UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP AKTA PPAT YANG TIDAK SESUAI PROSEDUR (STUDI KASUS AKTA JUAL BELI TANGGAL 14 MARET 2012 NOMOR 07/2012 YANG DIBUAT DI HADAPAN PPAT TH DENGAN WILAYAH KERJA DI KOTAMADYA JAKARTA SELATAN)
TESIS
ANINDHITA PRAMESWARI 1006827650
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JANUARI 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya hingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14 Maret 2012 Nomor 07/2012 Yang Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan Wilayah Kerja Di Kotamadya Jakarta Selatan). Penulisan Tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Besar harapan penulis agar tesis ini dapat diterima sebagai sumbangsih penulis kepada almamater agar nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan bacaan atau referensi bagi siapa saja yang sedang belajar di Universitas Indonesia. Dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam proses penyusunan dan penyelesian tesis ini. Antara lain kepada: 1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia beserta segenap jajarannya, 2. Dr. Drs. Widodo Suryandono, SH. MH., selaku Ketua Studi Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 3. Ibu Chairunnisa Said Selenggang, SH., Mkn., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini, 4. Seluruh Dosen Pengajar Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah membimbing dan meberikan banyak ilmu kepada penulis selama menempuh pendidikan Magister ini, 5. Orang Tua penulis, Drs. Soeprijanto dan Ibu Ulvanoem yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dengan sabar membimbing dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
v
mendidik penulis dari kecil hingga kini serta selalu memberikan dukungan baik materil maupun moril, 6. Suami penulis tercinta, Fahmi Arfian dan juga anak-anak penulis, Khairani Syafina, Raditya Danuadji dan Khairuna Alishya atas segala dukungannya. 7. Seluruh sahabat di Magister Kenotariatan Salemba Universitas Indonesia angkatan 2010, Esti Purnami, Fauzi Rivayanti, Kurnia Fajar, Puty Arfina, Mba Egi Anggiawati, dan lain-lain yang telah memberikan banyak suka duka, terlebih kenangan manis selama 2 tahun ini, 8. Dan kepada seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terselesaikannya penulisan tesis ini.
Depok, 21 Januari 2013
Anindhita Prameswari
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Anindhita Prameswari Program Studi : Magister Kenotariatan Judul : Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Prosedur (Studi Kasus Akta Jual Beli Tanggal 14 Maret 2012 Nomor07/2012) PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Sebagai akta otentik, akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undangundang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat menimbulkan risiko bagi kepastian hak atas tanah yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai tata cara dan prosedur pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan penulis untuk menyusun tesis ini akan melakukan analisa mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual Beli Tanah yang dilakukan oleh PPAT TH. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian data-data sekunder atas data hukum yaitu norma hukum tertulis. Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta dapat mengakibatkan akta tersebut tergredasikan menjadi akta di bawah tangan, batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Kata Kunci: PPAT, Akta Jual Beli, Prosedur
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT Name Study Program Title
: Anindhita Prameswari : Master of Notary : Juridical Review of PPAT’s Deeds That Does Not Comply With The Procedure (Case Study of Sales Deed Dated March 14, 2012 Number 07 2012 Made In Front of
With PPAT TH ) Officials land Deed Maker (PPAT) is as a general officer who is authorized to make an authentic deed of land in accordance with the applicable regulation. As an authentic deed, PPAT’s deeds should cater to all terms and conditions of PPAT certificate as prescribed by laws and other regulations. The PPAT’s deeds that does not comply with the terms and conditions can pose a risk to the uncertainty of land rights that are recorded on the basis of the certificate. Based on this, the author is interested and intends to examine and understand more about the standard procedures of making deeds made by PPAT in the manufacture of the deed of sale and purchase of land and in order to compose this thesis, the author will do an analysis regarding the Ordinance and procedures of making the deed of sale and purchase of Land by PPAT TH. This research uses the normative juridical approach, which focuses on the research of secondary data for data law that focuses on i.e. written legal norms. Based on the data obtained, the research results found that as a result of the law of creation of the deed of sale and purchase of land that is not in accordance with an applicable regulations, the deed will be degraded a certificate under the hand, annulled by law or may be cancelled.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ABSTRAK DAFTAR ISI
i ii iii iv vi vii ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Pokok Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Metode Penelitian 1.5 Sistematika Penulisan
1 1 10 10 11 13
BAB II PROSEDUR AKTA JUAL BELI TANAH 2.1 Pengertian Hak Atas Tanah 2.1.1 Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah 2.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 2.2 Tinjauan Umum Mengenai PPAT 2.2.1 Pengertian PPAT 2.2.2 Syarat-Syarat Untuk Diangkat Menjadi PPAT 2.2.3 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT 2.2.4 Wilayah Kerja PPAT 2.2.5 Kewajiban PPAT 2.2.6 Pemberhentian PPAT 2.2.7 Kode Etik PPAT 2.2.8 Peranan PPAT Dalam Pelayanan Masyarakat 2.3 Keabsahan Dan Otentitas Akta PPAT 2.4 Prosedur/Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli 2.4.1 Pengertian Akta Jual Beli 2.4.2 Objek Akta Jual Beli 2.4.3 Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli Oleh PPAT 2.5. Analisis Kasus 2.5.1 Posisi Kasus 2.5.2 Analisis Kasus
14 14 19 23 34 34 39 40 43 44 46 48 55 56 60 60 61 61 71 71 73
BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 3.2 Saran
83 83 86
DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN
88 91
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggal pun manusia membutuhkan tanah guna tempat penguburannya. Hal ini memberikan pengertian bahwa pentingnya tanah bagi kehidupan di mana manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah. Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan sebagai capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
2
di sisi lain harus dijaga kelestariannya. 1 Tanah mempunyai nilai yang sangat penting karena mempunyai 3 komponen yang melekat, yaitu2 : 1. Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya, sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai produksi dan jasa. 2. Komponen penting kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tetapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya. 3. Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomis, suatu barang (dalam hal ini adalah tanah) harus layak untuk dimiliki dan ditransfer. Menyadari pentingnya tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, para pendiri bangsa telah menuangkannya dalam konstitusi tertinggi bangsa Indonesia yaitu pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat 93) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi dan tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA adalah3: 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
1
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia,2007), hal. 1. 2 3
Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, cet 1, ( Yogjakarta: Liberty, 1983), hal. 16. Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, cet.1, (Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri, 2012),
hal. 27-28
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
3
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Berbagai upaya dilakukan oleh manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankan juga dari pihak lain, karena itu penguasaan tanah harus dilandasi atas hak yang sah dan oleh karena itu dibutuhkan suatu status hukum. Kepastian hukum dari tanah tersebut serta kepemilikan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu bahwa4: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. “ Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 2 sub b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (selanjutnya disebut UUPA), merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Di bidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan 2 tugas, yaitu5: 1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah. 2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah. Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menurut Pasal 3, Peraturan Pemerintah nomor: 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , tujuan diadakan pendaftaran tanah adalah6 : 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,satuan rumah susun dan hak-
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 555. 5
Ibid., hal 3
6
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaTentang Pendaftaran Tanah, UU No. 24 tahun 1997, LN. No. 59, TLN. No. 3696
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
4
hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk
menyediakan
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. 3. Untuk tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh PPAT (selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sesuai dengan ketentuan tentang Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, yang pada Pasal 2 menyatakan7 : 1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama; f.
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. PPAT diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani 7
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 tahun 1998, LN. No 52, ps.2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
5
kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping untuk kepastian hukum bagi status tanah tersebut, pendaftaran tanah juga untuk melindungi para pemegang hak atas tanah agar kepemilikan haknya tidak terganggu oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanahnya.Untuk itu ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA, bahwa : “Pendaftaran tanah dalam Pasal ini meliputi : c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” 8 Alat pembuktian diberikan berupa sertipikat sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 point 20 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997, yaitu9 : “Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.” Dalam perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dikukuhkan melalui berbagai peraturan perundangundangan yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengertian PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4) adalah: “Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa PPAT adalah: “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tersebut”. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, secara khusus diatur dalam Pasal 1 butir 1, yang berbunyi: 8 9
Ibid., hal 558 BPN, Pendaftaran Tanah di Indonesia,( Jakarta: Koperasi Bumi Bhakti BPN, 1998),
hal.5.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
6
“Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak. Dalam pembuatan akta, PPAT diharuskan untuk menggunakan blanko akta PPAT seperti yang diatur oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 yang menyatakan bahwa akta-akta PPAT harus dibuat dengan menggunakan blangko akta PPAT yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk. Hal ini berarti bahwa tanpa blangko akta PPAT yang dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT. Selanjutnya, PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah,
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
7
kegiatan sosial, dan lain-lain kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya. Tugas dari PPAT adalah membuat akta dari perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan. Bila dilihat dari tugas PPAT tersebut, nampak bahwa tugas PPAT adalah pembuatan akta dalam kaitannya dengan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pensertipikatan atas tanah hak milik. Misalnya dalam kasus jual beli tanah, perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau memberikan sesuatu hak baru atas tanah, harus dilakukan dihadapan PPAT. Selanjutnya, akta PPAT adalah akta otentik dan sebagai sebuah akta otentik terdapat persyaratan ketat dalam hal prosedur pembuatan, bentuk dan formalitas yang harus dilakukan sehingga akta tersebut berhak disebut sebagai akta otentik. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 1868 KUHPerdata : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
8
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Jadi syarat otentisitas suatu akta yaitu : 1. dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 2. oleh atau dihadapan Pejabat Umum 3. pejabat tersebut harus berwenang di tempat di mana akta tersebut dibuat. Mengenai jenis dan bentuk akta PPAT, pelaksanaan dan prosedur pembuatannya, diatur oleh Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pada Pasal 95 sampai dengan Pasal 102. Selain itu, Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa boleh menyimpang sedikitpun. Penyimpangan dari tata cara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan pembuktian akta itu. Meskipun peralihan hak atas tanah tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini baik yang disebabkan oleh adanya pihak ketiga yang merasa mempunyai hak atau yang disebabkan oleh adanya kesalahan pada PPAT yang membuat aktanya atau adanya cacat hukum pada aktanya baik yang disebabkan oleh karena adanya penyimpangan atau kesalahan pada pembuatan aktanya ataupun karena adanya kesalahan pada prosedur penandatanganan aktanya. Dalam menjalankan jabatannya, PPAT harus memegang teguh pada kode etik akan tetapi saat ini seringkali dalam prakteknya PPAT membuat akta jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT tetapi tidak sesuai dengan tata cara menurut ketentuan peraturan yang berlaku, sehingga hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan. Contoh-contoh pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek pembuatan akta PPAT adalah: 1. Akta jual beli tidak dibacakan oleh PPAT secara rinci namun hanya menerangkan isi akta secara garis besar. 2. Menandatangani akta jual beli sebelum dilakukan cek bersih sertifikat dan hanya melakukan cek lisan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
9
3. Penandatanganan terhadap akta jual beli dilakukan oleh para pihak tidak secara bersamaan. 4. Saksi-saksi tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu proses penandatanganan akta. 5. Menerima pekerjaan dari rekan sejawat, akan tetapi terhadap akta yang akan dibuat telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak. 6. Akta jual beli ditandatangani sebelum ada pembayaran BPHTB dan PPh sehinggal akta jual beli belum bisa diberi tanggal dan nomor. 7. PPAT tidak mau memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal tertentu yang ditanyakan oleh penghadap 8. Dan lain-lain Hal-hal seperti inilah yang harus dihindari oleh seorang PPAT karena menyangkut kode etik dan tanggung jawab moral PPAT itu sendiri sebagai pejabat umum. Seperti yang telah dikemukakan di atas, Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain adalah melakukan pengecekan/pemeriksaan keabsahan sertipikan dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat10. Sebagai akta otentik akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturanperaturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat membuat suatu akta batal demi hukum, terdegradasikan menjadi akta di bawah tangan yang akan mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta tersebut. Dari uraian di atas, penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai tata cara dan prosedur pembuatan akta yand dibuat oleh PPAT terlebih dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat dan penulis untuk menyusun tesis ini akan melakukan analisa mengenai tata cara dan prosedur pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat 10
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 507
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
10
yang dilakukan oleh PPAT TH untuk para penghadap Tuan FX selaku penjual dan Tuan FA selaku pembeli untuk sebidang tanah Hak Guna Bangunan di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan . Berdasarkan latar belakang tersebut maka tesis ini penulis memberi judul Tinjauan Yuridis Terhadap Akta PPAT Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur (Studi Kasus Jual Beli Tanah Tanggal 14 Maret 2012 nomor 07/2012 Yang Dibuat Di Hadapan PPAT TH Dengan Wilaya Kerja Di Kotamadya Jakarta Selatan).
