UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN RISIKO KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT DI RUANG PERINATOLOGI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
YAYUK SETYOWATI NPM. 1106122953
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK DEPOK JUNI 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN RISIKO KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT DI RUANG PERINATOLOGI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Anak
YAYUK SETYOWATI 1106122953
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN ANAK DEPOK JUNI 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir yang berjudul “Penerapan Model Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Risiko Kerusakan Integritas Kulit di Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta”.
Perkenankan penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibu Yeni Rustina, S.Kp., M.App. Sc., Ph.D., sebagai supervisor utama, yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran selama proses penyusunan karya ilmiah akhir.
2.
Ibu Elfi Syahreni, SKp., M.Kep., Sp.Kep.An., sebagai supervisor, yang juga telah memberikan bimbingan selama penyusunan karya ilmiah akhir.
3.
Dr. Nani Nurhaeni, S.Kp. M.N., selaku koordinator mata ajar karya ilmiah akhir Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
4.
Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App. Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
5.
Seluruh dosen dan staf non akademik Fakultas
Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. 6.
Suami tercinta yang telah memberikan dukungan dengan penuh kesabaran.
7.
Anak-anakku
tersayang
yang
telah
memberikan
semangat
dalam
menyelesaikan karya ilmiah akhir. 8.
Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan, bantuan dan dukungan yang diberikan.
Depok, Juli 2014
Penulis
vii Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014 Yayuk Setyowati Penerapan Model Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Risiko Kerusakan Integritas Kulit di Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta xiii + 61 halaman + 1 tabel + 1 skema + 2 lampiran
Abstrak Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran penerapan Model Konservasi Levine pada asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit
dan
pencapaian
kompetensi
sebagai
spesialis
keperawatan
anak.
Trophicognosis risiko kerusakan integritas kulit menurut Levine merupakan gangguan pada integritas struktur.
Intervensi keperawatan dilakukan untuk
mengatasi masalah integritas struktur tersebut dengan memperhatikan pula konservasi energi, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Intervensi dilakukan dengan menerapkan aspek perawatan kulit dan cara memposisikan yang benar. Evaluasi yang dilakukan dengan mengkaji respon organismik bayi, menunjukkan bahwa belum semua bayi mampu mencapai wholeness yang ditandai dengan cedera pada nares, namun sudah mengalami perbaikan. Perawat memegang peranan yang sangat penting dalam pencegahan cedera pada nares yaitu pemilihan alat yang tepat, pemantauan dan pemenuhan kenyamanan bayi sehingga bayi tidak banyak bergerak dan mempercepat proses penyapihan continuous positive airway pressure (CPAP).
Kata kunci: Model Konservasi Levine, bayi prematur, integritas kulit, perawatan kulit, cara memposisikan.
viii Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
UNIVERSITY OF INDONESIA PEDIATRIC NURSE SPECIALIST PROGRAM FACULTY OF NURSING Final Assignment, June 2014 Yayuk Setyowati Application Levine’s Conservation Model in Nursing Care of Baby with Risk of Skin Integrity Breakdown in Perinatology Unit at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. xiii +61 pages + 1 table + 1 scheme + 2 enclosure
Abstract This Final Assignment gave an overview about the application of Levine’s Conservation Model in nursing care of baby with risk of skin integrity breakdown and competency achievement as a pediatric nurse specialist. According to Levine, trophicognosis of skin integrity breakdown was the structure integrity impaiment. Nursing interventions was undertaken to solve structure integrity problem, and also energy conservation, personal conservation and social conservation. Nursing interventions applied the skin care aspetcs and positioning. Evaluation had been done by evaluate the organismic responses of the baby, showed that not all the baby got wholenes, was marked by nares injury, but getting better. Nurse had the crucial role to prevent nares injury, that to choise the appropriate tool, monitored ang gave baby’s comfort so the baby did not much to move and weaned the continuous positive airway pressure (CPAP) as soon as possible. Key word: Levine’s Conservation Model, preterm baby, skin integrity, skin care, positioning.
ix Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISM................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................... KATA PENGANTAR ................................................................................... ABSTRAK ..................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR SKEMA ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
i ii iii iv v vi vii viii x xi xii xiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Tujuan ................................................................................................. 1.3 Sistematika Penulisan ..........................................................................
1 1 7 7
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1 Kasus ................................................................................................... 2.2 Tinjauan Teori .........................................................…………....….... 2.3 Integrasi Model Konservasi ................................................................ 2.4 Aplikasi dalam Kasus Terpilih.........................................................
8 8 12 23 31
3. PENCAPAIAN KOMPETENSI ............................................................
36
4. PEMBAHASAN ....................................................................................... 4.1 Penerapan teori Keperawatan dalam Asuhan Keperawatan Anak ...... 4.2 Praktik Spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi..........................................................................................
43 43
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 Saran ...................................................................................................
56 56 57
DAFTAR REFERENSI ........................................................................ LAMPIRAN
53
58
x Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Infant Positioning Assessment Tool ..............................................
22
xi Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Integrasi Model Konservasi Levine ...........................................
31
xii Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kontrak Belajar Residensi Keperawatan Aanak Lampiran 2. Laporan Proyek Inovasi
xiii Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Prematuritas dicirikan dengan kondisi organ yang belum matang, sehingga menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Diantara masalah kesehatan yang muncul pada bayi prematur adalah belum matangnya sistem integumen sehingga bayi sangat berisiko mengalami gangguan integritas kulit. Kulit bagi bayi prematur merupakan organ penting terbesar dan melindungi berbagai fungsi, yaitu termoregulasi, sensasi taktil, isolasi dan penyimpanan cadangan lemak. Sebagai fungsi perlindungan, kulit merupakan pelindung terhadap infeksi, toksin, kehilangan cairan dan elektrolit (Lund et al., 2011). Kulit mempunyai peran penting dalam menjaga imunitas bawaan, membantu kolonisasi mikroorganisme di kulit setelah lahir dan menjaga pH kulit (Zamora & Munoz, 2009).
Ketidakmatangan sistem integumen terjadi pada stratum korneum yang sangat sedikit yaitu hanya 30% dibandingkan bayi cukup bulan, lapisan epidermis yang sangat tipis, kohesi antara epidermis dan dermis kurang kuat, jumlah lemak subkutan sedikit dan permeabilitas epidermal yang besar (Lund et al., 2011). Kulit bayi prematur belum sepenuhnya terbentuk. Integritas struktur kulit bayi baru terbentuk dengan cepat pada usia gestasi 24-34 minggu. Kurangnya lapisan stratum korneum berakibat kurangnya pertahanan kulit bayi prematur dan bayi sangat mudah mengalami peningkatan transepidermal water loss (TEWL), sehingga
bayi
akan
mengalami
ketidakstabilan
suhu,
dehidrasi
dan
ketidakseimbangan elektrolit (Ormsby, 2011).
Kerusakan kulit pada bayi prematur dapat disebabkan oleh banyak hal, yaitu usia gestasi kurang dari 32 minggu, penekanan, udem, penggunaan sedasi, penggunaan inotropik, penggunaan perekat, trauma lahir, penyakit kulit, infeksi, gesekan, luka bakar, ruam popok dan trauma iatrogenik (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004).
Ketidakmampuan bayi prematur untuk beralih posisi secara
mandiri, penggunaan bahan kimia yang berisiko merusak integritas kulit, paparan 1 Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
2
suhu dan kelembaban inkubator merupakan kondisi yang sangat memungkinkan bayi prematur mengalami gangguan integritas kulit (Lawton, 2013).
Kerusakan integritas kulit dan perubahan fungsi normal kulit berkontribusi dalam morbiditas dan mortalitas bayi prematur secara bermakna. ekstravasasi
Cedera akibat
yang serius merupakan komplikasi iatrogenik
yang dapat
menyebabkan nyeri, menambah lama rawat, dan memperburuk kondisi kesehatan seperti infeksi. Cedera akibat ekstravasasi juga menyebabkan peningkatan biaya rumah sakit. Kejadian ekstravasasi terjadi pada 11% bayi yang dirawat di NICU (Kenner & Lott, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lund, et al. (2011) tentang penggunaan perekat pada bayi menyebutkan bahwa penggunaan perekat merupakan penyebab utama kerusakan kulit pada bayi yang dirawat di NICU. Bayi prematur mempunyai keterbatasan dalam bergerak, kulit belum matang dan seringkali mengalami ketidakadekuatan nutrisi, hal ini menjadi faktor risiko terjadinya luka tekan.
Luka tekan pada bayi seringkali terjadi pada daerah
oksipital dan telinga. Lebih dari 50% luka tekan pada bayi berhubungan dengan penggunaan alat, untuk itu kulit bayi perlu mendapat perhatian pada area kuf tensimeter, probe oksimeter, endotrakheal tube, orogastric tube (OGT), trakeostomi dan “spalk” (Razmus, Lewis, & Wilson, 2008). Cedera iatrogenik juga dapat mengakibatkan kerusakan integritas kulit diantaranya luka bakar dan lesi akibat penggunaan desinfektan, eritema dan cekungan pada kulit akibat pemasangan alat probe monitoring (Kenner & Lott, 2007).
Trauma kulit pada bayi prematur dapat mengakibatkan pengalihan penggunaan kalori yang berlebihan untuk perbaikan jaringan kulit. Dampak lain trauma kulit pada
bayi
prematur
yaitu
peningkatan
kebutuhan
energi
karena
ketidakseimbangan elektrolit, dan peningkatan kehilangan panas melalui kulit yang rusak atau kulit yang imatur. Kebutuhan energi juga menjadi meningkat untuk memperbaiki jaringan kulit yang rusak.
Ketidakmatangan kulit juga berdampak pada risiko toksik saat bayi harus diberi suatu zat yang harus dioleskan pada permukaan kulit seperti desinfektan dan obat
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
3
oles. Trauma kulit pada bayi prematur menjadikan pintu masuk bagi kuman, baik kuman patogen maupun flora normal yang dapat berbahaya bila masuk ke sistemik tubuh bayi, padahal imunitas bayi prematur belum matang (Kenner & Lott, 2007). Kondisi demikian akan merusak integritas struktur bayi prematur, khususnya struktur kulit.
Kulit juga berfungsi sebagai media awal bagi bayi dalam mempertahankan hubungan dengan ibunya. Kualitas sentuhan dan stimulasi melalui kulit akan berdampak pada respon bayi terhadap orang lain dan lingkungan di kelak kemudian hari (Kenner & McGrath, 2007). Bayi yang mengalami kerusakan integritas kulit seperti infeksi dan luka tekan, akan menambah berat kondisi kesehatannya dan menambah lama rawat. Kondisi demikian akan berpengaruh pada sistem dalam keluarga, karena bayi yang dirawat di ruang NICU merupakan stres berat bagi orang tua bayi (Turan, Basbakkal, & Ozbek, 2008). Meningkatnya lama rawat akan menambah stres bagi keluarga dan kontak bayi dengan ibu dan keluarga menjadi tertunda, sehingga bayi berisiko mengalami gangguan sosial berupa gangguan hubungan ibu dan bayi.
Risiko kerusakan integritas kulit pada bayi prematur perlu mendapatkan asuhan keperawatan yang tepat dengan menggunakan pendekatan yang mampu memfasilitasi bayi prematur untuk beradaptasi terhadap lingkungan ekstra uterin dengan memperhatikan keterbatasan energi yang dimilikinya. Perawat juga perlu memberikan dukungan kepada keluarga agar keluarga mampu menghadapi krisis situasi yang sedang dihadapinya. Salah satu model keperawatan yang berfokus pada konservasi adalah Model Konservasi Levine. Model ini berorientasi pada konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi intgritas sosial yang berfokus pada peningkatan kemampuan pasien untuk beradaptasi semaksimal mungkin untuk mencapai wholeness (Tomey & Alligood, 2010). Mefford dan Alligood (2011) telah berhasil menggunakan teori konservasi Levine ini sebagai dasar untuk menguji teori Health Promotion pada bayi prematur. Hasil penelitian tersebut memberikan bukti bahwa aplikasi model yang dirancang telah dapat memberikan suatu kerangka kerja sebagai
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
4
pedoman praktik keperawatan neonatus dan meningkatkan kesehatan perawatan bayi prematur.
Kerusakan integritas kulit bagi bayi prematur memberikan dampak yang sangat merugikan. Perawat diharapkan perawat dapat melakukan penilaian kondisi kulit dan tindakan perawatan kulit yang tepat sehingga bayi dapat terhindar dari kerusakan integritas kulit. Perawat perlu mengkaji kondisi kulit bayi setiap pergantian dinas, setiap mengganti popok dan setiap memberikan intervensi kepada bayi untuk menjaga kesehatan kulit (Chapman & Durham, 2010). Berbagai alat ukur telah banyak dikembangkan untuk menilai kondisi kulit bayi dan risiko kerusakan integritas kulit, diantaranya Neonatal Skin Condition Scale (NSCS), Neonatal Skin Assessment Risk Score (NSRAS), dan Northampton Neonatal Skin Assessment Tool (Dollack, Huffines, & Stikes, 2013; Lund et al., 2011; McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004). Perawat perlu melakukan tindakan pencegahan dengan perawatan kulit yang baik serta cara memposisikan yang tepat dan berkala sesuai dengan hasil penilaian kondisi kulit (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004). Penggunaan pedoman perawatan kulit oleh Association of Women’s Health Obstetric and Neonatal Nurses (AWHONN) dan National Association of Neonatal Nurse (NANN) terbukti dapat merubah praktik perawatan kulit menjadi lebih baik dan meningkatkan kondisi kulit bayi prematur dan bayi cukup bulan. Penelitian ini merekomendasikan desiminasi secara luas pedoman praktik perawatan kulit neonatus (Lund et al., 2011). Pedoman perawatan kulit berdasarkan evidence based practice tersebut meliputi pengkajian kulit bayi baru lahir, mandi, perawatan tali pusat, perawatan sirkumsisi, penggunaan desinfektan, ruam popok, penggunaan plester, transepidermal water loss (TEWL), kerusakan kulit, infiltrasi intravena, dan nutrisi kulit (Kenner & Lott, 2007).
Cara memposisikan bayi prematur terbukti sangat bermanfaat bagi perkembangan bayi prematur. Posisi yang baik bagai bayi prematur adalah posisi midline, sesuai dengan posisi bayi saat di dalam rahim. Sistem neuromotor dan muskuloskeletal
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
5
bayi prematur saat di luar rahim belum sepenuhnya berkembang, posisi yang kurang tepat (tidak ditopang, ekstensi) dapat mengganggu perkembangan motorik di masa yang akan datang. Penggunaan dukungan posisi yang konsisten dan terus menerus dapat meningkatkan organisasi motorik, ketenangan bayi sehingga mengurangi penggunaan energi yang berlebihan, kestabilan fisiologi dan mengurangi keletihan.
Cara memposisikan yang tepat dan perubahan posisi
secara berkala dapat mengurangi risiko kerusakan integritas kulit berupa luka tekan (Baharestani & Ratliff, 2007).
Praktik perawatan kulit pada bayi prematur belum terdapat kesepakatan secara nasional tentang cara perawatan yang tepat.
Masing-masing rumah sakit
menetapkan kebijakan sendiri yang mungkin akan berbeda antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit yang lain. Hal ini senada dengan penelitian yang telah dilakukan di Amerika menunjukkan hasil bahwa ada ketidaksamaan praktik perawatan kulit terutama dalam hal pemeriksaan kultur dan penggunaan aquaphor (Baker, Smith, Donohue, & Gleason, 1999).
Kejadian komplikasi pada
pemasangan infus perifer lebih dari dua kali lipat dibandingkan PICC di ruang NICU (Colachio, Deng, Northrup, & Bizzarro, 2012). Pembersihan kulit dan pemberian pelembab merupakan dua strategi sederhana untuk menjaga kesehatan kulit. Pembersihan kulit yang baik membantu bayi terhadap iritasi yang tidak diinginkan terhadap saliva, sekresi nasal, urin, feses dan enzim fekal, kotoran dan mikroba patogen (Telofski, Morello, Correa, & Stamatas, 2012). Pemilihan obat oles yang tepat dengan mempertimbangkan biaya dan kemudahan dalam penyediaan terbukti dapat menurunkan biaya perawatan. Penggunaan obat oles yang tepat juga dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi (LeFevre et al., 2010).
Residen selama 12 minggu melaksanakan praktik klinik residensi di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mengamati bahwa bayi yang dirawat di RSCM merupakan pasien rujukan yang sebagian besar adalah bayi prematur dengan masalah kesehatan yang komplek.
Bayi prematur yang dirawat seringkali
mengalami masalah pernapasan, sehingga memerlukan bantuan pernapasan
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
6
berupa Continuous Positive Airway Prressure (CPAP) ataupun ventilator. Penggunaan alat bantu napas tersebut mengakibatkan keterbatasan bayi untuk dapat menggerakkan kepala, sehingga bayi lebih sering berada dalam satu posisi dalam waktu yang cukup lama. Pemasangan prongs CPAP dan endotrakheal tube (ETT) memerlukan fiksasi yang tepat dan kuat untuk menghindari bergesernya alat dari jalan napas, sehingga bayi berisiko mengalami penekanan pada area hidung dan mulut. Penggunaan plester tidak dapat dihindari untuk memperkuat fiksasi, padahal penggunaan plester merupakan faktor risiko terjadinya kerusakan integritas kulit bayi terutama saat pelepasan. Penggunaan nesting seringkali masih memungkinkan bayi berubah dari posisi midline karena ukuran nesting yang kurang sesuai sehingga tubuh bayi tidak tertopang dengan baik. Kondisi tersebut memungkinkan bayi untuk mengalami penekanan area tubuh tertentu dalam waktu yang lebih lama sehingga meningkatkan pula risiko kerusakan integritas kulit. Residen juga mengamati masih ada kejadian ekstravasasi dan ruam popok, meskipun sudah dilakukan tindakan pencegahan dengan baik.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa bayi prematur sangat berisiko mengalami kerusakan integritas kulit. Bayi prematur yang mengalami kerusakan integritas kulit akan mengalami peningkatan kebutuhan energi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh agar dapat mempertahankan fungsi tubuh, di sisi lain bayi prematur mengalami keterbatasan penyediaan energi karena prematuritas organ.
Bayi juga mengalami gangguan
integritas struktur dan terganggu pula integritas personal dan sosialnya. Perawat hendaknya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat sehingga dapat membantu bayi mempertahankan konservasi energi, konservasi integritas sruktur, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosialnya. Untuk itu perlu dikembangkan asuhan keperawatan yang berfokus pada konservasi.
Residen
berharap melalui pendekatan ini dapat memberikan asuhan keperawatan secara optimal
dalam
membantu
proses
adaptasi
bayi,
penyembuhan daan mencegah komplikasi lebih lanjut.
meningkatkan
proses
Residen melakukan
asuhan keperawatan pada praktik residensi tersebut melaksanakan peran sebagai pemberi asuhan, pendidik, pengelola dan peneliti.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
7
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran aplikasi Model Konservasi Levine dalam asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit di ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.3.1 Memberikan gambaran hasil penerapan asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit menggunakan model konservasi Levine di ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 1.2.3.2 Memberikan gambaran pencapaian kompetensi dan peran perawat spesialis keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit di ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 1.2.3.3 Memberikan gambaran hasil analisis kasus pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit menggunakan model konservasi Levine dan analisis pencapaian kompetensi.
1.3
Sistematika Penulisan
Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini terdiri dari 5 bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 berisi pendahuluan, meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisi aplikasi model, meliputi
gambaran singkat tentang lima kasus yang dikelola residen selama praktik residensi, tinjauan teoritis dan integrasi konsep keperawatan, serta aplikasi model konservasi Levine pada satu kasus kelolaan.
Bab 3 menjelaskan tentang
pencapaian kompetensi ners spesialis keperawatan anak selama praktik residensi. Pembahasan pada bab 4 menguraikan analisis penerapan konsep dan teori keperawatan pada kelima kasus kelolaan serta analisis pencapaian kompetensi ners spesialis keperawatan anak selama praktik residensi.
Bab 5 berisi
kesimpulan dan saran tentang pelaksanaaan praktik residensi secara keseluruhan. Data pendukung disajikan dalam lampiran berupa kontrak belajar kegiatan praktik residensi, laporan asuhan keperawatan kasus kelolaan dan laporan proyek inovasi.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
BAB 2 TINJUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Kasus 2.1.1 Kasus 1 (Bayi dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, unproven sepsis) Residen melakukan pengkajian bayi S pada tanggal 17 Maret 2014, mendapatkan data konservasi energi yaitu usia bayi 3 hari, usia gestasi 31 minggu. Pengkajian konservasi integritas struktur didapatkan data kulit bayi tampak tipis, kemerahan, tidak ada luka. Bayi terpasang akses vena dengan peripheral intravenous central cathetheritation (PICC) pada lengan kiri, akses vena perifer pada tangan kanan untuk memberikan obat, nilai neonatal skin risk assessment score (NSRAS) adalah 12 atau risiko sedang dan bayi mengalami hipoalbuminemia.
Residen
juga menemukan data bahwa bayi telah terpasang CPAP selama 3 hari, menggunakan slang nasofaring tipe Y, hidung dan mulut tampak mengeluarkan sekret. Trophicognosis yang muncul pada kasus ini antara lain disfungsi respon penyapihan CPAP, risiko cedera pada nasofaring, dan risiko kerusakan integritas kulit.
Intervensi yang diberikan untuk mengatasi masalah tersebut pada
konservasi integritas struktur yaitu memantau pola napas bayi, dan melakukan penyapihan CPAP. Intervensi lain yang dilakukan adalah membersihkan sekret pada hidung dan mulut dengan kasa lembab, dan membersihkan area bokong bayi dengan kapas dan air hangat, memandikan bayi dengan sabun cair, merawat tali pusat, mengkaji risiko kerusakan kulit dengan NSRAS, memastikan slang nasofaring terfiksasi baik dan tidak berubah posisi, meminimalkan penggunaan perekat dan melakukan alih baring setiap touching time dengan posisi midline.
Evaluasi pada hari ke-14 perawatan dengan usia bayi 17 hari, bayi pernah mengalami ekstravasasi pada akses vena perifer, namun sudah mengalami perbaikan.
8 Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
9
2.1.2 Kasus 2 (Bayi dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, sepsis neonatorum awitan dini) Pengkajian dilakukan pada bayi W-II tanggal 24 Februari 2014, didapatkan data koservasi energi usia bayi 9 hari, usia gestasi 33 minggu.
Hasil pengkajian
integritas struktur didapatkan data sebagai berikut: bayi menggunakan CPAP hari ke-8 dengan nasal prong, septum hidung tampak kemerahan dan berair, teraba lunak, ikterik derajat III, bayi sedang mendapatkan fototerapi hari ke-5, terpasang akses vena perifer di tangan kanan dan tangan kiri. Nilai NSRAS 12 atau risiko sedang.
