UNIVERSITAS INDONESIA
PEMAKNAAN MENGENAI NILAI-NILAI MASKULINITAS DAN CITRA TUBUH DALAM PROGRAM KOMUNIKASI PEMASARAN OLEH LAKI-LAKI HOMOSEKSUAL DAN LAKI-LAKI HETEROSEKSUAL (Studi Kualitatif pada Program Komunikasi Pemasaran L-Men)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
FRANGKY E 0806346092
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KEKHUSUSAN PERIKLANAN DEPOK JULI 2012 i
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
ii
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
iii
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR
Iklan merupakan salah satu bagian dari program komunikasi pemasaran suatu perusahaan. Awalnya, iklan merupakan alat yang digunakan untuk menjual atau mempromosikan produk, baik barang maupun jasa. Namun demikian, iklan kini tidak hanya menjual produk, tetapi juga nilai-nilai, sikap, kepercayaan, citra simbolis, dan bahkan identitas gender. Iklan seringkali menggambarkan identitas seorang laki-laki “sejati” melalui penampilan tubuh yang ideal dan maskulin. Akibatnya, hal tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dan sudah seharusnya berlaku di masyarakat. Tidak hanya itu, keadaan ini juga secara bersamaan melatarbelakangi penilaian citra tubuh seseorang terhadap penampilan aktual tubuhnya dengan penampilan tubuh yang ditampilkan dalam iklan. Laki-laki homoseksual adalah kelompok yang dimarginalkan sekaligus disubordinasi di masyarakat karena dianggap menyimpang dari peran gender. Marginalisasi dan subordinasi tersebut memaksa mereka untuk menghindari kecurigaan homoseksualitas, salah satunya melalui tubuh atletis dan berotot yang ditampilkan secara berlebihan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah hasil pengamatan peneliti terhadap diskriminasi dan stigmatisasi terhadap kaum homoseksual di Indonesia. Melalui karya ilmiah ini, saya berharap dapat berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan orientasi seksual dan pemaknaan nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh. Saya menyadari tulisan ini memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Semoga di masa mendatang, penelitian sejenis dalam bidang pemaknaan dapat menguatkan kajian pemaknaan dan perkembangan ilmu komunikasi. Depok, Juli 2012
Frangky E
iv
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari banyak bantuan dan bimbingan dari pelbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak, sebagai berikut: 1) Dra. Ken Reciana, M.A., selaku ketua jurusan S1 Reguler Ilmu Komunikasi UI yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan pengetahuan selama berkuliah di Komunikasi UI; 2) Nadia Andayani, S.Sos, M.A., selaku dosen pembimbing yang sudah begitu baik dan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing penulis selama menyusun skripsi ini; 3) Dewi Chandra Kirana, S.Sos, M.Si., selaku penguji ahli yang telah memberi banyak masukan, baik saran maupun kritik, untuk menjadikan skripsi ini lebih baik; 4) Dosen-dosen Ilmu Komunikasi UI yang telah memberikan saya pengetahuan baru tentang ilmu komunikasi; 5) Dr. Irwansyah, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan selama masa perkuliahan; 6) Mas Gugi, Mba Indah, Mba Sherly yang sudah membantu banyak hal administratif selama masa kuliah; 7) Mas Christian Widi Nugraha, selaku Brand Manager L-Men yang telah menyediakan waktu untuk wawancara dan membantu banyak hal terkait komunikasi pemasaran L-Men; 8) RI, DI, JH, dan BM, selaku informan dalam penelitian ini yang telah menyediakan waktu untuk wawancara dan sekaligus direpotkan (God Bless You All); 9) Mama dan Bapa, selaku orang tuaku yang tidak pernah berhenti berdoa, berpengharapan, dan mendukung semua mimpiku. Terima kasih sudah
v
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
menjadi nafas dan semangat dalam penulisan skripsi ini. Semoga ini menjadi awal pembuktian ungkapan terima kasihku untuk Mama dan Bapa. 10) Frisna Rosalina dan Michael Andreas. May the blessings of God be with you all. 11) Teman-teman Ilmu Komunikasi UI angkatan 2008, 2009. 12) West coast kiddos, Chyntia Monica Fabella, Boby Muchromi, Fara Ramadhina, Frisca Amelia, Adhirespati, Aji Artotian. Thank you for the very awesome experience. You guys are the best solace of all. 13) The Nadia’s. Well, guys. We did it. Amanda Noviandhi, Rossa Kusuma, Cindyramitha, Ilmalana, Ulie Inge, dan Frisca Amelia. 14) Gilang Putra dan Niken Kinanti, terima kasih sudah berbagi pengetahuan tentang coding. Virtue is the key to all success. 15) Chyntia Monica Fabella, S.Sos., terima kasih sudah berbagi pengalaman, bercerita tentang hidup, dan membuka pikiran untuk selalu terbuka terhadap banyak hal baru. 16) Frisca Amelia, terima kasih sudah menjadi teman berdiskusi dan bercerita banyak hal selama empat tahun ini. Good luck, chul. 17) Inda Mariant Purba, S.Psi, terima kasih sudah selalu memberikan semangat dan motivasi; Desy Yohana, S.Sos, terima kasih sudah banyak membantu dan memberikan pencerahan dalam penyusunan skripsi ini 18) Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu Terima kasih banyak dan semoga Tuhan memberkati.
Depok, Juni 2012
Frangky E
vi
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
vii
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
ABSTRAK/ABSTRACT Nama : Frangky E Program Studi : Ilmu Komunikasi/Periklanan Judul : Pemaknaan mengenai Nilai-Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran oleh LakiLaki Homoseksual dan Laki-Laki Heteroseksual (Studi Kualitatif pada Program Komunikasi Pemasaran L-Men) Di masyarakat, laki-laki dituntut menjadi maskulin dengan memiliki sifat atau karakteristik berbeda dari perempuan. Terpaan pesan komunikasi dalam media membuat nilai-nilai maskulinitas cenderung diasosiasikan dengan penampilan tubuh. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini menggambarkan pemaknaan laki-laki homoseksual dan lakilaki heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam program komunikasi pemasaran suplemen kesehatan L-Men. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan teknik analisis tematik. Temuan penelitian ini adalah pesan promosional komunikasi pemasaran L-Men diterima dan dimaknai secara beragam oleh target komunikasinya, baik laki-laki homoseksual maupun laki-laki heteroseksual. Temuan lain adalah program komunikasi pemasaran membentuk ragam kepercayaan terhadap kualitas L-Men. Kata kunci
: pemaknaan, komunikasi pemasaran, nilai maskulinitas, citra tubuh, orientasi seksual, wawancara mendalam
Name Major Title
: Frangky E : Communications Studies/Advertising : The Reception Studies of Masculinity Values and Body Image in Marketing Communication Program by Homosexual Men and Heterosexual Men (Qualitative Study on L-Men’s Marketing Communication Program)
In society, men are expected to possess masculine traits which make them distinct from women. The exposure of media message has been causing an association of masculine values toward body appearance. Through qualitative approach, this research tries to describe various meaning toward masculinity values and body appearance in L-Men’s marketing communication programs. In-depth- interview is used in collecting data from certain informants. The data will be analyzed by using thematic analysis. The finding of this research is promotional message received and interpreted variously by target market, both the homosexual and heterosexual men. Another finding is the marketing communication program creates various type of trust toward the quality of L-Men. Keywords
: reception studies, marketing communication, masculine values, body image, sexual orientation, in depth interview viii Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vii ABSTRAK ...................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Permasalahan ......................................................................................... 4 1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 7 1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 7 1.5 Signifikansi Penelitian .......................................................................... 8 1.5.1 Signifikansi Akademis ............................................................... 8 1.5.2 Signifikansi Praktis .................................................................... 8 1.5.3 Signifikansi Sosial ...................................................................... 8 BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 9 2.1 Encoding/Decoding Model .................................................................... 9 2.2 Khalayak Aktif ..................................................................................... 12 2.3. Relasi Gender di Masyarakat .............................................................. 15 2.4 Hierarki Maskulinitas ........................................................................... 17 2.5 Orientasi Seksual .................................................................................. 21 2.6 Citra Tubuh di Masyarakat .................................................................... 26 2.7 Komunikasi Pemasaran ........................................................................ 28 2.8 Asumsi Teoretis .................................................................................... 31 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 33 3.1 Paradigma Penelitian ............................................................................ 33 3.2 Pendekatan Penelitian ........................................................................... 33 3.3 Jenis Penelitian ..................................................................................... 34 3.4 Strategi Penelitian ................................................................................. 34 3.5 Teknik Pemilihan Informan .................................................................. 35 3.5.1 Unit Analisis .............................................................................. 36 3.5.2 Unit Observasi ............................................................................ 36 3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 38 3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................ 39 3.8 Kriteria Kualitas Penelitian .................................................................. 39 ix Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB 4 OBJEK KAJIAN 4.1 Profil Produk L-Men ............................................................................ 41 4.2 Strategi Komunikasi Pemasaran L-Men ............................................... 44 BAB 5 ANALISIS DATA ............................................................................. 45 5.1 Latar Belakang Informan ...................................................................... 45 5.1.1 Informan 1 .................................................................................. 45 5.1.2 Informan 2 .................................................................................. 46 5.1.3 Informan 3 .................................................................................. 46 5.1.4 Informan 4 .................................................................................. 47 5.2 Reference Group ................................................................................... 51 5.3 Hierarki Maskulinitas ........................................................................... 53 5.4 Orientasi Seksual .................................................................................. 55 5.5 Media Habit dan Terpaan Iklan ............................................................ 58 5.6 Pemaknaan mengenai Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh ................. 60 5.7 Pemaknaan Program Komunikasi Pemasaran L-Men .......................... 64 5.8 Pemaknaan Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men ........................................................... 72 5.9 Pandangan Informan terhadap Laki-laki Bertubuh Atletis ................... 78 BAB 6 INTERPRETASI DAN KESIMPULAN ......................................... 84 6.1 Interpretasi Data ........................................................................................ 84 6.2 Simpulan Penelitian .................................................................................. 89 6.3 Implikasi Penelitian ................................................................................... 91 6.4 Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian ................................................... 92 6.5 Rekomendasi Penelitian ............................................................................ 93 DAFTAR REFERENSI ................................................................................ 94 LAMPIRAN ................................................................................................... xiv
x Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Ringkasan Temuan Penelitian ...................................................... 48 Tabel 5.2 Pemaknaan Informan Homoseksual dan Heteroseksual terhadap Nilai-Nilai Maskulinita dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men ................................................... 80
xi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Encoding/Decoding Model .......................................................... 10
xii Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6
Pedoman Wawancara .............................................................. xiv Transkrip Wawancara Brand Manager .................................... xvi Transkrip Wawancara Informan 1 ........................................... xx Transkrip Wawancara Informan 2 ........................................... xlii Transkrip Wawancara Informan 3 ........................................... liv Transkrip Wawancara Informan 4 ........................................... lxxvi
xiii Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gender merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu sosial yang mengalami banyak perkembangan di beberapa waktu belakangan. Perkembangan perhatian terhadap gender diakibatkan oleh ketidaksetaraan gender yang terjadi di dalam banyak aspek, antara lain sosial dan budaya. Contohnya, laki-laki dianggap lebih dominan dan superior dari perempuan. Kondisi ini semakin diperkuat oleh pesan komunikasi dalam media massa, contohnya adalah pesan dalam periklanan yang menggambarkan identitas gender dan seksualitas. Pelbagai pesan iklan ini ditemui dengan mudah sehingga berimplikasi ke dalam kehidupan manusia. Dalam perspektif ilmu komunikasi, media mengirimkan banyak pesan yang menjual nilai, sikap, dan citra suatu kebudayaan (Cortese, 2008). Pesan-pesan tersebut pun kemudian memperkuat adanya ketidaksetaraan gender di masyarakat. Periklanan banyak berperan dalam menggambarkan identitas gender. Iklan banyak menggunakan penggambaran visual dari laki-laki atau perempuan untuk menarik perhatian dan memersuasi khalayak. Biasanya, proyeksi gender yang mereka tampilkan adalah tentang bagaimana seorang laki-laki atau perempuan bersikap dan berperilaku (Cortese, 2008). Beberapa penggambaran identitas gender tersebut, tidaklah merefleksikan realitas sosial yang sebenarnya. Salah satu contohnya adalah tentang persoalan penampilan tubuh. Dalam iklan, laki-laki seringkali digambarkan sebagai sosok yang berotot, rapi, terlihat sehat, dan juga tampan. Masih menurut Cortese (2008), kondisi ini secara tidak disadari menimbulkan efek buruk pada penerimaan diri seorang laki-laki, salah satunya terhadap penampilan tubuh. Secara alamiah, manusia lahir dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, menjadi maskulin atau feminin tidaklah didapat secara alamiah, tetapi melalui proses enkulturasi nilai-nilai yang ada di masyarakat (Pollard & Hyatt, 1999). Seorang seksolog bernama S.J. Kessler membuat beberapa premis yang berkaitan dengan hubungan dikotomi antara jenis kelamin dengan gender: (1) alat kelamin manusia secara alami terbagi menjadi dua atau 1 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
2
dimorfik: penis dan vagina; (2) alat kelamin selain penis atau vagina membutuhkan bantuan operasi sebagai upaya perbaikan; (3) gender bersifat dikotomis karena genital manusia yang dimorfik; (4) genital yang dimorfik menjadi penanda dari adanya dikotomi gender (Kessler, 1998). Konsep yang sering dikenal dalam konteks seksual adalah laki-laki dan perempuan sedangkan konsep dalam konteks gender adalah maskulin dan feminin (Sunarto, 2004). Untuk menjadi maskulin atau feminin, manusia harus melalui proses belajar (Sunarto, 2004) dan menginterpretasi lensa-lensa budaya yang berbeda di setiap waktu dan tempat (Pollard & Hyatt, 1999). Dengan kata lain, gender berbicara tentang seberapa dominan nilai-nilai, perilaku, atau sifat-sifat yang ditemukan dalam diri seorang laki-laki atau perempuan (Sunarto, 2004). Salah satu sifat dasar laki-laki adalah agresif. Maccoby dan Jacklin (1974) menyebutkan laki-laki cenderung didorong untuk berpartisipasi di dalam olahraga atau aktivitas fisik untuk menyalurkan agresivitasnya (Edwards, 2006). Olahraga merupakan aktivitas fisik yang melibatkan situasi kompetitif terstruktur dan diatur oleh aturan-aturan, contohnya sepak bola, sedangkan aktivitas fisik sendiri dapat didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka dan secara substansial meningkatkan pengeluaran energi (Hardman & Stensel, 2003). Dengan rutin melakukan aktivitas fisik, laki-laki tidak hanya mendapat tubuh yang sehat dan bugar, tetapi juga penampilan yang lebih baik karena mampu mengurangi jumlah lemak tubuh dan meningkatkan massa otot (American Medical Association, 2001). Umumnya, alasan tersebutlah yang membuat lakilaki berpartisipasi dalam aktivitas fisik (Ary, 2010). Daya tarik bagi laki-laki banyak berbicara tentang penampilan dan kekuatan tubuh (Weber, 2006). Penampilan tubuh menjadi indikator karena konsepsi maskulinitas alami yang terkandung di dalamnya (Weber, 2006). Secara luas, tubuh telah diakui sebagai penanda utama maskulinitas (Edwards, 2006), bersifat melekat dan tidak dapat dilepaskan (Robertson, 2007), serta berperan penting dalam menentukan maskulinitas laki-laki (MacKinnon, 2003). Hal inilah yang membuat tubuh menjadi objek praktik sosial dalam membentuk tubuh, antara lain melalui aktivitas fisik di pusat kebugaran dan juga konsumsi suplemen kesehatan (MacKinnon, 2003). Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
3
Keberototan tubuh (muscularity) merupakan salah satu indikator utama maskulinitas laki-laki (Mohamed, 2011). Tubuh yang berotot dianggap dapat memberi keuntungan, antara lain merepresentasi kekuatan fisik (McGrath, 2006), menutupi insekuritas emosional, meningkatkan self esteem (Kimmel & Messner, 2010), dan membantu membangun identitas diri yang positif (Robertson, 2007). Ragam keuntungan yang ditawarkan tersebut membuat laki-laki mulai memberikan perhatian terhadap tubuh. Walaupun awalnya, perhatian terhadap penampilan tubuh merupakan area bagi perempuan dan laki-laki homoseksual (MacKinnon, 2003). Akan tetapi, hal tersebut telah bergeser secara kultural menjadi suatu hal yang diterima dan dianggap wajar, terutama oleh mereka yang tinggal di kota besar (Robertson, 2007). Media memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, salah satunya dalam memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan (Katz, 2003). Tidak hanya itu, media juga berperan dalam memersuasi khalayak melalui periklanan. Secara mendasar, periklanan merupakan salah satu bagian dari komunikasi pemasaran yang bertujuan untuk melakukan persuasi kepada khalayak (O'Guinn, et al., 1998). Periklanan menggunakan pesan-pesan spesifik yang berbentuk pengumuman berbayar untuk mendapatkan atensi publik yang kemudian dikenal sebagai ‘iklan’ (O'Guinn, 1998). Sejak awal kehadirannya, iklan digunakan untuk menjual produk dan jasa. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, iklan tidak hanya sekedar menjual produk dan jasa, tetapi juga nilai-nilai, sikap, dan citra kebudayaan, seperti konsep kesuksesan, cinta, dan seksualitas (Cortese, 2008). Di dalam masyarakat, periklanan telah menjadi budaya yang mendominasi serta memiliki kemampuan untuk membangun kepercayaan, mengubah atau memperkuat nilai, opini, dan sikap seseorang terhadap isu-isu sosial, salah satunya mengenai identitas gender (Cortese, 2008). Di dalam kenyataannya, periklanan tidak memengaruhi, tetapi justru menggambarkan
kepercayaan,
nilai-nilai,
dan
ideologi
(Cortese,
2008).
Representasi tersebut bukan hanya menyampaikan makna yang sudah ada, melainkan juga membuat sesuatu hal memiliki makna tertentu (Briggs & Colbey, 1998). Dalam kaitannya dengan penampilan tubuh, iklan memberi penggambaran Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
4
tubuh ideal yang berimplikasi terhadap munculnya tekanan untuk memiliki tubuh ideal. Laki-laki di dalam iklan seringkali digambarkan sebagai individu yang atraktif, tampan, tinggi, dan memiliki otot-otot terpahat sempurna (Cortese, 2008). Penggambaran ini memberikan masyarakat suatu konstruksi tentang bagaimana tubuh yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki (Klomsten, et al., 2004). Keadaan ini membuat laki-laki mulai memberi perhatian dengan tujuan meningkatkan kepuasan tubuh (McGrath, 2006). Kepuasan terhadap tubuh menjadi penting, khususnya dalam proses pembentukan identitas, karena dapat menimbulkan ketegangan dalam diri seseorang. Ketegangan tersebut berusaha diredakan dengan memberi perhatian terhadap penampilan tubuh agar citra tubuh yang melekat bersamanya menjadi lebih baik (Brown & Graham, 2008).
1.2 Permasalahan Tubuh laki-laki memiliki peran penting sekaligus juga sebagai penentu utama maskulinitas laki-laki. Dalam upaya menjadi maskulin, tubuh laki-laki pun menjadi bagian dari praktik sosial, yakni partisipasi aktivitas fisik di pusat kebugaran dan konsumsi suplemen kesehatan (McGrath, 2006). Akibatnya, lakilaki, khususnya di kota besar, mulai sadar untuk memberikan perhatian terhadap tubuhnya. Beberapa literatur menyebutkan perhatian terhadap penampilan tubuh merupakan area perempuan dan laki-laki homoseksual (Robertson, 2007). Akan tetapi, pemikiran tersebut mulai bergeser dan berubah belakangan ini, khususnya oleh laki-laki muda dengan gaya hidup urban yang tinggal di kota metropolitan (Edwards, 2006). Secara kultural, perhatian terhadap tubuh kini dianggap sebagai suatu hal yang diterima dan wajar untuk dilakukan oleh laki-laki (Robertson, 2007). Salah satu penyebab yang dianggap sebagai latar belakang adalah ketidakpuasan
laki-laki
terhadap
tubuh
dan
kecenderungan
untuk
mengevaluasinya dari aspek penampilan tubuh (MacKinnon, 2003) serta keinginan memiliki penampilan tubuh yang ideal (McGrath, 2006). Secara umum, keinginan memiliki tubuh ideal merupakan alasan utama yang membuat laki-laki memerhatikan tubuhnya. Namun demikian, laki-laki homoseksual memiliki alasan lain, yaitu untuk menghindari kecurigaan Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
5
homoseksualitas, marginalisasi, dan subordinasi dari masyarakat. Di masyarakat, kelompok orang cacat, perempuan, suku minoritas, anak kecil, dan laki-laki homoseksual
merupakan
subordinasi.
Subordinasi
kelompok yang
orang-orang
dilakukan
kepada
yang
sering
laki-laki
mendapat
homoseksual
merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh dominasi laki-laki heteroseksual untuk menyediakan dan menjelaskan arti dari bagaimana menjadi lelaki sesungguhnya dan juga secara tidak langsung menegaskan dominasi dari suatu sistem gender (MacKinnon, 2003). Kenyataan ini semakin dipertegas oleh pesan dalam media massa termasuk periklanan. Iklan menampilkan sekaligus memberikan perbedaan besar antara perilaku yang sesuai bagi laki-laki dengan perilaku yang sesuai bagi perempuan. Selain itu, iklan juga menegaskan premis bahwa laki-laki adalah dominan sedangkan perempuan adalah pasif dan subordinat (Cortese, 2008). Menurut Mohamed (2011), laki-laki homoseksual cenderung menghindari dan memberi jarak kepada kegiatan atau hal-hal feminin agar tidak dicurigai sebagai bagian dari feminitas. Tidak hanya itu, laki-laki homoseksual juga menciptakan alternatif lain dari maskulinitas, yaitu hypermaskulinitas untuk menghindari subordinasi dan marginalisasi (Courtenay, 2011). Hypermaskulinitas merupakan salah satu strategi manajemen identitas yang dilakukan oleh laki-laki homoseksual dalam upaya memisahkan diri dari stigma negatif, diskriminasi, dan kecurigaan homoseksualitas di masyarakat (MacKinnon, 2003). Menurut MacKinnon (2003), strategi ini menampilkan secara berlebihan sesuatu yang dianggap ‘macho’, tetapi di sisi lain juga merupakan wujud kegelisahan laki-laki terhadap maskulinitas. Bentuk hypermaskulinitas yang sering ditemui di masyarakat adalah tubuh berotot (gym-created body) (MacKinnon, 2003). Banyak laki-laki homoseksual berjuang mendapatkan tubuh berotot untuk memperkecil kemungkinan kecurigaan homoseksualitas. Selain itu, dengan memiliki tubuh berotot, laki-laki homoseksual pun memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melawan stereotype yang menggambarkan kaum homoseksual sebagai kaum yang feminin (Peplau, et al., 2009). Tumbuhnya perhatian laki-laki terhadap penampilan tubuh dianggap sebagai peluang pasar bagi produk suplemen kesehatan L-Men. Seperti yang Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
6
disampaikan oleh Brand Manager L-Men, Christian Widi Nugraha, L-Men merupakan produk suplemen untuk laki-laki yang peduli terhadap kesehatan dan penampilan tubuh. Selain itu, L-men merupakan produk yang membantu laki-laki mempertahankan tubuh atletis dan ideal apabila disertai latihan fisik yang teratur. Namun di balik itu semua, L-Men hadir untuk menginspirasi laki-laki Indonesia agar lebih peduli terhadap kesehatan dan penampilan tubuh. Secara singkat, L-Men merupakan produk suplemen kesehatan yang dapat membantu laki-laki mendapatkan tubuh atletis dan berotot. Unique selling proposition ini dimanifestasikan ke dalam penggambaran laki-laki dengan tubuh atletis dan berotot di dalam setiap program komunikasi L-Men, baik iklan televisi maupun L-Men of The Year. Target market sekaligus target komunikasi L-Men adalah laki-laki dengan status sosial ekonomi A+ dan A serta peduli terhadap kesehatan dan penampilan tubuh atletis dan ideal. Dalam kaitannya dengan orientasi seksual, L-Men tidak membidik konsumen baik heteroseksual maupun homoseksual. Selama memiliki kepedulian terhadap kesehatan dan penampilan tubuh, merekalah yang menjadi target market dari program komunikasi pemasaran L-Men. Televisi merupakan medium utama yang digunakan dalam program komunikasi pemasaran L-Men. Hal ini disimpulkan oleh penggunaan televisi sebagai medium yang juga digunakan untuk menyiarkan tahap final L-Men of The Year. Baik di iklan televisi maupun ajang L-Men of The Year, keduanya menampilkan tubuh bagian atas tanpa busana atau topless. Tubuh atletis dan berotot digunakan dengan alasan sebagai hasil dan aspirasi bagi laki-laki apabila menerapkan gaya hidup sehat. Dalam setiap iklan televisinya, L-Men juga menampilkan tubuh sebagai salah satu daya tarik utama bagi perempuan sehingga menimbulkan kesan bahwa tubuh atletis atau macho adalah idaman perempuan. Hal yang serupa pun dapat dimaknai oleh laki-laki homoseksual mengingat preferensi seksual mereka terhadap sesama laki-laki. Tidak hanya itu, tubuh atletis pun dianggap sebagai salah satu strategi untuk menutupi homoseksualitas karena dianggap sebagai daya tarik bagi perempuan. Secara umum, periklanan merupakan salah satu faktor penting yang memperkuat munculnya perhatian laki-laki terhadap tubuh dan berkontribusi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
7
terhadap kegelisahan dan ketidaknyamanan terhadap penampilan tubuh (Whannel, 2002). Kegelisahan muncul karena pelbagai pesan iklan mampu menembus hal kritis dan personal seseorang, salah satunya adalah identitas diri (Tsai, 2006). Periklanan juga dinilai tidak hanya menjual barang dan jasa, tetapi juga nilai dan kepercayaan. Kepercayaan dan nilai yang ditampilkan dalam iklan mengakibatkan pergeseran nilai-nilai kultural di masyarakat, khususnya pergeseran nilai maskulinitas dan perhatian laki-laki terhadap penampilan tubuhnya. Berdasarkan observasi dan penjelasan di atas, penelitian ini akan meneliti laki-laki heteroseksual dan laki-laki homoseksual. Alasan pemilihan laki-laki homoseksual
dalam
penelitian
ini
dijustifikasi
oleh
adanya
fenomena
hypermaskulinitas yang tidak dialami laki-laki heteroseksual. Sementara itu, pemilihan suplemen kesehatan L-Men dalam penelitian ini dijustifikasi oleh dua hal; pertama, L-Men merupakan satu-satunya produk suplemen kesehatan di pasar Indonesia yang diklaim bermanfaat terhadap pembentukan tubuh atletis; kedua, program komunikasi pemasaran L-Men selalu menampilkan tubuh atletis dan berotot sebagai bentuk inspirasi bagi laki-laki yang tanpa sadar juga menciptakan kegelisahan dan rasa tidak nyaman terhadap penampilan aktual tubuh. Dengan demikian, fokus yang akan diangkat di dalam penelitian ini adalah pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran suplemen kesehatan LMen.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual memaknai nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men?
1.4 Tujuan Penelitian a. Menjelaskan pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran merek. b. Mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang membentuk dan melatarbelakangi
pemaknaan
laki-laki
homoseksual
dan
laki-laki
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
8
heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran merek.
1.5 Signifikansi Penelitian 1.5.1 Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dan memperkaya kajian ilmu komunikasi, khususnya dalam bidang ilmu periklanan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian Reception Studies, khususnya pemaknaan khalayak dengan orientasi seksual homoseksual dan heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam program komunikasi pemasaran. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi akademisi yang memiliki ketertarikan terhadap isu orientasi seksual, maskulinitas, dan citra tubuh yang ditampilkan dalam media massa, khususnya melalui periklanan dan program komunikasi pemasaran lainnya.
1.5.2 Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pemasar untuk dapat lebih memahami ceruk pasar dengan segmen khalayak yang semakin spesifik, antara lain orientasi seksual. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pemasar terkait pergeseran suatu nilai budaya atau kepercayaan terhadap suatu hal di masyarakat yang dapat berimplikasi terhadap rancangan atau perencanaan kreatif program komunikasi pemasaran merek.
1.5.3 Signifikansi Sosial Penelitian ini diharapkan dapat memberi pandangan atau pemahaman yang lebih adil, khususnya bagi laki-laki, terhadap isu orientasi seksual, nilai maskulinitas, dan penilaian penampilan tubuh. Penelitian ini juga diharapkan memiliki signifikansi bagi kaum homoseksual yang seringkali menerapkan hypermaskulinitas sebagai strategi manajemen identitas agar terhindar dari kecurigaan homoseksualitas dan subordinasi di masyarakat.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Encoding/Decoding Model Banyak kajian ilmu komunikasi menyatakan khalayak berperan secara aktif dalam berinteraksi dengan pesan media. Interaksi tersebut disebabkan oleh adanya kemungkinan multi-interpretasi yang dapat dilakukan khalayak. Dalam tulisannya, Hanes (2000) berpendapat pesan yang disampaikan oleh media kepada khalayak tidaklah memiliki makna tunggal, tetapi memiliki pelbagai kemungkinan untuk didefinisi oleh keduanya, baik oleh pesan tersebut maupun oleh khalayaknya sendiri. Khalayak memiliki peran vital dalam proses komunikasi media massa. Tidak hanya itu, khalayak juga menjadi alasan mengapa media membawa dan mengonstruksi informasi bagi khalayak (Hanes, 2000). Hal ini juga menjadi latar belakang dari pelbagai studi dan kajian khalayak, salah satunya teori yang dicetuskan oleh Stuart Hall pada tahun 1980, encoding/decoding model. Encoding/decoding model adalah teori pesan dan khalayak yang menunjukan bahwa suatu pesan disandikan oleh seseorang atau sekelompok yang berasal dari makna dominan dan kemudian diterjemahkan oleh khalayak, tetapi tidak selalu dibaca sesuai dengan harapan atau niat pencipta pesan (Ross & Nightingale, 2003). Stuart Hall juga menegaskan khalayak memiliki kemungkinan untuk menerima atau menolak makna dominan dan juga membaca pesan tersebut secara berlawanan dari maksud pengirim pesan (Kellner, 2003). Khalayak bukanlah kertas kosong yang bisa ditulisi pesan secara mudah oleh media. Khalayak merupakan sekumpulan individu yang sebelumnya telah memiliki sikap dan keyakinan yang dapat menentukan efektivitas pembacaan pesan media (Kellner, 2003). Sikap dan keyakinan tersebut dibentuk oleh beberapa faktor, antara lain pengalaman masa lalu, pengetahuan terhadap suatu medium yang didapatkan sebelumnya, dan faktor sosio-ekonomi, seperti kelas sosial, gender, umur, pendidikan, dan etnis yang memengaruhi khalayak dalam menginterpretasi pesan media (Hanes, 2000). Faktor-faktor ini kemudian membuat proses komunikasi media massa menjadi proses yang kompleks. Dalam 9 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
10
prosesnya, suatu makna disandikan oleh produser ke dalam suatu pesan yang kemudian diterjemahkan oleh khalayak yang membacanya (Hanes, 2000).
TV Programme as a Meaningful Discourse
Encoding
Decoding
Meaning Structure I
Meaning Structure II
Framework of Knowledge Relation of Production Technical Infrastructure
Framework of Knowledge Relation of Production Technical Infrastructure
Encoding/Decoding Model (Hall, 1980)
Menurut Stuart Hall, encoding/decoding model memiliki dua asumsi dasar, sebagai berikut : 1. Komunikator menyandikan pesan untuk tujuan ideologis dengan menggunakan bahasa yang telah dimanipulasi dan media sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang diharapkan adalah khalayak memproduksi makna yang sesuai dengan keinginan pembuat pesan (preferred meaning). 2. Khalayak tidak harus menerima atau menerjemahkan pesan sesuai dengan apa yang diterima. Khalayak memiliki kemungkinan untuk melakukan resistensi terhadap ideologi dalam pesan dan melakukan pemaknaan yang berbeda sesuai dengan pengalaman yang dimiliki tiap individu.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
11
Dalam encoding/decoding model, makna (preferred meaning) yang ditanamkan oleh pembuat pesan disandikan ke dalam beragam sandi atau kode dan kemudian dibawa melalui media tertentu untuk menyembunyikan konstruksi ideologi dominan. Pesan dengan ideologi dominan tersebut biasanya merupakan pesan yang sesuai dengan hegemoni budaya yang kemudian oleh khalayak dibaca, didengar, ditonton, dan diinterpretasikan (Hanes, 2000). Akan tetapi, interpretasi yang dilakukan bergantung kepada sejumlah faktor di luar pesan (Kellner, 2003). Stuart Hall menyatakan terdapat tiga tipe pembacaan khalayak terhadap pesan-pesan media, sebagai berikut (Griffin, 2003): 1. Dominant Khalayak membaca dan memaknai pesan mendekati makna yang ditawarkan media. Media memproduksi pesan dan khalayak mengonsumsi makna yang ditanamkan di dalamnya (preferred meaning). Khalayak menyetujui, mengonsumsi, dan menikmati sehingga tidak memberikan perlawanan terhadap pesan yang ditawarkan. Khalayak dalam tipe ini merupakan tipe khalayak yang memaknai pesan sesuai dengan budaya dominan.
2. Negotiated Khalayak membaca dan memaknai teks berdasarkan nilai-nilai budaya dominan, tetapi menolak untuk menerapkannya di dalam beberapa situasi. Khalayak mengerti makna yang disampaikan oleh pembuat pesan, tetapi memilih untuk melakukan adaptasi sesuai dengan konteks dimana mereka berada. Proses pembacaan tipe ini terjadi apabila ideologi khalayak yang lebih berperan daripada ideologi dalam pesan tersebut.
3. Oppositional Khalayak memaknai suatu pesan media secara kritis dan menemukan bias dalam penyampaian pesan dan menolak untuk menerima pesan. Khalayak memaknai pesan dengan cara menolaknya karena adanya perlawanan antarideologi. Salah satu tanda bahwa khalayak menolak pesan yang
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
12
disampaikan adalah adanya ketidaksukaan dan ketidakcocokan terhadap teks wacana yang diterima. Pembacaan khalayak dapat berbeda-beda tergantung posisi sosio-ekonomi, pengalaman pribadi, identitas, dan konteks sosial dimana proses pembacaan ini terjadi (Tsai, 2006). Setiap makna yang dibuat oleh media sebelumnya dibuat dengan bayangan atau citra mengenai khalayak dengan harapan bahwa mereka menginginkannya (Hanes, 2000). Padahal, makna dalam pesan media seringkali tidak sama dengan makna yang dimiliki khalayak. Perbedaan makna inilah yang menimbulkan negosiasi antara khalayak dengan pesan media (Tsai, 2006).
2.2 Khalayak Aktif Khalayak merupakan pusat dan alasan utama dari proses komunikasi massa. Salah satu sifat khalayak adalah berjumlah besar dan heterogen yang berimplikasi kepada beragamnya respon dan interaksi terhadap pesan media (Hiebert, et al., 1985). Tidak hanya itu, kondisi psikologis dan pengalaman masa lalu turut berkontribusi terhadap keberagaman respon dan interaksi khalayak (Kellner, 2003; Hiebert, et al., 1985). Dalam komunikasi massa, khalayak memberikan respon secara pribadi dan independen terhadap pelbagai pesan media (Hiebert, et al., 1985). MacKinnon (2003) menyatakan pesan media memiliki kemungkinan untuk dimaknai secara beragam (multiple readings) dan khalayak secara bebas memberi dan mengonstruksi makna. Keadaan ini kemudian menjadi indikator dari modifikasi rutin yang dilakukan khalayak dalam mengubah atau memodifikasi ideologi dalam pesan media dan secara bersamaan memunculkan konsep khalayak aktif (MacKinnon, 2003). Awalnya, khalayak bersifat pasif dan dianggap sebagai sekumpulan orang yang mudah untuk dipengaruhi oleh media secara langsung (Morley, 1992). Namun demikian, tidak semua individu dapat dipengaruhi oleh media. Hal ini disebabkan oleh intelegensia dan otonomi diri yang membuat seseorang memiliki power untuk memilih dan menggunakan media (Croteau & Hoynes, 2003). Intelegensia dan otonomi membuat seseorang mengerti dan tidak otomatis menerima atau menyetujui pesan media. Tidak hanya itu, dengan pengetahuan dan Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
13
pengalaman, seorang individu pun memiliki kemungkinan untuk menolak pesan media (Miller & Philo, 2001; Morley, 1992). Dalam Littlejohn (2002), Frank Biocca menyatakan lima karakteristik khalayak aktif, sebagai berikut: 1. Selectivity – khalayak aktif dianggap selektif dalam memilih media yang akan digunakan. 2. Utilitarianism – khalayak aktif dianggap menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu. 3. Intentionality – khalayak aktif dianggap menggunakan isi media sesuai dengan keinginan masing-masing. 4. Resistance to Influence – khalayak aktif dianggap tidak menghendaki pengaruh dari pesan media. 5. Involvement – khalayak aktif dianggap dapat memberikan tanggapan secara aktif kepada media.
Khalayak aktif merupakan khalayak yang memproduksi makna sendiri dan menolak efek manipulatif yang dimiliki media (Kellner, 2003). Teori khalayak aktif menyatakan media tidak mampu membuat seorang individu dalam khalayak untuk berpikir atau berperilaku sesuai dengan sajian media. Hal ini karena khalayak dalam kenyataannya bukanlah kumpulan individu bodoh, naif, dan mudah didoktrin media (Croteau & Hoynes, 2003). Untuk mengetahui keterlibatan khayak aktif dengan media massa, Croteau dan Hoyness (2003) menggambarkannya melalui tiga cara, yakni melalui interpretasi produk media, interpretasi kolektif media, dan aksi politis kolektif.
1. Interpretasi produk media Interpretasi
merupakan
aktivitas
pertama
khalayak.
Khalayak
menginterpretasi pelbagai pesan yang disampaikan media karena sifatnya yang tidak kaku sehingga memungkinkan khalayak untuk mengonstruksi makna. Aktivitas khalayak dalam menginterpretasi produk media merupakan hal yang krusial karena dari sinilah khalayak mendapatkan makna pertama kali. Interpretasi serta makna yang dikonstruksi bisa Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
14
berbeda antara satu individu dengan individu yang lain walaupun di dalam kelompok khalayak yang sama.
2. Interpretasi kolektif media Media merupakan bagian dari kehidupan sosial. Dalam konteks sosial, khalayak pun terikat dengan media. Hal ini juga membuat khalayak melakukan interpretasi dan mengembangkan makna di dalamnya. Kita mengonstruksi dan mengembangkan makna bersamaan dengan orangorang lain dalam kehidupan sosial kita. Cara seseorang mengonstruksi makna dan membangun ikatan dengan orang lain adalah alasan mengapa individu menginterpretasi pesan media.
3. Aksi politis kolektif Khalayak aktif memiliki kemampuan untuk mengumpulkan pelbagai aksi kolektif yang dapat memengaruhi produsen media dan mengubah pesan yang akan disampaikan kepada khalayak. Beberapa contohnya, antara lain protes publik, boykot terhadap produk media tertentu, atau penulisan artikel di kolom di media massa.
Dalam studi tentang media, pesan media tidaklah memiliki makna tunggal, tetapi memiliki kemungkinan untuk dimaknai secara jamak. Makna bukan berada di dalam teks atau pesan, melainkan berada di dalam proses reading (Hanes, 2000). Hanes (2000) menjelaskan preferred meanings diterjemahkan oleh khalayak dari teks atau pesan yang disajikan media. Makna dalam pesan media merupakan sesuatu yang telah tersedia dan mudah untuk ditemukan. Khalayak hanya diminta untuk membaca, mendengar, dan menonton pesan media dan kemudian menginterpretasinya. Preferred meanings akan diinterpretasi secara berbeda oleh khalayak berdasarkan perbedaan kerangka (frameworks), seperti pengalaman masa lalu, kelas, jenis kelamin, pendidikan, kelompok usia, dan juga etnis. Tidak hanya itu, pengetahuan serta pengalaman pesan media sebelumnya pun dapat memengaruhi khalayak dalam menginterpretasi dan memaknai preferred meanings dalam pesan media (Hanes, 2000). Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
15
2.3 Relasi Gender di Masyarakat Masyarakat seringkali memiliki pemahaman yang keliru mengenai hubungan seks dan gender. Hal ini disebabkan oleh sifat dimorfik genital yang dianggap sebagai penanda dikotomi gender (Kessler, 1998). Tessa M. Pollard dan Susan Brin Hyatt menjabarkan seks sebagai identitas spesifik individu secara genetis dan hormonal dan berfungsi untuk menempatkan seseorang ke dalam kategori laki-laki atau perempuan; sementara gender mengacu kepada variasi yang lebih luas mengenai peran sosial dan kultural, nilai-nilai, dan perilaku dari seorang laki-laki atau perempuan (Pollard & Hyatt, 1999). Menurut beberapa ahli, gender lebih menekankan perbedaan dalam aspek psikologis, sosial, dan budaya antara laki-laki dengan perempuan (Sunarto, 2004). Di dalam masyarakat, gender menentukan bagaimana seorang laki-laki atau perempuan berperilaku terhadap suatu hal yang juga dikendalikan dan dipaksa oleh norma dan situasi sosial (Saltonsall, 1993). Kondisi inilah yang kemudian membuat seorang individu harus memiliki peran gender di dalam masyarakat. Peran gender adalah ekspektasi kultural mengenai bagaimana seorang lakilaki atau perempuan harus berpikir dan bersikap yang mewujudkan perbedaan perilaku, kemampuan, kepribadian, dan juga sifat (Carlson & Buskist, 1997). Perbedaan peran gender sampai sekarang dianggap sebagai sesuatu hal yang diterima begitu saja dan diabaikan (Wamala & Agren, 2008). Sebagai contoh, Feldman (2005) menyatakan bahwa laki-laki lebih cenderung dilihat sebagai kaum
dengan
kepemilikan
sifat
yang
melibatkan
kompetensi,
seperti
independensi, objektivitas, dan daya saing. Sebaliknya, perempuan cenderung dipandang sebagai kaum yang memiliki sifat hangat dan ekspresif dan mengutamakan kelembutan dan perasaan orang lain (Feldman, 2005). Wamala dan Agren (2008) mengatakan bahwa peran gender seseorang tidak didapatkan sejak lahir, tetapi diperoleh melalui tahapan kehidupan. Selain itu, tidak ada peran gender yang bersifat sama secara universal, tetapi justru berbeda sesuai dengan adanya perbedaan kebudayaan yang juga didasari oleh adanya perbedaan tradisi, ekspektasi, proses psikologi, dan perilaku (Wamala & Agren, 2008). Peran gender menentukan ranah dimana seorang laki-laki atau perempuan berada. Ranah perempuan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
16
anak-anak sedangkan ranah laki-laki adalah pekerjaan dan dunia di luar rumah (Brannon, 2008). Hampir di banyak kebudayaan yang berbeda, perempuan merupakan kaum yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam hal ranah domestik (Wamala & Agren, 2008). Konseptualisasi yang bersifat oposisional telah memengaruhi pola pikir laki-laki dan perempuan dan menciptakan pelbagai opini populer terkait jenis kelamin dan gender (Brannon, 2008). Adanya perbedaan gender menentukan dan mengonstruksikan secara sosial hubungan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat (Wamala & Agren, 2008). Gender berkaitan dengan relasi kekuasaan, suatu sistem yang mengategorisasikan individu ke dalam kelompok laki-laki atau perempuan. Relasi kekuasaan ini dinegosiasi dan direnegosiasi sehingga seolah-olah merupakan sifat alami manusia (MacKinnon, 2003). Relasi kekuasaan tersebut dapat dianalisis dalam hubungannya dengan pengetahuan, sumber daya ekonomi, pengambilan putusan, dan perlakuan eksploitasi dalam tingkat antarindividu atau institusional. Hal ini membuat perbedaan gender menjadi tidak netral sehingga mengakibatkan fenomena hierarkis antara laki-laki dengan perempuan (Wamala & Agren, 2008). Fenomena tersebut menempatkan laki-laki pada tempat yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga memunculkan budaya patriarki. Budaya patriarki mengajarkan norma-norma hegemoni dan marginalisasi terhadap perempuan. Perbedaan gender di masyarakat tidak hanya menghasilkan fenomena hierarkis antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga menghasilkan stereotype gender di banyak aspek dalam kehidupan. Stereotyping merupakan penilaian tentang seorang individu yang merupakan bagian atau anggota dari suatu kelompok tertentu. Stereotyping tercermin ke dalam perilaku seksisme, pemberian sikap dan perilaku negatif kepada seseorang berdasarkan jenis kelamin yang bersangkutan (Feldman, 2005). Stereotype gender adalah keyakinan dan sikap umum masyarakat terhadap maskulinitas dan feminitas yang tidak sesuai dengan kenyataan (Brannon, 2008). Stereotype gender memiliki pengaruh besar dalam kategorisasi sosial terhadap gender dan juga konseptualisasi laki-laki atau perempuan. Kategori sosial merupakan representasi dari apa yang orang pikirkan
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
17
yang dapat memengaruhi penilaian terhadap diri sendiri dan orang lain (Brannon, 2008).
2.4 Hierarki Maskulinitas Ekspektasi kultural terhadap gender melahikan konsepsi maskulinitas dan feminitas. Dua konsepsi tersebut merupakan pandangan dan ekspektasi masyarakat terhadap sifat dan karakteristik yang membedakan laki-laki dan perempuan. karakteristik,
Masyarakat antara
lain
mengekspektasikan kuat,
agresif,
laki-laki
berani
untuk
sedangkan
memiliki perempuan
diekspektasikan memiliki sifat dan karakteristik, antara lain lemah lembut dan penuh perhatian (Hill, 2008). R.W. Connell dalam Robertson (2007) menyatakan gender sebagai seperangkat relasi yang tidak hanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan, tetapi juga berlaku bagi laki-laki dan laki-laki. Relasi antarasesama gender ini menciptakan konsep gender order berkaitan dengan dimensi gender, relasi antara tubuh dan masyarakat, dan konfigurasi gender. Masih menurut Connell, maskulinitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan suatu aksi yang terjadi dalam jumlah besar dan dapat menciptakan konfigurasi gender yang berlaku di masyarakat. Konfigurasi gender ini pun berinteraksi dengan area praktik sosial, seperti ras, kelas, seksualitas, dan ketidakmampuan (disability) (Robertson, 2007). Konfigurasi gender dipahami sebagai suatu kebiasaan atau praktik yang telah masuk ke dalam struktur sosial masyarakat dan mereplikasi diri demi mempertahankan hierarki gender yang ada. Di masyarakat, ada pelbagai macam konfigurasi maskulinitas yang lahir dan dikonfirmasi melalui praktik gender di situasi sosial dan lembaga sosial, seperti keluarga, sekolah, tempat kerja, olahraga, dan media (Kimmel & Messner, 2010). Keberadaan konfigurasi maskulinitas juga menegaskan pluralitas dalam maskulinitas dan semakin membuktikan bahwa setiap maskulinitas tidaklah sama (Lynch, 2008). Ragam konfigurasi dalam hierarki maskulinitas lahir dari pengalaman berupa penindasan dan kekerasan yang dilakukan laki-laki heteroseksual kepada laki-laki yang tidak memiliki nilai-nilai maskulinitas dominan. Menurut Connel, ada empat konfigurasi maskulinitas di dalam hierarki Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
18
maskulinitas,
yaitu
hegemonic
masculinity,
subordinated
masculinity,
marginalized masculinity, dan complicit masculinity (Robertson, 2007). 1. Hegemonic masculinity Hegemonic masculinity memiliki tujuan dasar mengesahkan dominasi lakilaki dan membuatnya seperti sesuatu yang wajar di masyarakat (MacKinnon, 2003). Banyak laki-laki dalam konfigurasi ini sangat egois terhadap nilaimaskulinitas untuk menghindari subordinasi yang dilakukan oleh orang lain (McGrath, 2006). Hegemonic masculinity berhubungan dengan bagaimana maskulinitas mengonstruksi dominasi dan memegang kendali melalui norma dan nilai yang diterapkan dalam masyarakat (Lynch, 2008). Tidak hanya itu, hegemonic masculinity juga dianggap sebagai salah satu cara paling terhormat yang digunakan seseorang untuk bisa menjadi laki-laki sebenarnya karena konfigurasi ini memaksa banyak laki-laki untuk memosisikan dirinya dalam relasi dan konfigurasi hegemoni maskulinitas (Robertson, 2007). Salah satu fitur penting dalam hegemonic masculinity adalah nilai-nilai heteroseksual
yang
memungkinkan
penghinaan
terhadap
nilai-nilai
homoseksualitas dan laki-laki homoseksual. Namun demikian, keberadaan laki-laki homoseksual di dalam konfigurasi non-hegemonic masculinity secara bersamaan juga semakin melegitimasi keberadaan hegemonic masculinity dan subordinasi yang diberikan kepada mereka, terutama dalam hal ras, kelas sosial, dan orientasi seksual (Kimmel & Messner, 2010). Dalam relasi dengan perempuan, konfigurasi hegemonic masculinity memberi kaum laki-laki sebuah legitimasi terhadap subordinasi kepada kaum perempuan. Dalam struktur hierarki gender, nilai-nilai maskulinitas melakukan subordinasi terhadap nilai feminitas dan telah terjadi di semua aspek di masyarakat. Subordinasi tersebut berimplikasi terhadap kemunculan jenis konfigurasi maskulinitas lain dalam hierarki maskulinitas, yaitu subordinated masculinity (Mohamed, 2011).
2. Subordinated Masculinity Subordinated masculinity merupakan salah satu bentuk lain dari maskulinitas yang memiliki hubungan dengan hegemonic masculinity. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
19
Subordinated masculinity bisa berlaku bagi laki-laki heteroseksual dan lakilaki homoseksual. Seorang laki-laki bisa mengalami subordinasi oleh laki-laki lain karena memiliki ideologi yang berkaitan dengan ras, kelas sosial, dan juga preferensi seksual. Sebagai contoh, di banyak budaya, laki-laki homoseksual banyak
mengalami
kerugian
karena
konstruksi
sosial
menyatakan
homoseksualitas sebagai nilai yang dekat dengan feminitas (Mohamed, 2011). Laki-laki homoseksual adalah contoh paling tepat dalam menjelaskan subordinated masculinity karena seringkali mengalami kontradiksi dalam mendefinisikan maskulinitas dirinya. Kontradiksi terjadi karena adanya pertentangan
antara
definisi
maskulinitas
personal
dengan
definisi
maskulinitas dalam konfigurasi hegemonic masculinity. Kondisi tersebut dianggap sebagai penjelasan dari seringnya subordinasi yang diterima oleh laki-laki homoseksual. Namun demikian, subordinasi tersebut pun tergantung situasi sosial dimana laki-laki homoseksual berada (Mohamed, 2011). Banyak orang mengira laki-laki homoseksual dapat dengan mudah dikenali melalui identifikasi tampilan maskulinitas yang tidak sesuai dengan nilai dominan maskulinitas. Padahal, hal ini sebenarnya keliru karena tidak semua laki-laki homoseksual memiliki karakter atau sifat feminin (Lynch, 2008). Faktanya, laki-laki homoseksual pun mampu mewujudkan hampir semua kualitas, karakteristik, dan sifat dalam hegemonic masculinity. Akan tetapi, perbedaannya adalah laki-laki homoseksual bukanlah laki-laki heteroseksual secara eksklusif (Lynch, 2008). Tidak pernah ada penjelasan pasti di masyarakat terhadap cara untuk mengidentifikasi seseorang dikatakan homoseksual atau bukan. Pemahaman yang
ada
di
masyarakat
hanyalah
penjelasan
simultan
mengenai
heteroseksualitas yang berbicara banyak mengenai maskulinitas dan feminitas. Dalam
konfigurasi
hegemonic
masculinity,
laki-laki
homoseksual
didefinisikan sebagai laki-laki yang memiliki sifat keperempuan-perempuanan karena preferensi seksualnya terhadap laki-laki. Ketertarikan terhadap lakilaki membuat kaum homoseksual disamakan sebagai kaum yang feminin (Mohamed, 2011). Akibatnya, subordinasi yang dilakukan oleh konfigurasi
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
20
laki-laki heteroseksual dianggap sebagai konsekuensi yang harus mereka terima.
3. Marginalized Masculinity Marginalisasi didefinisikan sebagai proses dimana akses suatu kelompok atau individu untuk mendapatkan posisi penting dalam bidang ekonomi, agama, atau kekuasaan politik di masyarakat ditolak. Beberapa orang dimarginalisasi karena beberapa hal, seringnya adalah ras atau kelas sosial. Marginalisasi dalam konteks ini lebih dianggap sebagai suatu bentuk pengecualian daripada dianggap sebagai sebuah aturan. Laki-laki dalam konfigurasi marginalized masculinity dapat mengeluarkan diri dari konfigurasi tersebut apabila memperoleh dan memiliki kekuasaan yang besar atau status yang tinggi di masyarakat. Contoh kelompok atau lakilaki yang seringkali dikorelasikan dengan marginalized masculinity adalah laki-laki yang memiliki keterbatasan atau kekurangan fisik.
4. Complicit Masculinity Tidak semua laki-laki mendapat tekanan karena ras, kelas sosial, atau preferensi seksual. Seperti disebutkan sebelumnya, hegemonic masculinity memproduksi pelbagai simbol untuk mengkonfirmasi maskulinitas. Namun demikian, hanya sejumlah kecil laki-laki yang mampu memiliki kemampuan untuk mendapat dan hidup dengan simbol-simbol tersebut. Laki-laki yang tidak memiliki kemampuan tersebut merupakan laki-laki yang berada di dalam konfigurasi complicit masculinity. Laki-laki dalam kategori ini memang memiliki karakteristik fisik dari standar ideal hegemonic masculinity kaum heteroseksual, tetapi sayangnya tidak memiliki kekuasaan sosial atau kemampuan yang dapat membuat mereka berdiri lebih tinggi di struktur sosial. Menurut Connell dalam Mohamed (2011), laki-laki dalam complicit masculinity seringkali mendapatkan manfaat dari adanya hegemonic masculinity. Mereka biasanya mendapat keuntungan di atas konfigurasi maskulinitas yang lain. Mereka mendapatkan keuntungan dari hegemoni Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
21
maskulinitas yang telah ada saat ini, sebagai contoh adalah remaja laki-laki yang tergabung dalam tim olahraga di sekolah, tetapi bukan secara profesional. Mereka memang memiliki representasi fisik dari nilai-nilai ideal hegemoni maskulinitas. Selain itu, mereka juga mendapatkan status sosial dan keistimewaan sosial yang menemani status tersebut. Namun demikian, di dalam waktu yang bersamaan, mereka menyadari bahwa mereka memiliki ketidakmampuan untuk memperoleh standar-standar ideal dalam hegemoni maskulinitas dan merasa tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengubah standar ideal supaya lebih mudah untuk mereka dapatkan.
2.5 Orientasi Seksual Orientasi seksual adalah aspek dari perilaku seksual yang menunjukan perbedaan besar terhadap gender. Orientasi seksual memiliki tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu perilaku seksual, identitas seksual, dan keinginan seksual. Perilaku seksual mengacu kepada tindakan nyata seorang individu, identitas seksual mengacu kepada bagaimana seorang individu memberi label terhadap dirinya sendiri, dan keinginan seksual mengacu kepada daya tarik seksual seseorang terhadap orang lain (LeVay, 2011). LeVay dalam bukunya Gay, Straight, and The Reason Why (2011) juga menambahkan dalam kaitannya dengan budaya, perilaku dan identitas seksual memiliki kemungkinan lebih besar untuk dipengaruhi nilai dan norma budaya serta tekanan sosial. Secara singkat, perilaku dan identitas seksual merupakan hasil dari konstruksi sosial sedangkan keinginan atau hasrat seksual merupakan disposisi individual (LeVay, 2011). Asosiasi Psikologi Amerika menyatakan orientasi seksual tidak hanya berkaitan dengan sifat, tetapi juga berkaitan dengan identifikasi seseorang terhadap dirinya sendiri berdasarkan beberapa hal, antara lain daya tarik, perilaku yang berkaitan dengan daya tarik tersebut, dan keanggotaan individual di dalam suatu kelompok dimana ia berbagi daya tarik antara satu dengan yang lain (www.apa.org, diakses 31 Maret 2012). Orientasi seksual memengaruhi seseorang dalam memiliki daya tarik secara emosional, melakukan romantisme dan seksual kepada sesama jenis, lain jenis, atau bahkan keduanya (Feldman, 2005). Seseorang yang memiliki daya tarik seksual kepada individu dengan jenis kelamin Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
22
sama disebut dengan gay atau lesbian, kepada individu dengan jenis kelamin berbeda disebut heteroseksual, dan yang memiliki daya tarik kepada keduanya disebut biseksual (LeVay, 2011). Sampai saat ini, tidak ada konsensus di antara para psikolog tentang alasan pasti seseorang bisa menjadi homoseksual, heteroseksual, atau biseksual (Feldman, 2005).
1.
Heteroseksual
Masyarakat dalam pelbagai budaya percaya seseorang terlahir sebagai heteroseksual. Asumsi ini kemudian menjadi narasi dominan publik yang membuat seseorang berpikir bahwa pasangan hidupnya adalah lawan jenisnya (Robertson, 2007). Asumsi ini pun membentuk pemikiran banyak orang bahwa heteroseksualitas adalah orientasi seksual yang sehat, alami, dan diinginkan oleh banyak orang (Anderson, 2005). Heteroseksualitas adalah ketertarikan dan perilaku seksual seseorang yang ditujukan dan diberikan kepada lawan jenisnya. Di masyarakat, heteroseksualitas adalah hal mayoritas sehingga membuatnya menjadi sesuatu yang tampak normal; berbeda dengan homoseksualitas dan
biseksualitas
yang
merupakan
minoritas
(LeVay,
2011).
Heteroseksualitas menjadi mayoritas karena mengandung banyak pesan sosial terkait wacana budaya, baik secara eksplisit maupun implisit (Johnson & Kivel, 2007). Masih menurut Johnson dan Kivel (2007), salah satu bentuk wacana budaya adalah keluarga yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Wacana tersebut cenderung meniadakan alternatif bentuk lain keluarga. Oleh karena itu, bukan hal yang mengejutkan apabila heteroseksualitas menjadi umum di masyarakat (LeVay, 2011). Dalam banyak kebudayaan, heteroseksualitas tampak sebagai suatu hal yang alami, tidak bermasalah, dan tidak membutuhkan penjelasan atau justifikasi
atas
eksistensinya.
Tidak
hanya
itu,
heteroseksualitas
merupakan orientasi seksual yang dipegang oleh banyak ideologi sehingga membuatnya terlihat pantas dan memiliki kekuatan untuk dapat dikonstruksi di dalam kebudayaan. Kekuatan heteroseksualitas pun semakin dikokohkan di tengah besarnya perbedaan gender antara laki-laki Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
23
dan perempuan. Selain itu, secara bersamaan kekuatan tersebut juga menundukan individu yang berada di luar orientasi seksual heteroseksual (Johnson & Kivel, 2007).
2.
Homoseksual Di masyarakat, seorang laki-laki diekspektasikan untuk memiliki
ketertarikan terhadap perempuan. Namun demikian, ada juga laki-laki yang memiliki ketertarikan kepada sesama jenis atau dikenal dengan homoseks. Sebelum melangkah lebih jauh, terdapat perbedaan terminologi antara homoseksualitas, homoseksual, dengan homoseks. Homoseksualitas adalah ketertarikan seksual terhadap seseorang dengan jenis kelamin yang sama, homoseksual mengacu kepada rangsangan seksual kepada sesama jenis, sementara homoseks adalah orang-orang yang memiliki orientasi seksual homoseksual (LeVay, 2011). Orientasi homoseksual sering dikategorikan sebagai hal yang menyimpang karena bertentangan dengan karakter dan peran gender (Tsai, 2006), tidak umum atau jarang, dan dianggap bertentangan dengan nilai sosial di masyarakat (Feldman, 2005). Oleh masyarakat, nilai-nilai sosial dianggap sebagai standar ideal yang digunakan untuk memandang dan mengevaluasi kejadian di masyarakat. Tidak hanya nilai sosial, masyarakat pun menggunakan nilai filosofis dan nilai agama. Namun demikian, tidak ada satu pun dari nilai tersebut yang bernilai dan dapat diterima secara universal (Feldman, 2005). Perilaku homoseksual sempat dianggap sebagai penyakit emosional atau penyakit kejiwaan (mental disorder) (Paul, 1982). Padahal, perilaku homoseksual merupakan suatu potensi alamiah manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk tertarik – secara erotik – terhadap sesamanya (Gunawan, 2000). American Psychological Association pada tahun 1973 juga menegaskan perilaku homoseksual bukanlah suatu penyakit kejiwaan melainkan manifestasi salah satu orientasi seksual manusia (Tobing, 1987). Selain itu, Goode (1984) juga menambahkan perilaku homoseksual memang bukanlah suatu yang umum dan lazim, tetapi hal ini juga bukan merupakan sesuatu yang abnormal. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
24
Minimnya informasi terkait homoseksualitas membuat laki-laki homoseksual menjadi minoritas di masyarakat. Berada dalam kelompok minoritas, kaum gay menerima banyak stigmatisasi dari masyarakat karena dianggap sebagai laki-laki yang tidak sesuai dengan peran gender (Edwards, 2006). Seperti
yang disebutkan sebelumnya, laki-laki
homoseksual dengan mudah dianggap sebagai laki-laki feminin karena memiliki ketertarikan seksual kepada sesama jenis. Imbas dari stigmatisasi tersebut pun membuat laki-laki homoseksual berada dalam konfigurasi subordinated masculinity. Berada dalam konfigurasi subordinated masculinity, laki-laki homoseksual memiliki kemungkinan besar untuk mendapat subordinasi. Mereka pun berusaha menghindarinya dengan memiliki karakteristik, sifat, kepercayaan, atau perilaku sesuai maskulinitas dominan (Mohamed, 2011).
Padahal,
secara
mendasar,
laki-laki
homoseksual
masih
mengidentifikasi diri secara maskulin walaupun memiliki ketertarikan emosional, romantisme, dan seksual kepada sesama jenis. Hanya saja, stigmatisasi dan subordinasi masyarakat membuat mereka berusaha untuk menyembunyikan homoseksualitasnya (Edwards, 2006). Courtenay (2011) menambahkan laki-laki homoseksual seringkali dirugikan dan harus melakukan kompensasi dengan adanya dominasi maskulinitas. Kompensasi tersebut dilakukan dengan cara, antara lain membuat
jarak
dengan
laki-laki
homoseksual
dan
mengadopsi
kepercayaan dan perilaku hypermaskulin. Hypermaskulinitas merupakan seperangkat standar ideal dalam konfigurasi hegemonic masculinity, tetapi diadopsi secara ekstrem oleh laki-laki homoseksual. Hypermaskulinitas tidak bersifat hegemonik walaupun bertujuan merekonstruksi bentuk ideal maskulinitas
(Courtenay,
2011).
Dengan
mengadopsi
identitas
hypermaskulin, laki-laki homoseksual dapat menunjukan sekaligus memamerkan nilai hegemonic masculinity yang banyak dianut oleh lakilaki heteroseksual, antara lain dengan cara memiliki tubuh berotot ekstrem. Laki-laki hypermaskulin cenderung menggunakan pusat kebugaran untuk membangun dan memahat penampilan tubuhnya secara masif. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
25
Kegiatan ini dilakukan untuk menampilkan salah satu nilai maskulinitas yang secara hegemonik dimiliki oleh para heteroseksual dan sebagai salah satu cara agar tidak terlihat sebagai bagian dari homoseksualitas (Mohamed, 2011). Tidak hanya itu, dengan memiliki penampilan tubuh berotot, laki-laki homoseksual ingin membuktikan diri bahwa mereka masih laki-laki sejati (Courtenay, 2011). Namun demikian, saat ini, penampilan tubuh dengan otot ekstrem seringkali dianggap sebagai indikator paling mudah yang menunjukan homoseksualitas (Mohamed, 2011).
3.
Biseksual Alfred Kinsey menyatakan orientasi seksual terentang dari
heteroseksual ekslusif sampai dengan homoseksual ekslusif. Dalam skala tersebut, Kinsey menambahkan kemungkinan seseorang untuk memiliki orientasi seksual biseksual (LeVay, 2011). Biseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual dimana seseorang melabeli dirinya sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan dan perilaku secara seksual atau romantisme kepada laki-laki dan perempuan (IOM, 2011). Beberapa studi menyebutkan biseksualitas sebagai sesuatu yang tidak bisa direpresentasikan, tidak stabil, dan jenis seksualitas yang tidak dapat dijelaskan (Helmers, 2011). Ketidakstabilan dalam seorang biseksual dinilai sebagai suatu bentuk ketidaknormalan gender yang tidak sempurna atau lengkap karena di satu sisi menginginkan seseorang dari jenis kelamin yang sama (LeVay, 2011). Ada dugaan menyebutkan biseksualitas dalam diri seseorang disebabkan oleh kepemilikan hormon testosteron dalam level intermediate. Namun demikian, masih belum banyak bukti yang dapat memperkuat dugaan ini (LeVay, 2011). Seringkali, biseksualitas dianggap
sebagai
mengidentifikasi
bentuk
identitas
ketidakmampuan
seksual,
entah
itu
seseorang heteroseksual
dalam atau
homoseksual (Hubbard, 2010). Dalam disertasinya, Hubbard (2010) menyatakan biseksualitas sebagai salah satu bentuk ketidakmampuan
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
26
individu dalam mengidentifikasi orientasi seksual yang menunjukan ketidakmatangan individu dan identitas yang dimiliki. Identitas biseksual dianggap sebagai salah satu identitas tidak otentik yang dimiliki seseorang dan dapat berimplikasi terhadap terbatasnya ruang sosial dalam pergaulan homoseksual
(IOM, 2011).
