UNIVERSITAS INDONESIA
REKOMENDASI DAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS BERSIFAT KOLEGIAL (STUDI KASUS : PUTUSAN MAJELIS PUSAT NOMOR : 05/B/MJ.PPN/XI/2010 DAN AKTA PERDAMAIAN NOMOR 89/PDT/G/2010/PN.Jkt.Ut
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan
SONIA ALINI ASMARANI 0906583106
FAKULTAS HUKUM PROGRAM KENOTARIATAN JAKARTA JULI 2012
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., MH. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran di tengah kesibukan beliau untuk mengarahkan
penulis
dalam
menyusun
tesis
ini.
Selanjutnya
penulis
menyampaikan terima kasih kepada para penguji lainnya yaitu Bapak Akhmad Budi Cahyono S.H, MH dan Bapak Pieter Latumeten S.H, MH, atas berbagai masukan berharga yang telah diberikan dalam penyempurnaan tesis ini. Dalam kesempatan ini pula Penulis mengucapkan terima kasih, kepada: (1)
Para Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalankan studi di Magister kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
(2)
Seluruh Staf Akademik dan Administrasi pada Program Magister Kenotariatan yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi maupun bantuan tenaga
(3)
Orang tua penulis yang telah memberikan doa dan kasih sayang yang tanpa batas selama penulis menyelesaikan studi ini.
(4)
Suami serta putri penulis yang telah bersabar memberikan kelonggaran waktu dan selalu memberikan dukungan juga kasih sayang kepada penulis.
(5)
Sahabat-sahabat Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2009 yang selalu saling memberikan semangat. iv
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
(6)
Teman-teman Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2009 yang yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhirnya penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan hukum, terutama praktek Notaris untuk masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini mungkin masih terdapat kekurangankekurangan, kekhilafan maupun kekeliruan, untuk itu semua penulis mohon dimaafkan dan dengan senang hati mengharapkan masukan yang berguna bagi penyempurnaan tesis ini.
Depok, 16 Juli 2011 Sonia Alini Asmarani S.H.
v
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
ABSTRAK Nama : Sonia Alini Asmarani Program Studi : Magister Kenotariatan Judul : Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor : 05/B/Mj. PPN/XI/2010 dan Akta Perdamaian Nomor 89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut) Kewenangan Majelis Pengawas Notaris tidak hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tetapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, jika putusan Majelis Pengawas tidak memuaskan notaris yang bersangkutan. Notaris dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan negeri Sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertamatama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : Apakah dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial dan Mengapa akta perdamaian yang dibuat di pengadilan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu Penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 1 ) Dalam suatu kewenangan Majelis Pengawas terdapat asas kolegial dimana masing masing anggota Majelis bertanggung jawab tanggung menanggung atas tindakan Ketua atau Wakil Ketua dalam hal terjadi Perbuatan Melawan Hukum; 2) Akta perdamaian memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa dalam rangka mencapai win-win solution. Kata Kunci : Majelis Pengawas Notaris, Akta Perdamaian
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
ABSTRACT Name : Sonia Alini Asmarani Study Program : Master of Notary Title : Recommendation and Decision of the Supervisory Board is Collegial Responsibilities (Case Study: The verdict of the Council Supervisory Center Number: 05/B/Mj. PPN/XI/2010 and Deed Regulation No.89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut) Notary Supervisory Authority of the Assembly not only do the supervision and examination of the notary, but also the authority to impose certain sanctions against the notary who has been convicted of breach of duty Notary office, if the decision of the Supervisory Board does not satisfy the notary in question. Notaries may file a civil lawsuit in state court lawsuit before the implementation of basic examination by the presiding judge, the judge must first reconcile the litigants. Deed of peace was made as desired by the parties concerned to ensure the rights and obligations of the parties and legal protection for interested parties. Based on these two issues to be examined in this study is: What is the impact arising from the exercise of the Supervisory Board that is collegial and Why deed made peace at the court to accommodate the interests of the parties to the dispute. The research method is Normative Juridical, which refers to the legal norms contained in the legislation and court decisions and legal norms that exist in society. The study concluded that 1) the authority of the Board of Trustees have a collegial principle where each Council member is responsible to bear the responsibility for the actions of the Chairman or Vice Chairman in the event of any act against the law, 2) Deed of peace to guarantee legal certainty for the parties to the dispute in order achieve a win-win solution. Key Word : Notary Supervision Board, Deed Regulation.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................ iii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH .............................. iv ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN...................................................................... 1 A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .................................................................. 8 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9 D. Metode Penelitian ..................................................................... 9 E. Sistematika Penulisan ............................................................... 10 BAB II. PENGATURAN PENGAWASAN NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA ...................................................... 12 A. Sejarah dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris ............ 12 B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris................................... 13 C. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan Tata Usaha Negara dan Jabatan Tata Usaha Negara ................................... 25 D. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris .......................................................... 29 E. Upaya Hukum Notaris Yang Dijatuhi Sanksi ........................... 37 BAB III. STUDI KASUS ....................................................................... 49 A. Tinjauan Mengenai Perdamaian ............................................... 49 B. Hukum Acara Menghendaki Perdamaian ................................. 57 C. Analisa Putusan ........................................................................ 62 1. Kasus Posisi .......................................................................... 62 2. Analisa Hukum ..................................................................... 64 D. Dampak Yang Timbul Dari Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Yang Bersifat Kolegial ............................... 66
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
E. Akta Perdamaian yang Dibuat Dihadapan Pengadilan Mampu Mengakomidir Kepentingan Para Pihak Yang Bersengketa .................................................................... 68 BAB IV PENUTUP ............................................................................... 71 KESIMPULAN ...................................................................................... 71 SARAN ................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana prinsip negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut bahwa di dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri munculnya lembaga notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi, hal ini dapat dilihat dari keberadaan notaris yang berfungsi untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti mengenai hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya. Secara kebahasaan notaris berasal dari kata notarius untuk tunggal dan notarii untuk jamak. Notarius merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Romawi untuk menamai mereka yang melakukan pekerjaan menulis. Namun fungsi notarius pada zaman tersebut berbeda dengan fungsi notaris pada saat ini. Terdapat pendapat lain mengatakan bahwa nama notarius aslinya berasal dari nota literia yang artinya menyatakan suatu perkataan.1
Nusantara sebagai bagian dari tanah jajahan Nederlands
sebelum dilakukan pengaturan melalui perundang-undangan yang mengatur tentang notariat ternyata telah ada apa yang disebut notaris. Pada permulaan abad ketujuh belas notaris telah dibawa oleh orang-orang Belanda dan seiring dengan didirikannya VOC (Vereenigde Oostindiche Compagnie) atau Persatuan Maskapai-Maskapai Dagang Belanda, yatitu pada tanggal 20 Maret 1602. Tercatat sebagai orang yang pertama kali diangkat sebagai notaris (pada waktu itu disebut Nederlandsch Oost Indie), yakni tanggal 27 Agustus 1620, adalah Melchior Kerchem yang merupakan sekretaris College Van Schepenen. Melchior diangkat untuk menjadi notaris di Jacatra (sekarang Jakarta) oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Artinya pengangkatan tersebut hanya beberapa bulan sejak didirikannya Jacatra 1
Abdul Ghofur Anshori, Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press,2009), hal 8. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
2
sevagai kota perdagangan, yang menurut surat perintah dari penguasa negeri Belanda (Heren Zeventien) pada waktu itu tertanggal 4 Maret 1621 diberi nama Batavia (Betawi).2 Bahwa pada tahun 1860 pemerintah Belanda melakukan penyesuaian regulasi mengenai jabatan notaris di Nusantara dengan mengeluarkan Stb. No. 3 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya Notaris Reglement tersebut maka telah diletakkanlah fudamen sebagai landasan perlembagaan notaris di Indonesia3 Sejak lama telah terdapat perarturan perundang-undangan yang menyangkut ketentuanketentuan tentang pengawasan terhadap notaris seperti Notaris seperti Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (LN 1847 No. 23 jo 1848 No. 57), Rechtsreglement buitengewesten (LN 1927 No. 227), Peraturan Jabatan Notaris (LN 1860 No. 3) dan sejak pada tanggal 6 Oktober 2004, maka diberlakukan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Tahun 2004 diundangkan Undang- Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang – Undang Jabatan Notaris merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang – undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Salah satu contoh pembaharuan yang dilakukan yaitu tidak lagi memberikan atribut (sebutan) kepada Notaris sebagai satu – satunya Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik (Pasal 1 ayat(1) UUJN).. Hal ini berbeda dengan Pasal 1 PJN yang menegaskan bahwa Notaris adalah satu – satunya Pejabat Umum yang berwenang (uitslui bevoedg) membuat akta otentik.4 Pembaharuan lainnya yang juga dilakukan yaitu mengenai sanksi terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya jika melanggar pasal 2
Ibid, 10. Ibid, 11. 4 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik (Bandung:PT Refika Aditama,2008), hal 6. 3
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
3
– pasal tertentu dalam UUJN dan Pengawasa terhadap Notaris yang dilakukan oleh suatu Majelis Pengawas yang terdiri dari unsur Notaris, Pemerintah (dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Akademisi (dari Fakultas Hukum). Dalam UUJN, ada 2 (dua) bentuk sanksi, yaitu :5 1. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, pasal 51, Pasal 52. Jika ketentuan sebagaimana dalam pasal tersebut di atas tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi para pihak (para penghadap) yang tercantum dalam akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Perdata. 2. Sebagaimana yang tersebut dalam pasal 85 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63 maka Notaris akan dijatuhi sanksi berupa : a. Teguran Lisan; b. Teguran Tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; e. Pemberhentian tidak hormat; Sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Administratif. Sanksi Administratif yang tercantum dalam Pasal 85 UUJN dapat dilaksanakan jika notaris melanggar pasal-pasal yang 5
Habib Adjie, loc.cit. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
4
tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi – sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas, jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam pasal 85 UUJN.6 Pejabat atau instansi yang diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 67 ayat (1) UUJN). Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (2) UUJN). Berdasarkan Pasal 68 UUJN Majelis Pengawas terdiri dari :7 a. Majelis Pengawas Daerah; b. Majelis Pengawas Wilayah; c. Majelis Pengawas Pusat. Tiap Majelis tersebut mempunyai tempat kedudukan yang berbeda untuk Majelis Pengawas Daerah (MPD) berkedudukan di Kabupaten atau Kota (Pasal 69 ayat (1) UUJN), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) berkedudukan di ibukota Propinsi (Pasal 72 ayat(1) UUJN) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP) berkedudukan di ibukota negara (Pasal 76 ayat 1) UUJN). Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup atau berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat(1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN). Dibentuknya Majelis Pengawas Notaris di tiap kota atau kabupaten dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa Notaris. Karena pada faktanya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang banyak dilakukan oleh Notaris dalam melaksanakan kewenangan dan jabatannya mulai dari penyimpanganpenyimpangan
yang
bersifat
administratif
maupun
penyimpangan-
penyimpangan yang mengakibatkan kerugian materiil pada masyarakat pengguna jasa Notaris. 6 7
Ibid, hal 11. Ibid, hal 11. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
5
Adapun fungsi pengawasan yang diemban oleh Majelis Pengawas Pusat Notaris meliputi :8 1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; 2. Memanggil
notaris
terlapor
untuk
dilakukan
pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; 3. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; 4. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau sesama Notaris. Dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 02.PR.08.10 Tahun 2004 ditemukan pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris (Wilayah dan Pusat) yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris ((Wilayah dan Pusat), jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, maka Majelis Pemeriksa Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa :9 a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat, dan; e. Pemberhentian dengan tidak hormat. Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu hanya ada pada MPW dan MPP berdasarkan UUJN, tapi di sisi lain Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) berwenang pula untuk menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana tersebut di atas. Menurut Pasal 33 Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 8
Habib Adjie,Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (Bandung:PT. Refika Aditama, 2011), hal 14. 9 Ibid, hal 52.. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
6
2004, bahwa notaris yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat melakukan banding ke MPP, dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2)) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).10 Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada Menteri (Pasal 35 ayat (3) dan (4) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Di dalam melaksanakan fungsi pengawasannya dan wewenangnya menjatuhkan sanksi administratif, Majelis Pengawas Pusat pada faktanya menghadapi berbagai macam kendala yang disebabkan disinkronisasi pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tersebut dari segi kewenangan dan pengawasan.
