain. Hasil observasi didapatkan bahwa, ketika duduk di teras wisma klien terlihat sering menguap dan tampak mengantuk. Klien mampu melakukan aktifitas elimasi sendiri. Klien mampu untuk BAK dan BAB secara mandiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan klien didapatkan bahwa pola BAB klien 1 kali sehari dan pola BAK klien di siang hari 3-4 kali dan di malam hari frekuensi berkemih klien meningkat yaitu sekitar 4-5 kali. Teman sebelah tempat tidur klien juga mengatakan bahwa klien sering terbangun di malam hari dan ke kamar mandi untuk berkemih. Klien tidak mengeluhkan sakit saat melakukan BAK dan BAB. Klien terlihat kurang menjaga kebersihan diri, hal tersebut terlihat dari kuku tangan yang panjang dan kotor serta bau yang tercium dari badan . Berdasarkan hasil wawancara dengan klien di dapatkan bahwa keinginan terakhir klien adalah bertemu dan kumpul bersama keluarga. 3.14. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan yang sudah dilakukan kepada klien mulai dari pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan GDS, FMS dan BBT. Pemeriksaan fisik sudah dilakukan secara keseluruhan pada klien . Pada bagian kepala pemeriksaan yang sudah dilakukan meliputi pemeriksaan pada bagian mata, hidung mulut dan telinga didapatkan bahwa kepala bulat, simetris (normocephali) dan tidak terdapat lesi. Rambut klien pendek, berwarna putih semuanya, rambut halus, terdistribusi dengan merata pada kulit Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
35
rambut, tidak ada lesi pada kulit kepala, tidak ada rasa gatal, kondisi cukup bersih. Mata klien mengalami penurunan fungsi (kabur), tidak menggunakan kacamata, masih dapat melihat mahasiswa, tetapi tidak dapat membaca (klien buta huruf). klien masih bisa melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa mengunakan kacamata. Selama ini klien belum pernah melakukan/mengalami operasi pada bagian matanya, tidak anemis dan anikterik. Klien masih mampu melihat jam dinding sejauh 2 meter. Hidung klien tidak mengalami gangguan penciuman, cukup bersih, berfungsi baik, dan tidak ada polip. Keadaan mulut klien cukup bersih, gigi yang ada berwarna agak kekuningan, gigi ompong tapi masih ada yang beberapa gigi yang tersisa, bau mulut tidak ada, sariawan tidak ada. Telinga klien mengalami gangguan pendengaran, tidak ada serumen yang keluar dari telinga, keadaan di dalam telinga sedikit kotor. Klien masih menggunakan anting, dan tampak lubang telinganya sedikit besar. Leher Pada pemeriksaan berikutnya pada bagian leher klien tidak mengalami pembesaran vena jugularis dan nodul. Tidak terlihat adanya bekas alergi obat/gatal. Pemeriksaan Dada/thorak klien didapatkan data bentuk dada simetris, tidak ada luka, tidak ada nyeri, tidak ada sesak napas, warna kulit kecoklatan terdistribusi merata, taktil fremitus antara posterior dan anterior sama, perkusi bunyi paru resonan, suara paru vesikuler, ronkhi -/-, whizing -/-, frekuensi napas 22x/menit. Pemeriksaan jantung didapatkan data tidak ada penonjolan mata di sekitar preorbital, sklera putih, bibir merah muda, konjungtiva tidak anemis, tidak ada pembesaran vena jugularis, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Tidak terasa pulsasi pada interkosta ke dua kiri, pada daerah apeks jantung teraba vibrasi lembut <2 cm, bunyi jantung tunggal (lup dup), tidak ada murmur, tidak ada gallop, frekuensi jantung 87x/menit. Pemeriksaan abdomen klien didapatkan hasil simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada scar, tidak ada luka dan peradangan, BU + 8x/menit, bunti timpani, tidak ada nyeri abdomen, tidak ada nyeri saat dilakukan pengetukan pada ginjal, abdomen teraba lemas, limfa tidak teraba.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
36
Pemeriksaan selanjutnya pada bagian musculoskeletal klien didapatkan hasil warna kulit sama dengan warna tubuh (kecoklatan), bentuk ekstermitas atas dan bawah tidak ada atropi, tidak ada pucat dan sianosis pada telapak tangan dan kaki, turgor kulit tidak elastis, kembali dengan lambat >2 detik, capillary refill time <2 detik, tidak ada kemerahan dan bengkak pada persendian ekstermitas, terasa sakit pada kedua lutut, tetapi tidak sampai mengganggu aktifitas sehari-hari klien, refleks fisiologis +/+ agak lambat, refleks patologis -/-. Terdapat kelemahan pada tangan kanan klien. Kekeuatan otot ekstermitas atas 3345/5555 dan kekuatan otot ekstermitas bawah 5555/5555, terdapat kekakuan pada jari-jari kaki. klien mengatakan tangan kanannya memang mengalami kelemahan sejak dirinya mengalami jatuh. Klien juga mengeluhkan lulutnya yang selalu terasa sakit jika digunakan berjalan terlalu jauh.
3.2 Analisa Data No
Data
Masalah Keperawatan
1
Data subjektif
Insomnia
Klien mengatakan semenjak masuk panti, klien susah tidur. Klien mengatakan sering terbangun di malam hari Klien mengatakan apabila sudah terbangun dimalam hari, klien mengalami kesulitan untuk tidur kembali Klien mengatakan sering merasa kegerahan di malam hari Klien mengatakan sering BAK di malam hari Klien
mengatakan
jarang
tidur
siang
dikarenakan suasana yang terlalu ramai di malam hari
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
37
Data Objektif Terdapat kantung mata pada klien Terdapat lingkaran hitam di bawah mata klien Klien terlihat sering menguap dan mengantuk di siang hari Klien tampak lemas dan tidak bertenaga
2
Data subjektif
Resiko jatuh
Klien mengatakan “tangan kanan saya lemah” Klien
mengatakan
“harus
berhati-hati
melakukan kegiatannya” Klien mengatakan “matanya sudah kabur” Klien mengatakan “ untuk berjalan berhatihati dan harus berpegangan saat berjalan” Klien
mengatakan
“tidak
mengunakan
kacamata karena tidak memilikinya”
Data objektif: Klien 75 tahun TD 120/70 mmHg; N 87 x/menit; R 22 x/menit Kekuatan otot: ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555 Bentuk ekstermitas atas dan bawah tidak ada atropi
3
Data subjektif:
Defisit perawatan diri
Klien mengatakan sering malas untuk mandi Klien mengatakan malas untuk mandi di sore
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
38
hari
Data objektif: Tercium bau yang tidak sedap dari tubuh klien Tampak kuku yang panjang dan kotor Tampak gigi yang menguning Barang-barang yang dimiliki klien semuanya diletakkan di atas tempat tidur di bagian kepala
3.3 Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang dapat diangkat pada klien selama pengkajian yang sudah dilakukan yaitu insomnia, resiko jatuh dan defisit perawatan diri mandi. Dari semua diagnosa keperawatan yang ditemukan, maka dalam penulisah karya ilmiah ini, penulis memfokuskan pada satu diagnosa keperawatan yang diambil yaitu masalah insomnia. Hal tersebut bertujuan untuk mengatasi insomnia klien yang telah berlangsung lama dan untuk meningkatkan kesehatan klien.
3.4 Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan pada klien berdasarkan ketiga diagnosis keperawatan dari Dungoes (2000) diantaranya insomnia, resiko jatuh dan defisit perawatan diri. Tujuan dari asuhan keperawatan kepada klien telah disesuaikan dengan masingmasing diagnose keperawatan yang muncul. Diagnosa pertama yaitu insomnia dengan tujuan agar setelah dilakukan asuhan keperawatan, klien mampu mengatasi insomnia dan mampu tidur dengan normal kembali. Intervensi yang akan dilakukan pada klien meliputi terapi non farmakologi yaitu sleep hygiene, sleep restriction, teknik relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi progresif), terapi massase dan pemberian aromaterapi. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
39
Diagnosa kedua yaitu resiko jatuh bertujuan untuk kejadian jatuh pada klien. Tujuan khusus dari diagnosa tersebut yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan klien mengenai resiko jatuh, menilai ketakutan klien tentang jatuh kekuatan otot dan, meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko jatuh pada klien. Intervensi yang diberikan pada klien adalah melakukan pengkajian tentang nyeri, termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi dan kualitas dan tingkat keparahan, mengajarkan teknik latihan nafas dalam, melakukan kompres kering hangat didaerah yang bengkak tanpa kemerahan dan air dinging, ajarkan latihan pergerakan sendi secara teratur ROM pada sendi yang tidak sakit, anjurkan klien untuk menggunakan sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sandal setelah dari kamar mandi dan anjurkan klien untuk menyingkirkan sampah dan menghindari berjalan di lantai yang sangat mengkilap, menganjurkan klien untuk menggunakan pegangan tangan dikamar mandi, di gang dan di tangga.
Diagnosa ketiga adalah defisit perawatan diri: mandi. Tujuan dari diagnosa tersebut yaitu membantu dan melatih kemampuan klien dalam melakuan perawatan diri klien seperti mandi, kebersihan gigi agar klien terlihat wangi dan bersih. Intervensi yang dilakukan adalah kaji kebersihan tubuh setiap hari, kaji kondisi kulit setelah mandi, membantu nenek R mengganti pakaian, melakukan pemberian bedak salisilat dan lotion sehabis mandi, berkoordinasi dengan pramuwisma terkait tindak yang direncanakan, meminta nenek R unuk mempraktikan cara mengganti pakaian secara tepat dan aman, meletakakkan sapu lidi pmbersh tempat tidur dalam jangkauan nenek R
3.5 Implementasi Implementasi asuhan keperawatan pada klien dilaksanakan selama tujuh minggu. Implementasi dilakukan sebanyak empat kali dalam seminggu. Total interaksi dengan klien selama tujuh minggu sebanyak 20 interaksi yang sudah termasuk pengkajian dan intervensi. Waktu yang dibutuhkan untuk sekali interaksi adalah 15-30 menit. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
40
Hal tersebut dikarenakan klien cepat merasa bosen dan capek jika dilakukan intervensi dalam jangka waktu lama. Pertemuan pertama hingga kelima, penulis lakukan untuk melakukan pengkajian terkait kebutuhan dasar klien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula darah sewaktu, pemeriksaan Fall Morse Scale (FMS), Berg Balance Test (BBT) dan pemeriksaan GDS.