1.2.
POKOK PERMASALAHAN
Adapun Pokok Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah prosedur pelaksanaan peralihan hak atas tanah oleh PPAT menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?
2.
Bagaimanakah proses peralihan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT?
3.
Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang dibuat tidak sesuai dengan prosedur baik terhadap PPAT maupun akta yang dibuatnya ?
1.3
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan lain yang bersangkutan dalam prosedur pembuatan suatu akta PPAT. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui akibat hukum baik terhadap PPAT maupun Akta PPAT yang dibuatnya dengan mengenyampingkan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
11
1.4.
METODE PENELITIAN
Dalam rangka penulisan tesis harus diperhatikan bahwa tesis merupakan karya ilmiah yang harus disusun secara tegas, jelas, dan sistematis berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipercaya kebenarannya dan data-data yang diperoleh, sehingga sebelum memulai suatu penulisan diperlukan adanya penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan dan untuk mencapai tujuan tersebut maka penulis memilih metode Penelitian ini bersifat deskritif analitis dimana penulis bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai suatu keadaan berdasarkan analisa-analisa yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian data-data sekunder berupa norma hukum tertulis. Penulis menggunakan metode ini karena untuk mengetahui mengenai suatu permasalahan hukum, maka harus menggunakan analisa yang didasari dengan norma-norma hukum yang berlaku dengan memperhatikan sumbersumber hukum yang berlaku juga. Selanjutnya, dilakukan juga analisis mengenai tata cara PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli atas tanah. Dalam rangka menganalisa masalah yang penulis kemukakan, diperlukan data yang akurat dan mutakhir oleh karenanya digunakan teknik pengumpulan data melalui Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder melalui berbagai literatur baik Peraturan perundang undangan, buku-buku, media cetak, atau pelaporan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Penelitian kepustakaan tersebut diperlukan untuk mempertajam konsep dan teori yang berguna untuk menganalisa permasalahan secara mendalam yang meliputi11: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan. Dalam penulisan ini peneliti menggunakan : a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. cet ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986),
hal. 29.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
12
b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang UndangUndang Pokok Agraria c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah d) Peraturan
Menteri
Negara
Agraria
Kepala
Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah e) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT f) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah g) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah 2. Bahan hukum sekunder, misalnya buku-buku, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, artikel dari surat kabar dan internet. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara deskritif analitis mengenai prosedur pelaksanaan pembuatan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli tanah. Analisis yang digunakan sesuai dengan tipe dan sifat pembuatan dari penelitian adalah dengan jalan melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan dari data sekunder yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Data tersebut kemudian akan diinventarisasi, diklasifikasi, diolah dan dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
13
pengolahan data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan semua data yang diperoleh dalam kata-kata sehingga merupakan susunan kalimat yang mudah dimengerti.
1.5.
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I
PENDAHULUAN Menjelaskan latar belakang pemilihan judul serta pokok permasalahannya serta metode penelitian yang digunakan.
BAB II
PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Menguraikan pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli, pengertian jual beli tanah sebelum dan sesudah UUPA, syarat-syarat jual beli tanah,
pengertian PPAT, tugas dan
wewenang PPAT, wilayah kerja PPAT, Kode Etik PPAT, Akta PPAT serta prosedur pembuatan Akta yang harus dilakukan oleh PPAT dalam jual beli tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998. Selanjutnya penulis akan membahas kasus Akta Jual Beli dengan menguraikan dan menjelaskan proses pelaksanaan pembuatan akta yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT di dalam kasus pembuatan Akta Jual Beli tanggal 14 Maret 2012 Nomor 07/2012. BAB III
PENUTUP Menguraikan kesimpulan dari penelitian berdasarkan analisa hasil penelitian penulis.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
14
BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
2.1 Pengertian Hak Atas Tanah Kata “tanah” dalam tata bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan, bahwa12: Atas dasar hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Dalam Pasal 2 UUPA, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenang untuk: a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
12
Indonesia, Undang Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria, UU No.5 tahun 1960, LN. No. 104, TLN. No. 2043, ps. 4
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
15
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa13: Hak-hak atas tanah bukan hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah” tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Sehingga dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.14 Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan melainkan ia hanya diperbolehkan menggunakannya dengan batasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA bahwa “Sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
13
14
Ibid. ps. 4 ayat 2 Boedi Harsono, Op.cit., hal. 18.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
16
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undangundang ini (yaitu UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada diatasnya boleh digunakan,ditentukan oleh tujuan penggunaanya, dalam batasbatas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.15 Hak-hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. 16 Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan. Adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah dengan pihak lain seperti jual beli, tukar menukar, hibah, dan lain sebagainya. Seeorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut. UUPA menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun dengan menelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya. Dalam Pasal 16 UUPA telah menentukan beberapa macam hak-hak atas tanah yaitu17: a) hak milik b) hak guna usaha c) hak guna bangunan d) hak pakai
15
Boedi Harsono, Op. cit., hal. 19
16
Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 ), hal. 10 17
Indonesia, UUPA, Op.Cit., ps. 16
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
17
e) hak sewa f) hak membuka tanah g) hak memungut hasil hutan h) dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang. a) Hak Milik Diatur dalam Pasal 20-27 UUPA. Pengertian hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Yang boleh mempunyai hak milik adalah: 1) hanya warga negara Indonesia 2) oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya 3) orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung 4) selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. b) Hak Guna Usaha Diatur dalam Pasal 28-34 UUPA. Pengertian hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Yang dapat memiliki hak guna usaha adalah:
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
18
1) Warga negara Indonesia 2) Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia c) Hak Guna Bangunan Diatur dalam Pasal 35-40 UUPA. Pengertian hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Yang dapat memiliki hak guna bangunan adalah: 1) Warga negara Indonesia 2) Badan
hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia d) Hak Pakai Diatur dalam Pasal 41-43 UUPA. Pengertian hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. Yang dapat memiliki hak pakai adalah: 1) Warga negara Indonesia 2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3) Badan
hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia 4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia e) Hak Sewa Diatur dalam Pasal 44-45 UUPA. Seseorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar sewa kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
19
1) Warga negara Indonesia 2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 3) Badan
hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia 4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia f) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Diatur dalam Pasal 46 UUPA. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan ini hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu..
2.1.1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.18 Menurut
Effendi
Perangin-Angin,
pemindahan
hak
atas
tanah
menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Jadi pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan, dimana perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah, atau dengan pemberian dengan wasiat.19
18
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Grafija, 1993),
hal.37. 19
Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa, 1986), hal. 1
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
20
Sebagaimana dimaksud menurut Pasal 26 UUPA dan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dengan cara pemindahan hak dapat terjadi karena beberapa perbuatan hukum, yaitu : a. Jual beli Jual beli tanah diartikan sebagai suatu perbuatan yang merupakan penyerahan hak milik dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya dan pembeli berkewajiban memberikan uang harga yang telah disepakati oleh penjual. Penyerahan hak yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli tersebut mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli sebagai pemilik hak baru; supaya perbuatan jual beli tersebut memperoleh bukti yang kuat menurut hukum maka penjual dan pembeli harus datang kepada PPAT untuk membuat akta jual belinya, karena hanya PPAT yang berhak untuk membuat akta jual beli tanah, sedangkan mengenai permohonan balik nama sertipikat berdasarkan Akta Jual Beli harus dilaksanakan paling lambat tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli tersebut b. Tukar menukar Tukar menukar tanah bukan diartikan sebagai perjanjian, tetapi suatu perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak yang menukarnya. Tukar menukar tanah ini juga harus dilakukan dengan akta PPAT. Peralihan hak atas tanah disini terjadi karena ditukarnya tanah kepunyaan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain. c. Hibah Hibah tanah seperti halnya jual beli dan tukar menukar, merupakan perbuatan hukum yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada yang menerima hibah. Beda hibah dengan jual beli adalah bahwa dalam hibah pemilik tidak menerima imbalan sebagai ganti dari tanah yang dihibahkannya tersebut, dan hibah ini juga harus dibuktikan dengan akta PPAT. d. Pemberian dengan wasiat Pemberian dengan wasiat ini dilakukan pada saat pemiliknya masih hidup, tetapi haknya baru beralih setelah ia meninggal dunia. Selama ia masih
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
21
hidup, maka apa yang diwasiatkan tersebut masih dapat diubah atau ditarik kembali. e. Pemasukan Dalam Perusahaan/Inbreng Dalam hal ini pihak yang memasukan tanah kedalam perusahaan akan mendapat imbalan berupa saham dalam perusahaan bersangkutan. Selanjutnya, peralihan hak atas tanah tanah juga dapat terjadi karena peristiwa hukum; misalnya pewarisan, karena hukum pula segala harta kekayaan seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum) atau peristiwa hukum dan bukan karena perbuatan hukum. Selanjutnya, peralihan Hak atas Tanah itu berkaitan erat dengan kegiatan pendaftaran tanah yaitu termasuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah yang mewajibkan kepada pemegang haknya untuk mendaftarkan haknya kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam daftar Buku Tanah. Pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) dan Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Yang dimaksud dengan pendaftaran untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak-hak tertentu yang membebaninya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, sedangkan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
22
pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.20 Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan/ data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan fisik dan atau/ data yuridis kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat. Perubahan data yuridis yang dimaksud dapat berupa21 : a) Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya; b) Peralihan hak karena pewarisan; c) Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi; d) Pembebanan Hak Tanggungan; e) Peralihan Hak Tanggungan; f) Hapusnya hak atas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan; g) Pembagian hak bersama; h) Perubahan dan pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan Ketua Pengadilan; i) Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama; j) Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah. Sedangkan perubahan data fisik dapat berupa ; a) Pemecahan bidang tanah; b) Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah; c) Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peralihan hak atas tanah adalah termasuk dalam kegiatan pemeliharaan data dalam pendaftaran tanah. 20
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 1997, Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696, Pasal 1 angka 12. 21
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 309-310.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
23
2.1.2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu peralihan hak atas tanah dapat melalui jual beli. Sebelum penulis membahas mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual beli, maka penulis akan menjelaskan mengenai pengertian jual beli menurut KUHPerdata, jual beli menurut hukum adat dan jual beli menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.22 Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang bertimbal balik.23 Jual-beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah pihak telah terjadi kesepakatan mengenai benda tersebut dan harganya, walaupun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi. Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan dengan akta dimuka dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama stbld No.27 Tahun 1834.24
22
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 7. 23
Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.
