UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Terhadap Opsi Asuransi Perjalanan Dalam Pembelian Tiket Elektronik Jasa Angkutan Udara Lion Air
SKRIPSI
Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio 0806341904
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012
i Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Terhadap Opsi Asuransi Perjalanan Dalam Pembelian Tiket Elektronik Jasa Angkutan Udara Lion Air
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio 0806341904
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JULI 2012
ii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
iii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
iv Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis berikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan karunia-Nya, skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Terhadap Opsi Asuransi Perjalanan Dalam Pembelian Tiket Elektronik Jasa Angkutan Udara Lion Air”dapat terselesaikan. Dengan segala bantuan dan bimbingan yang selama ini didapatkan sejak awal masa kuliah hingga penulisan skripsi, Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak. 1.
Allah Bapa di Surga, pemberi pengharapan dan kasih yang tiada terukur. “He has made everything beautiful in its time. He has also set eternity in the human heart; yet no one can fathom what God has done from beginning to end.” (Ecclesiastes 3:11) Dad, Thank you for Your unfailing love to me. I am nothing without You;
2.
Orang tua Penulis, Ir. Elson Siallagan dan Diana Purba, S.Pd., yang telah merawat dan
membimbing Penulis hingga dapat menyelesaikan jenjang
pendidikan S1. 3.
Saudara Penulis – Frida Elmindo Ropeta, Melani Purbaningsih, Marsintani Eltarida dan Julyandi Sautmarito N. A. saudara terbaik bagi Penulis.
4.
Henny Marlyna, S. H., M. H., M. LI. selaku Pembimbing Skripsi yang sangat berjasa dalam memberi masukan dan saran selama kurang lebih satu tahun proses pembuatan skripsi.
5.
Seluruh dosen pengajar FHUI beserta Bang Arman Nefi selaku Pembimbing Akademis Penulis yang telah memberikan ilmu dan pegetahuan yang sangat berharga selama 4 tahun studi Penulis.
6.
Seluruh staf Fakultas Hukum UI yang telah memberikan bantuan administrasi maupun semangat selama Penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum.
7.
Perpustakaan Pusat UI -- the Crystal of Knowledge, University of Indonesia beserta seluruh staf yang telah menyediakan tempat, sumber bacaan, dan inspirasi bagi Penulis.
8.
Elizabeth F. P. Sidabutar & Lisbeth Apriyanti Panjaitan. Thank you so much for the friendship and support you’ve given to me for the past years.
v Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
9.
GADISH – Grace Fan, Desiana Chrismasari, Irawaty Melissa Sinaga, Priscilla R. Manurung, dan Hanna Friska L. Marbun yang senantiasa memberikan pembelajaran hidup, semangat, dan doa, serta saling menguatkan dalam Kristus.
10. Kevin Fridolin Siahaan, Mario Arif B. Simbolon, Frans Pardede, Fajar Ridwan Siahaan, Jahotman Ambarita, dan Jerika Silalahi yang selalu memberi semangat dan saran selama proses pembuatan skripsi dan juga canda tawa yang kalian berikan di sela kejenuhan penulis. 11. CAN Mission – Mrs. Joy Kim, Mr. Paulus Kim, Kang Yoo Rim, Cho Seong Gyeong, Elda Lunera Hutapea, Mariy Ashley Silitonga, my roommate Ruth Novida Sihite, Yuwita Margareth, Januar Sianipar, Samuel Sormin, Ricky Junitri Lumban Gaol, Windy Mulia Lim, Merry Christy, Reinhard Panuturi Siringoringo, John Louis, dan seluruh anggota CAN Mission yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Thank you guys. Thank you for the prayer and support. 12. Ms. Jeong-Hyeon Heni dan Mrs. Yu Jeong Eun yang telah memberikan perhatian dan nasehat kepada Penulis. 13. Dhinhawati Sembiring yang telah menjadi motivatior Penulis dalam kegiatan di dalam dan luar kampus terutama sebagai partner Penulis dalam HAN-ON International Forum, Seoul – Korea Selatan. 14. Maryane Anugerah Putri, Dewi Novita Sitorus, Ester Patricia, dan Avokanti Nur Arimurti, teman berlibur Penulis di tengah hiruk pikuk perkuliahan. 15. SMBC Global Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan kepada Penulis selama 2 tahun studi Penulis. 16. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh Penulis. Terima kasih atas perhatian yang telah diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Sebagai prasyarat kelulusan program Sarjana
pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penulis senantiasa berupaya untuk memberikan usaha terbaik dalam proses penulisan skripsi ini. Meskipun demikian Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, Penulis dengan kerendahan
vi Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
hati mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penelitian lanjutan di masa mendatang. Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sertapengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, Juli 2012
Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio
vii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
viii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
ABSTRAK Nama : Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio Program Studi : Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi Judul : Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Terhadap Opsi Asuransi Perjalanan Dalam Pembelian Tiket Elektronik Jasa Angkutan Udara Lion Air
UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mewajibkan setiap penyedia jasa angkutan udara untuk menyediakan asuransi dalam bentuk Asuransi Jasa Raharja. Di samping menerapkan Asuransi Jasa Raharja, Lion Air menyediakan sistem pertanggungan yang disebut Asuransi Perjalanan Lion Air. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian ini mengkaji status Asuransi Perjalanan Lion Air merujuk pada Asuransi Jasa Raharja sebagai asuransi wajib, pemenuhan hak-hak konsumen pengguna jasa, serta perlindungan terhadap konsumen yang tidak membayar Asuransi Perjalanan Lion Air. Pengumpulan data melalui kuesioner menunjukkan sebagian besar responden tidak mengetahui adanya Asuransi Jasa Raharja dalam jasa penerbangan dan tidak membaca keterangan lebih lanjut mengenai Asuransi Perjalanan Lion Air sebelum melakukan transaksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi tambahan; hak atas informasi serta hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen tidak dipenuhi; serta tersedianya pertanggungjawaban dari pihak penyedia jasa penerbangan dan Jasa Raharga bagi konsumen yang tidak membayar Asuransi Perjalanan Lion Air. Dengan demikian, disarankan agar penyedia jasa pengangkutan memberikan informasi yang jelas dan tidak rumit, di sisi lain mendorong konsumen memperlengkapi diri akan informasi mengenai jasa yang ditawarkan.
Kata kunci: Hukum Perlindungan Konsumen, asuransi perjalanan, penerbangan, tiket elektronik.
ix Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
ABSTRACT Name : Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio Study Program: Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi Title :“Juridical Analysis on Consumer Protection of Commercial Aircraft Passangers Concerning the Option of Travel Insurance in the Purchase of Electronic Ticket of Lion Air”
Law No. 1 Year 2009 on Aviation stipulated that carriers shall be obligated to insure their liabilities towards passengers in the form of Jasa Raharja Insurance. Aside from providing Jasa Raharja Insurance, Lion Air provides Lion Air Travel Insurance. Based on qualitative research method, this study examines the status of Lion Air Travel Insurance related to Jasa Raharja Insurance; the fulfillment of consumer rights as well as the protection of consumers who do not pay for Lion Air Travel Insurance. The questionnaires showed that most of the respondents were not aware of the existence of Jasa Raharja Insurance in aviation service and did not read further details about Lion Air Travel Insurance before transaction. The study showed that Lion Air Travel Insurance is an additional insurance; consumer’s rights on information and education are not fulfilled; and the vested liability on Jasa Raharja along with the carrier to provide insuance for consumer who does not pay for Lion Air Travel Insurance. Therefore, carrier should give a clear information for the consumers. On the other hand, consumers are encouraged to equip themselves with the information on the services offered.
Key words: Consumer Protection Law, travel insurance, aviation, electronic ticket.
x Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... vii ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xv BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Permasalahan ................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................... 6 1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................... 6 1.4 Definisi Operasional................................................................................ 7 1.5 Metode Penelitian.................................................................................... 8 1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................. 11 BAB 2 TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ASURANSI ..................................................... 13 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen ........................................................... 13 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ................................. 13 2.1.2 Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ....................... 16 2.1.3 Pihak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen ............................. 17 2.1.3.1 Konsumen ......................................................................... 17 2.1.3.2 Pelaku Usaha..................................................................... 20 2.1.3.3 Pemerintah ........................................................................ 21 2.1.3.4 Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat 23 2.1.4 Produk Konsumen.......................................................................... 24 2.1.5 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ........................ 25 2.1.5.1 Hak dan Kewajiban Konsumen ........................................ 25 2.1.5.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.................................... 28 2.1.6 Hal-Hal yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha.................................... 29 2.1.7 Tanggung Jawab Pelaku Usaha ..................................................... 31 2.1.8 Tahap-Tahap Transaksi ................................................................. 31 2.1.9 Penyelesaian Sengketa .................................................................. 33 2.2 Hukum Asuransi di Indonesia ................................................................ 35 2.2.1 Pengertian Asuransi ....................................................................... 35 2.2.2 Subjek dan Objek Asuransi............................................................ 38 2.2.2.1 Subjek Asuransi .............................................................. 38 2.1.2.2 Objek Asuransi ................................................................ 39 2.2.3 Risiko ............................................................................................. 40 2.2.4 Prinsip-Prinsip Asuransi................................................................. 42 2.2.4.1 Prinsip Kepentingan yang Diasuransikan (Insurable Interest) ........................................................................ 42 2.2.4.2 Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith) ........................ 43 2.2.4.3 Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle) ................. 43 xi Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
2.2.4.4 Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle) ..................... 44 2.2.4.5 Prinsip Sebab-Akibat (Causaliteit Principle).................. 45 2.2.4.6 Prinsip Kontribusi............................................................ 46 2.2.4.7 Prinsip Follow the Fortunes ............................................ 47 2.2.5 Jenis Asuransi ................................................................................ 47 2.2.6 Asuransi Berganda ......................................................................... 48 BAB 3 ASURANSI PENERBANGAN ............................................................ 52 3.1 Tujuan Asuransi Penerbangan................................................................. 52 3.2 Tanggung Jawab Pengangkut.................................................................. 53 3.3. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut .................................................... 54 3.3.1. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Berdasarkan Ilmu Hukum 55 3.3.1.1 Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan ........................ 55 3.3.1.2 Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga............................ 56 3.3.1.3 Tanggung Jawab Mutlak .................................................. 58 3.3.2 Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam UU No. 1 Tahun 2009 .................................................................................... 59 3.4.Asuransi Penerbangan Sebagai Asuransi Wajib ..................................... 61 3.5. Asuransi Kecelakaan Penumpang Angkutan Udara Jasa Raharja ......... 64 3.6. Asuransi Perjalanan Lion Air................................................................. 65 BAB 4 ASURANSI PERJALANAN LION AIR DALAM PEMBELIAN TIKET SECARA ELEKTRONIK .................................................................. 69 4.1 Status Asuransi Perjalanan Lion Air dalam Lingkup Hukum Asuransi . 69 4.2. Penutupan Asuransi Dalam Pembelian Tiket Elektronik....................... 70 4.3. Informasi Asuransi Perjalanan Lion Air Dalam Proses Pembelian Tiket Online...................................................................................................... 75 4.4. Pengetahuan Konsumen Mahasiswa UI Depok Mengenai Asuransi Perjalanan Lion Air ................................................................................. 76 4.5. Hak Konsumen Lion Air........................................................................ 78 4.6. Tanggung Jawab Terhadap Penumpang Lion Air.................................. 81 BAB 5 PENUTUP.............................................................................................. 83 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 83 5.2 Saran........................................................................................................ 85 DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 87
xii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Input Informasi Penerbangan..............................................................70 Gambar 2 Pilihan Jadwal Penerbangan................................................................70 Gambar 3 Asuransi Perjalanan..............................................................................71 Gambar 4 Informasi Tarif ....................................................................................72 Gambar 5 Persetujuan Pelanggan........................................................................ 73
xiii Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Santunan Jasa Raharja............................................................................65 Tabel 3.2 Premi Asuransi Perjalanan Lion Air......................................................66 Tabel 3.3 Santunan Jasa Raharja............................................................................67
xiv Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara
Lampiran 2
Tiket dan Sertifikat Asuransi Perjalanan Lion Air
Lampiran 3
Daftar Pertanyaan Kuesioner
Lampiran 4
Panduan Wawancara
xv Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, manusia adalah konsumen sejati. Hal ini dikarenakan
manusia pasti membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk tetap bertahan hidup dengan memanfaatkan alam sekitarnya. Kebutuhan manusia akan menjadi semakin kompleks seiring dengan perkembangan jaman. Kita dapat melihat perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat yang mengarah kepada modernisme. Pola pikir dan kebiasaan masyarakat pedesaan yang lebih mengarah pada produksi sendiri mulai ditinggalkan dan digantikan oleh pola konsumerisme daerah perkotaan. Seiring perkembangan pola konsumerisme masyarakat, pelaku usaha sebagai penyedia barang dan/atau jasa dalam praktiknya sering memiliki posisi yang lebih superior dibandingkan dengan konsumen barang dan/atau jasa itu sendiri. Keadaan ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan hubungan produsen dan konsumen dalam bertransaksi. Dengan adanya kesenjangan diantara para pihak, manusia mulai membutuhkan suatu perlindungan sebagai seorang konsumen terhadap tindakan sebagian produsen “nakal”. Selain posisi konsumen di Indonesia yang tergolong lemah, alasan yang sering muncul adalah belum adanya penerapan hukum yang memadai untuk melindungi konsumen. Tidak banyak masyarakat yang berkeinginan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka alami terkait barang dan/atau jasa yang mereka konsumsi melalui jalur hukum. Seperti dikutip dalam “Naskah Final Sementara Rancangan Akademik UU tentang Perlindungan Konsumen”, alasan di balik sikap masa bodoh konsumen di Indonesia adalah: 1. Hukum yang belum menjamin kepentingan perlindungan atas konsumen; 2. Aparat penegak hukum belum mampu melaksanakan peraturan perundangundangan yang ada; 3. Tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah;
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
2
4. Masih kuatnya sistem nilai yang tidak mendukung pelaksanaan upaya perlindungan konsumen secara efektif.1 Bentuk perlindungan bagi konsumen dimaksudkan untuk mempertahankan dan
memperjuangkan
hak-hak
yang
seharusnya
dimiliki
oleh
rakyat.
Keberpihakan pada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata ekonomi kerakyatan.2 Indonesia, sebagai salah satu negara di dunia yang menjunjung tinggi demokrasi kerakyatan, sudah selayaknya menjalankan peran perlindungan tersebut terhadap rakyat secara keseluruhan. Untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat, pemerintah mengundangkan peraturan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk memperkokoh perlindungan bagi konsumen di Indonesia, pemerintah juga membangun sebuah lembaga yang menangani masalah perlindungan terhadap konsumen yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat internasional melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga telah merumuskan kepentingan konsumen yang perlu dilindungi yang meliputi: 1.
Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan;
2.
Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
3.
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
4.
Pendidikan konsumen;
5.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
6.
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
1
Yusuf Shofie, Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998) hal. 3. 2
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
3
menyatakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.3 Kesenjangan yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha tidak jarang menimbulkan permasalahan bagi konsumen. Masalah yang kerap timbul berkaitan dengan perlindungan konsumen diantaranya penetapan klausula baku oleh pengusaha, tidak terjaminnya keselamatan kosumen atas suatu produk, atau pun kurangnya informasi yang diberikan pada konsumen mengenai aturan pemakaian suatu produk barang dan/atau jasa. Dalam hal pertanggungjawaban pelaku usaha kerap pula terjadi pelaku usaha yang tidak memberikan tanggung jawab penuh terhadap konsumen atau bahkan mengalihkan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Perlindungan Konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.4 Di lain sisi, yang dimaksud dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.5 Penggolongan konsumen tersebut tidak terbatas pada bidang tertentu. Dengan demikian, perlindungan terhadap konsumen sangatlah luas di berbagai sektor perdagangan barang dan/atau jasa. Bila kita mengacu pada pengertian tersebut, perlindungan konsumen juga meliputi pemakai jasa angkutan udara. Seiring dengan diratifikasinya WTO/GATTs oleh Indonesia, pemerintah tidak dibenarkan lagi untuk melakukan monopoli di bidang perusahaan (jasa) penerbangan. Perusahaan penerbangan mulai menjamur di tanah air Indonesia secara bebas. Perang tarif dan promosi pun semakin marak dengan tujuan menarik penumpang sebanyak-banyaknya. Namun, di sisi lain, tarif yang murah sering menurunkan kualitas pelayanan (servis), bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi
3
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan II,2001), hal. 12-13. 4
Indonesia (a), Undang-Undang Perlindungan Konsumen UU No. 8 Tahun 1999 Pasal1
5
Ibid., Pasal 1 angka 2.
(1).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
4
adalah akan menyebabkan berkurangnya kualitas pemeliharaan pesawat sehingga rawan terhadap keselamatan penerbangan.6 Dengan melihat kemungkinan yang dapat terjadi, Pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi pengangkut dimana pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.7 Hal ini dilakukan mengingat tingginya risiko yang dimiliki oleh jasa angkutan udara, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah melalui undang-undang tersebut wajib dimasukkan ke dalam suatu pertanggungan atau asuransi oleh pelaku usaha angkutan udara. Asuransi atau pertanggungan lahir dari suatu perjanjian. Perjanjian pertanggungan sebenarnya merupakan suatu perjanjian timbal balik oleh karena kedua pihak saling mengikatkan diri pada sesuatu dan dengan demikian dapat pula sebaliknya dipecahkan jika ternyata ada wanprestasi. 8 Sesuai amanat yang diberikan undang-undang asuransi, pertanggungan dalam jasa penerbangan tersebut dimasukkan ke dalam komponen tiket penumpang angkutan udara. Bila melihat pada praktik perusahaan jasa angkutan udara, terdapat keberagaman sistem pembebanan pertanggungan yang diberlakukan terhadap konsumen dalam pembelian jasa angkutan udara. Sebagian perusahaan jasa angkutan udara memberlakukan asuransi perjalanan bagi para konsumen hanya melalui Asuransi Jasa Raharja, yakni dengan memasukkan secara otomatis biaya premi asuransi ke dalam total biaya yang harus dikeluarkan konsumen. Di sisi lain, terdapat
pula
perusahaan
jasa
angkutan
udara
yang
memberlakukan
pertanggungan konsumen lainnya yakni asuransi perjalanan dari perusahaan angkutan udara itu sendiri dalam bentuk opsi atau pilihan pada saat membeli tiket penerbangan. 6
Saefullah Wiradipradja, “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia” dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25-NO.1-Tahun 2006 hal. 6. 7
Indonesia (b), Undang-Undang Penerbangan UU No. 1 Tahun 1999 Pasal 141.
8
Prof. Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H., Hukum Pertanggungan, (Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1982), Hal. 9 .
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
5
Maraknya dunia penerbangan Indonesia saat ini boleh jadi dipelopori oleh munculnya maskapai penerbangan murah pertama di Indonesia, yaitu Lion Air. Dengan slogannya: “We make people fly", maskapai yang baru beroperasi awal tahun 2000-an tersebut seolah memicu munculnya maskapai low cost lainnya. Lion Air sebagai maskapai baru segera menjadi bahan perbincangan karena mampu menyedot banyak penumpang meski kehadirannya sempat diragukan sebelumnya. Bahkan kini, maskapai tersebut telah menduduki peringkat pertama sebagai maskapai dengan penumpang terbanyak di tanah air selama tiga tahun berturut-turut yakni tahun 2008, 2009, dan 2010. Dengan diraihnya prestasi ini, Lion Air terbukti menjadi maskapai penerbangan favorit di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data yang diberikan Kementerian Perhubungan kepada Investor Daily dimana Lion Air menguasai 42% pangsa pasar penerbangan rute domestik 2010 dengan raihan sebanyak 17.798.685 orang penumpang. Disusul kemudian pada 2009, Lion Air menguasai kembali 30,7% pangsa pasar yang sama dengan 13.500.000 penumpang. Kesuksesan Lion Air tetap dipertahankan hingga tahun 2008 dimana maskapai itu menguasai pangsa pasar dalam negeri sebesar 24,4% atau setara dengan 9.147.000 orang.9 Untuk memaksimalkan pelayanan serta memberikan kemudahan bagi konsumen dalam pemesanan tiket, Lion Air menyediakan pemesanan tiket secara elektronik atau online melalui website atau sms booking. Sistem pembelian secara online ini memang dirasakan sangat bermanfaat dan efisien bagi calon penumpang. Dalam sistem pembelian elektronik ini, pertanggungan terhadap penumpang dalam bentuk asuransi perjalanan yang diberikan oleh maskapai Lion Air dilakukan dengan sistem pilih atau opsi. Para calon penumpang saat melakukan proses pembelian tiket direkomendasikan untuk membeli asuransi perjalanan oleh maskapai Lion Air. Dengan demikian penumpang mempunyai dua pilihan yaitu membeli atau tidak membeli asuransi perjalanan yang ditawarkan Lion Air. Calon penumpang, dalam hal ini sebagai konsumen jasa angkutan udara yang wajib diberikan perlindungan sesuai amanat peraturan perundang-undangan
9
Tri Listiyarini, “Penumpang Lion Air Masih Teratas; Air Asia Menyalip Garuda”, sumber: Kementerian Perhubungan http://trilistiyarini.blogspot.com/2011/01/penumpang-lion-airmasih-teratas.html.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
6
di bidang penerbangan, tentu menginginkan perlindungan yang pasti dalam perjalanan mereka. Informasi yang mendukung dalam pemakaian jasa penerbangan beserta perlindungannya menjadi hal krusial yang mempengaruhi konsumen dalam membeli produk jasa. Dengan melihat pada fakta tersebut, penulis ingin memaparkan lebih lanjut mengenai posisi asuransi perjalanan tambahan konsumen jasa angkutan udara di Indonesia serta pemenuhan terhadap hak konsumen jasa angkutan udara terkait asuransi penerbangan dalam metode penjualan asuransi perjalanan dalam pembelian tiket secara elektronik pada jasa angkutan udara Lion Air sebagai asuransi perjalanan tambahan.