3.5.1 Implementasi Masalah Insomnia Pelaksanaan diagnosa insomnia dilakukan sebanyak 20 kali pertemuan. Intervensi yang dilakukan kepada nenek R meliputi teknik relaksasi (relaksasi otot progresif, latihan tarik nafas dalam, massase (punggung dan kepela), pemberian aromatherapy, sleep hygiene dan sleep restriction. Sebelum melakukan intervensi, penulis memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menanyakan kabar klien. Kemudian, penulis menjelaskan tujuan dari intervensi yang akan dilakukan pada hari Intervensi pertama yang dilakukan
ini.
adalah teknik relaksasi berupa latihan nafas
dalam.
Latihan nafas dalam berlangsung sekitar 15-30 menit. Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan melatih klien untuk melakukan latihan teknik nafas. Adapun langkahlangkah dalam melakukan latihan nafas dalam yaitu klien diminta untuk duduk dalam kedaan rileks. Klien diminta untuk menarik nafas, mengambil udara melalui hidung dan dikeluarkan perlahan-lahan melalui mulut. Teknik relaksasi nafas dalam dilakukan dua sampai tiga kali sampai klien merasa benar-benar rileks. Setiap selesai memberikan intervensi penulis selalu memberikan pujian kepada klien .
Intervensi yang kedua dilakukan teknik relaksasi berupa teknik relaksasi progressif. Setiap kali melakukan intervensi, penulis selalu menyapa klien dan menanyakan kabar klien. Tidak lupa juga penulis kembali memperkenalkan diri kepada klien. Kemudian penulis kembali memvalidasi apakah klien masih mengalami kesulitan tidur. Sebelum melakukan teknik relaksasi otot progressif , klien terlebih dahulu dianjurkan untuk melakukan latihan tarik nafas dalam. Adapun gerakan-gerakan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
41
teknik relaksasi nafas dalam sebagai berikut. Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Klien diminta membuat kepalan ini semakin kuat , sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit. Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot Biceps. Otot biceps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan. Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot biceps akan menjadi tegang. Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa hingga menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher.
Gerakan kelima sampai ke delapan adalah gerakan-gerakan yang ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai ototototnya terasa dan kulitnya keriput. Gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan menutup keraskeras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata . Gerakan ketujuh bertujuan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot-otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
42
rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang.
Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut. Gerakan kesembilan dan gerakan kesepuluh ditujukan untuk merilekskan otot-otot leher bagian depan maupun belakang. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. Klien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat, kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga klien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas. Sedangkan gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian klien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka.
Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kemudian punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. Gerakan berikutnya adalah gerakan keduabelas, dilakukan untuk melemaskan otototot dada. Pada gerakan ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas normal dengan lega. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks. Setelah latihan otot-otot dada, gerakan ketigabelas bertujuan untuk melatih otot-otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian menahannya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
43
sampai perut menjadi kencang dank eras. Setelah 10 detik dilepaskan bebas, kemudian diulang kembali seperti gerakan awal untuk perut ini.
Gerakan 14 dan 15 adalah gerakan-gerakan untuk otot-otot kaki. Gerakan ini dilakukan secara berurutan.Gerakan keempatbelas bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan dengan mengunci lutut, sedemikian sehingga ketegangan pindah ke otot-otot betis. Sebagaimana prosedur relaksasi otot, klien harus menahan posisi tegang selama 10 detik baru setelah itu melepaskannya. Setiap gerakan dilakukan masing-masing dua kali.
Mengingat tahapan teknik relaksasi otot progressif sangat banyak tahapannya. Penulis melakukan teknik relaksasi otot progressif secara perlahan-lahan. Penulis bersamasama klien melakukan teknik relaksasi nafas dalam dengan posisi yang saling berhadapan. Penulis menciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman bagi klien. Ketika klien terlihat kurang focus atau tidak bersemangat, penulis memberikan motivasi dan memberikan hal-hal yang humoris sehingga klien merasa rileks dan bersemangat kembali untuk melakukan intervensi . Intervensi yang ketiga adalah pemberiaan edukasi mengenai sleep hygiene. Intervensi sleep hygiene berlangsung sekitar 15-30 menit. Dalam rangka mengganti suasana agar klien tidak jenuh, penulis mengajak klien untuk mengobrol di teras wisma. Sehingga dapat menciptakan suasana yang santai dan rileks. Pemberian edukasi mengenai sleep hygiene menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Dalam menyampaikan materi penulis juga menggunakan suara yang sedikit keras, bicara yang jelas dan ada pengulangan kata. Hal tersebut dikarenakan klien yang mengalami gangguan pendengaran sering kurang mendengar apa yang di bicarakan oleh penulis. Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Adapun langkah-langkah dalam melakukan sleep hygiene Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
44
adalah penulis menyiapkan media yaitu berupa tulisan mengenai apa yang boleh dilakukan sebelum tidur dan apa yang tidak boleh dilakukan sebelum tidur. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein empat sampai enam jam sebelum tidur, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari
alkohol, tidak makan daging
terlalu banyak sekitar dua jam sebelum tidur. Intervensi keempat adalah melakukan teknik massase punggung dan massase kepala. Menurut pengakuan klien, klien sering mengeluhkan sakit kepala dan merasa pegalpegal di punggung. Penulis melakukan intervensi melakukan intervensi massase (pemijatan) di area kepala dan area punggung. Pemijatan menggunakan minyak baby oil yang di mulai di area kepala dan di lanjutkan area punggung. Sebelumnya, klien di minta untuk minum air hangat terlebih dahulu. Intervensi berlangsung sekitar 10-20 menit. Klien di minta untuk berbaring di tempat tidur pada saat dilakukan intervensi. Setelah melakukan intervensi massase , penulis selalu melakukan evaluasi kepada klien. Intervensi kelima adalah melakukan teknik pembatasan tidur (sleep restriction). Terapi ini bertujuan untuk membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang. Pada saat melaksanakan sleep restriction, penulis membuat jadwal tidur bagi klien. Dalam melaksanakan memberikan sleep restriction (terapi pembatasan tidur), klien berdiskusi dengan penulis tentang jam tidur dan lama waktu tidur. Penulis mengatakan bahwa jumlah jam tidur tidak boleh kurang dari lima jam. Hasil diskusi bersama klien diperoleh bahwa klien akan tidur dari pukul 20.00 dan bangun pukul 04.00 . Penulis juga meminta klien agar dapat menaati jadwal tidur yang sudah di sepakati bersama. Hal tersebut bertujuan agar klien bangun tidur teratur dan konsisten dengan jadwal tidur yang sudah disepakati bersama. Intervensi yang keenam melalui pemberian aromaterapi. Pemberian aromaterapi bertujuan agar klien lebih rileks dan tenang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
45
sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Pemberian aromaterapi dilakukan dua kali yaitu aromaterapi mawar dan aromaterapi lavender.
3.5.2 Implementasi Masalah Risiko Jatuh Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan resiko jatuh dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan. Implementasi dilakukan dengan mengindentifikasi penyebab jatuh dan akibat dari jatuh yang tersebut. Dalam melakukan intervensi, penulis dan klien saling bertatapan muka dan menggunakan bahasa yang sederhana. Sehingga klien mudah mengerti tentang maksud yang disampaikan oleh klien. Penulis melakukan latihan kekuataan otot bersama klien menggunakan sendi klien yang tidak sakit. Penulis secara perlahan-lahan mengulang gerakan demi gerakan. Hal tersebut bertujuan agar klien lebih memahami mengenai gerakan ROM yang dianjurkan. Penulis bersama klien melakukan modifikasi lingkungan. Adapun modifikasi lingkungan yang dilakukan kepada klien adalah anjurkan klien untuk menggunakan sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sandal setelah dari kamar mandi dan anjurkan klien untuk menyingkirkan sampah dan menghindari berjalan di lantai yang sangat mengkilap, menganjurkan klien untuk menggunakan pegangan tangan dikamar mandi, di gang dan di tangga. Penulis dan klien bersama-sama sepakat untuk melakukan modifikasi lingkungan bersama.