24
K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hal. 31.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
24
Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu : a. Pertama menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tentram. b. Kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan di tempat barang itu berada. Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian. Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian; juga barang yang belum dibayar itu dapat diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barangyang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
25
perkataan lain, bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum memindahkan hak milik.25 Sedangkan pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dari sini dapat disimpulkan pembeli telah mendapat hak milik atas tanah, sejak saat, terjadi jual beli. Jadi jual beli menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar sebagian), sisa harganya itu merupakan hutang pembeli kepada penjual, jika pembeli tidak membayarnya, penjual dapat menuntut berdasarkan hutang piutang dan tidak mempengaruhi jual beli yang dianggap telah selesai itu, maka biasa dikatakan bahwa jual beli menurut hukum adat itu bersifat "tunai" (kontan) dan "nyata" (konkrit). Selanjutnya suatu jual beli dalam hukum adat dilakukan di muka Kepala Adat (Desa). Kepala Adat (Desa) ini, bertindak sebagai penjamin tidak adanya suatu pelanggaran, hukum dalam jual beli itu, jadi bukan sekedar sebagai saksi saja. Sehingga jual beli itu bisa dianggap "terang" dan masyarakat mengakui sahnya. Jadi jual beli tanah menurut hukum adat adalah perbuatan hukum dimana pihak penjual menyerahkan tanahnya kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat pembeli membayar harga tanah tersebut kepada penjual (walaupun separuh dari harga yang telah ditentukan). Jual beli menurut hukum adat dilakukan dimuka kepala adat yang bertindak sebagai saksi dan menjamin jual beli sah.26 Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang bersifat nasional. Undang25
Sodaryo Soimin, Status Tanah dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.94-95 26
Bachtiar Effendi, Kumpulan tulisan tentang hukum tanah, (Bandung: Alumni, 1982),
hal.30.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
26
Undang tersebut lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 5 UUPA disebutkan : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar hukum agama.” Berdasarkan pasal tersebut di atas dengan tegas dinyatakan bahwa hukum agraria yang baru didasarkan atas hukum adat yang disesuaikan dengan asas-asas yang ada dalam UUPA, karena dalam UUPA menganut sistem dan asas hukum adat maka perbuatan jual beli tersebut adalah merupakan jual beli yang riil yang tunai. Akan tetapi pelaksanaan dari jual beli itu sendiri sudah tidak lagi dihadapan Kepala Desa karena setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria seperti dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundangundangan.” Dibuatnya akta jual beli tanah dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria tersebut, maka jual beli itu selesai, dan selanjutnya peralihan hak atas tanah itu oleh pembeli didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Pendaftaran peralihan hak atas-tanah tersebut untuk menjamin kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUPA yang menyebutkan : a. Hak atas tanah demikian pula setiap peralihan hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. b. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat hak atas tanah serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut mengenai hapusnya.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
27
Pada dasarnya peralihan hak atas tanah melalui jual beli dapat dibedakan dalam dua masa, yaitu masa sebelum berlakunya UUPA dan masa setelah berlakunya UUPA yaitu: 1. Jual Beli Tanah Sebelum Berlakunya UUPA Sebelum
berlakunya
UUPA,
terdapat
dualisme
dan
pluralisme
maksudnya, berlaku hukum tanah barat, hukum tanah adat, hukum tanah antar golongan yakni hukum tanah yang memberikan pengaturan atau pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum antar golongan yang mengenai tanah, hukum tanah administratif yakni hukum tanah yang beraspek yuridis administratif, hukum tanah swapraja yakni hukum tanah di daerah-daerah Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan struktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah lanjutan sistem feodal) dalam hukum tanah Indonesia27. Pada saat itu telah dilangsungkan pendaftaran tanah yang berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) yang termuat dalam Stb. 1834 Nomor 27. Peralihan hak berdasarkan Ordonansi
Balik
Nama
(Overschrijvings Ordonnantie) ini dilakukan untuk tanah-tanah dengan hak barat dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan pendaftarannya dilakukan berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie). Seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut Pasal 1457 KHUPerdata apa yang disebut ”jual beli tanah” adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut ”penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut pembeli. Sedang pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Yang dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut ”tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal dan lain-lain28. Biasanya jual belinya dilakukan di hadapan notaris, yang membuat aktanya. 27
Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 12.
28
Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 28.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
28
Sebelum
berlakunya
Ordonansi
Balik
Nama
(Overschrijvings
Ordonnantie), peralihan hak dari penjual kepada pembeli terjadi sebelum peralihan hak itu didaftar pada dua orang saksi dari Dewan Schepen. Pendaftaran hanya merupakan syarat bagi berlakunya sesuatu peralihan hak yang telah terjadi terhadap pihak ketiga29. Dengan
adanya
ketentuan
Pasal
20
Ordonansi
Balik
Nama
(Overschrijvings Ordonnantie), maka jual beli tidak lagi merupakan salah satu sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum (titel, causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran dilaksanakan30. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya, dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya (Pasal 1459 KUHPerdata). Untuk itu wajib dilakukan perbuatan hukum lain, yang disebut ”penyerahan yuridis” (juridische levering), yang diatur dalam Pasal 616 dan 620 KUHPerdata. Menurut Pasal-Pasal tersebut, penyerahan yuridis itu juga dilakukan di hadapan notaris, yang membuat aktanya, yang disebut dalam bahasa Belanda ”transport acte” (akta transport). Akta transport ini wajib didaftarkan pada Pejabat yang disebut ”penyimpan hypotheek”. Dengan selesainya dilakukan pendaftaran itu hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pembeli31. Untuk tanah-tanah dengan hak adat, peralihan haknya dilakukan berdasarkan hukum adat. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak itu harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu , maka tunai mungkin berarti 29
Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah,( Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 75. 30
Ibid., hal.76.
31
Boedi Harsono, Op. Cit., hal.28
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
29
harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang32. Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu. Dengan demikian panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik penerima panjer. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer, panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut33. 2. Jual Beli Tanah Setelah berlakunya UUPA
32 33
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 211. Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 73.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
30
Setelah berlakunya UUPA, terjadilah unifikasi hukum tanah Indonesia sehingga hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah nasional dan sudah tidak dikenal lagi tanah yang tunduk kepada KUHPerdata atau tanah hak barat dan tanah yang tunduk kepada hukum adat atau tanah hak adat. Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang dulunya terdapat dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Hukum Adat adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli34. Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat. Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah di- saneer yang dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.35 Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam Pasal- Pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat36.
34
B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2004), hal 63. 35
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 71
36
Ibid., hal 76.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
31
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual beli. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual37. Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap pemindahan hak atas tanah kecuali yang melalui lelang hanya bisa didaftarkan apabila perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah tersebut didasarkan pada akta PPAT. Notaris dan PPAT sangat berperan dalam persentuhan antara perundangundangan dan dunia hukum, sosial dan ekonomi praktikal. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat keterangan tertulis yang dimaksudkan sebagai alat bukti dari perbuatan-perbuatan hukum38. Dengan berlakunya UUPA, dan atas dasar Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997) maka setiap perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, penjaminan tanah atau peminjaman uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan, harus dilakukan dengan suatu akta. Akta demikian harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk khusus untuk itu, yakni PPAT sehingga dengan demikian setelah notaris PPAT juga adalah pejabat umum39. Pada tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum untuk melakukan pembuatan akta jual beli, harus dipenuhi. Sehingga pengalihan ini menjadi sah adanya dan dan dapat didaftarkan balik namanya. Dengan adanya 37
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 77.
38
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2006), hal. 256. 39
Ibid., hal. 48
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
32
akta PPAT inilah nanti akan kembali diberikan status baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak yang menerima pengalihan haknya40. Pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT tersebut dilakukan bagi keabsahan dari perjanjian-perjanjian berkenaan dengan hak atas tanah, maka disyaratkan akta yang dibuat dengan oleh PPAT tetapi apabila tidak dilakukan di hadapan PPAT bukan berarti mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut karena pembuatan akta tersebut semata-mata merupakan syarat administratif. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah suatu syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah41. Adapun syarat-syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil42 yaitu : a.Syarat Materiil. Syarat materiil sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya. 2. Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.43 40
Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 121. 41
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 79.
42
Ibid., hal. 77-79
43
Effendi Perangin-angin, Praktik Jual Beli Tanah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada),
hal 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
33
3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam keadaan sengketa. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.44 b. Syarat Formil Setelah semua persyaratan materiil tersebut terpenuhi, maka dilakukan jual beli dihadapan PPAT. Dalam pelaksanaan jual beli yang dibuat oleh PPAT hal-hal yang harus diperhatikan adalah: 1. Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan jual beli atau kuasa yang sah dari penjual dan pembeli serta disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi-saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi. 2. Akta dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan dan lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya . 3. Setelah akta tersebut dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan.