1.2 Pokok Permasalahan Dalam
melakukan
penelitian
ini,
Penulis
menemukan
beberapa
permasalahan diantaranya: 1. Bagaimanakah status Asuransi Perjalanan Lion Air dalam lingkup Hukum Asuransi? 2. Apakah metode penjualan dari asuransi perjalanan yang disediakan jasa angkutan udara Lion Air telah memenuhi hak-hak konsumen? 3. Bagaimanakah perlindungan konsumen jasa angkutan udara Lion Air yang tidak membeli Asuransi Perjalanan Lion Air yang ditawarkan saat membeli tiket secara elektronik?
1.3. Tujuan Penulisan Suatu tujuan itu dicapai agar penulisan ini dapat lebih terarah dan dapat mengenai sasaran yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik kepada peneliti maupun kepada pembaca melalui studi keilmuwan tentang Tinjauan yuridis perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara terhadap opsi penyertaan asuransi perjalanan dalam pembelian tiket elektronik jasa angkutan udara. Sementara itu, tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
7
1. Untuk mengetahui bagaimanakah status Asuransi Perjalanan Lion Air dalam lingkup Hukum Asuransi; 2. Untuk mengetahui pemenuhan hak-hak konsumen dalam metode penjualan dari asuransi perjalanan yang disediakan jasa angkutan udara Lion Air; 3. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan konsumen jasa angkutan udara Lion Air yang tidak membeli Asuransi Perjalanan Lion Air yang ditawarkan saat membeli tiket secara elektronik.
1.4. Definisi Operasional Penulisan dalam penelitian ini menggunakan beberapa istilah yang perlu dijabarkan secara jelas. Penjelasan beberapa istilah tersebut diambil dari kamus dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan. Beberapa istilah itu adalah sebagai berikut : 1.
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.10
2.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11
3.
Tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.12
4.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
10
Indonesia (a), Pasal 1 angka (1).
11
Ibid., Pasal 1 angka (2).
12
Indonesia (c). Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Pasal 1 angka 3.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
8
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.13 5.
Objek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.14
6.
Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.15
7.
Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.16
1.5. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.17 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang bersifat yuridis normatif, artinya penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui norma hukum tertulis, yang dalam hal ini mengetahui perlindungan konsumen pengguna jasa angkutan udara terkait dengan opsi asuransi tiket elektronik ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
13
Indonesia (d). Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Pasal 1 angka (1). 14
Ibid., Pasal 1 angka (2).
15
Indonesia (b), Pasal 1 angka (13).
16
Ibid., Pasal 1 angka (27).
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 43.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
9
Menurut sifatnya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.18 Dalam hal penelitian ini menggunakan data yang seteliti mungkin mengenai asuransi perjalanan pada perusahaan jasa angkutan udara terhadap peraturan terkait asuransi di bidang jasa angkutan udara dengan mengaitkannya pada praktek usaha jasa Lion Air. Menurut bentuknya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian evaluatif, dimana penelitian ini ditujukan untuk menilai apakah tindakan perusahaan jasa Lion Air sesuai dengan peraturan yang berlaku di bidang penerbangan Indonesia. Menurut penerapannya, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian yang berfokuskan pada masalah, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengaitkan antara bidang teori dengan bidang praktik, dimana dalam hal ini, penelitian ini akan mengaitkan antara bidang hukum perlindungan konsumen terhadap kegiatan jasa angkutan udara Lion Air. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari bahan pustaka, dimana data-data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah berupa buku-buku, sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya pada bagian tinjauan pustaka dan dokumen-dokumen tertulis lainnya serta kuesioner sebagai data pendukung. Adapun karena penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, maka jenis data sekunder itu dibagi lagi ke dalam 3 (tiga) macam bahan hukum, yaitu : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia.
19
Dalam
penulisan ini, terdapat data-data yang diambil dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
18
Ibid, hlm. 10.
19
Ibid., hal. 52.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
10
tentang Usaha Perasuransian serta perubahannya, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan hukum primer, antara lain yaitu : buku, artikel ilmiah, dan sebagainya. Dalam penulisan ini, terdapat penjelasan yang diperoleh dari buku; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen, wawancara, dan teknik pengambilan data kuesioner. Dalam hal mengenai studi dokumen, studi dokumen ini dilakukan terhadap data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian serta perubahannya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta peraturan perundang-undangan terkait, dan bukubuku tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya yang berkaitan dengan asuransi penerbangan di Indonesia. Dalam hal mengenai wawancara, wawancara ini dilakukan terhadap narasumber, yaitu pegawai/pihak perusahaan jasa angkutan udara Lion Air sehingga penulis mendapatkan informasi mengenai kebijakan perusahaan Lion Air dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen. Teknik pengambilan data kuesioner dilakukan untuk memberikan gambaran perilaku konsumen dalam melakukan transaksi elektronik terkait pembelian tiket pesawat dengan disertai asuransi perjalanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang “menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata”. 20 Bahan penelitian yang sudah terkumpul akan dianalisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang akan dikomparasikan dengan kenyataan yang ada pada praktiknya.
20
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
11
Bentuk hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik, dimana dalam peneltitian ini dilakukan analisis terhadap kebijakan perusahaan jasa angkutan udara Lion Air dengan buku-buku yang memberikan penjelasan mengenai asuransi penumpang jasa angkutan udara, dan data-data lainnya.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, yaitu:
BAB 1 Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional, metode penlitian, dan sistematika penulisan sebagai kerangka penelitian ini.
BAB 2 Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Asuransi Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian hukum perlindungan konsumen, asas-asas serta pihak yang terkait dalam perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, serta hal-hal yang berkaitan dengan sengketa konsumen. Selain itu, dalam bab ini juga akan dibahas beberapa hal mengenai hukum asuransi yaitu, definisi asuransi, jenis asuransi, fungsi asuransi, tujuan dan manfaat asuransi, serta berakhirnya suatu pertanggungan asuransi.
BAB 3 Asuransi Penerbangan Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai dasar hukum asuransi penerbangan, prinsip tanggung jawab perusahaan penerbangan, asuransi penerbangan sebagai salah satu asuransi wajib, tujuan diberlakukannya asuransi wajib dalam penerbangan, serta asuransi perjalanan terhadap penumpang angkutan udara.
BAB 4 Asuransi Perjalanan Lion Air dalam Pembelian Tiket Secara Elektronik Pada bab ini, penulis akan memaparkan metode penjualan Asuransi Perjalanan Lion Air, pemenuhan hak-hak konsumen mengenai asuransi penerbangan, serta perlindungan bagi penumpang jasa Lion Air.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
12
BAB 5 Penutup Bab ini merupakan bab penutup yang memberikan kesimpulan dan saran dari penulis. Pada bab ini, penulis akan menjawab pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
13
BAB 2 TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ASURANSI
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai aspek-aspek dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Asuransi, pada bagian ini akan dipaparkan terlebih dahulu aspek-aspek yang ada dalam Hukum Perlindungan Konsumen maupun Hukum Asuransi.
2.1. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian hukum perlindungan konsumen, asas-asas serta pihak yang terkait dalam perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, serta hal-hal yang berkaitan dengan sengketa konsumen.
2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Secara harafiah, kata “perlindungan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tempat berlindung; hal (perbuatan dsb) memperlindungi dan konsumen diartikan sebagai pemakai barang-barang hasil industri (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya). 21 Di sisi lain hukum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai “peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat (negara); undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. 22 Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai undang-undang, adat, dan segala peraturan yang mengatur pergaulan hidup masyarakat sebagai tempat berlindung pemakai barang-barang hasil industri (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya).
21
Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
22
Ibid.,
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
14
Dengan adanya pertumbuhan di bidang perekonomian serta globalisasi yang semakin menyeluruh, masyarakat sebagai konsumen selain mendapatkan manfaat dengan semakin banyaknya pilihan akan barang dan/atau jasa juga mendapatkan kerugian. Banyaknya pilihan produk maupun jasa yang ditawarkan akan berdampak pada timbulnya ketidakseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen dalam keadaan ini akan berada pada posisi yang kurang menguntungkan atau lemah. Pelaku usaha kerap kali memposisikan para konsumen sebagai objek aktivitas usaha untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya. Oleh karena itu, komponen peraturan di bidang perlindungan konsumen dianggap perlu untuk memberikan “payung hukum” bagi konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (1) mengartikan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen.23 Az Nasution mengartikan Hukum perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunanan produk (barang/jasa) bermasyarakat.
antara 24
penyedia
dan
penggunanya
dalam
kehidupan
Dari pengertian tersebut, komponen pelindung konsumen
dikatakan tidak terbatas oleh satu peraturan yang spesifik mengenai perlindungan konsumen, tetapi juga segala asas dan kaidah terkait yang berlaku. Oleh karena itu, perlindungan konsumen tidak hanya diberikan oleh UU Perlindungan Konsumen, tetapi juga oleh berbagai peraturan khusus di bidangnya seperti misalnya UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Penerbangan, serta peraturan terkait di segala bidang. Sebagai contoh, di dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, perlindungan
23
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1. 24
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen. Cet 2, (Jakarta: Diadit Media, 2002),
hal. 22.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
15
konsumen berarti melindungi konsumen dari pemberlakuan tarif tinggi oleh badan usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari informasi/iklan tarif penerbangan yang berpotensi merugikan/menyesatkan sehingga ditetapkan tarif batas atas.25 Di lain pihak, perlindungan yang diberikan kepada konsumen sudah dimulai sejak tahap penyediaan barang dan/atau jasa hingga pada tahap pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Johanes Gunawan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchase).26 Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dapat dilakukan dengan cara, antara lain: 1. Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Dengan adanya peraturan perundangan tersebut konsumen diharapkan akan memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha; 2. Voluntary self regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya. Sementara itu, untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat telah terjadinya transaksi dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
25
Indonesia (b), Pasal 127 ayat (2).
26
Serena Claudia, “Perlindungan Hak Konsumen Terhadap Kejelasan Informasi Dalam Suatu Kontrak Elektronik Jual Beli via Websites (Studi Kasus Situs airasia.com dan belibarang.com)”, (Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011), Hal.54.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
16
bedasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.
27
Dengan demikian,
perlindungan terhadap konsumen tidak hanya berasal dari para penguasa (pemerintah), tetapi juga dapat berasal dari para pelaku usaha itu sendiri.
2.1.2. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen Asas hukum perlindungan konsumen sebagai hukum dasar terbentuknya perlindungan bagi konsumen tercantum dalam Pasal 2 serta penjelasan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: 1.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
3.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.28 Menurut Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, kelima asas yang disebutkan
dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas:
27
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1999), hal. 3. 28
Indonesia (a), Pasal 2 dan Penjelasan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
17
1.
Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
2.
Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan;
3.
Asas kepastian hukum.29
Urutan yang diberikan UU Perlindungan Konsumen tidak menunjukkan skala prioritas diantara kelima asas tersebut. Berbagai ahli berargumen mengenai prioritas yang seharusnya dimiliki dalam menegakkan perlindungan konsumen. Namun dalam praktiknya, pencapaian asas-asas tersebut tidak mungkin terjadi sekaligus. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan benturan kepentingan dalam setiap permasalahan yang timbul. Terkait dengan hal ini, Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Tabir Hukum berpendapat bahwa penerapan asas prioritas memang diperlukan. Namun, asas tersebut kiranya tidak diterapkan sesuai urutan prioritas yang diajarkan Radburch, yaitu secara urutan prioritas dimulai dari keadilan, kemanfaatan, dan yang terakhir adalah kepastian hukum. Achmad Ali mengungkapkan hal yang lebih realistis yakni dengan menganut asas prioritas yang kasuistis. Ketiga tujuan hukum tersebut diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedangkan untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.30 Asas-asas perlindungan terhadap konsumen tersebut tidak terlepas dari adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu: 1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 29
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 26. 30
Ibid., hal. 27-28.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
18
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.31
2.1.3. Pihak dalam Hukum Perlindungan Konsumen Untuk mengenal lebih jauh mengenai perlindungan konsumen, pemaparan mengenai definisi para pihak sangat diperlukan. Konsumen dan pelaku usaha merupakan pihak dalam Hukum Perlindungan Konsumen.
2.1.3.1 Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendeskripsikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 32 Kata “memperoleh” digunakan karena perolehan barang atau jasa oleh konsumen tidak saja karena hubungan hukum jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-pakai, jasa angkutan perbankan, konstruksi asuransi, dan lain-lain, melainkan juga melalui pemberian sumbangan, hadiah-hadiah baik yang berhubungan denga komersial maupun dengan hubungan lainnya.33 Secara universal, belum terdapat kesatuan definisi mengenai konsumen. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa literatur sebagai berikut. 1.
UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dalam Pasal 1 ayat (7) mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik;
31
Indonesia (a), Pasal 3.
32
Ibid., Pasal 1 ayat (2).
33
Az Nasution, Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1995), hal. 8.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
19
2.
UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi membagi konsumen atau pengguna menjadi dua yakni pelanggan dan pemakai. Pelanggan dalam Pasal 1 ayat 9 didefinisikan sebagai perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak, sedangkan pemakai dalam Pasal 1 ayat (10) didefinisikan sebagai perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak. (Undang-undang ini membedakan kedua jenis konsumen tersebut berdasarkan ada atau tidaknya kontrak.);
3.
John Mickelburgh memberikan pengertian konsumen yaitu a person to whom goods, services or credit are supplied or sought to be supplied by another in the course of a bussines carried on by him. 34 Dalam kaitannya dengan konsumen, Az Nasution menggolongkan
konsumen dalam tiga katagori yaitu: 1.
Konsumen dalam arti umum, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
2.
Konsumen antara yaitu setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
3.
Konsumen akhir, yaitu setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.35
Bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, konsumen yang menjadi sasaran dari perlindungan konsumen dari undang-undang tersebut adalah konsumen akhir. Tim Hukum Perlindungan Konsumen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI tentang pembentukan Tim Penelaah Peraturan PerundangUndangan di Bidang Hukum dalam rangka Reformasi Hukum Departemen 34
John Mickelburgh, Consumer protection, (Abingdon/oxon: Professional books limited, 1979) hal. 3. 35
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 3, (Jakarta: Diadit Media, 2007)
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
20
Kehakiman No. M59-PRO9.04 tahun 1998 mengkatagorikan konsumen akhir ke dalam 3 golongan yaitu: 1.
Pemakai adalah setiap konsumen yang memakai barang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, papan, alat transportasi, dan sebagainya;
2.
Pengguna adalah setiap konsumen yang menggunakan barang yang mengandung listrik dan elektronika seperti penggunaan lampu listrik, radio, tape, televisi, ATM, atau komputer dan sebagainya;
3.
Pemanfaat adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen, seperti: jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi, dan sebagainya.36 Di sisi lain, Pembatasan konsumen tersebut menurut Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terlalu sederhana sehingga YLBHI memperluas definisi konsumen dari tiga segi, yaitu: 1. Segi akses informasi Konsumen dapat dibagi menjadi konsumen terinformasi dan konsumen tidak terinformasi. Ciri-ciri konsumen terinformasi: berpendidikan, status ekonomi sosial menengah ke atas, dan secara finansial dapat mengakses bantuan hukum komersial. Sebaliknya, ciri-ciri konsumen tidak terinformasi: kurang berpendidikan, status ekonomi sosial menengah ke bawah, dan tidak dapat memperjuangkan hak-haknya sendiri sehingga membutuhkan bantuan hukum/ pembelaan secara cuma-cuma. 2. Segi pertanggungjawaban produsen Konsumen terbagi dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, konsumen dipahami terbatas pada pihak-pihak yang melakukan transaksi semata. Sebaliknya, dalam arti luas konsumen tidak hanya terbatas pada pihak yang melakukan transaksi, tetapi juga korban dari suatu peristiwa/transaksi.
36
Eva Novianti, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Transgenik (Studi Kasus: Snack Kentang Pringles)”, (Depok: Program Sarjana Universitas Indonesia,2007) hal. 24.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
21
3. Segi ruang lingkup konsumen Selain sebagai pengguna (user), konsumen juga dapat dipahami dalam konteks sebagai pemanfaat sumber daya alam, baik berupa air, udara, dan hutan, dan lain-lain.37 2.3.3.2 Pelaku Usaha UU Perlindungan Konsumen mengartikan pelaku usaha sebagai: “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 38 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.”39 Pengertian pelaku usaha dalam UU Perlindungan konsumen sangatlah luas meliputi berbagai macam pelaku usaha perseorangan maupun badan hukum. Pelaku perseorangan cenderung mengarah kepada pelaku usaha kecil hingga menengah sedangkan pelaku usaha badan hukum merupakan pelaku usaha skala besar. Pelaku usaha di sini juga tidak dibatasi oleh jenis usaha atau bidang usaha yang digeluti. Namun, lingkup pelaku usaha dalam UU Perlindungan konsumen ini hanya berlaku bagi pelaku usaha yang menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan demikian, pengusaha Indonesia yang melakukan usaha di luar negeri tidak mendapat perlindungan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
37
A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah hukum cet. 2, (Jakarta: YLBHI, 2007), hal. 261-262. 38 39
Indonesia (a), Pasal 3 ayat (1). Ibid., Penjelasan Pasal 3 ayat (1) .
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
22
Menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, pelaku usaha digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu: 1.
Investor, yakni pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai kepentingankepentingan usaha seperti bank, lembaga keuangan non-bank, dan para penyedia dana lainnya.
2.
Produsen, yakni pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang dan jasa-jasa lain seperti penyelenggara jasa kesehatan, pabrik sandang, pengembang perumahan, dan sebagainya.
3.
Distributor,
yakni
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti warung, toko, kedai, supermarket, pedagang kaki lima, dan lain-lain.40
2.1.3.3. Pemerintah Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangatlah penting. Pentingnya intervensi pemerintah didasarkan pada beberapa argumentasi yaitu: 1.
Dalam masyarakat modern, produsen menawarkan berbagai jenis produk baru hasil kemajuan teknologi dan manajemen secara masal (mass production and consumption);
2.
Hasil produksi secara masal dan teknologi canggih, potensial bagi munculnya risiko produk-produk cacat yang dapat merugikan konsumen;
3.
Hubungan antara konsumen dan produsen yang tidak seimbang;
4.
Persaingan yang sempurna sebagai pendukung consumer sovereignty theory dalam prakteknya jarang terjadi.41 Upaya
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
dimaksudkan
untuk
memberdayakan konsumen agar konsumen mendapatkan hak-haknya. Selain itu pemerintah
juga
bertanggung
jawab
untuk
melakukan
pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen agar pelaku usaha memperhatikan hak-
40
Az Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999”, hal. 7. 41
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 30.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
23
hak konsumen. Dari penjabaran tersebut, terdapat dua fungsi dari pemerintah dalam hal perlindungan konsumen, yaitu pembinaan dan pengawasan. Fungsi pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah diatur dalam Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen, yaitu Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
yang
menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan yang dilakukan juga meliputi upaya untuk: 1.
Menciptakan iklim usaha dan hubungan yang sehat antara konsumen dengan pelaku usaha. Hal ini dilakukan dengan cara: a. Penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; b. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; c. Peningkatan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; d. Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing; e. Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan; f. Penelitian
terhadap
barang
dan/atau
jasa
beredar
yang
menyangkut perlindungan konsumen; g. Peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan dan menjual barang dan/atau jasa; i. Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. 2.
Mengembangkan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dengan cara: a. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
24
b. Pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. 3.