3.5.3. Implementasi Masalah Defisit Perawatan Diri Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan defisit perawatan diri: mandi dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan. Implementasi yang dilakukan yaitu melakukan identifikasi kesulitan klien dalam melakukan kebersihan diri. Klien terlihat kurang bersih dalam melakukan perawatan mandi, klien juga kurang terlihat rapi dalam berpakaian. Penulis bersama klien membantu dan melatih klien dalam melakukan perawatan kebersihan diri berupa mandi. Klien juga bersama penulis membantu nenek R dalam menggantikan pakaian dan meminta nenek R untuk mempraktikan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
46
cara menggantikan pakaian yang aman dan tepat. Penulis juga melakukan koordinasi dengan petugas terkait tentang intervensi yang dilakukan. Implementasi selanjutnya yaitu penulis membantu klien dalam melakukan perawatan kuku dan kulit Perawatan kuku dengan melakukan pemotongan kuku pada nenek R. Perawatan kulit dengan melakukan pemakaian lotion pada nenek R selesai nenek R mandi. Klien tampak senang ketika dilakukan perawatan kebersihan diri. 3.6 Evaluasi Penulis menggunakan hasil evaluasi dengan analisis SOAP. Analisis SOAP terdiri dari empat bagian yaitu subjektif yang merupakan respon yang dipaparkan oleh residen, sedangkan objektif merupakan respon yang ditunjukan melalui tindakan atau perilaku residen. Selain itu terdapat pula analisa yang merupakan analisa terhadap respon subjektif dan objektif serta implementasi yang dilakukan dan perencanaan yaitu rencana tindak lanjut yang akan dilakukan pada klien tersebut merupkan respon subjektif dan objektif residen dan dianalisis kemudian diberikan rencana tindak lanjut untuk klien. Evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan dari implementasi yang sudah dilakukan. Pada awal pertemuan, klien masih terlihat bingung dengan kehadiran mahasiswa tetapi klien bersedia untuk berinteraksi dengan mahasiswa. Setelah berinteraksi selama satu minggu, hubungan saling percaya antara klien dan mahasiswa sudah terlaksana dengan baik. Upaya tersebut dengan cara menyapa klien, memberikan perhatian kepada klien dan melakukan interaksi secara rutin kepada klien. Akhirnya setelah
terjalinnya
hubungan
bina
saling
percaya,
klien
mampu
untuk
mengungkapkan tentang keluhan yang dialami oleh klien. Masalah insomnia merupakan masalah yang klien keluhkan pertama kali. Klien mengatakan semenjak tinggal di panti mengalami kesulitan untuk tidur. Klien dan penulis akhirnya sepakat untuk mengatasi masalah insomnia pada klien. Terlebih dahulu penulis meminta persetujuan dari klien untuk melakukan pengkajian dan intervensi. Intervensi diberikan untuk mengatasi masalah insomnia melalui Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
47
penatalaksanaan terapi nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi meliputi sleep hygiene, sleep restriction, terapi relaksasi (nafas dalam dan relaksasi progresif), terapi massase dan pemberian aromaterapi Terapi sleep hygiene dan sleep restriction yang ditujukan pada klien mengalami kesulitan dikarenakan klien sering lupa akan informasi yang diberikan. Ketika ditanya kembali apakah sudah melakukan sesuai instruksi, klien selalu mengatakn sering lupa. Sehingga penulis menempelkan jadwal tidur di lemari klien. Akan tetapi hal tersebut agaknya kurang efektif dikarenakan klien masih sering tidak melakukan apa yang sudah disepakati dengan penulis. Dalam pemberian intervensi dilakukan di lingkungan yang tenang dan posisi yang saling berhadapan. Sehubungan dengan klien yang mengalami gangguan pendengaran, penulis menggunakan suara yang jelas dan agak keras. Intervensi selanjutnya berupa teknik relaksasi. Teknik relaksasi yang dilakukan adalah relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot progresif. Penulis mengajak klien untuk keluar wisma dan mencari tempat yang tenang yaitu di depan teras wisma dalam melakukan teknik relaksasi dimana terdapat udara segara. Hal tersebut bertujuan agar klien jauh lebih rileks dan tenang. Klien mengatakan kesulitan untuk mengikuti gerakan teknik relaksasi tersebut. Sehingga dibutuhkan untuk mengulang beberapa kali gerakan sebelum pindah ke gerakan selanjutnya. Klien merasa kesulitan melakukan teknik relaksasi otot progresif sehingga ketika dievaluasi besok harinya, klien lupa akan gerakannya. Setelah dilakukan pertemuan ke empat, klien mulai hapal dengan gerakan tersebut walaupun masih sering lupa dibeberapa bagian gerakan Intervensi berikutnya adalah melakukan terapi massase (terapi pemijatan). Terapi pemijatan di area kepala dan area punggung. Pemijatan ini didasarkan pada keluhan klien yang sering merasa pusing kepala dan pegal-pegal di area punggung. Pemijatan dilakukan ditempat tidur klien dan menggunakan minyak baby oil. Klien mengatakan badan terasa lebih enak setalah dilakukan pemijatan dan ketika bangun lebih segar. Setelah diobservasi klien jarang terlihat menguap dan mengatakan jarang mengantuk Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
48
di siang hari. Intervensi ini dilakukan sebanyak delapan pertemua untuk membuat klien bangun lebih segar dan data meningkatkan kualitas tidur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
49
BAB 4 ANALISIS SITUASI
4.1 Analisis Profil Pelayanan Sasana Tresna Werdha Kawasan perkotaan merupakan wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (PERPU no 34 tahun 2009).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa kawasan perkotaan merupakan kawasan yang padat penduduk dan merupakan pusat perekonomian. Perkembangan kawasan perkotaan yang terus menerus tentunya mempunyai dampak bagi lingkungan fisik maupun psikologis dari penduduk dari kawasan perkotaan tersebut. Tentunya termasuk lansia di dalamnya yang mengalami perubahan terkait dengan kondisi perkotaan yang ada. Salah satunya Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung yang merupakan fasilitas pemukiman yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan lansia. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 01 Cipayung berdiri pada tanggal 27 agustus 1968 yang beralamat di Jalan Bina Marga no 58 Jakarta Timur. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung memiliki luas lahan 9999 M2 dan luas bangunan 5500 M2. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung berada di bawah pimpinan kepala panti yaitu Bapak Drs. H. Akmal Towe, M.Si. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung memiliki visi yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia terlantar menuju kehidupan layak sehat, normatif dan manusiawi. Visi tersebut didukung dengan misi yang dijunjung oleh PSTW Budi Mulia 01 Cipayung. Adapun misi tersebut adalah menyelenggarakan penampungan
lanjut
usia
terlantar
dalam
rangka
perlindungan
sosial,
menyelenggarakan pelayanan sosial, psikologis, perawatan medis, bimbingan fsik, mental spiritual dan bimbingan pemanfaatan waktu luang, menyelenggarakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
50
penyaluran bina lanjut dan pemulasaran jenazah, menggalang peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha. Fasilitas PSTW Budi Mulia 01 Cipayung cukup lengkap dalam rangka memenuhi kebutuhan lansia. Fasilitas tersebut terdiri dari tujuh wisma, ruang bacaan, klinik, ruang konsultasi, mushola, aula, ruang ketrampilan, kolam ikan, lahan berkebun, taman refleksi, kendaaran operasional, lapangan olahraga, dapur , koperasi dan taman. Panti juga dilengkapi dengan fasilitas lainnya rumah dinas, loby, kantor dan pos jaga. Lansia di panti juga mendapatkan fasilitas kesehatan seperti rujukan RS, rawat inap RS, konsultasi ahli (klinik), fisioterapi dan pemeriksaan tanda-tanda vital secara rutin. Fasilitas kegiatan rohani yang ada di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung meliputi fasilitas kebaktian dan pengajian. Ajang berkumpul lansia di PSTW bisa berupa kegiatan angklung, panggung gembira (bernyanyi dan bermusik), kegiatan ketrampilan seperti merajut , menjahit, membuat anyaman atau membuat kerajinan tangan. WBS juga diberikan sarana untuk berkebun dan beternak ikan. Kegiatankegiatan tersebut di laksanakan sesuai dengan minat klien. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung yang terletak di kawasan perkotaan tentunya terpengaruh juga dengan kondisi dan masalah yang ada di perkotaan. Menurut Allender (2010) yang menyatakan bahwa salah satu dampak dari lingkungan kawasan perkotaan adalah status kesehatan menurun. Kondisi lingkungan perkotaan yang padat, tercemar polusi udara , gas, debu dan air tentunya akan berdampak pada masyarakat perkotaan di dalamnya termasuk lansia. Salah satu dampak tersebut adalah stress. Stres merupakan salah satu masalah psikososial yang ada pada masyarakat perkotaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2010) bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan tidur disebabkan oleh faktor kebiasaan (gaya hidup), stres psikologis dan faktor lingkungan tempat tinggal. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Agus dan Ernawati (2008) di dapatkan bahwa terdapat pengaruh kecemasan dan gaya hidup terhadap insomnia pada lansia.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
51
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Insomnia dengan penatalaksanaan Insomnia Insomnia adalah salah satu keluhan tidur yang paling umum dikeluhkan oleh lansia yang ditandai dengan kesulitan untuk mempertahankan tidur, memulai untu tidur. Studi penelitian menjelaskan bahwa sekitar 40-50% lansia mengeluhkan gangguan tidur berupa insomnia (Israel, 2000). Insomnia merupakan gangguan yang khas yang terjadi pada lansia. Pada klien nenek R, beliau mengeluhkan hampir tiap malam sering terjaga dari tidur, apabila sudah terbangun dari tidur , klien tidak mampu untuk tidur kembali. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia pada lanisa. Pada kasus nenek R didapatkan bahwa data bahwa nenek R sering mengatakan sering merasa cemas akan keadaan keluarganya dan merasa rindu ingin bertemu keluarganya. Sehingga setiap terjaga dari tidur nenek R selalu memikirkan keluarganya dan tidak bisa tidur kembali. Pada kasus nenek R, faktor kecemasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi insomnia nenek R. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanto dan Ernawati (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian insomnia di Sukaharjo. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan data bahwa terdapat hubungan tingkat kecemasan pada lansia dengan kejadian insomnia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan maka semakin tinggi pula tingkat insomnia. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Vgontzas (2005) yang mengungkapkan bahwa bahwa kejadian insomnia erat kaitannya dengan masalah kecemasan, depresi, oral hygiene, dan pembatas Pada kasus nenek R didapatkan bahwa klien mengalami hipertensi dan gangguan mobilitas fisik. Kasus hipertensi dan gangguan mobilitas fisik. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bormet (1995) yang menyatakan bahwa insomnia berhubungan erat juga dengan berbagai jenis penyakit misalnya penyakit jantung, darah tinggi dan masalah gangguan muskuloskletal. Menurut Krishan (2008) juga menyatakan bahwa penyebab insomnia dikalangan lansia meliputi gangguan fisik, efek obat, faktor Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
52