44
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
34
2.2. TINJAUAN UMUM MENGENAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 2.2.1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut sebagai Pejabat. Namun jika melihat cakupan kewangan dari pejabat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan45. Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semula telah ditentukan dalam PP Nomor 10 Tahun 1961. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikenal dengan istilah “Pejabat” dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 19. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No. 10 Tahun 1961) yang mengatur mengenai pejabat, yaitu: 1. Pasal 19: “Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini desebut sebagai Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri. 45
Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan “Undang-Undang Pertanahan Nasional Sebagai Sarana Untuk Menyelesaikan Permasalahan Pertanahan di Indonesia”, yang dilaksanakan oleh PP Ikatan Pejabat PPAT bekerja sama dengan Program Magister kenotariatan Fakulas Hukum Universitas Jayabaya dan Majalah Infoland, bertempat di Krakatau Room, Hotel Mercure Ancol, Jakarta, 14 Juli, 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
35
2. Pasal
38:
“Pejabat
yang
dimaksud
dalam
Pasal
19
wajib
menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya. Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 (TLN 2344). Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan menteri tersebut disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah: a) Notaris; b) Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah; c) Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang Pejabat; d) Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria. Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Sususn, memuat ketentuan tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan pemindahan hak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilakukan dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya yang bersangkutan. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan “Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peralihan hak dalam pewarisan cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris atau surat wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
36
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu: “Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai Pejabat Umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah. 5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga menyebut PPAT sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 24: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.” 6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikn kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
37
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu; “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam UU tersebut tidak dijelaskan, Istilah pejabat umum diterjemahkan dalam istilah “Openbare Ambtenaren” yang terdapat dalam pasal 1 Peraturan jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op het Notaris-Ambt in Indonesie) S.1860-3 sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara tahun 1945 Nomor 101 dan Pasal 1868 BW. Menurut E. Uttrecht, jabatan (Ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “lingkungan pekerjaan tetap” ialah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat/seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada seorang penjabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun penjabatnya berganti-ganti46. Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP N0.24 Tahun 1997, yang berinduk UUPA, bahwa: “Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 46
E. Uttrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Djakarta: Balai Buku Ikhtiar, 1963), hal. 159
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
38
Pada konsideran menimbang huruf “b” PP No.37 tahun 1998 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran. Dengan demikian, maka pembetukan PP No.37 Tahun 1998 tersebut adalah memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT unutk membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu: “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatanperbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.” Selanjutnya, menurut Effendi Perangin, PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan47. Sedangkan menurut Prof. Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum dibidang tertentu.48 PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Seperti ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yaitu : “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.”
47
48
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 3. Boedi Harsono, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangan”, hal.11.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
39
Kata “dibantu” dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 disini tidak berarti bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota yang dapat diperintah olehnya, akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Di samping PPAT umum sebagaimana disebutkan di atas, ada pula PPAT Sementara dan PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta PPAT tertentu, khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik bidang tanah tersebut maupun hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis ini, diperlukan Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta tanah. Dengan demikian, peran PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan maksud memudahkan pendataan, pendaftaran, memberikan hak baru, dan/atau membebankan hak atas tanah.
2.2.2. Syarat-Syarat Untuk Diangkat Menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah
Syarat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 ; untuk dapat diangkat menjadi PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Berkewarganegaraan Indonesia; 2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun;
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
40
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat; 4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 5. Sehat jasmani dan rohani; 6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi; 7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.49
2.2.3. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Tugas pokok dan kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa: 1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan tertentu; e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan. 50
49 50
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 2 ayat 1.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
41
Jadi, menurut pernyataan yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas, tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tentang perubahan data pendaftaran tanah yang meliputi: jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan tertentu, pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian Kuasa memberikan Hak Tanggungan. PPAT adalah pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. PPAT dapat melaksanakan tugas pembuatan akta tanah baik di dalam maupun di luar kantornya. Hal ini diatur dalam Pasal 52 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa: 1. PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan. 2. PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.51 Agar para PPAT mempunyai wawasan yang luas berkaitan dengan jabatannya sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik, maka perlu ada pembinaan dan pengawasan terhadap mereka. Hal itu telah diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, yakni sebagai berikut: Pasal 65 menyebutkan bahwa: 1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan.
51
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 52.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
42
2. Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.52 Pasal 66 menyebutkan bahwa: 1. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut: a) memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT; b) memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an; c) melakukan, pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya; d) menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan
pelayanan
PPAT
tetap
berjalan
sebagaimana
mestinya; e) melakukan pemninaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT. 2. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai berikut: a) menyampaikan
dan
menjelaskan
kebijakan
dan
peraturan
pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis; c) secara periodik melakukan pengawasan Kantor PPAT guna memastikan
kertiban
administrasi,
pelaksanaan
tugas
dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPAT-an. 3. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut: 52
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor :1 th 2006.Pasal 65.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
43
a) membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pensertipikatan tanah serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan; b) memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya; c) melakukan
pemeriksaan
mengenai
pelaksanaan
kewajiban
operasional PPAT.53 Kewenangan PPAT terdapat dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa: “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan diatas mengenai hak atas tanah dan hak atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.” Konsekuensi dari pasal tersebut, bahwa tidak dibenarkan pejabat lain membuat akta selain daripada yang disebutkan oleh ketentuan-ketentuan diatas kecuali mengenai pemindahan hak melalui lelang. Dalam UUHT, PPAT secara tegas disebutkan sebagai Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta : 1. Pemindahan Hak atas tanah; 2. Pembebanan Hak atas tanah; 3. Pemberian Kuasa membebankan hak Tanggungan.
2.2.4. Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta tanah Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dapat penulis jelaskan bahwa wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk wilayah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai Pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukkannya. Apabila sebelum berlakunya Peraturan 53
Ibid., Pasal 66
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
44
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 ini, seseorang PPAT mempunyai wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja kantor pertanahan), maka PPAT tersebut harus memilih salah satu dari wilayah kerja tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja PPAT tersebut sesuai denah tempat kantor PPAT tersebut berada. Di dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Selain itu juga diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut : 1. Pasal 6 ayat (1) : apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi dua atau lebih wilayah Kabupaten atau Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota sebagai daerah kerja dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak adanya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan. 2. Pasal 6 ayat (2): Pemilihan Daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlakunya dengan sendirinya mulai 1(satu) tahun sejak di undangundangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat I yang baru.
2.2.5. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah
Berkaitan dengan kewajiban PPAT, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, PPAT mempunyai kewajiban54 : 1. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 54
Ibid., pasal 45
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
45
2. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT; menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; 3. menyerahkan protokol PPAT dalam hal : a. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan; b. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan; c. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan. 4. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah; 5. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat; 6. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT; 7. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1(satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan; 8. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan; 9. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan; 10. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
46
Berdasarkan Pasal 26 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu buku daftar untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-kantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaikbaiknya. Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan setempat.
2.2.6. Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor : 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai berikut55 : 1. PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena : a. Meninggal Dunia ; atau b. Telah mencapai usia 65 tahun ; atau c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten atau Kotamadya daerah tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT atau d. Diberhentikan oleh Menteri. 2. PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
55
Ibid., Pasal 8
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
47
Pemberhentian PPAT tersebut dari jabatannya dapat dilakukan baik secara hormat ataupun tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 antara lain sebagai berikut : PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : a. Permintaan sendiri ; b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk ; c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT ; d. Diangkat sebagai pegawai Negeri sipil atau ABRI. 3. PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena : a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. b. Dijatuhi hukuman kurungan/Penjara karena melakukan kejahatan/ perbuatan pidana yang diancan dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dan ayat 2 dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri. 5. PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. Ketentuan Pasal 11 mengatur sebagai berikut : 1. PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancan dengan hukuman kurungan/penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
48
2. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku sampai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.56
2.2.7. Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah
Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik profesi juga penting sebagai sarana control social. Kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum. Agar kode etik profesi dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka paling tidak ada dua syarat yang mesti dipenuhi, yaitu: 1. Pertama, kode etik itu harus dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau diterima begitu saja dari atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. 2. Kedua, agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus.57 Organisasi profesi mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan perilaku anggotanya untuk mematuhi nilai-nilai etis oleh karena itu Iakatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) telah menetapkan Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai kewajiban, larangan, pengecualian, dan sanksi bagi PPAT yang berbunyi sebagai berikut: A. Kewajiban PPAT Baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta PPAT Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk :
56
Boedi, Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan peraturan-peraturan HukumTanah), (Jakarta : PT. djambatan, 2002), Hal, 678. 57
Bertens, K, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 113.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
49
1. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT. 2. Senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. 3. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara. 4. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum. 5. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak. 6. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya. 7. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat
yang
memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. 8. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma. 9. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat. 10. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps PPAT atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif. 11. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya. 12. Menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satusatunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan sehari-hari. 13. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksnakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam :
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
50
a. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Jabatan PPAT. b. Isi Sumpah Jabatan. c. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan
lain
yang
telah
ditetapkan
oleh
perkumpulan IPPAT, misalnya : - membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia. -Mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota Perkumpulan.