Kewenangan
Majelis
Pengawas
Notaris
tidak
hanya
melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tetapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, Notaris diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Pengawas yang menjatuhkan sanksi kepadanya , jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi, dan gugatan pengadilan tata usaha negara, jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan. Notaris dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan negeri jika dirasa oleh notaris adanya perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dalam pelanggaran jabatan notaris oleh Majelis Pengawas Notaris, akan tetapi dalam sidang perkara perdata, sebelum
10
Ibid, hal 52. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
7
dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertamatama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Upaya tersebut dilakukan oleh hakim sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No : 1 Tahun 2002 sebagai berikut : 1. Agar semua hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh – sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, LN No. 8 Pasal 130 HIR/RBg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian. 2. Hakim yang ditunjuk dapat sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data serta argumentasi para pihak dalam rangka ke arah perdamaian. 3. Pada tahap selanjutnya apabila di kehendaki para pihak yang berperkara, hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan, dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian di konsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan. 4. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan, untuk menjaga obyektifitas. 5. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 ( tiga ) bulan, dan dapat diberikan perpanjangan apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun1992. 6. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan di tanda tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian atau dading,
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
8
agar dengan akta perdamaian itu para pihak menepati apa yang telah disepakati tersebut. 7. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan penilaian bagi hakim yang menjadi fasilitator. 8. Apabila usaha–usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak, untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung. 9. Hakim yang menjadi fasilitator atau mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan secara teratur. 10.Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.11 Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kedudukan serta tanggung jawab kolegial dari Majelis Pengawas Notaris menjadi alasan yang kuat dan mendorong penulis untuk melakukan penulisan tesis dengan judul : “Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor :
05/B/Mj.
PPN/XI/2010
dan
Akta
Perdamaian
Nomor
89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)” B.
Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diangkat adalah “Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor : 05/B/Mj. PPN/XI/2010 dan Akta Perdamaian Nomor 89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)” Secara lebih terperinci, penulis akan mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
11 Puslitbang Hukum dan Peradilan, Naskah Akademis Mengenai Court Dispute Resolution, (Jakarta : Puslitbang Hukum dan Peradilan MARI, 2003), hal. 165 - 167 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
9
1. Apakah dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial ? 2. Mengapa akta perdamaian yang dibuat di pengadilan dapat mengakomodir
kepentingan-kepentingan
para
pihak
yang
bersengketa ? C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ialah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial. 2. Untuk mengetahui suatu akta perdamaian yang dibuat di pengadilan mampu mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.
D.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum baik yang berasal dari literatur maupun peraturan perundang-undangan khususnya UU Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanannya dan ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah.12 Metode penelitian tersebut digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundangundangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian explanatoris, khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan yang menyangkut dengan kedudukan dari Majelis Pengawas Pusat .
12
Soeryono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. (Jakarta: UIPress, 1986), Hal. 53. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
10
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari bahan kepustakaan. Jenis Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini antara lain mencakup
hasil penelitian, rancangan undang-undang, hasil karya dari
kalangan hukum dan literatur-literatur. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.13 Metode Analisis Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan pada data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, artikel, penulis juga menekankan pada peraturan perundang-undangan. Bentuk Hasil Penelitian yang penulis lakukan adalah bentuk normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada penelitian terhadap peraturan perundang-undangan serta pandangan hukum para ahli. Kualitatif karena analisa data berasal dari perilaku sikap dan pandangan dalam praktek dalam rangka menerapkan peraturan perundang-undangan. E.
Sistematika Penulisan Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulisan tesis ini disusun secara sistematis terbagi atas tiga bab. Pembagian ini dibuat agar dalam pengembangannya dapat lebih sistematis dan terarah pada apa yang menjadi pokok permasalahan serta dapat dihindarinya penyimpangan dari yang sudah digariskan. Secara garis besar sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut:
13
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hal 13 et seq. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
11
Bab 1 berisi pendahuluan yang memuat dibagi menjadi lima sub bab. Pertama, yaitu Latar Belakang dimana akan menceritakan uraian peristiwa yang menyebabkan penulis memilih topik penelitian dan mengapa hal itu dipersolakan oleh penulis. Kedua, adalah Perumusan Masalah yang berisikan permasalahan hukum apa saja yang menjadi titik tolak penelitian. Ketiga, adalah Tujuan Penelitian, yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dalam perumusan masalah. Keempat, adalah Metode Penelitian dan terakhir adalah sub bab Kelima berisikan Sistematika Penulisan. Bab 2 berisi tinjauan secara yuridis tentang putusan yaitu uraian sistematis yang dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan judul dan perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari lima sub bab, yakni Sejarah dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris, Kewenangan Majelis Pengawas Notaris, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara, Mekanisme Pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris serta Upya hukum Notaris yang dijatuhi sanksi. Bab 3 berisi tentang Studi Kasus terdiri dari empat sub bab yaitu Tinjauan mengenai perdamaian,hukum acara menghendaki perdamaian, analisa putusan terhadap kasus dengan 2 (dua) pin yaitu Kasus Posisi dan Analisa Hukum,Dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan majelis pengawas yang bersifat kolegial, dan sub bab terakhir ialah akta perdamaian yang dibuat dihadapan pengadilan mampu mengakomidir kepentingan para pihak yang bersengketa. Bab 4 berisi tentang Kesimpulan dan saran atas permasalahan yang terjadi.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
12
BAB II PENGATURAN PENGAWASAN NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA A.
Sejarah Dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtlijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23) Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen – Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 Perarturan Jabatan Notaris. Kemudian Pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang
Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan
Bersama Ketua mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KNA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan terakhir dalam Pasal 54 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004.14 Dalam kaitan tersebut di atas, meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah (Dahulu oleh Menteri Kehakiman, sekarang oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengenai pengawasannya dilakukan oleh badan peradilan, hal ini dapat dipahami pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada pada Departemen Kehakiman. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan amandemen tersebut telah pula merubah Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam 14
Habib Adjie, op.cit, hal. 1 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
13
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut dibuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.15 Mahkamah Agung berdasarkan aturan hukum tersebut hanya mempunyai kewenangan dalam bidang peradilan saja, sedangkan dari segi organisasi, administrasi, dan finansial menjadi kewenangan Departemen Kehakiman Pada tahun 2004 dibuat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dalam pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sejak pengalihan kewenangan tersebut, notaris yang diangkat oleh Pemerintah (menteri) tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain dalam hal ini Badan Peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap badan peradilan. Kemudian tentang pengawasan terhadap notaris yang diatur dalam pasal 54 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dicabut oleh
pasal 91 Undang Undang
Jabatan Notaris. Setelah berlakunya Undang Undang Jabatan Notaris, badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan pemeriksaan, dan penjatuhan terhadap sangsi notaris, tugas tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. B.