psikososial dan faktor lingkungan dan tingkah laku. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Roepke and Israel, 2008 yang menyatakan bahwa beberapa akibat insomnia pada lansia jika tidak ditangani dengan benar yaitu resiko jatuh, gangguan kognitif , gangguan fisik hingga kematian Penatalaksanaan Insomnia meliputi terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Penulis melakukan area intervensi non farmakologi aja. Terapi non farmakologi yang dilakukan adalah teknik relaksasi (nafas dalam dan relaksasi otot progressif), sleep hygiene, sleep retriction, massase (terapi pijat punggung dan kepala), pemberian aromaterapi. Intervensi yang pertama dilakukan adalah teknik relaksasi. Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan dapat dilakukan dimana saja (Potter and Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progressif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback and hypnosis (Miltenberger, 2004) Relaksasi progresif adalah latihan terinstruksi yang meliputi pembelajaran untuk mengerutkan dan merilekskan kelompok otot secara sistemik dimulai dengan otot wajah dan berakhir pada otot kaki. Tindakan ini biasanya memerlukan waktu 15 sampai 30 menit. Rendahnya aktivitas otot tersebut menyebabkan kekakuan pada otot. Otot yang kaku akan tersebut menyebabkan tubuh tidak menjadi rileks sehingga memungkinkah lansia mengalami gangguan tidur (Jhonson, 2005) Teknik relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot progresif dilakukan secara bersamaan. Pada setiap intervensi relaksasi diawali dengan relaksasi nafas dalam terlebih dahulu. Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simple dan sistematis dalam menegangkan sekelompok otot kemudian merilekasasikannya kembali (Marks, 2011). Intervensi tarik nafas dalam dan relaksasi otot progresif yang dilakukan pada nenek R bertujuan meningkatkan kebutuhan tidur lansia. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Fitrisiya dan Ismayadi (2010) yang membuktikan bahwa relaksasi otot progresif Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
53
merupakan salah satu bentuk relaksasi yang digunakan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Pada kasus nenek R yang sering mengalami ansietas akan keberadaan keluarganya, terapi relaksas progresif sangat efektif dalam mengurangi masalah ansietas. Relaksasi otot progressif juga bermanfaat untuk ansietas, mengurangi kelelahan kram otot serta nyeri leher dan punggung (Berstein, Borkoec dan Steven, 2000). Penelitian dari University Stress Institute menyatakan bahwa relaksasi otot progressif lebih efektif dalam menimbulkan relaksasi fisik daripada relaksasi yoga (Ghoncheh, 2004). Relaksasi otot progresif dapat menyebabkan terjadinya penurunan vasokonstriksi arteriol dimana memberi pengaruh pada perlambatan aliran darah yang melewati arteriol dan kapiler, sehingga mempunyai waktu untuk mendistribusikan oksigen dan nutrisi ke sel terutama jaringan otak atau jantung dan menyebabkan metabolisme sel menjadi lebih baik karena produksi ATP meningkat dan produksi ATP meningkat tersebut kondisi tubuh akan menjadi lebih stabil sehingga pikiran menjadi lebih rilekas (Rizal, 2012) Intervensi yang diberikan oleh penulis yaitu dengan teknik relaksasi progresif bertujuan untuk meningkatkan kuantitas tidur lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Sukmanngish (2014) menguatkan data bahwa relaksasi progresif memiliki pengaruh terhadap jumlah kuantitas tidur pada lansia. Penelitian Sukmaningsih (2014) menyimpulkan bahwa responden setelah dilakukan relaksasi progresif, responden berada dalam kondisi rileks yang akan membuat fungsi reticular activating system dalam kondisi sadar menurun secara bertahap sampai tidak aktif sama sekali. Keadaan tersebu diikuti oleh aktivasi bulbar synchronizing regional (BSR) yang akan membuat kondisi seseorang mengantuk sampai tertidur. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai relaksasi otot progressif yaitu pengaruh relaksasi otot progressif terhadap kebutuhan istirahat dan tidur klien di ruang VIP-B RSUD Bima diperoleh hasil tidur baik dan tidur cukup (0%). Sedangkan yang tidur kurang naik menjadi 12 orang (60%) dibandingkan sebulum diberikan tindakan berjumlah 20 orang (100%) (Haris 2010). Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
54
Intervensi yang kedua dilakukan tindakan melakukan pemberian edukasi mengenai sleep hygiene. Sleep Hygiene merupakan salah satu bentuk terapi insomnia. Sleep hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup individu dan lingkungannya sehingga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang. Adapun langkah-langkah dalam melakukan sleep hygiene adalah penulis menyiapkan media yaitu berupa tulisan mengenai apa yang boleh dilakukan sebelum tidur dan apa yang tidak boleh dilakukan sebelum tidur. Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan sleep hygiene yaitu olahrga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur, melakukan aktivitas, mengurangi konsumsi kafein empat sampai enam jam sebelum tidur, mengatur waktu bangun pagi, menghindari merokok, menghindari alkohol, tidak makan daging terlalu banyak sekitar dua jam sebelum tidur. Intervensi yang ketiga dilakukan massase (terapi pemijatan). Klien sering mengeluhkan sakit punggung dan sakit kepala. Penulis melakukan intervensi terapi pemijatan pada area kepala dan punggung. Tujuan dari intervensi terapi pemijatan agar klien dapat meningkatkan efektifitas tidur dan dapat mengurangi kejadian insomnia pada lanisa. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tryadini, Asrin, Arif (2010) yang melakukan penelitian mengenai efektifitas terapi massase dan mandi air hangat terhadap penurunan insomnia pada lansia, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terjadi penurunan derajat insomnia pada lima orang responden setelah diberi terapi massase. Terapi pemijatan ini berfungsi untuk membuat klien lebih rileks dan memberikan kenyamanan sehingga dapat tertidur. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ayu (2009) yang menyatakan bahwa salah satu manfaat langsung dari massase adalah relaksai menyeluruh dan ketenangan yang dapat memberikan kenyamanan pada saat tidur, hal tersebut disebabkan karena massase bekerja langsung pada kulit, dimana kulit merupakan organ tubuh terbesar dari manusia dan dipenuhi ujung-ujung syaraf. Massase juga dapat memicu terlepasnya endorfin, zat kimia otak (neutransmitter) yang menghasilkan perasaan nyaman. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Hadibroto dan Alam (2006) yang menyatakan bahwa efek Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
55
langsung yang bersifat mekanis dari tekanan secara berirama dan gerakan-gerakan yang digunakan dalam massase dapat meningkatkan aliran darah sehingga mafaat massase sangat teraa pada tubuh, pikiran 4.3 Analisis Intervensi Insomnia yang dilakukan dengan Konsep dan Penelitian yang terkait Insomnia adalah suatu keadaan dimana individu tersebut sulit mempertahankan tidur yang kebanyakan terjadi pada wanita dimana faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor yang paling utama dalam terjadinya masalah insomnia (Mauk 2010). Pada kondisi residen saat ini yang memiliki jenis kelamin perempuan, lanjut usia, depresi dan sering berkemih malam hari merupakan beberapa penyebab yang mengakibatkan insomnia pada kasus nenek R. Beberapa faktor resiko pada insomnia yang dapat diidentifikasi perempuan, lanjut usia, depresi, sering berkemih dimalam hari, kurang beraktivitas, gangguan medis, penggunaan obat tidur, mendengkur (Mai and Buyse, 2008).). Taylor and coleagus (2003) juga mengungkapkan bahwa insomnia erat kaitanya dengan depresi, ansietas, resiko bunuh diri. Penelitian yang dilakukan oleh wiyono (2009) yang melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dan insomnia pada lansia dip anti werdha didapatkan data bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dan insomnia yang dialami oleh lansia. Penatalaksanaan
insomnia
meliputi
penatalaksanaan
farmakologi
dan
non
farmakologi. Intervensi yang dilakukan pada kasus nenek R lebih ditekankan pada intervensi farmakologi. Terapi nonfarmakologi yang dilakukan pada nenek R adalah terapi relaksasi, sleep hygiene , sleep restriction dan pemberian aromaterapi. Penelitian yang dilakukan Astuti (2010) mengenai penatalaksanaan insomnia pada usia lanjut didapatkan bahwa terapi non farmakologi merupakan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan insomnia usia lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2010) lebih menekankan pada behavioral therapies terdiri dari stimulus control, sleep restriction, sleep hygiene, terapi relaksasi, cognitive behavioral therapy
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
56
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2010). Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2010) tentang diagnosis dan penanganan insomnia kronik digunakan terapi farmakologi berupa benzodiasepin reseptor agonis, antihistamin dan depressan. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penanganan insomnia kronik, pemberian terapi farmakologi dianggap paling efektif untuk mengatasi masalah insomnia. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ancoli dan Ayalon (2009) yang menyatakan bahwa penanganan insomnia pada umumnya menggunakan terapi farmakologi, salah satu terapi farmakologis yang sering digunakan dan aman bagi lansia adalah golongan benzodiazepine (zolpidem zaleplon, eszopiclone). 4.4 Alternatif Intervensi lain Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin hari semakin bertambah, berbagai macam intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia. Salah satu bentuk alternatif intervensi yang dilakukan adalah terapi musik. Terapi musik juga bisa dijadikan pilihan sebagai salah satu bentuk terapi relaksasi dalam mengatasi insomnia. Terapi music bertujuan untuk relaksasi, mengurangi kecemasan dan rasa nyeri, meningkatkan kualitas tidur, dan menurunkan denyut jantung dan tekanan sistolik (Fontaine et all, 2001 dalam Mauk, 2010). Terapi music merupakan intervensi keperawatan mandiri yang merupakan metode pilihan sebagai terapi relaksasi. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Djohan (2006) yang menyatakan bahwa terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan dalam mengatasi insomnia dengan cara pemberian terapi musik. Adapun tujuan dari terapi relaksasi yaitu menurunkan kerja sistem saraf pusat, merangsang gelombang alpha dan memicu pelepasan endhorphin (Gagner, Tjellesen et all., 2001). Cara kerja terapi musik dalam mengatasi insomnia sebagai berikut terapi musik menggunakan musik yang sederhana, menenangkan dan mempunyai tempo yang teratur yang dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi stress dan menimbulkan kondisi rileks pada seseorang (Mucci, 2004). Musik dapat dipilih Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
57
sebagai salah satu alternative dikarenakan music merupakan cara yang mudah untuk mengalihkan perhatian, musik lebih sederhana, mudah dimengerti dan hampir semua orang menyukainya. Salah satu terapi musik yang dapat digunakan adalah keroncong. Musik keroncong dapat dijadikan salah satu bentuk terapi untuk mengurangi insomnia (Wijayanti, 2012). Penelitian terkait terapi musik dalam mengatasi insomnia pun sudah dilakukan. Emy (201) yang melakukan penelitian yang berjudul pengaruh terapi musik relaksasi terhadap kualitas tidur pada lansia di PSTW Jara Mara Pati Singaraja menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi musik terhadap kualitas tidur lansia. Hasil penelitian tersebut mempunyai hasil yang sama yang dilakukan oleh Widyastuti dan Achjar (2008) yang mengungkapkan bahwa ada pengaruh terapi music terhadap kualitas tidur lansia. Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung merupakan tempat bermukim nenek R. Fasilitas panti yang sudah lengkap dapat menjadikan intervensi terapi musik sebagai alternatif lain dalam mengatasi masalah insomnia. Terapi musik tersebut dapat dilakukan di wisma masing-masing. Semua residen dapat ikut terlibat dalam intervensi terapik musik. Hal tersebut dikarenakan terapi music bersifat relaksasi .