Tidak hanya itu, Institut of Medicine of The National Academies (2011) juga menambahkan seorang biseksual cenderung untuk menyembunyikan identitas biseksualitasnya agar diterima oleh kaum homoseksual.
2.6 Citra Tubuh di Masyarakat Dalam masyarakat modern, penampilan tubuh menjadi hal penting karena dianggap sebagai representasi diri seseorang (Edwards, 2006). Nixon (2003) dalam tulisannya Representation: Cultural Representation and Signifying Practices mengatakan laki-laki dan perempuan di masyarakat bukan “menjadi” seseorang dengan identitas yang sebenarnya, melainkan “menunjukan” identitas gender dan seksualitas. Dengan melakukannya, setiap individu membuat sistem gender dan seksualitas tetap hidup sampai saat ini di masyarakat (Nixon, 2003). Selain itu, masyarakat juga cenderung memberikan penghargaan sosial kepada laki-laki atau perempuan apabila menjadi “laki-laki sesungguhnya” atau “perempuan sesungguhnya” (MacKinnon, 2003). Implikasi yang ditimbulkan kondisi ini adalah tingginya usaha laki-laki dan perempuan untuk menjadi “sesungguhnya” dengan cara memiliki tubuh ideal yang sesuai dengan sistem gender, yaitu big is masculine dan thin is beautiful (Tom, et al., 2005). Imbasnya, tubuh menjadi agen dalam praktik sosial yang membuat seseorang memberi makna terhadap orang lain di masyarakat (Edwards, 2006). Penampilan tubuh merupakan area yang banyak berhubungan dengan perempuan
dibandingkan
laki-laki.
Namun
demikian,
seiring
dengan
perkembangan zaman, penampilan tubuh juga menjadi urusan kaum laki-laki (Robertson, 2007). Pergeseran ini dilatarbelakangi oleh tekanan yang didapat lakilaki untuk memiliki tubuh ideal, yaitu tubuh atletis, maskulin, dan berotot (Tom, et al., 2005). Selain itu, tingginya tekanan tersebut pun menciptakan gap antara keinginan mendapatkan citra tubuh ideal dengan citra tubuh aktual. Akibatnya, Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
27
laki-laki pun mulai merasakan ketidakpuasan terhadap penampilan tubuh yang juga mencakup persoalan citra tubuh. Citra tubuh mengacu kepada pikiran, perasaan dan sikap seseorang terhadap tubuhnya sendiri. Citra tubuh banyak berhubungan dengan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang tentang tubuhnya sendiri. Citra tubuh biasanya dikonseptualisasikan ke dalam estimasi ukuran tubuh sebagai evaluator dalam menilai daya tarik tubuh dan juga kaitan hubungan emosional antara tubuh dengan ukuran
tubuh
(Schwartz,
2009).
Dalam
disertasinya,
Schwartz
(2009)
menambahkan citra tubuh sebagai hal yang bersifat multidimensional dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, antara lain sosialisasi budaya, terpaan media, dan pengalaman seseorang antarpribadi. Selain itu, citra tubuh juga dikonstruksi dalam kehidupan seseorang melalui interaksi dengan banyak proses dalam tubuh dan dunia luar seseorang. Secara sederhana, citra tubuh dapat dikatakan sebagai ciptaan masyarakat yang ditentukan oleh nilai dan norma sosio-kultural (Edwards, 2006). Ketidakpuasan terhadap citra tubuh terjadi saat seseorang memberikan perasaan,
pikiran,
dan
persepsi
negatif
terhadap
tubuhnya.
Biasanya,
ketidakpuasan tersebut dimanifestasikan ke dalam pemikiran berlebih terhadap keinginan untuk menurunkan atau menambahkan berat badan, membuat tubuh menjadi lebih berotot, dan memiliki perasaan tidak bahagia atas bentuk dan ukuran bagian tubuh tertentu (Schwartz, 2009). Dalam hubungannya dengan gender, laki-laki selalu menginginkan tubuh yang lebih berotot karena merupakan simbol maskulinitas. Otot dipersepsikan sebagai fondasi utama yang membuat laki-laki merasa tidak nyaman terhadap penampilan tubuh aktualnya (Pope, et al., 2000). Banyak penelitian menunjukan laki-laki dengan tubuh berotot dianggap lebih maskulin karena asosiasi otot sebagai penanda maskulinitas (Pope, et al., 2000). Tidak hanya itu, tubuh berotot juga dianggap salah satu cara untuk menampilkan kekuatan dan kelaki-lakian. Pelbagai kelebihan yang ditawarkan tubuh berotot tersebut tidak jarang membawa laki-laki kepada perhatian terhadap penampilan tubuh agar memiliki citra tubuh positif.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
28
2.7 Komunikasi Pemasaran Komunikasi pemasaran merupakan sarana perusahaan yang digunakan untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen - secara langsung atau tidak langsung - tentang produk dan merk yang dijual (Kotler & Keller, 2006). Selain itu, komunikasi pemasaran merupakan bagian penting dalam proses pemasaran yang menentukan kesuksesan program pemasaran (Shimp, 2000). Melalui komunikasi pemasaran, pemasar hendak membangun dialog dan hubungan dengan konsumen. Selain itu, dialog dan hubungan ini diharap dapat menciptakan hubungan antara merk dengan banyak orang, tempat, kejadian, merk lain, pengalaman, perasaan, dan hal lain (Kotler & Keller, 2006). Secara mendasar, komunikasi pemasaran adalah perpanjangan dari komunikasi interpersonal (Mandell, 1985). Dalam bukunya yang berjudul Marketing, Maurice I. Mandell (1985) menyatakan pemasar sebagai pengirim pesan dalam proses komunikasi yang menyandikan pesan promosional melalui pelbagai saluran promosi. Pemasar sebagai komunikator mengirimkan pesan sebagai rangsangan untuk memengaruhi sikap dan perilaku target dari program komunikasi pemasaran (Russ & Kirkpatrick, 1982). Komunikasi dikatakan berhasil apabila membuat penerima pesan bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan pengirim pesan. Dalam konteks komunikasi pemasaran, pesan promosional yang dikirimkan komunikator mendeskripsikan bagaimana suatu produk atau jasa dapat memuaskan kebutuhan pembeli, menyelesaikan masalah yang dimiliki, dan membantu pembeli dalam memanfaatkan peluang (Russ & Kirkpatrick, 1982). Russ dan Kirkpatrick (1982) menyatakan pesan komunikasi pemasaran seringkali digunakan oleh pemasar untuk menstimulasi minat, keinginan, dan tindakan seseorang. Alasan di balik hal tersebut karena komunikasi pemasaran berperan mempromosikan produk dengan tujuan menghasilkan keuntungan, baik financial maupun nonfinansial (Shimp, 2000). Dalam menyampaikan pesan, pemasar mengenal enam hal dalam bauran komunikasi pemasaran, yaitu advertising, sales promotion, event and experiences, public relations and publicity, direct marketing, dan personal selling (Kotler & Keller, 2006).
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
29
Komponen bauran pemasaran komunikasi yang akan dianalisis dalam penelitian ini ada dua, yaitu periklanan dan event and experiences. Hal ini disebabkan oleh program komunikasi pemasaran L-Men yang dilakukan hanya melalui dua media tersebut. 1. Periklanan Periklanan adalah bentuk berbayar dari presentasi nonpersonal dan promosi idea, barang, atau jasa oleh sponsor yang teridentifikasi (Kotler & Keller, 2006). Dalam jangka panjang, periklanan dapat digunakan untuk membangun citra atau memicu percepatan penjualan suatu produk. Berikut ini adalah karakteristik khusus yang dimiliki periklanan dibandingkan komponen bauran komunikasi pemasaran yang lain.
Pervasiveness – Periklanan memungkinkan pemasar untuk mengulang pesar berulang kali agar konsumen menerima dan kemudian membandingkan pesan dari kompetitor.
Amplified Expresiveness – Periklanan menyedikan peluang bagi perusahaan untuk mendramatisasi produk melalui penggunaan seni cetak, suara, dan warna.
Impersonality
–
Penonton
tidak
merasa
wajib
untuk
memperhatikan atau menanggapi suatu iklan.
2. Event and Experiences Komunikasi pemasaran dalam bentuk
event and experiences
merupakan aktivitas dan program yang disponsori oleh perusahaan dan didesain untuk menciptakan interaksi harian atau tertentu yang berkaitan dengan merk tertentu. Kegiatan yang termasuk dalam events and experiences, antara lain olahraga, seni, hiburan. Kegiatan komunikasi pemasaran tersebut membuat suatu ajang mampu menciptakan interaksi baru antara merk dengan konsumennya (Kotler & Keller, 2006).
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
30
Sama halnya dengan komponen lain, event and experiences pun memiliki karakteristik khusus:
Relevan – Suatu ajang yang dipilih dan diselenggarakan dengan baik dapat dinilai relevan oleh konsumen karena mengikutsertakan mereka secara personal.
Involving – Konsumen dapat menganggap events and experience melibatkan mereka secara aktif karena dilakukan secara real-time.
Implisit – Suatu ajang dianggap sebagai penjualan secara tidak langsung atau soft sell.
Dalam mengembangkan komunikasi pemasaran secara efektif, Kotler dan Keller (2006) menyebutkan enam hal yang harus dilakukan oleh pemasar. 1. Mengidentifikasi target audiens 2. Menentukan tujuan komunikasi pemasaran 3. Mendesain program komunikasi pemasaran 4. Memilih saluran yang akan digunakan 5. Menyusun anggaran komunikasi pemasaran Menurut Borgerson dan Schroeder (2005),
program
komunikasi
pemasaran memiliki suatu kebiasaan mengaitkan diri dengan sesuatu yang bersifat representasional, salah satunya adalah identitas diri dari target marketnya. Program komunikasi pemasaran seringkali menciptakan suatu representasi visual yang menciptakan pelbagai makna yang berada dalam rangkaian budaya. Keadaan ini secara jelas menggambarkan peran penting dan kontribusi program komunikasi pemasaran terhadap sistem budaya yang ada di masyarakat (Borgerson & Schroeder, 2005). Program komunikasi pemasaran mampu menciptakan makna di dalam pikiran khalayaknya terhadap pesan promosional yang disampaikan. Pesan program komunikasi pemasaran diproduksi dan dikonstruksikan oleh tekanan sosial budaya dan menciptakan suatu bentuk representasi dari apa yang ada di masyarakat (Borgerson & Schroeder, 2005). Masih menurut Borgerson dan Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
31
Schroeder (2005), proses penggambaran yang dilakukan mampu untuk membentuk cara berpikir khalayak terhadap suatu objek, ide, dan bahkan identitas diri seseorang. Tidak hanya itu, proses penggambaran ini pun menjadi pusat dari penciptaan makna dari pesan promosional suatu program komunikasi pemasaran (Borgerson & Schroeder, 2005). Begitu juga dengan program komunikasi pemasaran L-Men. Untuk meyakinkan khalayak, L-Men menggunakan citra simbolis di dalam program komunikasi pemasarannya, yaitu tubuh atletis dan berotot yang menggambarkan sosok ideal seorang laki-laki. Idealisasi merupakan salah satu kebiasaan representasional yang seringkali dilakukan oleh perusahaan dan dimanifestasikan dalam program komunikasi pemasaran (Borgerson & Schroeder, 2005). Penggambaran tubuh ideal dalam program komunikasi pemasaran membantu seseorang untuk mengonstruksi identitas diri, daya tarik, dan standar normal terhadap suatu hal. Namun demikian, program komunikasi pemasaran juga tanpa disadari menciptakan pelbagai dampak negatif kepada khalayak, salah satunya dalam hal penilaian terhadap diri dan konstruksi identitas diri.
2.8 Asumsi Teoretis Laki-laki dan perempuan dituntut untuk memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Seorang individu dituntut untuk melakukan dan menunjukan karakter yang sesuai dengan peran gender, yakni maskulin dan feminin, Namun demikian, relasi gender tidak hanya berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara sesama laki-laki. Keadaan ini secara tidak sadar memunculkan hierarki maskulinitas di masyarakat yang memosisikan laki-laki ke dalam konfigurasi maskulinitas. Hegemonic masculinity merupakan konfigurasi paling dominan di masyarakat, khususnya masyarakat dengan budaya patriarki. Konfigurasi ini melegitimasi subordinasi dan marginalisasi kepada perempuan dan laki-laki lain yang dianggap tidak memiiki nilai maskulinitas dominan, salah satu contohnya laki-laki homoseksual. Laki-laki homoseksual cenderung menciptakan alternatif maskulinitas
untuk
menghindari
subordinasi,
yaitu
hypermaskulinitas.
Hypermaskulinitas memberikan laki-laki homoseksual kesempatan untuk Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
32
membentuk dan memerhatikan penampilan tubuh agar menjadi lebih atletis dan berotot karena dinilai sebagai salah satu bagian dari hegemonic masculinity. Bagi laki-laki, baik homoseksual maupun heteroseksual, perhatian terhadap penampilan tubuh banyak berkaitan dengan otot. Tubuh berotot menjadi alasan laki-laki membentuk tubuh karena berkaitan dengan maskulinitas. Awalnya, perhatian terhadap penampilan tubuh merupakan area yang dekat dengan perempuan dan laki-laki homoseksual. Namun demikian, hal tersebut kini telah diterima secara kultural oleh banyak laki-laki, khususnya yang tinggal di kota metropolitan dan memiliki gaya hidup urban. Perhatian laki-laki terhadap penampilan tubuhnya semakin diperkuat dengan tingginya terpaan program komunikasi pemasaran dari banyak produk. Melalui pesan promosional, komunikasi pemasaran yang dilakukan perusahaan membombardir laki-laki dengan konstruksi citra ideal seorang laki-laki. Akibatnya, laki-laki pun mulai merasa khawatir dan tidak puas terhadap penampilan tubuhnya yang berujung pada kepemilikan citra tubuh negatif. Penelitian ini hendak memahami pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran suplemen kesehatan L-Men. Banyak faktor, seperti pendidikan, pengalaman masa lalu, dan kondisi psikologis, dinilai dapat melatarbelakangi
dan
membentuk
pemaknaan
khalayak
terhadap
pesan
promosional suatu program komunikasi pemasaran. Faktor-faktor tersebut membuat khalayak memiliki otoritas penuh untuk memberi, mengonstruksi, dan menegosiasi makna dari preferred meaning dalam suatu pesan promosional komunikasi pemasaran.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah post-positivis. Paradigma post-positivis merupakan paradigma yang memfokuskan konsep realitas sebagai suatu hal yang bersifat subjektif (Saka, 2007). Saka (2007) juga menyatakan suatu realitas menjadi subjektif karena dipengaruhi oleh konteks dan pelbagai faktor yang mana merupakan hasil kreasi orang-orang di dalam suatu pengalaman. Paradigma post-positivis mampu menjawab hubungan kompleks antara sudut pandang, perilaku individual, lingkungan di sekitar manusia, dan isu-isu sosial budaya. Selain itu, paradigma post-positivis juga cenderung mencari buktibukti dari eksistensi suatu kejadian atau tren yang kemudian digunakan untuk menginterpretasi dan mengonstruksi representasi pengalaman dan konteks sosial (Stewart & Floyd, 2004). Kaum post-positivis berkeyakinan suatu realitas tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya, tetapi hanya dapat diperkirakan (Denzin & Lincoln, 2009). Paradigma post-positivis digunakan dalam penelitian ini karena peneliti hendak memahami realitas yang dikonstruksi oleh khalayak laki-laki homoseksual dan heteroseksual. Melalui realitas masing-masing, peneliti juga hendak mengetahui pemaknaan mereka terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh yang ditampilkan program komunikasi pemasaran produk di dalam media.
3.2 Pendekatan Penelitian Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian naturalistik yang menggunakan pendekatan interpretatif dan berfokus memahami makna dari kehidupan atau fenomena dalam dunia sosial seseorang (Ritchie & Lewis, 2004). Penelitian kualitatif memiliki beberapa tahap dalam pelaksanaannya. Pertama adalah mengembangkan deskripsi mengenai individu atau suatu setting, dilanjutkan dengan menganalisis data untuk mendapatkan tema atau kategori, dan diakhiri dengan menginterpretasi dan menarik kesimpulan secara personal dan 33 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
34
teoretis dengan menyatakan temuan dan pertanyaan untuk dikaji
(Creswell,
2003). Interpretasi personal dalam analisis data kualitatif merupakan hal yang tidak bisa dihindari peneliti di dalam penelitian kualitatif (Creswell, 2003). Penelitian kualitatif bertujuan memahami fenomena sosial dengan menyediakan metode yang mampu memahami fenomena tersebut berdasarkan pengalaman, perspektif, dan sejarah dalam setiap kehidupan individu (Ritchie & Lewis, 2004). Fenomena dalam dunia sosial seseorang bisa berupa aksi, keputusan, kepercayaan, dan nilai-nilai (Ritchie & Lewis, 2004). Melalui pendekatan kualitatif, fenomena sosial dipelajari dan diteliti dalam konteks alaminya dan dilihat dari sisi makna peneliti itu sendiri (Denzin & Lincoln, 2009). Stephen & Stephen (1990) dalam Idrus (2009) juga menjelaskan suatu fenomena sosial dapat dijelaskan dengan tepat apabila peneliti mampu memahami secara mendalam makna fenomena sosial berdasarkan sudut pandang subjektif informan penelitian.
3.3 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menampilkan data murni, membuat perbedaan, dan menyediakan konten yang mampu memperjelas data yang didapat (Ritchie & Lewis, 2004). Alston & Bowles (2003) dalam Research for Social Worker berpendapat peneliti dalam penelitian deskriptif bertujuan untuk melihat dan mendeskripsikan pelbagai detail dan pola secara spesifik dari suatu kejadian atau fenomena sosial. Penelitian deskriptif dapat disimpulkan sebagai penelitian yang bertujuan mengetahui suatu fenomena sosial secara lebih detail tanpa mencari dan menjelaskan hubungan. Penelitian deskriptif juga tidak menguji hipotesis atau membuat suatu prediksi dari data yang didapat (Alston & Bowles, 2003; Rakhmat, 1999).
3.4 Strategi Penelitian Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus memiliki tujuan untuk menjelaskan, menggambarkan, menilai, dan mengevaluasi suatu fenomena atau kejadian. Melalui strategi ini, sebuah kasus Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
35
dipelajari oleh peneliti di dalam konteks sebenarnya. Proses pengumpulan data yang dilakukan pun seringkali bersifat interaktif antara peneliti dengan objek penelitiannya. Dengan menggunakan studi kasus, pelbagai informasi juga dapat dikumpulkan secara sistematis dari individu, social setting, kejadian tertentu, atau suatu kelompok ( (Berg, 2011) Strategi studi kasus bertujuan menggambarkan fenomena atau kejadian di masyarakat.
Peneliti
mengidentifikasi
adanya
pergeseran
nilai
terhadap
maskulinitas dan perhatian penampilan tubuh sebagai suatu fenomena baru di masyarakat urban. Melalui strategi studi kasus, peneliti dapat memahami fenomena tersebut dalam konteks sebenarnya dan mengumpulkan data penelitian secara interaktif dengan objek penelitian. Dengan demikian, strategi studi kasus merupakan strategi yang tepat untuk menggambarkan dan menjelaskan pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam media.
3.5 Teknik Pemilihan Informan Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah purposeful sampling. Purposeful sampling adalah teknik pemilihan informan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Idrus, 2009). Informan dipilih karena memiliki fitur atau karakteristik tertentu yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi rinci dan pemahaman mendalam terhadap tema yang diteliti (Ritchie & Lewis, 2004). Selain itu, teknik purposeful sampling juga membantu peneliti memahami masalah dan pertanyaan penelitian (Creswell, 2003). Menurut Neuman (1997), teknik purposeful sampling sesuai untuk digunakan dalam tiga situasi: Pertama, metode ini digunakan untuk memilih kasus unik dan informatif; Kedua, metode metode ini digunakan untuk menjangkau informan yang sulit dijangkau dari suatu populasi; Terakhir, metode ini digunakan peneliti ketika hendak mengidentifikasi tipe kasus tertentu untuk diinvestigasi secara mendalam dengan tujuan mendapat pemahaman mendalam, tetapi tidak untuk digeneralisasi (Neuman, 1997). Berdasarkan tujuan penelitian, metode purposeful sampling dipilih untuk mendapatkan pemahaman mendalam terkait
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
36
pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam program komunikasi pemasaran suatu produk.
3.5.1. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah khalayak laki-laki yang tinggal di kota metropolitan dengan budaya urban, yakni Jakarta. Argumen yang mendasarinya adalah keberadaan kota Jakarta sebagai kota metropolitan yang ditinggali oleh masyarakat majemuk. Masyarakat Jakarta terdiri atas orang-orang yang datang dari berbagai kota, etnis, dan golongan di Indonesia sehingga mengakibatkan adanya perubahan gaya hidup dan pola pikir yang menyesuaikan dengan budaya perkotaan. Tidak hanya itu, perubahan ini juga didukung oleh adanya penerimaan budaya luar, sebagai contoh budaya barat melalui proses akulturasi yang dimediasi oleh perkembangan teknologi komunikasi. Dalam masyarakat urban, perhatian terhadap tubuh merupakan hal penting karena dianggap sebagai aset untuk menunjukan eksistensi diri yang membuat seseorang mendapatkan kemudahan terhadap berbagai akses. Keadaan ini tidak hanya membuat perempuan, tetapi juga laki-laki untuk memiliki penampilan tubuh yang ideal. Secara perlahan-lahan, hal ini dianggap wajar dan tidak perlu dipertanyakan di dalam masyarakat urban. Dengan demikian, pemilihan unit analisis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran realitas yang komperhensif terhadap makna yang dibangun dari konsumsi pesan media. Level analisis dalam penelitian ini adalah individu. Selain itu, individu yang akan dianalisis merupakan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual yang dikenai terpaan komunikasi pemasaran suplemen kesehatan L-Men. Oleh karena itu, untuk mengetahui ragam pemaknaan, orientasi seksual homoseksual dan heteroseksual ditambahkan sebagai kategori tambahan unit analisis.
3.5.2 Unit Observasi Unit observasi dalam penelitian adalah laki-laki berusia 20 – 40 tahun dan merupakan target komunikasi dari program komunikasi pemasaran suplemen kesehatan L-Men. Selain itu, unit observasi ini juga memiliki beberapa kriteria tambahan, sebagai berikut: Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
37
a. Melakukan kegiatan latihan (exercise) di pusat kebugaran Seperti yang telah disebutkan di bab sebelumnya, maskulinitas banyak berbicara tentang tubuh dan otot sehingga membuatnya menjadi objek praktik sosial, antara lain seperti keterlibatan di pusat kebugaran untuk membentuk tubuh. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui ragam pemaknaan terhadap nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh antara laki-laki yang berpartisipasi dalam aktivitas dengan yang tidak berpartisipasi.
b. Menerima terpaan program komunikasi pemasaran suplemen kesehatan LMen Kriteria ini digunakan untuk mengetahui pemaknaan terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh setelah menonton iklan televisi L-Men, baik produk maupun L-Men of The Year. Berdasarkan penjabaran tersebut, berikut ini adalah kriteria unit observasi dalam penelitian ini yang terdiri atas empat orang informan: 1.
Informan pertama merupakan laki-laki dengan kriteria sebagai berikut: - Mengidentifikasi diri sebagai seorang homoseksual - Melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran - Berdomisili di Jakarta
2.
Informan kedua merupakan laki-laki dengan kriteria sebagai berikut: - Mengidentifikasi diri sebagai seorang homoseksual - Tidak melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran - Berdomisili di Jakarta
3.
Informan ketiga merupakan laki-laki dengan kriteria sebagai berikut: - Mengidentifikasi diri sebagai seorang heteroseksual - Melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran \ - Berdomisili di Jakarta
4.
Informan keempat merupakan laki-laki dengan kriteria sebagai berikut: Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
38
- Mengidentifikasi diri sebagai seorang heteroseksual - Tidak melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran - Berdomisili di Jakarta Peneliti mendapatkan salah satu informan homoseksual melalui forum komunikasi kaum LGBT. Informan homoseksual lain dikenalkan oleh salah seorang teman peneliti. Sementara itu, dua informan heteroseksual merupakan informan yang dikenal peneliti di dalam lingkungan pertemanan sehari-hari.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara-mendalam. Fitur utama yang dimilikinya adalah kedalamannya dalam memberikan fokus pada penelitian yang berbicara mengenai sistem yang kompleks, proses, atau pengalaman (Ritchie & Lewis, 2004). Wawancaramendalam juga menyediakan kesempatan untuk melakukan investigasi secara detail dari perspektif pribadi dan mendapatkan pemahaman mendalam dari hal dengan konteks personal dan pengalaman serta latar belakang informan yang diteliti (Ritchie & Lewis, 2004). Selain wawancara-mendalam, observasi juga merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data. Peneliti mendapatkan data dari beberapa jurnal yang berkaitan dengan kajian terhadap gender dan orientasi seksual untuk mendapat justifikasi ilmiah. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan pihak Nutrifood, yaitu Brand Manager LMen untuk mendapatkan informasi resmi dari program komunikasi pemasaran LMen. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui dan menjelaskan pemaknaan laki-laki homoseksual dan heteroseksual terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh. Hal tersebut merupakan hal personal yang berkaitan dengan pengalaman pribadi seseorang dan berbeda dengan orang ain. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang dianggap sesuai untuk menggali data adalah teknik wawancara-mendalam.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
39
3.7 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik memungkinkan peneliti untuk menemukan kode atau pola yang berada dalam data. Boyatzis (1998) menyebutkan analisis tematik sebagai proses pengodean informasi untuk menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks. Tema yang dihasilkan minimal dapat mendeskripsikan suatu fenomena dan secara maksimal memungkinkan adanya interpretasi terhadap suatu fenomena. Penelitian dengan analisis tematik memungkinkan peneliti untuk melihat suatu pola yang tidak mampu dilihat secara jelas oleh pihak lain.
3.8 Kriteria Kualitas Penelitian Denzin & Lincoln dalam buku Handbook of Qualitative Research mengatakan bahwa memilih satu teknik wawancara dan mengabaikan teknik yang lain dalam penelitian kualitatif merupakan usaha yang sia-sia dan tak berguna (Denzin & Lincoln, 2009). Dalam penelitian kualitatif, peneliti diharapkan dapat menggunakan teknik yang beragam agar penelitian memiliki validitas. Suatu penelitian dikatakan valid apabila memiliki data yang dikumpulkan dan diinterpretasi secara tepat sehingga kesimpulan yang diambil merefleksikan dan mewakili dunia yang diteliti secara akurat (Yin, 2011). Teknik triangulasi yang digunakan untuk memeriksa kualitas penelitian ini adalah triangulasi sumber data. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk membandingkan dan mengecek secara silang konsistensi informasi yang didapatkan dalam waktu dan dengan cara yang berbeda (Patton, 2002). Selain itu, kualitas penelitian ini juga menggunakan aspek trustworthiness yang dijelaskan melalui dua hal yang disesuaikan dengan konteks penelitian(Patton, 2002), yaitu credibility dan confirmability.
1. Credibility Data dalam penelitian dapat dipercaya apabila memiliki kedalaman dan kekayaan yang diperoleh melalui wawancara berulang sehingga data bersifat akurat dan objektif.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
40
2. Confirmability Aspek confirmability dilakukan dengan meyakinkan pembaca bahwa data dalam penelitian bersifat objektif dan sesuai dengan realitas yang ada. Aspek objektivitas ditampilkan melalui penyajian data faktual yang didapat dari lapangan.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB IV OBJEK KAJIAN
4.1 Profil Produk L-Men L-Men merupakan merk suplemen kesehatan yang diproduksi oleh Nutrifood Indonesia. Produk yang memiliki tagline “Nutrition for Men” ini dikenalkan kepada masyarakat pada tahun 2001. Latar belakang dikeluarkannya produk tersebut adalah karena rendahnya perhatian pria terhadap kesehatan dan olahraga. Secara kultur, hal ini juga dipengaruhi oleh nilai di masyarakat yang memosisikan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga sehingga tidak ada waktu untuk berolahraga. Jarangnya keberadaan pusat kebugaran juga berkontribusi terhadap keadaan tersebut. Kehadiran L-Men merupakan salah satu semangat Nutrifood Indonesia untuk menginspirasi masyarakat, khususnya laki-laki, untuk memiliki gaya hidup sehat dan perhatian kepada kesehatan. Secara mendasar, L-Men merupakan nutrisi yang dibutuhkan laki-laki aktif dalam membentuk tubuh atletis. Kehadiran L-Men diharapkan menjadi solusi nutrisi efektif dan praktis bagi pria modern dan aktif yang ingin mendapatkan penampilan ideal. L-Men memiliki empat belas varian produk yang masing-masing memiliki kelebihan dan manfaat bagi ragam kebutuhan pria. Berikut ini adalah pelbagai jenis produk suplemen kesehatan LMen: 1) L-Men 2 GO L-Men 2 GO merupakan suplemen praktis dan tinggi whey protein yang diformulasikan secara khusus untuk membentuk otot dan sixpack secara optimal.
2) L-Men Amino Bar Produk ini merupakan makanan ringan yang praktis, rendah lemak, tinggi serat dan protein, dan baik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pria dengan mobilitas tinggi.
41 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
42
3) L-Men Gain Mass Merupakan produk suplemen dengan kandungan protein sebanyak 17 gram per sajian sehingga efektif menambah berat badan dan massa otot hingga 1 kg dalam satu minggu.
4) L-Men Gain Maxx Merupakan produk dengan kandungan protein sangat tinggi, yaitu 61 gram per sajian.
5) L-Men Hi Protein
L-Men Basic Formula
L-Men Regular Formula
L-Men Advanced Formula
6) L-Men Hi Protein Asiatix
Diperkaya dengan rendah laktosa sehingga tidak menyebabkan diare terutama bagi yang sensitif terhadap laktosa
Diperkaya dengan L-Carnitine yang mengoptimalkan pembakaran lemak menjadi energi
7) L-Men Hi Protein Daily Formula
Diperkaya dengan L-Carnitine, L-Men Hi-Protein Daily Formula juga akan mengoptimalkan pembakaran lemak menjadi energi
8) L-Men Hi Protein Egg L-Men Hi Protein Egg merupakan protein telur instan yang setara dengan sembilan putih telur ayam kampung. Solusi praktis untuk pembentukkan tubuh atletis.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
43
9) L-Men IsoPower L-Men IsoPower merupakan suplemen untuk meningkatkan tenaga dan memperbesar otot. Produk ini tidak dijual di supermarket, tetapi hanya bisa didapatkan di L-Men Store.
10) L-Men Lose Weight L-Men Lose Weight merupakan suplemen tinggi protein pengganti makan yang efektif untuk menurunkan berat badan sampai 1.5 kg dalam seminggu.
11) L-Men Platinum L-Men Platinum merupakan suplemen tinggi protein whey yang diformulasikan secara khusus untuk membantu pria dalam memiliki tubuh dengan massa otot yang kering tanpa lemak.
12) L-Men Six Pack L-Men Sixpack merupakan pembakar lemak (fat burner) untuk pembentukan perut sixpack. Selain itu, L-Men Sixpack juga diperkaya dengan ThermoAbs formula (Guarana, Garcinia, Kromium) terbukti efektif meningkatkan pembakaran lemak.
13) L-Men Six Pack Tea L-Men Sixpack Tea merupakan suplemen carbo-blocker yang alami dan juga diperkaya dengan kandungan Phase 2, Natural Carbo Blocker & Carbo Controller, bahan alami dari white kidney bean yang berfungsi untuk menghambat penyerapan karbohidrat hingga 66%.
14) L-Men STMG L-Men STMG merupakan suplemen dengan telur, madu, dan ginseng untuk stamina ekstra. Selain itu, produk ini pun diperkaya dengan LArginine untuk meningkatkan endurance saat melakukan aktivitas fisik.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
44
4.2 Strategi Komunikasi Pemasaran L-Men Berdasarkan wawancara dengan Brand Manager L-Men, strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan secara makro adalah melalui iklan televisi dan L-Men of The Year. Setiap program komunikasi pemasaran mengusung insight berbeda dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, di tahun 2012, L-Men mengangkat insight “The Journey”. Insight ini dipilih karena adanya kecenderungan konsumen L-Men yang berpikir tubuh ideal dan atletis dapat diperoleh dalam waktu singkat. Padahal dalam kenyataannya, perjalanan mendapatkan tubuh ideal dan atletis adalah menyakitkan dan hal tersebut adalah wajar, tetapi penting. Melalui program komunikasi pemasaran, L-Men memanifestasikan pesan dengan cara komunikasi yang berbeda. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dua lini komunikasi pemasarn adalah iklan televisi dan ajang L-Men of The Year. Iklan televisi secara rutin dikeluarkan oleh pihak pemasar dalam memasarkan beberapa varian produk, antara lain L-Men Gain Mass, L-Men Hi Protein, L-Men Amino Bar, L-Men 2GO. Pesan yang disampaikan pun disesuaikan dengan insight atau big idea yang telah ditentukan dan diwujudkan ke dalam eksekusi kreatif iklan televisi. Selain iklan televisi, L-Men juga mengadakan ajang L-Men of The Year setiap tahun. LOTY adalah ajang yang diselenggarakan oleh L-Men untuk mencari ikon hidup sehat. Ikon ini merupakan laki-laki yang berhasil menerapkan pola hidup sehat dan direncanakan untuk menjadi endorser dalam program komunikasi pemasaran L-Men. Alasan digunakannya endorser dari ajang tersebut adalah karena ingin menampilkan the real people with the real result. Alasan inilah yang diharapkan dapat memacu motivasi dan semangat pria modern dan aktif untuk memiliki pola hidup sehat dan tubuh atletis. Selain untuk mencari ikon hidup sehat, L-Men of The Year juga merupakan acara untuk mengapresiasi konsumen yang telah berjuang keras untuk mendapatkan tubuh ideal. Apresiasi ini pantas diberikan karena mendapatkan tubuh atletis dan ideal bukanlah hal yang mudah.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB V ANALISIS DATA
5.1 Latar Belakang Informan Informan sekaligus decoder dalam penelitian ini merupakan laki-laki yang mampu memaknai pesan komunikasi pemasaran L-Men secara aktif. Berdasarkan wawancara dengan Brand Manager L-Men, target market L-Men adalah laki-laki berusia 20 – 40 tahun dengan status sosial ekonomi A dan A+. Oleh karena itu, peneliti menyesuaikan kategori informan dengan kriteria target market tersebut. “Pria pastinya. Secara sosial ekonomi status, mungkin kita di A dan A+, terus secara psikografisnya lebih kepada orang yang pastinya concern dengan appearance”
Seluruh informan dalam penelitian ini adalah laki-laki dan berusia 20 – 40 tahun dengan status sosial ekonomi A dan A+. Selain itu, peneliti juga menambahkan kriteria orientasi seksual dan partisipasi dalam aktivitas fisik untuk mengetahui ragam pemaknaan. 5.1.1 Informan 1 – RI (homoseks, beraktivitas fisik di pusat kebugaran, SES A) RI adalah laki-laki homoseksual berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan jasa konsultasi keuangan di Jakarta. Selain bekerja, RI juga melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran. Tidak hanya itu, laki-laki yang come out ketika kelas 1 SMA ini pun memiliki hobi bermain playstation di waktu luang. Bagi RI, keluarganya sangat disfungsional. Ia menganggap keluarga tidak menanamkan nilai-nilai penampilan tubuh. Banyak nilai yang seharusnya didapat dari orang tua justru didapatkannya dari lingkungan pergaulan. Akibatnya, hubungan RI dengan lingkungan pergaulannya lebih dekat dibandingkan dengan orang tua. Sebagai seorang homoseks, RI, menyadari penampilan tubuh adalah hal penting dalam hubungan homoseksual. Hal ini juga seringkali membuatnya tidak puas dan memberi penilaian negatif terhadap penampilan tubuhnya.
45 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
46
Wawancara RI dilakukan sebanyak dua kali: pertama di pusat perbelanjaan Grand Indonesia dan kedua di kosan informan. Wawancara pertama berlangsung selama satu jam sedangkan wawancara kedua berlangsung selama dua jam tiga puluh menit. Kedua wawancara berjalan dengan baik dan tidak ada hambatan karena RI memberikan keterbukaan selama wawancara. Sebelumnya, peneliti juga telah membangun rapport dengan informan. 5.1.2 Informan 2 – DI (homoseks, tidak beraktivitas fisik di pusat kebugaran, SES A+) DI
adalah
mahasiswa
jurusan
Kedokteran
Gigi
yang
sedang
menyelesaikan tugas akhir di salah satu perguruan tinggi Bandung. Walaupun berkuliah di Bandung, laki-laki berusia 20 tahun ini selalu meluangkan waktunya untuk pulang ke Jakarta. Selain kuliah, aktivitas sehari-harinya, antara lain menjadi ko-ass di salah satu RSGM. DI adalah seorang homoseks dan sudah come out pada awal perkuliahan. DI adalah seorang introvert yang tidak suka menceritakan masalahnya kepada orang tua. Seperti diakuinya, orang tua menanamkan nilai-nilai yang harus dimiliki seorang laki-laki, antara lain bertanggung jawab dan melindungi keluarga. Tidak hanya itu, orang tua juga menanamkan nilai perhatian terhadap penampilan tubuh. Sebagai seorang homoseks, DI menyadari penampilan tubuh memiliki peran penting. Walaupun menyadari penampilan tubuhnya tidak menarik, ia memilih untuk menerimanya. Karena baginya, kesempurnaan penampilan tubuh bukanlah sesuatu yang harus dikejar. Wawancara dengan DI dilakukan di Bandung untuk mendapatkan konteks naturalnya. Wawancara dilakukan selama dua jam tiga puluh menit di dalam kamar informan. Selama wawancara, DI memberikan keterbukaan kepada peneliti walaupun ditemui kadangkala ditemui beberapa kesulitan. 5.1.3 Informan 3 – JH (heteroseks, beraktivitas fisik di pusat kebugaran, SES A+) JH merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Teknik Industri di salah satu universitas negeri di Depok. Sehari-hari, laki-laki berusia 25 tahun ini Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
47
melakukan kegiatan rutin, antara lain kuliah dan beraktivitas fisik di pusat kebugaran. JH adalah anak kedua dari tiga bersaudara dan dibesarkan di dalam keluarga Batak. JH menyadari keluarga berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai
maskulinitas
dan
penampilan
tubuh.
Ayahnya
mengajarkan
penghargaan terhadap perempuan dan peran laki-laki dalam keluarga. Tidak hanya itu, keluarga juga mengajarkannya untuk rajin berolahraga agar tetap sehat dan sebagai perhatian terhadap penampilan tubuh. Wawancara dengan JH dilakukan di salah satu gerai kopi di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia dan berlangsung selama dua jam. Selama wawancara berlangsung, JH memberikan keterbukaan kepada peneliti walaupun tidak jarang menampilkan gesture yang menunjukan rasa gugup dan grogi terhadap pertanyaan personal. JH pun mengonfirmasi hal tersebut kepada peneliti. 5.1.4 Informan 4 – BM (heteroseks, tidak beraktivitas fisik di pusat kebugaran, SES A) BM merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri di Depok. Selain menyusun tugas akhir, aktivitas sehari-hari yang dilakukan laki-laki 22 tahun ini adalah magang. BM merupakan mahasiswa yang aktif berorganisasi di kampusnya. Ia pernah menjadi staff Humas BEM dan wakil ketua himpunan mahasiswa di kampusnya. Bagi BM, orang tua menanamkan banyak nilai yang harus dimiliki oleh laki-laki, antara lain bertanggung jawab terhadap keluarga dan memperlakukan perempuan. Tidak hanya itu, sang ibu pun mengajarkannya perhatian terhadap penampilan tubuh agar selalu sehat dan terawat. Wawancara dengan BM berlangsung selama satu jam tiga puluh menit di salah satu gerai kopi di Margo City, Depok. Selama wawancara berlangsung, BM memberikan keterbukaan kepada peneliti walaupun tidak jarang terlihat gugup dan grogi dalam menjawab pertanyaan.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
48
Tabel 5.1 Tabel Ringkasan Temuan Penelitian “Pemaknaan mengenai Nilai-Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men (Studi Kualitatif pada Program Komunikasi Pemasaran L-Men)” Pemaknaan Pemaknaan Nilai Maskulinitas
Penilaian terhadap Tubuh dan Maskulinitas
Penilaian Citra Tubuh
Pemaknaan terhadap Pesan Iklan Televisi L-Men
Informan Homoseksual RI DI Sifat-sifat yang harus Sifat-sifat kejantanan dimiliki laki-laki, yang harus dimiliki antara lain tangguh, oleh laki-laki sebagai kuat secara fisik, dan pembeda dari pemimpin perempuan
Tubuh sebagai indikator paling mudah yang dapat dilihat secara kasat mata Penilaian terhadap tubuh bersifat situasional tergantung respon orang yang disukai.
Tubuh bukan faktor utama dalam menilai maskulinitas laki-laki.
Iklan televisi L-Men selalu menggunakan
Inti pesan setiap iklan televisi L-Men adalah
Penilaian tubuh bersifat negatif; tidak menarik karena memiliki berat badan berlebih
Informan Heteroseksual JH BM Sifat-sifat yang harus Sifat-sifat yang harus dimiliki laki-laki, dimiliki oleh laki-laki, antara lain gentle, antara lain bertanggung berani, dan pekerja jawab dan juga keras memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lebih lemah Tubuh sebagai salah Tubuh memiliki kaitan satu indikator yang dengan maskulinitas, berkaitan dengan tetapi bukan berarti lakimaskulinitas laki berotot dinilai lebih maskulin Penilaian terhadap Penilaian terhadap tubuh tubuh bersifat positif; bersifat positif; tidak ada merasa puas dan tidak yang memberikan ada yang kurang dalam penilaian negatif penampilan tubuhnya terhadap penampilan tubuh aktualnya Inti pesan setiap iklan Inti pesan setiap iklan televisi L-Men adalah televisi L-Men adalah
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
49
nilai heteroseksualitas dan menggambarkan penampilan tubuh atletis dapat membuat seseorang lebih mudah mendapatkan pasangan
konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot. Informan tidak setuju dengan pesan iklan tersebut.
Pemaknaan terhadap Ajang L-Men of The Year
Informan mengetahui ajang L-Men of The Year, tetapi tidak mengetahui para finalis dari tahun ke tahun.
Informan mengetahui ajang L-Men of The Year dan menganggapnya sebagai ajang mencari popularitas bagi para finalisnya.
Tidak memiliki keinginan untuk mengikuti ajang LMen of The Year.
Pemaknaan terhadap Endorser Iklan
Informan memandang endorser iklan televisi L-Men secara negatif.
Informan memandang endorser iklan televisi L-Men sebagai lakilaki bertubuh maskulin dan rutin
konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot.
konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis, berotot, dan sixpack.
Informan menganggap iklan televisi L-Men berlebihan dan menampilkan kebohongan. Informan mengetahui ajang L-Men of The Year dan menganggapnya sebagai ajang untuk mencari bintang iklan sekaligus duta suplemen kesehatan LMen.
Informan menganggap pesan dikemas secara berlebihan.
Informan tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi. Informan memberikan penilaian positif terhadap endorser iklan L-Men.
Informan mengetahui ajang L-Men of The Year dan mengetahui bintang iklan televisi LMen merupakan pemenang dan finalis LMen of The Year. Informan tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam ajang tersebut. Informan memberikan penilaian positif terhadap endorser iklan L-Men.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
50
Pemaknaan terhadap Kualitas Suplemen Kesehatan L-Men
Pemaknaan Nilai Maskulinitas dalam Program Komunikasi Pemasaran LMen
Pemaknaan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men
Pemaknaan terhadap Peran Penampilan Tubuh Atletis di Masyarakat
Informan mengonsumsi suplemen kesehatan LMen, tetapi tidak merasakan manfaat jelas selama mengonsumsinya. Program komunikasi pemasaran L-Men selalu menekankan nilai maskulinitas melalui penampilan tubuh dan struktur wajah yang maskulin. Penampilan tubuh dalam program komunikasi pemasaran L-Men adalah ideal.
Informan menganggap penampilan tubuh atletis memiliki peran di masyarakat.
melakukan aktivitas fisik. Informan menganggap suplemen kesehatan L-Men tidak memberikan manfaat jelas bagi tubuh dan dapat menimbulkan ketergantungan. Program komunikasi pemasaran L-Men selalu menekankan nilai maskulinitas melalui penampilan tubuh atletis dan berotot. Program komunikasi pemasaran L-Men membuat laki-laki selalu merasa tidak puas terhadap penampilan tubuhnya. Informan menganggap penampilan tubuh atletis tidak memiliki peran di masyarakat.
Informan menganggap kualitas L-Men belum tentu terjamin dibandingkan dengan merek lain yang lebih mahal.
Informan memercayai kualitas L-Men karena pernah mengonsumsinya.
Program komunikasi pemasaran L-Men hanya ditampilkan melalui penampilan tubuh.
Program komunikasi pemasaran L-Men hanya ditampilkan melalui penampilan tubuh atletis dan berotot.
Penampilan tubuh dalam program komunikasi pemasaran L-Men adalah ideal.
Penampilan tubuh dalam program komunikasi pemasaran L-Men adalah ideal.
Informan menganggap penampilan tubuh atletis tidak memiliki peran di masyarakat
Informan menganggap penampilan tubuh atletis tidak memiliki peran di masyarakat
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
51
5.2 Reference Group 5.2.1 Keluarga Seluruh informan, RI, DI, JH, dan BM, memiliki relasi yang lebih dekat dengan ibu dibandingkan dengan ayah. Kedekatan ini mengakibatkan banyaknya interaksi yang dilakukan dengan ibu dibandingkan dengan ayah, antara lain bercerita tentang kehidupan sehari-hari dan berdiskusi tentang keluarga. Sementara itu, seperti diakui oleh seluruh informan, interaksi dengan ayah cenderung bersifat biasa saja dan tidak serius. “Ngobrol gitu-gitu aja, sih. Kalau ke nyokap[ibu] tuh mungkin lebih ke arah ngobrol, baik-baik. Kalau ke bokap [ayah] itu lebih ke arah bercanda, ngajak main, terus ya yang ngga serius-seriusnya aja. Kalau ke nyokap, ke arah yang serius-seriusnya aja, yang sekolah atau gimana di kampus blab la bla. Kan jarang ketemu juga ama bokap” (BM)
Orang tua memiliki peran dalam menanamkan nilai-nilai. RI, DI, JH, dan BM menganggap orang tua menanamkan nilai-nilai maskulinitas yang berkaitan dengan sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh laki-laki. Tiga informan, kecuali RI, menganggap orang tua menanamkan nilai-nilai perhatian terhadap tubuh karena didasari oleh alasan kesehatan sedangkan RI merasa orang tuanya tidak pernah menanamkan nilai-nilai terkait penampilan tubuh. “Ngga pernah. Ngga pernah. Gue ngga pernah dikasih… Ngga pernah. Mungkin komunikasi gue sama mereka cuma…. Setelah gue pikir-pikir lagi, gue baru sadar kalau mereka ngga pernah. Selama init uh, obrolan kita cuma kuliah, kuliah, keluarga, keuangan, tapi ngga pernah secara personal kaya gitu, sih.” (RI)
5.2.2 Peer Group Tiga informan, selain BM, memiliki sahabat dalam lingkungan pergaulan masing-masing. BM beralasan absennya sahabat karena seringnya berpindah sekolah. Sementara itu, RI dan JH menganggap kedekatannya dengan sahabat disebabkan oleh rendahnya keterbukannya kepada keluarga. Berbeda dengan RI dan JH, DI menganggap kedekatannya dengan sahabat didasari oleh kesamaan asal tempat tinggal dan lingkungan kampus. Kesamaan tersebut membuat DI sering melakukan kegiatan bersama sehingga membuatnya lebih dekat dengan sahabat.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
52
“Asal? Iya, iya, gue bakal… Kalau misalnya nih, ada orang satu cowo darimana, satu cewe dari Jakarta, mungkin gue bakal lebih interest ke cewe dari Jakarta ini karena ya itu tadi mungkin awal kuliah gue sempet memaksakan diri “oke, gue udah di fakultas ini, masa iya gue harus kecewe-cewean, gue main ama cewe” Tapi ya yang gue lihat apa, gue awal-awal main sama cowo terus. Awal semester satu, gue emang main sama cowo-cowo terus, tapi apa yang gue rasain “ah, kok garing banget sih temen-temen gue”. Gue ngerasa seperti itu” (DI)
Seperti diakui seluruh informan, sahabat memiliki pengaruh terhadap pola pikir masing-masing. RI menganggap sahabat-sahabatnya menjadikannya lebih percaya diri. Tidak hanya itu, ia juga menilai lingkungan pergaulan memengaruhi konsepsinya terhadap nilai maskulinitas. Akan tetapi, RI mengakui lingkungan pergaulan tidak memengaruhi pemahamannya terhadap penampilan tubuh. “Semuanya cuek, semuanya ngga peduli juga, ngga ada yang dandan banget. Gue engga pernah dibilang… Engga pernah kok. Mereka kalo lihat gue, mau lihat gue kurus, mau lihat gue gemuk banget, mereka selalu bilang “engga ah, lo udah oke. Udah diem”. Cuma ya tetep gue ngerasa insecure.” (RI)
Berbeda dengan RI, DI menganggap lingkungan pergaulan tidak memengaruhi pemahamannya terhadap nilai maskulinitas. Akan tetapi, DI menganggap lingkungan pergaulan memengaruhi pemahamannya terhadap perhatian penampilan tubuh dan juga pola pikirnya terhadap gaya hidup. “Gue mungkin karena sedikit memilih teman-teman pergaulan dari asal mereka darimana, kebanyakan akhirnya temen-temen gue sekarang adalah orang-orang yang hedon, suka pergi-pergi ke club, ke tempat-tempat mahal, akhirnya lebih cenderung memengaruhi pola hidup gue, sih.” (DI)
JH menganggap lingkungan pergaulan juga memengaruhi kehidupannya. Ia menganggap sahabat sebagai tempat lain untuk belajar menjadi maskulin. Tidak hanya itu, lingkungan pergaulan juga menjadi tempat baginya untuk mengonfirmasi nilai-nilai maskulinitas yang didapatnya dari keluarga. Sementara itu, JH menganggap lingkungan pergaulan tidak membentuk pemahamannya mengenai penampilan tubuh,. “Yah, paling pertama keluarga. Yang kedua, yaitu yang paling gue rasain ya itu ketika gue SMA, ketika gue terlibat sama pecinta alam. Definisi maskulinitas gue tuh benerbener… kan gue udah punya nih, udah dibentuk. Hmm, yang gue rasain pas gue masuk pecinta alam, hipotesa-hipotesa mengenai maskulin gue buat kesimpulannya tuh pas gue Pecinta Alam, dan itu gue anggap suatu teori yag sudah selesai” (JH) Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
53
Sementara itu, BM menganggap lingkungan pergaulan tidak memengaruhi pemahamannya terhadap nilai-nilai maskulinitas dan penampilan tubuh. Akan tetapi, ia menganggap lingkungan pergaulan memberikan pengaruh terhadap pola pikirnya walaupun beberapa di antaranya ada yang ditolak atau diadopsi. “Pola pikir? Hmm, iyalah, pastilah, semakain lo banyak bergaul sama orang, kan pola pikir orang banyak tuh, lo semakin banyak tahu pola pikir orang sebeda itu. Jadi, kadang-kadang pola pikir orang ada yang memengaruhi gue, pola pikir gue memengaruhi dia, atau ada yang gue resist nih pola pikirnya, ada yang gue adopsi” (BM)
5.3 Hierarki Maskulinitas 5.3.1 Konfigurasi Hegemonic Masculinity 5.3.1.1
Pandangan
Laki-laki
Heteroseksual
terhadap
Status
Sosial
Perempuan dan Laki-laki Homoseksual Salah satu fitur dalam hegemonic masculinity adalah penghinaan terhadap laki-laki homoseksual. Dalam memandang laki-laki homoseksual, JH dan BM memberikan pandangan yang senada tanpa tendensi negatif. JH menganggap kehadiran laki-laki homoseksual sebagai hal wajar dan biasa karena merupakan salah satu fenomena genetika sedangkan BM merasa kasihan atas preferensi mereka yang menyukai laki-laki daripada perempuan. Kedua informan heteroseksual ini pun memberikan pandangan positif terhadap status sosial laki-laki homoseksual. JH dan BM menganggap status sosial laki-laki homoseksual sama dengan laki-laki heteroseksual. JH menganggap laki-laki homoseksual sebagai seseorang yang tidak memilih untuk menjadi homoseks sedangkan BM beranggapan laki-laki heteroseksual belum tentu lebih baik daripada laki-laki homoseksual. “Kagak mikirin mau homo mau apa. Ya kalau menurut gue, mau homo mau engga, sebodo teuing [tidak peduli], ngga mikirin, yang homo dia kenapa gue jadi harus merendahkan. Belum tentu yang homo ngga lebih keren dari gue.” (BM)
Dalam kaitan dengan perempuan, JH dan BM menganggap status sosial perempuan sama dengan laki-laki. Seperti diakui JH, tidak ada alasan yang membuat status sosial laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sementara itu, BM Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
54
menganggap perempuan lebih kuat daripada laki-laki sehingga tidak ada alasan yang membuat laki-laki harus merasa memiliki status lebih tinggi dari perempuan. “Ngga juga. Gue engga tahu kenapa. Ya cuma menurut gue, ngga ada alasan untuk bilang kalau laki-laki punya status sosial yang lebih tinggi dari perempuan.” (JH)
JH dan BM memiliki pengetahuan berbeda terhadap homoseksualitas. JH menganggap homoseksualitas sebagai suatu fenomena genetika dan variasi dalam manusia. JH pun menyadari ada laki-laki atau perempuan homoseksual selain laki-laki atau perempuan heteroseksual. Baginya, homoseksualitas merupakan suatu hal yang diberikan Tuhan yang membuat orang tidak memiliki pilihan. “Yang gue tahu homoseksual itu terjadi karena fenomena genetika. Artinya, ada manusia yang tanpa dia… yang bukan pilihan dia untuk menjadi homoseksual. Nah, kalau misalnya sudah kembali ke bukan pilihan dia, tapi dia terciptanya seperti itu, kenapa harus dibedain? Artinya, Tuhan menciptakan laki-laki, Tuhan menciptakan perempuan, Tuhan menciptakan homoseksual, kenapa laki-laki heteroseksual harus lebih tinggi status sosialnya dari laki-laki homoseksual.” (JH)
Di lain pihak, BM menganggap laki-laki homoseksual sebagai kaum yang sering ditakuti dan dijauhi oleh masyarakat karena membawa nilai-nilai homoseksualitas. Walaupun demikian, BM mengaku tidak pernah menjauhi dan merasa takut kepada laki-laki homoseksual.