Trophicognosis yang teridentifikasi pada kasus ini diantaranya: disfungsi respon penyapihan CPAP, risiko cedera septum, risiko kerusakan integritas kulit dan ikterik neonatus. Intervensi keperawatan yang dilakukan dalam asuhan ini untuk konservasi integritas struktur yaitu memantau pola napas bayi, memastikan prong terfiksasi dengan tepat dan kuat, memberikan lapisan/bantalan pada area nares, mengobservasi nares terhadap perburukan luka, mengganti prong dengan tipe Y. Intervensi lain yang dilakukan adalah memantau kondisi kulit bayi terhadap risiko kekeringan akibat fototerapi, menambahkan masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang akibat penguapan, melakukan tindakan pencegahan infeksi, memantau area penusukan vena terhadap kemungkinan plebitis atau ekstravasasi. Intervensi selanjutnya adalah mengganti popok dan membersihkan area bokong, merawat tali pusat, meminimalkan penggunaan perekat, melakukan alih baring setiap touching time dengan posisi midline, memantau risiko kerusakan kulit menggunakan NSRAS.
Evaluasi keperawatan pada hari perawatan ke 14 didapatkan data bayi tidak mengalami kerusakan integritas kulit, septum mengalami perbaikan, tidak ada ruam popok, tidak ada plebitis dan ekstravasasi, selama perawatan bayi diposisikan midline dalan sarang, namun posisi seringkali berubah yaitu kaki keluar dari sarang sehingga tidak pada posisi fleksi.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
10
2.1.3 Kasus 3 (Bayi dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, sepsis neonatorum awitan dini) Pengkajian tanggal 10 Maret 2014 pada bayi M-II perempuan didapatkan data konservasi energi sebagai berikut: bayi berusia 1 hari, usia gestasi 35 minggu, bayi mengalami hipoalbuminemia dan edema di kedua tungkai. Data konservasi integritas struktur didapatkan terpasang akses vena pada lengan kanan, tali pusat masih basah, nilai NSRAS 13 (risiko sedang).
Trophicognosis yang teridentifikasi pada kasus ini antara lain risiko kerusakan integritas kulit dan ikterik neonatus. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kasus ini untuk mengatasi masalah konservasi energi yaitu melakukan kolaborasi pemberian transfusi albumin. Konservasi integritas struktur diberikan intervensi berupa memantau area penusukan vena, mengganti popok bila basah/kotor, memantau risiko kerusakan integritas kulit dengan NSRAS, memantau kondisi kulit akibat fototerapi, mengganti popok dan membersihkan bokong dengan kapas basah, meminimalkan penggunaan perekat
dan melakukan alih baring saat
touching time dengan posisi midline.
Evaluasi keperawatan yang dilakukan dalam asuhan pada hari ke 13 dengan usia bayi 14 hari meliputi: tidak ada plebitis, tidak ada ekstravasasi, bayi tidak ikterik, tidak ada kekeringan kulit. Penilaian posisi menggunakan Infant Positioning Assessmen Tool (IPAT) skor antara 9 hingga 11 (posisi masih bisa ditoleransi/mendekati posisi midline).
2.1.4 Kasus 4 (Bayi dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, distres respirasi e.c HMD, tersangka sepsis neonatorum awitan dini) Pengkajian bayi N, perempuan, dilakukan pada tanggal 10 April 2014. Konservasi energi ditemukan data bayi berusia 33 hari, usia gestasi 33 minggu, bayi mengalami hipoalbuminemia. Hasil pengkajian konservasi integritas struktur adalah sebagai berikut: riwayat bayi menggunakan CPAP selama 3 hari, bayi tidak mengalami kerusakan pada septum. Bayi menderita diare 10 hari yang lalu selama 3 hari, terdapat ruam popok dan mendapatkan salep anti jamur.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
11
Salah satu trophicognosis pada kasus ini adalah kerusakan integritas kulit. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah integritas struktur pada kasus tersebut yaitu memberikan salep anti jamur pada area ruam popok, membersihkan area bokong dengan air hangat dan segera mengganti popok bila kotor atau basah dan memberikan kesempatan area bokong untuk terpapar udara.
Evaluasi keperawatan bayi kelolaan dilakukan pada hari ke-3 perawatan, usia bayi 36 hari didapatkan ruam popok mulai mengering, tidak ada plebitis dan ekstravasasi.
2.1.5 Kasus 5 (Bayi dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, distres pernapasan dd transient tachipnea of newborn,
tersangka sepsis
neonatorum awitan dini) Pengkajian pada bayi E, laki-laki, tanggal 1 Mei 2014 didapatkan data konservasi energi yaitu bayi berusia 6 hari, usia gestasi 33 minggu, perut cembung, lingkar perut 34 cm, teraba supel. Bayi menggunakan CPAP hari ke-6 dengan prong nasal. Hidung tampak kemerahan, lubang hidung terangkat ke atas, Bayi tampak ikterik, mendapat fototerapi hari ke-3, tak ada kekeringan pada kulit, skor NSRAS 12 (risiko sedang)
Trophicognosis yang teridentifikasi pada bayi E antara lain ketidakefektifan pola napas, risiko cedera septum, risiko kerusakan integritas kulit dan ikterik neonatus. Intervensi yang dilakukan pada asuhan keperawatan bayi E untuk konservasi energi adalah memantau toleransi diet.
Intervensi untuk masalah konservasi
integritas struktur adalah memantau kepatenan CPAP, membersihkan hidung dan mulut, serta memastikan posisi prong nasal terfiksasi baik, membersihkan area bokong dengan air hangat, menggunakan sabun yang lembut saat mandi, mengobservasi kemungkinan kerusakan kulit setiap touching time dengan NSRAS dan meminimalkan penggunaan perekat.
Evaluasi pada perawatan hari ke-5 dengan usia bayi 11 hari bayi, didapatkan masih menggunakan CPAP, prong nasal sudah diganti dengan slang nasofaring
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
12
tipe Y, terdapat luka pada septum, hidung agak terangkat ke atas, tidak ada plebitis dan ekstravasasi.
Selama perawatan bayi diposisikan midline, namun
posisi seringkali berubah yaitu punggung bayi sulit untuk difleksikan karena ada tahanan dari perut yang membesar. Kulit pada bagian perut tampak meregang dan kemerahan.
2.2 Tinjauan Teori 2.2.1 Perkembangan dan Fungsi Kulit Bayi Prematur Stratum korneum merupakan lapisan terluar epidermis, dengan ketebalan hanya 735 µm pada bayi baru lahir (Telofski, Morello, Correa, & Stamatas, 2012). Fungsi kulit mulai matang pada usia gestasi 34 minggu, dengan lapisan epidermis sudah dipenuhi jaringan keratin dan kohesi antara dermis dan epidermis sudah kuat.
Kematangan kulit akan berkembang cepat setelah lahir, namun fungsi
stratum korneum baru matang pada usia 2-8 minggu. Meskipun demikian, kulit bayi tetap masih rapuh dan mudah mengalami kerusakan (Ness, Davis, & Carey, 2013). Fungsi termoregulasi belum berfungsi baik karena jaringan subkutan yang sedikit, belum berfungsinya kelenjar keringat dan luas permukaan tubuh yang lebih besar dari masa tubuh bayi (Ness, Davis, & Carey, 2013).
Perkembangan kulit pada usia gestasi 26 hingga 29 minggu lapisan subkutan mulai menimbun lemak. Kelenjar keringat secara anatomis telah berkembang di seluruh tubuh, namun belum berfungsi. Pada usia gestasi 30 hingga 34 minggu kulit mulai berwarna merah muda dan halus, kuku sudah mencapai ujung jari, rambut lanugo mulai lepas. Usia gestasi 35 hingga 38 minggu kulit janin mulai berwarna putih atau merah muda kebiruan (Kenner & Lott, 2007).
Vernik kaseosa terbentuk pada trimester ketiga dan kadang tidak ditemukan pada bayi prematur. Di dalam kandungan vernik kaseosa berfungsi sebagai lapisan anti air yang membantu kulit dalam pembentukan dan pematangan kulit dan saat lahir berfungsi sebagai pelicin. Setelah lahir vernik kaseosa berfungsi sebagai hidrasi, termoregulasi, perlindugan terhadap bakteri, penyembuhan luka sehingga vernik
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
13
kaseosa seringkali dipertahankan pada awal kehidupan bayi, maka bayi tidak langsung dimandikan (Ness, Davis, & Carey, 2013).
Stratum korneum berperan penting sebagai lapisan pelindung tubuh, dan mencegah masuknya kuman patogen ke dalam tubuh. Stratum korneum juga berperan dalam termoregulasi, pertukaran gas, menjaga hidrasi, mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit, sebagai imunitas bawaan, menjaga pH, dan mencegah absorbsi zat toksik (Telofski, Morello, Correa, & Stamatas, 2012; Ness, Davis, & Carey, 2013). Kulit bagi bayi prematur berfungsi sebagai pertahanan melawan infeksi, melindungi organ penting, membantu mengatur suhu dan kehilangan cairan, menyimpan cadangan lemak, mengekskresikan elektrolit dan air, dan sebagai media input sensori (sentuhan, tekanan, suhu, nyeri dan rasa gatal) (Kenner & Lott, 2007). Kadar pH kulit bayi saat lahir adalah netral dan akan berubah menjadi sedikit asam pada minggu pertama kehidupan dengan pH yang bervariasi antara 5 hingga 5,5. Kondisi ini berperan dalam mengurangi kolonisasi bakteri dan mempertahankan kelembaban kulit (Cunha & Procianoy, 2005). Kontak yang lama terhadap iritan seperti saliva, sekresi nasal, urine, feses, ezim fekal, kotoran, dan mikroba patogen terutama pada area diaper dapat menyebabkan ketidaknyamanan, iritasi, infeksi dan kerusakan pertahanan kulit (Telofski, Morello, Correa, & Stamatas, 2012).
2.2.2 Perawatan Kulit Bayi Prematur Association of Women’s Health Obstetric and Neonatal Nursing (AWONN) (2007) merekomendasikan bahwa perawatan kulit bayi preamatur meliputi 11 aspek yaitu: 2.2.2.1 Pengkajian kulit bayi Saat ini telah banyak dikembangkan alat ukur untuk menilai risiko kerusakan integrits kulit, diantaranya skala Braden Q, skala Glamorgan, Neonatal Skin Risk Assessment Scale (NSRAS) dan Northampton Neonatal Skin Assessment Tool (Baharestani & Ratliff 2007; McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004). Neonatal Skin Risk Assessment Scale (NSRAS) menilai kondisi kulit bayi berdasarkan kondisi fisik secara umum, status mental, mobilitas, aktifitas, nutrisi,
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
14
dan kelembaban kulit.
Northampton Neonatal Skin Assessment Tool
menggunakan beberapa indikator untuk menilai risiko kerusakan integritas kulit yaitu usia gestasi, berat bayi, usia, integritas kulit, kontrol suhu, mobilitas, status nutrisi, tampilan kulit dan level perawatan (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004). Association of Women’s Health Obstetric and Neonatal Nursing (AWONN) (2007, dalam Lund, 2011) telah menyusun alat pengkajian untuk menilai kondisi kulit pada neonatus yang disebut Neonatal Skin Condition Score (NSCS). NSCS menilai tiga aspek kondisi kulit yaitu kekeringan, eritema dan kerusakan kulit (Chapman & Durham, 2010).
Neonatal Skin Condition Score (NCS) pernah
digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian untuk melihat efektivitas pelaksanaan pedoman perawatan kulit pada bayi yang dirawat di ruang NICU, Special Care Unit (SCU) dan ruang perawatan bayi sehat di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan NSCS bisa digunakan dengan baik untuk menilai kondisi kulit bayi (Lund et al., 2011).
Prosedur pengkajian risiko kerusakan integritas kulit adalah sebagai berikut (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004): - Mencuci tangan - Memegang atau memposisikan bayi dengan baik sehingga dapat diamati seluruh bagian tubuh bayi dari bagian depan dan belakang dari kepala, tubuh dan ekstrimitas - Catat adanya kerusakan kulit, trauma akibat persalinan dan abnormalitas kulit - Kaji tampilan kulit adanya kulit kering, kulit bersisik, robekan, kemerahan, iritasi, kelembaban, kerusakan kulit, luka tekan dan infeksi - Perhatikan pula area mata, telinga, tali pusat dan area bokong - Kaji penggunaan alat medis yang menempel pada kulit (misalnya endotrakheal tube, kanul oksigen), kaji adanya luka - Observasi kerusakan kulit akibat penggunaan plester, seperti: terangkatnya lapisan kulit, robekan, maserasi, lepuh, iritasi bahan kimia. - Mencuci tangan
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
15
2.2.2.2 Mandi Penggunaan bahan pembersih saat mandi dan penggunaan pelembab selama dan setelah mandi memberikan banyak manfaat. Pelembab dapat menurunkan trans epidermal water loss (TEWL), meningkatkan kondisi kulit dan mengurangi angka kematian pada bayi amat sangat rendah (Telofski, Morello, Correa, & Stamatas, 2012).
European Round Table Meeting pada tangal 13 Februari 2007 telah menetapkan konsensus bahwa penggunaan sabun cair dengan pH netral atau agak asam lebih dianjurkan daripada sabun tradisional yang bersifat basa. Pertemuan tersebut juga menghasilkan rekomendasi tentang penggunaan pembersih saat mandi pada bayi yaitu mandi dengan menggunakan pembersih cair lebih membersihkan dan lebih menghidrasi kulit daripada air saja. Sediaan dalam bentuk cair yang mengandung pelembab lebih baik daripada sabun batangan.
Penggunaan bahan pengawet
dalam pembersih cair harus harus pengawet yang adekuat dan tepat. Pembersih yang ideal tidak menyebabkan iritasi, perubahan pH kulit dan pedih di mata. Pemilihan produk perawatan kulit harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan (Peytavi et al., 2009).
Hasil suatu penelitian menyebutkan bahwa memandikan bayi dengan air saja dan memandikan bayi dengan air dan sabun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kolonisasi bakteri di kulit. Keduanya dapat menurunkan jumlah koloni kuman gram positif maupun gram negatif (Cunha & Procianoy, 2005). Mandi bagi bayi dapat berdampak hipotermia, distres pernapasan, ketidakstabilan tanda vital, peningkatan kebutuhan oksigen dan gangguan perilaku.
Dengan
alasan itu maka bayi baru lahir ditunda dimandikan minimal setelah 6 jam dan dalam kondisi stabil suhu dan fungsi kardiorespirasi selama 2-4 jam (Ness, Davis, & Carey, 2013).
Bila memungkinkan, mandi celup lebih dianjurkan, karena dengan metode ini dapat mengurangi risiko kehilangan panas tubuh dan ketidakstabilan tanda vital. Metode mandi ini tetap dapat dilakukan pada bayi dengan tali pusat yang belum
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
16
lepas, karena tidak terbukti adanya pengaruh mandi celup terhadap infeksi ataupun lamanya penyembuhan tali pusat. Menggosok kulit dengan kain saat mandi sangat tidak dianjurkan kerana akan merusak lapisan epidermal. Bagian kulit kepala dan rambut juga harus dibersihkan saat mandi. Suhu air yang disarankan adalah 38-40 ᴼ C, dan waktu yang digunakan sekitar 5-10 menit dua hari sekali (Ness, Davis, & Carey, 2013).
2.2.2.3 Perawatan tali pusat Segera setelah lahir, kulit bayi dan tali pusat akan membentuk kolonisasi bakteri non patogen sebagai perlindungan terhadap infeksi (Ness, Davis, & Carey, 2013). WHO pada tahun 2004 merekomendasikan cara perawatan tali pusat dengan cara mencuci tangan dengan tepat, memotong tali pusat dengan alat yang steril dan bila perlu mencuci tali pusat dengan air bersih dan sabun. Penggunaan antimikroba pada tali pusat tidak direkomendasikan (Ness, Davis, & Carey, 2013).
2.2.2.5 Penggunaan desinfektan Penggunaan clorhexidine sebagai antiseptik kulit diakui mempunyai efek spektrum luas, dapat melawan kuman gram positif dan gram negatif, jamur dan virus.
Clorhexidine berikatan kuat dengan kulit sehingga mengurangi risiko
absorbsi di kulit dan lebih efektif pada area lokal (Sankar et al., 2009). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tamma, Aucott, dan Milstone (2010) menunjukkan bahwa penggunaan 0,5% clorhexidine dalam 70% alkohol sama dengan penggunaan 10% povidone iodine dalam penurunan jumlah bakteri di kulit bayi prematur.
Alkohol juga digunakan secara luas sebagai antiseptik kulit.
Penggunaan antiseptik masing-masing zat mempunyai kelebihan, namun pemakain pada bayi terutama bayi prematur perlu memperhatikan efek samping. Efek samping yang mungkin terjadi yaitu: chlorhexidine mengakibatkan terbakar dan gangguan pada telinga dalam, dan absorbsi sistemik,
povidone iodine
mengakibatkan nekrosis lokal dan hipotiroidisme, alkohol mengakibatkn kekeringan pada kulit dan kurang manjur dibandingkan chlorhexidine dan povidone iodine (Tamma, Aucott, & Milstone, 2010). Penggunaan pelembab
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
17
berbahan dasar minyak seperti aquaphor ointment setiap 6 hingga 12 jam dapat digunakan pada bayi yang mendapatkan fototerapi tanpa adanya risiko peningkatan suhu atau risiko terbakar (Kenner & Lott).
2.2.2.6 Ruam popok Pedoman praktik berdasarkan evidence based practice merekomendasikan penggunaan lap yang lembut dengan air hangat atau tisu bebas alkohol dan detergen (Visscher et al., 2009). Untuk mencegah diaper dermatitis, penggantian popok sekali pakai dilakukan setiap 3-4 jam sekali atau segera bila kotor. Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses (2007) merekomendasikan bahwa salep zinc oil 20% yang bebas pengawet dan salep berbahan dasar minyak dapat digunakan sebagai pelindung kulit dan mengatasi iritasi. Bila diaper dermatitis terkontaminasi jamur maka perlu diberikan salep anti jamur, selain itu kemungkinan penyebab kerusakan kulit harus diatasi, misalnya diare.
2.2.2.7 Penggunaan perekat Hal yang sering dilakukan di ruang NICU pada pemasangan dan pelapasan perekat untuk memfiksasi endotrakheal tube, akses intravena, probe dan elektrode alat monitor. Bentuk kerusakan kulit akibat penggunaan perekat yaitu terlepasnya lapisan epidermal, robekan, maserasi, lepuh, iritasi kimiawi, reaksi sensitif dan peradangan folikel (Kenner & Lott, 2007).
Perawat seringkali memerlukan pelarut untuk mengurangi ketidaknyamanan dan kerusakan kulit saat melepas perekat. Produk minyak dapat membantu melepas perekat namun akan menimbulkan kesulitan saat perekat harus dipasang kembali karena perekat tidak dapat merekat (Kenner & Lott, 2007).
2.2.2.8 Trans Epidermal Water Loss (TEWL) Bayi prematur memiliki keratin yang sedikit pada lapisan stratum korneum, sehingga kulit mempunyai kemampuan minimal untuk mempertahankan difusi air, maka bayi prematur berisiko mengalami peningkatan TEWL dan kehilangan
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
18
panas melalui evaporasi yang mengakibatkan bayi prematur mudah mengalami hipotermi. Selain itu karakteristik kulit yang membuat bayi mudah kehilangan cairan adalah perbandingan kulit lebih besar dibandingkan dengan masa tubuh, lapisan epidermis yang tipis, peningkatan kdar air, peningkatan permeabilitas, dan peningkatan suplai darah di area dekat permukaan kulit (Kenner & Lott, 2007).
Beberapa tehnik yang dapat digunakan untuk mengurangi kehilangan panas dan menurunkan TEWL adalah dengan menggunakan inkubator dengan dinding ganda, meningkatkan kelembaban lingkungan, penggunaan plastik transparan, dan melapisi kulit bayi dengan pelembab berbahan dasar minyak. Bayi yang dirawat di bawah pemancar panas lebih berisiko mengalami peningkatan TEWL dibandingkan dengan bayi yang dirawat di inkubator (Kenner & Lott, 2007).
Pencegahan kehilangan panas dan TEWL yang berlebihan perlu lebih diperhatikan pada bayi yang memerlukan pembatasan intake cairan misalnya pada bayi dengan penyakit paru. Tujuan utama adalah mempertahankan hidrasi dan kadar sodium serum dengan intake cairan kurang dari 150ml/kg/hari (Kenner & Lott, 2007).
Pemancar panas (radiant warmer) sering digunakan untuk perawatan bayi premaatur untuk meningkatkan kontrol suhu tubuh dan memberikan panas yang merata ke seluruh tubuh. Beberapa ahli mengatakan bahwa penggunaan pemancar panas mengakibatkan peningkatan TEWL dan mengakibatkan kekeringan pada stratum korneum. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Metzger, Yosipovitch, Hahad dan Sirota (2004), menyebutkan bahwa perbedaan TEWL lebih tinggi bayi yang menggunakan pemancar panas dibandingkan bayi yang menggunakan inkubator pada dahi dan punggung sedangkan pada area siku, telapak tangan, telapak kaki, perut dan paha TEWL relatif sama.
Hasil penelitian juga
menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna tingkat hidrasi pada stratum korneum.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
19
2.2.2.9 Kerusakan kulit Kerusakan kulit pada bayi prematur salah satunya adalah luka tekan. Prinsip pencegahan luka tekan adalah mengurangi besar tekanan dan durasi tekanan terhadap kulit dan jaringan di bawahnya.
Mengurangi besarnya tekanan
dilakukan dengan penggunaan permukaan yang menopang dan pengaturan posisi. Mengurangi durasi tekanan dilakukan dengan melakukan perubahan posisi secara berkala (Sprigle & Sonenblum, 2011).
a. Penggunaan permukaan yang menopang dan pengaturan posisi Hasil pengukuran pada empat bayi prematur menunjukkan tekanan yang dapat ditoleransi oleh bayi yang berdampak terhadap sirkulasi jaringan adalah sebesar 28-32 mmHg (Baharestani & Ratliff, 2007; Razmus, Lewis, & Wilson, 2008). Pencegahan luka tekan dapat dilakukan dengan penggunaan bantalan pada area kulit yang tertekan untuk menghindari gesekan (Razmus, Lewis, & Wilson, 2008). Sebuah studi berdasarkan opini ahli merekomendasikan bahwa kasur atau bantal terbuat dari air, angin, gel atau kulit domba yang diletakkan di bawah persendian, telinga dan oksipital dapat mengurangi kejadian luka tekan (Baharestani & Ratliff, 2007; Willock & Maylor, 2004).
Bayi prematur mempunyai tonus otot yang lemah, sehingga bila diletakkan di permukaan yang datar tanpa penyangga maka bayi akan berada pada posisi lurus yang akan mengganggu perkembangan bayi.