B. Larangan Setiap PPAT, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang : 1. Membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan. 2. Secara langsung mengikut-sertakan atau menggunakan perantaraperantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu. 3. Mempergunakan mass media yang bersifat promosi. 4. Melakukan
tindakan-tindakan
yang
pada
hakekatnya
mengiklankan diri antara lain tetapi tidak terbatas pada tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau propaganda, yaitu : a. memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telpon, maupun
berupa
ucapan-ucapan
selamat,
dukungan,
sumbangan uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk
apapun,
pemuatan
dalam
buku-buku
yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
51
disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi – pemasaran. b. mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada
siapapun
yang
dengan
itu
nama
anggota
terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas. c. mengirim orang-orang selaku “salesman” ke berbagai tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta. 5. Memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batasbatas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat diluar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan. 6. Baik langsung maupun tidak langsung, mengadakan usaha-usaha yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, termasuk namun tidak terbatas pada penetapan jumlah biaya pembuatan akta. 7. Melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usaha-usaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata. 8. Mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi-instansi,
perusahaan-perusahaan,
lembaga-lembaga
ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, baik tanpa apalagi disertai pemberian insentif tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada penurunan tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan tersebut kepada PPAT tersebut. 9. Menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain. Dalam hal demikian, anggota yang bersangkutan wajib menolak permintaan itu, kecuali untuk keperluan tersebut telah mendapat ijin dari PPAT pembuat rancangan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
52
10. Dengan jalan apapun berusaha atau berupaya agar seseorang berpindah dari PPAT lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain. 11. Menempatkan pegawai atau pegawai-pegawai/asisten PPAT di satu atau beberapa tempat diluar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor cabang yang sengaja khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor instansi atau lembaga/klien PPAT yang bersangkutan, dimana pegawai/asisten tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian pegawai/asisten tersebut membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan menyuruh klien yang bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut. Selanjutnya, akta-akta tersebut dikumpulkan untuk ditandatangani PPAT yang bersangkutan di kantor atau di rumahnya. 12. Mengirim
minuta
kepada
klien
atau
klien-klien
untuk
ditandatangani oleh klien atau klien-klien tersebut. 13. Menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT atau akta yang dibuat olehnya.Dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka PPAT tersebut wajib : a. memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan atau rekan sejawat tersebut. b. Segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang membuat
akta
tersebut,
maka
kepada
klien
yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
53
bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai halhal yang salah dan cara memperbaikinya. 14. Menahan berkas seseorang dengan maksud untuk “memaksa” orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut. 15. Menjadi
alat
orang atau pihak lain untuk semata-mata
menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh/di hadapan PPAT yang bersangkutan. 16. Membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam bentuk apapun untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah dari PPAT lain. 17. Membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (jadi tidak merupakan salah satu seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi PPAT lain untuk berpartisipasi. 18. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap : a. Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT. b. Isi sumpah jabatan. c. Hal-hal
yang
menurut
ketentuan
Anggaran
Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak boleh dilakukan oleh anggota. C. Pengecualian Selain kewajiban dan larangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4, maka hal-hal tersebut dibawah ini merupakan pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran : 1. Pengiriman kartu pribadi dari anggota yang berisi ucapan selamat pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran anak,
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
54
keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain sebagainya yang bersifat pribadi. 2. Pemuatan nama anggota oleh Perum Telekom atau Badan yang ditugasinya dalam lembaran kuning dari buku telepon yang disusun menurut kelompok-kelompok jenis usaha, tanpa pemuatan nama anggota dalam box-box iklan lembaran kuning buku telepon itu. 3. Pemuatan nama anggota dalam buku petunjuk facsimile dan/atau telex. 4. Menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat dalam akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota lain, asal saja (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan telah menjadi milik klien. 5. Bilamana
dianggap
perlu
memperbincangkan
pelaksanaan
tugasnya dengan rekan sejawat.
D. Sanksi Pasal 6 ayat (1) Kode Etik IPPAT menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa: teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara dari IPPAT), Onzetting (pemecatan dari keanggotaan IPPAT), pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. Pasal 6 ayat (2) menjelaskan penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitias dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Sedangkan Perihal sanksi hukum terhadap PPAT lebih tegas digambarkan dalam Pasal 28 Ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, bahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Kemudian Pasal 28 Ayat (2)menyebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
55
jabatannya karena: (a) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; (b) dijatuhi hukuman kurungan penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan (c) melanggar Kode Etik Profesi.
2.2.8. Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelayanan Masyarakat
PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dan diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Realisasinya, PPAT berwenang membuat akta perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Terbitnya akta otentik sampai pada diterbitkannya Sertifikat Hak Atas Tanah merupakan upaya mewujudkan kepastian dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Karena, lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. Dalam hal ini, alat bukti yang dimaksud adalah Sertifikat Hak Atas Tanah. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Jelaslah bahwa peran PPAT dalam pelayanan pada masyarakat adalah memperlancar jalannya proses pensertipikatan hingga dapat diterbitkannya akta otentik yang berupa Sertifikat Hak Atas Tanah. Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonanpermohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
56
2.3. KEABSAHAN DAN OTENTITAS AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan. Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut. Akta PPAT adalah akta otentik, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai akta otentik, terhadap akta PPAT berlaku ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara pembuatan akta otentik. Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.58 Berkaitan dengan Pejabat Umum dan otentisitas suatu akta, harus bersumber pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: ”akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang58
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Kenotariatan,(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 59
Perdata
di
Bidang
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
57
undang, dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang di tempat dimana akta itu dibuatnya”. Menurut pasal tersebut agar suatu akta memiliki otentisitas, maka harus memenuhi syarat-syarat: 1. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum; 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 3. Pejabat Umum atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu di tempat di mana akta itu ditanda tangani. Akta PPAT sebagaimana halnya dengan akta Notaris, sama-sama sebagai akta otentik. Akta otentik sendiri sebagaimana dikemukakan oleh C.A. Kraan di dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:59 1. Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan dalam tulisan, dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang.Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. 2. Tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. 3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi: ketentuan tersebut mengatur
tata
cara
pembuatannya
(sekurang-kurangnya
memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data di mana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut. 4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan
yang mandiri
(onafhankelijk-independence)
serta
tidak
memihak (onpartijdig-impartial) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata.
59
C.A. Kraan di dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984), dalam Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 214.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
58
5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Sebagai akta otentik, akta PPAT sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat terdegradasi kekuatan pembuktian menjadi seperti akta di bawah tangan. Degradasi kekuatan bukti akta otentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yaitu :60 1. Pasal 1869 KUH.perdata, yang berbunyi: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.” Pasal ini memuat ketentuan, bahwa suatu akta tidak memiliki kekuatan bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan dalam hal: a. Pejabat Umum tidak berwenang untuk membuat akta itu; b. Pejabat umum tidak mampu (tidak cakap) untuk membuat akta itu; c. Cacat dalam bentuknya. 2. Pasal 1320 KUHPerdata, Yang mengemukakan untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi syarat yaitu: a. sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. kecakapan membuat suatu perjanijan; c. suatu hal tertentu dan d. kausa yang halal. Syarat a dan b merupakan syarat subyektif karena mengenai orang- orang atas subyek yang mengadakan perijanjian dan jika syarat subyektif dilanggar mak aktanya dapat dibatalkan, sedangan syarat c dan d merupakan syarat obyektif karena mengenai isi
60
Pieter Latumeten, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia Kebatatan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, (Surabaya, 28 Januari 2009), hal. 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
59
perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka aktanya batal demi hukum. Sesuai dengan fungsi pembuktian dalam perkara perdata, maka akta-akta yang dibuat dihadapan PPAT termasuk dalam lingkup bukti tulisan yang dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPerdata tersebut. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, bukti tulisan dapat dibedakan kedalam 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Bukti tulisan lainnya; 2. Bukti tulisan otentik; 3. Bukti tulisan di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUHPerdata, yang dimaksud dengan bukti tulisan lain adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lainlainnya, yang dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan dan tidak harus ada tanda tangannya. Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik mengharuskan adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka pengadilan serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan perikatan. Bukti tulisan di bawah tangan (akta di bawah tangan) dan bukti tulisan otentik (akta otentik) berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak mengharuskan adanya tanda tangan. Agar suatu akta PPAT mempunyai nilai yuridis yang mempunyai kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka suatu akta PPAT harus memenuhi 3 (tiga) syarat: 1. Syarat subjek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah pihak yang berwenang atau yang berhak. 2. Syarat Objek yaitu tanah yang dijadikan sebagai objek peralihan hak atas tanah sah menurut hukum (tidak dalam persengketaan, tidak dalam dalam jaminan hutang dan lain-lain). 3. Syarat yuridis formal yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan tersebut adalah pejabat yang berwenang, dihadiri dua orang saksi yang sudah dewasa disetujui oleh ahli waris (dalam hal hibah) dan akta PPAT merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
60
Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan, karenanya apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat dalam bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara pembuatannya maka akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut.
2.4 PROSEDUR/TATA CARA PEMBUATAN AKTA JUAL BELI 2.4.1. Pengertian Akta Jual Beli
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam pembuatan akta jual beli hak atas tanah, maka “suatu kebendaan” yang dimaksud adalah hak atas tanah. Akta Jual Beli hak atas tanah, termasuk hak milik atas satuan rumah susun dibuat oleh PPAT manakala terjadi kesepakatan perjanjian jual beli terhadap sebidang tanah atau hak milik atas satuan rumah susun antara Pihak Penjual dan Pihak Pembeli. Unsur esensial yang ada dalam perjanjian jual beli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun adalah adanya pertukaran antara uang dengan barang yang dalam hal ini adalah hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.61 Akta Jual Beli termasuk dalam jenis Partij Acte (Partai Akta), bukan Ambtelijk Acte (Akta Pejabat), artinya bahwa akta tersebut dibuat oleh para pihak di hadapan PPAT, bukan PPAT yang membuat akta berdasarkan kewenangan yang ada padanya, oleh karena itu PPAT hanya menuangkan apa yang dijelaskan dan diakui oleh para pihak ke dalam akta. Kebenaran atas apa yang disampaikan oleh para pihak adalah tanggung jawab para pihak, bukan tanggung jawab PPAT, namun PPAT harus melakukan penghati-hatian dalam pembuatan akta, termasuk dalam menerima keterangan-keterangan para pihak. 61
Mustofa, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, (Yogyakarta: Karya Media, 2010),
hal. 47
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
61
PPAT tidak boleh menerima mentah-mentah apa yang dinyatakan oleh penjual dan pembeli, PPAT harus tetap melakukan penelitian akan kebenaran apa yang disampaikan
2.4.2. Obyek Akta Jual Beli
Obyek Akta Jual Beli adalah hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dimaksud dapat berupa sebidang tanah kosong namun dapat juga berikut dengan bangunan yang berdiri di atasnya. Jenis hak atas tanah yang dapat dibuatkan Akta Jual Beli oleh PPAT adalah sebagai berikut:62 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Bangunan; 3. Hak Pakai; 4. Hak Guna Usaha. Jual Beli mengenai Hak Pakai harus mengikuti ketentuan Pasal 43 UUPA yang pada intinya: 1. Hak Pakai atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara hanya dapat dialihkan (dijual) dengan mendapat ijin dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan setempat. Ijin yang dimaksud harus didapatkan terlebih dahulu sebelum Akta Jual Beli ditandatangani maka PPAT dilarang membuatkan aktanya sebelum ijin didapatkan. 2. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan jika hal itu diperjanjikan pemberian hak pakai.
