UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X)
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi dalam bidang Ilmu Administrasi
RAKHMAT NOORY 1006817561
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI ADMINISTRASI FISKAL EKSTENSI DEPOK JUNI 2012
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar,
Nama
: Rakhmat Noory
NPM
: 1006817561
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Juni 2012
ii
Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi
: : Rakhmat Noory : 1006817561 : Administrasi Fiskal : Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waralaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai franchisor Waralaba Minimarket X)
Telah berhasil dipertahankan di hadapkan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekstensi pada Program Studi Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Dr. Ning Rahayu, M.Si
Penguji Ahli
: Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax
Ketua Sidang
: Dr. Tafsir Nurchamid, M.Si., Ak.
Sekretaris Sidang : Milla Setyowati, S.Sos., M.Ak.
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 25 Juni 2012
iii Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana strata satu ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi yang berarti dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ning Rahayu, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal Program Studi Sarjana Ekstensi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dan selaku dosen pembimbing yang banyak sekali mengarahkan dan membantu penyelesaian penelitian ini 2. Ruston Tambunan Ak., M.Si., M.Int.Tax selaku dosen penguji 3. Drs. Asrori, MA, FLMI selaku Ketua Program Sarjana Ekstensi Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 4. Mama dan Papa tersayang yang selalu memberikan kasih sayang yang tak ternilai harganya, serta kakak-kakak tercinta dan Mama Heri yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini. 5. Teman-teman Ekstensi FISIP UI Fiskal 2010 terutama rekan satu tim bimbingan Naela dan Eliana (Terimakasih Banyak), kemudian Fyko Fabud, Try Dharmadi, Henry Triawan, Nuh Satryo, Vicha Aida, Lavira Mavushi, Erik Dwi Putra, Chandra N, Dimas Bagus, Miqdam Sugiarto, Andi Yudistira, Dessy, Aldilla, dan semua teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian semua. iv Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
6. Andri Kurnaedi Hidayat, sebagai teman, sahabat, sekaligus mentor yang selalu memberikan arahan dan masukan yang sangat bermanfaat. 7. Dosen-dosen pengajar Ekstensi FISIP UI yang telah membantu memberikan ilmu pengetahuan dan senyuman, terutama Dr. Waluyo dan Prof. Dr. Gunadi, serta pengajar lain yang sangat saya hormati. 8. Pegawai sekretariat Ekstensi FISIP UI. 9. Narasumber dan Informan yang telah memberikan kesediaan waktu untuk memberi data dan informasi kepada peneliti: Prof. Gunadi, Tommy Sugianto, Enny Agustianty Jacob, John Hutagaol, Suryono Ekotama, Tugiman Binsardjono, Heri Poerwanto, dan Fadiah. 10. Prima Pantau Putri Santosa yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini. 11. Varah Alista yang selalu setia menemani hari-hari peneliti. 12. Pihak-pihak lain yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu dalam memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu administrasi fiskal.
Depok,
Juni 2012
Peneliti
v Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Rakhmat Noory
NPM
: 1006817561
Program Studi : Administrasi Fiskal Departemen
: Ilmu Administrasi
Fakultas
: Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Jenis karya
: Tugas Karya Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menuyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : Juni 2012
Yang menyatakan
(Rakhmat Noory)
vi Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
ABSTRAKSI Nama
: Rakhmat Noory
Judul
: Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)
Penelitian ini membahas tentang Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba Lokal Indonesia. Format Bisnis Waralaba adalah suatu format yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Dalam Format Bisnis Waralaba ini, terdapat penghasilan berupa royalti yang dibayarkan oleh francshisee kepada franchisor terkait pemberian ”know-how” oleh franchisor kepada franchisee. Namun dalam prakteknya, dalam penghasilan royalti tersebut ternyata tidak murni dihasilkan dari penghasilan royalti saja, namun juga terdapat komponen penghasilan yang termasuk Jasa Teknik. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan Wajib Pajak dalam melakukan pemotongan pajak penghasilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan wawancara mendalam dan studi pustaka. Analisa yang dilakukan adalah dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh dengan teori yang ada dan peraturan yang berlaku. Perbandingan yang dilakukan mengacu pada tema penelitian ini. Kelemahan penelitian skripsi ini adalah masih adanya data yang kurang didapatkan untuk dijadikan bahan perbandingan, namun dari penelitian ini dapat diperoleh gambaran tentang pemotongan pajak penghasilan atas royalti yang dilakukan oleh Waralaba Minimarket X kepada PT X sebagai franchisor.
Kata Kunci : Penghasilan Royalti, Jasa Teknik, Waralaba Lokal Indonesia.
vii Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
ABSTRACTION
Nama
: Rakhmat Noory
Judul
: Analisis Kebijakan Pajak Atas Penghasilan Royalti Dan Jasa Teknik Dalam Format Bisnis Waalaba Lokal Indonesia (Studi Kasus PT X Sebagai Franchisor Waralaba Minimarket X)
This study discusses the royalty income from Local Franchise Business Format In Indonesia that growing rapidly. In Franchise Business Format, there is royalti income paid by franchisee to the franchisor related to the provision of know-how of the franchisor to the franchisee. However, in practice in that income from royalty was also present income from technical services. This causes the taxpayer makes mistakes in their income tax withholding obligations. The research method used in this study is a qualitative. Data collection techniques performed using in-depth interview and literature study. Analysis was performed by comparing the data have been obtained with the existing theory and regulations. Comparisons are made referring to the theme of this research. The weakness of this thesis research is still a lack of data available to be used as a comparison, but from this study may provide a general description of the withholding tax on royalty income by Minimarket X franchise to PT X as a franchisor.
Keywords
: Royalty Income, Technical Services, Indonesian Local Franchise.
viii Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………............................................ i HALAMAN PERNYATAN ORISINALITAS ………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….............. iii KATA PENGANTAR …………………………………………………………. iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………………. vi ABSTRAKSI………………………………………………………………........ vii DAFTAR ISI……………………………………………...…………………...... ix DAFTAR TABEL…………………………………………………………..….. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….xiii
BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1 I.2 Pokok Permasalahan ………………………………………….
6
I.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………..
7
I.4 Signifikansi Penelitian ………………………………………..
8
I.5 Sistematika Penelitian ………………… ……………………..
8
BAB 2 KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Literatur …………………………………………… 11 2.2 Kebijakan Pajak……………………………………………… 15 2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan……………………… 17 2.3.1 Passive Income dan Active Income …………………… 19 2.4 Konsep Franchise……………......…………………………… 20 2.4.1. Waralaba (Franchise) di Indonesia …………………… 24 2.5 Konsep Royalti…………………………. ……………………. 24 2.5.1. Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba……………… 25 2.6 Konsep Jasa Teknik…………………………………………. 26
ix Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
2.7 Bagan Alur Pemikiran ……………………………………….. 28
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………….
30
3.2 Jenis Penelitian …………………….……..…………………
31
3.3 Metode Pengumpulan Data…………….……………………
31
3.4 Narasumber / Informa.n…..…………………………………
32
3.5 Proses Penelitian…… ………………………………………
35
3.6 Site Penelitian ………………………………………………
36
3.7 Batasan Penelitian ……..……………………………………
36
BAB 4 GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise)………………37 4.1.1 Jenis-jenis Waralaba (Franchise)………….………… 41 4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise)…………. 42 4.1.3 Biaya-biaya Yang Timbul Dalam Bisnis Waralaba….. 43 4.1.4 Dasar Hukum Bisnis Waralaba (Franchise)……….… 44 4.1.5 Kewajiban Para Pihak……………………………….. 45 4.2. Gambaran Umum PT X………………………………………. 46 4.2.1 Skema Waralaba PT X………………………………. 48 4.2.2 Syarat Menjadi Pemiliki Toko Waralaba X…..……… 51 4.2.3 Royalti Dalam Waralaba X………………………….. 51
BAB V ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X) 5.1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee ke PT X sebagai franchisor sesuai konsep perpajakan.............. 52
x Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
5.1.1 Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba PT X .………………………………………… 53 5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format Bisnis Waralaba PT X…….………………………….… 57 5.1.3 Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba PT X………………………………………….. 63 5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Pada PTX Terkait Dengan Kebijakan Pajak………………………………………… 67 5.2. Dampak Yang Timbul Akibat Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Yang Dilakukan Oleh Franchisee Terhadap PT X……………. 69
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan……………………………………………………. 74 6.2 Saran…………………………………………………………… 75 DAFTAR REFERENSI ………………………………………………….. 77
xi Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
Daftar Tabel Tabel 1.1.
Penerimaan Pajak Indonesia
Tabel 1.2.
Perkembangan Usaha Waralaba
Tabel 1.3.
Pertumbuhan Gerai PT. X
Tabel 2.1.
Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2.
Perbedaan Royalti dan Jasa Teknik
Tabel 4.1.
Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru
Tabel 4.2.
Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X
xii Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
Daftar Lampiran Lampiran 1
Transkrip Wawancara
Lampiran 2
Surat Edaran Nomor SE – 35/PJ/2010
Lampiran 3
PP nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba
xiii Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, pajak masih menjadi sumber utama pendapatan Negara. Penerimaan pajak masih menjadi yang terbesar dalam jumlah pendapatan Negara. Sektor pajak juga menjadi penopang untuk melakukan pembangunan di berbagai sektor. Penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan Negara juga terlihat semakin meningkat dari tahun ke tahun, seperti terlihat dari tabel berikut ini : Tabel 1.1: Penerimaan Pajak Indonesia Tahun Penerimaan DN APBN 2006 636.153,1 APBN 2007 706.108,3 APBN 2008 979.305,4 APBN 2009 847.096,6 APBN 2010 992.248,5 APBN P 2011 1.165.252,5 RAPBN 2012 1.292.052,6 Sumber:http://www.anggaran.depkeu.go.id
Penerimaan Pajak 409.203,0 490.988,6 658.700,8 619.922,2 723.306,6 878.685,2 1.019.332,4
Persentase 64,3% 69,5% 67,3% 73,9% 72,9% 75,4% 78,9%
Namun walaupun terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya, pemerintah masih merasa penerimaan dari sektor pajak belum optimal. Karena itu, pemerintah melakukan berbagai upaya agar dapat menempatkan pajak pada proporsinya sebagai unsur penerimaan Negara yang handal. Ditambah lagi dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di era globalisasi sekarang ini, penerimaan dari sektor pajak seharusnya dapat lebih di optimalkan. Sejalan dengan berkembangnya era globalisasi, semakin berkembang pula kebutuhan dan kemajuan masyarakat. Masyarakat semakin menuntut suatu kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien. Hal ini juga didukung dengan adanya era globalisasi yang memudahkan masuknya format bisnis baru yang berasal dari luar dan mendapatkan tanggapan yang baik di Indonesia. Format baru dalam berbisnis ini muncul dengan dorongan kebutuhan manusia untuk dapat lebih mengoptimalkan sebaik-baiknya potensi yang dimilikinya demi memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin, termasuk perkembangan teknologi yang terus berjalan. Dari sinilah kemudian timbul jenis-jenis bisnis baru, salah satunya
1 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
2
yang sudah mulai berkembang sejak awal tahun 2000-an dan semakin berkembang pada saat ini adalah format bisnis waralaba (franchise). Kegiatan bisnis dengan sistem waralaba adalah suatu sistem dalam bisnis dimana ada suatu pihak (franchisor) yang mempunyai hak milik atas suatu kegiatan bisnis yang memberikan hak tersebut kepada pihak lain (franchisee) untuk menggunakan atau memanfaatkan hak milik franchisor tersebut. Di Indonesia, bisnis dengan sistem franchise ini sudah mulai berkembang sejak tahun sembilan puluhan awal lalu. Sampai sekarang terus berkembang baik dari jenis dan jumlah outletnya. Dalam beberapa tahun belakangan, bisnis waralaba di Indonesia semakin berkembang dengan pesat. Dari tahun ke tahun, peningkatan dari bisnis waralaba terus menunjukkan perkembangan yang positif baik dari jumlah merk, total gerai, hingga omset secara keseluruhannya. Menurut Perhimpunan Waralaba & Lisensi Indonesia (Wali) omset waralaba pada 2011 sangat besar bahkan mencapai ratusan triliun rupiah (http://www.franchisewaralaba.com/berapa-total-omsetwaralaba-di-indonesia.html). Hal ini tentunya sangat menggiurkan bagi para investor untuk melirik usaha waralaba di Indonesia. Untuk melihat perkembangan bisnis waralaba dengan lebih detail, dapat dilihat dari sumber table berikut ini: Tabel 1.2: Perkembangan Usaha Waralaba Franchise Asing Franchise Lokal Jumlah Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan 2001 230 42 2002 255 10.87% 45 7.14% 2003 239 -6.27% 49 8.89% 2004 270 12.97% 62 26.53% 2005 237 -12.22% 129 108.06% 2006 220 -7.17% 230 78.29% 2007 250 13.64% 450 95.65% 2008 255 2.00% 600 33.33% 2009 260 1.96% 750 25.00% Sumber dari: http://www.franchiseindonesia.org/ , diolah kembali oleh Tahun
peneliti
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
3
Berbeda dengan pertama kali berkembangnya bisnis waralaba pada tahun Sembilan puluhan sampai awal tahun 2000-an yang cenderung dikuasai oleh merk-merk dari luar Indonesia, pada beberapa tahun belakangan merk-merk lokal sudah ikut meramaikan pasar. Hal ini terlihat dari semakin tersebarnya waralabawaralaba lokal di Indonesia. Waralaba lokal kini sudah semakin berkembang dengan melipat gandakan gerainya dan sudah semakin dikenal di masyarakat. Sebagai contoh, di bidang pendidikan, kita bisa melihat contoh kiprah Primagama dan LP3I yang total gerainya sudah ratusan. Atau Apotek K24 yang, meski termasuk pendatang baru, sudah punya lebih dari 200 gerai. Lalu di bidang peralatan kantor, Veneta System juga menarik karena bisnis tinta isi ulang ini sanggup
menghidupi
lebih
dari
1.800
karyawan
di
120
gerai.
(http://swa.co.id/business-strategy/melanggengkan-pertumbuhan-bisnis-waralaba) Itu belum termasuk ratusan usaha waralaba di bidang makanan seperti kebab Baba Rafi, Ayam Goreng Sabana, ataupun Semerbak Coffee. Dari waktu ke waktu selalu saja terdengar berita resto waralaba yang menawarkan keunikan konsep waralabanya. (http://www.swa.co.id, diolah kembali oleh peneliti) Selain jenis waralaba di atas, masih ada waralaba retail, yaitu jenis waralaba yang dimiliki oleh PT. X yang menjadi site penelitian dalam studi kasus Tugas Karya Akhir ini. Waralaba retail menjadi fenomena karena perkembangannya yang sangat pesat. Jenis waralaba ini seperti sedang berlomba dengan sejumlah pesaingnya, dengan memberi pengumuman bahwa sekarang jumlah gerainya sudah sekian dan telah tersebar di banyak kota. Bahkan sampai saat ini gerai waralaba retail milik PT. X masih terus berusaha memperbanyak outlet untuk memperoleh target omzet yang akan dicapai untuk tahun 2012. Pertumbuhan outlet PT. X dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
4
Tabel 1.3: Pertumbuhan Gerai PT. X : Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah 1293 1755 2266 2779 3373 4812 5200
Jumlah Gerai PT. X Pertumbuhan Gerai 462 511 513 594 1439 388
Sumber: Profil PT. X, diolah kembali oleh peneliti
PT. X, sebagai pengelola minimarket X menargetkan 800 gerai lagi pada tahun 2012. “Untuk tahun 2012 kami menargetkan akan mencapai 6000 gerai di seluruh Indonesia, dan untuk saat ini kami sedang memfokuskan untuk memperluas gerai kami di Kota Medan. Jadi apabila ada yang memiliki property di Medan, kami akan sangat terbuka untuk melakukan kerjasama waralaba.” Demikian penjelasan dari Regional Franchise Manager dalam presentasinya untuk format waralaba PT. X yang diikuti oleh peneliti. Perkembangan PT X yang cukup pesat ini juga yang mendasari peneliti untuk melakukan studi kasus pada PT X. Dalam kaitannya dengan bisnis waralaba, perkembangannya terasa cukup signifikan. Bahkan waralaba, khususnya yang berbentuk mini-market kini bukan hanya menjadi monopoli franchisee di daerah metropolitan saja, melainkan telah merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Sebagai contoh, Indomaret dan Alfamart kini sanggup melipatgandakan gerai hingga ribuan tersebar dari kotakota besar hingga pelosok kampung. Bahkan di beberapa daerah, waralaba yang ada mulai menciptakan persaingan yang sengit, tidak hanya antar pemain waralaba, melainkan juga dengan pengelola bisnis non-waralaba semisal pedagang pasar tradisional dan supermarket besar. Melihat perkembangan yang cukup signifikan tidaklah mengherankan, karena perputaran uang yang terlibat dalam bisnis tersebut juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena terdapat outlet jumlahnya yang ribuan untuk suatu merek minimarket, tidak salah apabila omzet yang dihasilkan oleh bisnis ini menyentuh
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
5
angka yang cukup menjanjikan. Hal ini pada sisi lain juga mengindikasikan besarnya potensi pendapatan negara, dan tentunya juga penghasilan dalam bidang pajak yang dapat diraih oleh Negara dari bisnis ini. Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima Waralaba sebagai pengikat kontrak, Pemberi Waralaba juga menerima penghasilan dari royalti atas hak kekayaan intelektual terkait dengan merek dagang yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba. Penghasilan yang diterima oleh pemberi waralaba itu tentunya meupakan objek pajak, namun potensi pemasukan pajak dari sektor franchise ini belumlah dapat dioptimalkan sebagaimana besarnya bisnis yang berjalan. Hal ini dikarenakan belum optimalnya pemungutan pajak yang didapatkan dari bisnis waralaba ini. Belum optimalnya pemungutan pajak tersebut dapat berupa berbagai macam permasalahan pada saat operasional di lapangan, atau pada saat melakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Dalam praktiknya, perusahaan pemberi lisensi (franchisor) umumnya memungut dua hingga tujuh persen dari omzet penjualan perusahaan penerima lisensi (franchisee) dalam bentuk royalti. Dalam hal ini, franchisor memperoleh hak atas royalti atas penggunaan merek yang dipakai franchisee. Terhadap penghasilan atas royalty tersebut tentu saja terdapat pemungutan pajak penghasilan. Akan tetapi, terdapat beberapa oknum menemui kesulitan karena terdapat kendala pemahaman yang belum merata mengenai pengetahuan perpajakan yang menyangkut masalah-masalah khusus di kalangan petugas, serta belum adanya surat edaran/penegasan lebih lanjut yang lebih terperinci mengenai royalti dan imbalan jasa teknik, dan kegiatan yang seperti apa yang termasuk ke dalam royalti atau jasa teknik. Hal
ini
menyebabkan
hambatan,
yaitu
mengenai
kesulitan
dalam
membedakan definisi mengenai penghasilan yang akan dikenakan pajak
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
6
penghasilan, apakah penghasilan tersebut terklasifikasi sebagai royalti ataukah terklasifikasi sebagai imbalan jasa teknik (fees for technical services). Karena itu dalam praktiknya, baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Hal ini tentu saja dapat merugikan dalam segi pendapatan Negara mengingat perbedaan tari yang signifikan antara royalti sebesar 15% sedangkan jasa teknik hanya 2%. Begitu juga dari sisi franchisee yang dalam hal ini bertindak sebagai Witholding Tax Agent yang diberi kewajiban untuk memotong pajak penghasilan untuk franchisor. Franchisee akan merasa kebingungan dalam menentukan apakah akan memotong dengan tarif 15% sebagai royalti atau dengan tarif 2% sebagai jasa teknik, sedangkan apabila ternyata salah memotong, franchisee akan terkena sanksi dari DJP karena melakukan salah potong. 1.2 Pokok permasalahan Berkembang pesatnya bisnis waralaba di Indonesia ternyata tidak disertai dengan penafsiran yang baik dan seragam mengenai kebijakan pajaknya. Baik itu dari segi wajib pajak, maupun dari segi pemeriksa (fiskus) dalam memeriksa kepatuhan pajak pengusaha waralaba. Sehingga terdapat hambatan-hambatan dalam implementasi kebijakan tersebut di lapangan. Padahal dilihat dari potensinya, penerimaan pajak dari royalti yang berasal dari bisnis waralaba sangat besar. Hal ini tentunya akan mempengaruhi penerimaan pajak yang seharusnya sangat berpotensi dari bisnis waralaba ini. Hal ini selain disebabkan oleh awamnya para pelaku bisnis waralaba tentang peraturan terkait, juga dikarenakan lemahnya penafsiran pada peraturan pemerintah tentang klasifikasi antara penghasilan sebagai royalty atau sebagai imbalan jasa teknik. Hal ini juga menunjukkan masih lemahnya kerincian dari perundang-undangan yang ada karena tidak mendefinisikan secara lebih spesifik tentang kegiatan yang menjadi objek pajak tersebut. Hal ini tentunya juga berdampak pada format bisnis waralaba yang digunakan oleh PT X sebagai pengelola bisnis waralaba retail dengan merk X. Hal ini otomatis akan mempengaruhi besarnya pemotongan pajak atas penghasilan yang
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
7
akan diterimanya. Adanya dispute dalam kebijakan pajak yang mengatur tentang pemotongan pajak penghasilan dari royalti dan jasa teknik menimbulkan keraguraguan dalam menjalankan pemotongan pajak penghasilan. Keragu-raguan tersebut tentu akan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan kebijakan pajaknya, dan cenderung akan mengarahkan pada kebijakan yang menurut mereka menguntungkan. Dari sisi Negara, dapat dirugikan karena tidak dapat mencapai optimalisasi pajak bila para pelaku bisnis waralaba mengatakan itu adalah jasa teknik. Sebaliknya, para pelaku bisnis akan merasa dirugikan apabila fiskus tetap mamaksakan penafsirannya bahwa itu adalah penghasilan royalti. Hal ini karena adanya perbedaan pengenaan tarif antara royalti dengan jasa teknik. Seperti yang diketahui tarif pemotongan untuk penghasilan royalti adalah 15% sedangkan jasa teknik hanya 2%. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yaitu sebesar 13%. Dengan perbedaan tarif yang cukup signifikan, tentunya akan merugikan salah satu pihak apabila terjadi kesalahan pemotongan pajak karena salah menetapkan tarif pajak. Oleh karena itu mengacu pada permasalahan di atas, dapat dijabarkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee kepada PT X sebagai franchisor sudah sesuai menurut konsep royalti dan jasa teknik? 2. Apakah dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba PT X?