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
58
BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan 1. Kawasan perkotaan merupakan lingkungan yang padat hunian dan padat penduduk dengan segala perkembangan ekonomi yang ada. Padatnya lingkungan perkotaan dan adanya urbanisasi yang terus menurus berdampak pada masyarakat perkotaan didalamnya. Salah satu dampaknya adalah status kesehatan masyarakat perkotaan menurun termasuk lansia didalamnya . 2. Insomnia merupakan salah satu keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh lansia. Insomnia adalah salah satu keadaan tidak mampu untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, bangun dini hari serta disertai rasa tidak segar ketika bangun dan mengantuk di siang hari. Salah satu kejadian insomnia dikeluhkan oleh Nenek R di wisma asoka PSTW Budi Mulia 01 Cipayung. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung 3. PSTW Budi Mulia 01 Cipayung merupakan suatu tempat tinggal yang difasilitasi oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan status kesehatan lansia. Dalam hal penanganan masalah insomnia lansia di panti erat kaitannya dengan peranan panti di dalamnya. 4. Penanganan masalah insomnia terdiri dari terapi farmakologi dan terapi nonfarmakologi. Terapi farmakolog terdiri dari penggunaan obat-obatan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur lansia. Terapi farmakologi terdiri dari sleep restriction, sleep hygiene, terapi relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot progressif) dan pemberian aromaterapi. 5. Penanganan masalah insomnia yang diterapkan pada nenek R berupa terapi nonfarmakologi yaitu sleep restriction, sleep hygiene, terapi relaksasi (relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot progressif) dan pemberian aromaterapi. Tujuan terapi ini adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur lansia tanpa menggunakan obat-obatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
59
6. Terapi nonfarmakologi yang diterapkan pada nenek R dilakukan selama delapan kali pertemuan. Menciptakan lingkungan yang kondusif dan tenang pada saat intervensi tersebut merupakan suatu langkah yang harus diterapkan pada nenek R. 7. Penanganan masalah insomnia agar dapat segera dilakukan mengingat masalah yang dapat timbul akibat adanya insomnia pada lansia. 5.2 Saran 1. Pengkajian mengenai pola tidur pada lansia perlu dikaji lebih dalam oleh petugas PSTW. Mengingat masalah insomnia apabila tidak ditanggulangin akan memberikan dampak yang cukup serius pada lansia. 2. Sebaiknya penatalaksanaan insomnia menggunakan terapi nonfarmakologi terlebih dahulu dibandingkan terapi farmakologi. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi penggunaan obat pada lansia. 3. Dalam melakukan terapi nonfarmakologi hendaknya diciptakan lingkungan kondusif dan nyaman sehingga intervensi bisa berjalan dengan lancar. 4. Perlu dibuatkan jadwal tidur dan jadwal bangun tidur bagi lansia dalam rangka mengatur pola dan jam tidur bagi lansia. 5. Perlu dilakukan inovasi berupa terapi musik dalam melakukan penanganan masalah insomnia 6. Karya ilmiah akhir ini dapat menjadi data dan masukan bagi pihak panti terkait masalah insomnia dan penatalaksanaannya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
60
DAFTAR PUSTAKA Allender, J.A and Spradley, B. W. (2001). Community Health Nursing: Concept and Practice, Fifth Edition, Philadelphia, New York: Lippincott. Anderson, E. and McFarlane, J.(2007). Buku ajar Keperawatan Komunitas: Teori dan Konsep. Jakarta: EGC. Ancoli Israel S, Insomnia in the elderly A review for the primary care practitioner. Sleep 2000; 23 : S23-S30 Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika Bormet MH, Arrand DL. (195). 24 Hour Metabolic Rate in Insomnia and Matched Normal Sleep 18(7). 581-8. Berstein, A.D. Borkoec.Steens, et al. (2000). The journal New Diretion in Progressie Relaxation Training a Guidebook for Helpng. USA: Praeger Publisher. USA Chandar. (2010). Diagnosis dan Penanganan Insomnia Kronik. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Espie. Colin A. (2002).Insomnia : Conceptual Issue in the Development, Persistence, and Treatment of Sleep Disorder in Adult. Annual Reviews 53:215-43 Fitrisyia, Rahmadona and Ismayadi . (2012). Relaksasi Otot rogressif dengan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Frost, R. (2001). Sleep Disorder Introductory Text Book of Psychiatry (3rd Edition) Am Pyschiatry Publ. Inc, Wanshington DC: London. Galimi R. (2010). Insomnia in the Elderly: An Update and Future Challenges. GERONTOL; 58: 231-247 Hadibroto,I.,Alam, S. (2006). Seluk Beluk Pengobatan Alternatif dan Komplementer. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
61
Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Hidayat. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Jhonson, Joyce Young et al. (2005). Prosedur Perawatan di Rumah : Pedoman untuk Perawat. Jakarta: EGC Jaelani. (2009). Aromaterapi. Jakarta Pustaka Populer Obor Kamel NS, Gammack JK. (2006). Insomnia in the Elderly: Cause, Approach and Treatment. The American Journal of Medicine. 119: 463-469 Kenia dan Dian. (2013). Pengaruh Relaksasi (Aromaterapi Mawar) Terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Lansia. Skripsi. Stikes RS Baptis Kediri Krishnan, Preetha. (2008). Diagnosis and Management of Geriatric Insomnia A guide for Nurse Practitioners. Journal of the American Academy of Nurse Practicioner; 20(2008) 590-599 Kryger, M. (2004). Sleep, Health, Aging. Bridging the Gap Between Science and And Clinical Practice . Geriatrics, 59,24-26 Launders, D., Petruzzelo and Salazar, W. (1993) Exercise and Anxiety Reduction : Examination of Temperature as an Explanation Effective Change. Journal of Exercise and Spot Psychology. Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontological Nursing. (Edisi 7). Mosby Marks, I. Tracey. (2011). Master your Sleep Proven Methode Simplied. USA Bascom Hills Publish Group. Mai and Buyse. (2008). Insomnia : Prevalane. Impact , Pathogenesis, Diffrential Diagnosis And Evaluation. Sleep Medicine Clinics; 3: 167-174 Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
62
McEwen, M. (1998). Community-Based Nursing: An Introduction. Philadelphia: W.B. Saunders. Nies, Mary A. (2007). Community/Public Health Nursing: Promotion the Health of Populations. St. Louise: Saunders Elsevier. Nugroho, W. (2000). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Nugroho, W. (2006). Keperawatan Gerontik. Jakarta EGC Prayitno, A. (2002). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran Trisakti. Edisi Januari-April 2002, Vol.21 No.1. Petit L, Azad N, Byszewski A, Sarazan F, Power B. (2003). Non pharmacological Management of Primary and Secondary Insomnia among Older People. Review of Assessment Tools and Trearments. Age and Ageing . 32. 19-25 Potter P. A and Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. (Edisi 4). Jakarta: EGC Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice. 4th Ed. St.Louis: Mosby Elsevier. Rogers , A. (1997). Nursing Management of Sleep Disorder; Part 2-Behavior Interventions Ann Journal. 24(6). Roepke, S and Israel Ancoli. (2010). Sleep Disorder in The Elderly. Indian J Med Res. February 2010 pp 302-3 Sukmaningsih. (2014). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kuantitas Tidur pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Purbo Yuwono Brebe. Skripsi. Sumedi, Wahyudi dan Kuswati. (2010). Pengaruh Senam Lansia Terhadap Penurunan Skala Insomnia Lansia di Panti Werdha Dewanata Cilacap. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
63
Jurnal Keperawatan Sudirman. 5(1) Subandi. (2003). Psikoterapi. Pendekatan Konseensional dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stanley, M. & Beare, P. G. (2007). Gerontological Nursing: A Health Promotion/Protection Approach. 2th Ed. Philadelphia: F. A. Davis Company. Simpson T, et al. (1996). Patients Perceptions of Enironmental Factors that Distrub Sleep After Cardiac Surgery. Am J Crit Care, 5 (3), 81-73 Tjepkma, M. (2005). Insomnia. Health Reports. 17(1). Taylor and Leagues. (2003). Insomnia as Health Risk Factor Behav Sleep Med. 2003;1: 227-47 Vgontzas, Alexandro. (2005). The Diagnosis and Treatment of Chronic Insomnia in Adults . Sleep; 28(5). Ayu. (2009). Aneka Manfaat Terapi Pijat. http://www.indofamilyhealth.com Broderick, Meredith. “Sleep and Aging”. http://www.docslide.com/sleep-and-aging/# (diakses pada tanggal 04 juni 2014). Marcell. (2005). Gangguan Tidur pada Usia Lanjut. http://www.perdosi.or.id/show_file html (Diakses pada tanggal 04 juni 2014).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
1
PENGKAJIAN INDIVIDU FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
Nama Panti
: PSTW Budi Mulia 01 Cipayung
Alamat Panti
: Ciracas, Jawa Timur
Tanggal Masuk
: 08 Januari 2003
Nomor Register
: 194
I.