Bayi memerlukan alat untuk
menopang pada posisi fleksi dan postur menekuk. Alat yang digunakan harus lembut dan memungkinkan bayi berbaring pada suatu posisi dalam beberapa jam tanpa ada yang menyebabkan penekanan (Rubin & Davis, 2011). Pengaturan posisi bayi prematur menggunakan nesting terbukti secara bermakna terhadap skor postur dan gerakan bayi.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa
penggunaan nesting merupakan metode yang efektif untuk mempertahankan postur dan gerakan yang normal pada bayi prematur (Joseph, Ambika, & Williams, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Priya dan Bijlani (2005)
menyatakan bahwa penggunaan nesting dari bahan kain flanel mampu
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
20
memfasilitasi bayi dalam posisi midline, meminimalkan deformitas akibat kesalahan posisi dan mencegah komplikasi akibat gravitasi.
b. Perubahan posisi berkala Secara umum telah diketahui bahwa alih baring dilakukan setiap 2 jam, namun dari perkembangan penelitian yang dilakukan alih baring tergantung dari kondisi pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alih baring setiap 4 jam pada kasur yang elastis lebih efektif dibandingkan setiap 2 jam namun pada kasur standar (Sprigle & Sonenblum, 2011). Penelitian berdasarkan Northampton Neonatal Skin Assessment Tool merekomendasikan alih baring pada bayi dilakukan sesuai dengan skor risiko kondisi kulit yang telah dibuat. Untuk kondisi yang berat perlu tiap 2-4 jam, kondisi sedang tiap 4-6 jam dan kondisi ringan 6-8 jam (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004).
Perubahan posisi pada bayi prematur perlu dipertimbangkan untuk tidak terlalu sering dilakukan karena berdampak negatif bagi bayi. Dampak tersebut dapat berupa agitasi, apnea, bradikardi, muntah, sumbatan jalan napas, hipoksemia, takikardi dan melambatnya waktu pemulihan sirkulasi oksigen (Baharestani & Ratliff, 2007).
2.2.2.10 Ekstravasasi intravena Faktor risiko terjadinya cedera jaringan akibat ekstravasasi intravena yaitu lama terjadinya ekstravasasi, jenis cairan yang diberikan terutama cairan hipertonik, dan tekanan mekanik dari penggunaan pompa infus. Faktor risiko lain yaitu kurang baiknya perfusi pada kulit akibat berkurangnya pengisian kembali kapiler pada bayi yang sakit berat atau akibat hambatan sirkulasi vena karena pembebatan pada area pemasangan infus (Kenner & Lott, 2007).
Perawat perlu melakukan pencegahan ekstravasasi intravena. Strategi yang dapat digunakan adalah menggunakan perekat yang transparan dan melakukan pengamatan dan pendokumentasian setiap jam. Perawat harus berhati-hati saat memasang perekat agar tidak mengganggu aliran balik vena pada ekstrimitas
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
21
Pemilihan area penusukan vena mempertimbangkan area yang lebih luas dan perfusi jaringan yang baik. Konsentrasi cairan yang dapat diberikan melalui akses vena perifer perlu dipertimbangkan, yaitu untuk glukosa <12,5%, asam amino <2% dan kalsium <10% (Kenner & Lott, 2007).
Bila ekstravasasi telah terjadi, maka tindakan yang harus dilakukan adalah segera melepas akses vena, mengelevasikan ekstrimitas yang terjadi ekstravasasi, dan bila perlu diberikan obat topikal.
Hyaluronidase dapat digunakan karena
merupakan salah satu enzim yang dapat memfasilitasi difusi cairan ekstravasasi. Bila ditemukan cedera jaringan maka dapat diberikan salep antimikroba (Kenner & Lott, 2007).
2.2.2.11 Nutrisi kulit Bayi prematur seringkali mengalami masalah nutrisi berkaitan dengan keterbatasan
fungsi organ pencernaan maupun kondisi sakit yang tidak
memungkinkan bayi untuk dapat menerima dan mencerna makanan dengan baik. Kondisi malnutrisi dan anemia akan menurunkan kemampuan toleransi kulit terhadap tekanan, gesekan dan regangan pada kulit. Protein, hidrasi, kalori dan vitamin merupakan hal penting yang harus dipenuhi untuk mencegah luka tekan (Baharestani & Ratliff, 2007).
Zinc merupakan salah satu kofaktor yang sangat penting untuk membatu proses metabolisme protein, asam nukleat dan mukopolisakarida pada kulit dan jaringan subkutan. Kebutuhan zinc meningkat saat bayi mengalami pertumbuhan cepat dan mengalami stres. Defisiensi zinc dapat diakibatkan intake yang tidak adekuat, malabsorbsi atau kehilangan berlebihan melalui urin dan feses. Bayi prematur sangat berisiko mengalami defisiensi zinc akibat kesulitan absorbsi zinc dan kurangnya cadangan zinc sebelum lahir (Kenner & Lott, 2007).
2.2.3 Cara memposisikan Posisi yang tepat pada bayi prematur adalah posisi midline. Kepala dan tubuh bayi berada dalam satu garis lurus sangat direkomendasikan pada bayi prematur
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
22
selama beberapa hari awal kehidupan (Kenner & McGrath, 2007).
Infant
Positioning Assessment Tool (IPAT) merupakan alat ukur untuk menilai ketepatan bayi pada posisi midline. IPAT dibuat oleh Koninklijke, dikembangkan untuk memberikan pedoman praktis untuk praktik cara memposisikan yang baik di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Alat ukur tersebut mengukur enam item penilaian yaitu posisi bahu, tangan, pinggul, lutut/pergelangan kaki/kaki, kepala dan leher.
Masing masing item
diberi skor 0, 1 dan 2. Nilai kumulatif maksimal 12. Skor 0 untuk posisi tidak dapat diterima, skor 1 untuk posisi alternatif yang masih dapat diterima dan skor 2 untuk posisi yang tepat. Total skor 12 menunjukkan posisi yang sempurna, skor 9–11 masih dapat diterima bila bayi menggunakan alat medis yang memungkinkan bayi pada posisi tidak simetris, skor 8 menunjukkan bayi memerlukan reposisi (Jeanson, 2013).
INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL INDIKATOR Bahu Tangan Pinggul/ Pangkal paha Lutut/ pergelangan kaki/ kaki
Kepala
Leher
0 Bahu tertarik ke samping Tangan menjauh dari batang tubuh Pinggul menjauh dari batang tubuh /Rotasi keluar Lutut melebar/ pergelangan kaki dan dan kaki rotasi keluar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) lebih dari 45ᴼ dari garis tengah Leher tidak lurus dengan tulang belakang
1 Bahu mendatar/ netral Tangan menyentuh batang tubuh Pinggul melebar Lutut, pergelangan kaki dan kaki melebar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) 45ᴼ dari garis tengah Leher posisi netral tetapi kurang lurus dengan tulang belakang
2 Bahu sedikit melingkar Tangan menyentuh wajah Pinggul lurus dengan batang tubuh dan sedikit fleksi Lutut, pergelangan kaki, dan kaki segaris, dan sedikit fleksi Kepala sejajar garis tengah hingga kurang 45ᴼ dari garis tengah (kiri atau kanan) Leher posisi netral, sedikit fleksi kedepan dan lurus dengan tulang belakang
SKOR
Total Skor
Sumber: Coughlin, 2010.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
23
2.3 Integrasi Teori dan Konsep Keperawatan dalam Proses Keperawatan Teori keperawatan merupakan suatu kerangka kerja yang dirancang untuk mengatur pengetahuan dan menjelaskan fenomena dalam keperawatan, pada tingkat yang lebih konkrit dan spesifik. Salah satu teori keperawatan yang banyak berkembang adalah teori menurut Myra Estin Levine yang dikenal dangan Model Konservasi. Model Konservasi Levine didasari tiga konsep utama yaitu adaptasi, wholeness dan konservasi.
Fokus model tersebut adalah mempromosikan
adaptasi secara keseluruhan (wholeness) dengan menggunakan prinsip konservasi (Levine, 1967 dalam Tomey & Alligood, 2006).
2.3.1 Adaptasi (Adaptation) Levine (1991, dalam Tomey & Alligood, 2010) menyatakan bahwa adaptasi merupakan sebuah proses berkesinambungan yang terkait antara individu dengan lingkungannya.
Levine menyatakan bahwa lingkungan terbagi ke dalam dua
bagian yaitu lingkungan
internal dan lingkungan eksternal.
Levine
mendefinisikan adaptasi sebagai sebuah proses yang dilakukan individu dalam rangka menjaga integritas kehidupannya dengan cara menyelaraskan lingkungan internal dengan lingkungan eksternalnya, dengan mempertimbangkan pola dan kemampuan adaptasi tiap individu.
2.3.2 Wholeness Levine menganggap
bahwa
wholeness
merupakan sistem terbuka dan
menggabungkan semua bagian untuk mencapai suatu menghadapi perubahan lingkungan.
keutuhan dalam
Wholeness merupakan keutuhan individu
yang berada dalam kondisi sehat dengan terciptanya keseimbangan antara konservasi energi, struktur, personal dan sosial. Hal ini ditemukan saat individu berinteraksi dan beradaptasi secara konstan dengan lingkungan sehingga integrasinya tetap terjaga (Levine, 1967 dalam Tomey & Alligood, 2006). Konsep wholeness pada bayi prematur dilihat dengan membandingkan tingkat kemampuan perkembangan bayi premtur dengan kemampuan perkembangan yang diharapkan pada bayi sesuai dengan usianya (Mefford, 2011).
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
24
2.3.3 Konservasi (Conservation) Konservasi menjelaskan suatu sistem yang kompleks yang mampu melaksanakan fungsi tubuh ketika terjadi tantangan yang buruk. Melalui konservasi ini individu mampu menghadapi tantangan, melakukan adaptasi dan tetap mempertahankan keunikan pribadi. Perhatian utama pada konservasi adalah menjaga keutuhan individu. Konsep utama konservasi terdiri dari konservasi energi, konservasi integritas struktur, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial (Levine, 1967 dalam Tomey & Alligood, 2006).
2.3.3.1 Konservasi Energi Merupakan keseimbangan dan perbaikan energi yang dibutuhkan individu untuk melakukan aktivitas.
Hal tersebut juga termasuk keseimbangan energi yang
masuk dan energi yang keluar untuk menghindari kelemahan yang berlebihan. Intervensi keperawatan dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemenuhan kebutuhan.
Contoh konservasi energi pada bayi prematur adalah
istirahat yang adekuat, mempertahankan nutrisi dan aktivitas yang adekuat.
2.3.3.2 Konservasi Integritas Struktur Penyembuhan adalah proses perbaikan integritas struktur dan fungsi dalam mempertahankan keutuhan diri.
Peran perawat dalam memberikan intervensi
adalah membantu individu untuk menuju tingkat adaptasi baru.
2.3.3.3 Konservasi Integritas Personal Menyadari pentingnya harga diri dan identitas diri klien serta penghormatan terhadap privasi.
Perawat dalam melakukan intervensi keperawatan harus
menghargai keberadaannya seperti menghargai nilai dan norma yang dianut serta keinginannya, menyapa dengan sopan, meminta izin sebelum melakukan tindakan dan melakukan tahapan terminasi setelah melakukan tindakan dan sebelum meninggalkan klien. Perawat juga memahami, menghargai dan melindungi kebutuhan akan jarak (space).
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
25
2.1.3.4 Konservasi Integritas Sosial Anggota keluarga terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keagamaan atau spiritual dan penggunaan hubungan interpersonal.
Individu mendapatkan makna
kehidupan melalui komunitas sosial. Perawat membantu menghadirkan anggota keluarga dan menggunakan hubungan interpersonal untuk menjaga integritas sosial.
2.3.4 Proses keperawatan Asuhan keperawatan menurut Levine adalah mengorganisasikan sesuai prinsip konservasi agar individu dapat beradaptasi terhadap lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Penerapan Model Konservasi Levine dalam proses
keperawatan dibagi menjadi lima tahapan yaitu pengkajian,
judgement
(trophicognosis), hipotesis, intervensi dan evaluasi (respon organismik) (Tomey & Alligood, 2006).
Mefford (2011) telah menggunakan Model Konservasi Levine sebagai dasar untuk menguji teori promosi kesehatan pada bayi prematur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsistensi pemberi asuhan dengan waktu yang diperlukan bayi menjadi sehat dan ada hubungan yang bermakna antara sumber yang digunakan bayi prematur selama dirawat di rumah sakit dengan konsistensi pemberi asuhan.
2.3.4.1 Pengkajian/Assessment Tahapan pertama proses keperawatan adalah pengkajian.
Aplikasi Model
Konservasi Levin pada pengkajian meliputi pengkajian lingkungan internal dan lingkungan eksternal, pengkajian konservasi energi, pengkajian integritas struktur, pengkajian integritas personal dan pengkajian integritas sosial.
Lingkungan
eksternal meliputi konsep perseptual, operasional dan konseptual.
Faktor
perseptual adalah sesuatu yang dirasakan klien melalui indra (misal: nyeri berkurang bila bisa tidur dan nyeri bertambah bila tidak bisa tidur).
Faktor
operasional adalah ancaman terhadap lingkungan yang tidak dapat dirasakan klien melalui indra (misal: nyeri bertambah bila udara dingin).
Faktor konseptual
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
26
adalah nilai-nilai kultural dan nilai-nilai personal tentang nilai kesehatan, arti sehat dan sakit, pengetahuan tentang kesehatan, pendidikan, penggunaan bahasa, dan keyakinan spiritual (Tomey & Alligood, 2010).
Pengkajian konservasi energi, memungkinkan perawat lebih detail mengetahui kebutuhan energi bayi (supply and demand), sehingga perawat mampu menentukan intervensi yang tepat agar bayi
dapat beradaptasi terhadap
lingkungan barunya yaitu lingkungan ekstra uterin. Pengkajian konservasi energi berfokus pada keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang dikeluarkan untuk mencegah keletihan.
Ketidakmatangan fisiologis berhubungan dengan konsep keseimbangan energi pada model konseptual Levine dan menggambarkan kemampuan bayi untuk melaksanakan proses fisiologis yang diperlukan secara mandiri untuk hidup di lingkungan ekstra uterin. Tantangan pertama fisiologis bayi saat lahir adalah mempertahankan ventilasi yang efektif, oksigenasi dan sirkulasi. Kematangan fisiologis saat lahir dinilai dari kebutuhan bayi terhadap surfaktan dan tiga komponen dalam Clinical Risk Index for Babies (CRIB) yaitu penilai oksigenasi dan ventilasi dalam 12 jam setelah lahir (Mefford, 2011).
Konservasi integritas struktur yaitu menjaga struktur tubuh untuk mempercepat kesembuhan. Pengkajian konservasi integritas struktural berupa kondisi organ tubuh dan daya tahan tubuh bayi, memungkinkan perawat menetapkan intervensi yang bersifat mengatasi kerusakan struktur dan fungsi organ serta mencegah hal yang potensial mengganggu sehingga membantu bayi beradaptasi dengan baik tanpa gangguan. Perawat beserta pengalaman hidup pasien mengkaji konservasi integritas struktural dengan menentukan fungsi fisiknya. Ketidakmatangan struktur bayi prematur berhubungan dengan konsep konservasi integritas struktural pada konsep Konservasi Levine. Tingkat kematangan struktur bayi prematur lebih sesuai untuk lingkungan intra uterin daripada lingkungan ektra uterin, maka bayi harus melanjutkan pertumbuhan dan perkembangannya untuk
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
27
mempertahankan kesesuaian antara kemampuan kondisi internal fisiologisnya dengan lingkungan ekstra uterin (Mefford, 2011).
Pengkajian integritas personal pada bayi prematur dikaitkan dengan kematangan sistem saraf pusat, dapat dinilai dari skor apgar dan kebutuhan resusitasi saat lahir (Mefford, 2011). Konservasi integritas sosial merupakan pengakuan terhadap klien sebagai makhluk sosial. Pengkajian konservasi integritas sosial diperlukan untuk menjamin bayi mendapatkan perawatan secara wholeness. Hal ini penting karena integritas sosial menyediakan stimulus yang diperlukan bayi untuk tumbuh dan berkembang. Perawat mengkaji konservasi integritas sosial pasien dengan menggali informasi tentang karakteristik sistem keluarga saat bayi lahir. Kelahiran bayi prematur merupakan krisis yang mengganggu fungsi keluarga (McGarth, 2007, dalam Mefford, 2011). Kemampuan keluarga untuk beradaptasi dipengaruhi oleh karakteristik sistem keluarga dan merefleksikan konsep integritas sosial Levine. Karakteristik sistem keluarga saat lahir termasuk usia ibu, ras, dan status sosial ekonomi (Mefford, 2011).
2.3.4.2 Diagnosa keperawatan/Judgment/Trophicognosis Tahapan
kedua
proses
keperawatan
menurut
Levine
adalah
judgement/trophicognosis. Proses judgement disusun berdasarkan fakta melalui cara tertentu yang selanjutnya dapat menghasilkan sebuah keputusan. Keputusan tersebut menentukan kebutuhan pasien yang harus dibantu atau dipenuhi oleh perawat. Trophicognosis disusun melalui metode ilmiah, sehingga menggunakan analisis pola berpikir yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah keputusan dibuat, maka perawat akan menyusun hipotesa yang dapat mengatasi masalah pasien. Hipotesa ini akan diuji kebenarannya melalui sebuah intervensi.
Levine tidak menyebutkan secara tegas rumusan trophicognosis, namun telah memberikan contoh trophicognosis dalam berbagai contoh kasus. Cox (2003) menyebutkan bahwa perawat dapat menggunakan istilah atau bahasa keperawatan yang terstandar selaras dengan teori keperawatan.
Perawat mengidentifikasi
masalah keperawatan yang berhubungan dengan masing-masing aspek teori
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
28
kemudian memilih diagnosa keperawatan yang tepat. NANDA merupakan salah satu rumusan diagnosa keperawatan yang tersandar.
2.3.4.3 Hipotesis (Hypothesis) Perawat menyusun hipotesis setelah
trophicognosis dibuat.
Hipotesis
memberikan petunjuk kepada perawat dalam menyusun intervensi keperawatan yang didasarkan pada tujuan yaitu mempertahankan wholeness dan meningkatkan adaptasi. Perawat melakukan validasi masalah kepada pasien atau orang terdekat pasien.
Perawat selanjutnya menyusun hipotesis tentang masalah pasien dan
solusinya dan akan diuji kebenarannya melalui intervensi (Parker & Smith, 2010).
Hipotesis pada bayi prematur disusun dengan mempertimbangkan kemampuan bayi beradaptasi terhadap lingkungan ekstra uterin dengan segala keterbatasan fisiknya. Hipotesis berfokus intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan keutuhan bayi.
2.3.4.4 Intervensi Tahapan ketiga proses keperawatan adalah intervensi/tindakan. Intervensi menurut Levine merupakan pengujian hipotesis.
Intervensi yang dilakukan
mencakup intervensi terapeutik, suportif dan konservasi (energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial). Ketiga jenis intervensi tersebut sangat sesuai dengan asuhan keperawatan yang dibutuhkan oleh bayi karena lengkap dan mencakup semua aspek. Hal ini memungkinkan bayi mendapat intervensi secara holistik (bio, psiko, sosio, kultural, spiritual).
Levine menyatakan empat hal utama tentang intervensi keperawatan, bahwa intervensi keperawatan didasarkan pada konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial pasien. Lingkungan internal dan eksternal bergabung melalui pola adaptasi dan wholeness individu merupakan interaksi yang harmonis (Levine, 1967, dalam Tomey & Alligood, 2006). Levine (1973, dalam Tomey &Alligood, 2006) menyatakan bahwa keseimbangan pemasukan dan pengeluaran energi merupakan hal penting
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
29
dalam semua aspek intervensi. Intervensi tersebut dapat berupa memonitor tanda vital, mengkaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap intervensi, memberikan keseimbangan antara istirahat dan aktifitas, memastikan keadekuatan oksigenasi, termoregulasi dan nutrisi.
Kulit bayi prematur sangat berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan termoregulasi (Ormsby, 2011), sehingga kulit sangat penting perannya dalam membantu metabolisme tubuh. Kulit bayi prematur sangat rentan mengalami kerusakan, prematur.
maka akan
meningkatkan kebutuhan energi bayi
Intervensi untuk mempertahankan integritas kulit bayi prematur
menjadi hal penting terhadap konservasi energi. Bayi prematur dari segi fisik berukuran kecil dan dari segi struktur belum matang mengakibatkan bayi berisiko mengalami injuri selama masa transisi dari intra uterin ke ekstra uterin, hal ini mengancam integritas struktur.
Sistem fisiologis bayi prematur juga belum
berkembang sempurna. Ketidakmatangan ini berdampak pada biokimia sel dan proses metabolisme serta tidak optimalnya fungsi sistem organ utama termasuk paru-paru, jantung dan saluran pencernaan yang akan mengancam keseimbangan energi. Salah satu organ yang secara struktur dan fungsi belum matang adalah sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat sistem pengatur tubuh yang paling utama dan bertindak sebagai sistem penengah pada perkembangan dan munculnya “kepribadian yang unik” individu. Ketidakmatangan sistem saraf pusat pada bayi prematur dapat mengancam integritas strutural dan integritas personal. Sistem keluarga juga berisiko mengalami stres psikososial dengan adanya kelahiran bayi prematur dan memerlukan perawatan intensif akan mengancam integritas sosial (Mefford, 2011).
Perawat melakukan menetapkan kriteria hasil berdasarkan respon organismik klien.
Tujuan dari model konservasi dicapai melalui intervensi berdasarkan
prinsip konservasi. Tujuan asuhan keperawatan adalah meningkatkan adaptasi pasien dengan mempertahankan wholeness melalui intervensi keperawatan suportif dan terapeutik (Tomey & Alligood, 2010).
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
30
Peran perawat neonatus adalah memberikan dukungan terhadap usaha adaptif dari bayi dan keluarga dengan mengimplementasikan intervensi keperawatan baik suportif maupun terapeutik melalui konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial, dengan tujuand akhir adalah tercapinya kesehatan atau wholeness
bayi dan sistem
keluarga (Mefford, 2011).
2.3.4.5 Evaluasi Model Konservasi Levin menyebutkan bahwa evaluasi merupakan respon organismik pasien terhadap intervensi yang telah diberikan. Perawat menilai hipotesis yang disusun terbukti atau tidak berdasarkan respon organismik pasien. Perawat dapat menyusun kembali dan merubah intervensi keperawatan (Parker & Smith, 2010).