1.3 Tujuan Penulisan Dalam penelitian ini penulis ingin menetapkan tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee ke PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik. 2. Menganalisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba PT X.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
8
1.4 Signifikansi Penelitian 1. signifikansi akademis Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat menambah pengetahuan teoritis dan wawasan perpajakan kepada kalangan akademisi yang ingin mempelajari dan mengamati masalah royalti dan jasa teknik, khususnya yang berkaitan dengan suatu bisnis yang menggunakan format waralaba retail. 2. signifikansi praktis Tugas Karya Akhir ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pelaku bisnis waralaba, baik pemilik ataupun karyawan yang menjalankan bisnis waralaba, khususnya waralaba lokal dalam menganalisa implikasi perpajakan yang berhubungan dengan royalti dan jasa teknik dari setiap transaksi dan kontrak yang disepakati. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pemeriksa / fiskus dalam menganalisis masalah perpajakan di dalam suatu format bisnis waralaba.
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub bab, agar dapat mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mudah dipahami. Garis besar penulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: BAB 1
PENDAHULUAN Dalam
bab
ini
penulis
menjabarkan
Latar
Belakang
Permasalahan, Permasalahan dan Tujuan dan Manfaat Penulisan. Selain itu, dalam bab ini juga diuraikan mengenai Signifikansi Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB 2
KAJIAN LITERATUR Dalam bab ini penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai penelitian terdahulu, serta menjabarkan teori dan pemikiran dari
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
9
literature yang berkaitan dengan masalah penelitian. Teori yang dijabarkan antara lain teori pajak, teori kebijakan fiskal, konsep pajak penghasilan, teori bisnis waralaba, teori royalti, dan teori jasa teknik. Bab 2 terdiri dari 8 sub bab, yaitu: 1. Tinjauan Literatur 2. Kebijakan Pajak 3. Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan 4. Konsep Franchise 5. Konsep Royalti 6. Konsep Jasa Teknik 7. Bagan Alur Pikir BAB 3 METODE PENELITIAN Dalam bab ini penulis menjabarkan mengenai metode penelitian yang digunakan penulis, yang terdiri dari pendekatan penelitian, jenis/tipe penelitian, metode dan strategi penelitian, hipotesis kerja, narasumber/informan, proses penelitian, penentuan site penelitian, dan batasan penelitian. BAB 4 GAMBARAN UMUM Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang gambaran umum mengenai bisnis waralaba dalam sektor retail atau minimarket. Penulis
akan
menjelaskan
bagaimana
penghasilan
royalti
didapatkan dari format bisnis franchise. Bab 4 akan terdiri dari 2 sub bab, yaitu: 1. Gambaran
umum
mengenai
Format
Bisnis
Waralaba
(franchise). 2. Gambaran umum mengenai PT. X sebagai pemegang merk Minimarket X.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
10
BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X) Bab ini menjelaskan deskripsi hasil penelitian, analisa, dan pembahasan seluruh uraian mengenai informasi dan data yang telah dikumpulkan dan dikaitkan dengan cara berpikir penulis untuk
mendapatkan
jawaban
terkait
pokok
permasalahan
penelitian. Bab 5 terdiri dari : 1. Analisis pemotongan atas pajak penghasilan royalti dari franchisee ke PT X sebagai franchisor sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik. 2. Analisis dampak pemotongan penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba PT X.
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini dikemukakan simpulan yang diperoleh berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya selain itu disampaikan juga saran yang dianggap perlu oleh penulis. Bab 6 terdiri dari 2 sub bab: 1. Kesimpulan 2. Saran
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 2 KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Literatur Dalam penyusunan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang secara garis besar memiliki karakteristik penelitian yang sama. Dengan melakukan tinjauan pusataka ini, diharapkan dapat memberi informasi mengenai topik penelitian yang akan dilakukan. Penelitian yang pertama ditinjau oeh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Ning Rahayu, mahasiswi Program Studi Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 1998, yaitu berupa tesis dengan judul “Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan Kepastian Hukum Dan Mencegah Penghindaran Pajak)”. Tujuan dari penulisan tesis tersebut adalah untuk memperjelas perbedaan antara royalti dan imbalan jasa teknik, perlakuan pengenaan PPh antara keduanya serta menguraikan permasalahan-permasalahan yang timbul sekaligus mencari jalan keluarnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis tersebut adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wwawancara dengan pihak-pihak terkait. Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa royalti dan imbalan jasa teknik sebenarnya merupakan objek pajak yang sangat potensial, namun belum tergali secara maksimal, karena terhambat oleh kendala pemahaman yang belum merata mengenai pengetahuan perpajakan yang menyangkut masalah-masalah khusus di kalangan petugas, serta belum adanya surat edaran/penegasan lebih lanjut yang lebih terperinci mengenai royalti dan imbalan jasa teknik. Hal ini menyebabkan baik petugas pajak maupun wajib pajak membuat penafsiran sendiri-sendiri yang cenderung menguntungkannya. Untuk menjamin kepastian hukum, sebaiknya dibuat surat edaran khusus yang menjelaskan mengenai perbedaan dan ciri-ciri khushs yang menjelaskan mengenai perbedaan dan ciri-ciri
11 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
12
khusus antara royalti dan imbalan jasa teknik disertai dengan contoh-contohnya. Sedangkan untuk meningkatkan keseragaman pemahaman mengenai pengetahuan perpajakan yang bersifat khusus, sebaiknya dilakukan pendidikan khusus secara periodik dan berkesinambungan. Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Dini Aulia, yaitu berupa skripsi dengan judul “Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France – franchisor Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia – terhadap praktik penghindaran pajak dan azas kepastian hukum)”, penelitian ini dibuat pada tahun 2002 oleh mahasiswa program sarjana Ilmu Administrasi Fiskal. Metode yang digunakan oleh Dini Aulia adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan penulisannya, tipe penelitiannya adalah deskriptif analisis, yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secara menyeluruh mengenai aspek perpajakan dalam bisnis franchise. Adapun hasil dari penelitian Dini adalah dalam pelaksanaan bisnis franchise,
terdapat
transaksi-transaksi
yang
menghasilkan
obyek
pajak
penghasilan seperti royalti, imbalan jasa teknik, dan kegiatan impor barang. Untuk penjelasan secara lebih detail, dapat dilihat dari matriks dibawah ini: Nama Peneliti Judul Karya Ilmiah
Tujuan Penelitian
TABEL KAJIAN LITERATUR Ning Rahayu (1998) Dini Aulia (2002) Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Dan Imbalan Jasa Teknik: Baik Franchise Di Indonesia (Suatu Analisa Berdasarkan Ketentuan Domestik Kontrak Franchise antara Le France – Maupun Perjanjian Internasional franchisor Perancis – dengan PT. X – (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan Franchisee Indonesia – terhadap Kepastian Hukum Dan Mencegah praktik penghindaran pajak dan azas Penghindaran Pajak) kepastian hukum) 1. Menguraikan mengenai 1. Menggambarkan secara menyeluruh pengertian-pengertian royalti dan mengenai bisnis yang menggunakan jasa teknik serta perbedaan hakiki format franchise serta transaksiantara royalti dan jasa teknik transaksi didalamnya yang tersebut. merupakan objek pajak penghasilan, 2. Menguraikan perlakuan pada bisnis franchise pada pengenaan pajak penghasilan umumnya dan berdasarkan kontrak (PPh) atas royalti dan imbalan jasa franchise antara Le France dan PT. teknik X pada khususnya. 3. Menguraikan permasalahan2. Menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang timbul ketentuan perpajakan domestik dan sehubungan dengan perbedaan internasional atas transaksi-transaksi pengertian royalti dan imbalan yang kerap terjadi dalam bisnis jasa teknik serta permasalahan franchise. sehubungan dengan perbedaan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
13
Nama Peneliti
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
TABEL KAJIAN LITERATUR Ning Rahayu (1998) perlakuan PPh atas royalti dan 3. imbalan jasa teknik, untuk kemudian menganalisis hal-hal yang menyebabkan timbulnya permasalahan-permasalahan tersebut. 4. 4. Menguraikan upaya-upaya yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Untuk mengatasi permasalahan perbedaan pengertian dan perbedaan perlakuan PPh atas royalti dan imbalan jasa teknik dan menganalisis sampai sejauh mana kemungkinan upaya-upaya yang dilakukan tersebut mencapai
Dini Aulia (2002) Menggambarkan dan menganalisis praktik penghindaran pajak yang dimungkinkan terjadi atas transaksitransaksi yang terjadi di dalam bisnis franchise. Menganalisis penerapan ketentuan pajak penghasilan atas transaksitransaksi dalam bisnis franchise, terhadap azas kepastian hukum.
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Pendekatan Penelitian: Kualitatif
Jenis Penelitian yang digunakan:
Jenis Penelitian yang digunakan:
Deskriptif Analisis.
Deskriptif Analisis
Metode Pengambilan Data: Studi
Metode Pengambilan Data: Studi
Kepustakaan dan Wawancara
Kepustakaan dan Wawancara
Mendalam
Mendalam
1.
2.
Untuk pemberian informasi yang 1. memberikan royalti dan pemberian informasi yang memberikan imbalan jasa teknik dalam praktik di lapangan sering menimbulkan dispute antara petugas pajak dengan Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan pengertian royalti menurut ketentuan perpajakan domestik (yang hanya diatur dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang PPh yang sedang berlaku) dan pengertian jasa teknik (yang hanya diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak 2. Nomor: SE.08/PJ.222/1984 tanggal 15 Maret 1984) masih memerlukan penegasan lebih lanjut yang lebih detail dengan menyebutkan ciri khas dari royalti dan imbalan jasa teknik.. hukum mengenai hal tersebut (baik kepastian mengenai obyek yang semestinya menjadi dasar pengenaan pajak maupun kepastian mengenai jumlah pajak yang harus
Dengan menganalisis kontrak franchise Le France dan PT. X dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan Bisnis franchise, terdapat transaksi-transaksi yang menghasilkan obyek pajak penghasilan seperti royalty, imbalan jasa teknik dan kegiatan impor barang. Di samping itu, kontrak bisnis franchise juga menetapkan / menyepakati adanya biaya-biaya rutin yang akan dikeluarkan sepanjang pelaksanaan kontrak franchise. Pembayaran royalty yang diterima oleh Le France dikenakan pajak penghasilan pasal 26 di Indonesia, dengan pembatasan tariff dalam tax treaty Indonesia – Perancis sebesar 10%. Untuk dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan ketentuan dalam tax treaty tersebut, Le France harus menyediakan dan menyerahkan Certificate of Domicile (Surat Keterangan Domisili) dari pemerintah Perancis
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
14
TABEL KAJIAN LITERATUR Ning Rahayu (1998) dibayar) menjadi kurang terjamin.
Nama Peneliti 3.
Royalti dan imbalan jasa teknik 3. sebenarnya merupakan obyek pajak yang sangat potensial, namun potensi yang ada tersebut masih belum tergali secara maksimal, karena terhambat oleh kendala pengetahuan perpajakan, khususnya yang menyangkut pengertian dan perlakuan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik di kalangan aparat pajak yang menangani kasus-kasus Wajib Pajak.
4.
Meskipun pihak Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan 4. upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengertian dan perbedaan perlakuan PPh atas royalti dan imbalan jasa teknik, namun upaya-upaya yang dijalankan tersebut masih kurang efektif dan masih sangat minim dibandingkan dengan semakin 5. banyaknya kasus-kasus Wajib Pajak yang harus ditangani.
Dini Aulia (2002) kepada pemerintah Indonesia. Pemberian Jasa Teknik oleh Le France di Indonesia tidak melebihi Uji Waktu atau Time Test yang telah ditentukan, sehingga Le France di Perancis, diidentifikasikan tidak memiliki BUT di Indonesia. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan dalam Tax Treaty Indonesia – Perancis, Indonesia sebagai Negara sumber, tidak memiliki hak pemajakan atas imbalan sehubungan dengan kegiatan pemberian jasa teknik tersebut. Status PT. X sebagai “Development Franchisee” tidak mempengaruhi perhitungan uji waktu (time test) pemberian jasa teknik di Indonesia, sepanjang diantara kedua franchisee yang berada dalam wilayah eksklusif Indonesia benarbenar tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Terdapat dua pilihan penghitungan pajak penghasilan yang ditanggung oleh PT. X sehubungan dengan adanya pembayaran – pembayaran kepada Le France, yaitu penghitungan pajak penghasilan dengan sistem gross atau sistem gross-up. Apabila kedua penghitungan tersebut dibandingkan, maka penghitungan pajak dengan sistem gross-up akan mengimplikasikan manfaat maksimal bagi PT. X, jika penghitungan tersebut diterapkan pada saat peghasilan kena pajak (PKP) PT. X berada pada kisaran tarif lapis tertinggi (tarif lapis ke-2 dan ke-3
Sumber: Diolah kembali oleh peneliti
Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan dua penelitian di atas terletak pada subjek penelitian. Subjek pajak yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Usaha waralaba (franchise) lokal Indonesia yang saat ini semakin banyak berkembang sampai ke pelosok daerah. Penulis juga akan membahas kemungkinan adanya dispute dari kebijakan pajak pemerintah mengenai royalti
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
15
dan jasa teknik yang dalam konsep praktik usaha waralaba saat ini sangat sulit untuk dipisahkan. Penulis juga akan membahas upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh PT X dalam mengatasi permasalahan yang timbul. 2.2 Kebijakan Pajak Kebijakan pajak (tax policy) pada dasarnya merupakan suatu pemilihan berbagai alternatif yang akan dipakai untuk mencapai sasaran dari sistem perpajakan.