5.3.2 Konfigurasi Subordinated Masculinity 5.3.2.1 Pengalaman Subordinasi dan Pandangan terhadap Laki-laki Heteroseksual Salah satu fitur dalam subordinated masculinity adalah subordinasi dari laki-laki heteroseksual sebagai upaya memertahankan eksistensi hegemonic masculinity. Laki-laki heteroseksual melakukan subordinasi karena menganggap status sosial laki-laki homoseksual lebih rendah. Namun demikian, sebagai seorang homoseksual, RI dan DI menganggap tidak ada yang berbeda antara status sosial laki-laki homoseksual dengan laki-laki heteroseksual. RI juga menambahkan laki-laki homoseksual mampu melakukan hal-hal yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual, tetapi laki-laki heteroseksual tidak dapat melakukan hal yang dilakukan oleh laki-laki homoseksual. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
55
“no, nggak. We can do what straight man do, but they can’t do what gay can do. Hahahahaha” (RI)
Dalam memandang laki-laki heteroseksual, RI menganggap mereka adalah kaum yang takut kepada laki-laki heteroseksual. Ketakutan ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa laki-laki homoseksual akan menjadikan mereka sebagai target atau „mangsa‟. “yang jelas sih, apa yang di pikiran cowok straight [heteroseks] ya, kaum gay [homoseks] akan memangsa mereka. Jadi, mereka takut kalau dekat-dekat. Padahal, please kita juga milih-milih kali. Apalagi kalau liat di forum-forum kayak kaskus…” (RI)
RI dan DI memiliki pengalaman subordinasi yang berbeda. RI pernah mengalami subordinasi karena dianggap tidak bisa melakukan hal yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual. Akan tetapi, RI berusaha menanggapinya secara santai karena menyadari hal tersebut adalah kekurangannya. Ia menilai subordinasi tersebut karena stigma masyarakat yang menganggap laki-laki homoseksual adalah banci. “ iya sih, karena stigma di masyarakat masih nganggep kalau gay sama dengan banci, and yet we are not. My boyfriend is gay but it never stop him for doing any masculine thing” (RI)
Sebagai homoseks, RI menganggap masyarakat memberikan banyak stereotype terhadap homoseksualitas, antara lain asosiasi warna pink yang identik dengan laki-laki homoseksual. RI menganggap laki-laki homoseksual mudah dikenali melalui aksesoris penampilan yang digunakan, antara lain tas, dompet, atau sepatu. Tidak hanya itu, RI juga menganggap beberapa brand memiliki asosiasi dengan kaum gay, antara lain Bally, Topman, dan Body Shop. “…tapi lo bisa liat dari tas apa yang mereka pakai, dompet apa yang mereka beli, sepatu apa yang mereka pakai. Gay metropolitan concern banget sama merek” (RI)
5.4 Orientasi Seksual 5.4.1 Identifikasi Orientasi Seksual RI dan DI adalah laki-laki homoseksual. Masing-masing mengidentifikasi diri mereka sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap laki-laki. RI Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
56
dan DI pun memiliki pengalaman homoseksualitas dalam kehidupan masingmasing. RI pernah memiliki pengalaman baik emosional maupun seksual dengan laki-laki. Sementara itu, DI pun pernah memiliki pasangan sesama jenis sejak mengaku sebagai homoseksual. Ketika penelitian ini berlangsung, DI pun sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. “Indikatornya adalah hmmm.. gue mulai tertarik ngelihat cowo secara fisik, gue mulai bandel, gue mulai tertarik ngelihat film-film yang “begitu” [porno-homoseksual].” (DI)
JH dan BM adalah laki-laki heteroseksual. Masing-masing memiliki pengalaman heteroseksualitas, antara lain memiliki ketertarikan kepada tubuh perempuan dan pernah jatuh cinta kepada perempuan. JH mengatakan telah mengalami semua pengalaman heteroseksualitas dengan perempuan. Sementara itu, BM pun sedang menjalin hubungan dengan perempuan ketika penelitian ini berlangsung. “Naksir *menyukai+ orang, ya naksir wanita, suka ngelihatin. Kalau kata orang-orang, kalau ada cewe cakep, dilihat ya walaupun cuma sekejap. Lebih tertarik ke tubuh wanita, terus hmm kalau ada yang terbuka-buka dikit pasti ngelirik, ya seperti itu kali.” (BM)
5.4.2 Nilai Maskulinitas dalam Relasi Sosial DI, JH, dan BM menganggap nilai maskulinitas memiliki peran dalam mendapatkan pasangan. JH dan BM menganggap maskulinitas memiliki peran dalam hubungan dengan pasangan, khususnya dalam memberikan tanggung jawab kepada pasangan. Sementara itu, DI menganggap nilai maskulinitas memiliki peran yang bias dalam hubungan dengan sesama laki-laki. “Di mata gue, laki-laki adalah orang yang bertanggung jawab. Di kehidupan homoseksual, laki-laki sama laki-laki. Nah, pasti salah satu dari mereka, kemaskulinannya ada yang lebih menonjol daripada yang satunya. Bisa aja yang satunya cenderung lebih feminin, gitu. Atau misalkan karena dua-duanya maskulin, kadang-kadang yang satu, maskulinnya jadi turun, yang satu jadi naik” (DI)
Hal yang berbeda dialami oleh RI. RI menganggap nilai maskulinitas tidak memiliki peran dalam hubungan homoseksual karena tidak menjadikannya kriteria dalam mendapatkan pasangan.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
57
“Ngga, sih. Ngga gitu pengaruh dan ngga gitu jadi tolak ukur bahwa gue harus nyari orang yang gimana atau … Gue ngga pernah sih menjadikan itu sebagai kriteria gue.” (RI)
5.4.3 Nilai Penampilan Tubuh dalam Relasi Sosial RI, DI, dan JH menganggap penampilan tubuh memiliki peran dalam mendapatkan pasangan. RI dan DI menganggap penampilan tubuh sebagai hal yang penting dalam relasi homoseksual, khususnya dalam membangun chemistry antara satu dengan yang lain. Sementara itu, JH menganggap penampilan tubuh memiliki peran dalam mendapatkan pasangan karena kecenderungan perempuan untuk menyukai laki-laki berdasarkan penampilan tubuhnya. “yah kaya first impression orang kan, yah gue ga bilang orang harus liat dari fisik, ga! Sama sekali ga punya pemikiran ke sana dari dulu. Artinya, begini loh, gue dari dulu tuh sama temen-temen gue tuh, lo tuh kalo liat cewe tuh jangan dari fisiknya, cuma tementemen gue bilang tuh ga mungkin. Orang tuh melihat cewek tuh dari fisiknya dulu pertama” (JH)
Sementara itu, BM mengemukakan pandangan yang oposisional. Ia menganggap penampilan tubuh tidak memiliki peran dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Baginya, penampilan tubuh tidak memiliki peran ketika suatu hubungan sudah berkaitan dengan perasaan. “Ngga, kayanya kalau udah masalah perasaan, udah ngga ada deh kaya gitu-gitu.” (BM)
5.4.4 Hypermaskulinitas dan Laki-laki Homoseksual Banyak laki-laki homoseksual memilih untuk memiliki penampilan tubuh dengan otot masif dan ekstrem sebagai strategi menghindari kecurigaan homoseksual. Berbeda dengan fakta tersebut, RI tidak ingin memiliki penampilan tubuh berotot masif dan ekstrem. Ia hanya melakukan strategi tertentu untuk menghindari kecurigaan homoseksual, antara lain dengan tidak melakukan kegiatan feminin dan memberi jarak kepada laki-laki homoseksual. Banyak orang menganggap laki-laki berotot masif dan ekstrem adalah laki-laki homoseksual. DI mengonfirmasi pandangan tersebut karena hal tersebut berkembang luas di masyarakat. Akan tetapi, RI menganggap tubuh berotot masif dan ekstrem tidak dapat diasosiasikan dengan homoseksual karena saat ini lakilaki heteroseksual juga memiliki tubuh berotot masif dan ekstrem. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
58
“nggak sih. All is fair kalau kata gue. Maksudnya, sekarang sih udah ngga bisa dibedain, tubuh berotot bisa straight bisa gay. Jadi, ngga bisa diasosiasiin. “ (RI)
RI menganggap hypermaskulinitas adalah strategi yang digunakan lakilaki homoseksual agar lebih mudah mendapat pasangan seksual. Tidak hanya itu, RI juga menganggap laki-laki berotot masif dan ekstrem sebagai laki-laki yang terobsesi memiliki tubuh berotot besar. “banyak. Yahhh, apa ya. Gue sih mandangnya dua. Emang dia terobsesi punya otot gede atau he want to get a great laid. Itu aja. Maksud gue, dia bikin ototnya gede biar gampang buat cari one night stand” (RI)
5.5 Media Habit dan Terpaan Iklan RI, DI, JH, dan BM memilih internet sebagai media utama karena dianggap bisa memberikan apapun yang dibutuhkan, antara lain kebutuhan informasi, berita, dan hiburan. BM juga menambahkan internet merupakan media utama yang digunakan untuk menjawab keingintahuannya terhadap suatu hal. Masing-masing informan menyebut televisi sebagai media kedua setelah internet yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. “Hmm, berita. Informasi tentang apa, apa, apa. Make media sebenernya untuk nyari informasi, menjawab keingintahuan, dan mencari hiburan.” (BM)
Dalam kesehariannya, keempat informan menghabiskan beberapa jam untuk menggunakan media internet dan mengonsumsi tayangan televisi. RI menyebutkan total waktu yang ia habiskan dalam mengonsumsi internet adalah lima jam. Sementara itu, DI dan JH mengatakan intensitasnya mengonsumsi internet adalah sepanjang hari dan setiap hari. “Kalau internet, gue pasti buka laptop, gue internetan pasti bahkan internet suka lupa gue matiin kalau gue tidur. Oia, dan internet bisa gue dapetin dari Blackberry kapan aja.” (DI)
RI, DI, JH, dan BM menjadikan konsumsi internet sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Hal ini disebabkan oleh konsumsi internet yang dilakukan setiap hari, antara lain dengan melakukan browsing dan push-mail dengan bantuan beberapa piranti, seperti Blackberry dan juga tablet. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
59
“Hampir sepanjang hari sih, dalam artian push email, juga bagian dari media internet…” (JH)
Tidak hanya itu, empat informan dalam penelitian ini menganggap media memiliki peran dalam kehidupan, antara lain memberi pengetahuan terhadap fesyen dan juga pengaruh terhadap keinginan membeli produk. Selain itu, RI menganggap media memiliki pengaruh besar terutama ketika memiliki permasalahan yang berkaitan dengan percintaan. “The way I dress, kadang juga cara berpikir. Lebih banyak ke itu sih. Terutama kalau misalnya gue butuh suggestion, misalnya gue lagi banyak masalah, terutama tentang cinta. Gue bingung gimana cara, gue bingung siapa yang bisa bantu gue, hmmm temen gue cuma bisa bilang gitu-gitu doang pada akhirnya gue nyari, biasanya suka nemu beberapa artikel yang menarik.” (RI)
Walaupun menjadikan internet sebagai medium utama, keempat informan dalam penelitian ini tidak melupakan televisi sebagai medium yang digunakan untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Keempat informan menjadikan televisi sebagai media sekunder setelah internet di dalam kehidupan sehari-hari. Baik RI, DI, JH, dan BM masing-masing pernah melihat dan memerhatikan iklan-iklan pelbagai produk yang ditayangkan di televisi. Keempatnya memberikan pandangan yang berbeda terkait iklan di media massa, khususnya televisi. JH menganggap iklan hanya menampilkan kebohongan dan baginya tidak ada iklan yang tidak berbohong. Berbeda dengan JH, RI menganggap iklan merupakan bagian dari pemasaran untuk menjual barang, terlepas dari pesan iklan berbohong atau tidak. Pandangan yang berbeda diberikan oleh DI dan BM. Kedua informan ini memandang iklan sebagai suatu cara yang dikemas sebagus mungkin untuk menarik atau membuat seseorang menyukai dan mengonsumsi suatu produk. “marketing, maksudnya ya mereka melakukan marketing. Mereka menjual barang mereka gitu, lho. Terlepas dari apakah itu bohong atau bukan, itu kan cara mereka yah. Ya iklan itu cara mereka buat jual barang ya, terlepas dari mereka bohong atau ngganya, lebay atau ngga-nya. Toh kadang kita kena-kena aja. Walaupun kita tahu, misalnya kita beli Rinso, bajunya bakal putih, padahal kita waktu beli Rinso yaudah beli cuci, yaudah gitu lho. Tanpa perlu “ah bohong nih iklannya, bajunya ngga bersih” terus kita minta ganti rugi. Ngga kan? Terlepas dari itu, it works-lah.” (RI)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
60
Berkaitan dengan perilaku terhadap iklan, RI dan BM merasa mudah dipengaruhi oleh terpaan iklan. Kedua informan ini menjadikan iklan sebagai pertimbangan dalam memilih dan membeli suatu produk, terutama makanan dan minuman. “Pada dasarnya, gue adalah orang yang konsumtif, khususnya cemilan. Kalau paling gampang kemakan iklan, ya iklan cemilan.” (BM)
Perilaku yang berbeda diberikan oleh DI dan JH. Kedua informan ini merasa tidak mudah dipengaruhi oleh terpaan iklan. Selain itu, DI dan JH pun tidak menjadikan terpaan iklan sebagai pertimbangan. DI lebih menggunakan penilaian orang lain sebagai pertimbangan dalam memilih dan membeli suatu produk. “Gue cenderung dari (penilaian) orang “eh, ini bagus…” atau ya gue lihat sendiri packaging dari brand itu” (DI)
5.6 Pemaknaan mengenai Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh 5.6.1 Nilai Maskulinitas 5.6.1.1 Nilai Maskulinitas bagi Informan Homoseksual RI mendefinisikan maskulinitas sebagai sifat-sifat yang harus dimiliki laki-laki, antara lain tangguh, kuat secara fisik, dan juga pemimpin. RI menganggap tiga sifat ini adalah sifat yang tidak dimilikinya. “Namanya juga maskulin, sifat-sifat cowok, sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh cowok. Misalnya, tough, kuat, hmm leader. Itu sih yang gue tangkep, tiga itu doang, sesuatu yang gue ngga punya. Tough, leader, kuat, atau strong. Strong di sini maksudnya strong ngangkat apa gitu, bisa literally bisa ngga. Kalau di sini, kuatnya bisa maksudnya fisiknya” (RI)
Sama dengan RI, DI pun mendefinisikan maskulinitas sebagai sifat-sifat kejantanan yang harus dimiliki oleh laki-laki sebagai pembeda dari perempuan. “Maskulinitas adalah suatu sifat yang mungkin.. Bahasa ininya adalah kejantanan, gitu. Kejantanan, pokoknya sifat-sifat kejantanan yang dimiliki laki-laki sehingga dia tuh bisa ngebedain dia tuh laki-laki sejati atau ngga, gitu. Dan itu yang ngebedain dia dari cewe juga” (DI)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
61
Definisi nilai maskulinitas yang dimiliki oleh RI dan DI dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua. DI ditanamkan nilai oleh orang tuanya bahwa laki-laki harus bertanggung jawab dan bisa melindungi keluarga, terlebih karena DI merupakan anak tertua di dalam keluarga. “Ya paling kaya itu aja, bokap gue ngasih tahu kalau laki-laki itu ya harus bertanggung jawab, apalagi kan gue anak paling tua dan bokap gue jarang di rumah. Jadi, bokap gue lebih nekenin ke kalau adik sama bokap gue kenapa-kenapa atau rumah kenapa-kenapa di saat bokap gue ngga ada, gue adalah orang yang paling pertama harus maju untuk ngelindungin. Seperti itu, sih” (DI)
5.6.1.2 Nilai Maskulinitas bagi Informan Heteroseksual JH mendefinisikan nilai maskulinitas sebagai sifat-sifat yang harus dimiliki laki-laki, antara lain gentle, berani, dan pekerja keras. “Ya, kan. Satu gentle, yang kedua berani, pekerja keras, dan yang lainnya ngga begitu pentinglah” (JH)
Senada dengan JH, BM mendefinisikan nilai maskulinitas sebagai sifat yang harus dimiliki oleh laki-laki, antara lain bertanggung jawab dan juga memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lebih lemah. “Dia sesuai dengan apa yang dia katakanlah. Ya, karena apa yang diajarin bokap gue, laki itu harus kaya gitu. Tanggung jawablah, apalah, harus melindungi yang lemahlah.” (BM)
Definisi
nilai
maskulinitas
yang
diberikan
oleh
JH
dan
BM
dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ditanamkan orang tua. Orang tua JH banyak menanamkan peran laki-laki sebagai seorang kepala keluarga yang harus menafkahi keluarga dan bersikap gentle kepada perempuan. “Cuma yah kaya tadi yang gue tangkep dari orang tua gue tuh, kenapa cowok ga usah ngurusin fashion, karena tanpa ngurusin fashion pun seorang cowok nih udah banyak hal yang harus diurusi. Karena nantinya kan akan jadi kepala keluarga kan, akan punya istri, anak, mengurusi makan. Nah, nanti kalau lo juga mengurusi fashion penampilan lo, nanti siapa yang ngasih makan lo? Itu sih biasanya yang paling sering” (JH)
Definisi maskulinitas BM juga dilatarbelakangi oleh nilai maskulinitas yang ditanamkan kedua orang tuanya. Orang tua BM menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan melindungi sebagai sifat yang harus dimiliki oleh laki-laki. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
62
“Bokap ngajari kalau laki-laki itu tanggung jawabnya gede. Ibaratnya pemimpin keluargalah. Jadi, lo harus udah mulai bertanggung jawab atas orang lain, harus rela berkorban demi orang lain, demi keluarga lo. Lebih ke arah, laki itu tanggung jawabnya gede, melindungi keluarga-keluarganya. Kalau dari bokap sih, gitu” (BM)
5.6.2 Penilaian Informan terhadap Tubuh dan Maskulinitas 5.6.2.1 Penilaian Informan Homoseksual terhadap Tubuh dan Maskulinitas RI dan DI menyetujui pandangan yang menganggap tubuh sebagai indikator maskulinitas laki-laki. RI menganggap tubuh sebagai indikator paling mudah yang dapat dilihat secara kasat mata sedangkan DI menganggap tubuh bukanlah hal utama yang berkaitan dengan maskulinitas. Dalam menilai maksulinitas, RI menganggap tubuhnya tidak terlalu maskulin dan cenderung biasa saja sedangkan DI menganggap tubuhnya belum maskulin. RI dan DI tidak setuju apabila tubuh dijadikan sebagai indikator utama maskulinitas seorang laki-laki. RI menganggap laki-laki dengan tubuh atletis dan berotot tetap memiliki kemungkinan untuk tidak maskulin apabila memiliki gaya bicara keperempuan-perempuanan. Ia hanya menganggap tubuh sebagai indikator pertama yang mudah dilihat, tetapi bukan yang utama. Sementara itu, DI menganggap tubuh bukanlah faktor utama dalam menilai maskulinitas laki-laki. Ia juga menilai laki-laki dengan penampilan tubuh yang kurang atletis dan berotot bukan berarti memiliki tingkat maskulinitas yang rendah. “Tapi bukan berarti, orang dengan fisik yang kurang, maskulinitas dia juga kurang. Yang penting sifat dia itu. Fisik mungkin biar dari luar kelihatan, gitu. Kalau menurut gue sih, fisik ngga terlalu [menjadi penentu maskulinitas]” (DI)
5.6.2.2 Penilaian Informan Heteroseksual terhadap Tubuh dan Maskulinitas JH dan BM menganggap tubuh sebagai salah satu indikator yang berkaitan dengan maskulinitas. JH menganggap penampilan aktual tubuhnya maskulin sedangkan BM menganggap penampilan tubuhnya cukup maskulin. “Kalau menurut gue sih gue ya maskulin maskulin aja. Gue merasa gue ngga feminin, tapi ngerasa cowok banget juga ngga. Tapi, gue masih ngerasa diri gue maskulin” (BM)
Baik JH maupun BM tidak setuju apabila tubuh dijadikan sebagai indikator utama maskulinitas laki-laki. JH tetap menganggap dirinya maskulin Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
63
walaupun tidak memiliki penampilan tubuh atletis dan berotot. Sementara itu, BM menganggap maskulinitas memang memiliki kaitan dengan tubuh, tetapi bukan berarti laki-laki berotot dinilai lebih maskulin. "Ya itu dia, karena sekali lagi definisi maskulinitas gue tuh… Tubuh, iya ok gue katakan definisi maskulinitas, cuma itu definisi ke berapa mungkin kan…” (JH)
5.6.3 Penilaian Citra Tubuh 5.6.3.1 Penilaian Citra Tubuh oleh Laki-laki Homoseksual RI menganggap penilaiannya terhadap tubuh bersifat situasional tergantung respon orang yang disukainya. Apabila orang yang disukainya memberi respon positif, RI akan menilai penampilan dirinya secara positif dan begitu sebaliknya. Walaupun demikian, RI merasa penilaian positif merupakan penilaian yang paling sering diberikan terhadap penampilan tubuhnya. “Hmmm, paling gampang itu misalnya kalau orang yang lo suka, ngga suka sama lo. Itu aja sih. Pasti gue ngerasa kaya “oh mungkin penampilan gue ada yang salah kali” atau “gue terlalu chubby atau gue terlalu apa…” muncul sih pemikiran kaya gitu.” (RI)
Berbeda dengan RI, DI menilai penampilan tubuhnya secara negatif. DI menganggap penampilan tubuhnya tidak menarik karena memiliki berat badan berlebih. Tidak hanya itu, DI juga memiliki ketidakpuasan terhadap beberapa bagian tubuhnya, antara lain perut, lengan, dan paha. “Fisik ya? Hmm, ya itu tadi fisik gue berlebih. Kalau misalnya dari sisi pandangan gue mengenai maskulin secara fisik, gue kurang menganggap tubuh gue menarik” (DI)
5.6.3.2 Penilaian Citra Tubuh oleh Laki-laki Heteroseksual JH menilai penampilan tubuhnya secara positif. Ia merasa puas dan tidak ada yang kurang dalam penampilan tubuhnya. Selain itu, JH juga merasa tidak memiliki bagian tubuh yang dianggap kurang ideal. “Kalo kurang sih engga. Gue ngga merasa kurang. Gue juga ngga bilang kalo badan gue sempurna sih" (JH)
Senada dengan JH, BM juga menilai penampilan tubuhnya secara positif karena tidak ada yang memberikan penilaian negatif terhadap penampilan tubuh Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
64
aktualnya. Selain itu, BM juga merasa tidak memiliki bagian tubuh yang dianggap kurang ideal. “Ngga ada yang protes sama badan gue sih soalnya sekarang. Jadi ya gue puas-puas aja. Ngga ada yang protes “xxx, badan lo jelek sekarang” Jadi, gue ya puas-puas aja. Berarti orang sudah memandang gue baguslah, ibaratnya kaya gitu. Jadi, secara eksternal ngga ada yang bilang “xxx, lo kekurusan”, “xxx, lo kegemukan”, “xxx, lo kurang berotot”. Ngga ada yang bilang kaya gitu.” (BM)
5.7 Pemaknaan Program Komunikasi Pemasaran L-Men 5.7.1 Pesan Program Komunikasi Pemasaran L-Men Christian Widi Nugraha selaku Brand Manager L-Men menyebutkan komunikasi pemasaran L-Men memiliki one single message dengan proses komunikasi yang berbeda. Inti pesan promosional yang disampaikan L-Men adalah menginspirasi laki-laki Indonesia untuk memiliki gaya hidup sehat dengan berolahraga. Tidak hanya itu, L-Men juga ingin menginspirasi laki-laki Indonesia untuk memerhatikan kualitas kesehatannya dan memiliki kepedulian terhadap penampilan. “Alesannya mungkin lebih gini, mungkin lebih karena kita ngajarinnya lebih ke inspirasi hidup sehatnya, kita pengen meng-inspire mereka untuk hidup lebih sehat. Misi kita adalah pengen ngajak pria di Indonesia biar lebih sehat” “Kalau misalnya kita bisa bilang ya, komunikasi kita sebenernya cuma satu, cuman mengolahragakan orang buat pola hidup sehat. Tapi, bagaimana cara untuk mengajak orang buat hidup sehatnya, kita mengkomunikasikannya dengan cara yang berbedabeda, tapi message-nya tetep single message dari awal sampai sekarang masih belum berubah.”
5.7.2 Pemaknaan terhadap Pesan Program Komunikasi Pemasaran L-Men Brand Manager L-Men menyampaikan program komunikasi pemasaran dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan menggunakan iklan televisi dan ajang LMen of The Year. “Kampanye besar kita ada dua. Pertama adalah TVC dan kedua adalah L-Men of The Year.”
Dalam komunikasi pemasaran yang dilakukan, L-Men selalu menekankan aktivitas olahraga sebagai cara untuk hidup sehat. Tidak hanya itu, L-Men juga menekankan konsumsi suplemen kesehatan L-Men sebagai asupan nutrisi dalam Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
65
menunjang pola hidup sehat. Dengan kata lain, L-Men selalu menunjukan proses untuk mendapatkan hidup sehat melalui program komunikasi yang dilakukannya. “Basically, L-Men menekankan kepada inspirasi hidup sehat dengan cara mengajarkan hidup sehat itu seperti apa. Makanya, kita selalu bilang di dalam iklan pasti selalu ada adegan olahraganya, ada adegan minum L-Mennya, L-Men sebagai nutrisinya. Jadi, kita ngga pernah yang cuma sekedar jualan L-Men, tapi kita nunjukin prosesnya, step by step-nya seperti apa”
Seperti yang disampaikan sebelumnya, L-Men juga mengadakan program L-Men of The Year (LOTY) di setiap tahun. Ajang ini diselenggarakan sebagai suatu bentuk apresiasi terhadap konsumen setia L-Men yang telah berjuang melakukan transformasi. Tidak hanya itu, ajang ini juga diselenggarakan untuk mencari ikon hidup sehat dengan tujuan menampilkan the real people with the real result kepada khalayak. “Yang pertama, ini untuk mengapresiasi konsumen L-Men. Mereka udah consume, mereka udah melakukan transformasi perubahan, basically mereka kita apresiasi karena telah melakukan perubahan” “Dengan diadakannya LOTY ini selain ingin mengapresiasi, kita juga mencari ikon hidup sehat. Kenapa ikon hidup sehat? Kalau kamu perhatiin selama ini, L-Men iklannya ini ngga pernah pake artis, kita ngga pernah endorse. Kenapa? Karena kita pengen nampilin the real people dan the real result. Tujuannya apa? Karena saya pakai orang yang terkenal, iya dia bakal bilang “saya pakai L-Men” but who knows dia bener atau ngga. Dengan pakai real people dan real result, orang-orang akan tahu akan cerita dengan sendirinya. Buat kita akan lebih real dan buat konsumen “kalau dia bisa, saya juga bisa”.”
5.7.2.1 Pemaknaan Laki-laki Homoseksual terhadap Pesan Iklan Televisi LMen RI menganggap L-Men selalu menggunakan nilai heteroseksualitas dalam setiap iklan televisinya. Ia juga menilai pemasar menggunakan perempuan sebagai alasan agar laki-laki lebih cepat mengubah penampilan tubuhnya. Tidak hanya itu, RI juga menganggap L-Men ingin menekankan seorang laki-laki bisa mendapatkan siapapun apabila memiliki penampilan tubuh atletis. Pemaknaan RI terhadap pesan iklan televisi L-Men berhubungan dengan pengalaman homoseksualitas yang ia miliki. Sebagai seorang homoseks, RI menganggap mendapat pasangan dalam dunia homoseksual adalah hal yang sulit. Ia seringkali menganggap penampilan tubuh adalah hal yang memengaruhi daya Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
66
tarik seseorang. Tidak hanya itu, ketidakpuasannya terhadap penampilan tubuh juga berhubungan dengan pemaknaan pesan iklan televisi L-Men. Baginya, dalam iklan L-Men, penampilan tubuh atletis membuat seseorang dapat dengan mudah mendapatkan pasangan. “Hmmm, ya sama kaya iklan-iklan L-Men sebelumnya ya. Selalu ada hmm topless, selalu ada berenang, dan selalu ada cewek. It’s like a kinda “gini lho kalau badan lo bagus”, “lo bisa dapat cewe cantik kaya apa aja”, kayak “lo bakal kaya gini lho” Jadi intinya bakal kayak… Menurut gue sih, agak pinter emang yang bikin. Kebutuhan dasar manusia kan emang cinta, ya? Bahwa orang di-drive lebih cepat untuk berubaha itu karena cinta. Misalnya, ada orang gemuk terus temen-temennya bilang “kurusin dong, bikin sixpack dong” tapi ternyata dia biasa aja. Nah, once dia suka sama cewek, terus cewek itu suka sama yang sixpack, terus dia pasti bakal berusaha buat sixpack. Jadi menurut gue, pinter marketing-nya mengomunikasikan iklan supaya dibeli.” (RI)
Sementara itu, DI menganggap inti pesan setiap iklan televisi L-Men adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot. DI merasa tidak setuju dengan pesan iklan tersebut karena menganggap suplemen kesehatan akan berbahaya apabila dikonsumsi secara terus menerus. Preferensi seksual dan penilaian DI terhadap penampilan tubuhnya tidak berhubungan dengan pemaknaan pesan iklan televisi L-Men. Latar belakang pendidikannya di bidang kedokteran berperan besar dalam pemaknaannya terhadap pesan iklan televisi L-Men. “Ya karena itu tadi gue bilang, susu kaya gitu kan kurang bagus buat badan lo sama ngapain sih kalau misalnya lo pengen ngedapetin sesuatu yang kaya gitu sedangkan itu caranya sih… Sehat sih, tapi kan kalau dikonsumsi secara terus menerus ngga bagus juga” (DI)
5.7.2.2 Pemaknaan Laki-laki Heteroseksual terhadap Pesan Iklan Televisi LMen Menurut JH, inti pesan iklan televisi L-Men adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot. Akan tetapi, JH menganggap iklan televisi L-Men menampilkan kebohongan karena melekatkan kegiatan olahraga alam yang dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot. Baginya, iklan televisi L-Men terasa berlebihan. Sesuai dengan pengalamannya, laki-laki yang menginginkan penampilan tubuh atletis dan berotot tidak pernah memiliki keinginan untuk melakukan kegiatan olahraga alam. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
67
Nilai heteroseksualitas dan penilaian terhadap citra tubuh tidak melatarbelakangi pemaknaan JH terhadap pesan iklan televisi L-Men. Pemaknaan tersebut justru berhubungan dengan pengalaman JH sewaktu bergabung dengan kelompok mahasiswa pencinta alam. Ia menganggap iklan televisi L-Men selalu menampilkan kegiatan alam sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan penampilan tubuh atletis dan berotot. Menurutnya, kegiatan alam merupakan hal yang bahkan tidak pernah dipikirkan oleh laki-laki yang berkeinginan memiliki tubuh atletis. “...Dia menunjukan nih, gue pengen bikin badan bagus, lo pakai L-Men dan nunjukin kegiatan yang dilakukan sama orang ini berlari, berenang, ya kalo menurut gue. Ya bohong gitu!” (JH)
Sementara itu, BM menganggap inti pesan iklan televisi L-Men adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis, berotot, dan juga sixpack. Akan tetapi, BM menganggap pesan dalam setiap iklan televisi LMen selalu dikemas secara berlebihan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan olahraga yang dilakukan seolah-olah dapat membuat perempuan tertarik dan mendekati laki-laki. BM mengidentifikasi nilai heteroseksualitas dalam iklan televisi L-Men senada dengan informan homoseksual RI. Baginya, penampilan tubuh atletis dan kegiatan olahraga alam tidak serta merta membuat seorang perempuan tertarik kepada laki-laki. Seperti yang disampaikan BM, perempuan cenderung tidak memerdulikan penampilan fisik apabila sudah berurusan dengan perasaan. “Iya, berlebihan soalnya kan pada kenyataannya kan ngga gitu juga. Lo ngga lari di padang pasir, lo ngga berenang terus tiba-tiba langsung ketemu cewek-cewek…” (BM)
5.7.2.3 Pemaknaan Laki-laki Homoseksual terhadap Ajang L-Men of The Year RI mengetahui ajang L-Men of The Year merupakan salah satu program komunikasi pemasaran L-Men. Namun demikian, RI tidak pernah mengetahui para finalisnya dari tahun ke tahun. Walaupun mengonsumsi L-Men dan melakukan aktivitas fisik, RI mengaku tidak ingin mengikuti ajang L-Men of The Year karena tidak tertarik dan menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
68
Preferensi seksual RI tidak melatarbelakangi pemaknaan terhadap ajang LMen of The Year. Namun, ketidakpuasannya terhadap beberapa bagian tubuh cenderung melatarbelakangi pemaknaannya terhadap ajang tersebut. Ia juga menganggap dirinya tidak memiliki penampilan tubuh atletis seperti yang dijadikan syarat oleh ajang tersebut. “nope, buat apa? Bukan salah satu tujuan dalam hidup gue dan ngga tertarik juga” (RI)
Sama dengan RI, DI juga mengetahui ajang L-Men of The Year. DI menganggapnya sebagai ajang mencari popularitas bagi setiap finalisnya. DI menilai setiap finalis dalam ajang tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi bintang iklan, bekerja di dunia hiburan, mendapat popularitas, dan menjadi terkenal. Baik orientasi seksual maupun penilaian citra tubuh tidak berhubungan dengan pemaknaan DI terhadap ajang L-Men of The Year. Pemaknaan tersebut cenderung dilatarbelakangi oleh lingkungan pergaulannya yang hedonis, sering clubbing, mengutamakan penampilan fesyen, dan juga sering mengunjungi beragam tempat mahal. “Contoh, L-Men deh. Biasanya kan orang-orang kaya gitu kan dari yang… Dia [L-Men] bukannya bikin kontes-kontes yang kaya gitu, terus dimasukin ke iklan, terus abis main iklan, orang itu bisa main dimana dimana, gitu” (DI)
5.7.2.4 Pemaknaan Laki-laki Heteroseksual terhadap Ajang L-Men of The Year JH mengetahui ajang L-Men of The Year sebagai salah satu program komunikasi pemasaran L-Men, tetapi tidak mengetahui para finalis ajang tersebut. JH menilai ajang L-Men of The Year sebagai ajang untuk mencari bintang iklan sekaligus duta suplemen kesehatan L-Men. JH menganggap laki-laki yang mengikuti ajang tersebut sebagai laki-laki yang tertarik bekerja di dunia modeling. Hal ini membuat JH tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam ajang tersebut. Pemaknaan JH tidak berhubungan dengan nilai heteroseksualitas, tetapi justru berhubungan dengan penilaiannya terhadap citra tubuh. Walaupun memiliki citra tubuh positif dan penampilan tubuh atletis, JH tidak lantas memiliki keinginan untuk berpartisipasi di dalam ajang L-Men of The Year. Alasannya Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
69
karena tidak tertarik terhadap bidang modeling seperti yang ditawarkan ajang tersebut. “Yang gue tahu juga gini.. Kan si bintang iklan L-Men ini juga kan ada kompetisinya untuk jadi bintang L-Men dan mereka berkompetisi. Jadi, mereka badannya udah jadi, mereka berkompetisi, akhirnya pemenangnya jadi dutanya L-Men.” (JH)
Sementara itu, BM juga mengetahui ajang L-Men of The Year. Ia juga mengetahui bintang iklan televisi L-Men merupakan pemenang dan finalis L-Men of The Year. BM menganggap laki-laki yang mengikuti ajang tahunan ini sebagai laki-laki
yang percaya diri terhadap penampilan tubuhnya dan
ingin
memamerkannya. Ajang L-Men of The Year tidak membuat BM ingin berpartisipasi karena tidak memiliki keyakinan untuk bisa memenangkannya karena penampilan tubuh atletis adalah hal yang sulit untuk didapatkan. Pemaknaan BM cenderung dilatarbelakangi oleh penilaian citra tubuhnya. Walaupun memiliki citra tubuh positif, BM seringkali menginginkan penampilan tubuh atletis. Baginya, penampilan tubuh atletis dapat membuatnya terlihat keren di mata orang lain. Namun demikian, ajang L-Men of The Year tidak lantas membuatnya berniat merealisasikan keinginannya tersebut. Terlepas dari itu, nilai heteroseksualitas tidak memiliki hubungan dengan pemaknaannya terhadap ajang L-Men of The Year. “dia percaya diri sama tubuhnya, sama dia pengen show off, pengen pamer badannya” (BM)
5.7.2.5 Pemaknaan Laki-laki Homoseksual terhadap Endorser Iklan RI memandang endorser dalam iklan televisi L-Men secara negatif. Ia mengaku malas dan tidak terkesan kepadanya karena menganggap iklan membiarkannya memamerkan tubuh. Tidak hanya itu, kesan negatif diberikan kepada endorser karena RI menganggapnya seorang poser. Ia menganggapnya sama dengan laki-laki yang sering memamerkan tubuh di pusat kebugaran. Pemaknaan RI berhubungan dengan pengalaman homoseksualitasnya. Dalam hubungan homoseksual, penampilan tubuh memiliki peran penting untuk memikat sesama jenis. Seperti yang diakui RI, banyak laki-laki homoseksual memiliki penampilan tubuh atletis hanya untuk memamerkannya karena Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
70
menyadari hal tersebut diingikan oleh banyak orang. Kondisi ini kemudian melatarbelakangi pemaknaan RI terhadap endorser iklan televisi L-Men. “Di tempat gym, kita biasanya nyebutnya poser gitu. Poser itu orang yang sengaja ngelihatin kalau badan gue bagus. Kalau badannya bagus, terus bajunya seketat mungkin. Entah dia kalau sambil ngapain ya begitulah…” (RI)
Sementara itu, DI menganggap endorser iklan L-Men sebagai laki-laki yang berpenampilan tubuh maskulin dan rutin melakukan aktivitas fisik. Tidak hanya itu, DI juga menganggapnya sebagai seseorang yang melakukan suplementasi dalam mendapatkan penampilan tubuh atletis dan berotot. Pemaknaan DI tidak berhubungan baik dengan orientasi seksual maupun penilaian citra tubuhnya. Pemaknaan DI cenderung berhubungan dengan pengaruh lingkungan pergaulannya. Seperti diakui oleh DI, banyak teman dalam lingkungan pergaulannya melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran dalam meningkatkan penampilan tubuh, termasuk mengonsumsi suplemen. “Di pikiran gue, yaaa mungkin dia orang yang rajin nge-gym, terus yaa mungkin dia juga minum suplemen kaya gitu juga. Secara fisik, dia terlihat maskulin” (DI)
5.7.2.6 Pemaknaan Laki-laki Heteroseksual terhadap Endorser Iklan JH memberikan penilaian positif terhadap endorser iklan L-Men. Ia menganggapnya memiliki tubuh atletis karena rutin melakukan aktivitas fisik. JH menganggap hal tersebut sebagai bentuk tuntutan pekerjaan sang endorser. Pemaknaan JH tidak dilatarbelakangi oleh nilai heteroseksualitas, tetapi justru oleh nilai maskulinitas yang didapatnya dari keluarga. Bagi JH, maskulinitas banyak berbicara tentang tanggung jawab laki-laki sebagai pemberi nafkah keluarga. Hal ini menjadi dasar pemaknaannya terhadap endorser L-Men. Tidak hanya itu, penilaian penampilan tubuh juga berhubungan dengan pemaknaannya terhadap endorser iklan. Menyadari tubuhnya atletis karena rutin melakukan aktivitas fisik, JH pun memberikan penilaian yang sama terhadap endorser iklan. “Ya, gue bayangkan dia gym addict yang kerjaannya cuma nge-gym doang. Kan dia nyari makan dari gym-nya artinya dia kan jadi model, dia harus jaga badannya” (JH)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
71
Sementara itu, BM menganggap endorser dalam iklan adalah laki-laki dengan tubuh berotot, sixpack, dan juga percaya diri terhadap tubuhnya. BM juga mengetahui endorser tersebut merupakan pemenang ajang L-Men of The Year. Pemaknaan BM tidak dilatarbelakangi oleh nilai heteroseksualitas, tetapi justru oleh terpaan komunikasi pemasaran L-Men. Seperti diakuinya, terpaan komunikasi pemasaran L-Men membuatnya mengasosiasi sixpack dengan suplemen kesehatan L-Men. Tidak hanya itu, terpaan komunikasi pemasaran LMen juga membuatnyamengetahui endorser iklan merupakan finalis L-Men of The Year. “L-Men of the year. Ya pokoknya berotot, sixpack, ya gitu sih yang di otak gue” (BM)
5.7.3 Pemaknaan terhadap Kualitas Suplemen Kesehatan L-Men Berdasarkan riset yang dilakukan, Christian Widi Nugraha mengatakan LMen memiliki positioning sebagai produk yang dapat membentuk tubuh secara efektif dan menjadikannya lebih berotot. “Secara value, mereka melihat bahwa L-Men adalah untuk membentuk tubuh, L-Men itu bikin berotot. Intinya L-Men itu dapat secara efektif membentuk tubuh. Itu yang kita dapatkan dari riset dan segala macam”
5.7.3.1 Pemaknaan Laki-laki Homoseksual terhadap Kualitas L-Men RI merupakan laki-laki yang mengonsumsi suplemen kesehatan L-Men, tetapi tidak merasakan manfaat jelas selama mengonsumsinya. Selama ini, ia hanya mensugesti pikirannya sebelum mengonsumsi L-Men, khususnya sebelum melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran. “Karena emang gue ngerasa manfaatnya seperti itu walaupun manfaatnya ngga jelasjelas amat, cuma gue merasa… Makanya gue tetep stay sampe sekarang, gue masih konsumsi dan masih beli kok. Dan gue pasti sebelum olahraga, gue selalu percaya sih. Kaya air zam-zam yang kita percaya bisa nyembuhin penyakit, ya kita percaya aja ngga sih”(RI)
DI juga menganggap suplemen kesehatan L-Men tidak memberikan manfaat jelas bagi tubuh, tetapi justru dapat menimbulkan ketergantungan. Ia menganggap produk suplemen kesehatan L-Men sama seperti produk rokok yang dijual di masyarakat: tetap laku walaupun tidak memberi manfaat bagi tubuh. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
72
“Ya, sama kaya tadi karena orang-orang pasti bakal ngelihat “oh, badan gue bakal keren, nih”. Sama kaya gini deh, iklan rokok. Rokok ngga bagus kan? Kenapa dijual? Karena banyak orang yang ketergantungan rokok. Sama kaya gini, ini minum susu suplemen biar badannya kayak gitu. Apalagi, ini dengan kedok susu gitu yang orangorang pasti bakal mikir oh badan gue pasti bakal sehat.” (DI)
5.7.3.2 Pemaknaan Laki-laki Heteroseksual terhadap Kualitas L-Men Dalam kaitan dengan kepercayaan terhadap kualitas, JH menganggap kualitas L-Men belum tentu terjamin dibandingkan dengan merk lain yang lebih mahal. JH menambahkan, ia kurang begitu mengetahui kualitas L-Men sehingga cenderung tidak percaya terhadap manfaat yang diberikannya. Tidak hanya itu, JH juga menganggap seluruh finalis L-Men belum tentu hanya menggunakan L-Men dalam membentuk penampilan tubuh mengingat kualitasnya yang belum dapat dipercaya. Berbeda dengan JH, BM percaya terhadap kualitas dan manfaat suplemen kesehatan L-Men karena pernah mengonsumsi salah satu varian produknya, yaitu L-Men Gain Mass. “…Cuma kembali lagi kepada merek menurut gue. Dalam artian, belum tentu si bintang iklan itu, maksudnya dalam keadaan yang sebagus itu sekarang, belum tentu dia cuma make merek L-Men doang mungkin dia make merek-merek lain juga, yang mahal dalam artian yang kualitasnya lebih terjamin. Gue agak ngga begitu tahu sejauh mana sih kualitas dia (L-Men). Karena gue ngga begitu tahu, jadi kurang begitu percaya…. Nah, dari badan dia sebelum jadi sampai akhirnya jadi, kan ngga ada jaminan dia cuma pakai L-Men. Artinya, badan dia sekarang itu bukanlah karena bentukan L-Men. Kalau sekarang dia bintang iklan L-Men, iya. Cuma, badan dia bagus karena L-Men? Belum tentu. Ngga ada yang bisa membuktikan” (JH)
5.8 Pemaknaan Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men Menurut Christian Widi Nugraha, L-Men merupakan nutrisi efektif untuk pembentukan tubuh atletis ideal pria aktif. L-Men bermanfaat dalam membentuk tubuh pria menjadi lebih atletis. Menurutnya lagi, tubuh atletis ini dapat dimiliki apabila didukung dengan olahraga yang konstan dan gaya hidup sehat. Gaya hidup sehat menjadi nilai yang ingin diajarkan oleh L-Men kepada laki-laki di Indonesia mengingat budaya Asia meletakan laki-laki sebagai seorang kepala keluarga. “Lalu, kemudian kita ngeliat kalau di situ ada kesempatan dimana kita bisa dan pengen menginspirasi pria di Indonesia buat lebih sehat lagi dan buat hidup lebih lama. Karena Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
73
ngeliat bahwa cowo itu bisa dibilang untuk culture asia itu sebagai tulang punggung keluarga. So basically, mereka harus bisa hidup lebih lama dan lebih sehat ibaratnya. So, itu campaign yang kita coba ajarkan ke pria di Indonesia. Yuk, mulai sehat mulai olahraga supaya hidup lebih lama supaya hidup lebih sehat bisa lebih lama dengan orang yang kita cintai. Intinya seperti itu.”
Mengenai penggunaan tubuh atletis dalam komunikasi pemasarannya, Christian mengatakan hal tersebut berkaitan dengan kondisi psikografis target market, yakni laki-laki yang peduli terhadap penampilan tubuh dan perannya sebagai bagian aktualisasi diri dalam kehidupan sosial. Dengan menampilkan tubuh atletis, L-Men ingin mengaspirasi target marketnya untuk dapat memiliki penampilan tubuh serupa apabila memiliki pola hidup sehat. “…terus secara psikografisnya lebih kepada orang yang pastinya concern dengan appearance, dalam artian bukan dandan, tapi ke “saya mau jaga badan saya supaya ngga overweight ngga kurus banget, saya mau bahwa saya ada pada posisi yang atletis ideal”. Lebih apa ya, dia concern dengan bagaimana appearance dirinya affecting performance dia. Orangnya pasti lebih sosial, pasti orangnya lebih hmmm, self actualizationnya lebih tinggi. Seperti itu.” “Kalau kemudian kita liat ada image atau pencitraan badan karena kita pengen nunjukin satu aspiration untuk si konsumen bahwa you can be like this ketika kamu udah menggunakan pola hidup sehat”
5.8.1 Nilai Maskulinitas dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men dan Informan Homoseksual RI menganggap komunikasi pemasaran L-Men selalu menekankan nilai maskulinitas melalui penampilan tubuh dan struktur wajah yang maskulin. Dalam mengidentifikasi nilai maskulinitas, RI menilainya berdasarkan penampilan tubuh endorser. Pemaknaan tersebut dilatarbelakangi oleh nilai-nilai dan pengalaman homoseksualitas yang dimilikinya. Dalam dunia homoseksual, penampilan tubuh merupakan hal penting karena berperan sebagai daya tarik kepada sesama jenis. “Maskulinlah dari tubuhnya. Kalau dilihat dari tubuhnya sih maskulin. Dari tubuhnya, dari struktur mukanya bisa dikategorikan maskulin. Karena menurut gue kalau misalnya dia ngga maskulin, kalau dia ngga bisa menampilkan sisi maskulinnya, gagal dong produknya.” (RI)
Senada dengan RI, DI juga mengidentifikasi nilai maskulinitas dalam komunikasi pemasaran L-Men berdasarkan penampilan tubuh atletis dan berotot. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
74
Pemaknaan tersebut dilatarbelakangi oleh pengalaman homoseksualitas yang dialami DI. Baginya, penampilan tubuh atletis dan berotot merupakan daya tarik pertama dalam mendapatkan pasangan.
5.8.2 Nilai Maskulinitas dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men dan Informan Heteroseksual Menurut JH, nilai maskulinitas dalam komunikasi pemasaran L-Men hanya ditampilkan melalui penampilan tubuh. Baginya, hal tersebut tidak mewakili definisi maskulinitas personal yang ia miliki. Pemaknaannya terhadap nilai maskulinitas cenderung dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga, antara lain bersikap gentle terhadap perempuan dan mendahulukannya dalam situasi apapun. Tidak hanya itu, penilaian positif JH terhadap tubuhnya pun berhubungan dengan pemaknaan yang ia berikan terhadap tubuh laki-laki dalam komunikasi pemasaran L-Men. “Itu dia, badannya sih bagus yah, badannya bagus menurut gue kalau sesuai definisi maskulinitas, tapi engga utama.” (JH)
BM menganggap nilai maskulinitas dalam komunikasi pemasaran L-Men hanya ditampilkan melalui penampilan tubuh atletis dan berotot. Sama halnya dengan JH, pemaknaan BM tersebut dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua, yakni tanggung jawab terhadap perempuan dan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang lebih lemah. Pemaknaan BM terhadap maskulinitas dalam komunikasi pemasaran L-Men juga berhubungan dengan penilaiannya terhadap tubuh. BM yang menilai penampilan tubuhnya maskulin pun menganggap tubuh laki-laki dalam komunikasi pemasaran L-Men sudah maskulin. 5.8.3 Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men dan Informan Homoseksual RI menganggap penampilan tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men memiliki citra tubuh ideal. Pemaknaan tersebut cenderung berhubungan dengan preferensi dan ketertarikannya kepada laki-laki. Baginya, penampilan tubuh ideal dalam komunikasi pemasaran L-Men memunculkan citra tubuh positif karena Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
75
banyak diinginkan oleh orang lain. Namun demikian, RI tidak lantas menilai tubuhnya secara negatif. Hal ini terjadi karena RI tidak menginginkan tubuh seperti yang ditampilkan dalam komunikasi pemasaran L-Men. “Dibilang ideal sih iya, tapi gue ngga mau jadi kaya gitu. Mungkin ideal buat semua orang iya, tapi ideal buat gue ngga” (RI)
Sementara itu, DI memberi tanggapan berbeda terkait citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men. Baginya, komunikasi pemasaran L-Men tidak menampilkan citra tubuh positif karena membuat laki-laki selalu merasa tidak puas terhadap penampilan tubuhnya. Tidak hanya itu, ketidakpuasan tersebut pun dianggap akan selalu muncul mengingat L-Men menawarkan cara instan dalam mendapatkan bentuk tubuh atletis. Pemaknaan DI dinilai memiliki hubungan dengan ketidakpuasannya terhadap penampilan tubuh. “Kalau menurut gue, orang yang kaya gitu, orang yang udah segitu dengan gym, menurut gue dia akan maksudnya… Misalnya dia udah mencapai apa yang dia pengen, dia pasti akan selalu ngga puas-puas” (DI)
5.8.4 Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men dan Informan Heteroseksual JH menganggap citra tubuh dalam komunikasi pemasaran adalah ideal karena ditampilkan melalui bentuk tubuh ideal. Pemaknaan tersebut tidak serta merta mengubah penilaian citra tubuh aktualnya. Komunikasi pemasaran L-Men hanya membuatnya berkeinginan untuk memiliki bentuk tubuh ideal seperti yang ditampilkan. Walaupun demikian, JH mengaku tidak merealisasikannya dengan alasan tidak semua keinginan harus dipenuhi. Pemaknaan JH terhadap citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men cenderung berhubungan dengan penilaian positifnya terhadap citra tubuh aktualnya. “engga, kalau soal keinginan pasti ada, tapi kan ngga semua keinginan harus dipenuhi, tapi bukan berarti apa yang gue punya sekarang itu negatif.” (JH)
BM menganggap citra tubuh laki-laki dalam L-Men adalah positif dan ideal. Namun demikian, BM tidak serta merta menilai tubuhnya menjadi negatif. Komunikasi pemasaran L-Men hanya membuatnya berkeinginan untuk memiliki Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
76
penampilan tubuh seperti yang ditampilkan. Keinginan tersebut pun tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama. BM juga merasa tidak harus merealisasikannya karena sudah merasa puas dengan penampilan aktual tubuhnya. Pemaknaan BM terhadap citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men dinilai berhubungan dengan citra tubuh positif yang dimilikinya.
5.8.5 Pemaknaan Laki-laki Homoseksual terhadap Peran Penampilan Tubuh Atletis di Masyarakat RI menganggap penampilan tubuh atletis memiliki peran dalam relasi sosial di masyarakat, yakni sebagai nilai tambah dalam menarik perhatian lawan jenis atau sesama jenis. Ketertarikannya terhadap laki-laki membuatnya berpandangan bahwa laki-laki dengan tubuh atletis cenderung memudahkan seseorang untuk mendapat pasangan. Pemaknaan ini dilatarbelakangi oleh nilai-nilai dan pengalaman homoseksual yang pernah dialami RI. Tidak hanya itu, penilaian citra tubuh aktualnya pun melatarbelakangi pemaknaan RI terhadap peran penampilan tubuh atletis di masyarakat. Ia menilai laki-laki bertubuh atletis seringkali dianggap sosok ideal oleh orang lain. “Ummmm nggak juga sih. Tapi kadang penampilan tubuh mendukung dan menambah poin plus untuk menarik lawan/sesama jenis” (RI)
Pemaknaan DI terhadap peran penampilan tubuh yang atletis banyak berhubungan dengan penilaiannya terhadap citra tubuh. Ia menganggap penampilan tubuh tidak selalu berperan di masyarakat, khususnya dalam relasi sosial. Ketidakpuasannya terhadap tubuh menjadi alasan dalam memandang peran penampilan tubuh atletis di masyarakat. Ia mengganggap setiap orang memiliki selera yang berbeda dalam memilih pasangan, termasuk kepada seseorang yang memiliki penampilan tubuh tidak atletis. Pandangan tersebut juga semakin dikuatkan karena DI memiliki pasangan homoseksual walaupun penampilan tubuhnya tidak atletis. Fakta ini semakin menguatkan pandangan DI bahwa penampilan tubuh atletis tidak selalu membuat seorang laki-laki mudah dalam mendapatkan pasangan.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
77
“Menurut gue sih tergantung selera, tergantung…Ada cewe yang suka cowo berotot, tapi ada juga cewe yang malah suka sama… Temen-temen gue banyak yang malah suka sama cowo gendut, ada yang suka sama cowo pendek. Jadi, ya menurut gue sih kalau dari tubuh ya ngga ngaruh, dari sifat-sifatnya itu tadi” (DI)
5.8.6 Pemaknaan Laki-laki Heteroseksual terhadap Peran Penampilan Tubuh Atletis di Masyarakat Walaupun memiliki tubuh atletis, JH menganggap penampilan tubuh atletis tidak memiliki peran penting dalam masyarakat. Baginya, perhatian masyarakat terhadap penampilan tubuh atletis masih sangat rendah. Selain itu, ia juga menilai penampilan tubuh atletis bukanlah faktor utama yang membuat laki-laki mendapatkan pasangan atau diterima di masyarakat. Ia memberikan contoh banyak laki-laki dengan tubuh tidak atletis pun dapat diterima di masyarakat dan menjadi pemimpin atau pejabat. Pemaknaan JH terhadap peran penampilan tubuh atletis di masyarakat dianggap tidak dilatarbelakangi oleh orientasi seksual dan penilaiannya terhadap citra tubuh. “Harusnya sih engga. Engga harus. Banyak pria gendut, tapi diterima di masyarakat. Contoh, pejabat banyak yang gedut kan? Artinya mereka dengan menjadi pejabat diterima di masyarakat kan. Masalah karena apanya kan, apakah karena mereka pinter, apakah karena mereka kaya, yang jelas penampilan tubuh tidak selalu menjadi penentu untuk diterima di masyarakat. Buktinya banyak pemimpin, banyak pejabat, badannya gendut.” (JH)
Sementara itu, BM pun memberikan pandangan yang sama dengan JH. Preferensi seksual dan juga penilaian terhadap citra tubuh tidak mendasari pemaknaannya terhadap peran penampilan tubuh atletis di masyarakat. Baginya, penampilan tubuh atletis tidak membuat seorang laki-laki diterima dengan mudah di masyarakat. Senada dengan JH, BM pun berpandangan banyak laki-laki yang berpenampilan tidak atletis tetap dapat diterima di masyarakat, contohnya adalah pejabat negara dan presiden. “Engga. Emang para presiden kita sama kaya di tv?” (BM)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
78
5.9. Pandangan Informan terhadap Laki-laki Bertubuh Atletis 5.9.1 Pandangan Informan Homoseksual terhadap Laki-laki Bertubuh Atletis RI menganggap laki-laki bertubuh atletis sebagai laki-laki yang sulit didekati dan dijadikan pasangan karena yakin bahwa mereka pun akan memilih pasangan dengan tubuh serupa. Akibatnya, RI tidak memiliki keinginan untuk mendekati laki-laki dengan tubuh atletis. Tidak hanya itu, apabila melakukan pendekatan terhadap laki-laki bertubuh atletis, RI seringkali merasa tidak aman karena hal tersebut memicunya untuk menilai negatif penampilan aktual tubuhnya. Pemaknaan RI ini dilatarbelakangi oleh preferensi seksual, pengalaman homoseksual, dan citra tubuh personal. “Karena gue ngga suka yang badannya sampai kaya gitu. Terlalu bulky gitu ngga suka gue. Karena pada akhirnya, gue pilih orang yang biasa aja, yang ada lemaknya dikit-dikit atau gimana. Karena itu yang menurut gue bikin dia human, gitu. Bisa di-approach, menurut gue sih ya kalau yang badannya bagus, pasti nyarinya yang badannya bagus juga. Ada kecenderungan gitulah.” (RI)
Sementara
itu,
pandangan
DI
terhadap
laki-laki
bertubuh
atletis
dilatarbelakangi oleh pengalaman homoseksual yang dialaminya. Menyadari peran penting penampilan tubuh, DI menganggap laki-laki bertubuh atletis sebagai sosok laki-laki yang peduli terhadap penampilan tubuh karena selalu ingin terlihat menarik di hadapan orang lain. Penilaian DI terhadap citra tubuh juga membentuk pandangan terhadap laki-laki bertubuh atletis. Bagi DI, tubuh atletis bisa didapat apabila melakukan olahraga di luar ruangan, seperti renang, lari, atau jogging daripada dilakukan di dalam ruangan ber-AC, seperti di banyak pusat kebugaran. “Rutin ya berarti dia hmm peduli sama tubuhnya, pengen tubuhnya kelihatan bagus, tapi kasarnya ngga mau susah. Ya ini yang gue tahu, ya. Lo tinggal dateng ke tempat yang enak, lo tinggal treadmill, lo bisa ngapa-ngapain, badan lo bisa bagus. Lo tinggal pake dan ngga sehat juga sih menurut gue. Dimana-mana menurut gue, olahraga yang bagus itu kan bukan di ruangan ber-AC dan yang bener-bener gerak seluruh tubuh lo, misalnya renang atau footsal atau lari atau jogging” (DI)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
79
5.9.2 Pandangan Informan Heteroseksual terhadap Laki-laki Bertubuh Atletis JH menganggap laki-laki bertubuh atletis sebagai laki-laki metroseksual. Tidak hanya itu, berdasarkan pengalamannya di lingkungan pergaulan, JH menganggap laki-laki bertubuh atletis merupakan laki-laki yang rutin melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran dan tidak mau melakukan kegiatan luar ruangan, terutama yang berkaitan dengan alam. Pemaknaan JH dilatarbelakangi oleh pengalamannya ketika bergabung dalam kelompok pencinta alam dan juga lingkungan pergaulannya. “Iya. Lengketnya orang nge-gym itu, sekarang yang masih gue tangkep yah, adalah lengketnya orang-orang yang…. kalo yang gue tangkap metroseksual dalam pikiran mereka. Artinya dalam kehidupan mereka sekaranglah, kuliah atau kerja… Nah, orangorang yang metroseksual itu jauh sekali dengan kegiatan-kegiatan alam yang kaya begitu. Karena gue pernah ada di bagian itu. Dan gue sering sekali mengajak temen-temen gue yang nge-gym untuk ngelakuin itu. Baru sekali, tapi baru sekali udah ngga mau lagi…” (JH)
Sementara itu, BM menganggap laki-laki bertubuh atletis sebagai laki-laki yang rutin memberikan perhatian terhadap penampilan dan kebugaran tubuhnya melalui aktivitas fisik di pusat kebugaran. Tidak hanya itu, BM juga menganggap laki-laki tersebut memiliki anggapan bahwa penampilan tubuh atletis adalah seperti yang dimiliki oleh mayoritas laki-laki di pusat kebugaran. Preferensi seksual tidak melatarbelakangi pemaknaan BM, tetapi justru dilatarbelakangi dan berhubungan dengan nilai perhatian penampilan tubuh yang ditanamkan oleh orang tuanya, yakni untuk selalu memelihara kesehatan tubuh dengan berolahraga. “Bagus. Pendapat gue, ya berarti dia rutin menjaga diri, menjaga perhatian terhadap kebugaran badannya, ya itu sih. Berarti dia orang yang care sama kebugaran dan menganggap badan yang bagus adalah badan orang-orang yang di (pusat) kebugaran itu mungkin” (BM)
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
80
Tabel 5.2 Pemaknaan Informan Homoseksual dan Heteroseksual terhadap Nilai-Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh dalam Program Komunikasi Pemasaran L-Men
Pemaknaan Pemaknaan Nilai Maskulinitas dalam Komunikasi Pemasaran L-Men
Pemaknaan Citra Tubuh dalam Komunikasi Pemasaran L-Men
Informan Homoseksual RI DI Informan menganggap Nilai maskulinitas dalam nilai maskulinitas dalam komunikasi pemasaran komunikasi pemasaran L-Men selalu L-Men selalu dimanifestasikan melalui ditampilkan melalui penampilan tubuh atletis penampilan tubuh dan dan berotot, tetapi struktur wajah maskulin. informan tidak Akan tetapi, hal tersebut menganggapnya sebagai bukanlah nilai nilai maskulinitas yang maskulinitas utama utama. Bagi informan, karena penampilan tubuh nilai maskulinitas juga hanyalah indikator yang ditentukan oleh paling mudah dilihat. pembawaan diri dan sifat-sifat tertentu.
Informan Heteroseksual JH BM Nilai maskulinitas dalam Nilai maskulinitas hanya komunikasi pemasaran ditampilkan melalui L-Men selalu penampilan tubuh atletis ditampilkan melalui dan berotot. penampilan tubuh. Hal tersebut tidak sesuai Hal tersebut tidak sesuai dengan nilai maskulinitas dengan definisi yang ditanamkan oleh maskulinitas personal keluarga, yaitu yang dimiliki. bertanggung jawab dan melindungi.
Negotiated Citra tubuh yang ditampilkan dalam komunikasi pemasaran
Negotiated Citra tubuh yang ditampilkan dalam komunikasi pemasaran
Negotiated Citra tubuh yang ditampilkan dalam komunikasi pemasaran
Negotiated Citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men dianggap positif Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
81
Pemaknaan terhadap Pesan Iklan Televisi LMen
L-Men adalah positif dan ideal. Namun demikian, hal tersebut membuat informan memberikan penilaian negatif terhadap tubuhnya.
L-Men adalah negatif karena memungkinkan seseorang untuk selalu tidak puas terhadap penampilan aktual tubuhnya. Selain itu, informan menganggap penampilan tubuh atletis bukanlah sesuatu yang harus didapatkannya.
L-Men adalah positif dan ideal, tetapi tidak mengubah citra tubuh informan terhadap penampilan aktual tubuhnya.
dan ideal, tetapi tidak membuat informan menilai negatif penampilan tubuhnya.
Negotiated Pesan iklan televisi LMen adalah konsumsi suplemen kesehatan dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan sesuai dengan yang ditampilkan dalam iklan. Akan tetapi, informan memberikan resistensi terhadap pesan iklan karena selalu menekankan penampilan tubuh sebagai faktor utama yang membuat
Oppositional Pesan iklan televisi LMen adalah konsumsi suplemen kesehatan dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan sesuai dengan yang ditampilkan dalam iklan. Akan tetapi, informan menganggap konsumsi suplemen kesehatan merupakan hal yang berbahaya bagi tubuh apabila dilakukan secara terus menerus.
Negotiated Inti pesan iklan televisi L-Men adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan sesuai dengan yang ditampilkan dalam iklan. Akan tetapi, informan menilai hal tersebut sebagai kebohongan karena melekatkan kegiatan di alam, seperti berenang dan berlari dapat membuat penampilan
Negotiated Inti pesan iklan televisi L-Men adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis, berotot, dan sixpack. Akan tetapi, informan menilai hal tersebut berlebihan karena perempuan ditampilkan akan tertarik ketika melihat laki-laki melakukan aktivitas fisik. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
82
seseorang mendapatkan pasangan.
Pemaknaan terhadap Ajang L-Men of The Year
Pemaknaan terhadap Endorser Iklan
tubuh menjadi atletis.
Negotiated Informan tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam ajang L-Men of The Year walaupun melakukan aktivitas fisik dan mengonsumsi LMen. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya ketertarikan informan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Oppositional Informan menganggap ajang L-Men of The Year sebagai ajang untuk mencari popularitas, antara lain dengan menjadi bintang iklan dan bekerja di dunia hiburan.
Negotiated Ajang L-Men of The Year dianggap sebagai ajang untuk mencari bintang iklan sekaligus untuk menjadi duta suplemen kesehatan LMen. Akan tetapi, informan tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam ajang ini karena tidak tertarik.
Negotiated Ajang L-Men of The Year dianggap sebagai ajang mencari bintang iklan L-Men. Walaupun mengetahui ajang L-Men of The Year, informan tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi dan juga tidak membentuk keinginan untuk memiliki penampilan tubuh atletis.
Oppositional Endorser iklan dianggap sebagai seorang poser, laki-laki yang sering memamerkan tubuh di pusat kebugaran. Tidak hanya itu, informan menganggap endorser
Dominant Endorser iklan dianggap sebagai laki-laki yang rutin melakukan aktivitas fisik dan mengonsumsi suplemen kesehatan untuk mendapatkan penampilan tubuh atletis
Negotiated Informan memberikan penilaian positif terhadap endorser iklan karena menganggapnya sebagai seseorang yang rutin melakukan aktivitas fisik.
Negotiated Informan menganggap endorser iklan sebagai laki-laki yang berotot, sixpack, dan percaya diri terhadap penampilan tubuhnya.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
83
Pemaknaan terhadap Kualitas Suplemen Kesehatan L-Men
iklan memamerkan penampilan tubuhnya di dalam iklan.
dan berotot.
Negotiated Informan tidak merasakan jelas manfaat yang diberikan suplemen kesehatan L-Men.
Dominant Informan menganggap suplemen kesehatan LMen tidak memberikan manfaat secara jelas, tetapi justru menimbulkan ketergantungan.
Oppositional
Oppositional
Dominant Informan menganggap kualitas suplemen kesehatan L-Men belum terjamin dibandingkan merk lain dengan harga yang lebih mahal. Tidak hanya itu, informan juga kurang mengetahui kualitas suplemen kesehatan L-Men sehingga cenderung tidak percaya terhadap manfaat yang diberikan terhadap tubuh.
Dominant Informan percaya terhadap kualitas suplemen kesehatan LMen karena pernah mengonsumsi salah satu varian produknya.
Oppositional
Dominant
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
BAB VI INTERPRETASI DAN KESIMPULAN
6.1 Interpretasi Data Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pemaknaan target komunikasi L-Men terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh serta menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi dan membentuk setiap pemaknaan. Mengingat maskulinitas merupakan nilai-nilai yang diekspektasikan masyarakat untuk dimiliki laki-laki serta cenderung mengeksklusi nilai homoseksualitas, peneliti ingin mengetahui pemaknaan pesan tidak hanya oleh laki-laki heteroseksual, tetapi juga oleh laki-laki homoseksual. Stuart Hall dalam teori encoding/decoding model mengemukakan setiap pesan dalam media memiliki kemungkinan untuk dimaknai secara subjektif berdasarkan pengalaman, latar belakang, dan pendidikan masing-masing individu. Berdasarkan teori tersebut, pesan dalam media merupakan pesan yang telah disandikan oleh pengirim pesan, memiliki preferred meaning, dan dikirimkan melalui medium tertentu. Preferred meaning seringkali merupakan pesan-pesan yang sesuai dengan hegemoni suatu budaya atau ideologi dominan yang kemudian didengar, dikonsumsi, atau ditonton oleh khalayak. Dalam penelitian ini, ideologi dominan dalam pesan media banyak berkaitan dengan nilai maskulinitas yang dilekatkan dengan nilai-nilai heteroseksualitas sehingga membuat laki-laki bersikap dan berperilaku sesuai dengan intensi komunikator. Preferred meaning tidak selalu dibaca sesuai dengan harapan atau niat pengirim
pesan.
Khalayak
memiliki
kemungkinan
untuk
menerima,
menegosiasikan, atau menolak pesan tergantung dari beragam faktor. Begitu juga dengan pesan dalam program komunikasi pemasaran L-Men, khalayak dapat menginterpretasi pesan di dalamnya secara beragam. Sebagai penyandi pesan, preferred meaning L-Men dalam program komunikasi pemasarannya banyak berkaitan dengan nilai maskulinitas yang direpresentasikan melalui penampilan tubuh atletis dan berotot. Dalam tahap decoding, dua informan homoseksual, RI dan DI, melakukan pembacaan
pesan
secara
negotiated
terhadap
meaning
structure
yang
84 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
85
dikonstruksikan L-Men dalam komunikasi pemasarannya. RI dan DI membaca dan memaknai pesan teks sesuai dengan budaya dominan bahwa maskulinitas berkaitan dengan penampilan tubuh atletis. Akan tetapi, kedua informan ini menolak untuk menerapkan nilai dominan tersebut dalam kehidupannya karena menganggapnya tidak sesuai dengan definisi personal. Pembacaan pesan teks oleh RI dan DI terhadap nilai maskulinitas dalam komunikasi pemasaran L-Men pun turut dibentuk oleh nilai-nilai dalam orientasi seksual homoseksual. Informan heteroseksual, JH dan BM, pun membaca dan memaknai pesan komunikasi pemasaran L-Men secara negotiated. JH dan BM mengerti makna yang
disampaikan
oleh
pembuat
pesan,
tetapi
menolak
untuk
mengaplikasikannya. JH dan BM setuju dan sepaham dengan makna pesan bahwa maskulinitas dalam iklan ditampilkan melalui penampilan tubuh. Akan tetapi, JH dan BM melakukan adaptasi terhadap pesan teks tersebut karena tidak sesuai dengan nilai maskulinitas personal yang ditanamkan oleh orang tua. Meaning structure lain yang dikonstruksikan oleh pemasar L-Men adalah penampilan tubuh atletis bisa membuat seorang laki-laki merasa percaya diri dalam menjadi daya tarik bagi lawan jenis. Secara tidak langsung, pesan teks ini menciptakan kekhawatiran dan ketidakpuasan laki-laki terhadap penampilan tubuhnya sehingga menimbulkan penilaian negatif atau ketidakpuasan terhadap penampilan tubuh. Informan homoseksual, RI dan DI, membaca dan memaknai pesan teks tersebut secara negotiated dan oppositional. RI memahami dan memaknai penampilan tubuh atletis dalam komunikasi pemasaran L-Men adalah ideal. Akan tetapi, pesan teks tersebut tidak lantas membuatnya memberikan penilaian negatif terhadap tubuhnya. Dengan kata lain, ideologi RI lebih berperan dan melatarbelakangi pemaknaan dibandingkan ideologi dalam pesan tersebut. Selain itu, dominasi ideologi personal RI juga dilatarbelakangi oleh faktor nilainilai dan pengalaman homoseksualitas yang pernah dialaminya Sementara itu, DI memaknai pesan teks komunikasi pemasaran L-Men secara oppositional. DI menganggap penampilan tubuh atletis hanya membuat laki-laki selalu tidak puas terhadap penampilan tubuhnya. Hal ini dapat menciptakan penilaian negatif terhadap citra tubuh aktual seseorang. DI memaknai pesan tersebut secara kritis dan menemukan bias di dalamnya. Selain itu, ketidakpuasan DI terhadap Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
86
tubuhnya turut melatarbelakangi pembacaan preferred meaning dalam komunikasi pemasaran L-Men. Sementara itu, informan heteroseksual, JH dan BM, membaca dan memaknai preferred meaning yang berkaitan dengan citra tubuh secara negotiated. JH mengerti pengirim pesan hendak menampilkan penampilan tubuh dengan citra tubuh positif. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas membuat JH menilai negatif penampilan tubuhnya. Pemaknaan JH terhadap pesan teks ini dilatarbelakangi oleh kepuasannya terhadap penampilan tubuh serta penilaian positif terhadap citra tubuh aktualnya. Di lain pihak, BM juga membaca dan memaknai secara negotiated pesan komunikasi pemasaran L-Men yang berkaitan dengan citra tubuh. BM mengerti pemasar menampilkan penampilan tubuh dengan citra tubuh positif, tetapi menolak mengaplikasikannya. Penampilan tubuh yang ditampilkan pun tidak lantas membuat penilaian BM terhadap citra tubuhnya menjadi negatif. Negosiasi dilakukan karena BM memiliki citra tubuh positif. Dalam memaknai pesan iklan televisi L-Men, RI memberikan pemaknaan secara negotiated. RI mengerti pesan iklan televisi yang disampaikan adalah konsumsi L-Men dapat membuat penampilan tubuh menjadi atletis dan berotot. Akan tetapi, RI menegosiasinya karena menganggap L-Men menekankan penampilan tubuh sebagai syarat utama dalam mendapatkan pasangan. Pemaknaan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman homoseksualitas yang ia alami. Bagi RI, mendapat pasangan dalam dunia homoseksual adalah hal yang sulit. Berbeda dengan RI, DI membaca dan memaknai pesan iklan televisi L-Men secara oppositional. Secara kritis, DI menganggap konsumsi suplemen kesehatan L-Men sebagai hal berbahaya bagi tubuh, terutama apabila dikonsumsi terus menerus. Pemaknaan ini dilatarbelakangi oleh latar belakang pendidikan DI dalam bidang kesehatan. Di lain pihak, informan heteroseksual, JH dan BM, membaca dan memaknai pesan iklan televisi L-Men secara negotiated. JH dan BM mengerti pesan yang disampaikan iklan televisi L-Men, tetapi keduanya menegosiasinya sesuai dengan pengalaman masing-masing. JH menganggap pesan iklan televisi L-Men hanya menampilkan kebohongan karena melekatkan beberapa kegiatan alam di dalam iklan televisinya. Baginya, laki-laki yang dekat dengan kegiatan Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
87
pembentukan tubuh atletis tidak pernah memiliki ketertarikan terhadap aktivitas alam. Pemaknaan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman JH ketika menjadi mahasiswa pencinta alam. Sementara itu, BM memaknai pesan iklan televisi LMen secara negotiated karena menganggapnya dikemas secara berlebihan. Ia menganggap pesan tersebut menunjukan kegiatan aktivitas fisik yang dilakukan laki-laki serta penampilan tubuh atletis yang ditampilkan mampu menarik perhatian perempuan. Pemaknaan BM tersebut dilatarbelakangi oleh pengalaman dan nilai-nilai orientasi seksual heteroseksual. Baginya, apabila sudah berkaitan dengan perasaan, seorang perempuan tidak lagi menjadikan penampilan tubuh sebagai kriteria. Selain iklan televisi, program komunikasi pemasaran yang dilakukan LMen adalah ajang L-Men of The Year. Preferred meaning ajang ini adalah suatu ajang apresiasi bagi konsumen L-Men yang telah melakukan transformasi tubuh. Melalui ajang ini juga, pemasar hendak mencari ikon hidup sehat untuk menampilkan dan membuktikan proposisi real man with the real result kepada target komunikasinya. RI dan DI membaca dan memaknai ajang L-Men of The Year secara berbeda. RI memaknai ajang tersebut secara oppositional walaupun berpartisipasi dalam aktivitas fisik dan mengonsumsi L-Men. Selain itu, RI juga merasa tidak memiliki ketertarikan terhadap ajang L-Men of The Year sehingga harus menjadikannya sebagai tujuan hidup. Berbeda dengan RI, DI membaca dan memaknai ajang L-Men of The Year secara dominant. DI menganggapnya sebagai ajang mencari bintang iklan. Pemaknaan DI mendekati makna sebenarnya yang disampaikan oleh pemasar karena menyetujui makna pesan teks yang ditawarkan oleh media. Berbeda dengan RI dan DI, kedua informan heteroseksual, JH dan BM, masing-masing memberi pemaknaan secara negotiated terhadap ajang L-Men of The Year. JH mengerti ajang L-Men of The Year sebagai ajang mencari duta atau ikon hidup sehat. Akan tetapi, ideologi atau makna dominan ajang tersebut tidak membuatnya memiliki keinginan untuk berpartisipasi. Ia mengaku tidak tertarik untuk bekerja sebagai bintang iklan. Sama seperti JH, BM juga mengerti makna ajang L-Men of The Year. Ideologi personal BM lebih dominan dibandingkan
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
88
ideologi ajang tersebut sehingga membuatnya melakukan negosiasi terhadap makna yang disampaikan. Mengetahui endorser iklan merupakan finalis dari ajang L-Men of The Year, penelitian ini juga ingin menggambarkan pemaknaan terhadap endorser dalam program komunikasi L-Men. Informan homoseksual, RI dan DI, memberikan pemaknaan yang berbeda satu sama lain terhadap endorser iklan. RI memberikan pemaknaan oppositional terhadap endorser iklan. Pemaknaan oposisional ini dilatarbelakangi oleh pengalaman homoseksualnya. Ia mengaku laki-laki yang memiliki tubuh atletis cenderung seringkali memamerkan tubuhnya. Sementara itu, DI memberikan pemaknaan dominant terhadap endorser iklan. Ia menganggapnya sebagai laki-laki maskulin yang rutin melakukan aktivitas fisik. Pemaknaan DI dilatarbelakangi oleh teman-temannya yang peduli dan mementingkan penampilan tubuh. Sementara itu, informan heteroseksual, JH dan BM, keduanya membaca dan memaknai endorser dalam komunikasi pemasaran L-Men secara dominant. Keduanya melakukan konstruksi makna yang sesuai dengan preferred meaning pemasar. Pemaknaan dominant JH dilatarbelakangi oleh nilai-nilai maskulinitas yang ditanamkan dalam keluarga. JH menganggap endorser sebagai seorang lakilaki yang memiliki penampilan tubuh atletis karena tanggung jawab atas tuntutan pekerjaan.