Kulit bayi prematur diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungan ektra uterin. Hipotesis yang telah disusun terbukti bila didapatkan respon organismik bayi tidak mengalami kerusakan integritas kulit berupa kulit utuh, tidak terjadi ektravasasi, ruam popok dan tidak ada peningkatan kebutuhan energi.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
31 Integrasi Teori Konservasi Levine pada proses Keperawatan Bayi dengan Risiko Kerusakan Integritas Kulit Teori konservasi: - Konservasi energi - Konservasi integritas struktur
- Konservasi integeritas personal - Konservasi integritas sosial Assessment
Intervesi dan Implementasi
Karakteristik kulit bayi prematur Lingkungan internal: - Stratum korneum sedikit - Lapisan epidermis tipis - Kohesi dermis dan epidermis kurang kuat - Lemak subkutan sedikit - Permeabilitas epidermal besar - Keterbatasan gerak
Lingkungan eksternal: - Paparan suhu dan kelembaban inkubator - Penggunaan alat medis - Penggunaan plester - Penggunaan bahan kimia pada kulit
Perawatan kulit: - pengkajian kulit bayi baru lahir - mandi - perawatan tali pusat - perawatan sirkumsisi - penggunaan desinfektan - diaper dermatitis - penggunaan plester - Transepidermal water loss (TEWL) - kerusakan kulit - infiltrasi intravena Positioning - nutrisi kulit
Adaptasi kulit bayi prematur terhadap lingkungan ekstra uterin
Evaluasi
Respon organismik
Homeostasis
Gagal
Kerusakan integritas kulit Wholeness
Konservasi energi
Trophicognosis
Hipotesis
- Penggunaan energi tidak berlebihan - Keseimbangan cairan dan elektrolit terjaga - Suhu stabil
Konservasi integritas struktur
Konservasi integeritas personal
- Kulit utuh - Tidak terjadi infeksi
- Kontak ibu dan bayi baik - Perkembangan bayi sesuai usia
Sumber: dimodifikasi dari Tomey & Alligood, 2006; Lund, et al., 2011; AWHON, 2001
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Konservasi integritas sosial Kebutuhan perlekatan bayi dan ibu terpenuhi
32
2.4 Aplikasi Teori Keperawatan pada Kasus Terpilih 2.4.1
Assessment
Bayi S. dengan neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan, unproven sepsis a. Konservasi energi Usia 4 hari, usia gestasi 31 minggu, lahir spontan, presentasi bokong, kesadaran komposmentis, skor apgar 5/8. Usia 2 hari OGT kecoklatan, bayi dipuasakan, berat badan 1600 gram.
b. Konservasi integritas struktur Riwayat kesehatan bayi: pada usia 1 menit bayi merintih, tonus otot lemah, dibungkus plastik, reposisi, kemudian tampak kemerahan dan menangis kuat. Usia 5 menit bayi mengalami retraksi subkostal, napas cuping hidung, dipasang CPAP dengan PEEP 7, FiO2 21%. Bayi mendapat antibiotik lini I. Usia 1 hari bayi apneu, diberikan obat aminophylin. Usia 3 hari terjadi apneu, dosis aminophylin dinaikkan. Bayi mengalami hipoalbuminemia (2,87 µ/L) sudah mendapat transfusi albumin. Saat ini tidak ada instabilitas suhu, tidak ada desaturasi. Cairan yang keluar dari lambung melalui orogastric tube (OGT) berwarna kecoklatan. Faktor risiko ibu keputihan, lekosit 24.700 µ/dL, ibu tatoan.
Pengkajian konservasi integritas struktur didapatkan data kulit bayi tampak tipis, kemerahan, tidak ada luka. Bayi terpasang akses vena dengan peripheral intravenous central cathetheritation (PICC) pada lengan kiri, akses vena perifer pada tangan kanan untuk memberikan obat, nilai neonatal skin risk assessment score (NSRAS) adalah 12 atau risiko sedang dan bayi mengalami hipoalbuminemia. Residen juga menemukan data bahwa bayi telah terpasang CPAP selama 3 hari, menggunakan slang nasofaring tipe Y, hidung dan mulut tampak mengeluarkan sekret.
c. Konservasi integritas personal Usia gestasi 31 minggu, bayi dirawat di inkubator, riwayat skor apgar 5/8, bayi jarang mendapat sentuhan kulit.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
33
d. Konservasi integritas sosial Ibu bayi tidak mau merawat bayinya dan ingin menyerahkan bayinya kepada orang lain. Saat ini sudah ada ibu asuh yang bersedia merawat bayi namun jarang berkunjung. Ibu asuh masih berusaha untuk mengurus administrasi pembiayaan rumah sakit dengan menggunakan asuransi kesehatan.
2.4.2 Judgment/Trophicognosis a. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b. Disfungsi respon penyapihan CPAP c. Risiko cedera nares d. Kerusakan integritas kulit e. Risiko infeksi f. Risiko keterlambatan perkembangan g. Risiko gangguan perlekatan
2.4.3 Hipotesis a. Pemberian nutrisi yang adekuat akan meningkatkan sumber energi bagi bayi. b. Pemantauan pemberian CPAP dengan memperhatikan respon organismik bayi akan mempercepat proses weaning CPAP. c. Posisi slang nasofaring yang tepat dan kuat dapat menghindarkan bayi dari risiko penekanan pada hidung. d. Perawatan kulit yang tepat dapat meningkatkan integeritas struktur kulit bayi. e. Pencegahan infeksi dan penanganan infeksi yang adekuat dapat menghindarkan bayi dari kemungkinan mengalami infeksi dan perburukan kondisi kesehatan. f. Pemberian tindakan asuhan perkembangan akan meningkatkan kemampuan bayi untuk beradaptasi terhadap lingkungan ekstra uterin. g. Peningkatan kontak ibu dan bayi akan meningkatkan kedekatan ibu dan bayi, meskipun dilakukan oleh ibu asuh.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
34
2.4.4 Intervensi a. Konservasi energi Memenuhi kebutuhan nutrisi dilakukan dengan melakukan perawatan mulut, memberikan terapi oral (ASI donor), mengkaji kesiapan bayi minum melalui oral, memberikan diet melalui slang OGT (bila bayi mudah lelah, reflek isap, menelan dan muntah masih lemah), menghitung kebutuhan cairan dan kalori, memantau asupan nutrisi/pemenuhan kalori, menimbang berat badan 2 hari sekali, mamantau toleransi minum (residu, kembung, muntah) dan memberikan diet oral bertahap.
b. Konservasi integritas struktur Intervensi yang diberikan untuk mengatasi masalah integritas struktur yaitu dengan memantau pola napas bayi, memantau tanda vital, mengkolaborasikan dokter
mencari
kegagalan
weaning,
melakukan
weaning
bertahap,
mengkolaborasikan pemeriksaan AGD, melakukan tindakan kolaborasi pemberian aminophylin, membersihkan sekret secara berkala dengan kasa lembab, menghindari mengisap lendir dengan mesin suction kecuali bila perlu untuk mengurangi risiko iritasi, memastikan nasofaringeal tube terfiksasi baik dan tidak banyak berubah posisi, mengobservasi kondisi nasofaring secara berkala, mengamati kemungkinan adanya sumbatan pada tube, mengganti nasofaringeal tube secara berkala.
Intervensi lain yang dilakukan adalah
memantau tanda dan gejala infeksi (suhu, denyut jantung, lesi, keletihan), melakukan kebersihan tangan, melakukan pengendalian infeksi, melindungi bayi
dari
infeksi
silang,
memberikan
antibiotik
sesuai
program,
mengkolaborasikan pemerikasaan septic work-up bila perlu, membersihkan area bokong dengan kapas dan air hangat, memandikan bayi dengan sabun yang lembut, membersihkan mata, hidung dan mulut dengan air hangat, mengobservasi kemungkinan kerusakan kulit setiap shift, meminimalkan penggunaan perekat dan melakukan alih baring teratur dengan posisi midline.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
35
c. Konservasi integritas personal Mencegah risiko keterlambatan perkembangan dilakukan intervensi sebagai berikut:
memposisikan
menggunakan
penutup
midline,
meminimalkan
inkubator,
memberikan
suara
dan
sentuhan
cahaya,
terapeutik,
menenangkan bayi bila menangis, mengganti popok bila kotor atau basah, merencanakan intervensi dalam satu waktu, menunda intervensi bila bayi tidur tenang, mempertahankan suhu lingkungan netral (suhu inkubator, suhu ruangan, meminimalkan membuka pintu inkubator, menghangatkan tangan dan kain sebelum menyentuh bayi).
d. Konservasi integritas sosial Konservasi integritas sosial dilakukan intervensi dengan mengajarkan ibu asuh tentang perawatan bayi dan perkembangan bayi, membantu ibu asuh menerjemahkan isyarat bayi, mengajarkan tehnik menenangkan bayi, mendemonstrasikan cara menyentuh bayi saat di inkubator, membantu ibu asuh berpartisipasi dalam perawatan bayi, memperhatikan isyarat bayi dan respon bayi terhadap ibu asuh
2.4.5 Implementasi Intervensi merupakan realisasi dari hipotesis yang dibuat dalam memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien.
Residen melakukan intervensi
berdasarkan prinsip konservasi yaitu konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Tujuan dari asuhan keperawatan dengan pendekatan ini adalah meningkatkan adaptasi untuk mencapai keutuhan (wholeness). Residen melakukan implementasi pada bayi S, sesuai hipotesis yang telah disusun.
2.4.6 Evaluasi Evaluasi keperawatan bayi S pada tanggal 3 April 2014 setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 minggu ditemukan data sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
36
a. Konservasi energi Bayi masih dipuasakan, cairan lambung yang keluar dari OGT jernih, tidak ada kembung, tak ada muntah, tak ada distensi abdomen, TPN masih diberikan.
b. Konservasi integritas struktur Bayi masih menggunakan CPAP dengan FiO2 21%, PEEP 5, bayi tampak kurang aktif. Produksi sekret dari mulut masih banyak, tidak ada sumbatan pada nasofaring tube, hidung tampak berair dan kemerahan. Denyut jantung 135-150 x/menit, Frekuensi pernapasan 48-56 x/menit, suhu 37-37,2 ᴼ C, saturasi oksigen 96-100%, pengisian kembali kapiler <3 detik. Kulit bayi tampak utuh, tidak ada plebitis dan ekstravasasi.
c. Konservasi integritas personal Bayi masih tampak letargi, lebih banyak tidur, bayi mendapat sentuhan kulit dari perawat saat touching time dan saat bayi menangis, ibu asuh belum mau menyentuh bayinya.
d. Konservasi integritas sosial Ibu asuh masih jarang berkunjung, saat berkunjung belum mau memegang bayinya dengan alasan belum berani. Ibu asuh mengatakan akan berusaha datang lebih sering amenjenguk bayinya.
Evaluasi pada hari ke-14 perawatan, usia bayi 17 hari, bayi mengalami kerusakan integritas kulit pada septum, bayi pernah mengalami ekstravasasi pada akses vena perifer, namun sudah mengalami perbaikan.
Evaluasi selanjutnya yang dilakukan pada hari ke-43 perawatan, usia bayi 46 hari didapatkan data bayi mengalami perburukan napas, tanda klinis dan hasil septic work-up menunjukkan bayi mengalami infeksi, kultur darah acinobacter baumanii. Bayi perbaikan dengan antibiotik lini III, namun kembali mengalami perburukan dan meninggal pada tanggal 30 April 2014. Ibu asuh dapat menerima bayinya meninggal.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
BAB 3 PENCAPAIAN KOMPETENSI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN ANAK Bab ini akan menjelaskan tentang pencapaian target kompetensi ners spesialis keperawatan anak yang telah dilakukan selama menjalankan praktik residensi. Pencapaian kompetensi tersebut dicapai dengan melaksanakan peran residen sebagai perawat profesional.
Ners spesialis adalah perawat yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis keperawatan (PPNI, 2012). Kompetensi adalah kemampuan seseorang yang dapat diobervasi melalui pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja (performa) yang telah ditetapkan (PPNI, 2012)
Tim Ners Spesialis Keperawatan
Anak, 2013 memaparkan bahwa Program
Residensi Keperawatan Anak bertujuan menghasilkan lulusan yang mampu memberikan asuhan kepada klien anak dan keluarganya secara mandiri. Kompetensi yang harus dicapai oleh Ners Spesialis Keperawatan Anak meliputi praktik profesional, etis, legal dan peka budaya, pemberian asuhan dan manajemen asuhan serta pengembangan profesional. Mahasiswa melaksanakan pencapaian kompetensi dengan menerapkan berbagai konsep dan teori kesehatan, temuan riset, serta kebijakan pemerintah yang berlaku pada anak sehat maupun sakit dengan penyakit akut, kronik dan neonatus.
Perawat Ners Spesialis Keperawatan Anak di unit perawatan perinatologi harus mencapai kompetensi khusus yaitu mampu melaksanakan asuhan keperawatan dengan meningkatkan keterampilan profesional pada bayi dengan masalah resusitasi, respirasi, termoregulasi, gangguan metabolisme dan penyakit infeksi. Perawat Ners Spesialis diharapkan mampu melakukan tindakan khusus dalam memberikan asuhan keperawatan meliputi melakukan perawatan metode kanguru, menilai masa gestasi dan usia koreksi bayi, manajemen laktasi, resusitasi bayi, menerapkan asuhan perkembangan, mamasang fototerapi, mengoperasikan alat 37 Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
38
bantu napas mekanik (CPAP, ventilator) dan mengoperasikan alat pemantau jantung dan pernapasan.
Setelah menyelesaikan program Ners Spesialis Keperawatan Anak, diharapkan secara mandiri mampu berperan sebagai praktisi pemberi asuhan keperawatan anak lanjut, sebagai pendidik dan konsultan di bidang keperawatan anak, advokat bagi klien dalam area keperawatan anak, pengelola asuhan keperawatan anak pada tingkat menengah dan tinggi pada berbagai institusi pelayanan kesehatan dan sebagai peneliti terkait keperawatan anak (Tim Ners Spesialis Keperawatan Anak, 2013).
Program pendidikan Ners Spesialis Keperawatan Anak dilaksanakan selama 2 semester yang disebut dengan residensi I dan residensi II setelah mahasiswa menyelesaikan program magister keperawatan anak selama 4 semester. Pelaksanaan praktik residensi dilaksanakan di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU), non infeksi dan perinatologi RSUPN Cipto mangunkusumo Jakarta pada tanggal 16 September 2013 hingga 5 Januari 2014. Residensi II dilaksanakan di ruang perinatologi pada tanggal 17 februari 2014 hingga 9 Mei 2014.
PPNI (2012) menyatakan bahwa peran perawat secara umum adalah sebagai pemberi asuhan (care provider), pendidik (educator), pengelola (manager) dan peneliti (researcher).
Residen melaksanakan peran tersebut dalam mencapai
target kompetensi sebagai seorang ners spesialis keperawatan anak, yang diuraikan sebagai berikut:
3.1 Peran pemberi asuhan Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien di sarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan, berdasarkan kode etik dan standar praktik keperawatan. Asuhan keperawatan langsung merupakan tindakan yang ditetapkan dan dilakukan oleh perawat secara mandiri atas dasar justifikasi ilmiah keperawatan dalam memenuhi
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
39
kebutuhan dasar klien maupun tindakan kolaborasi yang merupakan tindakan dari hasil konsultasi dengan profesi kesehtan lain dan atau didasarkan pada keputusan pengobatan oleh tim medis.
Asuhan keperawatan tidak langsung merupakan
kegiatan yang menunjang dan memfasilitasi keterlaksanaan asuhan keperawatan (PPNI, 2012).
Peran sebagai pemberi asuhan berarti perawat menerapkan keterampilan berpikir kritis dan pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif dan holistik berdasarkan aspek etik dan legal (PPNI, 2012). Residen melaksanakan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan anak dengan menerapkaan konsep-konsep keperawatan anak yaitu perawatan atraumatik, perawatan berfokus pada keluarga dan pengelolaan kasus.
Residen melakukan pengelolaan kasus dengan memberikan asuhan keperawatan langsung pada pasien kelolaan di tiga ruang, yaitu ruang perinatologi, ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dan ruang non infeksi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kompetensi yang dicapai ners spesialis di ruang perinatologi yaitu merawat bayi dengan masalah respirasi, termoregulasi, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, hiperbilirubinemia, dan penyakit infeksi.
Residen juga mencapai terget keterampilan khusus dengan
melakukan resusitasi bayi, perawatan metode kanguru, menilai masa gestasi dan usia koreksi bayi, melakukan manajemen laktasi, pijat bayi, perawatan kulit, perawatan tali pusat, memposisikan bayi dan menerapkan asuhan perkembangan. Residen melakukan pula kompetensi penggunaan alat yang digunakan dalam pemberian asuhan bayi yaitu memasang fototerapi, mengoperasikan alat bantu napas mekanik yaitu T-piece resuscitator, continuous positive airway pressure (CPAP) dan ventilator, alat pemantau jantung dan pernapasan serta alat pompa siring dan pompa infus, serta inkubator dan pemancar panas. Kasus yang diambil adalah bayi yang mengalami risiko kerusakan integritas kulit. residen
melakukan
asuhan
keperawatan
secara
komperehensif
dengan
menggunakan Model Keperawatan Levine. Pengkajian bertujuan untuk menilai
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
40
kemampuan bayi dalam beradaptasi terhadap lingkungan ekstra uterin. Kompetensi dalam menegakkan trophicognosis didasarkan pada analisa dari data yang didapatkan dengan berfokus pada empat konservasi yaitu konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Penyusunan intervensi dan implementasi yang tepat membantu perawat, bayi dan keluarga untuk melakukan konservasi dalam mencapai kesembuhan. Evaluasi berdasarkan respon organismik diharapkan bayi mampu mencapai wholeness sebagai seorang individu.
3.2 Peran pendidik Peran sebagai pendidik yaitu perawat mendidik klien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya (PPNI, 2012).
Peran sebagai pendidik pada institusi
pelayanan kesehatan adalah sebagai pendidik bagi staf perawat untuk meningkatkan kompetensinya.
Residen melakukan sosialisasi pendidikan kesehatan yang telah dilakukan kepada perawat antara lain tehnik memposisikan bayi midline, penilaian ketepatan posisi bayi dengan menggunakan alat ukur infant positioning assessment tool (IPAT), menenangkan bayi dengan cara memberikan sentuhan, mendekap, membedong, mengusap kulit. Peran sebagai pendidik juga dilakukan kepada perawat yang sedang mengikuti pelatihan di ruang perinatologi tentang asuhan keperawatan.
Residen juga melakukan peran pendidik kepada orang tua bayi.
Residen
melakukan pendekatan kepada orang tua, menidentifikasi kebutuhan orang tua dan memberikan informasi yang diperlukan.
Pendidikan kesehatan yang
dilakukan meliputi cara mencuci tangan, manajemen laktasi (cara memerah dan menyimpan ASI, cara menyusui yang benar, cara meningkatkan produksi ASI), perawatan metode kanguru, cara memberikan sentuhan dan berkomunikasi dengan bayi, cara merawat dan pemantauan tanda bahaya bayi saat di rumah.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
41
3.4 Peran pengelola Perawat mengaplikasikan kepemimpinan dan manajemen keperawatan dalam asuhan klien (PPNI, 2012). Peran sebagai pengelola asuhan keperawatan dicapai residen dengan berperan sebagai change agent. Residen bekerja sama dengan perawat ruangan dalam melaksanakan proyek inovasi untuk menggunakan alat ukur infant positioning assessment tool (IPAT) untuk mengevaluasi ketepatan posisi bayi prematur di ruang perinatologi. Residen melakukan sosialisasi dengan pihak manajemen dan perawat ruangan tentang proyek inovasi yang direncanakan, kemudian menyamakan persepsi dan selanjutnya mencoba menggunkannya pada bayi. Residen bersama perawat mengevaluasi hasil pelaksanaan proyek inovasi dan melakukan revisi berdasarkan hasil uji coba agar dapat diterapkan meskipun praktik residensi telah selesai dilaksanakan.
Residen juga melakukan tindakan kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengatasi masalah bayi. Kolaborasi yang dilakukan antara lain pemberian obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan diagnostik (pemeriksaan mata untuk menilai kemungkinan retinophaty of prematurity, pemeriksaan ekokardiografi, ultrasonografi kepala dan foto rontgen), transfusi darah, transfusi tukar, serta kolaborasi dengan tim fisioterapi.
3.5 Peran peneliti Perawat melakukan penelitian keperawatan dengan cara menumbuhkan kuriositas, mencari jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka membantu mewujudkan Evidence Based Nursing Practice (EBNP) (PPNI, 2012).
Residen melaksanakan peran sebagai peneliti dengan melihat fenomena yang terjadi selama melakukan asuhan keperawatan dan melakukan studi literatur tentang hasil-hasil penelitian terkait untuk menjawab fenomena yang ditemui tersebut.
Residen menerapkan hasil penelitian tentang memposisikan bayi
berdasarkan jurnal Positioning of preterm infants for optimal physiological development oleh Joanna Briggs Institute (2010).
Penggunaan plastik untuk
membungkus bayi prematur untuk mengurangi kehilangan panas berdasarkan
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
42
jurnal Heat loss prevention: A systematic review of occlusive skin wrap for premature neonates oleh Cramer, Wiebe, hartling, Crumley, dan Vohra (205). Intervensi pada bayi dengan kondisi terminal berdasarkan jurnal Creation of a neonatal end-of-life palliative care protocol oleh Catlin dan Carter (2002). Pengaruh ASI dari ibu perokok terhadap bayi berdasarkan jurnal Maternal smoking decrease antioxidative status of human breast milk oleh Zagierski, Sidorkiewicz, Jankowska, Krzykowski, Korzon dan Kaminska (2011). Intervensi keperawatan pada pasien yang menggunakan CPAP berdasarkan jurnal Noninvasive respiratory support and preterm infants: The crucial role of nurse management (2013).
Evaluasi intoleransi diet pada bayi berdasarkan jurnal
Feeding intolerance in preterm infants and standard of care guidelines for nursing assessment (2012). Stres orang tua dengan bayi prematur yang dirawat di ruang NICU berdasarkan jurnal Effect of nursing interventions of stressors of parents of premature infants in neonatal intensive care unit. Manajemen nyeri pada bayi yang terpasang ventilator berdasarkan jurnal How should we manage pain in ventilated neonates? (2008).
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
BAB 4 PEMBAHASAN Bab ini berisi pembahasan mengenai penerapan konsep dan model keperawatan pada asuhan keperawatan bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit dan pencapaian target selama melakukan praktik residensi ners spesialis keperawatan anak.
4.1 Penerapan Teori Keperawatan dalam Asuhan Keperawatan Anak 4.1.1 Pengkajian Residen melakukan pengkajian kondisi kulit pada lima pasien kelolaan berdasarkan Model Konservasi Levine. Pengkajian konservasi energi meliputi pengkajian usia bayi, usia gestasi dan nutrisi. Pengkajian konservasi integritas struktur meliputi kondisi kulit bayi, skor risiko kerusakan integritas kulit dengan menggunakan neonatal skin risk assessment score (NSRAS), luka tekan terutama pada septum hidung akibat penggunaan CPAP, ekstravasasi akses vena, kondisi tali pusat dan ruam popok. Residen juga melakukan pengkajian pada konservasi integritas personal dan sosial.
Residen merawat lima pasien kelolaan dengan rentang usia gestasi 31 hingga 35 minggu.
Bayi dengan usia tersebut sangat berisiko mengalami kerusakan
integritas kulit akibat belum matangnya sistem integumen, karena fungsi kulit mulai matang pada usia gestasi 34 minggu (Ness, Davis, & Carey, 2013). Salah satu penyebab kerusakan kulit pada bayi prematur adalah usia gestasi yang kurang dari 32 minggu (McGurk et al., 2004). Kondisi stratum korneum sebelum usia gestasi 32 minggu meningkatkan risiko kerusakan lapisan kulit (Baker, Smith, Donohue, & Gleason, 2009).
Usia pasien kelolaan berkisar antara 1 hingga 9 hari, dan ada ada 1 bayi yang usianya sudah mencapai 34 hari yaitu bayi N.
Usia bayi 1-9 hari masih
merupakan usia yang rentan mengalami kerusakan integritas kulit. Hal ini karena kulit bayi sedang mengalami proses adaptasi dari lingkungan intra uterin ke lingkungan ekstra uterin. Kadar pH kulit bayi pada minggu pertama kehidupan 43 Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
44
akan berubah menjadi sedikit asam dengan pH yang bervariasi antara 5 hingga 5,5.