Meningkatkan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen dengan cara: a. Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen; b. Peningkatan kualitas tenaga peneliti danpenguji barang dan/atau jasa; c. Pengembangan dan pemberdayaan lembaga penguji mutu barang d. Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.42 Selain melakukan pembinaan, Pemerintah sebagai salah satu pihak yang
melaksanakan fungsi pengawasan diatur dalam ketentuan pasal 30 UU Perlindungan
Konsumen,
yakni
Pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah.
2.1.3.4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) juga berfungsi sebagai badan pengawas dalam pelaksanaan perlindungan konsumen. Fungsi dari LPKSM yakni: 1.
Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2.
Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.
3.
Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
4.
Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
42
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Pasal 3-6.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
25
5.
Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
2.1.4. Produk Konsumen Az Nasution menjabarkan pengertian produk konsumen sebagai setiap barang dan/atau jasa akhir yang dipakai, digunakan, dan/atau dimanfaatkan bagi memenuhi kepentingan/kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan tidak untuk diperdagangkan.
43
Sejalan dengan Az Nasution, Philip Kotler juga
mendefinisikan barang konsumen (consumer product) sebagai barang-barang yang dibeli oleh konsumen akhir untuk konsumen pribadi.44 Kotler membagi barang konsumen ke dalam 4 kategori yaitu: 1.
Barang konveniens (convenience goods) adalah barang dan jasa konsumen yang biasanya dibeli konsumen berkali-kali dengan segera, dan dengan perbandingan dan upaya pembelian minimum. Barang konveniens umumnya murah dan mudah didapat. Contoh: rokok, sabun, dan surat kabar;
2.
Barang belanja (shooping goods) adalah barang-barang konsumen yang, dalam proses pemilihan dan pembelian, biasanya diperbandingkan menurut kecocokan, mutu, harga, dan model. Ketika membeli barang belanja, konsumen
menghabiskan
cukup
banyak
waktu
dan
usaha
dalam
mengumpulkan informasi dan membuat perbandingan. Contoh: furnitur, busana, mobil, dan peralatan rumah tangga yang besar; 3.
Barang khusus (specialty goods) adalah barang-barang konsumen dengan karakteristik dan identifikasi produk yang unik yang kelompok-kelompok pembeli tertentu bersedia memperolehnya dengan upaya pembelian khusus. Contoh: mobil jenis tertentu atau peralatan fotografi mahal;
4.
Barang yang tidak dicari (unsought goods) adalah barang-barang yang tidak diketahui konsumen atau konsumen mengetahuinya tetapi umumnya tidak
43
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cet 1, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 4. 44
Philip Kotler dan Gary Armstrong, Prinsip-Prinsip Pemasaran cet. 1, ed. Yati Sumiharti, S.E., (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), hal. 271.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
26
berpikir untuk membelinya. Contoh: audio tape digital yang tidak dicari sampai konsumen mengetahuinya melalui iklan. 45 UU Perlindungan Konsumen tidak menjabarkan secara tegas mengenai produk konsumen, tetapi mengulasnya sebagai barang dan jasa. UU Perlindungan Konsumen mendefinisikan barang sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.46 Pengertian barang dalam undang-undang ini juga termasuk barang yang dapat diperdagangkan, namun dikarenakan UU Perlindungan Konsumen hanya mengakui adanya konsumen akhir maka pengertian barang ini pun terbatasi. Berkaitan dengan jasa, UU Perlindungan Konsumen mendefinisikan jasa sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.47
2.1.5. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Untuk dapat menjalankan perannya masing-masing, konsumen dan pelaku usaha tentunya memiliki hal-hal yang seharusnya mereka lakukan berupa kewajiban serta hak-hak yang bisa mereka dapatkan yang berbentuk hak. Oleh karena itu, pemerintah melalui perangkat peraturan perundang-undangan telah mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha tersebut.
2.1.5.1 Hak dan Kewajiban Konsumen Jauh sebelum UU Perlindungan Konsumen terbentuk, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1981 telah merumuskan panca hak konsumen, yaitu: 1.
Hak atas keamanan dan keselamatan;
2.
Hak atas informasi;
45
Ibid., hal. 271-272
46
Indonesia (a), Pasal 1 ayat (4).
47
Ibid., Pasal 1 ayat (5).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
27
3.
Hak untuk memilih;
4.
Hak untuk didengar;
5.
Hak atas lingkungan hidup; Mengenai kelima hak tersebut, Az Nasution berpendapat bahwa: “Kehidupan yang layak bagi manusia sebagai konsumen antara lain apabila ia berhak mendapatkan kebutuhan hidup keluarganya (barang atau jasa) yang terjamin bagi keamanan dan keselamatan diri dan keluarganya; ia pun berhak mendapat informasi yang jujur dan bertanggung jawab tentang semua kebutuhan hidupnya sehingga ia dapat menjatuhkan pilihannya dengan benar, dan ia berhak pula untuk menentukan pilihan atas produk konsumen yang diinginkannya. Apabila karena penggunaan sesuatu barang atau jasa konsumen, ia dirugikan harta benda, kesehatan fisik atau keamanan jiwa, maka ia berhak untuk didengar pengaduan/laporannya oleh aparat pemerintahan atau gugatannya di lembaga peradilan yang berwenang untuk itu. Selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, mereka berhak mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan mendukung kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.”48 Hak konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen adalah:
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
48
Az Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hal. 37.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
28
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.49 Keberagaman hak konsumen yang telah disebutkan, menurut Ahmadi Miru
dapat dibagi ke dalam 3 hak yang menjadi prinsip dasar yakni: 1.
Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2.
Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
3.
Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.50 John F. Kennedy menjabarkan 4 hak konsumen yaitu:
1.
The right to safety;
2.
The right to be informed;
3.
The right to choose;
4.
The right to be heard.51 Keempat hak konsumen yang dipaparkan oleh Kennedy menjadi pilar utama
dari peraturan International Organization of Consumers Union (IOCU). Organisasi tersebut kemudian menambahkan 4 hak tambahan yaitu: 1.
The right to redress;
2.
The right to consumer education;
3.
The right to a healthy environment;
4.
The right to basic goods and services.52 49
Ibid., Pasal 4
50
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga,2000), hal. 140. 51
Matthew Hilton, Prosperity for All; Consumer Activism In an Era of Globalization, (Amerika Serikat: Cornell University Press, 2009), hal. 185.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
29
Keseluruhan hak konsumen yang telah dikemukakan di atas telah merepresentasikan kebutuhan konsumen dalam suatu transaksi ekonomi. Namun, hak atas informasi Segala hak pasti memiliki konsekuensi berupa kewajiban yang harus dilakukan. UU Perlindungan konsumen pun menjabarkan kewajiban-kewajiban konsumen tersebut yaitu: 1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.53
2.1.5.2 Hak dan Kewajiban Pelaku usaha Selain hak yang dimiliki oleh konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha, pelaku usaha sewajarnya pula memiliki hak-hak yang perlu dilindungi. Hak-hak pelaku usaha tersebut di antaranya: 1.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.54
52
Ibid., hal. 186.
53
Indonesia (a), Pasal 5.
54
Ibid., Pasal 6.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
30
Untuk menyeimbangkan hak yang diberikan kepada pelaku usaha, UU Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban-kewajiban yang patut dilakukan oleh Pelaku Usaha. Kewjiban-kewajiban tersebut adalah: 1.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.
Menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.55
2.1.6. Hal-hal yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Untuk melindungi kepentingan konsumen serta menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, pemerintah menerapkan beberapa larangan-larangan yang untuk membatasi pelaku usaha yang ingin berbuat sewenang-wenang. Larangan-larangan tersebut diatur dalam Bab IV UU Perlindungan konsumen. Larangan-larangan itu di antaranya: 1.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
55
Ibid., Pasal 7.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
31
2.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7.
Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluwarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; 8.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
9.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.56 Larangan-larangan yang diberikan, menurut Nurmadjito, adalah untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan
56
Indonesia (a), Pasal 8.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
32
produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi penguasaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.57
2.1.7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yaitu Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dari uraian tersebut, tanggung jawab pelaku usaha meliputi: 1.
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
2.
Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;
3.
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.58 Bentuk ganti kerugian yang diamanatkan undang-undang kepada pelaku
usaha dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.8. Tahap-Tahap Transaksi Transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha diartikan sebagai proses peralihan pemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen. Peralihan dapat terjadi karena suatu hubungan hukum tertentu sebagaimana yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPer) atau perundang-undangan terkait. Namun, peralihan barang atau jasa dapat pula terjadi karena suatu tindakan komersial tertentu dari perusahaan seperti pemberian hadiah barang, mobil, sepeda motor, perhiasan, atau berbentuk jasa pariwisata dan lain-lain, karena memenangkan undian yang diselenggarakan perusahaan tersebut.59 57
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 65. 58
59
Ibid., hal. 125-126. Az Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hal. 37.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
33
Tahap-tahap transaksi yang sering terjadi dalam praktik terbagi ke dalam 3 bagian yaitu: 1.
Tahap pratransaksi konsumen;
2.
Tahap transaksi konsumen;
3.
Tahap purnatransaksi konsumen.60 Pada tahap pra-transaksi, konsumen belum melakukan transaksi, melainkan
melakukan proses pencarian informasi mengenai harga maupun persyaratan yang harus dipenuhi serta melakukan berbagai pertimbangan. Informasi yang didapatkan bisa berasal dari pelaku usaha itu sendiri ataupun sumber-sumber lain misalnya pemerintah, lembaga perlindungan konsumen, atau pun dari konsumenkonsumen secara pribadi. Hasil dari pencarian informasi dan pertimbangan yang dilakukan konsumen akan merujuk pada keputusan konsumen untuk melakukan transaksi atau tidak. Apabila konsumen memiliki kepentingan atau pun manfaat atas produk barang dan/atau jasa tersebut maka konsumen akan memasuki tahap transaksi. Pada tahap ini, telah terjadi peralihan antara konsumen dengan pelaku usaha. Selain itu, terjadi beberapa kesepakatan seperti cara pembayaran, hak dan/atau kewajiban yang mengikuti dan sebagainya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi konsumen dalam tahap transaksi diantaranya perjanjian baku atau pun beberapa praktek bisnis yang dijalankan pengusaha untuk meningkatkan pemasaran atau penyerapan produk di masyarakat. Kegiatan pemasaran yang biasa dilakukan misalnya dengan mendesain produk agar menarik, menyelenggarakan jaringan distribusi, melalui iklan, hingga menjalankan sistem penjualan tertentu. Cara pemasaran yang wajar akan mendukung putusan pilihan konsumen yang menguntungkannya. Hal ini dapat dilihat saat konsumen mempunyai atau mendapatkan: 1.
Berbagai pilihan atas barang atau jasa hasil produksi atau
pun
penyelenggaraan perusahaan-perusahaan yang berbeda; 2.
Berbagai tingkat harga dengan berbagai kualitasnya;
60
Ibid., hal. 38.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
34
3.
Adanya
berbagai
kondisi
pembelian
menguntungkan dan dapat dipercaya.
dan
jaminan
produk
yang
61
Pada tahap purna-transaksi, pelaksanaan transaksu telah selesai dilakukan. Kepuasan atau kekecewaan konsumen yang berkaitan dengan transaksi akan terlihat. Apabila konsumen merasa puas dengan transaksi yang dilakukan maka kosumen akan setia dan tidak akan beralih ke merek lain. Lain halnya bila terjadi kekecewaan terhadap transaksi tersebut. Kekecewaan konsumen dapat berdampak pada timbulnya kerugian materi maupun bahaya atas keselamatan tubuh dan keamanan jiwa konsumen, keluarga atau orang lain.
2.1.9. Penyelesaian Sengketa Sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dan penyedia produk konsumen (barang atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu. 62 Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam sengketa konsumen ini yaitu pihak konsumen dan produk yang disengketakan. Pihak konsumen yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kehidupan hidup diri, keluarga, atau rumah tangganya dan tidak untuk tujuan komersil, sedangkan produk yang disengketakan haruslah produk konsumen, yakni barang dan/atau jasa yang umumnya dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau rumah tangga konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen telah diatur dalam Bab X UU Perlindungan Konsumen tentang Penyelesaian Sengketa. Makna sengketa konsumen tersebut menyimpulkan bahwa sengketa konsumen hanya berlaku antara konsumen dengan pelaku usaha. Ini berarti UU Perlindungan Konsumen tidak dapat berlakukan pada sengketa yang terjadi antara konsumen dengan konsumen. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, negara memberikan dua pilihan cara penyelesaian sengketa konsumen, yaitu:
61
62
Ibid., hal 47. Ibid., hal 179.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
35
1.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha;
2.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Namun, ditegaskan kemudian dalam Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan
Konsumen bahwa sengketa konsumen juga dapat dilakukan di luar pengadilan yakni penyelesaian damai diantara para pihak yang bersengketa. Penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Gugatan terhadap pelaku usaha dapat diajukan oleh: 1.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2.
Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
4.
Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.63 Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen diakui oleh Undang-
undang. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu di antaranya adalah adanya bukti transaksi.64 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki kelemahan tersendiri di antaranya: 1.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat;
63
Indonesia (a), Pasal 46.
64
Ibid., Penjelasan Pasal 46 huruf (b).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
36
2.
Biaya perkara yang mahal;
3.
Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4.
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5.
Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.65 Dengan melihat pada kelemahan-kelemahan pengadilan tersebut, para pihak
yang bersengketa lebih memilih menyelesaikan permasalahan mereka di luar pengadilan.
2.2. Hukum Asuransi Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal mengenai hukum asuransi yaitu, definisi asuransi, subjek dan objek asuransi, risiko asuransi, prinsip-prinsip asuransi, jenis asuransi, serta asuransi berganda.
2.2.1. Pengertian Asuransi Asuransi semakin berkembang di Indonesia seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian. Resiko-resiko yang semakin lama menjadi pertimbangan yang cukup penting dalam melakukan aktivitas menjadi pemicu masyarakat untuk melakukan perlindungan bagi diri sendiri maupun orang lain. Prof. Ny. Emmy Pangaribuan berpendapat:
“Kemungkinan bahwa manusia akan menghadapi suatu kerugian atau suatu kehilangan sudah menjadi suatu masalah bagi setiap umat manusia sejak manusia tidak lagi bertempat tinggal di taman firdaus (dimana segala kebutuhan hidup sudah tersedia) dan harus berusaha dengan tenaga dan pikirannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk memiliki harta kekayaan demi kelangsungan hidup. Dari sejak lahir sampai mati, setiap orang menghadapi suatu yang tidak pasti.”66
65
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal. 235-236. 66
Dr. Sri Rejeki Hartono,S.H., Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 31 lihat juga Emmy Pangaribuan S, Hukum Pertanggungan dan Perkembangan (BPHN, 1980), hal. 3.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
37
Mengenai perkembangan asuransi di suatu wilayah, Dr. Sri Rejeki Hartono dalam bukunya yang berjudul Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi menyimpulkan bahwa
“Asuransi itu timbul bersamaan dengan lahirnya tingkat perkembangan sosial
tertentu
sesuai
dengan
kebutuhan
manusia
akan
proteksi/perlindungan maupun dalam suatu tingkat perkembangan kegiatan ekonomi tertentu yang sudah membutuhkan suatu kepastian tingkat keuntungan tertentu ssehingga membutuhkan pula adanya perlindungan tertentu sehingga membutuhkan perlindungan tertentu bagi kelangsungan kegiatannya.”67
Secara harafiah, asuransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya).68 Dalam pengertian ini, asuransi disamakan dengan pertanggungan. Pertanggungan juga diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata, yaitu perjanjian kemungkinan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung-untungan, baik bagi kedua belah pihak maupun bagi sepihak bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Perjanjian untung-untungan yang dimaksudkan adalah perjanjian pertanggungan, bunga cagak-hidup, perjudian, dan pertaruhan. Dalam pasal ini, pertanggungan bukan berarti sama dengan perjudian, bunga cagak hidup, maupun pertaruhan. Perjanjian untung-untungan oleh Wirjono Projodikoro
67
Ibid., hal 32.
68
Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
38
diartikan sebagai persetujuan yang pelaksanaan kewajibannya tergantung dari peristiwa yang belum akan terjadi.69 Pertanggungan telah diatur sejak lama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yaitu dalam Pasal 246 yang berbunyi:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan suatu kemungkinan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu.” Berdasarkan pengertian yang diberikan KUHD, asuransi merupakan suatu perjanjian dimana dapat diketahui unsur-unsur atau sifat-sifat dari asuransi. Dr. Santoso Poedjosoebroto, S. H. berpendapat bahwa pengertian yang diberikan oleh KUHD mengenai pertanggungan haruslah ada kerugian dan apabila ada kerugian yang disebabkan karena peristiwa yang tidak pasti maka terbebanlah kepada penanggung untuk memenuhi prestasi, yaitu membayar uang pertanggungan (uitkering). 70 Di lain sisi, Prof. Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H. menguraikan sifat-sifat asuransi berdasarkan pasal 246 KUHD, yaitu: 1.
Asuransi pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian
2.
Asuransi tidak boleh menjurus pada pemberian ganti rugi yang lebih besar daripada kerugian yang diderita
3.
Asuransi adalah perjanjian timbal-balik Penjabaran pertanggungan berdasarkan KUHD merupakan makna sempit
dari asuransi karena perngertian pertanggungan terbatas pada asuransi kerugian. Untuk memperbaikinya, pemerintah kemudian memperluas pengertian asuransi, yaitu:
69
Dr. Santoso Poedjosoebroto,S.H., Beberapa Aspekta Tentang Hukum Pertanggungan Djiwa di Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1969), hal. 76. 70
Ibid., hal . 65.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
39
“Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”71 Dengan adanya pengertian tersebut, asuransi tidak hanya mencakup asuransi kerugian, melainkan juga asuransi jiwa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, asuransi merupakan suatu perjanjian. Oleh karena itu, asuransi secara hukum juga tunduk pada aspek-aspek perjanjian yang dituangkan dalam KUH Perdata Pasal 1338.
2.2.2. Subjek dan Objek Asuransi Dalam suatu perjanjian termasuk dalam perjanjian asuransi, terdapat para pihak yang melakukan perjanjian. Kesepakatan yang terbentuk tentunya didasarkan pada suatu hal yang menjadi objek perjanjian. Oleh karena itu, perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai subjek dan objek yang ada dalam asuransi.
2.2.2.1. Subjek Asuransi Subjek asuransi adalah para pihak yang terlibat dalam penutupan asuransi yaitu tertanggung dan penanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Tertanggung merupakan pihak yang mengalami kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, sedangkan penanggung dapat diartikan sebagai pihak yang menanggung kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung. Penanggung dalam hal ini adalah perusahaan asuransi yang dapat berbentuk Perusahaan Perseroan, Koperasi, atau
71
Indonesia (b), Pasal 1 angka (1).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
40
pun usaha bersama. 72 Dengan demikian, penanggung hanya boleh berbentuk badan hukum. Di sisi lain, tertanggung dapat berstatus perseorangan, persekutuan, atau badan hukum baik perusahaan atau bukan perusahaan.
2.2.2.2. Objek Asuransi Objek dalam hubungan hukum mengenai perjanjian ialah hal yang diwajibkan kepada pihak yang berkewajiban (debitur), terhadap mana pihak yang berhak (kreditur) mempunyai hak. Objek asuransi adalah semua kepentingan yang: 1.
Dapat dinilai dengan sejumlah uang (op geld waardeerbaar);
2.
Dapat takluk pada macam-macam bahaya (aan gevaar onderhevig);
3.
Tidak dikecualikan undang-undang.73 Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan bahwa bentuk dari objek
asuransi sebenarnya bukanlah barang (rumah) itu selaku benda an-sich, melainkan kepentingan atas berlangsungnya wujud barang (rumah) itu bagi si terjamin. 74 Kepentingan atas suatu barang tidak hanya dimiliki oleh pemilik barang tersebut, melainkan bisa juga pihak ketiga yang mungkin memilliki kepentingan berupa jaminan dan sebagainya. Oleh karena itu, pihak yang menjadi terjamin pada penutupan asuransi selain pemilik barang sebenarnya juga adalah si berpiutang jika memang terdapat pihak yang berpiutang. Objek asuransi dapat pula yang berbentuk objek asuransi tanpa benda. Yang dimaksud dengan objek asuransi tanpa benda ialah adakalanya diadakan asuransi terhadap kemungkinan orang menderita karena tidak mendapat untung dalam suatu perusahaan. 75 Dengan demikian, objek asuransi tersebut bukan benda terlihat dan tidak akan ada kemungkinan musnah atau rusaknya benda seperti pada asuransi biasa.
72
Ibid., Pasal 7 ayat (1).
73
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1991), hal . 41. 74
Ibid., hal. 42.