Berbeda
dengan
JH,
pemaknaan
BM
terhadap
endorser
dilatarbelakangi oleh terpaan komunikasi pemasaran L-Men. Terpaan tersebut membuatnya memaknai endorser sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh komunikasi pemasaran L-Men. L-Men adalah sebuah produk yang menawarkan manfaat untuk mengubah penampilan tubuh seseorang menjadi atletis dan berotot. Penelitian ini mendapatkan temuan berkaitan dengan pemaknaan terhadap kualitas L-Men. RI memberikan pemaknaan oppositional terkait kualitas L-Men. Ia mengaku dirinya tidak secara jelas merasakan manfaat produk suplemen kesehatan L-Men walaupun telah rutin mengonsumsi. Pemaknaan oppositional pun diberikan oleh DI. Walaupun tidak mengonsumsi, DI menganggap suplemen kesehatan L-Men tidak memberikan manfaat secara jelas dan hanya menimbulkan ketergantungan bagi yang mengonsumsinya. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
89
Pemaknaan oppositional pun diberikan oleh JH terhadap kualitas L-Men. Ia menganggap kualitas L-Men belum terjamin dibandingkan dengan merk lain. Tidak hanya itu, JH juga menganggap seluruh endorser dalam komunikasi pemasaran L-Men belum tentu hanya mengonsumsi L-Men ketika membentuk tubuh. Berbeda dengan JH, pemaknaan BM terhadap kualitas L-Men adalah dominant. Hal ini disebabkan oleh pengalamannya dalam mengonsumsi salah satu varian produk L-Men. Seperti disampaikannya, BM mengaku tertarik dengan manfaat yang ditawarkan oleh suplemen kesehatan L-Men sehingga memutuskan untuk mengonsumsinya. Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini memperkuat kajian teori encoding/decoding model yang menekankan konsep khalayak aktif dalam memaknai pesan media. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memperkuat kajian khalayak aktif yang menyatakan bahwa media tidak mampu mengontrol pikiran dan perilaku individu terhadap pesan media. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan faktor-faktor yang dianggap memengaruhi seseorang dalam memaknai nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran LMen.
6.2 Simpulan Penelitian Penelitian ini memiliki simpulan sebagai berikut: a) Pesan promosional dalam program komunikasi pemasaran L-Men diterima dan dimaknai oleh khalayak secara dominant, negotiated, dan oppositional. Ragam pemaknaan ini dilatarbelakangi oleh beragam faktor baik internal maupun eksternal dari individu penerima pesan. b) Penelitian ini menunjukan orientasi seksual memiliki peran dalam melatarbelakangi pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam komunikasi pemasaran L-Men. c) Berdasarkan paparan ragam pemaknaan, penelitian ini menemukan faktor-faktor
yang
dianggap
membentuk
dan
melatarbelakangi
pemaknaan laki-laki homoseksual dan laki-laki heteroseksual terhadap
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
90
nilai maskulinitas dan citra tubuh dalam program komunikasi pemasaran L-Men, sebagai berikut: 1. Sosialisasi Keluarga - Nilai maskulinitas yang ditanamkan orang tua - Nilai perhatian tubuh yang ditanamkan orang tua 2. Nilai-nilai Personal - Nilai dan pengalaman homoseksualitas - Nilai dan pengalaman heteroseksualitas - Ketidakpuasan dan kepuasan terhadap penampilan tubuh - Penilaian positif terhadap penampilan tubuh - Latar belakang pendidikan 3. Sosialisasi Lingkungan Pergaulan - Teman-teman dalam lingkungan pergaulan - Pengalaman dalam lingkungan pergaulan 4. Media - Terpaan komunikasi pemasaran L-Men d) Penelitian ini menunjukan program komunikasi pemasaran L-Men hanya menampilkan penampilan tubuh atletis dan berotot sebagai indikator
maskulinitas
seorang
laki-laki
sehingga
menciptakan
negosiasi di antara khalayak dan membuktikan lemahnya nilai dominan dalam program komunikasi pemasaran yang dilakukan. e) Penelitian ini menunjukan program komunikasi pemasaran L-Men tidak cukup
signifikan
memengaruhi
pandangan
khalayak
terhadap
penampilan tubuh aktualnya. f) Penelitian ini menunjukan program komunikasi pemasaran L-Men tidak cukup signifikan membentuk keinginan konsumen untuk berpartisipasi dalam ajang komunikasi L-Men of The Year. g) Penelitian ini menunjukan program komunikasi pemasaran L-Men tidak cukup signifikan dalam membentuk makna positif terhadap kualitas produk L-Men.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
91
6.3 Implikasi Penelitian 6.3.1 Implikasi Akademis a) Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperkuat
kajian
teori
encoding/decoding model Stuart Hall bahwa khalayak secara aktif membaca dan memaknai suatu pesan media berdasarkan banyak faktor, antara lain pengalaman masa lalu, pengetahuan, dan frame of references. b) Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap kajian orientasi seksual, khususnya LGBT, karena signifikansinya dalam pemaknaan terhadap nilai maskulinitas dan citra tubuh. c) Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi pemasaran dan perannya dalam menumbuhkan kepercayaan terhadap produk dan partisipasi dalam khalayak dalam setiap kegiatan.
6.3.2 Implikasi Praktis a) Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi praktisi periklanan dalam mengeksekusi big idea suatu program komunikasi pemasaran agar khalayak tidak memaknainya sebagai sesuatu yang berlebihan atau menampilkan kebohongan. b) Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi praktisi periklanan dalam membidik pasar dengan target yang sangat tersegmentasi, salah satunya orientasi seksual. Seiring dengan tingginya terpaan media yang menguatkan eksistensinya, pasar laki-laki homoseksual tidak bisa dilupakan begitu saja.
6.3.3 Implikasi Metodologis a) Penelitian ini menunjukan semakin dibutuhkannya pendekatan kualitatif dalam menggali pemaknaan pesan dalam komunikasi pemasaran. Selain itu, penelitian ini juga memperkuat peran pendekatan kualitatif dalam Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
92
menemukan hal-hal unik di dalam fenomena sosial yang tidak mampu ditemukan oleh pendekatan kuantitatif. b) Penelitian ini menunjukan semakin dibutuhkannya pendekatan kualitatif dalam
menganalisis
fenomena
periklanan,
mengingat
adanya
pergeseran pengiriman pesan, dari yang bersifat massal menjadi personalized. Pemahaman terhadap hal personal bersifat subjektif dan hanya bisa didapatkan melalui penggunaan pendekatan kualitatif.
6.4 Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian 6.4.1 Kelemahan Penelitian a) Peneliti tidak dapat memperoleh beberapa data dari pihak Nutrifood Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan strategi komunikasi pemasaran dari tahun ke tahun. Data yang dibutuhkan bersifat rahasia dan tidak bisa disebarluaskan kepada pihak mana pun, termasuk peneliti. Pihak Nutrifood Indonesia hanya memberikan informasi umum terkait program komunikasi pemasaran yang dilakukan. b) Isu orientasi seksual merupakan hal yang personal sehingga beberapa informan tidak secara detail memberikan informasi terkait pengalaman orientasi seksual. c) Informan dalam penelitian ini tidak memiliki keragaman karakteristik secara demografis, seperti latar belakang pendidikan dan status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi informan dalam penelitian ini hanya terentang dari A sampai dengan A+. 6.4.2 Keterbatasan Penelitian a) Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti. Peneliti dituntut untuk memiliki kepekaan dalam menganalisis data kualitatif. Kepekaan tersebut memungkinkan adanya bias subjektif peneliti dalam menganalisis dan menginterpretasi data. Dengan demikian, penelitian ini pun tidak bebas nilai dari subjektivitas peneliti itu sendiri.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
93
b) Penelitian ini tidak bisa digeneralisasi ke level makro karena pemaknaan individu yang bersifat subjektif dan berbeda antara seorang dengan yang lain. c) Penelitian ini hanya memfokuskan pemaknaan khalayak yang berdomisili di kota metropolitan, tanpa memerhitungkan ragam pemaknaan oleh khalayak yang berada di luar kota tersebut. 6.5 Rekomendasi Penelitian a) Peneliti merekomendasi penggunaan pendekatan slice of life atau aktivitas umum yang dilakukan oleh target market untuk menghindari pemaknaan dan anggapan bahwa pesan iklan dikemas secara berlebihan. b) Peneliti merekomendasikan penggunaan experimential marketing dan memfokuskan interaktivitas antara produsen dengan target market. c) Peneliti merekomendasikan penggunaan personalized media, seperti internet, sebagai backbone dalam komunikasi pemasaran dan juga sebagai media dalam menciptakan ikatan antara merk dengan konsumen. d) Untuk penelitian selanjutnya, peneliti merekomendasikan pemaknaan terhadap nilai-nilai maskulinitas dari perspektif kaum perempuan karena adanya relasi gender yang saling berkaitan antara maskulinitas dan feminitas. e) Untuk penelitian selanjutnya, peneliti merekomendasikan penggunaan strategi etnografi (etnografi marketing) agar dapat memahami secara mendalam perilaku konsumen atau target market melalui pengamatan kegiatan sehari-hari.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
DAFTAR REFERENSI
Buku Alston, M., & Bowles, W. (2003). Research for Social Workers: Introduction to Methods (2nd ed.). New South Wales: Allen & Unwin. American Medical Association. (2001). Complete Guide to Men's Health. New York: John Wiley & Sons, Inc. Anderson, E. (2005). In The Game: Gay Athletes and The Cult of Masculinity. USA: State University of New York Press. Barker, C. (2004). Cultural Studies: Theory and Practice (2nd ed.). London: Sage Publication, Inc. Berg, B. L. (2011). Qualitative Research Methods for The Social Sciences. California : Allyn and Bacon. Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books. Borgerson, J. L., & Schroeder, J. E. (2005). Identity in Marketing Communications: An Ethics of Visual Representation. In A. J.Kimmel, Marketing Communication: New Approaches, Technologies, and Styles (pp. 256-277). New York: Oxford University Press. Boyatzis, E. R. (1998). Transforming Qualitative Information: Thematic Analysis and Code Development. California: Sage Pubications, Inc. Brannon, L. (2008). Gender: Psychological Perspectives (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Briggs, A., & Colbey, P. (1998). The Media: An Introduction. New York: Addison Wesley Longman, Ltd. Carlson, N. R., & Buskist, W. (1997). Psychology: The Science of Behavior (5th ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon. Carter, C., & Steiner, L. (2004). Critical Readings: Media and Gender. Englands: Open University Press. Cortese, A. J. (2008). Provocateur: Images of Women and Minorities in Advertising (3rd ed.). Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. 94 Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
95
Courtenay, W. (2011). Dying to Be Men. New York: Routledge. Creswell, J. W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (2nd ed.). California: Sage Publications, Inc. Croteau, D., & Hoynes, W. (2003). Media Society: Industries, Images, and Audiences (3rd ed.). Thousand Oaks, Cal.: Sage Publications, Inc. Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2009). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication, Inc. Edwards, T. (2006). Cultures of Masculinity. New York: Routledge. Feldman, R. S. (2005). Understanding Pscyhology (7th ed.). New York: McGrawHill. Goode, E. (1984). Deviant Behavior (2nd ed.). New Jersey: Prentice Hall. Griffin, E. (2003). A First Look at Communication Theory (5th ed.). New York: McGraw Hill. Gunawan, F. R. (2000). Mendobrak Tabu: Sex, Kebudayaan, dan Kebejatan Manusia. Yogyakarta: Galang Press. Hiebert, R. E., Ungurait, D. F., & Bohn, T. W. (1985). Mass Media IV: An Introduction to Modern Communication. New York: Longman, Inc. Hill, C. A. (2008). Human Sexuality: Pesonality and Social Psychological Perspectives. Thousand Oaks, Cal.: Sage Publications, Inc. Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatid dan Kuantitatif (Edisi Kedua). Yogyakarta: Erlangga. IOM. (2011). The Health of Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender People: Building a Foundation for Better Understanding. Washington, DC: The National Academies Press. Johnson, C. W., & Kivel, B. (2007). Gender, Sexuality, and Queer Theory in Sport. In C. C. Aitchison, Sport & Gender Identities: Masculinities, Feminities, and Sexualities (pp. 93-105). New York: Routledge. Katz, H. (2003). The Media Handbook (2nd ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Kellner, D. (2003). Cultural Studies, Multiculturalism, and Media Culture. In G. Dines, & J. M. Humez, Gender, Race, and Class in Media: A Text Reader (2nd ed.) (pp. 15 - 18). California: SAGE Publications, Inc. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
96
Kessler, S. J. (1998). Lessons from The Intersexed. New Jersey: Rutgers University Press. Kimmel, M. S., & Messner, M. A. (2010). Men's Lives (8th ed.). Massachusetts: Allyn & Bacon. Kotler, P. (2004). Advertising Insights from A-Z. Jakarta: Erlangga. Kotler, P., & Keller, K. L. (2006). Marketing Management (12th ed.). USA: Pearson Prentice Hall. LeVay, S. (2011). Gay, Straight, and The Reason Why: The Science of Sexual Orientation. New York: Oxford University Press. Loue, S. (2006). Assessing Race, Ethnicity, and Gender in Health. New York: Springer. MacKinnon, K. (2003). Representing Men: Maleness and Masculinity in the Media. New York: Oxford University Press, Inc. Mandell, M. I. (1985). Marketing (3rd ed.). USA: Prentice Hall. McKenzie, G. (1997). Understanding Social Research: Perspective on Methodology and Practice. London : The Falmer Press. Morley, D. (1992). Television, Audiences, and Cultural Studies. London: Routledge. Neuman, W. L. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (3rd ed.). USA: Allyn and Bacon. Nixon, S. (2003). Exhibiting Masculinity. In S. Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (pp. 291-325). Thousand Oaks, Cal.: Sage Publications Inc. O'Guinn, T. C., Allen, C. T., & Semenik, R. J. (1998). Advertising. Cincinnati, Ohio: South-Western College Publishing. Paul, W. (1982). Social Issues and Homosexual Behavior. In e. a. William Paul, Homosexuality: Social, Psychological, and Biological Issues (p. 53). California : Sage Publications, Inc. Pollard, T. M., & Hyatt, S. B. (1999). Sex, Gender, and Health. UK: Cambridge University Press. Pope, H. G., Phillips, K. A., & Olivardia, R. (2000). The Adonis Complex. New York: Touchstone. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
97
Rakhmat, J. (1999). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ritchie, J., & Lewis, J. (2004). Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: Sage Publications, Inc. Robertson, S. (2007). Understanding Men and Health: Masculinities, Identity, and Well-being. New York: Open University Press. Robinson, P. (2008). The Changing World of Gay Men. New York: Palgrave Macmillan. Ross, K., & Nightingale, V. (2003). Media and Audiences: New Perspectives. England: Open University Press. Russ, F. A., & Kirkpatrick, C. A. (1982). Marketing. Canada: Little, Brown and Company. Shimp, T. A. (2000). Advertising Promotion and Supplemental Aspect of Integrated Marketing Communications (5th ed.). South Carolina: Harcourt College Publisher. Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama . Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Tiggemann, M., Martins, Y., & Kirkbride, A. (2007). Oh To be Lean and Muscular: Body Image Ideals in Gay and Heterosexual Men. Psychology of Men & Masculinity , 15-24. Tobing, N. L. (1987). 100 Pertanyaan mengenai Homoseksualitas. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Whannel, G. (2002). Media Sport Stars: Masculinities and Moralities. London: Routledge. Yin, R. K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.
Jurnal Brown, J., & Graham, D. (2008). Body Satisfaction in Gym-active Males: An Exploration of Sexuality, Gender, and Narcissism. Sex Roles , 94-106.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
98
Davis, T. J. (2008). Homophobia and Media Representation of GLBT People. Sage Reference Online , 338-339. Drummond, M., & Drummond, C. (2010). Interview with Boys on Physical Activity, Nutrition, and Health: Implications for Health Literacy. Health Sociology Review , 491-504. Helmers, M. (2011). Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Studies. John Wiley & Sons, Inc. , 674-681. Jong, M. J.-W. (2009). Advertising, Gender Images in. SAGE Reference Online , 14-18. Klomsten, A. T., Skaalvik, E. M., & Espnes, G. A. (2004). Physical Self-Concept and Sports: Do Gender Differences Still Exist? Sex Roles , 119-127. Lynch, A. (2008). Hegemonic Masculinity. Sage Reference Online , 411-413. Peplau, L. A., Frederick, D. A., CurtisYee, Maisel, N., Lever, J., & Ghavami, N. (2009). Body Image Satisfaction in Heterosexual, Gay, and Lesbian Adults. Springer Science+Business Media , 713-725. Sartore, M. L., & Cunningham, G. B. (2009). Gender, Sexual Prejudice, and Sport Participation: Implication for Sexual Minorities. Sex Roles , 100-113. Stewart, W. P., & Floyd, M. (2004). Visualizing Leisure. Journal of Leisure Research . Wamala, S. P., & Agren, G. (2008). Gender Differences in Health. Sage Reference Online , 358-366. Weber, B. R. (2006). What Makes the Man? Television Makeovers, Made-Over Masculinity, and Male Body Image. International Journal of Men's Health
Internet APA. (n.d.). Sexual Orientation and Homosexuality. Diakses 31 Maret 2012, dari www.apa.org: http://www.apa.org/helpcenter/sexual-orientation.aspx Hanes, P. J. (2000, April). The Advantages and Limitations of a Focus on Audience in Media Studies. Diakses 28 Maret 2012, dari Aberystwyth University: http://www.aber.ac.uk/media/Students/pph9701.html
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
99
Wawancara Nugraha, C.N. (2012, 07 Februari). Wawancara Pribadi
Tesis dan Disertasi Ary, D. L. (2010, November). Exploring Self-Perception and Body Image Appearance . Proquest Dissertations and Theses Database. Hubbard, S. T. (2010, July). Health Care and Coming Out: Gay and Bisexual Men's Health Care . Oklahoma: Proquest Dissertations and Theses Database. McGrath, M. D. (2006). The 'New' Male Consumer: Appearance Management Product Advertising and The Male Physical Ideal in Men's Interest Magazine from 1965-2005 . Proquest Dissertations and Theses Database. Mohamed, S. G. (2011). Idealized Masculinity: Images of White Men's Bodies and White Men's Ideas about Masculinity . Washington, District of Columbia: Proquest Dissertations and Theses Databases. Saka, Y. (2007). Exploring The Interaction of Personal and Contextual Factors During The Induction Period of Science Teachers and How This Interaction Shapes Their Enactment of Science Reform . Florida: Proquest Dissertations and Theses Database. Schwartz, J. P. (2009). Gay Men and Body Image: Social Comparison, Blame, and Stigma . Proquest Dissertations and Theses Database. Tsai, W.-H. S. (2006, August). What Does It Mean to Be Gay in American Consumer Culture? Gay Advertising and Gay Consumers: A Cultural Studies Perspective . Proquest Dissertations and Theses Database. Yohana, Desy. ( 2010, Desember). Pemaknaan Fethisisme dalam Iklan (Studi Pada Iklan Televisi Vaseline for Men). Depok: Universitas Indonesia Dinanti, Citra. (2010, Juni). Pemaknaan terhadap Nilai Awet Muda dalam Iklan Komestik Anti-Aging oleh Khalayak Perempuan (Studi Pada Iklan Televisi Pond’s Age Miracle versi “Donna-Darius”). Depok: Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 1: Pedoman Wawancara
Pedoman Wawancara Deskripsi Diri Informan 1. 2. 3.
Ceritakan tentang diri Anda: SD, SMP, SMA, Kuliah, sampai dengan bekerja Bagaimana Anda memandang diri sendiri? Bagaimana pandangan orang lain terhadap diri Anda?
Frame of References Keluarga 4. 5. 6.
Ceritakan tentang keluarga Anda: Latar belakang keluarga, suku, agama, keluarga, jumlah saudara Deskripsi hubungan dengan ayah atau ibu: Siapa di antara mereka berdua yang memiliki hubungan paling dekat dengan Anda? Deskripsi hubungan dengan sesama saudara: Siapa di antara saudara Anda yang memiliki hubungan paling dekat?
Peer Group 7. 8. 9. 10.
Ceritakan tentang lingkungan pergaulan Anda. Dalam lingkungan pertemanan, bagaimana Anda menilai karakter yang Anda tampilkan? Apakah Anda memiliki teman dekat atau sahabat? Apakah relasi Anda dengan teman-teman memengaruhi pola pikir Anda dalam memandang sesuatu?
Hierarki Maskulinitas Heteroseksual 11. Menurut Anda, apakah tubuh memiliki pengaruh atau peran di dalam banyak aspek di masyarakat? 12. Menurut Anda, bagaimanakah cara yang paling umum dan tepat untuk menjadi seorang laki-laki dan dianggap di masyarakat? 13. Menurut Anda, apakah perempuan merupakan seseorang yang memiliki status sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki? 14. Apa pandangan Anda terhadap laki-laki homoseksual dan relasinya dengan laki-laki heteroseksual?
Homoseksual 11. Menurut Anda, apakah orientasi Anda memiliki pengaruh atau peran dalam aspek tertentu di masyarakat? 12. Menurut Anda, apakah terdapat perbedaan definisi nilai-nilai maskulinitas yang Anda miliki dengan laki-laki heteroseksual? 13. Menurut Anda, apakah ada hal tertentu yang menjadi indikator paling mudah dalam menentukan bahwa seorang laki-laki adalah homoseks sehingga seringkali mudah untuk disubordinasi? 14. Menurut pengalaman Anda, bagaimana sikap dan perilaku yang diberikan laki-laki heteroseksual kepada laki-laki homoseksual?
Orientasi Seksual Heteroseksual 15. Apakah Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai seorang heteroseks?
Homoseksual 15. Apakah Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai seorang homoseks? Kapan come out?
16. Bagaimana peran penampilan tubuh dalam hubungan Anda dengan lawan jenis? 17. Apakah nilai-nilai maskulinitas memiliki peran dalam hubungan Anda dengan lawan
16. Bagaimana peran penampilan tubuh dalam hubungan Anda dengan sesama jenis? 17. Apakah nilai-nilai maskulinitas memiliki peran dalam hubungan Anda dengan sesama
xiv Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xv (lanjutan lampiran 1) jenis?
jenis?
Hypermaskulinitas 18. Sebagai seorang homoseks, apakah anda merasa perlu untuk melakukan sesuatu agar terhindar dari kecurigaan homoseksualitas dan stigmatisasi? Biasanya apa saja yang Anda lakukan? 19. Menurut Anda, apakah tubuh yang berotot memiliki asosiasi dengan laki-laki orientasi seksual? 20. Apa pendapat dan pandangan Anda terhadap laki-laki homoseks yang memiliki otot-otot masif dan ekstrem? Iklan dan Konsumsi Media 21. 22. 23. 24. 25.
Apa saja media yang Anda konsumsi? Apa alasan Anda memilih media tersebut dan seberapa tinggi intensitas konsumsinya? Apa saja hal-hal di dalam diri dan kehidupan informan Anda yang dipengaruhi oleh media? Bagaimana Anda menilai dan memahami pesan iklan secara umum? Bagaimana dampak iklan dalam diri dan kehidupan Anda?
Komunikasi Pemasaran L-Men 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Apakah Anda mengetahui L-Men dan tagline-nya? Apa saja produk L-Men yang Anda ketahui? Menurut Anda, apakah konsumsi terhadap produk L-Men perlu untuk dilakukan? Apa pendapat Anda terhadap pelbagai iklan televisi L-Men? Apakah Anda mengetahui ajang audisi L-Men of The Year? Apa pendapat Anda terhadap ajang audisi tersebut?
Pemaknaan terhadap Nilai-Nilai Maskulinitas 32. 33. 34. 35.
Apa definisi maskulinitas menurut Anda? Menurut Anda, apa sajakah hal-hal yang paling berkaitan dengan maskulinitas? Apakah Anda sudah cukup maskulin apabila melihat kondisi tubuh Anda saat ini? Apakah Anda merasa khawatir apabila tampil tidak maskulin?
Pemaknaan terhadap Penilaian Citra Tubuh 36. 37. 38. 39.
Bagaimana Anda menilai penampilan Anda saat ini? Menurut Anda, bagaimana tubuh ideal itu seharusnya? Apa saja bentuk perhatian yang Anda berikan terhadap penampilan tubuh? Apakah tampilan tubuh laki-laki di media memengaruhi penilaian Anda terhadap tubuh?
Pemaknaan terhadap Nilai-Nilai Maskulinitas dalam Komunikasi Pemasaran L-Men 40. Menurut Anda, bagaimana media menampilkan sosok laki-laki, khususnya dalam periklanan? 41. Menurut Anda, apakah laki-laki yang ditampilkan dalam periklanan khususnya L-Men sudah merepresentasikan maskulinitas? Pemaknaan terhadap Citra Tubuh dalam Komunikasi Pemasaran L-Men 42. Menurut Anda, perhatian apa saja yang diberikan oleh laki-laki di dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year dalam menjaga penampilan tubuh mereka? 43. Menurut Anda, bagaimana laki-laki di dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year menilai tubuh mereka sendiri? 44. Apakah penilaian Anda terhadap laki-laki dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year memengaruhi penilaian Anda terhadap tubuh aktual Anda?
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 2: Transkrip Wawancara Brand Manager L-Men
TRANSKRIP WAWANCARA Nama Jabatan Tanggal Tempat Waktu
: Christian Widi Nugraha : Brand Manager L-Men : 07 Februari 2012 : Ruang Meeting, Head Office Nutrifood : 13.25 WIB
F: Jadi, sebelumnya saya kasih tahu dulu judul skripsi saya ini adalah “Pemaknaan Nilai-Nilai Maskulinitas dan Citra Tubuh di dalam Iklan oleh Khalayak Laki-Laki Heteroseksual dan LakiLaki Homoseksual” sedikit sensitif dan cultural studies. Sebelumnya, saya mau tanya dulu nih, mas. Bagaimana awal mula Nutrifood mengeluarkan L-Men? C: Awal mulanya itu sebenarnya, hmm pada dasarnya, L-Men itu di-launching untuk gini. Pada tahun 2001, kalau kamu inget zaman dulu itu ngga banyak orang, pria di Indonesia, yang ngga terlalu banyak keliatan mau lebih concern sama sehat tuh jarang. Olahraga yang mereka lakukan itu paling main bola bareng atau paling ngga jogging bareng. Cuman, jarang ada yang bener-bener olahraga, bener-bener concern. Oke deh mau serius olahraga, tapi selain daripada atlet. Terus zaman dulu juga orang ke fitness centre itu cuma bisa orang yang punya duit. Karena dulu fitness centre adanya di hotel. Lalu, kemudian kita ngeliat kalau di situ ada kesempatan dimana kita bisa dan pengen menginspirasi pria di Indonesia buat lebih sehat lagi dan buat hidup lebih lama. Karena ngeliat bahwa cowo itu bisa dibilang untuk culture asia itu sebagai tulang punggung keluarga. So basically, mereka harus bisa hidup lebih lama dan lebih sehat ibaratnya. So, itu campaign yang kita coba ajarkan ke pria di Indonesia. Yuk, mulai sehat mulai olahraga supaya hidup lebih lama supaya hidup lebih sehat bisa lebih lama dengan orang yang kita cintai. Intinya seperti itu. F: Sorry, saya potong pak. Berarti, intinya adalah peningkatan kualitas hidup. C: Ya, peningkatan kualitas hidup dari segi kesehatan. F: Berarti, itu adalah awal mula dikeluarkannya L-Men oleh Nutrifood? C; Ya, basically kita ingin menginspirasi pria Indonesia untuk hidup lebih sehat. F: Nah, ibaratnya nih mas, saya orang awam yang ngga tahu apa itu L-Men dan kemudian mas Christian diminta untuk mendeskripsikan L-Men secara in-brief, apa sih L-Men itu? Nah, kirakira apa kalimat yang sesuai untuk menjelaskan L-Men? C: Nutrisi efektif untuk pembentukan tubuh atletis ideal pria aktif F: Berbicara tentang produk, pasti kita ngomongin tentang siapa targetnya. Nah, target market utama dari L-Men ini siapa, mas? C: Pria pastinya. Secara sosial ekonomi status, mungkin kita di A dan A+, terus secara psikografisnya lebih kepada orang yang pastinya concern dengan appearance, dalam artian bukan dandan, tapi ke “saya mau jaga badan saya supaya ngga overweight ngga kurus banget, saya mau bahwa saya ada pada posisi yang atletis ideal”. Lebih apa ya, dia concern dengan bagaimana appearance dirinya affecting performance dia. Orangnya pasti lebih sosial, pasti orangnya lebih hmmm, self actualizationnya lebih tinggi. Seperti itu. F: Kan, tadi mas sempet bilang affecting performance and self actualization. Bisa ngga kalau saya bilang misalnya target market sekundernya adalah laki-laki di kota urban? C: Ngga mesti di urban, sih. Basically, dengan psikografis seperti itu. If you live in the satellite area pun, not necessary the urban atau rural pun, punya way of thinking seperti itu, itulah target market kita. F: Kalau punya way of thinking seperti itu, berarti itulah target market L-Men? C: Exactly. Karena ibaratnya gini, kita ngga berusaha mengajak pria di Indonesia untuk jadi body builder, kita ngga mengajak seorang pria di Indonesia itu jadi apa namanya, health freak. Kita pengen mereka lebih aware kita pengen mereka lebih sehat dulu. Gimana caranya ya pasti harus dari diri sendiri gitu. Kalau misalkan cuma orang yang olahraga sekedar lari-lari kecil, kadang-kadang mereka juga suka overclaim kegiatan olahraga. Olahraga ngga? Olahraga. Saya olahraga kok tiap hari. Mereka overclaim seperti situ padahal sebenernya dia cuma jalan-jalan nemenin anjingnya keliling komplek gitu dan itu bukan olahraga dan pastinya orang yang
xvi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xvii (lanjutan lampiran 2) seperti itu ketika nge-claim udah olahraga, basically mereka ngga punya concern sama sehat dan peduli sama appearance, saya peduli sama kualitas kesehatan saya. Jadi, ada orang yang, saya olahraga. Kalau saya peduli sama appearance saya, saya pasti akan berpikir saya ngga akan makan berlebih atau ngga I will actually do sport, real sport, setiap hari atau ngga seminggu berapa kali untuk jaga diri saya. F: Itu tadi target primer L-Men, kalau target sekunder L-Men? Dari L-Men, apakah ada target sekundernya, seperti influencing sphere-nya? C: Ngga ada sih, ya. Kita sangat fokus kepada target market karena kita juga kebetulan produknya sangat segmented, playing in a very niche market. Basically, target market yang kita tuju itu adalah influencer. Mereka justru adalah influencer-nya. Jadi, kalau misalkan sampe ada di luar itu, berarti mereka yang being attracted to use the brand because of somebody else. F: Kalau tadi kita udah ngomongin target market, sekarang saya mau nanya siapa sih target audiens atau target komunikasi dari program-program komunikasi yang diadakan oleh LMen? C: Yang pasti target marketnya L-Men. F: Orang di luar itu engga? Sama sekali? C: Engga juga F: Oke. Berarti, target audiensnya adalah target marketnya juga? C: Iya, karena kalau saya komunikasinya ke audiens yang berbeda, saya ngga jualan dong hahaha F: Hahahaha. Selain karena alasan tadi – laki-laki yang concern terhadap penampilan dan juga laki-laki yang memang peduli terhadap kesehatan – ada ngga sih alasan lain di balik pemilihan kenapa mereka-mereka itulah yang dijadikan target market? C: Alesannya mungkin lebih gini, mungkin lebih karena kita ngajarinnya lebih ke inspirasi hidup sehatnya, kita pengen meng-inspire mereka untuk hidup lebih sehat. Misi kita adalah pengen ngajak pria di Indonesia biar lebih sehat. Cuman alasan mereka untuk lebih sehat kan, sebenernya alasan kenapa orang mau lebih sehat atau at least mau olahraga pasti alasannya beda-beda. Bener ngga? Mau jadi atlet, olahraganya pasti serius banget. Terus atau ngga ada yang terpaksa, kolesterolnya udah tinggilah, dipaksa sama dokternya, tapi ujung-ujungnya mereka pengen lebih sehat juga gitu. Terus ada juga mereka yang olahraga karena inspirasi dan aspirasi. Misalnya ada yang ngelihat, kakak saya udah mulai olahraga nih, badannya jadi bagus, saya mau ah badannya kaya kakak saya atau ngga pergi satu geng, satu geng tementemennya udah mulai main futsal bareng terus badannya udah cukup atletis ngga overweight. Itu ada aspirasi dari temennya. Atau, ada juga yang merasa bahwa saya mau jaga kesehatan, mau olahraga, mau ngebentuk tubuh karena apa namanya supaya lebih pede biar bisa dapet cewe. Bisa juga kaya gitu, jadi intinya beda-beda. Kalau misalnya kita bisa bilang ya, komunikasi kita sebenernya cuma satu, cuman mengolahragakan orang buat pola hidup sehat. Tapi, bagaimana cara untuk mengajak orang buat hidup sehatnya, kita mengkomunikasikannya dengan cara yang berbeda-beda, tapi message-nya tetep single message dari awal sampai sekarang masih belum berubah. F: Menginspirasi laki-laki untuk bisa lebih sehat? C: Betul sekali. F: Karena skripsi saya berhubungan dengan orientasi seksual. Saya mau nanya, dalam konteks orientasi seksual, apakah L-Men hanya membidik target yang notabenenya mereka adalah heteroseksual? Karena kalau kita perhatiin, L-Men memasukkan nilai-nilai heteroksualitas, ada laki-laki dan ada perempuan. Kira-kira, memang menyasar target market dengan orientasi seksual atau tidak? C: Pastinya engga (membenarkan posisi duduk). Kita engga pernah, maksudnya, menyasar orientasi seksual, apakah itu cowo aja atau homoseksual aja. These days when you do marketing, even marketing communication, you have to break the boundaries dalam artian kalau kita ibaratnya mengikuti norma-norma, we follow all the rules terus akhirnya we end up not being seen by our consumer gitu. You looking at the something similar, tapi showing irregularity. Nah, makanya kalau ada certain body parts yang jadi wilayah concernya wanita atau pria homoseksual, it’s not necessary going to watch that direction karena these days kalau mau misalnya mengomunikasikan sesuatu itu harus lebih smart ke orang, satu cara penyampaiannya, kedua bagaimana look-nya, terus kemudian masalah interpretasi balik lagi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xviii (lanjutan lampiran 2) interpretasi itu beda-beda, banyak orang menginterpretasikan dengan cara yang salah lebih karena implicitly the thing that they want to see. F: Antimainstream? C: Engga antimainstream juga, sih lebih kepada kreatif. Creative communication. Sebenernya kita ngga disebut anti mainstream juga. Again, kalau kamu mau mengomunikasikan, kalau kamu mau bekerja di bidang marketing communication, kamu ngga boleh jadi mainstream. Once you go with the mainstream, kamu ngga akan didengar karena kamu ngomongnya mass kan? F: Kalau L-Men, kompetitornya siapa, mas? C: Direct atau indirect ? Kalau direct, kita bisa bilang ngga ada karena untuk produk sejenis L-Men sendiri kalau untuk ngomong di mass market itu ngga ada yang mengategorikan susu untuk pria. Terus, kalau untuk indirect-nya banyak, misalnya minuman energi, itu kan lebih menyasar ke laki-laki, terus suplemen hormon, kita bilang bahwa itu adalah indirect kompetitor. Maksudnya adalah kesuksesan mereka bukan berarti kegagalan kita. F: Kalau untuk semacam Whey Protein? C: Untuk semacam Whey, itu adalah indirect juga karena dari sisi channel of distribution udah beda terus message yang disampaikan juga udah beda. Mereka lebih ke hardcore gymmer, sedangkan kita ngga selalu mengajarkan ngegym. Kita bilang you do exercise, you do workout, you do sports. Basically gitu, olahraga. Olahraga kan macem-macem sedangkan kalau yang di kategori ini mereka hanya menyasarnya dan ngomongnya gym gym gym, fitness, fitness, fitness. Karena obatnya ngga akan terasa efektif kalau gymnya ngga hardcore. F: Berarti hanya L-Men satu-satunya produk yang ada di pasaran saat ini? C: Kalau saya bilang, at the moment iya. F: Berarti bener cuma satu-satunya ya? C: Iya, tapi bukan berarti ngga ada kompetitor, ada tapi indirect . Vaseline bisa jadi indirect . Dia nyasar target market laki-laki, terus dia sekarang mulai menampilkan si Darius-nya topless, main bola, dan udah mulai ke sports juga. Basically, secara message, dia pengen ngarahinnya ke arah aspiration, sama dengan kita. Cuma mereka lebih ke beauty, kita lebih ke health. Cuma itu akan jadi indirect kompetitor kita ketika tipe komunikasinya atau cara komunikasinya udah mulai mirip-mirip. Jangan sampai nanti cara komunikasi kita diambil dia. Kalau kita ngomong six pack, orang ingetnya L-Men. Jangan sampe nanti, orang ngomong sixpack malah ingetnya Vaseline. Itu yang saya maksud sebagai indirect kompetitor. F: Berarti yang mau ditekankan L-Men di dalam setiap iklannya adalah perhatian terhadap tubuh, penampilan, dan citra terhadap tubuh atau gaya hidup sehat? Mana yang mau ditekankan? C: Kalau saya bilang mesti disimplifikasi lagi. Basically, L-Men menekankan kepada inspirasi hidup sehat dengan cara mengajarkan hidup sehat itu seperti apa. Makanya, kita selalu bilang di dalam iklan pasti selalu ada adegan olahraganya, ada adegan minum L-Mennya, L-Men sebagai nutrisinya. Jadi, kita ngga pernah yang cuma sekedar jualan L-Men, tapi kita nunjukin prosesnya, step by step-nya seperti apa. Kalau kemudian kita liat ada image atau pencitraan badan karena kita pengen nunjukin satu aspiration untuk si konsumen bahwa you can be like this ketika kamu udah menggunakan pola hidup sehat. F: Secara jelas juga dimasukan di dalam iklan L-Men bahwa kesehatan bisa bikin seseorang punya badan yang atletis dan ideal. Ada nilai muscularity dong yang dimasukin ke dalam iklannya? C: Mungkin kaya gini. L-Men itu kan produk susu tinggi protein kalau secara nutrition dan secara biological, cowo itu punya massa otot lebih besar dari yang cewe. Cowo itu maksudnya akan tumbuh otot-ototnya karena massa ototnya lebih besar sedangkan cewe itu lebih besar massa lemaknya. Terus kemudian kenapa kita menyasar dari sisi pembentukan tubuh dalam tanda kutip ototnya, karena cowo itu lebih gampang untuk dibangun massa ototnya, tapi gimana caranya? Konsumsi proteinnya harus tinggi dan konstan dan juga latihan pastinya. Dari segi muscular itu diarahkan ke arah bahwa kita bisa membentuk tubuh lebih atletis dengan mengonsumsi protein karena protein itu adalah pembentuk otot. F: Berarti sebenernya L-Men, lebih menyasar ke pola hidup sehat? C: Intinya gini kalau kamu ngga hidup sehat, kamu ngga akan punya badan seperti ini. Kalau ngga menjalankan hidup sehat, ibaratnya saya masih makan gorengan, saya masih makan nasi goreng kalau malem, itu kan sebenernya konsumsi terus menerus kan? Kalau kita hidup sehat, basically kita concern sama apa yang kita makan atau kita konsumsi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xix (lanjutan lampiran 2) F: Berarti lebih ke healthy lifestyle? Nah, positioning L-Men di pasaran seperti apa sih mas? C: Sehat. Jadi kita punya perceived benefit ada perceived benefit dan perceived value. Secara benefit ketika ditanya apa sih benefit-nya L-Men, persepsi yang paling tinggi top of mind-nya itu adalah sehat. Secara value, mereka melihat bahwa L-Men adalah untuk membentuk tubuh, L-Men itu bikin berotot. Intinya L-Men itu dapat secara efektif membentuk tubuh. Itu yang kita dapatkan dari riset dan segala macam. F: Kenapa “trust me it works”? Ada alasan di balik pemilihan copy tersebut? C: Ada. Basically, kita menekankan kepada efektivitas dari produk dan sebuah brand. Dulu tahun 2001 sangat susah untuk ngajak orang untuk hidup sehat. Kita punya supporting system, ibaratnya L-Men sebagai workout partner dari laki-laki. Dulu, saya juga belajarnya pertama kali dari L-Men. Cowo itu punya tendensi untuk malu bertanya, gengsi. Nah itu insight-insight yang kita dapet. Jadi, caranya gimana ya we let them to find their own way tapi kita provide all the information that they need. Sama kaya saya dulu, gengsi malu bertanya. Akhirnya, baru mulai untuk olahraga. Nah, maksudnya “trust me it works” itu maksudnya to convince the consumers . F: Strategi kampanye L-Men yang paling terakhir dimulai kapan, mas? C: Secara strategi kampanye, kita ngga berubah kita selalu mengarahkan orang untuk mengedukasi dan menginspirasi untuk hidup sehat. Semuanya pasti akan ngomongin membantu konsumen dan future konsumen kita untuk bisa hidup lebih sehat. Tahun ini, kita ngomongin kalau proses itu wajar dan normal makanya kita bikin tema kita tahun ini “The Journey”. Kita ngomongin bahwa perjalananan untuk mencapai sebuah goal itu lebih penting. Jadi it’s oke untuk sakit-sakitan di proses tersebut basically in the end hidup sehat itu akan tercapai. F: Berarti hmm “The Journey” dan kampanye setiap tahunnya akan berbeda sesuai dengan insight yang ditemukan? C: Betul sekali. Komunikasinya message-nya hampir sama, tapi way of communication-nya tiap tahunnya akan kita buat berbeda. F: Contohnya apa mas? C: Kampanye besar kita ada dua. Pertama adalah TVC dan kedua adalah L-Men of The Year. F: Apa alasan diselenggarakannya L-Men of The Year, mas? Alasan khusus di balik ini mas karena ini kan seperti beauty pageant. C: Yang pertama, ini untuk mengapresiasi konsumen L-Men. Mereka udah consume, mereka udah melakukan transformasi perubahan, basically mereka kita apresiasi karena telah melakukan perubahan. LMOTY berbeda dengan ajang seperti Indonesian Idol yang tinggal datang dan nyanyi selesai. Rata-rata persiapan mereka sangat panjang dan bertahun-tahun. F: Goal yang diharapkan dengan diselenggarakannya LMOTY selain adanya peningkatan profit? C: Oia, saya tambahin dulu. Dengan diadakannya LMOTY ini selain ingin mengapresiasi, kita juga mencari ikon hidup sehat. Kenapa ikon hidup sehat? Kalau kamu perhatiin selama ini, L-Men iklannya ini ngga pernah pake artis, kita ngga pernah endorse. Kenapa? Karena kita pengen nampilin the real people dan the real result. Tujuannya apa? Karena saya pakai orang yang terkenal, iya dia bakal bilang “saya pakai L-Men” but who knows dia bener atau ngga. Dengan pakai real people dan real result, orang-orang akan tahu akan cerita dengan sendirinya. Buat kita akan lebih real dan buat konsumen “kalau dia bisa, saya juga bisa” F: Semua program kampanye L-Men kan dibikin sendiri. Kenapa ngga dibikinin sama agensi iklan mas? C: Kenapa ngga? Satu pasti lebih efisien, kedua control kita lebih enak, ketiga mungkin, the thing is buat kita brand itu adalah soul. Ngga gampang. Kita pernah kok pake agensi, tetapi hasil komunikasinya ngga sesuai dengan apa yang kita expect. Ada beberapa brand yang kita pake agensinya dari luar, tapi beberapa kampanyenya akhirnya ngga jadi untuk di-publish. Karena secara soul, secara look walaupun di-supervise sama brand-nya, sama director of marcommnya, tetep akhirnya beda. Lalu, kita menilai bahwa sebenernya karena basically untuk menciptakan sebuah communication dari sebuah brand itu ngeliat bahwa yang penting ada yang namanya soul of the brand. F: Oke, ya udah itu aja mas pertanyaannya. Terima kasih banyak. Ini ada souvenir, mas. Silakan diterima, mas. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 3: Transkrip Wawancara Informan 1
TRANSKRIP WAWANCARA Data Diri Informan Nama Usia Jenis Kelamin TTL Alamat Pekerjaan Status Agama
: RI : 25 tahun : Laki-laki : Bandung, 13 Maret 1987 : Jl. Setiabudi Timur 3 No. 13B, Jakarta. : Karyawan Swasta : Belum Menikah : Islam
Keterangan Wawancara Tanggal : 14 April 2012 Waktu : 13.30 Lokasi : Krispy Kreme Doughnuts, Grand Indonesia.
FE : Boleh ngga ceritakan tentang diri lo sendiri. Contohnya mungkin, kehidupan lo dari ketika lo SD, SMP, SMA, sampai akhirnya kuliah dan lepas dari orang tua. RI : Gue tumbuh di keluarga yang sangat over-protective. Jadi kalau misalnya gue panas sedikit, gue ngga boleh keluar. Gue di-protect banget. Gue ngga boleh sering main panas-panasan atau kalau hujan dikit ngga boleh keluar atau gimana. Pokoknya, sangat-sangat overprotective. Gue lebih banyak diem di rumah, lebih banyak sendiri sih, mungkin. Habis itu, masuk SMP baru bisa, orang tua gue lebih open. Gue juga lebih banyak bergaul sama orang, segala macam. SMA juga, sih. Cuma gue masih introvert, masih pemalu banget. Perubahan yang terbesar tuh waktu masih kuliah kali, ya. Saat gue merasa gue kenal orang-orang baru, terutama orang-orang Jakarta. Beda soalnya, kepribadian anak-anak Jakarta sama anak-anak Bandung. Anak-anak Jakarta lebih wild, lebih ngga peduli, terserah gue mau ngapain di sini. Ngga peduli karena ngga ada orang tuanya juga. Karena mungkin mereka nge-kos atau gimana. Jadi, ngerasa bebas banget dan gue ngerasa kalau gue juga pengen seperti itu. Gue lebih banyak ngobrol dan jalan sama anak Jakarta. Gue ngerasa perubahan dalam diri gue bener-bener berubah banget. Kalau dulu SD, SMP, SMA, gue bener-bener nerd banget, deh, yang baju dimasukin segala macem. Sampai gue kuliah, gue mulai tahu how to dress myself. Better. Gue jadi tahu harus pakai baju apa atau jangan pakai baju apa. Segala macem sih dan semenjak gue tahu diri gue lebih dalem. FE : Tadi, lo bilang lo jadi tahu how to dress yourself, ada ngga sih hubungannya dengan kebebasan yang jauh lebih besar lo dapatkan ketimbang ketika lo SD, SMP, SMA. Apakah itu artinya lo juga sudah bisa dengan bebas menentukan apa yang lo mau? RI : Iya FE : Pas kerja gimana? RI : Pas kerja lebih wild lagi, dong. Gue pindah dari Bandung ke Jakarta, kan. Dimana udah ngga ada kontrol keluarga atau kontrol orang tua yang ngasih barrier. Jadi, gue bener-bener dikasih kontrol penuh sama hidup gue mau dibawa ke mana. FE : Sama tanggung jawab sama diri lo sendiri? RI : Iya, betul. Gue ngga bergantung lagi sama keluarga gue, gue hidup dari duit gue sendiri dan segala macam. FE : Berarti intinya, ketika lo SD, SMP, SMA, sampai lo kerja sekarang, hal utama yang lo dapatkan adalah kebebasan? RI : Iya. Ehm, engga. Kontrol atas diri sendiri. Gue lebih membahasakannya seperti itu karena ‘kebebasan’ kesannya gimana. Gue cuma mikir ya kontrol atas diri gue sendiri, gue tuh mau kaya gimana, sih. FE : Karena lo juga punya kontrol penuh terhadap diri lo sendiri, gue mau nanya nih. Gimana sih lo memandang diri sendiri? RI : Maksudnya?
