UNIVERSITAS INDONESIA
TINGKAT AGRESIVITAS SOSIAL PELAJAR Sebuah Kajian Sosiologis Mengenai Hubungan Antara Budaya Sekolah (School Culture) Dan Konformitas Peer Group Terhadap Perilaku Agresif Pelajar SMA
PROPOSAL SEMINAR TUGAS AKHIR
FITRIANI 1006692700
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI DEPOK JUNI 2013
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2012, dunia pendidikan di kota Jakarta kembali dikejutkan dengan perkelahian pelajar SMA antara SMA 70 Bulungan dan SMA 6 Jakarta. Selain itu, ada bentuk perilaku agresi yang dilakukan pelajar SMA Don Bosco, Pondok Indah dengan memukul, menendang, dan menghina teman sekolahnya. Berdasarakan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2012) mencatat terjadi 87% kekerasan anak di lingkungan sekolah dan sebanyak 77 SMU di Jakarta yang terdapat siswanya melakukan tindakan perkelahian. Selain itu, KPAI juga mencatat terdapat 157 kasus perkelahian pelajar di Jakarta tahun 1992, 183 kasus pada tahun 1994 dengan menewaskan 10 pelajar, 194 kasus pada tahun 1995 dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain, 230 kasus pada tahun 1998 yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Beragam bentuk perkelahian, tawuran, dan tindakan kekerasan yang terjadi di sekolah secara psikologis dikenal sebagai perilaku agresi. Biasanya, individu berperilaku agresi sebagai bentuk pelampiasan kemarahan yang ditujukan kepada orang lain. Namun, perilaku agresi yang terjadi di kalangan pelajar saat ini berbeda dengan agresi
pada
umumnya. Perilaku
agresi
yang terjadi di
sekolah
menggambarkan bentuk kekerasan yang telah terorganisir, agresi yang dilakukan berulang, dan adanya relasi kekuasaaan yang tidak berimbang antara pelajar. Di bawah ini dipaparkan beberapa gambaran perilaku agresi yang terjadi di kalangan pelajar SMA di Jakarta.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
2
Tabel 1 Perilaku Agresi Pelajar SMA Jakarta Sekolah Penyebab SMA 90 Warisan tradisi sekolah dari Jakarta senior kelas 2 dan 3 untuk mengikuti penataran. SMA 82 Aturan kepada junior untuk Jakarta tidak melewati koridor yang merupakan tempat tongkrongan siswa kelas XII SMA 46 Senior meminjam motor Jakarta dengan memaksa dan perlakuan kasar kepada siswa kelas 1.
Jenis Perilaku Agresif Siswa kelas 1 disuruh buka baju, push up, lari dan ditampar. Pemukulan terhadap siswa kelas 1 dan 2 yang melanggar aturan tersebut.
Pemukulan dengan helm dan tangan kosong, tendangan di punggung, dan 5 sundutan rokok di lengan kanan yang dilakukan siswa kelas 3 kepada siswa kelas 1. SMA 70 Pelanggaran terhadap aturan Siswi kelas 1 dihardik, dipukul, Bulungan senior yang dilakukan junior dan dicengkeram. karena tidak memakai singlet. Sumber: http://news.detik.com
Perilaku agresi di sekolah pada tabel di atas dilakukan dalam bentuk agresi fisik langsung yang berakibat melukai fisik dan psikis korban. Ironinya, perilaku agresi di kalangan pelajar ditemukan di sekolah negeri yang berstatus sekolah yang diselenggarakan secara terpadu oleh pemerintah. Perilaku agresi di sekolah seringkali dilakukan oleh senior kepada juniornya. Kondisi ini sekilas menunjukkan bahwa dalam institusi pendidikan relasi kekuasaan juga terbentuk, khusunya relasi senior dan junior. Perilaku agresi yang dilakukan oleh senior kepada junior secara tidak sadar sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan dan melanggengkan aturan nonformal dan tradisi sekolah. Mengacu pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Center Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM di 4 kota besar, Solo, Semarang, Surabaya dan Malang untuk siswa SMA, SMK dan MA ditemukan bahwa setidaknya 8% dalam setiap 6 bulan sekali anak mengalami kekerasan verbal dan non-verbal, serta sekitar 21.30% perilaku agresi dilakukan oleh siswa laki-laki dan hal yang lebih mengejutkan, ada 8.60% siswa yang secara langsung menyaksikan gurunya melakukan kekerasan kepada siswa di sekolah. Dari pengalaman siswa di sekolah
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
3
maka ditemukan pula bahwa sekitar 41.50% siswa memiliki emosi negatif di lingkungan sekolah (Natalia, 2012). Di sekolah, perilaku agresi dalam bentuk kekerasan fisik bukan sekedar terjadi antarsiswa, tetapi dilakukan oleh guru terhadap siswa. Perilaku agresi di kalangan siswa biasanya dikenal dengan bullying. Menurut Samson (2008) dalam Penelitian Internasional menunjukkan bahwa bullying merupakan hal yang biasa terjadi di sekolah. Penelitian sosiologis yang dikemukan oleh Herbert (19943), Rigby dan Slee (1995), serta Morita (1996) mengatakan bahwa perilkau agresif dikalangan pelajar merupakan sesuatu yang terjadi secara merata di sekolah (Yoneyama & Naito, 2003.p.316). Tindakan kekerasan yang dilakukan guru biasanya disebut sebagai corporal punishment. Straus dan Donnelly (1993) mendefinisikan corporal punishment merupakan bentuk hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar
aturan
yang
bertujuan
untuk
mendisplinkan
siswa
(Turner&Finkerlhor,1996,p.155) Dalam institusi pendidikan sekalipun, perilaku agresi tidak dapat dihindarkan. Perilaku agresi yang terjadi di kalangan pelajar maupun agresi guru kepada siswanya belum mencerminkan safety climate dalam sekolah. Perilaku agresi yang terjadi di sekolah cenderung untuk memperlihatkan kontestasi kekuasaan di kalangan pelajar. Namun, hal itu dapat menjadikan institusi sekolah sebagai tempat yang mengancam bagi siswa dalam menuntut ilmu. Padahal, sekolah merupakan agen sosialisasi penting dalam mentransfer kebudayaan, mengadakan kumpulan sosial, dan memperkenalkan anak dengan toko teladan (Idi, 2011). Sekolah seharusnya meberikan budaya positif kepada peserta didik dan suasana yang kondusif. Budaya yang positif untuk perilaku pelajar yang positif pula tidak terlepas dari nilai, norma, tradisi, dan interaksi yang dijalankan oleh sekolah. Perilaku agresi yang terjadi dikalangan pelajar secara tidak langsung memunculkan budaya sekolah yang negatif dimana kegiatan seperti tawuran, berkelahi merupakan kegiatan yang tidak mendukung pada peningkatan kualitas pendidiakn. Oleh karena itu, norma yang memaksa dan sikap mempertahankan tradisi memicu individu untuk bertindak agresi. Misalkan senior melakukan agresi fisik kepada junior merupakan hal yang biasa dan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
4
wajar dikarenakan senior memiliki tingkatan lebih tinggi dan aturan ini secara terus menerus direproduksi. Begitu pula dengan guru yang memandang bahwa hukuman fisik yang diberikan kepada siswa sebagai hal yang wajar dalam membangun aturan kedisplinan. Dengan demikian, budaya sekolah memainkan peran penting terhadap munculnya perilaku agresi di kalangan pelajar. Perilaku agresi di kalangan pelajar tidak hanya berkenaan dengan bagaimana norma sekolah menimbulkan hal tersebut terjadi, tetapi juga berkenaan dengan peer group pelajar. Di sekolah, anak memiliki teman bermain dan menghabiskan waktu luang di sekolah bersama teman-teman dengan berbagai kegiatan. Begitu pula di luar sekolah, anak juga memiliki peer group yang berasal dari kerabat, tempat tongkrongan, dan neighbourhood. Banyak waktu yang dihabiskan oleh anak bersama peer group-nya cenderung membuat anak untuk bersikap dan melakukan kegiatan seperti temannya. Sama halnya dengan sekolah, peer group yang positif dapat membuat anak konform pada tindakan yang positif pula, begitu pula sebaliknya. Anak yang masih duduk di SMA (masa remaja) terkadangkala sulit mendapatkan pegangan atau aturan tunggal dalam menuntunnya. Oleh karena itu, anak cenderung akan bersikap dengan orang yang cenderung juga memiliki karakteristik yang sama dengannya seperti teman sebaya dalam kelompok bermainnya. Dengan demikian, perilaku agresi pelajar seperti di kota Jakarta begitu kompleks. Terjadinya perilaku agresi di kalangan pelajar SMA dapat disebabkan dari kondisi lingkungan sekolah itu sendiri dan juga pengaruh dari teman bermainnya baik teman sekolah maupun teman diluar sekolah.