75
Djoko Prakoso,S.H., Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal.
86.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
41
2.2.3. Risiko Risiko berkaitan erat dengan asuransi. Asuransi timbul karena diperkirakan akan terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti di masa datang. Kemungkinan manusia menghadapi kehilangan atau kerugian itu merupakan suatu risiko.76 Hal ini dapat terlihat pula dari tujuan risiko menurut Robert I. Mehr dan E. Cammack yang menyatakan hubungan serasi antar matematika dan risiko terutama yang berkaitan dengan asuransi pada umumnya, yakni:
“Tujuan teori risiko adalah untuk memberikan suatu analisa matematika mengenai keadaan perubahan yang terjadi secara acak (seimbang) dalam suatu usaha asuransi dan untuk membahas berbagai macam cara untuk memberikan
proteksi
terhadap
pengaruh-pengaruh
yang
tidak
menguntungkan.”77 Dengan melihat tujuan teori risiko tersebut, Robert I. Mehr dan E. Cammack menyimpulkan bahwa risiko mempengaruhi asuransi sehingga secara sederhana risiko dapat disebut sebagai ketidakpastian mengenai kerugian. Risiko ini dapat bersifat ekonomis maupun non-ekonomis. Berdasarkan sifatnya, risiko dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu, risiko murni (pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk). Dalam risiko spekulatif, terdapat dua unsur yaitu kemungkinan timbul kerugian (loss) dan kemungkinan ada keuntungan (gain) sedangkan dalam risiko murni hanya terdapat satu unsur saja yaitu kehilangan/kerugian. Mengingat sifat-sifat pada risiko spekulatif yaitu suatu risiko yang mempunyai dua alternatif atau dua kemungkinan yaitu menang/untung atau kalah/rugi, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa
76
Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja,S.H.,S.U. dan Endang, S.H., Hukum Asuransi, (Bandung: PT Alumni, 2003) hal. 50. 77
Dr. Sri Rejeki Hartono,S.H., Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 31 lihat juga Emmy Pangaribuan S, Hukum Pertanggungan dan Perkembangan (BPHN, 1980), hal. 59 lihat juga P. L. Wery, Hoofzaken van het Verzekeringsrecht (Deveter: Kluwer B.V., 1984), hal 7 dst.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
42
yang dapat dihindari. Lain halnya dengan risiko murni yang hanya mempunyai satu penyimpangan saja yaitu kehilangan/kerugian saja.78 Berdasarkan objek yang dikenai, Prof. Ny. Emmy Pangaribuan S membagi risiko menjadi 3 bagian yaitu: 1.
Risiko perorangan atau pribadi (personal risk);
2.
Risiko harta kekayaan (property risk);
3.
Risiko tanggung jawab (liability risk).79 Terhadap risiko-risiko yang mungkin timbul, Prof. Ny. Emmy Pangaribuan
S memaparkan usaha manusia untuk mengatasi suatu risiko yaitu: 1.
Menghindari (avoidance);
2.
Mencegah (prevention);
3.
Memperalihkan (transfer);
4.
Menerima (assumption or retention).80 Dari keempat upaya tersebut, usaha memperalihkan adalah bentuk dari
kegiatan asuransi. Apabila peralihan risiko terjadi hanya sebagian, maka yang terjadi itu dalah pembagian risiko, sedangkan apabila terjadi pengalihan risiko seluruhnya, maka yang terjadi adalah peralihan risiko. Risiko yang dapat ditanggung asuransi setidaknya harus memenuhi kriteria: 1.
Dapat dinilai dengan uang;
2.
Haruslah risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan suatu kerugian bukan untuk tujuan spekulatif;
3.
Kerugian yang timbul akibat bahaya atau peristiwa yang tidak pasti;
4.
Tertanggung harus memiliki insurable of interest;
5.
Tidak dilarang oleh undang-undang dan ketertiban umum.81
78
Ibid., hal. 66.
79
Prof. Ny. Emmy Pangaribuan, S.H., Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, (Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1983), hal. 10. 80
Ibid., hal. 2.
81
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, cet. 4, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 118.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
43
2.2.4. Prinsip-Prinsip Asuransi Asuransi memiliki beberapa prinsip guna lebih mengikat para pihak dalam asuransi, yaitu: 1.
Prinsip kepentingan yang diasuransikan (insurable interest);
2.
Prinsip itikad baik;
3.
Prinsip keseimbangan;
4.
Prinsip subrogasi (subrogation principle);
5.
Prinsip sebab-akibat (causaliteit principle);
6.
Prinsip kontribusi;
7.
Prinsip follow the fortunes.
2.2.4.1 Prinsip Kepentingan yang Diasuransikan (Insurable Interest) Prinsip ini diatur dalam Pasal 250 KUHD yakni:
“Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.”
Konsekuensi saat terjadinya pelanggaran terhadap prinsip kepentingan yang diasuransikan ini adalah batalnya perjanjian asuransi. Hal ini terlihat dari bebasnya penanggung dari kewajiban memberikan ganti rugi. Kepentingan yang diasuransikan harus dapat dibuktikan pada saat terjadi kerugian. Pembuktian akan kepentingan ini amat sulit dalam praktiknya. Oleh karena itu Dr. Sri Rejeki Hartono,S.H. memberikan batasan dimana seseorang dapat dianggap mempunyai “kepentingan” di dalam perjanjian asuransi, yakni apabila uang tersebut dapat atau mungkin menderita kerugian yang bersifat kerugian ekonomi sehingga penanggung harus memberi ganti kerugian. Dengan demikian
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
44
kepentingan dapat pula diartikan sebagai “keterlibatan kerugian keuangan, karena suatu peristiwa yang belum pasti”.82
2.2.4.2. Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith) Buku Anglo Saxon memberikan penjelasan mengenai perjanjian asuransi yakni: “Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengansyarat itikad baik yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negosiasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama mengenai
fakta,
dengan
penilaian
sama
penelaahannya
untuk
memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat yang tersembunyi.”83 Setiap pihak baik tertanggung maupun penanggung harus memiliki rasa saling percaya pada penutupan asuransi sebagai bentuk itikad baik masing-masing pihak. Mengingat asuransi adalah salah satu bentuk perjanjian, Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengatur bahwa setiap pihak harus mempunyai itikad baik. Dalam pengaturan mengenai asuransi dalam KUHD, terdapat banyak pasal yang mencerminkan prinsip itikad baik yakni Pasal 251, 252, 276, dan 277 KUHD. Misalnya dalam Pasal 251, tertanggung diwajibkan untuk memberikan keterangan yang sejujurnya kepada penanggung. Di lain sisi, penanggung juga diharapkan memiliki itikad baik bila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi tertanggung yakni dengan memberikan ganti rugi sesuai perjanjian.
2.2.4.3. Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle) Prinsip keseimbangan dalam asuransi tercermin dalam penggantian kerugian dari pihak penanggung. Penggantian kerugian dari pihak penanggung harus
82
Dr. Sri Rejeki Hartono,S.H., Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 101. 83
Ibid., hal. 93.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
45
seimbang dengan kerugian riil dari tertanggung. Hal ini dapat terlihat dalam Pasal 277 KUHD yang berkaitan dengan asuransi berganda. Pasal 277 KUHD menentukan bahwa apabila suatu objek asuransi yang telah diasuransikan dengan itikad baik telah diberikan penggantian seluruhnya (penuh) maka pertanggungan lainnya (bila ada) akan dibebaskan. Namun, apabila pada pertanggungan pertama tersebut, tertanggung tidak diberikan pertanggungan penuh (sebagian) maka pertanggungan selain daripada itu akan menanggung selebihnya. Prinsip keseimbangan ini mencegah terjadi penerimaan ganti kerugian yang berlebihan dari penanggung atau para penanggung kepada tertanggung. Mengenai hal ini, Prof. Ny. Emmy Pangaribuan berpendapat bahwa:
“Sebagai dasar dimasukkannya atau dipakainya asas perseimbangan itu dalam pertanggungan yang tepat kita tunjuk adalah kepada suatu asas di dalam hukum perdata: larangan mengenai onrechtmatige verrijking. Larangan memperkaya diri secara melawan hukum, atau memperkaya diri tanpa hak.”84
Prinsip indemnitas ini tidak berlaku bagi asuransi untuk sejumlah uang. Hal ini
dikarena dalam asuransi sejumlah uang, kepentingan tidak dapat diukur
dengan uang. Ganti kerugian yang diberikan tidaklah sesuai dengan kerugian yang sebenarnya dialami oleh tertanggung, melainkan sesuai perjanjian yang telah dilakukan pada awal penutupan asuransi.
2.2.4.4. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle) Sesuai Pasal 1365 KUH Perdata, seorang yang mengalami kerugian mempunyai hak untuk meminta ganti kerugian kepada siapa yang menyebabkan kerugian tersebut (pihak ketiga). Dalam hal ini, penanggung memiliki dua pilihan penggantian kerugian, yaitu:
84
Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja,S.H.,S.U. dan Endang, S.H., Hukum Asuransi, (Bandung: PT Alumni, 2003) hal. 59 lihat juga Prof. Ny. Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, (Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1983) hal. 65.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
46
1.
Menuntut ganti kerugian dari penanggung;
2.
Menuntut ganti kerugian dari seorang pihak ketiga.85
Namun, dengan adanya prinsip subrogasi ini, tertanggung yang mengalami kerugian tidak dapat meminta ganti rugi kepada pihak ketiga jika tertanggung telah mendapat ganti kerugian dari penanggung. Sebaliknya, penanggung memiliki hak untuk meminta ganti kerugian kepada pihak ketiga tersebut. Prinsip subrogasi tercermin dalam Pasal 284 KUHD bahwa seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan pihak tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut. Pihak tertanggung itu yang bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga. Mengenai prinsip subrogasi ini, Prof. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa
“Meskipun tidak ada hubungan langsung antara piutang dan kerugian si terjamin, namun ada hubungan tak langsung sehingga ada alasan penuh untuk memberi hak kepada penanggung guna menuntut pembayaran dari piutangnya si terjamin, sedangkan si terjamin tidak berhak lagi menuntut pembayaran itu. Ini tentunya hanya apabila kerugian si terjamin diganti seluruhnya oleh penanggung. Kalau kerugian itu hanya diganti sebagian saja, maka untuk sisa piutang, si terjamin masih dapat menuntut pembayaran dari pihak ketiga dan penanggung juga hanya mengambil alih sebagian dari piutangnya itu.”86
2.2.4.5. Prinsip Sebab-Akibat (Causaliteit Principle) Suatu kerugian timbul dari adanya suatu peristiwa. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai suatu sebab yang kemudian menimbulkan kerugian atau akibat.
85
Djoko Prakoso,S.H., Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), Hal.
190 86
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1991), hal. 108.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
47
Permasalahan yang kerap muncul adalah pembuktian hubungan diantara peristiwa dan kerugian yang terjadi yang menjadi salah satu klasifikasi dalam polis. Untuk itu, ada tiga pendapat untuk menentukan sebab timbulnya kerugian dalam perjanjian asuransi, yaitu: 1.
Pendapat menurut peradilan di Inggris terutama dianut yaitu sebab dari kerugian itu adalah peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat kepada kerugian itu (causa proxima);
2.
Dalam pengertian hukum pertanggungan, sebab itu tiap-tiap peristiwa yang tidak dapat ditiadakan tanpa juga akan melenyapkan kerugian itu (conditio sinequa non);
3.
Causa remota: Peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan suatu ajaran yang disebut “sebab adequate” yang mengemukakan: bahwa dipandang sebagai sebab yang mennimbulkan kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran pengalaman harus menimbulkan kerugian itu.87
2.2.4.6. Prinsip Konribusi Prinsip kontribusi ini terlihat pada asuransi berganda dimana Pasal 278 KUHD mengatur sebagai berikut:
“Bila satu polis saja meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai penanggung dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama, menurut perimbangan jumlah yang mereka tandatangani, hanya memikul nilai sebenarnya yang dipertanggungkan.”
Menurut ketentuan ini, apabila terdapat dua atau lebih penanggung maka penggantian kerugian tidak dilakukan oleh setiap penanggung sejumlah seluruh kerugian per penanggung, melainkan penggantian berdasarkan imbangan/porsi penanggungan sesuai perjanjian yang telah dibuat. Kerugian yang diganti tersebut
87
Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja,S.H.,S.U. dan Endang, S.H., Hukum Asuransi, (Bandung: PT Alumni, 2003) hal. 62-63.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
48
tetap sesuai dengan kerugian sebenarnya yang ditanggung oleh tertanggung. Hal ini tidak lain juga untuk menghindari tertanggung supaya tidak menerima penggantian kerugian yang berlebih sehingga mengarah pada pencarian keuntungan. Selain itu, prinsip ini juga menegakkan keadilan di antara para penanggung berdasarkan kesepakatan perjanjian.
2.2.4.7. Prinsip Follow the Fortunes Prinsip ini berlaku pada sistem re-asuransi dimana penanggung ulang mengikuti penanggung pertama. Prinsip ini menghendaki bahwa tindakan penanggung ulang tidak boleh mempertimbangkan secara tersendiri terhadap objek asuransi, akibatnya segala sesuatu termasuk peraturan dan perjanjian yang berlaku bagi penanggung pertama, berlaku pula bagi penanggung ulang.88 Namun, klausula ini memiliki pembatasan tertentu. Penanggung ulang wajib membayar klaim kepada penanggung pertama untuk tanggung gugatnya kepada tertanggung apabila klaim yang dibayarkan oleh penanggung pertama tersebut dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.89
2.2.5. Jenis Asuransi Berdasarkan Pasal 247 KUHD, terdapat 5 macam asuransi, yaitu: 1.
Asuransi terhadap kebakaran;
2.
Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian;
3.
Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa);
4.
Asuransi terhadap bahaya di laut dan perbudakan;
5.
Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan dan di sungaisungai. Sementara itu Prof. Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak juga membagi
asuransi berdasarkan unsur penyesuaian kehendak, yaitu: 1.
Pertanggungan sukarela (free/voluntary insurance)
88 89
Ibid., hal 64. Djoko Prakoso,S.H., Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal.
92.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
49
Dalam asuransi sukarela, para pihak tertanggung dan penanggung dalam mengadakan perjanjian tersebut tidak ada suatu paksaan dari pihak luar atau dari pihak lawan. Penanggung secara sukarela dengan persetujuannya sendiri mengikatkan diri untuk memikul risiko sedang pihak tertanggung juga dengan sukarela membayar premi sebagai imbalan memperalihkan risikonya kepada pihak penanggung. 2.
Pertanggungan wajib (compulsary insurance) Asuransi ini disebut asuransi wajib karena terdapat salah satu pihak yang mewajibkan adanya suatu pertanggungan. Pihak yang mewajibkan ini biasanya adalah pemerintah walaupun tidak selalu dimonopoli oleh pemerintah. 90 Tujuan pemerintah mewajibkan masuk asuransi ini adalah dengan pertimbangan melindungi golongan lemah dari bahaya-bahaya yang bakal menimpanya atau dengan perkataan lain untuk memberikan jaminan sosial sebagai suatu social security, asuransi sosial ini disebut dengan social insurance atau social government insurance91. Pertanggungan wajib ini dapat dilihat dalam pengangkutan laut dan udara.
2.2.6. Asuransi Berganda Pada hakikatnya KUHD Pasal 252 melarang terjadinya asuransi berganda. Hal ini dapat dilihat dari bunyi pasal tersebut “Kecuali jika diperbolehkan oleh undang-undang, maka tidaklah boleh diadakan asuransi untuk yang kedua dalam jangka waktu yang ditentukan, dengan adanya bahaya yang serupa pada barang-barang yang sudah dimasukkan asuransi untuk harga nilai seluruh dari barang-barang itu, dengan pengertian bahwa apabila larangan ini dilanggar, maka asuransi yang nomor dua tadi batal.”
90
Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H., Pertanggungan Wajib cet. 2, (Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1974), hal. 6 -7. 91
Abdul Muis, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2001),
hal. 39.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
50
Ketentuan ini bermaksud memberikan batasan terhadap tertanggung agar kepada tertanggung tidak diberi sejumlah uang yang melebihi kerugian yang ia benar-benar derita. Jika terjadi hal tersebut asuransi menjadi bersifat perjudian, yaitu mendapat keuntungan tanpa kepentingan.92 Lebih lanjut dalam Pasal 277 ayat (1) KUHD diatur mengenai penggantian kerugian, yakni: “Bila berbagai pertanggungan diadakan dengan itikad baik terhadap satu barang saja, dan dengan yang pertama ditanggung nilai yang penuh, hanya inilah yang berlaku dan penanggung berikut dibebaskan.” Melalui konstruksi Pasal 277 KUHD tersebut, undang-undang tidak melarang secara rigid untuk melakukan asuransi berganda. Dengan demikian, asuransi berganda tetap dapat dilakukan dengan syarat tertentu. Pembebasan penanggung kedua dan seterusnya hanya dapat dilakukan apabila penanggung pertama telah membayar seluruh kerugian kepada tertanggung. Namun, apabila penanggung pertama tidak memberikan ganti kerugian penuh maka penanggung kedua dan seterusnya yang akan mengganti kerugian selebihnya (asas keseimbangan). Kerugian yang mungkin akan diderita oleh tertanggung bisa saja melebihi jumlah penggantian yang telah disepakati dalam polis. Dalam pengaturan asuransi berganda Pasal 278 KUHD, para penanggung akan bersama-sama menanggung hanya harga yang sesungguhnya diasuransikan menurut perbandingan yang telah ditandatangani para penanggung dalam perjanjian. Hal ini berlaku pada keadaan dimana satu polis berisikan beberapa asuransi ataupun dimana para penanggung menanggung atas satu barang yang sama dalam beberapa polis. Dengan adanya asuransi berganda, para penanggung dapat membagi risiko yang mungkin akan terjadi. Namun, seiring waktu berjalan tertanggung mungkin saja melepaskan salah satu penanggung sehingga penanggung yang lain akan menerima beban yang lebih besar. Untuk melindungi para penanggung dari
92
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1991), hal. 77.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
51
tindakan sewenang-wenang tersebut, Pasal 279 KUHD mengatur dimana terjamin tidak boleh membatalkan pertanggungan yang lama. Apabila larangan ini dilanggar juga, maka si tertanggung dianggap menjadi penanggung sendiri untuk mengganti penanggung yang telah tertanggung lepaskan.93
93
Ibid., hal. 80.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
52
BAB 3 ASURANSI PENERBANGAN
Di tengah kemajuan perekonomian saat ini, efisiensi merupakan hal penting yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mobilisasi maupun distribusi dalam waktu cepat dengan harga terjangkau merupakan solusi yang terbaik. Mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu singkat dan terjangkau bukanlah sesuatu yang mustahil dengan adanya kemajuan teknologi. Dengan adanya teknologi penerbangan, mobilisasi yang pada awalnya hanya menggunakan transportasi darat, sungai, atau pun laut yang memakan waktu cukup lama dapat teratasi dengan munculnya jasa angkutan udara. Jasa angkutan udara sebagai transportasi udara tidak hanya berfungsi sebagai sarana migrasi penduduk dan komoditi, tetapi juga sebagai sarana mobilitas perdagangan dan bisnis baik nasional maupun internasional. Hal ini tentu memberikan keuntungan bagi masyarakat terutama para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Aktifitas usaha menjadi lebih efisien serta tidak terbatas ke seluruh pelosok negeri bahkan ke luar negeri. Selain dapat mencapai tujuan dalam waktu singkat, jasa angkutan udara ini juga menggunakan teknologi tinggi serta memiliki tingkat keselamatan yang tinggi. Walaupun kemajuan teknologi di bidang penerbangan sangat tinggi, para ilmuwan tidak akan dapat menghilangkan risiko atau kecelakaan angkutan udara. Usaha para ilmuwan dalam mengembangkan teknologi tersebut hanya akan mereduksi tingkat kecelakaan angkutan udara saja. Kecelakaan penerbangan dapat terjadi karena berbagai faktor seperti kesalahan manusia, cuaca yang buruk, ataupun teknis penerbangan. Dengan demikian, asuransi penerbangan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan usaha jasa angkutan udara.
3.1. Tujuan Asuransi Penerbangan Pada dasarnya, asuransi penerbangan bertujuan untuk mengalihkan dan membagi risiko yang ada mengingat tingkat risiko yang tinggi di bidang jasa angkutan udara. Selain itu adanya kewajiban asuransi ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa angkutan
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
53
udara, dan juga pihak ketiga yang menderita kerugian karena pengoperasian atau jatuhnya pesawat. Penutupan asuransi ini akan memberikan kepastian bagi para konsumen untuk mendapat ganti kerugian. Di lain sisi, pihak pengangkut pun tidak akan merasa terbebani dengan ganti kerugian yang sangat besar.