xx Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxi (lanjutan lampiran 3)
FE : Lo memandang diri lo itu seperti apa. Orang seperti apa? Mungkin secara mudahnya, strengths and weaknesses, tapi kan pasti ada hal-hal di luar itu. RI : Hmm…. FE : Sebagai contoh gini, gue kalau memandang diri sendiri, gue adalah orang yang perfeksionis, and I know how to dress up myself, gue tahu bagaimana berkomunikasi dengan orang lain. Negatifnya, gue ngga bisa menghadapi diri gue ketika gue lagi emosional. Nah, kalau lo, bagaimana sih lo memandang diri lo sendiri? RI : Ehmm, sebenernya kalau kecenderungan orang lebih banyak ngeliat dari sisi negatif dibanding lo harus cari sisi positif lo tuh sebenernya apa. Itu gue agak-agak,..,tapi menurut gue sih… Gue orangnya sensitif. Banget. Perasaan gue sensitif. Terus… Aduh, gue ngga bagus kalau harus mendeskripsikan diri gue sendiri. Gue harus belajar. Hahahaha FE : Jadi, ketika gue meminta lo untuk mendeskripsikan tentang diri lo, you have no idea? RI : Banyak hal yang muncul di pikiran gue, sih. Cuma… Hmm, gue agak judgmental sih, suka ngejudge orang, terus kadang-kadang gue ngerasa hmmm, kayaknya gue takut sama pandangan orang lain sama gue. Jadi, itu men-drive hmmm… sikap gue. Contoh simpelnya gini, misalnya lo cari orang tuh sebenernya yang tajir, tapi lo ngga mau orang-orang nangkep kalau lo temenan cuma karena tajir-nya. Padahal sebenernya lo nyari itu karena pengen. Jadi, lo ngga jujur sama diri sendiri. FE : Jadi, lo takut sama pandangan/pemikiran orang lain? RI : Karena gue orangnya judgmental. Gue tuh mikir kaya hmm…. Gimana ya? Ngga konsisten… FE : Karena lo adalah orang yang judgmental, lo sadar bahwa orang-orang akan judgmental juga ke lo. Ketika lo tahu bahwa being judged adalah menyakitkan, lo juga menghindari itu supaya lo ngga merasakan sakit. RI : I consider myself as that person… seseorang yang kadang gue merasa gue bukan orang ngga kaya gitu. FE : So, you are a pretender. RI : Hahaha. Ngga juga. Karena ada beberapa hal dimana gue pengen terlihat baik. FE : Trying to be nice? RI : Iya FE : Itu bagaimana lo memandang diri lo sendiri, ya? Kan, tadi lo bilang kalau lo pengen jadi orang yang selalu baik di mata orang lain. Nah, apa sih pandangan yang pengen orang lain lihat atas diri lo? RI : Ya, gue pengen orang lain melihat gue tuh kaya hmmm… I am sweet, bukan orang yang tough and rough karena gue bukan orang yang seperti itu. FE : Pernah ngga sih bertanya sama orang atau sama temen sendiri eh, gue gimana sih di mata lo?” RI : Belum karena gue takut. FE : Sampai sekarang? RI : Sampai sekarang. FE : Sama sekali belum. RI : Karena gue takut. Hmm, bukan takut, sih. Gue tahu sih, yaaaa… Gue takutnya mereka… Kalau ngomong sebenernya sih ngga masalah cuma kadang gue ngerasa ngga cukup karena mungkin mereka ngga bilang sebenarnya. Gue mungkin belum nemu aja orang yang bisa bilang jujur kalau gue orang yang seperti apa sih sekarang. Apa sih hal yang harus gue perbaikin, sebenernya gue tuh ngga nice, gue tuh sombong atau gue tuh gimana gitu lho. FE : Mungkinkah orang melakukan itu karena takut menyakiti perasaan lo? RI : Mungkin, sih. Gue juga kan selalu begitu. Sometimes, gue pake feeling aja sih kalau mau menilai. Karena gue selalu ngerasa ngga enak. Kalau gue ngomong ini ngga enak, begini ngga enak. Jadinya, serba salah. Kebanyakan menjaga perasaan orang lain. FE : Lo orangnya takut disakiti, takut menyakiti? RI : Iya, hahahaha. FE : Kalau tadi, kita sudah ngomongin tentang bagaimana pandangan orang lain terhadap kita. Sekarang, secara fisik atau secara ragawi, lo puas ngga sih sama penampilan tubuh lo saat ini, your actual appearance? Puas ngga? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxii (lanjutan lampiran 3)
RI : Ada masa dimana gue merasa sometimes gue merasa ‘I’m fine’, tapi ada masa-masa dimana gue merasa ‘I’m not’, gitu. FE : Ada masa dimana lo merasa ‘I’m fine’ dan ada masa dimana lo merasa ‘I’m not fine’. Bilamana, ketika apa sih? RI : Kalau kita merasa diri kita fine, kondisi yang paling gampangnya gue tahu itu ketika orang yang gue suka dia suka balik lagi sama lo. Itu bener-bener cara paling cepet, deh. Bukannya kaya, gue sih ngga ngasih contoh kaya waktu gue ngelihat orang yang lebih cacat, terus gue ngerasa “aduh, gue bersyukur punya badan yang…”. Ngga. Karena itu sih hal yang bukan…, yang beda aja. Cuma ya kalau orang yang gue suka, suka balik ama kita, ya I think I’m fine. Bedanya, kebalikannya dari itu, ya gue selalu end up sama “apa ada yang kurang ya dari hidup gue?”, “apa ada sesuatu yang…?”, “apa gue terlalu…?”, “apakah gue pendek?”, “apakah gue terlalu chubby?”, atau apa. Kadang-kadang suka came up yang kaya gitu-gitu walaupun sebenernya bukan itu. Cuma kadang beberapa kali kalau ada problem dimana orang yang kita suka ngga suka sama kita, imbasnya itu adalah ke penampilan, ke actual appearance. FE : Jadi, lo menjadikan evaluator pertama adalah penampilan lo? RI : Iya. Hmm, engga maksud gue… Awalnya sih itu. Gue pikir mungkin ada yang salah. Tapi, itu pertamanya aja, sih. Toh, pada akhirnya menurut gue, mungkin ada faktor-faktor lain, ngga cuma penampilan gue doang. Cuma gue kadang-kadang selalu… FE : Menjadikan itu sebagai hal yang pertama? RI : Insecure gue kadang di situ. Jadi, pasti langsung ke hal itu karena insecurity pertamanya adalah hal itu, kan? FE : Seberapa sering sih lo merasa “I’m fine” atau “I’m not fine” dan mana yang paling sering? RI : “I’m fine”. “I’m not fine”-nya dikit sih dan ngga sering. kecuali kalau misalkan di gym… Hmm, ngga juga sih. Gue kalau di gym biasa aja. Kalau ngeliat badan orang bagus, oke gue sirik, tapi ya udah. Selewat doang kaya “gue pengen”, tapi oh cuma selewat doang ngga sampe berlarut-larut. Ngga obsesif, cuma “coba kalau gue kaya gitu”, cuma sekilat doang. FE : Sekarang kita ngomongin tentang frame of references. Kita berbicara tentang significant others, orang-orang penting, orang-orang yang ada di dalam kehidupan kita yang membentuk pola pemikiran kita, contohnya keluarga, peer group, teman, atau bahkan diri kita sendiri. Boleh ngga sih ki tolong ceritain sedikit tentang keluarga lo, seperti latar belakang, suku, agama, keluarga, dan jumlah saudara yang lo punya. RI : Nyokap bokap gue, dua-duanya Sunda. Mereka dibesarin di keluarga yang taat, religius, kolot, dan konservatif banget. Kolot, kolot banget, sih. Mungkin karena the way they raised kali, yah. Susah mungkin buat… Mungkin juga karena mereka sekolah. Mereka berdua sarjana di Bandung, tapi ngga yang, bukan dari kalangan priyayi. Karena kan dulu mereka sekolah tahun ‘70an, jadi belum open-minded sama apa yang sekarang. Jadi, ada beberapa hal yang bikin mereka kalau misalkan “engga” ya “engga”. Kalau pun misalkan menurut mereka alasannya ngga diterima, ya ngga bisa diterima. Udah ngga ada lagi. Ngga ada excuse. Ngga ada pembenaran dari “kenapa gue lakuin ini”. FE : Jadi, lo bisa menyimpulkan kalau orang tua lo bukan tipikal orang tua yang open-minded. RI : Iya FE : Oke, lanjut. RI : Gue punya adik satu orang. Adik gue kelas 3 SD. Jadi, memang jauh banget bedanya. Bedanya 16 tahun. Waktu gue SMA kelas 1, baru lahir. Jadi, gue merasa ada sedikit kelonggaran dari orang tua semenjak punya adik, sih. That was a good thing, sih. Gue juga merasa awalnya di rumah itu sepi dan berasa ngga ada kehidupan, tiba-tiba rame sama ada anak kecil. Itu anugerah banget deh buat gue. Terus, mereka membesarkan gue dengan… mungkin kurang tepat, gue bilang, Mereka ngga membesarkan gue sesuai dengan apa yang pengen gue dibesarin, gitu. I lived in a… Hidup di keluarga yang… bukan mengajarkan, sih. Kalau gue salah, pasti dimarahin. Kalau gue salah tuh, dimarahinnya tuh bener-bener besar, gitu. Jadi, ada beberapa kali dimana gue… Apalagi sama bokap gue. Gue ngga deket sama bokap gue. Sampai sekarang. Jadi, kalau pun misalkan gue ke rumah, ke Bandung, kalau dia ngga nanya, gue ngga nanya. FE : Maksudnya? RI : Jadi, kalau dia ngga ngajak gue ngobrol, gue ngga ngobrol. Jadi, kaya stranger. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxiii (lanjutan lampiran 3)
FE : really? RI : Di rumah, jadi kalau dia ngerjain apa, ya gue ngerjain apa. Misalnya kalau gue balik, ada nyokap gue, ada adek gue. Ya gue nunggu dia nyamperin “ngapain?” dan gue pun menjawab seperlunya. Karena ngga ada bond. Ngga ada bond sama sekali yang ada malah tembok. FE : Jadi, lo pun ngga pernah terbuka sama bokap lo? RI : Dari kecil. At all. FE : Terus lo dapet figure seorang ayah dari mana? RI : Dari orang lain, ngga pernah dapet dari dia. Actually, gue ngga pernah dapet figur itu. Ngga pernah. FE : Apa sih yang menyebabkan gap antara lo ama bokap lo? RI : Hmmm… Somehow, I hate my father sih kadang-kadang, dulu. Jadi, gue kecil kalau misalkan gue jatuh depan rumah, itu gue diseret masuk ke dalam rumah. Dimarah-marahin. Diseret as in literally diseret ke dalam rumah, dikunci, dibanting pintunya, dimarah-marahin “jalan aja ngga bener, gimana mau ini...!” Dia tuh ngga pernah ngelihat kelebihan gue, dia selalu ngelihat kekurangan gue. Itu yang bikin kepribadian gue, self-esteem gue buruk, sama confidence gue. Karena kalau gue bagus, ngga pernah dipuji. Bukannya gue ngga pengen dipuji, at least penghargaan misalnya, kalau gue ranking 1. Jangan kaya, misalkan gue ngga bisa masangin lampu, terus gue malah dimarah-marahin sampe dua jam! FE : oh, my god. RI : Maksud gue, hal-hal yang kecil kaya… Bokap gue pernah bilang “masangin lampu aja ngga bener, gimana nanti mau kerja di kantoran”. That’s the different, gitu. Bukan masalah itu. Itu masalah, ya mungkin masangin lampu ngga bener, ya mungkin… dan kalau misalkan kalau bokap gue marah atau marah sama orang lain, itu dia selalu datengnya ke keluarga. Bantingbanting pintulah, ngamuk-ngamuk sendiri segala macem. Jadi, gue ngga respek sama dia, gue hate. Gue benci banget sama dia. One day, waktu gue kuliah, gue pernah bilang kalau gue benci banget ama dia dan kenapa gue sampe sekarang kaya gini, itu gara-gara lo. FE : Lo bilang kaya gitu ke bokap lo? RI : waktu gue bilang, gue trembling dan nangis. Karena itu, gue bener-bener kaya air yang ditahan sampe akhirnya keluar. Keluarnya itu trembling dan nangis. Gemeteran. Jadi, menurut gue, gue ada problem di self-esteem sama di ‘ngga pede’ sebenernya waktu gue SD, SMP, SMA, itu ya gara-gara itu. Tapi untung waktu kuliah gue berubah karena gue ngerasa gue punya temen waktu itu. Gue punya temen deket, dia itu 180 derajat berbedanya sama gue. Dia itu bener-bener kalau dia ngomong ya blak-blakan aja dan dia itu sangat care banget sama gue walaupun dia cowo. Kalau gue melakukan apa, dia selalu ngasih tue “Rxx, jangan ngelakuin ini, ya”, “Jangan ngelakuin itu, ya”, “Lo mending kaya gini”. Jadi, dia yang kaya ngarahin gue dari yang gue merasa kaya ngga pede sama diri gue sendiri dan ngerasa kalau gue selalu rendah diri sih sebenernya sampe gue tahu kalau gue punya kepercayaan diri yang gue pikir kalau itu ngga kalah sama orang lain. Gue berubah pas gue kuliah. Gue berubah jadi orang yang beda, jadi orang yang bener-bener menurut gue “gue ngga akan kaya gini sekarang kalau tanpa dia”. FE : Dia itu sahabat lo? RI : Iya FE : di ITB juga? RI : He eh. Sahabat gue, satu jurusan juga. Empat tahun gue selalu bareng sama dia terus ke mana-mana. Maksudnya, dia ngajarin gue banyak hal, gue banyak lihat dari dia juga. Apa ya? Hmm, banyak ngasih saran. FE : Tadi kan sempet bilang kalau lo dapet figur seorang ayah dari orang lain. Nah, orang lain itu siapa? Apakah dia atau…? RI : Banyak, sih. Waktu gue SMA, gue pernah dapet figur dari kakak kelas gue. Maksudnya, gue dapet rasa nyaman bahwa ada seseorang yang merhatiin gue, yang ngasih saran ke gue, yang ngasih gue rasa aman, itu dari temen gue. Waktu gue SMP, itu dari temen. Waktu gue SMA, itu dari kakak kelas. Kuliah itu dari sahabat gue ini. Tapi, gue tetep belum nemu figur ayah yang “figur ayah tuh kaya gimana sih?”. Itu figur yang masih gue cari sampai sekarang. Karena gue ngga nemu. Makanya kalau gue dipeluk sama bokap gue, itu rasanya awkward, ngga pengen, ngga suka gue, “ini apaan sih?” Saking gue ngga deketnya, ya. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxiv (lanjutan lampiran 3)
FE : Segitu bencinya sama bokap? RI : Kalau sekarang sih, ngga benci. Ya itu, gue bilang, gue ngga benci. Gue udah maafin dia, ada beberapa hal yang udah ngga gue inget lagi, tapi masih ada tembok yang ngga bisa gue lewatin. Tembok itu gede, tembok itu tebel, dan itu ngga bisa gue lewatin. Sama sekali. Satusatunya cara buat ngebenerin hubungan gue ama bokap gue adalah dengan gue bilang sejujurnya kondisinya gue kaya gimana. Terserah mau nerima atau ngga. Kalau nerima, gue ngga usah ngerasa harus menutup-nutupi lagi. Ngerti kan? FE : Is it related to your sexual orientation? RI : Iya. FE : Tadi, lo bilang kalau dulu pernah sempet bilang ke bokap lo kalau lo benci sama dia sampe you were trembling at that time, apa sih respon bokap lo waktu itu? RI : Dia cuma diem, ngga mau nerima, dan dia keluar, terus balik lagi malemnya. Mungkin, dia punya gue di saat mentalnya belum siap. Gue lahir, dia umurnya masih 22 atau 23. Mungkin dia belum siap, nyokap gue soalnya udah 25-an. Jadi, mentalnya belum kuat buat nerima kalau dia adalah seorang ayah. Gimana caranya supaya jadi ayah yang baik, dia itu ngga tahu caranya. FE : Hmm, dari cerita lo tadi, apa yang gue bisa simpulkan adalah bahwa hubungan lo dan bokap lo ngga deket. Nah, apakah hubungan lo dengan nyokap lo juga jadi sebegitu deketnya? RI : deket, deket kok. Kalau misalnya ada apa-apa, gue pasti ngomong ke dia duluan. Kalau misalnya gue nelpon, pasti ke dia duluan atau ke adik gue. Ngga pernah ke bokap gue. FE : Sedeket apa sih hubungan lo ama nyokap lo? RI : Deket, sih. Ya, deket banget. FE : Maksud gue, apakah deket karena emotional bonding atau karena ngga ada pilihan lain, orang tua yang…? RI : Dua-duanya, sih. Karena dia yang lebih banyak tolerir, sebenernya. Sedikit lebih openminded. Sedikit, ya. Walaupun ngga open mind, sedikitlah. Walaupun masih kolot-kolot juga, cuman… Mungkin, karena nyokap yang ngurus gue dari kecil, nyokap yang selalu… Gue inget kalau dulu pas SD, abis kenaikan kelas, gue suka dibawa ke Gramedia, beli buku bacaan, beli apa. Itu menurut gue, bokap gue ngga pernah kaya gitu. Nyokap gue yang seringnya. Nyokap gue yang lebih ngehargain gue banget. Jadi, kalau butuh apa-apa, gue ke nyokap. Nyokap gue itu adalah orang yang paling ngga egois dibandingin ama bokap. Dia pernah bilang “walaupun mama ngga pergi kemana-mana, yang penting kamu yang kemana-mana. Bisa pergi ke Jogja, terus ceritain ke mama tuhkaya gimana, sih. Kalau mama ngga bisa pergi kemana-mana, ya ngga papa”. Buat gue, kontribusi dia di keluarga tuh sangat gede dan dia itu ngga papa deh dia ngga beli apa-apa, yang penting anak-anaknyabisa sekolah, bener-bener bukan kaya ibuibu yang arisan, kemana, ke mall. Dia ngga pernah, dia di rumah, dedikasiin hidupnya buat keluarga. FE : Pernah curhat sama nyokap? Tentang apapun. RI : Kalau tentang cerita kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kuliah atau kerja, pasti cerita. Berhubungan sama asmara, mungkin engga. Engga bisa open juga sih. Pengen open, tapi ngga bisa. Mau sedeket apapun, mau dia sebaik apapun, gue tahu dia bakal drop kalau dia tahu gue seperti apa. Sebenernya gue antara deket, engga, deket, engga ama nyokap gue. Karena ada part di dalam diri gue yang masih gue tutup-tutupin yang ngga bisa gue kasih tahu. Jadinya, nyokap gue kesannya ke gue adalah seorang introvert. Bukannyague ngga mau ngasih tahu, tapi gue ngga bisa ngasih tahu gitu, lho. FE : Kenapa ngga bisa ngasih tahu? RI : Belum, belum. Gue belum siap. FE : Alasannya? Apakah belum siap dan takut menyakiti perasaannya? RI ; Ya, gitu deh. FE : Hmm, di umur lo yang 16 tahun, lo baru punya adik. Hubungan lo sama adik lo gimana sih? RI : baik banget. FE : Bagaimana lo melihat hubungan lo sama adik lo? Di mata lo, adik lo ini seperti apa? RI : Pokoknya prinsip gue, gue tuh ngga mau apa yang terjadi sama gue dulu, kejadian sama adik gue. Jadi, kalau misalkan dia emang kehilangan figur seorang ayah, gue pengen dia nemu figur seorang ayah dari gue. Gue selalu, pokoknya, gue tahu kalau dulu gue selalu kurang misalnya Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxv (lanjutan lampiran 3)
kalau gue pengen sesuatu ngga pernah ada yang ngebeliin atau gimana. Kalau sekarang, kalau gue sama adik gue, dia tahu kalau misalkan ada gue, dia ngga akan pernah ngerasa kekurangan. Dia ngga akan pernah ngerasa “life is not fair”. Gue ngga mau dia ngerasain waktu SMP ngerasa kalau hidup ngga adil. Gue ngga mau. Gue pengen adik gue merasa cukup, dia ngga perlu sirik sama orang lain. Dia punya kakak yang bisa dia andelin. Yaudah. Yang penting dia belajar yang bener. FE : Lo berusaha buat memanjakan adik lo? RI : Manja sih bukan kata yang tepat, sih. Gue berusaha buat hmm… Gue ngga selalu menuhin permintaan dia cuma kalau emang itu make sense dan gue juga oke, yaudah ngga papa, kenapa engga. Tapi gue tetep ngasih penjelasan, and do it in a very good way, karena gue ngga mau kaya kejadian bokap gue terjadi sama dia. Gue ngga mau . Gue sayang banget. FE : Apakah bokap lo masih melakukan hal yang sama ke adik lo? RI : Kadang, cuma sudah sedikit lebih lunak. FE : Berarti bisa gue simpulin kalau figur seorang ayah tidak pernah lo simpulin dan figur seorang ibu di mata lo adalah orang yang deket sama lo, bisa lo jadikan tempat curhat, kontribusinya besar kepada keluarga, atau ada lagi yang mau ditambahin? RI : Ya paling, hmm, kontribusinya ke keluarga besar. FE : Menurut lo, bagaimana sih pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua lo sama diri lo selama ini. Apakah kurang tepat? Kalau sesuai dengan penjabaran lo tadi, lo bilang kan ‘kurang tepat’. RI : Gue ngerasa keluarga gue itu dysfunctional. FE : Dysfunctional family? Hmm, walaupun keluarga lo dysfunctional, gue merasa ya kalau gue pribadi, keluarga, khususnya orang tua, berperan dalam menanamkan nilai. Bagaimana sih orang tua lo mengajarkan nilai-nilai yang berkaitan dengan gender role? Seperti misalnya lakilaki kerjanya begini, perempuan begini. Orang tua lo, bagaimana peran mereka dalam mengajarkan hal tersebut? Mungkin bisa dikasih contoh. RI : Banyak, sih. Misalnya, jangan main banyak sama cewe, nanti gimana, gimana, gimana. Standar banget, maksudnya ya, tetapi mereka ngga pernah menyuruh kaya “ayo dong main bola”, “ayo dong main sepeda”, “ayo dong main motor”, “main basket, kek atau main apa…”. (Wawancara berhenti sebentar karena informan harus mengangkat telepon) FE : tadi kan, ngajarin… RI : Maksudnya, mereka tuh ngga nyuruh. Mereka lebih seneng ngelihat anak-anaknya di rumah, belajar. Apalagi nyokap gue, ya. Dibanding sama temen-temen sekolah kemana, main bola. Karena mereka takut kalau gue main bola sakitlah, kalau main ini sakitlah, maksudnya mereka mau gue stay di rumah dan mereka ngga.. Hmm, misalkan kalau ada pramuka, orang-orang kaya excited, tuh. Kalau mereka tuh ngga, kaya “mau ikut ngga?”, “ngga tahu, sih”, “ngga usah aja, ya?” Merekaberdua setuju, bokap sama nyokap gue setuju. Jadi, mereka ngga pernah menyuruh gue atau memaksa gue untuk melakukan sesuatu ke arah yang maskulinlah, femininlah. Ngga. Cuma mereka lebih mau gue untuk stay dan diem di rumah. Tapi, gue diem di rumah, bisa ngerjain apa aja, bisa ngapain, bisa main apa aja. FE :Tapi, pernah ngga sih, lo melakukan hal yang let’s say, berbau feminin? RI : Dulu, temen-temen seumuran gue itu cewe dan kita itu sering misalnya kalau sore-sore itu suka main kaya “bongkar pasang”, boneka yang dari kertas yang bisa ganti baju dengan dilepas, yang dicapit gitu. Karena mereka yang cewe-cewe kan biasanya main itu, masa gue diem aja. Nah, nyokap gue biasanya suka “jangan main kaya gitu terus, kaya cewek”. Karena… Ngerti ngga? Gue tuh ngga boleh main ama temen-temen gue di luar, main bola, lari-lari, atau main apa, atau kegiatan yang dilakukan di luar, lari-lari. Gue disuruh untuk stay di rumah, dimana selama stay di rumah gue juga main sama keluarga yang juga banyakan cewe. Rumah kita deket-deketan. Di rumah gue itu ada teras, mereka kalau sore-sore suka main di situ. Mau ngga mau daripada gue diem aja, ya gue ikutan. Agak susah sih sebenernya. Waktu itu, gue juga kaya ngga punya pilihan karena emang masih kecil. FE : Di satu sisi, kalau lo mau keluar, lo takut dimarahin, menghindari dimarahin, lo stay di rumah. RI : Gue sih berharapnya rebel, tapi ngga bisa. Gue ngga bisa untuk mengutarakan pendapat atau komentar gue. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxvi (lanjutan lampiran 3)
FE : Pernah ngga sih lo bertanya atau meminta penjelasan kenapa lo ngga boleh ke luar rumah atau ngga boleh main ini? RI : Biar ngga sakit FE : Ada ngga sih penjelasan lain? Seperti “this thing is not gender appropriate with your gender”? Ngga pernah? RI : Ngga pernah FE : Berarti hanya penjelasan yang surface? RI : Surface. Orang tua gue emang protective banget. Kalau bisa jangan sakit. FE : Berarti, lo tidak mendapatkan penjelasan tentang gender appropriate behavior? RI : Ngga FE : Pernah ngga sih orang tua mengajarkan tentang perhatian terhadap penampilan tubuh? Kalau misalkan pernah… RI : Ngga pernah, gue malah selalu minta pendapat dari orang lain. FE : Jadi, bokap nyokap ngga pernah ngajarin? RI : Jarang. Waktu gue kecil aja, mereka langsung beliin, “nih, bajunya. Udah”. SMP, mereka udah ngasih gue kebebasan untuk make baju apa, maksudnya kaya “ini uangnya, beli gih sendiri” Ngga pernah. Jadi, dulu pernah pas zaman kuliah, gue ke kampus pake kaos pake vest, mereka tuh ngga komplain sama sekali. Gue merasa dulu itu kalau diri gue, “oh my god, what were I thinking?” Mereka ngga peduli sama sekali. Jadi, gue lebih banyak televisi stylenya begini, ya gue ikutin. Terakhir-akhir, gue punya temen anak Seni Kriya, dia tahu fashion, kan. Gue belajar banyak dari dia. “Ngga boleh kayanya, Rxx pake baju yang kaya gini tipenya”, “Garis-garis yang horizontal jangan deh”. Gue banyak belajar dari dia. FE : Kalau itu kan penampilan dalam hal apparel. Kalau penampilan secara tubuh, apa nilai-nilai yang diberikan orang tua lo? RI : Ngga pernah. Ngga pernah. Gue ngga pernah dikasih… Ngga pernah. Mungkin komunikasi gues sama mereka cuma…. Setelah gue pikir-pikir lagi, gue baru sadar kalau mereka ngga pernah. Selama init uh, obrolan kita cuma kuliah, kuliah, keluarga, keuangan, tapi ngga pernah secara personal kaya gitu, sih. The way I looked, rambut gue gimana, jarang. Mereka juga kaya ngga peduli sih sama hal-hal yang kaya gitu. FE : Kalau begitu, pola interaksi komunikasi yang kalian lakukan adalah the thing you need dan hal yang harus mereka penuhi dalam kewajibannya sebagai orang tua? RI : Iya! Betul. FE : Engga ada emotional bonding? RI : Dikit banget. Karena mereka sibuk kerja juga, kan. FE : Cuma mau menegaskan aja, apakah orang tua Anda memberikan kebebasan penuh terhadap hal apapun di dalam kehidupan Anda? RI : Untuk beberapa hal iya, untuk beberapa hal engga. FE : Beberapa hal yang engga? RI : Hmmm… kaya contohnya ngga boleh pulang malem, ngga boleh apa, ngga boleh apa, gitu deh. FE : Lagi-lagi ke hal yang bersifat konservatif, ya? RI : Tapi bebasnya kalau masalah penampilan, mereka malah cenderung ngga peduli. Karena kaya, itu tuh ngga harmful buat mereka, luput dari perhatian mereka. Lebih ke hal-hal kaya jangan pulang malem, gue jalan ama siapa, terus gaji gue abis buat apa. TRANSKRIP WAWANCARA Keterangan Wawancara Tanggal : 17 April 2012 Waktu : 20:35 Lokasi : Kamar Informan
FE : Kemarin itu kan, kita sampai tentang keluarga, ya? Sekarang, tentang peer group. Boleh ceritakan sedikit tentang bagaimana kehidupan pergaulan lo beberapa tahun belakangan? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxvii (lanjutan lampiran 3)
RI : Gue paling banyak bergaul sama temen-temen kampus gue dulu, yang sekarang pindah ke Jakarta. Bener-bener, gue jarang ikut komunitas apapun, jadi gue ngga punya banyak temen. Engga. Gue sama temen-temen gue jadinya kayanya closed communication eh closed komunitas gitu. FE : Ekslusif? RI : Engga ekslusif juga sih, cuma ya emang kita temen-temen dekatnya ya emang itu kan dan kalau pergi ke mana-mana ya sama mereka. Selain itu, ya paling sama temen-temen gay gue. Ya, tapi hubungan gue sama temen-temen gay gue juga sifatnya lebih perorangan. Gue kenal A, gue kenal B, gue kenal C, tapi si A, si B, si C kadang ngga ada mutualnya. Kalau pun ada mutualnya, ya jauh banget dan ngga saling berkomunikasi. Banyakannya sih gitu walaupun ada beberapa yang ternyata circle-nya sama cuma kita ngga pernah tiba-tiba ngumpul di mall. Ngga pernah. FE : Untuk keamanan lo sendiri, bagaimana kalau kita ganti kata “itu” dengan kata lain. RI : “NS” gimana? Not straight. FE : Ok. Hmm, seberapa intensif sih hubungan lo sama temen-temen lo yang NS? RI : Hmm, kalau misalkan dibilang intensif banget, engga. Kalau emang ada kesempatan mereka ajak jalan dan gue lagi kosong, oke. Tapi biasanya sih, biasanya ada level of priority. Jadi, misalnya kalau misalnya gue lagi senggang, hmmm kalau bukan pacar gue yang … Gue bakal pergi atau gue bakal… Pokoknya yang pertama bakal gue prioritasin adalah pacar gue. Kedua adalah temen-temen deket gue dan ketiga barulah temen-temen NS gue. Kalau misalnya gue ngga ada kerjaan dan mereka juga tiba-tiba ngajak jalan ke mana , ya ayok. Tapi kalau selain itu, ya jarang sih. Jarang banget ngumpul. FE : Berarti komunikasi lo sama mereka juga jarang dan ngga terlalu deket sama kayak tementemen kuliah lo? RI : Iya. Maksudnya ya kaya temen biasa, kaya lo sama temen straight lo, ngga basa basi. Kalau butuh ya ada, kalau misalnya temen-temen lo ngajak makan, yaudah berarti tujuannya buat ngajak makan. Kalau misalkan mereka ngga dibutuhkan ya mereka ngga dibutuhkan, gitu. Sama kaya friends biasa. FE : Intensitas lo sama temen-temen kuliah masih ngga? RI : Masih. FE : Masih seintens dulu? RI : Masih. Kita masih suka ngumpul sebulan sekali. FE : Dibandingkan dengan temen-temen lo yang NS ini, mana sih yang paling sering lo lakukan interaksi? RI : Sama temen-temen gue yang kuliah. Masih sering. Soalnya kita juga ada grup kan, grup di WhatsApp. Jadi pasti tiap hari ngobrol. FE : Jadi, dari dulu sampai sekarang, masih sering ngobrol ya? RI : Masih. FE : Kalau di lingkungan kantor, bagaimana pertemanan lo? RI : Hmm, mungkin lebih banyaknya, gue lebih deket sama sekretaris kantor. Deket banget sih. Umurnya udah 30 something, tapi ngobrolnya nyambung banget gue sama dia. Sisanya, engga sih karena basically di kantor, kita cuma 27 orang. Sangat sedikit dan kecil karena memang harus sedikit, ngapain banyak-banyak. Kebanyakan mereka sudah married sih, udah punya keluarga, dan udah tua juga sih dan kebanyakan yang cewe-cewe dan rumahnya jauh, Bekasi. Jadi, kalau misalnya abis pulang kantor, ngga ada tuh yang namanya “yuk ngumpul dimana, ngobrol dimana yok, makan”. Ngga pernah karena mereka pasti balik ke keluarganya. Terus yang rumahnya jauh, pulang malem apalagi cewe kan. Jadi intinya, mereka lebih banyak, jam setengah enam teng, langsung balik. Sisanya ya gitu. Ngga banyak. Ya… makanya gue mikir, gue lebih banyak meluangkan waktu buat diri gue. FE : Lebih banyak buat diri sendiri atau memang kenyataannya lo adalah penyendiri? RI : Engga juga sih… tapi kadang kalau gue pikir-pikir lagi, mungkin iya. FE : Kalau lo orang yang suka menyendiri? RI : Mungkin iya, tapi gue lebih, tapi kadang kalau gue mau pergi ke mana gitu ya, gue kadang jarang minta ke temen-temen gue sih. Gue berangkat sendiri, kecuali kalau tiba-tiba temen gue minta anterin. Biasanya sih gue lebih depends sama diri gue sendiri, sih. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxviii (lanjutan lampiran 3)
FE : Berarti lo cukup bisa mandiri dan tidak bergantung sama mereka lah ya? RI : Banget-banget FE : Nah, karakter yang lo tampilkan di depan mereka bagaimana sih? Bagaimana lo menilai karakter yang lo tampilkan? RI : Gue lebih funny, yang humoris, yang suka nge-cablak, bikin lelucon-lelucon gitu. Sama semuanya, di antara temen-temen kantor, sama temen kuliah, sama semua. Gue tuh ya memperlihatkan kalau gue tuh ya seperti ini. Gue ngga memperlihatkan kalau di kantor gue sok cool, diem, tapi di luar gue ketawa-ketawa. Gue ngga kaya gitu, di kantor gue tetep jadi orang yang ketawa paling keras, mereka tahu. Mereka tahulah kalai gue… FE : Gay? (sambil berbisik) RI : Ngga, ngga. Oke, ada beberapa yang tahu, tapi engga semua. Cuma beberapa yang tahu dan mereka biasa aja sih. Hmm, iya tapi gue lebih menunjukan sisi kocaknya gue, kayak lebih ke anak-anak (kekanak-kanakan), sering jahilin, sering apa, sering kaya gitu-gitu dibanding yang sok gimana sok gimana. Karena gue perangainya bukan kaya gitu, gue lebih suka… ya mungkin, gue merasa dengan cara gue kaya gini gue bisa lebih dekat sama mereka, mereka lebih kenal, lebih tahu kalau gue… Hmm, kaya kalau ngga ada gue tuh ngga bakal rame. Jadi, gue pengen menampilkan kalau misalnya gue itu… orang yang bisa melucu dan menyegarkan suasana FE : Lo menilai karakter lo lebih ke yang seperti itu? RI : he eh. Karena kalau di kantor kalau ngga ketawa bisa stress, jadi ya gue ketawa-ketawa. Harus bikin lelucon tentang apalah, misalnya lelucon-lelucon yang lebih nyerempet ke arah yang sedikit porno. Kaya gitu-gitu misalnya. FE : Berarti lo lebih berharap bahwa ketika lo menampilkan karakter lo yang seperti itu, orangorang bisa mengingat lo? RI : Iya, at least karena gue cuma bisa melakukan itu FE : Dan membuat lo bisa memiliki hubungan yang dekat sama mereka? RI : Iya FE : Punya temen deket atau sahabat? RI : Ada, sih. FE : Banyak? RI : Sahabat atau temen deket banyak kok. FE : Bagaimana sih lo mendeskripsikan kedekatan lo sama temen deket lo ini? RI : Dulu waktu gue kuliah. Karena waktu kuliah kan, we do it together, terus kemana-mana selalu bareng. Hmm, tapi lebih dari itu, menurut gue sih , sahabat itu kaya ngasih tahu… Temen gue bilang sahabat itu yang ngasih tahu kalau misalnya lo salah bukan didiemin. Karena menurut dia kalau didiemin berarti hmmm, kalau lo mau jahat sama orang, lo diemin. Maksudnya, dia lakukan sesuatu, lo tahu itu salah, tetapi lo diemin. Menurut gue, itu kaya lo jahat sama orang itu. Harusnya lo bilang sama orang itu, temen baiknya dia. At least, kasih saran. Temen baik gue sih ada beberapa, cuma sekarang lagi ada di Amerika, gue udah lama banget (ngga ketemu), tapi masih sering kontek, sih. Satu lagi mungkin temen gue, cewe, hmm dia yang tahu pertama kali kalau gue NS, which is dia udah pernah melihat gue nangis tuh. Nangis sejelek-jeleknya gue tuh kaya gimana. Jadi, menurut gue… Gue kalau misalnya gue nangis… Oh, ngga… Orang tuh kalau misalnya nangis pasti malulah kalau dilihat orang lain. Ada perasaan gengsi, tapi kalau misalnya gue nganggep dia temen, gue udah ngga malu lagi dan udah ngga ada rasa “gimana ya kalau misalnya gue nangis di depan dia, gue bakal ngerasa keliatan lemah”. Tapi gue tahu kalau mereka ngga akan nge-judge lo seperti itu dan gue bisa cerita apa aja, ngga perlu ada yang gue tutup-tutupin dan ngga perlu ada yang gue kurangkurangin atau gue tambah-tambahin gitu. Gitu sih. FE : Definisi sahabat menurut lo apa sih? RI : Menurut gue sih, lebih ke arah hmm… seseorang yang tahu lo kaya gimana dan saat lo tahu mereka ngelakuin sesuatu itu dan mereka ngga langsung nge-judge itu baik atau buruk karena mereka tahu sebenernya alasan di balik lo ngelakuin itu apa. Mereka tuh ngerti banget gitu lho. Menurut gue, sahabat itu kayak hmm mereka itu orang-orang yang udah bisa baca pikiran kita. Misalnya, hmmm… yang udah ngertiin karakteristik kita gitu, misalnya “oh gue Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxix (lanjutan lampiran 3)
FE RI
FE RI
FE RI FE RI FE RI FE RI FE RI
FE RI FE RI
FE RI FE
tahu lo bakal gini juga kan sama dia…” Jadi, kaya apa ya, mereka tahu jalan pikiran kita, gitu. Jadi at least kalau kita ada masalah, merea bisa ngasih kita saran dari perspektif mereka gitu. : Tapi engga jadi judgmental? : Engga. Kaya misalnya waktu itu, gue lagi deket sama dua orang, A dan B. Si temen gue ini bilang “ah gue tahu, lo pasti milihnya si B. Gue tahu, ngga mungkin kalau lo sampe ngga milih si B. Gue tahu. Udah jangan, mendingan lo pilih A” Tapi dia tahu kalau gue tuh pilihannya ya si B. Dia tuh tahu banget kalau gue orangnya kaya gimana. Jadi maksud gue, dia udah tahu deh kalau gue itu kaya gimana. Ngga usah hal-hal kecil kayak gue sukanya apa, gue sukanya apa. Itu sih menurut gue ngga begitu penting. Menurut gue walaupun kita jarang ketemu, kalau berkomunikasi nyambung dan ngga malah jadi awkward. Menurut gue sih walaupun kita jauh dan jarang berkomunikasi, ya masih ada emotional bonding. Gitu sih. Makanya gue lebih deket dibanding ama keluarga gue karena gue nemu emotional bonding-nya di situ. : Menurut lo pribadi, relasi lo sama temen-temen lo memengaruhi pola pikir lo ngga sih? Biasanya banyak terpengaruhnya dalam lo memandang apa sih? : Memengaruhi. Lebih memandang ke diri gue sendiri, sih. Hmmm, karena gue tipe orangnya, gue tuh kayak mudah terpengaruh sama orang, kalau misalnya orang ngomong sesuatu dan kemudian gue pikirin, hmm “iya juga ya”. Gue jadi mengikuti pola pikir mereka. Misalkan nanti gue ketemu orang lain, gue nanti pasti mikir “iya juga, sih”. Gue jadi agak condong ke sana (pola pikirnya). Hmm, gue tuh sebenernya ngga tahu gue tuh kaya gimana aslinya karena kepribadian gue sekarang tuh udah kaya nge-blend dari banyak orang yang gue ketemu. Gue lihat sisi orang, gue lihat orang apa, kelebihannya apa, ya gue coba cara pikir mereka gimana dan gue jadi ngikutin. Gue tuh sering ngerasa gue tuh kaya campuran, bukan campuran, hmm apa ya…Gue merasa kayanya cara gue berpikir diperoleh dari orang lain. Sebenernya gue sendiri ngga tahu diri gue sendiri tuh kaya apa karena gue tuh udah kaya chameleon, gue ngambil warna ini, warna ini, warna ini, gue ngga tahu warna dasar gue apa. Karena gue ngelihat warna-warna atau pola pikir orang dan mikir “kayanya bisa gue pake juga ni” : Penampilan tubuh lo memengaruhi lo ngga dalam hal relasi lo sama temen-temen lo : Ngga, ngga pengaruh. Paling cuma rambut : Hmm, ada, tapi dikit ya berarti? : Iya, rambut doang paling. : Teman-teman lo memerhatikan penampilan tubuh? : Ngga. Sama sekali, engga. At all. : Ngga ada yang nge-gym freak? : Ngga ada. Sama sekali ngga ada. Temen-temen deket gue ngga ada yang sixpack. Sama sekali ngga ada. Ngga ada. Temen NS gue juga ngga ada yang sixpack. : Berarti temen-temen lo ada lah ya yang nge-gym di pusat kebugaran? : Ada, beberapa, dikit tapi. Selain itu, mereka kaya ngga peduli sama badan mereka, kayak “yaudah sih”. Apalagi temen-temen cewe gue bukan tipe yang ke mall, dandan, pakai hak tinggi, engga. Mereka biasa aja, ngga lebay. Mereka bukan tipe dandaners banget. Tementemen cowo gue juga bukan tipe yang terlalu banget, dan tipe yang cuek, santai, cuek bebek, “gue mau make baju apa ya terserah gue” gitu lho. Jadi ya gitu, jadi ke guenya juga ya ngga harus sixpack. Jadi (dampak) ke guenya, gue ngga sampe “temen gue udah berhasil sixpack nih, tinggal gue yang belum”. Ngga ada. : Teman-teman lo memengaruhi pemahaman perhatian lo terhadap penampilan fisik ngga sih? : Engga memerngaruhi. : Karena sebelumnya lo bilang kalau temen-temen lo ngga ada yang peduli sama penampilan fisik : Semuanya cuek, semuanya ngga peduli juga, ngga ada yang dandan banget. Gue engga pernah dibilang… Engga pernah kok. Mereka kalo lihat gue, mau lihat gue kurus, mau lihat gue gemuk banget, mereka selalu bilang “engga ah, lo udah oke. Udah diem”. Cuma ya tetep gue ngerasa insecure. : Apakah lo punya temen yang mengonsumsi suplemen kesehatan? : Hmm, dulu ada. : Mengonsumsi apa? Contohnya apa?
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxx (lanjutan lampiran 3)
RI : Aduhh, itu lho susu-susu yang bukan L-Men lagi, udah impor. FE : Whey Protein gitu-gitu ya? RI : Iya dan gue waktu itu pernah dikasih, berbentuk tablet, berwarna ungu, dimakan sebelum nge-gym. Pertama kali gue makan, gue jadi ngga nafsu makan dua hari. Pusing, keringet dingin padahal gue itu pertama kali nyoba. Abis itu, berat badan gue turun drastis abis minum itu. Abis minum kedua kali ketiga kali sih biasa aja, tapi emang drastis banget. Namanya apa ya, thermo apa gitu… FE : Pendapat lo sama orang-orang yang minum suplemen kaya gitu apa? RI : Ngga papa aja sih menurut gue. Mereka punya tujuan kan mau yang badannya bagus dari yang gemuk banget terus jadi bagus. Menurut gue, itu kan mereka kan ngga punya tekad pingin hasilnya ngga cepet, sih. Mereka pengen hasilnya efektif dan banyak orang yang bilang mungkin mereka juga ngelihat “oh banyak orang yang mengonsumsinya jadi begini” jadinya kan ada image kalau misalnya dengan konsumsi ini terus lo ngegym bisa jadi badannya sekeren itu lho. FE : Keren yang ditampilkan di? RI : ya sama konsumennya, ngga di tv. Maksudnya gini, ada orang A nih, hmm dia lihat dulu badannya biasa aja, terus dia minum susu, olahraga, ngegym, terus dia lihat “udah berubah juga ya” misalkan ditanya “oh pake ini ngaruh ya?” “ngaruh, ngaruh”, mau ngga mau kan “oh gue juga mau pakai, ah buat nge-efektif-in. Gitu sebenernya, buat gue sih ngga masalah selama suplemennya ngga membahayakan, sih. FE : Temen-temen lo memengaruhi pemahaman lo terhadap nilai-nilai maskulinitas ngga? RI : Iya. Beberapa temen-temen gue. FE : Apa tuh contohnya? RI : Apa yah, “ayo lo, belajar motorlah, jangan belajar terus”, kaya gitu-gitulah. Atau misalnya “main futsal dong, belajar terus lo, belajar melulu” FE : Intinya konsepsi lo tentang maskulinitas dipengaruhi oleh temen-temen lo juga? RI : Betul FE : Ki, sekarang kita ke hal-hal yang berkaitan dengan sexual orientation. RI : Oke, ini yang gue suka (antusias). FE : Mungkin for your safety, penggunaan kata itu (homoseksual) harus diganti dengan kata “HS”. RI : OK FE : Apakah lo mengidentifikasi diri lo sebagai seorang HS? RI : Sure FE : Sure? RI : Yeah, sure. No doubt about it. FE : Kapan come out? RI : SMA. Ya, I came out to myself SMA. Kayak gue merasa sadar dan menerima diri gue seperti ini ketika SMA FE : Kelas berapa? RI : Kelas 1 FE : Cepat juga ya? RI : Cepet. FE : Apa saja indikator yang lo yakini bahwa lo adalah seorang HS? RI : I liked my own bestfriend. Dulu ada ceritanya gue suka sama temen gue sendiri. Gue pikir itu cuma kaya “oh kita sahabatan” tapi ternyata setelah gue tilik-tilik lagi, apalagi kalau gue tiliktilik sekarang, perasaan gue ke dia itu kaya bukan ke temen doang. Kalau misalkan dia deket sama orang lain dibandingkan deket sama gue, gue jealous. Mungkin gue dulu ngga pernah mikir kalau itu jealous, tapi kalau gue inget lagi itu sebenernya jealous. Dan entah kenapa gue selalu melihat orang itu, lucu ya. Indikasi gue, misalnya gue ngelihat orang nih, misalnya dia ganteng, “duh kok gue pengen jadi temennya yah” “kayanya enak nih kalau jadi temennya” itu, gitu lho. Itu aneh. Dan, pada akhirnya gue searching-searching, gue lihat-lihat. Kebetulan waktu itu ada majalah Hai, khusus ngebahas tentang itu, tentang HS itu, gue lihat, gue baca Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxi (lanjutan lampiran 3)
FE RI FE RI FE RI
FE RI
FE RI FE RI
FE RI FE RI FE RI
FE RI
FE RI
FE RI
banget dan gue sadar. Gue pun mulai membuka sesuatu yang berbau porno, maksudnya ya pengen tahu aja. : Ketertarikan terhadap sesama jenis, lo anggap sebagai indikator homoseksualitas lo. Ada lagi ngga yang menjadi indikator bahwa lo adalah seorang HS? : Itu doang kayanya sih : Pengalaman homoseksualitas yang pernah lo alami apa aja? : Maksudnya? : Contohnya, apakah mungkin lo pernah having a date? : Ya.. gue pernah ngelakuin itu. Gue pernah punya pengalaman pacaran, pedekate, sama bangetlah sama banget sama (heteroseksualitas). Mungkin pengalaman yang lain-lain, ada lah, seksual pernah, emosional pernah. Hampir semuanya udah pernah : Bagaimana peran penampilan tubuh lo dalam hubungan HS ini? : Penting, sih. Penting kalau kata gue. Banyak orang bilang “gue ngga lihat fisik” “gue ngga lihat apa”, kalau menurut gue itu bullshit. Karena saat orang ketemu orang, dia ngga tahu sih kepribadiannya kaya gimana, yang paling pertama dia lihat adalah appearance, hal yang pertama kali disortir. Sama kaya saat pertama kali orang atau company deh menyortir pegawainya, yang disortir apa? Ngga peduli soft skill-nya, yang dilihat dulu IP-nya, lihat dulu apa yang tertulis karena itu yang penting kan? Jadi menuru gue sih, oke fisik ngga begitu important, tapi ngga mungkin deh, lo harus ada ketertarikan fisik sama orang. Jadi menurut gue itu hal yang penting makanya gue berusaha buat… gue dulu mikir mungkin kayanya naïf, naïf kaya “oh fisik ngga penting, yang penting lo suka sama orang” padahal pada akhirnya, itu hal yang penting. Karena menurut gue di dunia HS ini, itu dunia yang sangat kejamnya itu lebih dari non-HS. Bukan kejam sih, maksudnya lebih harsh aja : Nilai-nilai maskulinitas punya peran ngga sih dalam hubungan lo dengan sesama jenis ini? : Ngga, sih. Ngga gitu pengaruh dan ngga gitu jadi tolak ukur bahwa gue harus nyari orang yang gimana atau … Gue ngga pernah sih menjadikan itu sebagai kriteria gue. : Apa sih yang menjadi patokan dalam lo mencari pasangan di hubungan HS ini? : chemistry, ketertarikan secara, pasti pertama ketertarikan secara physically harus ada, itu harus ada. Karena kadang itu yang bisa bikin bangun jadi chemistry. Karena lebih gampang bangun chemistry dari ketertarikan secara fisik dibanding punya chemistry, tapi ngga punya… susah buat…nyambungnya ada, tapi pas ngelihat ke fisiknya susah, ngga bisa, ngga bisa juga. Jadi, lebih gampang dari fisik dulu trus chemistry-nya oke, itu baru lebih gampang kalau kaya gitu. Ya itu, chemistry, ketertarikan secara fisik, terus hmmm gimana cara dia bisa membawa gue ke arah yang baik, dia harus punya kepribadian yang kuat, dia punya kontrol sama hidup dia, supaya gue bisa niru bahwa gue juga punya kontrol atas hidup gue. : Lo butuh contoh? : He eh. Gue butuh figur. : Hmmm, sekarang kita ke media habit. Media apa sih yang sering lo konsumsi? : Internet yang paling pertama. Gue hampir sepuluh jam di depan laptop. : Wow, sepuluh jam? : Iya, dari jam 8 pagi sampai 10 malem, dia pasti nyala terus kan nih? Pasti gue akan di depan laptop terus. Gue males nyalain tv pasti gue nyalainnya internet, gue lihat berita-berita pasti larinya ke internet. : Alasan apa yang membuat lo memilih internet? : Hmm, cepet, terus gue bisa dapetin apa aja di situ, semua informasi, kalau misalnya lo lihat majalah, lo harus beli dulu ngapain dulu, agak repot sih. Lebih cepet internet. Kadang-kadang kalau tv nyiarin hal yang bukan kita mau. Ya yang paling cepet internet, kita cari apa yang kita mau, ya dia bakal ngasih. : Seberapa tinggi sih, intensitas lo mengonsumsi internet? : everyday, 9 to 10. Dua belas jam. Gimana ngga jereng mata gue, tapi ngga setiap hari juga, cuman ya ngga selama dua belas jam juga buka internet. Dalam rentang dua belas jam itu, gue total-total lima jam dari dua belas jam kali ya. : Dalam diri lo dan kehidupan lo, apa aja sih yang dipengaruhi media? : The way I dress, kadang juga cara berpikir. Lebih banyak ke itu sih. Terutama kalau misalnya gue butuh suggestion, misalnya gue lagi banyak masalah, terutama tentang cinta. Gue
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxii (lanjutan lampiran 3)
FE RI
FE RI FE RI FE RI
FE RI
FE RI FE RI
FE RI FE RI
FE RI FE
RI
FE
bingung gimana cara, gue bingung siapa yang bisa bantu gue, hmmm temen gue cuma bisa bilang gitu-gitu doang pada akhirnya gue nyari, biasanya suka nemu beberapa artikel yang menarik. : Serius lo? : Serius. Apalagi kalau misalnya lo nemu tinybuddha, itu bagus banget. Itu inspiratif banget buat gue karena itu hmm sangat ini banget, bagus banget, dan gue ngerasa ini ngerasa apa… tercerahkan. : Berarti sampai urusan personal, lo menggunakan internet? : Iya. : Segitu tingginya intensitas lo terhadap internet, segitu berpengaruhnya juga dalam kehidupan lo ya? : Sangat. Dari internet gue dapet date. Cuma dari kotak kecil ini. : Kalau misalkan gue tanya, bagaimana sih lo memahami pesan iklan secara umum? Secara umum aja. : marketing, maksudnya ya mereka melakukan marketing. Mereka menjual barang mereka gitu, lho. Terlepas dari apakah itu bohong atau bukan, itu kan cara mereka yah. Ya iklan itu cara mereka buat jual barang ya, terlepas dari mereka bohong atau ngga-nya, lebay atau ngga-nya. Toh kadang kita kena-kena aja. Walaupun kita tahu, misalnya kita beli Rinso, bajunya bakal putih, padahal kita waktu beli Rinso yaudah beli cuci, yaudah gitu lho. Tanpa perlu “ah bohong nih iklannya, bajunya ngga bersih” terus kita minta ganti rugi. Ngga kan? Terlepas dari itu, it works-lah. : Lo tuh tipikal orang yang mudah terpengaruh oleh iklan ngga, ki? : Hmm, iya. Terutama iklan makanan atau minuman. Misalnya, ada minuman baru nih, terus gue ngga sengaja liat di supermarket “wah, ini yang baru kan” terus gue ambil, tapi pas dicobain ngga enak “aaah”. Tapi, gue selalu bisa tertular, sih. : Khususnya di iklan makanan? : Yap, bener makanan. Kalau yang lain-lain ngga, sih. : Ketika lo memilih atau membeli suatu produk, iklan menjadi suatu pertimbangan ngga sih? : Iya, kadang. Misalnya gue lihat “wah iklannya menarik, nih” Gue bisa tertarik buat beli. Sebenernya sih karena gue orangnya mudah terpengaruh. Gue cobain deh atau gue bakal milih ini. : Iklan punya dampak ngga dalam kehidupan lo? : Ada, the way I dress. : Lo suka mencontoh gaya berpakaian di iklan? : Oh sure! Ngga mencontoh, sih, tapi gue suka mengambil beberapa ya…. Secara ngga langsung, sih. Misalkan kaya lo ngelihat secara sekilas, tapi informasi sekecil apapun pasti masuk ke otak kan diproses ama dia walaupun cuma sekilas. One day, lo bakal tahu kenapa lo milih suatu baju, ternyata gue tahu baju ini dari iklan ini, baju itu dari iklan ini. Jadi secara ngga langsung, otak tuh bilang “wah ini bagus ya”, tapi secara ngga sadar, kalau kata gue sih, otak punya cara tersendiri buat nginget sesuatu dan memengaruhi action kita, ke pengambilan keputusan. Misalnya, contoh sederhana itu kaya baju, sih. Gue lihat ini, padahal lihat-lihat doang, gue mikir “wah bagus juga ya ini”.Mungkin ada pengaruhnya juga dari apa yang gue lihat. : dan biasanya apa yang lo lihat itu iklan? : Iya, biasanya. : Kadang-kadang suka ada kan iklan-iklan yang menampilkan stereotype gender, contohnya laki-laki sebagai pemberi nafkah, cewe sebagai kaum yang banyak di ranah domestik. Apa pendapat lo terhadap iklan-iklan yang menampilkan stereotype gender tersebut? : Hmm, balik lagi sih ya, iklan itu kan… Gue ngga bisa bilang suatu iklan itu salah atau benar juga, sih. Karena iklan kan untuk promosiin suatu barang kan, terlepas dari iklannya kontroversial atau ngga atau misalnya mengandung hal-hal yang stereotype banget gitu ya, hmm menurut gue sih ya it’s oke sih sebenernya. Karena itu kan the way apa ya, mungkin ada yang ngga nerima atau apa ya, tapi gue nganggepnya cenderung buat ngga kita peduliin. : So, you don’t even think about i? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxiii (lanjutan lampiran 3)
RI : Karena menurut gue, itu iklan gitu lho. Itu iklan dan apa yah… itu iklan dan tujuannya untuk promosi barang dan efeknya adalah barangnya dibeli atau ngga. Kalau misalnya orang-orang ngga impress sama iklannya berarti ngga dibeli kan? Berarti ada yang something wrong sama iklannya. Jadi, menurut gue, balik lagi ya itu… kadang gue misalnya, ada iklan kaya gitu, gue beli barangnya karena emang barangnya bagus, pasti gue ngga lihat iklannya kadang-kadang. Jadi, gue ngga begitu mikirin hal-hal kaya stereotype gender gitu. FE : Hmm, kadang ada iklan yang menampilkan nilai-nilai maskulinitas. Contohnya, nilai-nilai maskulinitas yang diasosiasikan dengan tubuh. Kalau kita rangkum semuanya, apa pendapat lo terhadap iklan-iklan dengan nilai-nilai maskulinitas? RI : Hmm, berdasarkan… Hmm balik lagi kan, iklan tujuannya untuk promosi, dia pasti liat segmen pembelinya ke mana. Kalau misalnya hmmm, misalnya iklannya Extra Joss nih, dia kan pengen nargetinnya ke cowo-cowo pekerja keras, biar minum gitu lho. Secara ngga langsung yang ditonjolinnya kan sisi itu kan? Kaya L-Men sama WRP deh, ngga mungkin kan WRP nampilinnya cewe-cewe yang keker karena cewe ngga ngelihat diri mereka yang kaya gitu kan? Mereka ngelihat diri mereka kan ramping… Termasuk suplemen, iklannya kan tujuannya untuk menarik pembeli kan. Kalau kaya gue ya gitu. Gue mungkin ngga gitu peduli banget gitu, lho. FE : Oke, berarti karena menurut lo pribadi, iklan balik lagi tujuannya untuk bikin orang beli. RI : Contohnya gini, gue beli suplemen, gue ngga lihat iklannya juga gue pasti beli. Karena kata orang-orang “oh ini bisa bikin lo keringetan lebih cepet, jadi kalori yang kebakarnya lebih banyak” oh gitu, yaudah gue beli, ngga lihat iklan yang begini, terus gue jadi beli. FE : terus, pendapat lo yang ngelihat iklan yang menampilkan laki-laki topless? RI : Pendapat gue sih, dari sisi HS-nya (homoseksualitas), ini iklan tuh… FE : Ngga papa, keluarin aja.. RI : gue merasa iklan-iklan yang topless itu kaya hmmm menariknya buat siapa? Mau menarik buat siapa? Mau menarik kalangan apa? Mau menarik kalangan HS kah atau siapa? FE : Lo masih bingung di situ? Siapa sih yang mereka tuju gitu? RI : Iya betul, tapi ya terlepas dari itu sih kalau menurut gue message-nya nyampe ya orang beli iklan yang ada produk seperti itu, ya emang pengen (punya badan yang) seperti itu. Gitu sih FE : Mau menjadi seperti itu maksudnya? RI : Mungkin mau punya tubuh yang seperti itu. FE : Menurut lo apa sih definisi maskulinitas itu? RI : Namanya juga maskulin, sifat-sifat cowok, sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh cowok. Misalnya, tough, kuat, hmm leader. Itu sih yang gue tangkep, tiga itu doang, sesuatu yang gue ngga punya. Tough, leader, kuat, atau strong. Strong di sini maksudnya strong ngangkat apa gitu, bisa literally bisa ngga. Kalau di sini, kuatnya bisa maksudnya fisiknya. FE : Lo belajar menjadi maskulin dari mana? RI : dari temen-temen gue. FE : temen-temen lo yang lo sebutin tadi? RI : Iya, the way they talk, the way they walk, the way they… kaya gitu. FE : Menurut lo pribadi, apa sih hal yang berkaitan dengan maskulinitas? Hal-hal yang paling berkaitan dengan maskulinitas? RI : Tubuh.. Tubuh.. Tubuh.. yang paling keliatan ya tubuh. FE : Berarti ketika lo melihat tubuh, lo bisa menilai orang ini maskulin atau engga? RI : iya, secara kasat mata, eh ngga tahunya kalau ternyata dia ngomongnya, sorry, bukan melambai atau sedikit gimana, tetep ajasih agak rada… Mau badannya segede apapun kalau ngomongnya agak, ya salah. Emang agak susah sih sekarang bedainnya. Menurut gue sih, (yang berkaitan dengan maskulinitas) salah satunya ya itu, tubuh. FE : Menurut lo pribadi, lo udah cukup maskulin atau belum? RI : Hmmm, gue merasa diri gue, actually gue tuh ngga mau, dari dulu emang ngga mau maskulin banget, karena itu bukan,… dari awal gue emang ngga mau. Dulu gue pernah bilang kan kalau gue mau menampilkan sifat gue yang sweet dan warm. Hmm, dan menurut gue sih agak jauh banget dari konsepsi maskulinitas. Jadi menurut gue, tiap orang kadar maskulinnya beda-beda, hmm dan kalau menurut gue sih, gue dibilang maskulin banget juga engga, dibilang feminin banget juga ngga. Jadi, setengah-setengah. Ada sisi dimana gue “ah kalau Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxiv (lanjutan lampiran 3)
FE RI FE RI FE RI FE RI FE RI FE RI
FE RI FE RI
FE RI
FE RI FE RI FE RI
FE RI FE RI
FE RI FE RI
begini sih gue juga bisa”. Contoh sederhana kalau mau nyebrang, gue pasti pindah ke sebelah kiri. Maksud gue walaupun itu juga ngga bisa dibilang maskulin, at least menurut gue ada sedikit sense alami kalau lo adalah cowo dan bisa ngasih bantuan. Contoh kecilnya ya itu. Ngga harus ngelihat dari badan atau kuat atau apa leader atau gimana. Kalau menurut gue sih hal-hal yang kecil aja sih. Kalau gue melihat diri gue mungkin, gue menganggap diri gue, gue ngga mau menjadi terlalu maskulin banget. Gue setengah-setengah, walaupun ngga terlalu (maskulin), tapi ya menurut gue cukuplah. : Setuju ngga sih lo kalau maskulinitas itu banyak berkaitan sama tubuh? : Setuju : Karena itu hal yang paling jelas untuk dilihat ya? : Iya : Kalau lo melihat kondisi tubuh lo sekarang, lo maskulin ngga? : Biasa aja, sih. : Khawatir ngga sih kalau tampil ngga maskulin? : Pernah, eh tapi kadang-kadang aja, sih. : Contohnya? : Kalau misalnya badannya (orang lain) berotot, ada kekhawatiran kalau gue harus kaya gitu. Istilahnya kalau punya badan kaya gitu, kan bisa bikin kepercayaan diri lo naik. : Berarti gue bisa assume kalau lo juga khawatir sama penampilan fisik lo? : Khawatir sih, tapi engga sampai depresi atau murung atau kaya gimana. Karena pada akhirnya, gue cuma kadang-kadang aja, sih muncul kekhawatiran. Ngga major problem bangetlah. : Kekhawatiran lo itu ngaruh ngga sih ke dalam relasi lo dengan oran lain? : Ngga, ngga sama sekali. Itu kaya, yaudah I keep it to myself aja. : Apa tanggapan lo kalau ngelihat laki-laki yang berotot? Menurut lo, mereka maskulin ngga? : Menurut gue, iya (maskulin). Kecuali ternyata pas ketemu, eh ngondek juga lhoo. Tapi, pasti pertama gue lihat “oke, seksi”, tapi pada akhirnya, itu ngga menjamin gue suka sama orangorang seperti itu (berotot) ya, engga. Gue lebih suka sama orang yang biasa-biasa aja. : Menurut lo, apakah laki-laki yang ngga berotot berarti mereka ngga maskulin? : Hmmm, engga, engga berlaku seperti itu. Berotot itu kan cuma satu kriteria aja, kan. Sisanya kan bisa banyak. Maskulinitas kan bisa banyak, tapi yang paling kelihatan kan, orang yang lihat pertama kali kan otot dulu, tubuh dulu. : Menurut lo, maskulinitas itu memengaruhi ngga sih dalam mendapatkan kekasih? : Ngaruh, sih. Kalau dalam hubungan HS sih, ngaruh. Eh, engga, dalam semua hubungan sih ngaruh pasti. : Kalau kepemilikan tubuh berotot, itu ngaruh ngga sih dalam hubungan HS? : Oh, pasti. Pasti itu. : Bagaimana sih lo menilai penampilan tubuh lo saat ini? : Dibanding gue SMA dan kuliah awal-awal, penampilan tubuh gue dulu biasa. Walaupun masih ada beberapa flaw dimana-mana, gue udah cukup apa ya, cukup puas dengan apa yang gue achieve sampai sekarang, gitu. : Apa aja? : Perubahannya. Maksudnya, gue melihat diri gue dulu, kalau gue lihat Facebook, foto gue zaman tingkat satu, “serius lo, kaya gitu”… : Emang jelek banget? : Engga. Jelek aja, jeleknya tuh “aduh, engga deh. Engga banget”. Hmm, badan gue, rambut gue, engga banget deh. Tapi, makin ke sini, mungkin karena gue sering berkaca, gue “angle gue bagusnya dimana, sih” atau gimanaaa. Gue mencoba buat kenal, bukan kenal, sih. Gue merasa diri gue udah cukup sih walaupun engga excellent banget. Banyak yang suka dan menjadikan gue over confident. : Tadi kan lo bilang ada transformasi ni dalam diri lo, apakah ada perubahan dalam lo memandang penampilan tubuh dari dulu sampai sekarang? : Ada : Signifikan ngga? : Cukup signifikan. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxv (lanjutan lampiran 3)
FE : Bagaimana lo mendeskripsikannya? RI : Ya, misalnya gue dulu selalu merasa ngga bagus, gue ngga apa, ngga apa, ngga apa, tapi sekarang lebih bisa nerima aja sih. FE : Lebih bisa nerima diri lo? RI : He eh. Dengan segala kekurangan gue. Dulu gue sering dwelling dengan “kok gue ngga tinggi, kok gue ngga tinggi, kok gue ngga tinggi…” “kok gue pendek, kok gue pendek…” tapi yaudahlah. FE : Merasa ngga puas ngga sih sama tubuh lo sekarang? RI : Ngga sih, gue merasa udah cukup wlaupun masih harus diperbaiki lagi, tapi sampai detik ini masih merasa cukup. FE : Tadi kan lo bilang kalau sudah cukup puas sama tubuh lo sekarang, tapi masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Bisa ngga gue consider kalau bahwa ada ketidakpuasan lo terhadap beberapa hal tertentu? RI : Iya betul FE : Biasanya muncul karena apa sih? RI : Hmmm, paling gampang itu misalnya kalau orang yang lo suka, ngga suka sama lo. Itu aja sih. Pasti gue ngerasa kaya “oh mungkin penampilan gue ada yang salah kali” atau “gue terlalu chubby atau gue terlalu apa…” muncul sih pemikiran kaya gitu. FE : Ada ngga sih figur ideal atau sesuatu hal yang membuat ketidakpuasan lo semakin besar atau tebal? RI : Ada, yang masalah tinggi badan itu. Kalau suka sama orang yang lebih tinggi dari gue. FE : Ketidakpuasan itu memengaruhi rasa percaya diri lo ngga? RI : Sedikit mengganggu, sih. Maksudnya, kadang-kadang suka ngga PD aja. Kalau urusan PD ngga PD dalam hidup gue erat kaitannya sama kalau ada hubungannya sama masalah cinta. Di luar itu, gue merasa PD aja. FE : Ketidakpuasan ini berpengaruh ngga sih sama relasi lo sama orang-orang di dalam pergaulan? RI : Ngga berpengaruh sama sekali FE : Kalau sama kekasih? RI : Dulu ngaruh. Gue ngeliat diri gue kaya kurang, negatif, ngga bersyukur sama diri gue sendiri. Imbasnya orang-orang di sekitar gue ngelihat gue kayak “udah oke, kok”. Nah, apalagi kalau gue dibilangin (oleh pacarnya) “kurusin dong”. Itu udah. Down banget “shit! Tunggu aja”Ngaruh bangetlah. FE : Ngaruh banget ya kalau sama kekasih? RI : Ngaruh banget deh, apalagi kalau di dunia HS. FE Kalau relasi dalam keluarga, ngaruh ngga? RI : Ngga, ngga ngaruh sama sekali. FE : Ketika ketidakpuasan itu muncul, lo merasa ngga kehidupan lo berubah? RI : Engga. FE : Bagian tubuh apa yang membuat lo kurang puas? RI : Perut sama pantat. Hahaha. Gue pengen pantat gue lebih firm, lebih up. FE : Lo ngasih perhatian ke bagian tubuh lo itu? RI : Iya. FE : Dalam bentuk apa? RI : Olahraga FE : ketika lo mulai memberikan perhatian sama bagian tubuh lo yang itu, atau ketika lo mulai memberikan perhatian terhadap penampilan, hidup lo berubah ngga? RI : Berubah FE : Dalam hal? RI : Banyak. Gue lebih PD, hmm gue kalau ketemu orang lebih PD aja. FE : Percaya diri lo meningkat? RI : Iya. Waktu gue sempet 73 terus turun ke 63, wah itu gila PD-nya gila. FE : Terus sekarang berat lo berapa? RI : 65 sih, naik lagi. 63 – 65kg. Pas gue 63, wah itu gue berasa paling oke deh, tapi gue emang seperti itu karena gue merasa diri gue nyaman aja. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxvi (lanjutan lampiran 3)
FE RI FE RI FE RI
FE RI
FE RI FE RI FE RI FE RI FE RI
FE RI FE RI
FE RI
FE RI FE RI FE RI
FE
: Berapa lama bisa turun 10kg? : Dari Maret sampai Agustus. : Hmmm, menggunakan produk-produk tertentu ngga? : Hmmm, engga. Paling, cuma benerin makan, olahraganya, sama minum suplemen. : Apa suplemennya? : L-Men susu karena kata temen gue, emang keringatnya lebih kenceng dibanding kalau engga minum. Jadi, gue terstigma kalau lemaknya lebih cepet kebakar, kalorinya lebih ceoet kebakar, lemaknya lebih cepet kebakar jadi tenaga. Gue mikirnya kaya gitu. Kata temen gue sih kaya gitu dan temen gue mengalami sendiri. : Menurut lo, tubuh ideal itu seharusnya kaya gimana sih? : Proporsional. Tinggi. Karena gini, berat yang sama dengan tinggi yang beda, itu pasti lebih bagus kalau yang tinggi dibanding yang pendek. Karena lebih merata gitu, lho. Jadi, orang yang tingginya 180 dengan berat 73 dibanding gue dengan berat 73, itu masih akan lebih bagus yang tinggi. Karena walaupun lo tinggi gede akan kelihatan lebih bagus dibandingkan kalau lo pendek gede. Ya ngga sih? Lo kelihatan lebih oke walaupun lo tinggi chubby daripada lo pendek chubby. : Tubuh ideal itu menurut lo harus proporsional dan itu tinggi? : Menurut gue sih iya. : Apakah lo melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Sure : Sejak kapan melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Juni tahun lalu : Berarti, Juni 2011? : Iya : Apa sih yang bikin lo pengen melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Pertama sih, waktu itu emang tujuannya pengen olahraga kan, karena waktu itu beratnya udah stuck ngga bisa diapa2in. Jadi, akhirnya coba gym, lumayan sih. Tapi, akhirnya waktu itu ikutan body jam dan aktivitas fisik kaya angkat barbell gitu malah ditinggalin. Jadi, ikut aktivitas fisik di pusat kebugaran karena pengen ikut body jam. : Tapi, ngasih pengaruh yang signifikan ngga sih, body jam ini? : Hmm, ngasih pengaruh signifikan ke badan sih ngga begitu pengaruh, tapi ke mood gue ngaruh banget. : Apa sih yang lo harapin dengan melakukan aktivitas fisik secara rutin di pusat kebugaran? : Pertama pasti supaya stress gue bisa hilang, tersalurkan. Kedua, maintaining berat badan aja. Maintaining berat badan doang yang penting. Gue tahu gue sekarang lagi pengen makan banyak. Gue tetep makan banyak, tapi berat badan gue tetap stay di 65kg. Ngga naik ngga turun, tetap stabil. Ngga gemuk ngga kurus. Ngga overweight. : Seberapa penting, sih sebenernya berat badan yang terjaga dengan stabil dalam kehidupan lo? : Penting banget. Karena kalau misalkan udah naik, gue langsung stress. Ngga stress, sih. Tapi lebih ke “gue ngga boleh makan ini, gue ngga boleh makan itu, gue ngga boleh makan malem, gue ngga boleh makan, gue harus diet, gue harus…” Pikiran gue langsung macam-macam, “gue udah ngga oke lagi”, “gue udah harus…” Udah deh. Gue berasa beratlah, gue ngerasa gitu deh. : Sampai sekompleks itu? : Iya : Seberapa penting sih melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Menurut gue sih penting. Penting kok. Untuk menjaga berat badan. : Nah, apa yang lo rasakan kalau lo engga melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Hmmm, bad mood, kaya uring-uringan aja. Uring-uringan kaya… Karena gue tahu misalkan hari Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, ada body jam, gue udah mikirin aja “gue body jam mala mini.” Saat suatu hari ngga ada, waduuuh gue BT-nya udah kaya apa. “tahu gini, gue ngga makan nasi tadi siang.” Gue sampai sekarang sih takut makan nasi. : Tanggapan lo terhadap laki-laki yang ngga melakukan aktivitas fisik? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxvii (lanjutan lampiran 3)
RI : Ngga papa, as long as… Gini deh… Selama mereka masih nyaman dengan diri mereka sendiri, itu ngga papa. Kecuali kalau udah gemuk banget, ya gue sih udah sedikit… Sekarang sih udahlah ya balik ke urusan masing-masing, kalau mereka ngga suka yaudah ngga usah. Karena kan mungkin terbatas sama biayalah. Karena kan biaya untuk itukan ngga murah, tergantung prioritas oranglah. Tapi kalau menurut gue dalam melihat pasangan, khususnya dalam dunia HS, gue sih pasti lebih prefer sama orang yang berusaha untuk look good juga. FE : Pernah melihat iklan L-Men versi “The Journey”? RI : Pernah FE : Pendapat pertama kali ketika melihat iklan itu? RI : Hmmm, ya sama kaya iklan-iklan L-Men sebelumnya ya. Selalu ada hmm topless, selalu ada berenang, dan selalu ada cewek. It’s like a kinda “gini lho kalau badan lo bagus”, “lo bisa dapat cewe cantik kaya apa aja”, kayak “lo bakal kaya gini lho” Jadi intinya bakal kayak… Menurut gue sih, agak pinter emang yang bikin. Kebutuhan dasar manusia kan emang cinta, ya? Bahwa orang di-drive lebih cepat untuk berubaha itu karena cinta. Misalnya, ada orang gemuk terus temen-temennya bilang “kurusin dong, bikin sixpack dong” tapi ternyata dia biasa aja. Nah, once dia suka sama cewek, terus cewek itu suka sama yang sixpack, terus dia pasti bakal berusaha buat sixpack. Jadi menurut gue, pinter marketing-nya mengomunikasikan iklan supaya dibeli. FE : Menurut lo, apa sih pesan yang mau disampaikan sama iklan itu? RI : Sesuai itu tadi apa yang gue bilang. Kalau penampilan lo bagus, lo bisa dapetin apa aja. Hmmm, penampilan lo oke, bagus, lo bisa dapetin siapa aja. Karena pada akhirnya kan ada cewe kan? Ada fokus dimana si cewe itu, si cewe itu bakal ngedeket apalah. Intinya lo bakal dapetin siapa aja gitu. FE : Setuju ngga sih sama pesan itu? RI : Hmm, agak sedikit setuju sih ya. FE : Yang bikin lo ngga setuju? RI : Agak sedikit shallow aja sih kalau misalnya kayak dengan badan lo bagus lo bisa dapetin siapa aja. Bahwa apa yang dilihat tuh sebenarnya cuma fisik aja. FE : Bagaimana sih lo memaknai laki-laki itu? Bagaimana lo melihat laki-laki di dalam iklan itu? RI : Gue males aja sih ngelihatnya. Iya gue tahu badan lo bagus, terus kenapa? Gue ngga impressed aja sih sebenernya, ngga impressed sama… Dia tahu penampilannya bagus kaya gitu, tapi… ya gimana ya, kaya iklan tuh membiarkan dia tuh ngasih lihat tubuhnya. Ya, dia lari-lari ngga usah pakai baju apa-apa, gitu lho. FE : Maksudnya? RI : Ya itu kan ada adegan lari-lari kan? Lari-lari cuma pakai celana pendek doang ngasih lihat badannya. FE : Lo nganggepnya dia pamer? RI : He eh. Yang ternyata emang kebanyakan sih kaya gitu. Biasanya disebutnya poser gitu. FE : Poser? RI : Di tempat gym, kita biasanya nyebutnya poser gitu. Poser itu orang yang sengaja ngelihatin kalau badan gue bagus. Kalau badannya bagus, terus bajunya seketat mungkin. Entah dia kalau sambil ngapain ya begitulah… FE : Menurut lo, laki-laki di iklan itu maskulin atau ngga? RI : Maskulinlah dari tubuhnya. Kalau dilihat dari tubuhnya sih maskulin. Dari tubuhnya, dari struktur mukanya bisa dikategorikan maskulin. Karena menurut gue kalau misalnya dia ngga maskulin, kalau dia ngga bisa menampilkan sisi maskulinnya, gagal dong produknya FE : Tubuh dia ideal ngga menurut lo? RI : Dibilang ideal sih iya, tapi gue ngga mau jadi kaya gitu. Mungkin ideal buat semua orang iya, tapi ideal buat gue ngga. FE : Kenapa? RI : Karena gue ngga suka yang badannya sampai kaya gitu. Terlalu bulky gitu ngga suka gue. Karena pada akhirnya, gue pilih orang yang biasa aja, yang ada lemaknya dikit-dikit atau gimana. Karena itu yang menurut gue bikin dia human, gitu. Bisa di-approach, menurut gue sih ya kalau yang badannya bagus, pasti nyarinya yang badannya bagus juga. Ada kecenderungan gitulah. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxviii (lanjutan lampiran 3)
FE RI FE RI
: Menurut lo, apakah laki-laki di dalam iklan itu punya citra tubuh yang ideal? : Citra tubuh yang ideal? Iya dia punya. : Punya keinginan untuk mengonsumsi L-Men setelah melihat iklan itu? : Kebetulan bukan karena iklannya, gue mengonsumsi L-Men sih. Hmm, gue mengonsumsi LMen bukan karena iklannya, itu aja sih. Oke gue konsumsi, bukan karena iklannya. Karena emang gue ngerasa manfaatnya seperti itu walaupun manfaatnya ngga jelas-jelas amat, cuma gue merasa… Makanya gue tetep stay sampe sekarang, gue masih konsumsi dan masih beli kok. Dan gue pasti sebelum olahraga, gue selalu percaya sih. Kaya air zam-zam yang kita percaya bisa nyembuhin penyakit, ya kita percaya aja ngga sih. Probably, kayak placebo effect kali ya… FE : Oke, terima kasih banyak ya atas waktunya TRANSKRIP WAWANCARA
Keterangan Wawancara Tanggal : 10 Mei 2012 Waktu : 22.00 WIB Keterangan :Wawancara ini merupakan mediated interview yang dilakukan dengan menggunakan Yahoo! Messenger.