I.2 Permasalahan Penelitian Secara hakiki, pendidikan dipahami sebagai sebuah kegiatan yang memotivasi dan mendidik. Namun, kenyataan yang ada dalam institusi pendidikan tidak sejalan secara sinergis dan damai. Ivan Illich dan Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan juga mengandung unsur penindasan (O’Neil, 2001). Dalam upaya mendukung proses belajar dan peningkatan kualitas pendidikan beragam cara yang digunakan oleh pendidik untuk meningkatkan kedispilnan. Nilai-nilai budaya tertentu dan norma
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
5
ditanamkan kepada peserta didik, yang mana hal tesebut seringkali dilanggengkan oleh senior atau alumni kepada juniornya. Namun, dalam rangka menjalankan norma dan nilai dalam lingkungan sekolah secara tidak sadar memunculkan berbagai bentuk perilaku. Masalah agresivitas di kalangan pelajar seperti memukuli, tawuran, menghina, menendang, memalak, memaksa, menakut-nakuti, mengosip bukan lagi dikarenakan pelampiasan emosi individu melainkan bagaimana kondisi sekolah memunculkan perilaku tersebut. Agresi yang terjadi di kalangan pelajar tidak hanya melukai orang lain, tetapi berdampak sosial dimana terganggunya proses belajar di sekolah. Berdasarkan survei, Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat perilaku kekerasan yang cukup tinggi dikalangan pelajar, setelah Yogyakarta. Padahal, kota Jakarta merupakan pusat terdapatnya sekolah-sekolah yang dipandang bagus dari segi sarana dan kualitasnya. Namun, begitu kontras ketika melihat kenyataan yang ada dimana dikalangan pelajar bersikap saling bermusuhan dan berkelahi. Lagipula, perilaku agresi di kalangan pelajar seringkali ditemukan di SMA Negeri Favorit di Jakarta di SMAN 82 Jakarta (Tempo,2009). Di sekolah, perilaku agresi di kalangan pelajar dapat berawal dari bentukbentuk budaya sekolah yang terlihat dari adanya kegiatan kedisiplinan, masa orientasi siswa (MOS), dan adanya budaya senioritas. Kegiatan kedisplinan yang diterapkan oleh sekolah terkadang dapat bersifat agresi fisik yang akibatnya
menciptakan
negatif climate di sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh Yoneyama & Naito (2001), seperti penjara dan tempat militer, sekolah sebagai institusi sekolah yang dijalankan atas dasar hubungan yang hirarki dan wewenang dengan jelas pembagian perannya secara sosial, serta sekolah merupakan organisasi birokratis yang didukung dengan tradisi, kedisiplinan dan hukuman, yang melibatkan kekerasan fisik (p.317). Budaya senioritas, kedisplinan, hukuman bagi siswa yang melanggar memperlihatkan kegiatan disekolah dijalankan tingkat kewenangannya. Budaya sekolah seperti MOS, budaya senioritas, sanksi terhadap siswa dari guru yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ironinya, kegiatan tersebut secara sadar mendapatkan penerimaan dari kepala sekolah, guru, dan staf sekolah.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
6
Selama ini, kebanyakan penelitian secara psikologis, perilaku agresi pelajar dipicu dari frustasi, dan kemarahan. Padahal, saat ini perilaku agresi di kalangan pelajar bukanlah sifat kemarahan semata melainkan relasi di dalam sekolah membentuk individu untuk agresi. Penelitian ini berusaha untuk memfokuskan bahwa sekolah berperan dalam mempengaruhi perilaku agresi di kalangan pelajar. Budaya sekolah merupakan kunci utama dalam menciptakan safety climate dalam sekolah. Dalam beberapa penelitian, budaya sekolah mempengaruhi tingkat prestasi siswa dan kinerja guru. Namun, UNICEF (2001) melihat bahwa budaya sekolah dapat membuka ruang bagi terciptanya kekekerasan. Dari data dan fakta-fakta yang dijabarkan, maka penelitian ini mencoba melihat bahwasannya budaya sekolah berhubungan dengan perilaku agresi di kalangan peserta didik. Selain itu, teman bermain anak baik di sekolah maupun yang berasal dari luar sekolah cukup mempengaruhi perilaku agresi siswa di sekolah. Kelompok bermain anak tidak hanya berasal dari sekolah saja, namun dapat berasal dari kerabat, tempat tongkrongan, neighbourhood, dan sebagainya. Namun, dalam penelitian sebelumnya tidak memperlihatkan kelompok bermain yang berasal dari mana dan kelompok bermain seperti apa yang cukup mempengaruhi perilaku agresi pelajar di sekolah.
I.3 Pertanyaan Penelitian Dari penjelasan mengenai permasalah agresivitas di kalangan pelajar SMA Negri (SMAN) di Jakarta, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan budaya sekolah (school culture) dengan tingkat agresivitas pelajar SMA di Jakarta? 2. Bagaimana hubungan antara tingkat konformitas anak dalam peer group dengan tingkat agresivitas pelajar SMA di Jakarta? 3. Motif apa saja yang melatarbelakangi kecenderungan pelajar SMA di Jakarta dalam berperilaku agresi?
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
7
I.4 Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara budaya sekolah (schooll culture) dengan tingkat perilaku agresif pelajar SMA di Jakarta. 2. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara tingkat konformitas anak dalam peer group dengan tingkat perilaku agresif pelajar SMA di Jakarta. 3. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi kecenderungan pelajar SMA di Jakarta dalam berperilaku agresif.
I.5 Limitasi dan Delimitasi Penelitian Cakupan penelitian ini hanya terbatas pada pelajar SMA Negeri di kota Jakarta yang katakteristik pelajarnya merupakan representasi dari semua golongan masyarakat (dilihat dari SSE, agama, jenis kelamin, dan etnis). Selanjutnya, keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah keterbatasannya sumber literatur yang membahas perilaku agresif dari sudut pandang sosiologis.
I.6 Signifikansi Penelitian 1. Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah gambaran data empiris mengenai tingkat agresivitas pelajar SMA di Jakarta. Selanjuntya, hasil penelitian ini memberi kontribusi pengetahuan bagi sosiologi pendidikan mengenai analisa agresivitas pelajar dari faktor. konformitas peer group dan budaya sekolah. Lebih lanjut, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang peran institusi sekolah beserta stakeholder-nya untuk mencegah dan menangani perilaku agresi pelajar SMA. Terkahir, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi penelitianpenelitian selanjutnya. 2. Secara praktis, bagi institusi sekolah beserta stakeholder-nya, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi aturan atau kebijakan sekolah (visi-misi sekolah) yang merupakan bagian dari budaya sekolah untuk menciptakan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
8
iklim sekolah yang integratif dan bersinergis antara siswa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi tenaga pengajar untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan moral dalam upaya mencegah perilaku agresi siswa. Terakhir, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai peran orangtua untuk selektif dan protektif dalam membatasi pergaulan anak dengan kelompok bermainnya.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DEFINISI KONSEPTUAL
II.1 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai agresi telah banyak ditelaah dari berbagai jenis disiplin ilmu yang antara lain, yaitu genetics, medis, antropologi, psikologi, psikologi sosial, kriminologi, dan sosiologi. Kebanyakan analisa perilaku agresi menekankan pada level mikro, yaitu individu. Studi mengenai agresi dari ranah antropologi biasanya menggunakan. metode ethnographic
dan
ethnological
(Segall,
1983).
Metode
etnograpik,
yaitu
mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dimasyarakat, studi yang intensif, satu waktu, dan biasanya digunakan oleh sebagian antropolog yang mengkhususkan pada masyarakat tertentu. Sedangkan studi dengan metode etnologikal dengan melakukan komparatif, bersifat extensively studied dan biasanya mengunakan analisis sekunder (Segall, 1983). Studi agresi dalam ranah antropologi mengacu pada perbedaan gender dalam agresi (Barry et al., 1976; Bjorkqvist, Lagerspetz, & Kaukiainen, 1992), pengaruh agen sosialisasi terhadap agresi (Minturn et al., 1964), pengaruh media dalam agresi anak (Huesman, Lagerspetz, & Eron 1984; Mustonen et al., 1993; Viemore et al., 1992). Selanjutnya, studi agresi dalam disiplin psikologi medis dan genetik melihat bahwa faktor genetik yang dominan dalam mempengaruhi perilaku agresi anak. Pola kehamilan ibu biasanya dihubungkan dengan agresi anak. Selain itu, dalam ranah psikologi sosial melihat bahwa agresi sebagai akibat dari ketidakmampuan anak dalam beradaptasi sehingga menciptakan frustasi, hubungan keluarga yang buruk, dan stress sosial. Terkahir, para interaksionis sosial mencoba mengabungkan pengaruh lingkungan sosial dan biologi dalam menciptakan perbedaan gender dalam agresi. Biologis individu dipengaruhi dari bagaimana lingkungan memperlakukan anak tersebut. Para ahli ini melihat individu berperilaku agresi karena social skills. Perilaku agresi berhubungan dengan rendahnya kemampuan sosial individu dalam berinteraksi
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
10