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Majelis pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan pemeriksaaan, dan menjatuhkan sanksi
15
Ibid, hal 2. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
14
terhadap notaris, tiap jenjang majelis pengawas (MPD MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing sebagai berikut :16 1. Majelis Pengawas Daerah (MPD) Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan : i. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang: a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris. b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. ii. Pengambilan
fotokopi
Minuta
Akta
atau
surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan MPD dapat tidak menyetujui penyidik, penuntut umum atau hakim untuk : a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Sepanjang tata cara dan prosedur pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris yang bersangkutan, meskipun hal ini tidak diatur dalam UUJN. Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN 16
Habib Adjie, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat.....,Op.Cit, hal 8. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
15
imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana, karena dalam pasal tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara pidana. Jika seorang Notaris digugat perdata maka izin dari MPD tidak diperlukan, karena hak setiap orang mengajukan gugatan jika ada hak haknya terlanggar oleh suatu akta Notaris. Dalam
kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan
pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik atau penuntut umum atau hakim artinya MPD harus akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak, bukan objek pemeriksaan sehingga tata cara prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun subtansinya. Tanpa ada izin dari MPD , penyidik,penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau memeinta Notaris dalam suatu perkara pidana. Pasal 70 Undang Undang Jabatan Notaris mengatur wewenang Majelis Pengawas Daerah yang berkaitan dengan : a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris. b. Melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala satu kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. c. Memberikan ijin cuti untuk sampai dengan 6 (enam) bulan d. Menetapkan notaris penggaanti dengan memperhatikan usul notaris yang bersangkutan.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
16
e. Menentukan tempat penyimpanan protokol notaris yang pada saaat serah terima protokol notaris telah berumur 25 tahun atau lebih. f. Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara protokol notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 4. g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang undang ini. h. Membuat
dan
menyampaikan
laporan
sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah. Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :17 a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya. e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang
bersangkutan,
Majelis
Pengawas
Pusat
dan
Organisasi Notaris 17
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Admisnistratif ....., op.cit, hal 137 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
17
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti. Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik IndonesiaNomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 seperti dalam Pasal 13 ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua,wakil ketua atau salah satu anggota yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD yaitu mengenai : a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6(enam) bulan. b. Menetapkan Notaris pengganti. c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih. d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang. e. Memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan secara undang-undang. f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat dibawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal dan judul akta. Wewenang MPD dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
18
Tahun 2004 mengatur mengenai pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh sebuah Tim Pemeriksa, yaitu : a. Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh Tim Pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota dari masingmasing unsur yang dibentuk oleh Majelis Pengawas daerah yang dibantu oleh 1(satu) orang sekretaris. b. Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menolak untuk memeriksa Notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris. c. Dalam
hal
Tim
Pemeriksa
mempunyai
hubungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua Majelis Pengawas Daerah menunjuk penggantinya. Hasil pemeriksaan Tim pemeriksa sebagaimana tersebut diatas wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW,pengurus organisasi jabatan Notaris dan MPW, hal ini berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu : a. Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dituangkan dalan berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh Ketua Tim pemeriksa dan Notaris yang diperiksa b. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat
dengan
tembusan
kepada
Notaris
yang
bersangkutan, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis Pengawas Pusat. Wewenang MPD juga diatur dalam Keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
19
PW.07.10 Tahun 2004 seperti tersebut dalam angka 1 butir 2 mengenai Tugas Majelis Pengawas Notaris, yaitu melaksanakan kewenangan
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
70,71
UUJN,Pasal 12 ayat (2), Pasal 14,15,16 dan 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan kewenangan lain, yaitu : a. Menyampaikan
kepada
Majelis
Pengawas
Wilayah
tanggapan Majelis Pengawas Daerah berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti. b. Memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh Majelis Pemeriksa Daerah atas laporan yang disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah. c. Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti. d. Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dan Buku Khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda
tangan
surat
di
bawah
tangan
dan
untuk
membukukan surat dibawah tangan. e. Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol f. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah: i. Laporan berkala setiap 6(enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan januari ii. Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian izin cuti. 2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Wewenang MPW di samping diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam pasal 73 ayat 1 Undang Undang Jabatan Notaris diatur
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
20
mengenai wewenang Majelis Pengawas Wilayah yang berkaitan dengan :18 a. Menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
dan
mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah. b. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a. c. Memberikan ijin cuti lebih dari enam bulan sampai satu tahun d. Memeriksa
dan
memutus
atas
keputusan
Majelis
Pengawas Daerah yang memberikan sangsi berupa teguran lisan atau tertulis e. Mengusulkan pemberikan sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa : (1)Pemberhentian sementara tiga bulan sampai dengan enam bulan (2)Pemberhentian dengan tidak hormat f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sangsi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f. Menurut Pasal 73 ayat (2) UUJN,Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara (Pasal 73 ayat (3) UUJN). Wewenang MPW menurut Pasal 26 Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW yaitu : 1) Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.
18
Ibid, hal 12. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
21
2) Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima. 3) Majelis
Pemeriksa
Wilayah
berwenang
memanggil
Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima. Dalam angka 2 butir 1 Keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa Majelis Pengawas Wilayah berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam Pasal 73,85 Undang Undang Jabatan Notaris dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kemudian angka 2 butir 2 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan Majelis Pengawas Wilayah, yaitu : 1) Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat. 2) Memeriksa
dan
memutus
keberatan
atas
putusan
penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah. 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti. 4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas
Daerah.
Atas
laporan
tersebut,
setelah
dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat. 5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu: a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Pebruari.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
22
b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa. 3. Majelis Pengawas Pusat (MPP) Wewenang Majelis Pengawas Pusat di samping diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39PW.07.10 Tahun 2004. Dalam pasal 77 Undang Undang Jabatan Notaris diatur mengenai wewenang Majelis Pengawas Pusaat yang berkaitan dengan :19 a. menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
dan
mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sangsi dan penolakan cuti. b. memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a c. menjatuhkan sangsi pemberhentian sementara d. mengusulkan pemberhentian sangsi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri. Selanjutnya wewenang Majelis Pengawas Pusat diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari Majelis Pengawas Wilayah, yaitu : 1) Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah. 2) Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.
19
Ibid, hal 14. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
23
3) Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima. 5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan. 6) Putusan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
ditandatangani oleh Ketua, Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat. 7) Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinanya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pegawas Wilayah dan Pengurus Pusat lkatan Notaris Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10 Tahun 2004 mengenai Tugas Majelis Pengawas,bahwa Majelis Pengawas Pusat berwenang untuk melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Pasal 77 , 84
Undang Undang Jabatan Notaris dan 85
Undang Undang Jabatan Notaris dan kewenangan lain, yaitu : 1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat izin cuti dalam sertifikat cuti. 2) Mengusulkan kepada Menteri pemberhentian sanksi pemberhentian sementara. 3) Mengusulkan
kepada
Menteri
pemberian
sanksi
pemberhentian dengan hormat. 4) Menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
dan
mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
24
penjatuhan sanksi, kecuali sanksi berupa teguran lisan dan tertulis. 5) Menyelenggarakan
sidang
untuk
memeriksa
dan
mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final. Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004) dengan parameter seperti ini dikaitkan denganPasal 1 angka 24 KUHAP bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum berupa orang, bukan majelis atau badan, dan berkaitan dengan Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 dan Pasal 7 ayat(1) disebutkan bahwa, Penyelidik dan Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laopran atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Sybstansi pasal ini menegaskan bahwa Penyelidik atau penyidik hanya menerima pengaduan atau laporan dari orang. Dengan demikian tidak tepat Majelis Pengawas bertindak sebagai Pelapor tindak pidana, karena Majelis Pengawas bukan subjek hukum berupa orang. Pasal 1 angka 24 KUHAP menentukan bahwa hak atau kewajiban melaporkan suatu tindak pidana harus berdasarkan undang-undang, maka dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai Pelapor berdasarkan undang
undang.
Pelapor
harus
subjek
hukum-orang
atau
perorangan, bukan badan,majelis atau lembaga. Dengan demikian telah ada ketidaksinkronan secara vertikal Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan Pasal 32 ayat(1) dan(2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tidak berlaku. Wewenang MPW seperti tersebut di atas tidak diatur dalam Undang Undang Jabatan, tapi diatur atau
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
25
disebutkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dengan
demikian
berdasarkan
uraian
diatas
Majelis
Pengawas Notaris berwenang dalam melakukan : 1. Pengawasan 2. Pemeriksaan 3. Menjatuhkan sanksi C.
Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara Pada dasarnya yang mempunyai wewenang20 yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah dibidang hukum dan hak asasi manusia.21 Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut. Ada dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintah yaitu atribut dan delegasi.22 Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
20 Dalam tesis ini dengan mengambil pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa istilah wewenang atau kewenangan yang disejajarkan dengan istilah bevoegdheid dalam konsep hukum publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang atas (sekurang-kurangnya) tiga komponen, yaitu: (1) pengaruh bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum; (2) dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan (3) konformitas hukum, bahwa mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang), dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu), Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (Bandung :Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, 1998), hlm. 2. 21 Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia 22 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Admisnistratif ....., op.cit, hal 131. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
26
Atribusi
merupakan
pembentukan 23
pemberiannya kepada organ tertentu
wewenang
tertentu
dan
atau juga dirumuskan pada atribusi
terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.24 Atribusi pembentukan atau pemberian wewenang pemerintahan didasarkan aturan hukum yang dapat dibedakan dari asalnya yakni yang asalnya dari pemerintah ditingkat pusat bersumber dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undang Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang dan yang asalnya dari Pemerintah Daerah bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Peraturan Daerah (PERDA).25 Atribusi wewenang dibentuk atau dibuat atau diciptakan oleh aturan hukum yang bersangkutan atau atribusi ditentukan aturan hukum yang menyebutkan di dalamnya. Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyeraahan wewenang oleh pejabat pemerintahan (pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain dan wewenang menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.26 Pendapat yang pertama bahwa delegasi itu harus dari badan atau jabatan tata usaha negara kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya artinya baik delegator maupun delegans harus sama-sama badan atau jabatan tata usaha negara Pendapat yang kedua bahwa delegasi dapat terjadi dari badan atau pejabat tata usaha negara kepada pihak lain yang belum tentu badan atau jabatan tata usaha negara. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan Tata usaha negara dapat mendelegasikan wewenangnya (delegans) kepada Badan atau Jabatan yang bukan Tata usaha Negara (delegataris). Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Badan atau Jabatan Tata usaha negara yang tidak 23
Ibid Indroharto,Usaha Memahami Undang-‐Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara,(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1996) hal 68. 25 Habib Adjie, loc.cit. 26 Op.Cit,hal 132. 24
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
27
mempunyai atribusi wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lain. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat : a. Delegasi harus definitip artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan. b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. c. Delegasi tidak kepada bawahan artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan) artinya delegans berwanang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. e. Peraturan kebijakan (beleid sregel) artinya delegans memberikan instruksi atau petunjuk tentang penggunaan wewenang tersebut.27 Berdasarkan pengertian wewenang tersebut bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap notaris secara atributip ada pada menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan, dan diperintahkan dalam undang-undang sebagaimana tersebut dalam pasal 67 ayat 1 undang undang jabatan notaris. Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang melakukan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan tata Usaha negara karena menerima delegasi dari Badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai : 1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 2) Melaksanakan urusan pemerintahan 3) Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris.
27
Ibid, hal 132 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
28
Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasar kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan, hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tidnakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu
Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan
anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan Majelis Pengawas. Kedudukan Menteri sebagai eksekutif (pemerintah) yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara.
Berdasarkan
Pasal
67
ayat
(2)
UUJN
Menteri
mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 tahun 2004, adalah suatu badan yang memounyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas sebagai delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai wewnang untuk megawasi sepenuhnya, tanpa perlu untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegans. Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan tata Usaha Negara mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan28 yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Dengan memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kedudukan seperti itu Surat keoutusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa tata usaha negara. Dalam Pasal 1 28
Elemen dari Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) terdapat dalam Pasal 1.3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, lihat S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-‐Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : Liberty,2000), hlm 72-‐82. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
29
ayat (4) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara : adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika Notaris merasa bahwa keputusan dari Majelis Pengawas tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksaan. Peluang untuk mengajukan ke PTUN tetap terbuka setelah semua upaya administrasi yang disediakan baik keberatan administratif maupun banding administrasi, telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau Jabatan TUN tersebut telah menyatakan final dan tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya administratif dalam sengketa tata usaha negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan tata usaha negara. Terhadap keputusan Majelis Pengawas Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUJN, jika Notaris yang bersangkutan merasa dirugikan, atas putusan tersebut tidak ada upaya keberatan adminsitratif atau keberatan administrasif atau keberatan administrasif tapi Notaris yang bersangkutan dapat langsung menggugat. Majelis Pengawas Daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. D.