IDENTITAS a. Nama
: Nenek R
b. Jenis kelamin
: Perempuan
c. Umur
: 68 tahun
d. Agama
: Islam
e. Status perkawinan
: Janda
f. Pendidikan terakhir
: SR (tidak lulus)
g. Pekerjaan
: Tidak bekerja
h. Alamat rumah
: Tidak ada (terlantar)
II. ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI/PUSKESMAS Nenek R dibawa ke PSTW Budi Mulia 01 Cipayung dikarenakan limpahan dari kedubes RI yang bertugas penyelenggaran tenaga kerja wanita. Dahulu klien merupakan TKW di Arab Saudi
III. RIWAYAT KESEHATAN a. Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini Masalah kesehatan yang dirasakan oleh nenek R selama berada di panti sangat beragam, diantaranya adalah: nenek R mengeluhkan sakit pada kaki terutama lututnya jika digunakan berjalan jauh, saat hujan, dan juga saat malam dan pagi hari, penglihatan kabur tetapi nenek R masih dapat
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
2
mengenali wajah teman-teman sekamarnya dan tidak sampai mangganggu aktivtas nenek R, dan mata yang sering berair, pendengaran berkurang, namun nanak R masih dapat dengan jelas mendengarkan perkataan mahasiswa. Nenek R mengatakan memiliki riwayat jatuh (nenek R mangatakan sudah lupa kapan tepatnya) dan mengalami gangguan pada tangan kanan terutama bahunya tidak dapat digerakkan/direntangkan dengan maksimal, nenek R hanya mampu merentangkan tangan kanannya ke samping dan tidak dapat menggangkat tanggan kanannya hingga ke samping telingga, jika dipaksakan akan terasa sakit. Nenek R mengatakan akibat jatuh yang dialaminya tangan kanannya mengalami kelemahan, nenek R sekarang mengunakan tangan kirinya untuk membantu nenek R melakukan aktivitasnya seperti makan, mandi, menggunakan pakaian, berdiri, dan kegiatan lainnya. Nenek R melakukan kegiatannya dengan berhati-hati. Nenek R mengatakan tidak penah secara rutin memeriksakan kesehatannya, paling nenek R hanya melakukan pemeriksaan tekanan darah yang dilakukan oeh perawatan yang ada di panti.
b. Masalah kesehatan keluarga/keturunan Ibu H mengatakan tidak tahu pasti tentang riwayat penyakit keluarganya karena sejak kecil ia sudah terpisah dengan kedua orang tua. Nenek R juga mengatakan tidak tahu apakah memiliki riwayat sakit gula (DM) dan jantung.
IV. KEBIASAAN SEHARI-HARI a. Biologis 1. Pola makan Nenek R memiliki pola makan 3 X sehari dengan menu yang disediakan panti dengan menu yang bervariasi nasi, lauk (ayam, ikan, telor, tahu, tempe), sayur-sayuran, dan buah-buahan. Nenek R juga sering mendapatkan kue-kue dari panti nya dibagikan setiap hari, namun jam pemberiaanya tidak tentu, nenek R hanya
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
3
menerima saja apa yang diberikan dari panti ataupun jika ada tamu yang memberikan makanan.
2. Pola minum Nenek R lebih banyak meminum air putih setiap hari 6-8 gelas sehari, tetapi jika ada diberikan minuman lain seperti teh dan sirup maka nenek R akan meminumnya juga.
3. Pola tidur Nenek R mengatakan sehari-harinya saat tidur malam dimulai pada pukul 23.00 WIB dan akan bangun pada pukul 03.00 WIB, setelah ibu nenek R tidak dapat tidur kembali, biasanya nenek R hanya berbaring lagi di tempat tidur. Nenek R juga mengatakan sulit tidur siang karena kondisi ruangan yang ribut dan juga nenek R tidak merasa ngantuk. Saat malam juga sering kali nenek R sulit tidur karena banyak nyamuk, dan teman sekamarnya mengganggu saat malam-malam dengan membuat keributan atau membangunkan semua teman-teman satu kamarnya, sehingga nenek R sulit tidur. akibat malam hari sulit tidur, siang harinya nenek R lebih senang tinggal di kamar dan berbaring di tempat tidur, walaupun tidak bisa tidur juga. Hal ini merupakan salah satu alasan nenek R malas mengikuti aktivitas yang dilakukan panti.
4. Pola eliminasi Nenek R mengatakan memiliki pola BAB 1-2 hari sekali, dan selama ini belum pernah mengalami masalah dengan BAB. Untuk BAK menurut nenek R tergantung seberapa banyak dirnya minum, semakin banyak nenek R minum, maka akan semakin sering juga nenek R ke kamar kecil, namun biasanya nenek R dapat BAK 8-10 kali sehari, dan akan lebih sering malam hari. Tidak ada keluhan nyeri saat nenek R melakukan BAK dan BAB.
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
4
5. Aktivitas sehari-hari Nenek R mengatakan sehari-harinya selama di panti nenk R melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mandi 2 kali sehari pagi dan sore hari. Mandi pagi biasanya nenek R lakukan pada pukul 03.00 WIB setelah bangun tidur, dan sorenya pada pukul 04.00 WIB. Untuk mencuci pakaian nenek R dibantu oleh petugas yang ada, kerena nenek R sulit melakukannya dengan kondisi tanggan kanannya yang mengalami kelemahan. Nenek R jarang mengikuti kegiatan yang diadakan panti, sehari-hari nenek R lebih senang menghabiskan waktu di tempat tidur.
6. Rekreasi Nenek R mengatakan tidak pernah melakukan rekreasi, paling jika diajak oleh petugas panti nenek R hanya berjalan-jalan keliling panti.
b. Psikologis 1. Keadaan emosi Saat berinteraksi dengan nenek R, nenek R tampak kooperatif dan tenang. Nenek R mengatakan merasa senang berada di panti. Nenek R mengatakan kadang pernah tejadi pertengkaran dengan teman di ruangannya biasanya karena salah persepsi, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, kerena nenek R lebih banyak mengalah. Biasanya pertengkaran itu tidak lama dan akan baik dengan sendirinya.
2. Adaptasi lingkungan Nenek R merasa senang bisa tinggal di lingkungan PSTW Budi Mulia 01 Cipayung dengan lansia lainnya. Teman nenek R adalah semua yang tinggal satu ruangan dengan nenek R namun nenek R tidak memiliki teman akrap. Nenek R jarang terlibar pertengkaran dan tidak memiliki masalah dengan teman-teman satu kamarnya, karena nenek R lebih banyak masalah. Dengan mahasiswa pun nenek R sangat kooperati dan mau diajak bekerja sama melakukan kegiatan. Yang
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
5
diperlukan nenek R adalah seseorang yang dapat memberikan motivasi untuk dapat mengikuti kegiatan yang ada di panti.
3. Sikap terhadap keluarga Nenek R mengatakan tidak tahu apakah masih memiliki keluarga atau sudah tidak ada. Sehingga nenek R tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap keluarga jika nenek R masih memiliki keluarga.
c. Sosial 1. Dukungan keluarga Nenek R mengatakan tidak pernah mendapatkan dukungan dari keluarga, karena nenek R tidak tahu apakah dirinya masih memiliki keluarga atau tidak.
2. Hubungan antar keluarga Nenek R tidak tahu bentuk hubungannya degan keluarga, sejak kecil nenek R sudah terpisah dari orang tuanya.
3. Hubungan dengan orang lain Nenek R mengatakan tidak memiliki teman dekat. Nenek R tidak merasa sedih atau kesepian karena masih banyak teman-teman lain yang ada dipanti. Nenek R tidak terlalu membeda-bedakan teman, dengan siapa saja nenek R mau berteman. Namun bila ada teman yang tidak sesuai dengan nenek R, biasanya nenek R lebih senang tidurtiduran saja di tempat tidur dari pada mengganggu temannya dan dapat mengakibatkan pertengkaran.
d. Spiritual/kultural 1. Palaksanaan ibadah Nenek R mengakui beragama islam, tetepi nenek R tidak pernah melakukan kegiatan keagaamaan yang dianutnya. Ibu R mengatakan
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
6
tidak tahu cara melakukannya, tidak pernah ada yang mengajari nenek R melakukan ibadah sehingga nenek R tidak pernah melakukan kegiatan keagamaan.
2. Keyakinan tentang kesehatan Nenek R mengatakan bahwa merasa bersyukur dengan kondisinya sekarang karena masih diberi kesehatan seperti sekarang ini. Walaupun nenek R masih sering merasakan sakit pada kakinya, penurunan pengelihatan, namun nenek R tetap bersemangat untuk sembuh dan dapat melakukan aktivitas seperti teman-temannya yang masih sehat.
e. Pemeriksaan fisik 1. Tanda vital a) Keadaan umum: cukup, kulit cukup bersih, baju cukup rapi tetapi tercium bau yang kurang sedap (bau urine), penampilan sesuai, b) Kesadaran: composmetis c) Suhu: 36,1oC d) Nadi: 87x/menit e) Tekanan darah: 120/70 mmHg f) Pernafasan: 22x/menit g) Tinggi badan: 150 cm h) Berat badan: 43 kg
2. Pemeriksaan dan kebersihan perorangan a) Kepala 1) Rambut: nenek R pendek, berwarna putih semuanya, rambut halus, terdistribusi dengan merata pada kulit rambut, tidak ada lesi pada kulit kepala, tidak ada rasa gatal, kondisi cukup bersih. 2) Mata: nenek R mengalami penurunan fungsi (kabur), tidak menggunakan kacamata, masih dapat melihat mahasiswa, tetapi tidak dapat membaca (nenek R buta huruf). Nenek R masih
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
7
bisa melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa mengunakan kacamata. Selama ini nenek R belum pernah melakukan/mengalami operasi pada bagian matanya, tidak anemis dan anikterik. Nenek R masih mampu melihat jam dinding sejauh 2 meter. 3) Hidung: nenek R tidak mengalami gangguan penciuman, cukup bersih, berfungsi baik, dan tidak ada polip. 4) Mulut: keadaan mulut nenek R cukup bersih, gigi yang ada berwarna agak kekuningan, gigi ompong tapi masih ada yang beberapa gigi yang tersisa, bau mulut tidak ada, sariawan tidak ada. 5) Telinga: tidak mengalami gangguan pendengaran, tidak ada serumen yang keluar dari telinga, keadaan di dalam telinga sedikit kotor. Nenek R masih menggunakan anting, dan tampak lubang telinganya sedikit besar
b) Leher Pada bagian leher nenek R tidak mengalami pembesaran vena jugularis dan nodul. Tidak terlihat adanya bekas alergi obat/gatal.