dengan teman sebaya. Secara sosial, kemampuan sosial berguna untuk melibatkan diri dalam interaksi dengan teman sebaya, mempertahankan interaksi, dan mengatasi masalah konflik interpersonal (Asher, Renshaw, & Hymel, 1982). Individu yang kehilangan kemampuan sosialnya cenderung berperilaku negatif dengan teman bermainnya, kesulitan dalam mempertahakankan interaksi sehingga menggunakan agresi untuk menyelesaikan konflik (Dodge, Pettit, McClaskey, & Brown, 1986). Dari studi-studi sebelumnya agresi lebih ditekankan kepada faktor dalam diri individu. Masih sedikit studi yang melihat bahwa perilaku agresi individu dipicu oleh kekuatan stuktur dan relasi sosial individu. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk melihat kekuatan di luar individu yang memunculkan seseorang untuk berperilaku agresi. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai perilaku agresi. Penjabaran ini dimaksudkan untuk membandingkan kesamaan dan perbedaan dari berbagai penelitian-penelitian yang telah dilakukan, serta melihat sisi lain dari agresi yang belum pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya. Adapun penelitian mengenai perilaku agresi antara lain sebagai berikut: II.1.1 Sociological Study of the Factors Affecting the Aggressive Behavior among Youth (Pakistan Journal of Social Sciences Vol. 30, No. 1 (September 2010), pp. 99-108, Ruqaya Imtiaz). Penelitian ini merupakan kajian sosiologis, yang bertujuan mengeksplorasi faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku agresi di kalangan anak muda. Penelitian ini juga berusaha memprediksi faktor sosial apa yang berperan penting dalam menimbulkan dan mengurangi perilaku agresi di kalangan anak muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yang menggunakan kuesioner. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 175 mahasiswa yang semuanya diambil dari Universitas Bahauddin Zakariya Multan, yang merupakan universitas terbesar dari bagian selatan Provinsi Punjab di Pakistan. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik simple random sampling dari semua Departemen Ilmu Sosial, Universitas Bahauddin Zakariya, Multan Pakistan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini melalui kuesioner dengan pertanyaan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
11
terstruktur dan pengisian angket yang dilakukan dengan metode self-administered dimana angket diisi oleh peneliti secara tatap muka langsung dengan responden. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Imtiaz, hipotesis yang dibuatnya bahwasannya lingkungan keluarga, hubungan dengan kelompok sebaya, sikap terhadap pendidikan, dan sikap kepercayaan terhadap agama menjadi faktor penting dan berpengaruh secara signifikan dalam menyebabkan perilaku agresi di kalangan pemuda. Data yang Imtiaz peroleh kemudian dianalisis menggunakan program SPSS dan analisis data menggunakan teknik statistik, yaitu analisis regresi. Hasil penelitian secara sosiologis ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari perilaku agresif berasal dari lingkungan keluarga yang kurang baik, kelompok sebaya yang tidak sehat, sikap kekecewaan terhadap lembaga pendidikan, dan perilaku kaku mengenai mazhab agama. Namun, di uji secara lebih detil bahwasannya kekecewaan atau hubungan yang tidak memuaskan dengan peer group dimana terjadi penolakan dari teman sebaya merupakan faktor yang signifikan dalam menyebabkan agresi di kalangan pemuda. Kemudian, dalam penelitian ini menggunakan analisis agresi untuk melihat faktor yang dapat menggurangi perilaku agresi pemuda. Variabel-variabel yang berperan dalam menurunkan perilaku agresi pemuda antara lain, yaitu lingkungan yang baik di rumah, dukungan orangtua yang tinggi, komitmen orangtua untuk pendidikan anak, kinerja yang memuaskan dalam studi, kepuasan kerja, kelompok sebaya yang sehat, tingkat percaya diri yang tinggi, rendahnya tingkat harapan dari orang lain, lebih banyak akses ke pendidikan agama, tingginya tingkat toleransi di kalangan kaum muda. II.1.2 Relational Aggression at School: Associations with School Safety and Social Climate (Journal Youth Adolescence.2008.37:page: 641–654, Sara E. Goldstein, Amy Young, dan Carol Boyd). Penelitian ini, memaparkan dan mengeksplorasi hubungan agresi di sekolah yang dihubungkan dengan persepsi siswa dan pengalamannya di lingkungan sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei dan pengumpulan datanya menggunakan angket dari pertanyaan-pertanyaan yang
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
12
terstruktur. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 1.335 remaja dimana respondennya direkrut dari kolam renang yang berjumlah 2.048 siswa yang merupakan siswa dari kelas 7 sampai kelas 12 yang berasal dari sekolah umum di wilayah metropolitan Detroit Michigan. Adapun persebaran jumlah respondennya, yaitu 682 responden Amerika Eropa (352 perempuan,330 laki-laki) dan 653 adalah Afrika Amerika (354 perempuan, 299 laki-laki). Kemudian, mengenai distribusi sampel dengan tingkat sekolahnya, yaitu 250 siswa di kelas 8, 299 siswa berada di kelas 9, 217 siswa berada di kelas 10, 157 siswa berada di kelas 11, dan 155 siswa berada di kelas 12. Selanjutnya, hasil penelitian menemukan bahwa perilaku agresi dilakukan secara terang-terangan oleh siswa di sekolah. Perilaku agresi ditampilkan dengan tindakan siswa yang membawa senjata tajam di sekolah, yang akibatnya memunculkan kekhawatiran terhadap siswa lain dimana siswa merasa terintimidasi di dalam lingkungan sekolah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa remaja yang menjadi korban perilaku agresi cenderung memiliki pengalaman sosial yang relatif negatif di sekolah. Temuan lainnya menunjukkan bahwa persepsi siswa tentang sekolah yang aman dan kepuasan pengalaman mereka selama sekolah berhubungan dengan perilaku agresi. Terakhir temuan dalam penelitian ini bahwa tingkat agresi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Dengan demikian, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa masalah agresi yang terjadi di sekolah memberikan kontribusi negatif terhadap persepsi siswa terhadap sekolah dan keyakinan mereka tentang iklim sosial di sekolah. II.1.3 Patterns of Aggressive Behavior and Peer Victimization from Childhood to
Early
Adolescence:
A
Latent
Class
Analysis
(Journal
Youth
Adolescence.2011. 40:page: 644–655, Anne Powell Williford, Daniel Brisson, Kimberly A. Bender, Jeffrey M. Jenson, Shandra Forrest-Bank). Penelitian ini, merupakan kajian psikologis yang mencoba mengkaji perkembangan anak dan transisi anak di sekolah dari SD hingga SMA yang dihubungkan dengan peningkatan perilaku agresi pelajar. Penelitian ini menggunakan latent class analysis dalam melihat pola perilaku agresi anak. Model LCA dilakukan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
13
dengan menggunakan data yang diobservasi oleh peneliti dengan menilai keterlibatan subyek dalam perilaku agresi dan korban perilaku agresi. Penelitian ini menggunakan kerangka sampling 40 sekolah dengan tingkat perilaku agresi yang tinggi di kalangan siswa. Kemudian, didapatkan 28 dari 40 sekolah setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dimana dilakukan dalam lima gelombang dan data dikumpulkan lebih dari 3 tahun. Penelitian ini melihat bahwa anak mengalami masa perkembangan yang ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan relasional dan hal ini didapatkan dalam hasil eksperimen dan perubahan tersebut memberikan keterkaitan dengan meningkatnya perilaku agresi, kenakalan, dan perilaku antisosial di sekolah. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa agresi verbal diantara anak perempuan meningkat pada masa usia anak-anak. Kemudian, bertambahnya usia perilaku agresi meningkat pada subkelompok. Temuan menarik, adalah remaja awal kemungkinan lebih cepat mengalami agresi baik sebagai pelaku maupun korban dan terjadi dalam teman sebaya mereka. Studi eksperimen ini, melihat bahwa di dalam perkembangan anak terjadi juga perubahan hubungan persahabatan anak. Penelitian ini konsisten dengan teori dominasi sosial yang menunjukkan perubahan fisik dan emosional yang terjadi selama masa remaja awal meningkatkan kemungkinan bahwa pemuda dapat bertindak agresi terhadap teman sebaya mereka. Selanjutnya, temuan yang didapatkan bahwa seseorang berperilaku agresi merupakan bagian dari proses individu dan sosial yang bertujuan untuk membangun status, pengaruh, dan hubungan antara teman sebaya. Pemuda dalam masa remaja awal berusaha memasukkan diri dalam kelompok sebaya baru, dan berperilaku agresi sebagai bentuk dari pengorbanan kepada anggota kelompok sebaya. II.1.4 A Study of Aggression Among Adolescents of Jammu District in Relation to Sex, Socio Economic Status and Types of Institutions (Indian Streams Research Journal Vol.3, Issue 1 (Februari, 2013), Mohan Galgotra. Penelitian yang dilakukan Galgotra di Kota Jammu, India, bertujuan untuk melihat agresi remaja dan hubungannya dengan jenis kelamin, status sosial ekonomi,
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
14
dan jenis institusi sekolah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei dimana sampel berjumlah 250 remaja, yaitu 125 remaja perempuan dan 125 remaja laki-laki. Responden dipilih secara acak yang dibatasi hanya pada remaja kelas 10 (3 SMP) yang bersekolah di sekolah swasta dan pemerintah di Kota Jammu, India. Batasan dalam penelitian hanya melihat pada 20 sekolah saja dan hanya pada remaja yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi dan rendah. Dalam penelitian ini, Galgotra mengajukan hipotesis, yaitu jenis kelamim, jenis institusi pendidikan, dan status sosial ekonomi tidak berhubungan secara signifikan terhadap agresi remaja. Namun, hipotesis yang dibuat oleh peneliti berbeda dengan temuan penelitian yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan perilaku agresi remaja yang mana laki-laki lebih agresif dibandingkan dengan perempuan. Temuan kedua, jenis insitusi sekolah berhubungan secara signifikan dengan perilaku agresi remaja yang ditunjukkan bahwa remaja yang bersekolah di sekolah pemerintah cenderung lebih agresif dibandingkan dengan remaja yang bersekolah di sekolah swasta. Temuan ketiga menunjukkan bahwa status sosial ekonomi juga berhubungan secara signifikan dengan perilaku agresi pelajar dimana remaja dengan status sosial ekonomi yang rendah lebih agresif dibandingkan dengan remaja yang berasal dari status sosial ekonomi tinggi. II.1.5 Children’s Aggression in Indonesia: The Effects of Culture, Familial Factors, Peers, TV Violence Viewing, and Temperament (Proquest Dissertations and Theses, 2002, Supra Wimbrati) Penelitian ini merupakan kajian psikologis yang melihat bahwa agen sosialisasi berhubungan dengan perilaku agresi anak. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan faktor demografi apa yang mempengaruhi perilaku agresi pada anak-anak Indonesia. Tujuan yang kedua untuk menentukan bahwa ada perbedaan perilaku agresi anak-anak Indonesia dengan perbedaan jenis kelamin. Tujuan ketiga adalah memahami kontribusi dari agen sosialisasi dalam mempengaruhi perilaku agresi anak-anak. Secara khusus, penelitian ini melihat bahwa agen sosialisasi adalah teman sebaya, media, yaitu TV, dan sifat anak mempengaruhi perilaku agresi anak-