Kondisi ini berperan dalam mengurangi kolonisasi bakteri dan
mempertahankan kelembaban kulit (Cunha & Procianoy, 2005). Bayi N yang berusia 34 hari dengan usia koreksi 37 minggu 3 hari, diharapkan sudah mengalami kematangan kulit namun ternyata bayi mengalami kerusakan integritas kulit berupa ruam popok. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kematangan kulit akan berkembang cepat setelah lahir, namun fungsi stratum korneum baru matang pada usia 2-8 minggu dan kulit bayi masih rapuh serta mudah mengalami kerusakan (Ness, Davis, & Carey, 2013). Setelah dilakukan pengkajian lanjut ternyata bayi N mempunyai riwayat diare selama 3 hari sehingga kondisi tersebut yang memungkinkan bayi N mengalami ruam popok. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kontak yang lama terhadap iritan seperti saliva, sekresi nasal, urine, feses, ezim fekal, kotoran, dan mikroba patogen terutama pada area diaper dapat menyebabkan ketidaknyamanan, iritasi, infeksi dan kerusakan pertahanan kulit (Telofski, Morello, & Correa, 2012).
Tiga dari lima bayi yang dikelola mempunyai masalah pernapasan, sehingga bayi memerlukan alat bantu napas berupa continuous positive airway pressure (CPAP). Ketiga bayi mengalami kerusakan integritas kulit berupa luka tekan pada nares akibat pemasangan nasal CPAP. Bayi W-II dan bayi E mengalami kemerahan dan hidung tampak berair, sedangkan pada bayi S selain ditemukan hidung kemerahan dan berair, septum mulai tampak tanda ekskoriasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa lebih dari 50% luka tekan pada bayi berhubungan dengan penggunaan alat (Razmus, Lewis, & Wilson, 2008). Tanda awal trauma pada hidung akibat pemasangan nasal CPAP adalah kemerahan dan ekskoriasi pada lubang hidung dan dapat mengalami nekrosis pada septum (Lista et al., 2013).
Residen menemukan data nutrisi bayi S, bayi W-II, bayi M-II dan bayi E belum adekuat, ditandai dengan cairan lambung yang keluar dari OGT berwarna kecoklatan. Bayi dipuasakan dan mendapat nutrisi parenteral. Bayi S, bayi W-II dan bayi E mengalami hipoalbuminemia dan edema tampak lebih jelas pada bayi
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
45
W-II.
Kondisi keempat bayi tersebut lebih berisiko mengalami kerusakan
integritas kulit, karena nutrisi yang tidak adekuat akan menurunkan kemampuan toleransi kulit terhadap tekanan, gesekan dan regangan kulit (Baharestani & Ratliff, 2007). Bayi tersebut mendapatkan nutrisi parenteral melalui akses vena, maka bayi akan mengalami risiko kerusakan integritas kulit akibat pemasangan akses vena.
Kondisi hipoalbuminemia juga akan mengganggu proses
penyembuhan jaringan bila bayi mengalami luka.
Pengkajian risiko kerusakan integritas kulit bayi dilakukan dengan menggunakan (NSRAS). Pengkajian dilakukan setiap awal pergantian dinas atau minimal sehari sekali. Hasil pengkajian menunjukkan kelima bayi berada pada skor 10 hingga 12 yang menunjukkan bahwa bayi berada pada rentang risiko sedang. Residen juga melakukan pengkajian terhadap kemungkinan terjadinya ekstravasasi setiap touching time yaitu 3 jam sekali dan saat bayi tampak kurang nyaman atau menangis yang dimungkinkan bayi mengalami nyeri pada area akses vena. Kejadian ekstravasasi pernah terjadi pada seluruh pasien kelolaan, hal ini terjadi karena kulit bayi yang masih rentan, vena yang rapuh dan konsentrasi cairan yang diberikan cukup tinggi.
Bayi juga mendapat transfusi albumin dan transfusi
darah. Salah satu bayi yang dikelola yaitu bayi W-II mengalami ekstravasasi hingga terjadi lepuh pada kaki. Kondisi bayi W-II lebih berisiko mengalami kerusakan integritas kulit karena bayi mengalami hipoalbumin dan udem sehingga perfusi jaringan pada area yang udem kurang baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa salah satu faktor risiko terjadinya injuri jaringan akibat ekstravasasi intravena yaitu lama terjadinya ekstravasasi, cairan hipertonik, tekanan mekanik dari penggunaan pompa infus dan perfusi pada kulit yang kurang baik (Kenner & Lott, 2007).
Pada semua pasien kelolaan tidak ditemukan masalah pada tali pusat. Bayi S, bayi W-II, bayi M-II dan bayi E tali pusat masih basah, masih terpasang penjepit, sedangkan bayi N tali pusat telah lepas, dan sudah kering.
Perawatan yang
dilakukan adalah dengan perawatan kering dan terbuka.
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
46
4.1.2 Trophicognosis Kelima kasus kelolaan mengalami masalah risiko kerusakan integritas kulit. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena kelima pasien adalah bayi prematur dan bayi terpapar pada lingkungan yang sangat memungkinkan terjadinya kerusakan integritas kulit akibat pemasangan akses intravena, pemakaian perekat, penggunaan desinfektan, penggunaan alat medis, dan risiko ruam popok.
Risiko kerusakan pada septum akibat pemasangan nasal CPAP merupakan hal yang sangat mungkin terjadi karena posisi prong harus tepat untuk dapat memberikan oksigen dengan tekanan positif yang tepat. Trophicognosis risiko kerusakan septum dapat berdiri sendiri sebagai suatu masalah keperawatan, namun masalah tersebut sebenarnya berkaitan pula dengan masalah integritas kulit. Masalah ini muncul pada bayi S, bayi W-II, M-II dan bayi E. Faktor penyebabnya
adalah
usia
gestasi,
lama
pemakaian
nasal
CPAP
dan
ketidaknyamanan bayi. Bayi yang merasa tidak nyaman akan gelisah dan banyak bergerak, sehingga posisi nasal prong berubah.
Ketidaknyamanan bayi tidak
hanya karena pemakaian nasal prong, namun dapat juga disebabkan belum tepatnya pengaturan modus CPAP, bayi mengalami asidosis metabolik, bayi merasa nyeri atau sepsis.
4.1.3 Hipotesis Hipotesis
yang disusun dapat memberikan arahan kepada residen dalam
melakukan intervensi keperawatan. Hipotesis yang ditegakkan pada kasus utama untuk mengatasi risiko kerusakan integritas kulit yaitu: pemantauan pemberian CPAP dengan memperhatikan respon organismik bayi akan mempercepat proses weaning CPAP, posisi slang nasofaring yang tepat dan kuat dapat menghindarkan bayi dari risiko penekanan pada hidung, dan perawatan kulit yang tepat dapat meningkatkan integeritas struktur kulit bayi.
4.1.4 Intervensi Intervensi pada pasien kelolaan dilakukan dengan berfokus pada empat prinsip Konservasi Levine, yaitu konservasi energi, konservasi integritas struktur,
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
47
konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Intervensi untuk mengatasi masalah risiko kerusakan integritas kulit, pada masalah risiko cedera nares yaitu dengan memastikan posisi prong CPAP terfiksasi dengan tepat dan kuat, memberikan lapisan/bantalan pada hidung, mengobservasi adanya tanda luka pada septum dan mengganti nasal prong tipe Hudson dengan tipe Y untuk mengurangi penekanan yang berlebihan.
Intervensi untuk mengatasi masalah risiko kerusakan integritas kulit bayi ditujukan untuk meningkatkan konservasi energi bayi dan mempertahankan integritas struktur kulit bayi. Intervensi yang dibuat pada pasien kelolaan yaitu melakukan alih baring setiap touching time dengan posisi midline, memastikan tidak ada slang atau alat yang tertindih bayi, mengganti posisi probe setiap pergantian dinas, menggunakan pengalas yang lembut, minimalkan penggunaan perekat, menggunakan air hangat untuk melepas perekat, menghindari penggunaan bahan kimia, mengggunakan air hangat untuk membersihkan area bokong, menggunakan sabun yang lembut untuk mandi dan mengkaji skor risiko kerusakan integritas kulit menggunakan NSRAS.
Alih baring dilakukan setiap
touching time yaitu 3 jam sekali, ditujukan untuk mengurangi durasi tekanan. Hasil penelitian merekomendasikan alih baring pada bayi dilakukan sesuai dengan skor risiko kondisi kulit yang telah dibuat. Untuk skor tinggi perlu tiap 2-4 jam, skor sedang tiap 4-6 jam dan skor ringan 6-8 jam (McGurk, Holloway, Crutchley, & Izzard, 2004).
Posisi yang digunakan adalah posisi midline dengan menggunakan nest (sarang) untuk menjamin posisi bayi sesuai dengan fisiologis yang dibutuhkan bayi. Posisi midline dapat menghemat energi bayi karena terhindar dari penggunaan energi yang berlebihan posisi yang tidak tepat. Posisi yang tepat dan perubahan posisi secara berkala dapat mengurangi penekanan yang lama pada area tertentu sehingga mengurangi risiko luka tekan (Baharestani & Ratliff, 2007).
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
48
4.1.5 Implementasi Pada kelima pasien kelolaan dapat diposisikan midline dengan menggunakan sarang, namun bayi seringkali berubah posisi meskipun saat touching time sudah diposisikan midline dan menggunakan sarang.
Residen menerapkan hasil
penelitian sebagai salah satu bentuk proyek inovasi berupa alat ukur untuk menilai ketepatan posisi bayi yang disebut infant positioning assessment tool (IPAT). Residen melakukan penilaian setelah selesai memposisikan bayi saat touching time dan setiap saat bila bayi tampak berubah posisi. Pada bayi S skor IPAT berkisar pada nilai 8 hingga 9, posisi yang tidak tepat adalah kaki yang seringkali keluar dari sarang akibat ukuran sarang yang terlalu kecil. Skor 8 tersebut berarti posisi bayi tidak midline dan memerlukan reposisi. Pada bayi E skor rendah didapatkan pada item penilaian kepala dan leher. Skor IPAT pada bayi E berada pada rentang 10 hingga 11. Hal ini dikarenakan bayi menggunakan nasal CPAP, sehingga skor tersebut masih dianggap wajar karena memang bayi tidak dapat sepenuhnya diposisikan midline akibat terfiksasi oleh penggunaan alat tersebut.
Residen juga menggunakan IPAT untuk menilai posisi saat bayi mendapat tindakan invasif. Bayi W-II saat dilakukan pemasangan peripherally inserted central cathether (PICC) dan pemasangan infus. Skor yang didapatkan yaitu 8, sehingga bayi memerlukan reposisi dan skor yang didapatkan adalah 9. Skor tidak dapat mencapai 12 karena saat pemasangan PICC kepala bayi harus menoleh ke sisi yang berlawanan dengan area pemasangan, posisi tangan diluruskan dan menjauh dari batang tubuh.
Penilaian posisi saat pemasangan
akses vena perifer pada empat bayi kelolaan menunjukkan skor antara 9 hingga 11 yang berarti posisi bayi masih dapat masih dapat diterima.
Semua bayi kelolaan dimandikan satu kali sehari yaitu pada pukul 21.00 hingga 22.00. Cara memandikan dengan mandi lap dengan air hangat, menggunakan kasa atau kain lembut, sabun yang digunakan adalah sabun cair dengan pH netral. Waktu yang digunakan untuk mandi tersebut kurang sesuai bila dilakukan pada malam hari karena mandi bagi bayi akan berisiko mengalami gangguan suhu. Sedangkan suhu udara pada malam hari relatif lebih dingin. Frekuensi mandi juga
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
49
tidak perlu dilakukan setiap hari karena mandi bagi bayi prematur dapat berdampak
hipotermia,
distres
pernapasan,
ketidakstabilan
tanda
vital,
peningkatan kebutuhan oksigen, dan perubahan perilaku (Ness, Davis, & Carey, 2013). Penelitian lain menunjukkan bukti bahwa tidak ada perbedaan koloni kuman antara bayi yang dimandikan setiap hari dan bayi yang dimandikan dua hari sekali (Peytavi et al., 2009). Bayi dimandikan dengan menggunakan kasa yang dibasahi air dan diberi sabun khusus untuk mandi.
Cara memandikan
dengan cara diusapkan, namun sebenarnya cara tersebut tidak dianjurkan karena usapan kain akan memberikan gesekan pada kulit bayi.
Mandi celup lebih
dianjurkan karena lebih menjaga kestabilan suhu (Ness, Davus, & Carey, 2013). Cara mandi celup yaitu lepaskan pakaian bayi, celupkan badan bayi ke dalam air hangat dan sabun dengan suhu 38°C, kepala dan wajah ditopang dengan tangan, wajah diusap dengan air dan kain, kepala dibasuh dengan air dan sabun, angkat bayi, keringkan dengan handuk, kenakan pakaian, bungkus bayi dengan selimut.
Pada kelima bayi mandi yang diberikan adalah mandi dengan dilap, namun bayi tidak mengalami iritasi pada kulit, hal ini dimungkinkan karena cara mengelap dilakukan dengan cara perlahan. Gangguan suhu juga tidak terjadi pada kelima bayi karena bayi dimandikan di dalam inkubator, dan waktu yang digunakan untuk memandikan bayi cukup singkat.
Empat bayi yang mempunyai masalah risiko cedera nares mendapatkan intervensi keperawatan yang sama, namun pada bayi M-II tidak mengalami kerusakan nares. Hal ini disebabkan bayi M-II menggunakan nasal CPAP hanya sebentar yaitu 1 hari, sedangkan bayi W-II selama 6 hari, bayi S selama 16 hari dan bayi E selama 5 hari. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa cedera iatrogenik pada hidung akibat pemasangan CPAP dapat terjadi bila pemakaian lebih dari tiga hari (Squires & Hyndman, 2009). Usia gestasi bayi M-II 35 minggu lebih tua, bila dibandingkan dengan empat bayi yang lain yaitu 31 hingga 35 minggu.
Hal ini merupakan salah satu faktor bayi M-II tidak mengalami
cedera nares, sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa salah satu
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
50
penyebab kerusakan kulit pada bayi prematur adalah usia gestasi yang kurang dari 32 minggu (McGurk et al., 2004).
Implementasi keperawatan yang belum dapat dilaksanakan dengan baik adalah pemantauan nasal CPAP. Posisi nasal prong seringkali bergeser dari tempatnya dan luput dari perhatian karena perawat sibuk merawat bayi yang lain. Perawat yang sering berganti untuk merawat seorang bayi dan dokumentasi keperawatan tentang kondisi nares yang belum baik memenyebabkan pemantauan yang dilakukan kurang optimal. Perbedaan kompetensi antara perawat jaga pagi, sore dan malam perawat untuk memantau dan memberikan kenyamanan pada bayi membuat intervensi yang diberikan tidak konsisten. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pedoman praktik yang benar dan pendidikan pada staf tentang perawatan bayi yang menggunakan CPAP dapat menurunkan kejadian cedera nares. Komunikasi yang baik dan perbandingan jumlah perawat dengan pasien yang cukup juga dapat menurunkan risiko cedera pada hidung (Squires & Hyndman, 2009).
Implementasi lain untuk mencegah risiko kerusakan nares adalah memastikan prong terfiksasi dengan baik dan kuat tanpa menimbulkan penekanan yang berlebihan. Fenomena yang ditemukan adalah prong yang digunakan kadangkala tidak sesuai dengan ukuran hidung bayi, sehingga menimbulkan penekanan pada nares dan hidung bayi tertarik ke atas. Topi yang digunakan kurang sesuai dengan ukuran kepala bayi dan tidak lagi elastis, sehingga tidak mampu menopang slang CPAP yang cukup berat bagi bayi.
Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengganti prong tipe Hudson dengan prong tipe Y, meskipun tipe Hudson sebenarnya lebih baik karena tahanan aliran oksigen yang masuk lebih sedikit dibandingkan dengan tipe Y.
Kondisi demikian merupakan hal yang
menimbulkan dilema bagi perawat. Lista et al. (2013) menyatakan bahwa perawat memegang pernanan yang sangat penting dalam memilih alat dan penghubung CPAP
(topi,
prong)
yang
sesuai,
mencegah
kulit
dari
infeksi,
dan
mempertahankan hidung bayi agar terhindar dari cedera hidung.
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
51
Semua pasien kelolaan pernah mengalami kerusakan integritas kulit berupa ekstravasasi akses vena perifer. Implementasi yang telah diterapkan dengan menggunakan plester yang transparan sangat membantu dalam memantau kemungkinan terjadi ekstravasasi. Pemantauan juga dilakukan setiap touching time dan setiap akan memberikan obat melalui intravena.
Pemantauan juga
dilakukan saat bayi tampak kurang nyaman atau merasa nyeri. Perawat segera melepas akses vena bila diketahui mengalami ekstravasasi dan memasang kembali akses vena pada lokasi lain. Bayi W-II pernah mengalami ekstravasasi hingga terjadi bengkak dan kemerahan pada tungkai kanan.
Implementasi yang
dilakukan adalah setelah melepas akses vena, meninggikan bagian tungkai sedikit lebih tinggi dan memberikan kompres cairan NaCl 0,9% hangat menggunakan kasa. Kelima bayi kelolaan pernah mengalami hipoalbuminemia, namun hanya bayi W-II yang terdapat edema tungkai yang tampak jelas.
Kondisi ini
memungkinkan bayi W-II lebih mudah mengalami ekstravasasi, karena salah satu faktor risiko terjadinya ekstravasasi intravena adalah kurang baiknya perfusi pada kulit akibat berkurangnya pengisian kembali kapiler pada bayi yang sakit berat (Kenner & Lott, 2007)
Implementasi konservasi integritas personal dilakukan dengan meminimalkan kerusakan integritas kulit, sehingga tersedia area seluas mungkin kulit bayi yang dapat diakses ibu atau perawat untuk disentuh atau untuk dilakukan stimulasi. Kehadiran ibu atau orang tua serta peran serta mereka dalam memberikan sentuhan kulit kepada bayi merupakan salah satu bentuk ungkapan kasih sayang kepada bayinya. Sentuhan pada kulit bayi tersebut juga bermakna bagi bayi sebagai media berkomunikasi dengan orang tua atau orang yang menyentuhnya.
Implementasi untuk konservasi integritas sosial pada kasus kelolaan utama adalah dengan mengupayakan kedekatan ibu atau orang tua dan bayi.
Pada kasus
tersebut ibu bayi tidak mau merawat bayinya karena ibu merasa malu mempunyai anak tanpa mempunyai suami. Ibu asuh sebagai ibu pengganti diharapkan dapat menggantikan peran ibu kandung. Residen memberikan dukungan kepada ibu asuh bahwa ibu asuh dapat berperan sebagai ibu bayi mulai saat ini dengan sering
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
52
melakukan kontak dengan bayinya.
Ibu asuh dapat menyalurkan rasa kasih
sayangnya kepada bayi seperti menyayangi anaknya sendiri. Implementasi lain yang dilakukan adalah dengan mengajarkan kepada ibu faktor risiko kerusakan integritas kulit dan segera melaporkan kepada perawat bila menemukan sesuatu yang tidak sesuai. Implementasi ini akan meningkatkan rasa percaya diri ibu dan ibu merasa sebagai bagian dari tim kesehatan.
4.1.6 Evaluasi Evaluasi yang dilakukan didasarkan pada respon organismik untuk menuju kepada wholeness. Levine manyatakan bahwa evaluasi yang dilakukan adalah berdasarkan respon organismik. Respon organismik dinilai untuk melihat apakah intervensi yang dilakukan sudah membantu bayi mencapai wholeness, bila belum tercapai maka perawat kembali menyusun intervensi yang dianggap lebih sesuai. Berdasarkan hasil evaluasi akhir, belum semua bayi mencapai wholeness.
Evaluasi yang dilakukan pada kasus kelolaan bayi S, ditemukan bahwa intervensi untuk mengatasi risiko cedera nares belum berhasil, sehingga hipotesis dan intervensi perlu disusun ulang untuk mengatasi masalah tersebut. Kondisi nares pada bayi S tampak mengalami perburukan. Hipotesis baru yang disusun yaitu mengistirahatkan penggunaan prong CPAP akan mengurangi penekanan pada nares dan memperbaiki perfusi jaringan di area nares. Perubahan intervensi yang dilakukan adalah mengganti nasal CPAP dengan menggunakan kanul high flow nasal (HFN) selama 30 menit, memantau pernapasan bayi, pantau toleransi bayi terhadap pemakaian HFN dan segera pasang kembali CPAP bila bayi menunjukkan tanda-tanda perburukan napas, pertahankan penggunaan HFN bila bayi mampu mentoleransi. Intervensi ini didukung dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan nasal CPAP dan kanul HFN secara bergantian dapat memberikan tekanan positif sama seperti CPAP.
Mengistirahatkan
penggunaan nasal CPAP dapat memperbaiki perfusi pada kulit dan membantu bayi untuk wening dari CPAP (Squires & Hyndman, 2009).
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
53
4.2 Praktik Spesialis Keperawatan Anak dalam Pencapaian Kompetensi Praktik residensi keperawatan anak di rumah sakit dirancang untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan yaitu melakukan praktik profesional, legal etik dan peka budaya. Pencapaian kompetensi sebagai pemberi asuhan dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan langsung kepada bayi.
Residen
memperoleh dukungan yang sangat baik berbagai pihak, yaitu dari kepala ruang, supervisor, perawat di ruangan, dokter dan temans sejawat. Dukungan dari kepala ruang sangat berarti, dengan memberikan kesempatan yang luas kepada residen untuk mengelola pasien secara utuh meskipun tanggung jawab pengelolaan pasien tetap berada pada perawat primer.
Kepala ruang mendukung inovasi yang
dilakukan residen bila residen menemukan suatu masalah dan mencoba untuk mencari jalan keluar. Kepala ruang juga memberikan kesempatan kepada residen untuk
menambah
wawasan
keilmuan
tentang
perawatan
bayi
dengan
mengikutsertakan residen dalam perkuliahan yang diadakan di ruang perinatologi.
Kehadiran supervisor sangat bermanfaat bagi residen dengan memberikan masukan dan arahan untuk mencapai target kompetensi yang diharapkan. Supervisor juga telah memberikan masukan untuk memberikan rangsangan kepada residen untuk lebih banyak belajar tentang cara mengaplikasikan teoeri ke dalam asuhan kepada pasien secara nyata.
Perawat ruangan terbuka dengan
kehadiran residen dan peran yang sudah dilaksanakan, sehingga residen menjadi lebih mudah untuk mencapai kompetensi yang diinginkan.
Dokter residen
berespon positif dengan adanya spesialis keperawatan anak dan dapat diajak berdiskusi tentang kondisi dan masalah pasien.
Residen melakukan inovasi di ruang perinatologi tentang penggunaan alat ukur untuk menilai posisi bayi yaitu Infant Positioning Assessment Tool (IPAT). Alat ukur ini telah disosialisasikan kepada perawat ruangan tentang tujuan dan cara pemakaiannya.