Mekanisme
Pengawasan,
Pemeriksaan
Dan
Penjatuhan
Sanksi
Terhadap Notaris 1.
Pengawasan Notaris Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 menegaskan yang dimaksud dengan Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif
termasuk kegiatan pembinaan yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
30
dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yaitu :29 a. Pengawasan Preventif b. Pengawasan Kuratif c. Pembinaan Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis
tidak hanya
pelaksanaan tugas jabatan Notaris agar sesuai dengan ketentuan Undang Undang Jabatan Notaris, tapi juga Kode Etik Notaris dan tidnak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris dalam pengawasan Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat 5 UUJN), hal ini menunjukkan sangat luas lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dengan ukuran yang pastii ada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris dan jika terjadi pelanggaran, maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan snaksi kepada Notaris yang bersangkutan.30 Majelis
Pengawas
juga
diberi
wewenang
untuk
menyelenggarakan sidang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN). Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Majelis Pengawas. Bahwa Kode Etik Notaris merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Notaris, maka organisasi Notaris melalui Dewan Kehormatan Notaris (Daerah,Wilayah dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa Notaris dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran tersebut, dan jika terbukti Dewan Kehormtan Notaris dapat memberikan sanksi atas kenaggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris. Adanya pemberian wewenang seperti itu
29
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Admisnistratif ....., op.cit, hal 144. Ibid, hal 145.
30
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
31
kepada
Majelis
Pengawas
Notaris,
merupakan
suatu
bentuk
pengambilalihan wewenang dari Dewan Kehormatan Notaris. Pelanggaran atas Kode Etik Notaris harus diperiksa oleh Dewan Kehormatan sendiri tidak perlu diberikan kepada Majelis Pengawas, sehingga jika Majelis Pengawas menerima laopran telah terjadi pelanggaran Kode Etik Notaris, sangat tepat jika laporan seperti diteruskan kepada Dewan Kehormatan Notaris untuk diperiksa dan diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Notaris atau dalam hal ini Majelis Pengawas harus memilah dan memilih laporan yang menjadi kewenangannya dan laporan yang menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Notaris. Kehormatan Organisasi Notaris, salah satunya yaitu dapat mengontrol perilaku para anggotanya sendiri dan memberikan sanksi kepada yang terbukti melanggar. Pengawasan berupa tindak tanduk atau perilaku notaris tidak mudah untuk diberi batasan. Sebagai contoh Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN menegaskan salah satu alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, yaiut melakukan perbuatan tercela. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. Pasal 12 huruf c UUJN menegaskan bahwa salah satu alasan Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat yaitu melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat atau jabatan Notaris. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang merendahkan kehirmatan dan martabat” misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina. Perilaku atau tindak tanduk Notaris yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Majelis Pengawas di luar pengawasan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, dengan batasan : 1) Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
32
2) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina. 2.
Pemeriksaan Notaris Pasal 70 huruf b UUJN dan pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. Majelis atau Tim Pemeriksa dengan tugas seperti ini hanya ada pada Majelis Pengawas Daerah saja, yang merupakan tugas pemeriksaan rutin atau setiap waktu yang diperlukan, dan langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Tim Pemeriksa ini sifatnya insidentil (untuk pemeriksaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja, dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jikadiperlukan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa meliputi pemeriksaan: 1.
Kantor Notaris (alamat dan kondisi fisik kantor)
2.
Surat pengangkatan sebagai Notaris
3.
Berita Acara sumpah jabatan Notaris
4.
Surat keterangan izin cuti Notaris
5.
Sertifikat cuti Notaris
6.
Protokol Notaris yang terdiri dari: a) Minuta Akta b) Buku Daftar akta atau repertorium c) Buku khusus untuk mendaftarkan surat di bawah tangan yang disahkan tanda tangannya dan surat dibawah tangan yang dibukukan d) Buku daftar nama penghadap atau klapper dari daftar akta dan daftar surat dibawah tanga yang disahkan e) Buku daftar protes f) Buku daftar wasiat
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
33
g) Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan perundang-undangan 7.
Keadaan arsip
8.
Keadaan penyimpanan akta (penjilidan dan keamanannya)
9.
Laporan bulanan pengiriman salinan yang disahkan dari daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah yangan yang dibukukan
10.
Uji petik terhadap akta
11.
Penyerahan protokol berumur 25 tahun atau lebih
12.
Jumlah pegawai yang terdiri atas : a) Sarjana b) Non sarjana
13.
Sarana kantor antara lain: a) Komputer b) Meja c) Lemari d) Kursi Tamu e) Mesin ketik f) Filling cabinet g) Pesawat telepon/faksimili/internet
14.
Penilaian pemeriksaan, dan
15.
Waktu dan tanggal pemeriksaan
Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa pemeriksaan pusat terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (Daerah,Wilayah.Pusat) yang sifatnya insidentil saja dengan kewenangan memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris (Pasal 20 ayat(2) Peraturan menteri). Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
34
(Daerah,Wilayah dan Pusat). Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masing-masing yaitu:31 1) Majelis Pengawas (Daerah,Wilayah dan Pusat) dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris. 2) Tim Pemeriksa dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1(satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. 3) Majelis Pemeriksa (Daerah,Wilayah dan Pusat) dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Pengaturan
pengawasan
dan
pemeriksaan
seperti
itu
memperpanjang rantai pengawas dan pemeriksaan dengan keharusan Majelis Pengawas untuk membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tertentu. Lebih baik yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan Notaris yaitu Majelis Pengawas saja dengan segala kewenangan yang ada menurut UUJN dan Peraturan Menteri tersebut. 3.
Wewenang Majelis Pengawas Notaris Menjatuhkan Sanksi Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Sanksi ini disebutkan atau diatur dalam UUJN, juga disebutkan kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004.32 Dengan pengaturan seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata diatur atau disebutkan juga dalam keputusan menteri
31
Ibid, hal 148. Penjelasan Pasal 84 UUJN menegaskan bahwa sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN berlaku untuk Notaris, juga berlaku untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. Tapi Pasal 85 UUJN tidak menyebutkan pemberlakuan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pasal 85 UUJN hanya berlaku untuk Notaris saja. Seharusnya ketentuan Pasal 85 UUJN berlaku pula untuk Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. 32
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
35
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39PW.07.10 Tahun 2004 yaitu :33 1) Mengenai wewenang MPW untuk menjatuhkan sanksi dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam Keputusan Menteri angka 2 butir 1 menentukan
bahwa
MPW
juga
berwenang
untuk
menjatuhkan seluruh sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Adanya pembedaan pengaturan sanksi menunjukkan adanya inkosistensi dalam pengaturan sanksi, seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a UUJN tersebut, artinya selain dari menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, MPW tidak berwenang. 2) Mengenai wewenang MPP yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 84 UUJN. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.39-PW.07.10.
Tahun
2004
bahwa
MPP
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Pasal 84 UUJN merupakan sanksi
perdata,
yang
dalam
pelaksanaannya
tidak
memerlukan perantara MPP untuk melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata, bahwa pelaksanaan sanksi tersebut tidak serta merta berlaku, tapi harus
ada
proses
pembuktian
yang
dilaksanakan
di
pengadilan umum, dan ada putusan dari pengadilan melalui gugatan,
bahwa
akta
Notaris
mempunyai
kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta batal demi hukum.
Keputusan
Menteri
yang
menentukan
MPP
berwenang untuk melaksanakan Pasal 84 UUJN telah menyipang dari esensi suatu sanksi perdata. Keputusan 33
Op.Cit, hal 149. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
36
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yaitu : 1) MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari Notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris, tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun, tapi MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris (Pasal 71 huruf e UUJN). 2) Majelis Pengawas Wilayah dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis. Majelis Pengawas Wilayah hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi sepertinini bersifat final. Dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris
kepada
Majelis
Pengawas
Pusat
berupa
pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3(tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris. Sanksi dari Majelis Pengawas Wilayah berupa teguran lisan dan teguran tertulis dan bersifat final tidak dapat dikategorikan sebagai sanksi tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nayata dalam untuk kemudian diajtuhi sanksi yang lain seperti pemberhentian sementara dari jabatannya. 3) Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi terbatas.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
37
Pasal 77 huruf c UUJN menentukan bahwa Majelis Pengawas Pusat
berwenang
menjatuhkan
sanksi
pemberhentian
sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris. Sanksi-sanksi yang lainnya Majelis Pengawas Pusat hanya berwenang untuk mengusulkan : a. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada Menteri (Pasal 77 huruf d UUJN). b. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada dengan alasan tertentu (Pasal 12 UUJN). Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan
oleh
Majelis
Pengawas
Wilayah.
Sanksi
berupa
pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas Pusat, dan sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usulan dari Majelis
Pengawas
Pusat.
Pada
dasarnya
pengangkatan
dan
pemberhentian Notaris dari jabatannya sesuai dengan aturan hukum yang mengangkat dan yang memberhentikan harus instansi yang sama, yaitu Menteri. E.
Upaya Hukum Notaris Yang Dijatuhi Sanksi Akta Notaris merupakan salah satu dari hasil pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai kewenangan yang diberikan kepada Notaris. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, jika berupa sanksi perdata dikarenakan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan akta Notaris batal demi hukum merupakan sanksi yang berkaitan
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
38
dengan produk dari Notaris yang diajukan oleh pihak atau penghadap yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Notaris melanggarr ketentuan yang tersebut dalam pasal 84 UUJN. Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas karena Notaris melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang tersebut dalam pasal 85 UUJN. Jika sanksi tersebut dijatuhkan atau diberikan kepada Notaris, maka harus ada upaya hukum dari Notaris untuk mempertahankan hak-hak Notaris dengan tujuan untuk memperoleh pemeriksaan yang berimbang, objektif dari pihak lain, dalam hal ini dari pengadilan tata usaha negara. 1. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Perdata Untuk Akta Notaris Yang Mempunyai kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di Bawah Tangan dan Sanksi Akta Notaris Batal Demi Hukum Akta Notaris tidak dapat dinilai atau dinyatakan secara langsung secara sepihak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum oleh para pihak yang namanya dalam akta atau oleh orang lain yang berkepentingan dengan akta tersebut.34 Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum karena melanggar ketentuan-ketentuan tertentu yang disebutkan dalam pasal 84 UUJN. Penilaian akta seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris atau pihak lain, tapi penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan batal demi hukum harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 UUJN atau tidak. Dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai kewenangan untuk melaksankan isi Pasal 84 UUJN.35 Jika ada para pihak atau penghadap menilai atau menganggap atau mengetahui bahwa akta Notaris melanggar ketentuan 34
Habib Adjie, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat.....,Op.Cit, hal 50.