Dalam
memilih
alternative-alternatif
yang
berkenaan
denganpemilihan dasar pengenaan pajak dalam kebijakan perpajakan, maka harus diperhatikan
prinsip-prinsip
atau
azas-azas
perpajakan
yang
mendasari
pemungutan pajak. Mansury dalam bukunya yang berjudul “Kebijakan Fiskal” menyatakan bahwa Kebijakan Pajak dapat disebut sebagai Kebijakan Fiskal dalam artian yang sempit. Kebijakan ini pertama-tama ditentukan berdasarkan atas suatu hasil kajian tentang: sebaik apa-apa saja yang dipakai sebagai tujuan pemungutan pajak. (Mansury: 1999: 2) Senada dengan Mansury, Prathama Raharja juga mengatakan bahwa Kebijakan Pajak adalah Kebijakan Fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola atau mengarahkan perekonomian Indonesia ke kondisi yang lebih baik dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. (Raharja: 2004: 257) Mansury juga menyimpulkan bahwa dalam kebijakan perpajakan khususnya pajak penghasilan di Indonesia, perlu memperhatikan semua kepentingan dengan menerapkan azas-azas perpajakan yang sesuai. Azas tersebut menurut Mansury dapat diringkas dan dikelompokkan dalam tiga prinsip dasar yaitu jumlah penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak. Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
16
untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Itulah tiga azas yang seharusnya dipegang teguh oleh sistem Pajak Penghasilan kita yang seimbang memperhatikan semua kepentingan. The Revenue AdequacyPrinciple adalah kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan Pemerintah dan Masyarakat. (R. Mansury: 1994: 16) Selain ketiga prinsip dasar tersebut, R. Mansury (2000) juga mengatakan bahwa azas keadilan dalam pemungutan pajak dapat dicapai apabila memenuhi lima kriteria Keadilan Horizontal dan dua kriteria Keadilan Vertikal. (P. 4). Kriteria Keadilan Horizontal yaitu: 1. Definisi dari penghasilan yang menjadi Objek Pajak adalah sama untuk semua Wajib Pajak, yaitu meliputi semua tambahan kemampuan ekonomis atau semua tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa guna dipakai memenuhi kebutuhan Wajib Pajak dan anggota keluarganya. 2. Indeks bagi seorang Wajib Pajak yang dipakai sebagai ukuran kemampuan membayar (ability-to-pay) dan perbandingan dengan kemampuan Wajib Pajak lainnya adalah keseluruhan jumlah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh selama suatu jangka waktu, misalnya selama satu tahun pajak. 3. Untuk pengenaan pajak atas penghasilan, konsep ability-to-pay yang dipergunakan adalah tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan mengandung makna, bahwa yang dikenakan pajak itu hanya kelebihan penerimaan atau perolehan di atas pengeluaran biaya atau beban untuk mendapatkan penerimaan atau perolehan tersebut. Jadi, kata “tambahan” mengandung arti penghasilan netto atau net income. 4. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, sejumlah tertentu untuk kebutuhan pokoknya, seyogjanya tidak dikenakan pajak, sebab tanpa tersedianya sejumlah tertentu untuk kebutuhan pokoknya itu, Wajib Pajak yang bersangkutan tidak akan dapat mencari penghasilan yang akan dikenakan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
17
pajak. Jumlah tertentu untuk keperluan hidup Wajib Pajak itu lazimnya disebut sebagai “personal exemption” atau di Indonesia disebut sebagai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 5. Semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak harus dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan pajak dengan persentase tarif pajak yang sama. Sedangkan kriteria Keadilan Vertikal adalah: 1. Perbedaan perlakuan hendaknya hanya didasarkan atas perbedaan jumlah besarnya seluruh penghasilan dan perbedaan kemampuan membayar dari Wajib Pajak yang satu dibandingkan dengan Wajib Pajak lainnya ditentukan oleh perbedaan jumlah besarnya seluruh tambahan kemampuan ekonomis dari masing-masing Wajib Pajak tersebut. 2. Wajib Pajak dengan jumlah penghasilan seluruhnya lebih besar daripada jumlah seluruh penghasilan Wajib Pajak yang lain seyogjanya dikenakan pajak dengan persentase tarif pajak yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak lainnya tersebut.
2.3 Konsep Penghasilan Dalam Perpajakan Definisi penghasilan dalam perpajakan pada mulanya dikemukakan oleh George Schanz dan David Davidson. Seperti yang dikutip oleh Mansury, R. dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan”, George dan David mengemukakan teori yang dikenal sebagai The Accretion Theory of Income” yang menyatakan bahwa penghasilan adalah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk menguasai barang dan jasa. (R. Mansury: 2000: 37) Menurut konsep pertambahan ini, besarnya jumlah pajak yang terutang adalah atas oenghasilan yang sudah dikurangi dengan pengeluaran untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Hal ini dikarenakan pajak seharusnya dikenakan hanya atas tambahan kemampuan ekonomis saja, dan dalam hal ini
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
18
pengeluaran tersebut akan mengurangi kemampuan ekonomis dari penerima penghasilan tersebut. Selain George Schanz dan David Davidson, ahli lainnya seperti Robert Murray Haig dan Henry C. Simons juga mengembangkan definisi penghasilan untuk keperluan perpajakan. Definisi yang dikembangakan oleh Robert M. Haig hamper sama isinya dengan pendapat George Schanz, yaitu penghasilan merupakan kenaikan atau pertambahan kemampuan memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dalam jangka waktu tertentu, dimana kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat berupa uang atau segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan Henry C. Simons memaparkan penghasilan sebagai jumlah aljabar dari suatu nilai konsumsi ditambah perubahan nilai suatu harta, sehingga penghasilan itu harus bias diukur dan mengandung konsep perolehan. Ketiga definisi dari ahli-ahli tersebut disebut juga dengan istilah S-H-S (Schanz-Haig-Simons) income concept, yang menjelaskan bahwa penghasilan yang dipakai hendaknya tidak memandang sumbernya, artinya dari apa saja sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak itu juga tidak dipengaruhi oleh penggunaannya, apakah disimpan untuk hari tua, maupun dipakai habis dalam tahun itu juga untuk memuaskan kebutuhan, sama-sama dikategorikan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. (R. Mansury: 1996: 22) Parthasarathi Shome, dalam bukunya yang berjudul “Tax Policy Handbook” menjabarkan S-H-S concept, dan memenambahkannya dengan penjelasan dari John Richard Hicks yang menjelaskan definisi dari penghasilan yaitu “the maximum amount of money which the individual can spend this week, and still expect to be able to spend the same amount in real terms in each ensuing week”. (Parthasarathi Shome; 1995: 117). Dimana berarti jumlah maksimal yang dapat dihabiskan seseorang dalan satu minggu, dan masih dapat menghabiskan jumlah yang sama dalam setiap minggu berikutnya.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
19
Menurut Gunadi (2005), untuk keperluan perpajakan terdapat dua pendekatan pendefinisian penghasilan, yaitu: a.
Pendekatan sumber (source concept of income) Pendekatan sumber membatasi untuk kepentingan pajak, sehingga pendekatan ini berpendapat bahwa pengertian penghasilan adalah gunggungan penghasilan dari usaha dan tenaga, harta tak bergerak, harta bergerak dan hak atas pembayaran berkala. Menurut konsep sumber, terdapat beberapa penghasilan yang diakui oleh akuntansi tapi dianggap bukan penghasilan bagi ketentuan perpajakan (bukan objek pajak).
b.
Pendekatan pertambahan (accretion concept of income).
Pendekatan pertambahan, mendefinisikan penghasilan secara lebih meluas, yang meliputi unsur pertambahan kekayaan dan pengeluaran konsumsi tanpa memperhatikan adanya sumber dan kontinuitas aliran kemampuan ekonomis yang dimaksud. 2.3.1 Passive Income dan Active Income Selain berdasarkan konsep penghasilan di atas, penghasilan juga dapat dibedakan kedalam dua kategori yaitu penghasilan pasif (passive income) dan penghasilan aktif (active income). Kedua penghasilan ini dibedakan berdasarkan peran orang yang mendapatkan penghasilan tersebut. Apakah orang tersebut melakukan suatu kegiatan atau tidak melakukan kegiatan dalam mendapatkan penghasilan tersebut. Secara teori, passive income menurut Barry Larking, seperti yang dikutip dalam buku karya Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi yang berjudul “Konsep Dan Aplikasi Perpajakan Internasional” mengatakan (Darussalam, Hutagaol, Septriadi: 2010: 129) : “A term used generally to describe investment income. The term may be so used in the context of anti avoidance measures such as controlled foreign company rules. The term is also used specifically refer to income from a passive activity such as rental income or business in which the recipient does not materally participate.”
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
20
Pernyataan dari Barry Larking tersebut dapat diartikan sebagai berikut. Passive Income adalah Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan penghasilan dari investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan dalam konteks anti avoidance measures seperti peraturan controlled foreign company. Istilah ini juga biasanya mengacu secara spesifik kepada penghasilan yang didapatkan dari aktifitas pasif seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang penerima penghasilannya tidak ikut terlibat. Dengan mengacu pada konsep di atas, secara singkat passive income diperoleh oleh penerima penghasilan tanpa harus ikut serta dan terlibat langsung dalam rangka mendapatkan penghasilan tersebut. Sedangkan jenis penghasilan lain adalah active income. Masih mengacu pada buku yang sama, Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau disebut juga business incom dapat dibedakan dari passive income sebagai berikut: 1. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penhasilan diperoleh melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, 2. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis.
2.4 Konsep Franchise Kata franchise memang sedang marak karena sudah berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut tidak lepas dari menariknya format bisnis yang ditawarkan. Karena itu, menarik untuk diketahui darimanakah istilah franchise ini dimulai hingga bisa masuk ke Indonesia dengan sebutan bisnis waralaba. Istilah franchise berasal dari bahasa perancis, yang singkatnya berarti bebas atau bebas dari perhambaan (free from servitude). Makna dari kata bebas tersebut adalah, format bisnis franchise menawarkan kepada penggunanya kebebasan dalam memiliki dan menjalankan usahanya sendiri.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
21
Dalam memberikan waralaba, Pemberi Waralaba tentu memperoleh keuntungan yang tidak sedikit. Hal ini tentu juga menjadi faktor pendorong perkembangan waralaba itu sendiri. Selain menerima franchise fee dari Penerima Waralaba, Pemberi Waralaba juga menerima royalti atas hak kekayaan intelektual terkait yang digunakan oleh Penerima Waralaba, serta memperoleh penghasilan tambahan dari pembayaran-pembayaran atas program latihan khusus yang diselenggarakan oleh Pemberi Waralaba bagi Penerima Waralaba. Pemberi Waralaba juga mendapatkan keuntungan berupa kemampuan untuk bertumbuh tanpa adanya biaya pengembangan manajer kunci secara internal. Usaha yang dimiliki oleh Pemberi Waralaba akan berkembang dan menjadi luas dengan cepat, tanpa menggunakan modal dari Pemberi Waralaba itu sendiri. Dengan kata lain, Pemberi Waralaba tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perluasan usaha yang dimilikinya. Biaya tersebut akan ditanggung dengan sendirinya oleh Penerima Waralaba. Pemberi Waralaba juga tidak perlu berurusan dengan manajemen dari cabang-cabangnya, karena hal tersebut akan dilakukan oleh Penerima Waralaba. Disisi lain, Penerima Waralaba memilih sistem waralaba, karena dengan mempergunakan sistem ini Penerima Waralaba dapat menekan biaya yang diperlukan untuk memulai usahanya. Hal ini kurang lebih disebabkan karena produk-produk atau jasa-jasa yang dimiliki oleh Pemberi Waralaba biasanya telah terbukti kualitasnya, dikenal dan telah memiliki pangsa pasar yang jelas. Dengan demikian, Penerima Waralaba dapat mengurangi resiko usaha. Selain itu, dalam hal kegiatan operasional, Penerima Waralaba dapat memperoleh dukungan untuk memulai usaha, dukungan selama beroperasi, dan ketersediaan pelatihan dan tenaga-tenaga ahli dari Pemberi Waralaba. Dalam perkembangan lebih lanjut, franchise tidak hanya disorot dari aspek pemasarannya saja, melainkan lebih ditekankan pada aspek hubungan kerja sama yang terikat kontrak (contractural relationship) antara franchisor dan franchisee. Selain itu, juga terjadi pengembangan dan penyempurnaan konsep dan sistemnya, guna memberikan kemudahan bagi para frnachisee dalam menjalankan sistem tersebut.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
22
Seiring perkembangannya, definisi franchise mulai berubah mengikuti perkembangan, franchise pada dasarnya bukan lagi suatu bisnis, melainkan suatu metode untuk melakukan bisnis, metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat (Loyd Tarbutton: 1986) atau dapat dikatakan juga, franchise adalah suatu konsep pemasaran (Martin Madelsohn: 1982). Pembakuan dan standarisasi dilakukan pada pedoman operasi usaha, sehingga menjadi suatu konsep bisnis total (Total Business Concept) yang dikemas ke dalam suatu format bisnis atau paket usaha terpadu yang standar dan mudah ditransfer serta dijalankan secara universal , dan dapat diterapkan oleh para calon wirausaha dari beragam kultur mancanegara. Dari sanalah ”konsep franchise” lahir, yang lebih dikenal dengan ”Business Format Franchise”. Menurut International Franchise Association (IFA), definisi dari Business Format Franchise adalah ”suatu hubungan kerja sama yang terikat kontrak antara franchisor dan franchisee, dimana: a. franchisor menawarkan atau diwajibkan untuk memberikan manfaat secara berkesinambungan bagi kegiatan usaha franchisee, dalam bentuk, misalnya, pemberian pengetahuan dan pelatihan. b. Franchisee beroperasi di bawah suatu merek dagang, format dan atau prosedur yang dimiliki dan dikendalikan oleh franchisor, dan c. Franchisee sudah atau akan melakukan penanaman modal pada kegiatan usahanya dengan modal yang berasal dari sumber permodalannya sendiri. Hal ini merupakan definisi franchise yang berlaku umum di Amerika Serikat. Namun masih dianggap belum sempurna. Sedangkan Franchise Format Bisnis menurut Martin Madelsohn, adalah pemberian sebuah lisensi oleh seorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. (Martin Madelsohn: 1993) Yang dimaksud format bisnis terdiri atas:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
23
Konsep bisnis yang menyeluruh, maksudnya adalah hal-hal yang menyangkut pengembangan dan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses pada seluruh aspeknya yang dilakukan oleh franchisor. Dalam hal ini franchisor akan memberikan konsep usahanya agar franchisee dapat menjalankan bisnis tersebut. Konsep tersebut diharapkan mampu meminimalisir sebaik mungkin, resiko yang biasanya melekat pada bisnis yang baru saja dimulai. Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep franchisor. Franchisee dalam hal ini akan dilatih mengenai bisnis yang diperlukan untuk mengelola bisnis, sesuai dengan konsep yang diberikan oleh franchisor. Misalkan dengan pelatihan menggunakan peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses. Pelatihan ini hendaknya dilakukan hingga dapat dikatakan relatif ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan bisnis waralaba tersebut. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus. Franchisor pada umumnya akan memberikan berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti: - Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee. - Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman. - Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinankemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada. - Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya. - Riset Pasar. - Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional - Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran. - Nasihat dan jasa manajemen dan akunting. - Penerbitan News Letter. - Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
24
2.4.1 Waralaba (Franchise) di Indonesia Di Indonesia, kata franchise telah diterjemahkan sebagai waralaba yang bila diartikan menjadi dua suku kata yaitu "wara" yang berarti lebih dan "laba" yang berarti untung. Jadi, waralaba dalam bahasa Indonesia dapat diartikan secara harfiah menjadi "lebih untung". Dengan kata lain, waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan standarisasi kesepakatan. (Novitasari: 2010: 2) Definisi lainnya dari bisnis waralaba menurut Novitasari adalah suatu bentuk usaha kerja sama antara pemilik waralaba atau pewaralaba (franchisor) dengan penerima waralaba atau terwaralaba (franchisee) dalam mengadakan persetujuan jual beli hak monopoli untuk menyelenggarakan usaha (waralaba). Kerja sama ini biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana pembangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, pembukuan, pencatatan dan akuntansi, konsultasi, standarisasi, promosi, pengendalian kualitas, riset, nasihat hukum, dan sumber-sumber permodalan.
2.5 Konsep Royalti Dalam masa sekarang ini, mungkin kata royalti sudah tidak asing lagi didengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata royalti sudah menjadi kata yang umum untuk digunakan, dengan mengartikannya sebagai bayaran atau imbalan untuk penggunaan suatu hak atau kepemilikan. Namun dalam menjalankan suatu bentuk usaha franchise, perlu dicermati lebih dalam lagi apa yang dimaksud dengan royalti tersebut, dan bagaimana peranannya dalam usaha waralaba (franchise) di Indonesia. Untuk mengetahui apa arti royalti yang sebenarnya, dapat dilihat dari penjelasan yang dikemukakan beberapa pakar. Contohnya, Rachmanto Surahmat dalam bukunya yang berjudul ”Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda” mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
25
harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian hak tersebut. (Rachmanto Surahmat: 2000: 173) Berbeda dengan Rachmanto, Mansury mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari sang penemu. Royalti menurut Roy Rohatgi dalam bukunya yang berjudul “Basic International Taxation” menyatakan : “royalty is normally a payment received for the use or the right to use any intangible right or know how under license” (Roy Rohetgi: 2005: 272) Atau terjemahannya “royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan persentase dari penjualan atau keuntungan.
2.5.1 Manfaat Royalti Dalam Bisnis Waralaba Menurut Bije Widjajanto dalam bukunya yang berjudul “Cara Aman Memulai Bisnis”, menjelaskan ada dua manfaat pembayaran royalti untuk franchisee. Manfaat royalti yang pertama menurut Bije adalah franchisee akan mendapatkan manfaat sepenuhnya dari sistem yang diberikan oleh franchisor. Selain manfaat yang diperoleh dari sistem franchise yang digunakan, franchisee juga memerlukan dukungan dalam mengoperasikan bisnisnya dari waktu ke
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
26
waktu. Ketika sedang berjalan lancer pun, franchisee tetap membutuhkan dukungan franchisor-nya. Misalnya, pengembangan produk, pengembangan brand, ataupun pengembangan strategi yang lebih baik dalam melakukan pengelolaan pelanggan. (Bije Widjajanto: 2009: 111) Dukungan franchisor lebih diperlukan lagi ketika franchisee mengalami masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga sasaran-sasaran bisnisnya bias tercapai dan franchise bias mendapatkan keuntungan usaha. Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara seragam diberikan kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan tambahan yang diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah. Kedua manfaat yang dijelaskan oleh Bije Widjajanto tersebut merupakan alasan mengapa royalti penting bagi franchisee. Tanpa pembayaran royalti, sulit bagi franchisee untuk menuntut franchisor melakukan sesuatu bagi franchisee baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, ini adalah sisi “ongkos” dari pembayaran royalti. Sebaliknya bagi sisi franchisor pembayaran royalti akan menjadi “utang”. Dengan adanya pembayaran royalti yang diterima, franchisor akan mempunyai beberapa tanggung jawab kerja, biaya administrasi, telekomunikasi, dan lainnya. Dari tanggung jawab tersebut franchisor harus menyediakan dana operasional, dan dana itu akan diambil dari pembayaran royalti oleh franchisee.