3.2. Tanggung Jawab Pengangkut Berdasarkan unsur penyesuaian kehendak, asuransi dapat dibedakan menjadi asuransi sukarela dan asuransi wajib. Bila dilihat dari penggolongan tersebut, asuransi di bidang penerbangan merupakan bagian dari asuransi wajib karena pertanggungan ini telah diamanatkan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan mengingat tingginya risiko yang dimiliki jasa transportasi udara yang mengakibatkan semakin tingginya beban tanggung jawab pelaku usaha. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengatur tanggung jawab pengangkut. Tanggung jawab pengangkut yang menjadi kewajiban perusahaan angkutan udara adalah untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Tanggung jawab penyedia jasa angkutan udara atau pengangkut, yakni: 1.
Kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara baik karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya;94
2.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang terhadap hilang atau rusaknya bagasi kabin yang disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya;95
3.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut;96
94
Indonesia (b), Pasal 141.
95
Indonesia (b), Pasal 143.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
54
4.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut;97
5.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional;98
6.
Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.99 Masalah pertanggung jawaban pengangkut kemudian diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Angkutan Udara Pasal 2. Dalam ketentuan ini, pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: 1.
Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka;
2.
Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
3.
Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat;
4.
Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
5.
Keterlambatan angkutan udara;
6.
Kerugian yang diderita pihak ketiga;
3.3. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam mengatur beberapa hal, peraturan sebagai alat pemaksa yang bersifat mengatur perlu memiliki prinsip-prinsip yang mendasari aturan tersebut. prinsipprinsip ini terbentuk berdasarkan kebutuhan objek yang diaturnya. Oleh karena itu perlu
dilakukan
pemahaman
96
Indonesia (b), Pasal 144.
97
Indonesia (b), Pasal 145.
98
Indonesia (b), Pasal 146.
99
Indonesia (b), Pasal 147.
mengenai
prinsip-prinsip
tanggung
jawab
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
55
pengangkut yang ada dalam ilmu hukum serta penerapannya dalam hukum positif di Indonesia.
3.3.1. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Berdasarkan Ilmu Hukum Dalam ilmu hukum, khususnya ilmu pengangkutan dikenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu: 1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (liability based on fault);
2.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability);
3.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability);100
3.3.1.1. Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan, tanggung jawab pengangkut didasarkan pada ada atau tidaknya unsur kesalahan. Hal ini tercermin dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum dimana setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian. Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus memenuhi unsur-unsur: 1.
Ada kesalahan;
2.
Ada kerugian;
3.
Yang membuktikan adalah korban yang menderita kerugian;
4.
Kedudukan tergugat dengan penggugat sama tinggi dalam arti saling dapat membuktikan;
5.
Bilamana terbukti ada kesalahan maka jumlah ganti kerugian tidak terbatas.101 Jika penggugat ingin menuntut tanggung jawab dari tergugat maka
penggugat harus membuktikan kesalahan yang dilakukan pihak tergugat. Hal ini
100
E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 19. 101
Prof. Dr. H. K. Martono, S.H.,LL.M. dan Amad Sudiro, S.H.,M.H.,M.M., Hukum Angkutan Udara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 220.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
56
akan terlihat mudah apabila pengangkut yang bertindak sebagai penggugat. Pengangkut memiliki kemampuan yang cukup untuk membuktikan gugatannya. Namun berbeda dengan posisi pengangkut, penumpang jasa angkutan udara sebagai konsumen tentu akan mengalami kendala dalam melakukan pembuktian kesalahan apabila mereka bertindak sebagai penggugat. 3.3.1.2. Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga102 Berbeda dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan, prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga mengasumsikan bahwa tergugat dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Dengan demikian, apabila tergugat ingin lepas dari gugatan, tergugat harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jadi apabila penumpang mengalami kerugian maka ia hanya perlu membuktikan adanya kerugian sehingga pengangkut akan membuktikannya. Pada dasarnya, prinsip ini juga menganut ada atau tidaknya unsur kesalahan, tetapi hal yang berbeda dengan prinsip lainnya adalah pemikul beban pembuktian. Komparasi antara prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga dan tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan akan terlihat dengan adanya beban pembuktian terbalik (omkering van de bewijslaast). Untuk mengimbangi adanya beban pembuktian terbalik dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga, prinsip ini juga menganut adanya pembatasan tanggung jawab pengangkut hingga batas tertentu (limitation of liability). Selain itu, pengangkut juga memiliki hak untuk melindungi diri (exoneration). Apabila perusahaan penerbangan, termasuk pegawai, karyawan, agen, atau perwakilannya dapat membuktikan tidak bersalah maka perusahaan penerbangan bebas bertanggung jawab dan tidak membayar kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. 103 Selain itu, perusahaan penerbangan juga dapat membuktikan bahwa penumpang dan/atau pengirim barang juga ikut melakukan kesalahan (contributary negligence).
102
Bandingkan dengan prinsip praduga lalai dan prinsip praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik yang dikemukakan oleh Inosentius Samsul dalam bukunya Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, hal. 67. 103
Ibid., hal. 225.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
57
Tanggung jawab yang dimiliki perusahaan penerbangan terbatas pada jumlah ganti kerugian yang ditentukan, tetapi penumpang memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian melebihi batas yang telah ditentukan apabila penumpang dapat membuktikan adanya unsur kesengajaan atau perusahaan melakukan kesalahan yang disengaja (wilful misconduct). Dengan demikian unsur-unsur yang terdapat dalam tanggung jawab berdasarkan praduga adalah: 1.
Perusahaan dianggap bersalah;
2.
Demi hukum bertanggung jawab;
3.
Tanggung jawab terbatas;
4.
Tergugat membuktikan tidak bersalah;
5.
Exoneration;
6.
Wilful misconduct;
7.
Kedudukan para pihak sama tinggi. Inosentius Samsul dalam buku Perlindungan Konsumen: Kemungkinan
Penerapan Tanggung Jawab Mutlak mengkatagorikan tanggung jawab produk berdasarkan praduga sebagai perkembangan dari tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Tanggung jawab berdasarkan praduga merupakan masa transisi antara tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan tanggung jawab mutlak. Perubahan terjadi pada penolakan hubungan kontrak dalam tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Di sisi lain, faktor kesalahan tetap merupakan hal penting dalam gugatan konsumen terhadap produsen. Selain terdapat penolakan terhadap hubungan kontrak dalam tanggung jawab ini, terdapat modifikasi melalui prinsip kehati-hatian (standard of care), prinsip praduga bersalah (presumption of negligence), dan beban pembuktian terbalik.104 Penerapan prinsip praduga bersalah dilakukan dengan menerapkan prinsip res ipsa loquitor 105 dan negligence per se 106 . Dalam prinsip res ipsa loquitor, kesalahan tidak perlu dibuktikan kembali karena fakta kerugian yang dialami
104
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 67. 105
Black’s Law Dictionary: the thing speaks for itself.
106
Black’s Law Dictionary: negligence establish as a matter of law, so that breach of duty is not a jury question. Negligence per se usually arises from a statutory violation.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
58
konsumen merupakan hasil kesalahan dari produsen. Konsumen tidak akan mengalami kerugian bila produsen tidak melakukan kesalahan. Berdasarkan doktrin negligence per se, pembuat barang yang tidak memenuhi standar keselamatan konsumen yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dianggap telah memenuhi unsur kesalahan. 107 Selain penerapan kedua prinsip tersebut, prinsip praduga bersalah diikuti dengan prinsip praduga bertanggung jawab dimana tergugat selalu dianggap bertanggung jawab hingga ia dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Dalam hal ini, beban pembuktian diberikan kepada tergugat.108
3.3.1.3. Tanggung Jawab Mutlak Dalam prinsip tanggung jawab mutlak, unsur kesalahan diabaikan. Menurut Mieke Komar Kantaatmadja dalam tanggung jawab mutlak dimungkinkan adanya hal-hal yang membebaskan pengangkut untuk membayar ganti rugi. Selain itu, sistem tanggung jawab mutlak memiliki kekhususan dibanding dengan sistem tanggung jawab berdasarkan kesalahan karena pembuktian akan menjadi lebih sederhana dan relatif pendek serta adanya pembatasan jumlah tanggung jawab. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak cukup memberikan perlindungan baik bagi pengangkut maupun penumpang karena terdapat penyeimbang bagi pengangkut yaitu adanya batas jumlah tanggung jawab pengangkut yang tidak dapat dilampaui dalam keadaan apa pun misalnya apabila terdapat faktor penyebab kerugian yang timbul dari diri penumpang sendiri. Selain itu dengan proses yang relatif singkat, hak-hak korban akan lebih terjamin dalam memperoleh ganti kerugian. 109 Tanggung jawab mutlak ini diterapkan terhadap tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap pihak ketiga.110 Dalam hal ini,
107
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 68-69. 108
Ibid., hal. 69.
109
Dr. Ridwan Khairandy, S.H.,M.H., “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25 No. 1 Tahun 2006. 110
Prof. Dr. H. K. Martono, S.H.,LL.M. dan Amad Sudiro, S.H.,M.H.,M.M., Hukum Angkutan Udara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal.228.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
59
perusahaan penerbangan tidak dapat membebaskan diri dari kewajiban membayar ganti kerugian. Di luar ketiga jenis prinsip tanggung jawab di bidang ilmu pengangkutan, terdapat pula beberapa ahli hukum yang membagi prinsip tanggung jawab ke dalam tiga bagian besar, yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, serta prinsip tanggung jawab mutlak. Hal yang menjadi perbedaan terhadap prinsip tanggung jawab yang dikemukakan sebelumnya adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty). Etsuko Fujimoto dalam bukunya Products Liability menyatakan bahwa tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak (contractual liability). Dengan demikian, apabila produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen akan melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak baik lisan maupun tulisan.111
3.3.2. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam UU No. 1 Tahun 2009 Dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah (presumption of liability) dan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability). Prinsip praduga bersalah dapat terlihat dari beberapa pasal mengenai tanggung jawab pengangkut diantaranya: 1.
Pasal 141 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara;
2.
Pasal 144 yang menyatakan bahwa Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut;
111
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 71.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
60
3.
Pasal 145 yang menyatakan bahwa Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.
4.
Pasal 146 yang menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Berdasarkan ketentuan tersebut pengangkut secara otomatis bertanggung
jawab memberikan ganti kerugian tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu. Di lain sisi, pengangkut diberikan perlindungan berupa batas ganti kerugian yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 2009. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terlampauinya batas ganti kerugian oleh pengangkut misalnya bila kerugian tersebut disebabkan oleh kesengajaan dari pihak pengangkut (willful misconduct) atau kesalahan memang berasal dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. 112 Selain itu pengangkut juga bisa dibebaskan dari tanggung jawabnya misalnya dalam hal keterlambatan karena alasan cuaca atau teknis operasional. Bila terjadi hal demikian, Pasal 141 ayat (3) menyatakan bahwa penumpang berhak melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan. Konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan dapat terlihat dalam ketentuan mengenai bagasi kabin dimana Pasal 143 menyatakan bahwa Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Hal ini mengacu pada anggapan bahwa pertanggungjawaban barang yang dibawa penumpang dalam kabin tidak berpindah kepada pengangkut karena penumpang masih melakukan penguasaan secara fisik terhadap bagasi tersebut. Namun, perlindungan terhadap penumpang atas bagasi kabinnya tetap diberikan bilamana
112
Indonesia (b), Pasal 141 ayat (2).
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
61
kesalahan terdapat pada pengangkut atau pun orang yang dipekerjakan oleh pengangkut.
3.4. Asuransi Penerbangan Sebagai Asuransi Wajib Dengan melihat uraian tanggung jawab pelaku usaha di bidang penerbangan tersebut, pemerintah menciptakan serangkaian peraturan terkait sebagai unsur pemaksa pemerintah kepada pelaku usaha dalam rangka melindungi konsumen jasa angkutan udara. Pengaturan tersebut dituangkan dalam beberapa peraturan, yakni: 1.
Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dimana dikatakan bahwa tiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang, perusahaan penerbangan nasional dan kapal perusahaan perkapalan/pelayaran
nasional,
wajib
membayar
iuran
melalui
pengusaha/pemilik yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam perjalanan; 2.
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Ketentuan ini mengatur pertanggungjawaban pengangkut yang diimplementasikan dalam
bentuk
pertanggungan
wajib
kecelakaan
penumpang.
Dana
pertanggungan wajib tersebut diurus dan dikuasai oleh perusahaan negara yang khusus ditunjuk oleh menteri. Perusahaan inilah yang akan menjadi penanggung pertanggungan wajib kecelakaan penumpang. Oleh karena itu, Pengangkut mengenakan iuran wajib dalam setiap pembelian tiket berupa Iuran Wajib Jasa Raharja atau yang lebih dikenal dengan IWJR; 3.
Keputusan
Menteri
Perhubungan
No.
25
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara, yaitu dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c, 47 ayat (1) huruf b, dan Pasal 52 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa perusahaan angkutan niaga dalam melakukan usaha kegiatan angkutan udara niaga berjadwal maupun tidak berjadwal serta angkutan niaga khusus kargo harus menutup asuransi tanggung jawab pengangkut yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
62
4.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 179 dan 180 yang berbunyi demikian. a.
Pasal 179 Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap
penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146. b.
Pasal 180 Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170. Yang dimaksud dengan “iuran wajib asuransi” dalam ketentuan ini adalah asuransi pertanggungan kecelakaan penumpang yang dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang. 113 Ketentuan ini menjadi dasar Pengangkut untuk mengenakan iuran wajib dalam setiap pembelian tiket berupa Iuran Wajib Jasa Raharja atau yang lebih dikenal dengan IWJR; 5.
Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara dimana dikatakan bahwa tanggung jawab pengangkut wajib diasuransikan. Di dalam peraturan ini, pemerintah mengatur secara rinci jumlah ganti kerugian yang wajib diberikan oleh pengangkut kepada penumpang, yaitu: 1. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh ribu rupiah);114 2. Penumpang yang meninggal dunia karena kejadian yang berhubungan dengan pengangkutan udara saat proses meninggalkan ruang tunggu atau turun dari pesawat dan/atau bandar udara persinggahan akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);115
113
Indonesia (b), Penjelasan Pasal 126 ayat (3) huruf (c).
114
Indonesia, Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara Pasal 3 huruf a.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
63
3. Penumpang yang mengalami cacat tetap total akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh ribu rupiah)116 serta apabila penumpang mengalami cacat tetap sebagian dimana ganti kerugian ditetapkan sebagaimana diatur dalam lampiran PM No. 77 Tahun 2011117; 4. Penumpang yang mengalami kerugian sehingga diharuskannya menjalani pengobatan di rumah sakit atau pun balai pengobatan akan diberikan ganti kerugian paling nyata maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);118 5. Penumpang yang mengalami kerusakan pada bagasi tercatat akan diberikan ganti kerugian sesuai dengan jenis, bentuk, ukuran, dan merk bagasi tercatat
119
, sedangkan apabila bagasi tercatat hilang maka
penumpang akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kilogram dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang;120 6. Penumpang yang mengalami keterlambatan lebih dari 4 jam akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)121 serta adanya alternatif lainnya yang disebutkan dalam PM No. 77 Tahun 2011.
3.5. Asuransi Kecelakaan Penumpang Angkutan Udara Jasa Raharja Asuransi Jasa Raharja bertugas untuk melaksanakan Asuransi Kecelakaan Penumpang alat angkutan umum dan asuransi tanggung jawab menurut hukum 115
Ibid., Pasal 3 huruf b.
116
Ibid., Pasal 3 huruf c ayat (1).
117
Ibid., Pasal 3 huruf c ayat (2).
118
Ibid., Pasal 3 huruf e.
119
Ibid., Pasal 5 ayat (1) huruf b.
120
Ibid., Pasal 5 ayat (1) huruf a.
121
Ibid., Pasal 10 huruf a.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
64
terhadap pihak ketiga sebagaimana diatur dalam UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 serta peraturan pelaksananya. Tujuan utama dari santunan jasa raharja adalah memberikan jaminan akan kepastian perlindungan negara kepada rakyatnya. Jadi jaminan sosial jasa raharja adalah compulsory insurance yang bertujuan memberikan jaminan sosial untuk masyarakat. Asuransi wajib kecelakaan oleh PT. Jasa Raharja merupakan jenis asuransi sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Kepesertaan pada asuransi sosial bersifat wajib;
2.
Kemanfaatannya memberikan perlindungan dasar minimal (minimum floor of income);
3.
Perlindungannya menekankan pada kecukupan sosial (social adequacy) sebagai unsur kesejahteraan;
4.
Manfaat dan iurannya ditetapkan dengan undang-undang;
5.
Pelaksanaannya dilakukan secara monopoli oleh pemerintah;
6.
Pendanaan penuh tidak diperlukan karena iuran wajib dari peserta baru, dan karena programnya dianggap berlangsung tak terhingga;
7.
Tidak diperlukan underwriting karena tidak ada seleksi peserta dan pentarifan secara individual.122 Compulsory insurance dijalankan dengan paksaan (force saving), oleh
karena itu setiap warga negara diwajibkan ikut serta dangan jalan secara gotong royong melalui iuran wajib dan sumbangan wajib. penunjukkan PT. Jasa Raharja sebagai pengelola kedua Undang-Undang tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI No. BAPN 1-3-3 tanggal 30 Maret 1965, saat itu PT. Jasa Raharja masih bernama Penunjukkan PNAK Jasa Raharja. Jenis premi yang dikenakan oleh Jasa Raharja terbagi menjadi dua jenis yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib (SW). Iuran Wajib dikenakan kepada penumpang transportasi umum termasuk penumpang angkutan udara berdasarkan Pasal 3 ayat (1) a UU No. 33 Tahun 1964 jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 17
Tahun
1965,
sedangkan
Sumbangan
Wajib
dikenakan
kepada
pemilik/pengusaha dan dalam hal ini berarti pengangkut mengacu pada ketentuan 122
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Position Paper Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu Lintas di indonesia” (2010) http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/ position_paper_asuransi_kecelakaan_laulintas.pdf.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
65
Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 1964 jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 18 Tahun 1965. Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.010/2008, Besar premi Iuran Wajib yang dikenakan bagi penumpang angkutan udara adalah Rp 5.000,00 dan premi tersebut dimasukkan dalam harga tiket yang dikenakan pada penumpang. Dengan membayar premi berupa Iuran Wajib, besarnya santunan Asuransi Jasa Raharja bagi korban angkutan udara UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 36/PMK.010/2008 dan 37/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008.
Jenis Santunan
Jumlah santunan
Meninggal Dunia
Rp 50.000.000,-
Catat Tetap (maksimal)
Rp 50.000.000,-
Biaya Rawatan (maksimal)
Rp 25.000.000,-
Biaya Penguburan
Rp 2.000.000,Tabel 3.1
Sumber: http://www.jasaraharja.co.id/layanan/jumlah-santunan
Dengan ditetapkannya jumlah santunan penumpang angkutan udara, pemerintah berharap dapat memberikan perlindungan dasar minimal sebagai unsur kesejahteraan bagi masyarakat khususnya penumpang sebagaimana fungsi dari asuransi sosial.
3.6. Asuransi Perjalanan Lion Air Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, setiap penumpang angkutan udara tanpa terkecuali dimasukkan dalam pertanggungan wajib yang disediakan oleh PT Jasa Raharja sebagai perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, dalam perkembangannya, beberapa maskapai penerbangan memberikan asuransi lain sebagai tambahan seperti halnya yang dilakukan PT Lion Mentari Airlines yang dikenal dengan nama Asuransi Perjalanan Lion Air. Asuransi yang disediakan oleh penerbangan Lion Air memberikan perlindungan dari kejadian-kejadian yang tak diharapkan seperti kecelakaan dan ketidaknyamanan selama perjalanan seperti kehilangan koper dan penundaan
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
66
perjalanan. Produk asuransi perjalanan ini diterbitkan oleh PT Chartis Insurance Indonesia (Chartis). Pembelian asuransi ini dilakukan secara online melalui situs resmi lionair.co.id. Produk asuransi tambahan ini juga merupakan poin peningkatan kenyaman penumpang. Pihak Lion Air menyatakan bahwa Asuransi Perjalanan Lion Air sebagai suatu asuransi tambahan tidak memiliki peraturan eksternal yang mendasari pemberlakuan asuransi tambahan tersebut, melainkan kebijakan dari perusahan Lion Air itu sendiri. Asuransi ini diberikan pada penumpang dengan kriteria: 1.
Berusia kurang dari 75 tahun;
2.
Melakukan penerbangan dari Indonesia;
3.