FE: here are the rules: i just ask you an hour, since pertanyaannya tidak terlalu banyak. (2) kalau misalnya lo merasa bahwa pertanyaannya sudah pernah ditanyakan, jawab aja ngga papa. since tidak ada jawaban benar/salah. (3) karena penelitian gue kualitatif, gue sangat mengharapkan jawaban lo panjang dan deskriptif. semakin naratif semakin kaya informasinya. (4) semua informasi di sini sifatnya confidential walaupun nanti historynya akan diprint, tapi i'll pick up the unnecessary ones. (5) kalau memungkinkan, balesnya sekali langsung panjang aja .Menurut lo, orientasi seksual itu punya pengaruh ngga di masyarakat? contoh misalnya, laki-laki homoseks seringkali dianggap ngga mampu buat melakukan hal-hal yang sifatnya maskulin RI: pandangan kebanyakan orang sih begitu FE: terus menurut lo, ada ngga perbedaan bagaimana seorang homoseks mendefinisikan maskulinitas dengan heteroseks? RI: nggak, gue sih nggak membedakan karena pada dasarnya kita sama2 cowok gitu dan sori gue sebagai gay ga mau dianggap lebih lemah dari hetero. hahaha FE: wow. lemah dalam hal apa nih? fisik atau mental? RI: both. hehehe FE: R, laki-laki homoseks itu paling gampang dikenalin lewat apanya sih? RI: the way he stare at us. susah sih, tapi secara umum bisa diliat dari penampilan FE: penampilan fashion? atau penampilan tubuh secara keseluruhan (gesture, cara jalan, cara ngomong)? RI: fashion FE: selain penampilan fashion yang obvious, apa yang membedakan laki-laki homoseks ama heteroseks, selain keinginan seksualnya terhadap sesama jenis? FE: fashion ya mungkin obvious kalau mereka pake pink ya? hahahaha RI: itu stereotype deh. gay identik dengan pink. hahaha, nggak juga FE: oia, terus apa dong? gua ngga paham begituan RI: tapi lo bisa liat dari tas apa yang mereka pakai FE: tas????????????????/ RI: dompet apa yang mereka beli, sepatu apa yang mereka pakai. gay metropolitan, concern banget sama merek FE: sepatu, tas, dompet, itu yang paling gampang ngebedain gay ama straight? berarti ada merk tertentu yang identik dengan gay? RI: banyak. Kosmetik, perawatan muka hahahah FE: lo make ngga? hahaha RI: cuman cuci muka doang FE: lo pake apa? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xxxix (lanjutan lampiran 3)
RI: loreal, harusnya sih pake face shop, cuman masih kemahalan buat gue. mungkin nantilah, gue beralih ke face shop. FE: oh berarti menurut lo, L'Oreal itu merk yang sering diasosiasikan sama gay? RI: nggak juga, beberapa merk yang sering dipake oleh gay sehingga identik sama gay ya itu bally, topman, body shop FE: banyak ya, bro. Itu karena sering dipake gay makanya diidentikan merk yang dekat sama gay ya. Menurut lo, apakah status laki-laki homoseks itu lebih rendah di masyarakat dibanding lakilaki hetero? RI: no, nggak. We can do what straight man do, but they can't do what gay can do. hahahahaha FE: apa tuh contohnya? Hal yang ngga bisa dilakukan straight tapi gay bisa RI: yakin mau disebutin disini? Hahahahaha. Kebanyakan gay mungkin lebih banyak pake perasaan dibanding pake logika. Hal itu bisa jadi kekuatan kalo dipakenya bener FE: oh berarti menurut lo, straight itu lebih sering pake logika ya? RI: iya FE: next. lo pernah mendapat perlakuan kurang enak atau subordinasi, atau penghinaan atas orientasi seksual lo yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual atau mungkin oleh perempuan? RI: pernah, hehehe. bukan penghinaan sih, tapi kayak ledekan. Contohnya, gue diejek ga bisa ngangkat galon air. ngangkat sih bisa masukkin galon ke tempatnya yang gue gak bisa, hahahaha FE: hahahahahahahahaha. Nah, lo menanggapinya gimana? Apakah lo merasa "oh yaudah ini risiko gue" atau...? RI: ya gue bilang aja gue bisa ngangkat, tapi bingung masukkinnya gimana. Hahaha. Sambil bercanda, “sori gue jarang masukkin sih, biasanya dimasukkin”. Ya gue merubah jadi guyonan dan sambil lalu aja, hahahaha. Gue selalu berusaha nunjukkin gue emang mungkin lemah disatu hal, tapi gue bakal tunjukkin kalo gue kuat dil lain hal. Jadi org lain terdistract FE: berarti, lo meyakini bahwa laki-laki homoseks itu adalah kaum yang tersubordinat di masyarakat? RI: maksudnya? Gue nggak ngerti istilah tersubordinat,hahaha FE: atau dengan kata lain, jadi homo ya harus siap diledekin, diejek, gitu2. RI: iya sih karena stigma masyarakat masih nganggep kalo gay sama dengan banci and yet we are not. My boyfriend is gay but it never stop him for doing any masculine thing FE: i see i see. Menurut pengalaman lo selama ini, gimana sih sikap (yang dipikirkan) dan perilaku (yang dilakukan) yang diberikan laki-laki heteroseks terhadap laki-laki homoseks? apa yang ada di pikiran mereka ttg gay. RI: nggak nangkep nih gue FE: menurut pengalaman lo, secara umum, apa sih yang ada di pikiran mereka (laki2 hetero) ttg gay. Pasti bisa positif atau negatif. nah, tapi kalau menurut lo gimana? RI: yang jelas sih, apa yang dipikiran cowok straight ya kaum gay akan memangsa mereka. Jadi mereka takut kalo deket2. Padahal, please kita juga milih2 kali, apalagi kalo liat di forum2 kayak kaskus FE: kenapa mereka? RI: mereka sering banget ngehina maho maho, plus ditambah statement mereka yang kalo ketemu gay pengennya ditendak lah,jijiklah dll. Umm, i feel offended dan gue bales waktu itu “situ pikir situ oke” FE: *nyimak *serius RI: berasa paling ganteng aja bakal dilirik sama gay.kalo punya tampang oke baru deh khawatir. tampang pas-pasan jangan harap deh FE: lo bales gitu di kaskus? lo anak kaskus? RI: iya. Nggak, gue bukan, tapi saking keselnya gue FE: lo ngomong gitu di kaskus bukannya malah jadinya minta dirajam? RI: hahahaha, biarin. yaa gue ngomongnya nggak sefrontal itu sih, secara halus, tapi secara kasar. Intinya kayak gitu. FE: sekarang kita ke pertanyaan tentang tubuh. RI: oke FE: sebagai seorang homoseks, lo merasa perlu ngga melakukan sesuatu supaya terhindar dari kecurigaan homoseksualitas? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xl (lanjutan lampiran 3)
RI: perlu FE: biasanya apa yang lo lakukan? RI: ya melakukan beberapa hal yang nggak gitu feminim lah FE: menurut lo, tubuh berotot/tubuh atletis punya asosiasi ngga sama laki-laki homoseksual? RI: nggak sih. all is fair kalo kata gue FE: gue ngga paham "all is fair" maksudnya apa? RI: ya maksudnya, skrg sih udah ga bisa dibedain. tubuh berotot bisa straight bisa gay. jadi ga bisa diasosiasiin FE: oh, jadi sekarang udah sulit ya? RI: yap FE: lo ngasih jarak ngga sama laki-laki yang obviously gay? RI: kadang. Hehehe. gue gak mau jadi obviously gay. gue sih berharap org melihat gue antara gay atau nggak. jadi bikin bingung. Hahahahaha. mengerti kan? FE: hahahahahaha. iya iya ngerti RI: gue gak mau dianggap straight, tapi gue pengen dianggap in the middle. jadi bikin spekulasi. haha FE: maunya bikin huru hara? RI: pisces loves drama FE: nah, apa pandangan lo terhadap laki-laki homoseks yang punya otot masif dan ekstrem? yang biasanya ototnya keliatannya berlebihan. ada kan pasti gay yg begitu RI: banyak. Yahhh, apa ya. gue sih mandangnya dua. emang dia terobsesi punya otot gede atau he want to get a great laid. itu aja FE: wih wih wih. maksudnya great laid? RI: iyaaa. maksud gue, dia bikin ototnya gede biar gampang buat cari one night stand FE: mau ngga punya badan kayak gitu? RI: nggak FE: lah kenappa? RI: my boyfriend bilang im good, so buat apa? FE: kalau your boyfriend bilang "mas, gedein dong badannya" gimana? RI: oke deh. i'll do it -_____- walaupun males. FE: berarti tergantung request ya FE: masih inget tagline L-Men? RI: mhh RI: trust me it works? FE: anda benar! FE: produk L-Men apa aja yang lo tahu ki? RI: susu, lose weight, gain mass, yang protein2,trus yang telur gue lupa namanya, yang amino bar, trus sama gula non calorie, something like that. FE: wah apal banyak ya lo RI:sering belanja, hahahaha FE: itu lo pernah konsumsi semua? RI: nggak, cuman yang lose weight aja FE: Menurut lo, konsumsi terhadap suplemen L-Men perlukah untuk dilakukan? RI: kalo emang merasa perlu suplemen makanan, ya go for it. FE: L-men perlu banget dikonsumsi ngga sama laki-laki yang pengen punya tubuh atletis? RI: mhhh nggak perlu, tapi kalo mau beli produk yang terjangkau ya l-men, produk lain kan mahal apalagi susu import. hahahaha FE: iklan l-men yang lo tahu apaan aja? RI: yang paling diinget ya yang berenang, detailnya agak sulit untuk dideskripsikan FE: ngga papa FE: pendapat lo sama seluruh iklan l-men yang pernah lo lihat apa? RI: udah pernah ditanya deh dulu FE: hahaha oia ya? lupa gue FE: tau l-man of the year? RI: tau Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xli (lanjutan lampiran 3)
FE: sorry L-Men of The Year. RI: nggak tau pemenenangnya tapi FE: pernah punya keinginan buat ikutan? RI: nope, buat apa. bukan salah satu tujuan dalam hidup gue, dan nggak tertarik juga FE: pandangan lo terhadap laki2 yang ikutan ajang LOTY? FE: apakah mereka merepresentasikan nilai-nilai maskulinitas yang ada di masyarakat? RI: ummmm, mungkin. pandangan gue sih cenderung ga gitu peduli sih FE: ngga gitu peduli sama laki2 itu? hmm, sorry ki. bukannya bermaksud sotoy. bukankah mereka adalah kategori laki-laki yang banyak diinginkan laki-laki homoseksual? RI: diinginkan buat apa dulu nih? buat sex? yes probably. buat pacar? Mhhh, i doubt it. hahaha FE: kenapa? RI: gue sih nggak begitu FE: bukan tipe lo? RI: bukan masalah tipe sih. pd akhirnya, yang lo liat belom tentu apa yg lo dapetin, dan biasanya looks itu identik sama sex. simple itu aja FE: looks itu identik sama sex? simplify dong RI: iya gini, namanya juga cowok, yang mereka pikirkan cuman sex sex sex FE: ho begitu FE: setujukah lo sama statement 'big is masculine' and 'thin is feminine'? RI: nggak. itu agak stereotype lagi, gue pernah liat cowok badannya jadi. ngomongnya tetep aja cong, gesturenya tetep aja cong. looks can be deceiving FE: oh sama kayak yang dulu kita bahas ya? kalau maskulin itu ngga cuma dari badan. RI: iya FE: sekarang section terakhir, tarik nafas dulu. Menurut lo, gimana sih media menampilkan sosok laki-laki, khususnya dalam iklan? RI: Media selalu menampilkan sosok yang tangguh, kekar, macho FE: menurut lo, laki-laki harus punya penampilan tubuh kayak di media ngga sih supaya dibilang maskulin dan bisa diterima masyarakat? RI: Nggak. Lagi-lagi itu sterrotype yang sepetinya sudah ditanamkan dari kecil. FE: menurut lo, apakah seorang laki-laki harus punya penampilan tubuh kayak di media supaya bisa ngedapetin pasangan? RI: Ummmm nggak juga sih. Tapi kadang penampilan tubuh mendukung dan menambah poin plus untuk menarik lawan/sesama jenis. FE: gimana sih pandangan masyarakat sama laki-laki yang punya badan kayak laki-laki L-Men? RI: Mhhhh. Masyarakat mungkin menilai bahwa tubuh seperti di iklan L-Men adalah tubuh ideal dan idaman. FE: ukuran tubuh laki-laki di iklan L-Men bikin lo setuju ngga kalau ‘big is masculine’? RI: Nggak. Sama sekali nggak setuju. FE: perhatian apa aja kira-kira yang diberikan oleh laki-laki di iklan l-men itu ke tubuh mereka? RI: Latihan fisik di gym untuk stay fit plus tambahan kosmetik untuk kesehatan kulit dan mungkin ikut perawatan kulit. FE: Menurut Anda, bagaimana laki-laki di dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year menilai tubuh mereka sendiri? RI: Im sexy and smoking hot. I could get any girl or any boy i want. FE: Menurut Anda, apakah dengan memiliki tubuh seperti laki-laki dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year bisa membuat Anda lebih mudah mendapatkan pasangan? RI:Lebih mudah mungkin. FE: Apakah penilaian Anda terhadap laki-laki dalam iklan L-Men dan finalis L-Men of The Year memengaruhi penilaian Anda terhadap tubuh aktual Anda? RI: Mhhhh. Kadang-kadang. Tapj kebanyakan sih nggak. FE: Apakah Anda memiliki keinginan untuk memiliki tubuh seperti mereka agar penilaian Anda terhadap tubuh menjadi positif? RI: Ummmm. Sejauh ini sih nggak. Gue olahraga biar berat badan gue terjaga aja bukan buat bikin badan jadi muscle. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 4: Transkrip Wawancara Informan 2
TRANSKRIP WAWANCARA Data Diri Informan Nama Usia Jenis Kelamin TTL Alamat Pekerjaan Status Agama
: DI : 20 tahun : Laki-laki : Jakarta, 20 Juli 1991 : Jl. Menteng No. 5A, Jakarta Utara : Mahasiswa : Belum Menikah : Islam
Keterangan Wawancara Tanggal : 20 April 2012 Waktu : 17.10 WIB Lokasi : Kosan Informan, Dago Asri Residence D9, Bandung.
FE : Halo. Jadi, skripsi gue ini tentang pemaknaan nilai-nilai maskulinitas dan citra tubuh. Mungkin mulai dari pertanyaan pertama dulu kali ya. Boleh tolong ceritain tentang diri lo dulu kali, ya. Contohnya mungkin ketika lo SD, SMP, SMA, sampai lo kuliah sekarang. DI : Hmm, oke. Dari kecil ya? Hmm, gue anak tunggal sampai umur gue enam tahun. Ya itu, gue dimanjain sampai adik gue lahir, itu sekitar waktu gue SD kelas satu. Ya, biasalah rasanya kebelah jadi dua, tapi yang dari dulu gue pengen adalah gue pengen sosok yang deket sama gue, tapi bukan dalam bentuk orang tua entah itu… Gue sih berharapnya gue punya kakak cowo atau gimana. Pokoknya itu yang gue pengenin. Hmm, abis itu, gue SMP SMA, SMA gue udah mulai bandel-bandel, udah mulai suka berantem sama bokap nyokap. Akhirnya, gue ngedapetin apa yang gue mau. Dalam artian, gue bisa bebas karena gue kuliah di Bandung dan gue nge-kos. Itu aja sih, cuman ya kadang-kadang gue suka kelewat batas kebebasannya, tapi yaudahlah gue memahami itu sebagai yaudahlah gue masih muda, gue masih mau menikmati masa mud ague, jangan terlalu yang dikekang atau yang gimana. FE : Oke berarti, lo adalah anak tunggal sampai umur enam tahun, adik lo berapa? DI : Satu FE : Cewe atau cowo? DI : Cowo FE : Bedanya berarti enam tahunan? DI : Iya, enam setengah tahunan. FE : Kehidupan lo setelah adik lo lahir, apakah ada perubahan atau lo sebenernya seneng ngga sih punya adik? DI : Ditanya seneng, seneng. Ditanya berubah, engga. Ya, cuma iri aja antara perlakuan antara gue ama adik gue dimana gue dulu… Gue tuh dari dulu ditinggal sama bokap nyokap gue terus, dua duanya kerja, tapi setelah nyokap gue masuk SD, nyokap gue tuh sampe kaya ngebela-belain berhenti kerja buat nganter jemput adek gue. Itu beda banget sama gue yang hmmm selama gue SD. Bahkan gue kelas 4 SD itu pulang sendiri naik bus, hmmm jarak dari rumah gue ke sekolah itu sekitar 30 km, gue pulang sendiri naik bus. Kelas 5 kelas 6, gue pulang naik bajaj ke rumah tante gue, abis itu tengah malem baru gue dijemput nyokap gue. Yang bikin ada kesenjangan antara gue sama adik gue itu adalah adik gue semuanya benerbener difasilitasin. Itu aja sih sebenernya. Kalau misalnya masalah yan lain-lainnya sih gue masih, ya udahlah. Gue seneng-seneng aja kok gue punya adik, gue punya temen. FE : Berarti sudah berpikir seperti itu dari kelas 4 SD? DI : Gue mulai berpikir kaya gitu dari gue SMP karena mulai keliatan kaya adik gue difasilitasin banget itu waktu dia masuk SD dan dia masuk SD itu waktu gue SMP. FE : Berarti ketika lo SMP, lo me-recall lagi pengalaman-pengalaman di masa lalu itu? DI : Tapi, gue masih dalam batas “oh, yaudah.. mungkin..” Gue dulu sempet berpikiran kalau dulu gue sempet kok berpikiran enam tahun ngerasain kasih saying bener-bener daari bokap
xlii Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xliii (lanjutan lampiran 4)
FE DI
FE DI
FE DI
FE DI FE DI
FE DI FE DI
FE DI
nyokap gue, tapi bener-bener pure buat gue. Kalau adik gue, dia kan dari lahir, kasarnya (kasiih sayangnya) udah ke bagi ke gue dan ke adik gue, gitu. Cuma gue mikir yaudahlah ngga papa. Toh juga akhirnya ngga ngerugiin gue banget. : Ketika kuliah, kan berarti pindah dari Jakarta ke Bandung, hmmm perbedaan yang paling besar dirasakan selain kebebasan apa? : Perbedaannya selain kebebasan, di satu sisi, gue jadi lebih deket sama keluarga gue. Karena mungkin dulu karena tiap hari gue ketemu bokap nyokap gue, ketemu adik gue, jadi kaya misalnya kalau ada masalah dikit di rumah, gue dimarahin jadi kaya “ah, apaan..” Sedangkan sekarang, gue ketemu nyokap bokap gue paling hmm dua sampai tingga minggu sekali bahkan bisa sebulan sekali. Jadi, mungkin karena jarang ketemu itu, gue bisa jadi ngerasain pas gue pulang gue bisa ngerasain jauh lebih deket jadi lebih sayang aja sama keluarga gue, gitu. : Jadi merasa lebih dekat dan lebih sayang karena intensitas ketemunyajadi berkurang. Nah, hmm kalau misalnya gue tanya bagaimana sih lo memandang diri lo sendiri? : Gue adalah orang yang hmm gue pengen semua yang gue… Intinya gue bisa dibilang egois, tapi gue perfeksionis, tapi di satu sisi gue juga apa ya…. Hmmmmm….gue ngga bisa hidup sendiri jadi di saat…. Ada saat-saat tertentu dimana emang gue pengen sendiri, gue emang orangnya introvert. Gue tuh suka buat cerita masalah diri gue ke orang lain, tapi di satu sisi ngga suka hidup sendiri. Tapi, orang-orang di sekeliling gue bukan buat temen curhat gue, tapi cuma kayak penghibur gue aja gitu. : Berarti peran teman dalam kehidupan lo adalah untuk menghibur doang, bukan untuk tempat curhat? : Engga tahu kenapa., dari dulu tuh gue emang susah buat curhat sama orang lain kecuali kalau emang udah deket dan bener-bener tahu gue kaya gimana dan yang gue ngga suka alau gue curhat sama orang adalah… Hmm, dulu gue adalah orang yang sering banget curhat, tapi yang bikin gue berhenti adalah antara orang itu bakal bocor atau jawaban dari orang itu ngga sesuai dengan apa yang gue mau. Jadi makanya sejak itu gue males curhat ama orang kecuali bener-bener… Ada satu orang temen gue yang deket banget dan gue percayain curhatan gue ama dia, tapi ada beberapa juga yang tetep gue pendem. : Berarti itu yang bikin lo cenderung untuk jadi introvert dan cenderung untuk ngga curhat sama orang? : Sama bokap nyokap pun gue kaya gitu : Kalau sama bokap nyokap kenapa? : Karena, ngga tahu ya…Dari dulu gue ngga terbiasa buat curhat sama bokap nyokap gue, tapi akhir-akhir ini gue udah mulai cerita tapi bukan sesuatu yang kehidupan pribadi gue banget gitu. Kalau kehidupan pribadi gue, gue cenderung “yaudah ini masalah pribadi gue, cuma gue yang bisa nyelesain” Itu yang ada di dalam pikiran gue, orang lain pun kalau gue cerita paling cukup tahu aja karena mereka hmm seempatinya mereka sama gue, gue tahu mereka ngga akan bisa ngerasain apa yang gue rasain. Jadi, yaudah deh daripada gue cape-cape cerita ke orang lain, yaudah dipendem sendiri aja dan selama ini berhasil, gitu. : Selain sifat-sifat tadi, ada yang mau lo tambahin? : Moody-lah : Apa sih pandangan orang lain terhadap lo? Misalnya, mungkin lo pernah nanya sama temen lo dan apa pandangan mereka terhadap lo? : Pandangan mereka hmm ngga jauh-jauh dari sifat gue tadi. Ya, meskipun mereka ngga sedetail apa yang gue ceritain tadi. Kebanyakan mereka bilang gue orang yang cerewet, rame, ya mereka menganggap gue kaya gitu. Tapi di satu sisi, gue juga orang yang moody-an dan temen-temen gue ngerasa orang yang introvert banget dan dari kaca mereka, mereka ngga tahu, mereka selalu ngga tahu apa isi hati gue, apa yang gue rasain. Yang mereka tahu adalah hmm di saat gue lagi ceria, di saat gue lagi cerewet, itu adalah di saat gue lagi seneng dan lagi ngga ada masalah. Tapi kalau misalnya gue lagi diem aja, terus temen-temen gue ketawa gue diem aja, itu adalah di saat gue lagi ada masalah. Temen-temen gue bilang gue adalah orang yang introvert, tapi di satu sisi temen-temen gue bilang gue bisa nyimpen masalah gue sendiri. : Berarti orang bisa membedakan lo dengan jelas ya apakah lo lagi sedih atau ngga? : Iya.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xliv (lanjutan lampiran 4) FE : Hmm, apa sih pandangan yang lo harapkan untuk dilihat orang lain atas diri lo? Contoh, gue berharap orang lain melihat gue sebagai seseorang yang mandiri yang ngga bergantung sama orang lain. Nah, kalau lo sendiri bagaimana? DI : Ya itu, gue juga berharap kaya gitu karena ya itu tadi, gue ngga bisa sendiri jadi gue cenderung kayak gimana-gimana gue pengen ama temen gue. Hmm, ya itu dia, tapi di satu sisi, gue pengen temen gue nganggep gue mandiri, gue ngga terlalu bergantung sama mereka. FE : Terus, kalau misalnya gue nanya penampilan tubuh secara fisik. Puas ngga sih lo sama penampialn tubuh lo? DI : Kalau ditanya puas atau ngga, gue cenderung puas-puasin aja, tapi ya secara fisik, lo tahulah gue bukan orang yang kurus, tapi ngga gendut bangetlah. Sebenernya dari dulu, gue pengen tubuh gue sedikit lebih tinggi dari ini dan sedikit lebih kurus dari ini, tapi gue bukan orang yang terlalu mikirin “ah, gue harus kaya gini gini gini…” Ya udah, gue terima aja apa yang dikasih sama yang di atas dan menurut gue itu juga bukan sesuatu yang harus gue capai. FE : Hmm, cenderung puas, tapi tetap ada ketidakpuasan? Tapi ketidakpuasannya tidak terlalu dipikirkan? Kita ke sekarang ke pertanyaan tentang orang-orang pembentuk kerangka berpikir, contohnya orang tua, temen, atau saudara. Nah, sekarang gue mau nanya tentang keluarga. Bisa tolong ceritakan sedikit mungkin tentang latar belakang keluarga, seperti suku, agama, jumlah saudara yang lo punya, gitu gitu. DI : Bokap nyokap gue Jawa. Hmm, Jawa yang.. kalau bokap sih, bukan Jawa yang idealis, tapi kalau nyokap cenderung Jawa yang idealis. FE : Maksudnya idealis? DI : Jadi maksudnya yang masih mikirn nilai nilai budaya dalam keluarga dan kehidupan. FE : Contohnya? DI : Contohnya, hmmm… kalau misalnya lo dipanggil, terus lo jawab “apa”, kalau di keluarga gue kayak gitu tuh ngga boleh. Misalnya gue dipanggil, gue harus jawab dengan bahasa Jawa misalnya “dalem”, buat nawarin makan, gue ngga boleh “pak, makan, bu, makan” itu gue ngga boleh. Gue harus pakai bahasa Jawa yang halus. Itu maksudnya idealis, terus mereka masih berpikiran dan termasuk di gue juga kalau gue harus mencari jodoh yang satu suku, at least bukan orang Sunda. Tapi, hal itu ketanem di dalam diri gue. Gue juga.. walaupun sekarang gue belum berpikiran ke arah situ, cuma gue berpikiran, ya itu kalau entar gue nikah, gue harus nyari yang sama orang Jawa juga. Itu kalau dari budaya, kalau dari agama, duaduanya Islam dan gue punya adik satu, cowok, beda enam tahun lebih muda. FE : Dua-duanya Islam atau ada yang beda agama di keluarga besar? DI : Di keluarga besar ada yang Kristen dan dari nyokap nyokap gue (nenek). Nenek gue dulu Kristen pindah agama cuman kakek gue dulu adalah bukan Muslim yang taat, bahkan bisa dibilang Muslim KTP. Nyokap gue pun begitu, nyokap gue sampai umurnya 20 tahunan, hmm…Pokoknya dia dari kecil dulu hidup di sekolah Kristen, dulu juga hampir pindah agama ke Kristen. Pokoknya dulu tuh keluarga gue dari nyokap itu bukan Islam yang taat, deh. Masih makan babi, masih… tapi sekarang sih nyokap gue yang bener-bener ituin agama banget ke gue. Nyokap gue sekarang jadi berubah taat gitu deh. FE : Gue masih ngga ngerti. DI : Nyokap tadinya Islam, cuma ya itu karena ada keluarga yang Kristen dan nyokap gue sama saudara-saudaranya dari kecil sekolah di sekolah Katolik dan eyang gue satunya dulu Kristen yang satunya Muslim, tapi Muslim KTP. Jadi, yaudah punya agama cuma buat status doang, ngga dipraktekin dalam kehidupan. Mungkin pas umur nyokap gue udah 20 tahunan lebih baru bener-bener, agamanya Islam dan rajin sholat sebagainya. FE : Jumlah saudara kan satu nih? Satu itu sekarang kelas berapa? DI : 3 SMP FE : Siapa sih di antara bokap nyokap lo yang paling deket sama lo? DI : Nyokap FE : Bagaimana lo mendeskripsikan kedekatan lo? Apakah karena sering curhat? DI : Ya karena sering curhat dan karena mungkin bokap gue, dia kerjanya ngga di Jakarta dan bokap gue itu ke luar kota.. Itu dia dulu aja waktu gue masih di Jakarta ketemunya aja paling tiga minggu sekali ditambah gue sekarang ngekos di Bandung, gue bisa ketemu bokap gue Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xlv (lanjutan lampiran 4)
FE DI FE DI
FE DI
FE DI
FE DI FE DI
FE
DI FE DI
FE DI
FE DI FE
DI
sebulan sekali, dua bulan sekali dan mungkin itu salah satu hal yang bikin gue lebih deket sama nyokap gue. : Oke berarti karena lo jarang bertemu sama bokap makanya lebih deket sama nyokap? Suka curhat sama nyokap? : Suka, tapi paling masalah kuliah doang. : Tadi lo bilang lo dua bersaudara, hubungan lo sama adik lo deket ngga? : Dulu sebelum gue ngekos dan setelah gue ngekos, kehidupan gue sebelum ama sesudah beda banget. Sebelum gue ngekos, gue ama adik gue sering banget berantem terus. Berantemnya mulai dari berantem ngata-ngatain sampai berantem tonjok-tonjokan. Kalau sekarang, gue cenderung deket sama adik gue, sering ngobrol, adik gue sering bilang “Mas, kangen”, kalau gue pulang ke Bandung “Mas, ngga usah pulang, deh”. Jadi, sekarang lebih deket, sering bercanda, dibandingin dulu yang sering berantem. : Gimana sih figur bokap dan nyokap di mata lo? : ya, mereka adalah alasan kenapa gue kuliah bener, alasan kenapa gue sekarang pengen cepet-cepet lulus kuliah, dan alasan hmmm kenapa gue juga membatasi kenakalan-kenalan gue. : Menurut lo, pola pengasuhan yang mereka lakukan selama ini apakah sudah tepat atau ada yang kurang? : Kalau pola pengasuhan sih gue fine-fine aja karena gue sendiri ngga tahu pola pengasuhan orang tua lain seperti apa. Walaupun gue sering denger cerita temen-temen gue kalau bokap nyokapnya sering begini begitu, gue juga menganggap belum tentu kalau kaya gitu lebih baik buat gue. Jadi, gue merasa apa yang mereka berikan buat gue selama ini itu adalah yang terbaik buat gue. : Gimana sih peran orang tua mengajarkan tentang nilai-nilai tentang gender role? : Paling ya, bokap gue yang paling kaya gitu. Paling dia ngajarin gue lewat cerita-cerita aja. : Maksudnya “cerita-cerita aja”? : Ya, lewat pengalaman-pengalaman hidup bokap gue. Misalnya kalau laki-laki harus yang ginigini… Bokap gue juga kan anak pertama dari enam bersaudara, dia cowo tertua. Jadi, apa-apa di keluarga dia… Hmmm, di keluarga dia kan cuma dua yang cowo, otomatis dia kan lebih ngajarin gue gimana sih tanggung jawab seorang cowo. : Orang tua lo pernah melarang ngelarang kalau lo melakukan hal-hal di luar peran gender di masyarakat? Misalkan lo melakukan sesuatu di luar peran gender lo sebagai laki-laki, orang tua lo melarang atau membiarkan? : Ngelaranglah pasti : Pernah ada pengalaman? : Kalau ngelarang, hmm paling lebih ke marahin gue, seperti ya tadi hmm ya cowo harus ke kayak yang ngelindungin dan lebih bertanggung jawab, sedangkan gue masih belum bisa bertanggung jawab sama beberapa hal. : Pernah dimarahin? : Ya paling masalah-masalah kecil doang, sih. Misalnya, bokap gue lagi ngga di Jakarta dan gue di Jakarta, tapi gue pergi-pergi ke mana gitu sampai malem sedangkan adik sama nyokap gue sendirian di rumah. Ya, gue sering diingetin “kamu anak laki-laki paling tua…” : Hmm, berarti dimarahin secara verbal ya? : Iya, kalau fisik sih ngga pernah : Peran orang tua dalam memberikan pemahaman tentang hal-hal yang gender appropriate? Contohnya mungkin kalau di kehidupan gue, ngomongin orang itu bukan sesuatu hal yang dilakukan laki-laki, lho. Itu diajarkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari bahwa lakilaki tuh ngga kaya gitu. Karena ngomongin orang biasanya dilakukan oleh perempuan dan laki-laki ngga boleh kaya gitu. Nah, lo pribadi pernah ngga kaya gitu? : Ya paling kaya itu aja, bokap gue ngasih tahu kalau laki-laki itu ya harus bertanggung jawab, apalagi kan gue anak paling tua dan bokap gue jarang di rumah. Jadi, bokap gue lebih nekenin ke kalau adik sama bokap gue kenapa-kenapa atau rumah kenapa-kenapa di saat bokap gue ngga ada, gue adalah orang yang paling pertama harus maju untuk ngelindungin. Seperti itu, sih.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xlvi (lanjutan lampiran 4) FE : Pernah ngga sih, orang tua mengajarkan tentang perhatian terhadap penampilan tubuh? Kalau iya bagaimana mereka mengajarkan? DI : Ya, karena badan gue gendut, bokap nyokap gue nyuruh gue untuk olahraga. “kamu harus olahraga” gitu-gitu atau terus ya paling dari rambut karena gue orang yang males nyisir, males rapiin rambut. Sekedar begitu, sih FE : Itu orang tua konstan ngasih tahunya atau sekali-sekali aja? DI : Hmm, ngga konstan sih. Dulu aja, sih, dulu pas awal-awal masuk kuliah aja. Sekarang kan karena bentukan gue udah begini. FE : Memang bentukan lo pas kuliah dulu gimana? DI : Ya dulu gue gendut, rambut gue berantakan, ngga gondrong tapi berantakan. Terus, gue lebih gendut dan gue dulu lebih hitam dari ini, terus gue dulu brewokan, itu dulu sekitar empat tahun yang lalu. Bokap nyokap gue ngasih tahu “kamu kurusin badan” dan ya akhirnya bentukan gue udah begini. FE : Akhirnya kenapa bisa kurus? Karena olahraga? DI : Olahraga sih gue jarang. Gue olahraga, tapi bukan suatu hal yang rutin. Gue bisa kurus itu karena awal-awal kuliah di Bandung, awal-awal nge-kost. FE : Kebanyakan pikiran? DI : Ngga tahu, gue juga bingung kenapa bisa kurus. Tiba-tiba aja kurus. Ya mungkin penyesuaian, adaptasi. Soalnya, dulu sebelum masuk kuliah, berat gue adalah 88 kilo, abis itu satu semester pertama, gue bisa nurunin jadi 78 kilo. Semester depannya, gue bisa nurunin 3 kilo. Abis itu, berat gue mulai stabil dan sekarang berat gue sekitar 72 kilo, tapi itu juga bukan sesuatu yang gue niatin “gue harus kurus, gue harus kurus, gue harus kurus”. Gue ngga pernah, gue bukan orang yang bisa mengontrol makan gue. Gue bukan orang yang rutin olahraga. Makanya engga tahu kenapa bisa turun. Turun sendiri aja. FE : Orang tua ngasih lo kebebasan penuh ngga sih sama hal apapun dalam kehidupan lo? DI : Ngga FE : Ngga ngasih kebebasan? DI : Ngasih kebebasan, tapi ya berbatas. FE : Dalam hal apa biasanya terbatas? DI : Dalam hal pergaulan, dalam hal yaaa lebih ke hubungan sosial, sih dan kebiasaan. FE : Kebiasaan maksudnya? DI : Ngerokok, minum. FE : Sekarang kita ngomongin tentang peer group. Boleh tolong ceritain ngga lingkungan pergaulan lo itu seperti apa? DI : Pertama mungkin lingkungan pergaulan gue di kampus, ya. Lingkungan pergaulan gue di kampus adalah lingkungan yang bisa dibilang lingkungan cewek. Ya, lo tahu, gue adalah mahasiswa salah satu fakultas yang isinya perbandingan cowo banding cewe adalah 1:8. Di angkatan gue, cowonya itu ada enam belas sedangkan cewenya itu ada seratusan. Ngga tahu kenapa, dari enam belas cowo itu, kebanyakan bukan dari Jakarta dan gue dari dulu berpikiran kalau misalnya hmm ya mungkin kurang idealis “hmm, gue kalau main sama anak Jakarta” dan akhirnya jadinya adalah temen-temen gue di kampus.. Ya itu tadi, mungkin kalau cowok, gue cuma deket sama lima orang sedangkan sisanya untuk sehari-hari sama cewe. Karena ya itu, karena gue ngerasa ya itu tadi “ah, kayanya gue lebih deket, bisa lebih deket sama orang-orang Jakarta” dan ya udah karena gitu mikirnya yaaa gue mungkin kalau di kampus bisa deket sama siapa sihh. Untuk di luar, gue ada temen-temen SMA gue,tementemen SMP gue, untungnya bisa ngebatesin untuk gue ngga terlalu banyak main sama cewe juga. Jadi, kalau misalkan di kampus, iya gue lebih banyak main ama cewe karena itu tadi, gue menganggapnya karena paksaan dari lingkungan. Gue dulu SMA bisa berbaur sama cowo dan cewe karena gue ngerasa waktu SMA gue ada di lingkungan yang tepat, gue ada di lingkungan yang cocok. Tapi kalau misalkan sekarang, anak kuliah lebih banyak cewe dan cowonya dikit dan itu kebanyakan dari daerah dengan selera humor, selera bercandaan, selera pergaulan yang beda, kayak gitu jadinya, gue lebih memilih orang-orang yang nyambung sama gue. Bukan karena gue cowo jadi gue harus main sama cowo. FE : Jadi, lo memilih temen pergaulan berdasarkan asal mereka? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xlvii (lanjutan lampiran 4) DI : Asal? Iya, iya, gue bakal… Kalau misalnya nih, ada orang satu cowo darimana, satu cewe dari Jakarta, mungkin gue bakal lebih interest ke cewe dari Jakarta ini karena ya itu tadi mungkin awal kuliah gue sempet memaksakan diri “oke, gue udah di fakultas ini, masa iya gue harus kecewe-cewean, gue main ama cewe” Tapi ya yang gue lihat apa, gue awal-awal main sama cowo terus. Awal semester satu, gue emang main sama cowo-cowo terus, tapi apa yang gue rasain “ah, kok garing banget sih temen-temen gue”. Gue ngerasa seperti itu. FE : Ngerasa ngga nyambung? DI : Iya, ngga nyambung dari segi bercandaan, dari segi obrolan, akhirnya “yaudah, toh juga gue ngga temenan di kampus aja. Di kampus juga, gue bisa temenan sama siapa aja” Gitu. FE : Dalam lingkungan pergaulan, bagaimana sih lo menilai karakter yang lo tampilkan? DI : Karakter yang gue tampilkan… Hmm, yang jelas gue bukan orang yang “yaudah gue kaya gini” Gue ngga pernah jaim atau gimana di depan orang, tapi mungkin misalnya orang belum kenal sama gue, mungkin ngiranya gue jaim atau gimana, gue diem atau gimana, tapi kalau misalkan emang udah deket ngapain gue ngebatesin diri gue FE : tapi karakter lo yang introvert dan sebagainya tadi, tetap lo tampilkan? Punya temen deket atau sahabat? DI : Punya FE : Berapa banyak? DI : Kalau temen deket atau sahabat, ya bisa dibilang cukuplah. FE : Gimana sih lo mendeskripsikan kedekatan lo sama sahabat lo ini? Apakah temen yang cuma sering nongkrong bareng? DI : Ya, lebih ke gitu sih. Kan itu tadi kan yang gue bilang, gue bukan tipe orang.. Gue adalah orang yang introvert. Jadi ya menurut gue, orang yang sering jalan sama gue, sering ketawatawa sama gue, ya sahabat gue. Jadi, sahabat menurut gue adalah bukan orang yang tahu segalanya tentang gue. FE : Berarti sahabat menurut lo adalah orang yang intensitas ketemu sama lo tinggi? DI : Iya, orang yang sering main sama gue, orang yang sering jalan sama gue, orang yang sering ketawa-ketawa sama gue. Pokoknya intinya, orang yang sering bareng ama guelah. FE : Tanpa ada emotional bonding? DI : Ohh, ya itu gue ada, tapi ngga semuanya, ya paling beberapa orang doang. FE : Karakter lo bagaimana sih di mata temen deket lo? DI : Gue di mata sahabat deket gue, introvert. FE : Segitu introvert-nya ya? Ngga pernah cerita masalah apapun? DI : Cerita sih cerita, tapi ya itu tadi, gue cenderung kalau gue cerita ngga semuanya gue ceritain. Karena gue berpikir, masalah gue ngga perlu lo tahu semuanya. Yang penting, lo tahu gue kenapa dan lo cukup tahu segitu aja FE : Biasanya masalah apa yang suka lo ceritain ama mereka? DI : Masalah apa ya, paling masalah kalau gue capek sama kuliah, sama masalah-masalah kalau misalnya gue lagi ada masalah sama temen gue atau keluarga gue. Udah seperti itu, tapi ya itu gue ngga menceritakan secara detail. FE : Pernah menceritakan masalah pribadi? DI : Tentang orientasi gue, ngga pernah FE : Relasi lo sama temen-temen memengaruhi ngga sih bagaimana lo memiliki pola pikir dalam memandang suatu hal? DI : Gue mungkin karena sedikit memilih teman-teman pergaulan dari asal mereka darimana, kebanyakan akhirnya temen-temen gue sekarang adalah orang-orang yang hedon, suka pergipergi ke club, ke tempat-tempat mahal, akhirnya lebih cenderung memengaruhi pola hidup gue, sih. FE : Pola hidup atau pola pikir? DI : Pola hidup dan pola pikir. Jadi, kalau pola pikir gue begini akan memengaruhi pola hidup gue juga, dong. FE : Contohnya apa? DI : Lebih ke, kayak misalnya dulu gue menganggap kalau sering jalan-jalan, sering pulang malam itu sebagai “apaan sih?”, dan sekarang gue menganggap hal itu sebagai “ya udahlah Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xlviii (lanjutan lampiran 4)
FE DI FE DI FE DI FE DI FE
DI
FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE
DI FE DI
FE DI FE DI
FE DI
ya, namanya juga umur-umur segini”,”Ngga usah terlalu kotak pikiran lo”. Sekarang gue mikirnya gitu. : Penampilan tubuh ngaruh ngga dalam pertemanan? : Tubuh hmm engga sih. Lebih ke penampilan fashion, sih. : Teman-teman lo memerhatikan penampilan tubuh? : Hmm, iya. Ada. Mayoritas. : Ada yang nge-gym? : Ada : Temen-temen lo memengaruhi pemahaman lo terhadap perhatian penampilan fisik? : Ngaruh : Punya temen yang mengonsumsi suplemen kesehatan dalam hal perhatian terhadap penampilan tubuh. Contohnya kayak L-Men. Pendapat lo sama orang-orang yang make suplemen kesehatan atau obat-obatan kaya gitu apa sih? : Karena gue berkecimpung di dunia medik, menurut gue itu ngga perlu. Maksudnya, yang ada itu malah ngerusak tubuh lo, ngerusak tubuh lo dalam artian bikin lo ketergantungan. Jadi menurut gue, itu bukan sesuatu yang perlulah, mendingan lo olahraga daripada nge-force diri lo dengan minum kaya gituan. : Temen-temen lo memengaruhi pemahaman lo terhadap nilai-nilai maskulinitas? : Nilai-nilai maskulinitas itu apa ya? : Nilai-nilai maskulinitas adalah nilai-nilai yang diekspektasikan masyarakat untuk dilakukan oleh seorang laki-laki. : Ngga sih kalau dari temen. Ngga begitu memengaruhi : Apakah lo mengidentifikasi diri lo sebagai seorang homoseksual? : He eh (mengangguk) : Kapan come out? : Kapan ya? Mungkin akhir SMA, awal kuliah ketika gue menemukan teman-teman gue yang begitu (homoseksual) juga. : Apa sih yang menjadi indikator bahwa lo adalah seorang homoseksual? : Indikatornya adalah hmmm.. gue mulai tertarik ngelihat cowo secara fisik, gue mulai bandel, gue mulai tertarik ngelihat film-film yang “begitu” (porno-homoseksual). : Apa aja sih pengalaman homoseksualitas yang pernah lo alami? Mungkin kalau bingung, di pengalaman heteroseksualitas itu, ada kayak memikirkan tentang perempuan, pacaran sama perempuan… : Ohh, oke. Gue punya pacar, cowo, yaudah itu. : Bagaimana sih peran penampilan fisik dalam hubungan dengan sesama jenis? : Hmm, mungkin dulu gue berpikiran kalau di dunia homoseksual ini adalah orang yang lebih mementingkan fisiknya. Kalau misalnya yang gue tahu, dalam hubungan cowo dan cewe kan ngga cuma mentingin fisik kan? Nah, yang gue tangkep dari hubungan homoseksual adalah hubungan yang mementingkan fisik dan penampilan appearance secara keseluruhan (termasuk pakaian). Jadi misalnya gini… Gue sama yang sekarang ini udah setahun lebih. Dulu waktu gue deket sama dia, gue cenderung gue lebih memerhatikan tubuh gue, kayak misalnya gue ngerapihin penampilan rambut gue, terus waktu itu gue ke dokter muka, gitu gitu karena demi orang ini. Gue berpikiran kalau ya itu tadi, karena di dunia begini (homoseksual) secara ngga langsung, itu merupakan hal yang penting, gitu. : Kalau nilai-nilai maskulinitas punya peran ngga dalam hubungan sesama jenis? : Hmm, ada biasnya menurut gue. : Dalam artian? : Di mata gue, laki-laki adalah orang yang bertanggung jawab. Di kehidupan homoseksual, lakilaki sama laki-laki. Nah, pasti salah satu dari mereka, kemaskulinannya ada yang lebih menonjol daripada yang satunya. Bisa aja yang satunya cenderung lebih feminin, gitu. Atau misalkan karena dua-duanya maskulin, kadang-kadang yang satu, maskulinnya jadi turun, yang satu jadi naik. : Sekarang kita ke pertanyaan tentang media. Media apa sih yang sering lo konsumsi seharihari? : Internet, televisi. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
xlix (lanjutan lampiran 4) FE : Alasan memilih media itu? DI : Alasannya adalah yaa gue bisa tahu apa saja dari internet. Kalau misalnya TV kan cenderung hmmm dia apa ya… Kalau misalkan internet kan, lo bisa tahu apa aja, kapan aja, kalau misalnya TV kan tergantung acaranya apa kan lo bisa tahu informasi apa. Makanya gue lebih suka internet. FE : Seberapa tinggi intensitas lo mengonsumsi internet sama televisi? DI : Televisi gue jarang. Ya paling tv itu sejam kalau weekdays, kalau weekend.. ya pokoknya gue bentar deh kalau nonton tv. Kalau internet, gue pasti buka laptop, gue internetan pasti bahkan internet suka lupa gue matiin kalau gue tidur. Oia, dan internet bisa gue dapetin dari Blackberry kapan aja. FE : Apa aja sih hal-hal dalam diri dan kehidupan lo yang dipengaruhi media? DI : Apa aja… Mungkin lebih ke penampilan… FE : Maksudnya? DI : Lebih ke style, gaya… FE : Gaya berpakaian? DI : Iya FE : Sering liat iklan. DI : Kalau lagi nonton, terus ada iklan ya gue liatin. Ya, maksudnya nonton doang. FE : Kalau gue tanya, gimana sih lo memahami pesan iklan secara umum? DI : Pesan iklan yaa paling dia akan membuat sebagus mungkin untuk mempromosikan produknya FE : Lo mudah terpengaruh pesan iklan ngga? DI : Ngga FE : Kalau mau memilih dan membeli suatu produk, menggunakan iklan sebagai bahan pertimbangan? DI : Ngga FE : Kenapa? Emang biasanya dapat pertimbangan dari mana? DI : Gue cenderung dari (penilaian) orang “eh, ini bagus…” atau ya gue lihat sendiri packaging dari brand itu FE : Berarti lebih ke saran dari teman atau lo yang melihat langsung? DI : Iya FE : Oke. Hmm, kadang-kadang kan suka ada nih iklan yang menampilkan stereotype gender, pendapat lo sama iklan-iklan kaya gitu? DI : Hmm, karena gue ngga peduli sama iklan, jadi ya udah. FE : Maksudnya “ya udah”? DI : Ya, maksud gue kayak Extra Joss, mereka adalah minuman suplemen laki-laki. Jadi mereka harus membuat iklannya seperti itu. Terus misalnya nanti ada iklan parfum, berarti di situ kan yang akan ditonjolkan adalah laki-laki yang keren kaya gimana, biar parfumnya kelihatan menonjol di situ. FE : Berarti tujuan lebih untuk…? DI : Hmm, itu produk untuk apa dan bagaimana itu produk bisa bersaing dengan produk-produk yang sejenis. FE : Kalau iklan-iklan yang menampilkan nilai-nilai maskulinitas, apa pendapat lo? Khususnya iklan-iklan yang mengasosiasikan maskulinitas dengan tubuh. DI : Pendapat gue… Sama sih, untuk membuat produk itu menarik. Ya lo sekarang bayangin aja kalau ada iklan, iklan apa deh, taruhlah iklan parfum, tapi laki-laki yang ditampilkan adalah laki-laki dengan tubuh yang biasa aja. Orang-orang pasti ngelihatnya “hah, itu apaan sih?” Kalau gue sih ngelihatnya kaya gitu. FE : Nah, kalau iklan yang menampilkan tubuh topless, apa pendapat lo? DI : Sama aja sih sebenernya. FE : Berarti menurut lo, iklan tujuannya untuk menarik orang buat beli. Apakah gue salah menyimpulkan? DI : Bener…. dan bikin orang suka. Misalkan kayak, itu (iklan) juga buat ajang popularitas juga, sih. FE : Maksudnya ajang popularitas? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
l (lanjutan lampiran 4) DI : Ya bisa dari artisnya, bisa dari produknya juga. FE : Bukannya orangnya udah populer ya? DI : Contoh, L-Men deh. Biasanya kan orang-orang kaya gitu kan dari yang… Dia (L-Men) bukannya bikin kontes-kontes yang kaya gitu, terus dimasukin ke iklan, terus abis main iklan, orang itu bisa main dimana dimana, gitu. FE : Sekarang kita ke pertanyaan tentang maskulinitas, nih. Definisi maskulinitas menurut lo apa dim? DI : Maskulinitas adalah suatu sifat yang mungkin.. Bahasa ininya adalah kejantanan, gitu. Kejantanan, pokoknya sifat-sifat kejantanan yang dimiliki laki-laki sehingga dia tuh bisa ngebedain dia tuh laki-laki sejati atau ngga, gitu. Dan itu yang ngebedain dia dari cewe juga. FE : Menurut lo, dari mana sih seseorang itu belajar untuk menjadi maskulin? DI : Darimana? Dari… Kalau menurut gue, maskulinitas itu dari kecil, gimana cara dia hidup, gimana orang tua mereka ngasih mereka pengajaran, gimana cara dia bergaul, gimana tementemen, sifat-sifat temen dia yang bisa ngebentuk dia, gitu dari dia sekolah. Menurut gue itu adalah hal yang harus didapat dari kecil baru kita tahu maskulinitas itu bagaimana. FE : Dari lingkungan ya? DI : Iya, dari lingkungan. FE : Apa aja hal-hal yang paling berkaitan dengan maskulinitas menurut lo? DI : Sifat mungkin. FE : Contohnya? DI : Kayak tanggung jawab sama fisik yang menunjang, tapi bukan yang utama. FE : Oke gue ulangin berarti hal-hal yang berkaitan dengan maskulinitas menurut lo adalah sifat tanggung jawab plus didukung dengan fisik DI : Tapi bukan berarti, orang dengan fisik yang kurang, maskulinitas dia juga kurang. Yang penting sifat dia itu. Fisik mungkin biar dari luar kelihatan, gitu. Kalau menurut gue sih, fisik ngga terlalu (menjadi penentu maskulinitas). Orang mungkin berpikiran sekarang kalau orang dengan badan yang atletis, sixpack, atau atletis itu udah gimana, orang paling bakal mikir “ah, itu paling homo” FE : “ah, itu paling homo” kalau badannya atletis? DI : He eh, orang-orang udah banyak yang mikir kaya gitu sih menurut gue. FE : Oh, menurut lo pribadi? Berarti, menurut lo pribadi, orang-orang sudah banyak berpikiran kalau laki-laki yang badannya atletis itu udah pasti homo? DI : Ngga pasti homo, tapi kayak mereka ada berpikiran ke arah sana, ada kecenderungan ke arah sana. Gue ngomong kayak gitu karena lingkungan di sekitar gue berpikiran seperti itu. FE : Lo udah cukup maskulin belum? DI : Belum FE : Di sisi apa, lo belum cukup maskulin? DI : Di sisi… Mungkin karena pergaulan gue banyakan cewe, mungkin kalau dari pergaulan gue kurang (maskulin), dan yang paling dari tanggung jawab itu tadi, gue belum bisa bertanggung jawab dengan apa yang orang tua gue berikan terhadap gue dan apa yang Tuhan berikan terhadap gue. FE : Itu kalau sifat? DI : Iya FE : Kalau dari fisik gimana? DI : Kalau fisik, yaaaa mungkin belum cukup maskulin. FE : Apakah lo setuju kalau nilai-nilai maskulinitas berkaitan dengan tubuh? DI : Setuju, tapi bukan merupakan faktor utamanya ya kaya yang gue bilang tadi. FE : Maksudnya? DI : Iya bukan faktor utamanya kalau ngelihat maskulinitas itu harus dari tubuh. FE : Kalau ngelihat kondisi tubuh lo saat ini, nih sudah cukup maskulin atau belum? DI : Karena menurut gue, maskulin itu lebih ke arah berbadan tinggi dan bertubuh atletis, ya engga. FE : Ngga maskulin? Pernah merasa khawatir kalau tampil ngga maskulin? DI : Dari fisik, nih? Engga. karena menurut gue, ada beberapa orang yang menganggap maskulin itu engga harus dilihat dari tubuh dan orang-orang pun belum tentu berpendapat kayak gue Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
li (lanjutan lampiran 4)
FE DI
FE DI
FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI
FE DI FE DI FE DI FE DI
FE DI FE DI
FE DI
kalau cowo yang maskulin itu adalah cowo yang badannya tinggi dan atletis. Bisa aja menurut mereka kalau cowo yang badannya biasa dan cenderung beratnya berlebih, bisa aja dibilang maskulin. Ya itu tergantung ke orangnya masing-masing. Jadi, ya gue khawatir. : Berarti it depends on the person juga? Tergantung orangnya… : Tergantung orangnya dan pembawaan diri kita juga gimana. Yaaa… Kayak apa ya? Let’s say kaya cowo yang… ngga kecewe-cewean sifat-sifatnya gitu. Orang kan pasti ngelihat pertama kali maskulin apa engga pasti dari pembawaan tubuhnya kan? Dari gesture-nya dia, cara dia jalan, cara dia ngomong. : Bagaimana tanggepan lo ketika ngelihat laki-laki dengan tubuh berotot? : Tanggepan gue? Keren. Ya, maskulin. Hmm, maksudnya gini, secara fisik ya maskulin, tapi kan gue harus tahu sifat-sifatnya dia. Tapi kalau misalnya gue ngomong sama dia, ngomongnya ngga tegas atau sedikit lenje ya tetep aja ngga maskulin. : Berarti kalau ngomongnya lenje, tetep aja ngga maskulin ya walaupun badannya bagus? : Iya : Nah, kalau laki-laki yang tubuhnya ngga berotot, tanggepan lo bagaimana? : Hmm, ya biasa aja : Apakah mereka ngga maskulin? : Ngga juga. : Menurut lo, maskulinitas berpengaruh ngga sih dalam mendapatkan kekasih? : Iyalah : Ngaruhnya dalam segi apa? : Dalam segi.. Mana ada sih cewe yang mau sama cowo setengah-setengah. : Setengah-setengah dalam artian apa nih? : Ya, setengah-setengah dalam artian, mana ada sih cewe yang mau cowonya banci. Gitu. Mana ada sih cewe yang mau cowonya bersifat kecewe-cewean. : Tapi kalau kita lihat maskulinitas dari segi tubuh? Misalkan cewek mau ngga pacaran sama orang yang ngga berotot? : Menurut gue sih tergantung selera, tergantung…Ada cewe yang suka cowo berotot, tapi ada juga cewe yang malah suka sama… Temen-temen gue banyak yang malah suka sama cowo gendut, ada yang suka sama cowo pendek. Jadi, ya menurut gue sih kalau dari tubuh ya ngga ngaruh, dari sifat-sifatnya itu tadi. : Berarti kalau menurut lo, maskulinitas dari segi sifat berpengaruh (dalam mendapatkan kekasih), tapi kalau dari segi tubuh ngga berpengaruh? : Iya. : Sekarang kita ke pertanyaan tentang citra tubuh nih. Gimana sih lo menilai penampilan tubuh lo sekarang? : Fisik ya? Hmm, ya itu tadi fisik gue berlebih. Kalau misalnya dari sisi pandangan gue mengenai maskulin secara fisik, gue kurang menganggap tubuh gue menarik : Berarti lo menganggap tubuh lo kurang menarik? : He eh : Ada perubahan ngga sih dalam lo memandang penampilan tubuh lo dulu sampai sekarang? : Ada, mungkin karena, dulu kan gue gendut banget, nah sekarang walaupun gue sekarang masih gendut tapi yaudah turun banyak, jadi hmm mungkin kalau naik sekilo dua kilo, it’s ok, ngga papa. Tapi kalau misalnya gue udah mulai kaya makan terus dan gue tahu akan naik banyak, ya mungkin gue akan perhatian. Ya itu tadi, dengan tubuh gue yang segini aja, gue merasa tubuh gue kurang menarik. : Merasa ngga puas ngga sama tubuh? : Ngga puas, ya ngga puas, tapi yaudahlah. : Biasanya faktor apa sih yang mengakibatkan ketidakpuasan lo muncul? : Faktor hmmm mungkin di saat apa yaaa, ya mungkin di saat gue ngelihat temen-temen gue yang badannya lebih menarik dari gue. Dari lingkungan sih menurut gue. Dari orang-orang di sekitar. : Berarti lo ngebandingin sama orang lain? Ada ngga sih seseorang di dalam hidup lo yang bisa membuat ketidakpuasan lo terhadap tubuh semakin besar? : Engga ada, sih.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lii (lanjutan lampiran 4) FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI
FE DI
FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI FE DI
FE DI
FE
: Ngaruh ngga sih ketidakpuasan lo ke rasa percaya diri lo? : Ngaruh : Biasanya jadi gimana? : Paling lebih ke dunia sosial. Siapa sih yang ngga pengen kelihatan keren, siapa sih yang ngga pengen badannya kelihatan bagus, gitu. Paling lebih ke arah situ aja sih. : Apakah jadi minder? : Ngga minder, sih. Tapi ya kaya apa yang gue bilang tadi, siapa sih yang ngga pengen keliatan keren, tapi ya udahlah. Gue ya gue. : Ngaruh ngga ke hubungan lo sama pacar lo? : Ngga ngaruh : Kalau ke keluarga? : Mungkin kalau ke keluarga… Nyokap bokap gue sering banding-bandingin gue sama adik gue soalnya karena adik gue dengan usianya yang beda enam setengah tahun dari gue, tapi tingginya hampir sama ama gue dan dia kurus dan dia lebih punya banyak waktu untuk olahraga dan dia lebih difasilitasin untuk olahraga ama bokap nyokap gue. Ya suka ngerasa iri apalagi kalau udah mulai suka dibanding-bandingin sama nyokap gue. : Suka iri? : Iri dalam artian bukan karena badan, tapi iri ke fasilitas-fasilitas itu. Jadi, kaya bokap nyokap gue memfasilitasi adik gue untuk olahraga dibandingin gue dulu. Gue sekarang difasilitasi, tapi gue udah ngga punya banyak waktu lagi. : Ketika ketidakpuasan itu muncul, kehidupan lo berubah ngga? : Engga, sih. Engga sama sekali. : Bagian tubuh mana yang menurut lo bikin lo ngga puas? : Perut, lengan, sama paha juga. : Ngasih perhatian ngga sih sama bagian tubuh itu dalam artian untuk mengurangi ketidakpuasan itu? : Engga sih : Hmm, make produk tertentu kaya suplemen kesehatan ngga dalam upaya mengurangi ketidakpuasan itu? : Engga selain karena emang ngga mau juga : Tubuh ideal itu seharusnya kaya gimana sih, menurut lo? : Menurut gue? Tubuh ideal itu adalah hmmm menurut gue adalah di saat tinggi badan lo dikurangi 110. : Itu menurut lo? Tinggi badan dikurangi 110? Eh tunggu dulu, itu bukannya berat badan ideal ya? : Iya maksudnya kalau berat badan lo udah segitu, ya otomatis udah ideal dong? Hmm, oia ditambah lagi menurut gue, cowo (ideal) itu harus 175 ke ataslah. : Berarti laki-laki ideal itu yang tingginya di atas 175 cm? Sekarang kita ke aktivitas fisik. Lo nge-gym ngga? : Engga, engga nge-gym. : Kenapa ngga punya keinginan buat nge-gym? : Gue pengen, cuma pertama masalah duit kali ya, gue belum punya penghasilan gue sendiri, pengeluaran gue banyak, buat bayar kos, karena gue lagi ko-as, gue harus bayarin pasien, dan ditambah nyokap gue pernah bilang kaya gini “jangan sekali-kali nge-gym karena isinya homo semua” : Hmm, menurut lo nge-gym di pusat kebugaran ada manfaatnya ngga sih? : Manfaat buat tubuh, ya adalah, tapi yang gue tahu ya oke bisa ngebentuk badan dengan cepat ditambah dengan kalau misalnya kita mengonsumsi suplemen atau obat otot dan sebagainya. Tapi, di satu sisi juga, yang gue tahu kalau nge-gym itu, misalnya ada dua nih, lo nge-gym atau lo olahraga kayak misalnya lari. Berat badan lo akan lebih stabil ketika lo olahraga dibandingkan ketika lo nge-gym dan itu juga salah satu hal yang membuat gue males, apalagi gue juga kan salah satu orang yang males banget kaya gitu. Bisa aja gue ngegym, tapi beberapa bulan gue stop abis itu melar lagi. Kan males juga, kan? : Menurut lo, apakah aktivitas fisik di pusat kebugaran adalah hal yang penting dan harus dilakukan? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
liii (lanjutan lampiran 4) DI : Ngga harus. Penting, tergantung orangnya sih, kalau misalkan dia mau pengen yang instan, ya penting. Tapi kalau menurut gue sih, itu ngga penting dan ngga harus. Lebih ke gaya hidup sih kalau menurut gue fitness. FE : Lebih ke lifestyle seseorang ya. Oke. Tanggapan lo terhadap laki-laki yang rutin nge-gym apa? DI : Rutin ya berarti dia hmm peduli sama tubuhnya, pengen tubuhnya kelihatan bagus, tapi kasarnya ngga mau susah. FE : Maksudnya ngga mau susah? DI : Ya ini yang gue tahu, ya. Lo tinggal dateng ke tempat yang enak, lo tinggal treadmill, lo bisa ngapa-ngapain, badan lo bisa bagus. Lo tinggal pake dan ngga sehat juga sih menurut gue. Dimana-mana menurut gue, olahraga yang bagus itu kan bukan di ruangan ber-AC dan yang bener-bener gerak seluruh tubuh lo, misalnya renang atau footsal atau lari atau jogging. FE : Kita ke bagian pertanyaan terakhir, nih. Pernah lihat iklan L-Men versi The Journey? DI : Pernah FE : Pendapat apa yang ada di pikiran lo pertama kali ketika ngelihat iklan itu? DI : Sama kaya iklan-iklan yang lain sih menurut gue. Lebih ke arah, karena itu iklan suplemen, ya berarti otomatis dia harus punya model cowo yang sixpack dan atletis kaya gitu dengan pake celana doang. Sama buat narik perhatian doang. FE : Menurut lo, apa sih pesan iklan itu? DI : Minum L-Men biar badan lo kaya gitu. FE : Setuju ngga sama pesan iklan itu? DI : Sama pesannya? Engga juga sih. FE : Kenapa? DI : Ya karena itu tadi gue bilang, susu kaya gitu kan kurang bagus buat badan lo sama ngapain sih kalau misalnya lo pengen ngedapetin sesuatu yang kaya gitu sedangkan itu caranya sih… Sehat sih, tapi kan kalau dikonsumsi secara terus menerus ngga bagus juga FE : Kalau ngga bagus kenapa dijual? DI : Ya, sama kaya tadi karena orang-orang pasti bakal ngelihat “oh, badan gue bakal keren, nih”. Sama kaya gini deh, iklan rokok. Rokok ngga bagus kan? Kenapa dijual? Karena banyak orang yang ketergantungan rokok. Sama kaya gini, ini minum susu suplemen biar badannya kayak gitu. Apalagi, ini dengan kedok susu gitu yang orang-orang pasti bakal mikir oh badan gue pasti bakal sehat. Ya itu menurut gue kenapa masih dijual sampai sekarang. FE : Apa yang ada di dalam pikiran lo ketika ngelihat laki-laki dalam iklan itu? DI : Di pikiran gue, yaaa mungkin dia orang yang rajin nge-gym, terus yaa mungkin dia juga minum suplemen kaya gitu juga. Secara fisik, dia terlihat maskulin. FE : Tubuh dia ideal ngga sih menurut lo? DI : Ideal FE : Kira-kira dia punya citra tubuh yang ideal ngga? Maksudnya dia melihat tubuhnya selalu positif. DI : Kalau menurut gue, orang yang kaya gitu, orang yang udah segitu dengan gym, menurut gue dia akan maksudnya… Misalnya dia udah mencapai apa yang dia pengen, dia pasti akan selalu ngga puas-puas. FE : Oh, jadi menurut lo, dia punya citra tubuh yang negatif? DI : Iya karena dia memperoleh segala sesuatu dengan instan. Jadi, secara otomatis… Misalnya nih, dia udah ngebentuk perutnya, “ah, tangan gue kurang begini..” FE : Berarti akan selalu tidak puas ya? DI : He eh FE : Punya keinginan buat punya tubuh seperti itu? DI : Kalau keinginan sih pengen, tapi bukan sesuatu hal yang harus gue dapetin kalau itu mah. FE : Punya keinginan buat mengonsumsi L-Men setelah melihat iklan itu? DI : Engga, karena udah tahu juga kalau hal yang kaya gitu ngga bagus dan ngga sehat. FE : Oke, terima kasih ya. Wawancaranya udah selesai.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 5: Transkrip Wawancara Informan 3
TRANSKRIP WAWANCARA Data Diri Informan Nama Usia Jenis Kelamin TTL Alamat Pekerjaan Status Agama
: JH : 25 tahun : Laki-laki : Bogor, 25 November 1986 : Jl. Pisang No.14, Jakarta : Mahasiswa : Belum Menikah : Kristen
Keterangan Wawancara Tanggal : Senin, 16 April 2012 Waktu : 14.15 WIB Lokasi : Green T, Perpustakaan Pusat, UI Depok
FE : Bisa ga certain tentang diri lo mungkin, lifespan lo mungkin, ketika lo SD, SMP, SMA, sampai lulus kuliah. Sekarang tolong diceritakan siapa sih lo, gitu ? JH : Wah, yang bener lo? FE : Secara singkat aja, mungkin SD lo bagaimana? JH : Dari kecil, nih? dari SD? FE : Mungkin sebagai contoh nih. Dulu SD gue orang yang geek. Ketika masuk SMP, gue masuk ke sekolah swasta yang temen-temen gue kebanyakan Chinese yang mereka sangat individualis dan itu berbeda dari gue. Masuk ke SMA gue pindah ke SMA negeri yang notabene anakanaknya kebanyakan orang pribumi. Itu memengaruhi bagaimana gue berpikir, bagaimana diri gue menilai sesuatu, sampai akhirnya gue masuk kuliah. Nah, itu kan pasti membuat bagaimana gue berpikir tentang diri gue. Kalau diri lo kaya bagaimana nih? JH : Bagaimana yah… FE : Kenapa? JH : Hidup gue standar-standar aja sebenernya, jadi gue SD nih, SD tuh tipenya… yah dibilang masih diurusin banget sama orang tua gue. Gue pas SD kan… apa yah, anak, anak bungsulah ceritanya kan. FE : Ok. JH : Anak bungsu. Jadi yang gue rasain sih, pas gue SD itu gue bener-bener di… ini deh orang tua. Bener-bener di… dijaga segala macem, pokoknya gue pas SD tuh betul-betul hasil permakan orang tua gue, bisa gue bilang. Nah, pas SD gue itu termasuk kalangan orang yang pinter. Cuma ya itulah, gue emang sama orang tua gue emang diawasin terus, dari pulang sekolah, tidur siang, makan semua ada jamnya, lo boleh nonton berapa jam itu ada jamnya, lo harus belajar berapa jam itu ada jamnya… FE : Ah, Serius lo? JH : Serius. FE : Segitu tertatanya berarti? JH : Iya, sangat tertata, karena gue di… dan gue bukan.. Pas gue SD itu gue, bokap nyokap gue kerja kan, jadi pas gue pulang sekolah tuh gue ditaro di rumah opa gue. Di situ ada tante gue, ada oma gue. Jadi semua, istilahnya udah kaya raja deh gue, semua ada. Cuma ya ada jamjam dulu yang harus gue ikuti. FE : Hmm… JH : Nah terus pas SD gue nampaknya sih gak pernah membuat hal-hal yang… yang begitu ‘wah’lah. Maksudnya ga pernah melakukan sesuatu yang di luar bataslah gue rasanya, pokoknya betul-betul tertatalah. Ya, nakal sekali dua kali yah ada, ya berantem, berantem sekali dua kali ada. Nah, pas SMP itu gue juga masih kaya gitu, cuma bedanya mungkin karena emang udah waktunya SMP udah lebih longgar yah, dan orang tua gue… dan gue lebih mengenal lagi tuh bagaimana anak-anak, model anak-anak, orang-orang tuh lebih... lebih kelihatan basisnya. Pas
liv Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lv (lanjutan lampiran 5)
FE JH FE JH
FE JH
FE JH FE JH
FE JH
FE JH
FE JH
FE JH FE JH
SD sih gue lihat masih biasa-biasa aja dan mereka mulai… mulai… mulai gede istilahnya range antara orang tuh dari baik sampai jahat tuh gue udah lihat. Udah lebih gede dari pada SD-lah : Ok. Udah banyak perubahan yah? : He eh, lebih mengenal lagi tuh. Oh… bandel itu ternyata bisa sampai ke sini, bandel tuh udah sampai ke situ dan pas di SMP gue tuh bener-bener… Gue SMP kan katholik, kan. : Ok. : Kalau menurut gue sih, di SMP gue tuh dari yang paling pinter ada, sampai yang paling brandal ada. Gue ngelihat tuh di SMP gue, itu terbukti jadi pas gue lulus, temen gue ada yang bener-bener… ya artinya masuk SMA bareng gue misalnya, masuk SMA 8. Kan ada juga nih yang setelah setahun dua tahun meninggal gara-gara drugs, gara-gara berantem. Jadi, gue bener-bener ngelihatlah variasi orang pas SMP. : Pas SMP itu? : He eh, cuma ya gue aja sendiri sih, ya ngga begitu buat banyak kehebohan lah, paling… bukan heboh banget, maksudnya kenakalan dan kebandelan gue juga kayanya masuk ke dalam batas. : Di tengah-tengah lah berarti ya dari kategori tadi yang lo bilang ada di tengah-tengah. : Iya. : Ga bandel banget, ngga baik banget juga. : Iya. Ga bandel banget, ga baik banget. Cuma ya gue belajar bolos tuh dari SMP, gue belajar ngerokok dari SMP, cuma juga masih di dalam batas sih kalau menurut gue. Abis SMP, gue masuk nih di SMA 8. Nah, hidup gue banyak berubah nih pas masuk SMA 8 karena, baik gue sadari atau engga, yang gue tadinya tipe anak baik-baik banget pas di SMP, pas gue masuk SMA 8 gue termasuk tipe anak yang bisa dibilang paling keras di SMA gue pas gue disandingkan dengan temen-temen gue yang dari SMP-SMP lain. Jadi, gue agak-agak... ya tadinya kalau gue di SMP dilihat anak baik-baik, di SMA gue bisa dibilang orang ya agak suka jahilin orang, gangguin oranglah, gue gampang, maksudnya ya… gue sih ngelihat gue pas gue SMA tuh, yah SMP gue jauh lebih keras dari mereka. Jadi, gue yang namanya berantem sama senior udah berapa kali, segala macem, segala macem, segala macem dan gue kemudian bener-bener, hmm… lebih experience hidup gue aja pas SMA, jadi gue bisa sampai kemanamana tuh pas gue SMA. Artinya… : Maksudnya kemana-mana? : Iya. Jadi, kalau di atas… gue dah di atas rata2 deh, jarak permainan gue sama anak-anak SMA pada umumnya. Kalau misalnya SMA-SMA... gue pas SMA itu ngambil ektrakurikuler tuh Pecinta Alam. : Ok. : Nah, pas pada saat zaman gue 2004 tuh di SMA 8 tuh, kan udah sangat unggul sekali saat waktu itu, jadi anak-anaknya udah ngga ada… gue tuh udah yang paling jarang deh yang bisa naik gunung… hampir dua minggu sekali, bisa sampai kemana-mana. Gue dari kecil ngga pernah ke Bali nih contohnya, gue baru ke Bali pas ke SMA, itu pun karena gue mau itu, gue mau naik gunung dan pertama kali orang tua ngga tahu tuh gue ke Bali. : Berarti sembunyi-sembunyi, tuh? : Sembunyi-sembunyi karena bakal ketahuan dan ngga bakal dikasih kan? Gue mau ujian minggu depannya, bodo amat deh gue kata, yaudahlah. Jadi, pas SMA tuh gue bener-bener, kalau SMP tuh gue artinya termasuk rata-rata, mainnya termasuk tuh rata-rata. Pas SMA gue udah… udah… udah jauh lebih dari pada yang lain. Cuma gue ngga, maennya gue ngga kaya anak SMA pada umumnya. Artinya, gue ngga tahu tuh clubbing itu kaya bagaimana. Sumpah gue ngga tahu karena gue ngga kesana mainnya. : Berarti lo ngga mengetahui asal umumnya, yang biasanya diketahui anak Jakarta pada umumnya? : Gue bilang, bisa dibilang sih engga. Gue agak-agak di luar. : Clubbing gitu gitu lo ngga pernah… : Ga. SMA gue ngga clubbing, gue ngga apa.. Cuma yang gue lakuin malah ngga dilakuin sama orang lain.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lvi (lanjutan lempiran 5)
FE JH FE JH