c) Dada/thorak 1) Dada dan paru-paru: bentuk dada simetris, tidak ada luka, tidak ada nyeri, tidak ada sesak napas, warna kulit kecoklatan terdistribusi merata, taktil fremitus antara posterior dan anterior sama, perkusi bunyi paru resonan, suara paru vesikuler, ronkhi -/-, whizing -/-, frekuensi napas 22x/menit. 2) Jantung: tidak ada penonjolan mata di sekitar preorbital, sklera putih, bibir merah muda, konjungtiva tidak anemis, tidak ada pembesaran vena jugularis, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Tidak terasa pulsasi pada interkosta ke dua kiri, pada daerah apeks jantung teraba vibrasi lembut <2 cm, bunyi
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
8
jantung tunggal (lup dup), tidak ada murmur, tidak ada gallop, frekuensi jantung 87x/menit. 3) Abdomen: simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada scar, tidak ada luka dan peradangan, BU + 8x/menit, bunti timpani, tidak ada nyeri abdomen, tidak ada nyeri saat dilakukan pengetukan pada ginjal, abdomen teraba lemas, limfa tidak teraba. 4) Muskuloskeletal: warna kulit sama dengan warna tubuh (kecoklatan), bentuk ekstermitas atas dan bawah tidak ada atropi, tidak ada pucat dan sianosis pada telapak tangan dan kaki, turgor kulit tidak elastis, kembali dengan lambat >2 detik, capillary refill time <2 detik, tidak ada kemerahan dan bengkak pada persendian ekstermitas, terasa sakit pada kedua lutut, tetapi tidak sampai mengganggu aktifitas sehari-hari nenek R, refleks fisiologis +/+ agak lambat, refleks patologis -/-. Terdapat kelemahan pada tangan kanan klien. Kekeuatan otot ekstermitas atas 3345/5555 dan kekuatan otot ekstermitas bawah 5555/5555, terdapat kekakuan pada jari-jari kaki. 5) Lain-lain: nenek R mengatakan tangan kanannya memeang mengalami kelemahan sejak dirinya mengalami jatuh. Nenek R juga mengeluhkan lulutnya yang selalu terasa sakit jika digunakan berjalan terlalu jauh.
V. INFORMASI PENUNJANG a. Diagnosa medis: b. Laboratorium: Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir (02/03/2011) No. 1.
2.
Jenis Pemeriksaan GD sewaktu
Hasil 110 mg/dl
Nilai Normal < 200 mg/dl
Asam urat
5,1 mg/dl
2 – 7 mg/dl
c. Terapi medis:-
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
9
Analisa Data No
Data
Masalah Keperawatan
1
Data subjektif
Insomnia
Klien mengatakan semenjak masuk panti, klien susah tidur. Klien mengatakan sering terbangun di malam hari Klien mengatakan apabila sudah terbangun dimalam hari, klien mengalami kesulitan untuk tidur kembali Klien mengatakan sering merasa kegerahan di malam hari Klien mengatakan sering BAK di malam hari Klien
mengatakan
jarang
tidur
siang
dikarenakan suasana yang terlalu ramai di malam hari
Data Objektif Terdapat kantung mata pada klien Terdapat lingkaran hitam di bawah mata klien Klien
terlihat
sering
menguap
dan
mengantuk di siang hari
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
10
Klien tampak lemas dan tidak bertenaga
2
Data subjektif
Resiko jatuh
Klien mengatakan “tangan kanan saya lemah” Klien
mengatakan
“harus
berhati-hati
melakukan kegiatannya” Klien mengatakan “matanya sudah kabur” Klien mengatakan “ untuk berjalan berhatihati dan harus berpegangan saat berjalan” Klien
mengatakan
“tidak
mengunakan
kacamata karena tidak memilikinya”
Data objektif: Klien 75 tahun TD 120/70 mmHg; N 87 x/menit; R 22 x/menit Kekuatan otot: ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555 Bentuk ekstermitas atas dan bawah tidak ada atropi
3
Data subjektif:
Defisit perawatan diri
Klien mengatakan sering malas untuk
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
11
mandi Klien mengatakan malas untuk mandi di sore hari
Data objektif: Tercium bau yang tidak sedap dari tubuh klien Tampak kuku yang panjang dan kotor Tampak gigi yang menguning Barang-barang
yang
dimiliki
klien
semuanya diletakkan di atas tempat tidur di bagian kepala
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
1
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Hambatan mobilitas fisik
Tujuan Umum Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tidak terjadi hambatan mobilitas fisik pada nenek R
Khusus Setelah dilakukan 3x30 menit intervensi keperawatan diharapkan nenek R termotivasi melakukan aktivitas dan kelemahan ekstermitas pada nenek R dapat diminimalkan
Rencana Tindakan
Rasional
1. Kaji kemampuan fisik dan Mengidentifikasi kekuatan otot nenek R kemampuan fisik dan kekuatan otot 2. Kaji kebutuhan akan Mengidentifkasi tingkat bantuan pemenuhan ketergantugan dalam kebutuhan melakukan aktivitas 3. Jelaskan penyebab Meningkatkan kelemahan dan hambatan pengetahuan penyebab mobilitas fisik yang kelemahan dan hambatan sedang dialami nenek R mobilitas fisik 4. Orientasikan nenek R Mengetahui tempat terhadap lingkungan meminta bantuan sekitar, staf 5. Ajarkan dan bantu dalam Membantu pemenuhan proses berpindah kebutuhan klien 6. Bantu dan anjurkan untuk Mengurangi resiko cedera mengunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
2
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Umum
Khusus
Rencana Tindakan 7. Motivasi nenek R melakukan aktivitas 8. Lakukan latihan RPS 9. Buat jadwal latihan RPS setiap hari
10. Motivasi nenek R melakukan latihan setiap hari 11. Berikan penguatan positif selama aktivitas 12. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik (okupasi)
Resiko jatuh
Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan resiko jatuh pada nenek R dapat dicegah
Setelah dilakukan 3x30 menit intervensi keperawatan diharapkan nenek R dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mencegah
1. Kaji tentang nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan tingkat keparahan. 2. Identifikasi faktor pemicu nyeri
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Rasional Meningkatkan motivasi nenek R Meningkatkan kekuatan otot Untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan dan ketahanan atot Meningkatkan motivasi meningkatkan kekuatan otot Meningkatkan harga diri Untuk pengembangan perencanaan dan mempertahankan/ meningkatkan mobilitas Mengidentifikasi kemungkinan intervensi
Intervensi yang dilakukan lebih tepat
3
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Umum
Khusus resiko jatuh
Rencana Tindakan
Rasional
3. Tentukan kemungkinan psikologis/patofisiologi yang menyebabkan nyeri. 4. Kaji persepsi klien dan perilaku yang menyertai klien terhadap nyeri 5. Ajarkan tehnik napas dalam untuk mengurangi nyeri 6. Lakukan kompres kering hangat di daerah yang bengkak tanpa kemerahan dan air dingin jika ada kemerahan 7. Ajarkan latihan pergerakan sendi secara teratur ROM pada sendi yang tidak sakit 8. Anjurkan klien untuk menggunakan sandal atau sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sendal setelah dari kamar mandi 9. Anjurkan klien untuk menyingkirkan sampah,
Intervensi yang dilakukan akan berbeda disesuaikan dengan faktor penyebab Mengukur pengetahuan klien terhadap nyeri
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Dapat mengurangi rasa nyeri dan memberikan rasa perasaan rileks Terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah sendi yang nyeri sehingga dapat memberi perasaan nyaman pada sendi Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan otot dan sendi Mencegah terjadi cedera pada klien
Sampah (plastik atau kulit pisang) dapat membuat
4
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Umum
Khusus
Rencana Tindakan dan menghindari berjalan di lantai yang sangat mengkilap. 10. Anjurkan klien untuk menggunakan pegangan tangan di kamar mandi, di gang, dan di tangga. 11. Jangan melakukan perubahan yang tidak diperlukan di lingkngan fisik (misal: penempatan mebel)
Defisit perawatan diri
Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan resiko defisit perawatan diri dapat diatasi.
Setelah dilakukan 3x30 menit intervensi keperawatan diharapkan nenek R dapat melakukan perawatan diri dengan mandiri, meningkatnya motivasi nenek R melakukan perawatan diri, dan dapat melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
1. Kaji kebersihan tubuh setiap hari 2. Kaji kondisi kulit setelah mandi
3. Meminta nenek R mandi menggunakan sabun 4. Membantu sekaligus mengajarkan nenek R memakai bedak salisilat dan lotion setelah mandi
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Rasional klien terpleset dan jatuh
Klien dengan keseimbangannya tidak stabil dapat menyebabkan klien jatuh Menminimalisir resiko jatuh akibat lingkungan yang berubah (tidak biasa bagi landia)
Mengidentifikasi kebersihan tubuh lansia Mengidentifikasi kemampuan klien melakukan perawatan diri dengan mandiri Membersihkan badan dari kotoran Lotion melembabkan kulit dan bedak salisiliat menghilangkan bakteri dan jamur penyebab gatal
5
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Umum
Khusus
Rencana Tindakan 5. Membantu nenek R mengganti pakaian 6. Menanyakan kesediaan nenek R untuk memakai bedak salisilat dan lotion setiap habis mandi 7. Berkoordinasi dengan Pramuwisma terkait tindakan yang direncanakan 8. Meminta nenek R untuk mempraktikkan cara mengganti pakaian secara tepat dan aman 9. Meletakkan sapu lidi pembersih tempat tidur dalam jangkauan nenek R
10. Dukung kemandirian dalam melakukan mandi dan higiene, bantu jika diperlukan
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Rasional Mengganti pakaian mencegah baktgeri dan jamur menyerang Menanyakan kesediaan bertujuan untuk mendapatkan komitmen Kakek Y melaksanakan terapi Koordinasi diperlukan agar rencana dapat dilaksakan lebih maksimal Mengevaluasi keberhasilan intervensi
Sapu lidi yang berada dalam jangkauan nenek R mempermudah nenek R membersihkan tempat tidurnya Latihan bertujuan untuk membiasakan/ mengenalkan nenek R terhadap lingkungan
6
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Umum
Khusus
Rencana Tindakan 11. Dukung untuk mengatur langkahnya sendiri selama perawatan diri 12. Melatih nenek R untuk membersihkan tempat tidur sendiri sesuai dengan kemampuannya 13. Meminta nenek R untuk mempraktikkan cara membersihkan tempat tidur 14. Memberikan reinforcement postif atas tindakan yang klien lakukan.