35
Ibid, hal 50 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
39
ketentuan dalam Pasal 84 UUJN, maka para pihak yang memberikan penilaian seperti itu harus dapat membuktikannya melalui proses peradilan (gugatan) dan meminta penggantian biaya, ganti rugi dan bunga agar dapat membuktikan penilaiannya dengan menunjukkan ketentuan atau pasal mana yang dilanggar oleh Notaris dan atas gugatan ini Notaris wajib memberikan perlawanan atau penjelasan. Jika penggugat dapat membuktikan gugatannya dan pengadilan memutuskan akta yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum dan hakim membebankan ganti rugi kepada Notaris untuk membayar kepada penggugat, dalam gugatan ini semua tingkat peradilan dapat ditempuh oleh Notaris, sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Prosedur seperti tersebut harus dilakukan agar terjadi penilaian sepihak atas suatu akta Notaris, karena akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang dapat dinilai dari aspek lahiriah,formal dan materiil. Notaris dalam membuat akta atas permintaan para pihak berdasarkan pada tata cara atau prosedur dalam pembuatan akta Notaris.36 Ketika para penghadap menganggap ada yang tidak benar dari akta tersebut, dan menderita kerugian sebagai akibat langsung dari akta tersebut, maka pihak yang bersangkutan harus menguggat Notaris dan wajib membuktikan apakah akta Notaris tidak memenuhi aspek lahiriah, formal atau materiil dan membuktikan kerugiannya. Dengan demikian penilaian akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum tidak dari satu pihak saja, tapi harus dilakukan oleh atau melaluui dan dibuktikan di pengadilan. Jika pengadilan memutuskan akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, maka atas putusan pengadilan tersebut Notaris dapat 36
Ibid, hal 51. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
40
dituntut biaya, ganti rugi dan bunga. Demikian pula jika ternyata gugatan tersebut tidak terbukti atau ditolak, mak tidak menutup kemungkinan Notaris yang bersangkutan untuk mengajukan gugatan kepada mereka atau pihak yang telah menggugatnya. Hal ini sebagai upaya untuk mempertahankan hak dan kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berkaitan dengan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. 2. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi Administrasi Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi administrasif terhadap Notaris sesuai kewenangannya. Baik sanksi teguran lisan dan teguran tertulis dari Majelis Pengawas Wilayah dan sanksi pemberhentian sementara jabatannya oleh Majelis Pengawas Pusat.37 Majelis Pengawas Pusat hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi seperti ini bersifat final Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN. Majelis Pengawas Pusat hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja (Pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian sanksi seperti tersebut merupakan kewenangan Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah. Sebagaimana telah diuraikan di atas,Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor
M.02.PR.08.10
Tahun
2004,
ditemukan
pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris (Wilayah dan Pusat yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris (Wilayah dan Pusat), jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan
37
Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
41
Kode Etik Notaris, maka Majelis Pemeriksa Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa :38 a) Teguran Lisan b) Teguran Tertulis c) Pemberhentian sementara d) Pemberhentian dengan hormat e) Pemberhentian dengan tidak hormat Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu hanya ada pada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat berdasarkan UUJN, tapi di sisi lain Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) berwenang pula untuk menjatuhkan saksi administratif sebagaimana seperti tersebut di atas. Menurut Pasal 33 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa Notaris yang dijatuhkan
sanksi
oleh
Majelis
Pemeriksa
Wilayah
dapat
melakukan banding ke Majelis Pengawas Pusat dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada Majelis Pengawas Pusat untuk diteruskan kepada Menteri (Pasal 35 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Dengan demikian Majelis Pemeriksa dapat menjatuhkan sanksi yang lebih luas dibandingkan sanksi yang dapat diajtuhkan oleh Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat kepada Notaris, sehingga ada 2 (dua) instansi yang dapat menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat serta Majelis pemeriksa 38
Ibid,hal 52. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
42
Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat. Substansi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, seperti tersebut di atas tidak tepat karena mencampuradukkan kewenangan Majelis Pengawas Wiayah dan Majelis Pemeriksa Pusat dalam menjatuhkan sanksi, sehingga yang tetap harus dijadikan pedoman adalah aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUJN. Instansi utama untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris sedangkan tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa merupakan bagian internak yang dibuat oleh Majelis Pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada dalam kendali Majelis Pengawas. Oleh karena itu seharusnya Majelis Pemeriksa hanya berwenang untuk menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka, dan jika menurut hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa terbukti bahwa Notaris yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, maka kemudian Majelis Pemeriksa melaporkannya kepada Majelis Pengawas dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu. Selanjutnya Majelis Pengawas akan memutuskan sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris yang bersangkutan. Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, Notaris diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan
kepada
Majelis
Pengawas
yang
menjatuhkan sanksi kepadanya, jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada Instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi dan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan Notaris yang bersangkutan. 3. Upaya Hukum Notaris Terhadap Sanksi-Sanksi Jabatan Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewenangan khusus yangtidak dipunyai oleh Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
43
UUJN, bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta atau surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatknya atau dalam Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hasil akhir pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah yang dituangkan dalam bentuk surat Keputusan, berisi memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik,penuntut umum atau hakim. Ketentuan Pasal 66 UUJN ini bersifat imperatif atau keharusan, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Apabila Majelis Pengawas Daerah berdasarkan hasil pemeriksaannya memutuskan, Notaris yang bersangkutan tidak diizinkan memenuhi panggilan polisi, maka Notaris yang bersangkutan harus mematuhinya. Tapi jika ternyata Majelis Pengawas Daerah tidak mengizinkannya dan Notaris yang bersangkutan tetap ingin memenuhi panggilan tersebut,maka segala akibat hukumnya menjadi Notaris yang bersangkutan. Sebaliknya jika Majelis Pengawas Daerah memutuskan mengizinkan, maka Notaris yang bersangkutan harus memenuhi panggilan polisi. Ketika UUJN diundangkan, para Notaris berharap dapat perlindungan yang proporsional kepada para Notaris ketika dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, setidaknya atau salah satunya melalui atau berdasarkan ketentuan atau mekanismeimplementasi Pasal 66 UUJN yang dilakukan Majelis Pengawas Daerah, juga setidaknya ada pemeriksaan yang adil, transparan, beretika dan ilmiah ketika Majelis Pengawas Daerah memeriksa Notaris
atas
permohonan
pihak
lain
(kepolisan,kejaksaan,pengadilan), tapi hal tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan, karena para anggota Majelis Pengawas Daerah yang terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yaitu 3 (tiga) orang
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
44
Notaris, 3 (tiga) orang akademis dan 3 (tiga) orang birokrat (Pasal 67 ayat (3) UUJN) yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, sehingga tidak ada persepsi yang sama ketika memeriksa Notaris. Contoh mengenai fokus pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah : A. Apakah objek pemeriksaan Majelis Pengawas Daeerah, berkaitan dengan Notaris
(orang yang melaksanakan
jabatan Notaris) atau akta Notaris ? Dalam pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah tidak bisa membedakan antara Notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika Majelis Pengawas Daerah menenpatkan Notaris sebagai objek, maka Majelis Pengawas Daerah berati akan memeriksa tindakan atau perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat
dibenarkan,
karena
suatu
hal
yang
sangat
menyimpang bagi Notaris dalam menjalankan tigas jabatnyya untuk turut serta atau mebantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak atau penghadap. Dalam kaitan ini tidak ada aturan hukum yang membenarkan Majelis Pengawas Daerah mengambil tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak atau penghadap. Majelis Pengawas daerah bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti itu. Dalam tataran aturan hukum yang benar bahwa Majelis Pengawas Daerah harus menempatkan akta Notaris sebagai objek, karena Notaris dalam menjalankan tugas
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
45
jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum, berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup perdata, sehingga menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta, dan jika terbukti ada pelanggaran, maka akan dikenai saknsi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Dengan demikian bukan wewenang Majelis Pengawas Daerah jika dalam melaksanakan tugasnya mencari unsur-unsur pidana untuk menggiring Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan atau perbuatan pidana. B. Adakah
batasan
Majelis
Pengawas
melakukan pemeriksaan ?
Daerah
dalam
Bahwa batasan Majelis
Pengawas Daerah dalam melakukan pemeriksaan, yaitu dengan objeknya akta Notaris. Menempatkan akta sebagai objek, maka batasan Majelis Pengawas Daerah dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada : i. Kekuatan pembuktian lahiriah akta Notaris. Dalam memeriksa aspek lahiriah dari akta Notaris, maka Majelis Pengawas Daerah harus dapat membuktikan otentisitas akta Notaris tersebut. Majelis Pengawas
Daerah
harus
melakukan
pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek lahiriah dari akta Notaris. Jika Majelis Pengawas Daerah tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus dilihat “apa adanya” bukan dilihat “ada apa”. ii. Kekuatan pembuktian formal Akta Notaris. Dalam hal ini Majelis Pengawas Daerah harus dapat membuktikan ketdiakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membukyikan
ketidakbenaran
pernyataan
atau
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
46
keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris. Dengan kata lain Majelis Pengawas Daeerah tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika Majelis
Pengawas
Daerah
tidak
mampu
untuk
membuktikannya, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh Majelis Pengawas Daerah sendiri. iii. Kekuatan pembuktiann materiil akta Notaris Dalam kaitan ini Majelis Pengawas Daerah harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pidak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak berkata benar. Majelis Pengawas
Daerah
harus
melakukan
pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris. Jika Majelis Pengawas Daerah tidak mampu untuk membuktiannya, maka akta tersebut benar adanya. Ketiga
aspek
tersebut
diatas
merupakan
kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti. Sehingga siapapun (hakim,jaksa,kepolisian bahkan Notaris dan Majelis Pengawas Daerah sendiri) terikat untuk menerima akta Notaris “apa adanya” dan siapapun tidak dapat menafsirkan lain atau menambahkan atau meminta alat bukti lain untuk menunjang akta Notaris, sebab jika akta Notaris tidak dinilai sebagai alat bukti yang
sempurna
akan
menjadi
tidak
ada
gunanyanundang-undang menunjuk Notaris sebagai Pejabat Umum untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, jika ternyata siapapun saja dengan semaunya dan seenaknya atau tanpa dasar
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
47
hukum yang jelas mengeyampingkan akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Jika
ternyata
Majelis
Pengawas
Daerah
memutuskan (berdasarkan Surat Keputusan yang dibuat oleh Majelis Pengawas Daerah) untuk meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak penyidik, kejaksaan atau di pengadilan sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi seperti ke Majelis Pemeriksa Wilayah atau ke Majelis Pemeriksa Pusat karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau bandung. Meskipun demikian jika Notaris diloloskan oleh Majelis Pengawas Daerah, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata usaha negara (PTUN) dengan objek gugatan yaitu surat Majelis Pengawas Daerah yang meloloskan Notaris tersebut, hal ini akan menjadi sengketa tata usaha negara. Hal tersebut dapat dilakukan
karena
Majelis
Pengawas
Daerah
berkedudukan sebagai badan atau jabatan tata usaha negara (TUN) dan telah mengeluarkan suatu keputusan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian tindakan Majelis Pengawas Daerah yang memutuskan meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak lain sebagai pelaksanaan Pasal 66 UUJN, jika tidak memuaskan bagi Notaris atau Notaris yang bersangkutan berkeberatan dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, maka Notaris yang bersangkutan dapat menggugat Majelis Pengawas Daerah kePengadilan Tata Usaha Negara. Surat
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
48
Keputusan
Majelis
Pengawas
Daerah
tersebut
merupakan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Adanya gugatan tersebut, Notaris tidak perlu (dulu) untuk memenuhi keputusan Majelis Pengawas Daerah itu sampai ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tata Usaha Negara, jika banding dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan kasasi sampai ada putusan Mahkamah Agung. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa upaya hukum
seperrti
tersebut
diatas
dapat
dilakukan
sepanjang Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika Notaris
melakukan
suatu
tindakan
tidak
dalam
menjalankan tugas jabatannya selaku Notaris atau di luar wewenang Notaris.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
49
BAB III STUDI KASUS A.