: Ok. : Gitu, agak-agak bedalah. Gitu kurang lebih… : Ketika kuliah bagaimana? : Ketika kuliah, yah… kalau kuliah sih kayanya standar-standar aja deh, kuliah… kuliah kan gue di Bandung pertamanya. Kuliah di Bandung, yah standar juga sih. Yah gitu, gue mengalami apa yang namanya kebebasan bener-bener bebas. Jadi, pas SMA gue udah bebas tuh. Bebas. Cuma jadi pas SMA gue ngerasain tuh ternyata kalau orang tua gue tuh mau yang bener, “yang penting nilai lo bagus, (orang tua) gue ga nanya lo mau kemana”. Pokoknya gitu. Jadi, SMA gue tuh sering banget tuh pulang tiga hari, tahu kemana kan, ngga tahu gue nginep di mana. Gue banyaklah terlibat organisasi-organisasi SMA tuh yang gue kadang-kadang ngga pulang tiga hari empat hari. Kalau yang temen-temen gue SMA susah tuh… FE : Oke. Nah, pas masuk kuliah, kehidupan lo bagaimana? JH : Pas kuliah, ya gitu tadi. Kalau tadi kan gue masih bebas kemana-mana dengan syarat nilai gue harus bagus kan. Nah, pas kuliah ga ada lagi tuh syarat itu karena gue dah sendiri dan sistemnya ga ada terima rapor. Kalau dulu pas SMA kan ada terima rapor kan, jadi secara tiap caturwulan ya orang tua gue tahu bagaimana perkembangan nih anak dalam akademis. Nah, pas kuliah itu gue bener-bener bebas tanpa ada syarat. Nah, makanya gue bener-bener... hmm, mainnya udah bener-bener jauhlah dibandingkan sama SD-SMP-SMA. FE : Ok. JH : Jadi, gue sempet naik gunung sempet, kemana-mana sempet, plus gue tahu tuh clubbing itu apa. FE : Ok. JH : Karena gue, jangkauan gue udah ga terbatas lagi kan. Yah, kaya gitu sih paling. FE : Itu berarti, secara singkat, mungkin ketika lo kuliah, yaudah semua itu bisa lo dapetin karena lo sudah mendapatkan kebebasan penuh. JH : Iya. FE : Kontrol orang tua ngga ada sama sekali? JH : Ga ada sama sekali. FE : Lo di Bandung, yah? Itu ngekos dan ngga ada keluarga di sana? JH : ngga ada. FE : Oke. Nah, sekarang kalau misalnya gue tanya nih. Bagaimana sih lo memandang diri lo sendiri? Maksudnya, ketika lo diminta menilai diri lo sendiri, lo itu orang seperti apa sih? Contoh, mungkin ketika gue ditanya sama orang lain, “Frang, lo orang seperti apa sih? “, mungkin gue bisa bilang, “Gue perfeksionis, gue sangat concern sama detail, terus juga gue bisa bekerja di bawah tekanan”. Nah, seperti itu, kalau misalkan gue tanya sama lo, lo orang seperti apa sih? JH : Kalau gue? Cool. Haha enggak FE : Gue kira lo serius. JH : Enggak, gue engga pernah banget ditanyain kaya bebeginian, men! Gue ini biasa-biasa aja nih kayanya orangnya, agak cuek mungkin iya. FE : Cuek. JH : Cuek, terus agak-agak… ga tahu sih gue mendefinisikan diri gue. FE : Hmm... bagaimana yah. Pernah ga sih ketika lo diminta menjelaskan strength atau weakness lo, nah bagaimana lo menjawab pertanyaan itu? JH : Kalau strength gue sih yah gue... FE : Ditakutin orang? JH : Ga ditakutin orang, cuma gue biasanya punya kemauan nih untuk mencapai apa yang gue inginkan. Maksudnya yah bagaimanpun caranya, misalnya gue udah pengen sesuatu nih gue akan me-manage cara gue untuk mendapatkan itu. Maksud gue, gue punya determinasi yang kuat untuk mencapai apa yang gue inginkan. Cuma, di satu sisi, gue itu agak susah nih untuk menginginkan sesuatu, sampai pada tahap dimana gue akan mau ngejar itu. FE : Itu berarti kelemahan lo? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lvii (lanjutan lampiran 5) JH : Iya. FE : Tapi kelebihan lo, lo adalah orang yang kalau emang udah punya suatu keinginan lo pasti akan kejar JH : Iya. FE : Nah, terus hmm… pernah ga sih ada seorang temen yang ngomong sama lo, lo orang yang seperti ini, lo orang yang seperti ini. Maksudnya, apa sih pandangan orang lain yang pernah lo denger terhadap diri lo? Maksudnya, gue misalkan, gue pernah denger, “Frang lo orangnya ribet yah”. Nah, itu kan pandangan-pandangan orang lain yang ada dalam pikiran mereka tentang gue. Nah, kalau lo bagaimana? JH : Paling sering yang gue denger sih sotoy. FE : Sotoy. Terus? JH : Gue sering dibilang sotoy sama temen-temen gue. Kedua, apa yah? Hmm... cuek paling. FE : Cuek. Sotoy. Sotoy itu ya mungkin karena emang lo tahu hal itu atau emang lo beneran sotoy saat itu? JH : Ya, karena emang, Satu, misalnya kan gue tahu nih, gue tahu, dan kadang-kadang apa yang gue tahu orang-orang pada ga percaya kan. FE : Yes JH : Dan gue bisa merangkum apa yang gue tahu ini menjadi suatu… yah gue bisa merangkum kata-kata yang membuat orang bilang “Sotoy deh ni anak!”. Terus yang kedua, emang misalkan kalau gue nggga tahu, cuma gue kayanya nampaknya gue harus terlihat tahu. Gue akan terlihat tahu. FE : Berarti mungkin juga lo adalah orang yang memilih untuk terlihat sok tahu daripada tidak tahu. Atau apa? JH : Iya. Gue lebih memilih, kalau misalnya gue pada saat keadaan harus kelihatan ngga tahu atau tahu, gue lebih memilih sok tahu. FE : Terus, pandangan apa yang pengen banget lo harapkan ada pikiran orang-orang terhadap lo? Misalkan, tadi lo bilang, gue pengen banget terlihat sebagai orang yang cool nih. Terus kemudian, yah lo berusaha untuk ya supaya orang-orang melihat lo cool … Nah, pandangan apa sih sebenernya secara yang pengen banget orang tuh lihat dari dalam diri lo? JH : Manis. FE : …. Serius lo? JH : Bagaimana sih? FE : Ini lo serius kan? JH : Serius gue. Gue kan suka lihat nih yah cowok-cowok nih yang apa yah… kaya… bukan… ga tahu sih yah istilahnya manis atau ga yah… FE : Gentle. JH : Bukan, kalau masalah gentle gue suka dibilang sama temen-temen cewek gue gentle. FE : Kelihatan-kelihatan. Ditakutin! JH : Gue menaruh tempat yang tinggi untuk perempuan, kalau gue orangnya. FE : Orang batak kaya gitu soalnya memang. JH : Nah itu satu, cuma bagaimana yah. Lo tahu ga sih definisi orang… beda kali yah… baik kali yah maksud gue. FE : Manis itu maksudnya dalam artian apakah dia unyu? JH : Gak! Kelakuan lo itu kayanya manis. Lo pernah lihat ga orang… FE : Friendly, ramah, humble, nice? JH : Bukan sih. Gue ngga tahu yah. Gue orangnya emang dari dulu mendefinisikan… FE : Kaya boy band Korea kah? JH : Bukan! FE : Oke. Manis yah, kalau emang lo susah menerjemahkan… JH : Manis dalam artian begini nih, ga terlihat ‘liar’ lah di mata… FE : Anak baik-baik? JH : Iya. FE : Geek? Kutu buku? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lviii (lanjutan lempiran 5)
JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE
JH
FE JH FE JH FE
JH FE JH FE JH
FE
: Gak. Bukan. : Pokoknya anak baik-baik aja yah. Anak Tuhan? : Definisi manis menurut gue deh… : Manislah yah. Selain itu apa lagi? : Sederhana kali yah. : Sederhana. Ok. Berarti itulah yang sebenernya pandangan yang pengen banget orang lihat dari diri lo? Sampai detik ini, sudah berhasil apa belum ? : Belum. : Melakukan usaha apa ngga untuk mencapai itu? : Ga kayanya. : Jadi baru sebatas wacana doang? : Ga. Kan kembali lagi, namanya kan… ini kan, yang nilai kan orang, gue ga harus ngelakuin apa-apa, orang nilai aja. : Ok. Sip. Kalau gue tanya, lo puas ga sih sama penampilan fisik atau penampilan tubuh lo saat ini? : Puas. : Puas. Sejauh mana lo menilai bahwa lo puas? Maksudnya apakah hanya yah gue puas sama apa yang… atau gue puas sama kondisi gue sepenuhnya, gue ga ngerasa kekurangan... : Definisi puas itu artinya? Ya puas, maksudnya gue ga merasa ada yang kurang dilihat dari fisik gue. : Ok. Yang sekarang yah? : Bukannya gue bilang diri gue sempurna yah. Gak. Gue puas. : Nah, sekarang kita bakal ngomongin tentang frame of references. Pengantarnya dulu, contohnya kaya kan kalau setiap orang itu bagaimana dia berpikir, bagaimana dia punya kerangka pemikiran kan dipengaruhi oleh significant others-nya. Contohnya keluarga, peer group, teman-teman. Gue pengen tahu nih beberapa hal yang berkaitan, mungkin dari keluarga dulu, bisa ga sih tolong certakan latar belakang keluarga lo, seperti suku, agama, keluarga besar jumlah saudara yang lo punya? : Hmm… Bokap gue dari... Orang Batak, dari Siantar. Definisi Batak Siantar ini, dia SD-SMPSMA di Siantar, terus kuliah ke Jawa . Nyokap gue orang Manado. Definisi Manado ini, dia SDSMP-SMA di Manado, kuliah ke sini. Keluarga gue ber… pertama gue dua bersaudara nih lama, jadi gue bungsu lama, sampai gue SMA kelas dua, baru gue punya adik nih. Tapi gue seneng sih punya adik. Udah. : Kalau dari… berarti lo tiga bersaudara? : Iya. : Tiga bersaudara. Ok. Siapa sih di antara nyokap bokap lo yang punya hubungan lebih dekat dengan lo? : Nyokap gue. : Ok. Berarti yang paling punya hubungan paling dekat itu lo sama nyokap lo? Seperti apa sih kedekatan hubungan lo dengan nyokap lo? Maksudnya kan, kalau misalkan gue bilang deket kan kita memang… : semuanya kali yah : Cuma kedekatan seperti apa yang lo maksud sampai lo bisa bilang lo lebih deket sama nyokap lo ? : Susah gue mendeskripsikan hal-hal… : Maksudnya, apakah lo sering ngobrol bareng beliau, sering curhat juga. : Nah, itu dia. Ga juga sih. Gue ngobrol sering, Cuma curhat ya ga pernah, menyampaikan apa ga pernah, soalnya gue tipe orang yang bener-bener ga per… jarang nih membicarakan apa masalah gue dengan orang lain. Bahkan sama orang yang paling deket, yaitu nyokap gue. Yah nyokap gue paling, yah deket dalam arti tiap hari ketemu, sering ngobrol… : Hubungan sama bokap bagaimana? Maksudnya, kan kalau hubungan sama nyokap deket, hubungan sama bokap apakah… Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lix (lanjutan lampiran 5) JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH
FE JH FE
: Biasa aja yah. : Biasa aja. : Gue ga sesering ngobrol sama nyokap gue. : Intensitasnya biasa ya? : Iya. : Ngobrol kalau emang ada yang harus diobrolin. : Iya. : Oke. Nah, tadi kan lo bilang lo dari tiga bersaudara ya, dari dua saudara lo siapa sih yang punya hubungan paling deket sama lo? : Kakak gue. : Anak pertama. Maksudnya kedekatannya bagaimana nih? : Karena gue dari… gue sama dia beda setahun. Jadi dari yang bisa gue inget, gue udah bisa nginget dia nih dalam.. Iya, dari pertama kali bisa inget pasti dia udah ada bareng gue, sampai gue umur 17 baru gue punya adik. : Apakah sama kedekatan itu karena sering ngobrol, sering curhat, atau sering main bareng. Sama seperti itu? : Iya. : Atau cuma deket karena biasa doang? : Deket karena gue tiap hari ketemu sih, jadi gue tuh sampai SMA sekolahnya selalu sama tuh sama dia, jadi selalu bareng-bareng. : Oh, gitu. : Berangkat bareng, pulang bareng. : Ada emotional bonding antara lo sama kakak lo? : Nah, itu dia, emotional bounding gue ga begitu tahu tuh maksudnya kaya bagaimana. : Jadi maksudnya ketika… : waktu gue sakit dia tahu tuh gue sakit. : … lo ada masalah lo pergi ke dia. : Ga. : Cewek atau cowok? : Cewek. : Nah, kalau gue tanya, babagaimana sih figure yang sebenarnya… gambaran bokap dan nyokap di pikiran lo? Bokap lo seperti apa? Nyokap lo seperti apa? : Bokap gue itu orangnya bagaimana yah, keras kayanya. Ga banyak ngomong. Nyokap gue, sama ga banyak omong cuma jauh lebih lembut dari bokap gue. Standar banget yah jawaban gue? : Ha? : Standar banget ya jawaban gue? : Yah, sebenernya… makanya gue tinggalin. Kalau gue tanya pola pengasuhan nih. Pola pengasuhan orang tua lo kalau menurut lo, bagaimana lo menilai pola asuhan orang tua lo? : Yah, pertama sih sebenernya, gue agak ga begitu… jujur pernah terpikir menilai pola pegasuhan orang tua gue karena yang gue tahu, yang gue amini adalah yah gue tidak pada posisi untuk menilai apakah bokap gue tepat atau nyokap gue tepat. Jadi, gue sebagai anak, yaudah emang itu bokap gue, emang itu nyokap gue. Bagaimana caranya itu harus gue syukuri dan gue harus bisa nih membangun hubungan yang baik sama mereka tanpa perlu menilai tadi udah tepat belom sih, mendidik gue ga dalam posisi yang boleh menilai kalau menurut gue : Berarti perlakuan apa pun yang mereka lakukan pada lo, semua lo terima dengan pola pikir seperti ini. : Iya. : Kan kita tahu nih, orang tua itu kan orang yang menanamkan nilai-nilai dari kita kecil sampai sekarang ini. Sedikit banyak nilai-nilai diajarkan di keluarga mereka. Pernah ga sih orang tua lo mengarkan sesuatu atau nilai-nilai yang berkaitan dengan peran gender? Mungkin contohnya
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lx (lanjutan lempiran 5)
JH
FE JH FE
JH
FE JH FE JH FE
JH
FE JH FE
JH
seperti ini, orang tua lo ngajarin laki-laki itu harus seperti ini, perempuan itu harus seperti ini. Itu kan termasuk peran gender. Pernah ga? : Jelas yang pertama, laki-laki itu ngga berurusan dengan fashion kalau di keluarga gue, kaya bokap gue. Jadi maksudnya, cowok tuh ga… istilahnya bokap gue ini fashion itu diciptakan untuk cewek, cowok tuh ga usah pusing urusan itu. Tapi kalau misalkan ternyata lo orangnya modis, yaudah itu emang karena lo orangnya modis, bukan suatu yang lo kejar, bukan suatu yang lo ikuti. Terus yang kedua, yah itu yang tadi gue bilang, yang masalah gue gentle sama orang, ya mungkin yang gue rasa adalah…. Ya walaupun ga pernah gue inget ditanamin secara langsung yah, tapi yang gue pikir ini pasti dari keluarga gue nih. Entah kenapa selalu dalam tingkah laku gue tuh, cewek akan selalu duluan. Dalam arti duluan tuh, untuk semua hal lah, jadi kalau misalnya dalam suatu posisi, gue sama cewek, yang nyaman tuh harus yang cewek, apapun itu. : Ok. : Siapapun cewek itu. : …Itu adalah bagaimana peran orang tua mengajarkan tentang peran gender yah. Nah, sekarang kalau misalkan nih, lo melakukan suatu hal yang tidak sesuai dengan gender lo, yah tadi bokap lo bilang, laki-laki ga usah ngurusin fashion, tiba-tiba bokap lo tahu lo ngurusin fashion atau mungkin nyokap lo ngelihat lo kaya begini. Melarang atau membiarkan sih? : Melarang sih enggak dan kebetulan belum pernah kejadian sih, artinya… kaya gue beli baju selalu sama nyokap sampai sekarang, gue ga pernah beli baju sendiri. Jadi, selama ini sih dia ga pernah ada masalah gue terlalu sering beli baju, kayanya ngga juga… Cuma paling bokap gue suka menegur gue nih, kalau misalnya nih rambut gue pendek, gue suka pakai wax gitu kan, misalnya gue menghabiskan waktu teralu lama memakai wax, dia akan bilang biasanya. : Dimarahin atau di…. : Ga. Dia cuma bilang. Biasanya cuma kaya disindir doang. : Ok. Tapi termasuk ke dalam bentuk yang… ke arah yang negatif dong yah. Maksudnya oposisional? : Iya. : Ok. Nah, kalau tadi kan bagaimana orang tua lo mengajarkan yah. Pernah ga sih orang tua lo ngasih pemahaman kenapa lo harus melakukan hal yang gender appropriate? Ini kenapa harus dilakukan oleh laki-laki, ini kenapa harus dilakukan oleh perempuan. Pernah ga sih orang tua lo memberikan pemahaman seperti itu? : Kalau dibilangin sih pernah, tapi ya ga.. yang tadi gue bilang, keluarga gue tuh bukan tipe yang suka ngobrol banyak gitu, kadang-kadang pelajaran yang gue dapatkan itu bukan suatu yang disebutkan secara langsung. Jadi, ga pernah misalnya dibilang “oh, kamu ga boleh kaya begini karena ini…”. Mungkin pernah tapi gue udah lupa kan. Cuma yah kaya tadi yang gue tangkep dari orang tua gue tuh, kenapa cowok ga usah ngurusin fashion, karena tanpa ngurusin fashion pun seorang cowok nih udah banyak hal yang harus diurusi. Karena nantinya kan akan jadi kepala keluarga kan, akan punya istri, anak, mengurusi makan. Nah, nanti kalau lo juga mengurusi fashion penampilan lo, nanti siapa yang ngasih makan lo? Itu sih biasanya yang paling sering. : Itulah yang paling sering. : Walaupun bukan secara langsung, cuma yang gue tangkep seperti itu. : Hmm… orang tua ada ga nilai-nilai yang berkesan penampilan, berkaitan dengan penampilan tubuh, mungkin… mudahnya bebegini, kalau kemarin ketika gue ngobrol sama temen gue, kalau kurus nih, orang tuanya bakal nyaranin supaya dia olah raga atau apa yang bisa bikin gemuk. Nah, orang tua lo sendiri pernah ga menamkan nilai-nilai penampilan terhadap penampilan tubuh atau penampilan pakaian? : Pernah. Cuma dalam arti penampilan tuh gue harus banyak olah raga, gue harus banyak makan biar sehat. Jadi, ketika misalnya gue kurus nih, akan nanya kan “kurang manan ya? Makan banyak dong”, misalnya gue sakit-sakitan, “emang ga pernah olah raga lagi yah?”. Gue harus olah raga dan makan, cuma yah itu dia biar sehat aja. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxi (lanjutan lampiran 5) FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH FE JH
FE
JH
FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH FE JH
: Biar sehat dan bukan buat penampilan? : Iya. : Kalau orang tua sendiri ngasih kebebasan penuh ngga sih sama hidup lo? : Kayanya engga deh. : Ga ngasih kebebasan penuh? : Iya. Jadi, iya gitu, apapun misalnya emang ada sesuatu yang harus dipilih nih, ya pasti gue harus omongin sama orang tua gue juga. : Biasanya hal apa aja sih atau bilamana lo harus konsultasi sama orang tua. Apakah masalah pendidikan? : Paling sih, pendidikan. Sekarang masih masa pendidikan yah, misalnya gue mau kuliah ke mana, walaupun nanti akhirnya gue sendiri, nih yang akan memutuskan, cuma gue ngobrol dulu sama orang tua gue. : Cuma lo butuh konsultasi sama mereka? : Iya. : Sekarang tentang lingkungan pergaulan nih. Mungkin bisa lo tolong ceritakan tentang lingkungan pergaulan lo saat ini, lo di lingkungan pergaulan seperti apa sih? : Sekarang ini nih, sekarang? Lingkungan sekarang gue, mostly gue sama temen kampus kali. : Temen kampus? : He eh, iya, temen-temen kampus yang ada di sini. Gue setiap hari kuliah, ketemu, segala macem. Udah itu aja yang paling banyak nih, kalau untuk temen selain kampus sih gue jarang banget ketemu, paling dua kali minggu sekali. : Berarti intensitas lo bergaul di kampus maksudnya dengan temen-temen di kampus. Bagaimana sih lo menilai karakter yang lo tampilkan ke mereka? Contohnya bebegini kaya, secara simple-nya adalah gue mungkin ke A akan menampilkan karakter seperti ini, ke B gue dengan karakter yang lain. Kalau lo sendiri menampilkan karakter lo bagaimana? : Gue kayanya ga pernah punya pikiran untuk yah harus menampilkan karakter kaya begini biar kaya begini. Gue yah, semua orang sama aja, karakter gue ya kaya begini, karakter yang gue tampilkan ke lo, itu juga karakter yang gue tampilkan ke orang. : Punya temen dekat atau sahabat? : Punya. : Punya. Deketnya tuh dalam artian apa nih? Dideskripsikan, apakah seperti yang tadi gue bilang lo sering ngobrol, lo sering curhat? : Iya, gue sering ngobrol. Iya temen gue udah lamalah. Dan gue, ya itu, karena gue kan ngga ngobrolin masalah sama keluarga nih. Nah, gue ngobrol sama temen. : Berarti lo lebih deket sama dia ketimbang sama orang rumah? : Untuk masalah gue, iya. : Menurut lo nih, apa sih definisi sahabat atau teman dekat ? : Definisi sahabat atau teman dekat ya…. Temen tahu kan ? : Iya, tahu. : Yang deket! : Iya, kedekatan dalam hal proksimitas, maksudnya jarak antara lo dan intensitas lo sering ketemu? : Ya, kalau yang gue rasakan sahabat itu pertama dimulai karena gue sama-sama sering ketemu, ya temen-temen yang gue definisikan sebagai sahabat gue ini kamerna ini dari dulu pas SMA, ketemu, tiap hari bareng, kuliah ke Bandung gue juga bareng, berarti udah sembilan tahun nih gue bareng. : Sembilan tahun, lama juga ya? : Baru akhirnya pisah karena mereka sudah kerja, mereka kuliah lagi, gue kuliah lagi. : Ok. Menurut lo nih, karakter lo di mata sahabat lo? : Sama kaya tadi yang gue bilang. : Sama aja? : Dalam artian gitu, gue apa yah… kayanya gue… maksudnya orang kan bisa punya banyak intepretasi tentang lo kan? Temen lo juga banyak kan. Yang gue ingat dan yang gue sebutkan
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxii (lanjutan lempiran 5)
FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH
FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE
tadi itu kurang lebih adalah itu persepsi orang-orang yang deket sama gue. Yah, orang-orang yang ga begitu deket, gue sih jujur aja lupa, gue ga begitu peduli. : Tapi begini, lo memilih ga sih berteman dengan siapa? Apakah lo begitu selektif dalam memilih…. : Selektif sih enggak. : Jadi lo berteman dengan siapa aja? : Iya, gue pada dasarnya mencoba untuk berteman dengan siapa aja, cuma pada kenyataannya lo ngga mungkin bisa berteman dengan siapa aja. : Pasti ada juga yang… : Iya, misalnya karena emang udah beda pola pikirnya udah sangat jauh nih. : Hubungan lo sama teman-teman lingkup pergaulan mempengaruhi pola pikir lo terhadap memandang sesuatu ngga? : Sangat. : Sangat. Apa tuh contohnya? Yang lo rasakan itu dipengaruhi teman lo banget? : Clubbing mungkin? : Pola pikir terhadap clubbing? : Iya, satu sih itu. Pola pikir terhadap apa yah, pola pikir terhadap apa yang disebut misalnya apa yah… : Dunia malam. : Iya, dunia malamlah. Saat itu betul-betul terbentuk benar-benar dari teman luar. Kan udah gue bilang tadi, gue itu pervert, SMA sekali gue ngga tahu sama hal-hal seperti itu apalagi untuk bilang gue suka. : Emangnya pada kenyatannya lo ga suka? : Awalnya gue benar-benar ngga suka. Jadi, pas SMA gue tuh mendikotomikan antara gue… gue membuat tipe tuh bahwa gue adalah tipe yang ngga clubbing karena SMA orang-orang udah mulai belajar kan. Gue ngga suka tuh yang gitu-gitu. Nah, pas kuliah, mulanya sih karena emang yah intensitas gue ketemu sama temen gue dari pagi sampai malam sampai paginya lagi, artinya gue mencoba nih mengikuti definisi, ”Oh engga kok, kalau clubbing lumayan kok begini begini begini begini….” Oh yaudah, coba deh. : Salah satunya perubahan pola pikir lo yang dipengaruhi teman. : Iya. : Hmm, penampilan lo. Apakah kondisi aktual lo sekarang mempengaruhi lo menjalin pertemanan dengan seseorang? : Ga sih. : Teman-teman lo memperhatikan penampilan fisik ga? : Ada yang iya, ada yang engga. : Ada yang iya, ada yang engga. Hmm, kalau gue tanya, mana yang lebih bayak? : Kayanya banyakan yang iya deh. : Banyakan yang memperhatikan penampilan fisik : Iya. : Teman-teman lo ada juga yang nge-gym di pusat kebugaran, di fitness center, gitu? : Banyak. : Banyak. Nah, apakah mereka mempengaruhi pola pemikiran lo terhadap perhatian penampilan fisik? : Kalau itu ga. : Itu engga. Berarti itu datang dari dalam diri lo sendiri? : Iya. : Ada yang mengkonsumsi suplemen kesehatan? : Temen gue? : Iya. : Ada. : Pendapat lo sama orang-orang yang seperti itu? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxiii (lanjutan lampiran 5) JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE
JH FE
JH FE
JH FE JH FE JH FE
JH FE
: Biasa aja sih. : Oke. Berarti pendapat lo biasa-biasa aja? : Wajar-wajar aja. : Wajar-wajar aja ya karena sesuai dengan goal-nya dia… : Karena dia juga punya cita-cita mungkin ya kan? : Iya. Hubungan lo sama teman-teman lo, mempengaruhi ngga sih sama pola pikir lo terhadap nilai-nilai maskulinitas ? : Hmm : Karena otomatis kan lo sudah punya pemahaman nilai-nilai maskulinitas dong sebelumnya. Mereka mempengaruhi lo terhadap pemikiran nilai maskulinitas atau ga ? : Kalau menurut gue, gue ga mungkin bilang ga berpengaruh yah. Soalnya kan yang tadi lo bilang kan, kemungkinan besar lo terpengaruh sama temen lo kan. Mungkin berpengaruh, tapi sangat sedikit. Artinya pola maskulinitas yang gue miliki sudah terbentuk pas gue masih dalam lingkungan keluarga. : Atau lo ga merasakan perubahan yang mereka berikan pada diri lo? : Mungkin. : Oke sekarang nilai-nilai dengan orientasi seksual. Apakah anda mengidentifikasi diri lo sebagai seorang heteroseksual? : Iya. : Ok. Apa saja yang menjadi indikator bahwa Anda adalah seorang heteroseksual? Yang menjadi indikator, dalam pikiran lo. : Karena gue suka sama cewek. : Ok. Selain itu? : Kayanya itu doang deh indikator utama dan sudah menjawab semua pertanyaan. Emang ada lagi apa ? : Apa saja pengalaman heteroseksualitas yang pernah Anda alami? : Maksudnya? : Pengalaman heteroseksualitas itu, misanya lo pernah pacaran sama perempuan, lo pernah naksir, lo pernah pegang tangan, lo pernah melakukan apa pun, selama berbau heteroseksualitas. : Pengalaman heteroseksual? : Contohnya bebegini, kalau kemaren ketika gue tanya pengalaman heteroseksual temen gue, mungkin dia kalau melihat cewek “Wah cantik yah ini orang”, pengen kenal, pengen tahu dia siapa, terus mungkin pas dia pacaran, itu disebut pengalaman heteroseksualitas. Ketika lo ada interaksi dengan lawan jenis lo. Tidak semata-mata seksual, tapi, walaupun beberapa orang ada yang menghindari seksual, : Katanya seksual, tadi menghindari seksual. : Engga, kalau seksual itu… Ok, gue jelasin dulu, kalau orientasi seksualitas itu ketertarikan seseorang terlepas dari nilai-nilai seksual, ada emosional, ada psikologis. Jadi, kalau berbicara seksualnya doang, disebutnya heteroseksual. Tadi yang gue tanya adalah heteroseksualitas. Nah, apa pengalaman yang pernah lo alamin? : Kayanya semua udah pernah gue alamin deh. : Oke, semuanya pernah dialami. : Kayanya yah. : Bagaimana peran penampilan tubuh dalam hubungan lo dengan lawan jenis? Peran penampilannya. Apakah sangat berperan, berpengaruh sekali kah? : Berpengaruhlah! : Berpengaruh yah. Apakah nilai-nilai maskulinitas memiliki peran dalam hal hubungan lo dengan lawan jenis? Ketika lo berpacaran dengan seorang perempuan, penampilan tubuh lo menjadi hal utama? : Ga menjadi hal yang utama. : Tapi dia berpengaruh? Ok. Sekarang media habit nih. Media habit adalah kebiasaankebiasaan mengkonsumsi media. Media apa aja sih yang sering lo konsumsi?
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxiv (lanjutan lempiran 5)
JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE
JH FE
: Internet, TV, Koran, udah. : Radio gitu, engga? : Radio. Radio cuma dikit. : Alasan lo mengkonsumsi media itu, kenapa lo mengkonsumsi internet? : Ya, sumber informasi. : Apakah karena yang paling deket? Yang paling suka lo reach siapapun kapanpun? : Iya. : Seberapa tinggi intensitas lo menggunakan media? Seberapa sering sih? Hampir setiap hari? : Setiap hari sih. : Setiap hari itu biasanya berapa jam lo mengkonsumsi internet? : Definisi internet ini browsing nih? : Browsing, lihat informasi, ngapain, main game, buka-buka sosial media, pokoknya mengkonsumsi media itu. : Pokonya gue itu yah, Internet kan? Ya tiap hari up date : Tiap hari? : Hampir sepanjang hari sih, dalam artian push email, juga bagian dari media internet kan? : Kira-kira dalam kehidupan lo, ada ga sih hal-hal yang dipengaruhi media? : Banyak mungkin. : Contohnya? : Ya contohnya, ya baju misalnya. Gue bisa tahu baju yang menurut gue bagus itu gue rasa itu sih gue ambil dari keputusan media. : Klao gue tanya sama lo nih, bagaimana lo memahami pesan iklan secara umum? : Secara umum? : Terlepas iklan apa pun. Maksudnya gue bilang secara umum itu, pesannya seperti apa sih? : Ya jelas dari pertama kali gue tahu, iklan cuma bohong. : Berarti lo sudah tahu bahwa iklan itu bohong? Sejak itulah yang lo nilai tadi. : Iya, kerena menurut gue ga ada iklan yang ga bohong. Ya ga ? : Ga juga. Lo mudah ga sih terpengaruh sama pesan iklan? : Ga! : Ga sama sekali? Ga mudah terpengaruh? Pernah ga lo menjadikan iklan sebagai dasar pertimbangan lo dalam memilih produk? : Ga! : Serius lo? Terus kalau lo membeli produk, apa dong acuan diri lo? : Apanya? : Pertimbangan lo apa? : Ya,contoh misalnya yang paling gampang elektronik nih. Kalau elektronik kan ada nih, misalnya lo ke elektronik center, kan pasti ada tuh iklan gambarnya, TV-nya, segala macam. Nah, gue tidak akan terpengaruh dari situ tuh. Gue lihat barangnya, gue perhatikan spec-nya. Misalnya gue mau gue lihat dari spec-nya, bukan dari iklannya. : Berarti bukan dari iklannya, tapi dari spec-nya Kalau boleh tahu, apakah dampak iklan dalam kehidupan lo? Dampaknya. Apakah ada? Atau tidak ada sama sekali? : Itu dia, kalau mau dibilang ga nih yah, itu agak sudah buat dibilang engga. Karena gue ga yakin banget nih ga ada. Ya mungkin ada, tapi sangat kecil. : Sangat kecil. Kalau lo mau menjadikan iklan sebagai referensi yah, sebagai rujukan yah. Biasanya lo menjadikan iklan yang ada di media apa? Atau ga pernah menjadikan iklan sebagai media referensi? : Ga pernah. : Pendapat lo nih, tentang iklan-iklan yang memperlihatkan stereotipe gender? Contohnya nih, sabun buat cuci baju, kan perempuan diperlihatkan sebagai orang-orang yang bergerak di bidang domestik yah, misalkan ada laki-laki dan perempuan, perempuan ditampilkannya sebagai objek dari laki-laki tersebut. Pendapat lo terhadap iklan yang seperti itu, yang ada stereotipe gender, seperti apa? Pendapat lo? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxv (lanjutan lampiran 5) JH : Biasa aja. FE : Biasa aja. Lo menganggap itu hal yang normal? Yang wajar? JH : Bukan gue menganggap hal yang normal sih, maksudnya yang gue anggap nih, si pembuat iklan emang harus menampilkannya seperti itu. Alasannya apa? Gue ga tahu dan ga peduli. FE : Berarti, lo ga apa-apa, yaudah itu yang harus dilakukan, dan itu harus dibikin. JH : Menurut gue, mereka udah tahu emang harus buat begitu. FE : Pendapat lo iklan-iklan yang menampilkan nilai maskulinitas? Kalau misalnya tahu, sebutkan satu iklan yang menampilkan maskulinitas? JH : L-Men. FE : L-Men, Extra Joss. Pendapat lo tentang iklan-iklan begitu bagaimana? JH : Engga punya pendapat gue. FE : Berarti di mata lo, yaudah, ga ada salah sama sekali? Lo menerima begitu sajakah? JH : Ya, maksudnya ya, ga ada yang gue terima kalau menurut gue. Gue aja Extra Joss baru sadar sekarang kalau menampilkan nilai maskulinitas. Beneran! Walaupun gue sering lihat iklan Extra Joss, gue baru sadar gue. FE : Ok. Sekarang gue tanya sama lo mengenai iklan yang menampilkan laki-laki dengan tubuh topless? Contohnya kaya L-Men. Pendapat lo bagaimana? JH : Pendapat gue ya, “Wow keren tuh badannya!”. Udah gitu doang. FE : Menurut lo definisi maskulinitas apa sih? JH : Maskulin yah? Laki. FE : Maksudnya laki bagaimana nih? Ivan Gunawan juga laki (tertawa). Apa yang bisa bikin lo menyebut kata “laki” ketika gue bilang maskulinitas? JH : Tapi maskulinitas itu laki kan? Berarti kalau lo tanya definisi maskulinitas menurut gue, gue bisa jawab dengan definisi laki menurut gue? FE : Bisa. JH : Ya, kan. Satu gentle, yang kedua berani, pekerja keras, dan yang lainnya ga begitu pentinglah… FE : Ok. Itu berarti definisi maskulin menurut lo. Darimana sih lo belajar jadi maskulin? JH : Ha? FE : Lo mengidentifikasi diri lo sebagai maskulin atau feminin? JH : Maskulin. FE : Dari mana lo belajar jadi maskulin? Ketika lo… umur lo berapa sekarang ? JH : 24, eh 25. FE : Selama 25 tahun kehidupan lo belajar maskulin dari mana? JH : Yah, paling pertama keluarga. Yang kedua, yaitu yang paling gue rasain ya itu ketika gue SMA, ketika gue terlibat sama pecinta alam. Definisi maskulinitas gue tuh bener-bener… kan gue udah punya nih, udah dibentuk. Hmm, yang gue rasain pas gue masuk pecinta alam, hipotesa-hipotesa mengenai maskulin gue buat kesimpulannya tuh pas gue Pecinta Alam, dan itu gue anggap suatu teori yag sudah selesai. FE : Jadi, kegiatan lo di Pecinta Alam, mengkonfirmasi apa yang ada dipikiran lo tentang maskulinitas? JH : Bukannya hanya sekedar mengkonfirmasi sih, mengkonfirmasi iya, ada juga yang merestatement FE : Memberi statement baru tuh? JH : itu juga ada. FE : Ok. Hal-hal apa aja sih yang paling berkaitan dengan maskulinitas, menurut lo? Selain yang lo sebutkan tadi, kaya pekerja keras terus mesti gentle. Mungkin itu hal-hal yang ga bisa kita lihat, cuma bisa kita rasakan. Apa sih hal-hal yang bisa dirasakan berkaitan dengan maskulinitas? JH : Yang bisa dilihat maksudnya? FE : Ya apakah otot, tubuh, terus gaya berpakaian, atau apapun itu JH : Hmm, ya mungkin badan bagus kali yah. Tapi ya gitu deh, ga penting-penting amat gitu juga. FE : …Menurut lo, lo udah cukup maskulin belom? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxvi (lanjutan lempiran 5)
JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH FE JH
FE JH FE JH FE JH FE JH FE
JH FE FE
JH FE JH
: Gue? Udah. : Setuju ga kalo misalkan gue bilang, nilai-nilai maskulinitas berkaitan dengan tubuh? : Setuju. : Kalo lo ngelihat tubuh lo sekarang nih, sudah cukup maskulin belom? : Sudah. : Merasa khawatir ga kalo misalkan kurang maskulin? : Ga. : Ga khawatir? Kenapa bisa ga khawatir? : Ya itu dia, karena sekali lagi definisi maskulinitas gue tuh… Tubuh, iya ok gue katakan definisi maskulinitas, cuma itu definisi ke berapa mungkin kan… : Berarti? : Kalo pun tubuh gue kurus kerempeng pun gue ga akan pernah jauh dari maskulin. : Bagaimana lo melihat atau menanggapi laki-laki yang memiliki tubuh berotot. Apakah mereka maskulin? : Ga juga. : Kalo laki-laki yang ga berotot, menurut lo mereka ga maskulin? : Ga juga. : Maskulinitas ngaruh ga sih dalam usaha mendapatkan pasangan? : Menurut gue sih ngaruh. Penting tuh. : Pengaruhnya di mana? : Kaya cowo aja kan, karena juga yang namanya orang kan, cewe juga pasti liat yang bagus dulu kan. Ya ga sih? : Ngeliat yang bagus doang berarti ada hubungannya sama tubuh yah? : Iya. : kalo kita sambungin ke hubungannya ama ama gentle, gitu… misalnya badannya bagus nih… : yah kaya first impression orang kan, yah gue ga bilang orang harus liat dari fisik, ga! Sama sekali ga punya pemikiran ke sana dari dulu. Artinya, begini loh, gue dari dulu tuh sama temen-temen gue tuh, lo tuh kalo liat cewe tuh jangan dari fisiknya, cuma temem-temen gue bilang tuh ga mungkin. Orang tuh melihat cewek tuh dari fisiknya dulu pertama. : Itu obrolan diantara sesama laki-laki yah. Berarti lo berpikir cewe juga bakal begitu? : Iya, bisa juga mereka berpikir kaya gitu dong. : Berarti lo berpikir kalo cewek juga bisa melihat laki-laki dari penampilannya dulu dong ya? : Iya. : Nah, kalo tadi kita udah bahas maskulinitas, sekarang kita ke tentang ke citra tubuh. Bagaimana sih lo menilai penampilan tubuh lo saat ini? : Biasa aja. : Biasa aja? Maksudnya biasa aja apakah pas, masih yang kurang, ada yang harus ditingkatkan? : Kalo kurang sih engga. Gue ngga merasa kurang. Gue juga ngga bilang kalo badan gue sempurna sih. : Pas biasa aja ya. Ada ga sih perubahan dalam diri lo, khususnya dalam hal memandang penampilan dari tubuh, ketika lo dari dulu sampai sekarang. Mungkin dulu lo ga begitu concern, sekarang concern dalam penampilan. Terjadi ga dalam kehidupan lo? : Hmm, terjadi sih. : Terjadi. :Ok. Tadi kan lo bilang kalo lo menilai penampilan tubuh lo saat ini biasa aja, ga puas, ga bagus banget, tapi ga kurang juga. Pas lah yah. Ada perubahan ga dalam memandang penampilan tubuh dari dulu sampe sekarang? : Ada, pas gue mulai nge-gym sih. : Perubahan itu dimulai ketila lo nge-gym yah? Punya figur ideal ketika berusaha untuk meningkatkan tubuh atau merasa bahwa "wah tubuh gue harus kaya dia nih" : Ga kayanya. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxvii (lanjutan lampiran 5) FE : Ada bagian tubuh yang lo merasa kurang puas? JH : Ga ada. FE : Kehidupan lo berubah ga sih, ketika lo memberikan perhatian pada tubuh? Ketika lo mulai nge-gym, ketika lo mulai olah raga. JH : Iya, dikit. FE : Berubah dikit. Berubahnya dalam aspek apa? JH : Makan sama minum. FE :Maksudnya jadi lebih rutin gitu? JH : Bukan. Ini loh, dulu gue kan orangnya cuek tuh makan, sama gue ngurangin beer jadinya. FE : Ok. Berarti sekarang lo jadi lebih teratur sama makanan yang lo asup dan minuman yang masuk ke tubuh lo yah. Tujunnya emang apaan? JH : Soalnya kalo makan yang minyak-minyak gitu kan minyak jenuhnya banyak tuh, nah misalnya kayak beer tuh kalorinya isinya gula semua. FE : Dari mana lo dapet pengetahuan seperti itu? JH : Kan dulu gue IPA. FE : Terus, lo memakai produk-produk tertentu ga dalam meningkatkan bagian tubuh, gitu? JH : Pakai suplemen gitu? FE : Ngga yah? Semuanya berarti sehat? Dan ketika… lo butuh protein kan, nah lo mendapatkannya itu dari mana? JH : Makanan FE : Tahu gitu yah? JH : Iya. FE : Konsumsi berarti lo tingkatkan? JH : Coba ditingkatkan tapi ternyata ga bisa gue. FE : Ga bisa dalam artian? JH : Kalo ga pakai suplemen kan biasanya ditingkatinnya (makan ayamnya) sekali makan bisa dua. Ga bisa gue. Begah gue, males gue. FE : Ok. Menurut lo nih dalam pikiran lo, bagaimana sih tubuh ideal itu seharusnya? Mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata, tubuh ideal itu yang seperti apa sih? JH : Kalo menurut gue sih yah, ga kurus, cuma ga gede-gede juga. FE : Ga kurus, tapi ga gede-gede amat juga. Pas. JH : Standarnya sih gue lupa dapat dari mana, Cuma yang jelas tinggi badan lo kurangin 100 aja. FE : Tinggi badan dikurang 110. JH : Iya. FE : Itu bukannya ngukur berat badan ideal yah? JH : Iya, kan berat badan lo segitu kan, badan lo nantinya juga menurut gue akan ideal. Kalo misalkan badan lo tinggi kan, berat badan lo pas dikurang 110, ya pasti lo akan dibilang gendut engga, kurus juga engga. FE : Ok. Jadi balik lagi apa yang dilihat orang yah. Kalo orang liatnya pas, berarti dia ideal, kalo misalkan ga pas, masih teralu kurus atau teralu gemuk, ga ideal? JH : Bukan karena dilihat orang juga sih. FE : Berarti lebih liat ke hitungan itu ya? JH : Iya, tapi entah kenapa gue lupa dapet itu dari mana. Yang gue tangkep tuh, sehatnya emang segitu. FE : Sekarang lo sesuai sama itu? JH : Sesuai. FE : Dan lo merasa “Oh yaudah gue udah ideal sebegini” JH : Dari gue SMA sih. FE : Ok. Eh lo nge-gym? JH : Iya. FE : Sudah berapa lama? Atau sejak kapan? JH : 1,5 (tahun) lah. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxviii (lanjutan lempiran 5)
FE : Yang bikin lo nge-gym di pusat kebugaran? Melakukan aktivitas itu sebenernya untuk apa sih? JH : Yah, pertama sih ini gue nyari olah raganya. Kan tadinya gue futsal, tapi gue udah ga futsal, olah raganya apa nih? Nampaknya yang gue liat yang paling simple itu nge-gym. Lo ga usah mengumpulkan berapa orang kan, buat berolahraga kan. FE : Berarti karena alasan simple yah? Yang lo harapkan itu apa sih dengan latihan fisik secara rutin di pusat kebugaran? JH : Pertama sih gue pengennya sehat. Kedua yang tadi gue bilang, misalnya gue seminggu ga olahraga, ga enak badan gue. Nah, setelah gue nge-gym, adanya juga nih pikiran “wah boleh juga nih kalo badan gue jadi.” FE : Jadi ada juga “wah boleh juga nih kalo badan gue jadi.” Seberapa penting sih nge-gym dalam hidup lo? Bukan, maksudnya, seberapa penting “badan gue jadi” itu dalam kehidupan lo? JH : Ya balik lagi, jauh di bawah. Tingkat kepentingannya tuh banyak yang lebih penting. FE : Kalo boleh gue bilang ini hal tersier dong yah? JH : Sangat. FE : Seberapa penting melakukan aktifitas fisik di pusat kebugaran buat lo? Mungkin ada orang yang ngerasa insecure banget nih kalo ga nge-gym. JH : Sebenernya sih sama sekali ga penting. FE : Tapi kenapa dilakukan? JH : Artinya, sama sekali tidak penting. Yang tadi lo bilang kan misalnya gue ga nge-gym, gue ga akan bagaimana tuh… insecure atau bagaimana. FE : Itu kan orang lain. JH : Ya itu dia, menurut gue sih ga begitu penting, cuma artinya ga perlu di gym juga gue olah raga. Cuma gue sangat penting untuk berolah raga, nah kebetulan kalo untuk futsal atau segala macem males aja nungguin orang kan, nah dapet deh nih yang paling gampang yang bsia dilakukan sendiri, yaitu nge-gym. FE : Berarti karena kebetulan yang paling butuh adalah olah raga, dan pilihan yang paling mudah adalah nge-gym dan itulah yang lo lakukan? JH : Iya. FE : Apa yang lo rasakan ketika lo ga nge-gym, ketika lo ga berolah raga di pusat kebugaran? JH : Kalo ga berolah raga di pusat kebugaran terus gue olahraga di tempat lain ga ada yang gue rasain, biasa aja. Tapi kalo misalkan ga olah raga, gue sakit langsung dua minggu lah. FE : Sakit, langsung sakit gitu? JH : Sakit apa ya… sakit ga enak badan gitu lah. FE : Ok. Kalo lo ga olahraga secara umum dampaknya lo ga enak, tapi kalo ga nge-gym di pusat kebugaran, ya ga apa-apa ga masalah? JH : Iya. FE : Tanggapan lo nih sama laki-laki yang ga melakukan aktifitas fisik, terlepas itu di pusat kebugaran atau ga? JH : Menurut gue mereka akan rentan terhadap penyakit di suatu saat, kalo menurut gue. Soalnya gue merasakan sih kalo misalnya lo ga olah raga, lo gampang sakit. Dan gue rasa sih, harusnya semua orang sama. Jadi, iya mungkin mereka ga ngerasain sekarang, cuma pada saatnya mereka akan ngerasain. Kalo ga olah raga, gue rentan sakit. FE : Kita udah masuk ke part terakhir nih. Pernah lih at iklan L-Men ga sih? JH : Pernah. FE : Yang apa? Yang mana? JH : Yang berenang-renang itu. FE : Yang dia berenang, yang dia lari di padang pasir? JH : Iya yang itu. FE : Pendapat lo ketika pertama kali melihat iklan itu? Yang pertama kali ada dipikiran lo? JH : Iya, sekali lagi cuma bohong. FE : Maksudnya bohong dalam arti apa? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxix (lanjutan lampiran 5) JH : Dia mau bilang dia L-Men kan. Yang gue tangkep yah dia mau nunjukin ke lo, ke para penonton L-Man it works, kalo lo make L-Man, bada lo bisa kaya begini nih… Ya ga sinkron aja. FE : Berarti intinya lo, menegasikan yah? Beroposisi sama pesan iklan itu? JH : Gue tahu banget orang yang gym-addict tuh, yang mereka lakukan gym-addict kan, itu ga bisa lo lari-lari di gunung, berenang kaya gitu. Ga bisa mereka. FE : Hmm… JH : Soalnya gue hidup di dunia seperti itu lumayan lama, gue tau tipe orang yang kuat lari seperti apa… FE : Bukannya malah jauh lebih sehat yah? Karena ada hubungannya sama otot JH : Kekuatan lari lo, kekuatan fisik lo, berenang, itu ga dipengaruhi sama bentuk badan lo. Contoh, pelari yang lari paling cepet itu kurus-kurus kerempeng. Ga ada ototnya segede-gede gaban. FE : Berarti, Oh lo berpikir semakin besar badan seseorang, kecepatannya semakin menurun? JH : Bukan. Ini bukan masalah kecepatannya menurun. Dia menunjukan nih, gue pengen bikin badan bagus, lo pakai L-Men dan nunjukin kegiatan yang dilakukan sama orang ini berlari, berenang, ya kalo menurut gue. Ya bohong gitu! FE : Oh jadi menurut lo, kan tadi kegiatan mereka cardio kan? Nah, kalo cardio badan lo ga akan kaya gitu? JH : Bukan, bukan kaya gitu sih. FE : Bagaimana? Bagaimana? JH : Ya, badan mungkin bisa aja nih misalnya orang cardio badan bagus, orang berenang badannya bagus, wajar. Cuma, bukan berarti… orang L-Men ini kan mau ditunjukin kerennya dia yah, kalo lo pakai L-Man badannya bagus, hobinya gitu lagi, lari, ada di alam, berenang, dan segala macem kan. Semua orang yang memerankan L-Men itu tanya pernah ga melakukan aktivitas yang kaya gitu? FE : Oh, jadi maksudnya adalah mereka ga bisa melakukan itu? JH : Bukannya ga bisa melakukan itu. Cuma mereka menampilkan kerennya olah raga yang lari, berenang itu, seakan-akan, seolah-olah di attach, ditempelkan, dilekatkan dengan produk LMan ini. Ngerti ga sih? FE : Serius. Gue ga nangkep, beneran. Jadi maksud lo, lo berpikiran bahwa ga mungkin nih ketika orang memakai L-Men dia bakal bisa jadi seperti itu, bisa kuat lari, bisa kuat berenang. JH : Iya. Kalaupun kuat iya, cuma bukan karena urusan L-Men itu. FE : Ohh… JH : Yang gue tangkep dari L-Man, gila gokil banget nih orang! Badannya sekeren itu, hobinya juga ga main-main, ya cuma pada kenyataannya itu orang-orang yang memerankan ga melakukan itu tuh. FE : Boleh ga gue simpulkan, berarti mereka bisa kaya begitu bukan karena L-Man kan? Itu yang pengen lo bilang kan? JH : Iya. FE : Bukan karena L-Men mereka bisa lari di padang pasir, berenang itu bukan karena L-Man. Yang kedua, orang dengan badan seperti itu belum tentu juga mau melakukan hal seperti itu. Belum tentu mau lari di padang pasir, benerang gitu, orang dengan badan seperti itu. Ok. Kenapa lo bisa punya pikiran seperti itu? Maksudnya kenapa… apakah… JH : Sekarang begini, gue tau nih. Orang doyan nge-gym karena buat badan nih, itukan buat badan nih... eh, gimana yah. FE : Orang yang nge-gym karena buat badan lebih memilih untuk tidak aktifitas seperti itu? JH : Iya. Lengketnya orang nge-gym itu, sekarang yang masih gue tangkep yah, adalah lengketnya orang-orang yang…. kalo yang gue tangkap metroseksual dalam pikiran mereka. Artinya dalam kehidupan mereka sekaranglah, kuliah atau kerja… Nah, orang-orang yang metroseksual itu jauh sekali dengan kegiatan-kegiatan alam yang kaya begitu. FE : Ok. JH : Karena gue pernah ada di bagian itu. Dan gue sering sekali mengajak temen-temen gue yang nge-gym untuk ngelakuin itu. Baru sekali, tapi baru sekali udah ngga mau lagi… Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxx (lanjutan lempiran 5)
FE : Oh, gue tau. Gue nangkep. Jadi, ini bukan masalah olahraganya kan, tetapi tentang, orang yang gym addict ga mungkin mau ngelakuin hal itu (berlari, berenang di alam) JH : Ngga mungkin! Makanya gue bilang bohong kan. FE : Itu yang menyebabkan lo berpikir, “bohong nih orang badan kaya begini melakukan kaya begini” atau “orang supaya punya badan kaya begini melakukan kegiatan kaya begitu” JH : Cotohnya begini deh, L-Man itu kan orangnya yang lean yang badannya badan model banget kan? Putih, apa, segala macem kan? Itu bukan tipe-tipe orang yang mau berenang di kali, lari di gurun yang panas. Ga, ga mau itu. FE : Oh, gue baru dapet nih pemikiran kaya begini. Ok. Menurut lo nih, pesan apa sih yang mau disampaikan iklan ini? JH : Biar pakai produk dia. FE : Biar pakai produk dia. Selain itu ada lagi ga? JH : Ga. FE : Setujukah dengan pesan yang berusaha dia sampaikan? JH : Ga. FE : Kenapa kalau ga setuju? Selain karena alasan… berlebihankan dia, atau bahkan ga tau sama sekali. JH : Satu berlebihan. Kedua orang memakai kan mikir “trust me it works” yah. Yah ga semua orang… itu kan suplemen kan, kalo orang yang punya darah tinggi kaya gue, itu kan ga bisa pake suplemen protein. FE : Ok. Berarti itulah lo ga percaya sama L-Men. Lo masih ingetkan dalam pikiran lo, laki-lakinya, si modelnya. Lo melihat tokoh laki-laki itu? Ketika lo melihat dia, bagaimana lo melihat sosok dia seperti apa? JH : Ya, gue bayangkan dia gym addict yang kerjannya Cuma nge-gym doang. Kan dia nyari makan dari gym-nya artinya dia kan jadi model, dia harus jaga badannya, yah jadi bukan defnisi dari maskulin menurut gue. Karena lo jadi model. FE : Menurut lo nih, laki-laki dalam iklan tersebut maskulin apa engga? Menurut lo pribadi. JH : Ga. FE : Ga maskulin. Apa yang membuat lo berpikiran bahwa dia ga maskulin? Bukannya badannya bagus yah? JH : Itu dia, badannya sih bagus yah, badannya bagus menurut gue kalau sesuai definisi maskulinitas, tapi engga utama. Gue bukannya antipati sama orang yang jadi model yah, cuma menurut gue sih, kalo tiap hari lo nge-gym, terus badan lo bagus, itu sih ga ada sesuatu yang luar biasa. Yaaa.. lo nyari makan dari situ makanya lo nge-gym terus FE : Ok. JH : Misalkan lo sehari-hari kerja nih, tapi bukan yang berurusan dengan model yah. Kerja dan lo masih bisa menjaga tubuh lo, lo ga gendut, lo ga apa, baru tuh. Kalo lo jadi pemain film lah atau model, ya wajar-wajar aja badannya bagus kerjaannya di bidang itu FE : Berarti, maskulinitas… maksudnya lo tidak melihat dia seorang yang maskulin karena hal itu yang harus dia lakukan untuk memenuhi kehidupannya. Laki-laki itu bentuk tubuhnya ideal atau ga? JH : Ideal FE : Apakah dia juga memiliki citra tubuh yang ideal? Citra dalam benak dia, jadi apakah dia juga memandang tubuhnya ideal juga apa ga? JH : Dia memandang… FE : Menurut lo dia itu memandang tubuhnya ideal atau ga? JH : Iyalah. FE : Punya keinginan untuk mempunyai tubuh seperti laki-laki itu? JH : Punya FE : Apakah punya keinginan untuk mengkonsumsi L-Man setelah melihat iklan itu? JH : Ngga
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxi (lanjutan lampiran 5) FE : Ga sama sekali, selain karena alasan lo punya darah tinggi, ya terus juga lo merasa bahwa iklan ini bohong? Atau apa? JH : Ya paling utama karena punya darah tinggi, jadi gue ga bisa konsumsi high protein. Jadi garagara itu. Kalo misalnya gue ga punya darah tinggi, mungkin gue akan memakai (L-Men). FE : Oh, mungkin akan pakai. Ok! Sip! JH : Yeah! TRANSKRIP WAWANCARA Keterangan Wawancara Tanggal : Jumat, 11 Mei 2012 Waktu : 15.25 WIB Lokasi : Green T, Perpustakaan Pusat, UI Depok FE : Menurut lo, tubuh punya pengaruh ngga sih di masyarakat? Mungkin kalau bingung, sebagai contoh, kadang-kadang kalau laki-laki yang badannya gemuk, itu seringkali dianggap oleh masyarakat sebagai pemalas. JH : Punya. Kurang lebih kaya tadi. Ya, misalnya orangnya hidupnya teratur, dalam arti ya makannya bener, tidurnya bener, kerjanya juga bener. Ya dia harusnya punya poster yang ideal. Ya obesitas atau kegemukan entah dia makannya yang ngga teratur, entah tidurnya engga teratur, ya atau kerjanya ngga teratur. FE : Hoo, berarti wajar ya orang gemuk disebut pemalas karena serba ngga teratur? JH : Kalau menurut gue sih pasti iya. Kalau menurut gue, tubuh itu benar-benar kaya gimana cara lo memerlakukan tubuh lo. Kalau misalkan tubuh lo ideal, baik sengaja atau ngga sengaja, balik lagi, lo pasti punya pola hidup teratur. FE : Kita kan hidup di masyarakat patriarki, nih. Laki-laki di atas segalanya. Menurut lo, apa aja sih indikator yang paling gampang dilihat bahwa seseorang itu adalah bener2 laki-laki. JH : Secara umum, sih ya bentuk tubuh, jakun, gitu-gitu, segala macem. FE : Setuju ngga sih lo sama tanggapan kalau perempuan itu punya status sosial lebih rendah daripada laki-laki di masyarakat? JH : di masyarakat? Kalau menurut gue iya. tapi gue engga merasa seperti itu. Menurut gue pribadi sih, ngga FE : Kenapa lo bisa berpikiran seperti itu? Bukan karena kakak lo perempuan? JH : Ngga juga. Gue engga tahu kenapa. Ya cuma menurut gue, ngga ada alasan untuk bilang kalau laki-laki punya status sosial yang lebih tinggi dari perempuan. Ya sebenernya bisa dirunut tuh awal-awal pemikiran kaya gitu kan biasanya berakarnya kan kalau ngga kebudayaan ya pada agama. Ya, menurut gue, alasan yang ada selama ini cuma sebatas pada ya masalah interpretasi orang aja terhadap budaya atau agama. FE : Berarti lo menganggap bahwa perempuan juga punya derajat yang sama dengan laki-laki? JH : Iya FE : gue mau nanya pandangan lo terhadap laki-laki homoseksual seperti apa sih? JH : hmm, ya ngga ada masalah. FE : Maksudnya ngga ada masalah tuh seperti apa? Ngga peduli? JH : Bukan ngga peduli. Gue menyadari bahwa ada kaum selain laki-laki dan perempuan, tetapi dalam artian laki-laki straight dan perempuan straight ada juga laki-laki homoseksual dan perempuan homoseksual. Menurut gue dan anggapan gue, itu adalah hal-hal yang benerbener sangat wajar dan sangat biasa, bukan biasa… maksudnya wajar aja ada laki-laki, ada perempuan, ada homo ya wajar. FE : Variasi manusia dalam kehidupan? JH : Bukan, kalau menurut gue itu emang bener-bener apa ya, fenomenan genetik yang terjadi di kehidupan manusia. FE : menurut lo, apakah laki-laki homoseksual punya status lebih rendah dibandingkan laki-laki heteroseksual? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxii (lanjutan lempiran 5)
JH : Ngga FE : Menurut pengalaman lo nih, ya. Gimana sih sikap dan perilaku yang laki-laki heteroseksual berikan kepada laki-laki homoseksual? JH : Pada umumnya, antipati. Dulu gue pernah antipati ketika gue pada umur-umur puber. Artinya ketika.. umur-umur puber adalah umur-umur ketika lo membedakan bahwa ini lho diri gue sebagai laki-laki maka gue akan bertumbuh kembang sebagai laki-laki. Artinya, hormon-hormon kelaki-lakian gue terus meningkat yang akhirnya ketika gue dewasa kan kita akan menunjukan sikap laki-laki dewasa. Nah, pada awal-awal sih gue masih antipati, cuman sekarang sih kayaknya lumrah2 aja. FE : tapi balik lagi ke pertanyaan tentang laki-laki homoseksual yang lo anggep status sosialnya ngga lebih rendah dari laki-laki heteroseksual. Itu kenapa? JH : Kembali karena ini ya.. Gue ngga tahu ini bener atau ngga, sepengetahuan gue aja. Yang gue tahu homoseksual itu terjadi karena fenomena genetika. Artinya, ada manusia yang tanpa dia… yang bukan pilihan dia untuk menjadi homoseksual. Nah, kalau misalnya sudah kembali ke bukan pilihan dia, tapi dia terciptanya seperti itu, kenapa harus dibedain? Artinya, Tuhan menciptakan laki-laki, Tuhan menciptakan perempuan, Tuhan menciptakan homoseksual, kenapa laki-laki heteroseksual harus lebih tinggi status sosialnya dari laki-laki homoseksual. FE : Setuju ngga sih sama standar ideal di masyarakat kalau “big is masculine”? JH : Engga FE : Apa aja bentuk perhatian yang lo berikan terhadap penampilan tubuh? JH : Olahraga, makan teratur, berusaha tidur teratur. FE : penilaian lo terhadap ukuran tubuh lo saat ini, apakah sudah ideal, pas, terlalu kurus, atau terlalu kurus? JH : Bukan ideal ya, tapi pas. FE : Tubuh lo punya daya tarik ngga sih sama lawan jenis menurut lo pribadi? JH : Punya FE : Apakah tampilan tubuh laki-laki di media, itu memengaruhi penilaian lo terhadap tubuh? JH : Iya FE : Biasanya penilaian seperti apa yang lo kasih? JH : Kurang lebih, ketika lo ngelihat handphone, lo ngelihat ada orang punya handphone lebih bagus, setidaknya kan wajar dong kalau gue ngelihat “wah, punya orang lebih bagus”. FE : berarti lo cenderung menilainya negatif? JH : Bukan negatif, sih. Ketika gue melihat seseorang bagus, kan bukan berarti gue bilang punya gue jelek. Fair-fair aja kan untuk gue memberikan penilaian bahwa itu jauh lebih bagus. FE : Punya keinginan untuk membuat tubuh lo berotot seperti yang ditampilkan media? JH : Hmm, punya keinginan sih punya, tapi kan sebatas keinginan doang. Bukan berarti gue punya rencana atau suatu saat, gue punya target gue bakal gini.. Pingin sih pingin FE : Kenapa ngga lo wujudkan keinginan lo itu? JH : itu kembali lagi karena kan, lo bisa aja menginginkan sesuatu, tapi bukan berarti semua keinginan lo harus terpenuhi kan? FE : Apakah lo mencoba menjadi realistis dengan kebutuhan lo? JH : Yap. Kebutuhan sama ya keadaan lo juga. Keadaan maksudnya, gue sekarang siapa, kalau misalnya lo mau berkarier sebagai artis, ya artis pun kalau misalnya dia jadi lo, tentu dia ngga punya waktu. FE : apakah laki-laki dengan tubuh berotot dinilai lebih maskulin? JH : Engga juga. FE : Menurut lo, gimana sih media nampilin sosok laki-laki? JH : Yang gue tangkep sih media menampilkan laki-laki yang posturnya besar, dalam artian bukan gendut, tapi berotot, dia emang menampilkan otot, pada umumnya sih yang gue lihat begitu. FE : Apakah laki-laki di media sudah cukup merepresentasikan maskulinitas menurut lo? JH : Berlebihan kalau menurut gue. FE : Berlebihan dalam artian? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxiii (lanjutan lampiran 5) JH : Itu dia, misalkan lo nonton film nih. Ya memang ngga semua, cuma pada umumnya pemeran utamanya itu, laki harus badannya bagus. Sekarang katakanlah pemain utamanya pengacara, cuma badannya keren banget. Menurut gue itu agak berlebihan artinya.. Okelah itu memang yang menurut mereka (media) maskulin cuman kayanya ngga segitu-segitunya amat. Artinya kalau misalnya lo jadi pengacara, harusnya lo ngga punya banyak waktu juga tuh buat bikin badan lo sebagus itu. FE : apa aja produk l-men yang lo tahu? JH : Ya suplemen-suplemen kaya susu gitu kan. Yang gue inget ada dua varian, hmmm gain mass sama satu lagi yang bukan buat gain mass, kayak hi protein gitu lah. Terus dia juga punya, punya produk lagi kayak susu kemasan, kayak Ultra Milk, ama dia juga punya L-Men Amino Bar. FE : pendapat lo terhadap semua iklan L-Men dalam pikiran lo apa? JH : pada dasarnya sih iklannya menurut gue, satu, bintang iklannya bagus-bagus badannya, kedua ya lebay juga iklannya dari bagaimana pesannya disampaikan kenapa harus ditambah2in kalau badannya mau bagus harus berenang juga, panjat gunung juga, lari-lari juga. FE : tapi lo yakin ngga sih kalau L-Men bisa bikin badan orang kayak gitu? JH : Ngga yakin juga gue. FE : Sugesti doang kah? JH : bukan sugesti sih. Gue sih jelas bahwa suplemen itu kan dia akan menyuntikkan protein dalam jumlah banyak ke dalam tubuh kan, artinya perkembangan massa otot itu akan jadi lebih cepat daripada yang tidak menggunakan suplemen. Cuma kembali lagi kepada merek menurut gue. Dalam artian, belum tentu si bintang iklan itu, maksudnya dalam keadaan yang sebagus itu sekarang, belum tentu dia cuma make merek L-Men doang mungkin dia make merek-merek lain juga, yang mahal dalam artian yang kualitasnya lebih terjamin . Gue agak ngga begitu tahu sejauh mana sih kualitas dia (L-Men). Karena gue ngga begitu tahu, jadi kurang begitu percaya. Yang gue tahu juga gini.. Kan si bintang iklan L-Men ini juga kan ada kompetisinya untuk jadi bintang L-Men dan mereka berkompetisi. Jadi, mereka badannya udah jadi, mereka berkompetisi, akhirnya pemenangnya jadi dutanya L-Men. Nah, dari badan dia sebelum jadi sampai akhirnya jadi, kan ngga ada jaminan dia cuma pakai L-Men. Artinya, badan dia sekarang itu bukanlah karena bentukan L-Men. Kalau sekarang dia bintang iklan LMen, iya. Cuma, badan dia bagus karena L-Men? Belum tentu. Ngga ada yang bisa membuktikan FE : tadi kan lo sempet menyinggung ajang L-Men of The Year. Kalau misalkan lo dikasih kesempatan, mau ngga sih lo berpartisipasi di ajang itu? JH : sekali pun badan gue layak gitu? Ngga akan ikutan FE : Kenapa? JH : Ya karena menurut gue, gue ngga punya keinginan untuk jadi model bintang iklan. FE : Pendapat lo sama laki-laki yang ikut ajang LOTY? JH : Yaaa, mungkin mereka suka sama dunia modeling. Sama aja kaya orang lain yang bebas memilih karier, mungkin mereka memilih karier untuk menjadi model. FE : apakah laki-laki di LOTY memerkuat keinginan lo untuk memiliki tubuh berotot? JH : menurut gue sih pasti iya. Karena gue sering ngelihat dan gue termotivasi, terlepas dari karena L-Men atau bukan ya. Artinya, katakanlah karena gue sering ketemu temen gue yang badannya bagus, gue sering nonton film yang laki-lakinya badannya bagus, tentu akan ada di otak gue bahwa “wah kayaknya enak nih punya badan kayak mereka” tapi bukan karena strategi pemasaran L-Men of The Year. Bukan karena marketing mereka. FE : Apakah para finalis L-Men of The Year ini mewakili nilai-nilai maskulinitas yang ada di masyarakat? JH : Pertama, gue ngga tahu finalis LOTY ini siapa aja dan kayaknya gue belum pernah lihat deh. Hmm, nilai maskulinitas? Kayaknya engga menurut gue. Karena nilai maskulinitas tidak semata-mata dinilai dari fisik. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxiv (lanjutan lempiran 5)
FE : menurut lo, apakah seorang laki2 harus punya penampilan tubuh seperti di media agar diterima di masyarakat? JH : Harusnya sih engga. Engga harus. Banyak pria gendut, tapi diterima di masyarakat. Contoh, pejabat banyak yang gedut kan? Artinya mereka dengan menjadi pejabat diterima di masyarakat kan. Masalah karena apanya kan, apakah karena mereka pinter, apakah karena mereka kaya, yang jelas penampilan tubuh tidak selalu menjadi penentu untuk diterima di masyarakat. Buktinya banyak pemimpin, banyak pejabat, badannya gendut. FE : seorang laki-laki, apakah harus juga memiliki penampilan seperti yang ditampilkan di media agar mendapatkan pasangan dan terlihat menarik? JH : Jelas engga. FE : kalau menurut lo, bagaimana sih pandangan masyarakat menilai laki-laki dengan tubuh yang ada di iklan L-Men dan ajang L-Men of The Year? JH : Kalau menurut gue, masyarakat general pasti akan bilang biasa aja. Artinya gini, gue bilang gitu karena mayoritas orang Indonesia atau Jakarta misalnya kayak… Ya di rumah gue deh, di rumah gue yang ngegym cuma gue doang. Artinya kesadaran masyarakat pada umumnya terhadap badan bagus tuh ya ngga gitu-gitu amat. Jadi kalau gue boleh mengatakan masyarakat umum, mayoritas akan biasa aja. Bahkan mereka ngga akan begitu terpukau (sama badan bagus). Di rumah lo deh, siapa aja yang ngegym? FE : Gue doang sih JH : itu tuh kenyataan yang bisa merepresentasikan.. di Indonesia ini berapa persen sih orangorang yang ngegym? FE : tapi sebenarnya ini apakah bentuk ketidakinginan mereka untuk punya badan bagus atau ketidakinginan mereka untuk ngegym? JH : Jadi, ketika masyarakat punya kesadaran, definisi badan bagus seperti ini, maka itu akan berbanding lurus dengan atensi orang terhadap ngegym. Jadi, itu udah hokum yang alamiah sekali. Dan kalau lo belum tahu, bahkan masyarakat kita itu sering mikir “penting ngga sih berbadan seperti itu?” gampang aja liat aja berapa banyak orang yang ngegym? FE : apakah ada hubungan antara badan yang bagus harus didapatkan melalui ngegym? JH : kalau mau mendapatkan badan seperti yang di L-Men harus, ngga mungkin engga. Gampangnya, kalau mau badan lo bagus, ya lo tinggal olahraga aja kan? Atlet deh liat atlet, badannya ngga segede2 L-Men. Terus liat tukang2 deh, mereka itu badan bagus alami karena mereka melakukan suatu aktivitas fisik yang bener2 membakar kalori. Itu tuh ngga gede-gede. Dan pada kenyataannya, masyarakat kita ngga melihat itu sebagai suatu kebutuhan, mungkin lima sepuluh tahun lagi mungkin iya. Tapi saat ini ternyata masyarakat kita belum seperti itu. FE : Menurut lo, ukuran tubuh yang dimiliki oleh laki-laki dalam iklan L-Men dan para finalis LOTY, apakah itu membuat lo setuju sama anggapan bahwa big is masculine? JH : Engga. FE : menurut lo, perhatian apa sih yang diberikan sama laki-laki di dalam iklan L-Men sama para finalis ajang LOTY? JH : Mungkin, mereka sangat mengatur makan mereka, mereka sangat mengatur tidur mereka, mereka sangat mengatur hidup mereka. Mengatur makan, apa yang dimakan apa yang mereka minum, dan mengatur jadwal tidur. FE : yakin ngga sih kalau mereka alami? JH : engga. FE : berarti menggunakan bantuan suplemen? JH : Ya, dia aja mengiklankan suplemen. Pasti pake dong. FE : oh, oke. Menurut lo, bagaimana sih penilaian yang diberikan oleh para bintang L-Men dan laki-laki finalis LOTY terhadap tubuh mereka sendiri? JH : Menurut gue, mereka menilai tubuh mereka baguslah. FE : berarti penilaian mereka positiflah ya? JH : Iya
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxv (lanjutan lampiran 5) FE : penilaian lo terhadap laki-laki bintang L-Men dan finalis LOTY apakan memengaruhi penilaian lo? JH : Iya. FE : Ke arah mana nih? Positif atau negatif? JH : Positif FE : Berarti lo juga merasa kalau tubuh lo juga bagus? JH : iya itu juga satu. Ketika gue ngelihat badan mereka, gue akan bilang “ternyata badan gue juga ngga jelek-jelek amat” itu positif kan? Kedua gue termotivasi untuk jadi lebih bagus karena ada lho, badan bagus itu kaya gini lho. FE : apakah lo punya keinginan untuk punya tubuh seperti laki2 di iklan L-Men dan finalis LOTY supaya penilaian lo terhadap tubuh menjadi positif? JH : engga, kalau soal keinginan pasti ada, tapi kan ngga semua keinginan harus dipenuhi, tapi bukan berarti apa yang gue punya sekarang itu negatif. FE : Ok. Udah selesai wawancaranya.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
LAMPIRAN 6: Transkrip Wawancara Informan 4
TRANSKRIP WAWANCARA Data Diri Informan Nama Usia Jenis Kelamin TTL Pekerjaan Status Agama
: BM : 22 tahun : Laki-laki : Juli 1990 : Mahasiswa : Belum menikah : Islam
Keterangan Wawancara Tanggal : 14 April 2012 Waktu : 17.00 WIB Lokasi : Berli’s Coffee, Margo City Depok
FE : Bisa tolong ceritain tentang diri lo dari SD, SMP, SMA, sampai kuliah sekarang? BM : SD pertama di Al-Azhar, sekolah borju, temen-temennya borju. Terus gue pindah ke Bekasi. Dari sekolah borju pindah ke sekolah kampung, kaget, tapi ujung-ujungnya ikutan kampung. Terus SMP, masuk pesantren dari kelas 1 sampai kelas 2. Sekolahnya itu laki semua, banyak setan. FE : Maksudnya banyak setan? Angker gitu? BM : Yoyoi. Banyak masalah, tapi di situ gue banyak belajar dan kenal banyak oranglah. FE : Masalah apa nih maksudnya? BM : Apapun. Kan, banyak orang yang beda kebudayaan tinggal sekamar ama orang bagaimana, begini, begitu, orang Manado, Merauke. Intinya banyak belajarlah. Karena gue sakit kuning, dulu pesantren gue ada wabah penyakit kuning, emak gue mindahin gue gara-gara sakit. Pindah ke NF di Depok. Ya udah, biasa aja. Habis itu masuk ke SMA. SMA di Serpong. Namanya MAN Insan Cendekia, SMA favorit. Hahaha. Di Serpong, asrama juga. Jadi, ibaratnya gue SMP ke SMA di Serpong itu bagikan bumi dan langit. Kalau di pesantren itu ketatnya dan seramnya kaya apaan tahu, kalau di SMA gue di IC, itu udah kaya surga. Ngapain aja boleh karena di asrama ngga terlalu banyak aturan. Yaudah, terus kuliah, masuk UI. FE : kalau misalkan, gue nanya. Bagaimana sih lo memandang diri lo sendiri? Maksudnya, ketika lo diminta untuk menilai diri lo sendiri, bagaimana lo menilai diri lo sendiri? BM : Orangnya ngga banyak mikir, tapi sekalinya mikir lama. Sekalinya mikir tuh bisa ngga ilang pikiran. Terus, nyantai dan ngga banyak proteslah. Apalagi ya… Hmm, menjalani hidup untuk kegembiraan, ngga usah stress, apalagi ya. Orangnya ngga banyak mau. FE : Maksudnya, kenapa ngga banyak mau? Apa yang membuat lo… BM : Ya, kalau ngga perlu memroteskan hal kecil ngapain protes. Kalau ngga perlu memersalahkan hal kecil, ngapain ngomong, ngapain rusuh. Nyantai-nyantai aja, hidup kan cuma sekali kalau kata orang-orang. FE : Kalau gue meminta lo untuk menjelaskan strength and weakness. Mana yang akan lo jelaskan pertama kali? BM : Strength-lah. FE : So, what are your strengths? BM : Hmmm, apa ya, tahan banting kali, ya. Ketahanan tinggi. Gampang gabung sama orang, terus punya badan sehat. Terus dikasih rasional, otak gue lebih… FE : Lebih logis dibandingkan dengan menggunakan perasaan? BM : Iya. FE : Terus? BM : Mudah membantu, cinta orang tua, itu strength bukan ya? Jadi, banyak doa dari orangorang. FE : Ketika lo menilai diri lo dari kelemahan lo?