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Rasional Meningkatkan kemandirian lansia Meningkatkan kemampuan nenek R dalam pemenuhan higiene dengan mandiri Mengevaluasi tingkat kemandirian nenek R
Meningkatkan kemandirirna dan harga diri nenek R
7
CATATAN PERKEMBANGAN ASUHAN KEPERAWATAN INDIVIDU NENEK R Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Hambatan mobilitas fisik.
1. Mengkaji kemampuan fisik dan kekuatan otot 2. Mengkaji kebutuhan akan bantuan pemenuhan kebutuhan 3. Menjelaskan penyebab kelemahan dan hambatan mobilitas fisik yang sedang dialami nenek R 4. Mengorientasikan nenek R terhadap lingkungan sekitar, staf 5. Mengajarkan dan bantu dalam proses berpindah 6. Menbantu dan anjurkan untuk mengunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan 7. Memotivasi nenek R melakukan aktivitas 8. Melakukan latihan RPS 9. Membuat jadwal latihan RPS setiap hari 10. Memotivasi nenek R melakukan latihan setiap hari
Evaluasi S:
O:
Nenek R mengatakan “tangan kanan saya lemah” Nenek R mengatakan “harus berhati-hati melakukan kegiatannya” Nenek R mengatakan “malas malakukan atau ikut kegiatan yang ada di panti karena jika berjalan kakinya akan terasa sakit terutama bagian lutut” Nenek R mengatakan “membutuhkan bantuan sebagian untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari” Setelah dilakukan ROM nenek R mengatakan ”enak dilakukan olah raga seperti ini tetapi cuma kalo ada mahasiswa saja” Nenek R mampu melakukan ROM secara aktif kecuali pada bagian tangan kanan yang lemah harus dilakukan secara pasif. Kekuatan otot ekstermitas atas 3345/5555
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
8
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
11. Memberikan penguatan positif selama aktivitas
A: P: 1. Mengkaji kemampuan fisik dan kekuatan otot 2. Mengkaji kebutuhan akan bantuan pemenuhan kebutuhan 3. Menjelaskan penyebab kelemahan dan hambatan mobilitas fisik yang sedang
S:
O:
dan ekstermitas bawah 5555/5555 Gerakan yang dilakakukan nenek R terlihat masih berhati-hati Nenek R Turgor kulit tidak elastis, kembali dengan lambat >2 detik Capillary refill time <2 detik Tidak ada kemerahan dan bengkak pada persendian ekstermitas Refleks fisiologis +/+ agak lambat Refleks patologis -/ Terdapat kelemahan pada tangan kanan klien Nenek R masih lebih banyak melakukan aktivitasnya di atas tempat tidur Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi Nenek R mengatakan “tangan kanan saya masih lemah, mau ikut kegiatan yang diadakan mahasiswa, kaki masih terasa sakit jika berjalan terlalu lama” Nenek R mengatakan “sudah merasa lebih baik dai sebelumnya, akan berusaha untuk tetap
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
9
Diagnosa Keperawatan
Implementasi dialami nenek R 4. Mengorientasikan nenek R terhadap lingkungan sekitar, staf 5. Mengajarkan dan bantu dalam proses berpindah 6. Menbantu dan anjurkan untuk mengunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan 7. Memotivasi nenek R melakukan aktivitas 8. Melakukan latihan RPS 9. Membuat jadwal latihan RPS setiap hari 10. Memotivasi nenek R melakukan latihan setiap hari 11. Memberikan penguatan positif selama aktivitas 1. Mengajarkan dan bantu dalam proses berpindah 2. Membantu dan anjurkan untuk mengunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan 3. Memotivasi nenek R melakukan aktivitas 4. Melalukan latihan RPS 5. Motivasi nenek R melakukan latihan
Evaluasi
A: P:
S:
O:
melatih tangan kanannya walaupun nanti mahasiswa tidak ada lagi” Nenek R mampu melakukan ROM secara aktif kecuali pada bagian tangan kanan yang lemah harus dilakukan secara pasif. Kekuatan otot ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555, gerakan yang dilakakukan nenek R terlihat masih berhati-hati, tidak ada kemerahan dan bengkak pada persendian ekstermitas. Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi
Nenek R mengatakan “mau ikut malakukan atau ikut kegiatan yang ada di panti” Nenek R mengatakan “masih membutuhkan bantuan sebagian untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari” Nenek R mampu melakukan ROM secara aktif kecuali pada bagian tangan kanan yang lemah harus dilakukan secara pasif.
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
10
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
setiap hari 6. Memberikan penguatan positif selama aktivitas.
A: P:
Kekuatan otot ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555 Gerakan yang dilakakukan nenek R terlihat masih berhati-hati Tidak ada kemerahan dan bengkak pada persendian ekstermitas Refleks fisiologis +/+ agak lambat Refleks patologis -/ Terdapat kelemahan pada tangan kanan klien Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
11
Diagnosa Keperawatan Resiko jatuh
Implementasi 1. Kaji tentang nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan tingkat keparahan. 2. Identifikasi faktor pemicu nyeri 3. Tentukan kemungkinan psikologis/patofisiologi yang menyebabkan nyeri. 4. Kaji persepsi klien dan perilaku yang menyertai klien terhadap nyeri 5. Ajarkan tehnik napas dalam untuk mengurangi nyeri 6. Lakukan kompres kering hangat di daerah yang bengkak tanpa kemerahan dan air dingin jika ada kemerahan 7. Ajarkan latihan pergerakan sendi secara teratur ROM pada sendi yang tidak sakit 8. Anjurkan klien untuk menggunakan sandal atau sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sendal setelah dari kamar mandi 9. Anjurkan klien untuk menyingkirkan sampah, dan menghindari berjalan di
Evaluasi S:
O:
Menurut petugas panti dari seluruh lansia yang ada di wisma aster nenek R pernah mengalami jatuh Nenek R mengatakan “tangan kanan saya lemah” Nenek R mengatakan “harus berhati-hati melakukan kegiatannya” Nenek R mengatakan “matanya sudah kabur” Nenek R mengatakan “ untuk berjalan berhati-hati dan harus berpegangan saat berjalan” Nenek R mengatakan “tidak mengunakan kacamata karena tidak memilikinya” Kekuatan otot: ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555 Tangan kanan lebih lemah dari pada tangan kiri Terdapat kekakuan pada jari-jari kaki Nenek R membutuhkan bantuan untuk melakukan perawatan diri dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (mandi, mencuci)
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
12
Diagnosa Keperawatan
Implementasi
Evaluasi
lantai yang sangat mengkilap. 10. Anjurkan klien untuk menggunakan pegangan tangan di kamar mandi, di gang, dan di tangga. 11. Jangan melakukan perubahan yang tidak diperlukan di lingkngan fisik (misal: penempatan mebel)
1. Mengajarkan tehnik napas dalam untuk mengurangi nyeri. 2. Melakukan kompres kering hangat di daerah yang bengkak tanpa kemerahan dan air dingin jika ada kemerahan. 3. Mengajarkan latihan pergerakan sendi secara teratur ROM pada sendi yang tidak sakit. 4. Menanjurkan klien untuk menggunakan sandal atau sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sendal setelah dari kamar mandi. 5. Menganjurkan klien untuk menyingkirkan sampah, dan menghindari berjalan di lantai yang sangat mengkilap.
A: P: S:
O:
A: P:
Tidak menggunakan kacamata Tidak dapat membaca (nenek R buta huruf) Nenek R masih bisa melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa mengunakan kacamata. Tidak anemis dan anikterik Nenek R masih mampu melihat jam dinding sejauh 2 meter Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi Nenek R mengatakan “lebih enak setelah melakukan napas dalam dan kompres hangat” Nenek R mengatakan “senang melakukan ROM bersama mahasiswwa” Nenek R dapat melakukan teknik relaksasi napas dalam Kompres hangat dilakukan di bagian sendi yang nyeri Nenek R mengunakan sendal jepit Menek R melakukan perubahan gerakan dengan berhati-hati dan pelan Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD
13
Diagnosa Keperawatan
Implementasi 1. Melakukan kompres kering hangat di daerah yang bengkak tanpa kemerahan dan air dingin jika ada kemerahan. 2. Melakukan latihan pergerakan sendi secara teratur ROM pada sendi. 3. Menanjurkan klien untuk menggunakan sandal atau sepatu anti selip atau mengeringkan kaki/sendal setelah dari kamar mandi. 4. Menganjurkan klien untuk menyingkirkan sampah, dan menghindari berjalan di lantai yang sangat mengkilap.
Evaluasi S:
O:
A: P:
Nenek R mangatakan “ merasa senang dan badan rasa lebih segar” Nenek R mengatakan “tangan kanan saya lemah masih terasa lemah, harus berhati-hati melakukan kegiatannya, matanya sudah kabur, untuk berjalan berhati-hati dan harus berpegangan saat berjalan, tidak mengunakan kacamata karena tidak memilikinya” Kekuatan otot: ekstermitas atas 3345/5555 dan ekstermitas bawah 5555/5555 Tangan kanan lebih lemah dari pada tangan kiri Terdapat kekakuan pada jari-jari kaki Nenek R membutuhkan bantuan untuk melakukan perawatan diri dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (mandi, mencuci) Tidak dapat membaca (nenek R buta huruf) Nenek R masih bisa melakukan kegiatan sehari-harinya tanpa mengunakan kacamata. Masalah teratasi sebagian Lanjutkan intervensi
Analisis praktik ..., Ririn Septiani, FIK UI, 2014
Tanggal, Waktu, & TTD