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
15
anak. Tujuan terakhir untuk memprediksi sikap khayalan agresi anak (aggressive fantasy) dengan kebiasan anak dalam menonton program TV yang bersifat kekerasan. Kemudian, penelitian ini juga bermaksud melihat bagaimana budaya Indonesia khususnya dalam budaya Jawa berhubungan dengan perilaku agresi anak. Hal itu didasarkan pada penyataan bahwa budaya menentukan bagaimana agresi ditoleransikan dalam masyarakat dan bagaimana agresi diekspresikan (Parke & Salby, 1983). Di Indonesia diketahui bahwa kontrol terhadap diribegitu tinggi (Kuntjaraningrat, 1985) sehingga Indonesia menolak perilaku agresi. Ketertarikan Wimbrati meneliti perilaku agresi anak dalam budaya masyarakat Jawa dikarenakan secara umum di Jawa menolak adanya perilaku yang membahayakan. Budaya Jawa bertujuan untuk menciptakan harmoni sosial dan salah satu dapat diekspresikan dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus. Penelitian mengenai agresi yang dilakukan dalam konteks Indonesia mengacu pada agresi fisik, verbal dan toy (main/bercandaan). Agresi fisik dilihat dalam bentuk menendang, mendorong, merebut, menjepit, dan menarik rambut. Agresi verbal diekspresikan dengan kemarahan, memanggil nama, mengoda, membuka rahasia, dll sedangkan toy ditunjukkan dengan berkelahi. Penelitian ini melibatkan 58 anak yang belum sekolah, yaitu 33 laki-laki dan 25 perempuan. Pendekatan penelitian ini pada dasarnya menggunakan pendekatan kuantitatif, namun juga menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan datanya. Responden direkrut dari Masjid Syuhada. Metode yang digunakan adalah observasi dengan kuesioner dalam melihat hubungan anak yang agresi dan teman sebaya yang dilakukan dalam sekolah. Kemudian, dilakukan wawancara kepada orangtua anak (ibu) untuk medapatkan informasi dalam melihat tontonan anak terhadap program TV. Untuk mengukur perilkau khayalan agresi anak diukur dengan menggunakan Story Narrative Procedure. Pengamatan perilaku agresi anak dan perilaku agresi anak dengan teman sebaya mereka dimana anak secara individu diamati selam 10 menit dalam indoor dan 10 menit dalam outdoor dengan menggunakan Social Behavior Checklist. Kemudian, aggressive fantasy diukur dengan pengamatan yang dilakukan dengan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
16
cara melihat dua jenis toys yang dilakukan anak-anak, yaitu yaitu neutral toy dan aggressive toy. Neutral toys ditunjukkan dengan permainan mobil-mobilan, terbang, petualangan orang, dan aggressive toys dilihat dengan permainan perang, pistol, dan binatang buas yang diamati dengan 10 menit setiap permainan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teman sebaya dan sifat anak merupakan agen penting yang berhubungan dengan perilaku agresi anak di Jawa. Pendidikan ibu berkorelasi dengan agresi dan aggressive fantasy anak. Tidak ada perbedaan agresi dalam jenis kelamin, namun ada perbedaan aggressive fantasy pada anak dalam perbedaan jenis kelamin. Secara fisik anak laki-laki lebih aktif daripada perempuan. Anak laki-laki lebih menonton program TV yang bersifat kekerasan daripada perempuan. Dari beberapa literatur diatas, peneliti melihat ada relevansi mengenai penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Untuk melihat relevansi dan kontribusi dari penelitian yang akan dilakukan, maka peneliti melakukan review terhadap penelitian sebelumnya.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
17
Tabel 2 Poin Review Tinjauan Pustaka No 1.
Judul Peneliti Penelitian “Sociologic Ruqaya al Study of Imtiaz the Factors Affecting the Aggressive Behavior among Youth”
Objek Penelitian Mahasiswa Universitas Bahauddin Zakariya Multan di Pakistan
Metode Penelitian Kuantitatif: Survei
Hasil Kajian
Relevansi
Tanggapan
Hasil penelitian secara sosiologis, faktor yang paling signifikan dalam menyebabkan agresi di kalangan pemuda adalah kekecewaan atau hubungan yang tidak memuaskan dengan peer group. Faktor lainya, lingkungan keluarga yang kurang baik, kepuasan terhadap pengalaman di sekolah, serta perilaku kaku terhadap agama juga berhubungan dengan perilaku agresi mahasiswa.
Keterkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah faktor peer group khususnya dalam interaksi dan relasinya merupakan hal yang harus diperhatikan dalam menganalisa tinggi atau rendahnya perilaku agresi dikalangan pelajar.
Dalam penelitian ini melihat bahwa penolakan dalam peer group menyebabkan seseorang berperilaku agresi. Perilaku agresi yang ditujukan kepada oranglain merupakan cara mahasiwa agar diterima oleh peer group. Studi sosiologis ini masih menekankan dalam analisa mikro dan tidak dilandasi dengan teori sosiolgis yang mendukung hasil temuannya. Penelitian ini kurang memaparkan bentuk penolakan peer group dan jenis peer group seperti apa yang memicu seseorang untuk berperilaku agresi. Selain itu, temuan yang dikemukakan bahwa
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
18
2.
“Relational Aggression at School: Association s with School Safety and Social Climate”
Sara E. Goldstein, Amy Young dan Carol Boyd
Siswa Kelas Kuantitatif: 7–Kelas 12 Survei atau siswa/i SMP dan SMA
Kajian ini dari psikologi sosial yang menunjukkan bahwa remaja yang menjadi korban perilaku agresi cenderung memiliki pengalaman sosial yang relatif negatif di sekolah. Dari persepsi
Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan bahwasannya kondisi dalam lingkungan sekolah berkaitan dengan perilaku agresi di kalangan
pengalaman mahasiswa di sekolah dimana pengaruh ruang kelas, teman sebaya, guru, administrator, dan sekolah dapat berperan dalam perilaku agresi seseorang tidak terlalu dielaborasi. Tidak dijelaskan iklim/kondisi sekolah yang seperti apa yang dapat membuat seseorang berprilaku agresi. Kekurangan lain dari penelitian ini tidak memaparkan jenis perilaku agresi yang dilakukan dalam kalangan pelajar muda. Penelitian ini tidak menunjukkan jenis perilaku agresi sering dilakukan oleh pelajar. Kelemahan dalam penelitian ini, kurang mengeksplorasi relasi antara teman sebaya di sekolah, dan peran
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
19
siswa bahwa sekolah tidak dapat menciptakan iklim sekolah yang baik sehingga menghadirkan perilaku agresi di sekolah.
3.
Patterns of Aggressive Behavior and Peer Victimizatio n from Childhood to Early Adolescenc
Anne Powell Williford, Daniel Brisson, Kimberly A. Bender, Jeffrey M. Jenson,
20 Sekolah Kuantitatif: yang Eksperimental merepresent asikan anak dalam transisi pendidikan dari SDSMA
Studi ini merupakan disiplin psikologi yang melihat perubahan perkembangan emosi, relasi, dan fisik berhubungan dengan perilaku agresi anak. Temuan yang didapat menunjukkan bahwa
pelajar. Namun, penelitian yang dilakukan ini dalam melihat bagaimana kondisi lingkungan secara khusus dari budaya sekolah. Peneliti berasumsi bahwa budaya berperan dalam menciptakan suasana yang negatif ataupun kondisi yang dapat memicu ataupun mengurangi perilaku agresi di kalangan pelajar. Keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan adalah individu berperilaku agresi dapat dikarenakan berusaha membentuk relasi dalam peer
guru dalam memicu anak untuk berperilaku agresi.
Studi ini lebih menekankan bahwa perubahan emosional individu mengakibatkan perubahan perilaku siswa karena terjadinya perubahan pola pandang, pola
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
20
e: A Latent Shandra Class ForrestAnalysis Bank
4.
A Study of Mohan Aggression Galgotra Among Adolescents of Jammu District in Relation to Sex, Socio Economic Status and Types of Institutions
Remaja Kuantitatif: yang duduk Survei di kelas 3 SMP yang dikhususkan hanya pada sekolah swasta dan sekolah pemerintah yang semuanya berjumlah 20 sekolah. Selanjutnya, responden
individu dalam masa remaja awal cenderung melakukan perilaku agresi dalam subkelompok atau teman sebaya mereka. Individu dalam masa remaja awal cenderung memasukkan diri pada peer group yang baru. Akibatnya, seseorang berperilaku agresi sebagai upaya untuk di terima dalam peer group barunya. Temuan dari penelitian ini mengemukakan berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih agresif dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan jenis institusi sekolah menunjukkan bahwa anak yang berasal dari sekolah pemerintah lebih agresif dibandingkan anak yang berasal dari sekolah swasta.
group. Selain itu, relevansinya penelitian yang dilakukan ini ditujukan kepada anak SMA yang mana telah memasuki tahapan remaja.
pikir, dan pola relasi siswa. Padahal perubahan emosional tidak secara langsung mempengaruhi perilaku agresi individu. Selain itu, penelitian ini tidak melihat peran agen sosial yang berperan dalam membentuk tingkah laku anak.