Tinjauan Mengenai Perdamaian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1851 perdamaian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya persetujuan para pihak harus dianggap sah apabila memenuhi unsur-unsur persetujuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan persetujuan itu harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa tiada suatu persetujuan atau sepakat sah diberikan apabila karena : a. Kekhilafan ; b. Paksaan ; c. Penipuan. Selanjutnya Pasal 1859 KUHPerdata menyatakan, bahwa namun suatu perdamaian dapat dibatalkan apabila telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya atau mengenai pokok perselisihan. Ia dapat membatalkan dalam segala hal dimana telah dilakukan penipuan atau paksaan. 2. Isi perjanjiannya merupakan persetujuan untuk melakukan sesuatu Pasal 1851 KUHPerdata membatasi tindakan hukum apa yang diperbolehkan Pembatasan tersebut meliputi : a. Untuk menyerahkan suatu barang ; b. Menyampaikan sesuatu barang ; c. Menahan suatu barang. 3. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa Pasal 1851 KUHPerdata juga mengatakan, bahwa perdamaian dapat dilakukan atas perkara yang telah ada baik yang sedang berjalan di pengadilan maupun yang akan diajukan ke pengadilan. 4. Sengketa itu sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara atau sengketa.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
50
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi subyek dari perjanjian perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1852 KUHPerdata yang berbunyi : “Untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu. Wali-wali dan pengampu-pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain jika mereka bertindak menurut ketentuan dari bab kelima belas dan ketujuh belas dari buku kesatu Kitab Undang-Undang ini. Kepala-kepala daerah yang bertindak sebagai demikian, begitu pula lembaga-lembaga umum tidak dapat mengadakan suatu perdamaian dengan mengindahkan acara-acara yang ditetapkan dalam perundang-undangan yang mengenai mereka”Obyek perjanjian diatur dalam Pasal 1853 KUHPerdata. Adapun obyek perjanjian perdamaian adalah : a. Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, erdamaian sekali-kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau pelanggaran yang bersangkutan; b. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya. Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. Di dalam Pasal 1858 ayat ( 1 ) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perdamaian yang diadakan para pihak harus dibuatkan dalam bentuk tertulis.39 Sehingga dapat disimpulkan bahwa bentuk tertulis dari perjanjian perdamaian yang dimaksudkan undang-undang adalah bentuk tertulis yang otentik, yaitu yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah notaris. Perjanjian perdamaian secara tertulis yang dibuat di hadapan notaris ini dapat dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak untuk diajukan kehadapan hakim ( pengadilan ) karena isi perdamaian itu disamakan dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada dasarnya subtansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh para 39 R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (a)(Jakarta : Pradnya Paramita,2003), Pasal 1851 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
51
pihak namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak. Perdamaian yang tidak diperbolehkan adalah : a. Perdamaian tentang telah terjadinya kekhilafan mengenai orang yang bersangkutan atau pokok perkara ; b. Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan atau paksaan ; c. Perdamaian mengenai kekeliruan mengenai duduk perkara tentang suatu alas hak yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu dengan pernyataan tegas ; d. Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu ; e. Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti,
namun tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu
pihak. Akan tetapi jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding maka perdamaian mengenai sengketa yang bersangkutan adalah sah ; f. Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari suratsurat yang ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hal itu. Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.40 Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan yang mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali.41 Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa telah terjadi kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Dalam masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya biasanya jika timbul suatu sengketa maka hal yang dilakukan 40
Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknis Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 94 41 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op. cit., Pasal 1858 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
52
terlebih dahulu adalah melakukan musyawarah untuk mufakat. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian adalah suatu hal penting untuk penyelesaian suatu sengketa. Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan proses penyelesaian sengketa dan pengambilan keputusan yang dianggap berakar pada berbagai masyarakat adat di Indonesia, antara lain pada : 1. Masyarakat Batak, mengadakan acara Runggun Adat yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan ; 2. Masyarakat Minangkabau, mengenal lembaga Hakim Perdamaian Minangkabau dalam Karapatan Nagari yang secara umum berperan sebagai mediator atau konsiliator ; 3. Masyarakat
Aceh,
memiliki
badan
pemutus
adat
yang
menggunakan prinsip-prinsip alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal dengan Tuha Puet ; 4. Masyarakat Jawa, yang menghasilkan keputusan dalam suatu pertemuan yang disebut dengan Rembug Desa ; 5. Masyarakat Bali, mengenal hakim perdamaian yang berfungsi sebagai pihak yang mendamaikan atau merukunkan para pihak yang bersengketa.42 Untuk itu maka penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan perjanjian yaitu dengan perjanjian perdamaian, yang disebut juga dengan istilah “dading“ Perjanjian perdamaian ini diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Jadi pada dasarnya perjanjian perdamaian tersebut merupakan kesepakatan bersama yang dilakukan oleh para pihak dengan tujuan dan itikad baik untuk membuat suatu perjanjian. Perjanjian perdamaian timbul karena banyak manfaat yang 42 Munawar Kholil et al., Silabus dan Teaching Material Pilihan Penyelesaian
Sengketa(PPS)/Alternative Dispute Resolution (ADR), (Jakarta : FHUI-Proyek ELIPS, 1988), hal. 6
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
53
akan didapat oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam sistim peradilan kita banyak sekali kelemahannya. Kritik yang seringkali muncul terhadap peradilan bukan hanya di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh dunia. Hal tersebut antara lain di sebabkan karena : a. Penyelesaian sengketa yang lambat. Penyelesaian perkara melalui proses litigasi pada umumnya lambat atau “waste of time”, sehingga mengakibatkan proses pemeriksaan yang bersifat sangat formal (formalistic) dan sangat teknis (technically), selain itu arus perkara yang masuk ke pengadilan semakin deras, sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak (overloaded).43 b. Faktor biaya Semua pihak menganggap faktor biaya perkara sangat mahal, apalagi jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian. Makin lama penyelesaian mengakibatkan makin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan bayaran untuk pengacara yang mesti ditanggung. Melihat kenyataan biaya perkara yang mahal membuat orang berperkara di pengadilan menjadi tidak berdaya, terkuras segala tenaga, waktu dan pikiran (litigation paralyze people)44 c. Peradilan tidak tanggap (Unresponsive) Kenyataan, pengalaman dan pengamatan membuktikan bahwa pengadilan kurang tanggap dan tidak responsive (unresponsive) dalam bentuk perilaku. Hal tersebut disebabkan karena pengadilan kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat.
45
Selain itu pengadilan dianggap sering
berperilaku tidak adil atau unfair karena didasarkan atas alasan bahwa
pengadilan
dalam
memberikan
kesempatan
serta
43 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum , (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 66 44 Jack Etheridge dan Peter Lovenheim, Mediate Don’t Litigate, (New York : Mc. Graw Hill Publishing Comp, 1989), hal. 23 45
Tony Mc Adams, Law Business and Society, Third Edition, (Boston : Irwin, 1992), hal. 187
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
54
keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang kaya.46 d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah Tidak ada putusan pengadilan yang membawa para pihak yang bersengketa
kearah
penyelesaian
masalah,
karena
putusan
pengadilan tidak bersifat problem solving diantara pihak yang bersengketa, tetapi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang saling berhadapan, yaitu menempatkan satu pihak pada posisi pemenang (the winner) dan menyudutkan pihak lain sebagai pihak yang kalah (the losser). Dalam posisi menang dan kalah tersebut, bukan kedamaian yang timbul, tetapi terkadang timbul dendam dan kebencian pada pihak yang kalah.47 e. Kemampuan para hakim bersifat generalis Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, ilmu pengetahuan yang mereka miliki hanya di bidang hukum, di luar itu pengetahuan mereka hanya bersifat umum, sangat mustahil mereka mampu menyelesaiakan sengketa yang mengandung kompleksitas dalam berbagai bidang, misalnya sengketa
teknologi
konstruksi,
akutansi,
perkreditan
dan
48
sebagainya.
Oleh karena itu banyak faktor yang didapat dari dipilihnya perdamaian dari pada menempuh jalan litigasi. Adapun keuntungan yang akan didapat antara lain : i.
Sifat kesukarelaan dalam proses. Para pihak percaya bahwa alternatif penyelesaian sengketa memberikan jalan keluar yang potensial untuk penyelesaian masalah dengan lebih baik dibandingkan dengan prosedur litigasi.
ii.
Prosedur yang cepat.
46
Margono, op. cit., hal. 66
47
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 157 48 Margono, op.cit., hal. 67 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
55
Karena prosedur ini bersifat informal, pihak-pihak yang terlibat mampu untuk menegosiasikan syarat-syarat penggunaannya. Hal ini akan mempercepat proses penyelesaian masalah sehingga mencegah terjadinya penundaan dan berlarut-larutnya suatu masalah, seperti yang biasa dialami apabila masalah tersebut diselesaikan melalui proses litigasi di pengadilan. iii.