Melakukan perjalanan kurang dari 30 hari; Biaya premi yang dikenakan kepada penumpang berbeda-beda tergantung
dari jenis perjalanan yang dilakukan. Lion Air menyediakan dua jenis asuransi yakni Asuransi Perjalanan Sekali Jalan dan Asuransi Perjalanan Pulang-Pergi. Asuransi perjalanan sekali jalan merupakan program asuransi yang ditawarkan sehubungan dengan penerbangan sekali jalan saja dan hanya disediakan untuk penumpang perusahaan penerbangan dengan umur antara 9 hari sampai 75 tahun, sedangkan asuransi perjalanan pulang pergi merupakan program asuransi yang berhubungan dengan penerbangan kembali. Selain itu, jenis penerbangan domestik atau internasional juga mempengaruhi besar premi dan santunan yang diberlakukan bagi penumpang.
RENCANA PERJALANAN
DOMESTIK
INTERNASIONAL
Sekali Jalan
IDR 15.000
IDR 21.000
Pulang pergi 1-7 Hari
IDR 35.000
IDR 45.000
Pulang pergi 8-15 Hari
IDR 45.000
IDR 70.000
Pulang pergi 16-30 Hari
IDR 70.000
IDR 100.000
Tabel 3.2 Sumber: http://www2.lionair.co.id/insurance/id/
Dengan adanya perbedaan jumlah premi yang dibayarkan, tentu terdapat perbedaan dalam pemberian manfaat asuransi. Secara keseluruhan, manfaat yang akan didapatkan dengan membeli Asuransi Perjalanan Lion Air adalah:
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
67
1.
Kecelakaan diri;
2.
Biaya medis akibat kecelakaan;
3.
Repatriasi dan evakuasi darurat;
4.
Penyerangan dengan kekerasan;
5.
Penundaan Penerbangan;
6.
Pembatalan perjalanan;
7.
Pengurangan perjalanan;
8.
Kerusakan dan kehilangan bagasi;
9.
Kehilangan dokumen perjalanan;
10. Tanggung gugat pribadi; 11. Bantuan medis darurat 24 jam;
Manfaat-manfaat yang ditawarkan tergantung jenis asuransi yang dibeli oleh penumpang. Pembelian Asuransi Perjalanan Pulang-Pergi tentunya lebih memberikan banyak manfaat dibandingkan Asuransi Perjalanan Sekali Jalan mengingat besar premi yang berbeda diantara keduanya. Besar santunan yang diberikan oleh Asuransi Perjalanan Lion Air adalah sebagai berikut:
Jenis
Batas nilai santunan
Batas nilai santunan
Manfaat/Santunan
untuk Sekali Jalan
untuk Pulang Pergi
Kecelakaan Diri
Rp 500.000.000,00
Rp 350.000.000,00
Biaya Pengobatan Medis Tidak Tersedia
Rp 200.000.000,00
Karena Kecelakaan Evakuasi Darurat Medis Tidak Tersedia
Rp 200.000.000,00
& Repatriasi Keterlambatan
Rp 450.000,00 / 5 jam
Rp 450.000,00 / 5 jam
Penerbangan
keterlambatan sampai
keterlambatan sampai
Rp 3.150.000,00
Rp 6.750.000,00
Pembatalan Perjalanan
Biaya Aktual
Biaya Aktual
Kerusakan & Kehilangan
Rp 4.000.000,00 dengan
Rp 6.500.000,00
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
68
Bagasi
Rp 1.000.000,00 batas
dengan
nilai per jenis barang
Rp 1.000.000,00 batas nilai per jenis barang
Pengurangan Perjalanan
Tidak Tersedia
Biaya Aktual
Kehilangan Dokumen-
Tidak Tersedia
Rp 1.500.000,00
Tanggung Gugat Pribadi
Tidak Tersedia
Rp 500.000.000,00
Penyerangan Dengan
Tidak Tersedia
Rp 1.500.000,00
Tidak Tersedia
Termasuk
dokumen Perjalanan
Kekerasan Layanan Darurat
Sumber: http://www2.lionair.co.id/insurance/id/
Berdasarkan tabel santunan di atas, terdapat beberapa poin pada asuransi pulang-pergi yang tidak menjadi tanggungan dalam asuransi sekali jalan misalnya biaya pengobatan medis karena kecelakaan, evakuasi darurat medis dan repatriasi, kehilangan dokumen-dokumen perjalanan, tanggung gugat pribadi, penyerangan dengan kekerasan, serta layanan darurat. Poin-poin di atas merupakan poin tambahan dari asuransi tambahan yang ditawarkan Lion Air. Namun perlindungan tersebut tidak menjadi tambahan bagi penumpang yang melakukan perjalanan sekali jalan padahal mereka juga memiliki risiko yang sama dalam perjalanan yang mereka lalui. Jadi, apabila terjadi hal-hal yang berkaitan dengan risiko-risiko tersebut, penumpang perjalanan sekali jalan tidak akan mendapat perlindungan asuransi.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
69
BAB 4 ASURANSI PERJALANAN LION AIR DALAM PEMBELIAN TIKET SECARA ELEKTRONIK
Pembelian Asuransi Perjalanan Lion Air dilakukan pada saat calon penumpang membeli tiket secara elektronik melalui situs resmi Lion Air. Tiket merupakan bukti dari adanya perjanjian pengangkutan yang memuat keteranganketerangan yang berhubungan dengan para pihak serta pokok perjanjian tersebut.
4.1. Status Asuransi Perjalanan Lion Air dalam Lingkup Hukum Asuransi Dalam teori asuransi yang telah dikemukakan dalam Bab II, asuransi dapat terbagi dalam dua jenis yaitu asuransi wajib dan asuransi sukarela. Asuransi sukarela (voluntary insurance) dapat diindikasikan apabila tidak terdapat unsur paksaan dari pihak ketiga atau pihak lawan dalam penutupan perjanjian asuransi. Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi yang ditawarkan bagi calon penumpang pada saat pembelian tiket secara online. Calon penumpang mempunyai hak untuk membeli atau tidak membeli jasa asuransi yang ditawarkan pihak Lion Air. Dengan demikian, Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi sukarela. Di sisi lain, Asuransi Perjalanan Lion Air tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh asuransi wajib. Asuransi wajib memiliki unsur paksaan yang berasal dari pihak ketiga atau pun pihak lawan yang biasanya adalah pemerintah. Unsur paksaan ini dapat dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah yang mengamanatkan adanya pengalihan tanggung jawab. Dalam dunia penerbangan komersial, pemerintah memang mengatur adanya kewajiban pengalihan tanggung jawab pihak perusahaan terhadap penumpang kepada perusahaan asuransi. Namun, amanat tersebut ditujukan kepada PT Jasa Raharja sebagai perusahaan asuransi kecelakaan lalu lintas dan penumpang umum termasuk di dalamnya penerbangan komersil domestik. Karena asuransi Jasa Raharja bersifat wajib maka pengguna jasa tidak diberikan opsi untuk menolak asuransi ini. Kewajiban ini dimasukkan sebagai
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
70
komponen iuran wajib bagi penumpang sebesar Rp 5000,00 123 dengan besar santunan sesuai besaran yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 36/PMK.010/2008 dan 37/PMK.010/2008 yaitu sebesar Rp 50.000.000,00 untuk korban meninggal dunia dan cacat tetap, maksimal Rp 25.000.000,00 untuk penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter, serta Rp 2.000.000,00 untuk biaya penguburan bagi korban yang tidak memiliki ahli waris. Apabila terdapat tambahan besar santunan di luar santunan yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dapat dilakukan dengan penutupan asuransi secara sukarela berdasarkan perjanjian pertanggungan sendiri.124 Berdasarkan pemaparan di atas, Asuransi Perjalanan Lion Air dapat dikatagorikan sebagai asuransi tambahan karena sifatnya yang tidak dipaksakan serta adanya jumlah santunan di luar jumlah santunan yang ditentukan oleh menteri keuangan.
4.2. Penutupan Asuransi Dalam Pembelian Tiket Elektronik Pembelian tiket Lion Air dapat dilakukan melalui situs resmi Lion Air selama 24 jam setiap hari. Calon penumpang yang ingin membeli tiket akan diminta untuk mengisi kolom pemesanan tiket yang berisi frekuensi perjalanan, tanggal keberangkatan, jadwal penerbangan, kota keberangkatan dan tujuan, serta katagori penumpang.
123
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut, dan Udara, Pasal 7. 124
Ibid., Pasal 9.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
71
Gambar 4.1 www2.lionair.co.id
Sistem akan memberikan seluruh pilihan penerbangan sesuai dengan informasi yang diberikan konsumen dalam kolom. Calon penumpang akan diminta untuk memilih jadwal penerbangan yang diinginkan sesuai dengan waktu, harga, serta kelas penerbangan yang masih tersedia.
Gambar 4.2 www2.lionair.co.id
Kemudian pada bagian bawah halaman tersebut terdapat sebuah kolom lain yang menawarkan Asuransi Perjalanan Lion Air. Calon penumpang diwajibkan untuk mengisi kolom asuransi bila ingin melanjutkan proses pemesanan tiket.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
72
Penumpang akan diberikan pilihan untuk menambahkan atau tidak menambahkan asuransi Lion Air.
Gambar 4.3 www2.lionair.co.id
Premi yang dibayarkan dalam asuransi tersebut tergantung dari jenis perjalanan yang dilakukan calon penumpang yakni: 1.
Sekali jalan
: Rp 15.000,00
2.
Pulang-pergi 1 – 7 hari
: Rp 35.000,00
3.
Pulang-pergi 8 – 15 hari : Rp 45.000,00
4.
Pulang-pergi 16 – 30 hari: Rp 70.000,00 Apabila penumpang memilih untuk membeli Asuransi Perjalanan Lion Air,
premi asuransi akan dikalkulasikan ke dalam total harga yang harus dibayar calon penumpang yang terdiri dari: 1.
Tarif
2.
Total pajak dan biaya lain, yang dijelaskan lebih lanjut terdiri dari:
3.
a.
IWJR
b.
PPN
c.
Biaya administrasi
Asuransi Perjalanan Lion Air
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
73
Gambar 4.4 www2.lionair.co.id
Undang-undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan tidak mengatur ketentuan mengenai penutupan asuransi baik mengenai pengertiannya ataupun mengenai cara-cara mengadakan serta sahnya perjanjanjian pengangkutan udara. Oleh karena itu, perjanjian pengangkutan merujuk pada syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. Kata sepakat dapat tercerminkan dengan diberikannya persetujuan oleh calon penumpang terhadap asuransi perjalanan tersebut dalam proses pembelian tiket online. Pada saat persetujuan untuk menambahkan Asuransi Perjalanan Lion Air, calon penumpang telah melakukan penutupan asuransi dengan nilai pertanggungan yang telah ditentukan. Dengan demikian perjanjian pengangkutan udara mempunyai sifat konsensus artinya adanya kata sepakat antara para pihak perjanjian pengangkutan dianggap ada dan lahir. Proses pembelian tiket akan berlanjut pada pesan penerbangan. Dalam pesan penerbangan ini terdapat rincian penerbangan yang sudah dipilih, kolom
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
74
rincian penumpang yang harus diisi, rincian tarif yang harus dibayar, rincian pembayaran, serta persetujuan pelanggan. Rincian penerbangan merupakan detail pilihan penerbangan yang dipilih oleh penumpang berupa nomor penerbangan, rute penerbangan, waktu keberangkatan, durasi penerbangan, serta kelas penerbangan. Kolom rincian penumpang wajib diisi oleh calon penumpang. Kolom ini berisi data-data dari penumpang yang akan menggunakan jasa penerbangan seperti nama, alamat lengkap, nomor telepon, serta alamat surat elektronik. Rincian tarif yang harus dibayar berisi komponen biaya yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar penumpang dapat memastikan kembali tarif yang harus mereka keluarkan. Di bagian bawah halaman, penumpang diminta untuk mencentang kotak persetujuan terhadap syarat dan ketentuan penerbangan serta hal-hal yang berkaitan dengan Asuransi Perjalanan Lion Air berupa syarat, ketentuan, pengecualian, serta pernyataan.
Gambar 4.5 www2.lionair.co.id
Setelah selesai melakukan pemesanan tiket dengan mengisi keteranganketerangan yang diperlukan, calon penumpang akan melakukan pembayaran melalui bank. Dengan dibayarkannya total harga tersebut, pihak pengangkut (Lion Air) akan mengirimkan tiket penumpang beserta polis Asuransi Perjalanan Lion Air melalui. Fungsi polis tersebut adalah: 1.
Bagi Tertanggung (penumpang Lion Air) a.
Sebagai bukti tertulis atas jaminan penanggungan untuk mengganti kerugian yang mungkin dideritannya yang ditanggung oleh polis;
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
75
b.
Sebagai bukti pembayaran premi kepada penanggung;
c.
Sebagai bukti otentik untuk menuntut penanggung bila lalai atau tidak memenuhi jaminannya;
2.
Bagi Penanggung (Chartis) a. Sebagai bukti atau tanda terima premi asuransi dari tertanggung. b. Sebagai bukti tertulis atas jaminan yang diberikannya kepada tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin di derita oleh tertanggung. c. Sebagai bukti otentik, untuk menolak tuntutan ganti rugi atau klaim bila penyebab kerugian tidak memenuhi syarat polis.125
4.3. Informasi Asuransi Perjalanan Lion Air dalam Proses Pembelian Tiket online Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi tambahan yang disediakan oleh maskapai penerbangan Lion Air yang bekerja sama dengan PT Chartis Insurance Indonesia (Chartis). Hal ini tertera di kolom persetujuan asuransi saat memesan tiket. Selain itu, terdapat tautan yang menunjukkan penjelasan lebih lanjut mengenai Asuransi Perjalanan Lion Air yang berisi brosur, polis, pelayanan pelanggan dan klaim, serta daftar tanya-jawab.
1.
Brosur Di dalam brosur yang disediakan Lion Air terdapat informasi-informasi
mengenai: a.
Premi asuransi yang akan dikenakan pada calon penumpang sesuai dengan jenis penerbangan yang dipilih;
b.
Kelebihan manfaat perlindungan yang dapat mengacu pada polis;
c.
Manfaat kecelakaan diri;
d.
Manfaat biaya pengobatan dan pelayanan medis;
e.
Manfaat ketidaknyamanan perjalanan berupa keterlambatan penerbangan, pembatalan
perjalanan,
pengurangan
perjalanan,
kerusakan
dan
125
Diunduh dari http://www.wealthindonesia.com/index.php?option=com_content&task= view&id=671.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
76
kehilangan bagasi, kehilangan dokumen-dokumen perjalanan serta tanggung gugat pribadi;
2.
f.
Pelayanan darurat medis 24 jam;
g.
Daftar manfaat atau santunan.
Polis Polis yang disediakan terdiri dari dua yaitu polis asuransi penerbangan
sekali jalan dan polis asuransi penerbangan pulang-pergi. Polis tersebut berisi tentang pokok-pokok perjanjian pertanggungan yang terjadi antara tertanggung dan penanggung.
3.
Pelayanan pelanggan dan klaim Bagian ini memberikan informasi mengenai pihak yang dapat dihubungi
secara langsung terkait Layanan Bantuan Darurat Medis serta Pelayanan Pelanggan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Asuransi Perjalanan Lion Air. Kemudian bila di kemudian hari penumpang mengalami kerugian dan ingin mengajukan klaim, bagian ini menyediakan formulir pernyataan klaim serta pelayanan seputar klaim tersebut.
4.
Daftar tanya-jawab Dalam daftar tanya-jawab, penumpang diberikan informasi-informasi dalam
bentuk pertanyaan yang mungkin akan dipertanyakan oleh para penumpang.
4.4. Pengetahuan Konsumen Mahasiswa Universitas Indonesia Depok Mengenai Asuransi Perjalanan Lion Air Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan konsumen/penumpang Lion Air di lapangan, Penulis melakukan observasi sederhana di lingkungan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) depok secara acak dengan mengambil 80 orang sebagai sample. Ada pun kriteria yang digunakan untuk memilih sample yaitu mahasiswa UI dan pernah membeli jasa angkutan udara Lion Air secara online. Observasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berupa pertanyaan sikap konsumen mengenai Asuransi Perjalanan Jasa Raharja dalam pemesanan tiket
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
77
elektronik. Tujuan yang hendak dicapai dalam observasi ini adalah mengetahui gambaran berapa banyak penumpang yang mengetahui bahwa Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi tambahan yang akan memberikan ganti kerugian apabila terjadi kerugian disamping adanya Asuransi Jasa Raharja serta ganti kerugian sebagaimana diamanatkan dalam PM Perhubungan No. 77 Tahun 2011. Berdasarkan observasi yang dilakukan, terdapat beberapa fakta lapangan yang dapat dijadikan gambaran mengenai konsumen jasa Lion Air. Mengacu pada observasi tersebut, lebih dari separuh konsumen Lion Air telah mengetahui adanya Asuransi Jasa Raharja dalam dunia penerbangan yakni berkisar 76,2 %. Dengan melihat data tersebut, konsumen di lingkungan mahasiswa UI tergolong mengetahui adanya Asuransi Jasa Raharja yang mencakup transportasi udara. Observasi juga diarahkan pada pengetahuan konsumen Lion Air mengenai status Asuransi Perjalanan Lion Air sebagai asuransi tambahan. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar konsumen menyatakan tidak mengetahui bahwa Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan asuransi tambahan saja yakni sebesar 55% dari seluruh konsumen yang diobservasi. Bahkan lebih dari separuh konsumen (58,8%) juga tidak mengetahui bahwa Asuransi Jasa Raharja sudah termasuk dalam harga tiket yang telah mereka bayar. Pengetahuan konsumen akan produk jasa yang hendak mereka beli tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh perilaku yang diambil konsumen terhadap informasi yang tersedia saat mereka melakukan transaksi. Menurut Lamb, Hair, dan McDaniel, perilaku konsumen merupakan proses seorang pelanggan dalam membuat keputusan membeli, juga untuk menggunakan dan mengonsumsi barang-barang dan jasa yang dibeli juga termasuk faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pembelian dan penggunaan produk. 126 Dilihat dari observasi yang telah dilakukan hanya 32,5% dari keseluruhan responden yang menyatakan membaca ketentuan lebih lanjut mengenai produk Asuransi
126
Freddy Rangkuti, Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Comunication, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) hal. 92.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
78
Perjalanan Lion Air sebelum mengambil keputusan untuk mengambil atau tidak mengambil produk tersebut.
4.5. Hak Konsumen Lion Air Hak-hak konsumen barang dan/atau jasa di Indonesia telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Beberapa hak dalam UU Perlindungan konsumen yang berkaitan dengan pemenuhan hak konsumen jasa penerbangan dengan asuransi tambahan yang diadakan oleh Lion Air diantaranya: 1.
Hak untuk memilih jasa Penumpang Lion Air dalam membeli tiket secara on-line diberikan kesempatan memilih untuk membeli atau tidak membeli Asuransi Perjalanan Lion Air.
2.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa. Informasi
merupakan
bagian
terpenting
yang
mempengaruhi
kecenderungan konsumen dalam memutuskan pilihan. Dalam era reformasi, keberadaan suatu informasi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam semua aspek kehidupan, serta merupakan suatu kebutuhan hidup bagi semua orang baik secara individu maupun organisasi sehingga dapat dikatakan berfungsi sebagaimana layaknya aliran darah pada tubuh manusia. 127 Pencarian informasi akan berlangsung pada saat tahap pratransaksi yakni proses pencarian informasi mengenai harga maupun persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan berbagai pertimbangan. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi mengenai asuransi akan dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.