2.6 Konsep Jasa Teknik Secara singkat, Imbalan Jasa Teknik dapat diartikan sebagai imbalan yang diberikan kepada suatu pihak tertentu atas pekerjaan yang dilakukannya terkait dengan spesifikasi profesional suatu bidang khusus tertentu, termasuk di dalamnya seni dan teknik perancangan khusus. Philip Kotler (1997:476) mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik. Kemudian pakar lain yaitu A. Noteboom dalam bukunya menyebutkan:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
27
“The following three types of technical assistance will be considered: 1. The rendering of technical in relation to a specific project in the industrial field, 2. The rendering of technical assistance in relation to the production of certain products, and 3. The rendering of technical services in the management field.” Maksud dari A. Noteboom tersebut adalah, tiga bentuk jasa yang dapat dikatakan sebagai jasa teknik adalah: 1. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di bidang industri 2. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi untuk produk tertentu, dan 3. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen. Ahli lainnya yaitu Rohatgi menyebutkan jasa teknik sebagai penggunaan atas suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan kepada pihak lain dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki tanggung jawab atas hasil pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan jasa teknik terdapat showhow. Show-how menurut rohatgi adalah proses memberikan pengetahuan melalui instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan teknik lainnya. Pembayaran atas show-how tersebut biasanya berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan oleh penerima jasa. (Rohatgi: 2005: 527) Untuk membedakan pengertian antara royalti dan jasa teknik, Rahayu membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya sebagai berikut:
Royalti dari know-how 1.
Imbalan Jasa Teknik
Pemilik know how tidak ikut serta
1.
dalam mengaplikasikan formula,
pemberian jasa dan bertanggung
serta
jawab
tidak
bertanggung
jawab
terhadap hasil yang diperoleh 2.
Pemberi jasa ikut serta dalam
Informasi (know how) diberikan tanpa kehadiran si pemilik
terhadap
hasil
yang
diperoleh 2.
Jasa
teknik
pada
umumnya
diberikan dengan kehadiran dan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
28
Royalti dari know-how 3.
Pembayaran umumnya
Royalti didasarkan
Imbalan Jasa Teknik pada atas
persentase penjualan (dapat juga bersifat Lump sum)
keterlibatan pemberi jasa dalam pemberian jasa tersebut 3.
Pembayaran imbalan jasa teknik pada umumnya didasarkan atas jumlah
jam
kerja
(“working
hours”) yang dihabiskan untuk melaksanakan
pemberian
jasa
tersebut.
2.8 Bagan Alur Pemikiran
Format Bisnis Waralaba (Franchise) Lokal Indonesia
Penghasilan PT. X Dari Bisnis Waralaba Retail (Active / Passive Income)
Menjabarkan Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Dilakukan Oleh PT. X
Menentukan Royalti Atau Jasa Teknik
Dampak yang disebabkan pemotongan pajak oleh PT X
Kesimpulan Dan Saran Dari Analisis
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
29
Alur Pemikiran peneliti didasari dari Format Bisnis Waralaba Lokal Indonesia yang sedang berkembang pesat. Peneliti kemudian memfokuskan penelitian kepada PT X selaku franchisor dari waralaba X. Dari waralaba X tersebut, peneliti menganalisis penghasilan PT X yang didapatkan dari royalti, kemudian mendinisikannya sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik dengan cara melihat sumber penghasilannya. Setelah mendefinisikan royalti dan jasa teknik, peneliti menganalisis bagaimana PT X yang menangani keuangan franchisee memotong pajak atas penghasilannya yang berupa royalti. Peneliti kemudian menganalisis dampak yang timbul akibat dari pemotongan yang dilakukan tersebut. Setelah mendapatkan jawabannya, peneliti kemudian menjabarkan kesimpulan serta saran dari analisis yang telah dilakukan.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian secara umum didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis maupun teoritis. Dikatakan sebagai “kegiatan ilmiah” karena penelitian dengan aspek ilmu pengetahuan dan teori. “Terencana” karena penelitian harus direncanakan dengan memperhatikan waktu, dana dan aksesibilitas terhadap tempat dan data. (Conny R. Semiawan; 2010)
3.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambaran
holistic
lengkap
yang dibentuk
dengankata-kata,
melaporkan
pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah. (Creswell; 2003:18) Sedangkan menurut Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. (Moleong: 2011: 6). Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk membahas secara mendalam bagaimana perlakuan kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik dalam bisnis waralaba retail lokal di Indonesia, dalam hal ini terhadap PT. X yang dilatarbelakangi adanya kerancuan dalam pengenaan kebijakan pajak atas penghasilan royalti atau imbalan jasa teknik. Penelitian ini juga membahas suatu konteks khusus yaitu royalti dan jasa teknik dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah dari para ahli dalam bidangnya.
30 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
31
3.2. Jenis Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penulisan penelitian ini, maka penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang berusaha menggambarkan atau menjelaskan secermat mungkin mengenai suatu hal dari data yang ada. Jenis penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan data , tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu, menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis, dan teoritis. (Irawan: 2004: 60) Dalam penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian deskriptif juga dikarenakan
penulis
membahas
secermat
mungkin
mengenai
gambaran
pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam bisnis waralaba. Selanjutnya akan dianalisis ketentuan-ketentuan perpajakan yang mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang didapatkan dari Royalti den Jasa Teknik. Berdasarkan
uraian-uraian
yang
dilakukan,
penulis
akan
menganalisis
kemungkinan upaya apa saja yang dilakukan baik oleh para pelaku bisnis waralaba, maupun oleh pemerintah yang membuat kebijakan.
3.3. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, tehnik pengumpuan data yang digunakan oleh peneliti adalah antara lain: a. Studi Kepustakaan Dalam studi kepustakaan, peneliti memperoleh berbagai informasi, pendapat, konsep dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan fenomena yang terjadi di lapangan dengan cara membaca dari sumber bahan cetak (buku, artikel, koran dan Undang-Undang). Tujuan penulis menggunakan studi kepustakaan adalah sebagai acuan teori yang akan digunakan untuk menganalisis data, serta memberikan kerangka untuk menentukan
signifikansi
penelitian
dan
sebagai
acuan
untuk
membandingkan hasil suatu penelitian dengan temuan-temuan lainnya. b. Studi Lapangan Untuk melengkapi dan memperkuat analisis, penulis juga melakukan studi lapangan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
32
beberapa nara sumber, yang diharapkan dapat menarik referensi mengenai sudut pandang, kejadian, peristiwa dan proses yang diamati. Dalam melakukan wawancara mendalam penulis akan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dalam mengajukan pertanyaan kepada para narasumber. (Irawan: 2004: 60)
3.4. Narasumber / Informan Informan yaitu pemberi informasi atau sumber informasi dalam penelitian. Informan yang dihadirkan dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai key informant, yang sengaja dipilih oleh peneliti. Pemilihan informan (key informant)pada penelitian difokuskan pada representasi atas masalah yang diteliti54. Pemilihan informan (key informant) pada penelitian difokuskan pada representasi atas masalah yang diteliti. Perencanaan dalam melakukan wawancara harus dilakukan dengan benar, sehingga dalam pelaksanaannya peniliti tidak akan merasa kesulitan. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan, menurut Moleong (2011: 199), yaitu: 1. Menentukan siapa yang akan diwawancarai; Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah peneliti harus benarbenar tahu pihak mana saja yang perlu diwawancarai. Informan adalah mereka yang berperan, yag pengetahuannya luas tentang daerah atau lembaga penelitian dan yang suka bekerja sama untuk kegiatan penelitian yang sedang dilakukan. 2. Mencari tahu bagaimana cara terbaik melakukan kontak dengan informan; Jika informan merupakan orang-orang pilihan, maka yang menghubungi informan tersebut adalah peneliti. 3. Mengadakan persiapan yang matang untuk pelaksanaan wawancara; Sebelum melakukan wawancara, peneliti sebaiknya melakukan latihan untuk memperkenalkan diri dan memberi penjelasan singkat mengenai masaalah yang diangkat dalam penelitian tersebut. Dalam hal berpakaian pun peneliti harus mempersiapkannya. Karena cara berpakaian merupakan kesan pertama yang ditangkap informan terhadap peneliti.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
33
Penentuan informan merupakan hal yang penting dalam penelitian, karena informan ini akan menjadi sumber informasi yang potensial bagi peneliti dalam menjawab masalah yang ada. Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara kepada para informan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam dan bersifat objektif mengenai fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis akan mengelompokkan informan ke dalam beberapa kelompok, yaitu::
1. Pihak DJP Kelompok ini adalah pejabat Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang tugasnya sehari-hari sangat terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini wawancara pertama dilakukan terhadap: 1. Dr. Prof. Poltak John Liberty Hutagaol, M.Ec.(Acc)., M.Ec.(Hons), Ak., sebagai Tenaga Ahli Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Perpajakan Ditjen Pajak. Informasi yang ingin diperoleh adalah informasi tentang dasar pemikiran dari penetapan kebijakan pajak atas royalty dan jasa teknik serta perbedaan perlakuannya dalam pelaksanaan di lapangan.
2. Pihak Praktisi Kelompok ini adalah Wajib Pajak yang melakukan transaksi royalti dan jasa teknik. Dalam penelitian ini Wajib Pajak tersebut adalah: 1. PT. X sebagai pengelola gerai-gerai Minimarket X. Diwakilkan oleh Tomy Sugianto sebagai Regional Franchise Manager dan Enny Agustianty Jacob sebagai Franchise Support General Manager. 2. Suryono Ekotama selaku ketua praktisi dan konsultan bisnis/ marketing Barracuda. 3. Tugiman Binsarjono sebagai pendiri konsultan Suluh Prima Target, dan mantan pemeriksa pajak di DJP.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
34
PT. X merupakan pengelola gerai-gerai Minimarket X. Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap manager keuangan PT. X yang sehari-hari terkait dengan transaksi pembayaran royalti dan jasa teknik. Informasi yang ingin didapatkan dari wawancara tersebut adalah informasi mengenai masalah-masalah yang timbul dalam rangka pemotongan pajak atas transaksi yang terkait dengan royalty dan jasa teknik. Penulis juga akan mencari informasi mengenai upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi fenomena dari masalah yang dihadapi serta kebijakan apa yang diambil oleh perusahaan sebagai pihak yang dipotong. Wawancara kedua kepada Suryono Ekotama selaku pengamat perkembangan bisnis waralaba di Indonesia. Informasi yang ingin didapatkan dari wawancara adalah tentang konsep dasar operasional dari format bisnis waralaba. Wawancara ketiga kepada Tugiman Binsarjono dilakukan dengan tujuan ingin mendapatkan pendapat serta saran-saran terkait dengan adanya dispute dalam kebijakan dan peraturan terkait dengan pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba lokal Indonesia. Saran yang ditanyakan adalah saran untuk PT. X sebagai pelaku bisnis dan DJP selaku pembuat kebijakan.
3. Pihak Akademisi Perpajakan Akademisi yang dipilih untuk diwawancarai dalam penelitian ini adalah: 1. Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak Pemilihan akademisi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa informan sangat memahami perpajakan yang terkait dengan transaksi atas royalti dan imbalan jasa teknik. Informan juga merupakan pengajar mata kuliah PPh Badan. Wawancara dengan
akademisi
tersebut
dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi mengenai kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam kebijakan yang terkait dengan royalti dan jasa teknik. Peneliti juga bermaksud mendapatkan informasi mengenai upaya-upaya yang
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
35
sebaiknya diambil dalam menghadapi kelemahan-kelemahan dari kebijakan tersebut.
3.5. Proses Penelitian Peneliti mengawali penelitian ini, dimulai dari ketertarikan peneliti terhadap kerancuan kebijakan pajak atas royalti dan imbalan jasa teknik apabila diimplementasikan kedalam format bisnis waralaba di Indonesia. Dari ketertarika tersebut, peneliti melihat bahwa telah terjadi ketidak sesuaian dalam pemungutan pajak dari penghasilan royalti dan imbalan jasa teknik dalam format bisnis waralaba dengan konsep royalti dan jasa teknik. Karena dalam format bisnis waralaba, penghasilan dari royalti tersebut dapat dikatakan bukan lagi dari penghasilan pasif karena pemberi lisensi juga ikut berkecimpung dalam operasional bisnis tersebut. Hal itu akan menjadi terkait dengan penjelasan imbalan jasa teknik. Kerancuan tersebut tentu akan berpengaruh kepada kebijakan yang berlaku menjadi tidak sejalan dengan implementasinya. Dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis pertanyaan tentang hambatan-hambatan yang terjadi dalam penentuan kebijakan dalam pemotongan pajak penghasilan atas royalti atau jasa teknik. Penulis juga akan menganalisis upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan dan mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam transaksi tersebut. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut penulis akan mengawali penelitian dengan pengumpulan data yang terkait dengan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari teori-teori dasar yang terkait dengan fenomena dan pertanyaan penelitian dengan mambaca sumber-sumber
media
cetak seperti buku teori, majalah, jurnal, dan internet. Untuk menguatkan dasar analisis, peneliti juga melakukan wawancara dan diskusi mendalam dengan pejabat Negara yang dianggap kompeten dalam kebijakan atas royalti dan jasa teknik tersebut. Untuk mengetahui tingkat validitas dalam penelitiannya, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada akademisi untuk mengetahui perlakuan pajaknya dan dampaknya pemungutan pajak di lapangan. Tidak lupa peneliti juga akan mewawancarai para pelaku bisnis yang terkait dengan format bisnis waralaba Indonesia. Dalam hal ini penulis akan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
36
mewawancarai pejabat dari PT. X yang bergerak sebagai pengelola gerai waralaba X di Indonesia. Setelah mendapatkan data yang cukup untuk melakukan analisis, penulis menggunakan data-data tersebut untuk melakukan analisis terhadap pokok permasalahan penelitian yaitu kendala-kendala yang dialami di lapangan serta upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang terkait dalam transaksi royalti dan jasa teknik tersebut. Dengan melakukan analisis, penulis akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan permasalahan penelitian, dan menarik kesimpulan yang didapatkan dari jawaban tersebut. Penulis juga akan memberikan saran-saran terkait dengan fenomena penelitian.
3.6. Site Penelitian Site merupakan konteks dimana suatu fenomena terjadi. Site memiliki banyak hubungan sosial, keragaman aktivitas dan kejadian akan menghasilkan data yang kaya dan menarik. Dalam penelitian ini, site yang digunakan oleh peneliti adalah PT. X selaku perusahaan yang mengelola format bisnis waralaba retail Minimarket X.
3.7. Batasan Penelitian Pembatasan dalam penelitian ini ditujukan agar penelitian menjadi lebih focus dan terarah. Pembatasan pertama yang dilakukan terletak pada ruang lingkup penelitian yang hanya terkonsentrasi pada penghasilan royalti dan jasa teknik dalam format bisnis waralaba. Pembatasan yang kedua adalah penelitian ini hanya dalam ruang lingkup PT. X sebagai pengelola waralaba retail Minimarket X.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Bisnis Waralaba (Franchise) Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia pengertian franchising atau sistem franchise adalah suatu bentuk kerjasama manufaktur atau penjualan antara pemilik franchise dan pembeli franchise atas dasar kontrak dan pembayaran royalty. Kerjasama ini meliputi pemberian lisensi atau hak pakai oleh pemegang franchise yang memiliki nama atau merek, gagasan, proses, formula, atau alat khusus ciptaannya kepada pihak pembeli franchise disertai dukungan teknis dalam bentuk manajemen, pelatihan, promosi, dan sebagainya. Untuk itu, pembeli franchise membayar hak pakai tersebut disertai royalty, yang pada umumnya merupakan prosentase dari jumlah penjualan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba disebutkan bahwa waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Dalam PP No. 17 Tahun 1997 tentang Waralaba tersebut disebutkan pula bahwa Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; sedangkan Penerima Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba. Menurut Suryono Ekotama (Ekotama, 2010, p. 5) franchisor adalah pemilik bisnis franchise atau orang yang mem-franchise-kan usahanya. Franchisor mendapatkan keuntungan dari bisnis franchise-nya berupa franchise fee dan royalty fee serta keuntungan dari penjualan bahan baku. Masih menurut Ekotama, franchisee adalah orang atau perusahaan yang membeli bisnis franchise dari franchisor. Hak utama franchisee adalah mendapatkan supporting management
37 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
38
dari franchisor, kapanpun dibutuhkan, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian franchise. Berdasarkan PP 17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, di mana perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Dari beberapa definisi mengenai franchise, dapat dilihat bahwa setiap model perjanjian franchise sekurang-kurang memuat unsurunsur sebagai berikut: 1. adanya perjanjian atau perikatan antara dua pihak, yaitu pihak pemberi waralaba (franchisor) dan pihak penerima waralaba (franchise). 2. pihak franchisor memberikan suatu hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya kepada pihak franchisee yang berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan company support. 3. pihak franchisee memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan; perjanjian atau perikatan dilakukan dalam rangka penyediaan barang atau jasa; 4. adanya syarat-syarat lain yang harus dipenuhi masing-masing pihak. Hukum dan peraturan franchise di Indonesia telah diatur pada peraturan pemerintah (PP) No.42 tahun 2007 dan peraturan menteri perdagangan R.I nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 didalam peraturan tersebut telah dibahas dan dijelaskan bagaimana tata tertib dan hak dan kewajiban pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya dengan cara franchise maka didalam PP No.42 tahun 2007 telah dijelasksn kriteria dari bisnis yang dapat difranchise antara lain : memiliki ciri khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan,memiliki standar atas pelayanan atau barang dan jasa ditawarkan secara tertulis, mudah diajarkan atau diaplikasikan, adanya dukungan berkesinambungan, hak kekayaan intelektual yang telah didaftarkan selanjutnya pada PP No.42 tahun 2007 didalamnya dibahas pula bagaimana hubungan yang baik antara pemberi franchise ( franchisor) dan penerima franchise ( franchisee) yaitu mengatur kewajiban sebagai franchisor
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
39
untuk memberikan binaan dan bimbingan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional, bagaimana pemasarannya, manajemen didalamnya, riset dan pengembangan kepada franchisee secara berkelanjutan atau berkesinambungan. Pada peraturan menteri perdagangan atau yang disingkat PerMen No.31/MDAG/PER/8/2008 maka hal yang mendasar adalah pentingnya pelaku usaha franchise Indonesia harus memiliki surat pendaftaran waralaba yang dikeluarkan dinas terkait yang kita kenal dengan STPW, STPW adalah bukti bahwa perusahaan franchise yang kita jalankan sudah diakui sebagai usaha franchise yang mendaftarkan usaha franchisenya diwilayah negara kesatuan republik Indonesia maka dengan adanya peraturan tersebut setiap pelaku usaha yang menjalankan bisnis dengan konsep franchise baik didalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri harus memiliki STPW yang dikeluarkan pejabat terkait di depatemen perdagangan sehingga menjadikan franchise indonesia lebih tertib secara hukum dan administrasi. Dalam PP No. 42 tahun 2007 disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6 (enam) kriteria, yaitu: 1. Memiliki ciri khas usaha. “ciri khas” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan konsumen selalu mencari ciri khas yang dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba. 2. Terbukti sudah memberikan keuntungan. “sudah memberi keuntungan” adalah menunjuk kepada pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan. 3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
40
Maksudnya adalah standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar operasional kerjanya). 4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan. “mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba. 5. Adanya dukungan yang berkesinambungan. “dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi. 6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar. “hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar” adalah hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, rahasia dagang sudah di daftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang. Bisnis waralaba atau franchise memiliki suatu konsep tersendiri dalam pelaksanaannya. Dalam format bisnis ini, hal yang paling utama adalah hubungan antara franchisor sebagai pemegang merk, dan franchisee sebagai yang diberikan hak untuk menggunakan merk tersebut. Dengan kata lain, franchisee telah diberikan hak oleh franchisor untuk menggunakan format bisnisnya yang tidak dimiliki oleh orang lain untuk kepentingan franchisee menjalankan usahanya. Dalam hal ini terdapat hubungan kerjasama antara franchisor dengan franchisee. Dalam kerjasama tersebut, franchisor sebagai pemilik merek, memberikan hak nya kepada franchisee untuk menggunakan merek tersebut dalam usahanya. Kemudian, berdasarkan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2007 pasal 8, disebutkan bahwa:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
41
“Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk
pelatihan,
bimbingan
operasional
manajemen,
pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan. “ Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan bahwa franchisor wajib memberikan bantuan dalam rangka membantu franchisee menjalankan usahanya tersebut secara berkesinambungan.