Relevansi dengan penelitian yang dilakukan adalah bahwa institusi sekolah berkaitan dalam mempengaruhi perilaku agresi anak di sekolah. Namun, penelitian yang dilakukan mengkhususkan pada faktor budaya sekolah dalam melihat
Kelemahan dari penelitian ini tidak adanya teori khusus yang digunakan dalam menjelaskan perilaku agresi yang dipengaruhi dengan variabel independent. Selanjutnya, penelitian ini tidak memaparkan penyebab mengapa anak yang berasal dari institusi pemerintah lebih agresif dibandingkan yang bersekolah di sekolah
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
21
hanya berasal dari kelas sosial rendah dan tinggi.
Berdasarkan kelas sosial menunjukkan bahwa anak yang berasal dari kelas sosial rendah lebih agresif daripada anak yang berasal dari kelas sosial tinggi.
peran institusi swasta. pendidikan dalam mempengaruhi perilaku agresi anak. Studi ini cukup relevan dijadikan sebagai sumber referensi karena konteks masyarakat di India hampir mirip dengan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan dengan menjadikan sekolah pemerintah sebagai obyek penelitian dimana pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa anak yang bersal dari sekolah pemerintah lebih agresif dibandingkan yang berasal dari
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
22
5.
Children’s Supra Aggression Wimbrati in Indonesia: The Effects of Culture, Familial Factors, Peers, TV Violence Viewing, and Temperame nt
Anak yang Kuantitatif: Studi ini merupakan belum Observasi dan disiplin psikolofi yang sekolah Survei menunjukkan bahwa teman sebaya merupakan agen penting yang berhubungan dengan perilaku agresi anak di Jawa. Pendidikan ibu berkorelasi dengan agresi dan aggressive fantasy anak. Berdasakan jenis kelamin, tidak ada perbedaan agresi pada anak, namun ada perbedaan aggressive fantasy pada anak dalam perbedaan jenis kelamin. Secara fisik anak laki-laki lebih aktif daripada perempuan. Anak lakilaki lebih menonton program TV yang bersifat kekerasan daripada perempuan.
sekolah swasta. Relevansi dengan penelitian yang dilakukan karena berhubungan dengan konteks Indonesia. Kemudian, agen yang sangat signifikan dalam perilaku agresif anak adalah peer group.
Kelemahan dari penelitian ini adalah bahwasannya objek penelitiannya anakanak yang belum sekolah. Tentunya, kondisi emosional anak belum stabil dan perilaku agresi anak dan aggressive fantasy anak dipengaruhi dengan rasa keingintahuan anak. Analisis dalam penilitian ini sangat menekankan faktor emosional anak adalam berperilaku agresi. Selanjutnya, dalam penelitian ini disinggungkan mengenai budaya Jawa asyarakat Indonesia berhubungan dengan perilaku agresi anak, namun tidak dipaparkan secara lebih lanjut akan nilai budaya tersebut dalam
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
23
membentuk anak.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
sikap
24
Dari review diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan kuantitatif. Secara substansi penelitian yang akan dilakukan ini sama dengan penelitian sebelumnya melihat bahwa peer group dan situasi dalam institusi pendidikan dapat memunculkan individu untuk berperilaku agresi. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti melihat secara khusus perilaku agresi berkenaan dengan conformity anak dalam peer group-nya. Serta, dalam melihat perilaku agresi yang terjadi dalam institusi pendidikan, peneliti menggunakan budaya sekolah. Kontribusi dalam penelitian ini mengkaji jenis peer group seperti apa dan berasal dari mana yang dapat mempengaruhi anak berperilaku agresi yang merupakan hal yang belum dijelaskan dalam penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya melihat bahwa lingkungan sekolah dan jenis institusi sekolah berhubungan dengan perilaku agresif, tetapi tidak menjelaskan unsur dari sekolah seperti norma, nilai, di sekolah mengakibatkan individu berperilaku agresi. Selanjutnya, kontribusi yang diberikan untuk memaparkan jenis perilaku agresi seperti apa yang terjadi di kalangan pelajar. Kemudian, secara khusus penelitian ini berkontribusi dalam menjelaskan terjadinya perilaku agresi di kalangan pelajar disebabkan oleh “relasi” dan “kondisi stuktural” bukan karena kemarahan atau pengaruh emosional individu.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
25
II.2 Definisi Konseptual Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua variabel independen, yaitu tingkat konformitas anak dalam peer group dan budaya sekolah dalam melihat hubungannya dengan tingkat agresivitas pelajar. Adapun dibawah ini akan dijelaskan mengenai konsep dari setiap variabel-variabel tersebut.
II.2.1 Perilaku Agresi Menurut Bandura, agresi merupakan perilaku yang secara langsung melukai orang lain atau melakukan pengrusakan (Renfrew.1997). Secara umum, agresi dapat diartikan sebagai berikut: “aggression is a behavior that is directed by an organism toward a target, resulting in damage”. Menurut Moore dan Fine mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap
individu
lain
atau
terhadap
objek-objek.
Berkowitz
(1962)
mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental (p.423). Selain itu, Menurut Secord and Backman (1981) perilaku agresi bermaksud untuk menyakiti atau mencederakan seseorang, bai secara fisik maupun sebaliknya (p.122). Dari definisi diatas menunjukkan bahwa agresi sebagai perilaku yang merusak dan ditujukan kepada orang lain. Secara implisit, definisi mengenai agresi menunjukkan bahwa sesorang secara sadar dapat bertindak agresi. Oleh karena itu, perilaku agresi bukan bentuk emosi, motif, dan sikap dari keadaan emosional individu (Imtiaaz,2010; p.99). Pada awalnya, perilaku agresi lebih banyak dibahas dalam ranah psikologi. Namun, dalam perkembangannya dapat dikaji dari berbagai ilmu pengetahuan karena perilaku agresi tidak hanya disebabkan oleh penyebab tunggal. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perilaku agresi seseorang. Adapun faktor sosiologis yang mempengaruhi perilaku agresif adalah relasi dalam peer group, keluarga, kekecewaan dalam institusi pendidikan (Imtiaz, 2010). Sedangkan Sarwono (1999) melihat perilaku agresi seseorang datang dari luar diri sendiri, yaitu kondisi lingkungan dan pengaruh kelompok.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
26
Perilaku agresif dapat dibedakan beberapa bentuk. Menurut Morgan (dalam Riyanti & Probowo, 1998), membagi agresi menjadi beberapa bentuk yaitu: a. Agresi fisik, aktif, langsung contohnya, menikam, memukul, atau menembak orang lain. b. Agresi fisik, aktif, tidak langsung contohnya, membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh untuk membunuh. c. Agresi fisik, pasif, langsung contohnya, secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan yang diinginkan atau memunculkan tindakan yang diinginkan. d. Agresi fisik, pasif, tidak langsung contohnya, menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya. e. Agresi verbal, aktif, langsung contohnya, menghina orang lain. f. Agresi verbal, aktif, tidak langsung contohnya, menyebarkan gosip atau rumors yang jahat terhadap orang lain. g. Agresi verbal, pasif, langsung contohnya menolak berbicara ke orang lain, menolak menjawab pertanyaan. h. Agresi verbal, pasif, tidak langsung contohnya tidak mau membuat komentar verbal misal menolak berbicara ke orang lain yang menyerang dirinya bila ia di kritik secara tidak fair. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membataskan perilaku agresi pada beberapa bentuk saja, diantara lain: 1. Agresi fisik aktif langsung. Perilaku agresi ini merupakan tindakan agresi yang dilakukan oleh individu kepada orang lain yang bersifat melukai langsung secara fisik seperti tindakan menendang, memukuli, menampar, menjambak, menarik, mendorong dan lain sebagainya. 2. Agresi verbal aktif langsung. Perilaku agresi ini merupakan agresi yang dilakukan individu secara langsung dalam bentuk verbal yang ditujukan kepada orang lain seperti menghina, mengejek, memaki, berbicara kasar dan sebagainya. 3. Agresi verbal aktif tidak langsung. Perilaku agresi ini merupakan agresi dalam bentuk verbal yang dapat ditujukan kepada orang lain secara tidak langsung seperti menfitnah, menyebar gosip, menuduh dan sebagainya.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
27
Peneliti memilih tiga bentuk agresi dalam penelitiannya dikarenakan berdasarkan studi sebelumnya bahwa perilaku agresi yang sering dilakukan dalam kalangan pelajar adalah agresi verbal dan nonverbal. Hal tersebut mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh CPMH Fakultas Psikologi UGM di empat kota di Indonesia terhadap anak SMA dan SMK yang menunjukkan bahwa anak SMA sebanyak 25% siswa mengalami tindakan kekerasan fisik seperti dipukuli dan sebanyak 25% siswa mengalami kekerasan verbal seperti dihina.