2.4.3. Tata Cara Pembuatan Akta Jual Beli Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata 62
Ibid., hal. 48-49
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
62
cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan 23 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut. Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada, serta telah nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah mengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-saksi dan PPAT. Selain itu, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu subyek dan obyek. Untuk subyek, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan jual beli tanah yaitu: 1. Yang harus jelas dalam melakukan jual beli tanah adalah calon penjual harus berhak menjual tanah tersebut, atau dengan kata lain si penjual adalah pemegang hak yang sah dari hak atas tanah itu ; kalau pemegang hak hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu, tetapi jika pemegang hak atas tanah tersebut terdiri dari dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah itu adalah semua pemegang hak itu secara bersama-sama, tidak boleh hanya seorang saja yang bertindak sebagai penjual. Jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
63
berhak adalah batal demi hukum, artinya sejak semula menurut hukum tidak pernah terjadi jual beli. Dalam hal demikian maka kepentingan pembeli sangat dirugikan. 2. Apakah penjual berwenang untuk menjual, mungkin terjadi bahwa seseorang berhak atas suatu hak atas tanah akan tetapi orang itu tidak berwenang menjualnya kalau tidak dipenuhi syarat tertentu, misalnya tanah tersebut milik anak di bawah umur atau milik seseorang yang berada di bawah pengampuan. Jika suatu jual beli tanah dilakukan, tetapi ternyata yang menjual tidak berwenang menjual atau si pembeli tidak berwenang membeli, walaupun si penjual adalah berhak atas tanah itu atau si pembeli berhak membeli, maka akibatnya jual beli itu dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, lagipula Kantor Pendaftaran Tanah akan menolak pendaftaran jual beli itu.63 3. Apakah penjual boleh menjual tanah yang akan dijadikan obyek jual beli. Seseorang mungkin berhak menjual sebidang tanah; juga orang tersebut berwenang melakukan penjualan, tetapi dia tidak atau belum boleh menjual tanah itu. Misalnya seseorang mempunyai tanah bekas Hak Barat atau tanah bekas Hak Indonesia yang pernah didaftar atau milik menurut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi belum terdaftar pada Kantor Pertanahan atau sertifikatnya hilang, maka orang tersebut belum boleh menjual tanah itu, ia harus mengurus dan memperoleh sertifikatnya terlebih dahulu setelah itu baru boleh dijual. 4. Apakah penjual atau pembeli bertindak untuk dirinya sendiri atau sebagai kuasa. Penjual / Pembeli mungkin bertindak untuk dirinya sendiri atau selaku kuasa. Baik penjual/pembeli bertindak sendiri maupun melalui kuasa, identitasnya harus jelas. Kalau penjual/pembeli adalah orang (manusia), maka identitas itu adalah nama, umur (tanggal lahir), kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal. Semua itu dapat dibaca dalam Kartu Tanda Penduduk atau Passport. Bila penjual/pembeli adalah badan hukum, maka identitasnya adalah nama, bentuk badan hukumnya, kedudukan badan hukum, pengurus pengurusnya. Semua itu dapat 63
Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hal. 4.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
64
diketahui dari akta pendirian/anggaran dasar/peraturan perundangan pembentukannya. Dalam hal penjual/pembeli bertindak melalui kuasa, maka surat kuasa khusus untuk menjual harus ada (akta otentik atau yang dilegalisir). Kuasa hukum yang menurut lazimnya hanya untuk melakukan pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas untuk menjual tanah yang akan dijual itu. 5. Apakah pembeli boleh membeli. Misalnya suatu perseroan terbatas (PT) tidak boleh menjadi subyek hak milik atas tanah. Berarti perseroan terbatas (PT) itu tidak boleh membeli tanah yang berstatus Hak Milik, kecuali yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah nomor : 38 tahun 1963. Sedangkan hal yang lain harus diperhatikan dalam jual beli tanah adalah objek dari jual beli itu. Jual beli terkadang tidak hanya meliputi tanah hak sebagaimana disebutkan di atas melainkan dapat pula meliputi bangunan permanen yang didirikan diatasnya, atau tanaman keras (yang berumur panjang), apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Bahwa bangunan tersebut menurut sifatnya menjadi satu kesatuan dengan tanahnya. 2. Bahwa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan adalah juga pemilik bangunan tersebut. 3. Dalam akta jual belinya disebutkan secara tegas bahwa obyek jual belinya meliputi tanah hak dan bangunan. Ketiga syarat di atas merupakan penerapan asas pemisahan horizontal dalam praktek di kalangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang membuat akta jual beli. Syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan, meliputi: 1. Surat bukti kepemilikan obyek jual beli berupa sertifikat hak atas tanah atau surat-surat lain, untuk hak milik yaitu bekas Hak Milik Adat yang belum bersertipikat berupa girik, pipil, petuk. Dan jika dipandang perlu dapat pula dilengkapi dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan (Kabupaten/Kota) setempat.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
65
2. Surat-surat tentang orangnya, yaitu data diri tiap pihak penjual dan pembeli yang bisa berupa: a. KTP/Surat Ijin Mengemudi/Passport b. Kartu Keluarga c. Surat Nikah d. Akta Kelahiran 3. Surat tanda bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menurut UU No. 21 Tahun 1997. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) wajib dibayar sebelum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membuat akta jual beli dan bangunan, sebesar 5% setelah harga tanah dan bangunan dikurangi yang bebas dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Berdasarkan perubahan UndangUndang tersebut ditetapkan yang bebas maksimal Rp. 80.000.000,(delapan puluh juta rupiah) dan ditetapkan secara regional ; berikut pembayaran pajak penghasilan (PPh). Sebelum datang ke PPAT, pihak penjual dan pembeli harus melakukan persiapan-persiapan yang dilakukan dalam jual beli tanah, yaitu berupa : 1. Melakukan penelitian terhadap surat-surat yang menyangkut tanah yang akan menjadi obyek jual beli. 2. Melakukan kesepakatan tentang tanah dan harga. 3. Pelaksanaan pemindahan hak atas tanah dengan akta jual beli dilakukan dihadapan PPAT. 4. Melakukan pendaftaran hak untuk memperoleh sertifikat dari pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan
penandatanganan
akta
jual
belinya
oleh
para
pihak
yang
berkepentingan. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah:
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
66
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. 2. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan. 3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat. 4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan: a) Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform; d) Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. 5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
67
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. 7. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. 9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila: 1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan. 2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
68
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Atas penolakan itu PPAT harus menyampaikan secara tertulis kepada para pihak dengan disertai alasan-alasannya. Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu: 1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak. 2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara) 3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani. 4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 5. Objek jual beli harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan. Berikut adalah proses pembuatan akta jual beli di Kantor PPAT hingga pendaftaran:
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
69
1. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli. a. Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan. b. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5% dari HargaTransaksi, di bayarkan di Bank atau Kantor Pos. c. Pembeli harus membayar Pajak berupa BPHTB dihitung dari nilai transaksi. d. Calon pembeli membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum penguasaan tanah. e. Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa. f. PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank. 2. Pembuatan Akta Jual Beli a. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan. b. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi biasanya dari perangkat desa jika melalui PPAT Sementara (camat/lurah) dan kedua pegawai Notaris jika melalui NOTARIS/ PPAT. c. Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, termasuk juga sudah lunas transaksinya. d. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat Akte Tanah. e. Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak (balik nama/pemecahan).
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
70
f. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya. 3. Langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli a. Sebelum Akta Jual beli didaftarkan atau diserahkan ke kantor Pertanahan setempat maka harus dilakukan validasi SSB dikantor PBB. b. PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat atau pemecahan sertifikat. c. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut. 4. Berkas yang diserahkan ke Kantor Pertanahan a. Sertifikat Asli, dan PPAT yang bersangkutan telah mendaftarkan proses pengecekan. b. Surat Permohonan dari PPAT yang bersangkutan. c. Surat pernyataan keterlambatan dari PPAT, apabila pendaftaran melewati dari 7 (tujuh) hari. d. Akta Jual Beli (AJB) yang dikeluarkan oleh PPAT yang bersangkutan (lembar kedua). e. Surat Pernyataan dari Penjual apabila belum Menikah. f. Persetujuan Suami/Istri Penjual. g. Fotocopy identitas : -Jika Perorangan : untuk Penjual yaitu KTP/Paspor dan Kartu Keluarga, apabila penjual sudah menikah KTP suami/istri dan surat Nikah. untuk Pembeli yaitu KTP/Paspor. -Jika Badan Hukum : Akta Pendirian Badan Hukum sesuai dengan UU No.40 tahun 2007 Pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia RI KTP/Paspor Penanggung jawab ( Direktur)
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
71
Akta Kuasa bila dikuasakan. h. Fotocopy ijin peralihan jika itu diharuskan. i. Fotocopy tanda pelunasan PBB tahun berjalan j. Fotocopy SSP apabila diperlukan k. Asli SSB Lembar ke-3 yang sudah divalidasi l. Surat Kuasa Pengurusan dari Pemohon kepada PPAT Dengan ketentuan semua fotocopy harus dilegalisir oleh Notaris 5. Prosesnya di Kantor Pertanahan a. Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan kepada Pembeli. b. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk. c. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala d. KantorPertanahan atau pejabat yang ditunjuk. e. Setelah selesai maka sertifikat hak yang dialihkan diserahkan kepada pemegang hak baru atau kuasanya.