4.1.1 Jenis-Jenis Waralaba (Franchise) Jenis-jenis usaha franchise dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : franchise format bisnis, yang terdiri dari franchise pekerjaan, franchise usaha dan franchise investasi; dan franchise distribusi pokok. Untuk franchise format bisnis, seseorang pemegang franchise (franchisee) memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar baik dalam operasional usaha maupun pemasaran. Ada 3 (tiga) jenis format bisnis franchise, yaitu : franchise pekerjaan : franchise yang menjalankan usaha pekerjaan adalah usaha franchise yang memberikan dukungan untuk usahanya sendiri. Sebagai contoh misalnya menjual jasa penyetelan mesin mobil dengan merek tertentu. Bentuk franchise ini paling murah dan umumnya hanya membutuhkan modal kecil karena tidak menggunakan temapt dan perlengkapan yang berlebihan. franchise usaha : franchise usaha adalah jenis franchise yang paling berkembang. Bentuknya dapat berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa, atau restoran cepat saji (fast food). Biaya yang dibutuhkan untuk franchise jenis ini biasanya lebih besar karena dibutuhkan tempat usaha yang memenuhi kriteria yang diwajibkan oleh pemberi franchise (waralaba).
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
42
franchise investasi : franchise investasi adalah jenis franchise yang paling banyak membutuhkan biaya atau modal (nilai investasi yang besar). Perusahaan yang mengambil franchise investasi biasanya ingin melakukan diversifikasi usaha namun kurang berpengalaman dalam pengelolaan manajemen. Contoh usaha franchise ini adalah usaha perhotelan yang hendak menggunakan nama dan standar pelayanan hotel milik franchisor. Jenis franchise distribusi pokok adalah jenis franchise dengan memberikan lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi tertentu yang ditentukan (sub-franchise). Dalam hal ini franchisee membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual franchise di wilayah (geografis) tertentu dan bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran franchise, melatih atau membantu franchisee baru serta melakukan pengendalian, dukungan operasional serta penagihan royalty. 4.1.2 Karakteristik Bisnis Waralaba (Franchise) Bisnis waralaba (franchise) memiliki beberapa karakteristik tertentu. Karakteristik ini sesungguhnya yang menyebabkan bisnis dengan model franchise dirasakan cukup menguntungkan. Karakteristik tersebut misalnya mengenai keunikan produk, adanya pelatihan manajemen dan ketrampilan khusus yang wajib diberikan franchisor kepada franchisee, pengendalian dan penyeragaman mutu produk, promosi dan periklanan oleh franchisor, pemilihan lokasi serta daerah pemasaran yang eksklusif, sebagian bisnis franchise mendapatkan bantuan pendanaan dari pihak franchisor atau lembaga keuangan, adanya fee atau royalty yang harus dibayarkan oleh franchisee pada franchisor, didaftarkannya merek dagang, paten atau hak cipta serta pembelian produk langsung dari franchisor. Keuntungan yang paling utama dari franchise adalah bahwa wiraswastawan tidak perlu pusing dengan hal yang berkaitan dengan memulai usaha baru. Pemberi franchise akan memberikan rencana operasi bisnis dengan arah yang jelas. Penerima franchise diberikan nasihat atau sebuah lokasi usaha yang telah ditetapkan. Dalam franchise eceran seperti McDonald, analisa lokasi dilakukan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
43
untuk menjamin bahwa bisnis akan mencapai tujuan yang ditetapkan. Penilaian keadaan lalu lintas, demografi, pertumbuhan bisnis di suatu daerah, persaingan, dan lain-lain merupakan bagian integral dari keputusan di mana akan menempatkan usaha. Sering franchise melibatkan nama yang telah mapan yang akan memberikan pengakuan langsung dari penerima franchise di daerah pasar. Hal ini tidak menjamin keberhasilan tetapi memberi dorongan untuk memulai usaha dengan citra positif. Salah satu tujuan dari pemberian hak usaha adalah bahwa pemberi hak bisa mendapatkan manfaat dari ekspansi cepat dan luas tanpa meminjam atau menanggung resiko finansial penting. Jika pemberi hak memberikan peluang kuat untuk berhasil, dia juga akan menerima manfaat dari royalti yang diterima dari penerima franchise. Untuk menjamin tercapainya hal itu, pemberi hak harus menyediakan akuntansi standar dan prosedur operasional dan mempertahankan kendali atas perancangan tata ruang, peralatan dan perlengkapan. Kendali structural sesungguhnya menguntungkan bagi penerima hak karena dia akan mendapatkan manfaat dari pengalaman pemberi hak. Masing-masing penerima franchise individu tidak akan mampu memasang iklan secara luas. Akan tetapi dengan penggabungan (pooling) di mana kontribusi diberikan oleh tiap-tiap penerima hak berdasarkan volume penjualan, organisasi keseluruhan bisa mengadakan pengiklanan besar-besaran untuk memperkuat nama franchise. Penerima franchise individu kemudian bisa melakukan promosi di daerah mereka sesuai dengan persetujuan yang ada.
4.1.3 Biaya-biaya yang Timbul dalam Usaha Waralaba (Franchise) Ada beberapa biaya yang timbul dari pelaksanaan perjanjian franchise ini. Biaya-biaya tersebut antara lain adalah : -
Royalty: Royalty adalah pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.
-
Franchise fee: Franchise fee merupakan pembayaran atas biaya franchise. Biasanya pembayaran ini dilakukan untuk jumlah tertentu yang pati dan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
44
dilakukan sekaligus dan dibayarkan pada tahap bisnis franchise akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta perjanjian franchise. -
Direct expenses: Direct expenses merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan oleh franchisee sehubungan dengan pengoperasian suatu usaha franchise, misalnya biaya pelatihan manajemen atau ketrampilan tertentu.
-
Marketing dan advertising fees: Marketing atau advertising fees adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memasarkan atau mempromosikan bisnis franchise.
-
Assignment fees: Biaya yang lain adalah biaya Assignment fees yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor bila akan mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain. Biaya ini biasanya meliputi biaya untuk membuat perjanjian penyerahan serta pelatihan pemegang franchise yang baru karena pengalihan bisnis.
4.1.4 Dasar Hukum dalam Bisnis Waralaba (Franchise) Bisnis atau usaha waralaba (franchise) adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan dengan suatu perjanjian atau perikatan, maka dasar hukum untuk beroperasinya dalam hal ini adalah pasal–pasal dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractvrijheid), yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Walaupun Pasal 1338 mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak namun dalam ditegaskan pula bahwa walaupun para pihak sebenarnya bebas membuat suatu kontrak atau perjanjian, namun perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, kepatutan dan ketertiban umum. Sedangkan untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian berlaku Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
45
antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal. Usaha waralaba (franchise) selalu berkaitan dengan merek, paten dan hak cipta karena franchise pada dasarnya menggunakan izin atau lisensi merek dagang, paten atau hak cipta dari franchisor. Dengan demikian, atas penggunaan lisensi tersebut, pihak franchisee mempunyai kewajiban untuk membayar fee atau royalty pada pihak franchisor. Selain itu, bisnis waralaba (franchise) juga tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lain di Indonesia seperti undangundang Perseroan Terbatas bila usaha waralaba (franchise) tersebut berbentuk PT, hukum ketenagakerjaan, hukum perpajakan, hukum perlindungan konsumen serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan izin usaha, izin Undang-Undang Gangguan (hinderordonantie) dsb. Untuk pendaftaran usaha waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Penerima Waralaba harus memiliki Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Untuk mendapatkan STPUW tersebut, Penerima Waralaba harus mendaftarkan perjanjiannya di Departemen Perdagangan. Dalam hal Penerima Waralaba lalai untuk melakukan pendaftaran setelah diberikan 3 (tiga) kali peringatan, maka Surat Izin Usaha Perdagangannya (SIUP) atau ijin-ijin usaha sejenis milik Penerima Waralaba dapat dicabut.
4.1.5 Kewajiban Para Pihak Sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee, pada dasarnya kewajiban franchisor hanyalah berupa penyediaan atau pemberian hak kepada franchisee untuk menggunakan merek dagang, identitas perusahaan, atau memasarkan dan menjual produk atau jasanya untuk waktu dan tempat tertentu sebagaimana disepakati dalam perjanjian franchise. Kewajiban lain yang dimiliki franchisor adalah : -
melakukan pembinaan terhadap usaha yang dijalankan franchisee baik secara operasional, manajemen maupun keuangan.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
46
-
memberikan pedoman operasi usaha franchise yang dijalankan dan disepakati para pihak.
Untuk kewajiban pokok franchisee, utamanya ada 2 (dua) macam yaitu : -
membayar fee atau jasa kepada franchisor atas penggunaan nama merek dagang atau identitas usaha franchisor.
-
menjaga kualitas dan nama baik (brand image) franchisor.
Selain dua kewajiban pokok tersebut, franchisee masih memiliki berbagai kewajiban yang disertakan dalam klausul-klausul kontrak franchise misalnya memberikan laporan atas kegiatan usaha, kewajiban mengikuti standar operasi dan spesifikasi yang telah ditentukan franchisor serta kewajiban-kewajiban lainnya. Gambaran Umum PT X (Pemegang Merek Franchise Retail)
4.2
PT X menjadi perusahaan publik di tahun 2009 dan saat ini memiliki ribuan gerai di Jawa, Bali, Lampung, Palembang, dan Makassar. PT X bertekad untuk menjadi jaringan distribusi ritel terbesar di Indonesia. PT X juga terus memperluas jaringan serta jumlah pelanggan dengan membina gerai tradisional dengan format yang lebih kecil, yaitu kios. PT X berencana untuk menjadi spesialis usaha format kecil di Indonesia. PT X juga pernah berhasil memperoleh berbagai penghargaan seperti Highest Score Equity Index dari Nielsen, Top Brand Award dari majalah Marketing dan Frontier serta Indonesia’s Best Brand Award dari majalah SWAsembada dan MARS, dan berbagai penghargaan lainnya. Visi PT X adalah “Menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki oleh masyarakat luas, berorientasi kepada pemberdayaan pengusaha kecil, pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, serta mampu bersaing secara global. Misi PT X adalah: -
Memberikan kepuasan kepada pelanggan/konsumen dengan berfokus kepada produk dan pelayanan yang berkualitas unggul.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
47
-
Selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan dan selalu mengakkan tingkah laku/etika bisnis yang tinggi.
-
Ikut berpartisipasi dalam membangun Negara dengan menumbuhkembangkan jiwa wiraswasta dan kemitraan usaha.
-
Membangun organisasi global yang terpercaya, sehat dan terus bertumbuh dan bermanfaat bagi pelanggan, pemasok, karyawan, pemegang saham dan masyarakat pada umumnya.
PT X juga berpegang pada standar yang tinggi dalam Integritas, inovasi, kualitas dan produktivitas, kerjasama tim, dan kepuasan pelanggan. Nilai-nilai dasar tersebut merupakan dasar dari budaya perusahaan. Saat ini PT X adalah salah satu perusahaan yang mempunyai tenaga kerja terbanyak, yaitu lebih dari 50.000 karyawan, dan setiap bulan rata-rata merekrut 1.500 orang karyawan. Visi PT X adalah memberdayakan pengusaha kecil dan menengah di Indonesia. Karenanya, PT X membuka sistem franchise di tahun 2001, dan saat ini sudah ada 1759 gerai franchise di seluruh Indonesia. sistem franchise ini terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia (pribadi, pemilik toko, dll), Institusi (komunitas agama, organisasi social, organisasi massa, asosiasi professional,dll). Untuk semakin mendukung pertumbuhan ekonomi komunitas di sekitar wilayah usaha kami, sistem franchise kami di desain begitu mudah dan sederhana dengan bantuan untuk memperoleh pinjaman modal dari bank. Karyawan kami juga diberi kesempatan untuk menjadi franchisee, sebagai salah satu bentuk penghargaan atas dedikasi dan dukungannya terhadap PT X. PT X dan para penerima waralaba adalah mitra strategis, PT X menyatukan langkah untuk kemajuan bersama. Perseroan mempunyai tujuan agar setiap penerima waralaba PT X terjaga kepuasannya. Untuk itu, perseroan bekerjasama dengan tim survey indpenden dari professional menyelenggarakan survey kepuasan penerima waralaba. Walaupun angka indeks yang diperoleh cukup memuaskan, perseroan terus melakukan evaluasi dan selalu berupaya untuk meningkatkan tingkat kepuasan dari para pewaralaba secara berkesinambungan. Mengingat untuk memiliki gerai dari PT X diperlukan dana yang cukup besar, Perseroan mencari strategi dan inovasi untuk dapat terus memperluas kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memiliki gerai dari PT X. Sejak tahun
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
48
2007, perseroan telah mengembangkan pola waralaba melalui kerjasama pendanaan melalui bank dengan bunga yang kompetitif dan skema yang memungkinkan peminjam untuk dapat merencanakan cashflow-nya, memberikan kesempatan lebih besar kepada UKM, Koperasi, Yayasan ataupun Mitra Binaan Pemerintah untuk ikut memiliki gerai dari PT X. Perseroan selalu ingin berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan kualitas hidup serta pengembangan kemampuan masyarakat. Perseroan berpendapat bahwa untuk dapat mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Di tahun 2006, kerjasama strategis dengan Kementrian Koperasi dan UKM membuahkan program yang berhasil membantu Koperasi Binaan Kementrian untuk dapat ikut memiliki gerai waralaba PT X dan sampai dengan tahun 2010 sudah mencapai 83 gerai waralaba PT X dimiliki oleh Koperasi, Mitra Binaan Pemerintah ataupun Organisasi Kemasyarakatan. Di tahun- tahun mendatang Perseroan bertekad untuk terus mengembangkan komposisi ini, dan membawa PT X selangkah kedepan untuk menjadi gerai komunitas sesungguhnya, dengan demikian memberikan kesempatan lebih besar lagi kepada masyarakat untuk ikut memiliki gerai dari PT X.