Residen juga melakukan pendekatan interpersonal untuk
meyakinkan perawat bahwa penggunaan alat ukur tersebut dapat memberikan arahan kepada perawat untuk memposisikan bayi dengan baik. Residen bersama perawat ruangan mencoba menggunakan alat ukur tersebut untuk menilai posisi
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
54
bayi prematur apakah bayi sudah tepat pada posisi midline atau belum.
Posisi
yang baik tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko kerusakan integritas kulit berupa luka tekan pada bayi prematur. Hambatan yang ditemui di lapangan yaitu kesulitan untuk mengumpulkan perawat dalam satu waktu tertentu guna mensosialisasikan rencana proyek inovasi.
Perawat disibukkan dengan
memberikan asuhan keperawatan pada pasien, karena jumlah pasien yang cenderung banyak bahkan melebihi kapasitas.
Residen mengatasi masalah
tersebut dengan melakukan sosialisasi ulang pada saat perawat selesai melakukan timbang terima pasien. Residen juga melakukan apersepsi terhadap beberapa perawat yang dilibatkan dalam uji coba penggunaan IPAT. Hasil uji coba dengan uji interrater reliability menunjukkan bahwa belum ada kesepakatan antara residen dan perawat dalam menilai posisi bayi prematur menggunakan IPAT. Hasil analisis sikap perawat berdasarkan kuesioner yang disampaikan, perawat mendukung penggunaan IPAT untuk menilai posisi bayi prematur karena dirasa memberikan manfaat yang besar. Residen selanjutnya merekomendasikan bahwa menilai posisi bayi perlu diajarkan kepada perawat dengan tehnik bedside teaching secara individu.
Hal ini sesuai hasil penelitian yang menyatakan
penggunaan IPAT dengan cara bedside teaching dapat meningkatkan konsistensi perawat dalam memposisikan bayi dan memberikan pengalaman yang tepat (Soniya, 2013).
Kendala lain yang dihadapi adalah keterbatasan alat seperti prong CPAP yang sesuai ukuran terutama untuk bayi yang sangat kecil, duoderm extrathin dan sarang, sehingga perawat harus membuat sendiri sarang dengan memakai gulungan dari kain. Gulungan dari kain seringkali kurang sesuai dengan ukuran tubuh bayi, dan bagian tubuh bayi seringkali keluar dari sarang.
Evaluasi terhadap pencapaian target kompetensi secara umum dapat terlaksana dengan baik. Residen mendpatkan banyak pengalaman dalam memberikan suhan keperawatan kepada pasien.
Residen juga belajar tentang pengelolaan ruang
rawat yang dapat membantu meningkatkan perkembangan bayi, dan memodifikasi keterbatasan alat dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan bagi pasien.
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
55
Kekurangan yang masih perlu ditingkatkan residen adalah kemampuan untuk melakukan analisis dalam pengelolaan pasien. Residen merasa masih perlu untuk meningkatkan pengetahuan dengan mengeksplorasi kembali toeri dan jurnal terkait kasus pasien. Residen juga perlu mengasah lagi kamampuan berpikir kritis dalam mengambil keputusan pengelolaan pasien. Keterampilan berkomunikasi untuk dapat mengajak orang lain tergerak atau mengikuti proyek inovasi yang residen rencanakan perlu fitingkatkan lagi sehingga program yang sudah kita rencanakan dapat berhasil dan dapat dilakukan secara berkelanjutan meskipun residen tidak lagi praktik di tempat tersebut. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan interpersonal, sehingga informasi yang kita sampaikan lebih mudah untuk ditrima.
Untuk pelaksanaan program perlu
melakukan kerjasama dengan pihak pimpinan ruangan dalam hal ini kepala ruang untuk konsistensi pelaksanaan dan pimpinan rumah sakit agar dapat dijadikan sebagai suatu kebijakan di tingkat rumah sakit.
Universits Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari laporan praktik residensi adalah: 1. Model Konservasi Levine yang diterapkan pada asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit dapat memberikan dukungan kepada bayi untuk beradaptasi terhadap lingkungan ekstra uterin. Bayi prematur dapat mempertahankan fungsi kulitnya
melalui konservasi energi, konservasi
integritas struktur, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Bayi terhindar dari kerusakan integritas kulit, sehingga dapat mencapai wholeness. 2. Masalah keperawatan risiko kerusakan integritas kulit yang paling utama pada kasus kelolaan adalah cedera nares. Faktor yang menjadi penyebab adalah usia gestasi kurang dari 34 minggu, lama pemakaian continuous positive airway pressure (CPAP) dan ketidaknyamanan bayi.
Perawat memegang peranan
yang sangat penting dalam pencegahan cedera pada nares yaitu memilih alat terutama prong dan topi yang sesuai, pemantauan dan pemenuhan kenyamanan bayi sehingga bayi tidak banyak bergerak dan posisi prong dapat dipertahankan dengan baik serta mempercepat proses penyapihan CPAP sehingga mengurangi lama penggunaan CPAP. 3. Perawatan kulit yang baik dan cara memposisikan yang tepat menggunakan Infant Positioning Assessment Tool (IPAT) pada bayi prematur dapat menghindarkan bayi prematur dari kerusakan integritas kulit. 4. Praktik residensi dapat menjadi sarana untuk menerapkan peran perawat sebagai pemberi asuhan, pendidik, pengelola dan peneliti.
Pencapaian
kompetensi spesialis keperawatan anak telah dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan klinis.
56 Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
57
5.2 Saran 5.2.1
Bagi Pelayanan Keperawatan 1. Perlunya kebijakan dari pimpinan keperawatan untuk menerapkan teori
keperawatan
sebagi
dasar
dalam
memberikan
asuhan
keperawatan. 2. Perlunya pelatihan kepada perawat tentang Model Konservasi Levine sebagai dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit sehingga tercipta kesepahaman perawat dan konsistensi intervensi keperawatan. 3. Perlunya pedoman praktik yang baku tentang perawatan kulit pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit dan didukung dengan sarana yang memadai. 4. Perlunya penerapan hasil penelitian berbasis bukti pada asuhan keperawatan pada pasien terutama pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit. Penggunaan IPAT perlu didukung dengan gambar atau video, sehingga akan lebih mudah untuk menyamakan persepsi.
5.2.2
Bagi Keilmuan Keperawatan Menjadikan rujukan dalam mengembangkan penerapan Model Konservasi Levine dalam memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan risiko kerusakan integritas kulit terutama intervensi untuk mencegah cedera nares pada bayi yang menggunakan CPAP.
5.2.3
Bagi Institusi Pendidikan Mengevaluai proses pembelajaran mahasiswa residensi keperawatan anak. Residen perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan.
Universitas Indonesia
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
58
DAFTAR REFERENSI Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses. (2007). Neonatal skin care. Washington DC: Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses. Baharestani, M. M., & Ratliff, C. R. (2007). Pressure ulcer in neonates and children: An NPUAP White Paper. Advances in Skin & Wound Care, 20 (4), 208-220. Baker, S.F., Smith, B.J., Donohue, P.K., Gleason, C.A. (1999). Skin care management practices for premature infants. Journal of Perinatology, 19 (6), 426-431. Chapman, L., & Durham, R. (2010). Maternal-newborn nursing: The critical components of nursing care. Philadelphia: F.A. Davis Company. Colachio, Y., Deng, V., Northrup, and Bizzarro, M.J. (2012). Complications associated with central and non-central venous catheters in a neonatal intensive care unit. Journal of Perinatology, 32, 941–946. Coughlin, M, Lohman, M.B. (2010). Reliability and Effectiveness of an Infant Positioning Assessment Tool to Standardize Developmentally Supportive Positioning Practice in the Neonatal Intensive Care Unit, Newborn and Infant Nursing review, 10(2), 104-106. Cox, R.A. (2003). Using NANDA, NIC, and NOC with levine’s conservation principles in a nursing home. International Journal of Nursing Terminologi and Classifications, 14(4), 41. Cunha, M.L., & Procianoy, R.S. (2005). Effect of bathing on skin flora of preterm newborns. Journal of Perinatology, 25, 375-379. Dollack, M., Huffines, B., & Stikes, R. (2013). Updated neonatal skin risk assessment scale (NSRAS). Kentucky Nurse, 61(4), 6. Jeanson, E. (2013). One-to-one bedside nurse education as a means to improve positioning consistency. Newborn & Infant Nursing Reviews, 13, 27-30. Joseph, N.C., Ambika, K., & Williams, S. (2013). A study to assess the effectiveness of nesting on posture and movements among preterm babies in selected hospital at Mysore, 1(2), 27-30. Kenner, C., & McGrath, J.M. (2004). Developmental care of newborns & infants: A guide for health professionals. St. Louis: Mosby.
Universitas indonesia Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
59
Kenner, C., & Lott, J.W. (2007). Comprehensive neonatal care: An interdisciplinary approach, Sint Louis: Saunders Elsevier. Lawton, S. (2013). Understanding skin care and skin barrier function in infants. Nursing Children and Young People, 25(7), 28-33. LeFevre, A., et al. (2010). Cost-effectiveness of skin-barrier-enhancing among preterm infants in Bangladesh, Bull World Health Organ, 8, 104–112. Lista, G., et al. (2013). Non-invasive respiratory support and preterm infants: The crucial role of nurse management. Journal of Nursing Education and Practice, 3(12), 111-115. Lund, C.H., Osborne, J.W., Kuller, J., Lane, A.T., Lott, J.W., Raines, D.A. (2011). Neonatal skin care: clinical outcomes of the Association of Women's Health, Obstetric and Neonatal Nurses/AWHONN and the National Association of Neonatal Nurses/NANN evidence-based clinical practice guideline., Obstet Gynecol Neonatal Nurs, 30(1), 41-51. McGurk, V., Holloway, B., Crutchley, A. and Izzard, H. (2004). Skin integrity assessment in neonates and children. Nursing Children and Young People, 16(3), 15-18. Mefford, L.C.(2011). Testing a theory of health promotion for preterm infants based on levine’s conservation model of nursing. The Journal of Theory Construction and Testing, 15 (2), 41-47. Metzger, A.M., Yosipovitch, G., Hahad, E. And Sirota, L. (2004). Effect of radiant warmer on transepidermal water loss (TEWL) and skin hydration in preterm infants, Journal of Perinatology, 24, 372-375. Ness, M.J., Davis, D.M., Carey, W.A., (2013). Neonatal skin care: a concise review. International Journal of Dermatology, 52, 14–22.
Dollack, M., Huffines, B., Stikes, R. (2013). Update NSRAS, Kentucky Nurse, 61, 4. Ormsby, J. (2011). Skin care guidelines for baby in NICU. The Children Health Network, 5, 1-16. Parker, M.E., & Smith, M.C. (2010). Nursing theories and nursing practice. Third edition. Philadelphia: F.A. Davis Company. Peytavi, U.B., Cork, M.J., Faergemann, J., Szczapa, J., Vanaclocha, F., & Gelmetti, C. (2009). Bathing and cleansing in newborns from day 1 to first year of life: recommendations from a European round table meeting, Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, 23 (7), 751-759.
Universitas indonesia Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
60
PPNI. (2012). Standar Kompetensi Perawat Indonesia. www.hpeq.dikti.go.id. diperoleh 10 Juni 2014. Priya S.K.G. & Bijlani J. (2005). Low cost positioning device for nesting preterms and low birth weight neonates. http://www.pediatriconcall. com/fordoctor/conference/low birth_weight_neonates.asp. Razmus, I., Lewis, L., & Wilson D. (2008). Pressure ulcer development in infants: State of the science. J Health qual, 30, 208-220. Sankar, M.J., Paul, V.K., & Kapil, A., et al. (2009). Does skin cleansingbwith clorhexidine affect skin condition, temperature and colonization in hospitalized preterm low birth weight infants?: A randomized clinical trial. J Perinatol, 29, 795-801. Soniya, P.S. (2013). The effectiveness of one-to-one scripted bedside teaching of nurses on positioning of neonates in the neonatal unit of a selected hospital, Banglore. Dissertation. Karnataka: Rajiv Gandhi University of Health Science. Sprigle, S., & Sonenblum, S. (2011). Assessing evidence supporting redistribution of pressure for pressure ulcer prevention: A review. Journal of Rehabilitation Research and Development. 48 (3), 203-214. Squires, A.J., Hyndman, M. (2009). Prevention of nasal injuries secondary to NCPAP application in the ELBW infant, Neonatal Network, 28(1), 13-27. Tamma, P.D., Aucott., Milstone, A.M. (2010). Chlorhexidine use in the neonatal intensive care unit: Result from a national survey. Infect Control Hosp Epidermiol 2010, 31, 846-849. Telofski, L.S., Morello, A.P., Correa, M.C., & Stamatas, G.N. (2012). The infant skin barrier: Can we preserve, perotect, and enhancing the barrier? Dermatology Research and Practice, 10, 1-18. Tomey, A.M., & Alligood, M.R. (2006). Nursing theory: Utilization & application (3th ed). St. Louis: Mosby Elsevier. Tomey, A.M., & Alligood, M.R. (2010). Nursing theorists and their work (7th ed.). St Louis: Mosby Elsevier. Turan, T., Basbakkal, Z., & Ozbek, A. (2008). Effect of nursing intervention of parents of premature infants in neonatal intensive care unit. Journal of Clinical Nursing, 17, 2856-2866. Visscher, M., Odio, M., Taylor, T., et al. (2009). Skin care in the NICU patient: Effect of wipes versus cloth and water on stratum corneum integrity. Neeonatology, 96, 226-234.
Universitas indonesia Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
61
Zamora, M.D., & Munoz, C.P. (2009, September). Management and prevention of pressure ulcers in neonates and pediatrics. Makalah disajikan dalam 12th Annual European Pressure Ulcer Advisory Panel Meeting, Amsterdam.
Universitas indonesia Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
KONTRAK BELAJAR PRAKTIK KLINIK KHUSUS DALAM KEPERAWATAN ANAK TAHUN AKADEMIK 2013/2014
YAYUK SETYOWATI NPM. 1106122953
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK DEPOK FEBRUARI 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Kontrak Belajar Program Residensi Ners Spesialis Keperawatan Anak Tahun Akademik 2013/2014
Nama Residen
: Yayuk Setyowati
NPM
: 1106122953
Tempat Praktik
: RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
Mata Ajar
: Praktik Klinik Khusus dalam Keperawatan Anak
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
1
Residen mampu melakukan peran sebagai pemberi asuhan dengan memberikan asuhan keperawatan pada neonatus dengan BBLR
Residen mampu melakukan: 1. Pengkajian a. Anamnesa, meliputi: riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat penyakit ibu yang berhubungan dengan BBLR, riwayat penggunaan obat selama hamil, riwayat infeksi ibu, kehamilan ganda, perdarahan melalui vagina selama hamil, riwayat trauma persalinan b. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan fisik bayi berat lahir rendah, pengukuran antropometri (berat badan, panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada), ballard score, gangguan napas, kestabilan suhu, kondisi kulit, reflek primitif (reflek babinski, moro, rooting, mengisap) c. Pemeriksaan penunjang, meliputi: babygram, darah lengkap, elektrolit.
Praktik keperawatan
Ruang Perinatologi
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
17-28 Februari 2014
Outcome
Keterangan
WOC, laporan kasus kelolaan, pencapaian target kompetensi
Pendekatan asuhan keperawatan dengan penerapan Model Konservasi Levine
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
2. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah, etiologi, tanda dan gejala. Ketidakefektifan pola napas Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Ketidakseimbangan termoregulasi Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Risiko kerusakan integritas kulit Risiko keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan 3. Perencanaan keperawatan, meliputi: a. Tatalaksana neonatus dengan BBLR, meliputi, manajemen termoregulasi, pemberian nutrisi yang adekuat, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, pemantauan tanda vital, asuhan perkembangan, pemberian minum, pijat bayi prematur, perawatan kulit, mempertahankan kehangatan dengan menerapkan prinsip kehilangan panas (konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi) b. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, USG kepala, ekokardiografi, pemeriksaan retinopaty of prematurity (ROP), apneu of prematurity (AOP) c. Pencegahan dan pengendalian infeksi d. Pendidikan kesehatan, meliputi: pemberian ASI, PMK, pengenalan tanda bahaya pada BBLR, perawatan bayi di rumah, asuhan perkembangan, pencegahan infeksi, kunjungan ulang
2
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Praktik keperawatan
Ruang Perinatologi
Outcome
Keterangan
WOC, laporan kasus kelolaan, pencapaian target kompetensi
Pendekatan asuhan keperawatan dengan penerapan Model Konservasi Levine
4. Implementasi keperawatan 5. Evaluasi tindakan keperawatan 6. Pendokumentasian asuhan keperawatan meliputi: a. Proses keperawatan pada neonatus b. Identifikasi masalah yang timbul terkait dengan pemberian asuhan keperawatan c. Identifikasi praktik berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based practice) d. Identifikasi praktik keperawatan neonatus yang profesioanl, etis dan legal, serta peka budaya
2
Residen mampu melakukan peran sebagai pemberi asuhan dengan memberikan asuhan keperawatan pada neonatus dengan sepsis
Residen mampu melakukan: 1. Pengkajian a. Anamnesa, meliputi: riwayat kehamilan dan kelahiran (paparan terhadap mikroorganisme dari ibu seperti infeksi amnion, infeksi melalui plesenta, infeksi saluran kemih), riwayat paska natal (paparan mikroorganisme dari bayi lain, ruangan yang terlalu penuh, jumlah perawat yang kurang, adanya portal risiko infeksi: tali pusat, kulit, permukaan mukosa, mata, mulut), riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan sepsis. b. Identifikasi manifestasi klinis pada sepsis (early onset dan late onset) Terjadi perburukan kondisi yang tidak spesifik, apnea, bradikardia, takikardia, tekanan darah < 2 SD menurut usia, pengisian kembali kapiler > 3 detik, gawat napas, intoleransi minum, muntah/distensi
3
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
3-14 Maret 2014
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
abdomen, demam/hipotermia/ketidakstabilan suhu, syok, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), iritabilitas/letargi/kejang, ikterus, ruam c. Pemeriksaan penunjang, meliputi: Leukositosis (> 34.000/µL), Leukopenia (< 4.000/µL), Neutropenia (> 10%), IT rasio > 0,2, Trombositopenia < 100.000/µL, C-Reaktif > 10mg/dL, hipoglikemia atau hiperglikemia, darah lengkap, elektrolit, albumin, kultur darah, urin rutin dan kultur urin, cairan serebrospinal, foto torak 2. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah, etiologi, tanda dan gejala Risiko cedera berhubungan dengan sepsis neonatal Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh 3. Perencanaan keperawatan, meliputi: a. Tatalaksana neonatus dengan sepsis, meliputi mempertahankan lingkungan aseptik, pemantauan klinis infeksi, pertahankan suhu lingkungan netral, pemberian nutrisi parenteral b. Monitoring hemodinamik dan fungsi tubuh terkait sepsis, kolaborasi skrining sepsis, kolaborasi pemberian antibiotik yang tepat c. Pencegahan dan pengendalian infeksi d. Membuat perencanaan pendidikan kesehatan, meliputi: perawatan bayi dengan sepsis, tehnik mencuci tangan dan tindakan aseptik, perawatan paska sepsis di rumah, antisipasi berduka.
4
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Praktik keperawatan
Ruang Perinatologi
Outcome
Keterangan
WOC, laporan kasus kelolaan, pencapaian target kompetensi
Pendekatan asuhan keperawatan dengan penerapan Model Konservasi Levine
4. Implementasi keperawatan 5. Evaluasi tindakan keperawatan 6. Pendokumentasian asuhan keperawatan meliputi: a. Proses keperawatan pada neonatus b. Identifikasi masalah yang timbul terkait dengan pemberian asuhan keperawatan c. Identifikasi praktik berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based practice) d. Identifikasi praktik keperawatan neonatus yang profesioanl, etis dan legal, serta peka budaya 3
Residen mampu melakukan peran sebagai pemberi asuhan dengan memberikan asuhan keperawatan pada neonatus dengan asfiksia
Residen mampu melakukan: 1. Pengkajian a. Anamnesa, meliputi: riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan asfiksia. b. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan fisik bayi baru lahir, apgar score, kegawatan pernapasan c. Pemeriksaan penunjang, meliputi: babygram, darah lengkap, elektrolit,analisa gas darah , kadar glukosa, kadar elektrolit 2. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah, etiologi, tanda dan gejala. Ketidakefektifan pola napas Ketidakseimbangan asam basa Risiko cedera (akibat penggunaan alat bantu napas) 3. Perencanaan keperawatan, meliputi: a. Tatalaksana neonatus dengan asfiksia, meliputi
5
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
17-28 Maret 2014
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Praktik keperawatan
Ruang Perinatologi
Outcome
Keterangan
WOC, laporan kasus kelolaan, pencapaian target kompetensi
Pendekatan asuhan keperawatan dengan penerapan Model Konservasi Levine
resusitasi neonatus, pemantauan pernapasan yang adekuat, penggunaan alat bantu napas (CPAP, Tpiece rescusitator, ventilator), analisa hasil AGD, koreksi gangguan asam basa, stabilisasi suhu, pemberian cairan intravena, penghematan energi, terapi antibiotik, vitamin K, bikarbonat natrikus, kalsium glukonas b. Monitoring hemodinamik dan fungsi tubuh terkait asfiksia d. Membuat perencanaan pendidikan kesehatan, meliputi: perawatan bayi paska asfiksia, ASI. 4. Implementasi keperawatan 5. Evaluasi tindakan keperawatan 6. Pendokumentasian asuhan keperawatan meliputi: a. Proses keperawatan pada neonatus b. Identifikasi masalah yang timbul terkait dengan pemberian asuhan keperawatan c. Identifikasi praktik berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based practice) d. Identifikasi praktik keperawatan neonatus yang profesioanl, etis dan legal, serta peka budaya 4
Residen mampu melakukan peran sebagai pemberi asuhan dengan memberikan asuhan keperawatan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia
Residen mampu melakukan: 1. Pengkajian a. Anamnesa, meliputi: riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia. b. Identifikasi ikterik fisiologis dan ikterik patologis. Ikterik fisiologis: Timbul pada hari kedua/ketiga
6
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
1-12 April 2014
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg % Ikterus hilang pada 10 hari pertama Ikterik patologis: Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. Serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl Konsentrasi bilirubin serum melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan Ikterik yang disertai hemolisis Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl/jam atau melebihi 5 mg/dl/hari Ikterik menetap sesudah bayi lahir cukup bulan berumur 10 hari dan bayi kurang bulan berumur 14 hari c. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan fisik neonatus, penilaian ikterik dengan metode Kramer, ikterik pada kulit/konjungtiva/mukosa, malas menyusu/tidur terus menerus, kelemahan reflek, pucat/anemia, muntah, dehidrasi, hipertermia, kejang/tonus otot meninggi d. Pemeriksaan penunjang, meliputi: darah lengkap, hitung darah (Hematokrit <45%, Hb <14 gr% karena
7
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
haemolisis), elektrolit, kadar bilirubin, golongan darah dan rhesus bayi dan ibu (identifikasi inkompatibilitas ABO dan rhesus), uji Coomb, protein serum total, enzim G6PD. 2. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah, etiologi, tanda dan gejala. Risiko cedera (Kernikterus) Risiko cedera mata akibat efek fototerapi Risiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Risiko kerusakan integritas kulit 3. Perencanaan keperawatan, meliputi: a. Tatalaksana neonatus dengan hiperbilirubinemia, meliputi pemberian minum adekuat terutama ASI, pemberian fototerapi, transfusi tukar b. Monitoring dan kolaborasi c. Pendidikan kesehatan, meliputi: perawatan bayi di rumah, manajemen laktasi, kunjungan ulang 4. Implementasi keperawatan 5. Evaluasi tindakan keperawatan 6. Pendokumentasian asuhan keperawatan meliputi: a. Proses keperawatan pada neonatus b. Identifikasi masalah yang timbul terkait dengan pemberian asuhan keperawatan c. Identifikasi praktik berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based practice) d. Identifikasi praktik keperawatan neonatus yang profesioanl, etis dan legal, serta peka budaya
8
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
No
5
Tujuan
Residen mampu melakukan peran sebagai pemberi asuhan dengan memberikan asuhan keperawatan pada neonatus dengan penyakit jantung bawaan
Kompetensi
Residen mampu melakukan: 1. Pengkajian a. Anamnesa, meliputi: riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat penggunaan obat-obat tertentu, paparan radiasi, hipoksia janin b. Pemeriksaan fisik, meliputi: pemeriksaan fisik neonatus, suara jantung, sianosis akibat kelainan jantung c. Pemeriksaan penunjang, meliputi: elektrokardiografi, foto torak, ekokardiografi 2. Penetapan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah, etiologi, tanda dan gejala Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan defek struktur Risiko keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Metode
Ruang & Waktu
Praktik keperawatan
Ruang Perinatologi
3. Perencanaan keperawatan, meliputi: a. Tatalaksana neonatus dengan penyakit jantung bawaan, meliputi penghematan energi dengan meningkatkan istirahat, pemantauan fungsi jantung (deyut jantung, suara jantung, tekanan darah, saturasi oksigen), segera tenangkan bayi bila menangis atau ekspresi stres yang lain b. Monitoring dan kolaborasi pemberian obat jantung dan tindakan pembedahan. c. Pendidikan kesehatan, meliputi: perawatan bayi di rumah, cara penghematan energi, cara minum obat jantung (bila ada), antisipasi kegawatan di rumah
9
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
15-26 April 2014
Outcome
Keterangan
WOC, laporan kasus kelolaan, pencapaian target kompetensi
Pendekatan asuhan keperawatan dengan penerapan Model Konservasi Levine
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
4. Implementasi keperawatan 5. Evaluasi tindakan keperawatan 6. Pendokumentasian asuhan keperawatan meliputi: a. Proses keperawatan pada neonatus b. Identifikasi masalah yang timbul terkait dengan pemberian asuhan keperawatan c. Identifikasi praktik berdasarkan pembuktian ilmiah (evidence based practice) d. Identifikasi praktik keperawatan neonatus yang profesioanl, etis dan legal, serta peka budaya 6
7
Residen mampu melakukan peran sebagai pengelola dengan melakukan kolaborasi dengan anggota tim kesehatan Residen mampu melaksanakan peran sebagai agen pembaru dengan melaksanakan proyek inovasi berdasarkan evidence based nursing (EBN) dengan pihak lahan praktik
Residen mampu melakukan: 1. Melakukan konsultasi terkait masalah kesehatan pasien 2. Melakukan rekomendasi - Kesiapan bayi dan keluarga untuk pulang - Kesiapan orang tua untuk merawat bayinya
1. Residen mampu melakukan penyusunan proposal proyek inovasi tentang penerapan EBN yang akan diimplementasikan pada pasien selama praktik residensi di ruang Perinatologi a. b. c. d.