II.2.2 Budaya Sekolah (School Culture) Sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang memiliki peran dalam proses sosialisasi anak. Secara sosial sekolah memiliki fungsi, yaitu sekolah mensosialisasikan cara hidup kepada anak, sekolah mewariskan kebudayaan termasuk norma-norma, nilai-nilai dan informasi melalui pengajaran secara langsung, dan sekolah memilih siswa untuk masuk kedalam berbagai jenis pendidikan (Brembeck, 1967). Agar proses sosialisasi yang dijalankan oleh institusi sekolah berjalan dengan baik maka sekolah tersebut harus memiliki budaya sekolah untuk disosialisasikan kepada peserta didiknya. Budaya sekolah merupakan sebuah fenomena sosiologi, karena budaya sekolah menjelaskan proses sosial dalam sebuah institusi. Hal itu dipertegas dengan definisi budaya sekolah dari Peterson (1999) adalah: “School culture is a sociological phenomenon because it explains the school processes occuring within organisation. It is interesting to be studied, because it directly related to process of education (Surmani, 2003). Oleh karena itu, budaya dapat didefinisikan sebagai berikut: “school’s culture can be defined as the traditions, beliefs, policies, and norms within a school that can be shaped, enhanced, and maintained through the school’s principal and teacher-leaders” (Short & Greer, 1997). Selain itu kebudayaan sekolah juga didefinisikan sebagai “a complex set of beliefs, values and traditions, ways of thinking and behaving yang membedakannya dari institusi-institusi lainnya (Vembrianto, 1993). Dari definisi diatas budaya sekolah
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
28
dapat diartikan sebagai seperangkat nilai, norma, dan tradisi yag terdapat dalam institusi sekolah yang digunakan dalam mendukung proses belajar. Setiap sekolah tentunya mensosialisasikan nilai dan norma yang berbada kepada peserta didiknya. Kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur penting, yaitu : 1. Letak, lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, dan perlengkapan lainnya. 2. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yang menjadi keseluruhan program pendidikan. 3. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi 4. Nilai-nilai moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.
Ditinjau dari peningkatan kualitas sekolah, kultur sekolah dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu: 1. Kultur Sekolah yang Positif. Meliputi kegiatan-kegiatan yang mendukung (Pro) pada peningkatan kualitas pendidikan. 2. Kultur Sekolah yang Negatif. Meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak mendukung (Kontra) pada peningkatan kualitas pendidikan. 3. Kultur Sekolah yang Netral. Meliputi kegiatan yang kurang berpengaruh positif maupun negatif pada peningkatan kualitas pendidikan. Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai suatu budaya (Nasution, 1999). Sekolah bertugas untuk mensosialisasikan kebudayaan kepada generasi baru dan karena itu harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Namun, di sekolah itu sendiri timbul pola-pola kelakuan tertentu. Oleh karena itu, nilai-nilai yang disampaikan oleh sekolah dapat berhubungan dengan perilaku anak tersebut di sekolah maupun diluar sekolah. Tentunya, tidak semua sekolah mensosialisasikan nilai dan cara yang sama kepada anak. Budaya sekolah adalah unsur dalam menciptakan iklim lingkungan sekolah yang positif ataupun negatif. Dalam tulisan Alexandria dengan judul The Definition of School Culture and Climate, dimana menyatakan bahwa school culture and climate refers to the sum of the values, cultures, safety practices, and organizational structures within a school that cause it to function and react in
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
29
particular ways. Some schools are said to haw a nurturing environment taht recognizes children and treats them as individuals; others may have the feel of authoritarian structures where rules are strictly enforced and hierarchical control is strong. Teaching practices, diversity , and the relationships among administrators, teachers, parents, and students contribute to school climate. Although the two terms are somewhat interchangeable, school climate refers mostly to the school’s effect on students, while school culture refers more to the way teachers and other staff members work together. (J.L. MC.Brien and R.S Brandt, 1997, p.89). Dari definisi diatas menunjukkan bahwa budaya sekolah dan iklim sekolah mengacu pada nilai, norma, dan tradisi budaya yang dijalankan peserta didik dan pendidik disekolah berdasarkan struktur yang ada. Budaya sekolah ini diupayakan agar mengayomi dan memotivasi peserta didik dalam proses belajarnya. Namun, setiap sekolah memiliki budaya sekolah yang berbeda, ada yang bersifat otoriter atau pun egaliter. Akibatnya menimbulkan pola kelakuan tertentu dalam peserta didik yang dapat saja membentuk prestasi belajarnya ataupun malah berperilaku agresi. Dari berbagai definisi budaya sekolah maka Deal dan Peterson (2009) melihat beberapa elemen penting yang membentuk budaya sekolah, yaitu: 1. Adanya visi dan tujuan bersama 2. Norma, Nilai, kepercayaan, dan asumsi 3. Ritual, tradisi, dan upacara 4. Sejarah dan cerita 5. Orang yang berhubungan dengan sesama 6. Arsitektur, artifak, dan simbol Untuk mengamati kultur sekolah yang berkembang di sekolah-sekolah amatan, menurut Direktorat Pembinaan Sekelah Menengah ada beberapa aspek yang perlu dilihat yang meliputi aspek meliputi: (1) aspek kultur sosial yaitu interaksi antar warga sekolah; (2)aspek kultur akademik; (3)aspek kultur mutu; dan (4)aspek artifak. Aspek kultur sosial (interaksi warga) baik yang bersifat positif, negatif maupun netral meliputi budaya memaafkan, menolong, memberi penghargaan,
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
30
menegur, mengunjungi, memberi selamat, saling menghormati, dan mengucapkan salam dalam melakukan interaksi dengan orang lain sesama warga sekolah. Aspek budaya akademik meliputi monitoring kemajuan belajar, kerajinan membaca, bimbingan belajar, kebiasaan bertanya, keberanian mengemukakan pendapat, persaingan meraih prestasi, kepemilikan buku pelajaran, konsultasi dengan pembimbing, kelompok belajar, penugasan oleh guru, umpan balik dari guru, strategi belajar mengajar, penguasaan bahan dari guru, ketepatan media pembelajaran yang digunakan. Aspek budaya mutu meliputi asesmen terhadap budaya utama sekolah yang meliputi budaya jujur, saling percaya, kerjasama, kegemaran membaca, disiplin, bersih, berprestasi, dan penghargaan, dan budaya efisien. Aspek artifak meliputi asesmen artifak fisik yang ada di sekolah dan artifak perilaku warga sekolah. Dalam penelitian ini unsur budaya sekolah yang ingin dilihat berkenaan dengan nilai, norma, tradisi, dan orang yang berhubungan dengan sesama di sekolah (interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan staf sekolah, siswa dengan siswa, siswa dengan pengurus sekolah). Dalam penelitian untuk melihat nilai yang ada di sekolah peneliti mengadopsikan beberapa nilai yang tercantum dalam aspek budaya mutu yang dikembangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Umum (Dit PSMU, 2002). Selain itu, nilai yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini juga diadopsikan dari visi dan misi beberapa sekolah yang diamati peneliti. Adapun indikator nilai yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nilai keimanan/ketakwaan, toleransi, tanggung jawab, kerjasama, kejujuran, kedisplinan, dan kepercayaan. Untuk mengukur aspek norma dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi dari aspek kultur sosial yang dikembangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Umum yang meliputi aturan menghormati antarwarga sekolah, aturan dalam kegiatan belajar, cara menyelesaikan masalah, dan aturan cara berpakaian. Sama halnya dengan aspek norma, aspek interaksi dalam penelitian ini terhadap budaya sekolah, peneliti mengadopsi aspek kultur sosial dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Umum, yang mana meliputi interaksi interaksi antarwarga sekolah seperti interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan staf pengajar, siswa dengan siswa, dan siswa dengan pengurus sekolah. Sedangkan
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
31
aspek tradisi dalam penelitian ini diukur menggunakan indikator dari penelitian sebelumnya yang meliputi tradisi yang membangun kedisplinan dan motivasi dan tradisi yang memupuk kebersamaan antar warga sekolah.
II.2.3 Konformitas Anak dalam Peer Group Peer Group merupakan salah satu agen sosialisasi sekunder dimana anak mulai mengalami proses belajar mengenai nilai, kultural, kebiasaan, dan norma dari lingkungan sekitarnya. Individu yang berinteraksi dengan peer group-nya akan mengalami proses sosialisasi-merupakan proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar dengan standar dalam kebudayaan suatu masyarakat (Idi, 2011). Peer Group lebih dikenal dengan kelompok bermain yang diartikan dimana anak berinteraksi secara tidak formal dengan orang yang sebaya dengannya seperti teman sekolah, teman yang berasal dari kerabat maupun tetangga. Individu yang berinteraksi dengan teman sebaya akan cenderung membentuk
hubungan
pertemanan
dimana
para
anggotanya
saling
mengidentifikasikan diri satu sama lain dan memiliki rasa identitas bersama yang kuat. Peer group sebagai agen sosialisasi merupakan elemen penting dari penerimaan, penolakan, dan dukungan sosial (Andersen & Taylor,2009). Jika sosialisasi diidentikkan dengan proses adaptasi maka anak atau individu yang berada dalam peer group-nya akan cenderung mengalami penyesuaian diri. Untuk melakukan penyesuaian diri maka seorang anak akan menempuh dengan tiga cara, yaitu konformitas, menurut (compliance), dan penerimaan (acceptance). Konformitas merupakan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja. Tahap menurut merupakan konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju, dan tahap ketiga, penerimaan merupakan konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial (Sarwono, 2001). Sedangkan Robert K. Merton mengidentifikasi lima cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu, yang diantara lain conformity, innovation, ritualism, retreatism, dan rebellion (Perdue, 1986).