4.2.1
Skema Waralaba PT X
Untuk mengembangkan usahanya dalam bidang waralaba, PT X memiliki dua skema untuk mendapatkan kepemilikan waralaba X. Skema pertama yang ditawarkan adalah skema Waralaba Toko Baru. Skema ini diperuntukkan bagi calon franchisee yang sudah memiliki properti berupa tanah dan atau bangunan. Properti berupa tanah dan atau bangunan ini yang nantinya akan menjadi tempat didirikannya waralaba X. Namun tidak sembarang tanah dan bangunan dapat menjadi tempat didirikan waralaba X. Pihak PT X akan melakukan survey terlebih dahulu untuk menentukan apakah properti tersebut layak untuk didirikan waralaba X. Untuk menjalankan usaha waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru, calon franchisee dapat memperkirakan estimasi investasi sebagai berikut:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
49
Tabel 4.1: Estimasi Investasi Waralaba X Skema Waralaba Toko Baru Tipe Toko 36 rak 45 rak 54 rak
Estimasi Investasi Waralaba Toko Baru Luas Toko Investasi 2 80 m Rp. 360 juta 100 m2 Rp. 380 juta 2 >120 m Rp. 410 juta
Investasi awal tersebut mencakup: - Biaya waralaba untuk 5 tahun -
Renovasi lahan (konstruksi sipil, instalasi kelistrikan)
-
Perijinan
-
Peralatan dan AC
-
Cash Register & Sistemnya
-
Papan nama toko berikut displaynya
-
Promosi dan persiapan pembukaan toko
Estimasi tersebut diperhitungkan dengan perkiraan properti yang akan digunakan sudah berupa Ruko. Bila properti yang akan digunakan masih berupa bangunan lain (kios, rumah tinggal, tanah kosong), maka akan ada penyesuaian estimasi investasi. Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Baru, calon franchisee akan melewati proses sebagai berikut: -
Presentasi Awal
-
Evaluasi Lahan dan Persetujuan
-
Pengukuran dan Evaluasi Proyek
-
Presentasi Proposal
-
Kesepakatan Waralaba
-
Pembukaan Toko
Skema yang kedua adalah skema Waralaba Toko Take Over. Skema ini diperuntukkan bagi calon franchisee yang belum memiliki properti berupa tanah dan atau bangunan. Dengan skema ini, calon franchisee akan mendapatkan sebuah waralaba X yang sudah berjalan cukup stabil. Berjalan cukup stabil maksudnya adalah geral waralaba X tersebut sudah berjalan cukup lama dan selalu menghasilkan penjualan yang baik setiap bulannya. Dengan begitu, resiko
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
50
kegagalan yang mungkin akan dialami oleh calon franchisee pun akan semakin kecil. Namun di sisi lain, investasi yang harus dikeluarkan oleh calon franchisee pun akan menjadi lebih besar bila dibandingkan dengan skema Waralaba Toko Baru. Besar investasi untuk toko take over besarnya bervariasi. Besarnya investasi biasanya antara 600 – 800 juta rupiah. Besarnya investasi untuk toko take over bergantung kepada: -
Harga sewa untuk 5 tahunnya
-
Sales Harian
-
Nilai Buku Fix Asset yang ada.
Dari nilai investasi tersebut, adalah untuk pembelian gerai waralaba X yang sudah berjalan dengan harga ”Paket” yang sudah ditentukan termasuk: -
Sewa tempat untuk 5 tahun
-
Perijinan
-
Peralatan Toko
-
Franchise Fee
-
Goodwill
Toko waralaba X yang akan di take over-kan biasanya adalah toko waralaba X yang sudah berjalan minimal selama 1 tahun, dengan sales harian antara 10 juta – 13 juta dan dapat diperpanjang sewanya sampai dengan 5 tahun. Dengan sales harian sebesar itu, diperkirakan penghasilan perbulan yang akan diperoleh oleh franchisee adalah sebesar 9 juta – 11 juta perbulan. Untuk memiliki waralaba X dengan skema Waralaba Toko Take Over, calon franchisee akan melewati proses sebagai berikut: -
Presentasi proposal
-
Kesepakatan Pembelian
-
Pemindahan Perijinan
-
Kesepakatan Waralaba
Dalam kedua format kepemilikan tersebut, baik dengan skema waralaba toko baru maupun waralaba toko take over, PT X selaku franchisor akan memberikan bantuan yang sama tanpa membeda-bedakan. Setiap franchisee akan mendapatkan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
51
seluruh bantuan sesuai dengan kontrak, mulai dari perekrutan karyawan, operasional waralaba X, serta pembukuan waralaba X. Dalam format kerjasama dengan PT X, franchisee hanya tinggal mengawasi dan mengontrol jalannya waralaba X tersebut sehingga tidak mengalami kesulitan.
4.2.2 Syarat Menjadi Pemilik Toko Waralaba X Untuk memiliki waralaba X, calon franchisee juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: -
WNI dengan badan Usaha (PT atau CV) yang direkomendasikan oleh PT X
-
Sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas minimal 80 m2 tidak termasuk gudang dan mess karyawan (untuk skema waralaba toko baru)
-
Total keseluruhan lahan antara 150 – 250 m2 (untuk skema waralaba toko baru)
-
Memenuhi persyaratan perijinan (Ijin tetangga; Ijin Domisili; SIUP; TDP; NPWP & NPPKP; STPUW; IUTM (Untuk daerah tertentu)
-
Bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di PT X
4.2.3
Royalti Dalam Waralaba X
Royalti yang dibayarkan ke PT X dihitung secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan bersih bulanan gerai yang bersangkutan dan belum termasuk pajak. Persentase progresif adalah sebagai berikut: Tabel 4.2: Persentase Pengenaan Royalti Waralaba X Penjualan Bersih
Persentase (Dalam %)
Rp. 0 s/d Rp. 75.000.000
0
Rp. 75.000.001 s/d Rp. 100.000.000
2
Rp. 100.000.001 s/d Rp. 150.000.000
2,5
Rp. 150.000.000
3
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ROYALTI DAN JASA TEKNIK DALAM FORMAT BISNIS WARALABA LOKAL INDONESIA (STUDI KASUS PT X SEBAGAI FRANCHISOR WARALABA MINIMARKET X) 5.1
Analisis Pemotongan Atas Pajak Penghasilan Royalti Dari Franchisee Ke PT X Sebagai Franchisor Sesuai Dengan Konsep Royalti Dan Jasa Teknik. Dalam kerjasama waralaba antara franchisee dan franchisor, pihak franchisee
memiliki kewajiban untuk membayar royalti kepada franchisor yang besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian awal antara kedua belah pihak. Sebagai contoh dalam kerjasama PT X dengan franchisee-nya, royalti akan dikenakan besarnya penjualan yang terjadi selama satu bulan dalam satu waralaba X. Franchisee akan membayar royalti fee dihitung secara progresif, tergantung dari jumlah penjualan bersih bulanan minimarket X yang bersangkutan dan belum termasuk pajak. Menurut Ekotama, biasanya franchisor menghitung nilai royalti dari omset yang dicapai bisnis franchise-nya. Besarannya antara 1% sampai dengan 15% dari omset per bulan, tergantung keikhlasan dari franchisor sendiri untuk menghargai haknya. Biasanya royalti ini dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor setiap bulannya. Tanggal pembayarannya biasanya sudah ditetapkan oleh franchisor. Sementara itu Menurut Anang Sukandar, ketua Asosiasi Franchise Indonesia, keberadaan royalti fee sudah seharusnya dijadikan sumber utama pendapatan franchisor demi kelangsungan usahanya, karena bagaimanapun juga franchisor membutuhkan dana tersebut untuk membiayai segala pengeluaran untuk mensupport usahanya seperti: membayar biaya supervisi, biaya monitoring dan biaya on going asistensi secara terus menerus. Dalam memberikan penghasilan berupa royalti tersebut, otomatis franchisee sebagai pemberi penghasilan mempunyai kewajiban untuk memotong pajak penghasilan dari jumlah penghasilan tersebut. Susuai dengan UU PPh pasal 23, franchisee wajib memotong pajak berdasarkan jumlah bruto sebesar 15%. Namun dalam prakteknya, timbul keraguan bahwa dalam penghasilan royalti tersebut terdapat juga unsur penghasilan yang seharusnya masuk ke dalam penghasilan 52 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
53
dari jasa teknik. Dalam Bab ini peneliti akan menganalisis apakah penghasilan tersebut memang sudah merupakan biaya royalti atau terdapat unsur lain berupa jasa teknik.
5.1.1
Penghasilan Royalti Dalam Format Bisnis Waralaba X
Dalam menganalisis pemotongan royalti oleh franchisee sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku, peneliti akan menganalisis melalui konsepkonsep royalti dari sudut pandang beberapa ahli. Untuk konsep yang pertama, dapat dilihat dari pengertian royalti menurut Mansury yang mendefinisikan royalti sebagai penghasilan dari penyerahan paten atau harta tak berwujud lainnya untuk dipakai oleh pihak lain. Penyerahan untuk dipakai tersebut mungkin diberikan kepada perusahaan atau pengusaha, misalnya penyerahan hak cipta karya ilmiah dari pengarang ke perusahaan penerbit, atau kepada pihak yang melakukan pekerjaan bebas (independent profession), berupa penyerahan hak paten penemu atau inventor, atau bisa juga penyerahan hak paten untuk dipakai oleh ahli waris dari sang penemu. Penjelasan dari Mansury tersebut sejalan dengan pengertian royalti dari sisi hukum. Dari sisi hukum, secara umum, pengertian royalti adalah: “Royalty is the consideration paid to the creator of a property, idea, inventions etc, as a percentage of the revenue collected from sale of the products created, manufactured or developed using the idea,
inventions
or
creations
made
by
the
creators”.
(http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm) Dari pengertian di atas, seperti halnya pengertian royalti yang dijelaskan oleh Mansury, yang dimaksud dengan royalti di sini adalah sejumlah bayaran (imbalan/fee) yang harus dibayarkan kepada creator (pencipta atau penemu) dari suatu property, ide, penemuan, dan sebagainya, yang dihitung melalui persentase tertentu dari penghasilan yang didapat atas penjualan produk yang dihasilkan menggunakan property, ide, penemuan, atau rekaan dari sang creator tersebut.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
54
Berdasarkan penjelasan di atas, bila dikaitkan dalam format bisnis waralaba, dalam hal ini antara PT X sebagai franchisor dengan para franchisee nya, PT X sebagai pencipta atau penemu (creator) merek suatu waralaba X, melakukan penyerahan atas hak pemakaian merek yang berupa merek waralaba tersebut, yang merupakan harta tak berwujud (intangible asset) untuk dipakai oleh franchisee menjalankan
usahanya
dengan
menggunakan
merek
waralaba
tersebut.
Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan franchisor berhak untuk mendapatkan penghasilan berupa royalti dari franchisee-nya. Penghasilan tersebut juga didapatkan atas penjualan produk-produk yang dijual dengan memanfaatkan format bisnis serta merek waralaba dari franchisor tersebut. Dengan kata lain, PT X mendapatkan penghasilan royalti karena penggunaan format bisnis waralabanya oleh franchisee dalam menjual barang. Berdasarkan penjelasan dari ahli lain, yaitu Rachmanto Surahmat dalam bukunya
yang
berjudul
”Persetujuan
Penghindaran
Pajak
Berganda”
mendefinisikan pemberian hak yang imbalannya berbentuk royalti dengan lebih spesifik lagi. Menurut Surahmat, royalti adalah pemberian hak untuk menggunakan suatu intellectual property, yaitu pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian hak tersebut. Terdapat sedikit penambahan dari penjelasan tentang royalti apabila dibandingkan dengan penjelasan dari Mansury sebelumnya, yaitu adanya tambahan keterangan bahwa ”pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan atas pelaksanaan pemakaian hak tersebut”. Ahli lainnya yaitu Roy Rohatgi, juga mengatakan pendapat yang sejalan dengan penjelasan dari Surahmat. Rohatgi dalam bukunya menjelaskan bahwa royalti secara normal adalah pembayaran yang diterima dari penggunaan hak untuk menggunakan hak tidak berwujud atau hak untuk pengetahuan tertentu sesuatu dibawah perizinan. Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
55
untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan persentase dari penjualan atau keuntungan. Dalam teori menurut Rohatgi dan Surahmat di atas sejalan dengan teori-teori sebelumnya, namun terdapat penambahan penjelasan yang sangat berpengaruh yaitu tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” dalam memberikan hak nya untuk
pemakaian
”know-how”
tersebut.
Rohatgi
dalam
penjelasannya
menekankan bahwa pemberi pengetahuan ”tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai. Dari penjelasan tentang tidak adanya kehadiran pemilik ”know-how” tersebut juga dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari royalti seharusnya masuk kedalam penghasilan pasif (passive income). Jenis penghasilan passive income ini dijelaskan oleh seorang ahli yaitu Barry Larking: “A term used generally to describe investment income. The term may be so used in the context of anti avoidance measures such as controlled foreign company rules. The term is also used specifically refer to income from a passive activity such as rental income or business in which the recipient does not materally participate.” Penjelasan dari Larking tersebut menjelaskan bahwa Passive Income adalah Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan penghasilan dari investasi. Istilah tersebut juga sering digunakan dalam konteks anti avoidance measures seperti peraturan controlled foreign company. Istilah ini juga biasanya mengacu secara spesifik kepada penghasilan yang didapatkan dari aktifitas pasif seperti penghasilan dari sewa atau bisnis yang penerima penghasilannya tidak ikut terlibat. Dari penjelasan ahli-ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan dari royalti adalah penghasilan yang didapatkan karena pemberian hak untuk menggunakan “know-how”, yang merupakan barang tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki oleh penerima penghasilan. Dalam memberikan “know-how” tersebut, pemilik ”know-how” tidak ikut terlibat dalam penggunaan “know-how” serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai dari penggunaannya.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
56
Jadi dapat disimpulkan bahwa penghasilan royalti dalam format bisnis waralaba merupakan penghasilan yang bersifat passive income. Berdasarkan konsep royalti menurut perpajakan di atas, bila dikaitkan dengan pemakaian merek dagang ”minimarket X” yang dimiliki oleh PT X, maka akan terdapat suatu perbedaan. Dalam mendapatkan penghasilan dari royalti, PT X memang memberikan suatu informasi atau “know-how” berupa format bisnis waralaba X kepada franchisee. Lalu franchisee akan menggunakan format bisnis serta merek dagang waralaba X untuk menjalankan usahanya berupa waralaba X. Dalam konteks tersebut, dapat dinyatakan memang penghasilan yang didapat oleh PT X tersebut adalah penghasilan berupa royalty. Pada sisi lain, dalam prakteknya ternyata PT X tidak hanya semata-mata memberikan informasi atau “know-how” kepada franchisee. Dalam prakteknya ternyata PT X juga memberikan bantuan lain yang berupa bantuan untuk mendukung jalannya usaha yang menggunakan format bisnis waralaba X tersebut. Seperti hasil wawancara peneliti dengan Tomy Sugianto selaku Regional Franchise Manager, beliau mengatakan bahwa penghasilan yang didapatkan dari royalti yang dibayarkan oleh para franchisee setiap bulannya, digunakan untuk menjalankan usaha minimarket X yang dimiliki oleh franchisee tersebut. Maksud dari menjalankan usaha tersebut adalah menjalankan sistem minimarket X tersebut secara menyeluruh mulai dari perekrutan karyawan sampai dengan pembukuan minimarket X tersebut. Berdasarkan keterangan dari Tomy, dapat dikatakan bahwa penghasilan royalti yang diterima oleh PT X tidak semata-mata murni penghasilan dari royalti yang seharusnya merupakan penghasilan passive income dan akan dipotong pajak penghasilan sebesar 15%. Dengan memberikan bantuan untuk menjalankan sistem minimarket X kepada franchisee, yang biaya nya didapatkan dari penghasilan royalti tersebut, dapat dikatakan dalam penghasilan royalti tersebut terdapat unsur jasa teknik.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
57
5.1.2 Unsur Jasa Teknik Dalam Pemberian Bantuan Pada Format Bisnis Wralaba PT X Seperti yang diketahui sebelumnya, dalam bisnis waralaba istilah royalti sangat melekat dan dapat dikatakan pasti terdapat dalam format bisnis franchise. Keberadaan pembayaran royalti ini bukan tanpa sebab atau hanya kewajiban untuk para franchisee. Keberadaan royalti ini ternyata juga ada manfaatnya untuk para franchisee. Menurut Bije Widjajanto, salah satu manfaat royalti yang utama bagi franchisee adalah untuk memperoleh dukungan dari franchisor ketika franchisee mengalami masalah. Untuk mengatasi masalah operasional ini, franchisor mempunyai tanggung jawab untuk mencarikan solusi yang efektif sehingga sasaran-sasaran bisnisnya bias tercapai dan franchisee bisa mendapatkan keuntungan usaha. Dukungan franchisor dapat bersifat baku dan rutin yang secara seragam diberikan kepada semua franchisee, atau bisa juga berupa dukungan tambahan yang diberikan kepada franchisee tertentu ketika mendapatkan masalah Berdasarkan penjelasan dari teori-teori tentang royalti pada sub bab di atas, bila dikaitkan dengan format bisnis waralaba PT X, maka akan terdapat suatu dispute. Karena dalam format bisnis waralaba X, seperti yang dikatakan oleh Widjajanto, PT X sebagai franchisor ternyata selain memberikan hak atas penggunaan merek dagang dan formula bisnis (know-how) franchisor juga mempunyai kewajiban lain yaitu dengan memberikan bantuan kepada franchisee. Pemberian bantuan kepada franchisee ini juga dijelaskan oleh ahli yaitu Martin Madelsohn bahwa dalam pemberian sebuah lisensi oleh seorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penjelasan pemberian hak lisensi menurut Madelsohn di atas, terdapat penjelasan bahwa dalam menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, franchisee akan menjalankan usahanya dengan mendapatkan bantuan yang terus-
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
58
menerus (berkesinambungan) atas dasar-dasar (perjanjian) yang telah ditentukan sebelumnya. Bantuan yang dimaksud oleh Madelsohn disini adalah memberikan berbagai bantuan dan bimbingan scara terus menerus seperti: - Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagan bagi franchisee. - Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman. - Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinankemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada. - Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya. - Riset Pasar. - Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional - Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran. - Nasihat dan jasa manajemen dan akunting. - Penerbitan News Letter. - Riset mengenai material, proses dan metode bisnis.