127
Edmon Makarim, S.Kom.,S.H.,LL.M., Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005), hal.28.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
79
Berdasarkan penuturan Guru Besar Asuransi Kesehatan dan Jaminan Sosial FKM UI, Hasbullah Tabrani, baru separuh dari populasi masyarakat Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan secara lengkap. Ia menambahkan, kecenderungan di dunia bahwa masyarakat lebih apatis dan tidak sadar akan pentingnya asuransi. Oleh karena itu, masyarakat wajib untuk didekati dan diberitahu hal itu. Di Indonesia, hanya sekitar 20 persen penduduk yang sadar akan asuransi.128 Dalam metode penjualan Asuransi Perjalanan Lion Air, pihak pengangkut menyediakan informasi yang dibutuhkan terkait informasi asuransi tersebut. Namun, Lion Air tidak menyediakan informasi mengenai status Asuransi Perjalanan Lion Air sebagai suatu asuransi tambahan selain adanya Jasa Raharja yang telah termasuk dalam harga tiket yang telah dibayarkan. Pada dasarnya dalam komponen harga tiket terdapat poin total pajak dan biaya lainnya yang dijelaskan lebih lanjut terdiri dari IWJR (lihat Gambar 4), tetapi tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai hal tersebut atau pun sekedar menjelaskan kepanjangan dari IWJR. Dengan demikian konsumen akan kehilangan aspek perlindungan dalam mendapatkan kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi dalam proses pemilihan produk jasa yang ditawarkan. Keseluruhan informasi yang tersedia secara garis besar memberikan penjelasan mengenai produk Asuransi Perjalanan Lion Air, tetapi informasi yang telah disediakan tidak mengindikasikan posisi Asuransi Perjalanan Lion Air sebagai asuransi tambahan di samping Jasa Raharja sebagai asuransi wajib serta adanya ganti kerugian lain sebagai tanggung jawab pengangkut sesuai amanat peraturan perundang-undangan yang akan diberikan Lion Air bila terdapat kerugian pada penumpang. Mengenai informasi lebih lanjut “Syarat & ketentuan dari penerbangan” pada kolom persetujuan pelanggan, Lion Air memberikan informasi dalam bahasa asing. Bahasa Indonesia wajib
128
Ester Meryana dan Erlangga Djumena, “Hanya 20 Persen Penduduk Indonesia yang Sadar Asuransi” dikutip dalam situs Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2012/ 02/22/13535252.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
80
digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. 129 Dengan demikian, seharusnya seluruh informasi mengenai penerbangan diberikan dalam bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa asing tersebut mungkin tidak akan menjadi masalah bagi kaum terpelajar, namun berbeda halnya dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing.
3.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas jasa yang digunakan. Dalam layanan asuransi Lion Air, konsumen dapat mengajukan pertanyaan berkaitan dengan asuransi melalui sambungan telepon yang telah disediakan pihak Lion Air.
4.
Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dilakukan dengan cara musyawarah dalam waktu paling lambat 60 hari sejak timbulnya sengketa. Apabila tidak tercapai kesepakatan, tertanggung diberikan kebebasan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa yakni melalui arbitrase yang akan dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau pengadilan negeri berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.
5.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Pembinaan dan pendidikan konsumen tidak secara tegas diberikan oleh pihak Lion Air. Dalam hal ini, Lion Air tidak melaksanakan kegiatan yang mendukung atau mendorong adanya pembinaan dan pendidikan konsumen.
6.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
129
Indonesia, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 37.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
81
Setiap konsumen Lion Air akan diberikan kesempatan untuk melakukan penutupan asuransi perjalanan kecuali untuk konsumen yang berumur kurang dari 9 hari atau lebih dari 75 tahun. Hal ini dapat didasari akan kemampuan manusia secara biologis dimana bayi yang baru lahir atau pun orang yang lanjut usia tidak disarankan untuk melakukan perjalanan udara berkaitan dengan faktor kesehatan calon konsumen.
4.6. Tanggung Jawab Terhadap Penumpang Lion Air Bila dilihat dari risiko yang dimiliki oleh jasa angkutan penerbangan, maskapai penerbangan tentu perlu melakukan peralihan tanggung jawab kepada pihak lain. Hal ini sesuai dengan teori risiko yang dipaparkan sebelumnya menurut Prof. Emmy Pangaribuan mengenai usaha manusia untuk mengatasi suatu risiko. Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan terhadap konsumen, Para penumpang jasa penerbangan Lion Air akan mendapat ganti kerugian yang bersumber dari: 1.
Asuransi Jasa Raharja;
2.
Tanggung Jawab perusahaan maskapai Lion Air berdasarkan ganti kerugian yang tertera dalam PM No. 77 Tahun 2011;
3.
Asuransi Perjalanan Lion Air jika penumpang membeli asuransi tersebut. Maskapai penerbangan Lion Air telah memberlakukan PM No. 77 tahun
2011 sesuai dengan peraturan ganti kerugian yang tertera. Jadi apabila terdapat penumpang Lion Air yang mengalami kerugian namun ia tidak membeli asuransi tambahan maka penumpang tersebut akan mendapatkan ganti kerugian yang berasal dari Asuransi Jasa Raharja dan ganti kerugian sesuai PM No. 77 Tahun 2011. Perlindungan yang diberikan masing-masing sumber ganti kerugian tersebut tentunya berbeda-beda. Seperti misalnya dalam Asuransi Jasa Raharja, bagasi penumpang tidak termasuk dalam pertanggungan asuransi, sedangkan Asuransi Perjalanan Lion Air menjamin hilang atau rusaknya bagasi penumpang Lion Air. Jumlah ganti kerugian yang diberikan pun berbeda dimana Asuransi Perjalanan Lion Air lebih memberikan ganti kerugian dalam jumlah besar atau berkali lipat
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
82
dari ganti kerugian yang diberikan oleh Jasa Raharja. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa Asuransi Jasa Raharja merupakan asuransi sosial yang memberikan proteksi minimal sesuai kesejahteraan masyarakat. Berbeda halnya dengan Asuransi Perjalanan Lion Air yang berorientasi pada bisnis. Kedua sumber asuransi yaitu Jasa Raharja dan Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan sumber yang berasal dari pihak asuransi berbeda dengan sumber pada poin dua di atas dimana tanggung jawab ganti kerugian berdasarkan PM No. 77 Tahun 2011 diemban oleh maskapai penerbangan Lion Air sejak peraturan tersebut dinyatakan berlaku. Jika melihat pada PM No. 92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas No. 77 Tahun 2011 Pasal 16 ayat (1) dikatakan bahwa tanggung jawab tersebut wajib diasuransikan pengangkut kepada satu atau gabungan beberapa perusahaan asuransi atau yang dikenal dengan sebutan konsorsium asuransi. Pihak Lion Air menyatakan bahwa tanggung jawab sebagaimana dalam PM No. 77 Tahun 2011 akan menjadi tanggung jawab Lion Air hingga munculnya kebijakan baru dari perusahaan mengenai pelaksanaan pengasuransian kewajiban pengangkut. Sehingga apabila terjadi kecelakaan yang menimbulkan kerugian, penumpang Lion Air akan mendapatkan santunan Jasa Raharja dan juga ganti kerugian sesuai dengan PM No. 77 Tahun 2011 di luar ada atau tidaknya penutupan asuransi tambahan yang dilakukan oleh penumpang Lion Air. Hak penumpang untuk menambahkan atau tidak menambahkan Asuransi Perjalanan Lion Air bisa terpengaruh dengan adanya pertimbangan ganti kerugian Asuransi Jasa Raharja serta ganti kerugian dari pihak pengangkut sesuai amanat PM No. 77 Tahun 2011 yang pada dasarnya sudah pasti diberikan saat terjadi kerugian. Hal yang menjadi permasalahan adalah apabila pada saat pengambilan keputusan tersebut konsumen tidak mengetahui adanya komponen Jasa Raharja seperti pada fakta yang ditemukan dalam observasi. Dengan demikian, informasi mengenai seluruh pertanggungan yang diberlakukan bagi penumpang Lion Air sudah sepatutnya diberitahukan kepada penumpang melalui informasi yang jelas mengenai jenis-jenis pertanggungan, manfaat pertanggungan serta ganti kerugian yang diberikan dari pertanggungan yang ada.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
83
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa yang telah dikemukakan, terdapat beberapa simpulan di antaranya: 1.
Asuransi Perjalanan Lion Air tidak dapat dikatagorikan sebagai asuransi wajib karena tidak adanya unsur paksaan yang berasal dari pemerintah yang berwenang maupun unsur kewajiban untuk membeli asuransi tersebut.
2.
Metode penjualan Asuransi Perjalanan yang disediakan Lion Air telah memenuhi beberapa hak konsumen sebagaimana telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Namun, masih terdapat beberapa hak yang kurang terlindungi diantaranya hak atas informasi Asuransi Perjalanan Lion Air sebagai asuransi tambahan selain asuransi wajib Jasa Raharja dimana iuran wajib telah otomatis dibayarkan dalam harga tiket pesawat. Selain itu, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen juga kurang menjadi perhatian Lion Air. Hal ini terbukti dengan kurangnya pengetahuan konsumen mengenai pertanggungan dalam jasa Lion Air.
3.
Konsumen yang tidak membeli Jasa Asuransi Perjalanan Lion Air tetap memiliki jaminan apabila terjadi kecelakaan di kemudian hari. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU Penerbangan serta Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 serta adanya asuransi wajib Jasa Raharja. Dengan demikian, konsumen tidak perlu merasa khawatir akan perlindungan konsumen jasa penerbangan di Indonesia. dalam hal ini, Pemerintah melalui beberapa perangkat peraturan telah berusaha untuk melindungi konsumen jasa penerbangan. Perlindungan yang diberikan bagi konsumen yang tidak memakai jasa Asuransi Perjalanan Lion Air diantaranya.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
84
a. Tanggung jawab perusahaan pengangkut yang mencakup i.
Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh ribu rupiah);130
ii.
Penumpang
yang
meninggal
dunia
karena
kejadian
yang
berhubungan dengan pengangkutan udara saat proses meninggalkan ruang tunggu atau turun dari pesawat dan/atau bandar udara persinggahan
akan
diberikan
ganti
kerugian
sebesar
Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);131 iii.
Penumpang yang mengalami cacat tetap total akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh ribu rupiah)132 serta apabila penumpang mengalami cacat tetap sebagian dimana ganti kerugian ditetapkan sebagaimana diatur dalam lampiran PM No. 77 Tahun 2011133;
iv.
Penumpang yang mengalami kerugian sehingga diharuskannya menjalani pengobatan di rumah sakit atau pun balai pengobatan akan diberikan ganti kerugian paling nyata maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);134
v.
Penumpang yang mengalami kerusakan pada bagasi tercatat akan diberikan ganti kerugian sesuai dengan jenis, bentuk, ukuran, dan merk bagasi tercatat 135 , sedangkan apabila bagasi tercatat hilang maka penumpang akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp
130
Indonesia, Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara Pasal 3 huruf a. 131
Ibid., Pasal 3 huruf b.
132
Ibid., Pasal 3 huruf c ayat (1).
133
Ibid., Pasal 3 huruf c ayat (2).
134
Ibid., Pasal 3 huruf e.
135
Ibid., Pasal 5 ayat (1) huruf b.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
85
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kilogram dan paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang;136 vi.
Penumpang yang mengalami keterlambatan lebih dari 4 jam akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)137 serta adanya alternatif lainnya yang disebutkan dalam PM No. 77 Tahun 2011.
b. Asuransi wajib Jasa Raharja yang mencakup i.
Penumpang yang meninggal dunia dengan besar santunan Rp 50.000.000,00.
ii.
Penumpang yang mengalami cacat tetap dengan santunan maksimal Rp 50.000.000,00.
iii.
Biaya perawatan penumpang maksimal Rp 25.000.000,00.
iv.
Biaya penguburan sebesar Rp 2.000.000,00.
5.2. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisa di atas adalah: 1. Metode penjualan asuransi tambahan pada jasa angkutan penerbangan hendaknya lebih diperjelas dan tidak rumit terutama dalam hal informasi jasa itu sendiri mengingat pengetahuan konsumen akan jasa yang hendak dibeli merupakan hal yang signifikan yang akan mempengaruhi keputusan konsumen. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara memperjelas redaksional Asuransi Perjalanan Lion Air menjadi “asuransi perjalanan tambahan yaitu Asuransi Perjalanan Lion Air” atau pun dengan perumusan kalimat lain yang lebih jelas. 2. Upaya pembinaan dan pendidikan konsumen asuransi jasa angkutan udara perlu menjadi perhatian pemerintah maupun pihak penyelenggara jasa. Pemerintah dan perusahaan jasa angkutan udara dapat melakukan kerjasama dalam melakukan sosialisasi baik berupa penyuluhan maupun iklan di media
136 137
Ibid., Pasal 5 ayat (1) huruf a. Ibid., Pasal 10 huruf a.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
86
massa atau melalui jasa travel yang menyediakan jasa angkutan penerbangan Lion Air. 3. Sosialisasi pemerintah akan peraturan yang dikeluarkan terkait perlindungan konsumen di bidang jasa penerbangan hendaknya lebih diperhatikan. Dengan adanya pengetahuan akan perlindungan dasar yang diberikan akan membantu konsumen untuk melindungi diri dari pelaku usaha yang bertindak curang. 4. Sesuai dengan adanya kewajiban konsumen sebagaimana diamanatkan dalam UU Perlindungan Konsumen, Konsumen hendaknya membaca terlebih dahulu setiap informasi yang disediakan terkait jasa yang hendak mereka pakai mengingat sangat pentingnya pengetahuan konsumen akan produk.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
87
DAFTAR REFERENSI
BUKU Gunawan, Johanes. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 1999. Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hilton, Matthew. Prosperity for All; Consumer Activism In an Era of Globalization. Amerika Serikat: Cornell University Press, 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Kotler, Philip dan Gary Armstrong, Prinsip-Prinsip Pemasaran cet. 1, ed. Yati Sumiharti, S.E.. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997. Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Martono, H. K. dan Amad Sudiro. Hukum Angkutan Udara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011. Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Mickelburgh, John. Consumer protection. Abingdon/oxon: Professional books limited, 1979. Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. _____. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia, cet. 4. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006. Muis, Abdul. Bunga Rampai Hukum Dagang. Medan: Fakultas Hukum USU, 2001. Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet 2. Jakarta: Diadit Media, 2002. _____. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 3. Jakarta: Diadit Media, 2007.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
88
_____. Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995. _____. Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1995. _____. “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999”. Poedjosoebroto, Santoso. Beberapa Aspekta Tentang Hukum Pertanggungan Djiwa di Indonesia. Jakarta: Bhratara, 1969. Prakoso, Djoko. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004. Projodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: PT Intermasa, 1991. Rangkuti, Freddy. Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated Marketing Comunication. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009. Samsul,
Inosentius.
Perlindungan
Konsumen:
Kemungkinan
Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak. Jakarta: Program Pasca-sarjana Fakultas Hukum UI, 2004. Sastrawidjaja, Man Suparman dan Endang.
Hukum Asuransi. Bandung: PT
Alumni, 2003. Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Pertanggungan Wajib cet. 2. Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 1974. _____. Hukum Pertanggungan dan Perkembangan. Jakarta: BPHN, 1980. _____. Hukum Pertanggungan, Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1982. _____. Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya. Jogjakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1983. Shofie, Yusuf. Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998. _____. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan II, 2001.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
89
Wiradipradja, E. Saefullah. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Udara Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1989. Zen, A. Patra M. dan Daniel Hutagalung. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah hukum cet. 2. Jakarta: YLBHI, 2007.
PERATURAN Indonesia. UU No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Indonesia. UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Lalu lintas. _____. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara RI No. 3821. _____. UU No. 1 Tahun 1999 tentang Penerbangan. Lembar Negara RI No. 4956. _____. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. _____. UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Lembaran Negara RI No. 5035. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut, dan Udara. Kementerian Perhubungan RI. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. ____.
Keputusan
Menteri
Perhubungan
No.
25
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
90
JURNAL Khairandy, Ridwan. “Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25 No. 1 Tahun 2006. Wiradipradja, Saefullah. “Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia” dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25-NO.1-Tahun 2006.
ARTIKEL Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Position Paper Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri Asuransi Wajib Kecelakaan Lalu Lintas di indonesia”
(2010)
position_ paper_asuransi_kecelakaan laulintas.pdf> Meryana, Ester dan Erlangga Djumena, “Hanya 20 Persen Penduduk Indonesia yang
Sadar
Asuransi”
dikutip
dalam
situs
Kompas.com
Listiyarini, Tri. “Penumpang Lion Air Masih Teratas; Air Asia Menyalip Garuda”, sumber: Kementerian Perhubungan wealthindonesia.com
SKRIPSI DAN TESIS Claudia, Serena. “Perlindungan Hak Konsumen Terhadap Kejelasan Informasi Dalam Suatu Kontrak Elektronik Jual Beli via Websites (Studi Kasus Situs airasia.com dan belibarang.com)” Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011. Novianti, Eva. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Transgenik (Studi Kasus: Snack Kentang Pringles)” Depok: Program Sarjana Universitas Indonesia, 2007.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERHUBUNGAN,
Menimbang
: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf c dan d dan ayat (3), Pasal 165 ayat (1), Pasal 168, Pasal 170, Pasal 172, Pasal 179, Pasal 180, Pasal 184 ayat (3), dan Pasal 186 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Tahun
1992
(Lembaran Nomor
13
Negara Republik Indonesia Tambahan
Lembaran.
Negara
Republik Indonesia Nomor 3467); 2.
Undang-Undang
Nomor
Perlindungan Konsumen
8
Tahun
1999
tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2009
tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
4.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954); 1
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
5. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 Pembentukan Organisasi Kementerian Negara; 6
tentang
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan, Organisasi, Tugas Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah dmbah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010;
7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan;
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI
PERHUBUNGAN
TENTANG
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1 Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan Pesawat Udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu
perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lam atau beberapa bandar udara.
2 Pengangkut adalah Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin
kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.
3 Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan
udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
4.
Angkutan Udara Niaga adalah Angkutan Udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
5
Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi, yang' kegiatan utamanya mengoperasikan
pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
P
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
t
6.
Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan
batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat
barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. 7.
Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau
bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.
8.
Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.
9.
Bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.
10. Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama
penerbangan, barang bawaan atau barang yang tidak bertuan.
11. Kejadian Angkutan Udara adalah kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara.
12. Kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang
mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius.
13. Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu
keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.
14. Cacat Tetap adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental.
15. Cacat Tetap Total adalah kehilangan fungsi salah satu anggota badan, termasuk cacat mental sebagai akibat dari Kecelakaan (accident) yang
diderita sehingga penumpang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, ketrampilan dan pengalamannya sebelum mengalami cacat.
^
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
16 Catat Tetap Sebagian adalah kehilangan sebagian dari salah satu anggota
badan namun tidak mengurangi fungsi dari anggota badan tersebut untuk beraktifitas seperti hilangnya salah satu mata, salah satu lengan mulai dari bahu, salah satu kaki.
17 Cacat Mental adalah tidak berfungsi atau kerusakan yang bersangkutan
dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat kerusakan badan atau tenaga.
18. Ganti Rugi adalah uang yang dibayarkan atau sebagai pengganti atas suatu kerugian.
19 Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dengan konsorsium perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
20. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perasuransian.
21 Perusahaan Pialang Asuransi adalah Perusahaan Penunjang Usaha. ft£^ Perasuransian yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan . Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan penanganan
penyelesaian ganti kerugian Asuransi dengan bertmdak untuk kepentingan pemegang polis dan atau tertanggung.
22 Konsorsium Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota yang dibentuk berdasarkan perjanjian
sebagai Penanggung asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan
udara.
23. Merited adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.
24. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Udara. BAB II
JENIS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DAN BESARAN GANTI KERUGIAN Pasal 2
Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :
a.
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
b.
hilang atau rusaknya bagasi kabin; Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
c.
hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
d.
hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
e.
keterlambatan angkutan udara; dan
f.
kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Pasal 3
Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-Iuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut:
a.
penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;
b.
penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-
mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses
meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau
pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di
bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;
c.
penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi :
•1) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp.
1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per
penumpang; dan
2) penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
d.
Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu kehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat
disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau
kaki, atau Kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
t-
e.
penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang. Pasal 4
(1)
Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.
(2) Apabila pembuktian penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh pengangkut atau berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht) dinyatakan bersalah, maka ganti kerugian ditetapkan setinggi tingginya sebesar kerugian nyata penumpang. Pasal 5
(1) Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c ditetapkan sebagai berikut: a.
kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang; dan
b.
kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.
(2)
Bagasi tercatat dianggap hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara tujuan.
(3) Pengangkut wajib memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat yang belum ditemukan dan, belum dapat dinyatakan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender. Pasal 6
(1) Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya barang berharga atau barang yang berharga milik penumpang yang disimpan di dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan keberangkatan (check-in), penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa di dalam bagasi tercatat terdapat barang berharga atau barang yang berharga, dan pengangkut setuju untuk mengangkutnya. Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
t
(2) Dalam hal pengangkut menyetujui barang berharga atau barang yang berharga di dalam bagasi tercatat diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut dapat meminta kepada penumpang untuk mengasuransikan barang tersebut. Pasal 7
(1) Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikut:
a.
terhadap hilang atau musnah, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg.
b. terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg.
(c.
apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan udara.
(2) Kargo dianggap hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan. Pasal 8
Apabila kargo diangkut melalui lebih dari 1 (satu) moda transportasi, pengangkut hanya bertanggung jawab atas kerusakan sebagian atau keseluruhan atau atas kehilangan kargo selama dalam pengangkutan udara yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal 9
Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari :
a.
keterlambatan penerbangan [flight delayed);
b.
tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boardingpassanger); dan
c.
pembatalan penerbangan (cancelation offlight).