Menyusun proposal Melakukan konsultasi dengan pembimbing Melakukan konsultasi dengan kepala ruang Mengkaji kesiapan perawat, ketersediaan sarana dan prasarana di ruangan
Diskusi
Ruang Perinatologi Selama praktik residensi
Laporan hasil konsultasi dalam laporan kasus kelolaan
Diskusi Konsultasi Presentasi
Ruang Perinatologi
Tersusunnya proposal penerapan EBN
EBN: Penggunaan Infant Positioning
Praktik klinik
17 Februari – 2 Mei 2014
Desiminasi proposal penerapan EBN
Proyek inovasi: Infant Positioning Assessment Tool (IPAT)
Data hasil
10
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
No
Tujuan
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Outcome
Keterangan
2. Residen mampu melakukan desiminasi proyek inovasi kepada perawat a. Presentasi proposal b. Melakukan pendekatan kepada ketua tim dan perawat pelaksana
penerapan EBN pada pasien di ruang Perinatologi
3. Residen mampu melakukan proyek inovasi a. Melakukan apersepsi dengan perawat yang terlibat dalam penerapan EBN b. Melakukan uji interrater reliability dengan lima perawat untuk menilai posisi bayi prematur menggunakan IPAT c. Mengumpulkan data tentang sikap perawat terhadap penggunaan IPAT menggunakan kuesioner
Laporan hasil penerapan EBN
untuk menilai ketepatan posisi bayi prematur, sebagai salah satu intervensi pencegahan kerusakan integritas kulit
Desiminasi dan rekomendasi hasil penerapan EBN
4. Residen mampu memaparkan pencapaian atau evaluasi proyek inovasi a. Melakukan analisa hasil b. Menyusun laporan c. Menyusun tindak lanjut atau rekomendasi
8
Residen mampu melaksanakan peran sebagai agen pembaru dengan menerapkan hasil penelitian sesuai dengan fenomena yang ditemukan
1. Residen mampu menganalisa fenomena yang terjadi selama memberikan asuhan keperawatan kepada pasien 2. Residen mampu melakukan studi literatur yang sesuai untuk menjawab fenomena 3. Residen mampu menerapkan hasil penelitian untuk mengatasi fenomena
11
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Ruang Perinatologi Satu minggu satu kali selama praktik residensi
Laporan praktik reflektif Artikel hasil penelusuran literatur
No
9
Tujuan
Residen menjalankan peran sebagai pendidik
Kompetensi
Metode
Ruang & Waktu
Outcome
1. Residen mampu melakukan bimbingan terhadap Mahasiswa Magister atau Profesi yang sedang menjalankan praktik pada area peminatan perinatologi
Diskusi Bedside teaching
Ruang Perinatologi
Lembar bimbingan
2. Residen mampu melakukan pendidikan kesehatan kepada orang tua atau keluarga sesuai kebutuhan orang tua atau keluarga
Diskusi
Satu kali selama melaksanaka n praktik residensi
Laporan pelaksanaan pendidikan kesehatan dalam laporan kasus kelolaan
Keterangan
Depok, Februari 2014 Residen
Yayuk Setyowati
Supervisor Utama
Supervisor
Yeni Rustina, SKp., M.App.Sc., PhD.
Elfi Syahreni, Ns.Sp.Kep.An.
12
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
1
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGGUNAAN INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL UNTUK MENGEVALUASI KETEPATAN PENGATURAN POSISI MIDLINE PABA BAYI PREMATUR DI RUANG PERINATOLOGI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
Disusun Oleh :
YAYUK SETYOWATI NPM 1106122953
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK DEPOK 2014
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Angka kematian neonatus di Indonesia menurut Survei Dasar Kesehatan Indonesia tahun 2012 masih sama dengan hasil survei tahun 2007 yaitu sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Nilai ini masih lebih tinggi dari target Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 yaitu sebesar 15 per 1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Penyebab kematian neonatus di Indonesia meliputi banyak faktor. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyebutkan bahwa penyebab kematian neonatus terbesar adalah masalah yang terjadi pada neonatus usia 0-6 hari dan usia 7- 28 hari. Penyebab utama kematian pada neonatus pada usia 0-6 hari adalah gangguan pernapasan (37%), prematuritas (34%) dan sepsis (12%). Pada usia 7-28 hari penyebab
kematian utamanya adalah sepsis (20%), kelainan
kongenital (19%), pneumonia (17%) dan prematuritas (14%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leone et al. (2011) menunjukkan bahwa bayi prematur dengan usia gestasi 34 hingga 36 minggu memiliki tingkat morbiditas yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Bayi prematur mengalami komplikasi 7,6 kali lebih banyak dibanding bayi cukup bulan. Bayi prematur yang mengalami mengalami komplikasi sebanyak 70,8% sedangkan pada bayi cukup bulan hanya 9,3%. Bayi prematur yang mengalami komplikasi kesehatan terbukti lebih lama dirawat dan dampak lebih lanjut yaitu meningkatnya kebutuhan sarana medis dan peningkatan biaya perawatan.
World Health Organization (WHO) (2004) menyebutkan bahwa bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan penyebab kematian bayi yang cukup tinggi, namun 6% hingga 30% kematian bayi akibat berat lahir rendah lebih disebabkan oleh prematuritas. Prematuritas memiliki kontribusi yang cukup besar sebagai penyebab kematian pada bayi, disebabkan bayi prematur mengalami kesulitan untuk beradaptasi dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstra uterin.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
3
Kesulitan tersebut terjadi akibat sebagian besar organ tubuh bayi prematur belum matang. Diantara belum matangnya organ bayi prematur adalah struktur tonus otot yang masih lemah.
Kelemahan dalam aktivitas motorik ini membuat bayi
mengalami kesulitan untuk mempertahankan posisi kepala untuk selalu berada di garis tengah tubuh dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi tersebut
meningkatkan risiko bayi untuk mengalami kerusakan integritas kulit berupa luka tekan (Baharestani & Ratliff, 2007). Ketidakmatangan organ terjadi pula pada sistem integumen yang ditandai dengan stratum korneum yang sedikit, lapisan epidermis tipis, kohesi dermis dan epidermis kurang kuat, lemak subkutan sedikit dan permeabilitas epidermal yang besar (Lund et al., 2011).
Berbagai faktor yang mempengaruhi risiko kerusakan integritas kulit pada bayi prematur adalah hipotonia otot kepala dan leher, sehingga bayi mengalami kesulitan untuk mengubah posisi kepala. Faktor lain adalah sistem neurologi yang belum matang, sehingga mempengaruhi kemampuan bayi untuk bergerak dan mempertahankan kondisi bangun secara independen (Willock & Maylor, 2004) Faktor yang juga mempengaruhi bayi berisiko mengalami kerusakan integritas kulit adalah bayi prematur seringkali mengalami masalah pernapasan, sehingga bayi memerlukan alat bantu napas seperti continuous positive airway pressure (CPAP) atau ventilator.
Penggunaan prong atau slang pada alat tersebut
diharapkan pada posisi yang terfiksasi dengan baik, sehingga bila penanganannya kurang baik memungkinkan terjadi penekanan alat pada area hidung.
Pengaturan posisi yang mendukung perkembangan merupakan salah satu kunci keberhasilan perawatan bayi di unit neonatus. Kestabilan postur pada bayi prematur merupakan hal berharga bayi prematur karena bayi prematur tidak dapat melakukan sendiri pengaturan posisi.
Penelitian berdasarkan evidence based
practice tentang manfaat posisi midline sudah banyak dilakukan, namun definisi dan standardisasi berdasarkan evidence based practice belum ditetapkan dalan bentuk format yang formal. Alat ukur cara memposisikan yang baku akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menstandarkan dan memberikan pendidikan bagi perawat. Salah satu alat ukur untuk menilai posisi bayi adalah Infant Positioning
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
4
Assessment Tool (IPAT). Alat ukur ini disusun oleh Koninklijke, dikembangkan untuk memberikan pedoman praktis pada praktik cara memposisikan yang baik di ruang Neonatal Intensive Care Unit (Coughlin & Lohman, 2010).
Hasil studi pendahuluan menyatakan bahwa di RSUPN Cipto Mangunkusumo telah menggunakan sarang untuk memposisikan bayi sedemikian rupa sehingga berada pada posisi midline, namun pada kenyataannya bayi seringkali berubah posisi meskipun sudah diposisikan midline. Hal tersebut terjadi karena sarang yang kurang sesuai dengan ukuran bayi, bayi merasa kurang nyaman karena suatu sebab sehingga bayi menggeliat, menendang. Sarang yang terlalu besar membuat bayi seolah-olah terperangkap di dalam sarang, sedangkan sarang yang terlalu kecil membuat ekstrimitas bayi keluar dari dari sarang dan tubuh bayi tidak tertopang dengan baik. Sebagian besar perawat telah memahami manfaat dan cara memposisikan bayi midline di dalam sarang, dilihat dari kemampuan perawat saat memposisikan bayi, namun ada perawat yang belum melaksanakan dengan baik. RSUPN Cipto Mangunkusumo belum menggunakan alat ukur yang terstandar untuk menilai ketepatan posisi bayi.
1.2 Tujuan Untuk mencapai asuhan keperawatan pada bayi prematur yang berkualitas dengan menggunakan Infant Positioning Assessment Tool (IPAT) sebagai upaya mengevaluasi ketepatan posisi midline
berdasarkan evidence based nursing
practice.
1.3 Manfaat 1.3.1
Rumah Sakit
Menjadi bahan bagi rumah sakit untuk meningkatkan asuhan keperawatan dengan menerapkan alat pengkajian cara memposisikan bayi prematur di ruang perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
5
1.3.2
Perawat
Meningkatkan pengetahuan perawat tentang alat ukur untuk mengevaluasi ketepatan posisi midline bayi prematur berdasarkan evidence based nursing practice.
1.3.3
Pasien dan Keluarga
Memberikan pedoman kepada orang tua bayi tentang memposisikan bayi prematur, bayi mendapat manfaat dari posisi midline.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
6
BAB 2 INTERVENSI KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI (EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE)
2.1 Identifikasi Masalah Bayi prematur memiliki kelemahan dalam mempertahankan posisi midline, padahal posisi tersebut memberikan banyak manfaat bagi bayi. Perawat sebagai pemberi asuhan hendaknya dapat berperan dalam meminimalkan kerugian akibat bayi bila tidak berada pada posisi midline. Perawat telah berusaha memposisikan bayi midline namun kenyataan posisi tersebut tidak dapat bertahan lama karena bayi berubah posisi atau karena nesting yang digunakan belum tepat. Ditemukan beberapa bayi prematur yang tidak dalam posisi midline saat bayi tidur telentang meskipun sudah menggunakan sarang. Belum ada alat ukur yang terstandar untuk mengevaluasi ketepatan pengaturan posisi bayi prematur. Pengaturan posisi yang tepat merupakan salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah kerusakan integritas kulit.
2.2 Strategi Penyelesaian masalah 1. Tahap Persiapan a. Mengidentifikasi fenomena atau masalah yang terjadi di ruang rawat b. Membuat
pertanyaan
masalah
berdasarkan
model
PICO
(P=
problem/population,/patient, I= intervention, C= comparison, O= outcome) P = bayi prematur I = penilaian posisi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool C= tidak ada O= skor hasil pengukuran c. Melakukan penelusuran literatur d. Membuat proposal proyek inovasi e. Berkonsultasi dengan supervisor, supervisor utama dan kepala ruang perinatologi RSUPN Cipto mangunkusumo
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
7
2. Tahap Pelaksanaan a.
Presentasi dan sosialisasi tentang alat ukur cara memposisikan bayi.
b.
Melakukan role play tentang penggunaan alat ukur cara memposisikan untuk mengevaluasi ketepatan posisi midline pada bayi prematur.
c.
Menerapkan penggunaan alat ukur cara memposisikan untuk mengevaluasi ketepatan posisi midline pada bayi yang sesuai dengan kriteria, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Perawat dan residen melakukan pengukuran pada bayi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara independen. Perawat dan residen melakukan penilaian pada bayi yang sama sebanyak 5 bayi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu dan tidak sedang mendapat intervensi saat penilaian. Perawat
dan
residen
mendiskusikan
hasil
penilaian
dengan
mencocokkan hasil penilaian. Mahasiswa menganalisa perbedaan penilaian. Bila skor bayi mengidentifikasikan perlunya tindakan, maka perawat atau residen melakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan skor yang dinilai (misalnya reposisi, memperbaiki posisi alat medis).
3. Tahap Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan menganalisa kendala dan faktor pendukung pelaksanaan proyek inovasi.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
8
Plan of Action Minggu ke N o 1
3
4
5 6
Kegiatan
Feb’1 4 4
PJ
Maret ‘14 1
2
3
Produk
Apr ‘14 4
1-4
Persiapan a. Pengkajian b. Identifikasi masalah c. Penyusunan proposal d. Konsultasi proposal
Reside n
Sosialisasi
Reside n
Pelaksanaan
Evaluasi proses kegiatan Evaluasi hasil dan penyusunan laporan
Reside n PJ ruanga n Reside n Reside n
Model PICO, hasil telaah jurnal, proposal
Presentasi dengan perawat ruang perina Isian format
Hasil dokumentasi Laporan dan rekomendasi
Sasaran Sasaran proyek inovasi adalah perawat yang bertugas di ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Media LCD + laptop Format pengkajian Infant Positioning Asseessment Tool
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
9
BAB 3 TINJAUAN TEORI 3.1 Bayi prematur Bayi prematur didefinisikan sebagai bayi dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu (Chapman & Durham, 2010). Menurut usia gestasi bayi prematur dibagi menjadi 3 kelompok : a. Sangat prematur yaitu bayi yang lahir dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu b. Prematur yaitu bayi yang lahir dengan usia gestasi antara 32 dan 34 minggu c. Late prematur yaitu bayi yang lahir dengan usia gestasi antara 34 dan 37 minggu
3.2 Cara memposisikan bayi midline Cara memposisikan yang benar dapat memberikan manfaat yang baik bagi bayi, diantaranya meningkatkan perkembangan fisik, membuat bayi merasa nyaman dan aman, membantu melindungi kulit dan persendian yang masih rentan, dan meningkatkan kualitas tidur.
Manfaat lain yaitu meningkatkan relaksasi,
meningkatkan konservasi energi, membantu bayi memahami posisi midline, membantu
koordinasi
gerakan,
mengoptimalkan
fungsi
pernapasan,
mengembangkan kemampuan visual, serta membantu mengatasi masalah pernapasan (Soniya, 2013).
Bayi prematur mempunyai tonus otot yang lemah, sehingga bila diletakkan di permukaan yang datar tanpa penyangga maka bayi akan berada pada posisi lurus yang akan mengganggu perkembangan bayi. Bayi memerlukan alat yang dapat membantu bayi tertopang dengan baik dalam posisi fleksi dan postur menekuk. Alat yang digunakan harus lembut dan memberikan kesempatan pada bayi untuk dapat berbaring pada suatu posisi dalam beberapa jam tanpa ada yang menyebabkan penekanan (Rubin & Davis, 2011). Penelitian lain menyebutkan bahwa penggunaan sarang dari bahan kain flanel dapat mempertahankan bayi dalam posisi midline, meminimalkan deformitas akibat kesalahan posisi dan mencegah komplikasi akibat gravitasi (Priya dan Bijlani, 2005)
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
10
Mengatur posisi bayi terlentang dengan kepala dalam satu garis lurus sangat direkomendasikan pada bayi prematur terutama selama beberapa hari pada awal kehidupan bayi. Hal ini bertujuan untuk mencegah obstruksi aliran pembuluh darah vena dan mencegah peningkatan aliran darah ke otak, serta meminimalkan pendataran bentuk kepala. Bayi dapat menggunakan alas tempat tidur dan bantal di bawah kepala untuk menjaga agar tubuh tetap sejajar (Kenner & McGrath, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Hough et al. (2013) tentang pengaruh posisi tubuh terhadap distribusi ventilasi oksigen pada bayi prematur yang menggunakan ventilator dan yang tidak, menunjukkan bahwa gaya gravitasi mempunyai dampak terhadap distribusi ventilasi oksigen. Hasil yang didapatkan menunjukkan perbedaan yang dignifikan. Penelitian lain yang serupa tentang perbedaan posisi prone dan supine terhadap usaha bernapas dan pola napas pada bayi prematur, menunjukkan bahwa posisi prone mampu menurunkan usaha bernapas, meskipun untuk pola napas tidak ada perbedaan yang bermakna (Levy et al., 2006)
Penelitian terkait dampak posisi terhadap tonus otot bayi prematur yang dilakukan oleh Vaivre, Ennouri, Garrec, dan Papiernik (2004) pada bayi prematur dengan usia gestasi 31-36 minggu, menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Kelompok intervensi diberikan
posisi telentang, miring dan telungkup secara bergantian sedangkan pada kelompok kontrol diberikan perawatan standar.
Pada kelompok kontrol
menunjukkan terdapat abnormalitas pada otot ekstensor yang lebih dominan daripada fleksor, terdapat hiperabduksi dan fleksi pada tangan, serta terjadi penurunan kekakuan otot secara umum.
Perawat di ruang NICU hendaknyan melakukan pengkajian posisi yang menopang secara rutin, memberikan pembatas yang nyaman, midline dan sedikit fleksi. Memposisikan midline yang baik dapat terlaksana dengan baik dengan perhatian dari petugas. Alat yang digunakan sebagai alat pendukung seperti bantal, selimut, sarang tidak menjamin posisi yang baik (Kenner & Mc Grath, 2004).
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
11
Cara memposisikan bayi midline kontrol yaitu bahu sedikit melingkar, tangan menyentuh wajah, pinggul lurus dan sedikit fleksi, lutut/pergelangan kaki/kaki lurus dan sedikit fleksi, kepala posisi midline hingga kurang dari 45 derajat dari midline (kiri atau kanan), leher posisi netral sedikit fleksi kedepan dan lurus dengan tulang belakang (Coughlin & Lohman, 2010).
3.3 Alat Ukur Infant
Positioning
Assessment
Tool
(IPAT)
dibuat
oleh
Koninklijke,
dikembangkan untuk memberikan pedoman praktis untuk praktik pemberian posisi yang baik di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Alat ukur
tersebut mengukur enam item penilaian yaitu posisi bahu, tangan, pinggul, lutut/pergelangan kaki/kaki, kepala dan leher. Masing masing item diberi skor 0, 1 dan 2. Nilai kumulatif maksimal 12. Skor 0 untuk posisi tidak dapat diterima, skor 1 untuk posisi alternatif yang masih dapat diterima dan skor 2 untuk posisi yang tepat. Total skor 12 menunjukkan posisi yang sempurna, skor 9 – 11 masih dapat diterima bila bayi menggunakan alat medis yang memungkinkan bayi pada posisi asimetris, skor 8 menunjukkan bayi memerlukan reposisi (Jeanson, 2013).