lxxvi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxvii (lanjutan lampiran 6) BM : Orangnya ngga ambisius, itu juga kadang-kadang jadi kelemahan juga . Jadi, kadangkadang kesempatan yang kita punya bisa diambil sama orang lain. Terus, gue orangnya gampang nolong. FE : Kenapa itu jadi weakness? BM : Gampang nolong itu bisa jadi strength bisa jadi weakness. Seperti yang gue bilang, saat lo gampang nolong, orang lain bisa memanfaatkan lo, jadi ya kadang-kadang, gue suka nolong orang tanpa gue sadari. FE : Berarti lo mengategorikan itu sebagai kelemahan? BM : Kelemahan dan kelebihan. Kadang-kadang mudah menolong itu kan enak aja gitu, kan. Bikin hati senang, tapi kalau kadang-kadang orang bilang “ngapain ngerepotin diri sendiri” Oia, ya bener juga. FE : Lalu, apa lagi yang lo identifikasi sebagai weakness? BM : Apa ya? Gue lemah karena orang lain. Gue ngga bisa ngeliat orang lain lemah. Ngga bisa ngeliat orang lain susah, gue lebih suka menyusahkan diri sendiri. FE : Berkorban untuk orang lain? BM : Ngga selebai ‘berkorban untuk orang lain juga, sih’ FE : Lo pernah ngga sih beryanya sama orang “eh, menurut lo, gue bagaimana, sih?” BM : Jarang. Males aja nanya ke orang kalau gue gimana. Kalau ngga perlu-perlu amat, ya udah ngga usah. FE : Apa pandangan orang lain ke lo yang sampai saat ini pernah lo tahu? BM : Ada, kata temen gue, katanya gue ngga pernah ada masalah, kayanya hidupnya ademadem aja, ya kaya gitu. Orang bilang gue gampang nolong, kata emak gue. Terus, mau susah karena orang lain, itu kata emak gue juga. Kalau kata temen gue lagi, ngga pikir panjang. Udah gitu, cuek. Udah, itu aja paling. FE : Pandangan seperti apa sih yang lo harapkan untuk bisa dilihat orang lain dari diri lo? Orang lain pengen ngelihat lo sebagai orang seperti apa sih? BM : Ya, sebagai gue apa adanya. FE : Bisa diperjelas maksudnya apa? BM : Ya, gue termasuk orang yang… Orang pengen gue apa ya gue iniin… Orang tuh pengen suatu saat gue harus kaya gimana. Misalnya saat gue harus tegas, ya gue tegas, saat gue bercanda.. Hmm, misalnya saat orang-orang bilang gue harus bisa berpikir panjang, gitu gitu. Cuma ya ujung-ujungnya kembali lagi ke nature gue sendiri. FE : Sekarang kalau misalkan gue tanya, puas ngga sih lo sama penampilan fisik lo? Fisik ya, bukan penampilan secara pakaian. BM : Fisik maksudnya sesuatu yang given, take it for granted? Bersyukurlah. Hidup aja udah puas. FE : Puas berarti ya? BM : Ya, puaslah. FE : Nah, sekarang pertanyaan gue mengacu kepada frame of references. Kita tahu bahwa manusia ada orang yang membuat bagaimana mereka punya pola pikir sampai sekarang. Nah, itu dibentuk oleh significant others. Kita mulai dari keluarga dulu. Bisa ngga tolong ceritakan latar belakang keluarga, suku, agama, keluarga, dan jumlah saudara yang lo punya. Mungkin dari keluarga dulu kali, ya? BM : Keluarga besar gue orang Sunda. Hmm, gue anak kedua dari tiga. Kakak cowo adik cewe, jadi anak tengah-tengah. Terus, bokap dari keluarga militer, nyokap dari keluarga guru. Itu latar belakang yang sangat berbeda sekali. Jadi, setiap keluarga besar yang satu kaya gini, keras, yang di keluarga besar yang satu lemah lembut, santun. Kaya gitu dah latar belakang keluarga besar gue. FE : Agama? BM : Agama Islam. Keluarga besar kakek masih semua sama. FE : Tadi kan, lo bilang kalau bokap dari keluarga militer yang keras, sedangkan nyokap dari keluarga guru yang lemah lembut. Siapa sih dari mereka berdua yang punya hubungan paling dekat sama lo? BM : Ya, paling deket sama ibu guelah. Soalnya kan bokap jarang di rumah. FE : Apa bentuk kedekatan lo sama nyokap? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxviii (lanjutan lampiran 6) BM : Hmm, bentuk kedekatannya. Kalau dulu sih ya gue sih deket biasa aja kaya Ibu dan anaklah. FE : Maksudnya, apakah lo sering curhat? BM : Ngobrol gitu-gitu aja, sih. Kalau ke nyokap tuh mungkin lebih ke arah ngobrol, baik-baik. Kalau ke bokap itu lebih ke arah bercanda, ngajak main, terus ya yang ngga serius-seriusnya aja. Kalau ke nyokap, ke arah yang serius-seriusnya aja, yang sekolah atau gimana di kampus blab la bla. Kan jarang ketemu juga ama bokap. FE : Jadi, hubungan lo sama nyokap jauh lebih deket? BM : Sekarang, iya. Karena dia ngerasa, gue udah gede dan gue anak kedua, jadi apa-apa yang masalah, gue tahu masalah nyokap karena gue anak kedua. FE : Apa hubungannya anak kedua dengan kedekatan sama nyokap? BM : Karena anak kedua, gue diceritain masalah anak pertama dan anak terakhir. Anak terakhir ngga bisa semuanya bisa dibebankan pikiran keluarga. Kakak gue udah gede, ibaratnya udah hampir inilah, udah kerja juga. Jadi, ujung-ujungnya kalau ada masalah dengan kakak gue, gue tahu. Kalau ada masalah adik gue, gue tahu. FE : Jadi, sekarang di rumah, lo adalah pengganti abang lo? BM : Ngga pengganti juga. Dulu juga soalnya, gue selalu begitu. Soalnya bokap gue sama kakak gue, dua-duanya kan laki sama-sama keras. Jadi, ibu gue apa-apa ketika merasa ngga bisa mengatasi keduanya, pasti ngomongnya ke gue. FE : Apakah itu yang menyebabkan adanya kedekatan emosional antara lo sama nyokap lo? BM : Ya, bisa dibilang seperti itu. FE : Hmm, lo kan tiga bersaudara. Dari dua saudara lo ini, siapa di antara mereka yang punya hubungan paling deket sama lo? BM : Sama aja, sih. Soalnya gue jarang di rumah. Gue kan yang paling lama sekolah di luar kan gue, di asrama terus. Jadi, gue jarang ketemu juga. Jadi, kalau ama abang gue, temen main. Sama adik gue, temen gue gangguin. Gitu aja. FE : Berarti ngga ada yang punya kedekatan seperti dijadikan temen curhat atau temen diskusi? BM : Ngga terlalu, sih. FE : Oke. Sebenernya, menurut lo, gimana sih figur ayah dan ibu di mata lo pribadi? BM : Bokap gue itu pejuang, pekerja keras. Melakukan apa saja demi anak istri walaupun dia menderita. Ceileh, lebay. Kalau ibu gue itu, over-protective sama anaknya, sensitif, pokoknya beda bangetlah sama bokap. FE : Itu figur mereka di mata lo? BM : Eh, figur atau sifatnya yang gue lihat? FE : Figur mereka. BM : Kalau bokap itu pejuang, kalau nyokap itu bijaklah karena memang orang tuanya banyak di bidang pendidikanlah. Jadi, dia orangnya bijak. FE : Kan walaupun kenyataannya, lo jarang tinggal di rumah. Menurut lo sendiri, bagaimana sih pola pengasuhan yang mereka lakukan selama ini? Bagaimana lo menilainya, apakah baik, buruk, atau there s nothing wrong with it walaupun juga ngga bener-bener banget. BM : Ya, ada benernya ada salahnya. FE : Bisa tolong dijelaskan? BM : Ya paling apa ya. Gaya didik bapak gue kan militer banget, apa-apa kenceng, ngomong kenceng, beda ama ibu gue, apa-apa baik-baik. Jadi, ya untuk menghadapi kedua orang itu harus punya caranya masing-masing. Kadang-kadang, ada cara yang ngga bisa gue terima dari bokap, ada cara yang gue anggap lembek dari nyokap dan ada yang gue anggap terlalu keras dari bokap. FE : Mana yang paling nyaman sama lo? BM : Nyaman-nyaman aja, sih gue sebenernya. Karena kan sebenernya yang gue lihat isinya apa. Apa yang mau disampein. Kalau buat gue ngga enak, ya emang gue pikirin. Ya udahlah, maksud orang tua kan pasti baik ngomong. Ya paling bentaran doang abis itu. FE : Gimana peran orang tua ngajarin lo nilai-nilai yang berkaitan dengan gender role? BM : Bokap ngajari kalau laki-laki itu tanggung jawabnya gede. Ibaratnya pemimpin keluargalah. Jadi, lo harus udah mulai bertanggung jawab atas orang lain, harus rela berkorban demi Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxix (lanjutan lampiran 6)
FE BM
FE BM
FE
BM
FE BM FE BM FE BM FE BM
FE BM FE BM
FE BM FE BM FE BM FE
orang lain, demi keluarga lo. Lebih ke arah, laki itu tanggung jawabnya gede, melindungi keluarga-keluarganya. Kalau dari bokap sih, gitu. : Kalau dari nyokap gimana? : Kalau dari nyokap, sebenernya sih mirip intinya. Kalau dari nyokap lebih ke bagaimana cara ngobrol sama… maksudnya bagaimana cara mendidik orang ketemu orang, lebih ke arah how to-nya. Laki-laki itu harus banyak bertanggung jawab, itu harus begini… Lo ngga boleh meninggalkan tanggung jawab lo, istri harus dikasih makan. : Hmm, kalau bokap berarti lebih what to-nya, nyokap lebih ke how to-nya? : Nyokap lebih ke how to-nya sama dia ngedidik gue dari segi perempuan, bagaimana caranya perempuan… sama adik gue, soalnya kan gue suka agak jahat sama adik gue Jadi dikasih tahu… Gue dikenalin perempuan tuh kaya gimana orangnya, perempuan tuh bla bla bla, pengen diperhatiin bla bla bla., siapa sih perempuan itu, : Apakah orang tua pernah melarang atau membiarkan ketika lo melakukan hal-hal yang ngga sesuai dengan gender role lo? Orang tua lo pernah marah ngga atau membiarkan ketika melakukan hal-hal yang tidak appropriate sama gender lo? : Hmm, apa yah? Paling bokap itu lebih ke arah gini, ya itu lebih ke arah tanggung jawab. Saat gue meninggalkan, atau saat gue ngga tanggung jawab dikit, pasti kena. Kalau masalah yang sama cewe gitu-gitu, lebih ke arah menghindari hal-hal yang tidak diinginkan aja. Ntar kalau gaul ama cewe, apa ya… Kalau di agama islam kan, ngga boleh apa ya… Hmmm, mendekati zinahlah. Ntar kalau main ama cewe malah terjerumus ke seks bebas dan bla bla bla. Itu kan dilarang. : Salah satu hal perilaku yang berkaitan dengan gender kan, misalnya laki-laki harus olahraga, ngomongnya ngga boleh pelan. Hal itu dilarang ngga sih? : Laki-laki ngga harus olahraga, ya jelas (dilarang) bokap gue dari militer. : Berarti bokap lo melarang? : Maksud lo hal-hal yang ngga gender appropriate? Misalnya lemah lembut, gitu? : Iya, contoh mungkin laki-laki ngga boleh lemah lembut. : Ya diajarinlah kalau ngomong sama orang tua harus lemah lembut. Kaya gitu, sih. : Apa sih peran orang tua dalam ngasih pemahaman tentang gender role? Apakah peran mereka hanya sebagai penjelas dan penanam nilai-nilai atau ada peran lain selain itu? : Peran lain ada, kaya mencontohkan, ya kaya gitu-gitu mah banyak. Dia mencontohkan ke gue “gue (ayah) tuh gini-gini, gue tuh kaya gini-gini ke keluarga, lo juga harus kaya gitu ke keluarga”. : Sebagai evaluator pernah ngga? Marahin lo karena melakukan sesuatu yang ngga sesuai dengan gender lo? : Paling dijitak, digebok, diketawain, udah gitu doang. : Oke. Nah, apakah orang tua mengajarkan nilai-nilai tentang perhatian terhadap penampilan fisik atau penampilan tubuh? : Sering, cuma gue ngga terlalu dengerin juga kadang-kadang. Kalau dulu gue SD jarang sikat gigi, harus sering diingetin terus. Bersihin congek, bersihin udel, nah kaya gitu-gitu, gue kan rada males. Jadi, harus sering diingetin. Kalau emak gue kan dari keluarga bangsawan diajarin cara makan gimana. Beda sama bokap yang dari keluarga proletar. Ya, kalau makan, makan aja terserah lo-lah.. Soalnya kan dia udah biasa hidup keras. Kalau nyokap, pakai baju harus rapih. Kalau gue jalan sama dia, nih. Menurut dia, gue salah dikit aja, gue ngga nyisir atau ngga apa, gue pasti dikasih sisir. Kaya gitu. : Bagaimana orang tua mengajarkan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari? : Dicekokin-lah. : Tapi dikasih penjelasan juga, kan? : Dijelasinlah. Kalau menurut ibu gue, rambut gue harus gimana-gimana, dia yang benerin. : Hmm, misalnya gini. Badan lo kudis-kudisan, ada bekasnya. Terus dirawat baik-baik bekasnya… : Kalau nyokap, iya. Gue pernah luka di muka. Gede. Itu langsung dikasih ke dokter kulit buat diilangin lukanya. Dikasih obat, gitu. : Terus misalkan kalau lo terlalu kurus, lo disuruh olahraga ngga biar gemuk?
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxx (lanjutan lampiran 6) BM : Ngga, kalau kaya gitu, yang penting sehat. Yang penting ngga kegemukan, ngga gendutgendut amat, ngga kurus-kurus amat. FE : Berarti nyokap segitu concern-nya ya sama masalah waktu lo punya bekas luka di muka? BM : Oh, kalau nyokap iya. FE : Orang tua lo ngasih kebebasan penuh dalam hal apapun dalam kehidupan lo? BM : Bebas terbatas. FE : Bebas terbatas dalam hal? BM : Kalau hal tersebut masih di jalur agama, ya itu boleh-boleh aja. Asal ngga melawan jalur agama, itu aja yang penting. FE : Bilamana lo bisa mendapatkan kebebasan penuh tanpa ada embel-embel “terbatas”? BM : Apapun, asal itu ngga melanggar agama lo, ngga melanggar sopan santun, ngga melanggar ajaran-ajaran. FE : Sekarang kita ke pertanyaan tentang peer group, pergaulan. Bagaimana sih lingkungan pergaulan lo? BM : Saya bergaul dengan siapa saja. Kalau bergaul mah sama siapa ajalah, ya. Ngga peduli dia dari mana, tapi kalau berteman cari yang bagus-bagus, jangan yang jelek-jelek. Lo boleh bergaul sama maling , tapi jangan sampe terbawa sama yang jelek-jeleknya. FE : Terus, dalam lingkungan pertemanan, bagaimana sih lo menilai karakter yang lo tampilkan kepada mereka? Ketika kita berteman dengan A, karakter yang akan kita tampilkan akan berbeda dengan apa yang kita tampilkan ke B. Nah, bagaimana sih lo menilai karakter yang lo tampilkan ini? BM : Kalau karakter sih, ngga ada karakter khusus. Cuma kalau cara berbicara, bagaimana menyampaikan sesuatu, caranya pasti beda-beda. Kalau karakter ya gitu-gitu aja. FE : Lo punya sahabat atau temen deket? BM : Kalau sahabat yang deket-deket banget sih ngg ada. Deket semua sih buat gue. Gue ngga punya temen yang dari awal sampe akhir sama dia terus karena gue kan pindah sekolah terus. FE : Ngga ada yang bener-bener deket? BM : Ngga ada. FE : Deskripsi hubungan lo sama temen-temen lo seperti apa? BM : Temen biasa doang FE : Menurut lo, temen deket atau sahabat itu apa, sih? BM : Temen yang deket. FE : Deket secara proksimitaskah atau secara emosional? BM : Emosional juga. FE : Punya ngga temen yang deket secara emosional? BM : Hmm, engga engga… engga ada sih, gue ngga segitunya punya temen yang kalau dia ke mana gue ke mana, kalau ada dia pasti ada gue, kalau dia punya masalah kecil dan gue tahu, hmm kayanya sih gue belum ada. Kalau dianalogikan mungkin kaya Nobita dan Doraemon, itu gue ngga ada. Temen yang kaya gitu ngga ada. FE : Menurut lo pribadi, relasi lo sama temen-temen lo memengaruhi pola pikir lo ngga? BM : Pola pikir? Hmm, iyalah, pastilah, semakain lo banyak bergaul sama orang, kan pola pikir orang banyak tuh, lo semakin banyak tahu pola pikir orang sebeda itu. Jadi, kadang-kadang pola pikir orang ada yang memengaruhi gue, pola pikir gue memengaruhi dia, atau ada yang gue resist nih pola pikirnya, ada yang gue adopsi. FE : Menurut lo, karakter lo yang ada di dalam pikiran temen-temen lo seperti apa sih? Walaupun mereka ngga pernah bilang ke lo, lo bisa menduga kan kira-kira di pikiran mereka, lo adalah orang yang seperti apa sih? BM : Kira-kira gue, ibaratnya gue itu yang gue rasa, orang itu selalu ngga suka, benci sama gue, tapi ya ujung-ujungnya ama gue. Ya, gue orangnya emang nyebelin, senyebelin-nyebelinnya orang. Orang selalu bilang blah blah blah, pokoknya ngata2in gue, tapi dia ya deket-deket aja ama gue gitu, lho. FE : Apakah penampilan fisik lo memengaruhi lo dalam pertemanan? BM : Engga. FE : temen-temen lo ada memerhatikan penampilan fisik atau penampilan tubuh? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxi (lanjutan lampiran 6) BM FE BM FE BM FE BM FE
BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM
FE BM FE
: Ada yang iya, ada yang engga. : Lo punya temen yang melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? : Ada : Mereka, teman-teman lo, memengaruhi lo pemahaman lo terhadap penampilan fisik? : Ngga. : Ngga sama sekali? : Ngga. : Sebagai contoh gini, gue bergaul sama temen-temen gue yang notabene-nya adalah kutu buku. Nah, otomatis relasi gue sama mereka akan memengaruhi bagaimana pemahaman gue tentang belajar, gaya hidup, atau pun pendidikan. Nah, gimana ama lo? Apakah relasi lo sama temen-temen lo memengaruhi bagaimana pemahaman lo terhadap penampilan tubuh? : engga, sih. Paling waktu deket doang abit itu gue lupa. : Maksudnya, waktu deket doang? : Ya paling saat gue ngerasa dia “orang kaya gini keren blah blah blah”, tapi kalau udah gue lupa beberapa hari kemudian, ya udah gue ngga ngikutin lagi. : Langsung berubah? Maksudnya langsung balik lagi ke pemahaman awal? : Iya : Apakah lo punya temen yang mengonsumsi suplemen kesehatan dalam hal perhatian terhadap tubuh? : Wah, kurang tahu saya, suplemen apa misalnya. : Pake whey protein atau …. : Adalah. : Pendapat lo apa sih sama orang-orang yang menggunakan steroid atau suplemen seperti itu? : Ya baguslah, mereka ingin menampilkan yang terbaik mungkin. : Ngga ada masalah berarti sama yang seperti itu? : Ngga ada. : Apakah temen-temen lo memengaruhi lo terhadap nilai-nilai maskulinitas yang lo punya? : Ngga ada. : Sama sekali ngga ada : Iya. : Lo mengidentifikasi diri lo sebagai seorang heteroseksual? : Iya : Indikatornya apa aja sih bahwa lo adalah seorang heteroseksual? : Suka wanita : Terus? : Yaudah, gitu aja kali ya. Gue ngga tahu apa lagi. : Selain suka wanita, terus apalagi? ; Yak an heteroseksual, hetero (itu) beda, seksual. Berarti kelaminnya beda, yaudah itu aja. : Itu cara lo mengindikasi bahwa lo adalah seorang hetero? : Iya. Kan dari namanya aja heteroseksual, berarti gue “mainnya” sama yang beda seks-nya. Berhubungan seks-nya sama yang… Keinginan berhubungan seksnya sama si hetero-nya. : Apa sih pengalaman heteroseksualitas yang pernah lo alami, tidak hanya melulu tentang pengalaman seksual? : Naksir orang, ya naksir wanita, suka ngelihatin. Kalau kata orang-orang, kalau ada cewe cakep, dilihat ya walaupun cuma sekejap. Lebih tertarik ke tubuh wanita, terus hmm kalau ada yang terbuka-buka dikit pasti ngelirik, ya seperti itu kali. : Dalam relasi lo dengan lawan jenis, bagaimana peran penampilan tubuh lo? : Wah, itu tanya sama cewenya kalau kaya gitu. Gue ngga tahu, soalnya gue ngga memikirkan. Ngga tahu, itu kan dilihat dari orangnya. : Pernahkah ngga sih lo ketika mendekati seorang wanita, karena lo terlalu tinggi, karena lo terlalu kurus, terlalu putih, terus tubuh lo ini menjadi penting ngga dalam hal relasi dengan wanita?
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxii (lanjutan lampiran 6) BM : Kalau buat gue penting, ya gue berusaha untuk mementingkan itu walaupun gue ngga menganggap itu penting. Setidaknya gue menghargai itulah. Misalnya gue punya hubungan deket ama cewe misalnya udah pacaran. Kalau dia bilang gue pengennya begini, ibarat saling menghargai saling menyenangi, ya gue berusaha buat concern. Setidaknya hal ini dilakukan untuk menghargai orang. FE : Apakah nilai-nilai maskulinitas memiliki peran-peran yang penting dalam hal relasi dengan lawan jenis? BM : Maskulinitas maksud lo ini apa? FE : Sesuatu yang diekspektasikan oleh masyarakat untuk dilakukan oleh seorang laki-laki. Contohnya, laki-laki adalah seseorang yang bertanggung jawab. Ketika lo menyadari bahwa belum bertanggung jawab dalam mebuat hubungan, lo belum bisa melindungi, dsb. Berpengaruh ngga sih nilai-nilai maskulinitas itu? BM : Berpengaruh. Hal yang dicekokin dari dulu itu ama bokap adalah gue harus bertanggung jawab sama keluarga, bertanggung jawab sama apa yang lo lakukan, sama apa yang lo katakan, apa yang lo bilang. Intinya ketika gue belum bisa kaya gitu, belum bisa tanggung jawab, belum bisa apa, ya berarti gue belum merasa maskulin. FE : Berarti nilai-nilai maskulinitas punya peran yang signifikan dalam hal membina relasi lo dengan lawan jenis. Dalam hal pacaran? BM : Kayanya sih penting, deh. Secara ngga sadar sih kayanya penting, deh. Maksudnya, hmm gue ngga tahu karena sebagai laki-laki yang gue harus berikan adalah tanggung jawab. Gitu aja udah. FE : Sekarang, kita ke pertanyaan tentang media habit. Media apa aja yang lo konsumsi seharihari? BM : TV, komputer, radio, koran. FE : Komputer maksudnyainternet? BM : Iya FE : Kenapa memilih dan mengonsumsi media itu? BM : Ya adanya itu FE : Seberapa sering intensitas mengonsumsi media itu? BM : Paling sering internetlah. Kedua, televisi, radio baru koran. FE : Apa aja sih hal-hal yang ada di dalam diri dan kehidupan lo yang dipengaruhi oleh media? BM : Hmm, berita. Informasi tentang apa, apa, apa. Make media sebenernya untuk nyari informasi, menjawab keingintahuan, dan mencari hiburan. FE : Bagaimana sih lo memahami pesan-pesan periklanan secara umum? BM : Ya kalau bagus, seneng. Kalau jelek, yaudah. FE : Maksudnya? Bilamana dikatakan bagus? BM : Dikatakan bagus kalau bikin gue tertarik, kalau jelek, yang gampang gue lupakan. Walaupun orang bilang itu jelek, tapi itu bisa bikin gue inget berarti itu iklannya bagus dong FE : Apakah lo merupakan orang yang mudah terpengaruh oleh iklan? BM : Dalam waktu pendek, iya. FE : Maksudnya? BM : Misalnya kalau tiba-tiba ada Afika, gue jadi pengen OREO. Dalam waktu deket itu, ya gue pengen OREO ORANGE, tapi ujung-ujungnya gue ngga beli juga, cuma jadi kaya pengen aja. FE : Apakah iklan menjadi dasar pertimbangan lo dalam memilih dan membeli produk? BM : Pasti ada pengaruhnya jugalah. FE : Pengaruhnya apa? BM :Gue jadi tahu produk itu, gue jadi pengen tahu tentang produk itu, ujung-ujungnya malah mencari tahu tentang produk itu. Kalau untuk beberapa produk, iya sih, gue jadi pengen beli. FE : Berarti iklan mempengaruhi lo untuk memilih dan membeli suatu produk, tapi tergantung produknya apa? BM : Iya. FE : Nah, bagaimana sih dampak iklan dalam diri dan kehidupan lo? Apakah lo jadi orang yang konsumtif? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxiii (lanjutan lampiran 6) BM : Pada dasarnya, gue adalah orang yang konsumtif, khususnya cemilan. Kalau paling gampang kemakan iklan, ya iklan cemilan. FE : Apa media yang lo pilih ketika menjadikan iklan sebagai media rujukan? BM : Gue ngga suka nyari iklan. Kalau emang gue suka sama suatu iklan, ya gue cari tahu produknya. Ngga sengaja gue nyari iklan. FE : pendapat lo tentang iklan yang menampilkan stereotype gender? BM : Seperti? FE : Extra Joss, laki-laki itu bukan pengecut, laki-laki itu sampai zaman monyet bertelur akan selalu seperti itu, padahal itu kan stereotype gender, kan? Pendapat lo? BM : Biar dia laku, sih. Untuk komersil aja. Supaya laku. Itu semata-mata untuk komersil aja, sih. FE : Sebagai contoh, perempuan di iklan di tampilkan sebagai seseorang yang banyak berhubungan dengan urusan domestik. Hal ini masih berkaitan dengan tujuan komersil menurut lo? BM : Iyalah. Apalagi orang-orang di Asia, itu kan masih kebiasaannya. Kebiasaan wanita di Indonesia kebanyakan , masih seperti yang digambarkan. Entah budaya memengaruhi iklan atau iklan memengaruhi budaya. Yang jelas, masih kaya gitu kan? Terkait laki-laki digambarkan seperti apa, atau perempuan ditampilkan seperti apa, ya semata-mata itu untuk tujuan komersialitas semata kan? FE : Bagaimana pendapat lo terhadap iklan-iklan yang menampilkan nilai-nilai maskulinitas? Khususnya iklan-iklan dengan nilai-nilai maskulinitas yang berasosiasi dengan tubuh. BM : Karena saya tidak memperhatikan tubuh, saya tidak terlalu memerdulikan itu. Misalnya kaya Pond’s, gue make itu hanya karena gue ingin terlihat bersih, bukan karena gue ingin terlihat putih. Gue pake supaya muka gue jangan kelihatan kotor aja. FE : Lantas bagaimana pendapat lo terhadap iklan yang menampilkan laki-laki secara topless? BM : Pendapat gue, ya biar menarik perhatian ajalah. FE : Selain itu? BM : Kalau iklan sabun, tampil topless ya wajar. Kalau iklan kebugaran, ya yang ditampilin ototnya, kan. Bukan apa-apanya. Iklan kesehatan, yang ditampilkannya sehatnya. FE : Apa sih definisi maskulinitas menurut lo? BM : Cowok banget FE : Apanya yang cowok banget? Seperti apa sih seseorang dikatakan cowok banget? BM : Kalau di otak gue nih ya. Cowok banget itu laki terus kalau secara fisik ya, seseorang alami secara maskulin itu kaya apa:cowo, terus… Hmm, kalau secara fisik, gue ngga terlalu ngerti, cowok maskulin itu seperti apa, yang penting ngga gendut-gendut amat, ngga kurus-kurus amat kaya gitu. Terus, hmmm kalau dari fisik sih kaya gitu, yang penting ngga gendutgendut amat, ngga kurus-kurus amat. FE : Kalau dari karakteristik, laki-laki maskulin itu seperti apa? BM : Maskulin itu orang yang tidak memakan kata-katanya sendiri FE : Maksudnya? BM : Dia sesuai dengan apa yang dia katakanlah. Ya, karena apa yang diajarin bokap gue, laki itu harus kaya gitu. Tanggung jawablah, apalah, harus melindungi yang lemahlah. FE : Kalau gue tanya dari mana lo belajar menjadi maskulin, maka dengan gamblang lo bisa bilang kalau lo belajar menjadi maskulin dari orang tua? BM : Iya! FE : Cuma dari orang tua doang kah? BM : Sama pengamatan jugalah. Pengamatan selama gue bersosialisasi dengan orang-orang di pergaulan FE : Menurut lo, apa aja sih hal-hal yang berkaitan dengan maskulinitas? BM : Secara fisik: sehat, sesuai dengan porsinya. Maksudnya, ngga kurus-kurus amat ngga genfut-gendut amat, yang penting lo sehat. Badan lo sehat, badan lo terawat, lo bisa menjaga kesehatan. Itu secara fisik. Kalau secara estetika, gue ngga peduli amat. Maksudnya kalau ganteng gitu-gitu, gue ngga peduli-peduli amat. Terus, tapi gue masih rada kepengaruh kalau laki itu berjenggot, brewok, itu masih ada di otak gue. Jadi, yang bewok itu laki, itu masih ada di otak gue. FE : Kalau gondrong? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxiv (lanjutan lampiran 6) BM : Kalau rambut mah terserah mau gimana, yang penting bewok. Itu yang terlintas. FE : Menurut lo, lo udah cukup maskulin belum sih? BM : Gue baru kepikiran gue maskulin apa kaga pas lo tanya. Kalau menurut gue sih gue ya maskulin maskulin aja. Gue merasa gue ngga feminin, tapi ngerasa cowok banget juga ngga. Tapi, gue masih ngerasa diri gue maskulin. FE : Secara fisik, lo menilai diri lo maskulin? BM : Maskulin, rendah kali FE : Maskulin rendah? BM : Maksudnya, ngga maskulin-maskulin amat. Cukup maskulinlah. FE : Secara kepribadian? BM : Berusaha untuk maskulin. FE : Berarti masih belum merasa maskulin? BM : Hmm, belum merasa, sih. Gue berusaha untuk maskulin. FE : Berarti merasa belum bisa bertanggung jawab? BM : Gue selalu berusaha untuk bertanggung jawab, cuman kan kadang-kadang masih belum bisa juga, Masih banyak kekurangan. FE : Apakah lo setuju sama premis yang menyatakan bahwa maskulinitas banyak berkaitan dengan tubuh? BM : Kalau gue sih ngga setuju FE : Tidak setuju bahwa itu ada kaitannya dengan tubuh? BM : Ada sih, pasti ada kaitannya dengan tubuh. Cuma gue tidak berpikir seperti itu. FE : Artinya ngga setuju? BM : Ya, okelah ngga setuju. Soalnya kan pasti ada kaitannya dengan fisik, cuma ngga menggarisbesari itu gitu. FE : Tapi maskulinitas banyak bercerita ttg tubuh? BM : Ya, pasti ada. FE : Kalau lo melihat kondisi tubuh lo saat ini, sudah cukup maskulin belum sih? BM : Selama cewe suka, berarti gue maskulin dong. Maksud gue, maskulinitas menurut orangorang kan beda-beda, ya. Jadi gue ngga begini bentuknya, ada orang yang ngga suka, ada orang yang suka, gitu. Jadi, gue ngga terlalu mentingin itu. Maksudnya, gue ngerasanya maskulin-maskulin aja. FE : Lo pernah ngga sih ngerasa khawatir kalau tampil ngga maskulin? BM : Ngga. Maksudnya, gue ngga maskulin itu feminin , gitu? Masalahnya gue ngga pernah ke luar rumah pake rok. Hehehe. FE : Feminitas ngga melulu tentang rok, kan? BM : Hmmm, ngga. Gue ngga terlalu mikirin kayaknya. Ngga harus sampe sejauh itu gue harus maskulin bla bla bla. Ngga khawatir-khawatir amat. FE : Gimana sih lo melihat atau menanggapi laki-laki yang memiliki tubuh berotot? Apakah menurut lo mereka maskulin? BM : Engga. FE : Apalagi? BM : Keren, kayanya keren kalau di mata orang-orang. Di mata gue, ikut-ikutan aja keren. FE : Selain karena ikut-ikutan? BM : Ngga, karena terpengaruhnya orang-orang bilang itu keren. Jadi, gue ikut-ikutan menganggap itu juga keren. Gue jadi merasa kalau itu keren juga. FE : Bagaimana kalau kebalikannya? Bagaimana sih melihat atau menanggapi hal ini? Apakah menurut lo mereka ngga maskulin? BM : Ngga juga. Gue juga ngga berotot. FE : Menurut lo, maskulinitas memengaruhi seseorang dalam mendapatkan kekasih ngga? BM : Ngga, kayanya kalau udah masalah perasaan, udah ngga ada deh kaya gitu-gitu. FE : Bagaimana lo menilai penampilan tubuh lo saat ini? BM : Biasa aja. FE : Maksudnya biasa aja gimana, nih? Bisa dijelaskan lebih detail? BM : Ya, kaya gini-gini aja, kurus engga, gemuk engga, tapi kata orang gue kurusan (dibandingkan) dari dulu. Lebih kurus dari dulu. Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxv (lanjutan lampiran 6) FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM
FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM BM FE BM FE BM
: Ada ngga sih perubahan lo dalam memandang penampilan tubuh dari dulu sampai sekarang? : Belum ada, sih. Yang penting sehat sama bersih. : Ooh, berarti yang utama adalah sehat dan bersih. Berarti tidak ada perubahan dalam memandang penampilan tubuh dari dulu sampai sekarang? : Iya. : Puas ngga sih sama tubuh lo? : Ya, puas-puas ajalah. : Apa yang membuat lo puas sama tubuh lo yang sekarang? : Gue ngga berat, gue ngga kurus, gue ngga cacingan, gue ngga ke-enteng-an, masih bisa diajak jalan. Itu yang penting. : Ada ngga sih faktor eksternal lain yang membuat lo puas sama tubuh lo sekarang? : Ngga ada yang protes sama badan gue sih soalnya sekarang. Jadi ya gue puas-puas aja. Ngga ada yang protes “bob, badan lo jelek sekarang” Jadi, gue ya puas-puas aja. Berarti orang sudah memandang gue baguslah, ibaratnya kaya gitu. Jadi, secara eksternal ngga ada yang bilang “bob, lo kekurusan”, “bob, lo kegemukan”, “bob, lo kurang berotot”. Ngga ada yang bilang kaya gitu. : Karena ngga ada orang yang bilang, berarti lo merasa ya badan lo bagus? : Iya, gue merasa bagus dan ngga ada orang yang bilang gue jelek. Ya, udah. : Hmm, ada ngga sih figur ideal/figur seseorang yang membuat lo fine-fine aja sama kondisi tubuh lo yang sekarang? : Ngga ada. Ya gue gini aja. Tapi, yang jadi figur gue secara fisik gitu, gue pengen kaya spiderman. : Kalau gitu, lo ngerasa ngga puas juga dong sama tubuh lo? : Bukan ketidakpuasan, ya gue ngerasa badan gue yang sekarang ngga papa. Gue cuma pengen punya badan kaya gitu (spiderman) ya cuma, ya sekarang pun gue udah puas. : Berarti cuma keinginan doang? : He eh. : Berarti ini bukan suatu bentuk ketidakpuasan kan? : Engga, bukan. : Kepuasan lo sama tubuh memengaruhi relasi lo sama teman-teman, pacar, atau keluarga ngga? : Ngga, sih. Kaya gini aja, gue udah puas. : Apa pendapat lo sama orang-orang yang mengonsumsi suplemen atau produk tertentu untuk meningkatkan penampilan tubuh? : Wajar : Kenapa wajar? : Wajar karena… Ya itu kan, ada orang yang puas ada orang yang ngga puas. Ya, orang yang ngga puas mungkin pengen puas dengan cara itu, gitu lho. : Tubuh ideal itu bagaimana sih seharusnya? : Sehat : Apalagi? : Sehat, pokoknya ngga berlebihan, ngga gendut, ngga obesitas, ngga kurus kurang gizi, yang penting sehatlah badan. : Lo suka ngegym ngga? : Ngga : Kenapa ngga punya keinginan buat ngegym? : Pertama, ngga tertarik. Ngga punya waktu dan gue bukan tipe olahragawan yang rutin. Olahraga karena hobi aja. : Bayar. Ya, itu sih karena masalah rutinitas aja. Jadi, gue olahraga ya kalau udah ngerasa ngga enak atau ngga lagi emang pengen olahraga aja. : Aktivitas fisik di pusat kebugaran menurut lo punya manfaat? : Pastinyalah : Kira-kira apa? : Sehat
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxvi (lanjutan lampiran 6) FE : Apakah aktivitas fisik di pusat kebugaran merupakan hal yang penting untuk dilakukan? BM : Di tempat kebugaran? Engga harus. Ya lo bisa membugarkan diri lo ngga harus di tempat itu doang. FE : Apa tanggapan lo kepada laki-laki yang secara rutin melakukan aktivitas fisik di pusat kebugaran? BM : Bagus. Pendapat gue, ya berartu dia rutin menjaga diri, menjaga perhatian terhadap kebugaran badannya, ya itu sih. Berarti dia orang yang care sama kebugaran dan menganggap badan yang bagus adalah badan orang-orang yang di (pusat) kebugaran itu mungkin. FE : Pernah melihat iklan L-Men versi apa aja? BM : Pokoknya yang ada “it works2-nya” FE : Semuanya ada BM : Sebelum ada tagline itu juga gue pernah. FE : Pernah melihat iklan L-Men versi “The Journey”? BM : Yang kaya gimana tuh? FE : Itu yang ada orang lari di padang pasir… BM : Oh, pernah. FE : Pendapat apa sih yang ada di pikiran lo pertama kali liat iklan itu? BM : Pendapat gue, apa ya… Pendapatnya… ya.. Gue disuruh menilai nih? FE : Iya, pendapat apapun itu. Terlalu berlebihankah atau apa? BM : Iya, berlebihan sih. Ngga segitunya juga kan orang. FE : Menurut lo, apa pesan yang mau disampaikan oleh si pengiklan? BM : Belilah L-Men. Bikin badan lo jadi kaya gitu. FE : Kaya gitu tuh maksudnya? BM : Jadi kaya yang di iklan itu . Berotot, sixpack-sixpack-an. Ya kaya gitulah pokoknya. FE : Setuju ngga sih lo sama pesan yang disampaikan itu? BM : Setuju-setuju saja. Menurut gue, itu ngga salah dan ngga bener juga. Ngga bisa gue nilai itu salah dan benar. FE : Tapi kata lo tadi berlebihan? BM : Iya, berlebihan soalnya kan pada kenyataannya kan ngga gitu juga. Lo ngga lari di padang pasir, lo ngga berenang terus tiba-tiba langsung ketemu cewek-cewek… FE : Berarti bisa gue bilang, lo ngga setuju dong? Ngga setuju sama pesan periklanannya atau bagaimana mereka menyampaikan? Maksudnya bagaimana pesannya dikemas. BM : Hmm, (ngga setuju) sama bagaimana pesannya dikemas. FE : Kenapa ngga setuju? BM : Ya, lebay aja. Berlebihan. Ngga suka karena berlebihan aja. Berlebihan yang gue ngga suka. FE : Dalam pikiran lo masih inget kan figur laki-laki yang ada di dalam iklan itu? Bagaimana sih lo melihat sosok laki-laki dalam iklan itu? BM : Berotot. FE : Selain berotot apa lagi? BM : L-Men of the year. Ya pokoknya berotot, sixpack, ya gitu sih yang di otak gue. FE : Menurut lo, laki-laki itu maskulin atau ngga? BM : Hmm, berotot. Ngga gue bilang maskulin juga. FE : Tapi kalau ditanya, dia maskulin atau ngga kira-kira? BM : Secara fisik mungkin gue bisa bilang iya. FE : Laki-laki di iklan itu memiliki citra tubuh yang ideal ngga? BM : Menurut gue sih engga. FE : Kenapa bisa bilang engga? BM : Ya untuk jadi orang sehat kan ngga harus gitu juga. Otot-ototnya sampe gitu. FE : Punya keinginan untuk punya tubuh seperti laki-laki itu? BM : Sejam dua jam, setelah itu paling gue lupa. FE : Berarti kalau lo di-jejelin sama iklan itu secara berlebihan, konstan, lo bisa aja punya keinginan untuk punya tubuh seperti itu? BM : Kayanya sih engga, bakal balik lagi ke “ya gue juga kaya gini, udah enak” FE : Punya keinginan untuk mengonsumsi L-Men setelah melihat iklan itu? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxvii (lanjutan lampiran 6) BM : Hmm, yang pernah sih dulu “gain mass”. Soalnya, hmm pernah disuruh. Bukan karena pengen punya tubuh kaya gitu, tapi tertarik sama gain mass-nya aja. Pengen nambah berat badan sedikit karena gue abis sakit. Jadi kurus, pengen nambah berat badan, gue tertarik sama gain mass-nya aja. FE : Jadi, bukan karena iklannya, tapi karena keadaan? BM : Iya FE : Oke, terima kasih ya TRANSKRIP WAWANCARA II KFC LENTENG AGUNG, 19.00 WIB FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM
FE BM FE BM FE BM FE BM
: Menurut lo nih, tubuh itu punya peran atau pengaruh ngga dalam aspek di masyarakat? : Punya. : Contohnya apa? : Orang gendut males, terus orang keker rajin olah raga, terus apa lagi ya… Terus orang gemuk sehat. Warna kulit boleh ngga sih? : Boleh. : Hitam dekil, putih bersih, padahal belum tentu juga. : Terus? : Apa ya? Botak sangar, belah tengah culun. : kalau misalnya lo ngelihat ada orang badannya berotot atletis, kira-kira pandangan lo itu orang yang seperti apa sih di masyarakat? : orang yang rajin olahraga. : Kalau misalkan gue tanya nih. Apa saja indikator yang paling gampang untuk menilai bahwa seseorang itu adalah laki-laki? : tidak berdada. : kalau dari segi sifat? : kalau dari pertama kali lihat, ya ngga kelihatanlah, tapi kalau dilihat pertama kali ya dari fisiklah. : Nah, hubungannya dengan perempuan. Menurut lo, perempuan itu punya status sosial lebih rendah ngga sih dari laki-laki? : Nggalah. : Kenapa? : Yang ngelahirin laki-laki kan perempuan. Kok lebih rendah? : Itu yang membuat lo beranggapan kalau status perempuan tidak lebih rendah dari lakilaki? : Ya salah satunya : Kalau yang lainnya apa? Pandangan lo terhadap status sosial perempuan di masyarakat gimana? Apakah setuju kalau memang lebih rendah atau ngga? : Ya ada setujunya ada ngga-nya jugalah. : Setujunya dalam hal apa? : Setujunya ya… Kadang-kadang kan perempuan, katanya, perempuan masih harus perlu dibimbing juga. Tapi suatu saat, kita juga ngga bisa ngekang perempuan juga. Ngga boleh seenaknya juga. : Kalau ngga setujunya kenapa? : Menganggap rendah, menganggap enteng, nyuruh-nyuruh, menyiksa, KDRT gitu-gitu ya ngga boleh. : apa sih pandangan lo sama laki-laki homoseksual? : kasihan : Kenapa? : Ada cewe segitu indahnya, dia malah suka sama laki-laki. : menurut lo, laki-laki homoseksual itu punya status lebih rendah ngga sih di masyarakat di bandingkan laki-laki heteroseksual? : iya, contohnya kaya dijauhin.
Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxviii (lanjutan lampiran 6) FE BM FE BM FE BM
FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM
FE BM FE BM FE BM FE BM FE BM FE
: Berarti setuju? : Setuju karena emang kenyataannya begitu. : Setuju karena memang di masyarakat terjadinya seperti itu? : Ya karena di masyarakat terjadinya memang seperti itu. : Nah, kalau menurut lo pribadi…? : Kagak mikirin mau homo mau apa. Ya kalau menurut gue, mau homo mau engga, sebodo teuing, ngga mikirin, yang homo dia kenapa gue jadi harus merendahkan. Belum tentu yang homo ngga lebih keren dari gue. : Berarti jawabannya? : Ya sebenernya status sosial laki homo ama hetero sih sama-sama aja. : menurut pengalaman lo, gimana sih sikap dan perilaku oleh laki-laki heteroseksual kepada laki-laki homoseksual? : dijauhi, ditakuti. : Dijauhi karena apa? : Karena homo. : maksudnya kenapa sampai dijauhi? : Ditakuti. : Lo sendiri takut ngga sama homo? : asal dia ngga bawa pisau, asal dia ngga ngapa-ngapain gue. Ngapain gue harus takut? : Lo sendiri pernah ngga ngejauhin orang homo? : kalau orangnya ngeselin, iya, tetapi selama orangnya baik sih ngga. : lo setuju ngga sih sama standar ideal di masyarakat kalau yang besar itu maskulin? : Ngga setuju : Kenapa? : Yang badannya gendut juga bisa dianggap feminin. : bentuk perhatian apa saja yang lo berikan terhadap tubuh? : mandi, bersih-bersih, kalau ngga enak dipijet, olahraga kalau udah harus olahraga. : penilaian lo terhadap tubuh saat ini apa? : baik : apakah terlalu kurus atau….? : pas dan ideal. : tubuh lo punya peran ngga sih dalam menarik lawan jenis? : punya : menarik ngga sih? : Kata cewe-cewe sih suka yang tinggi, ngga gendut, ngga kurus. Kayak gitu. : suka nonton tv? penampilan tubuh laki-laki di media memengaruhi lo dalam menilai tubuh lo ngga? : sedikit : Maksudnya bagaimana? : ya kadang-kadang kalau lagi ngelihat tubuh cowo di tivi disukai wanita terus saya tidak punya tubuh seperti itu, saya iri. Abis itu udah lupa dan biasa lagi. Toh gini juga menariknarik juga. : punya ngga sih keinginan buat punya tubuh lebih berotot? Supaya? : Biar kuat, biar keren. : menurut lo pribadi, emang keren yang tubuhnya berotot? : ada yang keren ada yang ngga : yang keren siapa? : yang keren kaya spiderman, yang ngga keren yang kaya ade rai : sependapat kalau laki-laki berotot dinilai lebih maskulin? : tergantung : apa? : kalau berotot tapi pengecut, atau ngga cowo banget, ya ngga-ngga maskulin juga. Aneh aja, badan berotot tapi lenje. Ngga sesuai. : gimana sih menurut lo media menampilkan sosok laki-laki? Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012
lxxxix (lanjutan lampiran 6) BM : berbeda-beda tiap keperluan. Kalau keperluannya untuk fisik, ya pasti fisiknya yang berotot dan kekar. Kalau masalah kesehatan pasti lihatinnya yang sehat. Kalau untuk masalah rambut, pasti lihatinnya yang lebat. FE : intinya? BM : yang sesuai dengan keperluan pengiklan. Disesuaikan dengan produk. FE : laki-laki yang ditampilkan media apakah sudah menampilkan maskulinitas? BM : enggalah. FE : tahu L-Men dong. Masih inget tagline L-Men ngga? BM : trust me it works FE : Apa aja produk L-Men yang lo tahu? BM : gain mass. Itu doang. FE : pendapat lo terhadap iklan TVC L-Men? BM : cewe-cewenya cakep, laki-lakinya bugil. Bugil atas. FE : tahu ajang L-Men of The Year ngga? BM : tahu. FE : punya keinginan ngga buat ikutan? BM : ngga FE : kenapa? BM : ngga bakal menanglah. FE : pendapat lo thd laki-laki yang ikutan ajang LOTY? BM : baguslah, dia percaya diri sama tubuhnya sama dia pengen show off, pengen pamer badannya. FE : pengen punya badan kaya gitu ngga? BM : kadang-kadang FE : seringnya? BM : seringnya biasa aja. FE : maksudnya? Berarti seringnya ngga pengen atau gimana? BM : seringnya menyadari kalau kaya gitu rada susah. Jadi, males dan ngga pengen lagi. FE : berarti ajang LOTY itu ngga memengaruhi lo untuk memiliki tubuh berotot? BM : kaga sama sekali FE : apakah para finalis LOTY mewakili nilai maskulinitas? BM : Ngga FE : karena? BM : karena bukan indikator maskulin aja menurut gue. FE : pendapat lo sama laki-laki yang punya badan berotot ? BM : pengen pamerin badannya “ini lho gue keren” FE : kalau misalnya nih, ada laki-laki ototnya ekstrem pendapat lo apa? BM : pengen pamer doang. FE : harus ngga sih laki-laki punya tubuh kaya di media supaya dapat diterima di masyarakat? BM : ngga. Emang para presiden kita sama kaya di tivi. FE : apakah harus punya ukuran tubuh kaya di media supaya punya pasangan? BM : yaelah, orang gendut juga punya pasangan. FE : pandangan lo terhadap orang-orang yang punya badan kaya bintang iklan L-men? BM : keker. FE : berarti komunikasi pemasaran L-Men memengaruhi pemahaman masyarakat ya? BM : He eh, memengaruhi masyarakat. L-Men pengen bilang ke masyarakat kalau minum L-Men keker kan? orang ngelihatnya susu L-Men keker. Berarti berhasil dong. FE : ukuran tubuh laki-laki di program komunikasi L-Men bikin lo setuju sama ‘big is masculine’? BM : Ngga, biasa aja. FE : perhatian apa sih yg dikasih sama laki-laki yang ditampilkan di program komunikasi LOTY? BM : minum L-Men, fitness, sit up, minum telor tiga biji tiap hari, makan teratur. FE : Iya udah wawancaranya BM : Alhamdulillah Universitas Indonesia
Pemaknaan mengenai..., Frangky E, FISIP UI, 2012