Keputusan non yudisial. Wewenang untuk membuat keputusan tetap berada pada pihakpihak yang terlibat atau tidak didelegasikan kepada pembuat keputusan dari pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang terlibat mempunyai lebih banyak control dan mampu memperkirakan hasil-hasil sengketa yang akan dicapai.
iv.
Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah. Prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur litigasi di pengadilan yang sangat terbatas pada pembuatan keputusan pengadilan yang didasarkan pada titik sempit hukum.
v.
Hemat waktu. Dalam proses penyelesaian masalah melalui proses litigasi di pengadilan sering mengalami keterlambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan hingga putusan.
vi.
Hemat biaya. Besarnya biaya biasanya ditentukan oleh lamanya waktu yang dipergunakan. Dalam banyak hal, waktu adalah uang dan penundaan penyelesaian masalah memerlukan biaya yang sangat mahal.
vii.
Pemeliharaan hubungan. Hal
ini
berbeda
dengan
keputusan
pengadilan
yang
menempatkan satu pihak di posisi yang menang serta pihak lain di posisi yang kalah, sehingga dapat memunculkan permusuhan di antara mereka. viii. Keputusan yang bertahan sepanjang waktu.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
56
Keputusan ini biasanya bertahan sepanjang waktu, jika kemudian dikemudian hari persengketaan itu menimbulkan masalah, pihak-pihakyang terlibat lebih memanfaatkan bentuk pemecahan masalah yang kooperatif dibandingkan dengan menerapkan pendekatan yang adversarial atau pertentangan.49 Dari uraian di atas dapat kita pelajari keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari penyelesaian di luar pengadilan. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam pasal 1851, perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian itu tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis. Sedangkan perjanjian perdamaian berdasarkan Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 6 ayat (2) mensyaratkan bahwa hasil dari penyelesaian suatu sengketa atau beda pendapat dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, dalam Pasal 6 ayat (7) menyatakan bahwa kesepakatan tertulis tersebut wajib didaftarkan di pengadilan negeri. Perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis, karena perjanjian yang ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu dinamakan perjanjian formil. Dengan demikian perjanjian perdamaian adalah perjanjian formil dan dapat di simpulkan ada tiga hal yang yang dapat dikemukakan yaitu : 1. Perdamaian merupakan salah satu bentuk perjanjian ; 2. Perjanjian perdamaian tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa atau mencegah timbulnya perkara ; 3. Perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis.
49
Christopher W. Moore, Mediasi Lingkungan, (Jakarta : ICEL dan CDR Associates, 1995), hal. 86 UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
57
B.
Hukum Acara Menghendaki Perdamaian Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.50 Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi : Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak dating, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Selanjutnya ayat (2) mengatakan : Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai , maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah (akta)
tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.51 Dari bunyi pasal diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum acara perdata menghendaki penyelesaian
perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Prosedur mediasi melalui beberapa tahap yaitu pra mediasi dan mediasi, yang meliputi : a. Tahap Pra Mediasi : 1. Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum a) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi, pasal 130 ayat (1) HIR. 52 b) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. c) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. d) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 50 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,( Yogyakarta: Liberty,2006), hal 12.
51
R. Soesilo,RIB/HIR dengan penjelasan, (Bogor: Politea,1985), hal 88.
52
Sutantio Retnowulan, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,(Bandung:Mandar maju,2002) hal 35. UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
58
e) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. f) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa. 2. Hak Para Pihak Memilih Mediator Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b) Advokat atau akademisi hukum; c) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d) Hakim majelis pemeriksa perkara; e) Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. 3. Batas Waktu Pemilihan Mediator a) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. b) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. c) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas. d) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
59
mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. e) Setelah
menerima
pemberitahuan
para
pihak
tentang
kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. f) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. B. Tahap Mediasi 1. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. 2. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal
memilih
mediator,
masing-masing
pihak
dapat
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. 3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. 4. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari 5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. Jika
mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Apabila
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
60
dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian
berlangsung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. Kekuatan hukum penetapan akta perdamaian kekuatannya sama dengan putusan hakim. Ditegaskan pada pasal 130 ayat (2) HIR bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekkuatan
tetap.53
Sifat
kekuatan
yang
demikian
merupakan
penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, 53 Yahya Harahap,Ruang Lingkup (Jakarta:Gramedia,1995) hal. 279.
Permasalahan
dan
eksekusi
Bidang
Perdata,
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
61
apabila telah menempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, UU sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Penetapan akta perdamaian mempunyai kekuatan eksekutorial yang ditegaskan pada kalimat terakhir pasal 130 (2) HIR yakni Berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan Juga berkekuatan eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap. Sesaat setelah eksekutorial padanya.
putusan dijatuhkan langsung melekat kekuatan Apabila salah satu pihak
tidak menaati atau
melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian sukarela : ü Dapat diminta eksekusi pada PN, ü Atas permintaan KPN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR. Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang menghukum para pihak untuk mentaati perjanjian perdamaian yang mereka sepakati. Putusan akta perdamaian tidak dapat disbanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akata perdamaian, tidak dapat di banding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Memperhatikan kekuatan yang langsung melekat pada putusan akta perdamaian, penyelesaian perkara melalui system ini sangat efektif dan efesien. Segala upaya hukum tertutup, sehingga dapat langsung diminta eksekusi apabila salah satu pihak ingkar memenuhi perjanjian secara sukarela.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
62
C.
Analisa Putusan 1.
Kasus Posisi Putusan
Majelis
Pemeriksa
Pusat
Notaris
No
:
05/Mj.PPN/XI/2010 adalah putusan terhadap pelanggaran jabatan notaris yang di dalamnya terdapat Notaris Bambang Heryanto, SH sebagai pembanding dan Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Administrasi Jakarta Utara sebagai Terbanding. Terbanding Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Administrasi Jakarta Utara melaporkan pembanding Notaris Bambang Heryanto, SH kepada Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta perihal Pelanggaran Jabatan Notaris yang dilakukan oleh pembanding. Terbanding menyatakan bahwa pembanding telah melakukan Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan mempunyai konsekuensi hukum yang tersebut dalam Bab II Pasal 9 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Protokol Notaris Majelis Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Utara Nomor 08/PA.PPN/MPDJU/8/2006 tanggal 29 Agustus 2006 dan nomor 30/PA.PPN/MPDJU/6/2006 tanggal 16 Juni 2006 terhadap Pembanding sebagai dasar hukum Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta untuk memeriksa Pembanding, oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor 01/Pts/MPWJKT/I/2010 Tanggal 20 Januari 2010, dalam amarnya telah menjatuhkan sanksi bagi pembanding selaku Notaris yaitu mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap Pembanding selaku Notaris untuk diberhentikan sementara selama 6 (enam) bulan. Pembanding merasa keberatan terhadap putusan dari Majelis Pengawas Wilayah maka Pembanding mengajukan permohonan banding melalui Majelis Pemeriksa Pusat untuk membatalkan Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta Nomor 01/Pts/MPW.JKT/I/2010.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
63
Dalam proses permohonan banding tersebut, Pembanding juga mengajukan gugatan perdata terhadap personal Anggota Majelis Pengawas Daerah Kota Administrasi Jakarta Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara perihal perbuatan melawan hukum dimana Majelis Pengawas Daerah Notaris Kotamadya Jakarta Utara tidak berwenang untuk menyatakan seorang Notaris telah melakukan pelanggaran Undang Undang Jabatan Notaris dan atau Kode Etik Notaris dan menjatuhkan sanksi displinair terhadap seorang Notaris sebagaimana diuraikan dalam Pasal 70 Undang Undang Jabatan Notaris. Terhadap gugatan perdata tersebut yang sudah terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut tanggal 17 Maret 2010, para pihak sepakat untuk membuat Akta Perdamaian yang dibuat di pengadilan, yang menyatakan bahwa bersepakat mengakhiri perselisihan yang ada dengan perdamaian berdasarkan atas kesepakatan penyelesaian persengketaan atau perselisihan yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara oleh Pihak Pertama dalam hal ini Pembanding. Dan para pihak sepakat untuk tidak saling menuntut secara perdata maupun pidana di Pengadilan atau di luar pengadilan apapun hasil putusan dari Majelis Pengawas Pusat Notaris. Dinyatakan pula bahwa dengan terjadinya perdamaian menurut akta perdamaian tersebut, maka Perdamaian dalam akta ini mempunyai kekuatan seperti Putusan dalan tingkat yang bersifat akhir dan mengikat (final and binding). Selanjutnya,
berdasarkan
pertimbangan
dan
mempelajari
Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor 01/Pts/MPWJKT/I/2010 Tanggal 20 Januari 2010,maka Majelis Pemeriksa Pusat memutuskan untuk membatalkan Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor 01/Pts/MPWJKT/I/2010 Tanggal 20 Januari 2010 dan memberikan sanksi teguran lisan terhadap pembanding.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
64
2.
Analisa Hukum Jabatan
Notaris
merupakan
jabatan
kepercayaan,
maka
keluhuran serta martabat jabatan Notaris perlu dijaga,baik ketika dalam menjalankan tugas jabatan maupun perilaku kehidupan Notaris sebagai manusia yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi martabat jabatan Notaris. Sebagai konsekwensi yang logis, maka seiring dengan adanya kepercayaan terhadap Notaris tersebut harus dijamin adanya pengawasan agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan agar dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan. Pasal 67 ayat (1) UU Jabatan Notaris menentukan bahwa yang melakukan pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri. Dalam melaksanakan pengawas tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas. Menurut Pasal 68 UU Jabatan Notaris, bahwa Majelis Pengawas terdiri dari : a. Majelis Pengawas Daerah b. Majelis Pengawas Wilayah c. Majelis Pengawas Pusat Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Sanksi ini disebutkan dalam UU Jabatan Notaris juga disebutkan kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yaitu : 1. MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari Notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris tapi tidak diberi kewenangan untuk
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
65
menjatuhkan sanksi apapun, tapi MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan,Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris (Pasal 71 huruf e UUJN). 2. MPW dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis. MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis dan sanksi seperti ini bersifat final dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris. 3. MPP dapat menjatuhkan sanksi terbatas. Pasal 77 huruf c UU Jabatan Notaris menentukan bahwa MPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris. Instansi utama untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris, sedangkan Tim pemeriksa dan Majelis Pemeriksa merupakan bagian internal yang dibuat oleh Majelis Pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada dalam kendali Majelis Pengawas. Dalam mengadili perkara yang dipentingkan adalah faktanya atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya
hanyalah
alat,
sedangkan
yang
bersifat
menentukan adalah peristiwanya. Setelah Majelis Pemeriksa Pusat Notaris menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sumber sengketa yang berarti bahwa Majelis Pemeriksa telah dapat mengkonstatir peristiwa yang menjadi sengketa, maka
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
66
majelis
menentukan
peraturan
hukum
apakah
yang
menguasai sengketa antara kedua belah pihak, Majelis Pemeriksa
harus
menemukan
hukumnya
dan
harus
mengkualifisir peristiwa yang telah dianggapnya terbukti. Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi Majelis Pemeriksa ialah perundang-undangan, dan ilmu pengetahuan. Dalam hal perkara ini, Notaris yang dijatuhkan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah melakukan banding ke Majelis Pengawas Pusat dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (Pasal 33 Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). D.