2.5. ANALISIS KASUS AKTA JUAL BELI TANGGAL 14 MARET 2012 NOMOR 07/2012 2.5.1. Posisi Kasus
Pada awal bulan Desember, telah terjadi kesepakatan antara Tuan FA selaku pembeli dan Tuan CB selaku penjual mengenai pembelian sebidang tanah yang berstatus Sertipikat Hak Milik atas nama Tuan CB di daerah Lebak Bulus seluas 200 m2 (dua ratus meter persegi) dengan menunjuk Notaris AM sebagai Notaris/PPAT.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
72
Pada tanggal 21 Januari 2012, Tuan FA menghadap Notaris/PPAT Tuan AM tetapi ternyata yang hadir adalah Notaris/PPAT TH yang berperan sebagai penerima protokol dari Tuan AM yang ternyata pada saat itu sudah pensiun sebagai PPAT dan hal ini tidak diberitahukan kepada Tuan FA sebelumnya. Pada saat pertemuan dengan Tuan TH untuk pembuatan Akta Jual Beli tersebut, Tuan TH tidak ada menjelaskan sama sekali mengenai isi dari Akta Jual Beli tersebut dan beliau terlihat seperti tergesa-gesa dengan beberapa kali menanyakan apakah Tuan FA sudah siap untuk menandatangani Akta Jual Beli tersebut. Pada saat Tuan FA membaca isi dari Akta Jual Beli tersebut, beliau mulai menyadari adanya beberapa hal yang tidak lazim dalam Akta Jual Beli dan halhal tersebut antara lain adalah: 1. Pada saat negosiasi yang dilakukan oleh Tuan FA dan Tuan CB, status hak atas tanah adalah Sertipikat Hak Milik dan ternyata yang tertera dalam Akta Jual Beli adalah Hak Guna Bangunan. Ketika Tuan FA menanyakan mengenai hal ini, Tuan TH dan Tuan CB hanya menjelaskan bahwa hal ini dapat diurus dengan mudah dan Tuan CB berjanji akan mengurus peningkatan status HGB menjadi SHM serta menanggung biaya peningkatan status tersebut. Selanjutnya, Tuan TH hanya menjelaskan secara singkat isi Akta Jual beli sebelum penandatanganan. 2. Tanah yang dibeli ternyata merupakan tanah yang dijual sebagian dan pemecahan sertipikat belum dilakukan. Luas tanah yang tercantum dalam sertipikat induk adalah sebesar kurang lebih 508 m2 (lima ratus delapan meter persegi) sedangkan tanah yang akan dibeli adalah 200 m2 (dua ratus meter persegi). Berkenaan dengan ini, baik Tuan CB maupun Tuan TH tidak memberi informasi lebih lanjut kepada Tuan FA. 3. Di dalam Akta Jual Beli tersebut masih terdapat kata-kata kurang lebih (……. yaitu seluas kurang lebih…….m2) yang seharusnya tidak boleh digunakan karena dalam jual beli tanah yang sebagian, seharusnya ada pengukuran sehingga luas tanah yang akan dijual tepat dan akurat ukurannya dan tidak menggunakan kurang lebih.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
73
4. Penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di kantor Tuan TH dan dilakukan di kantor Notaris AM dengan alasan bahwa Tuan TH adalah penerima protokol dari Tuan AM. 5. Pada saat penandatanganan Akta Jual Beli, Akta tersebut belum diberi nomor dan tanggal dan ketika ditanyakan kenapa belum diberi nomor dan tanggal, Tuan TH menjelaskan bahwa pajak-pajak yang harusnya menjadi kewajiban para pihak belum dibayarkan karena SPPT tanah tersebut belum keluar untuk tahun 2012. 6. Nilai transaksi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan nilai transaksi yang ada dalam Akta Jual Beli. Selanjutnya, Tuan FA bertanya kembali kenapa prosedur pembuatan akta jual beli terlihat berbeda dengan yang pembuatan akta jual beli yang lain dan Tuan TH hanya menjelaskan bahwa setiap kasus dari jual beli tanah berbedabeda dan apa yang ada dalam teori pembuatan Akte Jual Beli sangat berbeda dalam prakteknya dan bahwa semua yang dilakukannya dalam proses ini sudah sering terjadi. Tuan TH juga menerangkan bahwa Akta Jual Beli yang ditandatangani oleh Tuan FA dan Tuan Cahyo Baroto adalah akta yang otentik dan jual beli yang dilakukan saat itu sudah sah. Sampai saat inipun, Akta Jual Beli yang dibuat pada tanggal 21 Januari 2012 dan diberikan tanggal 14 Maret 2012 nomor 07/2012, masih belum didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Nasional.
2.5.2. Analisis Kasus
Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, seringkali PPAT dalam membuat akta peralihan hak atas tanah terjadi kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan akta jual beli yang dibuatnya dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum oleh putusan Pengadilan. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dalam membuat akta jual beli akan berdampak secara langsung kerugian yang akan diderita kliennya. Secara lebih terperinci produk akta PPAT yang menimbulkan masalah atau terjadi penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta karena menyangkut
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
74
syarat materiil (baik subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan persyaratan)64 atau hal-hal lain dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penyimpangan terhadap syarat materiil Penyimpangan terhadap syarat materiil dapat terjadi dikarenakan: a. Salah satu penghadap dalam akta jual beli adalah anak di bawah umur atau belum genap berusia 21 tahun. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ditegaskan bahwa seseorang yang cakap melakukan tindakan menurut hukum (bekwaam) adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau telah pernah melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 330 KUHPerdata dan Stbl. 1931 No. 54. b. Penghadap bertindak berdasarkan kuasa, namun pemberi kuasa yang disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal dunia. Berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa salah satu sebab berakhirnya suatu kuasa adalah karena meninggalnya si pemberi kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, yaitu: Pemberian kuasa berakhir: -Dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; -Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; -Dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. c. Penghadap bertindak berdasarkan kuasa subsitusi, akan tetapi dicantumkan dalam akta pemberian kuasa mengenai hak subsitusi. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa sifat pemberi kuasa adalah persetujuan, maka penerima kuasa tidak dibenarkan bertindak melampaui persetujuan dalam kuasa yang diterimanya, sebagaimana diatur Pasal 1719 KUHPerdata, yaitu: “penerima titipan tidak boleh mengembalikan barang titipan itu 64
Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 77
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
75
selain kepada orang yang menitipkan sendiri barang itu atau kepada orang yang atas namanya menitipkan barang itu atau kepada wakil yang ditunjuknya untuk menerima kembali barang termaksud”. d. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai dengan adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berhak memberi persetujuan terhadap perbuatan hukum dalam suatu akta, yaitu: 1) Persetujuan isteri 2) Dalam
melakukan
perbuatan
mengalihkan
atau
menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa persetujuan suami, demikian juga sebaliknya apabila suami melakukan
perbuatan
untuk
mengalihkan
atau
menjaminkan hak atas tanah kepunyaan bersama tanpa persetujuan istri. Berdasarkan ketentuan undang-undang dinyatakan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan tanpa ada perjanjian kawin, maka terjadilah harta bersama, dengan demikian antara suami dengan istri dalam melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah harus dengan persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 119 KUHPerdata, yang berbunyi: “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuanketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.” 3) Terhadap pengurus perseroan melakukan perbuatan untuk mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah yang merupakan harta kekayaan perseroan tanpa adanya persetujuan dari pesero yang ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan. Demikian juga terhadap salah seorang atau beberapa orang pengurus yayasan atau koperasi dalam
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
76
melakukan
perbuatan
hukum
mengalihkan
atau
menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pengurus yayasan dan koperasi yang ditetapkan dalam anggaran dasar. 2. Penyimpangan terhadap syarat formil Penyimpangan terhadap syarat formil dapat terjadi dikarenakan antara lain: a. PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara terperinci, namun hanya menerangkan para pihak tentang perbuatan hukum dalam akta tersebut. b. Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak. c. Penandatanganan akta jual beli tidak dihadapan PPAT. d. Sertipikat belum diperiksa kesesuaiannya dengan buku tanah di Kantor Pertanahan pada saat akta jual beli ditandatangani. e. Pembuatan Akta Jual Beli dilakukan di luar wilayah daerah kerja PPAT. f. Nilai harga transaksi dalam akta jual beli berbeda dengan yang sebenarnya. Berdasarkan kasus tersebut di atas, maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Tuan TH telah terjadi kesalahan atau kelalaian yang menyimpang dari tata cara/prosedur pembuatan akta PPAT. Akibat hukum dari kesalahan atau kelalaian PPAT adalah sebagai berikut: 1. PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara keseluruhan, akan tetapi hanya menerangkan secara singkat kepada para pihak mengenai hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam akta jual beli tersebut. Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, seringkali PPAT tidak membacakan isi akta jual beli dihadapan para pihak, namun PPAT hanya memberi keterangan mengenai fungsi dari akta jual beli. Sebagian PPAT menganggap tidak dibacakannya secara menyeluruh isi akta pasal demi pasal dikarenakan ada sebagian kliennya telah mengerti dan memahami tentang perbuatan hukum yang dilakukannya dalam akta jual beli tersebut,
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
77
serta ada juga yang menganggap tidak harus dibacakan secara menyeluruh namun kepada para pihak hanya diberitahukan tentang hak, kewajiban dan akibat hukum dari masing-masing pihak. Kewajiban PPAT membacakan isi akta diatur dalam Pasal 101 ayat 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: “PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku”. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban sebagai PPAT. (Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah). Pemberhentian tidak hormat tersebut dikarenakan perbuatan PPAT dengan tidak membacakan isi akta jual beli termasuk dalam jenis pelanggaran berat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf i yang secara tegas dinyatakan bahwa: “PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya;.” Perbuatan PPAT yang tidak membacakan isi akta tersebut akan menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat formil dalam pembuatan akta PPAT, serta akan mengakibatkan akta PPAT dapat kehilangan keotentikannya dan pada akhirnya membuat akta tersebut dapat didegradasikan menjadi akta di bawah tangan. Terhadap pelanggaran
kewajiban
tersebut,
PPAT
dapat
dikenakan
sanksi
administrasi yaitu pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya. Selain itu, PPAT juga dapat dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kelalaiannya tersebut. 2. Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajak-pajak yang menjadi kewajiban para pihak, maka PPAT tersebut jelas-jelas telah
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
78
melanggar ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak” dan tidak memenuhi syarat formil dimana PPAT harus membayarkan pajak-pajak yang
menjadi
tanggung
jawab
pembeli
dan
penjual
sebelum
menandatangani akta jual beli. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 93, yaitu: Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. 3. Nilai harga transaksi yang tertera dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi yang sebenarnya. Dalam kasus ini, nilai transaksi lebih kecil dari nilai transaksi yang sebenarnya, yaitu berdasarkan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukan dari harga transaksi, sehingga pajak yang harus dibayar lebih kecil dibandingkan apabila dibayar berdasarkan nilai transaksi yang sebenarnya. Menurut Pasal 87 ayat 1 dan ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, dinyatakan bahwa: Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah a) Nilai Perolehan Objek Pajak. b) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam hal (a) jual beli adalah harga transaksi Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dan akta tersebut tidak memenuhi salah satu syarat formil dalam pembuatan akta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
79
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pemberhentian tidak hormat tersebut dikarenakan perbuatan PPAT tersebut termasuk dalam jenis pelanggaran berat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf d yang secara tegas dinyatakan bahwa: “memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.” Akibat pelanggaran tersebut, maka akta PPAT dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau peraturanperaturan lain dan selain itu, pihak-pihak yang yang berkepentingan dalam akta tersebut dapat mengajukan gugatan karena adanya cacat hukum dalam pembuatan akta yang dilakukan oleh PPAT. Pemberian sanksi administrasi yang akan dikenakan kepada PPAT atas kesalahan dalam pembuatan akta jual beli akan dilihat terlebih dahulu dari berat ringannya pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan. Ada 4 (empat) hukuman disiplin berupa sanksi administrasi, yaitu: a. Teguran lisan. b. Teguran tertulis. c. Pemberhentian sementara dari jabatan sebagai PPAT/PPAT Sementara, yang berkisar dari satu bulan sampai dengan enam bulan. d. Pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan sebagai PPAT. 4. Pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di kantor PPAT Tuan TH tetapi dilakukan di kantor Notaris AM. Hal ini jelas melanggar Pasal 3 Kode Etik PPAT yang berbunyi bahwa PPAT berkewajiban menetapkan suatu kantor dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan sehari-hari. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat dikenakan sanksi berupa: a. Teguran. b. Peringatan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