Penjelasan dari Madelsohn dan Widjajanto tersebut juga sejalan seperti yang dikatakan oleh Suryono Ekotama selaku ahli dalam bisnis waralaba. Ekotama menjelaskan, sebagai seorang pemilik bisnis yang asli, franchisor memiliki kewajiban utama memberikan supporting management (dukungan manajerial) kepada para franchisee-nya sejak saat perjanjian franchise ditandatangani sampai dengan perjanjian franchise tersebut berakhir. Pemberian bantuan tersebut juga dijelaskan pada PP nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba yang menyebutkan bahwa waralaba harus memenuhi 6 (enam) kriteria yaitu: 1. Memiliki ciri khas usaha. 2. Terbukti sudah memberikan keuntungan. 3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
59
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan. 5. Adanya dukungan yang berkesinambungan. 6. Hak dan kekayaan intelektual yang telah terdaftar. Dalam kriteria di atas, poin nomor 5 menyebutkan bahwa waralaba mempunyai kewajiban untuk memberikan dukungan secara terus menerus (berkesinambungan) kepada franchisee nya dalam menjalankan bisnis tersebut. Dalam penjelasan poin ke-5 pada PP tersebut dijelaskan bantuan yang diberikan adalah seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi. Dalam PP tersebut hanya memberikan contoh bantuan, karena untuk bantuan yang sebenarnya di lapangan ada bermacam-macam tergantung format bisnis yang dijalankan dan kesulitan apa yang dialami oleh franchisee. Bila dilihat dari bantuan yang disebutkan oleh para ahli serta undang-undang di atas, mengindikasikan bahwa dalam memberikan hak atas pemakaian merek dagang dan format bisnisnya (know-how), PT X sebagai franchisor ternyata juga memberikan bantuan lain. Komponen pemberian bantuan yang dilakukan oleh PT X kepada para franchisee-nya, sesuai dengan wawancara dengan Sugianto dan Enny contohnya adalah pemberian bantuan dalam hal sebagai berikut: - Kunjungan berkala dari, dan akses ke, staf pendukung lapangan untuk membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan dari konsep yang bisa menyebabkan kesulitan dagang bagi franchisee. - Menghubungkan antara franchisor, franchisee, dan seluruh franchisee yang lain untuk bertukar pikiran dan pengalaman. - Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinankemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada. - Pelatihan dan fasilitas-fasilitas pelatihan kembali untuk franchisee dan stafnya. - Riset Pasar. - Nasihat dan jasa manajemen dan akunting. Riset mengenai material, proses dan metode bisnis. Pemberian bantuan di atas sesuai dengan bantuan dan bimbingan yang diutarakan oleh Madelsohn. Pemberian bantuan ini menyebabkan pemberian ”know-how” bukan lagi menjadi murni sebagai passive income yang tidak
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
60
melibatkan pemilik ”know-how” tersebut dalam menjalankan usaha penerima know-how. Karena dengan adanya pemberian bantuan di atas, dapat dikatakan PT X sebagai franchisor memberikan bantuan yang terolong ke dalam jasa teknik. Pemberian bantuan yang terdapat dalam penghasilan royalti dalam format bisnis waralaba PT X tersebut ternyata sesuai dengan teori jasa yang dijelaskan oleh Philip Kotler yang mendefinisikan konsep mengenai jasa. Kotler menjelaskan, jasa sebagai setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak lain yang secara prinsip intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik. Jasa teknik disini juga sesuai dengan penjelasan dari Webster’s New World Dictionary yang secara umum menjelaskan pengertian jasa teknik adalah pemberian jasa yang berhubungan dengan keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan yang bersifat khusus, seni, dan sebagainya. Pemberian bantuan oleh PT X kepada franchisee-nya ini juga sesuai dengan penjelasan seorang ahli, yaitu A. Noteboom, yang menjelaskan tentang jasa teknik. Pengertian jasa teknik menurut A. Noteboom, yaitu: 4. Pemberian jasa atau bantuan teknik sehubungan dengan proyek tertentu di bidang industri 5. Pemberian jasa atau bantuan teknik yang berhubungan dengan produksi untuk produk tertentu, dan 6. Pemberian jasa atau bantuan teknik dalam bidang manajemen. Berdasarkan kategori jasa dari A. Noteboom, jasa teknik yang dilakukan oleh PT X sebagai franchisor kepada franchisee adalah pemberian jasa atau bantuan yang masuk kedalam jenis jasa teknik karena franchisor memberikan bantuan sehubungan dengan usaha waralabanya, dan bila di kaitkan dengan PT X, PT X memberikan bantuan teknik dalam bidang manajemen kepada franchisee-nya. Adanya bantuan berupa jasa teknik dalam format bisnis waralaba PT X juga dapat diperkuat dengan melihat pada SE - 35/PJ/2010 yang menjelaskan tentang jasa teknik. Jasa teknik sebagaimana dimaksud dalam SE - 35/PJ/2010 pada butir 1 huruf b merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
61
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : a. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik; b. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau c. Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa. Dengan melihat penjelasan dalam SE - 35/PJ/2010 tersebut, PT X dapat dikatakan memberikan informasi berkenaan dengan pengalaman dalam bidang waralaba minimarket X. PT X juga memberikan informasi dalam bidang manajemen, seperti memberikan pelatihan karyawan minimarket X. Dengan mengetahui bahwa dalam penghasilan dari royalti yang didapatkan PT X dalam format bisnisnya ternyata terdapat unsur jasa teknik, PT X seharusnya dapat membedakan penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan jasa teknik, serta memisahkannya. Untuk membedakan pengertian antara royalti dan jasa teknik, Rahayu membedakannya dengan melihat ciri-ciri dari keduanya sebagai berikut:
Royalti dari know-how 1.
2. 3.
Pemilik know how tidak ikut serta dalam mengaplikasikan formula, serta tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh Informasi (know how) diberikan tanpa kehadiran si pemilik Pembayaran Royalti pada umumnya didasarkan atas persentase penjualan (dapat juga bersifat Lump sum)
Imbalan Jasa Teknik 1.
2.
3.
Pemberi jasa ikut serta dalam pemberian jasa dan bertanggung jawab terhadap hasil yang diperoleh Jasa teknik pada umumnya diberikan dengan kehadiran dan keterlibatan pemberi jasa dalam pemberian jasa tersebut Pembayaran imbalan jasa teknik pada umumnya didasarkan atas jumlah jam kerja (“working hours”) yang dihabiskan untuk melaksanakan pemberian jasa tersebut.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
62
Penjelasan atas perbedaan dari royalti dan jasa teknik oleh Rahayu tersebut juga sejalan bila dikaitkan dengan penjelasan beberapa ahli di atas sebelumnya. Perbedaan mendasar yang terdapat antara royalti dan jasa teknik adalah ada atau tidak-nya kehadiran pemilik ”know-how” dalam penggunaan ”know-how” tersebut oleh penerima hak. Dalam format bisnis waralaba, pemilik ”know-how” adalah PT X sebagai franchisor, sedangkan penerima hak untuk menggunakannya adalah franchisee. Rohatgi juga memberikan penjelasan dalam membedakan antara royalti (know-how) dan jasa teknik. Dalam penjelasannya, rohatgi menyebutkan jasa teknik sebagai penggunaan atas suatu kemampuan khusus untuk mengerjakan suatu pekerjaan kepada pihak lain dimana pemilik kemampuan tersebut memiliki tanggung jawab atas hasil pekerjaannya. Rohatgi menjelaskan dalam memberikan jasa teknik terdapat show-how. Show-how menurut rohatgi adalah proses memberikan pengetahuan melalui instruksi, pelatihan, pengawasan dan bantuan teknik lainnya. Pembayaran atas show-how tersebut biasanya berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan oleh penerima jasa. Berbeda dengan show-how, Know-how dalam hal ini adalah pengetahuan tentang rahasia dagang dan informasi teknis, serta pengalaman yang diperlukan untuk menjalankan suatu aktivitas komersial, dimana pengetahuan tersebut tidak disebarkan untuk umum. Dijelaskan pula bahwa pemberi pengetahuan tidak memberikan bantuan dan pelayanan apapun, serta tidak memberikan jaminan untuk hasil yang dicapai. Pembayaran untuk royalti tersebut biasanya berdasarkan persentase dari penjualan atau keuntungan. Dari penjelasan tentang perbedaan yang dijelaskan oleh Rahayu dan Rohatgi tersebut, dapat dikatakan perbedaan mendasar dari royalti dan jasa teknik ada pada tanggung jawab atas hasil, kehadiran pemberi jasa, serta dasar pembayarannya. Berdasarkan penjelasan para ahli di atas juga dapat dikatakan jasa teknik merupakan jenis penghasilan active income, yaitu penghasilan yang melibatkan pihak penerima penghasilan dalam mendapatkan penghasilan tersebut. Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi menjelaskan bahwa active income atau disebut juga business income dapat dibedakan dari passive income sebagai berikut:
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
63
3. Dalam business income, untuk konteks orang pribadi, penghasilan diperoleh melalui suatu kegiatan yang dilakukan oleh prang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, 4. Sedangkan business income untuk konteks perusahaan, penghasilan diperoleh melalui suatu kegiatan bisnis. Dengan penjelasan mengenai teori tentang jasa teknik di atas, dapat dikatakan bahwa penghasilan yang didapat oleh PT X sebagai franchisor dari royalti yang dibayarkan oleh franchisee bukan murni merupakan penghasilan dari royalti yang merupakan passive income tetapi juga terdapat unsur jasa teknik yang merupakan active income, yang diberikan franchisor kepada franchisee dalam rangka mendukung usahanya yang berkaitan dengan penggunaan ”know-how” tersebut. Karena jasa teknik tergolong dalam activve income, maka sudah seharusnya dipotong pajak lebih kecil dari passive income, karena untuk mendapatkan penghasilan dengan active income, membutuhkan lebih banyak usaha dan biaya yang dikeluarkan dalam penyelesaian pekerjaan tersebut. Karena itu, terdapat perbedaan tarif pemotongan antara royalti (passive income) sebesar 15% sedangkan jasa teknik (active income) sebesar 2%. Terdapat selisih perbedaan sebesar 13% karena perbedaan jenis penghasilan.
5.1.3 Pemotongan
Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X Dari analisis mengenai royalti dalam format bisnis franchise, dapat diketahui bahwa ternyata penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise tidak murni hanya dari pemberian ”know-how”, tetapi juga mengandung unsur penghasilan yang tergolong dengan jasa teknik dalam rangka menunjang pemberian ”knowhow”. Hal ini tentunya akan mendorong terjadinya kesalahan wajib pajak dalam melakukan pemotongan pajak. Kesalahan yang cenderung dilakukan oleh wajib pajak adalah salah dalam menentukan tarif pajak, termasuk ke dalam pemotongan royalti atau jasa teknik.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
64
Untuk menentukan pemotongan penghasilan yang seharusnya dilakukan oleh franchisee kepada franchisor, peneliti akan merujuk kepada ketentuan Undangundang no. 36 tahun 2008. Dalam UU PPh tersebut pengertian royalti terdapat dalam pasal 4 (1) huruf h. Dalam penjelasannya UU PPh menjelaskan royalti sebagai berikut: Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas: 1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya. 2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah. 3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial. 4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi. 5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
65
6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual / industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. Dalam penjelasan undang-undang pajak penghasilan di atas, menurut Gunadi dalam wawancara dengan
peneliti, terdapat kelemahan dalam penjelasan
mengenai bantuan untuk royalti tersebut. Terutama pada perubahan atau tambahan 3 poin baru yaitu poin 4, 5, dan 6 pada UU no. 36 tahun 2008 terebut. 3 poin tersebut merupakan tambahan dari perubahan UU PPh tahun 2000. Tujuan dari penambahan penambahan ketiga poin tersebut adalah untuk lebih mempertegas posisi penghasilan dari royalti dalam undang-undang perpajakan yang berlaku. Namun, dalam kenyataannya penambahan peraturan tersebut belum cukup mampu untuk menjelaskan secara terperinci tentang posisi dari royalti tersebut, khususnya dalam format bisnis waralaba. Hal ini disebabkan oleh penjelasan pada poin ke-4 yang menjelaskan tentang pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penghasilan royalti tersebut. Dalam poin ke-4 terebut dinyatakan: ”Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan...................berupa: a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.” Dalam poin ke-4 Undang-undang di atas menjelaskan tentang pemberian bantuan untuk mendukung pemberian hak atas royalti yang dimasukkan ke dalam kategori royalti. Dalam pemberian bantuan tersebut dijalaskan secara spesifik bantuan yang seperti apa yang dikategorikan sebagai bantuan untuk royalti dan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
66
dalam pemotongannya akan digabungkan ke dalam penghasilan royalti. Namun, dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan mengenai bantuan dalam bentuk jasa teknik. Hal ini tentu sangat disayangkan, apabila melihat dalam format bisnis waralaba terdapat jasa teknik yang diberikan dalam memberikan hak atas merek dagang yang dipakai oleh franchisee. Hal tersebut juga dipertegas dengan wawancara kepada Gunadi sebagai narasumber akademisi. Dalam wawancara tersebut, Gunadi mengatakan bahwa poin penambahan terutama poin ke-4 dalam undang-undang PPh tersebut maksudnya tidak jelas dan kurang mencakup seluruh bantuan dalam royalti itu sendiri. Karena dalam poin ke-4 Undang-undang tersebut, dijelaskan dengan kata ”berupa” yang mengakibatkan bantuan tersebut hanya meliputi bantuan yang ada di dalam undang-undang tersebut saja. Padahal dalam praktiknya, bantuan yang diberikan untuk menunjang royalti tersebut ada banyak macamnya, seperti bantuan berupa jasa teknik yang dilakukan dalam format bisnis waralaba di PT X. Dengan begitu, apabila mengacu pada penjelasan pasal 4 (1) tersebut, bantuan yang dilakukan oleh franchisor kepada franchisee yang termasuk kedalam bantuan yang berupa jasa teknik tidak dapat dikatakan sebagai pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan pemberian ”know-how” seperti yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Hal ini dikarenakan dalam pasal tersebut, bantuan yang dimaksud dijelaskan secara spesifik dengan kata-kata ”berupa”. Namun dalam penjelasannya tidak disebutkan mengenai jasa teknik. Setelah menentukan posisi royalti dan jasa teknik pada pasal 4 (1), maka dapat ditentukan tarif pemotongan pajaknya pada UU PPh pasal 23 ayat 1 huruf a dan c. Pada pasal 23 (1) huruf a, ditentukan untuk penghasilan yang termasuk royalti, akan dikenakan tarif pajak sebesar 15% dari jumlah bruto dan tidak bersifat final. Sedangkan untuk jasa teknik, akan dikenakan tarif pemotongan pajak sebesar 2% dari jumlah bruto dan tidak bersifat final. Melihat dari pasal 23 tersebut, dapat terlihat perbedaan tarif yang cukup signifikan. Untuk royalti 15% sedangkan untuk jasa teknik sebesar 2%. Terdapat selisih sebesar 13% dari kedua tarif di atas. Perbedaan tarif antara royalti dan jasa teknik tersebut dikarenakan perbedaan cara mendapatkan kedua penghasilan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
67
tersbut. Tarif pemotongan royalti jauh lebih besar dari tarif pemotongan jasa teknik karena untuk mendapatkan penghasilan dari royalti, penerima penghasilan tidak perlu melakukan pekerjaan apapun atau disebut juga sebagai passive income. Sedangkan untuk mendapatkan penghasilan berupa jasa teknik, penerima penghasilan harus ikut serta melakukan suatu pekerjaan dalam rangka mendapatkan penghasilan tersebut. Perbedaan tarif tersebut tentu akan sangat merugikan suatu pihak apabila terjadi kesalahan pengenaan tarif pajak. Sayangnya dalam praktiknya, franchisor dan franchisee selalu menggabungkan semua penghasilan tersebut menjadi satu, dengan nama penghasilan royalti. Dengan begitu, sering terjadi kesalahan dalam pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis waralaba karena menggabungkan royalti dan jasa teknik ke dalam satu invoice. Oleh karena itu, dalam prakteknya para pelaku bisnis harus dapat memisahkan komponen pembayaran
tersebut
dan
memisahkan
invoice
masing-masing.
Dengan
memisahkan antara invoice royalti dan invoice jasa teknik secara terpisah, maka pembedaan tarif pemotongan pun dapat dilakukan.
5.1.4 Pemotongan Pajak Atas Royalti Terkait Dengan Kebijakan Pajak. Kesalahan dalam pemotongan penghasilan jasa teknik tersebut tentunya tidak sejalan dengan konsep kebijakan pajak. Kesalahan tersebut akan menimbulkan ketidak adilan dalam pemungutan perpajakan. Tentu saja hal itu menjadi tidak sejalan dengan azas-azas perpajakan. Azas perpajakan tersebut adalah azas yang menurut Mansury dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip dasar yaitu jumlah penerimaan yang memadai (revenue adequacy principle) yang merupakan kepentingan pemerintah dalam hal ini menekankan bidang penerimaan pajak menjadi yang utama sesuai dengan fungsi budgeter. Prinsip kedua adalah keadilan (the equity principle) yang merupakan kepentingan masyarakat yang selalu cenderung mengutamakan keadilan dalam setiap pemungutan pajak. Kemudian prinsip yang ketiga adalah kepastian (the certainty principle) adalah untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sudah pasti akan menuntut
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
68
adanya kepastian dalam penerapan kebijakan pajak melalui kepastian hukum yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Menurut Mansury, ketiga azas itu seharusnya dipegang teguh oleh sistem Pajak Penghasilan Indonesia. Pemerintah harus membuat sistem yang seimbang dan memperhatikan semua kepentingan. The Revenue Adequacy Principle adalah kepentingan Pemerintah. The Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan The Certainty Principle adalah untuk kepentingan Pemerintah dan Masyarakat. Dengan demikian, dalam penentuan kebijakan pajak yang baik harus selalu memperhatikan kepentingan pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Kebijakan pajak sebaiknya harus dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukumnya agar menimbulkan kepastian serta kemudahan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Namun demikian pemilihan berbagai alternatif dalam kebijakan pemungutan pajak dengan memberikan kemudahan dalam administrasi pemungutan pajak bukan berarti harus mengorbankan azas keadilan dari pajak. Sesuai dengan penjelasan Mansury, apabila melihat pada pemotongan pajak penghasilan atas royalti dalam format bisnis franchise, dalam hal ini kebijakan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah belum mencakup semua azas perpajakan. Karena dalam pemotongan pajak atas penghasilan royalti dalam format bisnis franchise belum terlihat terpenuhinya azas The Certainty Principle. Hal ini dapat terlihat dari masih bingungnya para wajib pajak dalam bisnis waralaba dalam menentukan pemotongan pajak atas penghasilannya. Kurangnya azas kepastian ini juga semakin terlihat karena para petugas pemeriksa pajak pun tidak menjadikan kesalahan pemotongan pajak tersebut kedalam koreksi fiskal. Hal ini didapat dari wawancara peneliti dengan Enny Agustianty Jacob selaku Franchise Support General Manager di PT X. Enny mengatakan bahwa selama ini pihaknya selalu memotong penghasilan tersebut menjadi satu dengan pemotongan pajak atas royalti sebesar 15%. Selama ini, tidak pernah ada masalah ataupun koreksi yang dilakukan oleh petugas pajak. Hal ini memperlihatkan bahwa petugas pajak sepertinya masih belum memahami konsep
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
69
dari royalti dalam perpajakan. Otomatis azas kepastian ini pun tidak akan dapat tercapai. Dengan tidak tercapainya azas kepastian tersebut, tentunya akan berpengaruh kepada azas keadilan atau azas The Equity Principle. Dalam hal ini ketidakadilan akan dialami oleh franchisor sebagai pihak yang dipotong karena terpaut selisih tarif yang cukup besar yaitu sebesar 13% dari yang seharusnya dipotong (sesuai pasal 23 UU PPh). Keadilan tersebut, bila dilihat dari konsep yang dijelaskan oleh Mansury, tidak tercapai karena belum dapat memenuhi kriteria keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Kriteria keadilan horizontal yang belum terpenuhi khususnya adalah kriteria kelima yang dijelaskan oleh Mansury, khususnya keadilan horizontal poin kelima (lihat bab 2). Isi poin tersebut adalah semua tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak harus dikenakan pajak dan atas Wajib Pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis yang sama seyogjanya dikenakan pajak dengan persentase tarif pajak yang sama. Hal ini belum tercapai karena para wajib pajak dalam bisnis waralaba ternyata masih dikenakan tarif pajak sebesar 15% (tarif untuk royalti) dalam pemotongan penghasilan yang tergolong sebagai jasa teknik yang seharusnya hanya dikenakan 2%.