Dampak Yang Timbul Dari Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Yang Bersifat Kolegial Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), yang sifatnya insidentil saja dengan kewenangan memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris (Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri. Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah, dan Pusat). Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masingmasing, yaitu : a. Majelis
Pengawas
(Daerah,
Wilayah
dan
Pusat);
dengan
kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
67
b. Tim Pemeriksa, dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. c. Majelis
Pemeriksa
(Daerah,
Wilayah
dan
Pusat),
dengan
kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris. Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan Undang Undang Jabatan Notaris sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tindakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan instansi. Majelis Pengawas Daerah mempunyai tanggung jawab kolektif kolegial dimana tugas dan kewenangannya dijalankan oleh Ketua atau Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas Daerah berjumlah 9 orang anggota yang terdiri dari 3 orang yang mewakili unsur akademisi atau ahli, 3 orang mewakili unsur pemerintah dan 3 orang mewakili unsur Organisasi Profesi Notaris. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang di dalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia Notaris, adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris merupakan pengawasan internal, artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang memahami dunia Notaris luar dalam, sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat. Di antara anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris dipilih Ketua dan Wakil Ketua yang mewakili Majelis Pengawas Daerah Notaris Jakarta Utara dan kepempinannya bersifat kolegial, dimana masing masing anggota Majelis bertanggung jawab secara tanggung menanggung atas tindakan Ketua atau Wakil Ketua dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
68
menimbulkan kerugian bagi Notaris atau Masyarakat. Semangat kolegial sebuah bentuk kepimpinan yang mengikat antar sesama pimpinan, yang tujuannya membangun kebersamaan dan satu sama lain saling melengkapi, semua masalah yang timbul baik internal maupun eksternal diputuskan secara bersama, ini menjadikan fungsi koordinasi tidak ditentukan oleh seorang atau dua orang. Perpaduan
keanggotaan
Majelis
Pengawas
diharapkan
dapat
memberikan pengawasan dan pemeriksaan yang objektif dan menjaga kenetralitasan, karena ditakutkan dampak dari adanya asas kolegial ini ialah adanya indikasi seorang atau dua orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Dengan mengetahui hal ini, dapat kita ketahui bahwa peran Ketua merupakan bukan hanya sebagai figur teladan dan simbol kekuasaan yang penuh. Namun Ketua juga dikatakan sama dengan anggota lainnya. Dalam konsep ini dikatakan sama antara anggota dan ketua, namun dalam porsi tanggung jawab teknis berbeda. Ketika dalam organisasi ditemukan sebuah kesalahan, bukan hanya ketua seorang yang dinyatakan bersalah dan dijadikan kambing hitam namun juga anggota lainnya. Kelemahan dalam tanggung jawab secara kolegial ini ialah perlu waktu lama dalam pengambilan keputusan. Ketika seseorang beragumentasi mengenai keputusan organisasi bukan langsung diterima oleh seluruh anggota namun musyawarah menjadii patokan keputusan. Argumen ini tidak melihat siapa yang memberikannya, sekalipun ketua organisasi, jika ketua saja tidak dapat mengambil keputusan secara mutlak, maka yang terjadi argumen-argumen baru yang tentu perlu banyak waktu untuk memilih argumen yang ditentukan oleh sekian anggota. E.
Akta Perdamaian Yang Dibuat Di Pengadilan Mampu Memgakomidir Kepentingan Para Pihak Yang Bersengketa Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
69
terjadi conflict of interest. Pihak yang dirugikan akan menyampaikan rasa ketidakpuasaannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, maka terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa. Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian/pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa secara umum, orang tidak akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi
yang
tidak
menyenangkan,
dimana
seseorang
harus
menghadapi situasi rumit yang mengundang ketidak tentuan sehingga dapat mempengaruhi kedudukannya. Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib atau kepentingan pihak lainnya. Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus
dipenuhi
oleh
kedua
belah
pihak
harus
sama-sama
memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk didengar. Dengan prasyarat tersebut dialog dan pencarian titik temu yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru bisa berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa yaitu: a. Kepentingan b. Hak - hak c. Status kekuasaan. Para pihak bersengketa menginginkan agar kepentingan tercapai, hakhaknya dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
70
dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut diatas. Proses penyelesaian sengketa mengharuskan para pihak mengembangkan penyelesaian yang dapat diterima bersama, dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan secara perdamaian dengan membuat akta perdamaian di pengadilan ini memberikan dampak psikologis bagi kedua belah pihak untuk tidak saling menuntut atau melepaskan hak-haknya dengan
mengakomodir
kepentingan
masing-masing
tanpa
adanya
konfrontasi. Menurut ketentuan Pasal 130 RIB, hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Usaha tersebut dapat dilakukan sepanjan proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan tinggi.54 Perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Melalui perdamaian para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan situasi yang sama-sama menguntungkan dengan melepaskan hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik. Persetujuan atau kesepakatan yang telah tercapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Perdamaian hanya dapat dilakukan apabila para pihak yang bersengketa mempunyai kekuatan untuk melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam kesepakatan tertulis tersebut.
54
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,cet. 7, (b) (Bandung : CV. Mandar Maju, 1997), hal. 35
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
71
BAB IV PENUTUP A.
KESIMPULAN 1.
Dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial adalah terdapatnya disharmonisasi artinya jika Ketua telah menetapkan suatu keputusan maka para anggotanya harus menyatakan sepakat dengan keputusan tersebut ditambah lagi adanya rasa solidaritas terhadap sesama Notaris yang melakukan pelanggaran, dikarenakan adanya anggota Majelis Pengawas Notaris yang didalamnya terdapat dari kalangan Notaris, ini merupakan suatu pertentangan batin dimana notaris akan membela koleganya sendiri dalam hal ini yang berprofesi sama. Kolektif kolegial merupakan formulasi
kepempimpinan
dalam
ikatan
guna
membangun
kebersamaan dalam satu ikatan. Dalam regulasi kolektif kolegial ini semua anggota dinyatakan sama dalam setiap pengambilan keputusan begitu juga tanggung jawabnya. 2.
Akta perdamaian yang dibuat di pengadilan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan
pihak-pihak
yang
bersengketa
yang
dituangkan dalam isi perdamaian akta perdamaian tersebut yaitu yang isinya menerangkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan memperhatikan hak dan kewajibannya serta memuat solusi yang harus dilaksanakan para pihak guna penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan undang-undang. Dalam kesepakatan tersebut para pihak bersengketa sesuai dengan kehendaknya membuat persetujuan tertulis yaitu akta perdamaian dengan menuangkan kemauan para pihak dalam penyelesaian sengketa, sehingga dapat dilaksanakan dengan damai tanpa sengketa dan memenuhi keadilan para pihak. Dengan adanya akta perdamaian, maka para pihak harus mentaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan, jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
72
alasan nebis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan kembali), hukum
maka akta perdamaian memberikan jaminan kepastian
terhadap
penyelesaian
sengketa
yang
mengedepankan
pencapaian keadilan dengan pendekatan konsensus dan mendasar pada kepentingan pihak yang bersengketa dalam rangka mencapai win-win solution. B.
SARAN 1.
Untuk mengurangi kelemahan dalam hal tanggung jawab secara kolegial, Majelis pengawas dapat mengurangi kesenjangan antar anggota, artinya jika tidak ada kesenenjangan kita akan menerima semua yang sama antar anggota termasuk ide-ide anggota.
2.
Penyelesaian sengketa secara damai telah lama ada dan diakui dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang merupakan pencerminan asas musyawarah untuk mufakat. Perdamaian merupakan pilihan yang murah,
cepat, efisien dan sejalan dengan budaya masyarakat
Indonesia yang tidak
konfrontatif. Perdamaian bisa dilaksanakan
di dalam persidangan maupun di luar persidangan. Perdamaian hendaknya bisa menjadi alternatif utama pihak yang bersengketa, sehingga tiadanya penyelesaian sengketa yang berlarutlarut. Hal ini memerlukan kesungguhan dari para profesi hukum dalam menjembatani pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa, guna mewujudkan nilai keadilan bersama tanpa adanya perselisihan dikemudian hari, yang memberikan rasa aman, kepercayaan dan kepastian hukum.
UNIVERSITAS INDONESIA
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Adjie, Habib, ( 2011), Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, Bandung : PT. Refika Aditama. -------------- (2008), Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung : PT Refika Aditama. Indroharto, (1996), Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Etheridge, Jack & Lovenheim Peter, ( 1989), Mediate Don’t Litigate, New York : Mc. Graw Hill Publishing Comp. Kholil, Munawar, (1988), Silabus dan Teaching Material Pilihan Penyelesaian Sengketa(PPS)/Alternative Dispute Resolution (ADR), Jakarta : FHUI-Proyek ELIPS. R. Soesilo, (1985), RIB/HIR dengan penjelasan, Bogor: Politea. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, (1997), Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. 7, (b),Bandung : CV. Mandar Maju Salim, (2006), Hukum Kontrak, Teori dan Teknis Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika. Soeryono Soekanto, 1986 Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. (Jakarta : UI-Press. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada).
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Suyud Margono, 2000,ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia. Tony Mc Adams, (1992). Law Business and Society, Third Edition, Boston : Irwin W. Moore, Christopher (1995),Mediasi Lingkungan,Jakarta : ICEL dan CDR Associates. Yahya Harahap, (1995). Ruang Lingkup Permasalahan dan eksekusi Bidang Perdata, Jakarta:Gramedia. II . Artikel, Jurnal dan Karya Ilmiah Puslitbang Hukum & Peradilan, (2003), Naskah Akademis Mengenai Court Dispute Resolution, Jakarta : Puslitbang Hukum dan Peradilan MARI. III. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 8. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.
Rekomendasi dan purusan..., Sonia Alini Asmarani, FH UI, 2012.