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
12
INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL
INDIKATOR Bahu Tangan Pinggul/ Pangkal paha Lutut/ pergelangan kaki/ kaki
Kepala
Leher
0 Bahu tertarik ke samping Tangan menjauh dari batang tubuh Pinggul menjauh dari batang tubuh /Rotasi keluar Lutut melebar/ pergelangan kaki dan dan kaki rotasi keluar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) lebih dari 45ᴼ dari garis tengah Leher tidak lurus dengan tulang belakang
1 Bahu mendatar/ netral Tangan menyentuh batang tubuh Pinggul melebar Lutut, pergelangan kaki dan kaki melebar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) 45ᴼ dari garis tengah Leher posisi netral tetapi kurang lurus dengan tulang belakang
2 Bahu sedikit melingkar Tangan menyentuh wajah Pinggul lurus dengan batang tubuh dan sedikit fleksi Lutut, pergelangan kaki, dan kaki segaris, dan sedikit fleksi Kepala sejajar garis tengah hingga kurang 45ᴼ dari garis tengah (kiri atau kanan) Leher posisi netral, sedikit fleksi kedepan dan lurus dengan tulang belakang Total Skor
Sumber: Coughlin & Lohman, 2010
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
SKOR
13
BAB 4 HASIL PENELUSURAN JURNAL
4.1 Identifikasi topik Penelusuran literatur/jurnal terkait dengan topik yaitu asuhan perkembangan terutama tentang cara memposisikan. 4.2 Pembatasan Pencarian Pencarian literatur dibatasi pada bayi prematur, teks berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, artikel full text. Pencarian dibatasi tahun 2008 hingga 2014. 4.3 Jenis publikasi yang digunakan Science Direct, Proquest, Cochrane 4.4 Pencarian data base Penelusuran jurnal menggunakan kata kunci preterm infant, positioning, midline, assessment tool. 4.5 Hasil penelusuran Artikel 1 Judul
: Reliability and Effectiveness of an Infant Positioning Assessment
Tool to Standardize Developmentally Supportive Positioning Practice in the Neonatal Intensive Care Unit. Publikasi
: Newborn and Infant Nursing Review, Vol. 10, No. 2, 2010
Penulis
: Mary Coughlin, Mary Beth Lohman, Sharyn Gibbins.
Metode
: Uji reliabilitas menggunakan empat independen reviewer
Hasil : Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa alat ukur Infant Psitioning Assessmen Tool reliabel. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat ukur pengkajian positioning agar dapat distandarkan, sebagai bahan untuk mengajarkan cara positioning yang benar dan untuk mengevaluasi praktik positioning. Alat ukur ini terdiri dari 6 item penilaian dengan skor maksimal 12. Uji validitas konten talah dilakukan berdasarkan penelitian dan dari opini ahli dan peneliti. Uji reliabilitas dilakukan dengan 4 independen reviewer terhadap 5 bayi. Sampel yang digunakan adalah bayi yang dirawat di NICU yang saat penilaian tidak sedang mendapat intervensi. Dengan menggunakan uji Fleiss didapatkan nilai p < 0,001 sehingga disimpulkan alat ukur tersebut reliabel.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
14
Artikel 2 Judul
: One-to-One Bedside Nurse Education as a Means to Improve
Positioning Consistency ublikasi
: Newborn and Infant Nursing Review, Vol. 3, 2013
Penulis
: Elizabeth Jeason
Metode
: Uji reliabilitas
Hasil
: Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat mengalami
peningkatan kompetensi untuk memposisikan bayi dengan benar, dan perawat dapat memahami protokol dengan baik.
Positioning assessment tool terbukti
efektif untuk mengkaji posisi bayi dengan hasil ui reliabilitas yang baik.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
15
BAB 5 PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan proyek inovasi yang dilakukan di ruang Perinatologi melalui tahap-tahap berikut: 1.
Persiapan Presentasi proposal proyek inovasi dilakukan pada tanggal 19 Maret 2014, di ruang diskusi IGD lantai 3 RSUPN Cipto mangunkusumo.
Presentasi
dihadiri oleh 20 peserta yang terdiri dari Manajer Keperawatan Perinatologi, Head Nurse (HN), Nurse Officer (NO), Perawat Primer (PP), Perawat Asosiet (PA) dan residen.
Kegiatan diawali dengan presentasi proposal proyek
inovasi, dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab.
Kegiatan tersebut
menghasilkan: a. Rencana penyusunan instruksi kerja untuk memperjelas kegiatan proyek inovasi. b. Persetujuan dan ijin dari Head Nurse serta Perawat Primer untuk mengaplikasikan Infant Positioning Assessment Tool (IPAT) untuk mengevaluasi ketepatan posisi bayi prematur.
2.
Pelaksanaan Proyek Inovasi Pelaksanaan proyek inovasi dilakukan sebagai berikut: a. Melakukan apersepsi dengan perawat yang akan melakukan penilaian tentang alat ukur, cara penilaian dan cara pengisisan formulir b. Meminta kesediaan perawat untuk melakukan penilaian terhadap posisi bayi c. Residen dan perawat menyepakati bayi yang akan dilakukan penilaian sesuai kriteria (bayi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu dan tidak sedang mendapatkan tindakan) d. Residen dan perawat melakukan penilaian posisi bayi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool secara independen
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
16
e. Perawat melengkapi format dengan mengisi sikap terhadap penggunaan Infant Positioning Assessment Tool f. Melakukan analisa terhadap hasil penilaian dan pernyataan sikap perawat g. Menyajikan hasil analisa berupa data statistik dan data narasi h. Menyusun rekomendasi berdasarkan hasil analisa Prosedur terebut ddituangkan dalam bentuk instruksi kerja (lampiran 2)
3.
Hasil Pelaksanaan Hasil yang didapatkan dari 5 penilaian didapatkan data sebagai berikut: Tabel 5.1 Karakteristik Bayi Proyek Inovasi Penggunaan Infant Positioning Assessmen Tool di Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangun Kusumo Jakarta Tahun 2014, n=5 Hasil
Persentase (%)
Usia gestasi a. 28 - < 34 minggu b. 34 - < 37 minggu
3 2
60 40
Usia kronologis a. 1 – 7 hari b. 7 – 14 hari c. > 14 hari
3 1 1
60 20 20
Penggunaan alat bantu napas a. Tanpa alat bantu napas b. CPAP c. ETT/Ventilator
3 1 1
60 20 20
Posisi bayi saat penilaian a. Telentang b. Miring c. Telungkup
3 2 0
60 40 0
No
Karakteristik
1.
2.
3.
4.
Tabel 1 menggambarkan karakteristik bayi dengan usia gestasi 28 - < 34 minggu 60% dan usia 34 - <37 minggu 40%. Sebagian besar bayi berusia kronologis 1 – 7 hari yaitu sebanyak 60%. Penggunaan alat bantu napas hanya pada 2 (40%) bayi, sedangkan 3 bayi tanpa alat bantu napas (60%).
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
17
Tabel 5.2 Hasil Uji Interrater Reliability Penilaian Posisi Bayi Menggunakan Infant Positioning Assessment Tool Antara Residen dengan Perawat di Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2014, n=5
Numerator
Koefisien Kappa
p-value
Perawat 1
0,739
0,011
Perawat 2
0,571
0,121
Perawat 3
0,714
0,012
Perawat 4
0,5
0,07
Perawat 5
0,714
0,012
Alpha
0,05
Tabel 5.2 menunjukkan hasil uji interrater reliability penilaian posisi bayi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool. Hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada koefisien Kappa yang nilainya lebih dari 0,8 meskipun pada p-value < 0,05 terdapat 3 perawat. Secara statistik hasil tersebut menyatakan bahwa belum ada persamaan persepsi diantara mahasiswa dan perawat dalam menilai posisi bayi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool. Tabel 5.3 Gambaran Sikap Perawat pada Waktu Melakukan Penilaian Posisi Bayi Menggunakan Infant Positioning Assessment Tool di Ruang Perinatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2014, n=5 No 1
2
Kemudahan penggunaan ukur
Ya
Tidak
4
1
5
0
alat
Merekomendasikan alat ukur untuk menilai posisi bayi prematur
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
18
Tabel 5.3 menunjukkan sebagian besar perawat menyatakan mudah dalam menggunakan Infant Positioning Assessment Tool (80%). Semua perawat merekomendasikan penggunaan Infant Positioning Assessment Tool untuk menilai posisi bayi prematur.
Berdasarkan uraian sikap perawat menunjukkan bahwa IPAT dirasa mudah digunakan karena aplikatif atau dapat langsung digunakan untuk menilai posisi bayi, praktis karena hanya menuliskan skor dan tidak perlu mendiskripsikan/menarasikan lagi, sedangkan kesulitannya adalah karena harus membayangkan item penilaian, ada item yang sulit dipahami yaitu item bahu dan pinggul/pangkal paha, serta
penilaian ekstrimitas harus keduanya
atau bisa salah satu. Saran yang diberikan perawat yaitu agar pernyataan pada indikator penilaian diperjelas lagi dan diberikan ilustrasi gambar.
Alasan
perawat merekomendasikan IPAT untuk menilai posisi pada bayi prematur adalah lebih akurat menilai posisi bayi, menjadi pedoman untuk melakukan positioning dengan benar dan lebih mudah melakukan penilaian posisi sudah benar atau belum.
4.
Evaluasi Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan inovasi ini adalah: a. Perawat belum mempunyai persepsi yang sama tentang item penilaian b. Bayi menggunakan popok sekali pakai merancukan penilaian item lutut, kaki dan pergelangan kaki sehingga penilaian cenderung mendapat skor 1 meskipun mungkin bisa 2. c. Sarang yang tersedia kadang tidak sesuai dengan ukuran bayi sehingga tidak mampu menopang atau mempertahankan bayi pada posisi midline.
Faktor pendukung yang ditemuai dalam proyek inovasi adalah: a. Pimpinan keperawatan ruang Perinatologi sangat mendukung pelaksanaan proyek inovasi b. Perawat mau mencoba untuk memahami IPAT meskipun baru pertama kali mengenal alat ukur tersebut.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
19
5.2 Pembahasan 5.2.1 Analisis Penilaian Posisi Usia gestasi bayi yang lebih muda (28 - < 34 minggu) mendapat skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi dengan usia gestasi lebih tua (34 _ <37 minggu). Temuan ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joseph, Ambika dan Williams (2013) bahwa usia gestasi tidak berpengaruh terhadap posisi midline bayi. Perbedaan ini disebabkan bayi dengan usia gestasi lebih muda lebih bisa dipertahankan pada posisi midline, bayi tidak banyak berubah posisi, sehingga saat penilaian bayi cenderung masih dalam posisi midline sesuai yang diposisikan dari awal. Usia gestasi yang lebih tua cenderung mendapat skor lebih rendah dibandingkan dengan bayi dengan usia gestasi yang lebih muda, bisa disebabkan kemampuan motorik bayi sudah lebih matang dan bayi mampu merubah posisi sendiri bila merasa tidak nyaman dengan posisnya, sehingga saat penilaian bayi telah mengalami perubahan dari posisi semula.
Bayi yang menggunakan alat bantu napas penilaian item leher dan kepala cenderung mendapaat skor rendah (0 atau1) karena bayi lebih banyak terfiksasi pada salah satu sisi. Perawat berinteraksi dengan bayi kira-kira 8 jam sekali atau tiap 3 jam sekali, dan mungkin akan mereposisi bayi 8 kali pula. Pengaturan posisi yang tepat harus mempertimbangkan usia gesatasi, keparahan penyakit, dan alat medis yang digunakan (Jeanson, 2013).
Alat ukur IPAT sudah dibuat sedemikian rupa untuk membuat penilaian seobyektif mungkin.
Namun pada pelaksanaan proyek inovasi ternyata
subyektifitas masih cukup tinggi terbukti dari hasil uji reliabilitas dengan interrater reliability menunjukkan belum ada kesamaan persepsi. Pengulangan penilaian kedua pada bayi yang lain dan dengan mendiskusikan hasil penilaian mulai ada kesamaan persepsi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian berdasarkan evidence based practice yang menyatakan bahwa pembelajaran IPAT efektif bila dilakukan dengan cara bedside teaching orang per orang atau individual serta berulang-ulang (Jeanson, 2013)
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
20
Penggunaan popok mempengaruhi penilaian posisi bayi, karena pangkal paha bayi cenderung terbuka, lutut, kaki dan pergelangan kaki juga cenderung membuka sehingga membuat rancu penilaian sehingga seringkali mendapat skor 1 meskipun mungkin ssebenarnya bayi sudah mendapat skor 2. Hal ini perlu mendapatkan kesepakatan dari institusi bila akan menggunakan alat ukur ini.
Penilaian ekstrimitas masih membingungkan apakah hanya satu sisi ekstremitas atau harus keduanya. Misalnya satu tangan mendapat skor 2 karena mendekat batang tubuh dan menyentuh wajah, namun tangan kiri tidak menyentuh wajah (skor 1). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jeason (2013) menyatakan bahwa penilaian tangan dan kaki harus simetris untuk mendapatkan skor 2. Misalnya posisi tangan yang kanan mendapat skor 2 sedangkan tangan kiri mendapat skor 1 maka pada pengisian formulir pada item tangan dan kaki mendapat skor 1, jadi penilaian tangan dan kaki harus keduanya dalam posisi yang simetris untuk mendapat skor tertinggi.
5.2.2 Implikasi terhadap praktik keperawatan Alat ukur Infant Positioning Assessment Tool dapat menjadi dasar perawat untuk menentukan tindakan keperawatan, karena ada pedoman untuk melakukan tindakan keperawatan, yaitu: - Skor kurang dari 8 bayi memerlukan reposisi, tunda bila bayi sedang dalam kondisi tidur REM, kecuali bila membahayakan bayi maka harus segera direposisi - Skor 9 – 11 masih bisa ditoleransi bila bayi menggunakan alat bantu napas yang memungkinkan bayi terfiksasi pada posisi terentu, namun perlu dipertimbangkan bahwa bayi yang tidak direposisi selama lebih dari 3-4 jam hingga 12 jam maka akan mengakibatkan nyeri dan menurunkan kualitas tidur bayi (Jeanson, 2013). - Skor 12 merupakan skor sempurna, perawat dapat perlu mempertahankan posisi tersebut
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
21
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Hasil penghitungan uji interrater reliability
dengan menggunakan uji
Kappa menunjukkkan belum ada persamaan persepsi antara mahasiswa dengan perawat dalam menilai posisi bayi prematur menggunakan Infant Positioning Assessment Tool 2. Hasil pelaksanaan proyek inovasi penggunaan Infant Positioning Assessment Tool menunjukkan bahwa alat ukur tersebut bermanfaat untuk menilai posisi bayi prematur, namun dalam pelaksanaan memerlukan pemahaman yang baik.
6.2 Saran 1. Perlu adanya penyamaan persepsi perawat dalam penggunaan Infant Positioning Assessment Tool melalui bedside teaching orang per orang dan berulang dengan ditambahkan gambar atau rekaman video 2. Infant Positioning assessment Tool dapat direkomendasikan sebagai dasar perawat melakukan intervensi keperawatan dalam mengkaji memposisikan bayi prematur.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
dan
22
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2012). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Baharestani, M. M., & Ratliff, C. R. (2007). Pressure ulcer in neonates and children: An NPUAP White Paper. Advances in Skin & Wound Care, 20 (4), 208-220. Chapman, L., & Durham, R. (2010). Maternal-newborn nursing: The critical components of nursing care. Philadelphia: F.A. Davis Company. Coughlin, M., Lohman, M.B. (2010). Reliability and Effectiveness of an Infant Positioning Assessment Tool to Standardize Developmentally Supportive Positioning Practice in the Neonatal Intensive Care Unit, Newborn and Infant Nursing review, 10(2), 104-106. Hough, J.L., Johnston L., Brauer S., Woodgate P., & Schibler, A. (2013). Effect of body position on ventilation distribution in ventilated preterm infants. Pediatric Critical Care Medicine, 14(2), 171-177. Kenner, C., & McGrath, J.M. (2004). Developmental care of newborns & infants: A guide for health professionals. St. Louis: Mosby. Jeanson, E. (2013). One-to-one bedside nurse education as a means to improve positioning consistency. Newborn & Infant Nursing Reviews, 13, 27-30. Joseph, N.C., Ambika, K., & Williams, S. (2013). A study to assess the effectiveness of nesting on posture and movements among preterm babies in selected hospital at Mysore, International Journal of Contemporary Surgery, 1(2), 27-30. Leone, A., Ersfeld, P., Adams, M., Schiffer, P.M., Bucher, H.U. & Arlettaz, R. (2012). Neonatal morbidity in singleton late preterm infants compared with full-term infants. Foundation Acta Pediatrica, 101, 6-10. Levy J., Habib R.H., Liptsen E., Singh, R., Kahn, D., Steele, A.M. et al. (2006). Prone versus supine positioning in the well preterm infant effect on work breathing and breathing patterns. Pediatric Pulmonal, 41(8), 754-758. Lund, C.H., Osborne, J.W., Kuller, J., Lane, A.T., Lott, J.W. & Raines, D.A. (2011). Neonatal skin care: Clinical outcomes of the AWHONN/NANN evidence-based clinical practice guideline. Journal Obstet Gynecol Neonatal Nursing, 30 (1), 41-51.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
23
Priya S.K.G. & Bijlani J. (2005). Low cost positioning device for nesting preterms and low birth weight neonates. http://www.pediatriconcall. com/fordoctor/conference/low birth_weight_neonates.asp. Rubin, S. & Davis, S. (2011). Clinical guideline: Maintenance of skin integrity. East England neonatal Benchmarking Group, 1, 1-10. Soniya, P.S. (2013). The effectiveness of one-to-one scripted bedside teaching of nurses on positioning of neonates in the neonatal unit of a selected hospital, Banglore. Dissertation. Karnataka: Rajiv Gandhi University of Health science. Vaivre D.L., Ennouri, K., Jrad I., Garrec C., & Papiernik E. (2004). Effect of positioning on the incidence of abnormalities of muscle tone in low-risk, preterm infants. European Journal of Paediatric Neurology, 8(1), 21-34. WHO. (2004). Low birth weight: Country, region and global estimates. New York: UNICEF. Willock, J., & Maylor, M. (2004). Pressure ulcer in infant and children. Nursing Standard, 24, 56-62.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
24
Lampiran 1
LEMBAR OBSERVASI PROYEK INOVASI PENGGUNAAN INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL UNTUK MENGEVALUASI POSISI PADA BAYI PREMATUR Petunjuk pengisian: A : Tuliskan data pasien sesuai catatan medis, kode responden tidak perlu diisi B : Tuliskan skor penilaian pada kolom skor, jumlahkan skor pada kolom total skor C : Berikan tanda cek pada pilihan anda, tuliskan pendapat anda pada kolom alasan A. KARAKTERISTIK RESPONDEN : ………………….. 1. Inisial bayi 2. Usia gestasi : ….. minggu : ..… minggu …… hari 3. Usia Kronologis 4. Penggunaan alat bantu napas : ....................
KODE RESPONDEN
B. PENILAIAN POSISI INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL INDIKATOR Bahu Tangan Pinggul/ Pangkal paha Lutut/ pergelangan kaki/ kaki
Kepala
Leher
0
1
2
Bahu tertarik ke samping Tangan menjauh dari batang tubuh
Bahu mendatar/ netral Tangan menyentuh batang tubuh
Pinggul menjauh dari batang tubuh /Rotasi keluar
Pinggul melebar
Bahu sedikit melingkar Tangan menyentuh wajah Pinggul lurus dengan batang tubuh dan sedikit fleksi Lutut, pergelangan kaki, dan kaki segaris, dan sedikit fleksi Kepala sejajar garis tengah hingga kurang 45ᴼ dari garis tengah (kiri atau kanan) Leher posisi netral, sedikit fleksi kedepan dan lurus dengan tulang belakang
Lutut melebar/ pergelangan kaki dan dan kaki rotasi keluar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) lebih dari 45ᴼ dari garis tengah Leher tidak lurus dengan tulang belakang
Lutut, pergelangan kaki dan kaki melebar Kepala rotasi ke samping (kiri atau kanan) 45ᴼ dari garis tengah Leher posisi netral tetapi kurang lurus dengan tulang belakang
Total Skor
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
SKOR
25
C. SIKAP PERAWAT 1. Saat menggunakan “infant positioning assessment tool”, Saya merasa: Mudah Sulit Alasan : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Saya merekomendasikan penggunaan “infant positioning assessment tool” untuk mengevaluasi posisi pada bayi prematur Ya Alasan : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… 2.
Tidak Alasan : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
26
Lampiran 2 INSTRUKSI KERJA PENGGUNAAN INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL UNTUK MENGEVALUASI KETEPATAN PENGATURAN POSISI MIDLINE PADA BAYI PREMATUR I.
Pengertian Menilai posisi bayi dengan mengguanakan alat ukur Infant Positioning Assessment Tool.
II. Tujuan Mengetahui ketepatan posisi bayi apakah sudah sesuai dengan kebutuhan posisi bayi yaitu midline kontrol simetris Memberi dasar bagi perawat untuk memposisikan dan mereposisi bayi
III. Kriteria Bayi Bayi prematur usia gestasi 28 minggu hingga kurang dari 37 minggu yang dirawat di ruang perinatologi RSUPN Cipto mangunkusumo Jakarta.
IV. Prosedur Teknis/Pelaksanaan a. Melakukan apersepsi dengan perawat yang akan melakukan penilaian tentang alat ukur, cara penilaian dan cara pengisisan formulir b. Meminta kesediaan perawat untuk melakukan penilaian terhadap posisi bayi c. Residen dan perawat menyepakati bayi yang akan dilakukan penilaian sesuai kriteria d. Residen dan perawat melakukan penilaian posisi bayi menggunakan Infant Positioning Assessment Tool (IPAT) secara independen. e. Perawat melengkapi format dengan mengisi sikap terhadap penggunaan IPAT f. Residen melakukan diskusi terhadap hasil penilaian g. Melakukan analisa terhadap hasil penilaian dan pernyataan sikap perawat h. Menyajikan hasil analisa berupa data statistik dan rekomendasi
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
27
CEK LIST INSTRUKSI KERJA PENGGUNAAN INFANT POSITIONING ASSESSMENT TOOL UNTUK MENGEVALUASI KETEPATAN POSISI MIDLINE PADA BAYI PREMATUR
No
Tindakan
1
Menyiapkan formulir Infant Positioning Assessment Tool
2
Ressiden dan perawat melakukan apersepsi
3
Memilih kriteria bayi yaitu bayi dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu dan tidak sedang mendapatkan prosedur tindakan
4
Menilai posisi bayi dengan mengisi skor pada formulir
5
Menghitung skor total penilaian
6
Melakukan tindakan terhadap hasil penilaian: - Skor total ≤ 8 segera lakukan reposisi bayi - Skor total 9 – 11 tidak harus segera dilakukan reposisi - Skor total 12 tidak memerlukan reposisi Keterangan: (tunda reposisi bila bayi dalam kondisi tidur non REM, kecuali membahayakan bayi)
7
Mendiskusikan hasil penilaian
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
Dilakukan Ya
Tidak
28
Lampiran 3 Infant Positioning Assessment Tool
0
INDICATO R
1
2
Shoulders
Shoulders retracted
Shoulders flat/ in neutral
Shoulders softly rounded
Hands
Away from the body
Touching torso
Touching face
Hips
Abducted/
Extended
Aligned and softly flexed
Knees extended/ankles and feat externally rotated
Knees, ankles, feet extended
Knees, ankles
Rotated laterally (L or R) >45degree from midline
Rotated laterally (L or R) 45degree from midline
externally rotated Knees/Ankle s/
Feet are aligned and softly flexed
Feet Head
Positioned midline to <45degree from midline (L or R)
Neck
Hyper extended
Neutral but poorly aligned with supine
Neutral position slightly flexed forward and aligned with spine cumulative score
Sumber: Coughlin & Lohman, 2010.
Penerapan model ..., Yayuk Setyowati, FIK UI, 2014
TOTAL SCORE