5.2
Dampak Pemotongan Penghasilan Atas Royalti Dalam Format Bisnis
Waralaba PT X Dalam penelitian ini, karena keterbatasan data yang diberikan oleh PT X, maka peneliti akan menganalisis dampak yang terjadi karena pemotongan pajak atas royalti terhadap PT X dengan menggunakan simulasi perhitungan menggunakan angka perkiraan. Perkiraan angka ini diolah oleh peneliti dengan dasar jumlah gerai waralaba X yang dijadikan franchise oleh PT X. Sesuai data yang diperoleh, jumlah gerai franchise waralaba X pada saat peneliti melakukan wawancara adalah 1759 gerai. Jumlah ini kurang lebih sekitar 30% dari seluruh total gerai waralaba X di seluruh Indonesia. Dari 1759 gerai waralaba X tersebut, sesuai dengan konsep yang diterapkan oleh PT X, franchisee akan diberikan kewajiban untuk memberikan royalti yang
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
70
diambil dari penjualan bersih yang terjadi dalam setiap bulannya di waralaba X tersebut. Dari penjualan bersih tersebut, akan dikenakan royalti berdasarkan persentase secara progresif, tergantung dari besarnya penjualan bersih. Untuk memperkirakan pendapatan royalti yang diterima oleh PT X, peneliti akan mengambil persentase yang berada di tengah, yaitu 2% dari Rp. 100.000.000,-. Disini peneliti akan menganggap rata-rata penghasilan dari setiap waralaba X adalah 100 juta, dan akan dikenakan 2% untuk royalti. Berarti dari setiap franchise waralaba X, PT X akan mendapatkan Rp. 2.000.000,- setiap bulannya. Dari perolehan Rp. 2.000.000,- setiap waralaba, dapat diketahui PT X akan mendapatkan royalti sekitar Rp. 3.518.000.000,- setiap bulannya dari seluruh franchise waralaba X. Dari penghasilan royalti sebesar Rp. 3.518.000.000,- tersebut, sesuai dengan UU PPh pasal 23 dan keterangan dari Enny, PT X akan dipotong pajak penghasilan sebesar 15% setiap bulannya. Besarnya pemotongan pajak atas royalti PT X setiap bulannya adalah Rp. 527.700.000,-. Ini berarti apabila PT X tidak memisahkan komponen bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam penghasilan royalti tersebut, PT X akan dipotong pajak penghasilan setiap bulannya Rp. 527.700.000,Jumlah waralaba X = 1759 Perkiraan rata-rata penghasilan = Rp. 100 juta Tarif Persentase untuk Royalti = 2% Penghasilan PT X dari Royalti per bulan = Rp. 3.518.000.000,Jumlah pemotongan pajak atas royalti (tarif 15%) = Rp. 527.000.000,-
Dari hasil wawancara dengan pihak dari PT X, dikarenakan rahasia perusahaan dan tidak dapat ditunjukkan kepada umum, peneliti tidak bisa mendapatkan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh PT X untuk memberikan bantuan supporting management. Dari perolehan jasa royalti tersebut, peneliti akan memperkirakan bahwa 50% dari penghasilan yang didapat dari penghasilan royalti adalah penghasilan yang terdapat komponen pemberian bantuan berupa
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
71
jasa teknik yang dilakukan oleh PT X kepada para franchisee nya, atau disebut juga supporting management. Dengan memperkirakan 50% penghasilan dari royalti adalah komponen penghasilan dari jasa teknik, maka seharusnya pemotongan pajak PT X akan terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian adalah untuk komponen penghasilan yang benar-benar
sebagai
penghasilan
dari
royalti
yaitu
sebesar
Rp.
1.759.000.000, akan dikenakan tarif 15% sesuai dengan UU PPh pasal 23. Maka akan didapatkan angka sebesar Rp. 263.850.000,-. Sedangkan satu bagian lainnya adalah penghasilan yang merupakan komponen
dari
penghasilan
atas
supporting
management
sebesar
Rp.
1.759.000.000, sesuai dengan UU PPh pasal 23 akan dikenakan tarif untuk jasa teknik sebesar 2%. Maka akan didapatkan angka sebesar Rp. 35.180.000. Maka Total pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan dari royalti yang diterima oleh PT X seharusnya adalah Rp. 299.030.000 (Rp. 263.850.000 + Rp. 35.180.000). 1. Penghasilan Total Dari Royalti per Bulan = Rp. 3.518.000.000,2. Penghasilan Murni Dari Royalti (50%) = Rp. 1.759.000.000,3. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 15% = Rp. 263.850.000,4. Penghasilan Komponen Jasa Teknik (50%) = Rp. 1.759.000.000,5. Tarif Pemotongan Pajak PPh 23 2% = Rp. 35.180.000,6. Jumlah Pemotongan Pajak Penghasilan per Bulan = Rp. 299.030.000,- (3+5) Dari contoh perhitungan di atas, dapat terlihat perbedaan apabila PT X mengeluarkan komponen penghasilan yang termasuk kedalam jasa teknik. Apabila PT X tidak mengeluarkan komponen jasa teknik dalam penghasilan royaltinya, maka jumlah pemotongan pajak PT X setiap bulan adalah sebesar Rp. 527.700.000. Sedangkan apabila PT X dapat mengeluarkan komponen jasa teknik yang terdapat dalam penghasilan royalti, maka jumlah pemotongan pajak PT X akan berkurang menjadi Rp. 299.030.000. Dari perhitungan di atas dapat diketahui PT X dapat menghemat pemotongan pajaknya sebesar Rp. 228.670.000 untuk setiap bulannya. Namun seperti yang dikatakan oleh Enny dalam wawancara dengan peneliti, bahwa perbedaan tersebut
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
72
hanya masalah timing different atau masalah waktu saja. Hal ini dikarenakan pemotongan yang dikenakan pada penghasilan PT X dapat dikreditkan pada akhir tahun pembukuan. Akan tetapi, pemotongan pajak ini akan berpengaruh kepada cash flow dan mempengaruhi cost of money perusahaan. Seperti yang dijelaskan oleh Brigham dan Ehrhardt, terdapat 4 faktor terpenting yang mempengaruhi cost of money yaitu kesempatan produksi (production opportunities), preferensi waktu konsumsi (time preferences for consumption), resiko (risk), dan inflasi (inflation). (Brigham, Ehrhardt: 2005: 15) Dengan menunda pembayaran pemotongan pajak penghasilan, PT X akan mendapatkan preferensi waktu atas uang yang akan dipotong pajak. Dengan mendapatkan preferensi waktu untuk membayarkan pajak pada akhir tahun, maka PT X akan mendapatkan kesempatan produksi dengan uang yang ada, dan otomatis akan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan. ”A dollar in hand today is worth more than a dollar to be received in the future because, if you had it now, you could invest it, earn interest, and end up with more than a dollar in the future” (Brigham, Ehrhardt: 2005: 39) Maksudnya adalah uang yang kita miliki saat ini nilainya lebih berharga daripada yang kita miliki di masa akan datang. Karena apabila kita memiliki uang itu sekarang, kita dapat menggunakan uang itu untuk berinvestasi, atau mendapatkan bunga dari bank yang akan mengembangkan nilai uang tersebut. Dengan menunda pembayaran pajak sebesar Rp. 228.670.000, pada setiap bulannya, berarti PT X mempunyai dana tunai yang bersifat liquid sebesar jumlah tersebut. Dana tunai tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya sendiri. Dengan dana sebesar itu, PT X dapat membuka satu cabang waralaba X dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 410.000.000,-. Dengan begitu perkembangan usaha waralaba X akan semakin meningkat tajam. Dengan simulasi perhitungan di atas, dapat dikatakan pemisahan komponen penghasilan tersebut akan sangat bermanfaat bagi PT X sebagai franchisor. Akan tetapi, menurut Enny pada saat wawancara dengan peneliti, PT X sepertinya belum dapat melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut. Menurut
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
73
Enny, dengan untuk melakukan pemisahan komponen penghasilan tersebut memerlukan perhitungan yang cermat agar mendapatkan formulasi yang tepat. Sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Enny, diketahui PT X masih menggabungkan penghasilannya kedalam suatu nama yang disebut dengan royalti. Menurut Enny, penggabungan seluruh penghasilan itu dilakukan dengan tujuan agar memudahkan pada saat melakukan pemotongan pajaknya. Karena jelas untuk royalti akan dikenakan pajak sebesar 15% menurut UU PPh Pasal 23, dan tidak mengundang pemeriksa untuk melakukan koreksi fiskal. Selain itu, untuk melakukan perhitungan tersebut, tentunya akan memakan banyak waktu dan tenaga. Untuk melakukan pemisahan tersebut diperlukan orang yang mengerti konsep perpajakan dan konsep format bisnis franchise pada PT X. Apabila melihat sumber daya manusia yang dimiliki oleh PT X, pemisahan tersebut sepertinya akan sulit untuk dilakukan. Pada sisi lain, Enny juga menyebutkan apabila dipaksa untuk melakukan pemisahan tersebut, takutnya akan berdampak pada sulitnya saat dilakukan pemeriksaan. Kekhawatiran Enny pada saat dilakukan pemeriksaan bukan tanpa alasan. Dalam wawancaranya Enny mengatakan “Tenaga nya juga tidak ada. Lalu tidak semua franchisee kita juga memiliki konsultan yang bisa fight”. Karena itu menurut Enny, PT X akan mencari jalan aman agar tidak dipersulit pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak karena dari pihak PT X tidak ada pegawai yang bisa memberikan argument terkait dengan pajak secara mendalam. Dengan mencari jalan aman seperti itu, Enny juga mengatakan
sudah
merasakan banyak manfaatnya. Menurutnya, dengan memilih untuk mengenakan tarif yang paling besar dalam pemotongan pajaknya, pemeriksaan yang dilakukan oelh pemeriksa juga tidak memakan waktu yang lama. Bahkan Enny juga menambahkan, karena tidak adanya temuan yang ditemukan oleh pemeriksa, pemeriksa itu justru meminta untuk diberikan temuan dalam pemeriksaannya.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian pada bab-bab sebelumnya
adalah sebagai berikut: 1. Pemotongan yang dilakukan oleh franchisee kepada PT X sebagai franchisor yang memiliki “know-how” atas penghasilan royalti ternyata belum sesuai dengan konsep royalti dan jasa teknik. a. Ketidaksesuaian dalam pemotongan penghasilan royalti tersebut disebabkan adanya bantuan yang diberikan PT X sebagai franchisor kepada franchisee dalam menjalankan usaha waralaba X yang menggunakan “know-how” dari PT X dan menyebabkan penghasilan dari royalti tersebut tidak lagi murni sebagai penghasilan dari passive income seperti penjelasan dalam konsep perpajakan yang menyebutkan bahwa pemilik harta tak berwujud itu tidak perlu ikut campur tangan dan bertanggung jawab atas hasil dari pelaksanaan pemakaian hak tersebut. b. Perumusan bantuan yang termasuk penghasilan royalti yang diatur dalam pasal 4 (1) huruf h dalam UU no. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan belum sempurna. Dapat dikatakan demikian karena dalam penjelasan undang-undang tersebut, terdapat keterbatasan penentuan jenis bantuan yang tergolong sebagai royalti. Sehingga karena adanya keterbatasan tersebut, bantuan berupa jasa teknik yang terdapat dalam format bisnis waralaba, khususnya format bisnis waralaba PT X, belum dapat dikategorikan sebagai bantuan yang termasuk sebagai bagian dari royalti. Hal ini tentunya menciptakan keragu-raguan
pada
pelaku
bisnis
dalam
melakukan
pemotongan pajak.
74 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
75
2. Sebagai pelaku bisnis waralaba, PT X juga mengalami kebingungan pada saat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan dari royalti tersebut. Hal ini menimbulkan dampak pada pengambilan keputusan oleh PT X (yang melaksanakan pembukuan atas keuangan franchisee) untuk memotong pajak penghasilan atas royalti dengan tarif yang paling besar. PT X memasukkan bantuan kepada franchisee yang merupakan komponen jasa teknik menjadi bagian dalam royalti dan dipotong dengan UU PPh pasal 23 dengan tarif 15%, sehingga dampaknya adalah PT X melakukan pemotongan lebih besar daripada yang seharusnya. Karena dampak tersebut, PT X mengalami kerugian dari sisi cost of money. PT X memutuskan untuk mengambil tindakan sedemikian rupa dengan pertimbangan kemudahan administrasi karena kurangnya sumber daya manusia pada PTX, serta mempertimbangkan untuk menghindari kesulitan pada saat dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena PT X menilai bila nanti terdapat temuan pajak yang dilakukan oleh fiskus, PT X tidak mempunyai pegawai yang dapat memberikan argumentasi kepada fiskus.
6.2
Saran 1. PT X sebaiknya segera memisahkan komponen penghasilan antara penghasilan dari royalti dan jasa teknik dengan memisahkan invoice antara keduanya. PT X juga harus mencari sumber daya manusia yang berkompeten, dan dapat melakukan pemisahan serta pembedaan antara penghasilan dari royalti dan komponen penghasilan yang merupakan jasa teknik. Pemisahan itu akan sangat berguna untuk perkembangan usaha PT X. Selain lebih menguntungkan dari segi cost of money dan perkembangan perusahaan, pemisahan tersebut juga menjadikan PT X sebagai Wajib Pajak yang melakukan pemotongan pajak dengan benar. 2. Pemerintah sebaiknya melakukan revisi terhadap undang-undang yang mengatur mengenai penjelasan royalti. Revisi yang dilakukan dapat berupa penambahan jasa teknik sebagai jenis bantuan yang dapat dikategorikan
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
76
sebagai bagian dari royalti, atau dengan menerbitkan PER atau PP. Revisi tersebut juga dapat dilakukan dengan cara menghilangkan kata “berupa” pada penjelasan pasal 4 (1) huruf h dengan kata lain misalnya “contohnya” agar cakupan penjelasan tersebut menjadi lebih luas. Dapat juga dengan tidak memberikan contoh, melainkan menjelaskan bahwa setiap bantuan yang dilakukan dalam rangka membantu royalti merupakan bagian dari royalti tersebut.
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
DAFTAR REFERENSI Buku : Brigham, Eugene F & Ehrhardt, Michael C. 2005. Financial Management: Theory and Practice Twelfth Edition. South-Western Cengage Learning. United State Of America. Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publication, Inc. Darussalam, John Hutagaol, Danny Septriadi. 2010. Konsep Dan Aplikasi Perpajakan Internasional. Danny Darussalam Tax Center (PT Dimensi Internasional Tax). Jakarta. Gunadi, 2005. Akuntansi Perpajakan: Sesuai Dengan UU Pajak Baru. Grasindo. Jakarta Irawan, Prasetya. 2004. Logika dan Prosedur Penelitian Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula. Jakarta: STIA LAN press. Madelsohn, Martin. (1993). Franchising: Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee. PT. Ikrar Mandiriabadi Mansury, R. (1999). Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4). __________. (2000). Pembahasan Mendalam Pajak Atas Penghasilan. Jakarta __________. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia. Jakarta: Bina Rena Pariwara Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Kontrol, Jilid 1. Jakarta: Prenhallindo. Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung, remaja rosdakarya Mulyono, Djoko. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan. Yogyakarta: C.V. Andi Offset
77 Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
78
Novitasari, Dyna. (2010). 50 Waralaba Potensial Di Bawah 10 Juta. Yogyakarta: G- Media Raharja, Prathama. 2004. Teori Makro Ekonomi: Suatu Pengantar, Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rahayu, Ning & Santoso, Iman. (2007). Bunga Rampai Perpajakan Indonesia. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Rohatgi, Roy. (2005). Basic International Taxation Volume 1: Principles, London : BNA International Inc. ___________. (2005). Basic International Taxation Volume 2: Principles, London : BNA International Inc. Shome, Parthasarathi. (1995). Tax Policy Handbook. Washington DC: Tax Policy Division, Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund. Surahmat, Rachmanto. (2000). Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tarbutton, Lloyd T. (1986). Franchising: The How-To Book. Prentice-Hall Widjajanto, Bije. (2009). Cara Aman Memulai Bisnis. Grasindo
Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 35/PJ/2010 Tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Sumber Kajian Literatur : Aulia, Dini. (2002). Aspek Pajak Penghasilan Atas Bisnis Franchise Di Indonesia (Suatu Analisa Kontrak Franchise antara Le France – franchisor Perancis – dengan PT. X – Franchisee Indonesia –
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012
79
terhadap praktik penghindaran pajak dan azas kepastian hukum). Universitas Indonesia. Rahayu, Ning. (1998). Pajak Penghasilan (PPh) Atas Royalti Dan Imbalan Jasa Teknik: Baik Berdasarkan Ketentuan Domestik Maupun Perjanjian Internasional (Suatu Tinjauan Untuk Meningkatkan Kepastian
Hukum
Dan
Mencegah
Penghindaran
Pajak).
Universitas Indonesia.
Sumber Elektronik http://www.anggaran.depkeu.go.id http://www.franchiseindonesia.org/ http://www.swa.co.id, http://www.legal-explanations.com/definitions/royalty.htm
Universitas Indonesia Analisis kebijakan..., Rakhmat Noory, FISIP UI, 2012