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
Pasal 10
Jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a ditetapkan sebagai berikut: a.
keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;
b.
diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;
c.
dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari
biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli. Pasal 11
Terhadap tidak terangkutnya penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian berupa:
a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
b. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan Pasal 12
(1) Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, pengangkut wajib memberitahukan kepada
penumpang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan.
(2) Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang telah dibayarkan oleh penumpang.
(3) Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kelender sampai dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, ''berlaku ketentuan Pasal 10 huruf b dan c.
yf^
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
\
(4) Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila badan usaha angkutan udara niaga berjadwal melakukan perubahan jadwal penerbangan (retiming atau rescheduling). Pasal 13
(1) Pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a yang disebabkan oleh faktor cuaca dan/atau teknis operasional. (2) Faktor cuaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain hujan Iebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
(3) Teknis Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : a.
bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
b.
lingkungan menuju bandar udara atau landasan fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
c.
terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di
terganggu
bandar udara; atau
d.
keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling). Pasal 14
Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-Iuka dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa
pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari pesawat udara yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f ditetapkan sebagai berikut:
a.
meninggal dunia diberikan ganti rugi sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per orang;
b.
pihak ketiga yang mengalami cacat tetap, meliputi :
1)
pihak ketiga yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan
diberikan
ganti kerugian
sebesar Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) per orang;
A
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
l
2)
pihak ketiga yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam Lampiran Peraturan ini.
:.
Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang menderita luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan ditetapkan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per orang;
1
jumlah ganti kerugian untuk kerusakan barang milik pihak ketiga hanya terhadap kerugian yang secara nyata diderita berdasarkan penilaian yang layak, sebagai berikut:
1)
untuk pesawat udara dengan kapasitas sampai dengan 30 (tiga puluh) tempat duduk, paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
2)
untuk pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk sampai dengan 70 (tujuh puluh) tempat duduk, paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
3)
untuk pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 70 (tujuh puluh) tempat duduk sampai dengan 150 (seratus lima'puluh) tempat duduk, paling banyak Rp. 175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima miliar rupiah);
4)
untuk pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 150 (seratus lima puluh) tempat duduk, paling banyak Rp. 250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Pasal 15
Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 14, ditetapkan berdasarkan kriteria:
>
a.
tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
b.
kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara;
c.
tingkat inflasi kumulatif;
d.
pendapatan perkapita;
e.
perkiraan usia harapan hidup; dan
f.
perkembangan nilai mata uang.
10
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
/
BAB III
WAJIB ASURANSI TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT Pasal 16
(1)
Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib diasuransikan kepada perusahaan asuransi dalam bentuk konsorsium asuransi.
(2)
Bentuk Konsorsium bersifat terbuka kepada seluruh perusahaan asuransi yang memenuhi syarat dan perizinan untuk dapat berpartisipasi dalarn program Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
(3)
Untuk kepentingan Badan Usaha Angkutan Udara sebagai pemegang polis dan/atau tertanggung, maka penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian klaim Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dilakukan dengan menggunakan jasa keperantaraan perusahaan pialang asuransi.
(4) Perusahaan asuransi sebagai anggota konsorsium asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengawasan perasuransian. (5) Nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 'sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Peraturan ini.
(6)
Premi asuransi untuk menutup nilai pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang layak sesuai prinsip asuransi yang sehat.
(7)
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1, 2 dan 3 tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri. Pasal 17
(1)
Penutupan asuransi tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi.
(2) Tata
cara
dan
prosedur
penutupan
asuransi
tanggung
jawab
pengangkut sebagaimana diatur pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) yPenutupan
asuransi
tanggung
jawab
pengangkut
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal untuk dicatat dan keperluan evaluasi.
(4)
Dalam hal evaluasi mengindikasikan adanya ketidaksesuian terhadap ketentuan yang ada atau kelayakan besarnya pertanggungan, Direktur Jenderal dapat meminta penjelasan dari pengangkut dan para pihak yang terkait serta meminta dilakukan peninjauan kembali
perjanjian penutupan asuransi. Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
11
BAB IV
BATAS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT Pasal 18
(1) Tanggung jawab pengangkut kepada
penumpang dimulai sejak
penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan.
(2) Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi tercatat dimulai sejak
pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang.
(3) Tanggung jawab pengangkut terhadap kargo dimulai sejak pengirim barang menerima salinan surat muatan udara dari pengangkut sampai dengan waktu yang ditetapkansebagai batas pengambilan sebagaimana tertera dalam surat muatan udara (airway bill). Pasal 19
Pengangkut tidak dapat dituntut tanggung jawab untuk membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, Pasal 3 huruf c butir 2, Pasal 14, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa :
a.
kejadian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian pengangkut atau orang-orang yang dipekerjakannya atau agen-agennya; atau
b.
kejadian tesebut semata-mata disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian ' penumpang sendiri dan/atau pihak ketiga. Pasal 20
Tanggung jawab pengangkut dalam peraturan ini berlaku terhadap pengangkut yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal (charter) atau pihak-pihak lain sebagai pembuat kontrak pengangkutan (contracting carrier) sepanjang tidak diperjanjikan lain dan tidak bertentangan dengan peraturan ini. BAB V
PERSYARATAN DAN TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN GANTI KERUGIAN Pasal 21
(1) Tuntutan ganti kerugian oleh penumpang dan/atau pengirim barang . serta pihak ketiga yang mengalami kerugian sebagaimana dimaksud ,dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti sebagai berikut: 12
/
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
/
a.
dokumen terkait yang membuktikan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiket, bukti bagasi tercatat (claim tag) atau surat muatan udara (airway bill) atau bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggungj awabkan;
b.
surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga dan/atau harta benda terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengoperasian pesawat udara.
(2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pengangkut yang secara nyata melakukan pengangkutan udara (actual carrier), apabila pengangkutan udara tersebut dilakukan lebih * dari satu Badan Usaha Angkutan Udara. Pasal 22
(1)
Apabila bagasi tercatat dan/atau kargo diterima oleh penumpang atau oleh orang yang berhak untuk menerima tidak ada keluhan, maka
merupakan bukti bagasi tercatat dan/atau kargo tersebut diterima dalam keadaan baik sesuai dengan dokumen yang pada saat diterima.
(2)
Apabila bagasi tercatat dan/atau kargo yang diterima dalam keadaan rusak, musnah dan/atau hilang, tuntutan terhadap pengangkut harus
diajukan secara tertulis pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang atau penerima kargo.
(3) Jika terjadi keterlambatan penerimaan bagasi tercatat dan/atau kargo, tuntutan terhadap pengangkut harus diajukan secara tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak bagasi tercatat diterima pemilik bagasi tercatat sesuai tanda bukti bagasi tercatat (claim
tag) di terminal kedatangan atau kargo diterima oleh penerima di tempat tujuan yang telah ditetapkan.
BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 23
Besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
-A
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
Pasal 24
Penyelesaian masalah pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuaan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
EVALUASI, PELAPORAN DAN PENGAWASAN Pasal 25
(1) Direktur Jenderal melakukan evaluasi setiap 2 (dua) tahun terhadap pelaksanaan asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pengangkut dan perusahaan asuransi dan/atau Ketua Konsorsium wajib menyampaikan laporan pelaksanaan asuransi tanggung jawab .pengangkut angkutan udara secara berkala setiap 1 (satu) tahun atau -setiap terjadi perubahan pertanggungan kepada Direktur Jenderal. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat memuat:
a.
data, jumlah dan jenis kepersertaan asuransi;
b.
lingkup pertanggungan termasuk besaran pertanggungan;
c.
jumlah klaim yang diajukan dan jumlah klaim yang disetujui; dan
d.
masa pertanggungan.
BAB VIII SANKSI
Pasal 26
(1) 'Direktur Jenderal dapat memberikan sanksi administratif kepada pengangkut yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a.
peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan;
±
14
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
b.
apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak ditaati dilanjutkan dengan pembekuan izin usaha angkutan udara niaga untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila pembekuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b habis jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan, dilakukan pencabutan izin usaha.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang, dan/ atau pengirim barang serta pihak ketiga. Pasal 27
(1) Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tanggung jawab pengangkut terhadappenumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.
(2) Direktur Jenderal dapat mengusulkan perusahaan asuransi dan/atau konsorsium asuransi, termasuk penanggungjawabnya ke dalam daftar
hitam (black list) apabila terbukti tidak melakukan pembayaran atau tidak sanggup membayar ganti kerugian sesuai kewajibannya.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri untuk selanjutnya diteruskan kepada Menteri yang melaksanakan pembinaan dan pengawasan di bidang usaha , perasuransian untuk diambil tindakan lebih lanjut sesuai peraturan -perundang-undangan perasuransian. BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28
(1) Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, perjanjian penutupan asuransi antara pengangkut dan perusahaan asuransi atau konsorsium asuransi yang telah ada tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian;
(2) Badan usaha angkutan udara yang telah melakukan penutupan asuransi tanggung jawab wajib menyesuaikan jenis tanggung jawabnya dan besaran ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak Peraturan Menteri diberlakukan;
S
15
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
/
BABX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan ini mulai berlaku 3 (tiga) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Perhubungan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2011 MENTERI PERHUBUNGAN, ttd
FREDDY NUMBERI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, REPUBLIK INDONESIA
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 486
suai dengan aslinya ukum dan KSLN
PelsNtfapa Harian
ANTO. SH, DESS
^Bu*vBembina (IV/a) 19631115 199203 1 001
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
: PM 77 Tahun 2011
Tanggal
: 8 Agustus 2011
BESARAN GANTI KERUGIAN CACAT TETAP SEBAGIAN
CACAT TETAP SEBAGIAN
BESARAN GANTI KERUGIAN
Rp
150.000.000,-
b. Kehilangan pendengaran
Rp
150.000.000,-
c.
Rp
125.000.000,-
Rp
62.500.000,-
Rp
100.000.000,-
- tiap satu ruas
Rp
50.000.000,-
Jari telunjuk kiri
Rp
125.000.000,-
- tiap satu ruas
Rp
25.000.000,-
Rp
62.500.000,-
Rp Rp Rp
20.000.000,-
35.000.000,11.500.000,-
Rp Rp
50.000.000,16.500.000,-
Rp
40.000.000,-
Rp
13.000.000,-
a.
Satu mata
Ibu jari tangan kanan - tiap satu ruas d. Jari telunjuk kanan e.
f. Jari kelingking kanan - tiap satu ruas g. Jari Kelingking Kiri - tiap satu ruas h. Jari Tengah atau jari manis - tiap satu ruas i. Jari tengah atau jari manis kiri - tiap satu ruas Penjelasan :
Bagi mereka yang kidal, perkataan kanan dibaca kiri, demikian sebaliknya. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2011 MENTERI PERHUBUNGAN, ttd FREDDY NUMBERI
sesuai dengan aslinya Hukum dan KSLN sana Harian
WANTO, SH, DESS Pembina (IV/a) 19631115 199203 1 001
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
eTicket Itinerary / Receipt This is an eTicket itinerary. To enter the airport and for check-in, you must present this itinerary receipt along with Official Government issued photo identification such as passport. identity card or Indonesians KTP.
Booking Details Booking reference no (PNR):
HKRIZI
Place of issue: JKTTO
Issuing Airline:
Lion Air
Issued date:
Tuesday, 23 Aug, 2011
Passenger Details Passenger Name Sihite/Ruth Novida Miss
Lion Passport #
eTicket Number 9902166571369
Itinerary Details Flight JT 387
Depart Medan (MES) 31 Aug 2011 14:00 hrs Operated by Lion Air
Arrive Jakarta (CGK) 31 Aug 2011 16:20 hrs
Stops 0
Class Promo - T
Fare Basis TOW
Status Confirmed
Baggage 20Kg
Fare Details (Includes Base Fare, Taxes, Fees and Surcharges) FARE IDR 489000 TAX 5000YR TAX 48900ID TAX TOTAL IDR 552900 FARE CALC MES JT JKT489000TOW IDR489000END TRAVEL INSURANCE: IDR 15,000
10000XX
Legend : YQ = Fuel Surcharge, IWJR = Air Traffic Congestion Fee (for domestic segment) or Admin Fee (International segment)
Fare Rules Booking Class T: Ticket Refund and Exchanges are permitted with payment of fee and fare difference (if any) and within a defined deadline. Name Change is not permitted.
Additional Collections Form Of Payment CASH DATE OF ISSUE-23AUG11
ISSUED AT-JKTTO JKT GIX
Endorsement NONEND/NONRER/NONEXTEND
Tour Code IT1880011433262
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012 Page 1 of 2
Important Notes * * * *
Please arrive at the airport 90 minutes before the flight for domestic travel and 2 hours for international travel. Check-in closes 45 minutes before departure time. Please be at the gate 30 minutes before departure time. If paid by credit card please note that the credit card used must be presented by the card holder for verification at check-in or you may be denied boarding. * Baggage allowance: 20Kg for Lion Air and 15Kg for Wings Air. * Economy Class Passengers are allowed to bring up to 7kg of hand luggage onboard Lion Air Flights. Please refer to our terms and condition for more information. * Passengers agree with Terms and Conditions of Carriage outlined by Lion Air.
Catatan Penting * * * *
Mohon tiba di Bandara selambat-lambatnya 90 menit sebelum keberangkatan untuk domestic atau 2 jam untuk internasional. Cek-in ditutup 45 menit sebelum jam keberangkatan. Mohon tiba di gerbang keberangkatan 30 menit sebelum keberangkatan. Bila anda melakukan pembayaran menggunakan kartu kredit mohon menunjukan kartu tersebut berserta pemegang kartu untuk verifikasi pada konter cek in atau proses boarding anda dapat dibatalkan. * Bagasi cuma-cuma: 20Kg untuk maskapai Lion Air dan 15kg untuk maskapai Wings Air. * Penumpang kelas Economi diperbolehkan membawa barang bawaan maksimum seberat 7Kg ke dalam kabin. Silahkan membaca persyaratan dan ketentuan yang berlaku untuk informasi lebih lanjut. * Penumpang/Pemegang tiket ini tunduk kepada Syarat & Ketentuan Penerbangan yang ditetapkan oleh Lion Air.
For any assistance you may contact us on the following numbers Reservation: Lion Air Call Center Numbers: 0804-1-778899 (Indonesia) 6339 1922 (Singapore) 8776 6081 (Kuala Lumpur) 641 4144 / 5144 (Penang) 820 8911 / 8920 ( Ho Chi Minh City)
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012 Page 2 of 2
DAFTAR PERTANYAAN
Umur
: ______________
Jenis Kelamin : ______________
Penggunaan jasa maskapai penerbangan dalam melakukan perjalanan jarak jauh sudah menjadi hal biasa. Hal ini didukung oleh munculnya berbagai maskapai penerbangan yang tidak jarang melakukan aksi “harga promo” untuk beberapa jadwal dan rute tertentu. Lion Air sebagai salah satu maskapai milik Indonesia muncul sebagai salah satu kompetitor dengan tingkat harga tiket yang cukup terjangkau. Mengingat tingginya risiko jasa penerbangan, pemerintah mewajibkan setiap pengangkut untuk mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang. Oleh sebab itu, pemerintah bersama dengan perusahaan penerbangan menyediakan sistem pertanggungan atau asuransi perjalanan bagi seluruh penumpang jasa penerbangan berupa asuransi wajib Jasa Raharja yang langsung dimasukkan dalam harga tiket yang dibeli. Namun, Dalam pembelian tiket secara online melalui situs resmi http://www2.lionair.co.id/, calon penumpang Lion Air akan ditawarkan asuransi perjalanan tambahan dengan membayar sejumlah premi asuransi sebesar Rp 15.000,00.
1.
Apakah anda memiliki asuransi pribadi?
Ya
Tidak
2.
Apakah anda mengetahui manfaat asuransi secara umum?
3.
Jika ya, darimanakah Anda mengetahui manfaat asuransi tersebut?
Ya
Tidak
a. Keluarga atau teman b. Media cetak dan/atau elektronik c. Promosi perusahaan asuransi d. Internet e. Lainnya, __________________ 4.
Apakah Anda mengetahui adanya Asuransi Jasa Raharja dalam dunia penerbangan domestik? Ya
5.
Tidak
Apakah Anda mengetahui bahwa Asuransi Perjalanan Lion Air merupakan Asuransi tambahan? 6. Ya
Tidak
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
7.
Pernahkah Anda membeli asuransi perjalanan yang ditawarkan Lion Air saat membeli tiket secara online? Ya
8.
Tidak
Jika ya, apakah Anda telah mengetahui adanya Asuransi Wajib Jasa Raharja yang telah otomatis Anda bayarkan ketika Anda membeli tiket penerbangan domestik Lion Air? Ya
9.
Tidak
Jika ya, apakah sebelum Anda memutuskan untuk membeli asuransi tambahan Lion Air Anda membaca informasi lebih lanjut mengenai asuransi Lion Air yang disediakan dalam situs tersebut? Ya
Tidak
10. Jika Anda tidak membeli Asuransi Perjalanan Lion Air, apakah alasan Anda tidak membeli asuransi tersebut? a. Saya merasa tidak perlu asuransi b. Tidak tahu asuransi itu apa c. Sudah mempunyai asuransi pribadi d. Tidak bisa re-fund kalau tidak ada claim e. Tahu kalau harga tiket sudah termasuk Asuransi Jasa Raharja f. Lainnya, _________________________________________ 11. Apakah sebelum memutuskan untuk tidak membeli Asuransi Perjalanan Lion Air Anda terlebih dahulu membaca informasi lebih lanjut yang disediakan mengenai asuransi tersebut? Ya
Tidak
12. Jika Anda membaca informasi lebih lanjut yang disediakan, apakah Anda mengerti manfaat Asuransi Perjalanan Lion Air? Ya
Tidak
13. Jika Anda membaca informasi yang disediakan, apakah Anda puas dengan informasi mengenai jasa asuransi perjalanan Lion Air? Ya
Tidak
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
PEDOMAN WAWANCARA
Dalam proses penulisan tugas akhir universitas, saya memerlukan beberapa informasi terkait asuransi tambahan yang disediakan oleh maskapai penerbangan Lion Air. Untuk itu saya berharap pihak Lion Air dapat membantu saya dalam memperoleh informasi sebagai berikut.
1.
Apakah alasan-alasan dari pihak Lion Air mengeluarkan Asuransi tambahan (Asuransi Perjalanan Lion Air) selain Asuransi Jasa Raharja? Supaya menambah perlindungan konsumen Lion Air.
2.
Apakah terdapat peraturan internal maupun eksternal yang mendasari penawaran asuransi tambahan Lion Air tersebut? Tidak terdapat kebijakan eksternal terkait Asuransi Perjalanan Lion Air. Hal ini berdasarkan kebijakan perusahaan Lion Air.
3.
Tuan X membeli asuransi tambahan yang disediakan oleh Lion Air. a. Ketika terjadi kecelakaan, kompensasi dari mana sajakah yang akan diterima Tuan X? Apakah Tuan X akan menerima santunan dari Jasa Raharja beserta Asuransi Lion Air? Apabila terjadi kecelakaan, setiap penumpang pasti akan mendapat santunan Jasa Raharja. Jika Tuan X membayar premi Asuransi Perjalanan Lion Air, maka pertanggungan yang akan didapat konsumen berasal dari Jasa Raharja dan Asuransi Perjalanan Lion Air. b. Apakah ada santunan lain yang akan diberikan misalnya yang berasal dari perusahaan penerbangan Lion Air? Berdasarkan PM Perhubungan No. 77 Tahun 2011, setiap perusahaan penerbangan
wajib
memberikan
pertanggungjawaban
sebesar
yang
ditetapkan dalam peraturan menteri tersebut. Oleh karena itu, pihak Lion Air akan tetap memberikan santunan sebesar yang ditetapkan. Namun, karena hingga saat ini belum terdapat claim kecelakaan, Lion Air belum melaksanakannya. 4.
Tuan X tidak membeli asuransi tambahan yang disediakan oleh Lion Air.Bagaimanakah perlindungan terhadap Tuan X apabila terjadi kecelakaan yang menimbulkan kerugian?
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012
Apabila Tuan X tidak membayar untuk Asuransi Perjalanan Lion Air dan kemudian terjadi kecelakaan, Tuan X akan mendapat santunan Jasa Raharja beserta tanggung jawab perusahaan jasa angkutan sesuai amanat PM Perhubungan No. 77 Tahun 2011.
Atas perhatian Anda saya ucapkan terima kasih.
Elisabeth S. N. A. Telp. 081286684078 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Analisis yuridis ..., Elisabeth Saragionova Narotama Allaganio, FH UI, 2012