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
32
Seorang anak dapat berperilaku konform dalam peer group-nya dapat dikarenakan 3 hal (sarwono, 2001), yaitu: 1. Keterpaduan (cohesiveness)-perasaan kekitaan antaranggota kelompok dimana semakin kuat rasa keterpaduan maka semakin besar pengaruhnya pada perilaku anak. 2. Pengaruh norma dalam kelompok-keinginan untuk memenuhi harapan orang lain sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain. 3. Pengaruh
informasi-karena
adanya
bukti-bukti
dan
informasi-
informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat dielakkan lagi. Selain hal diatas, status yang dimiliki seseorang juga memberikan pengaruh terhadap kecenderungan seseorang untuk menunjukkan perilaku konformitas. Myers (2008) mengatakan bahwa konformitas akan terjadi pada anggota yang memiliki status rendah. Jetten, Hornsey, dan Yorna (dalam Myers, 2008) menambahkan bahwa semakin tinggi status seseorang dalam kelompok, semakin kecil kecenderungan orang tersebut untuk konform. Hal ini didasarkan didasarkan pada pemahaman logis bahwa semakin tinggi status seseorang maka semakin tinggi pula pengaruhny bagi kelompok (Driskell & Mullen, dalam Myers, 2008). Smith dan Bond (dalam Vaughan & Hogg, 2005) melalui penelitiannya menemukan bahwa perilaku konformitas lebih banyak ditemukan pada masyarakat yang berasal dari wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Selatan daripada masyarakat yang berasal dari wilayah Amerika Utara dan Eropa Tenggara. Untuk wilayah yang menganut budaya kolektifis, konfomitas adalah hal yang baik (Vaughan & Hogg, 2005). Berdasarkan hasil temuan ini maka peneliti melihat ada relevansi dengan penelitian yang dilakukan melihat hubungan bentuk dan tingkat konformitas anak di dalam peer group. Kemudian, dalam penelitian ini untuk mengukur konformitas, peneliti menggunakan The Peer Pressure Inventory yang dikembangkan oleh Brown dan Clasen (Darcy A. Santor, Deanna Messervey, and vivek kusumakar, 1999). Pengukuran itu digunakan untuk melihat persepsi anak dalam peer groups yang mencakup perilaku sosial peer group, nilai, dan aturan peer groups. Ukuran inilah
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
33
yang akan digunakan oleh peneliti dalam mengukur konformitas peer groups, dengan dimensi perilaku sosial peer group dan nilai dalam peer groups. Indikator yang digunakan dalam mengukur nilai yang dianut dalam peer group mengacu pada penelitian sebelumnya dan mengacu pada aspek kohesivitas individu untuk konform dalam peer group-nya seperti nilai kesetiakawanan, kebersamaan, dan nilai kepentingan bersama kelompok.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
34
Tabel 3 Operasionalisasi Konsep
No. Konsep 1. Perilaku Agresi
2.
3.
Variabel Tingkat Agresivitas
Dimensi Indikator Agresi Fisik 1.Intensitas siswa dalam Aktif melakukan tindakan Langsung agresi 2.Jenis perilaku agresi fisik aktif langsung yang sering dilakukan Agresi Verbal 1.Intensitas siswa dalam Aktif melakukan tindakan Langsung agresi 2.Jenis perilaku agresi verbal aktif langsung yang sering dilakukan Agresi Verbal 1.Intensitas siswa dalam Aktif Tidak melakukan tindakan Langsung agresi 2.Jenis perilaku agresi verbal aktif langsung yang sering dilakukan Konformitas Tingkat Perilaku sosial 1.Mengikuti penampilan Konformitas peer group teman sebaya 2.Mengikuti perilaku teman sebaya 3.Menjadikan opini teman sebaya sebagai acuan bertindak Nilai 1.Menjalankan nilai kesetikawanan selama berada dalam peer group 2.Menjalankan nilai kebersamaan selama berada dalam peer group 3.Menjalankan nilai kepentingan bersama selama berada dalam peer group 4.Menjalankan nilai Budaya Tingkat Nilai 1.Persepsi dan Sekolah Budaya pelaksanaan terhadap nilai Sekolah keimanan/ketakwaan di sekolah 2.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai toleransi di sekolah 3.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai tanggung jawab di sekolah
Kategori -Tidak pernah -Kadang-kadang -Sering
Skala Skala Ordinal
-Tidak pernah -Kadang-kadang -Sering
Skala Ordinal
-Tidak pernah -Kadang-kadang -Sering
Skala Ordinal
-Tidak mengikuti Skala -Mengikuti Ordinal -Sangat mengikuti
-Tidak -Iya
Skala Ordinal
-Tidak -Iya
Skala Ordinal
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
35
Norma
Tradisi
Interaksi
4.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai kerjasama di sekolah 5.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai kejujuran di sekolah 6.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai kedisplinan di sekolah 7.Persepsi dan pelaksanaan terhadap nilai kepercayaan di sekolah 1.Menjalankan aturan -Tidak untuk menghormati, -Iya kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, staf sekolah, pengurus sekolah, senior, dan teman di sekolah 2.Menjalankan aturan cara berpakaian yang disesuaikan oleh sekolah 3.Menjalankan aturan sekolah yang berkaitan dengan cara belajar di dalam kelas dan di luar kelas 4.Menjalankan aturan sekolah yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya siswa menyelesaikan masalah 1.Persepsi dan pelaksanaan terhadap tradisi sekolah yang membangun kedisplinan dan motivasi 2.Persepsi dan pelaksanaan terhadap tradisi sekolah yang bersifat memupuk kebersamaan 1.Membangun relasi dan interaksi diantara siswa dengan guru 2.Membangun relasi dan interaksi diantara siswa
Skala Ordinal
-Iya -Tidak
Skala Ordinal
-Tidak -Iya
Skala Ordinal
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
36
dengan staf sekolah 3.Membangun relasi dan interaksi diantara siswa dengan siswa 4.Membangun relasi dan interaksi diantara siswa dengan pengurus sekolah II.3 Kerangka Teori II.3.1 Cultural Reproduction-Pierre Bourdieu Pierre Bourdie melihat pendidikan di sekolah sebagai tempat terjadinya kekerasan fisik dan psikis. Bourdieu melihat sekolah sebagai tempat terjadinya kekerasan simbolis-pemaksaan sistem simbolisme dan makna (budaya) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dianggap sebagai sesuatu yang sah (Jenkins, 2004, p:157). Selanjutnya, Bourdie melihat juga bahwa nilainilai yang diajarkan di sekolah adalah nilai budaya yang mungkin saja berbeda dengan budaya yang ada dan dilaksanakan oleh siswa dirumah.
II.3.2 Teori Anomie-Robert K.Merton (Perdue, 1986) Konsep sosiologis yang terkenal dari Robert K.Merton adalah mengenai struktur dan anomie yang menjelaskan bentuk dari perilaku menyimpang. Merton fokus melihat penyimpangan sebagai sebuah konsekuensi dari disorganisasi struktural. Dalam pengklasifikasi penyimpangan anomie, Merton menjelaskan hubungan antara tujuan dan struktural dengan cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dua kunci utama dalam konsep ini berkenaan dengan goals (tujuan yang hendap dicapai) dan means (cara untuk mencapai tujuan tersebut). Dalam sosiologi, ketika tujuan yang secara universal diberlakukan pada masyarakat, tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut dibatasi untuk anggota masyarakat, maka penyimpangan akan terjadi dalam skala yang luas. Merton mengklasifkasikan lima bentuk dari perilaku penyimpangan anomi yang dilakukan didalam masyarakat yang berkaitan dengan goals dan means yang mana empat bentuk perilaku tersebut bersifat penyimpangan.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
37
Tabel 4 Skema Bentuk Penyimpangan di Robert K Merton Goals (Tujuan)
Means (Cara)
Role Behavior (Pelaku)
+
+
Conformist
+
-
Innovator
-
+
Ritualist
-
-
Retreaatist
±
±
Rebel
Cara pertama, conformist dimana individu mengikuti tujuan yang sesuai dengan standard norma yang berlaku di masyarakat dan didukung dengan cara yang disetujui oleh masyarakat untuk mewujudkan tujuan tersebut. Cara kedua, innovator dimana individu mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi menerapkan cara yang tidak baik dalam mewujudkan tujuan tersebut. Cara ketiga, ritualist dimana individu meninggalkan tujuan budaya, tetapi mengikuti aturan dalam masyarakat dalam menwujudkan tujuannya. Cara keempat, retreatist dimana individu menggabaikan tujuan dan cara untuk mewujudkan tujuan tersebut seperti yang ditentukan oleh masyarakat. Cara kelima, rebel dimana individu menolak tujuan dan cara tradisional yang ada, tetapi berupaya menciptakan tatanan sosial yang baru. Hal yang perlu ditekankan bahwa Merton melihat perilaku penyimpangan ini tidak berdasarkan tipe kepribadian individu, melainkan sebagai respon adaptasi individu dalam menjalankan perannya.
II.4 Model Analisa Budaya Sekolah Perilaku Agresif Konformitas Peer Groups
II.5 Hipotesis Adapun, hipotesis penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara budaya sekolah dan konformitas anak dalam peer group terhadap perilaku agresif pelajar di sekolah.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
38
2. Semakin negatif budaya sekolah siswa maka semakin tinggi tingkat agresivitas pelajar. 3. Semakin konformitas anak dalam peer group yang terlibat dalam kegiatan antisosial maka semakin tinggi tingkat agresivitas pelajar.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
39
BAB III METHODOLOGI III.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif biasanya berhubungan dengan identifikasi sampel dan populasi, penentuan strategi penelitian, pengumpulan dan analisis data, penyajian hasil penelitian, penafsiran, dan penulisan hasil penelitian (Creswell, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena ingin mendapatkan penjelasan mengenai hubungan antara tingkat konformitas anak dalam peer group dan budaya sekolah dengan agresivitas pelajar SMA. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat variabel mana dari dua variabel independen ini yang paling signifikan berhubungan dengan tingkat agresivitas di kalangan pelajar SMA.
III.2 Jenis Penelitian Berdasarkan kegunaan, penelitian ini merupakan penelitian basic research karena bertujuan untuk mengembangkan teori baru dan menambah dasar ilmu pengetahuan
mengenai
bagaimana
dunia
sosial
berproses.