80
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT. d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT. e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. 5. Tanggal yang tertera dalam akta jual beli tanggal 14 Maret 2012 nomor 7/2012 tidak sama dengan tanggal ditandatanganinya akta. Tanggal yang tertera adalah 14 Maret 2012 sedangkan tanggal penandatanganan akta tersebut adalah 21 Januari 2012, hal ini dikarenakan belum dibayarnya pajak-pajak yang seharusnya dibayarkan sebelum pembuatan akta. Sebagai akibat dari perbuatan tersebut, maka PPAT dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pemberhentian tidak hormat tersebut dikarenakan perbuatan PPAT tersebut termasuk dalam jenis pelanggaran berat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28 ayat 4 huruf d yang secara tegas dinyatakan bahwa: “memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan.” Selanjutnya, PPAT yang bersangkutan juga dapat dituntut oleh para pihak. 6. PPAT membuat Akta Jual Beli atas sebagian tanah yang belum dipecah sertipikatnya. Dalam pembuatan Akta Jual Beli, harus jelas objek dari jual beli tersebut. Jadi apabila sertipikat induk yang dijadikan sebagai pembuktian, maka akan terjadi kerancuan di kemudian hari bagi si pembeli karena pembeli tidak bisa menentukan bagian mana yang merupakan haknya. Oleh karena itu, sebelum PPAT membuat Akta Jual Beli, harus diadakan permohonan pemecahan sertipikat dan diadakan pengukuran ulang baik oleh penjual atau PPAT yang ditunjuk oleh penjual. Selama hal ini belum dilakukan, maka PPAT belum bisa melakukan pendafaran tanah karena hal-hal yang mendasari tidak terpenuhinya syarat-syarat pendaftaran tanah, antara lain adalah: a. Harga jual beli belum dibayar lunas;
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
81
b. Objek jual beli masih dijaminkan atau sedang diagunkan; c. Izin pengalihan hak belum dikeluarkan oleh pihak yang berwenang; d. Pajak-pajak yang terhutang belum dibayarkan e. Sertipikat belum di roya f. Sertifikat belum dipecah (masih sertipikat induk). Seharusnya dalam hal ini, PPAT tersebut menyarankan kepada Tuan FA untuk membuat Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat oleh Notaris. Sesudah adanya pemecahan barulah bisa dibuatkan Akta Jual Beli. Salah satu kewajiban dari PPAT dalam Kode Etik yang diatur dalam Pasal 3 yaitu Profesi PPAT adalah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat
yang memerlukan
jasanya
dan
memberikan
penyuluhan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Sanksi yang dapat dikenakan kepada PPAT yang bersangkutan adalah sanksi administratif yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelangaran Kode Etik yaitu berupa: a. Teguran. b. Peringatan. c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT. d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT. e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. 7. Tujuh hari setelah penandatanganan, PPAT tidak menyampaikan Akta Jual Beli yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Hal ini berkaitan erat dengan hal di angka 5 di atas karena apabila Akta Jual Beli ini belum selesai prosesnya karena belum ada pengukuran ulang akibat pemecahan tanah tersebut sehingga Akta Jual Beli tersebut belum bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sebagai akibat dari perbuatan ini maka PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan yang ada dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi: “Selambat-lambatnya 7
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
82
(tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumendokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar”. PPAT yang melanggar ketentuan dalam pasal ini akan dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
83
BAB III PENUTUP
A. SIMPULAN Simpulan yang dapat diberikan oleh penulis dalam pembuatan tesis ini adalah: 1. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar
yang kuat
untuk pendaftaran pemindahan dan
pembebanan hak. Dalam pembuatan akta, PPAT harus mentaati prosedur pembuatan akta berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan perundangan lainnya yang bersangkutan agar akta tersebut menjadi akta otentik dan dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak dan prosedur tersebut meliputi: Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli. a. Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah
melakukan
pemeriksaan
mengenai
keaslian
sertifikat ke kantor Pertanahan. b. Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) yaitu 5% dari HargaTransaksi, di bayarkan di Bank atau Kantor Pos. c. Pembeli harus membayar Pajak berupa BPHTB dihitung dari nilai transaksi.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
84
d. Calon pembeli membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum penguasaan tanah. e. Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa. f. PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank. Pembuatan Akta Jual Beli: a. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan. b. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi biasanya dari perangkat desa jika melalui PPAT Sementara (camat/lurah) dan kedua pegawai Notaris jika melalui NOTARIS/ PPAT. c. Pejabat pembuat Akta Tanah membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, termasuk juga sudah lunas transaksinya. d. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan Pejabat Pembuat Akte Tanah. e. Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak (balik nama/pemecahan). f. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya. Langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan Akta Jual Beli:
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
85
a. Sebelum Akta Jual beli didaftarkan atau diserahkan ke kantor Pertanahan Setempat maka harus dilakukan validasi SSB dikantor PBB. b. PPAT kemudian menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat atau pemecahan sertifikat. c. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut. 2. Proses peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh Tuan TH selaku PPAT adalah sebagai berikut: a) PPAT tidak membacakan isi akta jual beli secara keseluruhan, akan tetapi hanya menerangkan secara singkat kepada para pihak mengenai hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam akta jual beli tersebut. b) Pada saat penandatanganan akta jual beli belum membayar pajakpajak yang menjadi kewajiban para pihak. c) Nilai harga transaksi yang tertera dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi yang sebenarnya. d) Pembuatan dan penandatanganan Akta Jual Beli tidak dilakukan di kantor PPAT TH melainkan di kantor Notaris/PPAT AM. e) Tanggal yang tertera dalam akta jual beli tanggal 14 Maret 2012 nomor 7/2012 tidak sama dengan tanggal ditandatanganinya akta yaitu tanggal 21 Januari 2012. f) PPAT membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang belum dipecah sertipikatnya. g) Tujuh hari setelah penandatanganan, PPAT tidak menyampaikan Akta Jual Beli yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. 3. Akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan prosedur dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
86
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan atau peraturan-peraturan lain. Sedangkan sanksi yang akan dikenakan PPAT atas kesalahan yang dilakukannya dalam pembuatan akta jual beli, PPAT dapat dikenakan: a) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT. b) Sanksi pidana maupun perdata yang berasal dari tuntutan pihakpihak yang menderita kerugian. c) Sanksi administratif dibidang perpajakan apabila pada saat penandatanganan akta jual beli, PPAT belum membayarkan pajakpajak yang menjadi tanggung jawab para pihak. Sanksi tersebut adalah PPAT dapat dikenakan denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).
B. SARAN
1. Untuk PPAT PPAT adalah pejabat umum yang melayani masyarakat sehingga dalam menjalankan tugasnya melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya harus selalu patuh dan selalu bersandar kepada ketentuan-ketentuan yang ada, karena akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. PPAT juga perlu lebih memahami ketentuan-ketentuan yang ada untuk menghindarkan PPAT dari sanksi pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat maupun tuntutan ganti rugi dari para pihak. PPAT dalam menjalankan tugasnya harus selalu berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi terhadap profesi dan jabatannya selaku PPAT. Selain itu, diharapkan kepada PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya selalu bertindak secara profesional dan memiliki prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akta PPAT. Hal tersebut diperlukan agar akta yang dibuat oleh PPAT tidak menjadi cacat hukum dan merugikan masyarakat. Selanjutnya, PPAT juga
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
87
harus bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak. 2. Untuk Para Pihak Bagi para pihak sebaiknya lebih selektif dalam memilih PPAT dan sebelum membuat akta jual beli, para pihak dianjurkan untuk: a. menanyakan kepada PPAT mengenai prosedur pembuatan akta jual beli, b. membaca peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan akta jual beli tersebut, c. melakukan penelitian lewat internet. Hal-hal tersebut di atas perlu dilakukan agar para pihak tidak dirugikan dan akta jual beli yang dihasilkan dapat menjamin kepastian hak atas tanah yang diperjualbelikan. 3. Untuk Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) IPPAT harus memberikan penyuluhan mengenai prosedur pembuatan akta di dalam berbagai acara seperti dalam acara seminar pertanahan atau konggres PPAT agar PPAT selalu ingat untuk mengikuti prosedur yang tepat, benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
88
DAFTAR REFERENSI
A. BUKU Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2006. ______________.Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2007 Cahyo, Bambang Tri. Ekonomi Pertanahan. cet 1. Yogjakarta: Liberty, 1983. Effendi, Bachtiar. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni, 1982. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Hukum Tanah Nasional Jilid 1. Jakarta : Djambatan, 2003. _______. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Edisi Revisi Cetakan ke-19. Jakarta : Djambatan, 2008. Limbong, Bernhard. Konflik Pertanahan. cetakan ke-1. Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri, 2012. Lubis, Mohammad dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008. Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. cetakan ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mertokusumo, Soedikno. Hukum dan Politik Agraria, Jakarta : KarunikaUniversitas terbuka, 1988. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Jual Beli. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Mustofa. Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: Karya Media, 2010. Perangin-angin, Effendi. Hukum Agraria di Indonesia. cetakan ke-III. Jakarta : Rajawali. 1991.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
89
___________________. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 _______. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa, 1986. _______. Praktak Jual Beli Tanah, Jakarta : Rajawali Pers, 1987. Rubaie, Achmad. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Malang: Bayumedia,2007. Saleh, K. Wantjik. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977. Salindeho, John. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Jakarta: Grafija, 1993. Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Cetakan ke-2. Jakarta:Kencana. 2011 Sihombing, B.F. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia. Jakarta: Toko Gunung Agung, 2004. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. cet ke-3. Jakarta: UI Press, 1986. _______________. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1983. Soimin, Sodaryo. Status Tanah dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Subekti. Aneka Perjanjian. Cetakan ke-10. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995. Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Cetakan ke-1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007. Uttrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Djakarta: Balai Buku Ikhtiar, 1963.
B. PERUNDANG-UNDANGAN Badan Pertanahan Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan BPN Nomor 1 Tahun 2006
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
90
Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria,No. 5 Tahun 1960, Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960, Tambahan Berita Negara No.2043. _______. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 Tahun 1997, Lembaran Negara Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696. _______. Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, UU No.37 Tahun 1998, Lembaran Negara Nomor 52 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3740. _______. Peraturan Menteri Negara / Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PMNA Nomor 3 Tahun 1997. _______. Undang-Undang Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, UU No.28 Tahun 2009, Lembaran Negara Nomor 130 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988
C. Skripsi/Tesis/Disertasi Kraan, C.A, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984) dalam Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013
Tinjauan yuridis..., Anindhita Prameswari, FH UI, 2013