Selanjutnya,
berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dalam sekali waktu dan berdasarkan dimensi tujuan, penelitian ini merupakan penelitian explanation karena bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar variabel, dimana terdapat dua variabel independen yang berhubungan dengan tingkat perilaku agresif pelajar SMA. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan hubungan tingkat konformitas anak dalam peer group dan budaya sekolah dengan tingkat perilaku agresif pelajar. Lebih lanjut lagi, penelitian eksplanatif dalam penelitian ini berguna untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya perilaku agresif pelajar SMA. Kemudian, berdasarkan teknik pemgumpulan data, penelitian ini mengunakan
strategi
survei
dengan
menggunakan
kuesioner.
Teknik
pengumpulan data dengan strategi survei berusaha memaparkan secara kuantitatif kecenderungan, sikap, atau opini dari suatu populasi tertentu dengan meneliti sampel dari populasi tersebut.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
40
III. 3 Populasi dan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini, yang akan menjadi cakupan populasi penelitian adalah seluruh pelajar SMA kelas 3 yang berasal dari sekolah pemerintah di Kota Jakarta yang mana merupakan sekolah yang tercatat pernah melakukan perilaku agresi/kekerasan dari KPAI. Sampel yang diambil adalah sebanyak tiga SMA Negri Jakarta yang menurut data KPAI telah terbukti melakukan perilaku agresi atau tindak kekerasan. Peneliti hanya menfokuskan agresivitas pada sekolah pemerintah dimana dalam penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pelajar yang berasal dari sekolah pemerintah lebih agresif dibandingkan pelajar yang berasal dari sekolah swasta. Selain itu, berdasarkan data dari KPAI menunjukkan bahwa sebanyak 77 SMA Negri yang terdapat siswanya melakukan perilaku agresi. Peneliti menjadikan pelajar SMA kelas 3 sebagai responden dikarenakan berdasarkan data dan fakta kecenderungan perilaku agresi dilakukan oleh para senior kepada junior. Selain itu, pemiliahan pelajar SMA kelas 3 dikarenakan pada masa itu anak memasuki usia remaja. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa anak pada masa remaja cenderung berperilaku agresi mengingat anak mulai mebentuk hubungan dalam teman sebaya. Unit analisis pada penelitian ini adalah individu-individu yang merupakan pelajar SMA Negri di Kota Jakarta. Secara ringkas perumusan populasi dalam penelitian ini adalah: Isi
Seluruh pelajar kelas 3 SMA baik yang berjenis kelamin lakilaki maupun perempuan yang berasal dari sekolah pemerintah yang telah terbukti terdapat perilaku agresi di Jaakarta.
Cakupan
Sekolah Menengah Atas Negri di Kota Jakarta
Waktu
2013
Unit analisis
Sekolah
Unit Observasi
Individu
Penarikan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara , yaitu dalam penarikan sampel untuk pemilihan sekolah menggunakan non-random sampling, yaitu purposive sample dimana peneliti melakukan pemilihan unsur sampel dengan sengaja yang dilakukan secara tak acak. Pemilihan penarikan sampel seperti ini dikarenakan peneliti memilih sekolah yang bersedia untuk
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
41
dilakukan penelitian. Sedangkan penarikan sampel untuk siswa dilakukan menggunakan simple random sampling.
III.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah survey yang berguna untuk mendapatkan data primer. Proses survey ini dilakukan dengan metode kuesioner kepada para responden yang masuk ke dalam sampel penelitian. Untuk memperkaya informasi dan analisis maka dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) kepada beberapa guru, kepala sekolah, dan beberapa siswa. Informasi dari yang didapatkan dari wawancara mendalam untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga. Sementara itu, data sekunder dalam penelitian ini didapatkan melalui berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal, dan penelitian sebelumnya yang terkait topik penelitian, yaitu tingkat perilaku agresif pelajar. Selain itu, untuk mengetahui gambaran umum sekolah yang menjadi objek penelitian maka data sekunder yang didapatkan dari tata usaha sekolah-sekolah bersangkutan.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
42
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, Margaret L. dan Howard F. Taylor.2009.Sociology, The Essentials, Fifth Edition.USA : Thomson Wadsworth. Berkowitz, L.1962.Aggression.USA: McGraw-Hill Book Comapny Berkowitz, L.1994. Agresi I Sebab dan Akibatnya.Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Brembeck, Cole S.1967.Social Foundations of Education: A Cross-Cultural Approach.New York: John Wiley and Sons Inc. Creswell, John W.2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Deal, Terrence E & Peterson, Kent D.2009, Shapping Culture Field Books (2th.ed), San Francisco: Josswy-Bass. Diunduh dari www.ebooksclub.org. Idi,
Abdullah.2011.Sosiologi
Pendidikan:
Individu,
Masyarakat,
dan
Pendidikan.Jakarta: Rajawali Press. Myers, David J.2008.Social psychology 9th ed. NewYork: McGraw-Hill. Nasution, S. 1999. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Neuman,
W
Lawrence.2006.Social
Research
Methods:Qualitative
and
Quantitative Approach. USA: Pearson Education Inc Perdue, William D.1986.Sociological Theory:Explanation, Paradigm, and Ideology.California: Mayfield Publishing Company. Renfrew, John W..1997. Aggression and Its Causes: A Biopyschosocial Approach.New York: Oxford University Press Inc. Riyanti, Dwi. B.P, Prabowo, Hendro. 1998. Seri Diktat Kuliah Psikologi Umum 2. Jakarta: Gunadarma. Sarwono.1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori – Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sarwono, Sarlito Wirawan.2001.Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan.Jakarta: Balai Pustaka. Secord, P.F. dan Backman, C.W.1981 Social Psychology. Second edition. New York: McGraw-Hill Book Company
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
43
Sullivan, Keith, Mark Clearly, & Ginny Sullivan.2004. Bullying in Secondary Schools: What It Lokks Like and How to Manage It. California: Corwin Press Inc. A SAGE Publication Company. Vembriarto, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo. Vaughan, Graham M. & Hogg, Michael A.2005. Introduuction to social psychology 4thed.New South Wales: Pearson Education.
Journal: Galgotra, Mohan. 2013. “A Study of Aggression Among Adolescents of Jammu District in Relation to Sex, Socio Economic Status and Types of Institutions”. Indian Streams Research Journal Vol.3, Issue 1 Februari, 2013 (http://www.isrj.net/UploadedData/1988.pdf) Goldstein, Sara E., Amy Young and Carol Boyd. 2008. "Relational Aggression at School: Associations with School Safety and Social Climate." Journal of Youth
and
Adolescence 37(6):641-654
(http://search.proquest.com/docview/204522615?accountid=17242). Imtiaz, Ruqaya.2010. “Sociological Study of The Factors Affecting the Aggressive Behavior Among Youth”. Pakistan Journal of Social Sciences Vol.30,
No.1
(September
2010):99-108
http://www.bzu.edu.pk/PJSS/Vol30No12010/Final_PJSS-30-1-09.pdf. Santor, Darcy A., Deanna Messervey and Vivek Kusumakar. 2000. "Measuring Peer Pressure, Popularity, and Conformity in Adolescent Boys and Girls: Predicting School Performance, Sexual Attitudes, and Substance Abuse." Journal
of
Youth
and
Adolescence 29(2):163-182
(http://search.proquest.com/docview/204645542?accountid=17242) Scott, Stephen. 1998. "Aggressive Behaviour in Childhood." British Medical Journal 316(7126):202-6 (http://search.proquest.com/docview/203999200?accountid=17242). Williford, Anne P., Daniel Brisson, Kimberly A. Bender, Jeffrey M. Jenson and Shandra Forrest-Bank. 2011. "Patterns of Aggressive Behavior and Peer Victimization from Childhood to Early Adolescence: A Latent Class
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010
44
Analysis." Journal
of
Youth
and
Adolescence 40(6):644-55
(http://search.proquest.com/docview/867421695?accountid=17242). Wimbarti, Supra. 2002. "Children's Aggression in Indonesia: The Effects of Culture,
Familial
Factors,
Peers,
TV
Violence
Viewing,
and
Temperament." University of Southern California, United States -California (http://search.proquest.com/docview/305569154?accountid=17242). Yoneyama, Shoko & Naito Asao. 2003. “Problem With The Paradigm: The School As A Factor In Understanding Bullying (with special reference to Japan)”, British Journal of Sociology of Education. JSTOR database. Tesis: Sumarni. School culture, Teacher Culture and School Performance . a study of higher- success and lower-succes senior high school in Klaten, central Java. Tahun 2003. Tesis untuk mencapai gelar Magister Sains di bidang Sosiologi. Universitas Indonesia .Tahun 2004
Website: K, Nograhany Widhi (2012). 5 Kasus Bullying di Jakarta. http://news.detik.com/read/2012/07/31/105747/1979089/10/4/5-kasusbullying-sma-di-jakarta#bigpic KPAI (2012).Pandangan Umum Terhadap Penyebab Perkelahian Pelajar. http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuranpelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html. Natalia, Dyah Mediani (2012).Waduh, Siswa Sekolah Menengah Rentan Alami Kekerasan Verbal dan Nonverbal! http://gaul.solopos.com/waduh-siswa-sekolah-menengah-rentan-alamikekerasan-verbal-dan-nonverbal-342624.html. UNICEF (2001).Discipline and Violence. http://www.unicef.org/teachers/protection.
Universitas Indonesia Tingkat Agresivitas Sosial Pelajar.., Fitriani, FISIP UI 2010